Pedang Kayu Harum Kho Ping Hoo jbookmaker by: http://jowo.jw.lt Kiam Kok-san (Gunung Berlembah Pedang) merupakan sebuah di antara puncak-puncak Pegunungan Kun Lun San yang tak pernah dikunjungi manusia seperti puncak-puncak lain dari Kun Lun-san. Bukan karena Kim Kok-san kurang indah pemandangannya. Sama sekali bukan. Bahkan tamasya alam yang tampak dari puncak gunung ini amatlah indahnya. Batu kapur yang mengeras dan mengkilap menjulang tinggi seperti menara besi menembus awan tak tampak ujungnya seolah-olah bersambung dengan langit. Pantaslah kalau ada yang mengatakan bahwa puncak batu perawan itu merupakan tempat kediaman dewa penjaga gunung. Awan putih yang berarak seperti domba-domba kapas, tak pernah berhenti dihembus angin langit, menjadi jinak setelah bertemu dengan Kiam Kok-san, berkumpul di sekeliling puncak seperti sehelai bulu domba yang hangat. Dari puncak ini memandang ke bawah tampak awan putih mengambang di bawah kaki, menyusupi lembah-lembah bukit yang amat curam. Indah, sukar dilukiskan dengan kata-kata keindahan tamasya alam yang dapat dinikmati dari puncak Kiam Kok-san. Bagaimana taman surga terbentang luas di bawah kaki, suram-suram terselimut tirai halimun menciptakan sifat yang ajaib penuh rahasia. Bukan karena kurang indah, melainkan kesukaranlah yang membuat tempat itu tidak pernah dikunjungi manusia. Sesuai dengan namanya, puncak ini terdiri dari lembah-lembah penuh batu gunung yang merupakan karang-karang meruncing dan tajam seperti pedang. Tidak terdapat jalan tertentu mendaki puncak, tidak ada pula jalan setapak bekas kaki manusia. Semuanya liar, lebat dan bahaya maut mengintai setiap saat bagi manusia yang berani mendatangi tempat itu. Jurang-jurang yang curam, belukar tempat persembunyian binatang-binatang buas, rumput-rumput hijau yang menopengi muara-muara dalam penuh lumpur dan ular berbisa, dan bahaya tersesat jalan. Jangankan orang biasa, bahkan mereka yang memiliki ilmu kepandaian seperti para pertapa dan para pendekar masih akan berpikir masak-masak lebih dahulu untuk mendaki puncak berbahaya seperti Kiam-kok-san. Pagi hari itu amatlah cerah. Halimun tidak setebal biasanya dan karenanya sinar matahari pagi dapat mengusir halimun menerobos di antara celah-celah daun pohon dan batu pedang, menerangi tanah puncak yang penuh lumut dan rumput hijau. Tak terkira indahnya puncak Kiam-kok-san yang bermandi cahaya keemasan matahari pagi itu, sunyi dan hening, aman tentram. Seperti itulah agaknya sorga sering kali disebut-sebut oleh para pendeta yang dijanjikan sebagai anugerah tempat tinggal bagi para manusia yang dalam hidupnya menjauhkan diri daripada segala kemaksiatan dan kejahatan. Ketika sinar matahari mencapai kaki batu hitam mengkilap yang ujungnya berselimut awan langit, tampaklah seorang kakek tua renta duduk bersila di atas batu halus. Kakek ini sudah amat tua, terbukti dari kulit wajahnya yang penuh keriput, dagingnya yang sudah tipis sehingga tulang-tulangnya menonjol di balik kulit, rambutnya yang putih semua terurai panjang sampai ke punggung dan sebagian menutupi kedua pundaknya. Kalau ditaksir, kakek ini tentu tidak kurang dari seratus tahun usianya. Pakaiannya yang sederhana hanya merupakan kain putih yang sudah agak menguning dibalut-balutkan ke tubuhnya, kakinya telanjang seperti kepalanya. Dia duduk bersila di bawah batu pedang yang tinggi itu dengan kedua kaki dan kedua lengan menyilang, duduk tak bergerak-gerak dengan kedua mata dipejamkan. Dilihat dari jauh, dia seperti telah membatu, lebih menyerupai sebuah arca batu daripada seorang manusia hidup. Namun sesungguhnya dia bukanlah arca, karena kalau diperhatikan, tampak betapa dada di balik kain putih itu bergerak perlahan seirama dengan pernapasannya yang halus dan panjang. Di atas tanah, depan kaki yang bersilang dengan bentuk teratai (kedua telapak kaki terlentang di atas paha), terdapat sebatang pedang telanjang yang mengeluarkan sinar kehijauan setelah tertimpa cahaya matahari. Sebatang pedang yang indah bentuknya, namun amat aneh karena berbeda daripada pedang-pedang umumnya yang terbuat dari baja-baja pilihan, pedang yang terletak di depan kakek itu adalah sebatang pedang kayu! Perlahan-lahan sekali, sedikit demi sedikit, sinar matahari memandikan wajah tua keriputan itu. Di bawah sinar keemasan sang surya, wajah itu tampak amat elok dan tak dapat diragukan pula bahwa kakek ini dahulu tentu seorang pria yang amat tampan. Bentuk dan raut wajahnya masih jelas membayangkan ketampanan seorang pria. Kehangatan sinar matahari yang sedap nyaman itu menyadarkannya dari samadhi. Dia membuka kedua matanya dan orang akan heran kalau melihat sinar matanya. Orangnya jelas sudah amat tua, namun sepasang matanya bening seperti mata seorang anak kecil yang masih bersih batinnya! Bagi seorang ahli kesaktian, hal ini saja sudah menjadi bukti bahwa kakek ini telah mencapai tingkat ilmu yang amat tinggi, karena hanya orang yang memiliki sinkang (hawa sakti) amat kuat saja yang dapat mempunyai sepasang mata seperti itu. Dengan pandang mata penuh kagum kakek itu memandang ke depan, lalu ke kanan kiri dengan sinar matanya seolah-olah dia minum dan menikmati segala keindahan yang dicipta oleh sinar keemasan sang surya itu. Kemudian dia menggeleng kepalanya, dan bibirnya bergerak-gerak, mengeluarkan kata-kata lirih. "Ya Tuhan Yang Maha Kasih! Sampai sedemikian besarkah kasihMu kepada seorang penuh dosa seperti aku? Berhakkah aku menikmati semua ini? Aaaahhh, tak mungkin! Thian (Tuhan) hanya melimpahkan ganjaran kepada orang yang telah berjasa di dalam hidupnya. Guruku dahulu mengatakan dalam pesannya bahwa aku harus berbuat jasa terhadap manusia dan dunia. Apakah jasaku selama aku hidup? Tidak ada! Hanya malapetaka yang menjadi akibat dari semua perbuatanku! Dan semua itu karena aku pandai ilmu silat, karena...karena Siang-bhok-kiam (pedang Kayu Harum) ini! Aaahhh,Tuhanku! Aku tidak akan mengelak daripada kenyataan. Aku rela dan siap sedia menerima hukuman-hukumannya. Tak mungkin aku membebaskan diri daripada belenggu karma. Aku tidak berhak menikmati kemurahan dan kasihMu, ya Tuhan....!" Kata-kata terakhir kakek itu bercampur isak tertahan dan dia lalu memejamkan kembali kedua matanya seolah-olah dia tidak mengijinkan matanya memandangi segala keindahan yang terbentang luas di depannya. Keadaan menjadi sunyi kembali. Sunyi sama sekali? Tidak! Terdengar kicau burung pagi, riak air di belakang batu pedang, dan desau angin menghembus lewat mempermaikan daun-daun pohon. Paduan suara ini seolah-olah mengejek kakek itu, seolah-olah menertawakan kebodohan dan kebutaan manusia. Tuhan Maha Kasih, tidak membeda-bedakan. Siapa pun dia yang bersedia, akan menerima uluran kasihNya, seperti cahaya matahari pagi yang tidak memilih-milih siapa yang akan disinarinya. Kasih sayang Tuhan merata, tanpa perbedaan, tidak dikotori dosa manusia, besar kecilnya kasih yang dilimpahkan tergantung daripada rasa penerimaan si manusia sendiri! Tiba-tiba terjadi perubahan pada paduan suara itu. Kicau burung yang tadinya merdu, kini berubah cecowetan penuh kejut dan takut, tanda bahwa terjadi sesuatu yang tidak wajar di tempat itu. Kemudian muncullah bayangan orang-orang berkelebat cepat. Gerakan mereka tangkas seperti burung-burung raksasa dan dalam sekejap mata saja sembilan orang telah membentuk lingkaran kipas di depan kakek yang bersamadhi dalam jarak kurang lebih sepuluh meter. Kenyataan bahwa sembilan orang ini dapat mendaki puncak, ditambah dengan gerakan mereka tadi, tentu saja mereka ini bukanlah orang-orang biasa, melainkan orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Ketika mereka berlompatan di depan kakek itu, kaki mereka tidak menimbulkan suara seperti kaki burung hinggap di atas dahan. Mereka berdiri tak bergerak, namun dalam keadaan siap-siaga, memasang kuda-kuda dengan gaya masing-masing, seluruh urat saraf menegang, pandang mata ditujukan ke arah kakek dan pedang yang terletak didepannya. Pandang mata yang menyapu wajah kakek itu mengandung benci yang mendalam, adapun ketika pandang mata menyapu pedang, kebencian berubah menjadi rasa kepingin yang tak disembunyikan. Biarpun kedatangan sembilan orang sakti itu hanya ditandai perubahan pada kicau burung, ternyata telah diketahui oleh kakek tua renta yang sedang duduk bersamadhi. Dia membuka kedua matanya dan menyapu dengan pandang matanya ke arah sembilan orang yang berdiri mengurungnya dalam bentuk lingkaran kipas. Mulutnya tersenyum, sedikitpun tidak memperlihatkan rasa heran seolah-olah kedatangan mereka itu memang telah diduganya. Adapun sembilan orang itu ketika bertemu pandang sedetik dengan sapuan matanya, menjadi terkejut dan bergidik. Mereka temukan pandang mata itu saja cukup memperingatkan mereka bahwa kakek yang mereka kunjungi ini makin tua makin ampuh kesaktiannya. "Sie Cun Hong...! Aku datang untuk menerima pedangmu sebagai pengganti nyawamu yang semestinya kukirim ke neraka agar dendam hatiku terhadpmu lunas!" Kakek itu menoleh ke kanan karena yang bicara ini adalah orang yang berdiri paling kanan dalam lingkaran kipas itu. Bibirnya tersenyum lebar memperlihatkan mulut ompong tak bergigi lagi, seperti senyum seorang bayi yang belum bergigi. Wanita yang menyebut namanya yang sudah bertahun-tahun tak pernah didengarnya itu adalah seorang nenek yang usianya paling sedikit sudah tujuh puluh tahun. Rambutnya sudah hampir putih semuanya, digelung kecil ke atas dengan tusuk konde perak. Wajahnya masih belum kehilangan raut dan bentuk yang manis, hanya mulut yang dahulunya amat indah manis itu kini agak "nyamprut" karena tidak bergigi lagi. Tubuhnya yang dahulunya tinggi semampai itu kini agak membongkok dan kurus. Pakaiannya sederhana dan berwarna hijau. Dari depan, tampak gagang pedang tersembul di balik pundak kanannya. "Heiii, bukankah engkau Lu Sian Cu? Ah, tubuhmu mungkin sudah menjadi tua, namun semangatmu benar masih muda, Sian Cu! Engkau mendendam kepadaku dan menghendaki pedang Siang-bhok-kiam sebagai pengganti nyawaku? Eh, dalam hal apakah engkau mendendam kepadaku?" "Keparat tua bangka! Jangan kaukira akan dapat mendesakku dengan pertanyaan untuk membikin aku malu. Aku sudah tua, dan semua yang hadir itu adalah tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw, tidak perlu malu aku mengaku! Puluhan tahun yang lalu engkau telah mempergunakan kepandaianmu menggaggahi dan memperkosaku. Dendamku kepadamu setinggi langit!" Kakek itu tertawa, lalu mengangguk-angguk. "Benar, alangkah cepatnya sang waktu meluncur. Ketika itu engkau baru berusia kurang dari tiga puluh tahun, dan engkau terkenal sebagai seorang pendekar wanita yang selain lihai juga cantik dan terutama sekali angkuh sehingga engkau menolak semua pinangan pria, membuatmu masih perawan dalam usia hampir tiga puluh. Akupun ketika itu masih muda belum lima puluh tahun. Aku tergila-gila kepadamu, menggunakan kepandaian memasuki kamarmu dan memperkosamu. Akan tetapi , heh Lu Sian Cu! Lupakah engkau betapa engkau kemudian menerimaku dengan penuh kehangatan betapa engkau menangis dan merengek-rengek ketika hendak kutinggalkan? Lupakah engkau betapa engaku sama sekali tidak menaruh dendam atas perbuatanku yang juga menyenangkan hatimu itu? Mengapa kini engkau membalik dan memutar lidah?" "Cih, laki-laki tak berjantung! Setelah perbuatan kejimu itu, bagaimana aku dapat menerima pria lain? Aku telah menyerahkan raga dan jiwa, akan tetapi engkau menolak dan meninggalkanku pergi! Engkau telah mempermainkan cintaku. Seharusnya engkau menjadi suamiku, akan tetapi engkau mengejek dan minggat. Keparat, dendamku sedalam lautan setinggi langit!" "Ha-ha-ha, engkau mau menang sendiri, Sian Cu. Dahulu pun kau sudah tahu bahwa aku adalah seorang yang selalu ingin bebas, bebas dari golongan, bebas dari segala ikatan termasuk ikatan rumah tangga! Memang aku telah berbuat jahat, memperkosamu, namun kita bersama, engkau dan aku, telah menikmatinya bersama dan hal yang menyenangkan orang lain mana bisa kausebut sebagai hal yang menyakitkan hati orang itu?" "Sie Cun Hong! Tak perlu banyak cakap lagi. Serahkan pedangmu itu atau serahkan nyawamu!" Sambil berseru begini, nenek itu lalu mengeluarkan senjatanya yang menyeramkan. Senjata ini berupa cambuk berwarna hitam, akan tetapi bukan sembarang cambuk karena pada ujungnya terpecah menjadi sembilan dan setiap ujung diberi baja pengait seperti mata kail. Inilah senjata cambuk sembilan ekor yang telah membuat nama nenek ini tersohor di dunia kang-ouw, karena jarang ada lawan yang dapat bertahan menghadapi senjatanya yang istimewa itu. Dan senjata itu pula yang mebuat nenek ini dijuluki Kiu-bwe Toa-nio (Nyonya Besar Berekor Sembilan), sebuah nama besar yang ditakuti para penjahat, seorang pendekar wanita tua yang ganas dan keras hati terhadap penjahat. Telah puluhan tahun lamanya ia dikenal sebagai Kiu-bwe Toanio dan baru sekarang tokoh-tokoh lain yang hadir disitu mendengar disebutnya namanya oleh kakek itu, yaitu Lu Sian Cu! "Tar-tar-tar...!" Cambuk hitam itu melecut-lecut di udara dan mengeluarkan suara meledak-ledak. "Sie Cun Hong! Apakah engkau masih membandel dan tidak mau menyerahkan pedangmu?" "Ha-ha-ha, engkau masih bersemangat dan galak. Tubuhku sudah tua, semangatku pun sudah melempem, kalau kau hendak menolongku bebas dari tubuh tua dan dunia ini, nah, lakukanlah, Lu Sian Cu!" Nenek itu mengeluarkan suara teriakan melengking panjang, lengking yang memekakkan telinga, yang mengandung rasa duka, kecewa, menyesal dan benci karena cinta ditolak. Cambuknya menyambar ke depan dan tiga buah diantara sembilan ekor itu sudah meluncur ke arah sepasang mata dan ubun-ubun kepala. kakek itu masih duduk bersila, kini tangan kirinya diangkat, jari-jari tangannya bergerak menyentil tiga kali. "Tring-tring-tring....!" "Aiiihhh.....!" Kiu-bwe Toania menjerit dan hampir saja ia melepaskan cambuknya karena tiga buah ekor cambuk yang terkena sentilan kuku jari tangan kakek itu secara tiba-tiba membalik dan menerjangnya di tiga buah tempat, yaitu ke arah buah dada dan pusar. Selain ini, juga senjata itu keras sekali, membuat telapak tangannya yang memegang gagang cambuk terasa panas dan pedas. Dengan loncatan ke belakang sambil memutar cambuknya, nenek ini berhasil menyelamatkan diri. Wajahnya menjadi merah sekali dan ia memaki sambil menudingkan cambuknya. "Sie Cun Hong, dasar engkau tua-tua keladi makin tua makin...cabul!" Kakek itu hanya tertawa-tawa, akan tetapi ketawanya berhenti ketika dari sebelah kiri terdengar suara yang menggetar penuh tenaga. "Omitohud....!" Ketika melihat bahwa yang maju kini adalah dua orang hwesio gundul yang usianya sudah enam puluh tahun lebih, kakek itu memandang dengan sikap tenang tetapi penuh pertanyaan karena sesungguhnya dia tidak mengenal dua orang pendeta ini. "Locianpwe benar-benar telah membuktikan betapa julukan Sin-jiu Kiam-ong(Raja Pedang Tangan Sakti) adalah tepat karena tangan Locinpwe benar sakti!" kata seorang di antara dua orang pendeta yang alisnya putih dan tubuhnya kecil kurus. Hwesio ke dua yang berkulit hitam dan bertubuh tinggi besar hanya merangkap kedua tangan didepan dada sambil berulang-ulang memuji, "Omitohud...! Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong masih duduk bersila dan kini dia pun merangkap kedua telapak tangan di depan dada, sebagai pemberian hormat. Menghadapi dua orang pendeta yang begitu lemah lembut, yang bersikap merendahkan diri sehingga menyebutnya locianpwe sebagai sebutan terhadap golongan tua tingkat atas, dia menjadi waspada dan hati-hati. Orang yang sombong takabur tak perlu dikhawatirkan atau ditakuti, akan tetapi terhadap orang-orang yang lemah-lembut dan sikapnya halus, haruslah hati-hati karena orang-orang yang kelihatannya lemah sesungguhnya merupakan lawan yang berat. "Ah, berat sekali menerima pujian jiwi (tuan berdua) yang sesungguhnya kosong penuh angin. Aku yang tua menjadi sadar akan usiaku yang sudah terlalu tua, karena biasanya kedatangan para hwesio seperti ji-wi adalah untuk menyembahyangi orang yang sudah mau mati atau orang yang sudah mati agar nyawanya dapat diterima di tempat yang baik. Siapakah gerangan ji-wi dan apa artinya kehadiran ji-wi ini di Kiam-kok-san?" "Omitohud...! Kami berdua adalah hwesio-hwesio kecil tak berarti yang menjadi utusan Siauw-lim-pai untuk menemui Locianpwe." "Ah, kiranya dari perguruan tinggi Siauw-lim-pai...! Sungguh merupakan kehormatan besar sekali!" Kakek itu berkata tercengang. "Pinceng Thian Ti Hwesio dan ini adalah Sute(adik seperguruan) Thian Kek Hwesio, mewakili suhu yang menjadi ketua Siauw-lim-pai untuk mohon kepada Locianpwe agar suka menyerahkan Siang-bhok-kiam kepada kami. Suhu mohon agar Locianpwe ingat betapa Siauw-lim-pai telah bersikap sabar dan tidak menuntut ketika Locianpwe pada tiga puluh tahun yang lalu mencuri kitab-kitab Seng-to-ci-keng (Kitab Perjalanan Bintang) dan I-kiong-hoan-hiat (Kitab Pelajaran Memindahkan Jalan Darah). Mengingat akan itu suhu pecaya bahwa Locianpwe kini dalam saat terakhir akan membalas kebaikan Siauw-lim-pai dan menyerahkan Siang-bhok-kiam agar semua ilmu yang tersimpan di dalamnya tidak akan terjatuh ke tangan yang sesat dan dipergunakan untuk mengacau dunia!" "Aha, kiranya ji-wi adalah murid-murid Tiong Pek Hosiang? Kalau begitu ji-wi adalah tokoh-tokoh tingkat dua dari Siauw-lim-pai! Kehormatan besar sekali bagiku. Guru ji-wi memang sejak dahulu halus dan sopan santun, namun cerdik sekali. Memang aku telah mengambil dua buah kitab yang ji-wi maksudkan, hal itu kulakukan karena Tiong Pek Hosiang terlalu pelit untuk meminjamkannya kepadaku. Siauw-lim-pai agaknya lupa bahwa ketika mendiang Tat Mo Couwsu yang bijaksana menyalin dan memperbaiki kitab-kitab dari barat, adalah dengan niat agar kitab-kitab itu dapat dipelajari semua manusia sehingga umat manusia dapat menjadi kuat lahir batinnya. Akan tetapi oleh Siauw-lim-pai ilmu-ilmu itu dipendam, disembunyikan dan hanya diturunkan kepada murid-murid sebagian daripada ilmu-ilmu yang dimiliki oleh guru. Dengan demikian, bukankah ilmu-ilmu yang itu makin lama makin berkurang dan menjadi rendah nilainya? Biarpun dua buah kitabnya kuambil, namun Siauw-lim-pai telah memiliki ilmunya. Kitabnya hanya merupakan catatan saja, dan dengan pindahnya kitab ketanganku, sesungguhnya Siauw-lim-pai tidak kehilangan apa-apa. Ilmu kepandaian dapat dibagi-bagikan sampai kepada selaksa orang manusia tanpa mengurangi sumbernya. Mengapa begitu pelit dan ji-wi menuntut tentang dua buah kitab pelajaran? Tidak, aku tidak dapat memberikan Siang-bhok-kiam, kecuali kepada dia yang berjodoh.” "Omitohud!" Hwesio tinggi besar hitam Thian kek Hwesio, melangkah maju dan membentak keras. Kini hwesio itu membelalakkan matanya memandang Sin-jiu Kiam-ong, dan ternyata sepasang matanya lebar sekali, wajahnya membayangkan kekasaran dan kejujuran seperti wajah Thio Hwie, tokoh pahlawan dalam cerita Sam Kok. "Locianpwe agaknya menghendaki kami menggunakan cara Locianpwe sendiri. Meminjam kitab-kitab tidak boleh lalu menggunakan kepandaian mendapatkan kitab-kitab itu. Kini kami minta baik-baik tidak Locinpwe berikan, apakah berarti bahwa kami harus menggunakan kepandaian untuk mendapatkan pedang Siang-bhok-kiam itu?" Sin-jiu Kiam-ong memandang hwesio itu sambil tersenyum, pandang matanya bersinar gembira. Orang yang keras dan jujur selalu mendapatkan rasa suka di hatinya, karena orang yang demikian itu lebih mudah dihadapi. Ia mengangguk dan menjawab. "Kalau seperti itu wawasanmu, maka benarlah demikian agaknya." "Hemmm, bagus! Sin-jiu Kiam-ong terkenal sebagai ahli pedang ahli lweekang namun pinceng sedikit-sedikit juga telah berlatih selama puluhan tahun!" Setelah berkata demikian, Thian kek Hwesio membalikkan tubuhnya dan dengan gerakan kokoh kuat, lengan kanannya yang besar itu mendorong dengan pukulan ke depan, ke arah sebatang pohon yang jaraknya ada tiga meter dari tempat dia berdiri. Sambaran angin pukulan yang dahsyat membuat batang pohon tergetar, daun-daunnya seperti dilanda angin topan, dan berhamburanlah daun-daun yang rontok ke atas tanah seperti hujan! Andaikata manusia diserang dengan pukulan jarak jauh seperti ini, pasti akan remuk tulang-tulangnya, dan rontok isi dadanya! Namun Sin-jiu Kiam-ong tersenyum lebar menyambut demonstrasi tenaga sinkang yang mencapai tingkat tinggi itu. "Ha-ha-ha! Membangun itu amat sukar, merusak amatlah mudahnya. Manusia adalah perusak terbesar diantara segala mahluk! Thian Kek Hwesio, untuk merusak dan merobohkan pohon itu sampai ke akar-akarnya adalah hal yang dapat dilakukan semua orang, akan tetapi dapatkah engkau membuat sehelai daun saja? Hemmm, biarlah kucoba mengembalikan daun-daun itu ke tempatnya, sungguhpun tak mungkin dapat kembali seperti asalnya karena kekuasaan itu hanya dimiliki Thian!" Sin-jiu Kiam-ong yang masih duduk bersila itu menggerakkan kedua tangannya ke depan, ke arah daun-daun yang jatuh berhamburan ke atas tanah tadi dan...bagaikan ada angin puyuh, secara tiba-tiba semua daun itu bergerak, berputar-putar dan terbang naik ke atas pohon menempel sejadinya pada cabang-cabang dan ranting-ranting, ada yang gagangnya menancap, ada yang melekat pada batang pohon, akan tetapi tidak ada yang rontok lagi ke bawah! Melihat ini, Thian Kek Hwesio, menjadi agak pucat wajahnya dan maklumlah dia bahwa tingkat kekuatan sinkang kakek tua renta itu jauh lebih tinggi daripadanya. Ia melangkah mundur sambil merangkapkan kedua tangan di depan dada dan menggumam, "Omitohud...!" "Maaf, suteku dan pinceng melupakan kebodohan sendiri!" kata Thian Ti Hwesio dan si hwesio kurus ini sekarang menggerakkan kedua tangan ke depan, ke arah pedang kayu yang terletak di depan kaki Sin-jiu Kiam-ong dan...pedang itu tiba-tiba melayang naik seperti tersedot besi sembrani lalu terbang ke arah kedua tangan tokoh Siauw-lim-pai itu. Semua tokoh yang berada di situ tahu belaka bahwa kekuatan sinkang hwesio alis putih ini jauh lebih tinggi daripada kekuatan sutenya. Sin-jiu Kiam-ong mengeluarkan suara memuji, "Bagus! Siang-bhok-kiam, sebelum kuijinkan, kamu tidak boleh berganti majikan. Kembalilah!" Ia menggapaikan tangan kirinya dan... pedang kayu yang sudah terbang ke arah kedua tangan Thian Ti Hwesio itu tiba-tiba berputaran lalu membalik, melayang ke arah Sin-jiu Kiam-ong! Thian Ti Hwe-sio menjadi penasaran sekali. Ia manambah kekuatan pada kedua lengannya, bahkan tubuhnya agak merendah ketika dia menggerakkan kedua tangan ke arah pedang. Siang-bhok-kiam kembali berputaran di udara seolah-olah bimbang hendak terbang kemana, akan tetapi akhirnya terbang kembali ke Sin-jiu Kiam-ong dan jatuh ke depan kakek itu ditempatnya yang tadi. Thian Ti Hwesio mengusap peluh di keningnya, lalu menjura dan merangkap kedua tangan di depan dada. "Sin-jiu Kiam-ong makin tua makin gagah, tepat seperti apa yang telah diperingatkan suhu kami. Siancai....siancai....!" "Thian Ti Hwesio terlalu memuji," kata Sin-jiu Kiam-ong. "Orang she Sie! Kalau lain orang menghormatimu, aku Sin-to Gi-hiap tidak! Aku sudah mengenal isi perutmu! Aku seorang dari golongan pendekar, termasuk kaum benar dan bersih, bagaimana aku dapat berdiri sederajat dengan engkau seorang tokoh sesat dan kotor? Aku bilang bukan untuk minta-minta diberi Siang-bhok-kiam, melainkan untuk memenggal kepalamu dan merampas pedangmu!" Sin-jiu Kiam-ong memandang orang yang bicara dengan suara keras itu. Dia adalah seorang kakek berusia tujuh puluh tahun lebih, namun tubuhnya masih berdiri tegak dan tegap, wajahnya membayangkan kegagahan dan ketampanan, sebatang golok telanjang berada di tangan kanan mengeluarkan cahaya berkeredepan, pakaiannya ringkas dan sederhana, berwarna kuning bersih. "Eh, kiranya Sin-to Gi-hiap (Pendekar Budiman Bergolok Sakti) yang datang? Bagiku, tidak ada permusuhan dengan seorang pendekar budiman seperti engkau. Mengapa engkau datang-datang memaki orang?" "Lidah ular! Isteriku telah meninggal dunia, namun dendamnya dan dendamku kepadamu takkan lenyap sebelum golokku berhasil memenggal lehermu! Biarlah disaksikan oleh para orang gagah disini mendengarkan pengakuanku, karena aku bukan seorang pengecut. Lima puluh tahun yang lalu, dengan kepandaianmu merayu engkau telah mengganggu isteriku, memaksanya melakukan hubungan perjinaan denganmu. Lima puluh tahun yang lalu aku kalah terhadapmu, akan tetapi coba-coba kita buktikan sekarang! Bangkitlah dan lawan golokku!" Sin-jiu Kiam-ong menudingkan telunjuknya ke arah hidung pendekar yang kini sudah tua itu. "Sin-to Gi-hiap, sebelum memaki orang mengapa tidak meraba hidungmu lebih dahulu? Aku memang melakukan hubungan cinta gelap dengan isterimu, akan tetapi apa salahnya itu kalau dia sendiri menghendakinya? Dan ketahuilah, aku sampai hati melakukan hal itu karena mengingat betapa engkau mendapatkan isterimu yang cantik jelita itu dengan jalan merampas dan memaksa!” “Engkau mendapatkan dengan membunuh suaminya si perampok tunggal di Taibu, kemudian merampas isterinya yang cantik. Apakah kaukira aku tidak tahu bahwa engkau membunuh perampok itu bukan sekali-kali terdorong jiwa pendekarmu, melainkan terdorong nafsu birahimu melihat isterinya yang cantik? Engkau merampas wanita dengan kekerasan, aku merampas cintanya dengan cara halus. Apa bedanya? Setidaknya, aku lebih berhasil mendapatkan cintanya!" "Keparat? Penjahat cabul engkau, jai-hwa-cat (Pemetik bunga) yang tak tahu malu. Sebentar lagi engkau tentu mampus disini dan biarlah kubuatkan arca seorang jai-hwa-cat untuk ditaruh diatas makammu agar setiap orang dapat meludahinya!" Setelah berkata demikian, Sin-to Gi-hiap lalu meloncat ke arah sebuah batu gunung sebesar manusia, goloknya mendahuluinya merupakan sinar putih cemerlang, berkelebatan dan menggulung-gulung di sekitar batu itu dan terdengar suara keras dan bunga api berpijar-pijar menyilaukan mata. Setelah gulungan sinar berkilauan lenyap dan semua orang memandang ke arah batu diantara debu itu, kini tampaklah bahwa batu itu telah menjadi arca yang menggambarkan kepala Sin-jiu Kiam-ong! Biarpun kasar akan tetapi jelas tampak bahwa itu adalah arca si kakek tua renta yang kini duduk bersila sambil memandang arca itu dan tersenyum! "Wah, makin hebat saja kepandaianmu, Si Golok Sakti! Akan tetapi bukan ilmu goloknya yang kumaksudkan, melainkan ilmu ukirannya! Sayang begitu kasar! Tidak dapatkah diperhalus lagi? Biar kubantu engkau." Setelah berkata demikian, Sin-jiu Kiam-ong mengambil Siang-bhok-kiam yang masih menggeletak di depan kakinya, dan sekali dia memutar pedang kayu itu terdengar suara bercuit nyaring. Segulung sinar hijau menyambar ke depan, ke arah patung terus sinar itu mengelilingi arca batu kemudian terbang kembali ke arah Sin-jiu Kiam-ong. Semua orang memandang dan.... arca batu yang tadinya kasar , kini telah menjadi halus seperti digosok pisau tajam dan agak mengkilap indah! "Kiam-sut (ilmu pedang) yang hebat, akan tetapi siapa takut? Lihat golok!" Sin-to Gi-hiap yang sudah marah sekali menerjang maju dengan goloknya. Sin-jiu Kiam-ong tertawa dan menggerakkan Siang-bhok-kiam, membuat gerakan berputar mengelilingi golok lawan. Yang berputaran hanya sinar pedangnya, karena kakek itu sendiri hanya duduk bersila dan jarak antara mereka masih jauh. Namun si Golok Sakti berteriak kaget dan cepat melompat mundur memandang ujung lengan bajunya yang sudah buntung! "Kiam-ong masih pantas menjadi Kiam-ong (Raja Pedang)!" Terdengar suara memuji dan kini dua orang kakek yang berpakaian seperti petani, bersikap sabar tenang dan gagah, telah maju. "Namun sayang Kiam-ong hanya memajukan lahir tanpa mengingat kemajuan batin, sehingga kulitnya indah isinya busuk! Sin-jiu Kiam-ong, kami Hoa-san Siang-sin-kiam(Sepasang Pedang Sakti Hoa-san) menjadi utusan Hoa-san-pai untuk minta pertanggungan jawabmu terhadap dosa-dosamu. Engkau pernah mencuri seorang murid perempuan Hoa-san-pai, mencuri pedang pusaka, dan mencuri ramuan obat yang dibuat oleh Sucouw kami. Ketua kami akan berpikir untuk bersikap bijaksana melupakan dosa-dosamu terhadap kami apabila engkau suka menyerahkan pedang Siang-bhok-kiam kepada kami!" Kakek tua renta itu mengerutkan keningnya, akan tetapi senyumnya masih ramah ketika dia menjawab. "Bermacam-macam alasan yang dikemukakan bermacam-macam pula yang dipergunakan, namun sesungguhnya mengandung maksud yang sama. Wahai Hoa-san Siang-sin-kiam, aku tidak menyangkal semua tuduhan Hoa-san-pai, memang aku telah mencuri murid perempuan, pedang pusaka dan ramuan obat. Akan tetapi semua tokoh Hoa-san-pai tahu belaka bahwa murid perempuan Hoa-san-pai, mendiang Cui Bi yang cantik manis, telah pergi mengikuti aku secara sukarela dan berdasarkan cinta kasih, bukan karena kupaksa! Adapun pedang pusaka Hoa-san-pai, sampai sekarang pun masih kusimpan dengan koleksiku yang lain, karena memang aku penyayang barang-barang pusaka. Tentang ramuan obat yang dibuat mendiang Sucouw kalian, ha-ha-ha telah membuka rahasia sucouw kalian karena ternyata obat itu adalah obat perangsang bagi pria tua agar dapat kembali bersemangat seperti seekor kuda jantan yang muda. Ha-ha-ha!" Dua orang pendekar itu sejenak saling pandang dan wajah mereka menjadi merah. Ucapan Sin-jiu Kiam-ong itu merupakan penghinaan bagi Hoa-san-pai, apalagi yang terakhir. Setelah memberi isyarat dengan pandang mata, kedua orang tokoh Hoa-san-pai itu menggerakkan tangan dan "singgg!" tampak dua sinar berkelebat ketika mereka mencabut pedang mereka. "Sin-jiu Kiam-ong, ucapanmu yang menghina telah menambah dosamu terhadap kami. Biarpun engkau memakai sebutan Raja Pedang, jangan kira bahwa kami berdua saudara Coa jerih terhadapmu. Hadapilah sepasang pedang sakti dari Hoa-san!" tantang Coa Kiu sambil melintangkan pedang, sedangkan adiknya, Coa Bu juga sudah siap dengan pedangnya. Mereka ini masing-masing hanya berpedang tunggal, akan tetapi karena mereka ini kalau bermain pedang bersama merupakan pasangan yang amat kompak dan hebat, maka kedua orang ini mendapat julukan Sepasang Pedang Sakti! "Hemmm, aku selamanya tidak suka berbohong, dan ucapanku tadi hanya ucapan terus terang dan apa adanya, sama sekali tidak menghina siapa-siapa. Kalau kalian hendak memperlihatkan Siang-sin-kiam untuk menundukkan aku, kalian melamun yang bukan-bukan karena aku tidak mudah ditundukkan oleh siapapun juga, termasuk kalian orang-orang Hoa-san-pai!" Ucapan ini dikeluarkan dengan halus dan lunak, namun mengandung kekerasan melebihi baja. Coa Kiu dan Coa Bu mengeluarkan seruan keras, pedang mereka berkelebat dan tahu-tahu telah menjadi satu gulungan sinar tebal dan panjang, mengeluarkan suara bercuitan dan bayangan tubuh mereka lenyap tergulung sinar pedang yang menjadi satu. Tiba-tiba dengan suara mencicit nyaring, gulungan sinar pedang ini melayang ke arah sebatang pohon pecah menjadi dua dan bagaikan mata gunting dua gulungan sinar ini menggunting batang pohon. Tidak terdengar sesuatu dan tidak terjadi sesuatu, namun begitu gulungan sinar pedang itu melayang kembali ke tempatnya dan sinar pedang berubah dua orang kakek Hoa-san-pai yang sudah berdiri berdampingan , tiba-tiba saja batang pohon itu tumbang dan tampak bekas pedang yang halus membuat batang pohon itu seolah-olah baru saja digergaji! "Ha..ha..ha, kalian inipun bukan lain hanyalah kanak-kanak tukang merusak tanaman!" Sin-jiu Kiam-ong mentertawakan. Kakek Coa Kiu dan Coa Bu marah sekali. "Sin-jiu Kiam-ong, beranikah kau mengahadapi pedang kami?" "Mengapa tidak?" "Lihat pedang!" Dua orang kakek itu kembali menggerakkan pedang dan seperti tadi, dua gulungan sinar terang menjadi satu, menjadi gulungan yang amat kuat dan tiba-tiba terdengar suara mencicit keras ketika sinar pedang itu menyambar ke arah Sin-jiu Kiam-ong. Kakek itu tertawa, menyambar pedang kayu di depan kakinya, lalu menggerakkan pedang kayu menusuk ke arah sinar pedang yang menyambarnya seperti kilat itu. "Cing..cing..trang......!” Gulungan sinar pedang yang berkelebat itu menjadi kacau gerakannya, berkali-kali mengitari tubuh Sin-jiu Kiam-ong, berusaha membabat tubuh kakek itu namun selalu terhalang sinar hijau dari pedang kayu, bahkan kemudian terdengar suara keras dan ....sinar pedang yang tebal itu tiba-tiba pecah menjadi dua, yang satu terpental ke kanan yang lain ke kiri. Sinar pedang lenyap dan kedua orang kakek itu sudah berdiri dengan muka pucat. Ujung pedang mereka somplak sedikit. Mereka saling pandang, lalu menghela napas panjang. Sebagai dua orang sakti mereka tidaklah nekat dan cukup maklum bahwa ilmu kepandaian mereka masih jauh di bawah tingkat kakek sakti itu. Mereka tahu diri, lalu kembali ke tempat tadi, memandang dengan mata penuh penasaran sambil menyimpan pedang masing-masing. Sin-jiu Kiam-ong yang sudah menundukkan enam orang lawannya, kini menoleh kepada tiga orang yang masih belum bergerak, dan belum mengeluarkan kata-kata sampai saat itu hanya menonton saja. Dia melihat seorang tosu tua yang tidak dikenalnya, dan seperti tadi ketika menghadapi dua orang hwe-sio Siauw-lim-pai, dia tidak berani memandang rendah. Adapun yang dua orang lain adalah sepasang suami isteri tua yang dia tahu dahulu pernah dia jumpai, namun lupa lagi kapan dan dimana. Karena dia menganggap tosu itu lebih penting, maka dia segera menghadapinya sambil bersila dan berkata. "Maaf, kalau aku tidak ingat lagi siapa gerangan Toyu ini, akan tetapi karena Toyu sudah membuang waktu dan datang ke sini, tentu membawa keperluan yang amat penting." "Siancai...., Sin-jiu Kiam-ong yang sudah tua kiranya masih berwatak seperti orang muda, segan mengalah dan tidak menyesali dosa-dosa yang dilakukan di waktu mudanya sungguh patut disayangkan!" "Ha..ha..ha, Toyu mengeluarkan pernyataan yang amat lucu! Kalau benar dosa sudah dilakukan, apa gunanya hanya disesali? Lebih baik menyadarinya dan siap menerima hukumannya karena berdosa atau bukan tergantung kepada penilainya, sedangkan penilainya sendiri penuh dosa bergelimpang nafsu mementingkan diri pribadi! Eh, Toyu yang baik, aku seorang yang mengutamakan kejujuran, lebih menjunjung tinggi orang yang melakukan kesalahan namun berani mengakuinya daripada orang yang pura-pura suci namun di dalam hatinya amat kotor, tidak sama dengan yang keluar dari mulutnya. Karenanya, aku merasa senang sekali dengan ujar-ujar dalam agamamu, seperti ini: "Langit tiada perikemanusiaan segala benda dianggap sebagai korban. Orang suci tiada perikemanusiaan semua orang dianggap sebagai korban. Ruang antara Langit dan Bumi tiada ubahnya seperti hembusan! Kosong namun tak pernah berkurang makin besar gerakan makin besar tiupan! Banyak bicara sering kali penghamburan tenaga lebih baik menjaga kejujuran!" "Sin-jiu Kiam-ong, selain kekanak-kanakan engkau pun masih memiliki kesombongan! Menggunakan ayat suci kitab To-tik-kheng untuk menghantam seorang tosu seperti pinto (aku)! Sungguh menyebalkan. Kiam-ong, ketahuilah bahwa pinto adalah Kok Cin Cu, utusan dari Kong-thong-pai. Jangan engkau pura-pura lupa betapa dahulu engkau pernah membunuh lima orang anak murid Kong-thong-pai. Kedatangan pinto ini mewakili lima orang tua Kong-thong-pai untuk menagih hutang. Kami bukan orang-orang yang haus darah, akan tetapi sudah cukup adil kiranya kalau engkau menyerahkan pedang Siang-bhok-kiam untuk menebus dosamu terhadap kami." Sin-jiu Kiam-ong mengangguk-angguk. "Ah, jadi Toyu ini seorang diantara Kong-thong Ngo-lojin (Lima Kakek kong-thong-pai) yang tersohor hebat sekali ilmu kepandaiannya, yang puluhan tahun lamanya melatih diri dan kini kabarnya mencapai tingkat yang sukar dicari bandingnya? Bagus, bagus! Kabarnya Thian-te Sam-lo-mo (Tiga Iblis Tua Langit Bumi) yang menjadi tiga datuk sesat terbesar diseluruh dunia, juga merasa jerih untuk mengganggu Kong-thong-pai karena ada kalian lima kakek sakti! Dan kini seorang diantara mereka memberi kehormatan kepadaku? Ha..ha...ha, Kok Cin Cu toyu, engkau ini kakek yang ke berapakah?" "Yang empat lain adalah para suhengku (kakak seperguruan)". "Ah, jadi yang termuda? Yang tua-tua agaknya masih enggan merendahkan diri, akan tetapi aku percaya yang termuda sekalipun tentu memiliki kesaktian luar biasa. Namun sayang, Toyu, aku tidak dapat menyerahkan pedang ini kepadamu." "Kalau begitu, perhitungan lama harus diselesaikan dengan mengadu ilmu!" "Begitukah wawasanmu Toyu? Agaknya Toyu masih belum tahu ataukah pura-pura tidak tahu mengapa dahulu lima orang anak murid Kong-thong-pai tewas di tanganku? Kami telah bentrok di tempat judi! Aku yang sudah terkenal sebagai seorang pengejar kesenangan di waktu muda, tak usah disebut-sebut lagi mengapa aku berada di tempat judi, akan tetapi lima orang tosu muda Kong-thong-pai, main-main di tempat judi yang dilayani para pelacur? Apakah mereka itu berada di sana untuk berceramah tentang kebatinan?” “Ah, betapa banyaknya orang-orang yang pada lahirnya berpura-pura menjadi orang suci namun batinnya kotor melebihi orang-orang yang mereka anggap sesat dan jahat. Karena pernyataan dan teguranku, mereka marah dan kami berkelahi. Di dalam perkelahian ada yang menang dan ada yang kalah, yang menang hidup yang kalah luka atau mati, apakah yang aneh dalam hal itu? Kalau Toyu menganggapnya suatu penasaran dan kini hendak mengulang kesalahan mereka, menantangku terserah." Wajah tosu itu menjadi merah, kemudian menjawab, suaranya keren, "Sebagai tokoh Kong-thong-pai, tak mungkin pinto mendengarkan keterangan satu fihak saja. Untuk minta keterangan anak murid kami yang tewas, tak mungkin. Yang jelas, anak murid Kong-thong-pai selalu menjunjung kebenaran, adapun nama Sin-jiu Kiam-ong, siapakah tidak mengenalnya dan mengetahui orang macam apa? Kami Kong-thong Ngo-lojin berkewajiban membela nama Kong-thong-pai. Sin-jiu Kiam-ong, bersiaplah dan mari kita mulai!" "Engkau yang berniat mengadu ilmu, engkaulah pula yang mulai, Toyu. Aku siap melayanimu!" Tosu ini melangkah maju. Ia bertangan kosong dan dia menjura ke arah Sin-jiu Kiam-ong sambil berkata, "Pinto menghormat usiamu yang lebih tua. Karena dahulu engkau membunuh lima orang murid Kong-thong-pai dengan tangan kosong, sudah semestinya kalau kini pinto juga menghadapimu dengan tangan kosong. Kalau pinto kalah, biar lain kali kami dari Kong-thong-pai kembali lagi, kalau engkau yang kalah, pinto akan membawa pergi Siang-bhok-kiam sebagai tebusan dosa!" “Ha..ha..ha, selalu tersembunyi pamrih dalam setiap perbuatan, di mana-mana manusia sama, menjadi hamba nafsu pribadi. Silakan." Tosu itu mengangkat kedua lengannya ke atas kepala, lalu kedua tangan yang dibuka jari-jarinya itu mengeluarkan suara berkerotokan, tergetar hebat dan kedua tangan itu kini bentuknya seperti cakar naga dan kulit tangan itu berubah menjadi kemerahan! Inilah Ilmu Ang-liong-jiauw-kang (Ilmu Cakar Naga Merah) dari Kong-thong-pai yang sudah amat terkenal kedahsyatannya! Kabarnya, ilmu ini kalau sudah mencapai tingkat tinggi, menjadi amat hebat sehingga tangan berubah seperti baja panas. Tidak saja kuat untuk melawan senjata tajam lawan, juga kalau mengenai tubuh lawan menimbulkan luka-luka terbakar yang tak terobati lagi! Dengan beberapa langkah, tosu tua itu sudah berada di depan Sin-jiu Kiam-ong, kedua tangannya dengan telapak tangan terbuka digerakkan ke depan, mengarah kepala dan dada kakek yang duduk bersila dengan tenangnya itu. "Bergeraklah! Lawanlah! Pinto bukan seorang pengecut yang menyerang orang yang tak mau melawan!" Kok Cin Cu berkata, suaranya nyaring dan kedua tangannya sudah menggetar-getar amat hebatnya. Sin-jiu Kiam-ong tersenyum. "Kiranya Kong-thong Ngo-lo-jin masih ingat akan watak pendekar. Sungguh menyenangkan sekali. Akan tetapi, sayang masih dikotori rasa tamak. Biarlah kusambut Ang-liong-jiauw-kang, karena inilah nama ilmumu, bukan?" Sambil berkata demikian, Sin-jiu Kiam-ong segera mengulur kedua lengannya dan sebelum tosu tua itu sempat bergerak, dia telah menempelkan kedua telapak tangan tosu yang kemerahan itu. "Wesssss....!" Sungguh luar biasa sekali. Begitu kedua telapak itu bertemu, terdengar suara seperti api membara bertemu benda basah dan tampak asap mengepul dari kedua pasang telapak tangan yang saling bertemu. Tosu tua itu merendahkan tubuh dan mengerahkan tenaga sinkang untuk memperkuat daya serang Ang-liong-jiauw-kang, namun sia-sia belaka karena kedua telapak tangannya yang tadinya panas itu makin lama menjadi makin dingin, bahkan rasa dingin seperti salju mulai menerobos masuk melalui kedua telapak tangannya, menjalar dari telapak tangan ke atas! Wajah tosu itu mulai berpeluh, matanya merah mulutnya terbuka karena nafasnya menjadi terengah-engah. Di lain pihak, Sin-jiu Kiam-ong masih tersenyum saja dan sama sekali tidak kelihatan lelah. Tahulah Kok Cin Cu bahwa kalau dilanjutkan adu tenaga sinkang ini, dia akan roboh binasa. Terpaksa tosu tua ini lalu menarik kembali kedua tangannya dan pada saat yang bersamaan, Sin-jiu Kiam-ong yang tidak ingin membunuh orang juga menarik kedua tangannya. Kok Cin Cu melangkah mundur di tempat semula, tubuhnya menggigil dan sampai lama barulah dia dapat memulihkan keadaannya, lalu menjura dan membungkuk dan berkata dengan suara lemah. "Sungguh hebat kepandaian Sin-jiu Kiam-ong, terpaksa pinto mengaku kalah dan lain kali pinto akan datang kembali bersama para suheng." Melihat kekalahan tosu tua Kong-thong-pai, kini suami istri tua yang sejak tadi hanya menonton, melangkah maju. Mereka itu berusia tujuh puluh tahunan, dan si suami segera menudingkan telujuknya. "Sin-jiu Kiam-ong, masih ingatkah engkau kepada kami suami isteri yang pernah mengalami penghinaan darimu?" Kakek itu memandang kepada mereka, terutama kepada wanita tua yang berdiri tegak disamping suaminya, kemudian menjawab, "Pernah aku berjumpa dengan kalian, akan tetapi aku lupa lagi entah dimana. Yang sudah pasti, aku tidak pernah menganggu wanita itu, karena kalau hal itu terjadi, sampai kini pun aku tentu akan ingat dan mengenalnya." Merah wajah wanita itu dan kini ia mendamprat, "Tua bangka berhati cabul!" Akan tetapi suaminya cepat menyambung, "Sin-jiu Kiam-ong, dahulu kami mempunyai perusahaan pengawal barang kiriman. Lupakah engkau kepada Hek-houw-piauwkiok (Perusahaan Pengawal Macan Hitam)?" "Aha, sekarang aku ingat! Bukankah engkau orang she Tan yang menjadi kepala piauwkiok itu? Dan isterimu yang dahulu amat galak dan amat pandai menggunakan am-gi (senjata rahasia)? Hemmm, aku pernah merampas beberapa benda perhiasan indah yang kau kawal, perhiasan kiriman milik menteri keuangan kerajaan, bukan? Malah puterinya, ah masih ingat benar aku akan puteri menteri yang amat cantik manis itu, ia berkenan menemaniku di dalam hutan sampai dua hari dua malam! Aha, pengalaman yang takkan terlupakan olehku! Puteri yang cantik manis, dan dia memberikan tusuk konde dan tanda mata kepadaku. Tusuk konde dan perhiasan-perhiasan yang kurampas itu masih berada dalam kumpulan simpananku. Eh, Tan-piauwsu, kini engkau dan isterimu datang mau apakah?" "Sin-jiu Kiam-ong, di waktu muda, engkau melakukan segala macam kejahatan. Merampok barang milik pembesar tinggi, malah menodai puterinya, mencelakakan kami yang mengawal barang dan puteri. Masih hendak tanya mengapa kami datang? Rasakan pembalasan kami!" Piauwsu (pengawal barang) tua ini bersama isterinya menutup kata-katanya dengan gerakan tangan. Cepat sekali gerakan tangan mereka dan tampaklah benda-benda kecil menyambar ke depan dan tahu-tahu suami -isteri itu menyerang Sin-jiu Kiam-ong dengan senjata-senjata rahasia mereka. Piauwsu itu menggunakan dua macam senjata rahasia, yaitu piauw (pisau sambit) dan Toat-beng-cui (Bor Pencabut Nyawa), adapun isterinya mempergunakan Ngo-tok-ciam (Jarum Lima Racun) yang jauh lebih cepat dan lebih berbahaya daripada kedua macam am-gi (senjata gelap) suaminya. Belasan buah senjata rahasia itu menyambar ke bagian tubuh yang lemah, bahkan jarum-jarum halus itu mengarah jalan-jalan darah yang mematikan! Namun kakek tua renta itu sama sekali tidak menjadi gugup, hanya mengangkat kedua tangannya dan sepuluh batang jari tangannya bergerak-gerak seperti sepuluh ekor ular hidup, namun kuku-kuku jari tangan itu merupakan perisai yang tidak hanya menangkis semua senjata rahasia, bahkan dengan sentilan aneh dapat mengirim kembali senjata-senjata kecil itu ke arah penyerang-penyerangnya! Terjadilah hujan senjata rahasia dari kedua fihak, yang menyerang dan yang mengembalikan! "Sahabat-sahabat yang sealiran! Kalau hari ini kita tidak melenyapkan seorang oknum busuk, mau tunggu sampai kapan lagi? Mari kita basmi dia bersama-sama!" teriak Tan Kai Sek, piauw tua itu sambil terus menyerang dengan senjata rahasianya. Tujuh orang gagah yang lain setuju dengan ajakan ini. Mereka semua menaruh dendam kepada Sin-jiu Kiam-ong dan sudah jelas ternyata tadi bahwa kalau mereka hanya mengandalkan kepandaian sendiri, tidak akan mungkin dapat mengalahkan kakek sakti itu. Sambil menyatakan setuju mereka semua mencabut senjata dan menerjang maju! Akan tetapi tiba-tiba tampak bayangan kakek itu berkelebat ke atas dan ketika mereka memandang, kakek sakti itu bersama Siang-bhok-kiam telah lenyap. Kiranya kakek itu meloncat ke atas dan dengan amat cepatnya merayap naik ke atas batu pedang dan telah lenyap ke dalam awan atau halimun tebal yang menutup bagian atas batu pedang. Dari atas terdengar suaranya tertawa tergelak, seolah-olah suara ini datangnya dari langit karena tidak tampak orangnya yang tertutup oleh halimun tebal. "Ha..ha..ha, sembilan orang gagah yang berada di bawah! kalau aku tadi menghendaki, apa susahnya membunuh kalian dengan Siang-bhok-kiam? Dan kalau aku menyerahkan nyawa, alangkah mudahnya bagi kalian untuk membunuhku. Akan tetapi aku belum mau mati, karena dalam hari-hari terakhir ini aku masih ingin menikmati tamasya alam yang amat indahnya di Kiam-kok-san! Aku tidak mau membunuh kalian karena aku tidak ingin mengotori tempat seindah ini dengan darah kalian, dan aku belum mau mati karena aku masih ingin menikmati keindahan alam disini. Kalau kalian masih belum terima dan merasa penasaran, hayo siapa yang berani boleh naik!" Sembilan orang itu saling pandang dan tak seorang pun berani naik. Bagi mereka yang berilmu tinggi, kiranya tidaklah amat sukar untuk mendaki batu pedang itu ke atas, akan tetapi batu pedang itu tidak dapat didaki oleh mereka bersama-sama, harus seorang demi seorang. Dan kalau mereka mendaki seorang demi seorang, sama saja dengan menyerahkan nyawa kepada kakek itu! Kembali terdengar suara ketawa dari atas. "Ha..ha..ha! Jangan kira aku amat pelit untuk menyerahkan nyawa dalam tubuh tua ini dan menyerahkan Siang-bhok-kiam. Kuminta waktu sebulan lamanya untuk menikmati tempat ini. Setelah sebulan, kalau kalian masih menghendaki nyawaku, datanglah ke kaki gunung, sebelah selatan, di dalam hutan mawar, disana aku menanti kalian bersama Siang-bhok-kiam!" Setelah terdengar suara ini, keadaan menjadi sunyi. Mereka menanti-nanti namun tidak ada suara lagi. Karena merasa tidak akan ada gunanya menanti, apalagi mencoba untuk mengejar kakek sakti itu ke atas puncak batu pedang yang ujungnya lenyap di balik halimun tebal, akhirnya sembilan orang gagah itu meninggalkan Kiam-kok-san dan berjanji dalam hati untuk mencari hutan mawar yang dimaksudkan si kakek sakti sebulan kemudian. *** Pada masa itu, kerajaan Beng (1368-1644) mengalami perpecahan dan perang saudara. Kerajaan Beng didirikan oleh Ciu Goan Ciang, yang berhasil mengusir pemerintah penjajah Goan (Mongol) dan kemudian menjadi Kaisar Kerajaan Beng pertama dengan julukan Kaisar Thai Cu (1368-1398). Peking (ibu kota utara) yang tadinya menjadi kota raja Kerajaan Mongol, oleh Kaisar Kerajaan Beng ini tidak dijadikan pusat kerajaan. Sebagai ibu kota dipilihnya Nan-king (ibu kota selatan) yang letaknya di lembah Sungai Yang-ce-kiang, di daerah yang lebih subur tanahnya. Namun Peking yang merupakan daerah pergolakan dan pangkalan penting untuk mempertahankan ancaman serangan balasan bangsa Mongol di utara yang telah diusir dari pedalaman, tetap dipertahankan dan di bekas kota raja Mongol ini diperkuat oleh bala tentara besar dan dipimpin oleh putera Kaisar Thai Cu sendiri, yaitu Yung Lo yang terkenal gagah perkasa dan pandai berperang. Perpecahan dalam kerajaan Beng yang baru ini terjadi setelah kaisar pertamanya meninggal. Kaisar Thai Cu meninggal dalam tahun 1398 dan karena putera sulung kaisar ini sudah meninggal dunia, maka sebelum meninggal Kaisar Thai Cu telah menunjuk keturunan dari putera sulungnya, jadi cucunya yang amat dikasihinya, untuk menggantikannya dan naik tahtah pada tahun berikutnya. Cucu ini yang merupakan kaisar ke dua dari kerajaan Beng bernama Hui Ti. Peristiwa inilah yang mengakibatkan perang saudara. Pangeran Yung Lo atau lebih tepat Raja Muda Yung Lo yang menguasai daerah pertahanan di Peking, tidak mau menerima pengangkatan keponakannya menjadi kaisar pengganti ayahnya. Dia merasa lebih berhak dan lebih berjasa. Oleh karena itu, Yung Lo membawa bala tentara dan menyerbu ke selatan, ke Nan-king. Terjadilah perang saudara. Perang saudara selalu mengerikan, dimana terjadi bunuh-membunuh antara saudara sendiri, antara bangsa sendiri. Rakyat pun terpecah-pecah dan saling hantam. Semua ini terjadi hanya karena ulah tingkah atasan yang memperebutkan kedudukan. Untuk mencapai cita-cita pribadi, rakyat dijadikan umpan, kedok, perisai dan senjata. Padahal kalau cita-cita sudah tercapai dan pribadinya dimabuk kemuliaan, kemewahan dan kesenangan, biasanya rakyat dilupakan begitu saja! Di bagian manapun di dunia ini, setiap kali terjadi perang, rakyat jelatalah yang menderita paling hebat. Di dalam masa yang keruh ini, bermunculan oknum-oknum yang mempergunakan kesempatan melampiaskan nafsu-nafsu jahatnya. Perampokan-perampokan, penculikan dan fitnah yang diakhiri pelaksanaan hukum rimba bermunculan dimana-mana. Sudah lazim bahwa dalam setiap menghadapi sebuah peristiwa, bermacam-macamlah pendapat orang. Karena setiap buah kepala orang mengandung pendapat berlainan, bahkan celakanya berlawanan, maka inilah yang menjadi sebab timbulnya pertentangan yang mengakibatkan perpecahan dan keributan. Juga di dunia persilatan terjadi perpecahan sebagai akibat daripada pendapat yang berlawanan terhadap perang saudara yang timbul di kerajaan Beng yang baru itu. Ada yang pro utara (Raja Muda Yung Lo), ada pula yang pro selatan (Kaisar Hui To) maka diantara mereka terjadilah perang sendiri. Akan tetapi banyak pula golongan tokoh persilatan yang mengundurkan diri, tidak mau mencampuri segala pertentangan dan peperangan itu. Di antara mereka ini adalah Kun-lun-pai yang dipimpin oleh tosu-tosu yang insyaf akan buruknya pertentangan dan peperangan antara saudara sebangsa. Thian Seng Cinjin, tosu tua berusia seratus tahun yang pada waktu ini menjadi ketua Kun-lun-pai, mengeluarkan larangan keras bagi semua anak murid Kun-lun-pai untuk melibatkan diri dalam perang saudara itu. Bahkan ketua ini memanggil semua tokoh-tokoh Kun-lun-pai untuk diajak berkumpul di puncak Kun-lun yang menjadi pusat dari perkumpulan ini dan bersama-sama melakukan samadhi sebagai latihan dan sebagai keprihatinan, dan di samping ini, sang ketua memperdalam pengetahuan mereka tentang pelajaran dalam Agama To (Taoism). "Murid-murid Kun-lun-pai yang baik," demikian antara lain Thian Seng Cinjin berkata sambil memandang murid-muridnya yang duduk bersila di sekeliling depannya. "Dalam keadaan seperti sekarang ini, camkanlah pelajaran ke lima puluh tujuh." Kemudian kakek ini bersenandung membaca isi pelajaran yang mengandung makna dalam sekali. "Dengan keadilan negara dapat diatur dengan siasat peperangan dapat dilakukan, namun hanya dengan mengekang diri (tak bertindak) dunia dapat dimenangkan. Bagaimana kami tahu yang sedemikian itu? Karena ini: Makin banyak larangan orang makin menderita, makin banyak dipergunakan senjata, makin banyak timbul kekacauan, makin banyak kepintaran, makin banyak perbuatan yang aneh-aneh, makin banyak hukum diundangkan, makin banyak terjadi pelanggaran. Maka Orang Bijaksana berkata: Kami mengekang diri (tak bertindak), rakyat berubah ke arah kebaikan, kami suka akan ketenangan, rakyat tenteram dan damai. Kami tidak bertindak, rakyat hidup makmur, kami tidak berkehendak, rakyat pun bersahaja dan jujur. Selanjutnya dengan suara penuh kesabaran, Thian Seng Cinjin memberi wejangan kepada murid-murid Kun-lun-pai, menegaskan bahwa sebagai penganut To dan murid Kun-lun-pai yang gagah perkasa dan bijaksana mereka harus menyerahkan segala peristiwa kepada kekuasaan alam berdasarkan kewajaran. Hanya bergerak untuk menghadapi dan menanggulangi keadaan sebagai akibat. Jangan sekali-kali menjadi sebab timbulnya sesuatu ketegangan. Hal ini hanya mudah dicapai dengan sikap diam dan tidak mencampuri urusan yang tidak menyangkut diri pribadi. Karena pendirian inilah maka Thian Seng Cinjin melarang murid-muridnya terlibat dalam perang saudara, karena sekali mereka turun tangan, mereka akan makin mengeruhkan suasana dan memperbesar penyembelihan antara saudara sebangsa. Semua wejangan dan percakapan yang terjadi di ruangan belajar yang luas itu didengarkan penuh perhatian oleh seorang anak laki-laki yang sedang bekerja membersihkan jendela-jendela dan pintu-pintu dengan kain kuning. Anak laki-laki ini berusia kurang lebih dua belas tahun, berwajah tampan dan berpakaian sederhana, dari kain kasar. Yang menarik pada anak ini adalah sepasang matanya, karena pandang matanya amat tajam, dengan biji mata yang terang jarang bergerak, membayangkan pikiran yang dalam, pandangan luas dan penuh pengertian. Bocah yang menjadi kacung (pelayan) di kuil besar Kun-lun-pai ini adalah Cia Keng Hong, dan sudah dua tahun dia berada di kuil itu. Dia adalah seorang anak yatim piatu, karena keluarganya, ayah-bundanya dan saudara-saudaranya, semua telah tewas ketika perang saudara mulai pecah. Mendiang ayahnya adalah seorang thungcu (lurah) di dusun Kwi-bun dan keluarga Cia ini terbasmi habis ketika gerombolan perampok yang muncul di waktu perang saudara ini menyerbu dan merampok serta membasmi seluruh penduduk Kwi-bun. Karena lurah dusun ini melakukan perlawanan, maka semua keluarganya terbasmi habis. Keng Hong yang kebetulan pada saat itu ikut menggembala kerbau bersama seorang pelayan di luar dusun, selamat terbebas daripada bencana maut. Dalam keributan ini muncullah Kiang Tojin, tosu yang menjadi murid kepala Thian Seng Cinjin. Tosu ini sedang melakukan perjalanan merantau dalam melaksanakan tugasnya sebagai seorang pendekar dan penyebar Agama To. Melihat perbuatan keji para perampok di dusun Kwi-bun, dia cepat menggunakan kepandaiannya menolong penduduk dan berhasil mengusir para perampok. Kemudian oleh Kiang Tojin yang amat tertarik melihat Keng Hong, anak itu diajak ke Kun-lun-san dan disitu Keng Hong bekerja sebagai seorang kacung. Sebetulnya, Keng Hong hendak dijadikan murid Kun-lun-pai, akan tetapi bocah ini tidak mau menjadi tokong (calon tosu). Pada waktu itu, murid Kun-lun-pai haruslah seorang calon yang memegang keras peraturan, yaitu setiap orang murid Kun-lun-pai haruslah seorang calon tosu. Karena penolakannya ini, Keng Hong yang sudah tidak mempunyai keluarga itu bekerja sebagai seorang kacung. Dia rajin sekali, semua pekerjaan dia pegang, apa saja yang diperlukan, tanpa diperintah dia kerjakan. Mengisi tempat air, membersihkan kuil, menyapu lantai dan kebun, merawat bunga, bahkan menggembala kerbau milik kuil yang dipergunakn untuk meluku sawah, semua dia kerjakan dengan tekun dan rajin. Di malam hari, karena para tosu yang sayang kepadanya membolehkannya, dia memasuki kamar perpustakaan dan membaca kitab-kitab. Semenjak kecil, di rumah ayahnya dahulu, Keng Hong telah mempelajari ilmu kesusasteraan sesuai dengan kehendak ayahnya yang ingin melihat dia kelak menjadi seorang terpelajar agar dapat memperoleh kedudukan tinggi. Kitab-kitab tentang filsafat kebatinan, pelajaran-pelajaran Tao, juga kitab-kitab pelajaran dasar ilmu silat Kun-lun, semua dia baca. Tentu saja karena tidak ada gurunya, dia hanya bisa membaca tanpa dapat menangkap jelas inti sarinya. Kerajinannya dan sifatnya yang pendiam membuat para tosu suka kepadanya. Bahkan Thian Seng Cinjin sendiri yang melihat sifat-sifat baik anak ini, memujinya dan diam-diam merasa kecewa mengapa anak yang berbakat baik ini tidak suka menjadi calon tosu. Di lain fihak, Keng Hong paling segan dan takut melihat Thian Seng Cinjin. Ia melihat sesuatu yang aneh dan penuh wibawa pada diri tosu tua ini, baik gerak-geriknya, dari suaranya dan terutama sekali dari pandang matanya yang tenang penuh kesabaran dan seolah-olah dapat menjenguk isi hatinya itu. Dia sedang membersihkan daun-daun pintu dan jendela yang terkena debu ketika Thian Seng Cinjin dan anak muridnya berkumpul di ruangan belajar. Karena dia tidak diusir dan memang dia bekerja tanpa mengeluarkan suara, maka Keng Hong dapat melihat dan mendengar semua. Suasana di ruangan belajar itu amat hening dan para murid mendengarkan wejangan guru mereka dengan penuh hormat dan kesungguhan, membuat Keng Hong makin hati-hati agar tidak mengganggu, namun dia kadang-kadang sampai lupa akan pekerjaannya karena mendengar hal-hal yang amat menarik hatinya. Ia mendengarkan terus. "Suhu, di puncak Kiam-kok-san telah terjadi keributan," demikian Kiang Tojin, penolongnya dan merupakan tosu yang paling dihormati dan dicintai Keng Hong, berkata melapor. "Agaknya Sin-jiu Kiam-ong sudah kumat lagi watak mudanya yang suka akan keributan. Menurut pelaporan para murid Suhu, ada sembilan orang tokoh kang-ouw, termasuk dua orang hwesio Siauw-lim-pai, dua orang tokoh Hoa-san-pai dan seorang tosu Kong-thong-pai, mendatanginya untuk minta pedang Siang-bhok-kiam. Mereka dilayani oleh Sin-jiu Kiam-ong yang berjanji sebulan lagi akan menanti mereka di hutan mawar sebelah selatan di kaki gunung. Mohon keputusan Suhu karena keributan ini terjadi di wilayah kita." "Siancai..., siancai....! Sie-taihiap (pendekar besar she sie) semenjak dahulu selalu mengejar kesenangan dan ketegangan. Namun harus diakui bahwa di balik kebiasaannya yang buruk itu tersembunyi watak pendekar yang patut dipuji. Kita orang-orang Kun-lun-pai bukan merupakan golongan yang tak kenal budi. Sie-taihiap pernah menanam budi kepada kita maka kita membolehkan dia bertapa di Kiam-kok-san yang merupakan tempat suci bagi kita karena dahulu sucouw(Kakek guru) kita memilih tempat itu sebagai tempat bertapa sampai musnah dari dunia. Kini Sie-taihiap mengundang keributan, biarlah kita tidak mencampurinya. Pinto melarang seorang pun murid Kun-lun-pai untuk ikut campur tangan dan biarlah Sie-taihiap menyelesaikan urusannya sebagaimana yag dia kehendaki." Mendengar percakapan mereka tentang Sin-jiu Kiam-ong yang berwatak aneh, Keng Hong menjadi tertarik sekali. Sudah banyak dia membaca tentang keanehan para pendekar. biarpun Kun-lun-pai merupakan pusat pendekar-pendekar sakti dan dia pun maklum bahwa Kiang Tojin penolongnya adalah seorang berilmu tinggi, apalagi guru penolongnya itu tentu seorang yang sakti, namun mereka tak memperlihatkan kepandaian mereka dan hidup sebagai pertapa-pertapa dan petani-petani biasa. Maka kini mendengar akan Sin-jiu Kiam-ong yang hendak menghadapi lawan-lawan sakti di kaki gunung sebelah selatan, di dalam hutan mawar, dia menjadi ingin sekali menonton. Demikianlah, pada hari yang ditentukan sebulan sesudah pertemuan di puncak yang disebut puncak Lembah Pedang, Keng Hong menggembala kerbaunya di luar hutan mawar. Biasanya kalau dia menggembala kerbau yang enam ekor banyaknya itu. Akan tetapi sekali ini dia sengaja menggiring kerbaunya turun ke selatan dan membiarkan kerbaunya itu makan rumput hijau gemuk di luar hutan mawar. Agar tidak kelihatan bahwa dia sengaja datang ke tempat itu untuk menonton pertemuan orang-orang sakti seperti yang dia ketahui dari percakapan ketua Kun-lun-pai dan murid-muridnya, dia berbaring menelungkup di atas punggung kerbau yang terbesar sambil meniup-niup suling bambu yang dibawanya. Keng-Hong memiliki kepandaian istimewa dalam meniup suling, bahkan sejak kecil dia bermain suling, pandai meniup suling menirukan suara ayam dan burung-burung. Juga dengan tiupan sulingnya dia dapat merangkai suara-suara indah dan menciptakan lagu-lagu yang sungguhpun dirangkai sejadinya namun amat sedap didengar. Sementara semenjak pagi Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong telah duduk bersila di antara sekelompok bunga mawar, dan seperti ketika dia bersila di bawah batu pedang, kini pedang Siang-bhok-kiam juga terletak di depan kedua lututnya. Ia duduk bersila tak bergerak, dengan kedua mata dipejamkan, hening tenggelam ke dalam samadhi. Tiba-tiba daun telinga kiri kakek ini bergerak dan perlahan-lahan dia mengejapkan matanya. Ia mengerutkan keningnya ketika mencurahkan perhatian dengan pendengarannya. Kakek ini mempunyai kebiasaan yang aneh, yaitu apabila mendengar sesuatu yang mengesankan, daun telinga kirinya dapat bergerak seperti telinga kelinci! Kalau dia sedang samadhi,biarpun ada suara halilintar menyambar diatas kepalanya, dia tidak akan terkejut atau mempedulikan, akan tetap tenang dalam siulannya. Akan tetapi sekali ini, dia sadar dari siulannya (samadhi) karena mendengar tiupan suling yang amat merdu! Suara yang mengandung getaran mengharukan, yang amat halus seolah-olah hembusan angin padda ujung daun-daun bambu. Karena Sin-jiu Kiam-ong memang amat suka mendengar suara suling, maka suara suling penuh getaraan halus ini lebih kuat pengaruhnya daripada ledakan halilintar, menggugahnya dari samadhi dan membuat kakek ini ingin sekali mengetahui siapa gerangan yang dapat meniup suling seindah itu! Jantungnya berdebar. Kalau peniup suling ini seorang di antara lawan yang hari ini akan mendatanginya, berarti dia akan berhadapan dengan seorang yang amat sakti. Hanya orang sakti yang sudah tinggi tingkat kebatinannya saja yang akan mampu meniup seindah dan sebersih itu, dengan getaran-getaran aseli dari watak yang belum dikotori segala macam nafsu duniawi. Saking tertaraiknya, kakek ini bangkit berdiri, menyambar pedang kayunya lalu seringan burung terbang tubuhnya melayang ke arah luar hutan dari mana tiupan suling datang. Ketika tiba di luar hutan dan melihat bahwa yang meniup suling adalah seorang bocah yang duduk diatas punggung seekor kerbau besar, begitu penuh kedamaian dan ketenangan, sejenak Sin-jiu Kiam-ong tercengang kagum. Kemudian dia menghela napas panjang dan berbisik. "Engkau telah menjadi pikun, terlalu tua! Dimana bisa terdapat orang begitu bersih hatinya sehingga tercermin pada tiupan sulingnya? Hanya seorang bocah yang akan sanggup meniup suling seperti itu. Di dunia ini mana terdapat orang yang hatinya bersih melebihi hati seorang bocah?" Ia lalu melangkah masuk ke dalam hutan mawar kembali sambil menggeleng-geleng kepala dan mencela kebodohan sendiri. Tak lama kemudian dia sudah susuk bersila lagi, akan tetapi sekali ini dia tidak bersamadhi, melainkan memasang pendengarannya menikmati alunan lagu yang terhembus keluar dari lubang-lubang suling. Kakek ini tahu bahwa berturut-turut telah datang sembilan orang sakti yang sebulan yang lalu telah mengunjunginya di Kiam-kok-san, akan tetapi dia tidak perduli, bahakan pura-pura tidak tahu dan masih menikmati alunan suara suling yang terdengar sayup sampai. Ia seperti orang terpesona dan tenggelam dalam hikmat suara itu, yang membawanya melayang-layang kemblai kepada masa mudanya dan diam-diam dia menyesali diri sendiri. Sungguh dia harus merasa malu bahwa diambang kematiannya, karena memang dia telah mangambil keputusan untk menyerahkan nyawanya tanpa melawan kepada sembilan orang ini, belum pernah dia melakukan jasa sedikit pun selama hidupnya. Bahkan sebaliknya, dia selalu hidup mengejar kesenangan, bergelimang dalam cinta kasihnya dengan banyak waita yang dibalasnya hanya karena dorongan nafsu berahi. Belum pernah selama hidupnya dia menjatuhkan hati, mencinta seorang wanita dengan murni. Betapa dia hidup secara berandalan, tidak mau membedakan antara baik dan buruk, ugal-ugalan, merampas kitab-kitab dan benda-benda pusaka, mendatangi jagaoan-jagoan hanya untuk memuaskan nafsunya ingin menang, menyerbu partai-partai persilatan untuk mengalahkan ketua-ketuanya. Sungguhpun dia semenjak dahulu selalu tidak mempunyai niat menjahati orang lain, anamun wataknya yang ugal-ugalan tanpa dia sadari telah menyakitkan hati banyak orang. Kini datanglah penyesalan dan makin dia perhatikan suara suling yang mengalun merdu itu makin terharulah haitnya. Perlahan-lahan suara suling itu makin melemah, kemudian terhenti seolah-olah peniupnya sudah merasa bosan dan lelah, seperti dia yang merasa bosan untuk hidup lebih lama lagi, sudah lelah untuk berurusan dengan dunia yang lebih banyak deritanya daripada senangnya. Setelah suara suling terhenti, Sin-jiu Kiam-ong mengangkat mukanya. Pandang matanya menyapu para pengunjung yang sudah berdiri berjajar di depannya dalam keadaan siap siaga, dengan senjata di tangan masing-masing karena mereka itu kini datang untuk bertindak, bukan untuk bicara lagi. Semua mata sembilan orang itu ditujukan ke arah Siang-bhok-kiam yang menjadi pusat perhatian dan yang sesungguhnya merupakan sebab utama kunjungan mereka. "Ahhh, kalian sudah datang? Nah, aku pun sudah siap. Sekarang aku tidak akan melawan san kalau hendak bunuh aku, lakukanlah cepat-cepat. Akan tetapi, karena yang membunuhku berhak memiliki Siang-bhok-kiam maka lebih dahulu hendak kujelaskan kegunaan pedang ini." Kakek itu mengambil pedang kayu dari depannya. Pedang ini terbuat dari kayu yang jarang terdapat di dunia ini, karena kayu itu adalah kayu harum yang terdapat di dekat Puncak Pegunungan Himalaya di dunia barat. Dalam perantauannya, Sin-jiu Kiam-ong mandapatkan pedang itu sebagai anugerah dari seorang pertapa India yang sudah mendekati saat terakhir. Kayu dari sebatang pohon yang mungkin hanya ada beberapa batang saja di seluruh puncak Himalaya. Kayu yang amat harum baunya, dan keras laksana baja. Akan tetapi selain harum juga kayu ini merupakan obat penlak segala pengaruh racun. Barang beracun apa saja apabila tersentuh kayu ini seolah-olah terhisap racunnya dan tidak berbahaya lagi. "Siang-bhok-kiam ini adalah sahabatku selama puluhan tahun," ia berkata sambil menarik napas panjang dan mencium pedang itu dengan ujung hidungnya. "Bukan hanya merupakan pedang wasiat yang amat keramat, juga pemilik pedang ini akan dapat membuka rahasia tempat penyimpanan seluruh milikku, dari kitab-kitab pusaka berisi pelajaran ilmu-ilmu yang tinggi sampai simpanan perhiasan-perhiasan berharga dan senjata-senjata mustika. Betapapun juga hanya dia yang berjodoh saja agaknya yang akan dapat memiliki semua itu melalui pedang ini. Akan tetapi kalian harus ingat baik-baik, karena kalian semua menghendaki pedang ini, maka kurasa siapapun di antara kalian tidak akan mudah membunuhku sungguhpun aku berjanji takkan melawan dengan sebuah jari tanganku. Nah, aku sudah siap, siapa mau turun tangan merampas pedang, lakukanlah, aku tidak akan menghalangi!" Setelah berkata demikian, Sin-jiu Kiam-ong menaruh pedang itu kembali ke depan kakinya diatas tanah lalu bersedekap dan memejamkan matanya. Mulutnya tersenyum iklas, sama iklasnya dengan hatinya yang telah bulat menyambut datangnya maut. "Sie Cun Hong, aku maafkan dosamu asal kau memberikan pedang itu kepadaku!" terdengar teriakan Kiu-bwe Toanio Lu Sian Cu yang disusul bunyi "tar-tar-tar!" nyaring sekali. Sinar-sinar hitam manyambar karena sembilan ujung cambuk yang mempunyai kaitan-kaitan itu telah menyambar ke arah peddang kayu di depan Sin-jiu Kiam-ong. "Trang-trang-trang....!" Bunga api berpijar dan kesembilan "ekor" cambuk terpental. "Kalian mau apa?" bentak Kiu-bwe Toanio marah dan mukanya menjadi merah, matanya mendelik memandang ke arah delapan orang lain yang telah maju menangkis cambuknya. "Hemmm, bukan engkau saja yang membutuhkan pedang Siang-bhok-kiam, KIu-bwe Toanio, kami pun memerlukannya!" Ucapan ini keluar dari mulut Coa Kiu kakek tokoh Hoa-san-pai dan secepat kilat Coa Kiu dan Coa Bu, kedua Hoa-san Siang-sin-kiam telah menggerakkan pedang mereka menjadi sebuah sinar panjang dan kuat menuju ke arah Siang-bhok-kiam dengan maksud mendahului dan merampas pedang kayu itu sebelum yang lain sempat bergerak. "Trang-trang...!!" Kembali sinar pedang yang kuat ini terpental karena ditankis oleh banyak senjata. "Ho-ho-ho, Hoa-san Siang-sin-kiam, jangan tergesa-gesa! Pinceng juga butuh.........!" Thian Kek Hwesio tokoh Siauw-lim-pai yang berkulit hitam itu mengejek. Senyum di bibir Sin-jiu Kiam-ong melebar dan kini sembilan orang yang saling pandang itu mengerutkan kening. Baru mereka ketahui apa artinya ucapan Sin-jiu Kiam-ong tadi yang mengatakan bahwa siapapun di antara mereka takkan mudah membunuh kakek itu biarpun si kakek tidak melawannya. Kiranya kakek itu sudah dapar menduga lebih dulu bahwa di antara sembilan orang ini tentu akan terjadi perebutan! Sementara itu, di balik sebatang pohon besar bersembunyi Keng Hong. Bocah ini tadinya meniup suling diatas punggung kerbau dan memasuki hutan sambil melanjutkan meniup sulingnya perlahan-lahan. Setelah tiba di tengah hutan, dia terpaksa menghentikan tiupan sulingnya yang tadi dilakukan hanya untuk menentramkan hatinya yang berdebar-debar dan dia menyelinap di antara pohon-pohon ketika melihat banyak orang berdiri di lapangan terbuka di hutan mawar itu. Sambil menahan nafas dia menonton dan mendengarkan seluruh percakapan. Diam-diam timbul rasa suka dan kasihan di hatinya terhadap kakek aneh yang duduk bersila, apalagi setelah dia mendengar ucapan kakek itu seolah-olah telah menyerahkan nyawanya kepada sembilan orang yang sikapnya mengancam itu. Dan pada saat yang sama timbul rasa tidak suka kepada mereka. Dia sudah banyak membaca tentang watak orang-orang budiman, bijaksana dan gagah perkasa, watak para pendekar yang menjunjung tinggi kebenaran, keadilan dan kegagahan. Akan tetapi sembilan orang itu hendak mengeroyok seorang kakek tua renta yang sama sekali tidak mau melakukan perlawanan. Alangkah picik dan hina! Sembilan orang itu kini saling berhadapan dengan pandang mata penuh kemarahan. Tak seorangpun di antara mereka mengeluarkan kata-kata, namun pandang mata mereka sudah menyatakan perasaan mereka dengan jelas dan seluruh urat syaraf di tubuh sudah menegang, siap menggempur lawan untuk memperebutkan pedang pusaka yang amat mereka inginkan itu. Akhirnya Kok Cin Cu, orang termuda dari Kong-thong Ngo-lojin, menghela napas panjang dan berkata, suaranya seperti biasa halus namun penuh wibawa. "Mencapai cita-cita tinggi tidaklah mudah, mendapatkan Siang-bhok-kiam benda pusaka tentu saja amat sukar. Memang patut ditempuh dengan mempertaruhkan nyawa. Baiklah, mari kita semua membuktikan, siapa di antara kita yang paling tepat dan berjodoh memiliki Siang-bhok-kiam." Setelah berkata demikian, Kok Cin Cu meraba pinggangnya dan "singgg!" terdengar suara nyaring ketika tosu tua ini melolos sabuknya yang ternyata merupakan sabuk baja yang tipis dan halus. Kiranya sabuk ini merupakan senjata istimewa tosu itu, dimainkan seperti orang memegang sebuah pecut yang tajam. Sabuk ini mengeluarkan suara berdesing dan tampak sinarnya berkelebatan menyilaukan. Sambil memutar sabuk itu diatas kepala, lengan kiri tosu lihai ini mengeluarkan bunyi berkerotokan, terisi oleh Ilmu Ang-liong-jiauw-kang yang agaknya lebih mengerikan dan lihai daripada sabuk baja itu sendiri! "Omitohud! Terpaksa kita melanggar pantangan membunuh, Sute!" kata Thian Ti Hwesio yang beralis putih kepada sutenya sambil memutar tongkat yang dibawanya. Bukan tongkat sembarangan tongkat, karena tongkat itu adalah sebatang tongkat senjata yang disebut Liong-cu-pang (Tongkat Mustika Naga), tongkat yang ujungnya besar bulat seperti bola baja, dan beratnya tidak akan kurang dari dua ratus kati! Sutenya, si tinggi besar berkulit hitam Thian Kek Hweiso sudah mengeluarkan suara gerengan dan begitu dia menggerakkan tangan kanan terdengar suara "Wuuuuttt....!" dan angin keras menyambar. Kiranya dia telah melolos jubah yang dipakainya tadi dan kini jubah itu telah dia pegang ujungnya. Jangan dianggap ringan senjata jubah ini, karena berada di tangan hwesio tinggi besar itu, jubah ini bisa berubah menjadi senjata yang kerasnya melebihi baja, lemasnya melebihi sutera dan tajamnya menandingi pedang! Keng Hong memandang dengan mata terbelalak dan dada berdebar. Ia melihat betapa kakek tua renta yang duduk bersila itu sama sekali tidak bergerak, masih memejamkan mata akan tetapi senyum di mulutnya jelas mengandung ejekan, seolah-olah kakek itu menahan rasa geli dan memaksa diri tidak tertawa bergelak. Dia sendiri pun merasa geli dan ingin tertawa menyaksikan tingkah laku sembilan orang itu yang dianggapnya seperti badut-badut tak tahu malu atau seperti segerombolan anjing hendak memperebutkan tulang. Dari tempat dia sembunyi, pedang di depan kakek tua itu memang seperti sepotong tulang saja. Akan tetapi mana mungkin dia bisa tertawa menyaksikan sembilan orang itu kini telah mengeluarkan senjata semua? Di lain saat, pandang Keng Hong menjadi silau dan kabur, telinganya seperti tuli ketika terdengar suara desing senjata yang hiruk pikuk, matanya melihat sinar-sinar berkelebatan. Dia ternganga keheranan dan hampir tak dapat mempercayai ddan hampir tak dapat mempercayai pandang matanya sendiri sembilan orang-orang tua itu telah lenyap tubuhnya dan yang tampak kini hanya bayangan-bayangan berkelebatan dibungkus sinar bermacam-macam, ada merah, putih, hijau dan kuning. Suaranya juga bising sekali, ada suara meledak-ledak seperti halilintar, suara mendesis seperti ular marah, suara bersuitan seperti angin badai, berkerosokan seperti angin mengamuk dan berdentangan, seperti disitu terdapat banyak pandai besi bekerja! Di tengah-tengah semua hiruk pikuk dan sinar berkelebatan itu, jelas tampak kakek tua renta masih duduk bersila dengan mulut tersenyum lebar. Pedang kayu itu masih menggeletak mati di depan kakinya. Pertempuran yang kacau-balau itu amat serunya dan terutama sekali perhatian masing-masing ditujukan untuk mencegah lain orang merampas pedang maka sampai lama tidak ada korban yang jatuh, apalagi karena mereka itu terdiri dari orang-orang yang telah mencapai tingkat tinggi dalam ilmu silat. Tanpa mereka sadari , mereka itu saling bantu dalam pertempuran kacau-balau itu. Biarpun kedua matanya dipejamkan, telinga Sin-jiu Kiam-ong dapat menangkap jalannya pertandingan dan hatinya terpingkal-pingkal, akan tetapi juga mata hatinya terbuka lebar. Beginilah watak manusia di seluruh jagat, pikirnya. Pertempuran antara tokoh besar ini mencerminkan keadaan di dunia, mencerminkan watak manusia yang amat bodoh dan lucu, seolah-olah manusia di dunia ini memainkan peran badut yang menggelikan! Manusia di dunia ini selalu saling hantam, saling memperebutkan demi pemuasan nafsu pribadi yang mereka sebut cita-cita. Padahal, hakekatnya mereka itu hanya memperebutkan kedudukan, atau nama, atau harta, atau pemuasan nafsu. Untuk mencapai "cita-cita" ini, mereka tidak segan-segan untuk saling menjatuhkan fitnah, saling mengejek, saling menyalahkan, saling menipu, saling merugikan dan kalau perlu saling membunuh! Yang besar melahap yang kecil, yang kecil mencaplok yang lebih kecil lagi sedangkan yang besar dilalap yang lebih besar lagi! Kedudukan, kemuliaan, nama besar, harta benda, benda-benda indah, wanita cantik diperebutkan secara tak kenal malu seolah-olah kesemuanya itu akan mendatangkan bahagia dalam hidup masing-masing. Padahal, dan ini sudah dialami oleh Sin-jiu Kiam-ong selama petualangannya puluhan tahun, kesemuanya itu kosong belaka. Kesemuanya itu akan musnah kenikmatannya setelah didapatkannya, bukan kebahagiaan yang didapat, melainkan terlalu sering sekali mendatangkan kepahitan malah. Karena yang menang akan mabuk dan diintai mata dan hati si kala yang penuh iri dan dendam, yang kala akan mabuk oleh dendam dan penasaran sehingga mencari segala daya upaya untuk menjatuhkan kembali yang menang! Kakek ini seolah-olah dapat melihat betapa yang akhirnya mendapatkan pedang Siang-bhok-kiam selalu akan dirundung malang, selalu dimusuhi, dikejar-kejar. Ingin dia tertawa kalau memikirkan hal ini! Tiba-tiba terdengar suara ketawa tergelak-gelak. Suara ketawa yang memekakkan telinga, yang membuat Keng Hong tiba-tiba roboh berlutut karena kedua kakinya menggigil. Tampak berkelebat tiga bayangan hitam dan pertandingan yang tadinya kacau balau itu tiba-tiba berhenti karena sembilan orang itu terpelanting ke kanan kiri. Kini mereka bersembilan berdiri siap siaga dengan wajah penuh peluh, mata liar mengganas memandang ke arah tiga orang yang tiba-tiba muncul dan yang sekaligus membuat mereka yang sembilan orang itu tokoh-tokoh kenamaan yang berilmu tinggi, terpelanting ke kanan kiri. Keng Hong kini dapat berdiri kembali dan dia pun mengintai, memandang ke arah tiga orang itu. Jantungnya berdebar keras dan mulutnya melongo, matanya terbelalak hatinya diliputi kengerian. Tentu bukan manusia yang muncul ini, melainkan tiga iblis penghuni hutan. Belum pernah Keng Hong melihat orang-orang yang memiliki wajah dan tubuh demikian mengerikan. Orang pertama adalah seorang nenek yang rambutnya kemerahan, rambut gimbal yang kasar dan riap-riapan menutupi sebagian mukanya. Muka itu sendiri seperti udang direbus, mulutnya menyeringai memperlihatkan gigi yang besar-besar dan panjang-panjang sehingga bibirnya tidak dapat tertutup dan selalu menyeringai. Pakaiannya dari sutera hitam berkembang merah dengan potongan ketat sehingga melekat di kulit tubuhnya, mencetak tubuhnya seperti telanjang bulat dan tampak betapa sepasang buah dadanya besar-besar seperti buah semangka. Nenek ini tidak memegang senjata, akan tetapi sepuluh buah kuku jari tangannya panjang-panjang dan meruncing seperti sepuluh batang pisau yang hitam kemerahan, amat mengerikan! Orang ke dua adalah seorang kakek yang usianya sebaya dengan nenek itu, kurang lebih delapan puluh tahun. Tubuhnya tinggi besar seperti raksasa, sedikitnya tentu ada dua meter, besar dan kulitnya hitam arang penuh bulu. Kalau tidak pakai pakaian dia tentu lebih patut disebut orang hutan. Pakaiannya juga dari sutera berwarna berkembang. Karena kulit mukanya juga hitam seperti arang, maka tampaklah biji matanya putih lebar menyeramkan. Kedua telinganya seperti telinga gajah, lebar. Yang mengerikan adalah sepasang tengkorak kecil, agaknya tengkorak anak-anak, yang tergantung di kedua rantai baja, dua buah tengkorak yang sudah menghitam dan agaknya mengeras seperti besi karena kedua tengkorak itu telah direndam racun sampai puluhan tahun lamanya. Adapun orang ke tiga, sungguhpun tidak tinggi besar menyeramkan, namun cukup mengerikan karena bentuknya yang tidak lumrah. Tubuhnya kecil kate, akan tetapi kepalanya besar sekali berbentuk lonjong seperti buah labu, mukanya sempit dengan sepasang mata yang hanya merupakan dua buah garis kecil, sikapnya pendiam dan alim. Tangan kanannya memegang sebatang hudtim (kebutan dewa) yang gagangnya hitam namun bulu kebutannya putih. Kedua lengannya bersedakap dan bibirnya selalu bergerak-gerak seperti orang membaca doa! Yang tertawa-tawa adalah nenek dan kakek tinggi besar itu. Kini pun kakek tinggi besar masih tertawa sehingga dua buah tengkorak kecil yang tergantung di pinggangnya bergerak-gerak dan saling beradu menimbulkan suara seolah-olah dua buah tengkorak itu ikut pula tertawa. Sembilan oran tokoh kang-ouw, yang tadinya terpelanting ke kanan kiri, setelah dapat memandang tiga orang ini, tampak kaget sekali, tercengang dan gentar. Tiga orang manusia iblis ini memang jarang muncul di dunia ramai, namun mereka sebagai tokoh-tokoh kang-ouw kenamaan tentu saja mengenal siapa adanya tiga datuk persilatan, raja-raja dari golongan sesat ini. Nenek itu bukan lain adalah Ang-bin Kwi-bo (Nenek Iblis Muka Merah) yang seolah-olah merajai kaum sesat di sepanjang pantai laut timur. Kakek tinggi besar berkulit hitam dengan senjata dua buah tengkorak itu adalah Pak-san Kwi-ong (Raja Setan Gunung Utara) yang merajai kaum sesat di sepanjang tembok besar di utara, bahkan terkenal sekali dan ditakuti oleh bangsa-bangsa Mongol, Mancu dan lain-lain. Orang ketiga yang kate dan bersikap seperti dewa itu dikenal dengan nama julukan Pat-jiu Sian-ong (Raja Dewa Lengan Delapan), karena Pat-jiu Sian-ong ini selalu merantau ke barat dan tidak pernah ada tokoh yang dapat menandinginya. Inilah tiga orang di antara empat datuk kaum sesat yang pada masaitu merupakan tokoh-tokoh tertinggi ilmunya dan yang tersebar merajai empat penjuru. "Ha-ha-ha!” Pak-san Kwi-ong tertawa mengejek dan menyapu sembilan orang itu dengan pandang mata. Biji matanya yang putih itu bergerak-gerak lliar ke kanan kiri, amat menyeramkan. "Kiranya tikus-tikus ini pun kepingin mendapatkan Siang-bhok-kiam! Ha-ha-ha! Memang benar sekali, sebelum berhak mendapatkan pedang pusaka, harus menjadi pemenang lebih dulu. Kalian ini tikus-tikus pelbagai golongan, setelah kami bertiga datang, tidak lekas menggelinding pergi, apakah ingin kami turun tangan menjadikan kalian sebagai setan-setan tanpa kepala?" "Kwi-ong, usir saja anjing-anjing itu. Kalau dibunuh, teman-temannya akan mengonggong, kelak akan membikin repot saja!" kata Ang-bin Kwi-bo sambil menyeringai. Sembilan orang itu adalah tokoh-tokoh dunia kang-ouw golongan bersih. Sungguhpun pada saat itu mereka saling bertentangan dalam memperebutkan Siang-bhok-kiam, namun mereka tetap merasa diri mereka bersih. Kini menghadapi tiga orang tokoh yang menjadi datuk kaum sesat, tentu saja mereka merasa bertemu dengan lawan dan otomatis mereka itu melupakan pertentangan sendiri, di dalam hati telah bersatu untuk menghadapi tiga lawan yang mereka tahu memiliki kesaktian hebat itu. Namun sebagai tokoh-tokoh besar dunia persilatan, mereka tidak menjadi gentar. "Bagus! kalau kami tidak salah kira kalian bertiga ini tentulah tiga orang di antara Bu-tek Su-kwi (Empat Iblis Tanpa Tanding)! Memang, siapa yang paling kuat di antara kami berhak memiliki Siang-bhok-kiam, akan tetapi kalian ini iblis-iblis berwajah manusia tidak masuk hitungan, dan sudah menjadi kewajiban kami semua pendekar golongan bersih untuk membasmi iblis-iblis kaum sesat macam kalian bertiga!" Terdengar suara kekeh ketawa melengking tinggi dan Ang-bin Kwi-bo sudah menerjang maju menyerang Sin-to Gihiap yang bicara tadi. Pendekar ahli golok yang sudah berusia delapan puluh tahun, sudah banyak pengalamannya bertanding dan pada masa itu sukar dicari tandingannya dalam permainan golok, menjadi kaget bukan main karena nenek itu menyerangnya dengan senjata yang amat luar biasa, yaitu.....rambutnya! Rambut yang gimbal kasar panjang ini bagaikan ratusan ekor ular menerjangnya, mengeluarkan suara seperti anak panah menyambar dan didahului bau amis seperti ular beracun. Cepat Sin-to Gi-hiap memutar goloknya untuk menjaga diri, namun sebagian daripada rambut itu mengulung goloknya dan sebagian lagi terus menyambar ke arah lehernya! Pada saat itu terdengar seruan keras, "Omitohud!" dan kedua orang Siauw-lim-pai yaitu Thian Ti Hwesio dan Thian Kek Hwesio telah menerjang secara berbarengan. Thian Ti Hwesio menggunakan Liong-cu-pang menghantam kepala nenek itu, sedangkan Thian Kek Hwesio menggerakkan jubahnya menangkis ke arah rambut yang mengancam nyawa Sin-to Gi-hiap! Sambil terkekeh aneh Ang-bin Kwi-bo menarik kembali rambutnya dan melangkah mundur kemudian ia mengulur kedua lengan, lengan kiri menyampok Liong-cu-pang sehingga hampir saja terlepas dari pegangan Thian Ti Hwesio, sedangkan lengan kanannya melingkar di depan dada. Kini sepuluh buah kuku jari tangan nenek itu sudah berubah makin menghitam dan jari-jari tangan itu bergerak-gerak aneh, amat mengerikan. Betapapun juga, dua orang tokoh Siauw-lim-pai bersama Sin-to Gi-hiap tidak menjadi gentar dan siap-siap mengurungnya. Pendekar-pendekar tua yang lain tidak tinggal diam. Sungguhpun tidak ada yang memimpin dan tidak ada komando, mereka sudah menerjang maju. Kiu-bwe Toa-nio bersama dua orang tokoh Hoa-san-pai sudah maju mengurung Pak-san Kwi-ong. Kiu-bwe Toanio menggerak-gerakkan cambuk berekor sembilan yang mengeluarkan suara ledakan-ledakan kecil, sedangkan kedua orang tokoh Hoa-san-pai itu sudah menyatukan pedang mereka. Adapun sepasang suami istri piauw-su, yaitu Hek-houw Tan Kai Sek dan isterinya, bersama Kok Cin Cu tokoh lihai Kong-thong-pai, telah mengurung Pat-jiu Sian-ong yang tampak tenang-tenang saja. Si kate kepala besar ini hanya mengebut-ngebutkan hudtim di tangannya seperti orang mengusir lalat, namun hudtim yang dikebut-kebutkan perlahan-lahan itu mengeluarkan suara bersiuatan seolah-olah datagn angin topan yang dahsyat! Suara ini diimbangi oleh suara menderu yang keluar dari rantai yang ujungnya ada sepasang tengkoraknya, yaitu senjata yang kini diayun-ayun oleh Pak-san Kwi-ong. Keng Hong menonton dengan jantung berdebar-debar. Sungguh keadaan telah berubah amat mengherankan. Sembilan orang yang tadinya saling bertanding dan lenyap bayangannya terganti oleh sinar-sinar berkelebatan, kini bersatu padu menghadapi tiga orang manusia iblis yang mengerikan. Biarpun mereka itu belum saling serang, namun keadaan sudah amat menegangkan. Ketika Keng Hong melirik ke arah kakek tua renta yang duduk bersila, dia melihat betapa Sin-jiu Kiam-ong masih duduk diam tak bergerak, namun senyum mengejek di bibirnya kini tidak tampak lagi dan kedua mata yang tadinya dipejamkan kini terbuka. Keng Hong terkejut karena sepasang mata kakek tua renta itu mengeluarkan sinar yang berkilat! Akan tetapi perhatian Keng Hong segera tertarik oleh pertandingan yang sudah dimulai. Begitu dia mengalihkan pandang matanya, dia menjadi pening. Pertandingan sekali ini ternyata lebih hebat dan cepat daripada tadi. Bayangan-bayangan manusia berkelebatan, sukar dia kenal bayangan siapa, berkelebatan cepat di antara sinar-sinar terang dan gulungan-gulunga uap hitam, dan terdengar suara bermacam-macam yang menusuk-nusuk telinga, selain itu tercium bau yang amis dan keras memuakkan. Namun, pertandingan itu berjalan sebentar saja. Terdengar kekeh tawa Ang-bin Kwi-bo diseling gelak tawa Pak-san Kwi-ong, disusul suara senjata-senjata patah dan tubuh sembilan orang pengeroyok itu terpelanting lagi ke kanan kiri, namun sekali ini agak keras, bahkan terbanting ke tanah. Ketika sinar-sinar itu lenyap, Keng Hong melihat betapa sembilan orang itu ada yang terbanting roboh, ada yang terhuyung-huyung ke belakang. Mereka ini menyeringai kesakitan dan bangkit bangun lagi dengan wajah pucat. Pecut sembilan ekor di tangan Kiu-bwe Toanio kini tinggal lima ekornya, Liong-cu-pang di tangan Thian Ti Hwesio semplak bagian ujung yang bulat, jubah di tangan Thian Kek Hwesio robek, pundak Sin-to Gi-hiap berdarah. Napas kedua Hoa-san Siang-sin-kiam terengah-engah dan tangan mereka yang memegang pedang menggigil, juga Kok Cin Cu berdiri sambil memejamkan mata dan mengatur pernafasan untuk memulihkan tenaga dan mengobati luka di sebelah dalam tubuhnya, sepasang suami-isteri piauwsu itu pun memandang pedang mereka yang tinggal sepotong, sedangkan kantong-kantong senjata rahasia mereka sudah kosong karena isinya hanya habis dihamburkan dengan sia-sia. "Hi-hi-hik! Kalian berani menentang Bu-tek Sam-kwi (Tiga Iblis Tanpa Tanding)?" kata Ang-bin Kwi-bo. "Kelancangan kalian harus ditebus dengan nyawa!" kata Pak-san Kwi-ong sambil tertawa. "Bersembahyanglah lebih dahulu sebelum menemui Giam-lo-ong (Raja Maut)!" Kini untuk pertama kalinya terdengar suara Pat-jiu Sian-ong, dan ternyata suara halus dan seperti suara orang yang penuh kasih sayang! Sembilan orang itu sudah siap-siap. Mereka itu kesemuanya telah menderita luka, dan yang tidak terluka telah mengorbankan senjatanya menjadi rusak. Namun karena maklum bahwa nyawa mereka terancam maut, mereka siap-siaga untuk melawan sampai detik terakhir. Keng Hong biarpun tidak tahu akan ilmu silat, apalagi ilmu silat tinggi yang dimainkan mereka, dari percakapan itu maklum pula bahwa tiga orang manusia iblis itu siap untuk membunuh sembilan orang tokoh pendekar itu, maka dia membelalakan mata sambil memandang penuh ketegangan. Suling bambu di tangannya dia pegang erat-erat, seolah-olah dia pun bersiap-siap menerima terjangan maut. Setelah tertawa lagi, tiga orang manusia iblis itu bergerak. Berbarengan dengan gerakan mereka, masing-masing mengarah tiga orang lawan terdekat. Rambut kepala Ang-bin Kwi-bo menyambar ke depan, berlumba cepat dengan rantai tengkorak dan hudtim di tangan kedua orang kawannya. Sembilan orang yang sudah lemah itu maklum bahwa kali ini nyawa mereka tidak berdaya menghadapi kehebatan tiga orang lawan ini, apalagi sekarang setelah mereka terluka dan lemah. Betapapun juga mereka terluka dan lemah. Betapapun juga mereka menggerakkan tangan untuk mempertahankan diri. Tiba-tiba terdengar suara mencicit keras dan nyaring sekali, berbarengan berkelebat sinar hijau yang panjang dan tebal, disusul bunyi "Cring-cring-tranggg....!" dan tiga orang manusia iblis itu mencelat mundur sambil mengeluarkan seruan kaget. Tangkisan sinar hijau tadi membuat sebagian rambut kepala Ang-bin Kwi-ong rontok, kedua tengkorak Pak-san Kwi-ong berputaran dan kebutan hudtim di tangan Pat-jiu Sian-ong bodol tiga helai! Peristiwa ini bagi tiga orang manusia iblis merupakan hal yang amat hebatnya, karena tak pernah mereka mengira ada orang yang mampu sekali tangkis menolak mundur mereka. Karena kaget dan heran mereka mencelat mundur dan kini mereka memandang denga mata terbelalak penuh dengan kemarahan. Kiranya di depan mereka telah berdiri Sin-jiu Kiam-ong yang tersenyum-senyum dan pedang Siang-bhok-kiam yang diperebutkan itu berada di tangan kanannya.Kakek ini tenang-tenang saja menoleh ke belakang dan berkata kepada sembilan orang tokoh kang-ouw yang memandang dengan mata terbelalak kagum. "Harap Kiu-wi (kalian sembilan orang) suka mundur. Biarlah aku menghadapi mereka karena tiga iblis ini adalah tandinganku!" Biarpun angkuh dan menjunjung kegagahan, sembilan orang ini pun merupakan orang-orang yang mengenal keadaan. Maka sambil menghela napas panjang mereka lalu melangkah mundur dan hanya menonton dari pinggiran. "Sin-jiu Kiam-ong!" Kini Pak-san Kwi-ong membentak dan menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka kakek tua renta itu. "Kabarnya engkau telah mengundurkan diri dan tidak mau mencampuri urusan dunia ramai. Bahkan tadi kami mendengar bahwa engkau telah menyerahkan nyawa, tidak hendak melakukan perlawanan. Mengapa sekarang engkau menentang kami? Apakah engkau sudah melupakan kegagahanmu dan hendak melakukan perlawanan. Mengapa sekarang engkau menentang kami? Apakah engkau sudah melupakan kegagahanmu dan hendak mampus sebagai seorang pengecut rendah yang menarik kembali ucapannya yang masih terdengar gemanya?" Sin-jiu Kiam-ong tertawa, kemudian menjawab, "Hemmm, kalian Bu-tek Sam-kwi dengarlah baik-baik! Aku sama sekali tidak pernah berjanji kepada kalian bertiga! Aku berjanji kepada sembilan orang yang mewakili partai-partai yang pernah ku ganggu. Aku berhutang kepada mereka, maka kini aku bersedia membayar dengan nyawaku. Pedang Siang-bhok-kiam ini sama harganya dengan nyawaku, maka kalau kalian bertiga datang hendak memperoleh Siang-bhok-kiam, harus lebih dulu dapat merampas nyawaku!" "Bagus! Sin-jiu Kiam-ong manusia sombong yang sudah hampir mampus! Kami masih suka bicara denganmu karena mengingat bahwa engkau setingkat dengan kami. Jangan sekali-kali mengira bahwa kami takut kepadamu!" bentak Ang-bin Kwi-bo marah. "Heh-heh-heh, Kwi-bo, dahulu, setengah abad yang lalu, engkau cantik jelita dan memiliki kesukaan yang sama dengan aku, yaitu berenang dalam lautan asmara. Akan tetapi sekarang, heh-heh-heh, engkau buruk sekali.......!" "Gila....!" Ang-bin Kwi-bo menerjang dengan kedua tangannya dan sepuluh buah kuku runcing mengandung racun dahsyat itu sudah mencakar ke arah Sin-jiu Kiam-ong. Kakek ini menggoyang pergelangan tangannya, sinar hijau berkelebat dan si nenek memekik keras dan cepat menarik kembali kedua tangannya yang dari kedudukan menyerang berbalik terancam dibabat buntung oleh Siang-bhok-kiam! Dua orang kawannya tidak tinggal diam. Mereka sudah menerjang maju dan terjadilah pertempuran yang lebih dahsyat lagi daripadatadi. Sembilan orang sakti yang menonton, hampir berbarengan mengeluarkan seruan-seruan kagum. Mereka adalah orang-orang sakti maka dengan pandang mata mereka yang terlatih , mereka dapat menikmati dan mengagumi permainan pedang Sin-jiu Kiam-ong yang benar-benar belum pernah mereka saksikan keduanya di dunia ini. Juga mereka merasa ngeri karena setelah kini mereka dapat mengikuti sepak terjang tiga orang iblis itu yang benar-benar luar biasa dan amat berbahaya. Bagi Keng Hong, tentu saja penglihatan pada saat itu lain lagi. Ia tidak melihat lagi Sin-jiu Kiam-ong dan tiga orang iblis. Bayangan mereka sudah lenyap. Yang tampak olehnya hanyalah segulung sinar hijau se3perti seekor naga bermain-main diantar mega-mega yang beraneka warna, ada mega hitam, ada yang putih dan ada yang kemerahan. Pandang matanya berkunang dan kepalanya menjadi pening sehingga Keng Hong terpaksa harus memejamkan matanya. Kalau dia membuka matanya, dia menjadi silau dan berkunang lagi. Terpaksa dia meramkan terus matanya, dan hanya mendengarkan dengan telinganya. Yang terdengar hanya lengking dan suara bercuitan, tidak tahu dia bagaimana jalannya pertandingan itu, siapa yang menang dan siapa yang kalah. Jangankan bagi mata Keng Hong yang tidak terlatih, bahkan sembilan orang sakti yang sudah tinggi tingkat kepandaiannya itu pun menjadi silau dan pening. Makin lama gerakan Sin-jiu Kiam-ong dan tiga orang lawannya, terutama sekali gerakan Raja Dewa Lengan Delapan, makin cepat sehingga sukar diikuti pandangan mata lagi. Sinar pedang Siang-bhok-kiam yang hijau itu mendadak menjadi lebar sekali ketika terdengar Sin-jiu Kiam-ong membentak, dan tampaklah sinar hijau mencuat ke tiga jurusan seperti bercabang, disusul pekik kesakitan tiga orang iblis. Namun tampak jelas oleh sembilan orang itu betapa ujung pedang Siang-bhok-kiam berhasil melukai dada ketiga orang iblis, dan sebaliknya, pipi kanan Sin-jiu Kiam-ong terkena guratan kuku tangna Ang-bin Kwi-bo dan punggungnya terkena gebukan sebuah tengkorak yang terbang membalik dan seolah-olah mencium punggung kakek itu. Sin-jiu Kiam-ong terhuyung ke belakang, akan tetapi tiga orang lawannya juga mencelat sampai tiga tombak jauhnya. Mereka kini berdiri saling pandang, tak bergerak. Tiga orang iblis itu terengah-engah, pandang mata mereka beringas, mulut menyeringai. Tiga orang iblis ini diam-diam merasa girang sekali. Sin-jiu Kiam-ong telah terkena luka beracun. Racun-racun di kuku Ang-bin Kwi-bo amat hebatnya, dan racun di tengkorak Pak-san Kwi-ong juga tak kalah ampuhnya. Kalau mereka bertanding lagi, amatlah sukar mengalahkan kakek itu yang benar-benar patut berjuluk Raja Pedang karena permainan pedangnya memang hebat di samping pedang itu sendiri amat ampuh. Akan tetapi kalau mereka mengadu sinkang pengerahan tenaga sakti akan membuat racun itu menjalar hebat dan akan membunuh Sin-jiu Kiam-ong! Dada mereka terkena tusukan ujung pedang Siang-bhok-kiam, namun karena tubuh mereka kebal dan luka itu tidak terlalu dalam, juga tidak mengandung racun, mereka tidak khawatir untuk mengerahkan seluruh sinkang di tubuh mereka. "Sin-jiu Kiam-ong, bersiaplah untuk mampus!" bentak Pak-san Kwi-ong, yang sudah menekuk kedua lututnya, berdiri setengah jongkok,kemudian setelah dia melibatkan senjata rantai di pinggangnya raksasa hitam ini mendorongkan kedua lengan sambil mengerahkan tenaga sinkang. Itulah pukulan jarak jauh yang mengandalkan Iweekang yang sudah sempurna, dikendalikan oleh sinkang(hawa sakti) untuk memukul lawan dari jarak jauh. Pada saat yang bersamaan, Ang-bin Kwi-bo yang tadi memutar-mutar kedua lengannya hingga terdengar suara berkerotokan, kedua lengannya menggigil kini mendorong lengan kanan ke depan sedangkan lengan kirinya diangkat lurus ke atas dengan telapak tangan menghadap ke atas. Pat-jiu Sian-ong sudah menancapkan hudtimnya di pinggang, kemudian kedua tangannya bergerak-gerak mendorong ke depan. Berbeda dengan kedua kawannya yang mendorong dan mengerahkan sinkang tanpa menggerakkan lengan, kakek kate ini terus-menerus menggerak-gerakkan kedua lengan dengan telapak tangan menghadap ke arah Sin-jiu Kiam-ong dan melakukan gerakan-gerakan memukul dengan telapak tangan. Terdengar bunyi "wut-wut-wut" dari kedua telapak tangan itu. Sin-jiu Kiam-ong masih tersenyum. Ia maklum bahwa lawan-lawannya hendak mengadu sinkang. Dia berjuluk Sin-jiu(Tangan Sakti) di samping Kiam-ong(Raja Pedang). Ia maklum bahwa lukanya yang mengandung racun itu merugikannya dalam mengadu sinkang , namun karena tiga orang lawannya sudah siap menantang, dia sebagai seorang yang berjuluk Sin-jiu, bagaimana mungkin akan menolak? Penolakan mengadu singkang berarti memperlihatkan rasa jerih, maka sambil tersenyum dia pun lalu duduk bersila dan begitu tiga orang lawan itu menggerakkan lengan, dia pun lalu mendorong ke depan dengan kedua lengannya, menghadapi lawan. Segera terasa olehnya tenaga gabungan lawan menyerangnya. Ia mengerahkan sinkang, disalurkan ke dalam kedua lengannya, berkumpul di kedua telapak tangannya dan ketika dia mendorong, serangkum tenaga dahsyat menerjang ke depan dan menahan angin pukulan tiga orang lawannya. Kalau sembilan orang tokoh kang-ouw itu memandang dengan hati penuh ketegangan, Keng Hong memandang dengan melongo dan hati penuh keheranan. Apakah yang mereka lakukan, pikirnya. Sungguh lucu. Mengapa mereka itu diam tak bergerak seperti patung dengan lengan diluruskan ke arah lawan, hanya kakek kate itu saja yang menggerak-gerakkan kedua lengan, mendorong-dorong angin kosong? Apakah mereka itu sedang bermain-main? Ataukah mereka sudi sedemikian tuanya sehingga menjadi pikun atau kehabisan tenaga setelah pertandingan yang serba cepat tadi? Tiba-tiba terdengar suara "trik-trik-trik!" terus-menerus, makin lama makin nyaring. Kiranya suara itu keluar dari kuku-kuku jari tangan Ang-bin Kwi-bo yang sengaja sambil mendorong menyentil-nyentil antara kuku-kukunya sendiri. Sehingga mengeluarkan bunyi seperti itu. Beberapa detik kemudian suara itu disusul oleh suara menggereng keras yang keluar dari kerongkongan mulut Pat-san Kwi-ong yang terbuka. Suara gerengan yang rendah, namun tiada hentinya, sambung-menyambung dan mengandung getaran hebat. Segera dua suara ini disusul pula dengan suara duk-creng-duk-creng seperti tambur dan gembreng. Kiranya suara ini keluar dari sebuah tambur kecil yang pinggirannya dipasangi kelenengan. Dengan tangan kirinya Pat-jiu Sian-ong memegang tambur ini, sedangkan tangan kanan masih didorong-dorongkan ke arah Sin-jiu Kiam-ong. Tambur itu oleh kakek pendek ini dipukul-pukulkan kepada paha dan lututnya, sekali pukul pada kulit tambur kemudian pada lingkaran sehingga menimbulkan suara duk-creng-duk-creng nyaring sekali. Sembilan orang itu tiba-tiba duduk bersila ddan memejamkan mata. Keng-Hong menjadi heran sekali dan lebih kagetlah dia ketika tiba-tiba kedua kakinya gemetar dan dia pun jatuh terduduk. Jantungnya berdebar aneh dan telinganya seperti ditusuk-tusuk rasanya. Ia melihat betapa Sin-jiu Kiam-ong menjadi pucat wajahnya, tubuhnya menggigil, dahinya penuh keringat dan tubuh kakek yang bersila itu pun mulai gemetar, kedua lengan yang dilonjorkan ke depan bergoyang-goyang! Dia tidak mengerti dan sama sekali tidak tahu bahwa suara-suara yang dikeluarkan oleh tiga orang manusia iblis itu adalah suara mujijat yang mengandung tenaga getaran hebat yang dapat melumpuhkan, bahkan membinasakan lawan! Untung bahwa Keng Hong belum pernah mempelajari Iweekang karena kalau dia sudah mempelajarinya dan mengerti akan pengaruh suara ini, tentu dia sudah roboh binasa. Memang suara-suara mujijat tidaklah begitu hebat pengaruhnya terhadap mereka yang tidak mengerti sama sekali, hanya menimbulkan suara tidak enak yang menusuk-nusuk telinga, dan getaran itu hanya membuat kaki menggigil dan lemas. "Dasar manusia-manusia iblis!" Keng Hong menjadi marah karena rasa tidak enak pada telinganya hampir tak tertahankan olehnya. Ia teringat akan sulingnya maka dengna gemas dan marah dia lalu meniup sulingnya. Suara-suara itu begitu bising dan tak enak didengar, pikirnya. Lebih baik aku memperdengarkan suara suling yang merdu untuk mengusir suara tidak enak! Pendapat secara ngawur ini segera dilaksanakan dan tak lama kemudian, suara-suara bising tidak enak itu bercampur dengan suara tiupan sulingnya. Bocah ini memang seorang ahli meniup suling yang berbakat. Karena tidak ada yang membimbing, maka dia merupakan peniup murid alam! Ia dapat menirukan suara-suara yang didengarnya. Kalau hatinya senagn, tiupannya mengandung suara yagn gembira ria dan tentu terasa oleh siapapun juga yang mendengarnya. Kalau dia berduka atau marah, suara sulingnya tentu membawa getaran perasaannyaini tanpa disadarinya. Kini dia sedang marah, maka suara sulingnya juga penuh kemarahan, bergelora dan membubung tinggi, melengking-lengking seperti bocah rewel menangis. Akan tetapi karena terpengaruh oleh suara lain, kepandaiannya yang timbul dari bakatnya membuat dia meniru suara-suara itu sehingga terdengarlah suara suling yang amat aneh. Kadang-kadang meniru suara berkeritik kuku-kuku Ang-bin Kui-bo kadang-kadang seperti menggerengnya tenggorokan Pak-san Kwi-ong dan sering kali mengarah suara tambur di tangan Pat-jiu Sian-ong! Hiruk-pikuk tidak karuan, namun justru kekacauan inilah yang mengacau pula daya tekun dan daya serang rangkaian tiga suara yang dikeluarkan oleh Bu-tek Sam-kwi! Setelah meniup sulingnya untuk menyatakan kemarahannya terhadap suara-suara bising yang tak sedap didengar itu Keng Hong merasa kekuatannya pulih kembali. Ia mengangkat muka memandang dan melihat betapa kakek tua renta yang duduk bersila itu kini tidak lagi menggigil sungguhpun wajahnya masih pucat. Sepasang mata kakek itu ditujukan kepadanya, hanya sekilas pandang, namun Keng Hong dapat merasa betapa pandang mata kepadanya itu penuh kagum, rasa syukur dan gembira! Hal ini menimbulkan kegembiraan di dalam hatinya. Keng Hong bukan seorang anak bodoh. Tidak, sebaliknya malah. Dia amat cerdik dan biarpun dia tidak mengerti mengapa demikian, namun dia dapat menduga bahwa suara sulingnya telah membantu kakek ini! Kegembiraannya membuat dia bertekad untuk mengacau terus suara-suara bising yang keluar dari tiga orang manusia iblis itu. Setelah meniup sulingnya makin keras dan makin kacau dia menghentikan tiupan sulingnya untuk diganti dengan suara nyanyiannya yang nyaring. Bocah ini memang memiliki suara yang nyaring dan cukup merdu. Akan tetapi karena dia ingin mangejek orang-orang yang mengganggu kakek tua itu, dia teringat akan bunyi ujar-ujar dalam kitab-kitab kuno yang dibacanya, yang dia lupa lagi entah dari kitab mana, kemudian dia menyanyikan ujar-ujar itu dengan lagu yang dikarangnya sendiri sejadi-jadinya: "Mengerti akan orang lain adalah bijaksana pikirannya, mengerti akan diri pribadi adalah waspada batinnya! Menaklukkan orang lain adalah perkasa tubuhnya, Menaklukkan diri pribadi adalah kokoh kuat batinnya! Merasa puas dengan keadaannya berarti kaya raya, memaksakan kehendak kepada orang lain berarti nekat! Tahan tanpa derita berarti terus berlangsung, mati tapi tidak musnah berarti panjang usia!" Karena banyak membaca kitab-kitab kuno tanpa mengerti betul maknanya, bocah ini lupa bahwa yang dinyanyikannya adalah ujar-ujar dalam kitab Totik-khing yang menjadi pegangan penganut Agama To dan tidak tahu bahwa ujar-ujar itu mengandung makna yang amat dalam. Akan tetapi sebagian daripada kata-kata itu kena betul dan mengejek mereka semua yang berada di situ, tidak hanya tiga orang manusia iblis, bahkan juga sembilan orang sakti yang kini sudah tidak lagi terpengaruh suara-suara tiga iblis yang dikacau oleh Keng Hong dan yang mendengarkan dengan mata terbelalak. Mereka ini, sembilan orang gagah tokoh kang-ouw, mengerti bahwa Sin-jiu Kiam-ong tertolong nyawanya. Tadinya, setelah tiga orang iblis itu menambah penyerangan mereka dengan suara-suara menekan, kakek itu sudah terdesak hebat sekali dan sewaktu-waktu pasti akan roboh binasa. Kini, karena suara itu diganggu, Sin-jiu Kiam-ong kembali dapat menekan mereka tiga orang lawannya. Tiga orang iblis itu marah sekali. Mereka menghentikan suara mereka dan sambil berseru marah mereka itu lalu meloncat ke depan, menubruk Sin-jiu Kiam-ong. Kakek ini dalam keadaan masih bersila, juga mengeluarkan seruan panjang, tubuhnya mencelat ke atas menyambut terjangan ke orang lawan. Pertemuan hebat terjadi di udara dan terdengar suara nyaring bertemunya senjata disusul jeritan kesakitan tiga orang manusia iblis itu yang terpelanting ke kanan kiri. Kakek itu pun melayang turun lagi dan berdiri tegak dengna pedang Siang-bhok-kiam di tangan. Tiga orang manusia iblis itu pucat wajahnya, kulit leher mereka bertiga lecet dan terluka oleh guratan Siang-bhok-kiam. Setelah memandang sejenak, mereka itu membalikkan tubuh dan dengan hanya beberapa kali loncatan saja ketiganya sudah lenyap dari tempat itu. Kiranya mereka kini menjadi jerih jarena maklum bahwa mereka bertiga tidak akan dapat menenangkan Sin-jiu Kiam-ong sungguhpun selisihnya hanya sedikit saja. Mereka menyesal mengapa tidak mengundang Lam-hai Sin-ni (Wanita Sakti Laut Selatan) yang menjadi orang keempat dari Bu-tek Su-kwi! Setelah tiga orang manusia iblis itu lenyap dari tempat itu, Sin-jiu Kiam-ong menarik nafas panjang dan tiba-tiba dia terhuyung-huyung lalu roboh! Dengan gerakan lemah kakek ini lalu bangkit dan duduk bersila, wajahnya pucat, nafasnya terengah-engah dan tiba-tiba dari mulutnya menetes-netes darah segar! Sembilan orang tokoh sakti yang melihat keadaan kakek ini, maklum bahwa Sin-jiu Kiam-ong sudah terluka parah dan mereka melihat kesempatan yang amat baik untuk merampas pedang Siang-bhok-kiam yang masih berada di dalam genggaman Sin-jiu Kiam-ong. Agaknya mereka itu sudah dapat menerka isi hati masing-masing, karena seperti mendapat komando, sembilan orang itu lalu bergerak maju menghampiri Sin-jiu Kiam-ong. Terdengar kakek itu tertawa di balik batu, lalu berkata. "Ha-ha-ha..., kalian hendak mengambil Siang-bhok-kiam? Sudah kukatakan, aku tidak akan melawan, apalagi dalam keadaan seperti ini...uh-huh...Bu-tek Sam-kwi benar-benar tangguh...nah, ambillah siapa yang berjodoh...! Ia menancapkan pedang kayu itu di depannya di atas tanah. Sembilan orang itu tidak ada yang berani bergerak. Mereka percaya bahwa kakek itu tidak akan melarang kalau mereka mengambil pedang, juga maklum bahwa kakek itu sudah lemah sekali. Akan tetapi mereka tidak ada yang berani bergerak karena tahu pula bahwa jika ada yang berani mengambil pedang, tentu akan dihalangi oleh yang lain! Hal ini yang membuat mereka menjadi ragu-ragu. "Tahan...! Tahan....kalian orang-orang tua yang tak mengenal malu!" Tiba-tiba terdengar teriakan marah dan Keng Hong yang sudah keluar dari tempat sembunyinya itu kini menghampiri Sin-jiu Kiam-ong dan memeluk leher kakek itu dari belakang sambil memandang sembilan orang itu dengan pandang mata penuh kemarahan. Sembilan orang yang mengenal anak ini sebagai bocah yang tadi telah meniup suling mangacau Bu-tek Sam-kwi, memandang heran. Tadi mereka seperti lupa kepada bocah yang amat berani itu karena mereka terlalu bernafsu untuk mendapatkan pedang. Kini baru mereka teringat dan mereka menduga-duga apakah hubungan anak ini dengan Sin-jiu Kiam-ong. "Heh, bocah lancang! Saipakah engkau dan mau apa?" bentak kiu-bwe Toanio dengan pandang mata marah. Namun Keng Hong tidak mempedulikan nenek itu, melainkan bertanya kepada Sin-jiu Kiam-ong, "Kong-kong (kakek), engkau terluka? Ah, mereka ini orang-orang yang tak mengenal budi!" Sin-jiu Kiam-ong membuka matanya dan memandang bocah itu dengan pandang mata penuh kekaguman dan keharuan. Anehnya, ada dua butir air mata menitik turun dari kedua mata kakek itu! Sin-jiu Kiam-ong terkenal sebgai seorang petualang di dunia persilatan yang selalu hidup gembira, tak pernah berduka, apalagi menangis! Bahkan ratusan kali menghadapi ancaman maut sekalipun tak pernah memperlihatkan kedukaan. Akan tetapi sekarang dia menitikkan air mata! Setelah menarik nafas panjang, Sin-jiu Kiam-ong kembali memejamkan matanya. Keng Hong melepaskan rangkulannya pada kakek itu, meloncat di depan Sin-jiu Kiam-ong seolah-olah hendak melindunginya, lalu berkata kepada sembilan orang itu. "Kalian ini orang-orang gagah macam apa. Tidak mengenal budi, berhati kejam! Siapa tidak tahu bahwa kalau tidak ada kakek ini, kalian sudah mati semua di tangan tiga iblis tadi? Kakek ini yang menolong kalian mengusir tiga iblis dna mengorbankan diri sampai terluka, dan kini kalian tanpa malu-malu hendak membunuhnya! Sungguh pengecut, curang dan kalian ini lebih jahat daripada si tiga iblis! Mereka iut sudah terang orang-orang jahat dan menggunakan nama iblis, mereka sedikitnya lebih jujur daripada kalian. Sebaiknya kalian, tadi kudengar menggunakan nama sebagai golongan bersih, sebagai pendekar-pendekar perkasa namun kenyataannya kalian ini orang-orang munafik yang hanya pada lahirnya saja bersih namun di sebelah dalam lebih busuk daripada yang busuk! Aku Cia Keng Hong walaupun tidak ada hubungan dengan kakek ini, namun aku sebagai manusia tidak rela menyaksikan kejahatan yang melewati batas. Kalau kalian hendak membunuh penolong kalian ini yang terluka parah, jangan melakukan kekejaman kepalang tanggung, bunuhlah aku terlebih dahulu!" Wajah kesembilan orang itu menjadi merah sekali. Ucapan yang keluar dari mulut anak kecil ini tajam dan runcing melebihi pedang yang langsung menghujam ke ulu hati mereka. Akan tetapi urusan yang mereka hadapi jauh lebih besar. Apa artinya maki-makian seorang anak kecil penggembala kerbau? Tadi ketika memasuki hutan, mereka sudah melihat Keng Hong menyuling di atas kerbaunya. Di balik perbuatan mereka terhadap Sin-jiu Kiam-ong yang keliahatan kejam, tersembunyi persoalan-persoalan dendam yang besar dan kiranya tidak perlu diperdebatkan dengan seorang bocah! Tak mungkin kalau hanya karena maki-makian bocah ini mereka harus membatalkan niat yang sudah dikandung di hati, dibela dengan perjalanan jauh, bahkan yang hampir saja membuat mereka binasa di tangan Bu-tek Sam-kwi. “Bocah bermulut lancang, kau tahu apa? Hayo minggat dari sini!” Hek-how Tan Kai Sek piauwsu tua itu melangkah maju hendak menyeret dan mendorong pergi Keng Hong, akan tetapi tiba-tiba dia terhuyung mundur karena ada tenaga hebat mendorongnya. Kiranya Sin-jiu Kiam-ong kini sudah bangkit dan berdiri di dekat Keng Hong. Wajah kakek ini masih pucat, akan tetapi sinar matanya berseri dan mulutnya yang masih merah karena darah tersenyum. “Tak seorangpun boleh mengganggu Cia Keng Hong! Dia ini muridku, dan dialah ahli warisku. Perkenalkan, hei, para pendekar! Pandanglah baik-baik. Inilah dia muridku, orang yang akan mewarisi semua milikku termasuk pedang Siang-bhok-kiam. Ha-ha-ha!” Sembilan orang itu tercengang! Mereka bersusah payah, mengandalkan dendam mereka untuk berusaha mendapatkan pedang pusaka dan warisan kitab-kitab dan ilmu si raja pedang, kini begitu saja si raja pedang mengangkat murid dan hendak mewariskan Siang-bhok-kiam kepada seorang bocah penggembala kerbau! "Omitohud...! Kehendak Tuhan terjadi penuh mujisat!" Thian Ti Hwesio mengeluh panjang. "Sin-jiu Kiam-ong! Engkau melanggar janji...!" bentak Sin-to Gi-hiap. Sin-jiu Kiam-ong tertawa, "Siapa melanggar janji? Bukankah kukatakan bahwa aku tidak akan melawan kalau kalian hendak membunuhku di sin? Bukankah akupun tidak pernah melawan kalian tadi dan tidak menghalangi kalau kalian hendak merampas pedang Siang-bhok-kiam? Bukankah kukatakan sebulan yang lalu bahwa yang berhak memiliki Siang-bhok-kiam adalah orang yang berjodoh dengannya? Nah, bocah inilah yang berjodoh dengan aku dan dengan pedang ini. Dan ketahuilah, setelah aku mengangkat murid, tentu saja aku tidak mau mati sekarang. Aku ingin hidup lebih lama lagi untuk mendidiknya, sesuai dengan tugas kewajiban seorang guru! Pergilah kalian, pergilah....!” Sembilan orang itu ragu-ragu dan mereka kecewa serta menyesal sekali. Biarpun Sin-jiu Kiam-ong telah terluka, namun ilmu kepandaiannya yang hebat amat sukar dilawan. Selain itu, mereka sendiripun telah terluka dan kehilangan senjata. Mereka ini adalah orang-orang cerdik. Mereka tahu bahwa Sin-jiu Kiam-ong sudah amat tua, apalagi menderita luka hebat. Kiranya takkan lama lagi usianya. Dan bocah itu jelas belum mengenal ilmu silat sama sekali. Digembleng bagaimana hebatpun, hanya dalam beberapa tahun apa artinya? Akhirnya mereka tentu akan dapat merampas pedang dan kitab-kitab itu, bukan dari tangan Sin-jiu Kiam-ong, melainkan dari tangan ahli warisnya ini! Pada saat itu, bersilir angin halus dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang tosu yang berwajah gagah penuh wibawa. Dia ini bukan lain adalah Kiang Tojin, tokoh Kun-lun-pai yang berilmu tinggi itu. Ketika semua orang yang memandang, ternyata bukan hanya Kiang Tojin yang datang, melainkan banyak sekali tosu-tosu Kun-lun-pai, sedikitnya ada tiga puluh orang, semuanya memegang pedang seperti Kiang Tojin, dan gerakan mereka begitu rapi, tangkas dan ringan sehingga tahu-tahu tempat itu telah dikepung! Kiang Tojin sejenak memandang kepada Keng Hong dengan heran, kemudian dia menjura penuh hormat kepada Sian-jiu Kiam-ong dan berkata, "Mohon maaf kepada Sie-taihiap (pendekar besar she Sie) kalau pinto dan saudara-saudara mengganggu. Akan tetapi, kehadiran banyak sahabat Kang-ouw di Kun-lun-pai masih dapat kami biarkan mengingat bahwa mereka itu adalah tamu-tamu Taihiap, hanya kehadiran tiga Bu-tek Sam-kwi benar-benar tak dapat kami biarkan saja. Tokoh-tokoh datuk hitam macam mereka tidak berhak mengotorkan bumi Kun-lun! Harap Taihiap maklum dan maafkan pinto yang hanya memenuhi perintah suhu." Sin-jiu Kiam-ong tertawa, dan menarik napas panjang. "Thian Seng Cinjin bersikap amat sabar, sungguh patut dipuji." Kemudian dia menoleh ke arah sembilan orang tokoh yang mengganggunya dan berkata, "Kalau kalian sembilan orang masih tidak hendak lekas pergi, aku tidak akan menganggap kalian sebagai tamu lagi dan terserah kepada pihak Kun-lun-pai akan menganggap kalian bagaimana." Kiang Tojin memutar tubuhnya memandang sembilan orang itu, keningnya dikerutkan dan dia berkata, suaranya penuh wibawa dan keren. "Di antara cu-wi (tuan sekalian) terdapat tokoh-tokoh partai persilatan besar, tentu cukup tahu akan kedaulatan tuan rumah. Cu-wi datang tanpa memberi tahu Kun-lun-pai, hal ini berarti pelanggaran kedaulatan dan tidak memandang mata kepada kami. Sungguh kami tidak dapat dikatakan keterlaluan kalau terpaksa mengusir cu-wi.” Sikap Kiang Tojin amat keren dan sembilan orang itu cukup mengenal siapa tosu ini, maklum bahwa selain tingkat ilmu kepandaiannya amat tinggi, juga saudara-saudara Kiang Tojin yang berjumlah tiga puluh orang dan mengurung tempat itu merupakan kekuatan yang tak mungkin dilawan mereka yang sudah terluka. Belum lagi diperhitungkan kalau Thian Seng Cinjin ketua Kun-lun-pai sendiri yang datang! maka dengan menjura dan menggumamkan kata-kata maaf, lalu membalikkan tubuh dan pergi meninggalkan tempat itu. Karena mereka adalah orang-orang pandai, gerakan-gerakan mereka amat cepat sehingga dalam sekejap mata saja tempat itu menjadi sunyi dan bayangan mereka tak tampak lagi. Sin-jiu Kiam-ong lalu berkata kepada Kiang Tojin yang sudah menyimpan kembali pedangnya ditiru oleh saudara-saudaranya yang tetap berdiri menjauh karena mereka itu kesemuanya merupakan tokoh-tokoh yang menghormati si raja pedang yang pernah melepas budi kepada Kun-lun-pai. Hal itu terjadi belasan tahun yang lalu ketika Kun-lun-pai diserbu oleh kaum sesat yang dipimpin oleh seorang datuk kaum sesat yang berilmu tinggi, sehingga Kun-lun-pai mengalami bencana hebat dan terancam kedudukannya. Semua tokoh Kun-lun-pai, termasuk Thian Seng Cinjin, terdesak dan hanya setelah Sin-jiu Kiam-ong yang secara kebetulan mendengar akan serbuan ini lalu datang membantu, maka pihak musuh dapat dihalau dan si datuk sesat tewas di tangan Sin-jiu Kiam-ong dan Thian Seng Cinjin. Sin-jiu Kiam-ong lalu dianggap sebagai penolong dan diperbolehkan menggunakan Kiam-kok-san, tempat yang tadinya dianggap keramat oleh golongan Kun-lun-pai karena dahulu menjadi tempat bertapa sucouw mereka. "Kiang-toyu, harap sampaikan kepada Thian seng Cinjin guru kalian bahwa aku minta perkenannya untuk memperpanjang penggunaan Kiam-kok-san sampai beberapa tahun lagi, atau lebih jelas sampai matiku karena aku ingin menggunakan sisa usiaku untuk menggembleng muridku ini." Sin-jiu Kiam-ong meraba kepala Keng Hong yang sudah berlutut ketika melihat Kiang Tojin dan saudara-saudaranya muncul tadi. Kiang Tojin dan saudara-saudaranya tercengang dan terdengar seruan-seruan kaget dan heran. "Siancai....sungguh luar biasa sekali nasib anak ini.....! Akan tetapi, Taihiap, menyesal bahwa hal itu tidak mungkin dapat dilakukan karena..... karena anak ini adalah orang Kun-lun-pai....!” Sin-jiu Kiam-ong mengerutkan alisnya dan pandang matanya berubah kecewa. Selama hidupnya dia selalu membawa kehendak sendiri dan tidak mempedulikan peraturan orang lain, akan tetapi terhadap Kun-lun-pai dia merasa sungkan dan dia tahu benar bahwa kalau memang anak ini seorang murid Kun-lun-pai, amat tidak baik kalau dia memaksa dan mengambilnya sebagai murid, betapapun sukanya dia terhadap anak ini. Ia lalu menunduk dan bertanya kepada Keng Hong. "Hong-ji (anak Hong), benarkah engkau seorang anak murid Kun-lun-pai?” Keng Hong tadinya terheran, bingung dan juga diam-diam merasa tegang ketika secara tiba-tiba dia diangkat murid Sin-jiu Kiam-ong, dijadikan ahli waris kakek yang luar biasa itu. Namun, perasaan yang aneh sekali membuat hatinya menjadi besar dan bahagia dan timbul tekad di hatinya bahwa dia harus menjadi murid kakek ini, harus menjadi seorang pandai untuk menghadapi manusia-manusia jahat, terutama sekali manusia-manusia munafik yang banyak terdapat memenuhi jagat ini. Kini mendengar prcakapan antara tosu penolongnya dan Sin-jiu Kiam-ong, dia cepat berkata. "Bukan! aku bukan murid Kun-lun-pai! memang aku bekerja menjadi kacung di Kun-lun-pai, akan tetapi aku sama sekali bukan anak muridnya dan sama sekali tidak pernah mempelajari ilmu silat di Kun-lun-pai!” "Kiang Tojin! apa artinya keterangan yang bertentangan ini?" Sin-jiu Kiam-ong menoleh kepada tosu itu dengan pandang mata penuh teguran. "Maaf, harap Taihiap suka mendengarkan penjelasan pinto. Tadi pinto sama sekali tidak mengatakan bahwa Keng Hong adalah anak murid Kun-lun-pai hanya mengatakan bahwa dia adalah orang Kun-lun-pai. Hendaknya Taihiap ketahui bahwa anak ini berasal dari sebuah dusun yang dilanda bencana perampokan, seluruh keluarganya musnah dan secara kebetulan pinto dapat menyelamatkannya dan membawanya ke Kun-lun-pai. Semula kami hendak menjadikannya murid Kun-lun-pai, akan tetapi kami terbentur oleh peraturan baru. Belum lama ini suhu membuat peraturan baru bahwa setiap orang anak murid dari Kun-lun-pai haruslah seorang penganut agama To. Karena Keng Hong tidak mau menjadi calon tosu, maka sampai kini dia berada di Kun-lun-pai selama dua tahun dan bekerja sebagai pembantu. Namun, kami telah menganggapnya sebagai orang sendiri.” "Hemmm, begitukah? kalau begitu, dia bukan anak murid Kun-lun-pai, hanya kacung! tiada halangan bagiku untuk mengambilnya sebagai murid. Eh, Kiang-toyu, apakah engkau berkeberatan kalau dia kuambil murid?” "Mana pinto berani, Taihiap? Hanya saja, hal ini tergantung kepada si bocah sendiri. Keng Hong, pinto telah menyelamatkanmu daripada bencana. Apakah sekarang kau begitu tak ingat budi dan hendak meninggalkan pinto? Apakah benar-benar engkau suka menjadi murid Sin-jiu Kiam-ong?” Keng Hong bangkit berdiri, setelah dia menyaksikan sepak terjang tiga orang manusia iblis dan sembilan orang yang mengaku sebagai tokoh-tokoh kang-ouw, hatinya menjadi dingin terhadap Kun-lun-pai yang tadinya dia junjung tinggi sebagai pusat orang-orang sakti yang budiman. Ia memandang tajam kepada Kiang Tojin lalu berkata. "Totiang, sampai matipun saya tidak akan menyangkal bahwa Totiang telah menolong nyawa saya dan sampai matipun saya akan selalu ingat dan akan berusaha membalas budi Totiang itu. Akan tetapi, apakah budi yang totiang lepas itu mengandung pamrih agar selama hidup saya harus ikut dan menurut segala kehendak Totiang? Apakah totiang hendak merampas kebebasan saya? Totiang, pernah saya membaca ujar-ujar dalam kitab kuno bahwa budi disertai pamrih bukanlah pelepasan budi namanya, melainkan pemberian hutang yang harus di bayar kembali beserta bunga-bunganya! Apakah Totiang menghutangkan budi kepada saya!?” "Ha-ha-ha-ha-ha....!" Sin-jiu Kiam-ong tertawa terpingkal-pingkal dan dia mengelus-elus kepala anak itu. "Bocah, engkau penuh dengan semangat menggelora! Eh, Kiang-toyu, maafkan saya, ya. Agaknya bocah ini sudah ketularan watakku! Sekarang engkau hendak bilang apa lagi, Toyu?” Wajah Kiang Tojin menjadi merah, ia menjadi gemas kepada anak itu karena sesungguhnya tidak ada sedikit pun pamrih di hatinya minta dibalas budi oleh anak itu. Dia tadi berusaha memisahkan Keng Hong dari Sin-jiu Kiam-ong karena sesungguhnya di dalam hatinya dia tidak rela dan tidak suka melihat Keng Hong menjadi murid kakek luar biasa ini. Perasaan ini semata-mata tinmbul karena rasa sayang kepada Keng Hong. Dia mengenal orang macam apa adanya Sin-jiu Kiam-ong, seorang yang semenjak mudanya hanya mengandalkan kepandaian malang melintang, seorang petualang yang tidak segan-segan melakukan segala macam kemaksiatan, pengejar kesenangan pemuas nafsu. Ia ingin melihat Keng Hong menjadi seorang yang baik dan dia mengerti bahwa kalau anak ini menjadi murid si raja pedang, tentu akan mewarisi pula wataknya yang liar dan jiwa petualangnya. Ia menghela nafas dan berkata, "Siancai....hanya Tuhan yang mengetahui isi hati manusia! Taihiap, tidak sekali-kali saya ingin mempengaruhi Keng Hong dan terserahlah kalau memang dia sendiri suka menjadi murid Taihiap. Hanya ada satu hal yang hendaknya diketahui baik oleh Taihiap dan terutama oleh Keng Hong sendiri. Karena dia bukan anak murid Kun-lun-pai, dan tidak ada sangkut pautnya dengan Kun-lun-pai, maka di kelak kemudian hari segala sepak terjangnya tidak ada hubungannya dengan Kun-lun-pai. Taihiap dipersilahkan menempati Kiam-kok-san karena Taihiap merupakan seorang penolong Kun-lun-pai, akan tetapi kelak, kalau Taihiap tidak lagi berada di Kiam-kok-san, tentu saja kami akan melarang Keng Hong berada di wilayah kami. Nah, selamat berpisah, Taihiap, semoga Thian selalu melindungi dan melimpahkan berkahNya.” Tosu itu memberi isyarat kepada saudara-saudaranya dan setelah menjura ke arah Sin-jiu Kiam-ong lalu meninggalkan tempat itu untuk kembali ke puncak dan memberi laporan kepada Thian seng Cinjin. Sin-jiu Kiam-ong tertawa dan memegang tangan Keng Hong diajak mendaki puncak Kiam-kok-san sambil berkata, "Jangan menganggap semua omongan tosu itu, Hong-ji. Mereka itu adalah orang-orang yang terikat, terbelenggu kaki tangannya oleh agamanya, kasihan....! Segala peraturan yang dibuat manusia merupakan belenggu-belenggu yang akan mengikat kaki tangannya sendiri. Eh, namamu memakai huruf Hong, sama dengan namaku. Memang kita berjodoh....auggghhh....!" Kakek itu memegangi dadanya dan kakinya terhuyung. "Eh...kenapa? Suhu..... Suhu terluka...?" Wajah yang menyeringai menahan nyeri itu berseri kembali. "Ah, tidak seberapa hebat. Tahukah engkau bahwa ketika engkau menyebut Kong-kong kepadaku, aku merasa seolah-olah engkau ini cucuku sendiri? Ha-ha-ha! Alangkah lucunya, kawin pun belum pernah, bagaimana bisa punya cucu? Kau lebih tepat menjadi muridku. Hemmm...., akan kuberikan seluruh milikku kepadamu, muridku. Mudah-mudahan saja tidak terlambat. Mari kita naik ke Kiam-kok-san dan engkau harus rajin belajar karena waktunya tidak banyak. Aku...setan laknat tiga iblis itu.... aku terluka, kalau hanya racun saja sudah di punahkan Siang-bhok-kiam, akan tetapi...ah, pukulan mereka merusak isi dadaku yang sudah kurang kuat...! Mudah-mudahan tidak terlambat...." Keng Hong tidak mengerti apa yang dimaksudkan suhunya, namun dengan patuh dia lalu mengikuti suhunya mendaki puncak. Ketika mereka tiba di bawah batu pedang, Sin-jiu Kiam-ong mengempitnya dan merayap ke atas. Keng Hong merasa ngeri, akan tetapi dia menguatkan hatinya dan sedikit pun tidak menyatakan rasa ngerinya! Ketika mereka memasuki halimun tebal yang menutup bagian puncak batu pedang, Keng Hong hampir menjadi kaku oleh rasa dingin. Seluruh tubuhnya menggigil, sampai gigi atas beradu dengan gigi bawah namun dia tetap bertahan, tidak mau mengeluh sama sekali. Ketika suhunya melepaskannya dan Keng Hong memandang sekelilingnya, dia melihat bahwa kini dia berada di puncak batu pedang, dan bahwa puncaknya tidak meruncing seperti tampaknya dari bawah dan halimun tebal itu pun tidak mencapai puncak, melainkan mengambang di bawah. Puncak itu sendiri tersinar cahaya matahari yang amat indah dan puncak itu lebar berbentuk segi empat seolah-olah tadinya puncak itu meruncing kemudian patah. Lebarnya lebih dari lima puluh meter dan di situ terdapat sebuah pondok kecil, dan tanah atau batu di situ ditumbuhi rumput dan lumut hijau muda. Sekeliling puncak itu hanya tampak halimun belaka, seolah-olah tempat itu bukan bagian dunia lagi, melainkan di dunia lain, di tengah-tengah langit antara awan-awan putih! Akan tetapi Keng Hong tidak kuat lagi karena tiba-tiba perutnya menjadi kejang-kejang saking dinginnya dan dia roboh pingsan di dekat kaki gurunnya! Keng Hong sadar di dekat api unggun, ketika dia bangkit dan duduk, dia melihat gurunya bersila di dekatnya dan guru ini menempelkan telapak tangan pada punggungnya. "Duduklah bersila, Keng Hong, dan atur napas perlahan-lahan. Dengan bantuan api yang panas, tekankan dalam hati dan pikiranmu bahwa hawa sama sekali tidak dingin, bahkan agak panas. Jangan ragu-ragu, kubantu engkau.” Betapa mungkin, bantah hati anak itu. Hawa amat dinginnya, bahkan panasnya api tidak terasa sama sekali olehnya. Kalau tidak ada telapak tangan gurunya menempel di punggungnya, telapak tangannya yang seolah-olah memasukkan hawa panas yang menjalar ke seluruh tubuhnya, tentu dia takkan kuat menahan. Akan tetapi dia mematuhi perintah suhunya, duduk bersila dan bernapas dalam-dalam, panjang-panjang, sambil menekankan keyakinan bahwa hawa sesungguhnya tidaklah sedingin yang dianggapnya semula. Memang tadinya agak sukar, akan tetapi makin hening dia memusatkan perhatian, makin terasa bahwa memang dia keliru menduga. Memang hawa tidaklah amat dingin. Makin lama makin panas sampai mulailah keluar peluh di lehernya! "Tubuh kita hanya merupakan alat, muridku. Kalau kuat batin kita, kita akan dapat menguasai alat yang akan melakukan segala perintah otak dan kemauan kita. Engkau harus berlatih seperti ini, memperkuat kemauan sehingga seluruh anggota tubuhmu tunduk dan taat kepadamu. Kalau hatimu bilang panas, kalau menyatakan dingin, tubuhmu harus merasa dingin pula.” Demikian kakek itu memberi pelajaran pertama. Guru dan murid itu amat tekunnya. Sukar dikatakan siapa di antara mereka yang lebih tekun, si guru yang mengajar ataukah si murid yang belajar. Keng Hong belajar ilmu dan berlatih tanpa mengenal waktu. Tidak ada perbedaan antara siang atau malam baginya, baik puncak batu pedang itu sedang terang ataukah sedang gelap. Baginya kini tidak ada bedanya karena dia dapat melihat di dalam gelap saking hebatnya gemblengan yang diberikan gurunya. Ia mengaso kalau tubuhnya sudah tidak kuat lagi, hanya tidur kalau matanya sudah tidak kuat menahan kantuk, hanya makan kalau perutnya sudah tidak dapat menahan lapar dan minum kalau kerongkongannya sudah tidak dapat menahan haus. Dalam beberapa bulan saja dia sudah dapat turun dari batu pedang untuk mencari bahan makanan menggantikan pekerjaan gurunya. Sin-jiu Kiam-ong menggembleng muridnya dengan cara yang luar biasa, segala pengertian dasar ilmu silat dia berikan dengan cara kilat. Latihan lweekang dan ginkang dia berikan dan tekankan agar dilatih terus-menerus oleh muridnya. Latihan samadhi dan mengatur pernapasan untuk mengumpulkan sinkang (hawa sakti) di dalam tubuh, sambil sedikit demi sedikit "memindahkan" sinkangnya sendiri melalui telapak tangan yang dia tempelkan di punggung muridnya. Luar biasa sekali kemajuan yang diperoleh Keng Hong. Cepat dan memang anak ini amat cerdik, setiap pelajaran yang diberikan selalu menempel di dalam ingatannya. Akan tetapi sebaliknya, kalau Keng Hong memperoleh kemajuan yang hebat dan cepat, adalah Sin-jiu Kiam-ong makin lama makin lemah dan pucat. Makin sering kakek ini terbatuk-batuk, kadang-kadang batuknya mengeluarkan darah. Kakek ini menderita luka di sebelah dalam tubuhnya akibat pertandingan melawan Bu-tek Sam-kwi dahulu dan kini karena terlampau rajin dan memaksa tenaga, dia menjadi berpenyakitan dan lemah. Namun hal ini tidak mengurangi semangatnya dan terus melatih muridnya secara teliti dan tekun karena dia merasa yakin bahwa hal ini merupakan kewajiban terakhir dalam hidupnya yang tidak berapa lama lagi itu. Sang waktu lewat dengan amat cepatnya. Memang tidak keliru kalau dikatakan oleh penyair kuno bahwa kecepatan waktu melebihi kilat, namun lambatnya mengalahkan kelambatan seekor keong. Setahun terasa seperti sehari kalau diperhatikan, sebaliknya kalau diperhatikan dan ditunggu, sehari terasa setahun! Demikian cepatnya sang waktu berputar sehingga tak tampak dan tak terasa lagi, seolah-olah berhenti, padahal segala sesuatu terseret dan hanyut dalam perputarannya, dilahap dan ditelan habis, untuk kemudian dilahirkan dan dilenyapkan lagi. Tanpa terasa, apalagi bagi yang mengalaminya sendiri, telah lima tahun lamanya Keng hong hidup berdua dengan gurunya di puncak batu pedang. Dari seorang bocah berusia dua belas tahun, kini berusia tujuh belas tahun! Tubuhnya tinggi tegap, wajahnya tampan dengan kulit yang segar dan putih kemerahan membayangkan kesehatan sempurna dan kekuatan muzijat tersembunyi di dalam tubuhnya. Pakaiannya sederhana, hanya kain polos berwarna kuning yang kasar, dibuat pakaian secara kasar pula. Warna kuning adalah warna kesukaannya. Akan tetapi, selama lima tahun itu, kalau muridnya menjadi makin sehat dan kuat, adalah si guru makin lemah dan tua. Kalau orang yang lima tahun lalu bertemu dengan Sin-jiu Kiam-ong kini melihatnya tentu akan menjadi kaget. Kakek ini sudah kelihatan tua sekali, tubuhnya kurus kering dan hanya sepasang matanya saja yang kadang-kadang tampak berseri penuh semangat, itupun hanya kalau dia sedang melatih muridnya. Pada hari itu, sinar matahari telah menembus awan tipis menerangi permukaan puncak batu pedang. Seperti biasa, Keng Hong bersila dan berlatih, memusatkan panca indera menerima sinar matahari pagi yang mengandung daya kekuatan muzijat untuk meningkatkan tenaga sinkang di tubuhnya. Seperti biasa pula, gurunya duduk bersila tak jauh dari tempat dia duduk. "Keng Hong.....!" Suara gurunya merupakan satu-satunya suara yang akan menyadarkan Keng Hong setiap saat, karena selama lima tahun ini hanya suara gurunya inilah yang menjadi pusat perhatiannya. Ia cepat sadar dari latihannya dan membuka mata, memandang gurunya. Hati pemuda remaja ini berdebar. Wajah gurunya tampak berbeda dari biasanya, sungguhpun wajah itu masih membayangkan seri dan gembira, namun ada sesuatu yang menonjol, sesuatu pada wajah pucat dan kurus itu yang membuat jantungnya berdebar, wajah gurunya hari ini seperti matahari tertutup awan tebal, suram-muram kehilangan cahayanya. "Suhu memanggil teecu? Ada perintah apakah, Suhu?" Sin-jiu Kiam-ong tersenyum dan mengangkat lengannya yang kiri, gerakannya lemah ketika dia menggapai, "Mendekatlah, Keng Hong dan bersilalah di depanku sini, aku ingin bicara denganmu.” Keng Hong menjadi makin heran. Sikap gurunya inipun tidak seperti biasanya. Tentu ada sesuatu yang amat penting. Ia cepat bangkit dan menghampiri suhunya, lalu duduk bersila di depan suhunya. Karena baru sekali ini selama lima tahun dia berdekatan dengan gurunya dalam keadaan tidak sedang berlatih, maka dia mendapat kesempatan untuk memandang penuh perhatian dan kini ternyatalah olehnya betapa suhunya amat kurus, tinggal kulit membungkus tulang dan bahwa hanya oleh daya tahan yang luar biasa saja suhunya dapat bertahan selama ini. Ia kini sudah mengerti bahwa suhunya menderita luka-luka parah di sebelah dalam tubuh yang akan merenggut nyawa setiap orang dalam waktu beberapa bulan saja. Namun suhunya dapat bertahan sampai lima tahun! "Keng Hong, tahukah engkau sudah berapa lama kau berada di tempat ini?" "Teecu tidak terlalu memperhatikan, akan tetapi melihat banyaknya perubahan musim, tentu kurang lebih lima tahun.” "Benar, memang sudah lima tahun, muridku. Dan sudah banyak kau belajar dariku. Sayang waktunya amat tergesa-gesa sehingga terpaksa aku hanya memperbanyak latihan ginkang dan Iweekang kepadamu. Mengenai gerak cepatmu dan tenaga dalam, kurasa sudah cukup sebagai landasan dan aku tidak khawatir kau akan mudah terkalahkan orang lain. Akan tetapi ilmu silatmu..... ah, tidak ada waktu bagi kita sehingga hanya dasar-dasarnya saja kaukuasai. Padahal ilmu silat di dunia ini amatlah banyaknya Keng Hong. Dan selain dasar-dasar ilmu silat tinggi, engkau baru menguasai ilmu silat dengan tangan kosong yang sederhana dan juga ilmu pedang Siang-bhok Kiam-sut belum kau kuasai seluruhnya. Hal inilah yang memberatkan hatiku, karena kalau engkau bertemu dengan orang-orang sakti seperti sembilan orang tokoh yang pada lima tahun yang lalu menyerbu ke sini, apalagi bertemu dengan Bu-tek su-kwi (Empat Iblis Tanpa Tanding), kepandaianmu masih belum dapat diandalkan.” Keng Hong mengerutkan alisnya yang hitam panjang dan tebal. "Akan tetapi, Suhu, apa hubungannya kesaktian mereka dengan teecu? Suhu sudah tahu pendirian teecu, yaitu belajar ilmu kepada suhu untuk memperkuat diri lahir bathin, ilmu dipelajari untuk menjaga diri daripada serangan dari luar, baik serangan lahir maupun bathin. Teecu tidak ingin mencari musuh!” "Ha-ha-ha, muridku, engkau masih hijau dan tidak mengenal watak manusia, juga belum mengenal watak dan dirimu pribadi. Tidak ada makhluk seserakah manusia. Kalau engkau sudah turun ke dunia ramai, akan kautemui semua sepak terjang manusia yang membabi buta karena dorongan nafsu mereka sendiri. Kau tidak mencari musuh, namun engkau akan dimusuhi! Dan mau tidak mau engkau akan terseret dan terlibat ke dalam rantai yang tak kunjung putus, rantai pergulatan dan permusuhan antara manusia demi untuk memenangkan dan memuaskan hawa nafsu yang menguasai diri pribadi. Aku pun dahulu menjadi seorang di antara mereka yang menjadi abdi nafsuku sendiri, Keng Hong. Aku tidak pernah memusuhi orang, tidak pernah mengandung maksud hati melakukan kejahatan terhadap diri orang lain. Namun, pengejaran ke arah pemuasan nafsuku membuat aku bentrok dengan lain orang, dan membuat aku di cap sebagai seorang tokoh sesat. Baru sekarang aku menyesal, namun apa gunanya sesal yang terlambat? Biarlah, akan kutanggung segala akibat dan hukuman. Dan aku minta kepadamu agar engkau pun kelak akan berani mempertanggungjawabkan semua perbuatanmu! Jangan menjadi seorang manusia yang munafik, yang pura-pura alim. Kalau memang bersih, usahakan agar bersih luar dalam. Kalau engkau tak kuasa menahan hasrat melakukan sesuatu, lakukanlah dengan dasar tidak merugikan orang lain dan berani mempertanggungjawabkan segala akibat kelakuanmu itu. Hal ini berarti melakukan sesuatu dengan mata dan hati terbuka.” "Teecu mengerti, suhu.” "Nah, kuulangi lagi. Kepandaianmu masih jauh daripada cukup untuk menghadapi lawan-lawan tangguh. Akan tetapi tiada waktu bagiku.” Ia menghela napas panjang. "Bu-tek su-kwi benar-benar hebat. Sampai sekarang masih ada bekas tangan mereka. Rambut dan kuku Ang-bin kwi-bo amat berbahaya, juga senjata tegkorak Pak-san Kwi-ong. Hudtim dan ilmu silat tangan kosong Pat-jiu Kiam-ong sukar dilawan. Apalagi kalau bertemu dengan Lam-hai Sin-ni..... wah, sukar dikatakan atau diukur sampai di mana sekarang tingkat kepandaian wanita iblis itu! Kiranya engkau baru akan dapat menandingi mereka kalau engkau sudah mempelajari semua kitab peninggalanku yang rahasia tempat persembunyiannya berada di dalam Siang-bhok-kiam ini, muridku.” Keng Hong memandang ke arah pedang di tangan suhunya itu dengan penuh keheranan. mengertilah dia sekarang mengapa tokoh-tokoh sakti itu memperebutkan pedang kayu ini, kiranya merupakan kunci pembuka rahasia kitab-kitab pelajaran silat tinggi yang di kumpulkan oleh suhunya. Sudah sering kali dia diperbolehkan menggunakan Siang-bhok-kiam untuk berlatih ilmu pedang Siang-bhok Kiam-sut yang sengaja diciptakan gurunya untuk dia, akan tetapi tidak pernah dia melihat sesuatu yang aneh pada pedang itu, kecuali huruf-huruf kecil yang terukir di dekat gagang pedang yang isinya merupakan ujar-ujar kuno. "Apakah suhu menyuruh teecu untuk mempelajari kitab-kitab itu?" tanyanya untuk menyembunyikan ketegangan hatinya. "Barang yang mudah didapat tidak akan dihargai, yang sukar didapat barulah berharga, Hong-ji. Kitab-kitab dan benda-benda yang terkumpul di dalam tempat rahasiaku itu juga baru akan berharga bagimu kalau kau mendapatkannya dengan sukar. Akan tetapi tidak hanya kesukaran menjadi syarat, namun terutama sekali jodoh! Kalau memang engkau berjodoh dengan peninggalanku tentu kelak akan bisa kaudapatkan. Boleh kaucari sendiri melalui Siang-bhok-kiam ini. Nah, kauterimalah Siang-bhok-kiam, kuberikan kepadamu, muridku...." Keng Hong terkejut dan memandang wajah gurunya dengan mata terbelalak. Ia belum menerima pedang yang diangsurkan kepadanya, dan bertanya meragu, "Akan tetapi... Suhu pernah bilang bahwa Siang-bhok-kiam seperti nyawa bagi suhu.... bagaimana dapat diberikan kapada teecu...?" "Ha-ha-ha, pedang ini milik siapa dan nyawa ini milik siapa? terimalah sebagai tanda patuh kepada guru.” Keng Hong tak berani membantah lalu menerima pedang Siang-bhok-kiam yang telanjang itu. "Keng Hong, biarpun pusaka warisanku harus kau cari dengan dasar jodoh dan kesukaran, namun ada sesuatu yang dapat kuberikan kepadamu selain Siang-bhok-kiam, dan mudah-mudahan pemberianku ini akan dapat menjadi perisai bagimu menghadapi lawan-lawan tangguh. Selipkan Siang-bhok-kiam di pinggang dan mendekatlah.” Keng Hong menyelipkan pedang kayu di ikat pinggangnya kemudian menggeser duduknya mendekati suhunya. Sin-jiu Kiam-ong mengangkat kedua tangannya, yang kiri dia taruh di atas ubun-ubun kepala Keng hong, yang kanan diletakkan di punggung pemuda itu dan dia berkata lirih. "Pusatkan segala dan buka semua, Keng Hong, pergunakan sinkangmu untuk membuka semua jalan darah, jangan menentang sedikit pun juga, dan bantu dengan daya penyedot..." "Suhu.... suhu hendak..." Keng Hong gelisah karena dia sudah beberapa kali menerima bantuan hawa Sinkang yang disalurkan suhunya ke dalam tubuhnya dan yang selalu mengakibatkan kelemahan tubuh suhunya sehingga akhirnya dia minta-minta agar suhunya tidak mengulangi hal itu. Kini suhunya hendak melakukannya lagi! "Apakah dalam saat terakhir ini muridku hendak membantah perintah gurunya?" suara ini halus namun penuh wibawa dan sekaligus memusnahkan niat hati Keng Hong hendak menentang. Ia terpaksa lalu bersila dan memusatkan perhatiannya, membuka semua jalan darah dan mengosongkan hawa di pusarnya untuk menerima saluran hawa sinkang gurunya. Sebentar saja sudah terasa oleh Keng hong betapa hawa yang amat kuat menerobos masuk melalui kepala dan punggungnya, hawa yang sebentar hangat, lalu panas dan perlahan-lahan berubah dingin lalu panas kembali. Terasa juga olehnya betapa dari dirinya sendiri timbul semacam tenaga menyedot yang membuat aliran hawa sinkang itu makin lancar menerobos, berputaran di dalam pusarnya lalu buyar dan menyusup-nyusup ke seluruh bagian tubuhnya. Hebat bukan main sinkang dari suhunya dan hampir dia tidak kuat menerimanya. Kadang-kadang hawa yang memasuki tubuhnya sedemikian panasnya hampir tak tertahankan, akan tetapi karena dia pun sudah bertahun-tahun berlatih, dia dapat melawannya dengan menyesuaikan diri melalui kekuatan kemauannya sehingga yang panas itu terasa hangat-hangat saja. Entah berapa lamanya guru dan murid ini duduk tak bergerak. Keng hong sendiri tidak tahu karena dia telah memusatkan seluruh perhatiannya ke dalam tubuh. Ia seolah-olah berada dalam keadaan mimpi atau pingsan. Baru dia sadar ketika merasa betapa hawa yang terasa seolah-olah air mancur memasuki tubuhnya melalui kepala dan punggung itu telah berhenti, dan betapa ubun-ubun dan punggungnya terasa dingin. Keng Hong membuka mata, melihat suhunya masih bersila dan memejamkan mata, bibirnya tersenyum. Akan tetapi ada sesuatu yang membuat Keng Hong cepat memegang kedua lengan suhunya yang tadinya terletak di atas ubun-ubun dan punggungnya, terkulai lemas dan dingin. Suhunya telah menghembuskan napas terakhir, entah sudah berapa lamanya. "Suhu....!!" Keng hong meloncat bangun. Melihat tubuh yang bersila itu kini kehilangan sandaran dan akan roboh, cepat dia menyangganya dan merebahkannya di atas permukaan batu. Sekali lagi dia memeriksa detak jantung dan napas. Tak terasa lagi, suhunya telah meninggal dunia karena dia! Karena "mengoper" sinkang sampai kehabisan segala-galanya. Tiba-tiba Keng Hong meraung, meloncat berdiri dengan muka merah sambil memandang kedua tangannya. Ia merasa seakan-akan dialah yang membunuh suhunya! Mengapa dia tadi begitu bodoh dan mau saja padahal ini akan membahayakan kesehatan suhunya? Rasa duka, menyesal dan marah kepada diri sendiri membuat wajah pemuda itu menjadi merah dan beringas. Tiba-tiba dia memekik lagi dan tubuhnya melesat ke arah permukaan puncak batu pedang yang menonjol setinggi orang, tangannya menghantam. "Pyarrr.....!" Batu gunung yang keras itu hancur berantakan menjadi kepingan-kepingan kecil yang beterbangan ke sana sini! Keng Hong berdiri dan ternganga heran. Memang dia telah memiliki kekuatan sinkang yang tidak lemah, namun biasanya kalau dia memukul batu, tentu hanya akan memecahkan bagian ujung saja. Akan tetapi sekali ini, dari tangannya keluar kekuatan yang sedemikian hebatnya sehingga batu menonjol setinggi orang itu hancur sama sekali sedangkan tangannya tidak merasakan nyeri sedikit pun juga! Rasa girang, tercengang, kaget dan duka bercampur menjadi satu, membuat dia terharu sekali. Sinkang yang disalurkan ke tubuhnya tadi oleh gurunya ternyata membuat dia memiliki tenaga yang hebat, bahkan loncatannya juga sepuluh kali lebih cepat daripada biasa. Ginkang dan lweekang di tubuhnya sekaligus mendapat kemajuan yang amat luar biasa. Ia melesat lagi ke dekat suhunya dan menangis sambil memeluk mayat Sin-jiu Kiam-ong. Sesuai dengan pesan Sin-jiu Kiam-ong yang pernah dinyatakan kepadanya, Keng Hong mengangkat jenasah gurunya itu dan meletakannya ke dalam gubuk kecil tempat gurunya beristirahat. Kemudian, setelah menangisi mayat itu dan bersembahyang tanpa upacara karena tiada alat, memohon kepada Thian agar dosa-dosa gurunya diperingan hukumannya dan arwah gurunya mendapatkan tempat yang baik, Keng Hong lalu membakar gubuk itu. Dengan hati penuh keharuan dia menjaga dan memandang api yang berkobar membakar gubuk berikut jenasah Sin-jiu Kiam-ong. Karena dia harus selalu menambah bahan bakar, pembakaran jenasah ini memakan waktu setengah hari lamanya. Kemudian, sesuai pula dengan pesan suhunya, dia mengumpulkan abu jenasah dan pada malam hari itu, disaksikan laksaan bintang yang menghias langit biru, Keng Hong menabur-naburkan abu itu dari puncak batu pedang. Angin bertiup dan membawa abu itu bertebaran ke segenap jurusan, seolah-olah Sin-jiu Kiam-ong benar-benar kini bersatu dengan alam di sekeliling tempat yang dicintanya itu. Semalam suntuk Keng Hong duduk melamun, selain terkenang kepada suhunya juga memikirkan keadaan dirinya sendiri. Tadinya dia tidak pernah memikirkan keadaan dirinya karena setiap hari seluruh perhatiannya dia curahkan untuk belajar dan berlatih, dan selain itu ada gurunya di sampingnya yang membuat dia tidak merasa kesepian. Akan tetapi sekarang, setelah Sin-jiu Kiam-ong tidak ada lagi, bahkan tidak ada lagi bekas-bekasnya, dia mulai merasa dan melihat kenyataan bahwa dia sesungguhnya hanya seorang diri saja di dunia ini! Setelah gurunya tidak ada, apa yang akan dilakukan? Kemana dia akan pergi? Apa tujuan hidupnya selanjutnya? Kembali ke kampung halaman? Dia masih ingat akan kampung halamannya, dusun Kwi-bun di mana dia terlahir dan bermain-main sampai usia sepuluh tahun. Akan tetapi, mau apa dia kembali ke Kwi-bun? Keluarganya sudah terbasmi habis, rumah tidak ada, dan kembalinya ke sana hanya akan membongkar kenangan-kenangan lama yang amat tidak menyenangkan hati. Ke kuil Kun-lun-pai? Di sana banyak orang-orang yang baik hati, tosu-tosu yang selain baik dan ramah terhadapnya, seperti pernah dia alami sampai dua tahun lamanya. Akan tetapi dia teringat akan pesan Kiang Lojin kepada Sin-jiu Kiam-ong bahwa karena dia bukan "orang Kun-lun-pai", dia tidak boleh tinggal di Kun-lun-pai, bahkan tidak diperkenankan tinggal di batu pedang yang berada di Kiam-kok-san kalau suhunya tidak ada! Habis ke mana? Tetap tinggal di situ? Tidak mungkin! Dia bukan seorang yang nekat dan tak tahu malu. Dia maklum bahwa gurunya dan dia adalah orang-orang yang "mondok" karena Kiam-kok-san merupakan wilayah Kun-lun-pai. Dan kalau tuan rumah tidak memperbolehkan tinggal disitu, dia pun tidak sudi memaksa. akan tetapi kalau pergi, kemanakah? Dalam bingungnya, Keng Hong teringat kepada suhunya. Andaikata dia menjadi suhunya, apa yang akan dilakukannya? Suhunya seorang yang selalu hidup gembira ria, jangankan berduka, bingung dan takut pun tak pernah di kenalnya. Teringat dia akan semua cerita suhunya tentang diri suhunya di waktu muda. Masih terngiang di telinganya ucapan yang keluar dari bibir tua yang masih tersenyum, wajah cerah dan mata berseri itu. "Hidup satu kali di dunia, apa gunanya berkeluh kesah dan berhati susah? Kegembiraan dan kesenangan dapat dinikmati, tinggal meraih saja! Semua berkah yang sudah dilimpahkan kepada Dia untuk kita, mengapa mesti disia-siakan? Nikmatilah berkah itu!” Keng Hong mulai berseri wajahnya. Sambil menengadah memandang bintang-bintang di langit, dia mengenang semua cerita suhunya dan mengenang kembali semua ucapan-ucapannya. "Aku paling suka akan keindahan. Tamasya alam yang indah, makanan lezat, bunyi-bunyian merdu ganda yang harum, wanita-wanita cantik! Kita sudah dianugerahi mata, hidung, telinga, mulut. Pergunakanlah sebaik-baiknya untuk menikmati berkah-berkah yang memenuhi dunia. Pergunakan matamu untuk segala keindahan dan menikmatinya. Lihat tamasya alam yang amat indahnya, lihat bunga-bunga yang cantik, lihat wanita-wanita yang jelita! Pergunakan telingamu untuk menikmati segala bunyi-bunyian yang merdu, burung-burung berkicau, margasatwa berdendang, alat tetabuhan dan nyanyian merdu. Mulut? Nikmati segala makanan yang lezat karena memang itu hak kita. Rasakanlah segala rasa di dunia ini. Manis, asin, gurih, masam dan pahit! Hidung? Pakailah untuk menikmati hidup, untuk mencium ganda yang harum, sedap dan wangi! Pendeknya, selama seratus tahun aku hidup cukup penuh kenikmatan dan sekarang menghadapi mati aku tidak penasaran dan menyesal lagi, Keng Hong.” Keng Hong tersenyum pahit mengenang ucapan suhunya ini. Biarpun pada lahirnya dia tidak berani membantah, namun di dalam hatinya dia kurang menyetujui pendapat tentang hidup seperti yang dikemukakan suhunya. Mungkin sudah terlampau banyak dia dipengaruhi kitab-kitab kuno yang mengajarkan tentang filsafat hidup, tentang kesusilaan peradaban dan kebudayaan. Gurunya tidak mempedulikan semua itu. Gurunya pengejar kesenangan duniawi. Namun, sungguhpun dia tidak menyetujui pendapat suhunya yang dalam hal ilmu bun (sastra) tidaklah amat mendalam pengetahuannya, dia dapat menemukan kesederhanaan dan kejujuran yang tak dibuat-buat, dan tahu pula bahwa di balik cara hidup ugal-ugalan seperti suhunya itu tersembunyi dasar watak yang baik dan gagah perkasa. "Entah berapa ratus orang wanita cantik yang menjadi kekasihku, Keng Hong.” Demikian suhunya pernah bercerita. "Aku tidak pernah menolak cinta kasih seorang wanita! Wanita bagiku adalah bunga yang membutuhkan belaian dan kasih sayang. Karena itu tak pernah aku menolaknya, tidak peduli dia itu cantik jelita, manis, buruk, muda ataupun tua! Tentu saja terutama sekali yang cantik molek! tidak peduli dia itu gadis, janda, atau sudah bersuami, sudah beranak atau bercucu! Aku menerima kedatangan mereka dengan hati dan kedua lengan terbuka! Hanya satu yang merupakan pantangan bagiku, yaitu bahwa aku tidak sudi mendekati wanita yang tidak suka menerima kedatanganku. Aku tidak sudi menggagahi wanita yang tidak menghendaki aku. Aku tidak sudi cinta sepihak saja!" Teringat akan ini, Keng Hong menggeleng-geleng kepalanya. Suhunya benar-benar seorang mata keranjang! Pelahap wanita! Tentu saja dia tidak mau seperti suhunya, akan tetapi dia terharu kalau teringat akan pendirian terakhir suhunya yang tidak sudi menggagahi wanita yang tidak cinta kepadanya. Tentu saja merupakan hal yang amat buruk kalau suhunya berzina dengan wanita yang bersuami, akan tetapi kalau si wanita itu sendiri suka..., sungguh dia tidak tidak tahu harus menilai bagaimana. "Hanya satu pesanku, Keng Hong engkau boleh mencinta seribu wanita, akan tetapi jangan sekali-kali membiarkan kakimu terikat oleh pernikahan! Sekali engkau terikat, akan lenyaplah kebebasanmu dan tak mungkin pula hidup seperti aku dapat dipertahankan!" Keng Hong makin bingung. Soal-soal tentang cinta dan pernikahan masih belum menarik perhatian. Betapapun juga suhunya bukanlah golongan jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa wanita). Dan suhunya tidak pernah dengan sengaja melakukan kejahatan kepada orang lain. Kalau dia sampai dimusuhi adalah sebagai akibat dari sikapnya yang ugal-ugalan, melayani cinta kasih wanita-wanita isteri orang lain, kemudian kalau menghendaki setiap benda, terus diambilnya begitu saja dengan dasar bahwa yang kehilangan benda itu tidak akan menderita! Maka terjadilah perampokan benda-benda berharga milik pembesar-pembesar tinggi yang kaya raya, pencurian kitab-kitab dari partai-partai persilatan besar, permainan zinah dengan isteri-isteri cantik, dan sebagainya sehingga di dunia ini dia mempunyai banyak sekali musuh! Keng hong bergidik ngeri. Ia tahu bahwa banyak sekali orang sakti menginginkan pusaka warisan suhunya yang kuncinya terdapat dalam Siang-bhok-kiam. Bagaimana kalau dia turun gunung lalu dikejar-kejar mereka itu yang hendak merampas Siang-bhok-kiam? Gurunya selama ini dapat mempertahankan pedangnya, akan tetapi bagaimana dengan dia? Musuh terlalu banyak, dan di antara mereka banyak yang sakti. Betapa mungkin dia dapat menandingi mereka dan mempertahankan Siang-bhok-kiam? "Kiranya engkau baru akan dapat menandingi kesaktian mereka itu kalau engkau sudah mempelajari semua kitab-kitab peninggalanku...." Demikian antara lain gurunya meninggalkan pesan sebelum menutup mata. Dan rahasianya berada di Siang-bhok-kiam! Mengapa turun gunung sebelum dia mendapat bekal kesaktian yang akan cukup kuat di pakai mempertahankan Siang-bhok-kiam? Lebih baik dia mencari dan memperlajari kitab-kitab itu! Pada keesokan harinya, Keng Hong mulai memeriksa dan meneliti pedang Siang-bhok-kiam. Pedang itu tidak bersarung, pedang telanjang yang terbuat daripada bahan kayu yang berbau sedap harum. Warnanya kehijauan dan kerasnya melebihi baja! Keng Hong meraba-raba pedang Siang-bhok-kiam dan meneliti ukiran huruf-huruf kecil yang pernah dilihat dan dibacanya. Kini dia memeriksa dan membacanya kembali: "Kebijaksanaan tertinggi seperti air! Tulus dan sungguh mengabdi kebajikan Tukang saluran mengalirkan airnya kemana dia suka!" Keng Hong mengerutkan keningnya. Sepanjang pengetahuannya, Sin-jiu Kiam-ong gurunya itu adalah orang yang paling memandang rendah para pendeta yang dia anggap orang-orang munafik yang pura-pura suci. Karena itu, pengetahuan suhunya tentang kitab-kitab suci hanya sepotong-sepotong dan ngawur saja. Akan tetapi mengapa pedang itu diukir dengan bait-bait yang terdiri dari kata-kata yang hanya dipergunakan dalam kitab-kitab suci? Sudah jelas bahwa gurunya yang membuat huruf-huruf ini. Dia mengenal huruf tulisan suhunya yang bengkak-bengkok tidak dapat dikatakan indah. Namun orang yang sudah dapat menuliskan huruf-huruf kecil pada tubuh Siang-bhok-kiam, kiranya di dunia ini hanya dapat dihitung dengan jari tangan! Apakah artinya huruf-huruf itu? Apakah artinya sajak yang bukan sajak, ujar-ujar yang setengah matang itu? Keng Hong merasa seperti sering membaca kalimat-kalimat ini, akan tetapi setelah dia ingat-ingat, dia tahu betul bahwa tidak ada ujar-ujar seperti itu bunyinya dalam kitab yang manapun juga! Sehari semalam lamanya dia merenungi arti tiga baris tulisan ini, namun tetap saja dia tidak dapat mengerti. akhirnya dia berpendapat bahwa mungkin rahasianya bukan terletak dalam baris-baris sajak yang tidak karuan ini, melainkan pada pedang itu sendiri. Diperiksanya pedang itu, di tekan sana-sini, dicarinya kalau-kalau ada bagian yang mengandung rahasia. Namun tak berhasil menemukan sesuatu yang aneh di pedang itu kecuali huruf-huruf tadi. Keng Hong telah berlatih ketekunan selama lima tahun di tempat itu, maka kini pun dia tidak mudah putus asa. Dengan tekun dia lalu mencari-cari di seluruh permukaan puncak batu pedang memeriksa kalau-kalau ada gua rahasia atau ada lubang-lubang yang cocok dengan ukuran pedang untuk dicongkel, kalau-kalau di situ terdapat pintu rahasia tempat penyimpanan pusaka suhunya. Namun, sampai sebulan sejak suhunya meninggal dunia, dia tidak berhasil menemukan pusaka itu di permukaan puncak batu pedang. Sementara itu, persediaan buah-buahan telah habis. Maka diambilnya keputusan untuk meninggalkan tempat itu, sesuai dengan pesan Kiang Tojin karena dia merasa tidak berhak tinggal di situ lebih lama lagi. Untuk penghabisan kali ini dia berlutut dan bersembahyang ke empat penjuru sambil menyebut nama suhunya, kemudian menyelipkan Siang-bhok-kiam di sebelah dalam bajunya. Ketika menyelipkan Siang-bhok-kiam ini, dia tersenyum dan menoleh ke sebuah sudut di atas permukaan puncak batu pedang. Ia merasa girang bahwa akhirnya timbul keberaniannya untuk turun dan menghadapi apa saja dengan dada lapang. Dia sudah lupa akan watak ayah bundanya, namun dia masih ingat benar akan watak gurunya. Gurunya seorang periang, mengapa dia sebagai muridnya tidak mencontoh watak guru? Dia harus menghadapi segala rintangan yang mungkin timbul dengan hati riang dan penuh kepercayaan kepada diri sendiri? Dia kini bebas lepas seperti seekor burung terbang di udara. Mengapa tidak gembira? Dengan wajah berseri pemuda remaja yang tampan ini lalu, menuruni puncak ini. Setelah mengoper sinkang suhunya sebulan yang lalu, dia merasa tubuhnya demikian penuh hawa yang amat kuat, yang membuat dia dapat meringankan tubuhnya, dan menuruni tebing yang curam itu dapat dia lakukan dengan amat mudahnya, jauh lebih mudah daripada yang sudah-sudah kalau dia turun mencari persediaan makan untuk suhunya dan dia. *** "Aiiihh....! Tolongggg....! lepaskan aku....!!" Jerit melengking ini jelas keluar dari mulut seorang wanita. Keng Hong yang tadinya mengira bahwa turunnya tentu akan dihadang musuh, mendapat kenyataan bahwa Kiam-kok-san (Puncak Lembah Pedang) di bawah batu pedang sunyi saja. Akan tetapi tiba-tiba dia mendengar lengking yang mengerikan itu, yang membuat bulu tengkuknya berdiri! Apalagi karena sebagai seorang yang tergembleng hebat, dia mendapat perasaan seolah-olah banyak pasang mata yang selalu mengikuti gerak-geriknya. Keng Hong tidak mempedulikan perasaan ini karena dia sudah melesat ke kiri, berlari ke arah suara yang menjerit tadi. Apapun yang terjadi, sudah pasti bahwa di sana ada seorang wanita yang minta tolong, yang membutuhkan bantuan karena terancam keselamatannya. "Jangan menolak setiap uluran tangan yang minta tolong", demikian pesan gurunya, "Namun waspadalah terhadap tangan yang berniat menolongmu.” Bukan karena teringat akan pesan suhunya, melainkan terutama sekali karena dorongan hati sendiri. Keng Hong melesat cepat untuk menolong wanita yang terancam bahaya, timbul dari dorongan welas asih yang memang sudah ada pada tiap hati manusia. Tak lama kemudian tibalah dia di sebuah lapangan terbuka dan dia tercengang. Di situ telah berkumpul puluhan orang tosu Kun-lun-pai dan di depan sendiri tampak penolongnya, Kiang Tojin berdiri dengan sikap angker, tangan kirinya mencengkeram pundak seorang wanita cantik yang meronta-ronta dan merintih-rintih. Dan selain tokoh-tokoh Kun-lun-pai, tampak pula Thian seng cinjin sendiri berdiri dengan bersandar pada tongkatnya! Ketua Kun-lun-pai ini tampak sudah tua sekali dan sikap mereka semua yang kini memandang Keng Hong membayangkan bahwa mereka itu memang sedang menantinya! Keng Hong menghentikan larinya dan otomatis dia menoleh. Benar saja seperti dugaannya tadi, di sebelah belakangnya kini muncul belasan orang tosu Kun-lun-pai dan dia berdiri terkurung di tengah, berhadapan dengan Kiang Tojin yang menangkap wanita cantik itu dan ketua Kun-lun-pai yang berdiri dengan sikapnya yang agung dan ramah! Keng Hong merasa seolah-olah menjadi seekor kelinci yang dikurung oleh puluhan ekor harimau kelaparan! Akan tetapi, dia adalah seorang yang sejak kecil sudah belajar kesopanan. Melihat Kiang Tojin yang menjadi penolongnya dan para tosu Kun-lun-pai yang pernah melepas budi selama dua tahun kepadanya, dia cepat-cepat menjatuhkan dirinya berlutut di depan Thian seng Cinjin dan Kiang Tojin sambil berkata. "Boanpwe (saya yang rendah) bekas kacung Cia Keng Hong datang menghadap para locianpwe (orang-orang tua gagah), mohon di maafkan segala kesalahan boanpwe!" Thian seng cinjin tersenyum lebar dan Kiang tojin berseri wajahnya lalu menggerakkan tangannya yang mencengkeram pundak wanita itu sambil berkata kepada anak muridnya, "Belenggu wanita jahat ini!" Dua orang tosu lalu datang dan mengikat kaki tangan wanita itu pada sebatang pohon. Keng Hong melirik dengan ujung matanya, melihat betapa wanita yang usianya sekitar dua puluhan tahun dan amat cantik jelita itu menangis perlahan sehingga hatinya merasa kasihan sekali. Akan tetapi dia segera mengalihkan perhatiannya ketika Kiang Tojin berkata. "Baik sekali, Keng Hong. Bangun dan berdirilah karena engkau bukan anak murid kami, juga bukan kacung kami lagi. Sudah sebulan lamanya kami menunggu. Apakah yang menyebabkan engkau terlambat sampai sebulan baru turun dari Kiam-kok-san?" Keng Hong terkejut. Kiranya para tosu Kun-lun-pai ini sudah tahu bahwa suhunya telah meninggal sebulan yang lalu dan diam-diam telah menjaga dan menanti dia turun dari puncak batu pedang. Yang menjaga dan memata-matai di Kiam-kok-san hanyalah murid-murid Kun-lun-pai, agaknya ketua Kun-lun-pai dan Kiang Tojin masih belum berani melanggar pantangan untuk mengotori Kiam-kok-san! Kemudian dia teringat betapa dia telah membakar jenasah suhunya di dalam pondok. Agaknya pembakaran itulah yang memberitahukan para tosu. Sebelum dia menjawab, karena melihat dia meragu dan bingung, Kiang Tojin sudah berkata lagi. "Kami melihat betapa asap mengebul dari puncak Kiam-kok-san. Kami tidak suka mengganggu seorang murid yang berkabung atas kematian gurunya, maka kami hanya menunggu. Akan tetapi, alangkah banyaknya orang yang telah menanti-nantimu, Keng Hong. Wanita jahat ini adalah orang terakhir dari kaum sesat yang menunggumu turun gunung dan yang sudah siap menurunkan tangan jahat kepadamu.” “Bohong! Tosu bau tak pernah mandi! Siapa yang hendak turun tangan jahat terhadap pemuda itu? Aku hanya ingin menonton keramaian, kemudian tersesat di sini dan kalian menggunakan pengeroyokan menangkap aku! Cih, tak tahu malu! Segerombolan kakek tua bangka mengeroyok seorang gadis! Kaukira aku tidak tahu? Kalian hanya berpura-pura menjadi pendeta, padahal menggunakan kesempatan untuk meraba-raba dan membelai-belai tubuhku dengan alasan hendak menangkap seorang penjahat!" Hebat sekali penghinaan ini. Banyak di antara para tosu Kun-lun-pai menjadi merah sekali mukanya, entah merah karena malu ataukah karena marah. Akan tetapi yang jelas, banyak di antara mereka yang melotot marah dan memandang wanita cantik itu penuh kebencian. Namun Kiang Tojin dan Thian Seng Cinjin hanya tersenyum, sedikitpun tidak terpengaruh oleh ucapan-ucapan menghina itu. Kiang Tojin hanya membalikkan tubuhnya dan tiba-tiba tangan kanannya bergerak ke depan dengan jari telunjuk menuding ke arah wanita yang terikat di pohon itu. Jarak di antara mereka ada tiga meter, akan tetapi terdengar angin bercuit dan.... tubuh wanita itu menjadi lemas dan ia tak dapat mengeluarkan suara lagi karena ia telah terkena totokan yang dilakukan dari jarak jauh! Hanya matanya saja yang memandang dengan mendelik penuh kemarahan. Diam-diam Keng Hong terkejut dan kagum sekali. Juga merasa betapa ketekunannya selama lima tahun ini sesungguhnya tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan tingkat kepandaian tosu yang menjadi penolongnya ini. Sebagai orang yang pernah mempelajari ilmu silatnya masih kalah jauh sekali oleh Kiang Tojin, dan agaknya kalau harus melawan tosu ini, belum tentu dia sanggup bertahan sampai lima jurus! "Keng Hong, ketahuilah bahwa kaum sesat dan orang-orang gagah yang menaruh dendam kepada gurumu selalu mengincarmu untuk merampas pedang Siang-bhok-kiam dan rahasia penyimpanan kitab-kitab gurumu. Kami para tosu Kun-lun-pai sama sekali bukanlah orang-orang serakah dan tidak menghendaki apa-apa, baik dari Sin-jiu Kiam-ong atau dirimu. Akan tetapi, mengingat bahwa engkau datang ke Kun-lun-pai tidak membawa apa-apa, maka kepergianmu dari sini pun tidak boleh membawa apa-apa! Kalau Siang-bhok-kiam berada bersamamu, harus kau tinggalkan pedang itu kepada pinto. Demikian pula, segala benda lain yang kaubawa, kitab-kitab atau apa saja, harus ditinggalkan. Hal ini bukan sekali-kali karena pinto ingin memilikinya, melainkan pertama, benda-benda itu hanya akan mendatangkan malapetaka padamu, dan daripada jatuh ke tangan kaum sesat sehingga mereka menjadi lebih lihai, lebih baik kami simpan atau kami hancurkan di Kun-lun-san!" Keng Hong mengerutkan keningnya, "Akan tetapi, pedang yang saya bawa ini adalah pemberian suhu, bukan hasil mencuri milik Kun-lun-pai!" Kiang Tojin tersenyum dan mengangguk-ngangguk, "Betul, akan tetapi Sin-jiu Kiam-ong telah meninggal dunia di Kiam-kok-san, karena itu semua peninggalannya harus ditinggalkan di Kiam-kok-san pula. Biarpun engkau muridnya, tak boleh engkau membawanya pergi dari Kun-lun-san.” "Kalau saya menolak?" Kiang Tojin mengerutkan alisnya dan mengangkat mukanya. "Keng Hong, tak tahukah engkau bahwa peraturan kami ini demi keselamatanmu sendiri? kalau engkau menolak, berarti engkau lupa akan budi dan pinto terpaksa menggunakan kekerasan!" Keng Hong dapat menyelami maksud hati Kiang Tojin dan dia makin kagum dan tunduk kepada tosu Kun-lun-pai yang bijaksana dan cerdik ini. Akan tetapi untuk mengalah begitu saja dia merasa enggan. Apalagi tidak ada kesempatan yang lebih baik daripada berlatih melawan Kiang Tojin yang tidak mempunyai niat buruk terhadap dirinya. Biarpun dia berlatih dengan penolongnya yang berilmu tinggi ini. "Maafkan saya, Totiang. Sebelum menyerahkan pedang ingin sekali saya menerima petunjuk Totiang dalam hal ilmu silat.” Kiang Tojin tertawa, "Ha-ha-ha, memang sejak dahulu engkau keras hati. Baiklah, Keng Hong. Kau boleh menyerangku, pinto juga ingin melihat sampai di mana hasilmu berguru kepada mendiang Sin-jiu Kiam-ong! Mulailah!" Biarpun belum pernah mempergunakan kepandaian yang dipelajarainya selama lima tahun itu untuk bertanding dalam pertempuran sungguh-sungguh, namun Keng Hong sudah menguasai dasar-dasar ilmu silat tinggi. Juga dia selalu ingat akan semua nasihat dan petunjuk suhunya. Ia ingat akan nasehat gurunya bahwa bagi seorang yang sudah tinggi ilmu silatnya, lebih baik di serang lebih dahulu daripada menyerang, karena lawan yang menyerang itu otomatis akan membuka bagian yang kosong sehingga mudah "dimasuki" dalam serangan balasan yang dilakukan otomatis pula. Karena dia tahu bahwa Kiang Tojin adalah lawan yang amat berat, maka setelah berseru keras dia maju memukul dengan gerakan perlahan dan hati-hati, hanya menggunakan seperempat bagian perhatiannya saja untuk menyerang, yang tiga perempatnya bagian dia cadangkan untuk penjagaan diri agar begitu lawannya membalas, dia dapat menghindar dengan elakan atau tangkisan. "Wuuuttt!" Pukulan tangan kanannya menyambar, mendatangkan angin yang kuat. "Bagus.....!" Kiang Tojin berseru, kagum melihat kenyataan betapa kuat pukulan Keng Hong sehingga tidak mengecewakan menjadi murid Sin-jiu Kiam-ong karena dia sendiri tidak akan sanggup melatih seorang murid selama lima tahun sudah memiliki sinkang yang sedemikian kuatnya. Namun diam-diam dia kecewa menyaksikan gerakan-gerakan itu yang amat sederhana, padahal dia tadinya mengira bahwa ilmu silat yang diturunkan kakek raja pedang itu kepada muridnya tentu hebat. Melihat pukulannya hanya dielakkan Kiang Tojin dan ternyata tosu itu sama sekali tidak membalasnya, bahkan jelas menanti serangan selanjutnya, tahulah Keng Hong bahwa tosu penolongnya ini benar-benar hanya ingin mengujinya. Pujian yang keluar dari mulut Kiang Tojin itu membuat telinganya merah. Sudah jelas bahwa dia memukul dengan gerakan sederhana saja, bahkan dengan tenaga yang hanya seperempatnya, bagaimana bisa di sebut bagus? Apakah tosu penolongnya ini mengejeknya? Biarlah, kalau aku kalah biar kalah, roboh di tangan tosu yang menjadi tokoh kedua Kun-lun-pai ini, apalagi yang menjadi penolongnya, tidaklah amat memalukan. Maka dia berkata. "Totiang, maafkan kelancanganku!" Seruan ini dia tutup dengan gerakan menyerang. Kini Keng Hong tidak mau diejek untuk kedua kalinya. Ia mengerahkan sinkang dari pusarnya. Hawa panas meluncur cepat ke arah kedua lengannya dan dia mempergunakan ginkangnya. Tubuhnya melesat bagaikan kilat menyambar ke arah Kiang Tojin dan sekaligus dia memukulkan kedua tangannya dalam serangan berantai. Harus diketahui bahwa dalam silat tangan kosong, Keng Hong belum dapat dikatakan lihai. Ia hanya digembleng dengan pengertian dan gerakan dasar-dasar ilmu silat saja. Setiap gerakan tangan dan geseran kaki memang dapat dia lakukan dengan mahir, namun rangkaian ilmu silat belum banyak dia pelajari karena waktunya tidak mengijinkan. Dari suhunya dia hanya baru dapat memetik ilmu silat tangan kosong yang oleh gurunya dinamai San-in-kun-hoat (ilmu silat awan gunung) yang diambil dari keadaan di puncak Kiam-kok-san. Ilmu silat ini merupakan gerakan-gerakan inti ilmu silat tinggi, namun diatur amat sederhana sehingga hanya terdiri dari delapan buah jurus serangan saja! Dalam serangan ke dua ini Keng Hong yang tidak mau diejek itu telah mempergunakan jurus yang disebut Siang-in-twi-an (Sepasang Awan Mendorong Gunung). Kedua kakinya masih di udara ketika dia melompat, namun siap melakukan tendangan susulan sebagai perkembangan jurus ini, sedangkan kedua lengannya didorongkan ke depan secara bergantian sambil mengerahkan tenaga sinkang sekuatnya. "Siuuuuttt....!" "Siancai...!" Kiang Tojin terkejut bukan kepalang. Melihat tenaga pada serangan pertama tadi, dia sudah kagum, akan tetapi serangan kedua ini benar-benar membuat dia kaget karena serangan ini bukan merupakan serangan main-main dari seorang pemuda yang baru lima tahun belajar ilmu silat! Serangan ini lebih pantas kalau dilakukan seorang tokoh persilatan yang sudah melatih diri selama puluhan tahun! Tenaga pukulan itu dapat dia ukur dari angin yang menyambar dan biarpun Kiang Tojin sendiri tidak berani menerima pukulan sehebat itu. Cepat tosu itu meloncat ke samping dan memutar tubuh sambil mengangkat tangan karena melihat kedudukan tubuh Keng Hong di udara itu dia maklum bahwa pemuda ini akan melanjutkan jurus itu dengan tendangan. Dugaannya memang tepat dan baik dorongan tangan maupun tendangan Keng Hong banyak mengenai angin belaka, dan hanya berhasil membuat pakaian tosu itu berkibar. Ketika serangan kedua ini gagal, Keng Hong yang khawatir kalau-kalau menerima serangan balasan, lalu menggunakan ginkangnya dan di udara tubuhnya sudah berjungkir balik di barengi seruannya yang keras sekali. Tubuhnya berputaran di udara dan membalik, lalu meluncur turun dan langsung menyerang untuk ketiga kalinya ke arah Kiang Tojin yang masih berdiri terbelalak. Gaya serangan tadi saja sudah membayangkan ilmu silat yang luar biasa, apalagi tenaganya yang membuat kulit tubuhnya terasa pedas dan dingin sekali, kini menyaksikan ginkang sehebat itu tosu ini melongo. Namun pada detik berikutnya, tubuh pemuda ini sudah meluncur dan menyerangnya dari atas seperti seekor burung garuda menyambar. Sekali ini Keng Hong menggunakan jurus ke delapan atau jurus terakhir dari ilmu silat San-in-kun-hoat, yaitu jurus yang disebut In-keng-hong-i (Awan Menggetarkan Angin dan Hujan). Jurus inilah yang paling sukar dimainkan, karena keempat kaki tangan melakukan serangan dari atas secara bertubi-tubi. Keng Hong yang ingin memperlihatkan apa yang telah dia pelajari dari suhunya agar tidak dipandang rendah, telah menggerakkan kedua kakinya susul-menyusul menendang ke arah dada dan perut, disusul dengan hantaman tangan kiri yang terkepal ke arah leher dan akhirnya dengan jari terbuka ke arah ubun-ubun kepala lawannya! Benar-benar serangan yang amat hebat, cepat dan mengandung tenaga mijizat karena pada saat itu dia mempergunakan seluruh hawa sinkang di tubuhnya yang dia lancarkan melalui kedua tangan dan kakinya! Dengan pukulan seperti inilah ketika dia marah-marah kepada diri sendiri di puncak batu pedang, dia telah menggempur batu menonjol sehingga batu setinggi orang itu telah hancur lebur. "Hayaaaa....!" Kiang Tojin benar-benar kaget sekali sekarang. Ia maklum bahwa sedikit pun dia tidak boleh memandang ringan serangan ini dan dia pun maklum bahwa serangan ini terlalu dahsyat dan berbahaya. Maka dia mengerahkan perhatian dan tenaganya. Tendangan kedua kaki mengarah perut dan dadanya dia hindarkan dengan elakan cepat, demikian pula pukulan ke arah lehernya. Akan tetapi tamparan ke ubun-ubunnya sedemikian cepat dan hebatnya sehingga amat berbahaya kalau dielakkan karena terkena sedikit saja bagian kepalanya tentu akan mendatangkan bencana hebat, maka dia mengerahkan tenaganya, miringkan kepala dan tubuh kemudian secepat kilat dia menangkis tamparan itu sambil terus menangkap tangan Keng Hong yang terbuka. Kiang Tojin adalah seorang tokoh besar yang telah memiliki tingkat kepandaian amat tinggi, juga memiliki tenaga sinkang yang sukar di cari bandingnya. Maka amatlah mengherankan kalau kini menghadapi seorang muda yang baru belajar selama lima tahun dia terpaksa harus berhati-hati dan mengerahkan tenaganya. "Plakk....! Aihhhh.....!" Kiang Tojin berseru kaget sekali. Ketika dia menangkis tamparan Keng Hong dengan Telapak tangannya, dia merasa seolah-olah lengannya tertindih tenaga yang amat kuat dan beratnta hampir tak kuat dia menahannya, yang membuat seluruh lengan sampai setengah dada terasa ngilu! Sebagai seorang yang sakti, tentu saja dia terkejut namun tidak kehilangan akal. Cepat dia memutar telapak tangannya bergerak, tubuh Keng Hong terbanting ke bawah. Namun karena pemuda itu memiliki ginkang yang luar biasa, dia terbanting dalam keadaan berdiri sungguhpun bantingan itu membuat dia berdiri setengah berlutut dengan tangan masih menempel dengan tangan Kiang Tojin yang menangkapnya. "Heeeiiiitttt....!" Kembali Kiang Tojin memekik kaget dan megerahkan tenaga sinkang untuk melepaskan pegangannya. Namun sungguh aneh sekali, dia tidak dapat melepaskan pegangannya pada tangan Keng Hong! Dapat dibayangkan betapa kaget dan herannya ketika dia merasa betapa makin dia mengerahkan sinkang, maka hawa sakti itu seolah-olah air dituangkan ke dalam laut, amblas dan hanyut tanpa bekas, bahkan kini tak dapat lagi dia menahan sinkangnya yang terus mengalir keluar melalui lengannya dan tersedot masuk ke dalam tubuh Keng Hong melalui tangan! "Iiiiihhhh...., ehhhh....!" Kiang Tojin menjadi pucat, matanya terbelalak dan dia meronta-ronta hendak melepaskan pegangannya. Sia-sia belaka, karena seperti ada tenaga mijizat yang membuat tangannya lekat dan diapun tak dapat menahan sinkangnya yang menerobos keluar! Tentu saja Kiang Tojin tidak mengerti bahwa kalau tadi dia hampir kalah kuat oleh Keng Hong, adalah karena pemuda itu telah menerima pengoperan sinkang dari Sin-jiu Kiam-ong dalam saat terakhir sehingga dapat dikatakan bahwa yang dia lawan bukan sinkang asli Keng Hong, melainkan sama dengan melawan Sin-jiu Kiam-ong! Dan kini, baik dia sendiri maupun Keng Hong tidak mengerti betapa ada tenaga "menyedot" luar biasa pada diri Keng Hong sehingga hawa sakti dari tubuh tosu itu mengalir keluar dan pindah ke dalam tubuh pemuda itu! Ketika Keng Hong merasa betapa hawa panas mengalir dari tangan tosu itu dan menerobos memasuki tubuhnya melalui tangannya tanpa dapat dicegah lagi, dia tahu apa yang telah terjadi dan dia menjadi terkejut sekali. Mula-mula dia mengira bahwa seperti apa yang telah dilakukan mendiang suhunya, tosu penolongnya inipun hendak mengoperkan sinkang kepadanya, akan tetapi ketika melihat wajah tosu itu menjadi pucat, sikapnya yang gugup dan betapa tosu itu dengan sia-sia hendak melepaskan pegangan, dia menjadi kaget bukan main. Tanpa dia ketahui sendiri, dalam dirinya telah timbul semacam "penyakit" yang dia sendiri tidak mampu obati, yaitu telah timbul semacam daya sedot yang hebat dan yang tak dikuasainya. Hal ini terjadi diluar di luar kehendaknya dan dia tidak tahu bahwa ketika Sin-jiu Kiam-ong memaksakan sinkangnya berpindah ke tubuh muridnya, paksaan yang tidak wajar ini telah mengacau hawa sakti di tubuh Keng Hong dan telah merusak susunannya sehingga menimbulkan kekuatan daya sedot yang amat luar biasa ini. Dalam bingungnya, Keng Hong juga membetot-betot tangannya dan mulutnya berkata gagap "Totiang.....lepaskan......, lepaskan tanganku.....!" Selagi mereka berkutetan, masing-masing ingin melepaskan tangan yang saling melekat, beberapa orang tosu yang menjadi sute dari Kiang Tojin, menjadi marah. Mereka ini juga merupakan orang-orang yang berilmu tinggi. Mereka tidak tahu apa yang telah terjadi, akan tetapi melihat betapa suheng (kakak seperguruan) mereka menjadi makin pucat dan tampak gugup dan bingung, mereka itu sebanyak empat orang telah melangkah maju menghampiri Keng Hong. Seorang di antara mereka berseru marah. "Bocah jahat, lepaskan!" Empat buah lengan yang kuat dan mengandung penuh tenaga lweekang menyentuh tubuh Keng Hong. Dua orang memegang tangannya, dua orang lagi memegang kedua pundaknya. Keng Hong tidak melawan dan dia masih dalam keadaan setengah berlutut. Namun begitu empat buah tangan itu menyentuh Keng Hong, terdengar seruan-seruan kaget, bukan hanya empat orang tosu itu yang berseru kaget, bahkan Keng Hong juga mengeluh dan berteriak, "Lepaskan......!" Ternyata bahwa kini empat orang tosu itu tak dapat melepaskan lagi tangan mereka yang menempel tubuh Keng Hong dan seperti tempat air bocor, sinkang di tubuh mereka juga mengalir dan disedot masuk ke dalam tubuh pemuda itu! "Bocah berilmu iblis!" Seorang di antara tosu itu memaki dan dia memukul dengan tangan lain ke punggung Keng Hong. Akan tetapi hanya terdengar suara “plakkk!" dan kini tangannya yang sebelah lagi itu pun melekat dan makin hebatlah tosu ini tersedot tenaganya sehingga dia menjadi pucat dan lemas seketika! Keliru kalau mengira bahwa Keng Hong merasa senang menerima terobosan hawa sakti yang berkelimpahan memasuki tubuhnya ini. Tubuhnya menjadi makin panas, tidak karuan rasanya, seolah-olah sebuah bola karet yang terisi angin, tubuhnya terasa seperti akan meledak, dadanya penuh hawa, pusarnya penuh hawa yang menekan-nekan dan memberontak hendak keluar, kepalanya pening sekali dan mukanya menjadi merah seperti udang rebus! Ia merasa tersiksa sekali, apalagi karena dia maklum bahwa lima orang tosu itu bisa tewas kalau mereka tidak lekas-lekas dapat melepaskan tangan mereka dari tubuhnya. Namun dia sendiri tidak tahu bagaimana caranya agar dapat terlepas dari mereka! Kalau tadinya dia masih dapat berteriak-teriak minta mereka melepaskan tangan sambil meronta-ronta, kini dia hanya dapat mengeluarkan suara "ah-ah-uh-uh" seperti orang gagu. Keadaan Kiang Tojin dan empat orang tosu itu lebih menderita lagi. Mereka merasa betapa tenaga sinkang mereka makin lama makin menipis, tersedot secara ajaib tanpa mereka dapat mencegahnya. Tubuh mereka menjadi lemas, kepala menjadi pening dan pikiran tak dapat dipergunakan dengan baik lagi, membuat mereka menjadi bingung dan tak tahu harus berbuat apa. "Siancai.... siancai....!" Seruan ini keluar dari mulut Thian Seng Cinjin, seruan yang halus dan tahu-tahu tubuh kakek ini sudah melayang dekat, kemudian dia menggerakkan kedua tangan setelah menancapkan tongkat di atas tanah. Dengan kedua tangannya dia memegang kedua pangkal lengan Keng Hong, lalu merenggut dan menghentak keras. Keng Hong merasa betapa sebuah tenaga raksasa menariknya dan tenaga ini yang jauh lebih kuat daripada tenaga kelima tosu yang membocor ke dalam tubuhnya, telah menghentikan hubungan atau aliran hawa sakti itu, melepaskan kedua lengannya dan tahu-tahu tubuhnya terlempar sampai sepuluh meter lebih jauh sampai bergulingan. Keng Hong meloncat bangun, loncatannya amat ringannya dan dia berteriak kaget karena tubuhnya itu mencelat jauh lebih tinggi daripada yang dikehendakinya. Tubuhnya terasa seperti penuh dengan hawa yang membuatnya ringan sekali, akan tetapi juga berat di sebelah dalam. Hawa yang memenuhi tubuhnya minta keluar, membuat mulutnya menghembuskan suara mendesis seperti orang yang mulutnya kepedasan! "Aaahhhh... minggir..... aaahhhhh.... minggir semua.....!" pekiknya dengan suara menggereng seperti seekor harimau, kemudian tubuhnya sudah melesat ke depan, menuju ke arah pohon-pohon besar. Para tosu yang menyaksikan keadaannya ini menjadi kaget, heran dan juga gentar sehingga otomatis mereka itu minggir dan menjauhkan diri. Keng Hong yang hanya merasa bahwa dia harus menyalurkan semua hawa sakti yang memenuhi tubuhnya, harus mengeluarkan tenaga yang membuat dadanya dan kepalanya seperti akan meledak, terus saja menggunakan kedua kaki tangannya untuk menghajar pohon-pohon yang tumbuh di depannya. Ia memukul, menendang dan mendorong. Dengan ngawur saja dia lalu mainkan keseluruhan delapan jurus dari ilmu silat San-in-kun-hoat dan setelah selesai, dan terdengar suara-suara hebat "dessss, kraaak-kraaaaak.... bruuuuk!" berkali-kali maka dia telah merobohkan delapan belas batang pohon besar yang menjadi tumbang, batangnya remuk dan kini malang melintang seperti diamuk topan! Setelah menjadi tumbang, batangnya remuk dan kini malang melintang seperti diamuk topan! Setelah mengeluarkan sebagian hawa sinkang yang mendesak-desak di tubuhnya itu melalui pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan yang merobohkan belasan batang pohon, barulah Keng Hong merasa tubuhnya tidak tersiksa lagi, dadanya dan kepalanya tidak seperti mau meledak, napasnya tidak sesak dan dia seperti baru timbul dari keadaan seorang yang hampir tenggelam ke dalam air yang amat dalam tanpa dapat berenang! Ia kini menggoyang-goyang kepalanya mengusir sisa kepeningan lalu memandang ke depan. Ia melihat betapa Kiang Tojin dan empat orang sutenya telah duduk bersila mengatur pernapasan dan mengumpulkan tenaga dengan wajah pucat. Teringatlah dia akan semua peristiwa akibat gara-garanya, maka cepat dia menghampiri Kiang Tojin dan menjatuhkan diri berlutut sambil mengangguk-anggukkan kepala penuh penyesalan. "Saya mohon ampun dari Totiang sekalian...!" Suaranya pilu dan tak terasa lagi pemuda ini menangis sesenggukan! "Siancai...., engkau bocah telah mewarisi ilmu iblis Sin-jiu Kiam-ong, masih baik tidak mewarisi wataknya yang ugal-ugalan. Hatimu masih bersih....!" Thian Seng Cinjin memuji sambil mengelus jenggotnya yang putih. Tosu tua ini maklum bahwa kalau hati anak muda itu mengandung kekejaman, dia akan kehilangan beberapa orang murid. Tentu malapetaka besar akan timbul kalau saja pemuda itu menyalurkan hawa sinkang yang hebat itu bukan kepada pohon-pohon, melainkan kepada manusia. Kiang Tojin membuka matanya, mulutnya tersenyum sabar namun pandang matanya penuh kengerian dan juga kekaguman. "Keng hong, engkau telah mewarisi ilmu yang hebat dan mengerikan...." "Totiang, saya bersumpah bahwa semua itu terjadi di luar kehendak saya. Kini saya mohon kepada Totiang sudilah Totiang melenyapkan daya sedot yang mencelakakan orang tanpa saya kehendaki ini. Tolonglah, Totiang...!" Pemuda ini merasa tersiksa sekali batinnya dan dia menganggap ilmu kepandaian aneh yang berada di dalam dirinya, daya sedot yang ajaib itu, tak lain hanya sebagai sebuah penyakit hebat yang menyeramkan dan menjijikkan! "Keng Hong, tingkat kepandaianku masih belum sampai ke situ, tidak mungkin aku melenyapkan ilmu iblis itu. Entah kalau suhu, barangkali bisa kalau engkau suka memohon kepada suhu.” Keng Hong sudah menoleh dan hendak mohon kepada ketua Kun-lun-pai, akan tetapi Thian Seng Cinjin sudah mengangkat tangannya dan berkata, suaranya halus namun penuh wibawa. "Ada semacam ilmu hitam yang disebut Thi-khi-i-beng (Mencuri Hawa Pindahkan Nyawa) yang cara kerjanya jugamenyedot kekuatan tubuh lawan. Namun pinto rasa untuk masa kini tidak ada lagi yang memiliki ilmu yang mujizat itu. Kini secara aneh ilmu itu dimiliki olehmu, Keng Hong. Entah Sin-jiu Kiam-ong sengaja atau tidak menurunkan ilmu itu kepadamu. Melihat betapa kau sendiri tidak sadar akan ilmu itu, agaknya dia pun tidak menurunkannya kepadamu dan telah terjadi keanehan yang amat ajaib. Engkau bukan anak murid Kun-lun-pai, tidak berhak bagi Kun-lun-pai untuk melenyapkan ilmu itu dari tubuhmu. Pula, melenyapkan ilmu itu dari tubuhmu berarti membahayakan nyawamu dan nyawa dia yang mengusahakannya. Ilmu tetap ilmu, baik buruknya atau putih hitamnya tergantung dia yang mempergunakannya. Biarpun Thi-ki-i-beng kelihatannya ganas dan keji, namun kalau engkau dapat menguasainya dan mempergunakan untuk kebaikan, perlu apa dilenyapkan?" setelah berkata demikian, kakek ini merenung dan memejamkan mata, mulutnya berkomat-kamit seperti orang membaca doa. "Bagaimana, Kiang-Totiang....!?" Keng Hong kini menujukan pertanyaannya kepada penolongnya. Kiang Tojin tersenyum dan menghela nafas. "Tepat seprti yang dikatakan suhu, engkau bukan murid Kun-lun-pai dan kami tidak berhak mencampuri urusan ilmu silatmu. Sekarang, kau pun terpaksa harus meninggalkan pula pedangmu kepada kami.” Keng Hong menarik nafas panjang. Tosu-tosu ini terlalu angkuh, pikirnya. Kalau ketuanya tahu akan cara melenyapkan "penyakit" yang berada dalam tubuhnya, mengapa tidak mau menolongnya? Anak ini memiliki keangkuhan dan tidak sudi merengek-rengek merendahkan diri. Ia lalu mencabut pedang kayu dari pinggangnya, meletakkannya di depan kaki Kiang Tojin sambil berkata. "Saya tidak mempunyai niat buruk, mengapa membawa-bawa pedang? Kalau Kun-lun-pai merasa bahwa pedang itu hak mereka, biarlah saya tinggalkan. Selain Pedang ini, saya hanya mempunyai pakaian yang saya pakai ini. Apakah ini pun harus ditinggalkan pula?" Kiang Tojin memandang dengan sinar mata sedih, lalu menggeleng-geleng kepala. "Sungguh sayang, Keng Hong. Saat ini hatimu dipenuhi oleh kemarahan dan dendam. engkau masih belum mengerti akan maksud baik kami. Akan tetapi biarlah. Kelak engkau akan mengerti sendiri mengapa kami minta kau meninggalkan Siang-bhok-kiam kepada kami.” “Eh, bocah tolol! Namamu Keng Hong tadi, ya? Kenapa kau begitu tolol menyerahkan Siang-bhok-kiam kepada para tosu bau itu? Jangan berikan! Kau ditipu, mereka itu menginginkan pedang pusaka itu. Ambil lagi dan lekas pergi! Dengan kepandaianmu yang mujizat seperti Iblis mereka takkan dapat memaksamu!" Teriakan ini adalah teriakan wanita cantik yang diikat pada pohon. Kiranya totokan Kiang Tojin yang dilakukan dari jarak jauh tadi tidak lama membuatnya gagu. Hal ini saja membuktikan bahwa wanita itu bukanlah orang sembarangan pula, melainkan sudah memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi. "Cukup kiranya, Keng Hong. Kami menerima pedang Siang-bhok-kiam dan akan menyimpannya baik-baik. Engkau boleh pergi dengan hati lapang dan ingatlah, engkau tidak boleh datang ke wilayah kami ini tanpa seijin kami. Kalau ada keperluan yang memaksamu datang ke wilayah ini, engkau harus datang lebih dahulu ke Kun-lun-pai dan menghadap suhu untuk minta ijin.” Keng Hong mengangguk-angguk. Di dalam hatinya dia menjawab bahwa dia tidak sudi datang ke situ dan tidak akan mengganggu Kun-lun-pai selamanya. Akan tetapi dia melirik ke arah wanita itu dan berkata. "Maaf, Totiang. Sebelum saya pergi, ada sebuah permintaan saya, harap Totiang sudi mengabulkannya.” "Permintaan apa? sekiranya patut dan dapat pinto lakukan tentu akan pinto kabulkan permintaanmu." "Saya mohon kepada Totiang sekalian sudilah kiranya membebaskan wanita itu!" Terdengar seruan-seruan kaget dari mulut para tosu, dan hanya Kiang Tojin yang tampak tenag, sedangkan Thian Seng Cinjin tidak peduli, masih berdiri seperti orang termenung dengan kedua mata dipejamkan. "Keng Hong ada hubungan apakah engkau dengan wanita itu maka minta supaya dia dibebaskan?" "Tanpa alasan apa-apa, Totiang dan hanya dilandasi perasaan yang sama seperti perasaan mendiang suhu ketika menolong Kun-lun-pai yang diserbu oleh kaum sesat!" "Apa? Apa maksudmu?" Kiang Tojin memandang heran. "Totiang, menurut cerita suhu, suhu menolong Kun-lun-pai juga hanya dilandasi perasaan kasihan melihat pihak yang ditindas dan diancam. Suhu pun tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan Kun-lun-pai, namun suhu tetap menolongnya. saya pun tidak mempunyai hubungan dengan wanita ini, akan tetapi melihat dia terancam bahaya di sini, perasaan saya yang mendorong saya untuk menolongnya.” "Ah, akan tetapi hal itu jauh sekali bedanya, Keng Hong. Gurumu membantu kami melawan golongan hitam, kaum sesat dan orang jahat. sebaliknya, harus kauketahui bahwa wanita itu bukan orang baik-baik, bahkan kedatangannya mempunyai niat buruk terhadapmu, untuk merampas Siang-bhok-kiam..." "Bohong! Tosu tua bangka bau! Bohong....!" wanita itu memaki. Keng Hong menggeleng-geleng kepalanya. "Agaknya Totiang tidak dapat mengenal watak suhu. Saya percaya bahwa suhu bukan mendasarkan pertolongannya atas baik dan buruk, karena menurut wejangan suhu, bagi suhu dan saya, baik dan buruk itu tidak ada, yang ada hanyalah pendapat orang yang selalu tidak adil karena menurutkan kepentingan diri pribadi.” "Eh, apa maksudmu?" "Pandangan baik dan buruk oleh pendapat manusia adalah miring dan berat sebelah, Totiang dipengaruhi oleh nafsu pribadi demi kepentingan diri sendiri. Kalau seseorang melihat orang lain menguntungkan dia, bersikap manusia, menyenangkan hatinya, maka serta-merta dia akan menganggap orang itu baik! Sebaliknya kalau dia melihat orang lain merugikannya, memusuhinya dan tidak menyenangkan hatinya, maka tanpa ragu-ragu lagi akan dianggapnya orang itu jahat! Karena itu, saya seperti suhu tidak percaya akan pandangan orang tentang baik dan jahat dan saya menolong wanita ini hanya terdorong perasaan ingin menolong, kasihan melihat dia terancam bencana di sini. Bagaimana, Totiang? Saya telah memenuhi permintaan Kun-lun-pai untuk meninggalkan pedang, apakah Kun-lun-pai demikian pelit untuk menolak permintaanku yang sama sekali terdorong keinginan menguntungkan diri sendiri ini?" Dengan kalimat terakhir ini terkandung ejekan bahwa Kun-lun-pai minta pedangnya dengan dasar ingin untung sendiri! Kiang Tojin tercengang. "Pendapat keliru...., wawasan yang menyeleweng...." Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara Thian Seng Cinjin yang halus, "Bocah ini kelak lebih menggegerkan daripada Sin-jiu Kiam-ong. Bebaskanlah wanita itu dan lekas suruh anak ini pergi, lebih cepat lebih baik!" Kiang Tojin memberi tanda dan dua orang tosu menghampiri wanita itu hendak melepaskan ikatannya, akan tetapi sekali bergerak, wanita itu ternyata telah meloloskan tangan kakinya dari ikatan tanpa mematahkan ikatan itu. Dia meloncat dan memandang ke arah Keng Hong dengan senyum mengejek. "Bocah Tolol! Cih, tolol dan goblok, dasar anak dusun!" Setelah berkata demikian, wanita itu membanting-banting kaki kanannya lalu berkelebat cepat pergi meninggalkan tempat itu. Keng Hong tidak peduli, lalu berlutut menghaturkan terima kasih kepada para tokoh Kun-lun-pai, kemudian berdiri dan pergi meninggalkan pegunungan Kun-lun-pai dengan wajah berseri. Dia setengah memaksa diri untuk bergembira, berjanji dalam hatinya untuk menempuh hidup dengan cara gurunya, yaitu tetap bergembira, tidak memusingkan masa depan. Dia akan hidup seperti gurunya, yaitu menghadapi bayangan masa depan yang bagaimanapun selalu gembira dan dengan tekad: Bagaimana nanti sajalah! *** "Heii, tolol! berhenti dulu!" Keng Hong menghentikan langkahnya. Ia telah jauh meninggalkan Kun-lun-san dan kini berada di sebuah hutan yang tidak lagi menjadi daerah Kun-lun-san. Tanpa menoleh dia sudah mengenal suara itu, suara yang nyaring merdu dan galak, suara wanita cantik jelita yang telah dibebaskan oleh para tosu Kun-lun-pai. "Kau mau apakah?" tanyanya sambil berdiri tegak tanpa menoleh. "Waduh sombongnya! Orang tolol masih bisa bersikap sombong ya?" "Aku tidak merasa sombong, sungguh pun mungkin kau benar bahwa aku tolol,” jawabnya sabar sambil tersenyum. Gembira! Harus menghadapi segala sesuatu dengan gembira, betapa pun pahitnya dan menyakitkan hati maki-makian itu. "Walah-walah, malah senyum-senyum! Kau bicara tanpa melihat aku, bukan kah itu sikap sombong, sikap orang berkepala angin, memandang orang lain seperti rumput saja? kalau tidak sombong, lihat lah kesini. Benci aku melihat orang diajak bicara kok menengok pun tidak!" Keng Hong tertawa. Betapa pun galaknya, ucapan orang itu dia anggap jenaka dan lucu, juga segar menyenangkan hatinya. Ia lalu membalikkan tubuhnya dan melihat penegurnya itu duduk di atas rumput hijau di bawah sebatang pohon sambil makan daging paha besar seekor ayam hutan. Daging itu masih mengepul panas, juga api unggun untuk membakar daging itu masih menyala. "Nah, aku sudah memandangmu sekarang. Kau mau bicara apakah?" "Wah, memang sombong dan angkuh! Apakah karena engkau telah minta tosu-tosu bau itu membebaskan aku lalu engkau boleh bersikap angkuh seperti ini?" "Eh....., adik yang baik....." "Cih! aku bukan adikmu!" "Cici yang baik...." "Siapa sudi menjadi kakak perempuanmu?" Keng Hong merasa bohwat (kehabisan akal). "Habis, harus kusebut apa?" "Panggil aku nona!" "Wah, nona.....?" "Habis, aku masih gadis, kalau tidak disebut nona, masa engkau hendak menyebut aku nyonya besar?" Gadis itu merengut, bibirnya yang merah itu berlepotan minyak gajih paha ayam, mukanya coreng moreng terkena hangus, kelihatan makin cantik dan lucu sehingga kembali Keng Hong tertawa. "Baiklah, Nona. Engkau memaki aku sombong dan angkuh berkali-kali, karena aku tidak mau menengok. Setelah aku menengok, kau masih memaki aku angkuh. Habis aku kausuruh bagaimana supaya tidak kaumaki angkuh?" "Aku mau bicara denganmu, duduklah disini dan jangan berdiri pringas-pringis seperti monyet mencium ikan asin!" Keng Hong mengangkat sepasang alisnya yang hitam tebal. selamanya baru sekali ini dia bicara dengan gadis, apalagi gadis yang begini lincah. Ia tertarik sekali, akan tetapi juga merasa canggung. Kemudian teringat dia akan watak suhunya, maka dia lalu tersenyum lebar dan melangkah menghampiri gadis itu, menjatuhkan diri duduk di atas rumput di hadapan gadis itu. Dalam beberapa detik, pandang matanya yang tajam sudah meneliti gadis yang duduk makan paha ayam panggang di hadapannya itu. Wajah yang berkulit halus kemerahan, cantik jelita dengan bentuk tubuh bulat telur. Rambut hitam gemuk yang kacau tak tersisir, menutup sebagian pipi kirinya karena kepala itu agak dimiringkan ke kanan. Alis yang panjang kecil dan hitam. Sepasang mata yang jeli, lebar dan jernih sekali, dengan kerling yang amat tajam, mata yang aneh karena dia seperti dapat melihat bayangan gembira, berani, menantang dan merenung di dalamnya. Hidung kecil mancung di atas sepasang bibir yang dianggapnya merupakan bibir terindah yang pernah dilihatnya. Penuh dan berkulit halus seolah-olah sepasang bibir itu dapat mudah pecah, warnanya kemerahan dan basah berminyak. Dagunya kecil agak meruncing menambah kemanisan. Pakaiannya terbuat dari sutera halus dan mewah, namun potongannya ketat sehingga membayangkan dada yang penuh menonjol, pinggang kecil dan pinggul yang lebar. Kulit yang mengintai dari balik leher baju, dari lengan, tampak halus dan putih sekali. Beginikah wanita cantik yang suka disebut-sebut suhunya dan diumpamakan setangkai bunga yang harum? Dia kini dapat merasakan persamaannya. Memang seperti bunga sehingga membuat hati ini kepingin menyentuh, kepingin mencium, kepingin memandang dan menikmati keindahannya. "Mungkin aku seperti monyet, akan tetapi saat ini aku tidak mencium bau ikan asin, melainkan mencium bau sedap gurih daging panggang!" "Kau kepingin?" Gadis itu menghentikan gigitannya dan mulutnya yang penuh dengan daging itu mengunyah perlahan, matanya mengerling Keng Hong. Pemuda remaja ini memandang mulut yang mengunyah itu, dan tak terasa lagi dia menelan ludah dan perutnya mendadak berkeruyuk. Dia mengangguk dan kembali menelan ludah. "Kalau kepingin, ambillah. Tunggu apalagi? Jangan malu-malu kucing, kalau kepingin mengapa tidak ambil dan makan sejak tadi?" "Ah, tapi daging itu punyamu...." "Siapa bilang punyaku? Ayam itu berkeliaran di hutan, entah punya siapa!" "Tapi kau yang menangkap dan memanggangnya...." "Sudahlah! cerewet bener sih engkau ini! ambil saja dan ganyang, habis perkara. Bicara saja mana bisa kenyang?" Biarpun ditegur, Keng Hong menjadi geli dan tertawa. Gadis ini benar-benar menimbulkan rasa gembira di hatinya. Cocok benar dengan watak suhunya. Bagaimana kalau suhunya yang bertemu dengan gadis seperti ini? Ia lalu menyambar daging ayam panggang, merobek bagian dada lalu mulai makan daging itu. Benar lezat sekali, gurih dan manis, lagi hangat dan perutnya memang amat lapar. Setelah habis semua makan, gadis itu mengeluarkan seguci air dingin dan minum dengan cara menggelogoknya dari mulut guci. air memasuki mulut yang kecil itu, ada yang tumpah membasahi pipi dan tercecer memasuki celah-celah bajunya di leher. Setelah itu, dia menurunkan guci dan menyerahkannya kepada Keng Hong. Pemuda yang mulai mengenal watak polos dan terbuka gadis itu, menerima guci akan tetapi dia merasa ragu-ragu juga untuk menggelogok air itu begitu saja. Bibir guci itu masih berlepotan minyak gajih, tentu ketika bibir guci tadi bertemu dengan bibir si gadis. "Mana cawannya? Kupinjam sebentar untuk minum!" "Tidak punya cawan!" "Habis bagaimana minumnya?" "Tuang saja, seperti aku " “Tapi... tapi... bekasmu...." Gadis itu meloncat bangun, lalu bertolak pinggang dan membungkuk memandang Keng Hong dengan mata terbelalak. "Kau.... kau menghina aku, ya? Tolol kurang ajar!" Keng Hong juga membelalakkan matanya, bukan karena marah melainkan karena heran. Ia benar-benar merasa tolol berhadapan dengan nona ini. "Menghina...? Aku.... aku tidak.... eh, apa sih maksudmu?" "Kau jijik ya minum secara menggelogok seperti aku? Kau tidak sudi ya karena bibir guci itu berbekas mulutku? Kaukira aku ini penderita sakit paru-paru atau batuk kering? kau jijik?" "Wah-wah-wah, harap jangan salah paham dan mengamuk tidak karuan. Bukan....bukan begitu, hanya....aku tadi khawatir kau tidak suka...." "Tidak suka apa? kau benar-benar laki-laki cerewet. Sudah tolol, cerewet lagi! Sialan bertemu laki-laki sepertimu!" Keng Hong tidak mempedulikannya lagi. Celaka, pikirnya. Kalau dilayani wanita ini, bisa habis dia di maki-maki. Ia lalu tidak mau mendengarkan lebih jauh melainkan menuangkan air ke dalam mulutnya, tidak peduli bibirnya bertemu dengan bekas bibir wanita itu. Air yang jernih dan sejuk. "Terima Kasih,” katanya sambil mengembalikan guci air. "Kenapa sedikit amat minumnya? Apakah kau takut minuman ini kucampuri racun?" Sambil berkata demikian, gadis itu kembali minum dengan cara menempelkan bibirnya pada bibir guci tanpa memilih-milih lagi. Heran sekali hati Keng Hong, mengapa menyaksikan bibir wanita itu menjepit bibir guci yang tadi diminumnya, hatinya berdebar dan mukanya terasa panas. Namun dia merasa mendongkol juga mendengar ucapan itu. Benar-benar wanita yang wataknya mau menang sendiri saja. Masa apa yang dia kerjakan selalu disalahkan? Tidak mau minum salah, sekarang sudah minum masih di sangka yang bukan-bukan. Ia menjadi gemas dan andaikata wanita ini adik perempuannya, tentu sudah dia jewer telinganya! "Aku tidak takut kauberi racun,” jawabnya jengkel, dan dia lalu membuang muka sambil melanjutkan, "Sebetulnya, kau menghentikan perjalananku ada urusan apakah?" Sampai lama gadis itu tidak berkata-kata, melainkan memandang wajah Keng Hong penuh perhatian. Pemuda itu tahu akan hal ini karena dia mengerling dari sudut matanya. Melihat gadis itu memperhatikannya, kembali dia mengalihkan pandang matanya. Kemudian terdengar gadis itu bertanya. "Namamu siapa tadi? Dan berapa usiamu?" "Cia Keng Hong.... Kalau tidak salah usiaku tujuh belas tahun.” "Hemmm..., dan engkau murid Sin-jiu Kiam-ong? Heran benar aku....." "Mengapa heran?" "Seorang tokoh sakti seperti Sin-jiu Kiam-ong mengapa mempunyai seorang murid tolol seperti engkau?" Makin panas rasa perut Keng Hong. Terlalu benara perempuan ini, pikirnya. "Kalau sudah tahu aku tolol, kenapa engkau menghentikan aku?" Sampai lama wanita itu tidak berkata-kata, kemudian terdengar dia tertawa merdu, cekikikan. "Eh, kau marah?" Hemmm, benar-benar tukang menggelitik hati orang, pikir Keng Hong. Gemas dia. Kalau tidak ingat bahwa dia itu wanita tentu sudah ditamparnya. Ia tidak menjawab, hanya menggeleng kepalanya. "Ah, kau marah. Bilang saja kau marah. Ingin aku melihat bagaimana kalau kau marah!" Digoda terus-menerus, Keng Hong menjadi merah mukanya dan dia memandang dengan niat untuk balas memaki. akan tetapi melihat mata yang bening indah itu, mulut yang manis tersenyum, dia menjadi tidak tega untuk memaki, maka dia menundukkan muka lagi. "Kau memang tolol. Kalau tidak tolol, tentu tidak kau berikan Siang-bhok-kiam kepada tosu-tosu bau itu.” "Itu hak mereka dan aku tidak mau membantah permintaan mereka. Mereka adalah tosu-tosu yang bijaksana dan baik, patut dipatuhi permintaan mereka. Pula, menggunakan kekerasan menentang, tak mungkin. Mereka amat lihai, terutama sekali Kiang Tojin dan ketua Kun-lun-pai.” "Kau penakut dan bodoh! Heran aku mengapa Sin-jiu Kiam-ong mempunyai murid seperti engkau! Padahal menurut pendengaranku Sin-jiu Kiam-ong gagah perkasa tidak mengenal takut terhadap siapapun juga dan amat cerdik.” Keng Hong menarik nafas panjang. Gurunya memang seorang yang selalu gembira dan tidak pernah mengenal takut. “Terserah wawasanmu. Aku tidak takut terhadap siapapun juga, dan tentang kebodohan..... hemmmm, tentu saja aku tidak secerdik suhu.” Sunyi yang agak lama. Keng Hong menunduk karena teringat akan suhunya dan mulailah hilang kegembiraannya. Dalam hari-hari pertama semenjak dia sendirian di dunia ini, sudah terjadi hal-hal yang tidak menyenangkan hatinya. Kalau begini terus nasibnya, bertemu seseorang wanita saja selalu mengejek dan memakinya, mana mungkin dia dapat meniru watak suhunya yang menghadapi segala sesuatu dengan gembira. Betapa mungkin dapat bergembira rasa hati ini kalau seorang wanita cantik jelita mencemoohkan dan memaki-makinya? "Keng Hong...." Pemuda itu terkejut. Benarkah wanita itu memanggilnya? Suaranya begitu halus dan dipanggil secara tiba-tiba setelah lama berdiam diri, dia terkejut juga. "Hemmmm.....?" Ia menengok dan makin gugup melihat betapa sepasang mata itu memandangnya tajam-tajam dan mulut itu tersenyum manis akan tetapi hanya sebentar saja karena segera bibir yang merah itu cemberut lagi. "Kau memanggilku?" "Kau laki-laki canggung benar...." "Sudahlah, Nona. Kalau engkau menghentikan aku hanya untuk mencela, untuk apa....." "Engkau marah?" "Tidak" "Engkau memang canggung, tidak seperti gurumu yang khabarnya..... ah, apakah kau tidak ingin tahu siapa aku, siapa namaku dan mengapa aku datang ke Kun-lun-pai?" Baru Keng Hong teringat dan dia merasa bahwa dia memang kurang perhatian, "Siapakah nama Nona?" Gadis itu menahan kekehnya. Sikap Keng Hong benar-benar canggung dan gugup sehingga kelihatan lucu. "Namaku Bhe Cui Im. Bagus tidak namaku?" "Bagus.... bagus...." jawab Keng Hong cepat-cepat dengan pandang mata mendesak agar nona itu terus bercerita. "Hi-hi-hik, kau ternyata pandai juga memuji...." "Eh...., aku..... ah, teruskanlah, Nona.” "Aku mendengar akan keramaian yang khabarnya akan terjadi di puncak Kun-lun-san yang disebut Kiam-kok-san, bahwa kabarnya tokoh-tokoh besar hitam dan putih hendak menjemput turunnya murid Sin-jiu Kiam-ong yang mewarisi Siang-bhok-kiam yang amat diinginkan seluruh tokoh Kang-ouw.” "Termasuk engkau sendiri, nona.” "Tentu saja! Apa kaukira aku ini anak kecil yang suka menonton keramaian begitu saja? Dan aku malah berhasil sekali, lebih berhasil daripada mereka yang menggunakan kekerasan. Mereka itu semua terusir oleh tosu-tosu bau Kun-lun-pai, belasan orang gagah di dunia Kang-ouw, sama sekali tidak berhasil, melihatnya pun tidak! aku sengaja membiarkan diriku tertangkap oleh tosu-tosu bau itu. Memang harus diakui bahwa kalau aku melawan, tidak akan mampu mengalahkan tosu-tosu yang demikian banyak, apalagi tosu she Kiang dan gurunya itu amat lihai. aku sengaja menjadi tawanan dan akalku berhasil memancing kau datang karena jeritan-jeritanku. akan tetapi siapa kira, karena ketololanmu, kauserahkan pedang itu begitu saja!" Mulai lagi maki-makian! Kini mengertilah Keng Hong mengapa gadis ini telah dapat meloloskan diri dari ikatan kaki tangannya sebelum dilepaskan. Kiranya gadis itu memang sengaja membiarkan dirinya ditawan. Benar-benar seorang gadis yang cerdik sekali, dan juga penuh keberanian. "Untuk apakah engkau menginginkan pedang Siang-bhok-kiam, nona?" "Eh-eh-eh, masih bertanya untuk apa lagi? Tentu saja untuk mendapatkan rahasianya. Keng Hong, katakanlah terus terang, apakah engkau sudah mendapatkan pula rahasia penyimpanan kitab-kitab pusaka yang terdapat di pedang itu?" Pandang mata itu penuh gairah, agaknya bernafsu sekali gadis ini untuk mendapatkan kitab-kitab pusaka simpanan Sin-jiu Kiam-ong. Keng Hong menggeleng kepalanya. "Belum dan agaknya tidak akan dapat kutemukan. Aku pun tidak ingin kembali ke Kun-lun-san. Nona, mengapakah mereka itu semua memperebutkan rahasia itu? Sampai mati-matian dan saling bermusuhan?" Gadis itu menggerakkan alisnya dan memandang pemuda ini dengan heran. "Engkau benar-benar masih hijau! Sudahlah, yang penting sekali ini ceritakan kepadaku ilmu apa saja yang kaupelajari dari Sin-jiu Kiam-ong? Tadi kulihat engkau menggunakan ilmu yang mijizat, kau pandai menyedot sinkang orang lain, bahkan Kiang Tojin yang begitu lihai hampir mampus ditanganmu. Ilmu apakah itu? Sukarkah kau menceritakannya kepadaku?" Tiba-tiba saja sikap gadis ini manis sekali, wajahnya berseri matanya bersinar-sinar dan bibirnya tersenyum. Keng Hong hanya bisa menggeleng kepalanya, kemudian melihat wajah cantik itu menjadi murung dia cepat berkata, "Sungguh mati, aku sendiri tidak mengerti. Aku sendiri membenci penyakit yang ada pada tubuhku ini. Aku tidak mempelajari apa-apa kecuali dasar-dasar ilmu silat dan beberapa pukulan dan permainan pedang. Kalau dibandingkan dengan orang lain, tentu tidak ada artinya .” "Hemmm, engkau pandai merendahkan diri dan bersikap sungkan, alangkah jauh bedanya dengan gambaran tentang gurumu!" Akan tetapi kegalakkan ini segera berubah lagi, kini gadis itu tersenyum manis, dan membuka tutup guci hendak diminumnya. Akan tetapi dia mengerutkan kening dan berkata seorang diri, "Ah, air ini kurang sedap!" Ia lalu mengeluarkan sebuah bungkusan dari saku bajunya dan ketika dibuka, ternyata berisi daun-daun dan kembang-kembang kering. Dituangkannya sebungkus daun dan kembang kering ini ke dalam guci airnya, lalu dikocoknya guci itu sambil memandang Keng Hong. Ditatap sepasang mata seperti itu, Keng Hong menjadi tak enak hati kalau berdiam diri saja maka dia bertanya. "Apakah yang kau masukkan dalam air minum itu?" "Daun wangi dan kembang harum, pengganti teh yang amat lezat dan sedap!" jawab gadis itu sambil menggelogok air dari guci seperti tadi. Tercium bau yang harum keluar dari mulut guci. Gadis itu selesai minum lalu menyerahkan gucinya kepada Keng Hong sambil berkata, "Kau minumlah.” Keng Hong menggeleng kepala. "Aku tidak haus.” "Eh, biarpun tidak haus, air ini sekarang menjadi minuman enak. Coba cium, tidak harumkah?" Gadis itu mendekatkan mukanya dan membuka mulutnya, menghembuskan nafas ke arah muka Keng Hong. Pemuda itu terkejut dan mukanya terasa panas sekali, jantungnya berdebar tegang. Ia merasa canggung dan juga jengah. "Apakah kau takut kalau air ini kucampuri racun?" Untuk mencegah gadis itu melakukan hal-hal aneh yang lebih hebat lagi, tanpa banyak cakap Keng Hong lalu menerima guci air dan menggelogoknya. Memang harum dan terasa agak manis, akan tetapi mulut dan lidahnya yang terlatih tiba-tiba merasakan sesuatu yang tidak asing baginya. Racun! Racun yang amat kuat dan jahat! Namun dia cepat dapat menekan perasaannya, tidak memperlihatkan sesuatu pada mukanya, bahkan lalu terus menuangkan air beracun itu sampai habis pindah ke dalam perutnya! Ketika dia menurunkan guci kosong dan berkata, "Lezat sekali!" gadis itu memandangnya dengan sepasang mata bersinar-sinar. Sambil tersenyum-senyum gadis itu kini mengambil sesuatu dan karena yang diambilnya itu agaknya berada di saku dalam dari bajunya, ia lalu membuka dua kancing baju bagian atas. Cara ia membuka kancing secara terang-terangan begitu saja di depan Keng Hong, dengan gaya memikat dan manis sekali. Keng Hong terbelalak, lebih heran daripada kaget dan jengah, melihat betapa bagian atas baju itu terbuka memperlihatkan pakaian dalam yang berwarna merah muda dan sebagian dada yang memanjat. Gadis itu merogoh ke balik baju yang menutup dada dan mengeluarkan sebuah bungkusan merah. Ketika dibuka, ternyata bungkusan itu berisi belasan butir pil merah. Ia mengambil dua butir dan segera menelannya. Ia lalu mengembalikan bungkusan itu ke balik bajunya, kemudian seperti terlupa dan tidak mengancingkan kembali baju bagian atasnya terbuka itu. Keng Hong terpaksa menundukkan muka agar jangan melihat tonjolan dada yang berkulit putih halus itu. "Keng Hong, lihatlah kepadaku!" Terpaksa pemuda itu mengangkat mukanya memandang, mengusir ketegangan dan kebingungan hatinya. Gadis ini jelas berusaha hendak meracunnya. Apakah maksudnya? Mengapa hendak membunuhnya? Ia tahu bahwa racun itu dapat membunuh seorang lawan yang betapapun kuatnya. "Lihatlah baik-baik, Keng Hong. Tidak indahkah rambutku? Tidak cantikkah wajahku? Cantik sekali, bukan?" Gadis itu tersenyum-senyum dan mengerlingkan matanya, bergaya dan menggerak-gerakkan mukanya agar dapat terpandang oleh pemuda itu dari depan, kiri dan kanan. "Hemmmm, begitulah...." jawab Keng Hong yang masih mencari-cari sebab perbuatan gadis itu. Ia kini dapat menduga bahwa pil merah tadi adalah obat pemunah racun karena si gadis tadi pun minum air beracun. "Lihat baik-baik, pandanglah...... tidak halus dan putih bersihkah kulitku, Keng Hong?" Suaranya kini amat halus merdu, penuh nada merayu dan tangannya sengaja menyingkap baju atasnya agar belahan dada tampak makin nyata. Keng Hong menelan ludah. Jantungnya berdebar kencang dan cepat dia menekan dengan kekuatan batinnya. Belum pernah selama hidupnya dia mengalami hal seperti ini, dalam mimpi pun belum! Gadis yang bernama Bhe Cui Im itu kini bangkit berdiri, gerakannya lemah gemulai, leher, pinggang dan lututnya melenggak-lenggok mengingatkan Keng Hong akan gerakan tubuh seekor ular. "Pandanglah baik-baik, orang muda remaja! Tidak indahkah bentuk tubuhku? Lihat dadaku, pinggangku, pinggulku...." "Hemmmm, begitulah....!" hanya demikian Keng Hong dapat berkata karena kerongkongannya tiba-tiba seperti menjadi kering kembali, seperti orang kehausan. "Aku masih muda, cantik jelita, bertubuh menggiurkan! aku seorang gadis yang amat menarik hati, bukan?" "Hemmm, begitulah!" Tiba-tiba Cui Im menghentikan gayanya dan dengan kasar dia duduk di depan Keng Hong. Senyum manis kerling mata tajam kini lenyap dan gadis itu mengerutkan keningnya dengan bayangan hati kesal. "Begitulah! Begitulah! Begitulah! Tidak bisa berkata lainkah, hai orang dungu? Sin-jiu Kiam-ong kabarnya merupakan pria tukang merayu wanita nomor satu di dunia, ahli merayu dan mencumbu wanita. Apakah gurumu yang....terkutuk itu tidak mengajarkan kepandaian merayu wanita kepadamu, heh, bocah tolol?" Keng Hong tersenyum. Kini dia mulai mengenal wanita ini. Wanita yang cantik jelita, namun wanita yang amat berbahaya, seperti seekor ular berbisa. Timbul pula kegembiraannya karena terhadap seorang wanita seperti ini, dia tidak perlu bersikap canggung, malu-malu atau takut-takut. Ia menggelengkan kepala dan tersenyum mengejek. "Kau sudah mau mampus, tahukah? Kau calon bangkai makanan cacing! Hendak kaulihat ke mana perginya wajahmu yang tampan itu kalau sudah digerogoti cacing nanti. Kau tahu bahwa engkau telah minum racun? di dalam air tadi, tolol, terdapat racun yang mematikan. Racun bunga Siang-tok-hwa (Bunga Racun Wangi) yang kini telah memasuki perutmu, yang akan menghancurkan ususmu, membuat isi perutmu menjadi busuk. Tahukah engkau? Dan obat pemunahnya hanya berada padaku, obat pemunah pil merah seperti yang kutelan tadi. Kalau kau tidak kutolong, nyawamu pasti akan melayang dalam waktu dua puluh empat jam! Nyawamu berada di tanganku sekarang, mengerti?" Keng Hong mengangguk-angguk. Mengertilah dia sekarang, teringatlah dia bahwa racun yang tidak asing baginya itu adalah Siang-tok-hwa. Tentu saja dia mengenalnya baik-baik, dan tadi dia terlupa karena terpesona oleh sikap dan gaya gadis luar biasa ini. "Cui Im, apakah kehendakmu? Apakah maksudnya semua ini? Mengapa kau meracuniku?" "Karena tolol engkau menjadi menyebalkan. Segala apa tidak mengerti. Otakmu tumpul benar perlu dicuci! Tentu saja nyawamu kucengkeram untuk ditukar dengan rahasia barang pusaka gurumu yang.... terkutuk!" "Diam dan jangan memaki mendiang suhu atau.... aku takkan sudi melayanimu bicara lagi!" Terbelalak mata gadis itu mendengar bentakan yang tak disangka-sangkanya akan dapat dikeluarkan oleh mulut pemuda tolol itu. Akan tetapi hanya sebentar karena ia mengira bahwa hal itu timbul karena kebaktian bocah ini terhadap mendiang gurunya. "Engkau telah menyerahkan Siang-bhok-kiam kepada tosu-tosu bau Kun-lun-pai. Akan tetapi pedang itu bagiku tidak ada artinya. Belum tentu bisa menangkan pedangku ini!" Gadis itu meraba pinggangnya dan.... "Swingggg...." tangannya sudah memegang sebatang pedang yang mengeluarkan sinar kemerahan. Kiranya pedang itu amat tipis, terbuat daripada baja lemas sehingga dapat dipergunakan sebagai sabuk! Kini gadis itu menodongkan ujung pedangnya ke depan dada Keng Hong. "Aku tidak butuh Siang-bhok-kiam! Yang kubutuhkan kitab-kitab pusaka dan barang-barang mustika peninggalan suhumu. Engkau turun dari Kiam-kok-san hanya membawa pedang, berarti bahwa pusaka-pusaka warisan itu masih belum kau bawa turun. Kauantar aku kesana, berikan semua itu kepadaku, tunjukkan rahasianya, dan mungkin nyawamu akan kubebaskan, dan selain itu.... hemmm, kalau kau tidak terlalu tolol, kita dapat menjadi sahabat baik!" Keng Hong bukan seorang bodoh sungguhpun kelihatannya dia ketolol-tololan. Ia telah di racun, akan tetapi racun yang ada obat pemunahnya pada gadis itu. Berarti bahwa dia tidak akan dibunuh. Gadis ini menghendaki barang-barang pusaka gurunya, tentu saja tidak akan membunuhnya, melainkan hendak memaksanya dengan jalan meracuninya. Benar-benar seorang gadis yang berhati kejam! Mengapa ada seorang gadis cantik jelita seperti ini berhati sekejam itu? Ia merasa penasaran sekali dan perasaan inilah yang mendorongnya untuk menyaksikan lebih lanjut sampai di mana kekejaman gadis ini dan apa yang akan dilakukan atas dirinya. "Aku tidak menerima warisan pusaka-pusaka yang kaumaksudkan, dan aku pun tidak tahu rahasianya.” "Kau masih berani menyangkal dan menolak permintaanku? Kau murid tunggalnya, tak mungkin kau tidak mewarisi pusaka-pusaka itu, apalagi Siang-bhok-kiam diberikan kepadamu. Ingat, nyaawamu berada di tanganku, tahu? Andaikata engkau memberontak, engkau pun tidak akan mampu menandingi pedangku. Andaikata kau mempergunakan ilmu mujizatmu dan berhasil melarikan diri, dalam waktu sehari semalam ususmu sudah hancur berantakan dan nyawamu pun takkan tertolong. Jangan bodoh, Keng Hong. Lebih baik engkau menuruti permintaanku agar engkau tetap hidup dan menikmati kesenangan bersama aku.” "Cui Im, engkaulah yang bodoh dan mengecewakan hati. Mengapa engkau menurutkan nafsu buruk hendak menginginkan barang orang lain? Kalau engkau suka menurut nasehatku, insyaflah dan sadarlah bahwa engkau terseret oleh nafsumu menuju ke jurang kesesatan. Urungkan niatmu yang buruk itu karena sesungguhnya aku benar-benar tidak pernah melihat di mana adanya pusaka-pusaka peninggalan suhu. Aku tidak berhasil mencarinya dan aku tidak berbohong.” "Kalau begitu, biar aku melihat engkau mampus dengan isi perut berantakan!" bentak Cui Im dengan suara marah dan kecewa sekali. Tiba-tiba terdengar suara bentakan keras "Tidak boleh dibunuh begitu saja, Tok-sian-li (Dewi Beracun)!" Dan tampak bayangan orang berkelebat. "Benar sekali, tidak boleh dibunuh sebelum menyerahkan pusaka peninggalan Kiam-ong kepadaku!" berkelebat pula bayangan lain. Kiranya yang muncul ini adalah dua orang tua yang pernah dilihat Keng Hong pada lima tahun yang lalu. Mereka berdua itu adalah dua di antara sembilan orang sakti yang pernah menyerbu Sin-jiu Kiam-ong. Yang pertama adalah nenek tua renta yang dia ingat bernama Lu Sian Cu dan berjuluk Kiu-bwe Toanio. Gurunya pernah bercerita kepadanya tentang nenek ini. Menurut cerita itu, Kiu-bwe Toanio dahulunya adalah seorang pendekar wanita yang cantik jelita dan lihai, namun yang jatuh cinta kepada gurunya yang tampan dan gagah. akan tetapi ternyata wanita ini di kecewakan oleh Sin-jiu Kiam-ong. Kiam-ong tidak pernah membiarkan hatinya jatuh cinta dan perhubungannya dengan Lu Sian Cu hanya dianggapnya sebagai permainan cinta petualangan biasa saja. sebaliknya, cinta kasih wanita itu mendalam sehingga hatinya menjadi hancur dan patah ketika Kiam-ong meninggalkannya. Adapun orang ke dua adalah si kakek tua Sin-to Gi-hiap. Pendekar Budiman bergolok sakti yang juga menaruh dendam sakit hati terhadap Kiam-ong untuk urusan pribadi. Isterinya yang sesungguhnya adalah hasil rampasan dari seorang kepala rampok, isteri yang cantik jelita dan amat dicintanya, telah "dicuri" oleh Kiam-ong yang terkenal pandai merayu wanita sehingga di antara isterinya dan Kiam-ong terjadi perhubungan rahasia. Melihat dua orang tua yang datang ini, Bhe Cui Im tersenyum mengejek, lalu membalikkan tubuh menghadapi mereka sambil memandang tajam dan melintangkan pedang merah itu di depan dadanya, sedangkan tangan kirinya bertolak pinggang. "Hemmm, Kiu-bwe Toanio dan Sinto Gi-hiap, bukan? Kalian sudah lari terkencing-kencing diusir oleh tosu-tosu bau Kun-lun-pai, sekarang muncul lagi di depanku dengan niat apakah?" Keng Hong memandang dengan heran. Makin tidak mengertilah dia akan keadaan Cui Im. Gadis cantik jelita yang amat menarik hati ini, yang tadinya amat galak dan kadang-kadang juga amat halus memikat, kemudian terbukti berhati palsu dan keji, kini menghadapi dua orang tokoh kang-ouw yang tua seperti menghadapi dua orang biasa saja! Tokoh macam apakah gadis ini di dalam dunia persilatan? Sampai-sampai dua orang locianpwe (orang tua tingkat tinggi) tidak dipandang mata olehnya, dan yang lebih mengherankan lagi, dua orang tua itu pun agaknya tidak menganggapnya sebagai gadis muda. "Ang-kiam Tok-sian-li (Dewi Racun Berpedang Merah), lekas keluarkan pil pemunah racun. Orang muda ini tidak boleh dibunuh," kata sin-to Gi-hiap. "Benar sekali, Tok-sian-li. Siang-bhok-kiam sudah terampas Kun-lun-pai, kalau pemuda ini dibunuh, sungguh sayang sekali. Kasihan murid Sin-jiu Kiam-ong yang tidak bersalah apa-apa...." sambung Kiu-bwe Toanio. Tiba-tiba Cui Im tertawa bergelak, tanpa menutupi mulutnya, sikapnya kasar sekali. Keng Hong makin terheran-heran. Kiranya Bhe Cui Kim mempunyai julukan yang demikian menyeramkan. Ang-kiam Tok-sian-li (Dewi Beracun Berpedang Merah)! Tentu seorang tokoh besar dari golongan sesat! Pantas saja Kiang Tojin menyatakan bahwa gadis cantik itu dari dunia hitam, seorang tokoh kaum sesat. Akan tetapi masih begitu muda! Masa memiliki tingkat kedudukan yang sejajar dengan Kiu-bwe Toanio dan Sin-to Gi-hiap? "Hi-hi-hik! Kiu-bwe Toanio, alangkah lucunya melihat lagakmu. Engkau terkenal sebagai pendekar wanita sejak muda, akan tetapi kiranya engkau pun hanya seorang yang pada lahirnya saja pendekar padahal sebenarnya di dalam hatimu mengandung maksud-maksud yang tidak lebih bersih daripada maksud hatiku. Kau pura-pura merasa kasihan dan ingin menolong pemuda ini, padahal yang kauinginkan adalah benda-benda pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong. Aku pun menghendaki benda-benda itu dan aku berterus terang, tidak pura-pura seperti engkau!" "Hemmmm, Tok-sian-li. Hanya karena mengingat akan nama gurumu maka aku seorang tua masih berlaku hormat kepadamu. Jangan engkau membuka mulut sembarangan saja! Memang aku menghendaki barang-barang pusaka Sin-jiu Kiam-ong, akan tetapi hal itu adalah karena dosa-dosa Kiam-ong kepadaku yang harus dia bayar lunas dengan benda-benda pusaka peninggalannya! Tidak seperti engkau yang hendak merampok begitu saja dengan menekan muridnya.” "Hi-hi-hik, nenek tua yang tak tahu malu! Engkau sendiri yang dahulu tergila-gila kepada Kiam-ong, engkau sendiri yang mengejar-ngejarnya, ingin selalu berada dalam pelukannya, menikmati cumbu rayu dan belaiannya! Kiam-ong tidak sudi menjadi suamimu, kenapa kau katakan hal ini dosa? Hi-hi-hik, sungguh menjemukan!" "Tok-sian-li, biar engkau menggunakan nama besar gurumu, penghinaanmu harus dibayar dengan nyawa!” Kiu-bwe Toanio marah sekali dan ia menggerakkan pecutnya yang berekor sembilan itu di udara sehingga terdengar suara ledakan-ledakan "Tar-tar-tar....!!" "Huh, pecutmu itu hanya dapat untuk menakut-nakuti anjing dan anak-anak kecil!" Cui Im mengejek dan tiba-tiba tangan kirinya bergerak. Sinar-sinar merah yang kecil-kecil menyambar ke arah nenek itu dengan kecepatan laksana kilat menyambar. Itulah Ang-tok-ciam (Jarum Racun Merah) yang amat berbahaya, sekali sambit secara beruntun ada dua puluh satu buah jarum halus menyambar lawan. Setiap batang jarum merupakan tangan maut karena racun yang dikandungnya cukup untuk merenggut nyawa orang. Kini dua puluh satu buah jarum menyambar dan mengarah jalan-jalan darah yang penting, dapat dibayangkan betapa hebatnya! "Perempuan keji!" Kiu-bwe Toanio memaki, akan tetapi dia sibuk juga memutar senjata cambuknya untuk melindungi tubuh. Hanya dengan memutar cambuk itu cepat-cepat maka ia dapat menghindarkan jarum-jarum yang tak berani ia anggap ringan itu. "Nenek tua mampuslah!" Cui Im telah melesat ke depan dan pedangnya berubah menjadi sinar merah yang bergulung-gulung ketika ia menerjang lawannya sebagai serangan lanjutan daripada jarum-jarumnya. Gadis ini ternyata selain pandai melepas jarum, juga amat cerdik. Ia maklum bahwa Kiu-bwe Toanio tak mungkin dapat mudah dirobohkan dengan jarum-jarumnya, maka serangan jarumnya tadi hanyalah untuk mengacau lawan, dan kini selagi lawannya memutar cambuk menghindarkan diri daripada ancaman jarum-jarum, ia telah menerjang dengan pedangnya yang gerakannya amat cepat dan kuat. Keng Hong yang melihat gerakan gadis ini diam-diam kagum dan juga terkejut sekali. Dilihat gerakannya, ilmu pedang gadis itu benar-benar lihai bukan main dan agaknya tidak berada di sebelah bawah tingkat kesembilan orang sakti yang pernah menyerbu suhunya. "Tar-tar-tar.... wuuuuutttttt..... trang-trang....!" Sembilan ekor ujung cambuk itu dimainkan di tangan Kiu-bwe Toanio seolah-olah menjadi sembilan ekor ular yang bergerak hidup, sebagian lagi membalas dengan totokan-totokan kilat yang disusul dengan gerakan mengait! Betapapun hebat gerakan pedang di tangan Cui Im, namun dihadapi sembilan ujung cambuk yang menangkis dan balas menyerang itu dia terkejut sekali. Pedangnya diputar dan ia mengeluarkan pekik nyaring, disusul jerit kaget Kiu-bwe Toanio. Sejenak kedua orang ini lenyap menjadi bayangan yang berputaran di antara sinar merah dan sinar hitam cambuk itu, kemudian keduanya mencelat ke belakang didahului Cui Im yang terpaksa melompat jauh untuk menghindarkan serangan enam buah kaitan. Ia turun dan melintangkan pedangnya dengan wajah agak berubah karena ia kini maklum betapa lihai nenek itu dan yang ternyata merupakan lawan yang berat juga. Di lain pihak, nenek itu mengeluarkan suara gerengan marah karena tiga buah kaitan berikut tiga ujung cambuknya telah buntung oleh pedang yang amat lihai di tangan Cui Im. Pada saat itu, Sin-to Gi-hiap yang melihat kesempatan baik, sudah meloncat mendekati Keng Hong dan berkata, "Orang muda, kau harus ikut bersamaku sebagai wakil suhumu!" Kakek itu dengan golok telanjang di tangan kanan menyambar Keng Hong dengan tangan kirinya, hendak mencengkram pundak pemuda itu. Sebelum Keng Hong sempat mengelak, sinar merah berkelebat dan kakek itu cepat menarik kembali tangannya karena kalau dilanjutkan, tentu akan buntung terbabat pedang yang dibacokan Cu Im. "Kakek tua bangka, jangan sentuh pemuda ini!" Sin-to Gi-hiap menghela napas panjang. "Nona, mengingat gurumu, biarlah kami orang tua mengalah. Marilah kita berunding baik-baik. Benda-benda pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong amatlah banyaknya, kalau kita bertiga membagi rata, masih amat banyak bagian kita masing-masing. Kurasa Kiu-bwe Toanio juga tidak keberatan." Kiu-bwe Toanio menggerak-gerakkan cambuknya. Ia maklum bahwa gadis itu amat lihai ilmu pedangnya, apalagi kalau ia mengingat guru gadis itu, benar-benar tak boleh dijadikan lawan dan jauh lebih baik dijadikan kawan. Maka ia mengangguk dan menggumam, "Asal orang muda tidak kurang ajar terhadap orang tua, aku pun bukan seorang serakah yang ingin memiliki seluruh pusaka." Cu Im melangkah maju mendekati Keng Hong lalu memegang tangan pemuda itu dengan tangan kanannya yang menyembunyikan pedang di balik lengan. "Uh, kalian mau enaknya saja! Siapa yang lebih dulu mendapatkan murid Sin-jiu Kiam-ong ini? Aku! Kalau kalian semua lari terbirit-birit diusir tosu-tosu Kun-lun-pai, aku malah membiarkan diriku dijadikan seorang tawanan! Setelah aku berhasil mendapatkan pemuda ini, kalian masing-masing mau minta bagian! Benar-benar tak tahu malu!" Tiba-tiba gadis itu menggerakan tangan kiri, membanting sesuatu di depan dua orang lawan itu dan terdengarlah ledakan keras diikuti asap hitam mengebul. Dua orang tua itu adalah orang-orang sakti yang sudah berpengalaman. Cepat mereka melompat mundur menjauhkan diri, maklum betapa berbahaya asap hitam yang timbul dari ledakan itu. Dan memang tepat sekali dugaan mereka karena kalau keduanya tidak menjauhkan diri dan sampai menghisap asap hitam itu, nyawa mereka terancam maut yang disebar oleh asap hitam yang amat beracun itu! Ketika mereka meloncat dengan jalan memutari asap itu, ternyata Cui Im dan Keng Hong sudah tidak kelihatan lagi bayangannya. "Kurang ajar! Mari kita kejar!" Kiu-bwe Toanio berseru dan menggerak-gerakan cambuknya yang tinggal berekor enam itu. "Tar-tar-tar!" Dua orang tokoh lihai ini lalu melesat dan melakukan pengejaran akan tetapi karena mereka berdua tidak melihat ke jurusan mana larinya Cui Im, mereka mengejar secara ngawur dan ternyata mereka menuju ke jurusan yang berlawanan. Kalau Cui Im yang mengempit tubuh Keng Hong lari ke selatan, mereka mengejar ke barat! *** "Keng Hong, kita beristirahat dan bermalam di sini!" Kata Cui Im sambil melempar tubuh Keng Hong di atas rumput hijau dalam sebuah hutan. Senja telah berlalu dan keadaan cuaca di dalam hutan sudah remang-remang. Cui Im lalu menyalakan api dan membuat api unggun sehingga di situ selain hangat dan tidak diganggu nyamuk, juga agak terang. Kemudian gadis cantik itu duduk mendekati Keng Hong yang bersandar pada batang pohon. "Keng Hong, waktumu sudah terlewat sehari, tinggal malam ini. Kalau kau tidak kuberi obat penawar, besok pagi engkau mampus." Keng Hong menarik napas panjang memperlihatkan muka duka padahal di dalam hatinya dia menjadi geli. "Mampus ya biarlah, malah tidak repot menjadi rebutan seperti sekarang ini!" "Eh, eh, eh! engkau masih muda remaja, baru tujuh belas tahun usiamu, belum mengecap kenikmatan hidup, mengapa ingin mati?" "Ingin mati sih tidak, akan tetapi kalau engkau meracuniku sampai mati, aku bisa berbuat apakah?" "Engkau tidak ngeri? Tidak takut mati?" "Mengapa takut? Apakah engkau takut mati, Cui Im?" Gadis itu mengangguk, memandang wajah tampan itu dengan heran dan kagum. "Hemmm, alangkah anehnya kalau ada orang takut mati. Mati itu apa sih? Siapa yang pernah mengalaminya? Siapa yang mengetahuinya bagaimana kalau sudah mati? Apakah menakutkan? Kalau belum tahu, perlu apa takut? Aku tidak takut mati karena aku tidak tahu apa yang akan terjadi di sana, seperti juga dahulu aku tidak takut lahir karena ketika itupun aku tidak tahu bagaimana itu yang disebut hidup!" "Wah, engkau ini selain tolol dan bandel, juga aneh!" "Engkau lebih aneh lagi. Ketika berada di Kun-lun-san, engkau membiarkan dirimu menjadi tawanan, berpura-pura seperti orang yang tidak memiliki kepandaian, padahal tadi ketika menghadapi Kiu-bwe Toanio, engkau lihai sekali." Cui Im tertawa, giginya berkilauan disentuh sinar api unggun. "Kalau tosu-tosu bau dari Kun-lun-pai itu mengetahui bahwa aku adalah aku, tentu mereka tidak akan mudah melepaskan aku pergi, biarpun engkau yang memintanya." "Engkau siapa sih? Aku dengar tadi mereka menyebutmu Ang-kiam Tok-sian-li. Julukan yang bagus dan juga mengerikan! Ang-kiam (Pedang Merah) dan Sian-li (Bidadari) memang bagus, akan tetapi terselip kata-kata Tok (Racun), sayang sekali. Dan buktinya engkau memang tukang meracuni orang! Mengapa seorang gadis muda jelita macam engkau begini ganas, sungguh sukar dimengerti." Cui Im tertawa lagi dan memegang lengan pemuda itu dengan sikap mesra. "Kau bilang aku jelita? Benarkah?" "Kalau aku tidak bilang kau jelita, berarti aku membohongi diri sendiri. Engkau memang jelita, Cui Im." Gadis itu makin girang hatinya. "Aduh, kalau kau selalu bersikap manis kepadaku, aku menjadi tidak tega membunuhmu, Keng Hong. Kau tampan sekali, dan banyak gadis akan kehilangan hatinya kelak kalau berhadapan denganmu." Jantung Keng Hong berdebar, dia selamanya belum pernah berdekatan dengan wanita muda dan cantik, belum pernah dipuji dan di rayu. Cepat dia menekan perasaannya dan mengalihkan percakapan. "Kiu-bwe Toanio dan Sin-to Gi-hiap adalah dua orang locianpwe yang berilmu tinggi, akan tetapi terhadapmu seperti orang jerih, dan selalu menyebut-nyebut gurumu. Siapa sih gurumu yang agaknya amat mereka takuti itu, Cui Im?" "Guruku adalah orang yang terpandai di kolong langit ini! Agaknya hanya Sin-jiu Kiam-ong saja yang dapat menandinginya, akan tetapi setelah Kiam-ong meninggal, guruku menjadi jago nomer satu di dunia! Dia adalah orang pertama dari Bu-tek Su-kwi (Empat Iblis Tanpa Tanding) yang menguasai daerah selatan dan berjuluk Lam-hai Sin-ni (Dewi Laut Selatan). Akan tetapi..... ah, Keng Hong, marilah bawa aku ketempat rahasia penyimpanan kitab-kitab rahasia suhumu, kita mempelajari bersama dan..... kita berdua akan menjadi sepasang jago nomer satu di dunia. Guruku sendiri takan mampu melawan kita. Marilah, kekasih.....!" Cui Im merangkul leher Keng Hong. Tercium keharuman yang amat sedap dari muka dan rambut gadis itu, membuat Keng Hong menjadi makin berdebar jantungnya dan terpaksa dia memejamkan matanya "Bagaimana, Keng Hong? kuberi obat pemunah, ya? Kemudian.... kemudian kita bersenang-senang malam ini besok kita pergi ke Kun-lun-san, ke Kiam-kok-san dan mengambil semua pusaka peninggalan suhumu.... ya??" Keng Hong sudah memejamkan mata dan sudah mengumpulkan seluruh panca indra untuk menekan batinnya yang bagaikan air yang tenang mulai diguncang nafsu. Ia menggeleng kepala dan berbisik, "Aku tidak tahu di mana tempatnya itu." Cui Im melepaskan rangkulanya dan lenyap pula kemesraanya. Ia mendengus dan menjauhkan diri, duduk merenung di depan api unggun. Keng Hong membuka matanya dan memandang punggung gadis itu yang menggunakan sepuluh jari tanganya menekuk-nekuk batang rumput, berkali-kali menarik napas panjang dan kelihatanya jengkel sekali. Keng Hong terheran mengapa ada seorang gadis secantik itu, sehalus itu, berhati kejam dan jahat, mengejar kepandaian secara membuta. Ia merasa sayang sekali. Kalua dia terbayang akan belaian dan bujuk rayu tadi, kakinya menggigil. Apa yang akan diperbuat gurunya, andaikata Sin-jiu Kiam-ong yang menjadi dia? Dia tidak takut akan racun yang memasuki perutnya tadi. Selama dia berguru kepada Sin-jiu Kiam-ong, gurunya itu setiap hari memberinya minum segala macam racun, sedikit demi sedikit! "Kaki tangan seorang lawan dapat kauhadapi dengan kaki tangan pula, muridku," demikian gurunya memberi keterangan, "akan tetapi lawan yang licik suka mempergunakan racun yang dicampur dalam makanan atau minuman. Banyak terdapat racun yang jahat sekali dan yang tidak berbau apa-apa, tidak terasa apa-apa. Namun dengan kebiasaan minum sedikit racun setiap hari, lidahmu akan menjadi biasa dan dapat mengenal setiap racun yang dicampur makanan atau minuman. Juga, dengan cara sedikit demi sedikit, makin lama makin tambah takarannya masukan racun-racun itu ke perut, engkau akan menjadi kebal terhadap segala macam racun." Demikianlah, ketika dia minum air yang dicampur racun, dia segera mengenal racun itu, akan tetapi mengandalkan kekebalan perutnya dia tidak khawatir dan minum terus sampai habis. Dengan sinkang yang disalurkan ke perut, dia tadi telah mengumpulkan racun di perutnya dan dalam perjalanan tadi ketika dia dipanggul Cui Im, diam-diam dia telah memuntahkan kembali racun itu sehingga kini perutnya bersih daripada racun. Kembali Keng Hong memperhatikan Cui Im. Kini gadis itu agak miring duduknya sehingga tampak dari samping wajah yang cantik itu. Wajah yang disinari api merah, sedikit tertutup juntaian rambut hitam, benar-benar amat mempesonakan. Ketika tiba-tiba gadis itu menoleh ke arahnya, seolah-olah terasa pandang matanya, Keng Hong cepat meramkan matanya. Dia memang lelah dan mengantuk, maka kini dia mengambil ketetapan hati untuk meram terus dan tidur, tidak lagi mempedulikan gadis itu. "Keng Hong....!" Pemuda itu membuka matanya dan memandang gadis yang bersimpuh di depannya. "Enak saja kau tidur!" "Habis mau apa lagi? Mengapa kau mengganggu orang tidur?" Gadis itu makin gemas. Orang ini sudah terkena racun, sudah menghadapi kematian, namun masih enak-enak saja. Biarpun seorang di antara tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw macam mereka yang disebut locianpwe, kiranya akan menjadi gelisah dan akan berdaya sedapat mungkin untuk menyelamatkan nyawanya. Akan tetapi pemuda ini enak-enak saja tidur. Selain heran dan penasaran, juga dia menjadi kagum dan makin tertarik karena sukarlah mencari seorang pemuda setenang ini. Ataukah memang karena tololnya? Dia tidak menghendaki kematian Keng Hong, karena kematian pemuda ini tidak saja akan membuyarkan cita-citanya mendapatkan kitab-kitab simpanan Kiam-ong, juga gurunya akan menjadi marah sekali kepadanya. Apa yang ia harus lakukan untuk dapat membujuk pemuda ini? "Keng Hong, apakah kau tidak merasa sakit?" Keng Hong menggeleng kepala. "Perutmu tidak mulas? Racun itu tentu telah mulai bekerja." Kembali pemuda itu hanya menggeleng. "Kau memang aneh. Karena umurmu tinggal malam ini, biarlah kuhadiahi engkau arak wangi yang kubawa. Jarang ada orang kuberi arak ini, kalau bukan orang yang kusenangi." "Hemmm, engkau senang kepadaku?" Cui Im memandang dan melempar kerling memikat, senyumnya kini manis sekali. "Ah, betapa bodohnya engkau Keng Hong. Aku senang kepadamu, aku cinta kepadamu, masih butakah matamu? Aku tidak ingin melihat engkau mati besok."