Cong San merasa betapa dadanya menjadi sesak dan panas, seolah-olah dada api membara membakarnya dari dalam. Si keparat Cia Keng Hong! Kiranya betul! Hampir dia lari masuk untuk melontarkan surat itu ke muka isterinya. Akan tetapi untungnya dia teringat akan keadaan isterinya. Isterinya mengandung tua, amat berbahaya bagi kandungannya kalau sampai batinnya terpukul. Jelas, isterinya dahulu adalah kekasih Keng Hong! Jelas sekali dari bunyi surat itu. Akan tetapi, hal itu sudah disangkanya dahulu, dan bukanlah dia sudah memaafkan? Sekarang surat ini datangnya dari Keng Hong. Si keparat Keng Hong laki-laki mata keranjang yang tak juga mau mengubah wataknya yang rendah dan kotor! Isterinya tidak bersalah dan amat kejamlah kalau menyalahkan isterinya dengan datangnya surat ini. Hanya Keng Hong yang bersalah, si keparat hina itu. Sudah menikah dengan Biauw Eng masih berani menurati Yan Cu yang telah menjadi isterinya. Makin diingat makin panas hatinya dan kalau saja pada saat itu Keng Hong berada di depannya, tanpa bicara apa-apa lagi tentu akan diserangnya dan diajak mengadu nyawa! Dengan segala kekuatan batinya Cong San menekan hatinya yang panas dan diamuk cemburu, kemudian mengambil kertas dan pit-nya, memegang pit yang juga biasa menjadi senjatanya yang ampuh itu, ingin sekali dia mengunakan pit ini untuk menyerang Keng Hong daripada untuk menulis surat! Sampai tiga kali dia merobek-robek suratnya yang memaki-maki Keng Hong. Ah, dia harus berhati-hati. Urusan ini menyangkut nama dan kehormatan isterinya sendiri yang tidak berdosa, tidak tahu apa-apa. Dia boleh marah, boleh memaki Keng Hong, akan tetapi kalau dia sebut-sebut dalam surat urusan itu dan sampai surat itu dibaca orang lain, bukankah nama isterinya akan cemar? Cia Keng Hong, Aku masih cukup bersabar, akan tetapi sekali lagi engkau berani menulis surat tau melakukan perbuatan yang hina, aku Yap Cong San bersumpah untuk membunuhmu! Tertanda : Yap Cong San. Setalah memasukkan surat dalam sampul dan memasukan sampai ke dalam saku orang yang tertotok itu, dia lalu membebaskan totokannya, mencengkeram pundak orang itu dan melemparkan tubuhnya ke luar toko setelah dia membuka daun pintunya. "Lekas minggat sebelum kuhancurkan kepalamu!" bentaknya. "Baik, Taihiap...... baik......!" Orang itu berlari terhuyung-huyung, menghampiri kudanya, meloncat ke atas pungung kuda dan membalapkan kudanya ke luar kota Leng-kok. *** Cong San menjatuhkan dirinya duduk di atas kursi, surat dari Cin-ling-san itu seolah-olah terasa panas membakar di saku bajunya. Tiba-tiba dia meluruskan tubuhnya ketika mendengar langkah kaki Yan Cu keluar dari ruangan dalam. "Apakah ribut-ribut tadi? Aku seperti mendengar ada tamu!" Yan Cu bertanya sambil memandang suaminya. "Memang ada tamu, seorang dari luar kota membutuhkan obat untuk isterinya yang sakit demam." "Ahhh, pantas aku mendengar derap kaki kudanya. Eh, apakah itu?" Cong San cepat membungkuk dan mengambil tiga robekan kertas yang sudah dikepal-kepalnya tadi, surat-surat yang bernada keras terhadap Keng Hong. Ia merasa lega bahwa isterinya dengan perutnya yang besar itu tidak dapat membungkuk. kalau tidak sedang mengandung, tentu Yan Cu sudah membungkuk dan menyambar kertas-kertas itu. "Ah, bukan apa-apa. tadi kutulis catatan obat untuknya, akan tetapi sampai tiga kali keliru saja." Ia merobek-robek kertas itu sampai hancur, kemudian melemparkannya ke keranjang di sudut. "Suamiku, kau kelihatan lelah sekali. Mengasolah." Akan tetapi, Cong San yang rebah di samping isterinya, tak dapat tidur. Yan Cu telah tidur nyenyak dan malam itu sunyi sekali. Namun Cong San yang rebah tak bergerak itu merasa gelisah dan sama sekali tak pernah dapat tidur sekejap mata pun. Dadanya terasa panas bukan main. Sekarang dia mendapatkan bukti bahwa antara Yan Cu dan Keng Hong memang pernah ada hubungan cinta. Hal itu tidak menyakitkan hatinya karena memang sudah diduganya dan sudah dia lupakan. Akan tetapi, sekarang Keng Hong datang dengan suratnya yang jelas menyatakan bahwa laki-laki tak tahu aturan itu masih mencintai Yan Cu! Cong San juga tidak marah mendapat kenyataan bahwa isterinya dicinta laki-laki lain. Tidak ada seorang pun suami di dunia ini yang akan marah kalau isterinya dicinta laki-laki lain, biar laki-laki sedunia jatuh cinta, malah akan mendatangkan kebanggaan bahwa wanita yang dicinta orang-orang lain itu menjatuhkan pilihan kepada dirinya! Tidak dia tidak akan peduli kalau tahu bahwa Keng Hong masih mencinta isterinya. Akan tetapi, melihat Keng Hong masih berani melanjutkan hubungan, berani mengirim surat, hal itu sudah melanggar batas kesopanan, seolah-olah sengaja menghinanya! Di samping ini, timbul perasaan tidak enak yang makin memanaskan hatinya, yaitu perasaan cemburu yang sudah berhasil dia padamkan sampai dua kali. Pertama, ketika cemburu mulai meracuni hatinya setelah mendengar fitnah yang dilontarkan dari mulut Cui Im sehingga dia menjadi cemburu sekali kepada Yan Cu. Cemburu yang pertama itu dapat dia atasi dan tundukan dengan keyakinan bahwa dia tidak perlu mempercaya mulut seorang iblis betina seperti Bhe Cui Im. Kemudian dia hampir gila ketika cemburu yang kedua kalinya menerkamnya, yaitu setelah pada malam pertama di tepi telaga dia mendapat kenyataan bahwa Yan Cu bukan perawan lagi. Ras cemburu membuat dia hampir melakukan hal yang bukan-bukan, bahkan membuat dia ingin membunuh diri. Namun, akhirnya dia dapat juga menundukan cemburu yang kedua kalinya itu berkat wejangan-wejangan suhengnya, Thian Kek Hwesio yang kini menjadi ketua Siauw-lim-pai. Sekarang, kembali cemburu menggerogoti hatinya, sedikit demi sedikit, dengan giginya yang beracun sehingga terasalah panas membakar yang membuat dadanya seperti meledak. Rasa cemburu yang timbul dengan pertanyaan-pertanyaan di dalam hatinya, "Keng Hongamat mencinta Yan Cu, sampai sebesar apakah cinta Yan Cu kepada Keng Hong? Melihat bunyi surat yang menyatakan betapa besar kasih sayang Keng Hong kepada Yan Cu, mungkinkah sekarang Yan Cu dapat menghilangkan rasa cintanya terhadap Keng Hong? Tidakkah diam-diam isterinya yang kini tidur di sampingnya itu masih mencinta Keng Hong?" Pertanyaan-pertanyaan yang terdengar seperti bisikan halus itu seperti menusuk-nusuk jantungnya, dan betapapun Cong San berusaha mengusirnya, tetap saja bisikan-bisikan itu terus mengikuti hati dan pikirannya. "Yan Cu menjadi isterimu hanya karena terpaksa! Sebetulnya dia mencinta Keng Hong!" Bisikan yang tadi bertanya-tanya itu kini berubah menjadi ejekan-ejekan yang menyakitkan hati dan tenaga. Cong San miring ke kanan kemudian ke kiri menelungkup, telentang, namun suara itu tetap terdengar olehnya. Dia menjadi makin gelisah, suara terngiang-ngiang melengking memenuhi kedua telinganya dan dia tahu bahwa kalau dia tidak dapat menekan ini, dia bisa menjadi gila. Maka dia cepat bangkit perlahan, duduk dan menatap wajah Yan Cu yang tidur dengan nyenyak disampingnya. Yan Cu tidur dengan nyenyak sekali, bibirnya agak terbuka dan kelihatah tersenyum penuh ketenangan. Sanggul rambutnya terlepas dan rambut itu terurai indah, sebagian menutup pipi dan lehernya, sebagian terurai di atas bantal putih. tangan kirinya terletak di atas bantal dengan lengan terangkat dan bajunya yang longgar tersingkap memperlihatkan sebagian pundak dan rambut halus di bawah pangkal lengan. Lengan kananya memeluk perutnya yang gendut seperti melindungi anak yang dikandungnya. Betapa cantiknya, betapa suci bersih dari dosa wajah yang jelita itu. Melihat isterinya, perlahan-lahan rasa haru membuat dada Cong San yang tadinya panas itu menjadi hangat nyaman, napasnya yang sesak menjadi tenang dan bisikan jahat tadi kini hanya terdengar lapat-lapat seolah-olah setan yang berbisik-bisik menjadi ketakutan dan lari menjauh sambil memaki-maki. Dengan penuh rasa cinta kasih mendalam, Cong San memnunduk dan mengecup dahi Yan Cu, perlahan-lahan sekali karena dia tidak ingin mengganggu isterinya yang tidur demikian pulasnya. Kemudian pandang matanya merayap ke bawah, mengagumi kulit leher dan pundak yang putih mulus, mengagumu bulu rambut halus di bawah pangkal lengan, terus menurun dengan rasa bangga memandang dada yang kini makin membesar mengikuti pertumbuhan kandungannya. Akhirnya matanya terhenti pada perut isterinya, memandang perut yang menggembung itu dan keharuan membuat dia hampir menitikkan air mata ketika dia melihat secara kebetulan perut di bagian kanan isterinya bergerak-gerak perlahan seolah-olah anak yang berada di kandungan menggerak-gerakan tubuhnya agar tampak oleh ayahnya! "Yan Cu......!" Cong San berbisik dan mengelus perut yang bergerak perlahan itu. "Apa kau yakin dia anakmu?" Cong San tersentak kaget dan menarik tangannya seolah-olah akan di kandungan itu menggigit jari tangannya. "Siapa tahu dia telah mengandung ketika menikah denganmu. Siapa tahu engkau bukan ayahnya, melainkan Keng Hong......!" Suara itu berbisik makin jelas di dalam telinganya. "Tidaaaaaakkk!! Setean iblis keparat!!" Cong San membalik, tangannya terayun seolah-olah hendak memukul yang berbisik di belakangnya. "Brakkk!!" Tiang kelambu di belakangnya patah oleh hantaman telapak tangannya. Yan Cu bangkit duduk, terbelalak memandang suaminya, "Ehhh...... San-ko, apa yang terjadi.....?" Ia masih nanar karena baru bangun tidur, berkedip-kedip memandang suaminya dan menoleh ke arah tiang kelambu yang patah, membuat kelambu di bagian itu turun menutup suaminya. Cong San menjambak-jambak rambutnya, lalu memeluk isterinya dan berkata, "Ahhh, aku...... aku mimpi..... bertempur melawan setan dan tak kusadari aku memukul tiang kelambu sampai patah." "Ihhh....., apakah yang mengganggu hatimu, Koko? Mengapa engkau sampai mimpi yang tidak-tidak? Untung bukan aku yang kau pukul. Biar kuambilkan minum, engkau pucat sekali....." "Tak usah, tidurlah, isteriku dan maafkan aku. Biar kusambung tiang ini." Setelah membetulkan tiang yang patah, Cong San lalu rebah miring dan merangkul isterinya. Yan Cu membalik menghadapi suaminya, menggeser tubuh makin dekat, menyembunyikan muka di dada suaminya. "Kau..... kau tidak sedang gelisah, bukan?" Ia berbisik. "Tidak tidurlah, sayang." Yan Cu menarik napas lega dan Cong San mempererat pelukannya. Iblis itu tidak berbisik lagi dan dia tidak berani melepaskan pelukannya. hawa yang hangat dari tubuh Yan Cu seolah-olah mempunyai daya mujijat mengusir iblis itu dan akhirnya, menjelang pagi itu, dia dapat tertidur dengan Yan Cu dalam pelukannya. Cong San sama sekali tidak tahu betapa laki-laki muda yang mengaku bernama A-liok tadi yang mengaku sebagai utusan Cia Keng Hong mengantar surat rahasia telah menghadap Cui Im bersama Mo-kiam Siauw-ong menyampaikan laporannya. Cui Im dengan hati-hati membuka sampul surat balasan Cong San kepada Keng Hong dan dia tertawa terpingkal-pingkal, wajahnya berseri-seri dan pandang matanya membayangkan kepuasan. "Bagus sekali! Siasat pertama berhasil baik! Kalau Cong San masih belum terbakar, benar-benar dia seorang yang tolol! Engkau telah melakukan pekerjaan baik sekali, sekarang engkau harus terus pergi ke Cin-ling-san menyampaikan surat ini kepada Cia Keng Hong." A-liok palsu itu menjadi pucat mukannya. "Akan tetapi.... tentu dia akan mengenal bahwa saya bukan A-liok dan celakalah saya....." "Bodoh!" Cui Im membentak. " Kau tidak perlu ke tempat tinggalnya, cukup kau berhenti malam-malam di depan rumah seorang petani di kaki Gunung Cin-ling-san, teriaki supaya dia keluar, brikan surat dengan pesan agar disampaikan kepada Cia-taihiap dan kautambahkan bahwa engkau yang mengaku A-liok tidak akan kembali ke lereng Cin-ling-san. Dalam gelap takkan ada orang mengenalmu, dan petani bodoh itu tentu hanya akan mengenal pakaian dan kudamu, terutama nama palsumu." *** Cui Im memberi hadiah beberapa potong uang perak kepada orang itu yang dengan girang sekali dan segera berangkat ke Cin-ling-san. Mo-kiam Siauw-ong lalu memerintahkan pelayannya menyediakan hidangan dan arak untuk merayakan hasil baik siasat mengacau kehidupan musuh-musuhnya itu. "Siasat Sianli benar-benar hebat dan kepandaian menulis adik iparku benar-benar mengagumkan. Aku harus memberi selamat kepada kalian dengan secawan arak!" kata Mo-kiam Siauw-ong. Mereka minum sambil tersenyum-senyum gembira. Go-bi Thai-houw yang dipersilahkan makan minum pula, mendengarkan dengan sikap malas-malasan. Kemudian terdengar ia berkata, "Tanpa akal bulus surat itu pun akan Tung Sun Nio itu takkan dapat hidup rukun dengan suaminya. Tendanganku tentu telah berhasil baik, menghilangkan tanda keperawanan dan dengan itu sajasudah cukup untuk merusak kebahagiaan mereka." Cui Im yang pandai menjilat itu segera mengangkat cawan araknya dan berkata, "Semua siasat teecu mengandalkan kelihaian Subo seorang. harap Subo suka selalu membantu teecu menghancurkan mereka yang telah menggagalkan semua usaha kita, terutama Cia Keng Hong. Sebelum dia mampus, bagaimana Subo dapat mengangkat diri menjadi yang terlihai di seluruh dunia kang-ouw?" "Hemmm, bocah itu mudah saja kukalahkan. Akan tetapi aku sekarang sudah merasa malas untuk bertempur, sudah enak sekali hidup di sini. Orang setua aku ini tinggal menanti mati, harus menghabiskan sisa hidup yang tak lama lagi dengan bersenang-senang." Cui Im tidak berani mendesak, dan biarpun subonya berkata demikian, di dalam hatinya dia masih sangsi apakah benar subonya akan daapt mengalahkan Keng Hong dengan mudah. Apalagi kalau di samping musuh besarnya itu terdapat Biauw Eng yang tidak boleh dipandang ringan pula, karena selain Biauw Eng memang telah memiliki kepandaian tinggi, bekas sumoinya itu pernah menerima ilmu-ilmu aneh dari go-bi Thai-houw sendiri dan kini tentu saja menerima bimbingan Keng Hong yang menjadi suaminya. "Sianli, setelah siasat pertama berhasil baik, kapan akan dilakukan siaat ke dua dan bagaimanakan siasat itu?" Mendengar pertanyaan Mo-kiam Siauw-ong ini, Cui Im tersenyum. "masih belum tiba waktunya untuk melakukan siasat ke dua itu. Aku harus menunggu sampai Yan Cu melahirkan bayinya. Dalam keadaan mengandung seperti sekarang ini, siasat itu tidak akan dapat dijalankan." "Wah, tentu masih lama sekali!" Coa Kun mencela. "Apa artinya bebeerapa bulan lagi? Aku telah menanti setengah tahun untuk siasat pertama. Untuk dapat membalas dendam dengan berhasil baik, orang harus memiliki kesabaran dan menggunakan prhitungan yang seksama dan tepat agar tidak sampai ggal sehingga tidak sia-sialah kesabaran yang berbulan-bulan menindih hati." "Sianli memang luar biasa sekali, sabar dan cerdik. Memang, orang perlu sekali memiliki kesabaran, karena kesabaran akan mendatangkan hadiah, biarpun lambat." Mendengar ucapan Mo-kiam Siauw-ong ini, Cui Im melirik ke arah laki-laki tingi besar itu dan ia tersenyum lebar. "Siasat pertama ini hanya berhasil baik karena jasa Siauw-ong. Jasa besar harus diberi imbalan pahala, dan selanjutnya aku pun mengharapkan bantuan Siauw-ong dengan anak buahnya. harap malam nanti kau suka mengadakan waktu karena aku akan datang dan merundingkan siasat-siasat selanjutnya denganmu." Mo-kiam Siauw-ong dapat menangkap maksud yang tersembunyi di balik kata-kata itu, apalagi ketika mereka bertemu pandang. jantungnya berdebar saking girangnya dan dia mengangkat cawan, menenggak habis araknya sambil berkata, Aku selalu siap sedia membantu Sianli, dan aku menanti kedatangan Sianli setiap saat." Malam itu Coa Kun terbebas dari gangguan Cui Im dan tidur dengan nyenyaknya di bawah pengaruh hawa arak yang terlalu banyak diminumnya. Di dalam kamar lain, di sebelah belakang bangunan besar itu, Cui Im memenuhi janjinya kepada Mo-kiam Siauw-ong, menyelinap ke kamar laki-laki setengah tua yang bertubuh tinggi besar ini yang menyambut kedatangannya dengan pelukan dan ciuman penuh nafsu berahi yang bernyala-nyala. Mo-kiam Siauw-ong menikmati pahalanya sampai malam suntuk dan Cui Im pun menanggapi ini sebagai sebuah selingan yang bukan tidak menyenangkan. Sementara itu, beberapa hari kemudian, pagi-pagi sekali Keng Hong dan Biauw Eng menerima kedatangan seorang petani yang tinggal di kaki bukit, yang datang menghadap membawa sampul surat sambil berkata, "Malam tadi saya menerima surat ini untuk disampaikan kepada Cia-taihiap. Karena malam gelap, saya tidak berani mengganggu Taihiap dan baru pagi ini saya sampaikan." Keng Hong cepat menerima surat itu dan ketika membaca sampulnya, dia saling pandang dengan isterinya. "Dari mereka?" tanya Biauw Eng. Keng Hong mengangguk, lalu bertanya kepada petani ini, "Siapakah yang memberikan surat ini kepadamu, Lopek?" "Seorang penunggang kuda, katanya bernama A-liok. Selain minta agar supaya surat itu disampaikan kepada Taihiap, juga dia berpesan bahwa dia tidak akan kembali ke sini, Taihiap. Lalu dia pergi membalapkan kudanya." "Aneh sekali, mengapa A-liok tidak pulang?" Biauw Eng berkata, alisnya berkerut karena ia merasa curiga. "Bagaimana rupanya orang itu, Lopek? Apakah Lopek sudah mengenal A-liok?" Petani tua itu menggeleng kepala. "Saya tidak dapat melihat wajahnya Taihiap. Malam gelap dan dia duduk di atas kuda. Hanya kudanya berbulu hitam dihias putih di dada dan keempat kakinya, dan pakaian orang itu berwarna biru, dengan topi bunder warna kuning. Dia masih muda, melihat bentuk badan dan suaranya." "A-liok, tak salah lagi," kata Keng Hong, "Terima kasih, Lopek." Dia memberi hadiah uang kepada kakek itu yang ditolaknya. "Melakukan sesuatu untuk taihiap merupakan kesenangan, mengapa harus memberi hadiah? Sudah cukup, Taihiap, saya mau turun." Kakek itu lalu berjalan terbongkok-bongkok menuruni lereng. Keng Hong mengajak isterinya masuk ke dalam kamar dan di situlah, di luar tahunya orang lain, mereka bicara serius. "Heras sekali, mengapa A-liok tidak langsung saja pulang dan menyerahkan surat balasan itu kepada kita?" Biauw Eng berkata. "Benar-benar mencurigakan urusan ini." "Hemmm, agaknya aku salah mempercaya orang. A-liok pernah tinggal bertahun-tahun di kota. Begitu mendapatkan kuda baik dan sedikit uang, agaknya dia tidak mau kembali ke gunung dan akan merantau ke kota lagi. Sudahlah, yang penting, surat kita sudah diberikan dan malah dia sudah membawa balasannya, ini sudah cukup baik." Keng Hong merobek pinggir sampul dan menarik keluar suratnya. Dibukanya lipatan surat dan begitu matanya melihat beberapa buah huruf yang ditulis dengan goresan penuh amarah itu, wajahnya berubah marah, matanya terbelalak dan dia terjatuh duduk di atas kursi, kedua tangan masih tetap memegangi surat seolah-olah kedua lengannya kaku dan dia tidak percaya akan apa yang dibacanya. "Apa isinya?" Biauw Eng terkejut melihat suaminya dan ketika suaminya tidak menjawab, ia cepat merampas surat itu dan dibacanya. "Manusia jahanam Yap Cong San.....!!" Biauw Eng memaki dan merobek kertas itu. "Eiiiihhh, sabar, jangan robek-robek surat itu, untuk bukti!" Biauw Eng melemparkan surat yang sudah dia robek menjadi dua itu kepada suaminya sambil berkata marah, "Sabar, katamu? Si keparat itu berani menghinamu seperti itu dan kau bilang supaya aku sabar? Hemmm, kalau saat ini dia berada di depanku, tentu dia akan merasai hajaran kedua tanganku!!" *** "Nanti dulu, isteriku. Kita harus tidak boleh menurutkan perasaan dan menggunakan akal sehat. Aku tidak percaya kalau Cong San dapat menulis surat seperti ini kepadaku. Tentu ada sebab lain, dan melihat sikap A-liok yang melarikan diri dari aku curiga sekali." "Curiga apa lagi? Sebab apa lagi? Dia telah gila, gila oleh cemburu! Masa engkau tidak tahu? Dia telah menjadi gila karena mencemburukan isterinya denganmu! Manusia tolol macam itu apa gunanya diajak berunding? Cis, aku tidak sudi mempunyai sahabat, apalagi saudara, macam itu! Pendeknya, mulai saat ini, kita tidak akan berhubungan dengan manusia itu lagi, dan kalau tanpa disengaja aku bertemu dengannya, aku tidak akan puas sebelum menghajarnya sampai dia minta ampun kepadamu." "Ssttt, Biauw Eng isteriku, tenang dan sabarlah. Ingat, engkau sudah menjadi calon ibu anak kita, masa masih begitu pemarah dan ganas? Aku yakin bahwa Cong San tentu tidak sengaja menghinaku, dan di balik semua ini tentu ada rahasia lain. Dia telah menjadi korban racun fitnah yang dihamburkan oleh Go-bi Thai-houw dan Cui Im, tentu dia telah menderita batin hebat sekali kalau dia terkena racun itu, jangan kau tambah dengan sikap bermusuh dan membenci dirinya. Sebaiknya kita harus menolongnya........" "Cukup! Memang aku isteri yang galak, wanita yang ganas! Engkau terang-terangan dihina orang, aku membelamu dan kau malah membela orang itu! Sekarang aku bingung sekali, apakah si keparat Cong San yang gila, ataukah engkau yang miring otak, ataukah aku yang edan!" "Aihhh, isteriku yang baik, kaumaafkanlah aku!" Keng Hong merangkul. "Kita hentikan saja pembicaraan mengenai Cong San sampai lain kali. Betapapun juga, yang penting adalah kita berdua dan aku tidak ingin kita bertengkar karena dia atau siapapun juga. Kaumaafkan aku, kalau perlu, biarlah aku berlutut padamu!" Keng Hong bebar-benar menjatuhkan diri berlutut di depan Biauw Eng! Biauw Eng terkejut sekali dan cepat ia pun berlutut, merangkul suaminya dan menangis sesenggukan dalam rangkulan Keng Hong. Keng Hong mengelus rambut isterinya, mengangkatnya bangkit dan menuntunnya duduk di kursi. "Aih, aku telah gila, Eng-moi. Masa aku harus membuat engkau marah hanya karena seorang yang gila oleh cemburu. Engkau benar, memang kita tidak perlu lagi memikirkan mereka. Kelak, kalau anak kita sudah besar, kita berdua.......eh, bertiga maksudku, akan menengok Leng-kok dan hendak kulihat apa sebetulnya yang terjadi atas diri Cong San sehingga membuat dia gila dan menulis surat macam ini kepadaku." Biauw Eng masih terisak. "Aku tak dapat menahan panasnya hati membaca surat yang memaki dan menghinamu, Hong-ko. Apapun yang terjadi, betapapun dia diracuni cemburu, dia tidak boleh menulis penghinaan macam itu. Biarlah aku menurut kata-katamu, suamiku. Kita tinggal diam saja dengan sabar, anggap saja dia gila. Kelak kalau keadaan mengijinkan, kita bersama pergi menjumpainya dan menuntut perbuatannya yang tidak pantas ini!" "Baiklah, Eng-moi." Biarpun mulutnya berkata demikian, namun di dalam hatinya Keng Hong merasa khawatir sekali, mengkhawatirkan nasib Yan Cu. Kalau benar Cong San menjadi gila oleh cemburu, habis bagaimana nasib sumoinya itu? Kalau saja Biauw Eng tidak sedang mengandung tua, tentu dia sudah lari ke Leng-kok untuk menyelidiki dan membikin terang perkara yang menggelapkan pikiran dan menekan hatinya itu. Dia harus bersabar karena dia mengenal watak Biauw Eng yang masih belum dapat melenyapkan keganasannya, apalagi kalau hal yang menyangkut suaminya yang tercinta. Apapun yang terjadi, yang paling penting adalah keselamatan dan kesehatan isterinya, Biauw Eng dan anak yang dikandungnya. Keng Hong hanya dapat menarik napas panjang dan semenjak saat itu, biarpun hanya diam-diam dan dia menyembunyikan dari isterinya, batinya tertekan dan penuh keperihatinan akan nasib Cong San dan terutama Yan Cu, sumoinya yang amat disayangnya seperti adik sendiri itu. Beberapa bulan lewat tanpa peristiwa yang penting, baik dalam kehidupan Keng Hong dan Biauw Eng maupun dalam kehidupan Cong San dan Yan Cu. Hanya bedanya, suami isteri Cong San dan Yan Cu kini kebahagiannya terselubung awan hitam, dan hal ini dirasai oleh Yan Cu. Sikap suaminya menjadi berubah sama sekali sejak suaminya mimpi buruk itu. Sikapnya kadang-kadang dingin, kadang-kadang suaminya kelihatan berduka mengerutkan kening dan tidak pernah mau mengaku, hanya memberi alasan yang tidak masuk akal. Yan Cu maklum bahwa ada sesuatu yang dirahasiakan suaminya, akan tetapi dia hanya menduga bahwa tentu hal itu ada hubungannya dengan Siauw-lim-pai. Agaknya suaminya masih belum dapat menghilangkan rasa penyesalan dan dukanya mengingat akan nasib gurunya, Tiong Pek Hosiang, dan mengingat bahwa dia telah dikeluarkan dari Siauw-lim-pai. Lahirnya seorang anak laki-laki memang membahagiakan Yan Cu dan Cong San. Akan tetapi pandang mata Yan Cu yang awas itu dapat melihat bahwa kadang-kadang Cong San yang memondong dan menimang bayinya itu kelihatan seperti orang melamun dan ada bayangan ragu-ragu di wajahnya yang tampan. Hal ini benar-benar membuat hati Yan Cu prihatin sekali. Akhir-akhir ini Cong San tidak mengurus toko obatnya lagi, bahkan sering kali meninggalkan rumah dengan alasan hendak berjalan-jalan ke luar kota mencari hawa segar. Yan Cu yang ingin melihat suaminya terhibur, tidak mencegah dan diam-diam dia prihatin sekali. Dilimpahkan cinta kasihnya lebih daripada yang sudah-sudah dan ada kalanya suaminya menyambutnya dengan kehangatan cintanya, akan tetapi kadang-kadang suaminya menyambutnya dengan dingin dan tidak sewajarnya! Pada suatu hari, Cong San pergi berjalan-jalan. Sehabis menyusui bayinya lalu menyerahkannya kepada Chie-ma, inang pengasuh yang membantunya merawat bayi, yan Cu duduk menjaga toko obat sambil termenung memikirkan suaminya. Jantungnya kadang-kadang berdebar tidak enak. Apakah cinta kasih suaminya sudah luntur bersama lahirnya putera mereka? Aihhh, tidak mungkin! Cong San kelihatan bahagia dan bangga dengan lahirnya anak yang mereka beri nama Yap Kun Liong, seorang bayi yang tangisnya nyaring, mungil dan telah memperlihatkan tanda bahwa anak itu memiliki kesehatan luar biasa dan sepasang matanya bersinar-sinar, seorang calon manusia yang bertulang kuat berdarah bersih. Akan tetapi mengapa suaminya kadang-kadang melamun seperti orang hilang ingatan kadang-kadang melihat bayinya seperti orang ragu-ragu, ada kalanya mengeluh dalam tidurnya seperti orang berduka dan menyesal dan ada kalanya pula seperti orang yang dibakar api kemarahan hebat? Yan Cu menghela napas dan merasa gelisah sendiri. Terkenanglah ia kepada suhengnya, Keng Hong, dan Biauw Eng dan timbul rindunya. Mengapa mereka tidak datang berkunjung atau memberi kabar? Kalau mereka datang berkunjung, agaknya suhengnya yang dianggap seperti kakak kandung sendiri itu tentu akan dapat memecahkan rahasia yang mengganggu perasaannya ini. Ya, terhadap Keng Hong dia tidak akan ragu-ragu untuk menceritakan keadaan suaminya itu, dan tentu Keng Hong akan dapat membantunya. Agaknya mereka itu sibuk! Bagaimana kalau dia mengajak suaminya untuk pergi mengunjungi Keng Hong dan Biauw Eng? Akan tetapi Kun Liong masih terlalu kecil untuk dibawa pergi. Kalau ditinggalkan, ahhh, mana hatinya tega? yan Cu menjadi makin gelisah dan tidak tahu harus berbuat apa. Berkali-kali dia mendesak suaminya, dengan bujuk rayu, dengan halus sampai kasar, agar suaminya suka menceritakan apa yang mengganjal hatinya, namun selalu Cong San menjawab tidak apa-apa! Seorang laki-laki tua yang muncul di pintu toko mengagetkan Yan Cu dan menariknya kembali dari dunia lamunan. "Ada keperluan apa, Lopek?" tanyanya halus. "Apakah Yap-sinshe ada? Saya hendak berjumpa dengannya." "Ah, dia sedang keluar. Ada keperluan apakah? Memeriksa orang sakit? Atau hendak membeli obat? Aku dapat melayani dan membantumu, Lopek." "Benarkah Toanio dapat menolong saya? Saya datang dari kota Koan-ciu dan saya pernah diberi resep obat oleh Yap-sinshe untuk dibelikan di kota saya kalau obatnya habis, karena kota saya cukup jauh dari sini. Akan tetapi resep itu hilang! Saya ingin minta dibuatkan resep baru." "Hemmmm, obat apa saja yang ditulisnya?" "Mana saya tahu, Toanio! Maka saya harus bertemu dengan Yap-sinshe sendiri." "Hemmmm, begini saja. Siapa yang sakit dan apa penyakitnya?" "Yang sakit isteri saya, kakinya suka pegal-pegal kalau hawa sedang dingin sampai sukar dibuat jalan, kepalanya pening dan pandang matanya kabur. Setelah makan obat Yap-sinshe, agak mendingan, akan tetapi sekarang obatnya habis dan resepnya hilang." Penyakit biasa saja, pikir yan Cu. "Baiklah, saya akan membuatkan resep untuk isterimu." Setelah berkata demikian, Yan Cu mengambil alat tulis dan menuliskan resep di atas kertas dengan huruf-huruf tulisannya yang rapi dan kecil indah. Setelah selesai, ia memberikan resep itu kepada orang tadi sambil berkata, "Nah, ini obatnya tiga macam. Aturannya sudah kutulis, tentu toko obat akan memberi tahu. Ataukah engkau hendak membeli obat di sini?" *** "Nanti di kota saya saja, Toanio, karena..... eh, saya tidak membawa uang." "Terserah kepadamu, Lopek." "Berapa saya harus bayar, Toanio?" "Tidak usah, itu hanya pengganti resep yang hilang." Kakek itu membungkuk-bungkuk mengucapkan terima kasih lalu pergi dengan wajah girang. Yan Cu sudah melupakan karena telah tenggelam lagi dalam lamunannya. Kegelisahan hatinya menjadi keperihan dan kedukaan kalau ia ingat betapa suaminya kini seringkali menghibur diri di telaga tak jauh dari kota, dan pernah ia menyelidikinya sendiri dan melihat suaminya itu duduk menghadapi telaga sambil minum arak dan menulis sajak atau membaca buku! Makin yakinlah hatinya bahwa ada sesuatu yang mengganjal hati suaminya, yang tidak diceritakan kepadanya, bahkan dirahasiakan dan ganjalan hati itu tentu amat hebat sehingga suaminya perlu menghibur hati bersunyi diri di tepi telaga. Apa gerangan rahasia itu? Bagaimana ia akan dapat memecahkannya? Beberapa hari kemudian, ketika wajah suaminya tidak sekeruh biasanya dan mereka berdua menghadapi meja makan siang, yan Su menggunakan kesempatan ini untuk berkata dengan suara halus, "San-koko, ingin aku mengatakan sesuatu kepadamu." Cong San memandang isterinya, pandang mata yang penuh cinta kasih, akan tetapi juga penuh kedukaan. Sinar mata suaminya itu seakan-akan mencegah Yan Cu bicara tentang sikap suaminya, karena toh takkan dijawabnya. "San-koko, aku ingin sekali pergi mengunjungi Cin-ling-san. Sudah hampir setahun....." Tiba-tiba Cong San bangkit berdiri, mukanya berubah dan kata-katanya singkat ketus ketika dia memotong, "Sudah sangat rindukah engkau?" Yan Cu heran menyaksikan sikap suaminya, akan tetapi ia berkata dengan wajah berseri, "Benar, suamiku. Aku sudah sangat rindu kepada mereka! Marilah kita pergi berkunjung ke sana, sekalian kita berpesiar. Kita singgah di dalam hutan pek yang ada telaganya, milik Siauw-lim-si itu dan....." "Tidak! Aku tidak mau pergi!" Tiba-tiba Cong San membalikkan tubuhnya dan keluar dari rumah. "San-koko......!!” Teriak Yan Cu ini mengandung rasa kaget, heran dan juga marah. Akan tetapi suaminya sudah pergi dan ketika ia mengejar keluar, Cong San sudah lenyap dari depan toko. Yan Cu masuk kembali untuk menyembunyikan air matanya yang bercucuran agar tidak tampak orang lain. Ia menjatuhkan diri di atas kursi, bersembunyi di belakang lemari toko dan menangis terisak-isak. Hanya ketika ia mendengar tangis bayinya saja ia menghentikan tangisnya, mengusap air matanya dan menekan batinnya, kemudian memanggil Chie-ma untuk membawa puteranya. Chie-ma datang menggendong anak kecil itu. "Toanio, puteramu lapar, sudah waktunya minum susu." Tanpa menjawab karena takut suaranya akan terisak, Yan Cu menerima puteranya yang menangis itu. Tangis anak itu segera berhenti dan mulutnya mulai menghisap susu ibunya. Keadaan menjadi sunyi sekali setelah anak itu berhenti menangis. "Toanio....." Chie-ma berkata lirih sambil duduk berlutut di atas lantai, di depan nyonya majikannya yang sedang menyusui Kun Liong. Yan Cu mengangkat muka memandang pelayannya. "Toanio, maaf, bukan sekali-kali hamba hendak berlancang mulut mencampuri urusan Toanio. Akan tetapi hamba merasa kasihan dan sebagai seorang tua yang lebih berpengalaman dalam hal kekeluargaan, maka hamba ingin memberi nasihat." Tak terasa lagi dua titik air mata menitik turun ke atas pipi Yan Cu. Tidak ada gunanya disembunyikan, pelayan tua ini sudah tahu. "Bicaralah, Chie-ma." "Tanpa disengaja hamba melihat majikan lari keluar dengan muka penuh kemarahan, dan hamba melihat Toanio habis menangis. Tentu Toanio bertengkar dengan majikan. Aihhh, Toanio, apakah Toanio tidak melihat betapa majikan mengandung penderitaan batin yang amat hebat? kasihan sekali dia, Toanio, dalam keadaan seperti itu, seorang suami amat membutuhkan kebijaksanan isterinya untuk dapat menghiburnya, untuk ikut memikul beban yang memberatkan hatinya. Biarpun hamba tidak tahu apa urusannya, akan tetapi dengan jelas dapat hamba lihat bahwa majikan menderita batin yang menyedihkan." "Chie-ma, aku pun bukan seorang yang buta. Aku tahu, akan tetapi ahhh, soalnya dia tidak mau menceritakan apa yang menyusahkan hatinya itu. Kalau aku tidak tahu persoalannya, bagaimana aku bisa membantu? Dia sering berduka, marah-marah, dan setiap hari pergi minum arak di telaga. Aku cinta kepadanya, Chie-ma, dan aku ingin sekali menanggung penderitaannya, akan tetapi dia tidak pernah mau berterus-terang." Chie-ma menarik napas panjang. "Kalau majikan tidak pernah mau berterus terang, itu hanya berarti bahwa dia sengaja hendak merahasiakan urusan itu, karena khawatir kalau-kalau Toanio menjadi berduka pula. Seorang suami yang mencinta isterinya memang kadang-kadang menyembunyikan hal-hal yang tidak menyenangkan dari isterinya, agar isterinya tidak ikut menderita." "Ah, sikap demikian itu salah sama sekali, Chie-ma. Justeru karena diam saja tidak menceritakan persoalannya, membuat hatiku tertindih dan lebih sengsara daripada kalau tahu persoalannya. Menghadapi persoalan, kita dapat mempergunakan akal bagaimana untuk mengatasinya, akan tetapi menghadapi rahasia begini, benar-benar mebuat hati gelisah tidak karuan, menduga yang bukan-bukan." "Aihhh..... persoalan orang-orang muda. Dahulu ketika suami hamba masih hidup sering kali hamba cekcok dengannya. Cekcok kecil-kecilan dalam rumah tangga merupakan bumbu penyedap penghidupan suami-isteri, kadang-kadang bahkan dapat menjadi pembangkit cinta. Akan tetapi kalau terjadi pertengkaran besar, hemmm, tidak ada kesengsaraan yang lebih berat dirasa daripada pertengkaran antara suami isteri. Sikap majikan mengingatkan hamba dahulu ketika suami hamba mencemburukan hamba dengan seorang tetangga. Aihhh, gila dia...........!" Yan Cu tersentak kaget. "Cemburu.......?" Dia berkata lirih dan selanjutnya dia tidak mendengar suara Chie-ma yang bercerita tentang cemburu suaminya itu. Otaknya diputar, mengingat-ingat. Itulah yang mengganggu hati suaminya? Cemburu? Akat tetapi, apa yang dicemburukan dan mengapa? Tiba-tiba ia teringat percakapan mereka tadi. Cong San marah sekali ketika ia mengajak pergi ke Cin-ling-san. Begitulah kiranya? Mencemburukan dia dengan suhengnya? Tiba-tiba wajah Yan Cu menjadi merah. Tak mungkin. Ini timbul dari hatinya sendiri yang harus mengaku bahwa dahulu, sebelum bertemu dengan Cong San, memang ada perasaan cinta di hatinya terhadap Keng Hong. Akan tetapi cintanya berubah setelah ia bertemu dengan Cong San, berubah menjadi cinta saudara. tak mungkin suaminya cemburu karena Keng Hong yang tak pernah dijumpainya semenjak dia menikah, bahkan tak pernah berkirim berita. Tidak ada alasan sedikit juga bagi Cong San untuk mencemburukan dia dengan Keng Hong atau dengan laki-laki lain yang manapun juga. "Laki-laki kalau sudah cemburu memang seperti gila," dia mendengar lagi omongan Chie-ma, "seperti mendiang suami hamba dahulu. Dia hanya menyangka tanpa bukti, dan karena tidak ada bukti dia tidak berani menuduh terang-terangan kepada hamba. Akan tetapi sikapnya sejak itu, minta ampun! kelihatan marah, berduka, dan sinar matanya penuh penghinaan. Kalau malam, ampun, dia manjanya setengah mampus, inginnya hamba bersikap seperti di waktu malam pertama pengantin! Kalau hamba bersikap dingin sedikit saja, seolah-olah hatinya yang dibakar cemburu itu disiram minyak dan dia marah-marah kepada diri sendiri tidak karuan! baru setelah terbukti bahwa cemburunya itu kosong, dia minta-minta ampun sampai berlutut di depan kaki hamba! Coba, siapa tidak mendongkol? Untung tidak ada palang pintu dekat dengan hamba, kalau ada tentu akan hamba gecek kepalanya!" Yan Cu tersenyum juga mendengar cerita pelayannya. hatinya agak lega. Setidaknya, ada bahan baru baginya untuk berusaha menyingkap tabir rahasia sikap suaminya. Siapa tahu, mungkin suaminya cemburu kepadanya. Dan kalau hal ini benar, dia akan bertanya terus terang. Sekali suaminya terpancing dan suka bicara terus terang, dia yakin bahwa semua persoalan akan dapat ia atasi dan bereskan, karena suaminya bukanlah seorang yang tidak memiliki kecerdikan dan kebijaksanaan. Sementara itu, dengan dada panas seperti akan meledak dan kepala berdenyut pusing, Cong San lari cepat menuju ke pinggir telaga. Tempat ini telah menjadi tempat di mana dia sering kali termenung seorang diri, menumpahkan segala perasaan yang tertekan sambil memandangi air telaga. Air yang bening dan tenang itu dapat menenangkan hatinya. Akan tetapi sekali ini, hatinya tidak dapat tenang, bahkan makin dipikir makin panaslah hatinya. Ucapan isterinya masih terngiang di telinganya dan yang terdengar hanyalah kata-kata "rindu" yang keluar dari mulut Yan Cu. Tentu rindu kepada Keng Hong! Kepada siapa lagi? Tak mungkin isterinya rindu kepada Biauw Eng, dan kalau isterinya menyebut "rindu kepada mereka" tentu yang dimaksudkan rindu kepada Keng Hong! "Bresss!" Cong San memukul tanah di depannya dengan tinju, giginya berkerot menahan kemarahan. Cemburu merupakan bahaya yang amat besar bagi hati orang mencinta. Seperti tetumbuhan yang hidup di dahan pohon lain, makin lama makin membesar menghisap sari penghidupan pohon itu, makin lama makin mengakar dan berkembang mengancam kebahagiaan hidup orang yang dihinggapi penyakit ini. Cemburu merupakan sebuah penyakit dalam tubuh cinta kasih, menunggangi nafsu berahi dan nafsu mementingkan diri sendiri (egoism). Cinta murni timbul dari perasan hati ke hati, menimbulkan berbagai keinginan untuk memiliki, dimiliki, membela, dibela dan dorongan hasrat untuk bersatu lahir batin. Di sinilah nafsu cemburu menyelinap dan mengotorkan cinta dengan menunggang berahi dan mempergunakan sifat ingin mementingkan diri sendiri dari si manusia yang digodakan sehingga menimbulkan lemah kepercayaan terhadap orang yang dicinta. Kalau kekasih yang dicemburukan itu ternyata memang melakukan penyelewangan cinta, maka hal itu segera dapat mengakhiri keadaan dari siksa cemburu dan persoalannya selesai, keputusannya tergantung dari kebijaksanaan kedua fihak. Akan tetapi, amatlah berbahaya kalau tidak ada bukti penyelewengan seperti halnya kecemburuan Cong San terhadap isterinya. hal ini benar-benar menyiksa batin. Makin dipikir, makin dicurigakan dan diragukan, makin menyiksa karena kelemahan kepercayaan terhadap isterinya ini merupakan pupuk yang paling baik bagi nafsu cemburu sehingga tumbuh dengan suburnya, setiap detik mengusik pikiran menggerogoti hati. Cong San menyiksa hati sendiri. Sejauh ini, yang terbukti hanyalah penyelewengan di fihak Keng Hong yang jelas telah menulis surat kepada Yan Cu dan surat itu selalu berada di saku bajunya. Tidak ada bukti sama sekali bahwa isterinya masih mencinta Keng Hong. Akan tetapi pandangannya yang sudah dicengkeram nafsu cemburu, melihat gerak-gerik dan kata-kata Yan Cu seolah-olah merupakan gambaran isterinya itu mencinta Keng Hong dan rindu kepada bekas kekasihnya itu. Hal ini mendorong khayal dibenaknya, khayal yang memanaskan dadanya, membayangkan betapa dahulu isterinya berkasih-kasihan dengan Keng Hong, betapa isterinya itu sebetulnya lebih mencinta Keng Hong daripada dia. Dan yang lebih menyakitkan hatinya lagi adalah dugaan yang tak dapat dia tekan-tekan dan dilenyapkan bahwa anak mereka, Kun Liong, belum tentu keturunannya, mungkin keturunan Keng Hong! Kalau teringat akan hal yang satu ini, sering kali Cong San menangis di tepi telaga. Bagi orang yang belum pernah merasakan betapa hebat kekuasaan nafsu cemburu, tentu akan mencela kelemahan hati Cong San dan akan menyalahkannya. Akan tetapi, patut dikasihani orang muda ini. Cemburu memang merupakan siksaan hebat, dan bagaimana Cong San tidak akan merasa cemburu setelah segala yang dia hadapi semenjak dia menikah dengan Yan cu? Dia mencinta Yan Cu lahir batin, mencinta sampai di setiap detik darah dan peluhnya, sampai menempel di setiap helai bulu badannya. Akan tetapi, kenyataan yang menyolok matanya sungguh hebat! Ucapan-ucapan keji dari Cui Im dan Go-bi Thai-houw, kemudian kenyataan bahwa isterinya bukan perawan lagi, ditambah pula surat dari Keng Hong, dan tadi isterinya merengek minta pergi mengunjungi Cin-ling-san karena rindu! Setelah kenyataan semua itu, betapa mungkin dia dapat bertemu muka dengan Keng Hong? Kalau dia tidak ingat bahwa di fihak isterinya belum ada bukti penyelewengan dan mencinta Keng Hong, tentu surat dari Keng Hong itu sudah cukup baginya untuk datang ke Cin-ling-san dan menantang Keng Hong bertanding mengadu nyawa! Dia tidak pernah menegur isterinya, tidak pernah membencinya, melainkan berkorban diri dengan menyiksa hati sendiri. Hal ini dia lakukan karena dia tidak ingin menyinggung hati isterinya yang dia cinta, sama sekali dia tidak sadar bahwa sikapnya ini bahkan menimbulkan kegelisahan dan kedukan di hati isterinya. "Ya Tuhan, apa yang harus hamba lakukan?" Berkali-kali Cong San mengeluh di dalam hatinya ketika dia duduk seperti arca memandang air telaga tanpa melihat apa yang dipandangnya. Tekanan batin ini membuat dia seperti buta dan tuli, sehingga dia yang telah memiliki pendengaran tajam terlatih tidak tahu bahwa ada orang menghampirinya dan kini berdiri antara tiga meter di belakangnya. barulah dia kaget dan meloncat bangun dan membalikkan diri ketika terdengar suara orang itu tertawa, "Hi-hi-hik, orang muda yang tampan dan bodoh! Apakah baru sekarang engkau melihat kebodohanmu?" "Iblis betina!" Cong San memaki ketika mengenal bahwa yang berdiri di depannya adalah Cui Im, orang yang dibencinya! "Tahan!" Cui Im mengangkat tangan ke atas ketika melihat Cong San sudah akan menyerangnya. "Aku datang bukan untuk bertanding denganmu. Engkau tidak tahu betapa aku kasihan kepadamu, melihat engkau dipermainkan orang! Engkau seperti buta, tidak tahu betapa engkau dipermainkan isterimu dan Keng Hong!" "Mulut busuk!" Cong San menerjang dan mengirim pukulan keras ke arah dada Cui Im. Dengan gerakan lincah Cui Im meloncat ke samping lalu mundur. "Tahan, dengar dulu omonganku! Aku hanya ingin menolongmu, membuka matamu yang buta. kalau kau menghadapi Keng Hong, mana kau mampu menangkan dia? Aku akan membantumu membalas penghinaan yang dilakukan olehnya kepadamu." "Aku tidak percaya mulutmu yang beracun, iblis betina!" Cong San menyerang lagi. *** Cui Im meloncat jauh, lalu melemparkan sehelai kertas. "Nah, bacalah ini dan apakah kau tidak mengenal tulisan isterimu sendiri? Hi-hi-hik! Selama engkau menyiksa hati di pinggir telaga setiap hari, apakah kerjanya istrimu? Bertemu dengan kekasihnya di hutan sebelah utara telaga. Sekarang pun aku berani bertaruh mereka sedang berkasih-kasihan di sana. Sumoi tolol!" "Keparat, kubunuh engkau!" Cong San menerjang lagi, akan tetapi Cui Im sudah menggerakan kaki tangannya melawan dengan jurus In-keng-hong-wi (Awan menggetarkan angin dan hujan). Jurus ini hebat sekali karena inilah ilmu Silat San-in-kun-hoat peninggalan Sin-jiu Kiam-ong yang sudah dipelajarinya. Angin pukulan yang dahsyat ini takkan dapat dihadapi orang yang tingkatnya setinggi Cong San sekalipun sehingga orang muda itu terhuyung ke belakang. Kalau Cui Im menghendaki, tentu dia telah roboh oleh hantaman ini, namun Cui Im tidak menghendaki demikian dan ketika Cong San meloncat lagi, wanita itu telah lenyap, cepat bukan main gerakannya. Cong San mengejar, akan tetapi kehilangan jejak musuhnya. Dengan alis berkerut dia kembali ke tempat tadi, memandang kertas yang menggeletak di atas tanah. hari telah mulai senja, cuaca sudah agak gelap maka dari tempat dia berdiri, dia hanya melihat kertas yang ada tulisannya. Hatinya berkeras tidak mau percaya Cui Im, akan tetapi nafsu cemburu membuat dia membungkuk dan seperti di luar kehendaknya, tangannya menyambar kertas. Begitu melihat huruf-huruf itu, jantungnya berdebar dan kepalanya pening. Tidak dapat disangkal lagi, itulah huruf-huruf tulisan Yan Cu! Betapa dia tidak mengenal tulisan isterinya yang setiap hari sering kali membuat resep obat, huruf-huruf yang indah dan kecil, rapi seperti bunga-bunga diatur dalam sebuah taman! Matanya terbelalak dan entah beberapa kali dia membaca isi surat itu. Suheng, kekasihku. Suheng, harap temui aku sore ini di tempat biasa. Aku tidak tahan lagi. Dia agaknya mulai curiga. Suheng, tolonglah aku, mati hidup aku ikut bersamamu, Suheng, kekasihku. Baru membaca dua huruf ini saja naik hawa kemarahan dari perut Cong san dan matanya berkunang-kunang. Setelah dia menggosok matanya, baru dia dapat melanjutkan, keringatnya memenuhi muka dan lehernya, kedua tangannya menggigil. Cong San roboh lemas, surat dikepalnya, napas terengah-engah. Di tempat biasa! Ah, iblis betina itu sengaja hendak menghancurkan kehidupannya, akan tetapi tidak membohong! Isterinya masih melanjutkan hubungan terkutuk itu bersama Keng Hong. Di tempat biasa! Di hutan sebelah utara telaga! Cong San seperti gila. Melompat berdiri, memaksa kedua kakinya yang menggigil untuk berlari cepat menuju ke utara. Matahari telah tenggelam di barat, dia mempercepat kedua kakinya berlari, takut terlambat untuk memergoki isterinya. Menangkap basah! Ya Tuhan, mengapa sampai terjadi begini? Surat dimasukan ke dalam saku baju, menjadi satu dengan surat dari Keng Hong dahulu, giginya berkerot dan dia tidak tahu apa yang akan dilakukan kalau berjumpa dengan Keng Hong dan isterinya. Setelah memasuki hutan yang agak gelap, dia melihat dua bayangan manusia dan otomatis dia menghentikan larinya, lalu menyelinap di antara pohon-pohon, mendekati dengan hati-hati. Jantungnya berdebar sehingga kedua telinganya mendengar denyut jantungnya seperti tambur dipukul. Tak salah lagi. laki-laki itu tentu Keng Hong! Dia mengenal bentuk tubuh dan potongan wajahnya, biarpun agak gelap. pakaiannya, gerakannya, siapa lagi kalau bukan Keng Hong si keparat? Dan wanita itu, masa dia tidak mengenal isterinya? Memang mereka membelakanginya, akan tetapi sanggul rambut itu, pakaian itu, dia mengenal betul. Isterinya! Berjalan perlahan, berbisik-bisik dengan Keng Hong yang merangkul pinggang isterinya! Kemudian mereka berhenti melangkah sebentar dan....... hampir Cong San pingsan menyaksikan betapa Keng Hong mencium bibir isterinya. Mereka berciuman, bibir dengan bibir, lama sekali dan melihat betapa lengan isterinya merayap naik dan melingkari leher Keng Hong, melihat betapa kedua tangan Keng Hong mendekap pinggang dan pinggul isterinya! "Ya Tuhan......!" Keluhnya dan agaknya kedua orang terkutuk itu mendengar suaranya karena mereka itu menengok dan tiba-tiba mereka berkelebat lari dari tempat itu, cepat sekali. "Keng Hong, manusia hina, tunggu!!" Cong San meloncat, mengejar, akan tetapi karena gerakan kedua orang itu cepat sekali dan hutan itu pun gelap, dia tidak dapat menyusul dan kehilangan mereka. Dengan marah seperti gila dia berteriak-teriak, memaki-maki dan mencari ubek-ubekan di dalam hutan itu sampai akhirnya dia menjatuhkan diri di atas tanah, memegangi kepala dengan kedua tangan, terengah-engah seperti akan putus napasnya, bukan karena lelah berlari-lari sejak tadi, melainkan terengah-engah karena kemarahannya. Kemudian dia teringat. Apapun yang akan dia lakukan terhadap Keng Hong, dia harus berjumpa dengan isterinya lebih dulu! Dia harus membikin perhitungan dengan isterinya, membereskan persoalan ini. Maka dia lalu meloncat lagi, berlari menuju ke rumahnya. Tokonya masih tutup dan kedatangannya disambut oleh Chie-ma yang menggendong Kun liong. Ketika pelayan itu melihat wajah Cong San, hampir dia berteriak kaget. Wajah itu menakutkan, matanya merah dan melotot, rambu awut-awutan, pakaiannya kotor terkena lumpur dan debu, giginya berkerot, napasnya terengah. "Di mana Toanio?" Cong San bertanya dan kalau saja pelayan ini tidak mengenal betul wajah majikannya, tentu dia akan mengira bahwa yang bicara ini adalah orang lain. Suara majikannya demikian berubah! "Toanio....... baru saja pergi, tergesa-gesa, entah ke mana akan tetapi kelihatannya bingung......" "Lekas siapkan pakaian Kun Liong, bantal yang baik dan siapkan di kamar!" Menyaksikan sikap majikannya dan mendengar suaranya, pelayan itu tidak berani banyak cakap lagi, dan biarpun terheran-heran namun dia melakukan perintah itu. Cong San menyalakan lampu besar di toko, tidak membuka tokonya lalu duduk terhenyak di kursi, menanti kedatangan isterinya. Ke manakah perginya Yan Cu kalau tidak mengadakan pertemuan hina dan berzinah dengan Keng Hong, pikirnya. Keparat, wanita berhati palsu dan berkelakuan hina dan rendah! "Brakkkkk.....!" Pintu terbuka dari luar dan muncullah Yan Cu dengan muka pucat. Ketika melihat Cong San duduk di atas kursi, Yan Cu berseru, "San-koko.....!" Ia menubruk dan memeluk suaminya. "Jangan sentuh aku!!" Cong San menangkis dan Yan Cu hampir roboh terguling kalau dia tidak cepat meloncat ke kiri, berdiri memandang suaminya dengan mata terbelalak kaget seperti melihat setan. "Kau...... kau...... ada apakah.......? Apakah terluka? Apakah yang terjadi.........?" Yan Cu bertanya gugup dan bingung. Cong San mendelik. "Perempuan........" Dia tidak melanjutkan makiannya dan naik sedu-sedan dari dadanya yang mencekik kerongkongannya. Tidak, dia tidak mungkin dapat mengutuk isterinya, tidak dapat dia memaki isterinya. Melihat wajah itu, wajah yang terbelalak pucat membayangkan ketakutan hebat, dia merasa kasihan. Ahhhh, dia mencinta isterinya betapa mungkin dia menyakitinya, baik tubuh maupun jiwanya. "Yan Cu, engkau masih bertanya apa yang terjadi? Aihhh, begitu kejamkah hatimu? Begitu palsukah? Apa yang terjadi? Sepatutnya engkau yang menceritakan kepadaku, apa yang terjadi......." Ia terisak dan memejamkan matanya. Yan Cu berlutut. "Suamiku......... apa yang terjadi? Aku diberitahu orang, entah siapa, bahwa engkau bertanding dengan seorang wanita...... aku khawatir sekali, menduga bahwa tentu iblis betina Cui Im yang menyerangmu. Aku berlari cepat menyusulmu ke telaga, akan tetapi tidak ada siapa-siapa di sana. Aku cepat pulang dan....." *** "Cukuplah!" Cong San berteriak, menjerit karena suara itu adalah jeritan hatinya. Kalau isterinya menangis dan menyatakan penyesalannya, minta ampun dan menceritakan dengan terus terang, agaknya dia akan dapat memaafkan isterinya yang dia cinta. Ia siap melakukan pengorbanan apa pun juga. Akan tetapi isterinya malah membohong! Isterinya yang dia lihat tadi berciuman mesra dengan Keng Hong....... pakaian itu, rambut itu...... tidak, tidak salah lagi, kini malah membohong seolah-olah matanya buta! "Yan Cu, tidak perlu membohong dan tidak perlu kiranya bicara lebih panjang kalau hal itu menyakitkan hatimu. Kalau engkau memang mencintanya, biarlah aku mengalah, aku mundur....." "Suamiku! Ucapan apa yang kau keluarkan ini? Apa..... apa maksudmu? Demi Tuhan, apa maksudmu?" Yan Cu berteriak-teriak, tidak peduli apakah teriakannya akan terdengar tetangga. Cong San hampir hilang kesabarannya. Yan Cu masih bermain sandiwara! Ini melampaui batas! Mengapa tidak berterus terang saja? Bukti-bukti sudah cukup. Ia bangkit berdiri, merogoh sakunya mengeluarkan dua buah surat yang selama ini mengganjal hatinya. "Tulisan siapa ini?" Ia membeberkan surat kecil yang diterimanya dari Cui Im tadi. Yan Cu memandang pucat, dari tempat ia berlutut ia tidak dapat membaca isi surat, akan tetapi ia mengenal tulisannya sendiri. "Seperti tulisanku...... surat apakah itu?" Cong San membanting kakinya dengan pengerahan sinkang sehingga kakinya amblas sampai beberapa senti meter di lantai. Tangannya bergerak dan surat Keng Hong melayang ke bawah. "Lihat surat kekasihmu ini! Utusannya datang untuk memberikannya kepadamu, akan tetapi aku merampasnya. Apakah masih perlu banyak membohong lagi?" Dengan muka pucat dan mata terbelalak Yan Cu mengambil dua surat itu, membacanya dan wanita itu demikian heran, bingung, dan marahnya sehingga ia mengeluarkan jerit aneh dan terkulai lemas, roboh pingsan! Hampir saja Cong San menubruk dan memeluk isterinya. Melihat wanita yang dicintainya itu roboh pingsan, hatinya tidak kuat. Akan tetapi, dia tahu bahwa tanpa sepatah pun kata Yan Cu telah mengaku, maka isterinya itu pingsan. Ia menguatkan hatinya, meloncat bangun dan lari ke dalam menyambar Kun Liong dari gendongan Chie-ma yang berdiri menggigil dan memandang dengan mata terbelalak, menyambar buntalan pakaian anaknya lalu melesat keluar dari kamar. Chie-ma menjerit dan lari keluar, hampir menginjak tubuh Yan Cu yang menggeletak di lantai. "Toanio......! Aihhhh..... Toanio, apa yang terjadi ini........?" Chie-ma memeluk tubuh majikannya yang pingsan dan melolong-lolong, merasa seolah-olah dunia kiamat karena dia tidak tahu apa yang menyebabkan semua kejadian hebat ini. Yan Cu siuman, mengeluh dan teringat. Cepat ia meloncat bangun sehingga Chie-ma terpelanting. "Mana suamiku.......?" "Ahhhh, Toanio...... dia....... dia membawa Kun liong, lari......" "San-koko........! Suamiku......! Ini semua fitnah.......!" Ia menjerit-jerit, lari masuk ke kamar, mencari-cari, lari keluar sehingga para tetangga yang kaget mendengar jeritan-jeritan itu keluar rumah. Mereka melihat Yan Cu berlari-larian cepat sekali, ke sana ke mari, tidak tahu hendak mengejar ke mana, kemudian nyonya muda itu terguling roboh, pingsan lagi di pinggir jalan! Dengan bantuan para tetangga, Chie-ma menggotong tubuh Yan Cu memasuki toko. Setelah siuman, Yan Cu menangis, mengguguk. Kemudian ia turun, mengambil dua surat dan menyimpannya. Ia masih bercucuran air mata, akan tetapi tidak menangis lagi, wajahnya membayangkan sikap dingin yang mengerikan. "Chie-ma, kau jaga baik-baik rumahku. Aku harus pergi mengejar suamiku," katanya dan tanpa banyak cakap lagi malam-malam itu Yan Cu lari keluar, mencari dan mengejar suaminya. Chie-ma yang dikerumuni para tetangga hanya melolong-lolong, tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka karena sesungguhnya dia sendiri pun tidak mengerti apa yang telah terjadi. Setelah para tetangga pulang, Chie-ma masih menangis. Cemburu! Tentu itu sebabnya. Cemburu. "Ya Tuhan, lindungilah mereka...... aduhhh, kebahagiaan mereka hancur oleh cemburu....." ia menangis lagi semalam suntuk. "Nih, kau pondong Giok Keng....." Biauw Eng cemberut, cemberut buatan, menerima bayi yang baru berusia sebulan itu dari pondongan suaminya. "Ihhh, baru sebentar saja sudah diberikan kepadaku. Apakah kau kecewa mempunyai anak perempuan? Kau mengharapkan anak laki-laki, ya?" "Wah-wah-wah, omongan apa itu?" Keng Hong mencium pipi anaknya yang montok kemerahan di pondongan Biauw Eng. "Biauw Eng isteriku yang jelita, aku bukanlah seperti ayah berpendirian usang yang mengutamakan anak laki-laki saja yang kelak akan dapat menjamin kehidupan orang tua di hari tuanya, hanya anak laki-laki saja yang dapat menyenangkan hati orang tua. Pendirian macam itu amat pandir dan picik, menilai anak seperti orang menilai barang dagangan saja, diperhitungkan rugi untung dalam soal benda! Betapa keji pandangan itu. Tidak, isteriku, aku sayang kepada anak kita, tiada bedanya andaikata dia laki-laki. Dan aku tidak ingin anak laki-laki saja!" "Akan tetapi, semua orang tua mengharapkan anak laki-laki, bukan hanya karena dianggap sebagai jaminan di hari tua, melainkan juga sebagai penyambung keturunan!" Biauw Eng memancing, untuk yakin akan pendirian suaminya yang sudah ia kenal kebijaksanaannya itu. "Phuhhh! Apa artinya keturunan? Apakah keturunan anak perempuan bukan menjadi keturunan kita pula? pandangan orang yang pikirannya picik itu terlalu melekat soal she (nama keturunan). Bagiku, sama saja. laki-laki atau perempuan tetap anak kita, bukan kelaminnya yang membahagiakan orang tua, melainkan kelakuan anak itu sendiri. Biar perempuan kalau menjadi seorang manusia utama yang mengutamakan kebijaksanan, tentu akan menjunjung tinggi nama orang tua dan mendatangkan kebahagiaan lahir batin, sebaliknya biarpun anak laki-laki kalau menjadi orang rendah (siauw-jin) hanya akan menyeret nama orang tua ke dalam lumpur kehinaan!" "Wah, wah, wah, kau bicara begitu karena kebetulan anakmu perempuan! Apakah kau tidak ingin mempunyai anak laki-laki?" "Wah, tentu saja! Akan tetapi, kita masih muda dan engkau...... hemmm, begini cantik, makin jelita setelah mempunyai anak!" Keng Hong merangkul dan mencium bibir isterinya yang dibalas dengan mesra dan bangga oleh Biauw Eng. "Kalau benar begitu, mengapa kau tidak pernah lama memondongnya?" Keng Hong memegang dan mempermainkan tangan-tangan kecil anaknya penuh rasa sayang. "Ahhh, aku...... takut dan ngeri." "Hah? Apa maksudmu?" "Dia begini kecil, kelihatannya begini....... ah, aku gemetar kalau memondongnya, takut kalau-kalau dekapanku akan menyakitkannya, takut kalau-kalau dia jatuh." Biauw Eng tertawa. "Engkau cangung sekali dan kaku kalau memondong." "Lihat, dia tersenyum! Ahhhh, senyumnya sudah memikat seperti senyum ibunya. Mulutnya seperti mulutmu, Eng-moi, dan hidungnya juga, dagunya juga, persis kau!" "Akan tetapi matanya seperti matamu, Hong-ko dan lihat jari-jari tangannya, dan jari-jari kakinya, hi-hi-hik, pendek-pendek seperti jari-jarimu!" "Wah, sejak kapan kau memperhatikan jari-jari kakiku?" Keng Hong melotot. "Sejak...... ihhh, sejak......" Mereka tertawa penuh bahagia. "Eng-moi, berjanjilah." "Janji apa?" "Janji bahwa engkau akan memberiku tiga lagi! Tiga orang adik Giok Keng, dua laki-laki dan seorang perempuan lagi, jadi dua laki-laki dua perempuan. Cukup, bukan?" *** Biauw Eng menggeleng kepala. "Tidak cukup. Biar selosin!" "Hushhh.....!" "Biar kau repot kelak kalau mereka semua merengek minta baju baru dan sepatu baru. Baru tahu rasa kau!" Tiba-tiba Keng Hong menjatuhkan diri di atas bangku di taman belakang rumah mereka, lengan kiri menekan siku di atas lutut, tangan kiri menunjang dagu, tangan kanan memijit-mijit pelipis, alisnya berkerut. "Waduh, anak selosin....... dan aku hanya menjadi petani di gunung ini. Mana cukup? Dan mereka perlu pendidikan semua. Kalau kita tidak tinggal di kota, dan aku mempunyai penghasilan cukup besar, wah, kasihan sekali mereka.......! Aihhh, kita harus berusaha, isteriku, kalau tidak, kasihan dong mereka." Biauw Eng memandang dengan mata terbelalak, mulutnya menahan tawa. "Benar, suamiku, tidak sedikit biayanya." "Dua belas pasang sepatu baru, dua belas pasang pakaian, selosin perut di tambah kita berdua yang setiap hari harus diberi makan, wahh, kalau aku tidak bekerja keras, aduhhh, kasihan sekali mereka......!" "Stop! Mereka siapa yang kau kasihani itu?" "Siapa lagi? Anak-anak kita yang selosin itu......." "Eh, mabuk atau mimpi kau? Anak kita cuman satu!" Keng Hong bengong dan akhirnya tertawa, menampar kepalanya sendiri. "Aihhh, aku tidak merasa seolah-olah kita telah mempunyai selosin orang anak! Wah-wah-wah, kalau begitu jangan membalap, isteriku." "Membalap apa?" "Produksi anak itu lho! Lambat-lambat saja." "Hushhh! Cabul kau, ya?" Kembali mereka tertawa-tawa. Memang, tiada kebahagiaan yang melebihi kebahagiaan dalam hubungan suami isteri yang penuh kasih sayang, penuh pengertian, penuh kepercayaan dan kesetiaan. Apalagi kalau suami isteri itu sudah dikaruniai anak! "Cia Keng Hong!" Keng Hong dan isterinya yang sedang bersendau gurau dan menimang-nimang anak mereka itu terkejut dan menoleh. "Cong San.......!!" Keng Hong melompat dan lari menghampiri Cong San dengan kedua tangan dilonjorkan untuk memeluk sahabat baiknya itu, wajahnya berseri dan hatinya girang bukan main. Tiba-tiba dia berhenti dan memandang keadaan sahabatnya dengan mata terbelalak. Wajah Cong San pucat sekali, matanya merah, rambutnya mawut dan pakaiannya tidak karuan. "Cong San...... apa....... yang terjadi?" Saking marahnya, sukar bagi Cong San untuk mengeluarkan kata-kata. Kemudian dia membentak, "Manusia berhati palsu! Aku datang untuk mengadu nyawa denganmu!" Setelah berkata demikian, tiba-tiba Cong San menerjang dengan pukulan hebat ke arah Keng Hong. Pendekar ini terkejut bukan main. Gerak reflex dari tubuhnya yang sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi itu membuat dia otomatis menangkis, akan tetapi karena dia tidak merasa berhadapan dengan musuh, tangkisannya itu dilakukan tanpa pengerahan tenaga. "Desss!!" Tubuh Keng Hong terlempar dan dia jatuh menggulingkan diri, lalu meloncat bangun sambil berseru, "Heiiiiii! Cong San, mengapa.......?" Akan tetapi Cong San terlah menerjang lagi, kini dengan tendangan ke arah bawah pusar, tendangan maut! Keng Hong yang masih bingung itu cepat mengelak, akan tetapi kembali dadanya kena dihantam. "Bukkk!" Tubuhnya terguling-guling untuk kedua kalinya. "Engkau atau aku yang harus mampus!!" Cong San membentak dan meloncat ke depan, mengirim pukulan hebat yang dimaksudkan untuk membunuh. "Plak-plak-plak-plak-plak!!" Bertubi-tubi datangnya pukulan Cong San yang selalu ditangkis oleh Keng Hong. Kalau Keng Hong menggunakan sinkangnya, tentu tangkisan itu sudah cukup membuat penyerangannya terjengkang. Akan tetapi Keng Hong tidak mau melakukan hal itu, maka biarpun dia bergerak cepat menangkis terus, karena tidak sungguh-sungguh melawan, kembali sebuah tendangan Cong San mengenai perutnya. "Desss!!" Tendangan ini hebat bukan main karena yang dimainkan adalah ilmu menendang dari Siauw-lim-pai yang amat kuat dan cepat. kalau orang lain yang terkena tendangan ini, andaikata orang itu memiliki kekebalan juga, tentu isi perutnya mengalami getaran hebat dan akan menderita luka di sebelah dalam. Akan tetapi Keng Hong hanya terlempar dan terbanting lalu bergulingan tanpa menderita luka, luar maupun dalam. Pada detik berikutnya, tubuh Cong San sudah meloncat ke depan dan kakinya siap menginjak kepala Keng Hong dengan pengerahan tenaga sinkang sekuatnya. Apalagi hanya kepala orang, batu pun akan pecah terkena injakan dahsyat ini. Dan biarpun Keng Hong seorang yang memiliki kepandaian tinggi sekali, jauh lebih tinggi daripada tingkat kepandaian Cong San, namun dia tidak berani menerima injakan pada kepalanya itu. Dia menjadi penasaran, cepat tangannya menyambar, menangkap kaki Cong San dan sekali dia mengerahkan tenaga mendorong tubuh Cong San terlempar dan terbanting ke atas tanah! "Cong San sahabatku yang baik, apakah engkau telah gila?" Keng Hong melompat bangun. Cong San sudah bangkit lagi dan mencabut senjatanya, sepasang Im-yang-pit hitam dan putih. "Memang aku telah gila! Aku tahu, kepandaianku masih terlalu rendah untuk melawanmu, akan tetapi aku tidak takut. Engkau atau aku yang harus mampus!" Setelah berkata demikian, Cong San menerjang maju lagi dengan sepasang senjatanya, menotok ke arah jalan darah yang mematikan. Keng Hong cepat mengelak dan dia terhuyung-huyung ke belakang. Peristiwa ini amat mengejutkan dan mendukakan hatinya sehingga dia tidak begitu mementingkan keselamatan dirinya sendiri. Desakan Cong San yang sudah amat marah sekali itu membuatnya membuatnya terhuyung dan melihat ini, Cong San makin beringas, mengirim serangan maut tanpa memperhatikan penjagaan diri sendiri. "Cong San......!" Keng Hong berteriak, kaget bukan main karena maklum bahwa jurus serangan itu tak mungkin dielakan lagi, juga amat berbahaya dan satu-satunya jalan baginya hanya "mendahului" lawan dengan pukulan atau tendangan. Akan tetapi dia tidak mau melakukan hal ini. Keadaannya amat berbahaya dan biarpun dia memiliki sinkang kuat, namun masih diragukan apakah kekebalannya akan dapat menahan sepasang Im-yang-pit yang amat lihai itu. Cong San yang wajahnya seperti berubah menjadi iblis itu menggerakan sepasang Im-yang-pit, yang kanan menusuk ke arah mata, yang kiri menusuk ke arah ulu hati. "Trang-trangggggg......!!" Cong San terhuyung ke belakang, sepasang Im-yang-pitnya terpental dan hampir terlepas dari tangannya. Ternyata Biauw Eng telah berdiri di depannya dengan muka merah dan mata terbelalak seperti menyinarkan api. Dua buah senjata rahasianya, bola-bola berduri, tadi telah menyambar dan menangkis sepasang Im-yang-pit, dan kini sabuk suteranya yang putih sudah bergerak melayang-layang di atas kepala penuh ancaman. "Yap Cong San! Kalau engkau sudah gila, aku masih bisa mengampunimu, akan tetapi kalau kau tidak gila, jangan kira engkau boleh menghina suamiku begitu saja! Apakah engkau sudah demikian jagoan sehingga hendak menjual laga di sini?" Sikap Biauw Eng seperti seekor singa betina diganggu anaknya, wajahnya yang cantik itu mangar-mangar kemerahan dan sinar matanya berapi-api. Cong San masih memandang Keng Hong penuh kebencian. Tanpa menoleh ke arah Biauw Eng dia berkata suaranya dingin, "Sie Biauw Eng, aku tidak memusuhimu, tidak ada urusan sesuatu denganmu. Aku malah kasihan kepadamu. Akan tetapi, aku harus membunuh manusia hina Cia Keng Hong ini, atau aku sendiri yang akan mati di tangannya!" Kembali dia menerjang ke depan, menyerang Keng Hong dengan senjatanya yang digerakkan cepat, menggunakan jurus nekat yang hendak mengadu nyawa. *** "Kalau begitu, engkaulah yang mampus!" bentak Biauw Eng dan begitu tangannya bergerak, tampak sinar putih menyambar dan tahu-tahu sepasang Im-yang-pit telah terbang terlepas dari kedua tangan Cong San, terampas oleh ujung sabuk yang amat lihai. Dalam kemarahanya, Biauw Eng kembali menggerakan tangan dan kedua batang pit yang terlilit ujung sabuknya itu kini meluncur seperti dua batang anak panah ke arah tubuh Cong San! "Eng-moi..... jangan......!!" Keng Hong berseru, namun terlambat karena sudah tampak sinar hitam dan putih sepasang pit itu meluncur cepat sekali ke arah Cong San. Keng Hong melempar diri ke depan, berhasil menyambar pit hitam, akan tetapi karena jaraknya amat dekat dan posisinya juga miring, pula dia tidak mengira isterinya akan membunuh Cong San, pendekar ini tak dapat meloloskan diri dari pit putih yang menyambar dan menancap di pundaknya. Keng Hong berdiri tenang, mencabut pit putih dari pundaknya, membiarkan darah muncrat dari lukanya dan menyerahkan sepasang pit itu kepada Cong San sambil berkata, "Cong San, ada persoalan dapat dibicarakan, kalau memang aku bersalah, setelah kita bicara, masih belum terlambat bagimu untuk membunuhku. Dan percayalah, kalau aku bersalah, aku akan menyerahkan nyawa dengan suka rela." Cong San menyambar sepasang pitnya dan membentak, "Mau bicara apa lagi? Kepura-puraanmu ini saja sudah menjadi jawaban, sudah menjadi bukti akan kerendahan budi dan kekotoran watakmu. Hayo, kaubunuh saja aku!" Biauw Eng menarik tangan suaminya dengan kasar kebelakang, kemudian dia sendiri melangkah maju menghadapi Cong San sampai dekat sekali. Telunjuk kirinya menuding hampir menyentuh hidung Cong San dan suaranya melengking nyaring tanda bahwa nyonya muda ini sudah kehilangan kesabarannya. "Yap Cong San, tak usah banyak bicara kalau begitu! Aku pun muak mendengarkan omonganmu. Kalau engkau tidak gila, tentu engkau sudah buta oleh cemburu, engkau manusia tolol. Memang tidak perlu bicara lagi, aku Sie Biauw Eng, saat ini menantangmu untuk mengadu nyawa! Hayo, keluarkan semua kepandaianmu, dan kalau aku tidak bisa membunuh engkau yang telah menghina suamiku, jangan sebut aku Sie Biauw Eng, dadanya bergelombang dan tangannya yang memegang sabuk sutera menggigil, kakinya melakukan gerakan dibanting-banting ke arah tanah dan Keng Hong menjadi pucat wajahnya. Celaka, pikirnya, kalau isterinya sudah seperti itu, biar setan pun takkan mampu menahannya dan kalau Cong San melawan, dia sendiri belum tentu akan dapat menyelamatkan Cong San dari tangan maut isterinya. Akan tetapi Cong San tidak marah, malah menggeleng kepalanya dan suaranya penuh duka, "Sie Biauw Eng, sudah kukatakan tadi, aku tidak memusuhimu, aku bahkan kasihan kepadamu. Kita berdua menjadi korban, menderita nasib yang sama, bagaimana aku dapat memusuhimu? Aku pun tidak dapat bicara karena aku tidak mau merusak kebahagiaanmu. Biarlah sekali ini, memandang mukamu, aku mengundurkan diri. Akan tetapi jagalah engkau, Cia Keng Hong, sekali waktu aku akan menjumpaimu sendiri, tanpa campur tangan isterimu, dan saat itulah aku akan membunuhmu atau engkau terpaksa harus membunuhku. Sampai jumpa!" Cong San membalikkan tubuhnya dan lari dari situ. Keng Hong dan Biauw Eng mendengar suara sesenggukan keluar dari mulut orang yang lari itu. "Kasihan dia...... sungguh heran, apakah yang terjadi........?" Keng Hong berkata lirih. Biauw Eng membalikan tubuh menghadapi suaminya, matanya masih merah sekali dan ia berkata keras, "Cia Keng Hong, mengapa engkau begini pengecut?" Keng Hong terbelalak memandang isterinya. "Ahhhhh??? Aku....... pengecut? Apa maksudmu?" Biauw Eng membanting-banting kakinya. "Sungguh memalukan sekali, mempunyai suami seorang yang lemah, seorang pengecut! Engkau dihina orang, engkau diserang, engkau dimaki, dan engkau tidak membalas malah menaruh kasihan kepadanya! Di mana kegagahanmu?" Keng Hong menghela napas. "Isteriku yang manis, sabarlah......." Keng Hong melangkah maju dan hendak merangkul isterinya, akan tetapi Biauw Eng menggerakan pundaknya mengelak dan mulutnya cemberut. "Sabar apa? Aku dapat menduga bahwa dia itu tentulah cemburu kepadamu!" "Dia menjadi marah karena mengira yang tidak-tidak, dia menuduh dan hatinya dikacau oleh dugaan yang keliru." "Akan tetapi engkau yang dituduh, engkau difitnah. Kalau orang tidak bersalah, harus melawan! Kalau engkau diam saja dan mengalah, rela dihina, dimaki dan dipukul, hal itu berarti engkau memang bersalah!" "Wah-wah-wah, apakah engkau pun menuduh aku pula?" "Sikapmu sendiri yang membuat orang curiga! Kalau memang engkau bersih, mengapa engkau membiarkan dirimu dihina oleh Cong San?" "Eng-moi, isteriku yang manis........" "Bukan saatnya merayu! Hatiku sedang panas, tahu? Bicara seperlunya saja!" Pada saat itu terdengar suara anak menangis dan Biauw Eng sadar dari keadaan marah luar biasa itu. Dia cepat membalik, meloncat dan memondong anaknya yang tadi ia letakkan di atas rumput ketika ia turun tangan membela suaminya. Sambil memondong anaknya, dia membalik menghadapi suaminya dan biarpun sikapnya masih marah, namun matanya tidak lagi berapi-api, kedua lengannya menimang-nimang anaknya yang segera berhenti menangis. Melihat ini Keng Hong menjadi terharu dan terasa benar olehnya betapa isterinya amat mencintainya, membelanya dan tadi bahkan ingin mengadu nyawa dengan Cong San untuk membelanya. "Eng-moi, maafkan aku kalau aku mendatangkan penasaran di hatimu. Ketahuilah, aku tadi memang mengalah. Akan tetapi bukan mengalah karena kalah, bukan mengalah karena salah bukan pula mengalah karena takut, melainkan mengalah karena sadar, isteriku. Engkau sendiri tahu bahwa dia dalam keadaan tidak normal, seperti gila oleh kemarahannya, mungkin oleh cemburu yang tak berdasar. Nah, setelah aku sadar bahwa dia itu seperti gila, apakah aku pun harus menjadi gila seperti dia dan melayaninya?" Mata Biauw Eng melotot, dan mata itu bertambah indah dalam pandangan Keng Hong yang tahu bahwa akan ada badai mengamuk dari mata melotot itu. "Apa??" Badai itu mulai menyerangnya. "Engkau.........! Engkau menganggap aku gila.......?" "Lhohhh! Ehhhh..... apa lagi ini.........?" "Masih pura-pura lagi! Kau bilang dia gila, yang melawannya sama gilanya, dan aku tadi melawannya, jadi kau memaki aku gila? Ceraikan saja kalau begitu!" Biauw Eng mengusap air matanya yang menetes turun. Pucat wajah Keng Hong. Belum pernah dia melihat isterinya menitikkan air mata seperti ini, apalagi menantang dicerai! Dia menyesal sekali dan maklum bahwa urusan tidaklah sekecil yang dianggapnya semula. Cepat dia menjatuhkan diri berlutut dan berkata penuh penyesalan dan permohonan. "Eng-moi, isteriku yang terkasih, ibu anakku yang tersayang. Ampunkanlah mulut suamimu yang lancang dan pandangan yang dangkal ini......." Tiba-tiba Biauw Eng juga berlutut, menggunakan lengan kiri merangkul pundak dan ia terisak di atas pundak suaminya. "Engkau yang harus mengampuniku, suamiku........" Bukan main besar dan bahagianya rasa hati Keng Hong, akan tetapi juga dia terheran-heran. "Biauw Eng, aku tadi gelisah sekali. Bayangkan saja, engkau begitu marah dan minta cerai!" "Aku hanya main-mainan, mengancam karena hatiku jengkel sekali melihat Cong San yang menghinamu. Engkau benar, suamiku. Dia gila dan aku pun tadi hampir gila telah melayani seorang gila." Begitu girangnya hati Keng Hong sehingga dia menghadiahkan ciuman mesra pada mulut yang mengeluarkan kata-kata itu, kemudian dia menciumi kepala puterinya. "Kalau aku tadi ketularan kegilaanmu dan aku membalas, benar-benar menceraikanmu bagaimana?" "Aku akan mati!" jawab Biauw Eng tegas. "Aku hanya mau bercerai darimu kalau mati!" *** "Isteriku.......!" Keng Hong merangkul isteri dan puterinya dengan kedua lengan, kegelisahannya mengenai Cong San lenyap terselubung kebahagiaan yang dirasakan di saat itu. "Eh, pundakmu....... harus segera diobati." Keng Hong menjamah pundaknya yang tadi tertusuk pit. "Tidak apa-apa, lukanya hanya kecil, darahnya sudah mengering, sebentar pun sembuh. Pit dari Cong San tidak beracun, tidak berbahaya." Disebutnya nama ini membuat mereka termenung, teringat kembali. Keng Hong mengerutkan keningnya, teringat dia akan Yan Cu. "Sungguh heran aku, apakah yang telah menimpa keluarga Cong San dan sumoi?" Biauw Eng juga termenung. "Cong San telah menjadi seperti gila. bagaimana dengan yan Cu? Aihhh, aku pun khawatir sekali, suamiku. Tentu terjadi hal yang amat hebat menimpa mereka, dan aku khawatir........ hemmmmmm...... siapa lagi kalau bukan dia yang mengacau........" Keng Hong mengerti karena dugaannya pun menuju ke sana, "Cui Im?" Isterinya mengangguk dan mereka berpandangan. Melihat pandang mata isterinya, Keng Hong maklum bahwa isterinya menyesalkan pengampunannya terhadap Cui Im, maka dia berkata perlahan, "Aku tidak akan sudi mengampuninya lagi kalau benar dia masih belum bertobat dan masih mengacau dan merusak kebahagiaan sumoi dan suaminya." "Suheng.......!!" Keng Hong dan Biauw Eng meloncat dan membalikkan tubuh, memandang terbelalak kepada Yan Cu yang datang berlari-lari. Kalau saja Yan Cu tidak mengeluarkan suara memanggil tadi, tentu mereka berdua akan pangling. Wajah yang dahulunya seperti sekuntum bunga yang sedang mekar, cantik jelita dan selalu riang gembira, berseri-seri itu kini kotor dan muram, matanya membendul dan merah kebanyakan menangis, air mata di pipi tidak dibersihkan, terkena debu membuat wajah itu cemang-cemong, rambutnya kusut tak disisir, pakaiannya pun kusut dan matanya membayangkan kedukaan hebat. "Yan Cu.......!" Biauw Eng berkata lirih, penuh iba dan kaget. "Sumoi, kau kenapakah........??' Keng Hong cepat melangkah maju menyambut. "Jangan dekat! Jangan sentuh aku!!" Yan Cu tiba-tiba berhenti ketika melihat Keng Hong melangkah maju menyambutnya. Keng Hong terkejut sekali dan sejenak timbul kekhawatirannya bahwa jangan-jangan sumoinya ini pun menjadi gila! "Sumoi, ada apakah? Engkau seperti marah dan membenciku, apakah salahku?" "Suheng, engkau satu-satunya orang yang kumuliakan, satu-satunya orang yang kucinta seperti kakak, seperti pengganti orang tuaku. Mengapa engkau begitu kejam? Mengapa engkau merusak kebahagiaan hidupku? Mengapa engkau menceraikan aku dari suami dan anakku? Suheng, jawablah. Di depan enci Biauw Eng. Katakan terus terang, siapakah yang kau cinta dengan cinta kasih pria terhadap wanita, aku ataukah enci Biauw Eng?" Kalau ada halilintar menyambarnya di saat itu, belum tentu Keng Hong akan sekaget ketika mendengar kata-kata sumoinya ini. "Sumoi........, yan Cu...... apa artinya semua ini? Aku sungguh tidak mengerti!" Biauw Eng yang memondong anaknya sudah pula mendekat dan berkata, suaranya tegas, dingin dan berwibawa, "Yan Cu, tenanglah sebentar, tekan perasaanmu yang meluap-luap dan dilanda kedukaan itu. Kami dapat menduga bahwa tentu telah terjadi malapetaka hebat menimpa keluargamu, akan tetapi kami sama sekali tidak tahu maka ceritakanlah yang jelas. Atau, marilah kita masuk ke rumah di mana kita dapat bicara dengan tenang." Yan Cu memandang Biauw Eng dan sungguh heran sekali hati Biauw Eng mengapa sinar mata wanita itu penuh iba ketika memandangnya. "Enci Biauw Eng, maafkan aku yang terpaksa melukai hatimu. Aku tidak bisa bicara banyak, akan tetapi karena perbuatan Suheng yang ternyata dia ada bedanya dengan watak gurunya, mendatangkan malapetaka hebat kepada diriku dan terpaksa aku menghancurkan hatimu. Enci Biauw Eng, kau ampunkanlah aku!" "Sumoi, katakanlah, tidak perlu disembunyikan. Katakan semua, apa yang telah terjadi? Dosa hebat apakah yang telah kulakukan sehingga malapetaka menimpa keluargamu?" Keng Hong yang biasanya dapat menahan kesabaran itu, kini berseru keras karena dia gelisah sekali, menduga-duga apa gerangan yang terjadi sehingga dia dibenci Cong San dan kini dipersalahkan sumoinya sendiri. Dengan muka pucat dan mulut terisak menahan tangis, Yan Cu mengeluarkan dua buah surat dari balik bajunya, dua buah surat yang dahulu dilemparkan suaminya kepadanya. Kini dia melemparkan dua buah surat itu kepada Keng Hong sambil berkata penuh duka, "Mengapa engkau menulis surat macam itu kepadaku? Dan apa pula artinya pemalsuan surat dariku itu?" Yan Cu lalu menangis tersedu-sedu, kedua kakinya terasa lemas dan ia terjatuh, duduk di atas tanah sambil menangis. Keng Hong menyambar dua buah surat itu. Matanya segera tertarik oleh tulisannya sendiri dan cepat dibacanya. Biauw Eng yang melihat betapa mata suaminya terbelalak dan mukanya berubah merah penuh kemarahan, cepat menghampiri dan ikut membaca. Matanya pun terbelalak ketika bibirnya bergerak-gerak membaca surat itu. Yan Cu sumoi yang tercinta, Setengah tahun kita saling berpisah. Aku mengharapkan beritamu dengan hati penuh rindu. Kuharap engkau hidup bahagia dengan suamimu. kami tinggal di Cin-ling-san dan berhasil membangun kembali rumah mendiang subo, dan kini tempat kami menjadi sebuah dusun yang ditinggali petani-petani Pegunungan Cin-Ling-san. Sumoi, betapa rinduku kepadamu. Kini aku yakin bahwa hanya engkaulah yang kucinta. Bilakah kita dapat berjumpa kembali, berdua seperti dahulu memadu kasih? Sampai jumpa, sumoi yang tercinta, dan balaslah, karena kalau tidak aku akan selalu menyuratimu. Penuh cinta dan rindu dari, Cia Keng Hong. Sampai beberapa kali Keng Hong dan Biauw Eng membaca surat itu. Sekilat terasa bahwa amarah yang amat hebat membakar dada Biauw Eng karena dia mengenal betul tulisan suaminya! Akan tetapi melihat sikap suaminya, dia dapat menekan kemarahannya dan mengerti bahwa ada sesatu yang tidak wajar. Tidak cocoklah isi surat dengan sikap suaminya. kalau suaminya menulis seperti itu dan kini suratnya terbaca olehnya, tidak mungkin suaminya akan bersikap seperti itu, penuh rasa penasaran, kemarahan, kekagetan dan juga keheranan. Kalau benar-benar menulis seperti itu tentu berusaha agar jangan terbaca olehnya. "Ibils terkutuk! Tulisanku dipalsu orang. Ini surat palsu, Sumoi!" "Tulisannya persis tulisanmu. Aku sendiri pun akan berani bersumpah bahwa itu tulisanmu, Hong-ko," Biauw Eng berkata. "Sumoi, telah terjadi hal yang hebat. Aku mengerti sekarang....... hemmm......" Kini Keng Hong membuka surat ke dua, tulisan tangan Yan Cu juga dia baca bersama Biauw Eng. Akan tetapi karena mereka kini sudah merasa yakin bahwa ada pemalsuan surat, mereka tidak begitu terkejut lagi membaca tulisan tangan Yan Cu yang membuat Cong San menjadi seperti gila itu. Suheng, kekasihku. Suheng, harap temui aku sore ini di tempat biasa. Aku tidak tahan lagi. Dia agaknya mulai curiga. Suheng, tolonglah aku, mati hidup aku ikut bersamamu, Suheng, kekasihku. *** "Suheng, jadi engkau tidak menulis suratmu kepadaku itu? Dan......... dan surat dariku ini? Aku tidak menulisnya, akan tetapi huruf-hurufnya....... serupa benar dengan gaya tulisanku......" "Tenanglah, Yan Cu. Dan ceritakan sekarang, apakah engkau pernah menerima surat kami beberapa bulan yang lalu, yang diantar oleh seorang pesuruh kami?" Yan Cu menggeleng kepala. "Tidak pernah ada utusan kalian datang membawa surat." Biauw Eng memandang suaminya dan alisnya berkerut. Hemmm, ini cocok dengan keanehan sikap A-liok yang aneh, yang tidak kembali dan hanya berpesan tidak pulang ke kampung. "Surat kita agaknya terjatuh ke tangan orang jahat dan tulisanmu dipelajari untuk mereka pakai membuat surat palsu ini. Tak salah lagi. Suratmu itu dipalsu, kemudian surat palsu ini diserahkan kepada Cong San di luar tahu Yan Cu." "Akan tetapi A-liok........? Dia amat boleh dipercaya." Keng Hong membantah, sungguhpun dia percaya akan kecerdikan isterinya. Biauw Eng menggeleng kepala. "Aku mempunyai dugaan bahwa A-liok telah terbunuh orang, surat kita dipalsukan. yan menyampaikan berita tidak pulang ke sini itu tentu bukanlah A-liok, melainkan kaki tangan penjahat. Aku dahulu sudah curiga bahwa tak mungkin A-liok berani berbuat seperti itu, akan tetapi karena tidak ada terjadi sesuatu, aku pun tidak perduli. Sekarang aku baru tahu bahwa kecurigaanku terhadap peristiwa itu benar." Keng Hong mengepal tinju dan menghadapi Yan Cu yang mendengarkan dengan penuh perhatian. "Sumoi, engkau yakin sekarang bahwa bukan aku yang menuliskan surat beracun ini kepadamu. Akan tetapi, tulisanmu ini........, kau bilang serupa dengan tulisanmu akan tetapi bukan tulisanmu?" "Mengapa serupa sekali, akan tetapi engkau mengerti bahwa tidak mungkin aku menulis surat seperti itu, Suheng." Keng Hong mengangguk-angguk. "Aku mengerti adikku. Engkau bukanlah seorang wanita seperti ini dan engkau amat mencinta suamimu. Akan tetapi bagaimana tulisanmu sampai dapat dipalsukan orang lain?" Yan Cu menggigit bibir dan mengepal tinjunya. "tadinya tak terpikir olehku, sekarang aku ingat. Orang tua yang minta dituliskan resep baru itu! Hemmmm.......dari resep obat yang kutulis, seorang hali tentu saja akan dapat menirukannya! Akan tetapi mengapa........?? Mengapa ada pemalsuan-pemalsuan ini? Mengapa sikap suamiku selalu dingin dan murung? Mengapa ada yang hendak menghancurkan rumah tanggaku? Siapa?" "Siapa lagi kalau bukan Cui Im!" Keng Hong berkata marah. "Aku akan mencarinya. Dia harus mempertanggungjawabkan ini. yang kukhawatirkan hanyalah Cong San. Dia pergi dari sini seperti orang yang sudah berubah jiwanya.........." "Suheng.......! Dia........... dia ke sini........? Dan bersama Kun Liong.....?" "Kun Liong? Siapa dia?" "Anak kami! Dia pergi membawa anak kami......, maka aku mengejar ke sini........." Keng Hong menggeleng kepala dan memandang sumoinya penuh rasa iba. "Dia datang seorang diri dan hendak membunuhku." "Karena suhengmu mengalah dan terancam, terpaksa aku turun tangan menandinginya. Dia lari meninggalkan ancaman maut kepada Suhengmu. jadi engkau telah mempunyai seorang putera? Di manakah dia? Dibawa ke mana?" Akan tetapi wajah Yan Cu sudah menjadi pucat sekali mendengar betapa suaminya telah datang hendak membunuh Keng Hong dan tidak tampak anaknya bersama suaminya itu. "Su....... sudah lamakah dia pergi?" "Baru saja, belum ada dua jam, dia berlari ke arah sana........" Biauw Eng menjawab dan menunjuk ke utara. Tanpa menjawab dan tanpa pamit Yan Cu meloncat dan berkelebat cepat lari ke utara hendak menyusul suaminya. "Sumoi........!" Keng Hong hendak mengejar, akan tetapi Biauw Eng memegang lengannya menahan. "Suamiku, tenanglah. Dalam keadaan seperti ini kita harus bersikap tenang dan tidak boleh semberono. Kini kita telah mengerti mengapa Cong San menjadi seperti gila dan bersikeras hendak membunuhmu. Kiranya dia memang sudah gila oleh cemburu. Tidak mengherankan kalau dia membaca dua surat ini dan mungkin sekali dia menyaksikan hal-hal yang menambah besar cemburunya. Kalau engkau membantu Yan Cu mencarinya, kemudian bertemu dengannya, bukankah kedatanganmu berdua Yan Cu itu hanya akan menjadi minyak yang disiramkan kepada api yang berkobar? Tidak, hal itu akan menambah ruwet persoalan." "Habis, bagaimana baiknya? Mungkinkah kita melihat kesengsaraan mereka dan mendiamkannya saja, melihat rumah tangga mereka hancur berantakan?" "Tentu saja tidak, suamiku. Kita bertiga harus menyusul mereka dan kita bereskan urusan itu, kita sadarkan Cong San yang gila oleh cemburu. Terutama sekali, kita mencari biang keladinya yang kurasa bukan lain tentulah Cui Im." "Bertiga?" "Tentu saja, berasama Biok Keng." "Ihhh! Perjalanan ini penuh bahaya, apalagi kalau diingat bahwa besar kemungkinan kita berhadapan dengan iblis betina itu. Mengajak Giok Keng berarti membahayakan keselamatan anak kita." "Hemmmm, kalau kita tinggalkan di sini tanpa kita jaga, apakah hal itu tidak lebih berbahaya lagi? Kalau kita mampu menjaga diri sendiri, masa tidak mampu melindungi anak kita? Sebaliknya kalau kita berdua binasa, siapa pula yang akan dapat menjaga anak kita? Kita pergi bertiga, hari ini juga, Hong-ko." Mau tak mau Keng Hong terpaksa harus membenarkan ucapan isterinya itu. Pula, menghadapi urusan Cong San benar-benar amat ruwet dan rumit, dia seorang diri belum tentu sanggup memecahkannya. Dia harus mengandalkan kecerdikan isterinya untuk mengatasi perkara itu, maka dia tidak banyak membantah dan berangkatlah suami isteri pendekar sakti itu bersama puteri mereka setelah menyerahkan pengurusan rumah mereka kepada para petani tetangga mereka. Cong San terhuyung-huyung akhirnya roboh di bawah pohon besar dalam hutan. Terdengar menangis mengguguk. Baru sekali ini selama hidupnya pendekar itu menangis, hati dan pikirannya kacau balau, kehilangan pegangan. Ia berduka kehilangan cinta kasih isterinya, dia marah karena merasa tertipu melihat kenyataan bahwa semenjak dahulu isterinya adalah kekasih Keng Hong. Dia kini yakin bahwa isterinya menikah dengannya bukan sebagai seorang perawan lagi, bahkan dia meragukan apakah Kun Liong itu anaknya! Lebih hebat lagi, andaikata dia mau melupakan semua itu, melupakan semua peristiwa yang sudah-sudah, menuruti nasihat Thian Kek Hwesio, semua itu tidak ada gunanya karena sampai sekarang pun isterinya masih melanjutkan hubungan jinah dengan Keng Hong! Dunia serasa hancur lebur bagi Cong San. Yang lebih menyakitkan hati, dia tidak mampu membalas, tidak mampu membunuh Keng Hong, bahkan dia menanam permusuhan pula dengan Biauw Eng! Dia tidak mau melawan Biauw Eng, bukan hanya karena wanita itu pun memiliki ilmu kesaktian yang lebih tinggi dari padanya, namun terutama sekali karena dia merasa kasihan kepada Biauw Eng! Di luar kesadarannya, Biauw Eng juga menjadi korban watak kotor suaminya, dan wanita itu sama sekali tidak bersalah. Betapa mungkin dia melawan mati-matian terhadap Biauw Eng? Tidak, dia tidak akan mengangkat senjata terhadap Biauw Eng, akan tetapi, dia harus membunuh Keng Hong! Membunuh manusia busuk itu atau mati dalam usahanya ini! *** "Aihhh....." Dia mengeluh, duduk bersandar pohon, mengusap air matanya. "bagaimana aku dapat membunuh iblis itu? Ilmunya luar biasa tinggi, dan di sampingnya terdapat Biauw Eng yang membelanya. Aaaaaahhh........., mengapa Thian menyiksaku seperti ini? Di mana ada keadilan?" Kalau pohon raksasa tua di mana Cong San bersandar itu dapat bergerak seperti manusia, tentu akan menggeleng kepala mendengar keluhan Cong San ini. Keluhan seorang manusia yang lajim terdengar di mana-mana, di seluruh pelosok dunia ini. Manusia selalu mengeluh kalau tertimpa sesuatu yang tidak berkenan di hatinya, kalau terjadi sesuatu yang berlawanan dengan kehendak hatinya, dengan bayangan dalam pikirannya. Lalu ia merasa menderita, merasa sengsara dan berduka. Lalu timbul rasa penasaran. Lebih celaka lagi, dia lalu mempersekutu Thian di dalam keadaan mabuk oleh iba diri. Cong San lupa akan pelajaran-pelajaran kebatinan yang telah diterimanya sejak kecil. Oleh rasa iba diri yang menimbulkan pertentangan mencipta kemarahan dan kebenciaan, dia lupa bahwa dia telah melakukan hal yang amat kotor. Dia ingin menarik Tuhan agar berpihak kepadanya untuk dapat membalas Keng Hong! Dia baru akan merasa puas, baru akan menganggap Tuhan Maha Adil kalau Tuhan suka membantunya membunuh Keng Hong! Betapa piciknya pendapatnya yang melahirkan perbuatan setelah dikuasai oleh rasa sayang diri dan iba diri. Perasaan Ke-akuan ini membuat setiap orang ingin agar segala sesuatu di alam mayapada ini, dari yang tampak sampai yang tidak tampak, dari segala setan iblis, dewa malaikat sampai kepada Tuhan, semua bergerak demi kepentingan dan keuntungan Aku. Berbahagialah manusia yang dapat mengenal diri pribadi, dapat menunjukkan pandang mata dan mendengarkan telinga ke dalam, bukan selalu keluar. Dapat mengenal isi pikiran dan melihat betapa pikiran selalu membayangkan hal-hal lalu yang penuh kenikmatan dan kesenangan sehingga timbul keinginan-keinginan, dapat mendengar suara hati yang terdorong oleh nafsu-nafsu yang timbul dari kenangan dan bayangan, dapat berdiri di atas itu semua tanpa penentangan, tanpa pengekangan paksa, melainkan dengan penguasaan sehingga semua itu akan mencair dan musnah dengan sendirinya, tanpa paksaan, tanpa pertentangan, bergulung menjadi satu ke dalam cahaya Cinta Kasih Murni. "Yap Cong San, seorang pendekar gagah perkasa seperti engkau, mengapa bersemangat lembek dan lemah!" Cong San melompat bangun, membalik dan menghadapi Bhe Cui Im dengan mata berapi penuh kebencian dan kemarahan. wanita yang amat cantik jelita, yang berpakaian mewah dan indah, pakaian yang ketat membungkus tubuh yang mempunyai lekuk-lengkung yang menggairahkan, yang menghamburkan bau harum dari seluruh rambut dan pakaiannya, tersenyum-senyum manis memandangnya. Namun, bagi Cong San, kecantikan itu menyembunyikan bayangan iblis yang mengerikan. "Iblis betina!" ia membentak dan cepat dia telah mencabut sepasang Im-yang-pit di tangannya, langsung menubruk dan meyerang ke depan, mengirim totokan-totokan maut secara bertubi-tubi. Namun sambil tersenyum simpul dan dengan gerakan yang indah, Cui Im dapat menghindarkan diri dengan amat mudah sehingga semua totokan itu mengenai angin saja. "Cong San, betapa bodohnya engkau. Kalau engkau melawan aku, engkau takkan menang dan betapa mudah bagiku membunuhmu. Akan tetapi aku tidak akan membunuhmu dan engkau pun tidak boleh menyerangku. Aku butuh engkau, dan engkau pun butuh aku, Cong San." Dalam keadaan seperti itu, Cong San tak mampu berpikir panjang, maka ucapan ini dia hubungkan dengan sifat mata keranjang dan gila laki-laki dari iblis betina ini. Kemarahannya memuncak dan dia menerjang lagi lebih nekat! "Plak-plak...... Cusss!" Dua batang pit itu bertemu dengan telapak tangan Cui Im. Cong San merasa seolah-olah dua batang senjatanya berikut tenaga sinkangnya amblas ke dalam benda lunak dan kehilangan tenaganya, kemudian sebuah totokan jari tangan yang halus runcing menyentuh pundak, membuat dia terguling dan seluruh tubuh atasnya menjadi lumpuh. Namun dia sudah mengerahkan tenaga dalamnya, berhasil membuyarkan pengaruh totokan, melompat berdiri dan siap menerjang lagi. "Cong San, aku tahu engkau gagah dan tidak takut mati. Akan tetapi, tidak sayangkah engkau mati di tanganku sebelum engkau mampu membunuh Keng Hong yang telah menghancurkan kebahagiaanmu?" Cong San tertegun. Dia tidak ingin mati sebelum sempat membalas Keng Hong! Akan tetapi dia pun tidak sudi menyerah terhadap iblis betina ini, maka dia menghardik, "Urusanku dengan dia tidak ada sangkut pautnya denganmu!" Cui Im tersenyum lebar sehingga tampak deretan giginya yang putih rata seperti mutiara. "Tidak ada sangkut pautnya, akan tetapi kita senasib! Keng Hong telah menghancurkan kebahagiaanmu, juga dia telah menghancurkan kebahagiaanku. Engkau mendendam dan hendak membunuhnya, aku pun demikian. Engkau tidak berhasil, aku pun demikian, karena dia memang amat lihai. Karena itu, mengapa kita saling serang sendiri? Tadi kukatakan bahwa kita saling membutuhkan. Kalau kita bekerja sama menghadapi laki-laki mata keranjang itu, tentu kita akan berhasil membalas dendam." Cong San meragu, menunduk. Dia tahu bahwa wanita di depannya ini, yang jahat dan keji seperti iblis, memiliki ilmu kepandaian amat tinggi, bahkan wanita ini adalah sumoi dari Keng Hong. Wanita inilah satu-satunya orang yang ikut mempelajari kitab-kitab rahasia peninggalan Sin-jiu Kiam-ong dan tingkat kepandaiannya hanya sedikit di bawah tingkat Keng Hong! "Bhe Cui Im, engkau tahu bahwa aku tidak sudi bersahabat denganmu, bahwa aku tidak sudi menyerah dan tunduk kepadamu. Akan tetapi, mengenai urusan Cia Keng Hong, kalau engkau ada usul menghadapinya, katakanlah agar dapat kupertimbangkan." Cui Im merasa girang sekali. Dia pun sudah mengenal watak pemuda ini dan dia tahu bahwa kecantikannya, rayuannya sebagai wanita tidak mungkin dapat menggugurkan batin Cong San. Satu-satunya jalan untuk menarik pemuda ini bekerja sama dengannya hanyalah memanfaatkan api cemburu yang sedang berkobar di dadanya. "Yap Cong San, kita bekerja sama untuk menghancurkan musuh kita, bukan untuk bersahabat. Engkau tetap bebas, hanya kita rencanakan bersama untuk memancing Keng Hong dan membunuhnya. Dia merusak hidupku, dan dia juga mempermainkan isterimu secara tidak tahu malu, seolah-olah isterimu dianggapnya seorang pelacur......." "Tutup mulutmu! Aku melarang engkau menyebut-nyebut isteriku!" Sepasang pit di tangan Cong San menggigil dan diam-diam Cui Im tersenyum mengejek karena dia tahu bahwa kata-katanya yang disengaja tadi telah berhasil baik membakar hati Cong San. "Maaf, aku bukan bermaksud menghina. Dengarlah, aku kini tinggal di Sun-ke-bun, mengumpulkan kekuatan untuk melawan Keng Hong. marilah kau ikut bersamaku ke sana dan kita rundingkan rencana menghukum si mata keranjang itu bersama guruku, Go-bi Thai-houw. Dengan tenaga kita bertiga, ditambah pembantu-pembantuku yang cukup banyak, aku percaya akhirnya Keng Hong akan mampus di tangan kita." Terjadi perang batin di dalam hati Cong San. Kalau saja racun cemburu tidak sedemikian hebatnya membakar seluruh dirinya, membuat setiap bulu di tubuhnya, setiap helai rambut di kepalanya, membenci dan bernafsu membunuh Keng Hong tentu dia tidak akan sudi bersekutu dengan Cui Im dan antek-anteknya. "Baik! Akan tetapi ingat, kerja sama antara kita hanya untuk membunuh Cia Keng Hong, setelah itu, kita bersimpang dan mungkin kelah kita akan saling berhadapan sebagai musuh!" Kembali wanita cantik itu tersenyum manis. "Urusan besar di depan mata masih belum beres, mengapa memikirkan masa depan yang tiada ketentuan? Biarlah kita kini bekerja sama untuk menghadapi Keng Hong dan Biauw Eng yang lihai, urusan kelak...... bagaiman nanti sajalah." "Aku hanya membantumu menghadapi nyawa Keng Hong, tidak mau membantumu menghadapi Biauw Eng!" Cui Im mengangguk. "Baiklah, kita tinggalkan Biauw Eng di luar. Betapapun juga, dia adalah sumoiku sendiri. Marilah kita berangkat." Biarpun di sudut hatinya terdapat perasaan memberontak dan mencela perbuatannya sendiri yang mau bersekutu dengan seorang iblis betina seperti Cui Im, namun Cong San menghibur diri bahwa perbuatannya ini hanya dia lakukan karena semata-mata demi terlaksananya dendam di hatinya, khusus untuk menghadapi Keng Hong. Setelah itu, hemmm........... siapa tahu, mungkin dia akan melawan Cui Im! yang penting, Cia Keng Hong, laki-laki palsu, mata keranjang, berakhlak bejat itu, yang telah menghancurkan kebahagiaan rumah tangganya, harus dibunuh lebih dulu! Dengan wajah murung dan mulut selalu tertutup, tak pernah mengeluarkan kata-kata kalau tidak perlu sekali, Cong San melakukan perjalanan bersama Bhe Cui Im yang cantik jelita dan yang terlalu cerdik untuk menutupi berahi yang selalu menyelubunginya sehingga tidak satu kalipun dia mencoba-coba untuk merayu Cong San sungguhpun kesempatan untuk itu banyak sekali. Tidak, Bhe Cui Im adalah seorang wanita yang sudah matang, penuh pengalaman dan cerdik luar biasa. Kalau mengingat kepandaian Cong San, murid Siauw-lim-pai ini tidak akan dapat menolong banyak kepadanya dalam menghadapi Keng Hong. Akan tetapi, bukan tingkat kepandaian Cong San yang ia butuhkan dan diam-diam otaknya sudah bekerja untuk menggunakan orang muda ini dalam siasatnya menjebak Keng Hong. *** Tanpa mengenal lelah Yan Cu melakukan perjalanan mencari suaminya. Hatinya agak terhibur setelah ia pergi ke Siauw-lim-pai dan mendapat kenyataan bahwa puteranya, Kun Liong, ternyata berada di kuil itu! Cong San telah menitipkan putera mereka itu di kuil Siauw-lim-pai sebelum berangkat pergi mencari Keng Hong untuk dibunuhnya. Mendengar penuturan Yan Cu tentang keadaan Cong San, Thian Kek Hwesio menganggap urusan itu gawat sekali, maka dia tidak melarang ketika Yan Cu mohon pergi menghadap Tiong Peh Hosiang. Kakek itu bekas ketua Siauw-lim-pai ini hanya menarik napas panjang, kemudian dengan singkat berkata, "Omotohud, agaknya sudah nasib dan karma pinceng harus terseret-seret urusan dunia. Pergilah engkau lebih dulu, pinceng akan menyusul." Menerima kesanggupan kakek itu, agak besarlah hati Yan Cu, maka dia lalu pergi mencari suaminya. Dia mempunyai dugaan pula bahwa yang menimbulkan kehancuran rumah tangganya tentulah Bhe Cui Im, si iblis betina itu, seperti yang telah ia dengar dari Keng Hong pula. Teringatlah ia akan semua pengalamannya pada hari pernikahannya di puncak Cin-ling-san ketika Bhe Cui Im muncul bersama Go-bi Thai-houw dan Mo-kiam Siauw-ong. Hemmm, Mo-kiam Siauw-ong! Terkenal sebagai raja kaum bajak sungai di lembah Fen-ho, murid Thian-te Sam-lo-mo. Agaknya dia akan bisa mendapatkan petunjuk tentang di mana adanya Cui Im kalau dia dapat bertemu dengan Mo-kiam Siauw-ong. Kalau dia tidak dapat menyusul suaminya, dia akan mencari Bhe Cui Im dan akan mengadu nyawa dengan iblis betina yang telah menghancurkan kebahagiaan rumah tangganya itu! Keputusan hati yang nekat ini membuat Yan Cu melakukan perjalanan tanpa mengenal lelah dan beberapa pekan kemudian ia telah tiba di daerah lembah Sungai Fen-ho. Ketika ia bertanya-tanya kepada para nelayan dengan muda ia mendengar keterangan bahwa Mo-kiam Siauw-ong yang dicarinya itu kini telah menjadi seorang berpangkat dan berpengaruh, yaitu menjadi putera mantu Coa-taijin, kepala daerah kota Sun-ke-bun di lembah Fen-ho! Mendengar ini, Yan Cu cepat menuju ke kota Fen-ho. Tidak sukar baginya untuk mencari rumah kepala daerah, di mana tinggal pula bekas raja bajak yang dicarinya. Tentu saja di depan pintu gerbang gedung pembesar itu ia dilarang masuk oleh para pengawal. yan Cu yang karena kedukaan dan kemarahannya sudah nekat, lalu berkata nyaring, "Kalau aku tidak boleh masuk, hayo suruh bajak Mo-kiam Siauw-ong lekas keluar menemuiku! Kalau dia tidak mau keluar, terpaksa aku akan memaksa masuk!" Seorang pengawal cepat berlari masuk untuk melapor. Pada saat itu, Mo-kiam Siauw-ong, Bhe Cui Im, go-bi Thai-houw yang bersikap tak acuh, sedang berunding dengan Yap Cong San yang sudah beberapa hari tinggal di situ pula. Dapat dibayangkan betapa kaget hati Cong San mendengar laporan pengawal bahwa di luar telah muncul isterinya! Agaknya isterinya dapat tahu bahwa dia berada di situ. Dia enggan bertemu dengan isterinya, sungguhpun jantungnya berdebar tegang dan penuh dengan kerinduan yang luar biasa! "Bagus sekali kalau dia datang, memang kita membutuhkan dia!" Cui Im berkata, mencegah Mo-kiam Siauw-ong yang sudah bangkit. "Engkau bukan lawannya, biar aku menangkapnya." Tiba-tiba Yap Cong San meloncat berdiri, mukanya pucat. "Bhe Cui Im! Apa yang akan kau lakukan ini? Aku melarang siapapun juga mengganggu isteriku!" Cui Im tersenyum memandang orang muda itu. "Aku kagum kepadamu, Cong San. Setelah semua yang diperbuatnya terhadapmu, engkau masih membelanya dan mencintanya! Aku tahu akan perasaanmu itu, Cong San, maka harap kau jangan salah sangka. Aku tidak akan mengganggunya, hanya menangkapnya untuk memancing munculnya Cia Keng Hong. Kalau dia mendengar bahwa kekasihnya yang tercinta kutangkap, tentu dia akan muncul ke sini!" Sebutan "kekasihnya yang tercinta" yang sengaja dikeluarkan oleh mulut Cui Im itu berhasil membakar lagi hati Cong San. Dia mengangguk dan berkata, "Jangan lukai dia, dan perlakukan dengan baik. Jangan sampai dia tahu aku berada di sini." Cui Im mengangguk dan melirik ke arah gurunya. "Aku tahu dan jangan khawatir, Cong San. Akan tetapi, isterimu itu bukanlah seorang yang lemah. Untuk menangkap tanpa melukainya, aku harus mendapatkan bantuan Subo. Subo, harapa bantu teecu menangkap Yan Cu." Go-bi Thai-houw terkekeh. "heh-heh-heh, apa sih sukarnya menangkap bocah itu?" Akan tetapi ia bangkit juga dan mengikuti Cui Im keluar dari dalam gedung. Dengan muka agak pucat Cong San lalu meloncat bangun, berindap keluar untuk mengintai betapa isterinya ditangkap, siap untuk membela isterinya yang betapapun juga amat dicintanya itu kalau-kalau akan terancam keselamatannya di bawah tangan Cui Im yang dia tahu amat kejam. Sementara itu, Yan Cu yang menanti di luar, mengharapkan keluarnya Mo-kiam Siauw-ong agar dia dapat bertanya tentang tempat tinggal Bhe Cui Im. Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia menyaksikan berkelebatnya dua bayangan orang dan tahu-tahu Bhe Cui Im sendiri bersama Go-bi Thai-houw telah berdiri di depannya! "Kau...... kau iblis betina.........!" Yan Cu berseru, matanya memandang penuh kebencian. Biarpun dia belum mempunyai bukti bahwa wanita inilah yang mencelakakannya, namun begitu bertemu saja sudah bangkit kembali kebenciannya. Tanpa bukti, tentu saja dia tidak dapat menuduhnya begitu saja. "Hi-hi-hik, engkau isteri yang tidak setia! Apakah kau datang untuk mencari kekasihmu Cia Keng Hong?" Muka Yan Cu menjadi merah sekali, matanya terbelalak dan kalau tadinya ia masih ragu-ragu untuk menuduh karena tidak ada bukti, ucapan Cui Im itu meyakinkan hatinya bahwa iblis inilah yang mengaturnya. Saking marahnya sampai sukar ia mengeluarkan suara. Pula, di tempat ramai itu, perlu apa dia bicara tentang kehancuran rumah tangganya itu? Hanya akan menimbulkan aib dan malu saja! Maka Yan Cu cepat mencabut pedangnya dan menerjang Cui Im sambil membentak, "Tutup mulutmu yang kotor, iblis bentina!" Cui Im mengelak sambil mengebutkan ujung lengan bajunya, tertawa mengejek menghindarkan bacokan dan tusukan pedang yang bertubi-tubi. Dibandingkan dengan tingkat kepandaian Yan Cu, tentu saja Cui Im menang jauh sekali. Kalau dia menghendaki, dalam waktu belasan jurus saja dia tentu sanggup merobohkan Yan Cu. Akan tetapi, merobohkan tanpa melukainya bukanlah hal mudah, dan Cui Im yang cerdik dan dapat menduga bahawa Cong San tentu mengintai, tadi sengaja menyebut-nyebut nama Keng Hong utuk memanaskan hati Con San, namun ia tetap tidak berani untuk melukai Yan Cu karena hal ini akan merugikan saja, akan membuat ia kehilangan bantuan Cong San yang amat dia butuhkan. "Subo, harap bantu teecu!" Cui Im sambil melompat jauh ke belakang berseru, Yan Cu yang menjadi marah dan penasaran cepat mengejar ke depan. Sinar merah menyilaukan matanya. Cepat Yan Cu menangkis dengan pedangnya ke arah sinar merah yang menyambar dari kanannya itu. ia menahan teriakan ketika pedangnya bertemu benda lunak halus dan ternyata itu adalah ujung kebutan merah di tangan Go-bi Thai-houw yang terus membelit pedang. Yan Cu mengerahkan tenaga untuk menarik kembali pedangnya, namun sia-sia belaka. Dengan kebencian meluap Yan Cu menggerakan tangan kirinya meluncur ke depan, dua buah jari tangannya menusuk ke arah sepasang mata di wajah tua yang terkekeh dan menyeringai menjijikan itu. *** Membayangkan ini semua, hati Cong San makin panas dan berkuranglah rasa kasihan di hatinya terhadap Yan Cu. Biarlah Cui Im mempergunakannya sebagai umpan untuk memancing datang Cia Keng Hong, pikirnya. Asalkan Yan Cu tidak dihina, tidak disiksa, karena kalau hal itu terjadi, tentu dia akan membelanya dengan taruhan nyawa. Betapapun jahatnya Yan Cu dalam pertimbangannya, tidaklah sejahat dan sekeji Cui Im si iblis betina! Yan Cu ditahan dalam sebuah kamar yang cukup indah dan bersih. Kedua tangan dan kakinya terbelenggu, akan tetapi memakai rantai panjang sehingga wanita ini dapat bergerak leluasa, dapat makan dan tidur, akan tetapi tentu saja tidak leluasa bergerak untuk berkelahi! Jendela dan pintunya dari besi, memakai ruji besi yang kuat dan di luar jendela serta pintu terjaga ketat oleh pasukan pengawal. Cui Im menepati janjinya. Yan Cu diperlakukan baik tidak pernah diganggu dan mendapatkan makan yang cukup dan mewah. hal ini membuat Cong San berterima kasih dan lega hatinya, menambahkan kepercayaannya bahwa tidak terkandung niat buruk dalam hati Cui Im terhadap Yan Cu, melainkan semata-mata iblis betina itu mengajaknya bersekutu untuk menjatuhkan Keng Hong yang mereka benci bersama. Karena perlakuan Cui Im terhadap Yan Cu inilah yang membuat Cong San penurut dan dia menyetujui siasat perangkap yang dipasang oleh Cui Im apabila Keng Hong datang ke tempat itu, terpancing oleh umpan berita tertawannya Yan Cu. Cui Im sengaja menyebar orang-orangnya untuk mengabarkan bahwa Yan Cu tertawan olehnya di Sun-ke-bun! Berita ini yang disebar itu sampai juga ke telinga Keng Hong dan Biauw Eng yang melakukan perjalanan, membawa puteri mereka. Kedua orang suami isteri pendekar sakti ini tidak merasa heran. Meraka memang telah menaruh dugaan bahwa Cui Im-lah orangnya yang bersembunyi di balik semua peristiwa yang menghancurkan kebahagiaan rumah tangga Cong San dan Yan Cu dan mereka sudah dapat mencari jejak musuh besar itu dan mendengar bahwa iblis betina itu tinggal di Sun-ke-bun bersama Mo-kiam Siauw-ong dan Go-bi Thai-houw. Maka begitu mendengar akan tertangkapnya Yan Cu di tempat itu, mereka tidak merasa heran dan bersicepat menuju ke kota itu. Mereka berhenti di luar kota, menanti sampai malam tiba dan Biauw Eng sambil mengerutkan alisnya dan menidurkan puterinya dalam pondongan berkata, "Suamiku, kita harus berlaku hati-hati sekali. Aku menduga bahwa semua ini dilakukan oleh Cui Im untuk memancingmu. Semua perbuatannya yang ditujukan kepada Cong San dan Yan Cu kuras hanyalah untuk mencelakakan kita." "Mengapa kau menduga begitu, isteriku?" "Cui Im menaruh kebencian besar terhadap kita, terutama terhadapmu. Adapun Cong San dan Yan Cu sesungguhnya hanya terbawa-bawa saja karena mereka adalah sekutu kita dahulu. Mereka telah gagal menyerang kita ketika perayaan pernikahan kita, dan agaknya untuk mengganggu kita di Cing-ling-san, mereka tidak berani. Maka Cui Im dan sekutunya lalu menggunakan siasat, menghancurkan Cong San dan Yan Cu untuk memancing kita datang." "Aku tidak takut!" Keng Hong berkata penuh geram mengingat akan kekejaman Cui Im yang sudah berkali-kali mencelakakannya dan masih belum bertobat biarpun telah diampuninya. "Aku pun tidak takut, akan tetapi kalau malam ini kita menyerbu ke sana, dengan Giok Keng di gendonganku, hemmm...... kurang leluasa juga........." "Ssttt....... ada orang!" Tubuh Keng Hong sudah mencelat ke belakang setelah dia membisikkan peringatan ini dan dia melayang turun di depan seorang laki-laki yang berdiri di balik pohon. Hanya beberapa detik saja selisihnya, Biauw Eng juga sudah berada di samping suaminya. "Hemmmm, kau lagi!!" Biauw Eng membentak penuh kemengkalan hati ketika melihat bahwa yang berada di situ bukan lain adalah Yap Cong San. "Apakah kau masih hendak menantang?" "Sabarlah, lihat, dia terluka." Keng Hong mendekati Cong San yang berdiri menunduk dan tampak darah pada baju orang muda itu di bagian pundak kiri. "Cong San, apakah yang terjadi? Engkau terluka........!" Cong San tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut. "Lukaku tidak berarti......., akan tetapi harap kalian sudi menolong Yan Cu. Dia tertawan di gedung kepala daerah, aku berusaha menolongnya akan tetapi gagal, malah terluka. Kalau tidak ditolong,celakalah dia malam ini......." "Hemmm, siapa saja di sana?" tanya Keng Hong. "Penjagaan amat kuat. Bhe Cui Im, Gobi Thai-houw, Mo-kiam Siauw-ong, beberapa orang kepala bajak yang lihai dan anak buah mereka yang banyak. Hanya kalian berdualah yang akan dapat menolong Yan Cu........, tolonglah........ sekarang juga......." "Hemmmm, engkau masih ingat kepada isterimu? Setelah kau sakiti hatinya?" Biauw Eng mengejek. "Tolonglah dia dulu, soal itu nanti kita bicarakan kelak berempat......." Cong San berkata lagi. "Isteriku dia benar. Yang penting menolong Yan Cu........" kata Keng Hong. "Marilah!" "Aku...... aku terluka, biarpun tidak berbahaya akan tetapi aku lemah tak dapat membantu........ kulihat kalian membawa anak, berbahaya kalau dibawa menyerbu. Kalau kalian masih ada kepercayaan kepadaku, tinggalkan anak kalian bersamaku, aku dapat menjaganya. Lebih aman daripada dibawa menyerbu ke tempat berbahaya itu......." "Tidak!" Biauw Eng membentak. "Lebih baik kulindungi sendiri!" "Eng-moi. Dia benar. Lebih baik kita titipkan kepada Cong San sementara kita menyerbu dan menolong Yan Cu." "Aihhh! kau masih menaruh kepercayaan kepada orang ini yang hendak membunuhmu?" "Jangan bicara begitu, Eng-moi. Kita tahu dan yakin, Cong San bukan orang jahat. Dia tentu akan melindungi Giok Keng dengan nyawanya. Serahkanlah, daripada anak kita terancam bahaya hebat kalau kita bawa menyerbu ke sana. engkau masih ingat akan kelihaian Go-bi Thai-houw, dan Cui Im tak boleh dipandang ringan pula." Dengan alis berkerut Biauw Eng menyerahkan Giok Keng kepada Cong San sambil berkata, "Nah, terimalah dan jaga baik-baik. Awas, Yap Cong San, sedikit saja kau menggangu anakku, aku Sie Biauw Eng akan mencarimu biar sampai ke neraka sekalipun!" "Eng-moi, jangan menuruti perasaan marah. Hayo kita cepat menolong Yan Cu. Cong san, kaujaga anak kami dan tunggu di sini!" Keng Hong lalu melompat dan diikuti oleh isterinya. Sejenak Cong San bengong terlongong memandang anak perempuan mungil yang tidur pulas digendongnya itu. Ia menarik napas panjang dan mencium dahi anak itu. "Anak baik, kasihan engkau....... mempunyai ayah macam itu. Aku bersumpah akan melindungimu dan takkan membiarkan siapapun mengganggumu. Aku hanya benci kepada ayahmu dan maafkanlah, anak baik, aku terpaksa melakukan ini demi dendamku kepada ayahmu!" Setelah menengok ke kanan kiri, Cong San meloncat dan lenyap ke dalam kegelapan yang menyelubungi bumi. Keng Hong dan isterinya mempergunakan ilmu kepandaian yang tinggi, melompati tembok kota dan langsung pergi mencari gedung besar tempat tinggal kepala daerrah. Sambil berloncatan cepat seperti dua ekor burung raksasa, Biauw Eng mencela suaminya. "Aku khawatir sekali. Orang yang sudah gila cemburu seperti dia itu, sukar untuk dapat dipercaya sepenuhnya dan kita telah menyerahkan anak kita ke tangannya!" "Ahhhh, tidak melihatkan engkau betapa dia masih mencintai Yan Cu dan berusaha menolong isterinya sampai terluka Tidak aneh, mana dia mampu menandingi Cui Im dan kaki tangannya? Pula, andaikata dia gila oleh cemburu, tentu kepadakulah ditujukan dendam dan kebenciannya. Tidak mungkin dia menggangu Giok Keng." Biarpun hatinya masih gelisah, akan tetapi kecurigaan Biauw Eng berkurang karena dia dapat membenarkan pendapat suaminya itu. Dengan hati-hati mereka lalu meloncat ke atas genteng rumah-rumah penduduk, melanjukan penyelidikan mereka ke gedung kepala daerah melalui jalan atas. hati suami isteri perkasa ini makin curiga karena ternyata dengan mudah saja mereka tiba di atas gedung kepala daerah tanpa menghadapi perlawanan dan serangan penjaga. Keadaan sunyi saja seolah-olah para pengawal ditiadakan malam itu! Ketika mereka tiba di atas sebuah ruangan belakang yang luas dan mengintai, tahulah mereka bahwa Cui Im memang telah siap menanti kedatangan mereka! Mereka melihat Cui Im, Mo-kaim Siauw-ong dan Go-bi Thai-houw bersama lima orang laki-laki tinggi besar yang agaknya adalah teman-teman Mo-kaim Siauw-ong dari kalangan bajak, sedang duduk di ruangan luas itu menghadapi meja hidangan, makan minum sambil bercakap-cakap. Tiba-tiba percakapan dihentikan, dan terdengarlah suara Cui Im melengking nyaring, "Keng Hong dan Biauw Eng, kalian sudah datang! Hi-hi-hi, jangan harap kalian akan dapat membebaskan Yan Cu sebelum kalian mengalahkan kami!" "Cui Im manusia jahat, sekali ini aku tidak akan mengingat hubungan antara kita lagi!" Jawaban Keng Hong ini disusul melayangnya dua tubuh yang ringan dan gesit dari atas, meluncur memasuki ruangan yang luas itu. "Wir-wir-wirrr!!" Dari empat penjuru ruangan itu menyambar anak panah beracun ke arah tubuh Keng Hong dan Biauw Eng, tiga puluh dua batang banyaknya, delapan batang dari setiap penjuru yang dilepas oleh empat sekali dua batang. Keng Hong yang lebih dulu turun, menggerakkan kedua tangannya sedangkan Biauw Eng yang turun beberapa detik berikutnya telah menggerakkan sabuk sutera putih. Dalam beberapa detik saja, Keng Hong telah berhasil mencengkeram enam belas batang anak panah, sedangkan ujung sabuk sutera isterinya juga telah membelit enam belas batang. Keng Hong berseru nyaring, empat kali tangannya bergerak dengan tubuh berputar ke empat penjuru. Terdengar jerit-jerit mengerikan dan dari atas tiang melintang di empat penjuru ruangan itu, jatuhlah enam belas orang pemanah yang dadanya termakan anak panah mereka sendiri. Tubuh mereka berkelojotan sebentar tak bergerak lagi. Biauw eng memutar sabuk suteranya di atas kepala sambil tersenyum mengejek memandang ke arah Cui Im yang mengangkat kedua alisnya dengan marah, kemudian wanita muda yang jelita ini berseru, "Bhe Cui Im, terimalah sambutanmu sendiri!" Sabuk sutera itu mengeluarkan suara bersiut dan enam belas batang anak panah itu meluncur seperti kilat menyambar ke arah meja di mana duduk Cui Im, Go-bi Thai-houw, Mo-kiam Siauw-ong dan lima orang pembantunya terkejut dan cepat melempar diri ke belakang, terjungkal bersama kursi mereka dalam pengelakan yang tergesa-gesa dan kaget, akan tetapi Cui Im mengangkat sumputnya menangkisi anak-anak panah itu, sedangkan Go-bi Thai-houw menggunakan mulutnya yang peot meniupi anak-anak panah itu sehingga menyeleweng dan tidak mengenai tubuhnya! "Hi-hi-hik, Biauw Eng, engkau masih suka membela suamimu yang telah mengkhianati pernikahanmu? Suamimu datang untuk menolong kekasihnya, apa kau tidak tahu? Suamimu, laki-laki mata keranjang gila wanita ini, mencinta Yan Cu, apa kau berpura-pura tidak tahu?" "Cui Im, tidak perlu banyak cakap lagi. Kami tahu siapa engkau dan dapat menduga apa yang telah kau lakukan terhadap Cong San dan Yan Cu. Kami datang untuk membasmi kau dan kaki tanganmu, dan sekali ini kami tidak mau bekerja kepalang tanggung!" Jawab Biauw Eng. "Cui Im, sekali ini aku tidak akan sudi mengampunimu lagi!" kata pula Keng Hong. "Eh, eh, eh, laki-laki tampan, apa kau lupa betapa kita bersama menikmati malam itu? Apa kau lupa bahwa akulah gurumu dalam soal asmara? hemmmm, jantungku masih berdebar dan semua bulu di tubuhku masih meremang karena berahi kalau kuingat malam kita dahulu itu. Engkau pun cinta kepadaku, cinta tubuhku, mana engkau akan tega membunuhku?" "Cui Im, perempuan tak tahu malu! majulah menerima kematian!" Keng Hong berteriak marah sekali, mukanya menjadi merah karena dia diingatkan akan pengalamannya yang amat memalukan dahulu. Cui Im memberi isyarat kepada Mo-kiam Siauw-ong. Mantu kepala daerah ini lalu mengangguk kepada lima orang pembantunya yang cepat meloncat bangun sambil mengeluarkan tanda dengan suitan. Dari kanan kiri muncullah dua puluh orang dari empat penjuru yang segera bergerak dengan teratur di bawah pimpinan lima orang itu, mengurung Keng Hong dan Biauw Eng dengan membentuk sebuah lingkaran luas dalam jarak enam meter dari kedua orang suami isteri sakti itu. Keng Hong dan Biauw Eng menggerakan kaki, berdiri mengadu punggung, bersikap tenang, bahkan Biauw Eng yang sudah memegang sabuk sutera putih di tangannya itu memandang kepada Cui Im sambil tersenyum mengejek, seolah-olah mentertawakan bekas sucinya itu yang menggunakan orang-orang yang dipandangnya rendah dan tiada gunanya itu. Keng Hong juga bersikap tenang, masih belum mencabut pedang Siang-bhok-kiam karena kalau hanya menghadapi pengurungan dua puluh lima orang itu saja, apalagi dia dibantu isterinya, kiranya tidak perlu mengeluarkan pedang pusakanya itu. Lima orang itu memberi isyarat dengan tangan kepada dua puluh orang anak buah mereka yang berjalan mengitari Keng Hong dan isterinya. Tiba-tiba tampak sinar hitam menggelapkan cahaya lampu yang menerangi ruangan itu dan ternyata dua puluh lima orang itu kini semua telah mencabut sebatang cambuk hitam yang panjangnya tidak kurang dari lima meter! Tahulah Keng Hong dan Biauw Eng bahwa para pengeroyok itu hendak menyerang mereka dari jarak jauh, mengandalkan senjata mereka yang panjang. Diam-diam suami isteri ini tertawa. Betapa tololnya Cui Im! Biarpun kelihatannya cerdik, mengeroyok dari jarak jauh, dua puluh lima orang ini akan dapat berbuat apakah terhadap mereka? Dengan sikap tenang dan pandang mata mentertawakan, Keng Hong dan Biauw Eng tetap berdiri tanpa bergerak, bahkan kini Baiuw Eng dengan muka membayangkan kesebalan, menyelipkan sabuk suteranya di pinggang, seolah-olah ia hendak menunjukan kepada Cui Im bahwa dia tidak perlu lagi menggunakan senjata menghadapi ancaman dua puluh lima orang pengeroyok itu. Serangan itu tiba-tiba seperti telah disangka oleh suami isteri ini. Didahului oleh ledakan-ledakan seperti suara halilintar menyambung-nyambung, lalu tampak sinar hitam meluncur dari sekeliling tubuh mereka, datanglah serangan ujung cambuk bertubi-tubi ke arah tubuh mereka. Sikap Keng Hong dan Biauw Eng masih tenang, namun kedua tangan mereka sudah bergerak menyambut dengan kecepatan yang sukar diikuti pandangan mata. Tiba-tiba tampak cahaya putih bergulung di depan Biauw Eng, sedangkan Keng Hong menggerakan kedua tangan seperti seorang kanak-kanak menangkapi kupu-kupu dan...... sekian banyak cambuk itu sebagian tergulung oleh sabuk sutera Biauw Eng, dan sebagian besar lagi ujungnya sudah tergenggam di kedua tangan Keng Hong. hampir berbareng suami isteri ini membuat gerakan, gerakan yang berbeda, bahkan berlawanan karena kalau Biauw Eng menarik sabuk suteranya dengan pengerahan tenaga, sebaliknya Keng Hong melepaskan ujung-ujung sabuk yang menegang karena ditarik oleh pihak pengeroyok. Akan tetapi akibatnya hebat sekali. Mereka yang cambuknya tertarik oleh Biauw Eng, ada yang sampai terguling-guling dan terseret, ada yang putus cambuknya dan ada yang terpaksa melepaskan gagang cambuk karena kulit tangan mereka terkupas! Adapun mereka yang ujung cambuknya dilepas oleh Keng Hong, ada yang mengelak dari sambaran cambuk sendiri sampai jatuh bangu, akan tetapi ada pula yang terpukul cambuk sendiri pada mukanya sehingga kehilangan bukit hidung atau daun telinga. Teriakan-teriakan kesakitan terdengar dan tentu saja pengepungan dua puluh lima orang itu menjadi kacau-balau. "Bhe Cui Im, majulah sendiri! Apa gunanya memaksa tikus-tikus tiada guna ini?" Biauw Eng berseru mengejek. *** Akan tetapi, lima orang pembantu Mo-kiam Siauw-ong itu menjadi marah sekali dan tentu saja malu bahwa mereka dan anak buah mereka yang diandalkan tuan rumah ternyata dalam segebrakan saja telah kocar-kacir. Mereka meneriakkan aba-aba dan para anak buah mereka telah siap lagi, bahkan yang kehilangan cambuk sudah mengganti cambuknya. Lima orang itu memutar cambuk mereka sehingga terdengar suara bersuitan. Kemudian cambuk mereka menyambar, bukan ke arah Keng Hong dan Biauw Eng yang memandang heran dan geli, melainkan cambuk-cambuk itu menyambar ke arah api lilin di sudut-sudut ruangan dan....... ujung cambuk itu terbakar dengan cepat dan mudah. Api menjalar dari ujung cambuk sampai hampir ke gagang, tanda bahwa cambuk mereka itu memang mengandung bahan bakar yang amat peka. Kini lima orang itu memutar-mutar "cambuk api" mereka dan anak buah mereka pun memutar cambuk ke arah cambuk api pemimpin-pemimpin mereka dan terbakarlah semua cambuk yang kini menjadi dua puluh lima buah banyaknya! Keng Hong dan Biauw Eng terkejut sekali ketika dua puluh lima batang api itu menerjang mereka dengan cahaya api yang menyilaukan mata. Ini hebat, pikir mereka. Mereka tidak takut akan kekuatan cambuk yang menyerang, namun berhadapan dengan api yang setidaknya akan dapat membakar pakaian dan rambut, amatlah berbahaya! Agaknya Cui Im dapat melihat kekagetan mereka maka terdengarlah suara ketawanya yang melengking di antara sinar api yang kini seperti membakar seluruh ruangan itu, mendatangkan bayangan-bayangan hitam merah seperti pemandangan di neraka! Cambuk-cambuk api itu datang dan Biauw Eng cepat mempergunakan ginkangnya, melesat dan bergerak menyelinap di antara cambuk-cambuk api yang datang menyambar. Gerakan ringan dan cepat sekali dan diam-diam nyonya muda ini bersyukur bahwa dia mentaati perintah suaminya, menyerahkan Giok Keng kepada Cong san. Andaikata tadi harus menghadapi serangan cambuk-cambuk api ini dengan menggendong anaknya, ihhhhh, ia bergidik ngeri karena maklum bahwa anaknya terancam hebat oleh lidah-lidah api! Keng Hong menjadi marah. Dia harus memuji kehebatan barisan cambuk api ini dan kelihatan Cui Im mengatur siasat. Menghadapi api, tentu saja pedang Siang-bhok-kaim tak dapat dia pergunakan. Pedangnya terbuat daripada kayu dan tentu saja kayu takut akan api. Kalau pedangnya terbakar, hal itu merupakan malapetaka hebat. Juga tentu saja isterinya tidak dapat mempergunakan sabuk suteranya karena sabuk itu pun tentu akan terbakar kalau bertemu dengan cambuk yang bernyala-nyala. Para anak buah Cui Im yang menonton menjadi terbelalak, kagum dan tegang. Cambuk-cambuk api yang bergulung-gulung itu amat indah di waktu malam, akan tetapi lebih mengagumkan lagi adalah berkelebatnya bayangan Biauw Eng yang menyelinap ke sana-sini melalui gulungan-gulungan sinar menyala itu. Adapun Keng Hong masih berdiri tegak, tidak mempergunakan ginkang seperti isterinya, tidak mengelakan melainkan mengunakan kedua tangannya mendorong ke depan dan kanan kiri, namun angin pukulan kedua tangannya cukup kuat untuk membuat cambuk-cambuk api yang datang menyambar itu terpental kembali. "Eng-moi, kita robohkan mereka dengan totokan-totokan!" Tiba-tiba keng Hong berseru dan dia pun kini berkelebat meniru isterinya, menggunakan langkah kaki yang aneh dan tubuhnya menyelinap di antara gulungan sinar, kedua tangannya dengan jari-jari terbuka menerjang ke kanan kiri. Biauw Eng juga masih berkelebat, akan tetapi kini tampak sinar putih sabuk suteranya meluncur ke kanan kiri seperti seekor ular hidup yang menyelinap di antara keroyokan sinar api bergulung-gulung. Terdengarlah pekik susul-menyusul dibarengi robohnya beberapa orang. Dengan tendangan kaki, suami isteri yang sakti ini melempar-lemparkan tubuh para pengeroyok sehingga bertumpuk-tumpuk dan dengan dorongan pukulan yang mengandung sinkang amat kuatnya, Keng Hong membuat cambuk api itu terbang membalik dan menimpa tumpukan tubuh yang telah tertotok dan tak mampu bergerak. Terjadilah hal yang amat mengerikan. Dua puluh lima orang itu, termasuk pimpinan barisan, malang melintang bertumpuk-tumpuk dan dibakar hidup-hidup oleh cambuk api mereka sendiri. Pakaian dan rambut mereka mulai terbakar dan tercium bau hangus dan sangit. Cui Im mengeluarkan pekik kemarahan. Sambil memerintahkan anak buahnya untuk menggunakan air menyiram api dan menolong mereka yang terbakar hidup-hidup, dia bersama Go-bi Thai-houw dan Mo-kiam Siauw-ong sudah menerjang maju dengan senjata di tangan. Mula-mula Cui Im yang licik itu menyerang bekas sumoinya, Biauw Eng. Dia mengira bahwa tingkat kepandaiannya yang jauh lebih tinggi itu akan dapat merobohkan Biauw Eng dalam beberapa gebrakan saja. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia melihat gerakan Biauw Eng jauh lebih hebat daripada dahulu, maka tahulah dia bahwa Baiuw Eng telah menerima latihan dari Keng Hong sehingga bukan saja langkah kakinya amat aneh dan gerakannya amat gesit, juga ketika sabuk sutera itu menangkis pedang merahnya, ia merasa betapa tenaga bekas sumoinya itu kuat sekali. Ujung sabuk melibat ujung pedang merah, terjadi saling betot dan terdengar Keng Hong berkata, "Eng-moi, lepaskan!" Untung Biauw Eng cepat mengundurkan sabuk dan melepaskan libatan, kalau tidak, tentu sabuknya akan putus. Keng Hong yang tadinya diserang Go-bi Thai-houw, kini mencelat ke dekat Cui Im dan mendesak wanita itu dengan sinar pedang Siang-bhok-kiam sehingga wanita itu terpaksa melompat mundur saking hebatnya serangan ini. Go-bi Thai-houw yang maklum betapa lihainya Keng Hong, sudah menerjang maju dengan sepasang kebutannya sehingga dalam detik-detik berikutnya, Keng Hong sudah dikeroyok dua oleh Go-bi Thai-houw dan Cui Im. Namun pendekar sakti ini memutar Siang-bhok-kiam sedemikian rupa sehingga tidak saja tubuhnya terlindung oleh sinar hijau Siang-bhok-kiam, akan tetapi juga dari gulungan ini secara tiba-tiba dan aneh mencuat sinar-sinar yang menyambar ke arah kedua orang pengeroyoknya, diseling sambaran angin pukulan tangan kirinya yang amat kuat. Pertandingan ini hebat dan seru bukan main karena mereka semua mengerahkan seluruh kepandaian untuk saling membunuh! Sementara itu, setelah suaminya menggantikannya untuk menghadapi Cui Im yang lihai, Biauw Eng menerima serbuan Mo-kiam Siauw-ong yang menyerangnya dengan ngawur dan dengan hati tidak tenang karena tadinya mantu kepala daerah ini bermaksud hanya membantu saja, lebih mengandalkan kepandaian Go-bi Thai-houw dan Cui Im. Siapa sangka, semua bantuan kawan-kawannya tiada guna, dan kini kedua orang wanita yang diandalkan itu mengeroyok Keng Hong sedangkan dia sendiri terpaksa menghadapi nyonya muda yang amat lihai seorang diri saja! Biarpun dia sudah memutar pedangnya dan mengeluarkan semua ilmu yang dahulu dia pelajari dari ketiga orang kakek iblis Thian-te Samlo-mo, namun, menghadapi sinar putih sabuk sutera Biauw Eng, dia benar-benar merasa bingung dan terdesak hebat. Kemanapun pedangnya bergerak, selalu bertemu dengan sinar putih yang halus lembut namun amat kuat itu, dan beberapa kali hampir saja pedangnya kena terampas. "Majuuuuuu.......! Keroyok......!!" Tiba-tiba Mo-kiam Siauw-ong yang merasa kewalahan itu bergerak dan belasan orang anak buahnya, yaitu para perwira pengawal, maju dengan senjata di tangan. Namun sekali Biauw Eng mengeluarkan lengking tinggi dan sinar sabuk suteranya membuat gerakan melengkung dan menyambar ke sekeliling tubuhnya, robohlah enam orang pembantu Mo-kiam Siauw-ong it *** Mo-kiam Siauw-ong terkejut dan marah , ketika melihat Biauw Eng yang memutar sabuk itu agak miring tubuhnya, dia cepat menubruk dan menusukkan pedangnya dari samping ke arah dada. Biauw Eng dapat melihat gerakan ini dan dapat mendengar suara angin tusukan, maka dengan tenang namun cepat sekali dia mengembangkan lengannya, membiarkan pedang meluncur melalui bawah lenganya, kemudian tanpa membalikkan tubuhnya, ujung sabuk suteranya menyambar ke belakang dan gerakan tiba-tiba ini tak dapat dielakkan lagi oleh Mo-kiam Siauw-ong dengan tepat. Biarpun dia telah miringkan kepala sehingga ujung sabuk itu tidak menotok ubun-ubun kepalanya, namun lengannya tersabat dan dia memekik keras, tubuhnya terhuyung dan dia roboh terguling! Untung baginya bahwa anak buahnya cepat menubruk Biauw Eng dengan senjata mereka sehingga wanita itu tidak sempat mengirim serangan maut, sebaliknya Biauw Eng lalu mengelebatkan sabuk suteranya dan robohlah empat orang pengeroyok. Akan tetapi Mo-kiam Siauw-ong sempat diseret pergi menjauh oleh anak buahnya dan dia mengeluh kesakitan sambil memegangi lehernya yang membengkak! Go-bi Thai-houw dan Cui Im bukan merupakan lawan yang lunak bagi Keng Hong. Kini Cui Im lebih lihai daripada dalam pertemuan terakhir dahulu ketika Cui Im menyerbu ke Cin-ling-san. Cui Im telah digembleng oleh Go-bi Thai-houw dan kedua orang wanita iblis itu mengeroyok Keng Hong dengan kebencian meluap dan nafsu membunuh terkandung dalam setiap serangan. Betapapun juga, dengan ilmunya yang tinggi, terutama gaya bertahan dari ilmunya Thai-kek Sin-kun, pendekar sakti ini sama sekali tidak terdesak, bahkan membuat dua orang lawannya terpaksa harus bersikap hati-hati sekali karena sedikit saja terkena Siang-bhok-kiam yang penuh dengan getaran hawa sinkang mujijat itu, celakalah mereka. Karena tidak ada lagi pengeroyok berani mendekatinya, Biauw Eng lalu menerjang maju membantu suaminya dan tentu saja terjangan nyonya muda yang lihai ini membuat Cui Im dan Go-bi Thai-houw menjadi makin terdesak hebat. Cui Im mulai menjadi gelisah dan beberapa kali ia menengok ke belakang, bukan untuk mencari jalan lari, melainkan dia mencari-cari Cong San. Akhirnya setelah bentrokan antara pedangnya dan Siang-bhok-kiam membuat terhuyung ke belakang, dia tidak dapat menahannya lagi dan berseru, "Yap-sicu, di mana engkau?" "Aku di sini!!" Yap Cong San tiba-tiba muncul dari balik pintu, memondong anak perempuan kecil. "Bantulah kami!" Cui Im berseru dan melompat dekat Cong San, kemudian secara tiba-tiba pedang merahnya menyambar ke arah kepala Cong San! Cong San terkejut sekali, tidak mengira bahwa iblis betina itu menyerangnya, maka cepat dia mengelak, akan tetapi ternyata serangan itu hanya pancingan belaka karena di lain saat, anak perempuan di gendongannya telah terampas oleh Cui Im, Cong San berdiri melongo dan alisnya berkerut. "Mengapa kau tidak membantu kami?" Cui Im menegur, kemudian ia mengangkat anak itu tinggi-tinggi ke atas dan berteriak, "Keng Hong! Biauw Eng! Menyerahlah, kalau tidak anak kalian akan kupenggal lehernya!" Pedang merah ditempelkan di leher anak itu yang tiba-tiba menangis nyaring. "Cui Im, iblis keji........!!" Keng Hong berteriak. "Cong San, kau manusia terkutuk!" Keng Hong hendak mengamuk, akan tetapi lengannya disentuh isterinya. "Cui Im, kami menyerah, akan tetapi jangan menggangu anakku!" Biauw Eng berkata, suaranya menggetar penuh kecemasan biarpun sikapnya tetap tenang. "Hi-hi-hik! Siapa mau ganggu anakmu? Subo, harap suka lumpuhkan mereka!" Go-bi Thai-houw tertawa-tawa, dan kedua kebutannya berkelebat ke arah Keng Hong dan Biauw Eng. Tentu saja kalau mereka menghendaki, mereka dapat menghindarkan diri, akan tetapi setelah anak mereka berada di tangan Cui Im, mereka tidak berani berkutik dan robohlah mereka dengan tubuh lemas dan lumpuh tertotok ujung kebutan Go-bi Thai-houw yang amat lihai itu. "Ringkus dan belenggu mereka kuat-kuat!" Cui Im memerintah, Mo-kiam Siauw-ong yang sudah marah sekali meloncat maju. Lehernya masih bengkak, akan tetapi kedua tangannya masih dapat bergerak leluasa dan tenaganya masih besar untuk mengikat tubuh Keng Hong dan Biauw Eng dengan erat, bahkan dia tidak melepaskan kesempatan itu untuk menggerayangi tubuh Biauw Eng secara kurang ajar dengan maksud menghina. Namun Biauw Eng mematikan rasa dan Keng Hong juga memusatkan semua panca indria untuk menghadapi saat yang amat gawat itu. "Yap Cong San, tidak kusangka sama sekali bahwa seorang pendekar murid Siauw-lim-pai yang gagah perkasa dan berwatak pendekar seperti engkau telah tersesat begini jauh. Engkau menipu kami dan ternyata engkau bersekutu dengan iblis betina ini!" Keng Hong berkata, matanya mencorong memandang ke arah Cong San. Akan tetapi Cong San sama sekali tidak merasa kikuk atau malu, bahkan dia membalas dengan pedang mata penuh kebencian, kemudian dia melangkah maju dan menendang kepala Keng Hong yang rebah terlentang di atas lantai. "Jangan bunuh dulu!" Cui Im berteriak. Cong San mengurangi tenaga dan tendangannya hanya membuat bibir Keng Hong berdarah. "Yap Cong San, manusia pengecut tak tahu malu!!" Biauw Eng memaki sinar matanya seolah-olah hendak menghancurkan kepala bekas sahabat itu. "Begitukah sikap seorang laki-laki sejati? Menghina orang yang telah menyerah! Kalau tidak engkau yang menggunakan siasat keji dan busuk tak tahu malu, kami berdua akan membasmi kalian semua, termasuk engkau, manusia berwatak anjing!" Cong San memandang Biauw Eng dan menghela napas. "Aku kasihan kepadamu, Biauw Eng. Bukan aku yang berwatak anjing, melainkan suamimu inilah! Dialah manusia anjing, wataknya seperti anjing, biarpun telah diberi makan kenyang di rumah, kalau keluar, ada tahi pun akan dimakannya! Bukan aku yang menghina suamimu, akan tetapi manusia yang bernama Cia Keng Hong inilah yang telah menghinaku. Bukan hanya menghina, dia malah menghancurkan kebahagiaan hidupku, dan tanpa kauketahui, telah menghancurkan pula kebahagiaan hidupmu." "Ahhh, engkau manusia buta! Kukira engkau masih tetap gila, demikan gila oleh cemburu sehingga engkau tidak segang menipu kami. Engkau demikian gila sehingga tidak hanya mencelakakan kami, juga membikin sengsara isterimu yang amat mencintamu, dan mencelakakan pula anak kami!" Biauw Eng menjerit penuh kemarahan. "Engkaulah yang buta, Biauw Eng. Suamimu seorang laki-laki hina, seorang suami yang menyeleweng dan tidak setia, seorang sahabat yang palsu dan laknat, dan engkau masih membelanya! Dialah yang merusak kehormatan dan kebahagiaan isteriku dan aku, maka dengan jalan apa pun aku harus dapat membalas dendamku, harus dapat membunuh seperti orang membunuh seekor anjing yang menjijikan!" "Yap Cong San, jangan menambah dosamu dengan maki-makian keji." Keng Hong berkata tenang. "Isteriku benar, engkau bermata seperti buta. Engkau menjadi gila dan buta oleh cemburu kosong terhadap isterimu dan aku. Engkau menduga bahwa aku dan sumoi bermain gila, berzina. Padahal aku hanya mencinta isteriku seorang, dan isterimu hanya mencinta engkau suaminya! Betapa keji fitnah yang kaulontarkan kepadaku, terutama kepada sumoi. Aiiiihhhh, betapa inginku menghajarmu, menyeretmu ke depan sumoi dan menciumi kakinya mohon pengampunan!" *** Melihat pembantahan itu, Cui Im hanya tersenyum dan saling pandang dengan Go-bi Thai-houw. Mereka merasa bangga sekali menyaksikan hasil daripada siasat mereka yang dilaksanakan dengan penuh kesabaran dan kecerdikan. Kini diam-diam mereka menikmati hasil itu dan merasa amat gembira. Sedemikian hebat rasa benci di hati Cui Im terhadap Keng Hong dan Biauw Eng sehingga selain ingin menyaksikan kedua orang ini mati di tangannya, juga dia merasa gembira kalau sebelum dibunuh mereka itu menderita tekanan-tekanan batin lebih dulu dan bertengkar dengan bekas sahabat terbaik! "Cia Keng Hong, manusia iblis! tak perlu engkau berlagak pendekar budiman! Aku bukan anak kecil lagi dan aku bukan semata-mata melemparkan fitnah kosong! Telah lama aku menderita oleh perbuatanmu yang kotor, semenjak aku menikah! Aku telah menyabarkan diri, menekan batin sampai akhirnya meletus oleh kelanjutan perbuatan-perbuatanmu yang kubuktikan sendiri. Aku bukan diburu rasa cemburu kosong, melainkan dihadapkan dengan kenyataan-kenyataan perbuatanmu yang menjijikan. Aku tidak akan menyalahkan bahwa engkau mencinta Yan Cu, akan tetapi setelah dia menjadi isteriku, mengapa masih juga engkau kejar-kejar? Manusia biadab.........!!" "Hemmmmmm, bukti apakah yang kau sebut tadi, Cong San? Bukti surat-surat palsu itu?" Cong San kelihatan kaget, dan Keng Hong melanjutkan. "Sumoi telah datang dan memperlihatkan dua surat itu. Surat yang huruf-hurufnya persis huruf tulisanku itu bukanlah surat yang kutulis. Pesuruhku yang menghantarkan suratku kepada kalian tidak pernah pulang ke Cin-ling-san. Surat yang memakai namaku itu adalah surat palsu, Cong San. Demikian pula, surat yang kauanggap tulisan isterimu itu bukanlah tulisan Yan Cu, melainkan dipalsukan orang. Ah, betapa buta engkau. Apakah tidak ada sedikit pun dugaan di hatimu siapa yang telah membuat surat-surat palsu itu?" "Bohong.......!!" Cong san membentak. "Pengecut engkau! Setelah berani berbuat, mengapa hendak menyangkal pula? Semenjak dahulu, Yan Cu adalah kekasihmu, semenjak belum menjadi isteriku! Bahkan dia..... aku........ telah........" "Yap Cong San, katakan saja bahwa ketika menikah denganmu, Gui Yan Cu bukan perawan lagi dan engkau menduga bahwa hal itu adalah perbuatan suamiku bukan?" Tiba-tiba Biauw Eng berkata dengan senyum mengejek. Kembali Cong San terkejut, kemudian makin marah. "Setelah engkau tahu akan hal itu, engkau masih hendak menyalahkan aku dan membela manusia jahanam itu?" "Tutup mulutmu dan jangan memaki suamiku. Engkaulah yang jahanam, Cong San! Engkaulah yang jahanam dan buta, engkaulah yang mempunyai hati dan pikiran kotor, yang membayangkan hal-hal keji yang bukan-bukan. Yan Cu memang kehilangan tanda keperawanannya, akan tetapi bukan karena berjina dengan suamiku, juga bukan dengan laki-laki lain. Kau mau tahu sebabnya? Bukalah telingamu baik-baik. Ketika iblis betina Cui Im menyerbu ke Cin Ling-san, isterimu kena ditendang oleh nenek iblis betina yang tersenyum-senyum itu, dan sengaja ditendangnya agar kehilangan tanda keperawanannya itu! Aku melihat sendiri pakaian pengantin Yan Cu yang berdarah! nah, tahukah engkau sekarang dan insyaflah engkau betapa tolol dan kejinya terhadap isterimu?" Cong San menoleh dan memandang Go-bi Thai-houw dengan mata terbelalak penuh keraguan. namun nenek itu, juga Cui Im, hanya tersenyum mengejek. "Hatimu sudah diracun cemburu, Cong San." Keng Hong melanjutkan keterangan isterinya. "Engkau sudah cemburu dan menuduh isterimu secara keji dalam hati sehingga engkau selalu cemburu. Hal itu dipergunakan oleh Cui Im untuk menipumu. Surat memang ada kubuat untuk engkau dan isterimu, surat biasa yang kusuruh antar seorang dari kampung kami. Akan tetapi pesuruh itu tak pernah pulang dan suratku tentu telah dipalsu oleh Cui Im sehingga engkau menjadi makin cemburu. Kemudian surat tulisan Yan Cu, memang dia pernah membuatkan resep untuk seorang laki-laki tua, tentu kaki tangan iblis betina itu dan surat isterimu dipalsu. Betapa tololnya engkau!" Wajah Cong San berubah dan kini dia menoleh kepada Cui Im dengan pandang mata penuh keraguan. Cui Im tersenyum dan berkata, "Yap Cong San, engkau tentu mengerti bahwa orang-orang yang sudah tidak ada harapan lagi untuk hidup akan berusaha menolong dirinya dengan segala macam kebohongan. Bukankah engkau sudah menyaksikan dengan mata kepala sendiri pertemuan antara mereka dengan penuh kasih? Hi-hi-hik, kurasa engkau tidak begitu bodoh, dan kalau semua yang mereka fitnahkan itu benar, apakah aku masih akan enak-enak saja duduk di sini menanti kau curiga kepadaku?" Cong San membalik, memandang Keng Hong penuh kebencian. "Manusia pengecut! Engkau membohong! Aku melihat sendiri engkau bertemu dengannya, engkau men..... menciumnya........ engkau......... kubunuh engkau!" Dia menerjang maju dan menggerakan tangan hendak memukul kepala Keng Hong. "Wuuuttt...... plakkk!" Cui Im sudah melesat dari tempat duduknya dan menangkis pukulan maut itu. Cong San memandangnya dengan marah, akan tetapi Cui Im memegang lengannya dan menariknya menjauh, lalu membisiki telinganya, "Bodoh! Dia sengaja memancing kemarahanmu agar dengan sekali pukul engkau dapat membunuhnya. Terlalu enak baginya. Dia harus mati disiksa!" "Tidak!" Cong San menggeleng kepala. "Cukup bagiku asal dapat kubunuh dia! Aku tidak sekejam itu!" "Hussshhh...... engkau tidak kejam, akan tetapi aku terlalu sakit hati. Pula, aku lebih dulu hendak mengorek rahasia ilmunya, baru dia boleh kaubunuh. Kau bersabarlah sampai tiga hari, terpaksa aku akan mencegahmu." Cong San menarik napas panjang. Dia maklum bahwa dia tidak dapat menandingi iblis betina ini, dan harus dia akui bahwa tanpa kerja sama dengan Cui Im, tak mungkin dia dapat menundukkan Keng Hong. "Terserah. Akan tetapi, aku tidak ingin melihat kau membunuh Biauw Eng juga kau tidak boleh mengganggu anaknya!" Setelah berkata demikian, Cong San membalikan tubuh dan lari memasuki kamarnya. "Hi-hi-hik, Cia Keng Hong. Bagaimana sekarang?" "Iblis betina, kaubunuhlah aku. Siapa takut mati?" Jawab Keng Hong. "Bhe Cui Im, bunuhlah kami, akan tetapi bebaskan anak kami. Dia tidak ikut dalam permusuhan kita!" Kata Biauw Eng. Cui Im tertawa-tawa terkekeh-kekeh girang menyaksikan kekhawatiran Biauw Eng yang dibencinya. "Enak saja! Aku akan menyiksa Keng Hong sepuasku, tidak hanya menyiksa tubuhnya, akan tetapi juga menyiksa hatinya. Biar dia melihat isterinya dipermainkan banyak laki-laki di depan matanya sampai mati, kemudian anaknya akan kuberikan kepada segerombolan anjing kelaparan, biar dia melihat tubuh anaknya dirobek-robek mulut anjing. Baru kubunuh dia sekarat demi sekarat, ha-ha-ha-hi-hik!" *** Biauw Eng dan Keng Hong bergidik dan wajah mereka pucat, akan tetapi mereka maklum iblis betina itu tentu akan mengeluarkan ancaman dan kata-kata yang lebih mengerikan lagi kalau mereka membantah, apalagi kalau mereka minta dikasihani, maka mereka menekan semua pikiran dan tidak mempedulikannya lagi. Untuk menyiksa hati Biauw Eng, Cui Im mencubit paha Giok Keng. Anak kecil itu yang sudah berhenti menangis, menjerit dan menangis lagi. Biauw Eng memejamkan matanya dan Cui Im tertawa-tawa gembira, melemparkan anak itu kepada seorang perempuan pembantunya. "Jaga dia baik-baik, jangan sampai sakit. Aku ingin dia sehat-sehat dan gemuk ketika dikoroyok anjing! Siauw-ong, seret mereka berdua ke dalam kamar tahanan dan jaga yang kuat. Siapkan asap beracun dan begitu melihat mereka berhasil melepaskan diri, semperotkan asap beracun ke dalam kamar!" Dengan kasar dua orang anak buah Mo-kiam Siauw-ong menyeret Keng Hong dan Biauw Eng dari ruangan itu. Mo-kiam Siauw-ong dengan menyeringai hendak mencengkeram dada Biauw Eng, akan tetapi Cui Im menghardiknya, "Siauw-ong! Siapapun tidak boleh menjamahnya. Kalau hukuman kujalankan, engkau boleh menjadi orang pertama yang menikmatinya. Bawa pergi!" Mo-kiam Siauw-ong menyeringai kecewa, akan tetapi janji itu membuat dia mengangguk-angguk puas dan dia mengirim tendangan ke arah pinggul Biauw Eng. Keng Hong menggigit bibirnya dan dia berjanji kepada diri sendiri bahwa sekali dia dapat lolos, dia tidak akan memberi ampun kepada Mo-kiam Siauw-ong, apalagi Bhe Cui Im! Akan tetapi, Keng Hong mendapat kenyataan dengan hati kecewa bahwa tempat tahanan mereka itu benar-benar amat kuat, sebuah kamar yang sempit hanya dua meter persegi, dari tembok berlapis baja dan pintunya juga dari baja, dengan lubang-lubang kecil, sedangkan depan pintu berjaga dua lusin pengawal yang semua memegang semprotan asap beracun yang dia tahu amat berbahaya. Maka pendekar yang masih lumpuh tertotok itu hanya menyerahkan nasibnya dan nasib isterinya ke tangan Tuhan. Cui Im mengepal kedua tangannya. Kalau menurutkan kemarahan hatinya, ingin dia di saat itu juga memukul mati Keng Hong dan Biauw Eng. Berjam-jam lamanya dia membujuk Keng Hong.Menjanjikan kebebasan bagi anaknya, bahkan sampai kebebasan mereka semua kalau Keng Hong suka menurunkan Ilmu Thi-khi-i-beng dan Thai-kek Sin-kun kepadanya. Bujukan-bujukan halus sampai ancaman-ancaman yang paling mengerikan tidak dapat menggerakan hati Keng Hong yang tetap menolak dan menantang di bunuh daripada harus menuruti permintaannya. "Cui Im, percuma saja kau membujuk. Apa kaukira aku tidak mengenal manusia berhati iblis macam engkau ini? Bujuk dan janjimu tidak ada harganya sedikit pun juga. Andaikata aku terbujuk dan menuruti kehendakmu, tetap saja engkau takkan memegang janji. Lebih baik menghadapi ancamanmu yang pasti kaulaksanakan, karena bujuk dan janjimu jauh lebih jahat daripada ancamanmu, lebih palsu. Tidak, aku tidak akan memberikan apa pun juga kepadamu. Dari pada ilmu ditinggalkan kepadamu, jauh lebih baik kubawa mati!" Ketika Cui Im beralih kepada Biauw Eng dengan bujukannya bahwa Keng Hong menuruti permintaannya, anak dan Biauw Eng akan dibebaskan, Biauw Eng menjawab, "Aku setuju sepenuhnya dengan keputusan suamiku. Kalau dia menurut, tetap saja engkau akan membunuh kami. Aku tidak dapat mengharapkan kebebasan dari seorang iblis macam engkau, dan akan dikutuk Tuhanlah kalau kami meninggalkan sesuatu untuk orang seperti engkau ini karena ilmu itu hanya akan menambah kekejian dan kejahatanmu." "Baik, kalian rasakan nanti pembalasanku. Aku beri waktu tiga hari. Kalau pada hari ketiga Keng Hong belum mau memenuhi permintaanku, dia akan menyaksikan betapa engkau diperkosa berganti-ganti oleh banyak laki-laki sampai mati! Kemudian, akan dia lihat pula anjing-anjing kelaparan memperebutkan daging anaknya. Setelah itu, baru akan kupotong dia sekerat demi sekerat!" Namun, ancaman hebat itu kini tidak lagi mendatangkan kengerian dalam hati suami isteri yang sudah nekat mati bersama, mati bertiga dengan anak mereka itu. Dengan hati penuh kemarahan, kekecewaan dan kemengkalan, Cui Im kembali kekamarnya, melempar tubuhnya ke atas ranjang dan ia terlentang dan termenung, merasa betapa kosong hatinya. Dia merasa benar betapa dalam menghadapi ancaman maut dan siksa sebelum mati, suami isteri itu tetap tenang dan penuh kepercayaan akan cinta masing-masing! Dia merasa kosong, sunyi, merana dan sengsara! Hampir saja ia melemparkan sesuatu untuk membunuh pelayan wanita yang muncul di pintu kamarnya untuk melenyapkan kemarahan hatinya. "Mau apa kau??" bentaknya. Pelayan itu pucat mukanya. Dia sudah mengenal watak wanita iblis ini yang dengan mudah saja membunuh orang yang tak berdosa. "Hamba..... hamba....... diperintah Coa-kongcu untuk menghadap Paduka......." Saking amat takutnya dia bersikap amat merendah. "Disuruh apa? Cepat bicara!" "Kongcu mohon menghadap......." "Pergilah! Suruh dia datang, rewel benar!" Pelayan itu bergegas pergi dan tak lama kemudian, datanglah Coa Kun, putera Coa-taijin yang selama ini diharuskan bersembunyi agar tidak sampai terlihat oleh Yap Cong San. Akan tetapi pemuda yang sudah bertekuk lutut di bawah telapak kaki Cui Im itu merasa kehilangan dan tak dapat lagi menahan rindu berahinya yang sudah ditahan-tahan selama beberapa malam, maka malam ini setelah mendengar bahwa musuh-musuh yang ditakuti telah tertawan, dia minta diperkenankan mengunjungi kekasih pujaan nafsu berahinya itu. Dalam kegairahannya yang memenuhi seluruh tubuh, Coa Kun berjalan melalui ruangan-ruangan dalam, tersenyum-senyum dan sinar matanya bercahaya penuh kegembiraan, menuju ke kamar Cui Im yang letaknya agak di belakang. Dia tidak tahu betapa bayangan Cong San dengan gerakan ringan mengintai dan mengikutinya. Cong San tidak sengaja mengikuti pemuda ini. Tadi, di dalam kamarnya, Cong San gelisah dan hati nuraninya mengganggu perasaannya. Terjadi perang hebat di dalam batinnya, antara kebenciannya yang meluap terhadap Keng Hong dan kesadarannya akan kenyataan betapa dia telah mendatangkan malapetaka hebat kepada bekas sahabat itu. Dia tidak menyesal kalau Keng Hong terbunuh, bahkan dia ingin membunuhnya dengan tangan sendiri. Akan tetapi kalau dia teringat betapa Biauw Eng terbawa-bawa, betapa anak perempuan mereka pun terancam bahaya maut, benar-benar hal ini membuat Cong San menjadi gelisah sekali. Betapa mungkin dia akan mencegah kalau Cui Im membunuh Biauw Eng dan anaknya? Dan ucapan-ucapan yang dikeluarkan Keng Hong dan Biauw Eng tadi! Bagaimana kalau cemburunya tidak berdasar kenyataan dan bahwa semua itu diperbuat dengan sengaja oleh Cui Im? Dia mengenal betapa keji dan liciknya wanita iblis itu. Akan tetapi, surat dapat dipalsu, dan mungkin tanda keperawanan Yan Cu benar hilang oleh tendangan Go-bi Thai-houw, akan tetapi pertemuan dekat telaga antara Keng Hong dan Yan Cu dahulu itu? Mana mungkin dipalsukan? Dia melihat sendiri, jelas Yan Cu yang dikenal dari pakaian dan bentuk tubuhnya. Dan Keng Hong pun dia kenal benar. Mereka berciuman, begitu mesra....... bayangan ini membuat darah Cong San mendidih lagi, membuat cemburunya seperti api disiram minyak, berkobar membuat sesak napasnya dan panas tubuhnya. Dia merasa panas dan keluar dari kamarnya, memasuki taman mencari hawa sejuk dan untuk menenangkan pikirannya. Dia harus minta agar Yan Cu dibebaskan sekarang juga. Setelah Keng Hong tertangkap, tidak perlu lagi isterinya ditawan. Dia akan memberi kebebasan sepenuhnya kepada Yan Cu. Kalau isterinya itu masih ingin melanjutkan hubungan suami isteri, dia akan memaafkan semua. Kalau ingin memutuskan, terserah. Dia akan melanjutkan hidup untuk puteranya yang dia titipkan di kuil Siauw-lim-si. Dia harus menemui Cui Im dan minta agar Yan Cu dibebaskan. Adapun Biauw Eng dan anaknya itu, setelah lewat tiga hari, akan dia tuntut kepada Cui Im agar dibebaskan pula. Kalau Cui Im memaksa hendak mengganggu mereka, atau bahkan membunuh mereka, dia akan membela dan mempertaruhkan nyawanya! Biauw Eng masih merupakan sahabatnya yang harus dia bela dengan taruhan nyawa! Keputusan hati ini membuat Cong San tidak merasa begitu menderita batinnya. Dia merasa terhibur bahwa sesungguhnya dia tidaklah jahat! Tidak, dia tidaklah kejam! Kalau dia bersekutu dengan Cui Im untuk menjebak dan menangkap Keng Hong, hal itu hanya dilakukannya untuk membalas dendam kepada Keng Hong. Dan dia tidak jahat karena memang manusia seperti Keng hong itu patut dibunuh! *** Perang di dalam hati Cong San ini sama sekali tidaklah aneh dan dapat diselidiki bahwa hal itu terjadi setiap hari, setiap saat bahkan setiap detik di dalam hati semua manusia! Tidak seorang pun manusia yang suka mengaku, baik dalam hatinya apalagi dalam mulutnya, bahwa dia melakukan sebuah perbuatan yang dianggap jahat oleh hukum masyarakat, dia tentu akan membela diri dan mencari alasan-alasan yang menguatkan keyakinannya bahwa dia tidak jahat, bahwa perbuatannya itu dilakukan karena terpaksa, dan lain-lain. Mata manusia ditujukan untuk memandang keluar sehingga tentu saja yang dilihatnya hanyalah kesalahan orang-orang lain yang berada di luar dirinya. Tak pernah sedetik pun mata manusia ditujukan ke dalam untuk mengenal dirinya, untuk melihat isi hati dan isi pikirannya, untuk menangkap basah kekotoran-kekotoran yang berkecamuk dalam dirinya, untuk mengenal kesalahan-kesalahan pada dirinya yang tidak berbeda, tidak lebih sedikit, daripada kesalahan-kesalahan orang lain yang dilihat oleh matanya. Kalau saja manusia suka melatih matanya untuk sewaktu-waktu ditujukan ke dalam! Tentu takkan seperti sekarang ini ketegangan dan permusuhan yang selalu memenuhi hubungan antara manusia. Akan tetepi kenyataannya tidak demikian. Semua mata ditujukan keluar selalu, untuk mencari dan menemukan kesalahan-kesalahan lain orang. Sayang! Seorang manusia yang suka melatih diri, menutup mata telinga terhadap hal-hal di luar dirinya, membuka telinga batin untuk mengenal sifat-sifat dirinya pribadi, orang demikian ini akan sadar bahwa dirinya tidaklah lebih baik atau lebih jahat daripada orang lain dan kesadaran ini akan menimbulkan perasaan senasib sependeritaan, akan menciptakan kasih sayang yang murni antar manusia, melenyapkan iri dan dengki, mengusir benci yang menjadi sumber daripada segala kesengsaraan dan penderitaan hidup. Kebencian membayangkan kegelapan neraka, sebaliknya cinta kasih menyinarkan cahaya sorga. Akan tetapi, memaksa diri melenyapkan benci, memaksa diri memelihara cinta, akan menimbulkan pertentangan dan persoalan baru yang akan berakhir dengan kegagalan. Mengubah benci dengan cinta tak dapat dipaksakan, melainkan berlangsung sewajarnya melalui kesadaran yang lahir dari dalam, dan kesadaran ini akan didapat apabila manusia tekun membuka mata batin dan belajar mengenal diri pribadi dan membebaskan diri daripada belenggu keakuan yang akan mengaburkan pandangan mata batin sehingga yang ingin dikenal hanyalah kebaikan-kebaikan dirinya sendiri saja! Tiba-tiba Cong San menggerakkan kepalanya. Telinganya menangkap gerakan orang dan ketika dia melihat seorang laki-laki muda berjalan melenggang melalui lorong yang menghubungkan bangunan besar dengan belakang, hatinya berdebar penuh kaget. Cia Keng Hong! Bagaimana Keng Hong dapat lolos? Dan agaknya sedang menuju ke bangunan belakang di mana terdapat kamar tahanan Yan Cu! Ataukah Keng Hong berhasil meloloskan diri dan kini hendak mencari kamar Cui Im? Mungkin juga. Akan tetapi, dia lebih percaya bahwa tentu Keng Hong yang berhasil membebaskan diri itu pertama-tama hendak menolong kekasihnya, Yan Cu. Hatinya menjadi panas lagi dan dengan amat hati-hati karena maklum akan kelihaian Keng Hong, Cong San bergerak dari tempatnya dan membayangi dari belakang. Cong San mengintai dengan mata terbelalak penuh keheranan ketika melihat bayangan itu mengetuk pintu kamar Cui Im, mendapat jawaban halus dari dalam kemudian memasuki kamar. Dari penerangan di depan kamar itu dia mendapat kenyataan bahwa orang itu bukanlah Keng Hong, sungguhpun wajah dan bentuk badannya serupa benar dengan Keng Hong. Orang itu adalah seorang laki-laki muda tampan yang tersenyum dengan kilatan mata penuh gairah ketika memasuki kamar Cui Im! Kalau saja laki-laki itu tidak serupa benar dengan Keng Hong, tentu Cong San sudah pergi lagi, kembali ke kamarnya. Dia sudah cukup mengenal watak Cui Im, iblis betina yang cabul dan gila laki-laki dan tidaklah mengherankan kalau malam-malam Cui Im memasukan seorang laki-laki tampan. Akan tetapi, keadaan orang muda itu membuat jantung Cong San berdebar. Mengapa begitu serupa dengan Keng Hong? Dan orang itu yang memiliki gerakan bisa saja, bagaimana dapat memasuki tempat ini yang terjaga ketat oleh para pengawal? Hal ini hanya membuktikan bahwa laki-laki itu memang tinggal di dalam gedung, akan tetapi mengapa dia yang telah beberapa hari berada di situ tak pernah melihatnya! Melihat pakaian pemuda itu yang mewah seperti pakaian seorang bangsawan pelajar, tak mungkin dia itu seorang pengawal atau pegawai biasa! Bermacam-macam dugaan yang mendebarkan jantung membuat Cong San menyelinap, mendekati kamar itu dengan hati-hati sekali. Dia maklum betapa lihainya Cui Im, dan sedikit suara saja akan cukup membuat wanita iblis itu tahu bahwa ada orang di luar kamarnya. Dengan hati-hati sekali, tanpa mengeluarkan suara, dia berhasil mendekati jendela kamar dan mengerahkan seluruh kekuatan pendengarannya untuk menangkap suara di dalam kamar. Dia berhasil. Di samping suara orang bercumbu, dengus dan tawa penuh nafsu berahi, dia mendengarkan percakapan yang membuat matanya terbelalak, wajahnya pucat dan kedua kakinya menggigil! Hampir dia tidak percaya akan pendengarannya sendiri, dan dengan susah payah dia menekan perasaannya agar pernapasannya tidak menjadi sesak dan jangan sampai terdengar dari kamar itu. "Ihhhhh, kau seperti harimau kelaparan saja! Baru juga sepekan......... bukankah kukatakan bahwa kau harus menjauhkan diri dariku lebih dulu dan bersembunyi saja di kamarmu? Kalau sampai Cong San tahu........" "Aduh, Sianli! Dewiku, kekasihku, pujaan hatiku. Masa kau begitu tega? Hampir aku mati karena rindu padamu........ ahhhhh, kau begini cantik jelita, begini menggairahkan, begini harum.......! Engkau tentu dapat menghargai semua bantuanku, bukan? Ha-ha-ha, engkau benar-benar cerdik luar biasa. Si tolol Cong San itu benar-benar dapat tertipu! Ingin sekali sebelum kau membunuh Keng Hong, aku bertemu dengan orang yang hampir serupa dengan diriku itu. Apakah dia benar-benar seperti aku, Sianli?" "Ah, tentu saja kau lebih tampan!" Terdengar Cui Im cekikikan di antara suara ciuman. "Kenapa tidak segera kau bunuh saja dia yang amat berbahaya itu? Kalau sampai dia dapat lolos, akan sia-sia semualah segala usaha kita menipu Cong San dan memancing dia datang. Kau benar-benar pandai bersandiwara, dewiku. Ketika kau menyamar sebagai Yan Cu di dekat telaga itu....... ha-ha-ha, dan aku sebagai Keng Hong.........aihhh, benar-benar romantis ketika kita bercumbu. Sayang kau segara membawaku lari pergi, tidak melanjutkan........." "Hushhh, gila kau! Kalau Cong San melihat bahwa yang bercumbu itu adalah engkau dan aku, bukan Keng Hong dan Yan Cu, apa artinya semua siasat kita? Engkau pun hebat, pandai sekali engkau memalsu gaya tulisan orang. Benar-benar seorang siucai yang luar biasa!" Cong San berdiri menggigil di luar jendela kamar. Pandang matanya berkunang dan dia memejamkan matanya karena segala di depannya berputar. Seolah-olah kedua matanya dibuka orang, seolah-olah baru sekarang dia terbebas dari kebutan. Keng Hong dan Biauw Eng benar! Yan Cu tidak berdosa! Dan apa yang telah dia lakukan? "Ya Tuhan.....!!" Hatinya merintih dan air mata bercucuran di atas kedua pipinya yang pucat. Ia tetap memejamkan kedua matanya. Malu dia membuka matanya. Malu melihat dunia. Malu menghadapi kenyataan. Dan dia menghina isterinya, memakinya, menuduhnya melakukan perbuatan jinah dengan Keng Hong! Dia mencemarkan nama dan kehormatan isterinya yang tak berdosa, seolah-olah dia melumuri setangkai bunga seruni putih bersih dengan lumpur kotor, membenamkan bunga itu dalam kotoran dengan kedua tangannya yang kejam! Dan dia telah memaki dan menghina Keng Hong, pendekar sakti yang budiman itu, yang dalam keadaan terhina masih tidak mau mencelakakannya, tidak mau melawannya ketika diserang! Dan dia bersekutu dengan Cui Im, menipu Keng Hong menggunakan siasat busuk, menggunakan anaknya sebagai umpan ! Dan dia mencelakakan Biauw Eng yang sama sekali tidak berdosa, seorang isteri yang setia dan mencinta suaminya, seperti Yan Cu! Dan dia kini menyeret pula Giok Keng, anak mereka yang masih bayi, ke dalam cengkeraman iblis betina Cui Im! "Ya Tuhan..... apakah yang telah kulakukan semua itu........??" Lamat-lamat telinga Cong San masih menangkap suara cumbu rayu yang kini amat menjijikan hatinya. "Dewiku, lebih baik Keng Hong segera kau bunuh. Akan tetapi isterinya........ dan Yan Cu, aduh mereka amat cantik, sungguh sayang kalau dibunuh begitu saja........." "Ihhhhh, dengan aku dalam pelukanmu kau masih sempat memikirkan perempuan lain?" *** "Aduhhh! Ahhh, jangan terlalu keras mencubit, sayang. Lihat, pahaku sampai biru. Aku hanya ingin mengatakan bahwa sayang sekali......." "Sudah kuputuskan untuk menyerahkan mereka kepada para pengawal agar diperkosa beramai-ramai sampai mati!" "Wah, sayang sekali! Mengapa begitu? Sebelum diobral kepad tikus-tikus pengawal itu, lebih baik kalau dihadiahkan dahulu kepadaku untuk beberapa malam.........." "Biauw Eng sudah kujanjikan kepada Mo-kiam Siauw-ong........" "Dan Yan Cu? Dia cantik sekali. Aku mengintai dari jendela kamar tahanannya, hem.....biarpun tidak secantik engkau, aku mengilar dibuatnya, Sianli, kau berikanlah dia kepadaku lebih dulu sampai aku puas, baru......." "Sudahlah, nanti mudah diatur. Sekarang aku ingin kau mengerahkan seluruh tenaga dan mencurahkan seluruh perhatianmu untuk diriku seorang!" Cong San mengepal tinjunya sampai ujung-ujung kukunya membikin lecet telapak tangannya. Kalau di tidak dapat menekan hatinya dan mengerjakan otaknya, tentu dia sudah memecahkan jendela itu dan menyerbu ke dalam. Akan tetapi dia menahan diri karena maklum bahwa kalau dia melakukan hal itu, tentu dia akan roboh di tangan Cui Im. Dapat dibayangkan betapa tersiksa hati Cong San. Dia terduduk di atas lantai bawah jendela dan tak bergerak seperti patung. Penyesalan yang amat hebat membuat seluruh tubuhnya kadang-kadang panas kadang-kadang dingin, kadang-kadang lemas dan lumpuh dan ada kalanya tubuhnya menegang dilanda kemarahan. Menjelang pagi, dia mendengar suara laki-laki itu. "Tidurlah, Sianli. Aku akan kembali ke kamarku sebelum pergi. Ahhh, aku puas sekali, terobatilah rinduku, aku lelah dan mengantuk sekali aaahhhhh........." Laki-laki itu menguap dan terdengarlah langkah kakinya berat diseret meninggalkan kamar. Cong San tidak mendengar jawaban Cui Im. Tentu iblis betina itu telah tidur pulas. Dengan mata sipit karena kantuk dan kaki diseret karena lelah pemuda yang bukan lain adalah Coa Kun sampai di lorong yang menghubungkan bangunan belakang dengan bangunan besar, berjalan menuju ke kamarnya, tiba-tiba berkelebat bayangan dan tahu-tahu Cong San telah berdiri di depannya dengan mata menyinarkan maut dan rambut awut-awutan seperti orang gila! Coa Kun terkejut dan hendak berteriak, akan tetapi Cong San mendahuluinya, menotok jalan darah di dada membuat pemuda bangsawan itu lumpuh dan tak berdaya diseret ke dalam taman dan dibungkam mulutnya. "Manusia hina, hayo ceritakan apa yang telah kaulakukan dengan surat-surat palsu itu dan penyamaranmu sebagai Keng Hong!" Cong San mendesis dekat telinga pemuda itu dan mengendurkan bungkaman pada mulutnya. Menggigil seluruh tubuh Coa Kun seolah-olah dia mendadak diserang dingin yang luar biasa. Dengan gagap dia menjawab, "Ampun......., aku........ aku hanya melakukan perintah Cui Im....... aku.......... aku......... aku tidak tahu apa-apa.........." "Jawab! Apa yang terjadi dengan persuruh Keng Hong yang mengantarkan surat kepadaku?" "Dia.......... di.......dibunuh......... aku dipaksa memalsukan suratnya........." "Dan surat tulisan Yan Cu?" "Aku........ dipaksa menulis surat palsu........., mencontoh tulisan istrimu......... dari resep obat........" "Dan dekat telaga itu? Kau dan Cui Im menyamar sebagai Keng Hong dan isteriku? Jawab!" Coa Kun sudah terkencing-kencing ketakutan sampai celananya basah dan dia tidak dapat mengeluarkan suara, hanya mengangguk. "Prokkkkk!!" Tangan Cong San menampar dan sekali pukul pecahlah kepala Coa Kun. Cong San masih belum puas dan menghujani tubuh yang sudah tak bernyawa lagi itu dengan pukulan dan tendangan sehingga remuk-remuk tulang tubuh pemuda bangsawan yang menjadi korban nafsu berahinya itu! Kemarahan menimbulkan kebencian hebat di hati Cong San, dan kebencian menimbulkan kekejaman mengerikan. "Hemmm, akhirnya kau tahu juga, manusia tolol!" Cong San membalik dan ketika dia memandang kepada Cui Im, matanya seperti mengeluarkan api dan napasnya seperti uap panas. "Iblis engkau.......! Iblis kejam......!" hanya itulah yang dapat keluar dari mulut Cong San. Kemarahan dan kebencian yang terdorong oleh penyesalannya mencekik leher. Dia menubruk maju, menyerang dengan sepasang Im-yang-pit di kedua tangannya. Tentu saja Cui Im dapat mengelak dengan mudah. Sambil berkelebat kekanan kiri menghindarkan sambaran kedua senjata di tangan Cong San, Cui Im mengejek, "Engkau tahu atau tidak, aku memang sudah mengambil keputusan untuk membunuhmu pula. kau kira hanya Keng Hong dan Biauw Eng saja yang kukehendaki nyawanya? Hi-hi-hik! Engkau dan Yan Cu juga termasuk hitungan! Kalian berempat adalah musuh-musuh besarku. Hi-hi-hik! Akan tetapi, mengingat bahwa engkau telah berjasa dan membantuku, Hemmmmm.......... agaknya aku akan dapat mengampuni nyawamu asal engkau suka melayani aku. Engkau tampan, lebih menarik daripada Coa Kun yang telah kau bunuh itu. Bagaimana?" "Iblis cabul, perempuan hina!" Cong San menerjang lagi dan terpaksa Cui Im bersikap hati-hati karena biarpun dia memiliki tingkat yang jauh lebih tinggi, namun Cong San bukanlah seorang pendekar sembarangan, melainkan seorang pendekar perkasa yang telah mewarisi ilmu-ilmu tinggi dari Siauw-lim-pai. Betapapun juga, Cong San bukanlah lawan Cui Im. Dalam keadaan tenang saja Cong San masih kalah untuk dapat menandingi Cui Im. Apalagi dalam keadaan marah seperti itu. Kemarahan merupakan pantangan besar dalam setiap pekerjaan dan setiap perbuatan, karena kemarahan menimbulkan kelengahan dan menggelapkan akal. Di dalam kemarahannya yang meluap-luap itu, serangan Cong San lebih terdorong oleh nafsu membunuh daripada terkendalikan oleh akal, dan boleh jadi serangan-serangannya menjadi lebih berbahaya karena nekat, namun dia menjadi lengah dan tidak lagi mempedulikan segi penjagaan diri. Keributan itu menarik datangnya para pengawal dan keadaan menjadi geger ketika mereka melihat betapa Coa-kongcu telah menggeletak menjadi mayat sedangkan Yap Cong San yang tadinya menjadi tamu itu bertempur melawan Cui Im. Melihat datangnya banyak orang, Cui Im membatalkan niatnya mempermainkan Cong San dan ia mencabut pedang merahnya. Tampak sinar merah berkelebat menyilaukan mata tersorot obor-obor yang dibawa oleh para pengawal. Dengan mempermainkan pedangnya yang hebat, ditambah tenaga sinkangnya yang lebih kuat, dalam belasan jurus saja pedang di tangan Cui Im berhasil membabat patah kedua pit di tangan Cong san, kemudian tangan kiri Cui Im menotok dan robohlah Cong San! Para pengawal yang dipimpin Mo-kiam Siauw-ong sudah menerjang hendak menghujani tubuh Cong San dengan senjata, akan tetapi Cui Im membentak, "Jangan bunuh dulu! Ikat dia dan seret dalam kamar tahanan bersama dua orang tawanan! Juga Yan Cu seret ke sana, jadikan satu dalam kamar tahanan itu!" Tidak ada yang berani membantah dan tubuh Cong San segera diikat kuat-kuat dan diseret ke dalam kamar tahanan dalam keadaan pingsan. Cong San roboh pingsan bukan oleh totokan yang melumpuhkan kaki tangannya, melainkan oleh pukulan batin yang menimbulkan penyesalan yang menyesak dada. Dia tidak melihat betapa Keng Hong dan Biauw Eng memandangnya, kemudian suami isteri itu saling pandang dengan heran akan tetapi kemudian pandang mata mereka terhadap Cong San masih penuh dengan kemuakan. Juga Cong San tidak tahu betapa tak lama kemudian isterinya, Yan Cu, dalam keadaan terbelenggu erat-erat diseret pula ke dalam kamar itu. Yan Cu menangis ketika melihat Keng Hong dan Biauw Eng, juga suaminya, telah menjadi tawanan di situ. *** Cong San mengeluh lirih dan membuka matanya. Ia tidak dapat menggerakan kaki tangannya yang terbelenggu pada sebuah pilar di dalam ruangan besar itu. Disapukannya pandang matanya ke sekeliling dan matanya terbelalak memandang isterinya yang terbaring di atas sebuah dipan, juga kaki tangannya terbelenggu dan terpentang ke kanan kiri, setiap kaki dan tangan terikat pada empat buah kaki dipan dan tubuhnya dalam keadaan terlentang. "Isteriku.........!" Naik sedu sedan dari dadanya. Yan Cu menoleh. Hanya kepalanya saja yang dapat ia gerakan. Ia memandang suaminya dengan pandang mata penuh cinta kasih dan kedukaan, pandang mata yang lebih runcing daripada ujung sebatang pedang pusaka, yang langsung menusuk jantung Cong San. "Suamiku........" Yan Cu berkata lirih dan dalam sebutan ini terkandung semua perasaan hati yang mencinta yang menyediakan beribu kali maaf terhadap suaminya. "Yan Cu....... aku........ aku berdosa padamu...... aku........ aku........!" Cong San tak dapat melanjutkan kata-katanya dan air matanya bercucuran membuat matanya tak dapat melihat lagi. "Sudahlah, Koko. Syukur bahwa di saat terakhir engkau telah sadar. Kita bersama menghadapi kematian........ tidak ada apa-apa yang kusesalkan.........." "Yan Cu........!" Ucapan isterinya yang penuh maaf dan kerelaan itu seperti meremas hati Cong San. "Hanya menyesal sekali bahwa suheng dan isterinya terbawa-bawa........"kata pula Yan Cu. Mendengar ini, baru sekarang Cong San melihat bahwa Biauw Eng juga berada dalam keadaan seperti isterinya, terlentang di atas sebuah dipan dan terbelenggu kaki tangannya yang terpentang. Keng Hong berdiri tak jauh dari situ, terikat pula kaki tangannya pada pilar, seperti dia. Keng Hong dan Biauw Eng memandangnya tanpa mengeluarkan sepatah pun kata. Keng Hong........ aku berdosa besar padamu. Aku minta ampun karena dosaku tak mungkin dapat diampuni. Terlalu besar, terlalu hina dan aku rela kalau isteriku, engkau dan isterimu mengutukku. Tak mungkin kalain dapat mengampuniku, juga tidak Tuhan sendiri! Aku sendiri tidak dapat mengampuni dosaku......" Cong San terisak-isak seperti seorang anak kecil. "Cong San, perbuatanmu terhadap aku tidak ada artinya bagiku. Engkau melakukannya dalam keadaan gila oleh cemburu. Aku dapat memahaminya, karena aku pun pernah menderita penyakit cemburu yang amat berbahaya itu. Akan tetapi yang amat menyakitkan hatiku adalah perbuatanmu terhadap Sumoi. Engkau benar-benar telah melakukan sikap yang amat keji dan kejam terhadap Sumoi. Engkau patut dihajar!" "Keng Hong......." Cong San mengguguk, "Kalau engkau dapat melepaskan diri..... kau...... aku bunuhlah aku........ aku akan rela........." "Cukup semua sikap dan ucapan kosong ini! Apa artinya penyesalan diri setelah terlambat? Kita semua mengalami kembali seperti dulu, berada dalam cengkeraman maut di tangan si iblis betina. Perlu apa banyak cakap lagi akan hal yang bukan-bukan? Heiii, Cui Im, lekas bunuh kami, tunggu apalagi?" Biauw Eng berteriak. "Hi-hi-hik!" Cui Im tertawa dengan wajah berseri gembira sekali. Dia duduk di atas sebuah kursi dan di sampingnya duduk Go-bi Thai-houw yang hanya termenung, seolah-olah dia tidak melihat atau mendengar semua itu, atau sama sekali tidak mengacuhkannya, seperti semua itu merupakan pertunjukan yang tidak menarik sama sekali. Mo-kiam Siauw-ong juga duduk di sebelah kiri Cui Im dan tampak pula belasan orang pengawal tinggi besar menjaga di pintu. "Kalian ingin lekas mati agar segera terbebas dari siksaan lahir batin. Akan tetapi aku justeru menghendaki sebaliknya, agar kalian mati sedikit demi sedikit, agar kalian tersiksa lahir batin sehebat-hebatnya. Betapa benciku kepada kalian berempat!" "Bhe Cui Im, perempuan rendah! Engkau telah mempermainkan aku, engkau manusia terkutuk! Engkaulah yang membuat aku menjadi gila dan berdosa. Ahhh, biarpun aku sudah mati nanti, aku akan menjadi setan dan selamanya akan kukejar engkau!" Cong San berteriak dan meronta, namun tubuhnya yang tertotok lemas sedangkan tali-tali yang melibat tubuhnya amat kuat. Kembali Cui Im tertawa, kini memandang Keng Hong. "Keng Hong, manusia keras kepala. Sampai saat terakhir engkau tidak mau menyerahkan ilmu-ilmu itu kepadaku. Baiklah, sekarang engkau dan Cong San lihat dan dengar baik-baik betapa isteri kalian yang tercinta itu ditelanjangi, diperkosa berganti-ganti sampai mati! Lihat nanti betapa mereka menggeliat tersiksa, dengar betapa mereka merintih dan mengeluh, hi-hi-hik, dan saksikan nyawa mereka pergi sedikit demi sedikit dan tubuh mereka mengalami penghinaan yang paling hebat bagi seorang wanita!" "Cui Im! Yang terhina bukankah kami, melainkan engkau sendiri. Lakukanlah sesukamu terhadap tubuh kami. Apa sih tubuh ini? Hanya daging darah dan tulang, hanya tanah! Engkau bisa merusak dan mengotori tubuh kami, akan tetapi jangan harap untuk memperkosa dan mengotori jiwa kami, jangan harap untuk melenyapkan cinta kasih kami terhadap suami kami masing-masing! Engkaulah yang akan tersiksa, Cui Im, tersiksa oleh iri, karena di dalam hidupmu tiada cinta, kosong dan hanya penuh penuh oleh kotoran menjijikkan, penuh nafsu berahi dan engkau lebih hina daripada binatang, lebih sengsara daripada iblis! Kami tidak akan sengsara, karena kami berempat bahwa segala penderitaan badan akan berakhir, namun cinta kasih kami takkan ikut berakhir. Tertawalah selagi engkau masih dapat tertawa, Cui Im, namun di balik tawamu itu hanyalah tangis kesengsaraan hati yang terselubung kepalsuan!" Biauw Eng berteriak dengan lantang. Mendengar ini, wajah Cui Im berubah-ubah, sebentar pucat sebentar merah karena apa yang diucapkan bekas sumoinya itu tepat sekali seperti apa yang ia rasakan. "Lekas mulai dengan siksaan!" Ia berseru kepada Mo-kiam Siauw-ong. "Hayo lakukan, siapa saja boleh lebih dulu, aku tidak peduli lagi!" Mo-kiam Siauw-ong menyeringai dan memberi tanda kepada seorang pembantunya, seorang pengawal yang bertubuh tinggi besar dan bermuka buruk sekali. Pengawal ini mengangguk gembira dan melangkah ke arah dipan di mana Yan Cu rebah dengan kaki tangan terpentang, sedangkan Mo-kiam Siauw-ong menghampiri Biauw Eng. Dua orang wanita itu sudah mematikan rasa mengosongkan hati dan pikiran, memejamkan mata dan tubuh mereka itu biarpun bernyawa, sama halnya dengan sebuah mayat belaka. Dalam saat terakhir mereka telah menerima petunjuk dari Keng Hong tentang ilmu yang berdasarkan sinkang tinggi ini dan apa pun yang akan terjadi dengan tubuh mereka, sedikit pun mereka tidak akan merasakan dengan hati dan pikiran! Dengan sikap tenang Keng Hong memandang isterinya, sikap untuk menyaksikan hal yang paling hebat, akan tetapi Cong San hampir pingsan, matanya terbelalak wajahnya pucat dan dia menggigit bibirnya sampai berdarah. "Cong San, tenanglah dan pandang baik-baik," tiba-tiba Keng Hong berkata. "Yang kau cinta adalah Gui Yan Cu, manusia wanita yang bernama Gui Yan Cu, bukan sekedar tubuhnya! Apapun yang akan terjadi atas tubuh Yan Cu, cintamu tidak akan berubah. Mengertikah engkau? Jangan pedulikan apa yang tampak oleh matamu, dan serahkan segalanya kepada Tuhan setelah kita sendiri tidak berdaya melakukan usaha." *** Namun Cong San yang masih dikuasai penyesalan atas dosanya, tidak mungkin dapat bersikap seperti Keng Hong. "Jangan.....! Cui Im, jangan.......! Siksalah aku, bunuhlah aku, akan tetapi jangan ganggu dia.......!!!" Ia berteriak-teriak sekuat tenaga. Keng Hong hanya menggeleng-geleng kepala dan diam saja. Mo-kiam Siauw-ong dan pengawal itu yang sudah menerima pesan dari Cui Im, kini mematuhi perintah. Mereka tidak menubruk kedua orang wanita itu dengan buas, melainkan sengaja hendak menyiksa batin Keng Hong dan Cong San. Dengan perlahan mereka merenggut baju luar Biauw Eng dan Yan Cu. "Brettttt! Brettttt!!" Baju luar kedua orang wanita itu robek dan terlepas sehingga tampaklah baju dalam mereka yang tipis, membayangkan dada ibu-ibu muda itu yang masih terlentang dengan mata terpejam tanpa bergerak sedikit pun. Cong San terisak, hatinya seperti disayat-sayat rasanya. Melihat sahabatnya seperti itu lebih mengganggu hati Keng Hong daripada menghadapi malapetaka yang menimpa dia dan isterinya. "Cong San, benar-benarkah engkau telah menjadi seorang pengecut dalam menghadapi kematian?" Suara Keng Hong menggetar penuh teguran dan suara ini berpengaruh sekali karena Cong San tiba-tiba menghentikan tangisnya, bahkan dia membelalakan mata memandang ke arah isterinya, merelakan semuanya biarpun hatinya seperti ditusuk-tusuk. Tanpa mengalihkan pandang dari isterinya, dia menjawab, "Kalau saja hatiku tidak penuh perasaan dosa yang begini menekan, mungkin tidak seberat ini penanggunganku, Keng Hong. Semua yang menimpa dia, yang menimpa kalian, karena aku!" Keng Hong tidak menjawab lagi karena dia pun maklum atau dapat menyelami sendiri ketika dia sadar daripada kesalahannya terhadap Biauw Eng dahulu. Namun, tentu saja dibandingkan dengan kesalahannya dahulu akibat cemburu pula, tidaklah sehebat kesalahan Cong San, tidak sejauh langkah-langkah yang diambil oleh Cong San yang diracuni cemburu! Mo-kiam Siauw-ong dan pengawal itu, dengan ditonton penuh iri dan gairah oleh para pengawal lain yang harus menanti giliran, kini dengan mata berkilat sudah mengulur tangan lagi untuk melanjutkan pekerjaan mereka menelanjangi dua orang wanita muda yang cantik jelita itu. Tiba-tiba Mo-kiam Siauw-ong dan pengawal itu berteriak kaget dan tubuh mereka terhuyung ke belakang, bahkan pengawal itu terus roboh sambil menjerit-jerit kesakitan, mengucek-ucek matanya, sedangkan Mo-kiam Siauw-ong menyumpah-nyumpah dan menggosok-gosok mukanya. Kiranya, biarpun kaki tangannya tak dapat bergerak sedikit pun, Biauw Eng dan Yan Cu tidaklah mau menyerahkan diri begitu saja kepada nasib. Memang mereka telah mematikan rasa, namun nalurinya sebagai seorang wanita yang hendak dinodai kehormatannya membuat mereka memberontak dan hendak melawan mati-matian sebelum saat terakhir. Inilah sebabnya maka mereka menggunakan usaha satu-satunya yang dapat mereka lakukan, yaitu meludah ke arah mata orang yang menghinanya. Dengan mengerahkan tenaga dalam ludah yang menyambar dari mulut mereka tak boleh dipandang ringan. Mo-kiam Siauw-ong dapat menyelamatkan matanya dan hanya mukanya yang terasa panas seperti tertusuk benda runcing, akan tetapi pengawal itu merasa sebelah matanya seperti ditusuk-tusuk dan bukan main nyerinya, membuat dia mengaduh-aduh. "Omitohud........, kesesatan sekejam ini dilakukan manusia, bagaimana pinceng dapat membiarkannya saja?" Semua orang menjadi terkejut ketika melihat di situ telah berdiri seorang hwesio tua yang entah kapan dan dari mana datangnnya, tahu-tahu telah berada di situ dan hwesio ini sudah melangkah maju mendekati Keng Hong. "Tiong Pek Hosiang.......!" Bhe Cui Im berteriak kaget sekali ketika mengenal hwesio tua itu. "Engkau sudah bukan ketua Siauw-lim-pai, mau apa engkau datang dan mencampuri urusan kami?" "Omitohud, Ang-kiam Bu-tek, berkali-kali engkau menimbulkan pertentangan dan permusuhan. Pinceng datang dan mencampuri bukan karena kedudukan atau hubungan. Perbuatan yang dilakukan berdasarkan kedudukan, hubungan atau alasan lahir lainnya adalah perbuatan palsu. Pinceng datang dan menyaksikan perbuatan manusia yang kejam terhadap manusia lain, tak mungkin pinceng ikut mendiamkannya saja karena hal itu berarti pinceng ikut membantu perbuatan kejam. hentikanlah kesesatanmu, Ang-kiam Bu-tek, masih belum terlambat bagi semua manusia yang tersesat untuk menjadi sadar akan kesesatannya dan kembali ke jalan benar." "Heh-heh-heh, Ouwyang Tiong, kau manusia sombong! Tidak ingatkah engkau, betapa dahulu engkau telah mengganggu isteri Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong? Dan engkau masih berani membuka mulut memaki orang lain tersesat?" Tiba-tiba Go-bi Thai-houw berteriak mengejek. Tiong pek Hosiang berpaling kepada nenek itu dan merangkap kedua tangannya ke depan dada. "Omitohud....... siapakah yang tidak ingat akan kesesatan yang pernah dilakukannya? Namun, penyesalan saja tidaklah cukup. Oh Hian Wi, kesesatan hanya dapat di atasi oleh kesadaran akan kesesatannya. Orang yang sedang sesat adalah orang yang sedang sakit, bukan badannya yang sakit melainkan batinnya. Pinceng tidak memaki, tidak membenci, hanya menaruh kasihan karena segala kesesatan hanya akan menimbulkan kesengsaran bagi dirinya sendiri. "Kalau begitu, mengapa kau menentang kami?" Cui Im menuntut. "Bukan pribadimu yang pinceng tentang, Ang-kiam Bu-tek, melainkan perbuatanmu yang sesat. Sudah menjadi kewajiban pinceng untuk mencegah perbuatan kejam dari siapa pun juga terhadap siapa pun juga tanpa memandang bulu." Sambil berkata demikian, kakek itu menghampiri Keng Hong. "Berhenti!!" Go-bi Thai-houw berteriak dan sekali ia menggerakkan tangannya, kebutan merah di tangannya tergetar dan belasan helai bulu kebutan itu meluncur seperti anak-anak panah kecil menyambar ke arah tubuh bekas ketua Siauw-lim-pai itu. Namun kakek ini dengan tenang menggunakan tangan kirinya yang berlengan baju lebar mengebut sehingga semua bulu kebutan itu runtuh, sedangkan tangan kanannya meraba ke arah tali pengikat kedua lengan Keng Hong, merenggutnya dengan pengerahan tenaga sakti sehingga putuslah tali yang kuat itu! "Locianpwe, terima kasih!" kata Keng Hong yang cepat menggunakan kedua tangannya mematahkan semua tali yang membelit-belit tubuhnya, kemudian dia meloncat dengan cekatan, pertama-tama dia membebaskan ikatan isterinya, kemudian membebaskan Yan Cu. "Kakek yang bosan hidup!" Cui Im berseru nyaring dan menerjang Tiong Pek Hosiang dengan pedang merahnya. Kakek itu mengelak dan mengebutkan lengan bajunya, melangkah mundur. Pada saat itu, Go-bi Thai-houw sudah melayang dari kursinya, sepasang kebutannya menyambar-nyambar dengan serangan maut ke arah Tiong Pek Hosiang. Kakek ini tidak melawan, hanya mengelak sehingga dia terdesak oleh nenek itu dan Cui Im. Ujung kebutan biru yang menyambar ganas masih mengenai pundaknya, membuat kakek itu terhuyung, namun dia sama sekali tidak balas menyerang. "Mampuslah!" Go-bi Thai-houw berteriak dan kembali sepasang kebutannya menyambar. "Plakkk!" Kursi di tangan Keng Hong hancur terpukul kebutan, akan tetapi Tiong Pek Hosiang terbebas dari bahaya maut. Kakek ini segera mundur dan menarik napas panjang sambil berkata, "Pinceng sudah bersumpah tidak akan bertanding lagi dengan siapa pun juga. Selamat tinggal, mudah-mudahan kalian berhasil, orang-orang muda yang berada di fihak benar. Pinceng menanti di Siauw-lim-si!" Tubuhnya berkelebat keluar. Beberapa orang pengawal berusaha menyerangnya, namun mereka itu terpental ke belakang karena seolah-olah ada hawa yang luar biasa melindungi tubuh kakek itu yang meloncat tenang keluar dari gedung itu. *** Keng Hong dan Biauw Eng sudah mengamuk, menandingi Go-bi Thai-houw dan Cui Im, sedangkan Yan Cu cepat menghampiri suaminya dan membebaskan tali-tali yang mengikat tubuh Cong San. Yap Cong San hanya dapat memandang isterinya dengan mata basah, kemudian setelah dia terlepas, dia pun mengeluarkan gerakan seperti seekor harimau terluka dan dengan nekat dia membantu Keng Hong dan Biauw Eng menerjang Cui Im dan Go-bi Thai-houw. Yan Cu tidak mau ketinggalan dan begitu ia maju, sekali pukul saja ia telah merobohkan pengawal yang tadi hendak memperkosanya dengan kepala pecah. Biauw Eng juga menerjang Mo-kiam Siauw-ong yang amat dibencinya karena tadi Mo-kiam Siauw-ong telah menghinanya, merobek baju luarnya dan meraba-raba tubuhnya. Mo-kiam Siauw-ong melawan dengan nekat, memutar pedangnya. Namun Biauw Eng yang biarpun bertangan kosong itu sudah marah sekali. Sambaran pedang lawan itu ia terima dari samping dengan jepitan jari-jari tangan kanannya. Mo-kiam Siauw-ong terbelalak, hampir tak percaya bahwa wanita itu berani menerima pedangnya dengan jari tangannya, ia mengerahkan tenaga hendak menggerakan pedang agar tangan lawannya itu terbabat putus, namun pada detik itu juga dia juga mengeluarkan jerit melengking mengerikan karena jari tangan kiri Biauw Eng telah bergerak ke depan dan lima buah jari tangannya itu menembus kulit dada memasuki rongga dadanya sampai ke pergelangan tangan, bahkan jari-jari tangan itu terus mencengkeram jantungnya! Mo-kiam Siauw-ong roboh berkelojotan dan Biauw Eng dengan tangan kiri berlumuran darah amat mengerikan itu sudah mengamuk lagi, membuat giris hati para pengawal. Go-bi Thai-houw masih memandang rendah Keng Hong yang bertangan kosong. Dia menyerang dengan kebutannya dari kanan kiri, sedangkan Cui Im yang agak pucat mukanya karena tidak menyangka-nyangka bahwa keadaan akan menjadi demikian, kini menggunakan dua batang pedang. Di tangan kanannya terpegang pedang merahnya, sedangkan tangan kirinya memegang Siang-bhok-kiam yang dirampasnya dari Keng Hong ketika orang muda itu tertawan. Sepasang pedang itu digerakkan dengan dahsyat, membentuk dua gulungan sinar hijau dan merah yang indah namun berbahaya sekali. Keng Hong maklum akan kelihaian dua orang wanita iblis itu, maka beberapa kali dia berteriak menyuruh Biauw Eng, Yan Cu dan Cong San mundur setiap kali tiga orang itu berusaha membantunya, namun, karena para pengawal telah roboh banyak sekali sedangkan sisanya hanya berani menonton dari pinggiran, tiga orang ini tidak mempedulikan larangan Keng Hong dan tetap saja membantu Keng Hong dengan senjata-senjata rampasan. Cong San membunuh banyak sekali pengawal, mengamuk seperti kerbau gila. Dia kini merampas sebuah golok besar. Sebagai murid Siauw-lim-pai tentu saja dia bukan hanya ahli menggunakan sepasang pit yang telah lenyap terampas musuh. Delapan belas macam senjata dapat dia pergunakan dengan mahir. Dengan golok rampasan itu dia lalu membantu Keng Hong, menerjang Cui Im dengan nekat. Golok besar di tangannya menjadi lingkaran sinar terang dan mengeluarkan bunyi bercuitan. "Trakkk...........!" "Cong San, mundur.........!" keng Hong berteriak. Terlambat. Golok itu patah ketika bertemu dengan Siang-bhok-kiam, dan sinar merah dari pedang Cui Im menyambar ke arah leher Cong San. Murid Siauw-lim-pai ini cepat melempar diri ke samping, namun tetap saja ujung pedang merah menyerempet pundaknya sehingga terluka kulitnya dan berdarah. Cong San melempar diri ke belakang, terus ke atas lantai dan bergulingan. Ketika dia meloncat bangun, tangannya sudah menyambar sebatang pedang lain, pedang pengawal yang banyak berserakan di lantai, lalu dia maju lagi. Karena mengkhawatirkan suaminya, Yan Cu menyerbu ke depan, dibantu Biauw Eng dan kedua orang wanita ini sudah mengeroyok Cui Im. Biarpun dengan maju bersama mereka merupakan dua orang lawan yang tidak ringan bagi Cui Im, namun karena mereka hanya memegang senjata rampasan biasa saja, sedangkan Cui Im bersenjata pedang merah dan Siang-bhok-kiam, maka keduanya tidak dapat melawan dengan leluasa dan terpaksa menghindarkan bertemunya senjata mereka dengan sepasang pedang pusaka ampuh itu. Hal ini membuat mereka selalu terdesak. Keng Hong menghadapi Go-bi Thai-houw yang agaknya hendak memonopoli pendekar ini, selain dengan penasaran dia hendak mengalahkan Keng Hong yang bertangan kosong, juga ia hendak mencegah orang muda itu membantu yang lain menghadapi Cui Im. Sepasang kebutannya merupakan sepasang tangan maut yang setiap saat siap merenggut nyawa Keng Hong, namun pemuda itu selalu dapat mengelak, bahkan pada saat di mana dia tidak sempat mengelak lagi, dorongan tangannya yang penuh tenaga sinkang masih dapat menyelamatkannya dan membuat sinar kebutan menyeleweng. Cong San sudah maju lagi dengan pedangnya. Bukan karena hendak membantu Biauw Eng dan Yan Cu kalau dia kini menyerang nekat ke arah Cui Im, melainkan terutama sekali karena kebenciannya terhadap Cui Im membuat matanya merah dan seluruh keinginannya hanya untuk membunuh orang yang telah menimbulkan malapetaka hebat kepada rumah tangganya itu. Dengan bantuan Cong San, kini Cui Im dikeroyok tiga dan mulailah keadaan mereka berimbang. Beberapa kali Biauw Eng melirik ke arah suaminya dan alisnya berkerut. Hatinya mulai khawatir. Ia maklum betapa lihainya Go-bi Thai-houw dengan sepasang kebutannya. Kalau suaminya memegang Siang-bhok-kiam, dia tentu tidak perlu khawatir lagi. Suaminya kehilangan pedang pusaka itu yang kini berada di tangan Cui Im, dan suaminya juga tidak dapat menggunakan Thi-khi-i-beng, ilmu mujijat yang menyedot tenaga sinkang lawan, karena selain Go-bi Thai-houw memiliki sinkang yang tinggi, juga nenek ini sudah tahu akan bahayanya ilmu itu sehingga senjata kebutannya tidak dapat dipergunakan Keng Hong sebagai jembatan untuk menyedot sinkang lawan yang lihai itu.Memang benar bahwa Thai-kek Sin-kun yang dimiliki suaminya dapat membentuk gaya pertahanan yang amat kuat, namun akan sukarlah bagi suaminya untuk dapat mengalahkan lawannya. Kekhawatiran Biauw Eng ini agaknya dapat dilihat oleh Cui Im. Kekhawatiran yang banyak menurunkan daya serang Biauw Eng sebagai lawan terlihai di antara tiga orang pengeroyoknya. Kesempatan ini dipergunakan oleh Cui Im dengan baiknya. Tiba-tiba ia mengeluarkan suara melengking tinggi yang amat nyaring, menggetarkan jantung lawan dan tiba-tiba sinar pedang merah dan hijau itu berubah bentuk lingkaran yang menyambar dari kanan kiri, dalam arah yang berlawanan seolah-olah kedua pedang itu akan saling beradu! Hal ini mengejutkan dan mengacaukan tiga orang lawannya. "Siuuuuuttttt..........sing-singgg........!!" Biauw Eng, Yan Cu dan Cong San berteriak kaget dan meloncat mundur sampai beberapa meter jauhnya. Pedang mereka patah semua, bahkan sinar pedang merah dan hijau telah menyerempet tubuh mereka. Bahu kiri Biauw Eng berdarah, mengalir dari bajunya yang robek. Paha Yan Cu juga tergurat pedang, berdarah, sedangkan Cong San hampir saja celaka karena ujung pedang Siang-bhok-kiam telah menggurat punggungnya sampai sepanjang dua puluh sentimeter lebih! Pucatlah wajah tiga orang ini dan Cui Im tertawa terkekeh-kekeh sambil menggerakan kedua pedangnya. "Yan Cu, pinjamkan sabukmu!" Tiba-tiba Biauw Eng berteriak. Yan Cu mengerti bahwa Biauw Eng membutuhkan senjata yang cocok, maka tanpa ragu-ragu lagi ia melepaskan libatan sabuk suteranya yang berwarna merah muda. Melihat ini, Cui Im meloncat dan menusuk Yan Cu. *** "Trang-trakkk!" Pedang yang tinggal sepotong di tangan Cong San terbabat patah lagi, tinggal gagangnya saja sedangkan tubuhnya terpental mundur, akan tetapi dia telah dapat memberi kesempatan kepada isterinya melolos sabuk suteranya. Gagang pedang itu dia lontarkan ke arah muka Cui Im yang dapat dielakkan dengan mudah. Biauw Eng menerima sabuk sutera merah muda dan kini dia meloncat maju, didahului sinar merah muda yang panjang dari sabuk di tangannya. Yan Cu telah mengikat pinggangnya dengan robekan baju luarnya sendiri yang ia sambar dari dipan, kemudian ia memungut sebatang pedang. Cong San juga sudah mengambil sebatang pedang dari lantai. "Jangan serang! Lindungi saja aku!" Biauw Eng berteriak kepada kedua orang itu. Yan Cu dan Cong San membatalkan gerakan mereka, dan kini mereka mengikuti gerakan Biauw Eng dari kanan kiri, siap menjaga dan melindungi kalau-kalau Biauw Eng terancam oleh sepasang pedang Cui Im yang amat berbahaya itu. Dengan senjata yang jauh lebih cocok ini, biarpun tidak selemas sabuknya sendiri yang memang dibuat khusus untuk senjata, kini Biauw Eng seolah-olah merupakan seekor harimau yang diberi sayap! Tentu saja, biarpun selama ini dia telah digembleng oleh suaminya sendiri, dia masih belum dapat menandingi tingkat Cui Im yang selama ini juga memperdalam ilmunya di bawah asuhan Go-bi Thai-houw, namun dengan senjata sabuk ini Biauw Eng dapat melakukan perlawanan gigih, dapat pula membalas dengan totokan-totokan ujung sabuknya yang cukup berbahaya bagi Cui Im. "Biauw Eng, sekali ini kau akan mampus di tanganku!" Cui Im membentak dan sepasang pedangnya bergerak cepat sekali sehingga tubuhnya lenyap terbungkus dua gulung sinar hijau dan merah. Biauw Eng juga menggerakkan sabuknya. Wanita ini maklum bahwa kalau suaminya tidak cepat menerima kembali Siang-bhok-kiam, keadaan mereka berempat akan berbahaya sekali. Tidak saja Cui Im dan Go-bi Thai-houw merupakan dua orang lawan yang amat berbahaya, juga ia melihat bahwa kini semua pasukan pengawal telah mengurung tempat itu. Tentu kepala daerah marah sekali menyaksikan kematian puteranya, Coa Kun, dan mantunya, Mo-kiam Siauw-ong dan akan menangkap atau membunuh empat orang itu. Dengan gerakan pergelangan tangannya yang terlatih, tiba-tiba sinar merah muda bergulung-gulung membentuk lingkaran lebar dan tahu-tahu ujung sabuknya yang menangkis sinar hijau Siang-bhok-kiam berhasil membelit pergelangan tangan dan pedang! Biauw Eng mengerahkan seluruh tenaganya. "Haiiiiittttt!!" Teriakannya melengking nyaring dan ia tidak mempedulikan sinar merah menyambar ke arahnya karena seluruh tenaga dan perhatiannya dipusatkan untuk merampas Siang-bhok-kiam! "Cring-cring........ krekk-krekkk!!" Dua batang pedang Yan Cu dan Cong San yang menangkis sinar merah itu patah semua, dan sinar merah masih membabat ke depan. Biauw Eng menjerit, leher dan pundaknya kena serempet sinar merah dan berdarah, juga Yan Cu dan Cong San terhuyung ke belakang, lengan kanan mereka berdarah, akan tetapi Biauw Eng berhasil merampas Siang-bhok-kiam dengan ujung sabuknya. "Hong-ko, terimalah Sing-bhok-kiam!" Biauw Eng berseru dan pedang di ujung sabuknya itu meluncur ke arah Keng Hong. Pendekar sakti ini gembira akan tetapi juga terkejut, menyaksikan isterinya terhuyung dan terluka. Ia cepat menyambar pedangnya dan memutar pedang untuk menghalau desakan Go-bi Thai-houw sambil menoleh ke arah istrinya dan dua orang kawannya. Biauw Eng, Yan Cu dan Cong San cepat berloncatan ke belakang karena mereka telah menderita luka-luka. Biarpun tidak terlalu berat, namun banyak darah keluar dan terasa perih. Yan Cu dan Cong San sudah menyambar senjata dari lantai dan siap menghadapi terjangan Cui Im yang marah sekali. Biauw Eng sudah siap pula dengan sabuknya. Akan tetapi Cui Im yang melihat betapa Keng Hong telah mendapatkan kembali Siang-bhok-kiam, menjadi marah dan khawatir. Tiga orang itu tidaklah terlalu berbahaya. Kalau Keng Hong dapat dirobohkan, tidak akan sukar baginya merobohkan tiga orang itu. Maka dengan kemarahan meluap ia melompat ke arah Keng Hong yang kini menghadapi Go-bi Thai-houw dengan Siang-bhok-kiam di tangannya. Begitu dia mainkan Siang-bhok-kiam, Go-bi Thai-houw terkejut bukan main. Hebat sekali sinar pedang itu dan mengeluarkan hawa mujijat di tangan Keng Hong. Dia menggerakan sepasang kebutannya, menyerang bagian atas dan bawah tubuh Keng Hong. "Cring-cringgg........!" Tangkisan Siang-bhok-kiam mengenai gagang kebutan dari baja, dan tampaklah banyak bulu-bulu kebutan merah dan biru membodol, beterbangan seperti kelopak-kelopak bunga tertiup angin. "Trangggg.........!!" Sinar pedang di tangan Cui Im yang datang menusuk, di terima oleh Siang-bhok-kiam dan kedua pedang itu saling melekat karena dialiri tenaga sinkang mereka. "Mampuslah!" Cui Im menggunakan tangan kirinya menampar ke arah dada Keng Hong, sedangkan pada saat itu, kebutan merah Go-bi Thai-houw yang tinggal separuh bulunya itu menotok ke arah mata Keng Hong! Keng Hong menggerakan tangan kiri, menyambar kebutan merah, mencengkeram bulunya, membetot dan langsung melontarkan bulu-bulu yang tercabut itu ke arah muka Go-bi Thai-houw, sedangkan dorongan telapak tangan Cui Im ke dadanya dia terima begitu saja. "Aihhhhhh........!!" Go-bi Thai-houw memekik dan terjengkang ke belakang, mukanya, mata dan hidungnya tertusuk bulu-bulu kebutannya sendiri. Ia berkelojotan di atas lantai, berusaha bangun dan jatuh lagi. "Ayaaaaa.........! Cui Im terkejut bukan main ketika tiba-tiba tangannya melekat pada dada Keng Hong dan merasa betapa sinkangnya membanjir keluar melalui tangannya ke dalam tubuh lawan. "Celaka.........!" Cui Im mengeluh dan berdaya sekuatnya untuk menarik kembali tangannya, namun makin keras ia berusaha, makin banyak sinkangnya molos keluar. Go-bi Thai-houw yang sudah sekarat karena bulu-bulu kebutan itu menusuk muka sampai ke dalam kepalanya, mendengar teriakan Cui Im tiba-tiba bangkit dan kebutan biru di tangannya menotok ke arah leher Keng Hong yang pada saat itu sedang mengerahkan tenaga mujijat untuk mengalahkan Cui Im "Cukkk....... ahhhh........!" Keng Hong terhuyung dan otomatis tangan Cui Im terlepas. Cui Im meloncat ke belakang, terpaksa meninggalkan pedangnya yang masih menempel di pedang Siang-bhok-kiam. Secepat kilat otaknya mencari akal untuk menyelamatkan diri karena dia melihat betapa dengan gerakan tangan kanannya, pedang merah rampasan itu meluncur lepas dari Siang-bhok-kiam dan menusuk leher Go-bi Thai-houw sampai tembus. Nenek iblis itu roboh dan tak bergerak lagi, kepalanya tidak menyentuh tanah karena ujung pedang merah menancap di lantai, mengganjal kepalanya dengan leher tertembus! Cui Im tidak menyerang lagi, melainkan meloncat cepat ke sebelah dalam gedung. "Anak kita........!!!" Biauw Eng menjerit. Dia cerdik dan maklum akan niat hati Cui Im, maka bagaikan seekor harimau terluka, ia lupa akan luka-luka di tubuhnya dan melesat ke depan, mengejar. Keng Hong yang masih setengah lumpuh ketika mendengar teriakan isterinya ini, juga cepat melesat dan mengejar Cui Im. Cong San dan Yan Cu kini dikurung dan mengamuk dikeroyok banyak sekali pengawal. Pedang rampasan mereka bergerak dan membentuk dua gulungan sinar membuat setiap orang pengeroyok roboh jika terlalu dekat. *** Biarpun dengan hati penuh kegelisahan akan keselamatan anak mereka, Biauw Eng dan Keng Hong melakukan pengejaran secepat mungkin, sukarlah bagi mereka untuk dapat menyusul Cui Im karena mereka kurang mengenal jalan. Cui Im menyelinap dari ruangan ke ruangan lain, keluar masuk lorong dan kamar sehingga kedua orang yang membayanginya itu selalu tertinggal di belakang. "Cui Im, jangan ganggu anakku!" Biauw Eng menjerit. "Cui Im, demi Tuhan, bebaskan anak kami dan aku akan mengampunimu lagi!" Keng Hong juga berteriak. Setelah kini mereka semua bebas, tentu saja Keng Hong tidak menghendaki anaknya menjadi korban sendiri. "Hi-hi-hik, biar aku mati, hatiku akan puas kalau sudah menyembelih anak kalian!" Cui Im tertawa sambil terus berlari. "Ha-ha-heh-heh-heh, kalian terlambat!" Cui Im melompat masuk ke dalam sebuah kamar. Ketika Biauw Eng dan Keng Hong yang pucat mukanya itu menerjang masuk, kamar itu kosong dan Cui Im lenyap! Cepat kejar dia......... ohhh........!" Biauw Eng terisak dan mereka menerobos masuk melalui pintu belakang kamar itu yang ternyata menembus ke sebuah ruangan lain. Tiba-tiba Keng Hong memegang tangan Biauw Eng dan memberi isyarat agar isterinya tidak mengeluarkan suara. Mereka berdiri di depan pintu sebuah kamar dan mendengar suara Cui Im dan dalam kamar itu menembus keluar. "Di mana dia? Di mana.........?" Terdengar jawaban seorang wanita dengan usuar gemetar, "Ampun, Toanio...... hwesio tua itu....... tadi merampasnya dan membawanya pergi............" "Apa........?!?" Dan aku membiarkan anak itu dibawa pergi?" "Ampunkan hamba....... hamba........... tidak tahu bagaimana, tahu-tahu anak itu melayang dari pondongan hamba dan........" Terdengar jerit mengerikan dan Keng Hong bersama Biauw Eng sudah menerjang pintu kamar itu sehingga roboh. Mereka melihat Cui Im berdiri membalikkan tubuh memandang mereka dan di situ menggeletak tubuh wanita pelayan dengan kepala pecah! Hati Keng Hong dan Biauw Eng lega bukan main. Meraka tahu bahwa tentu Tiong Pek Hosiang yang telah membawa pergi anak mereka! "Cui Im, iblis betina, engkau hendak lari ke mana sekarang?" Biauw Eng membentak dan sabuk sutera merah muda di tangannya bergerak melayang ke atas lalu meluncur ke arah kepala Cui Im. "Kalian ampunkan aku......." tiba-tiba Cui Im menangis, "aku.......... aku melakukan semua itu karena aku........ aku cinta kepadamu, Keng Hong.........!" Ucapan ini membuat Biauw Eng menjadi makin marah. Sabuknya menyambar turun dan ketika Cui Im mengangkat kedua tangannya menangkap ujung sabuk sutera, Keng Hong maklum bahwa bahaya besar mengancam isterinya. Ia cepat melontarkan Siang-bhok-kiam ke arah Cui Im dengan gerakan yang amat cepat. Pada saat itu, ujung sabuk sutera telah membelit kedua tangan Cui Im yang terangkat ke atas dan melesatnya Siang-bhok-kiam tak dapat dielakkan lagi oleh Cui Im yang tenaga sinkangnya sudah banyak berkurang , akibat terkena ilmu Thi-khi-i-beng dari Keng Hong tadi. "Cappppp...........!!!" Pedang Siang-bhok-kiam tepat menusuk ulu hati Cui Im, menembus ke belakang dan tenaga lontaran itu membuat tubuh Cui Im terlempar ke belakang sampai ujung pedang menancap di tembok kamar di mana tubuh itu terpaku! Keng Hong berdiri terbelalak, mukanya pucat sekali memandang ke arah Cui Im. wanita itu memandang kepada Keng Hong dan darah menetes dari dada dan mulutnya, akan tetapi ia masih sempat berkata, "Aku....... aku cinta padamu, Keng Hong.........!" Kepalanya terkulai dan nyawanya melayang. Biauw Eng melirik ke arah suaminya, melihat dua titik air mata menetes turun ke pipi suaminya, ia menggerakkan sabuk yang terlepas dari kedua tangan Cui Im, ujung sabuk menyambar ke depan, melibat gagang Siang-bhok-kiam kemudian mencabutnya. Siang-bhok-kiam dibawa melayang ke depan Keng Hong yang menerima dengan mata masih terus menatap tubuh Cui Im yang kini roboh terguling dan terlentang di atas lantai. "Mari kita membantu Yan Cu!" Biauw Eng berkata agak ketus dan barulah Keng Hong sadar, memandang isterinya. Ia melihat sinar mata berkilat dari isterinya, maka dia cepat berkata, "Maafkan aku, isteriku. Aku hanya teringat dia sebagai bekas sumoiku, pewaris kepandaian suhu........" Keduanya lalu melompat keluar dan menyerbu ke dalam ruangan di mana Yan Cu dan Cong San masih mengamuk. "Kita keluar dari sini! Cepat!!" Keng Hong berkata dan membuka jalan darah dengan pedang Siang-bhok-kiam di tangannya. Biauw Eng, Yan Cu dan Cong San mengikutinya dan sepak-terjang mereka yang hebat itu membuat para pengeroyok cerai-berai dan jerih. Tak lama kemudian, empat orang itu sudah lari ke luar dari kota, dikejar pasukan pengawal yang dipimpin oleh Coa-taijin sendiri. Akan tetapi, setibanya di luar tembok kota, tampak datang sebuah pasukan dari selatan.Coa-taijin terkejut ketika mengenal pembesar atasannya, maka cepat dia menyambut. Kiranya pasukan itu adalah pasukan seorang panglima dari kota raja yang datang untuk mengadili Coa-taijin karena menerima laporan Tiong Pek Hosiang bahwa kepala daerah Sun-ke-bun telah bersekutu dengan para bajak sungai, Coa-taijin menjadi tawanan dan dibawa ke kota raja dalam sebuah gerobak kerangkeng dan di sepanjang jalan disambut dan disoraki rakyat yang sudah lama tertindas pembesar lalim itu. Mereka berempat berhenti berlari di sebuah hutan yang sunyi, terengah-engah dan saling pandang. Keng Hong memandang Cong San yang berdiri seperti patung dan menundukkan kepala, lalu pendekar ini menarik napas panjang, menghampiri isterinya dan tanpa bicara dia lalu menaruh obat di luka isterinya, membalutnya dengan robekan jubahnya. Sejenak Yan Cu berdiri mengatur napas yang memburu, memandang suaminya, kemudian ia melangkah maju mendekat suaminya, tanpa mempedulikan luka-lukanya sendiri, mengeluarkan bubuk obat dari ikat pinggangnya dan hendak mengobati luka di pundak suaminya. Akan tetapi baru saja tangannya menyentuh pundak, Cong San mengangkat muka memandang, mukanya pucat, kedua matanya mencucurkan air mata dan dia melompat ke belakang. "Jangan sentuh aku.........!!" Yan Cu terkejut dan berdiri memandang terbelalak. Keng Hong dan Biauw Eng menoleh dan memandang dengan alis berkerut, kemudian Keng Hong membentak dengan marah, "Cong San! Apakah engkau masih tetap gila??" Dengan muka menunduk Cong San menjawab, suaranya terisak menangis, "Memang aku gila dan masih gila, aku tidak layak........ tidak layak.......!" ia tersedu. Yan Cu melangkah maju, kedua pipinya basah air matanya yang mengalir turun. "Engkau suamiku........, aku tidak sakit hati akan semua yang telah terjadi. Mari kuobati lukamu, Koko......." Kembali Cong San melompat ke belakang. "Jangan.......! Jangan.........kausentuh aku........ aku.......... aku tidak tahan lagi......... aku terlalu kotor........ tak layak kau sentuh.......... kau terlalu suci dan aku......... tanganmu akan menambah penderitaan batinku. Aku......... aku manusia laknat, anjing pun terlalu bersih untuk mendekatiku........" "Koko......... engkau suamiku..........!" Yan Cu menangis dan akan menubruk, akan tetapi Cong San mengelak dan melompat mundur. "Jangan.........! Demi Tuhan.......... jangan sentuh aku atau engkau pun akan menjadi kotor. Aku......... dosaku tak mungkin dapat diampuni oleh siapapun......!" Cong San menangis tersedu-sedu seperti anak kecil dan dia menjambak-jambak rambutnya. Keng Hong hendak meloncat, akan tetapi ditahan oleh Biauw Eng yang memberi isyarat dengan mata agar suaminya diam saja dan tidak mencampuri urusan itu. "San-koko......... ingatlah. Aku Gui Yan Cu, telah bersumpah menjadi isterimu. Aku isterimu, sejak dahulu sampai selamanya........ aku cinta padamu dan aku tidak menaruh dendam atas segala kesalahfahaman......." "Kesalahfahaman? Aihhh, kalau saja benar demikian. Tidak.....! Tidaaaaaak......!! Aku telah buta, gila oleh cemburu! Aku telah menghina, menyiksa hatimu. Aku telah menuduh secara keji......... aku......... aku tidak layak kausentuh......... tidak layak untuk hidup lagi........!" Seperti orang gila, rambutnya awut-awutan, mukanya basah air mata, tiba-tiba Cong San mencabut pedang rampasannya tadi. *** "Suamiku.......! Jangan.......! Jangan lakukan itu........! Ingat anak kita........., Kun Liong..........!!" yan Cu menjerit daan meloncat ke depan hendak merampas pedang. Akan tetapi Cong San kembali meloncatmenjauhi dengan pedang telanjang di tangan, sikapnya tidak seperti orang waras lagi. Jangan halangi aku! Jangan menambah dosa dan penderitaanku! Biarkan aku mati, aku tidak patut menjadi suamimu, tidak patut menjadi ayah Kun Liong, tidak patut menjadi sahabat Keng Hong! Tidak patut hidup lagi........., aku manusia iblis..........!" Tiba-tiba Yan Cu mencabut pedang rampasannya pula. "Begitukah?? Kau nekat untuk memilih mati? Baiklah, suamiku. Aku sebagai isteri harus mentaati semua kehendakmu, dan sebagai isteri yang setia dan mencinta, aku harus mengikutimu ke manapun engkau pergi. Biarlah aku pergi dahulu untuk mencarikan jalan..........." Setelah berkata demikian, Yan Cu menggerakkan pedangnya, membacok ke arah lehernya sendiri! "Trangg!!!" Pedang di tangan Yan Cu terlepas dan wanita ini menjatuhkan diri berlutut, menutupi muka dengan kedua tangan sambil menangis. Cong San yang menangkis pedang isterinya sekuat tenaga berdiri seperti patung, pucat sekali mukanya, kemudian dia meloncat ke belakang dengan berkata, suaranya gemetar penuh penyesalan, "Yan Cu, menyebut namamu saja sudah tidak layak bagiku. Jangan kau bersikap seperti ini, karena hal itu menambah perihnya hatiku, menambah besarnya dosaku. Dosaku bertumpuk-tumpuk terhadap dirimu yang suci, dan percayalah, aku tidak ingin melihat engkau menderita lagi hanya karena aku, seorang manusia yang tidak berharga sama sekali. Aku harus mati, dan hanya jalan ini saja yang akan membebaskanmu daripada ikatan seorang suami yang tidak berharga sama sekali. Selamat tinggal!" "Suamiku.........!!!" Yan Cu menjerit, namun Cong San sudah menusukan pedang ke arah dadanya sendiri. "Trakkk!" Pedang Cong San patah dan terpental, bahkan dia sendiri terhuyung. Demikian hebat tangkisan Siang-bhok-kiam di tangan Keng Hong, saking marahnya pendekar ini. "Keng Hong, mengapa........ mengapa.........?" Cong San menegur, penuh keheranan melihat orang yang telah dikhianatinya, yang telah difitnahnya, telah diserang, dimaki dan dihinanya, bahkan hampir dibunuhnya itu menghalangi dia membunuh diri. "Pengecut laknat!!" Keng Hong menyarungkan pedangnya dan membentak marah. "Setelah melakukan hal yang memalukan dan gila, kini engkau takut menghadapi akibatnya, takut menghadapi penyesalah sehingga ingin melarikan diri dengan kematian yang pengecut dan menjijikan. Beginikah seorang laki-laki? Kau patut dihajar!" "Plakkkk!" Tamparan Keng Hong mengenai pipi Cong San, membuat dia terpelanting roboh. Cong San terkejut sekali dan ketika dia mencoba untuk bangkit, sebuah tendangan mengenai dadanya, membuat dia terjengkang lagi. Namun Cong San meloncat bangun dan tertawa. "Ha-ha-ha, bagus sekali! Terima kasih, Keng Hong. Hajarlah aku! Bunuhlah aku untuk membalas kejahatanku terhadapmu, agar ringan hatiku, ha-ha-ha!" "Laki-laki keparat dan pengecut! Mestinya engkau minta ampun kepada Yan Cu sumoi, mestinya engkau menebus dosa dengan membahagiakan dia, sebaliknya engkau malah hendak menghancurkan harapannya. Setan! Plak! Plak!" Dua tamparan membuat Cong San terguling lagi dan kedua pipinya sudah bengkak-bengkak membiru. Keng Hong mengejar dan terus menamparinya sampai tubuh Cong San terguling-guling dan terhuyung ke kanan kiri. "Jangan serang suamiku!!" Tiba-tiba Yan Cu seperti seekor singa betina diganggu anaknya, meloncat dan mencengkeram pundak Keng Hong menarik tubuh Keng Hong ke belakang lalu menghantam dada Keng Hong penuh kemarahan. "Bukkk!!" Keng Hong terjengkang ke belakang! "Yan Cu, jangan........!!" Cong San kaget sekali dan cepat menubruk isterinya yang masih hendak menyerang Keng Hong. Keng Hong meloncat bangun. Itulah yang dikehendakinya dan kini dia berkata, "Nah, buka matamu lebar-lebar, Yap Cong San! Isterimu demikian setia, demikian mencintamu sehingga rela dia melindungimu dan memukul suheng sendiri! Apakah untuk seorang isteri yang begini bijaksana, begini mencinta, engkau masih ingin menghancurkan harapan dan kebahagiaannya?" Mengertilah kini Cong San mengapa Keng Hong tadi menghajarnya. Sama sekali bukan untuk membalas penghinaannya, melainkan untuk memancing kemarahan Yan Cu yang setia. Ia terisak, air matanya bercucuran, lalu memeluk Yan Cu dan berkata, Isterinya, kau........ kau......... sudi mengampuni dosa-dosaku.........?" "San-koko........! Suamiku.........! Yan Cu balas memeluk dan menangis terisak di dada suaminya. Cong San menciumi isterinya, kemudian menarik isterinya maju berlutut. Ia menjatuhkan diri di depan Keng Hong sambil berkata terputus-putus, "Taihiap........ aku........ aku mohon ampun.......... ampunilah semua kesalahanku..........!" Keng Hong mengejap-ngejapkan mata menahan air matanya, lalu mengangkat bangun kedua orang itu, lalu dirangkulnya. "Cong San, aku tidak pernah benci kepadamu karena aku tahu betapa jahatnya perasaan cemburu kalau sudah menguasai hati manusia. Dan jangan menyebut Taihiap segala........ kita masih sahabat seperti dahulu, bahkan keluarga........" "Keng Hong.........!" Cong San merangkul pendekar sakti itu dan menangis seperti anak kecil. Yan Cu merangkul Biauw Eng yang menghampiri mereka dan kedua orang wanita ini pun bertangis-tangisan, tangis penuh rasa haru dan bahagia. "Cong San, mintalah ampun kepada isterimu." Keng Hong berbisik dekat telinga sahabatnya. Cong San merenggangkan diri, memandang wajah Keng Hong dan mengangguk, kemudian dia menghampiri Yan Cu yang masih berpelukan dengan Biauw Eng. "Isteriku, Yan Cu........" Dua orang wanita itu saling melepas rangkulan dan Biauw Eng segera meninggalkan Yan Cu menghampiri suaminya sambil menghapus air mata dengan sabuk merah muda milik Yan Cu yang tadi dipergunakan sebagai senjata. Cong San dan Yan Cu saling berpandangan. Yan Cu menggerakan bibirnya yang menggigil dan mencoba tersenyum, akan tetapi air mata tetap menitik turun. "Yan Cu, aku mohon ampun kepadamu......." Tiba-tiba Cong San yang teringat akan kata-kata Keng Hong ketika mereka tertawan, menubruk kaki isterinya dan menciumi ujung sepatu Yan Cu, mencuci sepatu yang kotor berlumpur itu dengan air mata dan bibirnya! Yan Cu sejenak mengangkat muka ke atas, matanya terpejam, kedua lengan berdekapan seperti mengucap terima kasih kepada langit, akan tetapi tubuhnya bergerak-gerak terayun dan tentu roboh pingsan kalau saja Cong San tidak cepat meloncat dan memeluknya. "Suamiku........ kau tertipu orang........." "Tidak, kau harus mengampuni aku, isteriku, barulah tercuci penyesalan di hatiku........" "San-ko, aku ampunkan engkau.......... suamiku..........." "Terima kasih, terima kasih, isteriku........." Setelah keharuan mereka mereda dan saling menghujankan peluk cium pelepas rindu dendam yang selama ini menjadi jurang pemisah oleh cemburu, mereka saling mengobati luka masing-masing dengan muka masih basah melepas isak yang menyesak dada. "Omitohud, di mana-mana manusia menangis........" Meraka berempat memandang dan kiranya yang mengucapkan kata-kata itu adalah seorang hwesio tua tinggi besar berkulit hitam, bermata lebar dan memondong seorang anak laki-laki. Di sebelah kanannya terdapat seorang hwesio tua lain, yang juga memondong seorang anak perempuan. Kedua anak itu tadinya tertidur, akan tetapi kini mereka terbangun dan seperti dikomando, keduanya menangis! "Kun Liong.........!" Yan Cu cepat lari dan menerima puteranya dari pondongan Thian Kek Hwesio. yang kini menjadi ketua Siauw-lim-pai "Giok Keng........!" Biauw Eng juga lari menerima puterinya dari pondongan Thian Lee Hwesio. Kedua orang ibu muda itu lalu menyusui anak masing-masing yang segera terdiam dan menyusu dengan lahapnya. "Omitohud........! Di antara semua tangis, hanya tangis kedua orang anak ini, seperti tangis semua anak-anak lain di dunia, yang murni dan suci! Mereka menangis dengan wajar, tidak sedikit pun dicampuri perasaan hati dan pikiran. Betapa beningnya dan merdu tangis mereka, betapa bedanya dengan tangis orang-orang tua yang pinceng dengar. Kalian menangis karena penyesalan, terharu dan bahagia." "Suheng........" Cong San menjatuhkan diri berlutut. "Di mana suhu.........?" "Yap-sicu, harap ingat bahwa Sicu bukanlah murid Siauw-lim-pai. Suhumu menitipkan anak-anak inikepada pinceng dan karena pinceng tidak menghendaki Siauw-lim-pai terbawa-bawa oleh urusan orang luar, terpaksa pinceng menyusulkan mereka ke sini. Suhumu juga menangis sedih ketika pinceng pergi. Ahhh, dunia penuh dengan tangis-tangis manusia!" Cong San terkejut sekali. "Suhu.......... menangis............?" Thian Kek Hwesio menarik napas panjang, mengangguk. "yap, dia menangis karena terpaksa membantu kalian melakukan pembunuhan-pembunuhan. Tiada pilihan lain baginya, tidak menolong berarti kalian terbunuh, menolong berarti kalian membunuh. Sungguh pilihan yang amat sulit bagi orang tua itu dan makin membuka mata batin bahwa dunia ini penuh dengan makhluk-makhluk paling buas yang selalu saling bermusuhan dan saling membunuh, yaitu manusia!" "Akan tetapi, Locianpwe!" Biauw Eng membantah. "Sudah menjadi kewajiban kita untuk menentang yang jahat! Cui Im dan kaki tangannya adalah manusia-manusia iblis yang patut dibasmi!" Sepasang mata yang lebar itu memandang tajam. "Pendirian seperti itulah yang menimbulkan segala permusuhan. Menentang! Kata-kata itu seharusnya lenyap dari batin setiap manusia, kalau manusia ingin hidup di dalam dunia yang aman dan damai. Sekali mengambil sikap menentang, berarti menanam permusuhan. Menentang yang jahat? Apakah yang jahat itu? Apakah yang baik itu? Bukankah yang mengatakan baik atau jahat itu sang aku yang mendasarkan pendapatnya dengan rugi untung? Kalau sang aku diuntungkan lahir maupun batinnya, maka baiklah bagi sang aku. Kalau dirugikan, maka jahatlah bagi sang aku. Wahai orang-orang muda, mulai saat ini belajarlah kalian, belajar mengenal diri pribadi. Kenalilah bahwa yang kalian sebut Aku itu bukanlah aku yang sejati, melainkan aku yang palsu, aku yang sebetulnya hanyalah kedok belaka daripada nafsu badani! Aku yang palsu, kedok nafsu badani selalu penuh gairah hendak menyenangkan dan memuaskan badan yang tak kunjung puas seperti sebuah gentong yang dasarnya berlubang, tak mungkin dapat terpenuhi dan selalu kosong dan haus. Semua itu tidak ada sangkut pautnya dengan AKU yang sejati. Manusia menjadi hamba daripada nafsunya sendiri sehingga seperti buta oleh loba dan tamak, mementingkan sang aku. Aku jangan diganggu, manusia lain sedunia masa bodoh. Milikku jangan diganggu, milik manusia lain sedunia masa bodoh. Dan karena setiap orang manusia yang menjadi hamba dari sang aku palsu ini, maka timbullah pertentangan dan mengakibatkan permusuhan, benci-membenci, dendam-mendendam, tipu-menipu, sakit-menyakiti dan bunuh-membunuh. Karena itulah maka Tiong Pek Hosiang menangis dalam kamar samadhinya!" Kakek itu menengadah dan menarik napas panjang. "Suheng........ eh, Locianpwe, setelah saya sadar, setelah saya mendapat pengampunan dari isteri saya, sudilah Locianpwe menjelaskan mengapa saya sampai dapat menjadi gila oleh cemburu, padahal saya amat mencinta isteri saya?" Cong San yang melihat hwesio itu hendak pergi, cpat menahannya dengan pertanyaan ini. Hwesio itu memenamkan kedua matanya, seolah-olah hendak mohon penerangan dari alam, kemudian terdengar dia berkata, "Nafsu badani yang berkedok AKU amatlah berbahaya dan kuat! Semua sifat baik dapat dikotorinya dan dipalsukannya. Bahkan cinta kasih yang murni, sifat termulia di antara segala sifat, dapat pula dipalsukan dan dikotorkan! yap-sicu, pinceng percaya bahwa Sicu mencinta isterimu, dengan cinta kasih yang murni, namun Sicu terpedaya oleh sang aku. Yang menciptakan cemburu bukanlah cinta kasih yang murni, melainkan nafsu sayang diri yang berkedok sang aku itulah! Cinta kasih murni membuat orang ingin melihat yang dicintanya berbahagia, bukan? Apakah Sicu mempunyai keinginan di hati untuk melihat isteri Sicu bahagia hidupnya?" Cong San mengangguk. "Tentu saja, Locianpwe." *** "Nah, itulah cinta kasih yang murni, bebas dari kepentingan sang aku! Andaikata terbukti bahwa isteri Sicu mencinta orang lain, andaikata isteri Sicu merasa berbahagia untuk hidup berdampingan dengan laki-laki lain, maka cinta kasih murni di hati tidak akan terluka, tentu Sicu, dengan dasar cinta kasih yang ingin melihat kebahagiaan isteri Sicu itu, akan mengalah dan membiarkan isteri Sicu berbahagia! Akan tetapi, Sicu menjadi cemburu. Mengapa? Karena cinta kasih Sicu telah dipalsu dan dikotori oleh sang aku palsu itulah! Maka timbullah kemarahan karena Sicu yang diganggu, Sicu yang dirugikan, isteri Sicu, milik Sicu, yang hendak direbut orang. Jadi, perasaan cemburu, sakit hati dan marah itu timbul bukan demi cinta kasih terhadap isteri Sicu, melainkan demi cinta diri, demi cinta yang berkedok sang aku. Mengertikah, Sicu?" "Ohhhhh........! Betapa bodohnya aku...........! Dan betapa murni cinta kasih Yan Cu yang rela hendak mengorbankan nyawa demi kebahagiaanku, suaminya yang tidak berharga ini......." Cong San mengeluh dan merangkul isterinya yang masih menyusui puteranya. "Cinta kasih murni tidak mengenal cacad, berharga atau tidak, pendeknya, cinta kasih murni tidak membuat penilaian!" kakek itu berkata lagi dengan mata setengah terpejam. "Lihatlah cinta kasih Tuhan kepada manusia dan segala mahluk. Sinar matahari diberikanNya kepada siapapun juga, baik pengemis maupun hartawan, pencuri maupun pendeta, dari semut sampai gajah, sinar matahari itu adalah curahan kasih suci yang bebas dari penilaian. Itulah cinta kasih murni! Lihatlah cinta kasih ibu terhadap anaknya, dari semua makhluk! Tiada penilaian apakah anaknya itu baik ataukah buruk, cinta kasih seorang ibu tetap takkan berubah! Itulah cinta kasih murni manusia, Aaahhh, pinceng telah terlalu banyak bicara, pinceng telah melaksanakan pesan Tiong Pek Hosiang mengembalikan anak-anak kalian. Selamat tinggal dan semoga kalian memperoleh kesadaran." Kakek itu bersama Thian Lee Hwesio meninggalkan hutan, berjalan dengan langkah lebar tanpa menoleh ke kanan kiri. Keng Hong dan Biauw Eng saling pandang, demikian pula Cong San dan Yan Cu. Biarpun kata-kata Thian Kek Hwesio itu hanya sederhana saja, namun mereka merasa terpesona dan terbuka mata batin mereka, merasa ngeri kalau mengingat kembali perbuatan mereka yang sudah lalu. "Semoga anak-anak kita akan menjadi manusia-manusia yang lebih sadar daripada kita," Keng Hong berbisik. "Semoga demikian.........." Cong San menyambung. "Dan semoga seluruh manusia di dunia ini, bersama-sama saya, akan suka belajar mengenal diri sendiri, sedikit demi sedikit menggosok bersih debu-debu nafsu yang mengeruhkan dan menjadi penghalang dari SINAR API yang berada dalam diri sendiri manusia, sehingga sinar itu akan menyorot keluar dan menerangi dunia, mendatangkan suasana DAMAI penuh KASIH dalam penghidupan manusia," demikian berkata pengarang sebagai penutup cerita "Pedang Kayu Harum" ini. TAMAT Dapatkan koleksi ebook lain di: http://jowo.jw.lt