Lian Ci Tojin dan Sian Ti Tojin, terutama Sian Ci Tojin, yang menginginkan pusaka-pusaka itu untuk dipelajari, merasa tidak setuju dengan ucapan Kiang Tojin ini, akan tetapi karena mereka melihat betapa suhu, Thian Seng Cinjin yang lebih mengutamakan nama baik Kun-lun-pai, nengangguk-ngangguk setuju atas ucapan Kiang Tojin, mereka hanya saling pandang dan mengerutkan kening, tidak berani membantah. "Cia Keng Hong, karena jelas bahwa engkau belum membawa keluar Siang-bhok-kiam dari Kun-lun-san, dan mendengar pembelaan diri yang tepat, maka kami dapat mengampunimu dengan syarat bahwa engkau harus menyerahkan pedang Siang-bhok-kiam yang asli kepada kami...." "Wahhh...!!" Terdengar seruan tidak setuju dari para tamu. "Harap tenang dan biarkan Twa-suheng bicara!" Lian Ci Tojin berseru keras, dan tosu ini sudah merasa girang dengan keputusan Kiang Tojin. "Keputusan ini dikeluarkan oleh Kun-lun-pai mengingat bahwa Siang-bhok-kiam akan selalu menimbulkan kegemparan di dunia kang-ouw, menjadi perebutan yang akan mengorbankan banyak nyawa secara sia-sia dan karena pedang yang selalu berada di Kiam-kok-san itu enjadi hak kami, maka kamilah yang harus menyipannya dengan janji bahwa kami Kun-lun-pai tidaklah tamak terhadap pusaka orang lain dan tidak akan menggunakan pedang untuk mencari pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong!" Ucapan terakhir ini melegakan hati para tamu akan tetapi sebaliknya mengecewakan para tosu Kun-lun-pai terutama Sian Ti Tojin dan Lian Ci Tojin. "Nah, pinto rasa sudah jelas bagi dunia kang-ouw umumnya bahwa Kun-lun-pai mempunyai alasan-alasan kuat untuk memiliki Siang-bhok-kiam dan persoalan Cia Keng Hong dengan Kun-lun-pai telah selesai. Kini kami persilakan cu-wi yang ingin menuntut pemuda ini agar mengajukan tuntutannya." Kiang Tojin bersikap cerdik dalam sikapnya membela Keng Hong. Dia tidak mendesak atau bertanya kepada Keng Hong untuk pelaksanaan keputusan itu karena dia khawatir kalau-kalau Keng Hong secara berterang menolak dan menimbulkan pula kemarahan di fihak para tosu Kun-lun-pai. Ia akan menggunakan pengaruhnya untuk memaksa pemuda itu kelak menyerahkan Siang-bhok-kiam secara baik-baik. Dengan memberi kesempatan kepada para tamu untuk mengajukan tuduhan, maka para sutenya tidak ada kesempatan untuk mendesak Keng Hong. "Cia Keng Hong telah memperkosa murid Hoa-san-pai yang bernama Sim Ciang Bi kemudian membunuhnya, disaksikan oleh adik korban yang kini hadir, Sim Lai Sek" kata Coa Kiu tokoh Hoa-san-pai. "Dosa yang keji itu harus ditebus dengan hukuman kematian bagi pemuda jahat ini!" "Cia Keng Hong memperkosa dua orang murid wanita kamu lalu membunuh mereka, juga membunuh sute kami Kok Cin Cu dan beberapa orang anak murid Kong-thong-pai. Dosanya lebih besar lagi terhadap kami dan biarpun dia mati sepuluh kali masih belum dapat menebus dosanya !" kata Kok Sian Cu. "Dia telah membunuh banyak anak murid kami dari Tiat-ciang-pang. Dia harus kami hukum mati demi menjaga nama besar kami yang diinjak-injaknya!" Hening sejenak setelah tiga orang wakil tiga partai besar ini menjatuhkan tuduhannya dan semua mata memandang Keng Hong yang masih menundukkan muka. "Cia keng Hong, bagaimana engkau menjawab tuduhan-tuduhan para Locinpwe ini ?" Kiang Tojin bertanya, suaranya mengandung getaran karena hatinya merasa berduka sekali. Ia merasa berduka kalau -kalau semua tuduhan itu benar dan anak yang disayangnya itu benar-benar telah mewarisi watak suhunya, yaitu suka mempermainkan wanita dan sudah turun tangan membunuh orang. Hanya dia terkejut dan ragu mendengar bahwa Keng Hong juga membunuh Kok Cin Cu yang dianggapnya tak mungkin terjadi. Ia tahu siapa Kok Cin Cu, orang tingkat kepandaiannya sudah amat tinggi, tentu takkan dapat dikalahkan oleh Keng Hong. Ia merasa khawatir sekali karena kalau yang dituduhkan itu benar-benar, alangkah berat dosa pemuda ini dan amat tidak baik kalau dia atau Kun-lun-pai hendak melindunginya. Andai kata tokoh-tokoh kang-ouw hendak mengganggu Keng Hong karena perbuatan-perbuatan Sin-jiu Kiam -Ong, tentu dia akan membela Keng Hong. Akan tetapi kalau yang dituntut adalah perbuatan-perbuatan pemuda ini sendiri, tak mungkin dia dapat mencampurinya. Cia Keng Hong menggeleng kepalanya dan menjawab dengan suara tenang namun tegas, "Semua tuduhan yang dijatuhkan kepada saya itu adalah fitnah yang tidak benar! Saya tidak memperkosa Sim Ciang Bi anak murid Hoa-san-pai itu, karena hubungan antara kami adalah atas dasar suka rela, dan saya pun tidak membunuhnya, biar pun ada saksi yang menjatuhkan fitnah palsu. Saya tidak membunuh Sim Ciang Bi! Mengenai urusan dengan Kong-thong-pai, Kok Cin Cu totiang tidak mati oleh tangan saya. Dua orang murid wanita Kong-thong-pai yang dimaksudkan tentulah Kiu Bwee Ceng dan Tang Swat Si seperti juga Sim Ciang Bi murid Hoa-san-pai, mereka berdua ini pun amat baik kepada saya dan hubungan di antara kami berdasarkan suka sama suka, tidak ada perkosaan sama sekali. Yang membunuh mereka dan para saudara seperguruan mereka dengan para saudara seperguruan mereka dengan racun juga bukan saya. Demikian pula urusan dengan Tiat-ciang-pang. Mereka itu mengeroyok saya yang hanya membela diri, dan sebagian di antara mereka tewas oleh senjata rahsia juga bukan oleh tangan saya !" "Wah-wah-wah, pengecut! Berani berbuat tidak berani bertanggung jawab!" bentak Coa Kiu, seorang di antara Hoa-san Siang-sin-kiam marah. "Kalau engkau tidak mengaku membunuh ereka semua, akan tetapi buktinya mereka itu mati, habis apakah hendak kau katakan bahwa mereka itu telah membunuh diri mereka sendiri?" "Keng Hong ! Hendakkah mengaku menyangkal bahwa ciciku mati dalam pelukanmu ?" Sim Lai Sek membentak marah. "Semua penduduk dusun melihat betapa anak murid kami yang wanita engkau perkosa dan kemudian semua anak murid kai itu kau beri racun !" bentak pula Kok Sian Cu. Keng Hong melirik ke kiri dan kini dia melihat Sie Biauw Eng yang sejak tadi telah siuman dan mendengar semua persidangan yang mengadili Keng Hong itu. Ia melihat betapa Biauw Eng menundukkan muka dengan alis berkerut, wajah jelita itu kelihatan berduka sekali. Hemmm, wajah palsu, pikirnya ! Engkaulah yang mendatangkan semua malapetaka kepadaku, dan kau masih berpura-pura dengan sikap alim berpura-pura seperti orang berduka! Teringat betapa Sim Ciang Bi mengejang dengan tubuh masih hangat di pelukannya, terbunuh secara keji oleh Biauw Eng, dan teringat pula betapa Kiu Bwee Ceng dan Tang Swat Si yang amat mencintainya juga mati oleh racun Biauw Eng, seketika kemarahan Keng Hong melenyapkan rasa kasihnya yang aneh terhadap gadis itu dan diam menjadi benci, benci sekali! Tiba-tiba Keng Hong meloncat ke kiri dan menyambar tubuh Biauw Eng, dipegangnya lengan gadis itu dan diseretnya di depan Kiang Tojin sambil berseru keras. *** "Inilah dia manusianya yang membunuh mereka semua! Inilah Song-bun Siu-li puteri lam-hai Sin-ni yang berkepandaian tinggi dan berwajah jelita namun berhati iblis! Dialah yang telah membunuh Sim Ciang Bi dengan darah dingin, meracuni murid-murid Tiat-ciang-pang dengan senjata rahasianya! Dia melakukan semua itu karena cemburu, karena iri hati, karena... Karena hatinya yang ganas liar dan kejam!" Semua orang tercegang memandang kepada Biauw Eng yang menudukkan mukanya yang menjadi pucat sekali. Suasana menjadi sunyi senyap dan Kiang Tojin eandang wajah yang menunduk itu penuh perhatian. Ia percaya akan keterangan Keng Hong berdasarkan pengetahuannya bahwa keng Hong tidak memiliki watak atau dasar watak jahat dan kejam. Sebaliknya, biarpun dia belum mengenal kepribadian Song-bun Siu-li, akan tetapi mengingat bahwa gadis ini puteri Lam-hai Sin-ni yang terkenal sebagai tokoh nomor satu dari Bu-tek Su-kwi (Empat Iblis Tanpa Tandingan), tidak akan mengherankan kalu gadis yang kelihatan cantik jelita dan dingan seperti salju ini memiliki watak iblis seperti ibunya. "Cia Keng Hong, engkau yang dijatuhi tuduhan, mengapa engaku menimpakannya kepada orang-lain?" Kiang Tojin pura-pura mencela, padahal kehendak hatinya ialah memancing agar tuduhan Keng Hong itu dapat diperkuat. "Maaf, totiang. Saya sama sekali tidak menuduh sebarangan, bukan menuduh karena saya takut menghadapi hukuman. Biar dihukum mati sekalipun, kalau memang saya bersalah, saya tidak akan gentar dan siap mempertanggungjawabkan perbuatan saya. Akan tetapi sesungguhnya bukan saya melainkan perempuan iblis inilah yang melakukan pembunuhan-pembunuhan keji, curang dan pengecut itu. Kalau Totiang tidak percaya, harap bertanya kepadanya dan ingin sekali saya mendengar apa yang akan dijawabnya." Memang Keng hong ingin sekali mendengar jawaban Biauw Eng. Ketika gadis ini tadi membelanya pada waktu dia dikeroyok orang-orang sakti dan dia melancarkan tuduhannya, gadis ini menyangkal. Sekarang, di dalam sidang pengadilan di depan-depan orang-orang sakti, bagaimana gadis ini akan dapat menyangkal pula? Bukti-buktinya sudah cukup lengkap, yaitu senjata-senjata rahasianya, dan saksi-saksinya juga sudah banyak, terutama sekali dia yang menjadi saksi utama karena beberapa kali dia melihat gadis baju putih ini berkelebat pergi setiap ada pembunuhan-pembunuhan itu, dan masih teringat olehnya, bahkan masih terasa belaian-belaian kasih sayang penuh nafsu dari gadis baju putih yang kelihatannya dingin dan alim ini! "Nona, jawablah apakah semua yang dikatakan Cia Keng Hong itu benar? Apakah benar Nona yang membunuh murid-murid Hoa-san-pai, Kong-thong-pai dan Tiat-ciang-pang?" Biauw Eng memandang kepada Keng Hong dengan muka pucat, sinar matanya berduka sekali, bibirnya bergerak-gerak dan gemetar seperti wanita kalau hendak menangis. Akan tetapi gadis yang keras hati ini cepat menggigit bibirnya yang bawah sehingga tampak kilatan gigi putih disusul warna merah karena bibir bawahnya pecah tergigit! Agaknya dengan kekerasan hati Biauw Eng hendak mengeluarkan kata-kata yang kemudian ditekan dan ditahannya sendiri dengan gigitan pada bibirnya. Wajahnya tidak pucat lagi, bahkan mulai menjadi kemerahan, sinar matanya menyapu semua orang yang hadir disitu, kemudian memandang Kiang Tojin dan sejenak sinar mata kedua orangitu bertmeu. Dalam detik pertemuan sinar mata itu, keduanya seperti orang bermufakat dan saling bermufakat dan saling maklum bahwa masing-masing merasa suka dan mengandung hati kasih sayang terhadap Keng Hong! Akan tetapi hanya sedetik saja pertemuan getaran perasaan ini dan terdengarlah suara Biauw Eng nyaring dan tetap, sedikit pun tidak gemetar dan ia sudah bangkit berdiri."Yang bersalmh dihukum, yang tidak bersalh dibebaskan. Itu sudah sewajarnya maka saya minta kepada cu-wi sekalian untuk membebaskan Keng Hong ! Dia tidak bersalah karena benar seperti yang dikatakannya, semua pembunuhan itu akulah yang melakukannya ! Dan aku siap menerima hukuman, akan tetapi Keng Hong harus dibebaskan sekarang juga!' Keng Hong memandang gadis itu dengan sinar mata tajam. Begitu Biauw Eng mengucapkan pengakuannya, sungguh heran sekali, kebenciannya menghilang dan dia kini memandang penuh kekhawatiran! Gadis itu jelas telah mengucapkan keputusan kematian sendiri! Kiang Tojin menghadapi para tokoh tiga buah partai persilatan besar itu dan berkata, "Nah, cu-wi telah mendengar sendiri pengakuan Song-bun Siu-li dan berarti bahwa Keng Hong tidak bersalah dalam urusan ini. Kalau dia membela diri ketika diserang dan dikeroyok sehingga jatuh korban di antara para pengeroyok, amatlah tidak adil kalu dia dipersalahkan .Terserah cu-wi sekalian sekarang, apa yang akan cu-wi lakukan kepada yang bersalah." "Perempuan iblis ini harus dibinasakan!" bentak Tiat-ciang Ouw Beng Kok, menghantam dengan tangan bajanya yang kiri ke arah kepala Biauw Eng. Juga Coa Kiu sudah menggerakkan pedangnya enyusul, sehingga tampak sinar terang dan suara mencuit ketika sinar pedang ini saat berikutnya, Kok Sian Cu menggerakkan pula tongkat bambunya menusuk ke dada gadis itu. Tiga serangan maut dari tiga tokoh kang ouw yang sakti ini datang secara beruntun dala detik-detik yang hampir bersamaan , Sedangkan Biauw Eng hanya menundukkan muka siap menerima datangnya maut. Ia sama sekali tidak menjadi gentar, matanya hanya ditujukan kepada Keng Hong dengan pandang mata sayu penuh kesedihan. "Tidak! Jangan bunuh dia....!!" Kneg Hong berseru keras dan dia pun menubruk maju menghadang di depan Biauw Eng sambil menggerakkan tangan mendorong ke depan dengan maksud melindungi gadis ini. Karena pukulan Tiat-ciang Ouw Beng Kok datang lebih dahulu , maka pukulan tangan baju inilah yang bertemu dengan tangan Keng Hong sehingga terdengar suara keras dan tubuh Ouw Beng Kok terjengkang ke belakang, juga Keng Hong terbanting ke kiri! "Tak boleh melakukan pembunuhan di sini!" terdengar suara halus dan sinar pedang Coa Kiu yang sudah meluncur dekat dan kini mengancam Keng Hong karena tubuh Keng Hong masih menutupi tubuh Biauw Eng, tiba-tiba terpental ketika tertangkis tongkat di tangan Thian Seng Cinjin. Tongkat bambu di tangan Kok Sian Cu lihai sekali. Biarpun ada tubuh Keng Hong yang menghadang, namun tongkat itu dapat meliuk melalui punggung Keng Hong dan langsung menukik dan menusuk ke arah dada Biauw Eng. "Trakkk!" Tongkat bambu ditangan orangtetua dari Kong-thong Ngo-lojin itu menyeleweng dan menghantam lantai sehingga membuat lantai itu berlubang! *** "Hi-hi-hik, segala kacoa berani lancang tangan hendak membunuh puteriku?" Tiba-tiba saja Lam-hai Sin-ni sudah berada di situ sehingga mengejutkan semua orang. Pukulan jarak jauh yang sudah berhasil menangkis tongkat bambu di tangan Kok Sin Cu ini benar-benar mengejutkan dan mengagumkan. Lam-hai Sin-ni memandang puterinya dan berkata dengan suara gemetar. "Eng-ji....ah, Eng-ji.., mengapa engkau begini lemah? Mengapa engkau menyia-nyiakan nyawa untuk kau korbankan? Begitu murahkah nyawamu kau korbankan untuk seorang pria berhati palsu macam Keng Hong ini..?" Biauw Eng terisak. "Ibu .. aku cinta kepadanya, Ibu.." Lam-hai Sin-ni membanting kakiknya, "Bodoh! Lemah...! Ah, Sie Cun Hong, setelah engkau menghancurkan hatiku, mengapa kini muridmu yang hendak merusak kebahagiaan puteriku dan puterimu?" "Lam-hai Sin-ni , puterimu telah berhutang nyawa kepada kami, harus di tebus dengan nyawanya pula!" Kok Kim Cu berseru marah melihat munculnya tokoh utama dari Bu-tek Su -kwi ini. "Benar, dia harus dibinasakan!" bentak pula Coa Kiu dan Coa Bu. "Biarpun Lam-hai Sin-ni sendiri, tidak boleh melindungi puterinya yang berhutang nyawa penasaran murid-murid kami!" bentak pula tiat-ciang Ouw Beng Kok. "Eh, eh, eh begitukah? Anakku hanya membela pemuda tak tahu diri itu, akan tetapi andai kata benar dia yang membunuhi murid-murid kalian yang tak berharga, habis kalian mau apa?" Watak Lam-hai Sin-ni memang amat dingin dan keras, bahakn selalu memandang rendah lain orang, maka kini di depan tokoh- tokoh sakti itu ia sama sekali tidak memandang mata!" Tentu saja tokoh-tokoh itu menjadi marah sekali. Apalagi Ngo-lojin dari Kong-thong-pai yang kini tinggal empat orang itu. Dahulu mereka berlima amat terkenal sehingga tokoh-tokoh iblis seperti Thian -te Sa-lo-o yang menjadi tiga orang datuk hitam dari dunia penjahat dan amat terkenal sebelum akhirnya muncul Bu-Tek Su Kwi, tidak berani memandang rendah, maka dengan seruan-seruan nyaring meraka itu menerjang maju, mempergunakan cengkeraman-cengkeraman Ang-Liong-jiauw-kang mereka yang ampuh, bahkan Kok Sian Cu menyerang dengan tongkat bambunya. Di saat itu pula, melihat kesempatan baik karena banyak kawan untuk menghadapi nenek iblis yang mereka tahu amat lihai ini, Coa Kiu dan Coa Bu kedua Hoa-san Siang -sin-kiam juga maju dengan pedang mereka sedangkan Ouw Beng Kok dan Kim-to lai Ban juga tidak tinggal diam, akan tetapi mereka ini bukan menyerang Lam Hai Sin Ni melainkan Biauw Eng! Terjangan orang-orang sakti ini dilakukan serentak dan cepat, membuat para tosu Kun-lun-pai tidak sempat melerai dan memandang bingung karena mereka sebagai tuan rumah tentu saja merasa tidak senang kalau tempat tinggal mereka dijadikan gelanggang pertempuran. "Plak-plak-plak.." Yang datang lebih dulu adalah pukulan-pukulan Ang-liong-jiauw-kang, akan tetapi tiga pukulan Kok Seng Cu, Kok Liong Cu dan Kok Kim Cu ini ditangkis lengan Lam-hai Sin-ni dan tangan mereka itu melekat pada lengan nenek ini dan terus di sedotlah hawa sinkang dari tangan mereka yang membanjir tanpa dapat dicegah memasuki lengan Lam-hai Sin-ni yang tertawa terkekeh. Ketika mereka bertiga terkejut, tiba-tiba Lam-hai Sin-ni menggerakkan ke dua lengannya sehingga tiga orang itu terangkat dan diputar-putar ke atas untuk dipakai menangkis serangan bambu Kok Sian Cu dan sepasang pedang Coa Kiu dan Coa Bu ! Tentu saja dua orang Hoa-san Siang -sin-kiam itu terkejut sekali dan menarik kembali pedang ereka agar tidak melukai para tokoh Kong-thong-pai itu, sedangkan Kok Sian Cu yang lebih cerdik dan lihai, menggerakkan tongkat bambunya menyusun ke samping dan mengiri totokan ke arah pusar Lam-hai Sin-ni secara hebat dan cepat sekali! Lam-hai Sin-ni tertawa, mundur dua langkah dan melontarkan tubuh ke tiga orang tokoh Kong-thong-pai itu ke arah Kok Sian Cu , Coa Kiu dan Coa Bu sehingga terpaksa tiga orang tokok itu mengelak dan tubuh Kok Seng Cu dan para suhengnya terbanting roboh dalam keadaan lemas karena sebagian dari sinkang mereka telah tersedot oleh Lam-hai Sin-ni dengan ilmu mujijat Thi-khi-I-beng! Sementara itu, Biauw Eng yang masih berdiri seperti orang kehilangan semangat, diam saja ketika diserang oleh dua orang tokoh Tiat-ciang-pang. Melihat ini, kembali Keng Hong yang meloncat maju dan menyambut serangan itu. Sekali ini karena kedua orang tokoh Tiat-ciang-pang itu marah sekali, serangan mereka pun hebat, bahkan Kim-to Lai Ban telah menggunakan goloknya. Keng Hong masih bingung tadi oleh pengakuan Biauw Eng yang tadinya menyangkal kemudian berbalik mengaku, menjadi makin bingung oleh ucapan Lam-hai Sin-ni. Melihat gadis yang amat aneh, yang dapat mendatangkan rasa cinta dan benci bergantian dihatinya itu kini terancam bahaya, mati-matian dia menubruk maju, menggunakan kedua lengannya untuk menangkis pukulan tangan baja dan golok. "Desssss..!" Tubuh Keng Hong terbanting lagi ke atas lantai. Dalam pertandingan di lerang Kun-lun-san ketika dia dikeroyok, dia telah mengalami pukulan-pukulan yang mengakibatkan luka di dalam tubuh, kini dia menangkis pukulan. Tiat-ciang Ouw Beng Kok sampai dua kali. Dadanya terasa sakit-sakit dan dia muntahkan darah segar, sedangkan lengannya yang menangkis golok Lai ban terluka parah di pangkal sikunya, kulit dagingnya robek dan mengucurkan banyak darah. Namun, dalam usahanya menyelamatkan Biauw Eng, Keng Hong tidak merasakan luka-lukanya, bahkan begitu tubuhnya terbanting, dia terus berguling ke lantai mendekati Biauw Eng, tiba-tiba menangkap pinggang gadis itu dan melontarkannya sekuat tenaga ke arah Lam-hai Sin-ni sambil berkata. "Locianpwe, harap bawa pergi puterimu dari sini...!" Lam-hai Sin-ni baru saja memukul mundur para pengeroyoknya dengan melontarkan tubuh ketiga orang tokoh Kong-thong-pai, kini melihat tubuh puterinya melayang ke arahnya, cepat dia menangkap dan mengempitnya. Ia ingin sekali mengamuk dan membunuhi semua orang yang hendak mengganggu puterinya, akan tetapi pada saat itu terdengar suara halus. "Apakah orang tidak memandang mata lagi kepada Kun-lun-pai sehingga tidak memperdulikan pinto semua dan mengacau sekehendak hatinya?" Yang bicara ini adalah Thian Seng Cinjin ketua Kun-lun-pai yang tadi ketika enangkis sinar pedang Coa Kiu dilakukan sambil duduk dan semenjak itu menonton dan mendengarkan semua yang terjadi dengan alis berkerut. Mendengar suara ini, Lam-hai Sin-ni tertawa dan berkata, "Maafkan kelancanganku, Cinjin!" Tubuhnya lalu berkelebat, membawa pergi puterinya dari tempat itu tanpa ada yang berani mengganggu, pertama kareana memang jerih menghadapi nenek itu sendirian saja ,kedua karena mereka pun terpengaruh suara Thian Seng Cinjin sehingga merasa sungkan untuk memperlihatkan kekerasan di depan kakek ini yanng selain menjadi tuan rumah, juga terkenal sebagai ketua Kun-lun- pai yang amat lihai, belum lagi diingat akan banyaknya tosu-tosu lihai di Kun-lun-pai ini. *** "Biarlah dia pergi, yang terpenting, bocah ini tak boleh terlepas begitu saja dari tangan kami!" kata Coa Kui. "Andai kata bukan dia yang membunuh, sudah jelas dia menghina urid wanita kami!" "Juga dua orang murid wanita kami!" kata Kok Sian Cu. "Benar, tak boleh bocah ini dilepas begitu saja !" Ouw Beng Kok. "Omitohud, Pinceng masih harus mendapat kitab-kitab Siauw -lim-pai dari bocah ini !" kata wakil ketua Siauw -lim-pai dan yang lain -lain juga ikut pula membuka suara. Keng Hong menjadi marah sekali. Tubuhnya sakit-sakit, dadanya terasa sesak, kepalanya pening oleh pukulan- pukulan yang diterimanya, ditambah pula kepergian Biauw Eng tiiba-tiba seperti membawa sebagian semangatnya. Pengakuan Biauw Eng yang melakukan pembunuhan-pembunuhan itu amat meragukan hatinya.Ia yakin bahwa gadis itu mengakui semua itu untuk meneria hukuman di atas pundaknya, dengan niat membebaskan Keng Hong. Maka dia menjadi ragu-ragu apakah benar gadis itu yang melakukan pembunuhan-pembunuhan keji. Siauw Biauw Eng dan ucapan Lam-hai Sin-ni meragukan hatinya. Tentu ada rahasia di balik semua itu. Orang yang kelihaian jahat belum tentu selamanya akan melakukan perbuatan jahat. Sebaliknya orang yang kelihatannya baik-baik belum tentu pula selamanya benar. Buktinya Lian Ci Tojin. Bukankah tosu itu secara keji seperti binatang buas telah memperkosa Tan Hun Bwee, puteri Yan piauwsu? Padahal perbuatan itu sampai mati sekalipun tidak sudi dia melakukannya. Dan para tokoh besar ini. Tidak jelaskah tampak betapa tamak mereka ini, mengejar-ngejar dan berlumba-lumba memperebutkan pusaka gurunya? Tiba-tiba dia meloncat bangun dan berkata, suaranya kasar dan nyaring, "Kalian ini orang-orang tua yang jahat dan tamak! Aku tidak sudi lagi menurut segala kata-kata kalian ! Apakah dosaku terhadap kalian, termasuk terhadap Kun-lun-pai ? Salahkah kalau aku menjadi murid Sin-jiu Kiam -oang ? Coba katakan, perbuatan apakah yang telah kulakukan terhadap kalian semua ? Akan tetapi kalian selalu mengejar-ngejar aku, memperebutkan Siang-bhok-kiam , ini hanya alasan karena sebenarnya kalian semua menginginkan pusaka peninggalan suhu! Tak tahu malu! Takkan ku berikan kepada siapapun juga! Akan kupelajari sendiri dan kelak kupergunakan untuk melawan kalian!" Semua orang memandang dengan mata terbelalak, termasuk Kiang Tojin, Thian Seng Cinjin berkata perlahan. "Siancai..., mulut tajam....!" Akan tetapi Ouw Beng Kok telah menerjang maju menghantam sabil membentak. "Bocah sombong!" Berbarengan dengan pukulan Ouw Beng Kok ini, Lian Ci Tojin juga maju menghamtam dari kiri dengan pukulan dahsyat mengarah lambung Keng Hong. Pemuda ini yang sudah dua kali merasai pukulan Ouw Beng Kok yang hebat, menjadi marah dan merendahkan diri setengah berjongkok, mengerahkan seluruh tenaganya memapaki pukulan ketua Tiat-ciang-pang ini dengan dorongan tangan yang mengandung sinkang warisan gurunya. "Blekkkkkkkkk!!" Tubuh Oue Beng Kok terjengkang dan ketua Tiat-ciang-pang ini roboh pingsan dengan mulut muntah darah! Akan tetapi Keng Hong juga roboh berguling-gulingan karena labungnya dihajar pukulan tangan Lian Ci Tojin."Sute, jangan bermain curang!" bentak Kiang Tojin marah, akan tetapi karena pukulan itu telah bersarang dan membuat Keng Hong roboh, dia hanya memandang cemas. Keng Hong bangkit lagi, menekan lambungnya yang serasa hendak pecah. Ia lalu menyusuti darah yang mengalir dari mulutnya, tanpa disadari dia mencabut keluar saputangan ini teringat akan gadis itu dan menudingkan telunjuknya kepada Lian Ci Tojin sambil berkata. "Kiang Tojin! Sutemu ini selain curang juga keji sekali terhadap seoarng nona baju hijau..." "Engkau yang keji, bisa menuduh orang, keparat!" Lian Ci Tojin sudah menerjang maju lagi, akan tetapi Keng Hong meloncat mundur, membalikkan tubuhnya dan lari secepatnya menuju Kiam-kok-san. "Kejar!" Entah siapa yang mengeluarkan ucapan ini, akan tetapi seperti sepasukan tentara enerima komando, semua orang segera mengejar, kecuali ketua Kun-lun-pai dan Kiang Tojin. Diantara para tosu Kun-lun-pai, hanya Lian Ci tojin dan Sian Ti Tojin saja yang mengejar bersama para tokoh lainnya. Sedangkan para Kun-lun-pai lainnya hanya berdiri ragu-ragu dan menanti perintah, , memandang kepada Kiang Tojin. "Bawa anak murid Kun-lun-pai dan lihat apa yang terjadi di sana. . jaga jangan sampai tempat suci itu dikotori orang," kata Thian Seng Cinjin kepada muridnya yang tertua itu. Kiang Tojin mengangguk lalu mengajak semua anak murid Kun-lun-pai, melakukan pengejaran dari jauh. Thian Seng Cinjin menghela napas panjang berulang kali, kemudian bersila bersamadhi untuk menenteramkan batinnya yang mengalami guncangan dalam peristiwa itu. Keng Hong mengerahkan seluruh tenaganya yang ada untuk berlari cepat. Larinya masih cepat karena memang pemuda ini memiliki ginkang yang tidak lumrah diiliki seorang pemuda, dan pantasnya dimiliki seorang yang sudah berlatih puluhan tahun. Hal ini adalah berkat di terimanya pemindahan sinkang dari Sin-jiu Kiam-ong. Akan tetapi pada saat itu dia telah terluka cukup berat sehingga andaikata dia tidak memiliki sinkang yang luar biasa tentu dia telah roboh dan karenanya, ketika dia mengerahkan seluruh tenaganya, napasnya terengah-engah dan dadanya terasa sakit sekali. Merasa betapa kepalanya pening sekali dan napasnya sesak hampir sukar bernapas, terpaksa Keng Hong memperlambat larinya dan begitu dia mengurangi kecepatannya empat orang kakek Ngo-thong-pai telah menyusulnya. Memang Kong-thong Ngo -lojin terkenal dengan ginkang mereka yang hebat sehingga ginkang mereka itu dapat berlari lebih cepat daripada tokoh lainnya. "Bocah setan, engkau hendak lari kemana?" Di natara para tokoh yang mengejar, yang merasa sakit hati kepada Keng Hong pribadi adalah tokoh-tokoh kong-thong-pai, Hoa-san-pai dan Tiat-ciang-pang. Adapun tokoh lainnya yang juga mengejar, seperti dari Siauw-lim-pai, Kiu-bwe Toanio, Sin-to Gi-hiap hanya ingin memperebutkan pusaka Sin-jiu Kiam-ong, tidak mempunyai dendam pribadi kepada pemuda itu, maka mereka ini tidak seperti tokoh-tokoh tiga partai besar pertama , tidak ingin membunuh Keng Hong, melainkan hanya ingin memaksanya menyerahkan pusaka gurunya. Begitu Kong-thong Ngo-lojin yang tinggal empat orang itu dapat menyusul, serentak mereka mengirim pukulan-pukulan Ang-liong-jiauw-kang yang ampuh dari belakang. Keng Hong mendengar sambaran angin pukulan yang amat hebat ini dan dia meamng sudah siap mengadu nyawa dengan orang-orang yang memusuhinya, sudah marah dan nekat sekali dan mengambil keputusan untuk tidak menyerah sampai mati. Maka cepat dia membalikkan tubuhnya sabil merendahkan tubuh menekuk kedua lutut, sedangkan ke dua lengannya bergerak ke atas untuk menangkis. *** Kekuatan sinkang yang dia kerahkan hebat bukan main dan dia dalam keadaan marah, maka otomatis daya sedat sinkangnya bekerja amat kuatnya sehingga begitu tangan Kok Seng Cu, Kok Liong Cu dan Kok Kim Cu tertangkis, tangan tiga orang yang mengandung tenaga pukulan Ang-liong-jiauw-kang itu menempel pada kedua lengan mereka dengan kuatnya. Tenaga Ang-lioang-jiauw-kang merupakan tenaga yang timbul dari pengerahan sinkang dan memang sangat hebat sehingga dengan jari-jari tangan mereka yang membentuk cakar, kakek-kakek dari Kong-thong-pai ini sanggup meremas hancur senjata tajam lawan! Maka kini yang mengalir seperti banjir memasuki tubuh Keng Hong melalui kedua lengan nya adalah tenaga sinkang yang amat dahsyat sehingga napasnya hampir berhenti. Ia megap-megap dan merasa betapa tenaga yang kuat dan hawa panas sekali memasuki tubuhnya, berputaran di sekitar pusarnya. "Celaka .. Twa suheng...tolong...!" Kok Kim Cu berteriak kaget. Melihat betapa tiga orang sutenya terbelalak dan terengah-engah mencoba melepaskan tangan mereka yang mencekeram lengan pemuda itu, maklumlah Kok Sian Cu akan keadaan tiga orang sutenya. "Terkutuk! Ilmu iblis..!" teriaknya dan tongkatnya segera bergerak menotok kedua siku lengan Keng Hong. Pemuda ini sedang dalam keadaan setengah kejang kaku, tak dapat bergerak karena derasnya hawa sinkang yang memasuki tubuhnya, maka biarpun dia maklum akan datangnya totokan, dia tidak mampu mengelak. Andaikata Kok Sian Cu, betapapun kuatnya sebagai orang pertama Ngo-lojin, menyerang Keng Hong dengan tangan kosong, tentu begitu pukulannya mengenai tubuh peuda itu, sinkangnya akan tersedot pula. Namun kakek ini saat lihai dan maklum akan hal itu, maka dia menggunakan ujung bambu untuk menotok dan begiru mengenai sasaran, dengan gerakan "sendal pancing" dia menarik kebali tongkatnya. Keng Hong merasa betapa keduanya lumpuh dan tiga buah tangan kakek yang tadi mencengkeramnya dapat terlepas, maka dia lalu membalikkan tubuh dan berlari lagi. Ia megap-megap dan dadanya makin sakit, akan tetapi larinya tidak lumrah manusia lagi, seolah-olah terbang saja dan kedua kakinya seperti tidak menyentuh bumi. Hal ini adalah karena tenaga sinkang dari tiga orang kakek pemilik ilmu pukulan Ang-jiauw -kang yang telah tersedot oleh tubuhnya tadi kuat bukan main sehingga tubuh Keng Hong penuh dengan tenaga sinkang yang berlebihan. Seperti sebuah balon karet terlalu banyak angin, tubuhnya ringan dan setiap kali meloncat ke depan, dapat mencapai jarak yang lima enam kali lebih jauh daripada kemampuannya yang luar biasa. Sudah beberapa kali keadaan terlalu penuh hawa sinkang seperti dialami Keng Hong. Tiap kali dia bingung bagaimana harus membuang tenaga berlebihan itu. Akan tetapi sekarang, karena dia mengerahkan seluruh tenaga untuk melarikan diri, maka tenaga kelebihan itu dapat dia salurkan untuk keperluan ini sehingga larinya seperti terbang dan makin cepat dia mengerahkan tenaga berlari, makin lapang rasa dadanya dan daya tarik-menarik di tubuhnya akibat penyedotan sinkang tiga orang kakek itu mulai berkurang, bahkan dapat dia selaraskan dengan pernapasan dan tenaganya sendiri. Empat orang kakek kong-thong-pai melongo ketika menyaksikan betapa peuda itu berkelebat cepat laksana halilintar menyabar, sebentar saja sudah sampai di sebuah puncak! Hampir mereka tak dapat percaya akan pandangan mata sendiri, dan karena tiga orang diantara mereka sudah menjadi agak lemah karena sebagian besar sinkang mereka tersedot lenyap, terpaksa dengan hati penasaran mereka melanjutkan pengejaran perlahan-lahan sehingga tersusul oleh tokoh-tokoh lain. Akan tetapi ketika para tokoh itu tiba di kaki batu pedang di Kiam-kok -san , mereka melihat tubuh Keng Hong dengan susah payah telah mendaki sampai setenghnya dari batu pedang yang tampak dari bawah. Jelas tampak betapa pemuda itu sudah terluka dan terengah-engah, akan tetapi dengan nekat pemuda itu merangkak terus ke atas. "Kejar...!!" Seru Coa Kiu tokoh Hoa-san-pai sambil menggerakkan pedangnya. "Akan tetapi Kiang Tojin yang sudah tiba disitu bersama anak murid Kun-lun-pai, sudah cepat menghadang di depan batu pedang sambil berkata "Maaf ,cu-wi sekalian ! kiam-kok-san adalah sebuah tepat keramat bagi Kun-lun-pai, sedangkan kami sendiri tidak ada yang boleh naik ke puncaknya, bagaimana kami dapat membolehkan orang lain naik? Pinto harap cu-wi sekalian maklum, dan kami percaya bahwa di tempat wilayah kekuasaan cu-wi masing-masing terdapat tempat keramat seperti Kiam-kok-san bagi kami." "Ah, tapi hal ini lain lagi, Toyu." Bantah kok Sian Cu. "Harus pinto akui kebenaran ucapan Kiang -toyu bahwa di tempat kami pun ada tempat keramat yang tidak boleh dilanggar lain orang. Kami pun tentu saja memandang muka para pimpinan Kun-lun-pai, akan tetapi sekali-kali berani melanggar tempat keramat Kun-lun-pai,akan tetapi sekali ini kami semua sama sekali bukanlah hendak melanggar. Kami hanya ingin mengejar dan menangkap bocah yang naik ke Kiam-kok-san itu. Biarpun merupakan tempat larangan, akan tetapi kalau ada alasan kuat dan bukan semata-mata sengaja hendak melanggar, kami kira sepatutnya kalau Toyu membiarkan kami mengejar dan menangkap bocah itu." "Omitohud...., benar sekali apa yang diucapkan sahabat Kok Sian Cu. Pinceng tentu saja pantang untuk melanggar tempat keramat Kun-lun-pai, akan tetapi mungkin sekali kitab-kitab pusaka pinceng berada di puncak Kiam Kok-san ini, apakah Kiang -toyu hendak mengukuhi larangan ini dan tidak hendak mengembalikan kitab kami?" Selagi Kiang Tojin bingung karena merasa terdesak oleh oongan-omongan yang mempunyai dasar kuat itu, tiba-tiba terdengar suara ketawa bergelak dan tahu-tahu disitu telah muncul tiga orang yang mengejutkan hati mereka karena tiga orang ini bukan lain adalah Ang-bin-kwi-bo, Pak-san kwi-ong dan Pat-jiu-sian-ong - tiga orang di antara tiga orang Bu-tek Su-kwi yang dahulu, lima tahun yang lalu juga telah datang di tempat itu membuat kocar-kacir para tokoh sakti dan hampir saja membunuh para tokoh itu kalau tidak di tolong oleh Sin-jiu Kiam -ong! Melihat munculnya tiga orang iblis ini, Thian Ti Hwesio tokoh Siauw-lim-pai yang tadi bicara cepat berkata sambil menggerakkan tongkat Liong-cu-pang di tangannya. "Omitohud...! Pinceng tidak akan mundur selangkah pun menghadapi ketiga orang Bu-tek Sam-kwi jika sekali ini Sam Kwi hendak merampas peninggalan Sin-jiu Kiam -ong, termasuk kitab-kitab pusaka kami!' "Kami pun tidak sudi bersekutu dengan Bu-tek Sam-kwi, musuh-musuh kami dari aliran yang bertentangan!" kata Kok Sian Cu. "Ha-ha-ha-ha-ha! Ada saatnya bermusuhan ada saatnya bersahabat. Kalau tidak ada alasan bersahabat berusuhan,mengapa tidak bersahabat? Kalau ada alasan kuat untuk bersekutu, mengapa bermusuhan? Bukankah Nabi Konghucu mengatakan bahwa di empat penjuru lautan ini semua manusia adalah bersaudara?" Berkata Pat-jiu kiam-ong yang suaranya halus sambil menggerak-gerakkan kebutannya dengan lagak seorang dewa memberi ceramah kebatinan ! *** "Kami adalah golongan bersih, lawan golonan sesat, kami kaum putih lawan kaum hitam tidak sudi bersahabat dengan Bu-tek Sam -kwi!" kata Coa Bu tokoh Hoa-san-pai. Memang semua tokoh kang-ouw membensi Bu-tek Sam-kwi, empat orang iblis yang selalu membikin kacau dunia kang-ouw dan hampir semua golongan kang-ouw pernah dibikin rugi oleh empat orang datuk hitam itu. "Hi-hi-hik, sombong amat orang Hoa-san-pai! Mengandalkan apanya sih ?" Ang-bin kwi-bo mengejek. "Mengapa bicara baik-baik dengan orang yang berhati dengki dan memandang orang lain penuh dosa dan diri sendiri yang paling bersih? Kalau kami merampas pusaka , kalian mau bisa berbuat apakah?" bentak Pak-san kwi-ong dan kakek tinggi besar berkulit hitam ini menggerak-gerakkan tubuhnya yang berbulu sehingga dua buah tengkorak di ujung rantai yang diikatkan di pinggangnya mengeluarkan suara berkelotakkan mengerikan. Akan tetapi Pat -jiu Sin-ong mengangkat tangan yang memegang kebutan sambil tersenyum dan terdengarlah suaranya yang halus seperti orang peramah penuh kasih sayang antara manusia. "Damai, damai..! Tidak ada yang seindah perdamaian ! Kami datang untuk membantu cu-wi sekalian dalam perdebatan memperebutkan kebenaran dengan fihak Kun-lun-pai ! Harap cu-wi jangan salah faham." Setelah berkata demikian, Pat-jiu Sian-ong, memandang kepada ke dua orang kawannya. Memang di antara mereka bertiga Pat-jiu Sian-ong terhitung yang paling pandai bicara dan pandai pula bersiasat. Ia tahu bahwa dua orang kawannya itu, seperti juga dia sendiri , tentu saja tidak gentar menghadapi pengeroyokan para tokoh kang-ouw itu. Akan tetapi di situ terdapat para tosu, Kun-lun-pai yang selain berjumlah banyak, juga di ntaranya terdapat para pimpinan Kun-lun-pai, tujuh orang tokoh murid Thian Seng Cinjin, terutama sekali kiang Tojin yang tidak boleh dipandang ringan. Apalagi kalau si tua Thian Seng Cinjin sendiri turun tangan. Tentu mereka bertiga takkan dapat bertahan. Maka kini dia menggunakan siasat memihak par tokoh kang-ouw menghadapi Kun-lun-pai! Kiang Tojin, engkau sebagai tokoh yang mewakili Kun-lun-pai, mengapa berpandangan sempit dan picik? Mengapa engkau melarang orang-orang gagah yang hendak naik ke puncak Kiam-kok-san?" dengan suara halus naun penuh nada menekan, Pat-jiu Sian-ong bertanya kepada Kiang Tojin. Tosu Kun-lun-pai ini maklum bahwa dengan munculnya Bu-tek Sam kwi, keadaan menjadi gawat. Akan tetapi dia bersikap tenang ketika menjawab. "Pat-jiu Siang-ong , agaknya jaman sekarang ini orang-orang kang-ouw tidak lagi mengindahkan peraturan sehingga melanggar wilayah orang lain sesuka hatinya dan seenak perutnya sendiri. Kiam-kok-san adalah wilayah kami, bagaimana mungkin kami memperbolehkan orang lain mendakinya ?" "Ha-ha-ha-ha-ha-ha, alasan yang amat lemah, ya ...lemah sekali! Tadi sudah dikemukakan pendapat yang amat jitu dari sahabat Kok Sian Cu wakil kong-thong-pai dan sahabat Thian Ti Hwesio wakil Siauw-lim-pai. Mengejar orang jahat dan berusaha mengambil kitab pusaka sendiri sama sekali bukanlah sengaja hendak melanggar, Akan tetapi aku mempunyai alasan yang lebih kuat sekali, KiangTojin. Bukankah tadi kau katakan sendiri bahwa Kiam-kok-san adalah sebuah tepat keramat bagi Kun-lun-pai dan tak seorang pun boleh mendakinya, bahkan orang Kun-lun-pai sendiri pun di larang?" "Benar sekali!" Kiang Tojin berkata tegas. "Ha-ha-ha ! Kalau begitu mengapa sampai bertahun-tahun Sin-jiu Kiam-ong menjadi penghuni Kiam-kok-san padahal dia pun bukan seorang Kun-lun-pai? Dan sekarang, baru saja Cia Keng Hong mendaki kiam-kok-san, mengapa didiamkan saja, Kiang Tojin? Bukankah dengan demikian seolah-olah Kun-lun-pai melindungi bocah itu? Ataukah ada udang bersebunyi di balik batu, ada maksud lain terkandung dala mperaturan ini?" Mendengar ini, Kiang Tojin tidak mampu menjawab! Ya, bagaimana dia harus menjawab? Sin-jiu Kiam-ong dahulu setengah memaksa tinggal di Kiam-kok-san , dan karena tidak ada orang Kun-lun-pai yang dapat menundukkannya, bahkwn dia telah melepas budi kepada Kun-lun-pai, maka ketua Kun-kun-pai membiarkan saja dia tinggal dan bertapa di Kiam-kok-san. Kemudian Keng Hong tinggal pula di sana ,akan tetapi hal itu merupakan kelanjutan dri perbuatan Sin-jiu Kiam-ong, bukan kehendak Keng Hong pribadi atau kehendak Kun-lun-pai. Betapapun juga, apa yang diucapkan oleh Pat-jiu Sian-ong memang benar terjadi! Kiang Tojin telah melihat semua tokoh kang-ouw yang tadi bersikap tak senang dan memusuhi ketiga orang Butek Sam-kwi, ini mengangguk-angguk mendengar ucapan Pat-jiu Sian-ong itu. Hal ini pun dilihat jelas oleh Pat jiu Sian-ong yang merasa "mendapat angin" , maka dia lalu melanjutkan kan desakan kepada Kiang Tojin. "Kiang Tojin, selamanya Kun-lun-pai terkenal sebagai partai besar yang kenamaan karena gagah perkasa dan menjujung tinggi kejujuran dan keadilan. Kalau sekarng ini Kun-lun-pai kukuh dengan peraturan hanya untuk mempertahankan sebongkah batu karang saja, akibatnya akan hebat sekali. Bayangkan saja, kalau para cu-wi disini tidak mau menerima peraturan kukuh yang mau menang sendiri itu tentu akan timbul bentrokan dan pertempuran yang akan membawa akibat hebat sekali. Bahkan amat berbahaya bagi Kun-lun-pai." Kakek yang bertubuh kecil kate akan tetapi berkepala sebasar gentong beras dengan muka ciut itu menggeleng-geleng kepalanya dan membelai lehernya dengan hudti (kebutan dewa). Dengan hati mendongkol Kiang Tojin maklum apa yang tersembunyi di balik kata-kata itu, yang tidak diucapkan akan tetapi yang sesungguhnya paling penting, yaitu bahwa kalau terjadi pertempuran, tentu Bu -tek Sam-kwi akan berfihak kepada para tokoh kang-ouw! "Adapun bahaya ke dua yang merupakan akibat kekukuhan peraturan tidak adil ini adalah bahwa jika para sahabat yang perkasa di sini berhati mulia dan mengalah lalu mengundurkan diri, tentu Kun-lun-pai akan menjadi buah tertawaan dan buah ejekan seluruh dunia! Bayangkan saja, melindungi seorang bocah dengan dalih peraturan yang kaku, tua dan konyol, dengan pamrih bahwa apabila semua orang telah pergi, Kun-lun-pai tentu akan naik sendiri ke Kiam-kok-san , dan menguasai seluruh pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong ! Bukankah Kun-lun-pai lalu dianggap sebagai perkupulan brengsek yang menggunakan akal bulus dan menganggap seua tokoh kang-ouw di sini seperti kanak-kanak saja?" "Pat-jiu Kiam-ong, omonganmu mengandung racun!" bentak Kiang Tojin dengan kedua tangan di kepal. Dia maklum betapa lihainya kakek yang menjadi datuk golongan hitam ini, namun untuk mempertahankan Kun-lun-pai , dia tidak takut menghadapinya. Ia menaksir bahwa dengan enam orang sutenya dan dibantu oleh puluhan anak murid Kun-lun-pai, dia tidak perlu takut menghadapi Bu-tek Sam kwi.Akan tetapi tiba-tiba terdengar Kok Sian Cu tokoh kong-thong-pai berkata. "Siancai..! Sekali ini, omongan pat-jiu Kiam-ong ada isinya dan harus diakui kebenarannya!" Ketika Kiang Tojin memandang, jelas tampak olehnya betapa semua tokoh kang-ouw membenarkan datuk hitam itu dengan pandang mata atau anggukan kepala. Maklumlah Kiang Tojin bajwa keadaan benar-benar makin gawat dan kalu dia bersikeras mempertahankan, tentu akan terjadi bentrokan hebat yang dia sangsikan apakah akan menguntungkan Kun-lun-pai. Selagi Kiang Tojin bibang tiba-tiba terdengar suara gurunya berkata lembut. "Sat-jiu Sian -ong, keadaan menguntungkan bagi pihak Bu-tek Sam Kwi, Jelaskanlah, apa kehendakmu selanjutnya ? Pinto mendengarkan" Tahu-tahu di situ telah muncul kakek tua Thian Seng Cinjin ketua Kun-lun-pai yang berdiri dengan tongkat di tangannya. "Bagus sekali, Ketua kun-lun-pai datang sendiri, segala sesuatu dapat diputuskan dengan singkat dan tepat. Thian Seng Cinjin, mengingat akan keadaan para sahabat kang-ouw yang menaruh dendam kepada murid Sin-jiu Kiam -ong dan mereka yang dahulunya diganggu Sin-jiu Kiam -ong , maka sebaiknya kalau kita bersama ramai-ramai mengejar ke puncak Kiam-kok-san. Kita bekerja sama dalam suasana persahabatan,tidak ada persaingan dan tidak ada perebutan. Kita tangkap bocah yang membikin kacau itu, dan kita ambil semua pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong. Para sahabat yang pusakanya yang dahulu dicuri oleh Sin-jiu kiam-ong tentu saja boleh mengambil pusaka masing-masing, adapun pusaka-pusaka lainnya yang tidak ada pemiliknya, kita bagi rata di antara kita.Adapun bocah itu sendiri, kita serahkan kepada mereka yang menaruh dendam kepadanya. Bagaimana, bukankah keputusan ini sudah adil sekali?" Semua tokoh kang-ouw mengangguk-angguk menyatakan setuju dan terdengar ucapan "adil" dari beberapa buah murid Thian Ti Hwesio berkata, "Omitohud, Kami dari Siauw -lim-pai sama sekali tidak menginginkan pusaka lain orang dan kami sudah cukup senang kalau bisa menemukan kembali dua buah kitab pusaka kami." "Kami hanya mengkehendaki kembalinya pedang pusaka dan ramuan obat dari Hoa-san-pai, kemudian nyawa anak itu sebagai hukuman atas penghinaan yang dia lakukan terhadap kami," kata Coa Kiu tokoh Hoa-san-pai. "Kami pun menghendaki nyawa anak itu sebagai pembalasan atas kematian banyak anak murid kami!" kata Kok Sian Cu dari Kong-thong-pai. "Sin-jiu kiam-ong berdosa kepadaku kalau kini aku mendapatkan sebuah dua buah pusaka peninggalannya, itu sudah cukup adil," kata Sin-tio Gi-hiap. "Juga peninggalan pusaka yang berharga sebagai pengganti nyawa Sin-jiu kiam-ong bagiku!" Semua orang menyatakan penasarannya dan hak mereka untuk mendapat sebagiam pusaka Sin-jiu Kiam -ong. Akhirnya Thian Seng Cinjin yang tersenyum tenang mendengarkan tuntutan mereka itu, berkata. "Dan bagaimana dengan kalian bertiga, Bu-tek Sam-kwi? Kalian bertiga menuntut apakah ? Juga menghendaki pembagian pusaka Sin-jiu Kiam-ong?" "Ha-ha, Thian Seng Cinjin. Segala macam benda permainan dan pelajaran kanak-kanak apakah gunanya bagi kami ? Kalau nanti ternyata ada yang berguna bagi kami tentu kami akan mengambil bagian kami sebagai imbalan atas usaha kami menciptakan perdamaian dan pemufakatan di sini, ha-ha-ha!" Kiang Tojin menjadi muak dan mendongkol mendengarkan omongan semua orang itu dan diam-diam di dalam hatinya dia terpaksa membenarkan maki-makian Keng Hong tadi bahwa orang tua-orang tua ini amatlah tamak! Makin suka hatinya terhadap Keng Hong, akan tetapi karena maklum sekali ini Keng Hong takkan dapat terlepas dari bahaya maut kecuali kalau panddai terbang di udara, maka dia hanya berkata dengan menekan keharuan hatinya. "Keputusan terserah kepada Suhu, asal saja para sahabat yang mulia ini masih ingat bahwa merupakan pantangan besar bagi Kun-lun-pai untuk melihat pembunuhan dilakukan disini!" "Suheng mengapa khawatir? Para Locinpwe tentu akan menangkap dan membawa pergi bocah setan itu, tidak akan membunuhnya di depan Kiang Tojin!" kata Lian Ci Tojin dengan hati girang. Tosu ini tadinya merasa gelisah sekali ketika Keng Hong memperlihatkan sapu tangan hijau dan mendengar omongan pemuda itu.Rahasianya telah diketahui orang dan celakanya, yang mengetahui adalah bocah ini. Maka dia harus dapat membunuh bocah ini. Maka dia harus dapat membunuh Keng Hong atau melihat bocah ini terbunuh, baru akan aman rasa hatinya. Karena dia memang sudah mempunyai perasaan tidak suka kepada Kiang Tojin, maka dia mempergunakan kesempatan itu untuk memukul suhengnya ini dengan ucapan yang jelas penuh arti itu. Thian Seng Cinjin ketua kun-lun-pai juga maklum akan rasa sayang Kiang Tojin terhadap Keng Hong, hal yang tidak aneh kalau diingat bahwa Kiang Tojin adalah tosu yang menyelamatkan nyawa Keng Hong dan membawa Keng Hong ke Kun-lun-pai. Maka dia lalu berkata halus. "Semua tosu di Kun-lun-pai menyayang Keng Hong. Dahulu dia seorang anak yang baik dan penurut, akan tetapi setelah menjadi murid Sin-jiu Kiam-ong.. ah ,sudahlah. Bu-tek Sam-kwi dan sahabat sekalian, kalau mau mendaki Kiam-kok-san mencari Cia Keng Hong dan pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong silakan, kami menanti di bawah!" Mendengar ijin yang diberikan ketua Kun-lun-pai ini, bagaikan serombongan anak-anak yang dituruti kemauannya orang-orang kang-ouw itu berebutan mendaki Kiam-kok-san yang terjal dan tidak mudah didaki. Mereka terpaksa harus mendaki seorang demi seorang dan tentu saja Bu-tek Sam-kwi berada paling depan. "Suhu, mengapa kita tidak ikut? Bolehkah teecu ikut naik,,,,?" "Tidak ! Kita harus menanti di sini. Apakah kita akan melanggar pantangan kita sendiri?" Thian Seng Cinjin membentak Lian Ci Tojin dengan suara marah. Memang, melihat perkembangan urusan itu, hati ketua Kun-lun-pai tidak lagi dapat mempertahankan ketenangannya dan dia marah sekali dalam hatinya. Sekali ini, Kun-lun-pai benar-benar menerima penghinaan dan tidak dipandang mata oleh para tokoh kang-ouw itu, hanya karena di situ dapat Bu-tek Sam kwi yang memelopori mereka. Diam-diam kakek ini mengancam untuk sewaktu-wakti membuat pembalasan kepada Bu-tek Sam-kwi. Biarpun lambat, akhirnya semua tokoh kang-ouw dapat juga menembus awan atau halimun yang menutupi puncak batu pedang dan betapa kagum rasa hati mereka ketika menyaksikan keindahan tamasya alam dari puncak batu pedang yang bagian atasnya ternyata datar itu dan cukup luas. Akan tetapi hanya sebantar saja mereka mengagumi pemandangan alam ini karena hati mereka berdebar ingin cepat menangkap Keng Hong dan terutama sekali menemukan simpanan pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong yang selaa bertahun-tahun menjadi rebutan di antara tokoh-tokoh kang-ouw. Mereka memandang ke kanan kiri mencari-cari sambil mengelilingi seluruh permukaan tanah datar di puncak Kiam-kok-san, akan tetapi mereka tidak menemukan Keng Hong. Bayangannya pun tidak ada, jejaknya juga tidak ada! Sunyi sepi di puncak Kiam-kok-san! "Semua orang menjadi penasaran sekali. "Jangan-jangan ketika melihat kita mendaki naik, bocah setan itu lalu terjun dari atas membunuh diri!" kata Kiu-bwe Toanio dan semua orang juga membenarkan kemungkinan ini dengan hati kecewa. "Tidak mungkin!" kata Ang-bin Kwi-bo, mukanya yang biasanya memang merah itu menjadi agak hitam saking marahnya. "Bocah itu cerdik sekali, tentu dia bersembunyi. Akan tetapi, biarpun dia terbang ke langit, tentu aakan dapat kutemukan dia!" Mereka mencari terus tanpa hasil. Kemanakah perginya Keng Hong? Betapa mungkin dia dapat melarikan diri, sedangkan ketika mendaki tadi dia sedang menderita luka parah? Memang Keng Hong terluka hebat ketika Mendaki tadi, luka dibelahan dalam tubuhnya oleh pukulan-pukulan sakti. Kalau sinkangnya tidak hebat tentu dia sudah tewas setelah berkali-kali bertemu dengan pukulan-pukulan sakti seperti Tiat-ciang- dari ketua Tiat-ciangpang, pukulan Ang -liong-jiauuw-kang dari tokoh-tokoh kong-thong-pai, bahkan totokan ujung bambu Kok Sian Cu yang lihai. *** Biarpun hawa sakti di tubuhnya melindunginya, namun tetap saja guncangan -guncangan pukulan sakti yang berkali-kali itu membuat dadanya sesak dan kepalanya pening. Ia tadi mendaki setengah merangkak, biarpun gerakannya masih cepat berkat tambahan sinkang dari tokoh-tokoh Kong-thong-pai, namun sering kali kakinya menggigil dan tangannya kurang tetap ketika memegang ujung-ujung batu karang untuk mendaki. Akhirnya, pada sebuah tanjakan yang amat sukar, dekat tempat yang digelapi halimun, kakinya tergelincir dan kepalanya tertumbuk batu karang. Tentu dia akan jatuh terjungkang ke bawah kalu tidak ada sebuah lengan yang berkulit halus merangkulnya, kemudian menariknya ke tempat yang agak lebar. Untung kejadian ini berlangsung setelah Keng Hong mendaki jauh ke atas, terlalu tinggi sehingga tidak tampak dari bawah. "Cui Im.." Keng Hong berkata lemah ketika membuka mata dan melihat wajah cantik itu tersenyum-senyum. Gadis berpakaian merah ini agaknya sudah lama menanti di situ dan kini Cui Im berbisik. "Keng Hong, tenanglah. Engkau terluka di sebelah dalam tubuh agaknya. Aku membawa obat.. nih, telanlah!" Ia memasukkan tiga butir pil merah ke dalam mulut Keng Hong. Pemuda ini sudah sering diracuni oleh gadis ini, akan tetapi karena dia kebal terhadap racun dan dalam keadaan payah seperti itu dia tidak perduli apakah yang ditelannya itu racun, dia lalu menelan tiga butir pil kecil itu. "Wah, obatmu hebat...!" Dalam belasan detik saja Keng Hong merasa dirinya segar kembali. Memang pil-pil merah itu bukanlah sembarangan obat, melainkan obat simpanan Lam-hai Sin-ni yang dicuri Cui Im. Obat merah ini adalah obat yang mijijat, dapat menyembuhkan segala macam luka di dalam tubuh. Dan karena Keng Hong sendiri memiliki sinkang yang luar biasa kuatnya, aka khasiat obat itu pun berlipat ganda, karena hanya memnyembuhkan luka akibat guncangan hawa pukulan saja. "Cui Im... mengapa kau di sini..?" "Aku menantimu, melihat kau dikejar-kejar, tak dapat membantu, terpaksa lari kesini. Akan tetapi aku tidak dapat naik terus, terlalu sukar memanjat keatas melalui karang licin dan rata ini!" "Cui Im, sebetulnya tidak boleh engkau ke sini. Akan tetapi karena sudah terlanjur, dan untuk kembali tentu engkau akan celaka di tangan mereka, selain itu engkau telah menyelamatkan aku. Mari, pegang erat-erat pinggangku dengan kedua tangnmu!" Cui Im girang sekali dan memeluk pinggang Keng Hong dari belakang. Mulailah Keng Hong mendaki dengan cepat sekali.Setelah kini napasnya tidak sesak dan kepalanya tidak pening, tentu saja amat mudah bagnya mendaki tempat yang dahulu menjadi tempat tinggalnya ini. "Iiiiihhhhh,ngeri melihat ke bawah..!" Cu Im mengeluh dan mempererat pelukannyya ,bahkan menciumi punggung yang bajunya basah oleh keringat itu. "Hishhh, diamlah dan jangan memandang ke bawah!" Keng Hong menegur dan mendaki makin cepat. Setelah tiba di atas, Cu Im menahan napas saking kagumnya. "Bukan main indahnya di sini.." "Cui Im, bukan waktunya bersenang-senang. Mereka tentu akan mengejar ke sini. Sebelum ku lanjutkan rencanaku, bersumpahlah lebih dulu bahwa engkau akan bersetia kepada mendiang suhu, bahwa engkau tidak akan menyia-nyiakan pusaka suhu yang akan kita lihat..." "Pusaka? Akan kita dapatkankah..?" "Bersumpahlah!" Cui Im lalu berlutut dan bersumpah bahwa ia akan tunduk akan segala kata -kata Keng Hong. Setelah itu Keng Hong menarik tangannya dan cepat berlari mengambil pedang Siang-bhok-kiam tulen yang dia sembunyikan di balik batu karang yang berlubang. "Wah, ini Siang-bhok-kiam tulen! Baunya saja ,sudah begini wangi..?" "Sudah, diamlah dan jangan menganggu, jangan pula bicara. Lihat saja dan ikuti aku!" Keng Hong membentak karena dia maklum bahwa dia tidak mempunyai banyak waktu. Ia membawa pedang itu ke tempat penampungan air di mana air itu mengalir turun menjadi kali kecil, air yang merupakan sumber kecil akan tetapi tidak pernah kering. Ia menggunakan pedang itu untuk mengukur, sambil mengukur dia terus mengikuti aliran air yang menuju ke bawah melalui celah-celah batu karang, terus turun ke dinding bagian belakang yang luar biasa curamnya. “Aku takut turun..!" Cui Im berbisik. Boleh jadi Cui Im seorang gadis yang memiliki kepandaian tinggi, sukar mencari tandingan, akan tetapi melihat dinding karang yang luar biasa curamnya. "Aku takut turun…..!" Cui Im berbisik. Boleh jadi Cui Im seorang gadis yang meiliki kepandaian, akan tetapi melihat dinding karang yang luar biasa curamnya, sampai tidak tampak dasarnya karena terhalang halimun, benar-benar membuat ia menggigil. "Panjangkah ikat pinggangmu?" "Panjang. Mengapa?" "Berikan ujungnya, kau ikatkan pada lenganku dan ujung di situ ikatkan pada lenganmu. Dengan demikian andaikata engkau jatuh ke bawah, aku dapat menahanmu. Cepat! Apakah kau tidak taat?" Cui Im ingat akan sumpahnya dan ia mengangguk, lalu memberikan ujung ikat pinggangnya. Setelah keduanya mengikat lengan dengan ujung ikat pinggang merah itu , Keng Hong melanjutkan pekerjaannya mengukur jalan air dengan pedang Siang-bhok-kiam sambil menghitung. Seratus dua puluh tujuh! Ia masih ingat akan pemecahan Siauw -bin kuncu atas deretan sajak yang terukir di gagang pedang. Setelah mengukur sampai seratus dua puluh tujuh, yang berarti dia sudah turun dari puncak melalui belakang batu pedang itu sejauh kurang lebih dua ratus kaki, air itu lenyap masuk ke dalam celah batu dan agaknya mengalir di sebelah dalam batu pedang. Akan tetapi di situ terdapat sebuah pada batu yang agak rata dan lubang ini jelas bukan lubang biasa, melainkan buatan. Keng Hong berdebar memandang lubang yang bentuknya panjang sempit seperti lubang sarung pedang. Ia memang cerdik maka tanpa ragu-ragu lagi dia lalu memasukkan Siang-bhok-kiam pada lubang itu dan ternyata pas sekali. Siang-bhok-kiam masuk sampai ke gagangnya dan Keng Hong lalu memutar-mutarnya ke kiri kanan. Terdengar suara gemuruh di sebelah dalam batu pedang seoleh-olah terjadi gempa bumi. "Ihhhhh, aku takut..!" Cui Im merangkulnya. Gadis ini dengan susah payah juga mengikuti Keng Hong. Sebetulnya, dengan tingkat kepandaian dan ginkangnya, Cui Im akan dapat menuruni batu karang terjal itu. Akan tetapi karena melihat tempat securam itu, jantungnya bergetar dan timbul rasa takut. Setelah dengan ikat pinggang lengannya terikat dan terjaga oleh lengan keng Hong, hal ini mengusir sedikit rasa takutnya dan mendatangkan rasa aman, maka ia dapat mengikuti Keng Hong tanpa banyak kesukaran lagi. Kiranya Keng Hong menyuruh mengikat tangan tadi memang dengan niat mengusir rasa takut itulah seperti yang pernah dilakukan oleh suhunya kepadanya dahulu! Tiba-tiba terdengar bunyi batu pecah dan... terbukalah sebuah gua di depan Keng Hong, sebelah kiri dari "lubang kunci!" tadi. Keng Hong cepat mencabut Siang-bhok-kiam, lalu berbisik. "Suhu hebat sekali!" Suaranya memuji penuh kekaguman. "Mari ikut masuk!" Kedua orang itu lalu merangkak masuk karena gua itu hanya satu meter tingginya, merupakan terowongan yang dingin gelap. *** Namun Keng Hong percaya penuh akan kepandaian suhunya, dan dia terus merangkak masuk, beberapa kali dia dipegang dan didorong dari belakang oleh Cui Im yang masih merasa ngeri. Kurang lebih seratus meter jauhnya mereka merangkak, tiba-tiba terowangan itu menjadi terang dan lebar sekali. Mereka bangkit berdiri dan tertegun! Kiranya ruangan itu merupakan sebuah "kamar" batu yang berdinding licin dan penuh ukiran-ukiran huruf yang indah! "Nanti dulu, aku lupa menutupkan kembali pintu terowongan!" Tiba-tiba Keng Hong teringat bahwa para pengejarnya adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepadainan tinggi. Sungguh pun tidak mungkin mereka akan dapat mengukur tempat penyimpanan pusaka dari puncak Kiam-kok-san tanpa bantuan pedang Siang-bhok-kiam, namun siapa tahu kalau orang-orang sakti itu mencari di setiap tebingnya dan kalu mereka lewat di depan itu pasti mereka akan memasuki nya. Kalau pintu terowongan yang merupakan dinding batu biasa itu tertutup, tanpa memiliki "Kuncinya" yang berupa pedang Siang-bhok-kiam, tidak mungkin pula mereka dapat masuk atau menyangka bahwa lubang kecil itu adalah kunci rahasia untuk menuju ke tempat penyimpanan pusaka. Tanpa menanti jawaban gadis itu yang masih terpesona memandangi keadaan ruangan tadi, Keng Hong kembali merangkak keluar terowongan sambil membawa Siang-bhok-kiam. Setelah tiba di mulut terowongan, dia melihat dan meneliti. Ternyata bahwa mulut terowongan itu terbuka dengan cara bergesernya sebuah batu besar ke kiri yang tentu digerakkan oleh alat rahasia. Kini batu sebasar gajah itu berdiri di dekat pintu terowongan yang mengangga seperti mulut seekor ular raksasa. Keng Hong memeriksa dan akhirnya dia menemukan lubang "kunci" dari sebelah dalam. Tanpa ragu-ragu lagi dia lalu menusukkan Siang-bhok-kiam ke dalam lubang ini yang ternyata seperti lubang ini yang ternyata seperti lubang di luar, pas menerima masuknya Pedang Kayu Harum. Tiga kali keng Hong memutar ke kanan dan terdengar suara hiruk pikuk ketika batu sebesar gajah itu tiba-tiba bergerak menggelinding dan menutupi mulut terowongan sehingga kelihatan wajar. Takkan ada manusia dari luar menyangka bahwa sebagian batu kasar yang tampak dan sebuah lubang itu adalah batu "daun pintu " yang amat besar dan dapat bergerak sendiri. Puaslah hati Keng Hong. Biarpun keadaan kini amat gelap setelah lubang itu tertutup, namun hatinya lega dan dia merangkak kembali ke dalam. Ia tersenyum geli memikirkan Cui Im. Betapa akan takutnya gadis itu dia tinggal sendirian di dalam ruangan tadi. Akan tetapi ada pula hal yang menggelisahkan hatinya. Tidak bersalahkah dia terhadap gurunya bahwa dia membawa Cui Im masuk ke tempat ini?"Ah, tentu tidak .Dia tidak sengaja membawa Cui Im ke sini.adalah gadis itu yang tadinya mencari dan menantinya di lereng Kiam-kok-san, kemudian gadis itu telah menyelamawtkan nyawanya. Andaikata dia tidak senang dikejar banyak orang sakti, tentu dia akan mengusir Cui Im dan tidak akan memperkenalkan gadis itu ikut. Akan tetapi, dia tahu betul bahwa kalu dia melakukan hal itu, Cui Im tentu akan terbunuh oleh orang-orang sakti yang sedang mengejarnya, apalagi Cui Im terkenal tokoh golongan sesat dan kini telah melanggar larangan Kun-lun-pai dengan mendatangi bahkan mendaki Kia-kok-san yang dianggap keramat oleh para tosu Kun-lun-pai. Tiba tiba dia teringat betapa gadis berpakaian merah itu pun dahulu amat menginginkan pusaka gurunya! Ah, kalau sampai Cui Im mempelajari segala ilmu peninggalan gurunya dan menjadi seorang yang memiliki kesaktian hebat, bukankah dunia ini akan bertambah seorang tokoh kaum sesat yang berbahaya sekali? Bagaimana dia mengajak seorang gadis yang sedemikian jahat dan kejamnya ke tempat suci ini? Tidak! Dia harus menyuruh pergi Cui Im , setidaknya menanti sampai keadaan aan. Biarlah dia memberi benda-benda berharga peninggalan suhunya, karena bukankah wanita paling suka akan benda-benda perhiasan yang serba indah dan mahal? Atau kalau gadis itu masih belum puas, boleh dia bagi sebuah kitab pelajaran ilmu yang tidk terlalu berbahaya. Teringat akan ini, Keng Hong mempercepat gerakannya merangkak dan begitu tiba di ruangan penuh ukiran-ukiran huruf itu, dia meloncat berdiri dan memanggil. "Cui Im...!" Hanya gema suaranya sendiri yang menjawab. Cui Im tidak tampak di dalam ruangan itu! "Cui Im...!" Keng Hong memanggil sambil memandang ke arah pintu yang terbuka ke arah pintu yang terbuka, menuju ke ruangan sebelah dalam. Tentu gadis itu yang mengagumi keadaan ruangan ini telah masuk ke sana untuk melihat-lihat ruangan lain. Dan baru teringat dia sekarang betapa menggelikan keadaannya ketika tadi dia memtertawakan Cui Im yang disangkanya takut dia tinggalkan seorang diri. Cui Im takut? Ah, alangkah bodohnya pendapat ini. Cui Im adalah seorang tokoh kang-ouw, seorang tokoh golongan sesat atau hitam yang berjuluk Ang-kiam Tok-sian-li (Dewi Beracun Berpedang Merah) yang ditakuti orang melebihi seorang iblis betina! Seorang tokoh seperti itu mana bisa merasa takut berada sendirian dalam ruangan di sebelah dalam batu pedang di puncak Kiam-kok-san itu? Kalau tadi ketika mendaki, Cui Im takut-takut adalah karena rasa ngeri seorang wanita yang tidak biasa mendaki tempat-tempat curam seperti itu. "Cui Im..!" Keng Hong melangkah maju melalui pintu yang terbuka . Kiranya di balik pintu ini ada ruangan lain yang amat luas dan dindingnya amat indah karena batu karang di sebelah dalam batu pedang ini kiranya menjadi batu yang berkilauan! Ruangan luas ini memiliki lubang-lubang di sebelah atas dan begitu dia memasuki ruangan ini, selain udaranya segar, juga terdengar suara angin memasuki lubang-lubang itu yang menimbulkan suara seperti suling di tiup,amat aneh namun halus dan merdu. Di sebelah atas tampak ukiran-ukiran huruf besar yang amat indah , berbunyi : MENDIRIKAN KUN-LUN-PAI UNTUK MENEGAKKAN KEADILAN DI DUNIA Keng Hong tertarik sekali sehingga sejenak dia melupakan Cui Im. Apakah artinya ukiran-ukiran huruf itu? Tak mungkin suhunya yang membuat ukiran itu. Mendirikan Kun-lun-pai? Ah, pengukirnya tentu orang yang mendirikan Kun-lun-pai. Sucouw dari Kun-lun-pai. Benar! Bukankah tempat ini merupakan tempat keramat dari partai Kun-lun? Pernah ketika dia masih menjadi kacung di Kun-lun-pai, seorang tosu tua mendongeng kepadanya tentang pendiri partai Kun-lun-pai yang mereka sebut sucouw, yang kabarnya memiliki kesaktian seperti dewa. Dan kabarnya sucouw ini setelah menyerahkan Kun-lun-pai kepada murid-muridnya, lalu naik ke batu pedang dan bertapa di situ sampai lenyap dan oleh semua anak murid Kun-lun-pai di anggap telah naik ke alam baka bersama raganya! Itulah sebabnya mengapa Kiam-kok-san dianggap sebagai tempat keramat, sebagai "kuburan" sucouw mereka yang terhitung kakek buyut guru Thian Seng Cinjin! Tentu di sinilah tempat sucouw itu bertapa dan mungkin sekali tempat sucouw itu bertapa dan mungkin sekali tempat ini adalah ciptakan atau buatan sucouw itu yang kemudian dipergunakan oleh Sin-jiu Kiam-ong sebagai tempat bertapa dan tempat menyimpan pusakanya. Siapa pula nama sucouw itu? Kalau tidak salah dia mendengar dari tosu tua itu bahwa nama sucouw ini adalah Thai kek Couwsu. *** Tiba-tiba dia terkejut karena teringat akan Cui Im. Kembali dia memandang ke sekiling setelah beberapa lama termenung karena membaca huruf-huruf terukir itu. Ia melihat bahwa ruangan lebar itu mempunyai empat buah pintu. Sebuah menuju ke ruangan luar tadi dan yang tiga buah lagi daun pintunya yang terbuat daripada kayu tebal tertutup. "Cui Im..!" Ia mengerahkan khikang sebagai suaranya bergema keras. Namun tidak ada jawaban. Keng Hong lalu menghampiri pintu di sebelah kiri dan membukanya. Daun pintu itu terbuka dengan mudah. Dia terpesona dan silau melihat benda-benda berharga teratur rapi di atas sebuah meja dan dinding penuh dengan lukisan dan tulisan indah yang serba mahal. Benda berharga di atas meja ini terbuat dari emas, perak, dan batu-batu pertama yang serba indah. Kendi dan cawan-cawan emas, peti-peti kecil dan eas dan perak diulir indah dan dihias batu-batu permata. Perhiasan-perhiasan wanita yang halus buatannya. Mainan berupa segala macam binatang yang terbuat dari emas dan perak pula, dengan mata intan yang besar. Bahkan terdapat ukiran dari emas yang menggambarkan pelbagai pasangan binatang yang sedang bercumbuan dan di sudut, yang terindah dari segala yang berada di situ, terdapat ukiran emas yang menggambarkan sepasang manusia yang sedang bermain cinta! Keng Hong tersenyum melihat ini, teringat akan watak suhunya. Kemudian dia ingat lagi kepada Cui Im. Benda-benda di kamar ini agaknya masih tersusun rapi, tidak terusik. Kemudian dia menutupkan daun pintu kamar kiri dan melangkah menghampiri pintu kanan yang kanan yang dia dorong terbuka daun pintunya. Sekali lagi dia terpesona dan jantungnya terdengar keras. Benda-benda di dalam inilah yang membuat tokoh-tokoh kang-ouw mengejar-ngejarnya, membuat mereka berebutan tulang. Di dekat dinding berjajar senjata-senjata pusaka yang indah. Pedang-pedang, golok, tombak dan beberapa macam senjata lagi,. Kalau tidak salah, senjata-semjata ini adalah senjata pusaka tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw yang dirampas oleh gurunya dan kembali Keng Hong tersenyum. Gurunya merampas senjata-senjata ini sama sekali bukan karena tamak menginginkan senjata-senjata ini untuk dipergunakan, melainkan dirampas untuk dijadikan koleksi senjata, atau sebagai tanda kemenangannya karena lawan yang tidak kalah tak mungkin dapat dirampas senjatanya! Gurunya memang nakal, romantis dan berandalan! Akan tetapi yang paling menarik hati Keng Hong adalah sebuah rak batu di manan berdiri jajaran kitab-kitab yang sudah lapuk. Inilah kitab-kitab ilmu peninggalan gurunya. Akan tetapi hatinya berdebar keras ketika dia melihat betapa keadaan tempat kitab-kitab ini tidak rapi susunannya, bahkan kacau-bakau dan ada beberapa buah kitab tercecer di atas lantai. Melihat betapa senjata-senjata itu masih rapi seperti juga keadaan benda-benda berharga, maka kitab-kitab itu pasti ada yang mengusik dan mengganggu. Cui Im! Tak salah lagi, tentu gadis itu yang mendahuluinya mendapatkan kamar ini telah mengambil kitab-kitab yang pilihnya! Celaka, pikir Keng Hong. Terjadilah apa yang dia khawatirkan. Di antara segala benda berharga, perhiasan-perhiasan indah dan senjata-senjata pusaka, yang diambil Cui Im adalah kitab-kitab pelajaran ilmu kesaktian! Dia tidak tahu kitab-kitab apa yang diambil Cui Im, akan tetapi melihat bekas-bekasnya, tentu tidak sedikit yang diambil. "Cui Im ...!" Ia meanggil lebih keras sambil berlari keluar dari kamar itu. Ia harus minta kembali kitab-kitab yang diambil Cui Im ! Kalau gadis itu ingin mempelajari satu dua macam ilmu di situ, harus dia yang memilihkannya karena selain dia seoranglah yang berhak mewarisi pusaka gurunya, juga dia harus dapat mengekang watak kejam gadis itu, atau sedikitnya menjaga agar jangan sampai gadis itu memperoleh ilmu-ilmu yang sakti sehingga kelak akan menjadi seekor harimau buas yang buas tumbuh sayap! "Cui Im...!" Keng Hong lari dan membuka daun pintu terakhir yang ternyata merupakan sebuah terowongan sebelah depan yang kecil sehingga hanya dapat dilalui dengan merangkak. Terowongan sebelah belakang ini cukup tinggi, ada dua meter dan lebarnya semeter sehingga dia dapat berjalan dan mencari Cui Im. Dia merasa yakin bahwa gadis itu pasti melarikan kitab-kitab yang diambilnya melalui terowongan dari ruangan itu. Pada saat itu, Keng Hong mendengar suara hiruk-pikuk seperti ada gempa bumi terjadi di puncak Kiam-kok-san. Ia menghentikan langkahnya dan mendengarkan dengan teliti. Terdengar suara batu-batu pecah dan batu-batu menggelinding turun. Ia tidak tahu apa yang telah terjadi.Suara itu sesungguhnya adalah suara yang ditimbulkan oleh kemarahan para tokoh yang naik ke puncak batu pedang. Dipelopori oleh Bu-tek Sam kwi, para tokoh itu mulai membongkar batu-batu di puncak, merobohkan pohon-pohon dan bahkan menggunakan kesaktian mereka menghantami puncak-puncak batu karang, sehingga ambrol dan batu-batu besar bergulingan jatuh ke bawah menimbulkan suara hiruk-pikuk yang sampai terasa getarannya dan terdengar suaranya oleh Keng Hong yang berada di sebelah dalam batu pedang! Batu-batu yang terguling itu sebagian ada yang menguruk tempat di mana terdapat gua rahasia terowongan sehingga tertimbun dan kini tak mungkin ada orang mampu mendapatkan tempat rahasia yang mereka cari-cari itu. Betapapun Bu-tek Sam kwi dan para tokoh kang-ouw mengauk di atas puncak batu pedang, mereka tidak dapat menemukan Keng Hong dan tidak dapat menemukan tempat penyimpanan pusaka Sin-jiu Kiam-ong. Akhirnya, sambil memaki-maki, Bu-tek Sam kwi meninggalkan tempat itu dan mendaki turun, diikuti oleh para tokoh kang-ouw yang merasa kecewa sekali. Thian Seng Cinjin, Kiang Tojin dan para tosu Kun-lun-pai memandang ke atas dengan kaget dan heran. Mereka mendengar suara hiruk-pikuk itu, dan melihat pula sebagian batu gunung yang runtuh dan menggelinding turun dari batu pedang sehingga mereka cepat mencari tempat yang aman agar tidak sampai tertimpa hujan batu itu. Mereka ingin sekali tahu apa yang sedang terjadi di puncak batu pedang itu, akan tetapi selain tidak diperkenankan naik oleh ketua mereka , juga mendaki pada saat dari puncak turun hujan batu itu amatlah berbahaya bagi keselamatan mereka. Setelah suara hiruk-pikuk itu lenyap, tampaklah Bu-tek Sam kwi dan para tokoh lain menuruni batu pedang dengan wajah keruh. Para tosu Kun-lun-pai memperhatikan dan dengan hati lega mereka tidak melihat mereka itu membawa sesuatu turun dari puncak. Hal ini menjadi tanda bahwa usaha mereka tidak berhasil untuk menemukan pusaka Sin-jiu Kiam-ong. Adapun Kiang Tojin yang tidak melihat mereka membawa Keng Hong sebagai tangkapan, menjadi terheran-heran dan hatinya diliputi dua macam perasaan. Ia girang bahwa mereka tidak dapat menangkap Keng Hong akan tetapi juga khawatir kalau-kalau pemuda itu dibunuh oleh mereka di atas puncak karena pemuda itu tidak mau mengaku di mana adanya pusaka peninggalan Sin-jiu- Kiam-ong. "Pinto harap cu-wi sekalian tidak melanggar pantangan melakukan pembunuhan di puncak Kiam-kok san yang kami hormati," kata Kiang Tojin, suaranya tenang saja padahal hatinya berdebar keras. "Membunuh apa ? Seekor semut pun tidak ada di puncak itu. Bocah itu kembali telah mengakali kita! Tidak saja kun-lun-pai yang ditipu dengan pedang kayu palsu juga kali ini kita tertipu semua. Dia tidak berada di puncak!' kata Ang-bin Kwi -bo dengan muka cemberut. *** "Kalau ku dapatkan bocah itu, akan kuganyangkan dagingnya, ku minum darahnya dan ku hancurkan kepalanya!" Pak-san kwi-ong berkata dengan nada marah sekali. Pat-jiu Sian-ong juga marah dan kecewa, akan tetapi sesuai dengan sifatnya , dia tersenyum dan berkata halus, " Sayang sekali, kembali Kun-lun-pai yang menjadi korban. Kalau dunia kang-ouw mendengar akan hal ini, siapakah yang tidak akan timbul persangkaan bahwa bocah itu sengaja disembunyikan oleh Kun-lun-pai?" "Pat-jiu Sian -ong, hati-hati sedikit kalau bicara!" Kiang Tojin membentak, alisnya berkerut dan matanya mengeluarkan sinar berapi. Pat-jiu Sian -ong tersenyum menyeringai dan matanya mengerling ke kanan kiri. "Eh, apakah yang telah ku katakan? Aku tidak menuduh Kun-lun-pai, hanya menyatakan betapa mengherankan melihat bocah yang sudah terluka itu mendaki batu pedang kemudian lenyap tak berbekas sama sekali dari puncak sana. Kemanakah perginya? Terbangkah dia? Atau menghilang? Siapa dapat menjawab? Batu pedang bukanlah milik kami, bukan wilayah kami, tentu saja hanya Kun-lun-pai yang dapat mengetahui rahasianya. Sudahlah, selamat berpisah! Kwi-bo dan Kwi-ong, tidak pergi dari sini au menunggu apalagi sih?" Pat-jiu Sian-ong tertawa dan berkelebat pergi dan diikuti Ang-bin Kwi-bo dan Pak-san Kwi-ong. Demikian pula para tokoh kang-ouw itu pergi seorang demi seorang meninggalkan puncak Kiam-kok-san dengan hati kecewa. Melihat sikap mereka, Kiang Tojin maklum bahwa omongan Pat-jiu Sian -ong tadi mendapatkan sasaran dan para tokoh itu biarpun sedikit, ada menaruh kecurigaan kepada Kun-lun-pai dan hal ini pasti akan tersiar luas! Setelah mereka semua pergi, Kiang Tojin berkata kepada gurunya, "Suhu, amatlah mengherankan bagaimana Keng Hong dapat lenyap dari puncak sana. Dapatkah Suhu memberi ijin kalau teecu meninjau ke puncak dan melihat apakah sebetulnya yang terjadi di sana?" "Suhu, teecu juga hendak ikut!" kata Lian Ci Tojin dan Sian Ti Tojin hampir berbareng. Thian Seng Cinjin menghela napas panjang. "Semoga arwah sucouw sudi mengampuni kita yang membiarkan orang mengotori Kiam-kok-san. Pergi dan lihat lah, apa yang telah terjadi dan kemana perginya murid Sin-jiu Kiam-ong. Ah, Sie-taihiap, masih belum cukup banyakkah kami membalas budi kebaikanmu terhadap Kun-lun-pai?" Kiang Tojin dan dua orang sutenya itu cepat menggunakan ginkang mereka mendaki batu pedang. Mereka yang belum pernah mendaki batu tinggi ini, melakukannya dengan hati-hati sekali dan dengan perasaan penuh hormat kepada tempat yang dianggap keramat ini. Kiang Tojin terheran-heran setelah tiba di atas menyaksikan permukaan batu pedang yang sudah rata dan rusak bekas amukan tokoh kang-ouw tadi, terheran memikirkan bagaimana Keng Hong dapat melepaskan diri dari ancaman orang-orang sakti tadi? Tidak ada jalan keluar kecuali dari tempat yang dinaikinya tadi. Dari atas tampak jelas betapa sisi -sisi lain dari batu pedang itu tidak mungkin dituruni orang karena tegak lurus dan licin. Jangan-jangan anak itu putus harapan dan meloncat turun, pikirnya. Kiang Tojin adalah seorang tokoh besar yang sudah mengalami segala macam peristiwa, akan tetapi memikirkan kemungkinan bahwa Keng Hong meloncat turun dari tempat setinggi itu, dia bergidik. Kalau hal mengerikan ini dilakukan Keng Hong dan tubuh pemuda itu terbanting ke bawah, kiranya tidak akan ada sisanya dan hancur lebur sebelum mencapai tanah, dihunjam dan dikerat permukaaan batu yang runcing dan tajam. Betapapun ketiga orang tosu itu mencari-cari, tidak ada bekas-bekas Keng Hong dan terpaksa mereka lalu turun kembali melaporkan kepada Thian Seng Cinjin yang menghela napas dan berkata. "Hanya Thian yang mengetahui apa yang telah terjadi denngan murid Sin-jiu Kiam-ong itu. Masih baik bahwa tidak terjadi pertempuran dan banjir darah. Mudah-mudahan saja urusan mengenai peninggalan Sin-jiu Kiam-ong akan habis sampai di sini saja." Akan tetapi benarkah akan terjadi seperti yang diharapkan ketua Kun-lun-pai? Jauh daripada itu. Cia Keng Hong masih hidup dan pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong ternyata masih utuh dan dapat ditemukan Keng Hong. Lebih hebat lagi, tanpa dikehendakinya, Keng Hong terpaksa mengajak Ang-kiam Tok-sian-li memasuki tempat rahasia penyimpanan pusaka-pusaka itu dan kini Bhe Cui Im, gadis murid lam-hai Sin-ni itu telah melarikan beberapa buah kitab yang dipilihnya dari kumpulan kitab-kitab peninggalan Sin-jiu Kiam-ong! "Cui Im..!" Keng Hong berteriak-teriak sambil berjalan terus setelah menanti beberapa lama mendengar suara batu-batu pecah dan gempur tanpa dapat menduga apa yang sesungguhnya telah terjadi. Terowongan itu amat panjang dan makin lama makin gelap. "Cui Im!" Akhirnya tampak cahaya terang dan terowongan itu berakhir, akan tetapi Keng Hong berdiri terbelalak di ujung terowongan memandang ke depan. Kiranya jalan terowongan itu berakhir di pinggir sebuah celah yang amat lebar,dan disebelah celah atau jurang itu tampak Cui Im berdiri sambil tersenyum menertawakannya! "Cui Im...!" Keng Hong berseru memanggil dengan nada suara marah,. Apa yang telah kaulakukan? Kembalikan kitab-kitab peninggalan suhu yang kau curi!" "Hi-hi-hik, Keng Hong yang ganteng, kaupikirkan dulu baik-baik sebelum memaki orang karena ucapanmu itu sama saja dengan maling teriak maling!" Gadis berpakaian merah itu mengangkat tinggi-tinggi lima buah kitab kuno dengan kedua tangannya lalu melanjutkan kata-katanya. "Tahukah engkau kitab-kitab apa yang kupegang ini? Ang dua buah adalah kitab-kitab Seng-to-ci-keng dan I-kiong-hoan-hoat dari Siauw-lim-pai untuk pelajaran Iwekang dan menghimpun sinkang. Yang sebuah adalah kitab pelajaran ilmu pedang dari Go-bi-pai. Sebuah lagi kitab pelajaran ilmu ginkang, dan yang sebuah terakhir adalah kitab pelajaran ilmu silat tangan kosong yang hebat dan kalau tidak salah gubahan Sin-jiu Kiam-ong sendiri. Nah, di antara lima buah kitab, yang tiga buah adalah kitab curian. Sin-jiu Kiam-ong mencuri kitab, kalau sekarang kitabnya dicuri orang lain, bukankah sudah adil itu namanya?" “Cui Im , jangan gila kau! Engkau sudah ku ajak masuk ke sini, mau mempelajari ilmu boleh saja, akan pergi jangan mencuri !" Dengan pandang matanya, Keng Hong mengukur dan dia terkejut sekali mendapatkan kenyataan bahwa tidaklah mungkin bagi seorang manusia untuk meloncati jarak antara dia dan Cui Im. Akan tetapi bagaimanakah gadis itu dapat berada di seberang? Agaknya dari jarak sejauh itu , Cui Im dapat menduga apa yang dipikirkan Keng Hong. Ia tertawa, kemudian duduk di tepi jurang itu dengan suara mengejek. “Hi-hi-hik, mau meloncat ke sini? Jangan mimpi, Keng Hong. Selain terlampau jauh, sekali kau terjatuh ke bawah, tubuhmu akan hancur lebur. Tidak mengerikankah? Sayang tubuhmu yang muda dan perkasa , wajahmu yang tampan. Hanya ada satu cara untuk menyeberang melewati jurang ini, yaitu melalui jembatan , dan jembatannya berada di tanganku!" Keng Hong mendengus marah. Gadis ini membual. Mana mungkin jembatan bisa disimpan? "Kau tidak percaya? Inilah jembatannya, berada ditanganku. Kalau kuhendaki mudah saja aku menyeberang ke situ, akan tetapi engkau? Kecuali kalau di pundakmu keluar sayap dan dapat terbang, tak mungkin engkau dapat menyeberang ke sini!" *** "Hemmm, engkau jahat dan curang, Cui Im! Akan tetapi, jangan kau mengira bahwa aku akan membiarkan saja engkau melarikan kitab-kitab itu," kata Keng Hong dan mengertilah dia bahwa di antara kedua tempat ini memang terdapat jembatan yang merupakan penghubung, yaitu yang terbuat daripada sehelai tambang yang kini sudah tergulung dan berada di tangan Cui Im. Tentu tambang itu tadinya terpasang melintang di atas jurang. Setelah menyeberang mempergunakan ginkangnya yang memang sudah mencapai tingkat tinggi, yaitu berjalan di atas tambang, gadis itu lalu melepaskannya dan menggulungnya, tentu ada cara melepaskan yang mudah dari seberang, mungkin kedua ujung tambang itu dipasangi kaitan dan karena kedua tempat itu terdiri dari batu-batu yang kasar dan runcing, mudahlah melemparkan kaitan ke seberang sehingga dapat tercipta jembatan tambang dan dengan menyendal-nyendal dapat pula kaitan di seberang dilepaskan. "Hi-hi-hik, engkau mimpi, Keng Hong.Andaikata kelak engkau dapat mencariku, setelah aku mempelajari lima buah kitab ini, engkau akan bisa berbuat apakah terhadap aku? Pula , engkau tidak akan dapat bertahan lama bertahan di situ, tidak ada bahan makanan tidak ada air dan belum lagi diingat bahwa tokoh itu tentu akan mencarimu. Aku akan pergi meninggalkanmu di situ dan membawa kitab-kitab ini. Sudah ku periksa isinya dan kalau dapat berlatih selama lima tahun saja, di dunia ini tidak akan ada orang yang mampu melawanku!" Keng Hong bukan seorang yang bodoh.Tidak, sebaliknya malah . Dia cerdik sekali dan pikirannya dapat dikerjakan secara cepat menarik kesimpulan-kesimpulan . Mengapa Cui I setelah mengambil jebatan tambang itu tidak lekas pergi malah menantinya di situ? Hanya untuk mengejek? Tak mungkin, seorang yang telah mendapatkan pusaka kitab-kitab yang diinginkan oleh seluruh tokoh kang-ouw tentu merasa terlalu tegang untuk main-main dan mengejek, tentu akan terus pergi melarikan diri dan cepat-cepat mempelajari isi kitab. Akan tetapi Cui Im menantinya di situ. Membual! Ya, gadis itu tentu sengaja membual unutk menutupi kelemahannya ia mengangguk-angguk dan berkata. "Cui Im, siapa percaya bualanmu? Engkau menemui jalan buntu, tidak dapat meninggalkan tempat itu. Jalan keluar hanya melaui lorong ini dan kau terjebak di situ, tidak dapat terus dan tidak dapat kembali. Nah, katakan, apa kehendakmu dariku?" Cui Im terperanjat sekali dan meloncat berdiri. "Eh,eh,eh, bagaimana kau bisa tahu?" Saking kaget dan herannya ia sampai tidak dapat menyimpan rahasianya lagi. Keng Hong tersenyum. "Kalau ada jalan keluar di sebelah situ, tentu engkau takkan menanti hanya untuk bicara denganku. Engkau telah mencuri lima buah kitab dan mungkin dapat kau pelajari di situ sehingga engkau menjadi seorang sakti. Akan tetapi apa gunanya kalau kau tak dapat keluar, menjadi nenek-nenek dan mati kering di situ?" "Aku akan menanti kesempatan, setelah kepandaianku meningkat, aku akan menggunakan jembatan tambang ini menyeberang ke situ dan membunuhmu!" "Ha-ha-ha, bicara sih mudah. Akan tetapi boleh kau coba. Aku tidak bodoh, nona manis. Aku akan selalu waspada dan sekali saja tabang itu kau lontarkan ke sini, akan ku nanti sampai kau enyeberang di tengah-tengah, keudian tabang itu akan ku bikin putus sebelah sini. Wah, tentu lucu sekali melihat kau terbang ke bawah sana." Cui Im membanting-banting kaki. "Keng Hong engkau manusia kejam!" Kemudian suaranya mengandung isak, ketika ia berkata lagi, "Engkau laki-laki yang tidak mengenal budi, tidak tahu dicinta orang! Setelah susah payah aku selalu membayangimu, melindungimu, menyatakan cinta kasihku dengan perbuatan, membiarkan diriku terancam bahaya, membebaskanmu dari tangan musuh-musuhmu, kau..kau..." Akan tetapi Cui Im segera teringat bahwa ia kelepas bicara, akan tetapi terlambat karena Keng Hong sudah meloncat berdiri dan muka pemuda itu menjadi merah sekali. "Cui Im! Jadi...engkaulah orang nya...? Engkaukah yang selama ini membayangiku, membunuh murid wanita Hoa-san-pai, membunuh murid-murid Kong-thong-pai dengan racun? Engkaukah gerangan orangnya??" Cui Im tidak dapat mundur kembali dan baginya sudah kepalang. Tidak perlu lagi kini merahasikan perbuatannya. "Benar ! Akulah orangnya yang melakukan itu semua! Demi cintaku kepadamu, Keng Hong, dengarkah engkau? Demi cintaku kepadau, bukan cinta seperti yang pernah ku rasakan terhadap pria manapun juga. Aku cinta kepadamu, akan tetapi engkau buta!" Jantung Keng Hong berdebar keras. "Jadi engkau yang membunuh Sim Ciang Bi, membunuh murid-murid wanita Kong-thong-pai pula? Mengapa ?" "Tentu saja! Mereka itu berani merayumu, bermain cinta denganmu. Ahhh, betapa sakit hatiku, hampir gila oleh cemburu. Kalau tidak sebesar ini cintaku kepadamu, tentu engkau pun sudah ku bunuh pula!" "Dan ... ketika malam gelap itu..yang datang kepadaku, merayuku penuh cinta kasih.. Engkau pulakah itu?" Cui Im tertawa genit. "Hi-hi-hik, benar aku! Masa engkau tidak mengenal aku? Biarpun aku tidak bicara banyak , apakah engkau tidak mengenal suaraku, tidak mengenal kesedapan keringatku? Hi-hi-hik!" "Cui Im… ! Kenapa kau lakukan itu?" "Kenapa? Karena kau selalu menolakku dan aku sudah amat cinta kepadau. Hatiku perih sekali harus berpura-pura seperti itu..." "Bukan itu maksudku ! Kenapa engkau mengenakan pakaian putih, menggunakan senjata rahasia dan senjata-senjata Biauw Eng? Mengapa engkau menyambar sebagai Biauw Eng ?" "Kenapa? Ah. Biar dia rasakan ! Sumoi berani sekali merampas engkau dari tanganku! Berani dia berlancang mulut menyatakan cinta kasihnya kepadamu, padahal biasanya sumoi menganggap cinta sebagai sebuah pantangan besar! Panas hatiku, dan biar dia tahu rasa, berani merebut cinta kasih kasih sucinya!" Kedua telinga Keng Hong terasa panas dan andai kata Cui Im berada di depannya tentu sudah ditamparnya perempuan itu. Akan tetapi dia menekan kemarahannya dan hatinya menjadi girang sekali. Girang, terharu dan menyesal . Girang karena kini dia mendapat kenyataan bahwa Biauw Eng bukanlah wanita jahat seperti yang diduganya. Biauw Eng suci dan bersih. Terharu karena teringat betapa Biauw Eng melindunginya mati-matian, bahkan mengakui segala perbuatan yang dituduhkan olehnya dengan dasar membela dan melindunginya. Betapa besar dan murni cinta kasih gadis itu kepadanya! Cinta yang amat mengharukan, apalagi kalau dia teringat bahwa gadis itu adalah puteri suhunya! Dan dia menyesal, ia menyesal kepada diri sendiri sehingga mau rasanya dia menampari mukanya sendiri kalau teringat betapa dia menjatuhkan fitnah-fitnah keji terhadap gadis itu, bahkan menangkapnya untuk dibunuh oleh para tokoh kang-ouw. "Cui Im ... mengapa engkau sendiri sekeji itu?" tanyanya dengan suara perlahan. "Keji apa? Mereka yang keji, dan sumoi yang bersalah kepadaku. Demi cintaku kepadamu, aku rela melakukan apa juga. Bahkan sekarang ini aku rela pula mengalah kepadamu, aku ingin berdamai denganmu, Keng Hong." *** Keng Hong menahan kemarahannya. Dalam keadaan seperti ini, dia harus bersabar . Wanita ini berbahaya sekali, selain lihai ilmunya, juga amat cerdik dan banyak akalnya. "Cui Im, engkau pandai membual. Engkau sudah terjebak di tempat itu, maka engkau sengaja hendak membujukku,bukan?" "Manusia sombong, keras kepal engkau! Memang , disini tidak ada jalan keluarnya, akan tetapi setelah kepandaianku meningkat, kiranya tidak sukar mencari jalan keluar, atau kalau perlu menyerbumu ke situ! Bukan karena itu, dan jangan mengira kalau aku akan minta-minta kepadamu. Tidak , biarpun aku terjebak di sini, engkau pun terjebak di situ dan keadaanmu lebih buruk lagi. Engkau tahu? Di sini terdapat persediaan makanan yang akan cukup dimakan sampai bertahun-tahun. Terdapat roti-roti gandum kering yang asin, yang tidak rusak di simpan bertahun-tahun, apalagi disimpan di dalam kamar yang rapat sekali. Di sini terdapat air jernih karena air kali kecil itu lewat di bagian sini. Dan di akhir terowongan menjadi tempat bersarangnya ratusan ribu burung sehingga aku dapat makan telur burung atau menangkap dan makan dagingnya.Sedangkan engkau di situ akan makan dan minum apa? Mencari makan dengan menuruni batu pedang sama saja dengan menyerahkan diri kepada para tosu Kun-lun-pai. Nah, katakan, siapa yang terjebak? Engkau amat membutuhkan aku, atau lebih tepat, tempat ini dan aku. Aku amat membutuhkan engkau untuk membacakan dan menuntun aku mempelajari kitab-kitab ilmu silat..." "Heeeee? Engkau buta huruf?" Merah wajah Cui Im. "Buta sama sekali sih tidak. Kalau hanya membaca dan menulis surat-surat cinta saja aku bisa. Akan tetapi, kitab-kitab ini... terutama sekali kitab dari Siauw -lim-pai, tulisannya seperti cakar bebek dan bahasanya amat kuno, menggunakan sajak-sajak yang sukar dimengerti. Marilah kita berdamai dan saling membantu. Kita berdua dapat dapat hidup di sini mempelajari ilmu dan kelak kita menjadi jago-jago nomor satu di dunia ini, apakah tidak senang dan nikmat?" Keng Hong mengerutkan keningnya. Biarpun amat menggemaskan hatinya, namun harus dia akui bahwa ucapan Cui Im ada benarnya. Kalau memang ransum makanan dan air minum berada di seberang sana, sudah tentu dia amat membutuhkannya. Dan gadis itu juga membutuhkan dia untuk membaca kitab-kitab ilu. Hemmmmm, dengan demikian, tentu saja dalam mempelajari ilmu-ilmu berdua, dia akan lebih menang karena lebih dulu membaca dan mudah saja untuk melewati bagian-bagian penting sehingga tingkat Cui Im akan tetap berada di bawahnya. Dengan demikian ,kelak akan mudahlah menundukkan gadis ini kalau menjadi liar dan jahat. Tidak ada jalan pada saat seperti ini. "Baiklah Cui Im, Tidak ada jalan lain bagi kita berdua selain berdaai dan bekerja sama. Nah, lontarkan ujung tambang itu agar jembatan tambang selalu terbentang!" "Hi-hi-hik, nanti dulu Keng Hong." "Ada apa lagi? Jangan engkau main-main, Cui Im." "Bukan aku yang main-main, melainkan aku khawatir kalu engkau yang akan main-main. Lebih dulu bersumpahlah engkau , Keng Hong, baru aku mau bekerja sama denganmu. Siapa tahu engkau menipuku seperti engkau memberikan Siang-bhok-kiam palsu, hi-hi-hik!" Keng Hong mendongkol sekali. Gadis ini terlalu cerdik, dia harus berhati-hati. Hanya ada satu harapannya, yaitu bahwa Cui Im agaknya benar-benar memcintainya sehingga dia tidak khawatir gadis itu akan tega mencelakainya. Pula, kalau dipikir secara mendalam, amatlah merugikan kalau kitab-kitab peninggalan suhunya itu dibawa pergi oleh Cui Im yang tentu minta bantuan orang-orang lain untuk membacakannya. Dengan demikian, isi kitab-kitab itu akan diketahui orang ke tiga. Lebih baik dia sendiri yang membacakannya daripada orang lain! "Baiklah, Cui Im. Kalau engkau kurang percaya kepadaku, aku akan bersumpah. Harus bersumpah bagaimana?" "Berlututlah dan bersumpahlah demi nama suhumu, Sin-jiu Kiam-ong!" Keng Hong terkejut dan ingin membantah, akan tetapi dia sudah mengenal watak Cui Im Yang keras dan dalam persoalan ereka sekarang ini, kedudukannyalah yang lebih lemah dan tidak menguntungkan. Ia hanya menghela napas panjang untuk bersumpah saja, asal dia memegang sumpahnya, menggunakan nama suhunya juga tidak mengapa. Maka dia lalu berlutut dan mengucapkan kata-kata yang dikehendaki Cui Im. "Teecu bersumpah demi nama suhu Sin-jiu kiam-ong.." "Pertama, engkau tidak akan membunuhku!" “….bahwa teecu tidak akan membunuh Ang-kiam Tok-sian-li Bhe Cui Im" "Kedua, bahwa engkau akan membacakan kitab-kitab ilmu silat dengan sebenarnya dan tidak menipuku!" Celaka ,pikir Keng Hong dalam hatinya. Gadis ini cerdik bukan main! Terpaksa dia mengucapkan kata-kata menurut kehendak Cui Im , "... Bahwa teecu akan membacakan kitab-kitab ilmu silat dengan sebenarnya dan tidak menipunya..." "Ke tiga, bahwa engkau akan menerima aku belajar sambil selesai dan tidak menghalangi bila sewaktu-waktu aku menghentikan pelajaran dan keluar dari tempat ini!" Keng Hong meniru ucapan itu dan hatinya lega ketika Cui Im menyatakan sudah cukup puas. Cepat dia bangkit berdiri dan berkata dengan wajah dan berseri, "Cui Im, lontarkan tabang itu dan aku ingin meninjau tempat di seberang situ!" Cui Im menjadi heran mengapa Keng Hong kelihatan demikian gembira setelah bersumpah. Akan tetapi dia percaya bahwa seorang pemuda seperti Keng Hong ini sekali bersumpah, apalagi demi nama gurunya, sampai mati pun tidak akan sudi melanggar sumpahnya. Maka tanpa ragu-ragu lagi ia lalu melontarkan ujung tambang yang ada besi kaitannya ke seberang. Tepat seperti dugaannya tadi, besi kaitan itu melayang dan mengait batu di seberang sana Cui Im mengait ujung yang satu lagi pada batu di sana. Akan tetapi Keng Hong memeriksa lagi kaitannya, dan setelah mendapat kenyataan bhawa besi itu mengait baik-baik dan kuat-kuat, dia lalu meloncat ke atas tambang dan berlari diatas tambang menuju ke seberang. Diam-diam dia kagum kepada Cui Im. Tadinya gadis itu merasa ngeri ketika mendaki batu pedang, akan tetapi begitu mendapat kitab-kitab itu, gadis itu tidak merasa ngeri untuk berjalan di atas jembatan tabang yang lebih mengerikan lagi. Begitu dia meloncat di daratan seberang, Cui Im menyambutnya dengan bibir mencari-cari bibirnya. Akan tetapi Keng Hong menghindarkan mukanya dan dengan halus mendorong pundak Cui Im. "Keng Hong, mengapa? Bukankah kita sudah menjadi sahabat baik?" "Cui Im, kita bersahabat untuk saling membantu dalam mengejar ilmu disini, dan tentang cinta, ingat, tidak ada disebut-sebut dalam sumpahku tadi!" Kini mengerilah Cui Im mengapa tadi sehabis bersumpah pemuda itu kelihatan lega dan girang. Kiranya dia lupa memasukkan "acara" dan syarat ini ke dalam sumpah itu. Ia menyesal sekali dan mukanya cemberut. *** Keng Hong merasa tidak baik kalau kerja sama itu dimulai dengan tidak menyenangkan hati Cui Im, maka katanya cepat. "Cui Im, engkau akan tahu dari ilmu ilmu dalam kitab-kitab ini bahwa selagi mempelajari ilmu tinggi, hubungan antara pria dan wanita merupakan paling besar. Hal itu akan menghambat kemajuan ! Tunggu dan lihat sendiri saja nanti kalau kita sudah mulai belajar." Ucapan ini menyenangkan hati Cui Im karena ia menganggap bahwa adanya Keng Hong menolak cintanya adalah karena pemuda ini menganggap hal itu sebagai pantangan dalam belajar, jadi bukan karena pemuda itu mambencinya atau tidak membalas cintanya! Masih banyak kesempatan baginya untuk kelak menjatuhkan hati pemuda ini. Dia adalah seorang ahli dalam hal itu. Keng Hong bersama Cui Im lalu memeriksa keadaan di situ dan memang Cui Im tidak membohong. Di situ terdapat bahan-bahan makan-minum seperti yang diceritakan Cui Im tadi dan tidak ada jalan untuk keluar karena ujung terowongan yang dihuni ratusan ribu ekor burung walet itu merupakan dinding yang curam dan tegak lurus, pula amat licin. Demikianlah, mulai hari tu, Keng Hong dan Cui Im mulai membalik-balik lembaran kitab-kitab pelajaran ilmu silat yang tinggi, dan memang tepat pemberitahuan Keng Hong tadi, karena dalam kitab pertama , yaitu kitab I-kiong-hoan-hoat dari Siauw-li-pai, jelas disebutkan bahwa pantangan utama dalam hubungan antara pria dan wanita! Ilmu I-kiong-hoan-hoat adalah semacam ilmu memindahkan jalan darah dari partai Siauw -lim-pai, juga kitab ke dua Siauw-lim-pai, Seng-to-cin-keng adalah ilmu yang khas yang mengajarkan Iweekang, bersamadhi mengatur pernapasan unutk menghimpun sinkang. Setelah melihat sendiri bahwa emang ada pantangan hubungan antara pria dan wanita sewaktu melatih dri dengan ilmu-ilmu itu, Cui Im tidak banyak rewel lagi dan tidak mau menganggu Keng Hong, sungguhpun kadang-kadang ia kelihatan seperti cacing kepanasan dan menderita sekali. Bhe Cui Im yang tadinya menghambakan diri kepada terganggu dorongan nafsu, akan tetapi nafsunya ingin menjadi jagoan wanita nomor satu di dunia ini mengalahkan nafsu berahinya sehingga ia tekun berlatih. Keng Hong sendiri secara diam-diam membaca semua kitab yang berada di situ, akan tetapi karena dia menganggap bahwa apa yang dia dahulu pelajari dari gurunya tidak kalah mutunya, dia hanya membaca kitab-kitab milik partai lain hanya untuk dimengerti isinya dan dikenal sifatnya, pula dia mempunyai rasa segan untuk mencuri ilmu partai lain. Dia hanya membaca dan mengenal, akan tetapi tidak melatih dirinya dengan ilmu-ilmu itu. Kecuali kitab tulisan gurunya sendiri yang ternyata merupakan inti sari daripada ilmu silat Siang-bhok- Kiam-sut dan Ilmu silat San-in-kun-hoat sehingga dia menjadi girang sekali. Ia dapat memperdalam ilmu silatnya yang masih mentah itu dan melatih diri dengan rajin. Biarpun Cui Im juga minta agar dia membacakan kitab ciptaan gurunya, namun dia yakin bahwa tanpa memiliki sinkang seperti yang dia "oper" dari gurunya, dan tanpa memiliki dasar-dasar yang dulu dia pelajari dari Sin-jiu Kia-ong, kepandaian yang didapat oleh Cui Im hanyalah permukaannya atau kulitnya belaka. Namun tentu saja dia tidak mau bicara tentang hal ini bahkan setiap kali ada kesempatan dia memuji kemajuan-kemajuan yang diperoleh gadis itu sehingga Cui Im menjadi girang sekali. Memang harus diakui bahwa Cui Im yang memiliki bakat baik sekali itu kini memperoleh kemajuan pesat. Keng Hong menjadi matang ilmunya. Biarpun yang dia matangkan hanya ilmu silat yang dua macam itu, yaitu San-in-kun-hoat yang terdiri dari delapan jurus pukulan tangan kosong dan Siang- Kiam-sut yang terdiri dari tiga puluh enam jurus, namun kematangannya dan keistiewaan dua ilmu ini mencakup seluruh dasar dan inti ilmu silat yang dikuasai Sin-jiu Kiam-ong, dia kini dapat mainkan ilmu silat itu secara dahsyat. Biarpun hanya delapan jurus, namun ilmu silat San-in-kun-hoat ini cukup untuk membuat dia patut dijuluki Sin-jiu (Kepalan Sakti), sedangkan Siang-bhok Kiam-sut adalah ilmu pedang istiewa yang dapat dikatakan menjadi rajanya ilmu pedang sehingga dia patut pula dijuluki Kiam-ong (Raja Pedang) seperti gurunya! Setelah dia membaca kitab peninggalan suhunya, barulah dia sadar bahwa Ilmu Silat San-in-kun-hoat memiliki segi-segi yang amat hebat, dengan perkembangan yang tak terhitung banyaknya tergantung dari keadaan dan daya khayalnya sendiri sehingga biarpun pada dasarnya hanya mempunyai delapan jurus, namun apabila dikembangkan menjadi jumlah jurus yang tak terhitung banyaknya! Tadinya dia hanya menguasai dasarnya yang dia gerakkan dengan mengandalkan sinkang kuat belaka. Kini dia dapat mainkan setiap jurus dengan kembangan yang tak terhitung banyaknya. Demikian pula dengan Ilmu Pedang Siang-bhok- Kiam-sut, kalau sebelum ini dia hanya menghafal gerakan-gerakan yang tiga puluh enam jurus mengandalkan sinkang dan kecepatan, akan tetapi kini dia dapat menangkap inti sarinya dan dapat mempergunakan Siang-bhok-kiam sedemikian rupa sehingga sinar kehijauan pedang itu cukup untuk merobohkan lawan. Diam-diam dia selalu memperhatikan latihan-latihan yang dilakukan Cui Im dan dia menjadi kagum bukan main. Gadis itu benar-benar hebat, berbakat dan karena tadinya sebagai murid Lam-hai Sin-ni dia telah memiliki tingkat tinggi, kini dengan mudahnya ia melahap semua isi kitab yang berada di situ dan telah hafal akan semua isinya, telah pandai pula mainkan ilu-ilmu itu termasuk ilmu silat yang diciptakan oleh Sin-jiu Kiam-ong sendiri! Cemas-cemas hati Keng Hong kalau melihat ini karena dia maklum bahwa Cui Im sekarang, setelah tiga empat tahun berlatih dengan tekun, jauh bedanya dengan Cui Im dahulu, sungguhpun orangnya masih tetap cantik manis genit. Ilmu kepandaiannya telah meningkat secara hebat sekali. Hanya ada satu hal yang melegakan hati Keng Hong melihat kemajuan Cui Im yang mencemaskan itu, ialah betapa pun gadis itu berlatih dan mencari-cari dalam kitab-kitab yang berada di situ, gadis itu tidak dapat menemukan ilmu Thi-khi-I-beng, dan dalam hal tenaga sinkang, betapa pun gadis itu menghimpun dan berlatih, tidak dapat menandingi tenaga sinkangnya sendiri yang dia terima secara langsung dipindahkan dari tubuh gurunya. Empat tahun telah berlalu dengan cepat sekali karena kedua orang ini tekun belajar dan berlatih sehingga waktu berlalu tanpa terasa oleh mereka. Kini semua kitab telah habis dipelajari Cui Im ! Gadis ini telah memnjadi seorang wanita berusia dua puluh enam tahun yang matang segala-galanya! Cantik jelita, dan dalam pandang matanya yang kini terdapat sinar berapi yang dahulunya tidak ada, sinar berapi yang timbul dari kekuatan sinkangnya ditambah kepercayaannya kepada diri sendiri. Pada suatu hari, pagi-pagi sekali ketika Keng Hong bangun dari tidurnya, dia mendapatkan Cui Im tersenyum-senyum di dekatnya dan dia heran melihat gadis itu mengenakan pakaian yang bersih, agaknya baru kemarin atau malam tadi dicuci, rambutnya digelung indah, wajahnya berseri-seri dan mulutnya tersenyum-senyum. Akan tetapi dengan terkejut Keng Hong melihat adanya pandang mata aneh, pandang mata yang jelas membayangkan nafsu berahi! Kekhawatirannya terbukti ketika bangun duduk tiba-tiba Cui Im menjatuhkan diri duduk di dekatnya, memandang penuh kemesrann dan tertawa-tawa kecil penuh nafsu. "Eh, Cui Im , apa-apaan ini? Engkau mau apa ?" Keng Hong merenggutkan lengannya yang mulai dipegang dengan sentuhan halus mesra oleh gadis itu. "Hi-hi-hik, Keng Hong, betapa rinduku kepadamu. Hampir mati aku menanggung rindu kepadamu, kekasihku. Hampir gila aku mengekang diri, setiap malam kalau engkau sudah tidur memandangimu, teringat masa lalu!" "Cui Im, tidak boleh...." Keng Hong membuang muka menghindarkan ciuman gadis itu dan dia mulai terangsang. Akan tetapi dia teringat betapa gadis ini telah melakukan hal-hal keji, yang menjatuhkan fitnah kepada Biauw Eng. Selama empat tahun ini, ingatan itu selalu menyiksa dirinya dan membuat dia makin menyesal di samping rasa rindu kepada Biauw Eng. Hal ini menimbulkan rasa muak dan bencinya kepada Cui Im sehingga begitu teringat kepada Biauw Eng, lenyaplah rangsangan berahinya terhadap gadis yang membelai dan membujuk rayunya itu. "Jangan berpura-pura alim Keng Hong. Dulu engkau begitu mencintaiku! Dan sekarang aku tidak lagi berlatih menghimpun sinkang, sudah cukup kuat aku, hi-hi-hik, lebih kuat dari guruku sendiri. Ya, kini aku dapat menjagoi di seluruh dunia dan cintaku kepadamu menjadi lebih kuat daripada dulu-dulu karena engkau telah membantuku, kekasihku. Layanilah aku, Keng Hong, dan kita nanti keluar dari sini, menjadi sepasang kekasih, juga sepasang jagoan nomor satu di dunia. Mungkin engkau tidak mendapat banyak kemajuan, akan tetapi jangan khawatir, kepandaianku telah meningkat secara hebat, dan aku siap selalu melindingimu, kekasihku. Marilah..! Cui Im menubruk, merangkul dan menggelutinya. Keng Hong hampir tak dapat menahan gelora darah mudanya ketika di gelut oleh Cui Im yang merayu dan yang makin cantik jelita ini. Akan tetapi dia cepat menekan perasaannya dan berkata. "Engkau telah berlaku keji terhadap Biauw Eng..." Jari-jari tangan yang sedang membelainya itu tiba-tiba terhenti, akan tetapi hanya sebentar, kemudian mengelus-elus lagi, mulut itu menciuminya sekerasnya. "Aiiiih, kekasihku, hal itu kulakukan karena cintaku kepadamu..." Keng Hong sudah menjadi dingin lagi begitu dia teringat Biauw Eng. Ingin dia meronta menggunakan sinkangnya, akan tetapi dia tidak mau memancing keributan dengan Cui Im. Maka dia lalu berkata. "Baiklah, Cui Im. Siapa dapat bertahan mengahadapi kecantikan dan rayuanmu? Akan tetapi, aku... aku hendak mandi dulu…." "Hi-hi-hi, tak usahlah...". "Tidak , nanti saja. Aku perlu mandi dulu!" Keng Hong merenggutkan tubuhnya terlepas dari pelukan gadis itu kemudian dia melompat dan lari menuju ke jembatan tambang. Ia menoleh melihat Cui Im meandangnya dengan mata penuh gairah nafsu berahi. Ia perlu mencari waktu untuk menenteramkan hatimu yang yang terangsang. "Kau tunggulah aku hendak mandi..!" Katanya dan Cui Im tertawa aneh. Cui Im mengertak gigi saking gemasnya ketika melihat Keng Hong lari. Ia maklum bahwa dia telah kehilangan cinta pemuda itu karena Biauw Eng. Hemmm, orang yang tak tahu dicinta, gerutunya dan ia pun bangkit perlahan mengikuti Keng Hong. Dilihatnya pemuda itu meloncat ke atas jembatan tambang dan berlari cepat. Cui Im memperhatikan dan ia dapat melihat bahwa ginkang dari pemuda itu makin hebat saja. Ia pun dapat dengan mudah berlari cepat melalui tambang itu masih bergetar dan bergoyang sedikit. Kini, melihat Keng Hong berlari cepat dan sedikit pun tambang itu tidak bergoyang hatinya menjadi khawatir sekali. Ia mencinta Keng Hong, akan tetapi kalau pemuda itu memiliki kepandaian yang hebat dan membahayakan dirinya sendiri, pemuda itu tidak berhak hidup lagi. "Keng Hong, berhentilah!!" Nada suara panggilan yang mengandung kemarahan ini membuat Keng Hong terkejut dan berhenti di tengah-tengah tambang, kemudian membalikkan tubuhnya menoleh ke arah Cui Im. Gadis itu berdiri di tepi jurang, dekat ujung tambang dan sikapnya membayangkan kemarahan besar. Akan tetapi kemarahannya itu ditutup oleh senyumannya yang lebar. "Keng Hong, engkau bersumpahlah!" "Heeeee?? Apa? Tidak alasan bagiku untuk bersumpah!" "Keng Hong, bersumpahlah bahwa engkau mencintaiku dan akan melayani hasrat cinta kasihku!" Keng Hong menggelengkan kepalanya, "Cui Im, sesungguhnya engkau seorang gadis yang cantik jelita dan sekiranya engkau tidak begitu keji, telah menjadi biang keladi terjadinya semua kekacauan bahkan merusak hati seorang gadis seperti Biauw Eng, sekiranya engkau tidak begitu curang dan tidak menimbulkan rasa muak dan benci di hatiku, agaknya aku akan menerima cintamu dengan penuh kegembiraan." "Keparat, laki-laki tak tahu dicinta! Kalau begitu mampuslah!" Tiba-tiba gadis itu menggerakkan kedua tangannya ke depan dan tampaklah sinar-sinar merah kecil berkeredepan menyambar ke arah tujuh jalan darah di tubuh depan Keng Hong! Itulah jarum-jarum merah senjata rahasia Cui Im, dan karena selama empat tahun ini ia telah mencapai kemajuan pesat dan tenaga sinkangnya sudah hebat sekali, maka sambitan jarum-jarumnya juga cepat sekali seperti kilat menyambar. Keng Hong menggerakkan tangan kirinya ke depan dan angin pukulan tangannya sedemikian kuatnya sehingga jarum-jarum itu dalam jarak dua meter sebelum menyentuh tubuhnya sudah runtuh semua ke bawah, ke dasar jurang yang tidak tampak dari atas. "Cui Im, apa yang kau lakukan ini..?" Akan tetapi Keng Hong tak dapat melanjutkan kata-katanya karena pada saat itu sambil tertawa Cui Im sudah menggerakkan tangan lagi dan kini sinar putih berkilau menyambar..bukan ke arah Keng Hong, melainkan ke bawah, ke arah tambang yang diinjak pemuda itu. Keng Hong terkejut sekali, tidak berdaya menghindarkan ancaman bahaya ini karena sekali kena disambar senjata rahasia bola putih berduri, senjata rahasia Biauw Eng yang telah dicuri Cui Im, tambang itu putus di tengah-tengah dan tentu saja tubuh Keng Hong jatuh ke bawah! Dalam detik itu Keng Hong maklum bahwa nyawanya terancam bahaya maut yang mengerikan. Cepat dia menyambar ujung tambang dan ketika tubuhnya meluncur ke bawah, dia menggerak-gerakkan tangan kakinya memukul dan menendang ke bawah sambil mengerahkan ginkang sehingga tenaga luncuran itu banyak berkurang. *** Hal ini dia lakukan untuk mencegah tambang itu putus di bagian atas. Ketika tubuhnya terayun tambang ke arah dinding jurang, dia menggunakan tangan kirinya sehingga dia tidak terbanting keras dan tambang itu untungnya tidak putus, akan tetapi bajunya robek-robek dan kulitnya lecet-lecet mengeluarkan darah. Keng Hong tidak kekurangan akal, lalu perlahan-lahan dia memanjat naik melalui tambang yang tinggal sepotong karena putus pada tengah-tengah tadi. Ia berhasil mencapai tepi jurang di seberang dan begitu dia meloncat dan berdiri dengan baju robek-robek berdarah uka pucat berkeringat dan napas agak terengah karena baru saja dia terlepas dari bahaya maut mengerikan, dia melihat Cui Im di seberang sana tertawa terkekeh, membuat dia menjadi makin marah dan membenci wanita curang dan kejam itu. "Hi-hi-hik, diberi jalan sorga kau memilih neraka ! Ditawari kesenangan engkau memilih penderitaan. Engkau tidak mau menyambut cintaku, ya ? Baiklah, kalau begitu engkau boleh bermain cinta dengan bayanganmu sendiri di situ sampai engkau mati tua karena engkau tidak mungkin akan dapat meninggalkan tempat itu. Hi-hi-hik! Adapun kitab-kitab pusaka-pusaka dan benda-benda berharga sekarang menjadi milikku semua dan akan kubawa pergi. Nah, selamat berpisah, Keng Hong bekas kekasihku. Aku akan hidup sebagai wanita tersakti di dunia ini menikmati pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong dan engkau boleh mampus sebagai pertapa kesunyian disitu. Hi-hi-hik!" Cui Im membalikkan tubuhnya dan menghilang, meninggalkan Keng Hong di seberang yang berdiri mengepal tinju akan tetapi tidak dapat berbuat sesuatu. Keadaan Keng Hong amatlah buruknya dan kalau orang lain yang mengalami malapetaka seperti dia, tentu akan menjadi bingung, gelisah dan putus asa. Akan tetapi pemuda ini masih dapat mempertahankan ketenangannya. Ia memandang sepotong tambang yang sudah dia gulung naik. Tambang itu hanya setengah panjang jarak jurang antara kedua tepi. Biarpun tergesa-gesa mencari akal,takkan mungkin dapat mencegah Cui Im melarikan semua pusaka itu. Akan terlabat. Pula, bagaimana akalnya untuk dapat menyeberang? Ia berjalan perlahan memasuki lorong, dan untuk menghilangkan rasa panas karena kemarahannya terhadap Cui Im, dia lalu pergi ke air dan mencuci muka, dan tubuhnya yang lecet-lecet. Biasanya, dia datang ke bagian ini hanya kalau membutuhkan makan minum, karena di seberang lebih enak di tinggali. Kini dia mendapat kesempatan amat luas untuk menyelidiki keadaan disitu sampai habis, dan dengan teliti mulailah dia melakukan penyelidikan. Di mulut lorong sebelah sana, tempat yang dihuni burung-burung walet, mempunyai dinding yang tidak mungkin dituruni. Siapa tahu kalau-kalau ada jalan atau lorong rahasia di bagian ini. Hasil karya seorang sakti seperti gurunya tak dapat di duga lebih dulu. Dengan membawa Siang-bhok-kiam yang tak pernah terpisah dari tubuhnya sehingga tidak sampai terampas Cui Im, dia lalu mulai melakukan pemeriksaan dengan teliti sekali. Karena dia melakukan amat teliti, setiap dinding dan lantai batu dia periksa, sejengkal demi sejengkal, maka Keng Hong harus menggunakan waktu sampai tiga hari untuk dapat memeriksa tempat itu seluruhnya, dari tepi jurang sampai sepanjang lorong, kamar berisi makanan , sampai ujung lorong yang dihuni burung-burung walet. Pada hari ke tiga, setelah kesabarannya hampir habis, setelah kepalanya mulai pening karena kegagalan dan tenaganya habis karena mencokel-cokel dan mendorong-dorong setiap bagian dinding dan batu, tiba-tiba dia tertarik akan bunyi nyaring ketika dia mengetuk-ngetuk dinding hitam di bagian belakang dengan pedangnya. Bunyi nyaring ini menjadi tanda bahwa batu yang menjadi dinding itu kosong tidak berisi, atau di sebelah sana dinding merupakan ruangan kosong! Jantungnya berdebar dan mulailah dia meneliti. Bagian ini gelap karena dindingnya adalah batu -batu berwarna hitam. Ia menggunakan pedangnya menusuk-nusuk dan tiba-tiba pedang itu menusuk sebuah lubang sampai amblas ke gagangnya! Keng Hong menahan seruannya, lalu memutar-mutar pedang Siang-bhok-kiam itu ke kanan kri. Tiba-tiba terdengar bunyi gemuruh di belakang diding batu itu. Keng Hong mencabut pedangnya dan bunyi gemuruh itu disusul dengan bunyi bergerit, kemudian dinding itu bergerak dan tampaklah sebuah lubang lima kaki persegi besarnya di dinding batu hitam itu! "Terima kasih, Siang-bhok-kiam, lagi-lagi engkaulah yang menolongku!" Keng Hong mencium Pedang Kayu Harum itu kemudian dia merangkak-rangkak memasuki lubang ini. Siapa tahu kalau di sebelah sana terdapat jalan yang akan membawanya kepada kebebasan, pikirnya. Begitu dia menembus dinding batu hitam yang tebalnya ada dua meter itu, dia melihat sebuah kamar lain di balik dinding dan hatinya kecewa. Bukan jalan keluar kamar ini pun merupakan jalan buntu! Akan tetapi, kekecewaannya segera lenyap, tertutup oleh keheranan dan kengerian ketika melihat sebuah rangka manusia yang masih utuh sedang "nongkrong" duduk di atas sebuah kursi gading! Tengkorak dari rangka itu agak menunduk dan kelihatannya seperti sedang mentertawakannya! Keng Hong bergidik dan menggoyang-goyang kepalanya. Mimpikah dia ? Ataukah karena tiga hari bekerja terus tanpa makan membuat dia tak dapat lagi menggunakan mata dan pikirannya secara normal? Namun, betapa dia menggoyang kepalanya, ketika memandang lagi, rangka itu tetap berada di situ, duduk di atas kursi gading dan di sebelah rangka itu terdapat sebuah kursi gading pula. Meja yang kakinya terbuat daripada gading terukir itu, permukaannya dari batu putih halus dan diatas meja itu terletak sebuah kitab yang sudah kuning saking tuanya. Sejenak Keng Hong terpesona. Biarpun rangka itu hanyalah sekumpulan tulang manusia, akan tetapi sikap duduknya masih membayangkan sikap tegak dan wibawa, seperti sikap seorang raja atau seorang yang sudah biasa disembah-sembah orang. Anehnya, bagi Keng Hong timbul perasaan seolah-olah rangka itu merupakan tuan rumah, pemilik ruangan -ruangan di dalam batu pedang ini, dan dia sendiri sebagai tamu tak diundang. Ia merasa bersalah, dan tanpa disadarinya pula, Keng Hong menekuk kedua lututnya dan berbisik, "Locinpwe, mohon maaf atas kelancanganku.." Ia berlutut sambil menunduk dan begitu dia menunduk, tampak ukiran huruf-huruf kecil di atas batu lantai di depan lututnya. Huruf-huruf itu terukir amat kecilnya sehingga takkan dapat dilihatnya kalau dia tidak berlutut dan menundukkan muka. Jantungnya berdebar apalagi ketika dia mengenal ukiran huruf -huruf ini serupa benar dengan ukiran-ukiran di gagang pedang Siang-bhok -kiam ! Jelas bahwa ukiran huruf-huruf di atas lantai itu dan di gagang pedang dibuat oleh satu orang, yaitu gurunya, Sin-jiu Kiam-ong! "Terima kasih kepada Thai Kek Couwsu dan maaf bahwa teecu tidak dapat menjadi ketua Kun-lun-pai." Keng Hong menduga-duga. Tidak akan keliru kalau dia menduga bahwa rangka ini adalah rangka dari Thai Kek Couwsu, pendiri Kun-lun-paai yang dikabarkan bertapa di Kiam-kok-san dan lenyap bersama raganya sehingga batu pedang dianggap tepat keramat oleh Kun-lun-pai. Kiranya kakek yang dikabarkan sakti seperti dewa itu berada di sebelah dalam batu pedang dan meninggal dunia di tempat tersembunyi ini! *** Dan rangkanya diketemukan suhunya, Sin-jiu Kiam-ong! Ia pun makin menghormat rangka itu dan menyembah delapan kali sambil berkata. "Teecu Cia Keng Hong mohon maaf atas kelancangan teecu kepada Couwsu yang mulia." Kemudian perhatiannya tertarik kepada kitab di atas meja. Tadinya dia ragu-ragu, karena merasa tidak berhak menyentuh kitab itu. Akan tetapi kemudian dia berpikir bahwa gurunya yang amat suka akan ilmu dan suka pula akan kitab-kitab pusaka, mustahil kalau tidak memeriksa kitab itu. Mungkin itukah sebabnya gurunya menghaturkan terima kasih kepada Thai Kek Couwsu? Tidak ada seorang ahli silat yang tidak akan tertarik untuk membaca kitab peninggalan seorang sakti! Maka diapun lalu bangkit dan menghampiri meja itu, dengan hati-hati sekali mengambil kitab dari atas meja. Tiba-tiba terdengar suara berkerotokan dan rangka itu runtuh dari atas kursi mengeluarkan suara hiruk-pikuk! Keng Hong cepat meloncat ke samping, wajahnya pucat saking kagetnya. Akan tetapi dia segera mengerti bahwa tulang-tulang itu tentu runtuh karena sedikit pergerakan saja, karena memang tidak ada penyambungannya lagi. Kalau rangka itu asih dapat duduk sekian lamanya, hal ini adalah karena cara "duduk" tulang-tulang yang merupakan rangka itu amat tepat, sesuai dengan cara duduk bersamadhi yang dinamakan "keseimbangan". Ia makin kagum dan meletakkan kitab di atas meja untuk cepat menyempurnakan sisa-sisa raga Thai Kek Couwsu dengan cara membakar tulang-tulangnya itu. Tulang-tulang itu sudah sedemikan keringnya sehingga mudah sekali dimakan api, dan sebentar saja raga pendiri Kun-lun-pai itu telah menjadi abu. Keng Hong mengumpulkan abu ini dan menaburkannya melalui jurang di ujung lorong yang dihuni burung-burung walet. Abu tipis beterbangan tertiup angin memenuhi udara dan menjadi satu dengan alam di sekelilingnya! Keng Hong segera kembali lagi ke kamar rangka itu dan begitu mengambil kitab di atas meja, kini tampaklah huruf-huruf terukir di permukaan meja seperti digurat-gurat benda tajam. Huruf-huruf ini berbeda dengan gaya tulisan Sin-jiu Kiam-ong, maka dia menduga bahwa ini tentulah tulisan Thai Kek Couwsu. Dengan hormat dia membaca huruf-huruf terukir itu. "Thai-kek Sin-kun ditinggalkan untuk dia yang berjodoh memasuki tempat ini dan diharapkan dia suka menjadi ketua Kun-lun-pai." Keng Hong mengerutkan keningnya dan belum berani membuka kitab yang pada kulit luarnya tertulis namanya: THAI KEK SIN KUN. Ah, kini mengertilah dia akan maksud huruf-huruf di lantai, yang ditulis oleh Sin-jiu Kiam-ong. Tentu gurunya itu telah masuk kekamar ini dan mempelajari isi kitab maka dia menghaturkan terima kasih, kemudian minta maaf karena tidak dapat menjadi ketua Kun-lun-pai seperti yang diharapkan oleh Thai Kek Couwsu. Dia sendiri pun telah masuk ke kamar ini, dan hal itu merupakan jodoh baginya, membuat dia berhak memiliki kitab. Adapun tentang menjadi ketua Kun-lun-pai , dia sama sekali tidak mengkehendakinya seperti diharapkan pencipta kitab ini. Biarlah seperti suhu kupelajari kitab ini dan kelak akan kuserahkan kitab ini kepada ketua Kun-lun-pai, pikirnya. Demikianlah, lupa bahwa agaknya tidak ada harapan lagi baginya untuk keluar dari tempat itu, Keng Hong mengambil kitab kemudian meneliti keadaan kamar itu. Ia melihat sebuah peti hitam di sudut dan ketika peti itu dibukanya didalamnya penuh dengan pakaian-pakaian sutera putih dan kitab-kitab tentang Agama To! Sudah banyak dia membaca kitab-kitab Agama To ketika menjadi kacung di Kun-lun-pai, dan tentang pakaian itu, dia merasa berterima kasih sekali karena memang dia amat membutuhkan pakaian sebagai pengganti pakaiannya yang sudah empat tahun tidak diganti, dan kini robek-robek ketika dia berjuang melawan maut di tambang tadi. Setelah makan dan minum untuk memulihkan tenaganya. Terkejut dan giranglah hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa kitab tebal ini terisi petunjuk-petunjuk inti sari ilmu silat tinggi sekali, termasuk petunjuk tentang penggunaan sinkang, ilmu silat tangan kosong dan ilmu silat pedang yang berdasarkan ilmu sakti Thai -kek Sin-kun! Baru sekarang dia mengerti bahwa kesaktian gurunya sebagian besar disempurnakan oleh isi kitab ini dan dia dapat menduga mengapa gurunya tidak menurunkan ilmu ini kepadanya. Tiada lain adalah karena gurunya merasa tidak dapat menjadi ketua Kun-lun-pai maka tidaklah berhak untuk menurunkan ilmu itu kepada orang lain. Diam-diam dia kagum sekali kepada gurunya yang biarpun merupakan seorang petualangan, namun sesungguhnya memiliki jiwa gagah perkasa yang tidak sudi melanggar janji tak tertulis tak terucapkan antara dia dan Thai Kek Couwsu! "Teecu pun bersumpah takkan memperlihatkan kitab ini atau memberitahukan isinya kepada orang lain kecuali ketua Kun-lun-pai," demikian bisik hati Keng Hong dan mulailah dia membaca kitab itu penuh perhatian. Mulailah dia berlatih dengan tekun sekali dan dengan girang dia mendapat kenyataan bahwa semua yang telah dipelajarinya, baik dari mendiang suhunya maupun tambahan-tambahan yang dia dapat dari pelbagai kitab pusaka peninggalan gurunya yang dia bacakan kepada Cui Im, inti sarinya termuat dalam kitab ini, maka semua ilmu itu dapat disempurnakan. Lebih gembira lagi hatinya ketika mendapatkan petunjuk tentang cara untuk menguasai tenaga sinkang dan di bagian akhir kitab itu dia menemukan cara untuk menguasai tenaga sedot dari sinkangnya! Tanpa disengaja karena terciptanya tenaga sedot di tubuhnya memang merupakan suatu kebetulan yang tidak disengaja oleh gurunya maupun olehnya sendiri, kini Keng Hong telah menguasai ilmu yang dianggap sudah musnah dari dunia kang-ouw, yaitu ilmu mujijat Thi-khi-I-beng ! Lam-hai sin-ni yang mempelajari ilmu ini sampai belasan, bahkan puluhan tahun hanya dapat mengusai kulitnya saja, hanya berhasil menggunakan tenaga mujijat ini sepersepuluh bagian saja! Akan tetapi Keng Hong, dengan petunjuk kitab pusaka Thai-kek Sin-kun, dapat mengusai seluruhnya. Bagi orang yang tidak memiliki sinkang yang menciptakan daya sedot, betapapun saktinya orang itu seperti Sin-jiu Kiam-ong sekalipun, tidak dapat memiliki Thi-khi-I-beng biarpun telah membaca kitab peninggalan Thai Kek Couwsu ini. Setahun lamanya Keng Hong melatih diri menurut petunjuk kitab itu dan kini di luar kesadarannya sendiri, dia telah memperoleh kemajuan yang jauh melampaui yang diperoleh Cui Im selama berlatih empat tahun! Setelah dia mempelajai kitab sampai habis dalam waktu setahun, mulailah dia merenung dan sering kali dia duduk di tepi jurang, memandang jarak yang didudukinya dan tepi jurang di seberang yang kini amat sunyi, tidak lagi terdengar suara ketawa Cui Im, tidak lagi tampak berkelebatnya bayangan merah pakaian gadis cantik dan genit itu. Ia mengerutkan keningnya kalau membayangkan betapa kini semua pusaka dibawa lari Cui Im, terutama sekali kalau membayangkan betapa gadis itu tentu akan melakukan perbuatan-perbuatan yang luar biasa sehingga menggegerkan dunia kang-ouw. Betapa mungkin keluar dari tempat ini? Menyeberang ke sana tanpa jembatan, merupakan hal yang amat sukar. *** Sukar? Bukankah suhunya dahulu sering mengatakan bahwa tidak ada hal yang sukar didunia ini? Ataukah dia yang bodoh? Juga gurunya pernah mengatakan bahwa tidak ada manusia pintar atau bodoh di dunia ini. Keng Hong memejamkan matanya, mengingat-ingat. Apapun yang dikatakan gurunya dahulu tentang sukar dan mudah ,tentang bodoh dan pintar? Ia ingat betapa dahulu dia membantah, kemudian betapa dia dapat menangkap inti sari wejangan itu dan dapat membenarkannya. Ah, dia ingat sekarang. "Di dunia ini tidak ada hal yang sukar maupun yang mudah, muridku. Juga tidak ada atau tidak tepatlah kalau disebut seseorang itu bodoh atau pun pintar. Biasanya, orang berpendapat sukar adalah pendapat orang bodoh dan mudah itu pendapat orang pintar. Sebetulnya tidak demikian. Tidak ada sukar , tidak ada mudah, tidak ada bodoh tidak ada pintar. Yang ada hanya MENGERTI dan BELUM MENGERTI. Yang mengerti tentu bisa dan kalau sudah bisa menjadi mudah. Yang belum mengerti tentu tidak bisa dan kalau belum bisa menjadi sukar. Jadi , tidak ada hal sukar di dunia ini selama orang mau belajar agar mengerti dan bisa. Kalau belum mengerti, carilah, pergunakan akal budi yang dianugerahkan kepadamu sebagai manusia. Segala hal pasti akan dapat diatasi!" Demikianlah wejangan gurunya yang kini terngiang di telinganya. Cari,cari caranya! Tentu akan dia dapatkan! Biar dia terhalang jurang begini lebar, biarpun tampaknya amat sukar dan tidak ada jalan keluar, hal ini hanya karena dia BELUM MENGERTI jalannya maka harus dia cari sampai dapat! Dengan landasan wejangan gururnya ini, sejak saat itu Keng Hong memutar otak, mencari akal bagaimana dia akan dapat keluar dari tempat itu. Menggunakan ilmu kepandaiannya melompati jurang, tidak akan mungkin. Hal seperti ini tentu hanya dapat dilakukan oleh tokoh-tokoh dalam dongeng seperti Sun Go Kong atau Kauw cee Thian si raja kera putih dalam dongeng See-yu saja! Dapatkah gurunya melompati jurang selebar ini? Kiranya tidak mungkin. Dan bagaimana dengan Thai kek Couwsu? Dapatkah kakek yang dikatakan berkepandaian seperti dewa itu dapat melompati jurang ini? Kalau dapat bukan melompat namanya, melainkan terbang! Tidak masuk akal! Dia hanya mencari jalan, menggunakan akalnya. Manusia berakal budi, tidak seperti binatang yang talanjang. Manusia berpakaian...ah, pakaian..! Keng Hong memandang pakaian yang menutupi tubuhnya. Pakaian warna putih dari sutera yang dia ambil dari dalam peti. Agaknya peninggalan Thai kek Couwsu. Pakaian putih dari sutera halus dan amat kuat, lagi ulet dan kuat! Benar! Pakaian-pakaian putera, sutera ulet itulah! Keng Hong berlari-lari memasuki kamar, membuka peti dan mengeluarkan semua pakaian sutera putih. Ia mengukur-ukur, kemudian merobek-robek semua pakaian itu, menjadi robekan-robekan kecil panjang, kemudian memilinnya menyambung-nyambung sehingga menjadi tali sutera yang panjang sekali, hanya sebesar kelingking akan tetapi amat ulet dan kuat! Disambungnya terus sampai habis semua pakaian sutera putih yang kini berubah menjadi tali yang amat panjang. Disambungnya tali sutera ini dengan tambang yang masih setengah jarak jurang itu. Kemudian, dengan jantung berdebar dan hati berdoa kepada Thian, dia melontarkan ujung tambang yang ada kaitannya ke seberang setelah mengikatkan ujung tali sutera pada batu karang. Tenaga lontarannya amat kuat dan baja kaitan itu melayang ke seberang, tepat mengait pada batu di seberang. Tali sutera itu ternyata cukup panjang! Terbentanglah kini "jembatan" terbuat dari tabang disabung tali sutera! Keng Hong hampir berteriak-teriak saking girang hatinya. Akan tetapi dia menekan kegirangannya. Dia tidak mabuk kemenangan. Bahaya masih harus ditempuhnya. Sebelum sampai ke seberang, dia harus menyeberang melalui "jembatan' ini dan hal itu tidaklah semudah kalau menyeberang tambang seperti setahun yang lalu. Tapi sutera itu amat kecil lagi licin dan dia masih harus mempertaruhkan nyawanya karena kalau tali itu kurang kuat dan putus...! Akan tetapi tidak ada jalan lagi dan soalnya hidup selamanya di tepat itu, sampai mati sebagai seorang kakek tua renta dan kurus kering, mati kesunyian. Kalau dia menyeberang, andaikata gagalpun hanya akan menemui kematian. Akan tetapi kalau berhasil..! Keng Hong menyelipkan Siang-bhok-kiam di ikat pinggangnya, menyembunyikan pedang itu di balik bajunya yang kebesaran ,baju sutera putih, satu-satunya yang tidak dia robek-robek untuk dijadikan tali penyeberang. Kitab Thai-kek Sin-kun dia masukkan dalam saku baju. Setelah berdiri mengheningkan cipta di tepi jurang, menengadah dan di dalam hati mohon perlindungan Thian dan mohon bantuan arwah Thai-kek Couwsu dan dan Sin-jiu kiam-ong, Keng Hong lalu mengerahkan ginkangnya dan mulai melangkah menginjak tali sutera yang melintang jurang didepannya. Setelah kedua kakinya menginjak tali sutera dan merasa yakin bahwa tali itu cukup kuat, tidak bergoyang dan tubuhnya dapat berdiri tegak lurus, dia lalu mulai melangkah maju perlahan-lahan .Menurutkan hasrat hatinya yang ingin cepat-cepat sampai di seberang, ingin dia berlari cepat. Akan tetapi dia menyabarkan hatinya dan tetap menjaga keseimbangan tubuhnya tetap tegak sehingga jembatan itu tidak terlalu bergoyang dan tidak terlalu berat tubuhnya membebani tali sutera. Bahkan bernapas pun dia tahan sehingga napasnya panjang-panjang dan lambat. Seolah-olah jarak yang setahun lalu setiap hari ditempuhnya itu kini menjadi lima kali lebih panjang dari biasa! Seolah-olah tidak akan pernah sampai di seberang. Akan tetapi kakinya kini tidak menginjak tali sutera lagi, melainkan menginjak tambang, tanda bahwa jarak setengahnya telah dilalui. Kini dia mempercepat langkahnya dan tak lama kemudian dia melompat ke tepi jurang di mana dahulu Cui Im berdiri mentertawakannya! Keng Hong menjatuhkan diri berlutut ke arah tempat di mana tadi dia mulai menyeberang, seakan -akan tadi dia hendak menghaturkan terima kasih atas bantuan arwah Thai Kek Couwsu dan Sin-jiu Kiam-ong. Memang sesungguhnyalah bahwa dia menerima bantuan kedua orang sakti itu, yaitu dengan mempelajari ilu-ilmu dari kedua orang sakti itu. Kalau dia tidak memiliki sinkang yang hebat, dan kalau ilmunya tidak diperdalam setahun lagi menurut petunjuk kitab peninggalan Thai Kek Couwsu, terutama sekali kalau dia tidak menerima peninggalan pakaian sutera putih dari pendiri Kun-lun-pai itu, agaknya tidaklah secepat itu dia akan dapat menyeberangi jurang! Dari pengalaman Keng Hong ini ternyatalah bahwa berharga atau tidaknya sebuah warisan.lebih luas lagi, berharga atau tidaknya sebuah benda, tergantung daripada pengetrapan penggunaannya. Kadang-kadang, benda yang biasanya dianggap tidak berharga, sekali waktu pada saatnya yang tepat amatlah dibutuhkan dan berubah menjadi benda yang amat berharga. *** Sebaliknya, benda yang biasa dianggap amat berharga, jika tidak diperlukan akan menjadi benda yang sama sekali tidak ada harganya! Apa artinya segunung emas di padang pasir yang kering tiada airnya? Manusia yang hampir mati kehausan di situ akan dengan rela dan senang hati menukar setiap bongkah emas dengan seteguk air! Dalam halnya Keng Hong, setumpuk pakaian tua itu ternyata jauh lebih berharga daripada segala macam pusaka yang diperebutkan oleh tokoh kang-ouw seluruh dunia! Keng Hong segera berlari memasuki lorong dan memeriksa semua ruangan. Tepat sekali yang dia duga, Cui Im lenyap dan demikian pula semua kitab peninggalan suhunya berikut tiga batang pedang pusaka , dan sebagian besar perhiasan-perhiasan yang paling indah. Wanita itu benar-benar tidak menyia-nyiakan kesempatan unuk memuaskan nafsu ketamakannya! Biarpun senjata-senjata pusaka di situ masih banyak , dan juga barang-barang berharga tersebut daripada emas perak dan permata, namun Keng Hong tidak ada sedikitpun niat di hatinya untuk membawa benda-benda pusaka itu. Ia hanya membawa pedang Siang-bhok-kiam dan kitab Thai-kek Sin-kun, kemudian dia terus keluar dari tempat itu melalui lorong atau terowongan kecil sambil merangkak, seperti ketika dia datang dahulu. Masih teringat dia betapa Cui Im yang merangkak di belakangnya ketakutan, kadang-kadang memegang lengannya, kadang-kadang mendorong pinggulnya Keng Hong tersenyum. Betapapun marah dan bencinya kepada Cui Im, kalau teringat akan kelakukan gadis itu geli juga hatinya kadang-kadang. Di ujung lorong, dia melihat batu-batu bertumpuk dan dia dapat menduga bahwa pintu yang menutup terowongan itu hancur kena gempuran batu-batu dari atas. Tadinya dia memikirkan bagaimana Cui Im akan dapat keluar dari tempat itu tanpa bantuan pedang Siang-bhok-kiam sebagai kunci. Akan tetapi ternyata bahwa batu yang menutupi lubang itu pecah-pecah, agaknya tertimpa batu dari atas dan tentu ketika keluar dari tempat ini,Cui Im telah membongkar batu-batu itu. Melihat banyaknya batu-batu itu, Keng Hong dapat membayangkan betapa sukarnya pekerjaan itu. Tentu akan waktu berhari-hari! Diam-dia dia tersenyum memikirkan betapa Cui Im dengan susah payah membongkar batu-batu yang menimbuni mulut terowongan, dan betapa pekerjaan susah payah itu tanpa disangka-sangka kini dipergunakan oleh Keng Hong yang dapat keluar tanpa bekerja sedikit pun! Setelah keluar dari lubang dan berada dilereng batu pedang, Keng Hong menarik napas dalam. Angin gunung meniup mukanya dan dia memicingkan matanya terhadap sinar matahari. Hatinya terharu. Ia merasa seolah-olah hidup kembali ! Lima tahun lamanya dia berada di sebelah dalam batu pedang, seolah-olah telah terkubur di situ. Dan setahun lamanya dia merasa telah terjebak tanpa ada jalan keluar. Kini dia telah berada di lereng batu pedang! Keng Hong mengangkat sebuah batu besar, sebesar kerbau sehingga lubang itu tertutup oleh tumpukan batu-batu besar. Kemudian dia mulai merayap turun dengan hati penuh kegembiraan dan dengan semangat tinggi. Tugas penting terbentang luas di depannya. Andaikata tidak ada Cui Im yang mengganggu, tentu sekarang dia telah membawa kitab-kitab dan pusaka-pusaka untuk di kembalikan kepada pemiliknya masing-masing. Akan tetapi, semua pusaka itu telah dirampas oleh Cui Im, maka tugas utama dan pertama baginya adalah mencari Cui Im untuk merampas kembali benda-benda itu. Nama besar suhunya tetap akan tercemar dan tetap akan dimusuhi dunia kang-ouw sebelum benda-benda itu dikembalikan kepada mereka yang berhak. Akan tetapi sebelum mencari Cui Im dia akan pergi lebih dulu mengunjungi Kun-lun-pai untuk menyerahkan Thai-kek Sin-kun peninggalan pendiri Kun-lun-pai dan sekalian minta maaf atas segala kesalahannya yang lalu. Ia percaya bahwa fihak Kun-lun-pai, terutama sekali kiang Tojin, akan dapat memaafkannya, dan andaikata tidak, dia pun tidak gentar dan dia percaya bahwa tingkat kepandaiannya yang sekarang, dia akan dapat dengan mudah menyelamatkan diri! Dengan gembira Keng Hong lalu bersenandung, melagukan lagu ciptaannya ketika dia dahulu sering kali bermain suling sambil duduk di punggung kerbaunya, ketika di masih menjadi kacung Kun-lun-pai. Keng hong mengira bahwa turunnya dari batu pedang tentu akan dihadang oleh orang-orang kang-ouw yang masih teringat akan semua pengalamannya lima tahun yang lalu. Memang, pengalaman-pengalaman yang paling pahit merupakan kenang-kenangan yang paling mengesankan! Ia mereka-reka dan merenungkan bagaimana dia akan menghadapi mereka yang pernah mengejar-ngejarnya lima tahun yang lalu. Setelah dia mengalami hal-hal yang pahit dengan Cui Im, kini dia dapat melihat bahwa dibandingkan dengan Cui Im, tokoh-tokoh kang-ouw itu tidaklah begitu jahat dan tamak. Cui Im tega melakukan hal-hal keji hanya terdorong semata-mata oleh nafsunya yang amat besar. Adapun para tokoh kang-ouw itu mengejar-ngejarnya dengan mempunyai dasar yang tentu saja mereka itu masing-masing mengangkapnya benar. Mereka yang memperebutkan pusaka peninggalan gurunya, merasa benar karena mereka itu telah di sakiti hatinya oleh Sin-jiu Kiam-ong dan merasa berhak menagih hutang itu dengan jalan memiliki pusaka peninggalannya. Adapun mereka yang mengejarnya untuk membunuh juga merasa benar karena mereka menaruh dendam kepadanya atas kematian murid-murid mereka. Akan tetapi setelah dia tiba di bawah batu pedang, keadaan disitu sunyi saja, tidak tampak seorang pun manusia. Bahkan ketika dia meneliti dari tempat tinggi ini, melihat ke bawah ke sekililing puncak, tidak ada tampak bayangan manusia, sunyi sekali keadaan di situ. Ah, mungkin kini Kun-lun-pai telah melakukan penjagaan ketat, melarang semua orang asing mendatangi wilayah Kun-lun! Ia menuruni puncak Kiam-kok-san di mana markas Kun-lun-pai berada. Disepanjang jalan sunyi saja , tidak ada pula tampak tosu-tosu Kun-lun-pai melakukan penjagaan. Tiba-tiba dia melihat segunduk tanah seperti kuburan orang, akan tetapi tidak ada batu nisannya dan sebagai gantinya terdapat sebongkah batu kasar yang ada tulisannya, diukir kasar, buruk dan berbunyi; DI SINI THIAN TI HWESIO MATI DI TANGAN ANG-KIAM BU-TEK. Ia terkejut. Thian Ti Hwesio adalah seorang di antara tokoh Siauw-lim-pai yang kitabnya dicuri Sin-jiu Kiam-ong. Hwesio itu lihai sekali, merupakan hwesio tingkat dua dari Siauw-lim-pai, Siapakah Ang-kiam Bu-tek (Pedang Merah Tanpa Tanding) itu? Tiba-tiba jantung Keng Hong berdebar, mukanya panas saking marahnya ketika dia teringat dan menduga keras bahwa Ang-kiam Bu-tek itu tentulah Ang-kiam Tok-sian -li Bhe Cui Im! Siapa lagi kalau bukan dia? Untuk dapat membunuh seorang seperti Thian Ti Hwesio haruslah memiliki ilmu kepandaian tinggi dan dia tahu bahwa tingkat Cui Im sekarang amatlah hebat . *** Dan julukan itu! Ang -kiam (Pedang Merah) adalah pedang gadis itu, dan agaknya dia membuang julukan Tok-sian-li (Dewi Racun) dan menggantinya menjadi Bu-tek (Tanpa Tanding). Dan memang dalam tingkatnya sekarang ini, Cui Im tidak memerlukan lagi bantuan racun untuk menghadapi lawan. Setiap pukulannya dengan sendirinya sudah merupakan tangan beracun yang amat ampuh, karena gadis itu mencampuradukkan ilmu dipelajarinya dari kitab-kitab peninggalan gurunya dengan ilmu yang diterimanya dari Lam-hai Sin-ni, tentu saja ilmu silat golongan sesat. "Cui Im, kalau benar-benar engkau yang melakukan pembunuhan itu, aku akan menghajarmu!" gerutunya di dalam hati. Ia berjalan terus dan di dalam hutan itu dia melihat sebatang pohon besar yang sebagian kulit batangya terbuka dan pada kayu pohon yang putih itu terdapat pula ukiran-ukiran huruf yang buruk kasar : DI SINI KIU-BWE TOANIO DIKALAHKAN ANG-KIAM BU-TEK. Keng Hong menggeleng-gelengkan kepalanya. Tidak salah lagi, tentu perbuatan Cui Im semua ini. Ukiran huruf-huruf itu demikian halus yang hanya dapat dilakukan oleh seorang ahli pedang, sedangkan bentuk huruf-huruf itu sendiri amatlah buruknya yang hanya menunjukkan tulisan seorang setengah buta huruf seperti Cui Im. Ia kini mengerti mengapa keadaan di situ begitu sunyi, mengapa tidak ada tokoh-tokoh kang-ouw yang menghadangnya. Kiranya mereka itu ada yang menghadangnya setahun yang lalu akan tetapi tentu saja mereka itu hanya berjumpa dengan Cui Im dan celakalah nasib mereka begitu bertemu dengan Cui Im yang bagaikan seekor harimau ganas dan kini telah bertambah sayap itu. Pemuda itu berjalan terus dan sebelum keluar dari hutan, kembali dia melihat gundukan tanah dan ternyata dari batu terukir disitu adalah Sin-to Gi-hiap yang mati di tangan Ang-kiam Bu-tek lagi! Keng Hong membanting kakinya dengan gemas. Entah siapa lagi yang dikalahkan atau dibunuh oleh Cui Im.. Dan mengapa semua pembunuhan ini terjadi di wilayah Kun-lun-pai tanpa campur tangan fihak Kun-lun-pai bersama puluhan orang tosu turun tangan, kiranya tidak akan begitu mudah bagi Cui Im untuk mengganas. Keng Hong bergegas menuju ke puncak Kun-lun-pai dan mendaki puncak Kun-lun-pai dan mendaki puncak tertinggi pegunungan itu yang dijadikan arkas partai Kun-lun-pai. Tiba-tiba dia berhenti dan menyelinap di balik pohon ketika dia mendengar suara orang tertawa-tawa. Cepat dia berindap-indap mempergunakan ginkangnya sehingga dia dapat menghampiri tepat suara dengn cepat namun tidak menimbulkan berisik. "Sudahlah, Totiang, jangan terlalu lama menahanku di sini, nanti suamiku tahu dan.." Terdengar suara wanita. "Ha-ha-ha, suamimu yang lemah seperti cacing itu? Tahu juga bisa apa dia?Bukankah aku jauh lebih kuat dari suamimu yang kurus kering itu? Ha-ha-haa-ha-ha, jangan tergesa-gesa, Manis, kita bersenang-senang sampai sepuasnya...!" Keng Hong terbelalak ketika mengintai di balik semak-semak dan melihat seorang tosu empat puluh tahun, murid Kun-lun-pai, memeluk seorang wanita muda yang melihat pakaiannya tentulah seorang wanita dusun. Wanita itu cukup manis dan sikapnya genit. Keng Hong terheran-heran. Betapa mungkin terjadi hal seperti ini? Seorang anak murid Kun-lun-pai bermain asmara dengan seorang wanita isteri penduduk dusun? Padahal sepanjang pengetahuannya, para tosu Kun-lun-pai memegang teguh pantangan mengadakan hubungan dengan wanita! Dan dalam hal itu, para pimpinan Kun-lun-pai memegang teguh peraturan dan berdisiplin keras sekali. Akan tetapi dia segera teringat akan Lian Ci Tojin yang dahulu memperkosa Tan Hun Bwee, maka hatinya menjadi khawatir. Melihat betapa Cui Im dapat mengganas di Kun-lun, dan kini melihat seorang anak murid Kun-lun-pai berani melanggar pantangan di tempat yang begitu dekat dengan markas Kun-lun-pai, bahkan dindingnya sudah tampak dari situ, membuat dia menduga bahwa tentu terjadi perubahan di Kun-lun-pai. Kemana perginya Kiang Tojin si orang kuat dari Kun-lun-pai ? Dan mengapa Thian Seng Cinjin, ketua Kun-lun yang sakti itu, menjadi begini lemah? Keng Hong menyingkap semak-semak itu dan berkata nyaring, "Totiang, aku ingin bicara denganmu!" Lalu dia meloncat mundur, memberi kesempatan kepada dua orang itu untuk membereskan apa yang perlu di bereskan. Tosu itu meloncat bangun dengan pakaian kedodoran. Saking gugup dan kagetnya karena menyangka bahwa tentulah suami wanita itu yang datang dan menangkap basah penyelewengan isterinya, sampai sukarlah dia membereskan pakaian,Akan tetapi, dia segera mengangkat muka membusungkan dada. Suami wanita ini hanya seorang dusun, mau apakah? Ia lalu menarik tangan wanita yang menggigil dengan muka pucat itu keluar dari semak-semak dan langsung berteriak-teriak. "Petani busuk! Pinto sedang berusaha mengusir keluar siluman yang mengganggu isterimu, mengapa kau menganggu..?" Akan tetapi tosu itu menghentikan kata-katanya dan melongo memandang ke arah Keng hong yang tersenyum-senyum geli, sedangkan wanita itu tersipu-sipu malu dan menundukkan mukanya,akan tetapi dengan hati lega karena ternyata pemergok itu bukan suaminya. "Totiang, engkau bukan mengeluarkan siluman, sebaliknya malah memasukkan setan!" Keng Hong tertawa geli, membuat tosu itu merah mukanya saking malu dan marah. "Engkau...? Bukankah engkau ini pemuda setan itu..? Celaka, benar engkaulah orangnya !" Tosu itu lalu menerjang maju mengirim pukulan ke arah dada Keng Hong yang diterima oleh pemuda itu dengan mulut tersenyum. "Krekkk! Auugggh!"Tosu itu meringis kesakitan sambil memegangi tangan kanannya yang patah tulangnya di dekat pergelangan tangan. Ia marah sekali dan mengirim tendangan dengan kaki kiri, menendang ke arah bawah pusar Keng Hong. Pemuda ini tetap tidak menangkis atau mengelak, hanya menekuk sedikit kedua lututnya sehingga tubuhnya merendah dan tendangan itu mengenai pusarnya, "Krakkkk! Aduuuu-du-duuuuhhh…!!" Tosu itu kini mengangkat kaki kirinya ke atas, memegangi dengan tangan kiri dan berjingkrak-jingkrak dengan kaki kanan sambil mengaduh-ngaduh dan mendesis-desis kesakitan karena tulang-tulang jari kakinya remuk-remuk! Wanita itu menggigil dan menahan jerit dengan menutupkan tangan di depan mulut. Keng Hong memandang kepadanya dan berkata halus, "Engkau pulanglah cepat sebelum terlihat suamimu." Mendengar ini, wanita itu lalu menggerakkan kakinya berlari menuruni gunung tanpa berani menoleh lagi. Dari belakng tampak sepasang buah pinggulnya bergerak-gerak seperti menari-nari dan Keng Hong tertawa, mengenal seorang wanita hamba nafsu berahi, seperti Cui Im! "Totiang, sekarang ceritakanlah dengan sejelasnya keadaan Kun-lun-pai atau jawab terus terang kalau Totiang tidak ingin tulang-tulang Totiang patah-patah dan remuk semua. Nah, kumulai. Di manakah adanya Thian Seng Cinjin ketua Kun-lun-pai. *** Tosu itu agaknya menjadi lapang dadanya. Tadinya dia mengira akan ditanya mengenai perhubungannya dengan wanita dusun itu. Ia lalu menjatuhkan diri duduk di atas rumput, tangan kirinya sibuk mengelus-ngelus secara bergantian tangan kanan dan kaki kirinya yang patah-patah tulangnya sehingga rasa nyeri berdenyut-denyut sampai menembus ubun-ubun dan jantung. "Mengapa engkau menanyakan beliau? Thian Seng Cinjin kakek guruku itu telah meninggal dunia setahun yang lalu..." Keng Hong terkejut, teringat akan Cui Im yang meninggalkannya setahun yang lalu. "Apa..? Siapa pembunuhnya...? Sambil meringis tosu itu berkata, "Tidak ada yang membunuh, mati karena usia tua." "Ahhh!" Lapang rasa dada Keng Hong. "Dan Kiang Tojin di mana?" "Kiang-supek (uwak guru Kiang)? Ah, dia telah menjadi seorang hukuman di dalam ruangan hukuman murid-murid Kun-lun-pai!" "Apa? Siapa yang menghukumnya?" "Tentu saja ketua kami.." "Siapa ketua Kun-lun-pai?" "Dia? Eh, dia guru pinto.." Keng Hong menjadi marah mendengar bahwa Kiang Tojin, tokoh utama di Kun-lun-pai sesudah Thian Seng Cinjin dihukum di Kun-lun-pai. Mendengar jawaban-jawaban singkat ini, dia lalu menggerakkan tangannya dan dicengkeramnya pundak tosu itu. "Jangan main-main. Hayo lekas ceritakan siapa gurumu itu!" "Aduhhh…. Ampun..., guru pinto adalah Sian Ti Tojin.." "Aahhhh..!" Keng Hong teringat kepada dua orang tosu itu, Sian Ti Tojin dan Lian Ci Tojin. "Hayo cepat ceritakan apa yang telah terjadi! Ceritakan seluruhnya kalau kau tidak ingin semua tulangmu kupatahkan!" Keng Hong mengancam. "Ah, Keng Hong. eh, Taihiap…. Kasihanilah pinto, tidak ingatkah engkau betapa dahulu aku baik sekali kepadamu….?" Keng Hong tidak ingat lagi kepada tosu ini karena tosu Kun-lun-pai amat banyak, akan tetapi harus dia akui bahwa dahulu ketika dia menjadi kacung di Kun-lun-pai, semua tosu bersikap baik kepadanya. "Aku tidak akan mengganggumu asal saja kau suka bercerita sejujurnya tentang apa yang telah terjadi setelah Thian Seng Cinjin meninggal dunia dan apa yang menyebabkan Kiang Tojin sampai dihukum." Sambil menahan rasa nyeri di tubuhnya, tosu itu lalu bercerita, "Setelah kakek guru meninggal dunia setahun yang lalu, terjadilah perebutan kedudukan ketua di antara tujuh orang muridnya. Terutama sekali yang berebut adalah Kiang Tojin di satu fihak dan suhu Sian TI Tojin bersama susiok Lian Ci Tojin di lain fihak. Empat orang paman guru yang lain berfihak kepada suhu, karena menurut anggapan semua murid Kun-lun-pai, Kiang-supek terlampau keras dan bengis terhadap anak murid Kun-lun-pai!" "Hemmm, kurasa Kiang Tojin berada di fihak yang benar karena beliau adalah murid tertua, bahkan tadinya mewakili Thian Seng Cinjin. Aku yakin pula Kiang Tojin tidak akan kalah, biarpun menghadapi enam orang sutenya." "Memang tadinya tidak kalah. Perebutan kedudukan itu menjadi pertandingan dan tidak seorang pun di antara suhu dan para susiok dapat mengalahkan Kiang-supek yaang amat lihai, akan tetapi." "Akan tetapi apa? Hayo lanjutkan!" "Selagi suhu dan para sutenya terdesak oleh Kiang-supek, tiba-tiba muncul Ang-kiam Bu-tek..." "Apa? Bagaimana? Teruskan..!" Kali ini Keng Hong benar-benar terkejut sekali mendengar munculnya Cui Im di Kun-lun-pai. "Wanita cantik jelita itu sungguh hebat! Hebat bukan main! Tidak hanya hebat kecantikannya, hebat bentuk tubuhnya, akan tetapi hebat pula ilmu pedangnya sehingga Kiang-supek terluka begitu dia turun tangan membantu suhu dan para susiok. Kiang-supek terluka dan terpaksa menyerah, lalu dihukum dan suhu diangkat menjadi ketua Kun-lun-pai, sedangkan Lian Ci susiok amat beruntung, selain menjadi wakil ketua juga agaknya dapat bersahabat baik sekali dengan wanita yang seperti bidadari itu." "Katakan mengapa wanita itu mebantu suhumu menentang Kiang Tojin." "Ketika itu dia memaki-maki Kiang-supek, mengatakan bahwa beberapa tahun yang lalu Kiang-supek pernah menangkapnya dan hal itu dianggap penghinaan maka dia datang membalas dendam dan merobohkan Kiang-supek. Dia hebat sekali dan." Akan tetapi tubuh Keng Hong sudah berkelebat lenyap dari depan tosu itu yang saking kagum dan herannya sampai melongo, lupa akan rasa nyeri tubuhnya. Akan tetapi setelah keheranannya mereda, kaki tangannya yang patah tulangnya itu senut-senut, rasa nyeri menyusup tulang sumsum sehingga dia merintih-rntih lalu merangkak karena tak dapat berjalan. Keng Hong yang menjadi amat marah mendengar betapa Kiang Tojin dirobohkan Cui Im yang membantu tosu-tosu sesat macam Lian Ci Tojin dan Sian Ti Tojin, berlari cepat sekali mendaki puncak menuju ke dinding Kun-lun-pai yang sudah dekat dari tempat itu. Dia harus menolong Kiang Tojin, apapun yang terjadi, sebagai pembalasan atas segala kebaikan Kiang Tojin kepadanya. Karena kini ginkang yang dimiliki Keng Hong sudah mencapi tingkat tinggi sekali, maka tak lama kemudian dia telah tiba di pintu gerbang dinding tebal Kun-lun-pai yang terjaga oleh beberapa orang tosu. Munculnya Keng Hong menggegerkan para tosu yang segera mengenal pemuda berpakaian putih ini, dan cepat nmereka bersiap untuk menyerang sedangkan seorang penjaga cepat-cepat lari masuk untuk menyampaikan pelaporan mengenai munculnya pemuda yang sudah dikabarkan mati itu. "Totiang sekalian, aku datang bukan untuk memusuhi Kun-lun-pai, aku hanya ingin bertemu dan bicara dengan Sian Ti Tojin dan Lian Ci Tojin!" Keng Hong berkata dengan suara nyaring. "Kamu tunggu di luar! Tidak boleh kamu masuk mengotorkan dan mencemarkan lantai Kun-lun-pai dengan kakimu yang kotor!" bentak seorang tosu. Keng Hong memandang ke arah kedua kakinya yang tak bersepatu dan memang kotor, lalu dia menjawab, "Kaki kotor mudah saja dibersihkan dengan air, Totiang. Akan tetapi hati yang kotor sukar dicuci bersih! Apalagi kalau orang itu tidak merasa betapa kotor hatinya!" "Wah, masih saja amat sombong bocah ini!" teriak para tosu yang tetap melarang Keng Hong melewati pintu gerbang Mereka sudah berbaris menghadang di pintu dengan senjata mereka ditodongkan, siap untuk menyerang apabila Keng Hong memaksa. Diam-dia pemuda itu mengeluh. Betapa banyaknya perubahan pada partai Kun-lun-pai yang tadinya merupakan partai besar itu, merupakan temapat bertapa para tosu yang kasar dan galak ini, kelakuan tosu yang dia patahkan tulang kakinya, lebih pantas menjadi kelakuan dan sikap anak buah perampok! Dalam waktu lima tahun saja, alangkah banyaknya perubahan terjadi di Kun-lun-pai. Keng Hong menjadi makin penasaran dan dia berkata dengan suara tegas, "Totiang sekalian, Keng Hong bukanlah seorang yang tak mengenal budi dan aku telah berhutang budi diantara semua tosu di Kun-lun-pai, terutama sekali kepada Kiang Tojin aku berhutang budi. Ku harap Totiang sekalian suka melaporkan kepada Sian To Tojin dan Lian Ci Tojin karena aku hendak bicara dengan mereka. Aku tidak ingin menggunakan kekerasan terhadap Kun-lun-pai, akan tetapi kalau Totiang sekalian mencegah aku dengan kekerasan, apa boleh buat, aku akan memaksa masuk!" Dengan pandang matanya yang tajam Keng Hong dapat melihat bahwa yang bersikap keras dan memandang kepadanya dengan sinar mata menentang hanya beberapa orang saja, sedangkan yang lain-lain ketika dia menyebut nama Kiang Tojin sudah menundukkan pandang mata mereka seolah-olah mereka menyimpan atau menyembunyikan perasaan hati mereka. Namun Keng Hong sudah awas dan maklum bahwa sebagian besar para tosu yang menjadi anak murid Kun-lun-pai ini masih setia kepada Kiang Tojin, hanya karena mereka bertekun dan takut kepada ketua dan wakilnya yang baru, terutama kepada Sian Ti Tojin yang merupakan orang ke dua sesudah Kiang Tojin, maka mereka terpaksa tunduk kepada perintah kedua orang tosu yang memegang pimpinan baru di Kun-lun-pai itu. Keng Hong sudah bersiap-siap untuk menggunakan kepandaiannya merobohkan mereka yang bersikap keras dan melewati mereka yang pandang matanya ragu-ragu, dan para tosu itu pun sudah siap mengeroyoknya. Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. "Mundurlah kalian semua!" Semua tosu merangkapkan kedua tangan dan mundur ke kanan kiri, memberi jalan orang yang meneriakkan perintah itu. Tampak oleh Keng Hong dua orang tosu dan dia menahan ketawanya. Geli dan mengkal hatinya melihat lagak dua orang tosu yang dikenalnya sebagai Sian Ti Tojin dan Lian Ci Tojin ini, yang berjalan dengan dada membusung, sedangkan di belakang kedua orang ini tampak empat orang tosu tokoh Kun-lun-pai murid Thian Seng Cinjin. Kalau tidak ada Kiang Tojin, maka Sian Ti Tojin sebagai murid kedua dari Thian Seng Cinjin memang merupakan tokoh tertua dan terpandai. Akan tetapi Lian Ci Tojin hanya merupakan murid ke lima. Mengapa Sian Ti Tojin memilih dia sebagai wakil ketua, tidak sute-sutenya yang menjadi murid ke tiga dan ke empat? Hal ini mudah dimengerti melihat keakraban mereka dan kecocokan mereka dalam menghadapi KiangTojin pada waktu-waktu yang lalu. Sian Ti Tojin memakai pakaian kebesaran ketua Kun-lun-pai, dengan jubah pendeta bersulam benang perak, kepalanya memakai pelindung kepala yang indah dan membuat wajahnya tampak angker. Tangannya memegang sebatang tongkat yang dikenal oleh Keng Hong sebagai tongkat milik Thian Seng Cinjin, yang agaknya menjadi tanda pangkat ketua Kun-lun-pai! Adapun Lian ci Tojin membuat hati Keng Hong lebih panas lagi. Tosu ini berpakaian indah dan juga tersulam benang perak dan yang menggelikan adalah rambutnya yang licin mengkilap oleh minyak, wajahnya terpelihara seperti wajah seorang pria muda pesolek, di punggungnya tergantung sebatang pedang yang gagangnya terukir indah. Kedua orang tosu ini memandang Keng Hong dengan sinar mata penuh selidik. Sedangkan sikap empat orang tosu lainnya masih biasa saja, namun mereka mengerutakan kening dan siap mempertahankan Kun-lun-pai jika pemuda ini kembali hendak mendatangkan kekacauan. "Cia Keng Hong, kiranya engkau yang datang menghadap?" berkata Sian Ti Tojin dengan suara halus. "Kami bersyukur kepada Thian bahwa engkau ternyata masih hidup, tidak mati seperti disangka semua orang!" Keng Hong menjawab dengan hornat, "Terima kasih atas kebaikan totiang." "Keng Hong, engkau pernah menjadi kacung Kun-lun-pai.Suheng kini menjadi ketua Kun-lun-pai, sepatutnya engkau memberi hormat dan menyebutnya locianpwe," kata Lian Ci Tojin. Keng Hong diam-diam dapat membedakan watak kedua orang ini. Sian Ti Tojin memperlihatkan sikap halus lembut, sikap yang sepatutnya dimiliki seorang ketua partai besar. Namun sikap Lian Ci Tojin membayangkan kekerasan dan suka membanggakan kekerasan dan suka membanggakan kekuasaan. "Tidak mengapa, memang orang muda kurang pengalaman dan kurang pengertian tentang tatacara. Cia Keng Hong, ada keperluan apakah engkau muncul di sini? Apakah engkau datang untuk mohon maaf atas kelakuanmu dahulu yang membikin kacau dan rugi nama besar Kun-lun-pai? Ataukah engkau akan menebus kesalahan menipu kami dengan memberikan pedang palsu dan kini hendak menyerahkan Siang-bhok-kiam yang tulen?" suara Sian Ti Tojin tetap halus dan sikapnya tenang sekali. "Tidak sama sekali, Totiang." Keng Hong tetap menyebut totiang kepada ketua baru yang di dalam hatinya tidak dia akui ini sambil melirik ke arah Lian Ci Tojin. Yang mulai merah mukanya. "Aku datang untuk menghadap Kiang Tojin. Di manakah Kiang Tojin? Harap suka mohon beliau keluar untuk menerima aku datang menghadap beliau." Cara Keng Hong bicara jelas membayangkan bahwa kita menempatkan Kiang Tojin ditingkat lebih tinggi daripada Sian Ti Tojin yang kini menjadi ketua. Hal ini dirasakan oleh semua tosu dan mereka semua memandang dengan hati tegang. "Cia keng Hong! Kiang Tojin tidak dapat menemuimu pada saat ini. Semua urusan yang hendak kau kemukakan boleh kau sampaikan kepada pinto sebagai ketua Kun-lun-pai," kata Sian Ti Tojin. "Kenapa Kiang Tojin tidak dapat menemuiku? Apakah beliau sakit? Aku mendengar berita bahwa Thian Seng Cinjin locianpwe telah meninggal dunia. Sepanjang pengetahuanku, bukankah Kiang Tojin dahulu dan menjadi calon ketua Kun-lun-pai?" "Cia Keng Hong! Engkau tetap bocah lancang seperti dahulu! Siapakah engkau ini yang usil dan hendak mencampuri urusan dalam Kun-lun-pai? Keng Hong menjawab dengan hormat, "Terima kasih atas kebaikan Totiang." "Hemm, Lian Ci Totiang, memang aku tetap bocah yang dulu, dan kalau perlu, penting juga bersikap lancang. Aku tidak mencampuri urusan dalam Kun-lun-pai. Setelah kini Thian Seng Cinjin meninggal, mengapa beliau tidak menjadi ketua,bahkan tidak diperbolehkan menemuiku? Apakah beliau telah menjadi orang yang tidak bebas lagi? Apakah beliau kalian hukum?" Para tosu memandang pemuda itu dengan mata terbelalak. Lian Ci Tojin dan Sian Ti Tojin sejenak saling bertukar pandang, kemudian Sian Ti Tojin mengetukkan tongkatnya pada tanah dengan lagak seorang ketua yang kehilangan kesabaran, akan tetapi suaranya tetap halus. "Cia keng Hong, engkau bukan anak murid Kun-lun-pai dan sesungguhnya tidak berhak untuk mengetahui urusan dalam Kun-lun-pai. Akan tetapi mengingat bahwa engkau adalah bekas kacung kami, dan mengingat hubungan antara engkau dan Kiang-suheng, baiklah kau ketahui urusan dalam yang semestinya menjadi rahasia perkumpulan kami. Setelah suhu meninggal, terjadilah perbedaan pendapat antara Kiang-suheng dan kami. Seperti sudah lazim, perbedaan pendapat dalam penggantian ketua ini diselesaikan dengan cara kami, yaitu menguji kepandaian. Dia yang paling pandai berhak menjadi ketua. Karena Kiang-suheng menggunakan kekerasan, kami bertanding, pinto menang dan menjadi ketua sedangkan Kiang-suheng karena berdosa telah memancing keributan dan pertentangan antara saudara sendiri, diwajibkan menebus dosa di ruangan.." Sampai di sini Sian Ti Tojin berhenti, merasa sudah terlalu banyak bicara. Di ruangan menebus dosa atau ruangan hukuman! Aku sudah tahu, Sian Ti Tojin, dan aku tahu pula bahwa ruangan itu disediakan bagi para tosu yang telah melakukan pelanggaran, baik pelanggaran, baik pelanggaran hukuman perikemanusiaan. Para tosu yang memperkosa gadis orang dan yang bersekutu dengan orang lain untuk menjatuhkan saudara sendiri pun termasuk pelanggaran-pelanggaran yang harus dihukum, bukan?" Ucapan Keng Hong ini membuat wajah para tosu anak murid Kun-lun-pai menjadi pucat. Sian Ti Tojin menggerakkan kepala ke belakang dan matanya menyinarkan kemarahan yang tak tertutupinya lagi. " “Bocah lancang mulut! Apa maksudmu?" Keng Hong tersenyum ketika melihat ke arah Lian Ci Tojin dan melihat tosu ini pucat mukanya dan meraba gagang pedang di punggung, lalu berkata, "Aku tidak bermaksud mencampuri urusan Kun-lun-pai. Aku tidak peduli apakah Kiang Tojin kalian hukum atau kalian apakan asal saja memang sudah semestinya demikian dan tidak ada yang yang melanggar kebenaran dan keadilan. Aku datang hanya untuk bertemu dengan KiangTojin." "Bocah sinting, minggat kau dari sini!" bentak Lian Ci Tojin sambil menyerang pedangnya, ditusukkan ke arah dada Keng Hong dengan gerakan cepat dan kuat sekali. Dia tidak takut menghadapi Keng Hong karena selama lima tahun ini dia dan terutama suhengnya telah menggembleng diri agar kuat mempertahankan kedudukan mereka sebagai ketua dan wakil ketua Kun-lun-pai. "Hemmm, gerakanmu cukup baik, akan tetapi kurang isi karena kau kotori dengan watak dengki, kejam dan penuh kebencian, Lian Ci Tojin," kata Keng Hong sambil mengelak dengan amat mudahnya. Dia tidak banyak bergerak hanya miringkan tubuh tanpa mengubah kedudukan kedua kakinya. Melihat betapa tusukannya hanya lewat saja di dekat dada Keng Hong, Lian Ci Tojin membalikkan pergelangan tangannya dan kini pedang itu membabat turun memenggal atau membacok ke arah pinggang. "Plakkk!" Keng Hong melangkah mundur dan mengangkat kakinya, menampar pedang itu dari samping dengan tendangan kakinya. Kelihatannya perlahan saja dia menendang, namun pedang itu hampir terlepas dari pegangan Lian Ci Tojin yang ikut terpental dan berputar setengah lingkaran. Ketika dia memandang, Keng Hong telah meloncat jauh melampaui kepala para tosu. "Kejar dia! Jangan perbolehkan dia masuk! Bentak Sian Ti Tojin yang meloncat pula dengan gerakan cepat sekali, seperti melayang melampaui kepala anak buahnya. Akan tetapi dia tercelik karena Keng Hong tidak terus meloncat ke dalam, melainkan menyambar balok atap dan mengayun tubuhnya mencelat ke atas genteng. "Ha-ha-ha, Sian Ti Tojin, engkau sudah pucat ketakutan, khawatir rahasiamu terbuka. Haa-ha-ha, betapa memalukan rahasia itu. Engkau merampas kedudukan ketua dari tangan suhengmu sendiri, sama sekali bukan mengandalkan kepandaian, sama sekali bukan karena engkau lebih lihai daripada Kiang Tojin, melainkan karena engkau dibantu oleh seorang tokoh kaum sesat, dibantu oleh Ang-kiam Tok Sian-li Bhe Cui Im yang dahulu menjadi murid Lam-hai Sin-ni dan yang kini memakai julukan Ang-kiam Bu-tek. Eh, Lian Ci Tojin, bukankah engkau telah menjadi sahabat baiknya? Dia manis sekali, bukan? Apakah engkau suka mencium tahi lalat merah di tubuhnya? Ha-ha-ha!" Entah bagaimana, dalam kemarahannya ini Keng Hong tidak menyadari bahwa dia bersikap gembira dan nakal, tidak menyadari bahwa kini dia telah bersikap persis seperti sikap Sin-jia Kiam-ong di waktu muda. Dia ingat bahwa di tubuh Cui Im terdapat sebuah tahi lalat merah, maka dia sengaja mengejek Lian Ci Tojin yang dia dapat menyangka tentu melayani gadis cantik dan lihai itu dalam bermain asmara, karena biarpun usianya sudah empat puluh lima puluh lebih, mungkin lima puluh tahun, tosu ini termasuk seorang pria yang gagah dan tampan. Apalagai kalau dia ingat betapa Lian Ci Tojin kurang kuat menahan nafsunya sehingga sampai hati melakukan pemerkosaan terhadap seorang, yaitu Tan Hun Bwee. "Binatang kurang ajar!" Lian Ci Tojin dalam kemarahannya karena terdorong malu, membuat gerakan dengan kedua kakinya, memutar tubuh dan kedua lengan kemudian secara tiba-tiba sekali tangan kanannya sudah melontarkan pedangnya yang meluncur seperti anak panah, lebih cepat lagi malah, menuju ke perut Keng Hong. Pedang itu berubah menjadi sinar terang saking lajunya, dan mengeluarkan suara berdesing. Keng Hong setelah mempelajari kitab Thai kek Sin-kun peninggalan Thai Kek Couwsu yang merupakan inti sari ilmu silat Kun-lun-pai, mengenal gerakan itu, dan cepat dia melompat ke samping sambil menyambar pedang itu dengan kedua jari tangan telunjuk dan jari tengah, mengepitnya, kemudian meloncat turun kembali. Enam orang murid thian Seng Cinjin terkejut dan melongo. Yang diperlihatkan Keng hong dalam menyambut pedang yang disambitkan tadi adalah jurus Yan-cu-phok-li (Burung Walet Menyambar Ikan), jurus yang khusus dalam ilmu silat Kun-lun-pai untuk menghadapi serangan yang khusus pula, yaitu penyambitan pedang yang disebut jurus terakhir Sin-lion-hian -bwe (Naga Sakti Mengulur Buntut). "Hemmm, Lian Ci Tojin, betapapun kejam dan ganas hatimu, namun jurus Sin-liong-hian-bwe ini masih jauh dari pada sempurna. Melontar pedang menuju sasaran barulah tepat kalau pencurahan perhatian memusat pada satu titik, akan tetapi pikiranmu sudah banyak bercabang, di antaranya bercabang pada kedudukan, pada kemewahan, dan terutama sekali bercabang kepada kulit kuning wajah cantik! Kau lihatlah baik-baik dan baru tahu bahwa sesungguhnya Sin-liong-hian-bwe dari Kun-lun-pai amatlah lihainya!" Keng Hong yang berada di atas genteng itu menggerakkan kedua kakinya dan tubuhnya berputar seperti yang dilakukan Lian Ci Tojin tadi, kemudian dia melontarkan pedang yang ditangkapnya tadi ke arah Lian Ci Tojin. Pedang itu meluncur bagaikan kilat menyambar, tidak mengeluarkan bunyi akan tetapi justeru tidak berbunyi inilah yang amat lihai. Dapat menyambitkan pedang sedemikian cepatnya tanpa pedang itu mengeluarkan bunyi, benar-benar merupakan kemahiran dan tingkat yang terlalu tinggi bagi para murid Thian Seng Cinjin. Lian Ci Tojin kaget bukan main. "Celaka …!" serunya dan dia cepat menggunakan gerakan yan-su-phok-hi untuk menghindarkan diri. Ia meloncat, membalik dan tangannya bergerak, bukan untuk menjepit pedang karena kecepatan pedang itu membuat tosu ini jerih untuk menjepitnya dengan dua jari tangan, maka sebagai gantinya dia menggebut pedang itu dengan itu menyambar terlalu cepat dan ketika dia kebut dengan ujung lengan bajunya Akan tetapi pedang itu menyambar terlalu cepat dan ketika dia kebut dengan ujung lengan baju, masih meluncur terus bahkan ujung lengan bajunya yang buntung. "Aihhh...!" Lian Ci Tojin menjadi pucat melihat pedang itu tadi telah menyambar dan membabat putus segumpal rambutnya dan kini rambut segumpal bersama kain dengan lengan baju sepotong yang tadi terbabat dan menyangkut pada gagang pedang, tampak di atas tanah, tertikam pedang yang amblas sampai ke gagangnya ke dalam tanah! Gegerlah para tosu menyaksikan hal ini, terutama sekali enam orang pimpinan Kun-lun-pai menjadi pucat mukanya. Mereka maklum bahwa pemuda itu kini telah menjadi orang yang lihai sekali dan amatlah berbahaya bagi Sian Ti Tojin dan Lian Ci Tojin kalau tidak segera dibinasakan. "Kejar! Kepung! Bunuh!" Sian Ti Tojin berseru keras dan semua tosu yang mentaati perintahnya telah mengepung tempat itu dan siap untuk meloncat naik ke atas genteng mengeroyok Keng Hong "Heh, para tosu Kun-lun-pai, dengarlah baik-baik!" Keng Hong berteriak dan karena pemuda ini menggunakan tenaga khikang, maka suaranya menggetarkan jantung semua tosu, terasuk tokoh-tokohnya sehingga mereka terkejut sekali, bahkan beberapa orang anak murid Kun-lun-pai yang masih belum kuat benar sinkangnya, kedua kaki mereka menjadi lemas dan mereka roboh terguling begitu mendengar suara Keng Hong yang mengandung getaran khikang yang amat kuatnya itu. "Menurut aturan sesungguhnya Kiang Tojin yang patut menjadi ketua Kun-lun-pai, selain beliau adalah murid tertua mendiang Thian Seng Cinjin, juga memiliki tingkat kepandaian tertinggi dan mempunyai pula sifat-sifat yang berdisiplin , bijaksana, berpemandangan luas. Akan tetapi kedudukan ketua telah dirampas oleh Sian Ti Tojin secara curang, yaitu menggunakan bantuan seorang iblis betina golongan sesat. Kalau kalian insyaf, demi menjaga nama besar Kun-lun-pai, bebaskan Kiang Tojin dan angkat beliau sebagai ketua! Aku tidak ingin mencampuri urusan Kun-lun-pai, hanya memberi nasihat mengingat bahwa aku pernah hidup di sini. Sekarang, aku ingin berjumpa dan bicara dengan Kiang Tojin. !" Dari atas genteng Keng Hong dapat melihat jelas betapa pada wajah sebagian besar para tosu Kun-lun-pai tampak keraguan dan bahkan persetujuan dengan anjurannya itu, maka berisiklah keadaan di bawah itu karena para tosu saling berbisik-bisik. "Diam semua! Siapa hendak memberontak akan kubunuh dengan tongkatku ini!" Sian Ti Tojin membentak dan diamlah para tosu itu. "Hayo kalian membantu pinto menangkap dan membunuh pengacau Kun-lun-pai itu!" Para tosu kembali menjadi berisik sekali dan mereka itu, seperti rombongan semut diganggu bersiap untuk mengeroyok Keng Hong. *** "Tahan semua..!" Tiba-tiba terdengar nyaring dan sesosok tubuh berkelebat naik ke atas genteng. Tahu-tahu Kiang Tojin telah berdiri di depan Keng Hong! "Cia Keng Hong, engkau pengacau terbesar di dunia! Mau apa engkau hendak berjumpa dengan pinto? Masih ada muka untuk bicara dengan pinto? Bicara apa lagi?" Kiang Tojin membentak Keng Hong dengan sikap keren dan mata memancarkan kemarahan. Keng Hong memandang tosu penolongnya itu dan hatinya terharu. Pakaian tosu ini kumal dan robek-robek, rambut kusut, wajahnya pucat dan tubuhnya kurus sekali. Kedua lengannya diborgol pada pergelangan tangan. Yang masih tetap tampak bersemangat bahkan kini lebih tajam sinarnya adalah sepasang mata kakek ini. Keng Hong cepat menjura dengan penuh hormat dan menjawab. "Totiang, mohon maaf atas kelancangan saya.Akan tetapi saya mendengar bahwa Totiang dicurangi, bahkan dihukum dan saya datang dengan maksud membantu.." "Pinto tidak membutuhkan bantuanmu, Keng Hong. Dan tentang urusan kedudukan ketua Kun-lun-pai, tongkat ketua telah di tangan suteku Sian Ti Tojin, juga urusan dalam Kun-lun-pai. Engkau tidak berhak..." "Kalau saya tidak berhak mencampuri, mengapa Ang-kiam Bu-tek mencampurinya dan membantu mereka yang merampas kedudukan Totiang?" Tiba-tiba sepasang mata itu menjadi makin bersinar marah. "Perempuan itu! Tidak menyebutnya masih tidak mengapa, akan tetapi setelah menyebutnya, betapa... tidak punya malu engkau, Cia keng Hong!" "Eh, apakah maksud Totiang ?" Tosu tua itu memandang Keng Hong dengan kepala dikedikkan ke belakang matanya memandang setengah terkatup dan cuping hidungnya bergetar. "Cia Keng Hong, engkau menolak permintaan banyak tokoh kang-ouw gagah perkasa yang menginginkan pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong. Andaikata engkau mengkhianati gurumu dan menyerahkan pusaka itu kepada para tokoh kang-ouw yang akan mempergunakan untuk perjuangan membela kebenaran dan keadilan, itu sih masih tidak mengapa. Akan tetapi engkau telah menyerahkan pusaka gurumu kepada seorang wanita seperti murid Lam-hai Sin-ni! Cia Keng Hong , kemana larinya kesadaran dan kebijaksanaanmu?" "Saya tidak menyerahkan ,melainkan dia yang telah mencurinya. Kiang-totiang, mengapa Totiang membiarkan pengaruh jahat menyelundup ke Kun-lun-pai? Apakah sudah tepat kalau Totiang mengalah dan menerima dihukum begitu saja dan membiarkan Kun-lun-pai melalui jalan yang menuju ke arah penyelewengan? Apakah pertanggungan jawab Totiang terhadap Kun-lun-pai, terhadap Thai Kek Couwsu pendiri Kun-lun-pai? Kemana larinya kesetiaan Totiang terhadap Kun-lun-pai?" "Cia Keng hong, tutup mulutmu dan jangan mencampuri urusan Kun-lun-pai. Pinto sudah dikalahkan, tongkat ketua telah dirampas, mau berkata apa lagi? Biarlah, ini adalah urusan pribadi pinto sendiri!" "Demikian pula, urusan peninggalan harta pusaka suhu adalah urusan pribadi saya, Totiang. Tidak perlu orang lain memusingkannya. Sekarang, saya pun tidak mau mencampuri urusan Totiang dengan Kun-lun-pai, akan tetapi saya ingin menyampaikan pesan Thai Kek Couwsu kepada Totiang." "Iiiihhhh...!!!" Terdengar seruan-seruan kaget dari para tosu di bawah genteng. "Keng Hong, apa yang kau katakan ini? Keng Hong, bocah yang sejak dahulu pinto anggap sebagai putera sendiri. Ah, benarkah engkau begini kejam, selain selalu mendatangkan rasa kecewa, kini malah berani menggunakan nama Couwsu untuk main-main di depan pinto?" Kiang Tojin memandang dengan muka sedih dan suara gemetar. Keng Hong terharu sekali dan menjatuhkan diri berlutut. "Tidak, Totiang, saya mana berani mempermainkan Totiang yang saya junjung tinggi dan yang tak pernah saya lupakan budi Totiang yang amat besar terhadap saya? Saya telah menemukan rangka Thai kek Couwsu, bahkan saya telah menyempurnakannya dengan membakar rangkanya dan menyebarkan abunya di atas lereng batu pedang." "Siancai.. siancai.. siancai...!" Terdengar Kiang Tojin dan para tosu berdoa sambil menundukkan kepala. "Cia Keng Hong, untuk kesekian kalinya pinto percaya akan segala keteranganmu ini. Bangkitlah dan katakanlah apa yang kau maksudkan dengan menyampaikan pesan Couwsu kami kepada pinto tadi." Keng Hong bangkit berdiri dan mengeluarkan kitab kuno peninggalan Thai Kek Couwsu, dipegangnya dengan suara lantang. "Saya mendapatkan kitab pusaka peninggalan Thai Kek Couwsu ini di atas meja dekat rangka Thai Kek Couwsu dan karena di situ terdapat pesan agar kitab pusaka ini diserahkan kepada calon ketua yang baik dari Kun-lun-pai , maka saya anggap bahwa Kiang Tojin seoranglah yang berhak menerimanya!" "Bocah jahat, berani engkau mengacau Kun-lun-pai? Serahkan kitab itu kepada pinto!" teriak Sian Ti Tojin dan tubuh ketua baru Kun-lun-pai ini meloncat naik ke atas genteng dengan cepat sekali dan berada di atas kepala Keng Hong, kemudian tubuh itu membalik dan menukik membuat salto, tongkatnya ke bawah dan meluncur dalam penyerangannya, menusuk ubun-ubun Keng Hong, sedangkan tangan kirinya meraih ke depan merampas kitab,. Melihat betapa sutenya menggunakan jurus maut dengan ilmu tongkatnya ini, Kiang Tojin berseru terkejut, "Sute..!" "Aha, Sian Ti Tojin, masa sebagai ketua Kun-lun-pai, jurusmu Hek-liong-lo-hai hanya seperti ini? Jauh kurang sempurna..!" Keng Hong berkata cepat ketika menyaksikan gerakan serangan ketua Kun-lun-pai itu. Ia tidak mengelak, malah merendahkan tubuhnya sampai berjongkok dan menanti sampai tongkat itu dekat di atas ubun-ubunnya. Baru dia cepat-cepat miringkan pundak dan kepala, secepat kilat tangan kirinya menyambar ujung tongkat, dibetot terus ke bawah lalu dikempit sedangkan kaki kanannya secara tiba-tiba menendang perut Sian Ti Tojin! Kakek ini terkejut, mempertahankan tongkatnya berarti perutnya akan tertendang dan dia mengenal jurus yang lihai ini dan tahu pula bahwa pemuda ini memiliki sinkang yang luar biasa sekali. Menurut peraturan, tongkat pegangan ketua yang merupakan "tongkat komando" sama harganya dengan nyawa si ketua, sama sekali tidak boleh terampas lawan. Tentu saja Sian Ti tojin sebagai ketua baru Kun-lun-pai, juga amat sayang kepada tongkatnya itu, akan tetapi ternyata menghadapi bahaya maut, tosu ini lebih sayang nyawanya daripada tongkatnya. Hal ini terbukti ketika dia melepaskan tongkatnya untuk menyelamatkan diri dengan meloncat ke belakang. Akan tetapi gerakannya kurang cepat dan ujung kaki Keng Hong masih saja menendang paha Sian Ti Tojin sehingga kakek ini berteriak nyaring dan tubuhnya terlempar ke bawah genteng. Untung kepandaiannya cukup tinggi sehingga dia dapat berjungkir balik dan tidak sampai terbanting. Pada saat yang hampir bersamaan tadi, Lian Ci Tojin juga melayang naik sambil membawa pedangnya yang sudah dia cabut dari atas tanah. Ia pun menggunakan pedang itu menyerang Keng Hong dengan bacokan dahsyat, tepat pada saat Keng Hong habis menendang roboh Sian Ti Tojin. "Ngo-sute (adik kelima), sungguh keterlaluan engkau!" Kiang Tojin berkata dan sebelum Keng Hong bergerak menyambut serangan Lian Ci Tojin, Kiang Tojin sudah mengangkat kedua tangannya yang terbelenggu dan menyambut sambaran pedang itu. "Cring-tranggggg..! Auhhh!" Tubuh Lian Ci Tojin juga terlempar ke bawah gentang, pedangnya terlepas dari pegangan ketika bertemu dua kali dengan baja belenggu dan dia roboh oleh tendangan Kiang Tojin yang gerakannya sama dengan gerakan Keng Hong merobohkan Sian Ti Tojin tadi! "Cia Keng Hong, bagaimana engkau dapat mengenal Hek-liong-lo-hai tadi dan dapat mainkan jurus Hui-eng-coan-in (Garuda Terbang menerjang Awan) tadi? Kedua jurus itu adalah jurus-jurus simpanan tingkat tinggi dari Kun-lun-pai!" tegur Kiang Tojin, lebih merasa kagum akan kesempurnaan gerakan Keng Hong yang bahkan melebihi gerakannya sendiri itu daripada marah dan penasaran. Keng Hong kembali menyodorkan kitab pusaka itu dengan kedua tangannya kepada Kiang Tojin. "Maaf, Totiang, saya bukan sengaja mencuri dan tidak akan saya berani membuka rahasia ilmu-ilmu itu kepada orang lain. Saya mendapatkannya dari sini, dan terimalah pusaka peninggalan Thai Kek Couwsu ini! Dan karena Sian To Tojin telah begitu baik hati untuk menyerahkan tongkat ketua kepada Totiang, sebaiknya Totiang menerimanya sekalian!" Kiang Tojin tertegun, seperti orang terpesona dia memandang ke arah kitab, suaranya gemetar dan kedua kakinya menggigil ketika dia bertanya lirih, "Keng Hong, bersumpahlah. Benarkah kitab itu peninggalan Couwsu?" "Saya bersumpah demi kehormatan saya, Totiang." Mendengar ini, Kiang Tojin menerima kitab dengan kedua tangan, membukanya dan membaca huruf-huruf indah di halaman pertama: THAI-KEK-SIN-KUN INI DICIPTA UNTUK CALON-CALON KETUA KUN-LUN-PAI. Wajah Kiang Tojin makin berseri ketika dia membuka-buka kitab itu, kemudian mengangkat tinggi-tinggi kitab itu di atas kepalanya, menghadapi semua tosu di bawah genteng dan berteriak, "Para murid Kun-lun-pai! Kitab ini benar-benar peninggalan Couwsu kita! Marilah kita menghaturkan terima kasih kepada Couwsu!" Kiang Tojin ,menjatuhkan diri berlutut dan semua tosu di bawah genteng pun lalu menjatuhkan diri berlutut di atas tanah! "Teecu sekalian menghaturkan syukur dan terima kasih atas budi kecintaan Couwsu yang telah meninggalkan kitab teecu sekalian. *** Teecu bersumpah untuk menjunjung tinggi peninggalan Couwsu dan mencamkan semua ajaran Couwsu!" Wajah Kiang Tojin berseri-seri dan matanya bersinar ketika dia bangkit berdiri lagi. Dengan lantang dia berkata, "Engkau benar, Keng Hong. Kesulitan-kesulitan dan urusan-urusan pribadi harus disingkirkan dan dikesampingkan jika menghadapi urusan perkumpulan! Kun-lun-pai perlu dibangun, perlu diperkuat dan karena couwsu berkenan meninggalkan pusaka ini kepada pinto, maka pinto berhak menjadi ketua! Juga tongkat ketua, berkat ketangkasanmu, telah dapat dirampas kembali. Siapakah di antara para saudara yang tidak setuju kalau pinto menjadi ketua Kun-lun-pai?" Tak seorang pun di antara para tosu berani mengeluarkan suara, bahkan empat orang tosu yang menjadi adik-adik seperguruan Kiang Tojin, memandang kepada kakek seperguruan tertua itu dengan sinar mata penuh harapan. Kemudian semua tosu mengerling ke arah Sian Ti Tojin dan Lian Ci Tojin yang berdiri dengan muka pucat. "Cia Keng Hong, selama hidup pinto takkan melupakan perbuatanmu ini dan sekali waktu pinto akan membalas dendam ini!" bentak Lian Ci Tojin sambil mengertakkan giginya. "Cia Keng Hong, engkau telah berani merampas tongkat ketua dan menggunakan kekerasan untuk mencampuri urusan Kun-lun-pai. Selamanya Kun-lun-pai akan mengutukmu dan menganggapmu sebagai musuh besar!" kata pula Sian Ti Tojin. Keng Hong tertawa, "Pemutarbalikan fakta merupakan fitnah keji, Ji-wi Totiang. Aku tidak mencampuri urusan Kun-lun-pai dan tentang tongkat, siapakah yang bergerak lebih dulu melakukan serangan ? Aku hanya membela diri dan salahmu sendiri mengapa sebagai ketua kurang sempurna ilmumu, dan mengapa pula kau meninggalkan tongkatmu ke tanganku. Bukankah seorang ketua Kun-lun-pai harus menjaga tongkatnya seperti menjaga nyawa sendiri? Sekarang terserah kepadamu. Lawanlah Kiang Tojin kalau memang kau merasa lebih berhak dan lebih pandai. Adapun aku.., hemm, aku hanya menjadi saksi dan aku yang akan turun tangan menghadapinya kalau kau minta bantuan tokoh-tokoh kaum sesat!" Melihat betapa dua orang tosu itu diam saja, hanya memandang kepada Keng Hong dengan pandang mata melotot penuh kebencian, Kiang Tojin lalu menggerakkan kedua tangannya dan terdengarlah suara berkerotokan ketika belenggu pergelangan tangannya patah-patah. "Ji-sute dan Ngo-sute, kalian juga mengerti sendiri mengapa pinto mengalah. Pertama untuk memenuhi janji bahwa siapa yang kalah harus memberikan kedudukan ketua. Pinto telah kalah oleh Ang-kiam Bu-tek yang mewakilimu, dan tongkat ketua telah dapat dirampas dari tangan pinto. Hanya karena pinto tidak mmenghendaki perpecahan di Kun-lun-pai sesuai dengan pesan suhu, maka pinto mengalah, suka diperlakukan sebagai orang hukuman. Andaikata pinto tidak mau menerima dan melawan setelah Ang-kiam Bu-tek pergi tentu kalian berdua tidak akan mampu melawan dan mengalahkan pinto. Kini, pinto sadar bahwa sesungguhnya kalian telah menyelewengkan Kun-lun-pai dan bahwa sikap mengalah dari pinto tidak benar, bahkan merupakan pengkhianatan terhadap Kun-lun-pai, terhadap suhu yang telah menaruh kepercayaan kepada pinto. Dahulu tongkat ini dirampas dari tangan pinto oleh Ang-kiam Bu-tek, kini kembali ke tangan pinto atas bantuan Cia Keng Hong. Hal ini sudah sewajarnya maka pinto suka menerima kembali ini. Apalagi setelah pinto harus meminpin para anak murid Kun-lun-pai seperti yang dikehendaki pendirinya yaitu Couwsu kita!" "Kiang Tojin, kelak kita akan saling berjumpa kembali!" Terdengar suara Sian Ti Tojin penuh kemarahan dan dendam. "Mulai detik ini, aku bukan lagi tosu Kun-lun-pai!" "Sute...!!" Kiang Tojin berseru, akan tetapi Sian Ti Tojin sudah menoleh kepada Lian Ci Tojin dan berkata singkat, "Hayo kita pergi!" Dua orang tosu itu sudah meloncat pergi. Keng hong bergerak hendak mengejar sambil berkata lirih, "Dia harus dibasmi..!" Kiang Tojin mengira bahwa Keng Hong hendak mebunuh mereka karena sikap mereka sebagai murid-murid Kun-lu-pai yang murtad, maka dia cepat mencegah, "Jangan, biarkan mereka pergi.. ini urusan Kun-lun-pai…." Sebetulnya Keng Hong berniat membunuh Lian Ci Tojin atas perbuatannya terhadap Tan Hun Bwee dahulu, akan tetapi mendengar cegahan ini, dia menjadi tidak enak hati terhadap Kiang Tojin dan mengurungkan niatnya. Sikap dua orang tokoh Kun-lun-pai itu sudah cukup menghancurkan hati Kiang Tojin. Para tosu yang tadinya bersekutu dengan Lian Ci Tojin dan Sian Ti Tojin menjadi ketakutan sendiri dan mereka itu menerima dengan penuh kerelaan hati ketika Kiang Tojin mengatakan bahwa siapa yang merasa bersalah dipersilakan untuk menghukum diri sendiri di dalam ruangan "pencuci dosa" dan kamar-kamar "penyesalan diri". Berbondong-bondong para tosu yang merasa bersalah, hampir dua puluh orang banyaknya, pergi memasuki tempat-tempat yang khusus di adakan oleh Kun-lun-pai untuk menyesali perbuatan sendiri yang tersesat bagi murid-murid Kun-lun-pai. Diam-diam Keng Hong menjadi girang dan juga kagum sekali. Ternyata bahwa Kiang Tojin masih cukup berwibawa dan para tosu yang bermain asmara dengan wanita dusun di lereng gunung dan dia tersenyum sendiri. Salahkah tosu itu? Tidak ! Tidak salah, hanya lemah terhadap pantangan yang memang diadakan oleh golongan mereka dan yang sudah diakui olehnya sendiri! Bersalah kiranya orang yang melanggar larangan yang sudah diakuinya sendiri bahwa larangan itu tak boleh dilanggar. "Keng Hong, kedatanganmu seperti datangnya dewa yang menyadarkan pinto dari mimpi buruk. Dan besar sekali budimu terhadap Kun-lun-pai dan terhadap Couwsu kami. Tidaklah percuma kiranya ketika Thian dahulu menggerakkan hati pinto untuk membawamu ke sini, Keng Hong. Sekarang ceritakanlah, bagaimana engkau dapat menemukan tempat bertapa mendiang Couwsu, dan bagaimana pula semua pusaka gurumu sampai dapat tercuri oleh Ang-kiam Tok-sian-li yang sekarang menjadi begitu lihai dan berjuluk Ang-kiam Bu-tek?" Keng hong yang kini diajak duduk di ruangan dalam oleh Kiang Tojin yang sudah menjadi ketua Kun-lun-pai, segera menceritakan pengalamannya semenjak dia dikejar-kejar dan naik ke puncak batu pedang. Di antara seluruh manusia di dunia ini, hanya kepada Kiang Tojinlah satu-satunya tokoh kang-ouw yang boleh dipercaya dan yang sama sekali tidak memiliki niat buruk terhadap dirinya, tidak pula menginginkan harta pusaka dan kitab-kitab peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, Ia menceritakan betapa akhirnya dia berhasil mendapatkan tempat rahasia penyimpanan pusaka gurunya, akan tetapi betapa terpaksa dia mengajak Cui Im karena selain gadis itu telah menolongnya, juga kalau tidak dia ajak, tentu gadis itu terancam keselamatannya oleh para tokoh kang-ouw yang mengejarnya. Diceritakan selanjutnya betapa dia tertipu oleh Cui Im itu, terjebak di ujung seberang jurang akan tetapi akhirnya kekejian Bui Im itu bahkan membuat dia berhasil menemukan tempat rahasia di mana terdapat rangka dan kitab peninggalan Thai Kek Couwsu ! Akhirnya dia menceritakan perjalanannya keluar dari tempat rahasia itu. Ia menceritakan dengan singkat, melewatkan saja keterangan tentang tempat itu sendiri, dan tidak menyebut-nyebut hal lain, misalnya pengetahuannya terhadap kekejian Lian Ci Tojin terhadap Tan Hun Bwee, maupun tosu Kun-lun-pai yang bermain cinta dengan wanita dusun. Kiang Tojin mengelus jenggotnya yang panjang dan menarik napas panjang. "Aaah, baru empat tahun mempelajari kitab-kitab peninggalan suhumu, gadis itu sudah sedemikian lihainya sehingga aku roboh di tangannya! Dan kitab-kitab itu dibawanya semua!" "Saya pun merasa menyesal sekali, Totiang. Semua itu akibat kelalaian saya, merupakan kesalahan dan tanggung jawab saya. Saya sudah mengambil keputusan untuk mencari Cui Im sampai dapat, merampas semua kitab-kitab peninggalan suhu yang dicurinya, kemudian saya akan mengembalikan kitab-kitab dan pedang-pedang pusaka kepada orang yang berhak." "Baik sekali pendirianmu, Keng Hong. Gurumu Sie Cun Hong bukanlah seorang yang jahat atau berdasarkan watak yang buruk. Tidak sama sekali, dia adalah seorang taihiap, seorang pendekar besar yang selain lihai sekali, juga selalu siap menentang segala kejahatan dan mempertaruhkan nyawa untuk membela kebenaran, keadilan dan kebajikan. Akan tetapi dia berwatak aneh, tidak mengindahkan hukum-hukum yang diperbuat manusia, bertindak seenak hatinya sendiri asalkan bersandar kebenaran menurut penilaiannya. Boleh jadi gurumu telah menolong ribuan orang, telah menentang ribuan kejahatan, akan tetapi karena wataknya yang ugal-ugalan, sukanya akan wanita cantik tanpa memperdulikan apakah wanita itu isteri orang ataukah gadis, asal suka kepadanya tentu akan dia layani, kemudian ditambah dengan kesukaannya akan benda-benda pusaka yang tidak segan dicurinya dari tangan orang lain menggunakan kepandaiannya, maka segala kebaikannya itu dilupakan orang dan dia dimusuhi. Karena itu, pendirianmu untuk mengembalikan benda-benda pusaka yang dahulu dicuri atau dirampas suhumu, merupakan kebaktian pada gurumu, mencuci noda pada namanya. Dan engkau tidak perlu menjadi penasaran menghadapi kenyataan bahwa benda-benda pusaka itu dicuri orang, karena benda yang mudah didapat akan mudah lenyap pula, benda yang didapat dengan mencuri tentu akan lenyap tercuri, siapa menanam pohonnya dia memetik buahnya." *** Keng Hong mengangguk-angguk dan berkata. "Saya mengenal watak mendiang suhu, Totiang , dan saya tidak dapat menyalahkannya. Memang, selagi masih hidup tidak menikmatinya, apa gunanya segala anugerah yang diberikan Thian kepada manusia? Menikmati kesenangan hidup adalah hak manusia, asalkan si manusia dapat mengekang diri, dapat mengendalikan nafsu yang mendorongnya untuk menikmati kesenangan duniawi, sehingga tidak sampai mabuk, tidak sampai melupakan kebajikan dan melakukan kejahatan hanya untuk pemuasan nafsu. Pemuasan nafsu dilakukan dengan wajar tanpa merugikan orang lain adalah kenikmatan yang menjadi anugerah Thian, mengapa ditolak? Maaf, Totiang, tentu saja pendirian seorang pendeta seperti Totiang lain lagi. Hanya sebaiknya diingat bahwa suhu bukanlah pendeta, melainkan manusia biasa." Kiang Tojin mengerutkan alis dan menghela napas panjang. "Pinto tidak dapat menyalahkan siapa-siapa. Ada baik ada buruk, hal itu sudah wajar. Ada senang ada susah, memang saudara kembarnya yang takkan dapat dipisahkan. Yang mencari senang akan bertemu susah, itu memang resikonya dan sudah semestinya. Pengertian saja belum cukup. Karena itu, engkau yang masih muda memang baru akan dapat mengerti dengan sempurna setelah digodok pengalaman dan sudah menjadi hakmu untuk mengalami segala hal di dunia ini. Hanya pesanku Keng Hong, pengalaman pahit jauh lebih berharga daripada pengalaman manis, dan ingat pula bahwa sesal kemudian sama sekali tiada gunanya. Ingat bahwa kebenaran yang mendatangkan kesenangan di hati sendiri belum tentu kebenaran yang sejati. Kebenaran yang mendatangkan kesenangan di hati orang lain itu pun hanya lebih dekat dengan yang sejati, Engkau bebas untuk bergerak dalam hidup, dan guru yang paling dapat diandalkan adalah GURU SEJATI yang berada di dalam dirimu pribadi." Setelah banyak-banyak menerima wejangan Kiang Tojin, akhirnya Keng Hong meninggalkan Kun-lun-pai dengan dada lapang bahwa dia telah dapat membantu memulihkan keadaan Kun-lun-pai dan biarpun sedikit dapat pula menebus budi kebaikan Kiang Tojin. "Aaauuuuuuhhhh... toloooooonggg...!" Jerit melengking wanita ini tiba-tiba terdiam, memang leher yang dicekik tentu saja takkan dapat menjerit lagi. Jerit itu keluar dari sebuah kamar yang indah dan diterangi sinar lilin terbungkus sutera merah, remang-remang romantis menambah keindahan kamar yang berbau harum itu. Akan tetapi apa yang terjadi di dalam kamar pada malam hari itu, seorang gadis remaja, puteri hartawan dan bangsawan yang menjadi kembang kota itu, tertimpa malapetaka. Ketika ia sedang tidur pulas tadi, tiba-tiba ia terbangun dan hampir ia pingsan ketika melihat betapa seorang laki-laki yang berpakaian mewah dan berwajah tampan sedang memeluk dan menciuminya dan jari-jari tangan laki-laki ini merenggut-ranggutkan pakaiannya sehingga robek-robek. Sejenak gadis itu tidak dapat menjerit saking kaget dan juga karena mulutnya tertutup oleh ciuman-ciuman penuh nafsu yang membuatnya bernapas pun sukar, apalagi menjerit. Ia hanya dapat membelalakkan mata dan meronta-ronta, namun agaknya gerakannya meronta ini menabah berkobarnya nafsu jalang laki-laki itu. "Diamlah manisku, diamlah nona... aduh, betapa cantik jelita engkau.." laki-laki itu berbisik dengan napas mendengus-dengus dan kesempatan ini dipergunakan oleh nona yang mulutnya bebas. Akan tetapi hanya satu kali saja dia dapat menjerit karena mulutnya segera tertutup kembali oleh mulut laki-laki itu dan lehernya dilingkari jari-jari tangan yang kuat. "Kalau kau menjerit lagi, kucekik mampus kau!" laki-laki itu mendesiskan bisikan marah, akan tetapi gadis itu tak dapat menjerit lagi karena saking ngeri dan takutnya ia telah kehilangan suara dan setengah pingsan. Akan tetapi jeritnya yang satu kali tadi sudah cukup. Ayahnya adalah seorang bangsawan, seorang bangsawan, seorang pembesar militer yang berjasa dalam perang, sebagai seorang di antara panglia dari utara. Pada malam hari itu, ayahnya sedang menjamu banyak orang gagah yang dahulu membantu gerakan bala tentara dari utara yang dipimpin oleh Raja Muda Yung Lo yang gagah perkasa. Malam hari itu, ada lima orang kang-ouw yang berkepandaian tinggi sedang dijamu ayahnya. Karena ini, jerit melengking itu segera terdengar oleh mereka dan bersama panglima ayah gadis itu sendiri mereka berenam sudah berkelebat cepat sekali menuju ke kamar si gadis. “A-hwi..!" Panglima itu berseru memanggil puterinya, akan tetapi tidak ada jawaban. Sambil menggereng penuh kekhawatiran, yang tinggi besar menerjang daun pintu kamar puterinya. Daun pintu bobol dan roboh, disusul enam bayangan orang gagah itu berkelebat memasuki kamar. "A-hwi....!" Kini teriakan panglima itu adalah teriakan yang menyayat hati, teriakan setengah marah setengah menangis menyaksikan keadaan puterinya yang rebah terlentang dalam keadaan telanjang dan matanya mendelik, lidahnya keluar, tidak bernapas lagi! Jelas bahwa dia mati tercekik. Lima orang gagah itu adalah orang-orang yang berpengalaman. Melihat keadaan kamar sekelebatan saja, mereka sudah menemukan lubang di atas rumah, maka seperti berlumba mereka lalu melayang naik melalui lubang itu menembus atap dan hinggap di atas genteng. Mereka melihat bayangan orang berjalan seenaknya di atas genteng meninggalkan tempat itu. "Berhenti...!" Lima orang itu meloncat maju mengejar. Bayangan yang melangkah seenaknya di atas genteng itu berhenti lalu membalikkan tubuhnya menghadapi lima orang itu. Mereka berlima tercegang ketika melihat bahwa bayangan itu adalah seorang laki-laki yang usianya kurang lebih empat puluh tahun, berwajah tampan sekali dan tubuhnya tinggi besar gagah. Pakaiannya indah dan mewah, muka dan rambutnya juga terpelihara baik-baik. Seorang laki-laki pesolek yang menambah halusnya wajah dengan bedak halus tipis bahkan kehitaman alis dan kemerahan bibir itu pun amat diragukan keasliannya. Ketika lima orang kang-ouw yang tak mengenal laki-laki ini melihat perhiasan bunga teratai emas di atas dada laki-laki itu, mereka terkejut dan seorang diantara mereka berseru. "Kim-lian jai-hwa-ong!!" Nama ini memang amat terkenal di dunia kang-ouw semenjak belasan tahun yang lalu. Dunia kang-ouw sudah geger sejak lama oleh munculnya nama ini, akan tetapi karena tokoh dunia hitam ini tak pernah mengganggu orang-orang kang-ouw dan selalu menjauhkan diri dari bentrokan, maka jarang ada yang mengenal orangnya. Hal ini bukan saja karena tokoh ini jarang memperlihatkan muka, juga hebatnya adalah bahwa setiap kali ada tokoh kang-ouw bertemu dengan dia, tentu tokoh kang-ouw itu kedapatan tewas. Dengan demikian orang kang-ouw yang pernah bertemu dengan dia tidak ada kesempatan lagi menceritakan kepada lain orang bagaimana macamnya tokoh ini. Dia dijuluki Kim-lian (Teratai Emas) karena bajunya selalu dihiasi perhiasan bunga teratai dari emas. Dan julukannya Jai-hwa-hong (Raja Pemetik Bunga) sudah jelas menyatakan apakah macam "pekerjaan" tokoh ini, yaitu memetik bunga atau pemerkosa wanita di samping menyambar perhiasan-perhiasan berharga yang berada di kamar wanita-wanita itu. Itulah sebabnya mengapa lima orang kang-ouw itu kaget setengah mati ketika melihat hiasan bunga teratai merah di dada laki-laki itu. Sudah menjadi kembang bibir di dunia kang-ouw bahwa bertemu Kim-lian Jai-hwa-ong berarti bertemu dengan maut sendiri! Akan tetapi, mereka berlima adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi maka tentu saja tidak menjadi gentar, apalagi mengingat betapa penjahat ini telah membunuh puteri tuan rumah, membuat mereka marah sekali. Jai-hwa-ong itu tersenyum dan sinar bulan yang menimpa wajahnya membuat wajah itu tampak makin tampan, senyumnya memikat dan giginya berkilauan putih bersih. Kumis tipis dia atas bibir itu bergerak-gerak ketika dia berkata lirih mengejek. "Kalian berlima sudah mengenal aku, tahukah kalian apa jadinya dengan orang yang mengenalku?" Kim-lian Jai-hwa-ong, engkau boleh saja terkenal sebagai pembunuh setiap orang kang-ouw yang bertemu denganmu. Akan tetapi jangan mengira kami takut menghadapi seorang penjahat rendah macam engkau! Kami Pak-san Ngo-houw (Lima Harimau Pegunungan Utara) sudah mengikuti penyerbuan tentara utara ke selatan, sudah menghadapi penderitaan dan ancaman maut ribuan kali, dan entah sudah berapa ratus penjahat macam engkau ini kami basmi!" bentak seorang di antara lima orang tokoh dengan ucapan ini, mereka berlima sudah mencabut golok masing-masing sehingga tampak sinar-sinar berkilat. Namun laki-laki pesolek itu tidak keliatan marah memperlebar senyumnya lalu berkata, "Aha, kiranya kalian adalah lima ekor tikus pegunungan utara? Bagus sekali! Biarlah kalian tidak akan mati penasaran dan kenalilah aku baik-baik. Aku bernama Siauw Lek dan aku adalah murid Go-bi Chit-kwi, maka kini sekali bertemu dengan aku jangan harap kalian akan dapat hidup lagi!" Lima orang gagah itu sudah menerjang sambil membentak marah sekali, golok mereka berkelebat seperti kilat menyabar ke arah tubuh laki-laki pesolek yang masih tersenyum itu. Akan tetapi penjahat bernama Siauw lek itu ternyata bukan bersikap sombong yang kosong belaka. Tubuhnya berkelebat dan semua serangan golok lima buah itu mengenai tempat kosong. *** Cepat sekali gerakan penjahat itu dan ginkangnya sudah mencapai tingkat amat tinggi sehingga begitu diserang dia lenyap dan tahu-tahu telah berada di belakang lima orang itu sambil tertawa mengejek! Lima orang itu cepat membalikkan tubuh sambil melintangkan golok, kemudian pemimpin mereka yang teringat bahwa mungkin penjahat ini merupakan utusan sisa-sisa musuh di selatan, segera menahan senjatanya dan bertanya dengan suar nyaring. "Penjahat hina she Siauw ! Sebelum engkau mampus di tangan kami, katakanlah mengapa engkau membunuh puteri The-ciangkun?" Penjahat itu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, kalian ingin tahu pula tentang hal itu? Nah. Dengarlah. Aku di sebut Raja Pemetik Bunga dan memang aku suka sekali akan kembang-kembang harum bermadu. Aku seperti seorang kumbang yang mencari madu-madu bunga. Kalau ada bunga dengan senang hati membuka kelopaknya dan menyerahkan madunya kepadaku, aku akan terbang pergi dengan kenang-kenangan manis. Akan tetapi kalau ada bunga tidak suka menyerahkan madunya, akan kurontokkan dia! Dara di bawah itu tidak mau menyerah, bahkan menjerit, terpaksa ku cekik dia sampai mati. Ada jalan hidup senang dia memilih mati konyol! Kalau dia menyerah, aku akan puas, dia akan hidup dan senang dan... Ha-ha-ha, dasar nasib, kalian pun akan mampus!" "Keparat hina!" Lima orang harimau gunung utara itu menjadi marah sekali dan kembali lima batang golok mereka menyambar, Tiba-tiba tampak sinar hitam berkelebat dan di susul suara trang-trang lima kali. Lima orang kang-ouw itu terkejut karena pedang hitam di tangan Siauw Lek yang tadi berkelebat telah menangkis golok-golok mereka dan begitu bertemu, golok mereka patah semua! "Tangkap penjahat...!" Terdengar seruan dari bawah dan belasan orang pengawal The -ciangkun yang berkepandaian lumayan sudah melayang naik ke atas genteng. Akan tetapi terdengar Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek tertawa, tangan kirinya bergerak dan belasan batang senjata berberntuk paku-paku yang disebut Hek-tok-ting (Paku Racun Hitam) meluncur cepat sekali, menyambut tubuh para pengawal yang sedang meloncat sehingga tubuh mereka terkena senjata rahasia dan jatuh kembali ke bawah didahului teriakan-teriakan mengerikan karena sebelum tubuh mereka terbanting ke tanah, mereka itu telah tewas oleh paku-paku yang mengandung racun jahat itu! "Lima ekor tikus rebahlah!" Kini Siauw Lek menggerakkan pedangnya yang berwarna hitam, cepat sekali gerakannya, pedangnya berubah menjadi sinar panjang yang mengeluarkan suara bercuitan. Lima orang gagah itu mencoba mengelak sambil menangkis dengan golok buntung, namun sia-sia belaka karena sinar pedang itu menebas tangan yang memegang golok terus meluncur ke arah leher mereka. Lima orang gagah itu tidak sempat untuk berteriak pula. Tubuh mereka menggelundung dari atas genteng dengan kepala terpisah dari tubuh! Panglima The yang menjadi marah sekali melihat belasan orang pengawalnya roboh binasa termakan paku-paku beracun, sudah mengepalai banyak sekali pengawal dan melompat naik ke atas genteng. Akan tetapi mereka tidak melihat sesuatu di atas genteng. Sunyi saja dan tidak tampak bayangan seorang pun manusia. Panglima ini menjadi marah bukan main melihat lima orang sahabatnya tewas dengan leher putus, dan malam itu juga dia mengerahkan pasukan melakukan pengejaran dan mencari si penjahat. Akan tetapi, mereka yang pernah melihat penjahat itu, Lima Harimau Pegunungan Utara dan para pengawaal yang meloncat naik pertama kali, semua telah tewas. Tak seorang pun di antara yang lain sempat melihatnya. Kemana hendak mengejar dan mencari? Orangnya pun tidak dikenal! Kembali dunia kang-ouw menjadi geger dengan terjadinya peristiwa mengerikan itu, dan biarpun tidak ada yang melihat penjahat itu, namun paku-paku hitam beracun itu cukup menyatakan bahwa yang melakukan pembunuhan-pembunuhan itu bukan lain adalah Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek! Apalagi ketika di antara para pengawal yang masih berada di bawah genteng menyatakan bahwa dia melihat berkelebatnya sinar pedang hitam, maka orang-orang di dunia kang-ouw tidak ragu-ragu lagi bahwa pedang itu tentulah pedang Hek-liong-kiam (Pedang Naga Hitam) senjata penjahat cabul itu. Memang lihai sekali Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek. Kelihaiannya tidak lah mengherankan kalau diingat bahwa dia adalah murid tunggal Go-bi Chit-kwi yang amat lihai itu. Go-bi Chit-kwi sebelum mengundurkan diri dari dunia ramai merupakan datuk-datuk hitam yang amat ditakuti di seluruh dunia kang-ouw. Bahkan Bu-tek Su-kwi si empat iblis yang kini menjagoi di antara golongan sesat, masih merupakan orang-orang muda yang belum begitu ternama ketika Go-bi Chit-kwi sudah amat terkenal. Ketika Bu-tek Su-kwi masih muda, mereka pun gentar menghadapi Tujuh Setan Go-bi, dan orang pertama dari Bu-tek Su-kwi, yaitu Lam-hai Sin-ni, pernah dirobohkan dan hampir diperkosa oleh tujuh setan ini kalau saja tidak muncul mendiang Sin-jiu Kiam-ong yang menolong wanita itu. Kini Go-bi Chit-kwi telah meninggal dunia di sebuah puncak di Pegunungan Go-bi-san. Akan tetapi sebelum mereka meninggal dunia, mereka menurunkan ilmu kepada murid mereka yang hanya seorang, yaitu Siauw Lek. Untuk menamatkan pelajarannya pada tujuh orang guru itu, Siauw Lek belajar sampai dua puluh tahun, dan baru setelah dia berusia tiga puluh tahun, dia turun gunung dan begitu turun gunung setelah memiliki ilmu kepandaian tinggi, gegerlah dunia kang-ouw dengan munculnya seorang jago yang mengumbar nafsunya dengan memperkosa wanita-wanita yang disukainya! Maka muncullah julukan Kim-lian Jai-hwa-ong yang tak pernah dilihat orang, atau pernah pula dilihat orang-orang yang begitu bertemu dengannya tentu dibunuhnya! Malam hari itu hati Siauw Lek murung dan tidak puas. Ia gagal bersenang-senang dengan puteri The-ciangkun yang tidak mau melayani hasrat hatinya bahkan berani menjerit sehingga terpaksa dibunuhnya. Siauw Lek memang seorang Jai-hwa-ong (penjahat pemerkosa wanita), namun dia mempunyai kebiasaan aneh yang dia beritahukan kepada lima orang Pak-san Ngo-houw sebelum mereka dia bunuh, yaitu bahwa dia hanya mau memiliki wanita yang bersedia melayaninya! Kalau wanita itu menolak, tentu dibunuhnya! Banyak wanita yang karena takut dibunuh,atau memang tertarik oleh wajahnya yang tampan dan tubuhnya tinggi besar, suka melayaninya dan tentu saja setelah melayani hasrat nafsu penjahat ini, wanita-wanita itu menyimpannya sebagai rahasia besar dan tidak berani menceritakan keadaan penjahat itu kepada orang lain karena hal itu sama saja dia telah dinodai penjahat itu! Mereka yang menolaknya pun tidak dapat menceritakan kepada orang lain karena mereka ini tentu dibunuh oleh Siauw Lek. Ada kalanya Siauw Lek berhasil mendapatkan pelayanan wanita yang memang tertarik kepadanya, akan tetapi ada pula yang harus dia dapatkan dengan cara mengancam dan dalam hal ini dia memiliki banyak cara yang keji dan tidak mengenal perikemanusiann. Dalam mencengkeram nafsu berahinya sendiri, Siauw Lek kadang-kadang seperti bukan manusia lagi, melainkan iblis sendiri yang memasuki tubuhnya. Malam itu dia murung. Ia hanya berhasil membunuh banyak orang, namun dia makin ditekan dan dihimpit oleh nafsunya sendiri yang tidak terpuaskan. Biasanya, sebelum mendatangi korbannya pada malam hari, siangnya dia sudah melihat-lihat dan mencari-cari. Malam ini dia tidak ada tujuan tertentu karena siang tadi dia mencurahkan perhatiannya kepada puteri panglima itu. Untuk mencari korban di malam hari seperti itu, amat sukar karena tak mungkin dia harus mengintai setiap rumah untuk mencari wanita yang disukainya. "Bedebah!" Ia menyumpahi nasibnya yang dianggapnya sial malam itu. Penjahat yang berilmu tinggi ini sama sekali tidak tahu bahwa ada bayangan yang amat gesit gerakannya, yang seolah-olah terbang saja ketika mengikutinya dari jauh. Tiba-tiba Siauw Lek berhenti berlari dan bayangan di belakangnya pun cepat menyelinap dan bersembunyi di balik wuwungan rumah. Kiranya Siauw Lek berhenti bukan karena mengerti bahwa dia dibayangi orang, melainkan karena dia mendengar suara bayi menangis dari rumah di sebelah depan, sebuah rumah kecil terpencil. Hatinya tergerak. Hemmm, ada bayinya tentu ada ibunya yang muda, pikir otaknya yang sudah terlalu kotor karena selalu dipenuhi nafsu berahi yang tidak wajar. Ia lalu melompat ke depan, ke atas genteng rumah di depan itu dan kini tangis bayi sudah tak terdengar lagi. Dari atas genteng, Jai-hwa-ong ini mengintai dengan jalan membuka genteng. Di bawah tampak sebuah kamar yang sederhana namun bersih, diterangi lampu minyak yang cukup terang. Seorang laki-laki berusia tiga puluhan tahun tidur meringkuk di sudut ranjang dengan muka menghadap dinding. Di pinggir ranjang itu sendiri, seorang wanita muda sedang duduk menyusui bayinya yang baru berusia beberapa bulan. Ibu ini masih muda, paling banyak dua puluh satu tahun usianya dan karena ia menyusui bayinya sendiri di dalam kamar, wanita ini tidak ragu-ragu membuka penutup dadanya lepas-lepas sehingga tampak dua buah bukit dada yang berkulit putih halus dan penuh seperti biasa dimiliki ibu-ibu muda yang sedang menyusui anaknya. Biasanya, biar mata laki-laki yang bagaiana jalang sekalipun, pemandangan ini, yaitu melihat seorang ibu menyusui anaknya, mendatangkan pemandangan yang mengharukan, yang menyentuh perasaan karena setiap orang pernah menyusu dada ibunya, sebuah pemandangan yang sama sekali jauh daripada daya perangsang nafsu. Namun tidaklah demikian bagi seorang hamba nafsu berahi yang sudah separah Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek. *** Hati dan pikirannya sudah penuh dengan bayangan kecabulan. Sudah penuh dengan rangsangan-rangsangan nafsu berahi sehingga penglihatan seorang ibu muda menyusui anaknya itu mendatangkan nafsu yang menyala-nyala dalam dirinya. Ibu muda itu memang cantik dan terutama sekali berkulit putih kuning dan halus, kini agaknya terbangun dari tidur, kelihatannya demikian penuh sifat kelembutan seorang wanita. Seketika lenyaplah kemurungan dan kekecewaannya, lenyaplah bayangan puteri Panglima The yang urung dia dapatkan dan terpaksa dia bunuh. Dengan gerakan tangannya yang kuat dia membuka beberapa buah genteng, keudian tubuhnya menyelinap turun melalui lubang itu dan meloncat ke dalam kamar. "Aihhhh....!" Wanita itu berseru kaget ketika tiba-tiba ada seorang laki-laki asing berdiri di depannya. Akan tetapi dia tidak sempat menjerit lagi karena jari tangan Siauw Lek telah bergerak cepat menotok leher wanita itu sehingga jeritannya tertahan di kerongkongan, tak dapat berteriak lagi. Wanita itu dengan muka pucat lalu memeluk bayinya di rapatkan ke dada, bukan hanya untuk melindungi bayinya, juga untuk menutupi buah dadanya yang telanjang. "Manis, jangan takut. Aku telah melihatmu dan jatuh cinta kepadau. Kalau engkau mau melayani aku dengan manis, engkau takkan kubunuh, akan tetapi kalau engkau menolak, suamimu ini akan kubunuh lebih dulu!" Agaknya suami wanita itu mendengar suara ribut-ribut dan menggeliat lalu membalikkan tubuh, mengedipkan matanya yang menjadi terbelalak ketika dia melihat isterinya berdiri ketakutan dan seorang laki-laki asing berdiri di situ. Akan tetapi dia tak dapat bergerak, hanya dapat memandang dengan sinar mata penuh kemarahan dan kekhawatiran karena pada saat itu, jari tangan Siauw Lek secepat kilat telah menotok jalan darahnya yang membuat laki-laki di atas ranjang itu lemas dan tak dapat bergerak. "Jangan engkau berteriak, Manis, aku tidak akan menyusahkanmu, tidak akan menyakitimu..." Kembali Siauw Lek merayu dan tangannya bergerak menotok leher membebaskan jalan darah wanita itu sehingga dapat mengeluarkan suara lagi. "Ampunkan saya...." Wanita itu berkata lemah. Siauw Lek tersenyum penuh keenangan. Ia lalu mengulur tangan menyentuh pundak yang setengah terbuka itu, pundak yang kecil berkulit putih halus. "Engkau tidak bersalah apa-apa, Manis, kenapa minta ampun? Aku hanya akan mencintaimu, kau layanilah aku baik-baik, balaslah cintaku dan aku tidak akan menganggu selembar rambutmu yang halus ini..." "Ohhh, ampun jangan ..." Wanita itu mengeluh penuh kepanikan sambil melirik ke arah suaminya yang rebah miring tak dapat bergerak itu. Siauw Lek mengikuti pandang mata wanita itu, menoleh ke arah laki-laki di atas ranjang lalu tersenyum. "Ah, engkau takut kepada suamimu?" Tak usah takut, dia takkan dapat berbuat sesuatu kecuali menonton!" "Tidak.... lebih baik kau bunuh saja aku...!" Tiba-tiba itu menangis terisak-isak sambil mendekap tubuh anaknya. "Aku tidak bisa...aku tidak mau...!" Sinar bengis dan marah membayangi wajah Siauw Lek . Haruskah dia mengalami dua kali kegagalan dalam semalam? Apakah dia kini sudah terlalu tua dan kurang pandai merayu sehingga dalam satu malam ada dua orang wanita yang menolak cintanya? "Hemmm, haruskah ku bunuh suamimu lebih dulu? Lihat, sekali tusuk suamimu akan mampus. Apakah engkau masih berani mengatakan tidak mau?" Untuk menakut-nakuti, Siauw Lek sudah mencabut pedang hitamnya dan menodongkan pedang itu di leher suami wanita itu yang terbelalak penuh kengerian. Wanita itu memandang dengan muka pucat, hatinya bimbang. Manakah yang harus dia pilih? Melihat suaminya dibunuh ataukah membiarkan dirinya diperkosa di depan pandang mata suaminya? Ah, lebih baik mati, mati bersama suaminya. Ia tersedu menangis dan berkata. "Bunuhlah kai berdua....bunuhlah suamiku dan aku... Dan aku... Aku tidak dapat menuruti kehendakmu... Aku tidak mau....!" Kini wajah Siauw Lek menjadi merah. Kalau menurutkan nafsu kemarahan hatinya, ingin dia mengelabatkan pedangnya membunuh wanita itu, suaminya dan anaknya. Akan tetapi dia tidak mau gagal untuk kedua kalinya malam ini, dan wanita yang baru tiga empat bulan melahirkan dan masih menyusui nafsunya, menyentuh perasaan hatinya yang keruh oleh nafsu berahi. Tiba-tiba Siauw Lek, tertawa dan ketika tangannya bergerak, tahu-tahu dia telah merampas bayi yang berada di dalam pelukan ibunya tadi. Anak itu menjerit, akan tetapi kalah oleh jeritan ibunya yang amat kaget melihat anaknya dirampas. "Anakku.... kembalikan anakku!!" "Hemmm, kau ingin anakmu hidup? Nah, pilihlah. Engkau melayani cintaku dengan baik-baik dan manis atau.. melihat perut anakmu kubelek dengan ujung pedang ini!" "Ouuuhhh.... jangan... jangan....!" Wanita itu menjatuhkan diri berlutut dan merangkul kedua kaki Siauw Lek sambil meratap-ratap minta agar anaknya jangan dibunuh. "Manis, engkau ingin agar anakmu hidup dan tidak kubunuh?" Siauw Lek bertanya penuh nada keenangan dalam suaranya sambil menunduk dan melihat wajah ayu yang menengadah penuh permohonan itu. "Ya.... ya....., mohon kau ampuni kami, jangan bunuh anakku..." "Hemmm, mudah saja, aku takkan membunuh anakmu akan tetapi engkau harus menuruti segala kehendakku!" Sambil berkata demikian, Siauw Lek mengangkat tubuh bayi itu tinggi-tinggi dan membuat gerakan seakan hendak membantingnya ke lantai. Wanita itu tersedak, menelan ludah seperti ada sesuatu mengganjal kerongkongannya, dan mengangguk-angguk dengan mata terbelalak memandang anaknya. "Ya.... ya... ya, apa saja perintahmu... Akan tetapi lepaskan anakku...." "Nah, Manis, bangkitlah." Siauw Lek menggunakan sebelah tangannya menarik tubuh wanita itu berdiri dengan bayi masih diangkat tinggi-tinggi di tangan yang lain, dan bagaikan tak sadar diri wanita itu bangkit berdiri, seolah-olah tidak merasa betapa tangan yang menariknya bangkit itu menggerayang dan meraba-raba tubuhnya, bahkan ketika tangan itu merangkul lehernya dan mulutnya yang masih setengah terisak itu dicium oleh bibir Siauw Lek dengan penuh nafsu, ia seperti tidak merasakannya, matanya masih terbelalak melirik ke arah anaknya yang diangkat tinggi oleh tangan kiri Siauw Lek. Baru setelah matanya mendapat kepastian bahwa anaknya tidak diapa-apakan ia sadar betapa tubuhnya diremas-remas dan mulutnya dicium penuh nafsu sehingga ia tersedu dan meronta sedikit. "Hemmm, kau melawan? Engkau tidak mau....?" ".. Tidak.... oh, bukan... Aku... Aku tidak melawan..." Wanita itu menggagap kepalanya pening, matanya berkunang dan kedua kakinya menggigil karena setelah kin kepanikannya menghadapi ancaman terhadap anaknya lenyap, ia ngeri menghadapi hal yang mengancam dirinya sendiri. "Bagus, engkau manis sekali. Nah, kau tanggalkan pakaianmu. Semuanya!" Siauw Lek memerintah, merasa gembira sekali menyaksikan betapa korbannya itu menggigil dan bingung oleh rasa takut dan malu. Wanita itu benar-benar bingung, kedua tangannya bukan menanggalkan pakaian, bahkan kini ia baru teringat betapa bajunya tadi dibukanya separuh ketika menyusui anaknya, kini kedua tangannya malah menutupkan baju ini. Mukanya sebentar pucat sebentar merah, pandang matanya jelilatan dan hanya lewat saja di muka suaminya, agaknya ia tidak berani bertemu pandang dengan suaminya. "Eh, engkau ragu-ragu lagi? Hendak membangkang perintahku! Hemmm, kalau begitu, lebih baik kubunuh saja anakmu ini..." "Tidak! Oh, jangan...!" Cepat sekali karena digerakkan oleh rasa ngeri dan khawatir akan keselamatan anaknya wanita itu meranggut lepas baju atasnya sehingga ia berdiri setengah telanjang."Jangan bunuh anakku….." Siauw lek tersenyum, mengangguk-angguk puas. "Kalau kau menuruti semua hasratku, kalau kau suka melayani cinta kasihku kepadamu, tentu aku takkan menganggu anakmu, Manis. Hayo, kesinilah...!" Siauw Lek melangkah ke dekat ranjang akan tetapi wanita itu tidak menggerakkan kakinya. Dengan muka pucat ia berkata lemah, "Tidak, harap... Kasihani aku.., jangan di sini…." Siauw lek menggerakkan alisnya menoleh ke arah suami wanita itu yang rebah miring dengan mata melotot penuh kemarahan dan kebencian, lalu tersenyum. Sebetulnya, dia akan mendapatkan rangsangan lebih besar ladi, mendapat kepuasan lebih penuh kalau dia dapat memiliki wanita itu di depan suaminya, di depan mata suaminya yang melotot itu. Alangkah akan senang dan lucunya! Akan tetapi, kalau dia memaksa, tentu hal ini akan menjadi penghalang besar bagi si wanita untuk melayaninya dengan leluasa, dan kalau terjadi demikian diapun tentu tidak akan merasa puas. Sambil tertawa dia lalu menghampiri wanita itu dengan bayi masih menangis, diangkat tinggi-tinggi "Kalau begitu dimana?" "Di kamar depan ..." Wanita itu berkata sabil menundukkan muka, tidak berani sama sekali melirik ke arah suaminya. "Baiklah, Manis. Hayo kau tunjukkan di mana kamarnya," Siauw Lek berkata. Wanita itu tanpa menoleh ke arah suaminya lalu membalikkan tubuh dan melangkah keluar dari kamar dengan kaki gemetar dan lesu. Siauw Lek menggerakkan tangan dan sebatang paku hitam menyambar dan menancap di antara sepasang mata yang terbelalak melotot memandangnya itu, membuat suami itu tewas dalam detik itu pun juga tanpa dapat mengeluh sedikit pun juga. Peristiwa ini terjadi cepat dan sedikitpun tidak mengeluarkan suara sehingga wanita itupun tidak tahu sama sekali bahwa suaminya telah dibunuh orang. Kamar depan itu pun sederhana sekali, hanya terisi sebuah dipan dan sebuah meja, di terangi lilin yang dinyalakan oleh wanita itu dengan tangan gemetar. "Anakku....biar kususui dia agar tidak menangis..." Akhirnya wanita itu berkata dengan suara pilu karena sejak tadi anaknya menangis saja. Sambil tersenyum Siauw Lek memberikan bayi itu kepada ibunya, kemudian dia duduk di atas bangku menonton wanita itu yang kini tak berbaju lagi menyusui anaknya. Laki-laki yang berwatak iblis ini menonton sambil kadang-kadang menelan ludah. Melihat bayi itu menyusu dada ibunya menimbulkan berahi yang amat besar baginya, seolah-olah dia sendiri dapat merasai kesegaran susu ibu muda itu. Akan tetapi, bayi itu selalu gelisah dan tidak mau diam, bahkan tidak dapat menyusu dengan tenang, diseling tangis. "Dia sudah kenyang, memang rewel dia!" cela Siauw Lek."Aku dapat menidurkannya. Kesinikan.." Ibu itu mendekap anaknya. "Jangan ... Jangan menganggunya..." "Ihhh, Manis, mengapa kau tidak percaya kepadaku? Aku mencintaiu, dan aku mempunyai ilmu untuk menenangkan bocah. Kuelus-elus kepalanya sebentar saja dia akan tidur. Biarkan dia tidur agar tidak menganggu kita. Nah kesinikanlah, biar dia tidur di situ nanti, dan bantal itu.. hemmm, kita tidak memerlukannya. Nah, marilah, Manis, jangan khawatir, anakmu akan pulas." Ibu muda itu yang memang merasa bingung melihat anaknya menangis terus sehingga dia khawatir kalau-kalau laki-laki itu menjadi marah dan membunuh anaknya, akhirnya menyerahkan bayinya yang masih menangis. Siauw Lek tersenyum dan mengelus-elus kepala bocah itu. Benar saja , tak lama kemudian anak itu tidak menangis lagi dan dengan gerakan halus Siauw Lek menidurkan bocah itu di atas meja yang sudah ditilami kain dan disediakan bantal oleh si ibu muda yang tentu saja menjadi lega hatinya melihat bayinya tidur pulas. Akan tetapi segera rasa lega ini tersusul rasa panik dan ngeri ketika Siauw Lek membalikkan tubuh dan menghadapinya dengan senyum penuh nafsu. "Nah, bukankah benar sekali kata-kataku, Manis? Anakmu sudah tidur pulas dan kini kita dapat bersenang-senang tanpa ada yang mengganggu. Wah, engkau benar jelita dan montok. Marilah, Manis.." Wanita itu terusik dan melangkah maju dengan muka tunduk. Patahlah seluruh pertahanannya sebagai wanita karena ia maklum bahwa kalau ia menolak, tentu anaknya akan dibunuh. Bagaikan orang yang kehilangan semangat, seperti mayat hidup, ia melangkah maju dan menyerah saja ketika kedua tangan Siauw Lek memeluk dan mendekapnya, ketika mukanya yang basah oleh air mata dihujani ciuman-ciuman bernafsu. Tiba-tiba Siauw Lek melepaskan tubuhnya, bahkan meloncat bangun sambil berteriak kaget, "Setan...!” Pada saat, ada sesosok tubuh menerjang memasuki kamar dan langsung menubruk Siauw Lek. Tentu saja penjahat yang lihai ini dengan mudah mengelak ke kiri dan mengirim tendangan yang tepat mengenai dada orang yang menubruknya. Orang itu terjengkang dan roboh terlentang di depan dipan, di dekat wanita yang terbelalak kaget. Ketika melihat bahwa tubuh itu adalah tubuh suaminya yang sudah mati, yang mukanya penuh darah merah yang mengucur dari luka di antara kedua matanya, wanita itu menjerit kaget dan memeluk tubuh suaminya. Sementara itu. Siauw Lek kaget setengah mati sampai mukanya pucat. Belum pernah selama hidupnya dia mengalami kaget dan serem seperti saat itu. Dia sudah yakin benar bahwa suami wanita itu telah dibunuhnya, bahkan ketika orang itu menubruknya dan dia merobohkannya kembali dengan tendangan dia tahu bahwa yang menubruknya adalah sesosok mayat! Benarkah ada mayat orang bisa hidup kembali karena merasa sakit hati melihat isterinya diganggu orang lain? Ah, tak mungkin ini! Dia tidak percaya dan tiba-tiba Siauw Lek tertawa. Yang sudah mati tetap mati, dan kalau ada gerakan-gerakan, hal ini pasti dilakukan oleh orang yang masih hidup. Ia menendang meja dan tubuh bayi itu pun mencelat jatuh ke atas lantai, akan tetapi sama sekali tidak bergerak, tidak terbangun biarpun terbanting karena sesungguhnya bayi ini telah mati pula! Mati oleh jari tangan Siauw Lek yang "mengelus-elus" ubun-ubun kepala anak itu tadi, mengelus sambil menekan sehingga bayi itu tewas tanpa dapat mengeluarkan suara apa-apa dan disangka tidur oleh ibunya. Wanita muda itu ketika melihat bayinya terbanting dari atas meja, menjerit keras, meninggalkan mayat suaminya danm menubruk anaknya, terus diangkat, dipeluk dan didekapnya. Akan tetapi ia tersentak kaget, memandang muka bayinya dan tiba-tiba terdengar suaranya melengking tinggi menyayat hati dan robohlah wanita muda itu dengan tubuh lemas, roboh pingsan dengan mayat bayinya masih di dalam pondongannya! Siauw Lek sudah meloncat bangun ke tengah kamar, tidak memperdulikan keadaan wanita muda itu lagi, pandang matanya berkilat ketika ditujukan ke arah pintu kamar dari mana tadi "mayat hidup" itu menyerangnya. "Siapakah berani bermain gila dengan aku?" bentaknya, menyangka bahwa tentu ada orang pandai mengejarnya dari rumah gedung panglima she The yang dikacaunya tadi. Akan tetapi mata yang menyinarkan kemarahan itu berubah terbelalak penuh keheranan dan kekaguman ketika tampak oleh Siauw Lek bahwa yang muncul dari pintu itu adalah seorang wanita yang amat cantik jelita dan yang memasuki kamar itu dengan langkah lambat, dengan tubuh bergerak-gerak seperti menari ketika kedua kaki itu melangkah bergantian rapat-rapat, pinggulnya yang lebar melanggang-lenggok, pinggang yang ramping seperti patah-patah, wajah yang cantik itu tersenyum manis dengan mata menyambar penuh tantangan, namun di balik senyum itu tampak sikap memandang rendah. Wanita itu mengenakan pakaian sutera berkembang yang ketat membungkus tubuh, dipunggungnya tampak gagang pedang yang beronce merah. Sukar menaksir usia wanita ini. Masih kelihatan amat muda seperti gadis remaja dua puluhan tahun, namun senyum bibir manis dan pandang mata tajam itu sudah amat masak sehingga patutnya dia berusia tiga puluh tahun kurang sedikit. Wanita itu bukan lain adalah Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im! Secra kebetulan saja ia melihat Siauw Lek menibulkan kekacauan di rumah Panglima The di malam hari itu ketika dalam perjalanan malamnya Cui Im lewat di kota itu. Ia amat tertarik ketika mendengar bahwa laki-laki tampan gagah itulah yang bernama julukan Kim-lian Jai-hwa-ong, julukan yang sudah banyak ia mendengarnya. Jadi inikah murid Go-bi Cjit-kwi yang dahulu menjadi musuh besar gurunya, karena gurunya Lam-hai Sin-ni pernah dahulu hampir diperkosa tujuh orang setan Go-bi itu. Ia menjadi kagum ketika menyaksikan cara Siauw Lek merobohkan lawan-lawannya, maka diam-diam ia membayangi penjahat cabul itu. Ia ingin mencoba kepandaian murid Go-bi Chit-kwi dan juga sikap dan kepribadian Siauw Lek yang penuh kejantanan itu amat menarik hatinya, menyentuh kewanitaannya dan membangkitkan berahinya. Ketika ia membayangi laki-laki itu, Cui Im dapat menduga bahwa dalam hal kelincahan dan keringanan tubuh, dia sendiri hanya menang sendikit saja, dan kiranya tingkat kepandaian ginkang Siauw Lek tidak kalah jika dibandingkan dengan seorang di antara Bu-tek Su-kwi! Ia menjadi makin kagum dan membayangi terus. Ketika Cui Im yang mengintai perbuatan Siauw Lek di dalam pondok sederhana itu melihat kekejaman Siauw Lek membunuh suami dan bayi dari wanita yang hendak diperkosanya itu, dia tersenyum. Bukan main pria ini, pikirnya. Cerdik dan pandai, juga amat gagah perkasa, tidak gentar melakukan pembunuhan betapapun kejamnya! Orang seperti ini amat ia butuhkan. Ia perlu mempunyai seorang pembantu seperti ini, yang berilmu tinggi, yang berwatak keras dan dingin. Dengan seorang pembantu seperti itu, barulah dia akan dapat menjagoi dunia sebagai tokoh nomor satu! Hanya ada satu hal yang masih ia ragukan, apakah pria ini patut menjadi temannya dalam petualangan cintanya! Sementara itu Siauw Lek yang biasanya memandang rendah orang lain, yang biasanya tidak gentar menghadapi siapapun juga, kini merasa bulu tengkuknya bangun berdiri. Sungguh dia tidak pernah mimpi bahwa dia akan berhadapan dengan seorang wanita secantik ini, yang dapat "menghidupkan" mayat, yang agaknya sejak tadi telah membayanginya tanpa dia ketahui sama sekali, yang begitu cantik akan tetapi juga mendatangkan sikap dingin yang mengerikan tersembunyi di balik kehangatan dan kegairahan yang panas membakar dan menantang! "Eh.. siapakah engkau...?" Siauw Lek merasa heran sendiri mengapa dia tiba-tiba menjadi gugup dan kehilangan ketenangannya. Juga gairahnya terhadap ibu muda itu lenyap sama sekali tidak kecewa melihat kenyataan bahwa kembali kesenangannya terganggu. Cui Im tersenyum dan menggunakan senyum memikat yang sudah terlatih, setengah senyum setengah tawa sehingga cukup lebar untuk memperlihatkan deretan gigi putih seperti mutiara dan sekilas pandang ujung lidahnya yang merah mencuat keluar di antara deretan gigi mutiara. "Engkau Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek, engkau murid Go-bi Chit-kwi bukan? Hemmm, bagus sekali semua perbuatan yang kau lakukan malam ini, semenjak dari gedung panglima sampai pondok ini. Eh, orang she Siauw, apakah engkau tidak takut akan dosa dan tidak ngeri memikirkan neraka yang kelak akan menyiksamu?" Melihat sikap dan mendengar ucapan wanita cantik ini, perlahan-lahan lenyaplah ketegangan di hati Siauw Lek. *** Dapatlah dia menduga bahwa wanita cantik ini bukanlah seorang anggota golongan lawan, melainkan agaknya juga seorang petualang, seorang yang tidak asing akan dunia hitam, dan mulailah pandang matanya penuh nafsu berahi menjelajahi bentuk tubuh yang ramping padat dan menjanjikan kemesraan lebih merangsang daripada ibu muda tadi. "Nona, engkau sungguh nakal sekali, membikin aku kaget setengah mati. Mengapa engkau main-main dengan mayat itu? Kusangka betul-betul ada mayat hidup! Engkau sudah mengenal namaku, itu baik sekali. Sekarang tinggal aku yang belum mengenalmu. Kalau nona suka memperkenalkan diri, agaknya kita dapat menjadi sahabat-sahabat yang baik sekali. Bukankah begitu pendapatmu, nona yang cantik seperti bidadari?" Cui Im mengangguk-angguk senang. Suara pria ini mendatangkan kesan baik, suaranya merdu dan mengandung rayuan yang sama mesranya dengan kata-katanya, pria yang pandai bicara, pandai menyenangkan hati wanita. Akan tetapi ia hanya tersenyum, tidak menjawab memperkenalkan diri, bahkan berkata dengan sikap memandang rendah, "Aku harus melihat dulu apakah engkau pantas menjadi sahabatku, Jai-hwa-ong. Kita tunda dulu saja tentang namaku karena aku ingin melihat apakah engkau memiliki kepandaian seperti yang terkenal di dunia kang-ouw, ataukah hanya nama kosong belaka." Sepasang mata Siauw Lek berkilau penuh kegembiraan. Ia tercengang. Belum pernah dia bertemu dengan wanita seperti ini, "Aha, hebat sekali kesombonganmu Nona. Engkau masih belum percaya akan nama besarku dan hendak mencoba kepandaianku, begitukah yang kau maksudkan?" Cui Im mengangguk. "Bukan mencoba hanya ingin membuktikan isi dari nama besarmu." Siauw Lek tertawa tergelak, kegembiraannya timbul dan kini kepercayaan kepada diri sendiri pulih. Tentu saja seorang gadis cantik jelita semuda ini merupakan lawan yang amat lunak dan dia sudah dapat memastikan bahwa dengan mudah dia akan dapat menundukkan nona manis ini. "Bagus! Biarlah kita saling menguji kepandaian dan kalau sampai aku menang, aku minta hadiah!" "Hadiah apa?" "Peluk - cium!" Siauw Lek tertawa dan sudah siap menghadapi kemarahan gadis itu. Sengaja dia hendak membangkitkan kemarahannya karena dalam pertandingan, siapa yang dirangsang kemarahan berarti sudah kehilangan kewaspadaan dan kalau gadis ini ternyata lihai, kemarahannya akan mengurangi kelihaianya. Akan tetapi, kembali Siauw Lek tertegun karena gadis itu hanya tersenyum manis sekali dan menjawab. "Hemmm, itu sudah sepatutnya. Akan tetapi kalau aku yang menang engkau harus membunuh wanita yang membuatmu tergila-gila ini. Bagaimana?" Siauw Lek menoleh ke arah tubuh ibu muda yang masih pingsan, dan dia mengangguk. "Kalau aku kalah olehmu, memang tidak berharga sekali aku untuk menikmati wanita ini. Baiklah, aku memenuhi permintaanmu itu." Cui Im sudah berdiri tegak dengan kedua tangan bertolak pinggang. "Nah, aku sudah siap. Majulah!" Sekali lagi Siauw Lek tertegun. "Disini? Kamar ini sempit sekali untuk dipakai tempat mengadu silat!" Cui Im tersenyum mengejek. "Tidak ada tempat sempit atau luas bagi seorang yang benar-benar ahli. Apakah engkau takut?" "Siapa yang takut? Lihat, kutangkap engkau, nona yang menggemaskan hati!" Siauw Lek tertawa akan tetapi tiba-tiba sekali tubuhnya sudah menubruk maju, jari tangan kiri terbuka, mencengkeram ke arah dada Cui Im sedangkan yang kanan sedangkan yang kanan secepat kilat, juga sebelum kedua tangan datang, angin pukulannya telah terasa oleh Cui Im. Gadis ini diam-diam menjadi kagum. Kiranya orang ini juga memiliki sinkang yang amat kuat. Pantas menjadi murid Go-bi Chit-kwi. Akan tetapi ia tidak menjadi gentar. Andaikata serangan macam ini ditujukan kepadanya lima tahun yang lalu sebelum ia menggembleng diri dengan ilmu-ilmu tinggi dari kitab-kitab peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, agaknya akan sukar baginya untuk menyelamatkan diri karena selain gerakannya tentu jauh kalah cepat oleh Siauw Lek, juga tenaga sinkangnya tentu kalah jauh. Kini Cui Im dengan tenang saja mendoyongkan tubuh atasnya ke belakang dan kedua tangannya menyambar dari bawah, sekaligus menangkis serangan lawan sambil menggerahkan tenaganya, dan begitu dua pasang lengan itu bertemu yang membuat Siauw Lek berseru kaget karena dia merasa betapa kedua lengannya tergetar dan panas, kaki Cui Im bergerak menendang ke bawah pusarnya. "Aihhh..!" Siauw Lek yang tadinya memandang rendah, kaget bukan main. Tendangan itu tidak keras akan tetapi kalau tidak cepat dia hindarkan, tentu dia akan mati karena yang ditendang adalah kelemahan setiap orang laki-laki. Sambil berteriak kaget Siauw Lek sudah meloncat ke belakang, terhindar dari tendangan dan tubuhnya kini sudah berada di atas dipan, menginjak tubuh suami ibu muda yang tadi telah menjadi "mayat hidup." "Engkau hebat sekali...!" Ia memuji lebih penasaran daripada kagum. Memuji karena penasaran dan untuk menutupi rasa malunya. Masa dalam segebrakan saja dia hampir saja celaka di tangan wanita cantik ini? "Hi-hi-hik, baru begitu saja hebat? Kau lihat dan jaga seranganku sekarang!" Cui Im tertawa dan tiba-tiba tubuhnya berkelebat cepat sekali, meluncur ke depan seperti seekor burung walet menyambar, sambil meloncat ke depan ia sudah menyerang dengan kedua tangan terbuka, melakukan totokan dengan sepuluh jari tangannya ke bagian-bagian tubuh lawan, mencari jalan darah yang mematikan! "Hayaaa..!" Siauw lek terkejut sekali karena bertubi-tubi dia diserang dan setiap serangan gadis itu adalah serangan yang kalau mengenai sasaran akan mendatangkan maut! Ia cepat mengelak, berloncatan kesana-sini di dalam kamar sempit itu, namun bagaikan bayangan setan gadis itu terus mengekar dan enghujankan serangan dengan totokan-totokan dan pukulan-pukulan yang amat aneh, yang belum pernah dilihat sebelumnya dan mengandung hawa sinkang amat kuat. "Celaka...!" Tak terasa lagi seruan ini keluar dari mulut Siauw Lek. Baru sekarang terbuka matanya betapa salahnya tadi memandang rendah gadis ini. Kiranya gadia ini benar-benar memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat sehingga biar dalam ginkang maupun sinkang, gadis ini melebihi dia sendiri! Kini berubah pendiriannya dan sambil mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan seluruh kepandaian yang dia warisi dari Go-bi Chit-kwi dia melakukan perlawanan, membalas serangan dengan serangan maut pula, karena dia maklum bahwa tanpa perlawanan mati-matian, nyawanya terancam bahaya maut! Kini dia tidak memandang gadis cantik ini sebagai calon korban, sama sekali jauh, daripada itu, melainkan menganggapnya sebagai seorang musuh yang harus dikalahkannya, sebagai seorang lawan yang paling berat di antara semua lawan yang pernah ditandinginya! Setelah laki-laki itu mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian yang di warisinya dari Go-bi Chit-kwi, memang dia amat hebat dan berulah dia dapat mengimbangi kedasyatan gerakan Cui Im. Diam-diam Cui Im menjadi makin kagum dan girang. Laki-laki ini benar-benar boleh dijadikan pembantu. Ilmu kepandaiannya hebat, agaknya akan dapat menandingi Bu-tek Su-kwi dan tidak akan kalah menghadapi Cia Keng Hong, kalau bocah itu masih hidup, pikirnya sambil tersenyum. Menyaksikan gadis yang di lawan mati-matian itu masih dapat tersenyum-senyum, leher Siauw Lek mulai berkeringat. Dia sudah mati-matian, sampai pening kepalanya dan terengah-engah napasnya, akan tetapi gadis itu masih enak-enak saja tersenyum-senyum. Benar-benar mengerikan sekali! "Robohlah...!" Tiba-tiba Siauw Lek membentak dan dia menyerang dengan jurus pukulannya yang paling ampuh, yaitu dengan mendorongkan kedua tepak tangan ke depan. Pukulan ini mengandung dorongan tenaga sinkang yang amat kuat, cukup untuk merobohkan lawan dari jarak jauh, apalagi kini dia menyerang dari jarak dekat. Dapat dibayangkan betapa hebat kekuatan dorongannya itu. Namun Cui Im terkekeh mengejek, tubuhnya mencelat mumbul ke atas dari atas menukik ke bawah, kedua tangannya bergerak memukul ke bawah, yang kiri menimpa kedua lengan lawan yang bagian atas dan yang kanan sudah menampar pundak Siauw Lek. "Buuuuuuukk.. Plakkk..!" Tanpa dapat dipertahankannya lagi, tubuh Siauw Lek tergelimpang dan dia roboh menimpa tubuh ibu muda yang hendak dipaksanya melayani hasrat nafsu berahinya tadi! "Hi-hi-hik, kepandaianmu lumayan juga, orang she Siauw!" Cui Im berkata, bukan mengejek, melainkan dengan ketulusannya hati. Siauw Lek mengoyang-goyang kepalanya terasa pening, kemudian bangkit berdiri dan memandang Cui Im dengan mata terbelalak, hampir tidak dapat percaya. Seorang gadis begitu cantik dan muda, memiliki kepandaian yang sedemikian hebatnya? Ahhh, mimpi pun tak pernah dia akan dikalahkan oleh seorang gadis jelita. Tiba-tiba terdengar suara jerit melengking dan disusul tangis. Kiranya ketika dijatuhi tubuh Siauw Lek tadi, ibu muda teringat akan suami dan anaknya, ia menjerit dan menangis, memeluk mayat anaknya. Siauw Lek menjadi gemas. Ia memang sudah merasa penasaran dan marah karena kekalahkannya dan tidak menemukan sasaran untuk melampiaskan kemarahannya, kini hendak dia tumpahkan kepada ibu muda itu. Ia mengangkat tangan hendak menampar kepala yang tadinya ingin dia dekap dan ciumi, untuk membunuhi wanita itu. *** "Eiiit! Mengapa tergesa-gesa? Apakah engkau sudah mengaku kalah?" Cui Im sambil meraba gagang pedangnya. "Nona, bolah jadi dalam hal ilmu silat tangan kosong aku sudah kalah olehmu, akan tetapi selama Hek-liong-kiam masih ada padaku, aku belum mengaku kalah!" "Bagus, aku ingin pula menyaksikan ilmu pedangmu, boleh ditambah senjata rahasiamu, bukankah kau mahir mempergunakan Hek-tok-ting?" kata pula Cui Im dengan sikap memandang rendah. Hati Siauw Lek makin penasaran dan sekali bergerak, tangan kananya sudah mencabut pedangnya yang bersinar hitam dan tangan kirinya sudah merogoh keluar belasan buah senjata rahasia berbentuk paku-paku hitam. "Nona, bersiaplah menghadapi senjata-senjataku!" Cui Im tersenyum, tangan kanannya bergerak ke belakang dan tiba-tiba pandang mata Siauw Lek silau oleh sinar merah ketika pedang wanita itu tercabut keluar dan dilihat, tangan kiri wanita sakti ini telah menggenggam senjata rahasianya yaitu jarum-jarum merah yang amat halus. Melihat pedang merah ini, Siauw Lek mengerutkan alisnya. "Ang-kiam (Pedang Merah)...!" Rasanya pernah aku mendengar tentang pedang merah...., pernah disebut-sebut di dunia kang-ouw... Ah, benar! Bukankah engkau Ang-kiam Tok-sian-li, murid Lam-hai Sin-ni adalah musuh besar mendiang guru-gurunya, maka bukan hal aneh kalau murid Lam-hai Sin-ni memusuhinya. Tentu itu sebabnya mengapa wanita ini memusuhinya dan kalau memang karena permusuhan itu, dia harus dapat membunuh wanita ini! Akan tetapi Cui Im mengeleng-geleng kepala dan senyumnya melebar. "Dahulu memang benar demikian, akan tetapi sekarang julukanku adalah Ang-kiam Bu-tek dan Lam-hai Sin-ni bukan guruku lagi karena tingkatku jauh lebih tinggi daripada tingkatnya. Tak perlu bicara tentang aku sebelum engkau dapat lulus dari ujianku. Nah, gerakkanlah senjatamu, Siauw Lek!" Ucapan Cui Im itu amat sombong dan terkebur, akan tetapi juga mengejutkan hati Siauw Lek disamping menggemaskan karena sikap nona itu benar-benar seperti menganggap dia seorang anak kecil saja! Sambil mengeluarkan bentakan keras dia menerjang maju, pedangnya berubah menjadi sinar hitam yang mengeluarkan bunyi berdesing ketika meluncur dan menyambar ke arah tubuh Cui Im. Namun wanita ini dengan gerakan seenaknya mengangkat pedangnya, memutarnya dan tampaklah sinar seperti payung menangkis sinar hitam itu sehingga tampak bunga-bunga api diiringi suara berdencing nyaring dan sinar hitam terpental ke belakang. Siauw Lek merasa betapa tangannya kesemutan dan dia menjadi penasaran, menyerang dengan dahsyat sekali mengeluarkan seluruh ilmu pedangnya. Dua macam sinar pedang merah dan hitam itu segera saling libat dan saling himpit, membentuk lingkaran-lingkaran menyilaukan mata. Dua orang yang lihai ini bertanding pedang tanpa bicara, hanya terdengar dencingan-dencingan senjata mereka seolah-olah menjadi musik yang mengiring tangisan ibu muda yang tidak memperdulikan pertandingan itu karena seluruh perhatiannya tertuju kepada mayat-mayat suami dan anaknya. "Tranggg.. Cringgg…..!!" Suara bertemunya pedang lalu saling tempel dan saling ditarik iitu disusul keluhan Siauw Lek yang mencelat mundur dengan baju bagian depan robek lebar! Mukanya pucat sekali dan tangan kirinya bergerak. "Srat-srat-srat....!" Sinar-sinar hitam menyambar ke depan dan tahu-tahu ada sembilan batang paku menyambar ke arah sembilan bagian tubuh depan Cui Im. Nona ini tersenyum saja, hanya menggerakkan pedang ke depan muka untuk menyampok runtuh tiga batang paku yang menyerang sepasang mata dan dahinya, adapun enam batang paku lainnya yang menyerangnya dari dada ke bawah, ia diamkan saja. "Hemmm, tadi disuruh menuruti kata-katanya, kini berubah menjadi mentaati segala perintahnya! "Baik, saya akan taat." "Kalau begitu, mengapa engkau belum juga turun tangan memenuhi janjimu? Engkau telah kalah, Siauw-twako, apakahnya pada diri wanita ini yang membuatmu tergila-gila tadi?" Siauw Lek menoleh ke arah ibu muda yang masih terisak-isak menangis. Dalam kedukaannya wanita ini lupa akan keadaan tubuhnya yang telanjang bagian atasnya. Ia menangis dan buah dadanya bergoyang-goyang. Air susu mengalir keluar membasahi keluar membasahi mukanya. Melihat dada wanita itu, Siauw Lek tersenyum. Tak salah lagi, dada itulah yang mula-mula menarik hatinya, yang menimbulkan gairahnya. Ia menggerakkan tangan, pedangnya berubah menjadi sinar hitam menyambar ke depan. Ibu muda itu menjerit, darah memancar keluar dari sepasang buah dadanya yang terbelah, ia roboh menindih mayat anaknya dan tewas dalam genangan darahnya sendiri! "H-hi-hi, bagus sekali, engkau memenuhi janjiu, Siauw-twako. Engkau ternyata seorang laki-laki sejati!" Siauw Lek menyimpan pedangnya dan memandang Cui Im dengan mulut tersenyum dan pandang mata memikat. "Tentu saja aku seorang laki-laki sejati, cukup jantan untuk menandingimu dalam apa pun juga,Nona. Akan tetapi bukankah kini tiba waktunya bagimu untuk memperkenalkan diri? Julukanmu Ang-kiam Bu-tek, dan memang pedang merahmu sukar dicari bandingnya, akan tetapi siapakah namamu, Nona?" Cui Im tersenyum. "Belum waktunya engkau mengenal namaku. Ilmu kepandaianmu cukup bagiku, cukup memenuhi syarat, akan tetapi apakah engkau benar seorang jantan dalam hal lain, masih harus keselidiki dan uji lebih dulu." "Maksudmu....?" Siauw Lek membelalakan matanya melihat betapa wanita cantik itu dengan gerakan genit menarik mulai menanggalkan pakaiannya sendiri. Selama petualangannya baru satu kali. Inilah Siauw Lek mengalami hal yang luar biasa ini, akan tetapi sama sekali bukanlah hal yang tidak menyenangkan hatinya! Ia pun bersiap-siap, namun sambil melirik ke arah tiga mayat keluarga yang dibunuhnya itu, tak urung mulutnya berbisik, "Di... disini..?" "Mengapa? Engkau ngeri?" Cui Im bertanya tertawa, lalu melangkah maju menghampiri pembaringan, kaki kanannya yang sudah tak tertutup lagi digerakkan ke atas, ibu jari kakinya bergerak-gerak dibantu jari-jari yang lain yang menyambak rambut kepala suami ibu muda dan melontarkan mayat itu dari atas dipan yang masih bernoda darah. "Aku? Ngeri? Ah, dewi cantik jelita, bersamamu aku akan sanggup menikmati tempat yang bagaimana burukpun, berubah menjadi sorga!" Siauw Lek menubruk dan merangkul, disambut Cui Im yang tertawa-tawa. Iblis sendiri akan merasa ngeri dan muak menyaksikan sepasang manusia luar biasa ini, yang memiliki kekejaman tidak lumrah, keji dan jahat tiada taranya! Dan sekali ini Cui Im merasa benar-benar bertemu tanding yang amat menyenangkan dan memuaskan hatinya. Ternyata dalam segala hal, Siauw Lek benar-benar merupakan seorang laki-laki yang cukup boleh diandalkan, dapat menjadi seorang pembantu yang setia, seorang pengawal yang cukup lihai, dan seorang kekasih yang tidak mengecewakan hatinya.! Sementara itu, Siauw Lek diam-diam merasa kagum, akan tetapi juga penasaran, Ia merasa betapa di dalam segala hal, dia selalu kalah oleh Cui Im. Dalam ilmu silat, dalam ginkang dan sinkang dalam kepandaian merayu dan bercinta. Kekalahan-kekalahan ini membuat dia penasaran. Masa dia, Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek yang belum pernah bertemu tanding dalam segala hal, kini harus tunduk dan taat akan segala perintah seorang gadis muda? Betapapun menyenangkan wanita ini, aku harus dapat menundukkan wanita ini, kalau tidak, akan rendah dan hinalah namamu demikian dia berpikir. *** Menjelang pagi, ketika dia yang berpura-pura tidur itu mendengar pernapasan yang halus dan tenang dari Cui Im dan menganggap wanita itu sudah tidur nyenyak, Siauw Lek perlahan-lahan mengangkat kepalanya. Sinar lilin yang sudah remang-reang itu menerangi wajah yang cantik. Hemmm, sungguh seorang wanita pilihan, pikrnya. Betapapun juga, aku harus memaksa dia menjadi pembantuku, bukan aku menjadi pembantunya, demikian Siauw Lek mengambil keputusan. Cepat tangannya bergerak, hendak menotok pundak yang telanjang itu untuk membuat tubuh Cui Im lemas dan tidak berdaya. Dalam keadaan tidak berdaya, dia akan melakukan apa saja untuk memaksa Cui Im menjadi pembantunya. Akan tetapi Siauw Lek tidak melanjutkan gerakannya dan tiba-tiba tubuhnya seperti kaku karena ada jari-jari tangan halus mencengkeramnya di bawah selimut! Maklumlah dia bahwa kalau dia melanjutkan totokannya, sebelum jari tangannya menyentuh pundak lawan, nyawanya sendiri akan lebih dulu melayang meninggalkan raganya! Mukanya menjadi pucat keringat dingin memenuhi dahinya. "Hemmm, apakah engkau masih juga belum takluk kepadaku, Siauw-twako? Ataukah engkau benar-benar lebih senang mampus?" "Aku.. Aku hanya mencoba...." "Eh, tidak bisa engkau membohongiku, Engkau ingin menguasai aku, bukan?" "Ba.... bagaimana engkau bisa tahu?" "Hi-hi-hik, aku tahu bahwa engkau tadi masih penasaran, belum tunduk kepadaku. Dalam hal kecurangan dan tipu muslihat, engkau pun takkan menang dariku, Twako. Akulah jago wanita nomor satu di dunia ini dan sebagai pembantuku, engkau tidak akan menjadi rendah , bahkan namamu akan meningkat. Nah, bagaimana sekarang? Engkau tahu bahwa dengan tidak membunuhmu saat ini berarti aku sayang kepadamu, akan tetapi lain kali, sekali saja engkau berani main-main aku pasti akan membunuhmu." Siauw Lek menghela napas, bukan karena menyesal, melainkan karena kagum sekali. Ia merangkul dan mencium dan saat itu pula Cui Im sudah yakin benar bahwa ia berhasil menundukkan pria ini. *** Ia memilih sendiri pembantu-pembantunya, menunjuk orang-orang yang cakap, mengangkat menteri-menteri dan ponggawa-ponggawa, bahkan tidak hanya sampai di situ perubahan yang dilakukannya. Ia merasa khawatir bahwa kalau dia melanjutkan pemerintahan berpusat di istana lama, tentu para pembantunya itu lambat laun akan terpengaruh pula oleh kaum penjilat Maka dia mengambil keputusan yang amat penting dan bersejarah, yaitu dia memindahkan ibukota atau kota raja dari selatan ke utara yaitu dari Nanking ke Peking! Mulailah kaisar yang baru ini membangun di Peking dan mulailah tercipta bangunan -bangunan yang amat indah dan penuh dengan daya seni yang mengagumkan. Istana yang besar-besar, megah dan indah dibangun oleh tenaga-tenaga ahli yang didatangkan dari segenap penjuru negeri. Sedemikian hebatnya pembangunan di kota raja kerajaan Beng -tiauw ini sehingga tercatat dalam sejarah bahwa pada masa itu, Kota Raja Peking menjadi kota yang gilang gemilang, yang tidak ada taranya dalam keindahannya di seluruh dunia dan yang mengagumkan setiap orang musafir yang datang dari segala penjuru dunia. Bukan hanya istana-istana besar dan megah di kota raja yang dibangun oleh kaisar baru ini, melainkan juga pekerjaan-pekerjaan besar yang lain dimulai. Tembok besar Ban-li-tiang-shia yang panjangnya lebih dari dua ribu il itu, bangunan ajaib yang dibangun untuk menjadi benteng pertahanan Tiongkok dan melindungi pedalaman dari serbuan suku-suku asing di utara, yang dimulai pembangunannya pada abad ke dua sebelum Tarikh Masehi, kini disusul lagi, diperbaiki dan diperkuat. Bukan hanya tembok besar ini saja, juga terusan yang menghubungkan Sungai Yang-ce-kiang dan Sungai Huang-ho, yang penggaliannya dimulai pada jaman penjajah Mongol, kini dilanjutkan, diperbaiki dan diperlebar. Setelah perang saudara berhenti, mulailah rakyat sibuk membangun kembali di bawah pimpinan Kaisar Yung Lo yang ternyata tidak hanya pandai memimpin bala tentara, akan tetapi pandai pula membangun negara. Pada jaman kaisar inilah kebudayaan dan kesenian berkembang luas dan mulai jaman itu pulalah pelajaran-pelajaran Nabi Khong-hu-cu berkembang, bahkan dicetak menjadi kitab-kitab dan lebih daripada itu pula dijadikan pedoman bagi mereka yang menempuh ujian-ujian negara! Pengetahuan tentang pelajaran-pelajaran filsafat dari Nabi Khong-hu-cu ini dijadikan ukuran terpelajar atau tidaknya seseorang, bahkan pengetahuan itu merupakan kunci untuk membuka pintu kedudukan bagi para pelajar. Dibandingkan dengan ajaran yang sudah-sudah, keadaan rakyat mengalami perbaikan setelah Kaisar Yung Lo memegang kekuasaan. Pemerintah mulai mengatur kehidupan rakyat dan ketenteraman mulai terasa di mana-mana. Tentu saja, keadaan pemerintahan yang baik hanya merupakan sebuah di antara syarat-syarat kebahagiaan hidup manusia, bukan merupakan syarat mutlak karena bagi manusia yang belum mengerti, hidup ini merupakan siksa dan derita. Terlampau banyak hal-hal yang mengurangi atau melenyapkan kebahagiaan hidup. Memang jaranglah terdapat manusia yang mengerti akan ujar-ujar kuno yang berbunyi : Siapa mendekati nikmat menjauhi derita atau pun sebaliknya dia takkan dapat merasai bahagia! Demikian pula dengan kehidupan Song-bin Siu-li Sie Biauw Eng, puteri dari Lam-hai Sin-ni. Dara jelita ini semenjak dibebaskan dari kematian oleh ibunya sendiri dan dibawa kembali ke selatan hidup merana dan menderita sengsara dalam batinnya. Apalagi ketika ia mendengar akan lenyaplah Keng Hong yang oleh semua orang dianggap sudah mati ketika para tokoh tidak dapat menemukan pemuda itu di puncak batu pedang. Biauw Eng menangis setiap hari, menangisi kematian Keng Hong, satu-satunya pria di dunia ini yang dicintainya. "Ihhh, mengapa engkau begini lemah? Sungguh tidak patut menjadi anakku! Menangis saja kerjanya setiap hari. Sungguh memalukan!" Berkali-kali Lam-hai Sin-ni memarahi puterinya. Sebenarnya hanya pada lahirnya saja nenek ini marah-marah dan mencela, padahal di dalam hatinya ia merasa berduka, kecewa, menyesal dan marah sekali. Berduka menyaksikan penderitaan batin puterinya yang terkasih. Kecewa mengapa puterinya mewarisi wataknya yang teguh mencinta seorang pria saja dengan kesetiaan cinta kasih yang merugikan diri sendiri. Menyesal mengapa dia tidak menahan dan mamaksa Keng Hong ketika bertemu dahulu agar pemuda itu tak pernah berpisah dari puterinya, dan marah kepada Keng Hong juga yang dianggapnya menjadi biang keladi penderitaan batin puterinya! Biauw Eng menahan isaknya dan memandang ibunya dengan wajah kurus dan pucat. Matanya yang lebar tampak lebih lebar lagi karena wajahnya kurus, dan sinar matanya suram-muram seperti lampu kehabisan minyak. "Ibu, salahkah kalau hati ini mencinta Keng Hong? Salahkah kalau hati ini berduka karena kehilangan satu-satunya pria yang kucinta? Aku tidak sengaja, Ibu, aku sama sekali tidak lemah. Hanya...apakah artinya hidup ini kalau Keng Hong tidak berada di sampingku? Kalau dia mati, aku pun ingin mati saja, Ibu!" Lam-hai Sin-ni merasa seolah-olah jantungnya ditusuk, dan bulu tengkuknya meremang. Anaknya ini sama sekali tidak lemah, bahkan terlalu keras hati! Kalau saja dia tidak pandai mengemukakan alasan, tentu Biauw Eng sudah membunuh diri begitu mendengar bahwa Keng Hong lenyap tak meninggalkan bekas. "Anak bodoh! Cinta ya cinta, masa begitu nekat?" Ia mengomel, terkenang kepada dirinya sendiri ketika ia tergila-gila kepada Sie Cun Hong si Raja pedang. *** Dia pun dahulu nekat mencinta Sie Cun Hong semenjak pendekar itu menolongnya dari tangan Go-bi Chit-kwi, mencinta dengan nekat dan membuta sehingga ia menyerahkan jiwa raganya, menyerahkan kehormatannya padahal ia tahu manusia dan laki-laki macam apa adanya Sie Cun Hong. Sesal kemudian tak berguna. Dia mengandung. Sie Cun Hong meninggalkannya. Selama hidup dia merana, merindu dan menderita sengsara. Padahal ketika itu ia tidak muda lagi. Begitu kuatnya dia mempertahankan kegadisannya, bahkkan pernah ia mengambil keputusan untuk tidak berhubungan dengan pria selama hidupnya. Keputusan yang membuat ia dapat meraih ilmu-ilmu yang tinggi. Akan tetapi akhirnya ia jatuh oleh Sin-jiu Kiam-ong, jatuh sampai ke lubuk hatinya yang mencinta pria itu. Dia menjadi korban cinta kasihnya sendiri. Dan kini puterinya juga mengalami hal yang sama! "Biauw Eng, biarpun engkau sudah buta oleh cinta, akan tetapi janganlah buta terhadap kenyataan! Siapa bilang bahwa Keng Hong mati? Aku tidak percaya! Bocah seperti setan neraka itu mana bisa mati begitu mudah? Kalau dia mati, mana mayatnya? Jangan engkau bodoh, dia belum mati, percayalah kepadaku!" Sinar mata yang layu itu menjadi agak segar kebali. "Benarkah, Ibu? Kalau masih hidup, dimanakah dia?" "Siapa tahu kemana larinya bocah setan neraka itu? Akan tetapi jelas dia belu mampus. Kita sendiri sudah mencari sekeliling Kiam-kok-san, kalau dia mampus tentu ada mayatnya, tak mungkin mayatnya lenyap begitu saja. Dia belum mampus dan kalau engkau sekarang mati dan dia muncul, bagaimana?" "Ah, kuharap dia lekas muncul, Ibu...!" "Tentu saja dia akan segera muncul kalau engkau sabar menunggu. Daripada engkau susah setiap hari, lebih baik engkau selalu bersembahyang agar kalau dia sudah mati cepat-cepat ditemukan mayatnya dan kalau hidup cepat-cepat muncul di depanmu!" Demikianlah, Biauw Eng masih hidup, tidak membunuh diri. Akan tetapi dia seperti membunuh diri sekerat demi sekerat, menyiksa tubuhnya sendiri yang menjadi makin kurus dan pucat. Kadang-kadang termenung seperti orang linglung yang membuat dia masih tetap hidup hanyalah harapannya yang tak kunjung padam, seperti ujung hio (dupa) menyala, berkelap-kelip kecil namun tak pernah padam. Dia terus menanti, terus menanti dengan hati penuh rindu. Setiap malam Biauw Eng bersembahyang, bahkan kini ia benar-benar berkabung, berkabung untuk Keng Hong yang dia anggapnya tentu telah mati, akan tetapi karena belum terbukti ia masih selalu menanti kemunculannya. Melihat keadaan puterinya ini, Lam-hai Sin-ni menjadi marah dan juga malu. Ia mengajak puterinya kembali ke pantai selatan dan bersembunyi di pantai yang sunyi dan indah, dimana ia mempunyai sebuah gedung yang mungil, hidup sebagai seorang nenek yang diam-diam menderita batinnya menyaksikan keadaan puterinya. Pernah ia berusaha membujuk puterinya untuk menikah, bahkan memberi kesempatan bagi puterinya untuk memilih pria mana yang disukainya. "Pergilah ke kota raja, pilihlah pangeran, atau bangsawan lain, hartawan atau sastrawan yang muda dan tampan. Ataukah engkau lebih suka seorang pemuda ahli silat yang pandai dan gagah perkasa? Pilihlah di dunia kang-ouw kalau ada yang kau setujui aku yang menanggung bahwa dia akan suka menjadi suamimu. Biar dia seorang pangeran sekalipun, kalau menolak, istananya akan kuhancurleburkan!" Demikian nenek yang menjadi tokoh pertama dari Bu-tek Su-kwi itu membujuk puterinya. Akan tetapi Biauw Eng menggeleng kepalanya dan menjawab lirih, "Tidak tahukah Ibu bahwa aku tidak membutuhkan suami? Aku hanya membutuhkan Keng Hong yang kucinta, membutuhkan kehadirannya. Sudah lima tahun, namun belum ada berita tentang Keng Hong, entah hidup entah mati...." Lam-hai Sin-ni tak dapat menahan hatinya ketika melihat wajah puterinya ketika mengucapkan kata-kata terakhir itu. Ah, sama saja seperti engkau, bisik hatinya, engkau pun dalam keadaan hidup tidak matipun tidak. Anakku...! Demikianlah, di tempat sunyi jauh dari dunia ramai, di pantai laut selatan itu, seorang nenek sakti hidup merana dan sengsara hatinya menyaksikan keadaan keadaan puterinya yang patah hati dan gagal dalam asmara itu. Biauw Eng sudah berusia kurang lebih duapuluh tiga tahun dan gadis ini tetap tidak mau menikah dengan orang lain, tetap setia menanti munculnya Cia Keng Hong yang mungkin sekali sudah mati dalam dugaan Lam-hai Sin-ni. Andaikata masih hidup sekalipun, bagaimana kalau Keng Hong tidak suka membalas cinta kasih Biauw Eng? Bagaimana kalau pemuda itu kelak bahkan menikah dengan lain wanita? Ketika di Kun-lun-san pun pemuda itu sama sekali tidak memperdulikan sikap mencinta puterinya, bahkan sebaliknya, pemuda itu menjatuhkan fitnah yang bukan-bukan! Aku akan memaksanya! Demikian Lam-hai Sin-ni mengambil keputusan di hatinya. Kalau benar bocah setan itu masih hidup, kelak aku akan menyeretnya ke sini dan akan memaksanya menjadi suami Biauw Eng! Biarpun hatinya selalu berduka memikirkan Keng Hong, namun Biauw Eng yang semenjak kecil digembleng dengan ilmu-ilmu silat tinggi itu tidak pernah melalaikan latihannya. Selama bersunyi diri bersama ibunya di pantai selatan setiap hari gadis ini melatih ilmu silatnya dan kepahitan hidup membuat ilmunya menjadi lebih matang lagi, pandangannya terhadap ilmu yang dimilikinya lebih mendalam sehingga ia dapat menyempurnakan gerakan-gerakannya dan memperkuat sinkangnya. Pada suatu hari, pagi-pagi sekali Lam-hai Sin-ni sudah pergi meninggalkan Biauw Eng seperti biasa untuk berjalan-jalan sepanjang pantai. Nenek ini sudah amat tua dan kepahitan hidup akibat kekecewaannya melihat puterinya membuat ia seperti pikun dan kadang-kadang tidak perduli, berjalan-jalan setengah hari di sepanjang pantai, membiarkan ombak laut membasahi pakaiannya, atau kemudian ia duduk bersila di atas batu karang yang jauh dari tempat itu, seolah-olah tubuhnya telah berubah menjadi batu karang sendiri. Biauw Eng melatih ilmu silatnya di tepi pantai, dibawah sinar matahari yang baru saja muncul dari permukaan laut sebelah timur. Tubuh gadis yang berusia dua puluh tiga tahun ini masih kurus, akan tetapi mukanya tidak pucat lagi, karena latihan-latihan setiap hari membuat ia sebetulnya amat sehat badannya. Mukanya kelihatan segar, akan tetapi sinar matanya sayu dan muram seolah-olah dalam hidupnya tidak ada kegembiraan lagi. Asyik sekali Biauw Eng berlatih silat dengan senjatanya yang istimewa, yaitu sabuk sutera putih, gerakannya kelihatan lambat namun sabuk sutera itu seolah-olah berubah menjadi seekor naga putih yang berain-main dengan ombak. Amat indah tampaknya, seolah-olah gadis itu seorang dewi lautan yang sedang menari-nari. Namun sesungguhnya di dalam keindahan "tarian" ini tersembunyi tenaga sinkang yang menyambar-nyambar dahsyat, dan sabuk sutera itu sendiri merupakan jangkauan tangan-tangan maut yang mengerikan. Saking tekun dan asyiknya, Biauw Eng yang biasanya amat waspada itu kini tidak tahu bahwa ada dua pasang mata semenjak tadi memandangnya. Dua pasang dari dua orang yang menghampiri tempat itu dan bersembunyi di balik batu karang. Dua orang itu bukan lain adalah Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im dan Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek! Setelah memesan kepada Siauw Lek yang memandang bengong penuh kekaguman kepada gadis yang menari-nari indah itu agar laki-laki ini tetap bersembunyi, Cui Im lalu meloncat keluar dari belakang batu karang, menjauhi batu karang itu, kemudian memanggil dengan suara yang penuh kerinduan, penuh keramahan dan amat manis. "Sumoi..!!" Dengan sikap tenang Biauw Eng menghentikan silatnya dan menengok. Sebelum menengok ia sudah mengenal suara sucinya, maka begitu melihat sucinya berdiri tak jauh dari situ. Pertama-tama yang membuatnya terheran-heran adalah kenyataan bahwa dia sama sekali tidak tahu dan tidak mendengar akan kedatangan sucinya sampai begitu dekat! Sudah sedemikian jauhkah kemajuan sucinya ataukah dia yang kehilangan kewaspadaannya? "Suci... kemana saja engkau selama bertahun-tahun ini..?" Ia menegur, suaranya juga mengandung kegembiraan karena betapapun juga, Cui Im selain menjadi sucinya, juga menjadi teman bermain semenjak kecil sehingga di antara mereka ada perasaan kasih sayang seperti kakak dan adik. "Sumoi...., ah, betapa rinduku kepadamu, Sumoi...!" Cui Im lari menghampiri adik seperguruan ini dan Biauw Eng melihat bahwa ketika berlari, gerakan Cui Im sama seperti dulu, tidak keliatan ada kemajuan. Hal ini memang karena kecerdikan Cui Im yang pada saat itu ingin membunyikan kepandaiannya dari sumoinya. Mereka berangkulan sejenak, dan sesungguhnyalah bahwa pada detik itu, tidak hanya di hati Biauw Eng, juga di hati Cui Im terdapat keharuan dan kegirangan yang sejujurnya. Namun hanya beberapa detik saja bagi Cui Im karena ia segera dikuasai kembali oleh nafsu-nafsunya dan apa yang ia lakukan kembali menjadi palsu ketika ia melepaskan rangkulan dan berkata, "Sumoi, bertahun-tahun kita tidak saling berjumpa. Di manakah subo? Aku tidak melihat beliau..." "Ibu setiap hari berjalan-jalan mencari angin di sepanjang pantai. Suci, selama ini engkau kemana sajakah? Dan kini tiba-tiba engkau muncul disini, apakah ada keperluan penting?" Cui Im tersenyum dan memandang wajah sumoinya yang kurus. Di dalam lubuk hatinya ia tertawa, mentertawakan sumoinya itu karena ia dapat menduga mengapa sumoinya begini kurus. Akan tetapi senyum yang membayang dibibirnya adalah senyum ramah dan manis. "Sumoi, aku datang karena amat rindu kepada subo, dan terutama sekali kepadamu. Ku lihat engkau makin hebat saja ilmu silatmu, aku melihat engkau berlatih dari jauh tadi. Sumoi, tentu engkau sudah mewarisi ilmu simpanan subo, bukan?" *** "Ilmu simpanan yang manakah, Suci? Semua ilmu dari ibu telah diturunkan kepada kita berdua, ilmu simpanan apalagi yang belum kita pelajari, Suci? Soalnya hanya bakat dan ketekunan masing-masing yang menentukan kemajuan seseorang." "Ah, adikku yang manis, adikku yang budiman, terhadap sucimu yang amat sayang kepadamu, tegakah engkau membohong? Yang kumaksudkan adalah ilmu rahasia subo, Thi-khi-I-beng. Tentu engkau sudah mewarisinya, bukan?" Wajah Biauw Eng kehilangan kegembiraannya yang tadi timbul melihat munculnya Cui Im. "Ah ... Itukah? Suci, engkau tentu masih ingat dan mengerti betapa ibu tidak suka kita bicara tentang ilmu itu. Ilmu itu adalah satu-satunya ilmu yang membuat ibu tidak puas karena ibu hanya dapat menguasai kulitnya saja. Karena merasa bahwa ilu itu sama sekali belum sempurna, maka ibu tidak mengajarkannya kepada kita. Mengapa sekarang engkau menyangka yang bukan-bukan, Suci ? Ibu tidak pernah mengajarkan ilmu itu kepadaku!" "Hi-hi-hik, Sumoi, aku tidak tahu apakah engkau membohong atau tidak. Akan tetapi aku dapat membuktikan bohong tidaknya omonganu ini." Mendengar perubahan pada nada suara sucinya, Biauw Eng melangkah mundur, memandang tajam dan berkat dengan suara dingin, "Suci, apa yang kau maksudkan?" Biasanya kalau dia sudah mengeluarkan suara dingin seperti itu, sucinya selalu mmenjadi takut dan tunduk. Akan tetapi alangkah heran hati Biauw Eng ketika melihat sucinya itu tertawa mengejek dan berkata, "Aku akan menyerangmu sehingga engkau terpaksa mengeluarkan Thi-khi-I-beng untuk menyelamatkan dirimu, Sumoi!" Biauw Eng mengerutkan keningnya. "Hemmm, jangan berbuat yang tidak-tidak ,Suci. Aku tidak mempelajari ilmu itu, dan andaikan aku memilikinya pun untuk mengalahkanmu kiranya tidak perlu aku menggunakannya." "Hi-hi-hik, begitukah pendapatmu, Sumoi? Alangkah lucunya! Kau kira aku masih berjuluk Ang-kiam Tok-sian-li seperti dulu? Mungkin engkau dapat mengalahkan Ang-kiam Tok-sian-li, akan tetapi mana bisa engkau menang melawan Ang-kiam Bu-tek? Hi-I-hik, Bu-tek Su-kwi sekalipun takkan menang melawanku, apalagi engkau. Lihat seranganku!" Tiba-tiba tubuh Cui Im bergerak dan ia sudah mengirim pukulan yang dahsyat sekali ke dada sumoinya. Melihat gerakan ini, Biauw Eng terkejut. Sekelebat saja ia mengerti betapa sucinya telah memperoleh kemajuan yang amat luar biasa. Cepat ia mengelak dengan sebuah loncatan ke belakang. Semenjak dahulu ia dapat mengatasi ginkang sucinya dan mengandalkan ginkang ini saja ia dapat membuat sucinya tak berdaya. Akan tetapi betapa kagetnya ketika tahu-tahu tubuh sucinya sudah berkelebat cepat sekali dan tahu-tahu ia telah diserang lagi sebelum ia sempat menurunkan kedua kakinya, dibarengi dengan suara ketawa mengejek dari mulut Cui Im. "Aihhh..!" Biauw Eng terpaksa mengangkat tangan, mengerahkan sinkangnya untuk menangkis. Dahulu, selain menang dalam hal ginkang, juga sinkang jauh lebih kuat, maka sekali menangkis, ia mengerahkan sinkang untuk membuat tubuh sucinya terlempar ke belakang. "Dukkk!" Dua lengan yang berkulit halus bertemu dan akibatnya bukan tubuh Cui Im yang terlempar, melainkan tubuh Biauw Eng yang terguling roboh didahului teriakan kagetnya! Biauw Eng yang merasa betapa tubuhnya terdorong tenaga ujijat dan lengannya seperti lumpuh, bergulingan dan terus meloncat bangun, memandang sucinya yang berdiri tertawa-tawa memandangnya. "Hi-hi-hik, Sumoi, apakah engkau tidak cepat-cepat mengeluarkan ilmu Thi-khi-I-beng untuk mengalahkan aku?" Hampir Biauw Eng tak dapat percaya kalau tidak mengalaminya sendiri. Sucinya ternyata lihai bukan main, tidak saja ginkangnya menjadi luar biasa cepatnya, juga ilmu silatnya aneh dan tenaga sinkangnya amat kuat! Mengertilah ia bahkan selama lima tahun tidak muncul ini, sucinya yang telah mempelajari ilmu-ilmu lain yang amat hebat. Dengan kemarahan Biauw Eng lalu melolos sabuk suteranya, sabuk sutera putih yang dahulu amat ditakuti Cui Im karena gadis itu tak pernah dapat mengatasi sabuk sumoinya ini dalam latihan-latihan mereka. Akan tetapi kini Cui Im sama sekali tidak gentar melihat sabuk itu, malah tertawa mengejek. "Sabuk suteramu itu hanya patut untuk dipakai menari, Sumoi, tiada gunanya kau pakai melawan aku. Kalau Thi-khi-I-beng, barulah mungkin dapat kau pergunakan untuk melawanku." "Suci, engkau jahat sekali. Percayalah, aku tidak memiliki ilmu itu dan buang jauh-jauh pikiranmu yang bukan-bukan itu sebelum aku atau ibuku turun tangan menghajarmu." "Hi-hi-hik, engkau hendak menghajarku? Lucu sekali! Sedangkan ibumu sekalipun tak mungkin dapat mengganggu selembar rambutku!" "Durhaka!" Biauw Eng membentak dan sabuk suteranya sudah berkelebatan dan menyambar, menotok ke arah leher Cui Im. Namun gadis ini dengan mudahnya menyampok ujung sabuk itu dengan lengannya. Ketika Biauw Eng menggetarkan ujung sabuk untuk menangkap pergelangan tangan sucinya denngan belitan,ia terkejut sekali karena tiba-tiba ujung sabuknya itu terpental begitu bertemu dengan lengan Cui Im. Ia maklum bahwa sekali ini ia tidak boleh main-main, apalagi ketika Cui Im membalas dengan pukulan maut pada lambungnya! Sucinya tidak main-main dan agaknya benar-benar hendak memaksanya memberi tahu tentang Thi-khi-I-beng yang sama sekali tidak dimengertinya! Tahulah ia bahwa kini ia harus melawan mati-matian dan bahwa yang bertanding dengan dia bukanlah sucinya lagi, melainkan seorang musuh yang ganas dan amat lihai! Biauw Eng lalu mainkan sabuknya dengan cepat, mengeluarkan serangan-serangan yang paling dahsyat. Pertandingan mati-matian bagi Biauw Eng yang makin lama menjadi makin kaget dan terheran-heran. Tidaklah mengherankan melihat sucinya itu memperoleh kemajuan, akan tetapi kemajuan yang disaksikan ini benar-benar sangat mustahil dan tak masuk akal. Kepandaian sucinya tidak saja jauh melampauinya, bahkan Biauw Eng merasa ragu-ragu apakah ibunya sendiri akan mampu menandingi kepandaian Cui Im! Dia sudah mengerahkan seluruh kecepatan dan tenaganya, sudah mainkan semua jurus-jurus paling hebat dari ilmu sabuknya, namun tetap saja ia tidak mampu mengenai tubuh Cui Im yang bersilat sambil tertawa-tawa mengejek, seolah-olah memamerkan kepandaiannya dan menggodanya. "Lebih baik serang aku dengan ilmu Thi-khi-I-beng, mungkin saja berhasil!" Cui Im mengejek. Memang itulah maksud kedatangannya, selain untuk menundukkan dan mengalahkan bekas gurunya, Lam-hai Sin-ni orang pertama dari Bu-tek Su-kwi, juga ia ingin sekali mendapatkan ilmu Thi-khi-I-beng itu. Segala ilmu silat di dunia ini tidak ia takuti setelah ia mewarisi ilmu-ilmu mujijat dari pusaka penuinggalan Sin-jiu Kiam-ong, akan tetapi karena di dalam kitab-kitab itu ia tidak menemukan ilmu Thi-khi-I-beng, dan melihat betapa dahsyatnya ilmu yang dimiliki Keng Hong dan juga oleh Lam-hai Sin-ni, ia merasa gentar sebelum dapat memiliki ilmu dahsyat itu. Andaikata Biauw eng memiliki ilmu itu, tanpa diminta sekalipun tentu ia akan mempergunakannya terhadap lawan yang amat tangguh itu. Akan tetapi ia sesungguhnya tidak pernah mempelajari ilmu ini, maka kini sambil menggigit bibir saking penasaran, Biauw Eng menyerang terus dengan sabuk suteranya, mengambil keputusan untuk mengadu nyawa nekat. Di lain pihak, Cui Im menjadi gemas karena bekas adik seperguruannya ini tetap tidak mengeluarkan ilmu sedot yang ia inginkan, maka ia lalu berteriak keras dan mulailah tubuhnya bergerak-gerak aneh ketika membalas dengan serangan-serangan hebat, dengan totokan-totokan jari tangannya, dengan cengkeraman-cengkeraman. Biauw Eng menjadi makin kaget menyaksikan betapa hebatnya gerakan bekas sucinya itu. Ia memutar sabuk suteranya melindungi diri dan karena memang ilmu silat pasaran melainkan ilmu yang amat hebat, tidaklah begitu mudah bagi Cui Im untuk dapat meerobohkannya dalam waktu singkat. Biauw Eng terdesak hebat terutama sekali karena sucinya telah mengenal inti daripada semua ilmu silatnya, sebaliknya ia sama sekali tidak mengenal gerakan-gerakan Cui Im yang makin lama makin aneh itu. Tiba-tiba ketika untuk ke sekian kalinya Biauw Eng menggerakkan pergelangan tangannya, membuat sabuk suteranya meluncur seperti seekor naga mematuk ke depan, ke arah leher Cui Im, bekas sucinya ini mengeluarkan pekik melengking dan tiba-tiba saja rambut yang panjang hitam di kepala Cui Im meluncur pula ke depan dan menangkis sabuk sutera-sutera! Kiranya, setelah mempelajari banyak ilmu-ilmu aneh dari kitab-kitab pusaka, Cui Im telah pula mempelajari penggunaan rambut kepalanya dengan dasar tenaga Iweekang dan kini rambutnya telah menangkis dan selanjutnya melihat sabuk sutera itu. Biauw Eng terkejut dan berusaha melepaskan sabuknya dari libatan rambut, namun sia-sia. "Pergunakanlah Thi-khi-I-beng atau kau mampus!" Cui Im berkata dan tangannya kini bergerak dengan jari-jari tangan lurus menusuk leher Biauw Eng dengan kecepatan yang amat luar biasa sehingga takkan mungkin dapat ditangkis atau dielakkan lagi! Dan memang, andai kata Biauw Eng memiliki ilmu sedot itu, tidak ada lain jalan untuk menyelamatkan nyawanya kecuali menerima tusukan ini dengan mengandalkan ilmu sedotnya. Akan tetapi, karena memang Biauw Eng tidak memiliki ilmu itu, gadis ini yang maklum bahwa nyawanya terancam bahaya, cepat melepaskan sabuknya dan membuang diri ke samping untuk menghindarkan diri. Namun gerakannya kalah cepat dan biarpun ia dapat menyelamatkan lehernya, ia tidak mungkin lagi menyelamatkan pundaknya yang kena dihajar sehingga terdengar suara "krekkk!" dan tulang pundaknya yang kiri patah, tubuhnya terlempar dan roboh! "Hemmm, menyebalkan! Kiranya kau benar-benar tidak mempelajari Thi-khi-I-beng!" kata Cui Im sambil melangkah maju mendekati sumoinya yang rebah miring dan menggigit bibir menahan sakit itu. "Ataukah engkau agaknya sengaja menyembunyikannya karena melihat bahwa engkau tidak mampu mengalahkan aku, biarpun dengan Thi-khi-I-beng sekali pun? Hemmm, kalau begitu, engkau tetap keras kepala, Sumoi?" Sambil menahan rasa nyeri pada pundaknya, Biauw Eng bangkit duduk dan menggunakan jari tangan kanan untuk menotok pundak dan iga kirinya sendiri agat dapat mengurangi rasa nyeri, kemudian memandang sucinya penuh rasa kagum ketika bicara, "Engkau hebat sekali, Suci! Benar-benar aku merasa kagum bukan main. Kepandaianmu luar biasa dan aku benar-benar mengaku kalah sekarang! Ibu sendiri tentu akan menjadi kagum sekali, Suci, siapakah gurumu yang tentu luar biasa sekali ilmu kepandaiannya? Dan sekarang setelah memiliki ilmu kepandaian tinggi, mengapa Suci datang hendak memusuhi ibu dan aku! Wajah Cui Im kini menjadi bengis sekali. "Biauw Eng, bukalah telinga dan matamu baik-baik. Kenalilah ini Bhe Cui Im yang berjuluk Ang-kia Bu-tek! Baru tangan kosongku saja mampu mengalahkan sabuk suteramu, apalagi pedang merahku! Hemmm, kau mau tahu mengapa aku memusuhi ibumu? Bukan lain karena aku harus mengalahkan Bu-tek Su-kwi dan mereka tidak berhak lagi memakai julukan Bu-tek (Tanpa Tanding) karena akulah satu-satunya Bu-tek di dunia ini!" "Suci, tidak ingatkah engkau bahwa ibu adalah gurumu yang mendidikmu sejak kecil? Ibu sudah tua, kalau kita beri tahu tentu tanpa bertanding pun dia akan sudi mengalah kepadamu dan memberikan julukan kosong itu kepadamu." "Huh, kalau dia mengalah berarti julukan itu benar kosong! Tidak, dia harus bertanding melawan aku, ingin aku merasai Thi-khi-I-beng yang tersohor itu! Kecuali kalau dia mau memberikan ilmu itu kepadaku, hemmm.... akan kupikir-pikir untuk mengampuni nyawa anjingnya!" "Cui Im....!!" Biauw Eng berseru keras, membentak dengan marah. Pada saat itu, pandang mata Biauw Eng beralih pada seorang pria yang tiba-tiba muncul dan dengan loncatan ringan sekali menghampiri tempat itu sambil tersenyum-senyum. "Eh, inikah sumoinya itu, adik Cui Im? Hemmm, manis sekali, hampir semanis engkau sayang agak kurus." "Hi-hi-hik, dia patah hati, Twako.Eh, Biauw Eng, tahukah engkau siapa priaa yang ganteng ini?" Cui Im merangkul pundak Siauw Lek dengan sikap manja dan mesra sekali, bahkan lalu mencium pipi laki-laki itu setelah ia berdiri di atas ujung kakinya karena tingginya hanya sampai ke pundak Siauw Lek. Wajah Biauw Eng menjadi merah saking merasa malu dan jengah. "Hemmm, sejak dulu masih belum sembuh engkau dari watakmu yang gila laki-laki, Cui Im. Siapa lagi dia ini kalau bukan pacarmu yang berganti sampai ratusan kali?" "Hi-hi-hi, benar sekali, entah ke berapa ratus kalinya. Hemmm, sedap dan nikmat berganti-ganti pacar, sekali hidup pun sudah puas. Tidak seperti engkau sekali mempunyai pacar saja gagal!" "Cui Im....!" Biauw Eng menegur dengan hati terasa perih. Kini kedua orang wanita ini tidak lagi menyebut sumoi dan suci, melainkan menyebut nama masing-masing karena mereka sama-sama maklum bahwa kini tak mungkin lagi saling mengakui sebagai saudara seperguruan. "Wah, Moi-moi, biarpun kurus, dia masih segar. Kalau kau berikan kepadaku untuk selingan dan penyegar, aku pun tidak menolak!" Siauw Lek berkata sambil tertawa. Cui Im juga tertawa genit. "Bagaimana, Biauw Eng. Dia tampan dan gagah juga, bukan? Biarpun tidak setampan Keng Hong, kurasa dia tidak kalah pandai dalam hal merayu...." "Cui Im, tutup mulutmu yang kotor!" Biauw Eng membentak marah, menahan keinginan hatinya untuk bertanya apakah bekas sucinya ini tahu dimana adanya Keng Hong dan yang terpenting apakah Keng Hong masih hidup. Akan tetapi mendengar Cui Im dan Siauw Lek bercakap-cakap seperti itu, ia menahan keinginan hatinya dan membuang muka. "Hi-hi-hik, Biauw Eng, apakah engkau masih alim seperti dahulu? Apakah engkau masih perawan seperti dahulu? Kalau begitu kebetulan, kau lihat ini baik-baik. Dia adalah murid Go-bi Chit-kwi..." "Ohhhh...?? Jadi engkau... Engkau malah bersekutu dengan musuh besar gurumu sendiri? Cui Im, engkau manusia rendah, murid durhaka!" "Dia inilah yang bernama Siauw Lek, berjuluk Kim-lian Jai-hwa-ong! Dia malang melintang di dunia kang-ouw, dalam hal kekejaman dan kepandaian tidak usah malu dan kalah kalau dibandingkan dengan Bu-tek Su-kwi, namun dia adalah pembantuku!" "Bagus sekali! Kiranya engkau sudah bersekutu dengan murid musuh-musuhku, Cui Im? Hemmm, sungguh memalukan dan baiknya engkau datang mengantar kematian!" Suara ini keluar dari mulut Lam-hai Sin-ni dan diam-diam Cui Im harus mengakui bahwa biarpun sudah tua bekas gurunya ini memiliki ginkang yang luar biasa sehingga kedatangannya tidak ia ketahui. Ia cepat membalikkan tubuhnya dan menekan perasaan hatinya yang berguncang. Biarpun ia telah merasa yakin akan kepandaiannya, namun menghadapi nenek bekas gurunya yang menjadi tokoh nomor satu dari Bu-tek Su-kwi, hati Cui Im gentar juga. Akan tetapi selain merasa yakin akan kemampuannya sendiri, hatinya juga besar karena disitu ada Siauw Lek yang tentu akan membantunya, maka ia berkata dengan nada suara dingin. "Lam-hai Sin-ni, aku datang bukan sebagai muridmu lagi, melainkan sebagai penantangmu! Aku adalah Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im, satu-satunya jago wanita tanpa tanding yang akan menjadi ratu di antara golongan hitam!" "Phuahhh....!" Cui Im, apakah engkau sudah menjadi gila?" "Ibu, jangan lawan dia! Kalau dia mengkehendaki julukan kosong sebagai Bu-tek, serahkanlah saja!" Lam-hai Sin-ni mengerutkan alisnya yang sudah putih lalu memandang puterinya. Sekali pandang saja maklumlah nenek ini bahwa puterinya terluka pundaknya, maka ia berkata, "Hemmm, engkau kalah oleh dia dan murid Go-bi Chit-kwi itu, Eng-ji? Kalah karena dikeroyok tidak mengherankan." "Tidak, Ibu. Dia...Cui Im, sekarang lihai bukan main..." Wajah nenek itu tampak tercengang. Dia merasa heran mendengar ini. Benarkah puterinya dikalahkan oleh Cui Im? Hampir ia tidak dapat percaya karena dahulu tingkat kepandaian Cui Im jauh dibawah tingkat Biauw Eng. Dan selama ini puterinya itu setiap hari berlatih sehingga tingkatnya telah mencapai kemajuan pesat sekali. Mungkinkah Cui Im sudah sedemikan lihainya sehingga mampu mengalahkan puterinya? Benarkah tidak dibantu oleh murid Go-bi Chit-kwi itu? Kini ia memandang bekas muridnya itu tajam-tajam lalu berkata, "Cui Im, terus terang saja. Apa maksud kedatanganmu ini?" "Lam-hai Sin-ni, sudah kukatakan bahwa aku hendak menjagoi dunia kang-ouw dan aku datang untuk menantangmu mengadu kepandaian. Hanya ada akibat dari pertandingan antara kita, yaitu engkau tewas di tanganku atau engkau dapat kuperingan dan tidak akan kubunuh akan tetapi engkau harus memenuhi permintaanku." Biarpun ia sudah tua dan sudah pandai menguasai perasaanya, namun mendengar ucapan bekas muridnya ini, Lam-hai Sin-ni merasa betapa dadanya seperti akan meledak saking marahnya. Dengan kekuatan batinnya saja ia masih mampu mengendalikan dirinya dan suaranya amat dingin ketika bertanya, "Hemmm, Bhe Cui Im, permintaan apakah itu?" Sambil mempermainkan mata dan bibirnya dengan sikap mengejek sekali Cui I menjawab, "La-hai Sin-ni, aku tidak takut menghadapi iluu Thi-khi-I-beng, akan tetapi aku tertarik sekali akan ilmu itu dan ingin aku mengetahui rahasianya. Kalau engkau mengajarkan ilmu itu aku akan mengingat hubungan lama di antara kita dan aku tidak akan membunuhmu, melainkan hanya mengalahkanmu tanpa membunuh!" "Bhe Cui Im, bocah keparat!" Lam-hai Sin-ni tak dapat menahan kemarahannya lagi. "Engkau sungguh tekebur sekali! Belum juga mengalahkan aku sudah mengajukan syarat! Heh, Cui Im si sombong, jangan kira bahwa aku yang sudah tua ini akan mudah saja kaukalahkan. Kalau engkau mampu mengalahkan aku, jangankan baru Thi-khi-I-beng, bahkan nyawaku pun akan kuberikan kepadamu!" Baru saja habis ucapan nenek itu, tubuhnya sudah menerjang maju dengan kecepatan yang luar biasa sekali, bagaikan halilintar menyambar, dan dua buah pukulan beruntun menyambar ke arah ulu hati dan kepala Cui Im. Biarpun Cui Im sudah yakin akan kepandaiannya, namun sikapnya tadi memang untuk memancing kemarahan dan untuk menyesuaikan sikap seorang "ratu" di dunia hitam, padahal dia sesungguhnya tidak berani memandang rendah bekas gurunya yang ia tahu lihai luar biasa itu. Kini, melihat berkelebatnya tubuh gurunya, cepat ia sudah bergerak pula, miringkan tubuh mengurangi lowongan dan kedua tangannya bergerak menangkis. "Plak-plak!" Bagaikan disambar halilintar, tubuh dua orang wanita itu terpelanting ke belakang, namun dengan amat cepatnya keduanya sudah meloncat lagi saling terjang dan dalam detik selanjutnya terdengar lagi suara "plak-plak" bertemunya kedua lengan. Sampai lima kali mereka saling terjang dan beradu lengan, dan lima kali tubuh mereka terbanting ke belakang. *** Lam-hai Sin-ni meloncat bangun, wajahnya merah sekali. Ia terheran-heran dan penasaran. Dalam mengadu tenaga sinkang melaui kedua tangan tadi, bekas muridnya ini membuktikan bahwa tenaga Cui Im tidak kalah kuat olehnya! Kalau nenek itu berdiri dengan muka merah dan tercengang, sebaliknya Cui Im berdiri dengan sikap tenang dan mulut tersenyum mengejek, hatinya gembira karena ia dapat membuktikan bahwa seperti yang diduganya, kini ia dapat mengimbangi tenaga sinkang bekas gurunya. Dia tidak takut pada gurunya menggunakan Thi-khi-I-beng, karena selain ia tahu bahwa kepandaian gurunya dalam ilmu itu belum sempurna dan tidak sekuat tenaga sedot Keng Hong, juga ia sudah bersiap-siap dan tahu bagaimana caranya menghadapi ilmu yang belum kuat itu. Ia mengandalkan rambutnya yang akan dapat ia pergunakan untuk menotok bagian tubuh gurunya yang menyedot sinkangnya. "Bagaimana, Lam-hai Sin-ni, apakah sedemikian saja kepandaiamu?" Sepasang mata yang sudah tua itu seperti mengeluarkan api. Biauw Eng yang menyaksikan pertandingan itu, sudah bangkit berdiri menahan rasa nyeri di pundaknya, dan berkata, "Ibu, sudahlah, hendaknya ibu mengalah dan memberikan Thi-khi-I-beng kepadanya. Ibu sudah tua, perlu apa memperebutkan ilmu itu? Berikan saja dan kita pergi dari sini, Ibu." Ucapan puterinya ini menambah kemarahan hati Lam-hai Sin-ni. "Pengecut! Apakah engkau sudah menjadi pengecut karena cinta? Lebih baik aku mati sekarang daripada tunduk terhadap setan cilik ini!" Ia lalu menghadapi bekas muridnya itu lagi sambil menggerakkan tangan dan tahu-tahu sebatang pedang tipis berada di tangannya. "Bhe Cui Im, kenalkah engkau akan pedang ini? Ataukah matamu telah buta sehingga tidak lagi mengenal pedang ini?" Cui Im menjebikan bibirnya mengejek. "Pedang Liong-jiauw-kiam (Pedang Cakar Naga)?" Hemmm, pedang itu tidak menakutkan hatiku, Lam-hai Sin-ni!" kata Cui Im. Dan tangannya bergerak lebih cepat lagi daripada gerakan nenek itu dan tampak sinar merah berkelebat. Pedang merahnya telah berada di tangannya. "Bhe Cui Im, engkau tahu bahwa pedang ini tidak pernah kugunakan, karena memang pedang ini kusimpan untuk ku pakai menghadapi Go-bi Chit-kwi. Akan tetapi tujuh setan itu telah mampus dan kini muncul murid mereka yang menjadi sahabatmu. Nah, pedang ini sekarang akan membasmi engkau bersama murid Go-bi Chit-kwi!" "Hi-hi-hik, engkau dengar nenek ini mengoceh, Twako. Katanya hendak menggunakan pedang itu untuk membunuh kita, hi-hi-hik!" "Ha-ha-ha, sudah biasa itu, Moi-moi. Burung tua mau mampus ocehannya paling merdu dan nenek-nenek tua mau mati suaranya paling lantang, ha-ha-ha!" Tangan Siauw Lek bergerak pula dan sinar hitam berkelebat. Melihat ini, Lam-hai Sin-ni memekik panjang dan tubuhnya berkelebat, di dahului gulungan sinar pedangnya yang putih. Sinar pedang yang bergulung-gulung itu membentuk lingkaran-lingkaran lebar dan melayang ke arah dua orang lawannya yang sudah siap. Siauw Lek dan Cui Im tertawa dan tampaklah gulungan sinar pedang hitam dan merah yang amat lebar dan panjang yang segera membuat gerakan menggunting dan menjepit sinar pedang putih dari Lam-hai Sin-ni. Biarpun pundak kirinya terluka dan patah tulangnya, namun begitu melihat ibunya dikeroyok oleh dua orang itu yang gerakan pedangnya hebat sekali, Biauw Eng menjadi khawatir dan ia cepat menggerakkan sabuk suteranya dengan tangan kanan dan menerjang maju untuk membantu ibunya. Ia disambut oleh sinar pedang hitam di tangan Siauw Lek yang tertawa mengejek. "Nona muda, engkau cantik jelita sekali. Sayang engkau kurus merana dan dingin. Marilah dekat Siauw Lek, aku akan membuat engkau hangat panas dan membuatmu gembira, ha-ha-ha!" Biauw Eng maklum bahwa laki-laki murid Go-bi Chit-kwi itu lihai sekali dan tahu pula bahwa ucapannya itu adalah pancingan agar dia marah, maka dia menekan perasaannya dan tanpa menjawab tangan kanannya bergerak. Sinar-sinar putih berkerepan menyambar ke depan ketika sembilan buah senjata rahasia bola-bola putih berduri menyerang sembilan jalan darah di tubuh Siauw Lek dengan kecepatan luar ciasa. Jai-hwa-ong terkejut sekali, namun dia adalah seorang yang berilmu tinggi dan juga dia sendiri adalah seorang yang ahli dalam penggunaan senjata rahasia, maka tentu saja dia tidak menjadi gugup. Karena tadi di tempat persembunyiaannya ia sudah menyaksikan cara gadis itu bertanding menggunakan sabuk sutera melawan Cui Im dan maklum bahwa biarpun tulang pundak kirinya patah namun gadis ini masih merupakan seorang lawan yang tak boleh dipandang ringan, maka dia tidak mau mengelak untuk membiarkan dia terdesak dan memberi kesempatan kepada lawan untuk menyerangnya, dengan susulan senjata rahasi atau senjata sabuk sutera. Cepat Siauw Lek memutar pedang hitamnya dan terdengar suara nyaring berkali-kali ketika semua senjata rahasia itu runtuh ke atas tanah. Kemudian melihat Biauw Eng sudah menggerakkan sabuk suteranya, dia tertawa dan mengangkat pedang menyambut.Terjadilah pertandingan hebat antara kedua orang ini dan diam-diam Siauw Lek merasa kagum melihat gadis yang sudah patah tulang pundaknya itu ternyata masih dapat menyerang hebat dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Sebaliknya, di dalam hatinya Biauw Eng amat mengkhawatirkan ibunya karena ia sudah tahu betapa lihainya Cui Im sekarang. Akan tetapi, selain ia sendiri sudah terluka sehingga gerakannya tidak leluasa, juga ia mendapat kenyataan betapa murid Go-bi Chit-kwi ini juga lihai sekali ilmu pedangnya. Kalau saja ia tidak terluka, agaknya ia akan dapat menandingi Siauw Lek dan biarpun ia merasa ragu-ragu apakah ia akan dapat mengalahkan pria ini, namun ia yakin bahwa untuk merobohkan dia pun bukan merupakan hal mudah bagi lawannya. Tulang pundaknya yang patah itu membuat gerakannya kaku dan tidak leluasa sekali dan gerakan-gerakannya membuat pundaknya terasa makin nyeri. Untung bagi Biauw Eng bahwa agaknya dalam pertandingan itu Siauw lek tidak berniat membunuhnya, karena kalau demikian halnya, agaknya Biauw Eng takkan dapat bertahan lama dan pedang hitam itu tentu dapat merobohkannya dalam waktu singkat. Memang demikianlah, Siauw Lek yang berwatak mata keranjang itu ingin sekali mendapatkan Biauw Eng sebagai korbannya, pertama karena memang Biauw Eng amat cantik jelita, lebih cantik menarik daripada Cui Im sendiri, juga jauh lebih muda di samping kenyataan bahwa gadis ini adalah seorang perawan. Juga belum pernah selama dalam petualangannya Siauw Lek mendapatkan korban seorang gadis yang demikian tinggi ilmu silatnya, juga putri dari Lam-hai Sin-ni. Sekarang dia tidak akan gagal mendapatkan puterinya! Kalau pertandingan antara Siauw Lek dan Biauw Eng seperti kucing mempermainkan tikus dan tidaklah sungguh-sungguh di fihak Siauw Lek biarpun Biauw Eng melawan mati-matian karena pria itu hendak menangkap Biauw Eng tanpa melukainya, lain lagi sifat pertempuran yang terjadi antara Lam-hai Sin-ni dan Cui Im. Dua orang wanita bekas guru dan murid itu bertanding mati-matian dan makin lama Lam-hai Sin-ni menjadi makin terkejut dan heran menyaksikan gerakan -gerakan bekas muridnya ini yang luar biasa sekali. Ilmu pedang yang dimainkan Cui Im dengan pedang merah itu amat dahsyat dan aneh, mengingatkan ia akan ilmu pedang Sin-jiu Kiam-ong! Adapun ginkang (ilmu meringankan tubuh) dan sinkang gadis ini pun meperoleh kemajuan yang mentakjubkan, bahkan sukar dapat dipercaya. Diam-diam ia menjadi curiga dan ketika mereka berdua mengadu pedang sehingga terdengar suara berdencing nyaring dan tubuh mereka mencelat mundur beberapa meter jauhnya. Lam-hai Sin-ni tidak dapat lagi menahan keinginan tahunya dan ia bertnya, "Perempuan iblis! Engkau berhasil menemukan pusaka-pusaka Sin-jiu Kiam-ong?" Cui Im tertawa mengejek. "Pusaka-pusaka berharga menjadi ahli nomor satu di dunia. Lam-hai Sin-ni, aku memang telah mewarisi pusaka itu dan karenanya aku yang akan menjadi tokoh nomor satu!" Biauw Eng yang sedang didesak oleh cengkeraman-cengkeraman tangan kiri Siauw lek sedangkan sabuk suteranya selalu ditahan oleh pedang hitam. Dengan mata bersinar-sinar ia meloncat mundur menjauhi Siauw Lek dan membalikkan tubuh menghadapi Cui Im sambil bertanya, "Cui Im! Kalau begitu engkau bertemu dengan Keng Hong! Dimana dia??" "Hi-hi-hik, engkau mau bertemu dengan Keng Hong? Harus kau cari di dasar neraka….!" "Cui Im! Dia... Dia....?" Wajah Biauw Eng menjadi pucat sekali dan kata-kata "mati" yang hendak ia tanyakan hanya terbisikkan di dalam hatinya saja. "Cui Im, engkau harus mampus!" Lam-hai Sin-ni membentak marah karena keterangan Cui Im tentang Keng Hong itu tentu akan menimbulkan malapetaka bagi puterinya. Ia menyerang dengan hebat sambil meloncat ke depan, pedangnya berubah menjadi sinar putih yang panjang. "Trang-trang-cring...!" Bunga api berpijar dan kembali sinar putih dan merah dari pedang kedua orang wanita itu sudah saling serang lagi dengan seru dan mati-matian sungguhpun kini La-hai Sin-ni tidak lagi merasa heran menyaksikan kehebatan ilmu kepandaian Cui Im, bahkan mulai merasa ragu-ragu apkah ia akan mampu mengalahkan bekas muridnya yang telah mewarisi pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, kekasihnya juga ayah kandung Biauw Eng itu. Adapun yang mendengar ucapan Cui Im tadi, seperti linglung dan berdiri bengong memandang bekas sucinya yang telah bertanding hebat melawan ibunya itu. *** Kalau mau mencari Keng Hong ke dasar neraka? Apakah artinya itu? Apakah Keng Hong telah mati? Siauw Lek yang melihat betapa Siauw Lek menjadi seperti kehilangan semangat, seperti telah berubah menjadi arca, tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini dan dia segera menyimpan pedangnya dan menubruk ke arah Biauw Eng dari sebelah kiri gadis itu. Sebagai seorang gadis yang semenjak kecil di gembleng ilmu silat tinggi dan telah memiliki gerakan otomatis melindungi tubuhnya dari setiap serangan yang datang mengancam, biarpun dia sedang terlena dalam lamunan duka, Biauw Eng merasai serangan ini dan otomatis lengan kirinya bergerak memukul ke arah bayangan yang menubruknya dari kiri! Akan tetapi keluhan lirih terdengar dari mulut gadis ini ketika pundaknya terasa nyeri sekali oleh gerakannya sendiri. Dia lupa akan tulang pundak kirinya yang patah, maka cepat ia memutar tubuh hendak mmenghadapi terjangan lawan dengan tangan kanan. Namun terlambat karena Siauw Lek dan meringkusnya, dan dua kali menotok jalan darah di pungung dan pundaknya membuat Biauw Eng terguling roboh dengan tubuh lemas. "Keparat jahanam! Jangan menganggu puteriku!" Lam-hai Sin-ni melengking nyaring dan saking marahnya melihat puterinya dirobohkan, gerakan pedangnya menjadi ganas sekali. Tidaklah percuma nenek ini menjagoi di antara datuk-datuk hitam karena memang kepandaiannya hebat sekali. Selain pedangnya bergerak cepat dan sinarnya saja sudah cukup merobohkan lawan, juga setiap dorongan dan pukulan tangan kirinya merupakan sambaran maut yang mematikan Cui Im yang telah mewarisi ilmu-ilmu rahasia yang mujijat merasa kewalahan juga ketika Lam-hai Sin-ni mengamuk dengan nekat. Gadis ini tadinya mengharapkan bekas gurunya untuk mengeluarkan Thi-khi-I-beng, akan tetapi ternyata Lam-hai Sin-ni tidak pernah mempergunakan ilmu itu sehingga ia menjadi habis sabar dan tidak mau memancing-mancing lagi. Kini melihat Lam-hai Sin-ni mengamuk, melihat betapa Biauw Eng telah roboh, ia berseru, "Twako, bantulah aku merobohkan monyet tua ini!" Siauw Lek yang sedang memandang tubuh Biauw Eng dengan hati puas, tertawa dan cepat mencabut pedang hitamnya lalu menerjang maju pembantu Cui Im, mungkin ilmu pedang Siauw Lek tidak sehebat gadis itu, akan tetapi karena diapun sudah mewarisi ilmu kepandaian Go-bi Chit-kwi dan pengalamannya sudah banyak, tentu saja ia merupakan tenaga bantuan yang hebat pula. Hal ini terasa terdesak hebat setelah murid musuh besarnya itu maju membantu bekas muridnya. Lam-hai Sin-ni sudah tua dan akhir-akhir ini ia menderita tekanan batin karena keadaan puterinya. Hal ini membuat tubuhnya menjadi lemah dan sering kali ia merasa jemu akan penghidupannya dan bertahun-tahun ia tidak pernah berlatih ilmu silat lagi. Kini ia harus menghadapi penggeroyokan dua orang muda yang memiliki kepandaian hebat. Tentu saja ia menjadi repot sekali dan biarpun ia telah mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua ilmu pedangnya, namun tetap saja ia makin terdesak dan terhimpit, napasnya mulai memburu dan tubuhnya basah oleh keringat. "Hi-hi-hik, Lam-hai Sin-ni, belum juga kau keluarkan Thi-khi-I-beng?" Cui Im mengejek dan pedangnya meluncur seperti kilat menusuk ke arah leher bekas gurunya. "Cringgggg...!" Lam-hai Sin-ni berhasil menangkis akan tetapi ia terhuyung ke belakang dan tangan yang memegang pedang gemetar. "Nenek tua, mampuslah!" Siauw Lek membacokkan pedang hitamnya dari samping mengarah lambung. "Trangggggg....!" Kembali Lam-hai Sin-ni yang terhuyung-huyung itu berhasil menangkis, akan tetapi karena keadaan tubuhnya sedang terhuyung, tangkisan ini hampir membuat ia roboh terguling kalau saja ia tidak cepat meloncat dan berjungkir balik. Ia maklum apa yang ia mengeluarkan Thi-khi-I-beng. Akan tetapi ia tidak sudi memperlihatkan ilmu itu, apalagi karena ia tahu bahwa ilu itu tidak akan ada gunanya kalau ia pergunakan terhadap dua orang muda lihai yang tentu saja sudah mengadakan persiapan lebih dulu ini. Biar sampai mati, dia tidak akan memberikan ilmu Thi-khi-I-beng, kalau hal ini yang diinginkan Cui Im! Ia melawan terus, akan tetapi napasnya makin memburu dan pandang matanya mulai berkunang, kepalanya terasa pening. Adapun dua orang muda itu yang melihat keadaan lawan makin lemah, terus mendesaknya. Cui Im mengenal akan kekerasan hati Lam-hai Sin-ni, maka ia tidak dapat mengharapkan akan berhasil membujuk bekas gurunya, akan berhasil membujuk bekas gurunya, dan pedangnya makin ganas saja menyambar-nyambar. "Cui Im, biar aku mengadu nyawa denganmu!" Tiba-tiba Lam-hai Sin-ni yang sudah pening dan sudah gelap pandang atanya itu mengeluarkan suara melengking keras dan tubuhnya melayang naik terus meluncur seperti burung garuda menyambar ke arah Cui Im dengan pedang di depan. Pedang ini menusuk ke arah tubuh bekas muridnya. Inilah jurusnya yang terakhir, jurus terlihai akan tetapi juga merupakan jurus bunuh diri atau mengajak lawan mati bersama. Julukan ini bernama Hui-seng-coan-in (Bintang Terbang Menembus Awan). Serangan yang dilakukan dengan tubuh melayang dengan luncuran kilat ini takkan dapt ditangkis atau dielakkan lagi oleh lawan, karena tangkisan lawan tentu akan dibarengi dengan pukulan tangan kiri, sedangkan elakan tak mungkin dilakukan karena pedang dapat digerakkan mengejar tubuh lawan. Kalau lawan berkepandaian tinggi, jalan satu-satunya bagi lawan hanya membarengi dengan serangan balasan terhadap tubuh melayang yang tidak memperdulikan akan penjagaan diri melainkan sepenuhnya dicurahkan untuk menyerang itu. Karena sifat jurus ini maka selama hidupnya Lam-hai Sin-ni tidak pernah mempergunakannya, maka kini ia benar-benar mengkehendaki mati bersama dengan bekas muridnya yang amat dibencinya itu. Cui Im terkejut bukan main. Ia mengenal jurus ini dan tahu pula akan kehebatannya, maka cepat ia berkata kepada Siauw Lek, "Twako, tangkis pedangnya!" Siauw Lek tidak mengenal jurus nenek itu, akan tetapi dia tahu bahwa tentu serangan ini hebat sekali, maka dia cepat mentaati perintah Cui Im dan menggerakkan Hek-liong-kiam menangkis sambil mengerahkan tenaganya. Adapun Cui Im yang percaya penuh akan kesetiaan dan bantuan Siauw Lek, cepat menyusup ke bawah dan menggerakkan pedangnya yang berubah menjadi sinar merah menyambar ke arah kedua kaki bekas gurunya. "Tranggg....!" Dess...! Crokkkk!!" Amat cepat dan hebatnya benturan antara tiga orang itu, disusul teriakan kaget dan sakit dari mulut Siauw Lek yang roboh bergulingan dan rintihan perlahan Lam-hai Sin-ni yang roboh terlentang dengan kedua kaki buntung kena disambar pedang merah Cui Im! Siauw Lek bergulingan dan cepat duduk bersila sambil memejamkan atanya untuk mengatur pernapasan agar luka di dalam tubuhnya tidak terlalu hebat akibat pukulan tangan Lam-hai Sin-ni yang mengenai dadanya itu. Ketika ia tadi menangkis pedang Lam-hai Sin-ni , tangan kiri nenek itu otomatis menghantam dan mengenai dadanya membuat ia terpekik dan roboh bergulingan. Adapun Cui Im yang cerdik sudah menyerang kedua kaki Lam-hai Sin-ni tepat pada saat nenek itu memukul Siauw Lek sehingga ia berhasil membabat kedua kaki bekas gurunya itu sampai buntung sebatas lutut! "Twako, kau tidak apa-apa...?" Cui Im menghampiri Siauw Lek, meraba punggung sahabatnya itu dan membantu Siauw Lek dengan pengerahan sinkang melalui telapak tangannya. Tak lama kemudian Siauw Lek membuka matanya dan mukanya yang tadi amat pucat menjadi merah kembali, tanda bahwa bahaya telah lewat dan dia tidak terluka hebat. Mereka lalu bangkit berdiri menghampiri Lam-hai Sin-ni yang masih rebah terlentang dengan mata mendelik dan tangan kanan tetap memegang pedang. Darah mengucur keluar seperi pancuran dari kedua kakinya yang buntung. "Lam-hai Sin-ni, aku telah merobohkan engkau. Sekarang berikan Thi-khi-I-beng kepadaku dan aku akan mengingat akan hubungan antara kita dan tidak akan membunuhmu," Cui Im berkata dengan suara dingin. Dengan mata mendelik nenek itu memandang Cui Im. "Cui Im murid durhaka, manusia berhati iblis! Biar kau bunuh aku, jangan harap engkau akan dapat mempelajari Thi-khi-I-beng dari ku!" "Hemmm, nenek keras kepala!" Cui Im berkata gemas. "Moi-moi, mengapa bingung? Biar dia melihat aku permainkan puterinya, apakah dia masih akan keras kepala atau tidak!" Sambil berkata demikian Siauw Lek menghampiri Biauw Eng yang masih rebah tak bergerak, lemas karena ditotok jalan oleh Siauw Lek. Lam-hai Sin-ni memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak ke arah puterinya. Ia maklum apa yang akan dilakukan murid Go-bi Chitkwi itu. Hampir saja ia menyerah, akan tetapi hatinya sendiri yang penuh kekejaman dan kelicikan segera membuat ia berpikir dan berpendapat lain. Kalau dia membuka rahasia Thi-khi-I-beng, apakah murid Go-bi Chit-kwi itu akan melepaskan Biauw Eng? Tak mungkin! Masa dia begitu bodoh. Dan apakah Cui Im benar-benar akan mengampuni nyawanya? Hal ini pun meragukan sekali. Lebih baik dia mati dan biarkan Biauw Eng dihina dan dicemarkan. Hal itu akan baik sekali malah bagi Biauw Eng! Akan mengguncang batin puterinya itu sehingga hatinya dipenuhi dendam, akan menimbulkan kembali semangatnya yang membeku karena cintanya kepada Keng Hong yang terputus. Biarlah! Kelak tentu Biauw Eng akan dapat membalaskan kematiannya. "Cui Im perempuan rendah dan engkau murid Go-bi Chit-kwi yang hina! Lakukanlah apa yang kalian kehendaki akan tetapi jangan harap aku akan menyerahkan ilmu Thi-khi-I-beng kepada kalian!" Cui Im menjadi marah sekali."Begitukah? Lam-hai Sin-ni, engkau tahu cara apa yang paling baik untuk menyiksa puterimu? Hi-hi-hik, ingatkah engkau betapa engkau sendiri yang mengajarkanku untuk menyiksa orang?" "Perempuan keparat, apa pun yang kau lakukan, tidak akan menakutkan hatiku, tak usah banyak cerewet lagi!" Cui Im menghampiri bekas gurunya itu dan Lam-hai Sin-ni yang kelihatannya sudah lelah sekali itu menggerakkan tangannya dan .... pedang di tangannya meluncur seperti anak panah ke arah dada Cui Im yang berdiri dala jarak amat dekat. "Iiiiihhhhh..!" Cui Im menjerit dan cepat membuang diri ke belakang. Ia dapat menyelamatkan nyawanya, akan tetapi pedang itu tetap saja menyerempet pinggul kirinya ketika ia bergerak mengelak tadi sehingga bajunya robek dan juga kulit pinggulnya robek berdarah. "Heh-heh-heh, apa bedanya hidup dan mati? Selisihnya sedikit sekali....!" Lam-hai Sin-ni tertawa mengejek sambil memandang wajah Cui Im yang pucat sekali. Memang harus diakui bahwa nyaris ia tewas di tangan bekas gurunya ia menerjang ke depan, pedangnya mengeluarkan sinar merah dan kedua lengan Lam-hai Sin-ni terlempar, buntung sebatas siku dan darah mengucur keluar. Lam-hai sin-ni sudah buntung kedua kakinya itu secara mengagumkan sekali telah dapat mmenggerakkan tubuhnya sehingga ia duduk tegak dan meramkan kedua matanya. Darah masih mengucur keluar dengan deras melalui kedua lengannya yang buntung dan hanya menetes-netes saja dari kedua kakinya yang buntung. Tiada keluhan keluar dari mulutnya dan wanita tua ini memejamkan mata dan mukanya tidak membayangkan penderitaan. "Ibu....!" Biauw Eng menjerit. Baru sekarang ia berhasil mengeluarkan suara setelah sejak tadi ia hanya menjerit-jerit di dalam hatinya saja menyaksikan keadaan ibunya. Namun, biar sekarang ia sudah mampu mengeluarkan suara, ia masih belum dapat bergerak dan ia sudah merasa ngeri menghadapi Siauw Lek yang berlutut di dekatnya dan tak dapat di ragukan lagi apa yang hendak diperbuat orang itu terhadap dirinya. Namun, menyaksikan keadaan ibunya, Biauw Eng lupa akan bahaya mengerikan yang mengancam dirinya sendiri dan ketika ia berhasil membuka kembali totokan yang membuatnya gagu, pertama kali ia berteriak adalah menyebut ibunya. Cui Im berdiri memandang bekas gurunya. Ia maklum bahwa Lam-hai Sin-ni takkan hidup lebih lama lagi dan agaknya nenek itu pun tidak ingin hidup maka membiarkan darahnya mengucur keluar terus. Jeritan Biauw Eng menyebut ibunya membuat Cui Im menoleh dan sepasang alisnya berkerut ketika ia melihat Siauw Lek dengan pandang mata penuh berahi mulai meraba-raba pakaian Biauw Eng dan hendak menanggalkan pakaian gadis itu. "Twako....!" Jari-jari tangan yang penuh gairah itu terhenti dan Siauw Lek menoleh. Melihat pandang mata wanita itu, Siauw Lek melompat bangun dan tersenyum memandang Cui Im, "Eh, bukankah kau menghendaki supaya aku..."