Serial Pedang Kayu Harum (2) Petualang Asmara jbookmaker by: http://jowo.jw.lt Anak laki-laki itu tidak akan lebih dari sepuluh tahun usianya. Tubuhnya tinggi dan tegap bagi anak setua itu. Baju dan celananya terbuat dari sutera, bentuknya sederhana. Bajunya kuning polos dengan pinggiran merah tua, membuat warna kuning baju itu tampak menyala bersih. Pada pinggangnya membelit tali sutera dan celananya berwarna biru muda. Sepatunya yang coklat itu masih baru namun penuh debu. Wajah anak itu terang dan tampan, berbentuk bulat dengan sepasang telinga lebar menjulang di kanan kiri karena rambutnya disatukan di atas kepala membentuk sanggul dan dibungkus dengan kain kepala dari sutera hijau. Sepasang matanya lebar dan bersinar terang, dilindungi sepasang alis yang hitam dan sudah dapat diduga bahwa kelak alis itu akan menjadi tebal dan berbentuk golok. Hidung dan mulutnya kecil membayangkan kehalusan budi, namun tarikan syaraf pada dagunya membayangkan kemauan yang membaja. Dengan lenggangnya yang bebas lepas anak itu melangkah di dalam hutan yang sedang menyambut munculnya matahari pagi. Wajahnya gembira sekali, sepasang matanya bersinar-sinar memandangi segala yang tampak di depannya, yang jauh maupun yang dekat. Mulutnya tersenyum dan tiba-tiba dia berhenti, matanya terbelalak penuh kegembiraan memandang ke kiri, melihat seekor kelinci yang tiba-tiba keluar dari semak-semak, agaknya kelinci itupun terkejut, berhenti, menengok ke kanan kiri, hidungnya bergerak-gerak kembang kempis membuat cambangnya yang hanya beberapa helai itu ikut bergerak-gerak naik turun matanya yang jernih lebar bergerak-gerak liar, sepasang daun telinganya yang panjang menjungat ke atas, bergerak-gerak ke atas ke bawah menangkap segala suara yang datang dari sekelilingnya. “Hi-hik...!” Anak itu tak dapat menahan geli hatinya melihat binatang yang lucu itu dan si kelinci terperanjat, berloncatan lenyap ke dalam semak-semak kembali. Anak laki-laki itupun melanjutkan langkahnya. Hanya mata seorang yang pikirannya tidak dibebani sepenuhnya dengan segala macam persoalan hidup seperti mata anak itulah yang akan dapat menikmati keindahan dalam hutan di pagi hari itu, dan sesungguhnyalah bahwa hanya anak-anak saja yang dapat menikmati hidup ini, karena manusia dewasa, kecuali mereka yang sudah sadar dan bebas, hidupnya penuh dengan persoalan yang timbul dari pertentangan-pertentangan batin dan lahir. Betapa indahnya rumput-rumput menghijau di hutan itu. Ada yang rebah, ada yang berdiri, ada yang panjang ada yang pendek, semua begitu bebas dan segar, begitu wajar namun lebih rapi daripada kalau diatur tangan manusia, nampak gembira dengan batang membasah bermandikan cahaya matahari pagi, berkilauan seolah-olah dari setiap batang rumput mengeluarkan cahaya kesucian. Daun-daun pohon menari-nari perlahan dihembus angin pagi, mengangguk-angguk membawa butiran-butiran lembut yang gemilang seperti mutiara. Burung-burung kecil yang beraneka warna bulunya, lincah bergembira dan berkejaran sambil mencuit bersiul saling sahut, berloncatan dari dahan ke dahan. Sinar matahari yang menyerbu pohon, menembus di antara celah-celah daun membentuk garis-garis putih di antara cahaya kuning kemerahan, cahaya keemasan. Adakah lukisan yang seindah kenyataan? Adakah rangkain kata-kata yang mampu menceritakan keindahan yang wajar, mulus aseli dan ajaib ini? Beberapa helai daun pohon menguning lepas dari tangkainya, melayang-layang ke bawah, menari-nari ke kanan kiri seperti gerak pinggul seorang penari yang lincah dan lemas, seolah-olah merasa sayang meninggalkan tangkainya namun tidak dapat menahan daya tarik bumi. Betapa mata tidak akan menjadi sehat dan segar menyaksikan semua keindahan ini? Sayang bahwa jarang ada manusia seperti anak laki-laki itu yang dapat memandang dengan mata terbuka, terang dari jernih, tidak terselubung tirai persoalan hidup yang keruh. Makin terang cahaya matahari, makin ramai suara memenuhi hutan. Ramai akan tetapi sedap didengar bagi mereka yang mampu mempergunakan telinganya untuk mendengar, seperti anak itu, sehingga dia mampu menangkap keindahan hidup dalam pendengarannya. Suara burung beraneka macam, dengan keindahan masing-masing, ada yang tinggi melengking, ada yang menciap-ciap pendek, ada yang rendah parau, namun sukar membedakan mana yang lebih indah bagi telinga yang mendengarkan tanpa perbandingan sehingga tidak ada lagi istilah baik dan buruk! Di antara lomba suara burung ini, kadang-kadang terdengar kokok ayam hutan, dan sayup-sayup terdengar suara gemerciknya air dari anak sungai yang mengalir di dalam hutan, suara air bermain dengan batu-batu hitam, seperti suara gelak tawa dan kekeh manja sekumpulan anak perawan yang sedang bersendau gurau. Kegembiraan memenuhi hati anak itu, membuat dia merasa menjadi sebagian dari alam dan keindahan itu sendiri, dan anak itu, dengan wajah tampak berseri-seri, membuka mulut dan bernyanyi! Nyanyian aneh dinyanyikan dengan wajah berseri dan suara gembira, akan tetapi kata-kata dalam nyanyian itu sendiri adalah kata-kata keluhan yang menyedihkan! Agaknya, nyanyian itulah yang dihafal olehnya, dan jelas bahwa dia bernyanyi sekedar melepaskan kegembiraan yang berkumpul di dalam hatinya, sekedar mengeluarkan suara mengikuti contoh burung-burung di dalam hutan, tanpa mempedulikan isi nyanyian yang dihafalnya di luar kepala. Dia tidak peduli akan kata-kata dalam nyanyian, karena dalam keadaan seperti dirinya di saat itu, kata-kata merupakan benda usang yang sama sekali tidak ada artinya! Baginya, yang penting bukan kata-katanya, melainkan suaranya yang menggetar nyaring penuh daya hidup! Berbahagialah anak itu yang memiliki seni memandang dan mendengar sewajarnya. Dengan pandangan dan pendengaran wajar, penuh perhatian, penuh kasih sayang, tanpa penilaian, tanpa perbandingan, tanpa pamrih, tanpa prasangka, maka tampak dan terdengarlah olehnya segala keindahan yang tak ternilai. Lukisan-lukisan terindah di dunia ini hanya akan tampak sebagai benda lapuk saja dibandingkan dengan kenyataannya, nyanyian sajak-sajak yang paling terkenal di dunia ini hanya akan terdengar sebagai kata-kata hampa dibandingkan dengan suara alam itu sendiri jika didengarkan dengan pikiran bebas. Suara anak itu masih lembut dan ringan seperti suara wanita. Suaranya belum pecah dan parau, menunjukkan bahwa dia belum dewasa. Namun suaranya nyaring sekali, karena dia bernyanyi dengan bebas lepas, dari dalam dadanya! “Langit di atas bumi di bawah mengapit ketidakadilan perut lapar minta makan minta kepada siapa? ayah bunda pun belum makan semua kelaparan! minta kepada si bangsawan digigit anjing penjaga minta kepada Si kaya diberi maki dan pukulan! Hayaaaa…!” Anak itu mengulang-ulang dengan suara gembira, akan tetapi pada ulangan ke empat kalinya, dia berhenti di tengah-tengah karena mendengar suara teguran, “Haiiii…!” Anak itu menghentikan langkahnya, membalikkan tubuh. Seorang laki-laki setengah tua, memikul kayu bakar, datang dengan langkahnya yang pendek-pendek namun cepat, mengimbangi ayunan pikulannya. Setibanya di depan anak itu, dia menurunkan pikulan, menghapus keringat dari muka dan leher, meludah ke kiri, kemudian memandang lagi kepada anak itu dengan mulut menyeringai. Agaknya sudah menjadi kebiasaan orang ini menyeringai seperti itu dengan mulut menyerong ke kanan, mata kanan agak disipitkan sehingga tampak garis-garis tertentu pada bagian kulit muka yang berlipat. “Wah, engkau bukan pengemis!” serunya dengan nada heran setelah menyapu pakaian anak itu dengan pandang matanya. “Memang aku bukan pengemis,” jawab anak itu. “Dan engkau seorang tukang pencari kayu agaknya, lopek (paman tua)?” “Memang aku mencari kayu. Setiap pagi aku mencari kayu di hutan ini, lalu kubawa ke kota kujual sebagai penukar bahan pengisi perut kami bertiga.” “Bertiga?” “Ya, aku sendiri, anakku dan ibunya.” “Ohhhh...” “Hemm, dan selama bertahun-tahun aku mencari kayu, baru pagi ini aku melihat hal-hal aneh, di antaranya melihat seorang anak kecil berkeliaran seorang diri di dalam hutan, menyanyikan lagu pengemis padahal engkau bukan pengemis.” “Anehkah itu?” “Tentu saja aneh. Pakaianmu dari sutera halus, sepatumu baru. Engkau bukan pengemis dan biasanya, hanya para pengemis dan orang miskin saja yang suka menyanyikan lagu itu. Dan engkau pasti bukan pengemis.” “Sudah kukatakan aku bukan pengemis.” “Dan bukan orang miskin pula.” Anak itu mengerutkan alisnya, meragu lalu menggeleng kepala. “Entah, aku tidak tahu apakah orang tuaku kaya ataukah miskin. Bagaimanakah untuk membedakan yang kaya dengan yang miskin?” Tukang mencari kayu itu juga mengerutkan alisnya, menggaruk-garuk kepala kemudian meludah lagi ke kiri. Agaknya meludah ke kiri inipun menjadi kebiasaannya, seperti kebiasaan menyeringai dengan mulut menyerong ke kanan. “Yang hidup serba kecukupan itu orang kaya, yang serba kekurangan itu orang miskin.” Anak itu kembali termenung, kedua alis berkerut hampir bertemu di atas batas hidung, kemudian dia memandang kakek itu sambil bertanya lagi, “Lopek, yang dikatakan serba cukup itu bagaimana, dan yang serba kekurangan itu bagaimana?” Agaknya kakek itu sudah lelah. Pagi ini dia mengumpulkan kayu hampir dua kali lebih dari biasanya karena dia membutuhkan uang kelebihan, untuk membeli sepatu anaknya yang rewel minta dibelikan sepatu baru. Bukan baru benar melainkan bekas akan tetapi yang masih baik dan belum usang. “Yang serba kecukupan itu adalah... hemm, yang dapat menutup kebutuhannya, sedang yang serba kekurangan itu tentu saja yang tak pernah terpenuhi segala kebutuhannya.” “Ohh, jadi tergantung dari kebutuhannya, ya? Kalau kebutuhannya hanya sedikit tentu cukup dengan sedikit pula sedangkan yang kebutuhannya banyak sekali melebihi apa yang dimilikinya, mana bisa mencukupi?” “Wah, sulit juga kalau begitu. Yang cukup adalah yang dapat makan setiap hari...” kata Si Kakek agak bingung karena persoalan yang dianggapnya remeh itu kini menjadi sulit. “Lopek. apakah lopek dapat makan setiap hari?” “Hemm... ya, biarpun hanya dengan sayur sederhana.” “Kalau begitu, lopek adalah seorang kaya!” Anak itu berkata gembira seolah-olah dia dapat memecahkan teka-teki yang sulit. “Hahh...?” Pencari kayu itu terbelalak. “Menurut lopek, orang kaya adalah yang kecukupan, yang kecukupan adalah yang setiap hari dapat makan. Lopek setiap hari dapat makan, berarti kecukupan, dan karena kecukupan berarti kaya!” Anak itu gembira sekali lalu membungkuk membalikkan tubuh dan berkata, “Selamat pagi, lopek!” Kakek itu masih berdiri terpukau di tempatnya, matanya memandang kosong karena pikirannya bekerja keras mengingat ucapan anak itu. “Aku... kaya..? Heiii! Nanti dulu! Tunggu dulu...!” ia memanggil. Anak itu menoleh, membalikkan tubuh dan tersenyum. Senyum bebas lepas dan wajar. “Ada apakah, lopek?” “Tentang kaya miskin, aku menarik semua pendapatku. Aku bukan orang kaya, tapi apakah aku miskin… hemm, entah. Tapi engkau yang berpakaian mahal, mengapa menyanyikan lagu pengemis kelaparan?” “Lagu adalah lagu, lopek. Siapa saja beleh melagukannya!” “Tapi isi kata-katanya itu! Tentang kelaparan! Apakah engkau pernah kelaparan?” Kini si anak tercengang. Baru sekarang dia sadar bahwa nyanyiannya itu bercerita tentang anak kelaparan. Dia menggeleng kepala dan berkata lambat-lambat, “Aku belum pernah kelaparan, lopek. Akan tetapi... apa bedanya? Melihat anak-anak pengemispun sama sengsaranya terasa dalam hati. Ada nyanyiannya tentu ada kenyataannya, bukan? Eh, lopek. Katakanlah, mengapa di dunia ini ada anak-anak yang kelaparan? Mengapa ada bangsawan yang berkuasa amat tinggi, ada hartawan yang memiliki kekayaan berlebihan dan berlimpahan, akan tetapi sebaliknya ada pekerja yang paling rendah kedudukannya, dan ada pengemis-pengemis yang kelaparan?” Kakek itu kembali terbelalak, kini memandang kepada anak itu dengan heran. Selamanya belum pernah terpikirkan olehnya akan kenyataan yang sebetulnya dia lihat sendiri itu. Ya, kenapa? “Wah, kenapa ya? Mengapa keadaan bisa begitu?” “Lopek, salah siapakah itu? Apakah salah si bangsawan tinggi? Apakah si pekerja kasar rendah yang salah? Si hartawan kaya raya ataukah si pengemis yang salah? Apakah si bangsawan tinggi terlampau menindas, ataukah si pekerja rendah terlampau menjilat? Apakah hartawan terlampau kikir, ataukah pengemis terlampau malas? Salah siapa lopek?” “Cuhhh! Cuhhh!” Kakek itu kini meludah sampai dua kali, dengan hati-hati dia mengarahkan ludah yang ke dua agar tepat mengenai yang pertama, akan tetapi bidikannya meleset jauh. “Agaknya yang salah adalah...” Tiba-tiba dia menengok ke kanan kiri dengan muka takut karena baru saja terpikir olehnya bahwa dia telah membawa diri dengan percakapan yang amat berbahaya, percakapan yang mungkin akan mengakibatkan kepalanya terpenggal kalau terdengar oleh “yang berwajib”! Maka disambungnya kata-katanya tadi, “... adalah Thian (Tuhan)!” “Ah, engkau mencari kambing hitam yang tidak tampak saja, lopek!” Anak itu membantah. Si kakek tergesa-gesa mengangkat dan memikul kembali pikulan kayunya dan berkata, “Wah, menuruti engkau bercakap-cakap, aku akan kesiangan menjual kayu!” Ucapan ini dikeluarkan dengan suara keras, kemudian disambungnya berbisik, “Anak baik, engkau anak siapakah?” “Ayahku membuka toko obat di ujung Jembatan Hijau...” “Wah, engkau putera Yap-sinshe (tukang obat Yap)?” Pencari kayu itu bertanya. Ketika anak itu menjawab, “Ya, namaku Yap Kun Liong...” Si Pencari Kayu segera berbisik lagi, “Siauw-kongcu (tuan kecil), lebih baik engkau pulang saja. Hutan ini tidak aman hari ini. Tadi, masih gelap sekali sudah kulihat banyak orang aneh berkeliaran di dalam hutan, seperti setan-setan saja. Hayo bersamaku pulang saja ke kota.” Kun Liong, anak itu mengerutkan alisnya dan meruncingkan mulutnya, menggeleng kepala. “Aku belum ingin pulang, masih suka bermain-main di dalam hutan. Selamat pagi, lopek.” Anak itu karena khawatir kalau-kalau akan dipaksa pulang oleh pencari kayu yang agaknya mengenal ayahnya, lalu berlari memasuki hutan. Tukang pencari kayu itu hanya menggeleng kepala. Memikul kayunya sambil bicara seorang diri, “Yap-sinshe orang baik, pernah mengobati isteriku. Aku harus memberi tahu. Jangan-jangan anaknya berada dalam bahaya.” Tergesa-gesa dia lalu melanjutkan perjalanannya keluar dari hutan untuk menjual kayunya ke kota. *** Kun Liong sudah melupakan pertemuan dan percakapan dengan pencari kayu tadi. Hari terlampau cerah, hutan terlampau indah untuk diganggu kenangan peristiwa yang tidak ada artinya itu. Cahaya matahari pagi yang keemasan, dengan garis-garis putih yang hidup dan mengandung kehidupan karena di dalamnya tampak jutaan benda kecil yang bergerak-gerak, berselang-seling dengan pohon-pohon besar kecil dengan dahan dan cabangnya yang mencuat ke sana sini dengan bebas. Indah bukan main! Dia sudah tahu bahwa tidak jauh dari situ, tepat di tengah-tengah hutan, di bagian yang agak tinggi merupakan anak bukit, di sana terdapat sebuah kuil tua yang sudah tidak berpenghuni lagi. Sudah beberapa kali dia bermain-main di kuil itu, dan ke sanalah sekarang dia menuju. Ada serumpun bambu kuning berbelang-belang hijau di belakang kuil tua itu dan dia ingin mengambil sebatang bambu yang indah itu. Menurut kata ayahnya, bambu itu adalah sejenis bambu ular yang kuat dan tebal, lubangnya hanya kecil saja dan bambu itu sendiri, yang sudah tua, kulitnya mengkilap dan besarnya sama dengan lengannya. Hatinya yang gembira itu berubah ketika ia tiba di depan kuil tua karena dia mendengar suara hiruk-pikuk dari dalam kuil! Kun Liong teringat akan cerita Si Tukang Mencari Kayu, maka dia cepat bersembunyi di belakang sebatang pohon depan kuil sambil mengintai. Terdengar olehnya suara bentakan-bentakan seperti orang bersilat dan bertempur, kemudian disusul suara teriakan-teriakan mengerikan dan dari pintu kecil yang tak berdaun lagi, yang terbuka menganga, tampak tubuh dua orang terlempar dan terbanting ke atas tanah depan kuil itu. Lemparan itu kuat sekali sehigga dua batang tubuh manusia itu bergulingan dan akhirnya terhenti tak jauh dari tempat Kun Liong bersembunyi, tidak bergerak-gerak lagi. Kun Liong dari tempat sembunyiannya memandang dengan mata terbelalak. Dia sering mengikuti ayah dan ibunya mengobati orang sakit, dan sering pula melihat orang mati. Kini, melihat letak tangan, kaki, kepala dua orang laki-laki setengah tua yang terlempar tadi, tahulah dia bahwa mereka berdua itu sudah tak bernyawa lagi! Kun Liong tidak takut atau ngeri melihat orang mati, akan tetapi dia merasa penasaran sekali. Siapakah yang begitu kejam membunuh orang begitu saja di pagi hari seindah itu? Pembunuh yang amat kejam, hal ini dia ketahui dengan mendekati dan memeriksa dua mayat itu yang ternyata tewas dengan mata mendelik dan di dahi mereka tampak bekas jari tangan berwarna putih! Biarpun pelajaran ilmu silatnya belum setinggi itu, sebagai putera suami isteri pendekar, Kun Liong dapat menduga bahwa pembunuh kedua orang ini mempunyai ilmu pukulan beracun yang amat jahat! Tiba-tiba dia mendengar sesuatu dan cepat menyelinap kembali, bersembunyi di dalam semak-semak. Kiranya suara itu adalah suara tiga orang laki-laki yang berpakaian seperti petani, bertopi caping lebar dan berjalan menuju kuil dengan cepat sekali. Mereka berhenti di dekat mayat dua orang itu, memandang sebentar kemudian seorang di antara mereka berkata perlahan, “Si Iblis itu benar-benar berada di dalam kuil.” Dua orang temannya mengangguk dan tangan mereka bertiga meraba-raba gagang pedang, kemudian ketiganya dengan gerakan cepat dan ringan lari memasuki kuil tua. Kun Liong tertarik sekali menyaksikan apa yang akan terjadi di dalam kuil. Akan tetapi, untuk mengikuti mereka tadi begitu saja, dia tidak berani karena dia mengerti bahwa akan terjadi hal-hal yang hebat. Dia harus berlaku hati-hati sekali. Dengan menyelinap di antara semak-semak dan pohon-pohon, dia mengambil jalan memutar, menuju ke belakang kuil. Tembok belakang yang melingkari kuil tua itu sudah ambruk, maka bagian belakang kuil itu tampak jelas. Kun Liong sudah sering mengunjungi tempat ini maka dia hafal betul. Dengan hati-hati akhirnya dia dapat bersembunyi di belakang rumpun bambu kuning. Kini bambu-bambu kuning yang sudah banyak yang tua dan mengkilap itu tidak diperhatikannya lagi karena perhatiannya tercurah ke sebelah belakang kuil dan dia memandang dengan jantung berdebar tegang. Kiranya tiga orang tadi sudah berada di halaman belakang kuil, berdiri dengan sikap tegak dan bersiap-siap menghadapi seorang kakek yang aneh! Kun Liong dari balik daun-daun dan batang-batang bambu kuning, mengintai penuh perhatian. Kebetulan sekali kakek aneh itu tidak membelakanginya benar duduknya sehingga dia dapat melihat muka kakek itu dari samping. Dia seorang kakek yang berpakaian serba putih, hanya merupakan kain panjang membelit-belit tubuhnya yang tinggi kurus. Rambutnya sudah berwarna dua, digelung ke atas model sanggul para tosu (pendeta beragama To), kedua kakinya memakai kaus kaki dan sandal pendeta. Tosu yang usianya tentu tidak kurang dari enam puluh tahun ini duduk bersila di atas sebuah benda yang aneh. Benda itu berbentuk bunga teratai, berwarna putih. Bunga logam putih yang terletak di tengah halaman dan di sekeliling kakek itu tampak goresan di atas tanah yang bergaris tengah tiga meter lebih. Agaknya kedatangan tiga orang petani bertopi caping lebar itu tidak dipedulikan tosu yang duduk bersila sambil memejamkan mata memangku sebatang tongkat bambu yang panjangnya kira-kira tiga kaki. “Totiang, harap maafkan kalau kami datang mengganggu totiang yang sedang beristirahat dalam kuil tua ini.” Seorang di antara tiga orang petani itu, yang memelihara cambang melintang di bawah hidung, menjura sambil mengeluarkan kata-kata yang nadanya sopan menghormat itu. Tosu tua itu membuka kedua matanya dan terkejutlah tiga orang itu melihat betapa mata tosu itu hampir tidak tampak hitamnya. Mata seorang buta, atau setidaknya tentu lamur! “Siancai…! Sam-wi ada keperluan apakah?” “Kami kebetulan lewat di dalam hutan dan di depan kuil kami melihat dua orang yang telah menjadi mayat. Setelah itu kami telah mendengar di kota bahwa sepekan yang lalu, di dalam hutan pohon pek di selatan kota, juga terdapat mayat lima orang dengan ciri yang sama, yaitu dahi mayat-mayat itu terdapat tanda tapak jari tangan putih. Totiang yang berada di dalam kuil ini tentu mengetahui sebab kematian dua orang di luar kuil itu. Maukah totiang memberitahukan kepada kami?” Sejenak kakek itu hanya memandang ketiga orang tadi penuh perhatian, seolah-olah kedua matanya dapat melihat dengan jelas. Biarpun tiga orang itu merasa yakin benar bahwa dua buah mata yang maniknya yang sudah menjadi putih itu tidak dapat melihat dengan baik, mereka merasa tidak enak dan diam-diam bulu tengkuk mereka meremang ketika sepasang mata itu ditujukan kepada mereka sampai lama tidak pernah berkejap! Kemudian, sepasang mata itu dipejamkan, kakek itu lalu membuka mulutnya dan bernyanyi! “Bunga suci, Teratai Putih di tengah lumpur, tetap bersih, Siapa saja hendak mengotori berarti mencari mati sandiri! Jika ada yang melanggar garis lingkaran pemisah dia akan menjadi korban Pek-tok-ci yang sakti!” Tiga orang itu saling pandang, kemudian mereka memandang ke arah garis lingkaran yang melingkari tempat duduk aneh kakek itu. Si Cambang Melintang melangkah maju selangkah, di luar garis lingkaran dan dia membentak sambil mencabut pedangnya, diikuti oleh dua orang kawannya. “Tosu Pek-lian-kauw, kami telah mengenal engkau! Menyerahlah, kami adalah petugas-petugas pemerintah yang bertugas menangkap Loan Khi Tosu tokoh Pek-lian-kauw!” Tosu lamur (setengah buta) itu kembali membuka matanya dan tersenyum “Kiranya tiga ekor anjing pemerintah! Pinto (aku) memang Loan Khi Tosu dari Pek-lian-kauw. Habis kalian mau apa! Pinto tetap takkan mengganggu kalian asalkan tidak melanggar garis lingkaran. Hal ini sudah menjadi pegangan pinto!” Setelah berkata dernikian, kakek itu mengetuk-ngetukkan tongkat bambunya pada bunga teratai putih dari logam yang didudukinya. Terdengar bunyi nyaring berirama kemudian bunyi ketukan itu dijadikan irama mengikuti nyanyian kembali dinyanyikan oleh Si Kakek yang aneh. Akan tetapi berbeda dengan tadi, suara yang menyanyikan lagu ini terdengar menggetar dan melengking menusuk telinga! “Tahu akan kebodoban sendiri adalah waspada, tidak tahu mengaku tahu adalah sebuah penyakit, yang mengenal kenyataan ini berarti sehat! Sang Bijaksana berpikiran sehat melihat penyelewengan seperti apa adanya karenanya takkan pernah sakit. Siancai...!” Kun Liong yang bersembunyi di belakang rumpun bambu kuning, terkejut bukan main ketika mendengar suara nyanyian itu. Dia mengenal kata-kata nyanyian itu sebagai ujar-ujar dalam kitab To-tik-khing yang banyak berubah, akan tetapi bukan itu yang membuatnya terkejut, melainkan suaranya itulah! Suara itu amat tidak enak bagi telinganya, melengking tinggi rendah dan seolah-olah kedua telinganya ditusuk-tusuk jarum! Yang lebih hebat lagi, tiga orang yang sudah mencabut pedang itu, kini berdiri terhuyung-huyung, tidak dapat berdiri tegak dan mereka itu kelihatan ragu-ragu untuk menyerang karena muka mereka pucat sekali dan tubuh mereka agak menggigil! Kakek itu mengulangi lagi nyanyiannya. Kun Liong diam-diam menjadi marah. Nyanyian buruk itu masih hendak diulangi lagi? Dia marah dan hatinya panas. Kakek itu jelas bukan orang baik, pikirnya dan karena diapun tidak akan mampu berbuat sesuatu, untuk mengganggu kakek itu diapun lalu membarengi kakek itu, bahkan mendahuluinya sedikit, bernyanyi. Tentu saja yang dinyanyikannya adalah lagu pengemis tadi. Maka terdengarlah nyanyian-nyanyian hiruk-pikuk tidak karuan, campur aduk dan aneh sekali, kacau-balau dan lucu karena nyanyian itu menjadi begini. “Langit di atas bumi di bawah tahu akan kebodohan sendiri mengapit ketidakadilan adalah waspada! perut lapar minta makan tidak tahu mengaku tahu minta kepada siapa adalah sebuah penyakit! ayah sendiri pun belum makan yang mengenal kenyataan ini semua kelaparan berarti sehat.”   Baru sampai di situ, kakek itu menghentikan nyanyiannya dan berteriak marah, melompat turun dari bunga teratai baja yang didudukinya. Tiga orang itupun sudah menerjang maju dengan pedang mereka dan ternyata ilmu pedang mereka cukup hebat sedangkan tubuh mereka tidak lagi pucat seperti tadi. Tanpa disengaja, nyanyian Kun Liong tadi telah menolong tiga orang petugas pemerintah itu. Mereka sebetulnya adalah perwira-perwira petugas keamanan yang melakukan penyelidikan, orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Ketika tosu tadi bernyanyi, dia mempergunakan khi-kang mengerahkan sin-kangnya dan suaranya itu merupakan serangan yang amat hebat. Bagi orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, dia dapat mempergunakan suara untuk mencelakakan lawan, seperti yang dilakukan Loan Khi Tosu tadi. Suara dapat menyerang melalui pendengaran, mengusik hati mengacau pikiran dan menggetarkan urat syaraf, lama-lama dapat menyerang jantung lawan dan membunuhnya tanpa turun tangan! Karena masih kanak-kanak dan pikirannya masih bebas, atau setidaknya belum terlalu kotor dan penuh seperti pikiran manusia dewasa, biarpun suara itu amat tidak enak didengarnya, namun Kun Liong tidaklah amat menderita seperti yang diderita tiga orang perwira yang manyamar sebagai petani-petani itu. Kemudian tanpa disengajanya, hanya untuk menyatakan rasa mendongkol terhadap kakek itu, Kun Liong dapat memecahkan atau membikin rusak pengaruh khi-kang dalam nyanyian Loan Khi Tosu dengan mengacaukan nyanyiannya dengan nyanyiannya sendiri! Hal ini membuat tiga orang tadi pulih kembali keadaannya dan mereka lalu menerjang maju, sedangkan Loan Khi Tosu dengan marah sekali sudah turun dari bunga teratai baja dan menghadapi tiga orang lawannya dengan tongkat bambunya. Tiga orang perwira itu bukanlah orang-orang sembarangan. Mereka adalah kepala-kepala pegawai di kota Leng-kok dan menjadi orang-orang kepercayaan kepala daerah kota Leng-kok. Mereka adalah bekas anak buah Jenderal Yung Lo dan kini telah menjadi kaisar. Ilmu kepandaian mereka cukup tinggi dan kini mereka mengurung tosu itu dengan membentuk barisan segitiga. Si Cambang Melintang rupa-rupanya menjadi pimpinan mereka. Dia lebih dulu membentak keras dan menyerang dengan pedangnya, menusuk ke leher tosu itu dari samping kiri. Gerakannya cepat dan kuat sekali, dan menyusul gerakannya ini, temannya yang berada di depan tosu itu telah menerjang dengan tusukan pedang ke arah perut. Orang ke tiga segera menyusul dengan sambaran pedangnya yang membabat ke arah kaki lawan. Dengan demikian, secara beruntun dan cepat sekali merupakan rangkaian serangan bersambung, tosu itu dihujani serangan ke leher, perut, dan kakinya! Melihat sinar tiga batang pedang berkilat menyambar secara berturut-turut itu, Loan Khi Tosu tidak menjadi gentar atau gugup. Dengan tenang-tenang saja dia menggerakkan tongkat, menangkis pedang yang menyambar leher, tongkatnya dipentalkan dan langsung menangkis pedang yang menusuk perut dan tubuhnya mencelat ke atas sehingga sambaran pedang ke arah kakinya itu tidak mengenai sasaran. Dari atas, dia sudah menggerakkan lagi tongkatnya, menusuk ke arah ubun-ubun kepala Si Cambang, dan menampar dengan tangan kiri ke arah orang di depan, sedangkan kakinya menendang ke arah orang di sebelah kanannya. Dapat dibayangkan betapa cepat gerakan kakek itu yang selagi tubuhnya masih berada di atas telah dapat mengirim serangan kepada tiga orang lawannya sekaligus! Namun, tiga orang lawannya juga dapat mengelak dengan cepat, kemudian segera menyerang lagi secara teratur ketika kakek itu sudah turun kembali. Pertandingan yang seru terjadi di halaman belakang kuil itu. To-su itu agaknya tadi memandang rendah para pengeroyoknya yang disangkanya sama lemahnya dengan dua orang musuh yang baru saja dibunuhnya. Disangkanya bahwa sekali menggerakkan tongkatnya, dia akan dapat membunuh mereka. Setelah kini ternyata tiga orang perwira itu belum juga dapat dirobohkan setelah mereka bertanding selama tiga puluh jurus lebih, hanya mampu mendesak mereka saja dengan gerakan tongkatnya, dia menjadi penasaran dan marah sekali. “Mampuslah kalian!” bentaknya dan tiga orang itu terkejut sekali ketika tiba-tiba Si Tosu melakukan gerakan cepat, tangan kirinya menyerang mereka bertubi-tubi dengan tamparan-tamparan yang mendatangkan hawa pukulan panas seperti api! Tahulah mereka bahwa kakek itu telah mengeluarkan ilmu pukulan simpanannya yang selama ini dipergunakan untuk membunuhi orang, pukulan Pek-tok-ci (Jari Tangan Beracun Putih) yang selalu meninggalkan bekas tapak jari tangan pada tubuh korbannya. Karena tahu akan kelihaian jari tangan itu, mereka mencelat mundur, sama sekali tidak menyangka bahwa pada saat itu, Loan Khi Tosu yang lihai telah meniup ujung tongkatnya tiga kali dan tampak sinar hitam berkelebat tiga kali ke arah tiga orang perwira itu. Mereka berteriak kaget dan terjungkal roboh, leher mereka terkena serangan gelap berupa jarum-jarum hitam yang ternyata disembunyikan di dalam tongkat yang berlubang itu dan yang dipergunakan sebagai semacam sumpit. “Heh-heh, mata-mata laknat, anjing pemerintah yang busuk. Kalian harus mati!” Tosu itu melangkah lebar menghampiri tiga orang yang telah terluka, mengangkat tongkatnya hendak mengirim pukulan terakhir. “Kakek tua bangka, engkau jahat sekali, ya?” Loan Khi Tosu menahan tongkatnya, membalikkan tubuh dan melihat seorang anak laki-laki lari menghampirinya sambil memandangnya dengan sepasang mata yang jernih itu menyinarkan kemarahan. Setelah tiba di depan tosu itu, Kun Liong bertolak pinggang dan berkata, suaranya lantang penuh keberanian dan kemarahan. “Melihat pakaianmu, engkau tentulah seorang tosu dan menurut pengetahuanku seorang pendeta selalu mengutamakan kebaikan dan pantang melakukan kejahatan! Di dalam kitab-kitab Agama To tidak terdapat pelajaran yang membenarkan kekejaman, bahkah Nabi Lo-cu selalu menentang kekerasan. Mengapa engkau ini seorang tosu, begini kejam dan suka melakukan pembunuhan?” Loan Khi Tosu tercengang dan sejenak tak dapat bicara, hanya memandang anak itu dengan pengerahan kekuatan matanya agar dapat melihat lebih jelas. Matanya yang lamur hanya melihat bentuk seorang anak laki-laki dan hanya pendengaran telinganya yang jelas menangkap suara itu dan ia menduga bahwa anak itu tentu tidak lebih dari sepuluh tahun usianya. Kalau yang menegurnya seorang dewasa, teguran itu tentu dianggapnya penghinaan dan membuatnya marah, akan tetapi yang menegurnya adalah seorang anak kecil. Belum pernah selama hidupnya dia menghadapi hal yang seaneh ini. Akhirnya dia menarik napas panjang dan berkata, “Siancai... agaknya engkau juga yang tadi mengacaukan nyanyianku. Engkau sungguh bernyali besar dan karena keberanianmu itu aku suka menjawab. Ketahuilah bahwa tosu dari Pek-lian-kauw selain mengutamakan kebajikan dan kegagahan, terutama sekali kekerasan terhadap musuh. Membunuh musuh bukanlah perbuatan kejam namanya...” “Omong kosong! Membunuh tetap membunuh, membunuh siapapun juga, dengan alasan apapun juga, pembunuh namanya dan membunuh adalah perbuatan yang paling terkutuk, paling keji dan yang paling busuk di dunia ini!” Loan Khi Tosu menggerakkan kedua pundaknya. “Karena kau seorang anak-anak, pinto kagum menyaksikan sikapmu. Kalau engkau sudah dewasa dan mengeluarkan kata-kata seperti itu berarti engkau musuh pula dan tentu telah pinto bunuh. Sudahlah, pinto tidak ada waktu melayani seorang anak kecil!” Tosu itu membalik, dan kini tongkatnya digerakkan ke arah tubuh tiga orang lawannya yang sudah roboh pingsan itu! “Wuuuuttt... trakkkk!!” Loan Khi Tosu meloncat ke belakang, tongkatnya tergetar dan hanya dengan pengerahan tenaga sin-kang sekuatnya saja membuat dia berhasil mencegah tongkatnya terlepas dari pegangannya. “Siancai...! Siapakah engkau dan mengapa berani mencampuri urusan pinto?” Loan Khi Tosu menegur seorang laki-laki yang tadi menangkis tongkatnya dan yang kini berdiri dengan tenang di depannya sambil menyimpan kembali senjatanya yang istimewa karena senjatanya itu berupa sepasang pit (alat tulis, pensil buku) hitam dan putih. Laki-laki itu berpakaian sastrawan, sederhana pakaian dan sikapnya, namun di balik kesederhanaannya, tampak kegagahan yang berwibawa. Wajahnya tampan tubuhnya tegak dan padat berisi membayangkan tenaga yang halus dan kuat, usianya kurang sedikit dari empat puluh tahun, namun rambut di atas sepasang telinganya sudah mulai bercampur uban. Dia bernama Yap Cong San, seorang tokoh Siauw-lim-pai yang terkenal, murid dari Tiang Pek Hosiang, tokoh nomor satu di Siauw-lim-pai, bekas ketua yang kini tidak muncul lagi di dunia ramai karena telah bertapa untuk selamanya dalam Ruang Kesadaran, yaitu di sebuah ruangan tertutup dari kuil Siauw-lim-pai. Yap Cong San sendiri telah dipecat sebagai anak murid Siauw-lim-pai, pemecatan yang berdasarkan kebijaksanaan Ketua Siauw-lim-pai karena ingin menjaga baik nama Siauw-lim-pai, akan tetapi pribadi pendekar ini tidak dimusuhi, bahkan dianggap sebagai sahabat baik dari Siauw-lim-pai. Bagi para pembaca cerita “Pedang Kayu Harum”, nama Yap Cong San tentu bukan nama yang asing. Akan tetapi untuk para pembaca cerita ini yang belum membaca “Pedang Kayu Harum” sebaiknya berkenalan dengan Yap Cong San secara singkat. Setelah kehilangan keanggotaannya dari Siauw-lim-pai, Yap Cong San menikah dengan seorang pendekar wanita perkasa yang bernama Gui Yan Cu, seorang wanita amat cantik jelita, berkepandaian tinggi dan juga memiliki keahlian dalam ilmu pengobatan. Suami isteri ini tinggal di kota Leng-kok, membuka sebuah toko obat dan mereka mempunyai seorang putera, yaitu Yap Kun Liong, anak yang pemberani tadi. Karena dia sendiri seorang ahli silat dari Siauw-lim-pai yang lihai dan sedikit banyak mengerti akan ilmu pengobatan, setelah menjadi suami Gui Yan Cu dan membuka toko obat, Yap Cong San mempelajari ilmu pengobatan sehingga sering kali dia mewakili isterinya memeriksa dan mengobati orang sakit. Isterinya hanya memeriksa wanita-wanita yang sakit. Karena pekerjaannya ini, Yap Cong San lebih dikenal sebagai seorang ahli pengobatan dan disebut Yap-sinshe daripada seorang ahli silat yang berilmu tinggi. Sudah bertahun-tahun dia dan isterinya tidak mencampuri urusan dunia kang-ouw, seakan-akan sepasang suami isteri pendekar ini bersembunyi di kota kecil Leng-kok, sehingga jarang ada orang mengenal namanya. Ketika tadi mendengar dari pencari kayu yang menjadi langganannya pula, bahwa Kun Liong berkeliaran di dalam hutan di luar kota, sedangkan menurut pencari kayu itu, di dalam hutan terdapat orang-orang yang aneh dan mencurigakan, Yap Cong San merasa khawatir sekali. Cepat dia lalu meninggalkan toko obatnya, menyuruh isterinya menjaga dan dia sendiri pergi ke dalam hutan membawa sepasang senjatanya yang istimewa, yaitu Im-yang-pit hitam putih. Dahulu Yap Cong San terkenal sekali dengan ilmu silatnya, terutama sekali permainan Im-yang-pit, sepasang pensil yang tidak hanya dapat dipergunakan sebagai senjata, bahkan juga dapat dipakai untuk menulis. Di samping sepasang Im-yang-pit ini, dia juga mahir melepas senjata rahasia berupa uang logam tembaga yang selain dapat dipakai berbelanja, juga dapat dipergunakan sebagai senjata rahasia yang amat berbahaya, disebut Touw-kut-ji (Uang Logam Penembus Tulang). Pendekar ini tiba di belakang kuil, tepat pada saat Loan Khi Tosu menggerakkan tongkat pendek membunuh tiga orang yang telah terluka itu. Sebagai seorang pendekar, biarpun sudah bertahun-tahun dia tidak mempunyai urusan kang-ouw, tak mungkin dia membiarkan saja pembunuhan dilakukan di depan matanya. Cepat dia meloncat ke depan menggerakkan senjatanya menangkis sehingga tongkat tosu itu terpental. Sebelum menjawab, Yap Cong San melirik ke arah puteranya yang masih berdiri di situ dan Kun Liong tersenyum kepada ayahnya, senyum yang memancing maaf dari ayahnya. Sejak kecil, Kun Liong paling takut kepada ayahnya dan paling manja kepada ibunya. Mungkin karena ayahnya keras maka ibunya memanjakannya atau bisa jadi juga sebaliknya, karena ibunya memanjakannya maka ayahnya bersikap keras kepadanya. Melihat puteranya tidak apa-apa, legalah hati pendekar itu dan ia cepat menjura kepada tosu yang bermata lamur itu. “Totiang, saya tidak bermaksud mencampuri urusan orang lain. Akan tetapi karena pekerjaanku adalah menolong orang sakit, sedapat mungkin berusaha mencegah kematian merenggut nyawa orang, tentu saja saya tidak tega menyaksikan totiang hendak membunuh orang.” “Ayah, kakek tua bangka ini sudah membunuh banyak sekali orang. Dia iblis jahat!” Tiba-tiba Kun Liong berkata menudingkan telunjuknya kepada tosu itu. “Kun Liong, diam!” Ayahnya membentak. Tosu itu mengangguk-angguk. “Hemm kiranya dia anakmu? Pantas pemberani, kiranya ayahnya seorang yang lihai. Gerakanmu tadi jelas menunjukkan bahwa engkau tentu seorang tokoh Siauw-lim-pai yang lihai sekali, sicu (orang gagah). Karena Siauw-lim-pai merupakan perkumpulan besar yang disegani dan dihormati oleh perkumpulan kami, biarlah pinto mengalah terhadapmu dan ketahuilah bahwa pinto adalah Loan Khi Tosu, pemimpin Pek-lian-kauw di daerah ini. Yang terbunuh oleh pinto adalah kaki tangan pemerintah yang selalu memusuhi kami, maka pinto harap sicu tidak ikut campur.” Yap Cong San memang sudah menduga bahwa tosu itu seorang tokoh Pek-lian-kauw ketika ia melihat bunga teratai putih dari baja itu. Dia menjadi tidak enak hati karena maklum bahwa Pek-lian-kauw adalah kumpulan orang-orang yang menentang pemerintah, yang menganggap pemerintah mulai menyeleweng, pembesar-pembesarnya tukang korup dan rakyat mulai ditindas pula, tidak becus menanggulangi gangguan-gangguan yang datang dari para bajak laut yang hanya menyusahkan kehidupan rakyat. Dia menganggap mereka itu sekumpulan orang-orang yang memberontak, namun karena dia melihat pula akan keadaan pemerintah yang makin memburuk, maka dia selalu menjauhkan diri dan tidak mau mencampuri pertentangan antara Pek-lian-kauw dan pemerintah itu. “Totiang, saya datang hanya untuk menyusul anak saya yang ternyata berada di sini. Karena totiang tidak mengganggu anak saya, maka sayapun tidak akan mengganggu totiang, akan tetapi tiga orang yang terluka itu menjadi tanggungan saya untuk mencoba mengobati dan menyembuhkannya.” Tosu itu menyeringai, “Heh-heh, boleh kaucoba, sicu. Dan melihat muka sicu, pinto mau mengampuni mereka. Bolehkah pinto mengetahui nama besar sicu?” “Saya hanyalah seorang biasa saja yang tidak terkenal, tidak ada gunanya dikenal oleh seorang tokoh Pek-lian-kauw seperti totiang.” Tosu itu mendengus. Dia maklum dari tangkisan tadi bahwa yang berada di depannya adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai yang berkepandaian tinggi. Karena itu, dia tidak mau mencari perkara dan suka mengalah, pertama karena agaknya akan sukar baginya menandingi lawan ini, ke dua karena para pimpinan Pek-lian-kauw dengan keras melarang Pek-lian-kauw mencari bibit permusuhan dengan perkumpulan-perkumpulan besar seperti Siauw-lim-pai yang amat kuat. “Kalau begitu, selamat tinggal dan sampai jumpa, sicu!” Tosu itu menyambar bunga teratai putih dari baja yang tadi menjadi tempat duduknya, kemudian sekali meloncat dia sudah lenyap dari situ, tubuhnya melayang cepat sekali keluar dari kuil tua. “Ayah, mengapa ayah membiarkan si jahat itu pergi?” Kun Liong bertanya penasaran. Ayahnya memandangnya dengan bengis. “Kun Liong, jangan mencampuri urusan orang lain! Mau apa engkau berkeliaran sampai ke tempat ini?” Mendengar suara ayahnya dan melihat sikap bengis itu, Kun Lion menundukkan muka dan menjawab lirih. “Tadinya aku hendak mencari bambu kuning, ayah...” “Hemmm, mencari bambu tapi melibatkan diri dengan urusan gawat! Anak lancang, kau tak tahu akan bahaya. Kalau tosu itu berhati kejam, apa kaukira sekarang engkau masih hidup? Hayo lekas pulang dan minta bantuan orang untuk mengangkut mereka yang terluka ini. Cepat!” Kun Liong mengangguk-angguk lalu melarikan diri secepatnya pulang ke kota untuk memenuhi perintah ayahnya. Yap Cong San lalu berlutut memeriksa keadaan tiga orang itu. Mereka belum tewas, bahkan Si Cambang Melintang sudah siuman. “Yap... sinshe… tolonglah kami...” katanya sambil mengeluh. Pendekar itu mengenal mereka sebagai perwira-perwira pengawal kepala daerah, maka ia mengangguk dan memeriksa. Kiranya di leher tiga orang itu menancap sebatang jarum hitam. Melihat keadaan luka di sekeliling jarum yang kulitnya menghitam, tidak ragu lagi hatinya bahwa jarum itu tentu mengandung racun yang jahat. Pek-lian-kauw selain terkenal mempunyai banyak orang pandai, juga terkenal dengan keahlian mereka mempergunakan racun. Cepat dia mencabuti jarum-jarum itu dan kembali Si Cambang Melintang jatuh pingsan. Tak lama kemudian datanglah sepasukan pengawal dari Ma-taijin terdiri dari belasan orang. Pasukan ini dikirim setelah ibu Kun Liong mendengar dari puteranya akan peristiwa di kuil tua dan nyonya perkasa itu sendiri melaporkan kepada kepala daerah. Tubuh tiga orang perwira pengawal itu, juga mayat dua orang yang terdahulu dibunuh Loan Khi Tosu diangkut. Yap Cong San mengikuti dari belakang setelah menyimpan tiga batang jarum hitam. Jarum-jarum itu perlu untuk diselidiki racunnya sebelum dia mengobati tiga orang perwira itu, dan dia perlu berunding dengan isterinya yang lebih ahli dalam hal racun dibandingkan dengan dia. Setelah memasuki kota Leng-kok, para korban itu langsung diangkut ke perkemahan kepala daerah sedangkan Cong San pulang ke rumahnya untuk berunding dengan isterinya dan mengambil obat. *** “Sungguh menjengkelkan sekali tosu itu, ibu. Sayang bahwa ayah membiarkannya pergi begitu saja setelah dia membunuh dua orang dan melukai tiga orang. Enak sekali bagi tosu itu. Padahal aku yakin ayah pasti mengalahkannya!” Kun Liong mengomel depan ibunya. Nyonya Yap Cong San atau Gui Yan Cu, yang masih kelihatan cantik dan muda sekali biarpun usianya sudah kurang lebih tiga puluh tahun, tersenyum dan menarik tangan puteranya, dirangkulnya penuh kasih sayang. “Habis, kalau menurut pendapatmu, dia harus diapakan? Apakah ayahmu harus membunuhnya?” Kun Liong menatap wajah ibunya dengan mata terbelalak. “Membunuh? Ayah membunuhnya? Aihh! Sama sekali tidak, ibu. Bukan maksudku supaya ayah menjadi pembunuh. Akan tetapi sedikitnya, tosu itu harus ditangkap dan diserahkan kepada yang berwajib agar supaya mendapat hukuman atas kejahatannya. Kalau dibiarkan saja terlepas seperti yang dilakukan ayah, bukankah terlalu enak?” “Husshh, kau tahu apa, Kun Liong? Di balik peristiwa itu tentu ada hal-hal lain sehingga ayahmu membiarkannya pergi. Kalau mendengarkan ceritamu tadi, tosu itu yang duduk di atas sebuah bunga teratai putih dari baja, dan mendengar nyanyian seperti yang kauceritakan tentulah seorang tokoh Pek-lian-kauw. Karena itulah ayahmu ingin lepas tangan dan tidak mau terlibat.” “Ibu, apakah Pek-lian-kauw itu?” “Dijelaskan juga engkau takkan mengerti, anakku. Pek-lian-kauw sebuah perkumpulan besar yang menentang pemerintah.” “Apakah ayah takut kepada Pek-lian-kauw?” “Bukan soal takut atau berani, akan tetapi ayahmu tidak mau terlibat pertentangan besar itu, dan aku membenarkan ayahmu karena memang tidak ada gunanya melibatkan diri, akan membawa akibat yang berkepanjangan dan hebat. Yang penting sekali adalah bahwa engkau tidak diganggunya dan syukur demikian, hatiku sudah khawatir sekali tadi ketika pencari kayu memberi tahu.” Percakapan itu berhenti dengan masuknya Yap Cong San. Isterinya segera menyambutnya dan bertanya, “Bagaimana dengan para korban itu?” Yap Cong San menggeleng kepala, menarik napas panjang dan mengeluarkan tiga batang jarum hitam, memperlihatkan kepada isterinya sambil berkata, “Aku tidak mengenal jarum ini, maka baru kuberi obat untuk mencegah menjalarnya racun dan kutotok jalan darah mereka.” Gui Yan Cu memeriksa jarum hitam, memasukkan jarum itu ke dalam mangkok putih, menuangkan air jernih sedikit dan air itu berubah hitam. Dia mencabut tusuk sanggulnya yang terbuat dari perak, mencelupkan benda itu ke dalam air beracun. Ujung tusuk sanggul yang putih itu kini berubah menghijau. Setelah memeriksa dan mencium racun itu, mata yang indah dan lebar itu terbelalak dan dia berseru. “Racun ular senduk...!” “Apa? Kalau begitu... nyawa mereka takkan dapat tertolong lagi!” Yap Cong San berkata, “Hemmm... Loan Khi Tosu dari Pek-lian-kauw itu benar-benar terlalu kejam.” “Memang dia kejam!” Tiba-tiba Kun Liong berseru, “Tidak seharusnya ayah melepaskannya begitu saja!” “Diam kau! Anak kecil tahu apa?” Yap Cong San membentak. Isterinya memandang kepadanya, lalu menarik napas panjang dan dengan halus berkata kepada Kun Liong, “Liong-ji, (anak Liong), ayah ibumu sedang sibuk, kau pergilah bermain-main di luar dan menjaga toko kalau-kalau ada tamu datang mencari kami.” Kun Liong bersungut-sungut. Selalu begitu. Ayahnya demikian keras, ibunya demikian lunak kepadanya. Kalau saya ayahnya selunak ibunya, atau ibunya sekeras ayahnya, dia akan mengerti dan tidak menjadi penasaran! Dia berlari ke luar dan duduk termenung di bangku dalam toko obat. Baru saja anak itu keluar dan suami isteri itu sekali lagi meneliti racun jarum, Kun Liong sudah berlari masuk lagi dan berkata, “Ada tamu utusan dari Ma-taijin!” Yap Cong San dan isterinya segera keluar dan utusan itu mengatakan bahwa kepala daerah she Ma itu memanggil Yap-sinshe datang menghadap. Karena maklum bahwa tentu kepala daerah ingin melihat dia cepat-cepat mengobati tiga orang perwiranya yang terluka, Yap Cong San segera berangkat sambil membawa beberapa macam obat anti racun yang ada, sungguhpun dia tahu bahwa obat-obat itu tidak akan dapat menyembuhkan luka yang terkena racun ular senduk. Seperginya Yap Cong San, melihat anaknya masih cemberut tidak puas, Gui Yan Cu merangkul puteranya dan berkata, “Kun Liong, jangan kau kecewa kepada ayahmu. Ayahmu bersikap tepat dan benar. Biarlah kuceritakan kepadamu tentang Pek-lian-kauw. Perkumpulan itu bukan perkumpulan orang jahat, sungguhpun seperti perkumpulan yang menamakan dirinya pejuang rakyat, mereka dapat berlaku kejam sekali terhadap musuh-musuh mereka. Mereka menentang pemerintah karena dalam anggapan mereka, pemerintah tidak baik dan menindas rakyat, membikin sengsara rakyat. Karena itu, mereka dimusuhi oleh pemerintah yang tentu berusaha membasminya. Nah, ayahmu tidak ingin melihat dirinya terlibat dalam permusuhan itu dan sikapnya itu tepat sekali. Mengertikan engkau?” “Ibu, aku tidak kecewa atau menyesal kepada ayah. Aku hanya ingin melihat di dunia ini jangan ada orang menyakiti atau membunuh orang lain dan kalau itu terjadi, dia harus dihukum!” Ibunya tersenyum, dan merasa bangga “Memang sebaiknyalah mempunyai pendirian itu, anakku. Pendirian seorang pendekar yang menentang penindasan. Akan tetapi engkau harus tahu bahwa yang melakukan kejahatan itu tentutah mereka yang lebih kuat, sedangkan yang dijatuhi atau yang menderita tentulah mereka yang lemah. Karena itu, seorang pendekar harus menggembleng diri sendiri agar supaya kuat...” “Wah, dan menjadi penindas jahat?” Kun Liong memotong. “Hushh, bukan begitu. Akan tetapi kalau engkau menghukum si jahat, engkau harus dapat menundukkan yang jahat bukan? Dan untuk dapat menundukkan si jahat, engkau harus lebih kuat dari mereka, padahal mereka itu adalah orang-orang kuat. Itulah perlunya engkau memperdalam ilmu silat dan mempergiat latihanmu, di samping pelajaran sastra dan pengobatan.” Kun Liong mengangguk-angguk kemudian mengerutkan alisnya. “Akan tetapi aku paling tidak suka melihat kekerasan, tidak suka melihat perkelahian, Ibu. Aku tidak mau berkelahi, aku benci perkelahian.” “Siapa menyuruh engkau berkelahi? Belajar ilmu silat itu bukan untuk berkelahi!” “Ibu tadi bilang seorang pendekar harus menentang si jahat, kalau ditentang tentu berarti berkelahi.” “Bukan, anakku. Perkelahian hanya terjadi antara dua pihak yang mempertahankan kepentingan diri sendiri masing-masing, memperebutkan sesuatu yang baik berupa kebenaran sendiri maupun berupa keuntungan untuk diri sendiri. Kalau kita membela yang tertindas, menentang si jahat sehingga terjadi pertandingan itu bukanlah pertandingan namanya. Mengertikah engkau?” Kun Liong mengerutkan kedua alisnya, meruncingkan mulutnya, dan menggeleng kepala. “Aku tidak mengerti, dan aku tetap tidak suka, aku tetap benci pertempuran.” Ibunya memandang dengan sinar mata penuh selidik. “Apakah engkau takut akan pertempuran? Takut terluka, takut mati, takut kalah?” Sepasang mata anak itu terbelalak memandang ibunya, penasaran dan suaranya lantang, “Aku...? Takut...? Tidak, ibu, aku tidak takut apapun. Aku hanya benci akan kekerasan. Dan Pek-lian-kauw itu, mengapa menentang pemerintah? Mengapa menganggap pemerintah menindas rakyat? Betulkah itu, ibu?” Ibunya menggeleng kepala. “Aku tidak tahu, Liong. Yang sudah jelas, kalau ada dua pihak bertentangan, sudah pasti sekali mereka itu saling menyalahkan, sudah pasti mereka itu masing-masing menganggap pihak sendiri benar dan pihak sana yang salah. Itu adalah urusan orang-orang yang murka akan kedudukan dan kemuliaan, kita tidak perlu mencampurinya, maka sikap ayahmu adalah tepat dan benar. Andaikata ayahmu melukai atau membunuh tosu itu, berarti bukan dia seorang melainkan kita semua terlibat dalam permusuhan dan pertentangan yang tiada habisnya.” Sambil bercakap-cakap menceritakan keadaan dunia kang-ouw kepada puteranya yang mendengarkan dengan bengong dan penuh kagum, apalagi ketika ibunya menyebut-nyebut nama para tokoh kang-ouw yang dianggap sebagai pendekar-pendekar pilihan, timbul keinginan hati Kun Liong untuk menjumpai pendekar-pendekar itu! Sedangkan ibunya sibuk membuat campuran obat yang diambil dari resep simpanan, dan menanti kembalinya suaminya. Tak lama kemudian Yap Cong San muncul dengan wajah keruh. Begitu memasuki toko, dia melempar diri di atas kursinya dan mengeluh, “Tetap saja tersangkut!” “Apa maksudmu? Apa kehendak Ma-taijin memanggilmu?” tanya isterinya. “Aku dituduh bersahabat dengan tosu Pek-lian-kauw!” “Wah, itu fitnah!” Kun Liong berteriak penasaran. “Apa sebabnya kau dituduh begitu?” Gui Yan Cu bertanya, sepasang alisnya berkerut, hatinya ikut penasaran. “Agaknya, seorang di antara tiga perwira itu melihat pertemuanku dengan Loan Khi Tosu, melihat betapa aku dapat menangkis tongkat tosu itu dan menyelamatkan nyawa mereka, kemudian melihat betapa aku melepaskan tosu itu pergi tanpa bertanding dengannya, dan melaporkan hal ini kepada Ma-taijin. Pembesar ini menegurku, mengapa aku yang memiliki kepandaian tidak turun tangan terhadap seorang pemberontak yang sudah jelas membunuh dan melukai orang, apalagi melukai tiga orang perwira pengawal. Dia bertanya apakah aku bersimpati kepada pihak pemberontak!” “Hemmm… tuduhannya hanya ngawur belaka. Kemudian bagaimana?” “Aku menjawab bahwa aku segan bermusuhan dengap Pek-lian-kauw yang mempunyai banyak orang pandai. Aku bilang bahwa aku takut…” “Ayah membohong! Aku tahu betul, ayah dan ibu tidak takut kepada apapun, kepada setan dan iblispun tidak takut. Dan aku tahu, tosu itulah yang gentar menghadapi ayah!” “Kun Liong, diamlah!” Ayahnya membentak marah, “Sudah berapa kali kukatakan kepadamu, engkau tidak boleh mencampuri urusan orang-orang tua. Dengarkan saja dan tutup mulut, kalau tidak bisa menutup mulut, pergilah dan jangan mendengarkan!” “Baik, ayah.” Kun Liong menunduk dan kedua bibirnya dirapatkan masuk ke dalam mulutnya. “Lalu bagaimana?” Gui Yan Cu mendesak, alisnya makin dalam. “Dia bilang dapat memaafkan sikapku, akan tetapi aku harus dapat menyembuhkan tiga orang perwiranya.” “Hemm, harus katanya? Nyawa orang berada di tangan Thian, bukan di tangan kita. Habis bagaimana jawabanmu?” “Aku menjawab terus terang bahwa racun di tubuh mereka itu adalah racun ular senduk yang amat berbahaya dan sukar sekali dicari obatnya dan bahwa aku akan berusaha sekuatku.” “Bagaimana sambutannya?” “Dia bilang tidak peduli diobati apa dan bagaimana asal tiga orang perwiranya itu sembuh. Dalam kata-katanya terkandung ancaman bahwa kalau aku gagal mengobati, tentu dia akan mengungkit kembali urusan tosu Pek-lian-kauw itu.” “Hemm, pembesar itu agaknya mempunyai niat buruk. Akan tetapi kita tidak perlu gelisah. Memang amat sukar mengobati racun ular senduk sampai sembuh, akan tetapi ada obat yang untuk sementara waktu, sedikitnya sebulan, dapat menahannya sehingga si korban tidak akan tewas. Dalam waktu sebulan itu, kalau engkau suka minta pertolongan ke kuil Siauw-lim-pai di mana aku mendengar disimpan banyak sekali obat-obat yang mujijat, kurasa mereka masih akan dapat diselamatkan.” Berseri wajah Yap Cong San. “Bagus kalau begitu! Memang aku mempunyai ingatan untuk minta pertolongan para suhu di Siauw-lim-si (Kuil Siauw-lim-pai), akan tetapi perjalanannya pulang pergi ke sana akan memakan waktu paling cepat setengah bulan dan tadinya aku tidak mempunyai harapan untuk menolong mereka. Akan tetapi, kalau engkau ada obat penawar selama sebulan, bagus sekali, isteriku!” “Inilah obatnya, sudah kusediakan sejak tadi. Berikan kepada mereka, dimasak dengan air lalu diminumkan, kemudian cepat-cepat berangkat ke Siauw-lim-si, tentu urusan ini akan dapat diatasi dengan baik.” Yap Cong San memandang isterinya dengan wajah berseri dan penuh rasa sukur. “Engkau memang bijaksana sekali, isteriku.” Dia hendak merangkul, akan tetapi isterinya melirik ke arah Kun Liong, tersenyum dengan kedua pipi kemerahan sambil meruncingkan mulut, persis seperti kebiasaan Kun Liong. “Husshhh...!” Suaminya teringat, mengurungkan niatnya dan Kun Liong berkata, “Ayah, aku ikut ke Siauw-lim-si!” “Wah, kaukira ayahmu pergi melancong ya? Keperluan ini penting sekali, bukan waktunya melancong.” Melihat puteranya menunduk dan kecewa, Yan Cu berkata, “Kun Liong, ayahmu betul. Perjalanan ini amat jauh dan perlu cepat-cepat. Kelak kalau tidak ada sesuatu kepentingan, engkau akan kuajak melancong ke Telaga Barat yang indah!” Hiburan ini tidak meringankan hati Kun Liong yang berkata, “Ibu selalu membenarkan ayah!” Kemudian dia berlari ke luar. Suami isteri yang saling mencinta itu kini tidak malu-malu lagi untuk saling berpelukan dan berciuman mesra. “Dia tidak tahu betapa engkau mencintaku, tentu saja selalu membenarkan aku!” Yap Cong San berbisik sambil mengelus rambut kepala isterinya. “Ah, dan kau jangan terlalu keras kepadanya. Kasihan dia, tidak punya saudara…” “Aihh, apakah engkau ingin sekali dia mempunyai adik?” Si suami menggoda, akan tetapi si isteri berkata sungguh-sungguh, “Siapa yang tidak ingin mempunyai seorang anak perempuan yang mungil sebagai adik Kun Liong?” “MUDAH-MUDAHAN Kwan Im Pouw-sat (Dewi Welas Asih) akan memberkahi kita dengan seorang anak perempuan. Kalau urusan ini sudah selesai, mari kita bersembahyang di Kuil Kwan Im Bio, kemudian kita menyewa perahu di telaga semalam suntuk kita berdua berpengantin baru di perahu, siapa tahu Kwan Im Pouwsat akan kebetulan bersenang hati memberi anugerah…” “Husshhh, tak tahu malu! Sudah berapa umur kita, masih mau berpengantin baru! Kau lekas berangkatlah. Urusan antara kita baru akan terlaksana kalau urusan Ma-taijin sudah beres dan berhasil baik. Berangkatlah, dan hati-hatilah di jalan, suamiku. Sampaikan hormatku kepada para suhu di Siauw-lim-si, terutama sekali kepada locianpwe (orang tua gagah) Thian Kek Hwesio ketua Siauw-lim-pai.” Thian Kek Hwesio adalah ketua Siauw-lim-pai yang baru, menggantikan kedudukan Tiang Pek Hosiang yang telah mengundurkan diri karena merasa bahwa dia telah melakukan perbuatan sesat di waktu mudanya sehingga dia tidak ingin mengotori nama Siauw-lim-pai (baca ceritaPedang Kayu Harum ). Yap Cong San dan isterinya amat menghormat dan menjunjung tinggi hwesio tua ini, bukan hanya karena Cong San bekas anak murid Siauw-lim-pai dan karena hwesio itu adalah ketua Siauw-lim-pai, akan tetapi terutama sekali karena hwesio itulah yang telah berjasa mengingatkan Cong San dengan nasihat-nasihat yang amat berharga ketika pendekar ini hampir mengalami keretakan rumah tangganya akibat cemburu sehingga dia sadar akan kekeliruannya. Hal itu telah dijelaskan oleh Cong San kepada isterinya sehingga Yan Cu juga merasa berhutang budi kepada hwesio tua yang dianggapnya telah memiliki jasa besar akan kebahagiaan rumah tangganya, berarti kebahagiaan hidupnya pula. (Baca ceritaPedang Kayu Harum ). Berangkatlah Cong San pada hari itu juga menuju ke Kuil Siauw-lim-pai setelah dia mengobati tiga orang perwira dengan obat penawar buatan isterinya. Dengan menunggang kuda, dia dapat melakukan perjalanan cepat dan seperti yang dia harapkan Thian Kek Hwesio menyambut bekas sute (adik seperguruan) itu dengan ramah sekali dan segera memberikan obat yang dibutuhkan Cong San setelah mendengar penuturan bekas sutenya. “Yap-sicu, engkau telah bersikap benar sekali. Pinceng (aku) merasa berterima kasih bahwa sicu masih menjaga akan nama Siauw-lim-pai sehingga tidak melibatkan diri dalam pertentangan yang buruk itu.” “Ahh, suheng mengapa berkata demikian? Ah, maaf, losuhu (sebutan pendeta), teecu (murid) sampai lupa menyebutmu suheng (kakak seperguruan). Mengapa losuhu bersikap sungkan? Sudah tentu sekali teecu menjaga nama Siauw-lim-pai, bukan hanya karena teecu adalah bekas anak muridnya, melainkan terutama sekali karena Siauw-lim-pai adalah sebuah perkumpulan besar dan mulia, tidak selayaknya kalau sampai terseret ke dalam pemberontakan Pek-lian-kauw.” Setelah bermalam satu malam dan melewatkan waktu semalam unuk melepaskan rindu terhadap bekas saudara-saudara seperguruannya, dan mendengar bahwa sudah bertahun-tahun bekas gurunya, Tiang Pek Hosiang, tidak pernah keluar dari Ruang Kesadaran, pada keesokan harinya Cong San berpamit dan kembali secepatnya ke Leng-kok. *** Kun Liong duduk dengan tenang di dalam kamarnya, tekun membaca kitab kitab kuno (lama) yang bertumpuk di atas mejanya. Seperti sudah lajim di jaman itu, setiap orang pelajar sastra yang sesungguhnya mempelajari membaca dan menulis, diharuskan menghafal isi kitab-kitab lama. Kitab-kitab itu adalah kitab-kitab filsafat yang berat-berat dan sama sekali bukan “makanan” otak seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun seperti Kun Liong! Bukan hanya kitab-kitab Su-si Ngo-keng, kitab yang, mengandung pelajaran Nabi Khong Cu, akan tetapi bahkan oleh ayahnya dia disuguhi kitab Agama Buddha dan kitab To Tik Khing dari Agama To! Karena sudah hampir hafal semua akan isi kitab-kitab itu, maka Kun Liong membalik-balik lembaran kitab itu dengan acuh tak acuh. Dia diharuskan berdiam di kamar karena ayah bundanya sedang sibuk membuatkan obat untuk tiga orang perwira yang keracunan. Obat Siauw-lim-si yang katanya dicampur dengan ramuan lain. Agar jangan mengganggu, maka dia diharuskan membaca kitab-kitab itu seorang diri di dalam kamarnya. Kun Liong merasa kesal hatinya karena bosan. Hampir saja dibantingnya kitab-kitab itu. Apa perlunya menghafal semua isi kitab lama itu? Apa perlunya mengasah otak mencari-cari dan menafsirkan makna dari segala kata-kata yang diucapkan dan dituliskan manusia jaman dahulu kala? Apa gunanya mengerti akan isi hati manusia kuno kalau tidak mengerti akan isi hati sendiri? “Apa gunanya?” Kun Liong mengeluh dan melemparkan kitab-kitab itu ke atas meja. “Apa gunanya kalau setelah orang hafal akan seribu satu macam ujar-ujar kebatinan namun tidak ada seorang pun melaksanakan sebuah pun dalam kehidupan sehari-hari?” Ucapan Kun Liong ini timbul dari lubuk hatinya karena hampir setiap hari ia menyaksikan kenyataan-kenyataan akan adanya pertentangan dan perlawanan antara isi ujar-ujar dari sikap serta perbuatan manusia. Biarpun ucapan ini keluar dari mulut seorang kanak-kanak yang mungkin bukan menjadi hasil pemikiran mendalam, namun membuat kita termenung. Memang sebenarnyalah, apa gunanya semua itu kalau kita melihat betapa semua pelajaran kebatinan dihafal orang sedunia semenjak kebudayaan berkembang? Ribuan tahun orang mengikuti dan menghafalnya, berlumba keras dan bagus ketika menyanyikan ujar-ujar kuno itu. Semua orang hafal akan ujar-ujar yang berbunyi bahwa “Di empat penjuru lautan, semua manusia adalah saudara,” akan tetapi apa gunanya ujar-ujar yang hanya menjadi kata-kata hampa ini kalau sehari-hari tampak kenyataan hidup yang berlawanan? Dalam kenyataannya, yang dianggap “saudara” hanyalah orang-orang yang menguntungkan kita, yang segolongan dengan kita, sealiran kepercayaan, seperkumpulan, sesuku, sebangsa dengan kita! Apa artinya menghafal ujar-ujar itu kalau kita melihat bahwa si pembesar dijilat, si hartawan dihormat, si pandai dipuji, sedangkan si kecil ditekan, si miskin dihina dan si bodoh dimaki? Makin banyaknya tentang pelajaran tentang kebaikan dan contoh-contoh manusia budiman, makin banyaklah timbul orang-orang munafik yang ingin disebut baik, ingin dirinya dianggap seperti manusia budiman. Kita selalu melupakan bahwa kebaikan bukanlah sesuatu yang dapat dipelajari! Melakukan kebaikan untuk mentaati pelajaran adalah kelakuan yang palsu, dipaksakan, dan berpamrih (mengandung keinginan tertentu demi diri pribadi), karenanya munafik! Kebaikan harus, keluar dari dalam hati, tanpa paksaan, tanpa kekhawatiran, tanpa keinginan di baliknya, tanpa pamrih, bahkan tanpi disadari bahwa kita berbuat baik! Dapatkah rasa kasihan dipelajari dan dilatih? Dapatkah kita mempelajari rasa haru? Dapatkah orang belajar mencinta? Kalau dipelajari maka palsulah itu! Kalau kita berbuat kebaikan agar dipuji, baikkah itu? Kalau kita berbuat kebaikan agar dibalas dengan bunganya, baikkah itu? Kalau kita berbuat kebaikan agar jangan dihukum, baikkah itu? Yang dua pertama dasarnya menginginkan sesuatu, yang terakhir dasarnya takut. Ketiganya palsu! Segala sesuatu, termasuk perbuatan, haruslah wajar dan aseli. Yang aseli dan wajar itu selalu benar dan indah. Kalau diperkosa, dirubah dengan paksa, maka akan timbul kepalsuan, pertentangan dan keburukan. Menginsyafi, dan menyadari akan keburukan diri sendiri berarti merintis jalan ke arah lenyapnya keburukan itu, dan hanya dengan tidak adanya keburukan maka keindahan tercipta. Perbuatan buruk timbul dari rasa sayang diri. Mengusahakan agar dirinya baik dengan jalan pengekangan, tapa brata, menyiksa diri, dan lain sebagainya takkan membawa hasil, karena usaha ini pun merupakan kembang dari rasa sayang diri, jadi tiada bedanya dengan keburukan. Di mana-mana ada keburukan, di sana kebenaran, kebaikan atau keindahan takkan muncul. Yang terpenting adalah rnengenal diri pribadi, mengenal sifat-sifatnya, keburukan-keburukannya, cacat-cacatnya, menginsyafi, menyadari dengan kesungguhan bukan pura-pura, dan keburukan akan tiada! Kalau keburukan tiada, dengan sendirinya yang ada hanyalah kebenaran, dan keindahan. Kun Liong bersungut-sungut. Sudah dua hari ayah bundanya sibuk mempersiapkan obat untuk perwira yang terluka. Kenapa ayah ibunya demikian sibuk mengurus tiga orang perwira sehingga tidak mempedulikannya, bahkan beberapa kali menolak undangan orang-orang untuk memeriksa keluarga yang sakit? “Ayah dan lbu pilih kasih! Apakah karena yang memerintahkan Ma-taijin, seorang pembesar? Karena itu, undangan orang-orang kampung tidak dihiraukan? Apakah ayah dan ibu sudah menjadi orang-orang mata duitan? Ihhh... bodoh kau!” Ia menampar dahi sendiri, merasa betapa tidak baik jalan pikirannya terhadap ayah bundanya. Seekor anjing berbulu putih memasuki kamarnya. Wajah Kun Liong yang tadinya muram itu berseri. Anjing itu bagus sekali, tubuhnya kecil seperti kucing, bulunya tebal putih seperti kapas, ekornya pendek dan ujungnya mekar, sepasang matanya kuning bergerak-gerak dan mulutnya yang kecil mengeluarkan salak lucu. “Pek-pek (Si Putih) ke sinilah...!” Akan tetapi anjing kecil itu seperti menggodanya, mendekat akan tetapi kalau hendak ditangkap, meloncat dan lari menjauh. Beberapa kali Kun Liong berusaha menangkapnya, akan tetapi anjing itu gesit sekali dan selalu dapat mengelak dengan loncatan-loncatan lucu, melarikan diri ke kolong meja, bangku dan ranjang membuat Kun Liong payah mengejarnya dan kehabisan akal. Kalau anjing yang bertubuh kecil itu menyusup-nyusup ke bawah kolong, mana bisa dia mengejar dan menangkapnya? “Pek-pek, lihat ini kuberi roti!” Anjing itu mendengus-dengus, menggerak-gerakkan ekornya yang pendek dan segera menghampiri Kun Liong, menerima sepotong roti kering itu dengan mulutnya, lalu memakannya dengan ekor bergoyang tidak lari lagi ketika Kun Liong merangkulnya. “Kau memang nakal! Kalau tidak diberi hadiah tidak mau dekat!” Kun Liong berkata, lalu membelitkan kain tilam mejanya ke pinggang anjingi itu. “Nah, pergilah dan larilah sekarang kalau bisa!” Dia memegangi ujung kain dan tentu saja anjing kecil itu tidak bisa lari lagi. Akan tetapi dia pun agaknya sudah tidak ingin lari lagi setelah diberi roti, mengeluarkan bunyi ngak-nguk minta lagi karena sepotong tadi sudah habis. Karena merasa kesepian dan bosan, timbul kenakalan Kun Liong untuk mempermainkan anjing peliharaan keluarga itu. Sisa rotinya dia berikan semua kepada Si Putih dan dia lalu mengambil kaleng-kaleng kosong dan sebuah kelenengan diikatkan pada ekor dan leher anjingnya. Setelah anjing itu menghabiskan semua sisa roti, Kun Liong mengajaknya bermain-main. Dia lari ke sana-sini sambil memanggil-manggil. Anjing itu mengeiarnya dan tentu saja kaleng-kaleng kosong dan kelenengan yang bergantungan di eker dan lehernya mengeluarkan bunyi gaduh. Kun Liong tertawa dan anjing itu menjadi bingung dan ketakutan. Agaknya dia mengira bahwa ada sesuatu mengejarnya dari belakang, sesuatu yang menakutkan karena mengeluarkan suara gaduh. Beberapa kali dia menoleh dan berusaha menggigit ekornya yang diganduli kaleng-kaleng kosong, akan tetapi gerakannya membuat kaleng-kaleng itu terseret dan mengeluarkan suara sehingga anjing itu terkejut dan melompat ke depan. Tentu saja setiap lompatannya membuat kaleng-kaleng itu terbanting dan makin gaduh suaranya. Dengan ketakutan anjing itu meloncat dan berlari, keluar dari kamar Kun Liong diikuti suara ketawa anak itu yang segera mengejar. Makin kencang lari anjing itu, makin keras pula suara kelenengan dan kaleng-kaleng yang ikut terseret itu, dan makin takutlah binatang itu yang mengeluarkan suara ngak-nguk dan berlari menabrak sana-sini. Mula-mula Kun Liong merasa gembira sekali, mengejar sambil tertawa-tawa, akan tetapi ketika dia melihat anjing itu memasuki kamar obat di ruangan belakang, dia terkejut. “Heiii! Pek-pek... tidak boleh ke situ...! Hayo keluar kau...!” Dia mengejar ke dalam kamar yang pintunya terbuka, siap menerima omelan ayahnya yang tentu akan marah-marah. Akan tetapi kamar itu kosong, agaknya ayah bundanya sedang beristirahat di ruangan depan setelah dua hari sibuk di dalam kamar obat itu. “Pek-pek... mari sini…!!” “Pranggg… prakk...!” Anjing itu meloncat ke atas meja, menabrak dua buah guci yang terletak di atas meja sehingga dua buah guci itu jatuh dan pecah, isinya tumpah. “Aduh, celaka…!” Kun Liong berseru dengan mata terbelalak dan muka berubah pucat. “Haiii, suara apa itu...?” Mendenear seruan suara ayahnya, Kun Liong cepat menyelinap dan bersembunyi di belakang gulungan tirai. Yap Cong San berlari masuk dari kamar yang menembus ruangan tengah. “Wah... sungguh celaka... obatnya tumpah semua...!” Pendekar itu cepat mengambil dua buah guci dan dengan hati-hati dan menampung isinya yang tinggal sedikit. Sedangkan Pek-pek sudah keluar dari kamar itu melalui jendela. Setelah menaruh obat yang tinggal sedikit itu ke dalam guci lain, Cong San lalu menjenguk ke luar jendela. “Hemmm... Pek-cu yang menumpahkannya. Dia ketakutan diganduli kaleng kosong dan kelenengan. Haiii… Kun Liong…” Dia memanggil dan meloncat keluar dari jendela untuk menangkap Pek-pek. Kun Liong menggigil. Tak mungkin dia menyangkal lagi. Tentu ayahnya mengerti siapa yang menjadi biang keladi tumpahnya obat itu dan tentu sekali ini ayahnya tidak hanya mengomel saja, melainkan telapak tangan ayahnya akan ikut pula beraksi. Entah telinganya atau pantatnya, yang jelas dia akan menjadi korban hukuman, bahkan sekali ini ibunya pun akan marah kepadanya! Ngeri menghadapi semua itu, terutama sekali menghadapi kemarahan ibunya yang tentu akan menyakitkan hatinya, Kun Liong berindap-indap keluar dari kamar obat, melalui pintu samping dan melarikan diri keluar dari rumah, terus berlari ke luar kota dan memasuki hutan! *** Selama dua hari dua malam Kun Liong melarikan diri, hanya berhenti kalau sudah tidak kuat lagi kakinya berlari. Dia melarikan diri dengan tergesa-gesa, dibayangi rasa takut kalau-kalau ayahnya melakukan pengejaran. Karena sekali ini dia melakukan perjalanan dibayangi rasa takut, maka jauh bedanya dengan perjalanannya masuk keluar hutan di waktu dia pergi mencari bambu kuning dahulu. Kini dia tidak lagi dapat menikmati segala keindahan yang terbentang di hadapannya. Perutnya hanya diisi kalau sudah tak dapat menahan lapar, diisi apa saja yang dapat ditemukan dalam hutan. Buah-buah, daun-daun muda, akar-akaran dan kadang-kadang kalau dia berhasil menangkap kelinci dengan sambitan batu, dapat juga dia makan daging kelinci. Untung baginya bahwa pada waktu itu pemerintah dikendalikan oleh tangan Kaisar Yung Lo yang amat keras. Kaisar ini berusaha memperbaiki keadaan negara dan rakyat, dengan memberantas kejahatan, membasmi perampok-perampok sehingga pada waktu itu tidak ada perampok yang berani muncul. Kalau tidak demikian keadaannya, sudah pasti sebelum lewat sehari menjelajahi hutan-hutan itu, Kun Liong akan bertemu dengan perampok. Harus diakui bahwa Kaisar Yung Lo yang berhasil merebut kedudukan Kaisar dari tangan keponakannya sendiri, yaitu Kaisar Hui Ti, telah melakukan banyak usaha keras untuk mendatangkan kemakmuran bagi rakyatnya. Pertama-tama, untuk menghindarkan pemerintah yang dipimpinnya dari pengaruh para pembesar korup sebagai sisa kaki tangan pemerintah yang lalu, ibu kota yang tadinya berada di Nan-king dipindahkannya ke Peking. Di kota itu oleh Kaisar Yung Lo didirikan bangunan-bangunan yang luar biasa besar dan indahnya, yang gilang-gemilang sehingga menurut sejarah tidak ada taranya di jaman itu. Selain pembangunan yang mengandung seni bangunan megah itu dia pun menyuruh susun, perbaiki dan perkuat bangunan Tembok Besar di sebelah utara. Tembok besar ini dimulai pembangunannya dalam abad ke dua sebelum tarikh Masehi oleh Kaisar Chin She dari Kerajaan Cin yang kemudian mengalami perbaikan-perbaikan selama sejarah berkembang. Maksud pertama dari pembangunan Tembok Besar ini adalah untuk mencegah serbuan-serbuan bangsa asing dari utara yang sejak dahulu merupakan ancaman. Selain memerintah untuk memperbaiki dan memperkuat Tembok Besar, yang panjangnya lebih dari tiga ribu lima ratus kilometer itu, juga Kaisar Yung Lo melanjutkan pekerjaan besar membuat Terusan Besar yang dimulai penggaliannya oleh para kaisar Mongol di jaman Kerajaan Goan-tiauw yang lalu. Terusan ini menghubungkan Sungai Yang-ce dan Sungai Huang-ho, terus ke utara sampai dekat kota raja Peking. Tentu saja untuk pembangunan-pembangunan hebat itu dibutuhkan banyak sekali biaya-biaya dan tenaga manusia, namun dengan kekerasan, pekerjaan raksasa itu dapat juga diteruskan. Bukan pembangunan-pembangunan saja yang diusahakan kemajuannya oleh Kaisar Yung Lo, akan tetapi juga perdagangan dengan luar negeri. Untuk keperluan ini, perlu dicari hubungan dengan negara-negara baru di luar lautan dan dia memerintahkan kepada seorang laksamana yang amat terkenal sakti dan pandai, yaitu The Hoo. Pada tahun 1405 mulailah The Hoo dengan pelayarannya yang terkenal, dengan armada yang kuat dan didampingi pembantu-pembantu yang sakti Ma Huan, tokoh Islam yang amat pandai dan sakti, Tio Hok Gwan, pengawal pribadinya yang lihai bukan main, dan masih banyak lagi jago-jago silat yang ahli. Armada ini menjelajah sampai ke Indocina, Sumatera, Jawa, India, Sailan dan sampai ke pantai Arab! Tentu saja tidak semua usaha Kaisar ini berhasil, bahkan usahanya memperkembangkan kebudayaan dan kesusastraan menimbulkan banyak kesempatan untuk korupsi. Akan tetapi harus diakui bahwa banyak pula hasilnya, di antaranya Tembok Besar dan juga Terusan Besar yang selesai dalam waktu sepuluh tahun, dan bangunan-bangunan lain di samping hubungan dengan negara-negara asing baru di sebelah selatan. Keamanan perjalanan Kun Liong melalui hutan-hutan pun merupakan hasil dari usaha pemerintah menekan kejahatan. Apakah lenyapnya para perampok dan maling itu benar-benar dapat dianggap sebagai hasil baik? Sukar untuk dikatakan dengan pasti, karena lenyapnya kejahatan-kejahatan kasar itu terganti korupsi yang merajalela di kota. Apakah bedanya itu? Hanya cara yang kasar diganti oleh cara yang halus! Semua perbuatan itu, baik yang kasar maupun yang halus, terdorong oleh rasa takut. Takut kehilangan sesuatu yang menyenangkan, dan takut akan mendapatkan sesuatu yang tidak menyenangkan. Pada hari ke tiga Kun Liong keluar dari hutan terakhir, menuruni lembah gunung dan tiba di luar sebuah dusun. Perutnya terasa lapar sekali dan timbul harapannya di dalam dusun itu. Akan tetapi ketika melihat dua orang anak laki-laki pengemis berkelahi memperebutkan sepotong roti kering yang kotor, Kun Liong berhenti dan cepat melerai. “Eh, eh, kenapa berkelahi hanya untuk sepotong roti kering yang kotor?” Dia mencela. Dua orang anak laki-laki berpakaian kotor dan lapuk itu berhenti berkelahi ketika tiba-tiba roti itu sudah terampas oteh Kun Liong. Mereka itu sebaya dengan Kun Liong, pakaian dan sepatu mereka sudah koyak-koyak. Yang seorang berkepala gundul sedangkan yang ke dua amat kurus dan pucat. Kini keduanya menghadapi Kun Liong dengan mata melotot marah. “Kembalikan rotiku!” Si Gundul berteriak. “Tidak, itu rotiku, hasilku mengemis di dusun, dia mau merampasnya!” teriak Si Kurus. “Dia mendapatkan dua potong, sudah makan sepotong, sepantasnya yang sepotong itu diberikan kepadaku!” Si Gundul membantah. “Perutku masih lapar!” Kun Liong memandang roti di tangannya. Hanya roti kering yang sudah tengik sebesar kepalan tangannya dan sudah kotor pula. Roti begini diperebutkan. Tadinya ia ingitn membuang roti itu, akan tetapi mendengar keluhan mereka bahwa mereka lapar sekali dan sejak kemarin belum makan dia merasa kasihan sekali. “Dia mau merampas sendiri rotinya!” Si Kurus berseru. “Kurang ajar. Hayo pukul anak ini!” teriak Si Gundul dan mereka berdua yang tadinya berkelahi memperebutkan roti kering, kini maju mengerojok Kun Liong dengan nekat! Kun Liong adalah anak suami isteri pendekar, sejak kecil sudah menerima gemblengan ilmu silat, maka dengan mudah dia mengelak dan dua kali kakinya bergerak, membabat kaki mereka dan robohkan dua orang anak itu. Mereka mengaduh, akan tetapi bangkit lagi dan makin marah. “Sabarlah, siapa yang ingin merampas roti tengik ini? Aku hanya melerai, dan agar kalian berdua tidak berkelani. Roti sekecil ini tidak akan mengenyangkan perut, perlu apa diributkan dan dijadikan sebab perkelahian antara teman sendiri? Nah, kubagi dua. Makanlah dan tak perlu berkelahi!” Kun Liong membagi roti menjadi dua potong dan memberikan kepada mereka, seorang sepotong. Mereka memandang dengan mata terbuka lebar, akan tetapi menerima potongan roti itu dan memakannya dengan lahap. Tentu saja sekali telan sepotong kecil roti itu lenyap ke dalam perutnya yang kosong. “Kau siapa?” tanya Si Gundul dengan mulut bergerak-gerak, agaknya masih terasa sedapnya roti tadi dan masih ingin lagi. “Kau tentu bukan anak sini, dan bukan jembel,” kata Si Kurus, memandang Kun Liong dengan sepasang matanya yang lebar. Anak ini begitu kurusnya sehingga matanya kelihatan besar sekali. “Aku seorang pelancong,” kata Kun Liong yang enggan memperkenalkan diri karena kalau dia memperkenalkan namanya, tentu akan mudah bagi ayahnya untuk mencarinya. “Akan tetapi aku pun lapar sekali, mungkin lebih lapar daripada kalian.” Dua orang anak yang tadi berkelahi itu saling pandang. “Kalau begitu, kenapa kau tidak makan roti tadi? Engkau sudah dapat merampasnya dari kami.” “Uhhh, siapa sudi makan roti rampasan? Lebih baik mati kelaparan!” Kun Liong berkata cepat. Akan tetapi dua orang anak itu tentu saja tidak pernah mendengar tentang kebijaksanaan seperti itu. “Bodoh sekali! Kenapa lebih baik mati kelaparan?” Si Kurus bertanya. “Perut lapar sungguh amat menyiksa, seperti sekarang ini,” Si Gundul juga berkata sebagai tanggapan yang menentang pendapat Kun Liong tadi. “Kalau yang dirampas itu kelebihan makanan, masih tidak mengapa. Akan tetapi merampas roti dari orang yang kelaparan juga, benar-benar amat rendah dan hina! Di antara teman senasib seharusnya tolong-menolong, kalau mendapat rejeki seharusnya saling memberi dan membagi.” Kembali dua orang anak itu saling pandang, agaknya mereka dapat membenarkan pendapat ini dan keduanya mengangguk-angguk. “Lapar benarkan engkau?” Si Kurus bertanya, memandang Kun Liong dengan iba karena dia sudah terlalu sering merasakan betapa perih dan nyerinya perut kalau lapar. “Tentu saja aku lapar, sejak kemarin hanya mendapatkan daun-daun muda di dalam hutan itu, sedikit pun tidak ada buahnya, dan seekor pun tidak ku melihat binatang di dalam hutan itu. Sialan benar!” “Kalau begitu, mari kita mengemis makanan di dusun. Agaknya engkau tidak biasa kelaparan, bisa jatuh sakit. Kalau perut kami sudah kebal…” kata si Gundul. Kun Liong mengangkat hidungnya dan meruncingkan mulutnya. “Uhhh, tidak sudi aku mengemis! Mengemis tanda malas!” “Malas…?” Hampir berbareng dua orang anak itu bertanya. “Ya, malas. Dan kalian ini malas sekali. Untuk mengisi perut, harus dicari, bukan cukup dengan minta-minta saja.” “Bagaimana mencarinya?” Mereka bertanya lagi. “Bodohnya! Mencari, bekerja membantu orang lain dengan upah pembeli nasi.” “Kalau tidak ada yang suka mempekerjakan kami?” “Mencari sendiri, mengumpulkan kayu kering untuk dijual, menangkap binatang hutan. Eh, benar-benar kalian bodoh.” “Bagaimana caranya menangkap binatang hutan? Mengejar seekor kelinci pun amat sukar dan tak mungkin bisa ditangkap.” Kata Si Kurus. Wajah Kun Liong bersinar mendengar kata-kata “kelinci”. “Di mana ada kelinci? Tahukah kalian daerah yang banyak binatangnya? Hayo kuperlihatkan kalian bagaimana menangkapnya dan kita makan daging kelinci panggang! Atau kijang, atau apa saja yang ada.” “Binatang di hutan-hutan sudah habis diburu orang-orang dewasa. Yang kulihat hanya tinggal ular-ular saja di hutan sebelah timur itu,” kata Si Gundul. “Ular? Daging ular pun enak sekali!” kata Kun Liong gembira. “Hah?” Kedua orang anak itu terbelalak, akan tetapi Kun Liong sudah menyambar tangan mereka, diajak lari sambil berkata, “Hayo tunjukkan aku di mana ada ular!” Tiga orang anak laki-laki itu berlarian memasuki sebuah hutan yang pohonnya jarang. Tak lama kemudian mereka melihat seekor ular yang kulitnya berwarna hijau, membelit dahan pohon yang rendah. Melihat ular ini, Kun Liong menjadi girang sekali. “Wah ular itu beracun dan dagingnya enak sekali, hangat di perut dan rasanya gurih manis kalau dipanggang!” Dua orang temannya terbelalak dan tidak berani maju mendekat ketika mendengar bahwa ular itu beracun. Kun Liong mangambil sebatang ranting, memegangnya dengan tangan kiri, menghampiri ular itu dan menggunakan rantingnya untuk mengusirnya. Ular itu mendesis marah, apalagi ketika perutnya disogok-sogok oleh ranting dan tiba-tiba kepalanya bergerak meluncur dan menggigit ranting yang dipegang tangan kiri Kun Liong. Anak ini cepat menggerakkan tangan kanan, menyambar ke arah kepala ular dan menangkap lehernya, mencengkeram dengan cara ahli sehingga ular itu tidak mampu melepaskan diri. Tubuh ular itu berkelojotan menggeliat dan mulai membelit lengan Kun Liong, akan tetapi jari-jari tangan kiri Kun Liong sudah mengetuk tengkuk ular itu beberapa kali dan tiba-tiba ular itu menjadi lemas tak berdaya sama sekali. “Nah, sudah jinak. Ada yang membawa pisau?” “Aku mempunyai pisau kecil,” Si Gundul berkata, mengeluarkan sebatang pisau kecil dari saku bajunya yang rombeng. “Lekas kuliti dia. Aku mau mencari beberapa ekor lagi.” “Ihhh, aku... aku tidak berani!” Si Gundul berkata. “Aku takut digigit,” Si Kurus menyambung. “Bodoh. Dia sudah tidak dapat menggigit lagi. Penggal lehernya di belakang warna hitam itu. Racunnya berkumpul di sana dan dari tempat itu ke bawah tidak ada racunnya. Buka kulitnya bagian perut ke belakang, kemudian tarik ekornya, tentu kulitnya terlepas.” “Kau saja yang mengulitinya,” kata Si Gundul ragu-ragu. “Dan kau yang mencari ular lain?” “Aih, siapa berani? Seekor ini pun cukuplah, untuk kau sendiri.” “Dalam keadaan kelaparan seperti ini, tiga ekor pun akan habis olehku sendiri, belum untuk kalian berdua!” kata Kun Liong. “Lekas kerjakan, aku akan pergi mencari lagi.” Dia lalu pergi memasuki semak-semak belukar, meninggalkan dua orang anak jembel yang masih saling pandang itu. Ketika Kun Liong kembali ke tempat itu dan membawa empat ekor ular lagi, ada yang hijau seperti ular pertama, ada yang hitam, ada yang belang dan kemerahan, kesemuanya masih, hidup akan tetapi sudah lemas seperti ular pertama. Dua orang anak itu terbelalak keheranan dan juga penuh kagum. Mereka sendiri dengan penuh rasa takut memaksakan diri dan akhirnya setelah dengan susah payah berhasil. juga menguliti ular pertama. Melihat betapa daging ular banyak yang terpotong, Kun Lion menjadi tidak sabar, minta pisau itu dan menguliti ular-ular itu dengan cepat dan mudah. Mula-mula dipenggalkan leher ular, kemudian kulit di bagian leher dibuka sedikit, dengan pisau dia menusuk daging setelah menyingkap kulitnya bagian leher, terus menancapkan ujung pisau pada batang pohon sehigga tubuh ular tergantung. Setelah itu, dia “melepaskan” kulit ular itu dari tubuh ular, seperti orang melepas kaos kaki dari kakinya saja! Sibuklah dua orang anak jembel itu membuat api dengan batu api. Biarpun mereka tadi merasa jijik melihat ular-ular itu, setelah dikuliti dan tampak dagingnya yang putih bersih, melihat pula cara Kun Liong menguliti ular demikian mudah dan biasa, timbul keinginan tahu mereka untuk mencicipi daging ular panggang. Setelah daging ular masak dan dua orang anak itu mencoba mencicipinya, mereka tercengang dan menjadi girang sekali, menyerbu daging ular dengan lahapnya, terutama sekali Si Gundul. “Wah, benar gurih dan manis!” serunya girang. “Lezat sekali, belum pernah aku makan daging seenak ini!” kata Si Kurus. Diam-diam hati Kun Liong merasa terharu menyaksikan dua orang anak itu. Semuda dan sekecil itu sudah harus mengalami hidup kelaparan dan menderita sengsara! “Mengapa kalian menjadi pengemis? Orang tua kalian di mana?” “Orang tua kami sudah mati semua, menjadi korban ketika terjadi perang, ketika pemerintah melakukan pembersihan dan membasmi penjahat-penjahat,” jawab Si Kurus. “Eh, apakah orang tua kalian penjahat?” Si Gundul menggeleng kepalanya. “Sama sekali bukan. Aku dan dia tetangga di sebuah dusun di seberang, di balik gunung itu. Ketika terjadi perang antara gerombolan perampok melawan pemerintah, kami menjadi korban. Tidak membantu perampok dan menyembunyikan mereka, kami dibunuh perampok. Membantu perampok kami dibunuh tentara pemerintah. Orang tua kami dicurigai karena ada perampok yang bersembunyi di rumah kami, maka mereka dibunuh semua. Kami yang masih kecil tidak dibunuhnya, dibiarkan hidup.” Hemm, dibiarkan hidup untuk menjadi pengemis yang terlantar, pikir Kun Liong dan hatinya yang pada dasarnya memang tidak suka akan kekerasan itu kini makin membenci perang dan pertempuran! “Mari, kalian kuajari cara menangkap ular agar kalian dapat mencari penghasilan. Ular-ular berbisa itu kalau kalian bawa ke kota dalam keadaan hidup dan menjualnya kepada rumah makan, tentu akan menghasilkan uang lumayan. Juga rumah-rumah obat membutuhkan racunnya untuk obat.” Dua orang anak itu girang sekali. Sehari itu Kun Liong menghabiskan waktunya di dalam hutan yang banyak ularnya untuk mengajari dua orang teman barunya cara menangkap ular. Karena kedua orang anak itu belum cekatan dan masih kurang berani, maka dia mengajarinya untuk pertama-tama sebelum mereka tangkas menggunakan tangan, menangkap ular dengan kayu yang ujungnya bercabang, menjepit leher ular dengan kayu bercabang itu. Dia memberi tahu akan obat daun-daun dan akar-akar yang harus diminum airnya dan digosok-gosokkan kepada kedua lengan agar dapat kebal terhadap gigitan ular berbisa yang biasa. Akhirnya, dengan bantuan kayu yang ujungnya bercabang, kedua orang anak itu berhasil juga menangkap masing-masing seekor ular hijau, dan atas petunjuk Kun Liong mereka berhasil pyla “melumpuhkan” ular dengan menekan dan mengetuk tengkuk ular itu. Bukan main senangnya hati mereka. Mereka tidak takut kelaparan lagi, biarpun kalau terpaksa setiap hari makan daging ular! “Kalau makan daging ular terus-menerus kalian bisa celaka, bisa sakit.” kata Kun Liong. “Daging ular mengandung obat dan panas, boleh dimakan sekali waktu, bukan menjadi makanan utama seperti ayam hutan saja?” “Mengapa ayam hutan?” “Ayam hutan paling suka makan ular dan kelabang!” jawah Kun Liong. “Malam ini kau tidur di mana?” tanya Si Gundul sambil mempermainkan ularnya yang sudah lumpuh. “Entah, apakah bisa bermalam di rumahmu?” “Wah, dia mana punya rumah!” kata Si Kurus. “Orang-orang seperti kami ini, boleh tidur di emper orang saja sudah untung, kadang-kadang diusir dan ditendang bersama makian.” “Eh, kita nonton saja, ayoh! Di dusun ada keramaian, ada pesta. Siapa tahu kita kebagian rezeki sisa masakan-masakan yang enak!” kata Si Gundul. “Ihhh! Dasar kau ini tulang jembel!” Kun Liong mencela. “Sudah diajari bekerja menangkap ular masih mengharapkan sisa makanan orang!” Ditegur demikian, Si Gundul menunduk, tidak berani melawan karena dia sudah menganggap Kun Liong sebagai “gurunya”, guru menangkap ular. Si Kurus membela temannya. “Dia tidak bisa disalahkan, karena selama ini, dari manakah kami dapat makan kalau bukan dari sisa orang? Pula, kalau ada pesta, banyak sekali masakan yang tidak habis dimakan, biasanya pelayan-pelayan yang baik hati suka membagi sedikit sisa-sisa makanan kepada kami.” “Hemm, kalau ada pesta mengapa kita tidak masuk saja dan ikut berpesta?” tiba-tiba Kun Liong berkata karena hatinya sudah merasa penasaran sekali mengapa ada orang berpesta pora sedangkan di sini ada anak-anak yang kelaparan! “Wah, mana boleh masuk? Kita akan dipukul!” kata Si Kurus. Dua orang anak itu kini percaya sepenuhnya kepada Kun Liong yang dianggapnya anak dari “kota’ dan amat pandai. Otomatis mereka menganggap Kun Liong sebagai pemimpin mereka, maka dengan gembira mereka pun lari di belakang Kun Liong sambil memegang ular masing-masing. Si Kurus dan Si Gundul masing-masing telah menangkap seekor ular, adapun Kun Liong sendiri membawa dua ekor ular yang cukup besar dan menyeramkan, seekor berkulit hitam bermata merah, yang seekor lagi adalah ular belang yang terkenal jahat racunnya. Benar saja, di sebelah dusun tak jauh dari situ, tampak kesibukan yang menggembirakan di runah kepala dusun. Hari telah mulai gelap ketika tiga orang anak itu tiba di depan rumah kepala daerah dan mereka menonton dari luar. Rumah itu penuh tamu yang memakai pakaian serba baru dan suasana amat gembira dengan senda-gurau mereka. Tuan rumah nampak menyambut tamu-tamunya sambil mengelus jenggotnya yang panjang. Pesta ini adalah pesta ulang tahunnya yang ke lima puluh dan biarpun kelihatannya pesta itu meriah, banyak tamu dan dengan sendirinya banyak hidangan yang dikeluarkan, namun sesungguhnya kepala dusun ini sama sekali tidak menderita rugi karenanya. Besarnya sumbangan yang masuk dari mereka yang menyumbang karena ingin menjilat, sebagian besar yang kurang mampu, menyumbang karena takut dianggap kurang menghormat, jumlahnya lima kali lipat lebih besar daripada jumlah pengeluaran untuk pesta itu. Tentu saja dia merasa gembira sekali. Pertama, wibawa dan kehormatannya sekaligus terangkat naik dengan adanya pesta itu, ke dua dia sekeluarga merasa gembira sekali dan bangga karena dapat mengadakan pesta besar-besaran ketiga keuntungan yang masuk sekali ini melampaui penghasilannya selama beberapa bulan! “Wah, berbahaya ini…” Si Gundul berbisik, “Yang berpesta adalah kepala dusun, mari kita menyingkir sebelum ditendang oleh para pengawal.” Kun Liong melihat bahwa di bagian depan berjajar belasan orang tinggi besar yang sikapnya seperti anjing-anjing penjaga yang siap menggonggong dan menggigit, maka rasa penasaran di hatinya pun meningkat. “Mereka belum mulai makan, hidangan belum dikeluarkan, baru minuman. Mari menyelinap dan ke belakang saja,” kata Kun Liong. “Eh, ke belakang mau apa?” Si Kurus berbisik. “Ke dapur. Cepat sebelum masakan dihidangkan!” Tiga orang anak itu menyelinap ke kegelapan malam terlindung bayangan-bayangan pohon, menuju ke belakang, ke dapur rumah besar itu di mana terdapat kesibukan-kesibukan yang tidak segembira di bagian depan. Para koki dan pelayan sibuk mempersiapkan hidangan yang beraneka macam, siap untuk segera menghidangkan ke luar apabila ada perintah dan tanda dari depan. Yang paling sibuk adalah koki gendut yang menjadi koki kepala. Karena gemuknya dan keadaan hawa di dapur itu panas oleh api, ditambah lagi dia harus mondar-mandir ke sana-sini untuk memeriksa pekerjaan para pembantunya, maka mukanya yang gemuk itu basah oleh peluh, bahkan pakaiannya juga basah. Dengan wajah bersungut-sungut karena tegang dan repot, dia menghapus peluh berkali-kali dari muka dan leher, menggunakan sehelai kain putih yang tergantung di depan dada dan perutnya. “Hah! Mau apa kalian berkeliaran di sini?” Tiba-tiba koki gendut itu membentak ketika dia berdiri di pintu dapur untuk mencari angin dan hawa sejuk, agar panas yang menyiksa itu berkurang, dan melihat Kun Liong dan dua orang temannya, Si Kurus dan Si Gendut sudah ketakutan dan menggigil, tidak berani bergerak. Akan tetapi Kun Liong yang menyembunyikan kedua ekor ular di tangannya itu ke belakang tubuh, membungkuk dan berkata, “Lopek (Paman Tua) yang baik, kami adalah tiga orang anak yang menderita lapar. Melihat banyaknya masakan yang tentu akan berlebihan, berlakulah baik kepada kami dan berikan sedikit masakan-masakan itu.” Sepasang mata yang kecil sipit, hampir tak tampak karena mukanya yang gemuk, makin menyipit dalam usahanya memperlebar, dan sejenak mulut yang juga terlalu kecil bagi muka selebar itu, ternganga tak dapat menjawab. Selamanya belum pernah koki gendut ini melihat kekurangajaran seperti ini, juga belum pernah mendengar ucapan pengemis serapi itu. Kalau anak jembel minta sisa makanan yang sudah tidak terpakai lagi, hal itu adalah lumrah dan sudah biasa dia memberikan sisa makanan yang sudah hampir bau kepada anjing-anjing atau jembel-jembel kelaparan. Akan tetapi anak ini, dengan gaya bahasanya yang sopan seperti seorang bangsawan saja layaknya, minta “sedikit makanan” yang masih segar, masih mengepul panas dan belum dihidangkan kepada para tamu. Mana ada aturan macam ini? “Keparat cilik! Jembel busuk. Pergi kalian! Kalau tidak kusiram kalian dengan air mendidih!” teriaknya. Peistiwa ini menambah panas tubuhnya yang sudah berpeluh karena dia merasa terganggu dan jengkel, bahkan merasa dipermainkan oleh anak kecil. “Babi gendut yang pelit!” Tiba-tiba Si Gundul memaki dari tempat yang gelap. “Apa? Bocab gembel ingin mampus…!” Koki itu marah dan mengulur tangan hendak menangkap, akan tetapi Kun Liong dan dua orang temannya sudah lari menyelinap ke dalam gelap dan lenyap. Makin penasaran dan mendongkol hati Kun Liong apalagi ketika ditegur oleh Si Kurus, “Apa kata kami tadi? Percuma saja, untung kita belum sampai disiram air panas atau dipukuli mereka.” “Sudah, lebih baik kita menanti sampai pesta bubar dan minta sisanya, tentu berlimpah-limpah dan banyak yang dibuang,” kata Si Gundul. “Tentu masih ada beberapa butir bakso, beberapa potong tulang berdaging dan beberapa helai bakmi.” Ingin Kun Liong menampar muka Si Gundul itu kalau tidak ingat bahwa memang kedua orang anak ini adalah pengemis-pengemis yang sejak kecil secara terpaksa harus puas dengan makanan sisa, maka dia menahan kemendongkolan hatinya. Akan tetapi dia makin penasaran kepada penghuni rumah dan para tamu-tamunya yang berpesta pora, sama sekali tidak mempedulikan orang-orang yang kelaparan di luar rumah itu. “Dengar baik-baik, kita kacaukan dapur itu. Dari jendela di sana itu, dari kanan kiri, kita lemparkan ular-ular ini ke dalam. Tentu mereka akan lari dan pada saat itu, kalian masuk dan mengambil sepanci masakan yang paling enak, bawa lari ke luar. Aku akan melempar ular dari jendela kiri, Si Gundul dari jendela kanan, dan engkau yang bertugas menyambar masakan dalam panci.” Si Gundul dan Si Kurus mengangguk-angguk, sepasang mata mereka bersinar-sinar. Setiap orang anak kecil akan merasa “penting” dan gembira sekali kalau diajak melakukan sesuatu yang menegangkan, apalagi yang belum pernah mereka lakukan selamanya. Kalau hanya mencuri dan mencopet makanan karena terpaksa oleh desakan perut lapar dan untuk itu menerima gebukan-gebukan, sudah biasalah mereka. Akan tetapi mengacau sebuah pesta, apalagi pesta di rumah kepala dusun, dengan melemparkan ular-ular beracun yang mereka tangkap sendiri ke dalam dapur, benar-benar merupakan hal yang baru yang amat menegangkan hati! Atas isyarat Kun Liong, mereka berpencar. Kun Liong lari ke jendela kiri membawa dua ekor ular, Si Gundul menyelinap ke jendela kanan membawa dua ekor ular pula karena ular Si Kurus diberikan kepadanya sedangkan Si Kurus dengan jantung berdebar menyelinap dekat pintu, siap untuk memasuki dapur mengambil masakan kalau kesempatan terbuka. Dia sudah memilih-milih dengan pandang matanya, masakan di panci yang mana akan disambarnya nanti! Si Gundul dari jendela kanan mengintai ke arah jendela kiri, ketika melihat Kun Liong menggerakkan tangan seperti yang telah mereka janjikan, dia lalu melemparkan dua ekor ular dengan kuat dan karena takut ketahuan, dia melempar dengan ngawur lalu menyelinap ke bawah jandela, merangkak dan pergi. Kun Liong lebih tenang dia melemparkan dua ekor ularnya ke bawah, ke tengah-tengah ruangan itu dan dia melihat betapa lemparan Si Gundul tadi secara ngawur ternyata mengakibatkan kekacauan luar biasa, karena seekor dari ular hijau itu tepat mengenai tubuh koki kepala yang gendut, mengalungi leher koki itu! Dapat dibayangkan betapa kagetnya koki itu ketika merasa ada sesuatu membelit lehernya dan ketika kepala ular itu tepat berada di depan hidungnya, sepasang matanya menjuling dan ia berteriak, “Ular…! Ular…!” Pada saat itu juga, para koki dan beberapa orang pelayan melihat ular-ular berbisa merayap perlahan di dekat kaki mereka. Ular hijau, ular hitam dan ular belang! Mereka segera lari ketakutan dan berteriak-teriak, “Ular…! Ular beracun! Berbahaya sekali…!” Kasihan sekali koki gendut. Dia tidak berani membuang ular yang membelit lehernya. Ketika mendengar teriakan ular beracun yang berbahaya, dia hampir pingsan dan menjerit-jerit, “Tolong…! Ular…! Tolong ini…!” Dia lari menabrak sana-sini, menabrak meja dan dengan susah payah akhirnya berhasil lari ke luar, tidak tahu bahwa lampu minyak di atas meja yang ditabraknya tadi terguling! Pengemis kecil kurus sudah menyelinap masuk dan menyambar sepanci masakan lalu berlari ke luar lagi. Terengah-engah dia, akan tetapi tertawa-tawa ketika di tempat gelap yang sudah dijanjikan, dia berkumpul dengan Si Gundul dan Kun Liong. “Masakan apa yang kauambil?” Si Gundul segera membuka panci. “Waduh, masakan capjai…! Ada baksonya, besar-besar… wah, udangnya pun besar-besar!” Tanpa diperintah lagi kedua orang anak jembel itu menyerbu masakan dalam panci. Akan tetapi Kun Liong tidak ikut makan karena dia lebih tertarik oleh teriakan-teriakan yang amat gaduh. “Api...! Kebakaran...! Tolong...!” “Ada kebakaran. Mari kita bantu...!” Kun Liong melompat dan berlari ke dusun yang mereka tinggalkan tadi. Akan tetapi dua orang anak jembel itu tidak mempedulikan karena mereka sedang asyik menikmati capjai, mulut mereka mengeluarkan bunyi berkecap dan mata mereka berkejap-kejap penuh nikmat. Karena sudah banyak orang, termasuk anak laki-laki seperti dia yang membantu untuk memadamkan kebakaran, maka kehadiran Kun Liong tidak menarik perhatian. Kun Liong merasa menyesal sekali ketika mendapat kenyataan bahwa yang terbakar adalah rumah kepala dusun dan menurut suara orang-orang di situ, kebakaran dimulai dari dalam dapur. Tadi dia melihat betapa lampu di atas meja terguling ditabrak koki gendut, maka mengertilah dia bahwa kebakaran itu terjadi karena dia dan kedua orang temannya! Di antara kesibukan orang-orang yang berusaha memadamkann api yang mengamuk dan hampir memusnahkan semua bangunan rumah kepala dusun itu, tampak seorang laki-laki gemuk diseret-seret. Kun Liong melihat betapa laki-laki gemuk itu didorong dan jatuh berlutut di depan Si Kepala Dusun yang kini berdiri dengan muka pucat dan sinar mata penuh kemarahan, bertolak pinggang dan memandang Si Gemuk dengan sikap penuh kebencian. “Hemmm, keparat jahanam! Engkau berani membakar rumahku, ya?” “Ti... tidak... ampunkan hamba, Loya (Tuan Besar)… di dapur tiba-tiba muncul ular-ular beracun... seekor malah membelit leher hamba dan akan menggigit hamba… semua koki dan pelayan melihatnya... hamba… hamba tidak melakukan pembakaran…” Koki gundul itu menangis. “Hemm, aku sudah tahu akan hal itu. Akan tetapi semua orang juga melihat bahwa engkau yang menabrak meja dan lampu minyak terguling mengakibatkan kebakaran. Kau hendak menyangkal?” Tubuh yang gendut itu menggigil, suaranya juga menggigil seperti diserang demam ketika dia menjawab, “... hamba... ohh... hamba... karena takut... hamba lari... dan andaikata benar hamba menabrak meja... dan lampu terguling... hal itu sama sekali tidak hamba sengaja, Loya... hamba mohon ampun, Loya...” “Sengaja atau tidak, yang jelas engkau yang menyebabkan kebakaran! Mengampunkanmu? Hemm, enak saja. Lihat, rumahku habis karena engkau! Dan engkau minta aku memberi ampun!” Kepala dusun itu menendang dengan keras, akan tetapi karena tubuh Si Koki amat gendut dan berat, kakinya terpental sendiri dan hampir dia terguling. Kakinya yang menendang terasa nyeri sekali, akan tetapi dengan meringis menahan nyeri, kepala dusun yang makin marah itu menuding. “Pukul dia! Pukul sampai mampus!” Para pengawal atau tukang pukul yang sudah siap lalu menghampiri Si Koki gendut. Segera terdengar suara bak-bik-buk dan koki itu meraung-raung menangis. “Tahan! Jangan pukul dia!” Semua tukang pukul itu, juga Si Kepala Dusun, terheran dan memandang anak laki-laki kecil yang tiba-tiba muncul di depan kepala dusun itu, berdiri tegak dan wajahnya penuh keberanian, matanya bersinar-sinar tertimpa cahaya api yang belum padam sama sekali. “Ceritanya tadi benar, dan dia tidak bersalah. Bukan dia yang menyebabkan kebakaran itu, tidak semestinya kalau dia yang dihukum! Menghukum orang yang tidak bersalah merupakan perbuatan yang biadab dan keji!” Semua orang terkejut sekali dan banyak orang kini memandang Kun Liong, apalagi karena api yang mengamuk sudah hampir dapat dipadamkan meninggalkan sisa rumah yang tinggal separuh. “Hemm, anak kecil yang aneh dan lancang mulut, kalau bukan dia yang bersalah, habis siapa?” “Yang salah adalah ular-ular itu, dan karena akulah yang melempar ular-ular itu ke dalam dapur, maka akulah orangnya yang tanpa sengaja menyebabkan kebakaran itu,” kata Kun Liong dengan tenang. Tentu saja dia bukan seorang anak bodoh yang mau mencari malapetaka dengan pegakuan itu, akan tetapi melihat betapa koki gendut yang tidak bersalah digebugi dan terancam kematian, dia tidak dapat menahan diri dan tidak dapat berdiam saja. Muka kepala dusun itu menjadi merah sekali saking marahnya. Akan tetapi rasa herannya lebih besar lagi, maka dia kembali bertanya, “Bocah setan! Apa perlunya engkau melemparkan ular-ular beracun ke dalam dapur?” “Tadinya aku hanya menghendaki mereka itu pergi ketakutan untuk mengambil sepanci masakan, tak kusangka akan demikian akibatnya. Aku menyesal sekali, akan tetapi harap lepaskan koki gendut itu yang tidak berdosa.” Koki itu memang sudah dilepaskan dan masih berlutut, kini memandang kepada Kun Liong dengan muka pucat dan matanya yang sipit memandang tanpa berkedip, penuh perasaan heran, kagum dan terharu karena dia mengenal anak yang diusirnya tadi. “Tangkap dia!” Si Kepala Dusun berteriak penuh kemarahan. “Pukul saja bocah setan ini!” “Bunuh bocah pengacau!” Orang-orang dusun berteriak-teriak, bukan marah karena kepentingan pribadi, melainkan berlomba marah untuk menyenangkan hati kepala dusun! Kun Liong ditangkap, diseret sana-sini, dipukuli. Anak yang memiliki ilmu kepandaian silat lumayan ini, tentu saja tidak mau mandah dan menggunakan kaki tangannya untuk mengelak dan menangkis, sungguhpun dia sama sekali tidak mau memukul orang karena memang merasa bersalah dan pantas dihukum! “Bukan hanya dia yang melepas ular, kami juga...!” “Ya, kami juga...!” Dua orang anak jembel itu, Si Gendut dan Si Kurus, tiba-tiba muncul di situ. Kun Liong kaget sekali. Dia tidak ingin membawa-bawa dua orang anak jembel itu karena sesungguhnya mereka berdua itu takkan berani melakukan pengacauan kalau tidak karena dia! Akan tetapi diam-diam dia merasa kagum juga menyaksikah kesetiakawanan mereka. Kiranya dalam diri bocah-bocah jembel itu terdapat pula kesetiakawanan yang indah dan gagah! Akan tetapi kedua orang anak jembel itu tidak didengarkan mereka, dan tenggelam dalam teriakan-teriakan kemarahan mereka yang mengeroyok Kun Liong. Bahkan mereka itu didorong dan ditendang sampai terguling-guling karena dianggap menghalangi mereka yang berlumba memukuli Kun Liong dengan tangan atau kayu penggebuk, apa saja yang dapat dipergunakan untuk memukul! Biarpun Kun Liong menggunakan kepandaiannya untuk menangkis dan mengelak, akan tetapi dalam pengeroyokan demikian banyaknya orang dewasa, akhirnya pakaiannya robek dan tububnya benjol-benjol babak belur. Dia tetap tidak mau membalas, apalagi ketika mendapat kenyataan bahwa yang mengeroyoknya, selain tukang-tukang pukul, juga penduduk dusun. Bahkan ada yang menggendong anaknya di punggung ikut-ikut mengeroyoknya untuk melampiaskan kemarahan hatinya! Biarpun Kun Liong sudah menggunakan seluruh kepandaian yang pernah dipelajarinya, namun tanpa membalas dan dikeroyok demikian banyaknya orang, akhirnya dia tertangkap. Seorang tukang pukul memegang tangan kirinya, seorang penduduk dusun yang sudah tua dan marah-marah karena koki yang menjadi korban tadi adalah anaknya, memegang lengan kanan Kun Liong. Seorang tukang pukul lainnya, mencekik lehernya dari depan! Kun Liong yang merasa seluruh tubuhnya sakit-sakit, pakaiannya koyak-koyak, kini dengan sia-sia berusaha meronta. Cekikan pada lehernya makin kuat, dia tidak dapat bernapas lagi dan kedua telinganya mulai terngiang-ngiang, kedua matanya mulai berkunang-kunang, kepalanya berdenyut-denyut. Di antara suara berdengung di telinganya, dia masih mendengar teriakan-teriakan mereka, “Bunuh saja bocah setan!” “Cekik sampai mampus!” “Tidak, aku tidak mau mati. Belum mau! Memang aku telah melakukan kesalahan, akan tetapi aku tidak sengaja membakar rumah orang!” Pikiran ini menyelinap di dalam hati Kun Liong, mendatangkan rasa penasaran mengapa untuk perbuatannya tanpa disengaja yang mengakibatkan rumah terbakar itu dia harus menebus dengan nyawa! Ia teringat akan pelajaran Sin-kun-hoat (Ilmu Melepaskan Tulang Melemaskan Diri) dari ayahnya dan dalam latihan dia sudah dapat melepaskan diri dari ikatan. Dia hampir tidak kuat lagi. Kepalanya berdenyut-denyut makin hebat, seperti mau pecah. Dalam detik terakhir itu, dia menggunakan tenaga kedua orang yang memegangi lengannya kanan kiri, menggantungkan tubuhnya dan menggunakan kedua kakinya untuk menendang ke depan, mendorong perut dan dada tukang pukul yang sedang berusaha mencekiknya sampai mati! “Bresss... auukhhh...!” Tubuh tukang pukul itu terjengkang dan roboh ke atas tanah. Dia memaki-maki sambil berusaha bangun kembali. Kesempatan ini dipergunakan oleh Kun Liong. Dengan Ilmu Sin-kun-hoat, tiba-tiba saja kedua tengannya menjadi lemas dan licin, sekali renggut dia sudah berhasil menarik kedua lengannya terlepas dari pegangan kedua orang yang berteriak kaget dan heran karena tiba-tiba saja seperti belut, lengan anak itu merosot licin dan terlepas! “Tangkap...!” Kembali Kun Liong dikepung. Dia tahu bahwa orang-orang ini sudah mabok dendam, seperti segerombolan serigala haus darah dan tentu tidak akan mau sudah sebelum melihat dia menggeletak di bawah kaki mereka sebagai mayat dengan tubuh rusak penuh darah! Ini sudah keterlaluan namanya! Dia tadi membiarkan dirinya digebuki, dimaki dan dihukum. Akan tetapi, setelah kesalahannya dia tebus dengan mandah menerima hukuman yang dianggap sudah lebih dari cukup, kalau mereka masih haus darah dan hendak membunuhnya, terpaksa dia harus melindungi dirinya. Seorang yang tidak berani melindungi nyawa dan dirinya sendiri adalah seorang pengecut. “Kalian sudah cukup menghukum aku!” teriaknya dan kini dia menerjang ke kiri menangkap sebatang bambu yang dipergunakan untuk menghantam kepalanya, membetot bambu itu secara tiba-tiba ke kanan sehingga pemegangnya yang tidak menduga-duga tertarik hampir jatuh, disambut oleh tendangan Kun Liong yang mengenai sambungan lututnya. “Plakk! Aduhhh...!” Biarpun yang menggajul lutut itu hanya seorang anak berusia sepuluh tahun, akan tatapi karena ujung sepatu Kun Liong tepat mengenal sambungan lutut, tentu saja rasanya nyeri bukan main dan membuat orang itu terpelanting tongkatnya terampas oleh Kun Liong! Kini cuaca menjadi gelap kembali setelah kebakaran itu dapat dipadamkan. Hal ini menguntungkan Kun Liong. Dengan tongkat rampasan di tangannya dia mengamuk, kini tidak hanya menangkis atau mengelak, melainkan juga membalas dengan sodokan tongkatnya. Dia berhasil merobohkan empat orang sambil melompat ke sana ke sini mencari lowongan di antara para pengepungnya. Yang roboh mengaduh-aduh memegangi perut yang tersodok sampai terasa mulas, atau kaki yang dihantam sampai bengkak. Orang yang terancam bahaya maut kadang-kadang dapat melakukan hal-hal yang luar biasa, yang tidak dapat dilakukannya dalam keadaan biasa, seolah-olah ancaman bahaya maut itu menimbulkan tenaga tersembunyi yang selama itu tidak pernah muncul dan hanya akan muncul apabila dirinya terancam bahaya maut dan tenaga mujijat itu akan bekerja di luar kesadarannya. Demikian pula dengan Kun Liong. Memang harus diakui bahwa anak ini semenjak kecil digembleng oleh ayah bundanya, dua orang ahli yang pandai. Akan tetapi karena usianya baru sepuluh tahun, sepandai-pandainya, dia tentu tidak mungkin dapat melawan tukang-tukang pukul dan penduduk dusun yang sedang marah dan berjumlah banyak itu. Namun ketika anak itu sadar akan bahaya maut yang mengancamnya dan dia melakukan perlawanan, secara tiba-tiba tubuhnya yang penuh luka dan hampir kehabisan tenaga itu mendadak menjadi sangat tangkas dan dia dapat bergerak cepat sekali, melompat ke sana-sini, merobohkan siapa saja yang mencoba menghalanginya dan akhirnya dia dapat melarikan diri ke dalam kegelapan malam, dikejar oleh banyak orang yang berteriak-teriak marah. Malam yang amat gelap menolongnya, dan teriakan-teriakan itu menambah kesukaran mereka yang mencari dan mengejarnya karena suara riuh rendah itu menelan lenyap suara kaki Kun Liong yang berlari cepat menyelinap di antara rumah-rumah orang dan pohon-pohon, kemudian keluar dari dusun dan terus lari, tidak mempedulikan arah karena tujuannya hanya satu, lari menjauhi orang-orang yang mengejarnya secepat dan sejauh mungkin! *** Dibantu oleh isterinya, Yap Cong San mempergunakan semua kepandaiannya untuk mengobati dan menolong tiga orang perwira pengawal Ma-taijin. Akan tetapi, tanpa bantuan obat khusus, mana mungkin mereka menyembuhkan luka akibat pukulan jari tangan Sakti Pek-tok-ci? Obat yang mereka dapakan dari Siauw-lim-pai, satu-satunya obat yang mungkin menyembuhkan luka beracun itu, telah tumpah dan hanya tinggal sedikit! Untuk mencari obat semacam itu lagi ke Siauw-lim-si, waktunya sudah tidak cukup lagi. Setelah membawa sisa obat yang tumpah seadanya, ditambah obat-obat buatan sendiri, dibantu oleh Gui Yan Cu, isterinya yang lebih pandai dalam hal ilmu pengobatan, kemudian menggunakan sin-kang mereka berdua untuk mengobati tiga orang perwira itu secara bergantian, akhirnya Yap Cong San dan isterinya pulang untuk beristirahat. Pengobatan dengan obat khusus yang amat kurang itu membuat mereka lelah dan khawatir akan hasil pengobatan itu. “Aihh, ke manakah perginya anak bengal itu?” Cong San menggerutu setelah tiba di rumah tidak melihat adanya Kun Liong. Tentu saja dia pergi meninggalkan rumah, takut pulang karena di rumah menanti ayahnya yang siap untuk memaki dan memukulnya,” Yan Cu menjawab. Suami itu memandang isterinya, lalu menarik napas panjang. “Kalau terlalu dimanja, begitulah jadinya!” “Kalau terlalu ditekan dengan kekerasan, begitulah jadinya?” Keduanya saling memandang, kemudian Cong San yang mengalah dan menarik napas panjang lagi. “Isteriku, aku tidak menekan dan tidak bersikap keras terhadap anak kita. Akan tetapi tidaklah engkau melihat bahwa keadaan tiga orang perwira itu berbahaya sekali dan karena perbuatan Kun Liong, maka obat menjadi tumpah dan kini sukar mengobati mereka sampai sembuh?” “YANG menumpahkan obat bukan Liong-ji (Anak Liong), melainkan Pek-pek, anjing peliharaan kita. Siapapun yang menumpahkan obat, yang tumpah sudah tumpah, mau diapakan lagi? Hal itu merupakan kecelakaan. Siapapun yang menumpahkan tentu bukan dilakukan dengan sengaja. Kalau sampai hal itu membuat tiga orang perwira itu tidak sembuh, berarti memang sudah semestinya demikian. Kita harus dapat dan berani menghadapi segala kenyataan yang menimpa kita, suamiku.” Kembali Cong San menarik napas panjang. Apa pun yang terjadi, dia tidak menghendaki bentrokan pendapat dan kesalahan paham dengan isterinya. Dan akan menjadi gelap baginya, hidup akan menjadi penderitaan kalau hal itu terjadi. Dipandangnya wajah isterinya yang baginya luar biasa cantik jelitanya itu, ditangkapnya tangan isterinya dan ditarik sehingga tubuh Yan Cu berada dalam pelukannya. Dalam keadaan begini, dengan tubuh isterinya berada demikian dekat, didekap dalam pelukan di atas dadanya, segala kekhawatiran lenyap dari hati Cong San. Dan inilah yang dia inginkan. Ia kembali menghela napas, kini helaan napas penuh kelegaan dan kebahagiaan. “Semua ucapan mereka memang benar, isteriku. Biarlah kita hadapi apa yang akan terjadi kalau sampai pengobatan kita gagal.” Yan Cu menengadah, memandang wajah suaminya, mengangkat kedua lengan merangkul leher sehingga muka suaminya menunduk, menempel di dahinya, kemudian dengan sikap penuh kasih sayang dan agak manja, kemanjaan seorang isteri yang membutuhkan kasih suaminya selama dia hidup, Yan Cu berkata lirih, “Gagal atau berhasil pengobatan kita, tergantung dari nasib mereka sendiri, perlu apa kita khawatir? Yang lebih penting adalah memikirkan anak kita yang sudah pergi. Sebaiknya aku pergi mencarinya.” Cong Sang memperketat pelukannya. “Jangan! Biarkan dia menyesali kenakalannya. Kalau dicari, tentu dia akan merasa amat dimanjakan. Dia sudah besar, sudah pandai menjaga diri, biarlah dia pergi semalam lagi, tidak akan berbahaya. Besok pagi-pagi barulah engkau pergi mencarinya kalau dia belum kembali. Malam ini aku lebih membutuhkan engkau isteriku.” Cong San menunduk dan mencium dengan pandang mata dan gerakan yang sudah amat dikenal oleh Yan Cu. “Ihhh, seperti pengantin baru saja! Dua persoalan menghimpit kita, pertama adalah kemungkinan gagal pengobatan para perwira, ke dua adalah perginya Kun Liong tanpa pamit, dan engkau bersikap seperti pengantin baru saja!” Yan Cu mengomel manja dan mengelak dari ciuman suaminya. Cong San tersenyum, dan biarpun mereka sudah menjadi suami isteri sebelas tahun lamanya, tetap saja senyum pria itu masih memiliki daya tarik yang selalu mendatangkan debar penuh gairah kasih di hati Yan Cu. “Kita akan selalu seperti pengantin baru sampai selama kita hidup!” “Aihhh! Tidak ingat anak kita? Engkau sudah menjadi ayah, aku sudah menjadi ibu, bukan muda remaja lagi!” Yan Cu mencela manja. Cong San menciumnya dan sekali ini Yan Cu sama sekali tidak mengelak, bahkan menerima dan menyambut pencurahan kasih sayang suaminya itu dengan hangat. “Biar kelak aku menjadi kakek dan engkau menjadi nenek yang sudah mempunyai selosin buyut (anak cucu), kita akan tetap seperti pengantin baru!” Yan Cu tidak dapat membantah lagi dan malam itu, sepasang suami isteri ini benar-benar seperti sepasang pengaritin baru yang sedang berbulan madu, lupa akan segala persoalan yang mengganggu, lupa akan ancaman Ma-taijin dan lupa pula akan anak mereka yang pergi tanpa pamit. Pada keesokan harinya, setelah bangun dari tidur dan menghadapi sarapan pagi, barulah teringat kembali mereka akan persoalan yang mereka hadapi. Demikianlah hidup! Alangkah bedanya keadaan hati dan pikiran mereka berdua malam tadi dan pagi ini! Seperti siang dan malam. Kebalikannya! Dan memang sesungguhnyalah bahwa suka dan duka, puas dan kecewa, menang dan kalah, hanyalah sebuah benda dengan dua muka, keduanya tidak dapat saling dipisahkan dan siapa mengejar yang satu sudah pasti akan bertemu dengan yang lain. Pengalaman akan suka, puas, dan menang akan dihidupkan oleh ingatan dan mendorong orang untuk terus mengejarnya, untuk mengalaminya kembali sehingga untuk selamanya orang hidup dalam mengejar ingatan mengejar bayangan. Sebaliknya, pengalaman akan duka, kecewa, dan kalah yang dihidupkan oleh ingatan mendorong orang untuk selalu menjauhinya, tidak tahu bahwa pengejaran akan bayangan suka menimbulkan duka, akan bayangan puas menimbulkan kecewa dan akan bayangan menang menimbulkan kalah karena keduanya itu tak dapat dipisahkan. Maka terjadilah perlumbaan antar manusia dalam mengejar kesukaan menjauhkan kedukaan, bukan hanya saling berlumba, juga saling mendorong, saling menjegal, saling memukul, bahkan saling membunuh untuk memperebutkan bayangan ingatan! “Aku akan menengok para perwira, mudah-mudahan mereka dapat sembuh,” kata Cong San sehabis sarapan suaranya berat. “Aku akan mencari Kun Liong, mudah-mudahan dapat kutemukan,” kata Yan Cu, juga suaranya tidak segembira malam tadi karena dia maklum bahwa mereka berdua menghadapi persoalan yang tidak menyenangkan. Dengan ucapan-ucapan itu, suami isteri ini saling berpisah. Cong San pergi ke gedung tempat tinggal Ma-taijin, sedangkan Yan Cu segera pergi melakukan penyelidikan dan bertanya-tanya kepada para tetangga akan diri puteranya yang telah pergi sehari dua malam meninggalkan rumah tanpa pamit. Gui Yan Cu adalah seorang wanita yang cerdik. Dia maklum bahwa puteranya tentu tidak melarikan diri ke utara, timur atau barat karena dusun-dusun di bagian ini merupakan tempat tinggal orang-orang yang sudah mengenal keluarganya. Kalau puteranya itu melarikan diri, tentu anak yang dia tahu amat cerdik itu melarikan diri ke arah selatan, daerah yang asing bagi mereka dan dusun-dusunnya terletak jauh dari Leng-kok. Sebagai pelarian yang takut ditemukan ayah bundanya anak itu tentu mengambil jurusan yang satu ini. Karena itu, maka Yan Cu lalu melakukan penyelidikan ke arah selatan, setelah para tetangganya tidak ada yang melihat Kun Liong dan tak searang pun di antara mereka tahu ke mana perginya anak itu. Dan dugaan nyonya itu memang tepat sekali! Ketika melarikan diri, memang Kun Liong sengaja mengambil jalan ke jurusan selatan, karena tepat seperti diduga ibunya, dia tidak ingin ada orang mengenalnya karena kalau hal ini terjadi, sudah pasti sekali dalam waktu singkat ayahnya atau ibunya akan dapat mengejar dan memaksanya pulang! Dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi, Gui Yan Cu melakukan pengejaran dan jarak yang ditempuh oleh puteranya dalam waktu sehari semalam, hanya membutuhkan waktu setengah hari saja baginya. Tibalah dia di dusun di mana Kun Liong menjadi sebab kebakaran dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia melakukan penyelidikan, dia mendengar akan seorang anak laki-laki yang menyebabkan kebakaran dengan melepaskan ular-ular beracun di dalam rumah yang sedang pesta, kemudian betapa anak itu ditangkap dan dipukuli orang-orang, akan tetapi secara aneh anak itu dapat melarikan diri dan tak seorang pun tahu ke mana perginya. “Semalam suntuk kepala dusun dan tukang-tukang pukulnya pergi mencari akan tetapi sia-sia. Anak setan itu seperti menghilang. Kalau dapat dicari, tentu dia akan dipukul sampai mampus!” Tukang warung nasi menutup keterangannya. Gui Yan Cu menahan kemarahan hatinya. Kalau dahulu, sepuluh tahun yang lalu, dia mendengar penuturan ini, tentu dia akan mengamuk dan menghajar orang sekampung itu, atau setidaknya dia akan menghajar kepala kampung, atau paling sedikit dia akan menampar pipi tukang warung nasi yang menceritakan perihal anaknya. Akan tetapi sekarang dia bukanlah seorang dara remaja yang ganas lagi, melainkan seorang nyonya dan ibu yang bingung memikirkan puteranya, dan yang maklum betapa sakit hati para penduduk karena ada yang mengacau pesta, dan betapa jahat pandangan mereka terhadap kenakalan anaknya. Karena dia tidak berhasil mencari di sekitar dusun itu, pula karena dia khawatir akan keadaan suaminya yang harus menghadapi ancaman kepala daerah kalau tidak berhasil menyembuhkan tiga orang perwira yang terluka, Yan Cu mengambil keputusan untuk pulang dahulu, kemudian setelah urusan Leng-kok beres, baru dia akan mengajak suaminya untuk mencari Kun Liong. Dapat dibayangkan betapa kaget dan marah hati nyonya perkasa ini ketika dia tiba di rumah pada waktu senja hari itu, dia disambut oleh seorang kakek dengan wajah keruh dan penuh kegelisahan. Kakek itu adalah Liok Sui Hok, paman tua suaminya. Kakek inilah yang membantu suaminya membuka toko obat di Leng-kok, dan karena Liok Sui Hok tidak mempunyai keturunan pula, sudah duda dan hidup seorang diri di rumahnya yang besar di Leng-kok kakek ini menganggap keponakannya itu seperti anak sendiri. “Sungguh celaka... suamimu gagal mengobati para perwira, dan dia kini ditahan oleh Ma-taijin...” Demikianiah sambutan kakek itu begitu melihat Yan Cu datang. Yan Cu menggigit bibirnya, sejenak tak dapat berkata-kata. Memang hal ini sudah dikhawatirkannya, akan tetapi sungguh tak disangka bahwa kepala daerah she Ma itu benar-benar berani menahan suaminya! “Hemm... si keparat Ma itu perlu dihajar!” katanya dan dia sudah membalikkan tubuh hendak pergi lagi ke rumah pembesar itu. “Wah-wah, nanti dulu! Harap kau bersabar, perlu apa menggunakan kekerasan menghadapi pembesar? Jangan-jangan engkau malah akan dianggap pemberontak dan melawan pemerintah!” “Paman! Pemerintah mempunyai hukum dan kalau suamiku bersalah berarti dia melanggar hukum, tentu saja saya tidak berani menggunakan kekerasan. Akan tetapi dalam hal ini, suamiku tidak bersalah. Kalau sampai dia ditahan, hal itu berarti bahwa Ma-taijin mempergunakan hukumnya sendiri, dan aku pun bisa menggunakan hukumku sendiri terhadap dia!” “Sabarlah! Dia adalah kepala daerah di sini, di Leng-kok ini kekuasaannya paling besar dan harus ditaati oleh seluruh rakyat.” “Apakah dia raja?” “Bukan, akan tetapi biasanya, setiap kepala daerah merasa menjadi raja kecil dalam daerah masing-masing. Karena itu, besok aku akan pergi ke kota Khan-bun, kepala daerah di sana lebih tinggi pangkatnya dan dengan bantuan teman-teman yang tinggal di sana, agaknya aku akan dapat menarik pengaruh dan bantuannya untuk menolong suamimu.” Yan Cu mengerutkan alisnya. Dia sudah banyak mendengar akan tindakan sewenang-wenang para pembesar setempat. Keadilan yang berlaku pada waktu itu hanyalah keadilan uang! Siapa yang dapat menyogok, dialah yang akan dilindungi dan dimenangkan oleh mereka yang berkuasa! “Paman, saya dan suami saya tidak mau dilindungi dengan cara menyogok! Kalau memang kami bersalah, kami rela dihukum! Akan tetapi kalau kami tidak bersalah, kami siap melawan siapa saja yang hendak melakukan tindakan sewenang-wenang! Sekarang juga saya mau menghadap Ma-taijin menuntut keadilan!” Tanpa menanti jawaban, Yan Cu berlari meninggalkan Liok Sui Hok yang berdiri bengong dan menggeleng kepala, menarik napas panjang berkali-kali. Dia maklum bahwa keponakannya, Yap Cong San, adalah seorang murid Siauw-lim-pai yang berkepandaian tinggi sekali, sedangkan isterinya, yang cantik jelita itu bukan hanya ahli dalam pengobatan, akan tetapi juga memiliki ilmu silat yang amat lihai. Celaka, pikirnya, tentu akan terjadi keributan. Dan lebih celaka lagi adalah nasib yang dihadapi Ma-taijin! Kakek itu maklum bahwa kalau keponakan dan mantu keponakannya itu mengamuk, tidak ada seorang pun di antara jagoan-jagoan pengawal kepala daerah akan mampu menandingi mereka. “Hemm... orang-orang muda... kurang perhitungan, asal berani dan kuat saja... hemm, ke mana perginya Kun Liong cucuku?” Sambil menggeleng-geleng kepalanya yang penuh uban, kakek itu melangkah perlahan-lahan, pulang ke rumahnya sendiri. Dengan menggunakan ilmunya berlari cepat, tidak mempedulikan seruan-seruan dan pandang mata penuh keheranan dari para penduduk Leng-kok yang kebetulan melihat nyonya ini berlari demikian cepatnya seperti terbang, Yan Cu menuju gedung kepala daerah yang berada di ujung kota sebelah utara. Sebuah rumah gedung yang mewah dan megah, paling besar di dalam kota Leng-kok. “Berhenti!!” Seorang penjaga pintu gerbang di depan gedung itu membentak, dan lima orang kawannya sudah muncul ke luar dari tempat penjagaan menghadapi Yan Cu dengan tombak ditodongkan. Ketika mereka mengenal nyonya itu, timbul dua macam perasaan yang tampak dalam sikap mereka yang ragu-ragu. Mereka itu sedikit banyak merasa segan dan menghormat nyonya cantik jelita yang sudah terkenal banyak menolong orang sakit di kota Leng-kok ini, bahkan di antara mareka tidak ada seorang pun yang tidak pernah ditolong, ketika seorang di antara keluarga mereka atau mereka sendiri sakit. Di samping ini, mereka juga sudah tahu bahwa suami nyonya ini telah ditahan dan dimasukkan dalam rumah penjara, dijaga ketat atas perintah Ma-taijin sendiri dengan tuduhan memberontak dan bersekutu dengan Pek-lian-kauw! Tuduhan yang amat berat dan menakutkan, sehingga tidak ada seorang pun di antara para penjaga ini yang berani memperlihatkan sikap yang lunak dan bersahabat terhadap seorang sekutu Pek-lian-kauw karena khawatir dituduh bersekutu pula. "Eh... Toanio... hendak ke manakah?” Komandan jaga, yang berkumis tebal dan bertubuh tinggi besar, menegur ragu-ragu. “Aku hendak bertemu dan bicara dengan Ma-taijin!” jawab Yan Cu singkat. “Tapi... tapi...” Komandan jaga itu membantah, makin meragu, dan bingung karena dia maklum bahwa kalau dia melapor ke dalam tentu dia akan didamprat oleh atasannya. “Tidak ada tapi, tinggal kaupilih. Kau melapor ke dalam minta Ma-taijin keluar menyambutku, atau aku yang akan langsung masuk mencarinya sendiri di dalam gedungnya!” “Wah, Toanio membuat kami susah payah. Menemui Ma-taijin tentu saja tidak begitu mudah. Kalau memang Toanio ada keperluan dan hendak menghadap, harap suka membuat surat permohonan dan besok siang, setelah Ma-taijin berada di kantornya, Toanio boleh saja menghadap melalui peraturan biasa. Sekarang, sudah malam begini...” “Dia pun hanya manusia biasa, mengapa aku tidak bisa bertemu dan bicara dengan dia sekarang juga? Sudahlah, biar aku mencarinya sendiri!” Yan Cu melangkah memasuki halaman depan gedung itu, akan tetapi enam orang penjaga itu sudah melompat ke depan, menghadangnya dengan tombak di tangan dipalangkan menghalang majunya nyonya itu. “Toanio, kami tidak bermaksud bersikap kasar terhadap seorang wanita, apalagi terhadap Toanio. Akan tetapi, jangan Toanio mendesak kami dan membuat kami tersudut..., kami hanya memenuhi kewajiban kami...” “Minggirlah!” Yan Cu berseru nyaring, kedua tangannya bergerak secepat kilat ke kanan kiri dan enam orang penjaga itu rpboh terpelanting ke kanan kiri seperti segenggam rumput tertiup angin! Ketika mereka merangkak bangun dengan mata terbelalak mencari-cari, ternyata bayangan nyonya itu telah lenyap dari situ! Dengan cepat sekali, setelah berhasil merobohkan enam orang penjaga dengan sekali dorong, Yan Cu meloncat ke depan, langsung dia menyerbu ke ruangan depan gedung yang megah itu. Akan tetapi, baru saja kedua kakinya yang tadinya melompat dari jauh itu menyentuh lantai, belasan orang penjaga telah muncul dan menghadangnya dengan golok di tangan. Komandan pengawal di ruangan depan itu pun mengenal nyonya itu dan memang dia telah mendapat perintah dari atasan untuk berjaga-jaga dengan anak buahnya berhubung dengan ditangkapnya Yap Cong San. Mereka semua sudah mendengar bahwa tidak hanya Yap-sinshe yang pandai ilmu silat, juga isterinya adalah seorang pendekar wanita yang lihai. “Tangkap isteri pemberontak!” Komandan itu berseru dan anak buahnya yang berjumlah selosin orang itu telah bergerak mengurung Yan Cu dengan golok di tangan, sikap mereka mengancam sekali karena betapapun juga, mereka memandang rendah kalau lawannya hanya seorang wanita cantik seperti ini. Biarpun mereka sudah mendengar bahwa wanita ini pandai main silat, akan tetapi mereka yang berjumlah tiga belas orang itu, ditambah lagi dengan para pengawal yang dipersiapkan di dalam menjaga keselamatan Ma-taijin, tentu saja tidak perlu merasa jerih terhadap seorang wanita! Yan Cu mengerling ke kanan kiri, sikapnya angker penuh wibawa, sepasang pipinya yang halus itu menjadi merah dan matanya yang indah mengeluarkan sinar berkilat. Sudah bertahun-tahun dia hidup aman tenteram di samping suaminya, tidak pernah lagi mempergunakan ilmu silatnya untuk bertempur dan hampir lupa dia akan semua pengalamannya dahulu di waktu dia masih gadis, pengalaman yang penuh dengan pertempuran hebat dan mati-matian (baca ceritaPedang Kayu Harum ). Sudah sebelas tahun dia tidak pemah memukul orang, dan tadi di pintu gerbang adalah gerakan pertama selama ini, gerakan untuk merobohkan orang sungguhpun dia merobohkan enam orang tadi bukan dengan niat membunuh, hanya cukup untuk membuat mereka tidak menghalanginya. Kini, dikurung oleh belasan orang, timbul kembali semangat kependekarannya. Kini dia bergerak untuk membela suaminya, jangankan hanya belasan orang pengawal biar ada barisan setan dan iblis sekalipun dia tidak akan menjadi gentar dan akan dilawannya! Timbulnya semangat ini menimbulkan pula kegembiraannya! Kegembiraan yang hanya dapat dirasakan oleh seorang pendekar, atau seorang tentara dalam medan perang yang sudah kebal akan rasa takut. “Apakah kalian sudah bosan hidup?” pertanyaan ini keluar dari mulutnya dengan suara halus, seperti suara seorang ibu menegur anaknya, akan tetapi nadanya mengandung penghinaan dan sindiran. “Aku mau bertemu dan bicara dengan Ma-taijin! Dia mau atau tidak harus menjumpai aku, dan kalau kalian hendak mencoba menghalangiku, jangan persalahkan aku kalau kaki tanganku yang tidah bermata akan membuat kalian jatuh untuk tidak bangun kembali!” “Tangkap pemberontak sombong!” Komandan yang bertubuh tinggi gendut itu mukanya penuh bopeng bekas penyakit cacar itu kembali berteriak. Komandan ini adalah seorang perwira pengawal baru yang datang dari kota raja. Dia belum mengenal Yap-sinshe dan isterinya, maka dia pun tidak merasa sungkan terhadap suami isteri itu seperti yang dirasakan oleh banyak pengawal yang telah mengenal dan sedikit banyak berhutang budi kepada mereka. Dua belas orang anak buahnya yang semua bersenjata golok karena memang mereka adalah anggauta pasukan bergolok besar, segera maju menyerbu, namun mereka itu masih merasa sungkan, hanya menggerakkan tangan kiri yang tidak bersenjata, berlumba menangkap nyonya yang biarpun usianya sudah tiga puluh tahun namun masih amat cantik jelita dan kelihatan seperti seorang dara berusia dua puluh tahun saja! Dahulu, ketika masih dara remaja, Gui Yan Cu mempunyai watak halus namun jenaka dan juga tegas menghadapi penjahat atau musuh. Akan tetapi, sekarang, setelah sepuluh tahun lebih menjadi isteri Yap Cong San, setelah dia menjadi seorang ibu dan sudah lama tidak pernah bertempur atau bermusuhan, biarpun dia masih memiliki keberanian dan ketegasan bertindak, namun hatinya menjadi makin lembut dan dia tidak tega untuk menjatuhkan tangan besi terhadap para pengawal ini. Dia bukan seorang dara muda yang ganas lagi, yang berpemandangan sempit dan suka merobohkan orang tanpa perhitungan lagi. Dia kini berpemandangan luas dan jauh, maka dia maklum bahwa semua pengawal ini hanyalah menjalankan tugas masing-masing, sama sekali tidak mempunyai permusuhan pribadi terhadap dirinya atau suaminya. Melihat cara mereka bergerak menyerbunya, tidak menggunakan golok melainkan menggunakan tangan kiri untuk menangkapnya saja sudah membuktikan bahwa mereka itu sedikit banyak mempunyai rasa segan terhadap dirinya. Hal ini mengurangi banyak nafsu amarahnya dan meniup lenyap niatnya memberi hajaran keras kepada mereka. Melihat semua orang menubruk maju, Yan Cu menggerakkan kedua kakinya menekan lantai dan tiba-tiba tubuhnya melesat dan meluncur ke atas, melewati kepala mereka dan gegerlah para pengawal yang saling tubruk dan saling pandang karena tahu-tahu “burung” di tengah yang mereka kurung tadi telah terbang lenyap begitu saja! Cepat-cepat mereka membalikkan tubuh mencari-cari dan berlari-larian menyerbu ke arah komandan gemuk mereka yang berteriak-teriak kesakitan karena sedang ditampari oleh Yan Cu, seperti seorang anak kecil yang nakal dipukuli ibunya! “Plak! Plak! Plak!” Kedua pipi komandan gendut itu menjadi bengkak-bengkak dan dari ujung kedua bibirnya mengalir darah yang keluar dari bekas tempat gigi yang coplok! Yan Cu menendang tubuh komandan Itu yang terlempar dan terbanting mengaduh-aduh meraba kedua pipinya dengan kedua tangan, matanya terbelalak memandang kepada nyonya itu karena dia masih kaget dan heran akan serangan itu. Tadi dia melihat betapa tubuh nyonya itu melayang melalui kepala para pengepungnya, menyambar ke arahnya. Dia cepat menggerakkan golok menyambut dengan bacokan ke arah muka nyonya itu, akan tetapi entah bagaimana, tahu-tahu goloknya direnggut lepas dari pegangannya, dan seperti kilat menyambar-nyambar, kedua tangan nyonya itu telah menggaplok kedua pipinya sampai matanya menjadi gelap dan berkunang-kunang! “Biarlah itu menjadi pelajaran bagimu agar jangan lancang menggunakan mulut!” Yan Cu berkata. Akan tetapi pada saat itu, dua belas pengawal yang melihat betapa komandan mereka ditampari dan dirobohkan, menjadi terkejut sekali dan terpaksa mereka kini menerjang maju dengan golok besar mereka di tangan. Kalau mereka tidak menyerang dengan sungguh-sungguh, tentu mereka akan ditegur dan dihukum, disangka menaruh kasihan dan membela seorang isteri pemberontak! Terjadilah pengeroyokan yang kacau balau, diseling suara hiruk-pikuk teriakan-teriakan mereka. Yan Cu melompat ke sana-sini mengelak sambaran-sambaran golok, kemudian dengan sentuhan ujung kaki mengenai pergelangan tangan seorang pengeroyok cukup membuat jari tangan itu memegang terbuka dan goloknya terlepas. Yan Cu menyambar golok ini dan terdengarlah suara berdenting-denting nyaring disusul teriakan-teriakan para pengeroyok karena begitu nyonya itu menggerakkan goloknya menghadapi para pengeroyok, dalam beberapa jurus saja, empat batang golok yang kena ditangkis terlempar ke sana-sini, dua orang lagi terpaksa melepaskan golok karena lengan mereka tergores ujung golok Yan Cu dan berdarah sungguhpun bukan merupakan luka yang parah. Dalam sekejap mata saja tujuh orang pengeroyok, dibuat tidak berdaya. Tentu saja lima orang yang lain menjadi gentar, dan dengan muka pucat mereka itu masih mengurung tanpa berani bergerak! Pada saat itu terdengar bentakan-bentakan dan muncullah puluhan orang pengawal dari dalam, diikuti oleh Ma-taijin sendiri! Pembesar ini tentu saja berani keluar dari kamarnya karena dia dijaga oleh empat puluh orang pengawal dan berkepandaian tinggi! Dengan sikap tenang akan tetapi nyata menyinarkan kemarahan dia mengikuti pasukan pengawal itu keluar ke ruangan depan, “Tangkap pemberontak itu!” Terdengar Ma-taijin sendiri mengeluarkan aba-aba, “Tahan semua...!!” Bentakan Yan Cu mengandung tenaga khi-kang yang hebat, membuat semua pengawal yang sudah mulai bergerak itu terkejut dan terguncang jantungnya, memandang kepada nyonya yang sudah berdiri tegak dan memalangkan golok rampasan di depan dada, tidak mempedulikan para pengawal yang sudah membuat gerakan mengurungnya, melainkan menunjukkan perhatian dan pandang matanya ke arah Ma-taijin. “Ma-taijin, aku datang bukan untuk berkelahi, bukan untuk mengamuk, akan tetapi untuk bertemu dan bicara denganmu!” “Hemmm, perempuan tak berbudi!” Pembesar itu membentak karena merasa malu mendengar kata-kata dan melihat sikap yang sama sekali tidak menghormatinya itu, malu kepada para pengawalnya karena sikap wanita itu benar-benar telah menyeret turun wibawa dan derajatnya! “Seorang pemberontak dan berdosa besar seperti suamimu dan engkau apalagi setelah berani datang mengacau di sini, mau bicara apa lagi?” “Ma-taijn, seorang pembesar tentu mengerti akan hukuman pemerintah, akan tetapi mengapa engkau bicara tanpa bukti, melainkan fitnah yang bukan-bukan? Engkau tahu sendiri bahwa suamiku dan aku telah menjadi penduduk Leng-kok selama sebelas tahun. Siapakah di antara penduduk Leng-kok yang pernah melihat perbuatan kami yang memberontak? Pernahkan kami melakukan sesuatu yang merugikan negara dan rakyat? Baru sekarang ada orang yang melakukan fitnah, menuduh kami pemberontak, dan orang itu adalah engkau, Taijin. Apakah engkau tidak takut akan bayangan sendiri menjatuhkan fitnah palsu kepada kami?” “Berani benar engkau berkata demikian, perempuan berdosa! Sudah jelas bahwa suamimu Yap Sinshe melakukan dua kali pelanggaran dosa terhadap pemerintah, dan sekarang ditambah lagi dengan sebuah pelanggaran yang dilakukan olehmu sendiri!” “Sebutkah dosa-dosa itu, Ma-taijin, agar tidak membikin hati penasaran!” Yan Cu berkata, menahan kemarahannya. “Dosa pertama suamimu adalah bahwa dia tidak membunuh tosu Pek-lian-kauw, dia melindungi Pek-lian-kauw atau kemungkinan besar dia bersekutu dengan Pek-lian-kauw.” “Bohong besar!” Yan Cu berteriak, “Adakah dalam hukum pemerintah bahwa setiap orang warga harus dan berkewajiban uatuk membunuh seorang anggota Pek-lian-kauw? Pek-lian-kauw adalah musuh pemerintah, dan menjadi orang-orang seperti engkau dan para pengawalmulah untuk memusuhi, dan membasminya! Kami, atau dalam hal ini suamiku, sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan Pek-lian-kauw, bahkan sebagai seorang warga negara yang baik telah menolong tiga orang perwira pengawalmu yang akan dibunuh. Mencegah pembunuh adalah kewajiban setiap orang, apalagi kami yang berjiwa Pendekar. Akan tetapi, membunuh tosu Pek-lian-kauw bukanlah tugas suamiku.” “Dosa kedua adalah kegagalan suamimu menyembuhkan tiga orang perwiraku. Tiga orang perwira pemerintah.” “Sungguh tidak masuk akal! Sejak kapan pemerintah mengeluarkan undang-undang bahwa kegagalan menyembuhkan merupakan dosa dan pelanggaran hukum?” “Suamimu, terutama engkau, telah terkenal sekali di Leng-kok sebagai ahli pengobatan. Jarang ada penyakit yang tidak terobati sampai sembuh oleh kalian berdua! Akan tetapi justeru mengobati tiga orang perwira pemerintah, kalian gagal! Bukankah ini merupakan kesengajaan dan perbuatan yang condong membantu Pek-lian-kauw? Dosa yang ke tiga adalah engkau yang berani memberontak dan melawan kami!” “Bohong semua! Suamiku dan aku bukanlah malaikat pengatur nyawa yang dapat memanjangkan usia manusia! Juga kami bukanlah malaikat maut yang suka mencabut nyawa! Kami sudah berusaha mati-matian mengobati, akan tetapi tiga perwira yang menderita luka pukulan beracun Pek-tok-ci tak dapat ditolong dan mati, itu bukanlah urusan dan wewenang kami. Mengatur nyawa sendiri pun tidak mampu, bagaimana harus mengatur nyawa orang lain? Adapun aku ke sini dengan maksud bicara denganmu dan minta dibebaskannya suamiku yang tidak berdosa, akan tetapi para anjing-anjing penjagamu menghalangi sehingga aku menggunakan kekerasan, siapa yang bersalah dalam hal ini? Ma-taijin, sekali lagi kuminta, karena suamiku tidak berdosa, sekarang juga harus kaubebaskan dia!” “Sombong! Pemberontak rendah! Tangkap dia...!” Akan tetapi sebelum para pengawal bergerak mentaati perintah ini, tubuh Yan Cu sudah berkelebat dengan kecepatan yang tak tersangka-sangka oleh semua orang. Tahu-tahu wanita perkasa itu telah meloncat ke dekat Ma-taijin! “Toloooonggg… tangkap… ahhhh!” Ma-taijin tak berani bergerak atau berteriak lagi karena golok tajam telah menempel di kulit lehernya, terasa dingin sekali! “Mundur semua!!” Yan Cu melengking dengan suara mengandung getaran hebat. “Kalau kalian maju, dia akan kubunuh lebih dulu sebelum kubasmi kalian semua!”” Para pengawal menjadi bingung dan Ma-taijin merasa ngeri dan takut bukan main. Terbayang di depan matanya selir-selir yang muda-muda dan banyak, gedungnya, gudangnya, harta benda dan kedudukannya, dan tiba-tiba perutnya terasa mulas dan air matanya bercucuran. “Jangan bunuh aku...” ratapnya. “Suruh mereka mundur, dan suruh kepala pengawal membebaskan suamiku, membawanya ke sini. Cepat, kalau aku kehabisan sabar, lehermu akan putus dan aku sanggup membebaskan suamiku dengan kekerasan!” Yan Cu membentak dan memberi sedikit tekanan pada goloknya sehingga pembesar itu merasa kulit lehernya perih dan sedikit darah mengucur! “Aihhh... jangan... haiii, semua mundur, dengar tidak? Mundur semua kataku, bedebah! Dan kau, Kwa-ciangkun, lekas kau pergi ke penjara, bebaskan Yap-sinshe, ehhh... ajak dia ke sini... cepat!!” Semua pengawal terpaksa mengundurkan diri dan hanya menjaga dari sekeliling ruangan depan itu sambil saling pandang dengan bingung. Sebagian besar antara mereka merasa lega dengan perintah Ma-taijin itu, karena tadi mereka merasa khawatir sekali, menyerbu berarti membahayakan keselamatan Ma-taijin, tidak bergerak bagaimana pula melihat pembesar itu diancam! “Duduklah, Ma-taijin, kita menunggu datangnya suamiku. Engkau lihat, bagaimana mudahnya untuk membunuhmu dan para pengawalmu kalau kami benar-benar merupakan pemberontakan-pemberontakan atau sekutu Pek-lian-kauw. Kami bukan pemberontak, namun aku tahu bahwa dengan perbuatan ini, kami takkan dapat tinggal di Leng-kok lagi. Hanya pesanku, lain kali janganlah engkau sebagai kepala daerah menggunakan kekuasaan untuk bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat jelata. Aku dan suamiku terpaksa menjadi orang-orang kang-ouw lagi karena engkau, dan setelah kami kembali ke dunia kang-ouw, begitu aku mendengar bahwa engkau bertindak sewenang-wenang menindas dan menjatuhkan fitnah kepada rakyat, aku akan datang sendiri untuk mencabut nyawamu!” Ma-taijin tidak dapat menjawab dan berterima kasih sekali diperbolehkan duduk di atas kursi karena kedua kakinya menggigil dan terutama sekali, yang amat menyiksanya adalah perutnya yang mulas sejak tadi dan hampir dia tidak dapat menahan segala kotoran yang hendak membanjir keluar dari dalam perutnya! Dia hanya mengangguk-angguk tanpa bicara, seperti seekor ayam makan jagung. Yan Cu berdiri di dekatnya, menodongkan ujung golok di leher dan mengawasi gerak-gerik para pengawal. Diam-diam dia mengharapkan agar jangan ada pengawal yang lancang berani menyerangnya, karena sesungguhnya dia tidak ingin membebaskan suaminya dengan jalan melakukan pembunuhan. Semua ini dia lakukan hanya untuk mengancam belaka, agar suaminya dapat segera bebas. Tak lama kemudian, datangnya kepala pengawal bersama Yap Cong San. Melihat isterinya menodong Ma-taijin, Cong San melompat dan menegur, “Aihhh, apa yang kaulakukan, isteriku? Aku sengaja tidak mau menggunakan kekerasan. Aku yakin akan dibebaskan karena tidak bersalah. Akan tetapi engkau…” “Hemm, orang seperti dia ini mana bisa dipercaya akan menggunakan keadilan suamiku? Pula, aku ingin engkau segera bebas, sekarang juga karena aku tidak berhasil mencari Liong-ji! Mari kita pergi!” Sebelum Cong San sempat membantah, Yan Cu sudah menarik tangan suaminya dan mengajaknya melompat pergi dari tempat itu, melemparkan golok rampasan tadi menancap di depan kaki Ma-taijin sampai ke gagangnya! Demikian cepatnya gerakan suami isteri itu sehingga yang tampak hanya dua bayangan mereka berkelebat dan lenyap. “Kejar mereka! Kumpulkan semua pengawal! Minta bantuan pasukan! Tangkap, cepat! Tolol kalian semua!” Ma-taijin berteriak-teriak sambil menuding-nudingkan telunjuknya, akan tetapi dia sendiri memasuki ruangan dalam, terus ke kamar kecil karena perutnya yang memberontak sudah mengeluarkan sebagian isinya ke dalam celananya! Para pengawal tersebar dan berlari-lari mencari, akan tetapi tentu saja dengan hati kebat-kebit dan penuh keraguan. Setelah bala bantuan datang dan jumlah mereka ada seratus orang, barulah mereka berani melakukan pengejaran dan mendatangi rumah obat tempat tinggal Yap-sinshe. Akan tetapi tentu saja mereka hanya mendapatkan sebuah toko yang kosong, tidak ada lagi penghuninya kecuali dua orang pelayan yang tidak tahu apa-apa. Dalam kemarahannya, Ma-taijin hanya menyita toko itu, merampas barang-barang toko dan mengumumkan nama Yap Cong San dan Gui Yan Cu sebagai dua orang pelarian! “Aihhh, semua ini gara-gara Kun Liong, anak bengal itu! Kalau saja dia tidak menumpahkan obat, tentu tidak terjadi semua ini! Dan setelah melakukan perbuatan yang menimbulkan bencana kepada ayah bundanya, dia malah lari minggat, mendatangkan kepusingan baru bagi kita!” Yan Cu cemberut. Mereka sudah lari ke luar kota Leng-kok, menuju ke selatan dan tadi dia sudah menceritakan suaminya tentang kegagalan usahanya mencari Kun Liong sehingga dia terpaksa pulang karena mengkhawatirkan suaminya. Dia sengaja tidak menceritakan suaminya tentang perbuatan Kun Liong yang baru di dusun yang ditemuinya yaitu membakar rumah kepala dusun yang sedang berpesta! Tanpa dibicarakan hal itu pun suaminya sudah marah-marah dan mengomel tentang anak mereka. “Siapa bilang gara-gara Kun Liong? Memang anak itu menumpahkan obat, akan tetapi apakah dia sengaja menumpahkannya? Kalau dipikir-pikir semua peristiwa ada sebabnya dan jangan kau menyalahkan peristiwa itu. Kalau aku ikut-ikut engkau, tentu aku mencari sebabnya dan kiranya engkaulah yang menjadi gara-garanya.” “Aku....?” Cong San bertanya mengalah dan selalu bersikap sabar kepada isterinya semenjak terjadi peristiwa hebat yang hampir saja menghancurkar cinta kasih di antara mereka karena dia telah dibuat gila oleh cemburu (baca ceritaPedang Kayu Harum ). Karena dia merasa berdosa dan bersalah kepada isterinya yang tercinta, maka dia bertobat dan bersikap hati-hati, selalu mengalah kepada isterinya sebagai tebusan dosanya yang lalu. Akan tetapi ketika dalam urusan dengan Ma-taijin ini isterinya mengatakan bahwa dia yang menjadi gara-gara, dia terkejut juga dan merasa penasaran sehingga dia menghentikan langkah kakinya. “Ya, engkau...” Yan Cu berkata. Mereka telah lari jauh dan malam telah hampir pagi, kedua kakinya sudah lelah. Yan Cu berhenti dan duduk di atas sebuah batu besar di dalam hutan itu. Suaminya juga duduk di depannya. Sinar matahari pagi sudah mulai mengusir kegelapan malam, disambut dengan riang gembira oleh suara burung hutan. “Mengapa aku...?” “Kalau-kalau dicari sebabnya menjadi panjang sekali. Kun Liong melarikan diri karena takut kepadamu, karena engkau terlalu keras kepadanya. Engkau marah karena dia menumpahkan obat. Dia menumpahkan obat karena dia bermain-main dengan Pek-pek, dan dia murung dan bosan di kamamya, bermain-main dengan Pek-pek karena dia merasa betapa engkau memarahinya ketika dia pergi dan berjumpa dengan tosu Pek-lian-kauw. Andaikata engkau tidak marah kepadanya, tentu dia tidak murung dan tidak bermain-main dengan anjing dan tidak menumpahkan obat, dan para perwira tidak mati, dan aku tidak mengamuk di gedung Ma-taijin, dan anak itu tidak minggat, dan...” “Stoppp...!” Cong San mengangkat kedua tangan ke atas, lalu merangkul dan menciumi isterinya. “Pusing aku! Sudah... jangan bicara tentang sebab akibat, kalau ditelusur terus, bisa-bisa akibatnya dimulai semenjak nenek moyang kita...” “Mungkin dimulai sejak dunia berkembang, sejak manusia pertama...” Yan Cu juga tertawa. Keduanya tertawa, saling rangkul dan saling berciuman, kemudian saling pandang dengan sinar mata penuh cinta kasih, akan tetapi juga penuh keheranan, kemudian menjadi penuh pengertian. “Aihhh... apa yang kita lakukan ini…?” Yan Cu berkata lirih. Cong San melepaskan pelukannya dan memandang isterinya. “Mengertikah engkau apa yang kumengerti? Apakah engkau merasakan apa yang kurasakan saat ini?” Yan Cu mengangguk. Suaminya mengangguk. Akan tetapi suaminya penasaran dan mendesak, “Kalau memang mengerti, apa?” “Keanehan yang sama kita rasakan! Peristiwa hebat melanda kita, memaksa kita meniadi orang-orang pelarian, dianggap pemberontak, kehilangan rumah, kehilangan toko, kehilangan harta benda, bahkan anak tunggal lari entah ke mana. Akan tetapi saat tadi yang terasa hanya kegembiraan. Aneh!” “Memang aneh bagi umum, akan tetapi sesungguhnya tidaklah aneh. Setiap peristiwa yang terjadi, terjadilah! Tergantung kita yang menghadapinya, kita yang tertimpa oleh peristiwa itu. Diterima dengan marah boleh. Diterima dengan susah, tidak ada yang melarang. Diterima dengan tenang seperti kita sekarang ini pun bisa. Tidak perlu kita saling menyalahkan, kita hadapi segala yang terjadi, sebagai sewajarnya dan kita bertindak sesuai dengan gerak hati dan pikiran yang benar.” “Nah, itu baru cocok! Engkau suamiku yang hebat!” Yan Cu menarik leher suaminya dan mencium bibir suaminya penuh kasih sayang. Cong San membalasnya penuh rasa terima kasih dan bersyukur atas pernyataan cinta yang demikian mesra. “Dari pada ribut-ribut saling menyalahkan, lebih baik kita pergi mencari Kun Liong dan melanjutkan perjalanan bertiga. Betapa senangnya!” “Wah-wah, betapa anehnya. Kehilangan segala-galanya, engkau malah bergembira! Di dunia ini mana ada wanita ke dua sehebat engkau, isteriku?” “Hemm, wajahmu juga berseri-seri, engkau malah lebih bergembira daripada aku! Uang tiada, rumah tak punya, pakaian pun hanya yang berada di dalam buntalan kita. Hayo jawab, mengapa engkau malah gembira?” Cong San mengerutkan kulit di antara kedua alisnya, berpikir. “Hemm... agaknya, yang paling menggirangkan adalah kini terbebas dari orang-orang penyakitan itu. Setiap saat kita mengganggu kita, datang minta obat, minta periksa penyakitnya, membosankan!” “Iihhhh, kalau begitu tipis perikemanusiaanmu!” Isterinya mencela. “Mungkin! Akan tetapi sebutan perikemanusiaan itu pun palsu belaka, isteriku. Hanya dipergunakan untuk kedok, padahal sesungguhnya yang terpenting bagi kita kalau mengobati orang adalah jika orang itu sembuh. Kita merasa bangga, merasa senang, merasa lega dan puas. Bukan hanya karena upah dan keuntungannya, melainkan terutama sekali karena bangga itulah. Akan tetapi lambat laun menjadi membosankan juga...” “Dan kau tidak menyesal kehilangan rumah dan harta benda?” “Tidak sama sekali! Bahkan aku merasa lega! Seolah-olah semua harta benda itu tadinya menindih di atas kedua pundakku, membebani aku dengan penjagaan, rasa sayang, khawatir kehilangan, dan lain-lain. Sekarang, habis semua, habis pula beban itu! Dan engkau, apa yang membuatmu begini gembira?” “Agaknya, kebebasan seperti yang kaukatakan tadi itulah. Akan tetapi terutama sekali, aku merasa seperti burung terbang di udara, seperti dahulu lagi, hidup bebas lepas di dunia kang-ouw menghadapi segala rintangan dan bahaya, menggunakan ilmu untuk melindungi diri sendiri dan membela kebenaran, hidup malang-melintang di dunia, tidak dikurung di dalam rumah seperti seorang nyonya sinshe yang setiap hari harus memasak obat!” “Wah, celaka tiga belas!” Cong San memegang kepalanya. “Mengapa?” “Isteriku petualang! Dasar engkau berdarah petualang!” “Ihhhh!” Yan Cu mencubiti lengan dan paha suaminya yang mengaduh-aduh akan tetapi senda-gurau ini berakhir dengat peluk kasih sayang yang saling mereka curahkan di atas rumput tebal di bawah pohon pada waktu pagi itu. Tidak terasa lagi oleh mereka akan dinginnya embun yang berada di ujung-ujung rumput dan yang menyambut tubuh mereka. Matahari yang baru muncul tersenyum ria dan menyiram suami isteri itu dengan sinarnya yang keemasan. “Aihhh, masa di tempat terbuka begini...? Seperti orang terlantar...” bisik Yan Cu. “Memang kita orang terlantar... petualang-petualang tak berumah...” terdengar suara Cong San lirih. “Ingatkah kau malam-malam kita baru saja menikah? Beberapa malam kita berbulan madu di hutan, di alam terbuka seperti ini… aih… mesra...!” “Ihhh, sudah tua tak tahu malu! ah!” “Cinta tak mengenal usia...” Demikianlah, suami isteri itu tenggelam dalam madu asmara yang membuat mereka lupa segala, membuat mereka seperti ketika berbulan madu dalam suasana pengantin baru yang mereka lewatkan di dalam hutan juga, seperti keadaan mereka pada saat itu (baca ceritaPedang Kayu Harum ). Setelah matahari naik tinggi, barulah tampak suami isteri ini melanjutkan perjalanan. Wajah mereka berseri-seri, mata bersinar-sinar, bibir tersenyum dan tangan mereka saling bergandengan ketika mereka melangkah keluar dari dalam hutan. Cong San mendengarkan cerita isterinya dengan sabar dan tenang. “Dia melepas ular beracun di dalam pesta tentu karena lapar, dan tidak sengaja menimbulkan kebakaran. Menurut penuturan orang di dusun depan, dia ditangkap dan dipukuli sampai bengkak-bengkak dan koyak-koyak pakaiannya akan tetapi dia dapat membebaskan diri dan lari entah ke mana.” “Hemm, untung dia bisa melarikan diri. Dia mengalami banyak kesukaran, biarlah, hitung-hitung untuk gemblengan jiwanya.” “Tapi kasihan sekali dia. Kita harus dapat segera menemukannya, kalau tidak, aku khawatir dia akan mengalami bencana. Dia masih terlalu kecil untuk merantau seorang diri, dan kepandaiannya juga masih terlalu rendah untuk dipakai melindungi diri.” “Tentu saja kita akan mencarinya sampai dapat, isteriku. Akan tetapi, biarlah kesempatan ini kita pergunakan untuk membicarakan pendidikan terhadap anak kita itu. Biasanya, aku menuduhmu terlalu manja, sedangkan kau menuduhku terlalu keras. Ketika kita beristirahat tadi, aku meneropong kenyataan ini dan agaknya kita berdua telah berlaku terlalu mementingkan diri sendiri, isteriku.” “Apa maksudmu?” Yan Cu memegang tangan suaminya dan menengadah, memandang wajah orang yang berjalan di sampingnya. “Baik caramu yang menyatakan kasih sayang kepada anak dengan terang-terangan sehingga kelihatan memanjakannya, maupun aku yang ingin melihat anak kita menjadi seorang anak baik sehingga aku kelihatan keras terhadap dia, sesungguhnya sikap kita berdua yang lalu itu hanya mencerminkan pendahuluan kepentingan kita sendiri.” “Coba terangkan, aku tidak mengerti. Bukankah apa pun cara yang kita berdua pergunakan, sebagai ayah dan ibu, kita mementingkan anak kita? Bukankah kita, dengan cara kita masing-masing, ingin melihat dia menjadi seorang anak yang baik?” Cong San menarik napas panjang. “Itulah, isteriku sayang. Itulah salahnya, dan itulah kesalahan kita. Kita INGIN MELIHAT dia menjadi ini, menjadi itu. Kita ingin MEMBENTUK dia sesuai dengan keinginan dan selera kita, sehingga lupa bahwa dia itu, sebagai seorang yang hanya kebetulan terlahir sebagai anak kita, dia mempunyai hak untuk tumbuh sendiri, dia mempunyai kepribadian sendiri, dia berhak menentukan sendiri, bukan hanya menjiplak seperti yang kita paksakan untuk membentuk dia. Dia bukan boneka, bukan tanah liat yang boleh kita bentuk sekehendak hati kita! Kita telah keliru dalam mendidik putra kita itu, Yan Cu!” Yan Cu termenung. Dia dapat mengerti apa yang dimaksudkan suaminya. Memang harus dia akui bahwa selama ini, baginya yang terpenting hanyalah keinginan hatinya sendiri! Dia ingin melihat puteranya begini, begitu, penurut, tekun belajar, dan lain-lain. Tidak pernah satu kali juga dia memperhatikan, apa sebenarnya yang disukai dan dikehendaki puteranya! Segala ingin dia atur sehingga jejak langkah hidup puteranya itu harus tepat seperti yang digariskannya! Betapa picik dan terlalu mementingkan diri sendiri itu! Dia mulai merasa menyesal dan terharu. “Habis, bagaimana baiknya dalam mendidik anak-anak kita, suamiku?” “Anak-anak kita? Anak kita hanya seorang Yan Cu.” “Hemm, siapa tahu? Apakah engkau sudah merasa puas dan cukup hanya mempunyai seorang anak saja?” Cong San tersenyum dan merangkulkan lengannya di pundak isterinya, lalu mereka melangkah lagi perlahan-lahan. “Kita harus memberi kebebasan kepada anak kita, kita harus menuntun mereka agar mereka mengerti dan tahu akan arti dan pentingnya hidup bebas! Agar dia tahu belajar mengenai dirinya sendiri sehingga di dalam dirinya dia akan menemukan guru. Agar dia hidup wajar, tidak berpura-pura, tidak munafik dan yang terpenting, tidak seperti seekor kambing yang dituntun, atau seperti batang pohon lemah yang hanya bergerak mengikuti ke mana angin bertiup. Agar dia berkepribadian, kepribadiannya sendiri, bukan menjiplak kepribadianku atau kepribadianmu, karena kalau hidupnya hanya kita bentuk agar dia menjadi penjiplak saja, tiada bedanya dengan membentuk dia menjadi sebuah boneka hidup. Mengertikah engkau, isteriku?” Yan cu tidak menjawab, mengerutkan alisnya, kemudian baru berkata ragu-ragu. “Entah suamiku, aku tidak berani bilang sudah mengerti, akan tetapi rasanya aku dapat menerima, aku dapat melihat kebenarannya.” Cong San menunduk dan mencium dahi muka yang terangkat itu, mesra dan penuh kasih. “Syukurlah, aku sendiri pun tidak mengerti betul. Pendapat ini begitu tiba-tiba, bukan merupakan pendapatku, melainkan aku seperti melihat kesalahan-kesalahan kita dalam mendidik dan kita harus melakukan perubahan.” “Sudahlah, tentang mendidik Kun Liong kita bicarakan kelak saja. Anaknya pun belum ketemu!” Cong San menarik napas panjang. “Kau benar aku sudah melamun terlalu jauh.” “Memang kau saja melamun? Aku pun sudah melamun, bukan soal pendidikan, melainkan kemana kita harus pergi kalau sudah mendapatkan Kun Liong.” “Ke mana?” “Kurasa dalam keadaan seperti kita ini, sebagai pelarian, tidak ada tempat lain yang kita tuju kecuali satu, yaitu Cin-ling-san.” “Keng Hong dan Biauw Eng…?” Yan Cu mengangguk. Hening sejenak. “Engkau benar. Siapa lagi yang akan dapat kita titipi Kun Liong kalau bukan mereka? Aihh, aku rindu sekali kepada mereka.” Suami isteri itu melanjutkan perjalanan dan kini mereka menuju ke dusun seperti yang diceritakan Yan Cu, dan di depan mata mereka terbayanglah wajah sepasang suami isteri yang sakti, yang menjadi sahabat baik mereka, bukan hanya sahabat, bahkan melebihi saudara kandung! Cia Keng Hong dan isterinya, Sie Biauw Eng! Siapakah Cia Keng Hong dan Sie Biauw Eng isterinya, sepasang suami isteri sakti yang membuat Cong San dan Yan Cu termenung penuh kerinduan hati itu? Cia Ken Hong dapat dikatakan masih suheng (kakak seperguruan) dari Yan Cu, akan tetapi dalam hal ilmu kepandaian, tingkat pendekar sakti itu jauh di atas tingkat Yan Cu, bahkan jauh pula di atas tingkat kepandaian Cong San sendiri! Cia Keng Hong adalah seorang pendekar sakti yang pada waktu itu merupakan pendekar besar, seorang di antara datuk-datuk atau “raja” dunia persilatan! Pendekar sakti itulah yang telah berhasil mewarisi semua ilmu kepandaian manusia sakti Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong (Raja Pedang Kepalan Sakti), ayah kandung dari Sie Biauw Eng yang telah menjadi isterinya sendiri. Ilmu kepandaiannya hebat bukan main. Di sampingnya, isterinya juga terkenal sebagai seorang yang berilmu tinggi sekali sehingga di dunia kang-ouw, nama Gunung Cin-ling-san yang menjadi tempat tinggal mereka amatlah disegani dan jarang ada orang berani datang ke tempat itu kalau tidak ada kepentingan yang sangat mendesak. Tidaklah terlalu mengherankan apabila dalam keadaan mereka sedang mengalami kesukaran seperti itu Yan Cu dan Cong San, suami isteri ini teringat kepada pendekar sakti di Cin-ling-san itu. *** Tubuhnya penuh luka-luka, bukan luka yang berbahaya, akan tetapi cukup membuat seluruh tubuh terasa nyeri, bengkak-bengkak dan matang biru, ada pula yang terobek kulitnya dan mengeluarkan sedikit darah yang kini sudah mengering dan menghitam. Pakaiannya robek-robek sehingga keadaan Kun Liong pada waktu dia melarikan diri itu seperti seorang anak pengemis. Kini dia tidak berlari lagi karena tidak ada orang mengejarnya. Setengah malam penuh dia melarikan diri, naik turun bukit dan masuk keluar hutan. Kini matahari telah naik tinggi dan dia berjalan dengan tubuh sakit-sakit dan lelah. Dia bersungut-sungut. Betapa kejamnya manusia, pikirnya. Manusia seolah-olah merupakan tungku berisikan api panas yang mudah sekali mengeluarkan asap dan membakar siapa saja yang mendekatinya. Mudah sekali manusia marah dan berubah menjadi seperti binatang buas. Ah, lebih buruk dan lebih jahat lagi. Binatang buas menyerang bukan semata-mata untuk menyakiti, membalas dendam, atau karena marah, melainkan karena membutuhkan mangsa, untuk dimakan, seperti manusia menuai gandum untuk dimakan. Akan tetapi manusia, karena tersinggung hatinya atau dirinya atau rumahnya atau miliknya, menjadi marah, sakit hati dan siap untuk membunuh! Ayahnya sendiri tidak terkecuali. Karena tanpa disengajanya menyebabkan tumpahnya obat, sudah pasti ayahnya akan marah sekali kepadanya. Dan orang-orang kampung itu! Kepala kampung itu! Dia tidak sengaja membakar rumah, juga Kepala Koki tidak sengaja. Namun, hampir kepala koki itu dibunuh mereka. Dan kalau dia tidak dapat cepat melarikan diri, tentu sekarang dia sudah tak nyawa lagi! Hanya karena rumahnya terbakar oleh kecelakaan yang tak disengaja. Seolah-olah kalau membunuhnya, rumah yang terbakar itu akan pulih kembali! Betapa kejamnya manusia! Karena pikirannya terganggu oleh rasa penasaran, Kun Liong tidak ingat akan perutnya yang lapar. Setelah terjadi peristiwa kebakaran di dusun itu, dia makin tidak berani pulang betapa pun ingin hatinya. Kalau saja tidak terjadi peristiwa yang tentu akan membuat ayahnya makin marah kepadanya itu, dia akan nekat pulang dan rela menerima hukuman ayahnya karena menumpahkan obat. Dia sudah rindu kepada ibunya, rindu kepada kamarnya yang nyaman. Akan tetapi dia tahu betapa ayahnya akan marah besar kalau mendengar bahwa dia telah menjadi penyebab kebakaran dan hampir saja dia dikeroyok mati oleh orang-orang dusun! Kesalahan terhadap ayah bunda sendiri, ayahnya masih bersikap lunak. Akan tetapi kesalahan kepada orang lain pasti akan membuat ayahnya marah bukan main. Masih berdengung di telinganya betapa ayahnya secara keras, dan ibunya secara halus selalu memperingatkannya agar dia menjadi seorang anak baik, rajin dan pandai agar kelak dia menjadi seorang pendekar budiman! Pendekar budiman, sebutan itu sampai hafal dia! Hafal dengan penuh rasa muak! Dia tidak ingin menjadi pendekar budiman! Dia tidak sudi! Biarlah dia menjadi Kun Liong yang biasa saja! Menjelang senja dia tiba di luar sebuah dusun. Barulah terasa olehnya betapa perutnya lapar bukan main, tubuhnya sakit-sakit dan kedua kakinya lelah dan lemas. Teringat akan pakaiannya dan sakunya yang kosong sama sekali, timbul pikirannya untuk mencontoh perbuatan dua orang anak pengemis di dusun yang kebakaran. Akan tetapi segera dilawannya pikiran ini. Dia akan bekerja, apa saja membantu orang sebagai pengganti nasi pengisi perutnya! Karena melamun, kakinya yang sudah lelah terantuk batu dan ia jatuh menelungkup. Sejenak dia tinggal berbaring menelungkup, meletakkan pipinya di atas tanah. Bau tanah yang sedap, hawa dari tanah yang hangat, membuat dia merasa senang dan nyaman sekali. Betapa nikmatnya rebah seperti itu selamanya, tidak bangun lagi! Rasa lapar di perutnya berkurang ketika perutnya dia tekankan kuat-kuat kepada tanah. Dia merasa seolah dipeluk dan dibelai tanah, seperti kalau dia dipeluk ibunya. Tak terasa dua titik butir air mata turun dari pelupuk matanya. Betapa rindu dia kepada ibunya. “Ibu…” dia berbisik, memejamkan mata menahan isak. Tiba-tiba dia mengangkat muka lalu bangkit duduk dan memandang ke depan. Ketika dia rebah dengan pipi di atas tanah tadi, telinganya menangkap suara langkah-langkah kaki. Dia cepat bangun berdiri ketika melihat serombongan orang berjalan keluar dari dalam dusun itu mengiringkan sebuah peti mati yang dipikul oleh delapan orang. Penglihatan ini serta-merta mengusir semua persoalan dirinya. Ada orang mati diantar ke tempat penguburan! Kun Liong memandang bengong ketika iring-iringan itu lewat di depannya menuju ke sebuah tanah kuburan yang tampak dari situ, di lereng sebuah bukit. Dia melihat beberapa orang mengiringkan peti jenazah sambil menangis sesenggukan. Ada pula yang diam saja, tidak memperlihatkan muka susah atau senang, akan tetapi ada pula beberapa orang pengiring yang saling bercakap-cakap diselingi mulut tertawa tanpa mengeluarkan suara. Sering pula Kun Liong menyaksikan keadaan serupa itu di kota. Dalam iring-iringan kematian, memang sanak keluarga si mati ada yang menangis, entah menangis sungguh-sungguh ataukah hanya menangis buatan, akan tetapi banyak pula, di antara para pengiring yang melayat sambil bersendau-gurau, sungguhpun suara ketawa mereka selalu mereka tahan. Tiba-tiba Kon Liong memandang bengong kepada seorang kakek yang berjalan paling akhir. Kakek ini kelihatan gembira sekali! Wajahnya berseri dan biarpun sudah penuh keriput, jelas bahwa kakek itu tertawa-tawa gembira, seolah-olah bukan sedang mengiringkan kematian, melainkan mengiringkan mempelai! Lupa akan rasa nyeri, lelah dan lapar karena tertarik oleh iring-iringan kematian, terutama sekali akan sikap kakek yang tertawa-tawa, Kun Liong menggerakkan kaki, melangkah maju mengikuti iringan yang menuju ke tanah kuburan di lereng bukit itu. Upacara pemakaman dilakukan dengan sederhana dan cepat sebagaimana biasanya penduduk dusun dan setelah peti mati itu dikubur, semua pengiring lalu bubar meninggalkan tanah kuburan karena senja telah mulai larut. Hanya ada tiga orang yang masih tinggal di tanah kuburan yaitu Si Kakek Tua yang masih nampak gembira, seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih yang masih berlutut menangis di depan gundukan tanah kuburan baru, dan Kun Liong yang berdiri menonton dari jauh. “Aihh, Akian, mengapa engkau menangis terus tiada hentinya?” Si Kakek itu melangkah maju mendekati laki-laki itu, duduk di atas batu nisan dekat kuburan baru, menegur dengan nada suara mengejek. Orang yang bernama Akian itu mengangkat mukanya yang agak pucat dan sepasang matanya yang merah karena terlalu banyak menangis itu memandang Si Kakek tak senang, akan tetapi agaknya dia sudah biasa menghormat kakek itu maka jawabnya, “Paman Lo, orang menangis adalah tanda berduka, dan seorang anak yang kematian ayahnya, tentu berduka. Apa anehnya kalau aku menangisi kematian ayahku? Paman hanya sahabatnya, tentu saja tidak dapat merasakan seperti saya.” Kakek itu meraba-raba jenggotnya yang panjang dan berwarna dua. “Heh-heh-heh, sebetulnya siapakah yang kau kutangisi, itu Akian!?” “Tentu saja Ayah yang kutangisi, Paman!” jawabnya penasaran karena dia merasa betapa pertanyaan itu bodoh dan tidak perlu. “Benarkah? Kalau ayahmu yang kautangisi, mengapa kautangisi?” Kalau saja tidak ingat bahwa kakek itu adalah sahabat baik ayahnya, dan sudah biasa dihormatnya, tentu akan dimaki atau bahkan dipukul. Akan tetapi kakek itu sudah terlalu tua, agaknya sudah pikun, maka dengan suara terpaksa dia menjawab, “Dia kutangisi karena dia mati!” “Hemm, kalau dia mati, mengapa ditangisi?” kakek itu mendesak. Kun Liong menjadi penasaran seperti orang yang ditanya, karena dalam tanya jawab itu anak ini menangkap sesuatu yang aneh, sesuatu yang membuka kesadaran dan membuatnya merasa betapa pertanyaan-pertanyaan kakek itu sama sekali bukan bodoh atau ngawur, melainkan pertanyaan yang penting dan perlu diselidiki jawabnya. “Aihhh, Paman. Kenapa Paman masih bertanya lagi? Tentu saja dia mati kutangisi, karena dia meninggalkan kami untuk selamanya, dia meninggalkan aku untuk selamanya dan kami takkan saling dapat berjumpa selamanya.” “Ha-ha-ha-ha! Nah, sekarang baru ternyata bahwa yang kautangisi bukanlah ayahmu, melainkan engkau sendiri, Akian! Engkau menangis dan berduka bukan karena ayahmu mati, bukan karena melihat ayahmu menghadapi kesulitan, melainkan menangisi dirimu sendiri yang ditinggal pergi!” Mendengar ini, Akian terbelalak, terkejut bukan main dihadapkan dengan kenyataan yang sukar dibantahnya ini. Hatinya merasa ngeri dan dia merasa berdosa besar terhadap ayahnya kalau benar bahwa dia menangis bukan menangisi ayahnya, melainkan menangisi dan mengasihani dirinya sendiri! Maka dia cepat membantah untuk membela diri, “Akan tetapi aku menangis tanpa mengingat diri sendiri, Paman. Aku merasa kasihan terhadap ayah yang meninggal dunia!” “Hemmm, benarkah itu? Tahukah engkau bagaimana keadaan ayahmu setelah mati? Apakah engkau yakin bahwa ayahmu menghadapi kesengsaraan setelah meninggal dunia sehingga engkau merasa kasihan dan menangis penuh duka melihat kesengsaraannya? Ataukah engkau menangis karena engkau kehilangan ayahmu, tidak dapat melihatnya lagi, tidak akan dapat bicara dengannya lagi, tidak ada lagi yang dapat kausandari sebagai seorang ayah? Ha-ha-ha, aku tidak mau menangis melihat dia mati, Akian, padahal dia sahabatku yang paling baik. Engkau tahu sendiri, setiap hari dia jalan-jalan dengan aku, minum arak, main kartu, mengobrol dengan aku. Akan tetapi aku tidak mau menangisi kehilanganku, aku bahkan gembira karena sahabat baikku itu telah terbebas daripada hidup yang serba sulit ini, terhindar dari kesengsaraan hidup.” “Benarkah itu, Paman Lo?” Tiba-tiba Akian membantah dan menyerang. “Bagaimana Paman bisa tahu bahwa ayah terbebas dari kesulitan hidup, terhindar dari kesengsaraan? Apakah Paman melihat sendiri dan sudah yakin akan hal itu maka Paman tertawa-tawa gembira? Ataukah semua itu pun hanya merupakan harapan dan hiburan bagi hati Paman sendiri belaka?” MULUT kakek yang tadinya tersenyum lebar itu tiba-tiba kehilangan serinya, matanya terbuka lebar dan dia melongo, memandang jauh seperti orang melamun, ragu-ragu dan tanpa disadarinya, jari tangannya mencabut-cabut jenggot dan akhirnya dia menarik napas panjang berulang-ulang. “Aihhh... aku tidak ingat akan hal itu... hemmm... sekarang aku pun bingung dan ragu apakah aku tertawa demi ayahmu, ataukah hanya demi diriku sendiri...” Dua orang itu duduk melamun di depan kuburan baru itu, tidak tahu betapa seorang anak laki-laki kecil melangkah perlahan mendekati mereka. Kun Liong yang mendengar percakapan itu, merasa tertarik sekali dan dia merasa betapa benarnya mereka berdua itu, membuka mata masing-masing akan kepalsuan dan kekeliruan mereka sehingga dia sendiri pun dapat melihat betapa picik, penuh rasa iba diri, pura-pura dan palsu adanya sikap orang-orang yang kematian. Akan tetapi dia sendiri pun tidak tahu apa yang menyebabkan orang-orang itu bersikap seperti itu. “Aku hanya merasa kasihan dan menyesal kalau teringat betapa Ayah mati karena gigitan ular berbisa...” Terdengar suara Akian memecah kesunyian. “Tak perlu disesalkan, sudah terlalu banyak penduduk dusun kita itu mati oleh gigitan ular beracun yang memenuhi hutan di selatan itu. Memang menggemaskan ular-ular itu...” “Mengapa tidak dilawan saja ular-ular itu?” Mereka kaget dan menengok, lebih heran lagi ketika melihat bahwa yang menganjurkan melawan ular-ular itu hanyalah seorang anak laki-laki yang masih kecil, yang tubuhnya bengkak-bengkak dan matang biru, pakaiannya koyak-koyak dan kelihatannya lemas dan pucat. “Aihh, siapa engkau?” Akian bertanya, agak seram melihat munculnya seorang anak laki-laki yang tidak terkenal di tanah kuburan, di waktu senja larut dan cuaca mulai agak gelap itu. “Siapa aku tidak penting, Paman. Akan tetapi mengapa sampai ada ular membunuh orang? Mengapa tidak ditangkap ular-ular berbisa itu?” Kakek itu bangkit berdiri. “Bocah, kau bicara sembarangan saja! Siapa berani menangkap ular berbisa?” “Hemm, aku sudah biasa menangkap ular sejak kecil!” Kun Liong berkata, “Dan sudah biasa pula makan daging ular berbisa.” “Aku tidak percaya!” Akian juga bangkit berdiri. Tiba-tiba hidung Kun Liong mencium sesuatu dan cuping hidungnya berkembang-kempis. “Harap kalian mundur, ada ular berbisa di sini, akan kutangkap agar kalian dapat melihat bahwa manusia tidak kalah oleh ular yang manapun juga!” Biarpun ular itu belum tampak, kakek dan laki-laki itu meloncat ke belakang Kun Liong dengan ketakutan. Kun Liong melangkah maju, menghampiri sebelah bawah sebuah kuburan tua yang berada dekat dengan kuburan baru itu. Dia mendekatkan hidungnya pada sebuah lubang dan temyata benar dugaannya. Bau ular itu keluar dari lubang ini. Kun Liong segera menggunakan tangan kanannya menepuk-nepuk sebelah atas lubang dengan telapak tangan, mulutnya mengeluarkan bunyi mencicit seperti bunyi anak tikus. Dua orang itu berdiri dengan mata terbuka lebar, dan mata mereka menjadi lebih lebar lagi ketika tiba-tiba dari dalam lubang itu keluar kepala seekor ular hitam yang lidahnya merah! Makin lama makin panjang tubuh ular itu tersembul keluar dan secepat kilat, tangan kiri Kun Liong menyambar dan ular itu sudah ditangkap pada lehernya, kemudian dibuat tidak berdaya dan lumpuh seperti biasa. “Wah, engkau benar-benar dapat menangkap ular!” Akian berseru girang seperti bersorak. “Eh, anak kecil, bagaimana engkau berani melakukan ini? Ular-ular di sini... eh, maksudku di hutan sebelah selatan, adalah ular-ular peliharaan...” kata Si Kakek. “Apa...?” Kun Liong bertanya tidak percaya. “Siapa yang memelihara ular?” “Ssstt, Paman, harap jangan main-main...” Akian berkata, memandang ke kanan kiri dan kelihatan takut-takut. “Tidak ada yang tahu betul siapa yang memelihara, anak aneh, akan tetapi ular raksasa yang berada di tengah hutan tentu akan membunuhmu karena kau telah berani menangkap ular ini.” “Ular raksasa? Di mana binatang itu?” “Di tengah hutan sebelah selatan dusun kami,” kata Si kakek, tanpa mempedulikan Akian yang beberapa kali menaruh telunjuk di depan bibir yang mendesis-desis sebagai isyarat menyuruh kakek itu diam. “Kalau benar ada ular raksasa yang suka mengganggu penduduk, biarlah besok pagi aku akan menangkapnya!” Kun Liong berkata dengan nada suara gagah. Kakek itu saling pandang dengan Akian, kemudian dia mengejap-ngejapkan matanya. Kepada Kun Liong dia berkata, “Benarkah itu, anak yang ajaib? Dan engkau juga bisa mengobati orang yang kena digigit ular berbisa?” “Aku dapat, Kek. Apakah masih ada korban ular berbisa?” “Ada dua orang, di dusun kami!” Akian kini berkata tergesa-gesa dan penuh harapan. “Antarkan aku kepada mereka, akan kuobati. Cepat jangan sampai terlambat!” kata Kun Liong. Kakek Lo dan Akian mengajak Kun Liong berlari-lari menuju ke dusun dan mereka disambut oleh penduduk dusun yang terheran-heran memandang Kun Liong yang masih memegang seekor ular hitam, apalagi ketika mereka mendengar penuturan Si Kakek Tua bahwa anak ajaib itu akan mengobati dua orang yang terkena gigitan ular berbisa. Kun Liong diantar kepada ayah dan anak yang siang tadi digigit ular berbisa di waktu mereka mencari kayu kering di pinggir hutan. Keduanya digigit ular pada betis kaki mereka yang kini menjadi bengkak biru. Anak yang usianya sebaya dengan Kun Liong itu pingsan, sedangkan si ayah rebah gelisah, mengigau dengan tubuh panas seperti anaknya. Ibu anak itu menangis, akan tetapi tangisnya dipaksa berhenti ketika mendengar bahwa anak yang tampan dan berpakaian koyak-koyak itu datang untuk mengobati suami dan anaknya. Berbondong-bondong orang-orang mengikuti Kun Liong memasuki rumah petani itu. Setibanya di depan pintu kamar, Kun Liong berhenti, membalikkan tubuh dan berkata, “Harap para paman dan bibi suka menanti di luar saja. Tidak baik kalau kamar yang menderita sakit dipenuhi orang.” Kakek Lo segera melangkah maju mendekati Kun Liong dan berkata dengan suara lantang, “Tabib kecil ini berkata benar! Hayo kalian keluar semua! Apa dikira ini tontonan? Susah payah aku yang menemukan anak ajaib ini berhasil membawanya ke sini untuk menyelamatkan dusun kita. Hayo pergi kataku, pergi keluar!” Dengan lagak bangga kakek itu mendesak mereka keluar dan hanya membolehkan nyonya rumah, dia sendiri, dan Akian yang dianggap sekutunya dalam menemukan Kun Liong, mengantar anak itu memasuki kamar dua orang karban gigitan ular berbisa itu. Dengan sikap sungguh-sungguh Kun Liong memeriksa luka di kaki ayah dan anak itu. Dia memang sudah memperoleh pelajaran tentang racun ular agak matang dari ibunya yang menganggap betapa pentingnya pengetahuan ini, maka sekali pandang saja maklumlah Kun Liong bahwa kedua orang itu digigit ular belang. Cepat dia menuliskan nama-nama obat yang harus dibelinya dari kota, kemudian dia minta sebuah pisau yang runcing tajam, merobek kulit bagian kaki yang mengembung dan mengeluarkan darah hitam dengan jalan memijat dan mengurut. Kakek Lo segera menyuruh seorang penduduk lari ke kota membeli obat. Setelah orang itu kembali membawa obat, menurutkan petunjuk Kun Liong obat itu sebagian dimasak dan diminumkan yang sakit, sebagian yang berupa bubuk merah dicampur air panas dan ditaruh di atas luka lalu luka itu dibalut. Dapat dibayangkan betapa lega dan girang hati nyonya rumah ketika melihat suami dan puteranya itu dapat tidur pulas dan tubuh mereka tidak panas lagi. Dia serta merta menjatuhkan diri berlutut di depan Kun Liong yang cepat-cepat membangunkan kembali. Kakek Lo dengan bangga dan girang berkata, “Aihhh, Siauw-sinshe, kepandaianmu seperti dewa! Harap saja engkau benar-benar akan dapat membersihkan ular-ular itu dari hutan di selatan agar keselamatan kami di dusun ini dapat terjamin,” Kun Liong mengangguk. “Jangan khawatir, Kakek yang baik. Besok akan kucoba menangkap ular raksasa yang kauceritakan tadi. Sekarang aku perlu sebuah tempat tidur dan... hemm, perutku lapar bukan main. Sejak kemarin malam aku belum makan...” “Aihhh! Kenapa tidak dari tadi bilang? Marilah ke rumahku, kami sediakan kamar untukmu dan tentang makan, jangan khawatir. Marilah!” Dia menggandeng tangan Kun Liong, menariknva diajak ke luar menuju ke rumahnya. Ketika tiba di luar pintu, dia berkata kepada orang-orang yang menanti di luar. “Mereka sudah sembuh, disembuhkan oleh anak ajaib ini! Dan ketahuilah, besok pagi anak dewa yang kutemukan ini, yang malam ini makan dan tidur di rumahku, akan menangkap ular raksasa dan membasmi semua ular berbisa di hutan selatan!” Tanpa menanti jawaban kakek itu menarik tangan Kun Liong pergi dari situ, tidak peduli akan seruan-seruan heran dan takjub dari orang-orang yang menimbulkan kebanggaan di dalam hatinya. Betapa dia tidak akan bangga? Dia yang menemukan anak ajaib ini! Akian memperoleh kesempatan untuk mendongeng tentang “anak ajaib” yang ia dapatkan bersama Kakek Lo. Kalau saja Kun Liong mendengar bagaimana Akian bercerita tentang dia, tentang munculnya yang dikatakan melayang turun dari angkasa, betapa dia menangkap ular dengan mantera, dan beberapa macam keanehan lagi, tentu Kun Liong sendiri akan terheran-heran, lebih heran daripada orang-orang dusun itu sendiri! Kakek Lo tidak kekurangan hidangan untuk menjamu Kun Liong karena begitu mereka memasuki rumah kakek itu, berbondong-bondong para penduduk mengantar hidangan seadanya yang masih mereka punyai sehingga tak lama kemudian Kun Liong duduk menghadapi meja penuh dengan hidangan, dilayani sendiri oleh Kakek Lo dan keluarganya yang terdiri dari anak laki-laki, mantu dan tiga orang cucu. Setelah makan kenyang, malam itu Kun Liong tidur dengan nyenyak sekali dan pada keesokan harinya, Kakek Lo menyambutnya dengan pakaian baru yang ukurannya tepat sekali bentuknya. “Pakaianmu sudah koyak-koyak semua, pakailah pakaian ini, pakaian cucuku yang masih baru, belum pernah dipakainya sama sekali.” Kun Liong tidak menolak dan setelah mandi, dia mengenakan pakaian baru itu, dan rambutnya disisir rapi lalu digelung dan diikat dengan sehelai saputangan sutera. Juga pemberian sepatu baru dipakainya. “Hebat! Engkau tentu seorang kongcu, seorang putera bangsawan!” Kakek Lo berseru dan memandang kagum kepada anak yang berdiri di depannya, segar dan tampan sekali. “Bukan, Kek. Aku bukan anak bangsawan, Ayah bundaku hanyalah ahli-ahli obat biasa saja.” “Siapakah namamu, Siauw-sinshe?” “Aku she Yap, namaku Kun Liong.” “Yap-kongcu (Tuan Muda Yap)…!” “Wah, aku bukan seorang kongcu, aku anak biasa. Panggil saja namaku, Kek.” “Ah, tidak, siapa percaya? Yap-kongcu, silakan keluar, di depan rumah sudah menanti para penduduk, bahkan kepala dusun ini sendiri datang untuk bertemu denganmu.” Kun Liong kaget dan merasa betapa penduduk telah menghormatinya secara berlebihan. Ketika dia keluar, benar saja dia melihat penduduk sudah berkumpul di depan rumah itu, dipimpin oleh kepala dusun yang menjura dengan sikap hormat kepada Kun Liong sambil berkata, “Kami mewakili penduduk dusun Coa-tong-cung berterima kasih sekali kepada Siauw-kongcu yang telah menolong kami menyembuhkan penduduk yang terluka dan akan menangkap ular raksasa yang banyak mengganggu kami.” “Harap Cuwi tidak bersikap sungkan,” kata Kun Liong malu-malu. “Aku hanya melakukan apa yang dapat kulakukan, dan memang sudah biasa aku menangkap ular. Hanya saja, terus terang kukatakan bahwa selamanya aku belum pernah menangkap ular yang besar. Akan kucoba menundukkannya dan kuharap agar disediakan seekor ayam betina yang gemuk dengan tali panjang mengikat kakinya untuk umpan.” Kepala dusun cepat memerintahkan orangnya untuk menyediakan permintaan Kun Liong, kemudian beramai-ramai mereka mengantarkan anak itu ke dalam hutan di selatan Dusun Coa-tong-cung (Dusun Guha Ular). Akan tetapi tak seorang pun berani memasuki hutan, hanya berdiri di luar hutan yang kelihatan gelap itu dengan wajah membayangkan kengerian. “Mengapa Cuwi (Kalian) berhenti? Siapa yang akan menunjukkan kepadaku tempat ular raksasa itu?” Semua orang menunduk, akan tetapi Kakek Lo segera melangkah maju dan berkata dengan suara dipaksakan dan dada dibusungkan, “Aku akan menemanimu, Yap-kongcu!” “Aku juga!” Akian melangkah maju pula. “Hemm, sebaiknya ada yang mengawal kalau-kalau Siauw-kongcu ini memerlukan bentuan,” kata kepala dusun yang menggunakan wibawanya memilih sepuluh orang pemuda-pemuda yang bertubuh kuat, membawa senjata dan dia sendiri memimpin sepuluh orang itu mengikuti Kun Liong, Kakek Lo, dan Akian memasuki hutan. Setelah tiba di tengah hutan, di bagian yang berbatu-batu, Akian menuding ke depan dan semua pengikut itu tiba-tiba berhenti, wajah mereka berubah. pucat dan tak seorang pun berani maju lagi. Kun Liong memandang ke depan. Hidungnya sudah mencium bau keras, bau wengur yang menandakan bahwa di dekat situ terdapat seekor ular besar. “Harap Cuwi menanti saja di sini,” katanya dan dia membawa ayam betina yang telah diikat kakinya itu, perlahan-lahan menghampiri sebuah guha di antara batu-batu gunung. Setelah dia menyelinap di antara batu-batu dan tiba di mulut guha, tampaklah olehnya seekor ular yang amat besar dan panjang. Mula-mula ketika dia tiba di situ, ular itu sedang melingkar, akan tetapi agaknya ular itu melihat kedatangannya. Ular itu mendesis dan tubuhnya yang melingkar mulai bergerak-gerak, lingkarannya terlepas dan tampaklah tubuh yang panjang sekali, tidak kurang dari empat meter panjangnya, dan besar perutnya melebihi paha Kun Liong! Setelah berada di depan ular yang mendesis-desis dan lidah merahnya keluar masuk mulut dengan cepat sekali itu, Kun Liong berhenti. Terlalu berbahaya kalau mendekat lagi. Dia mengukur jarak antara dia dan ular, dan mengingat apa yang telah dipelajarinya dari ibunya. Ibunya pernah menundukkan seekor ular besar, sungguhpun tidak sebesar ular di depannya ini. Menurut pelajaran yang diberikan ibunya, seekor ular besar berbeda bahayanya dengan ular kecil yang beracun. Ular kecil gigitannya mematikan karena mengandung bisa. Akan tetapi seekor ular besar yang tidak berbisa seperti ini, bahayanya terletak pada mulut yang dapat menjadi lebar sekali, yang gigitannya tak mungkin dapat dilepaskan oleh Si Korban, dan juga terletak pada belitan tubuhnya yang amat kuat. Untuk membuat mulut lebar itu tidak berdaya, harus dipergunakan umpan, karena sekali ular itu menggigit korbannya, gigi-giginya yang melengkong ke dalam itu akan merupakan kaitan yang sukar melepaskan si korban dan dalam keadaan menggigit korbannya, ular itu tidak dapat menyerang lawan dengan mulutnya. Mudah untuk membuat mulut itu tidak berdaya, pikir Kun Liong yang berbahaya adalah belitan tubuh itu. Harus cepat dapat menotok tengkuk di belakang kepala sehingga tubuh itu menjadi setengah lumpuh. Ular itu kini mengeluarkan desis keras ketika Kun Liong melepaskan ayamnya. Ayam betina gemuk itu mengenal bahaya. Dia meronta-ronta dan mengerakkan sayap hendak lari dan terbang, akan tetapi tali yang mengikat kaki itu menahannya. Dengan mata yang memandang tanpa berkedip, Kun Liong menggerakkan talinya sehingga tubuh ayam itu terlempar ke depan, ke dekat ular. Menakjubkan melihat ular sebesar itu, membayangkan kelambanan, dapat menggerakkan kepala dengan kecepatan luar biasa dan tahu-tahu ayam itu memekik-mekik dan meronta-ronta, namun tak mungkin dapat melepaskan diri dari gigi-gigi runcing yang telah menancap di tubuhnya dan mengait daging dan tulang. Kun Liong menanti sebentar, melihat ayam yang meronta-ronta dan memekik-mekik itu mulai lemas, dan beberapa kali moncong ular itu bergerak ke depan secara tiba-tiba memaksa tubuh korbannya masuk makin dalam, kemudian dengan gerakan ringan Kun Liong sudah meloncat ke dekat kepala ular, menubruk dan merangkul leher ular yang menegakkan kepalanya, menggunakan jari tangannya, mengerahkan semua tenaga untuk memijat dan memukul tengkuk ular. Bau yang amis dan wengur membuatnya muak, dan melihat moncong ular yang besar itu dia merasa ngeri juga. Kalau moncong ular itu tidak penuh ayam yang mulai ditelan berikut bulu-bulunya, tentu dia yang menjadi korban dan kiranya ular itu tidak akan menghadapi kesukaran untuk menelan tubuhnya bulat-bulat. Ular itu marah sekali, akan tetapi karena dia tidak dapat menyerang dengan mulutnya yang penuh ayam, dia hanya menggunakan tubuhnya untuk membelit. Pukulan pada tengkuknya mendatangkan rasa nyeri dan ketika Kun Liong akhirnya berhasil menotok urat kelemahan binatang itu di tengkuk, tubuh ular itu telah berhasil pula membelit tubuh Kun Liong, menggunakan tenaga dari ekornya! Kun Liong menggunakan lengannya melindungi leher karena dia maklum bahwa kalau sampai lehernya terbelit dan tercekik, dia tidak akan dapat melepaskan diri lagi dan tentu akan mati. Dia berhasil melindungi leher, akan tetapi pinggang, kedua kaki, dada, dan lengannya terhimpit dan terbelit, membuat dia sukar bernapas dan tidak dapat bergerak! Ketika melihat betapa kepala dusun dan anak buahnya yang menyaksikan keadaannya itu datang mendekat dengan senjata di tangan, siap membantunya, Kun Liong menggeleng kepala dan berkata, “Jangan...!” Dia merasa khawatir sekali karena kalau orang-orang itu menyerbu dan melukai ular besar ini, tentu ular itu makin marah dan memperkuat libatannya dan hal ini berarti ancaman maut baginya. Untung bahwa kepala dusun itu seorang yang cukup cerdik untuk dapat mengerti bahwa kalau keadaan anak itu terancam bahaya, tidak mungkin anak itu menolak untuk dibantu. Maka dia memberi isyarat kepada anak buahnya untuk diam, dan mereka itu kini hanya memandang dengan mata terbelalak penuh kekhawatiran melihat Kun Liong bergulat dalam usahanya membebaskan diri dari belitan tubuh ular yang licin dan amat kuat itu. Biarpun tubuh bagian leher setengah lumpuh, namun tenaga dari ekomya masih amat kuat dan agaknya ular itu hendak membuat tubuh Kun Liong remuk dengan himpitannya. Kun Liong maklum bahwa keadaannya berbahaya. Biarpun dia telah berhasil memukul tengkuk ular itu sehingga untuk sementara ular itu tidak dapat menelan tubuh ayam dan mulutnya tidak akan menggigitnya akan tetapi tenaga pukulannya tidak cukup kuat sehingga ular itu hanya akan lumpuh, untuk beberapa saat lamanya saja. Kalau ular itu dapat memulihkan kembali tenaganya, menelan tubuh ayam tadi dan mulutnya sudah kosong, tentu dia tidak akan tertolong lagi. Sekali gigit dia akan mati dan tubuhnya akan ditelan perlahan-lahan ke dalam perut yang besar itu. Kembali Ilmu Sia-kut-hoat yang pernah dipelajarinya dari ayahnya, dia pergunakan untuk menolong dirinya. Dengan menggunakan ilmu ini, biarpun perlahan-lahan karena belitan ular itu benar-benar amat kuat, akhirnya Kun Liong dapat membebaskan kedua lengannya. Ekor ular itu ikut membelit ke pinggangnya, maka mudah baginya untuk menangkap ekor ular itu dan dengan sekuat tenaga dia menarik dan membetot bagian ekor ular itu sampai terdengar bunyi suara tulang berkerotok, tanda bahwa sambungan tulang di ekor itu terlepas! Karena kedua ujung tubuhnya yang menjadi serupa pegangan dan pusat tenaganya telah menjadi lumpuh, ular itu kebingungan. Tubuhnya bergerak-gerak lemah dan otomatis libatannya menjadi kendur sehingga dengan mudah Kun Liong melepaskan diri dan meloncat keluar dari lilitan tubuh ular yang melingkar-lingkar. “Dia sudah dapat kujinakkan!” katanya kepada orang-orang yang menonton dengan heran dan kagum. Akan tetapi karena tubuh ular besar itu masih bergerak-gerak, orang-orang itu masih merasa takut dan tidak berani datang mendekati. “Dia tidak akan dapat menggigit atau melilit lagi. Kita ikat leher dan ekornya, bawa pulang ke dusun. Dagingnya enak sekali! Juga kulitnya amat berharga” kata Kun Liong. Kakek yang menjadi orang pertama melompat ke depan mendekati ular. Dan mengulur tangan menepuk-nepuk kepala ular itu dan ketika melihat betapa ular itu sama sekali tidak menyerangnya, dia tertawa terkekeh-kekeh dan semua orang menjadi berani. Beramai-ramai mereka mengikat ular itu dengan tali yang memang mereka bawa dari dusun. Kun Liong lalu menangkap-nangkapi ular-ular beracun kecil sampai belasan ekor lebih. Kini sambil memanggul ular yang sudah diikat dan membawa ular-ular berbisa kecil yang sudah lumpuh, penduduk dusun yang dipimpin kepala kampung itu tertawa-tawa gembira dan penuh kebanggaan, berjalan beriring hendak keluar dari dalam hutan. “Mudah saja untuk mengusir ular-ular dari hutan ini” Kun Liong sibuk memberi penjelasan kepada kepala dusun. “Cuwi dapat mempergunakan bubukan garam untuk mengusir ular. Ular-ular itu paling takut karena garam dapat mencelakakan mereka, menjadi racun yang merusak kulit mereka. Pertama-tama Cuwi sebarkan garam di bagian hutan yang dekat dusun, atau dapat juga dipergunakan api untuk membakar semak-semak. Pasti binatang-binatang itu akan lari ketakutan dan tidak akan berani datang kembali, mereka akan mencari tempat persembunyian lain yang lebih aman.” Tiba-tiba rombongan itu berhenti berjalan ketika terdengar suara yang mirip suara suling, akan tetapi aneh sekali, tidak seperti suling biasa. Jelas bahwa suara itu keluar dari sebuah alat tiup macam suling, hanya suaranya melengking terus tanpa pernah berhenti sedikit pun, nadanya naik turun, kalau naik menjadi tinggi sekali sampai hampir tidak terdengar lagi dan seperti menusuk-nusuk telinga, kalau turun menjadi amat rendah seperti gerengan seekor harimau yang menggetarkan jantung. “Suara apa itu...?” Kun Liong bertanya, akan tetapi dia tidak memerlukan jawaban lagi ketika menoleh dan melihat betapa orang-orang itu saling pandang dengan mata terbelalak dan wajah pucat, kemudian mereka menahan seruan kaget ketika mendengar suara mendesis-desis dari sekeliling mereka, disusul munculnya puluhan, bahkan ratusan ekor ular besar kecil yang mengurung mereka! Tadinya ular-ular itu bergerak dan mendesis-desis akan tetapi tiba-tiba suara melengking itu berubah pendek-pendek seperti memberi aba-aba dan... ular-ular itu lalu berhenti, tidak bergerak seperti mati! “Apa... apa ini...?” Kun Liong kembali bertanya, memandang ke sekeliling dan bergidik melihat betapa ular-ular itu memang telah mengurung mereka, agaknya datang dari empat penjuru hutan itu dan seolah-olah binatang-binatang itu terlatih sehinggia dapat melakukan pengurungan yang rapat dan rapi! Tentu suara suling aneh itu yang mengatur “barisan” ular ini. Diam-diam dia kagum bukan main. Suara melengking menghilang dan dapat dibayangkan betapa kaget hati penduduk dusun itu ketika tiba-tiba, entah dari mana dan bagaimana datangnya, tahu-tahu di depan mereka telah berdiri seorang laki-laki yang luar biasa, seorang kakek berusia lima puluh tahun, pakaiannya lorek-lorek seperti kulit ular, tubuhnya kurus tinggi dan lehernya amat panjang, kepalanya lonjong. Benar-benar seorang manusia yang bentuk tubuhnya “mendekati” bentuk ular! Tangan orang ini memegang sebuah benda yang bentuknya seperti suling akan tetapi ujung bagian depan besar dan terbuka seperti corong, agaknya sebuah alat tiup terompet yang aneh. Di punggungnya tampak gagang sebatang pedang. “Hahhhh! Siapa kalian ini berani mati sekali mengganggu anak buahku, mengganggu binatang peliharaanku! Lepaskan mereka!” Tiba-tiba dia menggetarkan tangah kanannya ke depan. Ujung lengan bajunya menyambar ke depan dan... semua ular yang dipegang rombongan itu terlepas karena tiba-tiba mereka, termasuk Kun Liong merasa ada angin menyambar dan membuat lengan mereka seperti kehilangan tenaga dan lumpuh untuk beberapa detik lamanya! Kepala dusun dan anak buahnya sudah berdiri menggigil, bahkan ada yang saking takutnya sudah menjatuhkan diri berlutut. Kun Liong teringat akan cerita Kakek Lo dan Akian yang pada saat itu sudah berlutut pula, yaitu cerita tentang ular-ular hutan itu yang katanya ada yang memelihara. Kiranya cerita itu bukan cerita bohong belaka karena kini benar-benar ada seorang manusia aneh yang mengaku ular-ular itu sebagai anak buah dan peliharaannya! Dia teringat pula akan penuturan ibunya bahwa di dunia kang-ouw banyak terdapat manusia-manusia aneh yang memiliki kepandaian tinggi dan memiliki kesaktian. Maka kini melihat orang aneh yang sekali menggerakkan tangan mampu membuat mereka semua terpaksa melepaskan ular-ular yang ditangkapnya tadi, Kun Liong dapat menduga bahwa tentu orang ini adalah seorang di antara manusia-manusia sakti di dunia kang-ouw. Cepat dia melangkah maju dan memberi hormat dengan merangkap kedua tangan di depan dada sambil berkata, “Locianpwe (Orang Tua Perkasa), harap Locianpwe tidak menyalahkan para penduduk dusun ini, mereka tidak berdosa karena akulah yang telah menangkap ular-ular ini.” Manusia aneh itu sejenak memandang ke arah ular-ular yang hanya dapat bergerak lambat, termasuk ular besar yang telah setengah lumpuh, kemudian menoleh kepada Kun Liong dan memandang dengan heran. “Ular-ularku ditotok dan dilumpuhkan! Engkau yang melakukan ini? Dari mana engkau memperoleh ilmu menangkap ular?” “Pemah kupelajari dari orang tuaku sendiri.” “Hemmm, kalian manusia-manusia jahat dan lancang, berani melumpuhkan dan menangkapi ular-ularku! Kalian tidak berhak hidup lagi karena kalian telah berani menghina Ban-tok Coa-ong!” Mendengar ini, kepala dusun menjatuhkan diri berlutut, diturut oleh semua anak buahnya. “Harap Locianpwe sudi mengampunkan kami...” “Hemmm, aku barangkali bisa mengampuni, akan tetapi ular-ularku ini pasti tidak!” kata kakek itu sambil terkekeh, sikapnya kejam sekali. Kun Liong menjadi marah. Dia melangkah maju lagi dan berkata, “Locianpwe yang telah memiliki nama julukan demikian menyeramkan tentu bukanlah seorang manusia biasa, melainkan tokoh besar di dunia kang-ouw. Apakah Locianpwe tidak malu dan tidak ditertawakan orang-orang gagah sedunia kalau Locianpwe membunuh orang-orang dusun yang tidak mampu melawan?” Kembali kakek itu tercengang memandang Kun Liong. Sikap dan ucapan bocah ini benar-benar membuat dia kaget, heran, dan kagum. “Kalian telah mengganggu ular-ularku, sudah pantas dihukum. Siapa yang akan mentertawakan aku?” “Locianpwe adalah seorang mariusia, aku tidak percaya bahwa Locianpwe lebih sayang.kepada ular daripada kepada manusia, membela ular dan memusuhi manusia!” Kun Liong membantah lagi penuh penasaran. “Ho-ho-ha-ha-ha! Aku disebut Coa-ong (Raja Ular), siapa lagi kalau bukan aku yang. membela ular-ular ini? Aku tidak sudi dimasukkan kelompok manusia! Ular-ular ini jauh lebih baik daripada manusia!” “Locianpwe agaknya lupa bahwa ular-ular berbisa telah membunuh banyak manusia, dan merupakan binatang ganas yang berbahaya bagi manusia!” Kun Liong membantah, suaranya sama sekali tidak membayangkan rasa takut, bahkan terdengar nyaring penuh penasaran. “Apa kau bilang?” Kakek itu. mencoba untuk melebarkan matanya, akan tetapi hasilnya, sepasang matanya itu bertambah sipit hampir terpejam sama sekali. Leherya yang panjang bergerak-gerak makin memanjang, dan kelihatannya lucu sekali. Lengannya yang panjang dan dapat bergerak seperti ular merayap itu menudingkan telunjuk tangan ke arah Kun Liong. “Jangan memutarbalikkan kenyataan, ya? Kau hanya mengingat manusia yang terbunuh oleh ular-ular, sama sekali tidak ingat akan ular-ular yang terbunuh oleh manusia! Mungkin perbandingannya tidak ada seratus lawan satu, seratus ekor ular telah dibunuh manusia dan baru seorang manusia yang terbunuh oleh ular! Itu pun terjadi karena si manusia mengganggu ular, kalau tidak, tak mungkin ada ular menyerang manusia, kecuali ular besar yang menyerang apa saja kalau sudah lapar karena membutuhkan penyambung hidup. Sedangkan manusia-manusia macam engkau ini, menangkap dan membunuh ular untuk apa? Tanpa makan ular kalian masih dapat hidup. Kau bilang ular-ular itu berbahaya bagi kehidupan manusia, bukankah itu terbalik dan sebetulnya, manusia-manusia macam kalian inilah yang amat berbahaya bagi kehidupan ular?” Kun Liong menjadi merah sekali mukanya. Di dalam hati anak yang masih belum rusak benar oleh kepalsuan-kepalsuan seperti manusia dewasa dia dapat menerima pendapat kakek aneh itu dan dalam kewajarannya, dia mau tidak mau harus membenarkan pendapat itu. Akan tetapi maklum bahwa nyawa kepala dusun dan anak buahnya terancam bahaya maut, dia membantah, “Biarpun pendapat Locianpwe tak dapat kusangkal kebenarannya, akan tetapi Locianpwe adalah seorang manusia, tidak mungkin hendak mengorbankan nyawa manusia untuk membela ular!” “Memang aku raja ular! Bergaul dengan ular jauh lebih menyenangkan daripada bergaul dengan manusia-manusia yang palsu!” Kakek itu segera mendekatkan ujung terompetnya ke bibir dan terdengarlah suara melengking yang dahsyat sekali, yang membuat Kun Liong dan semua penduduk dusun itu menggigil kedua kakinya dan tidak dapat melangkah dari tempat mereka berdiri seolah-olah kaki mereka menjadi lumpuh! Temyata bahwa suara terompet itu bukanlah suara biasa, melainkan suara yang mengandung getaran dahsyat sekali dari tenaga khikang dan diam-diam Kun Liong terkejut bukan main. Pemah dia mendengar dari ayah bundanya akan kesaktian ini. Hanya orang yang sudah memiliki sin-kang amat kuat saja dapat mengerahkan tenaga dalam suara sehingga melumpuhkan lawan! Pemah dia merasakan getaran khi-kang dari suara nyanyian tosu Pek-lia-kauw, yaitu Loan Khi Tosu, akan tetapi getaran yang terkandung dalam suara tosu itu tidaklah sedahsyat suara terompet ini sehingga dia bahkan dapat mengacau nyanyian tosu itu dengan nyanyiannya. Pernah ayahnya mendemonstrasikan suara melengkingnya yang mengandung khi-kang, akan tetapi agaknya kekuatan ayahnya juga tidak sehebat dan sedahsyat suara yang terkandung dalam tiupan suling aneh ini! Empat belas orang itu, Kun Liong, Kakek Lo, Akian, kepala dusun dan sepuluh orang anak buahya, hanya berdiri seperti arca dengan mata terbelalak lebar memandang ke arah ular-ular yang kini maju merayap menghampiri mereka! Dapat dibayangkan betapa ngeri dan takut rasa hati mereka, akan tetapi mereka tak dapat menggerakkan kaki untuk melarikan diri, bahkan bibir mereka yang bergerak-gerak tidak dapat mengeluarkan suara, hanya terdengar ah-ah-uh-uh dan ada di antara mereka yang mengeluarkan air mata saking takutnya. Hanya Kun Liong seorang yang berdiri tenang karena dia sama sekali lupa akan keadaan diri sendiri lupa akan bahaya yang mengancam nyawanya sendiri, dan yang menjadi perhatiannya hanyalah keadaan orang-orang yang terancam bahaya maut itu. Di dalam hatinya dia merasa menyesal bukan main. Semua ini terjadi gara-gara dia! Kalau dia tidak menangkap ular-ular itu agaknya kakek iblis Ban-tok Coa-ong tidak akan membunuh mereka!   Rasa penasaran dan penyesalan yang besar ini membuat dia sejenak lupa sama sekali akan suara melengking dari terompet sehingga dia terbebas dari pengaruh khi-kang dan berteriak keras, “Kakek iblis! Jangan bunuh mereka! Kalau mau bunuh, bunuhlah aku karena akulah yang menangkap ular-ularmu. Mereka tidak berdosa!” Kembali kakek itu tercengang. Dalam perantauannya di dalam dunia kang-ouw, sebagai seorang di antara lima datuk persilatan yang terkenal, sudah banyak dia bertemu dengan orang gagah, bukan hanya gagah karena tinggi ilmu kepandaiannya, akan tetapi gagah karena berjiwa satria, seorang yang tidak gentar menghadapi maut dan yang siap mengorbankan nyawa untuk orang lain. Akan tetapi, selama hidupnya belum pemah dia bertemu dengan seorang kanak-kanak yang usianya baru sepuluh tahun sudah memiliki jiwa satria seperti ini! Dia benar-benar tercengang, terheran, dan kagum bukan main. Aihhh, kalau saja puteranya bersikap seperti anak ini, pikirnya. Dia menarik napas panjang dan menjadi marah karena iri hati kepada ayah anak yang gagah perkasa itu. Melihat betapa ular-ular itu telah tiba dekat sekali di depan kaki para penduduk dusun, Kun Liong yang sudah terbebas dari suara terompet, melompat ke depan kakek itu sambil membentak, “Kakek iblis, tidak malukah engkau? Sungguh engkau pengecut hina!” “Plakkk!” Secara tiba-tiba sekali tangan kiri kakek itu bergerak dan tubuh Kun Liong terguling dalam keadaan lumpuh karena dia telah tertotok secara aneh sekali. Dan kakek itu masih terus meniup terompetnya yang membuat ular-ular itu seperti mabok dan marah. Mulailah ular-ular itu menyerang dan menggigit empat belas orang itu dan pada saat itu, Ban-tok Coa-ong menghentikan tiupan terompetnya sehingga orang-orang itu kini dapat bergerak dan dapat berteriak-teriak. Mereka berusaha melawan, akan tetapi mana mungkin melawan ular yang demikian banyaknya? Sedikitnya ada sepuluh ekor ular besar kecil menggigit tubuh setiap orang dan setiap gigitan saja sudah mengandung racun yang cukup untuk mencabut nyawa! Hanya Kun Liong seorang di antara empat belas orang itu yang tetap tidak bergerak biarpun tubuhnya juga digigit beberapa ekor ular. Tiga belas orang yang lain, selain menjerit-jerit dan makin lama suaranya menjadi rintih memilukan, juga mereka berkelojotan dan bergulingan ke sana-sini sampai akhirnya mereka diam tak bergerak, tubuh mereka bengkak-bengkak dan berwama biru kehitaman! Hal ini adalah karena di dalam tubuh Kun Liong sudah terdapat racun inti bisa ular. Ibunya yang amat sayang kepada puteranya ini telah memberi minum obat yang mengandung racun anti bisa ular itu kepadanya, semenjak kecil, sedikit demi sedikit sehingga kini Kun Liong telah menjadi kebal terhadap racun ular. Gigitan-gigitan itu memang membuat bagian tubuh yang tergigit menjadi bengkak dan merah, akan tetapi racun ular itu tidak dapat menjalar ke dalam tubuhnya, tertolak oleh darahnya yang mengandung racun penolak dan racun ular itu hanya terkumpul di tempat gigitan. Hal ini tidak diketahui oleh Ban-tok Coa-ong yang tertawa-tawa dan bergembira menyaksikan orang-orang yang disiksanya itu. Kalau saja tidak ada sedemikian banyaknya orang yang dikeroyok ular-ulamya, andaikata hanya Kun Liong seorang sebagai seorang ahli racun ular tentu saja Ban-tok Coa-ong akan dapat mengetahui keanehan ini. Sekarang tidak terdengar suara lagi. Tubuh empat belas orang itu diam, tidak bergerak lagi dan ular-ular itu sudah merayap pergi setelah para korbannya tidak bergerak lagi. Mereka itu bukanlah ular-ular pemakan bangkai dan mereka hanya menyerang untuk membunuh, didorong dan dirangsang oleh suara terompet. “Ayahhh... jangan bunuh dulu mereka...!” Tiba-tiba terdengar suara teriakan dan gema suara teriakan itu belum lenyap ketika tahu-tahu di situ telah berdiri seorang anak laki-laki berambut panjang sampai ke punggung dan dibiarkan terurai begitu saja. Anak ini paling banyak tiga belas tahun usianya, wajahnya tampan akan tetapi gerak matanya mengerikan, seperti gerak bola mata seorang yang tidak waras otaknya! “Bouw-ji (Anak Bouw), mau apa kau?” kakek itu bertanya, suaranya penuh dengan kasih sayang. Akan tetapi anak laki-laki ini tidak menjawab hanya tertawa ha-ha-hi-hi, berjalan melihat-lihat tubuh empat belas orang yang menggeletak tak bergerak dengan muka biru menghitam itu. Hanya muka Kun Liong seorang yang tidak menjadi biru menghitam, cuma bengkak dan merah sedikit di pipi kanan bekas gigitan ular. Akan tetapi seperti juga tiga belas orang yang lain, dia roboh pingsan setelah tujuh kali digigit ular berbisa. Kalau di dalam tubuh tiga belas orang itu, bisa ular mengamuk dan mulai menjalar ke arah jantung, di dalam tubuh Kun Liong terjadi hal lain lagi. Bisa ular bertemu dengan racun di dalam tubuhnya yang menolak sehingga terjadi pertempuran, namun bisa ular kalah kuat dan hanya berhenti di tempat gigitan. “He-he-hi-hi, Ayah. Jarum-jarumku dengan racun baru belum pemah dicoba kehebatannya. Mereka ini hendak kujadikan kelinci percobaan, Ayah!” Anak berambut panjang itu sudah mengeluarkan sekepal jarum-jarum kecil yang berwama merah. “Bodoh! Mereka sudah hampir mati, tidak ada gunanya. Untuk percobaan, harus memilih korban yang masih sehat,” Ayahnya mencela. “Hi-hi-hi, mereka belum mati dan dalam keadaan keracunan bisa ular mereka merupakan kelinci-kelinci percobaan yang amat menarik. Racun di jarumku ini lebih hebat daripada racun ular, dan sekarang dapat dibuktikan, Ayah!” Tanpa menanti jawaban lagi, anak itu menggerak-gerakkan tangan kanannya dan tampaklah sinar-sinar kecil menyambar ke arah tengkuk empat belas orang yang roboh pingsan itu. Agaknya ia sengaja melempar dengan tenaga kecil terukur sehingga jarum-larum itu hanya menancap setengahnya di tengkuk empat belas arang itu. Kemudian sambil tertawa-tawa anak itu meloncat ke dekat ayahnya dan mereka berpelukan sambil memandang ke arah korban mereka, menanti apa yang akan terjadi.   Kun Liong siuman ketika merasa nyeri. Akan tetapi dia segera teringat akan keadaannya, maka dia diam saja tidak bergerak, apalagi karena tiba-tiba dari tengkuknya menjalar hawa panas ke arah kepalanya, kemudian seluruh tubuhnya terasa panas dan sakit-sakit semua, membuat dia tidak dapat bergerak dan hanya dapat memandang dengan mata setengah terpejam, mengintai dari balik bulu matanya, melihat betapa kakek mengerikan itu kini berpelukan sambil tertawa-tawa dengan seorang anak laki-laki kecil yang tampan akan tetapi menyeramkan, ketika ia mengerling ke arah tiga belas orang dusun, dia terkejut setengah mati dan bulu tengkuknya meremang, berdiri satu-satu saking ngerinya. Apa yang terjadi dengan tiga belas orang itu. Benar-benar amat mengherankan dan mengerikan. Seperti mayat-mayat hidup, tiga belas orang itu satu demi satu bangkit berdiri dengan gerakan kaku! Mereka itu benar-benar seperti mayat-mayat hidup dalam dongeng penakut kanak-kanak, muka mereka kehitaman, mata mereka melotot tak pemah berkedip, mulut mereka penuh busa, berlepotan di sekeliling bibir, napas mereka terengah-engah mengeluarkan suara “ngaak-ngiik” seperti napas orang menderita penyakit mengi. Kemudian, seperti ada sesuatu yang mendorong mereka dari belakang, tiga belas orang itu berlari kaku ke depan seperti orang berlumba, akan tetapi agaknya mereka lari secara ngawur, gerakan mereka kaku sekali dan arahnya tidak sama! “He-he-hi-hi-hi...! Racunku menang, Ayah! Mengalahkan racun ular! Mari kita mengikuti mereka dan melihat!” Anak berambut panjang itu bersorak dan meloncat, mengikuti “mayat-mayat hidup” yang lari berpencar tidak karuan itu. Ban-tok Coa-ong menggeleng-geleng kepala dan terpaksa mengikuti puteranya. Untung bagi Kun Liong karena ayah dan anak yang agaknya berotak miring itu tidak memperhatikannya sehingga tidak melihat keanehan bahwa di antara empat belas orang itu, hanya Kun Liong seoranglah yang tidak terpengaruh oleh racun merah. Melihat ayah dan anak itu pergi mengikuti para korban yang berubah mengerikan itu, Kun Liong menggunakan sisa tenaganya untuk merangkak pergi dari situ, memasuki semak-semak dan terus merangkak-rangkak karena dia tidak kuat bangkit. Jauh juga dia merangkak, dan akhimya dia roboh terguling, pingsan di dalam semak-semak yang gelap. Ban-tok Coa-ong adalah nama julukan yang diberikan oleh orang-orang kang-ouw kepada kakek itu. Namanya adalah Ouwyang Kok, seorang pendatang baru di dunia kang-ouw, akan tetapi biarpun baru kurang lebih sepuluh tahun dia terjun ke dunia kang-ouw, namanya telah dikenal sebagai seorang di antara para datuk persilatan yang ditakuti orang di waktu itu. Tidak ada orang lain yang mengetahui asal-usulnya, akan tetapi kurang lebih sepuluh tahun yang lalu, manusia aneh ahli ular ini turun dari pegunungan yang asing dan tak pemah dikunjungi orang, di perbatasan Nepal, masuk ke Tiongkok menggendong seorang anak laki-laki yang berusia tiga tahun, kemudian membuat nama besar di dunia kang-ouw karena kepandaiannya yang amat tinggi dan sepak terjangnya yang aneh. Namun, keganasannya terhadap mereka yang menantangnya, dan keahliannya bermain dengan ular, menghasilkan nama julukan Ban-tok Coa-ong (Raja Ular Selaksa Racun)! Anak yang dibawanya itu adalah putera tunggalnya, bemama Ouwyang Bouw yang semenjak kecil digemblengnya, namun karena cara hidup Ouwyang Kok tidak lumrah manusia dan penggemblengan terhadap anaknya pun terlalu hebat, maka anak itu memiliki watak yang aneh pula, seperti seorang yang agak miring otaknya! Ibu anak itu, isteri tercinta dari Ouwyang Kok, telah meninggal dunia di sebuah di antara puncak-puncak Pegunungan Nepal, tewas digigit ular beracun yang amat luar biasa sehingga tidak tertolong. Agaknya peristiwa inilah yang membuat Ouwyang Kok kini menjadi seorang “Raja Ular”! Kini anak dan ayahnya itu berlari-lari sambil tertawa-tawa menyaksikan ulah para korban yang lari seperti mayat hidup. Suara tertawa mereka makin menjadi ketika mereka melihat beberapa orang di antara para korban yang lari kaku itu terjerumus ke dalam jurang, dan ada pula yang menabrak pohon terus memeluk pohon itu dan mati kaku dalam keadaan memeluk batang pohon, kedua kakinya melingkari batang pohon, sepuluh jari tangan mencengkeram pohon dan mulutnya menggigit kulit pohon. Mengerikan! Ada pula dua orang di antara tiga belas orang dusun yang belum roboh ke dalam jurang dan belum menabrak pohon, setelah beberapa orang lagi raboh karena kakinya tersangkut akar kayu, roboh terus mencengkeram rumput-rumput dan mati dalam keadaan seperti itu. Dua orang ini adalah Akian dan kepala dusun. Agaknya mereka berdua memiliki tubuh yang lebih kuat maka dapat berlari kaku dan belum roboh. Kebetulan sekali mereka lari sejurusan, yaitu ke jurusan dusun mereka! Mungkin juga masih ada sedikit sisa ingatan mereka untuk lari pulang ke dusun mereka.   Ketika mereka tiba di luar dusun, beberapa orang penduduk dusun yang merasa khawatir dan siap menyusul ke hutan, dapat berlari menyambut dua orang itu. Setelah dekat mereka itu berdiri bengong dan penuh rasa heran dan ngeri melihat betapa kepala dusun dan Akian berlari kaku seperti itu, muka mereka biru kehitaman mata terbelalak tanpa berkedip dan kemerahan, mulut menyeringai penuh busa putih! Keadaan menjadi geger dan terdengar jerit-jerit mengerikan ketika dua orang mayat hidup ini menubruk dan memeluk dua orang yang terdekat. Karena kaget dan heran, dua orang itu tidak sempat mengelak ketika mereka dipeluk oleh dua orang mayat hidup itu. Mereka hendak meronta, akan tetapi seluruh tubuh merasa panas, dan ketika jari-jari tangan mencengkeram mereka, ketika gigi yang kini mengandung racun itu menggigit leher, mereka berdua menjerit-jerit, jerit yang makin melemah dan akhimya meroka berdua roboh terguling bersama mayat hidup yang menyerang mereka, tewas dalam keadaan masih dalam berpelukan. “Ha-ha-ha-ho-ho, lucu sekali...!” “Hi-hi-hi, hebat bukan jarum-jarumku, Ayah?” Para penduduk dusun terbelalak memandang ayah dan anak yang tahu-tahu telah berada di situ sambil tertawa-tawa. Melihat keadaan mereka, dan melihat peristiwa mengerikan yang menimpa diri kepala dusun, Akian, dan dua orang teman mereka yang menjadi korban, mereka menjadi ketakutan dan serta merta mereka melarikan diri masuk ke dalam dusun, menyeret keluarga mereka yang berada di luar rumah, memasuki rumah masing-masing, menutup pintu dan saling berpelukan dengan anak isteri dalam keadaan ketakutan sekali, kedua kaki mereka menggigil dan mata mereka terbelalak lebar seperti mata kelinci-kelinci yang mencium bau harimau, mata mereka memandang ke arah pintu dan muka mereka pucat sekali. Akan tetapi, agaknya Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok dan puteranya sudah merasa puas, mereka bergandengan tangan dan pergi meninggalkan dusun itu. Tadinya mereka hanya berjalan dengan langkah perlahan, akan tetapi lambat laun gerakan mereka makin cepat dan akhimya mereka itu bergerak seperti terbang saja! Setelah lama menanti dan mengintai sampai berjam-jam dan merasa yakin bahwa siluman-siluman itu sudah tidak berada di luar dusun, barulah penduduk berani keluar dan berindap-indap berbondong-bondong karena mereka membutuhkan semua teman untuk memberanikan diri, mereka keluar dari dusun, Biarpun hati mereka merasa ngeri sekali, terpaksa mereka mengurus jenazah Akian dan kepala dusun bersama dua orang penduduk yang menjadi korban mereka, bahkan mereka memberanikan diri untuk mencari ke dalam hutan. Hanya tujuh orang mereka temukan, dalam keadaan mengerikan. Ada yang mati dalam keadaan masih memeluk batang pohon, ada yang mencengkeram rumput! Penuh rasa takut dan ngeri hati penduduk, namun mereka terpaksa mengangkut mayat-mayat itu ke dusun untuk diurus sebagaimana mestinya. Mayat empat orang lain tidak mereka temukan dan mereka tidak tahu ke mana perginya empat orang itu. Tentu saja mereka tidak tahu bahwa empat orang itu pun sudah menjadi mayat dengan tubuh remuk-remuk ketika mereka terjungkal ke dalam jurang. Karena mereka tidak dapat menemukan Kun Liong, mereka menjadi curiga dan menghubung-hubungkan anak itu dengan siluman besar kecil yang mereka lihat di luar dusun. Timbul dugaan mereka bahwa anak yang tadinya datang sebagai penolong itu tentulah sebangsa siluman dan kedatangannya itu hanya pancingan belaka sehingga teman-temannya mendapatkan korban banyak orang! Teringat akan ini, mereka menjadi penasaran sekali mengapa tidak mereka keroyok dan bunuh saja anak kecil yang datang secara aneh itu sehingga mereka dapat terbujuk, belasan orang ikut memasuki hutan menjadi korban. Kun Liong merintih dan membuka matanya. Melihat daun semak-semak belukar menyelimuti dirinya, ia teringat dan seketika ia menghentikan rintihannya, menahan derita yang amat hebat, yaitu rasa gatal-gatal pada kepalanya. Ia bangkit duduk dan mengintai dari dalam semak-semak, melalui celah-celah antara daun-daun. Tidak tampak sesuatu. Hari sudah menjelang senja dan suasana di hutan itu sunyi sekali. Kun Liong melupakan rasa gatal di kepalanya, lalu dengan hati-hati dia bangkit berdiri, keluar dari semak-semak, dan berindap-indap dia menuju ke tempat yang ditinggalkannya tadi. Sunyi di situ, dan tidak ada seorangpun, baik yang hidup maupun yang mati. Semua penduduk dusun yang menjadi korban tadi tidak tampak lagi, dan kakek berjuluk Ban-tok Coa-ong yang mengerikan tadi pun tidak tampak lagi, demikian pula anak laki-laki berambut panjang yang melepas jarum. Jarum! Teringat ini, Kun Liong meraba tengkuknya dan benar saja, di situ masih menancap sebatang jarum kecil, masuk ke dalam daging tengkuk sampai setengahnya. Cepat Kun Liong mencabut jarum itu, melihat jarum merah itu maklumlah dia bahwa jarum itu mengandung racun berbahaya. Dengan jijik dibuangnya jarum itu ke dalam semak-semak. Ke mana perginya mereka? Rasa heran ini menambah gatal-gatal pada kepalanya dan Kun Lion tidak dapat nenahan lagi. Dengan kedua tangannya, digaruknya kepala yang amat gatal itu dan... dia terbelalak setelah mengeluarkan teriakan kaget, memandang rambut kepalanya yang kini berada di antara sepuluh jari tangannya! Begitu digaruk kepalanya, semua rambutnya tontok! Dirabanya kepalanya, dan bagian yang ada rambutnya, begitu dipegang, rambut-rambutnya rontok semua seperti tanaman layu yang sudah membusuk akamya. Dengan mata masih terbelalak lebar dia mengelus-elus kepala dengan kedua tangannya. Kepalanya menjadi licin bersih, tidak ada selembar pun rambut yang masih tumbuh, semua rontok. Dirabanya alisnya. Masih lengkap. Hanya rambut di kepala saja yang rontok semua. “Ahhh... tidaaaakkk...!” Kun Liong berseru dan berlari-lari mencari air jernih. Setelah ia melihat air tergenang di bawah sebatang pohon, sisa air hujan kemarin, cepat dia berlutut dan melihat bayangannya sendiri. Matanya terpentang lebar dan dua titik air mata meloncat ke atas pipinya. Kepalanya sudah gundul pelontos! Lebih bersih daripada kepala seorang hwesio! “Ahhhh... mengapa...?” Dia meraba-raba kepala dengan tangan kanan, dan mengusap air mata dengan tangan kiri. Tentu, saja Kun Liong takkan mengerti karena peristiwa itu terjadi ketika dia masih pingsan, terjadi di dalam tubuhnya dan yang biarpun membawa akibat lenyapnya semua rambut kepala, akan tetapi sesungguhnya telah menyelamatkan nyawanya! Di dalam tubuhnya terdapat semacam racun anti racun ular yang dicampur obat dan semenjak dia kecil, oleh ibunya seringkali diminumkannya. Ketika dia digigit ular sampai di tujuh tempat, racun ular tidak mampu melawan racun di tubuhnya, dan ular racun ular itu berkumpul saja di tempat gigitan. Ketika Ouwyang Bouw, putera Bantok Coa-ong, menyambit tengkuknya dengan jarum merah sehingga racun jarum merah itu memasuki tubuhnya bertemulah tiga macam racun dan terjadi perang tanding antara tiga macam racun yang amat hebat. Sudah menjadi kenyataan bahwa betapa pun jahatnya, racun bertemu racun cepat berubah sifatnya, dapat menjadi obat, dan ketika tiga macam racun itu bertemu di dalam tubuh Kun Liong berubah menjadi ramuan yang dahsyat, menjadi semacam obat kuat tiada taranya dan tiada seorang pun manusia yang tahu karena bertemu secara kebetulan, dengan ukuran yang tepat, atau terlalu keras sedikit sehingga akibatnya, rambut kepala Kun Liong rontok semua, akan tetapi tubuhnya terbebas sama sekali dari pengaruh racun, bahkan di luar tahunya, tercipta semacam kekuatan dahsyat di dalam tubuh anak ini! Hanya sebentar saja Kun Liong dilanda kekagetan dan penyesalan akan kehilangan rambut kepalanya. Dia sudah bangkit lagi dan teringat betapa dia telah menimbulkan malapetaka kepada penduduk dusun, Kun Liong tidak berani kembali ke dusun. Apalagi rambut kepalanya sudah menjadi habis seperti itu. Dia lalu melarikan diri, meninggalkan hutan itu dan mengambil jurusan timur, tidak berani ke utara di mana terletak dusun itu. Dia melarikan diri berlawanan dengan matahari yang sudah condong ke barat. Sambil berjalan secepat mungkin, pikirannya penuh dengan peristiwa yang. telah dialaminya. Dia maklum bahwa Ban-tok Coa-ong adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian hebat sekali, jauh lebih lihai daripada kepandaian Loan Khi Tosu, memiliki watak yang lebih aneh lagi, aneh menyeramkan seperti orang gila! Akan tetapi, kalau dia teringat akan ucapan kakek itu ketika membandingkan watak ular dan watak manusia, diam-diam dia menjadi bingung karena mau tidak mau dia harus membenarkan bahwa watak ular atau binatang apapun juga jauh lebih wajar dan bersih daripada watak manusia. Bahkan ketika barisan ular itu menyerang penduduk, mereka bergerak bukan karena memang memusuhi manusia, melainkan karena terpaksa oleh pengaruh bunyi terompet yang ditiup oleh seorang manusia pula! Bukan ular-ular itulah yang berniat membunuh manusia, melainkan manusia yang berjuluk Ban-tok Coa-ong itulah. Betapa kejamnya manusia! Betapa kejinya! Dan betapa anehnya pengalaman berturut-turut yang menimpa dirinya. Mula-mula bertemu dengan tosu Pek-lian-kauw, itu sudah hebat. Disusul dengan pengalamannya dikeroyok penduduk yang hampir merenggut nyawanya ketika dia tanpa sengaja menimbulkan kebakaran, pengalaman yang lebih hebat lagi di mana hampir dia mati. Kemudian, dia bertemu dengan Ban-tok Coa-ong dan pengalaman ini benar-benar amat luar biasa dan dia sendiri tidak tahu mengapa dia masih dapat hidup sampai detik ini, dan hanya rambut-rambutnya yang rontok. “Hemm, masih untung!” Kun Liong berkata dan hatinya yang tadi terasa berat karena memikirkan rambutnya habis, kini menjadi ringan. “Rambut bukan nyawa dan tanpa rambut aku masih hidup!” Pengalaman-pengalaman itu mempertebal keyakinannya bahwa manusia menjadi kejam karena kekuatannya. Makin kuat manusia, makin kejamlah dia, makin sewenang-wenang karena merasa berkuasa. Kalau begitu, apakah lebih baik menjadi orang lemah dan tidak memiliki kepandaian? Orang yang lemah hanya akan menjadi injakan yang kuat. Orang lemah mengalah karena tidak dapat melawan, dan yang demikian itu bukan mengalah namanya, melainkan pengecut. Yang kuat kejam, yang lemah pengecut! Pengecut demikian, kalau diberi kekuatan, diberi kekuasaan, tentu akan berubah menjadi orang kejam juga. Si kuat kejam dan si lemah pengecut tiada bedanya, keduanya adalah orang-orang yang belum mengenal dirinya, belum mengenal keadaan sebenarnya. Biarpun masih kecil, Kun Liong sudah banyak dijejali pelajaran tentang hidup, banyak sudah membaca filsafat. Akan tetapi, karena dia masih kecil, maka dia belumlah terpengaruh benar oleh segala macam pelajaran kebatinan itu sehingga dia masih memiliki kebebasan, sehingga dia tidak menjiplak begitu saja melainkan membuka mata dan telinganya menghadapi kenyataan-kenyataan hidup yang dialaminya. Pikiran-pikiran itu tidak membuat dia menjadi bingung dan berat sebelah. Dia melihat kenyataan bahwa tidak semua orang berkepandaian dan kuat mempunyai watak kejam. Ayahnya dan ibunya adalah orang-orang gagah perkasa yang berkepandaian tinggi, akan tetapi mereka tidaklah kejam, apalagi jahat! Dan penduduk dusun itu, terutama Kakek Lo dan Akian, biarpun mereka itu orang-orang biasa yang tidak memiliki ilmu kepandaian, tidak memiliki kekuatan, mereka itu tak boleh dikatakan pengecut karena mereka berani mengikutinya untuk menentang ular besar yang sebenarnya amat mereka takuti karena sudah banyak menjatuhkan korban. Ternyata bukan kekuatan atau kelemahan yang menentukan baik buruknya seseorang! Pada keesokan harinya, setelah matahari naik tinggi, Kun Liong tiba di sebuah kampung nelayan, di tepi Sungai Huang-ho. Semalam dia kurang tidur, biarpun dia tidak melakukan perjalanan semalam suntuk, namun dia sukar dapat tidur pula karena gangguan kepalanya yang masih terasa gatal-gatal. Dengan tubuh lelah, mata mengantuk, dan perut lapar sekali dia memasuki perkampungan nelayan. Dia harus mencari pengisi perutnya, kalau tidak, dia tidak akan dapat melanjutkan perjalanan. Ke mana dia akan pergi kelak bukan menjadi persoalan baginya. Ke mana saja, pokoknya tidak pulang ke Leng-kok. Apalagi setalah kini kepalanya menjadi gundul pelontos macam ini. Tentu ayahnya akan marah sekali, dan dia merasa malu. Dia ingin melanjutkan perjalanan, ke mana saja dan dia mulai merasa suka dengan cara hidup baru ini, sungguhpun dalam perantauan yang belum lama ini dia telah mengalami hal-hal yang membuat dia nyaris tewas. Kun Liong mendekati sebuah perahu yang agak besar, melihat tiga orang nelayan sedang mempersiapkan jala dan alat-alat menangkap ikan lainnya. Melihat seorang anak laki-laki berkepala gundul pelontos yang sama sekali asing dan tak mereka kenal, tiga orang itu memandang penuh perhatian, kemudian seorang di antara mereka, yang kumisnya panjang, berkata dengan nada suara halus, “Apakah Siauw-suhu (Guru Kecil) membutuhkan sedekah? Kami akan berangkat mencari ikan. Kalau Siauw-suhu suka mendoakan kami agar hari ini mendapatkan ikan banyak, aku akan mencarikan makanan untuk sedekah bagi Siauw-suhu.” Kun Liong mengerutkan kedua alisnya. Hatinya terasa panas sekali. Dia disangka seorang hwesio kecil yang minta sedekah tunjangan makanan! Akan tetapi karena dia menganggap orang itu tidak berniat jahat, dan hanya berbuat karena kebodohannya, dia menjawab, suaranya tenang, “Lopek (Paman Tua) telah membuat dua kesalahan dengan ucapan Lopek tadi.” Melihat sikap yang tenang, kalimat yang teratur tidak seperti cara berbicara anak dusun, tiga orang nelayan itu makin tertarik dan makin keras dugaan mereka bahwa anak ini tentulah seorang pendeta kecil yang merantau. Akan tetapi, laki-laki setengah tua yang panjang kumis tadi, menjadi terheran dan bertanya, “Dua kesalahan? Apa yang telah kulakukan?” “Pertama, Lopek salah duga. Aku bukan seorang pendeta kecil dan tidak minta sedekah, tidak minta-minta walaupun saat ini perutku lapar sekali. Kesalahan Lopek yang ke dua lebih hebat lagi. Lopek suka memberi sedekah akan tetapi ditukar dengan doa agar mendapatkan banyak ikan, itu bukan sedekah namanya, melainkan jual beli mengharapkan keuntungan!” Tiga orang nelayan itu terbelalak dan saling pandang dengan heran. Biarpun anak berkepala gundul polontos itu menyangkal dirinya seorang pendeta kecil, akan tetapi cara dia bercakap sungguh tidak seperti anak-anak dusun biasa! Si Kumis Panjang merasa terpukul dan malu karena dia seolah-olah mendapat teguran dari seorang anak kecil, maka dia berkata agak kasar, “Kalau kau bukan hwesio kecil, engkau mau apa mendekati kami, bocah asing?” “Aku ingin menawarkan tenagaku untuk bekerja membantu kalian.” “Apa? Engkau minta pekerjaan kepada kami?” Tiga orang itu kembali saling pandang dan tersenyum lebar. “Mengapa tidak?” Kun Liong berkata ketika melihat tiga orang itu agaknya mentertawakannya. “Aku lapar, sejak kemarin belum makan. Aku perlu mendapatkan makan, maka aku mau bekerja, sekedar mendapatkan makan.” “Soal makanan adalah urusan kecil, akan tetapi pekerjaan kami bukanlah pekerjaan ringan, dan seorang bocah halus macam engkau ini...” “Aku tidak takut akan pekerjaan berat. Harap Lopek suka menerimaku, Lopek takkan menyesal karena aku tidak mau menerima makanan cuma-cuma, ingin kutukar dengan bantuan tenagaku!” MEMANG biasanya para nelayan itu membutuhkan bantuan kanak-kanak, pembantu yang tenaganya murah dan pekerjaannya hanya untuk membantu dan melayani mereka di waktu mereka sibuk menjala atau mengail ikan. Pekerjaan yang sebetulnya tidak berat benar, memasak air, menanak nasi untuk mereka, membantu dengan pembetulan jala jika ada yang robek, memasang umpan kail, mengumpulkan ikan dan di waktu mereka sibuk bekerja, menguasai perahu agar jangan terbawa ombak sungai. Biarpun pekerjaan itu tidak berat bagi anak-anak nelayan, akan tetapi seorang anak yang belum pernah mengerjakannya akan merasa berat sekali, apalagi kalau dibuat mabok oleh air sungai yang kadang-kadang besar juga ombaknya. “Bagaimana, akan kita ajakkah dia?” Seorang di antara mereka bertanya kepada dua orang temannya. “Hemmm, boleh kita coba saja,” kata Si Kumis Panjang yang kemudian menoleh dan berkata kepada Kun Liong sambil tertawa, “Akan tetapi, kalau engkau nanti mabok dan tidak bisa bekerja, kami tidak akan memberi apa-apa kepadamu.” “Tentu saja!” Kun Liong menjawab gagah. “Aku pun akan merasa malu untuk menerima makanan kalau aku tidak mampu bekerja!” “Kalau begitu mari bantu kami!” Kun Liong cepat naik ke atas perahu dan mulai melakukan pekerjaan seperti yang diperintahkan oleh tiga orang itu. Tubuhnya lemas, perutnya lapar sekali, akan tetapi dia merasa betapa tenaganya menjadi besar dan semua pekerjaan dapat dia lakukan dengan amat mudah. Tiga orang itu kembali saling pandang dan menjadi girang. Temyata bocah gundul itu tidak membual dan benar-benar suka dan rajin bekerja! Setelah mereka siap, perahu didayung ke tengah, kemudian layar dikembangkan. Perahu nelayan itu meluncur ke tengah sungai yang amat lebar, meluncur cepat karena didorong oleh angin, mendahului air sungai yang mengalir. Si Kumis Panjang sambil tersenyum memberi roti kering dan air kepada Kun Liong. Anak yang kadang-kadang timbul keangkuhan dari kekerasan hatinya itu, menolak. “Biarpun pekerajaanmu belum selesai karena kita belum kembali ke pantai, akan tetapi engkau tadi sudah membantu kami. Makanlah, anggap saja roti dan air ini upah bantuanmu tadi. Engkau kelihatan pucat, dan karena kita menghadapi pekerjaan berat sampai malam nanti, perutmu harus diisi lebih dulu.” Ucapan ini membuat hati Kun Liong terasa ringan dan makanlah dia. Bukan main sedapnya roti itu. Bukan main segarnya air jernih dingin itu. Rasanya belum pernah dia makan roti seenak itu, atau air sesegar itu dan dia tahu bahwa bukan roti atau airnya yang mendatangkan rasa sedap, melainkan lapar dan hausnya! Pendapat Kun Liong memang ada betulnya, akan tetapi tidak mutlak. Hidup akan selalu terasa bahagia dan nikmat apabila kita dapat menerima dan menghadapi segala sesuatu sebagaimana adanya, hidup dalam tiap detik yang dilaluinya, tidak terapung dalam keriangan masa lalu atau tenggelam dalam harapan masa datang. Hidup adalah saat ini, sekarang ini, bukan kemarin dan bukan esok. Pikiran selalu mempermainkan kita, membentuk kenangan-kenangan masa lalu dengan segala suka-dukanya, membuat kita selalu mengejar kenangan, suka dan menjauhi kenangan duka, menciptakan corak dan bentuk hidup sekarang dan yang akan datang sehingga kita dibuatnya hidup seperti dalam kurungan yang dibuat oleh pikiran kita sendiri. Hidup seperti itu membuat segala langkah kita tidak wajar lagi, melainkan langkah-langkah kita sudah ditentukan dan diatur berdasarkan pengalaman lalu, berdasarkan pengetahuan dan kepercayaan yang sudah terbentuk dalam pikiran kita. Keadaan seperti itu tidak memungkinkan kita bebas, tidak memungkinkan kita mempergunakan mata dan telinga seperti sewajarnya. Apa yang terpandang, apa yang terdengar, ditutup oleh pendapat dan prasangka, oleh penilaian yang kesemuanya adalah pekerjaan pikiran, sehingga mata dan telinga kita tidak dapat melihat atau mendengar keadaan sebenamya dari yang dipandang dan didengar! Kalau kita memandang sesuatu, yang kita pandang sesungguhnya bukanlah itu atau dia, melainkan itu atau dia seperti yang terbayang dalam ingatan kita! Demikian pula dengan makanan. Kalau kita menghadapi sesuatu, dalam hal makanan seperti pada saat itu, tanpa campur tangan si pikiran yang selalu dapat saja menciptakan kenang-kenangan akan makanan yang lezat-lezat, maka tidak ada lagi penilaian apakah makanan yang kita hadapi itu mahal atau murah, berharga atau tidak, dan tanpa adanya gangguan pikiran ini, semua makanan, apapun juga macamnya, asal itu memenuhi syarat sebagai makanan pengusir lapar dan penguat tubuh, akan terasa enak! Karena itulah, pendapat Kun Liong bahwa yang membuat makanan terasa enak adalah lapar, hanya benar sebagian saja, karena betapapun laparnya, kalau dia makan dengan pikiran mengenangkan hal-hal lain, seperti mengenangkan masakan lezat, memikirkan dan mengenangkan kedukaan dan lain-lain, belum tentu roti sederhana dan air biasa itu akan terasa enak seperti yang dirasakannya pada saat itu! Ternyata kemudian oleh Kun Liong betapa pekerjaan di atas perahu yang kelihatan ringan itu terasa amat berat olehnya, karena tidak biasa! Agak pening juga kepalanya ketika perahu itu dipermainkan ombak sungai yang cukup besar sehingga teroleng ke kanan kiri. Akan tetapi, dengan tekad teguh Kun Liong bekerja dengan penuh semangat, sedikitpun tidak pernah mengeluh sehingga memuaskan hati tiga orang nelayan itu. Yang lebih menggirangkan hati para nelayan itu adalah baru hari itu mereka mengalami nasib yang demikian baiknya sehingga sebelum tengah malam, perahu mereka telah penuh dengan hasil pekerjaan mereka, ikan-ikan yang besar dan dari mutu terbaik! Tentu saja sebagai orang orang yang sudah menebal kepercayaannya akan tahyul, kemujuran ini mereka hubungkan dengan kehadiran Kun Liong, yang biarpun temyata bukan pendeta, namun memiliki “hok-gi’ (kemujuran) besar dan di samping itu, juga amat rajin bekerja, terlalu rajin dan terlalu aneh bagi seorang pendatang baru! Biasanya, sampai semalam suntuk mereka mencari ikan, dan kalau selama sehari semalam itu mereka mendapatkan ikan sebanyak setengah perahu saja mereka sudah merasa beruntung. Sekarang, belum lewat tengah malam, mereka telah kembali ke pantai dengan perahu penuh ikan terbaik! Dengan sikap manis mereka lalu mengajak Kun Liong bermalam di rumah mereka, memberinya makan sekenyangnya, bahkan Si Kumis Panjang membelikan setelan pakaian baru untuknya. Di samping ini, pada keesokan harinya ketika mereka menjual hasil mereka semalam ke pasar, mereka menceritakan dengan panambahan bumbu-bumbu tahyul, bahwa mereka telah kedatangan seorang bintang penolong, seorang pembawa rezeki, seorang “anak ajaib”! Cerita ini cepat tersiar dan sebentar saja nama Kun Liong sebagai “anak ajaib” dikenal orang sedusun! Segala bentuk penonjolan yang biasa disebut hasil atau kemajuan pribadi seseorang, selalu menimbulkan persoalan-persoalan yang lebih meyusahkan daripada menyenangkan. Orang yang berhasil memperoleh sesuatu yang dicita-citakan, biasanya hasil itu tidaklah senikmat ketika dibayangkannya dan ketika belum tercapai tangan, sedangkan hasil atau kemajuan itu yang sudah jelas menimbulkan iri kepada orang lain sehingga terciptalah pertentangan dan permusuhan! Karena itu, segala bentuk cita-cita, sesungguhnya hanyalah lamunan orang yang tidak mau menghadapi keadaan sekarang, orang yang ingin lari dari kenyataan saat ini dan bersembunyi di balik lamunan yang dibentuk oleh pikiran, membangun istana awang-awang yang disebutnya cita-cita! Karena cita-cita ini hanya merupakan istana asap di awang-awang, maka apabila sudah tercapai, akan membuyar dan mengecewakan sehingga memaksa si orang yang selalu merasa enggan melihat dan menghadapi kenyataan “saat ini” untuk melamun lagi, dipermainkan pikiran yang pandai sekali mengkhayalkan bayangan-bayangan indah masa depan. Karena itu, berbahagialah orang yang selalu sadar dan dengan penuh kewaspadaan menghadapi “saat ini” dengan pikiran bebas dari segala ingatan masa lalu harapan masa depan dan menghadapi segala apa yang ada saat ini sebagaimana adanya, dengan kewajaran yang tidak dibuat-buat atau dipaksakan, tanpa rencana dan tanpa pendapat, tanpa penilaian, sehingga apa pun yang dihadapinya merupakan sebuah pengalaman yang baru! Sudah tentu saja yang dimaksudkan adalah hal-hal mengenai urusan batin, bukan hal-hal lahir seperti pekerjaan dan lain-lain yang sudah semestinya dipergunakan akal budi dan pikiran supaya dapat dikerjakan dengan baik dan lancar. Akan tetapi mengenai hubungan antara manusia yang menyangkut rasa dan batin, jika tidak kosong bebas, maka hubungan itu sudah tentu menimbulkan pertentangan karena di sebelah dalam kita sudah terjadi pertentangan yang ditimbulkan oleh pikiran. Melihat dan mendengar sesuatu dengan pikiran bebas dari segala ikatan, penilaian, pendapat, mengawasi dengan penuh kewaspadaan terhadap sesuatu di saat ini dan terhadap tanggapan kita sendiri akan sesuatu itu, dengan demikian kita belajar mengenal diri sendiri. Mengenal diri sendiri adalah langkah pertama ke arah kebijaksanaan. Kun Liong seolah-olah dijadikan rebutan di antara para nelayan, setelah tersiar dongeng tentang dirinya yang penuh keanehan, dibujuk dan ditawari upah tinggi dan hadiah-hadiah berharga. Namun, semua itu ditolak oleh Kun Liong yang sebetulnya sama sekali tidak berniat menjadi nelayan dan tidak ingin bekerja di tempat itu untuk selamanya. Kalau dia membantu tiga orang nelayan yang dipimpin oleh Si Kumis Panjang itu karena pada waktu itu dia membutuhkan makan dan ingin menukar makanan dengan tenaga bantuannya. Bahkan setelah membantu selama tiga hari, dia sudah mulai merasa bosan dan ingin pergi melanjutkan perjalanan dan perantauannya yang tidak bertujuan dan tidak mempunyai arah tertentu. Pada pagi hari ke empat, selagi Kun Liong duduk di dekat sebuah perahu kecil di tepi pantai dan melamun, berpikir hari itu hendak pergi dan berpamit dari tiga nelayan, tiba-tiba tujuh orang yang berusia belasan tahun menghampirinya dan mengurungnya. Sikap mereka mengancam, dan di antara mereka ada yang membawa kayu dan bambu. Mereka dipimpin oleh seorang anak laki-laki berusia kurang lebih empat belas tahun yang dahinya codet bekas luka terjatuh ketika masih kecil. Anak codet ini pun membawa sebatang kayu dan sambil bertolak pinggang dia berdiri di depan Kun Liong yang masih tenang duduk di atas pasir dekat perahu. “Heii, bocah gundul!” seorang anak berteriak mengejek. “Aahh, dia bukah bocah, dia anak siluman! Kalau manusia tidak mungkin kepalanya gundul pelontos padahal bukan hwesio!” “Lihat, kepalanya licin sekali, lalat-lalat pun terpeleset kalau hinggap di atasnya!” “Kalau bukan anak siluman, tentu dia anak ikan! Lihat, kepalanya tidak berambut sedikitpun juga, seperti kepala ikan!” “Heiii, gundul pacul buruk menjijikkan!” “Gundul sombong...” Mula-mula Kun Liong hanya memandang heran dan menganggap bahwa mereka hanyalah anak nakal yang hendak menggodanya karena dia asing dan bukan teman mereka. Maka dia diam saja, bahkan tersenyum dan berkata, “Aihhh, kenapa kalian begini? Aku seorang anak biasa seperti kalian, rambut kepalaku habis karena keracunan.” Si Codet melangkah maju. “Gundul menyebalkan! Sekarang juga engkau harus minggat dari dusun kami, engkau hanya mendatangkan kesialan bagi kami!” “Ahhh, apa maksudmu?” Kun Liong memang sudah mengambil keputusan untuk pergi meninggalkan tempat itu, akan tetapi kalau disuruh pergi, dengan diusir macam ini, kehormatannya tersinggung dan menjadi marah. “Maksudku, gundul buruk. Kalau engkau tidak lekas pergi dari sini, kami akan menghajarmu sampai engkau melolong-lolong minta ampun, baru kami lepaskan!” Kata pula Si Codet dan teman-temannya sudah siap, mengepal tinju dan kayu dan bambu erat-erat. Kun Liong bangkit berdiri. Dengan marah dia membusungkan dada, mengangkat kaki kanan ke atas dayung perahu yang disandarkan di situ, kemudian menudingkan telunjuknya kepada mereka. “Hemmm, kalian ini anak-anak malas tak tahu diri! Aku mengerti mengapa kalian bersikap seperti ini kepadaku. Aku sudah mendengar bahwa kalian merasa iri hati kepadaku. Kalian melihat para nelayan suka akan tenaga bantuanku, dan kalian merasa dikesampingkan. Kalian iri melihat keunggulanku, dan itu menandakan bahwa kalian adalah anak-anak bodoh dan malas!” “Gundul sombong!” Si Codet sudah menerjang maju dan menghantamkan kayu pemukulnya ke arah kepala Kun Liong. Akan tetapi dengan gerakan cepat Kun Liong dapat mengelak dan berusaha merampas alat pemukul itu. Akan tetapi, anak-anak yang lain bergerak maju menyerang dan mengeroyoknya. Tentu saja anak-anak itu bukanlah lawan Kun Liong yang sejak kecil sudah belajar ilmu silat dan kalau dia menghendaki, dengan melakukan pemukulan-pemukulan pada bagian tubuh yang berbahaya, tentu dia akan dapat merobohkan mereka. Akan tetapi justru dia tidak menghendaki demikian karena sekecil itu, Kun Liong sudah mempunyai pengertian yang mendalam dan dia tahu bahwa keadaan anak-anak yang iri hati ini dapat dimengerti dan dimaafkan, maka dia hanya mengelak ke sana-sini sambil menangkis dan berteriak-teriak menyuruh mereka berhenti. Melihat betapa dikeroyok tujuh orang, Kun Liong dapat mengelakkan semua pukulan dan setiap kali menangkis, anak yang memukul merasa lengannya nyeri ketika beradu dengan lengan Kun Liong yang menangkisnya, tujuh orang anak yang mengeroyok itu menjadi makin penasaran dan mereka menyerang lebih ganas lagi, terdorong oleh kemarahan mereka. Karena Kun Liong hanya mengelak dan menangkis, pula biarpun dia telah bertahun-tahun dilatih ilmu silat oleh ayah bundanya akan tetapi sama sekali belum ada pengalaman bertempur, pengeroyokan ini merupakan yang ke dua setelah yang pertama kalinya dia dikeroyok penduduk, Kun Liong terkena juga dan terdengar suara bak-bik-buk ketika kepalan dan kayu pemukul jatuh ke atas tubuhnya! Hal ini membuat dia marah sekali, terutama kepada anak codet yang pukulan kayunya paling keras dan ketika mengenai kepalanya yang gundul, terasa nyeri. Dia hanya merasa heran mengapa tubuhnya yang dihujani pukulan itu sama sekali tidak terasa sakit. Dia tidak tahu bahwa kekuatan mujijat yang ditimbulkan oleh bercampumya tiga macam racun telah melindunginya dan membuat tubuhnya kebal, kecuali kepalanya yang gundul! Ketika Si Codet menerjang lagi, mengayun kayu pemukul dengan kuat-kuat ke arah kepalanya, Kun Liong miringkan tubuh sehingga kayu itu melayang lewat. Cepat dia menghantam leher anak codet itu dengan tangan miring. “Kekkk!” Anak codet itu melepaskan kayu pemukulnya dan terguling roboh tanpa bersuara. “Dia membunuhnya!!” “Pembunuh…!!” Enam orang anak yang melihat Codet rebah dengan mata terpejam dan muka pucat, mengira bahwa anak itu mati. Kun Liong terkejut bukan main karena dia pun terpengaruh oleh teriakan-teriakan mereka, mengira bahwa anak yang dipukulnya tadi tewas. Padahal dia hanya mempergunakan sedikit tenaga saja dan sebetulnya anak itu hanya pingsan. Karena mengira anak itu tewas rasa takut menyelinap di hati Kun Liong. Dia harus melarikan diri! Kalau para nelayan tahu bahwa dia membunuh tentu dia akan ditangkap, mungkin mereka pun akan membunuhnya. Dan ia melihat beberapa orang nelayan telah lari mendatangi melihat perkelahian itu. Tanpa pikir paniang lagi karena takut dikeroyok nelayan sekampung, Kun Liong lalu melompat ke dalam sebuah perahu kecil, mendayung perahu ke tengah sungai. “Heiii! Dia melarikan perahu...!” “Kejar...!!” Kun Liong tidak berani menoleh, terus mendayung perahunya sekuat tenaga. Dalam keadaan panik itu tidak merasa betapa tenaga dayungannya luar biara sekali. Perahu meluncur cepat seperti didayung oleh belasan orang dewasa sehingga mengherankan hati pengejarnya. Juga Kun Liong tidak sadar betapa mereka itu berteriak-teriak menyuruhnya berhenti dan dia diteriaki melarikan perahu, sama sekali bukan diteriaki sebagai pembunuh! Memang para nelayan itu mengejarnya karena dia melarikan perahu, dan Si Codet itu sudah tadi-tadi sadar kembali. Karena tenaga mujijat di tubuhnya bekerja, perahu yang didayung oleh Kun Liong cepat bukan main, membuat para pengejar, nelayan-nelayan yang sudah kawakan dam berpengalaman itu, tertinggal dan mereka berteriak-teriak saking herannya. Ketika tiba di sebuah simpangan, di mana air sungai itu terpecah ke dua Kun Liong terus meluncurkan perahunya ke bagian sungai yang meyimpang ke utara, bukan ke bagian yang terus mengalir lurus ke timur. “Haiii... jangan masuk ke sana…!” Dia mendengar teriakan pengejar-pengejarnya, akan tetapi tentu saja dia tidak peduli, bahkan mendayung makin cepat. Sungai yang menyimpang ke utara itu merupakan daerah berbahaya dan tidak ada nelayan yang berani memasukinya. Bukan hanya berbahaya karena dalam musim hujan seperti itu, sungai liar ini dapat secara tiba-tiba membanjir, yaitu kemasukan air berlebihan dari sungai-sungai kecil, akan tetapi juga banyak bagian yang agak dangkal sedangkan di bawah permukaan airnya banyak terdapat batu karang. Selain ini, di dalam hutan di kanan kiri sungai ini terkenal sebagai sarang orang-orang jahat! Bukan hanya karena sungai yang berbahaya itu saja, akan tetapi melihat betapa Kun Liong dapat mendayung perahu dengan kecepatan yang tidak lumrah, dan betapa anak itu berani memasuki daerah berbahaya ini, timbul pula kepercayaan tahyul di dalam hati para nelayan. Tentu anak itu bukan anak biasa, pikir mereka dan mereka pun merelakan perahu yang dilarikan, sambil ramai mempercakapkan anak yang menghilang itu mereka kembali ke dusun, membawa bahan dongeng yang lebih aneh dan menyeramkan lagi tentang si “bocah ajaib” gundul itu! Sungai yang dilalui Kun Liong itu merupakan cabang Sungai Huang-ho. Sungai Huang-ho bercabang dua di bagian itu, akan tetapi cabangnya ini, setelah menampung banyak air yang dimuntahkan oleh sungai-sungai kecil dari kanan kiri, akhimya dari utara membelok ke timur dan ke selatan untuk kemudian kembali ke induknya, yaitu Sungai Huang-ho, sungai yang paling besar di Tiongkok. Sebelum kembali ke induknya, sungai ini merupakan sungai yang amat berbahaya dan karena merupakan sungai liar yang tercipta ketika Huang-ho banjir dahulu, maka seringkali sungai ini meluap ketika menerima air dari sungai-sungai kecil itu. Hampir setiap musim hujan, sungai ini pasti meluap dan di bagian-bagian tertentu, air mengalir deras bukan main, merupakan daerah yang amat berbahaya bagi perahu-perahu sehingga sungai ini boleh dikata dijauhi para nelayan dan tidak pernah dilewati. Lebih aman melalui sungai induk terus ke timur daripada melalui sungai cabang yang keluar masuk hutan liar ini. Akan tetapi Kun Liong yang tidak mengenal sungai itu, merasa lega ketika melihat bahwa dia-tidak dikejar lagi. Dia merasa bersalah karena telah melarikan perahu. Dia telah mencuri! Akan tetapi bukan mencuri karena dia menginginkan perahu itu, melainkan karena terpaksa untuk melarikan diri! Alasan ini sudah membuat dia dapat memaafkan perbuatannya mencuri perahu! Demikianlah yang dilakukan oleh kita, manusia! Kita selalu mencari sebab dan alasan untuk menghibur diri di waktu kita merasa telah melakukan sesuatu yang kita anggap salah. Mencari sebab-sebab yang kalau perlu dipaksakan, untuk menutupi kesalahan kita, bahkan untuk menyulap kesalahan itu berubah menjadi sesuatu yang tidak salah lagi! Ada saja alasannya untuk menutupi sesuatu yang hitam pada diri kita, dengan warna putih. Hal ini terjadi karena kita tidak mau menghadapi kenyataan, tidak mau mengenal diri pribadi, tidak mau mengakui betapa segala kotoran berada dalam diri kita sehingga kita dapat membuang semua kotoran itu. Tidak, kita bukan melakukan hal itu, sebaliknya kita menutupi kotoran itu dengan segala akal kita. Tentu saja, dengan demikian, segala macam kotoran masih tertimbun dalam diri kita, biarpun kotoran itu tidak tampak, ditutupi oleh segala macam akal yang membuat kita kelihatan bersih! Kebersihan tidak tercapai dengan menutupi kekotoran, dan kotoran diri sendiri hanya dapat dilenyapkan setelah kita melihatnya dengan mata terbuka dan dengan bebas, karena tanpa kebebasan tak mungkin kita dapat melihat kenyataan dalam diri kita sendiri, tak mungkin kita dapat mengenal diri sendiri. Mula-mula senang juga hati Kun Liong ketika mendayung perahu kecil itu yang meluncur cepat. Dengan wajah berseri-seri dan mata bersinar-sinar, dia memandang ke kanan kiri, melihat pohon-pohon hutan di kedua tepi sungai. Memang kalau mata memandang dengan penuh kewaspadaan tanpa gangguan pikiran, semua tampak sempurna! Air yang bergelombang, di depan perahu diterjang ujung perahu, di dekat tepi beriak menghantam batu-batu, tebing di kedua pinggir kelihatan coklat, kadang-kadang tampak akar-akar pohon seperti ular di antara rumput-rumput dan semak-semak yang tumbuh dengan liar di tebing. Seekor bangkai ayam hutan hanyut perlahan di pinggir, dirubung lalat yang mengeluarkan suara mengiang, kadang-kadang lalat-lalat itu beterbangan panik kalau bangkai itu bergerak tiba-tiba ke bawah karena digigit dan ditarik ikan dari bawah. Bau bangkai ayam yang membusuk itu tidak berapa keras di tempat terbuka seperti ini, menipis dan buyar tertiup angin. Pohon besar yang banyak tumbuh di hutan sealah-olah menjadi penjaga-penjaga hutan, melindungi pohon-pohon dan kembang-kembang kecil di bawahnya, memberi tempat berteduh kepada burung-burung dan tupai-tupai yang berloncatan dari dahan ke dahan. Kalau ada angin yang agak besar lewat, daun-daun kuning yang rontok melayang-layang turun, menari-nari ke kanan kiri dan bermalas-malasan, agaknya segan meninggalkan tempatnya yang tinggi, akan tetapi akhimya tiba juga ke atas tanah, diam, mati dan kaku, akhimya mengering dan hancur menjadi pupuk yang mendatangkan kesuburan bagi pohon itu sendiri. Terapung di atas perahunya seorang diri, di tempat sunyi dan indah itu, merasa bebas lepas seperti burung-burung yang terbang di permukaan sungai, menyambar ikan-ikan kecil yang berenang di permukaan air, ingin Kun Liong bemyanyi! Akan tetapi, gelombang air mulai membesar dan air mengalir makin cepat dan kuat ke depan. Karena perahunya oleng ke kanan kiri Kun Liong tidak lagi menggunakan dayung untuk melajukan perahunya, melainkan menggunakannya untuk menahan agar perahu tidak terguling, dengan menekan ke kanan kiri. Ketika Kun Liong melihat ke depan, Matanya terbelalak dan mukanya menjadi agak pucat. Dia melihat betapa sungai memuntahkan aimya dari arah kiri, membanjir dan air yang masuk ke sungai itu berwama coklat kemerahan, amat keruh. Dia harus membawa perahunya ke pinggir. Namun terlambat. Arus sudah demikian kuatnya sehingga betapa pun dia mendayung perahunya agar minggir, perahu itu masih terseret ke delam dan akhirnya disambar oleh air bah ketika tiba di tempat pertemuan antara anak sungai dan sungai itu. Kun Liong berusaha mengatur keseimbangan perahunya, namun tenaga air yang menyeret perahunya terlalu besar, gelombang terlalu hebat dan dia berteriak keras ketika perahunya terguling dan dia sendiri terlempar ke dalam air! Kun Liong gelagapan, cepat dia menahan napas dan menggerakkan kakinya. Tubuhnya timbul ke permukaan air, melihat perahunya tadi telah pecah, agaknya terbanting pada batu karang. Melihat sepotong papan pecahan perahu di dekatnya, Kun Liong segera menyambarnya dan berpegang erat-erat pada papan itu. Arus air bukan main derasnya, dan gelombang amat besar sehingga dia tidak dapat berdaya apa-apa kecuali bergantung pada papan yang membawanya hanyut cepat sekali. Entah berapa lamanya dia hanyut itu, dia sendiri tidak ingat lagi. Akan tetapi setelah hari hampir senja, air sungai tidak sehebat tadi gelombangnya, sungguhpun arusnya masih kuat. Sudah hampir sehari dia hanyut! Kun Liong berusaha untuk berenang ke pinggir sambil berpegang pada papan itu. Namun usahanya gagal. Arus masih terlalu kuat, apalagi dibebani papan itu, tak mungkin dia dapat melawan arus berenang ke pinggir. Untung sedikit banyak dia dapat berenang, kalau tidak, tentu dia akan celaka! Setelah tiba di bagian yang airnya tidak bergelombang lagi, hanya arusnya masih agak kuat, Kun Liong mencari akal. Dia melepaskan papan yang dianggapnya telah menyelamatkan nyawanya tadi, kemudian menyelam. Niatnya hendak berenang ke pinggir sambil menyelam, tentu di bawah arus tidak sekuat di permukaan. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika dia sudah menyelam sampai ke dasar sungai, arus di bawah makin kuat! Dia terseret dan melihat benda putih di dekat kakinya, disangkanya batu karang maka cepat dia menangkap benda yang putih itu dan berpegang kuat-kuat. Akan tetapi, “batu karang” itu jebol dan dia terbawa hanyut. Dalam kepanikannya, dia masih merangkul batu itu sambil menendang-nendangkan kedua kakinya sehingga tubuhnya mumbul lagi dan timbul di permukaan air. Dia gelagapan dan menyemburkan air dari mulut. Banyak juga air terminum