Orang kurus kecil itu mengeluarkan pekik menyeramkan, kemudian tubuhnya bergerak dan bersilat dengan cara yang aneh namun gesit sekali. Bagaikan gerakan seekor monyet, orang itu dapat menghindarkan totokan-totokan Li Hwa dan membalas dengan serangan yang berupa cengkeraman-cengkeraman. Yang hebat, kalau tadi jari tangannya kelihatan biasa, kini jari tangan itu menjadi bertambah panjang oleh kuku-kukunya! Ternyata orang itu mempunyai kuku-kuku jari yang aneh, yang dapat digulung dan kalau perlu, dengan kekuatan sin-kangnya, kuku yang tadinya bergulung itu dapat menegang dan panjangnya setiap kuku tidak kurang dari sepuluh senti! “Brettt...!” “Aihhh...!” Li Hwa menjerit kaget ketika ujung bajunya kena dicakar dan robek. Hal ini adalah karena dia tidak mengira bahwa kuku jari itu dapat memanjang maka ketika cengkeraman lawan dapat dielakkan, kuku-kuku yang memanjang itu masih dapat mencakar ujung bajunya. Untung bukan kulit lambungnya yang kena dicakar! Marahlah Li Hwa. Dia tahu sekarang bahayanya lawan ini, maka dia cepat menggerakkan tubuhnya mainkan jurus-jurus pilihan dari Jit-goat-sin-ciang--hoat, yang sukar dicari tandingannya itu. Gerakan kedua tangannya yang menye-rang terisi dengan tenaga Im-yang-sin-kang, dan kadang-kadang pukulannya dicampur dengan It-ci-sian mengarah jalan darah yang berbahaya. Ternyata bagi Li Hwa bahwa lawan-nya ini hanya kelihatannya saja menye-ramkan dan berbahaya. Padahal ilmu silatnya hainyalah ilmu silat golongan hitam yang hanya berbahaya tampaknya dan tidak memiliki dasar yang kuat. Kalau berhadapan dengan ahli silat biasa, tentu Si Mayat Hidup ini merupakan lawan yang berbahaya sekali dan setiap serangannya dapat mendatangkan maut. Akan tetapi terhadap dia yang sudah me-nerima gemblengan seorang sakti seperti The Hoo, segera dara ini dapat melihat kelemahannya. Setelah bertanding selama tiga puluh jurus, tiba-tiba Li Hwa mengerahkan khi-kang, membentak keras sekali, kedua kakinya seperti kitiran angin melakukan tendangan Soan-hong-twi (Tendangan Angin Puyuh) sehingga lawannya merintih panjang dan terpaksa mengelak ke kanan kiri untuk menghindarkan tendangan bertubi-tubi yang amat berbahaya itu. Tiba-tiba tangan kiri Li Hwa bergerak dari atas, dikebutkan ke arah pundak lawan. “Krekk!” Si Mayat Hidup mengeluh dan sebuah tendangan tepat mengenai pinggulnya sehingga tubuh yang ringan itu terlempar sampai empat meter dan terbanting roboh. Di situ dia merintih karena tulang pundaknya terlepas dan pinggul yang tidak berdaging itu menjadi biru! Terdengar orang bersorak. Kiranya Ouwyang Bouw yang bersorak “Hidup calon isteriku yang perkasa!” Dia berlari menghampiri Li Hwa dan menjura dengan hormat. “Terimalah rasa kagum dan hormatku, Nona Souw calon isteriku yang cantik dan gagah perkasa!” Biarpun dia sudah menjaga diri agar tidak terserang marah, menghadapi pemuda ini, naik juga darah Li Hwa. Mukanya menjadi merah, matanya mendelik mengeluarkan sinar berapi dan dia mem-bentak. “0rang gila menjemukan! Mampuslah!” Tamparan tangan kiri Li Hwa itu sama sekali tidak ditangkis oleh Ouwyang Bouw yang hanya mengangkat sedikit kepalanya ke atas sehingga telapak ta-ngan Li Hwa yang menampar kepala itu mengenal pipinya. “Plakk...!” “Wah, terima kasih, Nona. Telapak tanganmu sungguh halus, hangat, dan harum sekali!” kata Ouwyang Bouw sam-bil mengelus-elus pipinya yang kena tam-par. Bukan main marahnya hati Li Hwa, apalagi mendengar suara ketawa anak buah Pulau Ular yang tertawa-tawa. Dia maklum bahwa pemuda gila ini tidak beleh disamakan dengan jagoan Nepal dan Si Mayat Hidup tadi, dan dia pun maklum bahwa dia tidak dapat mundur lagi. Melarikan diri tak mungkin, maka jalan satu-satunya hanya mengadu kepandaian untuk menuntut dikembalikannya bokor emas atau kalau perlu berkorban nyawa. “Srattt...!” Li Hwa sudah mencabut pedangnya. Dengan sikap gagah dia lalu berkata kepada Ban-tok Coa-ong, “Ban-tok Coa-ong, engkau sebagai tuan rumah di pulau ini, majulah. Mari kita tentukan siapa yang herhak membawa bokor emas di ujung pedang. Jangan mengajukan anakmu yang gila!” “Ha-ha, Nona Souw yang manis, calon isteriku yang cantik. Jangan begitu, ah! Menggodaku beleh saja, tapi jangan ke-terlaluan. Aku memang gila, siapa tidak akan tergila-gila memandang wajahmu yang cantik manis? Engkau ingin main--main dengan pedang? Baik, mari kulayani. Memang calon suami isteri harus menge-nal kelihaian masing-masing!” Pemuda sinting itu menggerakkan tangan kanannya dan sebatang pedang yang berbentuk tubuh ular telah tercabut keluar. Sambil melintangkan pedang ular yang mengerikan itu di depan dada, Ouwyang Bouw memasang kuda-kuda dengan lagak yang dibuat gagah sehingga kelihatan lucu namun menjemukan bagi Li Hwa karena pemuda itu tersenyum--senyum dan melirik-lirik kepadanya! “Iblis bermulut busuk!” Dia memaki dengan marah, pedangnya sudah bergerak menerjang dengan kecepatan laksana kilat. “Trang-trang-cringgg...!” Bunga api berpijar ketika kedua senjata itu bertemu berkali-kali. Merasa betapa pedangya tergetar oleh tangkisan pemuda itu, Li Hwa maklum bahwa tenaga sin-kang lawannya tidak lemah, maka cepat dia menggunakan tenaga lawan ketika menangkis lagi untuk mencelat ke atas, berjungkir balik dan dari atas tangan kirinya diayun. Sinar putih berkeredepan menyambar ke arah Ouwyang Bouw. Itulah gin-ciam (jarum perak), senjata rahasia Li Hwa yang amat lihai. “Aihhh... engkau pandai main jarum. Bagus...!” Ouwyang Bouw menggerakkan tangan kirinya dan lengan bajunya menerima jarum-jarum perak yang menancap dan berjajar rapi di ujung lengan baju-nya! Sambil tersenyum dia menggerakkan lengan baju itu dan sinar perak menyambar ke arah kaki Li Hwa yang masih belum turun ke atas tanah. Dara ini cepat menggerakkan pedangnya, diputar sedemikian rupa sehingga gulungan sinar pedang menggulung jarum-jarum peraknya sendiri itu, kemudian dia menggerakkan pedang dan jarum-jarum itu kembali melesat ke arah Ouwyang Bouw. “Cuiiitttt... trakkk...!” Sinar perak itu bertemu dengan sinar merah dan runtuhlah jarum-jarum perak itu bertemu dengan jarum-jarum merah yang dilepaskan oleh Ouwyang Bouw. Li Hwa terkejut. Kiranya dalam kepandaian melemparkan jarum, pemuda sinting itu tidak kalah pandai olehnya. Maka dia lalu berteriak nyaring dan menerjang maju, memutar pedangnya dengan hebat karena dara ini telah mengambil keputusan untuk merobohkan lawannya. “Kau hebat... kau cantik menarik, kau gagah perkasa... heeeiiitttt!” Ouwyang Bouw terpaksa melempar tubuh ke belakang dan bergulingan. Karena dia tadi bicara dan menggoda, maka hampir saja dia celaka oleh sinar pedang dara itu yang amat hebat. Dia cepat meloncat lagi melihat pedang lawan terus menge-jarnya, menangkis dan terpaksa balas menyerang ketika mendapat kenyataan bahwa ilmu pedang dara itu benar-benar amat lihai dan sama sekali tidak boleh dia lawan sambil bersendau-gurau! Pertandingan itu berlangsung dengan seru sekali dan ternyata oleh kedua pihak bahwa tingkat kepandaian mereka seimbang, baik mengenai kecepatan mau-pun tenaga sin-kang. Hanya bedanya, kalau ilmu pedang Li Hwa mengandung dasar yang amat kuat dan aseli, mempu-nyai daya tahan yang kokoh dan daya serang langsung dan menekan, sebaliknya ilmu pedang yang dimainkan oleh Ouwyang Bouw mengandung perkembangan yang penuh tipu muslihat, banyak gerakan pancingan dan pura-pura yang amat curang. Akan tetapi, karena Li Hwa selalu menyerang dengan niat membunuh lawan sedangkan sebaliknya pemuda yang tergila-gila itu tidak ingin melukai apalagi membunuh lawan, perlahan--lahan pemuda itu terdesak dan gulungan sinar pedangnya makin tertekan. “Jelas dia murid The Hoo dan kalau dia bisa dijadikan tawanan sebagai san-dera, tentu The Hoo tidak berani mengganggu kita!” Toat-beng Hoat-su barkata. “Benar sekali,” jawah Ban-tok Coa--ong sambil memperhatikan pertandingan antara dara itu dengan puteranya. “Bouw-ji (Anak Bouw) tidak tega melu-kainya, keadaannya amat berbahaya. Kalau sampai dia terluka, tentu dia akan lupa diri dan jangan-jangan dia akan membunuh dara itu. Sebaiknya kita turun tangan menangkapnya.” Toat-beng Hoat-su tidak percaya bahwa pemuda itu akan dapat mengalah-kan Li Hwa, akan tetapi dia diam saja, hanya mengangguk dan kedua kakek ini lalu bergerak maju ke medan pertandingan. Pada saat itu, pedang di tangan Li Hwa sedang bertemu dengan pedang ular di tangan Ouwyang Bouw. Kesempatan ini dipergunakan oleh dua orang datuk yang lihai itu untuk turun tangan, Ban-tok Coa-ong mengetuk pergelangan tangan kanan Li Hwa sehingga pedangnya terlepas sedangkan Toat-beng Hoat-su menepuk pundaknya. Li Hwa mengeluh dan roboh, tubuhnya disambar oleh pelukan Ouwyang Bouw. Dara itu yang lumpuh kedua tangannya, menggerakkan kaki menendang pusar, akan tetapi pemuda itu menangkap kakinya dan menotok punggungnya sehingga kini kedua kakinya lumpuh pula. Sambil tertawa-tawa Ouwyang Bouw memondong tubuh dara itu dan tangan kanannya masih memegang pedang ular, lalu membawa dara itu lari. “Bouw-ji... awas jangan kau sampai membunuhnya!” teriak Ban-tok Coa-ong. Ouwyang Bouw menoleh sambil tertawa. “Apakah Ayah telah menjadi gila? Aku cinta kepadanya, mana mungkin membunuhnya? Ha-ha-ha!” “Ha-ha-ha, engkau memang sudah pantas kawin, Anakku!” “Setahun lagi Ayah akan memondong cucu!” Pemuda gila itu tertawa-tawa sambil lari memhawa Li Hwa memasuki pondok yang menjadi tempat kediamannya. Ban-tok Coa-ong menyuruh anak buahnya menyingkirkan mayat Madhula dan mayat Sanghida yang tinggal tulang kemudian bersama Toat-beng Hoat-su dia kembali ke dalam pondok besar. “Harus dicegah agar puteramu jangan sampai membunuh tawanan penting itu,” kata Toat-beng Hoat-su, khawatir juga menyaksikan kelakuan pemuda yang edan-edanan itu. “Jangan khawatir. Agaknya anakku sekali ini benar-benar jatuh cinta. Alangkah baiknya kalau aku dapat berbesan dengan The Hoo. Tentu soal bokor emas bukan hal yang perlu dia ributkan lagi.” “Lebih penting lagi, dia tentu akan mau membuka rahasia bokor itu. Sungguh menjengkelkan. Susah-payah dicari dan diperebutkan, setelah berada di tangan kita, kita tidak mampu membuka rahasianya.” kata Toat-beng Hoat-su dengan wajah kesal. Berhari-hari mereka berdua menyelidiki bokor emas, membolak-balik, menekan sana-sini, namun belum juga dapat menemukan rahasianya. Padahal kabarnya bokor itu mengandung petunjuk tempat penyimpanan harta pusaka kitab-kitab pusaka yang amat luar bia-sa. Tidak takut bokor itu rusak dan raha-sianya ikut pula terusak, tentu mereka sudah membanting pecah benda pusaka itu! Kini mereka memasuki kamar raha-sia dan kembali kedua orang kakek yang menjadi datuk kaum sesat itu melanjut-kan penyelidikan mereka tentang bokor emas. Memang ada guratan-guratan aneh di sebelah dalam bokor, akan tetapi me-reka tidak dapat memecahkan rahasia guratan-guratan ini karena guratan-guratan itu bukan merupakan huruf-huruf yang dapat terbaca, juga bukan merupakan peta yang dapat dimengerti. Sementara itu, Li Hwa yang sadar akan tetapi tidak mampu menggerakkan kaki tangannya itu dipondong oleh Ouw-yang Bouw dan dibawa masuk ke dalam pondoknya, terus memasuki kamarnya dan dengan hati-hati, bahkan dengan lemah -lembut dan mesra dibaringkannya tubuh dara itu di atas pembaringannya yang mewah, bersih dan harum baunya. Namun diam-diam Li Hwa bergidik melihat be-tapa di dalam kamar itu penuh dengan belasan ekor ular-ular berbisa yang me-lingkar di sana-sini, merayap di sana-sini dalam keadaan jinak seolah-olah ular berbisa itu adalah binatang peliharaan dan kesayangan! Diam-diam dia mengam-bil keputusan bahwa kalau dia sempat dia akan memukul mati pemuda ini, ke-mudian mengamuk dan kalau perlu me-ngadu nyawa karena dia pun mengerti bahwa keselamatannya terancam hebat, bukan karena nyawanya yang terancam, juga kehormatannya! Setelah merebahkan tubuh Li Hwa, Ouwyang Bouw duduk di pinggir pemba-ringan itu, menatap wajah yang cantik itu penuh kagum, penuh kasih sayang, bahkan dengan pandang mata mesra. Pandang mata yang membuat Li Hwa bergidik karena pandang mata itu seolah--olah dapat dia rasakan menyelusuri se-luruh tubuhnya, seolah-olah pandang mata itu mampu menelanjanginya! “Moi-moi yang manis... kau menurutlah menjadi isteriku, hidup dengan makmur dan mulia di pulau ini, sebagai ratu! Ya, aku akan memuliakanmu sebagai seorang ratu... adikku yang tercinta...!” Namun Li Hwa memandang dengan mata mendelik penuh kebencian biarpun di dalam hatinya dia merasa khawatir sekali. Dia maklum bahwa jika pemuda gila itu pada saat dia lumpuh kaki tangannya melakukan segala kekejian terhadap dirinya, dia tidak akan mampu mempertahankan kehormatannya, tidak akan mampu membela diri. Hampir dia pingsan memikirkan kemungkinan yang mengerikan ini. Akan tetapi untung baginya pemuda itu memang tidak suka memperkosa wanita dan biarpun dia ingin sekali menguasai tubuh Li Hwa, namun dia mempunyai perasaan lain terhadap dara ini, tidak seperti perasaannya terhadap wanita-wanita lain yang telah menjadi korbannya. Dia sudah jatuh cinta kepada Li Hwa dan ingin mengambil Li Hwa ini sebagai isterinya! Karena itu, dia tidak akan menggunakan cara-cara yang keji untuk sementara waktu ini, hanya ingin mengandalkan bujukan dan rayuannya. Setelah dia menggunakan tali kain sutera yang halus akan tetapi kuat sekali untuk membe-lenggu kaki tangan dara itu, dia membebaskan totokan pada tubuh Li Hwa se-hingga dara itu tidak terlalu tersiksa, dapat menggerakkan kaki tangannya sungguhpun tidak berdaya melawan kare-na kaki dan tangannya dibelenggu di belakang tubuhnya. “Adikku sayang, kalau menu-rut, engkau akan kubebaskan dan kita akan merayakan pesta pernikahan kita di pulau ini” “Huh, lebih baik aku mati!” Li Hwa menjawab sambil membuang muka. Ouwyang Bouw tersenyum. “Kita sama lihat saja apakah engkau akan dapat terus berkeras kepala, Adikku. Engkau menolak orang seperti aku? Ha-ha, hendak memilih yang macam yang macam bagaimana? Lihat baik-baik, bukankan aku seorang pemuda yang tampan dan gagah?” Melihat betapa Li Hwa tidak mau menoleh, Ouwyang Bouw lalu meloncat dekat dan sekali menotok, dia membuat Li Hwa tak mampu menggerakkan lehernya lagi sehingga ketika mukanya dihadap-kan kepada pemuda itu, dia tidak dapat membuang muka. Terpaksa dia melihat pemuda itu bergaya di depannya, dengan senyum dibuat-buat dan dada diangkat. Bahkan kemudian pemuda itu menyeli-nap ke kamar lain dan ketika muncul kembali, dia telah mengenakan pakaian lain yang lebih mewah. Sampai tiga kali pemuda itu bertukar pakaian dan bergaya di depan Li Hwa seperti lagak seorang peragawan memamerkan pakaian. “Lihat, bukankah aku tidak kalah tampan oleh para pangeran di istana? Banyak wanita tergila-gila kepadaku, akan tetapi aku hanya memilih engkau, Li Hwa! Aku cinta kepadamu dan kau sudah tahu akan kelihaian ilmuku.” Li Hwa mencibirkan bibirnya, sengaja memperilhatkan muka dan sinar mata mengejek dan memandang rendah. “Apa engkau belum puas? Bukan ha-nya pakaianku saja yang membuat aku kelihatan tampan dan gagah, bahkan seluruh tubuhku pun tidak ada cacadnya! Nah, kaulihat baik-baik!” Pemuda yang sinting itu kini menanggalkan pakaiannya satu demi satu! Tadinya Li Hwa mengira pemuda itu memamerkan bentuk tubuh-nya yang memang tegap berotot, akan tetapi matanya yang terbelalak itu kemudian dipejamkan ketika tenyata bahwa pemuda itu menanggalken seluruh pakaiannya, termasuk pakaian dalamnya sehingga pemuda itu berdiri telanjang bulat di depannya, hanya mengenakan sepatunya! “Ha-ha-ha, engkau tidak tahan me-lihatku dan memejamkan mata? Bagus, kalau kau tidak memejamkan mata, eng-kau tentu akan tergila-gila, kepadaku!” Dapat dibayangkan betapa ngeri dan jijik rasa hati Li Hwa menghadapi pemu-da gila ini. Ketika tadi dia melihat pemuda itu menanggalkan baju dalamnya, sebelum dia memejamkan mata, dia me-lihat dada yang telanjang dan aneh, be-gitu dia memejamkan mata, tampaklah dada telanjang dari Yuan de Gama! Le-bih aneh lagi, muncul rasa rindu hatinya kepada Yuan, pemuda yang bersikap so-pan santun kepadanya, menjadi kebalikan dari pemuda sinting ini. Tanpa disadarinya, dalam keadaan terancam seperti itu, dia membayangkan wajah Yuan dan hati-nya menjeritkan nama pemuda asing itu! Sambil tertawa-tawa Ouwyang Bouw mengenakan lagi pakaiannya kemudian meninggalkan kamar setelah menyuruh beberapa orang penjaga melakukan penja-gaan di luar kamarnya. Li Hwa diting-galkan seorang diri di dalam kamar itu dan dia termenung, memutar otaknya mencari akal untuk dapat meloloskan diri dari tempat berbahaya ini. Satu-satunya harapannya adalah gurunya. Gurunya tahu akan bokor emas, telah menerima lapor-an pengawal Tio Hok Gwan dan gurunya tahu pula bahwa dia sendirian melakukan penyelidikan. Gurunya tentu mengirim orang-orang pandai, mungkin Tio Hok Gwan sendiri, mungkin pula Pendekar Sakti Cia Keng Hong, untuk menyerbu Pulau Ular dan saat inilah yang ditunggu-tunggunya karena hanya itu yang mung-kin akan memberi harapan baginya untuk lolos dari bahaya ini. Maka Li Hwa juga tidak mengambil keputusan pendek setelah dengan jelas dia melihat gelagat bahwa Ouwyang Bouw tidak akan memperkosanya, melain-kan hendak membujuknya agar dia suka tunduk dan menyerahkan diri. Kini dia dipindahkan ke dalam sebuah kamar ta-hanan. Belenggu kaki tangannya dilepas-kan, akan tetapi kedua kakinya diikat dengan rantai baja yang panjang, yang memungkinkan untuk bergerak dan berja-lan di dalam kamar tahanan itu, akan tetapi tidak memungkinkan dia untuk melarikan diri. Juga kedua tangannya dibelenggu dengan rantai baja yang pan-jang. Hanya rantai itu yang menyatakan bahwa dia menjadi tawanan. Akan tetapi selain dari rantai itu dia diperlakukan dengan baik, diberi kesempatan untuk mandi dan makan, bahkan para penjaga bersikap hormat kepadanya karena dia dianggap sebagai calon isteri Ouwyang Bouw! Sampai berhari-hari lamanya, Li Hwa tetap tidak mau tunduk dan selalu menyambut kedatangan Ouwyang Bouw ke kamarnya dengan caci maki. Di sam-ping ini, dia berlaku hati-hati sekali, selalu menggunakan jarum peraknya un-tuk memeriksa setiap makanan dan mi-numan agar jangan sampai dia dipenga-ruhi racun. Akan tetapi, ternyata bahwa Ouwyang Bouw belum sampai sejauh itu usahanya untuk menguasainya. Ouwyang Bouw menghendaki agar wanita yang membuatnya tergila-gila itu benar-benar tunduk bukan karena terpaksa oleh pe-ngaruh racun atau karena dia perkosa. Dan kesabaran seorang glia seperti dia memang luar biasa sekali! Tiga hari kemudian sejak Li Hwa ditangkap, sebuah perahu kecil meluncur cepat menuju ke Pulau Ular dari daratan Teluk Pohai. Di dalam perahu itu hanya ada seorang pemuda berkepala gundul yang bukan lain adalah Kun Liong. Pemuda ini mulai dengan penyelidikannya untuk membantu Li Hwa yang dikabarkan telah lebih dahulu melakukan penyelidikan. Kun Liong maklum betapa berbaha-yanya tempat tinggal orang-orang seperti Toat-beng Hoat-su dan Ban-tok Coa-ong maka dia sangat mengkhawatirkan ke-selamatan Li Hwa. Dia mulai mencari Pulau Ular dan hari telah malam ketika dia melihat bayangan pulau yang bentuknya seperti ular melingkar di atas batok di sebelah selatan itu, presis seperti penjelasan dan gambaran yang didapat-kannya dari keterangan Cia Keng Hong sebelum dia berangkat. Tiba-tiba Kun Liong terkejut. Hampir perahunya terguling ketika ombak tiba--tiba datang bergelombang! Dan malam itu mendadak saja menjadi gelap, bin-tang-bintang yang tadi menghias angkasa kini lenyap tertutup awan hitam. Wah, celaka! Benarkah datuk-datuk kaum sesat itu menggunakan ilmu hitam seperti yang didongengkan orang, sehingga setelah perahunya mendekati Pulau Ular dia diserang badai? Ilmu hitam atau bukan, dia harus berjuang melawan ombak yang datang bergulung-gulung! Dia memegang dayungnya dan sejenak pemuda yang bia-sanya tabah ini menjadi bingung juga. Tidak tampak lagi pulau tadi, tidak tam-pak pula deratan. Di sekelilingnya air menghitam dengan suara menderu-deru. Perahunya diombang-ambingkan ombak, tak tentu lagi arahnya. Betapapun tabahnya, Kun Liong menjadi gelisah. Selama ini, pengalamannya dengan air hanya di sepanjang Sungai Huang-ho, dan betapa pun lebar Sungai Huang-ho, dibandingkan dengan laut ini bukan apa-apa. Bagaimana kalau perahu-nya terguling? Dahulu dia pernah hanyut di sungai. Baru hanyut di sungai saja sudah sukar baginya untuk berenang ke tepi. Apalagi sampai hanyut di laut! Tiba-tiba tampak otehnya sinar api di depan. Terlambat dia mengetahui bahwa sinar itu adalah sinar lampu yang bergantungan di sebuah perahu yang besar. Tahu-tahu di depannya muncul tubuh perahu besar sekali, seperti iblis lautan hendak melawannya. “Heiii... ada perahu.. minggir...!” Kun Liong menggunakan suara yang didorong oleh tenaga khi-kang yang amat kuat untuk berseru. Suaranya melengking tinggi melawan gemuruh air laut yang bergelombang. Akan tetapi terlambat. Terdengar suara keras, perahunya pecah terguling dan dia sendiri terlempar ke dalam air! “Heii...! Tolooong, auuupp...!” Kun Liong gelagapan ketika mulutnya yang menjerit itu kemasukan air yang rasanya sampai pahit saking asinnya! Dia menggerakkan kaki tangan dan terasa betapa tubuhnya ringan sekali dan lebih mudah baginya untuk mengambang di permukaan air. Ini pengalaman baru baginya karena dia tidak tahu bahwa air yang asin membuat tubuhnya lebih ringan, tidak seperti di air tawar. Teriakan-teriakan Kun Liong yang amat nyaring tadi karena didorong oleh tenaga khi-kang ternyata ada juga gunanya karena terdengar oleh mereka yang berada di atas perahu. Beberapa sosok bayangan orang tampak di langkan ping-gir perahu, menjenguk ke bawah dan ada suara orang dalam bahasa asing. Kemudian tampak segulung tambang dilontar-kan ke bawah. Melihat ini, Kun Liong cepat menyambar tambang itu dan de-ngan girang dia merasa betapa tubuhnya diseret. Kemudian ditarik naik ke tubuh perahu. Beberapa pasang tangan memban-tunya naik. Kun Liong duduk terengah--engah di atas dek perahu, tidak peduli kepada beberapa orang yang datang membawa lampu perahu yang bergoyang--goyang. Dia mengerahkan hawa di perut untuk mendorong keluar air laut yang membuat perutnya membusung. Beberapa kali dia muntahkan air laut sampai pe-rutnya kosong kembali. Terlalu kosong sampai lapar! Barulah dia memperhatikan muka orang-orang yang merubungnya. Muka-muka yang asing berkulit putih. Mata yang biru! Akan tetapi pandang matanya terpikat dan melekat pada se-pasang mata biru indah yang... bukan main! Bulu matanya panjang, alisnya melengkung dan hidungnya mancung se-kali di atas sepasang bibir yang... bukan main! Baru sekarang Kun Liong menyak-sikan kecantikan seorang wanita yang hebat dan aneh dan... khas. Tahulah dia bahwa wanita muda yang memandangnya dengan mata setengah terpejam itu ada-lah seorang wanita sebangsa dengan Yuan de Gama, akan tetapi cantik bukan main. “Engkau siapakah? Mengapa malam--malam begini naik perahu kecil seorang diri? Apakah kau seorang nelayan?” Bibir yang merah manis itu menghujankan pertanyaan. Kun Liong tidak menjawab, terpesona oleh gerak bibir manis yang kadang-ka-dang memperlihatkan kilauan gigi putih tertimpa sinar lampu merah. “Ahh, apakah bahasaku tidak jelas? Aku baru belajar bahasa pribumi, maaf-kan kalau kaku...” “Aku mengerti semua, Nona. Baha-samu baik sekali... terima kasih... aku bukan nelayan, aku... aku sedang melancong...” “Ha-ha-ha, melancong di malam hari di atas perahu kecil di tengah laut! Bukan main anehnya bangsa pribumi!” Terdengar suara parau besar dan suara tertawa itu bergelak seperti gelora ombak gemuruh tidak terkekang. Kun Liong menoleh dan melihat seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan berwajah tampan, namun ram-butnya yang keemasan sudah mulai memutih di atas kedua telinga. Kumisnya tebal melintang di atas mulut dan sinar matanya lembut. Tiba-tiba terdengar seruan-seruan keras dalam bahasa asing disusul jeritan beberapa orang wanita muda yang berlari mendatangi. Keadaan di atas perahu besar itu menjadi kacau balau. Dara jelita tadi bersama teman-teman perem-puan lainnya berlari-larian memasuki bilik perahu, sedangkan laki-laki setengah tua yang gagah tadi mengeluarkan suara memerintah. Anak buah perahu yang terdiri dari belasan orang laki-laki asing yang berkaos loreng, sibuk hilir-mudik di atas perahu. Kun Liong merasa heran. Kesehatannya telah pulih kembali dan dia bangkit berdiri. Keadaan di atas perahu itu kini terang benderang karena para anak buah perahu menyalakan banyak lampu yang digantungkan di sekeliling perahu. Kira-nya di dekat perahu besar itu kini tam-pak muncul enam buah perahu kecil yang seperti iblis bermunculan dari dalam gelap, dan di atas perahu-perahu kecil itu berdiri orang-orang yang mremegang senjata golok dan pedang. Setiap perahu terdapat tiga orang sehingga semuanya ada delapan belas orang. Setelah pera-hu-perahu kecil menempel pada perahu besar seperti sekumpulan lintah, tampak tali-tali melayang dari bawah, ujungnya ada kaitannya dan orang-orang itu memanjat ke atas, bahkan ada yang lang-sung meloncat dari perahu kecil ke atas perahu besar dengan gerakan ringan sekali. “Hemmm, bajak-bajak laut,” pikir Kun Liong dan cepat dia melangkah maju. Cepat sekali para bajak itu sudah berada di atas perahu besar dan terjadilah perkelahian seru antara para bajak laut dan anak buah perahu. Kakek tua gagah perkasa itu pun ikut berkelahi. Dengan kedua tangan terkepal dia mengamuk. Seorang bajak menyerangnya dengan go-lok, kakek asing itu mengelak, akan te-tapi bahu kirinya terserempet golok sehingga terluka. Tanpa mempedulikan lukanya, kakek itu menghantam dada bajak itu dengan kepalan tangan kanannya, membuat bajak itu terjengkang dan terbatuk-batuk. Bajak ke dua sudah da-tang menyerbu dengan pedang diputar--putar di atas kepala, langsung membacok, akan tetapi tiba-tiba tubuhnya men-jadi kaku karena dari belakang dia telah ditotok oleh Kun Liong. Pemuda ini lalu menarik lengan bajak itu, sekali dia mengayun tangan, tubuh bajak itu ter-lempar ke luar perahu besar! Kun Liong tidak mempedulikan seruan girang kakek berkumis melintang yang agaknya menjadi pemilik perahu besar itu, terus dia menyerbu ke depan. Se-orang bajak menyambutnya dengan bacokan golok. Kun Liong miringkan tubuhnya, menampar lengan yang memegang golok. Orang itu berterlak kesakitan, goloknya terlepas, akan tetapi dia nekat dan menerjang Kun Liong dengan tangan kanan mencengkeram leher, Kun Liong menyambut tangan itu dengan tangkisan, kemudian kakinya menendang. “Desss!” Tubuh bajak ini pun terlem-par keluar dari perahu besar. Kun Liong tahu bahwa pada saat itu ada golok menusuk dari belakang meng-arah punggungnya. “Saudara muda, hati-hati belakang-mu...!” Kakek itu berseru, akan tetapi Kun Liong yang sudah menangkap seorang bajak lain, tidak mempedulikan tusukan itu melainkan mengerahkan sin-kangnya. Ujung golok itu mengenai punggungnya, merobak bajunya sampai terbuka lebar akan tetapi ketika mengenai kulitnya yang terlimdung sin-kang dari dalam, golok itu meleset. Kun Liong melemparkan orang yang ditangkapnya, membalik dan tendangannya membuat orang yang menusuknya tadi terjungkal, kemudian dia pun melemparkan orang ini ke luar pera-hu. Amukan Kun Liong membuat para bajak yang terdiri dari orang Nepal berambut panjang dan orang-orang Han yang kasar itu menjadi jerih. Mereka bersuit panjang dan seorang demi seorang melompat keluar dari perahu besar. Para anak buah perahu besar menjenguk ke luar, melihat betapa para bajak yang pandai berenang itu saling bantu menye-lamatkan diri dengan perahu-perahu kecil mereka dan sebentar saja perahu-perahu itu lenyap ditelan kegelapan malam. Kun Liong dirubung semua orang. Kakek asing itu memerintahkan agar perahunya mengambil arah ke utara, menjauhi sebuah pulau yang sore tadi nampak, karena dia menduga bahwa agaknya bajak-bajak itu datang dari pu-lau itu, deratan yang terdekat dari situ. Kun Liong menghapus peluh den air laut yang membasahi muka, leher dan kepalanya yang gundul. Dia dihujani pertanyaan oleh orang-orang yang merubung-nya, akan tetapi karena pertanyaan itu ditujukan dalam bahasa asing, dia hanya tersenyum, tak tahu apa yang mereka maksudkan. “Kalian telah menolong aku dari laut, sudah semestinya aku membantu kalian mengusir bajak-bajak jahat itu,” katanya berkali-kali karena dia menduga bahwa agaknya mereka itu menyatakan terima kasih mereka. Makin bingunglah Kun Liong ketika muncul dara jelita bermata biru tadi bersama tiga orang wanita muda lain yang agaknya adalah pelayan-pelayannya. Tiga orang wanita muda yang rambutnya memakai kerudung dan wajahnya manis--manis, sikapnya genit-genit itu pun menghujaninya dengan pertanyaan, se-nyuman dan kerling mata penuh kagum, membuat Kun Liong tersenyum meringis dengan kemalu-maluan sambil memandang ke arah dara jelita yang sejak tadi me-mandangnya dengan senyum dan pandang mata kagum. “Ahhh, ternyata engkau sebangsa pendekar yang sering kudengar dicerita-kan kakakku. Dan engkau mentang hebat, pendekar gundul...!” kata dara jelita itu. Kun Liong tersenyum-senyum dan menggerak-gerakkan kepalanya yang gun-dul. Baru sekarang gundulnya tidak dipergunakan orang untuk mengejek atau dianggap pendeta, melainkan dijadikan sebutan pendekar gundul! “Aaaah, aku... aku biasa saja, Nona...!” katanya agak gagap karena sinar mata biru itu benar-benar mempesona. “Heiiii, jangan dirubung seperti ini! Minggir, minggir!” Tiba-tiba kakek asing itu datang dan sambil tertawa girang dia menyodorkan tangannya kepada Kun Liong. Tentu saja Kun Liong tidak me-ngerti dan memandang tangan yang diso-dorkan, bahkan otomatis sin-kangnya bergerak ke arah perut dan dada karena dia mengira bahwa kakek itu akan me-nyerangnya! Sebetulnya kakek asing itu mengajaknya bersalaman, tanda menghormat bagi bangsanya. Akan tetapi persangkaan Kun Liong lain lagi. Melihat tangan yang besar dan kelihatan kuat itu diacungkan miring seperti hendak menyodoknya, otomatis dia “memasang” sin-kangnya melindungi perut dan memandang kakek itu dengan sinar mata tajam penuh selidik! “Perkenalkan, saya adalah Richardo de Gama. Siapakah nama Tuan Muda yang gagah perkasa dan yang telah menolong dan menyelamatkan kami dari serbuan bajak laut?” Mendengar ucapan yang kaku namun jelas itu barulah Kun Liong mengerti bahwa dia salah sangka, maka ketika tangan itu menjabat tangannya, dan mengguncang-guncang, dia diam saja tidak menarik tangannya dan balas tersenyum ramah. Apalagi mendengar nama itu, teringatlah dia akan Yuan de Gama! “Nama saya Yap Kun Liong dan harap Tuan jangan bicarakan tentang pertolongan. Bajak-bajak itu memang jahat dan pantas diusir. Mendengar nama Tuan, apakah Tuan masih ada hubungan dengan Yuan de Gama?” “Yuan...?” Terdengar seruan halus dan ternyata dara permata biru tadi yang berseru dan memegang lengan Kun Liong, memandangnya penuh perhatian. “Yuan adalah kakakku. Apakah engkau kenal dengan Yuan?” Berseri wajah Kun Liong. Kiranya dara jelita ini adalah adik perempuan Yuan de Gama. Dengan mata terbelalak dan terpesona menatap wajah cantik dan mata biru itu, dia menggumam, “Engkau... Adik Yuan?” Gadis itu mengangguk. Manis sekali ketika senyum lebar memperlihatkan deretan gigi putih mengkilap. “Aku Yua-nita... Yuanita de Gama.” “Yuanita...!” Nama yang terdengar aneh, lucu dan indah bagi telinga Kun Liong, dan ketika dia menyebut nama itu, logat lidahnya juga terdengar aneh dan lucu bagi Yuanita, lucu akan tetapi menyenangkan sehingga dia tertawa geli. “Aku pernah bertemu dan berkenalan dengan dia, seorang pemuda yang tampan dan gagah perkasa,” Kun Liong melanjut-kan kata-katanya dengan setulusnya ka-rena memang dia menyaksikan sikap Yuan de Gama yang pernah bertanding dalam beberapa jurus dengannya dan pernah dilihatnya ketika pemuda itu menyelamatkan Li Hwa. “Ha-ha-ha! Kiranya sahabat Yuan! Pantas saja begini hebat. Tuan Muda, ternyata engkau adalah seorang tamu kehormatan, seorang sahabat baik. Te-rima kasih kepada Tuhan yang telah mempertemukan kami dengan engkau!” “Ayah, pakaian Yap-taihiap (Pendekar Besar Yap) basah semua dan robek-robek. Selayaknya seorang tamu agung disambut dengan hormat dan baik,” kata Yuanita. “Ha-ha-ha! Saking girang hatiku, aku sampai lupa. Terserah kepadamu!” kata kakek itu. Yuanita lalu memberi aba-aba kepada tiga orang pelayannya. Tiga orang gadis yang genit-genit itu tertawa, lalu mereka memegang kedua lengan Kun Liong dan menarik-narik pemuda itu memasuki ruangan perahu di bawah. “Eh-eh... apa ini...? Ke mana...? Eh, mengapa menyeret saya...?” Kun Liong membantah, akan tetapi dia pun tidak tega untuk menggunakan kekerasan, maka dia membiarkan dirinya ditarik-tarik oleh tiga orang pelayan muda itu, diikuti suara ketawa bergelak dari Richardo de Gama dan anak buahnya serta senyum lebar yang manis dari Yuanita. Kun Long yang tersenyum-senyum masam karena malu dan bingung itu ditarik oleh tiga orang pelayan wanita muda dan genit-genit yang tertawa-tawa itu ke dalam sebuah kamar di perahu itu. “Eh, kalian ini mau apa?” Berkali--kali Kun Liong bertanya. Akan tetapi tiga orang wanita itu mengeluarkan ucapan dalam bahasa asing yang sama sekali tidak dimengerti oleh Kun Liong. Mereka menunjuk-nunjuk ke sebuah tong kayu besar bundar yang terisi air jernih. Karena tidak mengerti, Kun Liong menghampiri tong air itu dan menjenguk ke dalam. Airnya jernih sekali, akan tetapi tidak ada apa--apanya yang aneh, maka dia tersenyum menyeringai, memandang tiga orang gadis pelayan itu berganti-ganti dan mengang-kat pundaknya. “Ini air... dalam tong, airnya jernih sekali, tapi ada apa?” Kun Liong berta-nya. Tiga orang itu saling pandang, lalu saling bicara ramai dalam bahasa yang bagi telinga Kun Liong seperti kicau burung yang tidak karuan artinya. Kemu-dian seorang di antara mereka, yang agaknya sudah dapat “memungut” sepatah dua patah kata-kata dalam bahasa pri-bumi, menunjuk ke arah air di tong air itu sambil berkata kaku, “Mandi...! Man-di...!” “Mandi...!” Dua orang gadis lainnya bersorak dan menunjuk-nunjuk ke tong air. Kun Liong terbelalak, “Mandi...?” Dia bertanya dan memandang bingung. Jadi dia disuruh mandi? Dipandangnya pakai-annya yang basah kuyup dan robek, dan hidungnya memang mencium bau amis air laut. Dilihatnya seorang di antara tiga pelayan wanita muda itu menuangkan sesuatu dari dalam botol kecil dan ter-ciumlah bau wangi sekali ketika isi botol itu memasuki air di tong. “Mandi...!” Tiga orang dara itu ber-kali-kali mendesaknya. Kun Liong makin bingung. Ah, lebih baik diturut saja kehendak tiga siluman cantik ini, pikirnya, kalau tidak tentu mereka tiada akan sudahnya mengganggunya. “Baiklah. Aku akan mandi. Nah, kalian keluarlah dari kamar ini!” Telunjuknya menuding ke arah pintu kamar itu. Tiga orang gadis itu saling pandang dan kelihatan bingung. Mereka kelihatan menjadi hilang sabar dan mendekati Kun Liong, mendorong-dorongnya dengan halus sambil menunjuk-nunjuk ke arah tong air dan bibir mereka berkata dengan kaku dan sukar, “Mandi... mandi... mandi...!” Celaka, pikir Kun Liong. Kalau dia menolak dan memaksa diri lari keluar untuk membebaskan diri dari desakan tiga orang gadis itu, tentu dia akan menghadapi keadaan yang membuatnya tidak enak dan canggung. Begitu pun aneh dan asingnya, jelas bahwa pihak tuan rumah bersikap hormat dan baik kepadanya. Agaknya karena mereka tadi melihat pakaiannya kotor basah dan robek, dia dipersilakan mandi lebih dulu. Akan tetapi mana mungkin mandi dijaga oleh tiga orang gadis pelayan yang cantik-cantik, genit-genit, dan cerewet akan tetapi tidak dia mengerti ucapannya itu? “Baiklah! Mandi ya mandi...!” Akhirnya dia berkata kesal dan serta merta dia meloncat ke dalam tong air! “Byuuurrr...!” Air itu sungguh sejuk menyegarkan dan berbau harum! Seperti induk-induk ayam berkotek, petok-petok dengan sikap yang sibuk sekali, tiga orang gadis pelayan itu mengelilingi tong air. Mereka berteriak--teriak tanpa dimengerti oleh Kun Liong, kemudian seorang di antara mereka agaknya ingat akan hafalannya dan ber-kata, “Pakaian... pakaian...!” “Hehh? Apa? Pakaian...?” Kun Liong tidak mengerti dan tiba-tiba tiga orang gadis pelayan itu menyerbunya, menarik--narik baju dan celananya dengan paksa untuk menanggalkan pakaiannya! “Heiii... eh-eh, heeiiittt... aduh bagaimana ini...?” Kun Liong berteriak-teriak, akan tetapi tiga orang wanita muda itu tertawa-tawa dan tidak mau melepaskan lagi pakaiannya sehingga akhirnya baju dan celananya terlepas dan ditarik lolos dari tubuhnya. “Wah, kalian rusuh...! Kailan melanggar susila...! Wah, bagaimana ini...?” Kun Liong yang kini telanjang bulat itu merendam tubuh di dalam air dan menggunakan kedua tangannya untuk menutupi bawah pusar. Hanya kepalanya yang gundul itu tampak di atas permukaan air, kepalanya menjadi merah mengikuti warna mukanya, merah karena jengah, malu, dan juga bingung dan ngeri! Akan tetapi tiga orang gadis pelayan itu tidak mempedulikan semua protesannya. Mereka melemparkan pakaian kotor itu di sudut kamar, kemudian dengan senyum manis mereka menyerbu Kun Liong dan mulailah mereka memandikan pemuda itu. Ada yang menyabuni tubuhnya, ada yang menggosok-gosok kepala gundulnya, dan ada yang menggunakan air harum itu menyiram mukanya. Sabun itu pun wangi sekali dan kini mengertilah Kun Liong bahwa mereka itu ternyata benar-benar sedang memandikannya! Digosok-gosok dan dipijit-pijit pundaknya, terasa nyaman sekali sehingga dia tidak meronta lagi. Hanya bersandar kepada pinggiran tong itu dengan kedua tangan masih melindungi anggauta rahasianya dan matanya merem melek, bukan karena keenakan saja melainkan karena kadang-kadang terasa pedas kemasukan air sabun. Mulutnya mengomel panjang pendek, sungguhpun bukan omelan marah lagi. “Ihh, kalian ini apa-apaan sih? Apakah aku ini dianggap bayi? Mentang-mentang kepalaku gundul... masa ada bayi sebegini besarnya? Sudahlah, sudah... aku bisa mandi sendiri!” Akan tetapi tentu saja tiga orang gadis itu tidak mengerti ucapannya dan terus memandikannya sambil bicara sendiri dalam bahasa mereka, tersenyum-senyum dan kadang-kadang, seorang di antara mereka yang termanis dan tergenit, menggunakan telunjuk dan ibu jari tangannya mencubit paha Kun Liong. Menghadapi tiga dara yang berwajah cantik manis, bersikap lincah dan genit, mencium bau harum dari air tong, sabun, dan yang keluar dari rambut dan pakaian tiga orang pelayan itu, merasakan betapa jari-jari tangan yang halus itu memijit-mijitnya dengan mesra, mendengar suara mereka bersendau-gurau biarpun dia tidak mengerti artinya, semua ini mendatangkan perasaan aneh pada dirinya. Debar jantungnya makin keras, menggedur-gedur seperti akan memecahkan dadanya, tubuhnya panas dingin dan tegang. Keadaan dirinya ini membuat Kun Liong menjadi makin bingung dan akhirnya dia maklum bahwa kalau tiga orang pelayan itu tidak segera pergi, dia takkan kuat bertahan dan entah akan apa jadinya! “Sudah! Sudah... cukup! Aku bisa mandi sendiri. Pergilah kalian, pergilah...!” katanya sambil menggunakan sebelah tangan menepuk-nepuk air sehingga air memercik ke arah muka tiga orang pelayan itu, sedangkan tangan yang sebelah lagi tetap dipergunakan untuk menutupi tubuh bawah. Karena Kun Liong mempergunakan sin-kang, maka tepukannya itu mengandung tenaga kuat sekali sehingga percikan air itu terasa pedas dan panas ketika mengenai muka tiga orang pelayan itu. Mereka menjerit dan mundur kemudian bicara dalam baha-sa mereka dan seorang di antara mereka mengeluarkan setumpuk pakaian yang ditaruhnya di atas bangku. “Keluar! Keluarlah kalian!” Kun Liong berkata sambil menuding ke arah pintu. Tiga orang pelayan itu mengangkat pun-dak, menggerakkan kepala untuk memin-dahkan gumpalan rambut yang terurai itu ke belakang, kemudian sambil tersenyum dan tertawa-tawa mereka keluar dari kamar itu. Bukan main lega hati Kun Liong. Cepat sekali, takut kalau mereka kemba-li, dia meloncat keluar dari tong air. menyambar handuk dan menyusuti tubuh-nya yang basah, kemudian mencari-cari pakaiannya. Celaka, pakaiannya tidak ada lagi, tentu diambil oleh gadis-gadis itu! Karena takut mereka itu kembali sebe-lum tubuhnya yang telanjang itu tertutup pakaian, dia lalu menyambar pakaian yang ditinggalkan oleh mereka di atas bangku. Ternyata pakaian itu adalah se-potong celana dan sepotong baju yang bersih dan aneh karena selain jubah ber-lengan panjang terdapat pula baju berlengan pendek dan kain pembungkus atau pelindung leher. Terpaksa dia memakai pakaian itu dan diam-diam dia mengeluh ketika dia melihat tubuh bawahnya yang sudah bercelana. Celana itu potongannya sempit sekali sehingga biarpun seluruh pakaiannya tertutup, dia merasa seperti masih telanjang! Betapapun juga, ini jauh lebih baik daripada tidak berpakaian sama sekali. Maka, sambil mengingat--ingat cara Yuan de Gama berpakaian, dia lalu memakai rompi dan jubahnya, sedangkan pelindung leher itu hanya dia kalungkan saja di lehernya. Di ujung kamar itu terdapat sebuah cermin. Ke-tika Kun Liong melihat bayangannya sendiri di cermin itu, dia menyeringai. Betapa lucu keadaannya! Daun pintu kamar terbuka, dan ter-dengar suara halus, “Sudah selesaikah Tai-hiap mandi? Kami telah menunggu--nunggu Tai-hiap untuk makan malam.” Kun Liong cepat membalikkan tubuh dan memandang Yuanita. Sejenak dia terpesona. Dara ini agaknya sudah bertukar pakaian. Pakaian dari sutera biru yang panjang sampai ke kaki, rambutnya disanggul indah dan dihias permata. Teringatlah dia akan keadaannya sendiri dan tiba-tiba mukanya menjadi merah sekali. Dara ini demikian cantik jelita, sedangkan dia seperti badut! “Maaf... aku... aku tentu kelihatan seperti seorang badut wayang!” Akhirnya dia berkata ketika dia melihat betapa dara itu pun memperhatikannya. Yuanita tertawa. Tertawa dengan bebas lepas, tidak malu-malu atau menutupi mulut yang tertawa dengan tangan seperti kebiasaan dara-dara pribumi. Akan tetapi anehnya, kebebasan dara ini tidak membayangkan kekasaran, padahal tertawa seperti itu kalau dilakukan oleh seorang gadis pribumi, tentu akan kelihatan kasar dan tidak sopan! Kun Liong makin kikuk, mengira bahwa dara itu tentu mentertawakan keadaan pakaiannya yang lucu dan tidak cocok untuknya itu. “Aku seperti badut dan... dan Nona... begitu cantik seperti bidadari...!” Yuanita menghentikan tawanya dan kini dia memandang kepada pemuda itu dengan sinar mata penuh kagum. “Yap-taihiap, engkau mengingatkan aku kepada seorang panglima muda di Thian-cin yang menjadi utusan Kaisar menemui Ayah. Aku amat kagum kepada panglima muda itu, tampan, gagah perkasa dan... seperti engkau. Hanya bedanya, dia angkuh sedangkan engkau begini rendah hati. Hal ini membuat aku makin kagum kepadamu, Tai-hiap. Engkau telah memperlihatkan kegagahan, menolong kami, engkau begini gagah dan tampan akan tetapi engkau merendahkan diri dan memuji-muji orang lain.” Kata-kata ini membuat Kun Liong makin merasa canggung. “Ahhh, aku... aku orang biasa saja... seorang gundul yang...” Kembali Yuanita tertawa dan melangkah maju, menggandeng lengan Kun Liong sambil berkata, “Sudahlah, kalau engkau merendah terus seperti itu, aku bisa menjadi bersedih dan menangis! Ayah sudah menanti kita di ruangan makan. Hayolah!” Jantung Kun Liong berdebar tidak karuan. Sikap dara ini begini bebas. Mana ada seorang dara jelita yang baru saja dikenalnya telah berani menggandeng-gandengnya seperti itu, lengan mereka saling bergandengan, ketika berjalan kadang-kadang si pinggul yang meliuk-liuk itu menyentuh pahanya. Ketika mereka memasuki ruangan di mana tampak Richardo de Gama duduk menghadapi meja besar, Kun Liong hendak merenggut tangannya. Apa akan kata ayah dara itu kalau melihat mereka bergandengan tangan seperti itu? Akan tetapi agaknya Yuanita merasa akan gerakannya, maka dara itu menggandeng lebih erat lagi! Hal ini membuat Kun Liong khawatir sekali dan dia memandang ke arah kakek asing itu dengan bingung. Akan tetapi Richardo bangkit dan menyambutnya dengan tertawa lebar dan wajahnya berseri-seri. “Aaakhhh... Yap Kun Liong-taihiap, engkau sudah berganti pakaian kering? Kau gagah sekali. Silakan duduk dan mari kita makan bersama.” Yuanita melepaskan tangannya dan berkata kepada ayahnya, sengaja bicara dalam bahasa pribumi agar tamunya mengerti, “Ayah, Tai-hiap terlalu meren-dahkan diri, bikin orang penasaran saja!” “Ha-ha-ha, begitulah sikap seorang pendekar sejati dari negeri ini, Anakku! Dalam bicaranya merendah sampai tidak kelihatan, akan tetapi sepak terjangnya menonjol tinggi penuh kegagahan.” Kun Liong duduk bersama ayah dan anak itu dan kembali dia merasa kikuk sekali ketika harus makan dari piring dan menggunakan garpu, pisau dan sendok. Sambil tertawa-tawa Yuanita mengajarinya, akan tetapi karena kikuk sekali akhirnya Richardo menyuruh pelayan mengambil sepasang sumpit. Barulah lega hati Kun Liong dan dia dapat makan seperti yang dikehendakinya. Mereka makan sambil bercakap-cakap dan dalam pem-bicaraan ini Kun Liong mendengar bahwa Richardo de Gama adalah pemimpin rombongan saudagar yang hendak ber-dagang di Tiongkok. Bahkan setelah pemberontakan yang dibantu oleh beberapa orang asing, hal yang tidak disetujui Richardo itu gagal, Richdrdo yang mengajukan permohonan kepada Kaisar menemui pejabat, akhirnya dapat bicara dengan utusan Kaisar sendiri dan memperoleh ijin untuk berdagang di pantai Teluk Pohai. “Kami sekarang sedang mencari Kapal Kuda Terbang yang disewa oleh rombongan Legaspi Selado,” kakek itu melanjutkan. “Yang dipimpin oleh Yuan de Gama?” Kun Liong bertanya. KAKEK itu menghela napas. “Benar dan itulah kesalahan kami. Kami telah menyewakan kapal itu kepada rombongan Selado yang ternyata amat jahat sehingga anakku Yuan ikut pula terbawa- bawa, terseret ke dalam petualangan Legaspi Selado. Mendengar betapa Legaspi Selado bersekutu dengan pemberontak, aku segera menyusul ke sini dan aku akan membatalkan kontrak persewaan Kapal Kuda Terbang itu karena telah dipergunakan untuk pekerjaan buruk.” “Siapakah sebenarnya Legaspi Selado yang berilmu tinggi itu?” Kun Liong ber-tanya lagi. “Sebetuinya dia adalah bekas seorang jenderal yang telah dipecat oleh peme-rintah karena perbuatannya yang kotor dan berkhianat. Sedangkan anak buahnya itu pun ternyata adalah orang-orang ja-hat yang menjadi buruan pemerintah di negara kami.” “Anakku Yuan de Gama terpaksa ter-libat karena selain dia mewakili aku menjadi kapten kapal juga dia menjadi murid Legaspi Selado.” Kun Liong mengangguk-angguk dan kini mengertilah dia mengapa seorang pemuda sebaik Yuan de Gama sampai membantu orang jahat seperti Legaspi Selado kakek botak yang lihai itu. “Akan tetapi persekutuan pemberontak itu telah dibancurkan, tentu Legaspi Selado tidak akan menyusahkan Yuan lagi.” Kakek itu mengelus jenggotnya. “Hemmm... siapa tahu isi hati orang seperti Legaspi Selado? Selama dia masih menyewa Kapal Kuda Terbang, Yuan akan terus terikat. Sebagai kapten kapal, ten-tu Yuan tidak akan dapat meninggalkan kapalnya dan apa pun yang dilakukan oleh Legaspi Selado, berarti Yuan akan ter-seret.” Mereka bercakap-cakap setelah makan dan Kun Liong merasa makin suka kepa-da kakek yang luas pengetahuannya itu, sebaliknya Richardo juga kagum kepada Kun Liong yang berwajah jujur dan polos, sepolos kepalanya yang gundul! Mereka bercakap-cakap di dek perahu itu. Ketika Yuanita muncul, gadis itu berkata, “Ahh, kalian berdua bercakap-cakap sejak tadi tiada sudahnya. Ayah, biasanya Ayah tidak berani terlalu lama terkena angin malam membuat Ayah sakit.” Dengan gaya manja gadis itu merangkul leher ayahnya. Richardo tertawa, lalu bangkit berdiri. “Wah, asyik benar bicara dengan Yap--taihiap, sampai aku lupa waktu. Yap-taihiap, aku hendak mengaso dulu, biar-lah Yuanita yang menemanimu bercakap-cakap.” Orang tua itu lalu meninggalkan dek dan bangku tempat duduknya kini diduduki oleh Yuanita. Berdebar jantung Kun Liong menyaksikan kebebasan kedua orang ayah dan anak itu. Baru sekarang dia melihat betapa seorang ayah meninggalkan anak gadisnya begitu saja untuk menemani seorang pemuda bercakap-cakap di dek yang sunyi, di waktu malam lagi! “Nona...” Yuanita menoleh kepadanya dan me-mandang dengan senyum, akan tetapi alisnya berkerut ketika dia menegur, “Namaku Yuanita, dan setelah menjadi sahabat, harap jangan menyebut nona lagi kepadaku, Tai-hiap.” Kun Liong tersenyum. “Kau mau me-nang sendiri saja, Yuanita. Aku bukan pendekar besar kau selalu menyebutku tai-hiap, sedangkan kau, seorang nona yang cantik dan kaya raya, pula terpela-jar dan pandai, begitu merendah minta disebut namanya saja. Di mana keadilan kalau begini? Kaupun sudah tahu bahwa namaku Kun Liong.” Yuanita tertawa dan memegang ta-ngan pemuda itu. “Kau lucu dan baik sekali, Kun Liong. Aku sungguh merasa gembira dapat bersahabat denganmu. Sama sekali aku tidak mengira bahwa di antara bangsa pribumi di negara ini ter-dapat seorang seperti engkau. Aku selalu membayangkan bahwa semua penduduk pribumi memandang rendah kepada semua orang asing, menganggap semua orang asing sebangsa manusia biadab. Dan aku membayangkan bahwa semua orang yang disebut pendekar di negaramu adalah orang-orang kejam yang mudah memainkan pedang memenggal kepala orang dan mengirim kepala itu sebagai hadiah ke-pada keluarga musuhnya! Kiranya engkau amat baik dan rendah hati, engkau se-perti seorang kanak-kanak yang berhati tulus dan wajar...” “Wah, karena kepalaku gundul kau menganggap aku kanak-kanak?” Kun Liong tertawa. Yuanita juga tertawa. “Maaf, aku tahu kau bukan kanak-kanak lagi. Tiga orang pelayan itu menceritakan sikapmu di waktu kau mandi...” Kun Liong cepat menoleh ke kanan kiri. “Tiga orang wanita genit itu? Iihhh, mereka membikin aku merasa ngeri. Mengapa ada kebiasaan seaneh itu pada bangsamu, Yuanita?” “Ah, mereka hanya pelayan-pelayan dan mereka sudah biasa melayani majikan dan para tamu pria yang manja.” “Aku pun tadinya mendengar kabar yang menyeramkan tentang bangsamu, bangsa kulit putih yang berambut berwarna dan bermata biru. Bahkan aku mendengar bahwa mereka itu adalah bangsa biadab yang suka makan daging manusia, sebangsa siluman yang berbahaya dan yang datang ke negeri kami hanya untuk menipu bangsa kami. Akan tetapi setelah bercakap-cakap dengan ayahmu, aku mendapat kenyataan bahwa ayahmu adalah seorang tua yang luas pengetahuannya, pandai dan bijaksana. Apalagi melihat engkau...” “Bagaimana?” Yuanita menyambung ketika Kun Liong berseru. “Apakah aku seperti siluman berambut kuning berkulit putih bermata biru yang suka makan daging manusia?” “Wah, sama sekali tidak! Sungguh tolol aku kalau dulu pernah merasa ngeri mendengar kabar bohong itu. Ternyata di antara bangsamu yang dikabarkan menakutkan itu terdapat orang-orang seperti ayahmu yang bijaksana, seperti Yuan yang tampan dan gagah berani, seperti engkau yang... yang begini cantik jelita, jujur dan amat ramah dan baik hati.” “Benarkah engkau menganggap aku cantik jelita? Bukankah karena perbedaan kulit dan warna rambut serta mata membedakan pula selera pandangan ter-hadap kecantikan seseorang?” “Engkau memang cantik sekali, Yuanita,” kata Kun Liong sambil memandang penuh perhatian wajah yang tertimpa cahaya merah dari lampu gantung itu. “Dan kurasa, cantik tidaknya seseorang tergantung dari rasa suka di hati. Kalau hati merasa cocok dan suka, tentu kelihatan cantik, sebaliknya kalau tidak tentu akan kelihatan buruk. Dan agaknya watak dan sikap seseoranglah yang menentukan cantik tidaknya orang itu. Dan engkau... amat manis dan baik hati, siapa yang takkan merasa suka sehingga engkau kelihatan selalu cantik jelita?” Dara itu memandang dengan sinar mata bercahaya dan wajah berseri. “Wah, engkau memang mengagumkan sekali, Kun Liong! Yuan tentu senang sekali denganmu, engkau tentu menjadi sahabat baiknya!” “Sayang bahwa pertemuan antara kami hanya sebentar saja,” Kun Liong lalu menceritakan pertemuannya dengan Yuan de Gama yang mengakibatkan me-reka untuk beberapa gebrakan mengadu tenaga. “Ahhh, kasihan kakakku itu...” Yuani-ta berkata setelah Kun Liong menyelesaikan penuturannya. “Dia adalah seorang yang berhati baik, akan tetapi karena dia terlalu suka mempelajari ilmu berkelahi, dia menjadi murid Kakek Legaspi Selado yang mengerikan itu. Ketika kapal Ayah disewa oleh rombongan Legaspi, Yuan menjadi kapten kapal menggantikan Ayah. Sama sekali kami tidak tahu bah-wa rombongan Legaspi terdiri dari orang--orang jahat. Juga Yuan sama sekali tidak akan mengira bahwa gurunya dan rom-bongannya yang katanya hanyalah orang--orang pedagang itu bertualang di nega-ramu dan bersekutu dengan pemberontak. Yuan terkenal sebagai seorang yang kuat, bahkan Hendrik, pemuda sombong dan kejam putera Legaspi itu sendiri merasa sungkan kepada Yuan. Akan tetapi, aku tahu bahwa bertemu dengan engkau, dia kalah jauh!” “Aahhh, tidak begitu, Yuanita. Kakak-mu kuat sekali, hanya di antara kami tidak ada permusuhan, maka kami tidak melanjutkan pertandingan itu. Aku hanya seorang biasa yang bodoh, apalagi me-ngenai pengalaman dan ilmu pengetahuan. dibandingkan dengan Yuan atau engkau, aku bukan apa-apa.” Yuanita memegang tangan Kun Liong dan memandang dengan sungguh-sungguh. “Engkau terlalu merendahkan diri dan inilah yang membuat aku kagum sekali, Kun Liong. Aku suka kepadamu, dan aku akan... kalau diberi kesempatan... mung-kin bisa jatuh cinta kepada seorang pria seperti engkau ini. Engkau telah menye-lamatkan aku, bukan hanya aku, melain-kan juga Ayah dan semua anak-anak pe-rahu ini. Ayah sendiri berkata demikian kepadaku. Orang-orang Nepal itu ganas, kejam dan kuat, kalau tidak ada engkau, kami semua pasti menjadi korban. Akan tetapi engkau masih selalu merendahkan diri. Betapa kuat kedua tanganmu yang tidak kelihatan kasar ini, seperti tangan wanita...” Yuanita menarik kedua tangan Kun Liong dan mencium tangan itu de-ngan bibirnya. Dengan bibirnya! Kun Liong merasa kecupan bibir hangat pada tangannya dan wajahnya menjadi merah sampai ke kepalanya, jantungnya berdebar dan dia me-narik kedua tangannya. “Ahhh, jangan berlebihan, Yuanita...” katanya agak terharu karena perbuatan dara itu dianggapnya terlalu merendah. Yuanita bangkit berdiri menarik ta-ngan Kun Liong. Mereka berdiri berha-dapan, dan Yuanita merapatkan tubuhnya. “Kun Liong... kami berhutang nyawa kepadamu dan sebagai tanda terima ka-sih, baru mencium tanganmu saja engkau sudah merasa aku berlebihan. Kun Liong, aku tahu bahwa orang seperti engkau ini, seorang pendekar dari bangsamu, seorang jantan yang berhati lembut, tentu tak mungkin bisa jatuh cinta kepadaku, seorang wanita asing yang serba kasar, tidak selembut wanita-wanita bangsamu yang seperti batang pohon yangliu tertiup angin lembut, yang bersikap malu-malu dan agung... akan tetapi, untuk menyata-kan terima kasihku dengan setulus hati-ku, kau... kau boleh... kalau engkau su-ka... kau menciumku, Kun Liong.” Kun Liong terkejut. Ucapan seperti ini sama sekali tak pernah disangka--sangkanya. Tak pernah dia berani membayangkan untuk mencium dara itu, seorang dara asing, puteri seorang hartawan besar dan puteri seorang yang bijaksana dan pandai seperti Richardo de Gama! Tentu saja dia tidak tahu bahwa dara asing dari Barat ini mempunyai kesan lain terhadap dirinya. Semenjak kecil, seperti anak-anak bangsanya yang lain, Yuanita sudah seringkali mendengar do-ngeng tentang ksatria-ksatria berbaju besi yang menolong puteri dari tangan mahluk-mahluk buas, dan setiap kali seorang ksatria membebaskan seorang puteri cantik dari tangan mahluk buas dari ancaman mengerikan yang lebih hebat dari maut, Si Pu-teri akan menghadiahkan ciuman mesra dan hal ini biasanya bahkan menjadi tuntutan setiap orangi ksatria! Kesan ini amat mendalam sehingga ketika melihat betapa dengan gagah perkasanya Kun Liong menyelamatkan dia, bahkan ayah-nya dan seisi perahu dari keganasan ba-jak, apalagi setelah bercakap-cakap dan melihat sikap Kun Liong yang rendah hati, timbul keinginan di hati Yuanita unluk bersikap seperti seorang puteri yang tertolong oleh ksatria, dia menawarkan ciuman kepada pemuda gun-dul itu. “Be... benarkah pendengaranku tadi, Yuanita?” Kun Libng bertanya, suaranya gemetar karena jantungnya sudah bergelora. Sejak tadi merasakan betapa bibir yang hangat dan lunak itu mencium tangannya, jantung Kun Liong sudah berdebar tidak karuan, apalagi mendengar betapa dara yang mempunyai kecantikan aneh ini menawarkan ciuman! “Pendengaran apa, Kun Liong?” Yua-nita bertanya, mengangkat mukanya sehingga makin berdekatan dengan wajah pemuda itu, senyumnya menggoda, mata-nya setengah terpejam sehingga bulu matanya hampir merapat dan menjadi tebal menimbulkan bayang-bayang indah di atas pipinya tertimpa sinar lampu. “Aku mendengar bahwa... bahwa... aku boleh menciummu?” “He-hemmm... kalau kau suka...” “Kalau aku suka...? Tentu saja aku suka...” “Ihhh, canggung benar kau...” Yuanita tersenyum lebar mendengar kata-kata dan melihat sikap pemuda itu. Kedua lengannya bergerak merangkul leher Kun Liong dan dara itu dengan tarikan halus membuat muka Kun Liong menunduk dan tergetarlah seluruh tubuh Kun Liong ketika merasa betapa dara itu yang menciumnya! Mencium bibir dengan ke-mesraan dan kehangatan! Ketika dia mencium bibir Hwi Sian dahulu itu, terdapat kecanggungan dan biarpun dia senang melakukannya dengan Hwi Sian, namun karena dara itu sendiri pun takut dan tidak tahu caranya, maka perbuatan mereka itu jauh sekali bedanya kalau dibandingkan dengan apa yang dia alami sekarang. Ciuman Yuanita ini seolah-olah merupakan pertemuan lebih mendalam, antara kedua hati dan kalbunya, seolah-olah dia merasa dilebur menjadi satu dengan dara ini, seolah-olah tiada pemisah lagi antara kedua tubuh mereka. Seperti naik sedu-sedan dari dada Kun Liong, kedua lengannya mendekap tubuh itu, seluruh tubuhnya menggigil dan dia tidak dapat menguasai lagi kedua kakinya yang gemetar dan lemas, membuatnya terhuyung dan akhirnya dia jatuh berlutut sambil memeluk Yuanita. “Hemmm... Kun Liong...” Yuanita berbisik, hanya untuk bernapas dan mereka sudah berciuman pula, kini Kun Liong duduk di atas papan perahu dan dara itu dipangkunya. Entah apa yang akan terjadi dengan dua orang muda yang dilanda perasaan mesra yang biasanya tentu akan membangkitkan berahi itu kalau dibiarkan terlalu lama dalam keadaan seperti itu. Bagi Kun Liong, Yuanita merupakan seorang dara yang panas, segar dan berani, seperti gelora air laut di luar perahu itu, merupakan seorang mahluk aneh yang mempunyai kekuatan luar biasa sehingga membawanya terseret, hanyut dan tenggelam. Kun Liong sudah tak dapat menguasai hati dan pikirannya sendiri, yang terasa sepenuhnya hanyalah kelembutan bibir yang mengecup bibirnya, kepanasan hawa dari mulut yang memabokkan, kehangatan dan kepadatan tubuh yang merapat dengan tubuhnya, dan dia pun mabuk dibuai alunan nafsu berahi yang belum pernah menyerangnya sehebat itu! Nafsu berahi memang seperti api menjalar, begitu bertemu dengan bahan bakarnya, makin dibiarkan makin menjadi, makin diberi makin menuntut dan takkan pernah mau berhenti, takkan mau sudah kalau belum sampai titik terakhir. Bagi Yuanita sendiri Kun Liong me-rupakan seorang pemuda yang asing dan aneh karenanya mendatangkan daya tarik yang luar biasa. Sebagai seorang dara berbangsa Portugis yang jauh lebih bebas dalam pergaulan antara pria dan wanita, sudah tentu saja dia pernah berkenalan dengan teman pria dan ciuman bukan merupekan hal baru dan aneh baginya. Namun, belum pernah Yuanita mengalami guncangan perasaan seperti saat itu. Hal ini terdorong oleh rasa terima kasihnya, rasa kagumnya terhadap Kun Liong, ditambah keadaan Kun Liong yang asing dan aneh yang membuat pemuda itu merupakan seorang pemuda atau pria yang lain daripada yang telah dikenalnya sebelum itu. Maka dia pun terhanyut oleh gelombang peraaaannya sendiri se-hingga bersama Kun Liong dia pun hampir lupa segalanya, hampir tidak mempeduli-kan lagi segala hal yang terjadi di luar mereka, dan yang ada hanyalah membiar-kan diri terseret oleh nafsu berahi yang membuai dan melayangkan mereka ke tengah-tengah awan kenikmatan. “Tuuuttt... tuuuut... tuuutttt...!” Suara bunyi tanda peluit dari tempat penjagaan di atas ini mengejutkan kedua ordng muda itu dan serentak Kun Liong melepaskan pelukannya. Sejenak mereka saling pandang, seperti baru sadar dari sebuah mimpi muluk dan pertukaran pan-dang ini cukup menyadarkan mereka benar-benar. “Ahh... Yuanita... maafkan aku...” “Bukan salahmu... Kun Liong... aku pun membiarkan diriku terseret...” “Untung kita sadar, Yuanita. Hampir saja...!” Kun Liong cepat merapikan pakaiannya sendiri dan membantu mera-pikan pakaian dara itu yang dia sendiri tidak ingat lagi bagaimana bisa menjadi tidak karuan dan setengah terbuka seper-ti itu! Yuanita membiarkan dirinya digandeng dan ditarik ke atas. Mereka berdiri dan berpandangan. Yuanita memegang kedua tangan Kun Liong. “Memang... hampir saja, Kun Liong. Akan tetapi... andaikata terjadi, aku.. aku akan merasa bahagia dan bangga, kalau... kalau... engkau menjadi pria pertama...” “Husss...! Bagaimana kau bisa bilang begitu, Yuanita? Kita bukan suami isteri, kita tidak saling mencinta... betapa besar dosaku kalau sampai terjadi.. engkau tentu akan menyesal seumur hidup, dan aku... aku... selamanya akan merasa berdosa kepadamu.” “Mungkin. Akan tetapi, kurasa tidak akan sukar bagiku untuk belajar mencintamu, Kun Liong.” Kun Liong memandang bingung. Segala ucapan dara asing ini mendatangkan perasaan aneh dan membingungkan. “Aku tidak tahu... apakah mungkin cinta dipelajari? Betapapun juga, maafkan aku, Yuanita, aku tadi lupa diri... dan percayalah, selama bidupku aku takkan melupakan engkau. Engkau akan selalu kukenang sebagai seorang perempuan yang amat baik, ramah, lembut dan cantik, jelita, seorang sahabatku yang luar biasa...” “Tuut... tuut... tuuuutttt!” Mereka menengok ke atas kiri dan melihat penjaga di atas tali-temali layar meniupkan terompetnya yang panjang. “Ada apakah?” Kun Liong tertanya, tidak mengerti apa artinya itu. “Tentu penjaga itu melihat sesuatu,” kata Yuanita. Terdengar derap langkah sepatu ke luar dari dalam dan muncullah Richardo de Gama dan orang-orang lain. Kakek ini memandang kepada puterinya, kemudian kepada Kun Liong sejenak, lalu bertanya, “Apa yang terjadi? Mengapa terompet ditiup? Haiii! Ada apa?” Teriaknya ke atas dalam bahasanya sendiri. Penjaga di atas menjawab dengan teriakan parau, “Ada kapal di sebelah kiri!” “Lekas nyalakan lampu sorot!” Richardo de Gama memerintah. Terjadi kesibukan di situ dan tak lama kemudian kapal besar itu tampak bayangannya, seperti seorang raksasa muncul dari dalam malam gelap di tengah lautan. Mula-mula terjadilah pertukaran isyarat melalui gerakan lampu kemudian setelah makin mendekat, antara kedua kendaraan air itu terjadi kontak dengan penggunaan corong dan teriakan mulut. Terdengar sorak-sorai di kedua pihak dan semua orang di perahu yang ditumpangi Kun Liong bergembira ria. “Apakah yang terjadi, Yuanita?” tanya Kun Liong kepada dara yang berdiri di dekatnya. Yuanita juga berseri wajahnya ketika menjawab, “Kapal itu adalah Kuda Terbang!” Tentu saja Kun Liong terkejut dan juga gembira mendengar ini. “Dan aku akan dapat berjumpa dengan Yuan di sana?” Dia menuding ke arah bayang-bayang hitam besar itu. Yuanita mengangguk manis “Bukan hanya Yuan kakakku, juga di sana ada pula Legaspi Selado dan isteri mudanya yang bernama Nina, dan puteranya bernama Hendrik, dan masih banyak lagi karena semua bangsa kami yang berada di sini telah berkumpul di kapal itu.” Terjadi kesibukan luar biasa ketika perahu besar dan kapal itu mepet. Sebuah anak tangga dipasang dan Richardo de Gama mengajak Kun Liong dan Yuanita untuk menyeberang ke Kapal Kuda Terbang yang jauh lebih besar dan lebih lengkap itu. Kung Liong ikut bergembira melihat Yuan de Gama yang menyambut ayahnya dan adik perempuannya. Dia terharu melihat Yuanita berpelukan dengan kakaknya, terkenang betapa beberapa saat yang lalu dara yang cantik itu telah berpelukan dan berciuman dengan dia! Ketika Yuanita membisiki sesuatu kepada kakaknya dan menoleh, Yuan mengangkat muka memandang. “Halooo...! Bukankah kau Yap Kun Liong-taihiap?” serunya, melepaskan adiknya dan melangkah lebar menghampiri Kun Liong dan mengulur lengan kanannya. Kun Liong tidak kaget lagi melihat ini. Dia sudah tahu sekarang bahwa cara pemberian hormat, atau bersalaman dari orang-orang asing ini adalah dengan jalan berjabat tangan dan mengguncang-guncangnya. Maka dia menyambut sodoran tangan itu dan mereka berjabat tangan. “Tuan Yuan de Gama, sungguh tak menyangka akan bertemu denganmu di sini,” kata Kun Liong gembira. Yuanita telah mendekat dan dengan sibuk menceritakan dalam bahasanya sendiri kepada kakaknya tentang pertolongan yang diberikan oleh Kun Liong kepada anak buah Perahu Ikan Duyung, yaitu perahu ayahnya itu, ketika Perahu Ikan Duyung diserbu penjahat. “Ahhh, terima kasih banyak, Yap--taihiap...” “Jangan menyebutnya tai-hiap, dia bisa marah. Namanya Kun Liong!” Yuani-ta mencela kakaknya. “Dia benar, Yuan. Kita adalah saha-bat, sebut saja namaku,” kata Kun Liong. Yuan memandang kepada adiknya, kemudian kepada Kun Liong, lalu terse-nyum lebar. “Apa pula ini? Eihhh, jangan main-main kau, Yuanita. Apakah kau hendak mengatakan bahwa engkau telah menjatuhkan hatimu di depan kaki pen-dekar perkasa ini?” Dia tertawa berge-lak. “Andaikata benar demikian, apakah kau tidak setuju?” Yuanita juga berkata sambil tertawa. “Tentu saja!” Kun Liong benar-benar terkejut bukan main. Kelakar kakak beradik itu diang-gapnya keterlaluan dan luar biasa sekali sampai muka dan kepalanya menjadi merah semua. Mengapa mereka bicara bebas, seolah-olah urusan cinta merupa-kan hal yang boleh dianggap main-main? Mereka menghentikan sendau-gurau ketika melihat Legaspi Selado dan se-orang wanita berusia tiga puluh tahun yang amat cantik dan yang berpakaian mewah, sedangkan Hendrik Selado berja-lan di sebelah wanita ini, mata pemuda itu memandang kepada Kun Liong dengan penuh perhatian. Kun Liong tidak mem-pedulikah yang lain, hanya dia menatap tajam ke arah Legaspi Selado, kakek botak gendut yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian tinggi itu. “Heiii! Bukankah ini penjahat itu...?” Tiba-tiba Hendrik berseru ketika dia sudah datang dekat dan telunjuknya me-nuding ke arah muka Kun Liong. “Tidak salah lagi, inilah dia Si Gundul yang dahulu menolong dan melarikan mata--mata wanita di Ceng-to!” Ucapan itu dikeluarkan dalam bahasa asing sehingga Kun Liong tidak mengerti maksudnya, akan tetapi karena sejak tadi pemuda ini memperhatikan Legaspi Selado maka dia dapat melihat ketika kakek itu menggerakkan tangan yang memegang cambuk kuda. “Tar-tar-tarrr...!” Kun Liong sudah mengelak cepat sehingga tiga kali serangan itu luput. “Tuan Selado, engkau tidak boleh menyerang dia!” Tiba-tiba Yuanita lari ke depan, menghadang di depan kakek yang memegang cambuk itu dengan sikap menantang dan membusungkan dadanya yang sudah membusung penuh itu. Yuan meloncat ke depan dan berteriak. “Hendrik, jangan...!” Pemuda itu sudah memegang tangan Hendrik yang telah mencabut pistolnya. “Jangan ganggu dia, dia telah menyelamatkan Perahu Ikan Duyung, menyelamatkan ayahku dan adikku!” Menyaksikan keributan ini, Richardo sudah melangkah maju dan segera terjadi percakapan dan perbantahan antara orang-orang asing itu, ditonton dan didengarkan oleh Kun Liong yang tidak mengerti artinya, namun dia dapat menduga dengan mudah, bahwa terjadi perbantahan antara pihak Legaspi dan Hendrik melawan pihak Richardo dan dua orang anaknya yang membela dia! Terutama sekali yang amat mengharukan hatinya adalah sikap Yuanita yang seperti telah menjadi seekor harimau betina, sepasang mata biru itu menyinarkan api, rambutnya terkena angin laut berkibar-kibar, sikapnya penuh semangat. Ketika terjadi percekcokan itu, nyonya muda cantik yang tadi datang bersama Legaspi Selado dan Hendrik, mendekati Kun Liong dan menatap wajah pemuda ini dengan penuh perhatian. Kun Liong dapat menduga tentu inilah yang bernama Nina Selado, isteri muda Si Kakek Botak itu. Hem, seorang wanita yang cantik dan sikapnya berani dan masak, pikirnya. “Jadi engkau seorang yang biasa disebut pendekar-pendekar itu?” tanya wanita itu dengan suara kaku namun suaranya yang basah agak parau menda-tangkan sesuatu yang memikat, juga menyeramkan bagi Kun Liong. Dia tidak menjawab, hanya membalas pandang ma-ta itu dengan waspada, karena dia tidak tahu apakah wanita cantik ini tidak berbahaya pula seperti Legaspi Selado. Ka-kek itu memanggil, “Nina...!” dan wanita itu meninggalkan Kun Liong. Kemudian, Legaspi Selado, Nina, dan Hendrik pergi memasuki kamar kapal dengan sikap tidak puas. Yuan dan Yuanita menghampiri Kun Liong. “Kun Liong, untung Ayah dapat menekan kemarahan Tuan Selado,” kata Yuanita. “Dan terutama sekali Yuan sebagai kapten Kapal Kuda Terbang ber-kuasa penuh untuk menanggungmu seba-gal seorang tamu yang tak boleh digang-gu.” “Terima kasih, Yuan. Engkau baik sekali. Akan tetapi, bukankah dia itu gurumu? Bagaimana engkau dapat menantang gurumu sendiri?” “Biarpun dia guruku, akan tetapi se-bagai kapten kapal, akulah yang menjadi orang pertama yang berkuasa menentukan segala yang terjadi di atas kapal ini. Aku memberitahukan guruku bahwa per-musuhan antara dia dan kau terjadi ketika kami masih bekerja sama dengan para pemberontak di Ceng-to. Karena kita semua berada di kapal, tidak ada sangkut-pautnya dengan masalah pembe-rontakan di darat, maka saat itu engkau tidak boleh dianggap musuh. Mari kita masuk ke kamarku dan kita berunding bagaimana baiknya.” Kun Liong mengikuti Yuan, Yuanita dan Richardo de Gama memasuki kamar Yuan yang cukup luas dan mereka duduk menghadapi meja sambil bercakap-cakap. -Dari Yuan, mereka semua mendengar penuturan tentang pemberontakan yang gagal dan tentang usaha pendekatan para pedagang asing itu terhadap pembesar pemerintah. “Kaisar telah bersikap baik sekali kepada kami,” Yuan menutup penuturan-nya dan menarik panjang. “Setelah keributan mereda, kami masih diperkenankan untuk mendarat dan berdagang di sekitar pantai Teluk Pohai. Karena itu, maka aku tadinya mengambil keputusan untuk kembali ke barat dan mengebar-kan kepada para pedagang yang berniat membawa berang dagangan ke timur. Akan tetapi yang masih memusingkan adalah sikap guruku, Tuan Legaspi Selado dan teman-temannya. Mereka itu tidak merasa puas dengan keputusan dan kebi-jaksanaan Kaisar. Mereka menganggap bahwa perdagangan di tempat terbatas, yaitu di pantai itu, tidak akan menda-tangkan cukup keuntungan, tidak seperti kalau kita dapat mendarat sampai ke pe-dalaman dan langsung membeli rempa--rempa dari para penduduk pribumi, juga dengan langsung menjual barang-barang kepada mereka, tidak melalui perantara-perantara yang akan memeras di pantai. Karena itu, aku khawatir sekali akan timbul hal-hal tidak menyenangkan seperti pemberontakan ke dua dan sebagainya...” “Apa pun yang akan mereka lakukan asal engkau tidak mencampurinya, Yuan. Lebih baik engkau membentuk kelompok sendiri dari pedagang-pedagang yang jujur dan yang memang beritikad baik, semata-mata untuk berdagang dan tidak hendak mencampuri urusan pemerintah dan pemberontakan,” kata Kun Liong. “Apa yang dikatakan Yap-taihiap be-nar, Yuan,” kata Richardo de Gama. “Semenjak dahulu, kita bukanlah keluarga pemberontak dan petualang. Kita adalah keluarga pedagang.” Yuan mengangguk-angguk. “Aku pun tidak suka terseret ke dalam pemberon-takan pribumi terhadap kaisar mereka. Akan tetapi sayang hal itu telah terjadi dan tentu kami telah mendapat kesan buruk dari Kaisar. Andaikata tidak pernah terjadi persekutuan dengan pembe-rontak terkutuk itu, agaknya pihak peme-rintah akan lebih longgar terhadap kita, apalagi mengingat akan hubungan pemerintah yang makin luas dengan luar ne-geri berkat pelayaran-pelayaran Laksa-mana The Hoo yang bijaksana...” “Ahhhh... ada jalan untuk berjasa kepada Panglima Beser The Hoo!” Tiba--tiba Kun Liong berkata, teringat akan bokor emas di Pulau Ular. “Bokor emas pusaka milik Panglima The Hoo yang hilang itu terampas orang dan berada tak jauh dari tempat ini. Kalau saja engkau berhasil mengembalikan bokor itu, dan menyerahkannya kembali kepada Panglima The Hoo, agaknya engkau akan berjasa besar dan soal ijin perdagangan ke pedalaman tentu akan ditinjau kembali.” “Ha-ha-ha! Pendapat yang bagus sekali! Aku setuju seratus prosen. Di mana bokor itu?” Tiba-tiba terdengar suara nyaring dan tubuh gendut Legaspi Selado memasuki kamar itu. Yuan bangkit berdiri. “Tuan, terpaksa saya menyatakan tidak setuju kalau Tuan hendak membawa kita memperebutkan bokor emas yang menghebohkan itu, yang bukan menjadi hak kita!” Legaspi Selado menggerakkan tangannya mencela. “Aihh, Yuan. Mengapa begitu bodoh? Siapa yang ingin merampas bokor? Segala yang telah kita lakukan, dari memperebutkan bokor sampai ikut pemberontak, tiada lain hanya untuk memperoleh kesempatan berdagang sebaiknya. Semua usaha kita gagal, sekarang sahabat muda ini telah menunjukkan jalan yang amat baik. Kita usahakan agar bokor emas itu dapat kita peroleh, kemudian kita haturkan kepada Panglima The Hoo, tentu kita mendapat jasa dan tentang perdagangan, akan tetapi mudah saja. Ha-ha-ha! Sahabat Yap Kun Liong yang baik, di manakah bokor itu?” Kun Liong adalah seorang muda yang cerdik. Dia sudah terlanjur bicara, kalau merahasiakan, kakek aneh yang sakti ini tentu akan menjadi pengha1ang dan musuh, dan amat tidak enak kalau terjadi perpecahan di kapal itu. Kakek itu lihai, baik sekali kalau diajak bersama-sama merampas bokor karena Pulau Ular merupakan tempat yang berbahaya. Apalagi dua orang datuk itu, Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok dan puteranya, Ouwyang Bouw, dibantu lagi oleh Toat-beng Hoat-su dan semua anak buah mereka, bukan merupakan lawan ringan. “Memang kita harus bekerja sama,” akhirnya dia berkata setelah semua du-duk. “Bokor emas itu berada di tangan dua orang datuk kaum sesat. Ouwyang Kok yang berjuluk Ban-tok Coa-ong dan Toat-beng Hoat-su. Mereka bersama anak buah mereka bersembunyi di Pulau Ular, tidak jauh dari sini, di sebelah selatan Teluk Pohai.” Legaspi Selado bangkit berdiri, “Yuan de Gama! Kalau begitu kita menunggu apalagi? Kita putar haluan, ke selatan mencari Pulau Ular!” Kun Liong menyambut pandang mata penuh pertanyaan dari Yuan itu dengan anggukan kepala, maka Yuan lalu meneriakkan perintah melalui corong agar kapal itu diputar dan digerakkan ke selatan sedangkan Perahu Ikan Duyung mengikuti dari betakang. Setelah Legaspi Selado yang kelihatan gembira dan bertemangat itu meninggalkan kamar, Yuan de Gama berkata lirih. “Kun Liong, kenapa engkau membuka rahasia itu kepada guruku?” “Sst... dia dapat merupakan pembantu yang amat kuat, Yuan. Ketahuilah, bukan hanya bokor emas itu yang penting. Kita memang harus menyerbu ke Pulau Ular dan di sana terdapat dua orang datuk yang sakti bersama anak buah mereka yang kuat.” “Aku tidak inginkan bokor emas!” “Hussshhh, engkau tidak mengingin-kannya, akan tetapi kalau kau dapat mengembalikan kepada Panglima Besar The Hoo, besar sekali jasamu. Selain kau, engkau tidak tahu bahwa kita harus me-nolong Nona Souw Li Hwa...” Wajah Yuan de Gama berubah dan dia memegang lengan Kun Liong, mencengkeramya erat-erat. “Apa katamu? Dia... dia... kenapa?” Yuanita membelalakkan mata. “Yuan! Siapakoh nona itu?” “Dia sahabat baikku. Dia seorang panglima wanita yang hebat. Kun Liong, lekas katakan apa yang terjadi dengan dia?” “Aku sendiri tidak tahu, akan tetapi yang jelas, Nona Souw Li Hwa telah me-lakukan penyelidikan sendiri ke Pulau Ular yang berbahaya itu sehingga aku khawatir sekali dia akan menghadapi malapetaka di sana. Karena itu, bukan-kah tepat sekali kalau kita pergi ke sana, selain untuk membantu mendapat-kan kembali pusaka Panglima Tht Hoo, juga untuk melindungi Nona Souw Li Hwa?” “Kalau begitu kita harus cepat ke sana!” Yuan de Gama kembali menyambar corong untuk memerintahkan anak buahnya agar melakukan pelayaran secepatnya. Richardo de Gama menghela napas panjang, mendekati Kun Liong dan berbisik, “Apakah dia telah jatuh cinta kepada panglima wanita itu?” Kun Liong hanya mengangguk sambil tersenyum, kemudian setelah minta diri, dia mundur dan memasuki kamarnya yang sudah dipersiapkan untuk dia. Kun Liong meniup padam lilin di atas meja kamar kecil itu, lalu menanggalkan pakaian luarnya dan sepatunya. Setelah ia merebahkan diri di atas pembaringan, dia termenung. Sungguh banyak pengalaman yang dialaminya selama ini, pengalaman yang aneh-aneh, terutama sekali pengalaman dengan wanita-wanita cantik. Masih terasa olehnya cumbu rayu yang saling ditukarnya dengan Yuanita. Di dalam kegelapan kamarnya itu, terbayanglah wajah Yuanita yang cantik, terdengar bisikan halus menggetar yang suaranya asing itu. Akan tetapi tak lama kemudian, wajah wanita yang dibayangkannya ini sudah berganti rupa, berubah menjadi wajah Yo Bi Kiok, kemudian berubah lagi menjadi wajah Souw Li Hwa, wajah Cia Giok Keng, dan akhirnya berubah menjadi wajah Lim Hwi Sian yang takkan pernah dilupakannya! Diam-diam Kun Liong menghela napas panjang. Mengapa hidupnya terisi oleh pertemuan-pertemuan yang mengesankan dengan berbagai gadis cantik itu? Dan mengapa setiap kali bertemu dengan dara jelita, dia merasa tertarik dan suka? Apakah ini yang disebut mata keranjang? Apakah dia mata keranjang? Adakah di dunia ini seorang pemuda yang tidak suka melihat dara jelita? Apakah hanya dia yang selelu merasa tertarik, ingin bercakap-cakap dengan mereka, ingin bersahabat dengan mereka dan ingin... mencium bibir yang segar kemerahan itu? Kotorkah pikiran seperti ini? Dia tidak dapat menjawab dan kembali dia menarik napas panjang. Kau mata keranjang, tolol, dan anak durhaka! Dia memaki diri sendiri. Sampai selama ini, dia masih belum berhasil mendengar berita tentang ayah bundanya. Dan tidak ada sebuah pun di antara tugas-tugasnya yang dapat dia selesaikan dengan baik! Mencari orang tua belum ada hasilnya. Urusan bokor emas yang telah berada di tangannya malah berlarut-larut menjadi makin sulit diperoleh. Usaha mengembalikan pusaka Siauw-lim-pai dan minta pusaka itu kembali dari Kwi-eng-pang juga belum berhasil. Sekarang ditambah lagi dengan tugas membantu dan menyelamatkan Souw Li Hwa! Sekali ini dia harus berhasil. Biarpun Pulau Ular kabarnya -berbabaya, akan tetapi Kapal Kuda Terbang itu besar dan kuat, diperlengkapi dengan senjata meriam. Juga ia memperoleh bantuan orang-orang pandai seperti Legaspi Selado, Hendrik, Yuan dan semua anak buah mereka. Kalau dia berhasil membantu Li Hwa, apalagi berhasil merampas kembali bokor emas, berarti tidak sia-sia semua jerih payahnya. Dia harus cepat menyelesaikan urusan ini, kemudian dia harus mencari orang tuanya. Dia harus mengerahkan seluruh perhatiannya untuk mencari jejak orang tuanya. Urusan pribadi ini sebetulnya paling penting dan jantungnya berdebar agak tegang penuh kekhawatiran kalau dia teringat akan ucapan Pendekar Sakti Cia Ken Hong. Bukan hanya kekhawatiran kosong yang diucapkan supeknya itu. Kalau memang ayah bundanya masih hidup di dunia ini, mengapa sekian lamanya mereka diam saja dan tidak ada kabar beritanya? Orang-orang gagah perkasa seperti ayah bundanya, tidak mungkin menyembunyikan diri karena takut akan sesuatu! Malam mulai larut dan Kun Liong yang tenggelam timbul dalam lamunan, mulai berselubung rasa kantuk. Dia sudah memperoleh pegangan atau rencana masa mendatang, yaitu setelah selesai dengan urusan Pulau Ular, dia akan meninggalkan semua urusan untuk mencurahkan perhatian seluruhnya dalam mencari orang tuanya. Rencana yang menjadi pegangan ini melegakan hatinya dan dia hampir tertidur pulas ketika tiba-tiba pintu biliknya dibuka orang dari luar. Mula-mula, sesuai de-ngan ilmu silat yang sudah mendarah daging di tubuhnya, dalam saat itu juga semua urat syarafnya menegang dalam kesiapsiagaan menghadapi suatu ancaman bahaya. Namun ketika melihat bayangan tubuh yang tersorot penerangan dari luar kamar, ketegangannya meningkat akan tetapi berubah, bahkan tegang karena khawatir, melainkan karena heran. Jelas tampak sosok bayangan tubuh yang berpinggang ramping, tubuh seorang wanita! Yuanita? Dadanya berdebar ke-ras. Benarkah Yuanita yang masuk? Be-tapa beraninya memasuki kamarnya yang gelap. Akan terulang lagikah peristiwa yang memabokkan itu? Sekarang amat berbahaya karena mereka berada di dalam kamamya, kamar yang gelap! Timbul kekhawatiran di dalam hati Kun Liong. Dia ingin melompat, ingin menyalakan lampunya, ingin membujuk agar Yuanita tidak melanjutkan niatnya, agar dara itu keluar dari kamar, meninggalkannya. Akan tetapi semua keinginannya itu tertunda ketika dia mondengar suara lirih, suara wanita yang basah merdu, “Tuan... kekasihku...” Suara yang basah parau namun lunak merdu, suara Nina! Kun Liong terpesona dan bagaikan se-ekor kelinci mencium bau harimau, dia bangkit duduk, kemudian mengambil ke-putusan untuk cepat meninggalkan kamar itu karena keadaannya amat “berbahaya”. Tanpa berkata apa-apa dia lalu meloncat dan lari dari kamarnya, akan tetapi baru saja keluar dari pintu, dia sudah diserbu wanita itu, dirangkul dan ditarik kembali ke dalam kamar yang gelap! Wanita itu melempar daun pintu tertutup, kemudian terdengar langkahnya mendekatinya, membuat Kun Liong menggigil dan duduk di atas pembaringannya, tak dapat me-ngeluarkan suara sedikit pun. “Yuan... gelap amat...” wanita itu berbisik lagi akan tetapi kini dua buah tangan meraba pundak Kun Liong. Dua buah lengan merangkul dan sebuah tubuh yang lunak hangat mendekapnya, sepasang bibir yang basah terengah-engah menjelajahi mukanya untuk kemudian berhenti mengecup mulutnya dalam sebuah ciuman yang membuat Kun Liong hampir pingsan! Tak pernah dia dapat membayangkan akan ada ciuman seperti itu! Yuanita sudah merupakan pengalaman luar biasa ketika menciumnya, akan tetapi dibandingkan dengan ini, Yuanita bukan apa-apa! Ciuman wanita ini seolah-olah menembus jantungnya, terasa sampai di tulang sumsum dan membuat seluruh tubuh Kun Liong panas dingin, kaki tangannya menggigil, kepalanya berdenyut dan pandang matanya berkunang! “Haiii...!” Tiba-tiba Nina berteriak lirih, tangan wanita yang halus itu mem-belai, meraba muka dan kepala yang gundul, kemudian terdengar wanita itu menahan tawa, terkekeh genit. “Kaukah ini...? Kau... pemuda yang katanya se-orang pendekar yang sakti? Ahh, aku mendengar bahwa pendekar memiliki kekuatan yang luar biasa... aku kagum padamu...” Kun Liong gelagapan ketika wanita itu merayunya, membelainya, memeluk dan menciumnya. Ucapan Nina dalam bahasa daerah bercampur bahasa asing membuatnya bingung. Bau minyak wangi yang aneh memabokkannya, dan terutama sekali tubuh wanita yang hidup mendekapnya itu membuat Kun Liong kehilangan akal. “Jangan... Nyonya... jangan... maafkan aku, harap suka tinggalkan aku, aku... aku takut kalau ketahuan orang...” kata-nya gagap. “Hi-hik, beginikah pendekar? Mengapa penakut? Tidak sukakah kau kepadaku? Tidak senangkah kau kucium seperti ini?” Nina kembali menciuminya, mencium kepalanya, mukanya, bibirnya dan kedua lengannya merangkul ketat sehingga tubuh Kun Liong menjadi panas dingin dibuatnya. Kun Liong hanyalah seorang manusia biasa seorang pria muda yang tentu saja berdarah panas. Menghadapi rayuan yang amat luar biasa itu, hampir dia tidak dapat menahan dirinya. Tubuhnya panas dingin dan gemetar, dan seperti seorang yang mabok, pandang matanya berkunang. Tubuh wanita yang masak itu kelihatan luar biasa menariknya tersorot cahaya remang-remang dari sinar lampu yang memasuki kamar itu melalui celah-celah jendela dan pintu. Akan tetapi dia masih teringat bahwa wanita ini adalah isteri Legaspi Selado, bahwa merupakan perbuatan terkutuk untuk berjina dengan isteri orang lain! Ingatan ini mengeraskan hatinya dan dia mendorong tubuh wanita itu dengan halus. “Nyonya, jangan lakukan ini! Jangan lanjutkan perbuatan gila ini!” katanya lirih. “Ahhh... berani engkau menolak aku? Engkau yang sudah menggigil penuh nafsu ini... hi-hik, orang muda yang kuat, ja-ngan kau berpura-pura alim...” Mereka seperti bergulat. Kun Liong mencegah dan wanita itu hendak meng-gelutinya. Pada saat itu terdengar suara Yuan, “Kun Liong, dengan siapakah kau di dalam?” Kun Liong terkejut bukan main. Apalagi pintu kamar itu terbuka dari luar dan Yuan de Gama masuk membawa sebuah lampu! Kun Liong cepat meloncat menjauhi Nina dan membetulkan kancing bajunya yang hampir terlepas semua. Wanita itu hanya tersenyum dengan mulut agak terengah, matanya seperti mata seekor singa kelaparan! “Yuan... dia... dia ini...” Kun Liong berkata gagap. Yuan mengangguk. “Aku tahu, Kun Liong. Karena itu aku masuk ke sini untuk menolong dan membebaskanmu dari harimau betina kelaparan!” Lega rasa hati Kun Liong. Dia memandang kepada sahabatnya itu penuh terima kasih, kemudian tanpa berkata apa-apa dia meloncat keluar dari kamar, langsung menuju ke dek kapal untuk mencari “hawa segar”. “Nina, sungguh kau terlalu sekali! Dia adalah penolong dan tamu terhormat, mengapa kau begitu tidak tahu malu untuk...” Yuan de Gama menegur wanita muda yang kini duduk di pembaringan Kun Liong dengan baju atas setengah terbuka membayangkan dada yang membusung penuh, yang tersenyum dengan muka kemerahan dan mata mengerling basah ke arah Yuan, senyum yang penuh ejekan dan tantangan! “Yuan, kau tidak tahu. Semua ini gara-gara engkaulah! Betapa rinduku kepadamu hampir tak dapat aku menguasai diriku lagi, dan kau selalu berpura-pura, selalu menjauhkan diri setelah dahulu...” “Cukup, Nina! Satu kali saja sudah cukup. Aku pernah gila, akan tetapi se-mua adalah karena bujuk rayumu. Aku tidak akan mengulanginya lagi perbuatan terkutuk kita itu!” “Hi-hik, Yuan! Ketahuilah, aku tidak sengaja masuk ke kamar ini. Siapa sudi bercumbu dengan Si Gundul itu kalau ada engkau di gini? Kukira ini kamarmu, aku lupa bahwa kau memberikan kamar ini kepada Si Gundul. Aku kesalahan masuk, dan karena sudah terlanjur, untuk menu-tupi maluku, aku... hemm... dia pun...” “Sudahlah, Nina. Tak perlu berpura-pura. Aku mengenal pemuda seperti Kun Liong, seorang pendekar sakti, seorang jantan sejati yang tak mungkin akan sudi mengganggu seorang wanita kalau tidak kaubujuk rayu. Keluarlah dari kamar ini sebelum Tuan Selado mengetahuinya sehingga terjadi hal yang memalukan.” Akan tetapi Nina malah bangkit, dengan melenggang-lenggok menggairahkan menghampirl Yuan de Gama, merangkulnya dan berkata dengan sikap dan suara manja. “Yuan, tidak kasihankah kau kepadaku? Aku rindu kepadamu, aku cinta kepadamu...” “Diam!” Yuan merenggutkan tubuhnya terlepas dari pelukan wanita itu. “Orang seperti engkau tidak patut bicara tentang cinta! Dan aku tidak cinta kepadamu! Ketahuilah, hanya ada seorang wanita saja di dunia ini yang benar-benar patut kucinta, yang kucinta sepenuh nyawaku. Dia adalah Souw Li Hwa!” Kun Liong yang sudah kembali dan mendengarkan dari luar, terkejut dan menyelinap pergi, akan tetapi dia tidak mengira bahwa pemuda asing itu akan terang-terangan mengaku di depan Nina bahwa dia hanya mencinta Li Hwa seorang. Diam-diam Kun Liong merasa terharu dan kasihan kepada Yuan de Gama. Li Hwa adalah seorang gadis gagah perkasa dan keras hati, murid tunggal Pendekar Sakti The Hoo yang berkedudukan tinggi. Mungkinkah seorang dara seperti Li Hwa akan dapat membalas cinta seorang pemuda asing seperti Yuan de Gama? Terjadi kegaduhan di kamar itu kare-na dengan berkeras Yuan menolak bujuk rayu Nina. Akhirnya tampak oleh Kun Liong yang menyelinap bersembunyi be-tapa Nina berlari keluar dari kamar itu sambil terisak menangis. Diam-diam Kun Liong merasa kasihan juga kepada wanita itu, maka dia menyelinap dan memba-yangi dari jauh untuk melihat apa yang akan terjadi dengan wanita yang dianggapnya bernasib malang itu. Biarpun dia sendiri belum berpengalaman, namun dia dapat merasakan bahwa wanita itu tersiksa oleh nafsunya sendiri, nafsu yang mendesak-desaknya membutuhkan penyaluran, akan tetapi celaka bagi wanita itu, dua orang pria muda yang ditemuinya, dia sendiri dan Yuan de Gama, tidak bersedia melayaninya. Nina berlari menuju ke sebuah kamar di sudut depan, akan tetapi sebelum dia mengetuk pintu kamar itu, pintu kamar dibuka orang dan keluarlah Legaspi Sela-do! Kakek botak itu membawa sebuah batol yang tinggal sedikit isinya, mukanya merah dan begitu melihat Nina, dia mengayun tangan kirinya menampar, “Plakkk!!” “Aughhh...!” Nina menjerit lirih dan mengelus pipinya yang membengkak me-rah, matanya terbelalak memandang suaminya. Melihat ini, Kun Liong merasa langannya gatal dan hatinya panas. Kalau dia tidak ingat bahwa yang menampar adalah suami sedangkan yang ditampar adalah isterinya tentu dia sudah keluar menegur kakek botak itu! “Perempuan rendah! Perempuan tak tahu malu!” Legapsi Selado memaki lalu menenggak minuman keras yang masih tinggal sedikit di dalam botol, setelah itu sekali mengayun tangan, botol yang sudah kosong itu melayang jauh sekali keluar dari kapal menuju ke laut gelap. Kun Liong mendengar betapa Nina bicara dengan penuh semangat, agaknya wanita itu marah-marah, mengata-ngatai-nya dengan gerakan tangan dan sambil bercucuran air mata. Dia sama sekali tidak mengerti apa yang dikatakan wa-nita itu, akan tetapi dia melihat betapa Nina kelihatan berduka, penasaran, dan marah sekali sedangkan Legaspi Selado hanya menunduk, kemudian kakek itu menggerakkan pundak dengan acuh tak acuh dan pergi meninggalkan Nina. Wa-nita itu membanting-banting kaki, berteriak-teriak dan menangis. Tak lama kemudian muncullah seorang pemuda yang bukan lain adalah Hendrik Selado, putera Legapsi Selado. Melihat pemuda ini, Nina menubruk dan merangkulnya, bergantung pada pundak pemuda itu, dan menangis terisak-isak. Hendrik menge-luarkan kata-kata menghibur, bahkan mencium pipi ibu tirinya, kemudian dia menarik tubuh ibu tirinya, diajak mema-suki kamar dan lenyaplah kedua orang itu di balik pintu kamar yang tertutup. Kun Liong berdiri tertegun. Semua pengalaman tadi merupakan hal yang baru dan aneh sekali. Kelakuan Nina benar-benar mengejutkan hatinya. Tiba--tiba terdengar suara tarikan napas pan-jang di belakangnya. Dia cepat menengok dan melihat bahwa Yunita telah berdiri tak jauh dari situ. “Keluarga yang luar biasa...” Yuanita berkata lirih, “Kotor dan mengerikan sekali...” Kun Liong menghampiri. “Apa maksudmu, Yuanita? Aku tidak mengerti.” “Mereka itu...” Yuanita mengangkat muka ke arah pintu kamar di mana ibu tiri dan pemuda itu tadi lenyap. “Sungguh mengerikan! Tentu engkau tidak mengerti apa yang diucapkan oleh Nina tadi kepada suaminya.” Kun Liong menggeleng kepalanya dan memandeng wajah dara itu penuh perhati-an. Wajah yang cantik sekali, agak pucat tertimpa sinar bulan, agaknya dara itu terkejut menyaksikan adegan yang mene-gangkan tadi antara Nina, suaminya dan putera tirinya. “Dia menegur dan menyalahkan suaminya. Dia berkata bahwa dia tidak pernah mendapat kepuasan batiniah dari suaminya. Dia mengatakan bahwa suami-nya hanya namanya saja suami, akan tetapi tidak pernah mencintanya, tidak pernah memperlakukannya sebagai isteri, tidak pernah tidur dengannya. Dia bi-lang... suaminya yang terkenal sebagai seorang sakti dan kuat itu hanyalah seorang yang mati kejantanannya, tidak mampu lagi melakukan kewajiban seorang suami terhadap isterinya. Nina menuntut dan mengatakan bahwa dia adalah se-orang wanita yang masih muda, yang membutuhkan cinta kasih seorang pria. Dia tidak mau disiksa lebih lama lagi dan katanya kalau dia mencari pria lain yang suka melayani kebutuhan tubuhnya sebagai seorang wanita muda, bukan semata-mata karena dia serong dan suka berjina, melainkan karena kesalahan sua-minya yang tak pernah dapat melayani nafsu berahinya...” “Sudahlah, Yuanita... sudah cukup...” kata Kun Liong yang menjadi merah sekali mukanya sampai kepalanya. Dia merasa heran sekali akan kebebasan sikap dan kata-kata orang wanita barat ini. Begitu bebas bicara tentang urusan yang bagi bangsanya merupakan pelanggaran susila yang memalukan! Sungguhpun dia sendiri tidak melihat sebabnya mengapa urusan manusia ini dianggap pentang untuk dibicarakan! Yuanita memegang lengan Kun Liong dan tanpa berkata-kata kedua orang muda ini berjalan bergandeng tangan menuju ke ujung kapal yang sunyi. “Kasihan sekali Nina” kata Yuanita. “Dia hanya dipermainkan oleh nafsu berahi, dan tidak mengenal cinta kasih. Aku merasa jauh lebih berbahagia karena aku mengenal cinta. Kun Liong, engkau tahu siapa yang kumaksudkan. Tadinya sebelum berjumpa denganmu, aku pun hanya melamunkan cinta, tak pernah aku mengenalnya. Akan tetapi, begitu berte-mu denganmu, tahulah aku apa yang disebut cinta itu, Kun Liong, dan setelah mengenal cinta, nafsu berahi sama sekali bukan hal yang terpenting.” Mereka duduk di atas dek di ujung kapal yang sunyi dan agak gelap karena terselimut bayangan tihang-tihang layar dan tidak tampak dari tempat penjagaan di atas. Duduk berdampingan dan sejenak mereka tidak bicara, hanya saling pan-dang dengan bantuan sinar bulan yang menimpa di atas wajah masing-masing. Kemudian Kun Liong menarik napas panjang dan berkata, “Tetap saja aku harus mengecewakan hatimu, Yuanita. Aku tidak dapat membalas cinta kasihmu yang demikian murni, bahkan agaknya aku tidak akan pernah dapat jatuh cinta kepada wanita yang manapun juga.” Yuanita menatap wajah pemuda gundul itu dengan tajam penuh selidik, ke-mudian dia berbisik, “Aku tahu bahwa engkau tidak dapat mencintaku, Kun Liong. Mungkin seleramu berbeda dan kau tidak dapat memandang aku sebagai seorang wanita cantik yang menarik ha-timu karena aku memang seorang asing. Mataku kebiruan tidak seperti matamu yang hitam, rambutku keemasan tidak seperti rambutmu yang hitam arang dan kulit tubuhku putih berbulu halus seperti kulitmu yang kekuningan dan halus licin tak berbulu. Akan tetapi, kalau kau bilang bahwa kau tidak akan pernah dapat jatuh cinta kepada wanita yang mana pun, hal itu... ah, bagaimana aku dapat percaya?” “Percaya atau tidak terserah, Yuanita, akan tetapi setelah melihat segala peristiwa tentang cinta, aku menjadi ngeri untuk jatuh cinta!” “Aihh, mengapa?” “Karena melihat cinta yang ada sekarang ini bagiku tampak palsu dan hanya mendatangkan kesengsaraan belaka. Cinta yang banyak disebut-sebut orang, cinta antara pria dan wanita, cinta antara sahabat, cinta antara orang tua dan anak-anaknya, cinta antara manusia dengan Tuhannya, antara manusia dengan tanah airnya, antara manusia dengan dunia, harta, kemuliaan, kedudukan dan lain-lain, ternyata hanyalah pengikatan diri belaka. Cinta yang ada sekarang ini adalah pengikatan diri, dan dengan apapun juga kita mengikatkan diri, berarti kita menanam bibit kesengsaraan. Bibit itu berakar di hati, kita terikat, dan sekali waktu tentu akan datang saat perpisahan sehingga akar yang sudah mengikat itu akan membuat hati kita terluka dan membuat kita sengsara. Ikatan itu akan mendatangkan cemburu, iri hati, dendam dan kebencian, karena itu cintakah ikatan itu? Kurasa bukan!” Yuanita memandang kepada Kun Liong dengan mata terbelalak. “Tentu saja itu cinta! Cinta antara pria dan wanita yang disebut asmara! Cinta seperti itu memang mengandung pengikatan diri, ingin memilikinya sendiri, ingin memberi dan diberi, ingin menikmati kesenangan, dan tentu saja di situ terdapat pula cemburu, iri, dendam dan kebencian. Itulah memangnya cinta!” Kun Liong tersenyum dan memandang wajah yang cantik itu. “Kalau begitu, kasihan sekali orang yang terjun ke dalam jurang cinta, Berarti hanya menanti kesengsaraan hidup belaka. Aku tidak mau terperosok ke dalam perangkap cinta yang hanya menimbulkan kesengsaraan seperti itu, Yuanita.” “Habis kalau menurut pendapatmu, apakah cinta itu?” Kun Liong menggeleng kepalanya yang gundul. “Aku sendiri tidak tahu, Yuanita. Aku belum mengenal cinta, karenanya aku tidak berani jatuh cinta.” Yuanita merangkul dan merebahkan dirinya di atas pangkuan Kun Liong, menarik napas panjang. “Orang yang menajiskan cinta asmara seperti engkau ini, Kun Liong, sekali jatuh cinta benar--benar tentu akan hebat sekali! Ah, sungguh buruk nasibku, tidak dapat me-miliki cinta seorang pria seperti engkau.” “Jangan berduka, Yuanita. Betapapun juga, aku tetap sahabatmu, sahabat yang baik yang siap mengorbankan nyawa demi untuk membelamu.” Mendengar ucapan ini, ucapan yang sebenarnya biasa saja bagi seorang yang berwatak pendekar, membual hati Yuanita terharu sekali dan dia terisak menangis di atas dada Kun Liong yang memeluk dan menghiburnya, mengelus rambutnya. Sampai lama mereka berdiam diri, karena bagi mereka, kata-kata sudah tidak ada artinya lagi, detak jantung dan perasaan mereka melebihi seribu kata-kata indah. Tak tama kemudian, Kun Liong berkata, “Yuanita, kembalilah kau ke kamarmu. Biarpun aku suka sekali berada di sini bersamamu, akan tetapi kau tahu bahwa pertemuan seperti ini amatlah berbahaa bagi kita berdua dan tidak baik bagi namamu. Engkau adalah seorang dara terhormat, tidak seperti Nina. Maka kalau ada yang melihatnya, tentu namamu akan tercemar. Pergilah tidur, sahabatku yang baik.” Yuanita menghela napas, melepaskan diri dari atas pangkuan Kun Liong, bang-kit berdiri dan membereskan rambutnya yang kusut. Sejenak dia memandang wa-jah pemuda itu lalu berkata, “Selama hidupku, pertemuan kita malam ini takkan pernah kulupakan, Kun Liong. Apa pun yang terjadi dengan diriku, di lubuk hati setalu tersimpan cinta kasih murni untukmu.” “Ahhh, engkau memang seorang dara yang baik sekali.” Kun Liong merangkul dan mencium dahi dara itu. Ciuman yang mesra dan lembut seperti ciuman seorang kakak kepada adiknya, akan tetapi sikap dan ciuman ini seperti merobek hati Yuanita. Dara itu terisak, merenggutkan dirinya lalu membalik dan melarikan diri kembali ke kamarnya. Kun Liong berdiri tertegun, menyesal bahwa dia terpaksa harus menyakiti hati seorang dara sebaik Yuanita dengan menolak cintanya. Belum juga Kun Liong pulas, tiba-tiba dia mendengar suara orang-orang di atas dek, terdengar suara pukulan dan orang merintih. Seperti dia sendiri yang merasakan pukulan itu, Kun Liong me-loncat turun dan lari keluar dari kamar-nya. Di atas dek itu dia melihat seorang pribumi merintih-rintih dan merangkak di depan kaki seorang laki-laki asing yang bertubuh tinggi besar. Laki-laki itu de-ngan suara kaku membentak, “Hayo kau mau mengaku tidak bahwa kau telah membunuh nona itu!” Orang pribumi yang kurus itu berlutut dan berkata dengan logat orang daerah Pantai Pohai, “Ampunkan saya, Tuan... ampun.... saya sungguh mati tidak me-lakukan pembunuhan itu.” “Bukkkk...!” Sebuah pukulan disusul tendangan membuat tubuh kurus itu terguling-guling. Penyiksa itu kembali membentak, “Hayo, mengaku atau tidak? Tuan muda Hendrik sendiri melihatmu melakukan pembunuhan dan kau masih hendak mungkir? Hayo mengaku!” Dengan tubuh matang biru dan mulut-nya mengeluarkan darah karena giginya rontok, orang itu berkata lemah, “Tidak... tidak... saya tidak membunuh-nya...” Raksasa itu melotot dan melangkah maju. “Kalau begitu kau ingin mati!” Diayunnya lengan yang sebesar paha orang itu dengan tangan dikepalnya. Ten-tu akan pecah atau setidaknya gegar otak kepala itu kalau terkena hantaman dahsyat itu. “Dukkkk!” Raksasa itu berteriak ke-saktian dan terhuyung ke belakang me-megangi lengan kanannya yang tertangkis oleh Kun Liong. “Adouuww... kau... kau mau membela bangsamu?” Raksasa itu membentak ke-tika mengenal pemuda gundul yang telah membuat hatinya iri dan benci karena pemuda asing gundul ini diaku sahabat oleh Tuan Muda Yuan bahkan Nona Yuanita kelihatannya begitu akrab dengan pemuda ini! “Menyaksikan orang disiksa tanpa jelas kesalahannya, saya tidak peduli dia itu bangsa apa. Yang sudah jelas, baik penyiksanya maupun yang disiksa adalah manusia. Tuan mengapa kau menyiksa orang ini?” Kun Liong melirik dan kini dia mengenal orang kurus itu sebagai seorang di antara enam tujuh orang pribumi yang bekerja di kapal itu sebagai pelayan. “Dia telah membunuh seorang di an-tara lima orang wanita pelayan Nona Yuanita yang bemama Ketty. Dia mem-perkosa dan mencekiknya. Apakah kau hendak bilang bahwa orang macam ini tidak pantas disiksa dan dihukum?” Rak-sasa itu menghardik. Kun Liong memandang kepada orang kurus itu. Orang itu masih muda, paling banyak tiga puluh tahun usianya dan biarpun tubuhnya kurus akan tetapi wajahnya tampan. Orang itu segera berlutut menghadapi Kun Liong dan berkata, “Demi Tuhan, saya tidah membunuh Nona Kitty, saya... mana mungkin saya tega untuk membunuhnya? Menyusahkannya saja saya tidak tega... Nona Kitty begitu baik...” Dan laki-laki itu menangis! “Dia, bohong! Pasti dia yang membunuhnya setelah memperkosanya. Dia takut kalau Nona Kitty menuduhnya, maka dia membunuhnya,” raksasa itu berkata. “Saya hanya seorang petugas yang disuruh oleh Tuan Muda Hendrik untuk menyiksanya agar dia mengakui perbuatannya yang biadab!” KUN LIONG merasa curiga. Agaknya orang kurus itu suka kepada Nona Kitty, bahkan sekarang pun menangis bukan karena didakwa, melainkan menangisi kematian nona itu. Ia mengingat-ingat. Lima orang pelayan wanita itu memang itu memang cantik dan genit-genit. Agaknya seorang laki-laki muda seperti Si Kurus ini, dengan wajahnya yang tampan, tidak perlu harus menggunakan pak-saan untuk bermain-main dengan seorang di antara mereka. “Soal pembunuhan adalah soal yang ruwet kalau tidak dilihat sendiri buktinya. Memaksa orang melakukan pengakuan dengan cara menyiksa adalah perbuatan yang biadab, tidak kalah biadabnya dengan pemerkosa dan pembunuh. Seorang penegak hukum adalah seorang yang menentang dan memberantas per-buatan jahat, akan tetapi apa jadinya dunia ini kalau si penegak hukum lebih kejam, lebih ganas, lebih ngawur, dan lebih jahat daripada si penjahat sendiri? Seperti semua bangsamu, engkau tentu seorang ber-Tuhan, dan perbuatanmu ini mencemarkan Ketuhanan, juga kau seba-gai seorang manusia, dia pun manusia, perbuatanmu ini jelas melanggar perikemanusiaan. Tak perlu lagi bicara tentang keadilan dan kebebasan seorang manusia. Dia boleh jadi bersalah, akan tetapi pe-meriksaan harus dilakukan dengan teliti dan hukuman dijatuhkan sesuai dengan kesalahannya. Untuk itu telah tersedia di daerah. Mengapa kau meng-gunakan hukum rimba?” Ribut-ribut itu menarik perhatian orang dan muncullah berturut-turut Yuan de Gama, Yuanita, Richardo de Gama, Hendrik, Nina dan Legaspi Selado sendiri. Yuan de Gama heran melihat Kun Liong bertengkar dengan seorang anak buah yang terkenal sebagai tukang pukulnya Hendrik Selado. “Kun Liong, apa yang terjadi?” dia bertanya. “Yuan aku hanya mencegah penyiksaan sewenang-wenang. Orang ini dituduh melakukan pembunuhan. Pembunuhan yang tidak diketahui dilakukan oleh siapa sepatutnya diselidiki oleh orang pandai, menggunakan kecerdikan untuk membong-kar rahasia itu. Akan tetapi kulihat se-karang, usaha penyelidikan diserahkan kepada segala macam tukang pukul yang kasar, kejam dan sepatutnya menjadi penjahat.” Dimaki seperti itu di depan banyak orang, apalagi di situ terdapat Hendrik yang menjadi majikannya, raksasa itu marah sekali dan sambil menggereng dia sudah menerjang Kun Liong dengan gaya seorang petinju jagoan. Kepalan kanannya menghantam lurus ke arah dada Kun Liong sedangkan kepalan kirinya dari bawah melakukan uppercut, yaitu pukulan dengan lengan ditekuk, dari bawah me-nyambar ke atas mengarah dagu lawan. Dua pukulan ini dilakukan susul-menyusul dan hanya berselisih dua detik saja. Kun Liong bersikap tenang. Dari gerakan pundak raksasa itu saja dia sudah tahu ke arah mana dua kepalan itu menyerang dirinya. Setelah pukulan mendekat, secepat kedua tangannya bergerak dari kanan kiri, membuat gerakan memotong dengan tangan terbuka. “Krekk! Krekk! Oouuuwww...!” Raksasa itu terpelanting, mengaduh-aduh menggerak-gerakkan kedua tangannya yang sudah patah tulang lengan dekat pergelangan dan menimbulkan rasa nyeri yang menusuk jantung. “Kau berani melukai orangku...?” Hendrik menghampiri Kun Liong yang bersikap tenang dan sama sekali tidak mempedulikan pemuda ini, karenanya Kun Liong mencurahkan sebagian besar perhatiannya ke arah Legaspi Selado yang dianggapnya orang yang paling berbahaya. “Tahan!” Yuan melompat maju menghalangi Hendrik. “Hendrik, kau tidak boleh menimbulkan ribut-ribut di kapal ini!” “Tapi dia melukai orangku, Yuan!” “Hemmm, semua mata melihat bahwa orangmu yang memukul, Kun Liong hanya menangkis. Aku tidak ingin terjadi ribut di sini. Aku adalah kapten kapal ini, akulah yang bertanggung jawab akan segala urusan. Siapapun juga, bahkan ayahku sendiri, kalau berada di kapal ini harus tunduk kepada keputusanku sebagai kapten kapal. Aku yang bertanggung jawab dan membela kapal ini dengan keamanannya, kupertaruhkan nyawa sebagai seorang kapten. Urusan ini, aku yang berhak untuk menyelidiki.” Hendrik terpaksa mundur dan Yuan menghampiri laki-laki yang masih berlutut dan menundukkan mukanya, merintih perlahan karena tubuhnya nyeri semua akibat penyiksaan raksasa tadi yang kini telah dibawa pergi semuanya untuk mengobati kedua lengannya. “Hayo katakan terus terang, apa yang kauketahui tentang pembunuhan itu!” kata Yuan kepada orang tersiksa tadi. Sedangkan Yuanita mendekati Kin Liong dan merasa kaget dan ngeri mendengar bahwa seorang di antara pelayan-pelayannya telah diperkosa dan dibunuh orang. Orang itu mengangkat muka memandang Yuan de Gama, kemudian melirik ke arah Hendrik dan menunduk lagi, menangis! Kun Liong yang mengikuti semua ini dengan pandang mata tajam, melihat betapa orang itu tadi memandang Yuan de Gama penuh permohonan dan perto-longan, kemudian lirikannya kepada Hen-drik penuh ketakutan melihat betapa Hendrik memandangnya dengan mata melotot penuh ancaman maut! Melihat semua itu, Kun Liong berkata kepada orang yang menangis itu, “Kawan, kau dituduh membunuh, kalau kau tidak mengaku, mungkin kau akan dihukum mati, dan sungguh tidak enak mati penasaran sebagai seorang pembohong. Kalau kau bercerita terus terang, andaikata kau mati pun, kau mati sebagai seorang terhormat dan gagah. Pula, kalau kau tidak bersalah, mengapa takut bicara?” Mendengar ini, orang itu mengangkat mukanya dan berkata kepada Yuan, “Tuan Muda Yuan, saya telah berhutang banyak budi kepada Tuan, maka saya akan bercerita terus terang. Saya telah berbuat dosa karena saya... saya mencinta Nona Kitty, sudah lama ada hubungan cinta di antara kami. Sampai tadi... tadi pertemuan antara kami diketahui orang. Saya melarikan diri dan mendengar Nona Kitty menjerit akan tetapi saya tidak berani keluar, kemudian saya diseret dan disiksa di sini.” Yuan de Gama mengerutkan alisnya, dan Kun Liong dapat bertanya, “Siapa orang yang melihat pertemuan kalian itu?” “Dia... dia adalah... darrr!” Tubuh orang itu terjengkang dan dia mati seketika karena kepalannya ditembus sebutir peluru. Asap mengepul dari pistol yang berada di tangan Hendrik. Melihat ini, Kun Liong marah sekali dan mukanya menjadi merah, akan tetapi Yuan memegang lengannya. “Hendrik, mengapa kau membunuh dia?” Yuan bertanya dengan nada menegur. “Hemm, manusia rendah itu sedang membohong dan hendak menghina orang. Terang dia bersalah dan karena takut dia hendak melemparkan tuduhan kepada orang lain. Aku tidak sabar lagi mendengar omongannya.” “Ha-ha-ha, Yuan! Urusan seekor an-jing pribumi hina ini saja mengapa perlu diributkan? Lempar saja bangkainya ke laut dan habis perkara!” Legaspi Selado berkata sambil tertawa akan tetapi ma-tanya melirik ke arah Kun Liong. Pemuda ini makin merah mukanya, akan teta-pi dia maklum bahwa kalau dia kena pancingan sehingga terjadi pertempuran di kapal itu, hal ini akan menyusahkan Yuan dan keluarganya. Apalagi, orang itu sudah mati, dan betapapun juga dia telah mencari penyakit sendiri dengan bercin-taan dengan Kitty. Di samping itu, tugas ke Pulau Ular lebih penting lagi. Maka dia lalu membalikkan tubuhnya tanpa menoleh lagi memasuki kamarnya dan tidur. Di atas pembaringannya dia mengenangkan peristiwa tadi. Dia dapat menduga apa yang terjadi. Orang yang menjadi korban itu tentu karena rayuan Kitty, kalau tidak mana mungkin seorang pelayan berani main gila dengan seorang nona asing? Dan agaknya Kitty itu merupakan seorang di antara kekasih Hendrik maka melihat keduanya bermain cinta, Hendrik lalu membunuh Kitty dan menimpakan kesalahannya kepada orang itu. Hemm... cinta selalu mendatangkan persoalan dan korban. Akan tetapi, apakah itu patut dinamakan cinta? Wajahnya yang cantik kelihatan agak pucat seperti menderita sakit. Namun sepasang matanya yang jernih dan tajam itu masih bersinar-sinar penuh semangat perlawanan, sungguhpun keadaannya amat mengkhawatirkan. Dengan sikap gagah dan sama sekali tidak membayangkan tanda-tanda menyerah atau takut, Souw Li Hwa yang dibelenggu tubuhnya pada sebuah tihang di ruangan batu itu memandang kepada pemuda yang berdiri di depannya. Ouwyang Bouw hampir kehilangan kesabaran menghadapi tawanan wanita yang dicintanya ini. Terhadap Li Hwa, dia tidak mau menggunakan pemaksaan, tidak mau menggunakan kekerasan untuk menggagahinya. Dia benar-benar jatuh hati kepada dara ini dan mengha-rapkan Li Hwa suka menjadi isterinya dengan suka rela. Namun, setelah ber-hari-hari dia membujuk dengan halus dan kasar, tetap saja Li Hwa tidak meng-acuhkan, bahkan setiap kali membuka mulut tentu menghinanya dan menantang minta dibunuh. Hal ini membuat hati Ouwyang Bouw marah, pesaaran, juga duka sekali sehingga beberapa hari dia tidak enak makan tidak nyenyak tidur, dan tubuhnya menjadi kurus, matanya makin liar dan terhadap orang lain dia mudah marah-marah. “Li Hwa, mengapa engkau begini keras kepala? Biarpun engkau murid Panglima Besar The Hoo, akan tetapi aku pun bukan pemuda sembarangan. Aku putera dan sekaligus murid Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok yang dahulu juga pernah menjabat kedudukan tinggi di Mongolia. Engkau tidak turun derajat jika menjadi isteriku dan aku bersumpah bahwa aku akan menjadi suami yang baik dan pe-nurut, sayangku!” “Phuih! Laki-laki rendah budi tak mengenal malu. Sudah berapa ribu kali kukatakan bahwa aku tidak sudi menjadi isterimu, dan kalau menggunakan paksaan memperkosaku, kemudian aku akan membunuh diri dan rohku akan menjadi setan yang selalu akan mengejar dan menganggumu sampai kau mampus!” Wajah tampan yang tadinya menyeri-ngai itu kini berubah beringas. Matanya yang memang liar itu berputaran menakutkan. Dia sudah bangkit dari duduknya, tangannya sudah gemetar hendak membu-nuh saja dara yang membuatnya sengsara ini. “Kalau begitu, engkau akan kubunuh!” “Terima kasih, memang aku suka mati daripada melihat mukamu lebih lama lagi!” “Keparat, engkau tidak akan mati begitu enak!” Dia mengeluarkan sebatang suling, suling biasa tidak seperti terom-petnya, kemudian dia meniup suling itu dengan suara meliuk-liuk yang sifatnya liar. Li Hwa dapat menduga bahwa Putera Raja Ular ini tentu sedang mememanggil ular. Di dalam hatinya, tentu saja sebagai wanita dia jijik dan takut melihat ular, akan tetapi menghadapi bujukan pemuda gila ini, dia sanggup menghadapi siksaan apa saja dan lebih baik mati daripada harus menyerahkan diri secara sukar rela. Tepat dugaan Li Hwa. Tak lama kemudian terdengar suara mendesis-desis dan muncullah seekor ular merayap cepat memasuki ruangan itu. Li Hwa membelalakkan matanya melihat ular itu besar sekali, sebesar pahanya dan panjangnya luar biasa. Dia tidak dapat menahan kengerian hatinya dan memejamkan matanya. Ular itu mendekati Ouwyang Bouw dan Si Pemuda menggunakan tangan kiri mengusap kepala ular itu seperti orang mengelus kepala seekor anjing kesayangannya, tiupan sulingnya dihentikan dan dia tertawa melibat Li Hwa memejamkan mata. “Nah, kau melihatnya, bukan? Li Hwa, jangan kau memaksa aku menyuruh dia membelit-belit tubuhmu yang indah itu, kemudian mengganyang dagingnya sedikit demi sedikit.” Biarpun tadinya dia merasa ngeri, jijik dan takut, akan tetapi mendengar suara Ouwyang Bouw semua rasa takut lenyap seketika terganti rasa marah dan kebencian hebat. Dia membuka mata, tidak peduli lagi kepada ular itu, matanya mendelik memandang Ouwyang Bouw sambil membentak, “Mau bunuh, bunuhlah dengan jalan apa pun terserah, aku tidak takut!” Habislah kesabaran Ouwyang Bouw. Dia melangkah maju, kedua tangannya menjangkau dan mencengkeram. “Bret-brett-brettt!” Pakaian yang melekat di tubuh Li Hwa cabik-cabik sehingga sebagian besar tubuh dara itu telanjang. Li Hwa meludah sambil mengerahkan tenaganya. Air ludah itu dapat dijadikan senjata untuk menyerang lawan, akan tetapi Ouwyang Bouw yang lihai dapat mengelak, kemudian meniup lagi sulingnya. Ular besar yang berwarna hitam ber-belang hijau dan merah itu mengangkat kepala agak tinggi, matanya bersinar-sinar menoleh ke arah Li Hwa, lidahnya yang panjang dan berwarna itu menjilat--jilat keluar, kemudian dengan lambat karena tubuhnya yang besar membuat gerakannya lamban, ular itu merayap menghampiri Li Hwa! Li Hwa mencoba untuk bersikap ta-bah membuka mata lebar-lebar meman-dang binatang itu, menekan rasa jijiknya dan mencari akal bagaimana dia akan dapat melepaskan diri dari bahaya maut ini. Namun dia tidak dapat menemukan jalan itu, dan agaknya terpaksa dia harus menerima kematian oleh ular itu. Biar-pun dia berusaha bersikap tabah, akan tetapi ketika ular itu mulai menyentuh kakinya, naik ke betis dan pahanya yang telanjang, merasakan tubuh ular yang dingin menggeliat-geliat, dia tidak kuat menahan dan memejamkan kedua matanya rapat-rapat dan berusaha melakukan samadhi mematikan rasa. Namun hal ini sukar sekali, karena kini ular itu merayap naik terus, menjilati seluruh tubuhnya dan seolah-olah ular itu sedang memak-sanya bermain cinta! Dia hampir pingsan akan tetapi masih mendengar suara Ouw-yang Bouw, “Li Hwa, katakanlah engkau suka menjadi isteriku dan aku akan membebaskanmu.” Biarpun kedua matanya masih terpejam dan alisnya berkerut-merut menahan kegelian dan kejijikannya Li Hwa masih mampu menggeleng kepala kuat-kuat dan baru berhenti ketika ular itu juga membelit leher, kemudian melepaskannya lagi, membelit bagian tubuh yang lain dari kaki sampai ke leher, menyelusuri tubuh itu dan belum menggigitnya, seolah-olah hendak main-main dulu sampai puas dengan calon bangsa yang bertubuh putih mulus, halus dan hangat itu. Kegelian dan kejijikan itu akhirnya dapat diatasi Li Hwa. Dia membuka- mata dan melihat kepala ular itu dengan moncong terbuka lebar berada di depan mukanya seperti hendak menelan kepalanya sqkaligus! Tak dapat dia menaham kengerian itu dan dia memejamkan mata, tubuhnya lemas dan dia pingsan! Ular itu sudah menarik kepala ke belakang, siap untuk mematuk dan menggigit, akan tetapi tiba-tiba Owyang Bouw meniup sulingnya keras-keras. Ular itu terkejut, menoleh ke arah majikannya, lehernya bergoyang-goyang seperti dalam keadaan ragu-ragu, akan tetapi suara suling makin hebat, penuh ancaman kepadanya. Ular yang sudah terlatih ini, lalu mengendurkan libatan, perlahan-lahan merayap turun dan meninggalkan ruangan itu. Dengan mata merah saking marah dan kecewanya, Ouwyang Bouw menanti sampai Li Hwa mengeluh dan membuka mata. Dara itu, terheran akan tetapi jelas merasa lega karena dia menarik napas panjang ketika melihat dia masib terbelenggu dan ular mengerikan itu telah tidak ada lagi. Mimpikah dia tadi? Mimpi menyeramkan dan sekarang baru bangun dari tidur? Akan tetapi Ouwyang Bouw masih berdiri di depannya. “Li Hwa, aku tidak tega membunuhmu. Celaka! Keparat benar! Aku tidak mau membunuhmu. Aku harus membebaskanmu demi cintaku. Akan tetapi, kalau aku tidak boleh memiliki hatimu, aku harus memiliki tubuhmu. Aku akan memperkosamu!” “Cih, laki-laki pengecut, rendah dan tak tahu malu!” Li Hwa mendesak. Ouwyang Bouw tidak mempedulikan makian dara itu, tubuhnya bergerak ke depan, kedua tangannya menyambar em-pat kali dan Li Hwa telah tertotok, totokan yang membuat kedua lengan dan kedua kakinya lumpuh! Pemuda itu lalu membuka belenggu kaki tangan, memon-dong tubuh Li Hwa dan membawanya pergi ke dalam kamamya sendiri. Dia sudah melempar tubuh Li Hwa ke atas pembaringannya dan mulai membuka bajunya sendiri ketika tiba-tiba dia di-kejutkan oleh suara kentungan gencar dari luar. Tanda bahaya! Segencar itu kentungan dipukul, bukan hanya satu melainkan banyak sekali, tanda bahwa bahaya yang mengancam Pulau Ular bukanlah main-main! Dia mengancingkan lagi bajunya dan menoleh kepada Li Hwa. “Kautunggu sebentar, manis, aku hendak melihat apa yang terjadi di luar.” Dia lalu meloncat ke luar, maklum bahwa totokannya yang membuat dara itu lumpuh akan bertahan sampai beberapa jam lamanya. Li Hwa tak dapat bergerak, atau lebih tepat tidak dapat menggerakkan kedua kaki tangannya, hanya lehernya saja yang dapat digerakkan. Dia rebah telentang, pakaiannya setengah telanjang, robek-robek tidak karuan dan dia mendengar suara di luar dengan teliti dan penuh harapan. Apakah pertolongan datang? Gurunya? Pasukan gurunya? Atau panglima Tio Hok Gwan? Bahkan mungkin juga Pendekar Sakti Cia Keng Hong. Akan tetapi terdengar suara ledakan-ledakan senjata dan dia makin heran. Biasanya yang menggunakan senjata api hanyalah orang-orang asing! Yuan! Jantungnya berdebar-debar penuh harapan, bukan hanya harapan tertolong, akan tetapi harapan berjumpa dengan Yuan de Gama. Baru sekarang dia sadar dengan hati kaget sekali bahwa dia mencinta pemuda asing itu! Tak terasa lagi air mata bertitik turun di atas pipinya. Akan tetapi dia khawatir lagi meli-hat yang berkelebat masuk adalah Ouw-yang Bouw. Muka pemuda itu agak pucat dan tanpa berkata-kata pemuda itu kem-bali membelenggu kaki dan tangan Li Hwa, kemudian menyambar pedang ular yang tergantung di atas dinding kamar-nya itu, menyambar pula kantung jarum merahnya yang amat berbahaya, dan meloncat keluar dari kamar itu setelah menutup dan mengunci pintu kamar itu dari luar. Li Hwa menarik napas panjang. Dia benar-benar kecewa dan menyesal. Siapa kira pemuda gila itu ingat untuk membuat dia makin tidak berdaya. Kalau tidak terbelenggu, mungkin perlahan-lahan dia dapat membuyarkan totokan dan dapat bebas, akan tetapi sekarang, andaikata totokannya buyar sekalipun, dia tetap saja masib terbelenggu dan tidak dapat bebas! Nemun dia masih penuh harapan dan di hatinya bertanya-tanya, apakah yang sedang terjadi di luar? Setiap pagi, permukaan bumi dimulai dengan kesunyian dan keheningan yang indah sekali. Seperti pagi hari itu. Harinya indah sekali! Kun Liong bangun pagi-pagi dan sudah berada di atas dek kapal, sempat menikmati munculnya matahari yang merupakan sebuah bola api merah yang muncul dari permukaan laut sebelah timur selatan (tenggara). Kun Liong seperti terbenam dalam semua keindahan itu. Matahari seperti bola api besar kemerahan yang mulai menyinarkan cahayanya, seperti membakar seluruh permukaan laut dengan warna kemerahan. Laut merah ini tampak berkeriput kecil, seperti tidak pernah bergerak. Tidak ada suara terdengar kecuali percikan air di tubuh kapal. Langit biru kemerahan mulai ditinggalkan titik-titik bintang dan di sana-sini tampak burung-burung camar laut beterbangan di angkasa dengan bebasnya. Mereka tidak tampak menggerakkan sayap, hanya meluncur dengan halusnya membuat lingkaran-lingkaran lebar. Pada saat seperti itu, Kun Liong sudah lupa diri, seolah-olah dia tidak ada lagi, yang ada hanyalah kesadaran akan keindahan itu. Tidak lagi akunya yang menikmati keindahan, yang ada hanyalah memandang. Dia seperti matahari, seperti air laut, seperti burung camar, dia merupakan sebagian dari dalam dan keindahan itu yang tak terpisahkan. Semua ini akan membuyar jika pikiran datang mengaduk keheningan dengan bentukan aku-nya. Kalau ada si aku yang menjadi pemandang, yang menjadi penonton, maka timbullah perbandingan. Keindahan pagi ini tidak seindah yang kulihat sepekan yang lalu, atau keindahan ini lebih indah dari yang kemarin, atau aku ingin melihat keindahan ini lagi atau aku tak ingin melihatnya lagi dan sebagainya. Kalau sudah begitu, kalau si aku sudah muncul, rusaklah semuanya. Keindahan itu tercemar, menjadi gambaran yang melekat di dalam ingatan sehingga kelak akan menimbulkan keinginan melihat lagi, menimbulkan perbandingan, menimbulkan suka dan tidak suka. Demikian pula dengan segala keindahan di dunia ini. Selama si aku yang menjadi pemandang dan penilai, selalu terjadi pertentangan. Dia lebih kaya dari aku dan timbullah iri hati. Dia lebih miskin dari aku dan timbullah kesombongan. Dan sebagainya dan sebagainya. Semua timbul dari perbandingan, perbandingan timbul dari si aku yang dibentuk pikiran. Kalau kita menghadapi keadaan kita dan yang kita hadapi sewajarnya, menghadapi hanya memandang penuh kewaspadaan tanpa si aku yang menjadi pengawas dan penilai, maka tidak akan timbul konflik batin yang hanya menelurkan pertentangan lahir. Kalau sudah begitu, baru ada kemungkinan kita melakukan setiap perbuatan berdasarkan kasih, kasih suci murni tanpa pamrih tanpa tujuan tanpa keinginan tanpa DISADARI bahwa perbuatannya itu baik! Namun, hanya beberapa jam saja Kun Liong berada dalam keadaan hening yang penuh rahasia keindahan itu karena perhatiannya tertarik oleh bayangan sebuah pulau di selatan. Agaknya itulah Pulau Ular! Tak salah lagi, cocok dengan gambaran yang diberikan oleh supeknya, Cia Keng Hong! Bukan hanya dia seorang yang melihat pulau ini, juga penjaga di atas yang segera memberi tanda ke bawah. Tak lama kemudian, semua penghuni kapal sudah bangun dan berkumpul di dek. Keadaan menjadi sibuk ketika Yuan menyerukan perintah. Legaspi Selado memberi petunjuk-petunjuk. Perahu besar Ikan Duyung mendekati kapal dan Richardo de Gama bersama Yuanita, Nina Selado dan empat orang pelayan wanita, mengungsi ke perahu besar itu. Kapal Kuda Terbang sudah siap untuk menyerbu ke Pulau Ular sedangkan Kapal Ikan Duyung hanya menanti di pantai bersama Richardo de Gama, puterinya dan pelayan-pelayan itu termasuk anak buah perahu. Sebelum pindah ke perahu, Yuanita lari menghampiri Kun Liong, secara terang-terangan di depan banyak orang, Yuanita merangkul leher Kun Liong, menariknya ke bawah dan memberi kecupan pada bibir pemuda itu sambil berbisik, “Hati-hatilah kau...” Tentu saja Kun Liong gelagapan dan mukanya menjadi merah sampai ke kepalanya, akan tetapi dia agak merasa terhibur dan berkurang rasa malunya ketika melihat Yuanita juga merangkul kakaknya dan memberi ciuman, bukan di bibir melainkan di pipi. Setelah itu Yuanita lari kepada ayahnya dan bersama-sama pindah ke perahu Ikan Duyung. Tak sengaja Kun Liong melirik dan melibat Hendrik memandangnya dengan mata bernyala-nyala penuh kebencian! Meriam-meriam Kapal Kuda Terbang sudah disiapkan, pistol dan bedil sudah dibersihkan dan peluru-pelurunya dibagi-bagi. Ketika Yuan menyerahkan sebuah pistol kepada Kun Liong, pemuda ini menolak. “Senjata apimu itu sama saja dengan senjata gelap berupa piauw, paku, jarum dan lain-lain. Dan aku tidak pernah menggunakan am-gi (senjata gelap), bahkan tidak pernah menggunakan senjata karena aku benci perkelahian, benci perang, benci kekerasan. Suruh aku menggunakan senjata untuk membunuh atau melukai orang? Sama saja dengan menyuruh aku memotong kedua tanganku!” “Aihh! Habis kalau kau berhadapan dengan orang jahat yang menyerangmu?” “Akan kubela dengan kedua tangan, dan kalau dalam membela diri aku melukainya, sungguhpun kuusahakan agar jangan terlalu hebat, hal itu tentu saja lain lagi, bukan sengaja aku hendak melukai atau membunuh orang.” Yuan memandang sahabatnya itu. “Kau orang aneh! Mungkin karena keanehanmu inilah adikku jatuh cinta kepadamu!” Kun Liong tidak menjawab, akan tetapi mukanya menjadi merah sekali. “Sayang kau tidak membalas cintanya.” Kun Liong kaget, mengangkat muka. Agaknya antara kakak dan adik itu tidak ada rahasia! “Maafkan aku...” katanya lirih. Yuan menepuk-nepuk pundaknya. “Tidak ada yang dimaafkan. Engkau jujur dan gagah, tidak menggunakan kesempat-an selagi ada gadis cantik mencintamu kaupergunakan untuk memuaskan diri seperti hampir semua pria lain. Cinta tak dapat dipaksakan. Sudahlah, lupakan saja. Kun Liong, karena aku tahu bahwa engkau memiliki kepandaian, hanya engkau yang pantas menghadapi dua orang datuk kaum sesat itu...” “Tuan, dengarlah baik-baik. Tugasku hanya dua, pertama merampas kembali bokor emas dan ke dua menolong Nona Souw Li Hwa.” “Serahkan nona itu kepada tanggungjawabku!” Ucapan itu dikeluarkan keras-keras sehingga mengagetkan Kun Liong, akan tetapi karena maklum bahwa hal ini terdorong oleh rasa cinta pemuda ini, maka dia mengangguk dan berkata lirih, “Engkau pun gila oleh cinta seperti adikmu.” Yuan menghela napas duka. “Agaknya memang sudah nasib kami berduka, menjadi korban cinta sepihak.” “Bagimu belum tentu, Yuan.” Agaknya Yuan tidak menghendaki persoalan itu dilanjutkan, maka dia berkata, “Semua sudah diatur seperti siasat yang direncanakan. Kau dan Tuan Legaspi Selado menghadapi Toat-beng Hoat-su dan Ouwyang Bouw, dibantu oleh Hendrik, anak buahku menghadapi anak buah Pulau Ular, kupimpin sendiri dan aku sekalian mencari Li Hwa. Harap saja engkau suka mentaati perintah ini, sesuai dengan rencana penyerbuan.” Kun Liong meniru gerakan salut seorang anak buah kapal sambil berkata, “Aku siap dan taat, Kapten!” Yuan tertawa dan menampar pundak Kun Liong. “Gila kau!” Sesuai rencana, Kapal Kuda Terbang mendekat pantai lalu menembakkan meriamnya. Para anak buah Pulau Ular- yang berkumpul di pantai untuk menyam-but penyerbuan itu, kocar-kacir dan lari bersembunyi, lalu mundur. Hal ini dipergunakan oleh Yuan dan anak buahnya serta pembantu-pembantunya untuk meloncat turun mendarat. Mulailah terjadi pertempuran hebat di pantai. Ledakan-ledakan senjata api membuat bising, diseling teriakan-teriakan dan hujan anak panah yang membalas perang jarak jauh ini. Akan tetapi pihak Yuan terus mendesak sampai ke tengah pulau di mana terjadi sergapan-sergapan mendadak sehingga pistol-pistol makin tidak berguna, lebih banyak terjadi perang tanding dengan senjata tajam dan kepalan tangan. Toat-beng Hoat-su dan Ban-tok Coa-ong sudah siap menyambut, Kun Liong bersama Legaspi Selado dan Hendrik, seperti direncanakan, menghadapi mereka. Kun Liong melawan Toat-beng Hoat-su sedangkan Legaspi dan puteranya mengeroyok Ban-tok Coa-ong. Akan tetapi pertandingan yang seru ini tidak berlangsung lama karena terdengar Legaspi berkata kepada Kun Liong sambil meloncat jauh, “Aku mencari benda itu!” Dan pergilah dia diikuti oleh Hendrik, membiarkan Kun Liong dikeroyok dua oleh Ban-tok Coa-ong. Agaknya Ban-tok Coa-ong tidak mengejar kakek asing yang ia tahu memiliki kepandaian tinggi dan setingkat dengannya itu, karena dia yakin bahwa kakek itu takkan mungkin dapat menemukan bokor yang telah disimpannya di tempat rahasia. Hanya dia, Toat-beng Hoat-su dan Ouwyang Bouw saja yang tahu di mana rahasia tempat itu. Diam-diam Kun Liong terkejut sekali. Tadi ketika melawan Toat-beng Hoat-su, dia repot setengah mati menghadapi serbuan kakek ini yang benar-benar amat lihai. Mula-mula kakek yang memandang rendah Kun Liong ini menyerangnya dengan tangan kosong saja. Akan tetapi, pemuda itu selalu dapat mengelak dari serangannya, bahkan berani pula menangkis dan setiap tangkisan tentu membuat seluruh lengannya tergetar, tanda bahwa pemuda gundul itu memiliki ilmu sinkang yang amat kuat! Karena penasaran, Toat-beng Hoat-su menggunakan senjatanya yang istimewa, yaitu jubahnya dan begitu diserang oleh senjata aneh yang kelihatan sepele namun membawa tangan maut, Kun Liong mulai terdesak karena setiap tangkisannya biarpun membuat jubah terpental, namun lengannya terasa pedas sedangkan lawan tentu saja tidak merasakan apa-apa, berbeda kalau lengan kakek itu yang ditangkisnya! Dan seka-rang tiba-tiba Hendrik dan Legaspi meninggalkannya. Mengertilah dia bahwa kakek dan puteranya itu berwatak cu-rang, membiarkan dia dikeroyok dua orang datuk sedangkan mereka sendiri pergi mencaari bokor. Dia yakin bahwa kalau bokor emas itu terjatuh ke tangan Legaspi, tidak mungkin kakek asing yang tidak kalah jahatnya dibandingkan dengan para datuk kaum sesat ini tentu akan angkat kaki melarikan bokor pusaka. Namun, dia tidak mempedulikan kakek asing itu. Andaikata bokor terdapat oleh kakek itu, mudah kelak dicari. Sekarang yang penting dia harus mencurahkan seluruh kepandaiannya untuk menghadapi pengeroyokan Toat-beng Hoat-su dan Ban-tok Coa-ong yang lihai. Sebetulnya, mengingat akan ilmu-ilmu silat yang telah dipelajarinya dari dua orang sakti Bun Hoat Tosu dan Tiang Pek Hosiang, mutu dan tingkat ilmu silat Kun Liong masih jauh lebih murni dan tinggi dibandingkan dengan kedua orang kakek sesat yang hanya memiliki ilmu silat dari golongan sesat yang sudah campur aduk tidak karuan dan semata-mata mengandalkan tipu daya licik sehingga tidak memiliki dasar yang kuat. Juga dalam hal sin-kang, pemuda gundul ini telah memiliki sin-kang Pek-in-ciang dari Tiang Pek Hosiang, sin-kang istimewa untuk membetot dari Bun Hoat Tosu, dan terutama sekali Thi-khi-i-beng dari Cia Keng Hong. Maka dalam hal ilmu tenaga sakti, dia pun jauh lebih tinggi tingkatnya dari kedua orang lawannya. Akan tetapi, dia kalah pengalaman, terutama sekali dua orang kakek itu adalah ahil-ahli ilmu muslihat licik, ditambah lagi Toat-beng Hoat-su menggunakan senjata jubah sedangkan Ban-tok Coa-ong menggunakan senjata terompet di tangan kiri dan pedang ular di tangan kanan. Maka repotlah Kun Liong sekarang, harus mengerahkan sin-kangnya melindungi tubuh, mengerahkan gin-kang untuk mengelak dengan berloncatan ke sana-sini dan mainkan Pat-hong-sin-kun yang dapat membuat penjagaan delapan penjuru! Pertempuran antara Yuan dan anak buahnya juga terjadi amat ramai, akan tetapi karena tidak lagi ada kesempatan menggunakan senjata api, orang-orang barat itu dalam pertandingan senjata tajam dan kepalan tangang kalah pandai oleh anak buah Pulau Ular yang rata-rata pandai ilmu silat sehingga anak buah Yuan mulai terdesak. Akan tetapi Yuan de Gama, yang tidak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk segera menolong Li Hwa telah menangkap seorang anggauta lawan dan menyeretnya ke pinggir. “Lekas katakan, di mana ditahannya Nona Souw Li Hwa, baru kau akan kuampuni!” Orang Nepal itu yang tengkuknya dicengkeram tangan Yuan yang terlatih, merasa nyeri sekali, menjawab gagap. “Dia... di... pondok Kongcu...!” “Lekas bawa aku ke sana, kalau kau membohong akan kubunuh. Kalau tidak, akan kulepaskan!” Sambil mencengkeram tengkuk orang itu, Yuan memaksanya berdiri dan berjalan ke arah pondok Ouwyang Bouw. Yuan menendang pintu, sambil menyeret orang itu dia lari masuk sambil berteriak memanggil, “Li Hwa...! Li Hwa...!” “Tuan...!” Teriakan yang amat dikenalnya ini membuat Yuan hampir bersorak. Ditamparnya leher lawannya itu sehingga roboh terguling dan pingsan, kemudian dia lari masuk, menendang terbuka pintu kamar. Ketika melihat Li Hwa rebah di pembaringan dengan kaki tangan terikat, pakaian cabik-cabik setengah telanjang, rambut awut-awutan dan muka pucat, Yuan menjerit. “Duhai... Li Hwa... kau...!” “Yuan! Syukur kau datang...!” Yuan cepat melepaskan belenggu kaki tangan dara itu dan mereka seperti digerakkan tenaga mujijat saling dekap, saling cium dan keduanya menangis! Akan tetapi Yuan berbisik, “Tenanglah, kekasihku, dewiku... ah, Li Hwa yang kucinta, kau sudah selamat... mari kau kubawa menyingkir dari tempat terkutuk ini...” Sambil tersedu menangis, Li Hwa membiarkan dirinya dipondong karena tubuhnya masih lemas sekali. Pergelangan kedua tangan dan kakinya masih luka-luka bekas belenggu yang kuat, dia hanya merangkul leher pemuda yang dicintanya itu, merebahkan dan menyembunyikan mukanya di dada yang bidang sambil berbisik, “Yuan... aku... aku cinta padamu...” Ucapan ini membuat Yuan hampir menari kegirangan, akan tetapi karena keadaan tidak mengijinkan, hanya air matanya saja berderai saking terharu dan bahagianya, dan memondong tubuh orang yang dikasihinya itu seperti memondong sebuah benda pusaka keramat yang dipujanya, kemudian lari keluar dari pondok itu dan terus berlari cepat menuju ke pantai, tidak lagi mempedulikan perang yang masih terjadi di situ. Setibanya di Kapal Kuda Terbang, dia memerintahkan beberapa anak buah yang melayani kapal dan tidak ikut berperang, yaitu orang-orang Han, untuk menggerakkan kapal agak ke tengah akan tetapi melepaskan perahu-perahu kecil di pantai sehingga para anak buahnya dapat menggunakan perahu itu ke kapal kalau pertandingan sudah selesai. Setelah memondong tubuh Li Hwa ke kamarnya, merebahkan dara itu ke atas pembaringan, memeluk dan menciumnya sampai keduanya gelagapan kehabisan napas, lalu mengobati dan membalut luka-luka pada pergelangan tangan dan kaki, memberikan seperangkat pakaian Yuan untuk dipakai kekasihnya ini, dan lalu berkata, “Li Hwa, kau menanti saja di sini dan istirahatlah, aku akan membantu kawan-kawan yang masih bertempur.” “Jangan...!” Li Hwa memegang lengannya karena dia teringat akan kelihaian Toat-beng Hoat-su, Ban-tok Coa-ong dan Ouwyang Bow. “Mereka amat sakti...” Tahu bahwa dara yang dicintanya itu mengkhawatirkan keselamatannya, hati Yuan membesar, dia membungkuk dan mencium dara yang sudah duduk itu. Maka Li Hwa menjadi merah karena dia merasa betapa setiap ciuman pemuda itu selalu dibalasnya dengan kemesraan dan dengan seluruh cintanya. Teringat ini dia menjadi malu sendiri dan dia ikut turun dan berdiri. “Jangan khawatir, sayang. Di sana ada Legaspi Selado guruku, ada Hendrik, semua anak buah, dan terutama sekali, di sana ada sahabatku yang paling hebat, yaitu Yap Kun Liong.” “Ohhhh...!” Sungguh Li Hwa tidak me-nyangka akan hal ini dan diam-diam dia pun girang karena dia tahu bahwa pemu-da gundul itu benar-benar lihai, sungguh- pun dia masih sangsi apakah mereka semua dapat melawan orang-orang Pulau Ular. Mereka keluar dari kamar dan menuju ke dek kapal “Aku harus membantu mereka, dan kau tinggallah di sini, sayang.” “Tidak, aku akan ikut denganmu!” “Jangan kau masih lemah.” “Hanya luka ringan dan sekarang su-dab pulih begitu bertemu denganmu. Dan... ahh, lihat, mereka datang...” Yuan menengok ke arah yang ditunjuk kekasihnya dan benar saja, tampak perahu besat milik pemerintah di tepi pantai dan banyak orang berloncatan dengen sigap ke darat lalu menyerbu ke pulau. “Mereka itu tentulah anak buah Suhu!” Li Hwa berseru girang. Mendengar ini Yuan tidak jadi mendarat, hanya berdiri memandang di samping Li Hwa yang menggandeng lengannya, agaknya dara ini khawatir kalau ditinggal pergi. Diam-diam dia melamun penuh kegelisahan hati. Dia mencinta Yuan dan Yuan mencintanya. Cinta yang menda-lam. Dia lebih baik mati kalau tidak hidup bersama Yuan. Akan tetapi Yuan, pemuda asing. Bagaimana gurunya yang menjadi walinya akan dapat menyetujui perjodohan ini? Apa pun yang akan ter-jadi, dia tetap akan hidup bersama Yuan. Kalau perlu dia akan menentang gurunya. Perjodohan merupakan jalan hidupnya, siapa pun tidak boleh mencampurinya, termasuk gurunya sendiri! Apakah yang terjadi di Pulau Ular setelah ditinggalkan Yuan dan Li Hwa? Ketika itu, Kun Liong sedang mati-matian menghadapi pengeroyokan dua orang datuk kaum sesat yang amat lihai itu. Hampir saja dia tertusuk pedang ular. Untung dia masih sempat mengelak, kemudian melanjutkan lagi elakannya dari sambaran senjata terompet, akan tetapi dari samping, jubah di tangan Toat-beng Hoat-su menyambar dan dia merasa seperti diseruduk gajah, tubuhnya terlempar dan bergulingan sampai sepuluh me-ter jauhnya! Baiknya, sin-kang di tubuhnya yang otomatis itu sudah menyelamatkannya sehingga dia tidak terluka, hanya kepalanya agak pening, tampak bintang-bintang kecil menari-nari. Terlempar sejauh itu menguntungkan Kun Liong, karena dia sempat menyambar sebatang ranting kayu yang dekat dengannya, dan ketika dua orang lawannya menerjang datang, dia dapat menjaga diri dengan ranting itu. Cepat dia mainkan Siang-liong-pang-hoat dengan dua tongkat di tangan kanan kiri dan kedua orang kakek itu terkejut bukan main karena dalam gebrakan pertama itu, mata kanan Toat-beng Hoat-su hampir buta tertusuk ujung ranting, sedangkan jalan darah pundak kiri Ban-tok Coa-ong tertotok lumpuh sehingga terompetnya terlepas. Mereka kaget dan marah, Ban-tok Coa-ong sudah menyambar terompetnya lagi dan bersama kawannya dia sudah menerjang dengan dahsyat sekali sehingga kembali Kun Liong terdesak. Akan tetapi sekali ini, dengan kedua ranting di tangan, die lebih leluasa melawan dan lebih kuat penjagaannya, karena ranting-ranting itu setiap kali menangkis dapat dia serongkan sebagai serangan balasan. Pada saat itu, terdengar bunyi tambur dan terompet dan menyerbulah pasukan pemerintah yang dipimpin sendiri oleh Panglima Besar The Hoo dan Pendekar Sakti Cia Keng Hong! Panglima Besar The Hoo sekali ini memimpin sendiri penyerbuan, bukan semata-mata untuk mendapatkan kembali bokor emas pusakanya, akan tetapi terutama sekali karena dia khawatir akan keselamatan murid tunggalnya yang juga seperti puterinya sendiri, Souw Li Hwa. Kedatangan pasukan pemerintah ini tentu saja membuat keadaan menjadi terbalik sama sekali. Tadinya pihak anak buah orang barat itu terdesak hebat dan banyak jatuh korban di antara mereka. Mereka tinggal sepuluh orang saja yang masih melawan terus. Para pasukan pemerintah yang melihat orang-orang barat itu menganggap mereka kawan karena bukankah sekarang telah ada semacam “perdamaian” antara orang-orang bule ini dengan pemerintah , karena Kaisar telah memberi ijin mereka berdagang di pantai Pohai? Maka begitu mereka menyerbu, sepuluh orang itu girang sekali dan mundur untuk beristirahat, malah kembali ke pantai. Pihak anak buah Pulau Ular terdesak hebat dan banyak di antara mereka berjatuhan. Sementara itu, ketika Cia Keng Hong melihat Kun Liong dikeroyok dua oleh dua orang datuk, bersama Panglima The Hoo menonton sebentar. Kedua orang sakti ini kagum bukan main menyaksikan betapa pemuda gundul itu dengan senjata sepasang ranting mampu mempertahankan diri terhadap pengeroyokan dua orang datuk selihai itu. Mereka segera maju dan Keng Hong berseru kepada Kun Liong, “Mundurlah kau dan mengasolah!” Kun Liong menjadi girang bukan main melihat munculnya Cia Keng Hong yang sudah menghadapi Ban-tok Coa-ong dan dia baru teringat sekarang mengapa dia tidak melihat Owyang Bouw? Ke mana perginya putera Ban-tok Coa-ong ini? Pemuda itu sedang berada di kamar rahasia, sengaja bertugas menjaga bokor emas, karena dua orang datuk itu takut kalau-kalau musuh menggunakan siasat memancing harimau keluar dari guha, selagi mereka bertempur dapat merampas bokor. Pula, karena mereka sudah percaya penuh akan kepandaian sendiri, tidak perlu kiranya Ouwyang Bouw membantu mereka, lebih perlu menjaga keselamatan bokor emas! “Supek, teecu hendak mengejar Legaspi, mencari bokor!” “Hemmm, kalau begitu pergilah!” Keng Hong berkata cepat. Setelah memandang kagum kepada kakek berpakaian panglima yang ternyata bukan main gagahnya itu, Kun Liong dapat menduga tentu inilah orangnya manusia sakti The Hoo itu! Dia lalu pergi dan meloncat ke arah ke mana perginya Legaspi dan Hendrik tadi. Ke mana perginya Legaspi Selado dan puteranya? Legaspi cerdik sekali. Dia pun tidak melihat Ouwyang Bouw, dan dia menduga bahwa tentu putera Raja Ular itu yang bertugas menjaga pusaka. Maka dia menangkap seorang anak buah Pulau Ular, mencekiknya dan mengancam, “Hayo katakan di mana adanya Ouwyang-kongcu!” Dia tidak menanyakan bokor emas karena menduga bahwa anak buah di situ kiranya tidak ada yang diberi tahu dan memang dugaannya itu tepat. Karena takut, orang itu lalu memberi tahu di mana kamar pusaka, karena tadi dia melihat putera majikannya itu memasuki kamar pusaka yang berada di tempat rahasia. Dinding itu tidak tampak ada pintunya, akan tetapi ketika orang itu memutar sebuah patung singa di depan, tiba-tiba saja dinding terbuka dan terdapat sebuah pintu! Legaspi menampar pecah kepala orang itu, kemudian bersama Hendrik dia memasuki pintu rahasia! Ketika Legaspi yang lebih cepat larinya itu melewati sebuah gang, Hendrik melihat berkelebatnya bayangan Ouwyang Bouw. Memang Ouwyang Bouw tentu saja sudah tahu bahwa pintu depan terbuka. Ketika dia mengintai dan melihat Legaspi Selado yang sudah diketahuinya, dia terkejut dan tahu bahwa dia tidak menang melawan kakek botak itu. Maka sambil mengempit bokor dia melarikan diri, dan terlihat oleh Hendrik. “Heee... berhenti...!” Hendrik menge-jar dan mencabut pistolnya. Melihat ada lawan mengejarnya, Ouwyang Bouw menengok dan dia tertawa mengejek ketika melihat bahwa yang mengejarnya hanyalah seorang pemuda asing dengan senjata api di tangan. Dia maklum akan kelihaian senjata itu dan ketepatan pelurunya, lebih bahaya lagi kalau dia membelakangi lawan. Maka cepat dia membalik, tangannya sudah menggenggam jarum-jarum mautnya. Melihat orang yang membawa bokor emas itu membalik, Hendrik yang juga tahu bahwa orang-orang di Pulau Ular tentu lihai sekali, cepat mengangkat lengan, membidik dan menarik pelatuk pistolnya. Semua gerakan ini dilakukan cepat sekali karena dia termasuk seorang penembak ulung di negaranya. Akan tetapi terlalu lambat bagi pandangan Ouwyang Bouw yang telah bergerak lebih cepat lagi begitu moncong pistol diarahkan kepadanya. Dia miringkan tubuh dan gerakan ini hanya membutuhkan waktu seperempat detik saja, sedangkan jalannya peluru yang ditembakkan untuk mencapai sasarannya paling cepat setengah detik. Peluru lewat tanpa mengenai sasaran dan sebelum Hendrik sempai menembak lagi, Ouwyang Bouw sudah meloncat ke atas dan menggerakkan tangannya. Melihat sinar merah menyambar, Hendrik maklum bahwa dia diserang senjata gelap, cepat dia mengelak, namun dia tidak mengira akan kelicikan lawan. Hanya tiga perempat saja dari jarum--jarum yang digenggam itu menyerang dan semua ini dapat dielakkan oleh Hendrik, akan tetapi sisa jarum menyusul sedetik kemudian dan sekali ini, biarpun Hendrik masih mencoba mengelak, dia kalah ce-pat dan sambil berteriak keras Hendrik roboh dengan tiga jarum merah mema-suki dadanya! “Hendrik...!” Legaspi berteriak. Kakek botak ini sudah keluar dari rumah itu dan mengejar. Terlambat dia melihat puteranya menjadi korban lawan dan dia hanya dapat memanggil nama puteranya. Akan tetapi melihat seorang pemuda berlari pergi dengan cepatnya sambil memondong sebuah bokor emas, kakek ini seketika melupakan puteranya dan terus mengejar. Owyang Bouw tidak berani melawan Kakek Botak itu. Dia sudah mendengar dari para datuk kaum sesat betapa lihainya kakek asing bule ini, maka dia tidak mau membahayakan dirinya sendiri. Dia mengerahkan tenaga gin-kangnya, dan berlari lebih cepat lagi masuk keluar hutan dan naik turun gunung di tengah pulau itu. Namun kakek itu tetap dapat mengejarnya makin lama makin dekat sehingga Ouwyang Bouw menjadi panik sekali. Sebentar lagi, dia tentu akan tersusul. Dia meloncati jurang, namun pengejarnya dapat meloncatinya lebih cepat lagi. Akhirnya dia mendengar suara kakek itu dekat di belakangnya. “Serahkan bokor itu kepadaku, ke mana pun kau lari tentu akan terdapat olehku!” Mendengar suara ini tanpa mendengar jejak kakinya, maklum pula Ouwyang Bouw betapa tinggi ilmu gin-kang pengejarnya. Ia makin panik dan terjadilah perang di dalam pikirannya. Bokor atau nyawa? Dia memilih nyawa dan tiba-tiba dia melontarkan bokor emas itu sekuatnya ke dalam jurang! Perhitungannya tepat sekali. Melihat bokor emas itu dibuang, tentu saja Legaspi cepat mengejar benda itu dan tidek lagi mempedulikan Ouwyang Bouw. Baginya yang terpenting adalah bokor itu dan dia tidak butuh Ouwyang Bouw. Andaikata tidak ada bokor itu, tentu saja dia akan bunuh pemuda itu karena telah merobohkan puteranya. Mendapatkan bokor itu di tangan, Legaspi Selado tertawa bergelak, kemudian berlari kembali. Kelika melihat tubuh puteranya terkapar, dia berlutut dan membalikkan tubuh itu telentang. Sebentar saja memeriksa tahulah dia bahwa jarum-jarum beracun yang amat jahat telah memasuki dada puteranya dan tidak dapat lagi dia menolong. “Ayah... tolonglah saya...” Legaspi Selado bangkit berdiri. “Per-cuma, kau tentu akan mati tak lama lagi. Dan lebih baik begini, kau tidak akan bermain gila dengan Nina.” Setelah berkata demikian Legaspi lari dari situ, membawa bokor menuju ke pantai. Dia sudah mendapatkan bokor, dia tidak mempedulikan pertempuran yang masih berlangsung, apalagi meno-long Souw Li Hwa seperti yang direnca-nakan. Bokor sudah didapat, lebih lekas pergi meninggalkan tempat itu lebih baik! Apalagi, dia melihat dari jauh beta-pa dua orang kakek datuk kaum sesat itu sedang bertanding dan terdesak oleh dua orang yang lihai bukan main. Yang seorang dia tidak mengenalnya, akan tetapi yang melawan Toat-beng Hoat-su yang dia tahu amat sakti, adalah seorang yang membuat jantungnya berdebar penuh rasa ngeri, karena dia mengenal orang itu sebagai Panglima Besar The Hoo yang namanya tidak saja menggemparkan se-luruh Tiongkok, akan tetapi juga terkenal jauh di negara-negara di luar Tiongkok! Maka dia makin cepat lari dari situ, tidak tahu bahwa dari jauh ada bayangan orang berkelebat mengejarnya. Bayangan ini bukan lain adalah Kun Liong. Dari jauh dia tidak melihat apakah kakek itu sudah menemukan bokor, akan tetapi karena dia tahu bahwa Legaspi Selado dan puteranya tadi meninggalkan gelang-gang pertandingan tentu untuk mencari bokor, dia mengejar terus. Di jalan tadi dia melihat Hendrik sudah mati dengan tanda-tanda keracunan jarum merah milik Ouwyang Bouw. Akan tetapi tidak tampak Ouwyang Bouw atau mayatnya di situ. Apakah kakek di depan itu masih sedang mengejar Ouwyang Bouw? Dia tidak tahu maka dia mempercepat larinya untuk menyusul kakek itu. Akan tetapi, kakek itu benar-benar lihai dan larinya cepat sekali biarpun dia sudah tua dan tubuhnya gendut. Legaspi sudah meloncat ke sebuah perahu yang disediakan di situ, terus mendayung kuat-kuat ke arah Kapal Kuda Terbang yang berjajar dengan Perahu Ikan Duyung di tengah laut, dalam jarak yang tidak terlalu jauh. Kun Liong yang datang terlambat melihat kakek yang dikejarnya itu sudah sampai di kapal dan meloncat ke atas kapal itu. Maka dia pun cepat menggunakan sebuah di antara perahu-perahu itu untuk menuju ke kapal Kuda Terbang. Akan tetapi sengaja dia mengambil jalan memutar. Sementara itu, Yuan de Gama yang melihat Legaspi datang sendiri berperahu, maklum bahwa penyerbuan itu gagal. Maka dia cepat-cepat memerintah Perahu Ikan Duyung yang ditumpangi ayah dan adiknya untuk memasang layar mengangkat sauh (jangkar) dan berlayar lebih dulu ke utara. Adapun dia dengan Li Hwa yang memiliki kepandaian tinggi, menanti di Kapal Kuda Terbang untuk memberi kesempatan kepada kawan-kawan yang lain untuk kembali ke kapal. Dan benar saja, dia melihat dari pantai ada tujuh orang temannya yang tergesa-gesa naik perahu, menuju ke kapalnya. Akan tetapi Legaspi Selado sudah meloncat lebih dahulu ke kapal dan tampaklah oleh Yuan de Gama dan Li Hwa betapa bokor emas itu telah dibawa oleh kakek ini, disembunyikan di balik jubahnya! “Guruku telah berhasil merampas bokor!” kata Yuan gembira karena memang menurut rencana bokor itu harus dirampas untuk dikembalikan kepada The Hoo agar perhubungan antara para pedagang dan kerajaan menjadi makin erat yang hasilnya tentu saja menguntungkan pihak pedagang asing. Souw Li Hwa menghadapi Legaspi dan berkata, “Kembalikan bokor emas itu kepadaku.” Akan tetapi Legaspi memandang dengan mata terbelalak dan melotot marah. “Kau! Bukankah kau wanita yang memimpin pasukan pemerintah menghancurkan pasukan sahabatku? Kau harus mati!” Sambil berkata demikian, Legaspi sudah mengeluarkan cambuknya yang lihai, mengayun cambuk di atas kepala sampai terdengar ledakan-ledakan, kemudian cambuk menyambar turun ke arah tubuh Li Hwa! Biarpun Li Hwa masih lemah, namun dengan ringannya dia dapat menghindarkan diri dengan meloncat ke kiri. Dia telah kehilangan pedangnya ketika ditawan, maka kini dia siap menghadapi lawan tangguh itu dengan tangan kosong. “Tuan Legaspi Selado, jangan serang dia!” Yuan de Gama membentak, “Dia adalah murid Panglima The Hoo! Kita sudah berjanji akan mengembalikan bokor...” Cambuk itu menyambar, pemuda itu terpelanting dan terbanting di atas dek. “Ha-ha, kau hendak melawan gurumu, ya?” Legaspi kini kembali menghadapi Li Hwa. Cambuknya bertubi-tubi menyerang dan biarpun Li Hwa dapat mengelak ke sana-sini, namun dara ini tidak dapat balas menyerang. Tubuhnya masih lelah dan dia tidak bersenjata, sedangkan ilmu kepandaian Legaspi bermain cambuk amat dahsyat. Ujung cambuk sudah mematuk dua kali di pundak dan pinggulnya, membuat dua bagian tubuh ini berdarah dan pakaiannya robek. “Tuan Legaspi, berhenti menyerang. Kalau tidak kutembak!” Mendengar ini, Legaspi menghentikan serangannya dan menoleh ke arah Yuan de Gama. Dia maklum akan kemahiran Yuan menembak, maka dia ragu-ragu. “Saya adalah kapten kapal ini, biarpun Anda guru saya, harus tunduk kepada perintah kapten!” Pada saat itu, tujuh orang asing yang melarikan diri dari pulau telah tiba dan mendarat di atas dek kapal. Yuan de Gama menoleh kepada mereka dan terkejut melihat mereka itu adalah kaki tangan Legaspi. Gerakannya menoleh yang sebentar itu cukup bagi Legaspi. Cambuknya menyambar dan Yuan de Gama berteriak kaget ketika pistolnya direnggut ujung cambuk dari tangannya! “Ha-ha-ha! Tangkap mereka!” Legaspi Selado berteriak dan kembali dia menyerang dengan cambuknya. Yuan dan Li Hwa mencoba untuk melawan, akan tetapi ketika dua orang di antara tujuh kaki tangan Legaspi mengeluarkan pistol dan mengancam, terpaksa mereka menghentikan perlawanan. Mereka tahu bahwa melawan terus berarti mati, maka sementara ini lebih baik menyerah. “Ikat mereka di tihang kapal. Kita jadikan mereka sebagai sandera!” kata Legaspi. “Angkat sauh dan kembangkan layar, cepat kita pergi dari sini!” Di dalam kesibukan itu, mereka semua tidak melihat Kun Liong yang me-nyelinap dan tahu-tahu pemuda ini sudah berada di belakang tihang di mana Li Hwa dan Yuan dibelenggu. Mudah saja Kun Liong mematahkan belenggu kaki tangan mereka dan membebaskan mereka dari totokan yang tadi dilakukan Legaspi agar dua orang tawanannya itu tidak mungkin lolos. “Terima kasih, Kun Liong...” “Ssst, kalian lawan tujuh orang itu dan aku menghadapi Legaspi!” Kun Liong cepat meloncat ke luar dan gegerlah tujuh orang itu dan Legaspi ketika melihat pemuda gundul ini muncul seperti setan saja. Dua orang awak kapal mencabut pistol, hanya mereka yang masih bersenjata, lainnya sudah kehabisan senjata ketika melarikan diri dan meninggalkan banyak mayat kawan mereka, tapi dari belakang mereka meloncat keluar lima orang pelayan pribumi yang langsung menyergap mereka. Terjadi perkelahian cepat dan lima orang itu tewas seketika oleh cambuk Legaspi, akan tetapi Kun Liong yang bergerak seperti kilat sudah dapat pula membuat dua buah pistol terlempar ke laut, Li Hwa dan Yuan muncul dan mengamuk, menghadapi tujuh orang anak buah Legaspi Selado, dan kakek botak itu sendiri, dengan bokor emas dirangkul oleh lengan kiri dan cambuknya dipegang tangan kanan, terpaksa menghadapi serbuan Kun Liong! Adapun Li Hwa mengamuk berdampingan dan tujuh orang itu tentu saja bukan lawan mereka. Apalagi Li Hwa yang tegang hatinya melihat bokor emas berada di tangan kakek botak yang lihai itu, dia menggerakkan semua tenaga yang masih ada dan berkat ilmu silatnya yang tinggi, sebentar saja dia dapat merobohkan mereka, dibantu Yuan, seorang demi seorang. Sementara itu, pertempuran antara Legaspi dan Kun Liong juga berlangsung seru. Cambuk itu meledak-ledak dan Kun Liong yang bertangan kosong menggunakan ilmu gin-kangnya, selalu dapat mengelak dan balas menyerang dengan pukulan jauh menggunakan sin-kang. Tentu saja karena pemuda ini merasa pantang untuk membunuh orang, menghadapi Legaspi sekalipun dia tidak pernah bermaksud membunuh, hanya untuk merampas bokor. Hal inilah yang membuat dia belum juga dapat merobohkan lawan. Andaikata dia tidak berpantang membunuh, dengan ilmu silatnya yang amat tinggi, dengan sin-kangnya yang hebat dan Thi-khi-i-beng yang mujijat, dia tentu sudah berhasil membunuh lawan. Legaspi menjadi bingung melihat anak buahnya terdesak, bahkan tinggal tiga orang lagi yang melawan mati-matian. Dia sendiri agaknya belum tentu dapat menangkan pemuda gundul yang lihai seperti setan ini, biarpun hanya bertangan kosong. Tiba-tiba ia berseru keras, tangan kirinya melempar sebuah benda ke tengah kapal, dekat tihang induk. Terjadi ledakan dahsyat dan ternyata benda itu adalah alat peledak. Begitu meledak, timbul kebakaran di tempat itu, karena angin bersilir dan api menjilat layar, sebentar saja kapal itu sudah berkobar-kobar. Melihat ini, Yuan dan Li Hwa cepat merobohkan tiga orang sisa lawan, kemudian keduanya mencoba memadamkan api dengan siraman air. Namun, air yang hanya sedikit itu mana mampu membunuh api yang sudah berkobar begitu dah-syat? Kun Liong penasaran sekali. Ketika cambuk menyambar, dia sengaja menubruk dan melindungi tubuh dengan sin-kangnya. “Tarrr!” cambuk menghantamnya dan membelit tubuhnya, akan tetapi Kun LiOng mencengkeram ke arah tangan kanan yang memegang cambuk. “Augghh!” Legaspi berteriak dan terpaksa melepaskan gagang cambuk dan menarik tangannya. Pada saat itu juga, Legaspi memukulkan telapak tangan kanannya yang besar ke arah dada Kun Liong. Kembali Kun Liong menerima pukulan tangan terbuka ini dengan dadanya menggunakan Thi-khi-i-beng dan... telapak tangan itu melekat pada dada-nya, terus saja sin-kang dari tubuh Le-gaspi mengalir seperti air membanjir ke tubuh Kun Liong! Mereka berada dekat ril dek, di pinggir kapal. Dapat dibayangkan betapa kaget hati Legaspi ketika merasa babwa tangannya disedot, makin lama makin banyak membuat tubuhnya menggigil. Kun Liong sudah mengulurkan tangan merampas bokor dan pada saat itu juga dia membebaskan lawan dari Thi-khi-i-beng dan mendorongnya ke belakang. Dengan jeritan mengerikan tubuh gendut itu terlempar ke balakang, mela-lui ril dan jatuh tercebur ke laut yang kini agak besar ombaknya. Kun Liong menjenguk ke bawah dan menarik napas panjang. Hatinya merasa menyesal sekali, bulu tengkuknya berdiri. Dia tidak senga-ja membunuh orang, akan tetapi orang itu betapapun juga mati tenggelam di laut karena bertanding dengan dia! “Gara-gara benda tertutuk ini!” Dia memandang bokor yang telah banyak mendatangkan korban. “Kun Liong, syukur kau telah dapat merampas bokor dan membunuhnya!” kata Li Hwa. “Aku tidak membunuhnya dan...” “Hem, mengapa mengobrol saja?” teriak Yuan yang membuka baju, tampak tubuhnya yang kekar itu penuh keringat. “Lebib balk lekas bantu memadamkan api kalau tidak ingin dibakar hidup-hidup!” Kun Liong dan Li Hwa segera membantu dengan ember, menguras persediaan air, bahkan menimba dari pinggir kapal untuk menanggulangi kebakaran yang hebat itu. Namun usaha mereka itu sia-sia, sedikit api padam, di lain bagian sudah mendapatkan bahan bakar yang lebih banyak. KITA tinggalkan dulu tiga orang muda yang sibuk berusaha memadamkan api itu dan kembali ke Pulau Ular. Pertandingan antara empat orang tokoh sakti masih berlangsung dengan hebatnya. Namun kini sudah tampak perubahan besar. Toat-beng Hoat-su sudah terengah-engah, keringat memenuhi mukanya dan dari kepalanya tampak uap putih mengepul, sedangkan lawannya, Panglima The Hoo masih tenang saja dan setiap gerakannya mantap. Demikian pula dengan Ban-tok Coa-ong yang menghadapi Keng Hong. Pendekar sakti ini dapat mempermainkan lawannya sekarang setelah lawannya menjadi lelah dan lemah. “Hayo katakan di mana bokor emas itu kau sembunyikan!” kata The Hoo sambil mendesak lawan. “Dan menyerahlah, mungkin engkau tidak akan dihukum mati.” Namun Toat-beng Hoat-su tidak menjawab melainkan terus melawan mati-matian, setiap gerakan kedua tangannya yang terkepal mantap dan mendatangkan angin dahsyat. Namun lawannya, Panglima The Hoo adalah scorang yang selain memiliki ilmu kepandaian amat tinggi dan pengalaman yang amat luas, juga terkenal sebagai seorang yang memiliki sin-kang yang mujijat. Dari kedua tangan kakek panglima sakti ini tampak uap putih mengepul dan setiap kali mereka beradu lengan, tentu tubuh Toat-beng Hoat-su terdorong mundur dan membuatnya terhuyung-huyung. Hal ini membuat Toat-beng Hoat-su marah sekali. Sambil berteriak keras dia mengeluarkan jubahnya dan mengamuk dengan senjata istimewa ini. Namun, The Hoo sudah pula mengeluarkan pedangnya, dan tampaklah sinar kilat berkelebatan menyilaukan mata ketika pedang itu dimainkan. “Brett-brett-brett...!” Betapa kagetnya hati Toat-beng Hoat-su melihat bahwa jubahnya, senjata yang amat diandalkannya, kini cabik-cabik oleh pedang di tangan lawannya. Di lain pihak, pertandingan antara Ban-tok Coa-ong dan Cia Keng Hong juga berlangsung tidak kalah hebat dan serunya. “Ha-ha-ha, jadi engkau adalah supek dari pemuda gundul itu? Ha-ha-ha kalau begitu biarlah aku mengirim engkau ke neraka menyusul ayah bundanya!” Bantok Coa-ong tertawa mengejek ketika mendengar tadi Kun Liong menyebut lawannya ini “supek”. Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Keng Hong mendengar kata-kata itu. Ucapan Ban-tok Coa-ong itu berarti bahwa Gui Yan Cu dan Yap Cong San telah tewas! Dia merasa kaget, duka, dan marah sekali. Hal ini membuat gerakannya menjadi kacau dan tenaganya berkurang maka Ban-tok Coa-ong dapat mendesaknya dengan hebat. Datuk kaum sesat ini memang lihai sekali, maka begitu Cia Keng Hong mengalami pukulan batin yang membuat gerakannya mengendur. Kakek Raja Ular itu mendesaknya dengan kedua senjatanya yang aneh. Cia Keng Hong seperti nanar dan pening kepalanya mendengar berita mengejutkan itu dan selama belasan jurus pendekar sakti ini hanya dapat menangkis dan mundur?mundur. “Mampuslah! Ha?ha!” Ban?tok Coa?ong sudah menyerang dengan pedang ularnya, menusuk ke arah leher dengan kuatnya, sedangkan terompetnya yang merupakan senjata ampuh itu menghantam arah dada lawan. Menghadapi serangan yang amat berbahaya ini, barulah Cia Keng Hong sadar akan ancaman maut, maka dia cepat menggoyang kepalanya, menggerakkan pedang dan mengerahkan sin?kang untuk menempel pedang lawan, kemudian menerima hantaman di dada itu dengan cengkeraman tangan sehingga terompet itu remuk dan tangan Keng Hong terus mencengkeram tangan kiri lawan schingga jari?jari tangan mereka saling mencengkeram! “Lepaskan pedang!” Keng Hong membentak dan sebuah kekuatan dahsyat membuat kedua pedang yang saling menempel itu terlepas karena tangan kanan Ban-tok Coa-ong tergetar hebat. Sepasang pedang itu terlempar kesamping dan kedua tangan kanan mereka pun saling cengkeram. Kini kedua tangan mereka dengan jari-jari saling mencengkeram mengadu telapak tangan dan keduanya mengerahkan tenaga. Ban-tok Coa-ong mengandalkan sin-kangnya yang mengandung hawa beracun mengerahkan seluruh tenaga untuk mengirim racun ke tubuh lawan melalui telapak tangannya, akan tetapi dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika merasa betapa sin-kangnya menerobos ke luar disedot oleh kedua tangan pendekar itu. Mukanya menjadi pucat sekali, dan teringatlah ia kini akan ilmu mujijat Thi-khi-i-beng yang kabarnya di dunia in hanya dimiliki oleh Pendekar Cia Keng Hong seorang. Dia merasa makin lemah, tak kuat lagi menahan sin-kangnya yang membanjir keluar membuat tubuhnya kehilangan tenaga sehingga tak terasa lagi dia jatuh berlutut, keringatnya menetes-netes. “Le... lepaskan aku...!” katanya di luar kesadarannya, terdorong oleh rasa ngeri ketika merasa betapa sin-kangnya terus membanjir keluar. “Siapa yang membunuh Yap Cong San dan Gui Yan Cu?” terdengar suara pendekar itu bertanya, penuh wibawa menyembunyikan kekagetan, kedukaan, dan kemarahannya mendengar berita itu. “Para datuk kaum sesat... kecuali aku... eh, Toat-beng Hoat-su, Siang-tok Mo-li, Kwi-eng Niocu dan Hek-bin Thian-sin... Harap kaulepaskan aku...!” “Di mana dibunuhnya mereka?” “Di... di Tai-goan... auggghhhh!” Tubuh Ban-tok Coa-ong roboh dan tewas seketika ketika tangan kiri Keng Hong menampar kepalanya. “Desss... aduhhh...!” Tubuh Toat-beng Hoat-su juga terpelanting dan tewas seketika. Dedanya remuk terkena pukulan mujijat Panglima The Hoo yang disebut Jit-goat-sin-ciang-hwat. “Sayang mereka tidak mengaku di mana adanya bokor... heiii, mengapa wajahmu murung, Cia-sicu?” Panglima itu bertanya heran. “Hamba... baru saja mendengar dari dia...” Keng Hong menunjuk ke arah mayat Ban-tok Coa-ong “...bahwa sahabat hamba Yap Cong San dan isterinya, sumoi hamba telah dibunuh oleh kelima datuk kaum sesat di Tai-goan.” Tak terasa dua titik air mata turun dari mata pendekar itu dan cepat dihapusnya. “Hemmm, orang-orang jahat itu hanya mendatangkan bencana saja.” Dia menoleh dan melihat bahwa pertempuran sudah selesai, tidak tampak pihak musuh, hanya pasukannya yang siap menanti perintah dan ada yang mempersiapkan kapalnya. Ketika menoleh inilah dia melihat api berkobar di laut. “Ada kebakaran di sana...!” teriaknya. Keng Hong menoleh dan keduanya lari ke pantai di mana semua pasukan juga sedang memandang kebakaran. Dari jauh, para pasukan tidak dapat melihat apa yang terjadi di Kapal Kuda Terbang yang terbakar itu, akan tetapi begitu melihat mata Keng Hong dan Panglima The Hoo dapat melihat dua orang sedang bertanding hebat, yang seorang adalah kakek berjubah aneh yang mudah saja diduga tentulah Legaspi, sedangkan lawannya adalah seorang pemuda gundul. “Kun Liong menghadapi Legaspi. Tentu bokor sudah di tangan Legaspi.” kata Keng Hong. “Akan tetapi kapal itu terbakar. “Dan ehhh... bukankah itu Li Hwa di sana, membantu seorang pemuda asing tanpa baju sedang mencoba memadamkan api?” Keng Hong juga melibat ini. “Kalau begitu Nona Souw sudah tertolong!” “Kapal itu terbakar hebat, kita harus mencoba menolong mereka!” Panglima The Hoo, diikuti oleh Keng Hong lalu lari ke kapal dan panglima itu memerintahkan supaya kapal cepat diluncurkan menuju ke Kapal Kuda Terbang yang terbakar. Akan tetapi ketika mereka sudah tiba agak dekat, mereka tidak mungkin dapat terlalu dekat, karena hal itu berbahaya sekali. Potongan-potongan kayu yang masih bernyala mulai beterbangan dan kalau mengenai kapal atau layarnya, bisa berbahaya. Di samping lain, juga Perahu Ikan Duyung mendekati kapal yang terbakar namun mereka tidak berdaya melakukan sesuatu. Panglima The Hoo dan Keng Hong melihat betapa Kun Liong dapat merobohkan Legaspi yang terjungkal ke laut, kemudian melihat Kun Liong membantu memadamkan api. Namun api makin membesar dan sudah makan setengah kapal, membuat kapal miring dan sebentar lagi tentu tenggelam! Panglima The Hoo dan Keng Hong memandang penuh kekhawatiran. “Mereka harus segera meloncat ke luar dan berenang, nanti kita jemput dengan perahu. Kalau sampai kapal itu meledak, celaka...!” Keng Hong mengerahkan khi-kangnya dan terdengar dia berteriak, nyaring bukan main. “Yap Kun Liong, kalian semua tinggalkanlah kapal...!” Panglima The Hoo juga berteriak, teriakannya bahkan lebih nyaring lagi. “Li Hwa, aku gurumu memerintahkan kau lekas tinggalkan kapal!” Tiga orang muda itu mendengar seruan-seruan ini, dan mereka baru melihat bahwa kapal perang Panglima The Hoo berada tidak begitu jauh dari situ, demikian pula Perahu Ikan Duyung. “Yuan, Li Hwa, mari kita tinggalkan saja kapal terbakar ini!” “Tidak, Kun Liong. Aku adalah kapten kapal ini, dan seorang kapten tidak akan meninggalkan kapalnya. Lebih mati bersama tenggelamnya kapal daripada meninggalkan kapal yang akan tenggelam!” Jawaban ini penuh semangat, dada yang bidang itu dibusungkan, penuh peluh dan hangus, tampak gagah bukan main. “Li Hwa, hayo kita pergi dari sini. Gurumu memanggil.” Li Hwa tampak bingung, sebentar menoleh ke arah kapal perang gurunya, kemudian menoleh kepada Yuan yang tersenyum kepadanya dan berkata, “Pergilah kekasihku, engkau harus diselamatkan.” “Tidak...!” Li Hwa terisak lalu lari merangkul Yuan. “Kalau kau tidak pergi, aku tidak. Aku harus berada di sampingmu selalu, hidup atau mati!” “Li Hwa...” “Yuan...” Mereka berpelukan dan Kun Liong memandang dengan mata terbelalak. Sudah diduganya bahwa kedua orang muda ini saling mencinta, akan tetapi tidak diduganya akan menyaksikan cinta sehebat dan sebesar itu, cinta sampai mati! “Apakah kau telah gila, Yuan?” “Bukan aku, melainkan engkau yang gila kalau hendak memaksa seorang kapten kapal meninggalkan kapalnya yang sedang tenggelam. Apa artinya hidup tanpa kehormatan? Nenek moyangku terkenal memegang teguh kehormatan, lebih berharga daripada nyawa, dan aku tidak sudi mengecewakan mereka.” “Yuan... kau hebat...!” Li Hwa mendekap makin erat, penuh bangga dan cinta kepada kekasihnya. “Li Hwa, kau... ditunggu gurumu... dan kau seorang panglima wanita negaramu... Apakah kau juga gila, ketularan Yuan?” Li Hwa tidak melepaskan dekapannya, hanya menoleh dan tersenyum kepada Kun Liong. Senyum mulutnya tapi air matanya bertetesan, pemandangan yang tak mungkin akan dapat dilupakan oleh Kun Liong selama hidupnya. “Kun Liong, engkaulah yang gila seperti dikatakan kekasihku, kalau kau hendak memaksa seorang dara meninggalkan kekasihnya yang terancam kematian. Aku harus tinggal bersama dia, kaupergilah, bawalah bokor itu dan serahkan kepada Suhu, berikut hormatku yang terakhir kepada beliau...” “Yuan... Li Hwa...” Kapal makin hebat kebakarannya dan kapal itu sudah miring sekali, sebentar lagi tenggelam. “Kun Liong...!” terdengar lagi suara Keng Hong memanggil. “Li Hwa...!” tersusul suara Panglima The Hoo. Kun Liong mengangkat pundak, kehabisan akal. Tentu saja, dengan kepandaiannya, dia mampu mengusai dua orang itu dan memaksanya meloncat ke air, akan tetapi dia tidak tega melakukannya karena kehidupan Yuan pasti akan sengsara dan karenanya Li Hwa juga akan sengsara. Pula, seandainya mereka berdua tertolong, mungkinkah Li Hwa menjadi jodoh Yuan? Pikiran ini membuat dia melangkah maju, menjabat tangan Yuan dan Li Hwa, hampir tak dapat berkata-kata karena haru, matanya basah dan air matanya bertitik. “Selamat tinggal, Li Hwa dan Yuan... semoga kalian... semoga... kalian... bahagia...!” Kun Liong membalikkan tubuh lalu meloncat ke air membawa bokor emas. Keharuan dan pertandingan hebat melawan Legaspi tadi membuat dia lemah, namun dia mengerahkan tenaganya untuk berenang. Tak lama kemudian tubuhnya ditarik ke atas perahu kecil dan langsung dia dibawa ke kapal, dinaikkan ke kapal perang. Cia Keng Hong dan The Hoo menyambutnya, Kun Liong berlutut dan menyerahkan bokor emas kepada The Hoo tanpa kata-kata, kemudian dia membalik dan memandang ke arah Kapal Kuda Terbang yang terbakar, kemudian, melihat betapa Yuan dan Li Hwa masih saling berdekapan, di antara api dan air, di pinggir ujung kapal yang sudah tenggelam sebagian. Kun Liong tak dapat menahan diri, dia menangis mengguguk seperti anak kecil! “Apa yang terjadi...?” Keng Hong bertanya, mengguncang pundak Kun Liong. “Yuan de Gama... dia kapten kapal itu... dia tidak mau disuruh pergi... dia memilih mati bersama kapalnya dan... dan Li Hwa... yang mencintanya, mencinta sampai mati tak mau terpisah darinya...” “Li Hwa...?” Panglima The Hoo berseru penuh keheranan, kekaguman, penasaran, juga kedukaan, Li Hwa seperti puterinya sendiri. Kalau dia menggunakan kepandaiannya, mungkin dia masih akan dapat memaksa puterinya itu pergi meninggalkan Yuan, akan tetapi, melihat kedua orang itu berdekapan ketat menghadapi maut, dia menghela napas panjang. “Semua beri hormat kepada kapten Kapal Kuda Terbang. Tuan Yuan de Gama dan Nona Souw Li Hwa!” Tiba-tiba dia mengeluarkan aba-aba yang nyaring dan semua pasukan bangkit dan berdiri tegak ke arah kapal yang mulai tenggelam itu dengan sikap memberi hormat kepada dua orang yang berdekapan itu. Hanya ujung kapal yang masih tampak, itu pun sudah dijilat api sehingga kedua orang itu seolah-olah berada di tengah-tengah api yang mulai tenggelam! Tiba-tiba terdengar jerit yang penuh kemesraan. “Li Hwa...!” “Yuan...!” Jerit penuh kebahagiaan dari mulut Yuan dan Li Hwa itu seolah-olah merupakan jerit kebahagiaan sepasang mempelai di pelaminan. Tubuh mereka mulai ditelan air perlahan-lahan, kemudian lenyap. Sunyi senyap di kapal perang, kecuali suara mengguguk tangis Kun Liong. Cia Keng Hong dan Panglima The Moo berdiri tegak dan mereka berdua mengusap air mata yang menitik ke atas pipi mereka yang sudah mulai keriputan. Di tempat lain, di atas Perahu Ikan Duyung, juga terjadi hujan tangis. Yuanita jatuh pingsan, dan Richardo de Gama berlutut dan bersembahyang kepada Tuhan untuk menerima roh puteranya yang gugur sebagai seorang gagah perkasa, menjunjung tinggi nama keluarga de Gama yang memang terkenal. Di hati bapak tua ini, terdapat keharuan, kedukaan hebat, namun ada pula sedikit kebanggaan. Dengan matinya Yuan, dia mengajak puterinya kembali ke negaranya. Kun Liong yang berdiri di ujung kapal perang, memandang Perahu Ikan Duyung. Biarpun dia tidak dapat melihatnya, dia dapat membayangkan betapa duka hati Richardo de Gama, terutama hati Yuanita. Ingin dia dapat dekat dengan nona itu dan menghiburnya. Akan tetapi dia melihat perahu itu mengangkat sauh dan meluncur pergi meninggalkan tempat itu. Maka dia hanya dapat menghela napas saja. Betapa buruk nasib menimpa putera-puteri Richardo de Gama. Biarpun Yuan yang mencinta Li Hwa mendapat balasan yang tidak kalah mesranya, namun dia harus mAti dengan kekasihnya itu. Sedangkan Yuanita, yang dia tahu jatuh cinta kepadanya, terpaksa harus menanggung penderitaan hati akibat cinta gagal. Sebuah tangan menyentuh pundaknya. Dia menengok dan melihat Cia Keng Hong sudah berdiri di depannya dan agaknya supeknya ini akan bicara hal yang serius melihat wajahnya. “Ada apakah, Supek?” “Ada berita penting untukmu, Kun Liong. Harus kusampaikan sekarang juga sebelum kita berpisah. Aku telah mendengar tentang ayah bundamu...” Sampai sini leher Keng Hong seperti dicekik. Wajah Kun Liong seketika berubah dan kedukaan mengingat nasib Yuanita dan Yuan tersapu bersih berganti harapan cerah pertemuan dengan orang tuanya yang sudah terpisah belasan tahun dengannya. “Di mana mereka, Supek? Ahhh, girang sekali hatiku dan... ihhh, mengapa, Supek?” Dia kaget setengah mati melihat orang tua itu menitikkan air mata! Dengan suara parau dan sukar, Keng Hong berkata, “Jangan kaget, anakku... aku mendengar dari mulut Ban-tok Coa-ong sebelum dia kutewaskan bahwa... bahwa... sahabatku Yap Cong San... sumoiku Gui Yan Cu, ayah bundamu itu...” Kembali dia berhenti dan air matanya makin deras. “Supek!” Kun Liong menjadi pucat dan lupa diri, dia memegang lengan supeknya dan mengguncangkan keras-keras! “Mereka telah tewas, dibunuh oleh lima datuk kaum sesat...” Kun Liong terhuyung ke belakang, seolah-olah supeknya memukulnya dengan pukulan maut, matanya terbelalak, mulutnya ternganga, kemudian dia menjerit sekuatnya yang terdengar seperti auman harimau yang akan mati, tubuhnya terguling dan cepat disambar oleh Cia Keng Hong. Kun Liong jatuh pingsan, mulutnya terkancing rapat dan matanya terbuka tanpa cahaya! “Kun Liong... kasihan kau...” Keng Hong mendukung tubuh pingsan itu dan membawanya ke biliknya di kapal perang itu. Panglima The Hoo memerintahkan kapal menuju ke Teluk Pohai dan mendarat, di mana telah menanti kereta kebesaran untuk membawanya kembali ke istana. Sedangkan Keng Hong setelah merawat Kun Liong sehingga pemuda itu sadar, menghiburnya dengan nasihat-nasihat mendalam, lalu meninggalkan tempat itu kembali ke Cin-ling-san. Kun Liong juga meninggalkan tempat itu dan mulai merantau seorang diri, akan tetapi pertama-tama dia menuju ke Tai-goan untuk mencari berita tentang kematian ayah bundanya. Kun Liong menelungkup di depan kuburan ayah bundanya sambil menangis. Semalam suntuk dia menelungkup seperti itu dan di antara tangisnya dia minta-minta pengampunan dari ayah bundanya karena dia merasa bahwa dialah yang menyebabkan kematian mereka. Dia mendengar peristiwa mengerikan itu dari seorang tetangga keluarga Theng yang sudah tua dan tahu persis apa yang telah terjadi. Seluruh rumah tangga keluarga Theng mati karena menjadi tempat pemondokan ayah bundanya. Bahkan puteri cucu Kakek Theng mati dalam keadaan telanjang bulat! Bahkan dia mendengar bahwa orang tuanya telah mempunyai seorang anak perempuan bernama Yap In Hong yang tidak ikut menjadi korban akan tetapi tidak ada orang tahu ke mana perginya anak itu. Berita ini membuat dia merasa lebih berdosa lagi. Dia menyembahyangi kuburan empat orang anggauta keluarga Theng dan setelah air matanya habis ditumpahkan semalam suntuk, pada keesokan harinya dengan muka pucat dan mata merah dia berdiri sejenak memandang jauh tanpa tujuan. Kemudian dia menjatuhkan diri berlutut di depan enam buah kuburan itu, yaitu kuburan empat orang keluarga Theng dan kuburan ayah dan ibunya, dan dengan lantang dia berkata, “Ayah dan Ibu, empat keluarga Kakek Theng yang mulia, dengarlah sumpah saya saat ini. Tadinya saya menganggap bahwa kekerasan adalah buruk, perkelahian adalah tidak baik, melukai dan membunuh orang adalah perbuatan terkutuk yang amat jahat, apa pun juga alasannya! Akan tetapi, perbuatan yang paling biadab telah dilakukan oleh lima orang datuk kaum sesat dan saya bersumpah takkan mau berhenti sebelum dapat mencari mereka yang masih hidup dan membunuhnya dengan tangan saya sendiri. Toat-beng Hoat-su dan Ban-tok Coa-ong telah tewas oleh Supek dan Panglima The Hoo, Siang-tok Mo-li telah tewas di tangan Kwi-eng Niocu dan kabarnya Hek-bin Thian-sin juga sudah tewas oleh Legaspi Selado dan Toat-beng Hoat-su. Jadi hanya tinggal Kwi-eng Niocu dan saya bersumpah untuk membunuhnya. Harap Ayah, Ibu dan empat keluarga kakek Theng beristirahat dengan tenang.” Setelah bersembahyang dengan hio-swa (dupa biting) sekali lagi Kun Liong meninggalkan tempat itu. Hatinya masih diliputi duka, akan tetapi ada kelegaan di hati setelah tahu akan keadaan orang tuanya. Mereka sudah tidak ada, tak perlu ditangisi dan didukakan lagi karena percuma belaka. Dia sekarang menjadi yatim piatu, tiada sanak kadang, tiada tempat tinggal, bebas lepas di udara. Namun, masih ada tugasnya yang dianggapnya amat penting, yaitu mencari seorang di antara para pembunuh orang tuanya yang sekarang masih hidup, yaitu Kwi-eng Niocu di Pulau Telaga Kwi-ouw (Telaga Setan). Dan kebetulan sekali hanya tinggal seorang itulah di antara lima orang datuk kaum sesat yang menjadi pembunuh orang tuanya, karena orang yang telah mencuri dua buah pusaka Siauw-lim-pai juga dari Kwi-eng-pang itulah. Dengan demikian, dia dapat bekerja sekali tepuk dua lalat. Pertama merampas kembali pusaka Siauw-lim-pai seperti yang telah ditugaskan oleh ketuanya, kedua untuk membunuh Kwi-eng Niocu. Dia bergidik ketika teringat akan kata-kata “membunuh” ini. Selamanya dia tidak akan pernah membunuh orang dengan sengaja, apalagi dalam perbuatan, bahkan tidak dalam pikiran karena dia membenci kekerasan dan perbuatan membunuh dianggapnya merupakan perbuatan sesat yang paling jahat dan terkutuk, apa pun alasan pembunuhan ini. Bahkan dengan alasan membalas dendam kematian orang tua pun tidak mengurangi pendirian tentang itu. Akan tetapi, hatinya terlalu berduka, luka itu terlalu mendalam sehingga dia mengucapkan sumpah di depan kuburan orang tuanya dan sebagai seorang jantan, dia harus memenuhi sumpahnya itu, biarpun hal ini berlawanan dengan isi hatinya. Pada suatu hari, tibalah dia di sebuah dusun. Perutnya terasa lapar sekali, maka dia memasuki sebuah warung nasi yang sederhana dan sunyi tidak ada tamunya. Dia duduk di atas bangku panjang menghadapi meja dan karena tidak ada seorang pun di dalam warung yang terpencil di ujung dusun itu, dia mengetuk-ngetuk meja dengan jari tangannya sambil berteriak, “Haiii, ada orangnyakah di sini?” Sampai beberapa kali dia mengetuk dan pendengarannya yang tajam itu dapat menangkap gerakan di sebelah dalam rumah makan itu, gerakan perlahan seolah-olah mereka sedang mengintai dan mengawasinya. Tak lama kemudian setelah dia mengetuk-ngetuk meja untuk ke tiga kalinya, muncullah seorang laki-laki yang tubuhnya berbentuk lucu dan aneh. Laki-laki ini sudah tua, sedikitnya tentu lima puluh tahun usianya, tubuhnya tinggi sekali, tinggi dan kurus kering, lehernya kecil seperti leher burung dan kepalanya botak sehingga dahinya kelihatan amat lebar. Sambil membungkuk-bungkuk orang itu menghampiri Kun Liong dan bertanya, “Tuan Muda hendak memesan apakah?” Kun Liong yang merasa lapar dan haus, juga lelah, menyebutkan bermacam-macam makanan yang disukainya, “Nasi, capjai, tim ayam dan udang goreng berikut seguci arak yang manis.” Akan tetapi betapa mendongkolnya ketika setiap kali dia menyebutkan nama masakan yang dipesannya, leher kecil itu bergerak ke kanan kiri seperti akan patah dan mulut yang bibirnya tebal itu menjawab, “Tidak ada, tidak ada, tidak ada, Tuan Muda datang terlalu pagi, kami belum siap. Yang ada hanyalah bakmi dan arak tua, dan bakpauw.” “Ya sudahlah, bakmi dan bakpauw pun boleh, arak tua pun lumayan, pokoknya asal perutku kenyang.” Kun Liong menelungkup di depan kuburan ayah bundanya sambil menangis. Semalam suntuk dia menelungkup seperti itu dan di antara tangisnya dia minta-minta pengampunan dari ayah bundanya karena dia merasa bahwa dialah yang menyebabkan kematian mereka. Dia mendengar peristiwa mengerikan itu dari seorang tetangga keluarga Theng yang sudah tua dan tahu persis apa yang telah terjadi. Seluruh rumah tangga keluarga Theng mati karena menjadi tempat pemondokan ayah bundanya. Bahkan puteri cucu Kakek Theng mati dalam keadaan telanjang bulat! Bahkan dia mendengar bahwa orang tuanya telah mempunyai seorang anak perempuan bernama Yap In Hong yang tidak ikut menjadi korban akan tetapi tidak ada orang tahu ke mana perginya anak itu. Berita ini membuat dia merasa lebih berdosa lagi. Dia menyembahyangi kuburan empat orang anggauta keluarga Theng dan setelah air matanya habis ditumpahkan semalam suntuk, pada keesokan harinya dengan muka pucat dan mata merah dia berdiri sejenak memandang jauh tanpa tujuan. Kemudian dia menjatuhkan diri berlutut di depan enam buah kuburan itu, yaitu kuburan empat orang keluarga Theng dan kuburan ayah dan ibunya, dan dengan lantang dia berkata, “Ayah dan Ibu, empat keluarga Kakek Theng yang mulia, dengarlah sumpah saya saat ini. Tadinya saya menganggap bahwa kekerasan adalah buruk, perkelahian adalah tidak baik, melukai dan membunuh orang adalah perbuatan terkutuk yang amat jahat, apa pun juga alasannya! Akan tetapi, perbuatan yang paling biadab telah dilakukan oleh lima orang datuk kaum sesat dan saya bersumpah takkan mau berhenti sebelum dapat mencari mereka yang masih hidup dan membunuhnya dengan tangan saya sendiri. Toat-beng Hoat-su dan Ban-tok Coa-ong telah tewas oleh Supek dan Panglima The Hoo, Siang-tok Mo-li telah tewas di tangan Kwi-eng Niocu dan kabarnya Hek-bin Thian-sin juga sudah tewas oleh Legaspi Selado dan Toat-beng Hoat-su. Jadi hanya tinggal Kwi-eng Niocu dan saya bersumpah untuk membunuhnya. Harap Ayah, Ibu dan empat keluarga kakek Theng beristirahat dengan tenang.” Setelah bersembahyang dengan hio-swa (dupa biting) sekali lagi Kun Liong meninggalkan tempat itu. Hatinya masih diliputi duka, akan tetapi ada kelegaan di hati setelah tahu akan keadaan orang tuanya. Mereka sudah tidak ada, tak perlu ditangisi dan didukakan lagi karena percuma belaka. Dia sekarang menjadi yatim piatu, tiada sanak kadang, tiada tempat tinggal, bebas lepas di udara. Namun, masih ada tugasnya yang dianggapnya amat penting, yaitu mencari seorang di antara para pembunuh orang tuanya yang sekarang masih hidup, yaitu Kwi-eng Niocu di Pulau Telaga Kwi-ouw (Telaga Setan). Dan kebetulan sekali hanya tinggal seorang itulah di antara lima orang datuk kaum sesat yang menjadi pembunuh orang tuanya, karena orang yang telah mencuri dua buah pusaka Siauw-lim-pai juga dari Kwi-eng-pang itulah. Dengan demikian, dia dapat bekerja sekali tepuk dua lalat. Pertama merampas kembali pusaka Siauw-lim-pai seperti yang telah ditugaskan oleh ketuanya, kedua untuk membunuh Kwi-eng Niocu. Dia bergidik ketika teringat akan kata-kata “membunuh” ini. Selamanya dia tidak akan pernah membunuh orang dengan sengaja, apalagi dalam perbuatan, bahkan tidak dalam pikiran karena dia membenci kekerasan dan perbuatan membunuh dianggapnya merupakan perbuatan sesat yang paling jahat dan terkutuk, apa pun alasan pembunuhan ini. Bahkan dengan alasan membalas dendam kematian orang tua pun tidak mengurangi pendirian tentang itu. Akan tetapi, hatinya terlalu berduka, luka itu terlalu mendalam sehingga dia mengucapkan sumpah di depan kuburan orang tuanya dan sebagai seorang jantan, dia harus memenuhi sumpahnya itu, biarpun hal ini berlawanan dengan isi hatinya. Pada suatu hari, tibalah dia di sebuah dusun. Perutnya terasa lapar sekali, maka dia memasuki sebuah warung nasi yang sederhana dan sunyi tidak ada tamunya. Dia duduk di atas bangku panjang menghadapi meja dan karena tidak ada seorang pun di dalam warung yang terpencil di ujung dusun itu, dia mengetuk-ngetuk meja dengan jari tangannya sambil berteriak, “Haiii, ada orangnyakah di sini?” Sampai beberapa kali dia mengetuk dan pendengarannya yang tajam itu dapat menangkap gerakan di sebelah dalam rumah makan itu, gerakan perlahan seolah-olah mereka sedang mengintai dan mengawasinya. Tak lama kemudian setelah dia mengetuk-ngetuk meja untuk ke tiga kalinya, muncullah seorang laki-laki yang tubuhnya berbentuk lucu dan aneh. Laki-laki ini sudah tua, sedikitnya tentu lima puluh tahun usianya, tubuhnya tinggi sekali, tinggi dan kurus kering, lehernya kecil seperti leher burung dan kepalanya botak sehingga dahinya kelihatan amat lebar. Sambil membungkuk-bungkuk orang itu menghampiri Kun Liong dan bertanya, “Tuan Muda hendak memesan apakah?” Kun Liong yang merasa lapar dan haus, juga lelah, menyebutkan bermacam-macam makanan yang disukainya, “Nasi, capjai, tim ayam dan udang goreng berikut seguci arak yang manis.” Akan tetapi betapa mendongkolnya ketika setiap kali dia menyebutkan nama masakan yang dipesannya, leher kecil itu bergerak ke kanan kiri seperti akan patah dan mulut yang bibirnya tebal itu menjawab, “Tidak ada, tidak ada, tidak ada, Tuan Muda datang terlalu pagi, kami belum siap. Yang ada hanyalah bakmi dan arak tua, dan bakpauw.” “Ya sudahlah, bakmi dan bakpauw pun boleh, arak tua pun lumayan, pokoknya asal perutku kenyang.”   Biarpun tidak begitu tertarik karena pemuda asing bernama Markus (Marcus) itu hanya mementingkan urusannya sendiri, namun untuk menanti datangnya pasukan yang diberi laporan, Marcus bertanya, “Siapakah gurumu, Lo-mo? Tentu dia lihai bukan main.” “Seperti dewa! Guruku itu, biarpun sampai kini tidak atau belum mau meninggalkan guha pertapaannya karena sedang mencipta ilmu untuk melawan Thi-khi-i-beng ilmu tertinggi Cia Keng Hong, namun jelas guruku adalah orang yang paling sakti di dunia ini pada saat sekarang. Namanya pun harus kurahasiakan sampai guruku itu keluar dari guha dan turun ke dunia ramai.” Marcus mengangguk-angguk. “Dan, tiga orang susiokmu itu siapakah, mengapa pula sampai terbunuh oleh Cia Keng Hong?” “Mereka dahulu terkenal sekali sebagai Thian-te Sam-lomo (Tiga Iblis Tua Langit dan Bumi) yang masing-masing bernama julukan Kai-ong Lo-mo (Iblis Tua Raja Pengemis), Bun-ong Lo-mo (Iblis Tua Raja Sastra), Thian-to Lo-mo, yang menjadi seorang pendeta agama To. Kepandaian mereka hebat sebagai adik-adik seperguruan guruku, dan tentu dengan secara licik, dengan Thi-khi-i-beng maka Cia Keng Hong dapat membunuh mereka. Karena itulah maka selama belasan tahun guruku bersamadhi mencipta ilmu untuk menandingi Thi-khi-i-beng.” Mengenai kematian Thian-te Sam-lo-mo di tangan Cia Keng Hong ini terjadi dalam cerita Pedang Kayu Harum. Akan tetapi Kun Liong yang tak pernah mendengar cerita ini, terkejut bukan main. Dua kali dia terkejut, pertama mendengar bahwa bokor emas yang dirampasnya di Pulau Ular itu ternyata palsu dan ke dua adalah urusan dendam terhadap supeknya itu. Namun dia tetap diam, pura-pura pingsan. Tak lama kemudian terdengar derap kaki kuda dan muncullah pasukan pemerintah yang sedikitnya ada lima puluh orang banyaknya. Beberapa orang perajurit segera memasuki warung itu dan menodongkan tombaknya kepada Kun Liong yang masih terkulai lemas bersandar pada tiang. “Heh-heh-heh, tak perlu menggunakan kekerasan. Selama setengah hari dia tidak akan dapat bergerak. Belenggu saja dia kuat-kuat,” kata kakek yang disebut Lo-mo tadi, kemudian bersama Marcus ia menemui komandan pasukan. Komandan pasukan memang tahu akan bokor emas yang palsu, maka mendengar laporan dua orang asing baginya ini bahwa tentu pemuda ini sebagai penemu pertama bokor emas yang telah memalsukannya, menjadi percaya dan girang. “Kita tangkap dia dan bawa kepada The-ciangkun. Kalian berdua tentu menerima hadiah banyak kalau bokor yang aseli dapat ditemukan melalui pemuda gundul ini.” “Kami tidak mengharapkan hadiah, Ciangkun, karena kami, para pedagang di Teluk Pohai, selalu dengan senang hati akan membantu pemerintah.” Jawab Marcus dan hati komandan itu makin senang, apalagi setelah Marcus membagi-bagikan dinar emas kepada para anggauta pasukan, seorang satu dan lima buah untuk Sang Komandan. Kun Liong dibelenggu kaki tangannya, dan digusur keluar, kemudian dinaikkan ke atas punggung kuda, menelungkup dan melintang, sedangkan Marcus dan Lo-mo itu pun memperoleh seekor kuda masing-masing. Marcus membebaskan suami isteri pemilik warung dan memberi hadiah pula. Berangkatlah rombongan itu dan Kun Liong masih pura-pura menelungkup pingsan. Dia tertarik sekali dan ingin dihadapkan Panglima The Hoo untuk mendapatkan keterangan sebenarnya apa yang telah terjadi dengan bokor itu. Dia tidak percaya bahwa seorang sakti bijaksana seperti panglima itu akan menuduhnya sembarangan saja seperti yang dilakukan orang-orang ambisius yang gila uang ini. Setelah setengah hari lamanya, Kun Liong pura-pura sadar dan mengeluh. Pura-pura meronta akan tetapi punggungnya ditodong cakar di ujung tongkat kakek itu, dan beberapa ujung tombak runcing para perajurit juga menodongnya. “Kenapa aku dibelenggu? Ke mana aku dibawa pergi?” Kun Liong pura-pura bertanya untuk menyempurnakan sandiwara. “Heh-heh-heh, engkau Yap Kun Liong, murid keponakan Cia Keng Hong, bukan? Engkau penipu busuk yang menyembunyikan bokor emas pusaka Panglima The Hoo dan menggantinya dengan yang palsu. Katakan di mana kau menyimpan yang aseli, kalau tidak, engkau akan dihukum penggal kepala, heh-heh-heh!” Dengan susah payah Kun Liong menggerakkan lehernya menengadah, memandang kakek itu dan bertanya, “Kakek yang botak, jauhkan cakar bebek itu dari kepalaku! Kau ini siapakah? Bukankah kau pemilik warung tadi?” “Heh-heh-heh, bocah gundul tolol. Mau tahu siapa aku? Heh-heh, di dunia kang-ouw orang menyebutku Tok-jiauw Lo-mo (Iblis Tua Cakat Beracun)!” “Hemm, aku tidak mengenalmu.” “Orang macam engkau mana mengenal? Lebih baik katakan di mana bokor itu.” “Aku tidak tahu, yang kutahu hanyalah bokor yang telah diserahkan kepada The-ciangkun.” “Bohong!” “Terserah penilaianmu. Hadapkan aku kepada The-ciangkun dan biarlah beliau yang menentukan apakah aku bohong atau tidak.”   Mendengar ucapan ini, Tok-jiauw Lo-mo tidak berani turun tangan. Di situ terdapat banyak perajurit dan juga terdapat Marcus yang tentu saja tidak suka kalau dia menyiksa pemuda ini untuk kepentingannya sendiri. Dia harus berlaku cerdik, dan tentu saja tidak ada selembar rambut pun di hatinya seperti kepala botaknya, untuk menyerahkan bokor emas yang aseli kepada Panglima The Hoo! Kalau sampai dia berhasil, tentu akan dibawanya kepada gurunya dan dinikmatinya bersama. Ujung tongkatnya yang sebelah belakang, yang tumpul, bergerak cepat sekali dan tahu-tahu dia telah menotok punggung dan pinggul Kun Liong. Seketika pemuda ini merasa betapa kedua tangannya dan kedua kakinya menjadi lumpuh dan diam-diam dia mengutuk kakek ini yang amat cerdik. Kalau tidak ditotok seperti itu, betapa mudahnya mematahkan belenggu dan membebaskan diri. Sekarang dia benar-benar tidak berdaya dan terpaksa dia melemaskan tubuhnya untuk dibawa pergi oleh pasukan itu. Malam itu, rombongan pasukan berhenti beristirahat di sebuah hutan. Mereka semua telah melakukan perjalanan jauh sehari suntuk dan semua merasa lelah. Setelah menghabiskan ransum yang dibagi-bagi, dan Kun Liong juga kebagian karena biarpun dia dibelenggu kaki tangan dan tubuhnya pada sebatang pohon namun di waktu makan tali yang membelenggu tangannya diperpanjang, maka para perajurit itu pergi tidur di bawah pohon-pohon. Adapun Tok-jiauw Lo-mo dan Marcus, yang merasa bahwa Kun Liong takkan mampu berkutik lagi karena selain kedua tangannya tergantung dengan belenggu di batang pohon, kedua kakinya dan tubuhnya diikat erat dengan sebatang pohon, ditambah lagi totokan baru yang dilakukan oleh Lo-mo untuk melumpuhkan kedua kaki tangannya, mereka lalu tidur juga bersama komandan pasukan, di dalam sebuah tenda yang didirian secara darurat. Seperti biasa, para atasan tidur di dalam tenda sedangkan para perajurit menggeletak begitu saja di atas tanah. Hal ini sudah lajim terjadi di manapun juga, yang tinggi selalu enak dan bekerja ringan, yang rendah selalu kekurangan dan bekerja paling berat! Yang menjaga tawanan dilakukan secara bergilir. Dua belas orang sekali menjaga dan mereka ini mengambil tempat duduk mengelilingi pohon di mana Kun Liong diikat. Karena mereka merasa bahwa tawanan itu pun tidak akan mampu lolos, maka mereka itu banyak yang duduk sambil melenggut-lenggut diserang kentuk, bahkan ada pula yang tidak tahan terus terguling rebah dan tidur mengorok! Hawa amat dingin di malam itu dan api unggun dibuat di beberapa tempat untuk memperoleh penerangan juga untuk sekedar menghangatkan tubuh. Menjelang tengah malam, Kun Liong melihat berkelebatnya bayangan yang cepat sekali menyelinap di antara pepohonan, makin lama makin dekat, kemudian dengan gerakan yang amat mengagumkan hatinya karena cepatnya, bayangan itu berloncatan dan setiap kali loncat dekat seseorang tentu terus menotoknya dengan tepat dan membuat mereka pingsan seorang demi seorang dalam keadaan masih seperti semula. Yang jongkok tetap berjongkok, yang bersandar pohon dan yang rebahan tetap begitu pula. Kemudian bayangan itu berkelebat dan berada di depan Kun Liong. Kun Liong memandang dengan takjub dan sejenak dia terpesona. Orang ini jelas seorang wanita yang pakaiannya seperti nikouw, memakai kerudung kepala, semua pakaian berwarna putih. Akan tetapi yang mempesonakannya adalah waiah orang itu. Wajah seorang dara masih amat muda dan luar biasa cantik jelitanya! Alisnya melengkung seperti digambar, matanya seperti sepasang bintang pagi terlindung bulu mata yang lentik panjang, hidungnya mancung kecil dan mulutnya sama kecilnya dengan hidung, akan tetapi bibirnya penuh kemerahan, tubuhnya ramping dan biarpun pakaiannya kebesaran akan tetapi belum dapat menyembunyikan secara sempurna bentuk tubuh yang penuh lekuk-lengkung indah sekali. Seorang dara yang benar-benar cantik jelita, akan tetapi anehnya menjadi nikouw dan kepalanya tentu gundul pelontos seperti kepalanya sendiri, sungguhpun kepala gundul dara ini tertutup kerudung putih! “Engkau siapakah, Nikouw muda yang lihai...?” tanya Kun Liong. “Sssttt...!” Desis halus ini keluar dari mulut nikouw itu dan telunjuk tangan kirinya yang panjang meruncing itu menyentuh bibirnya sendiri. Dengan langkah ringan sekali dia meloncat ke depan pemuda itu dan dengan gerakan cekatan, jari-jari tangan yang halus lunak dan meruncing, yang agaknya hanya pantas untuk dipakai menulis sajak, melukis, menyulam atau mengobati orang terluka itu sekali renggut saja telah mematahkan semua tali yang mengikat kedua lengan, dan kaki Kun Liong! Kembali hal ini merupakan demonstrasi sin-kang yang amat kuat di samping gin-kangnya tadi yang membuat dia bergerak seperti seekor burung dan totokan-totokannya yang lihai. Begitu tali-tali itu tidak mengikatnya, Kun Liong merosot dengan lemasnya karena dia telah tertotok lumpuh. “Aihhh... kau kenapa...?” Dengan lemas Kun Liong memandang penuh perhatian. “Aku... agaknya aku pernah mendengar suaramu yang halus merdu itu... akan tetapi di mana, ya? Wajahmu yang cantik jelita seperti bidadari itu belum pernah aku melihatnya, mungkin hanya dalam mimpi naik ke sorga...” “Hushhh!” Muka yang berkulit putih halus itu menjadi merah sekali. “Kau kenapa?” “Tertotok pusat jalan darah ke lengan dan kaki terhenti, membuat lumpuh kaki tanganku.”   Tanpa banyak cakap lagi, jari-jari tangan yang halus itu menotok beberapa kali di kedua pundak di kedua pinggang kanan kiri dan seketika Kun Liong dapat bergerak lagi. Dia meloncat berdiri, menghadapi nikouw itu dan berkata, “Kau hebat! Kau luar biasa sekali, Nona... eh, Suthai!” “Dan kau tolol sekali membiarkan dirimu ditawan oleh mereka, Tuan... eh, Hwesio!” “Wah, aku bukan hwesio!” “Kau pun mengatakan aku nikouw!” “Kan pakaianmu pakaian nikouw dan aku berani bertaruh bahwa kepalamu itu tentu gundul halus dan bersih sekali.” “Kau juga gundul.” “Tapi aku bukan hwesio, aku Yap Kun Liong orang biasa, orang sialan dangkalan yang selalu bernasib malang, akan tetapi juga orang berbintang terang karena selalu tertolong wanita-wanita cantik!” “Engkaii gundul tetapi bukan hwesio, apa kaukira kalau aku berpakaian nikouw dan gundul aku lalu seorang nikouw aseli?” “Eh, eh! Apa ada nikouw palsu?” “Tentu saja ada!” “Mana?” “Ini, yang berdiri di depanmu!” Keduanya saling pandang dan perbantahan itu serasa lucu bagi mereka sehingga mereka tertawa kecil. Kun Liong masih celangap tertawa tapi segera suara ketawanya terhenti dan dia masih celangap memandang wajah dara itu. Dara itu tersenyum simpul, cukup untuk memperlihatkan sedikit kilatan gigi dan cukup untuk menciptakan dua lesung pipit di kanan kiri pipinya. Manis sekali! Manis dan jelita membuat Kun Liong terpesona dan bengong terlongong karena dia harus mengakui bahwa selama hidupnya belum pernah dia bertemu dengan seorang dara secantik ini, belum pernah melihat wajah seperti itu, tiada cacatnya baginya, sempurna dan... dan... sukar dia mengatakan, pendeknya, tidak ada keduanya di dunia ini! “Kenapa kita berbantahan tidak karuan? Hayo cepat ikut denganku. Kita harus cepat pergi dari sini.” “Kenapa? Aku tidak takut! Dan terus terang saja, aku memang sengaja membiarkan diriku ditangkap agar dibawa ke depan Panglima The Hoo yang sudah kukenal baik. Aku tentu akan dibebaskan dan...” “Bodoh! Kaukira aku tidak tahu itu semua? Sudah semenjak kau ditangkap aku mengintai dan membayangimu. Akan tetapi jangan mengira kau akan dibawa ke sana, kau akan disiksa dan dipaksa mengaku di mana adanya bokor, kemudian setelah bokor terdapat, kau akan dibunuh.” “Tak mungkin, pasukan itu adalah pasukan pemerintah...” “Tapi kau tidak kenal siapa itu, Tok-jiauw Lo-mo. Gurunya... hemmm, lihai bukan main. Dan pemuda asing itu agaknya sekutunya. Mari kita pergi...” Kun Liong terkejut. “Tidak, aku akan menemui mereka. Akan kutanya secara terang-terangan mengapa mereka hendak mengkhianati Panglima The Hoo. Mereka harus dihajar dan kalau begitu, harus ditangkap dan dihukum!” Setelah berkata demikian, Kun Liong malah lari ke tenda dan berteriak-teriak, “Lo-mo setan tua, hayo ke sini kau bersama Marcus itu! Kalian mau berkhianat, ya?” Tanpa mempedulikan lagi kepada nikouw muda itu yang membanting kaki gemas dan meloncat pergi ke dalam gelap, Kun Liong terus berteriak-teriak dengan penuh kemarahan. Segera terjadi geger di tempat itu. Para perajurit terbangun, kecuali dua belas orang yang tertotok, dan komandan pasukan bersama Marcus dan Tok-jiauw Lo-mo juga berlari mendatangi. Melihat pemuda gundul itu telah bebas, belenggunya terputus semua dan dua belas orang penjaganya tertotok semua tak mampu bergerak, mereka menjadi terkejut dan semua orang sudah mengeluarkan senjata, siap untuk mengeroyok. “Hai, komandan pasukan. Jangan kau percaya kepada dua orang ini!” Kun Liong menudingkan telunjunya ke arah Lo-mo dan Marcus. “Mereka ini hendak berkhianat. Mereka tidak akan membawaku kepada Panglima The Hoo, melainkan hendak menculikku dan mungkin membunuh kalian semua. Hayo tangkap mereka dan kita bersama pergi menghadap Panglima The Hoo, untuk minta keadilan!” “Heh-heh-heh, bocah gundul kalau kau tidak tolol tentu kepalamu terisi otak yang miring!” Tok-jiauw Lo-mo berkata nyaring, “Aku yang telah menangkapmu, kalau aku hendak berkhianat apa aku memberi kabar kepada komandan? Hayo Ciangkun, kerahkan orang-orangmu menangkap kembali tawanan gila yang berbahaya ini!”   Sang Komandan tentu saja lebih percaya kepada Lo-mo, apalagi kepada Marcus yang sudah membagi-bagi uang emas, maka dia memberi aba-aba dan serentak Kun Liong diterjang dari seluruh penjuru! “Heiii, orang-orang bodoh...! Kalian ditipu setaan tua itu... wah, celaka ini!” Kun Liong terpaksa mengelak ke sana sini dan mendorong-dorong dengan kedua tangannya. Robohlah belasan orang oleh angin dorongan kedua tangan, akan tetapi mereka bangkit lagi dan lebih banyak yang mengeroyoknya karena ketika mereka terbanting, mereka tidak mengalami luka apa-apa. Marcus sudah mengeluarkan pistolnya, akan tetapi tidak sempat menembak karena Kun Liong “terlindung” oleh demikian banyak pengeroyoknya. Tok-jiauw Lo-mo sudah menggerakkan tongkat pendeknya yang berujung cakar setan, lalu maju menerjang pula. Kun Liong memang tidak suka berkelahi, akan tetapi dikeroyok seperti itu tentu saja dia harus mempertahankan diri dan menghalau lawan tanpa melukainya. Akan tetapi ketika Lo-mo maju, dia terkejut dan hampir saja lehernya kena dicengkeram oleh cakar setan kalau dia tidak cepat-cepat menggulingkan diri dan bergulingan sambil menarik banyak kaki sehingga lima orang perajurit pengeroyoknya jatuh tumpang tindih! “Tolol! Tolol!” Tiba-tiba terdengar bentakan halus dan Marcus roboh tak bangkit lagi karena kena hantam kepalanya oleh tamparan tangan halus nikouw muda. Beberapa orang terpelanting dan ada yang terlempar ke atas pohon dilontarkan oleh tangan kecil itu, nikouw itu mengamuk menghampiri Kun Liong dan di tangannya terdapat sebuah saputangan putih yang digerakkan secara istimewa lihainya. “Siuttt...!” Ujung saputangan putih itu menangkap cakar setan sehingga serangannya terhadap Kun Liong terhalang. Kakek tinggi kurus itu terkejut sekali, membentak. “Siapa kau!” Akan tetapi nikouw muda itu tidak peduli, cepat melepaskan libatan saputangannya dan menyerang kakek itu dengan tamparan tangan kirinya. Pukulannya seperti pukulan biasa saja, seperti seorang wanita menampar muka seorang pria yang hendak berkurang ajar kepadanya, namun tamparan itu cepat dan mendatangkan angin tenaga sin-kang yang kuat, juga datangnya tidak langsung melainkan membentuk lingkaran. “Aihhh...!” Lo-mo terkejut dan meloncat ke belakang lalu membalas dengan gerakan tongkat cakar setannya, mengarah muka nikouw itu. “Hemm, manusia ganas!” Nikouw itu berseru, dengan mudah mengelak dan ujung saputangannya meledak mengenai pundak kakek itu. “Nikouw keparat!” Kakek itu marah ketika melihat pakaian di pundaknya robek dan kulit pundaknya terasa panas. Sebaliknya Si Nikouw Muda maklum bahwa tubuh kakek itu kebal. Hantaman ujung saputangannya tadi dapat menghancurkan batu karang, akan tetapi pundak kakek itu lecet pun tidak! Maka dia lalu menangkap lengan Kun Liong. “Hayo pergi!” Kalau Kun Liong menghendaki, tentu saja dia dapat merenggutkan tangannya terlepas dari pegangan dan dapat menahan tarikan nikouw itu. Akan tetapi karena nikouw itu telah menjadi penolongnya dan dia pun sudah bosan harus melayani pengeroyokan sekian banyaknya perajurit, dia pun membiarkan dirinya diseret dan dia lari cepat sekali diseret oleh nikouw muda yang ternyata memiliki gin-kang istimewa, Tentu saja Kun Liong tidak tega membiarkan nikouw itu kelelahan, maka diam-diam dia pun mengerahkan gin-kangnya sehingga tubuhnya ringan dan biarpun kelihatan dia diseret, namun sebenarnya dia berlari sendiri! Setelah lari jauh dan para pengejarnya sudah tidak tampak atau terdengar lagi, Kun Liong sengaja terengah-engah dan berkata, “Aduhhh... berhenti... aduhh... napasku... senin kamis... huh-huh-huhhh...” Nikouw itu melepaskan pegangannya dan mereka menjatuhkan diri duduk di bawah pohon. Nikouw itu memandang kepada Kun Liong sambil tersenyum melihat betapa pemuda itu ngos-ngosan napasnya. “Aih, kiranya engkau hanya pandai dalam hal ilmu pengobatan saja, akan tetapi ilmu silatmu tidak berapa tinggi.” “Huuh-hahhh... kau sih lari seperti kuda saja!” Nikouw itu cemberut dan heranlah Kun Liong. Mana ada orang cemberut kok malah makin manis? “Kausamakan aku dengan kuda?” “Ibarat kuda, engkau tentulah kuda ajaib yang disebut Han-hiat-po-ma (Kuda Ajaib Berkeringat Darah) yang kabarnya sehari dapat lari seribu li.”   “Tidak sudi! Biarpun disamakan dengan kuda dewa sekalipun aku tidak sudi. Kuda nasibnya hanya ditunggangi orang! Aku bukan kuda!” Kun Liong bengong, tidak hanya terheran-heran melihat sikap wanita, watak wanita yang selalu berbeda dan dianggapnya edan-edanan dan kekanak-kanakan ini, akan tetapi juga heran karena setelah marah malah lebih manis daripada ketika cemberut tadi. Agaknya dalam setiap gerak-geriknya, nikouw muda jelita ini memiliki daya tarik yang berbeda, yang satu lebih menarik dan manis daripada yang lain! “Sabar... sabar... aku hanya mengatakan larimu seperti kuda saking cepatnya.” “Itu pun menghina namanya!” “Elhoooh! Bukankah kuda itu paling cepat larinya? Bukan menghina melainkan memuji.” “Siapa bilang. Larinya kuda saja berapa cepatnya sih? Aku sanggup berlari lebih cepat dari kuda!” “Wah-wah, kalau begitu engkau tentu seorang bidadari dari kahyangan, bukan seorang manusia.” “Ngawur, aku hanya seorang nikouw.” “Nikouw palsu.” “Nikouw benar-benar, tetapi nikouw terpaksa, hatiku bukan nikouw akan tetapi terpaksa aku menjadi nikouw...” Dan tiba-tiba nikouw itu menangis sesenggukan! “Aihhh... Nona yang baik, kaumaafkan aku...” Kun Liong berlutut di depan nikouw itu. “Heii, apa kau gila? Apa yang kaulakukan ini?” Nikouw itu lupa kesedihannya dan membentak menegur Kun Liong yang sudah duduk kembali. “Kaukira engkau menangis karena kata-kataku yang tidak sopan atau yang menyinggung.” “Tidak sama sekali. Aku hanya ingat akan nasibku. Sudahlah, tak perlu bicara tentang diriku.” “Aku seperti pernah mendengar suaramu, bukan menjadi kebiasaanku melupakan suara yang amat merdu dan halus. Selama hidupku tentu akan teringat, akan tetapi entah di mana karena kita tidak pernah saling bertemu. Mungkin dalam mimpi aku mendengar suaramu...” “Bodoh, biarpun dalam mimpi, mana bisa mendengar suara orang yang belum dijumpainya. Engkau memang pernah mendengar suaraku.” “Benar-benarkah? Di mana? Kapan?” “Ketika engkau mengobati seorang nikouw di dalam joli yang terluka... anunya...” Agaknya nikouw muda itu tidak sampai hatinya untuk menyebut sebuah pinggulnya yang terluka dahulu itu. Menceritakannya kembali saja membuat dia teringat dan seolah-olah dia merasakan kembali betapa jari tangan pemuda ini telah menyentuh kulit pinggulnya, membuat bulu tengkuknya berdiri! “Apa...?” Kun Liong bengong memandang wajah nikouw itu dan aneh! Yang tampak olehnya adalah sebukit pinggul berkulit putih kuning halus dan yang terluka oleh jarum merah. “Pinggul... eh pinggul...” Dia mau bicara akan tetapi karena matanya membayangkan pinggul otomatis dari mulutnya keluar kata-kata itu membuat Si Nikouw Muda makin merah mukanya. “Maaf, iihh, kenapa mulut ini? Aku sekarang ingat. Pantas saja aku mengenal suaramu. Jadi engkaukah nikouw yang terluka oleh jarum merah itu? Siapakah engkau dan mengapa pula engkau sampai bisa terluka oleh Ouwyang Bouw?” Kini nikouw itu memandang wajah Kun Liong dengan penuh keheranan. “Kau mengenal senjata rahasia Ouwyang Bouw?” Kun Liong mengusap-usap kepalanya. “Karena jarumnya itulah maka kepalaku sekarang menjadi gundul pelontos seperti ini. Tentu saja aku pernah berjumpa dengan Ouwyang Bouw dan bapaknya Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok.” Nikouw muda itu bergidik, ngeri mendengar nama-nama itu. “Anaknya jahat, ayahnya lebih kejam dan lihai luar biasa. Yap Kun Liong, aku telah mendengar namamu disebut banyak orang karena urusan bokor emas, dan memang engkau orang luar biasa sekali. Semua tokoh kang-ouw memperebutkan bokor, engkau yang sama sekali tidak tahu apa-apa malah yang menemukan bokor itu! Aku... aku adalah Pek Hong Ing dan terus terang saja, aku... aku hanya terpaksa menjadi nikouw, maka jangan engkau menyebutku seperti nikouw. Lain orang tidak apa-apa, akan tetapi aku merasa canggung dan tidak enak kalau kau menyebutku sebagai nikouw.” “Eihh, kalau aku yang menyebutnya mengapa sih? Apa bedanya aku dengan orang lain?” Hong Ing cemberut dan kembali Kun Liong menelan ludah. Manisnya! “Kau boleh menyebut aku nikouw, akan tetapi aku pun akan menyebutmu hwesio karena kepalamu juga gundul seperti kepalaku. Bagiku, menjadi pendeta bukanlah lahirnya melainkan batinnya, dan di dalam batinku, aku sama sekali tidak ingin menjadi nikouw.” Mendengar dara itu bicara dengan serius, Kun Liong tidak mau menggoda lagi. “Ya sudahlah, Hong Ing, aku menganggap saja engkau seorang dara yang berkepala gundul seperti aku. Tapi kau belum menceritakan bagaimana sampai anumu itu terluka jarum merah milik Ouwyang Bouw.” “Sebut saja pinggulku, mengapa anumu-anumu? Tidak enak sekali mendengarnya.” “Eh, bukankah kau sendiri yang menyebut begitu tadi? Aku hanya menirumu.” “Apa engkau ini selalu hanya pandai meniru orang lain? Meniru sih baik asal yang benar, kalau yang salah masa harus ditiru?” KUN LIONG tertawa. Mengelus gundulnya dan berkata, “Memang aku tolol... ha-ha, mungkin karena gundul...”