“Engkau harus menyerah dan menjadi suamiku. Kalau kau menyerah, barulah aku akan membebaskan Pek Nikouw. Betapapun juga, kalau kau menjadi suamiku, dia telah berjasa. Aku tidak akan mengganggunya, hi-hik. Tapi kalau kau melawan, dia akan mati lebih dulu!” Kun Liong memutar otaknya. Betapa pun cepat dia bergerak, tak mungkin bisa mendahului tangan yang sudah menempel di tengkuk Hong Ing itu, maka dia sama sekali tidak berdaya. “Baiklah, aku menyerah. Akan tetapi kau berjanjilah dulu tidak akan mengganggu dia dan akan membebaskannya.” “Tentu saja, aku berjanji. Acui dan Amoi, ikat dia dulu!” Sambil tersenyum-senyum dua orang pelayan yang cantik dan lihai itu lalu menghampiri Kun Liong dan mengikat kedua lengan Kun Liong ke belakang tubuhnya. “Kun Liong! Jangan mau tertipu...!” Tiba-tiba Hong Ing berteriak, akan tetapi karena Kun Liong sudah dibelenggu, pemuda itu tidak dapat berbuat sesuatu, apalagi karena dia memang tidak berani bergerak, takut kalau Hong Ing dibunuh oleh Kim Seng Siocia yang aneh itu. “Hi-hi-hik, nikouw lancang. Siapa mau menipunya? Aku mau mengambilnya sebagai suami, dan engkau adalah pendetanya yang akan memberkati dan berdoa untuk kami suami isteri, sepasang pengantin baru. Hi-hi-hik!” Kim Seng Siocia tertawa-tawa dan sudah tidak “menodong” Hong Ing lagi karena melihat bahwa Kun Liong sudah terbelenggu erat-erat. “Kun Liong...!” Hong Ing yang merasa tidak diancam lagi, melihat Kun Liong dibelenggu, lalu berlari menghampiri pemuda itu. “Kun Liong, selagi masih ada kesempatan, larilah. Jangan kauhiraukan aku. Kau terjebak, di sini ada Marcus...” Tiba?tiba terdengar suara ketawa bergelak dan Marcus muncul dari pintu samping. Kim Seng Siocia sudah mencelat dari tempat duduknya, dengan cepatnya dia menggunakan sisa tali pengikat Hong Ing yang masih panjang untuk dilibat-libatkan pada tubuh Kun Liong dan Hong Ing sehingga kedua orang ini sekarang diikat menjadi satu, saling membelakangi. Keadaan ini membuat mereka tak dapat berkutik lagi! Kun Liong terkejut ketika melihat Marcus, akan tetapi dia bersikap tenang saja karena betapapun juga, dia harus mengalah untuk menyelamatkan Hong Ing yang tadi sudah terancam. Sekarang, dia berusaha melepaskan diri dari belenggu secara diam-diam, namun terkejutlah dia ketika mendapat kenyataan bahwa tali yang mengikat mereka itu tak mungkin dapat dipatahkan karena mulur dan ulet seperti karet. Maka dia tenang kembali dan ingin melihat perkembangan keadaan sambil menanti terbukanya kesempatan untuk menolong Hong Ing. Maka dia lalu berkata lirih dan jari tangannya menyentuh dan memberi isyarat kepada lengan dara itu yang menempel dengan lengannya sendiri. “Tenanglah, Hong Ing. Aku yakin bahwa Kim Seng Siocia tidak berniat buruk terhadap kita berdua.” “Tentu saja tidak, Kun Liong. Aku akan mengangkatmu menjadi suamiku, apakah itu niat buruk?” Nona gendut itu berteriak. “Bagus sekali! Aku mengucapkan selamat, Siocia. Memang dia pantas menjadi suamimu, tampan, gagah dan... berharga sekali! Dan Pek Nikouw itu hanya scorang nikouw palsu, dia gadis cantik dan... biarlah dia untuk aku saja.” kata Marcus. “Marcus, kubunuh kau kalau...” Kun Liong membentak, kemudian menoleh kepada Kim Seng Siocia yang sudah duduk lagi di atas kursi besar itu. “Siocia, kau sudah berjanji akan membebaskan Hong Ing! Kalau kau melanggar janji dan berani menyerahkan Nona Pek Hong Ing kepada babi putih itu, aku pun sampai mati tidak akan sudi menyerah kepadamu.” “Bocah gundul, kau masih banyak lagak, ya?” Marcus melangkah maju, hendak memukul kepala Kun Liong. “Marcus, apa kau sudah bosan hidup, berani hendak memukul calon suamiku? Hayo keluar kau dari sini!” Kim Seng Siocia membentak dan pemuda berkulit putih itu segera meninggalkan ruangan sambil bersungut-sungut tidak puas. Setelah Marcus pergi, Kim Seng Siocia dengan muka ramah menuding kepada Kun Liong sambil berkata, “Yap Kun Liong, apakah engkau benar-benar telah menyerah kepadaku?” “Kim Seng Siocia, buktinya aku tidak melakukan perlawanan.” “Bagus, kalau begitu, akan kupersiapkan pesta untuk upacara pernikahan kita dan...” “Apa?” Kun Liong bergerak-gerak sehingga Hong Ing ikut terbawa. Keduanya terhuyung karena diikat menjadi satu seperti itu membuat kaki mereka sukar bergerak dan sedikit gerakan saja membuat mereka kehilangan keseimbangan tubuh. “Kau bilang... pernikahan?” “Hemm, Yap Kun Liong, seorang laki-laki sejati tidak akan menjilat kembali ludah yang sudah dikeluarkannya. Engkau bilang menyerah, tapi...” “Siocia! Menyerah dan menikah tidaklah sama! Aku hanya menyerah dan tidak melawan seperti kukatakan tadi, dan aku berjanji akan membebaskan Hong Ing.” “Kalau begitu, kau tidak mau menjadi suamiku?” Mulut lebar yang tadinya tersenyum ramah itu, kini mewek seperti mau menangis. “Siocia, maafkan aku. Aku tidak ingin menikah, tidak ingin menjadi suami siapapun juga.” Sepasang mata wanita itu menyinarkan api kemarahan. “Begitukah? Kalau begitu, Pek Nikouw akan kusiksa sampai mati di depan matamu!” Dia meloncat dekat, menggunakan tali lain lagi untuk membelenggu kedua kaki Kun Liong, bahkan juga leher pemuda itu dikalungi tali dan tubuhnya dibelenggu erat-erat seperti seekor kerbau hendak disembelih, kemudian dibantu oleh Acui dan Amoi mereka bertiga memisahkan Hong Ing dan Kun Liong. “Ambil cambukku!” bentaknya dengan marah dan Amoi segera berlari masuk, tak lama lagi keluar membawa sebatang cambuk hitam yang panjang. Cambuk itu kecil panjang mengerikan karena ujungnya dipasangi benda-benda kecil tajam meruncing! “Tar-tar-tar!!” Cambuk itu meledak-ledak ketika diayun di atas kepala Kim Seng Siocia. Hong Ing sudah memejamkan matanya, berdiri tegak dan siap menerima siksaan, siap pula menerima kematian. Dia tidak mau mendengar Kun Liong menerima menjadi suami wanita gendut itu. Lebih baik dia mati daripada Kun Liong berkorban seperti itu! “Siocia, tahan dulu...!” Kun Liong berteriak dengan mata terbelalak penuh kengerian membayangkan betapa kulit Hong Ing yang halus akan cabik-cabik digigit ujung cambuk mengerikan itu. Cambuk yang sudah diputar-putar itu turun dan Kim Seng Siocia memandang Kun Liong dengan senyum simpul. “Kun Liong, tadi ketika aku bertanding denganmu, aku sengaja mengalah. Kalau aku menggunakan cambukku ini, senjata maut yang kuandalkan, kau takkan mampu menang. Akan tetapi mana aku tega melukaimu, kau calon suamiku?” “Kim Seng Siocia, kaubebaskan Hong Ing dan aku menerima permintaanmu.” “Kun Liong, jangan!” Hong Ing menjerit dan mukanya merah sekali, terasa panas karena kemarahannya. “Biar aku dia bunuh, jangan kau penuhi permintaannya yang gila itu!” Setelah mengeluarkan ucapan keras ini, diam-diam Hong Ing menjadi terheran-heran sendiri. Mengapa dia peduli amat apakah Kun Liong akan menjadi suami wanita itu atau tidak? Mengapa dia tidak rela melihat Kun Liong menjadi suami Kim Seng Siocia, bahkan dia lebih suka mati? “Hong Ing, diamlah!” Kun Liong berkata, hatinya gelisah sekali sehingga dia sendiri pun tidak ingat lagi akan keanehan sikap Hong Ing. Satu-satunya yang penting bagi Kun Liong hanya menyelamatkan Hong Ing, dengan tebusan apapun juga! “Kau... kau mau menurut? Kau mau menjadi suamiku?” Kun Liong menganggukkan kepalanya yang gundul ditambah kata-kata lirih, “Asal engkau membebaskan Hong Ing.” “Horeee...! Kau mau menjadi suamiku? Ha-ha, yahuuu...!” Kim Seng Siocia meloncat turun, menari-nari mengelilingi Kun Liong, lalu berhenti di depan pemuda itu, memegangi kepala Kun Liong, menariknya ke depan lalu... “cuuuppp...!” Kepala pemuda itu diciumnya sedemikian rupa sehingga Kun Liong merasa seolah-olah kepalanya dicap dengan besi panas! “Terima kasih, calon suamiku! Acui, Amoi, persiapkan perta untuk...” “Siocia, aku menerima hanya dengan satu syarat, kalau tidak, biar kau membunuh kami berdua, aku tidak peduli lagi!” “Wah-wah, laki-laki kalau muda dan tampan, ada juga rewelnya, minta syarat segala macam. Anak bagus, syaratmu apakah? Tentu akan kupenuhi, jangan khawatir, Kim Seng Siocia adalah ratu di sini. Kau mau selir? Tinggal pilih! Acui ini yang cantik tenang, atau Amoi yang manis panas, atau kalau kau kehendaki, kau boleh ambil nikouw ini sebagai selirmu, seperti juga aku akan mengambil selir-selir yang kusukai. Mau harta benda? Sebut saja apa yang kauinginkan, tentu akan kupenuhi! Atau kau punya musuh? Akan kubantu kau sampai musuhmu hancur binasa. Kita suami isteri harus saling membantu, bukan?” Kun Liong menjadi muak mendengar ini, akan tetapi dia bersikap tenang dan berkata sungguh-sungguh, “Bukan itu semua. Syaratku yang terutama, nona Pek Hong Ing harus dibebaskan, dan ke dua, tidak perlu diadakan pesta dan pernikahan.” Kim Seng Siocia membelalakkan matanya. “Waaah, lha ini... ini bagaimana?” “Pendeknya, kau terima atau tidak, aku tidak mau tawar-menawar lagi.” Kim Seng Siocia memutar biji matanya, kemudian menarik napas panjang dan menggerakkan kedua pundaknya yang besar dan lebar. “Apa boleh buat, asal engkau suka menjadi suamiku. Aku pun punya syarat dan kalau engkau adil, engkau harus menerima syarat ini.” “Apa itu?” Kun Liong bertanya, hatinya tidak enak karena dia menduga bahwa di dalam sikapnya yang ketolol-tololan itu, wanita gendut ini agaknya cerdik sekali. “Engkau harus membuktikan dulu kesanggupanmu menjadi suamiku, malam ini. Sementara itu, Pek Nikouw akan dijaga ketat oleh Acui dan Amoi. Kalau sedikit saja engkau bergerak melawan, sekali aku berteriak, mereka akan membunuh Pek Nikouw dan aku akan menempurmu mati-matian dengan cambukku. Akan tetapi kalau kau sudah benar-benar membuktikan kemauanmu menjadi suamiku yang baik dan yang tercinta, barulah pada besok pagi dia kubebaskan!” Kun Liong mengerutkan alisnya. Benar saja dugaannya. Perempuan ini cerdik sekali dan agaknya sudah mencurigainya. Memang dia tadi mengandung niatan hati bahwa sekali Hong Ing sudah bebas, sampai mati pun dia tidak mau “diperkosa” atau dipaksa menjadi suami wanita ini diluar kehendak hatinya! Sekarang wanita itu telah menggunakan Hong Ing sebagai sandera! Terpaksa dia mengangguk dan berbisik, “Baiklah, akan tetapi kau harus bersumpah tidak akan membohong besok pagi untuk membebaskan Hong Ing.” Sepasang mata itu melotot. “Yap Kun Liong, kaukira aku orang macam apa? Aku adalah pewaris dari Go-bi Thai-houw sekali bicara tentu takkan kulanggar sendiri!” “Kun Liong, jangan percaya kepadanya!” Kembali Hong Ing berseru, hatinya panas sekali. “Aku tidak takut mati, jangan kau korbankan diri untukku!” “Cusss!” Tangan Acui bergerak dan Hong Ing sudah menjadi gagu karena tertotok jalan darahnya di leher. “Hi-hik, bagus, Acui. Nah, Kun Liong, kalau kau banyak rewel, akan kusuruh Acui turun tangan membunuh Pek Nikouw. Aku berjanji akan membebaskannya besok pagi kalau malam ini kew benar-benar dengan sukarela suka menjadi suamiku!” Pucat wajah Kun Liong. Di dalam hatinya, tentu saja dia tidak sudi menjadi suami orang dengan paksaan seperti itu. Dia tidak sudi diperkosa wanita! Akan tetapi dia melihat jelas bahwa kalau dia menolak, tentu wanita gemuk yang aneh dan lihai ini tidak segan-segan untuk melaksanakan ancamannya, yaitu membunuh Hong Ing. Maka dengan muka muram dan tubuh lesu dia mengangguk, “Baik, aku menyerah.” “Bawalah dia pergi dan siaplah kalian membunuhnya kalau Kun Liong main gila hendak melawan.” Acui dan Amoi mengangguk, kemudian membawa Hong Ing yang terikat kuat itu pergi meninggalkan ruangan, diikuti oleh suara ketawa Kim Sim Siocia yang kemudian turun dari kursinya, langsung dia melepaskan tali yang mengikat tubuh dan kedua lengan Kun Liong. Pemuda ini sudah tidak berdaya, tidak tahu harus bertindak bagaimana. Dia sudah dibebaskan dari belenggu, namun ada belenggu yang jauh lebih kuat daripada tali-tali itu, yaitu Hong Ing yang dijadikan sandera dan dia tidak tahu ke mana dara itu dibawa. Tentu saja dia dapat memberontak dan melawan setelah tali itu terlepas dari kedua lengannya, akan tetapi hal itu sama artinya dengan membunuh Hong Ing! “Suamiku yang baik, marilah kita bicara di dalam kamarku, agar kita dapat saling mengenal lebih baik lagi.” Kim Seng Siocia tersenyum, menggandeng tangan Kun Liong dengan sikap mesra dan setengah menarik pemuda itu memasuki kamarnya yang megah dan mewah serta berbau harum. Kun Liong tidak berani membantah dan kedua kakinya menggigil karena dia merasa seolah-olah dia telah menjadi seekor domba yang digiring memasuki tempat jagal di mana dia akan disembelih! “Duduklah, Koko...” Kim Seng Siocia mempersilakan dengan suara merdu dan mengandung kemanjaan yang membuat Kun Liong merasa bulu tengkuknya meremang. Begitu mesranya wanita ini menyebutnya koko (kakanda)! Dia tidak menjawab, hanya mengangguk dan duduk di atas sebuah bangku menghadapi meja yang terukir indah. Kim Seng Siocia lalu membalikkan tubuhnya menghadapi pintu kamarnya, bertepuk tangan tiga kali. Muncullah dua orang wanita muda yang cantik, dua orang pelayan yang menggantikan Acui dan Amoi karena kedua orang pelayan kepala itu sedang membawa pergi Hong Ing.   “Sediakan makan minum yang paling istimewa untuk kami berdua. Cepat!” Dua orang pelayan itu memberi hormat, meninggalkan kamar dan menutupkan daun pintu kamar perlahan-lahan dari luar. “He-he-he, hatiku riang gembira bukan main, Koko. Inilah saat yang kunanti-nanti selama hidupku. Aku benar-benar bahagia sekali.” Dia menjatuhkan dirinya duduk di atas sebuah bangku dekat Kun Liong dan pemuda ini dengan hati ngeri mendengar suara bangku itu menjerit saking beratnya beban yang menghimpitnya. “Koko yang baik, engkau dari manakah dan siapa orang tuamu? Kelak aku tentu ingin sekali bertemu dan menyampaikan hormatku kepada ayah dan ibu mertua.” Kun Liong bergidik. Aih, bagaimana akan sikap ayah bundanya andaikata mereka masih hidup dan melihat “anak mantunya” ini? Mukanya menjadi merah sekali dan dia berkata, “Aku tidak mempunyai tempat tinggal dan ayah bundaku sudah meninggal dunia, Siocia.” “Emmm...!” Kim Seng Siocia membanting-banting kedua kaki di lantai dan menggoyang-goyang tubuhnya dengan sikap kemanjaan seorang anak kecil yang “ngambek”. “Tidak mau ah kalau begitu! Aku sudah menyebutmu Koko, mengapa kau masih menyebutku Siocia? Suami isteri harus lebih mesra sebutannya!” Aduh manjanya! Kun Liong bengong dan ingin menampar kepala gundulnya sendiri mengapa dia terpaksa harus melayani wanita seperti ini. Sudah tubuhnya seperti gajah, usianya tentu sudah tiga puluhan tahun, masih manja seperti seorang kanak-kanak, atau seperti seorang wanita cantik yang dipuja-puja seorang pria yang tergila-gila kepadanya! Bukan main! Akan tetapi karena khawatir kalau-kalau wanita ini menjadi marah benar-benar, dia cepat berkata, “Baiklah, aku akan menurut, akan tetapi aku tidak tahu sebutan apa yang harus kupakai.” “Ihhh... hi-hik, suamiku masih bodoh! Eh, kau tentu mesih perjaka tulen, ya? Hi-hik, kau sebut aku Moi-moi!” Ampun! Demikian jerit hati Kun Liong. Pantas menjadi bibinya dan dia disuruh menyebut moi-moi (adinda)! “Baiklah, Moi-moi!” Kun Liong mengucapkan sebutan ini dengan suara sumbang karena baru pertama kali itulah dia menyebut wanita dengan sebutan adinda! Tiba-tiba Kim Seng Siocia menangis! Menangis terisak-isak dan memegang kedua tangan Kun Liong. Pemuda ini makin kaget dan heran, mengira bahwa dia tentu telah melakukan kesalahan lagi diluar pengetahuannya. “Hu-huu-hukkk... sungguh kasihan engkau, Koko... hu-huuk, dan sungguh sial sekali aku... belum apa-apa sudah kematian ayah dan ibu mertuaku...” Disinggung tentang kematian ayah bundanya, kalau dalam keadaan biasa tentu sedikitnya hati Kun Liong akan merasa terharu juga. Akan tetapi sikap wanita ini keterlaluan, pakai menangis segala! Hanya anehnya, wanita ini menangis sungguh-sungguh, air matanya bercucuran, bukan dibuat-buat. Diam-diam Kun Liong merasa makin ngeri karena menduga bahwa tentu ada gejala-gejala tidak beres pada otak wanita ini. Karena Kun Liong memang tidak mau banyak bicara, akhirnya Kim Seng Siocia menceritakan semua riwayatnya sendiri kepada Kun Liong yang didengarkan oleh pemuda ini penuh perhatian. Penuturan wanita itu begitu menarik hatinya sehingga dia tidak mempedulikan dan tidak merasa lagi betapa tangan Kim Seng Siocia yang besar itu kadang-kadang membelai tangannya dengan mesra, bahkan kadang-kadang tangan yang berjari besar itu merayap naik dan mengelus kepalanya yang gundul! Memang cerita wanita itu menarik hatinya. Dia sudah pernah mendengar penuturan ibunya tentang seorang datuk wanita yang berjuluk Go-bi Thai-houw, yang menurut ibunya memiliki ilmu kepandaian yang amat luar biasa, akan tetapi datuk ini adalah seorang yang miring otaknya. Ibunya bercerita betapa datuk wanita gila itu telah menimbulkan kekacauan besar, bahkan hampir saja berhasil merusak penghidupan ayah bundanya sendiri dan penghidupan Pendekar Sakti Cia Keng Hong dan isterinya, yaitu Sie Biauw Eng. Betapa kemudian, berkat kesaktian Cia Keng Hong, akhirnya datuk wanita yang merupakan nenek iblis itu telah dapat dibinasakan oleh Cia Keng Hong. Dan sekarang Kim Seng Siocia mengaku bahwa dia adalah bekas pelayan kecil dari Go-bi Thai-houw yang tersayang dan yang dijadikan ahli waris oleh nenek iblis itu! “Thai-houw amat sayang kepadaku, Koko. Semua pusaka warisannya disimpan di tempat rahasia dan hanya aku yang diberi tahu. Oleh karena itu, hanya akulah yang dapat mewarisi kepandaiannya dan aku menjadi pemimpin di bekas istananya ini. Akan tetapi... u-hu-huuu... dia dibunuh mati orang, Koko!” Kembali Kim Seng Siocia menangis. Kun Liong makin tertarik. “Jadi... apa yang kau kehendaki, Sio... eh, Moi-moi?” “Apalagi? Tentu membalas dendam kematian Thai-houw! Aku mendapatkan semua ini dari Thai-houw dan dia dibunuh orang!” “Kalau begitu, dengan kepandaianmu yang tinggi, mengapa kau tidak sejak dahulu membalas dendam, Moi-moi” “Aku... aku takut...” “Eh...?” Kun Liong benar-benar terheran mengapa wanita aneh ini mempunyai rasa takut juga, maka dia melanjutkan pancingannya, “Begitu lihaikah musuhmu yang telah membunuh Go-bi Thai-houw?” “Aku tidak takut kepadanya! Hemm, biar dia memiliki Thi-khi-i-beng sekalipun! Dahulunya memang aku tidak berani mengingat akan ilmunya itu, akan tetapi setelah aku mempelajari kitab peninggalan Thai-houw, dengan menggunakan cambuk ini, aku dapat membuat Thi-khi-i-beng tidak ada artinya! Kaulihatlah, Koko!” Setelah berkata demikian, wanita ini meloncat dari bangkunya, menyambar cambuknya dan menuding ke atas, ke arah dinding di mana terdapat dua ekor cecak yang sedang bercumbuan dan saling berkejaran. “Lihat dua ekor cecak itu!” katanya pula dan tiba-tiba terdengar suara meledak-ledak beberapa kali bersama sinar hitam menyambar-nyambar dan ketika Kun Liong memandang, ternyata dua ekor cecak itu telah terpotong-potong tubuhnya menjadi empat dan jatuh ke atas meja, sedangkan di dinding itu tidak nampak sedikit pun darah! Diam-diam Kun Liong terkejut. Ternyata wanita ini tidak menyombong kosong tadi ketika mengatakan babwa dengan cambuknya dia amat lihai. Kalau dalam pertempuran tadi Kim Seng Siocia menggunakan cambuk seperti itu, dia tentu akan repot menghadapinya! Dan dia harus mengakui bahwa dengan senjata cambuk seperti itu, Thi-khi-i-beng tidak akan dapat dipergunakan karena tidak mungkin untuk menempel ujung cambuk dan menyedot sin-kang lawan melalui cambuk lemas yang panjang itu! “Wah, kau hebat sekali, Moi-moi...” Kun Liong menekan hatinya karena dia bergidik melihat bangkai dua ekor cecak yang telah menjadi masing-masing empat potong itu di atas meja. “Dengan kepandaianmu itu, tentu engkau akan dapat menang melawan musuhmu, akan tetapi mengapa tidak juga kaulakukan?” “Sudah kukatakan tadi, aku takut, aku takut gagal. Aku mau yakin akan kemenanganku, oleh karena itu... bertahun-tahun aku berdoa kepada Thian untuk mendapatkan jodoh seorang yang lihai dan yang akan dapat membantuku menghadapi musuhku yang sakti. Dan... hari ini aku telah mendapatkan jodoh yang kutunggu-tunggu itu, Koko yang tampan!” Wanita itu hendak merangkulnya. Cepat-cepat Kun Liong mundur dan berkata, “Moi-moi, belum kaukatakan siapakah musuhmu itu, dia yang sanggup membunuh seorang lihai seperti Go-bi Thai-houw?” “Dia? Dia adalah si keparat Cia Keng Hong, yang kabarnya sekarang menjadi Ketua Cin-ling-pai di Cin-ling-san! Kau tunggulah, si keparat Cia Keng Hong! Tunggulah saat kematianmu kalau Kim Seng Siocia dan suaminya Yap Kun Liong datang membalas dendam! Koko, dengan bantuanmu, aku yakin bahwa kita akan dapat membunuh Cia Keng Hong. Aku melihat gerakan-gerakanmu tadi hebat sekali. Orang seperti engkau inilah yang kutunggu-tunggu!” Kembali Kim Seng Siocia hendak merangkul dan Kun Liong sudah bingung. Tiba-tiba datang pertolongan ketika pintu kamar terbuka dan dua orang pelayan tadi datang membawa hidangan yang masih panas dan serba mewah dan lezat. Dengan senyum manis dua orang pelayan itu menurunkan piring mangkok dan manci ke atas meja, juga seguci arak wangi. “Harap singkirkan bangkai cecak ini...” kata Kun Liong kepada dua orang pelayan itu. “Eihhh, mengapa? Dua ekor eceak itu merupakan lalap yang sedaaap!” kata Kim Seng Siocia yang mengusir kedua orang pelayannya dengan gerakan tangan. Mereka pergi dan kembali menutupkan pintu kamar. Kun Liong hampir muntah. Bangkai cecak dipakai lalap? Biasanya orang lalap dengan sayur segar dan mentah! Akan tetapi dia tidak mencela karena dia mulai bersikap hati-hati sekali terhadap wanita ini setelah diketahuinya bahwa wanita ini adalah musuh besar Cia Keng Hong dan berniat menggunakan dia sebagai teman untuk membunuh pendekar sakti yang masih terhitung supeknya sendiri bahkan yang telah mengajarkan Thi-khi-i-beng kepadanya itu! Dengan menekan perasaannya, dia menemani wanita itu makan minum. Hanya dengan kekuatan luar biasa saja dia dapat bertahan ketika Kim Seng Siocia menggunakan sumpit menjepit bangkai cecak dan melalapnya dengan bunyi “kriuk! kriuk!” ketika giginya yang kuat mengunyah bangkai itu berikut tulang-tulangnya. Yang lebih menjijikkan lagi ketika Kim Seng Siocia menyumpit ekor cecak yang masih bergerak-gerak menggeliat itu, memasukkan benda yang masih hidup itu ke dalam mulut lalu mengunyahnya! Tahulah dia bahwa wanita ini benar-benar tidak waras otaknya! Namun Kun Liong makan sampai kenyang tanpa bicara, hanya diam-diam dia mengasah otaknya mencari jalan keluar dari bahaya ini, terutama sekali bagaimana dia akan dapat menolong Hong Ing yang keselamatannya terancam bahaya maut. Bukan hanya dari Kim Seng Siocia datangnya bahaya mengancam yang sewaktu-waktu dapat membunuh Hong Ing, melainkan juga dari Marcus yang jelas adalah seorang laki-laki yang tidak baik. Setelah selesai makan minum yang bagi Kim Seng Siocia amat menggembirakan itu, wanita ini bertepuk tangan dan dua orang pelayan itu cepat muncul. Mereka disuruh membersihkan meja dan pada waktu itu, hari telah mulai menjadi petang. Seorang di antara mereka menyalakan lampu untuk menerangi kamar yang sudah mulai gelap. Setelah dua orang pelayan itu selesai membersihkan meja, menyalakan lampu dan membereskan pembaringan, menyapu lantai kamar, Kim Seng Siocia sambil tersenyum-senyum berkata kepada mereka, “Sekarang panggil Acui dan Amoi ke sini, sementara itu, Pek Nikouw harus dijaga oleh selosin orang penjaga yang siap turun tangan membunuhnya begitu ada tanda rahasia dariku.” Dua orang pelayan itu mengangguk, mengundurkan diri setelah mengerling dan tersenyum geli ke arah Kun Liong yang duduk seperti arca di atas bangunan. Kim Seng Siocia duduk kembali. “Koko, hanya Acui dan Amoi itulah pelayan-pelayanku yang paling boleh kuandalkan dan kupercaya. Juga mereka yang menjadi pembantu, juga muridku. Mereka yang memandikan aku, menggantikan pakaian, pendeknya, hanya mereka yang kupercaya. Karena itu, pada malam pengantin ini... hi-hi-hik, aku pun hanya mau dilayani oleh mereka...” Kun Liong hanya mengangguk-angguk, padahal dia tidak mengerti apa yang dikehendaki dan dimaksudkan oleh “isterinya” itu, isteri paksaan. Sementara itu, di bagian lain dari istana itu, Marcus sedang membujuk-bujuk kepada Acui dan Amoi. “Kenapa kalian melindunginya? Serahkan dia kepadaku, sebentar saja dan aku akan bersikap manis kepadamu, Acui dan Amoi.” “Hushh! Pergilah! Kalau ketahuan Siocia, apakah kau masih dapat menyelamatkan kepalamu yang berambut kuning itu?” Acui membentak sedangkan Amoi tersenyum-senyum genit kepada pemuda asing yang tampan itu. “Eh, Marcus, apakah kau 1upa kepada lima orang teman-temanmu? Apakah kau ingin pula dilempar kepada anak buah yang merupakan serigala-serigala kelaparan itu,” kata Amoi mengejek, akan tetapi di balik ejekannya itu, sinar matanya memandang ke arah tubuh yang tegap dan kuat itu dengan penuh gairah. Marcus merasa ngeri kalau mengingat kepada lima orang itu. Mereka telah mati konyol, mati dengan tubuh mengering kehabisan darah, seperti matinya lima ekor lalat yang sudah dihisap habis semua darahnya oleh laba-laba yang banyak itu! Akan tetapi dia cerdik dan tidak memperlihatkan kengeriannya, bahkan dia tertawa, “Ahhh, seperti kalian tidak tahu saja! Siocia suka kepadaku dan memang kemarin aku tidak berani main gila dengan wanita lain, betapa pun rindu dan inginku kepada kalian berdua yang cantik jelita ini! Akan tetapi sekarang, Siocia telah mendapatkan seorang kekasih baru, tentu aku menjadi bebas pula untuk bermain cinta dengan siapa juga. Acui dan Amoi, nikouw ini tidak urung akan dibunuh juga, maka apa salahnya kalau membiarkan aku mempermainkannya sebentar?” Amoi melangkah ke depan. “Hemm, apa sih menariknya perempuan gundul ini? Eh Marcus, apakah kami berdua kalah cantik oleh nikouw gundul ini?” Marcus tersenyum lebar. “Tentu saja tidak, dan aku berjanji, kalau kalian suka memberikan nikouw itu kepadaku sebentar, setelah aku selesai dengan dia, aku akan menemui kalian berdua bersenang-senang. Bagaimana?” “Huh! Kautemani kami dulu, baru kami berikan dia kepadamu.” “Baiklah, aku memang sudah lama rindu kepada kalian. Mari!” “Enci Acui, kau bersenanglah dulu, biar aku yang menjaganya,” kata Amoi. Acui yang masih khawatir kalau-kalau Siocia akan marah, mengerutkan alisnya akan tetapi hatinya pun tertarik sekali. Sudah terlalu lama bagi dia dan Amoi tak pernah dirayu oleh seorang pria, apalagi pria semuda dan setampan Marcus yang memiliki ketampanan khas pula sebagai seorang berkulit putih. “Engkau saja dulu, Amoi, biar aku yang menjaganya.” Amoi tersenyum genit dan mengangguk kepada Marcus yang tertawa-tawa dan merangkulnya dan hendak menariknya pergi dari tempat penjagaan rahasia itu. Akan tetapi pada saat itu, muncullah dua belas orang penjaga yang bersenjata lengkap, dipimpin oleh dua orang pelayan yang diperintah oleh Kim Seng Siocia tadi. Mereka berkata dengan suara nyaring bahwa Acui dan Amoi dipanggil oleh Kim Seng Siocia dan bahwa dua belas orang itu ditunjuk untuk menggantikan dua orang pelayan kepercayaan itu untuk menjaga tawanan. Amoi kelihatan kecewa, akan tetapi dia melepaskan Marcus sambil berkata, “Kau tidak boleh di sini. Keluarlah dulu dan menunggu kami. Awas, sebelum kami kembali, kau tidak boleh menyentuhnya. Hai, para penjaga! Selama kami berdua pergi, jaga tawanan baik-baik dan jangan membolehkan siapapun juga, termasuk dia ini, menyentuh tawanan. Mengerti?” Para penjaga itu menyatakan taat kepada Amoi yang menjadi kepercayaan majikan mereka dan Marcus yang kecewa juga tidak berani membantah lalu pergi keluar. Dia akan sabar menanti. Acui dan Amoi memasuki kamar majikan mereka dan keduanya terkekeh genit ketika melihat Kun Liong duduk seperti arca di atas bangkunya, sedangkan Siocia kelihatan begitu gembira, mukanya kemerahan tanda bahwa dia sudah banyak minum arak wangi. “Acui... Amoi..., aihhh, aku menjadi gugup di malam pengantin ini. Kalian bantulah aku...” kata Kim Seng Siocia sambil tersenyum. “Bagaimana sih baiknya? Sin-liang (pengantin pria) kelihatan malu-malu... ihhh, dia memang masih perjaka tulen...” Acui dan Amoi cekikikan. “Benarkah, Siocia? Ah, kalau begitu kau bahagia sekali, Siocia. Kionghi (selamat)!” kata Amoi. Keduanya lalu menghampiri Kun Liong dan berkata, “Kongcu (Tuan Muda), mengapa Kongcu belum juga menanggalkan pakaian luar? Sudah waktunya sepasang pengantin tidur, maka harap Kongcu tidak malu-malu lagi, karena hal itu bisa mendatangkan kesalahpahaman bagi pengantin wanita, dapat dianggap bahwa pengantin pria menolak dan ini merupakan penghinaan besar,” kata Acui. “Benar itu, Kongcu. Mari kami membantumu menanggalkan pakaian...” kata Amoi genit dan keduanya lalu menyerbu, menanggalkan pakaian luar Kun Liong sehingga pemuda ini menjadi bingung dan malu. Untuk melawan tentu saja dia dapat, akan tetapi teringat akan keselamatan Hong Ing, dia diam saja. Akhirnya semua pakaian luarnya termasuk sepatu nya telah ditanggalkan dan dia dituntun setengah paksa duduk di tepi tempat tidur yang lebar panjang dan berbau harum itu. Kaki den tubuh atasnya menjadi segundul kepalanya, dan hanya sebuah celana dalam panjang yang tipis saja yang masih menutup tubuhnya. Kini matanya terbelalak memandang ke depan di mana Kim Seng Siocia sedang dibantu oleh dua orang pelayannya itu menanggalkan pakaian luar. Agak sukar juga bagi wanita gendut itu untuk menanggalkan pakaian luarnya dan pekerjaan ini mereka lakukan bertiga sambil tertawa cekikikan. Setelah banyak sekali kancing yang ketat itu dilepaskan, mulailah pakaian luar itu diperosotkan dari atas dan mulailah tampak tubuh yang kini hanya dibungkus pakaian dalam yang tipis sekali itu. Dengan pakaian luar menutupi tubuhnya, bentuk tubuh Kim Seng Siocia masih tertolong, masih terlindung oleh pakaian luar yang lebar, akan tetapi setelah kini pakaian luar itu merosot dari atas sedikit demi sedikit, mata Kun Liong juga menjadi makin lebar dan makin lebar, tubuhnya menggigil seperti orang diserang demam malaria, sampai kedua bibirnya pun ikut bergerak-gerak seperti orang kedinginan. Mulailah tampak tubuh Kim Seng Siocia, mula-mula lehernya, lalu pundaknya yang tampak di balik pakaian dalam yang amat tipis sehingga tembus pandangan itu, kemudian mulai tampak tonjolan dadanya yang... aduhai! Dua onggok daging yang bergumpal besar sekali, sebuah saja sudah sebesar dua kali kepala Kun Liong! Makin merosot ke bawah pakaian luar itu, makin ngerilah hati Kun Liong, matanya terbelalak, mulutnya celangap dan jari tangannya menahan bibirnya yang gemetaran keras. Sambil cekikikan, akhirnya atas isyarat majikan mereka, Acui dan Amoi meninggalkan kamar dan menutupkan pintu kamar rapat-rapat. Kini sambil tersenyum Kim Seng Siocia melangkah perlahan menghampiri pembaringan den setiap langkah terasa oleh Kun Liong seolah-olah seluruh kamar itu tergetar dan terjadi gempabumi! Setelah kini tampak kedua buah kaki wanita itu, Kun Liong merasa serem bukan main. Kaki gajah! Kaki yang besarnya ada empat kali kakinya sendiri! Apalagi ketika kaki itu melangkah, selurub tubuh yang merupakan gumpalan-gumpalan daging yang bertumpuk menjadi satu itu bergoyang-goyang semua! Kun Liong hampir pingsan ketika wanita' itu akhirnya berdiri dekat sekali di depannya, dan hidungnya mencium bau minyak wangi yang terlalu keras sehingga membuat dia sukar bernapas. “Hi-hik, Koko... jangan malu-malu, suamiku... aku cinta padamu...” Cepat luar biasa, tidak sesuai dengan bentuk tubuhnya, Kim Seng Siocia sudah menubruk sehingga Kun Liong terjengkang dan terlentang di atas pembaringan, lenyap tertindih bukit daging itu! Kun Liong megap-megap tak dapat bernapas, hanya kedua kakinya yang kelihatan bergerak-gerak dan kedua lengannya yang terpentang. “Eh... ohh... nanti dulu... eh, Siocia... eh, Moi-moi...” Dia gelagapan ketika Kim Seng Siocia menutupi mukanya dengan ciuman-ciuman kasar sehingga hampir seluruh muka Kun Liong basah oleh ciumannya. Ketika merasa betapa wanita itu menjadi makin ganas dan mulutnya yang besar itu menutupi separuh mukanya, Kun Liong cepat menggerakkan jari tangannya menotok pundak wanita itu, menotok jalan darah hong-hu-hiat-to untuk membuat wanita itu lemas. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika merasakan jari tangannya menotok daging yang demikian tebalnya sehingga jari tangan itu tidak dapat mencapai jalan darah! Mengertilah dia bahwa wanita ini menjadi kebal bukan main karena jalan darah di tubuhnya terlindung oleh ketebalan dagingnya! Dia kaget, akan tetapi Kim Seng Siocia juga terkejut. Kesempatan ini dipergunakan oleh Kun Liong, dia menggigit bibir wanita itu untuk mencegahnya berteriak, dan mengerahkan Thi-khi-i-beng ketika wanita itu menggunakan kedua tangan mencengkeram pundaknya. “Iiihhh... oooohhh...!” hanya keluhan ini yang keluar dari mulut Kim Seng Siocia yang bibirnya masih tergigit oleh Kun Liong ketika dia merasa betapa sin-kangnya memberobot keluar, membanjir melalui kedua telapak tangan, tersedot oleh hawa mujijat dari dalam tubuh pemuda itu. Memang kesempatan inilah yang dinanti-nanti Kun Liong, yang sejak tadi diasah dalam benaknya. Dia maklum akan kelihaian wanita ini, dan kalau wanita itu berada dalam keadaan siap siaga, apalagi dengan cambuk sakti yang ditaruh di atas meja itu, dia tidak akan mampu menolong Hong Ing. Tidak akan mampu mengalahkan wanita ini dan membuatnya tak berdaya tanpa mampu berteriak. Tadinya, menurut rencana, dia akan menotoknya begitu wanita itu menerkamnya di tempat tidur. Akan tetapi ternyata totokannya gagal, maka terpaksa dia menggunakan Thi-khi-i-beng sambil “menahan” mulut Kim Seng Siocia agar jangan berteriak, dengan jalan mengigigit bibirnya! Makin lama makin pengap rasanya Kun Liong karena onggokan daging membukit itu makin menghimpitnya, makin panas rasa tubuhnya karena kemasukan sin-kang dan makin lemah pula tubuh Kim Seng Siocia! Kun Liong tidak bermaksud membunuhnya, maka begitu melihat bahwa wanita itu sudah tidak mampu meronta lagi karena sin-kangnya sudah hilang setengahnya lebih, dia lalu menggunakan ujung bantal untuk menyumpali mulut yang lebar itu, kemudian menggunakan alas tempat tidur untuk mengikat kaki tangannya. Dia maklum bahwa kalau wanita itu bertenaga sepenuhnya, tentu ikatan itu tidak ada artinya. Akan tetapi dalam keadaan sin-kangnya tersedot terlampau banyak, membuat wanita itu seperti tidur, atau setengah pingsan dan mendengkur keras seperti seekor babi, Kun Liong sudah merasa cukup. Dia lalu meloncat dari tempat tidur. Maksudnya hendak meloncat dan berpakaian, akan tetapi hampir dia menjerit ketika loncatannya itu membuat tubuhnya melayang ke atas! Dia lupa bahwa penambahan tenaga sin-kang di tubuhnya membuat tenaganya menjadi berlebihan dan tubuhnya terasa seperti bola karet yang penuh hawa, merasa seolah-olah tubuhnya menjadi sebesar tubuh Kim Seng Siocia! “Dukkkk!” Kepalanya yang gundul terbentur pada langit-langit kamar itu sehingga langit-langit itu ambrol dan pecah! Dia terkejut, baru teringat maka cepat dia mengatur tenaga yang liar menjelajahi seluruh tubuh itu sesuai dengan petunjuk Cia Keng Hong. Biarpun terasa masih sesak dadanya dan panas tubuhnya, namun dapat juga dia mengenakan pakaiannya. Dia maklum bahwa tenpa mengurangi hawa yang disedotnya dari Kim Seng Siocia itu, dia seperti orang mabuk dan sukar menguasai tenaga yang berlebihan, maka dia lalu meloncat, menerobos melalui langit-langit yang jebol tadi, menggunakan gin-kangnya yang menjadi berlipat ganda itu berkelebat keluar dari istana. Dia memasuki hutan yang gelap dan setelah merasa yakin di situ tidak terdapat orang lain, mulailah dia menghamburkan tenaga kelebihan dari tubuhnya itu untuk memukul batu dan pohon besar. Dalam waktu singkat, lima buah batu besar hancur dan tujuh batang pohon besar tumbang! Barulah terasa enak tubuhnya, ringan dan tidak mabuk seperti tadi. Dia lalu melesat kembali menuju ke istana hendak menolong Hong Ing sebelum Kim Seng Siocia dapat melepaskan diri atau sebelum para pembantu wanita itu ada yang tahu. Kalau dia mengenangkan pengalamannya dalam kamar Kim Seng Siocia tadi dia bergidik ngeri. Memang dia bukanlah perjaka lagi, dan dia sudah berenang di lautan cinta dengan Hwi Sian, akan tetapi hal itu dilakukan oleh keduanya atas dasar suka rela. Akan tetapi tadi? Bukan main ngerinya! Dan dia tidak dapat membayangkan apa akan jadinya dengan dirinya kalau saja dia tidak memiliki Thi-khi-i-beng! Dengan tergesa-gesa namun hati-hati sekali Kun Liong memeriksa seluruh bagian istana dan akhirnya dia dapat menemukan tempat rahasia di mana Hong Ing ditahan. Tempat itu merupakan bagian belakang istana, rapat terkurung dinding baja dan di bagian depan terjaga oleh belasan orang wanita. Dengan sigap dan cepat sekali Kun Liong meloncat tanpa diketahui mereka ke atas genteng tempat tahanan itu, kemudian membuka atap dan mengintai ke bawah. Dilihatnya pemandangan yang mengherankan. Hong Ing masih seperti tadi, dibelenggu kaki tangannya dengan tali hitam, yang dapat mulur dan sukar dipatahkan itu, dijaga oleh Acui yang memegang pedang dan menodongkan pedang itu ke tubuh Hong Ing, siap sewaktu-waktu untuk menusuk tubuh tawanan itu apabila majikannya memberi tanda! Benar-benar amat berbahaya keadaan Hong Ing karena andaikata tadi Kim Seng Siocia sempat mengeluarkan jeritan mencurigakan sedikit saja tentu pedang di tangan Acui itu sudah menembus jantungnya! Selagi dia yang bersikap hati-hati itu mencari-cari di mana adanva Amoi, dia mendengar suara tertawa pelayan genit itu dan muncullah Amoi bersama Marcus bergandeng tangan dari sebuah kamar di samping tempat tahanan itu. Wajah Amoi berseri kemerahan dan rambutnya kusut “Enci Acui, sekarang giliranmu. Biarlah aku menjaganya!” Acui tersenyum, memberikan pedangnya kepada Amoi dan dia sendiri lalu dirangkul oleh Marcus dan keduanya memasuki kamar sebelah. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Kun Liong. Cepat dia menyambar turun sebelum Amoi yang nampak kelelahan itu sempat menodongkan pedangnya kepada Hong Ing. Amoi terkejut mendengar suara angin bertiup dari atas. Dia membalik namun terlambat karena tubuh Kun Liong yang menukik turun sudah menyambar, sekali tangannya bergerak pedang itu telah terampas olehnya dan sebuah tamparan perlahan ke pundak Amoi membuat gadis ini menjerit dan terguling. Mendengar jeritan ini, Acui bertanya dari dalam kamar, “Amol, ada apakah?” “Enci Acui, tolong...!” Acui dan Marcus berloncatan kcluar dari kamar dalam keadaan setengah telanjang. Melihat betapa Kun Liong telah menyambar dan memondong tubuh Hong Ing, Acui cepat menubruk dan memukul. Akan tetapi sekali ini Kun Liong tidak menaruh sungkan atau kasihan lagi karena keadaan Hong Ing terancam. Dia mendahului gadis itu dengan sebuah tendangan yang mencium lutut kiri gadis ini sehingga Acui terkejut, berteriak dan terjungkal. Kun Liong tidak mempedulikan lagi, lebih-lebih karena Acui dan Amoi sudah mulai berteriak-teriak memanggil kawan-kawannya. Dia memondong tubuh Hong Ing dan meloncat melalui atas atap. Baru saja tubuhnya muncul ke atas genteng, dia telah disambut oleh lima orang gadis penjaga yang bersenjata tombak. Lima buah mata tombak menusuknya dari lima penjuru. Namun tubuh Kun Liong sudah mencelat ke atas, menukik cepat sekali ke kiri dan menyambar sebatang tombak sebelum pemiliknya sempat melihat jelas apa yang terjadi. “Krekkk!” Ujung tombak yang runcing dipatahkan oleh Kun Liong, kemudian dengan jurus Ilmu Tongkat Siang-liong-pang, akan tetapi hanya mainkan sebatang tongkat saja karena lengan kirinya mengempit tubuh Hong Ing, dia menyerang. Terdengar empat kali suara nyaring dan empat batang tombak pengeroyoknya patah semua. Kun Liong membuang tongkatnya dan meloncat turun, bukan ke atas tanah di bawah di mana telah menanti puluhan orang gadis bersenjata lengkap, melainkan meloncat ke sebuah pohon dan dari situ, menggunakan gin-kangnya yang bertambah karena penyedotan sin-kang dari Kim Seng Siocia tadi, dia meloncat lagi ke atas pohon di depan, kemudian menghilang ke dalam gelap. Sampai lama sekali Kun Liong melarikan diri dengan hati-hati karena malam itu gelap sekali dan hanya diterangi oleh bintang-bintang di langit. Dia menuruni puncak dengan hati-hati, kadang-kadang harus meraba-raba dulu dengan kakinya, sampai dia jauh meninggalkan istana Kim Seng Siocia. Akan tetapi dia maklum bahwa anak buah Kim Seng Siocia terus melakukan pengejaran, maka dia tidak mau berhenti berjalan dan mulai menuruni puncak dengan hati-hati. Di tengah jalan dia melepaskan ikatan kaki tangan Hong Ing dan tiba-tiba dara itu berkata, “Lepaskan aku! Aku bukan bayi yang harus dipondong. Aku bisa jalan sendiri!” Kun Liong terkejut dan heran. Susah payah dia menolong gadis ini, bahkan melalui pengalaman yang mengerikan ketika dia dihimpit oleh gumpalan daging menggunung, dan sekarang begitu bisa bicara, Hong Ing mengeluarkan kata-kata yang keras! Akan tetapi dia menurunkan gadis itu dan mereka lalu bergerak perlahan melanjutkan perjalanan mereka menjauhi istana Kim Seng Siocia. Makin bertambah keheranan hati Kun Liong ketika dia melihat betapa Hong Ing melakukan perjalanan dengan sikap diam, tak pernah bicara, dan kadang-kadang kalau dia dapat memandang wajah itu di bawah sinar bintang yang remang-remang, dia melihat wajah itu cemberut. Ingin sekali dia bertanya mengapa gadis itu menjadi tak senang hati, bahkan seperti orang marah, akan tetapi karena mereka sedang melarikan diri dari kejaran anak buah Kim Seng Siocia, dia pun tidak banyak bertanya. Ketika mereka dipaksa berhenti oleh keadaan jalan yang amat berbahaya, selain cuaca makin gelap karena halimun menutupi cahaya bintang yang hanya sedikit itu, dan banyak jurang melintang di depan menghadang perjalanan mereka, dan mereka telah berlindung di bawah sebuah bukit batu yang berlubang merupakan guha kecil dengan api unggun menghangatkan badan mereka, barulah Kun Liong bertanya. “Hong Ing, kenapa kau kelihatan seperti orang berduka dan tidak senang hati?” Sambil duduk membelakangi Kun Liong, kemudian malah merebahkan diri miring, Hong Ing menjawab dengan sikap acuh tak acuh dan suara yang datar, “Mengapa aku harus tidak senang hati? Aku telah ditolong, bukan? Tidak, aku tidak apa-apa, hanya ingin tidur karena lelah.” Jawaban ini tentu saja tidak memuaskan hati Kun Liong, akan tetapi dia pun mengeraskan hatinya. Kalau tidak mau mengaku, sudahlah, bukan urusannya. Maka dia pun menjawab datar, “Kalau begitu, kau tidurlah, biar aku yang menjaga di sini sampai pagi.” Mendongkol juga hati Kun Liong karena dara itu tidak menjawab, melainkan menggeser tubuhnya lebih dekat dengan api unggun agar hawa dingin tidak terlalu mengganggunya. Hemm, sikapnya begitu tidak acuh, begitu sombong! Sombongkah Hong Ing? Seingatnya tidak, tetapi mengapa sekarang...? Hemm, dan mengapa pula dia menjadi tidak enak hati, tidak senang melihat sikap dara itu tidak pedulian kepadanya? Kun Liong duduk termenung. Malam telah tua. Sunyi sekali sekeliling itu, sesunyi hati Kun Liong. Akan tetapi pikirannya mulal mengaduk kesunyian dan dia mengingat-ingat semua pengalaman yang telah dialaminya. Terutama sekali hal-hal yang baru saja terjadi, yang amat berkesan di hatinya. Kematian ayah bundanya yang telah impas karena lima orang datuk kaum sesat yang membunuh mereka itu telah terbunuh semua. Usul ikatan jodoh antara dia dan Cia Giok Keng yang tidak disetujui oleh dara itu. Kematian Souw Li Hwa dan Yuan yang amat mengharukan hatinya dan yang mulai merubah pandangannya tentang cinta kasih antara pria dan wanita. Kemudian pengalamannya bersama Lim Hwi Sian yang tak mungkin dapat dia lupakan selama hidupnya. Dan yang terakhir pengalaman mengerikan dengan Kim Seng Siocia sampai saat ini. Mengapa jalan hidupnya selalu melintasi persoalan cinta? Mengapa banyak benar gadis yang dijumpainya dan dikenalnya, dan yang menimbulkan rasa suka di hatinya? Akan tetapi, cintakah semua itu? Tidak, dia yakin itu bukan cinta seperti yang disebut-sebut orang! Dia suka kepada Yo Bi Kiok, kepada Souw Li Hwa, Cia Giok Keng, Lim Hwi Sian, Yuanita, karena mereka adalah dara-dara yang cantik jelita dan memiliki daya tarik masing-masing yang khas sehingga dia merasa suka dan tertarik. Akan tetapi itu bukan cinta! Bahkan apa yang dilakukannya bersama Hwi Sian malam itu, sama sekali bukan karena dorongan cinta bagi dia, melainkan karena rangsangan dan dorongan nafsu berahi. Entah bagi Hwi Sian. Cintakah itu? Dan apa yang dilakukan Kim Seng Siocia terhadapnya itu, jelas bukan cinta karena Kim Seng Siocia memaksanya menjadi suami dengan tujuan untuk mengajaknya membantu dalam usahanya membalas dendam kepada Cia Keng Hong. Dan bagaimana perasaannya terhadap Hong Ing? Dia menundukkan muka memandang tubuh yang meringkuk membelakanginya itu. Cintakah dia kepada Hong Ing? Ah, tentu saja tidak. Kalau kepada yang lain dia tidak pernah mencinta, mengapa kepada Hong Ing ada kecualinya? Dia hanya suka kepada Hong Ing, suka dan merasa kasihan mendengar riwayat dara yang terpaksa menjadi nikouw untuk menghindarkan diri dari pernikahan paksaan ini. Mengapa benar dia harus jatuh cinta kepada Hong Ing? Kemudian terbayanglah peristiwa di atas kapal yang terbakar. Terbayanglah dua orang mahluk muda yang dengan rela suka mati bersama. Yuan dan Li Hwa! Mereka saling berpelukan sampai pada saat terakhir, sampai kapal yang terbakar itu membawa mereka tenggelam. Itukah cinta? Agaknya itulah! Saling membela, siap untuk berkorban diri sampai mati! Itukah cinta? Kalau perlu membasmi siapa saja dengan kekerasan, membasmi mereka yang hendak menghalangi hasrat mereka untuk hidup bersama. Inikah cinta antara pria dan wanita? Membawa kekerasan, pertentangan, bahkan kematian yang begitu mengerikan? Agaknya itulah cinta yang disanjung-sanjung manusia, cinta antara pria dan wanita dan segala sesuatu yang tercakup di dalamnya. Cemburu, iri hati, nafsu berahi, kesenangan, kekecewaan, kepuasan, kemarahan, kedukaan dan kebencian. Semua ini tercakup di dalam perasaan yang disebut cinta! “Hemmm, kalau begitu aku tidak mau jatuh cinta!” Kun Liong mengepal tinjunya dan kembali pandang matanya menimpa punggung Hong Ing. Kalau bukan cinta, lalu apakah itu yang mendorong dia melakukan segala pengorbanan demi untuk menyelamatkan Hong Ing? Hanya karena kasihan begitu saja? Ataukah ada udang di balik batu, ada sesuatu di balik semua itu? Mengapa dia bersusah payah menyusul Hong Ing ke Go-bi-san sampai dia kesasar ke istana Kim Seng Siocia akan tetapi yang malah merupakan suatu kebetulan karena ternyata orang yang dicarinya, Pek Hong Ing, memang berada di situ? Bukankah itu cinta namanya? “Tidak! Aku tidak mau jatuh...!” Tiba-tiba dia menghentikan kata-katanya ini. Ternyata diluar kesadarannya, dia telah meneriakkan suara hatinya ini sehingga dia melihat Hong Ing bergerak, agaknya terbangun oleh kata-katanya tadi. Betapa tololnya dia! Dan dara ini kelihatan begini angkuh! Kalau dia memperlihatkan bahwa dia agaknya hampir jatuh cinta, tentu dara ini akan menjadi makin angkuh saja! Tidak, dia tidak akan merendahkan diri sedemikian rupa, hanya karena dia suka dan kasihan kepada dara in!” Karena merasa mengkal hatinya terhadap dirinya sendiri, Kun Liong melempar tubuhnya ke belakang, untuk rebah di dekat api unggun dan agar dia tidak dapat melihat lagi kepada Hong Ing. “Dukkk!” Hampir dia berteriak namun ditahannya, hanya jari-jari tangannya saja yang mengusap-usap kepala gundulnya yang tadi membentur batu ketika dia merebahkan diri terlentang. Kulit kepala itu berdenyut-denyut. Lumayan juga nyerinya! Kun Liong membuka matanya, akan tetapi cepat menutupkannya kembali dan melindungi mata dengan tangan kiri dari sinar matahari yang amat menyilaukan dan menggunakan tangan kanan untuk menggaruki kepalanya yang terasa gatal-gatal. Kiranya matahari telah naik tinggi dan sinar matahari yang tepat sekali menimpa kepalanya itu menggigiti kulit kepalanya dan menyilaukan matanya. Setelah dia bangkit duduk dan terbebas dari sinar matahari yang tadi langsung menimpanya, dia baru berani membuka mata dan melihat Hong Ing sudah duduk di depannya dengan muka segar dan mulut tersenyum! Manisnya! Sepagi itu telah kelihatan segar dan jelas sekali bahwa dara ini tentu telah mandi, entah di mana! “Tidurmu enak sekali, aku tidak tega membangunkanmu.” “Kau...” Kun Liong menahan kata-katanya dan menelan kembali pujiannya ketika teringat betapa semalam gadis ini kelihatan marah-marah dan kini dia tidak ingin melihat wajah yang berseri itu kembali marah, “kau... kelihatan segar sekali, Hong Ing.” Senyum itu melebar dan untuk kedua kalinya Kun Liong menjadi silau. Hanya bedanya, kalau yang pertama dia silau oleh sinar matahari yang menyakitkan mata, kini dia silau akan kemanisan wajah dengan deretan gigi seputih mutiara yang menyedapkan mata, membuat dia bengong sejenak dan baru sadar kembali ketika dara itu berkata dengan wajah berseri gembira. “Aku sudah mandi. Segar dan sejuk sekali, Kun Liong. Di sana...” Dia menuding ke timur, “hanya setengah li dari sini terdapat mata air yang jernih. Aku sudah mandi dan ketika kembali ke sini, aku menangkap seekor kelinci gemuk.” “Kelinci...?” Tiba-tiba cuping hidung Kun Liong bergerak-gerak seperti hidung kelinci karena dia mencium bau yang gurih dan sedap. “Mana kelincinya?” Melihat betapa lubang hidung pemuda itu presis hidung kelinci yang tadi ditangkapnya, Hong Ing terkekeh dan menutupi mulut dengan punggung tangan kirinya, gerakan kebebasan yang terselimut kesopanan tradisionil yang menjadi perpaduan harmonis sekali. Manis sekali. “Hi-hik, kelincinya sudah tidak ada lagi, yang ada hanya daging kelinci panggang...” “Sedaaap...!” Kun Liong memuji dan tiba-tiba perutnya terasa lapar sekali. “Mandi dulu, baru aku mau menghidangkan daging panggang. Hayo, pemalas benar kau!” Hong Ing mengebut-ngebutkan seranting daun-daun basah sehingga airnya bepercikan ke muka Kun Liong, sambil tertawa-tawa. Senang benar rasa hati Kun Liong pagi itu. Semua perasaan pahit di hatinya terusir pergi oleh senyum di bibir dan seri di wajah dara itu. Dia berloncatan sambil berteriak-teriak, “Ihhh... dingin... dingin!” Lalu dia lari menuju ke timur seperti yang tadi ditunjuk oleh Hong Ing. Benar saja, dia mendapatkan sebuah mata air yang mengeluarkan air jernih sekali dan di bawah sumber air itu air telah tergenang, merupakan sebuah kolam air penuh dengan air kebiruan saking jernihnya. Rumput-rumput yang tumbuh di pinggir kolam itu kacau-balau, meninggalkan bekas Hong Ing mandi tadi. Dengan hati penuh kegembiraan, kegembiraan luar biasa yang belum pernah terasa olehnya sepanjang ingatannya, Kun Liong lalu menanggalkan semua pakaiannya. Ketika hanya tinggal celana dalamnya yang tinggal menempel di tubuhnya, tiba-tiba dia berhenti dan bergidik karena teringatlah dia akan pengalamannya di dalam kamar tidur Kim Seng Siocia. Terbayanglah betapa dia menggigil penuh kengerian dan tiba-tiba dia tertawa dan membuka celana itu lalu melempar tubuhnya yang telanjang bulat ke dalam air. Daging kelinci panggang itu memang sedap sekali, gurih manis dan lunak, amat lezat terutama sekali bagi perut mereka yang lapar. Seolah-olah terasa oleh Kun Liong betapa sari makanan itu setelah memasuki perutnya memulihkan tenaganya yang diserap habis oleh kelelahan dan kelaparan. Setelah menyiram daging panggang dalam perut itu dengan air jernih sebagai minuman, Kun Liong mengelus perutnya, memandang kepada Hong Ing dan berkata, “Kau pandai benar memanggang daging kelinci. Selama hidupku baru sekali makan daging panggang begitu lezatnya!” “Kau masih ingin lagi? Nih, kau makan bagianku!” Hong Ing mengulurkan tangan yang memegang daging paha kelinci ke depan mulut Kun Liong. “Eih, mengapa engkau begini baik hati kepadaku, Hong Ing?” tanpa disengaja, tangan kanan Kun Liong menangkap lengan yang kecil itu dan sejenak mereka berpandangan. Hong Ing cepat menundukkan mukanya dan Kun Liong melepaskan pegangan tangannya, “Kaumakanlah sendiri, aku sudah kenyang! Ah, enak sekali masakanmu!” Sepasang pipi itu menjadi merah dan mata itu jernih sekali ketika diangkat memandang. Sejenak mereka saling pandang dan akhirnya Hong Ing menundukkan mukanya. Kun Liong terheran-heran. Mengapa pula ini? Hatinya menjadi berdebar dan terharu! Biasanya, melihat wajah cantik seorang dara, dia ingin mengusapnya, ingin mendekat, ingin memeluk menciumnya, ingin menggodanya. Akan tetapi mengapa sekarang lain lagi? Hatinya seperti tersentuh sesuatu yang halus yang membuat dia memandang Hong Ing dengan perasaan penuh hormat, penuh iba, penuh haru. Keadaan sunyi itu amat mengusik hati dan akhirnya Hong Ing tanpa mengangkat mukanya bertanya, “Bagaimana engkau dapat muncul begitu tiba-tiba di istana Kim Seng Siocia?” Lega hati Kun Liong mendengar suara ini. Inilah suara Hong Ing seperti biasanya, seperti sebelum peristiwa itu terjadi di istana, sebelum mereka saling berpisah dahulu itu dan suara ini mengusir semua suasana tegang dan aneh tadi. “Tadinya aku hendak menyusulmu. Hatiku merasa tidak enak ketika aku melihat engkau pergi bersama sucimu itu, aku lalu menuju ke Go-bi-san dan bertanya-tanya. Akan tetapi tidak ada penduduk dusun yang dapat memberi tahu di mana tempat tinggal Go-bi Sin-kouw. Akhirnya aku tiba di lereng puncak tempat tinggal Kim Seng Siocia tanpa kusengaja. Karena mengira bahwa itu adalah tempat tinggal gurumu, maka aku menyelundup masuk dan...” “Kau berteriak memanggil nama Subo (Ibu Guru). Hemm, mengapa kau jauh-jauh dan bersusah payah datang ke Go-bi-san untuk mencariku?” “Aku tidak rela melihat kau dipaksa orang untuk menikah dengan pangeran yang tidak kau suka. Aku kasihan melihat engkau yang sudah mengorbankan diri menjadi nikouw untuk menghindar dari paksaan itu, tidak berdaya dan terpaksa ikut dengan sucimu, seolah-olah engkau seekor domba yang dituntun ke tempat penjagalan. Karena itu maka aku segera mencarimu.” “Kau baik sekali, Kun Liong.” “Ah, tidak. Aku melakukan itu bukan karena ingin baik, melainkan karena aku kasihan kepadamu, penasaran melihat urusanmu. Tidak kusengaja.” Keduanya terdiam sampai agak lama. “Dan demi keselamatanku, kau mengorbankan dirimu, kau membiarkan dirimu ditawan oleh Kim Seng Siocia,” kata pula Hong Ing tanpa mengangkat muka dan jari-jari tangan yang kecil putih halus itu memainkan ujung rumput di depan kakinya. “Tentu saja, Hong Ing! Masa setelah jauh-jauh mencarimu dan bertemu di situ, aku bisa membiarkan saja engkau dibunuhnya? Aku tidak berdaya, jalan satu-satunya hanya menyerah.” “Dan kau membiarkan dirimu menjadi... suaminya?” “Hemm, permintaannya yang gila!” Kun Liong kembali bergidik terbayang akan pengalamannya di kamar itu. “Akan tetapi, melihat betapa ancamannya untuk membunuhmu amat bersungguh-sungguh, terpaksa pula aku menyerah. Keselamatanmu lebih penting pada waktu itu...” Tiba-tiba Hong Ing mengangkat mukanya dan terkejutlah hati Kun Liong ketika dia melihat sepasang mata itu bersinar-sinar penuh kemarahan! “Jadi kauanggap bahwa nyawaku lebih penting daripada kehormatanmu?” “Kehormatan? Apa maksudmu?” “Kau menyerahkan diri sebagai suami paksaan, bukankah itu berarti menginjak-injak kehormatan sendiri?” Kun Liong menjadi bengong dan sejenak hanya dapat memandang dara itu. “Begitu rendahkah kau? Mau saja menuruti nafsu menjijikkan seorang wanita gila seperti dia?” Kun Liong menggeleng kepala. “Jangan salah mengerti, Hong Ing. Aku tidak berdaya, kita tidak berdaya. Itu hanya satu-satunya jalan, bukan berarti bahwa aku menyerah betul-betul. Buktinya, akhirnya aku berhasil membebaskan diri dan membebaskan kau.” “Aku tidak minta kaubebaskan! Aku tidak minta kau merendahkan diri seperti itu hanya untuk menolongku! Atau kau memang senang melayaninya agaknya!” “Apa maksudmu?” “Kau memang mempunyai watak mata keranjang, maka penawaran Kim Seng Siocia itu malah menyenangkan hatimu.” “Aihh, bukan begitu!” Kun Liong mengerutkan alisnya dan menggelengkan kepalanya yang gundul. “Dia... dia... ihhh, menjijikkan dan mengerikan.” “Bagaimana kau dapat membebaskan diri? Dengan bujuk rayu?” Kun Liong menggaruk-garuk kepalanya. Bagaimana dia harus menceritakan pengalamannya itu? Masih terasa betapa separuh mukanya basah oleh ciuman mulut lebar yang rakus itu! “Aku... aku memang pura-pura menyerah, kemudian... ketika dia lengah... aku... eh, aku berhasil membuatnya tidak berdaya. Aku lalu lari dari kamarnya dan mencarimu. Untung belum terlambat... dan hatiku girang sekali melihat engkau selamat, Hong Ing.” Sepasang mata yang tadinya bersinar-sinar penuh kemarahan itu kini berubah menjadi sayu, agak terpejam memandang Kun Liong, kemudian kepala itu menunduk dan terdengar suaranya lirih, “Aku... aku selalu menyusahkanmu... telah berkali-kali engkau menolong dan menyelamatkan aku, Kun Liong. Kenapa?” Hong Ing mengangkat mukanya dengan tiba-tiba dan sepasang mata itu kini begitu tajam pandangnya, tajam penuh selidik seolah-olah hendak menjenguk isi hatinya. “Kenapa? Tentu saja aku menolongmu Hong Ing, menolong sedapatku dan hal itu sudah lumrah, bukan? Siapa pun tentu akan menolong setiap orang yang menderita dan terancam bahaya.” “Jadi bukan karena aku...” “Maksudmu?” Muka yang cantik itu kembali menunduk dan terdengar helaan napas panjang-panjang sebelum Hong Ing bersuara lagi, “Jadi bagimu, siapa saja yang terancam bahaya, tentu akan kautolong?” “Tentu saja, sedapat mungkin. Mengapa kau bertanya demikian?” Hong Ing kembah mengangkat wajahnya dan kini wajah itu kelihatan lesu, seperti orang kecewa. Kun Liong menjadi bingung dan terheran-heran. “Tidak apa-apa, aku hanya bertanya... dan kau memang seorang pendekar budiman. Hal ini seharusnya kuketahui sejak dahulu.” “Aihh, jangan memuji, Hong Ing. Aku hanya orang biasa saja.” “Mungkin ilmu kepandaianmu tidak terlalu tinggi, akan tetapi keberanianmu menolong orang lain amat besar.” “Sudahlah, Hong Ing. Kepalaku bisa menjadi lebih besar lagi kalau kau melanjutkan pujian kosong itu. Lebih baik kauceritakan bagaimana kau yang dibawa oleh sucimu itu bisa menjadi orang tawanan Kim Seng Siocia.” Hong Ing menghela napas lagi dan kini alisnya berkerut tanda bahwa hatinya benar-benar merasa tertekan dan berduka. Teringat akan sucinya, dia melupakan keadaan dirinya sendiri. Urusan sucinya sebenarnya merupakan urusan yang memalukan sekali dan seyogianya dirahasiakan dari siapapun juga. Akan tetapi entah mengapa, terhadap Kun Liong, semenjak pertemuan pertama, dia tidak bisa menyimpan rahasia, seolah-olah Kun Liong adalah seorang yang sudah dipercayanya benar-benar, seorang yang lebih dari sahabat biasa, lebih dari saudara! “Suci... dia... dia seperti juga engkau, demi menolongku dia rela mengorbankan dirinya menjadi isteri manusia iblis Ouwyang Bow...” “Hah...??” Berita ini benar-benar mengejutkan hati Kun Liong. Lauw Kim In, dara yang manis dan dingin itu, menjadi isteri seorang manusia seganas Ouwyang Bouw yang berotak miring? “Bagaimana... bagaimana hal itu bisa terjadi?” Hong Ing lalu menceritakan kesemuanya. Mula-mula dia menceritakan tentang sucinya yang patah hati karena tunangannya menyeleweng, berjina dengan isteri muda Thian-ong Lo?mo sehingga tunangan itu terbunuh oleh kakek ini. Hal itulat yang membuat sucinya menjadi dingin dan membenci atau memandang rendah pria. Kemudian diceritakannya betapa mereka berdua bertemu dengan Ouwyang Bouw yang amat lihai sehingga mereka berdua tertawan. Barulah mereka dibebaskan setelah sucinya menerima pinangan Ouwyang Bouw yang tergila?gila kepadanya. “Aku tahu mengapa suci mengorbankan diri sedemikian rupa. Bukan semata?mata untuk menyelamatkan aku, juga untuk kepentingannya sendiri. Dia akan dapat mewarisi ilmu?ilmu tinggi dari Ouwyang Bouw sehingga terbuka kemungkinan baginya untuk membalas dendam, di samping menyelamatkan dirinya sendiri yang tentu akan ternoda dan mungkin tewas apabila menolak pinangan itu. Kasihan sekali Suci...” Kun Liong menghela napas panjang. “Seorang yang keadaan hidupnya sendiri amat sengsara namun melupakan keadaan sendiri dan mengingat serta menaruh kasihan kepada orang lain merupakan ciri seorang yang mempunyai hati mulia penuh welas asih. Aku kagum kepadamu, Hong Ing.” “Tidak perlu kau memuji, Kun Liong.” jawab Hong Ing cepat?cepat sambil menekan debar jantungnya yang menjadi gembira mendengar pujian itu. “Memang aku sudah melupakan diriku sendiri. Apa sih yang kuharapkan lagi?” “Aahh, mengapa dilanda putus asa selagi hidup? Teruskan ceritamu, bagaimana kau sampai terjatuh ke tangan Kim Seng Siocia yang gila itu.” “Aku tersesat jalan karena mengambil jalan lain agar jangan sampai ketahuan oleh guruku. Tanpa kusengaja aku memasuki daerah kekuasaan Kim Seng Siocia dan aku ditawan. Kemudian wanita gila itu menyuruh aku bekerja di sana, yaitu berdoa untuknya, berdoa agar dia cepat membalas dendamnya kepada Pendekar Sakti Cia Keng Hong.” “Hemmm...” “Tentu saja aku tidak berdoa apa?apa untuknya, akan tetapi aku pun tidak berani membantah karena hal itu berarti kematian. Dia amat lihai... dan untung sekali kau dapat lolos, Kun Liong. Aku masih heran bagaimana kau dapat lolos dari orang selihal itu. Tentu kau menggunakan akal bujuk rayu, bukan?” Kun Liong menggelengkan kepalanya yang gundul. Dia tahu bahwa dara ini mengira bahwa ilmu kepandaiannya “biasa” saja dan dia pun tidak ingin membuka rahasianya. “Memang aku telah menggunakan akal menyerah karena tidak berdaya, akan tetapi aku tidak biasa membujuk rayu siapapun juga, apalagi orang seperti dia. Aku berhasil membuatnya tidak berdaya. Eh, soal itu tidak penting, Hong Ing. Sekarang bagaimana? Hari telah terang, mari kita lekas melanjutkan perjalanan. Tentu Kim Seng Siocia akan melakukan pengejaran dan belum lagi bahayanya kalau sampai subomu ikut pula mencari.” Pucat wajah Hong Ing dan dia meloncat berdiri. Mendengar tentang subonya, dia menjadi takut sekali. “Aihh, sampai lupa aku keenakan bicara di sini. Mari kita pergi cepat, kita masih berada di wilayah Go?bi?san.” “Sebaiknya kita pergi ke timur. Di tempat ramai seperti di timur, di mana banyak terdapat kota?kota besar, tentu lebih mudah bagi kita untuk melarikan diri.” Hong Ing mengangguk. “Dan di sana banyak terdapat kuil?kuil Kwan?im?bio yang besar di mana aku dapat minta tolong dan bersembunyi.” Berangkatlah dua orang ini dengan tergesa-gesa, melanjutkan pelarian mereka menuju ke timur. Berhari-hari mereka melakukan perjalanan cepat, keluar masuk hutan di Pegunungan Go-bi-san, kemudian melintasi padang pasir. Mereka melakukan perjalanan dengan cepat, hanya berhenti kalau mau makan atau tidur saja dan beberapa hari kemudian mereka telah keluar dari daerah Go-bi-san dan tiba di tepi Sungai Huang-ho. Biarpun air Sungai Huang-ho tidak dapat dikatakan jernih, namun setelah melakukan perjalanan berhari-hari melintasi padang pasir yang panas, kedua orang itu dengan girang dan lega menuruni tepi sungai dan menggunakan air sungai itu untuk membasahi muka, leher, kedua tangan dan kaki mereka. “Tangkap mereka!” Kun Liong dan Hong Ing yang sedang bergembira karena bertemu dengan air yang dingin sejuk sehingga melupakan segala urusan mereka, terkejut bukan main dan keduanya cepat melompat ke darat. Dapat dibayangkan betapa kaget hati Hong Ing ketika melihat subonya, Go-bi Sin-kouw bersama Pangeran Han Wi Ong dengan sepasukan tentara yang jumlahnya ada lima puluhan orang! “Nona Pek Hong Ing, mengapa engkau menjadi begini...? Dan dengan mati-matian kami telah mencarimu...” Pangeran itu berkata dengan nada suara berduka sekali ketika melihat dara yang dicintanya itu telah menjadi seorang nikouw seperti itu. “Pangeran Han Wi Ong, pinni sudah menjadi seorang nikouw, perlu apa dicari lagi?” Hong Ing berkata. “Hong Ing, murid durhaka!” Tiba-tiba Go-bi Sin-kouw membentak dan mendengar bentakan gurunya ini, Hong Ing yang sejak kecil diasuh dan dididik nenek itu cepat menjatuhkan diri berlutut dan menangis terisak-isak. Kun Liong memandang penuh perhatian. Harus diakuinya bahwa Pangeran Han Wi Ong, sungguhpun sudah berusia empat puluh tahun, namun masih tampak muda dan tampan gagah, sesungguhnya tidak mengecewakan menjadi suami Hong Ing, apalagi mengingat bahwa Pangeran itu memiliki kedudukan tinggi. Dicinta oleh seorang seperti itu dan menjadi isterinya, sebetulnya merupakan nasib baik bagi diri Hong Ing. Adapun nenek itu mendatangkan rasa gentar juga di hati Kun Liong. Nenek itu usianya tentu sudah enam puluhan tahun, punggungnya bungkuk, pakaiannya serba hitam, rambutnya digelung ke atas dan muka penuh keriput itu membayangkan kehidupan yang sengsara dan membuat wajah itu nampak bengis. Tangan kiri nenek itu memegang sebatang tongkat butut berwarna hitam pula. Kelihatannya saja seorang nenek yang ringkih dan lemah, akan tetapi Kun Liong dapat menduga bahwa nenek ini tentulah memiliki kepandaian tinggi, maka dia bersikap waspada. Dia dan Hong Ing selain berhadapan dengan nenek dan Pangeran itu, juga telah dikurung rapat oleh lima puluh orang tentara anak buah pasukan yang mengawal Pangeran Han Wi Ong. “Subo...” Hong Ing berkata. “Hong Ing, di mana sucimu?” “Dia telah ikut dengan Ouwyang Bouw, Subo...” dengan suara berat Hong Ing menceritakan perihal sucinya. Sepasang mata nenek itu, yang sipit sekali mengeluarkan sinar kemarahan, mulutnya cemberut dan mukanya menjadi makin bengis. “Setan! Semua gara-gara engkau yang murtad! Dan siapa laki-laki gundul ini?” “Dia... dia sahabat teecu (murid), dia telah menolong teecu berkali-kali dari bahaya kematian...” “Bohong! Dia tentu yang membujukmu melarikan diri dan menjadi nikouw. Hong Ing, sekarang juga engkau harus ikut denganku, membatalkan keadaanmu sebagai nikouw dan siap menghadapi pemikahanmu dengan Pangeran Han Wi Ong!” “Subo...” “Diam! Kau mau melawan gurumu?” Hong Ing hanya menangis. Melihat ini, Kun Liong melangkah maju dan berkata dengan suara nyaring. “Apakah saya berhadapan dengan Go-bi Sin-kouw?” Nenek itu mendengus. “Mau apa kau? Karena kau telah berani membujuk muridku, kau harus mampus!” “Nanti dulu, Go-bi Sin-kouw. Mampus ya mampus, akan tetapi ingatlah bahwa perbuatanmu ini sungguh amat tidak patut! Memaksa murid sendiri untuk melakukan pernikahan yang tidak disukainya. Memaksa murid sendiri yang sudah menjadi nikouw untuk menikah. Mana ada guru ingin melihat murid sendiri menderita sengsara?” “Heii, kau! Siapa kau berani mencampuri urusan kami?” Tiba-tiba Pangeran Han Wi Ong melangkah maju. “Tidak tahukah kau dengan siapa kau berhadapan? Aku Pangeran Han Wi Ong, putera Kaisar! Tahu engkau? Apakah kau hendak menjadi pemberontak yang dapat dihukum mati? Kau pergilah dan jangan mencampuri urusan Nona Pek Hong Ing dengan kami, maka aku masih akan mengampunimu. Kalau tidak, kau kuanggap pemberontak dan akan kutangkap.” Mendongkol juga hati Kun Liong. Dia dianggap begitu pengecut untuk mudah ditakut-takuti dan disuruh meninggalkan Hong Ing yang dihadapi orang-orang seperti harimau kelaparan itu! “Maaf, Pangeran. Sebagai seorang berkedudukan tinggi dan terpelajar, tentu Pangeran juga maklum betapa tidak baiknya memaksa seorang gadis seperti Nona Pek Hong Ing yang sudah menjadi nikouw untuk menikah. Betapa rendahnya perbuatan seperti itu.” “Keparat! Pemberontak laknat! Hayo tangkap dia!” Pangeran itu memerintahkan anak buahnya dan pasukan yang sudah siap itu lalu maju mengurung Kun Liong yang sudah bersiap pula untuk membela diri. “Tahan dulu senjata!” Bentakan ini demikian nyaring dan mengandung khi-kang amat kuat sehingga mengejutkan semua orang, bahkan pasukan yang sudah siap menyerbu dan mengeroyok Kun Liong menjadi ragu-ragu. Mereka membuka pengurungan dan membiarkan wanita gemuk yang baru berteriak tadi memasuki lapangan itu dan berhadapan dengan Go-bi Sin-kouw dan Pangeran Han Wi Ong. Kun Liong dan Hong Ing menjadi makin kaget. Celaka sekali! Kim Seng Siocia sudah muncul pula dan mereka maklum bahwa di belakang wanita gendut ini tentu terdapat pula banyak anak buahnya. Dugaan mereka benar karena kini bermunculan puluhan orang wanita anak buah Kim Seng Siocia, mereka sudah siap dengan senjata lengkap pula. Pasukan pemerintah pengawal Pangeran Han Wi Ong menjadi bingung melihat “pasukan” wanita yang cantik-cantik itu! “Go-bi Sin-kouw, engkau orang tua harap tidak bertindak sembarangan!” Kim Seng Siocia menegur sambil memandang nenek itu. Go-bi Sin-kouw mendengus marah. “Siapa engkau?” bentaknya. “Aku? Aku adalah Kim Seng Siocia, pewaris dari Go-bi Thai-houw.” Tentu saja Go-bi Sin-kouw terkejut mendengar nama ini dan dia memandang dengan penuh perhatian dan juga keheranan. Perempuan gendut ini pewaris Go-bi Thai-houw, yang kabarnya amat lihai itu? Betapapun juga, dia tidak berani sembarangan dan balas menegur “Mengapa kau menuduh aku bertindak sembarangan?” “Mengapa kau hendak membunuh orang ini?” Kim Seng Siocia menudingkan telunjuknya yang besar ke arah Kun Liong. “Hemm, dia telah membujuk muridku melarikan diri. Karena itu, dia harus mainpus!” “Enak saja bicara! Apakah muridmu dia itu?” Dia menuding ke arah Hong Ing. “Benar.” “Kalau begitu, kau ngawur! Laki-laki ini adalah suamiku dan dia lari karena terbujuk oleh Pek Hong Ing muridmu itu. Jadi sebetulnya, Pek Hong Ing itulah yang harus kubunuh dan aku datang untuk mengambil pulang suamiku.” Go-bi Sin-kouw makin bingung. Dia hendak mendapatkan kembali muridnya, memaksanya menjadi isteri Pangeran Han Wi Ong yang merupakan jalan baginya untuk memperoleh kemuliaan, dan membunuh pemuda gundul yang hanya menjadi penghalang itu. Sekarang Kim Seng Siocia muncul dengan niat yang berlawanan. Yaitu mengambil kembali pemuda gundul itu dan membunuh Pek Hong Ing! “Mau membunuh muridku? Akan kulihat dulu sampai di mana kemampuan!” Go-bi Sin-kouw membentak dan tongkatnya sudah meluncur ke depan merupakan sinar hitam yang berkelebat cepat sekali. “Wuuuutttt... taarrr!” Tongkat itu tertangkis oleh cambuk di tangan Kim Seng Siocia dan kedua orang itu mencelat mundur dengan kaget, maklum akan kehebatan tenaga lawan masing-masing. Mereka saling pandang dan sudah siap untuk bertanding mati-matian memperebutkan kebenaran. “Harap. Ji-wi (Anda Berdua) bersabar dulu!” Tiba-tiba Han Wi Ong berkata dengan suara penuh wibawa. Dua orang wanita itu melangkah mundur dan memandang kepada Han Wi Ong, Betapapun juga, laki-laki ini adalah seorang pangeran, baru pakaiannya saja sudah menimbulkan segan di hati orang. “Mengapa Ji-wi harus saling serang? Ada jalan yang amat mudah dan baik. Nona ini datang untuk minta kembali suaminya, pemuda gundul itu, dan Sin-kouw juga menuntut agar muridnya, Nona Pek Hong Ing kembali bersama dia. Nah, ada urusan apa lagi? Biarlah pemuda gundul itu pergi bersama Kim Seng Siocia, sebaliknya Nona Pek Hong Ing ikut bersama gurunya, bukankah beres sudah dan tidak perlu timbul pertandingan yang tiada gunanya?” Kim Seng Siocia dan Go-bi Sin-kouw saling pandang kemudian keduanya mengangguk-angguk. Memang tidak ada perlunya mereka harus bertanding, pula memang di dalam hati masing-masing telah timbul perasaan jerih. Go-bi Sin-kouw maklum akan kelihaian wanita gendut itu, dan sebaliknya, Kim Seng Siocia juga maklum bahwa agaknya Go-bi Sin-kouw dibantu oleh Pangeran dan tentara kerajaan sehingga amatlah berbahaya kalau sampai dia bentrok dengan mereka. “Hi-hi-hik, memang tepat sekali! Go-bi Sin-kouw, kita adalah tetangga, perlu apa mesti saling bermusuhan? Aku tidak membutuhkan muridmu, hanya menginginkan kembalinya suamiku.” Kun Liong dan Hong Ing menjadi makin kaget. Celaka sekali! Kim Seng Siocia sudah muncul pula dan mereka maklum bahwa di belakang wanita gendut ini tentu terdapat pula banyak anak buahnya. Dugaan mereka benar karena kini bermunculan puluhan orang wanita anak buah Kim Seng Siocia, mereka sudah siap dengan senjata lengkap pula. Pasukan pemerintah pengawal Pangeran Han Wi Ong menjadi bingung melihat “pasukan” wanita yang cantik-cantik itu! “Go-bi Sin-kouw, engkau orang tua harap tidak bertindak sembarangan!” Kim Seng Siocia menegur sambil memandang nenek itu. Go-bi Sin-kouw mendengus marah. “Siapa engkau?” bentaknya. “Aku? Aku adalah Kim Seng Siocia, pewaris dari Go-bi Thai-houw.” Tentu saja Go-bi Sin-kouw terkejut mendengar nama ini dan dia memandang dengan penuh perhatian dan juga keheranan. Perempuan gendut ini pewaris Go-bi Thai-houw, yang kabarnya amat lihai itu? Betapapun juga, dia tidak berani sembarangan dan balas menegur “Mengapa kau menuduh aku bertindak sembarangan?” “Mengapa kau hendak membunuh orang ini?” Kim Seng Siocia menudingkan telunjuknya yang besar ke arah Kun Liong. “Hemm, dia telah membujuk muridku melarikan diri. Karena itu, dia harus mainpus!” “Enak saja bicara! Apakah muridmu dia itu?” Dia menuding ke arah Hong Ing. “Benar.” “Kalau begitu, kau ngawur! Laki-laki ini adalah suamiku dan dia lari karena terbujuk oleh Pek Hong Ing muridmu itu. Jadi sebetulnya, Pek Hong Ing itulah yang harus kubunuh dan aku datang untuk mengambil pulang suamiku.” Go-bi Sin-kouw makin bingung. Dia hendak mendapatkan kembali muridnya, memaksanya menjadi isteri Pangeran Han Wi Ong yang merupakan jalan baginya untuk memperoleh kemuliaan, dan membunuh pemuda gundul yang hanya menjadi penghalang itu. Sekarang Kim Seng Siocia muncul dengan niat yang berlawanan. Yaitu mengambil kembali pemuda gundul itu dan membunuh Pek Hong Ing! “Mau membunuh muridku? Akan kulihat dulu sampai di mana kemampuan!” Go-bi Sin-kouw membentak dan tongkatnya sudah meluncur ke depan merupakan sinar hitam yang berkelebat cepat sekali. “Wuuuutttt... taarrr!” Tongkat itu tertangkis oleh cambuk di tangan Kim Seng Siocia dan kedua orang itu mencelat mundur dengan kaget, maklum akan kehebatan tenaga lawan masing-masing. Mereka saling pandang dan sudah siap untuk bertanding mati-matian memperebutkan kebenaran. “Harap. Ji-wi (Anda Berdua) bersabar dulu!” Tiba-tiba Han Wi Ong berkata dengan suara penuh wibawa. Dua orang wanita itu melangkah mundur dan memandang kepada Han Wi Ong, Betapapun juga, laki-laki ini adalah seorang pangeran, baru pakaiannya saja sudah menimbulkan segan di hati orang. “Mengapa Ji-wi harus saling serang? Ada jalan yang amat mudah dan baik. Nona ini datang untuk minta kembali suaminya, pemuda gundul itu, dan Sin-kouw juga menuntut agar muridnya, Nona Pek Hong Ing kembali bersama dia. Nah, ada urusan apa lagi? Biarlah pemuda gundul itu pergi bersama Kim Seng Siocia, sebaliknya Nona Pek Hong Ing ikut bersama gurunya, bukankah beres sudah dan tidak perlu timbul pertandingan yang tiada gunanya?” Kim Seng Siocia dan Go-bi Sin-kouw saling pandang kemudian keduanya mengangguk-angguk. Memang tidak ada perlunya mereka harus bertanding, pula memang di dalam hati masing-masing telah timbul perasaan jerih. Go-bi Sin-kouw maklum akan kelihaian wanita gendut itu, dan sebaliknya, Kim Seng Siocia juga maklum bahwa agaknya Go-bi Sin-kouw dibantu oleh Pangeran dan tentara kerajaan sehingga amatlah berbahaya kalau sampai dia bentrok dengan mereka. “Hi-hi-hik, memang tepat sekali! Go-bi Sin-kouw, kita adalah tetangga, perlu apa mesti saling bermusuhan? Aku tidak membutuhkan muridmu, hanya menginginkan kembalinya suamiku.” Hong Ing terbelalak. Hampir dia tidak dapat percaya. Yang dilihatnya tadi terlalu aneh. Gurunya dan Kim Seng Siocia, kedua orang yang sakti itu, terguling oleh gempuran Kun Liong hanya dalam segebrakan saja? “Hong Ing, kau larilah...!” Kun Liong cepat berkata, sambil menyambar lengan dara itu dan ditariknya Hong Ing yang tadi berlutut itu sehingga berdiri. Hong Ing masih bengong memandang kepadanya, lalu dara itu menggeleng kepala. “Aku pergi dan kau...?” “Wuuutt... tar-tarr...!” Kun Liong mendorong tubuh Hong Ing sehingga dara ini terguling, sedangkan dia sendiri cepat meloncat ke samping menghindarkan diri dari sambaran cambuk di tangan Kim Seng Siocia. Namun ujung cambuk itu terus membalik dan mengejarnya ke manapun juga dia bergerak. Kun Liong menjadi repot juga dan tiba-tiba dia mengelak sambil melempar tubuh ke atas tanah ketika cambuk itu kembali menyambar. Sambil berguling dia genggam tanah bercampur pasir di tangannya, kemudian terus bergulingan mendekati Kim Seng Siocia. Ketika dia melirik dan melihat Go-bi Sin-kouw kembali sudah menghampiri Hong Ing yang kelihatan gentar dan tidak berani melawan, tiba-tiba Kun Liong memekik keras sekali, mengejutkan hati semua orang, kedua tangannya bergerak ketika tubuhnya mencelat ke atas dan... batu bercampur pasir meluncur ke arah Kim Seng Siocia dan Go-bi Sin-kouw! “Hayaaa...!” Kim Seng Siocia berseru dan cepat memutar cambuk memukul sinar itu. Juga Go-bi Sin-kouw terkejut menarik kembali tangannya yang tadi hendak memegang lengan muridnya dan dia dapat meloncat dan berjungkir balik menghindarkan diri dari sambaran sinar kehitaman itu. Mereka telah dapat menghindarkan diri dari sambaran tanah, akan tetapi debu masih mengebul, membuat mereka cepat mundur karena mengira babwa Kun Liong telah melepaskan benda mengandung racun. Kesempatan ini dipergunakan oleh Kun Liong untuk mendekati Hong Ing dan dia berbisik, “Pergilah. Aku dapat melawan mereka.” “Mana mungkin?” Hong Ing berbisik dengan wajah penuh putus asa, “Kita sudah terkepung oleh tentara dan anak buah Kim Seng Siocia...” “Pakai akal! Menyelinap di antara pasukan... yang lihai hanya mereka berdua...” “Siuuuttt... tar-tar-tar...!” Kun Liong terkejut karena dia sedang mendorong tubuh Hong Ing ke arah pasukan tentara yang mengepung sehingga kurang cepat dia mengelak dan sambaran ke tiga dari cambuk itu telah mengenai pundaknya. Bajunya di bagian pundak itu robek dan sedikit kulit pundaknya tergigit robek oleh piauw yang diikat di ujung cambuk sehingga berdarah. “Wirrr...!” Tongkat di tangan Go-bi Sin-kouw menyambar dan Kun Liong cepat meloncat ke kanan, mengelak. Di lain saat dia telah dikeroyok oleh dua orang wanita lihai itu sehingga dia harus berloncatan ke sana-sini untuk menyelamatkan diri. Akan tetapi hatinya lega karena Hong Ing telah menurut permintaannya. Dara itu telah lenyap dan menyelinap di antara pasukan sehingga terjadilah kekacauan di antara pasukan yang berusaha menangkap dara itu. Namun bagi Hong Ing, mereka itu adalah makanan lunak sehingga dia dapat bergerak leluasa meloncat ke sana-sini dan keributan yang terjadi di sekelilingnya membuat gurunya dan juga Kim Seng Siocia tidak mungkin menghampirinya, apalagi karena dua orang wanita lihai itu sedang sibuk mengeroyok Kun Liong yang terlalu gesit bagi mereka. Pangeran Han Wi Ong yang khawatir kehilangan calon isterinya yang dicintainya, cepat lari dan mengejar Hong Ing sambil mengerahkan para pengawalnya dan berkali-kali dia berteriak agar anak buahnya jangan melukai dara itu. Sementara itu, anak buah Kim Seng Siocia yang dipimpin oleh Acui dan Amoi, juga Marcus, sudah mengurung tempat itu dan melihat betapa Kim Seng Siocia sudah bertanding melawan Kun Liong, tanpa diperintah lagi mercka sudah maju, terutama sekali Acui dan Amoi yang merupakan bantuan berharga bagi Kim Seng Siocia. Kun Liong merasa sibuk bukan main, menghadapi cambuk Kim Seng Siocia dan Go-bi Sin-kouw saja dia sudah merasa terancam, apalagi kini muncul Acui dan Amoi, sedangkan puluhan orang dara anak buah Kim Seng Siocia sudah mengepung dengan senjata di tangan. Kalau saja Kun Liong tidak berpendirian bahwa dia tidak akan melukai apalagi membunuh orang, kiranya dia akan dapat lolos dengan mudah sambil merobohkan beberapa orang di antara pengeroyok-pengeroyoknya. Akan tetapi karena dia hanya membela diri dan menyelamatkan diri, maka dia menjadi repot sekali dan beberapa kali dia sudah terkena gebukan tongkat Go-bi Sin-kouw yang membuat nenek itu berteriak kaget dan terbelalak karena setiap gebukannya tidak membuat pemuda gundul itu roboh, bahkan telapak tangannya sendiri terasa nyeri! Kadang-kadang Kun Liong menoleh ke arah Hong Ing yang tadi menyelinap di antara pasukan pemerintah. Ketika melihat betapa di situ masih kacau tanda bahwa Hong Ing masih berada di antara pasukan pemerintah dan dikeroyok oleh pasukan, Kun Liong menjadi makin khawatir. Mengapa dara itu tidak lekas-lekas melarikan diri? Dia tidak mempedulikan keadaannya sendiri karena dia akan dapat dengah mudah membebaskan diri, akan tetapi dia amat khawatir kalau-kalau Hong Ing tertawan lagi dan dia amat sukar menyelamatkannya, mengingat betapa banyaknya lawan yang dihadapinya. Maka dia lalu mengambil keputusan untuk mengeluarkan kepandaian dan membuat lawan tidak berdaya lebih dulu agar dia dapat melarikan Hong Ing. Ketika cambuk yang amat berbahaya dari Kim Seng Siocia menyambar lagi, disusul oleh hantaman tongkat oleh Go-bi Sin-kouw dan serangan kilat dengan pedang yang dilakukan oleh Acui dan Amoi, Kun Liong cepat menendang tongkat nenek itu dengan pengerahan tenaganya setelah berhasil mengelak dari sambaran cambuk, memukul jatuh pedang di tangan Acui dan menangkap pergelangan tangan Amoi yang memegang pedang. “Lepaskan!” Amoi membentak dan menghantamkan tangan kirinya ke arah leher Kun Liong. “Plak! Plak! Aihhh, lepaskan aku...!” Amoi menjerit-jerit ketika telapak tangan kirinya yang tepat menghantam leher itu melekat tak dapat ditarik kembali, bahkan kini lengan kiri Kun Liong sudah merangkul pinggangnya yang ramping dengan ketat dan gadis itu merasa betapa tenaga sin-kangnya menerobos keluar dihisap oleh tenaga mujijat yang keluar dari leher dan lengan pemuda itu. Melihat keadaan Amoi, Acui cepat maju dan memukul punggung Kun Liong. “Bukk! Aihhh...!” Juga Acui menjerit-jerit dan meronta-ronta untuk membebaskan tangannya yang menempel di punggung Kun Liong. Namun, karena dia telah menjadi korban penghisapan Thi-khi-i-beng, makin hebat dia meronta, makin kuat dia mengerahkan sin-kang, makin kuat pula telapak tangannya melekat dan sin-kangnya terbetot dan terhisap makin banyak pula. Dua orang gadis itu menjerit-jerit dan mereka berdua meronta-ronta, berusaha memukul, menendang, bahkan menggigiti Kun Liong merasa kegelian juga sehingga beberapa kali dia melepaskan sin-kangnya dan akhirnya dua orang gadis itu kelihatan seperti sedang membelainya, yang seorang merangkul lehernya dari belakang dan yang ke dua memeluk pinggang dari depan. Melihat ini, Go-bi Sin-kouw lalu maju dan memegang lengan Amoi, menariknya dengan pengerahan sin-kang untuk membantu gadis itu terlepas. Biarpun dia tidak mengenal Amoi dan tidak peduli akan apa yang menimpa diri gadis ini, namun dia tahu bahwa kedua orang gadis itu adalah anak buah Kim Seng Siocia dan yang telah membantunya menghadapi pemuda gundul lihai itu, maka dianggapnya sebagai kawan juga, maka dia mencoba untuk menolongnya agar pihaknya kuat lagi. Akan tetapi dia pun terpekik penuh kekagetan ketika merasa betapa tangannya yang memegang lengan Amoi itu melekat dan ada daya sedot luar biasa yang menghisap tenaga sin-kangnya melalui lengan gadis yang dipegangnya itu! Dia berteriak dan mengerahkan sin-kangnya membetot, namun dapat dibayangkan betapa heran dan kagetnya ketika sin-kang yang dikerahkannya itu seolah-olah membanjir memasuki lengan Amoi yang dipegangnya! Memang hebat bukan main Thi-khi-i-beng. Sekali dikerahkan, daya sedotnya sedemikian kuatnya sehingga dapat menembus tubuh orang lain seolah-olah aliran listrik! Maka terjadilah hal yang amat lucu. Betot-membetot ini tidak hanya terjadi antara tiga orang itu, melainkan makin bertambah ketika anak buah Kim Seng Siocia ikut pula mengeroyok Kun Liong untuk membantu kedua orang pelayan kepala yang melekat kepada pemuda gundul itu. Namun, setiap orang gadis sekali bergerak memegang tubuh Acui, Amoi, Go-bi Sin-kouw atau tubuh Kun Liong sendiri, kontan melekat dan terhisap sin-kangnya! Hal ini malah membuat Kun Liong menjadi payah! Terlalu banyak tenaga sin-kang yang membanjiri tubuhnya. Biarpun dia sudah dapat menguasai Thi-khi-i-beng dan dapat menghentikan daya hisap itu sewaktu-waktu yang dikehendakinya, namun karena dia masih belum berpengalaman dalam menguasai ilmu mujijat ini, sekarang kebanjiran tenaga membuat dia seperti mabok, merasa tubuhnya seperti sebuah balon karet yang terus ditiup sampai sebesar-besarnya, merasa seolah-olah tubuhnya akan pecah meledak setiap saat, pemuda itu pun hanya dapat mengeluh, “Lepaskan aku..., lepaskan aku... jangan pegang...!” dan dia pun roboh telentang dan tujuh orang wanita yang melekat kepadanya itu ikut pula terbawa, roboh menindih tubuhnya! Memang lucu pemandangan ini, seolah-olah tujuh orang wanita, yang seorang nenek-nenek, sedang mengeroyok dan menggulat Kun Liong! Kim Seng Siocia sudah mengerti apa yang terjadi. “Celaka, kalian menjadi korban Thi-khi-i-beng!” teriaknya dan dia memutar-mutar cambuknya akan tetapi tidak berani sembarangan mempergunakannya karena tubuh Kun Liong seolah-olah terlindung oleh tubuh tujuh orang itu. Lebih sulit lagi, kini Acui dan Amoi yang merasa betapa hawa sin-kang mereka tersedot oleh Kun Liong dan betapa tubuh mereka menindih, merasakan kemesraan aneh seolah-olah mereka akan dibawa mati bersama-sama pemuda itu dan keduanya kini tidak mengeluh lagi, melainkan merintih perlahan dan menciumi muka pemuda gundul itu dengan mesra! Hal ini membuat Kun Liong makin gelagapan lagi, maka dia lalu mengerahkan seluruh tenaga dari pusarnya, mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menarik kembali tenaga hisap. Hal ini amat sukar dilakukan karena tubuhnya seperti membengkak, membuat dia sukar bergerak. Namun akhirnya dia berhasil. Dia tidak ingin membunuh tujuh orang wanita itu dan dia maklum bahwa kalau dia tidak cepat-cepat dapat menarik kembali daya hisap dari Thi-khi-i-beng, tentu mereka akan mati dalam keadaan lemas kehabisan tenaga. “Aughhh...!” Berturut-turut tujuh orang wanita itu mengeluh ketika tiba-tiba daya hisap itu lenyap dan mereka dapat melepaskan diri dari pemuda itu. Go-bi Sin-kouw meloncat ke belakang dan terhuyung-huyung, mukanya pucat dan tangannya yang memegang tongkat menggigil, matanya memandang terbelalak penuh kengerian kepada Kun Liong dan bibirnya yang kebiruan itu berkata perlahan, “Thi-khi-i-beng...!” “Tar-tar-tar...!” Kini ujung cambuk di tangan Kim Seng Siocia meledak-ledak di atas tubuh Kun Liong. Pemuda ini terkejut sekali dan menggulingkan tubuhnya ke kanan kiri untuk menghindar dari sambaran ujung cambuk itu. “Hi-hi-hik! Aku tahu bahwa engkau telah menggunakan Thi-khi-i-beng semalam, akan tetapi aku sudah siap untuk ilmu itu! Cambukku inilah yang akan melumpuhkan Ilmu Thi-khi-i-beng dan akan mencabut nyawamu!” Kun Liong merasa betapa tubuhnya digigit ujung cambuk yang dipasangi piauw tajam meruncing itu. Dia tahu pula bahwa ujung piauw itu beracun, akan tetapi untuk ini dia tidak khawatir karena tubuhnya sudah kebal akan racun. Akan tetapi rasa nyeri membuat dia harus melanjutkan satu-satunya jalan untuk membela diri, yaitu bergulingan di atas tanah. Gerakannya gesit sekali akan tetapi celakanya tubuh yang penuh hawa sin-kang kelebihan itu sukar sekali dikendalikan sehingga gerakannya bergulingan menjadi kacau, kadang-kadang terlampau cepat sampai dia menjadi pening sendiri! “Tahan senjata! Bebaskan dia, kalau tidak, aku akan membunuh pangeran ini” Kim Seng Siocia menengok, demikian pula Go-bi Sin-kouw dan yang lain-lain. Ternyata yang berseru itu adalah Pek Hong Ing dan dara ini telah merampas sebatang pedang lawan dan kini dia telah menempelkan pedangnya di leher Pangeran Han Wi Ong, sedangkan tangan kirinya mencengkeram tengkuk pangeran itu. Wajah Pangeran Han Wi Ong menjadi pucat dan dia berkata dengan suara parau, “Lepaskan dia... lepaskan...!” Kim Seng Siocia memandang ragu. Bagaimana dia mau melepaskan Kun Liong yang amat dibutuhkan itu hanya untuk menolong pangeran itu? Cambuknya sudah meledak-ledak lagi, akan tetapi Go-bi Sin-kouw dan para pasukan pemerintah sudah bergerak maju menghadangnya dengan sikap bermusuh! “Kim Seng Siocia, yang terpenting adalah keselamatan Pangeran!” bentak Go-bi Sin-kouw garang. Biarpun nenek ini masih belum pulih, tubuhnya terasa lemah kepalanya pening karena terlampau banyak sin-kangnya terhisap oleh Kun Liong, namun dia siap untuk menyerang wanita gemuk itu demi keselamatan pangeran yang amat diharapkannya akan mengangkat tinggi derajatnya itu. Selagi Kim Seng Siocia meragu, tiba-tiba tampak tubuh Kun Liong yang rebah di atas tanah itu mencelat tinggi sekali ke atas, seperti sebatang anak panah dan pemuda itu sendiri berseru kaget. Betapa dia tidak akan kaget karena ketika melihat kesempatan baik ini, dia bermaksud mencelat ke tempat Hong Ing menawan Sang Pangeran, akan tetapi dia lupa bahwa tubuhnya berada dalam keadaan yang tidak sewajarnya, maka begitu dia mengerahkan tenaganya meloncat, tubuhnya itu bukan melayang ke arah Hong Ing, melainkan mencelat ke atas seperti dilontarkan. Maka dia memekik kaget, akan tetapi tentu saja mereka yang menonton dari bawah, termasuk Kim Seng Siocia, tidak tahu bahwa teriakannya itu karena kaget. Mereka semua memandang dengan mata terbelalak penuh kagum dan gentar karena belum pernah mereka selama hidup mereka menyaksikan ada orang dapat meloncat seperti itu! Kun Liong dapat menguasai tubuhnya, tidak sampai melayang turun seperti sebuah batu, melainkan dapat mengatur keseimbangan tubuhnya dan membiarkan tubuhnya melayang turun ke dekat Hong Ing. Dara ini memandang kepadanya dengan mata penuh kekaguman pula. Tadi Hong Ing telah menyaksikan semua dan dia seperti dalam mimpi. Sama sekali tidak pernah diduganya bahwa pemuda gundul itu ternyata memiliki ilmu kepandaian sehebat itu! Bukan saja lebih lihai dari gurunya sendiri, juga lebih lihai dari Kim Seng Siocia dan bahkan dia merasa yakin bahwa kalau pemuda itu menghendaki biarpun dikeroyok oleh semua orang itu tidak akan kalah! “Hong Ing, terima kasih atas pertolonganmu.” Hong Ing merasa jantungnya seperti ditusuk. Bukan main pemuda ini! Sudah jelas pemuda ini yang berusaha menolongnya mati-matian, sekarang untuk bantuannya menawan Pangeran Han Wi Ong, bantuan yang tidak banyak artinya ini, Kun Liong serta merta menghaturkan terima kasih! “Sekarang bagaimana, Kun Liong?” Dia bertanya sambil menempelkan pedang di leher Pangeran Liong, tentu saja dia tidak berani lagi memimpin dan membiarkan Kun Liong yang mengambil keputusan. “Mari kita lari dari tempat ini.” “Tapi... kita harus membawa pangeran ini sebagai sandera...” “Jangan, Hong Ing. Kasihan dia. Sudah luput mendapatkan dirimu, masih dijadikan sandera lagi. Sekarang pun kita sudah terlalu banyak membuat dosa terhadap pemerintah. Marilah!” Dia menggandeng tangan Hong Ing, kemudian meloncat dan dara itu menjerit penuh kengerian. Siapa yang tidak merasa ngeri kalau melihat betapa tubuhnya tiba-tiba mencelat ke atas seperti diterbangkan seekor burung saja? Kun Liong sendiri terkejut. Dia lupa lagi! Akan tetapi dia tidak menjadi gugup, sambil memeluk pinggang Hong Ing dia mengatur tubuhnya sehingga mereka dapat meluncur turun jauh dari situ lalu keduanya melarikan diri secepatnya. Suara derap kaki banyak orang di belakang membuat mereka mengerti bahwa mereka berdua dikejar! Maka keduanya harus berlari. Kun Liong mengerahkan gin-kangnya dan karena Hong Ing kalah jauh, maka dara ini yang sudah mengerahkan gin-kangnya masih saja terseret dan seolah-olah kedua kakinya tidak menyentuh bumi karena dia seperti bergantung kepada lengan Kun Liong. Beberapa hari kemudian Kun Liong dan Hong Ing tiba di luar tembok kota Guan-tin, tidak jauh dari kota raja, di sebelah barat kota raja. Mereka telah melarikan diri hampir dua pekan lamanya dan merasa lega bahwa mereka telah berhasil meninggalkan para pengejar mereka. Memang mereka telah berhasil menghindarkan diri dari kejaran pasukan pengawal Pangeran Han Wi Ong dan anak buah Kim Seng Slocia. Hal ini terutama sekali karena pengejaran pasukan itu mengalami kelambatan dengan adanya kerja sama dengan anak buah dari Go-bi-san yang sebagian besar terdiri dari wanita-wanita muda yang cantik-cantik dan genit itu. Tidak dapat dicegah pula terjadinya permainan di antara mereka, yaitu antara para gadis anak buah Kim Seng Siocia dan para anggauta pasukan pengawal pangeran! Melihat hal ini, baik Kim Seng Siocia maupun Pangeran Han Wi Ong tidak dapat mencegah dan membiarkannya saja, bahkan peristiwa itu menambah erat perhubungan di antara mereka. Pangeran Han Wi Ong menghendaki bantuan wanita gemuk yang lihai ini dan sebaliknya, Kim Seng Siocia tentu saja merasa senang dapat bekerja sama dengan seorang pangeran yang mempunyai kedudukan tinggi di istana kaisar. Akan tetapi Pangeran Han Wi Ong tentu saja tidak menghentikan usahanya melakukan pengejaran. Biarpun dia sendiri tidak melakukan pengejaran, namun dia tidak pernah dapat melupakan Hong Ing dan karenanya, selain minta kepada Go-bi Sin-kouw dan Kim Seng Siocia untuk terus mengejar, juga dia telah mengirim utusan-utusan berkuda ke kota raja dan di sepanjang jalan para utusan itu menyebar berita bahwa dua orang yang bernama Yap Kun Liong dan Pek Hong Ing menjadi orang buruan pemerintah! Bahkan pangeran yang pandai melukis ini telah melukiskan wajah kedua orang itu, dan tentu saja baik Kun Liong maupun Hong Ing dilukis sebagai seorang pemuda dan seorang gadis yang gundul kepalanya. Kun Liong dan Hong Ing berjalan perlahan menuruni lereng pegunungan terakhir dari mana sudah tampak kota Guan-tin. Tiba-tiba mereka mendengar derap kuda dan keduanya cepat menyelinap dan bersembunyi. Serombongan tentara berkuda melewat cepat dan setelah rombongan tujuh orang itu pergi jauh menuju ke kota Guan-tin, barulah mereka keluar dari balik semak-semak. “Ahh, betapa tidak enaknya hidup dikejar-kejar seperti ini...” Hong Ing mengeluh. “Seperti binatang buruan saja, atau... aku merasa seperti menjadi seorang penjahat besar yang takut melihat alat pemerintah!” “Kita harus bersikap hati-hati. Belum tentu mereka itu mengejar kita. Sabarlah, Hong Ing. Setelah kita masuk kota di depan itu, dan di sana terdapat sebuah kuil Kwan-im-bio, engkau tentu akan memperoleh tempat yang aman dan tenteram.” Keduanya berjalan lagi dan sampai lama tidak mengeluarkan suara, namun kata-kata terakhir yang keluar dari mulut Kun Liong itulah yang membuat mereka berdua diam dengan alis berkerut dan wajah keruh tanpa mereka sendiri sadari. Akhirnya Kun Liong menarik napas panjang seolah-olah menghibur diri sendiri dan terdengar dia berkata dengan suara datar, “Engkau memang memerlukan tempat yang tenang di mana engkau dapat hidup tanpa gangguan lagi. Subomu juga pangeran itu, tentu takkan tinggal diam dan akan terus mencarimu. Memang tidak enak hidup menjadi orang yang dikejar-kejar.” “Dan engkau...?” Hong Ing bertanya, menghentikan langkahnya dan memandang pemuda itu. Kun Liong juga menghentikan langkahnya, menoleh. Mereka saling berpandangan. “Aku? Aku kenapa?” “Engkau akan menjadi orang buruan, akan dikejar terus.” Kun Liong tersenyum. “Jangan khawatir, Hong Ing. Pangeran itu tidak membutuhkan aku, sedangkan kalau Kim Seng Siocia mengejarku, hemm... lain kali aku akan memberi pengajaran kepadanya agar tidak dilanjutkan cara hidupnya yang busuk itu.” “Kun Liong, karena aku berkali-kali engkau mengalami kesengsaraan dan terancam bahaya.” “Ah, jangan berkata demikian. Dalam keadaan seperti kita sekarang ini, kita berdua sama saja entah aku yang menyeretmu ataukah engkau yang menyeretku. Betapapun juga, kita berdua masih dapat mengatasinya dan masih selamat sampai saat ini. Mari kita melanjutkan perjalanan kita. Mudah-mudahan sampai di kota depan itu saja.” Dan tiba-tiba wajah Kun Liong menjadi muram lagi. Kini dia merasa heran sekali dan tiba-tiba dia sadar bahwa dia sama sekali tidak menghendaki perjalanan bersama Hong Ing ini berakhir! Dia menginginkan agar mereka berdua terus melakukan perjalanan bersama. Biarpun menjadi orang-orang buronan, atau orang buruan, betapapun sengsaranya, kalau mereka berdua berdampingan, agaknya dia tidak akan merasa sengsara! Membayangkan betapa dia akan berpisah, meninggalkan Hong Ing di dalam kuil Kwan-im-bio dan dia seorang diri melanjutkan perjalanan, benar-benar amat memberatkan hatinya. Ada apakah dengan perasaan hatinya? Dia mengerling ke kiri dan melihat betapa wajah yang cantik itu pun muram seperti orang bersusah hati. Tentu saja, pikirnya. Betapa tidak akan susah hati dara ini yang dikejar-kejar oleh gurunya sendiri? Bagi Hong Ing, hidupnya sudah tidak ada harapan lagi. Tadinya hanya ada dua orang yang penting baginya, yaitu sucinya dan subonya. Kini subonya seperti memusuhinya, dan sucinya telah pergi jauh entah ke mana. Tentu saja Hong Ing bersusah hati, dan kesusahan hati dara itu sama sekali berbeda dengan kesusahan hatinya. Jauh sekali bedanya. Tentu saja Hong Ing tidak pernah menyusahkan perpisahan mereka. Kun Liong memaki diri sendiri. Seorang dara seperti Hong Ing, cantik jelita tanpa cacat, seorang dara yang menolak pinangan seorang pangeran yang tampan dan gagah serta berkedudukan tinggi seperti Pangeran Han Wi Ong, seorang dara berwatak bersih seperti Hong Ing yang rela menjadi seorang nikouw daripada dipaksa menjadi isteri pangeran, sungguh tak mungkin sama sekali ingin berdampingan dengan orang macam dia! Seorang pemuda yang menderita penyakit kepala gundul, bodoh, miskin sehingga sebuah rambut pun tidak punya, tidak mempunyai harapan untuk masa depan, siapa sudi kepadanya? “Tolol!” Kun Liong memaki diri sendiri. Mengapa dia menjadi makin berduka mengenangkan semua ini? Biasanya, dia tidak begini. Biasanya dia tidak menyusahkan sesuatu, tidak memikirkan kemiskinan dan kebodohannya. Untung mereka telah tiba di kota Guan-tin. Keramaian kota menghibur dan membuat Kun Liong 1upa akah kedukaannya. “Mari kita mencari warung nasi, perutku lapar sekali dan aku masih mempunyai bekal uang,” kata Kun Liong. “Setelah makan, baru kita mencari Kuil Kwan-im-bio. Kota ini cukup ramai, kurasa tentu ada Kwan-im-bio di sini.” Hong Ing hahya mengangguk dan mereka mencari-cari sebuah warung nasi. Dari jauh sudah kelihatan sebuah warung nasi yang cukup ramai dan ke sanalah mereka menuju. Akan tetapi tiba-tiba Hong Ing menuding ke kiri. Kun Liong menoleh dan tertarik melihat sekelompok orang berkumpul di situ memandangi sesuatu yang ditempelkan di dinding. “Apakah itu? Mari kita menengok sebentar,” Kun Liong berkata. Keduanya lalu menghampiri dan begitu melihat, mereka menjadi terkejut sekali. Kiranya yang menempel di atas dinding adalah gambar mereka berdua! Di atas gambar itu tertulis nama mereka yang disebut sebagai orang pelarian dan penjahat besar! “Heiii, inilah mereka...!” Tiba-tiba seorang di antara mereka yang memandangi gambar itu berteriak. Kun Liong mendongkol sekali. Orang itu bermata juling. Mengapa justeru orang yang matanya juling malah yang pertama-tama mempergoki mereka? Karena maklum bahwa tentu akan terjadi keributan dan mercka tentu akan dikeroyok, Kun Liong cepat memegang tangan Hong Ing dan ditariknya dara itu untuk melarikan diri meninggalkan kota Guan-tin. “Kejar...!” “Tangkap...!” Orang-orang yang mengharapkan hadiah dari pembesar setempat itu segera melakukan pengejaran, namun tentu saja tidak ada yang mampu menyusul larinya kedua orang yang memiliki kepandaian tinggi itu. Setelah jauh meninggalkan kota itu dan tidak ada lagi yang mengejar, barulah Kun Liong dan Hong Ing berhenti di tepi jalan yang sunyi. “Gila benar pangeran itu,” Kun Liong bersungut-sungut. “Kiranya rombongan tentara berkuda itu adalah utusannya untuk menyebar gambar kita. Dengan begini kita secara resmi telah menjadi pemberontak dan orang buruan pemerintah. Amat berbahaya memasuki kota-kota besar, terutama kota raja!” “Habis bagaimana kita dapat mencari sebuah kuil Kwan-im-bio?” Hong Ing bertanya. “Tak mungkin mencari di kota. Andaikata bisa mendapatkan di kota, kiranya ketua kuil tidak akan berani menerimamu, Hong Ing. Tidak ada jalan lain, kita harus mencari sebuah kuil yang berada jauh dari kota ramai. Akan tetapi di mana ada kuil seperti itu, aku sendiri tidak tahu. Biarlah kita mencari perlahan-lahan, akhirnya kita tentu akan mendapatkannya juga.” Hong Ing menarik napas panjang. “Sudahlah, Kun Liong. Mengapa kau repot-repot karena aku? Kaulanjutkanlah perjalananmu, biar aku sendiri yang akan mencari kuil...” “Hemmm, ke mana kau hendak mencari? Di mana-mana tertempel gambarmu...” “Dan juga gambarmu. Karena itu, sebaiknya kalau kau meninggalkan aku sehingga andaikata tertangkap, hanya aku yang tertangkap, akan tetapi engkau tidak.” “Hong Ing, kaukira aku orang macam apa?” “Engkau adalah seorang yang berilmu tinggi, Kun Liong. Maafkan aku, baru sekarang aku mengetahui. Sungguh aku bodoh sekali. Kiranya engkau amat lihai, bahkan memiliki Thi-khi-i-beng!” “Bukan begitu maksudku. Kaukira aku orang yang begitu pengecut untuk meninggalkan engkau begitu saja? Tidak, sebelum engkau mendapatkan tempat yang baik, sebelum aku yakin benar bahwa engkau telah aman, aku tidak akan meninggalkan kau.” Hong Ing menunduk. “Sudah terlalu banyak aku menyusahkanmu, Kun Liong. Engkau membikin aku tidak enak hati saja. Sudah cukup aku berhutang budi kepadamu, biarlah aku mencari sendiri kuil Kwan-im-bio.” Kun Liong memandang dengan sinar mata tajam, akan tetapi gadis itu tetap menunduk. “Hong Ing, ingin benarkah kau kutinggalkan? Apakah aku sudah terlalu memuakkan hatimu?” Hong Ing mengangkat mukanya, muka yang berubah pucat dan kepalanya digelengkan cepat-cepat. “Bukan begitu, Kun Liong...” “Kalau tidak begitu, sudahlah. Hal itu tidak perlu kita persoalkan lagi. Mari kita melanjutkan perjalanan. Kita harus berhati-hati, tidak boleh melalui jalan besar, tidak boleh memasuki kota dan terutama sekali jangan mendekati kota raja.” “Habis, ke mana kita harus pergi?” “Ketika aku membantu Cia Keng Hong Supek...” “Aihh, jadi pendekar sakti itu supekmu? Kau tidak pernah menceritakan riwayatmu kepadaku. Pantas saja engkau lihai bukan main. Aku seperti buta...” “Hushhh, jangan terlalu memuji. Biar lain kali aku menceritakan riwayatku yang tidak lebih baik daripada riwayatmu, Hong Ing. Ketika aku membantu Supek menyelidiki tentang bokor pusaka yang diperebutKan, aku lewat pantai Teluk Pohai dan di tempat sunyi itu, dalam sebuah hutan, aku melihat sebuah kuil tua Kwan-im-bio. Marilah kita pergi ke sana, Hong Ing.” Akan tetapi wajah nikouw muda itu tidak membayangkan kegembiraan hati mendengar ini, bahkan dia hanya berkata lesu. “Terserah kepadamu, Kun Liong. Marilah!” Maka berangkatlah kedua orang itu melanjutkan perjalanan menuju ke pantai Teluk Pohai. Mereka memilih jalan yang sunyi, bahkan kadang-kadang terpaksa bersembunyi di siang hari kalau melalui jalan yang ramai dan melanjutkan perjalanan di waktu malam. Perjalanan itu menjadi lama dan sukar sekali namun anehnya bagi kedua orang muda itu, keanehan yang tidak terasa lagi oleh mereka bahwa perjalanan yang jauh, lama, sukar, dan berbahaya itu sama sekali tidak terasa berat oleh mereka! Ada pula keanehan pada sikap Kun Liong dan hal ini pun sama sekali tidak dirasakan dan diketahui oleh pemuda itu sendiri, yaitu bahwa terhadap Hong Ing dia tidak pernah memperlihatkan sikapnya seperti yang sudah-sudah kalau menghadapi wanita. Dia tidak pernah menggoda! Bahkan sebaliknya, dia bersikap sopan dan bersungguh-sungguh. Dengan wajah berseri-seri Giok Keng berlari memasuki hutan itu. Hatinya riang gembira biarpun kadang-kadang alisnya berkerut kalau dia teringat akan ayahnya. Kun Liong telah dengan suka rela membatalkan ikatan jodoh itu! Betapa baiknya pemuda gundul itu! Dan betapa tampan dan gagahnya Liong Bu Kong! Dia harus cepat pulang dan harus berterus terang. Jantungnya berdebar penuh rasa takut kalau dia membayangkan bagaimana ayahnya tentu akan marah sekali. Tidak, dia tidak akan bicara dengan ayahnya. Dia akan memberi tahu kepada ibunya bahwa dia tidek mencinta Kun Liong dan bahwa dia hanya mau menikah dengan pemuda yang menjadi pilihan hatinya, yaitu Liong Bu Kong! Membayangkan wajah pemuda itu yang tampan dan gagah, pemuda yang tidak mentah seperti Kun Liong, melainkan seorang laki-laki yang bersikap jantan, yang jelas menunjukkan cintanya dengan membiarkan dirinya diserang, menghadapi kematian di tangannya dengan senyum di bibir, jantungnya berdebar penuh kemesraan. Tetapi, ayah dan ibunya tentu akan menolak pemuda itu. Putera Kwi-eng Niocu, datuk golongan hitam! Giok Keng menahan langkah kakinya dan mengerutkan alisnya. Tidak, biar ibunya jahat, belum tentu puteranya jahat. Buktinya, Liong Bu Kong amat baik! “Nona Cia tunggu...” Giok Keng cepat menoleh dan jantungnya berdenyut keras. Tentu saja dia segera dapat mengenal bentuk tubuh tinggi tegap itu. Orang yang selama ini dibayangkannya. Liong Bu Kong! Pemuda itu dengan berlari cepat seperti terbang menghampiri dan segera menjura di depan Giok Keng. “Aihh, susah payah aku mencarimu, Nona, mengapa kau meninggalkan aku sebelum kita bicara?” Giok Keng memandang wajah yang kusut itu, dan memandang pundak yang terluka. Saputangannya masih membalut pundak itu. “Kau... bagaimana lukamu...?” tanyanya dengan suara gemetar. Bu Kong melirik ke arah pundaknya. “Ah, urusan kecil. Aku sudah lupa sama sekali akan pundakku sungguhpun saputangan itu selalu menjadi pelipur laraku. Aku lupa makan, lupa tidur dan lupa segala, Nona, bingung mengejar dan mencari-carimu. Sungguh aku berterima kasih kepada Thian bahwa aku dituntun memasuki hutan ini dan dapat berjumpa denganmu.” Jantung Giok Keng makin berdebar kencang dan mukanya menjadi merah sekali. Sejenak dia menundukkan muka, lalu memaksa diri mengangkat muka memandang. Mereka saling berpandangan dan seolah-olah ada getaran luar biasa lewat mata itu memasuki dada Giok Keng, membuat dara itu menggigil dan memaksa mulutnya bertanya, “Mengapa kau mencari aku? Ada urusan apa?” Tiba-tiba Liong Bu Kong menjatuhkan dirinya berlutut. Melihat ini, Giok Keng lalu membalikkan tubuh, membelakangi pemuda yang berlutut itu sambil berkata lagi. “Bicaralah! Tidak perlu berlutut!” “Kau berjanjilah takkan marah kepadaku, Nona. Baru aku mau berdiri!” kata Bu Kong yang masih terus berlutut. “Hemm, baiklah. Berdirilah, aku tidak mau bicara kalau kau berlutut seperti itu.” Bu Kong bangkit berdiri dan meloncat ke depan dara itu sambil menjura, “Terima kasih. Aku tahu di dunia ini tidak ada seorang pun wanita yang sehebat dan semulia hatinya seperti engkau, Nona. Ketika kau pergi meninggalkan aku dan mengatakan bahwa engkau telah bertunangan dengan orang lain, hampir aku membunuh diri. Akan tetapi aku tidak puas sebelum bertemu denganmu. Aku minta kepadamu, Nona. Aku cinta padamu dengan seluruh jiwa ragaku, semenjak kita saling bertemu di Cin-ling-san dahulu itu. Dan aku yakin... maafkan aku, aku yakin bahwa nona pun setidaknya merasa kasihan kepadaku. Karena itu, sebelum aku mengambil keputusan membunuh diri... aku mohon kepadamu, Nona, jangan bersikap kepalang tanggung. Aku cinta kepadamu dan... kasihanilah aku, Nona. Melihat sikap Nona kemarin... aku percaya bahwa hati Nona masih bebas, sungguhpun nona telah ditunangkan dengan orang lain. Kasihanilah aku dan sudikah engkau membalas cintaku yang murni...?” Muka Giok Keng menjadi makin merah. Dia adalah seorang dara yang selamanya belum pernah mengenal cinta seorang pria, apalagi mendengar bujuk rayu yang demikian indah. Dia merasa seolah-olah dirinya diangkat sampai ke angkasa! “Tapi... tapi aku sudah bertunangan...” dia berusaha menjawab. “Nona Cia Giok Keng... pertunangan bisa saja dibatalkan... ah, mengapa engkau akan menyiksa diri dengan berjodoh dengan seorang laki-laki yang tidak kaucinta? Engkau akan hidup merana dan aku akan membunuh diri sekarang juga di depan kakimu...” Bu Kong mencabut pedangnya. “Jangan...!” Giok Keng berteriak kaget dan merampas pedang itu, melempar pedang itu dengan sikap jijik ke atas tanah. Bu Kong kini memegang kedua tangan Giok Keng. Dara ini membuang muka dan menahan keluarnya air matanya, namun tetap saja ada dua butir air mata bertitik turun. “Giok Keng... Moi-moi... engkau kasihanilah aku. Marilah kita hidup berdua, penuh bahagia... aku cinta padamu dan aku bersumpah bahwa sampai mati aku akan tetap cinta padamu...” “Tapi... tapi...” “Aku siap berkorban nyawa demi cintaku, Moi-moi...” Giok Keng menarik kedua tangannya dan memandang tajam, “Benarkah?” “Tentu saja! Bukankah aku telah suka mati daripada gagal menghadapi cintaku kepadamu.” “Bukan itu maksudku, akan tetapi... ah, bagaimana aku berani menghadapi ayahku?” Giok Keng memandang wajah pemuda itu, memandang tajam seperti hendak menjenguk isi hatinya, kemudian berkata, “Liong Bu Kong, benarkah engkau cinta padaku?” Dara yang memiliki keberanian luar biasa itu kini sudah dapat menguasai ketegangan hatinya dan bertanya dengan sejujurnya. “Tentu saja, aku bersumpah...!” “Aku tidak membutuhkan sumpah. Aku membutuhkan bukti dan kenyataan. Kalau engkau benar mencinta, tentu kau akan berani membelaku sampai mati. Beranikah kau?” Giok Keng teringat akan cerita tentang Souw Li Hwa dan Yuan de Gama, yang dipuji-puji oleh ayahnya, teringat akan cinta kasih di antara mereka yang begitu mendalam sehingga keduanya rela menghadapi maut sambil saling berpelukan di atas kapal yang terbakar dan hampir tenggelam! Cerita ini berkesan dalam sekali di hatinya, membuatnya romantis dan dia ingin melihat bahwa cinta kasih di hati pemuda ini terhadapnya tidak kalah besarnya! “Tentu saja aku berani, Moi-moi!” jawab Liong Bu Kong dengen wajah berseri karena merasa bahwa dara ini agaknya akan suka membalas cintanya. “Nah, kalau begitu mari kau ikut bersamaku menghadap kepada ayah ibuku dan kau menceritakan kepada mereka terus terang tentang cintamu dan tentang pembatalan ikatan jodohku dengan tunanganku.” Wajah yang berseri itu menjadi pucat. Bu Kong menjilat-jilat bibirnya yang mendadak menjadi kering itu. “Wah, ini... ini... mana aku berani?” Giok Keng melompat mundur dan sikapnya menjadi marah sekali. “Huh! Dan kaulbilang mencintaku, berani membelaku sampai mati? Baru sebegitu saja sudah takut dan mundur!” Bu Kong meloncat mendekati. “Aku berani! Maafkan, Moi-moi, aku tadi meragu bukan karena takut mati, melainkan aku merasa ragu-ragu untuk bersikap seperti itu dan membikin marah serta duka hati ayah bundamu. Tentu saja, sebagai ayah bundamu, mereka itu kujunjung tinggi dan kuhormati seperti orang tua sendiri. Baiklah, aku menerima permintaanmu ini!” Giok Keng tersenyum manis sekali, matanya mengerling tajam dan hatinya penuh kegembiraan. Biarpun dia dan Bu Kong akan dibunuh ayahnya, dia rela karena bukankah ini membuktikan bahwa cinta kasih mereka amat murni dan besar, tidak kalah besar oleh cinta kasih yang dibuktikan oleh Souw Li Hwa dan Yuan de Gama yang amat dikagumi ayah bundanya itu? “Kalau begitu, aku baru percaya. Marilah kita berangkat sekarang juga ke Cin-ling-san... Koko...!” Hampir saja Bu Kong bersorak girang mendengar dara yang membuatnya tergila-gila itu menyebutnya koko (kakanda), maka dia lalu merangkul dan mencium bibir dara itu dengan mulutnya. Giok Keng terkejut, hampir menjerit sehingga mulutnya setengah terbuka, lalu dia memejamkan matanya dan sejenak dia menyerah sepenuh hatinya. Akan tetapi tidak lama dia tenggelam dalam nikmat berahi ini, dia sudah meronta dan melepaskan diri dari pagutan ketat pemuda itu, melepaskan diri dari peluk cium yang membuatnya hampir pingsan karena nikmat. Dengan dada turun naik, terengah-engah, wajah sebentar pucat sebentar merah, tubuh terasa panas dingin, dara itu yang sudah melompat mundur memandang kekasihnya. “Moi-moi... maafkan aku... aku...” Bu Kong berkata dengan suara terputus-putus karena dia khawatir sekali bahwa perbuatannya yang terdorong kegembiraan hati itu akan membikin marah dara yang dicintanya. Giok Keng menggelengkan kepalanya dan berkata halus, “Aku tidak marah, Koko, hanya... kuminta dengan sangat, janganlah engkau menyentuhku lagi... kita harus dapat menjaga diri, menekan hati, kelak kalau aku sudah menjadi milikmu secara resmi, sudah menikah...” Giok Keng menunduk dan tersenyum malu-malu. Bu Kong hampir saja tidak kuat lagi untuk tidak memeluk tubuh itu sekuatnya dan menciumi bibir itu. Akan tetapi dia maklum bahwa perbuatannya itu tentu akan menimbulkan kemarahan kekasihnya, maka dia melangkah maju dan hanya memegang tangan Giok Keng. Sepuluh jari tangan yang semua mengeluarkan getaran dari lubuk hati masing-masing itu saling mencengkeram dan saling membelai. Tidak ada kata-kata keluar dari mulut mereka sampai beberapa lama, karena getaran jari-jari tangan itu sudah mengandung seribu satu kata-kata indah. Akhirnya Bu Kong berkata, “Aku mengerti, Moi-moi. Maafkan aku. Akan tetapi jangan kita langsung pergi ke Cin-ling-san. Mari kau ikut aku pergi mengambil pusaka Siauw-lim-pai.” “Aku dulu mendengar bahwa... engkau mencuri pusaka-pusaka itu dari Siauw-lim-pai. Benarkah, Koko?” Wajah pemuda itu menjadi merah sekali. Dia menghela napas dan berkata, “Tak perlu aku membohongimu, Moi-moi. Memang benar demikian. Aku dahulu mencuri pusaka-pusaka itu dari Siaw-lim-pai karena perintah mendiang ibuku. Aku masih amat muda dan berdarah panas. Aku ingin memperlihatkan kepandaian, karena kabarnya Siauw-lim-si dijaga keras sekali dan amat ketat sehingga kalau aku berhasil mengambil beberapa buah pusakanya, tentu akan menggemparkan dunia kang-ouw. Akan tetapi yang menghendaki pusaka itu adalah ibuku. Sekarang Ibu telah meninggal dunia, dan biarpun aku merupakan keturunan seorang datuk kaum sesat, namun aku ingin hidup baru, Moi-moi. Apalagi setelah bertemu denganmu, keputusanku sudah bulat bahwa aku tidak mau lagi berkecimpung di dalam golongan kaum sesat. Bahkan aku akan menentang mereka. Untuk membuktikan ini, pertama yang kukerjakan adalah mengembalikan pusaka-pusaka itu ke Siauw-lim-pai.” Hati Giok Keng girang sekali. Dia menarik tangannya yang masih dipegang pemuda itu dan berkata, “Bagus sekali kalau begitu, Koko. Marilah kita mengambil pusaka-pusaka itu dan mengembalikannya ke Siauw-lim-si.” Hatinya lega karena perbuatan ini tentu akan menyenangkan hati ayah bundanya. Biarpun kekasihnya adalah putera Si Bayangan Hantu, Ketua Kwi-eng-pai, akan tetapi dengan perbuatannya itu Bu Kong sudah membuktikan bahwa dia hendak merobah hidupnya, melalui jalan benar dan menjadi pendekar budiman. Mereka lalu pergi ke sebuah pegunungan dekat Telaga Kwi-ouw yang kini sudah menjadi tempat sunyi sekali semenjak Kwi-eng-pang diserbu oleh tentara pemerintah dan dibasmi habis. Banyak yang tewas, ada yang tertawan dan ada pula beberapa orang yang lolos dari penyerbuan itu. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio tewas membunuh diri karena tidak mau terbunuh lawan, sedangkan kakek tinggi besar brewok, Thian-ong Lo-mo yang memiliki kepandaian tinggi, dapat berhasil meloloskan diri. Akan tetapi Bu Kong tidak tahu akan lolosnya kakek lihai ini, karena dia hanya mendengar bahwa Kwi-eng-pang telah dibasmi habis dan ibunya telah tewas. Maka dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati pemuda ini ketika dia bersama dengan Giok Keng, tiba di depan sebuah guha di mana dia menyimpan pusaka-pusaka itu, tiba-tiba muncul Thian-ong Lo-mo bersama lima orang anggauta Kwi-eng-pang yang berhasil meloloskan diri! Dia merasa terheran-heran. Tentu saja bukan hal mengherankan jika kakek itu berada di guha tempat penyimpanan pusaka karena memang yang mengetahui akan tempat itu hanya dia, ibunya, dan kakek sekutu ibunya ini. Yang mengherankan hatinya adalah melihat kakek ini dapat lolos dan masih hidup! Melihat sikap kakek brewok itu seperti orang marah, demikian pula lima orang bekas anak buah ibunya itu bersikap memusuhinya, Bu Kong segera berkata sambil tertawa, “Aihhh, kiranya Locianpwe masih dapat menyelamatkan diri.” “Bocah durhaka! Pengkhianat pengecut!” Thian-ong Lo-mo yang sudah marah sekali itu menerjang maju, menyerang Liong Bu Kong dengan senjatanya yang dahsyat, yaitu sabuk rantai yang bergigi seperti gergaji. “Cringgg! Trangggg...!” Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika senjata itu tertangkis oleh dua batang pedang di tangan Bu Kong dan Giok Keng. Kakek itu terkejut bukan main karena tangannya tergetar hebat. Maklumlah dia bahwa dara cantik jelita itu memiliki tenaga dan kepandaian yang hebat pula, maka dia lalu memutar senjatanya dengan ganas sambil mengeluarkan seluruh tenaga dan kepandaiannya. Memang tanpa disangka-sangkanya kakek ini bertemu dengan dua orang muda yang amat tangguh. Kalau hanya Bu Kong seorang diri yang melawannya, biarpun pemuda ini juga memiliki kepandaian tinggi dan tidaklah mudah untuk merobohkannya, namun agaknya pemuda ini tidak akan mampu menang melawan kakek yang lihai itu. Demikian pula, biarpun sebagai puteri Pendekar Sakti Cia Keng Hong, dan telah memiliki tingkat ilmu kepandaian tinggi, agaknya Giok Keng juga tidak akan mudah dapat mengalahkan Thian-ong Lo-mo. Akan tetapi kini kedua orang muda yang saling mencinta itu maju berdua! Selain kelihaian ilmu silat mereka, juga keduanya memegang pedang pusaka yang ampuh. Giok Keng bersenjata Gin-hwa-kiam (Pedang Banga Perak) yang berubah menjadi sinar putih bergulung-gulung, sedangkan Liong Bu Kong memegang pedang Lui-kong-kiam yang mengeluarkan sinar berkilat-kilat. Baiknya Thian-ong Lo-mo dibantu oleh lima orang anak buah Kwi-eng-pang maka pertandingan berlangsung dengan amat serunya. Sabuk rantai gergaji di tangan Thian-ong Lo-mo menyambar-nyambar dahsyat, bagaikan seekor ular hitam bermain-main di antara dua gulungan sinar pedang dan berkali-kali terdengar suara nyaring ketika tiga senjata bertemu dan tampak bunga api berpijar-pijar menyilaukan mata. Lima orang bekas anggauta Kwi-eng-pang hanya membantu dari luar dengan senjata mereka. Pertandingan antara tiga orang itu terlatu hebat dan berbahaya bagi mereka sehingga mereka itu hanya membantu untuk mengacaukan perhatian kedua orang muda itu. “Cringg... trekkk!” Ujung senjata rantai itu membelit pedang Giok Keng yang menjadi kaget bukan main. Selagi dia bersitegang hendak membetot pedangnya, Bu Kong berteriak nyaring dan pedangnya menyerang kakek itu dengan tusukan ke arah lehernya. Namun Thian-ong Lo-mo benar-benar hebat. Tangan kirinya bergerak dan ujung lengan baju kirinya yang lebar panjang itu merupakan senjata istimewa menangkis tusukan pedang Bu Kong. “Plakk! Bretttt... dess!” Bu Kong mengeluh dan terhuyung ke belakang. Pedangnya telah tertangkis ujung lengan baju dan biarpun pedangnya berhasil merobek ujung lengan baju lawan, namun tangan kakek itu masih dilanjutkan dengan tamparan keras yang mengenai pundaknya dan membuat tubuhnya terhuyung ke balakang dan tergetar hebat. “Ha-ha-ha...” Kakek itu tertawa dan kini menggunakan tangan kirinya yang ampuh itu mencengkeram ke depan, ke arah kepala Giok Keng! “Wuuuttt.. plak-plak-plak!” “Aughhh...!” Thian-ong Lo-mo terhuyung ke belakang dan hampir roboh. Rantai gergaji yang tadi membelit pedang terlepas karena tubuhnya tergetar oleh tiga kali tamparan sabuk merah muda yang dipegang oleh tangan kiri Giok Keng. Dara ini ketika tadi melihat pedangnya terbelit dan Bu Kong tertampar, cepat melolos sabuk sutera merah muda yang merupakan senjata ke dua yang ampuh, dengan cepat dia menggunakan sabuk itu mendahului tangan lawan yang mencengkeram kepalanya. Tepat sekali ujung sabuknya menotok tiga jalan darah di tubuh lawan, jalan darah yang mematikan. Akan tetapi betapa kaget dan herannya ketika ia melihat bahwa lawan yang tertotok tepat itu hanya terhuyung saja dan tidak mati! Kiranya kakek brewok itu selain lihai ilmu silatnya dan amat kuat tenaga sin-kangnya, juga merupakan ahli I-kiong-hoan-hiat (Ilmu Memindahkan Jalan Darah) sehingga biarpun kelihatan dia tertotok tepat, namun sesungguhnya totokan itu tidak mengenai jalan darah kematian dan hanya membuat dia menggigil dan terhuyung saja. Sama sekali dia tidak mati, bahkan sebaliknya, dengan kemarahan meluap-luap karena penasaran dan malu, dia sudah menubruk ke arah Giok Keng sambil mengeluarkan lengking dahsyat dari tenaga khi-kangnya. Matanya yang lebar itu terbelalak merah, lengking suaranya membuat lima orang bekas anggauta Kwi-eng-pang terhuyung ke belakang dengan muka pucat. Melihat lawan yang menyerang dahsyat dengan rantai gergaji dan tangan kiri dibentuk seperti cakar garuda, Giok Keng cepat menggerakkan pedang dan sabuk suteranya. “Cringgg... plakkk!” Pedang dan rantai bertemu di udara, sabuk sutera melibat lengan kiri kakek lihai itu, akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Giok Keng ketika lengan kiri lawan itu masih mampu bergerak terus ke depan melanjutkan serangannya, menyambar ke arah lehernya seolah-olah cakar setan yang hendak mencekiknya. Dia cepat miringkan tubuhnya dan mengangkat kakinya menendang. “Brettt... plakkk!” Baju di pundak Giok Keng terobek oleh cakar itu dan kulit pundaknya lecet berdarah. Akan tetapi tendangannya membuat lawan terpental ke belakang. Ketika dara ini bersiap kembali setelah mendapat kenyataan bahwa luka di pundaknya tidak berbahaya, ternyata kakek itu telah diserang hebat oleh Bu Kong. Maka dengan marah Giok Keng lalu menyerbu pula membantu pemuda itu dan kembali terjadi pertandingan dahsyat antara tiga orang itu. Tubuh mereka tidak kelihatan lagi, terbungkus oleh gulungan sinar senjata mereka. Karena cepatnya gerakan mereka bertiga, lima orang bekas anggauta Kwi-eng-pang tidak ada yang berani mendekat apalagi membantu. Suara khi-kang hebat dari kakek itu tadi masih membuat jantung mereka terguncang. Setelah Giok Keng menambah pedangnya dengan sabuk sutera merah muda, dan kedua orang muda itu melakukan pengeroyokan dengan pengerahan seluruh limu kepandaian dan tenaga mereka, lambat laun kakek itu merasa terdesak juga. Seratus jurus telah lewat dan dia sama sekali tidak mampu menjatuhkan seorang pun di antara dua orang pengeroyoknya yang masih muda! Napasnya mulai memburu dan biarpun merasa amat penasaran, Thian-ong Lo-mo harus mengakui bahwa kalau dilanjutkannya juga pertempuran itu, akhirnya dia akan terancam bahaya maut. Tiba-tiba kakek itu mengeluarkan pekik dahsyat sekali, senjata rantainya menyambar ke depan menjadi sinar memanjang. Dua orang muda itu terkejut dan cepat menangkis. “Tranggg... cringgg...!” Akan tetapi tangan kiri kakek itu mendorong ke depan dan angin dahsyat menyerang kedua orang lawannya. Ternyata dia telah menggunakan pukulan jarak jauh yang mengandung tenaga sin-kang sekuat-kuatnya. Inilah serangan terakhir kakek itu yang sudah menguras habis ilmu kepandaiannya. “Wuuuutttt...!” Giok Keng dan Bu Kong makin kaget, cepat mereka melempar ke belakang, dan bergulingan untuk menghindarkan diri dari serangan dahsyat itu. Ketika keduanya telah meloncat bangun, ternyata lawan mereka telah lenyap dari situ. Kiranya Thian-ong Lo-mo yang melihat serangan terakhir tadi tidak berhasil, lalu melarikan diri dengan cepat sekali! “Berhenti...!” Bu Kong menghardik dan lima orang bekas anggauta Kwi-eng-pang yang mencoba untuk melarikan diri itu tiba-tiba berhenti dan membalikkan tubuh dengan muka pucat. “Ke sini kalian!” Bu Kong membentak lagi dan seperti lima ekor anjing yang ketakutan, lima orang itu menghampiri Bu Kong, kemudian menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda itu. “Ampun... Kongcu...!” Mereka mengeluh ketakutan. Bu Kong tersenyum mengejek, “Di mana pusaka-pusaka itu?” bentaknya. “Di... di dalam, Kongcu...” “Hayo kalian ambil dan keluarkan semua!” Seperti dikomando lima orang itu tergesa-gesa lari memasuki guha dan tak lama kemudian mereka keluar membawa sebuah buntalan besar. Bu Kong menerima buntalan itu, memeriksa isinya. Ternyata masib lengkap. Dua buah pusaka, yaitu sebatang pedang dan sebuah hiolouw (tempat abu hio) dari Siauw-lim-pai, dan banyak barang perhiasan emas permata yang mahal, juga potongan emas dan perak! Tiba-tiba pemuda itu menggerakkan tangan kanannya, tampak sinar berkilat menyambar lima kali dan... tubuh lima orang itu tergelimpang roboh dengan leher hampir putus. Tubuh mereka berkelojotan sebentar dan tewas seketika! “Ahh, mengapa membunuh mereka?” Giok Keng bergidik ngeri. Dia adalah seorang pendekar wanita muda yang sudah biasa menyaksikan pembunuhan, akan tetapi hal itu terjadi dalam pertempuran. Belum pernah dia menyaksikan pembunuhan yang dilakukan dengan tangan dingin sehingga mengerikan hatinya. “Mereka adalah orang-orang jahat, dan aku sudah bersumpah untuk menentang orang jahat, bukan? Moi-moi...” Bu Kong berkata melihat kekasihnya mengerutkan alisnya, “Kalau tidak dibunuh, tentu mereka itu akan mendatangkan keributan saja di kemudian hari, dan dengan membunuh mereka berarti kita telah membebaskan rakyat dari ancaman kejahatan mereka, bukan?” Giok Keng mengangguk-angguk. Tak dapat dibantah ucapan pemuda itu, maka dengan menarik napas panjang dibenarkannya ucapan itu dengan anggukan kepala, mengambil kesimpulan bahwa hatinya sendirilah yang lemah. Dari tempat itu, kedua orang muda ini lalu melanjutkan perjalanan menuju ke Siauw-lim-si untuk mengembalikan dua buah benda pusaka Siauw-lim-pai yang dicuri oleh Bu Kong kurang lebih enam tahun yang lalu. Di sepanjang perjalanan, kedua orang ini tampak rukun sekali, penuh kasih sayang, penuh kegembiraan dan seperti sepasang pengantin baru saja. Namun Giok Keng tetap bersikeras tidak membolehkan kekasihnya menjamahnya, dan dengan hati kecewa sekali Bu Kong terpaksa menahan nafsunya, tidak berani merayu kekasihnya sebelum mereka menikah karena dia maklum betapa kerasnya hati dara itu sehingga besar kemungkinannya cinta kasih dara itu akan berubah menjadi kebencian hebat, kalau dia melanggar janji dan larangan. Betapapun juga, hatinya sudah merasa puas dan lega menyaksikan sikap Giok Keng yang mencintanya, cinta yang juga bersifat keras seperti watak dara itu, cinta yang akan dibelanya dengan nyawa! Kita tinggalkan dulu Giok Keng dan Bu Kong yang melakukan perjalanan menuju ke Siauw-lim-si itu, dan marilah kita kembali mengikuti perjalanan Yap Kun Liong dan Pek Hong Ing, nikouw muda itu. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Kun Liong dan Hong Ing yang terpaksa menentang kehendak Pangeran Han Wi Ong, dicap sebagai pemberontak dan orang-orang buruan. Gambar mereka ditempel di mana-mana sehingga mereka terpaksa melakukan perjalanan dengan sembunyi-sembunyi, melalui jalan-jalan sunyi, keluar masuk hutan dan naik turun gunung dalam perjalanan yang amat sukar. Karena dia bertekat menolong Hong Ing agar tidak sampai tertangkap oleh orang-orang yang menghendaki dara itu menjadi istri Pangeran Han Wi Ong, maka Kun Liong mengajak nikouw muda itu menuju ke timur, ke arah Teluk Pohai. Dahulu ketika dia membantu supeknya, Pendekar Sakti Cia Keng Hong, dan menyusul Cia Giok Keng ke Pulau Ular, dia lewat hutan di dekat Pantai Pohai yang sunyi dan melihat sebuah kuil di sana. Kuil Kwan-im-bio! Kuil itulah yang kini menjadi tujuan perjalanan mereka, Hong Ing harus bersembunyi dan menjadi nikouw di sebuah kuil yang sunyi, baru akan selamat dara itu! Mereka melakukan perjalanan di sepanjang tepi Sungai Huang-ho. Sebenarnya, kalau mereka bukan menjadi orang-orang buruan pemerintah, perjalanan itu akan dapat dipermudah dengan menggunakan perahu mengikuti aliran air sungai. Akan tetapi mereka tidak berani mengambil jalan air, dan menyusuri tepi sungai sambil bersembunyi-sembunyi, memilih bagian-bagian yang sunyi. Pada suatu pagi mereka beristirahat di tepi sungai yang merupakan hutan sunyi senyap. Semalam suntuk mereka melakukan perjalanan karena mereka melalui daerah ramai. Dan pagi hari ini, setelah tiba di hutan yang sepi, mereka duduk di bawah pohong beristirahat. Hong Ing memanggang daging ikan yang mereka tangkap di sungai, kemudian mereka berdua makan daging ikan panggang dan minum air dari sumber yang cukup jernih. Sambil duduk bersandar pohon memberi kesempatan kepada tubuh yang lelah untuk beristirahat, Hong Ing berkata. “Kun Liong, kau tentu lelah sekali...” Kun Liong duduk di atas rumput dan bersandar pada sebongkah batu besar. Dia menoleh dan memandang wajah nikouw muda yang manis itu, lalu tersenyum. “Tidak lebih lelah daripadamu, Hong Ing.” “Lain lagi dengan aku, Kun Liong. Aku memang perlu untuk pergi mencari tempat persembunyian. Akan tetapi engkau melakukan semua ini demi aku.” “Hemm...” Kun Liong tidak menjawab dan kini dia menundukkan kepalanya. “Mengapa, Kun Liong? Mengapa kau melakukan semua jerih payah ini untukku?” Kun Liong mengangkat mukanya. “Hong Ing, entah sudah berapa kali engkau menanyakan hal ini kepadaku? Mengapa? Mengapa aku melakukan semua ini? Tentu saja kulakukan karena engkau adalah seorang sahabatku yang baik, bukan? Andaikata tidak demikian sekalipun, andaikata engkau seorang lain, dan bukan sahabat baikku, tentu akan kulakukan juga. Menolong orang yang membutuhkan pertolongan merupakan perbuatan yang lumrah dan sudah semestinya, bukan?” “Karena engkau seorang yang berbudi mulia, Kun Liong.” “Hemmm...” Hening sejenak. Kemudian terdengar lagi suara Hong Ing dan betapa heran rasa hati Kun Liong mendengar suara yang sumbang dan berada kecewa itu, “Jadi engkau menolongku bukan karena akulah orang itu?” Karena tidak mengerti, Kun Liong mengangkat muka memandang. “Apa maksudmu?” Hong Ing menjadi merah mukanya dan menggeleng kepala. “Sudahlah, aku hanya bermaksud menagih janjimu tempo hari bahwa engkau akan menceritakan riwayat hidupmu. Aku ingin sekali mengetahui setelah mendengar bahwa Pendekar Sakti Cia Keng Hong adalah supekmu. Ceritakanlah, Kun Liong.” “Apa yang patut kuceritakan? Riwayatku amat buruk, lebib buruk daripada riwayatmu, Hong Ing. Aku telah pergi meninggalkan rumahku sejak aku berusia sepuluh tahun. Aku merantau dan setelah aku pulang, ternyata ayah bundaku telah tidak berada di rumah kami.” Dia menceritakan dengan singkat pengalaman hidupnya ketika dia meninggalkan rumah sampai dia menjadi murid Bun Hwat Tosu selama lima tahun kemudian menjadi murid Tiang Pek Hosiang selama lima tahun pula. “Aihhh, kiranya engkau murid dua orang kakek sakti itu. Pantas kau hebat sekali! Dan ke mana perginya ayah bundamu itu?” Hong Ing yang mendengar penuh kekaguman itu bertanya. Kun Liong menarik napas panjang dan menunduk. “Mereka telah tewas...” “Heii!....” “Mereka tewas terbunuh oleh lima orang datuk sesat!” Kun Liong menuturkan betapa kematian ayah bundanya itu dia ketahui dari Cia Keng Hong. “Aku meninggalkan rumah ketika berusia sepuluh tahun dan tidak pernah berjumpa dengan ayah ibuku! Mereka terbunuh oleh lima datuk itu...” Hong Ing merasa terharu sekali melihat Kun Liong menggunakan punggung tangan mengusap dua butir air matanya. “Keparat mereka! Kau harus balas mereka, Kun Liong. Biar kubantu engkau! Mari kita cari mereka!” Kun Liog mengangkat mukanya, memandang dan mencoba tersenyum. “Mereka berlima telah tewas, Hong Ing. Lima orang pembunuh orang tuaku telah tewas semua dan sekarang aku hanya ingin sekali menemukan adikku yang tak pernah kulihat semenjak dia lahir.” “Adikmu...?” Kun Liong mengangguk. “Ketika aku pergi, Ibu melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Yap In Hong. Ketika Ayah dan Ibu terbunuh, adikku itu berhasil diselamatkan oleh seorang pelayan, dibawa pergi entah ke mana. Karena itu, setelah engkau mendapatkan tempat yang aman, aku akan pergi mencari adikku itu, Hong Ing.” Dara itu mengangguk-anggukkan kepalanya yang gundul. “Kasihan sekali kau, Kun Liong. Memang kau harus mencari adikmu itu. Akan tetapi setelah sekarang engkau menjadi orang buruan karena aku, bagaimana engkau dapat melakukan perjalanan dengan leluasa? Engkau akan ditangkap!” “Tidak, Hong Ing. Aku sudah memikirkan hal itu dan sudah memperoleh jalan terbaik. Aku akan minta bantuan Supek Cia Keng Hong yang mempunyai hubungan baik sekali dengan para pejabat tinggi di kota raja dan dengan bantuannya tentu aku akan dapat dibebaskan dan tidak menjadi orang buruan lagi. Juga aku akan memintakan pengampunan bagimu. Selain itu, aku akan menanyakan tentang pusaka-pusaka milik Siauw-lim-pai yang dahulu dicuri oleh pihak Kwi-eng-pang, apakah pusaka itu sudah dikembalikan.” “Kau tidak usah repot-repot memikirkan nasibku, Kun Liong. Aku sudah akan merasa lega dan gembira sekali kalau kau dapat terbebas dari himpitan ini yang menimpa dirimu karena kau membela aku.” “Marilah kita lupakan kepahitan yang kita hadapi, Hong Ing. Kita berdua maklum bahwa kita tidak mempunyai kesalahan dan semua ini adalah gara-gara Pangeran Han Wi Ong yang tak tahu diri. Sekarang aku ingin sekali mendengar riwayatmu. Hong Ing, Siapakah keluargamu? Dan bagaimana engkau bisa menjadi murid Go-bi Sin-kouw yang lihai dan galak itu?” Nikouw muda itu menghela napas dan mengerutkan alisnya, Kun Liong memandang wajahnya dan pemuda itu kini diam-diam merasa makin kagum dan juga heran kepada diri sendiri. Mengapa setiap kali memandang wajah dara gundul ini hatinya merasa seperti dicengkeram sesuatu yang amat kuat, yang membuat dia merasa terharu sekali dan ingin mencucurkan air mata? “Aku sudah tidak ingat lagi, Kun Liong. Ketika itu aku baru berusia lima tahun dan seingatku, di sampingku hanya ada ibuku yang cantik dan gagah perkasa. Kami berdua berada di tanah pegunungan, kalau tidak salah dugaanku di Tibet. Entah apa yang terjadi, aku sendiri tidak tahu sama sekali. Tiba-tiba Ibu dikeroyok banyak pendeta berjubah merah, pendeta-pendeta Lama. Ibu menggendongku sambil melawan mati-matian. Ibu berhasil melarikan diri akan tetapi terluka parah. Setelah bertahan sampai belasan hari dan berada jauh sekali dari Tibet, Ibu roboh dan meninggal dunia...” Hampir saja Kun Liong merangkul dan memeluk tubuh yang berguncang-guncan karena tangisnya itu. Hong Ing menangis terisak-isak. Siapa takkah menangis kalau membayangkan pengalamannya di waktu itu? Ibunya menggeletak dengan muka pucat, dan dia, seorang anak kecil yang tidak tahu apa-apa, hanya menangis dan memanggil-manggil nama ibunya. “Ah, kasihan engkau, Hong Ing. Sudahlah, lupakan yang sudah dan jangan teruskan ceritamu,” Kun Liong menghibur. Hong Ing menyuruti air matanya dengan ujung lengan baju. “Aku harus menceritakan semua kepadamu, Kun Liong. Pada saat aku menangis menghadapi Ibu yang sudah dalam sekarat, tiba-tiba muncul Go-bi Sin-kouw dan Lauw Kim In, Subo dan suciku itu. Go-bi Sin-kouw berusaha menolong ibuku, namun sia-sia dan Ibu hanya dapat menceritakan dengan napas terputus-putus kepada Go-bi Sin-kouw sebelum menghembuskan napas terakhir. Begitulah, aku lalu dibawa pergi oleh Subo dan Suci.” “Apakah Go?bi Sin?kouw tidak menceritakan kepadamu tentang nama ibu dan ayahmu?” “Tidak pernah. Subo tidak pernah mau mengaku, dan kalau aku bertanya, dia hanya bilang bahwa Subo yang kini menjadi pengganti ayah bundaku. Aku tidak pernah mengenal ayahku, dan tidak tahu pula mengapa Ibu dikeroyok oleh para pendeta Lama.” “Ssstt...!” Tiba?tiba tubuh Kun Liong mencelat ke belakang. Dia menyusup ke dalam semak?semak, Ialu meloncat ke atas pohon tinggi, matanya memandang ke kanan kiri mencari?cari. Kemudian dia melayang turun lagi ke depan Hong Ing yang sudah meloncat berdiri dan memandangnya dengan heran. “Ada apakah, Kun Liong?” tanyanya, kagum menyaksikan gerakan Kun Liong yang ringan seperti burung terbang tadi. Kun Liong mengerutkan alisnya. “Entahlah, aku tadi seperti mendengar suara orang menarik napas panjang dan terdengar suara kaki menginjak daun kering. Akan tetapi kucari ke mana?mana tidak ada bayangan seorang pun manusia.” “Ah, agaknya suara binatang kecil di semak?semak,” kata Honj Ing yang duduk kembali. Kun Liong juga duduk di depannya. “Hong Ing, riwayat kita sama?sama menyedihkan. Kita berdua adalah orang?orang muda yang menderita sengsara sejak kecil.” “Menang begitulah agaknya, Kun Liong. Aku tidak pernah tahu apa itu yang disebut bahagia. Tahukah engkau Kun Liong? Apakah bahagia itu?” Kun Liong merenung, sepasang matanya memandang jauh, alisnya berkerut, kepala gundulnya mengkilap tertimpa matahari pagi, lalu terdengar dia berkata lirih, seperti kepada dirinya. “Bahagia? Apakah itu bahagia? Adakah keadaan yang disebut bahagia? Ataukah itu hanya merupakan sebutan saja, merupakan bentukan khayal yang timbul karena keinginan manusia terlepas dari kesengsaraan? Siapakah yang membayangkan bahwa ada keadaan bahagia di dalam hidup? Tentu hanya orang?orang yang sengsara! Orang?orang yang sengsara dan menderita menciptakan khayal yang berlawanan dan berlainan daripada keadaan hidupnya sendiri, menciptakan khayalan keadaah hidup yang sebaliknya dan yang disebutnya bahagia! Maka hanya orang?orang yang sengsara sajalah, yang merasa bahwa dia tidak bahagia, yang merindukan kebahagiaan! Orang yang tidak merasa menderita sengsara, apakah dia merasa adanya bahagia itu? Tentu tidak, karena sekali dia bahagia, itu bukaniah kebahagiaan lagi namanya! Kebahagiaan yang dirasakan berarti “kesenangan” dan sekali kesenangan dirasakan, maka kesenangan akan membuatnya menjadi pecandu dan setiap kali dia akan selalu mengejar kesenangan serupa untuk diulang kembali!” Hong Ing memandang dengan mata terbelalak. Tak disangkanya pemuda gundul ini dapat bicara seperti itu. Kata?katanya biasa saja, akan tetapi inti sarinya meresap ke dalam sanubarinya, membuat dia seolah?olah dibangunkan dari mimpi dan melihat kenyataan. “Kalau begitu, apakah bahagia itu, Kun Liong?” tanyanya lirih seolah?olah ada rasa hormat tersembunyi dalam hatinya terhadap pemuda itu. “Entahlah, mungkin itu hanya sebutan saja dan sebutan atau nama sebuah keadaan atau benda bukanlah si keadaan atau si benda itu sendiri. Kalau dapat dituturkan dan digambarkan, itu jelas bukanlah kebahagiaan namanya, melainkan kesenangan. Kebahagiaan bukanlah benda mati, bukankah keadaan yang mati tak berubah lagi, karena itu tidak mungkin digambarkan, tidak mungkin dicari dan dikejar. Maka itu, kiranya tidak akan meleset jauh kalau kukatakan bahwa KEBAHAGIAAN HANYA MENJENGUK ISI HATI MEREKA YANG TIDAK MEMBUTUHKAN KEBAHAGIAAN!” Hong Ing melongo, tiba?tiba menangkap kedua tangannya dan berkata penuh hikmat, “Omitohud...!” Kun Liong baru sadar dan dia seperti ditarik kembali ke dunia lama. “Heiii! Apa?apaan kau ini, seperti seorang nikouw tulen saja, pakai omitohud segala?” Hong Ing menurunkan kedua tangannya, masih memandang kepada pemuda itu dengan mata terbelalak dan agaknya dia pun baru saja sadar akan keadaan yang berbeda dengan biasanya tadi. “Ah, Kun Liong, ketika kau bicara tadi... kau menjadi... lain! Wajahmu penuh wibawa, tapi penuh kehalusan... membuat aku menjadi hormat dan takut. Kau... kau aneh sekali. Dari mana kau memperoleh semua pelajaran tentang hidup itu? Pelajaran yang begitu terbuka dan aneh, namun yang mau tak mau harus kuakui kebenarannya itu?” Sejenak Kun Liong tidak mampu menjawab, kemudian katanya ragu?ragu, “Entahlah, Hong Ing. Mungkin juga dari kitab, tapi entah kitab apa yang pernah menyebutkan semua itu tentang bahagia. Terlalu banyak aku membaca kitab yang hampir kesemuanya menjanjikan kebahagiaan?kebahagiaan kosong. Lamunan khayal yang membuat orang seperti boneka atau seperti dalam mimpi, tak pernah dapat melihat kenyataan hidup seperti apa adanya.” “Hemm, kutu buku! Mempelajari segala hal dari buku, apa sih artinya? Hanya merupakan pendapat orang lain belaka, pendapat para penulisnya, pengarangnya! Kalau si pengarang bijaksana dan pandai, belum tentu kita ketularan kebijaksanaan dan kepandaiannya, akan tetapi kalau si pengarang dungu, kita terseret ke dalam kedunguannya!” Kun Liong mengangguk?angguk. “Kau betul, ucapanmu tepat sekali, Hong Ing.” “Kau yang pandai bicara tentang kebahagiaan, apakah engkau pernah merasa bahagia, Kun Liong?” Kepala yang gundul itu tak bergerak sampai lama, kemudian dia menggeleng ragu. “Kalau kuingat?ingat, aku hanya terlalu sering merindukan kebahagiaan. Kalau aku sedang sakit terbayang olehku betapa bahagianya kalau sehat, padahal kalau sehat tidak terasa lagi kebahagiaan dari kesehatan itu. Bagi orang lapar, kebahagiaan adalah kalau memperoleh makanan. Pendeknya, kebahagiaan selalu berada di masa depan, sebagai harapan dan keinginan yang dikejar?kejar, namun setelah terpegang tangan, kebahagiaan itu sendiri terbang lenyap, dan tampak di depan lagi, seperti seekor burung merpati, kelihatan jinak namun tak pernah dapat ditangkap! Entahlah, kurasa aku belum pernah menangkapnya.” “Bagaimana saat sekarang ini? Apakah kau berbahagia?” Hong Ing bertanya sambil menatap wajah tampan itu. “Sekarang ini? Ah, pertanyaanmu sungguh aneh, Hong Ing. Bagaimana aku bisa berbahagia dalam keadaan begini? Tidak, aku malah merasa susah dan sengsara karena kita berdua harus saling berpisah dalam keadaan seperti ini, menjadi orang-orang buruan pemerintah! Kita akan saling berpisah dan entah bagaimana jadinya kelak dengan nasib kita masing?masing. Tidak, Hong Ing, saat ini aku tidak hahagia.” “Tapi aku berbahagia, Kun Liong!” “Haiii...? Kau...?” “Hemm, agaknya pengetahuan dari kitab?kitabmu tidak ada gunanya, Kun Liong. Tahu dari kitab saja percuma, yang penting harus menghayatinya sendiri.” “Tapi, kau... kau berbahagia? Mana bisa? Mana mungkin?” “Mengapa tidak mungkin? Aku merasa berbahagia, mengapa tidak mungkin?” “Sebabnya?” “Apa sebabnya? Hanya berbahagia, titik, tidak ada sebabnya lagi.” “Tapi... haii!!! Siapa itu...?” Kun Liong berseru keras karena pada saat itu terdengar suara tertawa, suara ketawa yang luar biasa nyaringnya sehingga menggetarkan seluruh hutan, kemudian bergema di semua penjuru hutan itu. Kun Liong meloncat lagi, mengejar ke sana?sini karena sukar mencari dari mana asal suara ketawa itu. Namun ternyata sia?sia belaka. Seperti juga tadi, biarpun dia sudah menyelidiki dari atas pohon, tidak tampak bayangan seorang pun manusia. Dia melayang turun lagi, mencari ke sana?sini di balik semak?semak dan, kini Hong Ing juga ikut mencari. Akhirnya mereka berdua saling pandang dan Hong Ing bergidik. “Bu... bukan manusia...!” katanya berbisik dan wajahya yang cantik itu jelas kelihatan ngeri dan takut. Dia memang seorang dara yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, akan tetapi menghadapi suara ketawa menyeramkan yang tidak ada orangnya itu, benar?benar membuat nyalinya menyempit. “Ahhh, tidak mungkin. Tentu manusla! Biar kucari lagi dari atas pohon tertinggi itu!” Kun Liong meloncat lagi ke atas pohon dan memanjat dari cabang ke cabang sampai dia berada di puncak pohon. Dia mengintai ke empat penjuru dan tiba?tiba dia melihat debu mengebul, tinggi dari arah barat. Pasukan berkuda! Melihat bendera dan pakaian seragam, tahulah dia bahwa tentu pasukan itu pasukan pemerintah yang mengejar dia dan Hong Ing! Maka cepat dia melayang turun lagi. “Ada pasukan berkuda dari barat, tentu mengejar kita!” katanya. “Ahhh... bagaimana baiknya?” Hong Ing berkata, memandang wajah Kun Liong dengan bingung. “Kita lari saja. Di antara mereka tentu terdapat orang pandai..., mungkin yang tadi tertawa adalah orang mereka. Hayo kita lari ke timur!” Maka larilah kedua orang muda itu menuju ke timur. Mereka lari secepatnya, menyusuri sepanjang pantai Sungai Huang?ho terus ke timur. Beberapa hari kemudian kedua orang muda yang melarikan diri itu sudah tiba di lembah muara Sungai Huang?ho, dekat dengan pantai Teluk Pohai. Cepat keduanya memasuki hutan dan akhirnya Kun Liong menemukan kuil Kwan?im?bio yang berada di dalam hutan itu. Sebuah kuil kecil yang terpencil sendiri di dalam hutan. Kuil kosong dan biarpun di situ masih terdapat meja sembahyang dan beberapa buah bangku, namun semua bangku itu kotor dan bahkan arca Kwan Im Pouwsat juga tidak ada di situ. Akan tetapi Kun Liong memang sudah mempersiapkan diri ketika lari dalam beberapa hari ini. Dia sudah membeli lilin dan hio, maka cepat?cepat bersama Hong Ing dia membersihkan kuil itu kemudian menutupi tempat arca dengan saputangan sutera milik Hong Ing agar tidak kelihatan dari luar tempat arca yang kosong, mengatur lilin di atas meja. Pendeknya keduanya berusaha keras agar kuil itu kelihatan sebagai kuil yang masih bekerja. Tiga hari mereka bersembunyi di kuil itu. Pada hari ke empatnya, dari jauh sudah terdengar derap kaki kuda. Mengertilah kedua orang muda itu bahwa para pengejar mereka telah tiba di dalam hutan itu! Maka sibuklah mereka berdua. Kun Liong menyalakan lilin, memasang belasan batang hio dan menancapkannya di atas meja sehingga asap hio yang harum semerbak keluar dari kuil itu. Tak lama kemudian terdengarlah suara jernih dari Hong Ing yang sudah berliam?keng (membaca ayat suci) sambil mengatur iramanya dengan memukul alat yang khusus dibuat untuk itu dan yang masih ada di dalam kuil! Kun Liong sendiri juga sudah menutupi kepalanya dengan kain putih meniru gaya Hong Ing, dan sambil berlutut dan mulut kemak?kemik dia pun tekun memukuli alat untuk liam?keng itu dengan gencar. Maka ramailah di kuil itu, suara Hong Ing berliam?keng diiringi suara tak?tok tak?tok nyaring! Suara ini ditambah asap hio mengepul harum memang cukup mendatangkan suasana kuil. Dengan hati berdebar tegang kedua orang itu berlutut dan sengaja memilih ruangan dalam yang gelap, menghadapi meja sembahyang dan menundukkan muka sehingga penutup kepala itu menutupi muka mereka dari samping. Dilihat sepintas lalu, tentu saja mereka merupakan dua orang nikouw yang sedang tekun membaca doa dan suara Hong Ing tidak dapat disangsikan lagi sebagai suara seorang wanita, seorang nikouw. Derap kaki kuda makin jelas terdengar dan akhirnya terdengar teriakan dan rombongan itu berhenti di kuil. Tepat seperti yang dikhawatirkan oleh Kun Liong, beberapa orang meloncat turun dari kuda dan memasuki kuil! Langkah kaki yang kasar memeriksa ke dalam kuil dan akhirnya memasuki ruangan di mana dia dan Hong Ing berlutut. Hong Ing makin gencar membaca doa, demikian cepatnya sehingga menyelimuti suaranya yang agak gemetar saking tegangnya. “Tidak ada nikouw lain, hanya ada dua orang ini,” terdengar suara orang laki?laki. “Tentu tidak berada di sini. Kalau ada, tak mungkin mereka dapat bersembunyi.” kata suara laki-laki ke dua. “Nanti dulu!” Suara wanita ini membuat Kun Liong terperanjat bukan main. Itulah suara Si Gendut Kim Seng Siocia dan diam?diam dia bergidik! Wanita gendut ini amat cerdik dan ternyata Kim Seng Siocia sudah memandang ke arah sepatu yang dipakai Kun Liong dan Hong Ing. “Heh, Nikouw! Berhentilah dahulu berliam?keng!” Kim Seng Siocia membentak. “Apakah kalian melihat seorang pemuda gundul dan seorang nikouw muda lewat di tempat ini?” Hong Ing terus berliam?keng dengan suara nyaring, sedangkan Kun Liong cepat menggeleng?gelengkan kepala tanpa menjawab, mulutnya terus kemak?kemik dan tangannya memukuli alat itu makin gencar. “Ah, dua orang nikouw ini mana melihat hal lain kecuali berliam?keng? Mereka akan berliam?keng sampai mati, memesan tempat di sorga, ha?ha?ha!” Terdengar suara laki?laki pertama. Langkah kaki mereka meninggalkan tempat itu dan hati Kun Liong sudah mulai lega ketika tiba?tiba suara Kim Seng Siocia membuatnya terkejut setengah mati. “Nikouw! Kenapa sepatu kalian kotor berdebu?” Pertanyaan itu diucapkan dengan bentakan yang begitu tiba?tiba sehingga Kun Liong yang terkejut itu menjawab gagap, “Ohhh... ehhh... belum kami bersihkan...!” Dia terbeialak dan melongo ketika melihat kesalahannya sendiri. Dalam gugupnya dia telah membuka mulut memperdengarkan suaranya yang tentu saja tidak pantas menjadi suara seorang wanita, bahkan dengan mengatakan bahwa mereka berdua belum membersihkan sepatu berarti dia telah membuka rahasia. “Tangkap mereka!” Kim Seng Siocia berseru keras dan terdengar cambuk hitam di tangannya bersuitan. Kun Liong dan Hong Ing sudah meloncat bangun dan sambil mendorong tubuh Hong Ing agar mundur, Kun Liong sudah menggerakkan ranting yang berada di tangannya menangkis cambuk. Memang dia sudah menyembunyikan dua batang ranting itu di dalam jubahnya tadi, menjaga segala kemungkinan. Kim Seng Siocia dan dua orang kang?ouw yang tadi melakukan pemeriksaan, setelah melihat bahwa dua orang itu adalah orang?orang yang mereka kejar, cepat melompat keluar karena mereka bertiga maklum betapa lihainya dua orang itu. Kun Liong berbisik, “Hati?hati, Hong Ing. Kita harus mencari jalan keluar dan melarikan diri.” Hong Ing hanya mengangguk, akan tetapi sedikit pun hati dara ini tidak kuatir. Dia berada di samping Kun Liong dan kenyataan ini mendatangkan keberanian luar biasa. Dia mengikuti Kun Liong berloncatan keluar dan setelah tiba di luar kuil, tampaklah oleh mereka musuh?musuh mereka dengan lengkap! Pangeran Han Wi Ong, Kim Seng Siocia, Go-bi Sin-kouw, para panglima pengawal dan masih tampak belasan orang yang melihat pakaian mereka tentulah orang-orang kang-ouw. Kun Liong merasa heran melihat orang-orang kang-ouw membantu pemerintah untuk menangkap orang buruan. Dia tidak tahu bahwa orang-orang ini bukan semata-mata membantu pemerintah, akan tetapi lebih condong untuk mencari bokor emas karena mereka menganggap bahwa Kun Liong satu-satunya orang yang agaknya tahu di mana adanya bokor emas yang tulen. Di samping mereka ini, masih ada seregu pasukan terdiri dari lima puluh orang perajurit! Maklumlah Kun Liong bahwa melawan orang sebanyak itu amat berbabaya. Apalagi kalau mengingat akan kepandaian orang aneh yang tadi mentertawakannya, yang dia tidak tahu siapakah orangnya di antara para orang kang-ouw itu. Kalau melawan tentu akan membahayakan keselamatan Hong Ing. Maka tanpa banyak cakap lagi, tiba-tiba dia merangkul pinggang Hong Ing, mengempitnya dan membawanya meloncat sambil mengerahkan gin-kangnya. Tubuhnya mencelat ke kiri, ke arah orang-orang kang-ouw karena dia sudah tahu akan kelihaian Kim Seng Siocia dan Go-bi Sin-kouw yang berada di depannya. “Kejar!” “Tangkap!” Empat orang kang-ouw yang kebetulan berada di sebelah kiri sudah menyambit Kun Liong, akan tetapi tangan pemuda ini menggerakkan rantingnya dan berturut-turut robohlah empat orang kang-ouw itu sebelum mereka tahu bagaimana mereka dapat dirobohkan. Gerakan ranting itu hebat bukan main dan memang Kun Liong telah mainkan Ilmu Tongkat Siang-liong-pang yang amat luar biasa. Setelah berhasil merobohkan empat orang itu, cepat Kun Liong melarikan diri dan setelah agak jauh barulah dia melepaskan tubuh Hong Ing, memegang tangan dara itu dan mengajaknya berlari terus menuju ke timur. Di belakang mereka terdengar teriakan-teriakan orang dan derap kaki kuda. Mereka dikejar terus oleh rombongan itu! Sehari semalam mereka terus melarikan diri dan pada sore harinya, mereka tiba di pantai Teluk Pohai! Jalan buntu! Di depan mereka membentang luas air laut dan di belakang mereka rombongan itu masih mengejar terus! Melihat keadaan ini, Hong Ing memegang lengan Kun Liong dan berkata, “Kun Liong, kau larilah selagi masih ada kesempatan! Tak ada gunanya lagi kau mati-matian melindungiku, Kun Liong, sampai mati aku akan berterima kasih kepadamu, akan tetapi jangan kau mengorbankan diri untukku. Pergilah dan tinggalkan aku di sini. Aku dapat menghadapi mereka.” Kun Liong mengerutkan alisnya. “Kau dapat menghadapi mereka? Bagaimana? Kau tentu akan ditangkap oleh gurumu dan akan dipaksa menikah dengan pangeran itu kalau tidak dibunuh.” “Aku tidak takut! Aku akan melawan dan kalau aku kalah sebelum ditawan aku dapat membunuh diri.” “Tidak!” Kun Liong mencengkeram lengan dara itu sampai Hong Ing merintih, baru dia teringat dan melepaskannya. “Aku tidak akan pergi meninggalkanmu selama aku masih hidup. Aku tidak bisa membiarkan engkau ditawan atau membunuh diri. Hong Ing, jangan bicara yang bukan-bukan, mari kita lawan mereka. Kita bukanlah orang-orang lemah dan lebih baik mati sebagai harimau daripada mati seperti babi, mati konyol!” Hong Ing menggigit bibir dan dua titik air matanya jatuh, dia tidak mampu menjawab, hanya mengangguk-angguk. Sementara itu, dari jauh sudah tampak debu mengebul dan tak lama kemudian kelihatan rombongan pengejar itu mendekati pantai. “Hong Ing, jangan kau bergerak dulu, kau berdiri sajalah di belakangku.” Sambil berkata demikian, Kun Liong memegang tangan dara itu dan meloncat ke atas sebuah batu karang besar yang berada di pinggir laut itu. Dengan sikap gagah dia berdiri tegak. Hong Ing di bebelakangnya seolah-olah dia hendak melindungi dara itu dari segala mara bahaya. Rombangan pengejar itu berhenti di depannya. Mereka turun dari atas kuda dan memandang pemuda itu, tidak berani sembarangan turun tangan melihat sikap pemuda itu yang sama sekali tidak kelihatan gentar. Kemudian terdengar suara Kun Liong lantang bergema. “Pangeran Han Wi Ong sebagai seorang pembesar tinggi, seorang bangsawan agung, ternyata tingkah lakumu sama sekali tidak patut menjadi tauladan rakyat! Engkau hendak mempergunakan pengaruh kedudukan dan kekuasanmu untuk memaksa seorang dara menjadi isterimu! Engkau tidak bercermin. Lihatlah mukamu sendiri dalam cermin. Engkau juga hanya seorang manusia biasa, tiada bedanya dengan aku atau Hong Ing, mengapa engkau hendak memaksa dia menjadi isterimu? Kalau seorang pembesar sebejat engkau wataknya, bagaimana pula dengan bawahanmu yang akan mencontoh perbuatanmu?” Muka pangeran itu sebentar merah sebentar pucat mendengar ini. Dia marah sekali, karena menganggap pemuda itu terlalu kurang ajar, tidak tahu apa yang dideritanya selama ini, dia benar-benar cinta kepada Pek Hong Ing, dara perkasa yang dikaguminya. Dia mengajukan lamaran dengan baik-baik dan sudah diterima oleh Go-bi Sin-kouw sebagai wali dara itu! Bagaimana dia dimaki-maki seperti itu? Adalah pemuda itu yang kurang ajar dan tidak patut, melarikan calon isteri orang! “Kim Seng Siocia, engkau juga seorang wanita yang berakhlak bejat! Tidak malukah engkau hendak memaksa seorang pria seperti aku menjadi suamimu? Engkau ini sepatutnya berjodoh dengan Pangeran Han Wi Ong, karena sama-sama hendak memaksa orang menjadi jodohnya!” Kim Seng Siocia tertawa lebar. “Bocah lucu, kalau sudah tertawan, aku akan menjewer telingamu biar kau bertaubat, hi-hik!” “Dan engkau, Go-bi Sin-kouw. Guru macam engkau ini pun bukan merupakan seorang guru yang baik! Mana ada guru yang katanya mencinta muridnya hendak menjerumuskan murid sendiri? Jelas bahwa muridmu, Pek Hong Ing, tidak suka menjadi isteri Pangeran Han Wi Ong, akan tetapi kau hendak memaksanya. Aku tahu hal ini adalah karena kau ingin mendapatkan kehormatan dan harta. Engkau tidak patut menjadi guru, pantasnya sikapmu itu sikap seorang biang pelacur!” “Dan kalian orang-orang kang-ouw dan para perajurit! Percuma saja hidup seperti kalian ini, mencari uang dan kedudukan dengan jalan membunuh orang lain, kalian adalah boneka-boneka sial yang mau saja ditipu dan diperalat oleh segelintir manusia macam Pangeran Han Wi Ong yang mengejar kedudukan! Betapa murah harga diri dan nyawa kalian!” “Serbu! Bunuh saja keparat itu!” Tiba-tiba terdengar perintah yang keluar dari mulut Pangeran Han Wi Ong. “Dan tangkap nona itu!” “Tidak! Jangan bunuh calon suamiku!” Kim Seng Siocia membantah. Menyerbulah semua orang itu ke batu karang dan terpaksa Kun Liong meloncat turun lalu mengamuk dengan sepasang ranting di tangannya. Dia mainkan Siang-liong-pang dan berturut-turut robohlah beberapa orang perajurit yang terdekat. Akan tetapi betapapun juga, Kun Liong tetap tidak mau membunuh orang dan selalu mengatur gerakan kedua ranting di tangannya sehingga yang roboh olehnya hanya menderita tertotok, luka ringan atau patah tulang saja. Dalam waktu singkat Kun Liong sudah dikeroyok seperti seekor jangkerik dikeroyok banyak sekali semut yang nekat. Melihat betapa Kun Liong dengan nekat menghadapi pengeroyokan dan semua itu dilakukan demi melindunginya, Hong Ing segera meloncat turun pula dan mengamuk. Dia ingin mati di samping pemuda ini! Seru dan hebat sekali pertandingan yang berat sebelah itu berlangsung di tepi pantai yang berhutan. Hong Ing sudah berhasil merampas sebatang pedang milik seorang pengeroyok dan kini dia mengamuk seperti seekor singa betina. Hanya subonya saja yang diseganinya dan dia sama sekali tidak mau melawan subonya, maka setiap kali gurunya ini menerjang, dia selalu lari ke lain bagian untuk mengamuk di antara para pengeroyoknya. Melihat ini Kun Liong mengerti bahwa kalau Go-bi Sian-kouw mendesak dan memaksa Hong Ing melayaninya, dara itu tentu akan mengalah dan mudah tertawan. Maka dia menggerakkan sepasang rantingnya selalu menghadang dan mendesak Go-bi Sin-kouw sehingga nenek ini tidak sempat lagi mengejar Hong Ing. Biarpun dia sudah memiliki tingkat kepandaian silat yang tinggi sekali, namun menghadapi pengeroyokan orang-orang pandai itu, Kun Liong merasa kewalahan juga. Apalagi dia tidak mau membunuh orang! Kim Seng Siocia dengan cambuk hitamnya, Go-bi Sin-kouw dengan tongkat bututnya, dan tujuh orang kang-ouw yang memegang bermacam senjata dan rata-rata memiliki kepandaian tinggi, membuat Kun Liong repot sekali. Namun dia terheran-heran mengapa di antara mereka ini tidak terdapat orang sakti yang telah mengganggunya dengan suara ketawa itu dan hal ini melegakan hatinya. Kalau ada orang itu, agaknya dia tidak akan dapat lama bertahan. Namun sekarang dia makin terdesak juga karena untuk menggunakan Thi-khi-i-beng yang diandalkannya, tidak ada kesempatan baginya. Berulang kali Kim Seng Siocia memperingatkan kawan-kawannya dengan teriakan agar jangan sampai menjadi korban Thi-khi-i-beng. “Awas!” teriaknya. “Dia pandai Ilmu Mujijat Thi-khi-i-beng! Jangan biarkan tubuhmu menyentuhnya, gunakan saja ujung senjata untuk mendesak! Tangkap dia!” Memang dengan peringatan ini, para pengeroyok hanya mengurung saja, tidak berani terlalu mendesak sehingga dia tidak terancam bahaya senjata lawan, namun dengan dikurung ketat seperti itu, dia takkan dapat meloloskan diri dan pula dia tentu akan kehabisan tenaga. Di samping ini, yang menggelisahkan hatinya adalah bahwa dia tidak dapat menolong Hong Ing dan hanya melihat dengan hati gelisah betapa dara itu pun dikeroyok oleh banyak sekali panglima dan perajurit. Selagi Kun Liong merasa bingung sekali, tiba-tiba dia melihat bayangan seorang gadis yang membuatnya girang dan jantungnya berdebar. Akan tetapi hatinya yang girang itu segera berubah heran dan bingung, juga kecewa ketika melihat bahwa gadis itu yang bukan lain adalah Cia Giok Keng, datang bersama dengan Liong Bu Kong, putera dari Ketua Kwi-eng-pang! Saking herannya, dia tidak jadi berteriak memanggil dan dia melihat betapa dara itu bercakap-cakap dengan Pangeran Han Wi Ong. Tak lama kemudian terjadilah hal yang sama sekali tidak diduganya akan tetapi yang segera dapat dimengertinya. Cia Giok Keng dan Liong Bu Kong sudah menyerbu ke medan pertandingan dan ikut pula mengeroyoknya! Tanpa menegur pun tahulah dia mengapa Giok Keng membantu Pangeran Han Wi Ong. Ayah dara itu, supeknya Si Pendekar Sakti Cia Keng Hong, adalah seorang yang terkenal sering membantu pemerintah. Maka kini puterinya tentu saja membantu pasukan pemerintah, apalagi karena agaknya pangeran itu sudah memutarbalikkan kenyataan ketika bicara dengan Giok Keng tadi. Benar saja dugaannya, sambil menudingkan pedangnya Giok Keng memaki, “Yap Kun Liong! Mengapa kau menjadi begini tersesat? Lebih baik kau menyerah agar mendapatkan pengadilan yang resmi! Kau telah melarikan isteri orang? Sungguh terlalu kau!” “Jangan dengarkan obrolan pangeran konyol itu, Giok Keng!” teriak Kun Liong penasaran. “Gadis ini mau dipaksanya menjadi isterinya, aku hanya menolong...!” “Aku tahu watak mata keranjangmu!”. Giok Keng membentak dan kini pedangnya ikut bicara. Juga Liong Bu Kong yang diam-diam tersenyum girang ikut pula menerjang maju. Tentu saja Kun Liong menjadi makin kewalahan. Baru menghadapi pengeroyokan tadi saja dia sudah repot, kini ditambah dua orang yang memiliki kepandaian begini tinggi, tentu saja dia menjadi makin sibuk. Seperti diceritakan di bagian depan, Giok Keng dan Bu Kong sedang meninggalkan Pantai Pohai, baru saja mereka mengambil pusaka-pusaka yang disembunyikan pemuda itu dan hendak berangkat ke Siauw-lim-si. Di tepi pantai ini, dekat muara karena mereka bermaksud menggunakan perahu, mereka melihat ramai-ramai dan ternyata Yap Kun Liong si pemuda gundul yang dikeroyok oleh pasukan tentara. Tepat seperti diduga oleh Kun Liong, Giok Keng yang bicara dengan Pangeran Han Wi Ong menanyakan peristiwa itug mendengar bahwa Kun Liong melarikan gadis yang menjadi isteri pangeran itu. Tentu saja Giok Keng menjadi marah dan terus menyerbu bersama Bu Kong. Tubuh Kun Liong sudah basah semua oleh peluh, seperti juga tubuh Hong Ing yang membela diri mati-matian. Hanya bedanya, kalau orang-orang yang dirobohkan oleh Kun Liong hanya menderita tulang patah atau tertotok lumpuh, mereka yang roboh oleh pedang Hong Ing tak dapat bangkit lagi, bahkan banyak yang tewas seketika! Namun Hong Ing sendiri juga sudah menderita beberapa luka-luka ringan di lengan dan pahanya. Betapapun juga, dara ini mengamuk terus, mengambil keputusan untuk mempertahankan diri sampai titik darah terakhir! Diam-diam Cia Giok Keng heran bukan main, juga kagum. Baru sekarang dia menyaksikan dengan matanya sendiri betapa lihainya pemuda gundul itu. Ilmu tongkatnya yang dimainkan oleh kedua tenaga Kun Liong yang menggunakan sepasang ranting benar-benar amat luar biasa, aneh dan juga tangguh sekali. Belum pernah Giok Keng menyaksikan ilmu tongkat sehebat itu. Kemana pun tongkat berkelebat, tentu ada pengeroyok yang terdesak hebat, dan dari manapun datangnya hujan senjata tentu dapat ditangkis oleh sebatang di antara dua ranting itu! Dan kekebalan tubuh Kun Liong juga mengagumkan sekali. Beberapa kali tubuh pemuda itu terkena bacokan, namun hanya bajunya saja yang robek sedangkan kulit tubuhnya sama sekali tidak terluka. Tentu saja bacokan dan gebukan itu hanya dilakukan dengan senjata biasa. Buktinya, pemuda itu sama sekali tidak pernah berani menerima sambaran pedangnya, Gim-hwa-kiam, dan pedang Lui-kong-kiam di tangan Bu Kong dengan tubuhnya. Jelas bahwa kekebalan tubuh Kun Liong masih belum dapat menahan pedang pusaka! Dan sekali ini Giok Keng yang cerdik ternyata salah duga. Ketika tubuh Kun Liong terkena hantaman golok, pedang atau tombak, bukan sekali-kali dia menerima senjata itu dengan sengaja, melainkan karena terlalu banyaknya senjata yang datang menyerangnya membuat dia tidak sempat mengelak atau menangkis lagi. Maka terpaksa dia mengerahkan sin-kang melindungi tubuhnya sehingga kulitnya menjadi kebal. Dan kalau dia menghendaki, belum tentu pedang pusaka itu dapat pula melukainya! Tentu saja Kun Liong tidak mau mencoba-coba, karena selain berbahaya, juga dia tidak menghendaki kalau puteri supeknya ini merasa terhina. Maklumlah Kun Liong bahwa dia dan Hong Ing tidak akan tertolong lagi. Pihak pengeroyok terlampau kuat. Karena dia tahu bahwa tidak mungkin bagi Hong Ing untuk menyerah yang berarti dia harus mau menjadi isteri pangeran itu, maka tidak akan ada gunanya untuk membujuk dara itu menyudahi perlawanan. Dia lalu memekik nyaring, pekik dahsyat yang mengejutkan para pengerayoknya, apalagi ketika dari tangan kiri Kun Liong menyambar pukulan yang mengeluarkan uap putih dan yang menyambar dengan kekuatan dahsyat, bahkan Giok Keng sendiri sampai meloncat mundur. Kim Seng Siocia yang memandang rendah, terkena hantaman hawa pukulan ini dan dia menjerit sambil terhuyung mundur, mulutnya mengeluarkan darah segar tanda bahwa isi dadanya terguncang oleh Pukulan Pek-in-ciang yang dilakukan Kun Liong tadi. Memperoleh kesempatan selagi para lawannya mundur, cepat seperti kilat menyambar tubuhnya telah mencelat ke dekat Hong Ing yang sudah payah. Datangnya pemuda ini tentu saja merubah keadaan Hong Ing yang timbul kembali semangatnya melihat betapa enam orang pengeroyok terlempar ke sana-sini oleh kaki tangan Kun Liong yang marah menyaksikan dara itu terdesak dan terancam. “Kun Liong, mari kita mati bersama...” Hong Ing berbisik. “Tidak, kita harus hidup! Kita lawan mereka!” teriak Kun Liong penasaran. Kini para pengeroyok itu menerjang maju dan mengurung Kun Liong dan Hong Ing yang berdiri saling membelakangi, dengan punggung hampir mepet beradu, dan dengan sikap gagah, siap menanti setiap terjangan lawan dari manapun juga datangnya. Tiba-tiba terdengar suara ketawa yang luar biasa. Ketawa itu sambung-menyambung seperti halilintar di musim hujan, bergema di seluruh penjuru dan membawa kekuatan yang menggetarkan jantung setiap orang yang berada di situ. Bahkan ada belasan orang perajurit yang kurang kuat, merasa kakinya lumpuh dan mereka ini menggigil hampir roboh mendengar suara ketawa penuh dengan tenaga khi-kang itu. “Ha-ha-ha-ha! Bermacam-macam orang mengeroyok seorang hwesio muda dan seorang nikouw muda! Dunia ini akan menjadi apa kalau orang-orang sudah mengeroyok dua orang alim? Ha-ha!” Semua orang, termasuk Kun Liong dan Hong Ing, mengangkat muka memandang. Dari dalam hutan itu muncullah seorang yang tubuhnya tinggi besar seperti raksasa, berkepala gundul dan berpakaian seperti pendeta Lama dengan jubah lebar berwarna merah! Lama jubah merah! Sudah terkenal bahwa pendeta Lama jubah merah merupakan segolongan pendeta yang berilmu tinggi dan berpengaruh di Tibet! Anehnya, pendeta Lama tinggi besar ini memanggul sebuah peti mati! Peti mati yang sederhana sekali, hanya sebuah peti lonjong bertutup, terbuat dari kayu yang hitam mengkilap. “Ha-ha-ha-ha, mengeroyok nikouw dan hwesio sama artinya dengan menantang aku! Mundurlah kalian semua, kalau tidak, terpaksa pinceng (aku) melakukan pelanggaran pantangan membunuh hari ini, ha-ha-ha! Sayang peti matiku hanya sebuah, sedangkan kalian begitu banyak, mana cukup?” “Hwesio gila...!” Lima orang kango-uw dan belasan orang perajurit yang tadi berada di bagian luar pengepungan dan kini paling dekat dengan hwesio raksasa itu, menyerbu dengan senjata mereka yang bermacam-macam. Pendeta Lama itu hanya tertawa tanpa menurunkan peti mati yang dipanggul di pundak kanannya. Ketika belasan orang itu mendekat, pendeta Lama ini menggerakkan lengan kirinya yang berjubah lebar. Angin yang dahsyat menyambar seperti badai dan... lima orang kang-ouw bersama belasan orang perajurit itu roboh dan tidak dapat bangun kembali! “Ha-ha-ha, segala macam tikus busuk hendak melawan pinceng? Tidak ada gunanya! Pinceng baru mau bertanding sungguh-sungguh kalau lawan pinceng yang seimbang maju. Hayo, mana dia yang berjuluk Go-bi Thai-houw? Mana dia Bun Hwat Tosu dan Tiang Pek Hosiang? Suruh mereka maju, atau Sin-jiu Kiam-ong dan Panglima The Hoo! Ha-ha-ha, apakah mereka itu tidak ada yang berani melawan Kok Beng Lama?” Semua orang, terutama sekali Kun Liong dan Giok Keng, terkejut bukan main mendengar ucapan itu. Lama ini menantang-nantang semua orang sakti yang amat terkenal, bahkan yang sebagian besar sudah meninggal dunia! Bahkan guru dari Cia Keng Hong yang bernama Sin-jiu Kiam-ong (baca cerita Pedang Kayu Harum) juga ditantangnya, termasuk Panglima The Hoo yang sakti luar biasa! Mendengar bekas majikannya yang dipuja-puja, yaitu Go-bi Thai-houw disebut-sebut, marahlah Kim Seng Siocia. Dia berteriak keras dan melompat ke depan. Tubuh yang gendut itu ternyata dapat bergerak gesit sekali dan terdengarlah bunyi ledakan keeil berturut-turut ketika cambuk hitamnya melecut-lecut di udara kemudian meluncur ke arah kakek pendeta Lama itu. “Ha-ha-ha, bagus juga Si Gendut ini!” Kakek itu menerima lecutan cambuk hitam dengan mengangkat tangan kirinya dan... seperti besi disedot semberani, ujung cambuk hitam itu melayang ke arah tangan Si Kakek lihai lalu ditangkapnya. “Lepaskan cambukku! Aihhh...!” Kim Seng Siocia mengerahkan tenaganya membetot, namun cambuknya seperti telah berakar ditangan kakek itu yang masih tertawa-tawa, kemudian tiba-tiba dilepaskanlah cambuk itu sehingga tubuh yang gendut dari Kim Seng Siocia itu terjengkang dan terguling-guling, diikuti suara ketawa kakek itu! Kim Seng Siocia sudah berdiri lagi, memutar-mutar cambuknya mengikuti sepasang matanya yang juga terputar-putar. Kemudian dia menerjang maju, bersama dengan yang lain. Melihat permainan senjata bukan saja dari Kim seng Siocia, akan tetapi juga Go-bi Sin-kouw dan terutama sekali gerakan pedang di tangan Giok Keng dan Bu Kong, diam-diam kakek itu merasa kagum. Dia tertawa panjang dan tubuhnya sudah meluncur ke dekat Kun Liong dan Hong Ing. “Kallan tidak lekas masuk ke dalam peti mati selagi masih hidup, apakah menunggu sampai mampus baru dimasukkan? Ha-ha-ha!” Kun Liong dan Hong Ing maklum bahwa kakek inilah agaknya yang tertawa di dalam hutan kemarin, dan dapat menduga bahwa kakek ini datang untuk menolong mereka, maka Kun Liong lalu menyambar tangan Hong Ing dan ketika melihat peti itu yang dipanggul oleh Si Kakek tahu-tahu sudah terbuka sendiri tutupnya, dia lalu membawa Hong Ing meloncat ke dalam peti mati yang segera tertutup kembali! Biarpun para lawannya sudah menerjang maju, pendeta Lama itu tidak melepaskan peti mati, bahkan dia lalu tertawa dan kini lengking ketawanya mengandung tenaga yang sedemikian dahsyatnya sehingga Giok Keng, Bu Kong, Kim Seng Siocia, Go-bi Sin-kouw dan beberapa orang kang-ouw, cepat meloncat mundur, mengerahkan sin-kang untuk menahan pengaruh suara yang menggetarkan jantung mereka itu. Pangeran Han Wi Kong sendiri yang berdiri agak jauh, sudah terjungkal roboh dan pingsan, sedangkan banyak perajurit roboh dan tewas seketika, telinga mereka mengeluarkan darah segar! Keadaan menjadi sunyi sekali setelah kakek itu menghentikan suara lengkingannya yang hebat itu, dan kesempatan ini dipergunakan oleh kakek yang mengaku bernama Kok Beng Lama itu untuk berbisik ke dalam peti, “Kalian adalah orang-orang buruan pemerintah. Berbahaya sekali. Lebih baik kalian untuk sementara waktu pergi bersembunyi ke sebuah pulau kosong dan jangan mendarat dulu. Nah, pergilah!” Tiba-tiba kakek itu menggunakan kedua lengannya yang berbulu untuk melontarkan peti mati itu. Peti melayang dan meluncur jauh menuju lautan. “Byuuurrr...!” Peti mati itu terbanting ke atas air, Kun Liong dan Hong Ing sampai bertumpang tinding di dalam peti namun Kun Liong masih teringat untuk merangkul Hong Ing dan melindunginya sehingga ketika peti terbanting, kepala dara itu tidak sampai terbentur peti. Juga pemuda ini sudah menarik tubuh Hong Ing ke atas tubuhnya ketika peti melayang sehingga dialah yang berada di bawah ketika peti terbanting. Setelah peti yang terbanting tidak melayang lagi, Kun Liong menggunakan tangan kirinya membuka peti dari dalam. Dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka berdua mendapat kenyataan bahwa peti mati itu telah berada di atas permukaan air laut yang bergelombang! Ketika mereka memandang ke daratan yang agak jauh, mereka melihat para pengejar mereka berdiri di pantai. Untung di situ tidak tersedia perahu sehingga mereka tidak mampu melakukan pengejaran. Adapun pendeta Lama bernama Kok Beng Lama itu sudah tidak tampak mata hidungnya di pantai. Memang pendeta itu segera melangkah lebar pergi meninggalkan pantai setelah melemparkan peti mati ke lautan dan tidak ada yang berani mengejarnya karena semua orang maklum betapa lihainya pendeta Lama itu. Kun Liong terus membuka peti. Tutup peti yang berengsel itu dapat terbuka sampai telentang sehingga peti itu merupakan dua perahu kecil berjajar. Di sudut dia menemukan sehelai layar tergulung, terbuat dari kain tipis akan tetapi kuat sekali, lengkap berikut tali-temali dan bambu sebagai tiang. Kiranya peti mati itu bukanlah peti mati biasa, melainkan peti mati yang dapat dipergunakan sebagai perahu dan agaknya memang menjadi kendaraan kakek itu! Dibantu oleh Hong Ing, Kun Liong lalu memasang layar dan meluncurlah “perahu” mereka, menerjang ombak menuju ke timur, ke tengah samudera yang luas! Setelah pantai hanya kelihatan sebagai garis yang tidak jelas dan para pengejar tak tampak lagi, legalah hati kedua orang muda itu. “Ke mana kita pergi?” Tiba-tiba terdengar suara Hong Ing, suara yang lemah penuh kekhawatiran. Kun Liong menarik napas panjang. Sebegitu jauh, nasib mereka masih mujur, ada saja bintang penolong yang datang membebaskan mereka dari bahaya. Akan tetapi dia sendiri pun tidak tahu harus pergi ke mana! “Sebaiknya kita mentaati nasihat Kok Beng Lama tadi. Kalau berada di darat, tentu kita akan menjadi orang buruan terus sebelum aku berhasil bertemu dan mendapat pertolongan Supek. Akan tetapi melihat sikap Giok Keng tadi... ah, tipis harapanku...” “Giok Keng? Apakah kaumaksudkan dara cantik jelita yang amat gagah perkasa tadi? Yang menyerangmu dengan pedang bersinar perak?” “Benar.” “Engkau sudah mengenalnya, mengapa dia menyerangmu? Siapakah dia?” “Dia itu... tunanganku...” “Ihhh...!” Hong Ing membuang muka, tidak memandang lagi kepada Kun Liong dan tidak bicara lagi. Sampai lama keduanya berdiam saja dan suasana menjadi amat hening, hening menggelisahkan hati. “Dia adalah puteri Supek Keng Hong...” Akhirnya Kun Liong berkata, tidak tahu mengapa Hong Ing menjadi pendiam, mengira tentu dara itu tenggelam ke dalam kegelisahan karena keadaan mereka. Hong Ing kelihatan tercengang dan menengok. “Ehhhh...?” “Tapi pertunangan kami itu telah putus...” “Hemm...” Hong Ing berusaha untuk duduk sejauh mungkin dari Kun Liong, akan tetapi mana bisa kalau tempat itu hanya sedemikian sempitnya? Apalagi Kun Liong duduknya di tengah karena pemuda itu harus memegang tali layar dan mengatur arah perahu yang melaju didorong angin itu. Betapa pun dia menggeser tubuhnya, tetap saja mereka duduk berdekatan! “Kenapa...?” Kun Liong yang termenung, agaknya ikut kecewa dan berduka menyaksikan keadaan Hong Ing yang seperti orang bingung dan bersedih itu, terkejut mendengar pertanyaan tiba-tiba ini. “Kenapa apanya...?” “Kenapa pertunangan itu putus?” “Dia yang menghendaki demikian, karena dia tidak cinta kepadaku.” Hong Ing mengangguk-angguk dan kini wajahnya kembali agak merah, matanya bersinar dan mulutnya tersenyum mengejek. “Aku sudah melihat itu. Kalau cinta tidak mungkin dia ikut mengeroyokmu. Kulihat dia datang bersama pemuda tampan itu, tentu pemuda itulah yang menggagalkan pertunanganmu.” “Tidak! Mudah-mudahan tidak. Pemuda itu adalah putera datuk sesat, putera Kwi-eng Niocu, tak mungkin Giok Keng jatuh cinta kepada seorang pemuda seperti itu.” “Mengapa tidak mungkin? Pemuda itu tampan dan menarik, dan seorang yang mencinta tidak mungkin dapat melihat keburukan orang yang dicinta.” “Tapi Giok Keng seorang dara perkasa yang cerdik dan bijaksana.” “Tidak! Dia gadis tolol!” Tiba-tiba Hong Ing berkata dengan nada suara keras. Kun Liong memandang tajam, agak panas perutnya. “Hong Ing, dia bukan gadis tolol, dia puteri Supek...” “Puteri dewa sekalipun, tetap saja dia tolol!” Hong Ing juga memandang tajam menantang, seolah-olah sengaja hendak memanaskan hati pemuda gundul itu. Kun Liong hendak membantah, akan tetapi melihat sinar mata dara itu, dia menunduk dan menghela napas. Perlu apa bertengkar karena urusan tetek-bengek? Mereka masih terancam bahaya, berada di perahu yang aneh dan di tengah samudera, tak tentu arah tujuan. Lama mereka tenggelam dalam keheningan, hanya beberapa kali Kun Liong menarik napas panjang karena suasana hening yang mencekam itu amat tidak mengenakkan hatinya. Mau bicara, bicara apa lagi? Pula, Hong Ing tentu masih marah. Mengapa dara ini marah? Dia benar-benar tidak mengerti. Apakah karena kedukaannya dan kegelisahannya? “Kun Liong...” “Hemm...?” Dia mengangkat muka dan hatinya menjadi lega melihat wajah dara itu sudah berseri kembali, sama sekali tidak ada tanda-tanda kemarahan atau kedukaan. “Benarkah Giok Keng tidak mencintamu?” Sebenarnya di dalam hatinya Kun Liong merasa tidak senang sekali diajak bicara urusan ini, akan tetapi karena dia tidak ingin melihat dara itu marah-marah lagi, dia terpaksa menjawab, “Tentu saja dia tidak cinta padaku, dia sendiri yang menyatakan ini dan memutuskan tali perjodohan kami.” “Mengapa tidak cinta padamu?” “Eh, apa anehnya itu, Hong Ing? Mana mungkin seorang seperti dia mencinta seorang gundul seperti aku? Mana ada di dunia ini seorang dara cantik yang bisa jatuh cinta kepada seorang laki-laki gundul tak berharga seperti aku ini? Paling-paling yang jatuh cinta kepadaku hanyalah orang-orang macam Kim Seng Siocia...” Kun Liong mencoba berkelakar akan tetapi terdengar masam dan hambar. “Kasihan kau, Kun Liong...” “Tak perlu kaukasihani, aku sudah menyadari keadaanku yang buruk,” kata Kun Liong sambil cemberut. Kau tidak tahu, katanya dalam hati, betapa banyaknya gadis yang jatuh cinta kepadanya! Terbayanglah wajah Bi Kiok, Li Hwa, dan terutama sekali wajah Hwi Sian! Biarpun dia tak berani memastikan bahwa Bi Kiok dan Li Hwa mencintanya, akan tetapi yang jelas, Hwi Sian benar-benar mencintanya sehingga dara itu rela menyerahkan kehormatan dan tubuhnya kepadanya! “Benar-benarkah tidak ada wanita yang mencintamu?” Kun Liong menggeleng kepalanya. “Yang jelas hanya seorang...” “Siapa?” Hong Ing kelihatan bernafsu dan ingin tahu sekali ketika mengajukan pertanyaan ini. “Mendiang ibuku...” “Hemmm... kasihan engkau. Giok Keng memutuskan perjodohan karena tidak mencintamu, padahal engkau tentu cinta sekali padanya...” “Tidak sama sekali.” “Heiii?” “Aku tidak cinta padanya! Dan aku tidak mencinta siapa pun! Aku tidak percaya kepada cinta!” “Ehhh...?” “Cinta adalah palsu belaka! Cinta hanyalah dipergunakan untuk memenuhi keinginan hati sendiri, untuk memuaskan hati sendiri. Betapa tololnya pria yang jatuh cinta! Semua wanita sama saja, mereka itu mempesolek diri, membuat dirinya cantik menarik seperti kembang yang memancing datangnya kumbang, dengan pernyataan cinta palsunya wanita hanya ingin agar pria tunduk kepadanya, menuruti segala kehendaknya, menyenangkan hatinya! Pria pun berlumba menarik perhatian wanita dengan segala cinta palsu di mulut, hanya untuk menjadikan wanita sebagai pemuas nafsu berahinya! Aku muak! Aku tidak cinta siapapun dan tidak akan mencinta siapapun!” Mata Hong Ing terbelalak, napasnya terengah, dan sukar sekali kata-kata yang keluar dari mulutnya, “Jadi kau... tidak suka kepada wanita?” “Aku suka! Tapi aku tidak cinta! Aku suka kepada wanita cantik seperti aku suka kepada bunga yang indah dan harum, suka membelai dan menciumnya, akan tetapi untuk jatuh cinta, nanti dulu! Cinta adalah perasaan yang palsu, hanya indah dalam lamunan... seperti mimpi... tapi kenyataannya, tahu-tahu diri terikat dan tak bergerak lagi, kehilangan kebebasan, dan selama hidupnya menjadi hamba dari ikatan cinta yang menjadi pernikahan, suka atau tidak. Betapa bodohnya pria yang jatuh cinta!” “Dan engkau tentu tidak sebodoh itu, bukan?” “Tidak!” “Dan semua pengetahuanmu tentang cinta ini kaupelajari dari kitab?” “Hemmm... mungkin! Banyak kitab lama menceritakan tentang kejatuhan kaisar dan orang-orang besar hanya karena cinta kepada wanita. Pertapa-pertapa gagal juga karena cinta kepada wanita. Wanita seperti kembang...” “Seperti syair kata-katamu... teruskan...” “Wanita seperti kembang, hanya boleh dipandang, boleh dijamah dan dicium, akan tetapi sekali dipetik, akan menjadi layu dan menjemukan... harumnya hilang berubah menjadi bau yang tidak enak, keindahannya mengeriput dan melayu sehingga berubah buruk...” Kun Liong menghentikan kata-katanya karena pandang matanya bertemu dengan pandang mata Hong Ing yang membuatnya terkejut setengah mati. Pandang mata Hong Ing seperti ujung pedang runcing yang menusuk matanya! Teringatlah dia sekarang betapa tadi dia bicara mengeluarkan isi hatinya seperti bicara kepada diri sendiri, membicarakan dan mencela wanita di depan Hong Ing, seorang wanita pula, bahkan seorang wanita remaja yang amat cantik jelita! Baru dia teringat betapa dia telah kelepasan bicara, telah melepaskan kata-kata keras yang terdorong oleh rasa penasaran di hatinya terhadap Giok Keng puteri supeknya yang selain telah bersama-sama Liong Bu Kong, juga telah mengeroyoknya tadi. “Yap Kun Liong...” Panggilan nama lengkapnya ini membuat hati Kun Liong berdebar, namanya disebut lengkap dengan suara yang begitu dingin! Dari dada Hong Ing keluar isak tertahan dan tiba-tiba dara itu membuang muka, mengalihkan pandang matanya ke air di luar perahu, kemudian kedua tangannya menyapu-nyapu air laut seolah-olah dia bicara dengan lautan. “Yap Kun Liong pemuda yang gagah perkasa dan terpelajar itu bicara seperti seorang kakek tua renta tentang wanita... padahal segala ilmu silatnya dia dapat dari guru-gurunya, segala ilmu sastranya dia dapat dari kitab-kitab, semua itu dia hanya menjiplak saja dan sekarang... dengan kesombongan yang melebihi halilintar dia mengutuk wanita, seolah-olah wanita disamakannya dengan isi keranjang sampah!” “Hong Ing...” Kun Liong mengeluh, menyesali kata-katanya tadi. “Seolah-olah dialah satu-satunya pria yang paling hebat... yang terlampau tinggi bagi mahluk wanita yang lemah dan hina...” “Hong Ing... aku tidak bermaksud begitu...” “Yap Kun Liong pemuda pongah, pemuda sombong itu... pantasnya berada di kahyangan tanpa wanita... dan baginya, agaknya hanya neraka sajalah tempat tinggal wanita... begitu hebat dia memandang rendah wanita sampai dia lupa bahwa neneknya dan ibunya pun seorang wanita...” “Hong Ing...!” Kun Liong membentak, mukanya menjadi pucat. Mengapa dara itu begitu berlebih-lebihan menambah-nambah ucapannya tadi? Akan tetapi Hong Ing sudah memalingkan muka, membelakanginya dan dara itu merapikan kain putih penutup kepalanya yang terbuka oleh angin, kemudian gadis ini bersenandung! Kun Liong tenganga bengong. Suara Hong Ing amat merdunya, jernih melebihi air di luar perahu peti mati dan halus mengimbangi hembusan angin, nyanyiannya lirih namun kata-katanya terdengar jelas, diiringi suara air laut memercik pada peti yang mendatangkan irama kacau namun pada saat itu merupakan latar belakang nyanyian yang menambah keindahan nyanyiannya itu. Mula-mula Kun Liong terpesona oleh suara yang merdu sekali itu, menjadi istimewa karena dinyanyikan di tempat seperti itu, di saat seperti itu pula. Akan tetapi, alisnya berkerut dan matanya terbelalak ketika dia mulai memperhatikan kata-kata yang diucapkan dalam nyanyian itu. Hong Ing bernyanyi tentang... cinta! Dan setelah dia mengikuti isi nyanyian, teringatlah dia bahwa yang dinyanyikan itu merupakan sajak kuno yang ditulis oleh seorang sastrawan di jaman Kerajaan Han, ratusan tahun yang lalu. Dia merasa kagum sekali, kagum dan heran. Kagum karena tidak disangkanya dara ini selain memiliki suara merdu juga mengenal sajak itu, dan heran mengapa dara murid Go-bi Sin-kouw yang sejak kecil berada di puncak gunung ini demikian pandai bernyanyi. “Cinta adalah Kehidupan tanpa cinta hidup sama dengan mati Cinta adalah Cahaya tanpa cinta hidup gelap gulita Cinta adalah Suci tanpa cinta hidup bergelimang dosa Hanya orang bijaksana saja mengenal Cinta si dungu hanya mengejar nafsu!” “Suaramu indah sekali!” Akan tetapi Hong Ing tidak menjawab, menoleh pun tidak, hanya mengulang lagi nyanyiannya. Kun Liong merasa seolah-olah disindir hebat oleh nyanyian itu, terutama sekali baris terakhir yang mengatakan bahwa si dungu hanya mengejar nafsu, maka dia menjadi mendongkol juga. Karena pujiannya tidak dipedulikan, dia lalu mencari bahan untuk menggoda dara itu. Akhirnya dia memperoleh akal dan berteriak keras melawan angin, agar mengatasi suara nyanyian dara itu. “Hai lucunya! Ada nikouw kok menyanyi!” Pancingannya berhasil. Hong Ing menoleh dan dengan mata berkilat penuh penasaran dia menjawab, “Nikouw juga manusia yang mempunyai mulut dan suara! Apa salahnya nikouw menyanyi?” Girang hati Kun Liong melihat bahwa dia telah berhasil memancing kemarahan Hong Ing itu sehingga membantahnya. Lebih baik melihat dara ini marah-marah dan memaki-makinya sekali daripada melihat dia didiamkan dan tidak diacuhkan seperti patung. Kun Liong tertawa. “Tentu saja semua nikouw boleh bernyanyi, akan tetapi biasanya nikouw hanya menyanyikan lagu doa untuk liam-keng, bukan menyanyikan lagu tentang cinta!” Sepasang mata yang bening itu makin mendelik marah. “Aku bukan nikouw! Aku bukan nikouw aseli, melainkan nikouw palsu, nikouw terpaksa! Sekarang aku bukan nikouw lagi!” Berkata demikian, Hong Ing lalu merenggut lepas kain putih penutup kepalanya sehingga tampaklah kepalanya yang gundul dan licin mengkilap, bersih dan bentuknya bulat. Melihat kepala ini, tak dapat ditahan lagi Kun Liong tersenyum lebar dan matanya memandang kepala itu. Melihat betapa mata pemuda itu ditujukan kepada kepalanya, baru Hong Ing teringat bahwa kepalanya gundul pelontos. Mukanya menjadi merah sekali, dia merasa seolah-olah kepalanya berada dalam keadaan “telanjang”, maka dengan tergesa-gesa ditutupkannya kembali kain putih ke atas kepalanya. Tentu saja gerakan dan sikap dara ini membuat Kun Liong menjadi makin geli dan dia mencela, “Heii, mengapa ditutup kembali?” In Hong tentu saja tidak mau mengatakan malu karena kepalanya “telanjang”, dan dengan cemberut dia berkata, “Siapa melarang aku menutupi kepalaku? Matahari amat teriknya, kepalaku menjadi panas terkena sinar matahari.” Kun Liong tidak mau menggoda lebih jauh lagi. Dia sudah merasa girang bahwa Hong Ing sudah mau bicara dengan dia. Maka dia berkata, “Hong Ing, kaumaafkanlah semua kata-kataku yang tidak karuan. Harap kau tidak marah lagi kepadaku.” Hong Ing menjawab tidak acuh, “Siapa marah? Aku tidak marah.” “Ahh, kau tadi mengatakan aku pongah dan sombong...” “Kau juga mengatakan bahwa wanita amat buruk dan hinanya...!” Kun Liong makin tidak mengerti akan sikap wanita pada umumnya dan dara ini pada khususnya. Akan tetapi karena dia tidak mau bermusuhan dengan satu-satunya kawan seperahu yang senasib sependeritaan dengannya di saat itu, dia diam saja. Dia murung dan betapapun dia menekan perasaannya, tetap saja mulutnya cemberut. Sampai lama mereka berdiam diri. Kun Liong mengatur arah perahu, terus ke timur dan kemudian membelok ke utara. Dia sengaja tidak mau bicara dan tidak memandang kepada Hong Ing, khawatir kalau-kalau mendatangkan keributan lagi. Heran dia mengapa setelah terlepas dari bencana dan menghadapi bencana baru yang tidak berketentuan ini, dia dan Hong Ing selalu berbantahan. Tiba-tiba terdengat suara dara itu, “Kun Liong...” Suaranya begitu merdu dan ketika dia menengok, dia melihat wajah dara itu berseri. Bukan main manisnya! “Hemmm...?” Kun Liong juga tersenyum, terseret oleh senyum dara itu. “Lihat ini...” Tangan kanan dara itu memegang seekor ikan sebesar betis, ikan segar yang masih menggelepar dan berusaha meronta terlepas dari pegangan tangan kecil yang amat kuat itu. “Aku menyambarnya ketika dia berenang dekat perahu. Kupanggang dia, ya?” “Wah, tentu enak sekali!” kata Kun Liong dan mereka tertawa-tawa gembira, lupa akan percekcokan mereka tadi. Karena di situ tidak terdapat bahan bakar, terpaksa Hong Ing menggunakan tenaganya untuk mematahkan sedikit ujung tiang layar dan mengambil sedikit kayu dengan menghancurkan pinggir tutup peti, kemudian dengan menggosok-gosokkan kayu kering dia berhasil membuat api dan memanggang ikan itu. Akan tetapi setelah mereka makan daging ikan yang lezat itu, mereka bingung karena mereka tidak dapat minum. Mereka merasa haus sekali dan memandang sedih ke arah air laut. Demikian banyaknya air di sekeliling mereka, terlampau banyak, namun mereka tidak dapat minum sama sekali! Air laut berlimpah tinggal ambil namun tiada gunanya, yang mereka butuhkan hanyalah seteguk air tawar! Setelah mengalami hal ini, barulah dengan amat terkejut keduanya sadar bahwa mereka terancam bahaya maut yang mengerikan di tengah laut! Dan mereka tadi sempat bercekcok! “Hong Ing, kita harus segera dapat mendarat di sebuah pulau yang ada airnya. Kalau tidak, celakalah kita.” Hong Ing mengangguk dan dara ini lalu membantu Kun Liong memegang tali-temali layar. Angin bertiup kencang dan keduanya melihat-lihat ke empat jurusan, mencari-cari dengan pandang mata disertai penuh harapan akan melihat bayangan sebuah pulau dari jauh. Akan tetapi, di empat penjuru yang tampak hanya air dan air sampai ke kaki langit, air yang tiada tepinya! Menjelang senja, perahu peti itu sudah berlayar jauh sekali. Angin makin kencang dan tiba-tiba dari langit yang tertutup awan hitam itu turunlah air bertitik-titik besar. Kedua orang muda itu dengan girang dan lega memuaskan dahaga mereka dengan air hujan. Akan tetapi hujan segera turun dengan lebatnya, angin bertiup amat kencangnya sehingga mereka cepat-cepat menurunkan layar. Angin badai mengamuk! “Celaka...! Kita tutup peti ini...!” Kun Liong berkata dan dengan cepat mereka berdua menutupkan peti setelah membuang air keluar dari peti. Peti itu mulai diombang-ambingkan gelombang yang dahsyat dan tak lama kemudian, Kun Liong dan Hong Ing terbanting-banting dan saling berpelukan di dalam peti yang kini tidak hanya diombang-ambingkan, melainkan dilempar ke atas dan diguling-gulingkan! Di dalam peti yang gelap itu, Kun Liong mendengar suara dahsyat dari badai dan di antara suara dahsyat ini, terdengar tangis Hong Ing yang lemah, tangis ketakutan. Dia memeluk tubuh dara itu, mendekapnya dan dengan seluruh jiwa raganya dia berniat melindunginya. Akan tetapi apa dayanya? Mereka berada di dalam sebuah peti mati tertutup, peti yang kecil sehingga mereka tidak mampu bergerak, peti yang dipermainkan oleh badai dan setiap saat dapat saja peti itu ditenggelamkan atau dihempaskan hancur lebur di batu karang sehingga riwayat mereka akan habis sampai di situ saja. Hong Ing menangis dan merintih-rintih saking takutnya, sedangkan Kun Liong sendiri yang selama ini tidak pernah mengenal takut, kini merasa ngeri juga sehingga tanpa disadarinya, timbul kembali pengalaman di waktu dia masih kanak-kanak dan tak terasa lagi dia meneriakkan panggilan kepada ayah bundanya seperti seorang anak kecil yang menderita ketakutan. Tiba-tiba Kun Liong merasa terguncang hebat dan berbareng dengan suara keras sekali tubuhnya terlempar dan keadaan menjadi gelap. Ketika terlempar itu dia seperti mendengar suara wanita memanggil namanya, “Kun Liong...!” Akan tetapi dia tidak tahu pasti apakah itu suara ibunya, ataukah suara Hong Ing karena dia sudah tidak ingat apa-apa lagi. Ketika Kun Liong membuka kedua matanya, dia mendapatkan dirinya sudah rebah menggeletak di atas pasir. Seluruh tubuhnya terasa nyeri, setiap gerakan kaki atau tangan mendatangkan rasa nyeri sekali. Dia mengeluh, akan tetapi begitu teringat akan Hong Ing, dia cepat bangkit dan duduk, sama sekali tidak lagi merasakan rasa nyeri-nyeri tubuhnya. Malam masih gelap dan suara badai masib menggelora. Akan tetapi dia selamat! Dia telah berada di daratan. Dengan tangan kaki meraba-raba dia bangkit berdiri, melangkah maju. Kiranya dia berada di pantai yang penuh dengan batu-batu karang dan pasir. Untung dia terhempas di pasir, kalau terhempas di batu-batu, tentu tubuhnya sudah hancur lebur. Kembali dia teringat kepada Hong Ing! “Hong Ing...!” Dia memanggil dengan pengerahan khi-kangnya. Suaranya dihembus pergi oleh angin badai, akan tetapi dia terus memanggil-manggil sambil meraba ke kanan kiri dalam kegelapan. Tidak ada yang menjawabnya! Dia berteriak lagi, melangkah maju tersaruk-saruk, kadang-kadang jatuh, bangkit lagi dan memanggil lagi. Akhirnya, setelah suaranya habis dan serak, setelah untuk berjam-jam dia memanggil tanpa ada jawaban, dia menjatuhkan diri berlutut di atas pasir, berpegang kepada batu karang dan menangis! Baru sekali ini Kun Liong menangis seperti itu, menangis sesenggukan karena terbayang di depan matanya betapa tubuh dara itu tentu hancur lebur dihempaskan di atas batu-batu karang. Baru sekali ini dia merasakan kedukaan yang amat hebat. Merasakan kebimbangan yang membuat hidupnya sekaligus terasa sunyi dan hampa. Sambil menangis dia akhirnya duduk bersandarkan batu karang. Hatinya mengutuk badai, mengutuk batu karang, mengutuk lautan, mengutuk Kok Beng Lama yang melontarkan mereka ke laut, mengutuk semua orang yang mengeroyok mereka, mengutuk dunia dan mengutuk alam! Dia tidak merasakan lagi tubuhnya yang sakit-sakit. Namun dia masih belum hilang harapan. Sekali-kali dia memekik memanggil nama Hong Ing tanpa ada jawaban. Dia terus duduk di situ, menanti sampai pagi. Dia menanti sampai cuaca menjadi terang agar dia dapat mencari Hong Ing, hidup atau mati. Sambil menanti, telinganya dibuka lebar-lebar, mendengarkan kalau-kalau ada suara Hong Ing memanggilnya. Akan tetapi yang terdengar hanyalah lengking panjang suara badai yang mengiuk-ngiuk, diseling suara air berdeburan dan adakalanya air meledak bergemuruh ketika menghantam batu karang, didasari suara air laut yang mendidih dan mengerikan hati. Di dalam semua keributan suara badai, seolah-olah terdengar suara segala macam hantu dan setan yang muncrat dari dalam lautan, suara mereka yang tertawa-tawa dan menangis melolong-lolong bercampur aduk menjadi satu. Menjelang pagi, badai berhenti, akan tetapi cuaca masih gelap. Betapapun juga, Kun Liong sudah merangkak-rangkak di antara batu karang, telinganya dibuka lebar dan matanya terbelalak dalam usahanya menembus kegelapan malam, mencari-cari Hong Ing. Mulutnya mulai lagi memekikkan nama dara ini dengan pengerahan khi-kang sekuatnya. “Hong Ing...!” Sampai matahari terbit, Kun Liong berkeliaran di pantai, merangkak-rangkak melalui pasir dan batu karang yang tajam, mencari-cari. Akhirnya, di bawah batu karang yang menonjol, dia melihat peti mati yang menjadi perahu mereka itu. Sudah hancur dan pecah berantakan! Cepat dia merangkak mendekati, menuruni batu karang, tidak merasa lagi betapa tangan kakinya yang telanjang itu pecah-pecah kulitnya tertusuk batu karang. Akan tetapi setelah dekat, yang ada hanya pecahan-pecahan peti mati itu saja, berikut layar yang sudah robek-robek. Tidak ada Hong Ing di sekitar tempat itu. Bekasnya pun tidak ada! Kun Liong lemas dan kembali air matanya bercucuran. Tentu Hong Ing telah dimakan ikan! Betapa ngerinya! “Hong Ing...!” Dia mengeluh dan seperti orang gila, kembali dia merangkak ke sana-sini, memanggil-manggil. Tiba-tiba matanya terbelalak memandang ke depan. Ada sebuah benda putih terapung di air! Cepat dia menghampiri dan lari ke pantai yang sedalam lutut. Dia menyambar benda itu dan memandang dengan mata terbelalak. Kain penutup kepala Hong Ing! “Hong Ing...!” Kun Liong menjerit, kain itu dipeluknya, ditangisi dan diciuminya, terhuyung-huyung dia kembali ke darat sambil menangis, kemudian dia terguling roboh di atas pasir dan pingsan! Kain itu masih dicengkeramnya! Kita tinggalkan dulu Kun Liong yang pingsan dan marilah kita menengok keadaan di Cin-ling-san. Di pegunungan ini, Pendekar Sakti Cia Keng Hong dan isterinya, Sie Biauw Eng, dengan hidup tenteram, aman dan penuh kebahagiaan di samping kedua orang anak mereka, yaitu Cia Giok Keng dan Cia Bun Houw. Sebagai seorang ketua perkumpulan Cin-ling-pai yang sudah mulai terkenal itu, tentu saja pendekar ini hidup serba cukup dan terjamin, dilayani para anggauta yang juga menjadi murid-muridnya. Giok Keng telah menjadi seorang dara remaja yang sudah mereka tunangkan dengan Yap Kun Liong, dan Bun Houw sudah berusia hampir lima tahun, merupakan seorang anak laki-laki yang tampan dan bertubuh sehat. Apalagi yang dikehendaki? Cia Keng Hong adalah seorang pendekar besar yang dihormati dan disegani orang, bahkan namanya dihormati sampai ke kota raja, dianggap sebagai orang yang berjasa terhadap pemerintah, hidup serba cukup, dan keluarganya sehat sejahtera. Tentu akan dianggap sebagai seorang yang berbahagia hidupnya. Akan tetapi benarkah demikian? Benarkah Cia Keng Hong merasa dirinya berbahagia? Biasanya hanya orang lain sajalah yang menganggap seseorang itu bahagia. Orang yang tidak mempunyai uang akan menganggap bahwa si pemilik uang berbahagia. Orang yang sedang sakit menganggap bahwa si sehat itu berbahagia. Orang yang sedang cekcok dengan isterinya menganggap bahwa suami isteri yang rukun itu berbahagia. Dan demikian selanjutnya. Akan tetapi benarkah bahwa semua itu dapat dijadikan ukuran seseorang apakah dia hidup bahagia atau tidak? Selama orang masih memiliki keinginan untuk mendapatkan sesuatu, mungkinkah dia berbahagia? Selama orang masih melakukan perbandingan, tentu akan timbul iri dan kecewa yang melahirkan pertentangan-pertentangan dalam batin yang kemudian meledak keluar. Mungkinkah orang berbahagia kalau masih ada pertentangan, baik lahir maupun batin? Bahagia tidak terletak pada harta, kedudukan, kewarasan, kesenangan, kehormatan. Bahagia haruslah lengkap dan bulat, tidak terpecah-pecah. Bahagia tidak mungkin dapat dikejar dan dijangkau, tidak mungkin dapat dicari dan dipaksakan untuk memiliki! Bahagia adalah suatu keadaan yang datang sendiri tanpa dipanggil, tanpa dikehendaki, tanpa dirasakan! Bahagia tidak mengenal susah senang, suka duka, puas kecewa dan segala macam keadaan berkebalikan yang memenuhi kehidupan manusia dan karenanya mendatangkan segala pertentangan itu. Kebahagiaan berada di atas segala itu. Demikianlah, maka hanya menjadi harapan dan mimpi setiap orang saja jika kita bicara tentang bahagia yang seolah-olah ada dan nampak namun selalu hampa kalau diraih. Semua orang mencari jalan menuju kebahagiaan, seolah-olah kebahagiaan merupakan suatu tujuan yang tertentu dan mati sehingga kita tersesat tanpa obor, seperti orang yang mencari sumbernya angin, mencari ujungnya piring! Kehidupan Cia Keng Hong bersama keluarganya di Cin-ling-san juga hanya kelihatannya saja hidup bahagia dalam pandang mata orang-orang tertentu. Untuk melihat apakah benar-benar mereka berbahagia, mari kita mengikuti pengalaman mereka selanjutnya dalam menghadapi peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan mereka. Bukankah hidup ini merupakan perubahan setiap saat, merupakan pergerakan yang terus-menerus dan tidak pernah sama? Pada pagi hari itu, setelah melakukan latihan pagi, Cia Keng Hong dan isterinya, Sie Biauw Eng, duduk bercakap-cakap menghadapi sarapan pagi di dalam taman bunga mereka yang cukup indah dan luas di sebelah belakang rumah. Bun Houw yang berusia empat tahun lebih dan tak pernah mau diam itu berada di taman pula, mengejar-ngejar kupu-kupu yang banyak beterbangan di sekeliling bunga-bunga yang sedang mekar mengharum. “Giok Keng sudah cukup dewasa,” terdengar Pendekar Cia Keng Hong berkata kepada isterinya. “Bahkan sudah agak terlambat untuk menikah, maka sekembalinya nanti, kita harus cepat-cepat membuat persiapan untuk merayakan pernikahannya dengan Kun Liong. Karena puteri kita hanya seorang itu, maka kita harus mengundang semua dan biarlah perayaan itu diadakan sebesarnya sesuai dengan kemampuan kita.” Berkata demikian, wajah pendekar itu berseri dan hatinya gembira membayangkan betapa dia akan menjadi ayah mertua yang berbahagia, menerima ucapan selamat dari sahabat-sahabatnya, para tokoh besar di kota raja dan di dunia kang-ouw. Sie Biauw Eng mengerutkan alisnya. Biarpun usianya sendiri sudah empat puluh tahun lebih, nyonya ini masih kelihatan muda dan cantik sekali. “Aku pun gembira dapat memperoleh mantu putera mendiang Yap Cong San dan Gui Yan Cu yang bernasib malang itu. Akan tetapi... apakah keputusan ini sudah kaupikir dengan matang? Apakah sudah cukup bijaksana? Kita tahu bahwa pernikahan baru akan berhasil apabila dua orang yang bersangkutan sudah menyetujuinya. Mengapa kau tidak menanyakan dulu kepada Keng-ji untuk mengetahui isi hatinya?” “Ahhh, kurasa tidak perlu, dan Keng-ji sendiri juga sudah tahu siapa dan orang macam apa adanya Kun Liong! Adakah pemuda lain yang lebih hebat dan lebih memuaskan daripada dia? Dia keturunan orang baik-baik, bahkan masih sahabat baik kita sendiri, ibunya masih sumoiku sendiri. Dia memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan Thi-khi-i-beng hanya diberikan kepada dia seorang. Juga melihat sepak terjangnya, dia memiliki watak yang gagah perkasa dan budiman, biarpun agak lemah dan terlalu mudah memaafkan orang, terlalu mengalah. Pula kalau dipikir secara mendalam, perjodohan atas pilihan orang tua belum tentu selamanya buruk.” “Hemmm, mengapa kau tidak ingat akan keadaan kita sendiri? Perjodohan harus didasari cinta kasih kedua pihak yang bersangkutan. Hanya kasih sayang kedua pihaklah yang penting, selebihnya tidak ada artinya lagi. Orang tua hanyalah melaksanakan saja.” “Hemm, ucapanmu memang benar. Akan tetapi kupikir, bagi orang muda yang belum berpengalaman, pilihan jodoh mereka bisa saja meleset dan gagal! Orang muda yang masih hijau hanyalah melihat keindahan muka dan mendengar kemanisan kata-kata! Banyak terjadi ketika saling mengenal, mereka bersumpah saling menyatakan cinta, akan tetapi setelah menikah, timbul perpecahan karena tidak cocok watak mereka. Bagaikan membeli barang, orang muda hanya memperhatikan keindahan lahirnya saja, sama sekali tidak memperhatikan mutu dalamnya, hanya melihat kulit tidak mempedulikan isi. Maka setelah menikah, baru menyesal...” “Belum tentu! Buktinya kita yang berjodoh karena saling mencinta sampai sekarang berjalan baik. Juga Cong San dan Yan Cui. Orang tua mana bisa disamakan orang muda? Apa yang dianggap baik oleh pandang mata orang tua, belum tentu baik bagi mata orang muda. Pula, yang hendak menikah bukan orang tuanya, melainkan orang mudanya! Merekalah yang akan menanggung akibatnya selama hidup, maka mereka pula yang berhak memilih.” “Siapa bilang orang tua tidak ikut menanggung akibatnya? Kalau anaknya hidup bahagia dengan mantunya, orang tua hanya ikut bersyukur, akan tetapi kalau melihat kehidupan rumah tangga anaknya hancur, orang tua lebih berduka daripada si anak sendiri. Karena itu, kita harus berhati-hati dan menurut pandanganku, pilihanku terhadap Kun Liong sudah tepat.” “Aku tidak mengatakan bahwa pilihanmu tidak tepat, dan aku pun suka kepada pemuda itu. Hanya aku katakan bahwa kita belum bertanya kepada Keng-ji. Kalau memang dia juga mencinta Kun Liong, tentu saja hatiku akan merasa puas dan lega...” Perdebatan antara suami isteri ini, perdebatan yang merupakan lagu lama antara suami isteri dan antara orang tua dan orang muda, tentu akan berkepanjangan kalau saja pada saat itu tidak tampak datang pembantu utama atau murid kepala mereka yang bernama Kwee Kin Ta. Mereka menghentikan perdebatan itu dan memandang kepada Kin Ta yang berdiri dengan sikap hormat kepada suhu dan subonya. “Harap Suhu dan Subo memaafkan teecu yang datang menghadap tanpa dipanggil. Teecu hendak melaporkan bahwa teecu melihat Sumoi pulang bersama...” Sampai di sini murid itu berhenti bicara. Cia Keng Hong dan isterinya yang menjadi gembira mendengar kedatangan puteri mereka itu memandang dengan heran. “Bersama siapa?” Keng Hong mendesak karena tidak biasanya murid kepala yang biasa bersikap tenang itu kelihatan bingung dan ragu-ragu. “Bersama... pemuda yang dahulu pernah datang ke sini dan membikin kacau beberapa waktu yang lalu...” “Siapa...?” Biauw Eng membentak marah. “Putera... putera Kwi-eng Niocu Ketua Kwi-eng-pang...” “Apa...?” Keng Hong meloncat bangun, mukanya berubah, akan tetapi dia saling pandang dengan isterinya, menekan perasaannya dan berkata, “Kin Ta, kauajak Bun Houw bermain-main di luar dan kalau Keng-ji datang, suruh mereka berdua menghadap kami di taman ini.” Kwee Kin Ta mengangguk, lalu mengajak Bun Houw pergi dari situ dengan menjanjikan permainan bagus kepada anak itu. Setelah murid kepala ini membawa putera mereka pergi, Keng Hong dan Biauw Eng duduk kembali saling pandang dan alis mereka berkerut, tidak mengeluarkan kata-kata karena hati mereka penuh dengan dugaan yang tidak-tidak. “Tenanglah, kita belum tahu apa yang terjadi,” akhirnya Biauw Eng berkata kepada suaminya, khawatir kalau-kalau suaminya tidak dapat menahan kesabarannya dan marah kepada puteri mereka. Keng Hong mengangguk. “Tentu terjadi sesuatu yang aneh dan hebat....” katanya, menarik napas panjang. “Apa pun yang terjadi, agaknya tidak mungkin Keng-ji mau berbaik dengan putera seorang datuk sesat.” “Harap tenang dan bersabar, tentu ada alasannya,” isterinya membela puteri mereka. Percakapan terputus karena pada saat itu tampak Giok Keng dan Liong Bu Kong sudah muncul dari pintu dan langsung kedua orang muda itu memasuki taman dan melangkah cepat tanpa ragu-ragu menghampiri mereka. Memang sebelumnya Giok Keng yang cerdik itu telah mengaturnya bersama kekasihnya, bagaimana kalau mereka bertemu dengan ayah bundanya. Maka kini keduanya langsung menghadap dan menjatuhkan diri berlutut di depan pendekar sakti dan isterinya itu. Dengan sikap hormat sekali Bu Kong berlutut dan tidak berani mengangkat muka, sedangkan Giok Keng setelah menyebut “ayah dan ibu” lalu mencabut keluar pedangnya dan berkata kepada ayahnya dengan suara penuh ketegangan, “Ayah, harap Ayah periksa pedangku ini.” Benar saja perhatian Keng Hong dan Biauw Eng segera tertarik. Kalau tadinya mereka berdua ini menatap wajah Bu Kong dengan pandang mata heran dan penuh pertanyaan, kini sekaligus mereka mengalihkan pandang dan melihat pedang yang diberikan oleh Giok Keng kepada ayahnya itu. Pedang itu adalah pedang Gin-hwa-kiam pemberian Cia Keng Hong kepada puterinya, sebatang pedang pusaka yang ampuh. Akan tetapi begitu melihat pedang yang terhunus itu, Keng Hong dan Biauw Eng terkejut bukan main. Di badan pedang itu tampak jelas bekas jari tangan orang, seolah-olah pedang itu terbuat dari tanah liat yang basah saja sehingga garis-garis jari tangan itu terlukis di batang pedang! Hal itu menandakan bahwa ada orang memiliki tenaga sin-kang mujijat yang telah berani menangkis atau melawan Gin-hwa-kiam dengan jari tangannya! Seorang yang memiliki kepandaian sehebat itu benar-benar belum pernah mereka temukan. “Siapa yang melakukan ini?” Sebagai seorang pendekar sakti yang sukar dicari tandingannya, tentu saja Cia Keng Hong tertarik sekali untuk mengetahui siapa orangnya yang mampu menangkis pedang Gin-hwa-kiam dengan tangan kosong itu. Memang inilah yang dikehendaki Giok Keng dengan mencabut dan memperlihatkan Gin-hwa-kiam kepada ayahnya. Dia ingin mengalihkan perhatian ayah bundanya sehingga urusannya dengan Bu Kong dapat diceritakan melalui jalan terputar dan tidak secara langsung. “Orangnya aneh dan amat sakti, Ayah. Namanya Kok Beng Lama, seorang pendeta Lama berjubah merah. Dia datang dan menantang-nantang Bun Hwat Tosu, Tiang Pek Hosiang, Go-bi Thai-houw, dan juga menantang Sucouw (Kakek Guru) Sin-jiu Kiam-ong!” Dengan panjang lebar Giok Keng menceritakan tentang munculnya kakek itu yang telah membunuh banyak perajurit pemerintah hanya dengan suara ketawanya saja, dan betapa kakek Lama itu dengan jari tangan kosong telah menangkis pedangnya ketika dia ikut mengeroyok dan membuat cap jari tangan pada Gin-hwa-kiam. “Kok Beng Lama...?” Cia Keng Hong dan isterinya saling pandang, mengerutkan alis dan mengingat-ingat. “Seingatku, belum pernah aku mendengar nama ini di dunia kang-kouw...! Mengapa dia menentang perajurit pemerintah?” “Semua ini gara-gara Yap Kun Liong! Pemuda itu telah melakukan penyelewengan besar, Ayah. Dia telah menjadi seorang buronan dan kini dikejar-kejar oleh pasukan pemerintah. Pendeta Lama itu muncul menolong Kun Liong pada saat dia sudah dikepung dan hampir dapat tertawan.” Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Keng Hong dan isterinya mendengar berita ini. “Mengapa? Apa yang telah dilakukannya?” Biauw Eng bertanya dengan mata terbelalak penasaran. “Dia telah menentang Pangeran Han Wi Ong, melarikan calon isteri pangeran itu.” Cepat-cepat Giok Keng menceritakan pula keadaan Yap Kun Liong bersama seorang gadis cantik jelita yang telah menjadi nikouw, calon isteri pangeran yang agaknya dilarikan oleh Kun Liong. Dalam penuturan ini, beberapa kali dia dibantu oleh Liong Bu Kong yang menuturkan betapa mereka berdua melihat pasukan pemerintah yang dipimpin oleh Pangeran Han Wi Ong dan dibantu oleh beberapa orang perwira dan orang-orang kang-ouw sedang mengeroyok Yap Kun Liong. Setelah mereka berdua mendengar bahwa Kun Liong melarikan calon isteri Pangeran Han Wi Ong, mereka segera membantu pasukan. Akan tetapi ketika Kun Liong sudah hampir tertangkap, muncullah kakek Lama yang amat sakti itu, yang membantu Kun Liong bersama dara yang dilarikannya itu sehingga mereka berdua dapat melarikan diri, dan kakek itu sendiri pun lalu pergi setelah membunuh banyak perajurit. Mendengar penuturan mereka, Keng Hong dan Biauw Eng terkejut bukan main sampai mereka berdua tidak mampu berkata-kata. Hampir mereka tidak dapat percaya bahwa Yap Kun Liong telah melakukan perbuatan demikian rendahnya, melarikan calon isteri orang sehingga menjadi orang buruan pemerintah! Kalau bukan puteri mereka yang bercerita, tentu mereka tidak mau percaya. Namun, hati Keng Hong menjadi tak senang mengingat bahwa puterinya ikut pula mengeroyok Kun Liong. Bukankah pemuda itu menjadi calon suaminya? “Giok Keng!” tiba-tiba pendekar ini membentak dan suaranya terdengar dingin menyeramkan. “Boleh jadi saja Kun Liong melakukan penyelewengan, akan tetapi mengapa engkau ikut pula mengeroyoknya? Hal itu menunjukkan kelancanganmu. Lebih mengherankan hati kami lagi, mau apa engkau mengajak dia ini ke Cin-ling-san? Bukankah dia ini anak Kwi-eng Niocu?” Pertanyaan seperti ini, bahkan yang lebih lagi, sudah diduga oleh Giok Keng dan dia sudah siap menghadapinya. Maka begitu mendengar percakapan beralih mengenai diri Bu Kong, dia lalu menjawab, “Ayah, memang benar dia adalah Liong Bu Kong, akan tetapi dia hanyalah putera angkat dari mendiang Kwi-eng Niocu. Biarpun Kwi-eng Niocu terkenal sebagai seorang satuk sesat, akan tetapi dia ini tidak seperti ibu angkatnya, ayah. Diam-diam dia menentang ibu angkatnya, karena itu ketika sarang ibu angkatnya diserbu, dia cepat pergi menyelamatkan pusaka-pusaka...” “Harap Ji-wi Locianpwe sudi mengampunkan teecu yang berani datang menghadap,” terdengar Bu Kong berkata dengan suara halus dan penuh penghormatan. “Memang tidak teecu sangkal bahwa ibu angkat teecu adalah Ketua Kwi-eng-pang yang selalu melakukan pelanggaran. Teecu sendiri sebagai anak angkat tentu saja terpaksa dan tidak berani membantah kehendak ibu angkat teecu. Akan tetapi setelah kini ibu angkat teecu tewas, teecu bersumpah ingin mulai hidup baru yang bersih, dan untuk membuktikannya, teecu sudah membawa dua buah pusaka Siauw-lim-pai yang akan teecu kembalikan.” “Harap Ayah dan Ibu tidak ragu-ragu lagi. Aku sudah menyaksikan sendiri betapa dia melawan Thian-ong Lo-mo ketika hendak mengambil pusaka, bahkan dia telah menewaskan lima orang anggauta Kwi-eng-pang. Dia tidaklah jahat seperti ibu angkatnya.”