“Giok Keng...!” Cia Keng Hong membentak, suaranya berwibawa sekali sehingga Giok Keng dan Bu Kong terkejut setengah mati, wajah mereka berubah pucat. “Apa kehendakmu maka engkau menceritakan ini semua kepadaku? Mengapa kau bicara seperti seorang hendak menjual sebuah benda dan membujuk kami menyukai benda itu? Mengapa engkau membela bocah ini?” Wajah Giok Keng pucat. Dia memang sudah memperhitungkan bahwa dia akan terpaksa untuk mengaku, akan tetapi tidak disangkanya bahwa ketika tiba saatnya, ia merasa begitu gugup. Dengan suara lirih dia lalu menjawab, “Ayah... aku sudah bicara dengan Kun Liong... tentang perjodohan... kami berdua sudah saling setuju untuk membatalkan ikatan jodoh itu karena antara dia dan aku tidak ada rasa cinta... dan... dan aku hanya mau dijodohkan dengan orang yang kucinta, Ayah. Harap Ayah dan Ibu ampunkan...” Wajah pendekar Cia Keng Hong menjadi merah sekali. Seperti pandang mata seekor burung rajawali hendak menyambar korbannya, dia memandang puterinya itu dan hanya dengan pengerahan tenaga hatinya yang kuat saja maka dia masih mampu mengeluarkan suara bertanya, “Siapa itu orang yang kaucinta?” Giok Keng yang memang sudah “nekat” ini tidak menjawab, hanya melirik kepada Liong Bu Kong. Isyarat ini diterima oleh Bu Kong dan sambil berlutut dan menyembah-nyembah dia berkata, “Mohon Locianpwe sudi mengampunkan kelancangan teecu. Sesungguhnya, di antara puteri Locianpwe, Cia Giok Keng dan teecu, kami berdua telah... salin mencinta...” Teriakan yang melengking nyaring keluar dari kerongkongan Keng Hong dan tubuhnya sudah berkelebat ke depan. Dalam kemarahannya yang meluap-luap, ucapan pemuda itu dianggapnya merupakan penghinaan besar maka dia sudah menerjang ke depan dan memukul pemuda yang berlutut di depannya. Pukulan maut! “Dess...!” Tubuh Giok Keng terpental dan terguling-guling, lengan tangannya terasa nyeri sampai menusuk jantung ketika dia tadi menangkis pukulan ayahnya yang ditujukan kepada kekasihnya. Akan tetapi dia lupa akan rasa nyeri dan kekerasan hatinya bangkit. Dengan mata bernyala-nyala dan wajah merah dia meloncat bangun, sekali meloncat berada di depan ayahnya dan dengan suara menentang dan nyaring dia berkata, “Ayah keterlaluan! Mengapa hendak membunuh Liong Bu Kong yang tidak berdosa? Dia cinta kepadaku, dan aku cinta kepadanya! Apakah salahnya dengan ini? Kalau Ayah hendak membunuh, bunuhlah aku!” Mata Cia Keng Hong terbelalak. Hampir dia tidak percaya akan pendengarannya sendiri. Puterinya telah menantangnya untuk dibunuh! “Kau... kau...! Memang lebih baik melihat kau mati...!” “Tahan...!” Biauw Eng sudah melompat seperti seekor singa betina ke depan suaminya, kepalanya dikedikkan, matanya seperti sepasang bintang, mukanya merah seperti mengeluarkan bara api, dadanya diangkat penuh tantangan. “Mungkinkah kau ini suamiku yang begitu kuat dan tahan segala derita? Kau hendak membunuh anak sendiri? Benarkah ini?” Suara ini bercampur dengan isak dan Biauw Eng sudah menangis sambil berdiri menantang suaminya. Mendengar ucapan isterinya dan menyaksikan sikap Biauw Eng, Keng Hong merasa seolah-olah disiram air dingin kepalanya. Hampir dia tadi mata gelap. Dengan sedu sedan naik dari dadanya, dia memeluk isterinya, memejamkan mata sebentar, kemudian membuka matanya dan tangan kanannya dengan telunjuk menuding keluar digerakkan tiba-tiba, mulutnya berkata lantang, “Pergi...! Engkau bukan anakku lagi! Aku tidak peduli lagi apa yang akan kaulakukan. Pergi...!” Dapat dibayangkan betapa hancur hati Giok Keng. Tadinya dia menentang dan menantang ayahnya. Akan tetapi menyaksikan kedukaan dan kehancuran hati ayah bundanya, kini melihat sikap ayahnya, mendapat kenyataan bahwa dia diusir, tidak diaku anak lagi, hal ini lebih menyakitkan hati daripada dibunuh! “Ayah...!” Dia menjerit dan menjatuhkan diri berlutut di dekat Bu Kong yang hanya memandang dengan wajah pucat. “Jangan menyebut aku ayah! Pergilah dan bawalah semua barangmu, bawa semua harta kami secukupmu. Pergi dan jangan kembali!” Keng Hong berkata lagi, kini suaranya dingin dan sikapnya tidak keras, namun hal ini malah makin menusuk perasaan karena selamanya Giok Keng belum pernah melihat sikap dan mendengar suara ayahnya sedingin itu. “Ibu...!” Dia tersedu memanggil ibunya. Biauw Eng masih menangis dalam pelukan suaminya. Dia maklum betapa hancur hati suaminya menghadapi peristiwa ini. Dia cinta kepada puterinya, tentu saja, akan tetapi dia lebih cinta kepada suaminya. Biarpun dia merasa kasihan kepada Giok Keng, akan tetapi dia lebih kasihan kepada suaminya. Giok Keng sudah ada yang punya, sedangkan suaminya hanya mempunyai dia! “Giok Keng, pergilah dulu... pergilah... jangan bicara apa-apa lagi...” katanya terisak. Bu Kong mengerti akan isyarat dari calon ibu mertuanya ini. Memang dalam keadaan seperti itu, selagi pendekar sakti itu dibakar kemarahan, tidak mungkin dapat bicara lagi. Dia lalu membimbing kekasihnya bangun, menjura sebagai tanda penghormatan lalu menuntun Giok Keng yang menangis tersedu-sedu itu keluar dari dalam taman, diikuti pandang mata Keng Hong yang terbelalak marah dan pandang mata sayu dari Biauw Eng. Setelah bayangan kedua orang muda itu lenyap barulah Keng Hong merasa betapa lemas tubuhnya. Dia menjatuhkan diri terduduk di atas bangku, duduk diam seperti arca, matanya tak pernah berkedip akan tetapi dua butir air mata keluar dari pelupuk matanya, perlahan-lahan dua butir air mata ini mengalir turun melalui kedua pipinya. Melihat suaminya seperti itu, Biauw Eng menubruknya dan menangis sesenggukan di atas dada suaminya. Tanpa diduga-duga, seperti datangnya hujan tanpa mendung, kedukaan hebat melanda suami isteri ini. Mereka dilanda duka dan kecewa hebat sekali sehingga hampir terjadi peristiwa hebat, hampir terjadi malapetaka ketika ayah ini hampir membunuh puterinya sendiri! Memang demikianlah hidup! Manusia, hampir tidak disadarinya lagi karena telah menjadi tradisi dan kebiasaan, hidup dalam suasana kepalsuan. Mata manusia seolah-olah buta akan kenyataan, dibutakan oleh nafsu keinginan mementingkan diri pribadi. Kita hidup tanpa membuka mata, dituntun oleh nafsu keinginan kita yang membentuk si aku sehingga setiap gerak, setiap perbuatan, dan setiap sikap selalu mencerminkan kekuasaan si aku yang hendak menang sendiri. Bahkan dalam cinta, si aku berkuasa sehingga cinta menjadi sebutan hampa, menjadi kepalsuan yang diselubungi kata-kata mutiara yang serba indah! Seorang pendekar besar seperti Cia Keng Hong, kini merasa berduka. Karena apa? Kalau dia ditanya, tentu dia mengatakan bahwa dia berduka karena puterinya! Tentu dia akan menjawab bahwa karena puterinya memilih anak datuk sesat sebagai kekasih dan calon suami, maka dia berduka! Benarkah demikian? Benarkah dia berduka demi Giok Keng? Tidakkah sesungguhnya dia berduka demi dirinya sendiri? Berduka karena keinginan hatinya sendiri tidak terpenuhi. Karena puterinya memilih seorang pria yang tidak berkenan di hatinya? Benarkah dia sebagai seorang bapak mencinta anaknya kalau dia ingin memaksakan kehendak hatinya agar ditaati anaknya! Cintakah itu kalau tadi dia sampai hampir membunuh anaknya? Dan kini dia berduka, menangis, kecewa! Bukankah kecewa dan berduka karena nafsu keinginan di hatinya tidak tercapai? Sebenarnya bukan menangisi Giok Keng, melainkan menangisi dirinya sendiri? Semua ini dapat kita lihat dengan mata dan hati terbuka sebagai suatu kenyataan. Akan tetapi, betapa kita hidup bergelimang kepalsuan sehingga kenyataan ini pun sukar diterima! Betapa pandainya si aku ini bersandiwara sehingga setiap perbuatan yang sesungguhnya demi si aku dapat disulap seolah-olah bukan demikian. Betapa kita telah dicengkeram sepenuhnya oleh si lapuk tua “aku” yang bukan lain adalah pikiran kita, pikiran gudang pengalaman masa lalu, sehingga mata kita tertutup oleh bayangan masa lalu, tidak dapat lagi menikmati kenyataan yang baru karena segala sesuatu diukur dengan perbandingan masa lalu, enak tidak enak, senang tidak senang bagi si aku! Demikian menebalnya pemupukan si aku ini sehingga setiap sesuatu yang nampak maupun yang tidak nampak, segala apa di dunia ini, dari debu sampai kepada sebutan Tuhan, ditujukan semata-mata demi si aku, demi kepentingan aku. Demikian pula cinta, juga demi aku! “Kau sungguh terlalu, masa begitu tega terhadap Keng-ji...” Biauw Eng menangis. “Sekarang kau telah mengusirnya... ah, bagaimana akan jadinya dengan dia?” “Hemmm, anak itu terlalu manja!” Keng Hong berkata dengan kemarahan yang masih membakar hati, mengatasi kedukaan dan kekecewaannya. “Terlalu memandang rendah orang tua. Mana boleh dia membatalkan ikatan jodoh begitu saja? Mana boleh dia membutakan mata memilih pemuda golongan sesat menjadi calon suaminya? Selain dia akan menghancurkan hidupnya sendiri, juga dia akan menyeret nama baik orang tua ke lubang pecomberan!” Biauw Eng mengangkat muka, matanya bersinar-sinar. “Lupakah engkau? Ingatlah baik-baik, pergunakan pikiranmu dengan adil dan jujur! Siapakah aku ini? Bukankah aku pun puteri Lam-hai Sin-ni, seorang datuk kaum sesat. Apakah Lam-hai Sin-ni kalah tersohor dengan Kwi-eng Niocu? Ingat, aku pun seorang puteri datuk sesat, aku pun seorang dari golongan hitam! Dan engkau toh sudah memperisteri aku!” “Aihhh... engkau lain lagi...” “Apanya yang lain? Aku tidak hendak mengatakan bahwa aku suka mempunyai mantu seperti pemuda putera Kwi-eng Niocu itu!” “Akan tetapi kalau penolakanmu itu engkau dasarkan bahwa kau merasa derajat puterimu terlalu tinggi dan kau merendahkan seorang dari golongan sesat, kau benar-benar tidak adil! Urusan semestinya ditangani dengan halus. Giok Keng masih hijau dan bodoh, semestinya diberi nasihat dan dibujuk dengan halus, tidak dengan kekerasan seperti itu! Sekarang kau telah mengusirnya, sama saja dengan kau makin melekatkan dia dengan pemuda itu!" Kembali Biauw Eng menangis terisak-isak. Hati Keng Hong menjadi bingung sekali. Sekarang terbukalah matanya dan dia mau tidak mau harus membenarkan ucapan isterinya. Isterinya juga puteri seorang datuk kaum sesat yang lebih tersohor dan lebih tinggi tingkatnya daripada Kwi-eng Niocu, namun buktinya, puterinya tidaklah sesat seperti ibunya (baca ceritaPedang Kayu Harum ). Kalau sekarang dia membenci Liong Bu Kong hanya karena ibunya adalah datuk kaum sesat, sungguh tidak adil. Apalagi Kwi-eng Niocu bukanlah ibu kandung pemuda itu, melainkan ibu angkat. Siapa tahu kalau puterinya itu lebih benar daripada dia! Akan tetapi puterinya telah ditunangkan dengan Yap Kun Liongg bantah hatinya! Yap Kun Liong adalah putera sumoinya yang tewas secara mengenaskan. Masa sekarang tali ikatan jodoh yang djusulkan itu boleh diputuskan begitu saja? “Aku mau pergi mencari Kun Liong!” Tiba-tiba dia berkata. Biauw Eng mengangkat mukanya yang basah dan merah. “Mau apa mencari dia?” “Dia harus mencari penjelasan! Kalau benar dia membatalkan ikatan jodoh, berarti dia tidak menghargai kita! Kalau benar dia melarikan calon isteri Pangeran Han Wi Ong, dia patut kuberi hajaran!” “Akan tetapi kita tahu bahwa Han Wi Ong adalah seorang pangeran tua yang terkenal mata keranjang!” “Mata keranjang atau tidak, sama sekali tidak ada hubungannya! Kalau Kun Liong melarikan calon isteri orang, berarti dia itu melakukan perbuatan sesat dan aku sebagai supeknya wajib menghajarnya! Pula, aku akan menyelidiki tentang Kok Beng Lama!” Melihat sikap suaminya yang terbenam dalam kemarahan dan kedukaan, Biauw Eng tidak kuasa membantah. Pula, dia maklum bahwa biarpun suaminya itu tidak mengatakannya, tentu suaminya itu akan menyusul dan mencari Giok Keng. Dia tahu betapa suaminya mencinta puteri mereka itu dan suaminya yang telah mengusir puterinya itu hanya terdorong oleh kemarahan, akan tetapi sama sekali tidak akan membencinya. Setelah Pendekar Sakti Cia Keng Hong pergi, Biauw Eng menanti di Cin-ling-san dengan hati gelisah sekali memikirkan puterinya dan suaminya. Juga para anggauta Cin-ling-pai yang tentu saja mendengar akan peristiwa hebat yang menimpa keluarga guru atau ketua mereka menjadi prihatin, membuat suasana di Cin-ling-san nampak sunyi. “Go-bi Thai-houw...! Keluarlah dan mari tandingi pinceng! Mari bertanding sampai selaksa jurus! Hendak kulihat sampai di mana kepandaian Go-bi Thai-houw yang kabarnya sama dengan dewi, ha-ha-ha!” Kakek raksasa gundul berjubah merah itu menantang-nantang sambil berdiri di atas batu gunung yang sebesar rumah. Suaranya bergelora dan bergema di empat penjuru, terdengar dari permukaan Pegunungan Go-bi-san. Beberapa kali dia mengulangi tantangannya itu dengan suara yang mengandung khi-kang kuat bukan main! Karena tidak ada yang menjawab pertanyaannya, kakek ini sambil tertawa-tawa melayang turun dari atas batu besar, kemudian melangkah lebar menuju ke puncak Pegunungan Go-bi-san. Tak lama kemudian tibalah dia di depan sarang tempat tinggal Kim Seng Siocia dan para anak buahnya! Sambil bertolak pinggang dia berdiri memandangi bangunan megah itu dan tertawa, “Ha-ha-ha-ha, tidak salah lagi! Di sinilah tentu tempat tinggal Go-bi Thai-houw yang disohorkan orang itu! Haii, Go-bi Thai-houw, mengapa engkau begitu pengecut dan tidak berani keluar melayani tantanganku?” “Kakek berotak miring!” Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan keluarlah Kim Seng Siocia, wanita gendut yang lihai itu diiringi semua anak buahnya yang berjumlah lima puluh orang, dipimpin oleh Acui dan Amoi, dua orang pembantunya yang setia dan yang paling lihai, merupakan murid-murid kepala yang menjadi tangan kanannya. Melihat munculnya barisan wanita ini, mengenal Kim Seng Siocia yang pernah mengeroyoknya ketika dia menyelamatkan Kun Liong dan Hong Ing, kakek itu tertawa bergelak, “Ha-ha-ha, tentu ini barisan dari Ratu Go-bi! Hayo, suruh keluar ratumu Go-bi Thai-houw!” Kim Seng Siocia meloncat ke depan dan menudingkan senjata cambuk hitamnya sambil membentak, “Kakek gila, mau apa engkau mencari mendiang Thai-houw?” “Hah...? Dia sudah mampus?” “Thai-bouw sudah meninggal dunia belasan tahun yang lalu dan aku, Kim Seng Siocia adalah pewarisnya. Mengapa engkau menantang-nantang Thai-houw?” Kakek itu menarik napas panjang, kelihatannya menyesal sekali. “Ahhhh, aku terlambat! Sialan benar kalau mereka semua sudah mampus! Lama sudah pinceng (aku) mendengar bahwa di dunia ini, orang-orang yang paling pandai hanyalah Sin-jiu Kiam-ong, Go-bi Thai-houw, Bun Hwat Tosu, dan Tiang Pek Hosiang! Jangan-jangan yang lain itu pun sudah mampus. Lalu siapa lawanku di dunia ini?” Kim Seng Siocia sudah maklum akan kelihaian kakek pendeta Lama yang seperti gila ini, akan tetapi karena dia dibantu oleh semua anak buahnya, dan karena dia menganggap junjungannya, Go-bi Thai-houw dipandang rendah dan dihina maka dia menjadi marah sekali. “Kok Beng Lama! Engkau terlalu sombong! Biarpun Thai-houw sudah meninggal dunia, akan tetapi aku, pewaris satu-satunya, tidak gentar melawanmu!” Setelah berkata demikian, Kim Seng Siocia menggerakkan cambuknya dan terdengar suara ledakan-ledakan kecil di udara. “Jadi engkau murid satu-satunya? Ha-ha-ha, tidak ada gurunya, melihat tingkat muridnya pun sudah dapat menilai sampai di mana kepandaian gurunya!” Kok Beng Lama melangkah maju memapaki gulungan sinar hitam dari cambuk itu! “Tar-tar-tar... wuuuutttt...!” Gulungan sinar hitam itu meledak-ledak dan menyambar-nyambar. Bukan main lihainya senjata ini, karena selain panjang dan terbuat dari bahan yang aneh dan kuat sekali, juga ujung cambuk ini mengikat sebatang piauw yang runcing tajam dan beracun. “Ha-ha-ha, bagus, bagus! Keluarkan semua kepandaianmu, Gendut!” Pendeta Lama itu berkata dengan gembira. Pertandingan ini segera membuktikan betapa keadaan mereka berat sebelah. Kim Seng Siocia mengeluarkan semua kepandaiannya yang dia dapatkan dari kitab-kitab peninggalan Go-bi Thai-houw, tidak hanya cambuknya yang menyambar-nyambar juga tangan kirinya yang mengandung tenaga sin-kang amat kuat itu menyelingi serangan cambuknya. Namun, pendeta Lama itu hanya tertawa-tawa saja, menggerakkan kedua lengannya dan ujung lengan bajunya melayang-layang menangkis semua serangan lawan. Hebatnya, setiap kali cambuk bertemu ujung lengan baju, ujung cambuk itu terpental keras, dan setiap kali tangan kiri wanita gendut itu dicium ujung lengan baju, Kim Seng Siocia meringis kesakitan dan seluruh lengan kirinya tergetar hebat! Tiba-tiba dengan gerakan yang tidak terduga-duga, Kim Seng Siocia menggerakkan cambuknya berputaran dan ujung cambuk yang ada piauwnya itu menyambar ke arah perutnya sendiri! Berbareng dengan itu, tangan kirinya juga mencengkeram ke arah kepalanya sendiri. “Heiii..., gilakah...?” Baru saja Kok Beng Lama berseru dan tubuhnya melayang ke depan untuk mencegah wanita gendut itu “membunuh diri” secara aneh tiba-tiba cambuk membalik dan ujung cambuk itu melepaskan piauw yang terikat. Piauw beracun meluncur secepat kilat menyambar ke arah leher Kok Beng Lama, sedangkan tangan kiri wanita lihai itu sudah membalik pula, mengirim pukulan yang ganas ke arah pusar lawan yang kaget setengah mati itu! “Plakkk... desss...!” Piauw bertemu dengan telapak tangan Kok Beng Lama dan pukulan tangan kiri Kim Seng Siocia tepat mengenal pusar pendeta Lama itu. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya wanita gendut itu melihat bahwa selain piauwnya tidak melukai tangan lawan, juga pukulannya mengenai bagian tubuh lunak dan yang sekaligus membuat sin-kang yang terkandung di tangan kirinya itu “tenggelam” dan tak berbekas. Selagi dia terheran dan terkejut, terdengar kakek itu berseru, “Ilmu siluman...!” dan wanita gendut itu tidak keburu mengelak lagi ketika ada sinar hitam menyambar dan terdengarlah jeritan melengking mengerikan ketika piauwnya sendiri itu menghunjam dan menembus pelipis kepalanya. Kim Seng Siocia masih berusaha untuk menendangkan kaki kanannya, akan tetapi dengan mudah Kok Beng Lama menangkis tendangan ini, bahkan sekaligus dia menangkap kaki itu dan mendorong tubuh lawannya sampai terlempar beberapa meter jauhnya! Kim Seng Siocia tewas seketika! Anak buahnya memandang dengan mata terbelalak kaget. Tak mereka sangka sama sekali bahwa ketua mereka, juga majikan atau guru mereka, yang mereka anggap memiliki ilmu kepandaian luar biasa dan tiada bandingannya itu, kini tewas sedemikian mudahnya di tangan kakek pendeta Lama itu! Acui dan Amoi yang amat mencinta majikan mereka, melihat Kim Seng Siocia tewas, menjadi marah dan berduka sekali. Mereka sudah mencabut pedang masing-masing dan dengan teriakan marah kedua orang wanita muda yang cantik ini sudah menerjang maju mengeroyok Kok Beng Lama, dibantu oleh empat orang teman mereka yang terdekat. Melihat dia dikeroyok enam orang wanita muda, pendeta Lama itu kelihatan jemu dan dengan marah dia menggerakkan kedua lengannya ke kanan kiri sambil membentak, “Pergilah kalian!” Terdengar suara “plak-plak!” susul-menyusul dan dengan jerit tertahan enam orang itu, termasuk Acui dan Amoi yang lihai, roboh dan tak mungkin dapat bangun kembali karena kepala mereka retak-retak disambar ujung lengan baju kakek yang luar biasa lihainya itu! “Mundur kalian! Apakah kalian sudah bosan hidup?” Tiba-tiba terdengar suara bentakan halus dan muncullah seorang nenek bertongkat butut hitam, berpakaian hitam pula dan berwajah bengis. Dia ini bukan lain Go-bi Sin-kouw! Seperti diketahui nenek ini adalah guru Pek Hong Ing dan Lauw Kim In, dan tinggal di atas sebuah di antara puncak-puncak Go-bi-san. Seperti juga Kim Seng Siocia, dia mendengar teriakan yang merupakan tantangan dari Kok Beng Lama, akan tetapi dia tidak melayani karena bukan dia yang ditantang, pula dia maklum betapa lihainya kakek itu. Betapapun juga, dia ingin tahu dan karena merasa bahwa dia dapat menanggulangi kakek sakti itu, mengikuti dan menyaksikan kakek itu membunuh Kim Seng Siocia, Acui, Amoi dan empat orang murid lainnya. Melihat bahwa masih ada puluhan orang bekas anak buah Kim Seng Siocia hendak maju mengeroyok, dia cepat mencegat mereka karena dia mempunyai niat yang dianggapnya baik sekali melihat kematian Kim Seng Siocia dan para pembantu utamanya. Dua orang muridnya telah pergi. Pek Hong Ing telah murtad, melawan kehendaknya, tidak mau menjadi isteri Pangeran Han Wi Ong, bahkan telah menjadi nikouw dan melarikan diri dengan pemuda gundul itu. Sedangkan murid pertamanya, Lauw Kim In, juga minggat entah ke mana. Cita-citanya untuk menjadi mertua seorang pangeran gagal, maka kini dia melihat kesempatan yang baik sekali. Dia akan memperoleh kedudukan tinggi dan mewarisi harta benda yang banyak jika dia menggantikan Kim Seng Siocia yang sudah mati! Karena inilah dia mencegah sisa anak buah Kim Seng Siocia yang diharapkan kelak menjadi anak buahnya, untuk tidak nekat melawan pendeta Lama yang lihai itu. Kok Beng Lama memutar tubuhnya menghadapi Go-bi Sin-kouw. Dia mengenal pula nenek ini yang pernah mengeroyoknya di tepi Pantai Pohai. “Ha-ha-ha, apakah engkau hendak mewakili Go-bi Thai-houw pula melawan pinceng?” Go-bi Sin-kouw menggerakkan tangan kirinya menyangkal. “Aku Go-bi Sin-kouw tidak pernah bermusuhan dengan Kok Beng Lama. Kita adalah dua orang tua yang sudah kenyang mengalami pertandingan, mengapa seperti anak kecil saja hendak mengadu kepandaian?” “Ha-ha-ha-ha! Omitohud... wanita memang pandai menyelimuti perasaannya sendiri...!” Dengan ucapan ini Kok Beng Lama hendak menyindir bahwa nenek itu pandai menyembunyikan rasa jerihnya untuk bertanding dengannya. “Habis, mau apa engkau datang menemuiku?” “Kok Beng Lama, aku tadi mendengar suaramu, dan aku mengenal namamu ketika untuk pertama kali kau muncul di tepi Pohai. Aku hanya hendak memperlihatkan sebuah benda. Lihat ini baik-baik, apakah engkau mengenal benda ini?” Sambil berkata demikian, Go-bi Sin-kouw menggunakan tangan kanan mengambil sebuah benda yang mengkilap dari dalam saku bajunya, dan mengangkat benda itu tinggi-tinggi agar dapat terlihat oleh Kok Beng Lama. Benda itu adalah sehelai kalung emas terukir indah dan mainannya mcrupakan sebuah ukir-ukiran arca Buddha kecil bermata indah terbuat dari mutiara biru! Ketika Kok Beng Lama melihat benda ini, dia mengeluarkan seruan tertahan, mukanya berubah pucat dan tiba-tiba dia menerjang ke depan dengan kedua lengan terpentang dan kedua tangannya membentuk cakar setan! Go-bi Sin-kouw terkejut sekali, cepat nenek ini menggerakkan tongkat bututnya menyambut dengan tusukan dahsyat ke arah dada kakek pendeta berjubah merah itu. “Plak! Plak!” Tangan kanan Kok Beng Lama sudah menangkap ujung tongkat, sedangkan tangan kirinya telah mencengkeram tangan kanan nenek yang menggenggam kalung itu. “Katakan, dari mana kau mendapatkan benda ini?” Bentak Kok Beng Lama. Namun dengan senyum menyelimuti rasa nyeri yang membuat seluruh lengan kanannya seperti lumpuh oleh cengkeraman kakek pendeta itu, Go-bi Sin-kouw berkata lirih, “Kaubunuhlah, akan tetapi akulah satu-satunya orang yang akan dapat bercerita tentang Pek Cu Sian...!” Ucapan ini membuat Kok Beng Lama mencelat mundur seolah-olah ditampar oleh benda keras. “Pek... Cu... Sian... ? Di... di mana dia...?” Dia terbelalak memandang nenek itu dengan sinar mata penuh permohonan, tubuhnya gemetar karena hatinya tegang bukan main. “Dia kudapati terluka parah, tubuhnya penuh luka-luka dan sebelum meninggal dunia, dia meninggalkan benda ini dan puterinya...” “Ouhhh...!” Kok Beng Lama jatuh terduduk, mukanya pucat sekali dan matanya terpejam, alisnya berkerut, wajahnya kelihatan berduka sekali. Terbayang di dalam ingatannya semua peristiwa yang terjadi belasan tahun, hampir dua puluh tahun yang lalu di Tibet! Ketika itu, dia merupakan seorang di antara tokoh-tokoh golongan Lama Jubah Merah yang terdapat di Tibet. Golongan Lama Jubah Merah ini adalah segolongan pendeta yang menganut Agama Buddha yang dicampur dengan Agama Hindu, maka di samping memuja pelajaran Buddha, juga mereka masih memuja para dewa Agama Hindu. Golongan Lama Jubah Merah terutama sekali memuja Dewa Syiwa yang dipujanya sebagai dewa pembasmi den penghancur, karena itu amat ditakuti dan telah menjadi tradisi di golongan mereka untuk setiap tahun, pada hari ulang tahun dewa itu, mereka menyerahkan korban-korban, diantaranya korban seorang dara cantik yang masih perawan. Golongan yang fanatik ini menanam banyak permusuhan dengan golongan lain, bahkan perbuatan mereka memaksa gadis menjadi korban tiap tahun mendatangkan permusuhan pula dengan banyak orang yang terdiri dari rakyat jelata. Namun karena golongan Lama Jubah Merah ini memiliki banyak tokoh yang berilmu tinggi sekali, tidak ada golongan lain yang berani berterang menentang mereka. Ada beberapa orang gagah, diantaranya ada yang datang dari Tiongkok, yang mencoba untuk menentang pengorbanan anak perawan tiap tahun, namun mereka ini seorang demi seorang dikalahkan dan ditewaskan oleh para tokoh Lama Jubah Merah. Diantara tokoh kang-ouw yang terbunuh dalam usaha ini adalah seorang pendekar bernama Pek Jwan Ki yang gagah perkasa. Setelah pendekar ini tewas, puterinya yang baru berusia delapan belas tahun, bernama Pek Cu Sian, menyerbu markas Lama Jubah Merah untuk membalas dendam. Akan tetapi, betapa pun lihainya dara ini tertawan dan kemudian melihat bahwa dia amat cantik dan masih perawan, dia dipilih untuk menjadi calon korban, hendak dipersembahkan kepada Dewa dalam pesta pemujaan tahun depan! Pemujaan itu dilakukan dengan membakar anak perawan itu dalam keadaan telanjang bulat, dengan demikian jiwa raganya akan diterima oleh Dewa pujaan mereka! Ketika Pek Cu Sian yang cantik menjadi tawanan inilah terjadi peristiwa hebat yang menggegerkan Tibet, terutama di lingkungan kaum Lama Jubah Merah. Kok Beng Lama, seorang diantara para tokoh Lama Jubah Merah yang bertingkat dua, sebagai orang ke dua yang terlihai di antara mereka, seorang pendeta yang baru berusia kurang lebih empat puluh lima tahun, tampan dan gagah perkasa, tergila-gila dan jatuh cinta ketika melihat Pek Cu Sian! Maka dengan kecerdikan dan kelihaiannya, diam-diam Kok Beng Lama menolong perawan itu, mengeluarkannya dari dalam tempat tahanan, kemudian menyembunyikannya di dalam kamar rahasia. Pek Cu Sian yang telah berada di ambang maut yang mengerikan itu, merasa berhutang budi dan timbul pula kagum dan sukanya kepada penolong yang gagah perkasa ini, biarpun penolong itu usianya sudah setengah tua dan pantas menjadi ayahnya. Kalau dua orang insan, pria dan wanita sudah saling suka, maka terjadilah hal yang lumrah, yaitu keduanya saling mendekati dan karena Pek Cu Sian tidak mempunyai orang lain yang dapat dipercaya, maka kepercayaannya tercurah kepada Kok Beng Lama. Keduanya melakukannya hubungan rahasia di dalam kamar di mana perawan itu di sembunyikan. Semua berjalan rapi tanpa ada yang mengetahuinya, dan dara itu oleh para tokoh Lama Jubah Merah dianggap hilang atau berhasil melarikan diri. Akan tetapi sebetulnya, Pek Cu Sian hidup sebagai suami isteri dengan Kok Beng Lama, bahkan setahun kemudian Pek Cu Sian melahirkan seorang anak perempuan di dalam kamar rahasianya. Wanita tua yang membantu berlangsungnya kelahiran ini, setelah tenaganya tidak dibutuhkan lagi, dibunuh oleh Kok Beng Lama agar rahasia mereka tidak membocor keluar! Akan tetapi, betapa pun rapatnya mereka menyimpan rahasia, akhirnya terbuka juga. Anak perempuan itu mereka beri nama Pek Hong Ing, dan pada suatu hari, seorang pendeta Lama melihat anak berusia lima tahun itu keluar dari kamar rahasia. Dan terbukalah rahasia yang selama hampir enam tahun itu disimpan oleh Kok Beng Lama dan Pek Cu Sian! Akibatnya, Kok Beng Lama ditangkap dan Pek Cu Sian melarikan diri bersama puterinya, dikejar-kejar oleh para Lama Jubah Merah. Selama enam tahun, Pek Cu Sian telah mempelajari ilmu silat tinggi dari kekasihnya, maka dia melakukan perlawanan gigih dan berhasil membunuh beberapa orang pendeta Lama Jubah Merah. Namun dia sendiri terluka parah dan biarpun akhirnya dia berhasil melarikan diri meninggalkan Tibet, ketika tiba di Go-bi-san, dia roboh dan tewas. Baiknya pada waktu peristiwa pengejaran itu terjadi, Kok Beng Lama tidak tahu karena dia sedang “diadili”, maka tidak terjadi hal yang lebih hebat lagi. Kok Beng Lama dijatuhi hukuman sepuluh tahun lamanya oleh ketua golongan Lama Jubah Merah. Selama sepuluh tahun di dalam kamar tahanan ini, Kok Beng Lama memperdalam ilmu kepandaiannya sehingga ketika hukumannya sudah habis, dia memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat. Bahkan dia telah mempunyai khi-kang yang luar biasa kuatnya, juga sin-kangnya membuat kedua tangannya kebal dan berani melawan senjata pusaka yang bagaimanapun juga ampuhnya! Akan tetapi, ketika dia keluar dari hukuman dan mendengar bahwa kekasihnya dan puterinya pergi melarikan diri, dia menjadi marah sekali. Didatanginya ketua golongan dan dimintanya pertanggungan jawabnya. “Pinceng telah menerima dosa dan telah menanggung semua kesalahan dengan menerima hukuman sepuluh tahun tanpa membantah. Mengapa Pek Cu Sian dan puteri kami yang tidak berdosa dikejar-kejar? Tentu mereka telah kalian bunuh!” teriaknya marah. Dengan kepandaiannya, dia menangkap seorang Lama dan menyiksanya sampai Lama itu mengaku betapa Pek Cu Sian dan puterinya melarikan diri dan dikejar, dikeroyok sampai luka-luka parah dan biarpun dapat melarikan diri, akan tetapi luka-luka yang amat hebat yang dideritanya tentu tidak akan dapat ditahannya. Mendengar ini, Kok Beng Lama mengamuk dan ketua golongan Lama Jubah Merah tewas di tangannya! Masih banyak lagi Lama Jubah Merah yang tewas oleh Kok Beng Lama yang mengamuk itu, kemudian dia melarikan diri dari Tibet dengan niat untuk mencari tahu perihal kekas1h dan puterinya. Kedukaan hatinya mendengar akan nasib kekasihnya membuat dia seperti gila, dan karena dia sudah lama mendengar nama-nama besar dari Sin-jiu Kiam-ong, Bun Hwat Tosu, Tiang Pek Hosiang, dan yang terdekat adalah Go-bi Thai-houw, maka di sepanjang jalan dia menantang empat orang ini. Dia percaya bahwa dengan tingkat kepandaiannya sekarang, dia akan mampu mengalahkan empat orang tokoh besar itu! Demikianlah riwayat singkat dari Kok Beng Lama. Dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika tanpa disangka-sangkanya, dia mendengar tentang kekasihnya itu dari Go-bi Sin-kouw! Apalagi ketika dia mendengar bahwa kekasihnya, Pek Cu Sian, seperti yang dikhawatirkannya selama ini, telah meninggal dunia akibat luka-lukanya, dia menjadi demikian berduka sampai hampir pingsan. Sampai lama dia duduk bersila, memejamkan kedua matanya dan ketika kedua matanya itu akhirnya dibukanya kembali, sinar matanya menjadi suram dan layu. “Bagaimana matinya?” Ucapan apa yang menjadi pesan terakhirnya? Bagaimana dengan Puteri Pinceng?” Suara pendeta Lama yang biasanya gembira dan tenang itu kini terdengar parau dan tidak jelas. “Kok Beng Lama! Pertama-tama yang disebut adalah namamu, maka begitu mendengar kau menyebutkan namamu di Pantai Pohai aku segera mengenalmu. Akan tetapi, sebelum aku melanjutkan ceritaku, kau harus berjanji dulu bahwa selanjutnya engkau tidak akan memusuhi atau mengganggu lagi kepada Go-bi Sin-kouw.” Kakek itu dengan tidak sabar mengangguk-anggukkan kepalanya. “Baiklah, aku Kok Beng Lama berjanji takkan mengganggu Go-bi Sin-kouw.” “Dan kau harus menyetujui aku menggantikan kedudukan Kim Seng Siocia di sini memimpin semua wanita ini.” “Baik, baik. Memang sudah selayaknya, engkau yang telah menemukan Cu Sian.” Berseri wajah Go-bi Sin-kouw. Yang lain-lain dia tidak takut, apalagi anak buah Kim Seng Siocia tentu akan tunduk kepadanya. Dia hanya jerih menghadapi pendeta Lama ini karena dia maklum bahwa pendeta ini hebat bukan main, sama sekali bukan tandingannya! “Kalau begitu, sebagai majikan dari markas ini, aku mempersilakan kau masuk ke istanaku di mana kita dapat bicara dengan tenang, Kok Beng Lama.” Pendeta yang sudah ingin sekali mendengar cerita tentang kekasihnya dan puterinya itu, mengangguk dan mereka berdua lalu memasuki rumah besar yang megah bekas tempat tinggal Kim Seng Siocia setelah Go-bi Sin-kouw dengan suara lantang memerintahkan “anak buahnya” untuk mengurus jenazah Kim Seng Siocia, Acui, Amoi dan empat orang gadis yang menjadi korban kelihaian Kok Beng Lama. Setelah duduk berhadapan dan minum arak yang disuguhkan oleb anak buah yang kini memperoleh majikan baru itu, Go-bi Sin-kouw talu bercerita, “Aku sedang melakukan perjalanan bersama muridku yang bemama Lauw Kim In ketika aku bertemu dengan Pek Cu Sian. Dia menggeletak tak berdaya, kehabisan darah yang keluar dari luka-lukanya, sedangkan seorang anak perempuan berusia lima tahun nenangis di sampingnya. Aku berusaha mengobatinya, namun percuma karena dia telah kehabisan darah. Sebelum dia meninggal dunia, dia menyerahkan kalung ini dan mengatakan bahwa kalau aku bertemu dengan seorang bernama Kok Beng Lama, agar supaya aku menyerahkkan benda ini dan anak perempuan yang bernama Pek Hong Ing.” Kok Beng Lama menciumi kalung itu dan dua titik air mata membasahi pipinya, kemudian dia bertanya penuh gairah, “Budi pertolonganmu amat besar, Go-bi Sin-kouw. Aku berterima kasih sekali. Dan di mana sekarang adanya anakku itu? Di mana puteriku Pek Hong Ing...?” Go-bi Sin-kouw menarik napas panjang, “Itulah yang menyusahkan hatiku. Anak itu kupelihara dan kudidik sampai menjadi dewasa. Kemudian hendak kujodohkan dengan seorang pangeran. Dengar baik-baik! Dengan seorang pangeran putera Kaisar! Akan tetapi, dia malah melarikan diri, agaknya terbujuk oleh seorang pemuda berkepala gundul yang lihai! Engkau malah sudah bertemu dengan puterimu itu, Kok Beng Lama.” “Hehhh...?” Mata yang lebar itu terbelalak makin lebar. “Di mana? Yang mana?” “Ingatkah engkau ketika engkau muncul di Pantai Pohai? Ada seorang pemuda gundul dan seorang nikouw muda yang kami keroyok untuk kami tangkap, bahkan kau telah membantu mereka melarikan diri.” “Yaaaa, dan mana puteriku?” “Nikouw muda itulah!” “Aihhh...!” Pendeta Lama itu mencelat ke atas dan matanya menjadi liar dan ganas sekali memandang kepada Go-bi Sin-kouw sehingga nenek ini menjadi terkejut, bersiap sedia dan dengan cepat dia berkata, “Ingat, kau tidak akan memusuhi aku, Kok Beng Lama.” Kakek itu mengepal kedua tinju tangannya yang besar kemudian menghardik, “Go-bi Sin-kouw, kenapa kau memusuhi puteriku yang katanya menjadi muridmu?” “Ahhh, duduklah baik-baik dan dengarkan dengan tenang,” Go-bi Sin-kouw membujuk dan kakek itu duduk kembali dengan sikap kasar karena hatinya masih marah. “Sudah kukatakan bahwa Pek Hong Ing, puterimu atau muridku itu, hendak kujodohkan dengan Pangeran Han Wi Ong yang mencintanya. Bukankah aku bermaksud baik dan mengangkat derajatnya setinggi mungkin? Bayangkan, kau akan menjadi ayah mertua seorang pangeran, putera Kaisar! Akan tetapi apa yang terjadi kemudian? Hong Ing kena dibujuk oleh seorang pemuda, Si Gundul itu sehingga Hong Ing melarikan diri mencukur rambutnya seperti nikouw, bahkan kemudian bersama pemuda itu melawan kami dan tidak mau menyerah ketika hendak ditangkap. Maksudku hanya menangkap mereka dan menyerahkan kepada pengadilan, dan membujuk Hong Ing agar suka menjadi isteri pangeran. Sayang, sebelum mereka tertangkap, engkau muncul dan membikin kacau, engkau malah membantu pemuda yang hendak mencelakakan puterimu itu.” “Brakkkk!” Meja itu terbuat daripada batu putih yang amat keras, akan tetapi tidak kuat menahan kepalan tangan Kok Beng Lama, retak-retak dan nyaris hancur lebur! “Siapa pemuda gundul itu?” “Namanya Yap Kun Liong dan dia lihai sekali!” “Tak peduli betapa lihainya, dia akan kuhancurkan kepalanya seperti meja ini!” “Tapi dia kabarnya memiliki Ilmu Thi-khi-i-beng, dan menurut kabar orang-orang kang-ouw, dia murid keponakan Pendekar Sakti Cia Keng Hong, dan dia pula yang tahu di mana adanya pusaka bokor emas milik Panglima The Hoo.” Berkerut alis Kok Beng Lama. “Apa itu Thi-khi-i-beng?” “Ahh, seorang selihai engkau masih belum mengenal Thi-khi-i-beng? Ilmu yang amat dahsyat dan mujijat, sin-kang yang dapat menyedot tenaga dalam lawan, yang tadinya hanya dimiliki oleh Pendekar Sakti Cia Keng Hong!” “Huh, siapa itu Cia Keng Hong?” “Dialah murid tunggal orang yang kau cari-cari, Sin-jiu Kiam-ong.” “Bagus! Di mana dia?” “Dia menjadi Ketua Cin-ling-pai di Gunung Cin-ling-san. Dan bokor emas milik Panglima The Hoo yang dijadikan rebutan seluruh orang dunia kang-ouw, kabarnya juga hanya diketahui tempatnya oleh pemuda itu. Dan sekarang, puterimu dibawa olehnya, entah ke mana.” “Keparat! Akan kucari mereka semua!” Tiba-tiba kakek itu meloncat dan sekali berkelebat dia lenyap dari dalam gedung itu, membuat Go-bi Sin-kouw menahan napas saking kagumnya. Akan tetapi dia tidak mempedulikan lagi kepada pendeta Lama yang amat lihai itu, karena dia sudah sibuk mengatur tempat tinggalnya yang baru! Dia mengumpulkan semua anak buahnya yang empat puluh orang lebih jumlahnya, dan mulai saat itu, Go-bi Sin-kouw menjadi majikan tempat itu, tinggal di dalam gedung yang mewah dan megah, dan diterima sebagai ketua oleh bekas anak buah Kim Seng Siocia. Tentu saja dia merasa girang sekali. Biarpun dia kehilangan dua orang muridnya, akan tetapi sebagai gantinya dia memperoleh empat puluh orang murid lebih, dan memperoleh tempat tinggal yang indah. Hanya sedikit kecewa hatinya mendengar bahwa bekas kekasih Kim Seng Siocia, pemuda asing bermata biru yang bernama Marcus, telah melarikan diri sambil membawa kitab-kitab pusaka peninggalan Go-bi Thai-houw berikut banyak harta berupa emas dan perak! Akan tetapi karena yang masih berada di situ jauh lebih banyak, maka nenek ini tidak ambil peduli. Pula, dia tidak menginginkan kitab pusaka karena merasa bahwa ilmu kepandaiannya tidak kalah oleh Kim Seng Siocia. Kun Liong sadar dari pingsannya. Sejenak dia nanar dan matanya silau oleh sinar matahari yang langsung menimpa kepala dan mukanya. Akan tetapi ketika dia bangkit duduk dan melihat kain putih di tangannya, dia teringat dan mengeluh, lalu mendekap kain itu dan diciuminya. “Hong Ing.... ahhh, Hong Ing...!” demikian keluh hatinya. Dia hampir merasa yakin bahwa dara itu tentu telah tewas, menjadi korban badai yang mengamuk ganas semalam. Akan tetapi karena yang ditemukannya hanya kain penutup kepala gadis itu, hatinya masih penasaran dan sehari penuh tiada hentinya dia berkeliaran di sepanjang pantai mengelilingi pulau kecil itu untuk mencari kalau-kalau jenazah dara itu terdampar di pantai. Namun hasilnya sia-sia. Akhirnya dengan tubuh lemas dan sakit-sakit, dengan hati kosong dan tertekan hebat, Kun Liong terpaksa harus melihat kenyataan bahwa dara yang dicari-carinya itu memang tidak ada. Tentu sudah ditelan lautan yang mengganas semalam, atau ditelan ikan besar. Dia berdiri tegak memandang ke arah lautan, giginya berkerot, kedua tangan dikepal dan matanya menyinarkan penasaran dan kebencian ke arah lautan. Kalau lautan merupakan makhluk, tentu akan diserangnya pada saat itu! Kemudian dia sadar bahwa tidak baik menenggelamkan dirinya ke dalam kedukaan yang tidak ada gunanya. Jelaslah kenyataannya bahwa Pek Hong Ing telah lenyap! Dan dia masih hidup! Teringat akan dirinya sendiri, masih terasalah nyeri di seluruh tubuhnya dan ketika dia melihat keadaannya, baru dia sadar bahwa pakaiannya sudah koyak-koyak tidak karuan, juga sepasang sepatu yang dipakainya. Dan terasa pula betapa perutnya amat lapar. Maka dia lalu meninggalkan pantai yang kosong sunyi itu, sekosong dan sesunyi hatinya, dan dia menuju ke tengah pulau untuk melakukan penyelidikan dan mencari pengisi perutnya yang juga kosong dan terasa amat lapar itu. Sedapat mungkin dia mengusir bayangan Hong Ing yang selalu mengganggu pikirannya, dan kadang-kadang dia harus menyusut air mata yang meloncat keluar setiap kali dia teringat kepada dara itu. Jelas ternyata setelah diselidikinya bahwa pulau itu adalah sebuah pulau kecil yang kosong. Di tengah pulau terdapat sebuah bukit kecil yang penuh dengan pepohonan. Akan tetapi, kecuali belasan ekor jenis burung laut yang beterbangan di atas pulau, tidak ada seekor pun binatang di pulau itu. Dan tetumbuhan yang berada di bukit itu pun terdiri dari jenis tetumbuhan yang tidak dapat dimakan. Diantaranya terdapat pohon-pohon besar yang sudah amat tua, dengan batang yang besar-besar. Hutan kecil itu liar dan gelap, dan di situ terdapat banyak batu-batu karang yang merupakan guha-guha besar. Namun dia tidak ingin menyelidiki tempat yang buruk dan sukar didatangi karena banyaknya semak-semak belukar itu. Terpaksa, untuk mengisi perutnya yang kelaparan, Kun Liong menangkap seekor burung besar dengan jalan menyambitnya dengan pecahan batu karang. Dipanggangnya daging burung itu dan biarpun rasanya tidak terlalu sedap, lumayan untuk mengatasi kelaparan. Akan tetapi, makan daging burung panggang ini mengingatkan dia kepada Pek Hong Ing ketika mereka berdua makan ikan panggang di dalam perahu peti mati! Teringat akan ini, teringat pula akan kemungkinan besar kematian dara itu secara menyedihkan, leher Kun Liong seperti dicekik rasanya. Daging yang dimakannya berhenti di kerongkongan dan dia tidak dapat melanjutkan makannya. Sambil minum air tawar yang didapatnya di dekat rimba di tengah pulau, dia membuang sisa daging burung panggang ke laut, kemudian menghela napas dan dengan tubuh lemas dia mencari tempat teduh di belakang sebuah batu karang besar, menjatuhkan diri di atas pasir dan tak lama kemudian dia sudah jatuh pulas. Matahari sudah naik tinggi dan beberapa jam kemudian sinar matahari telah melewati batu karang itu dan menimpa tubuh Kun Liong. Namun pemuda yang telah mengalami kelelahan lahir batin yang amat hebat itu seperti sudah mati, tidak merasakan lagi sengatan sinar matahari, tidur dengan nyenyaknya, sedikit pun tidak pernah bergerak. Akan tetapi sesungguhnya hanya tubuhnya saja yang tidur dan tidak bergerak, karena pemuda yang dihimpit oleh penderitaan batin ini, yang dengan kekuatan batinnya menahan kedukaan hebat, setelah tertidur diterbangkan ke alam mimpi oleh perasaan bawah sadarnya yang kini setelah dia tidur memperoleh kesempatan untuk timbul. Mimpi hanya datang mengganggu seseorang yang di waktu siangnya diamuk oleh pikirannya sendiri, pikiran yang mendatangkan pertentangan di dalam batin. Orang yang pikirannya terbebas dari segala macam ingatan masa lalu, yang tidak terpengaruh oleh suatu peristiwa, tidak menyimpan dalam pikirannya suatu pengalaman, tentu akan tidur nyenyak tanpa mimpi! Di alam mimpinya, Kun Liong melihat beberapa orang dara cantik melayang-layang mendekatinya dan mereka menari-nari, seperti dewi-dewi kahyangan di sekelilingnya, tersenyum simpul dan mengerling tajam kepadanya, seolah-olah mereka itu berlumba untuk memikat hatinya. Dan dia mengenal dara-dara itu karena mereka itu bukan lain adalah wanita-wanita yang selama ini telah dijumpainya dalam hidupnya. Yo Bi Kiok dengan sepasang matanya yang amat indah seperti mata bintang kejora itu, Souw Li Hwa dengan lehernya yang panjang putih dan dagunya yang meruncing amat manisnya, Cia Giok Keng dengan hidungnya yang amat indah bentuknya, Lim Hwi Sian dengan mulutnya yang menggairahkan, Yuanita de Gama dengan matanya yang biru dan rambutnya yang seperti benang sutera emas, Nina Selado yang cantik genit dan panas, Lauw Kim In yang cantik pendiam dan dingin namun memikat hati, Kim Seng Siocia yang gendut dan lucu, dan akhirnya tampak juga Pek Hong Ing yang baginya tidak mempunyai keistimewaan tertentu karena segala sesuatu yang ada pada Hong Ing amat menarik hatinya! Para wanita ini menari-nari dan Hong Ing berada di belakang sendiri, kadang-kadang nampak kadang-kadang tidak. Akan tetapi dia hanya memandang mereka itu sepintas lalu saja, akhirnya dia mencari-cari dengan matanya ke arah Hong Ing. Ingin sekali dia agar dara yang berkepala gundul itu mendekat namun apa daya, dia sendiri tidak dapat menggerakkan kaki tangannya. Tiba-tiba datang angin besar bertiup dan dara-dara jelita yang menari-nari itu terhembus angin melayang-layang pergi sambil melambaikan tangan kepadanya, dan tersenyum manis. Akan tetapi hanya Hong Ing seorang yang melawan hembusan angin, gadis itu tidak seperti yang lain terbang melayang menunggang angin. Hong Ing meronta dan melawan. menjulurkan kedua lengan ke arahnya, seperti minta bantuan dan terdengar jeritnya, “Kun Liong...!” “Kun Liong...!” Kun Liong tersadar tanpa membuka matanya. Hemm, dia tertidur enak sekali, dan semua itu ternyata hanya mimpi. Hanya mimpi kosong. Dia menarik napas panjang tanpa membuka mata, menikmati tubuh yang mengaso. Tidak perlu memikirkan mimpi, demikian suara berbisik di kepalanya yang berbantal gundukan pasir. “Mengapa tidak perlu?” bantah suara di dadanya, “Mimpi ada artinya, apalagi yang muncul adalah wanita-wanita yang selama ini mendatangkan kesan mendalam di hatinya. Pasti ada artinya mimpi tadi!” “Aahhh, celoteh nenek bawel!” bantah suara di kepalanya. “Mimpi hanya kembangnya orang tidur! Tidak ada artinya, kalau pun ada, maka artinya itu direka-reka dan dicari-cari, dibuat dan dipaksakan.” “Sombong! Si dungu berlagak pintar!” Hatinya memaki. “Pasti ada artinya. Bukankah para wanita itu pergi dengan senyum dan sebaliknya Hong Ing meronta dan minta pertolongannya? Itu tandanya cinta?” “Cinta hidungmu!” bantah pula suara di kepala. “Tidak ada cinta yang murni, semua cinta palsu! Betapa banyaknya orang menderita karena cinta. Hanya orang tolol saja yang membiarkan dirinya terjerat cinta! Hanya orang totol yang akhirnya akan nenderita karena cinta. Dia suka kepada wanita, kepada semua wanita yang cantik dalam mimpi tadi, dia suka kepada mereka seperti suka akan bunga yang indah dan harum, seperti suka akan makanan yang lezat, suka akan pemandangan alam yang permai. Akan tetapi cinta...? Huhhhh!” “Sombong! Kalau tidak cinta, mengapa kau menderita setengah mampus karena kehilangan Hong Ing? Itu tandanya cinta, tahukah kau, sombong?” Hatinya menjerit marah. “Hemm, apa sih artinya, cinta? Aku memang kasihan kepadanya, aku berduka teringat akan nasibnya yang buruk. Apa salahnya itu?” Suara di kepalanya melemah, namun masih membantah dan meragu. “Kun Liong...!” Terkejutlah dia. Suara itu demikian jelas sekarang, diantara suara angin ribut. Angin ribut? Mimpikah dia tadi? Kun Liong membuka matanya dan cepat menutupkannya kembali karena ada debu pasir menyerangnya. Maklumlah dia bahwa sekali ini dia tidak mimpi. Memang benar ada angin ribut mengamuk! Dia cepat meloncat bangun, dengan kedua tangannya meraba batu karang lalu berjalan setengah merangkak memutari batu karang, berlindung di balik batu sehingga tidak terserang debu pasir lagi. Dia membuka mata. Gelap! Kun Liong termangu-mangu. Sudah malam? Dia mengingat-ingat. Tadi dia makan daging burung panggang ketika matahari telah naik tinggi, dan dia mulai merebahkan diri berlindung di balik batu karang setelah matahari mulai condong ke barat. Dan sekarang sudah gelap! Demikian lamakah dia tertidur? Sampai setengah hari lebih! Dan semua itu tadi hanya mimpi. Termasuk suara orang memanggil namanya. Seperti suara Hong Ing! Hemm, tak mungkin suara Hong Ing yang sesungguhnya, kecuali hanya dalam mimpi. Hong Ing sudah tewas. Hal ini sudah jelas, karena dia sudah mencari di sekeliling pulau. “Kun Liong...!” Kun Liong terperanjat dan meloncat ke atas. Itu suara Hong Ing! Mungkinkah? Bulu tengkuknya meremang. Suara Hong Ing? Tentu suara arwahnya! Aduh kasihan Hong Ing...! Kun Liong memandang ke kanan kiri, jantungnya berdegup aneh, tengkuknya terasa tebal. Dia sudah siap untuk melihat roh dara itu memperlihatkan diri, seperti asap, seperti yang pernah didengarnya dalam cerita dongeng. Apakah yang menjumpainya dalam mimpi tadi juga roh para gadis itu? Dan memang Li Hwa sudah mati, juga Hong Ing, akan tetapi yang lain-lain bukankah masih hidup? “Kun Liong...! Ahh... Kun Liong...!” Suara itu merupakan jerit melengking, disusul rintihan dan isak tangis, lapat-lapat terdengar lalu lenyap lagi. Datang terbawa angin! Dari tengah pulau! “Hong Ing...!” Kun Liong meloncat. Tidak peduli lagi akan kegelapan, dia berlari terus ke depan, ke arah suara tadi, ke arah tengah pulau, tidak peduli dia tersaruk-saruk, jatuh bangun beberapa kali. Tidak peduli lagi apakah yang menjerit itu setan ataukah iblis. Yang jelas, itu adalah suara Hong Ing! Dan Hong Ing menangis! Dia harus menolong Hong Ing, baik Hong Ing yang masih hidup atau Hong Ing yang sudah menjadi roh. Jelas bahwa Hong Ing memanggilnya, membutuhkan pertolongannya. “Hong Ing...!” Dia berteriak-teriak memanggil ketika dia sudah berada di atas bukit, di dalam hutan yang kecil namun lebat itu, menghadapi guha-guha di batu karang yang membukit. “Kun Liong...!” Biarpun hatinya girang bukan main mengenal suara dara itu, namun meremang juga bulu tengkuk Kun Liong. Suara setankah yang menirukan suara Hong Ing? Atau roh gadis itu yang menjadi penasaran berkeliaran di pulau dan menemukan tempat tinggal di dalam guha itu? “Hong Ing...!” Dia memanggil lagi sambil melangkah mendekati guha. “Kun Liong...!” Kun Liong meloncat masuk. Tidak peduli suara setan atau iblis, suara roh atau arwah, yang jelas itu adalah suara Hong Ing memanggilnya. Dia masuk dan kakinya tersandung batu. Dia terjatuh dan tangannya menyentuh benda lunak dan hangat, dan tiba-tiba dua buah lengan merangkulnya mendekap kepalanya dan di antara suara terengah-engah dan isak tangis, jelas terdengar suara Hong Ing, “Kun Liong... ahhh, Kun Liong...!” “Hong Ing...!” Mereka saling berdekapan, lupa akan segala, yang ada hanya keharuan, kegembiraan. “Hong Ing... kau... kau masih hidup...! Ya Tuhan, syukurlah...!” “Kun Liong... ahhh, alangkah lamanya menantimu di sini. Sampai serak suaraku memanggil-manggilmu... kukira kau sudah mati... aku tidak mempunyai harapan lagi... kakiku terkilir, tak dapat berjalan, tubuhku nyeri semua, perutku lapar bukan main...!” “Ya Tuhan...!” Kun Liong kembali berseru dan air matanya turun bercucuran. Untung di dalam gelap, kalau tidak tentu dia akan merasa malu kepada Hong Ing. Dan teringat betapa dia memeluki tubuh itu, bahkan kalau tidak salah ingat dia tadi menciumi muka itu, mengecupi air mata yang asin itu, dia merasa malu dan cepat dia melepaskan rangkulannya. “Hong Ing, kau suka... makan... daging burung laut?” Biarpun keadaan gelap di situ, namun terasa oleh Kun Liong betapa Hong Ing terbelalak heran, dan dia girang sekali. “Daging burung laut?” Gadis itu bertanya, suaranya ragu-ragu seolah-olah dia sangsi apakah pemuda itu waras pikirannya. “Ya, daging burung laut dipanggang! Aku telah makan daging itu siang tadi. Kalau kau suka, aku akan menangkap seekor untukmu.” Hong Ing menghela napas panjang, jelas terdengar oleh Kun Liong, mengingatkannya bahwa di luar guha angin ribut mengamuk. Mengingatkannya betapa canggung dan lucu penawarannya tadi. Malam gelap begitu, angin ribut pula, bagaimana mungkin menangkap seekor burung untuk Hong Ing? Mengapa orang yang berada dalam kegirangan besar, seperti dalam kedukaan besar, bicaranya lalu menjadi kacau tidak karuan? “Besok sajalah, Kun Liong. Aku belum mati kelaparan, hanya kakiku... aughh...!” “Kakimu kenapa...” Otomatis Kun Liong mengulurkan tangan meraba, akan tapi cepat ditariknya kembali karena di dalam gelap itu dia tidak dapat melihat dan tanpa disengaja, tangannya yang diulurkan tadi meraba daging yang gempal, meraba... paha dara itu yang tidak tertutup pakaian! “Maaf... ah, Hong Ing. Bagaimana kau dapat sampai di sini? Dan bagaimana kakimu? Bagaimana keadaanmu...? Aihhh, terkutuk tempat begini gelap sehingga aku tidak dapat melihatmu!” Tubuh dara itu menggigil. “Mengapa tidak kau buat api unggun? Dingin benar malam ini...”   Kun Liong ingin menampar kepalanya sendiri yang gundul. “Bodohnya aku!” makinya dan dia cepat merangkak keluar, mencari kayu dan daun kering. Untung angin ribut tidak membawa hujan sehingga daun dan ranting kering yang banyak terdapat di depan guha tidak menjadi basah. Dengan pengerahan tenaga, mudah saja dia membuat api dengan batu karang, dan tak lama kemudian, di dalam guha itu menyala seonggok api unggun yang terang dan indah. Mereka kini dapat saling melihat. Mereka duduk berhadapan dan saling pandang. Sepasang mata dara itu bercucuran air mata, dan Kun Liong berusaha sekuat tenaganya untuk mencegah, air matanya turun dari pelupuk mata yang panas, bahkan dia berusaha untuk tersenyum, lalu berkata, “Kita masih hidup...” “Ahhh, Kun Liong... pakaianmu koyak-koyak...” Suara Hong Ing lirih seperti orang merintih. Kun Liong melihat kepada pakaiannya dan tersenyum, lalu memandang pakaian dara itu, menuding dan berkata. “Pakaianmu sendiri pun tidak utuh, Hong Ing.” Biarpun pakaian dara itu tidak sehebat pakaiannya mengalami kerusakan, namun tak dapat dikatakan utuh, banyak bagian yang terobek lebar sampai paha dan pundaknya kelihatan. “Dan tubuhmu... ahhh, babak belur dan lecet-lecet... Lihat dahimu itu, berdarah... dan lengan kirimu, ahhh... paha kananmu juga mengeluarkan darah sampai celanamu merah semua... Kun Liong...!” Suara dara itu makin gemetar, pandang matanya penuh iba ditimpakan ke seluruh tubuh Kun Liong. Kun Liong merasa betapa bulu tengkuknya berdiri, akan tetapi bukan meremang karena ngeri seperti tadi, melainkan karena terharu menyaksikan sikap Hong Ing dan mendengar suara dara itu. “Hong Ing... kau sendiri pun babak bundas... ujung bibir kirimu pecah-pecah... pundakmu dan lenganmu... dan... dan bagaimanakah dengan kakimu?” “Uhhh... kaki kiriku... agaknya terkilir di belakang mata kaki, tak dapat dipakai berjalan, digerakkan sedikit pun sakit.” “Coba kuperiksa... maaf...” Kun Liong memegang kaki itu dan Hong Ing menggigit bibirnya menahan rasa nyeri. Memang terkilir. Agak hebat. Membengkak di bagian mata kaki itu, dan biru kehitaman oleh darah yang terkumpul di dalamnya. “Hong Ing, maukah engkau menahan sakit sedikit? Tulang kaki ini keseleo, tergeser dan harus segera dibetulkan kembali letaknya. Kalau tidak, akan lama sembuhnya dan mungkin menjadi cacat.” Hong Ing mengangguk dan memandang kepada Kun Liong yang kini menggunakan kedua tangannya memegang kaki itu. Tangan kanan memegang bagian atas dan tangan kiri memegang bagian bawah. “Siaplah, Hong Ing, sakit akan tetapi hanya sebentar.” Tiba-tiba dia membuat gerakan menarik dan terdengar suara “krekk...” dan teriakan Hong Ing yang merasa nyeri bukan main. Perasaan nyeri yang sampai menusuk ke ulu hati rasanya, membuat seluruh tubuhnya menggigil dan keringat dingin membasahi dahinya, matanya terbelalak dan di atas pipinya yang pucat nampak air mata. “Sudah baik letaknya sekarang. Harus dibalut erat-erat.” Kun Liong lalu merobek bajunya yang memang sudah koyak-koyak lalu membalut mata kaki itu dengen ketat. Ketika dia selesai dan mengangkat muka, dia melihat betapa dara itu tadi menderita nyeri yang hebat, napasnya masih naik turun, bibirnya berdarah sedikit karena pecah digigitnya sendiri. “Kasihan kau... Hong Ing...” Kun Liong mendekat dan menggunakan tangannya menyapu keringat dari dahi yang halus itu. “Terima kasih, Kun Liong... kau memang baik sekali.” “Hemm, dalam keadaan seperti ini tidak perlu memuji, Hong Ing. Yang ingin sekali kudengar adalah ceritamu bagaimana engkau bisa sampai di tempat ini. Kukira tadinya kau...” “Mati? Memang aku lebih baik mati daripada hidup, bahkan sebelum bertemu dengan engkau aku mengharapkan kematian saja, Kun Liong.” “Mengapa?” “Mengapa? Hemm... kau tidak tahu betapa ngeri rasa hatiku, betapa tidak berdaya sama sekali, seolah-olah menanti datangnya maut tanpa daya sedikit pun juga. Ketika kita diamuk badai dan agaknya perahu kita dihempaskan pada batu karang, aku tidak tahu apa-apa lagi...”   Hong Ing mulai bercerita, dan Kun Liong tentu saja maklum akan keadaan ini karena dia sendiri pun tidak ingat apa-apa lagi setelah itu, tahu-tahu dia berada di atas pasir pantai. “Ketika aku siuman, aku berada di pantai, untung bahwa kepalaku berada di luar jangkauan air sehingga aku tidak mati tenggelam. Aku memanggil-manggilmu, keadaan gelap sekali malam itu, akan tetapi suaraku lenyap ditelan angin dan kau tidak menjawab. Aku menyeret kaki kiriku yang nyeri sekali ke darat, dan karena aku takut akan diserang binatang buas, aku terus merangkak sekuat tenaga sambil memanggil-manggilmu. Akhirnya aku berhasil masuk ke guha ini dan kembali aku tidak ingat apa-apa lagi. Setelah siuman untuk kedua kalinya, matahari telah naik tinggi. Kakiku tak dapat digerakkan, seluruh tubuh sakit, perut lapar sekali dan... dan... pada saat itu aku ingin mati saja, Kun Liong. Aku mengira bahwa engkau tentu telah mati! Aku sendiri tidak mampu bergerak. Tentu aku akan mati kelaparan. Betapa ngerinya. Maka aku lalu menangis sampai habis air mataku. Aku menjerit-jerit memanggil namamu, percuma saja. Malam tiba dan aku masih tetap menjerit dan menangis dan akhirnya... akhirnya... kau datang juga...” Mata itu terbuka lebar, kembali dua titik air mata turun, gigi yang rapi dan putih itu menggigit bagian dalam dari bibir bawah, cuping hidungnya bergerak-gerak membayangkan keharuan hati. “Aduh kasihan sekali kau, Hong Ing. Tahukah engkau betapa aku pun sudah putus harapan, mengira engkau tentu telah tewas ketika aku menemukan kain penutup kepalamu? Dan tahukah engkau betapa suara panggilanmu tadi terbawa dalam mimpi sehingga aku mengira bahwa rohmu yang memanggilku?” Kun Liong lalu menceritakan pengalamannya dan tentu saja dia tidak menyebut-nyebut tentang mimpinya dan tentang perbantahan antara pikiran dan hatinya. Berkat rawatan Kun Liong yang penuh ketelitian, belasan hari kemudian sembuhlah kaki kiri Hong Ing yang terkilir. Dia sudah dapat berjalan biarpun masih agak terpincang-pincang. Mereka berdua kini berusaha untuk menyesuaikan diri di pulau kosong itu. “Kalau pulau ini tidak memenuhi syarat untuk dijadikan tempat tinggal selama kita bersembunyi, kita mencari pulau lain,” demikian kata Kun Liong. “Bagaimana cara mencarinya? Perahu peti mati itu sudah lenyap, pula aku merasa ngeri kalau harus masuk ke dalam perahu peti mati itu lagi.” Kun Liong tersenyum. “Aku dapat membuat perahu dari batang pohon besar di rimba itu. Akan tetapi kalau ada bahan makanan lain di pulau ini, tidak perlu mencari pulau lain. Pulau ini cukup indah dan hawanya pun nyaman.” “Dan kita hidup di sini seperti orang-orang hutan? Seperti orang liar tak beradab?” Kun Liong tersenyum memandang. Mereka saling berpandangan dan akhirnya keduanya tertawa geli. “Engkau memang pantas menjadi seorang puteri hutan. Pakaianmu tidak karuan dan ringkas akan tetapi... pantas dan manis sekali. Kakimu tak bersepatu, dan rambutmu... hemmm.... rambutmu mulai tumbuh dengan suburnya, Hong Ing.” “Dan kau... kau memang seperti seorang manusia di jaman batu! Hanya memakai celana yang pantasnya disebut cawat, badan tanpa baju, kulit terbakar sinar matahari. Wah, kau kelihatan kuat dan sehat, Kun Liong. Dan kepalamu... hi-hik, bersih sekali sampai mengkilap!” Kun Liong tersenyum lebar. “Baru saja aku mandi dan kugosok dengan bunga karang. Segar sejuk rasanya.” Dia mengelus-elus kepala gundulnya. Mereka duduk berteduh di dekat batu karang besar, berlindung dari sinar matahari yang sudah mulai naik tinggi. Hong Ing memanggang daging ikan yang baru saja ditangkap oleh Kun Liong. Selama belasan hari ini, mereka hanya makan daging ikan atau burung laut, dan mereka mulai rindu akan makanan sayuran. Mereka hanya makan karena lapar saja. Makan untuk perut, bukan untuk mulut. Di tempat seperti itu, terasing dari dunia ramai, mereka tidak mungkin dapat memilih makanan yang enak. Sehabis makan dan minum air tawar, mereka duduk dan memandang ke laut. Dari pulau itu, tidak kelihatan pulau lain, apalagi daratan besar. “Enak juga di sini, kita dapat makan setiap hari dan tidak khawatir akan pengejaran Pangeran Han Wi Ong.” Hong Ing menarik napas panjang. “Sayang tidak ada pondok. Setiap malam aku merasa ngeri tidur di guha itu, takut kalau-kalau ada kalajengking atau kelabang, lebih-lebih ular... hiiih...!” “Aku akan membuatkan pondok untukmu, Di mana baiknya?” Wajah manis itu berseri. “Benarkah, Kun Liong? Aku sudah terlalu banyak menyusahkanmu.” “Tidak sama sekali. Memang kita berdua membutuhkan pondok...” “Dengan dua kamar...” “Cukup satu saja, untukmu. Aku bisa tidur di mana saja...” “Ah, kalau begitu aku tidak mau! Masa yang membuatnya tidur di mana saja? Kalau kau tidak membuat pondok dengan dua kamar, aku juga tidak mau tidur di situ.” Kun Liong tersenyum dan merasa geli hatinya. “Lucunya kita ini. Pondok belum jadi, dimulai pembangunannya pun belum, kita sudah cekcok tentang jumlah kamarnya!” Hong Ing teringat akan ini dan dia pun tertawa. Ketawanya bebas dan diam-diam Kun Liong kagum dan terheran-heran. Mengapa gadis yang pakaiannya tidak karuan, hanya sedikit kain menutupi dari atas buah dada sampai ke paha, tanpa sepatu, dengan rambut mulai tumbuh masih awut-awutan, mengapa gadis seperti ini kelihatan begini menarik? Padahal, kalau dalam keadaan seperti itu Hong Ing berada di dalam kota yang ramai, tentu dia akan diikuti dan digoda oleh banyak anak kecil, dianggap seorang gila! Akan tetapi baginya, pada saat itu tidak ada bidadari di kahyangan yang lebih cantik, lebih manis, lebih menarik dan lebih menggairahkan daripada Pek Hong Ing! Mulailah Kun Liong membuat alat-alat untuk membangun pondok. Alat-alat sederhana sekali dan tidak salah kalau Hong Ing membandingkan dia dengan seorang manusia dari jaman batu karena Kun Liong terpaksa membuat alat-alat dari batu karang! Kapak, pisau, semua dari batu karang tajam! Biarpun dengan sukar, namun akhirnya jadi juga sebuah pondok berdiri di belakang batu karang besar di tepi laut itu. Sebuah pondok yang modelnya menurut kehendak Hong Ing. Agak tinggi dari tanah, sebuah pondok panggung karena Hong Ing takut kalau-kalau ada ular memasuki pondok dan kamarnya. Di depannya dipasangi anak tangga, atapnya dari daun, dindingnya dari bambu. Pintunya dua, di depan dan belakang, kamar Hong Ing di depan, ada jendelanya yang menghadap ke laut! Kamar Kun Liong di belakang. Selain pondok itu, juga Kun Liong membuat perabot rumahnya. Sebuah dipan kayu untuk Hong Ing, berikut sebuah bangku kayu, dan sebuah dipan bambu untuknya sendiri. Sebuah meja dan dua bangkunya di depan kamar. Tong-tong tempat air tawar. Pada malam pertama mereka pindah ke pondok, kebetulan malam terang bulan. Hampir dua bulan Kun Liong membuat pondok itu, dibantu oleh Hong Ing yang menganyam dinding dan atap. Mereka berdua setelah makan malam, duduk di luar pondok, di atas pasir yang bersih dan putih tertimpa sinar bulan purnama. Hong Ing menarik napas panjang, menggunakan sebuah sisir bambu buatan Kun Liong menyisiri rambutnya yang sudah ada sejari panjangnya. “Hemm, alangkah senangnya. Kita sudah punya rumah! Baru aku merasa sebagai manusia, bukan seperti binatang yang bersarang di dalam guha kotor!” Kun Liong menoleh dan memandang wajah dara itu. Kebetulan sinar bulan menimpa wajah itu sepenuhnya, membuat wajah dara itu kelihatan seperti disepuh emas, cemerlang dan indah sekali. Senyum di bibir yang manis itu kelihatan amat indahnya, indah dan halus seperti sajak sasterawan di jaman dahulu. Kun Liong terpesona! Ketika Hong Ing melirik, pandang mata mereka bertemu dan dara itu memperlebar senyumnya. Kun Liong gelagapan karena senyum dan pandang mata dara itu membuat dia merasa seperti seorang maling tertangkap basah! Cepat dia menutupi kecanggungannya dengan pertanyaan. “Benar-benarkah kau merasa senang, Hong Ing?” Dara itu menunda sisirnya dan memandang wajah Kun Liong, senyumnya masih cerah dan dia mengangguk. “Senang sekali. Engkau pandai sekali, Kun Liong. Apakah tidak ada yang tak dapat kaulakukan? Apa saja engkau bisa! Ilmu silatmu tinggi, kau pandai kesusastraan. Bahkan pandai berfilsafat. Bisa mengobati kakiku, pandai menghibur dan sekarang kau malah menjadi tukang kayu, tukang batu, pembuat sisir, penangkap ikan dan burung, pemasak daging... wah, apa yang kau tidak bisa?” Merah wajah Kun Liong saking senangnya dengan pujian ini. Dia menunduk den sambil tersenyum dia berkata, ”Aahh, kau melebih-lebihkannya saja. Sebuah pondok butut seperti ini...” “Tapi kokoh kuat... bukan, Kun Liong?” “Ya, cukup kuat. Tak usah kau khawatir. Ular dan segala binatang takkan dapat masuk. Pula, di sini tidak ada binatang buasnya.” “Kau memang pandai dan rendah hati...” Kun Liong senang sekali, kepalanya menunduk. Hong Ing tidak bicara lagi, dan ketika diam-diam dia mengerling, dara itu tidak memandangnya, melainkan sedang sibuk menyisir rambutnya dan memandang ke arah bulan purnama. Betapa indahnya gerakan itu menyisir rambut! Kepalanya agak dimiringkan sehingga separuh mukanya tertimpa cahaya bulan. Sepasang matanya kelihatan berkilauan dan memantulkan sinar bulan yang redup dan sejuk. Bibirnya bergerak-gerak, kadang-kadang mulut yang manis itu agak terbuka menahan rasa perih ketika sisirnya macet pada rambut yang lengket. Rambut itu biarpun baru sejari panjangnya, sudah kelihatan berombak, maka seringkali sisirnya macet. Dengan tangan kanan memegang sisir dan tangan kiri menata rambut, dara itu mengangkat kedua lengannya sehingga tampaklah sedikit bulu halus di ketiaknya yang tidak tertutup. Kun Liong terpesona. Betapa hebatnya daya tarik seorang wanita kalau sedang bersolek! Dan Hong Ing adalah seorang wanita yang luar biasa, memiliki kecantikan yang khas dan aneh. Apalagi kini hanya mengenakan pakaian yang tidak lengkap itu. Aku cinta padanya! Kun Liong terkejut sendiri. Bodoh, bantah suara lain di kepalanya yang gundul. Kau hanya menganggap saja ini cinta, padahal tak lain tak bukan hanya perasaan tertarik oleh keindahan bentuk tubuh yang bulat itu, kecantikan wajah yang sudah dipercantik lagi oleh cabaya bulan purnama, dan suasana yang sunyi di mana hanya ada mereka berdua! Bukan! Bukan cinta! Dia tidak akan dapat mencinta seorang yang bagaimana pun, karena dia tahu bahwa cintanya itu dikotori oleh keinginan memiliki, keinginan membelai dan merayu, keinginan yang terdorong nafsu birahi! Tidak! Dia tidak mencinta, hanya memang dia suka, bahkan tergila-gila oleh kecantikan Hong Ing. Sama saja dengan rasa sukanya kepada dara-dara yang lain, termasuk Lim Hwi Sian yang bahkan sudah menyerahkan badannya kepadanya. Hwi Sian telah menyerahkan tubuhnya kepadanya karena mencintanya, kata data itu! Dan bagaimana dengan Hong Ing? Hong Ing telah merasa berhutang budi kepadanya, dan mereka hanya tinggal menyendiri di pulau kosong ini, dengan pakaian yang begitu minim! Bagaimana kalau mereka berdua terseret oleh godaan nafsu birahi? “Tidak boleh!” Hong Ing terkejut sekali, sisirnya hampir terlepas ketika tiba-tiba Kun Liong menampar kepala gundulnya sendiri! Kun Liong sendiri terkejut dan baru sadar bahwa dia tadi menjadi begitu gemas kepada dirinya sendiri sampai dia menampar kepalanya! “Eh, ada apakah?” Tentu saja wajah pemuda itu menjadi merah sekali, merah sampai ke kepalanya bukan hanya merah karena tamparannya. “Ehh... ohh... tidak apa-apa, aku hanya termenung...” “Mengapa termenung sambil menampar kepala sendiri?” “Eh... anu... tadi ada seekor nyamuk menggigit kepalaku...” Kun Liong menggosok-gosok telapak tangannya seolah-olah ada nyamuk mati mengotori tangan itu. “Hi-hik, kau memang aneh. Mengapa ada nyamuk diajak bicara dan kau membentak tidak boleh? Lucu sekali!” “Aku tidak ingat lagi mungkin karena termenung tadi...” Kembali terdengar dara itu terkekeh geli. Hemm, dia mulai menertawakan aku. Aku Si Kepala Gundul ini, pemuda miskin, yatim piatu, mana ada harganya bagi seorang dara seperti Hong Ing? Bayangkan saja! Seorang pangeran gagah tampan, putera seorang Kaisar yang tentu saja kaya raya masih ditolak Hong Ing! Apalagi dia! Seperti seekor anjing merindukan kelinci di bulan! “Kun Liong, kau jangan suka melamun seperti itu. Orang melamun, bicara sendiri, memukul kepala sendiri hemmm, seperti orang tidak waras saja...” Ah, dia mulai mengatakan aku tidak waras, sama dengan memaki gila! “Memang, kadang-kadang aku seperti gila, Hong Ing.” Hong Ing memandang wajah Kun Liong cepat-cepat, agaknya dapat menangkap nada marah dalam ucapan pemuda itu, alisnya diangkat tinggi-tinggi dan matanya menyapu penuh selidik. Akan tetapi Kun Liong sudah menunduk dan tidak bicara lagi. Dia tidak melihat betapa dara itu tersenyum geli melihat dia menunduk dengan wajah bersungut-sungut, mulut cemberut. Hening sampai agak lama. Kadang-kadang kalau Kun Liong mencuri pandang dengan kerling sekilat, dia melihat dara itu masih bersila dan menengadah, memandang ke bulan. Rasa mendongkol di hati Kun Liong tak dapat bertahan lama. Mana mungkin dia dapat marah lama-lama kepada seorang dara yang kelihatan begitu tidak berdaya, yang mengalami penderitaan seperi itu dan amat membutuhkan perlindungan? Tidak mungkin dia bisa sekejam itu. Heran dia. Mengapa Hong Ing memilih menjadi nikouw, bahkan kini memilih menjadi seorang buruan yang terlunta-lunta, daripada menjadi isteri seorang pangeran yang kaya raya dan berkuasa? Mengapa memilih hidup sengsara kalau kehidupan mulia terbentang di depan kakinya? Tiba-tiba dia teringat. Sebetulnya dia belumlah mengenal gadis ini sungguh-sungguh, dan dia mengerti dan mengenalnya hanya menurut cerita gadis itu sendiri. Hong Ing adalah murid Go-bi Sin-kouw, seorang tokoh kang-ouw yang berilmu tinggi. Siapa tahu isi hati gadis itu? Kakak seperguruan gadis ini, nona Lauw Kim In, menurut cerita Hong Ing, juga mau diambil kekasih oleh seorang pemuda iblis macam Ouwyang Bouw! Siapa tahu, gadis ini mendekatinya karena memang ada pamrih sesuatu. Bokor itu! Semua tokoh kang-ouw agaknya menduga keras bahwa dialah yang menyembunyikan bokor emas asli, pusaka Panglima The Hoo yang diperebutkan itu! Dia mengerling lagi, dan melihat bahwa Hong Ing sudah berhenti menyisir rambutnya. Rambut itu hitam mengkilap, menghias kepala dara itu sehingga kepala itu kelihatan seperti setangkai bunga mawar! Manisnya bukan main! “Hong Ing...” Kun Liong berhenti sebentar karena jantungnya berdebar oleh dugaan yang bukan-bukan tadi dan oleh ketegangan usahanya untuk memancing dan menyelidiki. “Hemmm...” Hong Ing menoleh, mereka saling berpandangan dan kembali Kun Liong yang harus lebih dulu menundukkan kepalanya yang gundul karena pandang mata dara itu seolah-olah memiliki daya menembus sampai ke dalam dadanya. “Mengapa engkau menolak pinangan Pangeran Han Wi Ong? Dia putera Kaisar dan...” “...dan aku tidak mencintanya!” Hong Ing menyambung cepat. “Tapi, dia putera Kaisar, berkuasa dan kaya raya, dia tampan dan gagah pula.” “Biar dia seratus kali lebih berkuasa, kaya raya, dan tampan gagah, kalau aku tidak mencinta, apakah aku harus memaksa diri?” “Agaknya engkau amat mementingkan cinta dalam perjodohan.” “Tentu saja! Menikah tanpa cinta sama dengan memasuki gerbang neraka.” “Hemmm...” “Apakah kau tidak berpendapat demikian, Kun Liong?” “Entahlah. Hanya... kasihan Pangeran Han Wi Ong...” “Ahh, salah mereka sendiri! Laki-laki yang tidak tahu diri! Betapa banyaknya pria yang hendak memaksakan cintanya kepada seorang wanita. Kalau ditolak, adalah kesalahan mereka sendiri, mengapa harus dikasihani?” Kun Liong mengangkat muka memandang wajah itu dan tampak olehnya betapa wajah yang cantik itu dihias senyum mengejek, agaknya merasa jijik terhadap cinta kaum pria! “Banyakkah sudah kau dicinta orang?” “Banyak sekali!” “Hemmmm...” “Mengapa mengeluh?” “Pantas kau berani menolak cinta seorang pangeran. Kiranya banyak pria yang tergila-gila kepadamu!” “Apa salahnya?” “Tidak apa-apa, aku hanya... hemm, tidak ada seorang pun yang mencintaku.” “Ah masa! Kau seorang pemuda yang gagah dan tampan, pandai mengendalikan diri, berbudi mulia suka menolong orang lain tanpa pamrih...” “Betapa pun, tidak ada yang mencintaku seperti begitu banyak pria mencintamu...” “Kalau ada yang mencintamu...?” “Tak mungkin! Gundul miskin seperti aku, lebih pantas disebut jembel, mana mungkin... Ah betapapun juga, aku tidak sudi menikah selama hidupku.” “Heiii! Mengapa?” “Perempuan di dunia ini sema saja...” “Wah, agaknya mendalam sekali pengetahuanmu tentang perempuan! Dari mana pengetahuanmu itu? Dari buku pula?” Nada suara Hong Ing mengejek dan pandang matanya seperti scorang ibu guru memandang seorang murid cilik yang bodoh dan nakal! Akan tetapi Kun Liong tidak mempedulikan nada suara dan pandangan itu, lalu melanjutkan dengan keras kepala, “...sekali seorang laki-laki mengambil perempuan sebagai isterinya, maka akan celakalah dia! Hidupnya akan merupakan siksaan, karena perempuan yang menjadi isterinya akan selalu menguasainya, mengikatnya, merongrongnya. Dia akan kehilangan kebebasannya dan menyesal pun sudah terlambat!” “Wah! Seperti itukah penilaianmu terhadap perempuan? Kau menganggap bahwa semua wanita itu seperti yang kau ceritakan tadi? Dan kau mengira bahwa semua pria berpendirian seperti engkau, dirusak hidupnya oleh isteri? Betapa sombongmu, Kun Liong!” Akan tetapi Kun Liong tidak peduli. Betapa pun menariknya Hong Ing, membuat dia terpesona, membuat hatinya lemah, namun yang di hadapannya ini tak lain juga hanya seorang wanita! Maka dia melanjutkan, suaranya penuh semangat seolah-olah dia mempertahankan pendiriannya mati-matian terhadap serangan dari luar. “Aku tidak akan sudi menikah, kecuali dengan seorang wanita yang selalu menjadi idaman hatiku semenjak aku kecil!” “Waduh! Kecil-kecil sudah mengidamkan seorang wanita! Hebat kau, Kun Liong!” Suara Hong Ing mengejek sekali, bahkan diperkuat dengan senyum simpulnya, membuat hati Kun Liong makin panas. “Wanita seperti apa sih, idaman hatimu itu?” “Aku baru mau menikah dengan seorang wanita yang halus budi bahasanya, manis tutur sapanya, lemah lembut geraknya, suaranya seperti nyanyian burung di waktu pagi, tutur sapanya seperti hembusan angin lalu sepoi-sopi, gerak-geriknya seperti batang pohon yangliu tertiup angin, tidak hanya cantik jelita di lahir saja, melainkan lebih cantik lagi di batinnya, penyabar, ramah, tidak pernah cemburu, keibuan, taat, setia, dan...” “Pendeknya, wanita yang luar biasa tidak ada cacat celanya, seperti bidadari kahyangan yang diceritakan dalam dongeng! Seperti... seperti Kwan Im Pouwsat sendiri! Seperti... ah, perempuan idamanmu itu harus dilahirkan lebih dulu, Kun Liong. Thian harus membuat perempuan itu khusus untukmu, untuk seorang pria yang sombong, sesombong-sombongnya, tolol setolol-tololnya dan.. dan...” “Maaf, Hong Ing...” Kun Liong terkejut juga melihat dara itu bangkit berdiri, menegakkan kepala dan matanya seperti dua bola api hendak membakarnya, seluruh sikapnya jelas menunjukkan kemarahan yang ditahan-tahan, dan suaranya bercampur napas sesak seperti mau menangis! “...dan... dan... perutku menjadi mual melihatmu!” Setelah melontarkan kata-kata terakhir itu, dengan langkah gontai, dengan pinggul menonjol padat terbayang di balik kain yang sederhana dan pendek itu, Hong Ing meninggalkan Kun Liong, naik anak tangga memasuki pondok kecil itu. Terdengar dia menutupkan pintu kamar keras-keras, dan tampak dari luar daun jendela juga dihempaskan kuat-kuat! Kun Liong masig duduk di pasir. Bengong terlongong memandang ke arah pondok, hatinya bingung sekali. Akhirnya dia menarik napas panjang, menekan penyesalan hatinya. Mengapa dia harus menyesal melihat Hong Ing marah-marah? Biarlah, kalau dara itu merasa sakit hati, dia telah menguras isi hatinya, telah mengemukakan pendapatnya tentang wanita. Dia tidak akan jatuh cinta seperti pria-pria tolol itu, seperti Pangeran Han Wi Ong, seperti Yuan, dan yang lain-lain. Dia ingin terus bebas! Kembali dia menarik napas panjang. Betapa sunyinya setelah Hong Ing pergi ke pondok. Betapa menjemukan keadaan sekelilingnya. Cahaya bulan tidak gemilang seperti sinar keemasan lagi, melainkan mendatangkan kepucatan yang hampa! Mengapa dia menyesal telah menyakitkan hati Hong Ing? Bukankah dara itu malah yang menyakitkan hatinya? Mula-mula mengatakannya tidak waras alias gila! Kemudian apa yang dikatakannya dalam kalimat-kalimat terakhir ketika marah tadi? Bahwa dia adalah seorang pria yang “sombong sesombong-sombongnya, tolol setolol-tololnya” dan bahwa dia “memualkan perutnya”! “Hemmm...!” Keluhan ini keluar dari dadanya menyesak kerongkongannya. Dia menengadah. Bulan purnama tersenyum mengejek kepadanya, seperti senyum Hong Ing yang tadi mengejeknya. Dia memandang marah. Ingin dia dapat melumuri muka bulan dengan pasir di tangannya. Akan tetapi awan membantunya. Awan putih tebal merayap lewat, menyembunyikan bulan yang kini hanya tampak sebagai bulatan yang pucat tak berdaya. Seperti Hong Ing! Dara itu menderita hebat, di pulau kosong. Hanya bersama dia dan apa yang dia lakukan? Menyakitkan hatinya! Ah, betapa kejamnya dia! Biarpun dia tidak mau jatuh cinta kepada wanita manapun juga, akan tetapi tidak selayaknya dia menyakitkan hati Hong Ing seperti itu! Mulailah dia merasa menyesal, bukan menyesal karena pendiriannya tentang wanita seperti yang telah diucapkannya itu, melainkan menyesal terdorong oleh rasa iba kepada nasib Pek Hong Ing yang tidak semestinya dia tambah lagi dengan kata-kata yang membuatnya sakit hati. Teringatlah dia akan sekumpulan batu bulat putih yang telah dikumpulkannya secara diam-diam selama beberapa hari ini, yang didapatnya di dasar laut yang jernih dan dangkal di sudut pulau ketika dia mencari ikan. Batu-batu seperti mutiara besar itu dikumpulkannya dengan maksud untuk kelak setelah cukup banyak diuntai menjadi kalung dan akan diberikan kepada Hong Ing! Kini, mengingat betapa dara itu mungkin menangis di dalam pondok, perasaan menyesal membuat Kun Liong teringat akan benda yang akan dihadiahkannya kepada gadis itu. Maka dia lalu cepat meninggalkan tempat itu, menuju ke sudut pulau dan di bawah penerangan bulan pumama, mulailah dia dengan tekun mengumpulkan batu-batu bulat putih yang berkilauan. Dia melupakan hawa dingin, menanggalkan semua pakaiannya yang hanya berupa celana semacam cawat lebar, menyelam ke dalam air dan mencari batu-batu itu sampai semalam suntuk! Dia sama sekali tidak tahu bahwa dari tempat yang agak jauh, Hong Ing bersembunyi di balik batu karang dan mengintai, berulang kali dara ini menghela napas panjang akan tetapi tidak berani mendekat atau memanggil karena melihat betapa pemuda itu bertelanjang bulat! Akhirnya Hong Ing meninggalkan tempat persembunyiannya, menggeleng-geleng kepalanya dan terdengar berkata seorang diri, lirih, “Orang aneh dia... apa-apaan malam-malam begini mandi seorang diri dan menyelam sampai begitu lama!” Hubungan diantara kedua orang muda itu agak renggang semenjak pertengkaran di malam bulan pumama itu. Hong Ing bersikap menunggu keramahan Kun Liong, agaknya tidak mau tunduk dan tidak mau atau enggan untuk “berbaik dulu”. Sebaliknya, Kun Liong merasa malu akan sikap dan kata-katanya di malam hari itu, maka dia seolah menghindari percakapan dengan dara itu. Mereka hanya tampak berdua di waktu Kun Liong menyerahkan ikan atau burung yang ditangkapnya, dengan beberapa ikat daun yang telah dipilihnya dan yang ternyata dapat dimasak dan dimakan. Atau mereka berkumpul hanya pada waktu Hong Ing sudah selesai memanggang daging atau memasak sayur menggunakan panci-panci tanah yang dibuat oleh Kun Liong. Namun mereka keduanya seolah-olah membatasi percakapan mungkin juga khawatir kalau-kalau mereka terpancing dan bentrok lagi dalam perbantahan. Akan tetapi pada malam hari itu, sepekan setelah mereka seolah-olah saling menjaga diri, Kun Liong menghampiri Hong Ing yang duduk seorang diri di luar pondok dan memandangi bulan yang sudah tidak bulat lagi, tapi yang masih mampu menerangi permukaan laut dan pulau itu, membuat pasir kelihatan putih dan di sana-sini ada kerlipan pasir yang seperti menyembunyikan permata-permata kecil. “Hong Ing...” Dara itu terkejut. Kun Liong datang menghampirinya tanpa suara tadi, dan agaknya dia tidak menyangka-nyangka pemuda itu akan menghampirinya dan memanggilnya. “Eh, ada apa...?” Kun Liong menghela napas panjang, duduk di depan dara itu dan mengulurkan tangan kanan yang memegang seuntai kalung hatu putih yang berkilauan. Batu-batu itu sudah terkumpul dan sudah diasah sehingga rata dan sama, dilubangi dan diuntai dengan serat kulit pohon yang kuat, merupakan seuntai kalung batu putih yang indah. “Aku membuatkan kalung ini untukmu. Terimalah...” Wajah itu berseri, sepasang mata itu terbelalak ketika tangannya menerima kalung itu, mulutnya tersenyum lebar dan hati Kun Liong berbunga! “Aihhh... bagus sekali kalung ini...! Eh, jadi selama berhari-hari ini kau tampak murung dan diam, kiranya kau sibuk membuat kalung ini, Kun Liong?” “Ya... begitulah.” “Ah, kusangka kau marah-marah.” “Kenapa mesti marah?” “Aku telah memarahkanmu malam itu, mengatakan sombong dan tolol...” “Dan bahwa aku memualkan perutmu. Mengapa, Hong Ing?” “Masih adakah perempuan yang kauangan-angankan itu?” “He... hemmm...” “Jangan kausebut-sebut lagi dia, atau perutku akan mual lagi.” “Maaf...” “Kun Liong...” “Hemm...?” “Kau terlalu... terlalu canggung! Kau laki-laki jantan yang lemah! Kau... orang muda yang berpikiran tua! Kau... pria pandai yang tolol!” “Hemm... maaf..” Kun Liong gagap dan bingung, tak tahu harus berkata apa. “Dan kau...” Hong Ing melanjutkan, matanya sayu menatap wajah Kun Liong seperti mengintai dari balik bulu mata yang hampir saling bertemu bagian atas dan bawahnya, suaranya agak tergetar akan tetapi bibirnya tersenyum mesra, “kau... akan melihat kelak bahwa perempuan khayalmu itu, yang tanpa cacad, akan hancur lebur, membuyar seperti awan tipis tersapu angin, kalau sudah muncul seorang wanita dari darah daging yang hangat lembut, yang akan membuatmu bertekuk lutut, yang akan membuatmu suka mencium tapak kakinya...” “Hemmm, tak mungkin!” Kun Liong menghardik, ditujukan kepada diri sendiri. “Lihat sajalah kelak...!” Hong Ing tertawa kecil dan bersenandung, senandung yang dahulu itu, tentang cinta. Suaranya merdu sekali, lirih dan seolah-olah bukan dari mulutnya suara itu mengalun, melainkan dari tengah lautan, datang menunggang angin yang bertiup silir semilir. “Cinta adalah Kehidupan tanpa cinta hidup sama dengan mati Cinta adalah Cahaya tanpa cinta hidup gelap gulita Cinta adalah suci tanpa cinta hidup bergelimang dosa hanya orang bijaksana saja mengenal Cinta si dungu hanya mengejar nafsu!”   Dahulu ketika Hong Ing menyanyikan lagu cinta ini di atas perahu peti mati, dia hanya mengagumi suara Hong Ing dan memandang rendah isi nyanyian itu yang dianggapnya sebagai pantun seorang buta, memuji-muji setangkai bunga. Akan tetapi sekali ini, isi nyanyian itu seperti menyindirnya, terutama sekali baris terakhir “si dungu hanya mengejar nafsu!” Entah mengapa, karena dia tidak mengakui cinta suci, dia merasa seolah-olah dialah yang dimaki “si dungu” dalam nyanyian itu! Otomatis, seolah-olah tadi Hong Ing bukan bernyanyi, melainkan menuduh dan memakinya, dia menjawab, “Memang aku dungu!” “Heiiihhh... mengapa, Kun Liong?” Ketika melihat wajah pemuda itu muram dan bersungut-sungut, Hong Ing tertawa geli sambil menutupi mulutnya. “Kau... ngambek (murung) lagi?” “Tidak!” Akan tetapi jawaban itu jelas menunjukkan kejengkelan hatinya, jawaban yang disentakkan dan pendek keras seperti batu karang! Hong Ing tertawa terkekeh, dan berkata. “Kau sama sekali tidak dungu! Betapa bodohnya merasa diri dungu!” Mulut Kun Liong makin cemberut. Seenak perutnya sendiri saja! Dia memaki di dalam hati. Mengatakan tidak dungu akan tetapi memaki bodoh! “Kum Liong...” Tadinya dia tidak ingin menjawab, begitu marahnya hatinya. Akan tetapi panggilan itu begitu merdu, terasa olehnya seperti mengelus hatinya, maka mau tidak mau dia menjawab, “Apa?” Jawaban yang masih kaku. “Maukah engkau menolongku?” Kun Liong menoleh, memandang dan mereka saling pandang. “Menolong apa, Hong Ing?” Lenyap sama sekali kemurungan dari wajah Kun Liong yang mengira bahwa dara itu tentu mengalami suatu kesulitan. “Tolong kaukalungkan ini di leherku.” Sepasang mata Kun Liong terbelalak. Kalau saja tidak begitu girang hatinya dan begitu berdebar jantungnya, ingin dia menolak mentah-mentah untuk memperlihatkan kemarahannya. Akan tetapi dia girang sekali dan tanpa menjawab dia menerima kalung itu. Kalung yang begitu panjang, masa perlu dibantu untuk mengalungkannya? Diterimanya kalung, didekatinya Hong Ing dan dikalungkannya benda itu melalui kepala yang berambut pendek itu, dikalungkan ke lehernya. Karena gerakan ini, kedua lengan Kun Liong seolah-olah hendak merangkul leher Hong Ing. Dia menunduk, Hong Ing menengadah. Muka mereka saling berdekatan, begitu dekatnya sehingga terasa oleh Kun Liong hembusan napas hangat di dagunya. Sepasang mata yang indah itu terpejam, bulu mata yang panjang lentik itu menebal karena merangkap, mulut itu sedikit terbuka. Hampir Kun Liong tidak kuat menahan. Kalau bukan Hong Ing dara itu, tentu dia takkan dapat bertahan lagi untuk tidak mendekap tubuh itu, mencium bibir itu. Akan tetapi dengan sentakan tiba-tiba dia menarik kedua tangannya dan melangkah mundur. Hong Ing membuka matanya, tersenyum. “Terima kasih, kau baik sekali, Kun Liong,” “Hemm, aku seorang yang bodoh dan kasar, Hong Ing.” “Tidak! Akulah yang suka menggodamu, aku gadis tidak tahu budi orang. Kaumaafkan aku, ya? Dan kaumaafkan pula kesalahan-kesalahanku yang akan datang, mau kan?” Kun Liong menjedi gemas, akan tetapi melihat wajah itu berseri dan tersenyum nakal, dia terpaksa tersenyum juga. Kiranya Hong Ing hanya pura-pura saja ketika marah, ketika diam, dan lain-lain. Hanya untuk menggodanya! “Hong Ing, mari kita mencari telur.” “Ih, kau tahu aku tidak suka telur.” “Bukah untuk kau. Aku paling doyan telur. Aku kemarin melihat kura-kura besar sekali mendarat. Tentu akan bertelur. Senang sekali mencari telur kura-kura, seperti mencari pusaka saja. Kalau kita tepat menggali dan melihat telur di bawah pasir, aku tanggung kau akan menari kegirangan! Marilah!” Keduanya berlari-larian seperti anak-anak di sepanjang pantai. Bahkan Kun Liong yang sudah terobati kemerahannya, memegang tangan Hong Ing. Mereka bergandeng tangan sambil berlari dan terdengar Hong Ing tertawa-tawa. Suasana memang amat romantis dan menggembirakan. Pasir yang lemas dan bersih. Laut yang tenang. Sinar bulan yang sejuk lembut. Akan tetapi, tak jauh dari pondok itu Kun Liong sudah berhenti. “Di sinilah.” “Ah, begini dekat? Kukira jauh!” “Aku melihat ada kura-kura malam kemarin mendarat di sini.” “Akan tetapi beberapa hari yang lalu aku melihat binatang seperti ular merayap, hitam dan panjang. Ihh, aku masib ngeri kalau mengingatnya.” “Ular? Di sini? Benarkah itu?” Kon Liong bertanya, heran. “Mengapa kau tidak bilang padaku?” Hong Ing tersenyum lebar dan memicingkan sebelah matanya. “Habis, kau lagi ngambek sih! Aku tidak berani bicara padamu!” Kun Liong tertawa. “Aah, mungkin hanya belut atau ular laut yang terdampar dan terbawa oleh ombak ke darat. Hayo kita mencari telur kura-kura.” Kembali mereka bergembira, lari ke sana-sini, menggali-gali pasir dengan kaki dan tangan, seperti orang berlumba ingin lebih dulu menemukan telur kura-kura. Tidak mudah mencari telur kura-kura hanya dengan mengira-ngira seperti iiu. Biasanya orang mudah mencari telur kura-kura dengan jalan mengintai kalau ada kura-kura mendarat dan bertelur. Akan tetapi kalau tidak tahu di mana binatang itu bertelur, tidak ada terdapat tanda-tanda di mana tempat telur-telur itu. Pasir sudah rata kembali, diratakan oleh binatang yang mempunyai kebiasaan yang cerdik untuk menyembunyikan telur mereka terdorong naluri untuk menjaga lancarnya perkembangbiakan mereka itu. “Heii... Hong Ing...! Lihat ini...!” Hong Ing yang sedang mencari di bagian yang agak jauh, datang berlari-lari rmnghampiri Kun Liong ketika mendengar teriakan pemuda itu. “Ahh, kau sudah menemukannya...!” teriaknya sambil berlari. Kalung panjang itu bergoyang-goyang, rambutnya yang pendek bergerak-gerak dan kedua tangannya memegangi ujung kain yang menutupi tubuhnya agar tidak terbuka ketika dia berlari itu. “Ya, lihat ini. Banyak sekali telur dan... dan lihat apa yang kudapatkan di bawah telur-telur ini...!” “Eh...?” Sepasang mata yang indah itu terbelalak lebar. “Sebuah peti? Mengapa...? Bagaimana...?” “Entahlah, Hong Ing. Mari bantu aku mengumpulkan telur-telur ini. Aku akan mengangkat petinya. Yang jelas, tempat ini dahulu pernah didatangi orang sebelum kita, buktinya peti ini terpendam di sini.” Hong Ing mengumpulkan telur-telur itu dan memandang peti yang tidak berapa besar yang diangkat oleh Kun Liong dari dalam lubang itu. “Apa isinya?” “Kita bawa ke pondok dan kita buka di sana,” kata Kun Liong. Setelah mengangkat peti itu ke depan pondok, Kun Liong menanti sampai Hong Ing menyimpan telur-telur itu ke dalam pondok dan keluar lagi. Kemudian mereka berdua membuka peti yang dipaku kuat-kuat itu. Namun dengan pengerahan tenaganya, mudah saja bagi Kun Liong untuk membuka penutup peti yang terbuat dari kayu yang tua dan kuat. Tutup peti terbuka, hati mereka tegang, dan mata mereka menjadi silau oleh cahaya berkeredepan ketika isi peti itu tampak. “Aihh..., harta pusaka yang amat banyak...!” Hong Ing berseru kaget, heran dan gembira. “Emas, perak, permata..., ah, kau menjadi orang kaya raya, Kun Liong!” Akan tetapi Kun Liong tidak segembira Hong Ing. “Hemmm, untuk apa semua ini? Aku tidak butuh, dan yang menemukan adalah kita berdua. Biarlah semua ini untukmu, Hong Ing. Ambillah.” Hong Ing sudah memeriksa benda-benda itu, matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri-seri. Tentu saja dia senang sekali melihat benda-benda itu yang amat indah dan merupakan perhiasan-perhiasan yang biasa dipakai oleh puteri-puteri kerajaan! Dia tidak memperhatikan ucapan Kun Liong tadi, berkali-kali dia menggeleng kepala dan mengeluarkan pujian sambil meneliti benda-benda itu berganti-ganti. “Sayang...!” Ucapan Kun Liong ini mengejutkan dan menyadarkan Hong Ing. Dia mengangkat muka dan memandang wajah pemuda gundul itu. “Apa? Mengapa kau mengatakan sayang setelah menemukan harta pusaka yang tak ternilai harganya ini?” “Di sini, benda-benda ini tidak ada harganya sama sekali, Hong Ing. Aku akan lebih bergembira kalau isi peti ini berupa alat-alat seperti gergaji, linggis, catut, golok dan lain-lain. Aku lebih membutuhkannya. Akan tetapi perhiasan...” Dia mengeluarkan benda itu satu demi satu dan ternyata di sebelah bawah masih terdapat tumpukan uang emas yang terukir aneh dan belum pernah mereka melihatnya. Kun Liong terus mengeluarkan semua benda itu dan tiba-tiba dia tertarik sekali dan mengambil sebuah benda yang terletak paling bawah, di dasar peti dan tadi tertutup oleh segala benda yang berkilauan itu. Sebuah kitab! Kitab yang sampulnya hitam dan sudah tua sekali. Melihat betapa wajah Kun Liong berseri dan matanya bercahaya ketika melihat kitab tua yang butut itu, Hong Ing tertawa. “Waaah, dasar kutu buku menemukan sebuah kitab kuno! Hemm, sudah kubayangkan betapa engkau nanti tentu takkan pernah berhenti membaca.” Namun Kun Liong tidak mempedulikan kata-kata Hong Ing. Dengan jantung berdebar tegang dia sudah membalik sampul dan membaca judul kitab itu yang tertulis tangan dengan huruf yang amat kuat coretannya. Seolah-olah bukan tinta lagi yang membuat coretan itu dapat dibaca karena warna tinta hitam ini mulai meluntur, akan tetapi jelas tampak guratan-guratan yang kuat dan dengan kagum Kun Liong dapat melihat betapa tapak mauwpit (pensil bulu) meninggalkan guratan pada kertas seperti ukiran, sehingga andaikata tinta itu lenyap sama sekalipun, huruf-hurufnya masih dapat dibaca dengan jelas! Judul itu hanya terdiri dari empat huruf yang berbunyi KENG LUN TAI PUN. Baru membaca judul ini saja, Kun Liong sudah harus memutar otaknya, alisnya berkerut den dia berusaha untuk memecahkan artinya. Huruf-huruf ini memiliki arti yang kalau dipecahkan banyak sekali, akan tetapi dia mengambil kesimpulan bahwa yang dimaksudkan dengan Keng Lun adalah mengurai den mengumpulkan yang dapat diartikan dengan menyelidiki atau menyusun setelah mengerti benar. Adapun Tai Pun adalah pokok dasar atau aselinya! Mulailah dia membuka-buka dan membalik-balik lembaran kitab itu dan betapa kaget den girangnya ketika mendapatkan keterangan di sebelah delamnya bahwa kitab itu adalah kitab ilmu peninggalan dari Raja Bun Ong yang sakti dan bijaksana! Tepat seperti yang dikatakan oleh Hong Ing, segera Kun Liong lupa akan segala sesuatu dan “tenggelam” di dalam kitab kuno itu! Karena maklum akan kesukaan Kun Liong membaca kitab, yang diketahui dari percakapan-percakapan dengan pemuda itu. Hong Ing tidak mau mengganggunya. Setelah menaruh kembali benda-benda berharga dalam peti dan menyimpan peti itu dalam kamarnya, tanpa berkata apa-apa Hong Ing lalu merebus sepuluh butir telur untuk Kun Liong. Setelah telur-telur itu masak, disuguhkannya kepada Kun Liong tanpa berkata apa-apa karena dia tidak mau mengganggu. Akan tetapi Kun Liong menurunkan kitab itu dan memandang, tersenyum, dan berkata, “Aihh... sudah kaurebus matang? Engkau juga harus makan telur, Hong Ing, baik untuk kesehatan.” Hong Ing tersenyum. “Tidak, aku tidak lapar, dan aku masih ingin menikmati dan mengagumi benda-benda pusaka tadi. Kauteruskanlah membaca kitab. Kitab apa sih itu?” “Kitab kuno yang sukar sekali dimengerti isinya. Akan tetapi makin sukar dimengerti, makin menarik. Kitab kuno mempunyai sifat seperti wanita...” Kun Liong tertegun dan berhenti bicara, merasa telah kelepasan kata-kata. “Hemmm, pendapatmu selalu aneh-aneh. Jadi kauanggap wanita itu sama dengan kitab kuno, makin sukar dimengerti makin menarik? Apakah aku sukar dimengerti, Kun Liong?” Kun Liong tertawa. “Maaf, aku tidak bermaksud menyindir dirimu, Hong Ing. Wah, sedap baunya telur ini. Benarkah kau tidak mau mencicipi?” Kun Liong mengupas kulit telur yang masih panas itu. Hong Ing menggerakkan pundaknya. “Ihhh, aku selalu merasa tidak enak kalau menghadapi telur, apalagi harus dimakan. Dan telur ini... mengapa agak lonjong dan ada bintik-bintiknya? Bukankah telur kura-kura bulat bentuknya? Jangan-jangan telur ular...” “Ha-ha, telur apa pun sama saja, sama enaknya. Asal jangan telur manusia!” “Ihh! Jorok kau...!” Hong Ing mendengus lalu lari ke pondok, mengeluarkan perhiasan dari dalam peti dan mengaguminya di bawah sinar bulan. Kun Liong tertawa-tawa, melanjutkan makan telur yang terasa enak sekali sampai tahu-tahu sepuluh butir telur telah habis, pindah semua ke dalam perutnya! Tengah malam telah lewat. Sinar bulan tinggal remang-remang karena tertutup awan. Akan tetapi Kun Liong masih belum memasuki pondok. Sudah sejak tadi Hong Ing rebah di atas dipan, tidak lagi mengagumi benda-benda berharga. Dia merasa heran mengapa Kun Liong belum juga memasuki pondok. Untuk membaca kitab di luar tak mungkin lagi karena sinar bulan terlalu suram. Dia lalu turun dari pembaringannya dan membuka pintu kamar, keluar pondok. “Ahhh, benar-benar kutu buku.” pikirnya ketika melihat Kun Liong rebah terlentang di atas pasir. Dia cepat menghampiri dan betapa herannya melihat Kun Liong tidak lagi membaca kitab, melainkan rebah terlentang, tertidur dengan kitab itu terletak di atas dadanya yang telanjang. “Hemm, tertidur di sini, angin begini keras bertiup. Bisa masuk angin engkau! Kun Liong, bangunlah!” Akan tetapi Kun Liong yang biasanya amat peka itu kini sama sekali tidak bergerak. “Kun Liong...!” Tetap saja pemuda itu tidak menjawab, bergerak pun tidak. “Kun Liong..., bangunlah!” Hong Ing menyentuh lengan pemuda itu, dan dia terkejut bukan main. Lengan pemuda itu panas sekali! Celaka, pikirnya, tentu dia sakit, masuk angin den terserang demam. “Kun Liong...!” Dia memanggil dengan suara nyaring, akan tetapi pemuda itu sama sekali tidak sadar, biarpun telah diguncang-guncang tubuhnya. “Wah, dia pingsan...!” Hong Ing menjadi gelisah sekali. Diamblinya kitab itu, diselipkan di dadanya di balik kain, kemudian dia mengerahkan tenaga dan memondong tubuh Kun Liong yang sama sekali tidak bergerak, tubuhnya panas dan mukanya merah seperti orang mabuk kebanyakan minum arak! Semalam itu Kun Liong tidak sadar. Tidak tahu betapa Hong Ing menjaga dan duduk di sebelahnya dengan muka pucat den penuh kekhawatiran. Hampir gadis ini menangis saking bingungnya. Diguncang-guncangnya tubuh Kun Liong, dipanggilnya nama Kun Liong berkali-kali, dibasahinya muka pemuda itu dengan air, namun semalam suntuk Kun Liong tidak sadar, tenggelam ke dalam kepulasan yang amat dalam. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, barulah Kun Liong siuman. Dia membuka mata dan tiba-tiba mengeluh, “Aduhhh... gatalnya.. bukan main...!” Bermacam perasaan mengaduk hati Hong Ing. Lega karena melihat pemuda itu siuman, mendongkol karena dia sampai harus menderita kekhawatiran semalam suntuk, dan juga geli mendengar keluh yang aneh itu! Kun Liong menggaruk-garuk kepalanya dengan sepuluh kuku jari tangannya sampai terdengar suara “kroook-krookk!” seolah-olah kuku jari tangannya akan mengupas kulit kepalanya! Akan tetapi tiba-tiba dia meloncat turun dari pembaringan dan memandang kepada Hong Ing dengan mata terbelalak. “Aihhh...! Kau... kenapa berada di kamarku? Eh,dan aku kenapa di sini, tidak di luar pondok?” Dia masih menggaruk-garuk kepalanya yang gatal-gatal akan tetapi matanya memandang Hong Ing penuh selidik. Dara itu cemberut! “Hemm, kau tidak merasakan susah payahnya orang lain! Aku melihat kau pingsan di luar sana, terpaksa kupondong kau ke dalam kamarmu dan aku tak dapat tidur semalam suntuk, gara-gara engkau yang seperti orang mati! Seluruh tubuhmu panas-panas dan kau sama sekali tidak dapat dibangunkan. Apa sih yang terjadi?” Kun Liong melongo. “Eh, mana kitabku?” “Kitab...?” Tiba-tiba Hong Ing teringat dan dengan muka merah dia mengeluarkan kitab yang saking gelisahnya, semalam suntuk kitab itu masih menyelip di balik kainnya, menempel di dadanya! Kun Liong menerima kitab itu, merasakan betapa kitab itu hangat, maka mukanya pun menjadi merah, akan tetapi dia segera berkata, “Sungguh aneh. Aku sendiri tidak ingat. Ketika aku membaca kitab sambil makan telur, tiba-tiba aku merasa kepalaku pening dan mataku mengantuk. Tak tertahankan lagi kantuknya maka aku rebah di pasir dan... tidak tahu apa-apa lagi sampai sekarang ini, tahu-tahu sudah berada di sini. Jadi aku pingsan...?” “Hemm, tentu ada sesuatu dalam kitab itu!” Hong Ing berkata. Kun Liong membalik-balik lembaran kitab dan menggeleng kepala. “Kurasa tidak ada apa-apanya yang aneh, sungguhpun kitab ini adalah sebuah kitab yang mujijat! Kitab yang mengandung pelajaran tentang hidup, tentang perbintangan, dan latihan gerakan kaki tangan untuk membuat tubuh sehat dan panjang umur. Juga ada latihan pernapasan akan tetapi tidak mungkin membacanya membuat aku pusing dan mengantuk.” “Wah, jangan-jangan telur-telur itu...!” Kun Liong teringat dan mengangguk-angguk. “Hemm, mungkin saja, siapa tahu, tapi... tubuhku terasa enak, hanya kepalaku ini, wah... gatalnya!” Dia menggaruk-garuk lagi. “Biar kubuang saja telur-telur itu! Mungkin telur ular yang kulihat kemarin dulu.” “Eh, jangan! Jangan dibuang, Hong Ing. Buktinya aku tidak apa-apa. Telur itu enak sekali, menyehatkan badan.” “Kau benar-benar tidak apa-apa? Tidak panas lagi tubuhmu?” “Tidak, aku merasa sehat segar.” “Hemm... syukurlah, aku lelah dan mengantuk, mau tidur...” Hong Ing lalu meninggalkan kamar itu. “Hong Ing...!” Kun Liong melangkah maju dan memegang lengannya. “Ada apa?” Dara itu mengerutkan alisnya dan memandang lengannya yang dipegang Kun Liong melepaskan pegangannya. “Harap jangan marah, aku berterima kasih sekali kepadamu, Hong Ing. Maafkanlah aku, aku tidak tahu bahwa engkau telah bersusah payah menjagaku. Kau baik sekali dan...” “Sudahlah, aku senang bahwa kau tidak apa-apa. Aku mau tidur, kau boleh membaca kitabmu sepuas hatimu.” Kun Liong yang ditinggal pergi menjatuhkan diri duduk di atas dipannya. Alisnya berkerut dan dia membolak-balik kitab di tangannya. Benar-benar ada persamaannya antara kitab ini dengan wanita! Mengapa Hong Ing kelihatan tidak senang setelah melihat dia sehat dan tidak apa-apa, padahal gadis itu semalam suntuk mengkhawatirkan keadaannya? Tentu saja dia tidak tahu! Memang wanita itu mempunyai sifat yang aneh. Ingin sekali wanita itu merasakan bahwa dia dibutuhkan, bahwa dia diperlukan dan ingin dia lihat bahwa tanpa dia, pria akan kehilangan dan tak berdaya! Tanpa disadarinya sendiri, perasaan demikian itu ada pula dalam lubuk hati Hong Ing. Melihat Kun Liong pingsan dan tidak berdaya, dia khawatir sekali, akan tetapi dalam melakukan pertolongan itu, dia merasa betapa pemuda itu amat membutuhkan dia. Kini, biarpun hatinya lega bahwa Kun Liong tidak sakit, namun ada juga perasaan kecewa karena kini dia tidak dibutuhkan lagi! Memang aneh, namun demikian kenyataannya. Dua bulan lewat dengan cepatnya. Semua telur yang ditemukan itu telah habis dimakan Kun Liong, dan dia makin tekun membaca kitab kuno peninggalan Kaisar Bun Ong. Dapat dibayangkan betapa girang hatinya ketika dia mulai melatih diri dengan ilmu pernapasan dan gerakan kaki tangan yang terdapat dalam kitab, dia merasa tubuhnya makin segar dan kuat, penglihatannya terang dan semangatnya tinggi, membuat wajahnya selanjutnya selalu berseri dan matanya bersinar-sinar, memandang dunia ini sebagai tempat yang amat indah. Beberapa kali dia membujuk Hong Ing untuk mempelajari isi kitab, akan tetapi dara itu tidak mau, apalagi mendengar penuturan Kun Liong tentang isi kitab yang hanya mengajarkan urusan kebatinan dan latihan pernapasan. Bahkan gerakan kaki tangan itu bukanlah gerakan ilmu silat, hanya ditujukan untuk menyehatkan tubuh seperti yang dimaksudkan oleh kitab itu. Bun Ong adalah seorang Kaisar yang maha besar dan amat bijaksana. Kebijaksanaannya amat terkenal semenjak sejarah berkembang, bahkan kebijaksanaan Kaisar Bun Ong ini dipuji-puji dan dijadikan contoh oleh Nabi Khong Hu Cu! Kaisar Bun Ong adalah Kaisar pertama dari Kerajaan Cou (tahun 1050 sebelum Masehi), lima ratusan tahun sebelum Nabi Khong Hu Cu, seorang Kaisar yang terkenal sebagai seorang manusia setengah dewa, bahkan terkenal sebagal Thian-cu (Utusan Tuhan) yang bijaksana dan amat pandai! Juga puteranya, Kaisar Bu Ong, amat terkenal sebagai pengganti dan penerus kebijaksanaan ayahnya. Maka, sungguh merupakan kebahagiaan besar bagi Kun Liong yang secara kebetulan bisa menemukan sebuah kitab peninggalan Kaisar itu! Kitab itu berisi petunjuk-petunjuk tentang hidup, tentang kebatinan dan tentang perbintangan. Makin terbuka mata hati Kun Liong ketika membaca kitab kuno ini, makin mendalam pengertiannya tentang kekuasaan yang disebut Tao. Hanya sebutannya saja yang berbeda, namun pada hakekatnya, Tao dapat juga disebut Tuhan, Kebenaran, Cinta Kasih, dan sebagainya. Cinta Kasih tak dapat juga diraba, tak dapat dikejar. tak dapat dimiliki atau digenggam, tak dapat dilatih atau dipelihara. Cinta Kasih tidak mempunyai sasaran seperti benci, duka, marah, iri dan lain-lain. Cinta Kasih yang sudah mempunyai sasaran bukanlah cinta kasih lagi namanya. Sasaran (obyect) timbul karena adanya aku, dan “aku” tak mungkin mencinta, karena kalau ada aku yang mencinta, cinta itu hanya menjadi alat untuk mencapai sesuatu demi keuntungan lahir maupun batin dari si aku ini. Cinta Kasih, Tao, Tuhan, Kebenaran dan sebagainya sudah ada, akan tetapi menjadi tidak ada atau tidak dimengerti karena terselubung oleh asap nafsu keinginan yang dibuat oleh si aku, asap yang membuat mata kita menjadi buta. Dalam keadaan seperti buta itu hendak mencari dan mengerti Tao, mengerti Cinta Kasih, mengerti Tuhan, tentu saja tidak mungkin. Segala macam asap itu yang berupa kebencian, kemarahan, kekerasan, kekejaman, iri hati, kedukaan, keinginan, semua ini harus lenyap dulu, barulah mata akan menjadi terang untuk dapat melihat Cinta Kasih. Barulah Cahaya itu akan cemerlang dan tampak. Segala macam bentuk nafsu tidak dapat dilenyapkan dengan paksaan, dengan kemauan, karena hal itu akan sama halnya dengan api dalam sekam, memang tidak bernyala lagi, namun masih ada membara dan sewaktu-waktu akan bernyala lagi kalau mendapatkan angin dan bahan bakarnya! Untuk bebas dari itu semua, kita harus menghadapinya langsung, mengenalnya, memperhatikannya dari awal sampai akhir, mengenal sampai ke akar-akarnya segala nafsu itu, berarti kita harus MENGENAL DIRI SENDIRI berikut segala macam nafsu yang bukan lain adalah si aku atau si pikiran. Setiap hari Kun Liong tenggelam ke dalam isi kitab ini, dan biarpun itu itu terlalu dalam, bahkan kadang-kadang membuat dia termangu-mangu, merasa mengerti akan tetapi juga masih merasa bingung dan ruwet, namun dia sadar bahwa isi kitab itu penting bukan main dan bahwa kitab itu merupakan peninggalan yang amat berharga, ribuan kali lebih berharga daripada seperti emas permata yang disimpan oleh Hong Ing itu. Maka mulailah timbul kekhawatirannya kalau-kalau kitab itu akan terampas oleh orang lain dan mulailah dia mencarikan tempat penyimpanan yang tersembunyi dan rahasia di atas pulau itu. Pada suatu pagi, Kun Liong bangun sambil menggaruk-garuk kepalanya. Entah mengapa, selama dua bulan ini, semenjak dia menemukan kitab dan harta pusaka, kepalanya selalu terasa gatal kalau dia bangun tidur di waktu pagi. Sudah beberapa kali dia memeriksanya, akan tetapi tidak ada perubahan sesuatu pada kepalanya, masih tetap licin dan halus, tidak ada tanda luka atau bintik yang menimbulkan gatal-gatal. Dia menggaruk kepalanya dan perutnya berkeruyuk. Hemm, sepagi itu, seperti biasanya, setelah dia mandi, tentu dia akan menghadapi sarapan yang sudah dibuat oleh Hong Ing. Teringat akan ini, dia tersenyum. Sudah terbayang dia akan melihat dara yang makin lama makin cantik jelita itu, makin panjang rambutnya, dengan pakaian yang sederhana, tampak bentuk dan lekuk lengkung tubuhnya yang makin matang sehingga seringkali membuat Kun Liong terpesona dan memaksanya menelan ludah. Namun anehnya, tidak seperti ketika menghadapi gadis-gadis lain, terhadap Hong Ing dia tidak pernah berani menggodanya, bahkan selalu berjaga-jaga agar bersikap sopan! Dia meloncat turun, lari melalui pintu belakang ke sumber air yang berada di tengah pulau di dalam hutan kecil, menanggalkan pakaiannya dan sebelum terjun ke air, lebih dulu ia berjongkok di pinggir kolam air yang jernih, memandangi bayangan mukanya sendiri. Kemarin sore dia melihat dari jauh, secara sembunyi, betapa Hong Ing juga berjongkok seperti itu, bercermin di permukaan air sambil mengatur-atur rambutnya. Seraut wajah yang kurus menyambutnya di air. Yang mula-mula menarik adalah sepasang mata bayangan itu. Mata yang seperti mata setan, celanya di dalam hatinya. Mata yang hitamnya terlalu hitam dan putihnya terlalu putih, seperti mata penyelidik. Tentu mendatangkan rasa tidak senang, terutama sekali Hong Ing, jika dipandang oleh mata semacam ini! Muka yang dagunya agak meruncing dan terlalu halus untuk seorang pria! Lebih-lebih kepala itu. Menjijikkan! Tidak dicukur akan tetapi kelimis. Lalat pun akan terpeleset hinggap di atasnya! Tentu menjijikkan, apalagi dalam hati seorang dara seperti Hong Ing. Akan tetapi sikap Hong Ing kadang-kadang manis sekali, terlalu manis kepadanya! Mungkinkah wajah yang begini dapat menarik hati seorang dara sejelita Hong Ing! Tak mungkin! Tentu hanya karena kasihan. Phuhhh, dia tidak membutuhkan rasa iba dari siapapun juga. Biar dari Hong Ing sekalipun, dia tidak mau seperti seorang pengemis mengulurkan tangan mohon kasihan! “Hah! Sialan...!” Dia membenamkan kepalanya ke dalam air, dalam-dalam dan lama-lama, sampai dia gelagapan dan mengangkat lagi kepalanya dari dalam air untuk bernapas. Air kembali diam setelah tadi berombak keras dimasuki kepalanya dan kembali dia memandang ke bawah. Muka itu kini basah kuyup, air menetes-netes dari hidung, dan muka itu agak kemerahan, mata itu menjadi agak merah, dan mulut itu mengejek. Huh, makin buruk! “Biarlah si buruk rupa tinggal dalam keburukannya!” Dia berkata keras-keras dan kembali dia membenamkan kepalanya, kini bahkan sambil meloncat ke depan. Air muncrat dan Kun Liong mandi, menggosok-gosok keras seluruh tubuhnya dengan penuh semangat, seolah-olah dia hendak melampiaskan kegemasannya kepada daki yang dia bersihkan dari kulit tubuhnya. Seperti biasa, ketika dia sudah mengeringkan tubuh dan pakaiannya yang tadi dicuci dan kembali ke pondok, Hong Ing sudah siap dengan sarapan pagi yang terdiri dari masakan sayur dan ubi-ubian yang didapatkan di hutan, panggang daging ikan sisa kemarin malam, dan air matang dengan “teh” yang terbuat dari daun-daun yang harum. “Duduklah dan mari kita sarapan. Mengapa begitu lama engkau di sumber air? Sampai lelah aku menanti!” Hong Ing berkata. Kun Liong duduk bersila menghadapi meja rendah di mana telah terhidang sarapan pagi itu. “Aku mencuci pakaianku,” cuping hidungnya bergerak-gerak. “Hemm, sedap! Kau masak daun apa ini?” “Daun merah sudah keluar daun mudanya. Makanlah.” Mereka makan dan Kun Liong tidak tahu betapa sepasang mata dara itu memandangnya dengan sayu, agaknya terharu menyaksikan dia makan dengan lahapnya. Selesai makan dan minum air teh istimewa itu, Kun Liong menghela napas lega. “Nikmat dan lezat...” katanya. Biasanya pujiannya yang jujur ini menggirangkan hati Hong Ing, akan tetapi sekali ini Hong Ing mengerutkan alisnya dan berkata, suaranya lirih dan penuh duka, “Ah, aku ingin menangis kalau melihat kau makan, Kun Liong.” “Eh, kenapa? Begitu menyedihkankah caraku makan?” “Minuman hanya dari air dan daun, bukan teh aseli...” suara itu mengeluh. “Harum dan sedap melebihi teh yang paling baik!” “Dan daging ikan yang itu-itu juga, dipanggang, hanya digarami air laut...” suara itu makin merintih. “Enak dan gurih sekali, melebihi masakan termahal di restoran!” “Dan nasinya... tak pernah ada nasi... hanya ubi dan kentang hutan, dan sayurnya... aihh... Kun Liong... hanya daun-daun yang biasanya kerbau pun tidak sudi memakannya...” suara itu bercampur sedu-sedan. Kun Liong tertawa membesarkan hatinya. “Hem, enak sekali! Mengenyangkan perut dan menyehatkan badan!” “Aihhh, Kun Liong, mengapa kau tidak pernah sungguh-sungguh? Tak perlu kau menghiburku dengan kepura-puraan ini. Kau tentu menderita sekali...” “Siapa bilang? Aku senang sekali! Makanku enak, minum pun sedap! Hemm, apakah kau merasa sedih karena makan minum seadanya ini, Hong Ing?” “Tidak, bagi seorang wanita, makan minum tidaklah begitu penting. Lebih penting lagi menghidangkan makan-minum untuk pria, dan melihat kau makan minum seperti ini... ahhh, hati siapa tidak akan sedih?” “Sungguh, Hong Ing. Tak perlu berduka. Aku tidak membohong, bukannya hiburan kosong. Aku sudah senang, aku merasa bahagia sekali!” “Apa? Di tempat seperti ini? Apakah selamanya kita akan berada di tempat ini, terasing dari dunia ramai? Dan kau bilang kau bahagia?” “Demi Tuhan! Aku berbahagia sekali! Aku tidak mau menukar kehidupan di sini seperti ini dengan kehidupan seorang kaisar di istana yang mewah!” Hong Ing menunduk. Kun Liong memandang dan karena muka itu tidak dapat tampak olehnya, dia menurunkan pandangan matanya, menatap dada yang jelas membayang lekuk lengkungnya di balik kain itu, dada yang turun naik dengan keras seolah-olah gelombang lautan yang sedang mengamuk. Tiba-tiba muka itu diangkat dan Kun Liong merasa seperti dibanting dari tempat tinggi, cepat-cepat dia membanting pula pandang matanya ke samping! “Kun Liong, kau tadi mengatakan bahwa kau berbahagia. Benarkah” “Mengapa tidak? Aku tidak berbohong. Aku berbahagia sekali! Dunia begini indah, lautan begitu cantik, pulau kita ini begini menyenangkan, dan cahaya matahari pagi itu... lihat... begitu cemerlang dan hangat....” “Itukah yang membuatmu bahagia?” “Ya...” “Tidak ada lain lagi?” “Lain lagi? Masih banyak! Aku dan kau sehat-sehat saja, makan minum cukup, aku ada kitab dan kau ada perhiasan-perhiasan itu... dan kita tidak dikejar-kejar orang...” “Hanya itu?” “Ya...” Kun Liong meragu. “Apa lagi?” Kembali Hon Ing menunduk, menghela napas panjang kemudian berkata tanpa mengangkat muka, “Dahulu... kalau diingat sudah lama sekali, akan tetapi sesungguhnya baru beberapa puluh hari yang lalu... kau mengatakan bahwa kau tidak tahu apa artinya behagia itu... akan tetapi sekarang kau berbahagia. Apakah... apakah...” Hong Ing meragu. “Apa yang hendak kaukatakan?” “Apakah engkau sudah bertemu dengan wanita idamanmu dahulu itu maka engkau merasa berbahagia?” Wajah itu menengadah dan mata yang indah itu memandangnya setengah terpejam. Aneh sekali! Mata itu seperti mau menangis, akan tetapi bibir itu mengandung senyum! “Aaahhh! Mengapa kau menanyakan itu, Hong Ing? Aku... aku... tidak memikirkan tentang wanita, dan tentu saja aku belum bertemu dengan wanita idamanku itu.” Mata itu tiba-tiba terbelalak, dan muka yang manis itu mendadak menjadi merah padam. “Apa... apa maksudmu?” “Mana mungkin aku dapat bertemu dengan wanita idamanku itu?” “Kau... kaumaksudkan... wanita itu masih ada dalam alam khayalmu, masih kauharapkan kelak akan bertemu?” “Aihh, sudahlah, Hong Ing. Mengapa kita bicara tentang hal yang bukan-bukan itu? Adalah lebih baik kita bicara tentang kita.” “Hemmm, apa yang hendak kaubicarakan tentang aku?” “Misalnya, bahwa agaknya kau tidak betah tinggal di sini.” “Tentu saja! Tempat ini amat sunyi, aku merasa seperti berada di dalam kuburan! Bukan di dunia ramai.” Tiba-tiba suara Hong Ing berubah seolah-olah menyesali kata-katanya itu. “Betapapun juga, ada engkau di sini!” “Engkau tentu kehilangan segala kebutuhan wanita. Sisir pun tidak ada.” “Sisir bambu buatanmu cukup baik.” “Dan sabun wangi, minyak wangi... ahhh, pakaianmu...” “Di sini banyak kembang harum... sudahlah, Kun Liong. Kau pun tidak pernah mengeluh, tidak pernah membutuhkan apa-apa.” “Aku sih tidak membutuhkan sisir, kepalaku gundul buruk begini...” Hong Ing tertawa. “Memang kepalamu gundul dan lucu!” “Dan buruk...” “Dan buruk...!” Hong Ing seperti diajar bicara. “Dan aku pernah memualkan perutmu.” “Kadang-kadang...” “Sekarang...?” “Sekarang kau paling memualkan perutku!” “Ehhhi...! Maaf, Hong Ing...” “Kau terlalu cainggung, terlalu sopan, terlalu terpelajar, terlalu berfilsafat, terlalu melamun, terlalu... terlalu... engkau terlalu sekali!” Hong Ing bangkit dan dengan gerakan cepat penuh kejengkelan hati lalu meninggalkan Kun Liong, berlari pergi ke tengah pulau dan bayangannya lenyap di dalam hutan. Kun Liong melongo. Kemudian ditamparnya kepalanya yang gundul dan mulutnya menyumpah. “Disambar geledek kalau aku mengerti ini...!” Dia menggeleng-geleng kepalanya, lalu berjalan perlahan menuju ke rimba di tengah pulau. Dia menyelinap di antara semak-semak, mendekati sumber air di mana dia melihat Hong Ing menangis seorang diri di dekat sumber air, di dekat kolam! Hong Ing menangis! Dan didengarnya suara Hong Ing, lirih dan penuh kedukaan, bicara kepada dirinya sendiri! “Nah, puaskanlah hatimu, menangislah sepuas hatimu...!” Hong Ing menjenguk ke air. “Aduhhh... kasihan kau... biar kau menangis sampai kedua matamu merah den bengkak-bengkak, biar kau menangis sampai mengeluarkan air mata darah sekalipun, apa gunanya? Lihat hidungmu yang kecil mancung menjadi merah! Apa perlunya kau menyiksa diri? Biar kau sampai menjadi kurus kering, atau andaikata engkau bersolek sampai secantik-cantiknya, apa gunanya? Apa perlunya kau menggosok kedua pipimu pagi tadi sampai pipimu kemerahan... begitu segar den mengalahkan kecantiken bidadari, semua itu apa artinya? Tak seorang pun akan melihatnya, apalagi mengagumi! Si sombong, si pongah itu, hanya akan mengucapkan selamat pagi dengan suara datar, memuji rambutmu secara basa-basi, kemudian makan dengan lahap tanpa satu kalipun mengerling kepadamu, kemudian tenggelam dalam kitab-kitabnya untuk bertemu dengan wanita idamannya! Kau...? Hah, mungkin hanya menimbulkan sedikit rasa iba... huh-hu-hu...!” Hong Ing menangis lagi! Kun Liong terbelalak dan kesima, tak mampu bergerak, menahan napas dan dia merasa demikian kaget, bingung, dan heran sehingga dia tidak mengerti apa sebabnya Hong Ing bicara seperti itu dan menangis demikian sedihnya! Karena khawatir kalau dia dilihat dara itu, diam-diam dia lalu pergi dari hutan itu, bukan kembali ke pondok melainkan pergi ke bagian pantai yang berlawanan tempat yang jarang didatanginya, pantai yang penuh dengan batu karang tidak berpasir seperti pantai di mana dia membuat pondok mereka. Dia menghempaskan diri di atas tanah, bersandar batu karang den memandang jauh ke depan, jauh sekali menyeberangi laut yang tak bertepi itu. Apa yang telah terjadi dengan dirinya menghadapi Hong Ing? Mengapa dia merasa begitu aneh berhadapan dengan dara itu? Terjadi perbantahan sendiri di antara hati dan pikirannya, membuat dia duduk terlongong, lupa waktu lupa keadaan. “Kau cinta padanya, tolol!” “Hemm, ape sih cinta itu? Aku suka kepadanya karena dia cantik, seperti aku suka kepada gadis lain.” “Bukan! Sekali ini lain sama sekali! Kau tidak pernah menggodanya, kau tidak berani mendekatinya, dia mendatangkan rasa hormat dan iba di hatimu, dia bagaikan sebuah benda pusaka yang tak ternilai harganya bagimu sehingga engkau tidak berani memegangnya terlalu lama khawatir rusak! Sedangkan gadis-gadis lain itu begimu hanya merupakan benda-benda Indah den kaujadikan permainan. Gadis-gadis lain itu bagimu seperti bunga-bunga yang indah harum, kaucium dan kau petik kemudian dilupakan begitu saja. Akan tetapi dia lain! Dia bagimu merupakan setangkai kembang yang suci, yang kaukagumi dengan memandang dan memujanya akan tetapi merasa sayang kalau tersentuh kotor. Kau cinta padanya!” “Hemmm... aku hanya akan mencinta wanita idamanku.” “Wanita idamanmu itu hanya khayal, hanya asap, tepat seperti dikatakannya dahulu! Wanita macam itu tidak ada!” “Hemmm...” Kun Liong meremas pasir karang sampai menjadi bubuk halus. Dia duduk termenung di tempat itu, tak pernah berpindah, sampai matahari telah naik tinggi kemudian condong ke barat. Baru dia teringat betapa dia telah setengah hari duduk di tempat itu dan bahwa Hong Ing tentu akan gelisah menantinya pulang. Hati dan pikirannya telah berdamai den telah bermufakat untuk melakukan sesuatu kalau dia bertemu dengan Hong Ing nanti! Dia mencinta Hong Ing! Inilah keputusan yang diambil oleh hati dan pikirannya, dan dia akan mengaku terus terang kepada dara itu! Dengan jantung berdebar tegang akan tetapi kaki dan kepala ringan setelah dia mengambil keputusan tetap, Kun Liong berlari-lari ke arah pondok. Tahulah dia kini bahwa segala perasaan aneh yang dideritanya selama ini, bukan lain adalah keraguan terhadap hubungannya dengan Hong Ing. Sekarang harus ada kepastian! Dia mencinta Hong Ing! Dia herus menyatakan ini terus terang, dan apakah Hong Ing juga mencinta dia atau tidak, itu urusan lain lagi! Besar sekali kemungkinannya gadis itu tidak mencintanya, terlalu sering perasaan tidak senanghya diperlihatkan. Akan tetapi, andalkata benar Hong Ing tidak mencintanya, dia tidak akan penasaran, dan penjelasan itu akan melegakan hatinya. Tidak seperti sekarang, digerogoti keraguannya sendiri. Bagaimana nanti jadinya kalau Hong Ing menjawab pertanyaannya, dia tidak mau membayangkannya. Bagaimana nanti sajalah! TIBA-TIBA kedua kakinya berhenti dengan tiba-tiba dan matanya terbelalak memandang ke depan, kedua alisnya berkerut. Dia melihat Hong Ing berdiri di pantai depan pondok, akan tetapi tidak sendirian! Ada tiga orang lain ying berdiri di depan dara itu dan melihat mereka, jantung di dalam dada Kun Liong berdebar tegang. Tiga orang itu adalah pendeta-pendeta Lama berkepala gundul dan berjubah merah! Teringatlah dia akan kakek pendeta Lama yang pernah menolong dia dan Hong Ing, yang amat sakti dan melontarkan mereka yang berada di dalam peti mati ke laut! Apakah kakek sakti itu yang datang bersama dua orang kawannya? Melihat mereka dari jarak jauh, sukar membedakan muka para pendeta Lama itu, maka dia lalu melanjutkan gerakan kakinya berlari menghampiri. Setelah agak dekat, tampaklah olehnya bahwa mereka adalah tiga orang pendeta Lama yang usianya sudah tua, akan tetapi pendeta Lama raksasa yang pernah menolongnya itu tidak berada di antara mereka. Kini dia sudah tiba dekat dan berdiri memandang. Tiga orang itu bersikap agung dan berwibawa, usia mereka tentu sudah enam puluh tahun lebih. Mereka berdiri berjajar, yang tengah-tengah agak berbeda jubahnya, yaitu pinggir jubah merahnya memakai garis kuning emas dan kedua tangannya yang dirangkap di depan dada itu memegang lima batang hio (dupa biting) yang mengeluarkan asap harum. Adapun dua orang lainnya berdiri di kanan kirinya, juga merangkap tangan depan dada dan menundukkan muka seolah-olah mereka berdua itu selalu berada dalam keadaan bersamadhi dan berdoa! Hong Ing berdiri dengan wajah agak pucat di depan mereka, dan jelas tampak betapa dara itu berada dalam keadaan bimbang ragu dan bingung. Melihat munculnya Kun Liong, wajah Hong Ing agak berseri seolah-olah dia melihat datangnya pertolongan. “Kun Liong, para Locianpwe ini adalah supek dan kedua susiok dari Tibet, datang diutus oleh... ayahku untuk menjemputku!” suara Hong Ing gugup karena hatinya merasa tegang sekali. Kun Liong mengerutkan alisnya, memandang kepada tiga orang pendeta itu, memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik, kemudian menjura dengan hormat dan berkata, "Sam-wi Locianpwe adalah paman-paman guru Nona Pek Hong Ing? Bagaimana ini? Saya tidak mengerti, harap Sam-wi sudi menjelaskan.” Dua orang pendeta di kanan kiri masih menunduk dengan kedua mata terpejam, hanya pendeta yang berdiri di tengah yang mengangkat muka memandang Kun Liong. Pemuda ini terkejut sekali ketika melihat sinar mata kakek itu menyambar bagaikan halilintar! Wajah yang penuh keriput itu kelihatan dingin dan penuh wibawa yang menyeramkan, mulutnya selalu tersenyum sabar dan kepalanya lebih licin daripada kepalanya sendiri. Yang amat menarik hatinya, asap dari lima batang hio yang dipegang oleh kedua tangannya itu, membubung lurus ke atas, sama sekali tidak terpengaruh oleh tiupan angin laut! “Siancai... pinceng telah menceritakan kepada yang berkepentingan, dan satu kali saja sudah cukup.” Suara kakek ini lemah lembut, namun di dasarnya terasa sekali keputusan yang seperti baja, tak dapat digoyahkan pula! “Kun Liong, ketahuilah. Mereka ini datang dari Tibet sebagai utusan ayahku yang katanya kini menjadi calon ketua para pendeta Lama Jubah Merah di Tibet. Untuk pengesahan dan upacara pengangkatan ayah sebagai ketua, aku sebagai anak tunggal harus hadir, maka ketiga orang Locianpwe ini datang untuk menjemputku sebagai utusan ayah. Bagaimana baiknya, Kun Liong? Aku ingin sekali bertemu dengan ayahku!” Kun Liong mengerutkan alisnya. Sungguh tak disangka-sangka timbulnya urusan aneh ini dan dia menjadi curiga. Mereka itu adalah pendeta-pendeta Lama, dan kalau ayah Hong Ing adalah suheng dan sute mereka tentu ayah Hong Ing juga seorang pendeta Lama. Mana mungkin ini? Dan bagaimana pula mereka bertiga itu bisa tahu bahwa Hong Ing adalah puteri calon ketua mereka? Agaknya pendeta Lama yang memegang lima batang hio itu dapat membaca isi hati dan keraguan Kun Liong. Terdengar dia berkata dengan bahasa pribumi yang baik akan tetapi dengan lidah agak kaku, tanda bahwa sudah terlalu lama dia tidak menggunakan bahasa ini. “Orang muda harap jangan ragu-ragu terhadap kami. Kami masih mengenal Pek Hong Ing yang meninggalkan Tibet ketika dia berusia lima tahun, dan ketika di daratan besar kami mendengar bahwa Pek Hong Ing meninggalkan daratan dengan seorang pemuda gundul, kami segera berlayar dan mencari, akhirnya Sang Buddha menuntun kami sampai di tempat ini.” Kup Liong diam-diam harus mengakui bahwa alasan itu memang masuk di akal. Akan tetapi, kalau benar ayah dara itu yang mengutus, mengapa sebagai seorang ayah, setelah belasan tahun baru ingat untuk mencari puterinya? Pula, dia masih teringat akan cerita Hong Ing bahwa ibunya dikeroyok oleh para pendeta Lama sehingga luka-luka parah den akhirnya tewas di kaki Pegunungan Go-bi-san. Maka kecurigaannya tetap saja tidak meninggalkan lubuk hatinya. “Kalau saya boleh bertanya, siapakah nama Sam-wi Locianpwe?” Kini kedua orang pendeta yang tadi menundukkan muka, mengangkat mukanya dan kembali Kun Liong terkejut. Dua orang hwesio yang sudah tua ini pun memiliki pandang mata yang luar biasa, seolah-olah dari pandang matanya itu keluar tanaga mujijat yang menyeramkan! Tiga pasang mata yang tajam den aneh itu memandang Kun Liong penuh perhatian, dan pendeta yang berdiri di tengah dengan suara tetap tenang berkata, “Orang muda, engkau memiliki nyali besar sekali!” “Maaf, Locianpwe. Bukan sekali-kali saya hendak bersikap tidak hormat, akan tetapi hendaknya diketahui bahwa selama ini, sayalah yang menjaga den melindungi Nona Pek Hong Ing,, maka saya merasa sudah menjadi tanggung jawab saya untuk membelanya dari apapun juga. Kedatangan Sam-wi sungguh tidak diduga-duga, bukan saya tidak percaya, tetapi saya harus tahu lebih dulu siapa yang akan berurusan dengan None Pek Hong Ing.” Pendeta yang berdiri di tengah itu tersenyum, sedangkan kedua orang temannya tetap diam seperti patung. “Pinceng disebut Sin Beng Lama, yang di kiri ini adalah Hun Beng Lama, dan di kanan adalah Lak Beng Lama. Mereka adalah dua orang suteku, dan ayah Nona Pek Hong Ing adalah suheng, mereka den suteku yang pertama.” Kun Liong dan Hong Ing saling pandang den merasa heran. Mendengar nama-nama itu mereka teringat akan kakek pendeta Lama yang telah menolong mereka, maka dengan cepat Kun Liong bertanya, “Dan siapakah nama ayah Nona Pek Hong Ing?” “Suteku itu, yang kini dicalonkan sebagai ketua perkumpulan kami, adalah Kok Beng Lama...” “Ohhhh...!” Kun Liong dan Hong Ing berseru heran. Jadi kakek pendeta aneh yang amat sakti itu, yang menolong mereka dengan memberi peti mati sebagai perahu, yang bernama Kok Beng Lama dan muncul seperti setan, yang bertubuh seperti raksasa, adalah ayah Hong Ing! Mendengar seruan itu, Sin Beng Lama dan kedua orang sutenya memandang tajam penuh selidik. “Apakah kalian pernah bertemu dengan calon ketua kami?” tanya Sin Beng Lama. Kedua orang muda itu mengangguk, dan Kun Liong berkata. “Kalau benar bahwa beliau itu ayah Nona Hong Ing, mengapa diam saja dan tidak mengajaknya ketika bertemu dengan puterinya? Dan menurut cerita Nona Pek Hong Ing, Ibunya pernah dikeroyok oleh para pendeta Lama, tidak tahu apakah Sam-wi Locianpwe ketika itu ikut pula mengeroyoknya?” Tiga orang pendeta itu menggerakkan tubuh sedikit, dan asap lima bateng hio itu kini bergoyang-goyang. “Orang muda! Urusan dalam mana mungkin diceritakan kepada orang luar? Pek Hong Ing, kami adalah paman-paman gurumu. Mari kauikut bersama kami menghadap ayahmu dan engkau akan mendengar selengkapnya tentang riwayatmu. Dia ini sebagai orang luar tidak berhak mencampuri urusan kami yang merupakan keluarga pendeta Lama Jubah Merah!” Hong Ing kelihatan bingung dan ragu-ragu, sebentar memandang Kun Liong, lalu menoleh kepada tiga orang pendeta yang memandangnya dengan ramah itu. Melihat ini, makin tidak enak hati Kun Liong. Dengan suara lantang dia berkata. “Saya bukan orang luar! Kepentingan Hong Ing adalah kepentingan saya juga, bahkan lebih lagi! Saya akan membelanya dengan sepenuh jiwa raga saya!” “Kun Liong...!” Hong Ing berseru lirih dan memandang dengan mata terbelalak lebar. Kun Liong menghadapi dara itu dan berkata, suaranya lantang karena dia tidak peduli bahwa ucapannya itu didengarkan oleh tiga orang paman guru dara itu. “Hong Ing, biarlah aku mengadakan pengakuan sekarang juga. Aku.. aku cinta padamu! Nah, sudah kunyatakan perasaan yang berbulan-bulan ini mencekik leherku. Aku cinta padamu, Hong Ing, dan aku siap untuk membelamu dengan seluruh jiwaku. Jangan kauikut bersama mereka, kalau memang ayahmu yang menyuruh, biarlah ayahmu sendiri yang datang ke sini! Atau, kalau engkau ingin pergi juga untuk menemui ayahmu, aku harus mengawalmu!” Muka yang cantik itu menjadi merah sekali mendengar pengakuan cinta yang begitu terang-terangan di depan tiga orang pendeta itu. Akan tetapi tanpa dapat dicegahnya lagi, dua butir air mata meloncat turun dari pelupuk matanya dan dengan mata setengah terpejam dia memandang Kun Liong, bibirnya gemetar dan akhirnya sambil melangkah maju sehingga dia berada dekat sekali dengan Kun Liong, dia bertanya, “Kau... kau cinta padaku...? Lalu... bagaimana dengan wanita idaman yang kaukhayalkan dahulu itu...?” Kun Liong tertawa dan kedua lengannya bergerak, meraih tubuh itu dan dipeluknya, didekapnya muka dara itu ke dadany. “Ha-ha, dahulu aku bodoh, aku dungu, tergila-gila kepada wanita khayal, wanita yang hanya bayangan... aku sungguh tolol seperti yang kaukatakan...” Hong Ing merenggutkan tubuhnya menjauh, mukanya pucat dan matanya terbelalak. “Apa... apa maksudmu...?” Tanyanya dengan suara terputus-putus. Kun Liong masih tersenyum dan berusaha meraih lagi, akan tetapi Hong Ing mengelak. “Dahulu aku tolol, Hong Ing. Yang kucinta dengan seluruh jiwa ragaku hanyalah engkau, wanita dari darah daging, bukan wanita khayal itu, wanita dalam mimpi yang tentu saja tidak pernah ada” Kembali tangannya menangkap lengan Hong Ing dan hendak dipeluknya wanita itu. “Plak-plak!” Hong Ing merenggutkan dirinya, menangkis dan menampar dengan muka merah sekali, matanya bersinar-sinar penuh kemarahan. “Tidak! Lepaskan aku!” teriaknya dan wanita itu tersedu, lari mendekati tiga orang pendeta Lama sambil berkata. “Sam-wi Locianpwe, mari bawa aku menemui ayahku.” Dia tidak menengok lagi kepada Kun Liong yang berdiri dengan muka pucat dan terheran-heran. Sin Beng Lama tersenyum dan mengangguk. “Sebagai puteri Sute yang menjadi calon Kauwcu (Kepala Agama), engkau bersikap baik dan tepat sekali, Hong Ing. Sute, ambilkan jubah untuk Hong Ing!” Lak Beng Lama yang berdiri di sebelah kirinya, mengangguk dan sekali kakinya bergerak, tubub hwesio ini sudah mencelat dan berada di atas perahu kecil yang didaratkan di pantai. Sekejap mata kemudian, hwesio ini telah berkelebat datang membawa sebuah jubah merah yang lebar. Gerakannya demikian gesit dan cepatnya sehingga Hong Ing sendiri terbelalak kagum, juga diam-diam Kun Liong yang melihat ini maklum bahwa hwesio Lama itu memiliki gin-kang yang luar biasa tingginya! Akan tetapi dia tidak mempedulikan itu semua karena dia masih bengong memandang Hong Ing yang kelihatan marah kepadanya dan kini sama sekali tidak mempedulikannya itu. Lak Beng Lama dengan sikap melindungi lalu menyelimutkan jubah merah itu ke tubuh Hong Ing. Jubah itu lebar dan panjang sehingga tubuh dara itu tertutup dari leher sampai ke mata kakinya, tidak lagi setengah telanjang seperti biasanya. Melihat dara itu tidak mempedulikannya dan agaknya hendak benar-benar berangkat meninggalkannya, Kun Liong merasa jantungnya seperti dibetot. Dia meloncat ke depan dan langsung menjatuhkan diri berlutut di depan Hong Ing sambil berkata, “Hong Ing, jangan pergi... kumohon kau... jangan pergi meninggalkan aku. Aku cinta padamu...!” Hong Ing memandang kepadanya dan kembali mata itu menitikkan air mata dan suaranya terdengar menyesal sekali. “Sudahlah, Kun Liong. Aku hendak mencari ayah dan biarlah kita tidak saling bertemu lagi. Betapapun juga, aku selamanya tidak akan melupakan semua budi kebaikanmu kepadaku. Selamat tinggal, Kun Liong...” “Tidak! Kau tidak boleh pergi begitu saja! Aku harus ikut den melindungimu, Hong Ing!” “0rang muda, tidak mungkin boleh ikut bersama kami. Tempat kami merupaken tempat terlarang bagi orang luar!” kata Sin Beng Lama dengan suara halus. “Aku mau menjumpai ayahmu, Hong Ing! Aku cinta padamu, dan aku akan meminangmu dari tangan ayahmu!” Kun Liong berkata lagi. Naik sedu-sedan dari dada Hong Ing, akan tetapi dia merenggutkan tangannya yang dipegang oleh Kun Liong. “Apakah kaw lupa bahwa kau tidak akan menikah selamanya, Kun Liong? Dan aku pun tidak akan menerima pinanganmu. Aku tidak membutuhkan perlindunganmu. Sudahlah, aku mau pergi dan.. jangen kau memikirkan aku lagi, Kun Liong...” Dara itu sudah melangkah menuju ke perahu, diiringkan oleh ketiga orang hwesio Lama itu. Kun Liong merasa jantungnya seperti diremas-remas. Sekali meloncat, dia sudah melampaui mercka dan menghadang antara mereka dan perahu. “Tidak boleh! Kau tidak boleh pergi begitu saja, Hong Ing! Kau tidak boleh meninggalkan aku!” Suaranya mengandung isak den matanya liar seperti mata seekor kelinci ketakutan. Memang dia takut, dia gelisah bukan main melihat wanita itu hendak meninggalkannya! “Orang muda, minggirlah kau!” Sin Beng Lama berkata, kini suaranya dingin dan keras, tidak lagi disertai senyum sabar. “Tidak! Kau tidak berhak mencampuri, Sin Beng Lama! Kalian datang dan hendek membawa pergi dia begitu saja! Tidak boleh! Dia punyaku, dan sejak lama aku hidup untuk dia! Sekarang hendak kaubawa pergi begitu saja! Tidak bisa, selama aku masih hidup!” “Orang muda, apa kau sudah gila? Minggirlah!” Lak Beng Lama melangkah maju, tongkat di tangan kanannya tergetar. “Tidak! Kalianlah yang harus cepat pergi dari sini, jangan mengganggu kami berdua lagi.” bentak Kun Liong marah. “Kun Liong, jangan kurang ajar terhadap Supek dan Susiok!” Hong Ing berseru. “Mereka belum tentu Supek dan Susiokmu, Hong Ing. Jangan sembarangan percaya orang!” Kun Liong membentak. “Bocah gila, engkau memang harus dihajar!” Lak Beng Lama menjadi marah sekali dan tongkathya sudah menyambar ke arah pundak Kun Liong. Pemuda ini juga marah, kemarahan yang timbul karena putus asa dan duka bercampur gelisah menyaksikan Hong Ing hendak meninggalkannya. Dengan pengerahan tenaga dia mengangkat lengannya menangkis tongkat itu. “Desss!” Omitohud...!” Lak Beng Lama terpelanting dan tentu roboh kalau saja Hun Beng Lama, suhengnya tidak cepat menyambar lengannya. Bukan main kagetnya tiga orang pendeta Lama itu. Tak disangkanya sama sekali bahwa bukan saja pemuda itu dapat menangkis tongkat pusaka di tangan Lak Beng Lama yang jarang dapat dicari tandingnya itu, bahkan sambil menangkis hampir saja pemuda itu membuat Lama ini malu dan jatuh. Padahal tiga orang Lama ini merupakan tokoh-tokoh besar di Tibet dan memiliki tingkat kepandaian yang amat tinggi! “Hemm, kiranya engkau juga memiliki sedikit kepandaian?” Hun Beng Lama sudah menerjang maju, menggerakkan seuntai tasbih hitam yang sejak tadi dipegangnya. “Wuuuuttt... singgg...!” Kun Liong cepat mengelak dan dari samping dia mengulur tangan hendak mencengkeram lengan lawan dan merampas tasbihnya. Juga gerakan ini membuat Hun Beng Lama terkejut dan terpaksa dia menarik kembali tasbihnya. Gerakan lawan muda itu benar-benar cepat bukan main, dan juga aneh sehingga dia makin penasaran lalu melangkah maju dan menyerang lagi. Kini tasbehnya meluncur ke arah kepala Kun Liong, sedangkan tangan kirinya menampar pinggang. Biarpun serangan Hun Beng Lama cepat dan mendatangkan angin keras tanda bahwa gerakannya mengandung sin-kang kuat, namun gerakan Kun Liong lebih cepat lagi ketika mengelak dan pemuda ini pun tidak tinmggal diam, melainkan membalas dengan pukulan tangan terbuka ke arah leher lawan. Dia kini marah sekali karena tiga orang Lama itu dianggapnya hendak melarikan Hong Ing yang akan dipertahankannya mati-matian, maka dia sampai hati untuk membalas menyerang dengan dahsyat! “Heihhh!” Hun Beng Lama terkejut dan mengelak, tasbehnya menyambar dari bawah. “Bukkk!” Tasbih itu bergerak dengan cepat mengenai perut Kun Liong, akan tetapi pemuda ini memang sudah bersiap, mengerahkan sin-kang melindungi perut den berbareng dia menggunakan tamparan tangan menampar ke arah tengkuk. “Aihhh... plakk!” Hun Beng Lama kaget ketika tasbihnya bertemu dengan perut yang keras seperti karet, apalagi ketika tangan lawan sudah menyambar dahsyat memukul tengkuknya. Dia mengelak, akan tetapi pundaknya kena serempet tangan Kun Liong den Hun Beng Lama terhuyung-huyung dengan muka pucat karena tamparan tangan pemuda itu mengandung hawa panas! “Pemuda keparat!” Lak Beng Lama sudah menerjang lagi, dan dari samping, Hun Beng Lama juga menerjang. Kini Kun Liong dikeroyok dua! Dia bertangan kosong, akan tetapi dia tidak menjadi gentar dan cepat dia mainkan Ilmu Silat Im-yang Sin-kun ciptaan Tiang Pek Hosiang. Ilmu silat tangan kosong ini memang hebat sekali, gerakannya mengandung dua unsur tenaga Im-kang dan Yang-kang. Tenaga Yang-kang panas menghadapi serangan tongkat dan Im-kang dingin menghadapi senjata tasbih yang lemas sifatnya, maka tepat sekali sehingga setelah lewat tiga puluh jurus, Kun Liong membuat kedua orang pengeroyoknya terheran-heran karena belum juga mereka berdua mampu merobohkan lawan yang muda, seorang diri, dan bertangan kosong pula! Kun Liong juga marah. Dia maklum bahwa dua orang Lama itu lihai sekali, maka dia berseru keras dan kini tubuhnya bergerak makin cepat dan ilmu silatnya berubah. Kaki tangannya seperti berubah menjadi delapan dan ternyata dia sudah mainkan Ilmu Silat Tangan Kosong Pat-hong-sin-kun dari Bun Hwat Tosu! Ilmu ini memang mengandalkan kecepatan, sesuai dengan namanya Ilmu Silat Delapan Penjuru Angin! Kembali dua orang Lama itu terkejut dan mereka terpaksa harus memutar senjata secepat mungkin untuk melindungi tubuh mereka, karena kini keadaannya berbalik, bukan dua orang mengeroyok seorang, melainkan delapan orang menghadapi dua orang! Dua orang pendeta Lama itu tiba-tiba mengeluarkan pekik melengking panjang, pekik yang mengandung khi-kang kuat sekali, membuat jantung Kun Liong tergetar hebat. Pemuda ini terkejut dan cepat dia menggunakan gin-kangnya meloncat dan menyambar tasbih dan tongkat yang sudah dapat dia cengkeram dengan kedua tangannya! Melihat senjata mereka dapat tertangkap, dua orang pendeta itu kaget dan berbareng mereka menghantam dengan tangan kiri yang terbuka ke arah tubuh Kun Liong. “Bukk! Bukkk!” tangan kiri Hun Beng Lama mengenai punggung Kun Liong, sedangkan tangan kiri Lak Beng Lama mengenai lambung. Baru sebuah saja dari dua pukulan ini sudah cukup untuk menewaskan lawan. Akan tetapi anehnya, dua orang pendeta itu berteriak-terlak kaget dan mencoba untuk menarik-narik tangan kiri mereka yang sudah melekat pada punggung dan lambung! Kiranya Kun Liong sengaja menerima pukulan mereka sambil mengerahkan sin-kang dan menggunakan ilmunya Thi-khi-i-beng sehingga bukan saja tubuhnya tidak terpengaruh pukulan, bahkan otomatis tenaga sin-kang kedua orang pendeta itu tersedot oleh pusarnya melalui punggung dan lambungnya! Tentu saja Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama terkejut setengah mati ketika merasa betapa sin-kang mereka membanjir keluar! “Omitohud...!” Sin Beng Lama berseru dan tiba-tiba tampak dua sinar api meluncur. “Aduhh...!” Kun Liong berteriak kaget ketika punggung dan lambungnya terasa panas terbakar. Kiranya jalan darahnya di bagian itu telah ditotok oleh Sin Beng Lama yang menggunakan “senjata” istimewa sekali, yaitu dua batang hio yang bernyala! Ketika merasa betapa telapak tangan mereka terlepas dari hisapan, Hun Beng Lama menarik tangan mereka dan cepat menampar. “Plak! Desss...!” Tubuh Kun Liong terguling-guling oleh tamparan yang mengenai leher dan dadanya itu. “Syuuuuttt... ahhhh...!” Kun Liong terkapar dan berkelojotan tubuhnya karena dia merasa tubuhnya sakit-sakit seperti dibakar api ketika lima batang hio itu sudah meluncur dan menancap di lima bagian jalan darahnya secara luar biasa sekali! Kepalanya pening, pandang matanya kabur dan dalam keadaan setengah pingsan Kun Liong masih dapat mendengar suara Hong Ing, “Jangan bunuh dia... aku tidak sudi pergi kalau dia dibunuh...! Kun Liong...!” Dan selanjutnya gelap dan dia tidak tahu apa-apa lagi! “Auhhh..” Kun Lion mengeluh, tubuhnya terasa nyeri semua, nyeri dan panas. Dia membuka matanya dan teringatlah dia bahwa dia roboh oleh Sin Beng Lama yang menyerangnya dengan sambitan lima batang hio yang merupakan sinar api kuning emas meluncur seperti kilat menyambar dan yang tepat mengenal lima jalan darah di tubuhnya. “Uhhh...!” Dia mengeluh lagi penuh kengerian ketika melirik dan melihat betapa lima biting itu telah menancap di kedua pundaknya, kedua pahanya dan yang satu di lambungnya. Dupa biting itu dapat menancap seperti anak-anak panah baja saja, depat dibayangkan betapa lihai kakek pendeta Lama itu! Kun Liong mengerahkan tenaganya, akan tetapi dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika tenaga sin-kangnya yang dilatihnya dari kedua orang gurunya, Bun Hwat Tosu dan Tiang Pek Hosiang, tidak dapat digunakan, seolah-olah sumbernya telah dihimpit dan tenage sin-kangnya tidak dapat timbul. Juga tenaga Thi-khi-i-beng yang tersimpan di pusarnya, tidak dapat dia gerakkan! Tahulah dia dengan kaget sekali bahwa lima batang hio itu telah melumpuhkan sin-kangnya, dan teringatlah betapa dua tusukan hio biting itu pun telah melenyapkan tenaga sedot dari Thi-khi-i-beng ketika dia menggunakan ilmu itu terhadap Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama! Bahkan ketika dia berusaha menggerakkan kedua tangan untuk mencabut hio-hio itu, kedua tangannya juga lumpuh karena hio-hio itu telah menotok kedua pundaknya. Kun Liong bersikap tenang. Dia tahu bahwa Hong Ing telah dibawa pergi oleh mereka, bahwa dia hanya sendirian di pulau. Musuh-musuh yang tangguh itu telah pergi dan dia kini terlentang di atas pasir dalam keadaan tertotok oleh hio-hio itu, tak berdaya sama sekali, sedangkan hio-hio itu agaknya beracun. Hal ini dapat diduga dari rasa nyeri dan panas yang mengamuk di tubuhnya. Akan tetapi dia tidak boleh putus harapan, tidak boleh gugup. Dia harus dapat menolong diri sendiri dulu, terutama sekali agar dia dapat mencari Hong Ing. Dia masih dapat mengingat teriakan Hong Ing yang terakhir ketika menyebut namanya, teriakan seorang yang berada dalam kesulitan. Tak mungkin Hong Ing, betapa pun bencinya kepadanya, biarpun andaikata dara itu tidak mencintainya, tak mungkin dara itu meninggalkannya begitu saja dalam keadaan seperti itu! Tidak mungkin! Dia tahu siapa Hong Ing dan dara macam apa adanya dia! Hong Ing, di balik semua sifat dan wataknya yang aneh sebagai seorang wanita, memiliki hati yang berbudi. Tak mungkin Hong Ing tega meninggalkan dia dalam keadaan seperti itu, kalau dara itu tidak dipaksa. Dipaksa! Berarti diculik oleh tiga orang pendeta Lama itu! Dan tentu saja Hong Ing tidak akan mampu melawan mereka yang demikian lihainya. Karena itu, jelas bahwa Hong Ing berada dalam kesulitan. Dalam bahaya! Dan dia harus meholongnya, harus mengejar tiga orang pendeta Lama itu. Akan tetapi, yang terpenting sekarang, dia harus dapat membebaskan diri sendiri lebih dulu. Bagaimana caranya? Kun Liong mengingat-ingat. Dari gurunya yang ke dua, Tiang Pek Hosiang, dia telah mempelajari ilmu-ilmu Jiu-kut-keng (Melemaskan Badan), dan dari Bun Hwat Tosu dia telah diajari dasar Ilmu I-kiong-hoan-hiat (Memindahkan Jalan Darah). Ilmu yang pertama itu memungkinkan dia untuk meloloskan diri dari belenggu yang bagaimana kuatpun, dan ilmu ke dua dapat membuat dia membuyarkan totokan yang menguasai tubuhnya. Akan tetapi sekali ini, kedua ilmu itu tidak dapat dia pergunakan karena sumber tenaga sin-kangnya terhimpit. Sambil terlentang di atas pasir, hanya biji matanya yang bergerak-gerak dan dipaksa memandang ke langit yang hitam penuh terhias bintang. Kun Liong mengumpulkan ingatannya, mengenang kembali semua ilmu yang pernah dipelajarinya, mulai dari kecilnya dia belajar dari ayah bundanya, lalu kepada Bun Hwat Tosu, Tiang Pek Hosiang dan yang terakhir dari supeknya, Pendekar Cia Keng Hong. Kemudian di atas pulau kosong itu, dia membaca kitab Keng-lun Tai-pun ciptaan Kaisar Bun Ong. Jutaan tak terbilang dari bintang-bintang di langit mengingatkan dia akan pelajaran tentang letak bintang dan artinya dengan kehidupan manusia yang dia pernah baca di dalam kitab Keng-lun Tai-pun itu, mengingatkan dia akan semua yang dipelajarinya dari kitab itu. Otomatis dia teringat akan latihan napas dalam kitab itu dan segera pernapasannya diatur menurut pelajaran itu tanpa maksud tertentu. Betapa girang dan kaget hatinya ketika tidak lama setelah dia mengatur pernapasan menurut latihan dalam kitab itu, rasa nyeri dan panasnya banyak berkurang. Hal ini mendorongnya untuk mengerahkan seluruh perhatiannya dalam latihan ini, kemudian dengan semangat yang terbangun secara aneh, dia mulai menyalurkan semangat ini untuk menggerakkan kaki tangannya menurut petunjuk dalam kitab yang telah dihafalkan. Dan hasilnya... benar-benar luar biasa. Dia dapat menggerakkan kaki tangannta! Bahkan kini himpitan di pusarnya mulai terangkat dan begitu dia dapat menggerakkan hawa sin-kangnya dari pusar, sin-kang yang dilatihnya dari Bun Hwat Tosu membuat lima batang hio itu terdorong keluar dari tubuhnya! Kun Liong cepat bangkit duduk dan bersila, memejamkan matanya dan mengerahkan hawa sin-kang, disalurkannya berputaran di seluruh tubuhnya untuk menghalau semua hawa beracun, dan mengisi tubuhnya dengan hawa murni melalui pernapasan. Sampai pada keesokan harinya, barulah Kun Liong berhasil memulihkan kesehatan dan tenaganya. Setelah dia membuka mata menggerak-gerakkan kedua lengannya sampai otot-ototnya berbunyi, barulah hatinya merasa puas karena dia telah sembuh sama sekali. Akan tetapi setelah dia sembuh perhatiannya akan diri sendiri lenyap dan kembali dia teringat kepada Hong Ing. “Ahhhh... Hong Ing...!” Dia mengeluh dan seperti kebiasaannya, kalau dia merasa bingung den gelisah, tangan kirinya meraba-raba kepalanya yang gundul. “Heiii...!” Matanya terbelalak, den kini tangan kanannya ikut pula meraba-raba kepalanya. Dia tidak mimpi! Tangan kirinya tidak kehilangan perasaanya. Memang benar kepalanya tidak kelimis dan licin lagi! “Hong Ing...! Kepalaku berambut...!” Dia melompat bangun, akan tetapi segera tertunduk kembali seperti dibanting karena dia teringat bahwa Hong Ing tidak berada di pulau! Kegirangan dan kekagetan meraba kepalanya yang tumbuh rambut itu tadi sejenak melupakan dia bahwa Hong Ing telah diculik orang. Kini kedua tangannya menyelidiki kepalanya. Benar tumbuh rambut, biarpun masih pendek akan tetapi jelas terasa oleh rabaan tangan. Teringat dia akan telur-telur yang berpuluh banyaknya, yang tidak disukai oleh Hong Ing dan yang oleh dara itu telah direbus setiap hari untuk dia. Teringat dia betapa kepalanya menjadi gatal-gatal setelah makan telur-telur itu! Dan teringat pula dia akan cerita Hong Ing tentang seekor ular hitam yang mendarat dan tentang bentuk dan warna telur yang oleh dara itu disangka bukan telur kura-kura. Kini dia mengerti. Telur-telur itu memang bukan telur kura-kura. Entah telur apa, mungkin saja telur ular yang dilihat Hong Ing itu. Dia tidak merasa heran kalau ada telur semacam binatang yang depat memunahkan racun di tubuhnya sehingga rambut kepalanya tumbuh kembali. Dia tahu bahwa tidak ada penyakit yang tak dapat disembuhkan di dunia ini. Ibunya, seorang ahli pengobatan yang pandai, pernah berkata bahwa di dunia ini, segala sesuatu ada lawannya. Demikian pun penyakit, sudah pasti ada obatnya. Kalau ada penyakit yang tidak dapat disembuhkan, hal itu hanya terjadi karena manusia belum menemukan lawan dari penyakit itu! Dan menurut ibunya, di udara, di atas dan di dalam tanah, di dalam air, di mana-mana terdapat bahan obat yang serba lengkap dan manusia hanya tinggal menyelidiki dan menemukannya saja. Sekarang, secara kebetulan sekali telur aneh itu merupakan lawan dari “penyakit” yang membuat rambut kepalanya tidak mau tumbuh, sehingga kepalanya menjadi normal kembali dan telah tumbuh rambut! Setelah keadaan cuaca agak terang oleh sinar matahari pagi, Kun Liong berlari ke sumber air dan bercermin di kolam. Tak salah lagi, bintik-bintik hitam di kepalanya itu adalah rambut-rambut muda! Ah, betapa Hong Ing akan girang melihatnya, betapa mereka berdua akan tertawa-tawa menyaksikan keanehan yang amat menguntungkan ini. Tiba-tiba dia menarik napas panjang. Hong Ing sudah lenyap! Dia harus mencarinya! Dan dia tahu ke mana harus mencari Hong Ing. Tidak lain dia harus mengejar tiga orang kakek pendeta Lama itu dan ke mana lagi mencari mereka kalau bukan ke Tibet? Mulai pagi hari itu, dengan penuh ketekunan Kun Liong membuat sebuah perahu dari batang pohon besar yang ditumbangkamya di dalm hutan di tengah pulau. Tentu saja tidak mudah membuat sebuah perahu dari batang demikian besar tanpa alat apa pun kecuali ujung batu-batu karang yang runcing. Akan tetapi dengan penuh semangat, terdorong oleh kekhawatiran akan keselamatan Hong Ing, Kun Liong bekerja siang-malam dan hanya berhenti kalau perutnya sudah terlalu lapar untuk makan atau matanya sudah terlalu mengantuk untuk tidur. Sambil bekerja dia mengenangkan semua peristiwa yang terjadi selama dia bersama dengan Hohg Ing. Dia menarik napas panjang dan harus mengakui bahwa dia benar-benar mencinta dara itu! Dan beberapa kali dia merasa malu kepada diri sendiri kalau dia mengingat akan semua sikap dan hubungannya dengan gadis-gadis lain. Betapa dahulu dia berpemandangan rendah soal cinta! Betapa dahulu dia menganggap dara-dara itu seperti kembang yang indah harum untuk dipandang kagum dan dicium. Betapa dahulu dia menganggap bahwa rasa suka yang menarik hati antara muda-mudi hanyalah dorongan nafsu berahi semata! Dan sekarang, barulah dia merasakan benar-benar betapa hebat kekuasaan perasaan yang disebut cinta asmara ini! Betapa anehnya! Dia menjadi bingung kalau mengenang sikap Hong Ing kepadanya. Kadang-kadang dia seperti dapat menangkap sinar mata penuh kasih mesra, dapat melihat sikap dara itu yang jelas membayangkan cinta kasih dara itu kepadanya. Akan tetapi, mengapa seringkali Hong Ing marah-marah kepadanya dan seolah-olah membencinya? Padahal, ketika dara itu melayaninya makan, ketika bercakap-cakap, bersendau-gurau, ketika mereka bersama membuat pondok, ketika mereka berkejaran dan berlumba mencari telur, semua itu jelas menunjukkan bahwa dara itu berbahagia di sampingnya, bahwa dara itu suka akan kehadirannya dan mencintanya! Akan tetapi dara itu pun pernah memakinya seperti orang yang sombong, angkuh, tolol, dan yang lebih hebat lagi... memuakkan perutnya! Dan yang terakhir itu, sebelum dibawa pergi para pendeta Lama, ketika dia dengan terus terang menyatakan cinta kasihnya kepada Hong Ing, dara itu mula-mula kelihatan seperti orang yang terharu dan berbahagia, akan tetapi mengapa kemudian berubah menjadi marah-marah dan memandangnya penuh kedukaan dan kebencian? Mengapa? Dia mengenangkan semua peristiwa itu, satu demi satu. Didengarnya kembali pengakuan cintanya kepada Hong Ing, didengarnya kembali semua ucapan Hong Ing kepadanya dan kemarahan dara itu kepadanya. “Ohhh...!” Tiba-tiba Kun Liong menghentikan pekerjaannya, duduk termangu-mangu dan mukanya menjadi pucat. Kembali dia membayangkan adegan tertentu dan kata-kata tertentu sebelum Hong Ing marah. “Ahh, benar-benar tolol kau!” Kun Liong menampar kepalanya yang kini tidak gundul lagi, melainkan tertutup rambut hitam yang kaya dan hitam, akan tetapi, baru satu senti panjangnya. Terngiang kembali dalam telinganya percakapan antara dia dan Hong Ing sebelum dara itu marah-marah bahkan telah menamparnya! “Kau cinta padaku...? Lalu... bagaimana dengan wanita idaman yang kau khayalkan dahulu itu...?” Hong Ing bertanya kepadanya. “Ha-ha, dahulu aku bodoh, aku dungu, tergila-gila kepada wanita khayali, wanita yang hanya bayangan... aku suagguh tolol seperti yang kaukatakan...” dia menjawab. Mendengar itu, Hong Ing menjadi pucat. Dia ingat betul akan perubahan ini, dan mendengar kembali suara Hong Ing yang terputus-putus. “Apa... apa maksudmu...?” Dan dia, betapa tololnya, ketololan yang amat keterlaluan, dia menjawab seenak perutnya sendiri saja, “Dahulu aku tolol. Yang kucinta dengan seluruh jiwa ragaku hanyalah engkau, wanita dari darah daging, bukan wanita khayal itu, wanita dalam mimpi yang tentu saja tidak pernah ada.” Hong Ing lalu menamparnya! Tentu saja! Dia sekarang sadar bahwa sepatutnya dia dipukul, bukan hanya ditampar! Mengapa dia begitu tolol? Kini dia dapat menyelami perasaan hati seorang gadis seperti Hong Ing ketika mendengar pengakuannya yang bodoh bahwa wanita impiannya itu tidak pernah ada! Padahal Hong Ing melebihi semua wanita impiannya! Jawabannya yang bodoh itu tentu saja menyakitkan hati Hong Ing karena seolah-olah baginya, tidak ada wanita yang sempurna, seperti wanita khayalannya itu, bahkan Hong Ing pun tidak sesempurna wanita impiannya itu. Dia memang patut dipukul mampus! Perasaan menyesal terhadap kesalahamya ini, kesalahan yang telah menghancurkan hati kekasihnya, membuat Kun Liong makin tekun. Tanpa mengenal lelah dia menyelesaikan pembuatan perahunya dan dua bulan kemudian selesailah perahu itu, sebuah perahu sederhana sekali. Dia lalu berangkat meninggalkan pulau itu dengan mendayung perahunya. Yang dibawanya hanyalah kitab Keng-lun Tai-pun yang masih terus dipelajarinya karena isi kitab itu amat sukar dimengerti, harus dibaca berulang-ulang. Harta pusaka berupa emas perak dan permata dia tinggalkan di pulau, dia sembunyikan di dalam sebuah di antara guha-guha di pulau itu, dia hanya membawa beberapa potong emas dan perak untuk bekal di perjalanan. Tujuannya hanya satu, mencari Hong Ing sampai ketemu! Dan arah perjalanannya setelah mendarat nanti telah pasti, kecuali kalau ada jejak dara itu yang menuju ke lain arah, yaitu ke Tibet! “Sudahlah, Keng-moi... sudahlah kekasihku yang tercinta. Perlu apa menangis lagi? Tangismu menghancurkan hatiku, Keng-moi. Bukankah aku berada di sini, di sampingmu selalu?” “Liong-koko...!” Giok Keng makin terisak menangis, menyandarkan kepalanya di atas dada Liong Bu Kong yang mengelus-elus rambutnya dengan penuh kemesraan. “Engkau tidak merasakan betapa sakit hatiku... betapa sengsaranya hati orang yang diusir dan tidak diakui lagi oleh ayah bundanya... hu-hu-huuk...” “Aku mengerti, Moi-moi... aku mengerti... dan memang tidak semestinya engkau mengorbankan diri sedemikian rupa hanya untuk seorang seperti aku... maka sekarang belum terlambat, kalau kautinggalkan aku dan pulang, minta ampun kepada ayah bundamu, Moi-moi...” Cia Giok Keng mengangkat mukanya yang basah air mata dan matanya yang agak merah karena tangis itu memandang wajah yang tampan dari Bu Kong. Malam itu bulan telah muncul dan di bawah sinar bulan wajah itu kelihatan tampan sekali. “Apa... apa maksudmu...? Meninggalkanmu...?” Bu Kong menundukkan mukanya dan berkata, suaranya halus menggetar, “Keng-moi, aku cinta kepadamu, aku cinta padamu dengan seluruh jiwa ragaku... dan demi cinta kasihku yang murni, aku tidak ingin melihat kau menderita. Tidak! Aku hanya ingin melihat engkau berbahagia, maka melihat engkau menangis dan bersengsara seperti ini... ah, biarlah aku yang menderita, Moi-moi, kau kembalilah kepada orang tuamu...” “Koko...!” Giok Keng menangis lagi sambil merangkul leher pemuda itu. Hatinya merasa perih dan terharu, juga bahagia sekali karena ucapan pemuda itu meyakinkan hatinya akan cinta kasih yang murni dari pemuda itu kepada dirinya. “Aku rela berkorban apa pun, Koko... biarlah aku tidak diakui anak lagi oleh ayah bundaku asal engkau benar-benar mencintaku...” “Moi-moi...!” Bu Kong mendekap tubuh itu dan mencium pipinya, “Aku bersumpah demi bumi dan langit bahwa aku mencintamu dengan seluruh jiwa ragaku. Biarlah aku bersumpah, kalau ternyata aku berhati palsu kepadamu, kelak Thian akan menghukumku dengan...?” “Husshh, tidak perlu bersumpah, aku percaya kepadamu, Koko...” Giok Keng menutup mulut pemuda itu dengan telapak tangan kanannya. “Moi-moi... ah, Moi-moi tersayang...” Bu Kong memegang dan menciumi tangan itu, kemudian ciumannya berpindah-pindah, dari tangan ke leher dan akhirnya dia menciumi bibir Giok Keng dengan penuh nafsu. Mula-mula Giok Keng membalas ciuman pemuda itu dengan sepenuh hatinya karena cinta kasihnya, penub penyerahan dan kemesraan. Akan tetapi ketika ciuman-ciuman penuh nafsu yang membuat dia terengah-engah itu disusul dengan gerakan jari-jari tangan Bu Kong yang nakal, dia terkejut. “Moi-moi... ahhh... Moi-moi tercinta...!” Bu Kong berkata dengan napas mendengus-dengus, kemudian dengan gerakan halus dia mendorong kedua pundak dara itu sehingga Giok Keng rebah terlentang di atas tanah berumput. Giok Keng merangkulnya, menciumnya, dan jari-jari tangannya meraba-raba dan hendak membuka pakaian Giok Keng. “Koko... jangan...!” Glok Keng mendadak bangkit duduk dan menolak kedua tangan pemuda itu yang meraba dada dan pahanya. ”Jangan begitu, Koko...!” suaranya penuh permohonan dan nafasnya masih terengah-engah dibakar nafsu berahi. “Mengapa Moi-moi? Bukankah kita saling nencinta?” Bu Kong mengecup pipi yang kemerahan dan halus serta panas karena terbakar darah muda yang menggelora tadi. “Memang aku cinta padamu, Koko, dan aku yakin bahwa engkau pun mencintaku akan tetapi kita... kita... tidak boleh begini... sebelum kita menikah dengan sah!” Bu Kong melepasken kedua tangannya dan usahanya membelai dan memegang kedua pundek dara itu, memandang wajah yang jelita itu dengan mata tajam dan suaranya terdengar mencela, “Aihh, mengapa pendirianmu begini kuno, Moi-moi? Di mana ada cinta, di situ tidak ada pelanggaran apa-apa lagi, apa pun boleh kita lakukan jika kita saling mencinta! Bahkan tidak selalu cinta harus dihubungkan dengan pernikahan! Cinta dan pernikahan itu adalah dua hal yang berlainan, Moi-moi!” Giok Keng cemberut dan menggerakkan pundaknya sehingga pegangan Bu Kong itu terlepas. Dia menggeser duduknya agak menjauhi pemuda itu, lalu berkata, suaranya juga sungguh-sungguh, “Liong-koko, memang enak saja berkata demikian karena engkau adalah seorang laki-laki! Kau bilang bahwa cinta dan pernikahan adalah dua hal yang berlainan, dan biarpun anggapanmu ini ada benarnya, namun lebih benar lagi adalah bahwa cinta dan bermain cinta adalah dua hal yang lebih berlainan lagi! Bermain cinta hanyalah permainan nafsu berahi, dan seperti juga pernikahan, hanya merupakan pelengkap dari cinta kasih belaka.” “Moi-moi, kita saling mencinta, kita berdua seakan-akan sudah tidak mempunyai lagi orang tua, perlu apa urusan pernikahan direpotkan lagi? Kita saling mencinta, sehidup semati, dan kalau aku ingin memiliki dirimu, demi cinta kita, apa salahnya itu?” “Karena engkau seorang laki-laki, maka pendapatmu menjadi demikian mudah tentang hal ini, Koko. Bagi pria, memang tidak ada cacad celanya melakukan hubungan di luar nikah, akan tetapi demikiankah bagi wanita? Memang dunia ini kejam, terutama sekali kejam terhadap wanita! Kalau sepasang muda-mudi, karena cinta mereka, karena dorongan nafsu berahi mereka, melakukan hubungan dan bermain cinta di luar nikah, selalu si wanita yang menjadi korban. Diejek, diolok-olok, dianggap manusia rendah. Sebaliknya, si pria tidak apa-apa, bahkan perbuatannya itu akan dijadikan kebanggaan diantara kawannya, dipamerkan sebagai suatu bukti kejantanan! Sekali saja seorang wanita terpeleset dan bermain cinta di luar nikah, kehormatannya akan cemar, namanya akan buruk. Sebaliknya, biarpun seorang pria melakukan hubungan itu di luar nikah sampai seribu kali, tidak akan berbekas apa-apa! Apalagi kalau hubungan itu sampai menghasilkan kandungan. Maka celakalah si wanita!” “Ahh, Moi-moi, kau berpikir terlampau jauh dan mengkhawatirkan hal yang bukan-bukan. Apakah kaukira aku yang mencintamu dengan seluruh jiwa ragaku akan meninggalkanmu begitu saja? Kita sudah sehidup semati, Moi-moi!” “Bukan aku tidak percaya kepadamu, Koko. Hanya aku tidak ingin kehilangan harga diriku yang merupakan kehormatan bagi seorang wanita, biarpun hanya kita berdua saja yang mengetahui. Aku akan merasa rendah dan murah! Pula, kalau engkau memang mencintaku, mengapa kau tidak mau menaruh hormat akan pendirianku ini? Mengapa engkau tidak mau menjaga agar kehormatanku tetap terjunjung tinggi dan kita dapat benar-benar menikmati masa pengantin baru? Koko, aku hanya mau menyerahkan diriku kepadamu setelah kita menikah, sungguhpun hatiku sudah kuserahkan kepadamu.” “Keng-moi... kau mengecewakan hatiku... akan tetapi demi cintaku yang mumi, biarlah aku akan menahan diri dan akan mentaati permintaanmu itu.” “Koko, engkau memang baik sekali!” Giok Keng merangkul dan mereka saling berciuman dengan penuh kemesraan, akan tetapi api nafsu berahi yang tadinya hampir membakar mereka berdua itu kini dapat dipadamkan atau setidaknya diperkecil sehingga tidak akan timbul bahaya kebakaran. Bu Kong duduk di atas tanah bersandar pohon, Giok Keng duduk dan menyandarkan tubuh di atas dada pemuda itu. Sampai lama keduanya tidak berkata-kata, hanya duduk seperti itu dengan hati tenang, masing-masing tenggelam dalam lamunan. Tak lama kemudian terdengar Bu Kong berkata, “Moi-moi, aku heran sekali bagaimana seorang dara remaja seperti engkau ini dapat mempunyai pandangan sedemikian mendalam tentang hubungan antara pemuda dan pemudi seperti yang kita bicarakan tadi.” “Ibu yang telah bicara kepadaku tentang semua itu, Koko. Dan Ibu adalah seorang wanita yang keras hati, seorang wanita yang telah mempunyai banyak pengalaman hidup, tahu akan pahit getirnya hidup sebagai seorang wanita. Semua yang dikatakannya memang tepat dan benar, menurut kenyataan. Betapa banyak kenyataannya bahwa wanita selalu terancam dalam hidupnya, banyak sekali bahaya menghadang, di depan langkah hidup kaki wanita. Telah menjadi kembang bibir sebutan-sebutan yang merendahkan kaum wanita. Ada gadis kehilangan keperawanannya akan tetapi tidak ada sebutan perjaka kehilangan keperjakaannya. Ada sebutan isteri tidak setia, akan tetapi suami yang tidak setia tak disebut-sebut. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang saja suami, namun seorang pria boleh saja mempunyai seratus orang isteri! Sebagai akibat hubungan, wanitalah yang harus mengandung, melahirkan dengan segala penderitaannya, sedangkan pria hanya tahu enaknya saja. Ada makian pelacur dan sampah masyarakat bagi wanita, akan tetapi laki-laki hidung belang tukang melacur tetap dianggap sebagai manusia terhormat.” Liong Bu Kong mengangguk-angguk dan mengelus rambut kekasihnya dengan mesra. “Engkau memang hebat dan pantas menjadi puteri suami isteri pendekar seperti ayah bundamu itu. Sayang sekali ayahmu keras dan tidak suka kepadaku, Moi-moi, sehingga aku menjadi bingung sekah memikirkan hubungan kita ini. Aku sendiri sudah tidak mempunyai orang tua, lalu bagaimanakah dengan perjodohan antara kita?” “Kau sebagai seorang laki-laki harus dapat mencari jalan, Koko. Betapa pun besarnya cintaku kepadamu, hubungan kita ini harus dilanjutkan dengan pernikahan, barulah aku dengan syah menjadi isterimu dan aku takkan mengingkari lagi kewajibanku sebagai seorang isteri yang mencinta. Kita akan membentuk keluarga bersama, maka pertama-tama kita harus dapat menjaga kehormatan diri kita sendiri. Kita harus dapat menjaga nama baik keturunan kita kelak, karena engkau tentu mengerti sendiri apa namanya keturunan orang di luar nikah. Hanya penderitaan batin yang akan kita rasakan sebagai akibatnya.” Karena Giok Keng duduk bersandar kepada Bu Kong, dia tidak tahu betapa ucapannya tadi, pertama tentang anak yang lahir di luar nikah, membuat wajah Bu Kong menjadi pucat dan pemuda ini memejamkan matanya. Dia teringat akan keadaan dirinya sendiri dan ucapan dara itu seolah-olah menyindir dan mengejeknya! Dia sendiri pun tidak pernah mengenal ayah kandungnya, dan biarpun dia diaku sebagai anak angkat oleh Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio, namun sesungguhnya dia adalah anak kandung Ketua Kwi-eng-pang itu, anak yang terlahir tanpa ayah yang syah! Seorang anak haram! Pandang mata Bu Kong melirik ke arah jalan darah di tengkuk dan pundak kekasihnya. Betapa akan mudah kalau pada saat itu dia menotok jalan darah dan membuat Giok Keng lemas tak berdaya. Betapa mudahnya kalau dia hendak menikmati tubuh kekasihnya ini dengan kekerasan. Akan tetapi tidak, dia tidak ingin berbuat demikian. Dia tergila-gila kepada Giok Keng, dia harus memiliki tubuh dara ini, akan tetapi Giok Keng harus menyerahkan diri secara sukarela. Dia terlalu mencinta dara ini dan ingin memiliki selamanya, bukan hanya memenangkamya dengan kekerasan yang pasti berakibat dengan permusuhan. “Engkau benar sekali, Moi-moi. Dan karena aku sudah tiada ayah bunda lagi, sedangkan orang tuamu tidak mau menikahkan kita, maka jalan satu-satunya kita harus minta pertolongan sebuah perkumpulan besar agar menikahkan kita secara syah.” “Terserah kepadamu, Koko. Bagiku, soal ikatan jodoh antara kita disyahkan dalam pernikahan dan disaksikan umum, cukuplah. Akan tetapi perkumpulan manakah yang akan mau menikahkan kita, Koko?” “Perkumpulan besar sekali yang tentu akan mengatur pernikahan kita dengan meriah dan mengundang seluruh tokoh dunia kang-ouw sehingga pemikahan kita akan menjadi syah benar-benar.” “Bagus sekali, perkumpulan manakah itu, Koko?” “Perkumpulan terbesar saat ini, yaitu Pek-lian-kauw.” “Heh...?” Giok Keng meloncat bangun, membalikkan tubuhnya dan memandang kekasihnya dengan mata terbelalak kaget. “Pek-lian-kauw...? Perkumpulan pemberontak itu?” “Keng-moi, tenanglah dan duduklah. Mari kita bicara dengan tenang dan berpikir secara wajar.” Setelah Giok Keng duduk di depan kekasihnya, Bu Kong berkata. “Engkau jangan memandang dari satu pihak saja. Ketahuilah bahwa kalau pemerintah menganggap Pek-lian-kauw sebagai pemberontak, banyak rakyat menganggapnya sebagai pejuang melawan pemerintah yang lalim. Kita jangan menjerumuskan diri dalam pertikaian yang sebetulnya hanyalah perebutan kekuasaan antara orang-orang kalangan atas saja. Permusuhan antara Pek-lian-kauw dan pemerintah sama sekali tidak ada hubungannya dengan pernikahan kita bukan? Dan aku yakin hanya Pek-lian-kauw yang akan sanggup menikahkan kita, karena kalau kita memilih perkumpulan yang menjadi sahabat orang tuamu mereka tentu akan menolak tanpa ijin orang tuamu. Pek-lian-kauw adalah perkumpulan yang besar dan diakui, maka jika perkumpulan ini yang menikahkan kita, yang diundang tentulah orang-orang besar dan yang akan menyaksikan pernikahan kita adalah tokoh-tokoh kang-ouw, sehingga pernikahan itu akan menjadi syah sama sekali!” “Tapi... tapi... apakah kita lalu menjadi anggauta Pek-lian-kauw?” “Ha-ha, tentu saja tidak, Moi-moi!” “Dan... aku tidak diharuskan membantu mereka menjadi pemberontak?” Ah, tentu saja tidak. Hal seperti itu timbul dari hati sendiri, mana bisa diharuskan dan dipaksa?” “Kalau begitu... terserah kepadamu, Koko. Aku percaya kepadamu dan bagiku yang terpenting, asal pernikahan kita disyahkan dan disaksikan banyak orang, cukuplah.” “Kalau begitu, marilah kita mengunjungi Pek-lian-kauw dan menghadap kepada Thian Hwa Cinjin.” “Thian Hwa Cinjin? Siapa itu, Koko?” “Ha-ha-ha, engkau belum mendengar namanya? Memang dia tidak pernah maju sendiri, akan tetapi dialah yang mengatur segalanya, dialah Ketua Pek-lian-kauw yang memiliki ilmu kepandaian yang amat luar biasa, sukar diukur betapa tingginya. Dia adalah Ketua Pek?lian-kauw wilayah timur dan bertempat tinggal di tepi pantai Laut Kuning, di muara Sungai Huang-ho. Besok pagi kita berangkat ke sana, Moi-moi.” “Balklah, Liong-koko, akan tetapi hanya dengan syarat yaitu...” “Kita tidak akan bermain cinta sebelum menikah!” Bu Kong memotong sambil tertawa. “Bukan itu saja, Koko, melainkan bahwa pengesahan pernikahan oleh Pek-lian-kauw itu tidak mengharuskan kita bersekutu dengan Pek-lian-kauw. Aku tidak sudi terlibat dalam pemberontakan.” “Baik, aku mengerti, Moi-moi. Sekarang tidurlah, biar aku membuat api unggun untuk mengusir nyamuk.” Giok Keng merebahkan diri dan Bu Kong membuat api unggung lalu menyelimuti tubuh kekasihnya dengan mantelnya. Hatinya kecewa sekali karena hasrat hatinya, nafsu berahinya, tidak terlaksanakan, namun karena Giok Keng sudah setuju untuk bersamanya pergi menghadap Thian Hwa Cinjin, hatinya merasa lega. Memang lebih baik kalau dia memiliki Giok Keng sebagai isteri syah, sehingga tidak akan ada yang menggugatnya lagi kelak! Pada waktu itu memang Pek-lian-kauw merupakan perkumpulan yang amat terkenal dan kuat, memiliki cabang dan banyak anggauta. Pek-lian-kauw dipimpin oleh orang-orang pandai dan mereka mengadakan pemberontakan dan menentang pemerintah dengan dalih membela rakyat dari pemerintah lalim. Karena pengaruhnya yang besar, boleh dibilang seluruh tokoh kaum sesat berlindung di bawah sayap Pek-lian-kauw dan para orang gagah juga segan untuk berurusan dengan perkumpulan yang berpengaruh dan amat kuat ini. Biarpun perkumpulan-perkumpulan bersih dan orang-orang gagah di dunia kang-ouw tidak sudi menggabung dan bersekutu dengan pemberontak, akan tetapi mereka pun tidak mau melibatkan diri dan tidak mau bermusuhan dengan Pek-lian-kauw yang amat kuat. Hampir di setiap kota besar terdapat ranting Pek-lian-kauw. Pimpinan Pek-lian-kauw terbagi menjadi empat, yaitu di utara, barat, selatan, dan timur. Pek-lian-kauw wilayah timur ini dipimpin oleh Thian Hwa Cinjin, seorang tokoh baru yang belum lama muncul dan merupakan tokoh besar di wilayah timur. Setelah Pek-lian-kaw di timur ini berada di bawah pimpinan Thian Hwa Cinjin, maka terjadilah perubahan besar yang menyenangkan para anggautanya. Dahulu, sebelum dipegang oleh Thian Hwa Cinjin, Pek-lian-kauw di wilayah timur ini hanya mementingkan pemberontakan dan urusan agama saja. Akan tetapi, setelah Thian Hwa Cinjin menjadi ketua, kepentingan para anggauta diperhatikan dan terdapat banyak peraturan baru yang menyenangkan para anggautanya. Bahkan ada kecondongan bahwa Pek-lian-kauw yang tadinya khusus memusatkan kekuatan pada perjuangan menentang pemerintah yang dianggapnya lalim dan menindas rakyat, menjadi perkumpulan yang mementingkan kesejahteraan pribadi. Thian Hwa Cinjin adalah seorang kakek berusia enam puluh tahun lebih, bertubuh kurus jangkung, berpakaian seperti tosu dan dia datang dari seberang lautan. Tidak ada yang tahu jelas dari mana dia datang, akan tetapi ada kabar bahwa dia datang dari Korea. Selain memiliki ilmu silat yang tinggi, juga dia memiliki kepandaian sihir yang membuat para anggautanya menjadi makin tunduk dan takut. Tadinya sebelum munculnya ketua baru ini, di Pek-lian-kauw hanya ada pendeta-pendeta pria saja yang mempraktekkan ajaran agama campuran antara Buddha dan Tokauw. Setelah Thian Hwa Cinjin menjadi ketua, dia memperbolehkan masuknya pendeta wanita. Anehnya, pendeta-pendeta wanita Pek-lian-kauw semua muda dan cantik, dan hanya pakaian pendeta saja yang menunjukkan bahwa mereka adalah pendeta Pek-lian-kauw. Padahal sebetulnya pendeta-pendeta wanita ini adalah wanita-wanita yang bertugas menghibur para pimpinan Pek-lian-kauw dan sebutan pendeta itu hanya sebagai kedok belaka. Juga Thian Hwa Cinjin menghapuskan pantangan menikah bagi pendeta Pek-lian-kauw, bahkan diperbolehkan memelihara selir sesuai dengan kekuatan tubuh dan isi kantung mereka. Thian Hwa Cinjin sendiri tidak beristeri, akan tetapi dia mempunyai dua orang selir yang cantik sekali di samping pelayan-pelayan wanita yang terdiri dari gadis-gadis muda cantik yang diaku sebagai pelayan, juga murid, juga penghibur di dalam kamarnya sebagai selingan kedua orang selirnya! Dua orang selir itu pun bukan orang sembarangan dan mereka diambil sebagai bukti dari ketua itu bahwa dia adalah seorang yang anti pembesar pemerintah dan memusuhi para pembesar pemerintah. Belum lama setelah dia menjadi ketua, dia menculik dua orang wanita itu, yaitu puteri seorang pembesar di kota Sin-yang, seorang dara muda yang masih gadis, dan juga selir pembesar itu, selir termuda dan tercantik! Dia memperkosa kedua orang wanita muda dan cantik itu, kemudian dengan paksa membawa mereka ke markas Pek-lian-kauw dan mengangkat mereka menjadi selir-selirnya. Dua orang wanita itu hanya dapat menangisi nasib mereka, karena mereka sama sekali tidak berdaya untuk melawan, bahkan membunuh diri pun tidak mungkin karena selalu terjaga. Kemudian, di bawah kekuasaan sihir Thian Hwa Cinjin, kedua orang wanita itu malah menurut dan senang hati melayani Si Kakek sebagai suami mereka yang tercinta! Dengan dalih berjuang demi kepentingan rakyat jelata dan demi pembebasan rakyat dari penindasan pemerintah lalim, Pek-lian-kauw dapat mengumpulkan banyak dana dari sumbangan rakyat. Terutama sekali rakyat yang kaya banyak menyumbangkan hartanya, bukan semata-mata karena demi perjuangan, melainkan karena mereka ini mengharapkan jaminan bahwa harta bendanya takkan diganggu oleh Pek-lian-kauw! Demikianlah, kata-kata “perjuangan” kehilangan kemurnian maknanya, dan dijadikan “modal” bagi mereka yang menghendaki cita-citanya tercapai, cita-cita demi kepentingan diri sendiri, baik berupa ambisi mencapai kedudukan tinggi maupun mencari kekayaan. Hal seperti ini terjadi semenjak sejarah berkembang di jaman dahulu sampai sekarang, dan di seluruh pelosok dunia. Pada suatu hari, menjelang tengah hari, sepasang orang muda datang mengunjungi markas Pek-lian-kauw wilayah timur itu. Mereka berdua itu bukan lain adalah Liong Bu Kong dan Cia Giok Keng. Dara ini terheran-heran dan kagum melihat keadaan Pek-lian-kauw ketika dia tiba di pintu gerbang perkumpulan itu. Tempat itu merupakan sebuah perkampungan di tepi pantai laut, perkampungan yang terkurung oleh tembok yang kokoh kuat dan tinggi, dengan pintu-pintu gerbang yang terjaga kuat dalam bentuk benteng yang terjaga siang malam dengan kuatnya. Ketika Liong Bu Kong memperkenalkan namanya pada pintu gerbang pertama, mereka berdua diharuskan menanti sampai seorang penjaga melapor ke dalam melalui pintu gerbang yang berlapis lima dan terjaga kuat menuju ke dalam. Mereka harus menanti agak lama karena untuk menentukan apakah seorang tamu diperbolehkan masuk, apalagi tamu yang ingin berjumpa dengan ketua, haruslah diputuskan oleh ketua sendiri dan pelaporan kepada ketua melalui beberapa orang komandan jaga! Thian Hwa Cinjin sedang makan siang, ditemani oleh dua orang selirnya yang cantik dan dilayani oleh gadis-gadis muda yang cantik pula. Mendengar pelaporan bahwa seorang bernama Liong Bu Kong, putera Ketua Kwi-eng-pang di Telaga Kwi-ouw hendak berjumpa dengannya, ketua ini mengangguk-angguk. Dia belum pernah bertemu dengan pemuda itu, akan tetapi dia sudah mendengar akan nama Kwi-eng-pang, bahkan dia pernah mendengar betapa perkumpulan kaum sesat itu pernah bersekutu dengan Pek-lian-kauw, sungguhpun persekutuan itu belum menghasilkan sesuatu. Tadinya dia agak malas untuk bertemu dengan pemuda putera datuk kaum sesat itu, akan tetapi karena teringat akan cerita tentang perebutan bokor emas milik Panglima The Hoo dan kabarnya bokor emas itu pernah terjatuh ke tangan ibu pemuda yang datang ini, hatinya tertarik dan mengatakan kepada pengawal agar Liong Bu Kong dipersilakan menunggunya di ruangan tamu. Dengan cara berantai, perintah ini akhirnya disampaikan juga kepada Liong Bu Kong yang bersama Cia Giok Keng masih menunggu di luar pintu gerbang pertama dengan hati tidak sabar. Mereka dikawal masuk pintu gerbang pertama sampai di pintu gerbang ke dua, di mana mereka dikawal oleh penjaga lain lagi menuju ke pintu gerbang ke tiga dan seterusnya sampai mereka melalui pintu gerbang ke lima. Di sini, mereka disambut oleh tiga orang pendeta laki-laki dan tiga orang pendeta wanita yang mengawal mereka ke ruangan tamu di bangunan khusus. GIOK KENG terheran-heran. Tiga orang pendeta pria itu rata-rata berusia lima puluh tahun, sikap mereka halus dan jelas membayangkan bahwa mereka memiliki kepandaian silat tinggi. Akan tetapi tiga orang pendeta wanita muda, paling tua tiga puluh tahun usianya, dan wajah mereka cantik-cantik! Biarpun mereka juga kelihatan halus pendiam, namun Giok Keng dapat menangkap kerling mata yang menyambar tajam dan penuh arti ke arah wajah Bu Kong yang tampan! Setibanya di ruang tamu dan dipersilakan duduk, Giok Keng makin kagum. Kalau tadi dia mengagumi kekuatan dan ketertiban penjagaan di benteng Pek-lian-kauw, kini dia mengagumi keindahan ruangan itu. Selain meja dan kursi-kursinya terbuat dari kayu berukir dan merupakan perabot rumah yang mahal, tiga ruangan itu terhias lukisan-lukisan dan tulisan indah-indah yang tentu tidak murah pula harganya, seperti ruang tamu gedung seorang hartawan atau bangsawan saja layaknya! Lapat-lapat di sebelah kiri, dari sebuah bangunan di mana tampak asap hio mengepul, terdengar suara merdu orang membaca doa, suara yang menggetarkan kalbu dan seperti biasanya suara orang berdoa, selalu mendatangkan keharuan yang khas. Di sebelah kanan, agak jauh dari tempat yang amat luas itu, tampak beberapa orang sedang berlatih silat di sebuah lapangan rumput yang luas. Gerakan mereka sigap dan kuat, dan biarpun dari jauh, Giok Keng dapat mengenal ilmu silat yang baik. Diam-diam dia menjadi makin kagum. Tak disangkanya bahwa Pek-lian-kauw yang terkenal sebagai perkumpulan pemberontak, yang dibenci oleh ayah bundanya, ternyata merupakan perkumpulan yang teratur rapi dan agaknya memiliki keuangan yang kuat! “Selamat datang, sepasang orang muda yang tampan dan cantik, yang keduanya gagah perkasa!” Suara ini datang dari dalam dan agaknya orang yang bicara sudah berada di depan mereka, akan tetapi Giok Keng tidak melihat apa-apa! Bulu tengkuknya meremang. Setankah yang bicara itu? Akan tetapi, Bu Kong segera memegang tangannya dan mengajaknya berdiri. Pemuda ini sudah menjura ke depan, ke arah pintu sambil berkata “Mohon Locianpwe sudi memaafkan kedatangan kami yang lancang ini dan sudi memperlihatkan diri. Harap Locianpwe tidak mempermainkan kami berdua yang muda dan bodoh.” “Ha-ha-ha, engkau boleh juga, orang muda. Merendahkan diri, menghormat, akan tetapi sekaligus juga menegur. Nah, kalian pandanglah Pinto (aku)!” “Wussshhh...!” Tampak asap putih mengepul tebal dan dari dalam asap itu, seorang kakek berusia enam puluh tahun, jenggotnya panjang, pakaiannya model pakaian pendeta tosu berwarna kuning dengan gambar bunga teratai putih di depan dadanya. Biarpun jenggotnya sudah banyak ubannya, namun rambut, jenggot dan pakaian kakek ini terpelihara rapi dan bersih, bahkan sepatunya juga masih baru. Ada bau harum keluar dari kakek itu, tanda bahwa kakek ini masih pesolek, suka memakai wangi-wangian di tubuhnya. Namun, kakek kurus jangkung itu memiliki sepasang mata yang amat tajam, sepasang mata yang mengandung wibawa kuat sekali sehingga dalam pertemuan pandang pertama, Giok Keng merasa berdebar jantungnya dan meremang bulu tengkuknya sehingga dia cepat menundukkan mukanya. “Tok! Tok! Tok!” Tongkat hitam mengkilap di tangan kanan kakek itu mengeluarkan bunyi ketika dia melangkah maju menghampiri Bu Kong dan Giok Keng. “Saya Liong Bu Kong dan Nona Cia Giok Keng ini menyampaikan hormat kepada Tung-kauwcu (Ketua Agama Timur).” Kembali Bu Kong berkata sambil menjura dengan hormat, diturut oleh Giok Keng. “Ha-ha, tidak perlu banyak sungkan, orang-orang muda. Kita adalah orang sendiri, bukan? Benarkah engkau putera Kwi-eng-pangcu?” “Benar, Locianpwe. Mendiang ibu saya adalah Ketua Kwi-eng-pang.” Ketua Pek-lian-kauw itu mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya dengan tangan kiri. “Hemmm, Pinto sudah mendengar akan kematian itu... kalau tidak salah, dalam perebutan bokor pusaka bukan? Hemmm, sayang sekali...! Mari silakan duduk agar enak kita mengobrol!” Dua orang muda itu lalu duduk di atas kursi berhadapan dengan tuan rumah dan tak lama kemudian muncullah pelayan-pelayan wanita menghidangkan minuman. Giok Keng terheran melihat betapa pelayan-pelayan wanita ini masih muda-muda dan cantik-cantik, juga gerak-gerik mereka serta lirikan mata mereka yang dilontarkan kepada Bu Kong membayangkan sikap genit. Setelah dipersilakan minum, Thian Hwa Cinjin, kakek itu, menanyakan maksud kedatangan kedua orang muda itu dan apa keperluan mereka minta bertemu dengan dia sendiri. Bu Kong lalu bangkit berdiri, memegang tangan Giok Keng lalu mengajak dara itu untuk menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu sambil berkata, “Kami berdua sengaja menghadap Locianpwe dengan harapan agar Locianpwe sudi menolong kami, dan atas budi kebaikan Locianpwe, kami berdua takkan melupakannya.” Kakek itu kelihatan tercengang, lalu tertawa, “Ha-ha-ha, bangkitlah, duduklah dan ceritakan apa kehendak kalian. Tentu saja mengingat akan hubungan antara Pek-lian-kauw dan Kwi-eng-pang, Pinto akan memperhatikan permintaanmu dan jika mungkin tentu saja kami akan suka sekali membantu Sicu.” Bu Kong dan Giok Keng bangkit dan duduk kembali. “Permohonan kami tidak lain agar Locianpwe sudi menikahkan kami berdua di sini secara resmi.” Kakek itu membelalakkan matanya kemudian tertawa bergelak, “Ha-ha-ha-ha, kiranya hanya untuk keperluan itu! Aihhh, mengapa kalian hendak menikah memilih tempat ini dan minta perantaraan Pek-lian-kauw? Bukankah urusan pernikahan adalah urusan orang tua dan keluarga kalian?” “Locianpwe, saya sudah tidak mempunyai orang tua dan keluarga, saya sebatang kara di dunia ini...” “Akan tetapi, setelah ibumu meninggal, bukankah engkau yang kini menggantikannya memimpin Kwi-eng-pang?” “Seperti Locianpwe tentu telah mendengar, perkumpulan kami dihancurkan oleh pemerintah dan selain kini saya belum berkesempatan untuk menghimpunnya kembali, juga dalam pernikahan ini, kiranya kalau bukan Pek-lian-kauw yang mengadakan, tidak ada lagi yang akan berani...” “Hemmm, mengapakah?” Kakek itu kini menoleh dan memandang kepada Giok Keng dengan penuh perhatian. “Karena calon isteri saya, Nona Cia Giok Keng ini... dia... adalah puteri dari Locianpwe Cia Keng Hong...” “Hahh...?” Thian Hwa Cinjin terkejut sekali dan memandang dengan mata terbelalak. “Cia Keng Hong Ketua Cin-ling-pai...?” Tentu saja dia terkejut bukan main. Biarpun dia sendiri belum pemah bertemu dengan Pendekar Sakti Cia Keng Hong namun nama besar pendekar itu telah didengarnya lama sekali. Dengan sinar mata penuh selidik dia memandang kepada Giok Keng dan kini tentu saja dengan pandang mata lain setelah dia mendengar bahwa dara yang cantik jelita dan bersikap gagah perkasa ini adalah puteri dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong Ketua Cin-ling-pai. Giok Keng mengangkat mukanya memandang kakek itu. “Benar, Ketua Cin-ling-pai adalah ayah saya, akan tetapi karena dia tidak menyetujui perjodohan kami, maka kami datang ke sini mohon pertolongan Pek-lian-kauw.” “Tapi... tentu ayahmu akan marah kepada Pek-lian-kauw dan menuduhnya lancang...” “Saya yang akan bertanggung jawab kalau orang tua saya marah. Mereka telah mencuci tangan tentang perjodohan saya, dan saya sendiri yang bertanggung jawab mengenai urusan jodoh saya, Locianpwe,” jawab Giok Keng dengan suara mengandung rasa penasaran mengingat akan sikap ayahnya terhadap perjodohannya dengan pemuda yang dipilihnya sendiri. Kakek itu mengangguk-angguk. “Bukan karena kami takut kepada Cin-ling-pai, hanya... ah, biarlah kami bicarakan urusan ini lebih dulu. Urusan ini bukanlah urusan remeh, maka kami persilakan kepada Nona Cia untuk beristirahat, dan kami akan mengadakan perundingan dulu dengan Liong-Sicu.” Ketua itu lalu memanggil pelayan wanita, memerintahkan para pelayan untuk mengantar Giok Keng ke dalam sebuah kamar tamu yang cukup mewah dan bersih. Dara ini tidak berani membantah, maka setelah bertukar pandang dengan Bu Kong, dia mengikuti para pelayan menuju ke sebuah kamar tamu yang berada di sebelah belakang bangunan besar itu. Giok Keng memperoleh pelayanan istimewa, disuguhi hidangan makan siang yang longkap dan lezat bahkan ada dua orang pendeta wanita Pek-lian-kauw yang menemaninya dan temyata mereka itu selain muda dan cantik, juga mempunyai pengetahuan luas mengenal ilmu silat dan ilmu sastra. Makin kagumlah hati Giok Keng terhadap Pek-lian-kauw yang sebelumnya dianggap sebagai perkumpulan para pemberontak liar. Akan tetapi, hatinya mulai khawatir ketika malam tiba dan belum juga ada kabar tentang kekasihnya yang tadi ditinggalkannya karena hendak berunding dengan pimpinan Pek-lian-kauw mengenai permintaan mereka untuk menikah di perkumpulan itu. “Di manakah adanya Liong-koko? Aku ingin bicara dengan dia dan mendengar keputusan perundingannya dengan pimpinan Pek-lian-kauw.” tanyanya kepada dua orang pendeta wanita yang baru datang menggantikan yang dua pertama. Seorang di antara mereka tersenyum manis. “Harap Kownio tenangkah hati, Liong-sicu sedang beristirahat di kamar sebelah dan dia berpesan agar Kouwnio suka beristirahat malam ini melepaskan lelah dalam perjalanan.” “Hi-hik, baru berpisah sehari saja masa sudah rindu?” kata pendeta wanita ke dua. Merah sekali muka Giok Keng mendengar ini dan dia makin curiga. Sikap dan kata-kata para pelayan muda dan pendeta wanita di tempat ini benar-benar mencurigakan, begitu genit! “Harap suka panggil dia ke sini atau antarkan aku ke kamarnya, aku mau bicara sedikit dengan dia!” katanya pula tidak mempedulikan dua orang pendeta wanita yang tersenyum-senyum penuh arti itu. “Aih, Kouwnio. Apa tidak kasihan kepadanya? Dia baru beristirahat dan bersenang-senang... dia... tidak memilih kami dan menyuruh kami menemani Nona di sini...” Makin curiga dan tidak enak hati Giok Keng mendengar ini. Namun karena dia mengharapkan pertolongan dari pihak Pek-lian-kauw untuk pernikahannya dengan Bu Kong, maka dia menahan sabar. Bahkan dia lalu memijat pelipis kepalanya dengan alis berkerut dan berkata, “Harap Ji-wi (Kalian) suka meninggalkan saya karena saya merasa pening dan hendak tidur...” “Perlukah kami pijiti badan dan kepalamu, Kouwnio?” seorang pendeta wanita bertanya dengan manis. “Tidak usah, harap Ji-wi jangan repot-repot dan harap suka meninggalkan saya sendiri...” Dua orang pendeta wanita itu lalu bertepuk tangan memanggil pelayan, membersihkan meja bekas perjamuan, kemudian sambil tersenyum-senyum mereka meninggalkan kamar Giok Keng dan menutupkan daun pintu kamar itu. “Selamat tidur, Kouwnio!” “Selamat bermimpi, calon pengantin!” “Jangan khawatir, pengantin pria akan tetap utuh...” “Kecuali agak lemas tentunya, hi-hik!” Giok Keng meloncat ke pintu dan memasang palang pintu, mukanya merah dan alisnya berkerut. Sikap dua orang wanita itu sungguh mencurigakan. Apa yang terjadi dengan kekasihnya? Jangan-jangan Pek-lian-kauw berlaku curang dan mencelakai Bu Kong. Dia harus menyelidiki! Siapa tahu kalau-kalau dia dan Bu Kong terjebak ke dalam perangkap musuh. Akan tetapi dia harus berlaku hati-hati. Di tempat ini merupakan sarang orang-orang pandai. Baru para pendeta wanita genit yang menemaninya tadi saja jelas memiliki ilmu silat yang tinggi. Apalagi ketuanya. Bergidik dia kalau mengingat kelihaian kakek itu, yang dalam pertemuan pertama siang tadi sudah mendemonstrasikan kepandaiannya, ilmu sihir yang mengerikan, yang membuat kakek itu pandai “menghilang”. Giok Keng mengatur bantal guling di atas pembaringan, diseilmutinya sehingga kelihatan seperti orang tidur, memadamkan lampu kamar, kemudian dengan gerakan ringan dan hati-hati sekali dia menyelinap keluar dari jendela kamar meloncat dengan gerakan seperti seekor burung. Malam sudah larut, karena memang dia menanti sampai sepi sebelum keluar dari kamarnya itu. Tidak tampak seorang pun manusia dan lorong-lorong di perkampungan Pek-lian-kauw itu cukup gelap sehingga dia dapat menyelinap di dalam bayang-bayang yang gelap sambil memandang ke kanan kiri dengan waspada. Mula-mula dia hendak mencari kamar di mana Bu Kong bermalam karena dia harus bicara dengan kekasihnya itu, memperingatkan Bu Kong agar berhati-hati karena dia menaruh curiga kepada Pek-lian-kauw dengan pendeta-pendeta wanitanya yang genit. Setelah mengintai di beberapa kamar dalam rumah-rumah yang berjajar di sekitar ruangan tamu, akhirnya dia mendengar suara yang keluar dari sebuah kamar yang lampunya masih bernyala. Mula-mula dia mendengar suara wanita, dan karena dia menganggap bahwa kamar itu tentulah kamar pendeta-pendeta wanita yang lihai, dia ingin melewatinya saja. Akan tetapi, ketika dia mendengar suara laki-laki yang dikenalnya seperti suara Bu Kong, dia terkejut dan cepat mendekati jendela kamar, merunduk dan mendengarkan. “Sudah cukup... ahhh, sudah terlalu banyak aku minum... Ji-wi terlalu baik dan manis... ha-ha...!” terdengar suara Bu Kong, suara orang yang sudah mulai mabok! “Hayaaa... seorang gagah seperti Sicu, masa mudah saja mabok? Sudah terlalu lama kami tidak berjumpa dengan seorang laki-laki jantan dan ganteng seperti Sicu... marilah Sicu, kupilihkan daging yang paling empuk...” terdengar suara merdu merayu seorang wanita. “Dan minumlah secawan lagi, Sicu. Lihat, biar aku minum setengahnya... aihhh, Sicu sungguh tampan sehingga gemas hatiku dibuatnya. Ingin aku menjadi cawan...” “Ha-ha, sungguh aneh kau ini! Mengapa ingin menjadi cawan?” terdengar Bu Kong bertanya kepada wanita ke dua yang suaranya terdengar lebih halus dari pada wanita pertama. “Hi-hik, kalau aku menjadi cawan, tentu akan berkenalan dengan bibir sicu...” “Hih, Kul Lan, kalau memang kepingin dicium, bilang saja...!” kata wanita pertama sambil terkekeh genit. “Ha-ha-ha, mengapa kalian berdua begini menantang? Ingat, aku sedang kelaparan, sudah berbulan tidak pernah berdekatan dengan wanita. Kalau kalian menggoda terus, bisa kumakan habis kalianp ha-ha-ha!” “Aihh, calon pengantin pria bicara bohong! Selama ini mengadakan perjalanan berduaan saja dengan calon pengantin wanita, asyik masyuk, tentu sampai kekenyangan. Masa sekarang bilang kelaparan?” “Sungguh mati! Biarpun dia calon isteriku, namun sialan sekali! Dia tidak mau disentuh sebelum kami menikah.” “Aihhh, benarkah itu?” “Aku mau bersumpah, masa aku suka berbohong kepada dua orang nona manis seperti kalian?” “Hi-hik, kalau begitu, kau benar-benar lapar sekali...” “Lapar seperti harimau kelaparan!” “Hi-hik benarkah itu?” “Tentu saja aku mampu menerkam kalian berdua sekaligus.” “Aihhh, coba saja, Sicu! Kaukira kami berdua orang-orang lemah? Coba kaulawan kami, hendak kami lihat apakah benar-benar calon pengantin prianya sudah siap dan kuat, hik-hik!” Wajah Giok Keng menjadi merah sekali, matanya bersinar-sinar mengeluarkan cahaya berapi. Hampir dia tidak dapat mempercayai pendengaran telinganya sendiri. Benarkah itu suara Bu Kong? Benarkah Bu Kong yang bicara seperti itu? Dia merasa penasaran karena dia tidak percaya bahwa pria yang dicintanya, tunangannya, calon suaminya, dapat bicara seperti itu bersama dua orang wanita. Maka dia lalu membuat lubang di jendela dengan jari yang dibasahi dengan lidahnya, lalu mengintai ke dalam. Hampir saja dia menjerit ketika menyaksikan apa yang tampak di dalam! Kamar itu masih terang, meja bekas makan minum yang kacau dan di atas pembaringan, Bu Kong sedang bergumul dengan dua orang pendeta wanita! Hampir saja Giok Keng menghantam jendela dan menyerbu ke dalam. Akan tetapi sebagai puteri seorang pendekar besar, dia menekan perasaannya. Kalau dia membuat ribut, berarti dia akan mencoret hitam mukanya sendiri! Semua orang di Pek-lian-kauw tentu akan tahu kalau dia membuat ribut di saat itu, dan dia akan menjadi buah tertawaan. Hatinya sakit sekali, wajahnya yang tadi merah seperti dibakar, kini menjadi pucat. Air mata bercucuran di sepanjang kedua pipinya. Kiranya orang yang dicintanya adalah seorang laki-laki macam itu! Membicarakan dia di depan dua orang wanita yang tiada bedanya dengan pelacur-pelacur! Dengan perasaan muak dan jijik, Giok Keng meninggalkan tempat itu, akan tetapi karena kepalanya terasa pusing, pandang matanya berkunang setelah menyaksikan apa yang terjadi di dalam kamar itu dia salah jalan dan tanpa disengaja dia tiba di ruangan tamu di mana siang tadi dia dan Bu Kong berjumpa dengan Thian Hwa Cinjin. Dan di ruangan tamu itu tampak lampu masih bernyala dan bahkan ada suara orang-orang bercakap-cakap di situ. Timbul keinginan tahu hati Giok Keng yang sudah kacau dan perih tersayat kekecewaan dan cemburu itu, dan dengan hati-hati dia menyelinap mendekati ruangan tamu dan melihat bahwa yang berada di situ adalah Thian Hwa Cinjin sendiri bersama beberapa orang tosu Pek-lian-kauw, dia lalu menyelinap mendengarkan dengan penuh perhatian. Ketika mendengarkan percakapan itu, wajah Giok Keng berubah-ubah, sebentar pucat sebentar merah dan kedua tangannya dikepal. Hampir dia menjerit dan memaki-maki saking marahnya. “Akan tetapi, Kauwcu, kami percaya bahwa putera Kwi-eng-pang itu tentu saja mau membantu kita. Hanya anak Cia Keng Hong itu, mana mungkin dia mau membantu kita? Jangan-jangan kelak dia hanya akan menimbulkan bencana!” kata seorang tosu. “Jangan-jangan dia malah mata-mata pemerintah untuk menyelidiki kita!” kata yang ke dua. “Mungkin Liong Bu Kong itu sudah menjadi kaki tangan mereka pula! Kita harus ingat bahwa Cia Keng Hong selalu membantu The Hoo dan beberapa kali sudah menghancurkan usaha perjuangan kita. Persekutuan kita dengan orang-orang Portugal pun dihancurkan dengan bantuan Cia Keng Hong! Kita harus waspada...” “Memang, kita harus waspada,” kata Ketua Pek-lian-kauw. “Dan justeru karena kewaspadaan inilah maka kedatangan Bu Kong amat baik bagi kita. Pemuda itu sudah berjanji bahwa kalau puteri Ketua Cin-ling-pai itu sudah menjadi isterinya tentu akan menurut segala kehendaknya. Dan baiknya, setelah puterinya berada di sini dan kita yang menikahkan, berarti bahwa Pek-lian-kauw berbesan dengan Cin-ling-pai. Kita akan mengumumkan hal ini! Kenyataannya tidak ada yang bisa membantah bahwa puteri Cin-ling-pai itu menjadi pengantin di sini, dan Pek-lian-kauw yang mengurusnya. Setelah kenyataan ini, mau tidak mau Cin-ling-pai tentu akan berbaik dengan kita dan akan mudah kita tarik sebagai sekutu karena pemerintah sendiri tentu akan mencurigai Cin-ling-pai.” “Hemm, kalau begitu bagus juga siasat ini, Kauwcu. Mudah-mudahan saja berhasil baik. Betapapun juga, pinto merasa khawatir harus berurusan dengan Ketua Cin-ling-pai yang lihai itu.” “Ha-ha-ha, takut apa? Tentu dia tidak akan mau mencelakakan puterinya sendiri. Untung puterinya itu tergila-gila kepada Liong Bu Kong. Andaikata Ketua Cin-ling-pai berkeras kepala dan mengorbankan puterinya, tak usah khawatir, pinto sanggup menghadapinya. Kalau pinto masih kalah kuat dalam ilmu silat, dengan hoat-sut (ilmu sihir) pinto tentu akan dapat menguasainya.” “Bagaimana kalau sesudah menikah, puteri Cin-ling-pai itu tetap tidak mau membantu kita?” “Liong-sicu sudah setuju bahwa kalau isterinya membandel, kita diperbolehkan menawannya dan menggunakannya sebagai sandera terhadap ayahnya.” Hampir saja Giok Keng pingsan mendengar semua itu. Kalau tadi melihat Liong Bu Kong bermain cinta, berjina dengan dua orang pendeta wanita, hatinya sudah tertusuk, kini mendengar percakapan itu dan tahu akan pengkhianatan yang dilakukan Bu Kong terhadap dirinya, dia merasa ulu hatinya tertikam dan membuatnya hampir tak dapat bernapas. Kemarahannya memuncak dan dia sudah lupa akan segala kewaspadaannya lagi. Yang ada hanyalah kemarahannya kepada Liong Bu Kong. Baru terbuka matanya sekarang orang macam apa adanya Liong Bu Kong! Baru dia tahu bahwa ternyata ayahnya benar! Dia telah salah pilih, dia telah salah menjatuhkan hatinya, menjatuhkan cinta kasihnya kepada seorang laki-laki keji dan jahat. Dari perbuatannya di Pek-lian-kauw terbukalah kedok Liong Bu Kong bahwa pemuda itu sesungguhnya tidak mencintanya dengan murni. Dia lari menuju ke kamar Liong Bu Kong dan masih terdengar suara orang bercumbu di dalam kamar itu. “Bu Kong, engkau jahanam, keparat! Keluarlah untuk menerima kematianmu!” Giok Keng membentak dengan suara parau. Dia berdiri di luar kamar, wajahnya tertimpa sinar lampu penerangan yang suram, kelihatan menyeramkan. Mukanya pucat dan penuh dengan air mata yang bercucuran, bibirnya digigit dan tangan kanannya memegang sebatang pedang terhunus, pedang Gin-hwa-kiam, sedangkan tangan kirinya memegang sarung pedang. Sepasang mata yang telah menjadi merah karena tangisnya itu memancarkan sinar maut! Dapat dibayangkan betapa kaget hati Bu Kong yang berada di dalam kamar ketika mendengar bentakan suara Giok Keng itu. Hal ini sama sekali tidak pernah disangkanya. Dikiranya bahwa dara itu sudah nyenyak karena gembira dan lega hatinya mendapatkan persetujuan Ketua Pek-lian-kauw untuk menikah di situ! Dia sedang bermain cinta dengan dua orang pendeta wanita yang manis dan menarik maka begitu mendengar bentakan kekasihnya, dia menjadi pucat. Cepat dia mengenakan pakaiannya, menyambar pedangnya dan meloncat keluar, tangan kirinya masih membetulkan kancing terakhir dari bajunya. Melihat Giok Keng sudah berdiri di luar dengan pedang Gin-hwa-kiam di tangan, Bu Keng cepat berkata, “Moi-moi... ada... ada apakah?” Dia bertanya gugup, melirik ke arah kamarnya dan dengan lega dia tidak melihat dua orang pendeta wanita itu keluar. “Huh, keparat keji, manusia berhati iblis, kau masih berpura-pura bertanya lagi?” Giok Keng hampir menjerit dan sudah menerjang maju dengan hebatnya, menggerakkan pedang Gin-hwa-kiam menusuk. “Cringgg... plakkk!” Bu Kong terhuyung ke belakang. Dia berhasil menangkis tusukan pedang yang mengenai punggungnya. “Keng-moi, bicaralah dulu. Ada apakah...?” “Anjing tak tahu malu!” Giok Keng memaki lagi dan menudingkan pedangnya ke arah muka pemuda itu. “Pantas saja engkau anak datuk sesat, kiranya engkau adalah searang yang cabul dan tak bermalu, engkau seorang berhati palsu! Bersiaplah untuk mampus di ujung pedangku!” Giok Keng menerlang lagi dengan hebatnya, dan pada saat itu, dua orang pendeta wanita telah meloncat ke luar dari kamar. Melihat mereka itu, hati Glok Keng seperti dibakar rasanya, dia meninggalkan Bu Kong yang sibuk menangkis, tubuhnya melayang ke arah dua orang pendeta wanita itu dan pedangnya menyambar ganas. “Aihhh...!” Dua orang pendeta wanita Pek-lian-kauw itu adalah murid-murid Thian Hwa Cinjin dan mereka cepat mengelak. Namun, dibandingkan dengan Giok Keng, tentu saja tingkat mereka masih jauh di bawah tingkat dara perkasa itu, maka dua kali gebrakan saja mereka itu terluka hebat, seorang di leher dan seorang lagi di lambung. “Mampuslah, perempuan jalang...!” Giok Keng membentak dan pedangnya mengirim tusukan maut. “Trangg...! Cringgg...!” Dua kali pedang tertangkis dan terpental. Ketika Giok Keng mengangkat muka memandang, ternyata yang menangkis pedangnya adalah tongkat hitam di tangan Thian Hwa Cinjin, Ketua Pek-lian-kauw yang sudah berada di situ bersama beberapa orang tosu Pek-lian-kauw dan puluhan orang anak buah Pek-lian-kauw yang mengurung tempat itu. “Ha-ha-ha, kebetulan sekali. Memang kami ingin sekali melihat sampai di mana hebatnya kepandaian puteri Ketua Cin-ling-pai. Liong-sicu, tangkap dia hidup-hidup untuk kami!” Liong Bu Kong menggelengkan kepalanya dan berkata duka, “Maaf Locianpwe. Terus terang saja, untuk mengalahkan dia, kepandaian saya masih terlampau rendah, apalagi untuk menangkap hidup-hidup.” “Ha-ha-ha, engkau sayang kalau sampai membunuh calon isterimu yang tercinta ini? Ha-ha-ha, Bong Khi Tosu, kautangkap dia!” katanya kepada seorang tosu kurus yang berdiri di sebelahnya. “Baik, Kauwcu.” Tosu ini meloncat maju menghadapi Giok Keng. Dara ini sudah dapat menekan hatinya dan dia mengerti bahwa menghadapi banyak orang pandai seperti para tokoh Pek-lian-kauw itu, dia harus waspada dan bersikap tenang. Maka dia mengusir kemarahannya terhadap Bu Kong, kini memusatkan perhatiannya kepada lawan yang sudah menghampirinya. Tosu yang bernama Bhong Khi Tosu ini usianya hampir enam puluh tahun, tubuhnya kurus sekali seperti kucing kelaparan, punggungnya agak bongkok dan melihat begitu saja, dia seperti seorang penderita busung lapar karena tubuhnya kurus kering, perutnya buncit, mukanya pucat dan agaknya akan terguling bila tertiup angin kencang! Tangan kirinya memegang sebatang tongkat yang panjangnya hanya tiga kaki, tongkat terbuat dari bambu kuning hanya sebesar ibu jari tangan. “Heh-heh, Nona muda. Mengapa kau marah-marah melibat kekasihmu bermain cinta dengan wanita lain? Hal itu sudah biasa bagi seorang laki-laki, mengapa kau marah-marah? Sudahlah, untuk apa kau mengamuk dan melawan kami? Percuma saja, lebih baik kau melepaskan pedang dan berlutut minta maaf kepada Kauwcu, tentu kau dimaafkan.” “Benar... ha-ha-ha, benar sekali ucapan Bong Khi Tosu! Perlu apa marah? Kalau kekasihmu dapat bermain cinta dengan orang lain, apakah kau juga tidak bisa? Dan pinto akan memaafkanmu kalau kau suka bersikap manis kepada pinto.” Ucapan Ketua Pek-lian-kauw ini membuat dada Giok Keng terasa panas seperti dibakar. Tahulah dia bahwa dia telah terjebak ke dalam tempat pecomberan di mana orang-orangnya adalah manusia tidak tahu malu, cabul, dan jahat. Diam-diam dia bergidik memikirkan bagaimana dia sampai dapat tergila-gila kepada seorang manusia seperti Liong Bu Kong yang kini hanya berdiri tersenyum-senyum di situ! “Kauwcu, sekali ini saya mohon pertolongan Kauwcu untuk dapat menangkap dan menjinakkan calon isteri saya ini. Untuk budi itu, saya akan menghadiahkan dua buah benda pusaka dari Siauw-lim-pai kepada Kauwcu!” kata Liong Bu Kong dan mendengar ini, tentu saja kemarahan Giok Keng memuncak. Memang benda-benda pusaka itu belum dikembalikan ke Siauw-lim-pai oleh Bu Kong yang pernah mengatakan bahwa setelah mereka menikah, mereka akan pergi ke Siauw-lim-pai mengembalikan benda pusaka sambil minta maaf. Kiranya pemuda itu bukan hanya membohonginya, bahkan kini hendak menghadiahkan benda pusaka itu kepada Ketua Pek-lian-kauw! “Bu Kong manusia berhati iblis!” Dia menjerit dan tubuhnya sudah berkelebat menerjang pemuda itu. “Trang-tranggg...!” Bu Kong menangkis satu kali lalu meloncat ke belakang dan tangkisan kedua kalinya dilakukan oleh Bong Khi Tosu. “Heh-heh, Nona manis. Pintolah lawanmu!” Tiba-tiba Bong Khi Tosu mengeluarkan pekik yang amat dahsyat. Pekik melengking tinggi menimbulkan getaran hebat yang langsung menyerang jantung di dalam dada Giok Keng. Dara perkasa ini terkejut sekali, dan sebagai puteri pendekar sakti tentu saja dia segera mengenal pekik ini. Dia tahu bahwa lawannya adalah seorang ahli Sai-cu Ho-kang (Pekik Auman Singa) yang dikeluarkan dengan khi-kang kuat untuk menggetarkan jantung lawan dan merobohkannya. Maka cepat dia mengerahkan sin-kangnya disalurkan melindungi isi dada, kemudian dia membentak dengan suara melengking tinggi. “Pendeta palsu, majulah!” Bong Khi Tosu terkejut sekali ketika suara dara itu mengandung khi-kang yang tak kalah kuatnya, menyerangnya seperti pisau runcing menusuk ulu hatinya. Maklum bahwa dia tidak akan dapat mengalahkan dara itu dengan Ilmu Sai-cu Ho-kang, dia lalu mengeluarkan suara gerengan seperti seekor harimau terluka, dan tangan kanannya sudah menggerakkan tongkatnya untuk menyerang tubuh Giok Keng. Dara ini melihat betapa ujung tongkat lawan tergetar dan seperti berubah menjadi banyak, kemudian ujung tongkat itu meluncur melakukan serangan totokan ke arah tujuh jalan darah di sebelah depan tubuhnya! “Haiittt... trang-cring-cring-tranggg...!” Bertubi-tubi datangnya serangan totokan yang dapat melumpuhkan lawan itu, namun dengan baiknya Giok Keng dapat menangkis semua totokan tongkat itu dan bukan hanya menangkis, bahkan dara ini dapat membalas secara kontan keras dengan serangan-serangannya yang dahsyat. Pertandingan berlangsung seru dan hebat. Pedang dan tongkat lenyap bentuknya dan yang tampak hanya gulungan sinar perak dari pedang Gin-hwa-kiam, dan sinar hitam dari tongkat di tangan tosu itu. Namun segera tampak nyata betapa gulungan sinar perak itu makin lama menjadi meluas dan membesar, sedangkan sinar hitam menjadi makin memyempit. Ini menandakan bahwa gerakan tongkat itu menjadi terbatas dan hanya dapat menangkis saja karena terdesak dan terhimpit oleh pedang di tangan Cia Giok Keng. Memang segera ternyata bahwa Bong Khi Tosu bukanlah lawan Giok Keng. Tosu ini lihai sekali, merupakan pembantu atau murid yang pilihan dari Thian Hwa Cinjin, akan tetapi menghadapi puteri pendekar sakti Ketua Cin-ling-pai ini dia “mati kutu” dan selalu terdesak. Apalagi dia tidak berani melanggar perintah ketuanya, yaitu agar dia menangkap hidup-hidup gadis ini. Kalau dia diperbolehkan merobohkannya atau membunuh, masih mending, sungguhpun hal itu tidak dapat memastikan apakah dia akan menang. Kini, dia hanya menggunakan tongkatnya untuk merobohkan lawan tanpa membunuh, sebaliknya, pedang Gin-hwa-kiam menyambar-nyambar seperti seekor naga yang haus darah! “Aaaahhhh!” Tiba-tiba tosu yang selalu terdesak itu mengeluarkan bentakan nyaring, suara khi-kang dari dalam perutnya yang menggetarkan semua orang yang mendengarnya, tongkatnya meluncur ke depan dengan serangan dahsyat ke arah ulu hati Giok Keng. Dara ini melihat datangnya serangan, tidak mau menangkis melainkan mengelak dengan loncatan ringan ke kiri, membiarkan tongkat lewat untuk kemudian membalas dengan sabetan pedang dari samping. Akan tetapi tiba-tiba ujung tongkat itu membalik, terdengar suara “Wuuuttt!” dan jarum-jarum hitam menyambar dari ujung tongkat mengarah kedua kaki Giok Keng! Inilah kelihaian tongkat para tokoh Pek-lian-kauw. Kiranya tongkat di tangan Bong Khi Tosu itu yang terbuat dari bambu, berlubang di dalamnya dan kini oleh tosu itu dipergunakan sebagai sebatang sumpit yang pelurunya terdiri dari jarum-jarum hitam beracun! Hanya, mengingat akan perintah ketuanya, tosu ini menujukan jarum-jarumnya ke arah kedua kaki Giok Keng! “Hyaaahhhh!” Giok Keng mengeluarkan suara melengking tinggi dan tubuhnya mencelat ke atas dengan kecepatan seperti seekor burung walet, berjungkir balik beberapa kali dan tubuh itu melayang turun sambil menyerang dengan pedangnya ke arah ubun-ubun Bong Khi Tosu! “Hayaaa...!” Bong Khi Tosu terkejut bukan main. Tak disangkanya dara itu akan dapat bergerak secepat itu. Bukan hanya menghindarkan diri dari jarum-jarumnya, bahkan loncatan itu merupakan serangan yang amat cepat dan tak terduga-duga. Dia menangkis dan mencoba untuk mengelak. “Srattt...! Aduhhhh...!” Tubuh Bong Khi Tosu terjungkal karena biarpun dia sudah mengelak dan menangkis, tetap saja ujung pedang Gin-hwa-kiam merobek baju di punggungnya berikut kulit punggung dan sedikit daging! “Trangggg...!” Untung bagi Bong Khi Tosu bahwa pada saat itu sebatang tongkat hitam yang panjang telah menangkis pedang Gin-hwa-kiam yang sudah meluncur untuk mengirim tusukan maut kepadanya. Giok Keng meloncat mundur dengan kaget. Tangannya yang memegang pedang tergetar hebat oleh tangkisan itu dan ternyata bahwa yang menangkisnya adalah Thian Hwa Cinjin sendiri! Tangkisan itu saja sudah menunjukkan bahwa kakek itu memiliki sin-kang yang amat kuat. Namun tentu saja Giok Keng tidak menjadi gentar. Dara perkasa ini sejak kecil digembelang oleh ayah bundanya sehingga dia menjadi seorang dara yang selain berkepandaian tinggi, juga berwatak berani dan gagah, tidak mengenal artinya takut. “Thian Hwa Cinjin!” Dia membentak sambil menudingkan pedangnya ke arah muka kakek itu. “Aku Cia Giok Keng tidak mempunyai urusan apa-apa dengan Pek-lian-kauw, dan aku hanya ingin membunuh si jahanam laknat Liong Bu Kong! Aku minta agar Pek-lian-kauw tidak mencampuri urusan antara kami! Akan tetapi, hal ini bukan berarti bahwa aku takut kepada Pek-lian-kauw. Mundurlah, dan biarkan aku berhadapan dengan anjing busuk Liong Bu Kong!” Thian Hwa Cirijin tertawa, suara ketawanya terdengar halus dan menggetarkan hati Giok Keng. Sambil memutar-mutar tongkatnya, kakek itu berkata, “Cia Giok Keng, engkau seorang wanita muda yang cantik, mengapa menggunakan kekerasan seperti itu? Dan engkau berhadapan dengan pinto, Ketua Pek-lian-kauw yang memiliki tingkat jauh lebih tinggi darimu, baik dipandang dari kedudukan, usia, maupun kepandaian, mengapa kau tidak menaruh hormat? Hayo kau lekas berlutut! Kuperintahkan engkau untuk berlutut, Cia Giok Keng...!” Suara itu demikian penuh wibawa yang amat kuat dan sepasang mata itu seperti melumpuhkan semangat Giok Keng sehingga dara ini, di luar kehendaknya sendiri, tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut. Begitu lututnya menyentuh lantai, Giok Keng terkejut dan sadar. Pernah dia mendengar penuturan ayahnya tentang kekuatan sin-kang yang amat hebat, yang disalurkan melalui pandangan mata dan suara, sehingga pandang mata dan suara itu dapat mempengaruhi hati dan pikiran lawan dan dengan mudah dapat mengalahkan lawan tanpa menggerakkan tangan. Ilmu ini adalah ilmu sihir yang oleh ayahnya disebut ilmu Ihun-to-hoat (semacam Hypnotism), yaitu ilmu menguasai hati dan pikiran orang. Dia menjadi sadar, mengerahkan sin-kangnya dari pusar dan dengan hawa murni di tubuhnya dia mengerahkan kemauannya melawan kekuasaan yang mencekamnya itu, dan sambil memekik nyaring seperti orang baru sadar dari mimpi, Giok Keng meloncat bangkit berdiri dan membentak, “Tosu siluman, aku tidak takut kepadamu!” lalu tanpa banyak cakap lagi dara pendekar ini telah menyerang Thian Hwa Cinjin dengan pedang peraknya! “Aahhh...!” Kakek itu berseru kagum melihat betapa dara itu dapat membebaskan diri dari pengaruh sihirnya. Terpaksa dia mengangkat tongkatnya menangkis sambil mengerahkan sin-kang untuk membuat pedang lawan terlepas dari pegangan. Akan tetapi, betapa kaget dan kagumnya melihat pedang itu sudah berubah gerakannya dah menyerang ke arah perutnya dari bawah. Hati Ketua Pek-lian-kauw ini menjadi gembira sekali. Dia mengelak dengan loncatan ke belakang sambil tertawa dan berkata, “Ha-ha, aku ingin sekali melihat sampai di mana hebatnya ilmu silat dari Cin-ling-pai!” Giok Keng maklum akan kelihaian lawan, maka dia pun tidak mau berlaku sungkan lagi, begitu pedangnya digerakkan, dia telah menyerang dengan ilmu simpanannya, yaitu ilmu Silat Thai-kek Sin-kun! “Wuuuttt... sing-sing-sing...!” “Heiii...! Hayaaaa...” Thian Hwa Cinjin berteriak-teriak saking kaget dan kagumnya menghadapi gerakan pedang yang demikian cepat dan aneh. Gerakannya kelihatan lambat, namun daya serangnya lebih cepat daripada ilmu pedang yang pernah dikenalnya. Dia tadinya hendak mengelak saja sambil memperhatikan ilmu pedang lawan karena dia sudah mendengar bahwa Pendekar Sakti Cia Keng Hong merupakan tokoh pertama di dunia persilatan pada waktu itu dan kabarnya memiliki ilmu silat yang luar biasa. Kini dia bertemu dengan puterinya, maka maksud hati kakek ini ingin menyaksikan kehebatan ilmu silat Cin-ling-pai untuk sekedar mempelajari dasarnya sehingga kelak dapat berguna kalau dia sampai bertemu dan bertanding melawan Ketua Cin-ling-pai. Akan tetapi, baru belasan jurus saja dia menjadi kaget setengah mati karena dia maklum bahwa kalau hanya mengandalkan pengelakan saja, besar kemungkinan dia akan roboh oleh pedang yang digerakkan secara ajaib itu! Terpaksa dia mulai mainkan tongkatnya dan dalam waktu singkat, kedua orang itu sudah bertanding dengan hebatnya! Dapat dibayangkan kagetnya hati Thian Hwa Cinjin ketika mendapat kenyataan bahwa dia sama sekali tidak dapat mendesak lawan! Ilmu silat yang dimainkan dara itu terlalu hebat, terlalu aneh sehingga dia sendiri harus berhati-hati agar jangan sampai “dicium” ujung pedang. Sementara itu, para tokoh Pek-lian-kauw yang menyaksikan kelihaian nona muda itu, memandang kagum dan juga terheran-heran. Hanya Liong Bu Kong yang memandang dengan sinar mata biasa saja karena dia memang maklum akan kelihaian Giok Keng yang harus diakuinya memiliki ilmu silat yang lebih tinggi tingkatnya daripada dia. Dia merasa kecewa dan menyesal sekali mengapa dia menuruti nafsu berahinya, bermain gila dengan dua orang pendeta wanita itu di tempat di mana Giok Keng bermalam sehingga ketahuan oleh kekasihnya itu. Kini, semua telah terlanjur dan dia tahu akan kekerasan hati Giok Keng, maklum bahwa tidak mungkin dia mendapatkan maaf, tidak mungkin hubungannya dengan dara itu menjadi baik kembali seperti yang sudah-sudah. Sekarang, satu-satunya kemungkinan baginya untuk tetap mendapatkan dan menguasai dara cantik jelita, yang membuatnya tergila-gila itu, hanyalah dengan bantuan Ketua Pek-lian-kau. Kini melihat pertandingan yang amat hebat itu, timbul kekhawatirannya kalau-kalau Thian Hwa Cinjin akan membunuh dara yang dicintanya itu. “Locianpwe, harap jangan kesalahan tangan membunuh dia!” teriaknya dengan hati khawatir. Tadinya, Thian Hwa Cinjin memang merasa penasaran sekali karena dia tidak dapat mendesak Giok Keng. Masa dia, Ketua Pek-lian-kauw di wilayah timur, seorang yang terkenal memiliki kepandaian hebat, sekarang tidak mampu merobohkan seorang gadis remaja? Hal ini dianggapnya amat memalukan dan tadi dia sudah mengambil keputusan untuk merobohkan Giok Keng dan membunuhnya kalau perlu! Sekarang, begitu mendengar suara Bu Kong, timbul kembali kecerdikannya dan perhatiannya akan cita-citanya meraih kedudukan tinggi melalui Pek-lian-kauw. Dia harus mengesampingkan rasa penasaran pribadinya. Memang dara ini tidak boleh dibunuh. Pertama, untuk menarik tenaga Liong Bu Kong dan sisa perkumpulan Kwi-eng-pang agar membantu Pek-lian-kauw, ke dua dia akan dapat mempergunakan dara ini sebagai sandera kelak untuk melumpuhkan Cia Keng Hong apabila pendekar sakti itu membantu pemerintah menentang Pek-lian-kauw. Setelah mendapatkan pikiran ini, tiba-tiba Thian Hwa Cinjin berteriak nyaring dan tongkatnya menusuk ke depan. Giok Keng yang sudah tahu akan tenaga sin-kang lawan yang amat kuat, seperti telah dilakukannya sejak mereka bertanding hebat, tidak mau menangkis melainkan mengelak dan siap untuk melanjutkan pengelakannya dengan serangan balasan dari sudut yang tidak terduga-duga oleh lawan. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara mendesis dan dari ujung tongkat lawan itu meluncur asap hitam! Setelah tadi mengalami penyerangan gelap dari ujung tongkat Bong Khi Tosu, Giok Keng sudah berlaku hati-hati karena dia memang sudah menyangka bahwa tentu di ujung tongkat Ketua Pek-lian-kauw ini pun terdapat senjata rahasia yang amat berbahaya. Akan tetapi tidak disangkanya sama sekali bahwa yang meluncur keluar hanyalah asap hitam! Dia cepat menggulingkan tubuhnya ke atas tanah, bergulingan menjauh kemudian meloncat bangun sambil memutar pedangnya melindungi dirinya. Asap itu tertiup angin dan membuyar, sedangkan Giok Keng yang cerdik tadi sudah menutup pernapasannya sehingga dia tidak sampai menyedot asap beracun itu. Thian Hwa Cinjin berteriak marah dan meloncat maju mengejar sambil menyerang dengan tongkatnya. Hebat bukan main serangan ini sehingga terpaksa Giok Keng menangkis dengan pedang. “Cringgg....!” Kedua senjata bertemu dan tiba-tiba Giok Keng menjerit kaget. Hidungnya mencium bau amat harum yang mencurigakan. Biarpun dia cepat menahan napas, namun dia telah menyedot asap yang tidak tampak, dan inilah kelihaian Ketua Pek-lian-kauw itu. Tadi, asap hitam yang pertama kali keluar dari ujung tongkatnya, hanyalah asap biasa yang tidak berbahaya, dan itu dikeluarkan hanya untuk menipu lawan. Setelah asap hitam keluar, maka tentu saja Giok Keng tidak begitu memperhatikan dan ketika pedangnya menangkis tongkat, asap putih tipis yang keluar dari tongkat itu tentu saja tidak diperhatikan olehnya dan dia telah menyedot asap yang harum beracun ini! Racun asap putih itu tidaklah mematikan orang, hanya mengandung pengaruh memabokkan. Giok Keng hanya merasa mengantuk, akan tetapi dara yang cerdik ini maklum bahwa dia telah terkena hawa beracun, maka dia tidak mau menuruti rasa kantuk ini dan gerakan pedangnya lebih cepat lagi melindungi tubuhnya. “Ha-ha-ha, Cia Giok Keng, kau bertanding dengan siapa? Aku tidak ada lagi di depanmu!” Giok Keng terkejut sekali. Dia memandang ke depan dan melihat betapa tubuh lawannya itu berubah menjadi asap dan menghilang! Namun dia masih menggerakkan pedangnya, menyerang ke depan dan melindungi tubuhnya sendiri dengan sinar pedangnya yang bergulung-gulung. “Ha-ha-ha, kaulihatlah padaku, Cia Giok Keng, lihatlah!” Giok Keng menjadi bingung, apalagi ketika dia melihat bahwa sebagai ganti tubuh kakek itu, kini yang tampak hanyalah sepasang mata yang seolah-olah tergantung di udara tanpa kepala tanpa badan! Dia terheran-heran dan sekali perhatiannya tertarik, dia sudah tercengkeram ke dalam kekuasaan gaib dari sinar mata yang luar biasa itu. “Cia Giok Keng, kita adalah keluarga sendiri... keluarga sendiri... keluarga sendiri...” Suara itu bergema dengan aneh, seolah-olah keluar dari dalam tanah dan membuat seluruh tubuh Giok Keng tergetar. Dia berdiri bingung, kedua tangannya tergantung dan sama sekali tidak menggerakkan pedangnya lagi, memandang ke arah sepasang mata itu dan bibirnya berkomat-kamit, “Keluarga sendiri...? Ya, kita adalah keluarga sendiri... keluarga sendiri...” Dia berbisik-bisik menirukan suara yang amat berwibawa itu. “Ha-ha-ha, bagus, Cia Giok Keng. Engkau harus menurut... harus menurut... harus menurut...” “Aku harus menurut... harus menurut...” bibir Cia Giok Keng berbisik-bisik. “Lemparkan pedangmu, kita keluarga sendiri, tidak ada yang memusuhimu, tenanglah dan lemparkan pedangmu...!” Giok Keng melemparkan pedang dan sarung pedangnya ke atas tanah tanpa membantah sedikitpun juga. Matanya terbelalak memandang ke depan, ke arah mata Thian Hwa Cinjin yang sebenarnya masih berdiri di depannya, akan tetapi yang hanya tampak matanya saja oleh dara yang telah dikuasai dengan sihir oleh kakek itu. “Engkau lelah, Cia Giok Keng, engkau mengantuk, tidurlah... tidurlah dengan nikmat... tidak ada apa-apa lagi, kau lelah dan mengantuk tidurlah...!” Sepasang mata Cia Giok Keng yang tadi terbelalak, kini perlahan-lahan terpejam dan tubuhnya bergoyang-goyang, lalu dia roboh tergelimpang dalam keadaan tidur nyenyak! Akan tetapi sebelum tubuhnya terbanting ke atas lantai, Bu Kong sudah melangkah maju dan memeluknya. “Ha-ha-ha-ha!” Thian Hwa Cinjin tertawa girang. “Sekarang bawalah pengantinmu itu ke dalam kamar, Liong-sicu. Akan tetapi, akan merepotkan sekali kalau pinto selalu harus menguasai dengan sihir. Pinto masih mempunyai banyak urusan, maka sebaiknya menjinakkan dia dengan obat ini. Berilah satu sendok teh setiap hari, dicampurkan ke dalam minumannya, tentu dia akan selalu menurut kehendak Sicu.” Liong Bu Kong menerima bungkusan obat dari kakek itu lalu berkata, “Terima kasih banyak atas bantuan Locianpwe. Akan tetapi, bagaimana dengan pernikahan kami...?” “Ha-ha-ha, jangan khawatir. Pinto akan laksanakan, dan sekarang juga kita akan menyebar undangan. Ha-ha-ha, Pek-lian-kauw berbesan dengan Cin-ling-pai, sungguh merupakan berita paling hebat di dunia kang-ouw! Ingin aku melihat bagaimana wajah Kaisar dan Panglima The Hoo mendengar berita ini! Dan semua tokoh kang-ouw akan menyaksikan pernikahan ini, pernikahan tanpa paksaan, ha-ha-ha!” Liong Bu Kong menjadi girang sekali. “Kapankah hari baik itu diadakan, Locianpwe?” “Untuk menyebar undangan membutuhkan waktu. Kita tentukan harinya nanti, kira-kira sebulan lagi. Nah, bawalah nona ini ke kamarnya, Sicu. Engkau beruntung sekali mendapatkan dara seperti ini, hemmm... dia akan menjadi seorang isteri yang takkan pernah membosankan, ha-ha-ha!” Liong Bu Kong memondong tubuh Giok Keng yang tidur pulas secara tidak wajar itu ke kamarnya. Hatinya girang sekali, akan tetapi juga timbul kekecewaan besar di hatinya. Dia ingin mendapatkan diri dara ini secara sukarela, tidak hanya ingin memperoleh dan menguasai tubuhnya, melainkan juga hatinya, cinta kasihnya. Sekarang terpaksa dia hanya akan mendapatkan tubuhnya saja, dan dia merasa seolah-olah tubuh dara yang telentang pulas di atas pembaringan itu bukan lagi Cia Giok Keng, melainkan boneka hidup! Obat bubuk yang diberikan kepada Giok Keng oleh Bu Kong, benar-benar amat manjur. Obat itu membuat Cia Giok Keng seperti seorang yang hilang ingatan dan tidak mempunyai semangat sama sekali! Dia hanya menurut dan mengangguk, disuruh makan dia makan, disuruh tidur dia tidur, tak pernah membantah. Akan tetapi, ketika Bu Kong berusaha untuk bermain cinta dengannya, dara itu menolak dan menggelengkan kepala. Bahkan dapat berkata, “Kita belum menikah.” Hal ini menggirangkan hati Bu Kong. Ternyata bahwa naluri gadis itu amat kuat sehingga biarpun berada dalam keadaan mabuk, dara itu masih menolak hubungan badan sebelum menikah dengan resmi! Kiranya gadis itu sudah lupa sama sekali akan peristiwa malam itu! Timbul pula harapan di hati Bu Kong. Siapa tahu, kelak kalau sudah menikah dengan resmi, Giok Keng akan benar-benar dapat mencintanya kembali, melupakan pengalaman malam itu, dan tidak perlu lagi menggunakan obat perampas ingatan! Harapan ini membuat Bu Kong dengan tekun dan sabar melayani Giok Keng dan tidak lagi menurutkan nafsu berahinya, tidak lagi mencoba untuk menggagahi gadis yang dicintanya itu. Sebulan tidaklah lama, pikirnya, dan betapa akan manisnya kalau Giok Keng menyerahkan diri secara sukarela, sebagai isterinya yang syah! Membayangkan kenikmatan saat seperti itu membuat Bu Kong menjadi sabar, bahkan dia menahan diri tidak mau melayani godaan para pendeta wanita yang haus lelaki itu! Perahu kecil yang amat sederhana ini dengan susah payah didayung oleh Kun Liong melawan ombak yang kembali dari pantai. Ketika perahu tiba di bagian di mana air dari tengah laut bertemu dengan air yang kembali dari pantai sehingga air memecah dan membuih, mengeluarkan suara berdebur keras, perahu kecil itu terangkat dan terombang-ambing, hampir terbalik. Kun Liong cepat mengerahkan tenaga dan mendayung perahunya, meluncur hampir seperti ikan meloncat, melalui buih tombak dan meluncur terus ke pantai. Setelah dayungnya dapat menyentuh pasir, dia sudah tidak sabar lagi, meloncat dari atas perahu mendarat dan meninggalkan perahu buatannya sendiri yang amat sederhana itu, membiarkannya terbawa ombak, sebentar ke tengah sebentar ke pinggir. Karena dia meninggalkan pulau kosong itu tanpa mengenal jalan, hanya mengarahkah perahunya ke barat selalu, maka dia tersesat jalan dan tidak tahu bahwa perahunya mendarat di bagian paling utara, yaitu di sebelah utara Tembok Besar di sebelah selatan kota Cin-sian. Oleh karena itu, begitu mendarat dan melakukan perjalanan cepat menuju ke barat di mana menurut perkiraannya tentu terdapat Tibet, dia telah bertemu dengan pegunungan yang sambung-menyambung dan kadang-kadang diselingi padang pasir yang luas! Kun Liong sama sekali tidak mengira bahwa dia berada di luar Tembok Besar, yaitu berada di perbatasan antara daerah Mongolia Dalam dan daerah Mancuria yang kesemuanya tentu saja berada dalam kekuasaan Pemerintah Ceng pada waktu itu. Maka dia sendiri menjadi terheran-heran dan bingung juga ketika selama berhari-hari melakukan perjalanan, dia tidak pernah bertemu dengan dusun, tak pernah berjumpa manusia dan perjalanan yang ditempuhnya amat sukar karena selain harus melalui pegunungan yang tinggi dan hutan-hutan yang liar, juga kadang-kadang dia harus melalui padang pasir yang amat luas sehingga sampai dua tiga hari belum juga habis pasir yang dilaluinya!