Pada suatu pagi, setelah bermalam di sebuah guha di kaki bukit dia melanjutkan perjalanan, memasuki sebuah hutan yang amat lebat. Namun dia kelihatan girang dan wajahnya selalu berseri. Memang baginya tentu saja jauh lebih baik melakukan perjalanan melalui hutan-hutan liar daripada melalui padang pasir yang mengerikan itu. Pernah dia hampir mati kelaparan dan kehausan ketika melalui padang pasir selama tiga hari tiga malam. Di mana-mana pasir melulu! Kalau di dalam hutan, dia tidak akan kekurangan air, tidak akan kekurangan makan dan minum. Andaikata tidak ada binatang hutan, dia dapat saja makan daun-daun muda, buah-buahan atau akar. Dia sudah biasa akan penghidupan sederhana seperti itu! Akan tetapi pasir! Selama berhari-hari ketika dia meninggalkan pulau, hatinya terhimpit kedukaan karena memikirkan Hong Ing. Hatinya penuh kerinduan sehingga hampir setiap dia tidur, dia bermimpi dan bertemu dengan dara yang dikasihinya itu. Hampir gila dia merindukan dara itu. Akan tetapi lambat laun dia dapat menekan hatinya, dapat menenangkan perasaannya dan dia percaya bahwa kalau memang dia berjodoh dengan Hong Ing, pasti pada suatu hari dia akan bertemu dengan dara pujaan hatinya itu. Sambil berjalan memasuki hutan, Kun Liong mengenangkan semua pengalamannya. Tampak nyata dalam ingatannya betapa bodohnya dia dahulu. Betapa sombongnya dia dahulu terhadap cinta kasih! Betapa dia meremehkan cinta kasih yang dianggapnya hanyalah cinta yang mengandung nafsu berahi belaka! Betapa dia tidak percaya akan cinta kasih yang sesungguhnya, cinta kasih yang dapat menciptakan sorga maupun neraka bagi orang yang dihinggapinya, seperti yang dia rasakan sekarang! Dan mengingat ini semua, seringkali dia termenung dengan muka pucat, mengingat akan dara-dara yang pernah dikenalnya selama petualangannya dalam dunia ini. Terutama sekali dia merasa terharu dan berduka, merasa menyesal sekali kalau dia teringat kepada Hwi Sian. Satu-satunya gadis yang telah menyerahkan tubuhnya, menyerahkan kehormatannya kepadanya! Satu-satunya gadis yang telah membuktikan cintanya melalui pengorbanan yang paling hebat bagi seorang wanita. Dan dia telah tega meninggalkan gadis itu! Seperti seekor kumbang yang terbang pergi begitu saja setelah menikmati madu kembang itu, setelah dihisapnya habis. Dia merasa menyesal sekarang. Dia tidak mencinta Hwi Sian, hanya suka, mengapa dia mau melakukan hubungan badan dan tentu akan membuat dara itu makin rusak hatinya? Hwi Sian yang mengaku akan menikah dengan suhengnya, telah sengaja menyerahkan diri kepadanya, untuk membuktikan cinta kasihnya. Akan tetapi dia yang tidak mencinta, mengapa mau menerimanya? “Bodoh kau!” Dia menampar kepalanya sendiri, akan tetapi telapak tangannya itu tinggal di kepalanya karena baru teringat sekarang bahwa kepalanya sudah berambut! Dia tersenyum geli. Mengapa sekarang jalan pikirannya berubah setelah kepalanya ada rambutnya? Apakah dahulu itu semua ketololannya adalah akibat dari kepalanya yang tidak terlindung rambut sehingga mudah sekali dimasuki angin jahat? Dia menggosok-gosok kepalanya. Rambutnya sudah mulai panjang, ada sejari panjangnya dan tumbuh dengan subur. Akan tetapi karena baru sejari rambut itu masih kaku dan kacau tumbuhnya, mencuat ke sana-sini tidak teratur. Dan pakaiannya! Merah mukanya ketika dia menunduk dan memandang pakaiannya. Lebih pantas seorang jembel kotor! Atau seorang manusia liar yang belum mengenal peradaban, seorang manusia biadab! Betapa mungkin dia dapat menjumpai orang di kota atau dusun dalam pakaian seperti ini? Tentu dia akan dianggap seorang jembel yang sudah terlantar, atau mungkin akan dicurigai orang. Ah, dia tidak khawatir, di sakunya terdapat emas dan permata, dia akan membeli pakaian begitu ada kesempatan. Tiba-tiba Kun Liong menghentikan langkah kakinya. Di sebelah kanannya terbentang jurang yang dalam dan luas. Dia mendengar suara dari bawah, dari bawah jurang! Suara orang berteriak minta tolong atau semacam itu karena suara itu hanya terdengar gemanya saja, tidak begitu jelas. Dua macam perasaan mengaduk hati Kun Liong. Girang dan cemas. Girang karena dia mendengar suara orang, dan cemas karena dari suara itu, biarpun tidak jelas, dia menangkap ketakutan hebat seolah-olah orang itu terancam bahaya besar. Cepat dia menuruni jurang yang curam itu. Dia harus berhati-hati karena sekali terpeleset, atau sekali pegangannya terlepas, tubuhnya tentu akan melayang ke bawah dan dia taksir bahwa tebing itu dalamnya tidak kurang dari seribu kaki! Tubuhnya tentu akan hancur, atau setidaknya akan robek-robek kulitnya kalau dia sampai terguling-guling ke bawah sana! Kembali dia mendengar suara teriakan. Benar-benar teriakan minta tolong! Dia mempercepat gerakannya merayap turun, bergantungan pada akar-akar dan batu-batu di sepanjang tebing dan akhirnya tibalah dia di bawah. Ternyata di bawah tebing itu pun terdapat sebuah hutan dan suara tadi keluar dari hutan itulah. Dengan gerakan yang cepat sekali Kun Liong berlari memasuki hutan. Hatinya berdebar ketika dia melihat belasan orang mengeroyok seorang laki-laki asing! Seorang laki-laki sebangsa Yuan de Gama yang memegang sebatang golok dan membela diri mati-matian terhadap pengeroyokan tiga orang itu! Akan tetapi, orang asing itu sudah terluka parah, pakaiannya penuh darah dan tubuhnya sudah lemah, gerakannya tidak leluasa lagi sehingga ketika Kun Liong tiba di situ, sekaligus orang asing itu menerima bacokan-bacokan yang membuatnya roboh. “Heiii, jangan bunuh orang...!” Kun Liong berteriak sambil meloncat ke depan. Tiga belas orang itu menengok dan mereka segera mengeluarkan kata-kata yang tidak dimengerti oleh Kun Liong. Sebelum Kun Liong dapat mencegahnya, tiga belas orang laki-laki bertubuh tegap kuat dan bersenjata golok dan pedang itu telah lari menyerbunya sambil mengeluarkan teriakan-teriakan liar! Kun Liong terkejut sekali, maklum bahwa dia berhadapan dengan suku bangsa yang berbeda bahasanya, segerombolan orang-orang kasar dan liar, maka dia mengerti bahwa bicara pun tidak akan ada gunanya. Maka dia mempergunakan kepandaiannya, ketika mereka datang menyerbu, dia mengerahkan gin-kangnya melompat melewati atas kepala mereka dan berlutut memeriksa orang asing yang sudah rebah dan mengerang kesakitan itu. “Aduhhh... mati aku... tolong aku...!” Orang asing itu, seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih, merintih dan dengan suara kaku minta tolong kepada Kun Liong. Logat bicaranya mengingatkan Kun Liong kepada Yuan de Gama, maka dia berkata menghibur, “Jangan khawatir, aku akan mencegah mereka menyerangmu...!” Akan tetapi di dalam hatinya, Kun Liong maklum bahwa orang ini tidak dapat ditolong lagi. Luka-lukanya terlalu parah, bahkan leher kanannya yang pecah mengucurkan darah yang takkan dapat dibendung lagi. Tiga belas orang Mongol itu terkejut ketika melihat lawan mereka berkelebat dan “terbang” di atas kepala mereka. Cepat mereka membalikkan tubuh dan kini mereka menyerbu sambil berlari dan mengeluarkan pekik dahsyat. Kun Liong menoleh, tangan kanannya mencengkeram tanah dan batu pasir, kemudian dia menyambit sambil mengeraKkan sin-kangnya. “Siuuuttt... aughhh! Ahh! Aduhhh!” Empat orang Mongol yang berlari paling depan jatuh bergelimpangan, menjeritjerit sambil memegangi kaki mereka yang terasa perih, pedih, dan ngilu karena tanah dan pasir itu menembus kulit memasuki daging sampai ke tulang kering kaki mereka! Melihat empat orang kawannya roboh, sembilan orang Mongol yang lainnya terkejut sekali dan menghentikan gerakan kaki mereka, memandang dengan mata terbelalak seolah-olah tidak percaya bahwa pemuda berambut pendek itu dapat merobohkan kawan-kawan mereka dari jarak jauh, hanya sambil berlutut dan menyambitkan tanah! Pemimpin mereka, seorang tinggi besar bermata sipit sekali, agaknya merasa penasaran. Dia adalah seorang jago silat bangsa Han, sungguhpun pakaiannya seorang jembel, dia melangkah maju dan berkata dalam bahasa Han yang kaku sekali, “Engkau jagoan, ya? Hayo kaulawan aku, tanpa menggunakan senjata rahasia! Tanpa menggunakan ilmu setan!” Kun Liong maklum bahwa berhadapan dengan orang-orang kasar seperti ini, dia hanya dapat mengandalkan kepandaian silatnya untuk menundukkan mereka. Maka dia segera bangkit berdiri menghadapi raksasa bermata sipit itu. “Hemm, aku menggunakan pasir kaucela, akan tetapi engkau menggunakan senjata tajam, dan mengandalkan jumiah banyak mengeroyok orang!” MULUT raksasa itu cemberut, dan dia melempar goloknya kepada seorang teman. “Lihat, aku hanya mengandalkan tangan dan kaki. Beranikah kau melawanku?” Kun Liong bangkit berdiri, menghampiri dan berkata, “Tentu saja aku berani, majulah!” Raksasa Mongol itu menerjang maju, memukul dengan kedua tangannya. Seperti dua buah cakar biruang raksasa, kedua tangan itu menyambar dari kanan kiri. Kun Liong mengerahkan tenaga dan menggunakan kedua tangannya menangkis. “Plak! Plak!” Raksasa Mongol itu telah memegang kedua lengan Kun Liong yang terlalu kecil bagi jari-jari tangannya yang panjang dan besar! Tahu-tahu, Kun Liong merasa tubuhnya terangkat ke atas. Akan tetapi, ketika raksasa itu berusaha melontarkan tubuh Kun Liong, pemuda ini sudah memegang pula lengan lawan sehingga mereka saling berpegangan dan tubuh Kun Liong tidak dapat terlempar! Bahkan ketika raksasa itu mengerahkan seluruh tenaga dan untuk kesekian kalinya melontarkan, Kun Liong meminjam tenaganya, ditambah tenaga sendiri sambil memperberat tubuhnya dan... kini tubuh raksasa itulah yang melayang ke atas begitu kaki Kun Liong menyentuh tanah dan tubuh yang tinggi besar itu terlempar dan terbanting keras ke atas tanah. “Brukkkk!!” Debu mengebul tinggi dan raksasa sipit itu merangkak bangun, menggoyang-goyangkan kepalanya untuk mengusir kepeningan, lalu bangkit berdiri lagi dan berjalan maju setengah berbongkok seperti seekor biruang besar hendak menerkam! Kun Liong menanti dengan tenang. Dia tahu bahwa lawannya ini hanyalah mengandalkan tenaga luar saja, bukan merupakan lawan berbahaya. Akan tetapi dia pun harus meyakinkan mereka semua akan kepandaiannya, karena dengan demikian barulah mereka itu akan mundur. “Haarrrggghhh...!” Raksasa sipit itu menggereng dan tubuhnya sudah meloncat dan menubruk ke arah Kun Liong. “Duk! Duk! Dessss!” Orang-orang Mongol itu hanya melihat tubuh pemimpin mereka terjengkang lalu roboh tak berkutik lagi! Mereka tidak tahu bahwa Kun Liong tadi memapaki lawan dengan dua kali totokan yang melumpuhkan kaki tangan orang itu, kemudian menampar keras membuat lawannya pingsan. “Bawa dia pergi!” Bentak Kun Liong kepada mereka. Dengan muka membayangkan rasa takut, orang-orang Mongol itu lalu menolong pemimpin dan teman-teman yang kakinya terluka, kemudian berlari-lari meninggalkan tempat itu. Setelah melihat orang-orang Mongol itu pergi jauh, Kun Liong kembali berlutut di dekat orang asing yang kini hanya mengerang lemah sekali karena kehabisan darah. Sekali lagi Kun Liong meneliti, akan tetapi hanya mendapat keyakinan bahwa orang itu tidak akan dapat tertolong lagi nyawanya. Mukanya sudah mulai memucat karena kekurangan darah. Dia tidak dapat menolong lagi, maka dia hanya dapat bertanya, “Apakah yang terjadi, Tuan?” Orang itu membuka matanya, bibirnya menggumam, “...terima kasih... terima kasih... mereka adalah gerombolan Mongol yang membenci kami orang-orang kulit putih... aku... aku utusan... Dewa Panah...” “Dewa Panah? Siapakah dia? Dan diutus ke mana?” Dengan susah payah orang itu mencoba menjawab, akan tetapi yang terdengar oleh Kun Liong hanyalah bisikan lemah, “...Pek-lian-kauw... di muara Sungai Huai... pantai Laut Kuning...” sampai di situ habislah napas orang asing itu, meninggalkan Kun Liong termangu-mangu karena tidak mengerti apa yang dimaksudkan. Setelah menghela napas panjang berulang-ulang, menyesal bahwa perjumpaannya yang pertama dengan manusia ternyata begini tidak menyenangkan dan tiada gunanya baginya, Kun Liong lalu menggali tanah membuat lubang untuk mengubur jenazah orang itu. Setelah lubang yang digalinya cukup dan dia hendak mengangkat tubuh orang itu, tiba-tiba dia teringat akan pakaiannya, Kun Liong mengerutkan alisnya. Berdosakah dia kalau dia mengambil pakaian orang ini? Sesosok mayat tidak membutuhkan pakaian luar, akan tetapi dia amat membutuhkan karena pakaiannya sudah tidak karuan macamnya. Ah, kiranya tidak berdosa, dan si mati tentu akan memaafkannya. Setidaknya, dia telah menguburkan jenazahnya! Mulailah Kun Liong menanggalkan pakaian orang itu, pakaian luarnya dan hal ini masih mudah dilakukannya karena mayat itu masih belum kaku. Setelah dia melepaskan baju kemeja lengan panjang dan celana, sepatu boot dan kain leher orang itu sehingga yang masih menempel di tubuh mayat itu hanya pakaian dalam, Kun Liong berkata, “Terima kasih dan maafkan aku, Tuan!” Kemudian dia mengubur jenazah itu dan mengenakan pakaian model barat. Untung baginya, tubuh orang asing itu kecil, tidak berbeda banyak dengan tubuhnya, maka pakaiannya itu pas sekali, hanya lengannya lebih panjang sehingga terpaksa digulungnya sampai ke siku. Tak lama kemudian, pemuda itu tertawa-tawa seorang diri dengan hati geli ketika dia bercermin di atas air jernih di dalam hutan. Mula-mula dia terkejut ketika menjenguk ke air dan melihat mukanya sendiri. Tak disangkanya mukanya seperti itu! Sudah lama dia tidak bercermin, dan sekali bercermin, melihat kepala yang biasanya gundul sehingga dia sudah terbiasa itu kini berambut, melihat seorang pemuda berambut pendek berpakaian aneh, dia kelihatan seperti seorang “sinyo” yang asing! Dua hari kemudian, Kun Liong tak dapat tertawa-tawa lagi. Dia berada di tengah padang pasir yang tidak kelihatan tepinya. Yang tampak hanyalah pasir dan gunung pasir, batu-batu kering dan tanah tandus! Tidak ada setetes pun air kecuali peluhnya sendiri yang bercucuran karena panasnya. Tidak ada tempat berteduh dan kerongkongannya terasa kering dan haus sekali! “Celaka...!” pikirnya. Tak disangkanya bahwa padang pasir itu seluas itu. Untuk kembali dia enggan. Dia harus melanjutkan perjalanannya ke barat, harus cepat mencari Hong Ing di Tibet. Akan tetapi kalau dilanjutkan, berapa lama dia akan dapat melewati padang pasir itu? Dua hari kemudian, sudah empat hari empat malam Kun Liong melalui padang pasir. Hari itu panasnya bukan main, tubuhnya sudah mulai lemah, kerongkongannya kering dan haus dan perutnya lapar. “Uh-uh... masih berapa jauhnya?” dia menggumam, berhenti di dekat batu besar untuk berteduh di bayangan batu itu, menghapus keringatnya dengan kain leher yang sudah basah. Tubuhnya gemetar dan matanya setengah terpejam karena silau oleh pasir yang berkilauan tertimpa panas terik matahari! Kun Liong menjatuhkan diri duduk di atas pasir yang panas. Dikeluarkannya bungkusan emas permata dari sakunya. “Sialan!” gerutunya memandang bungkusan itu dan mengantonginya kembali. “Aku akan senang sekali menukar bungkusan ini dengan semangkok bubur dan sepoci air jernih!” Teringatlah dia betapa nilai sesuatu benda ditentukan oleh kebutuhan. Pada saat seperti itu, dalam keadaan kehausan dan kelaparan, semangkok bubur dan sepoci air jernih lebih berharga daripada emas permata! Betapa tololnya manusia di tempat ramai, untuk memperebutkan emas permata mereka tidak segan-segan untuk saling bunuh! Padahal, dalam keadaannya sekarang ini, semua harta benda tidak ada gunanya, tidak lebih berharga daripada semangkok bubur sepoci air. Dia bangkit lagi. Makin lama dia beristirahat, makin berbahayalah keadaannya. Dia harus cepat-cepat keluar dari gurun pasir itu, kalau tidak, besar kemungkinannya dia akan mati konyol di tempat ini. Di depan sudah nampak pegunungan dan di balik pegunungan pasir ini, tampak samar-samar puncak sebuah gunung menghijau, akan tetapi masih amat jauh. Dia harus cepat-cepat mencapai gunung menghijau itu sebelum dia roboh dan mati di atas pasir. Makin tinggi matahari naik, makin panaslah sinarnya menimpa pasir sehingga Kun Liong merasa makin tersiksa karena dia diserang hawa panas dari atas dan bawah. Pasir yang tertimpa sinar matahari menjadi panas dan hawa dari dalam bumi keluar membuat Kun Liong merasa seperti dipanggang tubuhnya. Peluhnya bercucuran dan pandang matanya berkunang-kunang. “Celaka...!” keluhnya ketika dia terpaksa menjatuhkan tubuhnya yang kehabisan tenaga karena terlalu banyak berkeringat itu ke atas pasir. Sejenak dia merebahkan dirinya di belakang batu besar yang agak teduh, rebah miring, pipinya menyentuh pasir hangat. Betapa nikmatnya! Betapa nikmatnya melepaskan lelah di tempat itu, tidak bangkit lagi, rebah di dalam pelukan bayangan batu, ditilami pasir yang lembut dan hangat. Dia memejamkan matanya, tubuhnya terasa nikmat, mengendur dan lepas semua urat tubuhnya. “Eh, apakah aku harus mati dalam keadaan begini?” Tiba-tiba terbayang wajah Hong Ing dan cepat dia membuka mata dan bangkit duduk. “Tidak! Aku tidak boleh mati seperti ini!” hardiknya di dalam hati kepada dirinya sendiri. Dia meloncat berdiri akan tetapi terguling lagi karena matanya berkunang dan kepalanya pening sekali. “Aku harus keluar dari neraka ini! Aku harus mencari Hong Ing!” Ketekadan hati ini membuat Kun Liong merangkakrangkak meninggalkan tempat itu. Kepalanya pening, dia tidak dapat berdiri dan berjalan, maka merangkak pun jadilah asal dia dapat melanjutkan perjalanan meninggalkan tempat berbahaya itu, menuju ke gunung menghijau di depan itu. Akan tetapi, pasir tertimpa matahari yang membuat matanya silau, kembali memaksa dia menghentikan usahanya merangkak. Dia rebah lagi dan memejamkan matanya. Terlampau nikmat rebah begini, dan terlampau sengsara melanjutkan perjalanan! Tiba-tiba dia terkejut. Telinganya yang menempel di atas pasir mendengar suara bergemuruh. Dia mengangkat tubuhnya dan terdengarlah lapat-lapat suara derap kaki kuda. Tak lama kemudian, dari sebelah depan muncullah sepasukan orang, sebagian kecil berkuda, menuju ke tempat itu! Di depan sendiri tampak seorang laki-laki bangsa asing dengan rambut putih kekuningan membalapkan kudanya. Ketika tiba di tempat di mana Kun Liong masih berlutut dan menyangga tubuhnya dengan kedua tangan seperti orang merangkak, laki-laki itu berseru keras, meloncat turun dari kuda dan menghampiri. Dia berkata dalam bahasa asing yang tak dimengerti oleh Kun Liong. Ketika Kun Liong menoleh, orang itu memaki, “Keparat! Tentu dia merampok anak buahku. membunuh dan merampas pakaiannya!” Dengan gerakan cepat, orang itu mencabut beberapa batang anak panah yang tergantung di punggung, memasangnya di busur. “Wir-wir-wir... cuat-cuat-cuatt!” Bukan main cepatnya orang itu mainkan anak panah dengan busur. Kun Liong yang masih pening itu hanya melihat sinar-sinar kilat berkelebat dan anak anak panah menyambar dan menancap di sekeliling tempat dia berlutut! Dia telah dikurung pagar anak panah. Bukan main pandainya orang asing itu menggunakan busur dan anak panah dan teringatlah dia akan pesan orang yang ditolongnya beberapa hari yang lalu. Dewa Panah! Agaknya orang inilah yang dijuluki Dewa Panah, dan memang ilmu panahnya hebat! Kemudian orang yang memegang anak panah itu meloncat dan hanya dengan dua kali loncatan saja dia sudah berdiri di depan Kun Liong yang kini sudah berhasil bangkit berdiri dalam pagar anak panah yang menancap di atas pasir di sekelilingnya itu. Loncatan orang itu pun membuktikan bahwa selain lihai ilmu panahnya, orang asing yang masih muda itu juga memiliki kepandaian yang tinggi. Akan tetapi hal ini tidak menarik hati Kun Liong yang tentu saja menganggap kepandaian seperti itu tidak ada artinya. Yang menarik hati Kun Liong adalah ketika dia mengenal orang uing yang bukan lain adalah Marcus, bekas kekasih Kim Seng Siocia! Dugaannya ini memang tidak keliru. Orang itu adalah Marcus, pemuda bangsa Portugis bekas anak buah Legaspi yang tadinya menjadi kekasih Kim Seng Siocia kemudian ketika Kim Seng Siocia tewas, dia berhasil melarikan diri membawa kitab-kitab pusaka dan barang berharga dari nona gemuk itu. Dan di antara ilmu kepandaiannya Kim Seng Siocia yang dapat dia warisi, di antaranya adalah ilmu panah yang lihai! Marcus berhasil pula menghimpun beberapa orang bekas rekannya sehingga terkumpul lima orang Portugis yang masih berkeliaran, kemudian dia bersama lima orang anak buahnya itu menggabungkan diri dengan golongan orang Mongol yang berniat memberontak dan menyerbu ke selatan. Gerombolan pemberontak ini terdiri dari ribuan orang dan merupakan pasukan yang kuat, dan sudah siap untuk bergerak ke selatan. Dalam usaha pemberontakan ini, gerombolan orang Mongol yang dinamakan Pasukan Tombak Maut mengadakan kontak dan persekutuan dengan kaum Pek-lian-kauw! Berkat ilmu silat dan ilmu panahnya yang cukup lihai, Marcus memperoleh kedudukan terhormat di dalam Pasukan Tombak Maut dan sebentar saja dia terkenal sebagai Dewa Panah karena ilmu panahnya memang hebat dan dikagumi oleh semua orang Mongol. Pada hari itu, Marcus mengiringkan komandannya bersama sepasukan oreng. Mongol berjumlah dua puluh orang lebih dan pasukan ini secara kebetulan melalui gurun pasir di antara pegunungan itu dan bertemu dengan Kun Liong yang sudah terancam bahaya maut karena lelah, lapar dan terutama sekali haus. Melihat Kun Liong mengenakan pakaian seorang anak buahnya, dia menjadi curiga dan segera mengancam Kun Liong dengan anak panahnya. Kini dia menghadapi Kun Liong dan di belakangnya, duduk di atas kuda sambil memandang tajam, Sang Komandan Pasukan Tombak Maut menyaksikan tanpa membuka suara. Komandan ini masih muda, tampan dan gagah, matanya tajam dan gerakan biji matanya liar. Kun Liong masih nanar dan pening, pandang matanya masih berkunang sehingga ketika dia memandang kepada Marcus dan kepada komandan itu, hatinya terkejut dan dia mengira berada dalam mimpi. Dia mengenal pula komandan itu. Tentu saja dia tidak akan pemah dapat melupakan wajah Ouwyang Bouw putera Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok Si Raja Ular! “Hemm, dia tentu mata-mata dari selatan yang menyamar. Tangkap saja dia, kita periksa di markas!” bentak Ouwyang Bouw tanpa turun dari kudanya. Agaknya baik dia maupun Marcus tidak mengenal Kun Liong, bukan hanya karena pakaiannya yang aneh akan tetapi terutama sekali karena Kun Liong yang dahulunya gundul pelontos itu kini telah memiliki rambut hitam lebat. Ketika beberapa orang anggauta Pasukan Tombak Maut, yaitu orang-orang Mongol anak buah Ouwyang Bouw, berhasil menghampiri dan mentaati perintah Ouwyang Bouw untuk menangkapnya, Kun Liong sama sekali tidak mau melawan. Dia maklum bahwa andaikata dia mengerahkan seluruh sisa tenaganya untuk melawan, tak mungkin dia yang kelaparan dan kehausan itu mampu mengalahkan Ouwyang Bouw yang dia tahu amat lihai. Pula begitu melihat Ouwyang Bouw, teringatlah dia akan cerita Hong Ing tentang suci dara itu, yaitu Lauw Kim In, wanita cantik manis pendiam yang berhati keras dan galak. Menurut cerita Hong Ing, Nona Lauw Kim In telah ditangkap oleh Ouwyang Bouw dan telah dibawa pergi menjadi isteri orang berotak miring ini. Teringat akan ini selain tidak kuat untuk melawan, Kun Liong membiarkan dirinya diringkus dan ditawan karena dia pun ingin sekali mengetahui bagaimana dengan nasib suci dari Hong Ing, di samping ingin memulihkan tenaganya lebih dulu sebelum melawan. “Beri dia makan dan minum, jangan sampai dia mati kelaparan dan kehausan. Kita perlu mengorek semua rahasia musuh dari mulutnya!” kata pula Ouwyang Bouw dan diam-diam Kun Liong merasa berterima kasih dengan perintah ini. Dapat dibayangkan betapa segar rasanya air dari guci air yang diberikan kepadanya, betapa nikmat roti kering dan daging yang dimakannya. Diam-diam di dalam hatinya dia berjanji sendiri bahwa untuk makan dan minum saja dia sudah berhutang nyawa kepada Ouwyang Bouw. Biarpun dahulu Ouwyang Bouw menggunakan jarum merah beracun menyerangnya dan membuat kepalanya gundul, namun sekali ini Ouwyang Bouw dianggapnya telah menyelamatkannya maka dia pun berjanji takkan mengganggu keselamatan putera Raja Ular itu. Kun Liong dibawa oleh rombongan itu sebagai seorang tawanan dan melihat dia tidak melakukan perlawanan dan sama sekali tidak membayangkan sebagai seorang yang pandai ilmu silat, biarpun dia dianggap sebagai seorang mata-mata musuh namun dia tidak diperlakukan kasar, hanya disuruh berjalan kaki mengikuti rombongan itu, tanpa dibelenggu kedua tangannya, hanya rantai yang dihubungkan dengan belenggu sebelah kakinya dipegang oleh seorang anggauta pasukan. Kiranya markas Pasukan Tombak Maut itu berada di gunung yang dari jauh tampak kehijauan tadi. Perjalanan menuju ke pegunungan itu masih memakan waktu sehari semalam sehingga diam-diam Kun Liong bergiclik. Kalau dia tidak bertemu dengan gerombolan ini, menjadi tawanan dan diberi makan, agaknya belum tentu dia akan dapat tiba di pegunungan ini dalam keadaan masih bernyawa. Barulah dia mengalami sendiri betapa bahayanya melakukan perjalanan melintasi gurun pasir tandus tanpa bekal secukupnya. Ketika rombongan itu tiba di puncak gunung, Kun Liong melihat dengan kaget bahwa puncak itu merupakan sebuah perkampungan gerombolan yang besar dan kuat. Bangunan-bangunan yang kokoh kuat dilingkari tembok benteng dan dijaga seperti sebuah benteng tentara saja. Dia dibawa ke dalam sebuah kamar tahanan dan didorong masuk ke dalam sebuah kamar itu, pintu ditutup rapat dan tempat itu dijaga kuat. Pada keesokan harinya, barulah dia diambil oleh empat orang penjaga dan dia diiringkan memasuki sebuah ruangan besar di mana tampak duduk Marcus, Ouwyang Bouw, beberapa orang Mongol berpakaian perwira dan di tengah-tengah mereka, di atas sebuah kursi tinggi berukir indah, duduk seorang wanita cantik yang berpakaian indah seperti seorang ratu. Melihat wanita ini, Kun Liong terkejut karena dia mengenal wanita itu yang bukan lain adalah Lauw Kim In! Wanita cantik ini, dengan sikapnya yang agung, kecantikannya yang dingin, memandang dan dari sinar matanya yang bercahaya itu Kun Liong dapat menduga bahwa suci dari Hong Ing itu agaknya mengenalnya. Bagaimanakah Lauw Kim In dapat berada di situ dan agaknya menjadi tokoh tertinggi, menjadi pucuk pimpinan di antara gerombolan orang Mongol itu? Seperti telah diceritakan di bagian depan, Lauw Kim In dan sumoinya, Pek Hong Ing, bertemu dengan Ouwyang Bouw di tengah hutan dan dengan kepandaiannya yang tinggi, Ouwyang Bouw berhasil merobohkan dua orang kakak beradik seperguruan itu. Ouwyang Bpuw jatuh cinta kepada Kim In, maka dia mengancam untuk membunuh Hong Ing dan akhirnya secara tidak terduga-duga oleh Hong Ing sendiri, sucinya itu menyerah dan menerima menjadi isteri Ouwyang Bouw! Hong Ing dibebaskan oleh Ouwyang Bouw yang kegirangan dan sambil tertawa-tawa, Ouwyang Bouw berlari cepat memondong tubuh Lauw Kim In meninggalkan Pek Hong Ing. Kim In memejamkan matanya dan menguatkan hatinya, menerima semua perlakuan Ouwyang Bouw kepadanya, bahkan dia tidak membantah atau melawan sedikit pun ketika Ouwyang Bouw mencumbunya, menciuminya dan menjadikan dia sebagai isterinya pada malam hari itu juga, di dalam hutan, di sebuah kuil tua. Kim In sengaja mengorbankan kehormatannya, bukan semata-mata untuk menolong dan menyelamatkan sumoinya, bukan pula semata-mata untuk menyelamatkan nyawanya sendiri melainkan karena dia melihat keuntungan jika dia menjadi isteri pemuda tampan akan tetapi setengah gila ini. Dia melihat betapa Ouwyang Bouw memiliki kepandaian yang amat tinggi. Dia ingin mempelajari ilmu dari pemuda yang menjadi suaminya ini, suami yang diterimanya bukan karena cinta. Sama sekali bukan. Bahkan dia merasa muak dan jijik setiap kali Ouwyang Bouw mendekatinya dan menidurinya, namun semua itu dipertahankannya dengan tabah dan dengan mematikan segala perasaannya. Bagi Ouwyang Bouw sendiri, kerelaan hati Kim In menerimanya sebagai seorang suami tanpa pernikahan resmi, membuat dia makin tergila-gila dan pemuda sinting ini benar-benar jatuh cinta kepada Lauw Kim In. Setelah menderita siksaan batin pada masa “pengantin baru” tanpa menjadi pengantin ini, Kim In mulai mempergunakan pengaruh kekuasaan tubuhnya kepada Ouwyang Bouw. Dia minta diajari ilmu-ilmu tertinggi dari suaminya itu dan Ouwyang Bouw dengan suka hati mengajarinya bahkan dapat dikatakan dia terpaksa menuruti permintaan isterinya, karena Kim In selalu mengancam tidak mau melayaninya kalau tidak mau menurunkan ilmunya yang paling tinggi! Kim Ing mulai mempergunakan tubuhnya yang membuat Ouwyang Bouw tergila-gila itu sebagai alat untuk memeras! Semua ini dilakukan hanya dengan satu niat, yaitu membalas dendam kepada musuh yang dibencinya, yang dianggapnya mendatangkan segala malapetaka yang dideritanya sampai sekarang. Musuh itu adalah Thian-ong Lo-mo! Dahulu, Lauw Kim In telah bertunangan dengan seorang pemuda yang tampan dan yang diam-diam telah menjatuhkan hati Lauw Kim In. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa hancur hati dara ini ketika mendengar berita bahwa tunangannya itu tewas dibunuh oleh Thian-ong Lo-mo karena tertangkap basah sedang bercinta dengan selir muda yang cantik dari Thian-ong Lo-mo! Peritiwa itu mendatangkan dua akibat dalam hati Lauw Kim In. Pertama, dia menjadi seorang dara yang berwatak dingin dan bahkan selalu kelihatan membenci kaum pria yang dianggapnya semua hidung belang dan tidak setia seperti tunangannya itu. Ke dua, dia menaruh dendam yang amat mendalam kepada Thian-ong Lo-mo yang telah membunuh tunangannya. Anggapannya bahwa kalau tidak ada Thian-ong Lo-mo, tentu tidak ada selirnya yang cantik, tunangannya tidak berjina dan tidak akan terbunuh mati. Akan tetapi, ketika itu, untuk dapat membalas dendam adalah hal yang mustahil karena tingkat kepandaian kakek itu adalah setingkat kepandaian subonya sendiri, mana mungkin dia dapat menang menghadapi kakek itu? Itulah yang menyebabkan Kim In tidak peduli lagi bahwa dia telah menyerahkan tubuhnya kepada seorang pria seperti Ouwyang Bouw yang sama sekali tidak dicintanya. Baginya, semua pria sama saja! Dan dia mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi dari “suaminya” itu dengan tekun sampai dia merasa bahwa ilmu kepandaiannya telah maju pesat sekali. Terutama dia mempelajari pukulan-pukulan beracun dari suaminya yang ahli dalam hal ini. Setahun kemudian, dengan memaksa suaminya yang makin tunduk dan makin takut kepadanya karena makin tergila-gila, Lauw Kim In dapat membujuk Ouwyang Bouw untuk pergi ke kaki Pegunungan Go-bi-san mencari Thian-ong Lo-mo! Pada waktu itu, Thian-ong Lo-mo telah melarikan diri karena gagal membantu Kwi-eng Niocu. Dia berhasil lolos dari maut ketika pasukan pemerintah menyerbu Kwi-eng-pang dan karena merasa putus harapan, dia lalu melarikan diri kembali ke tempat pertapaannya semula, yaitu di kaki Pegunungan Go-bi-san. Kagetlah hati Thian-ong Lo-mo ketika pagi hari itu, di depan guhanya muncul dua orang muda, seorang pria dan seorang wanita. Tempat itu biasanya sunyi sekali dan dia tidak mengharapkan kedatangan siapapun juga. Apalagi dia sama sekali tidak mengenal pria dan wanita muda itu. Barulah dia memandang penuh perhatian ketika wanita itu membentak. “Thian-ong Lo-mo, aku datang untuk mencabut nyawamu!” Thian-ong Lo-mo menggerakkan kakinya dan tubuhnya melayang keluar dari guha, berdiri menghadapi dua orang itu dan dia memandang penuh perhatian kepada Lauw Kim In. Akhirnya dia ingat akan dara ini dan dia menegur, “Eh, bukankah engkau ini seorang di antara dua orang murid Go-bi Sin-kow?” “Benar, aku Lauw Kim In, dan aku datang untuk mencabut nyawamu, membalas kematian tunanganku!” Thian-ong Lo-mo mengangguk-angguk maklum. Teringatlah dia akan tunangan dara yang telah berani bermain gila dengan selirnya sehingga terpaksa dibunuhnya. Tertawalah dia. “Ha-ha-ha, sungguh lucu, murid Go-bi Sin-kouw berani mengancam hendak membunuh aku! Eh, bocah. Kau lumayan juga, selain manis juga pemberani. Akan tetapi, melihat engkau telah memperoleh seorang tunangan baru, mengapa masih meributkan soal kematian tunanganmu yang lama? Apakah tunanganmu yang sekarang ini kurang mampu? Kalau begitu, lebih baik kau berganti pacar lagi, dan bagaimana kalau dengan aku? Ha-ha, biarpun aku sudah tua, kiranya tidak akan kalah kemampuanku dibandingkan dengan pacarmu yang pucat ini, ha-ha!” “Thian-ong Lo-mo, kematian sudah di depan mata, engkau masih mengeluarkan kata-kata sombong. Makanlah ini!” Ouwyang Bouw berkata tenang akan tetapi tahu-tahu dari kedua tangannya menyambar sinar-sinar merah. Itulah jarum-jarum merah beracun yang digerakkan dengan sentilan jari-jari tangannya secara lihai sekali. “Heiii...!” Thian-ong Lo-mo terkejut sekali ketika dia mengelak, tercium olehnya bau harum memuakkan, dan jarum itu sedemikian cepat luncurannya sehingga biarpun dia sudah cepat mengelak, ada sebatang yang hampir mengenai lehernya. Dia memandang dengan mata terbelalak kaget lalu bertanya, “Engkau siapa...?” Ouwyang Bouw tidak menjawab segera, melainkan mencabut pedangnya perlahan-lahan, pedangnya yang berbentuk seekor ular. Kemudian dia berkata, suaranya seperti orang tidak acuh, namun nadanya penuh ancaman. “Dia adalah isteriku, engkau tua bangka berani menghina isteriku, karenanya harus mampus!” Thian-ong Lo-mo kini mulai memandang orang muda yang tadinya dipandang rendah itu dengan penuh perhatian. Sikap orang muda itu membuat dia marah, akan tetapi serangan jarum itu tadi mengejutkannya dan ketika dia melihat pedang berbentuk ular di tangan Ouwyang Bouw, dia mengerutkan alisnya. “Apa hubunganmu dengan Ban-tok Coa-ong?” tanyanya karena dia mengenal pedang ular itu. “Kau menyebut-nyebut nama julukan ayahku mau apa?” Thian-ong Lo-mo terkejut bukan main. Kiranya gadis murid Go-bi Sian-kouw yang mendendam kepadanya karena tunangannya dahulu dibunuhnya itu telah menjadi isteri putera Ban-tok Coa-ong! Dia merasa gentar juga karena dia sudah mendengar betapa lihainya putera Raja Ular itu, tidak berbeda dengan ayahnya! “Ah, kalau begitu kita adalah orang sendiri!” serunya. “Orang muda, kalau engkau putera Ouwyang Kok, tentu engkau yang bernama Ouwyang Bouw dan ketahuilah bahwa antara ayahmu dan aku terdapat tali persahabatan yang erat.” “Hemm, tidak seerat tali hubungan antara aku dan isteriku!” bantah Ouwyang Bouw. “Kau keliru! Antara ayahmu dan aku terdapat hubungan seperjuangan! Ayahmu tewas di tangan Cia Keng Hong dan Panglima The Hoo, dan aku pun musuh dari pemerintah lalim yang sekarang berkuasa. Kita malah harus bersatu untuk merobohkan pemerintah ini, untuk membalas dendam kematian ayahmu. Jangan kau sampai terseret oleh urusan pribadi isterimu. Sebetulnya antara dia dan aku pun tidak terdapat permusuhan apa-apa. Tunangannya dahulu kubunuh karena tunangannya itu telah berani berjina dengan selirku, mereka tertangkap basah, maka kubunuh.” Mendengar omongan ini, Ouwyang Bouw kelihatan ragu-ragu. Memang dia menaruh dendam kepada Cia Keng Hong dan Panglima The Hoo atas kematian ayahnya. “Ouwyang Bouw, kau masih diam seperti patung? Hayo bantu aku merobohkan tua bangka ini, akan tetapi awas, jangan sampai dia terbunuh di tanganmu. Aku harus membunuhnya dengan tanganku sendiri.” Lauw Kim In berkata dengan suara dingin dan pandang mata marah kepada suaminya. Mendengar ini, lenyaplah semua keraguan dari wajah Ouwyang Bouw. Pedang ularnya berkelebat dan dia sudah menyerang Thian-ong Lo-mo dengan tusukan maut. “Tranggg...!” Kakek tinggi besar brewok ini sudah menggunakan sabuk rantai gergaii untuk menangkis. “Ouwyang Bouw jangan bodoh kau! Ingat, banyak orang gagah roboh hanya karena bujukan mulut wanita!” “Tua bangka keparat!” Lauw Kim In memekik nyaring dan pedangnya berubah menjadi sinar putih ketika meluncur ke arah leher Thian-ong Lo-mo dengan kecepatan kilat. Kakek itu cepat meloncat dan mengelak, diam-diam terkejut karena mendapat kenyataan bahwa gerakan wanita itu hebat sekali. Mengertilah dia bahwa wanita itu tentu telah memperdalam ilmunya setelah menjadi isteri Ouwyang Bouw. Dia adalah seorang tokoh dunia kaum sesat yang terkenal, memiliki banyak pengalaman dan tentu saja dia menjadi marah melihat dua orang muda itu mendesaknya. “Bagus! Jangan kira Thian-ong Lo-mo takut kepada kalian!” Dia lalu memutar senjatanya sabuk rantai gergaji yang mengeluarkan bunyi berkerincingan nyaring itu, membalas serangan lawan dan terjadilah pertandingan yang seru, hebat dan mati-matian. “Cringgg... wuuuttt! Wuuutttt!!” Senjata rantai gergaji itu menyambar dahsyat ke arah Ouwyang Bouw dan Lauw Kim In dengan suara berdencingan nyaring, namun kedua orang muda itu dapat mengelak dengan baik, bahkan meloncat ke kanan kiri dan dari dua jurusan ini pedang mereka menusuk ke lambung kiri dan leher kanan! Diserang dari dua jurusan ini, Thian-ong Lo-mo meloncat ke belakang, memutar senjatanya ke kanan kiri dengan cepat untuk menangkis. “Cringg! Tranggg...!” Namun, pedang ular di tangan Ouwyang Bouw yang tertangkis itu sudah meluncur seperti ular hidup, membalik dan menusuk ke arah pelipis kanan lawan, sedangkan Lauw Kim In dengan gerakan yang sama, sudah membacokkan pedangnya ke arah mata kaki kiri kakek brewok itu. “Cring?cringgg...! Wuuut?wuuuttt!!” Hanya dengan kecepatan luar biasa dan dengan susah payah saja kakek itu berhasil menangkis serangan dua batang pedang dari kanan kiri itu dan memutar senjatanya, namun juga dapat dielakkan oleh dua orang pengeroyoknya yang memiliki keringanan tubuh mengagumkan sekali. Kini terjadilah serang-menyerang dengan gencar, kedua pihak mengeluarkan jurus-jurus maut dan berkali-kali terdengar berdencingan senjata yang bertemu dengan kerasnya, bersiutnya senjata menyambar yang membelah udara karena dapat dialakkan oleh sasarannya. Thian-ong Lo-mo yang maklum bahwa dua orang lawannya itu, biarpun masih muda namun memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, telah mengeluarkan semua tenaga dan kepandaiannya. Berkat pengalamannya yang banyak selama puluhan tahun malang melintang di dunia kang-ouw, dia masih dapat mempertahankan diri, sungguhpun usia tuanya mulai memperlihatkan kelemahan daya tahannya dan napasnya yang mulai memburu. “Hyaaahhh!” Tiba-tiba kakek itu memekik nyaring, pekik yang dikeluarkan dengan pengerahan khi-kang sehingga mengandung tenaga mujijat yang menggetarkan lawan, sementara rantai gergaji di tangannya menyambar-nyambar ganas sekali. “Sing-sing... wuuuttt... brettt!” “Aihhh...!” Saking dahsyatnya serangan Thian-ong Lo-mo tadi, biarpun Lauw Kim In sudah menangkis dan mengelak seperti yang dilakukan suaminya, tetap saja baju di punggungnya tercium rantai dan terobek lebar. “Ha-ha-ha-ha!” Thian-ong Lo-mo tertawa, sengaja mengeluarkan suara ketawa untuk mengejek lawan, sungguhpun dia merasa kecewa bahwa senjatanya hanya berhasil merobek baju, tidak melukai tubuh lawan. Di lain pihak, Ouwyang Bouw dan Lauw Kim In marah bukan main. Sambil berteriak keras mereka maju mendesak, mengirim serangan-serangan bertubi-tubi dan mengerahkan tenaga sin-kang mereka. Thian-ong Lo-mo terpaksa memutar senjatanya melindungi tubuhnya. “Cring-cring-cringggg...!” Thian-ong Lo-mo dan Lauw Kim In berteriak keras dan meloncat ke belakang. Senjata rantai gergaji itu patah, juga pedang Kim In patah. Hanya pedang ular di tangan Ouwyang Bouw yang masih utuh. Melihat senjatanya sudah patah dan rusak, Thian-ong Lo-mo membuang senjatanya. Juga Lauw Kim In membuang pedang yang tinggal sepotong. “Ha-ha-ha, bersiaplah kau untuk mampus, tua bangka Thian-ong Lo-mo!” Ouwyang Bouw tertawa bergelak sambil menyimpan pedang ularnya. Menyaksikan kesombongan Ouwyang Bouw yang tidak mau menghadapi dia yang sudah bertangan kosong itu dengan pedangnya, diam-diam Thian-ong Lo-mo girang hatinya. Pemuda sombong, pikimya, kesombonganmu ini akan kautebus dengan nyawamu! Tanpa banyak cakap lagi dia lalu menggereng dan maju menyerang dua orang pengeroyoknya dengan kedua tangannya. Hebat bukan main penyerangan Thian-ong Lo-mo. Mula-mula dia menggerak-gerakkan kedua tangannya saling bersilang dengan jari-jari tangan terbuka. Jari-jari tangan itu tergetar, menggigil terisi penuh dengan tenaga sin-kang yang amat kuat sehingga dalam keadaan seperti itu, bahkan kuku-kuku jari tangannya berubah menjadi sekuat cakar baja! Kemudian dia menyerbu ke depan, tangan kanan mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Ouwyang Bouw sedangkan tangan kiri mencengkeram ke arah dada Kim In. Serangan maut yang digerakkannya ini. Namun kedua orang lawannya sudah siap. Mereka berdua maklum bahwa dalam hal kekualan sin-kang mungkin mereka masih kalah setingkat melawan kakek yang lihai itu. Akan tetapi keduanya memiliki andalan dan andalan ini pula yang membuat Ouwyang Bouw berani memandang rendah sehingga dia menyimpan pedangnya tadi. Mereka berdua mengandalkan tok-ciang (tangan beracun) mereka! Lauw Kim In yang baru kurang lebih setahun bersama-sama dengan suaminya, telah memiliki sepasang tangan beracun yang amal lihai. Hal ini hanya dapat terjadi karena bujukannya terhadap Ouwyang Bouw yang sebetulnya merahasiakan ilmu keturunan ini. Namun karena dia sudah tergila-gila kepada Kim In, dia memenuhi permintaan isterinya tercinta itu dan setiap hari dia merendam kedua tangan dan lengan istrinya sampai ke batas siku dengan cairan ramuan obat yang mengandung racun ular Cobra! Di samping ini dia melatih istrinya dengan pukulan-pukulan dari tok-ciang itu. Baru berlatih setahun saja, dengan sekali pukul, tangan kiri atau kanan wanita muda ini dapat membuat lawan roboh dan tewas dengan tubuh bengkak-bengkak seperti tergigit ular Cobra! Dapat dibayangkan betapa hebat dan berbahayanya kedua tangan Ouwyang Bouw yang sudah dilatih belasan tahun itu! “Dukk! Dukkk!” Kedua lengan kakek Thian-ong Lomo tertangkis oleh lengan kedua orang lawannya. Ketika tadi dia melihat dua orang muda itu berani menangkisnya, diam-diam dia menjadi girang dan dia telah mengerahkan sin-kangnya. Benturan lengan mereka membuat Ouwyang Bouw dan Kim In terhuyung ke belakang dan terdengarlah suara ketawa Thian-ong Lo-mo yang merasa girang karena benturan lengan tadi membuktikan bahwa sin-kangnya masih lebih kuat daripada kedua orang lawannya. “Ha-ha-ha... ehhh...?” Suara ketawanya terhenti dan terganti teriakan kaget. Dia memandang kedua buah lengannya dan matanya terbelalak. Ketika dia menyingsingkan lengan baju, dia melihat lengannya merah dan terasa gatal-gatal. Tahulah dia bahwa kedua kulit tengannya telah terkena hawa beracun! “Ha-ha-ha-ha!” Ouwyang Bouw tertawa. “Hi-hik, tua bangka, bersiaplah untuk mampus!” Kim In juga mengejek dan wanita ini sudah menerjang maju bersama suaminya. “Haiiitit... hehhh!!” Thian-ong Lo-mo cepat mengelak ke sana ke mari, dan membalas dengan pukulan-pukulan maut. Namun dia segera terdesak hebat karena kakek ini merasa ragu-ragu untuk menangkis pukulan-pukulan lawan, hanya mengelak ke sana-sini sehingga tentu saja hal ini tidak memberi banyak kesempatan kepadanya untuk balas menyerang, tidak seperti kalau dia menangkis lalu membalas langsung. Kadang-kadang secara terpaksa, Thian-ong Lo-mo menangkis juga, namun jika hal ini dilakukan, dia mengisi lengannya dengan hawa sin-kang sepenuhnya untuk menolak hawa beracun dari lengan lawan. Betapapun juga, tetap saja kulit lengan yang terbentur lengan lawan terasa gatal-gatal, tanda bahwa biarpun hawa beracun itu tidak meresap ke daging dan tulang, namun tetap saja meracuni kulitnya. Makin banyak dia menangkis, makin hebat rasa gatal yang menyiksa kedua lengannya. Di antara perasaan yang biarpun tidak berapa nyeri namun sukar dipertahankan manusia adalah rasa gatal. Mungkin kalau kedua lengan Thian-ong Lo-mo itu terasa nyeri betapa hebat pun, kakek ini masih dapat mempertahankan. Akan tetapi diserang rasa gatal yang membuat seluruh bulu di tubuhnya bangkit meremang, sukar untuk dipertahankan tanpa digaruk, maka hal ini tentu saja amat menyiksanya dan membuat gerakan ilmu silatnya menjadi kacau balau tidak karuan. Dia sudah terkena pukulan sampai tiga kali, dua kali oleh Ouwyang Bouw dan sekali oleh Kim In. Namun, berkat ilmunya I-kiong-hoat-hiat (Ilmu Memindahkan Jalan Darah) yang sempurna, Thian-ong Lo-mo dapat membuat tubuhnya kebal dan jalan darahnya tidak terluka oleh pukulan pukulan itu hanya bagian kulitnya saja yang terkena pukulan menjadi merah kehitaman dan terasa gatal bukan main. “Hyaaahhhh... robohlah...!” Tiba-tiba Thian-ong Lo-mo membentak dan kedua tangannya bergerak ke depan. Ouwyang Bouw dan Kim In cepat mengelak ketika melihat berkelebatnya sinar dari kedua tangan kakek itu dan mendengar suara bercuitan, namun karena jaraknya amat dekat, biarpun mereka mengelak, tetap saja pangkal lengan kiri Ouwyang Bouw keserempet dan betis kanan Kim In ketika meloncat terkena senjata rahasia yang dilepas oleh kakek itu. Kiranya senjata rahasia itu hanyalah kancing-kancing baju kakek itu sendiri. Karena tadi terdesak hebat, terutama sekali disiksa rasa gatal-gatal, Thian-ong Lo-mo memperoleh akal. Tanpa diketahui kedua lawannya, diam-diam dia mencabuti kancing-kancing bajunya dan menanti kesempatan baik secara tiba-tiba menyerang kedua lawan dengan kancing-kancing itu. Sayang baginya, kedua lawannya terlampau gesit sehingga hanya terluka ringan saja dan celakanya, menyerang kedua orang suami isteri ini dengan senjata rahasia tidak ada bedanya dengan menantang ikan berlumba renang! Penggunaan kancing baju sebagai senjata rahasia oleh Thian-ong Lo-mo itu sama saja dengan menantang Ouwyang Bouw dan Kim In, padahal sepasang suami isteri ini adalah ahli-ahli senjata rahasia jarum merah beracun! Mereka berdua sudah menggerakkan kedua lengan bergantian dan sinar-sinar merah menyambar ke arah tubuh Thian-ong Lo-mo. Kakek ini masih berusaha mengelak, namun terlalu banyak jarum-jarum kecil halus itu menyambar, dan terlalu dekat jaraknya sehingga akhirnya dia berteriak keras dan roboh bergulingan di atas tanah. Ouwyang Bouw tertawa dan dua kali tangannya bergerak. Seketika tubuh itu tak dapat bergerak lagi, telentang di atas tanah karena pada sambungan lutut dan paha, masing-masing telah dimasuki sebatang jarum merah yang amat beracun, membuat kaki tangan kakek itu menjadi lumpuh tak mampu digerakkan lagi! “Ha-ha-ha, isteriku sayang. Dia sudah tak berdaya, lakukanlah apa yang kau ingin lakukan!” kata Ouwyang Bouw sambil mencari tempat duduk di atas sebuah batu untuk mengaso dan menonton isterinya membalas dendam. Lauw Kim In memang merasa sakit hati sekali kepada Thian-ong Lo-mo. Kakek inilah yang dianggapnya menjadi biangkeladi perubahan hidupnya. Betapa dia tidak akan menyesal. Sampai saat itu pun, kalau diingat, dia menjadi berduka dan penasaran sekali. Dia seorang murid Go-bi Sin-kouw, seorang wanita yang tergolong gagah perkasa dan cantik, terpaksa harus menyerahkan dirinya menjadi isteri seorang berotak miring seperti Ouwyang Bouw, dan semua itu adalah gara-gara kakek Thian-ong Lo-mo ini! Kalau tunangannya tidak dibunuh dahulu, tentu dia telah menjadi isteri tunangannya itu dan hidup bahagia! Dengan dendam membara di dada wanita ini mengambil pedangnya yang tinggal sepotong, menghampiri tubuh kakek yang rebah telentang itu. Melihat Lauw Kim In datang membawa pedang buntung, Thian-ong Lo-mo maklum bahwa dia tentu akan dibunuh, maka dia berkata, “Aku sudah kalah oleh kecurangan kalian menggunakan racun. Nah, mau bunuh lekas bunuh, aku sudah tua, tidak kaubunuh pun tak lama lagi tentu mati!” Ucapan ini dikeluarkan untuk menutupi rasa ngeri dan takutnya. Tanpa mengeluarkan kata-kata namun sepasang matanya mengeluarkan sinar menyeramkan, Kim In melangkah maju menghampiri tubuh yang telentang tak berdaya itu. Tangannya menggenggam gagang pedang erat-erat, pedang yang buntung, tidak runcing akan tetapi tentu saja masih amat tajam, lalu tangannya bergerak, pedang berkelebat ke depan. “Haiiittt...!” Tiba-tiba tubuh yang sudah tidak berdaya dan lumpuh itu mencelat ke atas, mulutnya terpentang lebar dan ternyata kakek yang amat lihai itu kini menggunakan mulut untuk menyerang dan menggigit ke arah tenggorokan Kim In! “Plakk! Desss...!” Untung Kim In bersikap waspada dan dapat melihat serangan lawan, lalu tangan kirinya menampar dan memukul, membuat tubuh itu terbanting keras dalam keadaan telentang lagi. Kalau dia tidak waspada dan lehernya sampai tergigit, tentu gigitan itu takkan dilepaskan sebelum kakek itu tewas, dan ini dapat berarti tewasnya Kim In pula! Dengan penuh kemarahan Kim In melangkah maju, tangan kanan yang memegang pedang bergerak. “Blesss... rettt...!” Kim In meloncat muncur pada saat darah muncrat-muncrat dari tubuh depan kakek itu. Dari dada sampai ke bawah perut, tubuh itu terobek dan terkuak lebar, darah muncrat dan isi perutnya keluar. Mata kakek itu terbelalak melotot, kaki tangannya yang lumpuh berkelojotan sebentar lalu terdiam. Hanya isi perutnya yang keluar itu masih bergerak-gerak sedikit bersama gerakan darah muncrat dan mengalir. “Ha-ha-ha-ha!” Ouwyang Bouw tertawa bergelak-gelak, menambah seramnya pemandangan di saat itu. Lauw Kim In hanya menunduk, berdiri dengan muka pucat dan menunduk, tanpa berkata apa-apa lalu membuang pedang buntung yang berlumur darah, kemudian membalikkan tubuhnya dan berkelebat pergi dari tempat itu, diikuti oleh suaminya yang tertawa-tawa. Mayat Thian-ong Lo-mo ditinggalkan menggeletak di tempat itu, dengan dada dan perut terbuka. Terdengar suara gerengan binatang hutan dari jauh dan tampak beberapa ekor burung nazar pemakan bangkai beterbangan di atas tempat itu, agaknya binatang-binatang itu dapat mencium bau darah dan mayat. Sementara itu, puas karena telah berhasil membalas dendam, Kim In bersama Ouwyang Bouw hendak kembali ke timur. Akan tetapi di tengah jalan, mereka dihadang oleh serombongan orang Mongol dan beberapa orang barat yang dikepalai oleh Marcus yang dikenal sebagai Dewa Panah! Dengan amat mudah, Ouwyang Bouw dan Kim In merobohkan para pimpinan gerombolan ini dan karena Marcus mendengar bahwa laki-laki tampan gagah yang memiliki kepandaian amat tinggi itu adalah putera Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok yang tewas di tangan Cia Keng Hong yang membantu Panglima The Hoo, dia mempergunakan kesempatan itu untuk menarik tenaga Ouwyang Bouw. Dia lalu menyatakan takluk dan membawa semua anak buahnya dan para pemberontak Mongol, mengangkat Ouwyang Bouw sebagai kepala dari gerombolan yang semuanya berjumlah tidak kurang dari seribu orang Mongol! Demikianlah, suami isteri ini menjadi pimpinan gerombolan orang Mongol, dan tentu saja puncak pimpinan segera berada di tangan Lauw Kim In karena suaminya tunduk kepadanya, sehingga Ouwyang Bouw yang memiliki kepandaian tinggi itu seakan-akan hanya menjadi pembantunya! Setelah dendamnya dilaksanakan dan dia berhasil membunuh musuhnya, Kim In menganggap bahwa hidupnya tidak ada artinya lagi. Namun, mengingat betapa suaminya, biarpun dia tidak mencintanya, telah bersikap baik kepadanya, bahkan membantunya membunuh Thian-ong Lo-mo, dia merasa kasihan juga mendengar bahwa suaminya itu tidak akan tenteram hatinya sebetum membalas kematian ayahnya. Ouwyang Bouw maklum bahwa agaknya tidak akan mungkin baginya untuk membunuh Cia Keng Hong dan Panglima Sakti The Hoo, akan tetapi setidaknya dia akan merongrong kewibawaan panglima itu, akan mengganggu pemerintah! Dan Kim In merasa berhutang budi kepada Ouwyang Bouw, maka daripada menderita hidup yang kosong, dia membantu suaminya, bahkan kini dia menikmati kedudukan sebagai orang paling terhormat di dalam Pasukan Tombak Maut yang dipimpin oleh suaminya. Dia diperlakukan seperti ratu dan lama-kelamaan kedudukan atau kemuliaan ini merupakan kebutuhan baginya, membuat dia mabok dan tidak ingin melepaskannya lagi karena menganggapnya sebagai kebahagiaan hidupnya! Memang demikianlah kehidupan manusia, seperti Lauw Kim In itu. Kita manusia dibikin mabok oleh pikiran kita sendiri, oleh kenangan yang melahirkan keinginan. Kita melihat, mendengar atau merasakan sesuatu yang menyenangkan, lalu kita ingin hal itu berlangsung terus atau berulang kembali, kita takut kehilangan itu sehingga kita mati-matian membelanya atau mencarinya kalau yang menyenangkan itu meninggalkan kita. Dalam membela atau mencari ini, kita tidak segan-segan untuk merobohkan siapa saja yang menghalang di tengah jalan. Dan celakanya, kita menganggap bahwa yang menyenangkan itu adalah kebahagian! Kita lupa bahwa kesenangan tidak akan terpisah dari kekecewaan, kekhawatiran dan kedudukan. Bukan berarti bahwa kita tidak harus menikmati kesenangan, melainkan bodohlah kalau kita mengikatkan diri kepada kesenangan yang berarti kita menghambakan diri kepada nafsu kesenangan. Hanya dia yang bebas dari segala ikatan lahir maupun batin, dialah yang benar-benar bidup, karena bagi dia yang bebas dari segala ikatan tidak membutuhkan apa-apa lagi, tidak membutuhkan kebahagiaan karena sudah bahagia! Demikianlah pengalaman Lauw Kim In sampai pada suatu hari ketika suaminya dan Marcus menangkap seorang tawanan dan pada keesokan harinya pagi-pagi tawanan itu dibawa menghadap ke dalam ruangan di mana dia hadir bersama Ouwyang Bouw, Marcus, dan lima orang pemimpin bangsa Mongol yang siap hendak memeriksa tawanan yang mencurigakan itu. Ketika Lauw Kim In mengangkat mukanya memandang wajah tawanan itu, seketika dia teringat. Tawanan itu adalah Yap Kun Liong, bocah gundul yang menjadi sahabat sumoinya! Biarpun Kun Liong memakai pakaian bangsa kulit putih, biarpun kepala yang dulunya gundul pelontos itu kini telah berambut, Kim In tidak pangling lagi. Jantungnya berdebar tegang. Betapapun juga, bertemu dengan pemuda ini membuat dia teringat akan sumoinya, satu-satunya orang yang dikasihinya. “Kalian telah salah menangkap orang!” tiba-tiba terdengar Kim In berkata, “Dia adalah teman sumoiku.” Dia menoleh kepada suaminya dan berkata, “Harap kaubuka belenggunya dan biar aku yang menanyainya.” Ouwyang Bouw tidak membantah. Sekali tangannya bergerak meraba belenggu, patahlah belenggu kaki tangan Kun Liong. Diam-diam Kun Liong mencatat di dalam hatinya bahwa Ouwyang Bouw akan merupakan lawan yang amat tangguh. Akan tetapi dia bersikap tenang, tersenyum dan menjura ke arah Lauw Kim In. “Nona Lauw Kim In sungguh bermata tajam, dapat mengenalku. Apakah selama ini Nona berada dalam keadaan baik-baik saja?” “Heh, dia itu isteriku, bukan nona lagi. Hati-hati menjaga mulutmu, jangan kau kurang ajar kepada isteriku!” Ouwyang Bouw menegur dengan hati cemburu melihat tawanan itu tersenyum-senyum dan bicara kepada isterinya. Kun Liong menoleh kepada laki-laki yang memandangnya dengan biji mata berputar-putaran liar itu, masih tersenyum lalu berkata, “Saudara Ouwyang Bouw, engkau makin galak saja sekarang. Aku tidak bermaksud kurang ajar kepada isterimu.” “Kau... kau mengenal namaku?” Ouwyang Bouw berseru kaget dan memandang penuh perhatian. Kun Liong mengelus rambut di kepalanya. “Siapa tidak mengenal engkau dan ayahmu, Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok? Masih terbayang di depan mataku kematian semua orang dusun yang dahulu bersama aku menangkap ular-ular berbisa, kematian mengerikan dan masih terasa olehku jarum-jarum merahmu yang amat hebat. Tentu sekarang Ang-tok-ciam (Jarum Merah Beracun) milikmu itu makin hebat saja! Jarum merah yang membuat kepalaku gundul sampal bertahun-tahun lamanya!” Ouwyang Bouw makin terheran dan dia merenung, mengingat-ingat, akan tetapi tentu saja tidak dapat teringat olehnya. Sudah terlalu banyak dia dan ayahnya membunuhi orang, tentu saja dia tidak teringat lagi akan peristiwa pembunuhan orang-orang dusun ketika Kun Liong masih kecil, belasan tahun yang lalu. Hal ini membuat dia penasaran dan dia tidak bicara lagi, melainkan termenung-menung berusaha mengingat kembali peristiwa yang dikatakan orang tawanan itu. Sementara itu, Marcus yang mendengarkan dan melihat dengan penuh perhatian, begitu mendengar tawanan itu mengatakan bahwa kepalanya pernah gundul, segera teringat, “Haiiit! Bukankah engkau Si Gundul itu? Yap Kun Liong?” Kun Liong berpaling kepadanya dan tersenyum lebar. “Dan engkau Marcus yang kini berjuluk Si Dewa Panah, ya? Bagus, agaknya tidak percuma engkau pemah menjadi kekasih Kim Seng Siocia, kiranya telah mewarisi ilmu kepandaiannya.” Merah muka Marcus mendengar kata-kata itu. “Kalau begitu engkau tentu mata-mata musuh! Engkau perlu dihajar agar suka mengaku!” Marcus meloncat ke depan, langsung menghantamkan kepalan tangan kanannya ke arah muka Kun Liong. Pemuda ini tanpa mengelak tanpa berkedip menghadapi serangan itu, setelah kepalan tangan Marcus menyambar dekat sekali dengan mukanya, tiba-tiba jari tangan kirinya bergerak menyambar dari bawah. “Takkk...! Augghhh...!” Marcus berteriak kesakitan dan melangkah mundur, tangan kirinya memegang pergelangan tangan kanan yang terasa seperti patah tulangnya. Ternyata Kun Liong telah mendahuluinya dan menotok pergelangan tangan yang memukul itu sehingga tangan itu menjadi lumpuh dan terasa nyeri sekali. “Hemm, berani engkau kurang ajar?” Ouwyang Bouw berseru dan tangannya menyambar ke depan. Kun Liong maklum akan kelihaian orang ini, maka dia cepat menggerakkan tubuhnya miring dan dari samping dia menyampok lengan yang menyambar dahsyat itu. “Dukkk...!” Tubuh Ouwyang Bouw tergeser ke belakang dan wajahnya menjadi merah sekali ketika dia memandang kepada lawannya. Sama sekali tidak disangkanya bahwa tawanan itu ternyata memiliki kepandaian hebat, dapat menangkis pukulannya, bahkan tangkisan itu membuat dia tergeser! “Ouwyang Bouw, aku tidak ingin bertanding dengan orang yang telah menyelamatkan aku dari padang pasir. Bahkan pertolonganmu itu telah memaafkan semua perbuatanmu yang lalu terhadap diriku.” Kun Liong berkata, suaranya nyaring. “Manusia sombong!” Ouwyang Bouw meraba gagang pedangnya, juga Marcus dan lima orang pimpinan gerombolan Mongol sudah bangkit dari tempat duduk masing-masing dan menyambar senjata. “Tahan, jangan bertempur!” Tiba-tiba Lauw Kim In berseru. Mendengar bentakan isterinya, Ouwyang Bouw memasukkan lagi pedang ularnya dan duduk kembali sambil bersungut-sungut. Hatinya tidak puas. Dia penasaran sekali mendapat kenyataan bahwa tawanan itu lihai, dan hatinya ingin sekali untuk mencoba kepandaian si tawanan dan terutama sekali merobohkannya, membuktikannya bahwa dia lebih pandai! Akan tetapi dia tidak berani membantah kehendak isterinya! Kalau isterinya marah-marah, seperti yang pernah beberapa kali dilakukan oleh Kim In dan mati-matian isterinya mempertahankan diri, tidak mau mendekatinya, tidak mau melayani cintanya, dia merasa tersiksa setengah mati! Sejak itulah, dia tidak lagi berani membantah kehendak isterinya. Tidak ada kesengsaraan lebih besar baginya daripada kalau isterinya marah dan mogok, tidak mau mendekati dan melayaninya! Terutama sekali Marcus merasa penasaran dan diam-diam dia marah sekali. Jelas baginya bahwa Yap Kun Liong adalah seorang yang berbahaya, seorang musuh, entah musuh yang berpihak mana saja, akan tetapi yang jelas, bukanlah seorang yang boleh dianggap sebagai seorang sahabat. Bagi dia, Kun Liong harus dibunuh dan sama sekali tidak boleh diberi ampun. Akan tetapi, melihat betapa Ouwyang Bouw, tokoh pertama dan utama dalam gerombolan mereka itu tidak berani membantah kehendak Lauw Kim In, dia pun tidak berani berkutik dan hanya duduk kembali sambil memandang tajam penuh perhatian. “Yap Kun Liong, duduklah!” kata Kim In setelah melihat bahwa semua orang mentaati permintaannya. “Terima kasih, engkau baik sekali Nona... eh, Nyonya,” katanya sambil melirik ke arah Ouwyang Bouw yang makin cemberut. Suasana di ruangan itu menjadi hening sejenak. Kun Liong menujukan pandang matanya ke sekeliling. Tampak olehnya betapa tempat itu, biarpun dalam jarak agak jauh, telah dijaga ketat oleh banyak sekali anggauta pasukan yang memegang tombak. Penjagaan yang amat rapi dan ketat, seperti dalam benteng tentara saja. “Yap Kun Liong, engkau melihat sendiri betapa engkau telah dikurung dengan rapat di tempat ini. Betapapun lihaimu, engkau takkan mungkin dapat keluar dengan selamat apabila kami menghendaki. Karena itu, kauceritakanlah dengan sejujurnya dan sebenamya, apa yang kaulakukan di tempat ini dan mengapa pula engkau mengenakan pakaian seorang anak buah sahabat kulit putih.” Kata-kata yang dikeluarkan oleh Kim In itu agaknya ditujukan untuk mendinginkan hati mereka yang panas dan marah kepada Kun Liong. Kun Liong mengerti bahwa sesungguhnya Kim In ingin bicara hal lain dengan dia, akan tetapi sebelumnya minta agar dia suka menceritakan keadaannya itu agar menghilangkan kecurigaan para pimpinan pasukan, terutama sekali Marcus dan Ouwyang Bouw. “Aku tidak sengaja memasuki daerah ini, karena aku sedang melakukan perjalanan menuju ke barat dan melalui tempat ini. Aku hampir mati di padang pasir yang tidak kukenal dan kebetulan di dalam perjalanan aku melihat seorang laki-laki berkulit putib sedang dikereyok oleh tiga belas orang Mongol yang dipimpin oleh seorang raksasa Mongol bermata sipit ahli gulat...” “Hemm, tentu Si Tula yang memberontak!” Tiba-tiba scorang di antara pemimpin Mongol berseru. “Laki-laki kulit putih itu luka-luka parah. Aku menolongnya dan berhasil menghalau para pengeroyoknya. Akan tetapi dia tidak tertolong lagi. Aku lalu mengubur jenazahnya, akan tetapi karena pakaianku sudah robek-robek dan aku hampir telanjang, aku amat membutuhkan pakaian, maka aku mengambil pakaiannya sebelum kukuburkan jenazah itu.” “Laki-laki kulit putih? Tahukah engkau siapa dia?” Kim In bertanya. “Tidak, dia tidak sempat menyebutkan namanya, usianya kurang lebih tiga puluh tahun, kumisnya panjang melintang dan berwarna kemerahan...” “Alberto...!” Tiba-tiba Marcus berkata dan semua orang saling pandang dengan alis berkerut. Alberto adalah utusan mereka, orang yang penting untuk menghubungi Pek-lian-kauw. Akan tetapi Kun Liong tidak mau bicara tentang pesan orang yang hampir mati itu ketika menyebut-nyebut nama Pek-lian-kauw. Dia, tidak mau mencampuri urusan orang lain. “Aku tidak tahu siapa dia. Aku memang mengambil pakaiannya, akan tetapi hat itu kulakukan karena terpaksa, karena aku harus melindungi tubuhku dari serangan panas, dan kuanggap sebagai pmbalasan perbuatanku yang mengurus dan mengubur jenazahnya.” “Si Keparat Tula! Dia harus kita hajar!” Marcus berkata dan lima orang Mongol itu mengangguk-angguk. “Yap Kun Liong, sekarang ceritakanlah, ke mana engkau hendak pergi dan mengapa melalui tempat asing di luar Tembok Besar ini?” Kun Liong terkejut dan memandang wajah Kim In dengan mata terbelalak. “Di luar Tembok Besar? Wah, pantas adanya hanya padang pasir melulu den gunung-gunung liar! Aku tidak tahu, tidak mengenal jalan. Aku hanya tahu bahwa aku harus ke barat, karena aku hendak pergi ke Tibet.” Semua orang terkejut dan pandang mata Marcus tajam menyelidik, agaknya dia mulai curiga lagi. “Ke Tibet?” Lauw Kim In bertanya. Kun Liong dapat menduga bahwa sebetulnya wanita itu ingin mendengar tentang sumoinya, maka dia lalu berkata terus terang, “Benar, ke Tibet untuk mencari Pek Hong Ing.” Tepat dugaan Kun Liong, karena begitu mendengar nama sumoinya, wajah Kim In berubah dan perhatiannya tercurah sepenuhnya. “Apa yang terjadi dengan Sumoi?” tanyanya tidak sabar. “Tiga orang pendeta Lama yang amat lihai telah membawanya pergi dan aku tidak berdaya mencegahnya, bahkan aku hampir mati oleh mereka yang amat lihai. Setelah aku sembuh, aku sekarang pergi menyusul dan hendak mencarinya. Karena mereka itu adalah pendeta-pendeta Lama, maka aku hendak mencari mereka ke Tibet.” “Ahhhh...!” Wajah yang cantik itu menjadi pucat, agaknya dia merasa cemas sekali akan nasib sumoinya. Melihat ini, Kun Liong merasa kasihan dan juga senang bahwa wanita ini masih mencinta sumoinya. Maka berkatalah dia dengan suara menghibur, “Harap jangan khawatir. Aku akan mencarinya sampai dapat, dan aku merasa pasti bahwa aku akan dapat menyelamatkannya dari ancaman siapapun juga!” Kim In menggerakkan bibirnya, akan tetapi tidak mengatakan sesuatu, lalu menunduk. Kemudian terdengar dia menghela napas dan berkata, “Kalau begitu, engkau tidak melakukan suatu kesalahan terhadap kami. Kau boleh pergi sekarang juga.” Kun Liong bangkit berdiri memandang ke sekeliling. Dia melihat betapa sinar mata Marcus melahapnya seperti hendak membunuhnya dengan sinar mata akan tetapi orang kulit putih itu tidak berani bergerak. Melihat keraguan Kun Liong, Kim In berkata kepada lima orang pemimpin Mongol, “Biarkan dia pergi. Dia hendak mencari sumoiku.” Lima orang Mongol itu lalu mengeluarkan teriakan sebagai aba-aba dan di luar ruangan terdengar teriakan-teriakan menyambut dalam bahasa Mongol. Dua orang perajurit masuk lalu mengawal Kun Liong keluar dari situ. Kun Liong hany tersenyum dan tidak berkata apa-apa mengikuti dua orang perajurit itu keluar dari benteng ini. TAK lama kemudian setelah Kun Liong pergi, Kim In berkata kepada suaminya, “Aku lupa untuk berpesan sesuatu kepadanya untuk disampaikan kepada Sumoi! Kalian tunggu sebentar, aku hendak menyusulnya!” Tanpa memberi kesempatan orang lain untuk menjawab, tubuh Kim In sudah mencelat dan seperti terbang cepatnya dia sudah berlari keluar mengejar. Kun Liong sudah keluar dari pintu gerbang dan selagi dia berjalan dengan hati ringan karena tak disangkanya bahwa urusan dengan orang macam Ouwyang Bouw dan Marcus dapat diselesaikan sedemikian mudahnya berkat Lauw Kim In, tiba-tiba terdengar suara wanita itu dari belakang, “Kun Liong, tunggu dulu!” Kun Liong membalikkan tubuhnya, wajahnya berseri dan mulutnya tersenyum sungguhpun hatinya berdebar tegang karena dia khawatir kalau-kalau terjadi sesuatu yang tidak menguntungkan dirinya. Tanpa mengeluarkan kata dia memandang wanita itu dengan mata penuh pertanyaan. “Aku ingin bertanya sesuatu kepadamu,” kata Lauw Kim In setelah dia berdiri di depan pemuda itu. “Mengapa engkau pergi bersusah payah mencari Sumoi?” Kun Liong tersenyum. Kiranya hanya itu yang membuat wanita ini berlari-lari menyusulnya. “Tentu saja aku mencarinya karena dia terancam bahaya, biarpun para pendeta Lama itu tidak menyatakan demikian. Bahkan... bahkan... ada hal yang amat luar biasa yang membuka rahasia Hong Ing... tentang ayahnya...” Kun Liong masih ragu-ragu apakah dia akan menceritakan semua peristiwa yang terjadi di pulau kosong itu. “Hemm, tentang ayahnya? Seorang pendeta Lama? Aku sudah tahu sedikit-sedikit tentang riwayatnya, Kun Liong. Ingat, aku bersama dengan Subo ketika kami menemukan ibunya dan dia.” Kun Liong kini tidak ragu-ragu lagi dan diceritakanlah semua peristiwa yang terjadi di pulau itu, tentang pertemuan mereka dengan pendeta Lama sakti yang ternyata adalah ayah Pek Hong Ing, yaitu pendeta yang ternyata bernama Kok Beng Lama, tentang tiga orang pendeta Lama lain yang membawa pergi Hong Ing. “Demikianlah, biarpun mereka itu mengaku supek dan susiok Hong Ing, aku masih curiga dan aku harus mencari Hong Ing sampai ketemu.” Kun Liong mengakhiri penuturannya. Lauw Kim In kagum dan terheran-heran, lalu menghela napas dan bertanya, “Yap Kun Liong, katakanlah. Apakah engkau mencinta sumoi?” Kun Liong mengangguk, menjawab dengan sepenuh hatinya, “Aku cinta padanya, dan aku bersiap mengorbankan nyawa demi untuk keselamatannya. Aku cinta kepada Pek Hong Ing, mencintanya dengan seluruh jiwa dan ragaku!” Terdengar isak atau sedu sedan naik dari dada Lauw Kim In. “Sukurlah...” dia berbisik, “Semoga dia berbahagia...” dan tiba-tiba sekali, tanpa tersangka-sangka, tangan kanannya bergerak dan sudah mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Kun Liong! Namun Kun Liong tidak mengelak dan kelihatan tenang-tenang saja seolah-olah tak pernah terjadi sesuatu. “Hemmm... kalau aku menghendaki, bukanlah nyawamu telah melayang, Kun Liong?” katanya sambil memperlihatkan segumpal rambut di dalam cengkeram tangannya. Memang hebat sekali ilmu kepandaian Lauw Kim In. Tangannya dapat memutuskan segumpal rambut tanpa terasa sedikit pun oleh Kun Liong. Akan tetapi pemuda itu tersenyum. “Kalau aku menghendaki, engkaulah yang akan roboh dulu, akan tetapi aku tahu bahwa engkau hanya ingin mengujiku, dan melihat apakah aku cukup dapat diandalkan untuk menolong Sumoimu. Bukankah begitu?” Lauw Kim In terkejut. “Apa... apa maksudmu?” “Lihat saja itu... sayang engkau yang secantik ini mau mengorbankan diri menjadl isteri Ouwyang Bouw.” Kim In yang dituding dadanya itu cepat menunduk dan menahan jeritnya. Bajunya telah berlubang, baju luar dalam sehingga sebuah di antara ujung buah dadanya mencuat keluar tanpa dirasakannya sama sekali! Dia mendengar angin menyambar dan ketika dia mengangkat mukanya, ternyata yang tampak hanya bayangan Kun Liong berkelebat dan pemuda itu sudah lenyap dari depannya! Kini ini menjatuhkan diri duduk di atas tanah, menutupi buah dada yang menjenguk keluar seperti melalui jendela itu dengan tangan kirinya, termenung dan termangu-mangu. Akan tetapi di wajahnya yang cantik tersungging senyum. Dia merasa ikut bahagia bahwa sumoinya, satu-satunya orang yang dicintanya seperti adiknya sendiri, ternyata telah memperoleh seorang kekasih yang demikian lihai, demikian lucu dan... agak sayang, demikian kurang ajar! Akan tetapi kekurangajaran yang dapat dia maafkan dan bahkan membuat dia tersenyum geli. Gara-gara dia hendak memperlihatkan kepandaiannya, ternyata dia malah mendapat malu. Kalau saja Kun Liong menghendaki, setelah dapat merobek baju luar dalam di dada tanpa dirasainya, tentu pemuda itu dapat melakukan apa pun juga terhadap dirinya tadi!   Ketika Kim In kembali ke markas dengan pikiran masih tenggelam ke alam lamunan memikirkan sumoinya yang tidak disangka-sangkanya bertemu dengan ayahnya dan kini malah dibawa oleh para Lama sakti ke Tibet, terjadilah hal lain yang tidak diketahui oleh wanita ini. Diam-diam, dengan persetujuan Ouwyang Bouw, Marcus dan para pimpinan orang Mongol mengerahkan seratus lebih Pasukan Tombak Maut melakukan pengejaran kepada Kun Liong dengan maksud membunuh pemuda itu! Kun Liong berjalan seorang diri, hatinya gembira karena dia telah terlepas dari bencana. Dia tersenyum-senyum kalau mengingat pertemuannya yang terakhir dengan Lauw Kim In, akan tetapi wajahnya menjadi merah dan dia merasa malu sendiri teringat akan kekurangajarannya telah merobek baju wanita itu sehingga tampak sebuah di antara buah dadanya. Sayang, pikirnya. Wanita secantik itu, dengan bentuk tubuh seindah itu, menyerahkan diri kepada seorang pria semacam Ouwyang Bouw! Dia menghela napas dan jantungnya berdebar tegang, mencela diri sendiri yang harus mengaku bahwa darah mudanya bergelora ketika dia mengingat akan penglihatan yang menggairahkan hatinya itu. Gairah hatinya membuat dia mengingat yang bukan-bukan, teringat akan malam yang takkan pernah terlupakan olehnya, di dalam kuil tua, di malam sunyi, di mana dia tenggelam dalam buaian cinta bersama Hwi Sian! Jantungnya berdebar makin keras dan begitu dia teringat kepada Hong Ing, semua bayangan itu lenyap dan ingin dia menampar mukanya sendiri. Sialan! Mata keranjang! Demikian dia memaki diri sendiri. Tiba-tiba terdengar olehnya derap kaki banyak kuda dari belakang. Kun Liong tersenyum dan menghentikan langkahnya, bahkan lalu duduk di atas sebuah batu besar sambil menghapus keringatnya di leher dan muka. Dia mengira bahwa tentu Lauw Kim In yang mengejarnya lagi, entah mau apa sekarang wanita itu. Dia tidak khawatir akan celaka di tangan wanita itu. Akan tetapi ketika seratus orang lebih itu tiba dekat, dia mengerutkan alisnya. Pasukan Mongol yang menunggang kuda itu mengurungnya, semua meloncat dari atas kuda dengan sikap mengancam dengen senjata tombak di tangan. Marcus berada paling depan, telah menodongkan anak panah yang telah dipasang pada busurnya, sikapnya mengancam dan senyumnya menyeringai. “Yap Kun Liong, engkau katakan di mana disimpannya bokor emas, baru aku mengampuni nyawamu!” bentak Marcus sambil menodongkan anak panahnya. Wajah Kun Liong menjadi merah. Maklumlah dia bahwa di dalam persekutuan ini pun, Marcus hanya mencari keuntungannya sendiri dan tentu perbuatannya ini di luar tahunya Ouwyang Bouw maupun Lauw Kim In. “Hemm,” Kun Liong tersenyum. “Marcus, engkau memang seorang yang licin dan curang. Tadinya engkau bersekutu dengan Tok-jiauw Lo-mo, kemudian rela menjadi gendak Kim Seng Siocia, sekarang engkau membohongi dan menipu orang-orang Mongol.” “Jangan banyak cakap! Nyawamu berada di tanganku! Hayo katakan di mana bokor itu?” “Aku tidak tahu di mana benda pusaka itu, andaikata aku tahu sekalipun, tak mungkin akan kuberitahukan kepadamu,” jawab Kun Liong tenang, akan tetapi diam-diam tangannya telah mencengkeram hancur ujung batu dan digenggamnya dengan tangan kanan. “Keparat! Kalau begitu mampuslah!” “Wit-wir-wirrr...!” Tiga batang anak panah meluncur dari busur itu dengan cepat sekali. “Siuuuuttt... singggg... tak-tak-takkk!” Tiga batang anak panah itu runtuh dan patah-patah disambar hancuran batu yang disambitkan tangan kanan Kun Liong. Pemuda itu masih duduk dengan tenang dan tidak mempedulikan sikap Marcus yang terkejut dan memandang anak panahnya dengan muka pucat. “Serbu...! Bunuh...!” Marcus berteriak marah sekali, karena untuk menyerang lagi dengan anak panah dia tidak berani. Sekali saja gagal seperti itu sudah cukup memalukan. Biarpun dikepung oleh seratus orang lebih yang bertubuh tinggi besar, bersikap ganas dan bersenjata tombak panjang, Kun Liong tidak menjadi gentar dan dia masih enak-enak duduk di atas batu besar. “Wah-wah-wah, tidak adil sama sekali! Hee, jangan kalian tidak tahu malu!” tiba-tiba terdengar teriakan dari atas! Semua orang juga Kun Liong memandang ke atas dan kiranya di atas pohon tak jauh dari situ terdapat dua orang laki-laki duduk nongkrong di atas dahan pohon dan yang berteriak-teriak adalah laki-laki yang tua, yang usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, pakaiannya aneh sekali, pakaian longgar kebesaran berkotak-kotak celananya sedangkan bajunya berkembang, kepalanya memakai kopyah seperti yang biasa dipakai seorang anak kecil, mukanya riang dan tersenyum-senyum, matanya yang amat tajam itu kocak dan penuh kegembiraan hidup. Adapun orang ke dua adalah seorang laki-laki muda, usianya tentu tidak lebih dari dua puluh lima tahun tubuhnya tinggi tegap, wajahnya tampan dan gagah sekali membuat Kun Liong kagum memandangnya, sikap pemuda ini pendiam dan tenang.   Melihat dua orang itu, Marcus membentak, “Siapa kalian dan perlu apa mencampuri urusan kami?” “Wah-wah-wah, tentu saja kami mencampuri!” Kakek itu berkata lagi, “Kalian ini tidak tahu malu sekali! Tunggu aku turun dulu baru bicara, di atas sini mengerikan!” Kakek itu lalu merayap turun akan tetapi Si Pemuda lalu memegang lengannya dan membawanya melayang turun. Gerakan pemuda itu cukup lumayan. Ketika dibawa meloncat turun, kakek itu menjerit ketakutan. Akan tetapi setelah turun atas tanah, dengan langkah gagah dia menghampiri Marcus dan kawan-kawannya, sedangkan pemuda gagah itu hanya melangkah penuh hormat di belakangnya! Kun Liong merasa tertarik sekali dan diam-diam dia merasa geli. Mau apakah kakek yang seperti badut ini? Benar-benar mencari penyakit, pikirnya. Mana mungkin mengajak bicara orang macam Marcus dan gerombolan Mongol itu secara baik-baik? Akan tetapi jika diam saja, tetap duduk di atas batu besar sambil memandang penuh perhatian. Diam-diam dia memperhatikan pemuda yang berjelan di belakang kakek itu. Seorang pemuda yang hebat, pikirnya. Tubuhnya tegap dan kelihatan kuat, apalagi karena wajahnya yang tampan itu serius dan tenang sekali. Mungkin pemuda inilah yang hebat, pikirnya kagum. Baru melihat saja sudah timbul rasa sukanya kepada pemuda itu. Si Kakek Aneh itu kini sudah berhadapan dengan Marcus dan lima orang raksasa Mongol yang menjadi pimpinan pasukan itu. Wajahnya gembira ria dan senyumnya melebar, akan tetapi Kun Liong melihat sinar aneh memancar keluar dari sepasang mata kakek itu. “Aihh, kiranya yang memimpin adalah seorang berkulit putih bermata biru! Eh, Tuan, kami tidak bisa tinggal diam saja melihat kalian ini mau membunuh pemuda itu. Kalian adalah manusia-manusia yang beradab, bukan? Mana mungkin mau menyembelih seorang manusia lain? Sungguh buas dan hal ini sama sekali tidak boleh dilakukan. Sama sekali tidak boleh!” Kun Liong menahan ketawanya. Kakek ini benar-benar mencari penyakit, pikirnya. Mengajukan ceng-li (aturan) seperti itu kepada orang-orang macam Marcus! Betapa menggelikan! Sama dengan berpidato di depan gerombolan serigala liar! Mencari penyakit namanya. Marcus marah bukan main. “Kakek tua bangka gila! Engkau lancang sekali! Aku mau membunuh siapapun, engkau peduli apa? Bahkan kalian berdua kalau sudah bosan hidup akan kubunuh sekali!” Kun Liong memperhatikan sikap pemuda di belakang kakek itu, namun pemuda itu tetap diam saja, sedikit pun tidak berubah air mukanya, seolah-olah ancaman hebat itu sama sekali tidak didengarnya. Kun Liong makin kagum. Pemuda itu bernyali besar! Akan tetapi yang lebih mengherankan adalah sikap kakek aneh itu. Dia ini diancam bukan menjadi takut, malah makin hebat gilanya! “Kalian tidak mau mundur? Wah, kalian malah hendak membunuh kami berdua? Uh-uhhh... daripada melihat kekejaman yang tiada taranya ini, biarlah kalian bunuh guru dan murid lebih dulu. Setelah kalian membunuh kami berdua terserah hendak kalian apakan pemuda yang duduk di atas batu itu!” Gila, pikir Kun Liong. Akan tetapi dia terharu. Biarpun kakek itu gila, akan tetapi gilanya adalah gilanya orang budiman! Dan kakek itu mengaku sebagai guru pemuda tegap itu. Benar-benar mengherankan dan dia menjadi makin ingin tahu, ingin melihat apa yang akan terjadi selanjutnya, maka dia merosot turun dari batu, dan siap untuk melindungi mereka berdua andaikata mereka terancam oleh gerombolan ganas itu. Marcus dan teman-temannya kini tertawa bergelak, “Ha-ha-ha!” Marcus tertawa memegangi perutnya. “Kiranya tua bangka ini miring otaknya! Kau minta mati?” Kun Liong merasa geli akan tetapi juga khawatir. Dia sudah ingin meloncat maju mencegah kakek aneh itu yang membelanya secara luar biasa. Mana ada orang membela dengan cara menyerahkan nyawa sendiri? Akan tetapi pada saat dia hendak bergerak maju, dia melihat pemuda tegap tampan itu memandang tajam kepadanya dan pemuda itu menggoyang kepalanya, jelas memberi isyarat agar dia tidak melakukan apa-apa! Makin tertarik dan terheranlah hati Kun Liong. Apa maunya guru dan murid itu? Kalau mereka itu orang-orang lihai dan benar hendak menolongnya, mengapa bersikap demikian aneh? Akan tetapi melihat pemuda itu dengan sikap sungguh-sungguh menggoyang kepala mencegah dia bergerak. Kun Liong lalu mengangguk, tanda bahwa dia akan mentaati permintaan pemuda itu, lalu dia duduk kembali di atas batu besar, menonton penuh perhatian dan dengan hati amat tertarik. Dia melihat bahwa pemuda itu kini aneh sekali, memejamkan mata dan mengatur pernapasan! Akan tetapi hal itu dilakukan sambil beirdiri, dengan kedua lengan bersilang di depan dada. Dengan terheran-heran Kun Liong memperhatikan kakek itu. Kakek itu tertawa dan Kun Liong merasa tengkuknya meremang ketika mendengar suara ketawa ini. Suara ketawa yang mengandung tenaga mujijat, yang membuat jantungnya tergetar hebat! Kemudian suara itu disusul dengan kata-kata yang lebih menggetarkan lagi, kata-kata yang menembus sampai ke ulu hati. “Ha-ha-ha-ha, kalian semua lihatlah baik-baik, apakah kalian bisa membikin aku mati. Nah, ini kepalaku, penggallah kepalaku sepuas hati kalian. Kalau aku sudah dapat kalian bunuh, juga muridku, baru kalian boleh mengeroyok pemuda itu, ha-ha-ha!” Dengan mata terbelalak penuh keheranan Kun Liong melihat betapa kakek itu telah berbaring di atas sebuah batu besar, menjulurkan kepalanya sehingga nampak lehernya yang panjang, menantang untuk dipenggal lehernya! Marcus dan lima orang pemimpin Mongol tertawa geli, kemudian seorang di antara pemimpin itu mencabut goloknya, sambil tertawa-tawa menghampiri tubuh kakek yang rebah telentang. Jantung Kun Liong berdebar keras, akan tetapi anehnya, dia tidak mampu menggerakkan kakinya, maka dia hanya melihat dengan mata terbelalak ketika golok yang amat tajam berkilauan itu diayunkan dengan kuat ke arah leher kakek itu. “Crakkkk!” Leher itu sekali babat putus! Darah muncrat-muncrat. Akan tetapi Kun Liong makin terbelalak dan semua orang mengeluarkan seruan kaget ketika darah yang muncrat-muncrat itu berkumpul di atas leher yang buntung dan perlahan-lahan darah itu berubah menjadi kepala yang baru! Kepala kakek itu masih menempel atau lebih tepat lagi, dari leher yang buntung itu “tumbuh” kepala baru, sedangkan kepalanya yang pertama masih menggelinding di atas tanah, di bawah batu! “Ilmu siluman...!” Marcus dan beberapa orang berteriak kaget. Akan tetapi algojo Mongol itu menjadi penasaran. Goloknya diayun lagi ke bawah. “Crakkkk!” Kembali kepala itu terpisah dari badannya, terpenggal dan darah muncrat-muncrat. Akan tetapi, darah itu kembali berubah menjadi sebuah kepala yang baru, menggantikan kepala ke dua yang terpenggal. Mulailah semua orang menggigil dan muka mereka pucat, mata mereka terbelalak. “Ha-ha-ha-ha, hayo kalian boleh penggal kepalaku sepuas hatiku!” terdengar suara kakek itu mengejek dan hebatnya, yang bersuara bukan hanya mulut kepala yang masih menempel di leher, bahkan dua buah kepala yang sudah menggelinding dan berada di atas tanah itu pun menggerakkan mulut mengeluarkan kata-kata itu dan matanya merem melek, bibirnya tersenyum! “Setan...!” “Ilmu iblis...!” “Siluman...!” “Biar kupenggal lagi kepalanya!” Orang Mongol itu masih nekat dan mengayun goloknya. Akan tetapi ketika berulang-ulang dia memenggal kepala dan selalu tumbuh kepala baru dari leher yang buntung, orang Mongol itu yang sejak tadi menahan rasa takutnya, kini tidak kuat lagi melihat banyak kepala berserakan di dekat kakinya, kepala yang masih hidup, tertawa dan melotot. Dia mengeluh, goloknya terlepas dan dia roboh pingsan! Seperti tawon diusir dari sarangnya, seratus lebih Pasukan Tombak Maut itu kini berlumba melarikan diri, didahului oleh Marcus dan empat orang pemimpin Mongol! Debu mengebul tinggi ketika mereka tergesa-gesa membalapkan kuda dan membawa pergi algojo Mongol yang masih pingsan! Kun Liong masih duduk dengan mata terbelalak ketika pundaknya ditepuk orang dari belakang. Dia menoleh dan melihat bahwa yang menepuk pundaknya adalah pemuda tampan gagah tadi. Dia terkejut, mukanya masih pucat dan ketika dia memandang lagi ke arah “mayat” yang lehernya dipenggal berkali-kali itu, ternyata bahwa kakek itu pun sudah bangkit berdiri dan kepala-kepala yang tadi berserakan di atas tanah sudah lenyap. Yang ada hanyalah kakek itu, tersenyum-senyum tenang seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu. “Eh, apa yang terjadi...? Bagaimana... mengapa...” Kun Liong masih bingung dan dengan gagap bertanya. “Sudah kuberi isyarat, akan tetapi engkau tidak mau meniru apa yang kulakukan, sehingga engkau terpengaruh pula oleh hoatsut yang dikerahkan Suhu untuk menakut-nakuti dan mengusir mereka,” kata pemuda itu. “Hoatsut (ilmu sihir)...? Ahhh... kiranya begitu?” Kun Liong kagum bukan main dan kini dia memandang kakek itu dengan sikap hati-hati. Tak disangkanya kakek itu memiliki kekuatan batin yang demikian hebat sehingga dapat bermain sulap dan mempengaruhi demikian banyaknya orang. Kemudian dia menjura dengan sikap hormat sambil berkata, “Kiranya saya berhadapan dengan orang pandai! Terima kasih atas pertolongan Locianpwe. Saya Yap Kun Liong dan bolehkan saya mengetahui nama besar Locianpwe dan saudara gagah perkasa?” “Ha-ha-ha!” Kakek itu tertawa bergelak. “Yap-sicu terlalu merendahkan diri dan bersikap sungkan. Kami guru dan murid sama sekali tidak menolong Sicu yang gagah perkasa. Kalau mau bicara tentang pertolongan, agaknya lebih tepat kalau dikatakan bahwa aku telah menolong orang-orang Mongol bodoh itu dari kematian di tangan Sicu yang amat lihai. Karena tidak ingin menyaksikan Sicu yang perkasa melakukan pembunuhan terhadap ratusan orang, maka terpaksa dengan lancang aku menakut-nakuti mereka agar mereka dapat diusir tanpa dibunuh.” Kun Liong terkejut. Kiranya kakek itu selain lihai ilmu sihirnya, juga bermata tajam dan berpemandangan luas, membuat dia makin tunduk dan cepat dia berkata, “Locianpwe, terlalu memuji. Harap sudi memperkenalkan nama.” “Aku disebut Hong Khi Hoatsu, seorang pertapa yang berkelana tak tentu tempat tinggal dan tempat tujuan. Dia ini adalah Lie Kong Tek, muridku yang juga menjadi anak angkatku. Yap-sicu, kalau boleh aku bertanya, mengapa Sicu dimusuhi oleh gerombolan orang Mongol dan orang kulit putih itu? Sedangkan Sicu sendiri memakai pakaian orang kulit putih.” Kun Liong menunduk memandang pakaiannya sendiri. Dia tidak ingin berpanjang cerita, apalagi menyangkut diri Lauw Kim In yang telah bersikap baik kepadanya itu. “Mungkin karena pakaian inilah yang membuat aku dimusuhi mereka, Locianpwe. Mereka mengira bahwa aku mencuri pakaian seorang di antara teman mereka, dituduh membunuh orang itu.” “Hemm, memang aneh melihat Sicu memakai pakaian seperti ini.” “Memang aku mengambil pakaian ini dari mayat seorang kulit putih yang terbunuh oleh gerombolan Mongol.” Dengan singkat Kun Liong menuturkan pengalamannya ketika dia menolong seorang kulit putih yang dikeroyok orang-orang Mongol akan tetapi yang tidak berhasil diselamatkan nyawanya itu. “Aku disangka membunuhnya dan dikejar-kejar, untung muncul Locianpwe dan Lie-twako yang menolongku.” Hong Khi Hoatsu tertawa. “Jangan Sicu mengulangi kata-kata menolong. Kalau boleh aku mengetahui, Yap-sicu hendak menuju ke manakah? Mengapa sampai tersesat di tempat terasing di luar Tembok Besar ini?” “Aku hendak pergi ke Tibet untuk suatu urusan yang amat penting, urusan pribadi.” Berseri wajah kakek itu. “Bagus, kalau begitu kita dapat melakukan perjalanan bersama!” “Mana saya berani mengganggu Locianpwe?” “Ah, pertemuan ini berarti bahwa ada jodoh di antara kita, Yap-sicu. Kalau Sicu tidak bertemu dengan kami, tentu tidak ada yang memberi tahu bahwa Sicu telah keliru mengambil jalan!” “Apa maksud Locianpwe?” “Perjalanan menuju ke Tibet sebaiknya dilakukan melalui pedalaman. Dari sini menyeberang Tembok Besar memasuki pedalaman terus ke selatan, setelah tiba di Propinsi Shantung. barulah ke barat melalui Secuan. Dengan demikian, selain perjalanan lebih cepat, juga jauh lebih aman. Melalui pegunungan dan padang pasir di luar Tembok Besar merupakan perjalanan yang amat sukar, berbahaya, dan karenanya akan memakan waktu lebih lama.” “Aihh! Begitukah?” Kun Liong berseru kaget dan juga girang. “Karena itu, marilah Sicu melakukan perjalanan bersama kami. Selain Sicu memperoleh petunjuk jalan, juga kalau Sicu sudi membantu kami membutuhkan bantuan Sicu.” Kun Liong tidak segera menyanggupi. “Ji-wi hendak pergi ke manakah?” “Kami bertujuan pergi ke muara Sungai Huai, di pantai Laut Kuning...” “Ahhh...!” Kun Liong terkejut sekali karena segera teringat dia akan orang kulit putih yang dia rampas pakaiannya, kata-kata pesanan orang itu sebelum mati. “Mengapa Yap-sicu terkejut?” kakek itu bertanya. “Apakah ada hubungannya dengan Pek-lian-kauw?” Kun Liong memancing. Kini kakek dan pemuda ganteng itu yang kaget. Hong Khi Hoatsu memandang tajam lalu bertanya, “Yap-sicu, kita adalah orang-orang sendiri yang tidak harus merahasiakan sesuatu. Dari mana Sicu tahu akan Pek-lian-kauw yang berada di muara Sungai Huai?” “Aku mendengar dari pemilik pakaian ini, sebelum dia mati, dia meninggalkan kata-kata tentang Pek-lian-kauw di muara Sungai Huai di pantai Laut Kuning.” “Bagus sekali! Jadi jelas bahwa Sicu bukanlah sahabat Pek-lian-kauw, bukan?” “Tentu saja bukan, Locianpwe. Bahkan di waktu kecil dahulu, hampir saja saya dibunuh seorang tosu Pek-lian-kauw bernama Loan Khi Tosu.” “Hemm, kalau begitu kebetulan sekali. Sicu tentu sudi membantu kami untuk suatu usaha menolong orang dan berhadapan dengan Pek-lian-kauw, bukan?” “Harap Locianpwe menceritakan persoalannya lebih dulu sebelum saya menyatakan kesanggupan saya.” “Kami benar-benar mengharapkan bantuan Sicu karena menyaksikan gerakan Sicu tadi kami merasa yakin bahwa hanya seorang dengan kepandaian seperti Sicu yang akan dapat membantu. Ketahuilah, Yap-sicu. Ketika aku bersama muridku mengunjungi seorang sahabat baikku di luar Tembok Besar, kami melihat dia berada di ambang kematian karena luka-lukanya. Dia telah bentrok dengan Pek-lian-kauw, dan dalam pertandingan yang hebat, dia terluka parah dan puterinya telah tertawan dan diculik oleh kaum Pek-lian-kauw yang berkedudukan di muara Sungai Huai di pantai Laut Kuning. Sebelum mati, sahabatku itu berpesan agar kami suka menolong puterinya itu, bahkan dia menyerahkan puterinya itu kepadaku untuk dijodohkan dengan muridku.” “Hemm...” Kun Liong mengangguk-angguk sambil melirik ke arah pemuda tampan itu yang sejak tadi diam saja. Mereka bertemu pandang dan Lie Kong Tek berkata, “Saudara Yap, pesan seorang yang sedang sekarat merupakan pesan keramat. Biarpun saya tidak setuju dengan ikatan jodoh yang mendadak ini, namun saya tidak tega untuk menolak, dan terserah kepada Suhu. Betapapun juga, kami harus menolong gadis yang belum pernah kami lihat itu. Hanya kami ketahui namanya, yaitu Bu Li Cun.” Mendengar ini, tanpa ragu-ragu lagi Kun Liong berkata, “Kalau demikian persoalannya, tentu saja saya dengan senang hati akan membantu Ji-wi!” “Bagus! Dengan bantuan Yap-sicu, tugas kami menjadi lebih ringan dan makin besar harapannya akan berhasil baik!” Kakek itu tertawa-tawa gembira. Lie Kong Tek lalu membuka bungkusan pakaiannya, menyerahkan satu stel pakaian kepada Kun Liong sambil berkata, “Saudara Yap, harap kau suka memakai pakaian ini. Pakaianmu itu hanya akan menimbulkan kecurigaan dan keributan saja.” Kun Liong tersenyum. Tanpa membantah dia menerima pakaian lalu mengganti pakaiannya yang memang aneh itu. Setelah mengenakan pakaian biasa, barulah terasa enak dan lega hatinya dan sambil tersenyum dia mengucapkan terima kasih kepada sahabat baru itu. “Eh, Yap-sicu. Aku merasa heran sekali melihat bentuk rambut kepalamu dan takkan puas aku sebelum mendengar darimu mengapa rambutmu menjadi begitu pendek,” kakek yang suka berkelakar dan suka mengobrol itu bertanya. Kun Liong meraba-raba kepalanya, merasa beruntung bahwa kini kepalanya sudah berambut. Sudah berambut saja, karena masih pendek, sudah menjadi perhatian dan pertanyaan orang, apalagi kalau masih gundul! “Panjang ceritanya, Locianpwe.” “Kalau begitu, mari kita melanjutkan perjalanan dan harap kau suka menceritakan di dalam perjalanan, Yap-sicu.” Berangkatlah tiga orang itu ke selatan sambil bercakap-cakap dan Kun Liong makin merasa suka kepada guru dan murid itu. Dia mulai membuka sedikit perihal dirinya dengan menceritakan betapa rambutnya pernah gundul karena pengaruh racun akan tetapi sekarang telah sembuh. Beberapa hari kemudian, Kun Liong sudah menjadi sahabat baik Lie Kong Tek dan diam-diam dia merasa kagum dan heran. Kagum karena baik si guru maupun si murid merupakan orang-orang gagah dan budiman, jujur dan ramah, akan tetapi dia juga heran mengapa terdapat perbedaan seperti bumi dan langit antara guru dan murid itu. Kalau gurunya suka mengobrol, gembira dan jenaka, adalah si murid pendiam dan serius sehingga sukar sekali mengukur sampai di mana tingkat kepandaian Lie Kong Tek ini. Setelah mereka melewati Tembok Besar, mulailah Kun Liong melihat peradaban, melihat lagi kota-kota dan penduduknya, bertemu dengan manusia-manusia biasa di dunia ramai. Namun, berbeda dengan dahulu, semua itu hanya merupakan hiburan sepintas lalu saja karena hati dan pikirannya selalu penuh dengan bayangan wajah Pek Hong Ing dan seringkali dia merasa gelisah memikirkan keselamatan wanita yang dicintanya itu. Dunia kang-ouw gempar dengan tersebarnya undangan dari Pek-lian-kauw wilayah timur yang akan merayakan pernikahan antara Liong Bu Kong, putera bekas Ketua Kwi-eng-pang dengan Cia Giok Keng, puteri dari Ketua Cin-ling-pai. Pek-lian-kauw menjadi wali dari Liong Bu Kong, sehingga dengan demikian berarti bahwa Pek-lian-kauw berbesan dengan Cin-ling-pai! Tentu saja berita ini menggemparkan para orang gagah di dunia kang-ouw dan pada hari pernikahan yang telah ditentukan, berbondong-bondong orang-orang gagah dari segenap penjuru membanjiri muara Sungai Huai, markas besar Pek-lian-kauw wilayah timur itu. Semua orang ingin menyaksikan peristiwa yang amat aneh ini, karena setahu mereka, Pendekar Sakti Cia Keng Hong Ketua Cin-ling-pai adalah seorang gagah yang selalu membantu pemerintah menentang Pek-lian-kauw. Bagaimana mungkin sekarang malah berbesan dengan Pek-lian-kauw, mengambil mantu seorang pemuda putera seorang datuk kaum sesat? Pada pagi hari yang telah ditentukan, ruangan depan Pek-lian-kauw sampai ke pekarangan penuh dengan para tamu yang sebagian besar terdiri dari orang-orang dari dunia kang-ouw dan Hok-lim. Baik golongan putih maupun hitam hadir, karena mereka semua tertarik oleh peristiwa yang luar biasa ini. Pihak Pek-lian-kauw yang ingin menarik sebanyak mungkin orang gagah untuk membantu perjuangannya melawan pemerintah, sekali ini mengadakan pesta besar-besaran. Daging dan arak diobral sampai berlimpah-limpah. Di antara para tamu itu terdapat Hong Khi Hoatsu, Lie Kong Tek, dan Yap Kun Liong. Mereka bertiga bukan merupakan tamu-tamu yang diundang. Mereka sengaja menyelinap di antara sekian banyaknya tamu dan tentu saja tidak ada yang mengenal mereka dan tidak ada yang mencurigai. Seperti diketahui, kedatangan mereka adatah untuk menyelidiki dan menolong seorang gadis bernama Bu Li Cun yang terculik oleh orang-orang Pek-lian-kauw. Akan tetapi, ketika tiba di situ dan melihat Pek-lian-kauw sedang mengadakan pesta pernikahan yang didatangi ratusan orang tamu, mereka bertiga tidak berani sembarangan turun tangan dan menyelinap di antara para tamu untuk melihat keadaan dan menanti kesempatan baik. Mereka baru saja tiba, maka tidak mendengar siapa yang akan menikah di markas Pek-lian-kauw itu, juga mereka tidak menganggap penting hal ini maka tidak menyelidiki. Ketika sepasang pengantin keluar dari dalam untuk melakukan upacara pernikahan dan sembahyangan, para tamu memandang dengan penuh perhatian. Suasana menjadi sunyi karena semua orang tidak mengeluarkan suara, bahkan makan minum dihentikan dengan sendirinya. Cia Giok Keng yang memakai pakaian pengantin, mencucurkan air mata karena terharu dan berduka. Dia tidak ingat hal-hal yang baru saja terjadi. Yang diingatnya hanyalah bahwa hari ini dia menikah dengan pemuda pilihannya, Liong Bu Kong yang upacaranya dilakukan oleh Pek-lian-kauw yang sudah menolong mereka. Dan dia ingat pula bahwa pernikahan ini tidak disetujui oleh ayahnya, dan bahwa dia telah terusir oleh ayahnya sehingga terpaksa menikah secara ini. Dia berduka sekali, akan tetapi sebagai seorang dara yang berhati keras, dia dapat menahan kedukaannya dan bertekad untuk melanjutkan keinginannya menikah dengan seorang pilihan hatinya sendiri. Ketika keluar dan dituntun ke depan meja sembahyang yang sudah dipersiapkan secara mewah di ruangan depan untuk melakukan upacara pernikahan dengan disaksikan oleh semua tamu, Giok Keng tidak memperhatikan, bahkan tidak mempedulikan para tamu. Di bawah pengaruh obat perampas ingatan, dia menurut saja ketika dituntun dan disuruh berlutut di depan meja sembahyang berdampingan dengan Liong Bu Kong yang mengenakan pakaian pengantin yang gagah dan indah. Hati pemuda ini girang sekali. Hari ini cita-citanya terlaksana. Dia dapat memperisteri Cia Ciok Keng secara sah! Malam nanti, dara yang cantik jelita ini akan menyerahkan diri kepadanya sebagai isterinya, dengan suka rela dan secara resmi! Di samping kebahagiaan ini, dia pun memperoleh kedudukan yang kuat dan baik di Pek-lian-kauw! Kemujuran yang sama sekali tidak disangka-sangkanya setelah kesialan yang dialami ketika ibunya tewas dan Kwi-eng-pang hancur. Seorang pendeta Pek-lian-kauw yang tua ditugaskan memimpin upacara sembahyang untuk meresmikan pernikahan itu. Hio telah dipasang, dupa telah dibakar, den pendeta tua itu siap membaca doa liam-keng. Akan tetapi, baru saja hio dibakar dan hendak diberikan kepada sepasang mempelai, tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring. Lengking yang panjang mengerikan, dan tampak sinar berkelebat diikuti pekik pendeta tua. Hio-hio terlepas dari tangannya karena dupa-dupa biting itu sudah patah semua. Tersusul suara keras dan meja sembahyang itu terguling berantakan! Gegerlah semua orang, apalagi ketika tiba-tiba muncul seorang laki-laki gagah perkasa dan yang berdiri tegak, kedua tangan di pinggang, matanya mengeluarkan sinar berapi-api dan meja sembahyang tadi terguling oleh dorongan tangannya dari jarak jauh! Semua orang terkejut apalagi ketika banyak diantara mereka yang mengenal laki-laki setengah tua yang gagah perkasa itu. “Cia Keng Hong Taihiap...!” “Ketua Cin-ling-pai...!” Bisikan-bisikan ini menjadi berantai dan semua orang memandang dengan mata terbelalak. Kiranya pendekar sakti ini yang muncul, ayah dari pengantin wanita yang kelibatan marah bukan main. Belasan orang anggauta Pek-lian-kauw yang bertugas jaga di situ, tentu saja menjadi marah. Mereka ini tidak mengenal siapa adanya laki-laki yang datang mengacau ini dan mereka pun tidak menerima perintah sesuatu. Maka, melihat ada orang mengacau pesta, bahkan sudah menggulingkan meja sembahyang, belasan orang anggauta Pek-lian-kauw sudah menyerbu dan mengeroyok dengan senjata golok mereka. Terdengar suara berkerontangan disusul pekik mereka dan seorang demi seorang robohlah delapan belas orang pengeroyok itu, roboh pingsan dan golok mereka terlempar ke sana-sini. Ketika mereka semua roboh, pendekar sakti itu masih berdiri bertolak pinggang di tengah-tengah antara mereka seolah-olah dia tadi tidak bergerak sama sekali dan para pengeroyoknya berjatuhan sendiri tanpa dia bergerak! Adapun sepasang pengantin kini sudah bangkit berdiri dan memandang dengan wajah pucat kepada laki-laki perkasa yang bukan lain adalah Cia Keng Hong Ketua Cin-ling-pai itu! Cia Giok Keng sudah menyingkap tirai dari mukanya, dan memandang kepada ayahnya dengan mata terbelalak penuh kemarahan! Sementara itu, melihat bahwa yang menjadi pengantin adalah Giok Keng, dan melihat munculnya Cia Keng Hong, tentu saja Kun Liong menjadi terkejut bukan main. Sungguh seujung rambut pun dia tidak pernah menyangka bahwa sepasang pengantin yang dirayakan di Pek-lian-kauw dan sejak tadi ditontonnya itu adalah Cia Giok Keng dan Liong Bu Kong! Kalau supeknya tidak muncul, tentu dia tidak akan pernah tahu bahwa pengantin wanita adalah Giok Keng, gadis manis galak yang indah bentuk hidungnya itu! Melihat betapa Hong Khi Hoatsu juga terkejut dan terheran-heran karena kakek ini pernah mendengar nama besar Cia Keng Hong, Kun Liong berbisik, “Dia adalah supekku Cia Keng Hong, dan ternyata yang menjadi pengantin wanita itu adalah puterinya. Tentu ada sesuatu yang tidak beres di sini, dan aku takkan dapat mendiamkannya saja...” Hong Khi Hoatsu mengangguk-angguk dan menjawab dalam bisikan, “Lebih baik kita melihat gelagat lebih dulu. Seorang sakti seperti supekmu itu belum tentu membutuhkan bantuan kita, dan tanpa permintaannya berarti lancang kalau kau turun tangan, Sicu.” Kakek ini memandang Kun Liong dengan kagum. Baru dia tahu bahwa pemuda yang dia sudah duga amat lihal ini adalah murid keponakan dari Ketua Cin-ling-pai yang terkenal sekali itu. Kun Liong mengangguk maklum. Memang tepat sekali pendapat kakek ini. Supeknya adalah seorang pendekar sakti yang memiliki nama besar dan kedudukan tinggi sekali di dunia kang-ouw. Kini urusan yang dihadapi supeknya adalah urusan pribadi yang menyangkut puterinya, maka sudah semestinya kalau dibereskan oleh pendekar besar itu sendiri. Kalau dia lancang turun tangan membantu tanpa diminta, hal ini tentu akan menyinggung kehormatan supeknya. Akan tetapi dia merasa khawatir sekali. Dia maklum akan kekerasan hati Giok Keng yang tentu akan melawan siapa pun, bahkan ayahnya sendiri, untuk mempertahankan pendiriannya sendiri. Dan dia terheran-heran mengapa Giok Keng memilih Liong Bu Kong sebagai suami! Benar-benar wanita berwatak aneh sekali, wanita mendatangkan hal-hal yang luar biasa di dunia ini! Lauw Kim In, dara yang manis dan... hemmm, indah sekali tubuhnya, telah mengorbankan diri menjadi isteri seorang laki-laki berotak miring seperti Ouwyang Bouw! Dan sekarang, Giok Keng, puteri Pendekar Sakti Cia Keng Hong, seorang dara yang cantik jelita, memilih Liong Bu Kong, putera datuk sesat yang amat jahat Ketua Kwi-eng-pang, menjadi jodohnya! Betapa anehnya kelakuan dara-dara cantik itu! Akan tetapi di samping ketegangan hatinya, diam-diam dia merasa girang bahwa tanpa disengajanya, dalam mengikuti Hong Khi Hoatsu hendak menolong seorang gadis dari sarang Pek-lian-kauw, dia telah bertemu dengan Cia Keng Hong dan Cia Giok Keng. Setelah secara luar biasa delapan belas orang anggauta Pek-lian-kauw yang berani lancang menyerang Cia Keng Hong roboh terbanting dan pingsan, keadaan menjadi sunyi dan menegangkan. Terdengar bisik-bisik di antara para tamu yang semua memandang penuh perhatian. “Giok Keng...!” Bentakan ini mengandung tenaga khi-kang yang amat hebat dan terasa menggetarkan jantung semua orang yang mendengarnya. Akan tetapi pengantin wanita itu berdiri tegak memandang ayahnya dengan mata terbuka lebar penuh tantangan! “Ayah, kau tidak berhak berbuat begini...” terdengar Giok Keng berkata, suaranya penuh duka namun juga penuh sesalan. “Giok Keng, aku melarang engkau menikah di sini dan dengan seorang tokoh sesat!” “Cia Locianpwe...!” Liong Bu Kong meloncat ke depan. “Wuuuuttt... plakkkk! Bruuukk...!” Tubuh Bu Kong terlempar dan terbanting roboh terdorong oleh hawa pukulan dahsyat yang keluar dari telapak tangan pendekar sakti itu. Akan tetapi karena dia telah memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi, bantingan itu tidak membuat Liong Bu Kong pingsan seperti delapan belas orang anggauta Pek-lian-kauw, hanya membuat dia pening dan dia sudah meloncat berdiri dengan muka pucat dan mata merah. Akan tetapi pemuda ini tentu saja maklum akan kelihaian “calon mertua” yang tidak mau mengakuinya itu, maka dia tidak berani bergerak lagi, melainkan mulai menengok dan mencari-cari Thian Hwa Cinjin dengan pandang matanya karena untuk menghadapi Cia Keng Hong yang sakti, dia hanya mengandalkan Ketua Pek-lian-kauw wilayah timur itu. Namun dia melihat betapa Thian Hwa Cirijin tersenyum kepadanya dan menggelengkan kepala, memberi isyarat agar dia jangan lancang turun tangan! “Ayah, kau tidak berhak memukul calon suami pilihanku! Karena engkau telah menolak dan mengusir kami, kau tidak berhak mencampuri!” Cia Giok Keng berseru keras dan dengan penuh kemarahan kepada ayahnya. Hatinya masih sakit karena teringat olehnya betapa dia diusir oleh ayahnya karena jatuh cinta kepada Liong Bu Kong dan melihat ayahnya datang mengacaukan pernikahannya. “Cia Giok Keng! Kau menikah dengan seorang penjahat di Pek-lian-kauw pula? Kau hendak menodai nama keluarga kita? Lebih baik kau mati!” pendekar itu membentak marah. “Locianpwe, harap Locianpwe sudi bersikap sabar dan tenang!” Tiba-tiba terdengar suara lantang dan di depan pendekar sakti itu berdiri dengan tegak dan dengan sikap gagah seorang pemuda tinggi besar yang tampan dan gagah. Kun Liong terkejut sekali ketika mengenal pemuda itu yang bukan lain adalah Lie Kong Tek! Ketika dia menoleh kepada Hong Khi Hoatsu, dia melihat kakek ini mula-mula juga terkejut, akan tetapi kakek itu lalu tersenyum dan mengangguk-angguk, kelihatan bangga sekali atas sikap muridnya. Namun Kun Liong merasa khawatir sekali dan menganggap pemuda itu terlampau lancang. Cia Keng Hong juga kaget dan memandang pemuda itu dengan mata bernyala dan alis berkerut. “Siapa, kau? Mau apa kau mencampuri?” bentaknya, suaranya penuh tenaga khi-kang yang amat kuat. Namun Lie Kong Tek tidak mundur setapak pun, wajahnya yang tampan gagah itu masih tetap tenang dan sinar matanya tajam menentang pandang mata pendekar yang sedang marah itu. “Nama saya Lie Kong Tek, saya tidak pernah mengenal Locianpwe maupun puteri Locianpwe. Dan saya juga tidak hendak mencampuri urusan pribadi Locianpwe. Akan tetapi, karena sudah lama mendengar nama besar Locianpwe sebagai Ketua Cin-ling-pai, seorang pendekar besar yang selalu bersikap gagah perkasa, dan pula karena timbul rasa iba hati saya melihat puteri Locianpwe, maka saya memberanikan diri untuk mengingatkan Locianpwe bahwa dalam urusan ini jika Locianpwe tidak menggunakan kesabaran dan ketenangan, akan menimbulkan urusan yang memalukan.” Muka Cia Keng Hong sebentar menjadi merah. Kemarahannya membuat dadanya seperti dibakar. “Kau... kau manusia lancang...!!” Keng Hong yang sudah marah sekali itu menggerakkan tangannya mendorong. Lie Kong Tek maklum bahwa dia diserang dengan pukulan jarak jauh, maka biarpun sikapnya tetap tenang, dia mengangkat kedua tangannya juga untuk menangkis. Sambaran hawa pukulan dahsyat menyambar ke arqhnya dan blarpun sudah dia tangkis dengan pengerahan sin-kang sekuatnya, tetap saja tubuhnya terlempar dan terjengkang, seperti sehelai daun kering tertiup angin. Lie Kong Tek bergulingan dan ketika dia meloncat hangun lagi, mukanya pucat sekali, ujung bibirnya berdarah, akan tetapi dengan tenang dan gagah pemuda ini sudah mencelat ke depan Cia Keng Hong lagi! Cia Keng Hong terbelalak heran. Biarpun dia tadi tidak memukul sampai mati pemuda itu, namun hanya sedikit selisihnya. Dan pemuda itu masih berani maju lagi! “Apa kau telah gila? Apa kau minta mati?” bentaknya marah. “Kalau betul apa yang saya dengar tentang diri Locianpwe, saya tidak khawatir akan dipukul mati. Andaikata dipukul mati sekalipun saya lebih beruntung daripada Locianpwe yang tentu akan menjadi jatuh nama secara hebat,” kata Lie Kong Tek dengan tenang. “Kau...! Kau...!” Cia Keng Hong marah dan jengkel sekali, kembali dia mengayun tangannya. Pada saat itu, Hong Khi Hoatsu memegang lengan Kun Liong ketika melihat pemuda itu hendak meloncat maju. Memang Kun Liong merasa penasaran dan ingin melindungi Lie Kong Tek dari pukulan maut supeknya. Akan tetapi kakek ahli sihir itu melarangnya dan menggelengkan kepalanya. “Pendekar sehebat dia, tidak akan membunuh orang sembarangan saja,” bisik kakek itu. “Desss...!” Tubuh Lie Kong Tek kembali terlempar dan terbanting keras, bergulingan sampai jauh. Ketika dia meloncat bangun dan terhuyung-huyung maju lagi, dahinya benjol dan bibirnya pecah-pecah. “Locianpwe tidak boleh membenci puteri sendiri. Menikah harus mendapatkan restu orang tua, dan memilih jodoh adalah hak si anak.” Lie Kong Tek berkata. “Jahanam bermulut besar! Kau mau ikut-ikut? Kalau anakku menikah dengan seorang penjahat, dirayakan di tempat penjahat dan pemberontak, apakah aku harus diam saja?” Dada Cia Keng Hong seperti akan meledak rasanya dan matanya kini memandang kepada Giok Keng seperti hendak menelan puterinya itu bulat-bulat! “Ayah, kau terlalu!” Giok Keng kini berteriak, air matanya bercucuran akan tetapi sikapnya sama sekali tidak lemah, bahkan telunjuk kanannya menuding ke arah mata ayahnya. “Tidak saja Ayah menolak pilihan hatiku, malah telah mengusir kami dan sekarang setelah kami berusaha sendiri untuk menikah, Ayah datang menghalang dan mengacau. Begitukah sikap seorang pendekar? Ayah, ingat bahwa aku menjadi anakmu bukan atas permintaanku! Aku adalah manusia tersendiri, bukan boneka yang harus taat atas segala kehendak Ayah demi kesenangan hati Ayah sendiri!” Hebat bukan main kata-kata yang keluar dari mulut dara yang sedang marah itu. Lebih hebat dari pukulan dahsyat yang mana pun, lebih tajam meruncing daripada pedang pusaka yang bagaimana pun. “Bressss!” Kedua kaki pendekar itu menghantam tanah di depannya. Tanah terlindung lantai tembok itu ambrol dan kedua kakinya amblas sampai selutut. “Kau...! Kau...! Anak durhaka... auh...!” Pendeker itu terkulai lemas dan roboh terguling! “Ayah...!” Glok Kehg menjerit, namun ternyata ayahnya telah roboh pingsan saking marahnya. Keadaan menjadi kacau, akan tetapi tiba-tiba Thian Hwa Cinjin menyuruh dua orang pembantunya mengangkat tubuh Cia Keng Hong masuk ke dalam dan pada para tamu dia berkata lantang, “Harap Cuwi sekalian tenang saja. Urusan ini adalah urusan antara ayah dan puterinya, kita semua tidak boleh mencampurinya. Biarlah Cia-taihiap beristirahat di dalam dan harap Cuwi duduk kembali. Upacara pernikahan akan dilanjutkan.” Suaranya terdengar halus dan ramah dan mengandung kekuatan gaib yang membuat para pendengarnya tunduk dan taat. Kun Liong merasa betapa lengan tangannya dicengkeram tangan Hong Khi Hoatsu dan terdengar kakek itu berbisik, “Celaka... Cia-taihiap dipengaruhi hoat-sut dan... dan kulihat puterinya juga berada dalam keadaan tidak wajar... tentu ada yang main sihir di sini...!” Mendengar ini, Kun Liong terkejut sekali dan dia menjadi marah. “Kalau begitu, aku harus turun tangan...” “Sssttt, sabarlah, Sicu. Kulihat persiapan Pek-lian-kauw sudah dibuat dengan baik, kedudukan mereka kuat. Biarpun banyak juga orang gagah di sini, akan tetapi tanpa adanya Cia-tai-hiap, kita akan kalah kuat. Harap kauusahakan agar keadaan di sini kacau atau setidaknya perhatian mereka tertarik di sini. Aku sendiri akan mencoba untuk menyadarkan Cia-taihiap di dalam.” Percaya akan kesaktian kakek itu, Kun Liong mengangguk dan kakek itu telah menyelinap dan pergi dari situ di antara meja-meja tamu yang penuh dengan tamu dari berbagai golongan. Sebentar saja kakek itu sudah lenyap, entah menyelinap ke mana, Kun Liong teringat akan pesan kakek itu, maka dia lalu memandang ke depan. Ternyata di ruangan itu, di depan meja sembahyang yang sudah porak poranda itu, terjadi kegaduhan dan keributan baru, Liong Bu Kong, dengan pakaian pengantin yang kusut karena tadi dia dibuat jatuh bangun oleh Cia Keng Hong, berdiri dengan muka merah dan mata melotot, bertolak pinggang lalu menudingkan telunjuknya ke arah muka Lie Kong Tek sambil membentak nyaring, “Manusia rendah tak tahu malu! Berani engkau menjual lagak di sini dan membela isteriku?” Lie Kong Tek mengusap darah dari ujung bibir dan peluh dari dahi dan lehernya. Dia berdiri tegak dan tenang, memandang kepada Liong Bu Kong yang marah-marah itu seperti seorang dewasa memandang seorang kanak-kanak. Memang perawakan pemuda ini tinggi besar sehingga berhadapan dengan dia, Bu Kong kelihatan kurus kecil. Padahal Bu Kong tak dapat dikatakan seorang pemuda yang bertubuh pendek. Pandang mata Lie Kong Tek penuh selidik, karena memang dia sedang menyelidiki pengantin pria yang dinyatakan sebagai seorang penjahat oleh Pendekar Sakti Cia Keng Hong, pemuda yang telah menjatuhkan cinta kasih puteri pendekar itu, hal yang membuat dia ikut pula merasa penasaran dan heran. Kemudian terdengar dia menjawab, suaranya tenang dan halus, “Aku tidak membela isteri siapa pun, melainkan membela seorang gadis yang menerima perlakuan buruk dari ayahnya sendiri.” Lie Kong Tek meraba benjol di dahinya, diam-diam mencela diri sendiri mengapa mendadak timbul rasa iba yang amat hebat pada diri pengantin puteri sehingga tadi mati-matian dia membelanya. Kini perbuatannya yang tadi memarahkan ayah pengantin wanita, sekarang menimbulkan kemarahan pengantin pria! “Keparat! Kau hendak mengambil hati isteriku, ya? Engkau hendak mencari muka?” Liong Bu Kong yang merasa cemburu dan marah-marah itu lupa diri, lupa bahwa di situ terdapat banyak sekali tamu dan timbullah wataknya yang kasar dan kotor. “Saudara pengantin!” Lie Kong Tek membentak, marah melihat betapa pengantin wanita memandang dengan muka pucat. Wajah Giok Keng yang cantik dan pucat itu mengundang rasa ibanya yang luar biasa. “Mengapa kau begini tak tahu malu, mencemarkan nama isteri sendiri?” “Tutup mulutmu!” Liong Bu Kong yang sudah marah itu menerjang dan mengirim pukulan maut. “Desss...!” Kong Tek menangkis, akan tetapi dia kalah tenaga sehingga tubuhnya terlempar dan terbanting. Namun dia sudah bangkit berdiri lagi dan memandang dengan penasaran, sedikit pun tidak merasa takut. “Liong-koko, jangan pukul orang!” Giok Keng berseru ketika melihat Bu Kong sudah menerjang maju lagi. “Mundurlah, Moi-moi, orang ini harus dihajar sampai mampus!” Bu Kong berseru makin marah karena menganggap, bahwa calon isterinya itu membela pemuda gagah dan ganteng itu. “Liong-sicu, tidak boleh membikin ribut pada hari baik ini!” Tiba-tiba terdengar suara Thian Hwa Cinjin. “Orang muda itu berniat baik, dan sebagai tamu tidak boleh diperlakukan kasar. Marilah, upacara pernikahan agar dapat dilanjutkan sampai selesai.” Para pendeta Pek-lian-kauw kini sibuk membereskan meja sembahyang yang sudah kocar-kacir tadi dan suasana menjadi berisik, Giok Keng berdiri dengan muka pucat dan bingung, Bu Kong bersungut-sungut, kadang-kadang melirik marah ke arah Lie Kong Tek yang sudah duduk kembali diantara para tamu. Kun Liong menarik tangan pemuda tinggi besar itu agar duduk di tempat agak belakang, kemudian berbisik-bisik menceritakan dugaan guru pemuda itu yang membuat Kong Tek terkejut sekali dan memandang kepada Kun Liong dengan mata terbelalak lebar. Meja sembahyang telah dibereskan sekadarnya dan lilin-lilin yang tadi padam telah dipasang. Sepasang pengantin telah disuruh mendekat meja, dan penganten wanita sudah menutupkan lagi kerudungnya. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara nyaring setelah muncul seorang laki-laki berusia empat puluhan tahun yang berdiri di depan rombongan tamu, “Kauwcu (Ketua Agama), harap tahan dulu!” Thian Hwa Cinjin, para pendeta Pek-lian-kauw, dan sepasang pengantin terkejut dan menengok. Laki-laki itu bersikap gagah, pakaiannya ringkas dan jelas tampak bahwa dia adalah seorang kangouw yang biasa bersikap tegas, jujur, dan menjunjung tinggi kegagahan. Dengan suara harus dan tenang Thian Hwa Cinjin melangkah maju. “Mengapa Sicu menahan dilakukannya upacara dan apakah kehendak Sicu?” Laki-laki itu mengangkat kedua tangan di depan dada, sambil menjura dengan hormat. “Saya Phoa Lee It sama sekali bukan berniat mencampuri urusan orang lain. Akan tetapi karena saya termasuk seorang undangan yang mewakili Go-bi-pai, untuk dijadikan saksi pernikahan ini, maka saya melihat sesuatu yang ganjil dan tidak sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, saya mengusulkan agar upacara ditunda lebih dulu.” Suasana menjadi berisik. Para tamu saling berbisik, ada yang pro dan ada yang kontra pendapat ini. Ketua Pek-lian-kauw mengerutkan alisnya, akan tetapi suaranya masih halus ketika dia bertanya, “Apakah maksud Phoa-sicu yang mengatakan bahwa ada yang ganjil dan tidak sebagaimana mestinya?” Phoa Lee It adalah seorang tokoh perguruan Go-bi-pai, seorang yang biarpun tidak amat terkenal di dunia kang-ouw, namun sebagai utusan Go-bi-pai tentu saja memiliki ilmu kepandalan tinggi, maka kini menjadi perhatian semua tamu. “Kauwcu, ketika kami melihat bahwa pengantin wanita tidak ada yang menjadi walinya, kami sudah merasa heran karena bukankah dikabarkan bahwa pengantin wanita adalah puteri Ketua Cin-ling-pai? Akan tetapi karena tidak ada ketua itu hadir, tadinya kami mengira bahwa perwaliannya dipegang oleh Pek-lian-kauw. Kiranya Ketua Cin-ling-pai muncul dan terjadi keributan antara ayah dan anak. Setelah ayah dari pengantin wanita hadir, upacara ini tentu saja tidak sah kalau tidak disaksikan oleh ayah pengantin wanita itu. Maka saya harap upacara ini ditunda dan ayah pengantin wanita dipersilakan keluar.” Makin berisikiah para tamu mendengar ini. Tokoh Go-bi-pai itu bernyali besar, berani mengusulkan hal yang merupakan protes dan pencelaan terhadap kebijaksanaan Pek-lian-kauw. Namun, melihat bahwa pendapat itu mengandung ceng-li (aturan), banyak tokoh kang-ouw yang menganggukkan kepala tanda setuju. Tentu saja banyak pula yang tidak setuju, terutama yang pro kepada Pek-lian-kauw. Keadaan makin berisik ketika para tamu saling mengeluarkan pendapat masing-masing dan terjadi perbantahan kecil di antara mereka. Di dalam hatinya, Thian Hwa Cinjin marah sekali, akan tetapi karena menghadapi banyak tamu dan dasar tujuannya adalah untuk menarik sebanyak mungkin orang kang-ouw agar bersahabat dengan Pek-lian-kauw, dia menahan sabar, lalu mengangkat tangan sebagai isyarat agar para tamu suka tenang. Kemudian dia membalik dan menghadapi Phoa Lee It sambil tersenyum. “Phoa-sicu, kami mengerti akan maksud hati Sicu yang baik. Akan tetapi hendaknya Sicu mengetahui bahwa Pek-lian-kauw melaksanakan upacara pernikahan ini atas permintaan sepasang calon suami isteri yang baru ini menjadi pengantin. Urusan keluarga mereka adalah urusan pribadi, kami sendiri tidak mencampurinya dan tugas kami hanyalah melaksanakan upacara pernikahan. Dan tugas ini akan kami laksanakan juga, apa pun yang terjadi dan kami tidak menghendaki campur tangan pihak luar.” “Kalau begitu, aku tidak berani mewakili Go-bi-pai menjadi tamu!” Phoa Lee It berseru marah karena dia merasa curiga sekali. Mana mungkin pengantin ditemukan dan dilakukan upacara sembabyang pengantin tanpa persetujuan ayah pengantin wanita? Tanpa diketahui orang lain, Ketua Pek-lian-kauw sudah memberi isyarat kepada seorang pembantunya. Yang ditunjuknya untuk menanggulangi halangan ini adalah seorang pendeta tua yang tadi hadir di sebelah dalam, tidak tampak dari ruangan tamu. Dia merupakan seorang utusan dari Pek-lian-kauw pusat dan termasuk rombongan para tokoh Pek-lian-kauw yang dipersiapkan untuk menghadapi segala rintangan yang timbul. Pendeta yang diberi isyarat oleh Thian Hwa Cinjin itu usianya sudah tujuh puluh tahun lebih, pakaiannya sederhana, tangannya memegang sebatang tongkat pendek terbuat dari bambu, gerakannya lambat dan seperti tidak memiliki tenaga, akan tetapi begitu kakinya bergerak, tubuhnya melayang dan sudah menghadang di depan Phoa Lee It dan tongkatnya yang tiga kaki panjangnya itu melintang di depan dada. Melihat munculnya pendeta ini, para tamu yang mengenalnya menjadi kaget. Pendeta itu adalah seorang tosu yang murtad dan masuk menjadi anggauta Pek-lian-kauw, bahkan merupakan seorang tokoh Pek-lian-kauw yang terkenal kejam terhadap musuh-musuh Pek-lian-kauw, juga terkenal sebagai seorang tosu yang memiliki kepandaian tinggi. Diam-diam dia dijuluki sebagai algojo Pek-lian-kauw karena sudah biasa membunuh orang-orang yang menentang Pek-lian-kauw tanpa mengenal kasihan. Dia bukan lain adalah Loan Khi Tosu! Di bagian depan cerita ini sudah dituturkan tentang Loan Khi Tosu. Dia adalah seorang tokoh Pek-lian-kauw kawakan yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Biarpun dia sudah tua, dan matanya yang kelihatan putih itu lamur semenjak muda, namun tosu tua ini amat lihai dan juga hatinya kejam sekali terhadap musuh-musuh Pek-lian-kauw. Selain lihai ilmu silatnya, juga dia adalah seorang ahli Sai-cu Ho-kang yaitu ilmu menggereng seperti singa yang disertai tenaga khi-kang. Penggunaan Sai-cu Ho-kang itu saja sudah cukup untuk merobohkan lawan yang kurang kuat sin-kangnya. Selain itu, juga dia amat terkenal dengan ilmu pukulan atau ilmu totokan jari tangan beracun yang disebut Pek-tok-ci (Ilmu Jari Tangan Racun Putih), semacam ilmu menotok yang dilakukan oleh jari tangan yang mengandung racun! Tosu ini sudah menghadang di depan Phoa Lee It tokoh Go-bi-pai, menjura dan berkata sambil tersenyum, “Phoa Sicu dari Go-bi-pai sungguh memandang rendah Pek-lian-kauw! Sebagai tamu, semestinya Sicu tunduk terhadap tuan rumah. Apakah setelah minum arak pengantin Sicu akan dapat menghina kami begitu saja? Kalau begitu, Sicu benar-benar tidak memandang sebelah mata kepada Pek-lian-kauw.” Phoa Lee It yang sudah merasa penasaran itu menegakkan kepala dan membusungkan dadanya. Dengan tangannya dia memberi isyarat kepada empat orang pengikutnya, yaitu para sutenya, murid-murid Go-bi-pai yang menyertainya, untuk minggir agar dia dapat menghadapi tosu Pek-lian-kauw itu sendiri. “Memandang rendah atau tidak hanyalah soal penilaian. Kami dari Go-bi-pai tidak memandang rendah siapa pun, akan tetapi juga tidak menghendaki kebebasan kami ada yang menghalanginya.” “Siancai...! Omongan Phoa-sicu sungguh keras! Kalau memang Go-bi-pai tidak memandang persahabatan dengan Pek-lian-kauw, mengapa Sicu sekalian suka datang menghadiri undangan kami?” “Karena tadinya Go-bi-pai menganggap bahwa Pek-lian-kauw benar-benar hendak berkeluarga dan bersahabat dengan Cin-ling-pai, maka kami berlima mewakili Go-bi-pai untuk hadir. Akan tetapi, melihat betapa keadaan sesungguhnya tidak demikian yang baru kami ketahui setelah Ketua Cin-ling-pai muncul, kami tidak lagi mau mencampuri urusan ini. Kiranya para tamu yang berpikiran waras pun akan sependirian dengan kami.” “Ho-ho, Sicu benar-benar bicara besar. Pendeknya, kami sebagai tuan rumah berhak menentukan semua peraturan dan para tamu sudah sepatutnya tunduk kepada peraturan kami. Silakan Sicu berlima duduk kembali dan jangan menimbulkan keributan.” Berkata demikian, Loan Khi Tosu melintangkan tongkatnya seolah-olah hendak menghadang dan mencegah lima orang tokoh Go-bi-pai itu meninggalkan ruangan pesta. KINI marahlah Phoa Lee It. Dia mengerti akan pendirian para pimpinan Go-bi-pai, yaitu tidak hendak mencampuri urusan Pek-lian-kauw yang terkenal sebagai perkumpulan pemberontak. Kalau tidak sangat terpaksa, tentu dia tidak mau bermusuhan dengan Pek-lian-kauw. Akan tetapi sekarang, melihat betapa dia dan empat orang sutenya hendak diikat kebebasannya, betapa Pek-lian-kauw hendak menghina Go-bi-pai, maka hal ini tentu saja akan ditentangnya mati-matian. “Loan Khi Tosu, aku mengenal siapa engkau! Akan tetapi, jangan dikira bahwa aku takut kepadamu. Hanya karena kami menjadi utusan Go-bi-pai, kami masih menahan sabar dan tidak hendak mengikatkan Go-bi-pai dengan Pek-lian-kauw. Minggirlah dan biarkan kami pergi.” “Ha-ha, tidak semudah itu, Phoa Lee It. Pinto juga mengenalmu, dan kebetulan sekali bertemu di sini, pinto sudah lama ingin sekali mencoba betapa lihainya ilmu pedangmu yang membuat kau dijuluki orang Go-bi Kiam-hiap (Pendekar Pedang dari Go-bi).” “Bagus! Kau menantang? Secara pribadi ataukah atas nama perkumpulan? Kalau atas nama perkumpulan, aku tidak sudi melayani, akan tetapi kalau tantanganmu mengenai pribadi, tentu saja tidak akan kutolak!” jawab Phoa Lee It dengan sikap gagah. Semua tamu menjadi tegang hatinya. Dua orang itu, Loan Khi Tosu dan Phoa Lee It keduanya sudah terkenal sebagai tokoh besar dalam dunia persilatan dan sebagai orang-orang yang amat lihai. Kini mereka saling menantang. Tentu saja hal ini amat menarik hati dan menegangkan. Tiba-tiba terdengar suara ketawa dari tempat para tamu dan seorang kakek yang sudah ompong mulutnya tertawa-tawa, kemudian mendengus dan dengan suara sombong sekali berkata, “Totiang, mengapa banyak cakap menghadapi dia ini? Aku mendengar bahwa makin besar julukannya, makin rendahlah kepandaiannya. Kurasa Go-bi Kiam-hiap ini belum tentu benar-benar mampu mainkan Ilmu Pedang Go-bi Kiam-sut. Heh-heh-heh!” Kakek itu mengurut-urut kumisnya dan semua orang memandang dengan alis berkerut. Mereka itu sebagian besar mengenal kakek ini, seorang tokoh dunia hitam yang tentu saja sejak lama menjadi sahabat Pek-lian-kauw. Dia berjuluk Hwa I Lojin (Kakek Baju Kembang) karena memang pakaiannya selalu rapi dan terbuat dari kain berkembang. Kakek yang usianya enam puluh tahun ini pesolek sekali selain pakaiannya rapi dan baru dengan kembang-kembang berwarna mencolok, juga kumis dan jenggotnya terpelihara rapi dan rambutnya selalu mengkilap oleh minyak! Kiranya kakek yang tua badannya ini masih muda hatinya! Karena kakek ini selalu berlagak sombong, biarpun dia terkenal lihai sebagai seorang ahli pedang yang jarang bertemu tanding, maka para tamu memandangnya dengan hati tak senang. Akan tetapi karena maklum akan kelihaiannya, tidak ada yang berani memperlihatkan ketidaksenangan hatinya secara berterang. Phoa Lee It tahu siapa kakek yang menghinanya itu, akan tetapi karena yang berhadapan dengan dia adalah Loan Khi Tosu, dia tidak mempedulikan dan berkata lagi kepada Loan Khi Tosu, “Kalau tantanganmu bersifat pribadi, nah, aku telah siap!” Berkata demikian, orang gagah ini mengisyaratkan para sutenya untuk mundur sedangkan dia sendiri berdiri tegak dengan jari-jari tangan meraba gagang pedangnya yang tergantung di punggung. “Bagus! Majulah dan tantangan pinto ini biarpun ada hubungannya dengan peraturan Pek-lian-kauw sebagai tuan rumah, biarlah kutujukan sebagai tantangan pribadi, disaksikan oleh para tamu yang hadir sebagai pi-bu (adu silat) yang adil.” “Singgg...!” Phoa Lee It sudah mencabut pedangnya dan gerakannya memang tangkas sekali. Pedang itu berkilauan dan sedikit pun tidak bergerak berada di tangannya yang tetap kuat. “Jaga seranganku, Totiang!” “Wirrr... takkk... tringgg...!” Dua orang itu masing-masing meloncat mundur dan memeriksa senjata masing-masing. Pertentuan tongkat dengan pedang tadi membuat telapak tangan mereka terasa panas dan tergetar, tanda bahwa kckuatan mereka berimbang. Mereka saling pandang, menggeser kaki lalu keduanya menerjang maju. Terjadilah pertandingan yang seru dan hebat. Bentakan-bentakan mereka diseling suara bertemunya tongkat dan pedang. Setelah lewat lima puluh jurus, diam-diam Loan Khi Tosu harus mengakui kehebatan Ilmu Pedang Go-bi Kiam-sut yang dimainkan oleh Phoa Lee It. Ilmu pedang itu memiliki dasar pertahanan yang amat kuat, membuat tongkatnya sama sekali tidak mampu mendekati tubuh lawan, bahkan kadang-kadang sinar pedang mencuat dan nyawanya terancam. “Hyaaaaahhhh...!” Tiba-tiba tosu itu memekik, menangkis pedang dan mengerahkan sin-kang untuk membuat pedang melekat kepada tongkatnya, kemudian tangan kirinya melancarkan totokan ke tubuh lawan dengan Ilmu Totok Pek-tok-ci! “Heiiittt...!” Phoa Lee It juga memekik, pedangnya diputar sehingga terlepas dari lekatan, tubuhnya miring mengelak dari totokan dan sekali pedangnya berkelebat, sinar pedang menyambar ke arah lengan kiri lawan. “Aahhhh...!” Loan Khi Tosu meloncat mundur dan memutar tongkatnya. “Trang-trang...!” Keduanya meloncat mundur lagi karena pertemuan tongkat dengan pedang sedemikian hebatnya, membuat keduanya terhuyung. Akan tetapi Loan Khi Tosu sudah menempelkan ujung tongkat bambu ke mulut dan melihat ini, Phoa Lee It memutar pedangnya yang berubah menjadi sinar bergulung-gulung melindungi seluruh tubuhnya. Belasan batang jarum yang ditiupkan melalui tongkat bambu yang dipergunakan sebagai tulup (senjata peniup) itu terpukul runtuh oleh sinar pedang, dan Phoa Lee It sudah menyerbu kepada lawannya. Pedangnya digerakkan makin gencar dan kecepatannya tidak dapat diatasi olch lawan yang terdesak dan terus mundur-mundur. “Tranggg... krekk!” Loan Khi Tosu berseru kaget dan meloncat jauh ke belakang. Tongkatnya tinggal sejengkal saja di tangannya karena sudah patah, dan lengan bajunya yang sebelah kanan robek, tampak kulitnya berdarah sedikit karena kulit itu sudah tercium pedang! Biarpun tidak roboh, jelas sudah disaksikan oleh para tamu bahwa dalam pi-bu itu, Loan Khi Tosu telah dikalahkan oleh Phoa Lee It, jago dari Go-bi-pai itu. Empat orang sute dari Phoa Lee It bertepuk tangan dan bersorak, dan perbuatan ini segera diikuti oleh sebagian dari para tamu yang diam-diam berpihak kepada Go-bi-pai. “Ha-ha-ha, Loan Khi Tosu benar-benar tidak dapat meninggalkan watak pendeta yang selalu mengalah!” Tiba-tiba Hwa I Lojin meloncat ke depan, mengebut-ngebutkan baju kembangnya dengan lagak angkuh. “Kalau Loan Khi Tosu tadi tidak mengalah, tentu saja dengan mudah dapat menjatuhkan Phoa Lee It karena ternyata bocah ini sama sekali belum becus mainkan Ilmu Pedang Go-bi Kiam-sut, hanya ngawur saja!” Ucapan ini takabur dan menghina bukan main sehingga empat orang sute dari Phoa Lee It sudah mencabut pedang masing-masing dan meloncat maju hendak menyerang. “Sute mundur...!” Phoa Lee It membentak empat orang itu yang terpaksa mundur lagi sambil menyimpan pedang masing-masing. “Ha-ha-ha-ha, mengapa mundur? Phoa Lee It, coba kaupamerkan ilmu pedangmu yang rendah itu, boleh kau dibantu oleh empat orang sutemu, biar agak seimbang. Aku akan menghadapimu dengan tangan kosong saja. Ilmu pedangmu masih kosong, tanpa isi, kalau tadi Loan Khi Tosu tidak mengalah, dalam beberapa jurus saja kau tentu kalah!” Phoa Lee It melangkah maju, mukanya merah sekali. Karena penghinaan atas dirinya sebagai utusan Go-bi-pai merupakan penghinaan yang dilontarkan pula kepada Go-bi-pai, maka dia berkata lantang, “Hwa I Lojin, engkau adalah seorang tua yang tidak patut dihormat oleh yang lebih muda! Aku tahu mengapa engkau berlagak seperti sekarang ini. Karena engkau pemah dikalahkan oleh suhuku, dan karena tidak berani membalas kepada Suhu, maka kini engkau hendak menebus rasa malu itu dengan berlagak di depanku. Akan tetapi jangan disangka aku takut menghadapi lagakmu!” Muka kakek itu berubah menjadi merah sekali. Dia merasa terpukul dan karena apa yang diucapkan oleh Phoa Lee It itu memang kenyataan, dia tidak mampu membantah. Memang, setahun yang lalu dia telah roboh dalam pertandingan melawan Kauw Kong Hwesio, guru jago Go-bi-pai itu. Sebetulnya, mengingat bahwa Kauw Kong Hwesio adalah tokoh ke dua di Go-bi-pai, kekalahan itu tidaklah amat memalukan. Akan tetapi dasar watak Hwa I Lojin amat tinggi hati, kekalahannya itu membuat hatinya penasaran dan mendendam. Diam-diam dia memperdalam ilmu pedangnya, dan diam-diam dia mempelajari ilmu Pedang Go-bi Kiam-sut untuk mencari tahu kelemahan ilmu pedang ini. Namun, karena maklum akan kelihaian Kauw Kong Hwesio, dia tidak berani sembrono membalas dendamnya dan kini, di Pek-lian-kauw, bertemu dengan murid-murid musuhnya itu, tentu saja dia memperoleh kesempatan untuk melampiaskan kemendongkolan hatinya dan membalas kekalahannya. Dapat dibayangkan betapa marahnya ketika ternyata Phoa Lee It telah tahu akan kekalahannya itu dan menghinanya di depan orang banyak. “Phoa Lee It, manusia sombong!” Bentaknya dan tangan kanannya bergerak cepat meraba punggung, tampak sinar berkelebat dan dia sudah mencabut pedangnya. “Majulah dan aku akan membuktikan bahwa ilmu Pedang Go-bi Kiam-sut hanyalah kosong belaka. Lihat, dengan pedangku ini aku akan melucutimu tanpa melukaimu, jangan kau takut kalau terluka, ha-ha!” Phoa Lee It yang masih memegang pedangnya itu sudah melangkah maju. “Orang Go-bi-pai tidak pernah takut mati atau terluka. Kalau kau menantang, majulah, Hwa I Lojin!” “Ha-ha, seranglah. Majulah dan jaga baik-baik. Aku akan merampas pedangmu dan mematahkannya seperti sebatang lidi!” kakek itu mengejek. Phoa Lee It maklum bahwa biarpun sombong, Kakek Baju Kembang ini memiliki ilmu pedang yang lihai, maka dia tidak mau bersikap sungkan lagi, terus saja dia menerjang dengan dahsyat, menggunakan jurus pilihan. Hwa I Lojin menyambut sambil tertawa. “Ha-ha, inikah jurusmu yang terlihai? Aih, tidak seberapa!” Kakek itu menggerakkan pedangnya menangkis dan begitu dua batang pedang bertemu dia membuat gerakan memutar sambil mengerahkan sin-kangnya. Phoa Lee It terkejut bukan main karena pedangnya melekat dan terbawa oleh putaran pedang lawan. Betapa pun dia mempertahankan, dia kalah tenaga dan pedangnya terus berputar sampai akhirnya dengan bentakan nyaring, kakek itu membuat gerakan membetot secara mendadak dan Phoa Lee It berteriak kaget, pedangnya terlempar ke atas! Hwa I Lojin menyambar pedang lawan itu dengan tangan kirinya, sambil tertawa ha-ha-he-he menekuk pedang itu di lututnya. “Pletakkkk!” Pedang patah menjadi dua dan tiba-tiba menyambitkan patahan pedang ke arah Phoa Lee It. Pada saat itu, tampak dua sinar kecil menyambar dan dua batang patahan pedang disambar runtuh. Sebelum Hwa I Lojin dapat mencari siapa penolong lawannya ini, tahu-tahu dari rombongan tamu keluar dua orang pemuda, keduanya memegang sebatang kayu kurang lebih satu meter panjangnya dan mereka seperti berkejaran menghadang di antara Phoa Lee It dan Hwa I Lojin. Phoa Lee It maklum bahwa ada dua orang yang diam-diam menolongnya, menghela napas panjang mengingat akan kelihaian Hwa I Lojin, lalu melangkah mundur mendekati para sutenya. Sementara itu, semua orang tertarik memandang dua orang pemuda yang berkejaran itu. Mereka ini bukan lain adalah Kun Liong dan Kong Tek. Tadi ketika Lie Kong Tek berani membela pengantin wanita dari kemarahan ayahnya, pemuda tinggi besar dan gagah ini sudah menarik perhatian banyak orang. Kini melihat dia muncul lagi dan mengejar-ngejar seorang pemuda tampan lain yang cukup aneh, pemuda yang rambut kepalanya pendek dan awut-awutan, tentu saja semua tamu menjadi terheran-heran dan semua mata memandang penuh perhatian. Yang menarik hati mereka adalah sikap pemuda rambut pendek yang dikejar-kejar, karena sikapnya mengejek dan jelas sekali meniru lagak Hwa I Lojin! “Ha-ha, majulah dan aku akan membuktikan bahwa ilmu pedangmu hanya kosong belaka. Lihat, dengan pedangku ini aku akan melucutimu tanpa melukaimu, jangan kau takut kalau terluka, ha-ha!” kata Kun Liong sambil berdiri dengan lagak presis seperti lagak Hwa I Lojin ketika menantang Phoa Lee It tadi! Kong Tek yang sudah dibisiki oleh Kun Liong untuk melakukan sandiwara mengejek Hwa I Lojin dan memancing perhatian orang agar Hong Khi Hoatsu dapat bekerja dengan leluasa di sebelah dalam, segera menanggapi dan menjawab, “Seorang gagah tidak takut mati, tidak seperti engkau!” “Aku sih bukan orang gagah, kalau untuk mati nanti dulu, akan tetapi ilmu pedangku tiada bandingannya di kolong langit. Majulah!” Dengan lagak dibuat-buat Kun Liong menantang. “Awas... haiiiittt!” Kong Tek menyerang dengan pedang kayunya, persis lagak seorang badut. “Hyaaaahhhh, lihat ilmu pedangku Monyet Tua Mabuk Madat!” Kun Liong berteriak sambil menangkis, lagaknya persis seperti yang dilakukan Hwa I Lojin tadi. Melihat ini, banyak tamu tertawa terpingkal-pingkal, apalagi ketika dua orang pemuda itu sudah “bertanding” dengan lagak dibuat-buat. Siapa tidak akan tertawa melihat Kong Tek menyerang dengan gerakan lambat sekali sehingga tentu saja amat mudah dielakkan, kemudian melihat Kun Liong membalas dengan gerakan pedang kayu itu perlahan-lahan “menempel” pedang lawan, lalu sambil berteriak nyaring dia memutar-mutar kayu di tangannya. Kong Tek membiarkan rating di tangannya ikut berputar-putar, kemudian melepaskan ranting yang terlempar ke atas. Kun Liong meniru gerakan Hwa I Lojin tadi, menyambar kayu itu, lalu mematahkannya di atas lututnya! “Pletakkkk!” Kayu itu patah menjadi dua dan seperti gerakan Hwa I Lojin tadi, Kun Liong melemparkan patahan kayu. Seperti dua batang anak panah, dua potong kayu itu meluncur ke arah... meja sembahyang dan tosu Pek-lian-kauw yang baru saja menyalakan lilin melongo terkejut karena tiba-tiba dua batang lilin yang dinyalakannya itu padam dan patah-patah! Keadaan menjadi gaduh dan kacau. Liong Bu Kong dan Cia Giok Keng yang tadinya dibujuk oleh Thian Hwa Cinjin untuk melakukan upacara sembahyang, kini bangkit berdiri dan memandang ke arah Kun Liong dan Kong Tek. Akan tetapi mereka tidak dapat mengenal Kun Liong yang kini sudah berambut kepalanya dan sepasang calon mempelai itu memandang marah karena mengangap bahwa dua orang pemuda itu sengaja hendak mengacau pesta pernikahan mereka. Juga Ketua Pek-lian-kauw memandang penuh curiga, alisnya berkerut dan sepasang matanya yang mengeluarkan sinar aneh berpengaruh itu memandang penuh selidik. Banyak para tamu yang tertawa geli menyaksikan lagak Kun Liong dan diam-diam mereka merasa puas bahwa Hwa I Lojin yang bersikap sombong dan tidak mereka suka itu sekali ini dipermainkan orang, sungguhpun mereka merasa khawatir juga bahwa tentu kakek itu akan turun tangan dan akan celakalah dua orang pemuda yang main-main itu. Dan memang Hwa I Lojin sudah memandang dengan muka merah dan mata mendelik ke arah Kun Liong. Tadinya, ketika melihat dua orang muda itu muncul dan berlagak, dia mundur dan berdiri di pinggir sambil ikut menonton, mengira bahwa mereka memang hendak bertanding silat dan sengaja hendak menggembirakan pesta pernikahan. Akan tetapi ketika melihat lagak Kun Liong yang jelas dibuat-buat, sengaja meniru gerakan-gerakannya tadi, mukanya menjadi pucat saking marahnya dan kini dia memandang dengan mata mendelik seolah-olah hendak menelan pemuda itu bulat-bulat! Melihat betapa semua tamu, juga Ketua Pek-lian-kauw dan sepasang mempelai memperhatikan, Hwa I Lojin merasa makin malu dan terhina. Tahulah dia bahwa dua orang pemuda itu sengaja mempermainkannya. “Jahanam keparat!” gerutunya sambil melangkah maju. Kun Liong pura-pura tidak melihat kakek ini dan dengan memutar-mutar pedang kayunya seperti lagak Hwa I Lojin setelah tadi menang bertanding, dia melintangkan pedang itu dengan gerakan aksi di depan dada sambil membusungkan dadanya dan berkata, “Siapa bilang aku si tua bangka tidak hebat? Siapa bilang aku pernah dikalahkan seorang ketua? Ha-ha, selain lihai, akulah si manusia sombong, tua bangka yang suka berlagak, ha-ha-ha!” “Mampuslah!” Kun Liong cepat miringkan tubuhnya ketika ada hawa hangat menyambar dari samping, dan pukulan Hwa I Lojin meleset, mengenai angin. “Tokk!” Pedang di tangan Kun Liong sudah menyambar keras dan dari samping sudah memukul tulang lengan Hwa I Lojin. Kakek itu menggigit bibir menahan seruan kesakitan, menggosok-gosok lengan yang terpukul, lalu menyerang lagi sambit membentak, “Bangsat keparat!” Kun Liong pura-pura kaget dan seperti baru melihat bahwa ada orang mengamuk dan menyerangnya. Dia cepat meloncat ke belakang dan berseru, “Eih-eihhh...! Kenapa kau tua bangka marah-marah?” Semua orang menahan senyum. Biarpun mereka merasa khawatir sekali, mereka juga merasa geli menyaksikan sikap pemuda tampan itu yang jelas sengaja mempermainkan kakek pesolek itu. Betapa beraninya pemuda ini, pikir mereka. Hwa I Lojin makin marah. Tadinya dia ingin memaksa pemuda itu mengaku nama dan mengapa memusuhinya, akan tetapi kemarahan membuat dia tidak sabar lagi dan ingin lekas-lekas merobohkan pemuda kurang ajar ini. Dia menerjang lagi dengan tangan kosong, menghantam bertubi-tubi dengan kedua tangannya sambil mengerahkan sin-kangnya. “Wuuut-wuuuttt... wirrr... takkkk! Dess...!” Orang-orang bersorak gembira. Memang lucu sekali. Kun Liong yang diserang kalang kabut itu kelihatan terdesak, lari sana-sini, meloncat kacau ke kanan kiri, tongkatnya atau pedang kayunya bergerak tidak karuan, akan tetapi akibatnya, dahi Hwa I Lojin kena pukul sampal menjendol dan punggungnya kena gebuk satu kali, cukup keras sehingga debu mengebul dari punggung baju! “Kun-hoat (ilmu silat tangan kosong) bagus! Kun-hoat bagus.” Kun Liong berseru memuji-muji. Jelas bahwa pujian ini merupakan ejekan. Ilmu silat tangan kosong yang dimainkan Hwa I Lojin sama sekali tidak berhasil memukulnya, bahkan dalam segebrakan saja kakek itu telah dihadiahi kemplangan di kepala satu kali dan gebukan pada punggung satu kali, mana bisa disebut kun-hoat bagus? Dalam kemarahannya yang meluap-luap, Hwa I Lojin juga terkejut. Pemuda itu biarpun gerakannya kacau balau seperti seekor monyet menari, namun sudah jelas semua pukulannya meleset, bahkan secara aneh dia telah dihajar dengan tongkat! Sesungguhnya tidaklah mengherankan kalau kakek itu dengan mudah dihajar oleh Kun Liong. Memang harus diakui bahwa Hwa I Lojin telah memiliki ilmu silat yang tinggi. Akan tetapi, seperti halnya dalam ilmu ketangkasan apapun juga, jika berhadapan dengan lawan yang tingkatnya lebih tinggi, maka semua ilmunya menjadi tidak ada artinya karena dia kalah cepat, kalah tenaga, dan kalah lihai. Kun Liong sekarang telah menjadi seorang yang sukar diukur sampai di mana tingginya tingkat ilmu kepandaiannya, maka dengan mudah dia mempermainkan Hwa I Lojin. “Srattt... singgg...!” Hwa I Lojin yang marah sekali kini telah mencabut pedangnya dan tanpa membuang waktu lagi dia telah menggerakkan pedang menyerang Kun Liong dengan ganas sekali. Terdengar suara berdesing-desing dan pedang di tangannya berubah menjadi segulung sinar terang yang menyambar-nyambar ke arah Kun Liong. Kun Liong melihat datangnya serangan pedang, cepat menghindarkan diri dengan mengelak cepat ke kanan kiri, meloncat ke depan belakang, menangkis dengan rantingnya sambil berseru, “Kiam-hoat (ilmu pedang) bagus...! Kiam-hoat bagus...!” Akan tetapi seruannya ini bernada mengejek dan tiba-tiba dia menggetarkan kayu di tangannya, menangkis pedang sambil mengerahkan sin-kang istimewa yang dahulu dia latih dari Bun Hwat Tosu sehingga pedang lawan itu melekat pada rantingnya dan tak dapat dilepaskan kembali. Selagi lawannya terkejut, dia telah menggerakkan ranting itu, diputar-putar seperti gerakan Hwa I Lojin ketika merampas pedang di tangan Phoa Lee It tadi. Dapat dibayangkan betapa kaget dan heran rasa Hwa I Lojin ketika tanpa dapat dia tahan lagi, pedangnya ikut terbawa oleh putaran ranting, makin lama makin cepat. Dia telah mencoba untuk mempertahankan pedangnya dengan mengerahkan sin-kang pada tangan kanan, namun makin lama gerakan memutar itu makin kuat sehingga dia maklum bahwa tidak mungkin lagi dia mempertahankan pedangnya. Terkejutlah kakek ini dan kini maklumlah dia bahwa ternyata pemuda ugal-ugalan itu memiliki ilmu kepandaian yang hebat sekali. Untuk menjaga gengsinya, dia tidak mau menyerah kalah begitu saja dan tiba-tiba tangan kirinya dengan jari terbuka menotok ke arah lambung lawan. “Dukkk!” Hwa I Lojin makin kaget. Totokannya bertemu dengan daging kenyal yang ulet dan kuat seperti karet! Dan pada saat itu, tangan kiri pemuda yang menjadi lawannya juga bergerak cepat dua kali dan Hwa I Lojin merasa betapa kaki dan tangannya tak dapat digerakkannya lagi. Dia telah tertotok lumpuh! Pada saat yang sama, pedangnya telah terampas, terlepas dari pegangannya dan menghunjam ke atas tanah, kemudian tiba-tiba pemuda itu menendang dan... tubuhnya yang sudah tak mampu bergerak itu terlempar jauh ke belakang. “Jadilah kau toapek-kong di meja sembahyang itu!” Kun Liong berseru sambil menendang dan tubuh kakek itu mencelat ke arah meja sembahyang di mana atas anjuran Ketua Pek-lian-kauw, sepasang mempelai sudah berlutut dan hendak melakukan upacara sembahyang tanpa mempedulikan pertempuran! “Bresss...! Braaakkkk...!” Meja sembahyang ringsek dan tubuh Hwa I Lojin terbanting di atas meja, terlentang dan mukanya berlepotan kuwah masakan, matanya terbelalak dan mulutnya terbuka lebar. Biarpun ilmu kepandaian Kun Liong amat mengejutkan orang, namun peristiwa itu kelihatan lucu sehingga terdengar suara ketawa di sana-sini mentertawakan Hwa I Lojin. Karena untuk beberapa kali meja sembahyang terganggu, Liong Bu Kong dan Cia Ciok Keng menjadi marah sekali. Terutama sekali Liong Bu Kong yang merasa bahwa upacara sembahyang yang akan mengesahkan pernikahannya dengan Giok Keng selalu terhalang. Sambil berseru keras tubuhnya mencelat ke arah Kun Liong dan tanpa banyak cakap lagi tangannya menampar ke arah pelipis Kun Liong. Sebuah tamparan yang amat keras dan mengandung tenaga sin-kang yang akan dapat membikin pecah kepala orang yang ditampar. “Plak-plak-plak!” Tiga kali Kun Liong menangkis pukulan bertubi-tubi itu dan yang ketiga kalinya dia sengaja mengerahkan tenaga sehingga Bu Kong hampir terpelanting. Bu Kong terkejut sekali. Tak disangkanya pengacau muda ini lihai bukan main. Namun dia tidak menjadi takut dan sudah menerjang lagi dengan pukulan yang lebih dahsyat lagi. “Orang jahat, berani engkau mengganggu kami?” Bentakan ini keluar dari mulut Giok Keng yang sudah ikut menerjang maju dan menyerang Kun Liong. Melihat Giok Keng menyerangnya, Kun Liong yang sedang menghadapi Bu Kong terkejut. Pundaknya terpukul dan dia terpelanting, namun dapat meloncat bangun kembali. Kakinya menyambar ujung kaki menotok lutut Bu Kong dan selagi Bu Kong hampir roboh, dia sudah mendorong dengan telapak tangannya, membuat Bu Kong terlempar dan terbanting ke atas tanah. “Giok Keng...!” Kun Liong menegur, suaranya memperingatkan. Namun Giok Keng yang berada dalam pengaruh obat, tidak mengenalnya dan menganggap bahwa pemanggilan namanya itu merupakan kekurangajaran. Apalagi melihat betapa Bu Kong terpukul sampai terjengkang, dia menjadi makin marah. Sambil berseru keras Giok Keng memukul lagi. Kun Liong menggerakkan kedua tangannya, menangkap kedua pirgelangan tangan dara itu sambil berbisik, “Giok Keng...!” Pada saat itu, lima orang tosu Pek-lian-kauw sudah datang dan menerjang Kun Liong dengan senjata tongkat di tangan. Mereka adalah pembantu-pembantu yang disuruh oleh Ketua Pek-lian-kauw untuk turun tangan menangkap pemuda pengacau itu. Lie Kong Tek berteriak keras, meloncat dan menyambut mereka dengan pukulan dan tendangan. Melihat ini, pihak tamu menjadi ribut dan mereka terpecah menjadi dua bagian, ada yang menentang dan ada pula yang membantu Pek-lian-kauw sehingga tempat pesta itu segera berubah menjadi medan pertempuran yang kacau balau! Kesempatan ini tentu saja dipergunakan oleh mereka yang memang sudah saling bermusuhan dan saling mendendam, untuk melampiaskan kebencian mereka dan untuk saling serang. Akan tetapi sebagian besar dari para tamu, tidak mau mencampuri pertempuran itu, hanya mundur dan menonton di pinggiran, bahkan yang tidak mau terlibat, diam-diam telah meninggalkan tempat itu. Sementara itu, di sebelah dalam bangunan juga terjadi hal yang luar biasa. Ketika Pendekar Sakti Cia Keng Hong dalam keadaan pingsan digotong ke dalam, para tosu Pek-lian-kauw lalu merebahkannya di atas pembaringan. Mereka telah menerima tugas dari ketua mereka dan tahu apa yang harus mereka lakukan terhadap pendekar yang berbahaya itu. Maka begitu merebahkan tubuh Cia Keng Hong di atas pembaringan, seorang siap untuk menotok jalan darah membuat lumpuh, ada yang siap dengan belenggu, dan ada pula yang sudah mengeluarkan obat cair untuk dicekokkan kepada pendekar itu, yaitu obat racun perampas ingatan. Tiba-tiba terdengar bentakan dari luar. “Tahan dulu...!” Empat orang tosu tua itu terkejut dan menengok. Ketika mereka melihat seorang kakek yang pakaiannya kedodoran, celananya kotak-kotak, bajunya kembang, kepalanya ditutup kopyah bayi, mereka terkejut dan siap untuk menyerang. Akan tetapi, kakek itu mengangkat tangan kanannya ke atas dan terdengar suaranya penuh wibawa, “Tolol, apa kalian tidak mengenal ketua kalian sendiri? Aku adalah Thian Hwa Cinjin...!” Sungguh aneh sekali. Tiba-tiba saja penglihatan empat orang tosu tua itu berubah dan cepat mereka menjura kepada kakek itu yang kini kelihatan seperti ketua mereka! Padahal kakek itu sebenarnya adalah Hong Khi Hoatsu yang telah mempergunakan hoat-sut yang amat kuat untuk mempengaruhi orang-orang Pek-lian-kauw dan menolong Cia Keng Hong. “Keluarlah kalian berempat biarkan aku berdua dengan Cia-taihiap,” kembali Hong Khi Hoatsu berkata keren. Empat orang tosu itu mengangguk, tanpa berkata sesuatu seperti dalam mimpi mereka lalu melangkah keluar dari dalam kamar. Memang hebat sekali kekuatan sihir dari Ketua Pek-lian-kauw ini. Suaranya mengandung getaran yang amat kuat sehingga otomatis semua tamu, termasuk Phoa Lee It dan para sutenya, menahan senjata dan melompat mundur, tidak kuat melawan perintah yang terkandung dalam ucapan yang menyusul lengking nyaring itu. Bahkan para tokoh Go-bi-pai itu dan para tamu lain, juga Kun Liong dan Kong Tek, selain menahan gerakan pertempuran, juga sudah menjatuhkan diri berlutut menghadap ke arah kakek yang bertongkat hitam itu! Sambil tertawa Thian Hwa Cinjin sekarang berjalan menghampiri Kun Liong dan Kong Tek, sepasang matanya mengeluarkan sinar buas. Hatinya marah sekali karena dianggapnya dua orang muda inilah yang menimbulkan kekacauan, yang menjadi biang keladi pertempuran yang merubah suasana pesta pernikahan menjadi gelanggang pertempuran itu. “Orang-orang muda yang bosan hidup!” bentaknya setelah dia berada di depan dua orang pemuda yang masih berlutut itu. “Kalian telah melakukan dosa besar terhadap Pek-lian-kauw, karena itu terimalah hukuman dari kami!” Sambil berkata demikian, kakek ini sudah mengangkat tongkat hitamnya ke atas, siap untuk dihantamkan ke arah kepala dua orang pemuda itu. Tentu saja hantaman seorang yang lihai seperti Thian Hwa Cinjin, dengan tongkat yang diarahkan ke kepala, akan menimbulkan maut. Tiba-tiba kedua orang pemuda itu bergerak. Mula-mula Lie Kong Tek yang bergerak dan dari bawah, pemuda tinggi besar ini sudah menggerakkan kakinya menendang ke arah kedua lutut kaki Thian Hwa Cinjin! Adapun Kun Liong sambil tertawa juga bangkit dan tangannya mencengkeram ke arah tenggorokan Ketua Pek-lian-kauw itu. Tentu saja Thian Hwa Cinjin menjadi kaget bukan main. Mereka berdua itu, seperti semua tamu, telah dipengaruhi kekuatan sihirnya, mengapa mercka berdua tahu-tahu dapat melawan? Sesungguhnya tidaklah demikian, sebelum meninggalkan kedua orang pemuda itu, Hong Khi Hoatsu telah meninggalkan “bekal” kepada mereka, yaitu cara-cara menolak pengaruh sihir sehingga ketika tadi Thian Hwa Cinjin mengeluarkan suara melengking nyaring, Kong Tek dan Kun Liong sudah “menutup” perhatian mereka dan menggunakan sin-kang untuk menolak seperti yang diajarkan oleh Hong Khi Hoatsu. Akan tetapi, untuk mengelabuhi mata Thian Hwa Cinjin, mereka berdua ikut-ikut berlutut seperti orang lain. Ketika melihat kakek itu mendekati mereka dan jelas hendak melakukan serangan maut, mereka tentu saja segera bergerak dan mendahului menyerang kakek itu. Thian Hwa Cinjin selain lihai ilmu sihirnya, juga memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi tingkatnya. Tentu saja diserang oleh Kong Tek seperti itu, dia dengan mudah dapat meloncat dan menghindarkan tendangan dahsyat itu. Yang membuat dia terkejut adalah gerakan Kun Liong. Tak disangka-sangkanya bahwa pemuda itu dapat menyerang dehgan gerakan secepat itu. Dia sudah mengelak dengan menarik tubuh atasnya ke belakang, namun sungguh di luar dugaannya, jari-jari tangan pemuda itu masih berhasil mencengkeram ujung jenggotnya yang panjang dan dipelihara baik-baik itu. Dia berteriak kesakitan ketika ujung jenggot itu dibetot dan putus! Sementara itu, Giok Keng yang dipeluk ayahnya ternyata sudah sadar dan tiba-tiba dia merenggutkan diri dari pelukan ayahnya dan bertainya, “Mana dia? Mana si jahanam keparat Liong Bu Kong itu?” Tentu saja Cia Keng Hong terkejut dan girang melihat sikap puterinya yang tiba-tiba membalik dan memaki pemuda yang tak disukanya itu. “Apa maksudmu?” tanyanya. “Ayah, dia si keparat laknat itu, dia telah menipuku! Aku harus membunuhnya! Ayah bagaimana aku bisa memakai pakaian keparat ini?” Dia merenggutkan hiasan kepala dan jubah pengantinnya, mencabut pedangnya dan begitu dia melihat Liong Bu Kong lalu dia meloncat dan memaki, “Bangsat hina dina, hari ini engkau mampus di tanganku!” Melihat puterinya menyerang kalang kabut kepada pemuda yang masih berpakaian pengantin itu, Keng Hong terbelalak. Hatinya bersukur bahwa akhirnya puterinya terbuka matanya dan dapat melihat bahwa pilhan hatinya itu adalah keliru sama sekali, dapat melihat bahwa pemuda putera Ketua Kwi-eng-pang itu bukanlah manusia baik-baik seperti yang telah diketahuinya. Karena dia merasa yakin bahwa puterinya akan dapat menandingi pemuda itu, Keng Hong lalu mencari-cari dengan pandang matanya. Dan pada saat itu dia melihat orang yang dicarinya, yang dianggap menjadi biang keladi sehingga hampir saja puterinya menikah di bawah pengaruh sihir dengan Liong Bu Kong, yaitu Ketua Pek-lian-kauw, Thian Hwa Cinjin! Pada saat itu, dia melihat betapa seorang pemuda berambut pendek yang dia segera kenal sebagai Yap Kun Liong yang dahulu gundul itu, telah menyerang Thian Hwa Cinjin dan berhasil menarik putus sebagian jenggotnya. Akan tetapi kagetlah hati Keng Hong ketika tiba-tiba kakek itu mendorongkan kedua tangannya ke depan dan membentak, “Orang muda, berlututlah engkau! Berlutut...!” Bagaikan lumpuh seketika kedua kakinya, Kun Liong berlutut! Biarpun dia telah memperoleh “bekal” dari Hong Khi Hoatsu untuk menolak pengaruh sihir, namun kekuatan sihir yang langsung diterimanya dan menyerang dirinya melalui gerakan kedua telapak tangan, suara dan pandang mata Ketua Pek-lian-kauw itu terlalu berat bagi Kun Liong sehingga dia tidak dapat mempertahankan dirinya dan sudah jatuh berlutut tanpa daya sama sekali. Lie Kong Tek yang tidak langsung terserang ilmu sihir itu, hanya terbelalak memandang karena dia melihat kakek itu berubah menjadi seorang raksasa yang tiga kali manusia biasa besar dan tingginya! Namun, ketabahan pemuda ini memang amat luar biasa. Biarpun ada rasa ngeri di hatinya, namun melihat temannya berlutut dan tidak berdaya, dia sudah menerjang ke depan dengan pukulan kanannya mengarah pusar Ketua Pek-lian-kauw yang di dalam pandang matanya berubah menjadi raksasa itu. “Plakkk... dess!” Tubuh Kong Tek terlempar dan terguling-guling ketika sebuah tendangan kilat menyambutnya. Dadanya yang terkena tendangan terasa sesak dan untuk beberapa lama pemuda itu tidak mampu bangkit berdiri, hanya bangun duduk dan mengelus dadanya sambil mengatur pernapasan. “Wuuuuttt... bukkk!” Thian Hwa Cinjin sudah berusaha mengelak, namun tetap saja ujung kaki Cia Keng Hong menyentuh pundaknya, membuat dia terhuyung ke belakang. Serangan Keng Hong yang dahsyat ini, yang dilakukan dengan tubuh melayang dari jauh, telah menyelamatkan Kun Liong karena pada saat itu, Thian Hwa Cinjin sudah mengangkat tongkatnya hendak memukul kepala Kun Liong. Melihat majunya pendekar sakti ini, terkejutlah Thian Hwa Cinjin. Dia sudah lama mendengar akan kelihaian Cia Keng Hong Ketua Cin-ling-pai, maka cepat dia mengerahkan ilmu sihirnya, mengangkat tongkatnya dan berseru, “Cia Keng Hong, berani kau melawan? Hadapilah ular saktiku ini!” Keng Hong meloncat ke belakang, matanya terbelalak ketika melihat betapa tongkat hitam di tangan kakek itu berubah menjadi seekor ular hitam yang amat besar, panjang dan mengerikan. Dia meraba punggungnya dan tampaklah sinar hijau berkelebat ketika sebatang pedang berada di tangan pendekar ini. Sebatang pedang yang biasa saja, bahkan bukan pedang logam melainkan sebatang pedang kayu! Akan tetapi itulah pedang Siang-bhok-kiam. Pedang Kayu Harum yang dahulu pernah menggegerkan dunia persilatan! Betapapun juga, kini menghadapi seorang yang menggunakan ilmu sihir, merupakan pengalaman baru bagi Cia Keng Hong, maka dia bersikap waspada dan amat hati-hati, hanya menanti dengan seluruh urat syaraf di tubuhnya siap menghadapi serangan lawan. “Ha-ha-ha, Thian Hwa Cinjin! Tidak ada gunanya semua ilmu sulapmu ini! Tongkat tetap tongkat, mana mungkin menjadi ular? Asal tanah kembali menjadi tanah asal kayu kembali menjadi kayu! Cia Tai-hiap, jangan mau dikelabui ilmu sulap murahan!” Thian Hwa Cinjin terkejut dan Cia Keng Hong girang sekali karena kini ular mengerikan di tangan lawan itu lenyap dan yang tampak hanya tongkat biasa kembali. Thian Hwa Cinjin membentak dan tangan kirinya digerakkan ke atas, dan... terdengar ledakan keras lalu muncul gumpalan asap yang membentuk diri menjadi manusia berkepala singa yang amat menyeramkan! Ujud setan ini dengan buasnya lalu melayang dan menerkam ke arah Keng Hong! Pendekar ini adalah seorang yang sakti dan tidak mengenal takut, namun menyaksikan ujud yang aneh itu dia terkejut bukan main dan cepat dia sudah melempar tubuh ke belakang, bergulingan sampai jauh sambil memutar Siang-bhok-kiam melindungi tubuhnya. Ketika dia meloncat bangun dengan sigapnya, dia melihat gumpalan asap itu masih mengejarnya! Kembali Hong Khi Hoatsu tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, lihat baik-baik, Cia Tai-hiap. Asap itu hanyalah jadi-jadian yang tercipta oleh tukang sulap itu, bukan apa-apa dan hanya gertak sambal saja!” Hong Khi Hoatsu bertepuk tangan tiga kali dan... setan asap itu pun lenyap. Bukan main marahnya hati Thian Hwa Cinjin. Dengan tongkat hitamnya dia menuding ke arah Cia Keng Hong dan Hong Khi Hoatsu sambil membentak, “Jadi kalian telah bersekutu untuk datang memusuhi Pek-lian-kauw? Cia Keng Hong, mengapa engkau begini tak tahu malu? Puterimu dan calon suaminya datang dan mereka memohon kepada kami agar suka merayakan pernikahan mereka karena engkau tidak menyetujui pernikahan itu. Melihat namamu dan nama Cin-ling-pai, kami telah berbaik hati untuk menolongnya dan bersusah payah merayakan pernikahan mereka. Siapa tahu engkau, ayahnya sendiri, malah datang mengacau dan memusuhi kami. Aturan mana ini? Apakah budi kebaikan kami hendak kaubalas dengan permusuhan?” Cia Keng Hong mengerutkan alisnya, menengok ke kiri dan melihat betapa puterinya mendesak Liong Bu Kong dengan serangan-serangan maut, kemudian betapa pemuda itu tiba-tiba membalikkan tubuh dan melarikan diri, dikejar oleh Ciok Keng. Dia merasa khawatir sekali lalu berteriak, “Keng-ji, jangan kejar dia! Kembalilah ke sini!” Akan tetapi Giok Keng yang sudah amat marah kepada Liong Bu Kong, mana mau melepaskan pemuda yang kini amat dibencinya itu? Dia mengejar terus, bahkan membentak nyaring, “Jahanam keparat, lari ke neraka pun akan kukejar kau sampai dapat!” Melihat ini, Yap Kun Liong yang sudah berhasil merobohkan para pengeroyoknya lalu berseru. “Cia-supek, jangan khawatir, biar teecu yang menyusul Sumoi dan membantunya!” Tanpa menanti jawaban, pemuda itu lalu melesat pergi dengan kecepatan yang amat luar biasa sehingga Keng Hong sendiri bengong dan kagum dibuatnya. Hatinya lega mellhat Kun Liong melindungi puterinya, maka dia lalu menghadapi Thian Hwa Cinjin dengan tenang, lalu menjawab kata-katanya tadi dengan suara lantang, “Thian Hwa Cinjin, bukankah engkau yang memutar balik omongan? Puteriku melaksanakan upacara pernikahan yang telah kau atur, bukan atas kehendaknya sendiri, melainkan karena dia berada di bawah pengaruh sihirmu yang keji!” Thian Hwa Cinjin terkejut dan semua tamu yang tadinya saling serang kini telah menghentikan pertempuran mereka karena melihat bahwa orang-orang yang mereka bela kini sedang bertengkar. Mereka kini datang mendekat dan mendengarkan penuh perhatian, sedangkan para anak buah Pek-lian-kauw hanya mengurung tempat itu karena sebelum menerima perintah dari ketuanya, mereka pun tidak berani sembarangan turun tangan. Para tamu yang tadi tidak mau mencampuri keributan dan tidak ikut bertempur, hanya memandang dari jauh, kini diam-diam meninggalkan tempat itu karena tidak ingin terlibat ke dalam permusuhan. Hanya ada dua puluh lebih saja orang-orang kang-ouw yang berpihak kepada Cia Keng Hong termasuk tokoh-tokoh Go-bi-pai, sedangkan selebihnya, lebih lima puluh orang kang-ouw, adalah teman-teman Pek-lian-kauw. “Ketua Cin-ling-pai membohong!” Thian Hwa Cinjin yang sudah dapat menenteramkan hatinya membantah dengan teriakan keras, kemudian dia menengok ke arah semua tamu yang masih berada di situ. “Cu-wi sekalian para tamu yang terhormat menjadi saksi! Apakah ada permainan paksaan dalam upacara pernikahan tadi? Apakah ada yang memaksa pengantin wanita melakukan upacara sembahyang?” “Tidak ada! Tidak ada!” Serentak terdengar jawaban puluhan buah mulut para tamu, sedangkan mereka yang pro kepada Cia Keng Hong tidak ada yang dapat menjawab karena mereka itu diam-diam harus mengakui bahwa tadi tidak ada pemaksaan terhadap pengantin wanita. Cia Keng Hong tersenyum mengejek, menghadapi para tamu dan berkata, suaranya lantang, “Cu-wi sekalian mana tahu akan kelicikan pendeta hitam ini? Puteriku tadi berada dalam keadaan tidak sadar, berada di bawah pengaruh sihir dan obat perampas ingatan! Semua telah diatur oleh Thian Hwa Cinjin. Bahkan ketika aku datang, diam-diam dia menggunakan ilmu sihir yang membuat aku tidak sadar! Kalau saja tidak Hong Khi Hoatsu yang menolong, tentu aku pun telah dicelakakannya tanpa ada seorang pun tamu yang menduga dan mengetahuinya.” “Bohong! Semua mata melihat! Semua telinga mendengar betapa Ketua Cin-ling-pai telah ribut mulut dengan puterinya dan karena marahnya lalu roboh pingsan! Kami bahkan telah menolong Cia-Tai-hiap dan menggotongnya ke dalam, bagaimana kini kau bisa menuduh yang bukan-bukan? Cu-wi sekalian harap jangan mudah dibohongi orang. Pek-lian-kauw sudah terlalu banyak dikabarkan jelek. Padahal, Pek-lian-kauw adalah perkumpulan orang gagah yang membela rakyat yang tertindas oleh pemerintah lalim! Pek-lian-kauw selalu mengutamakan kegagahan mana kami sudi berbuat keji dan buruk?” “Ha-ha-ha, omongan Ketua Pek-lian-kauw seperti kentut!” Tiba-tiba terdengar suara orang berkata nyaring dan kembali Hong Khi Hoatsu yang bicara itu. Kini dia didampingi oleh Lie Kong Tek dan seorang dara muda yang cantik akan tetapi mukanya pucat, matanya merah oleh tangis, dan pakaian serta rambutnya kusut seperti orang menderita sakit berat. Siapakah dara itu? Dia bukan lain adalah Bu Li Cun! Seperti telah diceritakan di bagian depang ketika berkenalan dengan Hong Khi Hoatsu dan Lie Kong Tek, Yap Kun Liong telah mendengar penuturan mereka tentang seorang gadis yang diculik oleh Pek-lian-kauw. Untuk keperluan mencari gadis yang menjadi tunangan Lie Kong Tek itulah maka guru dan murid itu menuju ke Pek-lian-kauw dan minta bantuan Yap Kun Liong. Tadi, ketika terjadi ribut mulut, diam-diam Lie Kong Tek disuruh oleh gurunya untuk pergi menyelinap dan mencari tunangannya yang mereka duga berada di tempat itu. Lie Kong Tek menyelinap memasuki bangunan besar itu dari pintu samping tanpa diketahui oleh para anak buah Pek-lian-kauw yang sedang tertarik oleh keributan di luar. Ketika tiba di ruangan dalam, Kong Tek menangkap seorang pelayan wanita dan mengancamnya untuk menunjukkan tempat tahanan wanita. Pelayan yang ketakutan itu terpaksa membawa pemuda perkasa ini ke belakang dan di dalam sebuah kamar, dia melihat beberapa orang dara yang keadaannya menyedihkan sekali. “Siapkah di antara kalian yang bernama Bu Li Cun?” tanyanya halus, karena sesungguhnya, baru satu kali Lie Kong Tek melihat tunangannya, itu pun ketika tunangannya masih kecil beberapa tahun yang lalu. Seorang dara berusia delapan belas tahun, cantik dan pucat, keadaannya menyedihkan seperti para tawanan lain, melangkah maju dan memandang kepada Lie Kong Tek penuh selidik dan penuh rasa takut. Hati pemuda itu terharu, dan cepat dia maju, lalu memegang kedua tangan dara itu. “Jangan khawatir, aku datang untuk menolongmu. Aku Lie Kong Tek...” Mendengar ini, gadis itu teringat dan segera menangis terisak-isak dan tentu sudah roboh kalau tidak segera dirangkul oleh pemuda itu. Lie Kong Tek lalu membawanya keluar dan menjumpai gurunya. Hong Khi Hoatsu girang melihat muridnya sudah berhasil membebaskan gadis yang mereka cari-cari itu, dan pada saat Thian Hwa Cinjin mendesak Cia Keng Hong dengan omongannya, dia sudah mentertawakan kakek itu. “Thian Hwa Cinjin Ketua Pek-lian-kauw selain pandai menggunakan ilmu sulap secara curang juga pandai menggerakkan bibir dan lidah menyebar racun yang manis rasanya!” Hong Khi Hoatsu melanjutkan kata-katanya yang lantang. “Harap Cu-wi sekalian lihat Nona ini. Dia adalah scorang gadis baik-baik yang telah diculik oleh orang-orang Pek-lian-kauw! Apakah dengan perbuatan keji itu Thian Hwa Cinjin masih mau mengelabuhi mata semua orang dengan mengatakan bahwa Pek-lian-kauw adalah orang-orang gagah yang berjiwa patriot?” Terdengar suara berisik yang marah diantara para tamu. Thian Hwa Cinjin sendiri menjadi pucat mukanya ketika melihat Bu Li Cun sudah berdiri di dekat Hong Khi Hoatsu. Akan tetapi, dia adalah seorang yang amat cerdik. Dia dapat mengenal watak wanita yang selalu hendak memegang teguh nama baiknya dan menyimpan rahasia kesuciannya sebagai seorang perawan. Maka sambil tersenyum lebar dia berkata, “Ha-ha, kakek pengemis yang hendak berlagak! Aku tidak mengenal siapa adanya engkau yang berlagak aneh ini, akan tetapi engkaulah yang memutarbalikkan omongan! Gadis ini adalah Nona Bu Li Cun, dan dia adalah seorang di antara dara-dara perkasa yang dengan suka rela ingin menjadi anggauta Pek-lian-kauw karena dia pun berjiwa patriot! Dia menjadi tamu kami di sini, dan siapa pun boleh bertanya kepadanya, apakah selama berada di sini dia sebagai seorang perawan terhormat telah ada yang mengganggunya? Bu-siocia, harap suka menjawab. Apakah selama ini Nona diganggu orang di Pek-lian-kauw?” “Lie-koko aku pinjam pedangmu sebentar.” Tiba-tiba Bu Li Cun berkata halus sambil meloloskan pedang yang tergantung di pinggang tunangannya. Lie Kong Tek tidak mengerti apa yang dikehendaki oleh gadis itu, maka tidak mencegahnya. Dengan pedang di tangannya, Bu Li Cun lalu berlari menghampiri Thian Hwa Cinjin, dan kakek ini memandang sambil tersenyum, maklum bahwa dara ini tentu tidak akan begitu tebal muka untuk mengakui keadaannya, dan di samping ini, biarpun dara itu memegang pedang, dia tidak merasa terancam dan tidak pula merasa takut. “Bu-siocia, bukankah engkau ingin menjadi murid Pek-lian-kauw, menjadi muridku secara suka rela tanpa paksaan?” kembali dia berkata dengan suara menggetarkan wibawa kuat. Bu Li Cun dengan muka tunduk tanpa memandang kakek itu kini berdiri di sampingnya, mengangkat muka memandang kepada semua tamu dengan air mata bercucuran! Kemudian terdengar suaranya lantang, “Saat seperti ini sudah lama kutunggu-tunggu! Aku Bu Li Cun hanya mampu membalas sakit hati secara begini. Cu-wi sekalian dengarlah baik-baik! Aku telah diculik oleh Pek-lian-kauw dan aku telah diperkosa oleh tua bangka keparat ini!” Tiba-tiba setelah meneriakkan pengakuan hebat ini, yang tak mungkin dikeluarkan oleh mulut seorang gadis yang menganggap lebih baik mati daripada mengaku diperkosa orang, Bu Li Cun menggerakkan pedang tunangannya, menggorok leher sendiri! “Haiii...! Trang...!” Pedang itu mencelat terlepas dari tangan Bu Li Cun, akan tetapi setelah terlebih dulu mengerat kulit leher dara itu. Kulit leher yang putih itu seketika berubah merah, darah muncrat-muncrat dan terdengar suara aneh dari leher Bu Li Cun yang menggunakan kedua tangan memegang lehemya, tubuhnya terguling ke atas tanah. “Bu-moi...!” Lie Kong Tek yang tadi kurang cepat bergerak sehingga sambitan piauwnya yang membuat pedang terlepas itu masih tidak dapat menolong tunangannya, meloncat dan berlutut, mengangkat tubuh dara itu, dipangkunya. Mukanya pucat sekali ketika dia melihat betapa leher itu terkuak lebar dan darah muncrat-muncrat mengerikan. Sekali pandang saja tahulah dia bahwa dia telah terlambat, bahwa nyawa gadis tunangannya ini tak mungkin dapat ditolong lagi. Bu Li Cun membuka kedua matanya memandang pemuda gagah itu, tersenyum dan bibirnya bergerak-gerak namun tidak ada suara yang keluar, kemudian dia terkulai lemah dalam pelukan Lie Kong Tek. Berisiklah semua orang menyaksikan peristiwa mengerikan itu dan pada wajah banyak tokoh kang-ouw terbayang kemarahan hebat mendengar pengakuan gadis yang membunuh diri itu telah diperkosa oleh Thian Hwa Cinjin! Akan tetapi mereka tidak berani langsung bergerak karena mereka maklum akan kelihaian kakek itu. “Ha-ha-ha-ha, agaknya gadis ini adalah kaki tangan musuh yang sengaja dikirim ke sini untuk memburukkan nama pinto! Sungguh perbuatan yang curang sekali kalau begitu!” Thian Hwa Ciniin yang cerdik itu masih tidak kekurangan akal untuk memutarbalikkan kenyataan. Kemudian dia memandang ke arah mayat Bu Li Cun yang masih dipeluk oleh Lie Kong Tek dan terdengar suaranya penuh getaran aneh, “Harap Cu-wi lihat baik-baik. Gadis itu kelihatannya saja membunuh diri, akan tetapi sesungguhnya tidak. Dia waras dan sehat, pedang tadi tidak mengenai lehernya dan dia hanya pura-pura mati saja. Lihat baik-baik, semua tadi hanyalah perbuatan kakek gila tukang sihir itu!” Semua mata terbelalak, termasuk mata Cia Keng Hong yang karena keinginan tahu dan keheranannya, telah menunda niatnya menerjang Ketua Pek-lian-kauw itu dan memutar leher memandang ke arah Bu Li Cun. Dan, seperti juga orang lain kecuali Lie Kong Tek dan gurunya, dia pun melihat betapa leher gadis itu kini putih bersih tidak ada darahnya sedikitpun juga, dan gadis itu masih bernapas, dan tersenyum-senyum dengan mata terbuka lebar! “Ti... tidak... mungkin...!” Pendekar sakti ini berbisik dan menggoyang kepalanya untuk mengusir pandangan yang tidak semestinya itu. Dia tadi melihat sendiri betapa pertolongan Lie Kong Tek terlambat, betapa sebelum terlempar, pedang itu telah menggorok leher Bu Li Cun dan betapa leher itu terluka, terkuak lebar dengan darah muncrat-muncrat dan gadis itu telah menghembuskan napas terakhir di dalam pelukan Lie Kong Tek! “Hemm, Thian Hwa Cinjin! Lagi-lagi engkau hendak mengelabuhi para tamu yang terhormat ini dengan ilmu sulapmu! Gadis itu jelas telah tewas, membunuh diri dengan pedang karena telah kauperlakukan hal yang terkutuk atas dirinya. Cu-wi sekalian harap jangan mudah dikelabui dan lihatlah baik-baik. Bu Li Cun telah tewas membunuh diri! Darahnya pun belum kering!” Hong Khi Hoatsu berteriak, suaranya juga mengandung getaran hebat dan kedua tangannya dengan jari terbuka didorongkan ke depan, ke arah Bu Li Cun dan... terdengar teriakan-teriakan di sana-sini ketika semua mata, termasuk mata Cia Keng Hong, melihat gadis itu benar telah menjadi mayat dengan luka besar di leher dan darahnya masih mengalir keluar, sedangkan Lie Kong Tek dengan muka pucat dan alis berkerut memangku dan memandang gadis itu. Thian Hwi Cinjin menjadi marah sekali. Kembali ilmu sihirnya yang dipergunakan untuk menyelamatkan nama dan dirinya, telah digagalkan oleh kakek aneh yang muncul tanpa disangka-sangkanya dalam pesta pernikahan yang telah diaturnya itu. Dengan alis berkerut dan mata mengeluarkan sinar berapi-api dan penuh kekuatan sihir dia menghadapi Hong Khi Hoatsu dan membentak, “Pendeta yang lancang mencampuri urusan orang! Siapakah engkau dan apa sebabnya engkau memusuhi kami?” Hong Khi Hoatsu menggeleng-geleng kepala yang ditutup kopyah bayi itu sambil tersenyum dan menjawab, “Thian Hwa Cinjin, engkau sudah menggunakan julukan Cinjin, namun ternyata masih mengumbar nafsu angkara murka dan gila akan kedudukan dan kemuliaan duniawi! Ketahuilah, aku disebut orang Hong Khi Hoatsu, pekerjaanku hanya bertapa. Akan tetapi karena melihat betapa tunangan dari muridku itu telah diculik oleh anak buah Pek-lian-kauw, terpaksa aku turun gunung dan mencarinya. Jejaknya menuju ke sarangmu ini dan ternyata benar bahwa tunangan muridku itu terculik oleh orang-orangmu dan telah menjadi korban kebiadabanmu! Hemm, entah berapa banyaknya wanita baik-baik yang menjadi korban kekejianmu yang kaulakukan mengandalkan nama Pek-lian-kauw dan mengandalkan ilmu sihirmu yang jahat!” “Hong Khi Hoatsu pendeta keparat! Ingatlah kau di mana kau bicara?” “Ha-ha! Tentu saja! Aku bicara di depan Ketua Pek-lian-kauw bagian timur, berada di sarang Pek-lian-kauw dan sedang dikepung oleh anak buah Pek-lian-kauw! Dan baru sekarang aku tahu, juga para enghiong yang hadir di sini tentu tahu bahwa Pek-lian-kauw yang dikenal sebagai perkumpulan pejuang rakyat itu sesungguhnya hanya ditunggangi oleh orang-orang jahat sehingga berubah menjadi perkumpulan orang-orang jahat yang pekerjaannya merampok harta benda, menculik wanita, dan memberontak mengejar kedudukan.” “Keparat!” Thian Hwa Cinjin membentak, tak dapat menahan kemarahannya, lalu memberi tanda dengan tongkatnya sebagai aba-aba untuk menyerbu. Anak buah Pek-lian-kauw yang sudah mengurung tempat itu segera berteriak-teriak dan menerjang maju. “Manusia busuk berkedok nama rakyat pejuang! Kau harus mampus!” Cia Keng Hong sudah menerjang ke depan menyambut gerakan Thian Hwa Cinjin yang tadi masih menyerang ke arah Hong Khi Hoatsu. “Trakk! Plak!” Tubuh Thian Hwa Cinjin terhuyung ke belakang ketika tongkatnya bertemu dengan Siang-bhok-kiam dan telapak tangan kirinya disambut oleh telapak tangan Cia Keng Hong. Terkejutlah Thian Hwa Cinjin. Dia sudah lama mendengar nama besar Cia Keng Hong sebagai Ketua Cin-ling-pai yang berilmu tinggi sekali. Memang dia sudah merasa gentar mendengar nama besar pendekar ini, akan tetapi dia menjadi besar hati karena dia mengandalkan kekuatan sihirnya untuk mengatasi pendekar sakti itu. Namun sekarang di samping Cia Keng Hong terdapat Hong Khi Hoatsu yang agaknya merupakan seorang ahli dalam ilmu sihir sehingga beberapa kali ilmu sihirnya melempem dibikin buyar dan punah oleh Hong Khi Hoatsu. Terpaksa dia tidak mau menggunakan ilmu sihir lagi, karena kalau Hong Khi Hoatsu maju menghadapi ilmu sihirnya, berarti dia dikeroyok dua dan harus memecah kekuatah sin-kangnya DENGAN nekat dia lalu memutar tongkatnya dan mengeluarkan ilmu tongkatnya yang amat dahsyst sehingga Cia Keng Hong yang mengenal lawan tangguh tidak memandang rendah kepadanya. Segera terjadi pertandingan hebat antara kedua orang sakti itu. Adapun Hong Khi Hoatsu yang maklum bahwa keselamatan Cia Keng Hong tentu terancam kalau dia tidak berjaga-jaga untuk melawan ilmu sihir Ketua Pek-lian-kauw, hanya menonton di pinggiran sambil kadang-kadang menggunakan kaki tangan merobohkan anggauta Pek-lian-kauw yang berani mencoba untuk menyerangnya. Dia tidak berani ikut menyerang Thian Hwa Cinjin, karena dalam beberapa jurus saja kakek yang ahli dalam ilmu sihir ini maklum bahwa dibandingkan dengan kedua orang yang sedang bertempur itu, tingkat ilmu silatnya masih kalah jauh sehingga bantuannya tidak akan ada artinya, bahkan akan mengacaukan gerakan serangan Ketua Cin-ling-pai itu. Kini keadaan para tamu menjadi berbalik. Kalau tadinya terdapat orang-orang yang jauh lebih banyak jumlahnya memihak Pek-lian-kauw, sekarang mereka itu sebagian besar membalik dan menentang Pek-lian-kauw! Mengapa demikian? Sebagian besar para tamu adalah orang-orang kang-ouw dan tadinya mereka suka bekerja sama dengan Pek-lian-kauw bukan semata-mata karena perkumpulan ini royal dalam menjamu dan menghommati mereka, melainkan karena mereka sungguh-sungguh menganggap bahwa Pek-lian-kauw adalah perkumpulan pejuang rakyat yang menentang pemerintah lalim dan membela rakyat tertindas. Kini baru terbuka mata mereka, dan mereka telah melihat bukti betapa kejinya Ketua Pek-lian-kauw yang menyuruh anak buahnya menculik gadis lalu memperkosanya! Setelah melihat kenyataan ini, sebagai pendekar-pendekar gagah di dunia persilatan, tentu saja mereka tidak sudi lagi bersekutu dengan kakek keji itu. Maka kini sebagian besar di antara mereka berpihak kepada Cia Keng Hong dan menyambut serbuan para anak buah Pek-lian-kauw! Tentu saja masih ada di antara para tamu yang memihak Pek-lian-kauw dan mereka ini memanglah orang-orang dari golongan sesat yang terdiri dari perampok, bajak, dan orang-orang yang tidak pernah merasa segan melakukan perbuatan jahat demi mengumbar hawa nafsu mereka. Anggota Pek-lian-kauw yang kebetulan berada di situ dan kini maju menyerbu berjumlah kurang lebih seratus orang dan ditambah dengan para tamu golongan sesat yang membantu mereka, maka jumlah mereka antara seratus dua puluh lima orang! Sedangkan pihak yang menjadi lawan mereka hanya berjumlah kurang lebih empat puluh orang. Maka dengan perimbangan kekuatan yang berat sebelah ini, setiap orang kang-ouw dikeroyok oleh dua tiga orang Pek-lian-kauw dan di antara para angauta Pek-lian-kauw terdapat banyak tokoh yang berilmu tinggi. Terdesaklah mereka yang menentang Pek-lian-kauw dan sudah beberapa orang yang roboh terluka sungguhpun di pihak Pek-lian-kauw juga banyak yang terluka. Lie Kong Tek mengangkat mayat tunangannya, merebahkannya di tempat aman, kemudian bagaikan seekor harimau kelaparan, pemuda tinggi besar yang berduka dan marah ini mengamuk. Sepak terjangnya menggiriskan para anggauta Pek-lian-kauw dan baru setelah dia dikeroyok oleh lima orang pimpinan Pek-lian-kauw tingkat rendah, terjangan pemuda ini dapat dibendung dan terjadi pertempuran yang amat seru dan mati-matian. Pertandingan antara Thian Hwa Cinjin dan Cia Keng Hong juga berlangsung dengan hebatnya sehingga Hong Khi Hoatsu yang menonton sambil menjaga kalau-kalau Ketua Pek-lian-kauw itu berlaku curang mempergunakan sihirnya, menjadi amat kagum. Baru sekali selama hidupnya dia menyaksikan pertandingan ilmu silat yang sedemikian hebat dan bermutu. Diam-diam dia merasa bersyukur bahwa di saat itu muncul pendekar Ketua Cin-ling-pai ini, karena kalau tidak demikian, dia sukar dapat percaya apakah Yap Kun Liong yang diandalkannya itu akan mampu menandingi Ketua Pek-lian-kauw yang sedemikian lihainya! Bagi Cia Keng Hong sendiri yang selama belasan tahun ini baru beberapa kali bertanding melawan datuk-datuk kaum sesat ketika dia membantu pemerintah membasmi kaum pemberontak, kini merasa menemukan lawan yang benar-benar tangguh sekali. Ketua Pek-lian-kauw wilayah timur ini ternyata masih lebih lihai daripada lima datuk kaum sesat yang pernah dilawannya! Setelah dia menggerakkan Pedang Kayu Harum di tangannya itu dengan ilmu pedang yang khas untuk pedang itu, yaitu Siang-bhok Kiam-sut dan mendasari gerak kaki dan tangan kirinya dengan Thai-kek-sin-kun, barulah lewat seratus jurus dia mampu mendesak Thian Hwa Cinjin yang kini mundur-mundur dan baru berhasil membalas tiap tiga kali serangan lawan dengan satu serangannya sendiri yang tidak begitu berarti. Padahal setiap serangan yang dilancarkan lawannya, baik dengan Pedang Kayu Harum itu maupun dengan pukulan tangan kiri yang terbuka, amat dahsyat dan membuatnya mengeluarkan keringat dingin dan terus main mundur. Tiba-tiba terdengar sorak-sorai dan berbondong-bondong masuklah banyak orang melalui pintu gerbang Pek-lian-kauw. Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Keng Hong, Hong Khi Hoatsu, dan para orang kang-ouw yang menentang Pek-lian-kauw ketika puluhan orang yang baru datang itu serta merta membantu pihak Pek-lian-kauw dan menyerang mereka! Bahkan Keng Hong sendiri kini diserang oleh seorang pemuda tampan yang berpedang ular dan memiliki ilmu silat lihai sekali! Pemuda ini bukan lain adalah Ouwyang Bouw! Dia telah datang bersama isterinya, yaitu Lauw Kim In, dan Marcus bekas anak buah Legaspi Selado diiringkan oleh hampir seratus orang anak buahnya! Seperti telah diceritakan di bagian depan, Lauw Kim In dan Ouwyang Bouw memimpin para pemberontak Mongol dan membentuk Pasukan Tombak Maut. Bersama dengan Marcus yang menggabungkan diri dengan mereka, pasukan ini hendak bergabung dengan Pek-lian-kauw untuk memberontak terhadap pemerintah. Pertempuran yang sudah berat sebelah itu menjadi makin tidak berimbang lagi ketika Pasukan Tombak Maut ikut menyerbu dan membantu Pek-lian-kauw! Kini setiap orang dikeroyok oleh banyak lawan. Cia Keng Hong sendiri selain harus menghadapi Thian Hwa Cinjin dan Ouwyang Bouw juga diserang oleh Lauw Kim In yang membantu suaminya. Namun pendekar Cin-ling-pai ini ternyata hebat sekali kepandaiannya. Dengan marah Siang-bhok-kiam di tangannya bergerak seperti kilat, tampak sinar hijau menyambar-nyambar dan... Ouwyang Bouw dan Lauw Kim In berteriak kaget, mencelat mundur dan pundak mereka berdarah tercium sinar pedang Siang-bhok-kiam! Mereka kaget dan penasaran sekali. Mereka adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi, akan tetapi dalam beberapa gebrakan saja telah terluka oleh lawan Ketua Pek-lian-kauw ini! “Ji-wi, hati-hatilah! Ketua Cin-ling-pai ini lihai sekali ilmu pedangnya!” Thian Hwa Cinjin yang sudah mengenal Owyang Bouw berkata memperingatkan. Diam-diam Ouwyang Bouw dan Lauw Kim In terkejut sekali. Terutama sekali Lauw Kim In. Jadi inikah pendekar sakti yang selama ini dipuji-puji subonya dan selama ini merupakan nama yang dia junjung tinggi? Adapun Ouwyang Bouw juga terkejut karena tentu saia dia mengenal nama Ketua Cin-ling-pai. Dia tahu bahwa pendekar yang sakti ini bernama Cia Keng Hong dan menjadi sahabat baik serta selalu membantu gerakan Panglima Besar The Hoo dalam menghadapi para pemberontak. Bersama Panglima The Hoo, pendekar ini telah mengobrak-abrik sarang-sarang pemberontak, seperti Telaga Setan (Kwi-ouw), Pulau Ular, dan lain tempat lagi. Bahkan datuk hitam Toat-beng Hoat-su yang lihai itu kabarnya tewas di tangan Panglima The Hoo, sedangkan ayahnya sendiri, Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok, tewas di tangan Cia Keng Hong. Sekarang, pendekar ini kembali telah menyerbu Pek-lian-kauw! Dengan hati giris Ouwyang Bouw dan Lauw Kim In maju lagi, kini lebih hati-hati mengeroyok Cia Keng Hong. Sementara itu, Hong Khi Hoatsu yang bantu-membantu dengan muridnya, Lie Kong Tek, dikeroyok oleh Marcus dan belasan orang pimpinan Pek-lian-kauw dan jagoan-jagoan Mongol. Guru dan murid ini beradu punggung dan melawan mereka mati-matian. “Cia Keng Hong, berlututlah kau... lihat naga saktiku hendak menelanmu!” tiba-tiba terdengar bentakan Ketua Pek-lian-kauw. Cia Keng Hong maklum bahwa lawannya menggunakan sihir, dia sudah mengerahkan sin-kangnya untuk melawan pengaruh itu, namun karena tadi dia mau memandang muka kakek itu sehingga sinar matanya bertaut dengan sinar mata penuh kekuatan mujijat itu, pendekar ini tidak mampu menahan kakinya yang seperti memaksa diri berlutut! “Cia-taihiap, bangkitlah!” Pekik nyaring ini keluar dari mulut Hong Khi Hoatsu. Biarpun dia sedang dikeroyok banyak lawan, kakek ini masih memperhatikan keadaan Keng Hong sehingga menolongnya dari pengaruh sihir lawan. Seketika Keng Hong sadar dan dengan pekik melengking nyaring sekali dia menerjang maju, pedangnya berkelebat. “Trangg-tranggg... krekkk!!” Pedang di tangan Ouwyang Bouw dan Lauw Kim In terpental hampir terlepas dari pegangan, sedangkan ujung tongkat hitam di tangan Thian Hwa Cinjin patah. Kagetlah kakek ini sehingga dia meloncat ke belakang dengan muka pucat. “Kalian berani melawan aku? Lihat, aku adalah Giam-lo-ong (Malaikat Pencabut Nyawa) dari langit! Hayo kalian berlutut! Hayo kalian berlutut!” Hong Khi Hoatsu membentak dan semua pengeroyoknya, kecuali Marcust berlutut dengan taat! Mengapa Marcus tidak terpengaruh oleh bentakan yang mengandung kekuatan mujijat ini? Hal ini adalah karena Marcus belumlah begitu paham akan bahasa Han sehingga bentakan yang dikeluarkan di antara suara hiruk-pikuk pertempuran itu tidaklah terdengar jelas olehnya dan karenanya dia pun tidak terpengaruh. Akan tetapi melihat betapa semua temannya berlutut, dia terkejut sekali dan sebelum dia sempat mengelak, Hong Khi Hoatsu telah berhasil menotoknya roboh. Kakek ini lalu berteriak, “Cia-taihiap, Kong Tek, dan Cu-wi sekalian, mari kita pergi!” Teriakan ini menyadarkan Cia Keng Hong dan yang lain-lain bahwa melawan terus menghadapi jumlah lawan yang jauh lebih banyak itu tiada gunanya. Apalagi yang menjadi pokok persoalan, yaitu Nona Cia Giok Keng telah pergi dari situ mengejar pengantin pria tadi. “Pergi...!” Terdengar teriakan-teriakan mereka. Cia Keng Hong maklum bahwa beberapa kali dia ditolong oleh Hong Khi Hoatsu, maka dia lalu memutar Siang-bhok-kiam sedemikian rupa sehingga ketiga orang pengeroyoknya terpaksa bergerak mundur. Kesempatan ini dia pergunakan untuk meloncat jauh ke arah Lie Kong Tek yang terdesak hebat oleh para pengeroyoknya. “Singgg... tranggg... krek-krek-krekkk!” Senjata-senjata para pengeroyok Lie Kong Tek patah-patah dan mereka terpaksa mundur, memberi kesempatan kepada Lie Kong Tek untuk lolos dari kepungan. Mereka berdua lalu meloncat ke dekat Hong Khi Hoatsu, lalu bersama para tokoh kang-ouw yang tadi ikut menentang Pek-lian-kauw mereka mulai mundur. Pihak Pek-lian-kauw mengejar, akan tetapi tiba-tiba Hong Khi Hoatsu berteriak nyaring dan aneh sekali bagi para pengejar itu, mendadak tampaklah awan hitam yang tebal bergerak turun dan membuat pemandangan menjadi gelap. Tentu saja mereka menjadi bingung dan tidak melihat lagi ke mana orang-orang kang-ouw itu melarikan diri. Setelah Thian Hwa Cinjin yang mengerahkan ilmunya juga memekik nyaring, awan hitam itu lenyap, akan tetapi para musuh juga sudah lenyap. Mereka itu melarikan diri dengan berpencaran sehingga sukarlah untuk mengejar. “Jangan kejar!” Thian Hwa Cinjin berseru. Kakek ini maklum bahwa dengan berpencar, pengejaran menjadi berbahaya sekali karena kekuatan anak buahnya menjadi terpecah-pecah pula sedangkan pihak musuh demikian lihai, terutama Ketua Cin-ling-pai tadi. Masih ngeri dia memikirkan kehebatan Pedang Kayu Harum di tangan Cia Keng Hong tadi yang membuat ujung tongkat wasiatnya sampai patah, semua orang tentu saja mentaati Perintah Ketua Pek-lian-kauw dan berbondong mereka memasuki kembali markas Pek-lian-kauw dan para anak buahnya merawat teman-teman yang terluka. Pihak orang-orang kang-ouw yang terluka juga tidak ada lagi karena mereka telah dibawa lari oleh teman masing-masing. Sedangkan para orang kang-ouw yang tadi membantu mereka, dipersilakan masuk ke ruangan tamu dan dijamu sebagai tanda terima kasih Pek-lian-kauw dan untuk mengikat hati mereka agar selanjutnya menjadi sekutu mereka. Sementara itu, dalam pelarian yang berpencaran tadi, Cia Keng Hong tetap berlari bersama Hong Khi Hoatsu dan Lie Kong Tek. Di tengah perjalanan Lie Kong Tek berkata, “Terima kasih kepada Cia-locianpwe yang telah membantu saya tadi.” Mereka berhenti berlari karena tidak ada yang mengejar, dan andaikata ada juga yang mengejar, asal tidak terlalu banyak jumlah lawan, tentu akan mereka basmi dengan mudah. “Tidak perlu berterima kasih, bahkan maafkan aku akan sikapku tadi ketika engkau membela anakku. Engkau memang benar!” Berkata Cia Keng Hong dengan muka agak merah, teringat betapa dia tadi hampir membunuh pemuda ini, yang biarpun sama sekali tidak mengenal Giok Keng, telah mati-matian membelanya. Kemudian ternyata bahwa pemuda ini dan gurunya yang telah menolong dia, dan telah menyadarkan Giok Keng. Andaikata tidak ada guru dan murid ini, entah apa jadinya, akan tetapi yang jelas, Giok Keng menjadi korban kekejian Pek-lian-kauw dan Liong Bu Kong, sedangkan dia sendiri tentu tidak terluput dari malapetaka. “Kalau mau bicara tentang budi, akulah yang berhutang budi kepada gurumu, dan kepadamu, orang muda!” “Ha-ha-ha-ha, Cia-taihiap mengapa menjadi begini sungkan-sungkan? Di antara orang sendiri yang selalu menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan, bantu-membantu merupakan hal yang lumrah, bahkan sudah semestinya! Kalau tidak ada Cia-taihiap, juga kalau tidak ada Yap-sicu yang keduanya memiliki ilmu kepandaian setinggi langit, mana kami mampu menghadapi orang-orang Pek-lian-kauw itu?” Mendengar disebutnya nama Yap Kun Liong, Cia Keng Hong teringat akan puterinya, maka sambil menjura dia berkata, “Sekarang saya hendak pergi menyusul dan mencari puteriku, kita terpaksa berpisah di sini. Saya harap saja kalau ada waktu dan kesempatan, Hoatsu sudi memberi kehormatan kepada saya dengan mengunjungi Cin-ling-san.” Hong Khi Hoatsu mengangkat tangannya ke atas sambil berkata, “Nanti dulu, Tai-hiap. Saya mempunyai niat hati yang perlu saya kemukakan kepada Tai-hiap.” “Ada petunjuk apakah yang Hoatsu hendak berikan kepadaku?” Cia Keng Hong menjawab sambil memandang tajam. Kakek yang biasanya hanya tersenyum-senyum itu kini menarik napas panjang, wajahnya bersungguh-sungguh. “Secara tidak sengaja saya telah melihat dan mendengar semua yang dialami oleh puterimu dan merasa kasihan sekali kepada puterimu, Tai-hiap. Namanya telah dicemarkan di depan banyak orang oleh Si Laknat Liong Bu Kong dan perkumpulan kotor Pek-lian-kauw. Dan sebagai seorang tua yang awas akan gerak-gerik muridnya, saya pun telah melihat sikap muridku kepada Tai-hiap tadi, ketika membela puterimu. Muridku sendiri, di tempat itu, telah pula kehilangan calon isterinya yang telah tewas membunuh diri...” “Ahhh, Suhu! Mengapa teecu tadi sampai terlupa untuk membawa lari mayat Bu Li Cun?” Tiba-tiba Lie Kong Tek memotong ucapan suhunya dengan suara menyesal dan kaget. “Biarlah, Kong Tek. Lebih baik kalau mayatnya dikubur oleh mereka agar selalu menjadi peringatan akan perbuatan kotor ketua mereka dan menginsyafkan para anggautanya betapa mereka mengabdi kepada seorang yang jahat seperti Thian Hwa Cinjin itu.” “Kalau boleh saya mengatakan, bagaimanakah selanjutnya kehendak Hoatsu?” Cia Keng Hong bertanya, diam-diam dia mempertimbangkan karena dia sudah dapat menduga apa yang hendak dikatakan selanjutnya oleh kakek sakti ini. “Melihat sikap muridku, saya mengambil kesimpulan bahwa di antara mereka memang ada jodoh, Tai-hiap. Kalau sekiranya Tai-hiap percaya pada kami, dan sudi mempertimbangkan sebaiknya, perkenankan saya mengajukan pinangan sekarang juga atas diri puteri Tai-hiap untuk murid saya, Lie Kong Tek ini.” Mendengar ucapan suhunya itu, Lie Kong Tek menundukkan mukanya yang menjadi merah dan jantungnya berdebar penuh ketegangan. Dia tidak merasa heran akan sikap suhunya yang memang amat aneh, bicara tentang jodoh di tengah jalan dan bicara secara blak-blakan begitu saja! Mendengar pinangan yang memang sudah diduga sebelumnya, Cia Keng Hong tidak menjadi kaget dan dia cepat menjura sambil menjawab, “Banyak terima kasih kepada Hoatsu yang masih menghargai puteriku yang telah tercemar namanya itu, akan tetapi hendaknya Hoatsu mengerti bahwa dalam soal perjodohan anakku itu, saya tidak dapat memutuskan kecuali ada persetujuan dari anaknya sendiri. Oleh karena itu, terpaksa sementara ini saya belum dapat memberi jawaban menerima atau menolak, tergantung kepada anak saya sendiri kelak. Kalau dia menerima, atau kalau dia menolak, tentu saya akan mengirim berita kepada Hoatsu. Ke manakah kelak saya harus mengirim berita?” “Ha-ha-ha, Tai-hiap membuat kami menjadi malu saja. Kami berdua telah meninggalkan pegunungan dan sengaja hendak merantau di dunia ramai, karena itu tentu saja tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap. Maka sebaiknya diatur begini saja, Tai-hiap. Setahun kemudian kami akan mengunjungi Cin-ling-pai untuk menerima keputusan Tai-hiap mengenai pinangan saya.” Cia Keng Hong mengangguk-angguk. “Baiklah, Hoatsu. Kami akan menanti kunjunganmu itu dan mempersiapkan jawaban yang tepat, dan mudah-mudahan saja anakku akan suka menyetujuinya. Sekarang saya terpaksa meninggalkan Ji-wi untuk menyusul anakku.” Guru dan murid itu memberi hormat dan Cia Keng Hong berkelebat, sekali loncat dia lenyap dari pandang mata guru dan murid itu. Hong Khi Hoatsu menghela napas dan menggeleng-geleng kepala. “Kong Tek, engkau akan beruntung besar kalau bisa menjadi mantu seorang gagah perkasa seperti dia itu.” Wajah Lie Kong Tek menjadi merah dan terpaksa dia menjawab, “Suhu, apakah suhu tidak terlalu tergesa-gesa mengajukan pinangan itu tadi? Seorang seperti teccu ini, mana ada harganya untuk berjodoh dengan Nona Cia Giok Keng? Saya amat jauh kalau dibandingkan dengan dia, baik mengenai tingkat kedudukan, kepandaian maupun keadaan.” “Kong Tek, engkau mempunyai kelebihan yang besar sekali dan mempunyai modal yang tiada habisnya, yaitu kejujuran, kesetiaan dan cinta kasih. Nah, kau menunggu apalagi? Hayo cepat kau pergi menyusul dan mencari nona itu, siapa tahu dia terancam bahaya. Kalau kau berjumpa dengannya, jangan ragu-ragu kaunyatakan isi hatimu secara langsung sehingga kita tidak perlu lagi ragu-ragu menanti berita keputusan dari ayahnya. Pergilah!” “Akan tetapi... Suhu...” “Apakah kau masih kanak-kanak sehingga harus memerlukan asuhanku terus? Sudah waktunya kau terbang sendiri seperti burung yang telah mempunyai sayap yang kuat. Setahun kemudian kalau tiada halangan, kita sama-sama berjumpa di Cin-ling-san.” Lie Kong Tek terharu sekali dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki suhunya. “Harap Suhu maafkan bahwa teecu sama sekali belum dapat membalas budi kebaikan Suhu yang berlimpah-limpah.” “Asal engkau menjadi seorang manusia yang baik dan benar, itu telah merupakan pembalasan budi yang jauh lebih berharga daripada engkau memberiku sebuah gunung emas hasil kejahatan. Nah, kau terimalah ini untuk bekalmu di perjalanan.” Kakek itu lalu menyerahkan sebuah kantung terisi emas dan sebatang pedang yang selama ini disimpannya saja. Pedang itu adalah pedang pusaka keluarganya, gagangnya dari perak berukir burung Hong sehingga diberi nama Gin-hong-kiam (Pedang Burung Hong Perak). Dengan hati terharu Lie Kong Tek menerima bekal ini dan setelah menghaturkan terima kasih, pemuda ini lalu berpisah dari gurunya, hendak pergi mencari Cia Giok Keng, dara yang merupakan gadis pertama yang pernah merebut hatinya karena biarpun dia bertunangan dengan Bu Li Cung sebenarnya dia belum mengenal gadis itu, apalagi jatuh cinta. Sebaliknya, dalam pertemuan pertama, ketika melihat Cia Giok Keng berhadapan dengan ayahnya, Lie Kong Tek telah jatuh cinta. Dia merasa kagum dan juga kasihan kepada Giok Keng dan agaknya dari kedua perasaan inilah tumbuhnya cinta kasih di hatinya. “Manusia iblis! Jahanam Liong Bu Kong, kau hendak lari ke mana?” Giok Keng dengan kemarahan meluap-luap melakukan pengejaran dengan pedang di tangan. “Keng-moi... tidak ingatkah kau akan cinta kasih kita...?” Liong Bu Kong berlari terus. “Keparat! Jangan bicara tentang cinta, mulutmu tidak ada harganya untuk bicara tentang itu! Kau hendak lari ke mana? Ke mana pun akan kukejar!” Giok Keng lalu memaki-maki dengan kemarahan meluap karena sejak tadi dia masih belum mampu menyusul laki-laki bekas kekasihnya yang kini amat dibencinya itu. Liong Bu Kong adalah seorang yang amat cerdik. Dia maklum bahwa melawan Giok Keng, tingkat kepandaiannya seimbang, akan tetapi dalam keadaan marah dan nekat seperti itu, sukarlah baginya untuk mengalahkan dara perkasa itu. Dan dia tidak ingin membunuhnya, dia masih sayang kepada dara yang cantik ini. Kalau tidak bisa mendapatkannya secara suka rela, tidak segan-segan dia akan menggunakan paksaan. Terlalu sayang kalau seorang dara semolek itu, yang tadinya seumpama daging sudah berada di depan bibirnya akan tetapi lolos, dibiarkan terlepas begitu saja. Maka dia terus berlari sambil memanaskan hati Giok Keng dengan kata-kata yang mengingatkan dara itu akan cinta kasih mereka, mengingatkan dara itu betapa dia tertipu oleh Liong Bu Kong. Melihat Giok Keng mengejar makin dekat, diam-diam Liong Bu Kong memilih jalan memutar sehingga makin lama mereka makin mendekati Pek-lian-kauw dari arah lain! Setelah tiba di sebuah dinding karang di pegunungan itu, Liong Bu Kong menarik alat rahasia yang tersembunyi di antara karang menonjol. Itulah alat rahasia yang membunyikan tanda bahaya di sebelah dalam markas Pek-lian-kauw, melalui lorong rahasia di dalam gunung. Kemudian, sambil tersenyum Liong Bu Kong berdiri dengan pedang di tangan menanti Giok Keng yang tak lama kemudian sudah tiba di situ. “Keng-moi, lupakah kau akan saat-saat bahagia ketika kita memadu asmara, saling peluk cium dengan mesra? Kejamkah hatimu untuk menukar semua itu dengan permusuhan dan saling membunuh? Moi-moi, aku cinta padamu, Moi-moi. Apa pun yang terjadi...” “Tutup mulutmu yang kotor dan busuk! Kau manusia berhati iblis! Kalau hari ini aku tidak dapat membunuhmu, biarlah aku mati di ujung pedangmu!” Giok Keng membentak dan menerjang dengan dahsyatnya. Liong Bu Kong menangkis sambil meloncat ke kiri dan segera terjadilah pertempuran yang amat seru dan mati-matian di pihak Giok Keng, sedangkan Liong Bu Kong lebih banyak mempertahankan diri sekuatnya sambil menanti datangnya bala bantuan. Dia tidak perlu menanti lama. Isyarat itu telah diterima oleh Pek-lian-kauw yang pada saat itu sedang menjamu para tokoh kang-ouw di ruangan tamu karena pertempuran tadi sudah selesai. Mendengar tanda bahaya dari balik gunung di belakang ini, Bong Khi Tosu lalu memimpin sepasukan anggauta Pek-lian-kauw yang terdiri dari dua puluh orang, melalui lorong rahasia cepat lari menuju ke balik gunung dan menerobos keluar dari dalam guha rahasia. Melihat Liong Bu Kong sedang diserang mati-matian oleh Cia Giok Keng, sejenak Bong Khi Tosu tercengang. Tak disangkanya bahwa sepasang pengantin gagal itu kini sedang saling serang sedemikian serunya dan dia tertawa, “Ha-ha-ha, mestinya saling serang di dalam kamar pengantin, siapa kira kini saling menyerang dengan pedang di tangan ini!” “Bong Khi Tosu, lekas bantu aku menangkap wanita liar ini. Jangan bunuh, tangkap hidup-hidup!” Liong Bu Kong berteriak dan pasukan itu dipimpin oleh Bong Khi Tosu segera mengepung Cia Giok Keng! Giok Keng terkejut sekali menyaksikan munculnya pasukan Pek-lian-kauw dari sebuah guha yang sama sekali tak disangka-sangkanya itu. Dia terheran-heran memikirkan dari mana datangnya pasukan ini karena dia sama sekali tidak sadar bahwa dia telah dipancing mendekati kembali sarang Pek-lian-kauw oleh Liong Bu Kong, akan tetapi sedikit pun dia tidak gentar. Sambil mengeluarkan pekik melengking nyaring sekali dia lalu menyambut pengeroyokan itu dan robohlah dua orang anggauta pengeroyok Pek-lian-kauw. Hal ini membuat Bong Khi Tosu marah dan lalu menerjang sambil memimpin anak buahnya, menyerang dengan ketat dan hujan senjata menyambar ke arah tubuh Giok Keng yang memaksa gadis itu tidak mampu menyerang lagi melainkan harus memutar pedang melindungi tubuhnya dari sambaran senjata yang amat banyak itu, sedangkan dia pun harus waspada terhadap Liong Bu Kong yang menanti kesempatan untuk merobohkan dan menangkapnya. Betapa pun gagahnya Cia Giok Keng, namun karena di situ terdapat Liong Bu Kong yang amat lihai, sedangkan Bong Khi Tosu dan dua puluh orang anggauta Pek-lian-kauw ini pun masing-masing bukanlah orang lemah, tentu saja dalam waktu singkat Giok Keng terdesak hebat. Dahi dan lehernya sudah bercucuran peluh dan tangannya yang memutar pedang dan selalu menangkis senjata lawan yang sedemikian banyaknya sudah terasa pegal dan lelah. “Pergunakan jala...!” Bong Khi Tosu yang ingin memenuhi permintaan Liong Bu Kong memberi aba-aba. Tokoh Pek-lian-kauw ini tahu betapa pentingnya menangkap hidup-hidup puteri Ketua Cin-ling-pai itu. Bukan hanya untuk menyenangkan hati Liong Bu Kong yang dianggap sekutu dan diharapkan membantu Pek-lian-kauw, akan tetapi juga untuk menaklukkan Ketua Cin-ling-pai yang demikian saktinya, jalan terbaik adalah menawan puterinya ini! Empat orang anggauta Pek-lian-kauw yang ahli menggunakan jala, kini telah maju mengurung dari empat penjuru, di antara semua orang yang masih terus mengeroyok dara itu. Giok Keng maklum akan bahaya ini maka matanya selalu mengawasi gerak-gerik empat orang yang mencari kesempatan itu sambil tetap memutar pedang ke kanan kiri, atas dan bawah untuk menghalau pergi setiap senjata pengeroyok yang datang menyambar. Tiba-tiba yang dikhawatirkan itu terjadilah. Sebuah jala dilempar dari arah belakangnya, mendatangkan suara bersiutan dan jala itu berkembang lebar, menerkam ke arah dirinya. Maklum bahwa sekali terkurung dalam terkaman jala keadaannya akan menjadi berbahaya sekali, Giok Keng kembali mengeluarkan suara lengkingan tinggi, di antara hujan senjata itu memutar tubuhnya dan pedangnya bergerak ke arah bayangan lebar hitam yang menerkam itu. “Trang! Cringg... krrrttt...!!” Pedangnya bergerak secara luar biasa sekali dan si pemegang jala berteriak kaget ketika jala itu terbabat putus-putus dan robek oleh pedang Giok Keng yang kembali sudah memutar senjatanya untuk melindungi tubuhnya. Akan tetapi gerakan ini membuat Giok Keng kurang dapat mempertahankan tubuh belakangnya dan pada saat jala pertama robek, jala ke dua sudah datang dari arah bejakang pula, menerkam tubuhnya! Giak Keng berseru kaget, meronta dan menggunakan pedangnya untuk membabat jala, akan tetapi karena jala itu sudah menyelimutinya, gerakannya tentu saja menjadi kacau dan sukar. Betapapun juga, andaikata dua helai jala yang lain tidak segera menerkam dirinya, tentu dia akan berhasil meloloskan dirinya dari jala ke dua tadi. Kini tubuhnya tertutup dan diselimuti tiga helai jala dan dia seperti seekor ikan yang tak berdaya, hanya dapat meronta-ronta dan memaki-maki. “Liong Bu Kong manusia iblis! Pengecut tak tahu malu, menggunakan cara yang curang! Lepaskan jala ini dan mari kita bertanding sampai mati!” “Ha-ha-ha, Keng-moi, manisku. Sayang kalau sampai kau mati sebelum kau menjadi milikku dan sebelum aku menikmatimu sepuas hatiku, ha-ha-ha!” “Laki-laki tak tahu malu, mulutmu kotor sekali!” Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan sesosok bayangan manusia berkelebat datang, menyambar ke arah Giok Keng yang tertutup jala, kedua tangan orang itu bergerak merenggut jala-jala itu, terdengar suara nyaring dan tiga helai jala itu robek semua, pemegang talinya terpelanting dan dalam sekejap mata saja Giok Keng bebas kembali! “Terima kasih, Kun Liong!” Giok Keng berkata dan pedangnya sudah berkelebat mengamuk sehingga dalam kemarahannya itu gerakannya menjadi luar biasa sekali dan robohlah dua orang pengeroyok. Dia hendak menerjang Liong Bu Kong yang amat dibencinya itu, namun dia dihalangi oleh para anggauta Pek-lian-kauw sehingga membuat hati gadis ini makin marah. Sementara itu, Kun Liong tersenyum gembira mendengar suara Giok Keng yang menandakan bahwa gadis itu benar-benar telah pulih kembali ingatannya, kembali seperti Giok Keng dahulu, dara yang amat cantik jelita, yang sampai sekarang bentuk hidungnya membuat dia terpesona kagum, dara yang periang, liar dan galak, yang menyebut namanya begitu saja padahal sudah sepatutnya kalau dara itu menyebutnya kakak atau suheng, baik dipandang dari segi usia maupun hubungan. Karena gembiranya, Kun Liong sampai kurang memperhatikan dan baru dia sader ketika melihat Liong Bu Kong menekan-nekan batu di dinding karang dan tahulah dia bahwa pemuda itu tentu menggerakkan alat rahasia maka secepat kilat dia meloncat ke arah Liong Bu Kong sambil membentak, “Engkau manusia berakhlak rendah sekali!” Liong Bu Kong menyambut sambaran tubuh Kun Liong itu dengan tusukan pedangnya sambil membalikkan tubuh setelah dia berhasil memberi isyarat kepada Pek-lian-kauw tentang bahaya yang lebih besar lagi! Pedang Lui-kong-kiam di tangannya berubah menjadi sinar kilat menyambar ganas, meluncur ke arah dada Kun Liong yang sedang menerjangnya. “Sing...! Wuuut, plak-plakk!” Tubuh Liong Bu Kong terbanting keras ke kiri ketika tusukannya itu dapat dihindarkan oleh Kun Liong yang melempar tubuh ke kiri, kemudian dari samping dia mendorong ke arah Liong Bu Kong dengan kedua tangannya, mengerihkan sin-kangnya. Liong Bu Kong terkejut dan berusaha menangkis, akan tetapi dua kali benturan itu membuat tubuhnya terbanting dan tergetar hebat. Masih untung bagi Liong Bu Kong bahwa sampai saat itu, Yap Kun Liong masih saja merasa tidak suka untuk membunuh, maka dorongan tangannya tadipun hanya dilakukan dengan pengerahan tenaga secukupnya saja untuk mengatasi lawan. Andaikata Kun Lieng berniat membunuh, agaknya dengan pengerahan sin-kang sekuatnya, Liong Bu Kong tentu takkan dapat bangun kembali. Namun, harus diakui bahwa Liong Bu Kong juga lihai. Setelah terbanting keras seperti itu, dia masih mampu terus menggulingkan tubuhnya menjauhi Kun Liong dan dari tangan kirinya ketika dia bergulingan itu menyambar sinar-sinar hijau ke arah Kun Liong. Pemuda ini dengan tenangnya mengebutkan kedua lengan bajunya dan senjata-senjata rahasia kecil-kecil berupa duri hijau yang beracun itu semua runtuh ke atas tanah. Pada saat Liong Bu Kong sudah meloncat berdiri dan siap lagi menghadapi lawan yang dia tahu amat lihai ini, muncullah sepasukan orang-orang Pek-lian-kauw yang jumlahnya belasan orang, dipimpin oleh Loan Khi Tosu, Ouwyang Bouw dan Lauw Kim In! Ketika mereka ini melihat betapa Cia Giok Keng dan Yap Kun Liong mengamuk, cepat mereka sudah menerjang maju. “Giok Keng, hati-hatilah!” Kun Liong berseru sambil melompat jauh ke tempat Giok Keng. Dia tidak khawatir menyaksikan begitu banyak lawan, akan tetapi dia mengkhawatirkan keselamatan Giok Keng karena melihat betapa Giok Keng bertempur dengan kemarahan meluap-luap. Hal ini membahayakan dara itu, apalagi setelah dia melihat munculnya lawan-lawan tangguh seperti Ouwyang Bouw, Lauw Kim In, dan Loan Khi Tosu! Giok Keng juga melihat munculnya pasukan baru, maka dia maklum akan maksud hati Kun Liong. Tanpa bicara apa-apa, kedua orang ini lalu memasang kuda-kuda saling membelakangi, dengan demikian bagian belakang mereka terlindung, mereka saling melindungi dan hanya menghadapi lawan yang berada di depan dan kanan kiri saja. Dalam kesempatan selagi menanti datangnya serbuan para pengeroyok yang jumlahnya amat banyak itu, Giok Keng berbisik tanpa menoleh, “Kun Liong, kaumaafkan semua kesalahanku dan terima kasih atas bantuanmu.” Terharu hati Kun Lion mendengar ini. “Hushhhh...!” bisiknya kembali, “bukan waktunya berbicara, Sayang. Kita menghadapi bahaya...” Liong Bu Kong yang menyaksikan betapa kedua orang itu berbisik-bisik, menjadi panas hatinya dan segera dia berseru, “Serbuuu...!” lalu memelopori penyerangan itu yang diikuti oleh semma orang. Yap Kun Liong telah melihat datangnya seorang anggauta Pek-lian-kauw yang memegang toya dan yang memang telah diincarnya maka secepat kilat dia mencelat ke kiri, ke arah orang ini, kedua tangannya bergerak dan orang itu roboh tertotok dan toyanya telah terampas secara yang dia tidak ketahui bagiimana! Kun Liong menggunakan tenaganya mematahkan toya itu di tengah-tengah dan... di kedua tangannya telah tampak sepasang tongkat pendek yang segera dimainkan dengan ilmu Tongkat Siang-liong-pang (Sepasang Naga) yang dahulu dia pelaiari dari Bun Hwat Tosu. Terdengar suara trang-tring-trang ketika banyak senjata lawan terlempar ketika bertemu dengan sepasang tongkat ini. Juga Giok Keng sudah mengamuk dengan pedangnya, merobohkan dua orang lagi dengan cepatnya. Melihat ini, Ouwyang Bouw dan Lauw Kim In lalu menerjang ke depan, membantu Liong Bu Kong mengeroyok Kun Liong, sedangkan Bong Khi Tosu dan Loan Khi Tosu mengeroyok Giok Keng. Tentu saja selain mereka, para anak buah Pek-lian-kauw juga ikut pula mengeroyok dan sungguhpun mereka itu bukan merupakan lawan tangguh bagi Kun Liong dan Giok Keng, namun jumlah mereka yang amat banyak itu merepotkan juga. Karena khawatir akan keselamatan Giok Keng sedangkan dia sendiri didesak oleh tiga orang yang cukup lihai itu, Kun Liong sengaja menahan pedang Lauw Kim In dengan tongkatnya sambil berkata, “Hemm, setangkai bunga mawar indah bersih dari Go-bi tercemar dalam lumpur...” Lauw Kim In menjadi merah mukanya dan dia menarik pedangnya untuk ditikamkan ke lambung Kun Liong, dan pada saat itu, Ouwyang Bouw yang juga mengerti akan sindiran ini sudah menggerakkan pedang ularnya ke arah leher Kun Liong. “Trang... cringgg...!” Kun Liang menangkis sambil meloncat ke atas untuk mengelak sambaran pedang Liong Bu Kong yang menggunakan kesempatan tadi untuk membabat ke arah kakinya. “Kasihan Sin-kouw... tidak tahu betapa Pek-eng Kiam-hoat ciptaannya itu dipergunakan untuk membantu pemberontak dan penjahat! Aihhh, yang menjadi guru, mati pun tidak bisa meram, apalagi masih hidup!” “Iihhhh...” Kim Lauw Kim In menjerit karena tidak tahan lagi mendengar sindiran itu, air matanya bercucuran dan betapa pun kerasnya hati wanita ini, karena selama ini penderitaan batinnya sejak dia menyerahkan dirinya kepada Ouwyang Bouw ditekan-tekan, seolah-olah dibuka bendungannya oleh Kun Liong. Lauw Kim In mundur-mundur dan mukanya pucat sekali. Melihat ini, Ouwyang Bouw marah bukan main. “Manusia bermulut lancang dan beracun!” Kedua tangannya bergerak dan serangkum sinar merah menyambar ke arah seluruh tubuh Kun Liong. Pemuda ini terkejut karena mengerti bahwa itulah jarum-jarum merah yang pernah membuat kepalanya gundul! Cepat dia memutar kedua tongkatnya sambil meloncat ke kiri. Sebagian dari jarum-jarum merah beracun itu dapat dia pukul runtuh dan sebagian lagi dapat dia elakkan. “Aduhhhh...!” Tiba-tiba terdengar Giok Keng menjerit dan bukan main kagetnya hati Kun Liong karena baru dia teringat bahwa di belakangnya terdapat Giok Keng sehingga ketika dia mengelak tadi, jarum-jarum merah langsung menyambar tubuh dara itu dan mengenai bagian belakang tubuhnya! “Celaka!” serunya dan cepat dia memutar tongkat membalikkan tubuh. Melihat Giok Keng limbung dan hampir jatuh, Kun Liong cepat membuang kedua tongkatnya, menyambar pedang dari tangan Giok Keng dan memondong tubuh yang lemas itu, memanggulnya dan dia melindungi tubuh mereka berdua dengan pedang Giok Keng yang diputar amat cepatnya sehingga tampaklah gulungan sinar berkilauan yang menyelimuti tubuh mereka berdua. Semua senjata yang bertemu dengan sinar bergulung-gulung ini terpental dan semua pengeroyok menjadi gentar dan mundur kembali. “Kepung, jangan biarkan dia lolos!” Liong Bu Kong berteriak keras, khawatir juga ketika melihat betapa Lauw Kim In sudah lari dari tempat itu dikejar oleh suaminya, Ouwyang Bouw. Dengan perginya dua orang yang lihai ini, terutama Ouwyang Bouw dia merasa kehilangan tenaga bantuan yang boleh diandalkan. Baiknya Giok Keng sudah terluka dan Kun Liong sedang memanggul tubuh dara itu, maka dia bersama Loan Khi Tosu dan Bong Khi Tosu, dibantu oleh hampir tiga puluh orang anak buah Pek-lian-kauw, yaitu sisa mereka yang belum roboh, mengurung dan mendesak Kun Liong, tidak memberinya kesempatan untuk melarikan diri. Repot juga Kun Liong dikeroyok demikian banyak dalam keadaan seperti itu. Tentu saja andaikata Giok Keng tidak terluka, mereka berdua masih akan sanggup menandingi mereka semua setelah Ouwyang Bouw dan Lauw Kim In pergi, dan agaknya akan mudah dapat meloloskan diri. Akan tetapi sekarang, setelah Giok Keng terluka dan pingsan dalam panggulannya, tentu saja membuat gerakannya tidak leluasa lagi. Kekhawatirannya terhadap Giok Keng yang telah terkena jarum merah Ouwyang Bouw yang dia tahu amat berbahaya, membuat hatinya terasa tidak karuan dan akhirnya dia menjadi marah. Dengan pekik melengking keras yang merobohkan beberapa orang anggauta Pek-lian-kauw yang kurang kuat, dia lalu membentak, “Liong Bu Kong! Kalau kau tidak menarik mundur semua orang ini, terpaksa aku akan membunuhmu!” Liong Bu Kong terkejut, akan tetapi dia mengira bahwa pemuda itu hanya menggertaknya saja karena dalam keadaan terdesak, maka dia tertawa. “Kepung dia! Bunuh pemuda pengacau ini!” Kun Liong menjadi mata gelap. Sejak kecil dia tidak suka akan kekerasan, tidak suka memukul orang apalagi membunuh merupakan pantangan besar baginya. Kini, gelisah akan keselamatan Giok Keng dan melihat kekejaman hati Liong Bu Kong yang membuat gadis itu sengsara, dia menjadi mata gelap dan dengan bentakan nyaring dia menerima semua sambaran pedang ke arah tubuhnya, hanya melindungi tubuh Giok Keng. Berbareng ketika senjata-senjata mengenai tubuhnya dia sudah menerjang maju dengan pedang Gin-hwa-kiam milik Giok Keng itu, menyerang Liong Bu Kong tanpa mempedulikan hujan senjata mengenai tubuhnya. Terdengar suara bak-bik-buk dan semua senjata itu terpental kembali. Liong Bu Kong terkejut melihat sinar perak menyambar, cepat dia menangkis dengan Lui-kong-kiam. “Crangggg...!” Liong Bu Kong memekik kaget, pedangnya terlepas dari pegangan tangannya dan cepat dia melempar tubuhnya ke atas tanah. Kalau tidak cepat gerakannya ini, tentu dia telah menjadi korban pedang Gin-hwa-kiam. Melihat serangannya hanya berhasil melepaskan pedang lawan yang dapat dengan cepat menghindar dengan cara melempar diri ke atas tanah, Kun Liong mengayun kakinya menendang ke arah kepala Liong Bu Kong. Bu Kong mengangkat kedua lengannya menangkis. “Desss!” Tubuh Liong Bu Kong mencelat dan terguling-guling sampai sepuluh meter jauhnya. Dia dapat bangkit berdiri lagi dengan kepala pening dan mata berkunang, menggoyang-goyang kepalanya dan keringat dingin bercucuran keluar ketika dia melihat Kun Liong sudah dikepung lagi. Kini para pengeroyok itu atas komando Loan Khi Tosu yang cerdik, menujukan senjata mereka kepada tubuh Giok Keng! Akal ini benar-benar membuat Kun Liong menjadi repot sekali. Dia tidak mengkhawatirkan dirinya sendiri yang dapat dibuatnya kebal terhadap senjata dengan sin-kangnya, akan tetapi Giok Keng yang pingsan itu tentu akan celaka kalau terkena senjata lawan. Lega dan girang juga hati Liong Bu Kong melihat betapa lawan yang amat tangguh itu kini dikepung ketat. Dia hampir saja celaka tadi, seperti lolos dari lubang jarum. Dengan tulang-tulang tubuhnya terasa nyeri, dia berjalan terincang-pincang mencari senjatanya yang tadi terlepas. Akhirnya dia melihat senjata pedangnya itu dan dengan cepat dia berlari menghampiri untuk mengambilnya. Selagi tangan Bu Kong meraih pedang, tiba-tiba ada sebuah kaki kecil yang menginjak pedang itu! Bu Kong terkejut akan tetapi dia sudah memegang gagang pedangnya, maka sekuat tenaga dia membetot gagang pedang itu dan... pedang yang terinjak kaki kecil itu tidak berkutik sedikit pun! Betapa pun Bu Kong mencabut sambil mengerahkan tenaga, sia-sia saja karena pedang itu seakan-akan telah menjadi satu dengan kaki yang menginjaknya. Bu Kong cepat mengangkat mukanya dan kaki itu ternyata milik seorang gadis cantik dan gagah, seorang dara cantik yang matanya begitu tajam dan bening, indah seperti mata burung Hong, seorang gadis berpakaian ringkas dan tampak dua batang pedang di tubuhnya, satu di punggungnya dan sebatang lagi di ikat pinggangnya yang merupakan pedang pendek. Liong Bu Kong terbelalak ketika dia mengenal wajah gadis yang cantik namun dingin dan angkuh itu. “Kau...? Kau... Giok-hong-cu Yo Bi Kiok?” katanya memandang kepada hiasan burung Hong dari kumala yang menghias baju di dada gadis itu. Rasa terkejut dan heran bercampur dengan harapan dan kegirangan. Dia terkejut dan heran melihat kelihaian gadis ini yang mampu menginjak pedangnya sedemikian kuatnya sehingga dia sendiri tidak dapat menariknya kembali, dan dia girang dan penuh harapan akan mendapat bantuan gadis ini. Bukankah Yo Bi Kiok ini dapat dikatakan segolongan dengan dia, bahkan guru gadis ini, Bu Leng Ci yang berjuluk Siang-tok Mo-li pernah bersekutu dengan ibunya, dan hiasan burung Hong kumala di dada gadis itu pun adalah pemberian ibunya? Maka dia cepat melepaskan gagang pedangnya, bangkit berdiri dan berkata sambil tersenyum, girang, “Aihh, kiranya Kiok-moi yang datang...! Dan kau hebat sekali! Kiok-moi, kebetulan kau datang, marilah membantu kami menaklukkan iblis itu!” Dia menuding ke arah Kun Liong yang masih mengamuk dan dikepung ketat seperti seekor jengkerik dikeroyok segerombolan semut. “Huh, siapa adikmu? Liong Bu Kong, aku datang untuk mengambil nyawamu!” Tentu saja Liong Bu Kong merasa kaget bukan main sampai matanya terbelalak dan dia tidak dapat menjawab. “Ambil pedangmu dan bersiaplah!” kata pula Yo Bi Kiok dengan suara dan pandang mata dingin. Terpaksa Bu Kong mengambil pedangya yang sudah dilepaskan oleh kaki Bi Kiok dan dia membantah, “Yo Bi Kiok, lupakah kau bahwa kita segolongan? Lihat, Giok-hong-cu itu masih berada di dadamu. Bukankah itu pemberian ibuku?” Yo Bi Kiok menjebikan bibirnya yang merah. “Hemm, memang kubawa dan tadinya akan kukembalikan kepada Kwi-eng Niocu, sayang dia telah mampus, karena itu biarlah kukembalikan kepada puteranya. Nih, terimalah kembali!” Tiba-tiba sekali, dengan kecepatan yang tidak terduga-duga oleh Bu Kong, tangan kiri gadis itu merenggut hiasan itu dan secepat kilat pula perhiasan dari kumala itu telah melayang menyambar antara kedua mata Bu Kong! Pemuda ini berseru kaget, cepat dia mengelak dengan merendahkan tubuh dan menundukkan kepala. “Sswwtttt...!” Perhiasan itu melayang lewat di atas kepalanya dan menancap di dinding karang. Dan pada saat itu, Bi Kiok telah menerjangnya dengan pedang pendek di tangan kiri. Demikian cepatnya gerakan Bi Kiok, begitu melontarkan perhiasan tadi terus langsung mencabut pedang di pinggang dan langsung pula menyerang, sehingga Bu Kong terkejut setengah mati, cepat menangkis. “Cring-trangggg...!” “Ehhhh...?” Liong Bu Kong kembali terkejut. Tangannya sampai tergetar hebat ketika pedangnya bertemu dengan pedang di tangan kiri gadis itu. Akan tetapi dia tidak sempat terheran lebih lama lagi karena kembali pedang gadis itu telah menyambar dengan kecepatan dan kekuatan yang amat luar biasa! Bu Kong menangkis dan berusaha untuk balas menyerang, namun dalam waktu dua puluh jurus lebih saja dia telah terdesak hebat sekali. Tiba-tiba, selagi Bu Kong membalas dengan bacokan dahayat, Bi Kiok menangkis dengan pedang kirinya sambil mengerahkan sin-kang dan pedang itu bergetar sedemikian hebat lalu diputar-putar sehingga pedang Bu Kong ikut pula terputar tanpa dapat ditahannya lagi. Dan secepat kilat, tangan kanan Bi Kiok bergerak dan hanya tampak sinar berkelebat ketika pedang panjang telah tercabut dari punggungnya dan di lain saat pedang itu telah menembus dada Liong Bu Kong. “Auhhhhgggg...!” Tubuh pemuda itu terjengkang ketika Bi Kiok mencabut pedangnya. Sambil melihat tubuh pemuda yang berkelojotan di atas tanah itu, Bi Kiok menggunakan kakinya mencokel pedang Lui-kong-kiam, menyambar gagang pedang dengan tangannya dan menyelipkan pedang itu di pinggangnya pula, sementara itu kedua pedangnya tadi sudah dengan cepat memasuki sarung pedang. Kemudian, dengan tenang dia menghampiri dinding karang, mencabut Giok-hong-cu dan sekali lempar perhiasan itu menancap di dahi Bu Kong, tepat di tengah-tengah dan tubub yang berkelojotan itu diam, tak bergerak lagi. Kini Yo Bi Kiok memandang ke arah pertempuran, mendengus perlahan dan tubuhnya mencelat ke medan pertempuran, pedang rampasan tadi digerakkan dengan tangan kirinya dan robohlah empat orang pengeroyok! Selanjutnya, gadis ini mengamuk dengan pedang Lui-kong-kiam sehingga dalam waktu singkat, terjungkal tidak kurang dari delapan orang anak buah Pek-lian-kauw! Tentu saja semua pengeroyok terkejut sekali dan mereka menjadi gentar, cepat mereka meninggalkan Kun Liong dan Bi Kiok, mundur ke dalam guha di mana sudah dipasangi alat-alat rahasia jebakan. Akan tetapi kedua orang muda itu tidak mengejar, melainkan berdiri saling berpandangan, Bi Kiok dengan pandang mata dingin, Kun Liong dengan mata terbelalak keheranan. “Engkau... Bi Kiok...!” “Kun Liong, engkau masih belum lupa kepadaku?” suara Bi Kiok dingin dan matanya menatap tajam ke arah gadis yang pingsan di panggulan pemuda itu. “Melupakan engkau? Mungkin yang lain-lain aku dapat melupakan, akan tetapi betapa mungkin aku melupakan matamu yang bersinar indah seperti bintang pagi itu?” Yo Bi Kjok menjebikan bibirnya, dan mendengus, “Huh, perayu yang... mata keranjang!” Dia memutar tubuhnya dan sekali meloncat dia telah melayang jauh ke depan lalu lari cepat sekali. “Bi Kiok...!” Kun Liong memanggil akan tetapi gadis itu berlari terus. Terpaksa dia pun berlari membawa tubuh Giok Keng yang masih pingsan. Yang terutama sekali adalah keselamatan Giok Keng. Biarpun dia merasa terheran-heran melihat Yo Bi Kiok yang sekarang memiliki ilmu kepandaian sedemikian tingginya, bahkan Liong Bu Kong dapat dibunuhnya dalam waktu singkat dan dia ingin sekali bicara dengan dara itu, namun melihat keadaan Giok Keng, dia harus lebih dulu menyelamatkan gadis ini. Dia tahu betapa jahatnya jarum merah Ouwyang Bouw itu. Setelah berlarl-lari menuruni bukit dan jauh sekali meninggalkan sarang Pek-lian-kauw, akhirnya Kun Liong tiba di sebuah dusun dan cepat dia mencari rumah penginapan. Seorang pelayan menyambutnya dengan mata terbelalak heran memandang kepada wanita muda yang pingsan dalam pondongan pemuda itu. “Adikku ini sakit parah, harap kau cepat menyediakan kamar untuk kami agar dia dapat kuobati,” kata Kun Liong, tanpa banyak cakap lagi. Pelayan itu seorang tua yang baik hati. Melihat keadaan Giok Keng yang pucat dan pingsan, dia cepat membawa mereka ke sebuah kamar yang cukup besar, kemudian memenuhi permintaan Kun Liong menyediakan sebaskom air mendidih yang dia taruh di dalam kamar dan cepat dia meninggalkan mereka pergi. Kun Liong mulai bekerja, tanpa ragu-ragu lagi dia menanggalkan pakaian Giok Keng berikut sepatunya dan menyelimuti tubuh yang telanjang itu dengan sehelai selimut. Dia membalikkan tubuh dara itu menelungkup dan memeriksa tubuh belakangnya. Terdapat lima batang jarum merah menancap di tubub belakang dari punggung sampai ke pinggul! Dan jarum-jarum itu menancap dalam sekali sampai yang tampak hanya sedikit ujungnya membayang di bawah kulit yang telah mulai membiru kemerahan! Setelah memeriksa sejenak, Kun Liong cepat menggunakan air mendidih untuk membasahi bagian luka itu sehingga kulit dagingnya di bagian itu yang terkena air panas menjadi lemas dan lunak. Kemudian, sambil duduk bersila di pinggir pembaringan, Kun Liong menggunakan kedua telapak tangannya ditempelkan kepada luka jarum itu sambil mengerahkan sin-kangnya. Hawa yang amat kuat tergetar melalui lengannya dan setibanya di telapak tangannya, hawa yang merupakan tenaga sakti itu menyedot! Inilah tenaga Thi-khi-i-beng yang sudah dikendalikan sehingga tenaga menyedotnya yang hebat itu dapat dicurahkan dan dipusatkan pada lubang kecil bekas jarum. Setelah kedua lengan itu menggigil beberapa lamanya, Kun Liong menarik kembali kedua tangannya dan... dua batang jarum menempel di telapak tangannya. Dengan alis berkerut dia menyimpan dua batang jarum itu, kemudian berturut-turut dia berhasil menyedot lima batang jarum itu dari tubuh Giok Keng. Setelah lima batang jarum itu terambil semua, pekerjaan Kun Liong masih jauh daripada selesai. Biarpun jarum-jarum itu telah dikeluarkan, namun racunnya sudah mengeram di tubuh dan dia tadi sebelum mengambil jarum telah menotok beberapa bagian jalan darah untuk mencegah racun itu menjalar ke jantung. Kini, kembali dia menggunakan sin-kang dari kedua telapak tangannya untuk menyedot dan melebarkan luka-luka itu, kemudian, tanpa ragu-ragu, dia mendekatkan mukanya dan dengan mulutnya, dia menyedot luka-luka itu satu demi satu. Darah menghitam yang tersedot keluar dari luka itu, diludahkannya ke lantai, kemudian menyedot lagi sampai berkali-kali. Ketika melakukan ini, dia bukannya tidak sadar akan keindahan tubuh belakang dara itu yang polos, dengan kulit putih kuning dan bersih halus, namun dengan penuh keyakinan bahwa dia melakukan semua ini untuk menyelamatkan nyawa Giok Keng, maka segala bentuk khayal yang mendatangkan nafsu berahi sama sekali tidak menampakkan bayangannya. Setelah di setiap luka dia menyedot tidak kurang dari lima kali, barulah yang tersedot keluar dari luka kecil itu darah merah. Ketika melakukan penyedotan dengan mulutnya untuk yang terakhir kali, di luka yang berada paling bawah, yaitu di belahan bukit pinggul, tiba-tiba dia mendengar suara halus di luar jendela dan melihat berkelebatnya bayangan orang, Kun Liong tidak berani memecah perhatian karena pengobatan dengan sin-kang itu membutuhkan pengerahan tenaga dan perhatiannya. Disangkanya bahwa tentulah pelayan tadi yang mengintai untuk melihat bagaimana keadaan wanita sakit itu. Setelah melihat bahwa lima luka itu sudah bersih dan menjadi merah darah, dengan hati-hati Kun Liong mencucinya dengan air panas, menutupnya dengan kain bersih lalu membalikkan tubuh Giok Keng yang masih pingsan. Wajah dara itu masih pucat akan tetapi sinar kebiruan telah lenyap dari wajahnya. Kun Liong membetulkan letak selimut yang menutupi seluruh tubuh gadis itu, kemudian dia memasukkan kedua tangannya ke dalam selimut, meletakkan kedua telapak tangannya ke bawah dada, memusatkan seluruh batinnya agar tidak sampai tergoda oleh bayangan yang bukan-bukan mengenai tubuh dara yang terlentang di depannya, kemudian dia menyalurkan sin-kang. Hawa yang hangat memasuki tubuh dara itu dan membantU kelancaran jalan darahnya, juga mengusir hawa beracun yang memenuhi dada rongga perutnya. “Ouhhh...!” Akhirnya terdengar dara itu merintih, perapasannya menjadi normal kembali, jalan darahnya juga pulih, dia masih setengah sadar setengah pingsan. Cepat Kun Liong mengeluarkan kedua tangannya dari selimut karena dia tidak ingin gadis itu sadar mendapatkan kedua tangannya masih terletak di atas dada dan perutnya! Wajahnya agak pucat dan napasnya agak memburu karena dia telah mengeluarkan banyak tenaga saktinya. Pada saat itulah, setelah perhatiannya terhadap Giok Keng terlepas, dia baru mendengar bahwa benar-benar ada orang di luar kamar itu, mengintai di depan pintu. Dia menjadi curiga sekali dan sambil meloncat ke dekat pintu dia membentak, “Siapa di luar...?” Tiba-tiba dari luar terdengar suara orang mendengus marah, daun pintu di tendang terbuka dan seorang gadis cantik yang langsung menyerang dengan tusukan pedang pendeknya yang dipegang dengan tangan kiri ke dada Kun Liong dengan kecepatan kilat! “Bi Kiok...!” Kun Liong berscru kaget, miringkan tubuhnya ke kiri dan ketika pedang meluncur di sebelah kanannya, dia cepat menggerakkan tangan kanan menangkap pergelangan tangan gadis itu sambil mengerahkan sin-kangnya karena begitu menyentuh lengan dia merasa ada tenaga dahsyat dari lengan itu kcluar menentang. “Tranggg...! Plokkk...!” Pedang itu terlepas dari pegangan tangan kiri Bi Kiok yang seperti lumpuh oleh pegangan tangan kanan Kun Liong akan tetapi dengan kemarahan meluap-luap gadis itu menggunakan telapak tangan kanannya menampar pipi kiri pemuda itu. Kun Liong meringis, pipinya terasa panas dan pedih, tentu giginya sudah rontok semua kalau dia tadi tidak menerima tamparan itu dengan pengerahan tenaga. “Laki-laki cabul! Laki-laki mata keranjang!” Yo Bi Kiok memaki ketika melihat Giok Keng yang sudah sadar dan memandang dengan mata terbelalak itu berada dalam keadaan telanjang bulat dan hanya menutupi tubuhnya dengan sehelai seilmut. Kedua kaki yang telanjang itu mencuat keluar dari dalam seilmut! “Eh... ohhh... Bi Kiok... jangan...!” Kun Liong cepat menggunakan tangan kirinya untuk menangkap lengan kanan gadis itu, melihat betapa Bi Kiok sudah menggerakkan tangan kanan hendak mencabut pedang panjang di punggungnya. Dengan demikian, dia telah menangkap kedua lengan gadis itu yang meronta-ronta hendak melepaskan kedua tangannya. “Eh-eh... Bi Kiok... wah, sabarlah, mari kita bicara baik-baik...” Kun Liong membujuk ketika gadis itu meronta-ronta, bahkan mengirim tendangan yang dapat dielakkannya, akan tetapi terpaksa dia tangkis dengan kakinya pula. “Laki-laki buaya!” Bi Kiok memaki lirih. “Dan aku selalu mengingat-ingat engkau... mengharap-harap...” Dan gadis itu terisak, lalu meronta-ronta makin kuat. “Kiranya engkau laki-laki cabul yang mempermainkan setiap wanita yang kautolong!” Giok Keng yang sudah sadar dan sudah bangkit duduk sambil menyelimuti tubuh dengan selimut itu sudah mendengar cukup banyak dan jelas. Cepat dia melangkah turun dan sambil menyarungkan selimut itu rapat-rapat, dia berseru, “Tahan dulu...! Adik yang baik, engkau salah duga...! Kun Liong telah menolongku dan karena aku terkena senjata rahasia yang amat berbahaya, dia tadi telah mengobatiku... jangan menyangka yang bukan-bukan! Aku adalah Cia Giok Keng, puteri Ketua Cin-ling-pai, apa kaukira aku akan mudah saja dipermainkan orang seperti itu? Aku...” Tiba-tiba Giok Keng menghentikan kata-katanya karena teringat betapa pemyataannya tadi berlawanan dengan sekali dengan kenyataan. Dia berkata tidak mudah dipermainkan orang, akan tetapi buktinya, dia dipermainkan oleh Liong Bu Kong sampai hampir saja menjadi korban! Akan tetapi kata-katanya tadi sudah cukup bagi Bi Kiok. Ketika tadi dia mengintai dari balik jendela dan melihat betapa Kun Liong “menciumi” punggung dan pinggul telanjang gadis itu hatinya panas dan marah bukan main. Selama ini dia selalu terkenang kepada Kun Liong yang dianggapnya sebagai pria yang paling baik dan hebat yang pernah dijumpainya, dan yang perjumpaannya ketika melihat Kun Liong dikeroyok orang-orang Pek-lian-kauw tadi membuat dia girang sekali. Akan tetapi godaan Kun Liong yang memuji matanya membuat dia malu dan lari pergi, namun dia lalu membayangi Kun Liong yang membawa pergi dara yang ditolongnya itu ke sebuah kamar di rumah penginapan. Dapat dibayangkan betapa kecewa dan marah hatinya melihat Kun Liong “menciumi” tubuh itu. Kini, mendengar keterangan Giok Keng yang ternyata adalah puteri pendekar sakti Ketua Cin-ling-pai yang tentu saja sudah dikenal baik namanya itu, dia maklum bahwa dia telah salah sangka! Kiranya Kun Liong tadi bukanlah sedang menciumi punggung dan pinggul telanjang, melainkan sedang menyedot racun dari luka-luka di punggung dan pinggul! “Ahhhh...!” Dia terkejut dan merasa malu sekali, dan ketika Kun Liong melepaskan kedua tangannya, dia melangkah mundur, mukanya merah dan matanya terkejap-kejap malu. Kun Liong tersenyum lebar. “Bagaimana, Bi Kiok? Apakah kau masih hendak menampar lagi mukaku? Aihhh, lama tak jumpa, engkau sekarang menjadi lihai luar biasa, ilmu kepandaianmu maju dengan amat pesatnya dan... dan engkau makin cantik saja, apalagi kalau engkau memandang seperti itu...” Mata yang berkejap-kejap malu itu seketika mengeluarkan sinar berapi, akan tetapi ketika bertemu pandang dengan Kun Liong dan melihat betapa mulut dan mata Kun Liong mentertawakannya, dia menjadi malu sekali. “Ihhh!” dengusnya, tubuhnya membalik dan dia berkelebat lenyap dari situ setelah menyambar pedang pendeknya yang tadi terjatuh. “Bi Kiok...! Heiii, tunggu dulu!” Akan tetapi Yo Bi Kiok tidak peduli dan lari terus dengan amat cepatnya, dan Kun Liong pun tidak mengejar, hanya berdiri di pintu dengan wajah berseri kemudian menarik napas panjang. “Hemm, hebat sekali ilmunya berlari cepat, juga sin-kang dan kepandaiannya. Lebih hebat dari tingkat gurunya sendiri, hemm...” “Kun Liong, engkau tidak pernah dapat menghilangkan watakmu yang nakal dan suka menggoda wanita,” terdengar suara Giok Keng, dan ketika Kun Liong hendak membalik, Giok Keng cepat melanjutkan, “Jangan menengok ke sini! Aku sedang berpakaian!” OTOMATIS Kun Liong menarik kembali kepalanya yang hendak menengok tadi, kini berdiri menghadap keluar, bahkan menutupkan daun pintu agar tidak ada orang yang dapat melihat ke dalam kamar. “Aku sudah selesai, Kun Liong.” Barulah pemuda itu membuka daun pintu lalu memasuki kamar. Giok Keng sudah berpakaian lagi dengan rapi, dan duduk di atas ranjang. Kun Liong lalu duduk di atas bangku. “Kun Liong, apakah kau mencinta gadis tadi?” “Bi Kiok? Ah, tidak, mengapa?” “Yang jelas, dia mencintamu, Kun Liong.” “Ehhhh...?” Kun Liong memandang heran tidak percaya. “Percayalah kepadaku, seorang wanita lebih awas dalam hal itu. Dia mencintamu sungguh-sungguh, Kun Liong, karena itu dapat dibayangkan betapa menyakitkan godaan-godaanmu tadi.” “Hemm, aku memang seorang yang serba canggung, selalu mendatangkan rasa tidak enak dalam hati dara-dara muda. Bahkan orang yang benar-benar kucinta pun merasa tidak senang dan marah...” Giok Keng memandang tajam. “Kun Liong, siapakah wanita yang kaucinta itu dan di mana dia?” Kun Liong mengangkat muka memandang, lalu menunduk dan menarik napas panjang lagi. “Hemmm... adalah...” “Kun Liong, mengapa kau tidak mau bercerita kepadaku? Aku telah berhutang nyawa kepadamu, padahal aku telah menyakiti hatimu ketika memutuskan tali perjodohan. Engkau seorang yang amat baik bagiku, akan tetapi sayang aku tidak cinta kepadamu dan anggaplah aku ini adikmu sendiri, Kun Liong, atau setidaknya, engkau masih terhitung suhengku, bukan? Nah, ceritakanlah semuanya kepada sumoimu ini, siapa tahu aku akan dapat membantumu sebagai pembalasan budimu.” Terharu juga hati Kun Liong mendengar ini. Memang, dia pernah merasa terhina ketika Giok Keng menyatakan tidak setuju akan perjodohan yang diikat ayahnya, apalagi ketika ternyata bahwa gadis ini malah memilih seorang pemuda iblis Liong Bu Kong. Kini, mendengar ucapan yang tulus dan terus terang dari gadis itu, dia merasa terharu. “Giok Keng, bukan sama sekali bahwa aku tidak percaya kepadamu, hanya... hal yang tidak menyenangkan perlukah diceritakan? Betapapun juga, mengingat bahwa nasibmu dalam percintaan juga amat buruk, baiklah aku akan bercerita kepadamu tentang gadis yang kucinta itu, yang bernama Pek Hong ing...” Maka berceritalah Kun liong secara singkat namun lengkap tentang pengalamannya bersama Pek Hong Ing, tentu saja tanpa menyinggung-nyinggung tentang sikap Hong Ing terhadap dirinya ketika dara itu hendak dibawa pergi oleh tiga orang Lama yang amat sakti itu. “Nah, sebenarnya aku sedang dalam perjalanan mengejar para pendeta Lama yang telah membawa pergi Hong Ing itu, kalau perlu sampai ke sarang mereka di Tibet.” Kun Liong mengakhiri ceritanya. Giok Keng mendengarkan dengan terharu, lalu berkata dengan penuh kekhawatiran. “Agaknya tiga orang pendeta Lama itu lihai bukan main, Kun Liong. Bagaimana engkau akan dapat berhasil pergi seorang diri ke sana? Apakah tidak sebaiknya kau minta bantuan Ayah?” Kun Liong menggelengkan kepalanya. “Aku akan pergi sendiri, dan aku yakin akan dapat mengatasi mereka. Dan bagaimana dengan engkau sendiri, Giok Keng? Setelah peristiwa menggemparkan di Pek-lian-kauw itu...” Kun Liong menghentikan kata-katanya karena melihat dara itu menangis. Maklumlah dia bahwa dia telah menyentuh bagian yang menyakitkan hati, mengingatkan gadis itu akan aib yang telah menimpa dirinya, maka dia merasa menyesal sekali bertanya tadi. “Maafkan, Giok Keng. Aku bukan bermaksud...” “Tidak apa, Kun Liong. Bukan salahmu.... melainkan aku sendirilah yang seakan-akan buta hati, mudah saja terbujuk dan tertipu oleh pemuda yang kelibatan tampan dan baik itu. Siapa mengira bahwa hatinya busuk seperti iblis? Ahh, aku menyesal sekali, Kun Liong... eh, Suheng! Aku harus menyebutmu suheng sekarang! Aku menyesal sekali dan untung bahwa semua malapetaka itu belum terlambat, berkat kedatangan Ayah dan kedatanganmu.” “Biarlah kesalahan kita yang lalu menjadi pengalaman, Sumoi, menjadi pelajaran bagi kita sehingga kesalahan macam itu tidak akan terulang lagi.” “Tidak mungkin terulang! Aku tidak akan mencinta siapa pun, dan cintaku yang keliru terhadap iblis itu telah mati. Aku tidak mau sembarangan mencinta pria lagi sungguhpun banyak yang mencintaku. Sebenarnya, dahulu pun aku tidak mudah jatuh cinta. Sejak dahulu, banyak pria yang jatuh cinta kepadaku, Suheng, dari para murid ayah di Cin-ling-pai sampai banyak laki-laki yang kutemui selama dalam perjalananku. Mereka semua bermuka-muka dan berusaha untuk menguasai hatiku, dan sikap mereka yang palsu dan memikat itu memuakkan hatiku. Cinta mereka itu semua palsu, sepalsu cinta iblis Liong Bu Kong. Aku muak dengan cinta kaum pria yang berhati palsu. Aku tidak maksudkan engkau, Suheng. Engkau adalah orang jujur dan terus terang mengatakan bahwa engkau tidak mencinta aku. Betapapun juga, nasib kaum wanita memang amat buruk, tidak seperti pria. Dalam soal perjodohan sekalipun, kaum wanita selalu harus tunduk, dalam soal cinta pun, kaum wanita harus menerinia dan menyesuaikan diri, tidak berhak memilih seperti pria. Betapa pun besar cinta seorang wanita terhadap seorang pria, kalau si pria tidak mencintanya akan percuma saja dan tidak mungkin wanita berani mendesak yang berarti tidak tahu malu! Karena itu, aku merasa kasihan sekali kepada Bi Kiok dan kepada Hwi Sian. Mereka berdua benar-benar mencintamu, Suheng, akan tetapi engkau tidak membalas cinta mereka. Betapa sengsara hati mereka.” Kun Liong menarik napas panjang, apalagi teringat akan Hwi Siang gadis yang telah menyerahkan kehormatannya kepadanya dan yahg membuatnya menyesal bukan main kalau teringat akan peristiwa itu. “Cinta memang hanya mendatangkan duka nestapa belakat ataukah... sebenarnya bukan cinta sejati yang mendatangkan duka itu? Bagaimanapun juga, kalau benar kata-katamu tadi bahwa Bi Kiok mencintaku...” “Aku berani bertaruh apapun juga, Suheng. Dia pasti mencintamu, dari pandang matanya, kata-katanya, sikapnya, jelas sekali tampak bahwa dia mencintamu. Sayang, akan patah harapannya kalau dia tahu bahwa pria yang dicintanya itu tidak akan membalasnya.” “Hemm, kalau begitu aku harus mencarinya, akan kuberitahukan secara terus terang agar dia dapat menghapus cinta yang salah alamat itu.” “Memang sebaiknya begitu, Suheng. Biarpun pahit, namun keterusterangan itu mungkin akan dapat menjadi obat mujarab, seperti kenyataan yang amat pahit membuat mataku terbuka. Akan tetapi, ke manakah kau hendak mencarinya?” “Melihat kemunculannya tadi, kurasa tempat tinggalnya tidak jauh dari dusun ini, atau mungkin juga, di dusun ini. Betapa pun, aku akan mencarinya, sekarang juga.” “Baiklah, kalau begitu kita berpisah di sini, Suheng. Aku juga akan melakukan perjalananku.” “Kau harus beristirahat dulu...” “Aku telah sembuh, berkat pertolonganmu.” “Akan tetapi, kau hendak ke mana?” “Entahlah, yang jelas aku tidak akan pulang dulu ke Cin-ling-san sebelum aku berhasil membunuh iblis Liong Bu Kong itu!” “Ahh, dia sudah tewas, Sumoi!” Baru teringat oleh Kun Liong bahwa dia belum menceritakan akan hal ini dan tentu saja gadis ini tidak tahu akan kematian Liong Bu Kong, karena ketika itu dia masih pingsan. Giok Keng terloncat dan memandang terbelalak, mukanya agak pucat. Betapapun juga, laki-laki yang pernah dicintanya itu dikabarkan tewas, dan tanpa disadarinva dia terkejut buken main. “Tewas...?” Kon Liong mengangguk. “Tewas di tanganmu, Suheng?” “Untung sekali tidak! Aku merasa ngeri kalau sampai membunuh orang. Dia tewas dalam tangan Yo Bi Kiok, dalam waktu hanya dalam belasan jurus sehingga aku merasa terheran bukan main menyaksikan kepandaian Bi Kiok. Padahal dahulu, dia tidak akan mampu mengalahkan Bu Kong.” Giok Keng termenung. “Mengapa...? Mengapa Bi Kiok membunuhnya?” “Mungkin dendam antara guru. Bi Kiok adalah murid mendiang Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci yang tewas di tangan ibu Bu Kong, yaitu Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio. Mungkin untuk membalas kematian gurunya, Bi Kiok yang sekarang lihai sekali itu membunuh Bu Kong, dan hal ini menguntungkan kita karena aku sudah payah juga menghadapi pengeroyokan sambil memondongmu.” Kembali Giok Keng termenung, kemudian menarik napas panjang. “Begitulah nasib manusia yang tersesat, akhirnya mampus di ujung senjata pula. Kalau begitu, tinggal orang-orang Pek-lian-kauw! Merekalah yang membantu iblis itu sehingga aku hampir saja tertimpa malapetaka hebat, aku harus menghancurkan Pek-lian-kauw, Suheng.” “Hemm, berhati-hatilah, Giok Keng. Mereka itu lihai sekali, terutama ketuanya.” “Aku tidak akan gegabah, Suheng. Aku akan pergi ke kota raja, minta bantuan, kalau perlu akan menghadap The-locianpwe.” “Panglima The Hoo?” Giok Keng mengangguk. “Syukur kalau dapat bertemu dengan Ayah, kalau tidak tentu Locianpwe itu akan tertarik dan suka mengirim pasukan, karena Pek-lian-kauw adalah perkumpulan pemberontak.” “Terserah kepadamu, akan tetapi hati-hatilah, Sumoi. Aku sendiri akan menemui Bi Kiok, kemudian aku akan menyusul dan mencari Hong Ing ke Tibet.” “Aku hanya mendoakan semoga kau berhasil bertemu kembali dengan dia, Suheng. Semoga kau tidak akan mengalami kegagalan dalam cinta kasih seperti aku.” Mereka berpisah, dan melihat gadis itu pergi dengan kepala menunduk, Kun Liong menarik napas panjang dan hatinya merasa iba sekali. Tak disangkanya bahwa puteri Ketua Cin-ling-pai akan mengalami nasib seburuk itu dalam hidupnya. Kalau saja di dalam hatinya ada perasaan cinta kepada Giok Keng seperti perasaannya kepada Hong Ing, tentu dia akan mengobati kepatahan hati gadis itu! Kembali dia menarik napas panjang lalu dia pun mulai dengan penyelidikannya, mencari Yo Bi Kiok di dusun itu. Memang tidak mudah mencari seorang dara seperti Yo Bi Kiok yang gerak-geriknya penuh rahasia itu. Biarpun Kun Liong telah bertanya-tanya kepada semua penghuni dusun itu, tidak seorang pun mengenal Yo Bi Kiok. Akhirnya Kun Liong mengambil keputusan untuk mencari sendiri di dua buah dusun yang berada di daerah itu. Sehari penuh dia mencari-cari di dusun pertama, kemudian hari berikutnya dia putar-putar di dusun ke dua yang tak begitu besar, namun hasilnya sia-sia belaka. Dia sudah mulai putus ada dan malam itu dia membayangkan ke mana dia harus mencari Bi Kiok kalau besok, di dusun ke tiga, dia tidak dapat menemukan dara itu. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, dia pergi ke dusun ke tiga, dusun terakhir yang terdapat di daerah itu. Dusun ini agak besar, seperti dusun pertama di mana dia mengobati Giok Keng. Hari masih pagi sekali, akan tetapi telah banyak penduduk yang hilir-mudik di jalan, mulai dengan pekerjaan sehari-hari mereka. Kun Liong memasang mata, melihat orang-orang yang lalu lalang, juga melihat rumah-rumah dusun itu sebelum dia mulai bertanya-tanya apakah ada seorang nona bernama Yo Bi Kiok tinggal di dusun ini. “Huk! Huk! Hukkk...!” Kun Liong tersenyum melihat seekor anjing yang keluar dari lorong dan menyalak-nyalak kepadanya. Akan tetapi tiba-tiba dia membelalakkan matanya. “Pek-pek!” Serunya heran. Tak salah lagi, inilah anjing peliharaannya ketika dia masih kecil dahulu! Anjing berbulu putih yang menumpahkan obat di kamar ayahnya sehingga menjadi awal dari semua perubahan dalam hidupnya. “Pek-pek...!” Kun Liong berlutut mengelus kepala anjing itu yang mulai menggoyang-goyangkan ekornya sambil mengeluarkan suara rintihan. Ternyata anjing itu pun mulai mengenal kembali Kun Liong! “Aihhh... Pek-pek...! Bagaimana kau dapat berada di sini?” Kun Liong berkata dengan terheran-heran, masih ragu-ragu apakah benar ini anjing kesayangannya dahulu itu. Dia mendapat akal. Untuk mengetahui apakah benar ini anjing kesayangannya itu, dia harus tahu siapa kini yang memelihara anjing ini. Dengan gaya seperti ketika dia masih kecil memerintah anjing itu, dia bangkit berdiri, menuding dan berseru, “Pek-pek, hayo pulang!” Anjing itu mengeluarkan suara berkuik lalu membalikkan tubuhnya, terus lari. Ketika beberapa kali dia menoleh dan melihat Kun Liong mengikutinya setengah berlari, anjing itu kelihatannya girang sekali dan terus berlari keluar dari dusun itu melalui pintu gerbang dusun bagian selatan. Kun Liong terus mengikutinya dan terheran-heran. Kalau anjing ini ada yang memeliharanya, mengapa tinggalnya malah di luar dusun? Kedaan mulai sunyi dan anjing itu memasuki sebuah hutan kecil! Tiba-tiba, dari balik pohon-pohon muncullah dua orang yang membuat Kun Liong terkejut sekali. Mereka itu adalah Thian Hwa Cinjin Ketua Pek-lian-kauw yang amat lihai bersama Bhong Khi Tosu, pembantunya! Kun Liong terkejut sekali. Tak disangkanya bahwa anjing yang mirip benar dengan Pek-pek itu adalah anjing peliharaan Ketua Pek-lian-kauw ini untuk memancingnya. Dengan marah dia lalu memandang kepada Ketua Pek-lian-kauw itu dan... terlambat dia ingat bahwa inilah kesalahan utamanya, yaitu memandang mata kakek itu. Begitu bertemu pandang, Kun Liong merasa seolah-olah pandang matanya melekat kepada sepasang mata yang bersinar aneh itu, kemudian dia mendengar suara Thian Hwa Cinjin yang amat berpengaruh, “Yap Kun Liong, berlututlah engkau! Tak pantas orang muda kurang ajar terhadap orang tua.” Kun Liong tahu bahwa dia diserang dengan ilmu sihir, akan tetapi karena pandang matanya telah bertaut dan kepalanya pening, tak tahu harus berbuat apa, kedua kakinya seperti lumpuh dan dia lalu menjatuhkan diri berlutut, tetap memandang kepada wajah kakek itu tanpa berkedip seperti terkena pesona! Melihat keadaan Kun Liong yang sudah tidak berdaya ini, Bong Khi Tosu yang memutar dan berada di belakang Kun Liong mengangkat tongkatnya dan siap untuk menghantamkan tongkatnya itu di kepala Kun Liong! Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara menyalak-nyalak marah dan anjing berbulu putih yang kecil itu meloncat dan menerkam Bong Khi Tosu, langsung menggigit ke arah leher tosu itu. Tentu saja Bong Khi Tosu terkejut akan tetapi dengan mudah dia menangkis dengan tangan kirinya, membuat anjing kecil itu terbanting dekat dengan Thian Hwa Cinjin. Karena marah diserang anjing kecil itu, Bong Khi Tosu meluncurkan tongkatnya ke arah anjing itu. “Crapppp...!” Anjing itu menguik satu kali dan roboh tewas, darahnya muncrat-muncrat mengenal pinggir jubah Thian Hwa Cinjin yang berada di dekat tempat itu. “Bodoh kau...!” Thian Hwa Cinjin berteriak kaget dan menegur pembantunya. Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara melengking keras dan tampak sinar terang menyambar ke arah tubuh Bong Khi Tosu. Kakek ini terkejut, cepat berusaha mengelak dari serangan pedang yang bersinar kilat itu karena tongkatnya telah dipergunakan membunuh anjing tadi. Namun gerakannya kurang cepat sehingga terdengar teriakan keras dan tubuhnya terjungkal lalu bergulingan sampai jauh, baru dia meloncat dengan pundak berdarah. Kiranya yang menyerangnya adalah seorang dara muda yang memegang pedang berkilauan, dan dia ini bukan lain adalah Yo Bi Kiok sedangkan pedang yang dipergunakan menyerang Bong Khi Tosu adalah Lui-kong-kiam, pedang rampasan dari tangan Liong Bu Kong itu! “Keparat, berani kau membunuh anjingku?” teriak Yo Bi Kiok marah. Sementara itu, Kun Liong juga telah sadar dari keadaannya terkena sihir itu maka dia cepat meloncat dan menerjang Thian Hwa Cinjin. Kakek ini berusaha mengerahkan ilmu sihirnya, akan tetapi betapa kagetnya bahwa tenaga sihirnya telah menjadi lemah sekali dan bahkan hampir lenyap. Tahulah dia bahwa ini disebabkan oleh darah anjing tadi, maka dia cepat mengerahkan tenaga sin-kangnya menangkis. “Dukkk! Dess!” Biarpun dia berhasil menangkis hantaman tangan kanan Kun Liong, namun dia tidak mampu menghindarkan tamparan tangan kiri Kun Liong yang mengenai dadanya. Dia terjengkang dan cepat meloncat lagi lalu melarikan diri diikuti pembatunya karena dia tahu bahwa melanjutkan pertandingan melawan pemuda itu amatlah berbahaya. Tamparannya tadi saja sudah membuat napasnya sesak dan muntah darah yang ditahannya di dalam mulutnya, tanda bahwa dia telah terkena hantaman sin-kang yang membuatnya terluka di sebelah dalam dadanya. Setelah mereka berlari jauh, barulah Ketua Pek-lian-kauw ini muntahkan darah dari mulutnya! Kun Liong yang sama sekali tidak menyangka-nyangka akan kemunculan dara yang dicari-carinya itu di tempat ini, memandang wajah Yo Bi Kiok. Hatinya penuh keheranan mendengar teriakan Bi Kiok yang mengaku bahwa anjing putih itu adalah anjingnya. Juga Bi Kiok memandang kepadanya. Dua pasang mata bertemu, bertaut dan sejenak mereka lupa keadaan. “Pek-pek... aduhh, Pek-pek... kenapa kau...? Uhu-hu-huk, Pek-pek mati... Subo (Ibu Guru)... Pek-pek mati...!” Kun Liong merasa terkejut seperti disambar petir mendengar sebutan Pek-pek ini. Dia menengok dan melihat seorang anak perempuan berlutut di dekat bangkai anjing itu, memeluki bangkai itu sambil menangis. Anak perempuan itu berusia kurang lebih empat lima tahun dan mendengar betapa anak itu menyebut Yo Bi Kiok dengan sebutan subo, dia mengerti bahwa anak itu adalah murid dara cantik yang luar biasa ini. “Pek-pek? Apakah nama anjing itu Pek-pek, Bi Kiok?” tanyanya, seperti dalam mimpi. Yo Bi Kiok mengangguk. “Anjingmukah itu?” Yo Bi Kiok menggeleng kepalanya. “Bukan anjingku, melainkan anjing muridku itu.” Kun Liong memandang anak perempuan itu, jantungnya berdebar tegang. Anjing itu, yang juga bernama Pek-pek, telah mengenalnya! Tidak salah lagi, anjing itu pasti anjing kesayangannya dahulu itu! “Bi Kiok, siapakah nama muridmu ini?” Yo Bi Kiok tersenyum, akan tetapi pandang matanya masih dingin. “Kautanyalah dia sendiri.” Kun Liong menghampiri anak perempuan yang masih terisak-isak menangis itu, lalu dia berlutut dan menyentuh pundaknya. “Adik kecil, sudahlah jangan menangis. Biarpun sudah mati, Pek-pek mati dengan gagah perkasa melawan orang jahat.” Anak perempuan itu menghapus air matanya dan mengangkat muka, memandang kepada Kun Liong dengan mata dan pipi basah. Wajah anak itu manis sekali dan satu kali pandang saja timbul rasa suka di hati Kun Liong. “Biarlah aku akan mencarikan seekor anjing lain untukmu,” kata Kun Liong karena merasa kasihan sekali, akan tetapi sebetulnya dia ingin tahu dari mana anak itu mendapatkan Pek-pek yang telah mati. “Aku tidak suka anjing lain, yang kusuka hanya Pek-pek...” jawab anak itu, kembali air matanya mengucur ketika dia menengok dan memandang anjing yang ditembusi tongkat itu. “Adik yang baik, siapakah namamu dan dari mana engkau dahulu mendapatkan anjing putih ini?” “Dia... dia memang anjingku sejak dulu... Pek-pek adalah anjingku sejak dulu...” “Dan namamu...?” “Namaku Yap In Hong...” “Ahhhh...!” Wajah Kun Liong menjadi pucat seketika. “Apa... apa artinya ini...?” Dia meloncat dan menghadapi Bi Kiok. Dara itu tersenyum dan mengangguk. “Dia memang adikmu, Kun Liong,” jawab Bi Kiok tenang. Kun Liong memandang kepada anak perempuan itu lagi, hatinya tidak karuan rasanya, dilanda keharuan, keheranan dan juga keraguan. Benarkah ini adiknya, adik kandung yang selamanya belum pernah dilihatnya? Anak inikah peninggalan ayah bundanya yang telah meninggal dunia? Benarkah? Anak itu pun memandang kepadanya dengan sepasang matanya yang lebar dan bersinar-sinar setelah tidak menangis lagi. “In Hong, kau masih ingat akan nama Yap Kun Liong?” tanya Bi Kiok kepada muridnya yang masih kecil itu. “Yap Kun Liong yang Subo ceritakan itu, yang kata Subo adalah kakak kandungku? Tentu saja teecu (murid) ingat...” jawab anak itu dengan suara yang lucu, namun jelas membayangkan kecerdikannya. “Apakah Subo hendak mengatakan bahwa orang ini adalah kakakku itu?” Yo Bi Kiok mengangguk dan Kun Liong lalu menghampiri anak itu, bertutut dan memegang kedua lengannya. “Yap In Hong... adikku... kau adalah adikku... engkau adik kandungku...” Kun Liong merangkul dan teringatlah dia akan ayah bundanya yang tewas terbunuh orang, teringatlah dia akan perbuatannya yang melarikan diri dari orang tuanya sehingga mereka menderita kesengsaraan sampai akhirnya ditewaskan musuh. Kun Liong menggigit bibirnya menahan keharuan hatinya, memeluk dan mendekap muka anak perempuan itu ke dadanya. Akan tetapi In Hong meronta halus dan terpaksa dilepaskan oleh Kun Liong yang kini menatap wajah itu. Tampak olehnya kini betapa anak perempuan itu amat cantiknya. Teringat dia akan wajah ibunya. Mata dan mulut anak ini presis mata dan mulut ibunya. “In Hong...!” Dia mengeluh dan memondong anak itu penuh kasih sayang. “Mulai sekarang kita tidak akan saling berpisah lagi, Adikku!” In Hong juga memandang wajah Kun Liong penuh perhatian. Dia masih terlalu kecil untuk mengenal rasa keharuan karena perjumpaan ini. Sejak kecil dia tidak mengenal lagi ayah bundanya, apalagi kakaknya ini. Pertemuannya dengan Kun Liong hanya berkesan sebagai pertemuan dengan seorang laki-laki yang aneh dan asing. Biarpun dia dipondong, namun ketika dia membuka mulut bicara, dia menujukan kata-kata itu kepada Bi Kiok, “Subo, apakah benar dia ini kakak kandungku seperti yang seringkali Subo ceritakan itu?” “Benar, In Hong. Dialah kakak kandungmu,” jawab Bi Kiok yang biarpun wajahnya tidak membayangkan sesuatu dan tetap dingin, namun di dalam hatinya dia merasa terharu juga menyaksikan pertemuan antara kakak dan adiknya yang selamanya belum pernah jumpa itu, pertemuan yang amat ganjil. Dia terharu karena teringat kepada dirinya sendiri yang sudah tidak mempunyai siapa-siapa lagi di dunia ini. “Tapi... tapi dia...” “Dia kenapa, In Hong? Dia kakakmu!” Bi Kiok agak kecewa menyaksikan sikap muridnya yang seperti tidak senang hatinya itu. “Kalau dia kakakku, kenapa begini jelek?” Kun Liong tertawa dan Bi Kiok mengerutkan alisnya. “Jelek? Mengapa kaubilang jelek?” “Rambutnya begitu sih...” Kun Liong makin keras tertawa dan mencium pipi anak perempuan itu. “Kau genit, ya?” Dia menggoda dan mau tidak mau Bi Kiok tersenyum juga menyaksikan adegan itu. “Bi Kiok, aku makin berhutang budi kepadamu dengan perjumpaan dengan adikku ini. Bagaimana engkau bisa bertemu dengan In Hong?” “Mari kita ke pondokku dan akan kuceritakan kepadamu, Kun Liong.” Dengan memondong adiknya Kun Liong mengikuti Bi Kiok yang membawa pula bangkai anjing bulu putih yang terbunuh tadi. Mereka memasuki hutan kecil dan di tengah hutan itu terdapat sebuah pondok kecil dari kayu dan bambu. Amat sederhana akan tetapi cukup mungil dan menyenangkan karena dikelilingi oleh bermacam bunga yang sengaja ditanam oleh Bi Kiok sehingga pondoknya itu lebih menyerupai sebuah pondok taman yang sedap dipandang. Setelah membantu In Hong mengubur bangkai anjing Pek-pek dan menghibur anak itu yang menangisi lagi kematian anjingnya, mereka masuk ke dalam pondok. In Hong yang masih kecil itu telah pandai menghidangkan minuman dan makanan, kemudian atas perintah gurunya dia disuruh ke kebun belakang untuk memetik sayur dan mempersiapkan masakan untuk siang nanti. “Liong-ko, aku sudah pandai masak!” katanya sebelum pergi, memamerkan kepandaiannya kepada kakaknya yang kini sudah tidak begitu asing lagi baginya. “Wah, ingin aku mencoba masakanmu, In Hong!” kata Kun Liong dengan sikap memuji. “Tunggu saja! Akan kubuatkan masakan sayur yang amat lezat untukmu. Akan tetapi...” “Hemm, mengapa? Teruskan!” “Lain kali rambutmu jangan dipotong seperti itu lagi, ya? Biarkan panjang dan bagus!” Kun Liong mengangguk-angguk dan memandang dengan gembira betapa adiknya itu berlompatan meninggalkan mereka berdua, menuju ke belakang pondok. Dia termenung dan sambil tersenyum-senyum dia teringat akan semua pengalamannya. Tanpa disadarinya dia meraba kepala dan rambutnya yang masih pendek, rambut yang kusut dan kacau, tersembul ke sana-sini. Bi Kiok yang melihat semua itu tersenyum lagi, agaknya dapat mengikuti jalan pikiran Kun Liong. “Agaknya memang sudah nasib kepala dan rambutmu yang selalu menjadi sasaran celaan orang, Kun Liong.” “He...? Ohhh, agaknya begitulah.” “Dahulu engkau berkepala gundul kelimis, mengingatkan orang kepada seorang pendeta.” “Memang ke mana-mana aku disangka pendeta. Bi Kiok, sekarang ceritakanlah bagaimana engkau dapat berjumpa dengan adikku dan dengan Pek-pek.” “Perjumpaan itu secara kebetulan saja, Kun Liong. Pada suatu hari, tiga bulan yang lalu, aku melihat orang berkerumun di sebuah pasar kota tak jauh dari sini. Ketika aku mendekat, kiranya orang-orang itu mengerumuni seorang nenek tua yang sedang sakit payah. Yang menarik mereka adalah karena nenek ini menawarkan seorang anak perempuan dan seekor anjing putih, menawarkan kepada siapa yang merasa dirinya ahli silat untuk mengambil murid anak itu dan memelihara aniingnya. Tentu saja hal ini mengherankan semua orang. Mengapa nenek itu hendak memberikan anak kecil yang diaku sebagai cucunya itu kepada orang yang pandai ilmu silat? Nah, terjadilah keributan karena anak perempuan kecil, yaitu adikmu, menarik hati beberapa orang laki-laki yang kulihat sikapnya ceriwis dan agaknya mempunyai niat buruk terhadap adikmu yang biarpun masih kecil sudah kelihatan cantik itu. Terjadilah adu kepandaian karena nenek itu kukuh dengan tuntutannya bahwa siapa yang terpandai ilmu silatnya, dialah yang berhak memiliki anak dan anjing itu.” “Siapakah nenek tua yang menawarkan In Hong dan Pek-pek itu?” “Nanti dulu, kulanjutkan ceritaku. Karena aku tidak ingin melihat anak perempuan itu terjatuh ke tangan seorang di antara laki-laki yang kasar dan saling berebutan, yang mengeluarkan kata-kata kotor mengenai diri In Hong, aku lalu turun tangan merobohkan dan mengusir mereka semua. Kemudian aku membawa Nenek Phoa itu bersama In Hong dan Pek-pek ke pondokku. Sayang Nenek Phoa hanya dapat hidup sepekan lamanya, namun sebelum dia meninggal dunia, dia telah menceritakan semua riwayat In Hong sehingga tahulah aku bahwa Yap In Hong adalah adik kandungmu.” “Aduh, untung ada engkau, Bi Kiok. Andaikata adikku terjatuh ke tangan orang jahat, betapa mungkin aku dapat bertemu dengannya?” “Ah, belum tentu! Dari cerita Phoa Ma aku mendengar kematian ayah bundamu yang dikeroyok oleh para datuk...” “Aku sudah tahu pula tentang hal itu, dan semua pembunuh ibuku telah tewas, sungguhpun bukan tewas oleh tanganku, terima kasih kepada Thian untuk itu! Akan tetapi harap kauceritakan riwayat In Hong setelah kedua orang tuaku itu tewas di Taigoan.” “Menurut penuturan Phoa Ma, ketika ayah bundamu tewas bersama semua keluarga Theng yang budiman, adikmu berhasil dibawa lari oleh Phoa Ma dan Pek-pek yang oleh ayahmu diam-diam dibawa pula ke Taigoan secara sembunyi dari kota Lengkok, mengikuti pelarian ini. Dengan susah payah Phoa Ma menyembunyikan adikmu itu dan merantau sampai jauh. Namun karena dia sudah tua, maka tentu saja dia dan adikmu menjalani hidup yang serba kekurangan dan amat sukar, bahkan akhirnya, setelah adikmu berusia empat tahun lebih, Phoa Ma sering jatuh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaannya sebagai tukang cuci pakaian. Karena merasa bahwa tak mungkin dia dapat hidup lebih lama lagi, dia mencari akal dan menawarkan adikmu itu dan Pek-pek kepada orang-orang di pasar itu.” “Aihh, budi Phoa Ma terhadap adikku sukar dapat dibalas, apalagi dia telah meninggal dunia. Akan tetapi, Bi Kiok. Mengapa dia menawarkannya kepada orang yang pandai ilmu silat?” “Menurut pengakuan Phoa Ma ketika kutanya, dia berkata bahwa adikmu itu adalah keturunan ayah ibu pendekar, sudah sepantasnya kalau adikmu itu menjadi murid orang pandai pula agar kelak dapat membalaskan kematian orang tuanya. Pula kalau yang melindungi seorang ahli silat yang lihai, tentu keselamatannya terjamin.” “Aduh, sungguh luhur budi Phoa Ma itu.” Kun Liong menarik napas panjang dan merasa terharu sekali.” “Memang benar, padahal dia hanyalah seorang pelayan di rumah keluarga Theng di Taigoan.” Kun Liong menarik napas panjang. “Kebajikan tidak memilih kedudukan maupun keadaan harta seseorang, bahkan biasanya, makin tinggi kedudukan seseorang dan makin banyak jumlah harta seseorang, makin jauhlah dia dari kebajikan. Orang yang tidak pernah merasakan kemiskinan, betapa mungkin menaruh rasa belas kasihan kepada orang miskin? Orang yang tidak pernah merasakan kelaparan, betapa mungkin merasa iba kepada orang kelaparan? Budi yang dilimpahkan Phoa Ma terhadap In Hong berdasarkan kasih tanpa mengingat lagi akan kepentingan dirinya sendiri. Sungguh budi yang sukar ditemukan di antara seribu orang!” “Aku yakin bahwa ayah bundamu yang namanya terkenal di seluruh dunia kang-ouw tentulah merupakan orang-orang gagah yang sudah tak terhitung banyaknya menolong manusia lain, maka biarpun mereka sendiri mengalami nasib buruk, namun puterinya selalu dilindungi oleh bintang penolong.” “Dan engkau adalah seorang di antara bintang-bintang penolongnya.” “Hemm, aku tidak masuk hitungan.” “Engkau terlalu merendahkan diri. Entah sudah berapa kali engkau menolongku. Seingatku, ketika aku hanyut di sungai, engkau pula menolongku dengan peringatan tentang bokor setelah engkau bersama gurumu menyelamatkan aku dari tangan Kwi-eng Niocu, betapa engkau menyembunyikan aku di guha dan...” “Sudahlah, semua itu tidak ada gunanya dibicarakan kembali. Engkau pun telah menyelamatkan aku ketika aku hendak disiksa dan mukaku hendak dirusak oleh Toat Beng Hoatsu, kemudian engkau menyelamatkan aku dan malah mengorbankan diri menyerah ketika kita bersembunyi di dalam guha sehingga engkau menjadi tawanan pasukan pemerintah.” Kun Liong tersenyum. “Memang di antara kita, siapa yang terancam babaya harus ditelong oleh yang lain. Kalau kita tidak saling tolong-menolong, betapa akan lebih sengsaranya hidup ini. Kalau seluruh manusia di dunia ini saling menolong dan saling membantu, tentu dunia ini sudah berubah menjadi sorga! Akan tetapi, satu hal membuat aku kagum bukan main dan terheran-heran, Bi Kiok. Bagaimana engkau sekarang bisa begitu lihai? Kulihat ilmu kepandaianmu meningkat sepuluh kali lipat! Bahkan aku berani bertaruh bahwa ilmumu telah mencapai tingkat lebih tinggi daripada tingkat yang dimiliki gurumu dahulu.” Pada saat itu dengan suara nyaring gembira, In Hong memberitahukan bahwa masakannya telah matang. Mereka bertiga lalu makan dan dengan setulus hati Kun Liong memuji masakan sayur yang dibuat adiknya. Karena selama beberapa bulan hidup berdua dengan gurunya In Hong diajar masak, dan memang suka masak, maka anak kecil ini benar-benar sudah pandai membuat masakan sayur yang bumbunya sedap. Sehabis makan, Bi Kiok memberi kesempatan kepada In Hong untuk ikut bercakap-cakap, akan tetapi dia melihat bahwa muridnya itu masih belum dapat membiasakan diri menghadapi seorang kakak maka biarpun dia sudah ramah sekali, tetap saja masih kaku terhadap Kun Liong. Rasa kasih sayang antara saudara sekandung terjalin karena kebiasaan hubungan sehari-hari, sedangkan kedua orang kakak beradik ini selama hidup mereka baru sekarang saling bertemu. Kemesraan di hati Kun Liong hanya terdorong oleh keharuannya mendapat kenyataan bahwa anak itu adalah adiknya, adik kandung satu-satunya! Namun perasaan seperti ini belum terasa oleh In Hong, maka dia pun hanya menganggap Kun Liong sebagai seorang laki-laki yang manis budi, yang menganggapnya sebagai adiknya. Setelah mereka duduk bercakap-cakap berdua lagi, Kun Liong mengulangi pertanyaannya tentang kelihaian Bi Kiok yang dalam waktu singkat memperoleh kemajuan yang amat luar biasa itu. “Kun Liong, percayalah, kalau bukan engkau, sampai mati pun aku tidak akan membuka rahasia ini. Engkaulah satu-satunya orang yang akan mendengar rahasiaku ini.” Mendengar ucapan yang dikeluarkan dengan suara dan sikap sungguh-sungguh itu, tak disadarinya lagi saking herannya Kun Liong bertanya, “Mengapa aku?” “Yaaah... justeru karena engkaulah...” Kun Liong tersenyum. “Terima kasih, Bi Kiok. Ini menunjukkan bahwa engkau amat percaya kepadaku. Nah, aku siap mendengar rahasia besar itu.” “Kun Liong, aku memperoleh kemajuan pesat setelah aku mempelajari ilmu kesaktian yang terdapat di dalam... bokor pusaka yang diperebutkan itu.” “Hehhh...?” Kun Liong mencelat bangun dari bangkunya mendengar ini, saking heran dan kagetnya. “Engkau marah?” Bi Kiok bertanya, sikapnya seperti menantang. “Mengapa marah?” Kun Liong menggeleng kepalanya, matanya menjadi bundar ketika memandang wajah dara itu. “Aku hanya kaget dan heran karena tidak menyangka-nyangka. Yang kuketahui adalah bahwa bokor pusaka yang diperebutkan itu setelah ditemukan, ternyata palsu.” “Memang kami yang memalsukan, mendiang Subo dan aku.” Kun Liong mengangguk-angguk. “Cerdik sekali! Pantas semua tidak berhasil, bahkan Cia-supek sendiri, dan bahkan Panglima The Hoo sendiri, sampai dapat dikelabui. Hebat sekali siasatmu itu, Bi Kiok.” “Mana aku bisa? Semua ini adalah siasat mendiang Subo. Ketika bokor terjatuh ke tangan Subo, Subo cepat membuat tiruannya pada seorang tukang emas yang segera dibunuhnya pula setelah pembuatannya selesai dan persis betul. Tidak ada seorang pun mengetahui akan pembunuhan ini. Lalu Subo menyuruh aku menyimpan bokor yang tulen sedangkan dia membawa yang palsu, hal ini menurut Subo adalah karena orang-orang tentu akan mengejar Subo, bukan aku yang hanya seorang muridnya. Dugaan Subo benar, bokor palsu yang diperebutkan sedangkan yang aseli berada di tanganku, kusembunyikan baik-baik. Sayang sekali, siasat Subo yang berhasil baik itu tidak dapat dinikmati oleh Subo sendiri yang keburu tewas. Maka aku lalu menyelidiki isinya, menemukan rahasia tempat penyimpanan kitab-kitab dan harta pusaka. Bokor itu kumusnahkan kitabnya kubawa dan kupelajari, sedikit harta kubawa sebagai bekal. Nah, dari sebagian kitab itulah aku memperoleh kemajuan ilmu silatku.” Kun Liong menjadi kagum bukan main. “Hebat! Baru sebagian saja sudah amat luar biasa, apalagi kalau kau mempelajarinya semua!” “Memang hebat sekali, Kun Liong. Dan harta itu pun cukup banyak. Dan begitu berjumpa denganmu, tekadku sudah bulat bahwa semua harta pusaka dan kitab-kitab itu adalah untuk kita. Aku tidak dapat hidup sendiri, menguasai pusaka sedemikian banyaknya.” “Kita...?” “Ya, kau pun berhak. Bukankah engkau yang mula-mula menemukan bokor itu dari dalam sungai? Engkau yang menemukan, aku yang menyelamatkannya dari tangan orang-orang yang memperebutkannya, jadi kita berdua, bertiga dengan In Hong, yang berhak memilikinya. Karena itu, Kun Liong, marilah kita pergi ke tempat rahasia itu, bersama In Hong dan hidup bertiga penuh kebahagiaan di sana.” Kun Liong mengerutkan alisnya, memandang tajam. Sejenak mereka berpandangan, dua pasang sinar mata bertemu, bertaut, saling menjajaki dan menyelidiki. Kemudian Bi Kiok menghela napas dan berkata, “Kun Liong, aku... aku masih mencintamu, sejak dulu sampai sekarang dan sampai mati. Selama ini, tidak ada seorang pun pria yang menarik hatiku.” “Bi Kiok! Jangan kau berkata demikian!” “Hemm, Kun Liong, apakah kau tidak cinta padaku, setelah segala yang kulakukan terhadap adik kandungmu?” Kun Liong cepat bangkit berdiri, menjura dan membungkuk. “Untuk budimu itu, sampai mati pun aku tidak akan melupakannya, Bi Kiok. Akan tetapi cinta...? Kurasa...” Dia tidak tega untuk berterus terang dengan kata-kata, hanya menggelengkan kepalanya. “Kun Liong...” Suara Bi Kiok gemetar. “Ya...” “Lupakah kau...?” “Ya...” “Ketika kita bersembunyi di dalam guha gelap itu...” “Hemmm... lalu...” “Kau telah menciumku! Engkau telah menciumi mataku! Semenjak saat itulah aku jatuh cinta padamu sampai sekarang dan sampai selamanya!” Kun Liong ingin menampar kepalanya sendiri kalau dia teringat akan semua sifat ugal-ugalannya dahulu. Karena sifatnya itu, main-main dan menggoda dara cantik, dia melibatkan diri dalam pertalian cinta-mencinta yang amat ruwet dan berekor panjang. Andaikata dia dahulu tidak mencium mata Bi Kiok, tentu tidak akan begini jadinya. Belum tentu gadis yang pada dasarnya berwatak dingin ini jatuh cinta padanya. Dia mengangkat muka memandang. Memang cantik luar biasa dara ini, dan terutama matanya! Bukan salahnya kalau dia dahulu mencium mata itu. Sekarang pun... hemm..., jarang ada sepasang mata seindah itu! “Bi Kiok, dahulu pun sudah kukatakan bahwa aku tidak mencinta padamu. Pada waktu itu, aku tidak mencinta siapa-siapa. Cinta tidak mungkin bisa dipaksakan dan aku tidak sudi menjadi seorang perayu yang mempergunakan senjata cinta palsu untuk menjatuhkan hati seorang wanita. Aku telah berterus terang kepadamu waktu itu, dan sekarang aku pun hendak berterus terang babwa lebih-lebih sekarang ini, tidak mungkin bagiku untuk mencintamu atau wanita lain karena aku telah mencinta seorang gadis lain.” “Ouhhhh...” Wajah itu berubah pucat dan sinar mata yang indah itu seolah-olah lampu yang menjadi hampir padam, sayu tanpa cahaya lagi. “Maafkan aku, Bi Kiok...” bisik Kun Liong sambil menunduk karena menyaksikan sinar mata itu dia merasa jantungnya seperti ditikam, tidak sampai hatinya untuk memandang. “...puteri Cin-ling-san...?” Akhirnya, setelah hening beberapa lamanya yang merupakan keheningan yang mencekam hati Kun Liong, terdengar suara Bi Kiok, suaranya lirih dan tergetar. Kun Liong menggeleng kepala. “Bukan dia, Bi Kiok dan kuceritakan pun engkau tidak akan mengenalnya. Kami pun dipisahkan secara keji dan sekarang aku sedang hendak mencarinya, mungkin ke Tibet, entah akan berjumpa lagi dengan dia atau tidak aku belum dapat memastikannya. Memang sudah nasibku harus berpisah selalu dari orang-orang yang kucinta. Mula-mula dengan ayah bundaku, lalu dengan adik kandungku, kemudian dengan gadis yang kucinta...” “Dan sekarang dengan adik kandungmu lagi!” Kun Liong mengangkat mukanya memandang. Wajah dara itu tetap cantik, tetapi pucat dan bertambah dingin, namun suaranya tidak tergetar lagi, bahkan terdengar nyaring dan penuh tantangan! “Apa maksudmu?” “Maksudku sudah jelas, Kun Liong! Engkau tidak mau hidup bersama kami berdua di tempatku. Baik, nah, pergilah sekarang juga.” “Tapi adikku, In Hong...?” “Dia itu aku yang menemukannya, dan dia adalah muridku. Kalau engkau hendak berkumpul dengan dia, nah, ikutlah dengan kami. Kalau tidak, pergilah! Akan tetapi kauingat selalu, aku tetap cinta padamu, sampai mati pun aku akan tetap cinta padamu, maka setiap orang wanita yang merebutmu dari tanganku, dia akan mati di tanganku pula!” “Bi Kiok...!” “Aku sudah bicara! Pergilah!” “Aku harus membawa adikku bersamaku!” “Tidak boleh!” “Bi Kiok, harap kau suka berpikir panjang, suka berlaku adil dan bersikap bijaksana. Dia adalah adikku, adik kandungku!” “Kakak kandung macam apa kau ini? Aku yang menemukannya, kalau tidak entah apa jadinya dengan dia. Dia muridku, tidak boleh kaubawa seenakmu begitu saja!” “Akan tetapi, dia adik kandungku. Dia adalah satu-satunya manusia yang kucinta di dunia ini...” “Dan kaulah satu-satunya manusia yang kucinta, akan tetapi engkau tega menghancurkan pengharapan dan kebahagiaanku. Tidak, aku tidak akan membiarkan engkau membawa pergi In Hong!” “Bi Kiok, aku amat tidak suka kalau terpaksa harus bertengkar denganmu. Engkau sahabat yang paling baik! Harap jangan memaksa aku menggunakan kekerasan terhadapmu...” “Huh, sombongnya! Kaukira aku takut kau menggunakan kekerasan? Jangan harap akan dapat membawa pergi In Hong tanpa melalui mayatku!” Keduanya berdiri saling pandang, Kun Liong penuh permohonan, Bi Kiok penuh kedukaan dan kemarahan. Sampai lama keduanya hanya saling pandang, kemudian terdengar kata-kata Kun Liong, membujuk dan halus, “Bi Kiok, kumohon padamu, ikhlaskanlah seorang kakak berkumpul kembali dengan adik kandungnya.” “Hemmm, Kun Liong, aku pun mengharapkan agar kau suka memenuhi hasrat seorang wanita yang mencinta pria idaman hatinya, namun hasilnya sia-sia. Pendeknya, engkau hanya mempunyai dua pilihan. Pertama, engkau tinggal bersama dengan kami, hidup bertiga dan kita bersama membesarkan dan mendidik In Hong, suka menerima pelayananku sebagai seorang kekasih, sebagai seorang... isteri yang mencintamu dengan seluruh jiwa raganya, atau... kau pergi dari sini dan kita tidak akan saling bertemu lagi. Kecuali kalau kau membela calon isterimu yang tentu akan kucari dan kubunuh.” “Bi Kiok! Kau kejam...!” Kun Liong mulai marah. “Kau lebih kejam lagi!” bentak Bi Kiok. “Kalau begitu, aku akan menggunakan kekerasan!” “Silakan!” Kun Liong menerjang ke depan, maksudnya untuk merobohkan Bi Kiok dengan totokan dan membuat dara itu tidak berdaya lagi agar dia dapat membawa pergi In Hong dari tempat itu. Betapa pun kagumnya terhadap pribadi dara ini, baik kecantikan lahirnya maupun budi pertolongannya, namun dia tidak merelakan adiknya berpisah lagi darinya dan dididik oleh Bi Kiok yang betapa pun adalah murid dari datuk kaum sesat yang terkenal sebagai seorang iblis betina yang amat kejam dan mengerikan. Dia harus membawa pergi adiknya, mendidiknya menjadi seorang wanita yang penuh kelembutan, halus lembut lahir batinnya, wanita seratus prosen, tidak seperti Bi Kiok yang menyembunyikan kekerasan dan keganasan di balik kelembutan dan kecantikan. “Plak-plak-plak!!” Kun Liong terkejut sekali. Lengannya bertemu dengan lengan gadis itu yang menangkis dan balas memukul lalu ditangkisnya. Pertemuan kedua lengan itu membuat dia dapat merasakan kehebatan tenaga sin-kang yang keluar melalui lengan itu, sin-kang yang mengandung hawa panas seperti api membara! “Hebat...!” Serunya karena harus diakuinya bahwa tingkat sin-kang dari gadis ini tidak kalah oleh tingkat para datuk kaum sesat yang pernah dilawannya! Kun Liong mendesak dengan gerakan cepat, mainkan Im-yang Sin-kun dan mengerahkan tenaga Pek-in-ciang (Tangan Awan Putih) sehingga dari kedua telapak tangannya mengepul uap putih. Tentu saja dia hanya mengerahkan tenaga dan mengarahkan pukulan untuk membuat gadis itu tidak berdaya, sama sekali tidak ingin melukainya dengan hebat, apalagi membunuhnya.