Ketika matahari telah condong ke barat, dua orang bocah itu sudah tidak lagi nonton guru-guru mereka yang bermain catur. Sampai matahari condong ke barat, sudah setengah hari mereka bermain catur, namun belum juga ada yang kalah atau menang, satu permainan juga belum habis! Kini dua orang anak itu sudah duduk berhadapan, tak jauh dari tempat guru-guru mereka bermain catur. Karena merasa dikesampingkan dan tidak diperhatikan lagi oleh guru-guru mereka, otomatis dua orang anak itu saling memperhatikan. Ketika Mei Lan memetik setangkai bunga merah, Lie Seng berkata, nada suaranya mencela, “Sayang sekali bunga itu dipetik.” Mei Lan memandang kepadanya, memegang setangkai bunga itu dan mencium baunya yang harum. Bunga itu adalah bunga mawar hutan. “Kenapa sayang?” tanyanya. “Bunga itu sudah baik-baik tumbuh di tangkainya, mengapa dipetik? Kalau dipetik bukankah akan cepat layu dan mati?” “Hemm, memang bunga sepatutnya dipetik dan dinikmati, dan aku suka sekali kepada bunga. Anak-anak perempuan sudah biasa suka memetik bunga.” Lie Sang tidak membantah lagi. Dia menoleh kepada suhunya yang masih tenggelam bersama lawannya dalam dunia tersendiri, dunia perang catur yang amat mengasyikkan bagi mereka berdua. “Gurumu suka sekali bermain catur,” kata Lie Seng pula. “Gurumu juga,” jawab Mei Lan. “Biasanya, guruku tidak pernah main catur, juga membicarakan soal caturpun tidak pernah. Heran sekali mengapa dia ternyata suka sekali bermain catur. Apakah kau bisa main catur?” Mei Lan mengangguk, “Aku bisa akan tetapi aku tidak begitu suka, tidak enak menanti lawan berlama-lama memikirkan jalan berikutnya, sampai kesal hati menunggu. Lebih senang bermain silat. Apa kau bisa main catur?” Lie Seng menggeleng. “Tidak. Akan tetapi aku juga senang bermain silat.” Mereka berdua sampai lama tidak berkata-kata lagi dan ternyata mereka menjadi makin kesal. Mereka sudah lelah dan lapar, akan tetapi dua orang kakek itu terus saja bermain catur tanpa memperdulikan dua orang anak itu, bahkan mereka itupun sama sekali tidak kelihatan lelah atau lapar atau mengantuk. Ketika hari berganti malam dan cuaca sudah terlalu gelap untuk dapat bermain catur, dua orang kakek itu menyuruh murid-murid mereka untuk mencari kayu dan daun-daun kering dan agar mereka membuatkan dua api unggun di kanan kiri dua orang kakek yang terus melanjutkan permainan mereka itu. Setelah membuatkan api unggun untuk guru-guru mereka, Mei Lan dan Lie Seng lalu membuka bungkusan bekal mereka, yaitu roti kering dan air minum, dan tanpa menawarkan kepada guru-guru mereka yang asyik bermain catur itu karena tidak berani mengganggu mereka, dua orang anak ini makan minum sendiri! Dan ternyata, dua orang kakek itu tanpa makan atau minum atau mengaso, melanjutkan permainan catur mereka sampai semalam suntuk! Tentu saja Mei Lan dan Lie Seng menjadi kesal sekali dan mereka tidur di atas rumput di dekat api unggun. Dua orang kakek itu melanjutkan permainan mereka dan kadang-kadang menambahkan kayu yang ditumpuk sebagai persediaan oleh dua orang murid mereka itu ke dalam api unggun sehingga api unggun di kanan kiri itu bernyala sampai pagi. Setelah matahari naik dan sinarnya mulai menyusup di antara celah daun pohon, Mei Lan dan Lie Seng terbangun oleh suara Kok Beng Lama yang amat nyaring. Mereka bangun dan duduk dengan kaget, lalu memandang ke arah dua orang kakek itu yang masih saling berhadapan dan mereka kini mulai mengatur lagi biji-biji catur, tanda bahwa baru saja mereka menyelesaikan satu permainan dan hendak mulai lagi dengan permainan berikutnya. Kok Beng Lama kelihatan girang bukan main. “Ha-ha-ha! Kekalahanku semalam tertebus dengan kemenangan ini, tosu! Semalam engkau mengalahkan aku dan aku berjanji akan memberikan ilmu pedangku yang tidak ada keduanya di dunia. Sekarang, setelah engkau kalah, ilmu apa yang akan kauberikan kepada muridku?” Bun Hwat Tosu kelihatan gembira sekali pula, akan tetapi wajahnya kelihatan tegang dan juga lelah, sungguhpun semua itu tertutup oleh kegembiraan yang terpancar dari pandang matanya dan senyumnya. “Permainan caturmu hebat, Lama, dan sesuai dengan janji taruhan, biarlah untuk kekalahanku ini aku akan memberikan ilmu tongkat yang tiada duanya di jagad ini, yaitu Siang-liong-pang-hoat.” “Bagus, bagus! Aku percaya bahwa tua bangka seperti engkau ini tentu menyimpan banyak ilmu yang hebat-hebat. Memang sudah nasib muridku yang baik. Dalam permainan berikutnya, engkau tentu akan kalah terus dan semua ilmumu terkuras habis dalam pertaruhan ini, tosu.” “Belum tentu, Lama. Pertandingan kita masih ramai, baru satu-satu. Kita lihat saja nanti!” Dan mereka berdua sudah bermain lagi dengan asyiknya. Mula-mula, mendengar akan kemenangan guru masing-masing satu kali, dua orang murid itu menjadi tertarik dan beberapa lamanya mereka menonton. Masing-masing mengharapkan agar gurunya menang terus agar mereka memperoleh tambahan ilmu silat tinggi sebanyak mungkin. Akan tetapi menonton permainan itu tidaklah begitu menyenangkan seperti kalau mendengar kemenangannya. Dua orang kakek itu seperti arca-arca yang sama sekali tidak bergerak, seluruh perhatian ditujukan ke atas papan catur. Mereka itu bersikap seolah-olah dunia di sekitar mereka tidak ada dan mereka seperti sudah pindah ke dunia di atas permukaan papan catur itu. Tentu saja hal ini kembali mendatangkan kebosanan pada Mei Lan dan Lie Seng.   Mei Lan mengerutkan alisnya, bangkit berdiri dan melangkah pergi. Melihat ini, Lie Seng juga bangkit dan cepat mengejarnya. “Kau hendak pergi ke mana?” Mei Lan menoleh. Dalam keadaan kesepian dan seperti tidak diperdulikan lagi oleh gurunya itu, dia memang membutuhkan seorang kawan, dan anak laki-laki inipun lumayan untuk dijadikan teman. “Mau mandi.” “Mandi? Di mana ada air di sini?” “Di depan sana. Kemarin ketika suhu dan aku berjalan ke sini, aku melihat ada anak sungai kecil di sana, airnya jernih.” Lie Seng memandang girang. “Ah, suhu membawa aku datang begitu cepat sehingga aku tidak sempat melihatnya. Mari kita pergi, akupun ingin mandi.” Sambil berjalan, mereka memandang ke kanan kiri di mana tumbuh rumput dan ilalang yang amat luasnya. “Di bawah pohon di depan itulah tempatnya,” kata Mei Lan menuding ke depan. Mereka mempercepat jalan ke arah pohon itu dan tak lama kemudian setelah tiba di situ, benar saja di situ terdapat anak sungai yang airnya bersih, mengalir sunyi namun gembira dengan dendangnya sambil bermain-main dengan batu-batu yang diterjangnya. Anak sungai itu mengalir menuju ke perkampungan Padang Bangkai dan di daerah ini memang merupakan daerah sebelah selatan Padang Bangkai yang belum berbahaya. “Kautunggulah dulu di bawah pohon dan jangan melihat ke sini. Aku akan mandi dulu,” kata Mei Lan sambil menuruni tebing sungai yang tidak begitu curam. “Eh, kenapa? Air itu cukup banyak dan tempatnya juga cukup lebar!” Lie Seng membantah. Sepasang pipi itu menjadi kemerahan dan mulut Mei Lan cemberut. “Kau bocah laki-laki tahu apa? Mana boleh wanita mandi bersama dengan seorang laki-laki? Hayo kau tunggu dulu di situ, jangan bergerak. Setelah aku selesai, baru engkau yang turun mandi dan aku akan menanti di situ.” Lie Seng bersungut-sungut akan tetapi lalu duduk di atas akar pohon yang menonjol ke luar tanah. “Baiklah, kalau tidak ingat bahwa engkau yang menemukan sungai ini, tentu aku tidak mau mengalah dengan peraturanmu yang aneh ini!” Mei Lan hanya tersenyum mendengar ini. Bocah kecil tahu apa engkau, pikirnya. Agaknya biarpun usianya sudah tiga belas tahun, pikiran Lie Seng masih terlalu polos sehingga dia merasa heran mengapa anak perempuan itu tidak mau mandi bersama, bahkan diapun dilarang melihat! Setelah Mei Lan melihat bahwa Lie Seng benar-benar duduk membelakangi sungai dan sama sekali tidak pernah menengok, dia lalu menanggalkan semua pakaiannya dan turun ke dalam air yang setinggi paha, lalu dia duduk sehingga tubuhnya terbenam sampai ke leher. “Aihh, dinginnya...!” Mei Lan berseru dan ketika dia melihat betapa kepala Lie Seng yang kelihatan dari situ sebatas dada itu hendak menoleh, dia cepat berseru, “Awas, tidak boleh menoleh dan melihat ke sini!” Lie Seng mendengus dan karena hatinya keras, dia sama sekali tidak sudi menoleh. “Akupun tidak ingin melihat engkau mandi!” katanya marah. Makin meradang lagi rasa hati Lie Seng ketika dia menanti sampai lama. Apa saja sih yang dilakukan bocah itu, pikirnya. Mandi sampai begitu lama belum juga selesai! “Heii, masa belum juga selesai?” teriaknya tanpa menoleh karena hatinya sudah kesal menanti. “Sebentar lagi! Aihh, betapa tidak sabaran engkau!” “Habis, lama benar sih! Memangnya engkau mau berendam di situ sampai sehari penuh?” Mei Lan tidak menjawab, akan tetapi mempercepat mencuci rambutnya yang hitam panjang itu. Setelah selesai dan berpakaian, dia lalu naik ke atas, rambutnya masih terurai dan dikibas-kibaskannya agar kering. Wajahnya segar kemerahan karena digosok-gosoknya tadi, seperti sekuntum bunga yang sedang mulai mekar. “Nah, ambillah olehmu seluruh air sungai itu!” katanya kepada Lie Seng yang cemberut. Lie Seng bangkit dan memandang marah. “Mandi saja sampai berjam-jam, dasar anak perempuan!” “Huh, dan kau menunggu begitu saja tidak sabar, dasar anak laki-laki!” Mei Lan membalas. Lie Seng tidak menjawab, menuruni tebing den menanggalkan semua pakaiannya lalu masuk ke dalam air. Mandinya mendatangkan suara bising, berkecipak di dalam air. Dia tidak pernah menengok apakah anak perempuan itu masih berada di tepi sungai atau tidak, dan memang dibandingkan dengan waktu yang dipergunakan oleh Mei Lan untuk mandi tadi, Lie Seng hanya menggunakan waktu singkat saja. Ketika dia sudah berpakaian dan naik ke tepi sungai dengan rambut basah, dia melihat Mei Lan masih duduk di bawah pohon sambil menyisiri rambutnya. “Eh, kau masih di sini?” tanya Lie Seng, rasa mengkal hatinya agaknya sudah lenyap, larut oleh air sungai atau sudah menjadi dingin oleh air. “Tentu saja. Bukankah aku tadi berjanji akan menunggu di sini sampai kau selesai?” Hati Lie Seng menjadi girang. Kiranya anak perempuan ini baik juga, bersahabat dan memegang janji. Maka ketika Mei Lan menyerahkan sisirnya, dia menyambut tanpa berkata-kata, menyisiri rambutnya. Dan kiranya Mei Lan sudah mengeluarkan roti kering yang tadi dibawanya, mengajak Lie Seng untuk sarapan roti kering, Lie Seng duduk di atas akar pohon dan mereka makan roti kering. “Siapa namamu?” tanya Mei Lan. “Namaku Lie Seng, dan kau?” “Mei Lan. Berapa usiamu?” “Tiga belas tahun.” “Dan aku lima belas tahun.” “Kalau begitu kau lebih tua dari aku, enci Mei Lan.” “Tentu saja! Semua orangpun dapat melihatnya.” “Oh, belum tentu. Aku tidak kalah tinggi olehmu.” “Benar, karena kau laki-laki. Akan tetapi kau masih kanak-kanak.” “Hemm, dan kau sudah tua, ya?” “Setidaknya, lebih tua daripada engkau.” Lie Seng tidak dapat membantah. Hening sejenak sampai mereka selesai makan roti kering yang tentu saja tidak enak di mulut karena setiap hari mereka memakannya, akan tetapi berguna bagi perut mereka yang lapar. “Mengapa kau ikut bersama hwesio aneh itu?” Lie Seng memandang. “Tentu saja. Dia guruku dan... dia yang telah menolongku dari bahaya. Kau sendiri, mengapa ikut bersama kakek yang sudah amat tua itu?” “Sama denganmu. Karena dia guruku. Di mana orang tuamu?” tanya Mei Lan. Ditanya demikian, Lie Seng mengerutkan alisnya dan sepasang matanya penuh dengan sinar kedukaan, wajahnya menjadi muram dan dia menggeleng kepala, tidak menjawab. Mei Lan menarik napas panjang. “Maafkan aku, adik Seng. Agaknya di dunia ini banyak terdapat anak-anak seperti kita... yang terlantar...” “Eh, apakah engkau sendiri tidak berayah ibu lagi?” Mei Lan menggeleng kepala juga. “Pertanyaan itu tak dapat kujawab...” Tiba-tiba gadis cilik itu memegang lengan Lie Seng dan berbisik, “Ssttt, di sana ada dua orang mendatangi tempat ini...!”   Lie Seng cepat memandang dan diapun melihat dua orang datang dari selatan, dua orang laki-laki yang bersikap gagah dan berjalan sambil memandang ke kanan kiri. Seorang di antara mercka bertubuh jangkung, berpakaian sederhana dengan warna kuning, sedangkan yang seorang lagi amat mengherankan hati Lie Seng karena pemuda itu memiliki rambut yang agak keemasan tertimpa sinar matahari, dan setelah dekat, dia melihat bahwa matanyapun agak kebiruan! Dua orang pemuda itu bukan lain adalah Tio Sun dan Souw Kwi Beng. Seperti telah diceritakan di bagian depan, dua orang ini sengaia mencari Yap In Hong dan mereka baru saja meninggalkan benteng Raja Sabutai di mana mereka mendapatkan petunjuk dan bahkan menerima petunjuk rahasia dari Permaisuri Khamila. Kemudian, mereka bertemu dengan Liong Si Kwi, wanita yang bernasib malang itu dan memperoleh petunjuk yang amat penting, yaitu tentang jalan rahasia menyeberangi Padang Bangkai yang amat berbahaya itu. Karena itu, maka mereka memasuki daerah ini dengan hati-hati dan menoleh ke kanan kiri, tidak berani bersikap sembrono karena dari Si Kwi mereka memperoleh keterangan betapa bahayanya memasuki Padang Bangkai. Ketika mereka melihat ada seorang dara remaja dan seorang anak laki-laki berada di bawah pohon, yang memandang mereka dengan sikap heran dan penuh curiga, tentu saja dua orang pemuda ini mengira bahwa tentu dua orang anak itu adalah anak-anak dari penghuni Padang Bangkai! Menurut penuturan Si Kwi, di tempat berbahaya itu tidak ada orang luar, yang ada hanya anggauta-anggauta Padang Bangkai yang semua sudah dibasmi oleh Cia Bun Houw dan sebagian melarikan diri ke Lembah Naga. Maka, adanya dua orang anak di situ tentu saja menimbulkan kecurigaan mereka dan mereka menyangka bahwa dua orang anak itu tentulah anggauta-anggauta Lembah Naga atau Padang Bangkai. “Kita tangkap mereka untuk menunjukkan jalan, twako,” kata Kwi Beng. “Jangan sembrono, Beng-te. Kita tanya dulu...” kata Tio Sun yang memang selalu berhati-hati dalam sepak terjangnya. Akan tetapi Kwi Beng sudah mendekati dan memandang dua orang anak itu penuh perhatian. Dia merasa heran mengapa anak-anak dari para penjahat begitu tampan dan cantik, terutama sekali dara remaja itu. Begitu cantik manis dengan sepasang mata bersinar-sinar penuh keberanian, sungguhpun bajunya tambalan. Dan anak laki-laki itupun jelas menunjukkan bahwa dia bukan seorang anak biasa saja. “Siapa kalian dan di mana adanya orang-orang Lembah Naga?” Kwi Beng bertanya, nada suaranya tidak manis karena tentu saja menghadapi anak-anak dari fihak musuh dia tidak bisa bersikap manis. Mei Lan dan Lie Seng memandang tajam, kemudian Mei Lan menggandeng tangan Lie Seng sambil berkata, “Huh! Mari, Seng-te, jangan layani orang sinting ini!” Setelah berkata demikian, Mei Lan lalu menarik tangan Lie Seng dan lari meninggalkan Kwi Beng yang menjadi bengong sejenak. “Heiii, hendak lari ke mana kalian?” Kwi Beng mengejar. “Hati-hati, Beng-te, jangan-jangan ini merupakan pancingan!” Tio Sun berseru dan juga mengejar. Ketika Mei Lan dan Lie Seng sudah tiba di tempat yang tidak jauh dari tempat guru mereka bertanding catur dan sudah kelihatan dari situ, kemudian mendapatkan kenyataan bahwa dua orang itu mengejar, mereka lalu berhenti. “Engkau ini orang jahat mau apa mengejar kami?” Mei Lan membentak marah. Kwi Bang mengerutkan alisnya. Anak perempuan ini galak sekali, dan tentu memiliki kepandaian juga, sebagai anak dari tokoh-tokoh sesat di tempat itu. “Bocah sesat, kami hanya ingin bertanya jalan kepadamu!” “Kami tidak tahu. Hayo lekas pergi, laki-laki ceriwis dan jangan menggangguku!” Mei Lan mengusir, telunjuk kirinya menuding ke depan dan tangan kanarmya menolak pinggang, sikapnya angkuh sekali, angkuh dan juga cantik! “Sombong!” Kwi Beng membentak dan dia sudah menerjang untuk menangicap dara remaja yang galak itu. “Haiiittt...!Ahh!” Kwi Beng terkejut bukan main karena selain anak perempuan itu dapat mengelakkan tubrukannya dengan cepat dan mudah, juga sambil mengelak ke kiri, anak perempuan itu langsung saja mengirim tendangan ke arah lambungnya. Gerakan tendangan itupun cepat dan kuat sehingga dia terkejut dan cepat meloncat mundur. Kemudian, dengan penasaran dia sudah menerjang lagi dengan cepat, disambut oleh Mei Lan dengan tangkisan, elakan dan serangan balasan yang secara kontan dan bertubi-tubi dia lancarkan, membuat Kwi Beng untuk kedua kalinya terkejut dan cepat dia merobah gerakan menyerang menjadi gerakan bertahan dan melindungi dirinya karena ternyata olehnya betapa serangan-serangan gadis itu bukannya tidak berbahaya. “Beng-te, jangan berkelahi...!” Tio Sun meloncat ke depan, maksudnya hendak melerai perkelahian itu, karena dia melihat gerakan-gerakan aneh dan hebat dari gadis itu. Akan tetapi pada saat dia meloncat ke depan, dari samping berkelebat bayangan yang langsung menyerangnya. “Ehh...!” Dia berseru kaget melihat bahwa yang menyerangnya adalah anak laki-laki tadi, dan bukan main kagetnya melihat bahwa pukulan anak laki-laki itupun hebat bukan main sehingga terpaksa dia menangkisnya. “Dukkkk!” Tubuh Lie Seng terpental, akan tetapi Tio Sun juga merasa betapa lengannya tergetar.   “Hebat...!” Otomatis dia memuji karena seorang bocah sekecil itu dapat membuat lengannya tergetar, hal ini sudah amat luar biasa. Akan tetapi sebelum dia sempat mencegah, Lie Seng yang menganggap bahwa dua orang itu tentu orang-orang jahat, sudah menerjang lagi dengan pukulan-pukulan yang hebat, karena baru saja dia melatih pukulan Thian-te Sin-ciang yang biarpun masih mentah dan tenaga sin-kangnya belum kuat, namun berkat ilmu mujijat itu, ternyata sudah membuat Tio Sun terheran-heran dan terkejut. Terjadilah pertandingan yang seru antara Mei Lan dan Kwi Beng yang makin lama makin menjadi penasaran karena dia tidak mampu mendesak dara remaja itu. Dan tentu saja Lie Seng bukanlah lawan Tio Sun, sungguhpun pendekar ini tentu saja enggan untuk menjatuhkan tangan kejam terhadap seorang anak yang usianya belum dewasa itu. Tio Sun cepat mengelak dan menangkap pergelangan tangan Lie Seng, dipegangnya keras-keras pergelangan tangan itu dan dia mengerahkan sedikit tenaga Ban-kin-kang yang amat kuat. Dipegang dengan tenaga itu, Lie Seng tidak mampu bergerak lagi, sungguhpun dia sudah meronta-ronta dan pada saat itu, tiba-tiba Tio Sun berseru lirih dan pegangannya terlepas sehingga Lie Seng dapat meloncat jauh ke belakang! Tio Sun terkejut karena dia maklum bahwa tadi ada batu kecil menyambar lengannya dan membuat lengan itu lumpuh. Dia cepat menoleh ke arah dua orang kakek yang sedang asyik main catur, agaknya tidak memperdulikan pertempuran itu, akan tetapi yakinlah dia bahwa batu kerikil itu datang dari arah dua orang kakek itu. Pada saat itu, Kwi Beng juga mengeluh dan terhuyung, terpincang-pincang kakinya dan terpaksa dia menjauhi Mei Lan. Ada batu kerikil menyambar mata kakinya, dan biarpun kakinya dilindungi kaos kaki dan sepatu, namun tetap saja terasa nyeri bukan main sehingga dia terpincang dan menjauhi Mei Lan. Mei Lan dan Lie Seng juga mengerti bahwa diam-diam mereka dibantu oleh guru mereka, maka mereka menjadi girang sekali. Sebaliknya, Kwi Beng makin marah bukan main. Dia memandang ke arah dua orang kakek yang bermain catur, maklum bahwa dua orang kakek itulah yang membantu lawannya tadi dan dia menduga bahwa pasti mereka itu adalah tokoh-tokoh jahat dari tempat itu, kawan-kawan dari mereka yang menculik In Hong. Oleh karena itu, tanpa ragu-ragu lagi dia mencabut enam hui-to dan melontarkan enam batang pisau terbang itu ke arah dua orang kakek yang bermain catur sambil mengerahkan seluruh tenaganya karena dia maklum bahwa tentu dua orang kakek itu memiliki kepandaian tinggi. “Jangan...!” Tio Sun berseru, namun terlambat dan karena diapun menduga bahwa dua orang kakek itu tentulah fihak musuh, maka diapun akhirnya diam saja, memandang ke arah mereka yang diserang oleh enam batang pisau terbang itu sambil mendekati Kwi Beng. “Sing-sing-singgg...!” Enam batang pisau terbang itu meluncur dengan cepat, berubah menjadi sinar berkilauan ditimpa sinar matahari pagi menuju ke arah tubuh dua orang kakek itu. “Mengganggu saja!” terdengar Bun Hwat Tosu berkata dan kakek ini menggunakan ranting kecil di tangan kirinya untuk menyampok. “Menjemukan!” Kok Beng Lama juga menyampok dengan ranting kecil. Tiga batang pisau terbang yang menyambar ke arah Bun Hwat Tosu kena disampok ranting kecil di tangan tosu itu, runtuh ke atas tanah dan patah-patah. Sedangkan ketika Kok Beng Lama menyampok dengan rantingnya, tiga batang pisau terbang lainnya membalik dan kini meluncur dengan kecepatan kilat menuju ke arah dua orang pemuda itu, yang satu menyambar ke arah Tio Sun sedangkan yang dua batang ke arah Kwi Beng! “Celaka...!” Tio Sun berseru kaget sekali melihat sinar-sinar berkelebatan yang demikian cepatnya. Dia meloncat ke atas, menendang dari samping pisau yang menyambar ke arahnya dan menggunakan tangannya menyampok pisau yang menyambar ke arah Kwi Beng, sedangkan pisau ketiga dielakkan oleh Kwi Beng yang juga kaget itu dengan jalan melempar tubuh ke belakang dan bergulingan! Ternyata, nyaris saja Kwi Beng dimakan oleh senjatanya sendiri! “Berbahaya... kita pergi, Beng-te...!” Tio Sun lalu menarik tangan Kwi Beng, diajak pergi dari situ, melanjutkan perjalanan, karena pendekar tinggi kurus ini maklum bahwa mereka sama sekali bukanlah lawan dua orang kakek yang masih tekun bermain catur itu. Untung ketika mereka menengok, dua orang kakek itu masih terus bermain catur, agaknya tidak memperdulikan mereka dan sama sekali tidak mengejar. Mereka tidak tahu bahwa ada dua bayangan kecil yang membayangi mereka, menyusup-nyusup di antara rumpun alang-alang yang tinggi. “Bukan main...” kata Tio Sun setelah mereka pergi jauh. “Dua orang kakek itu memiliki kesaktian yang amat luar biasa.” “Heran sekali, siapakah mereka? Kalau musuh, mengapa membiarkan kita pergi? Kalau bukan musuh, kenapa di tempat ini?” tanya pula Kwi Beng. “Akupun tidak tahu dan tidak dapat menduga, Beng-te. Yang jelas, kita berada di tempat berbahaya dan jangan sembarangan turun tangan. Mudah-mudahan saja dua orang kakek itu bukan orang-orang fihak Lembah Naga, karena kalau fihak musuh mempunyai orang-orang seperti mereka, agaknya tidak mudah untuk mengharap dapat menolong nona Yap In Hong yang tertawan di sini.” “Aku tidak takut! Kita harus dapat menyelamatkan dia!” Kwi Beng berkata dengan kukuh. Tio Sun tersenyum dan menyentuh lengan sahabatnya. “Tentu saja akan kita usahakan sedapat mungkin, saudaraku. Kalau tidak, masa kita berada di tempat berbahaya ini?” Agaknya Kwi Beng sadar akan kata-katanya, maka cepat dia menjura dan memberi hormat kepada pemuda tinggi itu. “Maafkan aku, twako. Aku terlalu memikirkan keselamatan dia, sehingga lupa akan keselamatan orang lain. Keselamatanku sendiri tidak ada artinya bagiku, akan tetapi keselamatanmu, twako. Kau sudah memasuki bahaya besar di sini karena hendak membantuku menolongya...” “Ah, sudahlah. Perlu apa hal itu dibicarakan lagi, Beng-te? Tanpa kauminta sekalipun mendengar bahwa Yap-lihiap tertawan orang jahat, tentu aku akan berusaha sedapatku untuk menolongnya.” Dia berhenti sebentar, lalu menyambung, “Apalagi setelah mendengar dari nona Liong Si Kwi bahwa Cia-taihiap tertawan. Sudah menjadi kewajiban kita untuk menolong mereka, betapapun bahayanya.” Mereka melanjutkan perjalanan dengan hati-hati sekali, meneliti seluruh tempat dan menuruti petunjuk yang diberikan oleh Si Kwi. Dan memang mereka tidak bertemu dengan seorangpun manusia sampai mereka berhasil melewati perkampungan Padang Bangkai. Akan tetapi mereka tidak tahu bahwa dari jauh, Mei Lan dan Lie Seng terus mengikutinya dengan mengambil jalan yang mereka lewati tadi sehingga dua orang anak inipun terbebas dari malapetaka yang terdapat di sepanjang perjalanan itu!   Sudah terlalu lama kita meninggalkan Cia Giok Keng, puteri ketua Cin-ling-pai yang sejak berpisah dari Yap Kun Liong tidak pernah kita ikuti itu. Dalam pertemuannya yang terakhir dengan Kun Liong, dia merasa betapa semua peristiwa yang menimpa keluarga Kun Liong dan keluarganya dimulai dengan sikapnya terhadap Yap In Hong. Dia merasa menyesal sekali karena seolah-olah dia melihat betapa tangannya sendirilah yang menyalakan api pertama yang kemudian membakar keluarga Kun Liong dan keluarganya, yang menyebabkan Kun Liong kematian isterinya dan kehilangan puterinya, dan kemudian menyebabkan pula sebagai rangkaiannnya, dia kematian suaminya dan kehilangan Lie Seng, puteranya. Karena penyesalan ini, dia dapat membayangkan betapa sengsaranya hati Kun Liong dan dia bertekad untuk mencari pembunuh Pek Hong Ing isteri Kun Liong dan terutama sekali mencari jejak Yap Mei Lan yang lenyap melarikan diri itu. Untuk mencari jejak Yap Mei Lan, akhirnya Giok Keng menuju ke Leng-kok, tempat tinggal Kun Liong dari mana anak perempuan itu mula-mula lenyap. Pada suatu hari dia berjalan seorang diri di lereng pegunungan sebelah selatan Leng-kok. Berjalan seorang diri di tempat sunyi itu dengan melamun. Padahal, matahari tersenyum dengan cerahnya, menghidupkan semua yang berada di permukaan bumi, bermain-main dengan kelompok bunga dan pucuk daun, menimbulkan bayang-bayang aneh dan luar biasa di bawah-bawah pohon, menciptakan suasana gembira dan pemandangan indah yang abadi dan selalu berubah setiap saat. Namun, Giok Keng berjalan sendirian seperti tidak melihat semua itu. Matanya memandang jauh tanpa menangkap apa-apa karena pikirannya melayang-layang jauh di masa lampau. Dia seorang janda yang usianya sudah tiga puluh enam tahun, seorang wanita yang matang dan belum dapat dibilang terlalu tua untuk menyendiri. Di dalam perjalanan selama ini, kadang-kadang timbul perasaan rindu yang amat mendalam terhadap suaminya, Lie Kong Tek yang telah meninggal dunia, dan kadang-kadang pula, secara mendadak, seperti cahaya halilintar menerangi mendung gelap, timbul pula bayangan wajah Yap Kun Liong. Akan tetapi setiap kali dia teringat kepada Kun Liong, cepat diusirnya lagi bayangan itu. Dia seorang janda, dan dia tahu bagaimana kedudukan dan keadaan seorang janda di jamannya. Akan rusaklah nama seorang janda apabila dia membiarkan dirinya berdekatan dengan seorang pria. Apalagi dia adalah puteri ketua Cin-ling-pai! Akan cemar namanya, akan ternoda pula nama keluarga Cin-ling-pai. Giok Keng mengepal tinjunya erat-erat. Tidak, dia harus dapat menahan hatinya, dia harus mematikan perasaan hatinya. Sebagai seorang janda, sudah tertutup baginya untuk berhubungan dengan seorang pria, apalagi untuk memadu kasih! Dia sudah mati, mati kebahagiaannya, mati bersama matinya suaminya. Yang terpenting baginya sekarang adalah menebus kesalahannya, dia harus dapat menemukan Mei Lan kembali! Tiba-tiba teidengar suara tangis wanita. Buyar semualah lamunan Giok Keng dan dia menghentikan langkahnya, memasang telinga untuk mendengarkan lebih teliti. Ternyata suara tangis itu terdengar dari jauh, di sebelah kiri, maka diapun lalu menggerakkan kedua kakinya menuju ke tempat itu. Setelah dekat, dia melihat seorang wanita tua dipegangi oleh seorang laki-laki tua yang membujuk dan menghiburnya. “Tidak, biarkan aku mati saja!” Wanita itu meronta dan agaknya dia hendak melempar dirinya ke dalam jurang di depannya. “Ah, mengapa engkau begini? Belum tentu anak kita celaka, mengapa engkau berputus asa? Tidak ingatkah kau kepadaku, kepada suamimu?” Wanita itu memandang kepada laki-laki tadi dan mereka saling rangkul dan menangis sedih sekali. Giok Keng merasa tertarik dan cepat dia menghampiri. Melihat ada orang datang, dua orang itu saling melepaskan rangkulan dan dengan masih terisak-isak mereka memandang kepada wanita muda yang cantik jelita dan bersikap gagah penuh wibawa itu. Melihat ada pedang tergantung di punggung wanita cantik itu, si nenek cepat menjatuhkan diri berlutut. “Lihiap, mohon lihiap menolong kami...” “Bangunlah, lopek. Apakah yang terjadi? Mengapa isterimu hendak membunuh diri? Apa yang terjadi dengan anakmu?” Kakek yang usianya lima puluh tahun lebih itu lalu berkata, “Lihiap, kami hanya mempunyai seorang anak perempuan saja yang kami harapkan akan dapat menyambung keturunan dan dapat membahagiakan kami di hari tua. Akan tetapi, tiga hari yang lalu anak kami itu lenyap.” “Lenyap? Apa yang terjadi?” “Anak saya diculik siluman keparat itu, lihiap!” kini nyonya tua itu berkata dengan nada suara penuh kebencian. “Siluman? Apa maksud kalian?” Giok Keng bertanya heran. “Begini, lihiap. Di kota kami sudah kurang lebih satu bulan ini terjadi hal-hal yang aneh. Beberapa orang gadis lenyap di waktu malam, juga banyak hartawan kehilangan hartanya. Anehnya, gadis-gadis yang hilang itu semua adalah gadis yang cantik. Dan karena belum pernah ada yang melihat maling itu, maka dia dijuluki siluman. Katanya ada yang melihat bayangan siluman itu, dan bahkan para hwesio di Kuil Ban-hok-tong juga mengatakan bahwa ada hawa siluman di kota kami.” Giok Keng merasa tertarik sekali. Tentu saja dia dapat menduga bahwa yang dianggap siluman itu adalah seorang maling yang berkepandaian tinggi, dan selain maling agaknya penjahat itu juga merangkap seorang jai-hoa-cat (penjahat pemerkosa wanita). Jantungnya berdebar keras. Tidak jauh dari Leng-kok terdapat jai-hoa-cat! Jangan-jangan Yap Mei Lan menjadi korban pula!   “Di mana kota kalian?” Dia bertanya penuh gairah karena dia ingin cepat-cepat dapat menangkap penjahat itu, bukan hanya untuk menolong penduduk kota ini, akan tetapi terutama sekali untuk menyelidiki kalau-kalau Mei Lan menjadi korban penjahat itu! “Kota Heng-tung tak jauh dari sini, di sebelah utara itu, lihiap.” “Baik, jangan kalian khawatir dan jangan putus asa, aku akan pergi mdnangkap siluman itu.” Setelah berkata demikian, Giok Keng meloncat dan mempergunakan kepandaiannya berlari cepat sehingga dalam sekejap mata saja dia telah lenyap dari depan dua orang suami isteri tua itu. Suami isteri itu terkejut dan mereka menjatuhkan diri berlutut, lalu mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi untuk menghaturkan terima kasih kepada para dewa, karena mereka percaya bahwa yang muncul tadi tentulah utusan Kwan Im Pouw-sat, seorang dewi untuk menangkap siluman jahat! Memang agak mengherankan hati Giok Keng bahwa di Leng-kok, atau setidaknya di dekat Leng-kok, ada seorang penjahat berani muncul di kota besar. Padahal nama Yap Kun Liong di Leng-kok amat terkenal sehingga sampai jauh di sekeliling daerah itu tidak ada penjahat berani melakukan operasi mereka. Akan tetapi janda ini tidak tahu bahwa keadaanya telah berubah banyak. Semenjak peristiwa perebutan kedudukan kaisar di kota raja, yaitu ketika Kaisar Ceng Tung ditawan oleh pasukan liar di utara, keamanan di kota raja memang telah dapat dipulihkan kembali dengan pulangnya Kaisar Ceng Tung dan dengan diangkatnya dia menjadi kaisar kembali. Para thaikam yang tadinya memegang kekuasaan mutlak, telah banyak berkurang kekuasaan mereka, bahkan amat dibatasi. Suasana tertib dapat dipulihkan. Akan tetapi ketertiban ini hanya terdapat di lingkungan istana, atau paling besar hanya terasa di kota raja saja. Di luar kota raja, apalagi di kota-kota yang jauh dari kota raja, para pembesar kehilangan wibawa mereka dan para penjahat mulai berani beroperasi secara terbuka. Bahkan banyak penjahat yang menggunakan pengaruh uang, memikat para pejabat sehingga ada semacam “kerja sama” di antara mereka! Tentu saja kalau hal seperti ini sudah terjadi, rakyat yang menjadi korban dan hal itu berarti bahwa kewibawaan pemerintah telah mulai surut. Malam hari itu, Gick Keng melakukan penyelidikan. Dengan pakaian ringkas, dia menggunakan kepandaiannya, berloncatan di atas genteng-genteng rumah dan akhirnya dia memilih daerah rumah-rumah gedung tempat tinggal orang-orang kaya dan mendekam di balik wuwungan, melakukan pengintaian dari tempat yang dipilihnya sebagai tempat paling tinggi di sekitar tempat itu. Dia mengintai dan menanti dengan sabar dan menjelang tengah malam, di bawah sinar bintang-bintang di langit, dia melihat ada bayangan hitam berkelebatan di sebelah depan. “Hemm, itu dia silumannya!” pikir Giok Keng dengan jantung berdebar tegang. Dia merunduk di balik wuwungan-wuwungan, berloncatan dengan hati-hati dan membayangi sosok bayangan di depan itu. Karena cuaca yang agak suram, hanya diterangi sinar bintang-bintang, dia tidak dapat melihat jelas muka orang, hanya dapat menduga bahwa bayangan itu adalah bayangan seorang laki-laki yang tubuhnya kurus namun gerakannya gesit sekali, yang berloncatan dari rumah ke rumah dan agaknya mencari-cari. Akhirnya, dia melihat maling itu meloncat turun ke dalam taman sebuah rumah besar. “Bagus! Dia tentu akan merampok harta atau menculik wanita. Biar kutunggu di sini dan kutangkap basah dia!” pikir Giok Keng yang menanti di atas rumah itu dan bersikep waspada. Tak lama kemudian, kelihatan kembali bayangan itu berkelebat dari bawah, meloncat ke atas genteng dan kini tangan kirinya memanggul sebuah bungkusan yang berat. Giok Keng merasa kagum juga. Ternyata maling ini adalah seorang yang telah ahli, buktinya dalam waktu singkat saja dia telah berhasil menyikat haria dari pemilik gedung di bawah. “Maling rendah! Kiranya engkau orangnya?” Giok Keng membentak den tampak jelas betapa maling itu tersentak kaget dan cepat membalikkan tubuhnya. Giok Keng tercengang melihat bahwa maling itu seorang laki-laki yang usianya lima puluh tahun lebih, dan pakaiannya seperti pakaian sasterawan, kepalanya ditutup topi lucu. “Heh-heh, sampai kaget setengah mati aku!” Maling itu berseru dan sikapnya demikian aneh dan lucu sehingga Giok Keng merasa geli. Mengapa maling yang disohorkan sebagai siluman ini sikapnya begitu pengecut dan penakut?, “Ah... aku bukan...” “Pengecut!” Giok Keng menerjang dengan pukulannya, tangan kirinya menghantam langsung dari depan ke arah dada maling itu. “Ehhh...?” Maling itu cepat menghindarkan diri dengan meloncat ke belakang. Giok Keng mendesak dengan pukulan tangan kanan disambung hantaman dari samping dengan tangan kirinya. Wanita cantik ini sekarang jauh bedanya dengan dahulu. Kalau dahulu, Giok Keng selalu berhati keras dan setiap orang musuhnya tentu langsung akan menghadapi serangan-serangan maut dari pendekar wanita itu. Akan tetapi, semenjak peristiwa hebat yang menimpa keluarganya, dia berubah banyak. Kini dia tidak lagi sembrono dan tidak menggunakan pedangnya, juga tidak menggunakan sabuknya yang lihai atau pukulan-pukulan maut, melainkan hanya menyerang dengan pukulan-pukulan San-in-kun-hoat yang amat lincah untuk menundukkan maling ini dan untuk ditanyanya tentang para gadis itu, terutama tentang Yap Mei Lan. Bertubi-tubi Giok Keng menyerang dan biarpun maling itu berusaha untuk mengelak, tetap saja pundaknya kena disambar jari tangan kiri Giok Keng. “Aduhh...!” Maling itu terguling di atas genteng dan ketika Giok Keng hendak menyusul dengan tendangan, tiba-tiba maling itu berseru, “Ampunkan saya, lihiap. Lihiap sebagai puteri ketua Cin-ling-pai tentu tidak membunuh orang seperti saya...” Tentu saja Giok Keng terkejut bukan main. Maling ini telah mengenalnya sebagai puteri ketua Cin-ling-pai! Sementara itu, di dalam gedung telah terdengar suara ribut-ribut, tanda bahwa tuan rumah telah terbangun dan agaknya telah tahu bahwa ada maling bertanding di atas genteng. “Hayo kau ikut bersamaku!” Giok Keng berkata dan meloncat ke depan. “Baik, lihiap!” Maling itu berkata dan mengikuti Giok Keng, berlompatan dari genteng ke genteng dan akhirnya tiba di tempat yang sunyi di luar kota itu. Giok Keng berhenti dan maling itupun berhenti, memandang dengan sinar mata takut. “Nah, hayo ceritakan siapa kau dan bagaimana engkau mengenal aku!” bentaknya. “Sudah beberapa kali saya melihat lihiap, dan pernah kita saling bertemu di tempat pesta Phoa Lee It, piauwsu di Wu-han.” Segera Giok Keng teringat! Ketika itu, dia juga menerima undangan dari piauwsu tokoh Go-bi-pai itu dan dia datang bersama mendiang suaminya, Lie Kong Tek dengan membawa sumbangan berharga. Akan tetapi, bungkusan sumbangannya itu ditukar oleh seorang maling tua, dan itulah orangnya!   “Ah...! Jadi engkaulah orangnya dahulu itu yang menukar barang sumbanganku?” Maling itu cepat menjura dengan penuh hormat. “Sampai sekarang saya menyesal sekali kalau teringat akan kelancangan saya yang dimaksudkan untuk main-main itu, lihiap, sehingga menimbulkan bentrokan antara lihiap dan Yap In Hong lihiap,” Dia berhenti karena tiba-tiba melihat wajah yang cantik itu berubah, sinar matanya berapi-api. Maling itu bukan lain adalah Can Pouw, maling tunggal yang terkenal di daerah Tai-goan, berpakaian sasterawan dan bertopi, maling yang jenaka dan cerdik sekali dan yang berjuluk Jeng-ci Sin-touw (Maling Sakti Berjari Seribu)! Seperti telah dituturkan di bagian depan dari cerita ini, maling tua ini pernah menjadi teman seperjalanan Yap In Hong dan menggegerkan pesta dari Phoa Lee It. Akan tetapi, kemarahan Giok Keng hanya sebentar. Memang tadi dia marah sekali karena teringat bahwa awal segala peristiwa dimulai di pesta itu! Di tempat itulah dia bentrok untuk pertama kalinya dengan In Hong sehingga menimbulkan kemarahannya yang mengakibatkan hal-hal yang amat hebat menimpa keluarga Kun Liong dan keluarganya. Akan tetapi, sebagai seorang yang sudah matang digembleng peristiwa-peristiwa hebat, dia dapat teringat bahwa sesungguhnya maling tua ini tidak ada sangkut pautnya dengan peristiwa itu dan bahwa sesungguhnya dia sendirilah yang tidak dapat menguasai kemarahannya sehingga terjadi hal-hal yang hebat. Dia menarik napas panjang dan wajahnya kembali biasa. Hal ini menyenangkan hati Can Pouw karena sejak tadi dia memperhatikdn dengan hati kebat-kebit. Kalau sampai nyonya pendekar ini marah, dia sudah siap untuk mengambil langkah seribu, sudah mencari tempat-tempat gelap di sekitar situ untuk bersembunyi, karena untuk melawan mana dia mampu? “Saya memang Can Pouw, lihiap. Jeng-ci Sin-touw Can Pouw dari Tai-goan...” “Hayo katakan di mana kau menyembunyikan semua harta yang kaucuri itu dan di mana pula kausembunyikan gadis-gadis yang kauculik!” Tiba-tiba Giok Keng membentak dan “sratttt...!” tahu-tahu ada kilat berkelebat dan sebelum Can Pouw tahu apa yang terjadi, tahu-tahu ujung pedang bersinar perak telah ditodongkan di depan dadanya! Dia tidak melihat kapan nyonya itu mencabut pedangnya dan tahu-tahu ujung pedang sudah menodong dada, terasa olehnya ulung runcing itu menembus baju menyentuh kulitnya! Dia bergidik, karena kalau sudah begini, laripun akan percuma saja. “Eh... ohhh... maaf, lihiap... saya bukan maling dan penculik itu...” “Hemm... aku mendengar ada siluman yang mencuri dan menculik gadis-gadis di kota Heng-tung, ketika aku menyelidiki, aku melihat engkau mencuri dari gedung itu. Setelah jelas aku menangkap basah, engkau masih hendak menyangkal?” Ujung pedang itu makin keras menyentuh kulit dadanya, tepat di tempat jantungnya berdenyut. Kedua kaki Can Pouw menjadi lemas dan dia cepat menjatuhkan diri berlutut dan mengangkat kedua tangannya ke atas. “Ya ampunnn... lihiap, ada kesalahfahaman di sini! Sungguh lihiap telah salah sangka. Kalau lihiap baru sekarang menyelidiki, saya sudah lebih dari satu minggu menyelidiki maling yang disebut siluman itu! Dan malam ini saja melakukan pencurian hanya untuk memancing dia keluar. Sungguh mati, saya mau bersumpah tujuh turunan...” Pedang itu ditarik kembali akan tetapi masih dipegang di tangan kanan nyonya pendekar itu. “Ceritakan yang jelas!” bentak Giok Keng sambil memandang tajam karena dia tidak percaya sepenuhnya kepada orang tua yang pandai bicara ini. “Saya akui bahwa saya memang maling, dan di Tai-goan nama saya cukup dikenal. Akan tetapi, lihiap, saya adalah seorang maling yang terhormat! Haram bagi saya untuk menculik orang, apalagi perawan-perowan cantik! Coba lihiap periksa baik-baik, apakah tampang saya ini tampang seorang jai-hoa-cat? Biarpun saya maling, akan tetapi saya seorang siucai (sasterawan) gagal, lihiap, dan saya mampu membaca susi ngo-keng!” Giok Keng menahan senyumnya. Maling ini benar-benar seorang yang lincah bicaranya, dan juga lucu. Betapapun juga, sikapnya menimbulkan kepercayaan. “Tidak perlu banyak ngoceh. Ceritakan sejelasnya tentang siluman itu!” “Begini, lihiap. Saya mendengar tentang gangguan siluman itu. Saya menjadi marah karena perbuatan siluman itu sungguh melanggar kehormatan dan kesopanan dunia kang-ouw (kode ethik permalingan?)! Maling ya maling saja, masa pakai menculiki perawan-perawan cantik pula! Itu namanya merendahkan dan mencemarkan nama maling-maling terhormat seperti saya. Tentu saja saya tidak mau terima begitu saja dan mulailah saya menyelidiki di kota Heng-tung. Akan tetapi sial dangkalan, sampai seminggu saya setiap malam menyelidiki, tidak pernah maling siluman itu muncul, sampai mata saya bengkak-bengkak karena seminggu tidak pernah tidur! Maka saya lalu mencari akal. Dan dalam hal mencari akal, Jeng-ci Sin-touw adalah gudangnya, lihiap! Saya lalu mengambil keputusan untuk memancing siluman itu keluar, yaitu dengan melakukan pencurian di rumah seorang hartawan. Dengan pencurian itu, tentu siluman tadi akan merasa tersinggung karena bukan dia yang mencuri akan tetapi sudah pasti perbuatan itu dijatuhkan atas namanya, dan dia pula yang dituduh melakukan pencurian lagi. Biasanya, hal ini akan membikin marah orangnya dan dia pasti akan muncul untuk mencari saingannya itu. Siapa kira, bukan dia yang muncul, melainkan lihiap yang menyangka saya siluman itu, sebaliknya, saya menyangka lihiap siluman itu pula kalau saja saya tidak cepat mengenal wajah lihiap yang terhormat.” Dia menjura dengan dalam sehingga kembali hati Giok Keng merasa geli. Mulai dia percaya akan cerita ini, akan tetapi dia masih ragu-ragu dan memandang wajah tua itu dengan tajam. “Hemm... ceritamu amat menarik, terlalu menarik sehingga aku mana bisa percaya begitu saja? Bagaimana kalau kau membohong?” Tiba-tiba maling tua itu membusungkan dadanya, kelihatan penasaran. “Lihiap, di dunia ini hanya ada seorang saja Jeng-ci Sin-touw dan saya tidak sembarangan saja membohong! Terhadap pendekar-pendekar sakti seperti lihiap, bagaimana saya berani membohong? Kalau saya orang pembohong rendah, mana mungkin seorang pendekar wanita seperti Yap-lihiap mau bersahabat dengan saya? Ahhh, sungguh kasihan sekali... sungguh menyedihkan sekali, mendengar sahabat baik itu mengalami bencana namun saya tidak mampu berbuat apa-apa untuk menolongnya.” Giok Keng makin tertarik. “Apa maksudmu? Apakah terjadi sesuatu dengan Yap In Hong?”   Can Pouw mengerutkan alisnya. “Mengingat bahwa lihiap pernah bentrok dengan dia, agaknya lihiap akan girang mendengar berita ini, akan tetapi sungguh mati saya berduka sekali, lihiap. Baru beberapa hari ini saya datang dari kota raja dan mendengar bahwa Yap-lihiap telah diculik oleh guru-guru dari Raja Sabutai, dibawa ke utara di luar tembok besar. Nah, bukankah itu menyedihkan sekali? Apa yang dapat dilakukan seorang macam saya menghadapi penculik-penculik keji itu?” Kakek itu menghela napas panjang, dengan sungguh-sungguh dan bukan pura-pura. Giok Keng juga terkejut sekali, akan tetapi diapun merasa bahwa dia tidak dapat berbuat sesuatu, apalagi dia kini sedang menyelidiki lenyapnya Yap Mei Lan yang dianggapnya jauh lebih penting daripada urusan In Hong. “Can Pouw, aku masih belum percaya benar akan ceritamu tentang siluman itu.” “Kalau begitu, mari kita bersama menyelidiki dan menangkapnya, lihiap! Akan saya buktikan bahwa saya bukanlah siluman penculik perawan, melainkan seorang maling terhormat!” “Hemmm, bagaimana caranya? Kalau kau membohong, tentu engkau akan lari bersama uang curianmu itu!” dengan pedangnya Giok Keng menuding ke arah bungkusan berat yang oleh maling itu diletakkan ke atas tanah. “Biarlah saya tidak akan meninggalkan lihiap, agar lihiap dapat mencegah saya melarikan diri. Dan besok malam, mulai kita menyelidiki. Siluman itu pasti keluar setelah mendengar ada orang menyainginya dan mencuri sejumlah uang yang banyak sekali.” Can Pouw menepuk-nepuk kantong itu dan terdengar suara berkerincingnya uang emas di dalamnya. “Baik, kalau begitu kau ikut dengan aku ke rumah penginapan.” Can Pouw menurut dan pergilah mereka berdua ke rumah pengingapan di mana Giok Keng menyewa kamar. Mereka memasuki kamar melalui jendela dan tidak ada orang lain yang mengetahui. Setelah tiba di kamar, Giok Keng lalu menotok roboh maling itu dan melemparkan tubuhnya di atas dipan kecil di sudut kamar, kemudian diapun rebah di atas pembaringan, menutupkan kelambunya dan tidur! Can Pouw mengomel panjang pendek, akan tetapi dia tidak mampu bergerak dan akhirnya diapun memejamkan mata dan tidur, atau pura-pura tidur. Pada keesokan harinya, Giok Keng membebaskan totokannya. Kemudian mereka keluar untuk mencari keterangan tentang perbuatan Can Pouw semalam dan legalah hati mereka karena berita tentang pencurian itu sudah tersebar luas dan seperti yang mereka harapkan, tentu saja yang dituduh adalah “siluman” itu. Setelah melihat sikap Can Pouw, Giok Keng mulai percaya kepada maling tua ini, maka, dia lalu mengajak Can Pouw kembali ke penginapan di mana dia menyewa lagi sebuah kamar di samping kamarnya sendiri untuk Can Pouw. Kemudian, malam itu mereka berdua meninggalkan kamar masing-masing dengan melalui jalan jendela dan melompat ke atas genteng, mulai dengan penyelidikan mereka. Seperti malam yang lalu cuaca remang-remang karena di langit hanya diterangi oleh sinar redup bintang-bintang. Mereka melakukan penyelidikan dengan hati-hati dan dengan diam-diam, dan dalam penyelidikan ini, Giok Keng menurut saja kepada Can Pouw yang dianggapnya lebih pengalaman dalam hal mencari jejak maling! Dengan hati kesal Giok Keng mendapat kenyataan bahwa sampai tengah malam, tidak ada bayangan orang lain di atas genteng-genteng rumah di kota Heng-tung kecuali bayangan mereka berdua. Mulailah dia melirik ke arah Can Pouw karena timbul pula kecurigaannya bahwa jangan-jangan dia dipermainkan oleh Can Pouw yang sesungguhnya adalah sang siluman itu sendiri! “Aku akan pancing dia!” pikir Giok Keng den mulailah pendekar wanita ini menjauhi Can Pouw, sikapnya seolah-olah menyelidik ke sana-sini, akan tetapi sesungguhnya tidak pernah dia melepaskan bayangan maling tua itu dari sudut matanya. Akan tetapi, Can Pouw malah cepat mengikuti dan mendekatinya dan terdengar Can Pouw berkata, “Lihiap, mari kita menanti di gedung hartawan Gui di sebelah barat. Selain kaya raya, dia juga kabarnya mempunyai seorang anak gadis yang cantik.” “Giok Keng mengangguk dan mereka lalu menuju ke gedung besar itu, dan kembali Giok Keng sengaja menjauh untuk dapat mengawasi gerak-gerik Can Pouw lebih baik den memberinya kesempatan untuk “melakukan sesuatu”. Dan saat yang dinanti-nantinya itu tiba! Mendadak dia mendenggr maling itu mengeluh den tubuhnya roboh bergulingan di atas genteng rumah gedung itu. Nah, si maling tua sudah mulai memperlihatkan dirinya, pikirnya. Akan tetapi betapa kagetnya ketika dia mendengar Can Pouw berteriak. “Tolong, lihiap...!” dan Giok Keng melihat bayangan hitam yang menggunakan sebatang pedang sedang menyerang Can Pouw yang menghindarkan diri dengan terus bergulingan di atas genteng! Giok Keng cepat mencabut Gin-hwa-kiam dan meloncat ke arah bayangan hitam itu, sambil meloncat dia terus menikam dengan geraken cepat bukan main karena pendekar wanita itu telah menggunakan Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut ciptaan ayahnya. “Ehhh...?” Bayangan hitam itu terkejut ketika ada angin dahsyat menyambar dan melihat sinar perak berkilat menikam dadanya. Dia cepat menarik kembali pedangnya yang dipakai menyerang Can Pouw, lalu menangkis keras. “Tranggg...!” Orang itu terhuyung dan pedang Giok Keng terus menghujankan serangan kilat. “Ahhh...!” Orang itu kembali berseru dan cepat meloncat ke belakang. Gerakannya cepat akan tetapi gerakan Giok Keng lebih cepat lagi sehingga dia sudah menyusul dan menyerang lagi.   “Cring-trang-triinggg...!” Kembali orang itu terhuyung-huyung. Orang itu kuat sekali, akan tetapi menghadapi serangan-serangan kilat itu agaknya dia terkejut dan agak jerih. “Siluman, hendak lari ke mana kau?” Giok Keng membentak dan cepat mengejar ketika dia melihat bayangan hitam yang ternyata memakai topeng hitam dan hanya kelihatan dua matanya di balik dua lubang itu melarikan diri. Can Pouw merayap bangun, mukanya pucat dan dadanya bergelombang. Hampir saja dia mampus, pikirnya. Cepat dia bangkit, mencari-cari sepatunya yang copot sebelah ketika dia menghindarkan bacokan-bacokan pedang siluman itu tadi sambil bergulingan, dengan kedua tangan menggigil mengenakan lagi sepatunya, mencari topinya yang juga terjatuh, memakai topi lalu ikut pula mengejar, akan tetapi dia sudah kehilangan bayangan siluman dan Giok Keng yang mengejarnya. Dia menjadi bingung, mencari ke sana-sini tidak berhasil. Dengan hati cemas dia lalu kembali ke hotel dan menanti di dalam kamarnya dengan hati kebat-kebit. Ke manakah perginya Giok Keng? Ketika siluman itu lari dengan kecepatan tinggi pendekar wanita inipun menggunakan gin-kangnya melakukan pengejaran terus. Lawanpya itu agaknya sudah hafal akan keadaan di atas rumah-rumah penduduk sehingga dapat bergerak lebih leluasa dan akhirnya, ketika bayangan itu berkelebat meloncat ke atas wuwungan sebuah kuil besar yang letaknya berada di sudut kota, bayangan siluman itu lenyap. Tentu saja Giok Keng merasa penasaran dan diapun meloncat ke atas wuwungan itu dan terus memasuki halaman kuil. Akan tetapi baru saja dia meloncat turun, terdengar teriakan. “Tangkap siluman!” dan muncullah beberapa orang hwesio yang memegang toya dan pedang mengepung dan mengeroyoknya! “Aku bukan siluman, aku malah mengejar dan mencarinya!” Giok Keng membentak sambil memutar pedangnya menangkis hujan senjata yang menimpa ke arah dirinya. “Omitohud, wanita pembohong!” tiba-tiba terdengar suara hwesio membentak dan hwesio ini masih memakai pakaian hitam-hitam, akan tetapi kedoknya sudah dilepas sehingga nampak kepalanya yang gundul. “Dia dan seorang kawannya laki-laki adalah siluman-siluman yang mengacau dan maling-maling yang selama ini mengeruhkan kota Heng-tung!” Giok Keng tidak diberi kesempatan untuk membela diri kecuali dengan pedangnya. Tiba-tiba hwesio yang bertubuh tinggi besar, yang ilmu pedangnya amat kuat dan agaknya menjadi pimpinan dari para hwesio lainnya, membentak keras dan begitu tangan kirinya bergerak, dia mengebutkan saputangan merah dan nampaklah debu kemerahan mengepul dan menyerbu ke arah Giok Keng. Pada saat itu, Giok Keng sedang sibuk menangkisi semua senjata dan tentu saja dia tidak mau melukai para hwesio yang agaknya salah mengira dialah sebetulnya maling yang dicari-cari. Dia melihat bubuk debu halus kemerahan itu dan terkejut bukan main. Akan tetapi melihat bahwa para pengepungnya juga tidak menghindar, maka dia menahan napas dan menangkis terus. Akan tetapi celakanya debu itu agaknya tebal dan amat halus, sampai lama tidak juga lenyap dan ketika satu kali saja dia menarik napas, dia mencium bau harum dan kepalanya menjadi pening. Dalam keadaan pening itu, gerakannya menjadi kacau dan tiba-tiba pundaknva kena ditotok maka robohlah pendekar wanita ini dalam keadaan setengah pingsan. Ketika Giok Keng sadar, dia mendapatkan dirinya telah berada di dalam sebuah kamar yang besar, terbelenggu kaki tangannya dan terlentang di atas sebuah pembaringan. Di dalam kamar itu duduk tiga orang hwesio dan bau di kamar itupun harum dengan dupa wangi. Giok Keng membuka matanya dan memandang ke arah hwesio yang duduk dekat pembaringan. Seorang hwesio tinggi besar yang usianya tentu hampir enam puluh tahun, tersenyum dengan pandang matanya yang tajam penuh selidik. Di belakang hwesio tinggi besar ini duduk dua orang hwesio lain, usianya juga rata-rata lima puluh tahun, yang seorang wajahnya penuh bekas penyakit cacar (bopeng) dan yang seorang lagi mukanya hitam seperti pantat kuali. “Omitohud... seorang wanita yang masih muda dan cantik, pula berkepandaian tinggi, ternyata telah menjadi siluman keji... semoga Sang Buddha mengampuni dosa-dosamu...!” Hwesio tinggi besar itu berkata sambil merangkapkan kedua tangan di depan dadanya. “Losuhu, kalian salah sangka. Aku bukanlah siluman itu, akan tetapi aku bersama temanku itu bahkan menyelidiki siluman yang mengacau kota Heng-tung.” Giok Keng berkata. “Harap losuhu suka membebaskan aku.” Hwesio tinggi besar itu tertawa, juga dua orang hwesio lainnya tertawa. “Sudah sejak manusia mengenal istilah mencuri, tidak ada pencuri yang mau mengakui perbuatannya. Daripada engkau dipaksa dengan siksaan oleh yang berwajib untuk mengakui perbuatanmu, lebih baik engkau mengaku kepada pinceng di mana kausembunyikan harta dari hartawan Ciong yang kaucuri malam kemarin.” “Losuhu, memang benar temanku yang melakukan pencurian malam kemarin, akan tetapi dia melakukan hal itu hanya untuk memancing keluarnya siluman yang selama ini mengganggu kota ini. Aku sungguh bukan maling, losuhu.” “Hemm, siapa dapat menjamin bahwa bukan engkau maling atau siluman itu?” Sepasang mata yang besar itu memandang tajam penuh selidik dan Giok Keng merasa ngeri. Sepasang mata itu besar dan amat berpengaruh, juga menakutkan. “Losuhu, kalau kau tidak percaya kepadaku sebaiknya engkau tahu siapa aku sebenarnya. Nama keluargaku merupakan jaminan. Aku bernama Cia Giok Keng, puteri dari ketua Cin-ling-pai...” “Ohhhhh...!” Hwesio tinggi besar itu, juga dua orang hwesio lainnya, serentak bangkit dan mengeluarkan seruan kaget. Mata mereka terbelalak memandang kepada Giok Keng, dan mulut mereka terbuka, sampai beberapa lama mereka tidak mampu mengeluarkan kata-kata. Akhirnya, hwesio tinggi besar itu duduk lagi, mukanya menjadi merah dan dia berdehem beberapa kali untuk menenangkan jantungnya yang tadi berdebar keras sepasang matanya masih melotot dan memandang tajam penuh selidik ke arah muka yang cantik dan gagah itu.   “Omitohud...!” Akhirnya dia menarik napas panjang. “Sungguh berani sekali engkau penjahat wanita mengaku sebagai puteri ketua Cin-ling-pai!” “Aku tidak bohong, losuhu!” Giok Keng berkata marah. “Siapa dapat menjamin kebenaran kata-katamu? Akan tetapi untuk menguji apakah benar engkau puteri ketua Cin-ling-pai, pinceng ingin mendengar apakah engkau kenal dengen nama Thian Hwa Cinjin?” “Ah, pendeta terkutuk itu?” Giok Keng cepat menjawab untuk meyakinkan hati hwesio ini bahwa dia benar puteri ketut Cin-ling-pai. “Tentu saja aku tahu. Thian Hwa Cinjin adalah ketua Pek-lian-kauw di wilayah timur, dahulu bertempat di muara Sungai Huai, di pantai Laut Kuning, seorang kakek yang tinggi jangkung dengan jenggot panjang, orangnya pesolek!” “Hemm, banyak orang tahu akan ketua Pek-lian-kauw itu, akan tetapi pengetahuanmu tentang dia belum meyakinan pinceng bahwa engkau benar puteri ketua Cin-ling-pai...” “Losuhu, aku yang telah membunuh pendeta keparat itu! Tanganku yang menganter nyawanya ke neraka!” Giok Keng berkata penuh semangat. Memang pengakuannya ini benar. Dalam cerita “Petualang Asmara” dituturkan betapa kakek yang lihai, Thian Hwa Cinjin ketua Pek-lian-kauw wilayah timur itu tewas di tangan pendekar wanita ini! Hal itu terjadi sudah belasan tahun yang lalu ketika Cia Giok Keng masih seorang gadis perkasa yang keras hati. Mata hwesio tinggi besar itu terbelalak dan sejenak dia dan dua orang temannya itu diam saja, memandang kepada Giok Keng dengan sinar mata penuh perhatian. Giok Keng menanti, tidak tahu apa yang terpikir oleh tiga orang hwesio tua itu. Kalau saja dia tahu, tentu pendekar wanita ini akan terkejut setengah mati. Siapakah hwesio tinggi besar ini? Dia ini bukan lain adalah Kim Hwa Cinjin, seorang tosu Pek-lian-kauw dan seorang tokoh karena dia ini adalah ketua Pek-lian-kauw wilayah selatan! Juga dua orang “hwesio” bermuka bopeng dan hitam di belakangnya itu adalah dua orang sutenya. Tokoh-tokoh Pek-lian-kauw pula! Bersama belasan orang anak buahnya, Kim Hwa Cinjin hendak meluaskan pengaruh Pek-lian-kauw ke pedalaman dan tibalah mereka di kota Heng-tung itu. Seperti biasa, anak buah Pek-lian-kauw yang tadinya adalah orang-orang dari golongan hitam ini melakukan pekerjaan mereka dengan diam-diam dan rahasia. Untuk itu, Kim Hwa Cinjin lalu menyergap para hwesio di Kuil Ban-hok-tong di sudut kota itu, dan menggantikan pekerjaan para hwesio dengan anak buahnya yang sudah terlatih. Tentu saja mereka semua menggunduli kepala dan kepada para tamu mereka memberitahukan bahwa mereka adalah hwesio-hwesto pangganti yang dikirim dari kuil pusat karena hwesio-hwesio lama sedang digembleng di kuil pusat! Dan bersama dengan datangnya rombongan Pek-lian-kauw ini di kota Heng-tung, mulailah kota itu diganggu “siluman”. Tentu saja siluman itu bukan lain adalah orang Pek-lian-kauw yang dipimpin oleh Kim Hwa Cinjin yang lihai. Dan gadis-gadis itu diculik untuk “makanan” mereka yang sudah biasa mengumbar nafsu rendah mereka dengan jalan kekerasan, sedangkan harta-harta curian mereka pergunakan untuk memperluas kekuatan Pek-lian-kauw. Dengan menyamar sebagai hwesio-hwesio Ban-hok-tong, tentu saja kawanan Pek-lian-kauw ini dapat beroperasi dengan aman, kerena siapakah yang akan menduga bahwa hwesio-hwesio itu adalah orang-orang jahat? Pula, gadis-gadis yang diculik dan harta itu disimpan di dalam kamar-kamar kuil yang besar itu tanpa ada yang berani menggeledahnya, bahkan tidak ada yang menduganya sama sekali. Ketika Kim Hwa Cinjin yang merobohkan Giok Keng dengan debu racun pembius merah itu melihat Giok Keng, berahinya sudah timbul dan berkobar. Dia sudah bosan dengan gadis-gadis culikan, wanita-wanita yang masih amat muda dan lemah, wanita-wanita yang baginya masih mentah dan hanya menangis den minta ampun. Kini, melihat seorang wenita seperti Giok Keng, yang “matang” bentuk badannya, yang selain cantik jailta juga mengandung kegagahan, yang memiliki sin-kang kuat den ilmu silat tinggi, dia sudah mengilar dan tentu saja dia sengaja menangkap hidup-hidup wanita ini untuk menjadi kekasihnya yang tentu akan menyenangkan dan memuaskan hatinya yang selalu dilanda kehausan nafsu itu. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia mendengar bahwa wanita menggairahkan yang kini terbelenggu dan terlentang didepannya, yang tinggal menunggu dia turun tangan mempermainkannya, ternyata adalah Cia Giok Keng, pembunuh dari rekannya, Thian Hwa Cinjin. Wanita ini adalah puteri ketua Cin-ling-pai dan teringat akan nama Cin-ling-pai, bulu tengkuknya sudah meremang dan perasaan gentar mengusir jauh-jauh semua nafsu berahinya! Bergidik mengenangkan betapa dia tadi ingin memperkosa dan mempermainkan wanita ini. Untung dia lebih dulu menyelidikinya, karena kalau sudah terlanjur dia memperkosa puteri ketua Cin-ling-pai, ngeri dia membayangkan akibatnya! Akan tetapi dia tidak akan membebaskan wanita ini begitu saja! Tentu saja tidak! Dia harus membalaskan kematian rekannya, Thian Hwa Cinjin dan biarpun dia tidak akan memperkosa atau membunuh wanita ini, akan tetapi ada jalan lain yang lebih bagus, bahkan amat bagus, untuk menghancurkan nama wanita musuh Pek-lian-kauw ini dan sekaligus mencemarkan nama Cin-ling-pai. Dia akan menyerahkan wanita ini kepada yang berwajib sebagai “siluman” yang selama ini mengacau Heng-tung! Akhirnya Kim Hwa Cinjin dapat menguasai hatinya yang terguncang dan dia berkata, “Omitohud... agaknya benar keteranganmu. Akan tetapi, sebelum ada bukti-bukti yang nyata, harap maafkan bahwa kami belum dapat membebaskanmu begitu saja, toanio. Kami harus dapat melihat bukti dan saksi, yaitu harta dari hartawan Ciong dan temanmu itu, untuk melihat apakah bukan dia siluman yang menculik wanita-wanita.” “Dia adalah seorang maling tunggal yang terhormat. Dia adalah Jeng-ci Sin-touw Can Pouw dari Tai-goan yang juga datang untuk menyelidiki siluman yang mengacau Hek-tung. Dialah yang menggunakan akal mencuri harta itu untuk memancing munculnya siluman dan sekarang dia menanti di rumah penginapan, dan harta itu masih berada di sana karena memang akan kami kembalikan kalau siluman itu sudah tertangkap.” “Baik, kami akan membuktikan keteranganmu itu. Sute, kalian pergilah ke rumah penginapan itu dan lihat apa benar harta itu disembunyikan di sana. Kalau benar, bawa harta itu ke sini, dan juga Jeng-ci Sin-touw!” “Baik, suheng,” jawab hwesio muka bopeng dan mereka berdua lalu pergi mtninggalkan kamar itu. “Toanio tentu maklum bahwa dalam keadaan seperti sekarang ini, pinceng belum berani membebaskan toanio. Tunggu kalau semua bukti dan saksi sudah lengkap, tentu kami akan membebaskan toanio atau minta kepada pejabat untuk memutuskan persoalan ini. Harap toanio maafkan pinceng.” kata Kim Hwa Cinjin dengan sikap sopan dan alim, kemudian dia melangkah keluar meninggalkan Giok Keng terbelenggu di atas pembaringan. Beberapa orang hwesio nampak menjaga di luar kamar itu dan Giok Keng terpaksa menggigit bibir dengan gemas. Akan tetapi, dia tidak dapat menyalahkan hwesio-hwesio ini yang tentu saja bersikap hati-hati. Dia makin marah dan penasaran kepada “siluman” itu yang seperti mempermainkan mereka semua dan diam-diam dia berjanji akan membasmi siluman itu dan tidak akan pergi meninggalkan Heng-tung sebelum berhasil menangkap atau membunuh siluman itu!   Baru satu kali itu selama hidupnya Jeng-ci Sin-touw Can Pouw kehabisan akal dan bingung tak tahu apa yang harus dilakukan! Biasanya dia adalah seorang yang cerdik dan tidak kekurangan akal. Akan tetapi sekarang, malam itu, dia kelihatan termenung di dalam kamarnya, berulang-ulang menggaruk kepalanya yang awut-awutan. Topi yang biasanya tak pernah meninggalkan kepala itu sekarang menggeletak di atas meja, di dekat bungkusan uang emas yang dicurinya dari gedung hartawan Ciong malam kemarin. “Sialan!” gerutunya dan dia membuka kantung itu, melihat uang emas yang berkilauan. “Uang sialan!” Dia menonjok ke arah kantung itu. Dia telah mengatur akal, dan memang siluman itu telah keluar, akan tetapi sekarang siluman itu hilang lagi, bahkan pendekar wanita puteri ketua Cin-ling-pai juga hilang bersamanya! Celaka, pikirnya. Bagalmana kalau sampai pendekar wanita itu tertimpa malapetaka? Siluman belum tertangkap, malah pendekar wanita itu celaka. Dan ke mana dia harus mencari siluman itu dan pendekar wanita itu? Mencari siluman itu saja sudah susah payah sampai kini belum berhasil, kini ditambah lagi harus menyelidiki lenyapnya puteri ketua Cin-ling-pai. “Uang sialan! Siluman sialan!” dia berkata agak keras dan kembali menonjok ke arah kartung uang. “Hemm, kiranya di sini kau sembunyi!” Tiba-tiba jendela itu terbuka dari luar dan seorang laki-laki tampan berpakaian sederhana meloncat masuk dengan sikap tenang sekali. Melihat seorang laki-laki yang tak dikenalnya masuk melalui jendela, tentu saja Can Pouw terkejut setengah mati dan dia segera menduga bahwa inilah silumannya! Maka, tanpa banyak cakap lagi dia lalu menerjang maju menggunakan gin-kangnya yang lumayan sehingga gerakannya cepat sekali dan dia sudah menerkam seperti seekor harimau kelaparan yang menubruk seekor kelinci. Akan tetapi sang kelinci ternyata bukan kelinci sembarangan, karena entah bagaimana si Jari Seribu tidak mengerti, tahu-tahu dia merasakan kaki dan tangannya lumpuh dan dia sudah terbanting jatuh ke atas lantai! Laki-laki itu memandang ke arah uang emas yang nampak di dalam karung terbuka, lalu menoleh kepada Can Pouw. Can Pouw sudah bergerak meloncat, akan tetapi tiba-tiba tengkuknya dicengkeram oleh tangan yang amat kuat dan terdengar laki-laki itu menghardik, “Manusia busuk! Jadi engkaukah silumannya di kota ini? Hayo katakan di mana kausembunyikan gadis-gadis itu dan harta-harta yang lain!” “Sialan...!” Can Pouw memaki gemas. “Siluman sial dangkalan!” Siapa tidak menjadi gemas? Dia malah disangka siluman itu! “Eh, apa maksudmu?” Laki-laki itu menghardik. “Hayo jekas mengaku, siluman keji!” “Bagaimana saya harus mengaku kalau bukan saya silumannya?” dia balas bertanya penuh kemendongkolan. “Hemm, sudah tertangkap basah masih mencoba untuk menyangkal! Bukankah uang emas di meja itu hasil curianmu?” “Memang, akan tetapi hal itu kulakukan untuk memancing keluarnya siluman yang aseli! Sudahlah, siapapun adanya engkau, yang tadinya kusangka adalah si siluman yang aseli, kalau tidak percaya kepada Jeng-ci Sin-touw Can Pouw, kau boleh bertanya kepada puteri ketua Cin-ling-pai! Nah, kalau kepada puteri ketua Cin-ling-pai kau masih juga tidak percaya, agaknya memang engkau inilah silumannya!” Orang itu kelihatan terkejut bukan main. “Apa? Siapa? Puteri ketua Cin-ling-pai? Apa maksudmu? Di mana dia?” Tubuh Can Pouw terguncang ke kanan kiri sehingga dia merasa seolah-olah semua tulangnya rontok. “Eh-eehhhh... bagaimana aku bisa menjawab hujan pertanyaan itu kalau aku kaugoncang-goncang seperti ini?” “Brukk!” Tubuh Can Pouw dilempar ke atas kursi dan laki-laki itu berkata, “Cepat kauceritakan yang sebenarnya dan mengapa kau membawa-bawa nama puteri ketua Cin-ling-pai?” Can Pouw meraba-raba tengkuknya yang masih terasa nyeri, lalu memandang kepada laki-laki itu dengan mata agak dipicingkan. Memang matanya sudah agak lamur selama beberapa bulan ini sehingga kalau hendak melihat sejelasnya, perlu agak dipicingkan. Dia melihat bahwa laki-laki itu berusia kurang dari empat puluh tahun, kelihatan masih muda, berwajah tampan, bersikap tenang dan berpakaian sederhana, akan tetapi ada sinar duka di kedua matanya yang luar biasa tajamnya itu. Can Pouw adalah seorang kang-ouw yang berpengalaman, maka melihat keadaan laki-laki ini, dia mengerti bahwa dia berhadapan dengan orang pandai, dengan seorang pendekar, karena tidak mungkin laki-laki seperti ini menjadi jai-hoa-cat. Akan tetapi dia mendongkol karena kembali dia disangka siluman. “Hemm, kalau awak lagi sial!” dia menggerutu. “Dua kali berturut-turut aku disangka jai-hoa-cat, disangka siluman! Pertama oleh puteri ketua Cin-ling-pai, kedua oleh kau!” “Lekas ceritakan apa yang terjadi, jangan banyak rewel!” “Baik, dengarkanlah, orang gagah. Kemarin malam aku yang sudah sepekan menyelidiki adanya siluman itu tanpa hasil, mengambil keputusan untuk memancing keluarnya siluman itu dengan mencuri harta milik hartawan Ciong. Celakanya, perbuatanku itu ketahuan oleh Cia Giok Keng lihiap, puteri ketua Cin-ling-pai dan hampir saja aku mampus di tangannya. Untung aku sempat memberi tahu dan kemudian malam ini kami bardua menanti akan hasil rencanaku itu yang disetujui pula oleh Cia-lihiap. Dan siluman itu memang muncul. Aku dihajar sampai hampir celaka, untung ditolong oleh Cia-lihiap yang kemudian mengejar siluman itu. Akan tetapi mereka itu lenyap, entah ke mana dan selagi aku termenung bingung menanti di sini bersama harta curian yang digunakan sebagai pancingan ini, engkau datang-datang menyangka aku siluman lagi!” “Ah, ke mana perginya Cia-lihiap...?” Laki-laki itu bertanya dengan nada suara khawatir. “Bagaimana saya tahu?” Can Pouw lalu menceritakan sejelasnya tentang pertemuannya dengan Giok Keng dan tentang peristiwa tadi.   “Sudah kuceritakan bahwa aku hampir tewas di tangan siluman itu, dan untung Cia-lihiap menolongku. Mereka bertanding ramai dan siluman itu lalu melarikan diri, dikejar oleh Cia-lihiap. Mereka lenyap ditelan kegelapan malam, dan karena aku tahu bahwa siluman itu lihai sekali dan aku tidak dapat mencari, terpaksa aku kembali ke sini dan menanti kembalinya Cia... ehhh, apa ini?” Can Pouw terkejut karena tiba-tiba laki-laki itu meniup padam lilin di atas meja, kemudian bagaikan seekor burung rajawali menerkam tikus, dia sudah menyambar tubuh Can Pouw dan dibawanya meloncat keluar dari jendela, lalu mendekam tak jauh dari situ. “Ssstt, ada orang datang...!” bisik laki-laki itu kepada Can Pouw. Mereka menanti dan jantung Can Pouw bordebar tegang. Belum pernah dia mengalami hal seperti ini di mana dia menjadi orang yang sama sekali tidak berdaya dan lemah! Tak lama kemudian, kelihatan berkelebat bayangan dua orang yang kepalanya gundul. Hwesio! Mereka itu memiliki gerakan lincah sekali, meloncat memasuki kamar dan tak lama kemudian, mereka terdengar berbisik-bisik di dalam kamar, lalu dua bayangan itu berkelebat keluar lagi terus melayang ke atas genteng. Can Pouw hanya merasa ada angin menyambar di belakangnya, dan ketika dia menoleh, ternyata laki-laki yang tadi menangkapnya telah lenyap pula. Can Pouw membanting-banting kakinya. “Sialan! Tentu dia tadi siluman dan dua orang tedi teman-temannya! Celaka, harta itu mereka bawa pula! Akan tetapi dia segera berpikir bahwa tidak mungkin siluman itu si laki-laki sederhana tadi. Kalau benar demikian, dengan kepandaiannya yang tinggi, apa sukarnya untuk membawa pergi harta itu dan membunuhnya? Tidak, tentu tidak ada hubungannya antara laki-laki gagah tadi dengan dua orang hwesio yang membawa pergi harta. Hwesio? Hanya ada satu kuil di Heng-tung. Kuil Ban-hok-tong! Can Pouw adalah seorang yang cerdik. Begitu melihat bahwa dua orang yang mengambil harta itu adalah hwesio-hwesio, maka segera timbul dugaan keras di hatinya bahwa tentu ada apa-apa di Kuil Ban-hok-tong, ada hubungan antara para hwesio di sana dengan siluman yang menghebohkan Heng-tung itu. Maka dia tidak ragu-ragu lagi cepat diapun meloncat ke atas genteng dan menggunakan kepandaiannya, cepat-cepat dia menuju ke Kuil Ban-hok-tong! Siapakah laki-laki gagah perkasa berpakaian sederhana yang terkejut mendengar nama Cia Giok Keng tadi? Dia itu bukan lain adalah Yap Kun Liong! Seperti telah diceritakan di bagian depan cerita ini, setelah berpisah dari pertemuannya dengan Cia Giok Keng, Kun Liong juga pergi hendak mencari putera Giok Keng yang lenyap diculik penjahat, yaitu Lie Seng. Akan tetapi, dia lebih mementingkan penyelidikannya tentang Lima Bayangan Dewa sampai akhirnya dia dapat membongkar semua rahasia setelah dia bertemu dengan Yo Bi Kiok pembunuh isterinya, berhasil merobohkan Bi Kiok dan di tempat Raja Sabutai itupun dia telah bertemu dengan In Hong dan mendengar bahwa Lie Seng ternyata telah ditolong Oleh ayah mertuanya, yaitu Kok Beng Lama. Setelah kembali dari utara, Kun Liong lalu pulang ke Leng-kok untuk menengok kuburan isterinya. Di Leng-kok inilah dia mendengar tentang siluman yang mengacau di Heng-tung, kota yang tidak jauh letaknya dari Leng-kok, maka dengan hati penasaran pendeker ini lalu menyelidikinya dan kebetulan dia melihat gerak-gerik Can Pouw yang mencurigakan melam itu ketika Can Pouw dengan jalan tidak semestinya memasuki kamar hotelnya dari atas genteng! Kini Kun Liong dengan perasaan terheran-heran mengikuti dua orang hwesio yang mengambil karung berisi uang emas dari kamar Can Pouw itu. Dua orang hwesio itu memasuki Kuil Ban-hok-tong dan dengan menggunakan kepandaiannya yang tinggi, Kun Liong dapat terus membayangi mereka dan ketika mereka berdua memasuki kamar besar itu, Kun Liong sudah mengintai dari atas dengan menggantungkan kedua kakinya di tiang melintang. Alangkah kaget dan juga girangnya ketika dia melihat Cia Giok Keng rebah terbelenggu di atas pembaringan dan dua orang hwesio itu memasuki kamar sambil membawa karung berisi uang emas. “Suheng, inilah karung uang emas yang dicuri itu, ditinggalkan di sebuah kamar kosong di penginapan itu. Kami tidak melihat adanya Jeng-ci Sin-touw, maka kami hanya dapat mombawa karung ini saja.” “Nah, losuhu. Bukankah benar semua penjelasanku?” terdengar Giok Keng berkata. “Nanti dulu, toanio. Benar ada karung emas ini, akan tetapi Jeng-ci Sin-touw belum ditangkap. Siapa tahu kalau-kalau dialah silumannya dan engkau hanya ditipu saja! Betapapun juga, sudah menjadi kewajiban kami untuk melaporkan semua ini kepada yang berwajib. Kami masih ragu-ragu karena bagaimana kami dapat tahu bahwa benar-benar toanio adalah puteri ketua Cin-ling-pai, bukan satu di antara siluman-siluman yang selama ini mengacau kota ini?” “Losuhu keliru! Dia benar puteri ketua Cin-ling-pai!” Tiba-tiba terdengar suara orang dan tahu-tahu ada bayangan berkelebat dan scorang laki-laki berdiri di dalam kamar itu. Tentu saja Kim Hwa Cinjin dan dua orang sutenya terkejut setengah mati! Bagaimana mereka bertiga yang merupakan orang-orang berkepandaian tinggi, merupakan tokoh-tokoh ternama dari Pek-lian-kauw wilayah selatan, sampai tidak melihat ada orang memasuki kamar di mana mereka berada, dan orang itu bahkan agaknya sudah lama mengintai, buktinya dapat menyambung percakapan mereka! “Yap-suheng...!” “Cia-sumoi, tenanglah,” kata Kun Liong. Mendengar sebutan itu, Kim Hwa Cinjin terkejut. Sutenya yang bermuka bopeng sudah mengeluarkan teriakan keras dan berbondong datanglah belasan orang hwesio mengepung kamar itu. Akan tetapi Kim Hwa Cinjin yang sudah mendengar akan nama seorang pendekar sakti she Yap, yaitu Yap Kun Liong, cepat mengangkat tangan ke atas sebagai isyarat agar anak buahnya jangan bertindak sembrono. Kemudian dengan tangan tetap terangkap di dada dia berkata, “Omitohud... banyak orang pandai kami temui malam ini! Agaknya persoalan siluman di Heng-tung menarik datangnya pendekar-pendekar sakti. Siapakah sicu dan apa maksud kedatangan sicu di sini?” Kun Liong cepat menjura, lalu berkata dengan sikap hormat. “Saya bernama Yap Kun Liong, tinggal di Leng-kok. Mendengar akan adanya siluman mengganas, saya menyelidiki den tadi saya melihat dua orang losuhu ini membawa karung emes ke sini, maka saya lancang membayangi mereka dan melihat bahwa sumoi Cia Giok Keng ditawan di sini, maka saya cepat menjelaskan. Losuhu salah tangkap dan harap suka membebaskan sumoi. Dia itu benar puteri ketua Cin-ling-pai dan tidaklah mungkin kalau dia yang menjadi silumannya!”   “Omitohud... pinceng benar-benar menjadi bingung,” Kim Hwa Cinjin berkata. “Sumoi dari sicu ini, Cia-toanio, juga mengaku sebagai penyelidik, akan tetapi kemarin malam hartawan Ciong kemalingan dan ternyata emas itu berada pada Cia-toanio yang katanya memang dicuri oleh temannya untuk memancing keluar siluman. Ah, Yap-sicu, tentu sicu mengerti kedudukan kami sehingga terpaksa kami menangkap Cia-toanio yang mencurigakan perbuatannya itu. Akan tetapi, setelah sicu muncul, ada saksi bahwa dia benar puteri ketua Cin-ling-pal, maka tidak ada perlunya lagi kami menahannya. Sute, lepaskan belenggu itu!” “Biarkan saya yang melepaskannya!” kata Kun Liong sambil menghampiri pembaringan. Jari-jari tangannya meraba dan belenggu itu putus semua, kemudian dia membebaskan totokan pada tubuh Giok Keng. Giok Keng bangkit berdiri, mengurut kaki tangannya untuk melancarkan darah. “Maaf, toanio,” Kim Hwa Cinjin menjura. “Kami hanya menjalankan kewajiban kami, dan betapapun juga, kami harap toanio suka pergi kepada pembesar setempat dengan Yap-sicu dan melaporkan semua peristiwa agar kami tidak terlibat dalam kesukaran. Dan untuk menyatakan maaf kami, harap ji-wi sudi menerima suguhan teh harum dari kami. Sute, lekas ambilkan teh untuk menghilangkan rasa tidak enak dan kekagetan Cia-toanio.” Si muka bopeng mengangguk dan keluar dari kamar. Akan tetapi, segera terdengar suaranya dari kamar belakang, “Heiii! Siapa yang mencuri cawan-cawan teh? Tadi masih di sini, kenapa sekarang lenyap semua?” Tiba-tiba banyak benda menyambar dari luar kamar memasuki kamar itu, menyambar ke arah Kim Hwa Cinjin dan teman-temannya. Tentu saja mereka sibuk menghindarkan diri, menangkis dan mengelak. “Cia-lihiap, awas, mereka itu bukanlah hwesio-hwesio Ban-hok-tong! Mereka adalah tosu-tosu Pek-lian-kau!” Terdengar suara teriakan keras dan muncullah Can Pouw bersama seorang hwesio tua yang dikenal oleh Kun Liong sebagai Kai Sek Hwesio, ketua Ban-hok-tong! Bagaimana Can Pouw bisa muncul dan membongkar rahasia kawanan Pek-lian-kauw itu? Seperti telah kita ketahui Can Pouw merasa curiga melibat bahwa yang mengambil karung uang emas itu adalah dua orang hwesio, maka dengan cepat dia pergi memasuki Kuil Ban-hok-tong. Kebetulan sekali, ketika dia tiba di situ, semua anak buah Pek-lian-kauw telah berkumpul mengurung kamar besar atas isyarat sute dari Kim Hwa Cinjin untuk menghadapi Kun Liong. Karena kuil itu sepi dan ditinggalkan, enak saja maling yang berpengalaman ini untuk menyelinap masuk. Dia terus pergi ke belakang dan mendengar isak tangis tertahan. Cepat dia mengintai dan di dalam beberapa buah kamar dia melihat beberapa orang gadis cantik yang tidak berpakaian sama sekali berada di atas pembaringan atau duduk di atas kursi sambil menangis, tangis yang ditahan-tahan karena mereka itu kelihatannya takut sekali! Can Pouw tidak berani masuk melihat gadis-gadis cantik itu telanjang bulat, maka dia terus menyelidiki ke belakang dan akhirnya di dalam sebuah kamar gudang dia melihat hwesio-hwesio aseli dari Ban-hok-tong dibelenggu menjadi satu dan disumbat mulut mereka! Can Pouw cepat membebaskan belenggu Kai Sek Hwesio, kemudian bersama dengan ketua itu yang telah menceritakan semua perbuatan tosu-tosu Pek-lian-kauw yang menyergap mereka dan menguasai kuil, dia cepet pergi ke kamar yang terkurung dan membikin ribut, dengan mencuri cawan-cawan dan menggunakannya sebagai senjata-senjata rahasia. Tentu saja Kim Hwa Cinjin dan anak buahnya terkejut bukan main. Melihat bahwa rahasia mereka telah terbuka, Kim Hwa Cinjin memberi isyarat dan semua hwesio palsu itu mencabut senjata dan menyerbu, menyerang Kun Liong, Giok Keng, dan Can Pouw dengan ganas karena tiga orang ini harus cepat dibunuh! Akan tetapi orang-orang Pek-lian-kauw itu menemui batunya sekarang! Kun Liong dan terutama sekali Giok Keng mengamuk dengan hebat karena mereka marah sekali melihat bahwa hwesio-hwesio itu ternyata adalah penjahat-penjahat Pek-lian-kauw yang menyamar, juga Can Pouw mengamuk dan dikeroyok oleh dua orang hwesio, sedangkan hwesio-hwesio penyamaran orang-orang Pek-lian-kauw yang lain membantu Kim Hwa Cinjin dan dua orang sutenya mengeroyok Kun Liong dan Giok Keng. Pertempuran hebat di dalam dan di luar kamar itu hanya ramai suaranya saja, akan tetapi pertempuran itu sendiri sama sekali tidak seimbang. Belasan orang yang dipimpin oleh Kim Hwa Cinjin dan dua orang sutenya itu sama sekali bukanlah lawan yang seimbang dengan Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng. Memang harus diakui bahwa kepandaian tiga orang pemimpin itu, terutama Kim Hwa Cinjin, cukup tinggi. Akan tetapi berhadapan dengan Yap Kun Liong, mereka itu mati kutu dan bukan apa-apa. Karena itu, pertempuran itu lebih tepat disebut penghancuran orang-orang Pek-lian-kauw yang dilakukan oleh dua orang pendekar itu yang menghajar mereka. Bahkan, Can Pouw yang dikeroyok oleh dua orang anak buah Pek-lian-kauw itu juga memperlihatkan keunggulannya! Ketika Can Pouw sedang dikeroyok dan dia menggunakan kegesitannya untuk mengelak ke sana-sini, tangannya seperti dua ekor ular dengan jari-jarinya yang panjang bergerak-gerak, tiba-tiba dia membentak, “Lihat ini!” Dan dia sudah memainkan sehelai kalung emas bermata mutiara yang digantungkan di antara jari-jari tangannya. “Hem, itu punyaku!” teriak seorang di antara dua orang pengereyoknya yang bermata juling. Kiranya kalung itu adalah satu di antara barang-barang berharga yang dia sembunyikan dari kumpulan barang-barang curian mereka dan entah bagaimana telah dicopet oleh si pencopet Jari Seribu dari saku sebelah dalam bajunya! “Nah, ambillah!” kata Can Pouw, akan tetapi ketika si mata juling itu mengulurkan tangan hendak mengambil kalung itu, tiba-tiba kaki Can Pouw bergerak dari bawah menendang.   “Dessss...! Auwww...!” Si juling terkejut dan berteriak, lalu berloncatan dengan kaki kiri sambil memegang kaki kanan dengan kedua tangannya karena tulang kering kaki kanannya kena digajul (ditendang dengan ujung sepatu) oleh Can Pouw secara licik. Mata itu makin menjuling menahan rasa nyeri yang menyusup ke tulang sumsum. “Heh-heh, dan ini punya siapa?” Kembali Can Pouw memperlihatkan sebuah hiasan rambut berupa burung terbuat dari emas dan mutiara, yang dicopetnya dari saku baju pengeroyok kedua yang hidungnya besar. Hidung itu kembang kempis ketika orangnya mengenal barangnya. “Si copet busuk! Kembalikan barangku!” hardiknya. “Boleh, mari ambillah!” Can Pouw mengulurkan benda itu di atas telapak tangannya. Akan tetapi orang ini tidak mau diakali, dia mengambil benda itu sambil memperhatikan kaki Can Pouw. “Plokkk! Aduhhh...!” Kiranya Can Pouw bukannya menggunakan kakinya, melainkan menggunakan hiasan rambut yang terbuat dari emas dan runcing keras itu untuk menghantam hidung yang besar itu. Tentu saja hidung itu menjadi remuk dan darah mengucur deras. Sambil tertawa, Can Pouw lalu menghujankan pukulan dan tendangan kepada dua orang pengeroyoknya sampai mereka jatuh bangun dan roboh pingsan. Akan tetapi ketika itu, pertempuran telah selesai. Semua anak buah Pek-lian-kauw roboh, ada yang tewas dan ada pula yang pingsan, akan tetapi Kim Hwa Cinjin dan dua orang sutenya berhasil meloloskan diri dengan menggunakan selampe merah yang mengeluarkan debu merah beracun. Semua hwesio Ban-hok-tong lalu dibebaskan dari belenggu dan tujuh orang gadis cantik yang menjadi korban kebiadaban orang-orang Pek-lian-kauw itu diberi pakaian. Dengan girang Gjok Keng dapat menemukan kembali pedang dan setelah mewakilkan kepada Can Pouw untuk menyelesaikan urusan itu dengan pembesar setempat, Kun Liong dan Giok Keng cepat meninggalkan kuil itu di waktu itu juga, yaitu lewat tengah malam menjelang pagi! Can Pouw dengan sikap dan lagak sebagai seorang pahlawan, mengumpulkan gadis-gadis dan semua harta curian, menerima kedatangan pembesar yang telah dilapori dan datang untuk mengadakan pemeriksaan. Can Pouw dihujani pujian, baik dari para hwesio dan dari para pembesar maupun dari semua penghuni kota Heng-tung. Berkat jasanya yang beser, di kemudian hari Can Pouw menjadi seorang tokoh di Heng-tung, hidup sebagai seorang warga terhormat, dihadiahi banyak harta oleh kaum hartawan yang mendapatkan kembali harta mereka, diberi kedudukan sebagai penasihat oleh kepala daerah, bahkan dijadikan pelindung oleh Kuil Ban-hok-tong. Dia memperoleh sebuah rumah dan hidup dengan makmur dan terhormat. Tentu saja dia membuang julukannya yang lama, tidak lagi Jeng-ci Sin-touw atau Maling Sakti Jari Seribu, melainkan Jeng-cl Ho-han (Orang Gagah Jari Seribu). Jari-jarinya yang seribu kini bukan digunakan untuk mencopet, melainkan untuk menolong orang! Demikianlah anggapan orang banyak, dan termasuk anggapannya sendiri. Sementara itu, Kun Liong dan Giok Keng sudah berjalan cepat meninggalkan kota Heng-tung dan setelah tiba di luar kota yang sunyi, di waktu pagi yang berkabut, dengan warna-warni biru merah keemasan indah di langit timur, mereka berhenti dan berdiri berhadapan. Sampai lama keduanya hanya berdiri saling pandang, kemudian terdengar ucapan Giok Keng, “Terima kasih, suheng. Untuk kesekian kalinya, engkau menyelamatkan aku.” “Ah, tidak perlu disebut lagi hal itu, sumoi. Aku mempunyai berita yang jauh lebih menyenangkan bagimu.” “Lie Seng?” Giok Keng bertanya penuh gairah dan sinar matanya penuh harapan. Kun Liong mengangguk. “Bagaimana dengan dia, suheng? Dan di mana dia?” “Dia selamat, diselamatkan oleh... ayah mertuaku...” “Kok Beng Lama...?” Giok Keng bertanya dengan mata terbuka lebar. Kun Liong mengangguk lalu menceritakan apa yang didengarnya dari In Hong tentang Lie Seng yang terluka oleh pasir beracun Siang-tok-swa dan diobati oleh In Hong sendiri dan diapun mengatakan bahwa racun yang jahat itu telah berhasil dikeluarkan dan bahwa Siang-tok-swa adalah senjata rahasia dari Yo Bi Kiok ketua dari Giok-hong-pang. Giok Keng mendengarkan dengan jantung berdebar dan dengan perasaan bercampur aduk. Siapa mengira bahwa akhirnya, orang-orang yang tadinya dianggap memusuhinya itu malah yang menolong puteranya! Kok Beng Lama yang menyeretnya ke Cin-ling-pai dahulu karena menuduh dia membunuh puteri pendeta itu, dan Yap In Hong yang dianggap menghinanya, yang bahkan merupakan sebab yang menimbulkan keributan dan malapetaka, malah menjadi penyelamat puteranya. Teringatlah dia akan kata-kata ayahnya yang ternyata amat tepat sekarang, yaitu bahwa tidak benar kalau kita menilai orang dari perbuatan yang lalu, karena setiap saat bisa saja terjadi perubahan pada orang itu! “Jadi... kalau begitu... yang menculik puteraku, yang membunuh Hong Khi Hoatsu guru mendiang suamiku, adalah Yo Bi Kiok?” “Yang menculik puteramu memang jelas dia, akan tetapi yang membunuh Hong Khi Hoatsu tentu orang-orang Bayangan Dewa.” “Hemm, Yo Bi Kiok perempuan laknat. Aku harus mencarinya!” Giok Keng berkata geram. “Tidak perlu lagi, sumoi. Dia sudah tewas dan tahukah engkau siapa yang membunuh isteriku?” Giok Keng terkejut sekali. “Siapa? Sudah tahukah engkau, suheng?”   Kun Liong mengangguk. “Yang membunuh dia juga, Yo Bi Kiok itulah.” “Bukankah dia guru adikmu? Bagaimana ini? Aku menjadi bingung, suheng,” kata Giok Keng yang tentu saja sama sekali tidak menduga akan hal ini. Kun Liong lalu menceritakan semuanya, menceritakan tentang Yo Bi Kiok yang ternyata berhasil mewarisi pusaka dari mendiang Panglima The Hoo dan menjadi seorang sakti setelah mempelajari ilmu dari pusaka itu. Betapa secara kebetulan saja adiknya, Yap In Hong, telah ditolongnya dan menjadi murid wanita sakti itu dan diapun mengaku terus terang bahwa semua perbuatan Yo Bi Kiok itu terjadi karena dorongan rasa cemburu dan cinta kepadanya. “Apa? Karena cinta kepadamu, suheng?” Kun Liong mengangguk lesu, diam-diam dia kembali menyesali semua pengalamannya di waktu muda dahulu, sikapnya yang selalu ramah, dan memikat terhadap gadis-gadis cantik, ternyata menimbulkan banyak hal yang hebat sekarang. “Karena aku tidak dapat membalas perasaannya itu, karena aku telah menikah dengan Hong Ing, dia menjadi kecewa, benci dan dendam. Semua itu diakuinya setelah dia hampir mati.” Dia lalu menceritakan pertempuran antara dia dan Yo Bi Kiok di benteng Raja Sabutai. Mendengar cerita yang hebat itu, Giok Keng menarik napas panjang. “Ternyata bahwa cinta hanya mendatangkan kedukaan dan malapetaka belaka...” “Memang, kalau cinta itu hanya didorong mencari kesenangan untuk diri pribadi seperti cinta Yo Bi Kiok dan... dan makin menyesal hatiku mengapa perbuatan sesat yang dilakukan Bi Kiok itu sampai akibatnya menimpa keluargamu, sumoi...” “Sudahlah, sekarang sudah tidak ada ganjalan lagi. Lie Seng telah selamat, akan tetapi engkau... masih ada Mei Lan yang belum kauceritakan. Bagaimana dengan dia?” Wajah Kun Liong menjadi muram. Dia menggeleng kepala dan menarik napas panjang. “Aku belum menemukan jejaknya, sumoi.” “Aku justeru sedang menyelidikinya dari Leng-kok dari mana dia menghilang dan ketika aku mendengar tentang siluman yang menculik gadis-gadis itu, aku cepat menyelidikinya karena khawatir kalau-kalau puterimu menjadi korban. Karena menyelidiki Mei Lan maka aku berada di sini.” “Aku sendiripun baru saja pulang dan menengok kuburan isteriku ketika aku mendengar tentang siluman itu dan kebetulan dapat bertemu denganmu di sini, sumoi.” Tiba-tiba Giok Keng berkata, “Suheng, apakah engkau tidak hendak menolong adikmu?” Kun Liong terkejut dan memandang wanita cantik itu. “Apa maksudmu, sumoi? Apa yang terjadi dengan In Hong? Bukankah dia telah menjadi seorang puteri istana kaisar?” “Jadi kau belum tahu tentang penculikan itu?” “Penculikan? Apa? Siapa...?” “Akupun baru mendengar malam tadi, suheng. Dari Jeng-ci Sin-touw. Dia yang baru mendengar dari kota raja bahwa In Hong telah diculik oleh guru-guru Raja Sabutai dan dibawa keluar tembok besar...” “Ehhh...?” Kun Liong terkejut bukan main mendengar berita ini. “Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li? Berbahaya sekali! Sumoi, benarkah berita itu?” “Kurasa orang seperti Jeng-ci Sin-touw itu, biarpun maling, ternyata dapat dan boleh dipercaya, suheng.” “Kalau begitu, aku akan cepat mengejar ke utara!” “Aku akan membantumu, suheng.” “Jangan, sumoi. Mereka itu lihai bukan main dan perjalanan ke sana amat sukar...” “Suheng, apakah engkau masih meragukan perasaanku yang amat menyesal dan berdosa terhadap dirimu? Apakah engkau tega menolak kesempatan untuk memperbaiki kesalahanku ini? Andaikata engkau tidak sudi mengajak aku, tetap saja aku akan menyusul sendiri ke sana untuk menolong In Hong.” Kun Liong menarik napas panjang. Sejenak mereka berdiri saling pandang dan kembali di dalam lubuk hatinya, Kun Liong merasa yakin bahwa hanya wanita inilah yang akan mampu mengisi bekas tempat Hong Ing di dalam hatinya. Dia menghela napas panjang dan mengangguk, berkata lirih, “Baiklah, sumoi. Mari kita pergi.” Mereka berdua tidak bicara apa-apa lagi melainkan mengerahkan seluruh kekuatan mereka untuk berlari cepat dan melakukan perjalanan ke utara. *** Biarpun pengalaman mereka bertemu dengan dua orang kakek tadi amat mengejutkan hati akan tetapi tidak membuat dua orang pemuda itu menjadi takut. Setelah berhasil melewati Padang Bangkai dengan selamat, Tio Sun dan Kwi Beng melanjutkan perjalanan mereka ke Lembah Naga menurut petunjuk yang mereka dapat dari Si Kwi. Mereka tentu saja maklum bshwa memasuki Lembeh Naga sama artinya dengan memasuki guha naga siluman yang berbahaya dan dengan mengandalkan kepandaian mereka saja mereka tentu tidak akan mampu menandingi tokoh-tokoh tempat itu. Akan tetapi mereka bertekad untuk mencari In Hong sampai dapat, dan mereka mengharapkan dapat bertemu dengan In Hong dan Bun Houw agar mereka dapat menyampaikan rahasia kelemahan dua orang kakek den nenek iblis seperti yang mereka ketahui dari Ratu Khamila. Akan tetapi, dua orang pemuda ini sama sekali tidak tahu bahwa semenjak memasuki Lembah Naga, mereka telah diawasi den semua gerak-gerik mereka telah ketahuan oleh fihak musuh! Oleh karena itu terkejutlah mereka ketika mereka melewati dua buah batu besar yang seolah-olah merupakan pintu gerbang, tiba-tiba saja dari balik batu-batu besar itu muncul Bouw Thaisu, Hek I Siankouw, Ang-bin Ciu-kwi, Coa-tok Sian-li dan belasan orang tinggi besar anak buah Lembah Naga!   Melihat munculnya banyak tokoh ini, Kwi Beng yang berdarah panas dan tidak mengenal takut sudah meraba sisa pisau terbangnya, akan tetapi Tio Sun yang melihat gerakan itu cepat memegang lengannya. Tio Sun memang lebih berhati-hati dan waspada dalam setiap perbuatannya. Melihat bahwa orang-orang yang mengurung mereka, terutama empat orang tua yang berdiri menghadang itu jelas memperlihatkan bahwa mereka adalah tokoh-tokoh yang tentu memiliki kepandaian tinggi, Tio Sun lalu menjura dan pura-pura bertanya, “Kami mohon maaf kalau mengganggu cu-wi sekalian. Kami hendak bertanya di manakah letaknya Lembah Naga?” “Huah-ha-ha!” Ang-bin Ciu-kwi tertawa dan menenggak araknya, matanya yang merah itu mengincar dua orang pemuda itu dari balik guci araknya. “Sudah berada di depan mulut naga masih bertanya-tanya. Ha-ha-ha! Thaisu, apakah aku boleh menangkap dua ekor kelinci ini untukmu?” setelah berkata demikian, tiba-tiba Ang-bin Ciu-kwi menyemburkan arak dari mulutnya ke arah Tio Sun dan Kwi Beng. Tio Sun cepat menyampok dengan lengan bajunya sehingga arak yang menyambarnya tertangkis dan membuyar, akan tetapi Kwi Beng yang menganggap ringan semburan arak itu menghindar dan masih kecipratan arak lehernya, terasa panas dan sakit seperti jarum. Hal ini membuat dia marah dan sekali, tangan kirinya bergerak, nampak sinar kilat berkelebat dan sebatang pisau terbang menyambar ke arah leher Ang-bin Ciu-kwi. “Tranggg!” Pisau itu tertangkis guci dan menancap di atas tanah. Ang-bin Ciu-kwi menggereng, akan tetapi Bouw Thaisu cepat berkata, “Ciu-kwi, tahan dulu, jangan engkau menurutkan nafsumu, kita belum tahu siapa yang datang!” Ang-bin Ciu-kwi mendengar dan kembali minum arak dari gucinya, sedangkan Coa-tok Sian-li sudah berdiri bengong memandang kepada Kwi Beng karena wanita cabul ini sudah terbangkit nafsu berahinya ketika dia melihat seorang pemuda yang bermata kebiruan dan berambut kuning keemasan itu! “Orang muda, kalian siapakah dan apa maksud kalian datang ke Lembah Naga?” Bouw Thaisu bertanya dengan sikapnya yang memang halus. Tio Sun melangkah maju dan menjawab. Dia maklum bahwa menghadapi orang-orang pandai ini, biarpun mereka itu agaknya merupakan sekutu fihak lawan, tidak ada gunanya lagi untuk membohong dan sebaiknya bersikap gagah dan terang-terangan. “Saya bernama Tio Sun, dan sahabatku ini adalah Souw Kwi Beng. Kami berdua sengaja datang ke Lembah Naga, untuk mencari keterangan tentang nona Yap In Hong yang kabarnya dibawa oleh Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li ke Lembah Naga.” “Hemm, sungguh kalian ini orang-orang muda yang bernyali besar!” Bouw Thaisu berseru kagum juga. “Apakah kalian ini utusan kaisar?” “Bukan, akan tetapi kami adalah sahabat nona Yap In Hong. Dan biarpun kami bukan langsung menjadi utusan kaisar, namun saya adalah putera dari Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan bekas pengawal kepercayaan mendiang Panglima Besar The Hoo, dan sahabat saya ini bahkan masih terhitung cucu murid dari mendiang Panglima The Hoo. Oleh karena itu...” Tiba-tiba terdengar suara tertawa nyaring disusul suara seorang kakek, “Bagus sekali! Thaisu, Siankouw, tangkaplah mereka hidup-hidup! Mereka adalah keturunan musuh-musuh kami!” Tio Sun dan Kwi Beng terkejut karena biarpun mereka mendengar jelas suara kakek itu, namun mereka tidak melihat orangnya. Tio Sun maklum bahwa tentu kakek itu seorang sakti yang mengirim suara dari jauh dan agaknya juga memiliki pendengaran sakti sehingga mampu mendengarkan percakapan itu dari jauh pula. Akan tetapi dia dan Kwi Beng tidak mempunyai kesempatan untuk banyak menduga lagi karena begitu mendengar suara itu, Bouw Thaisu telah menerjang Tio Sun sedangkan Hek I Siankouw telah menyerang Kwi Beng. Dua orang muda ini memang sudah siap menghadapi segala bahaya, maka begitu melihat kakek dan nenek itu bergerak menyerang, mereka cepat mengelak dan menandingi mereka. “Dukkk!” Tio Sun terhuyung mundur sampai tiga langkah ketika lengannya beradu dengan lengan kakek tua itu yang terlindung lengan baju. Dia terkejut sekali. Tadi, karena sudah menduga bahwa penyerangnya itu tentu seorang kakek yang berilmu tinggi, pemuda ini telah mengerahkan tenaga Ban-kin-kang sekuatnya untuk menangkis. Akan tetapi ternyata ujung lengan baju kakek itu mengandung tenaga yang bukan main kuatnya sehingga dia tergetar dan terhuyung. Karena maklum bahwa lawannya ini seorang yang berilmu tinggi, Tio Sun tidak ragu-ragu lagi untuk mengeluarkan sepasang senjatanya yang ampuh, yaitu sebatang pedang di tangan kanan dan sebatang pecut yang sebenarnya adalah sabuknya sendiri di tangan kiri. Dengan sepasang senjata ini di tangan, dia menerjang maju, disambut oleh Bouw Thaisu dengan tenang dan kakek ini seperti biasa hanya mengandalkan kedua lengan bajunya sebagai senjata yang amat berbahaya. Sementara itu, Kwi Beng yang dihadapi oleh Hek I Siankouw, dalam belasan jurus saja sudah terdesak hebat. Selisih tingkat kepandaian mereka jauh sekali sehingga biarpun Kwi Beng mengamuk, mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaiannya, namun belum sampai dua puluh jurus saja, pedangnya terampas dan dia roboh tertotok. Setelah merobohkan Kwi Beng yang segera diringkus oleh Ang-bin Ciu-kwi, Hek I Siankouw lalu membantu Bouw Thaisu mengeroyok Tio Sun. Tentu saja pemuda ini menjadi makin repot. Melawan Bouw Thaisu seorang saja dia sudah kalah lihai dan kalau dilanjutkan akhirnya dia tentu akan roboh, dan kini maju lagi Hek I Siankouw yang juga lebih lihai daripada dia. Pemuda perkasa ini melawan mati-matian, namun akhirnya, pedang hitam di tangan Hek I Siankouw membuat pedang di tangan Tio Sun terlepas, cambuknya dapat ditangkap oleh Bouw Thaisu dan sebuah tendangan yang secepat kilat dari Hek I Siankouw mengenai lututnya dan membuat dia roboh. Seperti juga Kwi Beng, Tio Sun ditubruk oleh banyak anak buah Lembah Naga dan diringkus. Tubuh dua orang pemuda yang sudah diringkus kaki tangannya itu diseret ke dalam sebuah rumah besar dan dihadapkan kepada Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li yang memandang dengan mulut menyeringai girang. Dengan kasar, para anak buah Lembah Naga memaksa Tio Sun dan Kwi BW duduk di atas lantai menghadapi kakek dan nenek yang duduk di atas kursi itu. “Benarkah engkau putera Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan pengawal kepercayaan The Hoo?” Pek-hiat Mo-ko bertanya kepada Tio Sun. Pemuda ini mengangguk. “Hemm, kenapa tidak ayahmu sendiri yang datang untuk menghadapi kami? Kenapa mengutus seorang pemuda yang masih hijau seperti engkau?” tanya pula Pek-hiat Mo-ko. Tio Sun memandang dengan sikap tenang. “Pek-hiat Mo-ko, ayahku tidak tahu-menahu akan kedatanganku ke sini. Aku datang bersama sahabatku atas kehendak sendiri untuk menentangmu dan menuntut agar engkau membebaskan nona Yap In Hong.” “Ha-ha-ha, nyalimu besar sekali. Engkau sudah tahu siapa aku?” “Tentu saja aku tahu. Ketika engkau bersama Hek-hiat Mo-li bertempur dengan ketua Cin-ling-pai, aku melihat kalian.”   Tiba-tiba Hek-hiat Mo-li yang sejak tadi memandang kepada Kwi Beng, menghardik kepada pemuda itu. “Kau bukan orang Han! Engkau orang asing dari barat! Bagaimana engkau berani mengaku tadi bahwa engkau cucu murid The Hoo?” Kwi Beng balas memandang dengan mata melotot, “Nenek gila! Dengarlah baik-baik. Ibuku adalah pendekar wanita Souw Li Hwa, murid dari mendiang Panglima The Hoo, sedangkan ayah adalah seorang Portugis. Aku datang untuk menuntut kepada kalian agar membebaskan nona Yap In Hong!” “Heh-heh-heh-hi-hik!” Hek-hiat Mo-li tertawa terkekeh dan mata kananya bersinar-sinar aneh. “Bawa mereka ke lapangan dan ikat di kayu tonggak agar menjadi makanan burung nazar, heh-heh-heh!” “Benar! Bawa mereka kcluar. Terserah nasib mereka. Kalau nasib baik, tentu orang-orang yang lebih penting datang untuk menolong mereka dan menghadapi kita, kalau nasib buruk, biar mereka dicabik-cabik burung-burung nazar!” kata Pek-hiat Mo-ko dan para anak buah Lembah Naga lalu menyeret Tio Sun dan Kwi Beng keluar dari tempat itu, dibawa ke lapangan dan mereka segera sibuk membuat tonggak kayu salib dan mengikat mereka berdua di tonggak kayu itu. Kemudian mereka meninggalkan Tio Sun dan Kwi Beng berdua di tempat itu, tertimpa panas sinar matahari tanpa terlindung apapun. Kedua orang pemuda itu berusaha untuk meronta dan melepaskan diri, akan tetapi Tio Sun segera mendapat kenyataan bahwa tidak mungkin mereka dapat lolos. Melihat betapa Kwi Beng meronta-ronta dengan beringas dan nampak darah di pergelangan tangan dan kaki pemuda itu karena kulitnya pecah-pecah ketika dia meronta-ronta dengan kuat, Tio Sun berkata, “Tenanglah, Beng-te. Tali untuk mengikat kaki tangan kita ini adalah tali kulit kerbau yang kuat sekali dan tidak mungkin dapat kita patahkan begitu saja. Tidak baik membuang-buang tenaga dan tidak baik kalau sampai darah kita keluar karena hal itu akan menarik perhatian burung-buruhg di sana-sini.” Kwi Beng mengikuti pandang mata Tio Sun dan dia melihat beberapa ekor burung yang besar bertengger di atas sebatang pohon dan ada beberapa ekor lagi yang beterbangan di sekitar tempat itu. Itulah burung-burung nazar, burung-burung pemakan bangkai yang liar dan buas! Wajah Kwi Beng menjadi pucat karena dia merasa ngeri. Melihat ini, Tio Sun bertanya, hatinya penuh iba. “Engkau takut, Beng-te?” Kwi Beng memandang kepadanya, lalu mengangguk. “Tidak aneh, akupun merasa ngeri melihat burung-burung itu. Akan tetapi janggan khawatir, burung-burung yang kelihatan menyeramkan itu sebetulnya adalah binatang-binatang yang penakut dan mereka tidak akan menyerang sesuatu yang hidup. Hanya kalau kita sudah mati saja mereka berani menyerang. Dan kurasa kita tidak akan mudah mati begitu saja. Pula, orang-orang seperti kita, mana takut mati? Hanya sayangnya, kita belum menyampaikan rahasia mereka itu kepada Cia-taihiap atau nona Yap.” Kwi Beng kelihatan termenung, tidak lagi memperdulikan burung-burung itu. “Ah, bagaimana dengan dia? Jangan-jangan dia telah mereka bunuh...” “Nona Yap? Kiranya tidak mungkin. Kalau mereka itu hendak membunuh nona Yap In Hong, perlu apa mereka susah payah menculik dan membawanya ke tempat sejauh ini. Tentu ada maksudnya, dan kurasa kakek dan nenek gila itu tentu menangkap dan menculiknya untuk dipakai sebagai umpan untuk memancing datangnya orang-orang yang dianggapnya sebagai musuh, seperti Cia-locianpwe ketua Cin-ling-pai dan lain-lain.” Mereka kini tidak bercakap-cakap lagi dan terik matahari mulai menyengati kulit tubuh mereka. Peluh mulai mengalir keluar. Akan tetapi kini Kwi Beng bersikap tenang saja. Dia merasa malu untuk memperlihatkan kelemahannya. Tidak, dia tidak akan mengeluh dan akan menghadapi kematian dengan gagah kalau perlu. Memang sudah disengaja untuk datang ke tempat berbahaya ini, untuk berusaha menolong In Hong dengan taruhan nyawa. In Hong! Dara yang telah membetot semangatnya, merampas hatinya, dara yang dicintanya, akan tetapi... bagaimana kalau gadis itu tidak membalas cinta kasihnya? Membayangkan hal ini rasanya jauh lebih menyiksa daripada keadaan jasmaninya yang terbelenggu di atas tonggak kayu dan disengati panas matahari ini. Dia melirik ke arah Tio Sun. Pemuda tinggi kurus itu memejamkan mata, seperti orang dalam samadhi. Kwi Beng merasa gelisah sekali. Membayangkan betapa gadis cantik jelita dan perkasa itu, yang dicintanya dan membuatnya tergila-gila, sama sekali tidak memperdulikan dia, apalagi membalas cintanya, membuat dia merasa tidak tenang. Akhirnya, kegelisahan hati itu tidak dapat ditahannya lebih lama lagi karena perasaan itu mendorong keluarnya keringat lebih banyak lagi. Keringat yang memenuhi dahinya dan tidak dapat dihapusnya sehingga kini keringatnya mulai mengalir turun dan ada yang memasuki matanya. Pedih rasanya. “Tio-twako...!” Tio Sun membuka matanya, menoleh dan dia mengerutkan alianya ketika melihat dua mata Kwi Beng basah. “Eh, kau menangis, Beng-te?” tanyanya kaget dan kecewa karena tak disangkanya pemuda itu demikian lemah dan cengeng. “Tidak, twako, jangan salah kira. Keringat memasuki mataku...” Tio Sun menarik napas lega dan tersenyum. “Maafkan aku, Beng-te, hampir aku lupa bahwa engkau adalah seorang pemuda yang gagah perkasa dan bersemangat pendekar sejati.” “Twako, aku menderita sekali...” Tio Sun yang tadi sudah memejamkan mata kembali, kini membukanya dan untuk kedua kalinya dia menoleh, memandang sahabatnya itu dengan penuh perhatian dan keheranan. “Aku mengerti, Beng-te, akupun menderita. Siapa yang tidak menderita dalam keadaan seperti kita ini?” “Bukan itu maksudku, twako. Belenggu dan panas ini tidak ada artinya dibandingkan dengan penderitaan yang timbul dari keraguan di hatiku.” “Maksudmu?” “Aku merasa ragu-ragu, twako, apakah nona Yap In Hong yang kurindukan dan kucinta itu dapat membalas cintaku dan keraguan inilah yang menimbulkan kegelisahanku, twako.” Tio Sun mengerutkan alisnya. Terbayanglah dia akan semua peristiwa yang dialaminya bersama pendekar muda Cia Bun Houw dan makin menebal dugaannya bahwa besar sekali kemungkinannya bahwa In Hong mencinta Bun Houw! Seperti juga Kwi Eng mencinta Bun Houw! Diam-diam dia mengeluh di dalam hati melihat persamaan nasib antara dia dan Kwi Beng. “Mudah-mudahan dia membalas cintamu, adikku. Mudah-mudahan kau tidak bernasib seperti aku...” “Eh? Kau, twako? Kau juga mencinta seorang gadis yang tidak dapat membalas cintamu, benarkah?” Tio Sun mengangguk. Kwi Beng mengingat-ingat, menatap wajah yang kini kembali telah memejamkan matanya dan tiba-tiba pemuda ini teringat. Sikap Tio Sun terhadap saudara kembarnya! Pandang mata pemuda ini kepada Kwi Eng, caranya bicara, dan dia melihat betapa Tio Sun seperti orang disambar petir dan seperti orang sakit ketika mendengar Kwi Eng telah bertunangan dengan Cia Bun Houw! Ah, mengapa dia begitu bodoh dan tidak melihat kenyataan itu?   “Twako... maafkan aku, apakah... dia... Kwi Eng?” Tio Sun merapatkan bibirnya, membuka mata dan mengangguk. “Ah, maaf, twako... sungguh kasihan kau...” Kwi Beng berkata dengan hati terharu. Akan tetapi Tio Sun telah depat menguasai keadaan batinnya kembali. Dia menoleh, memandang kepada Kwi Beng dan tersenyum. “Kuharapkan engkau tidak akan mengalami seperti aku, Beng-te. Akan tetapi andaikata begitu, andaikata nona Yap telah mencinta orang lain dan terpaksa tidak dapat membalas perasaan hatimu, engkau harus dapat melihat kenyataan, seperti aku. Cinta bukanlah berarti kesenangan bagi diri sendiri belaka! Cinta sejati menimbulkan perasaan ingin melihat orang yang dicinta itu bahagia, dan kalau kebahagiaan orang yang kita cinta itu terletak di dalam diri orang lain, bukan dalam diri kita, kalau orang yang kita cinta itu merasa bahagia kalau berada bersama orang lain, kita harus dapat melihat kenyataan ini. Cintakah itu kalau kita memaksa orang yang kita cinta itu hidup sengsara di samping kita, hanya karena kita ingin memperoleh kesenangan darinya? Tidak, Beng-te, cinta yang hanya mementingkan diri sendiri adalah picik dan curang, karena itu aku rela melihat dia memilih orang lain, demi kebahagiannya.” Kwi Beng memandang dengan mata terbelalak, kadang-kadang dikejapkan untuk mengusir air di dalam matanya, kini bukan hanya air karena keringat memasuki mata, melainkan bercampur pula dengan air mata keharuan. “Twako... kau sungguh seorang laki-laki yang jantan dan bijaksana. Kalau saja... Kwi Eng belum bertunangan dengan Cia-taihiap, aku akan merasa bangga sekali mempunyai seorang ipar seperti engkau, Tio-twako.” “Terima kasih, Beng-te.” Mereka tidak bercakap-cakap lagi sekarang. Matahari makin panas karena makin mendekati kepala mereka. Burung-burung pemakan bangkai itu kadang-kadang terbang mengelilingi udara di atas kepala mereka, seolah-olah mereka itu hendak memeriksa apakah belum tiba saatnya bagi mereka untuk menikmati hidangan daging-daging segar itu! Kemudian mereka terbang kembali ke atas pohon, hinggap di atas cabang dan ranting pohon sampai mentul-mentul menahan berat tubuh mereka dan burung-burung yang baru saja melakukan pengintaian ini mengeluarkan suara seolah-olah memberi tahu kepada kawan-kawannya bahwa saatnya belum tiba! Kwi Beng bergidik menyaksikan semua ini, yang diikuti oleh pandang matanya dan seolah-olah dia dapat mengerti maksud burung-burung itu. Tiba-tiba, pandang mata Kwi Beng tertuju ke depan. “Twako... lihat...” Dia berbisik. “Sstttt...!” Bisik Tio Sun kembali dan ternyata pendekar inipun sudah membuka matanya yang sipit, memandang ke arah dua bayangan yang bergerak cepat datang ke arah mereka, lalu bayangan itu memasuki lapangan dan lari menghampiri mereka. Kiranya mereka itu adalah dua orang anak-anak yang seorang perempuan, yang seorang lagi laki-laki. Yang perempuan sudah remaja, berusia lima belas tahun dan yang laki-laki lebih kecil, berusia tiga belas tahun. Mereka ini bukan lain adalah Mei Lan dan Lie Seng! Seperti kita ketahui, dua orang anak remaja ini diam-diam membayangi Tio Sun dan Kwi Beng dari jauh dan mereka terkejut sekali ketika melihat Tio Sun dan Kwi Beng dikepung lalu ditangkap. Mereka tidak berani memperlihatkan diri dan bersembunyi di dalam rumpun ilalang. Akhirnya mereka melihat Tio Sun dan Kwi Beng diikat di tonggak salib itu dan karena tidak tega menyaksikan mereka, akhirnya Mei Lan dan Lie Seng memberanikan hati datang dengan niat menolong mereka. Ketika mengenal dua orang bocah yang pernah mereka jumpai, bocah-bocah yang berada bersama dua orang kakek yang memiliki kesaktian hebat, timbul harapan di hati Tio Sun. Kiranya dua orang anak ini bukanlah anak Lembah Naga, dengan demikian berarti dua orang kakek itupun bukan orang Lembah Naga! Betapabun juga, yang datang hanya dua orang bocah yang tidak mungkin akan dapat melawan orang-orang Lembah Naga. Bocah-bocah ini memang lihai, akan tetapi dia sendiri sudah melihat tingkat mereka yang masih mentah. Karena itu, Tio Sun cepat berbisik kepada Mei Lan. “Nona, kau lekas tinggalkan kami... harap kaubantu kami menyelundup ke dalam... dan kaucari nona Yap In Hong dan Cia Bun Houw taihiap yang tertawan di dalam... katakan... bahwa kelemahan Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li berada di bagian lutut ke bawah. Cepat...!” Mei Lan adalah seorang anak yang cerdas sekali. Melihat sikap sungguh-sungguh dari Tio Sun, dia dapat menduga bahwa tentu pesan itu amat penting. Apalagi dia mendengar nama Yap In Hong. Itulah nama bibinya, adik dari ayahnya! Bibinya itu tertawan di sini? Dia mengangguk dan cepat pergi dari situ, lari dengan cepat sekali ke arah yang diisyaratkan oleh kepala dan pandang mata Tio Sun, yaitu ke arah perkampungan Lembah Naga. Sedangkan Lie Seng melanjutkan usahanya untuk melepaskan belenggu dari kedua lengan Kwi Beng. Namun, tidak mudah bagi pemuda cilik ini untuk melepaskan belenggu yang demikian kokoh kuatnya. Dan pada saat itu terdengar suara bentakan-bentakan dan muncullah belasan orang anak buah Lembah Naga Yang memang bertugas menjaga “umpan” itu agar jangan lolos dan juga agar kalau ada orang luar datang mereka dapat cepat melapor. “Tangkap bocah itu!” “Kejar yang perempuan! Dia lari ke dalam...!” Lie Seng yang diserbu oleh dua orang itu cepat meloncat dan menerjang mereka dengan keberanian yang mengagumkan. Seorang anak buah Lembah Naga kena dihantam mukanya dan ditendang pusarnya sehingga orang itu terjengkang dan mengaduh-aduh, akan tetapi empat orang kini sudah datang menubruk dan meringkusnya! Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li marah mendengar bahwa yang berhasil “dipancing” hanya dua orang bocah-bocah bahkan yang perempuan dapat melenyapkan diri dan belum tertangkap. Mereka mengharapkan mendapat kakap dengan umpan pancing itu, kiranya yang mereka tangkap hanya teri! “Ikat bocah itu bersama mereka di lapangan, biar dimakan burung nazar!” bentak Pek-hiat Mo-ko sebal. Karena memandang rendah kepada anak-anak, dia sampai tidak memeriksa labih jauh dan tidak tahu bahwa anak laki-laki yang kelihatan sama sekali tidak takut itu adalah cucu ketua Cin-ling-pai! Tio Sun dan Kwi Beng memandang kagum ketika melihat betapa anak laki-laki berusia tiga belas tahun itu sama sekali tidak mengeluh, sama sekali tidak kelihatan takut, ketika dengan kasaran anak buah Lembah Naga mengikat dia pada tonggak kayu ketiga di dekat mereka. Sinar mata anak laki-laki itu penuh dengan keberanian! Setelah para anak buah Lembah Naga pergi meninggalkan lapangan terbuka yang panas itu, burung-burung nazar kembali beterbangan mengelilingi mereka sambil mengeluarkan bunyi, seolah-olah bergembira melihat jatah makanan mereka bertambah dengan seorang anak yang tentu dagingnya lebih lunak lagi! Ketika ada seekor burung nazar mendekati kepala Lie Seng, anak itu membentak dan meludah. “Phuhhh! Burung keparat, kupatahkan batang lehermu nenti!” Burung itu terkejut dan Kwi Beng tersenyum. Burung itu buruk sekali, kepalanya botak, juga leher yang panjang itu sudah mulai rontok bulunya maka tentu mudah dan enak untuk memutar dan mematahkan batang leher itu.   “Eh, adik kecil. Kau tidak takut?” Lie Seng menoleh ke arah Kwi Beng, mulutnya membayangkan kekerasan dan keberanian yang wajar. “Takut? Takut apa?” “Takut kepada burung-burung itu, takut kepada kematian.” “Huh, siapa takut burung-burung setan seperti itu? Dan kematian? Apakah itu maka perlu ditakuti?” Lie Seng mengeluarkan ucapan yang sering dia dengar keluar dari mulut Kok Beng Lama, maka mendengar ini, bukan hanya Kwi Beng yang terkejut, akan tetapi juga Tio Sun memandang dengan sinar mata keheranan. “Adik kecil, siapakah namamu dan mengapa engkau dan adik perempuan tadi menolong kami?” “Aku she Lie, bernama Seng. Aku tidak sengaja menolong kalian, hanya tadi aku dan Mei Lan cici sengaja membayangi kalian karena curiga melihat sikap kalian. Melihat kalian ditangkap dan diikat di sini, kami berdua lalu berusaha membebaskan, akan tetapi sial, aku tertangkap pula.” Bocah ini memiliki watak yang berani dan keras, pikir Tio Sun. Bicaranya singkat den padat. “Apakah anak perempuan tadi kakakmu? Ataukah kakak seperguruanmu?” tanyanya. “Bukan. Akupun baru saja kenal dengan enci Mei Lan. Guru-guru kami sedang saling bertanding catur, maka kami berdua keisengan dan membayangi kalian.” “Adik Lie Seng, kami berterima kasih sekali atas usaha kalian menolong kami. Akan tetapi, ternyata engkau tertawan pula. Sungguh kami menyesal...” “Bukan salah kalian. Tak perlu disesalkan.” Tio Sun kembali tertegun. “Kau tidak menyesal? Tidak khawatir? Apakah engkau mengandalkan gurumu yang sakti untuk menyelamatkanmu?” Lie Seng menjawab singkat, “Kalau suhu tahu, tentu aku diselamatkan. Andaikata tidak tahu dan aku akan mati, apa bedanya?” Tentu saja Tio Sun den Kwi Beng terbelalak mendengar ucapan dan melihat sikap bocah itu. “Adik kecil, engkau luar biasa! Maukah engkau menceritakan, siapa orang tuamu dan engkau datang dari kcluarga mana?” Tio Sun mendesak karena dia sudah merasa amat tertarik. Lie Seng memandang kepada mereka berdua bergantian. Bukan wataknya untuk menceritakan keadaan keluarga, apalagi menyombongkan nama keluarganya. Akan tetapi dia melihat bahwa dua orang yang terikat seperti dia itu bersikap gagah, maka dia menjawab singkat. “Yang kalian sebut Cia Bun Houw taihiap tadi adalah pamanku, dialah adik ibuku.” “Ohhh...!” Seruan ini keluar dari mulut Tio Sun dan Kwi Beng hampir berbareng karena mereka sungguh tidak pernah menduga bahwa anak ini adalah keponakan dari Bun Houw atau cucu dari ketua Cin-ling-pai! *** Berbeda dengan Tio Sun dan Kwi Beng yang kebetulan bertemu dengan Si Kwi sehingga mereka berdua memperoleh petunjuk dari Si Kwi tentang jalan memasuki Lembah Naga yang amat berbahaya itu, Kun Liong dan Giok Keng tidak mengenal jalan. Oleh karena itu, tanpa mereka sadari, mereka memasuki Padang Bangkai melalui jalan liar yang amat berbahaya, penuh dengan jebakan-jebakan alam yang mengerikan! Kedua orang ini, terutama sekali Yap Kun Liong, adalah pendekar-pendekar yang berkepandaian tinggi dan telah seringkali dalam kehidupan mereka, keduanya berhasil menanggulangi berbagai macam bahaya yang menghadang di jalan kehidupan mereka. Akan tetapi, begitu mereka memasuki daerah Padang Bangkai, mereka menjadi bingung juga. Beberapa kali mereka tersesat dan tak tahu jalan sama sekali ketika mereka memasuki daerah rumpun ilalang yang merupekan padang ilalang yang seperti lautan, yang seolah-olah tidak ada batasnya dan lorong yang kecil dan merupakan jalan setapak itu membawa mereka tersesat dan berkali-kali kembeli ke lorong yang sama! “Ini tentu merupakan jalan rahasia yang menyesatkan,” akhirnya Giok Keng berkata karena sudah kehabisan kesabaran. “Suheng, lebih baik kita memotong jalan, menerobos ilalang saja!” Sambil berkata demikian, pendekar wanita itu mulai memasuki rumpun ilalang yang tingginya hampir sama dengan tubuhnya. “Ihhhh...!” Tiba-tiba dia menjerit ketika melihat seekor ular menyambarnya dari kanan. Cepat dia menggerakkan kaki dan menginjak kepala ular itu. Tubuh ular membelit-belit kaki pendekar wanita itu, akan tetapi kepalanya remuk dan belitannyapun mengendur. Kemudian terdengar suara berkeresakan gaduh dan banyak sekali ular-ular berbisa datang menyerang mereka dari empat jurusan! Giok Keng menjadi marah, pedangnya berkelebatan dan banyak ular-ular yang putus menjadi beberapa potong disambar sinar pedangnya. “Sumoi, kita pergi menjauhi tempat ini!” kata Kun Liong. Biarpun mereka tidak usah takut akan serangan ular-ular itu, namun hawa yang beracun di sekitar tempat itu dapat membahayakan juga.   Akhirnya mereka dapat juga keluar dari padang ilalang dan legalah hati mereka melihat padang rumput kehijauan yang luas membentang di depan mereka. Menyenangkan sekali melihat padang rumput yang terbuka ini setelah tadi tersesat dan berkeliaran sampai lama di antara ilalang yang tinggi sehingga pandang mata mereka terhalang. “Aihhh... indah sekali!” Giok Keng menarik napas panjang dan menyimpan pedangnya karena di tempat terbuka seperti itu tidak perlu lagi mempersiapkan pedang di tangan. “Kita dapat melakukan perjalanan cepat kalau begini,” katanya sambil melompat ke depan, ke atas tanah yang tertutup rumput hijau segar. “Clupp... aihhh...! Suheng...!” Giok Keng menjerit karena dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika kedua kakinya yang meloncat tadi mendarat di tempat yang lunak dan sekaligus tubuhnya tenggelam ke dalam lumpur yang amat lunak dan lembek. Betapapun dia sudah mengerahkan gin-kangnya, namun tetap saja kedua kakinya sudah tersedot oleh lumpur itu sehingga tubuhnya tenggelam sampai ke pinggang! “Tahan...! Jangan bergerak! Sumoi, perhatikan, jangan bergerak sedikitpun juga!” Kun Liong berteriak keras dengan wajah pucat. Dia maklum akan bahayanya tempat seperti ini dan dia tidak mau sembrono untuk meloncat mendekati wanita itu karena hal itu berarti dia akan terjeblos pula. “Pertahankan, jangan bergerak, sumoi, tunggu aku akan mengambil cabang yang panjang untuk menolongmu!” Akan tetapi dia mendengar Giok Keng menjerit dengan suara tertahan, pendekar wanita itu menggigit bibir dan matanya terbelalak seperti menahan sakit, kemudian terdengar wanita itu berseru. “Tidak perlu, suheng... lekas tolong... kausambut ini...!” tangan Giok Keng sudah bergerak menanggalkan sabuknya yang berwarna merah muda, sabuk yang selalu dilibatkan di pinggang karena benda ini merupakan senjatanya yang ampuh. Begitu dia menggerakkan tangan, sabuk itu meluncur ke depan dan ujungnya ditangkap oleh Kun Liong. “Pegang kuat-kuat, sumoi!” kata Kun Liong dan pendekar ini mulai mengerahkan tangannya untuk menarik Giok Keng keluar dari dalam lumpur maut itu. Biarpun agak susah payah dan hati-hati sekali agar sabuk merah itu tidak putus, akhirnya Giok Keng dapat ditarik keluar dari dalam lumpur dan begitu tiba di atas tanah yang keras, Giok Keng mengeluh. “Aduhhh... suheng... ada binatang-binatang menggigiti aku...!” Dia cepat menyentuh kakinya dan ketika melihat seekor lintah menempel di betisnya, wanita itu menjerit saking jijiknya dan tanpa ingat apa-apa lagi, dibantu oleh Kun Liong, Giok Keng menanggalkan pakaiannya! Dan ternyata ada beberapa ekor lintah menempel di kulit tubuh yang putih mulus namun berlepotan lumpur itu! Kun Liong membunuh lintah-lintah itu, kemudian memondong tubuh Giok Keng yang hampir pingsan saking ngeri den jijiknya, membawanya ke saluran air yang mengalir di tepi lorong dan menurunkan tubuh itu sehingga terendam air. “Ahhh, suheng...!” Giok Keng torisak, kedua lengannya masih merangkul leher Kun Liong. Sejenak mercka berada dalam keadaan seperti itu, saling rangkul dan masih tegang oleh peristiwa yang amat mengerikan itu. Dalam keadaan seperti itu, dua hati yang memang sejak dahulu saling tertarik namun tidak memperoleh kesempatan untuk bersatu, merasakan getaran aneh. Kun Liong maklum akan hal ini, maklum pula bahwa keadaan mereka yang ditinggal mati oleh teman hidup masing-masing memperkuat dorongan itu. “Sumoi...” “Suheng, aku cinta padamu, suheng... ah, baru sekarang aku merasakan hal itu...” “Sumoi, akupun cinta padamu. Akan tetapi, sumoi, kita tidak boleh... dan cinta bukan hanya hubungan antara jasmani belaka. Dapatkah kau merasakan itu, sumoi? Kita saling mencinta, dan justeru cinta kita yang menyadarkan kita bahwa hubungan jasmani antara kita akan merupakan perbuatan yang dikutuk oleh umum, yang melanggar kesusilaan, yang dianggap kotor dan rendah. Aku tidak ingin melihat engkau dianggap rendah, sumoi, dan engkaupun tentu begitu pula, kalau memang engkau cinta padaku...” “Suheng, aku cinta padamu... buken untuk itu saja... oohhh...” Tubuh itu menjadi lemas dan Giok Keng roboh pingsan. Kun Liong terkejut sekali. Cepat dia mebersihkan semua lumpur yang menempel di tubuh Giok Keng, kemudian mengangkat tubuh itu keluar dari air, merebahkannya di atas alang-alang kering dan menyelimutinya dengan baju luarnya yang dia tanggalkan. Setelah memeriksa dengan cepat, dia memperoleh kenyataan bahwa Giok Keng keracunan, sungguhpun tidak berapa hebat racun itu, namun ditambah dengan kengerian hebat tadi, agaknya membuat wanita itu roboh pingan. Kun Liong cepat meneuci pakaian Giok Keng yang berlumpur, memeras airnya dan beberapa kali dia menggerakkan pakaian itu dengan cepat sehingga pakaian itu berkibar dan sebentar saja mengering, kemudian dia mengenakan kembali pakaian itu ke tubuh Giok Keng yang masih pingsan. Dibantu oleh hawa murni yang mengalir dari telapak tangan Kun Liong, sebentar saja hawa beracun dari gigitan lintah-lintah tadi telah lenyap dan Giok Keng mengeluh, lalu membuka matanya. Dia teringat dan cepat bangkit duduk. Ketika dia melihat bahwa tubuhnya telah memakai pakaiannya, dia menoleh kepada Kun Liong dan memandang dengan penuh rasa haru dan terima kasih. Akan tetapi kedua pipinya berobah merah sekali ketika dia teringat akan keadaannya tadi.   “Syukur engkau tidak apa-apa, sumoi,” kata Kun Liong. Giok Keng menarik napas panjang, “Sungguh berbahaya... terima kasih atas pertolonganmu dan atas... atas segala-galanya yang telah kaulakukan untukku, suheng.” Kun Liong tersenyum, memegang tangan wanita itu dan menariknya berdiri sambil tersenyum dan berkata, “Masih perlukah lagi sikap sungkan-sungkan dan kata-kata tentang budi dan pertolongan di antara kita, sumoi?” Dengan saling berpegangan tangan, mereka diam tak bergerak, saling pandang dan sadar, mata mereka seolah-olah menyorot sampai ke lubuk hati masing-masing, mendatangkan perasaan hangat dan bahagia. “Mari kita lanjutkan perjalanan ini, sumoi.” “Baik, suheng. Dan kita harus berhati-hati sekali. Tempat ini ternyata amat berbahaya.” Keduanya lalu melanjutkan perjalanan sambil bergandengan. Mereka saling berpegang tangan bukan untuk menurutkan kemesraan hati, melainkan agar dapat saling menolong dengan secepat mungkin kalau ada bahaya menyerang mereka. Andaikata tadi mereka saling bergandengan ketika kaki Giok Keng terjeblos, tentu Kun Liong dapat seketika menolongnya. Berkat ilmu mereka yang tinggi dan sikap mereka yang amat hati-hati, akhirnya kedua orang pendekar ini dapat melampaui Padang Bangkai, memasuki perkampungan, menyeberangi jembatan dan melanjutkan perjalanan mereka ke daerah Lembah Naga. Kedua orang itu kini merasakan sesuatu yang amat mendalam di antara mereka, perasaan kasih sayang yang jauh lebih tinggi dan lebih murni daripada perasaan cinta yang hanya menuntut pemuasan nafsu berahi semata. Lebih mirip cinta antara sahabat yang tanpa pamrih memuaskan hasrat nafsu pribadi, bersih daripada keinginan untuk disenangkan, bahkan ingin membuat orang yang dicinta itu selalu bahagia dan gembira, perasaan yang timbul dari belas kasihan dan penyesalan atas kesalahan diri sendiri. Matahari telah condong ke barat ketika mereka tiba di daerah Lembah Naga. Tiba-tiba Giok Keng menahan seruannya den menunjuk ke depan, ke arah titik-titik hitam yang bergerak den beterbangan di atas sebatang pohon. Kun Liong juga memandang dan berkata, “Agaknya itu adalah burung-burung rajawali...” “Bukan, suheng. Burung rejawali lebih besar, seperti burung elang.” Mereka mempercepat langkah mereka menuju ke lembah di depan dan kini mereka dapat melihat dengan lebih jelas. “Ah, buKung nazar, burung pemakan bangkai!” kata Kun Liong. “Mari kita ke sana, suheng. Menurut cerita, burung seperti itu tidak akan beterbangan lagi kalau di sana terdapat bangkai. Mereka hanya beterbangan menanti kalau di bawah terdapat mahluk yang mereka harapkan akan mati tak lama lagi.” “Mari, sumoi. Tempat ini memang menyeramkan dan segala hal bisa saja terjadi!” Mereka kini menggunakan kepandaian untuk mendaki tempat itu, namun masih tetap waspada dan hati-hati sekali. Dari jauh mereka melihat tiga orang yang terikat di tonggak kayu di tengah lapangan terbuka itu. “Ah, benar saja ada orang-orang disiksa di sana dan burung-burung itu menanti mereka mati,” kata Kun Liong. Mereka cepat memasuki lapangan. Dari jauh terlihat oleh mereka dua orang laki-laki dewasa dan seorang anak laki-laki terikat di tonggak kayu salib masing-masing dalam keadaan lemah dan hampir pingsan dan sudah ada dua ekor burung nazar dengan berani hinggap di atas kayu salib di mana bocah itu terikat. Tiba-tiba terdengar Giok Keng menjerit. Wanita ini menyambar dua buah batu kerikil dan sekali tangannya bergerak, dua ekor burung nazar yang hinggap di atas kayu salib itu memekik, bergerak terbang ke atas akan tetapi tak lama kemudian jatuh ke atas tanah, berkelojotan mandi darah karena mereka telah menjadi korban sambitan batu kerikil yang dilakukan oleh Giok Keng dengan penuh kemarahan itu. “Seng-ji...!” teriak Giok Keng sambil berlari dan menahan isak tangisnya melihat bahwa anak itu bukan lain adalah puteranya! “Ibu...!” Lie Seng juga berteriak girang. “Sumoi, nanti dulu...!” Kun Liong berseru akan tetapi Giok Keng yang sudah tidak dapat menahan perasaannya melihat puteranya diikat di tonggak kayu salib itu sudah meloncat ke dalam lapangan dan lari menghampiri. Terpaksa Kun Liong juga melompat dengan cepat sekali untuk melindungi Giok Keng dan pada saat itu, dari empat penjuru menyambar anak panah yang banyak sekali ke arah tubuh Giok Keng! Wanita itu tentu saja tahu akan datangnya bahaya, dan dia sudah cepat mencabuh Gin-hwa-kiam dan memutar pedang melindungi tubuhnya. Baiknya Kun Liong sudah tiba di sampingnya dan pendekar ini juga sudah meruntuhkan banyak anak panah dengan kebutan kedua tangannya. Bermunculan banyak sekali orang mengepung mereka sehingga Giok Keng tidak sempat lagi menolong puteranya karena antara dia dan tempat di mana Lie Seng terikat sudah dihadang oleh banyak orang, Ketika Kun Liong memandang, dia melihat banyak orang banyak itu dipimpin oleh Bouw Thaisu, Hek I Siankouw, dan dua orang lain yang dikenalnya. Mereka itu adalah Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya, Coa-tok Sian-li. Anak buah Lembang Naga yang mengurung tempat itu tidak kurang dari lima puluh orang jumlahnya!   Giok Keng tidak mau membuang waktu lagi. Dia sudah menggerakkan pedang dan sabuk merahnya, menerjang mereka yang menghadangnya untuk membuka jalan darah agar dia dapat membebaskan puteranya, akan tetapi, Hek I Siankouw sudah menghadangnya dan nenek ini menyambut amukan puteri ketua Cin-ling-pai itu dengan pedang hitamnya. Kun Liong juga menerjang maju untuk melindungi Giok Keng, akan tetapi diapun disambut oleh Bouw Thaisu yang sudah menyerangnya dengan kedua ujung lengan bajunya. Karena pendekar ini maklum bahwa mereka memang telah dinanti-nanti oleh fihak musuh dan bahwa fihak musuh amat banyak dan lihai, maka begitu bergerak dia sudah menggunakan gerakan-gerakan dari ilmu mujijat yang didapatnya dari kitab Keng-lun Tai-pun sehingga dalam beberapa gebrakan saja, Bouw Thaisu yang amat tinggi kepandaiannya itu terpaksa banyak meloncat mundur dan mengeluarkan seruan kaget sekali. Kun Liong tidak perduli dan terus mendesak, kini dia menampar dengan tenaga Pek-in-ciang (Tangan Awan Putih) yang mujijat. “Plak-plak-plak!” Tiga kali mereka bertemu tangan dan Bouw Thaisu terhuyung ke belakang. “Ahhh...!” Kakek itu berseru dengan muka pucat. Jantungnya tergetar hebat ketika tangannya beradu dengan tangan pendekar itu. Akan tetapi diapun merasa penasaran sekali dan tiba-tiba dia menubruk ke depan, kedua tangannya menyerang ke arah ulu hati dan pelipis, serangan yang amat hebat dan mematikan. “Plakk!” Kun Liong mengelak ke kanan sambil menggerakkan tangan menangkis dari samping dan berbareng dia mengerahkan Ilmu Thi-khi-i-beng. “Aughhhh... lepaskan...!” Bouw Thaisu berseru keras ketika merasa betapa tenaga sin-kang dari tubuhnya membanjir keluar, tersedot melalui tangannya yang menempel pada lengan lawan. Betapapun dia berusaha menarik tangannya, tetap saja tangannya itu menempel pada lengan lawan dan tenaga murni terus membanjir keluar. “Wuuttt... pyarrr...!” Terpaksa Kun Liong melepaskan Bouw Thaisu guci arak di tangan Ang-bin Ciu-kwi mengancam kepalanya dan dari mulut guci itu menyembur keluar arak merah yang mengancam kedua matanya. Bouw Thaisu terhuyung dan mukanva agak pucat. Dengan marah kakek itu menyerang dengan ujung lengan bajunya, membantu Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li yang sudah menyerang Kun Liong, karena dia maklum bahwa pendekar ini lihai bukan main. Sementara itu, Giok Keng yang dilawan oleh Hek I Siankouw yang dibantu oleh banyak anak buah Lembah Naga, juga terdesak hebat. Namun, mengingat bahwa puteranya diikat di kayu salib dan terancam kematian yang mengerikan, pendekar wanita ini menjadi marah dan gerakannya menjadi berbahaya sekali, seperti seekor harimau betina diganggu anaknya. Juga Kun Liong, biarpun dikeroyok banyak sekali orang, karena mengkhawatirkan keselamatan Giok Keng, Lie Seng, Tio Sun dan Kwi Beng yang sudah dikenalnya, mengerahkan seluruh kepandaiannya sehingga dia mengamuk seperti seekor naga sakti. “Ayah...!” tiba-tiba sesosok bayangan yang gerakannya gesit sekali berkelebat memasuki medan pertempuran dan kepalan tangannya yang kecil merobohkan seorang anak buah Lembah Naga ketika dia meloncat ke dekat Kun Liong. “Mei Lan...!” Tentu saja Kun Liong terkejut bukan main dan juga girang bercampur khawatir melihat anaknya yang sudah lama dicari-carinya itu. Terkejut karena tidak menyangka akan bertemu dengan puterinya di tempat itu, girang mendapat kenyataan bahwa puterinya masih hidup dalam keadaan sehat dan khawatir karena dia tahu betapa bahayanya tempat itu. Mei Lan ikut mengamuk membantu ayahnya dan anak yang cerdik ini tentu saja hanya menyerang anak buah Lembah Naga, tidak berani mendekati Bouw Thaisu, Ang-bin Ciu-kwi, atau Coa-tok Sian-li. Tentu saja di dalam hatinya, Kun Liong ingin sekali membawa puterinya ke tempat sunyi untuk diajak bicara untuk melepaskan rindunya, untuk bertanya ke mana saja perginya anak itu dan apa saja yang dialaminya. Akan tetapi jangankan untuk bercakap-cakap, untuk melirik saja ke arah puterinya itu dia kekurangan waktu! Sementara itu, Giok Keng yang mendengar suara Kun Liong menyebut nama “Mei Lan”, cepat menengok dan diapun girang bukan main melihat bahwa benar-benar Mei Lan yang dicari-cari itu berada di situ. “Plakkk!” Giok Keng terhuyung dan hampir roboh kalau saja dia tidak cepat berjungkir balik dan pedangnya menyambar merobohkan anak buah Lembah Naga yang tadi menghantam punggungnya dengan ruyung itu. Wanita ini merasa punggungnya agak sakit, akan tetapi dia tidak merasakannya karena semangatnya bertambah ketika dia melihat Mei Lan! Dia harus menyelamatkan Mei Lan di samping Lie Seng pula! Kun Liong maklum bahwa kalau saja Tio Sun dan Kwi Beng dapat terbebas dari belenggu mereka, dua orang pemuda itu tentu akan dapat membantu dia dan Giok Keng menghadapi lawan yang begitu banyak. Bantuan Mei Lan saja kurang berarti, dan tanpa bantuan, dia khawatir bahwa dia dan Giok Keng akhirnya tidak akan kuat melawan lagi. Mengingat akan itu, Kun Liong mengeluarkan bentakan-bentakan keras dan serangannya yang amat hebat dengan Ilmu Pat-hong-sin-kun (Silat Sakti Delapan Penjuru Angin) membuat orang-orang selihai Bouw Thaisu sekalipun sampai meloncat mundur sedangkan Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya sampai terdorong ke belakang oleh sambaran angin pukulan-pukulan kedua tangan Kun Liong, dan sedikitnya ada empat orang anak buah Lembah Naga terlempar dan terbanting. Kesempatan ini dipergunakan oleh Kun Liong untuk meloncat ke dekat Mei Lan dan berbisik, “Lan-ji, kau cepat menyelinap dan bebaskan tiga orang itu!” Mei Lan memang cerdik. Dia mengangguk karena dia tahu apa yang dimaksudkan oleh ayahnya. Tentu tiga orang itu perlu cepat dibebaskan agar dapat membantu mereka menghadapi musuh yang demikian banyaknya. Diam-diam gadis cilik ini merasa menyesal sekali mengapa bibinya, Yap In Hong, yang baru sekali itu dilihatnya, berada dalam kamar tahanan bersama Cia Bun Houw dan keduanya seolah-olah tidak memperdulikan apa-apa lagi, melainkan “bermesraan” berdua di dalam kamar! Tentu saja gadis cilik ini tidak tahu apa artinya ketika dia berhasil sampai di tempat tahanan tadi dan mengintai, melihat betapa In Hong dan Bun Houw duduk berhadapan sambil bersila, memejamkan mata dan kedua telapak tangan mereka saling menempel dengan mesra! Maka setelah dia memanggil-manggil tanpa hasil, kemudian dia meninggalkan pesan yang harus ia sampaikan menurut apa yang dikatakan oleh Tio Sun kepadanya.   Kini Mei Lan cepat meloncat, menyelinap ke belakang ayahnya sehingga dia terlindung oleh gerakan ayahnya dan dengan cepat dia menggunakan gin-kang, lari meninggalkan gelanggang pertandingan menuju ke tempat di mana Tio Sun, Kwi Beng, dan Lie Seng terbelenggu dan terikat pada tonggak kayu salib. Dengan tergesa-gesa dia mencoba untuk melepaskan ikatan kedua tangan Kwi Beng. Makin tergesa-gesa, makin sukarlah bagi gadis cilik ini untuk melepaskan tali yang amat kuat itu. “Terima kasih, adik yang baik, terima kasih...” suara Kwi Beng ini makin menggugupkan Mei Lan. “Jangan berterima kasih dulu! Kau belum bebas!” Akhirnya Mei Lan berkata karena suara yang penuh keharuan itu benar-benar membikin dia gugup. Dia sendiri tidak mengerti mengapa dia lebih dulu menghampiri pemuda berambut keemasan ini untuk dibebaskan lebih dulu! Akan tetapi pada saat itu, terdengar bentakan-bentakan dan empat orang anak buah Lembah Naga sudah menerjang maju ketika mereka melihat usaha Mei Lan untuk membebaskan tawanan. Mei Lan terpaksa melepaskan tali pengikat kedua lengan Kwi Beng yang belum sempat dilepaskannya untuk menghadapi serangan empat orang itu. Sebatang golok menyambar ke arah kepalanya. Mei Lan cepat membuang diri ke kiri dan ketika golok itu menyambar lewat, dia mengetuk dengan tangan kanan dimiringkan ke arah pergelangan tangan pemegang golok. Orang itu mengeluh, goloknya terlepas dan cepat Mei Lan menyambar golok itu dan membacok ke arah punggung lawan. Teringat bahwa mungkin dia dapat membunuh orang itu, Mei Lan mengurangi tenaga bacokannya sehingga sasarannyapun berobah ke bawah. “Crokk! Aduhhh...!” Orang itu menjerit-jerit dan celananya basah oleh darah karena yang terbacok adalah daging tebal dari pinggulnya. “Trang-trang...!” Berturut-turut Mei Lan menangkis tombak dan pedang dari tiga orang pengeroyoknya, akan tetapi karena golok yang dirampas oleh Mei Lan adalah sebatang golok yang besar tebal dan berat sekali, maka tangkisan yang ketiga kalinya melawan pedang seorang anak buah Lembah Naga yang bertenaga kuat, goloknya terlepas dari tangannya. Dan tiga orang itu menubruk maju dengan senjata mereka! Mei Lan cepat melempar tubuhnya ke belakang, ke atas tanah dan ketika tiga orang pengeroyoknya itu menghujankan senjata mereka, gadis cilik ini bergulingan dan terus mengelak dengan cepat. Melihat ini, Kwi Beng memejamkan mata, tidak tega menyaksikan gadis cilik itu terancam bahaya maut tanpa dia mampu menolong sama sekali. Tio Sun dan Lie Seng juga memandang dengan mata terbelalak penuh kegelisahan. Tio Sun sendiri tahu bahwa gadis cilik itu kecil sekali harapannya untuk dapat terhindar dari serangan bertubi-tubi dari tiga orang kasar yang seperti harimau-harimau kelaparan dan haus darah itu. Pemegang tombak itu menjadi gemas melihat betapa gadis cilik itu selalu mampu menghindarkan diri. Dengan teriakan buas dia meloncat dan menghunjamkan tombaknya ke arah perut Mei Lan ketika gadis cilik ini bergulingan. Mei Lan maklum akan bahaya yang mengancamnya, maka tiba-tiba saja dia meloncat ke atas, membiarkan tombak itu lewat dekat perutnya dan dengan lincahnya dia lalu miringkan tubuh dan menangkap tombak itu dengan kedua tangannya, memutar tombak itu sedemikian rupa sehingga tangan pemegang tombak itu terpuntir, lalu kakinya yang kecil menendang bawah pusar. “Bocah setan!” teriak pemegang pedang yang menusukkan pedangnya, akan tetapi Mei Lan menarik tombak itu secara tiba-tiba kemudian ketika si pemegang tombak mendoyong ke depan, dia menyelinap ke belakang tubuh si pemegang tombak sehingga nyaris pedang itu mengenai si pemegang tombak sendiri. Pada saat itu, pemegang ruyung menghantamkan ruyungnya dan dengan kakinya, Mei Lan mengait belakang lutut pemegang tombak sambil melepaskan tombaknya secara tiba-tiba. “Desss!” Pundak si pemegang tombak itu menggantikannya menerima pukulan ruyung sehingga orangnya gelayaran. “Bagus! Enci Mei Lan, bagus! Lawan terus, jangan menyerah terhadap monyet-monyet itu!” Lie Seng berteriak-teriak gembira melihat sepak-terjang Mei Lan dan mendengar ini, Kwi Beng membuka matanya. Akan tetapi terpaksa dia memejamkan matanya lagi karena pada saat itu, enam orang anak buah Lembah Naga telah datang mengeroyok Mei Lan! Sekali ini keadaan Mei Lan benar-benar terancam bahaya besar. Dia terhuyung dan roboh terlentang ketika pahanya kena tendangan dan agaknya orang-orang kasar itu sambil menyeringai bermaksud menubruk dan memperebutkan gadis cilik yang cantik itu. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara melengking yang amat luar biasa dan akibatnya, enam orang kasar itu terguling roboh semua! Mereka itu roboh bukan hanya mendengar suara melengking yang amat hebat itu, melainkan karena sambaran angin yang seperti badai mengamuk. “Suhu...!” Lie Seng berteriak girang. “Suhu, lekas tolong enci Mei Lan!” Ternyata yang muncul itu adalah Kok Beng Lama! Dengan kedua lengannya yang besar, didahului oleh lengan bajunya yang lebar dan setiap digerakkan mendatangkan angin yang amat kuat, Kok Beng Lama mengamuk. Setiap kali dia menggerakkan tangan, tentu ada dua tiga orang anak buah Lembah Naga yang terpelanting, dan kakek gundul ini tertawa-tawa seperti seorang raksasa mempermainkan sekumpulan anak-anak nakal! “Kok Beng Lama, bagus engkau datang menyerahkan nyawa!” tiba-tiba terdengar bentakan keras dan muncullah Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li yang langsung saja menerjang kepada Kok Beng Lama dengan hebat. Agaknya sekali ini dua orang kakek dan nenek itu tidak hanya mengandalkan dua tangan mereka yang ampuh, melainkan langsung mereka menggunakan sebatang tongkat butut untuk menyerang Kok Beng Lama yang mereka tahu amat sakti, bahkan mereka pernah dihajar jatuh bagun oleh pendeta Lama jubah merah ini. Tongkat butut mereka adalah senjata mereka yang amat berbahaya dan begitu kedua orang kakek dan nenek ini menyerang, Kok Beng Lama hanya mengeluarkan suara ketawa satu kali karena dia harus menggerakkan kedua lengannya dengan pengerahan tenaga sepenuhnya untuk membendung banjir serangan dari dua orang kakek dan nenek yang lihai itu.   “Enci Mei Lan, lekas bebaskan aku. Aku harus membantu suhu!” Lie Seng berteriak dan sekali ini Mei Lan lari menghampiri Lie Seng dan akhirnya, karena ikatan kedua tangan Lie Seng tidak sekuat ikatan di tangan dua orang pemuda itu, dia dapat membebaskan Lie Seng. Bocah ini bersorak dan lalu menyerbu ke depan, ikut mengamuk melawan anak buah Lembah Naga! Akan tetapi, Mei Lan merasa sukar untuk dapat membebaskan Tio Sun dan Kwi Beng karena kini dari pusat Lembah Naga, agaknya mengikuti munculnya Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko, muncul pula sisa anak buah Lembah Naga yang amat banyak sehingga jumlah mereka kini ada seratus orang, dikurangi mereka yang sudah roboh oleh amukan Cia Giok Keng dan Yap Kun Liong. Mei Lan harus membela diri pula karena sudah ada beberapa orang yang mengurungnya dan menyerangnya. Pertandingan itu berlangsung hebat bukan main, terutama sekali antara Kok Beng Lama yang dikeroyok dua oleh Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li. Beberapa kali pukulan Thian-te Sin-ciang yang menjadi pukulannya paling ampuh, berhasil mengenai tubuh dua orang pengeroyoknya. Pukulan ini pula yang dulu pernah dia pergunakan untuk menghajar dua orang manusia iblis itu. Akan tetapi sekali ini, Kok Beng Lama terkejut bukan main. Setiap kali terkena tamparan Thian-te Sin-ciang, kakek atau nenek itu memang terpelanting dan bergulingan sampai jauh, akan tetapi cepat meloncat bangun kembali dan agaknya sama sekali tidak terluka! “Ha-ha-ha, Lama yang hampir mampus! Pukulanmu tidak dapat melukai kami lagi!” Pek-hiat Mo-ko berseru sambil tertawa mengejek, lalu menyerang lagi dengan hebatnya. Tentu saja Kok Beng Lama menjadi terkejut dan heran, juga penasaran. Dia mengerahkan semua tenaganya den kembali menggunakan Thian-te Sin-ciang. Dua orang kakek dan nenek itu berusaha mengelak dan beberapa kali mereka berbasil, akan tetapi akhirnya mereka terkena juga oleh pukulan sakti itu dan keduanya seperti daun kering tertiup angin, terlempar dan terguling-guling. Akan tetapi, kembali mereka bangkit sambil tertawa-tawa tanpa menderita luka sedikitpun. Kini mengertilah Kok Beng Lama bahwa dua orang lawannya itu benar-benar telah menciptakan ilmu yang amat mujijat dan tubuh mereka telah terlindung oleh kekebalan yang bahkan tidak dapat ditembus oleh tenaga Thian-te Sin-ciang. Kok Beng Lama yang melihat betapa kini mata kiri Hek-hiat Mo-li telah rusak dan buta, maklum bahwa agaknya hanya di bagian mata saja dari dua orang itu yang tidak kebal, maka dia kini selalu mengarahkan serangannya kepada mata mereka. Akan tetapi, tentu saja dua orang itu sudah melindungi mata mereka dan amat sukarlah bagi Kok Beng Lama kalau hanya menyerang ke arah mata saja sedangkan dua orang lawannya membalas dengan serangan-serangan tongkat mereka yang ampuh ke seluruh bagian tubuhnya. Dan kakek raksasa dari Tibet ini harus mengakui bahwa bagi dia, yang kebal dan berani menerima senjata pusaka lawan hanyalah kedua lengannya, sedangkan tubuh bagian lain tentu saja tidak berani menerima totokan-totokan tongkat yang amat berbahaya itu. Dengan sendirinya, karena kurang sasaran, dia mulai terdesak hebat oleh kakek dan nenek iblis itu. Juga Kun Liong dan Giok Keng terdesak hebat saking banyaknya fihak lawan yang mengeroyok. Bahkan Kun Liong sendiri yang sudah amat tinggi ilmunya, menjadi kewalahan menghadapi pengeroyokan banyak orang pandai dan pendekar ini makin khawatir menyaksikan keadaan yang berbahaya itu, apalagi setelah dia melihat bahwa di situ terdapat puterinys dan Lie Seng yang bagaimanapun juga harus dapat diselamatkan keluar dari tempat itu. Tiba-tiba terdengar sorak-sorai yang gegap gempita dan muncullah pasukan yang langsung menyerbu tempat pertempuran dan menyerang anak buah Lembah Naga. Kiranya itu adalah pasukan pengawal dari kota raja, dipimpin oleh komandan pasukan pengawal Kim-i-wi (Pasukan Pengawal Berbaju Emas), yaitu Lee Cin, dan dibantu pula oleh seorang tokoh pengawal tua yang dahulu amat terkenal, yaitu Tio Hok Gwan ayah dari Tio Sun! Tentu saja Tio Sun dan Kwi Beng girang bukan main melihat datangnya pasukan ini, apalagi Tio Sun yang juga melihat ayahnya datang membantu. Dua orang pemuda ini terharu juga ketika melihat bahwa pasukan itu mempunyai seorang penunjuk jalan yang bukan lain adalah gadis cantik yang buntung lengan kirinya sebatas pergelangan tangan, yaitu Liong Si Kwi! Memang sesungguhnya Si Kwi yang menjadi penunjuk jalan. Gadis ini bertemu dengan rombongan pasukan itu di luar Padang Bangkai dan segera dia menemui komandan pasukan itu, menceritakan tentang keadaan Lembah Naga dan tentang bahayanya melalui Padang Bangkai. Maka dia sendiri lalu menjadi penunjuk jalan sehingga semua pasukan dapat melalui Padang Bangkai dengan selamat dan tiba di Lembah Naga sewaktu di situ terjadi pertempuran hebat itu. Andaikata tidak ada penunjuk jalan ini, agaknya akan banyak perajurit yang menjadi korban keganasan tempat-tempat berbahaya di Padang Bangkai. Hek I Siankouw marah sekali melihat bahwa muridnya yang menjadi penunjuk jalan bagi pasukan pemerintah itu, akan tetapi dia tidak dapat melampiaskan kemarahannya karena kini keadaannya menjadi berubah sama sekali. Jumlah pasukan pemerintah itu seratus lima puluh orang dan mereka adalah pesukan Kim-i-wi yang yang terdiri dari perajurit-perajurit pengawal pilihan dan rata-rata memiliki kepandaian yang tinggi. Maka begitu mereka menyerbu, pasukan anak buah Lembah Naga segera terdesak hebat. Kini, dengan bantuan Si Kwi, Mei Lan berhasil membebaskan Tio Sun dan Kwi Beng, dan dua orang pemuda itu segera terjun ke dalam gelanggang pertempuran, mengamuk dengan hebatnya! Juga Mei Lan tidak tinggal diam, mendampingi Lie Seng mengamuk pula. Hanya Si Kwi yang menjauh dan tidak ikut dalam pertempuran, karena bagaimanapun juga, dia merasa sungkan kepada subonya, dan menjauhkan diri, hanya menonton dengan hati tegang. Munculnya pasukan Kim-i-wi membuat pertandingan antara tokoh-tokoh kedua fihak menjadi seimbang dan makin seru. Kun Liong yang tahu akan kelihaian Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, sudah menerjang dan membantu ayah mertuanya, Kok Beng Lama sehingga kakek dan nenek itu terpecah menjadi dua. Kun Liong melawan Hek-hiat Mo-li sedangkan Kok Beng Lama melawan Pek-hiat Mo-ko. Bouw Thaisu dihadapi oleh Giok Keng yang dibantu Kwi Beng, sedangkan Hek I Siankouw berhadapan dengan Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan yang dibantu oleh puteranya sendiri, Tio Sun. Sedangkan Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya, Coa-tok Sian-li, mengamuk dikeroyok oleh pasukan Kim-i-wi.   Perang kecil antara anak buah Lembah Naga melawan pasukan Kim-i-wi terjadi berat sebelah dan fihak anak buah Lembah Naga mulai berjatuhan. Hanya pertandingan antara para tokoh masih berlangsung seru dan ramai sekali karena keadaan mereka seimbang. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara yang halus namun amat berwibawa dan suara ini menembus semua suara hiruk pikuk pertempuran itu, seolah-olah datang dari angkasa. “Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, tahan senjata! Para cu-wi sekalian, harap mundur dan biarkan saya menyelesaikan urusan pribadi dengan mereka!” Mendengar suara yang penuh wibawa dan halus ini, Kok Beng Lama sudah meloncat mundur dan terdengar suaranya yang mengguntur, “Semua mundur, biarkan ketua Cin-ling-pai bicara dengan mereka!” Suara Pendekar Sakti Cia Keng Hong tadi ditambah dengan suara Kok Beng Lama ini cukup berpengaruh untuk membuat semua yang bertanding mundur dengan sendirinya, terbagi menjadi dua kelompok. Cia Keng Hong yang sudah berada di situ kini melangkah maju dan berkata dengan suara lantang, “Pek-hiat Mo-ko, bukankah engkau dan Hek-hiat Mo-li mengharapkan kedatanganku?” Dari fihak Lembah Naga muncul Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, membawa tongkat butut mereka dan memandang kepada pendekar sakti itu dengan sinar mata marah karena kedua orang kakek dan nenek ini memang marah sekali menyaksikan betapa fihaknya menderita banyak kerugian dalam pertempuran tadi. “Ketua Cin-ling-pai, engkau mau bicara apa?” bentak Pek-hiat Mo-ko. Cia Keng Hong dengan sekilas pandang saja sudah melihat bahwa fihaknya sebetulnya lebih kuat, apalagi di situ terdapat Kok Beng Lama dan Yap Kun Liong, juga terdapat pasukan Kim-i-wi yang kuat dan banyak jumlahnya. Akan tetapi, dia tidak ingin melihat banyak orang menjadi korban dan terlibat dalam urusan ini, maka dia lalu berkata, “Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, tadinya, mendengar bahwa kalian telah menahan Siang-bhok-kiam sebagai pusaka Cin-ling-pai, saya menganggap bahwa kalian sengaja hendak menentang dan menantang kami dari fihak Cin-ling-pai. Akan tetepi, kalian kemudian menculik Yap In Hong dari kota raja. Apakah sesungguhnya maksud hati kalian? Kalau hanya untuk urusan Siang-bhok-kiam dan kalian maksudkan untuk menantang kami, tidak perlu kita mengorbankan banyak orang, cukup hal ini diselesaikan di antara kita saja. Oleh karena itu, sebelum pertempuran berlarut-larut, saya datang dan minta agar engkau suka membebaskan Yap In Hong dan tentang Siang-bhok-kiam, mari kita perebutkan dengan adu kepandaian.” “Hemm, orang she Cia! Memang sesungguhnya kami sudah lama mengharapkan kedatanganmu! Memang kami menahan Siang-bhok-kiam untuk mencoba sampai di mana kelihaian ketua Cin-ling-pai. Akan tetapi bukan untuk itu saja! Kami menahan nona Yap untuk menentang semua pembantu mendiang The Hoo, musuh besar kami. Karena dia sudah mati, maka biarlah semua bekas pembantu dan sahabatnya mewakilinya untuk menyerahkan nyawa kepada kami!” “Mo-ko dan Mo-li!” Cia Keng Hong membentak. “Caramu amat curang! Kalau kalian menantang mendiang Panglima The Hoo, biarlah saya sekalian yang menjadi wakilnya. Kaubebaskan Yap In Hong dan mari kita selesaikan dengan kepandaian antara kita.” “Kong-kong! Dua iblis itu juga menahan paman Cia Bun Houw!” Tiba-tiba terdengar suara Lie Seng berteriak. Mendengar ini berkerut kening ketua Cin-ling-pai. Sungguh dia belum tahu bahwa puteranya juga tertawan. Kini dia memandang tajam kepada mereka dan bertanya, “Benarkah itu?” “Benar, dan engkau hanya dapat membebaskan puteramu melalui mayat kami!” kata Hek-hiat Mo-li dan langsung nenek ini menerjang dengan tongkatnya. “Bagus, kalau begitu terpaksa hari ini aku melenyapkan kalian!” Cia Keng Hong berkata sambil mengelak dan balas menyerang. Maka berlangsunglah petandingan yang amat seru dan mengagumkan antara ketua Cin-ling-pai dan kedua orang kakek dan nenek iblis itu. Cia Keng Hong adalah scorang pendekar sakti yang amat tinggi kepandaiannya. Biarpun usianya sudah kurang lebih enam puluh lima tahun, namun kehidupan yang bersih membuat tubuhnya masih tegap dan kuat, kesehatannya baik sekali sehingga biarpun sudah lama dia tidak pernah terjun ke dunia kang-ouw, namun gerakan-gerakannya ketika bertanding tidak kelihatan kaku karena dia selalu berlatih diri di puncak Cin-ling-pai. Dengan ilmunya yang amat tinggi, yaitu Ilmu Silat Thai-kek-sin-kun, dia menghadapi tongkat kakek dan nenek itu dan selalu dapat menghindarkan diri dengan mudah, sebaliknya dia telah mendesak dua orang lawannya dengan pukulan-pukulan sakti dari Thai-kek-sin-kun. Akan tetapi, seperti juga dengan Kok Beng Lama, ketika pendekar sakti ini berhasil “memasukkan” pukulannya dan dengan tepat berhasil menghantam mereka, baik Mo-ko maupun Mo-li hanya terpelanting dan bergulingan saja, kemudian meloncat bangun lagi sambil tertawa dan menyerang lebih hebat lagi! Cia Keng Hong menjadi terkejut sekali. Sebagai seorang ahli silat kelas tinggi, maklumlah dia bahwa dua orang lawannya itu telah memiliki ilmu kekebalan yang mujijat! Biasanya, ilmu kekebalan yang mujijat seperti itu diperoleh dengan cara yang tidak lumrah, dengan ilmu yang mendekati ilmu hitam yang mengerikan dan biasanya hanya dapat dipecahkan kalau orang menguasai rahasianya. Setiap ilmu kekebalan yang didapat secara tidak wajar melalui ilmu hitam pasti ada rahasia kelemahannya, dan tanpa mengetahui akan rahasia kelemahan itu, sukarlah melukai mereka! Pada saat itu, Pek-hiat Mo-ko menghantamkan tongkatnya ke arah kepala Cia Keng Hong dari samping kanan, sedangkan dari kiri Hek-hiat Mo-li menusukkan ujung tongkat dengan totokan-totokan maut ke arah lambung. Cia Keng Hong cepat menggerakkan kakinya, menggeser kedudukan tubuhnya dan secepat kilat dia menangkis dengan lengannya, bukan menangkis tongkat melainkan langsung menangkis lengan Pek-hiat Mo-ko dengan mendorongkan tubuhnya ke depan.   “Plakk!” Cia Keng Hong terpaksa menggunakan ilmunya yang paling dirahasiakan dan yang jarang dikeluarkan karena limu ini memang amat mujijat, yaitu Thi-khi-i-beng! Seperti kita ketahui, di dunia pada waktu itu hanya ada dua orang saja yang menguasai Thi-khi-i-beng, yaitu pertama Cia Keng Hong dan kedua adalah Yap Kun Liong, karena, hanya kepada Yap Kun Liong saja ketua Cin-ling-pai ini menurunkan ilmu mujijat itu. Bahkan dua orang anaknya, Giok Keng dan Bun Houw, tidak diwarisi ilmu itu. Tentu saja dibandingkan dengan Thi-khi-i-beng yang dimiliki Kun Liong, tenaga Cia Keng Hong jauh lebih kuat. Maka begitu kedua lengan bertemu, Pek-hiat Mo-ko terkejut bukan main karena lengannya melekat dan ada tenaga sedot yang luar biasa dari lawan, yang menyedot tenaga sin-kangnya. Akan tetapi, kakek bermuka putih ini segera menghentikan pengerahan tenaga sin-kangnya dan sebagai gantinya, dia mengeluarkan ilmu kebalnya dan... daya sedot dan tempel itu lenyaplah! Cia Keng Hong terkejut bukan main! Tadinya dia tahu bahwa di dunia hanya ada tiga orang tokoh yang mampu menghadapi Thi-khi-i-beng, bahkan mampu membuyarkan tenaga Thi-khi-i-beng. Pertama adalah mendiang Tiang Pek Hosiang yang telah meninggal dunia, kedua adalah Bun Hwat Tosu, dan ketiga adalah Kok Beng Lama. Siapa tahu, kini agaknya kakek dan nenek inipun menguasai ilmu kekebalan yang dahsyat membuyarkan tenaga Thi-khi-i-beng pula! Tidak ada seorangpun yang berani maju membantu Cia Ktmg Hong karena dalam hal pertandingan mengadu ilmu seperti itu, bantuan merupakan penghinaan bagi yang dibantu. Akan tetapi Kok Beng Lama yang sejak tadi menonton dengan penuh perhatian, maklum bahwa ilmu kekebalan dua orang kakek dan nenek iblis itu agaknya juga membuat ketua Cin-ling-pai yang lihai itu kewalahan. Dia sendiri tadi sudah merasakan kehebatan kakek dan nenek iblis itu, maka dia dapat menduga bahwa tanpa dibantu, agaknya ketua Cin-ling-pai itu mungkin sekali akan kalah! “Ha-ha-ha!” Kok Beng Lama tertawa. “Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li agaknya bukan hanya mengandalkan ilmu kekebalan dari iblis itu, akan tetapi juga mengandalkan kecurangan dan sifat pengecut mereka. Mereka maju berdua menghadapi seorang lawan, sungguh kakek dan nenek tua bangka hampir mampus yang tidak tahu malu sama sekali!” Suara raksasa dari Tibet ini memang keras dan nyaring sekali, terdengar sampai jauh dan memasuki telinga kakek dan nenek itu seperti ratusan jarum yang menusuk langsung ke jantung. Pek-hiat Mo-ko yang cerdik maklum bahwa pendeta Lama itu sengaja hendak membakar hati mereka, maka dia menulikan telinga dan diam saja tidak menjawab, melainkan mendesak Cia Keng Hong dengan tongkatnya. Akan tetapi tidak demikian dengan Hek-hiat Mo-li. Nenek ini merasa bahwa ilmu kekebalannya cukup dapat diandalkan dan sudah dibuktikan ketika dia menghadapi lawan-lawan tangguh seperti Kok Beng Lama dan Cia Keng Hong. Memang, dalam hal ilmu silat, agaknya dia dan Pek-hiat Mo-ko tidak dapat menandingi ketua Cin-ling-pai atau pendeta Tibet itu, akan tetapi dengan perlindungan ilmu kekebalan mereka, musuh-musuh itu dapat berbuat apakah? Hal ini membesarkan hatinya dan mendengar ejekan dan penghinaan Kok Beng Lama, dia tidak dapat menahan kemarahannya. “Pendeta gundul! Siapa takut padamu? Majulah kalau sudah bosan hidup!” tantangnya. “Ha-ha-ha! Ketua Cin-ling-pai, aku sama sekali bukan membantumu, akan tetapi aku malu karena aku ditantang oleh nenek gila itu, ha-ha.” Kok Beng Lama sudah melangkah lebar dan memasuki gelanggang pertempuran. Tentu saja Cia Keng Hong tidak bisa melarang dan biarpun dia merasa kurang senang karena masuknya Kok Beng Lama seolah-olah menurunkan kehormatannya, seolah-olah dia telah kewalahan, namun sesungguhnya memang harus diakui bahwa tanpa dibantu oleh Kok Beng Lama, agaknya tidak mungkin dia dapat mengalahkan kakek dan nenek yang kebal dan tidak dapat terluka ini. Pada saat itu, terdengarlah suara keras disusul suara bangunan roboh dan debu mengebul tinggi! Suara hiruk-pikuk ini datangnya dari perkampungan Lembah Naga dan semua orang menengok dan otomatis pertempuran itupun terhenti. Dan di antara debu-debu yang mengebul tinggi, muncullah dua orang laki-laki dan wanita. Mereka ini ternyata adalah Cia Bun Houw dan Yap In Hong yang datang sambil bergandengan tangan! Wajah mereka berseri-seri dan agak kemerahan, dua pasang mata itu mencorong aneh. “Omitohud...! Mereka berhasil menyatukan Thian-te Sin-ciang sampai di puncaknya!” seru Kok Beng Lama dengan kagum dan juga heran. Dari pandang mata dua orang muda itu pendeta Lama ini tentu saja dapat mengenal pancaran Ilmu Thian-te Sin-ciang. Dan memang benarlah apa yang disangkanya itu. Seperti telah kita ketahui, Cia Bun Houw dan Yap In Hong setelah terbebas dari malepetaka yang akan mencemarkan nama dan kehormatan mereka, lolos dari racun pembangkit nafsu berahi di dalam kamar tahanan, Cia Bun Houw lalu menyalurkan tenaga Thian-te Sin-ciang, melatih dan memperkuat tenaga yang telah dimiliki In Hong. Ketika diam-diam Yap Mei Lan datang ke kamar tahanan, mereka berdua masih melatih diri dan menghimpun tenaga Thian-te Sin-ciang dengan duduk berhadapan dalam keadaan bersila dan kedua telapak tangan mereka saling bertemu dan menempel, Mei Lan dapat menyelinap ke tempat tahanan karena semua anak buah Lembah Naga sudah keluar dan siap menghadapi musuh yang datang menyerbu. Karena Mei Lan tidak berhasil menyadarkan mereka dari luar pintu kamar tahanan, maka terpaksa Mei Lan lalu meninggalkan sehelai daun yang sudah dia tulisi dan meninggalkan tempat itu. Ketika itu, sudah sehari semalam Bun Houw dan In Hong menghimpun tenaga dan akhirnya mereka merasa bahwa tenaga Thian-te Sin-ciang telah mencapai tingkat yang amat tinggi, terasa sampai ke ubun-ubun kepala mereka. Maka, mereka menghentikan latihan itu dan begitu mereka sadar, mereka mendengar suara ribut-ribut di luar kamar tahanan. Suara itu terdengar agak jauh, namun kini pendengaran mereka ternyata menjadi jauh lebih tajam sehingga seolah-olah mereka mendengar semua yang terjadi di luar itu seperti di dekat mereka saja, bahkan Bun Houw mengenal hawa pukulan ayahnya yang bertanding melawan dua orang kakek dan nenek iblis itu. “Eh, lihat ini...!” kata In Hong sambil memungut daun yang berada di kamar itu. Kiranya itulah daun yang ditinggalkan oleh Mei Lan dengan menyelipkannya di antara celah di bawah pintu kamar tahanan yang kokoh kuat itu. Mereka cepat membaca tulisan di atas daun yang dilakukan dalam keadaan tergesa-gesa, namun cukup jelas untuk dibaca. “Kelemahan Hek Pek berada di antara lutut ke bawah.” Hanya itulah kata-kata yang tercoret di atas daun, akan tetapi sudah cukup bagi Bun Houw dan In Hong. “Entah siapa yang menulis ini dan entah benar ataukah hanya bohong, akan tetapi kita harus keluar dari sini sekarang juga, Hong–moi!”   Hek I Siankouw juga menghadapi lawan yang terlalu berat baginya, yaitu pendekar Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai! Biarpun dia telah memainkan pedang hitamnya dengan sekuat tenaga, juga kadang-kadang dia menipersiapkan Hek-tok-ting (Paku Beracun Hitam) yang berbahaya itu, namun dia tidak banyak berdaya menghadapi ketua Cin-ling-pai ini. Padahal pendekar sakti ini sama sekali tidak mempergunakan senjata, hanya menggerakkan kedua tangan dan kaki untuk menghadapi nenek berpakaian hitam ini. Pcdang hitam di tangan Hek I Siankouw mengeluarkan suara berdesing ketika menyambar-nyambar ganas, namun semua sambaran itu dapat dielakkan oleh Cia Keng Hong dengan mudah, dan kalau sekali-kali ada sinar hitam paku beracun menyambar, paku itu tahu-tahu sudah dapat dijepit oleh jari-jari tangan ketua Cin-ling-pai itu dan dikembalikan kepada pemiliknya, membuat Hek I Siankouw terkejut dan hampir termakan oleh senjata rahasianya sendiri sehingga setelah tiga kali selalu berakibat membahayakan dirinya sendiri, dia tidak berani lagi menggunakan paku-paku beracun dan hanya mainkan pedang hitamnya dengan mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya. Ang-bin Ciu-kwi juga menghadapi lawan yang terlalu tangguh bagiriya, yaitu Yap Kun Liong, dan isterinya, Coa-tok Sian-li diserang dengan hebat oleh Cia Giok Keng yang dibantu oleh Tio Sun. Tentu saja suami isteri ini menjadi repot sekali dan hanya mampu menangkis dan mempertahankan diri saja tanpa dapat membalas sedikitpun juga. Sementara itu, Tio Hok Gwan, komandan pasukan, dibantu oleh Souw Kwi Beng dan semua anggauta pasukan, bahkan nampak pula Lie Seng mengamuk bahu membahu dengan Yap Mei Lan, menghadapi para anggauta Lembah Naga yang berkelahi dengan nekat dan mati-matian sungguhpun mereka terdesak hebat dan satu demi satu mereka roboh oleh fihak lawan yang lebih banyak dan lebih kuat itu. Di antara para tokoh Lembah Naga, yang lebih dulu roboh adalah Bouw Thaisu. Kedua ujung lengan bajunya dapat ditangkap oleh cengkeraman tangan Kok Beng Lama yang tertawa bergelak dan ketika Bouw Thaisu mengerahkan tenaganya sehingga ujung lengan bajunya terobek dan kedua telapak tangannya menghantam dada Kok Beng Lama, pendeta raksasa ini sambil tertawa juga mendorongkan kedua telapak tangannya. Dua pasang telapak tangan yang penuh dengan tenaga sin-kang itu bertemu di udara. Hebat bukan main getaran hawa yang terasa oleh semua orang yang sedang bertempur. Bumi seolah-olah guncang dibuatnya. Tubuh Bouw Thaisu tergetar hebat seperti orang sakit demam, kemudian dia terhuyung ke belakang, kedua tangan memegang dadanya, dari mulutnya keluar darah segar dan dia terpelanting dan robob miring di atas tanah dengan nyawa putus! Kok Beng Lama tertawa bergelak lalu berkata, “Omitohud, kedua tanganku kembali berlepotan darah...!” Tidak lama setelah Bouw Thaisu roboh, menyusul Hek I Siankouw yang roboh dengan pedang hitam menembus dadanya sendiri! Ketika dia menyerang dengan jurus nekat, yaitu seluruh tubuh mendoyong dan pedangnya menusuk ke arah dada Cia Keng Hong, pendekar sakti ini terkejut. Serangan itu hebat bukan main dan penuh dengan tenaga sakti karena nenek itu sudah nekat, mengerahkan seluruh tenaganya dan didorong oleh loncatan tubuhnya. Cia Keng Hong maklum bahwa kalau mengelak, dia menghadapi bahaya, maka dia lalu mengerahkan tenaga sakti di kedua tangannya lalu dia menangkis dari samping sambil mengeluar kan lengkingan keras. Itulah sebuah jurus dari Thai-kek-sin-kun. Tangkisan ini mengandung kekuatan yang demikian dahsyatnya sehingga ketika mengenai pedang maka pedang itu membalik dengan cepatnya dan menusuk dada Hek I Siankouw sendiri sampai tembus di punggung! Tentu saja nenek itu terjengkang roboh dan tewas seketika. Cia Keng Hong berdiri terbelalak memandang. Dia tidak sengaja membunuh nenek itu dan dia menarik napas panjang, merasa ngeri dan menyesal mengapa dalam usia tuanya dia masih harus membunuh orang sengeri itu keadaanya. Ang-bin Ciu-kwi yang kasar itupun roboh tewas oleh tamparan tangan kiri Kun Liong, sedangkan isterinyapun roboh dan tewas oleh pedang di tangan Cia Giok Keng setelah hampir saja wanita perkasa ini menjadi korban jarum racun ular yang dilepas oleh Coa-tok Sian-li. Sedangkan pasukan Lembah Naga tinggal sedikit lagi yang masih bertahan, namun mereka terdesak hebat dan tak lama kemudian, orang terakhir dari merekapun roboh. Memang hebat sekali pasukan yang diberikan oleh Raja Sabutai kepada gurunya itu, karena pasukan itu merupakan pasukan berani mati yang melawan musuh sampai orang terakhir roboh dan tidak ada seorangpun di antara mereka yang melarikan diri sungguhpun mereka sudah dari tadi tahu bahwa fihak mereka sudah pasti kalah. Kini tinggal kakek dan nenek iblis itu saja yang ternyata masih sanggup bertahan melawan Bun Houw dan In Hong! Bukan main hebatnya pertandingan antara mereka ini dan biarpun In Hong dan Bun Houw sudah berhasil menguasai Ilmu Thian-te Sin-ciang secara sempurna, namun ternyata tidak mudah bagi mereka untuk mengalahkan dua orang tua iblis itu. Kekebalan tubuh mereka memang menggiriskan sekali dan biarpun dua orang muda itu sudah memperoleh petunjuk melalui Mei Lan tentang kelemahan mereka dan sudah terus-menerus menujukan serangan mereka ke arah bawah lutut kaki, namun mereka belum juga berhasil. Selain kedua orang kakek dan nenek itu terus melindungi kaki mereka, juga dua orang muda itu tidak tahu dengan pasti di mana letak kelemahan itu dan biarpun mereka telah beberapa kali berhasil menghantam betis, tulang kering dan mata kaki, namun dua orang itu hanya terlempar dan bergulingan, namun ternyata bukan di situlah letak kelemahan itu karena mereka masih mampu melawan makin dahsyat dan nekat! Memang kakek dan nenek iblis itu telah nekat ketika mereka melihat bahwa semua teman mereka telah roboh! Cia Giok Keng dan Tio Sun sudah bergerak maju hendak membantu, akan tetapi Kok Beng Lama dan Cia Keng Hong mengangkat tangan melarang mereka atau siapapun juga membantu! Mereka ini melihat betapa Bun Houw dan In Hong dapat menandingi kakek den nenek itu dan agaknya dua orang muda itu tahu akan kelemahan lawan yang jelas dapat diduga tentu berada di kaki mereka. Buktinya mereka selalu melindungi kaki mereka dan kelihatan terkejut dan gugup ketika kaki mereka terus-menerus diserang.     Hek I Siankouw juga menghadapi lawan yang terlalu berat baginya, yaitu pendekar Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai! Biarpun dia telah memainkan pedang hitamnya dengan sekuat tenaga, juga kadang-kadang dia menipersiapkan Hek-tok-ting (Paku Beracun Hitam) yang berbahaya itu, namun dia tidak banyak berdaya menghadapi ketua Cin-ling-pai ini. Padahal pendekar sakti ini sama sekali tidak mempergunakan senjata, hanya menggerakkan kedua tangan dan kaki untuk menghadapi nenek berpakaian hitam ini. Pcdang hitam di tangan Hek I Siankouw mengeluarkan suara berdesing ketika menyambar-nyambar ganas, namun semua sambaran itu dapat dielakkan oleh Cia Keng Hong dengan mudah, dan kalau sekali-kali ada sinar hitam paku beracun menyambar, paku itu tahu-tahu sudah dapat dijepit oleh jari-jari tangan ketua Cin-ling-pai itu dan dikembalikan kepada pemiliknya, membuat Hek I Siankouw terkejut dan hampir termakan oleh senjata rahasianya sendiri sehingga setelah tiga kali selalu berakibat membahayakan dirinya sendiri, dia tidak berani lagi menggunakan paku-paku beracun dan hanya mainkan pedang hitamnya dengan mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya. Ang-bin Ciu-kwi juga menghadapi lawan yang terlalu tangguh bagiriya, yaitu Yap Kun Liong, dan isterinya, Coa-tok Sian-li diserang dengan hebat oleh Cia Giok Keng yang dibantu oleh Tio Sun. Tentu saja suami isteri ini menjadi repot sekali dan hanya mampu menangkis dan mempertahankan diri saja tanpa dapat membalas sedikitpun juga. Sementara itu, Tio Hok Gwan, komandan pasukan, dibantu oleh Souw Kwi Beng dan semua anggauta pasukan, bahkan nampak pula Lie Seng mengamuk bahu membahu dengan Yap Mei Lan, menghadapi para anggauta Lembah Naga yang berkelahi dengan nekat dan mati-matian sungguhpun mereka terdesak hebat dan satu demi satu mereka roboh oleh fihak lawan yang lebih banyak dan lebih kuat itu. Di antara para tokoh Lembah Naga, yang lebih dulu roboh adalah Bouw Thaisu. Kedua ujung lengan bajunya dapat ditangkap oleh cengkeraman tangan Kok Beng Lama yang tertawa bergelak dan ketika Bouw Thaisu mengerahkan tenaganya sehingga ujung lengan bajunya terobek dan kedua telapak tangannya menghantam dada Kok Beng Lama, pendeta raksasa ini sambil tertawa juga mendorongkan kedua telapak tangannya. Dua pasang telapak tangan yang penuh dengan tenaga sin-kang itu bertemu di udara. Hebat bukan main getaran hawa yang terasa oleh semua orang yang sedang bertempur. Bumi seolah-olah guncang dibuatnya. Tubuh Bouw Thaisu tergetar hebat seperti orang sakit demam, kemudian dia terhuyung ke belakang, kedua tangan memegang dadanya, dari mulutnya keluar darah segar dan dia terpelanting dan robob miring di atas tanah dengan nyawa putus! Kok Beng Lama tertawa bergelak lalu berkata, “Omitohud, kedua tanganku kembali berlepotan darah...!” Tidak lama setelah Bouw Thaisu roboh, menyusul Hek I Siankouw yang roboh dengan pedang hitam menembus dadanya sendiri! Ketika dia menyerang dengan jurus nekat, yaitu seluruh tubuh mendoyong dan pedangnya menusuk ke arah dada Cia Keng Hong, pendekar sakti ini terkejut. Serangan itu hebat bukan main dan penuh dengan tenaga sakti karena nenek itu sudah nekat, mengerahkan seluruh tenaganya dan didorong oleh loncatan tubuhnya. Cia Keng Hong maklum bahwa kalau mengelak, dia menghadapi bahaya, maka dia lalu mengerahkan tenaga sakti di kedua tangannya lalu dia menangkis dari samping sambil mengeluar kan lengkingan keras. Itulah sebuah jurus dari Thai-kek-sin-kun. Tangkisan ini mengandung kekuatan yang demikian dahsyatnya sehingga ketika mengenai pedang maka pedang itu membalik dengan cepatnya dan menusuk dada Hek I Siankouw sendiri sampai tembus di punggung! Tentu saja nenek itu terjengkang roboh dan tewas seketika. Cia Keng Hong berdiri terbelalak memandang. Dia tidak sengaja membunuh nenek itu dan dia menarik napas panjang, merasa ngeri dan menyesal mengapa dalam usia tuanya dia masih harus membunuh orang sengeri itu keadaanya. Ang-bin Ciu-kwi yang kasar itupun roboh tewas oleh tamparan tangan kiri Kun Liong, sedangkan isterinyapun roboh dan tewas oleh pedang di tangan Cia Giok Keng setelah hampir saja wanita perkasa ini menjadi korban jarum racun ular yang dilepas oleh Coa-tok Sian-li. Sedangkan pasukan Lembah Naga tinggal sedikit lagi yang masih bertahan, namun mereka terdesak hebat dan tak lama kemudian, orang terakhir dari merekapun roboh. Memang hebat sekali pasukan yang diberikan oleh Raja Sabutai kepada gurunya itu, karena pasukan itu merupakan pasukan berani mati yang melawan musuh sampai orang terakhir roboh dan tidak ada seorangpun di antara mereka yang melarikan diri sungguhpun mereka sudah dari tadi tahu bahwa fihak mereka sudah pasti kalah. Kini tinggal kakek dan nenek iblis itu saja yang ternyata masih sanggup bertahan melawan Bun Houw dan In Hong! Bukan main hebatnya pertandingan antara mereka ini dan biarpun In Hong dan Bun Houw sudah berhasil menguasai Ilmu Thian-te Sin-ciang secara sempurna, namun ternyata tidak mudah bagi mereka untuk mengalahkan dua orang tua iblis itu. Kekebalan tubuh mereka memang menggiriskan sekali dan biarpun dua orang muda itu sudah memperoleh petunjuk melalui Mei Lan tentang kelemahan mereka dan sudah terus-menerus menujukan serangan mereka ke arah bawah lutut kaki, namun mereka belum juga berhasil. Selain kedua orang kakek dan nenek itu terus melindungi kaki mereka, juga dua orang muda itu tidak tahu dengan pasti di mana letak kelemahan itu dan biarpun mereka telah beberapa kali berhasil menghantam betis, tulang kering dan mata kaki, namun dua orang itu hanya terlempar dan bergulingan, namun ternyata bukan di situlah letak kelemahan itu karena mereka masih mampu melawan makin dahsyat dan nekat! Memang kakek dan nenek iblis itu telah nekat ketika mereka melihat bahwa semua teman mereka telah roboh! Cia Giok Keng dan Tio Sun sudah bergerak maju hendak membantu, akan tetapi Kok Beng Lama dan Cia Keng Hong mengangkat tangan melarang mereka atau siapapun juga membantu! Mereka ini melihat betapa Bun Houw dan In Hong dapat menandingi kakek den nenek itu dan agaknya dua orang muda itu tahu akan kelemahan lawan yang jelas dapat diduga tentu berada di kaki mereka. Buktinya mereka selalu melindungi kaki mereka dan kelihatan terkejut dan gugup ketika kaki mereka terus-menerus diserang.   Cia Keng Hong tanpa disengaja berdiri di sebelah Kok Beng Lama. Mereka saling pandang dan melalui pandang mata mereka, kedua orang sakti ini mengerti akan keadaan yang sedang bertanding. Mereka tadipun sudah mengukur tenaga dengan kakek dan nenek iblis itu dan mendapatkan kenyataan bahwa mereka berdua itu memang memiliki kekebalan yang mujijat. “Hemm, di kaki sebelah mana agaknya kelemahan mereka?” Kok Beng Lama mengomel seorang diri, suaranya lirih akan tetapi terdengar oleh Cia Keng Hong. “Di mana kalau menurut dugaan locianpwe?” tanya Cia Keng Hong sambil menoleh. Keduanya saling pandang dan keduanya berpikir keras, menggali ingatan mereka tentang pengetahuan mengenai ilmu-ilmu yang mujijat dan aneh. “Dan dugaan taihiap?” tanya pula Kok Beng Lama. Kedua orang sakti itu lalu menggunakan ujung sepatu mereka untuk menggores-gores di atas tanah dan keduanya lalu saling membaca tulisan kaki mereka. Ternyata keduanya berbunyi sama, yaitu, “telapak kaki”. Mereka tertawa dan mengangguk-angguk. “Locianpwe harap suka memberi tahu kepada In Hong, saya akan memberi tahu kepada Bun Houw,” kata Cia Keng Hong. Kok Beng Lama mengangguk dan kedua orang sakti ini lalu mengerahkan ilmu mereka yang hebat, yaitu Ilmu Coan-im-jip-bit (Mengirim Suara Dari Jauh) dengan kekuatan khi-kang mereka. Bibir mereka bergerak-gerak dan tidak ada orang lain yang mendengar suara mereka kecuali orang yang ditujunya! Bun Houw mendengar bisikan suara ayahnya dan In Hong juga mendengar bisikan suara Kok Beng Lama yang parau, “Kelemahan mereka itu mungkin sekali terletak di telapak kaki mereka.” Tentu saja kedua orang muda itu merasa girang mendengar ini. Sudah sejak tadi mereka menyerang ke arah kaki tanpa hasil dan mereka bahkan mulai meragukan kebenaran pemberitahuan yang ditulis di atas daun itu. Melihat kenyataan betapa kakek dan nenek itu mati-matian melindungi kedua kaki mereka, agaknya pemberitahuan itu memang benar, akan tetapi mengapa semua serangan mereka yang berhasil mengenai bagian kaki tidak merobohkan mereka? Mengapa kedua orang sakti, Cia Keng Hong dan Kok Beng Lama dapat menduga bahwa mungkin sekah kelemahan kakek dan nenek itu berada di telapak kaki? Mereka teringat akan ilmu kekebalan mujijat kaum hitam atau golongen sesat, yang berbeda dengan latihan limu kekebalan kaum putih yang melatihnya dengan dasar sin-kang yang kuat. Golongan sesat melatih ilmu kekebalan dengan bermacam cara, dicampur dengan ilmu hitam, ilmu sihir dan dengan ramuan-ramuan racun yang berbahaya. Mereka teringat bahwa latihan ilmu kekebalan yang menghasilkan kekebalan seperti yang dimiliki kakek dan nenek itu mungkin kalau tubuh mereka itu sudah seperti mati sehingga pukulan-pukulan sakti tidak lagi mempengaruhi tubuh mereka, dan tubuh yang seperti mati itu hanya dapat dicapai dengan melumurinya dengan racun-racun yang luar biasa. Biasanya, bagian yang dilumuri racun itu itu tidak boleh tertutup dan harus dibiarkan terkena angin, sinar matahari bahkan sinar bulan sehingga ada kemungkinan mereka bertapa sampai berbulan-bulan dengan tubuh dilumuri racun-racun setiap saat. Akan tetapi, tidak mungkin orang dapat melumuri racun seluruh bagian tubuhnya, misalnya andaikata dia rebah terlentang, tentu punggungnya terlewat, kalau duduk tentu pantatnya, dan kalau sambil berdiri telapak kakinya. Kini, melihat betapa punggung, pantat dan seluruh begian tubuh kakek dan nenek itu benar-benar kebal, agaknya satu-satunya tempat yang lemah tentu di telapak kaki dan sangat boleh jadi ketika bertapa sambil melumuri tubuh dengan racun, kakek dan nenek itu menyiksa diri dengan berdiri terus selama entah berapa hari atau berapa bulan! Jadi, kalau seluruh anggauta tubuh itu seolah-olah sudah mati, hanya kedua telapak kaki itu yang hidup! Tentu saja, selain bagian lemah ini, sepasang mata merekapun merupakan bagian lemah, akan tetapi mereka selalu melindungi kedua mata mereka, apalagi setelah mata kiri Hek-hiat Mo-li menjadi buta oleh jarum rahasia dari arca kaisar di istana dahulu itu ketika dia dan Pek-hiat Mo-ko menyerbu istana. Biarpun Bun Houw dan In Hong menjadi girang sekali mendengur bisikan dua orang sakti itu, namun tidaklah mudah bagi mereka untuk menyerang bagian lemah itu. Bagaimana dapat menyerang telapak kaki lawan? Telapak kaki selalu tertutup atau terlindung karena dipakai untuk menginjak tanah! Mana mungkin bisa diserang? Kelihatanpun tidak! Dua orang muda perkasa itu menjadi bingung. Dengan ilmunya yang tinggi, lebih tinggi dari kepandaian In Hong, Bun Houw tentu saja dapat mengatasi Pek-hiat Mo-ko dengan baik. Pemuda ini sudah mewarisi ilmu-ilmu yang amat hebat dari ayahnya dan dari Kok Beng Lama, ilmu silatnya bermacam-macam dan kesemuanya merupakan ilmu-ilmu silat pilihan yang bertingkat tinggi. Kalau saja Pek-hiat Mo-ko tidak mengandalkan limu kekebalannya yang mujijat, tentu sudah sejak tadi dia roboh oleh pemuda perkasa ini. Akan tetapi, kekebalan yang amat hebat itu melindunginya sehingga biarpun dia sudah belasan kali terpelanting oleh pukulan yang amat hebat, pukulan yang akan menewaskan lawan-lawan yang bahkan lebih lihai sekalipun, namun tidak membuat Pek-hiat Mo-ko terluka dan kakek ini dapat meloncat bangun kembali sambil tertawa mengejek dan menyerang dengan dahsyatnya yang juga dapat dielakkan atau ditangkis oleh Bun Houw dengan mudahnya. Baik dalam hat ilmu silat maupun dalam hal tenaga sin-kang, pemuda ini lebih tinggi tingkatnya daripada lawannya. Akan tetapi kekebalan itu membuat dia tidak berdaya. In Hong juga bukan seorang gadis sembarangan. Dia telah mewarisi ilmu-ilmu silat yang amat hebat dari gurunya, pewaris pusaka milik mendiang Panglima Sakti The Hoo. Biarpun tingkatnya belum dapat dibandingkan dengan tingkat Bun Houw, namun ilmu-ilmu silat yang murni dan bernilai tinggi itu membuat dia cukup kuat untuk mengimbangi kepandaian nenek Hek-hiat Mo-li yang lihai. Dia dengan menguasai Thian-te Sin-ciang yang sudah menjadi sempurna karena dilatih secara bergabung dengan Bun Houw, maka boleh dibilang gadis ini memiliki tenaga yang lebih kuat daripada si nenek iblis. Namun, karena diapun tidak berdaya menghadapi kekebalan nenek itu, keadannya menjadi berimbang, bahkan kadang-kadang dia seperti terdesak oleh Hek-hiat Mo-li yang menyerang tanpa memperdulikan tubuhnya sendiri yang dilindungi oleh kekebalan sehingga kadang-kadang In Hong menjadi repot juga dan melindungi diri dengan bergerak mundur   Kini mereka telah mendengar bisikan dua orang sakti itu, akan tetapi tetap saja mereka tidak tahu bagaimana mereka akan dapat menyerang telapak kaki lawan! In Hong terus melindungi dirinya dari serangkaian serangan Hek-hiat Mo-li yang hanya bermata satu itu sambil memutar otak mencari akal. Untuk melindungi dirinya, ilmu silatnya cukup tinggi dan tenaganyapun cukup besar sehingga dia tidak usah khawatir akan celaka oleh serangan-serangan dahsyat itu yang dapat dielakkan atau ditangkisnya secara pasti dan tidak begitu sukar, sungguhpun tentu saja dia menjadi terdesak karenanya. Sementara itu, Bun Houw sudah memikirkan akal untuk merobohkan lawan, atau setidaknya untuk dapat menyerang telapak kaki lawan yang diharapkannya akan merobohkannya. Dia tahu bahwa memaksa lawan memperlihatkan telapak kakinya tentu saja tidak mungkin, maka dia harus menggunakan akal dan dia pura-pura tidak menduga bahwa kelemahan itu berada di telapak kaki lawan itu. Dia harus dapat melakukan pertempuran jarak dekat, pikirnya. Tadi dia menganggap tongkat kakek bermuka putih itu tidak berbahaya, bahkan dia membiarkan kakek itu menghadapinya dengan senjata tongkat itu karena dia hendak membiarkan kakek itu lengah karena merasa lebih untung keadaannya yang bersenjata melawan dia yang bertangan kosong dan dia hendak menggunakan kelengahan itu untuk menyerang ke arah kaki. Akan tetapi setelah dia mendengar bisikan Cia Keng Hong tadi, dia percaya penuh akan kelihaian dan ketajaman mata ayahnya, maka untuk dapat menyerang telapak kaki dia harus lebih dulu menyingkirkan tongkat lawan agar mereka dapat bartempur dalam jarak yang lebih berdekatan. Ketika tongkat itu menyambar dengan tusukan ganas ke arah tenggorokan, Bun Houw sengaja memperlambat gerakannya sehingga tongkat itu sudah dekat sekali dengan lehernya. Tiba-tiba dia miringkan tubuhnya membiarkan tongkat lewat dan anginnya sudah terasa oleh kulit lehernya lalu tiba-tiba saja dia menyarang kakek itu dengan jari-jari tangan terbuka ke arah matanya. Cepat bukan main serangannya itu. Tentu saja selain bagian tubuh yang dirahasiakannya, sepasang mata sama sekali tidak terlindung oleh kekebalan. Dia terkejut dan cepat menarik mundur tubuhnya begian atas sedangkan tangan kirinya menangkis dari samping. Akan tetapi betapa kagetnya ketika dia mendapat kenyataan bahwa serangan itu tidak dilanjutkan oleh lawan, dan kini tongkatnya yang kena ditangkap oleh tangan kanan pemuda yang lihai bukan main itu. “Haiiiiitttt...!” Pek-hiat Mo-ko mengeluarkan teriakan keras dan tangan kirinya menyambar ke arah kepala Bun Houw dengan cengkeraman maut, sedangkan tangan kanannya tetap memegang ujung tongkat sambil menarik dengan sentakan kuat. “Hemmm!” Bun Houw mengeluarkan suara gerengan dalam dada, tangan kirinya digerakkan menangkis dengan pengerahan tenaga Thian-te Sin-ciang dan juga menggunakan tangan kanan yang memegang ujung tongkat untuk menarik. “Plakk! Krekkk...!” Tubuh Pek-hiat Mo-ko untuk ke sekian kalinya terlempar ke belakang dan tongkatnya patah menjadi dua potong, yang sepotong tertinggal di tangan Bun Houw. Tangkisan hebat tadi membuat tubuhnya terlempar dan karena dia mempertahankan tongkatnya, maka tongkat itulah yang tidak kuat menahan dan menjadi patah. Muka Pek-hiat Mo-ko yang putih pucat itu berubah sedikit merah, akan tetapi lalu menjadi putih kembali dan dia memandang tongkat di tangannya dengan mata terbelalak, seolah-olah masih belum mau percaya melihat tongkat pusakanya itu dapat patah. Padahal ada kepercayaan tahyul di dalam hatinya bahwa patahnya tongkat pusaka yang dianggap tidak mungkin dapat pulih itu berarti kematiannya! Maka dia menjadi nekat. Dia membuang tongkat yang sudah patah itu dan dengan teriakan ganas dia menubruk maju, menghantam dengan dahsyat ke arah lawannya. Bun Houw juga sudah membuang tongkat patah itu dan cepat menyambut serangan lawan dengan kedua tangan pula. Akan tetapi sekali ini dia tidak mengadu pukulan, melainkan menangkap kedua pergelangan tangan lawan. “Ihhh!” Pek-hiat Mo-ko terkejut dan marah. Kedua pergelangan tangannya sudah ditangkap oleh tangan pemuda itu, tangkapan yang amat kuat dan biarpun dia telah mengerahkan seluruh kekuatan sin-kangnya untuk menarik kedua tangannya, tetap saja dia tidak mampu meloloskan diri. Dia menjadi marah. Ditangkap kedua pergelangan tangannya seperti itu tidak ada artinya dan dengan cara demikian pemuda itupun tidak akan mampu menangkap, maka dia tertawa mengejek. “Ha-ha, engkau takut melanjutkan pertempuran?” “Pek-hiat Mo-ko, hendak kulihat bagaimana kau dapat melepaskan peganganku!” Bun Houw juga mengejek dan memperkuat pegangannya sehingga agaknya kalau kakek itu mengerahkan seluruh tenaga untuk memaksa, cekalan itu tidak akan terlepas akan tetapi kedua lengan kakek itu yang akan copot atau patah seperti tongkat tadi! Pek-hiat Mo-ko maklum akan hal ini, maka dia menjadi makin gelisah dan marah. Semua pengikutnya telah tewas, hanya tinggal Hek-hiat Mo-li yang masih bertanding mati-matian melawan gadis perkasa itu dan ternyata kawannya itupun tidak mampu mendesak gadis bertangan kosong itu yang kini memiliki tenaga Thian-te Sin-ciang yang luar biasa kuatnya pula. Dipengaruhi oleh patahnya tongkat pusakanya yang dianggap sebagai pertanda akhir hidupnya, kakek yang marah ini menjadi nekat. “Lepaskan tanganku!” bentaknya dan dia menendang ke arah bawah pusar Bun Houw! Inilah yang dikehendaki oleh pemuda itu! Dia hendak memaksa lawannya untuk melakukan tendangan karena hanya di waktu menendang sajalah telapak kaki dari lawannya itu “terbuka” dan tidak terlindung atau tersembunyi. Akan tetapi Bun Houw memang cerdik. Dia tidak terlalu membiarkan kegirangan menguasainya dan dia maklum bahwa sekali dia tidak berhasil merobohkan kakek itu melalui serangan pada telapak kakinya, berarti dia gagal dan kakek itu tentu akan menjadi lebih berhati-hati menyembunyikan rahasianya. Maka dia masih berpura-pura tidak tahu bahwa rahasia kelemahan itu terletak di telapak kaki, maka ketika tendangan menyambar ke arah bawah pusar, dia cepat miringkan tubuhnya untuk mengelak, dan sengaja dia membiarkan pahanya tertendang dengan mengurangi geralakan elakannya.   “Desss...!” Bun Houw menyeringai tanda kesakitan dan kakek itu tertawa bergelak, merasa bahwa dia berada dalam keadaan unggul maka selagi pemuda itu menyeringai kesakitan, dia sudah menggerakkan kaki kirinya menendang lagi mengarah paha yang baru saja tertendang, yang dianggapnya merupakan tempat yang baik untuk dihantam terus selagi bagian itu terasa nyeri. Namun, pemuda perkasa itu telah memperhitungkan saat ini dengan tepat dan dia sudah mengumpulkan seluruh tenaga Thian-te Sin-ciang ke dalam lengan kanannya sampai ke ujung jari kanan. Melihat kaki kiri melalui menyambar, secara tiba-tiba dia melepaskan cekalan tangan kanannya dari pergelangan tangan lawan dan tangan itu menyambar ke bawah, mencengkeram ke arah telapak kaki kiri lawan dengan pengerahan tenaga Thian-te Sin-ciang yang dahsyat bukan main. Batu karang yang bagaimana kerasnyapun akan hancur lebur oleh cengkeraman yang mengandung tenaga mujijat Thian-te Sin-ciang sepenuhnya itu. Dan ternyata, tidak seperti anggauta badan di bagian lain yang telah membuktikan kekebalannya terhadap kedahsyatan Thian-te Sin-ciang, ketika telapak kaki kiri dari Pek-hiat Mo-ko itu kena dicengkeram, kaki itu menjadi remuk-remuk tulangnya dan hancur kulit dagingnya! Pek-hiat Mo?-ko mengeluarkan pekik mengerikan, matanya terbelalak ketika mulutnya memekik dan pada saat itu, tangan kiri Bun Houw yang sudah melepaskan pegangan pada pergelangan tangan lawan sudah menyambar dengan kecepatan kilat ke arah dadanya. “Krekkk...!” Tubuh Pek-hiat Mo-ko terpelanting, tulang iganya patah-patah dan seluruh isi dadanya terguncang hebat. Kekebalannya telah lenyap setelah telapak kakinya hancur. Namun, dalam keadaan yang sudah seperti itu, yang tentu merupakan sebab kematian bagi orang lain yang bagaimana kuatpun, kakek bermuka putih itu masih dapat meloncat bangun dan seperti sebuah mayat hidup dia menubruk ke arah Bun Houw! Namun, pemuda ini dengan gerakan lincah telah menggeser kaki miringkan tubuh dan kakinya menyambar. “Desss...!” Tubuh yang seperti mayat hidup itu terjengkang, roboh terbanting dan tidak bergerak lagi karena memang Pek-hiat Mo-ko telah menghembuskan napas terakhir di waktu dia mengerahkan seluruh tenaga terakhir untuk menubruk tadi. “Hong-moi, mundurlah, biarkan aku menghadapinya,” kata Bun Houw sambil mendekati In Hong yang masih bertempur dengan mati-matian melawan Hek-hiat Mo-li. “Tidak, aku harus dapat merobohkan dia sendiri, Houw-ko. Mundurlah dan jangan khawatir!” In Hong menjawab. Gadis ini merasa penasaran sekali. Bun Houw telah berhasil merobohkan lawan, namun dia masih juga belum berhasil. Dia tahu bahwa memang Bun Houw memiliki tingkat kepandaian yang amat tinggi, akan tetapi dengan ilmu kepandainya, apalagi setelah dia berhasil menyempurnakan tenaga Thian-te Sin-ciang, dia merasa sanggup untuk mengalahkan nenek ini, lebih-lebih lagi karena dia sudah mendapat bisikan dari Kok Beng Lama. Akan tetapi, biarpun dia terus mengarahkan semua serangan pukulan mautnya ke arah kaki dan sudah beberapa kali mengenai kaki lawan, tetap saja nenek itu belum dapat dia robohkan. Dia tidak dapat melihat bagaimana Bun Houw tadi merobohkan Pek-hiat Mo-ko, maka diapun belum tahu di mana sesungguhnya letak kelemahan lawannya. Akan tetapi, biarpun demikian, dia merasa enggan dan malu kalau harus menyerahkan lawan ini kepada Bun Houw, apalagi karena pertempuran itu ditonton oleh banyak orang, di antaranya terdapat kakak kandungnya sendiri yaitu Yap Kun Liong, ada lagi Cia Giok Keng, Cia Keng Hong, Kok Beng Lama, Souw Kwi Beng, Tio Sun dan masih banyak lagi yang lain, bahkan semua perajurit pasukan kota raja juga menonton! Dengan alis berkerut Bun Houw mundur lagi kemudian dia lari meninggalkan tempat itu menuju ke sebelah dalam dan tak lama kemudian muncullah pemuda ini membawa sebatang pedang yang bukan lain adalah pedangnya sendiri yang tadinya dirampas oleh musuh, yaitu pedang Hong-cu-kiam. Dia menanti kesempatan baik lalu melontarkan pedang itu ke arah In Hong sambil berseru, “Hong-moi, pakailah pedangmu ini!” Sekali ini In Hong tidak menolak. Dia menyambut pedang itu dan diputarnya sehingga merupakan gulungan sinar emas yang menyilaukan mata. Dia mau menggunakan pedang karena bukankah lawannya juga menggunakan tongkat? Dan begitu Hong-cu-kiam berada di tangannya, semangat In Hong berkobar lagi. Dia harus dapat merobohkan lawannya. Harus! “Cring-cring-tranggg...!” Bunga api berpijar ketika pedang bertemu bertubi-tubi dengan tongkat dan tangan Hek-hiat Mo-li dan nenek itu terhuyung ke belakang ketika tangan kiri In Hong menyusul dengan dorongan-dorongan yang mengandung tenaga mujijat Thian-te Sin-ciang. Aku harus menyerang kakinya bawah lutut. Akan tetapi bagian yang mana? Demikian In Hong berpikir. “Telapak kakinya... telepak kakinya...!” Tiba-tiba dia mendengar bisikan suara Bun Houw. In Hong mengerling dengan bibir tersenyum dan mata berkilat penuh kegirangan. Tahulah dia sekarang. Kiranya di telapak kaki! Pantas saja semua pukulannya yang mengenai kaki tadi tidak berhasil. Habis, siapa yang dapat memukul telapak kaki? Kiranya begitu baik rahasia kelemahan itu tersembunyi. Akan tetapi, In Hong adalah scorang dara yang selain cantik jelita dan gagah perkasa, juga cerdik sekali. Begitu dia mendengar bisikan ini, tiba-tiba dia merobah caranya menyerang lawan dan kini dia melempar diri ke atas tanah, lalu bergulingan dan sinar emas menyambar-nyambar ke bawah kaki lawan! “Ihhh...!” Hek-hiat Mo-li terkejut bukan main dan memutar tongkat melindungi kakinya. “Tranggg...!” Bunga api berpijar dan seperti seekor burung terbang cepatnya, In Hong bergulingan ke arah kiri nenek itu dan tiba-tiba sinar emas pedangnya mencuat ke atas menusuk ke arah mata kanan lawan. “Ihhhh...!” Nenek itu menjerit dan cepat melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik. Hampir saja matanya yang tinggal sebelah menjadi korban. Karena mata kirinya sudah buta, maka ketika lawannya tadi bergulingan ke sebelah kirinya, dia tidak dapat memandang dengan cukup jelas gerakan lawan dan tahu-tahu sinar emas menyambar ke arah mata kanannya, padahal sejak tadi dia mencurahkan perhatian untuk melindungi kakinya! Dan ketika dia berhasil menyelamatkan mata kanannya dan baru saja kakinya menginjak tanah, sinar emas itu menyambar ke bawah, membabat tanah di bawah kaki Hek-hiat Mo-li. Pada saat itu, Hek-hiat Mo-li sendiri yang menjadi marah sedang menghantamkan tongkatnya ke arah kepala In Hong! Melihat dara itu hanya miringkan kepalanya sehingga hantaman tongkat itu masih menyambar ke pundak, nenek itu menjadi girang sehingga dia kurang waspada. Baru setelah sinar emas membabat tanah dan terus mengenai telapak kaki kirinya, dia menjerit mengerikan.   “Dessss! Crottt...!” Tubuh In Hong terlempar dan bergulingan sedangkan nenek itu mengangkat kaki kirinya yang berdarah sambil berteriak-teriak kesakitan. Bagian belakang telapak kaki kirinya telah terbabat dan terluka oleh Hong-cu-kiam, sedangkan pundak In Hong juga terkena pukulan tongkat. “Hong-moi...!” Bun Houw berseru kaget, akan tetapi hatinya lega ketika dia melihat In Hong dapat bangkit kembali dan dengan pedang Hong-cu-kiam di tangan dia siap untuk mengejar dan membunuh Hek-hiat Mo-li yang masih mengangkat kaki kiri yang berdarah sambil menjerit-jerit kesakitan. Akan tetapi pada saat itu terdengar bunyi terompet dan tambur. Semua orang menengok dan terkejutlah mereka karena tempat itu telah dikurung oleh pasukan yang sedikitnya tentu ada seribu orang jumlahnya. “Keparat!” Kok Beng Lama berseru dengan suaranya yang besar. “Mari kita amuk mereka!” “Nanti dulu, locianpwe. Jumlah mereka terlalu banyak dan dalam keadaan seperti ini lebih baik bagi kita untuk menunggu dan membela diri, daripada menyerang,” kata Cia Giok Keng dan Kok Bang Lama tidak jadi bergerak. Kepala pasukan itu, Panglima Lee Cin, juga menyerukan aba-aba agar semua pasukan tidak bergerak, melainkan membentuk barisan pertahanan. “Tahan semua senjata!” Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan dari dalam pasukan besar itu muncul seorang tinggi besar yang kemudian ternyata adalah Raja Sabutai sendiri! Semua orang terkejut dan memandang raja liar itu, akan tetapi agaknya In Hong tidak mau perduli dan dia sudah melangkah maju menghampiri Hek-hiat Mo-li dengan pedang di tangan. “In Hong jangan bergerak...!” Yap Kun Liong, berseru kepada adiknya. Mendengar kesungguhan dalam suara kakaknya itu, In Hong meragu dan menoleh kepada kakaknya. Seperti juga Cia Keng Hong, Kun Liong melihat ancaman bahaya. Kalau Raja Sabutai memerintahkan pasukannya menyerbu, biarpun mereka memiliki kepandaian tinggi, tentu mereka semua akhirnya akan tewas dalam keroyokan ribuan orang perajurit musuh. Bun Houw dengan cepat meloncat ke dekat In Hong dan memegang lengan dara itu dengan mesra. “Suheng berkata benar, Hong-moi. Bagaimana dengan pundakmu? Mari kuobati...” Dengan sikap mesra Bun Houw lalu memeriksa pundak yang terpukul tongkat tadi, kemudian melihat betapa pundak itu tidak terluka, hanya berwarna merah kebiruan, dia merasa lega, karena tulang pundak dara itupun tidak patah. Dengan penyaluran sin-kang yang hangat, dia mengusir rasa nyeri di pundak itu. Tentu saja semua orang melihat kemesraan itu, juga Souw Kwi Beng melihat dengan muka berubah pucat sekali. Sementara itu, melihat bahwa Raja Sabutai melangkah maju ke dalam kurungan ribuan perajurit itu, menghampiri mereka dan raja itu membawa sebatang pedang yang dikenalnya baik, ketua Cin-ling-pai, Pendekar Sakti Cia Keng Hong lalu melangkah maju menyambut dan menjura kepada raja itu. “Apa maksud sri baginda datang bersama pasukan dan menghentikan pertandingan?” tanya Cia Keng Hong dengan sikap tenang. Raja Sabutai tertawa dan memandang kepada mayat-mayat yang bergelimpangan di situ, mayat dari semua pengikut dua orang gurunya, bahkan suhunya, Pek-hiat Mo-ko, juga telah tewas. Dia berhenti tertawa dan menarik napas panjang. “Cia-taihiap, kami melihat betapa semua pengikut suhu dan subo telah tewas, behkan suhu telah tewas dan subo terluka hebat. Suhu dan subo tidak mau mendengar bujukan kami bahwa memusuhi jagoan-jagoan dari kota raja merupakan hal yang bodoh sekali. Sekarang mereka telah merasakan sendiri akibatnya dan tentu suhu sudah kapok. Urusan ini dimulai dengan pedang Siang-bhok-kiam. Nah, sekarang kami datang untuk mengembalikan Siang-bhok-kiam yang oleh suhu dititipkan kepada kami kepada pemiliknya, akan tetapi sebagai gantinya, kami harap taihiap dan semua teman taihiap suka membebaskan subo.” Cia Keng Hong maklum bahwa di balik ucapan itu terkandung ancaman hebat. Kalau dia dan teman-temannya tidak mau menerima penukaran itu, tentu raja ini akan mengerahkan ribuan pasukan mengeroyoknya dan tak mungkin melawan ribuan orang lawan! Maka dia menjura dan menjawab, “Kami semua datang bukan hanya karena ingin minta kembali Siang-bhok-kiam, melainkan juga untuk menyelamatkan nona Yap In Hong yang diculik oleh kedua guru sri baginda. Setelah sekarang nona Yap In Hong selamat, tentu saja kamipun tidak akan terlalu mendesak. Terima kasih atas kebaikan sri baginda yang suka mengembalikan pedang pusaka kepada yang berhak memiliki.” “Ha-ha-ha, Cia-taihiap sebagai ketua Cin-ling-pai memang berpandangan bijaksana. Nah, terimalah Siang-bhok-kiam ini,” katanya sambil menyerahkan Pedang Kayu Harum itu kepada Cia Keng Hong yang menerimanya dengan sikap penuh hormat. “Subo, marilah pergi bersama kami!” Sabutai berkata sambil menghampiri nenek itu, kemudian dia memondong nenek yang mata kirinya buta dan kaki kirinya terluka pula itu. Semua orang memandang dengan penuh kagum kepada Raja Sabutai. Kiranya orang yang gagah perkasa ini bukan hanya merupakan orang yang mampu menundukkan orang-orang liar di antara para Suku Nomad di utara, akan tetapi juga memiliki watak gagah dan berbakti terhadap gurunya. Semua orang diam saja ketika Raja Sabutai memerintahkan pasukannya untuk mengangkat semua mayat dari gurunya dan para pengikutnya, lalu pergilah pasukan itu setelah Raja Sabutai menjura kepada para orang gagah dan berkata sambil tersenyum kepada Tio Sun, “Jangan lupa untuk menyampaikan apa yang kaulihat di tempat kami kepada kaisar, Tio-sicu!” Tio Sun maklum apa yang dimaksudkan oleh raja itu, maka dia mengangguk. Maka berangkatlah Raja Sabutai pergi dari Lembah Naga, diiringkan oleh ribuan orang pasukannya.   Setelah pasukan itu pergi, barulah semua orang dapat kembali kepada urusan pribadi masing-masing. Cia Giok Keng dan Lie Seng saling lari menghampiri dan ibu dan anaknya ini saling berpelukan dengan linangan air mata, demikian pula Mei Lan berlutut di depan kaki Yap Kun Liong dan ayah itu dengan air mata berlinang juga merangkul puterinya. Pertemuan yang mengharukan antara ibu dan anak, dan ayah dan anak ini terjadi tanpa banyak kata terucap, hanya pandang mata yang berlinang air mata dari mereka sudah bicara banyak sekali. Semua orang memandang dengan hati penuh keharuan, karena melihat Giok Keng berlutut dan mendekap puteranya sedangkan Kun Liong mengangkat bangun Mei Lan dan dipeluknya puterinya itu penuh kasih sayang dan dengan air mata membasahi pipi karena tentu saja pertemuannya dengan Mei Lan ini mengingatkan Kun Liong akan kematian isterinya. “Ayah... maafkan aku...” Mei Lan berbisik lirih, dan Kun Liong menggunakan jari-jari tangannya untuk meraba dan menutup bibir mulut puterinya itu, seolah-olah hendak mencegah gadis cilik itu bicara lebih lanjut karena dia sudah dapat memahami semua persoalannya. Pada saat itu, nampak seorang wanita berpakaian serba merah lari menghampiri Bun Houw dan menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda yang telah selesai mengobati luka di dalam pundak In Hong. “Taihiap... harap taihiap suka mengasihani saya... harap taihiap sudi menerima saya menghambakan diri... setelah semua yang telah terjadi...” Wanita yang bukan lain adalah Liong Si Kwi itu menangis, tangan kanan mengusap air matanya yang bercucuran, juga tangan kirinya yang buntung itu ikut bergerak ke depan mukanya sehingga kelihatan amat mengerikan dan menyedihkan. Wajah Bun Houw berubah pucat ketika dia memandang Si Kwi. Terbayanglah semua yang telah terjadi antara dia dan Si Kwi di dalam kamar wanita itu dan marahlah hatinya. Dia tahu bahwa Si Kwi mencintanya, akan tetapi dia marah sekali mengingat betapa wanita ini menggunakan kesempatan selagi dia tercengkeram oleh pengaruh hawa beracun yang membangkitkan berahinya, telah melakukan hubungan kelamin dengan dia dan dia merasa malu, menyesal dan marah sekali dengan terjadinya hal itu. Kalau saja di situ tidak terdapat banyak orang di antaranya malah ada ayahnya sendiri, tentu telah ditendangnya wanita itu. Akan tetapi dia menahan kemarahannya dan berkata dengan suara dingin. “Engkau bukan wanita baik-baik. Pergilah kau dari sini!” “Taihiap...!” Wajah Si Kwi pucat sekali, matanya terbelalak memandang kepada pemuda yang dipuja dan dicintanya itu. “Pergilah!” Si Kwi bangkit berdiri, menangis sesenggukan dan lari meninggalkan tempat itu. Semua orang memandang sampai bayangan wanita itu lenyap di antara pohon dan kini Cia Keng Hong memandang puteranya dengan sinar mata penuh selidik. Dia tidak senang melihat sikap puteranya terhadap Si Kwi tadi, yang dianggapnya amat keras dan kejam, sungguhpun dia sendiri tidak tahu apa dan siapa wanita berpakaian merah yang tangan kirinya buntung itu. “Bun Houw...!” Dia memanggil dan pemuda itu terkejut, menoleh kepada ayahnya, kemudian dia menggandeng tangan In Hong dan berbisik kepada dara itu untuk ikut bersamanya menghadap ayahnya. In Hong memandang wajah pemuda itu dengan senyum dan sinar mata penuh kemesraan, kemudian mengangguk dan keduanya lalu menghadap Cia Keng Hong dan mereka berdua menjatuhkan diri berlutut di depan pendekar sakti itu. Melihat sikap pemuda dan gadis itu, Souw Kwi Beng menarik napas panjang dan ketika dia merasa betapa tangan Tio Sun memegang lengannya, dia menoleh dan tersenyum getir kepada pemuda itu. Mereka sudah sama maklum dan Tio Sun menatapnya dengan sinar mata mengandung iba. “Houw-ji, bagaimana engkau bisa berada di sini dan tertawan bersama In Hong?” tanya ayah itu yang merasa tidak senang melihat puteranya yang bergandengan tangan demikian mesranya di depan orang banyak dengan In Hong. Jelas kelihatan oleh semua orang yang berada di situ bahwa ada pertalian cinta kasih mesra antara puteranya dan In Hong, sedikitpun mereka berdua tidak menyembunyikan perasaan saling mencinta itu. “Ayah, aku mendengar di kota raja bahwa Hong-moi diculik, maka aku melupakan segalanya dan segera mengejar ke sini. Untuk menyelamatkan Hong-moi, terpaksa aku membiarkan diri ditawan dan... untung sekali bahwa ayah, suhu dan para sahabat yang gagah datang menolong...” “Dan surat untuk ke Yen-tai itu...?” “Maaf, ayah. Belum sempat kusampaikan... dan... sesungguhnya aku tidak dapat melaksanakan tali perjodohan itu, ayah...” “Apa...?” Ayahnya membentak. “Maaf, ayah. Aku... aku dan Hong-moi... kami... saling mencinta dan sudah berjanji untuk hidup berdua dan mati bersama...” Jantung Cia Keng Hong terasa tergetar hebat yang tidak dia ketahui apa sebabnya, entah marah entah girang. Memang sejak dahulu dia ingin sekali mempunyai mantu keturunan Yap Cong San dan Gui Yan Cu. Mula-mula, niatnya untuk menjodohkan puterinya, Giok Keng, dengan Kun Liong mengalami kegagalan karena puterinya tidak mencinta Kun Liong dan Kun Liongpun mencinta gadis lain. Kemudian, dia ingin sekali mengambil adik Kun Liong, yaitu Yap In Hong menjadi mantunya, dijodohkan dengan puteranya, Cia Bun Houw. Akan tetapi hal itupun mengalami kegagalan ketika In Hong mengantar Yalima ke Cin-ling-san dan secara kasar dan keras memutuskan hubungan atau ikatan perjodohan antara In Hong dan Bun Houw itu. Hal ini amat menyedihkan dan menyakitkan hatinya dan baru saja sakit hati itu sedikit terobati ketika dia dapat menjodohkan puteranya dengan keturunan Souw Li Hwa dan sekarang tiba-tiba dia melihat puteranya dan In Hong berlutut di depannya dan menyatakan bahwa mereka saling mencinta!   Cia Keng Hong mengelus jenggotnya. Dia seperti lupa bahwa banyak sekali orang melihat dan mendengar apa yang terjadi di situ, akan tetapi dia tidak merahasiakan urusan pribadi keluarganya dan langsung dia bertanya kepada In Hong, “Yap In Hong, benarkah bahwa engkau mencinta Bun Houw?” Wajah In Hong seketika berubah merah sekali. Sungguh luar biasa sekali ketua Cin-ling-pai ini! Bertanya kepada seorang gadis tentang cinta di depan begitu banyak orang! Akan tetapi, In Hong sejak kecil hidup dalam keadaan penuh kekerasan, penuh keanehan dan penuh bahaya, maka hanya sebentar saja dia merasa canggung dan malu, kemudian dengan lantang dia menjawab, “Benar, supek, saya mencinta Houw-ko seperti juga dia mencinta saya.” “Hemmm... benarkah itu? Lupakah engkau, In Hong, baru beberapa bulan yang lalu engkau pernah datang ke Cin-ling-san dan apakah yang kaukatakan kepada kami orang tua dari Bun Houw? Bukankah engkau telah memutuskan tali perjodohan yang tadinya telah diikat antara kau dan Bun Houw oleh kakakmu Yap Kun Liong dan kami?” “Benar, supek, dan saya tidak lupa akan hal itu,” jawab In Hong dengan suara lantang dan tenang. “Dan engkau sekarang...?” “Supek, sudah tentu saja keadaannya jauh berbeda antara waktu itu dan sekarang ini. Ketika itu, saya dan Houw-koko tidak saling mengenal, bahkan belum pernah saling bertemu. Mana mungkin ada rasa cinta kasih di antara kami berdua? Pula, karena penuturan Yalima tentang dia dan Houw-koko, mana mungkin saya menerima ikatan jodoh dari seseorang yang telah mempunyai pacar? Sekarang lain lagi keadaannya. Yalima telah bersuami dan urusan dia telah jernih, tidak menghalangi hubungan antara Houw-ko dan saya, dan kami sudah saling mencinta.” Ketika mengeluarkan kata-kata ini, In Hong masih berlutut di samping Bun Houw, bahkan tangan kanannya masih saling bergandengan dengan tangan kiri pemuda itu, dan jari-jari tangan kiri Bun Houw tergetar dan pegangannya makin erat ketike dia mendengar ucapan kekasihnya dan melihat sikap yang demikian tabah dan tegas. “Ayah, harap ayah sudi mengampuni semua kesalahanku dan kesalahan Hong-moi, dan sudi merestui cinta kasih antara kami...” Namun Cia Keng Hong menggeleng kepalanya dengan tegas, wajahnya membayangkan kekerasan dan kedukaan, kedua tangannya dikepal dan dia menarik napas panjang setelah menggelengkan kepalanya. “Tidak bisa, Bun Houw. Tidak mungkin aku bisa memberi restu dan persetujuanku dan tidak boleh aku membiarkan engkau menjadi seorang yang melanggar peraturan dan kesusilaan. Engkau sudah kami tunangkan dengan puteri Yuan de Gama dan Souw Li Hwa, engkau sudah menjadi calon suami Souw Kwi Eng di Yen-tai.” “Tidak, ayah! Tidak, aku tidak mau!” tiba-tiba Bun Houw berkata dengan keras, mukanya berubah merah. “Hemmm, kehormatan lebih berharga daripada nyawa, anakku.” “Maksud ayah...?” “Engkau boleh memilih karena aku sebagai ayahmu hanya ingin melihat engkau antara dua pilihan itu, menjadi suami Souw Kwi Eng atau mati sebelum melanggar kehormatan yang akan menjatuhkan nama baik keluarga!” “Ayah, aku memilih mati! Lebih baik aku mati daripada harus berpisah dari Hong-moi!” jawab pemuda itu sambil berlutut dan sikapnya menantang. “Hemmm...!” Wajah pendekar sakti ketua Cin-ling-pai itu berubah agak pucat. “Dan sebelum supek membunuh Houw-ko, lebih dulu supek harus membunuh saya!” In Hong juga berkata dan menggeser kedua lututnya, berlutut di depan kekasihnya untuk melindunginya! “Hemmm, kalian mengira aku akan mengingkari kehormatan demi nyawa anak?” Sambil berkata demikian, tangan kanan Cia Keng Hong memegang gagang pedang Siang-bhok-kiam dan menghunusnya dari sarung pedang! Bun Houw dan In Hong masih berlutut dan dahi mereka hampir menempel tanah, mereka siap untuk menyerahkan nyawa mereka berdua, rela untuk mati bersama kalau tidak boleh hidup sebagai suami isteri. “Ho-ho, nanti dulu, Cia Keng Hong!” Terdengar suara nyaring dan Kok Beng Lama sudah melompat maju ke depan ketua Cin-ling-pai itu dengan muka merah dan senyumnya mengandung ancaman, matanya mengeluarkan sinar mencorong. “Enak saja engkau hendak membunuh muridku! Jangan kau lupa, Bun Houw dan In Hong adalah murid-muridku dan seorang guru tidak nanti akan membiarkan murid-muridnya dibunuh orang begitu saja, biarpun orang itu adalah ayahnya! Selama hidupku, belum pernah aku melihat seorang ayah begitu kejam dan tega untuk membunuh puteranya. Seekor harimaupun tidak akan membunuh anaknya. Apakah harus kukatakan bahwa Cia Keng Hong adalah seorang manusia yang lebih buas daripada harimau?” Cia Keng Hong, pendekar sakti yang terkenal gagah perkasa itu, yang namanya pernah menggegerkan dunia kang-ouw, kini menjadi makin berduka, akan tetapi dia menentang pandang mata pendeta Lama itu yang amat dia kagumi, lalu menarik napas panjang dan dengan pedang Siang-bhok-kiam tetap di tangannya, dia berkata dengan suara tenang tidak dikuasai perasaan. “Kok Beng Lama locianpwe, hidup di dunia tidaklah lama, hanya beberapa puluh tahun yang kalau tidak dirasakan seperti hanya beberapa hari saja lamanya. Apakah artinya hidup sependek itu kalau tidak diisi dengan kehormatan? Apakah artinya hidup tanpa menjunjung tinggi nilai-nilai kesusilaan yang dicita-citakan oleh semua manusia? Manusia haruslah mempunyai cita-cita, menjunjung tinggi cita-cita, tidak hanya menuruti hati yang lemah. Dan cita-cita seorang pendekar hanyalah menjunjung tinggi kegagahan dan kehormatan, menjaga nama agar bersih sampai tujuh turunan!”   “Ha-ha-ha, betapa waspadanya kakek Bun Hwat Tosu! Ha-ha-ha, baru saja dia membuka mataku dan bicara tentang cita-cita, dan sekarang... ha-ha, ketua Cin-ling-pai juga bicara tentang cita-cita dan pandangannya persis seperti pandanganku ketika itu! Ha-ha, Cia-taihiap, bicaramu tentang cita-cita itu justeru merupakan kebodohan manusia pada umumnya yang terbuai oleh kehormatan palsu, oleh cita-cita yang merusak kewajaran hidup, yang menyelewengkan kemurnian hidup.” Cia Keng Hong mengerutkan alisnya. Cita-cita dan kehormatan adalah “pegangan” semua orang gagah, mengapa dikatakan merusak dan menyelewengkan? “Hem, locianpwe, apa maksud locianpwe?” “Bun Hwat Tosu,” Kok Beng Lama memandang ke angkasa, “mudah-mudahan saja kenyataan yang akan kubicarakan ini akan dapat membuka kesadaran orang-orang lain seperti telah membuka kesadaranku.” Kemudian dia melangkah maju mendekati Cia Keng Hong dan berkata lagi, suaranya tenang, “Cia-taihiap, apakah artinya cita-cita? Bukankah cita-cita hanya merupakan bayangan yang tidak ada, merupakan sesuatu yang dianggap lebih indah daripada kenyataan yang ada, merupakan bayangan khayal, yang dikejar-kejar oleh manusia yang ingin mencapainya? Bukankah cita-cita itu sesuatu yang telah digambarkan, merupakan bayang-bayang yang dipuja-puja sebagai teladan untuk dicapainya dengan cara bagaimana pun.” “Agaknya benar demikian, locianpwe. Cita-cita adalah sesuatu yang amat baik, yang menjadi arah tujuan hidup. Tanpa cita-cita yang tinggi, hidup akan menyeleweng.” “Benarkah demikian? Apakah tidak sebaliknya? Apakah bukan justeru karena mengejar cita-cita itu maka manusia saling gempur, saling jegal, saling hantam demi mencapai cita-citanya masing-masing? Apakah bukan cita-cita yang menimbulkan perbuatan-perbuatan kejam, keras, dan pengejarannya membuat kita menyeleweng daripada kebenaran? Cita-cita adalah suatu contoh yang sudah digambarkan lebih dulu, dan kalau kita memaksa diri menjangkaunya, mengekornya, bukankah kita menjadi manusia-manusia yang paling munafik dan palsu? Kita bercita-cita menjadi orang baik, akan tetapi kalau memang kita tidak baik, maka kita akhirnya menjadi orang baik yang palsu, baik pura-pura hanya untuk memenuhi gambaran contoh yang dicita-citakan itu belaka!” “Tidak begitu, locianpwe. Cita-cita membawa orang yang bodoh menjadi pintar, yang tidek baik menjadi baik, membawa dan mendorong manusia untuk memperoleh kemajuan. Tanpa cita-cita kita akan mandeg!” bantah Keng Hong. “Ha-ha-ha, persis seperti pandanganku tempo hari!” Kakek raksasa itu tertawa, kemudian menjawab dengan suara tenang kembali. “Andaikata orang bodoh itu mengenal diri sendiri dan melihat kebodohannya, dia sudah bukan orang bodoh lagi! Sebaliknya, orang bodoh yang tidak melihat kebodohannya dan merasa diri pintar, dialah sebodoh-bodohnya orang, taihiap! Demikian pula, andaikata orang tidak baik itu mengenal diri sendiri dan melihat ketidakbaikannya, maka pengertian ini menimbulkan kesadaran dan dia bukan orang tidak baik lagi dan dia tidak perlu mencari untuk menjadi orang baik lagi! Sebaliknya, dalam keadaan tidak baik lalu mengejar untuk menjadi orang baik, pengejarannya itu akan menimbulkan banyak ketidakbaikan, mungkin dia akan pura-pura berbuat baik, mungkin dia akan menggunakan kekerasan, kedudukan, harta benda, untuk dapat disebut orang baik dan di dalam semua kebaikan yang dilakukan oleh orang tidak baik terkandung ketidakbaikan yang paling jahat! Kita sudah terbiasa menganggap bahwa cita-cita mendatangkan kemajuan, anggapan kuno yang sudah mendarah daging dan kita terima begitu saja tanpa penyelidikan akan kebenarannya. Mendatangkan kemajuan? Kemajuan yang bagaimanakah? Kita bercita-cita menjadi seorang berkedudukan tinggi dan dalam mengejar cita-cita itu, sudah hampir dapat dipastikan terjadi perebutan, terjadi penyogokan, terjadi kekerasan, bahkan mungkin kita harus menginjak orang lain sebagai batu loncatan dan setelah kita berhasil mencapai cita-cita itu, memperoleh kedudukan tinggi, apakah itu kemajuan namanya?” Semua orang yang mendengarkan memandang dengan mata terbelalak karena baru satu kali ini mereka mendengar perdebatan yang aneh itu. Pendekar Sakti Cia Keng Hong memandang pucat, lalu berkata, “Eh... nanti dulu, locianpwe... saya menjadi agak bingung. Jadi menurut locianpwe, kita tidak harus bercita-cita, harus puas dengan keadaan yang sekarang ini saja? Tidak boleh mencari kemajuan? Berarti menjadi orang biasa saja tidak ada artinya?” “Ha-ha-ha, lucu...! Lucu...! Kenapa pandangan kita pada umumnya begitu sama dan persis? Justeru demikian pula yang kukatakan kepada Bun Hwat Tosu ketika aku membantahnya!” Dia tertawa bergelak, kemudian berkata lagi, sikapnya kembali tenang. “Cia-taihiap, jangan mencari contoh anggapan atau pandangan orang lain! Mari kita selidiki bersama, jangan hanya menyandarkan kepada pandanganku atau pandangan siapapun juga. Tidak perlu kita berpegang kepada pelajaran mati, harus bercita-citakah, atau tidak haruskah, atau harus puas atau tidak puaskah? Apa sih artinya harus ini atau tidak harus itu? Kalau puas ya puas saja, kalau tidak puas ya tidak puas saja, jangan dipaksakan menjadi sebaliknya karena hal itu menimbulkan pertentangan batin dan kepalsuan belaka. Mengapa kita tidak puas dengan keadaan saat ini? Sekali tidak puas, sampai matipun kita selalu akan tidak puas, bukan? Keadaan setiap saat berubah, akan tetapi ketidakpuasan yang timbul karena mengejar keadaan yang lain itu tidak akan pernah berubah dan akan menekan kita selama hidup. Tidak ada yang tidak membolehkan orang mencari kemajuan, akan tetapi harus dimengerti lebih dulu, apa sih kemajuan yang kita cari-cari itu? Taihiap mengatakan bahwa hal itu berarti menjadi orang biasa saja. Apa salahnya menjadi orang biasa? Kenapa semua orang ingin menjadi orang yang LUAR BIASA? Ha-ha, justeru inilah yang menjadi sebab dan sumber timbulnya segala malapetaka di dunia, segala permusuhan dari perorangan sampai kepada kelompok dan bangsa. Ingin menjadi luar biasa, lain daripada yang lain, paling hebat, paling jempol, haus akan pujian. Padahal semua itu kosong belaka, hanya angin yang akan memenuhi kepala menjadi besar dan tolol! Kita semua takut untuk menjadi orang yang dianggap tidak ada artinya! Padahal kita baru dipandang kalau kita sudah dapat mengalahkan orang lain, memperlihatkan kekuatan dan kekuasaan kita. Tidak anehlah kalau pendidikan macam ini membentuk kita menjadi manusia-manusia yang kejam, yang hanya mementingkan kesenangan diri pribadi. Ya, itulah cita-cita dan pengejarannya! Cita-cita yang diagung-agungkan itu bukan lain hanyalah keinginan untuk menyenangkan diri pribadi. Kesenangan, cita-cita, kedudukan, kekayaan, kemulyaan, dan sebagainya tidaklah buruk, akan tetapi PENGEJARANNYA, itulah yang amat jahat! Kekayaan, misalnya, tidak buruk, akan tetapi pengejarannya, mengejar kekayaan itulah yang menciptakan pelbagai perbuatan jahat yang kejam. Karena pengejaran ini yang membutakan mata batin, dalam mengejar sesuatu yang kita inginkan untuk menyenangkan diri, yang diselimuti dengan nama indah cita-cita, kita menjadi buta dan melakukan apa saja demi tercapainya cita-cita itu. Bukankah demikian yang kita lihat di sekitar kita setiap hari?”   Cia Keng Hong menundukkan kepala dan memejamkan matanya. Mata lahirnya terpejam, namun mata batinnya mulai terbuka. Nampak jelas olehnya betapa cita-cita dan kehormatan yang dipertahankannya mati-matian itupun sesungguhnya memang mempunyai dasar untuk menyenangkan hatinya sendiri, agar dia dianggap orang gagah betul, dipuji-puji di seluruh dunia sebagai orang yang berani mengorbankan anak demi kehormatan! Terbukalah matanya bahwa demi menyenangkan diri sendiri agar dipuji, dia hampir saja membunuh anaknya! Demi kesenangan diri sendiri, dia tidak memperdulikan lagi keadaan anaknya! Terkejutlah dia melihat kenyataan ini dan dia kembali membuka matanya yang memandang agak sayu kepada Kok Beng Lama yang tersenyum dan matanya mencorong itu. “Locianpwe, saya masih agak bingung. Tadinya saya anggap bahwa apa yang saya lakukan ini bukan hanya demi kehormatan saya, melainkan kehormatan dan nama baik Bun Houw! Saya ingin dia menjadi orang yang gagah dan baik, dan keinginan itu tentu timbul karena saya cinta kepada anak saya. Apakah ini tidak baik dan benar?” “Cia-taihiap,” kata Kok Beng Lama dengan suara sungguh-sungguh. “Coba dengarkan kata-kata taihiap tadi. Saya ingin dia menjadi orang yang gagah dan baik! Nah, jawabannya telah terdapat di situ, bukan? Taihiaplah yang INGIN dia menjadi orang gagah dan baik, dan semua orang tua bilang cinta kepada anak-anaknya dan mereka ingin anak-anaknya menjadi orang begitu atau begini. Coba teliti yang benar. Bukankah keinginan itu didorong oleh hati yang ingin menyenangkan diri sendiri? Ingin senang MELALUI anaknya! Taihiap akan senang kalau anak taihiap menjadi begini atau begitu menurut yang taihiap inginkan. Bukankah begitu? Maka, kalau si anak tidak menaati, lalu dimaki, dibenci, bahkan hampir dibunuh! Bukan demi cita-cita, bukan demi kehormatan, bukan pula sama sekali demi cinta, melainkan demi menyenangkan diri taihiap sendiri. Karena si anak menolak, berarti tidak menyenangkan, dan berubahlah cinta itu menjadi benci dan kekejaman, sehingga rela hampir membunuh anak. Dapatkah taihiap melihatnya? Begitu jelas!” “Ah, locianpwe...” Pedang Siang-bhok-kiam terlepas dari tangan Cia Keng Hong dan dia menjatuhkan diri berlutut di depan Kok Beng Lama! Sejenak kakek raksasa ini tertawa bergelak, suara ketawanya seperti menggoncang bumi dan menggetarkan udara, akan tetapi dia lalu memeluk Keng Hong dan mengangkat bengun pendekar sakti itu yang kedua matanya menjadi basah. “Cia-taihiap, yang penting adalah kgsadaran dan pengenalan diri sendiri berikut semua kesalahan-kesalahan kita sendiri. Makin waspada kita memandang dan membuka mata, makin jelaslah nampak seluruh kenyataan hidup ini, taihiap. Pengekoran terhadap guru atau pelajaran yang lampau hanya akan membuat kita menutup mata saja, dan hal itu dapat menimbulkan penyelewengan.” Kakek itu menarik napas panjang. “Dan sesungguhnya, mata sayapun baru beberapa hari saja terbuka ketika saya bermain catur melawan mendiang Bun Hwat Tosu...” “Mendiang...?” Tiba-tiba Mei Lan berseru keras den meloncat ke dekat Kok Beng Lama, memegang tangan kakek raksasa itu. “Apa yang kaumaksudkan, locianpwe? Di mana suhu?” Kok Beng Lama menarik napas panjang, mengeluarkan sebuah bungkusan kain dari dalam saku bajunya yang lebar dan memberikannya kepada Mei Lan. “Kau menanyakan suhumu? Nah, inilah dia, maksudku, inilah abu dari jenazahnya yang telah kubakar sesuai dengan permintaannya sebelum dia meninggal dunia.” “Aihhh... suhu...!” Mei Lan lalu menangis sambil memeluk bungkusan abu itu. Semua orang memandang dan mendengarkan dengan terharu, dan Kun Liong juga menjatuhkan diri berlutut di dekat puterinya. Bun Hwat Tosu telah menjadi guru puterinya! Dan dia sendiripun adalah murid Bun Hwat Tosu yang sekarang dikabarkan mati oleh Kok Beng Lama dan yang abu jenazahnya kini dipeluk oleh puterinya. “Heh, diam engkau! Mulai sekarang, engkau harus mendengar kata-kataku karena akulah yang menjadi gurumu. Bun Hwat Tosu telah bermain catur dan bertaruh dengan aku telah berjanji untuk menurunkan tiga macam ilmu kepadamu, sedangkan diapun telah menyerahkan tiga macam ilmunya untuk kuajarkan kepada muridku, Lie Seng. Sudah, diam, jangan menangis. Kalau gurumu masih dapat melihat dan mendengar, dia tentu akan marah kalau kematiannya ditangisi. Hayo kaukatakan, kenapa engkau menangis mendengar gurumu mati?” tanya kakek yang wataknya memang aneh itu kepada Mei Lan. Mei Lan yang masih sesenggukan itu memandang kepada kakek itu dengan mata merah dan air mata bercucuran, sukar untuk menjawab. Kun Liong yang berlutut di dekat puterinya menghela napas dan berkata, “Gak-hu ayah mertua bolehkah saya mewakili anak saya untuk menjawab pertanyaan itu?” “Anakmu? Dia ini anakmu? Hemm... ya, teringat aku sekarang... engkau mempunyai seorang anak perempuan bernama Mei Lan! Jadi dia inikah anaknya?” Mei Lan yang sedang menangisi kematian suhunya yang kini hanya menjadi abu, amat terkejut dan terheran-heran mendengar semua itu. Dengan mata masih bercucuran air mata, dia mengangkat muka memandang kepada kakek raksasa itu. Teringatlah dia akan penuturan ibunya bahwa ibunya adalah anak seorang pendeta Lama di Tibet yang amat sakti, dan bahwa kong-kongnya itu memang mengasingkan diri di Tibet, tidak pernah terjun ke dunia ramai dan tidak pernah menjenguk mereka. Kiranya pendeta raksasa inilah ayah dari ibunya itu! Dan sekarang akan menjadi gurunya! Kedukaan karena kematian Bun Hwat Tosu, kekagetan dan keheranan mendengar bahwa kakek raksasa ini kong-kongnyo, dan ketegangan yang dirasakan dalam peristiwa hebat yang baru lalu dalam pertempuran itu, membuat dia bengong dan tidak dapat berkata-kata hanya menangis saja. “Hayo katakan, kenapa kalian ayah dan anak menangis? Mengapa?” kembali terdengar suara Kok Beng Lama mengguntur.   Kun Liong menyusut air matanya. “Ketahuilah, gak-hu, bahwa Bun Hwat Tosu adalah guru saya pula. Baru sekarang saya mengetahui bahwa anak saya telah menjadi murid beliau. Mengapa kami ayah dan anak, murid-murid beliau menangis mendengar akan kematiannya? Mengapa orang menangisi orang yang mati? Banyak sekali jawabannya, tentu saja sesuai dan tergantung dengan keadaan masing-masing orang. Akan tetapi bagi saya, gak-hu, dan saya yakin juga bagi Mei Lan, kami menangis karena kami merasa berduka ditinggalkan oleh seorang tua yang bijaksana dan berbudi mulia, kami menangis karena ditinggalkan oleh seorang yang telah melimpahkan banyak kebaikan kepada kami tanpa kami berkesempatan untuk membalasnya.” “Ho-ho, jadi bukan menangisi dia? Jadi kalian menangisi diri sendiri?” “Sebenarnyalah, gak-hu. Bagaimana kami akan menangisi suhu yang tidak kami ketahui bagaimana keadaannya sekarang? Kami menangisi diri sendiri yang ditinggalkan oleh seorang yang kami junjung tinggi dan hormati.” “Ha-ha, bagus! Engkau adalah seorang yang jujur, Kun Liong. Memang, menangisi orang mati sesungguhnya hanyalah menangisi diri sendiri, karena iba diri, dan sama sekali bukan menangisi si mati karena kalau demi cintanya terhadap yang mati, mungkin banyak sekali orang dapat bersyukur dan bergirang bahwa orang yang dicintanya itu sedikitnya terbebas dari segala derita hidup. Ha-ha! Eh, Mei Lan, setelah suhumu menjadi abu, mau kauapakan sekarang?” Mei Lan kelihatan terkejut dan menoleh ayahnya. Akan tetapi Kun Liong sekali ini tidak mau mewakili anaknya menjawab. Mei Lan lalu menyerahkan bungkusan itu kepada Kok Beng Lama dan berkata, suaranya gemetar bercampur isak, “Kong-kong... saya tidak sangka bahwa kong-konglah ayah dari ibu... saya serahkan abu ini kepada kebijaksanaan kong-kong mau diapakan juga, terserah...” “Ha-ha-ha engkau mewarisi kejujuran ayahmu. Baik sekali, Mei Lan. Memang ini hanya abu! Bukan gurumu lagi! Dan andaikata engkau memeliharanya dan menyembahyanginya pula, tidak lain perbuatanmu itu tentu akan didorong untuk kepentingan dirimu sendiri, untuk mencari kesenangan dirimu sendiri, karena engkau dalam sembahyangmu tentu minta diberkahi, minta ini dan minta itu. Padahal memelihara abu guru atau nenek moyang dimaksudkan agar si pemelihara abu itu senantiasa teringat kepada nenek moyangnya dan dapat menjaga agar dia menjadi manusia yang benar dan tidak mencemarkan nama baik nenek moyangnya. Akan tetapi kenyataannya tidak demikian, pemeliharaan abu berubah menjadi semacam jimat pelindung dan tempat untuk dimintai berkah agar selamat, agar kaya, agar untung dan sebagainya. Kasihanlah kalau sudah menjadi abupun masih hendak diperalat demi kesenangan dari kita sendiri! Nah, abu tinggal abu, tiada bedanya dengan tanah dan sebaiknya kalau diserahkan kembali kepada tanah. Bagaimana?” “Terserah kepada kong-kong,” jawab Mei Lan. “Kausimpanlah. Kelak akan kita sebarkan abu ini di tempat yang baik. Nah, Cia-taihiap, karena urusan keluargamu itu menyangkut diri muridku yang pertama, Cia Bun Houw, aku berhak untuk mengetahui bagaimana selanjutnya keputusan terhadap dia dan In Hong,” Kakek raksasa itu kembali menghadapi Cia Keng Hong. Sejak tadi Keng Hong mengerutkan alisnya dan kini dia menjawab, “Locianpwe telah membuka mata saya untuk melihat betapa sesungguhnya dasar dari semua sikap saya adalah mementingkan diri pribadi. Oleh karena itu, saya tidak menghendaki Bun Houw bertindak guna kepentingan diri pribadi pula. Kalau dia bertekad untuk berjodoh dengan In Hong, bukankah hal itu merupakan tindakan pementingan diri pribadi dan dia sama sekali tidak mengingat akan keadaan Souw Kwi Eng den orang tuanya? Ikatan jodoh antara mereka telah dilakukan, mana mungkin diputuskan begitu saja? Hal ini tentu akan merupakan penghinaan bagi keluarga Souw Kwi Eng. Apa yang harus kita lakukan? Mohon bantuan locianpwe untuk mempertimbangkan.” Kok Beng Lama mengerutkan alisnya den beberapa kali dia menggeleng kepala dan menghela napas. “Hemm... benar juga...! Betapa hidup kita ini sudah terikat dengan belitan-belitan hukum yang amat membatasi gerak kita.” Tiba-tiba Souw Kwi Beng yang sejak melihat kemesraan antara dara yang dicintanya, yaitu In Hong, dengan Bun Houw, bersikap diam den menundukkan kepala terbenam dalam kedukaannya, kini mendengar tentang adik kembarnya, dia cepat menghadap Cia Keng Hong dan menjura dengan penuh hormat. “Harap locianpwe sudi memaafkan saya yang lancang mencampuri bicara dalam urusan ini karena menyangkut keadaan adik saya dan keluarga saya. Orang tua saya mempunyai pandangan yang amat luas mengenai perjodohan, terutama sekali ayah saya. Setelah saya melihat dan mendengar semua, sudahlah jelas bahwa Cia Bun Houw taihiap sama sekali tidak ada hubungen cinta kasih dengan saudara saya, Kwi Eng. Dan sudah menjadi keyakinan kami sekeluarga bahwa perjodohan haruslah didasari dengan saling mencinta. Oleh karena itu, biarlah saya yang aken menyadarkan adik saya Kwi Eng karena diapun tentu menyadari bahwa cinta sepihak hanya menimbulkan kesengsaraan dalam kehidupan suami isteri. Agaknya ada banyak kesalahsangkaan dalam urusan ini, yaitu saya... eh, adik saya, menyangka bahwa orang yang dicintanya itupun membalas cintanya. Saya yakin bahwa saya akan dapat menyampaikan kepada adik saya agar dia menyadari kenyataan pahit dan berpisah dari tunangannya, karena hal ini jauh lebih baik daripada kelak menjadi suami isteri yang menderita karena cinta sepihak.” Cia Keng Hong memandang kepada pemuda tampan itu dengan wajah membayangkan keharuan. “Betapa baiknya keluarga Yuan de Gama, sebaliknya, betapa hal itu makin menyeret keluarga kami ke jurang kehinaan! Ahh, bagaimana aku dapat membiarkan keluarga kami menyakiti perasaan keluarga Souw Li Hwa?” “Ayah, harap ayah sudi mengingat akan semua pengalamanku sehingga dapat bersikap bijaksana dalam memutuskan urusan adik Bun Houw.” Tiba-tiba Giok Keng yang sejak tadi memeluk Lie Seng, kini bangkit dan menghadapi ayabnya. “Tentu ayah masih ingat betapa karena sikapku sendiri yang tidak mau memperdulikan perasaan dan keadaan orang lain, yang dahulu selalu menuruti kebenaran sendiri, kebenaran yang kaku, kuno den berdasarkan kebiasaan yang ditanamkan oleh nenek moyang, maka sikap itu mendatangkan banyak sekali malapetaka. Ayah, kalau benar ayah mencinta Bun Houw seperti yang saya percaya demikian, apakah ayah tidak ingin melihat dia berbahagia? Dan kalau kebahagiannya itu hanya dapat dirasakan apabila dia berjodoh dengan In Hong, tegakah ayah untuk menghalanginya dan menghancurkan kebahagiaan mereka?” “Aih, betapa tepatnya apa yang kaukatakan semua itu, sumoi!” terdengar Kun Liong berkata perlahan sambil menarik napas panjang. “Betapa kita semua, selama ini hanya mementingkan diri pribadi, mencari kesenangan diri pribadi, hendak memperalat seluruh manusia dan semua isi alam demi memenuhi keinginan kita untuk bersenang hati dan karenanya menciptakan malapetaka dan kesengsaraan hidup...” Cia Keng Hong adalah seorang pendekar besar dan mungkin karena kegagahannya itulah yang membuat dia agak keras kepala, tidak mudah tunduk oleh apa pun juga. Diam-diam dia memikirkan isterinya yang tentu akan menentang semua ini. Tentu akan terjadi pertentangan antara dia dan isterinya kalau dia membiarkan Bun Houw memutuskan tali pertunangannya dengan Souw Kwi Eng dan kalau dia membiarkan Bun Houw menikah dengan In Hong, dan dia tidak berani menghadapi peristiwa itu. Kalau Bun Houw pulang ke Cin-ling-san bersama In Hong, dia tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi karena dia tahu betapa keras hati isterinya kadang-kadang. “Aku tidak akan melarang, akan tetapi bagaimanapun juga, aku tidak dapat pula memberi persetujuan...” katanya sambil menggeleng kepala dan menarik napas panjang, wajahnya kelihatan tiba-tiba saja menjadi beberapa tahun lebih tua! Dengan sepasang mata basah oleh air mata, Bun Houw yang masih berlutut lalu memberi hormat kepada ayahnya. “Kalau begitu... ampunkan aku, ayah... terpaksa aku akan pergi bersama Hong-moi... ke mana saja asal kami dapat hidup berdua...” Dia lalu bangkit dan menggandeng tangan In Hong yang juga mencucurkan air mata hendak pergi dari situ. “Houw-te...!” Giok Keng menghampiri dan mereka berangkulan. “Adikku, ke mana engkau hendak pergi? Bagaimana aku dapat bertemu kembali denganmu?” Kakak yang merasa terharu ini menangis. Bun Houw menepuk-nepuk bahu kakaknya. “Enci Keng, biarkanlah kami pergi, entah ke mana dan kalau Thian menghendaki, tentu kelak kita dapat saling bertemu kembali.” “Hong-moi, kenapa engkau tidak mengajak Bun Houw tinggal di Leng-kok saja?” Kun Liong juga berkata kepada adiknya. “Tinggallah di sana sambil menanti sampai supek Cia Keng Hong dan supek-bo kelak dapat merestui kalian.” Akan tetapi In Hong yang masih basah kedua pipinya itu tersenyum dan menoleh ke arah Bun Houw, lalu menjawab, “Kakakku yang baik, mulai saat ini aku menyerahkan jiwa ragaku ke tangan dia, dan terserah dia hendak pergi ke mana, ke neraka sekalipun aku akan ikut dengan dia.” “Ahh... kau benar... kau benar...” Kun Liong hanya dapat berkata lemah. “Nah, selamat tinggal semuanya dan maafkan semua kesalahan kami,” kata Bun Houw sambil melambaikan tangan. “Adik Kwi Beng, sampaikan hormatku dan maafku kepada seluruh keluargamu.”   Kwi Beng hanya mengangguk dan dua orang muda yang masih bergandengan tangan itu pergi dari situ, diikuti pandang mata semua orang dan ada dua titik air tergantung di sudut mata Pendekar Sakti Cia Keng Hong, namun dengan kekerasan hatinya, dua titik air mata itu ditahannya dan tidak juga mau jatuh. Sementara itu, atas pertanyaan Mei Lan dan Kun Liong, kakek raksasa ini lalu menceritakan tentang pertemuannya dengan Bun Hwat Tosu. Betapa mereka berdua bermain catur sampai dua hari dua malam dan saling bertaruh untuk menyerahkan semacam ilmu kepada murid lawan jika dikalahkan dalam satu pertandingan. Akhirnya, mereka itu saling menang tiga kali dan kalah tiga kali dan pada keesokan harinya yang ketiga, sambil tersenyum terdengar Bun Hwat Tosu berkata lemah, “Aku puas sudah... memperoleh lawan seperti engkau...” Dan kakek tua renta itu tidak bergerak lagi. Ketika Kok Beng Lama memeriksanya, ternyata kakek itu telah menarik napas terakhir dengan biji-biji catur masih digenggamnya! “Wah, sunggub licik! Engkau masih butang tiga macam ilmu untuk muridku!” Kok Beng Lama berteriak penasaran dan membuka tangan yang menggenggam biji-biji catur itu. Gerakan ini membuat tubuh kakek tua renta itu tertarik dan roboh dan sebuah kitab terjatuh pula keluar dari jubahnya. Kok Beng Lama girang bukan main ketika memeriksa kitab itu dan melihat bahwa kitab itu mengandung tiga macam ilmu. “Sahabatku yang baik, maafkan pinceng, kiranya engkau seorang yang memegang janjimu dengan baik,” kata Kok Beng Lama kepada jenazah itu dan teringatlah dia akan semua percakapan yang mereka lakukan selama mereka berdua bermain catur. Dalam percakapan dua hari dua malam itu, antara lain tosu itu menyatakan betapa baiknya bagi orang yang telah meninggal dunia untuk dibakar. Teringat akan percakapan itu, Kok Beng Lama tidak merasa ragu-ragu lagi dan dibakarlah jenazah itu, kemudian abunya dibungkus dalam kain dan dibawa pergi ke Lembah Naga ketika dia mendengar suara ribut-ribut di tempat itu. “Nah, dengan kematian tosu itu, maka berarti Mei Lan juga menjadi muridku karena aku berhutang tiga macam ilmu kepadanya, sesuai dengan pertaruhan itu. Siapa kira, ternyata dia adalah cucuku sendiri, ha-ha-ha!” Kok Beng Lama berkata pada akhir penuturannya. Yap Kun Liong sudah mengenal baik siapa kakek ini yang menjadi ayah mertuanya, yang selain memiliki kesaktian hebat juga amat bijaksana. Biarpun Mei Lan bukan anak kandung dari Hong Ing, namun oleh mendiang isterinya itu dianggap sebagai anak sendiri maka boleh dibilang juga masih cucu dari Kok Beng Lama. Tentu saja dia rela menyerahkan puterinya untuk digembleng oleh kakek itu. “Mei Lan, lekas berlutut menghaturkan terima kasih kepada suhumu yang juga adalah kong-kongmu, karena beliau ini adalah ayah kandung dari mendiang ibumu.” Mendengar ucapan ayahnya, Mei Lan terkejut sekali dan dia cepat menjatuhkan diri berlutut di depan Kok Beng Lama, namun mukanya menoleh kepada ayahnya dan air matanya bercucuran ketika dia bertanyat “Ibu... ibu... kenapa, ayah?” Kun Liong menarik napas panjang, dan hanya berkata, “Kelak kau dapat mendengar tentang kematian ibumu dari kong-kongmu.” “Tapi... tapi...” Mei Lan sesenggukan dan pada saat itu, Giok Keng tak dapat menahan keharuan hatinya. Dia melepaskan puteranya dan menghampiri Mei Lan. Melihat Giok Keng, Mei Lan mengerutkan alisnya dan wajahnya kelihatan tidak senang. Akan tetapi Giok Keng tetap saja merangkulnya dan berkata halus, “Mei Lan, aku pernah bersalah kepada ibumu dan kepadamu akan tetapi aku telah merasa menyesal sekali dan harap kau dapat melupakan sikapku dahulu itu. Ketahuilah, ibumu telah dibunuh oleh seorang iblis wanita bernama Yo Bi Kiok, akan tetapi iblis itu telah tewas pula di tangan ayahmu.” “Ahhh, ibu...!” Mei Lan menjerit dan tangisnya mengguguk. “Mei Lan, diam kau!” Tiba-tiba terdengar bentakan Kok Beng Lama dengan suara menggeledek, mengejutkan semua orang dan Mei Lan sendiri juga terkejut dan mengangkat muka, memandang wajah kakeknya yang bengis itu. “Sudah kukatakan tadi, apa gunanya menangisi orang yang sudah mati? Ketika aku mendengar ibumu dibunuh orang, aku sampai menjadi gila dan hal itu sama sekali tidak ada manfaatnya, malah mendatangkan kekacauan belaka. Anakku itu sudah mati, dan pembunuhnya telah terbalas, tidak ada apa-apa lagi yang perlu ditangisi. Hayo kau ikut bersamaku pergi. Lie Seng, hayo kita pergi!” Mei Lan menoleh kepada ayahnya dan Lie Seng menoleh kepada ibunya. Dua orang anak ini memang suka sekali untuk menjadi murid Kok Beng Lama yang lihai, akan tetapi baru saja mereka bertemu dengan orang tua mereka dan belum melepaskan kerinduan hati mereka. Giok Keng dan Kun Liong saling pandang dan pendekar ini dapat menduga apa yang dipikirkan oleh Giok Keng, maka dia lalu berkata kepada Kok Beng Lama, “Gak-hu, tentu saja kami berdua merasa bersyukur dan berterima kasih bahwa gak-hu sudi membimbing mereka. Akan tetapi hendaknya gak-hu ingat bahwa dengan perginya mereka, baik saya maupun Cia-sumoi hidup sebatangkara. Oleh karena itu, kami harap gak-hu tidak lebih dari tiga tahun membimbing mereka berdua dan mengembalikan mereka kepoda kami.” Kok Beng Lama mengangguk. “Baik, setelah lewat tiga tahun aku akan mengantar mereka ke tempat tinggal kalian masing-masing.” Setelah berkata demikian, Kok Beng Lama mengangguk kepada Cia Keng Hong dan menggandeng Mei Lan dan Lie Seng dengan kedua tangannya, lalu pergi dari tempat itu dengan cepat sekali. Cia Keng Hong menarik napas panjang dan memandang ke arah para perajurit yang sejak tadi sibuk menggali lubang dan mengubur para jenazah teman-teman mereka yang tadi roboh menjadi korban pertempuran, dipimpin oleh komandan mereka. Kemudian dia memandang kepada puterinya, dan berkata, “Giok Keng, kalau engkau merasa kesepian, mari ikut bersamaku ke Cin-ling-san.” Giok Keng menggeleng kepala. “Aku hendak kembali ke Sin-yang, ayah. Nanti sewaktu-waktu aku akan berkunjung ke sana.” “Kalau begitu, aku akan kembali lebih dulu.” Lalu pendekar ini mengangguk kepada semua orang yang berada di situ dan pergi membawa pedang pusaka Siang-bhok-kiam, kembali ke Cin-ling-san.   Tio Sun juga pergi bersama Kwi Beng. Pemuda peranakan Portugis ini sudah cepat dapat menguasai kekecewaan hatinya. Bahkan ketika dia mendengar percakapan antara Cia Keng Hong dan Kok Beng Lama tadi, terbuka pula mata batinnya dan dia maklum bahwa memang In Hong lebih cocok untuk menjadi jodoh Bun Houw. Dia merasa malu kepada diri sendiri, merasa betapa bodohnya dia. Dan kini diapun dapat mengerti akan keadaan Tio Sun, maka dia mengajak Tio Sun untuk pergi bersama dia ke Yen-tai. “Engkau harus membantuku, twako, membantuku untuk memberi penjelasan kepada ibu dan kepada Kwi Eng,” demikian dia berkata kepada Tio Sun ketika dia membujuk agar Tio Sun suka menemani dia pulang. Padahal dia ingin untuk mempertemukan pemuda perkasa ini dengan Kwi Eng dan sekarang tidak ada lagi halangannya setelah jelas bahwa pertunangan antara Kwi Eng dan Bun Houw telah putus. Dan memang diam-diam timbul pula harapan di hati Tio Sun setelah melihat betapa Bun Houw memilih In Hong sebagai jodohnya, timbul harapan di hatinya terhadap Kwi Eng yang membuatnya setiap malam bermimpi! Kini tinggallah Giok Keng dan Kun Liong di tempat itu. Sejenak mereka saling pandang tanpa kata-kata. Akhirnya Giok Keng menundukkan mukanya dan berkata lirih, “Selamat berpisah, suheng. Sebaiknya kita berpisah di sini.” “Kurasa sebaiknya begitulah, sumoi, Biarlah kita saling mendoakan dan dengan mengingat bahwa anak-anak kita berkumpul menjadi satu di bawah bimbingan ayah mertuaku, hal itu akan menolong banyak untuk melawan kesunyian kita. Aku akan selalu tetap ingat kepadamu, sumoi.” “Dan aku selamanya takkan melupakan engkau, suheng.” Mereka kembali saling pandang dan sinar mata mereka penuh dengan kasih sayang dan perasaan iba karena mereka merasa senasib sependeritaan, merasakan dengan jelas betapa cinta kasih di dalam hati mereka yang dulunya seolah-olah terpendam kini tumbuh dengan suburnya, namun kesadaran mereka menjauhkan cinta kasih itu dari pengotoran nafsu berahi. Mereka saling mencinta, sebagai suheng dan sumoi, sebagai pria dan wanita, sebagai sahabat senasib sependeritaan, tanpa adanya hasrat untuk saling memiliki sungguhpun mereka ingin sekali untuk saling menghibur dan meringankan beban derita batin masing-masing. Akhirnya mereka berpisah, Kun Liong kembali ke Leng-kok di mana dia hidup tenteram menanti kembalinya puterinya, dan Giok Keng kembali ke Sin-yang, juga hidup menjanda dan menyepi menanti kembalinya buteranya. Pasukan Kim-i-wi yang mengubur semua jenazah telah selesai pula dengan pekerjaan mereka lalu mereka berbaris pergi, kembali ke kota raja. Lembah Naga ditinggal sunyi. Tidak ada seorangpun manusia di situ. Sunyi menyeramkan karena tempat itu baru saja menjadi gelanggang pertempuran yang mengorbankan nyawa puluhan orang manusia, sungguhpun kini yang nampak hanya bekas-bekasnya saja, ceceran darah di sana-sini, tumbangnya pohon-pohon dan rusaknya rumput yang terinjak-injak. Akan tetapi, malam hari itu nampak sesosok tubuh wanita berjalan seroang diri di lembah itu, berjalan sambil menundukkan muka dan menangis. Wanita ini adalah Liong Si Kwi, murid mendiang Hek I Siankouw yang sudah buntung tangan kirinya, wanita yang cantik namun bernasib malang. Cintanya terhadap Bun Houw ditolak oleh pemuda itu, padahal dia telah menyerahkan kehormatannya, menyerahkan dirinya dan dia merasa di dalam lubuk hatinya bahwa perbuatannya itu tentu akan mendatangkan akibat! Kini gurunya telah tiada, hidupnya seorang diri, kehilangan tangan kiri dan kehilangan semangat dan hati yang dibawa terbang pergi oleh bayangan Bun Houw. Maka dia tidak mau meninggalkan Lembah Naga dan mengambil keputusan untuk tinggal selamanya di situ, di tempat di mana dia telah menyerahkan tubuhnya kepada Bun Houw, satu-satunya pria di dunia ini yang pernah dicintanya. *** “Ke mana kita sekarang, Hong-moi?” “Terserah kepadamu, koko.” “Aku tidak mempunyai tujuan.” “Kalau begitu kita membuat tujuan bersama.” “Ke mana?” “Ke manapun kau pergi, aku harus selalu bersamamu, Houw-koko.” “Aku tidak dapat kembali ke Cin-ling-san.” “Kalau begitu jangan ke Cin-ling-san.” “Habis ke mana?” “Sesukamulah, biar ke neraka sekalipun, aku ikut denganmu. Selamanya kita tidak boleh berpisah lagi, aku tidak mau berpisah lagi dari sampingmu.” Mereka berjalan berdampingan di dalam hutan itu dan kini Bun Houw berhenti, memegang kedua lengan In Hong. Mereka berdiri berhadapan, saling menatap wajah masing-masing di bawah sinar matahari senja yang kemerahan. “Hong-moi, biarpun telingaku sudah mendengar sendiri akan pengakuanmu di depan ayah, akan tetapi aku masih belum puas karena kata-katamu tidak kautujukan kepadaku. Hong-moi, benarkah bahwa engkau cinta padaku?” Bibir itu tersenyum manis dan sepasang pipi yang halus itu menjadi merah sekali. Tatapan sinar mata Bun Houw membuat In Hong merasa malu. “Ihhh, pandang matamu begitu... mengerikan, koko!”   Bun Houw tertawa. “Katakanlah, moi-moi, katakanlah.” “Aku cinta padamu, Houw-koko. Aku cinta padamu sejak pertama kali bertemu denganmu!” Bun Houw merangkulnya dan mereka berpelukan dengan ketat. Bun Houw berbisik di dekat telinga kekasihnya, “Hong-moi, akupun cinta padamu, aku mencintamu dengan seluruh jiwa ragaku, dengan seluruh hati dan sukmaku.” “Aku tahu, koko.” “Akan tetapi...” Suara Bun Houw mengejutkan In Hong dan dia melepaskan pelukannya, menarik tubuh ke belakang agar dapat memandang wajah kekasihnya. Dia memandang penuh selidik dan makin terkejutlah hatinya ketika dia melihat wajah kekasihnya itu kelihatan berduka dan penuh kekhawatiran. “Ada apakah, koko? Sejak meninggalkan Lembah Naga, kau pendiam dan kelihatan ada sesuatu mengganggumu. Aku dapat merasakannya itu dan dapat kulihat dari kerut di antara matamu. Houw-koko, di antara kita tidak boleh ada rahasia. Kita sudah merupakan dua badan satu hati, kebahagiaan dan penderitaan kita menjadi satu, kita nikmati dan kita pikul bersama.” “Hong-moi...” Bun Houw memeluk dan dengan terharu dia mendekatkan mukanya. Biarpun jantungnya berdebar keras penuh rasa malu dan ketegangan, namun In Hong menyambutnya dengan bibir tersenyum, setengah terbuka, menanti apa yang akan dilakukan oleh kekasihnya itu terhadap dirinya penuh keikhlasan. In Hong memejamkan mata dengan jantung berdebar tegang ketika merasa betapa bibirnya tersentuh bibir Bun Houw, akan tetapi tiba-tiba pemuda itu menarik diri dan ketika In Hong membuka matanya, dia melihat pemuda itu mengerutkan alisnya den kelihaten cemas sekali. “Houw-koko, ada apakah?” dia bertanya merasa khawatir juga. “Moi-moi, aku tidak berhak menyentuhmu sebelum kau mengetahui segalanya!” kata Bun Houw. “Sudah kuduga tentu ada sesuatu, koko, maka ceritakanlah kepadaku. Tidak boleh ada rahasia menghalang di antara kita.” Bun Houw melepaskan pelukannya dan dia lalu duduk di atas akar pohon yang menonjol keluar dari tanah. In Hong juga duduk di atas batu di depannya. Sampai lama In Hong menanti, namun pemuda itu diam saja, mukanya agak pucat. Setelah berulang-ulang dia mendesak, barulah Bun Houw bicara. “Betapa sukarnya menceritakan hal itu kepadamu, Hong-moi. Peristiwa terkutuk itu terjadi ketika kita berdua terpengaruh oleh racun perangsang itu, ketika kita berada dalam tahanan...” “Ahhhh...!” In Hong teringat semua itu dan wajahnya makin merah. Dia masih merasa malu dan jengah kalau teringat betapa di bawah pengaruh racun, dia telah bersikap luar biasa sekali, sikap yang membuatnya malu bukan main. “Akan tetapi... mengapa hal itu sekarang membuatmu risau, koko? Bukankah kita berdua telah berhasil melawan pengaruh racun, berkat keteguhan hatimu?” “Bukan berkat keteguhan hatiku, melainkan berkat kemurnian hatimu, moi-moi. Sedangkan aku... ah, aku manusia lemah!” “Tapi kita tidak melakukan pelanggaran, koko!” “Benar, denganmu memang tidak karena engkau seorang dara yang suci dan hatimu bersih. Aku masih berterima kasih kepadamu karena keteguhan dan ketahanan hatimu di waktu itu. Akan tetapi, ahhh...!” Bun Houw menarik napas lagi. Sungguh berat rasanya untuk menceritakan peristiwa itu kepada kekasihnya. “Ceritakanlah, koko. Ingat, di antara kita tidak boleh ada rahasia.” “Benar, aku harus menceritakan kepadamu, betapapun berat dan sukarnya. Dengarlah, di waktu engkau terlena dalam keadaan pingsan akibat pengaruh racun itu, tiba-tiba di sudut ruangan itu nampak lubang dan ternyata pembuat lubang itu adalah Liong Si Kwi, gadis murid Hek I Siankouw itu. Ingatkah kau?” In Hong mengangguk. “Aku ingat padanya. Nah, lalu bagaimana?” “Dia muncul dari dalam lubang dan ternyata lubang itu digalinya dari kamarnya sampai menembus ke tempat tahanan kita. Maksudnya membuat lubang itu adalah untuk menolongku, menyelamatkan aku...” “Hemm, rupanya dia jatuh cinta kepadamu sampai berlaku begitu nekat dan berbahaya, koko.” “Demikianlah agaknya. Dia memondongku dan membawaku melalui lubang itu dan sampai di dalam kamarnya. Maksudnya memang hendak membebaskan aku, akan tetapi... ah, keparat racun itu... dan dia... dia berbeda dengan engkau, Hong-moi... dalam keadaan seperti itu, dia malah merayuku... dan aku... aku tidak sadar sama sekali dan aku... tidak kuat bertahan dan...” Bun Houw tidak melanjutkan ceritanya, menutupi mukanya dengan kedua tangan, tidak berani memandang wajah kekasihnya. Berkerut kedua alis In Hong. Sepasang matanya mengeluarkan sinar berkilat, wajahnya sebentar pucat sebentar merah, hatinya dibakar oleh api cemburu, napasnya agak memburu. Akhirnya, perlahan-lahan sinar matanya melembut kembali, napasnya teratur lagi dan dia bertanya, suaranya agak gemetar dan tersendat, “Jadi kau... kau dan dia... telah... bermain cinta?” Bun Houw mengepal kedua tangannya.   “Hong-moi, harap jangan gunakan istilah itu. Memang kami telah melakukan hubungan kelamin, kau tahu bahwa aku sama sekali tidak cinta kepadanya, akan tetapi di bawah pengaruh racun yang amat kuat itu... dan ditambah rayuan wanita tak tahu malu itu...” Bun Houw membuka matanya yang menjadi merah. “Kalau tidak ada suhu dan ayah, tentu sudah kubunuh wanita itu!” “Hushhh... jangan bicara sembarangan saja, koko. Dia cinta padamu, dia sudah mengorbankan tangan kirinya. Kita patut merasa kasihan kepadanya.” Bun Houw menoleh kepada In Hong dengan mata terbelalak. “Apa...? Kau... kau tidak marah...?” In Hong mengangguk dan tersenyum. “Tentu saja hatiku penuh iri dan cemburu dan marah, akan tetapi aku dapat memaklumi keadaanmu dan aku maafkan engkau, Houw-koko.” “Hong-moi... terima kasih, Hong-moi...!” Mereka berangkulan dan kini dua mulut pemuda yang saling mencinta itu bertemu dalam satu ciuman yang amat mesra, ciuman yang mengandung getaran hati mereka sepenuhnya, seolah-olah dua perasaan hati bertemu menjadi satu lewat ciuman itu, bertaut dan tidak akan terpisah lagi. Mereka seperti lupa diri, masing-masing melimpahkan kemesraan tanpa mengenal bosan dan matahari senja agaknya cepat-cepat menyingkir untuk memberi kesempatan kepada dua orang muda itu untuk berasyik mesra. “Hong-mol...” Bun Houw berbisik sambil mengelus-elus rambut hitam panjang dan halus itu. “Hemmm...” In Hong berbisik kembali dari atas dada kekasihnya di mana dia menyandarkan kepalanya setelah debar jantungnya agak tenang sehabis diamuk badai kemesraan tadi. “Engkau masih ingat kepada Liok Sun?” “Heh? Liok Sun? Siapakah dia?” “Yang berjuluk Kiam-mo (Pedang Setan), pemilik perjudian Hok-pokoan di Kiang-shi.” “Ah, di mana engkau dahulu menjadi pengawainya? Majikanmu itulah?” “Hushh, jangan menghina aku!” Bun Houw menghardik dan mencubit pipi kekasihnya dengan mesra. “Kau tahu bahwa aku bukanlah pengawainya, melainkan hanya menyamar sebagai pengawalnya untuk menyelidiki keadaan Lima Bayangan Dewa.” “Aku tahu, koko. Nah, ada apa dengan dia?” “Dia telah tewas, moi-moi, dan betapapun juga, dia adalah seorang yang mempunyai setia kawan dan seorang sahabat yang baik. Sebelum dia mati, dia telah meninggalkan pesan kepadaku, pesan yang sudah kusanggupi.” “Heh, kau memang terlalu baik hati, Houw-ko. Apa itu kesanggupanmu?” “Dia meninggalkan pesan sebelum tewas bahwa dia menitipkan anaknya kepadaku, anaknya bernama Sun Eng, seorang anak perempuan berusia sepuluh tahun yang ditinggalkan di Kiang-shi.” “Dia bershe Liok, kenapa anaknya she Sun?” In Hong bertanya heran. “Sebenarnya namanya dahulu adalah Sun Bian Ek, nama Liok Sun hanya nama penyamaran saja untuk menyembunyikan diri.” “Hemm, belum juga menjadi isterimu sudah harus mempunyai seorang anak perempuan yang berusia sepuluh tahun!” In Hong mengomel. “Sedangkan kita belum menikah belum mempunyai rumah.” “Bukan anak, moi-moi, melainkan... yah, anggap saja seorang murid. Tidak mungkin aku mengingkari janji kepada seorang yang telah mati.” In Hong menghela napas panjang, sengaja untuk menggoda kekasihnya. “Baiklah... baiklah... memang sudah nasibku, menjadi jodoh scorang yang belum mempunyai tempat tinggal tertentu akan tetapi telah dibebani seorang anak yang besar. Hehh, enaknya menjadi jodoh pendekar sakti Cia Bun Houw!” Bun Houw menjadi gemas dan menggelitik leher dan lambung kekasihnya. In Hong terkekeh kegelian, meronta akan tetapi kedua lengan Bun Houw sudah merangkulnya, dan ketika dia mencium mulut yang terbuka itu, In Hong menghentikan gerakannya meronta dan kedua lengannya seperti dua ekor ular merayap dan melingkari leher pemuda itu. Sampai di sini, pengarang menyudahi cerita “Dewi Maut” ini dengan permintaan maaf apabila terdapat kejanggalan-kejanggalan dan kesalahan-kesalahan dalam cerita ini, dan disertai harapan mudah-mudahan cerita ini dapat sekedar menghibur hati para pembaca sebagai pengisi waktu terluang dan mengandung manfaat. Selamat berpisah dan sampai jumpa di lain cerita. T A M A T Dapatkan koleksi ebook lain di: http://jowo.jw.lt