Setelah lewat tengah hari, makin berkuranglah tamu yang datang bersembahyang dan menjelang senja tidak ada lagi tamu yang datang. Dengan bergiliran, murid-murid Cin-ling-pai melakukan penjagaan karena yang lain harus beristirahat, akan tetapi tentu saja para keluarga korban tetap di dekat peti mati dalam keadaan berkabung. Setelah semua orang mengira bahwa tidak akan ada lagi tamu yang datang, tiba-tiba muncullah dua orang dari pintu depan. Mereka ini adalah orang-orang tua, yang seorang adalah wanita tua, nenek-nenek yang usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih dengan pakaian serba hitam dan kain kepala berwarna hitam pula, berjalan sambil menundukkan muka, sedangkan yang kedua adalah seorang kakek tinggi kurus berpakaian seperti seorang tosu (pendeta To) yang melangkah masuk dan mengangkat kedua tangan di depan dada membalas penghormatan para penjaga pintu yang mempersilakan kedua orang ini terus memasuki ruangan di mana terdapat tujuh peti mati yang berjajar-jajar. Nenek itu menerima beberapa batang hio yang sudah dinyalakan oleh seorang murid Cin?ling?pai yang bertugas melayani mereka yang hendak bersembahyang, sedangkan kakek tosu itu dengan suaranya yang halus bertanya tentang mereka yang mati sehingga seorang murid Cin-ling-pai lain menceritakan bahwa yang tewas adalah enam orang di antara Cap-it Ho-han dan seorang anak murid Cin-ling-pai lainnya. Tosu itu mengangguk-angguk dan mengerutkan alisnya, kelihatan tidak senang. Sementara itu, nenek tua yang berpakaian serba hitam sudah bersembahyang di depan peti mati itu, kemudian berhenti di depan peti mati pertama yang terisi mayat Sun Kiang. Di sini dia berdiri dan berkata lirih, “Sayang, sayang... sungguh penasaran sekali mengapa kalian mati di tangan orang lain...!” Semua anak murid Cin-ling-pai terkejut dan heran sekali mendengar ucapan aneh itu, dan mereka makin heran ketika melihat betapa nenek itu kini menancap-nancapkan hio atau dupa biting itu ke atas peti mati yang terbuat dari kayu tebal dan keras. Sukar dipercaya betapa dupa biting yang rapuh itu dapat ditancapkan ke atas peti mati, seolah-olah papan peti mati yang keras itu hanya terbuat dari agar-agar saja! Dan perbuatan ini selain mendatangkan kekagetan dan keheranan, juga membuat para anak murid Cin-ling-pai menjadi marah sekali. Nenek itu mundur tiga langkah setelah menjura ke arah peti-peti mati, kemudian tosu itu melangkah mendekati peti-peti itu, tangan kanannya menepuk-nepuk setiap peti dan mulutnya berkata lirih namun cukup keras untuk terdengar oleh mereka yang berada di ruangan itu. “Memang sayang sekali, akan tetapi kalian mati di tangan Lima Bayangan Dewa sudah cukup twhormat, karena yang pantas mati di tangan pinto (aku) hanyalah ketua Cin-ling-pai...” Semua orang makin kaget, apalagi melihat betapa di setiap peti kini terdapat bekas telapak tangan kakek itu yang tadi menepuk-nepuk peti mati, tampak tanda telapak tangan menghitam di atas peti, melesak sedalam satu senti seperti diukir saja! Para anak murid Cin-ling-pai adalah orang-orang yang sudah lama mengenal ilmu silat maka mereka tentu saja mengerti bahwa tosu dan nenek yang agaknya seorang pertapa pula itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Akan tetapi karena jelas bahwa mereka itu menghina Cin-ling-pai dan bersikap memusuhi guru mereka, para murid itu sudah menjadi marah sekali dan siap untuk turun tangan mengeroyok! Akan tetapti dengan terjadinya peristiwa hebat itu membuat mereka seperti pasukan kehilangan komandan, merasa tidak berdaya dan bingung, sehingga kinipun mereka ragu-ragu dan menanti sampai seorang di antara mereka ada yang memulai. Tiba-tiba terdengar suara nyanyian dari luar, suaranya dekat sekali akan tetapi orangnya tidak nampak! “Sikap, nama, harta dan kedudukan bukanlah ukuran jiwa seorang manusia, semua itu hanya kulit belaka yang tidak dapat menentukan nilai isi. Betapa banyaknya berkeliaran di dunia hartawan yang jiwanya miskin pembesar yang jiwanya kecil dan pendeta yang menumpuk dosa!” Kakek dan nenek itu kelihatan terkejut, saling pandang lalu membalikkan tubuhnya ke arah pintu depan. Kini tampak muncullah dua orang kakek lain, yang pertama amat menarik hati karena anehnya. Dia seorang kakek tua yang usianya tentu sudah tujuh puluh tahun lebih, pakaiannya kedodoran terlalu besar, dan warna pakaiannya amat menyolok mata! Celananya kotak-kotak, bajunya kembang-kembang, kepalanya yang berambut putih itu tertutup kopyah seperti yang biasanya dipakai seorang bayi, mukanya selalu tersenyum dan matanya bersinar-sinar! Adapun orang kedua juga seorang kakek yang juga sudah tua, tentu sudah enam puluh tahun lebih, namun sikapnya masih gagah, tubuhnya tinggi kurus, pakaiannya sederhana dan matanya sipit seperti dipejamkan. Dua orang kakek yang baru datang ini agaknya tidak memperdulikan tosu dan tokouw (pendeta wanita) itu, mereka langsung bersembahyang seperti biasa, kemudian menaruh hio di tempat dupa depan peti. Akan tetapi tiba-tiba kakek yang pakaiannya aneh itu tertawa, menuding ke arah hio-hio yang tertancap di atas peti mati pertama tadi sambil berkata, “Ehh, dupa-dupa jahat, mengapa kalian begitu kurang ajar, berada di tempat yang tidak semestinya? Hayo kalian turun dan berkumpul dengan teman-temanmu di bawah!” Ucapan ini sudah aneh, seperti ucapan seorang gila karena ditujukan kepada hio-hio itu. Akan tetapi kenyataannya lebih aneh lagi sehingga membuat semua orang melongo. Siapa yang tidak akan terkejut dan heran ketika mereka melihat betapa hio-hio yang tadi ditancapkan secara luar biasa oleh tokouw itu di atas peti mati yang keras, kini seolah-olah bernyawa dan hidup, mentaati perintah kakek berpakaian kembang-kembang, bergerak dan “berjalan” turun dari peti mati lalu menancapkan diri sendiri di tempat hio bersama hio-hio yang lain! Sebelum orang-orang yang berada di situ habis keheranan mereka, kakek yang kedua itu, berjalan-jalan di antara peti-peti mati, berkata perlahan, “Hemm, mengapa buatan peti-peti ini demikian kasar sehingga masih ada telapak tangannya? Biar kuratakan.” Diapun mengusap dengan tangannya di atas bekas telapak tangan tosu tadi sehingga lenyaplah bekas-bekas telapak tangan menghitam tadi sungguhpun tentu saja permukaan peti yang sudah rusak itu tidak dapat menjadi rata dan halus kembali. Tosu dan tokouw yang menyaksikan perbuatan dua orang kakek yang baru datang itu, terkejut dan maklum bahwa mereka berhadapan dengan dua orang pandai. Tosu itu menjura dari jauh dan berkata, “Siapakah di antara ji-wi (anda berdua) yang bernama Cia Keng Hong?” Kakek yang memakai baju kembang menjawab tertawa, “Pertanyaan aneh! Seorang tamu tidak mengenal tuan rumahnya. Betapa aneh! Kami berduapun hanya tamu, akan tetapi tentu saja kami mengenal Cia Keng Hong yang ternyata tidak berada di rumah.” Tosu dan tokouw itu saling pandang. Mereka tidak ingin melibatkan diri dengan permusuhan terhadap orang-orang lain lagi yang begini lihai, sedangkan Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai itu saja sudah merupakan musuh yang amat tangguh. “Kami hanya membutuhkan Cia Keng Hong, bukan orang lain!” Setelah berkata demikian, tosu itu menjura lalu melangkah keluar, diikuti oleh tokouw tadi. Dua orang kakek itu hanya memandang dan tidak berkata apa-apa. Setelah mereka yakin bahwa dua orang itu telah pergi jauh, kakek tinggi kurus dan yang lebih muda itu menghela napas panjang dan berkata, “Sungguh berbahaya...!” Kakek berbaju kembang juga menghela napas. “Kita harus memetik buah dari pohon yang kita tanam sendiri, tak mungkin dapat dihindarkan lagi! Cinke (sebutan untuk besan) Cia Keng Hong di waktu mudanya menanam banyak sekali permusuhan sehingga sampai dia menjadi kakek-kakek sekalipun selalu masih ada musuh yang mencarinya! Sayang sekali...” Dia menggeleng-geleng kepala.   Para murid Cin-ling-pai sekarang baru berani maju den murid-murid tertua segera berlutut di depan dua orang kakek itu. Seorang di antara mereka berkata kepada kakek berbaju kembang, “Locianpwe, mengapa locianpwe tidak memberi hajaran kepada dua orang penjahat berpakaian pendeta tadi?” Kakek itu tertawa. “Ho-ho-ho, mudah saja bicara! Kalian kira aku dapat menang melawan mereka? Aha, kalau tidak dengan sedikit permainan hoatsut (sihir) dan berhasil membikin jerih mereka, agaknya kalian sudah harus menyediakan sebuah peti mati baru lagi untuk mayatku!” Para murid Cin-ling-pai itu mengenal kakek berbaju kembang ini karena kakek ini bukan lain adalah Hong Khi Hoatsu, seorang kakek aneh yang lihai dan ahli dalam ilmu hoatsut (sihir) yang selalu tertawa dan gembira, dan kakek ini sudah beberapa kali datang mengunjungi Cin-ling-pai karena dia adalah besan dari ketua Cin-ling-pai. Ketua Cin-ling-pai, yaitu Cia Keng Hong, mempunyai dua orang anak, yang pertama adalah Cia Giok Keng dan yang kedua adalah Cia Bun Houw yang kini sedang belajar memperdalam ilmu silatnya di Tibet. Anak pertama, seorang puteri yang bernama Cia Giok Keng telah menikah dengan murid yang sudah dianggap anak sendiri oleh Hong Khi Hoatsu, yaitu yang bernama Lie Kong Tek. Semua ini telah dituturkan dengan jelas di dalam cerita Petualang Asmara. Karena itu maka murid-murid Cin-ling-pai mengenal baik pendeta perantau berbaju kembang ini. Adapun kakek kedua yang lebih muda dari Hong Khi Hoatsu, yang dengan usapan tangannya dapat meratakan kembali permukaan peti-peti mati dari bekas telapak tangan tosu tadi, juga merupakan seorang tokoh besar dalam cerita Petualang Asmara. Namanya adalah Tio Hok Gwan, bekas pengawal dari Panglima Besar The Hoo. Dia memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan bertenaga besar sekali sehingga mendapat julukan Ban-kin-kwi (Setan Bertenaga Selaksa Kati). Telah seringkali dia bekerja sama dengan Cia Keng Hong di waktu dahulu sehingga dia menjadi sahabat ketua Cin-ling-pai itu. Kakek ini sekarang telah pensiun, dia meninggalkan pekerjaannya sebagai pengawal beberapa tahun yang lalu semenjak Panglima Besar The Hoo meninggal dunia. Pengalaman orang she Tio ini hebat sekali, karena dia telah mengikuti perantauan Panglima The Hoo yang menjelajahi banyak negara aneh di seberang lautan, mengalami banyak pertempuran dan sudah menghadapi banyak sekali orang-orang yang memiliki kepandaian aneh dan hebat di bagian-bagian dunia lain di seberang lautan itu. Maka dia telah memiliki pandangan yang awas dan diapun maklum bahwa tingkat kepandaian tokouw dan tosu tadi amat tinggi dan andaikata terjadi bentrokan antara mereka dengan dia, dia tidak berani memastikan apakah dia akan keluar sebagai pemenang. Itulah sebabnya dia bersikap hati-hati dan membiarkan dua orang itu pergi, sungguhpun dia maklum bahwa dua orang itu tentulah musuh-musuh dari sahabatnya, Cia Keng Hong. Sebagai besan dari ketua Cin-ling-pai,Hong Khi Hoatsu lalu dipersilakan duduk bersama Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan. Kakek berbaju kembang itu lalu bertanya apa yang telah terjadi di Cin-ling-pai sampai lalu menceritakan tentang semua melapetaka yang terjadi dan menimpa perkumpulan itu. Terkejut juga hati kedua orang kakek itu mendengar bahwa pedang pusaka Siang-bhok-kiam dicuri orang dan bahwa pembunuh-pembunuh itu adalah Lima Bayangan Dewa yang memiliki kepandaian tinggi. Ketika mendengar bahwa pencuri pedang itu mengaku bernama Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok, Tio Hok Gwan mengepal tinjunya. 31 “Ahh, pantas...! Aku pernah mendengar nama Dewa Tua Berlengan Delapan itu! Dia adalah sute dari datuk kaum sesat Ban-tok Coa-ong (Raja Ular Selaksa Racun) Ouwyang Kok yang tewas di tangan Cia-taihiap! Tentu dia datang mengacau Cin-ling-pai untuk membalas dendam kematian suhengnya. Akan tetapi, siapakah empat orang temannya yang bersama dia memakai nama Lima Bayangan Dewa itu?” Akan tetapi tidak ada seorangpun di antara para murid Cin-ling-pai yang tahu. “Yang mengetahui tentu hanya ketujuh orang suheng yang menjumpai mereka di restoran Koai-lo di Han-tiong, akan tetapi enam di antara mereka tewas dan yang seorang lagi luka parah...” murid Cin-ling-pai menerangkan. “Di mana dia yang terluka itu? Biar kami memeriksanya,” Hong Khi Hoatsu berkata. Dengan hati girang dan penuh harapan, para murid Cin-ling-pai lalu mengantarkan Hong Khi Hoatsu dan Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan ke dalam kamar di mana Coa Seng Ki rebah dalam keadaan empas-empis napasnya dan mukanya pucat kebiruan, matanya terpejam. Beberapa orang murid Cin-ling-pai menjaga di kamar itu dengan muka penuh kekhawatiran karena biarpun mereka sudah berusaha sedapatnya untuk mengobati korban ini, tetap saja keadaan Coa Seng Ki tidak kelihatan menjadi baik. Mereka sudah menjadi putus asa dan mereka kini hanya menanti datangnya ketua mereka cepat-cepat dan mengharapkan Coa Sang Ki akan dapat bertahan sampai ketua mereka pulang. Orang termuda dari Cap-it Ho-han itu masih belum sadar, masih pingsan sejak dia rebah di ruang atas rumah makan Koai-lo sampai saat itu. Hong Khi Hoatsu dan Tio Hok Gwan bergantian memeriksa keadaan Coa Sang Ki, akan tetapi mereka berdua segera maklum bahwa keadaan orang itu sudah tidak ada harapan lagi, bahwa luka-luka yang diderita oleh orang itu amat hebat dan tidak dapat disembuhkan lagi karena di sebelah dalam tubuhnya sudah terluka parah selain darahnya sudah keracunan. Paling lama Coa Seng Ki hanya akan bertahan sampai dua tiga hari lagi saja. “Bagaimana pendapatmu, Hoatsu?” tanya Tio Hok Gwan kepada temannya. Hong Khi Hoatsu menggeleng kepalanya. “Seperti telah kauketahui, dia tidak dapat disembuhkan lagi, luka-luka di sebelah dalam terlampau parah.” Tio Hok Gwan menarik napas panjang. “Dan nama-nama empat orang di antara Lima Bayangan Dewa hanya dia yang mengetahui.” Hong Khi Hoatsu mengerutkan alisnya. “Dengan kekuatan sihir mungkin aku dapat membuat dia sadar dan membantunya untuk menceritakan siapa adanya empat orang itu, akan tetapi pengerahan tenaga paksaan itu mungkin akan membuat luka-lukanya makin parah.” Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan berpikir sejenak, lalu berkata, “Betapapun juga, dia tidak dapat disembuhkan dan nama-nama empat orang penjahat itu amat penting untuk diketahui. Kalau dia dibiarkan demikian sampai mati, tidak ada gunanya sama sekali. Kurasa Hoatsu tentu mengerti akan hal ini.” Hong Khi Hoatsu mengangguk. “Memang akupun berpikir demikian. Eh, bagaimana pendapat kalian?” tanyanya kepada para murid Cin-ling-pai yang menunggu di kamar itu. Mereka saling pandang. Mereka tadi telah mendengarkan percakapan antara dua orang kakek itu dan mengerti apa yang mereka maksudkan. Kemudian seorang di antara mereka berkata, “Karena Ketua tidak ada dan Cap-it Ho-han yang mewakili suhu juga tidak ada lagi, yang ada hanya Coa-suheng yang sakit ini, maka kami semuapun tidak dapat mengambil keputusan. Terserah kepada Ji-wi locianpwe saja yang kami percaya sepenuhnya.” “Baik, dan kamipun bertanggung jawab penuh terhadap cinke (besan) atas peruatan kami ini. Nah, mundurlah kalian, biarlah aku mencoba untuk menyadarkan dia. Siapa namanya tadi?” Seorang murid memberitahukan nama si sakit kepada kakek aneh itu. Hong Khi Hoatsu lalu mendekati si sakit, mengurut-urut dan memijit-mijit kepala dan punggung orang sakit itu, kemudian dengan kedua tangan terbuka, menggetar dan digerak-gerakkan di atas kepala si sakit, terdengar dia berkata, suaranya penuh wibawa dan mengandung getaran amat kuat sehingga semua orang yang berada di situ merasa seram dan ikut tergetar batinnya, terbawa oleh pengaruh yang terkandung di dalam suara itu. “Coa Seng Ki...! Dengarkan baik-baik... dengar dan lakukan apa yang kuminta...! Aku mewakili suhumu, aku adalah besan suhumu, engkau harus taat kepadaku. Dengarkah engkau? Jawablah...!” Semua mata ditujukan ke arah wajah Coa Seng Ki yang pucat membiru, wajah yang diam tidak bergerak seperti mayat. Perlahan-lahan tampaklah cahaya kemerahan membayang pada wajah itu, mula pada lehernya, terus naik ke atas pipi sampai ke dahinya, lalu bulu mata itu menggetar, bibir itu bergerak-gerak! “Jawablah, Coa Seng Ki, jawablah... demi kesetiaan dan kebaktianmu kepada suhumu dan Cin-ling-pai, jawablah...!” Hong Khi Hoatsu berkata lagi, suaranya makin kuat dan kedua tangannya menggigil, mukanya penuh dengan keringat. Dia telah mengerahkan seluruh kekuatan sihirnya yang membutuhkan penyaluran tenaga sakti dari dalam pusarnya dan dia harus menyatukan seluruh kemauannya untuk memaksa si sakit, seperti membangunkannya, seperti membangkitkan lagi orang yang sudah tiga seperempat mati ini untuk hidup kembali. Hal ini membutuhkan tenaga mujijat yang amat kuat sehingga kakek itu kelihatan berkeringat dan mukanya menjadi pucat, dari kepala yang tertutup kopyah itu mengepul uap putih. Diam-diam Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan memandang penuh kekhawatiran. Biarpun dia tidak mengenal ilmu hoatsut, akan tetapi dia maklum betapa kakek itu mengerahkan sin-kang sekuatnya, hal yang amat berbahaya, namun dia tidak berani membantu kalau-kalau malah mengacaukan usaha Hong Khi Hoatsu. “Jawablah, Coa Seng Ki...! Apakah engkau mendengarku?” Bibir yang bergerak-gerak dari si sakit itu kini bergerak makin lebar dan terdengar jawaban seperti bisikan, “...teecu (murid) mendengar...” “Bagus, Coa Seng Ki, sekarang jawablah baik-baik semua pertanyaanku ini. Amat penting bagi suhumu kelak untuk mengetahui siapakah adanya empat orang yang membunuh enam orang suhengmu di restoran Koai-lo di kota Han-tiong. Siapakah Lima Bayangan Dewa itu?” Hening sejenak. Bibir pucat itu tergetar hebat, menggigil seperti orang sakit kedinginan, kemudian terdengar jawaban yang lemah dan gemetar, namun cukup dapat dimengerti, “...iblis-iblis itu... Liok-te Sin-mo Gu Lo It... Sin-cian Siauw-bin-sian Hok Hosiang... Hui-giakang Ciok Lee Kim... ahhhh...” Suara itu kini berobah menjadi seperti suara orang mengeluh dan mengerang. “Pertahankan, Coa Seng Ki. Siapa yang seorang lagi?” Dada itu turun naik, terengah-engah dan akhirnya bibir itu dapat juga mengeluarkan suara lagi, “...Toat... beng... kauw... Bu Sit... dan orang pertama adalah... adalah... Pat-pi.... uhhhhh...!” Kini kepala itu terkulai lemas dan Hong Khi Hoatsu menurunkan kedua tangannya, cepat memeriksa nadi tangan dan meraba dada. Dengan muka pucat dan tubuh basah kuyup oleh peluhnya sendiri dia menggeleng kepala dan memandang kepada Ban-kin-kwi. “Berakhirlah sudah...” katanya. Tio Hok Gwan lalu menggunakan jari tangannya untuk menutupkan mata dan mulut yang agak terbuka itu dan terdengar isak tangis dari para anak murid Cin-ling-pai ketika mereka maklum bahwa Coa Seng Ki sudah menghembuskan napas terakhir! “Harap kalian tidak terlalu berduka.” Hong Khi Hoatsu berkata setelah dia mengatur kembali pernapasannya. “Dia memang tidak dapat disembuhkan lagi dan kematiannya yang lebih cepat ini hanya mengurangi penderitaannya dan kalian harus berterima kasih kepadanya karena sebelum mati dia masih sempat meninggalkan nama para musuh besar itu.” Dua orang kakek itu lalu keluar dari kamar, dan duduk di ruangan depan, sedangkan para anak murid segera mengurus jenazah Coa Seng Ki. Kini semua murid Cin-ling-pai tahu sudah siapa nama lima orang musuh besar itu, yang menamakan diri mereka Lima Bayangan Dewa. Karena biarpun orang pertama tidak sempat disebutkan namanya oleh Coa Seng Ki, namun mereka semua tahu bahwa yang dimaksudkan tentulah Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok yang telah mencuri pedang Siang-bhok-kiam. “Sayang bahwa Cia-taihiap tidak berada di sini. Andaikata dia ada, tidak mungkin terjadi hal yang menyedihkan ini,” Tio Hok Gwan berkata. “Aku sudah terlalu tua, sudah malas untuk bertanding, akan tetapi mengingat akan malapetaka yang menimpa keluarga Cin-ling-pai, biarlah aku akan menyuruh puteraku untuk membantu, menyelidiki keadaan Lima Bayangan Dewa itu dan membantu untuk menghadapi mereka. Aku akan pulang kembali ke kota raja, Hoatsu.” Hong Khi Hoatsu mengangguk dan dia berkata, “Baiklah, Tio-taihiap. Dan aku sendiri akan pergi mengunjungi murid dan mantuku di Sin-yang. Siapa tahu kalau-kalau lima iblis itu akan mengganggu mantuku sebagai puteri cinke Cia Keng Hong.” Yang dimaksudkan oleh Hong Khi Hoatsu itu adalah Cia Giok Keng, puteri Cia Keng Hong yang kini telah menjadi isteri Lie Kong Tek muridnya, dan suami isteri itu tinggal di kota Sin-yang di kaki Pegunungan Tapie-san. Maka berangkatlah dua orang kakek itu meninggalkan Cin-ling-san, Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan menuju ke utara untuk pergi ke kota raja di mana dia hidup bertiga dengan putera tunggalnya dan isterinya yang jauh lebih muda darinya karena dia memang menikah agak terlambat, hidup di kota raja sebagai seorang pensiunan pengawal yang terhormat dan terjamin. Sedangkan Hong Khi Hoatau menuju ke timur untuk mengunjungi Sin-yang, tempat tinggal muridnya. Mereka berangkat setelah lebih dulu menghadiri pemakaman delapan jenazah murid-murid Cin-ling-pai itu. *** Seluruh daerah Negara Tibet merupakan pegunungan yang sambung-menyambung, pegunungan yang tinggi dan luas sekali dengan Pegunungan Himalaya sebagai benteng yang panjang dan menjulang tinggi di perbatasan selatan. Ibu kota atau kota rajanya adalah Lhasa di mana terdapat istana kerajaan dan golongan yang paling berkuasa di sana adalah para pendeta Lama. Karena seperti lajimnya di dunia ini, yang berkuasa tentu memperoleh kedudukan tinggi dan mulia, maka tentu saja terjadi perebutan kekuasaan di antara para pendeta Lama sehingga terjadilah pemecahan dan terbentuklah golongan-golongan yang kadang-kadang saling bertentangan untuk memperoleh kekuasaan. Pada waktu itu, yang berkuasa di samping raja adalah para pendeta Lama golongan Jubah Kuning den kedudukan mereka sedemikian kuatnya sehingga tidak ada golongan lain yang berani memberontak. Beberapa puluh li jauhnya dari Lhasa, di sebelah selatan, di mana sungai yang mengalir memasuki sungai besar Yalu-cangpo, terdapat sebuah kuil besar. Dahulu kuil ini menjadi pusat dari gerakan Lama Jubah Merah yang pernah memberontak akan tetapi berhasil dibasmi oleh pasukan Tibet yang dibantu oleh Pemerintah Beng (baca cerita Petualang Asmara). Kini para Lama Jubah Merah masih ada, namun mereka tidak lagi aktip dan hidup dengan penuh tenteram dan damai, bertani dan tekun hidup sebagat pertapa yang saleh. Ketua dari para Lama yang jumlahnya hanya tinggal dua puluh orang lebih ini adalah seorang yang memiliki kesaktian luar biasa dan bernama Kok Beng Lama. Di dalam cerita Petualang Asmara telah diceritakan bahwa Kok Beng Lama ini adalah ayah kandung dari Pek Hong Ing isteri dari Pendekar Sakti Yap Kun Liong. Usia pendeta Lama ini sudah delapan puluh tiga tahun namun tubuhnya masih sehat, kokoh kekar dan tinggi besar seperti raksasa. Karena ketuanya tidak mempunyai keinginan sesuatu, maka semua anggauta Lama Jubah Merah juga tidak menginginkan sesuatu kecuali hidup aman tenteram dan sehat di lembah pegunungan dekat sungai yang tanahnya subur itu. Melihat betapa Kok Beng Lama hanya tekun melatih ilmu kepada murid tunggalnya, maka para Lama itupun terbawa-bawa, tekun melatih ilmu-ilmu mereka yang memang sudah tinggi sehingga kepandaian mereka menjadi makin masak. Murid tunggal dari Kok Beng Lama ini adalah Cia Bun Houw, putera dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai. Semenjak berusia lima belas tahun, tepat seperti telah dijanjikan oleh Cia Keng Hong dan isterinya, maka Bun Houw dikirim ke tempat sunyi ini untuk belajar ilmu dari Kok Beng Lama selama lima tahun. Perjanjian ini diadakan ketika Bun Houw diculik oleh para Lama yang dulu memberontak kepada Pemerintah Tibet (baca cerita Petualang Asmara). Dengan amat tekunnya pendeta itu menurunkan ilmu-ilmunya yang paling tinggi, hasil penggemblengan ayah bundanya yang sakti di Cin-ling-pai. Pemuda itupun amat suka akan ilmu silat, maka diapun rajin sekali berlatih sehingga dengan mudahnya semua ilmu-ilmu yang diberikan oleh gurunya dapat dia terima dan kuasai dengan mudahnya. Tanpa terasa, lima tahun telah hampir lewat selama Bun Houw hidup di tempat sunyi itu. Namun dia tidak merasa kesunyian karena dia diberi kebebasan secukupnya oleh gurunya, bahkan dia diperkenankan mengunjungi dusun-dusun di sekitar tempat itu sehingga dia dapat berhubungan dengan rakyat Tibet yang cara hidupnya aneh dan asing baginya. Berkat pergaulan ini, sebentar saja Bun Houw sudah pandai berbahasa Tibet dan setelah tinggal di situ selama lima tahun, dia telah mempunyai banyak kenalan dan sahabat. Kini Cia Bun Houw telah menjadi seorang pemuda berusia dua puluh tahun. Karena ayahnya dan ibunya dahulu terkenal sebagai pria yang tampan dan wanita ang cantik sekali, maka tidaklah mengerankan apabila pemuda ini memiliki bentuk tubuh yang gagah dan wajah yang tampan pula. Dan berbeda dengan wata encinya, Cia Giok Keng, yang galak dan keras hati, sebaliknya watak pemuda in halus dan manis budi, romantis dan sama sekali tidak suka akan kekerasan! Agaknya watak ini terbina karena dia hidup selama lima tahun di tengah-tengah para Lama yang hidup penuh damai itu, dan pergaulannya dengan rakyat Tibet yang masih jujur, polos dan wajar sikapnya dalam cara hidupnya sehari-hari. Bun Houw suka akan segala yang indah-indah, dia dapat menikmati keindahan alam sampai berjam-jam tanpa bosan, melihat keindahan matahari terbit atau matahari terbenam, melihat keindahan kembang-kembang dan duduk termenung di pinggir sungai melihat air mengalir tiada hentinya sambil berdendang gembira Kegagahannya, ketampanannya, dan kemanisan budinya itu tentu saja membuat semua orang suka kepadanya, terutama sekali dara-dara Tibet yang berwatak polos dan wajar. Diam-diam banyak sekali dara Tibet yang jatuh cinta kepada Bun Houw. Akan tetapi Bun Houw bersikap manis kepada mereka semua, dan terutama sekali kepada seorang dara puteri ketua dusun yang bernama Yalima, seorang dara berusia lima belas tahun, cantik rupawan seperti setangkai bunga teratai ungu. Demikian cantik dan selelu gembira dara ini sehingga Bun Houw merasa suka sekali kepada Yalima, dan seringkali dua orang muda ini berjalan-jalan, bersendau-gurauan, bahkan Bun Houw berkenan mengajarkan ilmu silat sekedarnya kepada dara ini. Atas permintaan Bun Houw, dara Tibet ini menyebutnya koko (kakak) sedangkan dia sendiri menyebut moi-moi (adik) kepada dara itu. Mereka masing-masing saling mengajar Bahasa Han dan Tibet, dan berkat bantuan dara inilah maka Bun Houw pandai bicara dalam Bahasa Tibet dengan lancar sedangkan Yalima, biarpun dapat juga mengerti Bahasa Han, namun dia hanya dapat mengucapkan kata-kata Han dengan kaku dan lucu. Tidak pernah ada sepatahpun kata cinta keluar dari mulut kedua orang muda ini, namun tidak saling berjumpa dua tiga hari saja mereka merasa tersiksa dan rindu! Pada suatu senja, ketika Bun Houw sudah lelah berlatih ilmu pedang dan duduk beristirahat seorang diri di tempat yang disukainya, yaitu di sebuah puncak dari mana dia dapat menyaksikan matahari terbenam, pemuda ini termenung dan tenggelam ke dalam keindahan pemandangan alam yang dihadapinya. Jauh di balik puncak-puncak gunung di barat, matahari terbenam meninggalkan cahaya merah, kuning, biru yang luar biasa indahnya. Gumpalan-gumpalan mega dan awan yang biasanya berwarna kehitaman dan putih, kini terbakar oleh cahaya matahari itu menimbulkan percampuran warna sehingga terciptalah segala macam warna di dunia ini, terlukiskan di langit yang biru muda. Gumpalan-gumpalan awan itu menciptakan bermacam bentuk yang berubah-ubah dan bergerak perlahan, hampir tidak dapat diikuti pandangan mata sehingga bentuk-bentuk itu tahu-tahu berobah. Warna yang tidak menyilaukan mata, sedap dipandang dan amat berkesan di dalam hati. Keindahan yang baru, yang tidak ada hubungannya dengan keindahan matahari terbenam di waktu kemarin atau yang sudah-sudah karena memang tidak pernah sama. Keindahan yang hidup, tidak mati seperti lukisan tangan manusia. “Koko...!” Suara itu dikenalnya seketika. Siapa lagi yang memiliki suara merdu jernih seperti itu, yang menyebut kata “koko” dengan tekanan suara dan nada seperti itu kalau bukan Yalima? Suara yang merupakan keindahan baru bagi telinga, dan ketika dia menoleh dan memandang, agaknya keindahan alam di waktu matahari terbenam itu masih kalah indahnya oleh dara yang kini berdiri di depannya. Akan tetapi, mendadak Bun Houw meloncat bangun dan memandang dengan kaget dan heran. Wajah yang biasanya segar, dengan sepasang pipi merah muda, sepasang mata bersinar-sinar, bibir merah basah yang tersenyum manja penuh tantangan terhadap kehidupan, kini tampak layu dan tidak bersinar lagi, biarpun masih seindah matahari terbenam! “Moi-moi! Ada apakah...?” tanyanya sambil meloncat mendekat dan memegang tangan yang halus kulitnya akan tetapi agak kasar telapak tangannya karena setiap hari harus bekerja berat itu. Mendengar pertanyaan orang yang selalu dikenangnya ini, tiba-tiba Yalima menangis sesenggukan den menyembunyikan mukanya di dada Bun Houw! Sejenak Bun Houw menengadah dan memejamkan matanya. Aneh rasanya! Baru sekali ini dia begitu dekat dengan Yalima, biarpun hampir setiap hari mereka bercanda. Dara ini merangkul pinggangnya dan mendekapkan muka pada dadanya, terisak menangis dengan penuh kesedihan. Bun Houw menekan jantungnya yang berdebar tegang, kini kekhawatiran menguasai hatinya dan melupakan ketegangan yang aneh itu. Tangannya mengusap rambut yang hitam halus dan amat panjang, dikuncir menjadi dua itu. Diusapnya rambut di kepala yang berbau harum bunga itu. “Aih, moi-moi, tenangkanlah hatimu dan ceritakan apa yang terjadi maka engkau yang belum pernah kulihat menangis menjadi begini berduka. Ceritakanlah dan aku pasti akan menolongmu.” Mendengar ucapan ini, Yalima melepaskan rangkulan kedua lengannya pada pinggang pemuda itu dan melangkah mundur. Mukanya menjadi merah sekali, matanya juga agak merah dan air mata membasahi kedua pipinya, juga baju dalam Bun Houw menjadi basah. Sepasang alis kecil hitam melengkung indah seperti dilukis itu agak berkerut, akan tetapi terkilas di pandang matanya sikap yang agak canggung dan malu, agaknya baru teringat olehnya betapa tadi dia memeluk pemuda itu dan mendekap begitu erat. Bun Houw menuntun tangan dara itu duduk di atas batu-batu licin bersih yang sering mereka pergunakan sebagai bangku-bangku di waktu mereka bercakap-cakap dan bersendau gurau di situ. Bun Houw mengeluarkan sehelai saputangan bersih dan kering dari sakunya karena dara itu memegang saputangan yang sudah basah semua. “Keringkanlah air matamu dan hidungmu!” katanya tersenyum menghibur. Yalima menerima saputangan itu, menyusut air matanya, juga hidungnya karena di waktu menangis tadi, bukan hanya matanya yang mengeluarkan air, melainkan juga hidungnya. Tanpa malu-malu karena memang mereka sudah akrab, Yalima menyusut hidungnya yang kecil mancung, kemudian dia mengembalikan saputangan yang menjadi basah itu akan tetapi sebelum Bun Houw menerimanya, dia sudah menariknya kembali dan berkata, suaranya agak parau karena tangis, “Biar kucuci dulu!” “Ahh, mengapa pula kau ini? Tidak usah dicuci juga tidak apa!” Bun Houw mengambil kembali saputangannya dan memasukkannya ke dalam saku bajunya. “Terima kasih...” dara itu berkata, menyedot hidungnya dan menahan isak. “Moi-moi, apakah yang terjadi? Kau mengejutkan hatiku benar.” “Koko, benarkah engkau akan menolongku?” “Tentu saja!” Gadis cilik itu menggelengkan kepalanya dengan muka sedih. “Tidak mungkin, koko. Kau tidak akan bisa menolongku.” “Ceritakanlah dulu apa persoalannya, jangan kau mudah putus harapan.” Dara itu memandang wajah Bun Houw, lalu tiba-tiba dia memegang tangan pemuda itu, dikepalnya tangan kanan pemuda itu dengan jari-jari kedua tangannya yang kecil, diguncangnya dan didekapnya sekuat tenaganya ketika dia berkata, “Koko, kautolonglah aku, tolonglah aku! Ayah hendak membawaku ke Lhasa!” Bun Houw memandang aneh. “Ah, mengapa engkau minta tolong? Bukankah sudah sering engkau diajak ayahmu ke Lhasa?” “Akan tetapi sekali ini untuk selamanya, koko. Aku tidak akan kembali kesini lagi.” “Eh? Mengapa begitu?” “Aku... aku... akan dihaturkan kepada seorang pangeran...” Gadis itu kembali terisak dan memandang Bun Houw dengan mata basah. “Koko, kautolonglah aku... akan tetapi... bagaimana mungkin... ahh, bagaimana baiknya, koko?” Bun Houw memegang kedua pundak dara itu sambil temenyum. “Engkau ini aneh sekali, moi-moi. Setiap orang wanita di daerah ini tentu akan menceritakan berita ini sambil tertawa-tawa penuh bahagia. Bukankah setiap wanita, terutama setiap orang gadisnya di daerah ini selalu mengharapkan agar dapat dihaturkan kepada seorang pangeran yang berkuasa di Lhasa? Kau akan berganti pakaian indah setiap hari, tidak usah bekerja di sawah dan bekerja berat, berenang di atas uang dan perhiasan, terhormat dan senang...” “Aku tidak mau! Aku tidak suka!” “Hemm, kau lebih suka tetap menjadi seorang petani miskin di sini...?” “Biar! Aku lebih suka menjadi petani miskin di sini!” “Dan... kelak menikah dengan seorang petani miskin pula, selama hidup menderita kurang makan dan pakaian?” “Tidak! Ayahku kepala dusun, dia sudah cukup...” “Tetap saja kelak engkau akan menikah dengan seorang petani...” “Tidak! Aku tidak sudi menikah dengan petani!” “Habis, dapat pangeran tidak mau, petani tidak mau...” “Pendeknya aku tidak mau pergi meninggalkan tempat ini, tidak mau pergi meninggalkan engkau, koko!” Bun Houw tersentak kaget, sejenak termenung memandang langit yang sudah mulai gelap, cahaya kemerahan sudah mulai menipis. Dara itu terisak lagi. “Moi-moi, bagaimana... aku dapat menolongmu?” “Hu-hu-huuuk... aku sudah tahu... kau tak dapat menolongku... hu-huuh!” Yalima menangis lagi. “Tenang dan dengarlah, moi-moi. Aku akan berusaha. Besok aku akan menemui ayahmu dan membujuknya. Akan tetapi lebih dulu ceritakan, mengapa ayahmu yang telah menjadi kepala dusun, yang tidak kekurangan sesuatu, hendak mempersembahkan engkau kepada seorang pangeran?” Yalima menyusuti air matanya dan menghentikan tangisnya, kemudian setelah berulang kali menghela napas dia berkata, “Seperti telah kauketahui, koko, aku mempunyai dua orang kakak laki-laki. Ayah ingin agar kedua orang kakakku berhasil memperoleh kedudukan baik kelak di Lhasa dan jalan satu-satunya hanyalah memasukkan mereka bekerja membantu seorang pangeran yang berpengaruh. Untuk mengambil hati pangeran itu, uang tidak ada gunanya karena kekayaan ayah hanya sedikit dan pangeran itu tidak membutuhkan uang. Maka ayah lalu mengambil keputusan untuk mempersembahkan aku kepadanya. Pangeran itu amat berpengaruh sehingga kalau aku dapat berada di sana tentu semua keluarga akan terangkat dan terutama kedua orang kakakku akan mudah memperoleh kedudukan yang baik. Pangeran itu kabarnya tua sekali, akan tetapi kedudukannya tinggi. Aku tidak suka, koko, sungguh mati, aku tidak suka!” Bun Houw menarik napas panjang. “Moi-moi, ingatkah engkau bahwa kita pernah membicarakan nasib wanita di sini? Di sini, bahkan juga di negeriku sana, wanita seperti barang dagangan saja, tidak seperti manusia. Wanita tidak mempunyai hak untuk menentukan nasib dirinya sendiri, hanya menurut saja kepada orang tua untuk diberikan atau dijual kepada siapapun juga. Jelas bahwa demi kemakmuran keluargamu, engkau hendak dikorbankan, dijual dengan cara halus kepada pangeran itu oleh ayahmu. Dan tentu ayahmu menganggap hal itu wajar dan baik saja, karena kebiasaan itu telah berjalan ratusan tahun. Kaulah yang aneh dan dianggap salah kalau kau menolak, hal itu dianggap sebagai suatu pemberontakan terhadap kebiasaan yang sudah turun-menurun dan dianggap tidak berbakti terhadap orang tua.” “Akan tetapi aku tidak suka meninggalkan... engkau, koko!” Bun Houw menggigit bibirnya, hatinya terguncang tanpa dia tahu mengapa. Ucapan itu seperti menusuk hatinya. “Moi-moi, aku akan menemui ayahmu besok pagi. Sekarang pulanglah agar engkau tidak dicari dan dimarahi ayahmu. Biasanya dia sangat suka dan hormat kepadaku, siapa tahu dia akan mendengar bujukanku dan merobah niatnya itu.” “Ah, terima kasih, koko! Malam ini aku tidak akan tidur, aku akan bersembahyang semalan suntuk agar ayah suka menurut kata-katamu.” Setelah berkata demikian, dara itu bangkit berdiri, melepaskan tangan Bun Houw perlahan-lahan dan ragu-ragu seolah-olab dia merasa sayang melepaskannya, kemudian dia barlari dari situ dengan lincahnya. Sampai lama Bun Houw mengikuti bayangan dara itu menurunt puncak. Setelah bayangan itu menghilang di balik batu besar, barulah dia bangkit berdiri dan dengan gerakan cepat sekali dia berlompatan dan berlari-lari pulang ke kuil. Hatinya terasa tidak enak sekali sehingga malam itu dia tidak bisa makan dan setelah berada di dalam kamarnya dia tidak dapat tidur nyenyak. Sepanjang malam dia gelisah dan kalau dapat pulas terganggu oleh mimpi buruk tentang Yalima. Hatinya gelisah dan penuh penasaran mengingat betapa Yalima akan diberikan sebagai sebuah benda berharga kepada seorang pangeran tua. Terbayang olehnya betapa dara muda itu dengan penuh kengerian harus menyerahkan diri dijadikan barang permainan seorang pangeran tua! Betapa mengerikan! Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia sudah keluar dari kuil dan berlatih silat pedang di belakang kuil. Hatinya penuh dengan rasa penasaran yang mendekati kemarahan. Bayangan betapa Yalima menangis dan meronta-ronta dalam pelukan seorang pangeran tua, merintih dan minta tolong kepadanya, membuat Bun Houw seperti diamuk api yang panas hatinya. Dia bersilat pedang dengan amat ganasnya. Pedang di tangannya lenyap berubah menjadi sinar putih bergulung-gulung amat panjang dan lebarnya, menimbulkan angin yang mengeluarkan bunyi bercuitan memekakkan telinga, dan daun-daun pohon tergetar bahkan ujungnya berhamburan ke bawah seperti dibabat senjata tajam ketika pedang itu bergerak dengan sinarnya ke atas. Berkali-kali Bun Houw meneriakkan bentakan-bentakan nyaring seolah-olah dia sedang merobohkan semua orang yang sedang memaksa Yalima menuju ke pelukan pangeran tua. Akan tetapi, betapapun kemarahan menguasai dirinya, dia tidak melupakan ilmu pedang yang diajarkan oleh gurunya, bahkan dengan semangat meluap-luap dia mencoba mainkan jurus simpanan yang amat sukar dilatih, yaitu jurus rahasia yang oleh suhunya dinamakan jurus Hong-tian-lo-te (Angin dan Kilat Mengacau Bumi). Tiba-tiba terdengar bunyi berdesing, pedang itu melayang ke udara dan pada saat itu, kedua tangan Bun Houw terkepal, dengan tenaga sin-kang yang dahsyat kepalan kirinya menghantam ke arah pohon besar den kepalan tangan kanannya melayang ke arah batu di tempat itu. “Krakkk...! Pyarrrr...!” Pohon itu tumbang dan batu pecah berhamburan, sedangkan pedang itu sudah melayang turun kembali, cepat disambar oleh tangan kanan pemuda itu dan empat kali pedang berkelebat maka sisa batang pohon terbabat putus dua kali dan sisa batu juga pecah dua kali oleh pedang itu! Mata Bun Houw terbelalak dan mukanya agak pucat, terkejut bukan main dia menyaksikan akibat latihannya mainkan jurus ampuh itu. Bukan saja jurus itu dapat dia mainkan dengan baik, juga sesaat tadi dia lupa sama sekali, lupa diri sehingga dia merusak pohon dan batu yang sama sekali tidak bersalah, bahkan yang merupakan penghias tempat itu. Dengan mata kosong dia memandang bekas tempat pohon dan batu besar dan merasa malu kepada diri sendiri. Dia mengerti bahwa kebingungan dan kemarahan membuat dia lupa diri dan bertindak seperti orang gila. “Omitohud... mengerikan sekali engkau mainkan Hong-tian-lo-te!” Bun Houw membalikkan tubuhnya dan cepat menjatuhkan diri berlutut di depan Kok Beng Lama. “Harap suhu sudi memaafkan teecu. Teecu telah berhasil melatih Hong-tian-lo-te, akan tetapi teecu telah merusakkan batu dan pohon ini.” “Siancai... engkau pinceng (aku) lihat seperti sedang kemasukan setan. Muridku, ayo cepat katakan kepada gurumu, mengapa engkau tiba-tiba berubah menjadi pemarah seperti ini!” Bun Houw tidak sanggup mengelabui pandang mata gurunya yang biarpun tua masih amat tajam itu, dan iapun berpendapat bahwa mungkin gurunya dapat memberi jalan yang baik bagaimana agar Yalima tidak sampai dipaksa menjadi selir pangeran tua di Lhasa. “Memang teecu sedang merasa penasaran sekali, suhu, mendengar cerita seorang sahabat teecu bernama Yalima puteri kepala dusun di bawah puncak. Dia hendak dipersembahkan kepada seorang pangeran tua di Lhasa, padahal anak itu tidak mau dan dia kemarin telah menemui teecu dan sambil menangis minta tolong kepada teecu. Karena merasa tidak sanggup menolongnya, maka teecu menjadi penuh penasaran sehingga ketika berlatih tadi tanpa disadari teecu telah melampiaskan kemarahan den rasa penasaran teecu...” “Terhadap sebatang pohon dan sebongkah batu yang tidak berdosa. Ha-ha-ha! Betapa lucunya! Coba ceritakan dengan jelas kepada pinceng.” Bun Houw lalu menceritakan kepada suhunya tentang diri Yalima dengan suara penuh semangat. Gurunya mendengarkan sambil tersenyum. Setelah Bun Houw selesai bercerita, dia bertanya, “Lalu, apa yang hendak kaulakukan untuk menolong gadis itu?” “Teecu hendak menjumpai ayahnya yang telah teecu kenal dengan baik dan teecu hendak membujuknya agar dia mengurungkan niatnya itu.” Kembali Kok Beng Lama tertawa bergelak, kemudian dia meninggalkan muridnya setelah berpesar agar muridnya melanjutkan latihannya pagi hari itu, setelah selesai latihan baru boleh pergi. Bun Houw lalu berlatih penuh semangat dan latihan yang sungguh-sungguh ini membuat tubuhnya lelah dan tidak memberi kesempatan kepada pikirannya untuk membayangkan hal yang amat tidak disukanya, yaitu bayangan Yalima dalam pelukan pangeran tua! Setelah selesai berlatih, barulah dia bertukar pakaian sehabis mandi bersih, lalu dia meninggalkan kuil, turun dari puncak menuju ke dusun tempat tinggal Yalima dan langaung mendatangi rumah kepala dusun yang merupakan rumah terbesar di dusun itu. Kepala dusun menyambutnya dengan ramah dan mempersilakannya duduk di ruangan dalam, Bun Houw sudah amat dikenal di dusun itu, dan sudah beberapa kali dia datang di rumah kepala dusun ini untuk bercakap-cakap. Ketika dia duduk, dia melihat Yalima dengan muka masih pucat namun mata bersinar penuh harapan berkelebat di ruangan belakang, memandang kepadanya. Keraguan hatinya lenyap dan ketika tuan rumah menanyakan keperluannya datang di rumah itu, dengan suara tenang Bun Houw berkata, “Harap paman memaafkan saya. Kedatangan saya ini ada hubungannya dengan berita yang saya dengar bahwa paman hendak mempersembahkan adik Yalima kepada seorang pangeran tua di Lhasa, benarkah berita itu?” “Wahai orang muda! Urusan ayah dengan anak perempuannya sebetulnya adalah urusan pribadi yang tidak boleh dicampuri orang lain. Akan tetapi karena engkau adalah orang Han, maka biarlah tidak mengapa, apalagi memang engkau adalah murid tunggal yang mulia Kok Beng Lama dan sahabat baik puteriku. Memang benar berita itu, Cia-kongcu (tuan muda Cia).” “Maaf, paman. Akan tetapi, Yalima tidak suka dipersembahkan kepada pangeran tua itu, mengapa harus demikian?” Orang tua itu menarik napas panjang. “Ahh, kongcu tidak mengerti keadaan kami di sini. Satu-satunya harapan bagi rakyat Tibet untuk dapat hidup terpandang dan kecukupan hanyalah apabila bisa memperoleh kedudukan di Lhasa dan jalan satu-satunya untuk itu hanya melalui orang-orang yang mempunyai pengaruh seperti para pangeran. Saya hanya seorang kepala dusun yang miskin dan tidak ada cara lain untuk dapat mendekati seorang pangeran kecuali melalui anak perempuanku yang kebetulan terlahir cantik menarik. Hanya itulah modal kami, kongcu. Kalau kami melakukan persembahan itu, yang kuyakin akan diterima karena Yalima amat cantik menarik, maka kami sekeluarga akan hidup bahagia. Yalima akan menjadi seorang wanita bangsawan yang terhormat dan kaya raya, orang tuanya juga akan terangkat derajatnya sedangkan dua orang kakaknya akan memperoleh kedudukan mulia di sana.” “Tapi... tapi... kesenangan keluarga paman didapatkan dengan mengorbankan Yalima! Itu tidak adil namanya! Yalima akan hidup menderita tekanan batin karena dia tidak suka menjadi selir pangeran tua.” “Sebagian besar gadis muda juga begitu sebelum mereka tiba di Lhasa. Akan tetapi setelah berada di sana, mereka akan merasa bangga dan gembira sekali. Pula, apakah kongcu melihat jalan lain agar keluarga kami dapat hidup baik sampai keturunan kami kelak?” Bun Houw tidak mampu menjawab. Sampai lama dia mengerutkan keningnya, lalu dia berkata, “Betapapun juga, perbuatan ini tidak adil dan kejam, paman!” “Hemm, Cia-kongcu. Hanya ada satu jalan, dan agaknya kalau kongcu sudah demikian memperhatikan nasib Yalima, tentu berarti kongcu mencintanya, bukan?” Bun Houw terkejut bukan main seperti disengat ular berbisa. Hampir dia meloncat dari bangku yang didudukinya. “Me... mencinta...?” teriaknya. “Tentu kongcu mencinta anak kami.” “Aku... aku tidak tahu... saya suka kepadanya dan kasihan, paman.” “Begini, Cia-kongcu. Kalau kongcu mencintanya dan kongcu suka mengambilnya sebagai isteri, nah... biarlah saya akan membatalkan niat mempersembahkan dia kepada pangeran tua di Lhasa. Mempunyai mantu seperti kongcu juga sudah mengangkat derajat kami dan kelak kami harap kongcu dapat membantu kedua orang kakaknya itu.” Bun Houw tercengang dan melongo seperti seekor monyet mendengar petasan. “Ini... ini... saya tidak bisa memutuskan begitu saja, paman. Ini... ini adalah urusan penting yang harus disetujui orang tuaku dan... dan seujung rambutpun saya belum memikirkan untuk menikah...” Kepala dusun itu menarik napas panjang. “Kalau begitu, apa boleh buat... kami harus membawanya ke Lhasa.” Bun Houw merasa diperas den dia berkata dengan muka merah. “Terserah kepada paman karena dia adalah puteri paman. Yalima tentu akan memaafkan saya karena saya sudah berusaha membujuk paman. Kalau paman berkeras hendak menjual puteri sendiri, saya tidak bisa melarang, hanya saya selamanya akan menganggap bahwa paman adalah seorang ayah yang amat keji! Selamat tinggal, paman.” “Eh, nanti dulu, orang muda!” Kepala dusun itu berkata dan ikut bangkit pula. “Duduklah dulu dan jangan tergesa-gesa.” Bun Houw duduk kembali karena sadar bahwa sikapnya terlampau kasar, hal ini terdorong oleh kecemasannya memikirkan nasib Yalima. “Semua ucapan kongcu berkesan sekali di hati saya, karena merupakan hal yang baru pertama kali ini terjadi. Selamanya belum pernah ada orang menganggap seorang ayah berlaku keji terhadap puterinya yang dipersembahkan kepada pangeran! Dan juga baru sekarang ini ada orang luar berani mencampuri urusan antara ayah dan anak perempuannya. Baiklah kongcu. Selama kongcu menjadi sahabat kami dan sahabat puteriku Yalima, selama kongcu berada di sini, saya berjanji tidak akan mengantar Yalima ke Lhasa.” Hati Bun Houw sudah sedemikian girangnya sehingga dia tidak mendengarkan dengan teliti. Dia meloncat den merangkul kepala dusun itu, menepuk-nepuk pundaknya, bahkan hampir saja dia suka mencium pipi yang brewokan itu saking gembira hatinya. “Terima kasih, paman. Terima kasih...!” katanya girang dan khawatir kalau-kalau kepala dusun itu akan menarik kembali janjinya yang tak disangka-sangkanya itu, dia segera berpamit dan kembali ke kuil. “Suhu, teecu berhasil! Teecu berhasil!” Kok Beng Lama memandang muridnya yang bersorak-sorak seperti anak kecil itu dengan mulut tersenyum. Tentu saja dia sudah tahu akan semua yang terjadi di rumah kepala dusun, karena sebetulnya muridnya mengunjungi ayah Yalima tadi, dia sudah lebih dulu menemui kepala dusun itu dan semua jawaban kepala dusun termasuk janjinya kepada Bun Houw adalah menurut petunjuknya yang ditaati sepenuhnya oleh kepala dusun itu! “Bun How, cinta benarkah engkau kepada dara itu?” Seperti tadi ketika mendengar perkataan tentang cinta dari kepala dusun, kini Bun Houw terkejut, bahkan lebih kaget daripada tadi karena yang berkata adalah suhunya. Seluruh mukanya berubah menjadi merah ketika dia mengangkat muka memandang wajah gurunya. “Suhu... teecu suka dan kasihan kepada adik Yalima...” “Itu tandanya cinta, maka engkau membelanya mati-matian.” “Teecu tidak tahu, teecu tidak mengerti apa yang dimaksudkan dengan cinta, dan tentang pembelaan itu... andaikata Yalima itu seorang gadis lain yang mengalami nasib sama, hendak dipaksa diluar kehendaknya dipersembahkan kepada seorang pangeran tua, agaknya teecu juga akan membelanya. Apalagi dia yang selama ini menjadi sahabat baik teecu...” Kok Beng Lama menghela napas. “Pinceng mengerti, muridku. Akan tetapi, pembelaanmu ini tentu saja menimbulkan harapan-harapan di dalam hati keluarganya, dan di dalam hati dara itu sendiri.” Bun Houw tidak mengerti dan menjaweb seperti hendak membela diri, “Dia menangis dan minta pertolongan teecu...” “Sudahlah, Bun Houw. Memang sebaiknya kalau kau tidak jatuh cinta kepada dara itu, karena hal itu hanya akan mendatangkan keruwetan saja dalam hidupmu. Ah, agaknya engkau lupa bahwa waktu yang kita janjikan, yaitu lima tahun, telah lewat tanpa terasa oleh kita. Kurasa dalam hari-hari mendatang ini ayahmu akan datang untuk menjemputmu pergi dari sini.” “Ohhh...! Sudah lima tahun?” Bun Houw terkejut, akan tetapi juga girang. Betapa selama ini dia sering merindukan ayah bundanya, merindukan Cin-ling-san den para anak murid Cin-ling-pai. Setelah kini dia hampir dapat melupakan kerinduannya karena kehidupan yang mulai menarik di Tibet, tahu-tahu lima tahun telah lewat den dalam waktu singkat dia akan ikut ayahnya kembali ke Cin-ling-san! “Aihh, teeeu senang tinggal di sini, suhu, dan teecu sedang berlatih dengan giat...” “Muridku, ada waktunya berkumpul tentu akan tiba saatnya berpisah. Mengenai ilmu, semua ilmu yang kukenal telah kuberikan kepadamu, dan ditambah dengan ilmu yang kaupelajari dari ayahmu, kiranya engkau sekarang telah melebihi pinceng sendiri. Nah, kau bersiap-siaplah sebelum ayahmu tiba-tiba datang mengajakmu pergi agar engkau tidak menjadi kaget.” Bun Houw pergi meninggalkan suhunya dengan perasaan tidak karuan rasanya. Ada rasa girang, akan tetapi juga ada rasa sedih meninggalkan tempat yang mulai disukanya itu. Dia naik ke puncak yang menjadi tempat kesukaannya itu dan duduk termenung di atas batu. Apalagi ketika tempat ini, mengingatkan dia kepada Yalima karena baru kemarin dara itu menangis dan menemuinya di tempat ini, seketika kegembiraannya untuk pulang ke Cin-ling-san lenyap. Teringatlah dia sekarang mengapa Yalima menolak dan menangis ketika hendak dibawa pergi ke Lhasa oleh ayahnya, apa kata gadis itu? Bahwa Yalima tidak bisa meninggalkan tempat ini, tidak bisa meninggalkan dia! Dan sekarang tiba giliran dia yang harus pergi dan dia merasa betapa beratnya meninggalkan pegunungan ini, betapa beratnya meninggalkan Yalima! “Houw-ko (kakak Houw)...!” Bun Houw menengok dan tersenyum melihat Yalima berlari-lari naik ke puncak itu. Ketika tiba di depannya, seluruh wajah yang halus itu kemerahan dan napasnya terengah-engah karena dia tadi lari terus pada jalan yang mendaki. Betapa segarnya sepasang pipi itu, kemerahan seperti digosok yanci. Betapa beningnya sepasang mata yang bersinar-sinar itu, bagian putihnya amat bersih dan manik hitamnya berkilauan. Dan mulut itu. Tersenyum lebar, segar kemerahan dan amat manisnya, dengan bibir basah dan penuh, terhias lesung pipit di sebelah kiri ujung mulut. “Koko, terima kasih...” katanya dan langsung dia berlutut di depan Bun Houw sambil memegang tangan pemuda itu, digenggamnya erat-erat dengan kedua tangannya. “Terima kasih, Houw-ko. Engkau telah menghidupkan kembali Yalima!” Bun Houw tersenyum. Rasa kebahagiaan yang aneh dan hangat menyelinap ke dalam hatinya, terasa benar olehnya. Dia membalas genggaman jari-jari tangan kecil itu dan berkata, “Aku girang melihat engkau bergembira, Yalima adikku yang manis.” Sambil mengguncang-guncang tangan Bun Houw karena gelora perasaannya, dara itu bercerita, “Aku mendengarkan semua percakapan antara engkau dan ayah! Aku bersembunyi di balik bilik itu dan tahukah apa yang menjadi keputusanku di saat itu? Kalau engkau tidak berhasil, kalau ayah bersikeras memaksaku, aku akan bunuh diri!” “Aihh, moi-moi...!” Benar, koko. Akan tetapi ketika mendengar ayah akhirnya berjanji padamu tidak akan membawaku ke Lhasa, hampir aku berteriak-teriak saking senangku, akan tetapi aku tidak berani berteriak dan aku hanya menari-nari saja. Ahh, Houwko... engkau membikin aku bahagia sekali, sampai mati aku tidak akan melupakan pertolonganmu, koko!” Terdorong oleh gelora hatinya yeng penuh kelegaan dan kebahagiaan, merasa telah terlepas dari ancaman yang amat mengerikan baginya, Yalima lalu membawa tangan pemuda yang digenggamnya itu ke depan mukanya, dibelainya dengan hidung, bibir, dan pipinya. Jantung Bun Houw berdebar keras, tangannya yang diciumi oleh dara itu menjadi gemetar dan dia cepat-cepat menarik tangannya, lalu merangkul sehingga Yalima rebah di atas dadanya dan tidak dapat lagi menciumi tangannya. Yalima seperti tidak bertulang lagi, begitu lemas dan lunak rebah di atas dadanya, kepalanya bersandar di atas dada dan kedua lengan Bun Houw tanpa disengaja memeluk pinggangnya. Yalima juga melingkarkan kedua lengan di atas lengan pemuda itu, memegangi tangannya seolah-olah tidak ingin kedua lengan pemuda itu terlepas lagi dari rangkulan pada punggungnya. Duduk seperti itu, bersandar di dada dan dipeluk pinggangnya, mendatangkan rasa aman dan nyaman, dia merasa seperti terayun-ayun di antara gumpalan awan putih di langit biru, begitu penuh damai, tenteram bahagia dan bebas dari segala ancaman. Yalima memejamkan matanya, takut kalau-kalau yang dialaminya ini hanya mimpi lagi saja seperti yang terlalu sering dia mimpikan, dia tidak ingin pengalaman ini, biar dalam mimpi sekalipun, untuk berakhir, ingin rebah seperti itu selama hidupnya! Sampai lama dua orang muda itu duduk seperti itu. Bun Houw di belakang, Yalima di depan setengah rebah di dadanya, kedua lengannya melingkari pinggang yang amat kecil itu dan jari-jari tangan Yalima tergetar-getar dan halus seperti anak-anak ayam yang baru menetas, hinggap di atas kedua tangannya. Juga Bun Houw memejamkan matanya, tenggelam timbul di antara kenikmatan dan kesungkanan, dibuai oleh gelora hatinya sendiri. Getaran-getaran aneh di tubuhnya membuat Bun Houw merasa cemas juga, dan dia mengambil keputusan untuk memecahkan kesunyian yang nikmat namun mencemaskan itu dengan kata-kata yang keluar agak tersendat dan gemetar. “Moi-Moi, aku... dapat merasakan kedukaanmu ketika hendak pergi, karena... akupun merasa demikian... setelah diingatkan suhu bahwa akupun akan pergi dari sini...!” Jerit halus meluncur keluar dari mulut Yalima dan dengan gerakan cepat seperti seekor ular dia membalikkan tubuhnya menghadapi Bun Houw. Demikian cepat gerakannya sehingga kedua lengan Bun Houw masih melingkari pinggangnya dan kini kedua tangan dara itu mencengkeram dada baju Bun Houw, mukanya begitu dekat hampir bersentuhan dengan muka Bun Houw dan kedua matanya memandangi penuh selidik dan penuh kecemasan seperti mata seekor kelinci yang ketakutan dikejar harimau. “Apa katamu, koko? Kau... kau mau pergi...? Pergi meninggalken tempat ini, meninggalkan... aku...?” Suaranya tersendat-sendat, muka yang tadi kemerahan dan berseri itu kini menjadi pucat. Bun Houw merasa betapa kecemasan hebat terbawa oleh pertanyaan itu, dan begitu dekatnya muka dara itu sehingga hembusan napasnya dan hawa ketika berkata-kata itu terasa meniup pipinya dengan halus. Dia hanya mengangguk, akan tetapi anggukan ini datang seperti palu godam menghantam kepala Yalima. “Houw-ko... eh, Houw-ko, aku ikut...! Kalau kau pergi, bawalah aku, Houw-ko... biar aku akan menjadi pelayanmu, menjadi budakmu, menjadi apa saja... akan tetapi bawalah aku bersamamu...” Melihat sepasang mata lebar dan indah itu terbelalak penuh kecemasan, hidung yang kecil mancung itu kembang kempis cupingnya seperti mau menangis, mulut yang mungil dengan bibir yang merah basah itu tergetar dan gigi-gigi kecil putih seperti mutiara menggigit bibir bawah yang merah penuh seolah-olah mudah pecah itu untuk menahan tangis, Bun Houw merasa terharu sekali. “Hushhh... moi-moi... hushhh, jangan berkata begitu, Yalima...” “Bawalah aku bersamamu, koko, biar aku menjadi anjingmu, kudamu dan akkk..” Yalima tidak dapat melanjutkan kata-katanya. Bagaimana dia dapat mengeluarkan kata-kata kalau mulutnya yang setengah ternganga itu tiba-tiba saja ditutup oleh mulut Bun Houw? Pemuda ini selama hidupnya belum pernah mengenal cinta, selama hidupnya baru ini berdekatan dengan seorang dara, dan tentu saja dalam mimpinyapun belum pernah mencium seorang wanita, apalagi beradu mulut seperti itu. Tadi ketika mendengar ucapan Yalima yang rela menjadi anjing atau kudanya, dia tidak tahan untuk menghentikan kata-kata yang merendahkan diri itu. Kedua tangannya masih memeluk pinggang, dan dia setengah mati terpesona oleh keindahan mulut yang berada demikian dekatnya, mulut yang mengeluarkan kata-kata yang harus dihentikannya itu, maka agaknya hanya naluri saja yang menggerakkan dia untuk menghentikan kata-kata itu dengan menutup mulut Yalima dengan mulutnya sendiri! Yalima merasa seolah-olah tubuhnya kemasukan getaran yang amat hebat, yang membuatnya setengah pingsan den begitu merasa mulutnya tersumbat, matanya terbelalak, akan tetapi mata itu lalu terpejam karena pengertian bahwa yang menutup mulutnya adalah bibir Bun Houw mendatangkan perasaan demikian nikmat den hangat sehingga dia hanya mengerang dan tanpa disadarinya bibirnyapun bergerak mempererat ciuman yang terjadi tiba-tiba tanpa direncanakan lebih dulu itu! Entah berapa lamanya sepasang mulut itu bertemu den dalam seat seperti itu waktu lenyap artinya bagi mereka, diri sendiri dilupakan dan yang hidup hanyalah pengalaman itu. Sampai mereka terpaksa melepaskan mulut karena kehabisan napas, tersendat-sendat den terengah-engah Bun Houw melepaskan mulutnya, membuka mata yang tadi terpejam tanpa disadarinya den kini dia memandang dengan penuh keheranan wajah Yalima, seolah-olah baru saat itu dia mengenal wajah dara ini. Yalima membuka sedikit matanya yang menjadi sayu, bulu matanya gemetar, matanya sukar dibuka seperti mata orang yang mengantuk, den bibirnya berbisik tanpa suara, hanya membentuk kata dengan gerakan bibirnya yang menjadi makin basah den merah, “Koko... Houw-ko...” Melihat wajah yang begitu dekat itu, mata yang setengah terpejam, hidung yang kembang-kempis, mulut yang setengah terbuka, dada yang terengah-engah dan jantung yang berdetak keras terasa karena terhimpit dadanya sendiri, timbul perasaan aneh di dalam hati Bun Houw. Timbul desakan dan dorongan yang tidak dimengertinya, tidak dikenalnya, yang membuat dia ingin sekali.... membelai semua bagian muka itu, membelai dengan hidungnya, dengan bibirnya, bahkan ingin dia menjilat mata, hidung den mulut itu! Seperti tidak sadar, dia hanya menjadi budak dari dorongan hasrat itu, dan ketika dia membelai mulut Yalima dengan hidung, bibir dan lidahnya, dara itu mengerang dan naiklah sedu-sedan dari dadanya. Begitu mendengar suara sedu-sedan ini, seketika Bun Houw sadar. Dia berseru keras, melepaskan pelukannya dan meloncat turun dari atas batu itu. Gerakannya ini tiba-tiba sekali sehingga hampir saja Yalima terguling dari atas batu kalau tidak cepat-cepat Bun Houw menyambar tangannya. Mereka kini berdiri saling berhadapan, agak jauh, muka mereka pucat dan dari kedua mata Yalima mengalir air mata. “Yalima... maafkan... maafkan aku...” “Houw-ko...” “Apa... apa yang kulakukan tadi...? Maafkan aku...” “Houw?ko...” Yalima yang tak dapat mengeluarkan kata-kata itu hanya menyebut namanya dan terisak. “Moi-moi, aku... aku pulang dulu ke kuil...!” Tanpa menanti jawaban, pemuda itu meloncat dan bagaikan terbang cepatnya dia sudah lari meninggalkan Yalima yang masih menangis terisak-isak. Sampai tiga hari lamanya pengalaman yang dianggapnya merupakan pengalaman yang paling aneh dan paling hebat selama hidupnya itu mencekam perasaan Bun Houw, membuat dia tidak enak makan tidak nyenyak tidur! Dia merasa bingung, merasa bersalah, malu, akan tetapi juga harus diakuinya bahwa tidak sedetikpun wajah dengan mata sayu dan mulut setengah terbuka itu dapat terlupa olehnya. Kemesraan yang dialaminya itu menggores kuat-kuat di dalam hatinya dan diam-diam dia mengakui bahwa selama hidupnya belum pernah dia mengalami saat-saat bahagia seperti itu. Diam-diam dia merasa berbahagia akan tetapi juga khawatir karena dia merasa seperti memasuki suatu bagian hidup yang aneh dan asing, yang tidak dikenal dan dimengertinya sama sekali. Pada hari ke empat dia mengambil keputusan untuk pergi mencari Yalima. Tadinya, selama tiga hari itu, perasaan rindunya tertahan oleh rasa malu yang amat besar, dan oleh perasaan khawatir kalau-kalau dara itu akan marah dan benci kepadanya atas semua perbuatan yang telah dilakukannya, yang kini kalau dikenangnya merupakan perbuatan yang amat menghina dara itu agaknya. Akan tetapi pagi hari ke empat ini, dia mengeraskan hatinya, hendak menjumpai Yalima dan minta maaf. Dia percaya bahwa dara yang amat baik budi itu akan suka memaafkannya. Ada suatu hal yang merupakan rahasia baginya, yang tidak mungkin terpecahkan karena dia tidak akan berani bertanya kepada Yalima. Yaitu, ketika mereka beradu bibir dan mulut mereka saling bertemu, benarkah bibir dara ini bergerak-gerak menyambutnya, mengecupnya, dan terasa olehnya ada dua lengan kecil halus melingkari lehernya? Setelah mengenakan pakaiannya yang terbaik, Bun Houw keluar dari kamarnya, akan tetapi tiba-tiba suara suhunya di ruangan depan memanggilnya. Ketika dia memasuki ruangan itu, dia melihat ada empat orang laki-laki yang berusia antara lima puluh sampai enam puluh tahun lebih, bersikap sederhana namun gagah, duduk di ruangan itu berhadapan dengan suhunya. “Twa-suheng... (kakak seperguruan pertama)...! Ji-suheng (kakak seperguruan ke dua)...!” Bun Houw segera lari masuk dan cepat menjura dengan hormat kepada empat orang tamu itu yang bukan lain adalah empat orang pertama dari Cap-it Ho-han, murid-murid kepala ketua Cin-ling-pai yang diutus oleh guru mereka untuk menjemput Bun Houw pulang. Dua orang pertama, Kwee Kin Tan dan adiknya, Kwee Kin Ci, amat sayang kepada Bun Houw yang biarpun terhitung adik seperguruan mereka namun seperti anak atau keponakan mereka sendiri yang mereka kenal sejak lahir dan sejak kecilnya. “Aihh, sute, engkau telah menjadi seorang pemuda perkasa!” Kwee Kin Ta yang kini telah menjadi seorang kakek berusia enam puluh tabun lebih itu berseru gembira sambil memegang lengan pemuda itu. “Tentu kepandaianmu telah menjadi hebat sekali sekarang, sute!” Kwee Kin Ci juga memuji dan demikian pula, orang ke tiga dan ke empat dari Cap-it Ho-han menyatakan kegembiraan hatinya. “Kami diutus oleh ayahmu untuk menjemputmu pulang, sute,” kata pula Kwee Kin Ta. Bun Houw mengangguk, terhimpit antara perasaan suka dan duka, akan tetapi sebagai seorang pemuda gemblengan dia telah dapat membuat air mukanya biasa saja, bahkan kelihatan girang ketika dia menjawab, “Beri aku waktu dua hari, twa-suheng. Aku harus pamit dulu kepada seluruh sahabatku di daerah ini.” Empat orang Cap-it Ho-han itu tidak menaruh keberatan karena selain mereka tidak tergesa-gesa, juga mereka merasa senang dengan tempat yang indah itu, dan perjalanan jauh itu melelahkan sehingga beristirahat barang dua tiga hari amat baik bagi mereka. Para pendeta Lama lalu mempersiapkan sebuah kamar tamu untuk mereka, dan Kok Beng Lama segera meninggalkan muridnya agar dapat bercakap-cakap dengan para suhengnya itu. Memang telah beberapa bulan ini Kok Beng Lama jarang meninggalkan kamarnya di mana dia selalu duduk bersamadhi dengan tenangnya   Hampir sehari lamanya Bun Houw bercakap-cakap dengan keempat orang suhengnya, saling menuturkan keadaan selama lima tahun ini. Mendengar bahwa ayah bundanya dan Cin-ling-pai baik-baik saja, senanglah hati Bun Houw dan penuturan empat orang suhengnya itu menimbulkan rasa rindu kepada kampung halamannya. Sore hari itu dan keesokan harinya dipergunakan untuk berpamit dari para penghuni dusun-dusun di sekitar tempat itu. Akan tetapi dia masih belum berani mengunjungi dusun Yalima. Dia merasa bingung dan ngeri kalau harus berpamit dari Yalima, sedangkan urusan kemarin dulu itupun belum dibereskannya. Dan selama itu, tidak nampak Yglima datang mencarinya. Agaknya dara itu marah dan benci kepadanya. Dan kalau dia harus datang hanya untuk berpamit pergi meninggalkan Yalima, sungguh tugas ini amat berat dan pertemuan itu tentu tidak menyenangkan. Maka, setelah bersangsi sampai lama di puncak, memandang ke arah dusun tempat tinggal Yalima, akhirnya dia memutuskan untuk besok pada hari terakhir saja sebelum berangkat mengunjungi dusun itu dan minta diri dari Yalima dan keluarganya. Maka dia lalu menuruni puncak dan berjalan perlahan-lahan kembali ke kuil. Kunjungan terakhir di puncak itu benar-benar membuat dia lemas karena teringatlah semua pengalamannya yang hebat dengan Yalima di puncak itu. Dalam perjalanan ke kuil ini, Bun Houw melangkah perlahan-lahan dan pikirannya bekerja keras. Dia memang ingin pulang, rindu kepada ayah bundanya, dan juga tidak mungkin dia harus bersembunyi di tempat sunyi ini, karena, seperti kata gurunya, kepandaiannya akan terpendam dan jerih payahnya sejak kecil melatih diri dengan banyak ilmu akan sia-sia belaka kalau tidak dipergunakan untuk kemanusiaan. Memang seluruh perasaannya sudah menariknya untuk segera pulang ke Cin-ling-san. Akan tetapi setiap kali teringat kepada Yalima, jantungnya menjadi perih rasanya. Baru beberapa hari ini dia telah melakukan hal yang amat tidak patut kepada dara itu, dan kini dia akan meninggalkannya. Teringat akan ini, lenyaplah semua kegembiraarmya akan pulang ke Cin-ling-san dan dia menjadi bingung. Sebagian hatinya ingin segera pulang ke Cin-ling-san, akan tetapi sebagian lagi ingin selalu berdekatan dengan Yalima! Seperti biasa, dia memasuki kuil melalui pintu belakang yang berbentuk bulan purnama dan yang menembus taman bunga di belakang bangunan-bangunan kuil. Ketika dia hendak memasuki pintu bulan itu, terdengar suara berkeresekan. Pendengarannya amat tajam dan dia cepat menengok, hanya untuk terpaku di tempatnya karena dia melihat Yalima berdiri dengan pakaian dan rambut kusut, wajah pucat dan pandang mata sayu, mata layu karena banyak menangis agaknya. “Yalima...!” “Houw-ko...!” Dara itu terisak. “Aku... aku mendengar... dari orang-orang... kau... kau akan... pergi...?” “Yalima...!” “Houw-ko...!” Seperti ditarik oleh besi sembrani, kedua orang muda itu lari saling menghampiri dengan kedua pasang tangan mereka terkembang dan di lain saat mereka sudah saling dekap. Kedua lengan Bun Houw melingkari punggung dan kedua lengan Yalima melingkari leher. Di antara isak tangis Yalima, seperti tidak disengaja, kembali dua mulut itu bertemu dalam suatu ciuman yang mesra, yang disertai oleh seluruh gairah perasaan yang menggelora, yang panas dan menjadi pelepasan seluruh kerinduan hati. “Yalima...!” “Koko, aku ikut... demi para Dewa... aku ikut... jangan kautinggalkan aku, Houw-ko...!” Mereka mengeluh, merintih dan saling berciuman seolah-olah kehidupan mereka bergantung dari pertemuan yang asyik masyuk ini. Bun Houw memegang kedua pundak dara itu dan memaksanya dengan halus untuk melepaskan pelukan mereka. Sejenak mereka saling pandang, air mata masih bercucuran menimpa sepasang pipi yang kini menjadi agak kemerahan itu, dan banyak air mata itu juga telah membasabi muka Bun Houw ketika mereka berciuman tadi. “Yalima, kau... kau memaafkan aku... tentang kemarin dulu...” Bun Houw berkata gugup dan seketika dia sadar betapa bodohnya pertanyaannya itu. Bagaimana dia mengharapkan maaf tentang “kesalahannya” menciumi gadis itu kalau sekarang begitu berjumpa mereka sudah saling berciuman lagi? “Houw-ko, aku tidak akan memaafkan apa-apa karena kau tidak bersalah apa-apa...” dara itu mulai bicara lancar, akan tetapi kembali tersendat-sendat kalau teringat betapa pemuda ini akan meninggalkannya. “Akan tetapi... jangan tinggalkan aku... kaubawalah aku bersamamu, koko...” “Tenang dan sabarlah, moi-moi. Mari kita duduk dan bicara dengan baik.” Dia menuntun tangan gadis itu dan mereka duduk di bawah pohon di luar taman itu, terhalang oleh pagar tembok. Dengan kedua pasang tangan masih saling berpegangan, Bun Houw lalu berkata lirih, “Yalima, aku terpaksa akan pulang dulu ke Cin-ling-san karena ayahku telah mengutus empat orang suhengku untuk menjemputku. Dan engkau tentu mengerti bahwa tidaklah mungkin untuk mengajakmu begitu saja. Selain orang tuaku tentu tidak akan menyetujui, juga orang tuaku mungkin akan marah-marah kepadaku kalau aku membawa anak gadis orang begitu saja.” Yalima mengusap air matanya, menahan isaknya dan menundukkan mukanya dengan alis berkerut dan rambut kusut. Melihat keadaan dara ini, timbul keinginan luar biasa kuatnya di hati Bun Houw untuk meraihnya, memeluk tubuh itu dan mendekap kepala itu, menghibur dan membujuknya agar jangan berduka. Hatinya ingin meraih gadis itu dengan penuh rasa haru dan iba. “Nasibku memang...” terdengar suaranya lirih. “Aku tidak jadi dibawa ke Lhasa, engkau yang pergi meninggalkan aku. Apa bedanya...?” “Yalima...” Kini aku sadar betul bahwa ketidakrelaanku dibawa ayah ke Lhasa semata-mata karena ada engkau di sini, Houw-ko. Kalau engkau pergi, aku... aku... tidak perduli apa-apa lagi...” “Yalima, jangan berkata demikian! Aku tidak akan melupakan engkau begitu saja! Aku... aku suka dan kasihan kepadamu... aku tidak suka melihat engkau menderita atau berduka hanya... sementara ini, tak mungkin aku mengajakmu ke Cin-ling-san. Betapapun, aku berjanji akan bicara dengan ayah bundaku tentang dirimu. Jangan engkau membikin berat perjalananku yang jauh ke Cin-ling-san dengan kedukaanmu, moi-moi.” Yalima makin menunduk, sejenak seperti orang berpikir, kemudian menghapus air matanya dan dia bangkit berdiri, senyum paksaan membayang di wajahnya. “Baik, koko! Baiklah, pulanglah engkau, dan aku menghaturkan selamat jalan. Memang aku bodoh, mengapa minta yang bukan-bukan dan yang tidak mungkin? Apapun yang akan terjadi dengan diriku, aku sudah merasa bahagia karena... karena... engkau... eh, suka dan kasihan kepadaku. Selamat jalan, koko...!” Dia lalu membalikkan tubuhnya dan lari, menahan isaknya. “Moi-moi...!” Sekali meloncat, Bun Houw sudah berada di depan gadis itu, menghalang jalan. Mereka berdiri berhadapan. “Houw-ko...!” Yalima tak dapat menahan jeritnya dan dia lalu menubruk, merangkul dan kembali dua orang muda itu saling rangkul dan saling dekap dengan ketat seolah-olah hendak melebur tubuh masing-masing menjadi satu agar jangan sampai terpisah lagi. Terdengar suara orang terbatuk-batuk dari balik pintu bulan. Bun Houw cepat melepaskan pelukan dan ciumannya. Dua butir air mata berlinang di pelupuk matanya dan baru sekali ini dia begitu terharu sampai melinangkan air mata! Cepat dia menengok dan mukanya berubah menjadi merah sampai ke lehernya ketika dia melihat bahwa yang batuk-batuk itu adalah Kwee Kin Ta, twa-suhengnya! “Twa-suheng... ini... dia ini... eh, Yalima sababatku...” “Sute, kita harus berangkat sekarang juga, harap kau bersiap-siap,” suara suhengnya agak kering karena betapapun juga, hati murid pertama dari Cin-ling-pai ini terkejut dan tidak suka menyaksikan perbuatan sutenya yang berdekapan dan berciuman di tempat terbuka seperti itu dengan seorang dara Tibet. “Maaf... maafkan saya...” Yalima berkata sambil menjura kepada Kwee Kin Ta dengan suara gemetar, kemudian sekali lagi dia memandang dengan sinar mata mengandung seribu satu macam perasaan ke arah wajah Bun Houw, kemudian membalikkan tubuhnya dan pergi dari situ. “Maaf, suheng...” Bun Houw berkata sambil menundukkan mukanya. “Dia... dia sahabat baik... eh, seperti adik sendiri, dan... dia... amat berduka oleh perpisahan ini...” “Tidak apa, sute, aku mengerti perasaan hati orang muda, asal engkau hati-hati dan tidak mudah tunduk terhadap perasaan muda yang menggelora dan berbahaya dan tidak sembarangan memilih! Hatiku terasa tidak enak, maka aku telah memutuskan bersama para suhengmu yang juga merasa tidak enak, untuk berangkat sekarang juga. Malam ini terang bulan dan perjalanan di pegunungan di malam terang bulan tentu indah sekali.” “Baik, suheng.” Setelah berkemas, Bun Houw dan empat orang suhengnya berpamit kepada Kok Beng Lama yang masih duduk bersamadhi di dalam kamarnya. Kakek ini sama sekali tidak membuka matanya ketika lima orang itu berlutut dan minta diri, akan tetapi ketika mereka berlima meninggalkan kamar itu, Bun Houw mendengar suara gurunya berbisik di telinganya, “Selamat berpisah, muridku, dan lupakan saja Yalima!” Bun Houw tidak terkejut karena maklum bahwa suhunya telah menggunakan ilmunya yang disebut Coan-im-jip-bit (Ilmu Mengirim Suara Dari Jauh) yang diapun sudah dapat melakukannya, yaitu menggunakan khi-kang yang kuat menujukan suara hanya untuk telinga orang yang ditujunya. Akan tetapi dia merasa terkejut mendengar pesan agar dia melupakan Yalima! Mungkinkah ini? Dia tidak percaya bahwa dia akan mampu melupakan dara itu. Dia lupa akan janji ayah Yalima kepadanya, yaitu bahwa selama Bun Houw berada di tempat itu, kepala dusun itu tidak akan membawa Yalima ke Lhasa. Tentu saja sekarang setelah Bun Houw pergi dan tidak berada di tempat itu, lain lagi persoalannya! *** Laki-laki yang berdiri termenung di tepi Telaga Kwi-ouw itu adalah seorang yang bertubuh sedang, namun tegap dan membayangkan kekuatan dahsyat. Pakaiannya sederhana saja namun pakaian dalamnya ringkas tertutup jubah lebar dan lengan panjang yang digulung di bagian pergelangannya. Di balik jubah lebar itu dia membawa sebatang pedang yang tergantung di pinggang, agak ke atas sehingga ujungnya tidak sampai tersembul keluar dari jubah lebar itu. Kepalanya tertutup rambut yang hitam tebal, dikumpulkan ke belakang menjadi sehelai kuncir yang besar dan tebal, dan pada saat itu kuncirnya melibat pundak dan lehernya. Seorang laki-laki yang bersikap gagah, berwajah tampan dengan sepasang mata yahg amat tajam, berusia kurang lebih tiga puluh enam tahun. Agaknya dia termenung cukup lama di tepi telaga, dan memang demikianlah. Telaga Kwi-ouw ini mendatangkan kenang-kenangan hebat dalam ingatannya, kenang-kenangan manis dan pahit menjadi satu. Pria ini adalah Pendekar Sakti Yap Kun Liong yang kini tinggal di Leng-kok, yaitu tempat tinggal mendiang ayah bundanya, bersama isterinya yang tercinta yang bernama Pek Hong Ing, puteri dari Kok Beng Lama dan Yap Mei Lan, seorang anak mereka, anak tunggal yang sebetulnya hanyalah anak tiri dari Pek Hong Ing. Seperti telah diceritakan di dalam cerita Petualang Asmara, Pendekar Sakti Yap Kun Liong pernah melakukan hubungan badan, bermain cinta dengan seorang wanita bernama Lim Hwi Sian yang sekarang telah meninggal dunia. Hubungan yang terjadi karena cinta sefihak dari Lim Hwi Sian ini menghasilkan seorang anak perempuan, dan sebelum Lim Hwi Sian dan suaminya yang syah meninggal dunia, wanita yang mencintai Yap Kun Liong ini menyerahkan anak mereka kepada pendekar ini. Pek Hong Ing adalah seorang wanita yang bijaksana dan dengan hati murni mencinta suaminya, maka pengakuan Kun Liong tentang anak ini diterima dengan penuh pengertian dan kesabaran sehingga anak itu kemudian mereka pelihara dan tidak ada orang lain kecuali Kun Liong dan beberapa orang tokoh yang dekat hubungannya dengan mereka mengerti babwa Yap Mei Lan, demikian nama anak perempuan itup adalah anak tiri Pek Hong Ing. Anak itu sendiri tidak tahu dan menganggap bahwa Pek Hong Ing adalah ibu kandungnya. Karena teringat akan mendiang ayah bundanya, Kun Liong mengajak isteri dan anaknya tinggal di Leng-kok di mana dahulu orang tuanya tinggal dan mengalami malapetaka dalam hidup mereka (baca Petualang Asmara). Di kota ini dia melanjutkan usaha orang tuanya, yaitu membuka toko obat, karena dia juga mewarisi kitab tentang pengobatan dari ibunya. Karena Kun Liong dan isterinya tidak pernah menonjolkan diri, maka tidak ada seorangpun mengira bahwa suami dan isteri itu adalah pasangan pendekar yang berilmu tinggi terutama sekali Kun Liong yang memiliki kepandaian amat tinggi dan sukar dicarinya bandingnya. Kun Liong juga tidak mengambil murid, hanya melatih anaknya sendiri, Mei Lan yang pada waktu itu telah berusia empat belas tahun, seorang dara remaja yang lincah jenaka, memiliki mulut yang amat indah seperti mulut ibu kandungnya, Lim Hwi Sian, yang pernah membuat Kun Liong tergila-gila hanya karena keindahan mulutnya. Beberapa pekan yang lalu, tak tersangka-sangka Kun Liong kedatangan seorang yang cepat disembutnya dengan penuh kehormatan karena orang itu bukan lain adalah seorang di antara guru-gurunya dan merupakan orang yang paling dihormatinya, yaitu Cia Keng Hong, kakek yang menjadi ketua Cin-ling-pai bersama isterinya. Kun Liong dan isterinya menyambut tergopoh-gopoh dengan penuh kehormatan dan kegembiraan, dan mereka berempat mengobrol sampai jauh malam sebelum suami isteri dari Cin-ling-pai itu dipersilakan mengaso dalam kamar tamu. Yap Mei Lan yang terheran melihat ayah bundanya begitu menghormat tamu-tamu itu, mendengar penuturan ayah bundanya tentang Pendekar Sakti Cia Keng Hong yang menjadi ketua Cin-ling-pai, dan dara remaja inipun menjadi kagum sekali. Kegembiraan Kun Liong bertambah ketika mendengar pada keesokan harinya bahwa kedatangan dua orang terhormat itu adalah untuk membicarakan tentang perjodohan putera ketua Cin-ling-pai itu dengan Yap In Hong, adiknya! “Putera kami tinggal seorang, demikian pula keturunan orang tuamu tinggal adikmu itu, Kun Liong. Maka harapan kami agar pertalian antara kami dan orang tuamu dapat disambung dengan perjodoban ini. Karena orang tuamu sudah tidak ada, maka tentu saja engkau menjadi wali dari adikmu itu,” demikian antara lain Keng Hong ketua Cin-ling-pai itu berkata. Mendengar ini, Kun Liong mengangguk-angguk dan terbayanglah semua peristiwa yang lalu. Pernah dia hendak dijodohkan dengan Cia Giok Keng, puteri pendekar sakti ini, namun karena tidak saling mencinta, perjodohan itu gagal (baca Petualang Asmara). Giok Keng menikah dengan Lie Kong Tek murid Hong Khi Hoatsu, sedangkan dia menikah dengan Pek Hong Ing puteri Kok Beng Lama. Agaknya hati ketua Cin-ling-pai ini masih penasaran dan kini ingin menyambung pertalian keluarga itu antara putera mereka dan adiknya. Akan tetapi, betapapun juga usul yang amat menggembirakan hatinya ini dibarengi dengan kekhawatiran yang amat besar pula. Sejak kecil adiknya itu, Yap In Hong, dipelihara sebagai murid terkasih oleh Yo Bi Kiok yang karena cinta terhadap dirinya tidak terbalas menjadi benci kepadanya dan memusuhinya! “Teecu (murid) akan berusaha untuk mencari dan memberi tahu kepada adik In Hong tentang usul perjodohan yang amat baik ini.” Hanya demikian kesanggupannya, karena biarpun dia sudah mendengar bahwa Yo Bi Kiok telah menjadi ketua Giok-hong-pang dan kini bermarkas di Kwi-ouw, akan tetapi masih ragu-ragu apakah perintahnya kepada adik kandungnya untuk menerima jodoh putera ketua Cin-ling-pai ini akan ditaati oleh adiknya. Terutama sekali karena di sana terdapat Yo Bi Kiok yang mengambil sikap sebagai musuhnya (baca Petualang Asmara). Demikianlah, setelah ketua Cin-ling-pai yang tinggal selama sepekan di Leng-kok itu pulang bersama isterinya. kembali ke Cin-ling-san, Yap Kun Liong lalu pergi untuk mencari adik kandungnya itu. Melihat latar belakang hubungan Yo Bi Kiok dengan suaminya, maka Pek Hong Ing mengerti bahwa kalau dia ikut pergi, hal itu hanya akan menambah kacau keadaan saja. Dia percaya bahwa suaminya tentu akan dapat mengatasi Yo Bi Kiok dan akan depat membujuk In Hong, maka dia hanya berpesan agar suaminya berhati-hati, sedangkan dia menjaga rumah dan toko bersama dengan Mei Lan, puterinya. Terhadap Mei Lan, wanita cantik ini amat mencintanya, karena dia sendiri tidak memperoleh keturunan selama pernikahannya yang sudah belasan tahun dengan suami terkasih itu. Biarpun selama ini dia tidak pernah mencari In Hong, namun Kun Liong tidak pernah dapat melupakan adiknya itu. Ketika dia melakukan penyelidikan dan mendengar tentang perkumpulan wanita yang bernama Giok-hong-pang di lereng Bukit Liong-san, dia menduga bahwa tentu perkumpulan itu dipimpin oleh Bi Kiok, karena dia tahu bahwa Bi Kiok berjuluk Giok-hong-cu. Berkat kepandaiannya yang tinggi, dia dapat menyelidik tanpa diketahui dan giranglah dia ketika mendapat kenyataan bahwa memang tepat dugaannya. Perkumpulan itu dipimpin oleh Yo Bi Kiok dan adiknya menjadi seorang dara cantik dan gagah, murid terkasih dari ketua Giok-hong-pang. Hal ini ia sempaikan kepada isterinya yang memberi nasihat bahwa tidak baik kalau suaminya itu dengan paksa hendak memisahkan adik kandung itu dari Bi Kiok. Ingat, suamiku. Biarpun Bi Kiok bukan ibu atau kakak sendiri dari adikmu itu akan tetapi jelas babwa Bi Kiok amat sayang kepada adikmu. Setelah bertahun-tahun adikmu dididiknya dan dipeliharanya, tentu saja adikmu juga lebih dekat dengan dia daripada denganmu, biar engkau kakak kandungnya sendiri. Ingat anak kita. Bukankah aku juga amat sayang kepadanya dan dia amat sayang kepadaku?” Karena nasihat-nasihat isterinya yang tercinta, Kun Liong mendiamkan saja dan tidak pernah dia mendatangi adiknya. Bahkan ketika dia mendengar betapa Giok-hong-pang kini memindahkan pusatnya di Kwi-ouw, dia juga tidak ada pikiran untuk mengganggu ketenteraman hidup In Hong bersama gurunya itu. Dia mengerti bahwa pertemuan antara dia dan Bi Kiok hanya akan menimbulkan keributan belaka dan hal ini sama sekali tidak ada kebaikannya bagi dia sendiri maupun bagi In Hong. Akan tetapi, kemunculan Pendekar Sakti Cia Keng Hong dan isterinya yang membicarakan soal perjodohan antara putera ketua Cin-ling-pai itu dengan adik kandungnya, menggugah semangatnya. Betapapun juga, adik kandungnya adalah puteri dari ayah bundanya, sepasang pendekar ternama! Tidak mungkin dia membiarkan saja adiknya itu terseret ke dalam dunia kaum sesat dan berjodoh dengan seorang tokoh hitam! Tidak, ini merupakan tugas kewajibannya yang terakhir untuk berbakti kepada mendiang orang tuanya, yaitu mengatur agar In Hong berjodoh dengan putera ketua Cin-ling-pai, sahabat-sahabat baik sekali dari orang tuanya dahulu. Pagi hari itu, Kun Liong sudah tiba di tepi Telaga Kwi-ouw dan termenung mengingat semua peristiwa yang terjadi dan yang dialaminya ketika dia masih meniadi seorang pemuda dahulu, belasan tahun yang lalu di telaga ini. Teringat dia akan perebutan bokor emas yang merupakan pusaka milik Panglima The Hoo yang diperebutkan oleh seluruh tokoh kang-ouw baik dari kalangan putih maupun hitam sehingga akhirnya bokor emas itu tanpa ada yang mengetahuinya terjatuh ke tangan Yo Bi Kiok (baca Petualang Asmara). Dia pernah menyerbu pulau di tengah Telaga Kwi-ouw itu, maka kini diapun tidak ragu-ragu lagi dan tahu bagaimana harus mendatangi pulau di tengah telaga itu tanpa terjebak perangkap yang banyak dipasangi orang di sekitar daerah Telaga Setan ini. Pada waktu itu, telah lebih dari tiga bulan Giok-hong-pang merampas Kwi-ouw dan menjadikan pulau di tengah telaga itu sebagai markas besarnya. Yo Bi Kiok tinggal di telaga itu, di dalam gedung mewah di tengah pulau bersama muridnya Yap In Hong yang telah memperlihatkan kelihaiannya ketika bersama gurunya menyerbu pulau dan menaklukkan orang-orang Kwi-eng-pang. Seperti telah diceritakan di bagian depan, para anggauta Giok-hong-pang yang menjadi wanita-wanita kejam pembenci pria karena disakithatikan oleh kaum pria, kini setelah mempunyai hamba-hamba taklukan dari para anggauta Kwi-eng-pang, mulai tergoda oleh nafsu berahi mereka sendiri sebagai manusia-manusia biasa yang perlu menyalurkan nafsu-nafsunya itu sehingga mulailah mereka mempergunakan pria-pria taklukan itu untuk menjadi pelayan mereka dalam bermain cinta yang hanya didasari atas nafsu berahi belaka. Yo Bi Kiok sendiri tidak pernah melakukan hal ini, akan tetapi karena dia maklum akan keadaan para anak buahnya dan amatlah berbahaya kalau hal itu dilarangnya, tidak melarang terjadinya hal itu. Akan tetapi In Hong menjadi muak dan jijik melihat betapa para anggauta itu kini menjadi pemerkosa-pemerkosa, menjadi budak-budak nafsu berahi yang melampiaskannya dengan cara memaksa para pria tawanan itu. Dia mulai muak dan tidak tahan terhadap segala kekasaran dan kekejaman para anggauta Giok-hong-pang, merasa tidak puas melihat sikap dingin seperti mayat hidup dari gurunya dan mulailah dia tidak kerasan tinggal di situ bersama gurunya den para anggauta Giok-hong-pang yang merupakan wanita-wanita kejam. Yo Bi Kiok tidak melarang ketika In Hong menyatakan keinginannya untuk merantau. “Aku tidak keberatan, muridku. Akan tetapi hati-hatilah engkau melakukan perjalanan seorang diri. Dunia ini amat kejam, terutama terhadap wanita. Memang engkau perlu untuk meluaskan pengetahuanmu dan melihat dunia ramai, berhubungan dengan masyarakat. Akan tetapi, engkau telah mempunyai bekal ilmu kepandaian yang akan cukup untuk melindungi keselamatanmu. Dengan ilmu-ilmu yang kuajarkan selama ini kepadamu, tidak akan ada orang yang dapat mudah mengalahkanmu. Akan tetapi engkau tetap harus waspada dan hati-hati, terutama sekali menghadapi pria! Bukan kekasarannya yang perlu ditakuti, akan tetapi bujukan mulut manisnya! Lihat betapa banyaknya kaum wanita yang rusak hidupnya oleh bujukan manis mulut pria.” “Teecu mengerti, subo,” jawab In Hong karena peringatan akan berbahayanya bujukan mulut manis pria ini sudah didengarnya ratusan kali sejak dia kecil, tidak hanya dari mulut gurunya melainkan juga dari mulut para anggauta Giok-hong-pang sehingga di dalam hatinya tumbuh pula perasaan tidak senang dan tidak percaya kepada kaum pria. “Dan setahun sekali engkau harus kembali ke sini agar aku dapat melihat keadaanmu. Kalau engkau tidak pulang, aku akan mencarimu den menegurmu, In Hong.” “Teecu tidak akan melupakan pesan subo.” “Kalau begitu bersiaplah, sepekan lagi engkau boleh pergi meninggalkan tempat ini untuk mulai dengan perantauanmu.” Hari itu, ketika Kun Liong tiba di tepi Telaga Kwi-ouw, In Hong masih belum berangkat, waktunya untuk pergi masih dua hari lagi. Akan tetapi dia sudah bersiap-siap dan hatinya sudah diliputi ketegangan den kegembiraan karena dia akan segera meninggalkan tempat yang membosankan itu dan akan hidup bebas seperti seekor burung yang terlepas di udara, sendirian saja menghadapi segala tantangan, bertanggung jawab sendiri tanpa menurut siapapun juga. Betapa akan senangnya hidup seperti itu! Akan tetapi pada hari itu menjelang tengah hari ketika Bi Kiok sedang duduk di beranda depan yang teduh, dan In Hong duduk tidak jauh dari gurunya, keduanya membaca kitab tentang sejarah kuno karena sejak kecil In Hong juga dilatih kesusasteraan oleh Bi Kiok, tiba-tiba terdengar suara orang seperti suara setan saja karena tidak diketahui kapan orang itu tiba di dekat mereka. “Tidak salah lagi, engkau tentulah Yo Bi Kiok dan dia... dia itu tentu In Hong.” Bagaikan disambar halilintar Bi Kiok melempar kitabnya dan meloncat bangun, menghadapi Kun Liong yang sudah muncul di situ, berdiri di depannya sambil tersenyum, dengan senyum dan pandang matanya yang masih seperti dulu, begitu jenaka dan nakal! “Kau...? Bagaimana kau...” Bi Kiok berseru dengan kaget dan heran sekali bukan hanya karena dia bertemu kembali dengan Kun Liong secara begitu mendadek, juga bagaimana orang ini dapat muncul di situ tanpa diketahui penjaga, padahal tempat itu dijaga ketat dan penuh dengan tempat1 tempat rahasia penuh perangkap. “Hemm, agaknya engkau lupa bahwa aku dahulu sudah pernah menyerbu ke tempat ini ketika tempat ini masih dikuasai oleh Kwi-eng Niocu. Apakah engkau sudah lupa lagi, Bi Kiok?” Bi Kiok memandang dengan muka sebentar pucat sebentar merah. Suara itu, pandang mata itu, masih seperti dulu, penuh sikap bergurau! “Aku berterima kasih kepadamu, Bi Kiok. Ternyata, engkau merawat adikku baik-baik sehingga dia telah menjadi seorang dara yang cantik jelita dan gagah. In Hong, engkau tentu tidak lupa kepada kakak kandungmu, bukan?” Akan tetapi In Hong hanya memandang dengan wajah pucat. Dia tahu siapa laki-laki gagah dan gembira ini. Biarpun baru satu kali dia bertemu dengan kakak kandungnya, akan tetapi wajah kakaknya tak pernah dapat dia lupakan. Akan tetapi dia tahu harus bersikap bagaimana karena dia tahu betapa bencinya wanita yang menjadi gurunya itu terhadap kakak kandungnya, maka dia hanya berdiri mematung dan memandang dengan wajah pucat. Akan tetapi Bi Kiok sudah dapat menenangkan lagi hatinya yang tadi berguncang dan panik tidak karuan karena pertemuan yang begitu tiba-tiba dengan satu-satunya pria yang pernah dicintanya itu. Wajahnya kembali menjadi dingin dan suaranya dingin menyeramkan ketika dia berkata, “Bagus sekali, Yap Kun Liong! Aku belum sempat mencarimu untuk mencabut nyawamu, sekarang engkau sendiri telah datang mengantar nyawa!” Kun Liong merasa betapa suara itu amat dingin mengandung kebencian mendalam. Dia menarik napas panjang dan berkata, “Aihh, Yo Bi Kiok, urusan belasan tahun yang lalu antara kita hanyalah urusan orang-orang muda yang masih belum matang dalam hidupnya. Kini kita telah sama-sama hampir tua, apakah engkau masih saja menyimpan urusan itu di hatimu?” “Sejak dahulu engkau memang pandai membujuk. Aku tidak perlu banyak bicara lagi denganmu karena aku yakin bahwa kedatanganmu ini tentu berniat buruk. Nah, kau bersiaplah untuk mampus!” “Bi Kiok, nanti dulu! Lupakah engkau akan persahabatan antara kita yang amat akrab di waktu muda dahulu? Aku datang bukan dengan niat buruk. Aku hanya datang untuk menengok adik kandungku yang hanya satu-satunya ini dan untuk bicara dengan dia. Aku tidak akan mengganggu ketenangan di sini dan...” Akan tetapi Bi Kiok sudah bertepuk tangan dan muncullah belasan orang murid, atau pengawalnya. “Kalian bodoh dan lengah! Lihat, ada orang jahat masuk ke sini dan kalian sama sekali tidak tahu. Hayo serbu dan bunuh dia!” Kun Liong tidak dapat banyak protes lagi karena dia telah dikurung dan diserbu oleh lima belas orang wanita dengan pedang di tangan. Karena mereka menerima perintah ketua atau guru mereka, tentu saja lima belas orang wanita yang kesemuanya pembenci pria itu segera menyerang kalang kabut dengan pedang mereka. Biarpun kelihatannya kalang kabut penuh dengan semangat dan nafsu membunuh, namun gerakan mereka itu teratur karena lima belas orang ini semua adalah anggauta-anggauta Ngo-heng-tin, yaitu barisan pedang yang diciptakan oleh Bi Kiok terdiri dari masing-masing lima orang yang dapat bekerja sama dengan lihai sekali. Karena mereka berjumlah lima belas, otomatis di situ terdapat tiga kelompok barisan pedang Ngo-heng-tin dan lima belas batang pedang itu berkelebatan dan menyerang dengan bertubi-tubi dan sambung-menyambung dengan kecepatan yang makin lama makin hebat sehingga tubuh Kun Liong lenyap terbungkus gulungan sinar pedang-pedang itu. Sambil mengelak ke kanan kiri, Kun Liong masih berusaha mengingatkan Bi Kiok dengan suara nyaring, “Yo-pangcu (ketua Yo), aku datang sebagai tamu yang tidak mencari permusuhan, pantaskah kalau disambut seperti ini?” Dia sengaja menyebut Yo-pangcu untuk menghormati Bi Kiok di depan para anak buahnya. Namun Bi Kiok hanya berdiri dengan wajah dingin, menyaksikan gerakan anak buahnya, sedangkan In Hong berdiri meremas-remas tangannya sendiri, tidak tahu harus berbuat apa melihat kakak kandungnya dikeroyok belasan orang dengan barisan Ngo-heng-tin yang dia tahu amat lihai itu. Melihat betapa seruannya tidak diperdulikan lima belas orang wanita itu menyerang makin hebat dengan tusukan dan bacokan maut yang benar-benar menghendaki nyawanya, Kun Liong terpaksa memperlihatkan kelihaiannya. Dia mengeluarkan pekik melengking yang amat keras. In Hong terkejut bukan main dan cepat dia mengerahkan sin-kangnya untuk bertahan karena mendengar suara ini, jantungnya berdebar telinganya terngiang-ngiang dan kedua kakinya menggigil. Setelah dia mengerahkan sin-kang baru dia dapat bertahan, akan tetapi dia melihat dengan penuh kekagetan betapa lima belas orang wanita yang mengeroyok kakak kandungnya itu semua robon bergulingan dan seperti lumpuh kaki tangannya! Kun Liong berdiri dengan sikap tenang dan baru menghentikan lengking suaranya setelah melihat semua pengeroyoknya terguling. Suasana menjadi sunyi sekali setelah pendekar itu menghentikan suaranya, sunyi yang amat tidak enak setelah suara mujijat tadi dihentikan. Mengertilah In Hong bahwa kakaknya itu tadi menggunakan Ilmu Sai-cu Ho-kang, semacam bentakan yang mengandung khi-kang soperti gerengan seekor singa yang dapat melumpuhkan calon korban dan mangsanya. Di dalam hutan, singa-singa dan harimau-harimau cukup menggereng saja untuk membuat korbannya lumpuh dan tidak mampu lari, dan sekarang Kun Liong mempergunakan ilmu itu merobohkan lima belas orang pengeroyoknya. Bukan main kagumnya hati In Hong! Ketika para wanita itu merangkak bangun kembali dan mengumpulkan pedang, siap hendak mengeroyok lagi, dengan muka merah Bi Kiok membentak, “Pergilah kalian manusia-manusia tak berguna!” Setelah para anak buahnya itu dengan muka pucat dan tunduk menyingkir, Bi Kiok menggerakkan tangannya. ”Singgg...!” Tampak sinar berkilauan dan tangan kanan ketua Giok-hong-pang ini sudah memegang sebatang pedang yang menggetar-getar dan mengeluarkan dengung menggema. Kun Liong terkejut. “Bi Kiok, nanti dulu! Sungguh mati jauh-jauh aku datang ke sini bukan untuk memusuhimu. Maafkan aku kalau terpaksa aku tadi merobohkan anak buahmu, habis... hemm, aku ngeri sih dikeroyok demikian banyaknya wanita cantik!” In Hong mengerutkan alisnya. Kakak kandungnya ini memang pandai sikapnya lincah jenaka dan lucu. “Kun Liong, bersiaplah untuk mengadu nyawa. Aku tahu engkau lihai, akan tetapi jangan mengira bahwa aku takut menghadapimu!” “Aih... aihh... Bi Kiok, menggapa engkau berkeras hendak membunuhku? Ingat, dahulu engkau sudah menolong nyawaku, masa sekarang engkau tega hendak mencabutnya? Lupakah engkau dahulu? Engkau baru berusia delapan tahun, aku seorang bocah gundul sepuluh tahun. Engkau dan kakek Yo Lokui menyelamatkan aku dari air sungai dan aku berhutang nyawa kepadamu. Kemudian engkau lagi-lagi menyelamatkan aku dari kejaran para datuk hitam. Dan aku menyelamatkan engkau dari Toat-beng Hoat-su. Eh, Bi Kiok, ingatkah engkau ketika kita bersembunyi di dalam guha itu? Aihh, dan sekarang engkau tega hendak membunuhku?” Gemetar tangan wanita yang memegang pedang itu. Dia memejamkan matanya, terbayang semua pengalamannya bersama pemuda ini (baca Petualang Asmara), terbayang betapa ketika mereka bersembunyi di guha terancam bahaya maut, pemuda itu telah mencium matanya yang selalu dipuji-puji keindahannya oleh Kun Liong! Hatinya tertusuk rasanya, kebekuan dan kekerasannya bobol dan dia mengejap-ngejapkan mata, menahan air mata namun tetap saja dua butir air mata menitik turun ketika dia membuka matanya yang indah. Mata itu kini memandang kepada Kun Liong penuh permohonan. “Yap Kun Liong, tentu saja aku masih ingat dan karena itulah aku menderita kesengsaraan hidup yang tetap kupertahankan sampai detik ini. Kun Liong, katakanlah bahwa engkau akan suka menemani aku hidup di sini... setahun saja... dan aku akan menurut segala perintahmu, akan kembali ke jalan benar dan aku akan mengusahakan agar adikmu kembali kepadamu...” “Bi Kiok, aku sudah menikah...” “Kun Liong, setahun saja, kuminta padamu...” “Betapa mungkin itu...” “Setengah tahun saja, agar... terobati penyakit batinku... kemudian, matipun aku aken rela... Kun Liong, aku mohon kepadamu, setengah tahun saja...” In Hong yang melibat dan mendengar itu semua, tak dapat menahan keharuan hatinya. Dia menggigit bibirnya dan matanya terasa panas. Betapa besar rasa cinta di hati gurunya terhadap kakaknya! Alangkah akan bahagianya hati gurunya kalau dapat menjadi isteri kakak kandungnya. Dan dia sendiripun akan merasa bahagia! Terimalah dia, koko! Terimalah dia! Demikian bisik hatinya. Akan tetapi Kun Liong berkata dengan suara sungguh-sungguh, “Yo Bi Kiok, kau tidak nanti mau menggunakan kesempatan berbuat seperti itu, dan aku tahu bahwa engkaupun adalah seorang wanita yang mulia dan terhormat. Engkau hanya terseret oleh keadaan sekelilingmu setelah engkau menjadi murid Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci. Kita tinggal menjadi sahabat dan biarpun engkau sekarang tidak begitu muda lagi, kiranya engkau akan dapat memilih seorang pria yang bebas, yang tepat menjadi jodohmu. Insyaflah, Bi Kiok, kita berdua tidak berjodoh dalam penghidupan ini, entah di lain kebidupan kelak.” “Kau... kau... tetap menolak?” Kun Liong menarik napas panjang. “Tidak ada jalan lain, Bi Kiok. Kaukasihanilah aku dan dirimu sendiri, kita bukan jodoh...” “Cukup! Manusia keji, laki-laki kejam! Setelah engkau mencuri hatiku, menjatuhkan hatiku, engkau mengingkari! Setelah engkau dahulu bermanis-manis kepadaku, bahkan... menciumku di dalam guha, sekarang mengatakan tidak jodoh! Engkau manusia rendah, Kun Liong! Aku masih menanti-nanti, bahkan sampai kini aku tadi telah memohon kepadamu, bukan selamanya melainkan setahun saja, setengah tahun saja, aku telah merendahkan diriku, mengemis cinta sedikit saja, namun engkau tetap menolak. Kini, engkau atau aku yang harus mampus!” Bi Kiok berkata-kata setengah menjerit dan pedangnya lalu meluncur karena dia sudah mulai menyerang. “Bi Kiok...!” Kun Liong memprotes akan tetapi percuma saja, pedang itu sudah menyerangnya dengan kecepatan yang amat mengejutkan sekali sehingga biarpun dia sudah mengelak cepat, tetap saja bajunya di pundak terobek ujung pedang! “Ah, engkau terlalu memaksaku, Bi Kiok.” Kun Liong berkata, meloncat tinggi ke belakang. Bi Kiok mengejar dengan geseran-geseran kaki cepat sekali, lalu pedangnya menusuk ke arah dada Kun Liong yang masih meloncat itu. Cringgg...!” Bunga api berpijar ketika pedang Bi Kiok yang menusuk itu ditangkis oleh pedang di tangan Kun Liong yang mencabutnya ketika meloncat tadi. Kini kedua orang yang memiliki kepandaian hebat itu mulai bertanding. Mula-mula Kun Liong hanya menggunakan pedengnya untuk membela diri saja, akan tetapi dengan kaget dia mendapat kenyataan bahwa gerakan Bi Kiok benar-benar luar biasa cepat dan anehnya, juga tenaga sin-kangnya kini amat kuat. Hampir dia tidak percaya bahwa ini adalah Bi Kiok yang dahulu itu! Untuk mempercepat pertandingan itu dan menyudahinya, Kun Liong lalu menggerakkan pedangnya mainkan Siang-liong-kiam yang diimbangi dengan totokan-totokan tangan kirinya, ilmu silat tinggi yang dia pelajari dari kakek Bun Hwat Tosu. Akan tetapi ternyata ilmu pedang ini sama sekali tidak dapat mengatasi ilmu pedang yang dimainkan oleh Bi Kiok, bahkan dia terdesak karena ilmu yang dimainkannya itu sebetulnya aselinya adalah Siang-liong-pang atau Tongkat Sepasang Naga yang harus dimainkan dengan tongkat sepasang, maka kini dimainkan dengan sebatang pedang dibantu tangan kiri masih kurang kuat atau kehilangan keaseliannya, sedangkan ilmu pedang yang dimainkan oleh Bi Kiok adalah ilmu silat pedang aseli yang amat tinggi mutunya. Setelah lewat lima puluh jurus, Kun Liong malah terdesak! Hal ini adalah karena dia mengirim serangan-serangan balasan hanya untuk mengurangi gelombang serangan Bi Kiok sama sekali bukan dengan niat melukai wanita itu. Cepat Kun Liong merobah permainan pedangnya, kini pedangnya berkelebat merupakan bianglala atau sinar pedang melengkung panjang yang seperti seekor naga menyambar ke manapun sinar pedang lawan berkelebat. Inilah ilmu pedang gabungan yang diciptakannya sendiri, diambil dari gerakan semua ilmu pedang yang dikenalnya lalu dihimpun dengan dasar Ilmu Sakti Keng-lun Tai-pun, yaitu kitab peninggalan Bun Ong yang terjatuh ke tangannya. “Aihhh...!” Bi Kiok berseru, kaget dan kagum sekali. Sinar pedang melengkung itu lihai bukan main, semua desakannya menghadapi benteng sinar yang amat kuatnya, bahkan beberapa kali pedangnya menyeleweng dan mengancam dirinya sendiri! Kalau saja tidak sedemikian besar bencinya terhadap Kun Liong yang dianggapnya manusia yang telah menghancurkan hidupnya, tentu tidak malu-malu lagi dia mengaku kalah. Dia maklum babwa kalau Kun Liong menghendaki, pendekar sakti itu akan mampu merobohkannya dengan ilmu pedang mujijat yang amat kuat ini namun Kun Liong tidak pernah melakukan serangan maut. “Mampuslah!” teriaknya dan ketika terdapat lowongan, pedangnya menusuk dengan cepat sedangkan tangan kirinya melakukan pukulan tangan kosong dengan jari terbuka didorongkan ke arah dada Kun Liong. “Cringgg...!” Pedangnya terpental dan lagi-lagi bertemu dengan sinar pedang yang seperti bianglala itu, akan tetapi hantaman jarak jauh tangan kirinya berhasil karena Kun Liong agaknya tidak menyangka bahwa pukulan sin-kang itu akan sehebat itu. “Desss...!” Hawa pukulan yang amat kuat den dahsyat menghantam dada Kun Liong den pendekar ini terjengkang roboh bergulingan. In Hong menggigit jari tangannya, membayangkan kakak kandungnya akan dibunuh di depan matanya. Dia tidak tahu harus membantu siapa! “Hebat sekali engkau...!” Kun Liong memuji dan telah meloncat bangun dan kembali sinar pedangnya membentuk benteng kokoh kuat. Dia benar-benar kagum karena tak disangkanya tamparan atau dorongan telapak tangan kiri dari Bi Kiok itu sedemikian dahsyat den kuatnya, agaknya tidak kalah dibandingkan dengan ilmunya Pek-in-ciang (Tangan Awan Putih)! Kun Liong mulai merasa bingung. Bagaimana dia akan dapat menyudahi pertandingan ini tanpa melukai Bi Kiok kalau wanita ini sedemikian lihainya? Tidak ada jalan lain, pikirnya, kecuali mempergunakan Ilmu Mujijat Thi-khi-i-beng! Ilmu Thi-khi-i-beng ini merupakan ilmu mujijat yang berdasarkan tenaga sin-kang yang amat kuatnya, dipelajarinya dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong, puluhan tahun yang lalu, ilmu ini menjadi ilmu yang diperebutkan di dunia persilatan, akan tetapi akhirnya hanya pendekar Cia Keng Hong seorang yang menguasainya. Kemudian, karena melihat puterinya, Cia Giok Keng, kurang kuat untuk mewarisi ilmu ini, dan melihat bakat pada diri Kun Liong, Cia Keng Hong lalu mengajarkannya kepada Yap Kun Liong. Kehebatan ilmu ini, selain membuat tubuh kebal terhadap segala macam senjata juga dapat menyedot tenaga sin-kang lawan pada saat bagian tubuh mereka saling bersentuhan sehingga tubuh lawan melekat dan tenaga sin-kangnya disedot habis! Kun Liong yang tidak ingin melukai Bi Kiok, menanti kesempatan baik ketika pedang lawan itu menyambarnya, dia menindih pedang itu dari atas dan mengerahkan sin-kangnya sehingga pedang itu melekat dengan pedangnya, tidak dapat dilepaskan kembali. Betapapun Bi Kiok mengerahkan tenaganya, namun pedangnya tetap melekat pada pedang Kun Liong. Hal ini membuat dia makin marah, sambil berseru keras tangan kirinya yang kuat itu menghantam lagi, kini mengarah lambung Kun Liong. “Bhukkkk!” Kun Liong sengaja menerima pukulan tangan kiri itu dengan lambungnya sambil mengerahkan Thi-khi-i-beng. Tangan Bi Kiok melekat, dan biasanya dalam keadaan begini, melalui bagian tubuh yang dipukul itu, Kun Liong dapat menyedot tenaga lawan. “Huhhhh...!” Tiba-tiba Bi Kiok mengeluarkan suara aneh dari kerongkongannya, kakinya menekan tanah dengan keras, tubuhnya memutar dan tangannya yang melekat pada lambung Kun Liong terlepas! Di lain saat, pedangnya yang juga sudah terlepas itu sudah menyambar lagi menusuk ke arah mata Kun Liong, disusul tamparan maut yang menyerang perut! “Ehhh...?” Kun Liong terkejut bukan main dan cepat dia meloncat ke belakang dan berjungkir balik beberapa kali, baru dia dapat menyelamatkan diri dari serangan yang susul-menyusul itu. Bukan main! Bi Kiok malah sudah menguasai ilmu yang merupakan tandingan dari Thi-khi-i-beng! Tidak mempan lagi diserang dengan ilmu itu! Diam-diam Kun Liong menjadi makin kagum. Kiranya bokor emas itu telah memberi ilmu-i1mu yang sedemikian hebatnya kepada Bi Kiok. Namun, tetap saja wanita ini hidupnya sengsara karena... dia! Padahal, menjadi pewaris bokor emas yang ternyata merupakan pusaka luar biasa itu sebetulnya merupakan hal yang amat hebat dan beruntung sekali. Kini dia maklum bahwa mengalahkan Bi Kiok tanpa melukainya adalah hal yang sama sekali tidak mungkin. Tingkat kepandaiannya tidaklah terlalu jauh selisihnya dengan tingkat kepandaian Bi Kiok, dan andaikata dia akan memaksakan kemenangan dengan melukai wanita inipun agaknya bukanlah merupakan hal yang amat mudah. Dan hal itu sama sekali tidak dikehendakinya, karena tentu akan membuat Bi Kiok makin sakit hati kepadanya. Kun Liong lalu memperhebat gerakan pedangnya. Hanya dengan ilmu pedang ciptaannya yang berdasar pada ilmu dari kitab Keng-lun Tai-pun saja dia dapat menahan semua serangan Bi Kiok, bisa menutupi tubuhnya dengan benteng sinar pedangnya yang melengkung panjang seperti bianglala. “In Hong, demi mendiang ayah dan bunda kita, engkau harus menemui aku! Kita harus saling bicara... demi masa depanmu... ingatlah kepada orang tua kita, adikku...!” Kun Liong berkata dan In Hong yang mendengar ini tidak menjawab, hanya berdiri dengan muka pucat. “In Hong, hayo cabut pedangmu dan bantu aku!” Bi Kiok berseru, suaranya penuh dengan wibawa. “Subo...!” Suara In Hong terdengar gemetar dan matanya terbelalak. “Kau melawan perintah subomu? Hayo pilih kaubantu aku atau bantu dia!” Bi Kiok membentak sambil terus menyerang Kun Liong. “Baik, subo!” In Hong mencabut pedangnya dan menyerang ke depan. “Cringgg... tranggg...!” Kun Liong terkejut bukan main. Ketika In Hong menyerang, kini terdapat dua kekuatan yang menerjang gulungan sinar pedangnya dan ternyata dara itu gerakannya sama cepatnya dan sama kuatnya dengan Bi Kiok sehingga pertahanan gulungan sinar pedangnya bobol dan dua kali dia menangkis pedang Bi Kiok dan In Hong sehingga dia terdesak mundur! Celaka, pikirnya. Kalau adik kandungnya sudah sehebat ini kepandaiannya dan betul-betul mengeroyoknya, bukan tidak mungkin dia akan tewas di ujung pedang dua orang wanita itu! “In Hong, engkau adik kandungku... engkau menyerang aku...?” Kun Liong membentak, akan tetapi sebetulnya dia tidak begitu heran melihat ini, mengingat betapa sejak kecil dara itu dipelihara dan dididik penuh kasih sayang oleh Bi Kiok. “Kaupenuhilah permintaan subo!” In Hong berkata, lirih dan gemetar suaranya. Kun Liong segera meloncat jauh ke luar dari tempat itu, dikejar oleh Bi Kiok. “Keparat, engkau hendak lari ke mana? Jangan harap akan dapat terlepas dari tanganku! In Hong, mari kita kejar!” Akan tetapi sekali ini In Hong tidak memenuhi perintah subonya. Dia memang bergerak juga, akan tetapi tidak cepat dan tertinggal jauh oleh Kun Liong dan Bi Kiok yang berlari cepat menuju ke pantai telaga. “Kun Liong, berhenti kau! Seorang di antara kita harus mampus sekarang juga!” Bi Kiok berteriak-teriak dan beberapa kali dia telah menyerang dengan Siang-tok-swa, yaitu senjata rahasia pasir harum yang beracun, dan juga beberapa kali dia menimpukkan hui-kiam (pedang terbang), yaitu pedang-pedang pendek yang disambitkan dan tidak kalah oleh anak panah, cepat dan bahayanya. Namun semua itu dapat dihindarkan dengan mudah oleh Kun Liong yang terus melarikan diri. Untung baginya bahwa dalam hal ilmu berlari cepat, agaknya Bi Kiok masih belum mampu menandinginya, maka dia dapat meninggalkan wanita itu, kembali ke pantai, meloncat ke perahu dan mendayung perahu dengan cepat meninggalkan pulau. Bi Kiok membanting-banting kaki di pinggir telaga, lalu berteriak-teriak memanggil anak buahnya, memerintahkan mereka untuk melakukan pengejaran. Namun, perahu Kun Liong sudah meluncur jauh sekali karena pendekar itu menggunakan tenaga saktinya untuk mendayung sehingga perahunya meluncur luar biasa cepatnya. Sambil membanting-banting kaki di tepi telaga, Bi Kiok memandang ke arah perahu Kun Liong yang makin menjauh. “Subo, biarkan saja dia pergi dan mari kita melupakan dia.” Bi Kiok membalikkan tubuhnya, memandang muridnya dengan mata bersinar-sinar penuh kemarahan. “Kenapa engkau tidak ikut mengejar tadi?” “Subo, betapapun juga, dia adalah kakak kandungku sendiri...” In Hong menjawab dengan muka tunduk. Tiba-tiba Bi Kiok menangis, In Hong terkejut bukan main dan cepat dia memeluk pundak subonya. “Aku... aku... aku mencintainya... aku cinta padanya...” demikian keluhan dan rintihan yang terdengar oleh In Hong. Peristiwa itu berkesan dalam sekali di hati In Hong, membuat dia makin ngeri akan hubungan pria dan wanita yang dianggapnya hanya mendatangkan malapetaka dan kesengsaraan belaka, membuat dia makin tidak suka kepada pria, sungguhpun dia tidak dapat melihat kesalahan kakak kandungnya terhadap Bi Kiok. Kakak kandungnya sudah berterus terang bahwa tidak berjodoh dengan gurunya ini, bahkan sudah menikah dengan orang lain, dan kakak kandungnya tidak mau menerima uluran tangan Bi Kiok karena menjaga kehormatan mereka berdua. Dan dia tahu pula bahwa kalau kakaknya menghendaki, bukan tidak mungkin kalau subonya akan terluka atau tewas. Diam-diam dia amat kagum akan kelihaian kakak kandungnya itu. Dua hari kemudian, ketika In Hong berpamit kepada subonya, Bi Kiok yang masih pucat dan lemah seperti orang yang baru saja menderita sakit keras itu memandangnya dengan wajah muram. Karena sudah memberi persetujuan sebelumnya, dia tidak mau menarik kembali, hanya dia minta In Hong berjanji kepadanya untuk tidak kembali kepada kakaknya dan pulang ke Kwi-ouw setahun sekali. Dan In Hong dengan hati tulus berjanji kepada subonya, karena memang tidak ada niat di hatinya untuk ikut kakaknya. Dengan diantar pandang mata subonya berangkatlah In Hong meninggalkan pulau, menumpang perahu yang didayung oleh anggauta-anggauta Giok-hong-pang. Ada rasa rindu di hati Bi Kiok kepada dunia, untuk merantau seperti dahulu, namun teringat akan sakit hatinya, dia membaikkan tubuhnya dan kembali ke dalam gedung, memasuki kamarnya. Sementara itu, In Hong melambaikan tangannya kepada para anggauta Giok-hong-pang yang mengantarnya sampai ke seberang telaga. Setelah memasuki hutan, barulah In Hong merasa betapa dia berjalan seorang diri dan mulailah dia merasakan kegembiraan dan ketegangan, seolah-olah dengan hutan yang dimasukinya itu dia memulai suatu kehidupan beru dan dia segera melupakan semua kehidupan di pulau tengah Telaga Kwi-ouw yang makin membosankan hatinya itu. Kota Tai-lin di tepi Sungai Kuning itu cukup ramai, sungguhpun kota itu jauh dari kota-kota lain dan kota terdekat dengan Tai-lin adalah kota besar Tai-goan yang letaknya di utara dan masih ada seratus li jauhnya. Keramaiannya adalah karena terletak di tepi Sungai Huang-ho itulah karena sungai ini merupakan alat perhubungan yang amat ramai, selain untuk mengangkat barang-barang dagangan juga karena daerah ini kaya dengan ikan. Pada pagi hari itu, di sebuah restoran besar, satu-satunya restoran di kota Tai-lin, sudah penuh tamu yang makan pagi sambil bercakap-cakap. Keadaan di restoran itu atau di seluruh kota Tai-lin kelihatannya tenang dan tenteram saja, dan di antara para tamu itu yang terdiri dari penduduk Tai-lin dan juga para pedagang, tidak mengira sama sekali bahwa di antara mereka terdapat orang-orang yang sesungguhnya bukan tamu-tamu biasa, melainkan orang-orang dari golongan hek-to (jalan hitam), yaitu orang-orang dari kalangan Hok-lim (kaum penjahat) yang mulai berani bermunculan di kota-kota untuk mencari mangsa. Memang hanya golongan hitam saja yang tahu akan perubahan besar di dunia kang-ouw yang telah terjadi di saat itu. Berita tentang dirampasnya Siang-bhok-kiam, pusaka atau lambang kebesaran Cin-ling-pai yang ditakuti semua penjahat, juga tentang tewasnya Cap-it Ho-han seperti dikabarkan, tewas oleh datuk-datuk baru di dunia kaum sesat, merupakan suatu kemenangan golongan hitam. Hal ini tidak saja disambut dengan gembira oleh kaum penjahat karena merasa bahwa dunia mereka kini lebih kuat daripada golongan putih, akan tetapi juga membesarkan hati mereka dan mereka merasa lebih leluasa untuk melakukan pekerjaan mereka secara lebih terbuka karena bukankah kini fihak kaum sesat lebih kuat? Seperti memperoleh dorongan semangat baru, kaum penjahat di sekitar kota Tai-lin kini juga mulai beraksi, dan tidaklah mengherankan apabila di antara para tamu di restoran itu terdapat beberapa orang golongan hitam yang ikut makan pagi tanpa diketahui orang lain. Di dalam dunia kaum sesat, hanya penjahat-penjahat kecil sajalah yang bersikap kasar dan berlagak jagoan, akan tetapi penjahat-penjahat yang lebih tinggi tingkatnya, tidak ada yang mengenalnya karena mereka itu kadang-kadang menyamar,sebagai pedagang, sebagai pelajar dan orang-orang yang tergolong tinggi derajatnya. Penjahat-penjahat yang seperti ini tidak mau melakukan pekerjaan-pekerjaan remeh seperti yang dilakukan penjahat rendahan, seperti tidak membayar makanan di restoran atau sewa kamar di hotel, mencopet dan mencuri barang-barang yang tidak begitu berharga, dan sebagainya. Mereka ini tidak serakah akan barang-barang kecil, akan tetapi menanti saatnya dan sekali pukul harus memperoleh hasil yang cukup banyak. Tiba-tiba semua tamu di restoran itu menghentikan percakapan mereka dan semua mata memandang keluar ketika seorang dara muda memasuki pintu depan restoran itu. Mata para tamu itu terbelalak, mulut mereka ternganga, dan mereka tidak menyembunyikan rasa kagum mereka ketika melihat dara itu melangkah memasuki restoran. Hal ini memang tidak mengherankan karena dara itu memang cantik bukan main. Wajahnya yang bulat telur berkulit putih halus tanpa bedak, kedua pipinya kemerahan tanpa yanci dan bibirnya merah tanpa gincu. Wajah itu agak berkeringat, dan rumbutnya agak kusut dengan anak rambut berjuntai di atas dahi yang agak basah oleh keringat akan tetapi kekusutan rambut dan wajah berkeringat itu malah menambah keaselian wajah yang cantik jelita itu. Hanya sayangnya, mata yang tajam dan mulut yang manis itu kelihatan membayangkan hati yang dingin dan tidak acuh terhadap sekelilingnya. Rambutnya digelung ke atas, panjang sekali rambut itu sehingga gelungnya juga menjulang tinggi di atas kepala, dihias sebuah perhiasan dari batu kemala yang indah berbentuk seekor burung hong. Sebatang pedang dengan ronce-ronce merah tergantung di punggungnya, menambah angker dan gagah wajah yang dingin itu. Tubuhnya tinggi semampai dengan lekuk lengkung kematangan seorang dara. Pakaiannya sederhana namun bersih dan tangan kanannya memegang sebuah buntalan kain kuning yang agaknya berisi pakaian namun juga kelihatan agak berat sungguhpun dara itu membawanya dengan mudah. Ketika dia melangkah masuk mencari sebuah meja kosong, lenggangnya yang seenaknya itu membayangkan tubuh yang lemah gemulai, pinggulnya bergerak menari-nari dan lenggang yang tidak dibuat-buat melainkan sewajarnya itu demikian indah seperti sebuah tarian yang terlatih. Bagi beberapa orang yang mengerti ilmu silat dan yang duduk di tempat itu, akan maklum bahwa memang demikianlah langkah seorang wanita yang “berisi”, yaitu di balik keluwesan dan kelemasan tubuhnya itu bersembunyi tenaga yang hebat, yang membuat dia dapat bergerak dan melangkah seenaknya dengan wajar namun penuh keagungan dan gaya. Melihat dara ini melakukan perjalanan seorang diri dan membawa-bawa pedang, semua orang dapat menduga bahwa dara ini tentulah seorang dara kang-ouw yang melakukan perjalanan seorang diri mengandalkan pedang dan kepandaiannya, dan sikap pendiam dan dingin, terutama pedang panjang yang kini dilepaskan dari punggung dan diletakkan di atas meja bersama buntalannya itu membuat orang-orang tidak berani memandang secara langsung. Dara ini bukan lain adalah Yap In Hong! Telah hampir dua pekan dia melakukan perantauannya dan tiba di kota itu, kota besar pertama kali yang dimasukinya sejak meninggalkan Kwi-ouw. Dia lelah sekali karena telah melakukan perjalanan jauh naik turun gunung dan masuk keluar hutan, dan sudah dua hari dua malam dia hanya makan hasil buruan di hutan dan buah-buah yang dapat dia temukan di dalam hutan, bersama air jernih saja. Kini dia memasuki restoran dan sudah bangkit seleranya, sudah berbunyi perutnya ketika hidungnya mencium bau bumbu masakan yang mengepul keluar dari dalam dapur. Seorang pelayan tua terbungkuk-bungkuk menghampiri In Hong. “Nona hendak makan dan minum apakah?” tanyanya sambil mengerling ke arah pedang di atas meja. “Nasi putih, mi bakso dan daging ayam rebus dengan saus tomat. Minumnya teh wangi yang hangat saja.” Pelayan itu mengangguk-angguk dan karena merasa heran mendengar seorang wanita kang-ouw tidak memesan arak, dia bertanya hati-hati, “Tidak pakai arak, nona?” In Hong memang tidak begitu doyan arak yang keras. “Apakah ada anggur yang tidak keras?” tanyanya. Pelayan itu menggeleng kepala. “Hanya ada arak yang wangi dan tua, arak kami terkenal sekali, nona!” “Tidak, aku tidak suka. Eh, kalau ada tolong aku minta disediakan satu panci air hangat untuk cuci muka, paman.” “Baik, baik...” Pelayan itu pergi dengan hati senang. Sikap dara kang-ouw itu tidak seperti wanita-wanita kang-ouw lainnya yang angkuh dan kasar, bahkan ketika minta air hangat memakai kata “tolong”. Hatinya senang dan setelah dia menyampaikan pesanan In Hong ke bagian dapur, dia sendiri membawa sepanci air hangat untuk nona itu. In Hong menaruh air itu di atas bangku, kemudian mencuci mukanya, menggosok-gosok mukanya dengan keras untuk menghilangkan debu dari muka dan lehernya, juga kedua tangannya. Setelah itu dia lalu menggosok leher, muka dan tangan itu dengan saputangan bersih sampai kering. Kini mukanya makin berseri, kedua pipinya makin merah sehingga kagumlah semua orang yang duduk tak jauh dari tempat itu. In Hong duduk kembali dan mengerling ke kiri. Dia tahu bakwa sejak tadi, ada seorang laki-laki tua yang bertopi hitam, yang mengikuti gerak-geriknya dengan sikap mencurigakan. Melihat orang-orang lain memandangnya dengan kagum, dia tidak menganggap aneh biarpun hatinya muak menyaksikan sikap laki-laki itu karena semenjak dia merantau, hampir setiap kali berjumpa dengan pria dia selalu melihat pandang mata seperti itu, akan tetapi laki-laki tua bertopi itu lebih memperhatikan buntalannya! Dan itulah yang mencurigakan hatinya. Laki-laki tua itu sedang makan mi dengan sumpitnya. Cepat sekali sumpitnya bergerak menjepit mi dan mendorongnya ke mulut. In Hong menelan ludah. Makin lapar rasa perutnya melihat orang makan selahap itu. Kecepatan jari tangan kanan mempermainkan sepasang sumpit itu menarik hatinya. Cepat sekali dan amat kuat, pikirnya. Berbeda dengan gerak tangan orang-orang lain. Tentu bukan orang biasa, pikirnya pula dengan hati makin curiga. Akan tetapi dia duduk tenang saja, tidak menoleh ke kanan atau kiri, tidak membalas pandang mata banyak pria yang ditujukan kepadanya dengan kagum. Biarpun baru setengah bulan dia melakukan perjalanan, dia sudah melihat banyak tentang kehidupan di luar lingkungan Giok-hong-pang dan diam-diam dia menjadi makin tidak suka melihat kenyataan tentang kekuasaan kaum pria terhadap wanita. Dia melihat wanita-wanita sebagai kaum lemah yang diperbudak pria, yang bersikap mengalah, manja, dan minta dilindungi. Di mana-mana dia melihat gejala ini, dan melihat sikap pria yang selalu ingin menang, yang memandang wanita seperti benda permainan belaka. Hampir semua pria yang dijumpainya memandang kepadanya dengan mata buas, tidak terkecuali, baik yang sudah beristeri maupun yang belum. Pandang mata yang haus dan kurang ajar, yang seolah-olah hendak menelanjangi dan menggerayangi tubuhnya. Pantas kalau subo dan para bibi di Giok-hong-pang membenci pria, pikirnya. Dan mulailah dia melihat betapa perbuatan para bibi di Kwi-ouw terhadap pria-pria Kwi-eng-pang yang menjadi budak itu sebagai pembalasan dendam dari mereka terhadap kaum pria! Betapapun juga, dia bukanlah seekor binatang buas yang haus darah pria seperti mereka itu, pikirnya. Dia belum pernah disakiti hatinya oleh pria, maka biarpun dia tidak senang, namun dia tidak mempunyai perasaan benci terhadap pria pada umumnya seperti mereka. Tidak semua pria sejahat itu, pikirnya pula. Buktinya, sikap kakak kandungnya yang jenaka dan baik, dan subonya yang terkenal pembenci pria itu ternyata masih cinta kepada kakak kandungnya! Makanan yang dipesannya datang diantar oleh pelayan tadi yang mempersilakannya dengan sikap hormat. “Silakan, nona.” “Terima kasih, paman. Engkau baik sekali,” jawab In Hong, karena sikap itu dia menganggap si pelayan jauh lebih baik daripada semua pria yang berada di situ. Pelayan itu girang dan mengangkat pergi panci air hangat yang tadi dipakai mencuci muka In Hong. Dara itupun mulai makan. Bukan main lezatnya makan di waktu perut sudah lapar sekali dan selera sudah penuh keinginan sejak tadi. Dia tidak perduli betapa banyak mata mengincarnya, seolah-olah gerakan mulutnya ketika makan amat menarik hati mereka. Begitupun juga, dia merasa tidak enak dan ditutupi mulutnya dengan mangkok nasi dan ketika mengunyah makanan dia tidak membuka mulutnya. Mi bakso itu enak, terutama baksonya yang pulen dan gurih, daging ayam rebus saus tomat itupun lezat, empuk dan manis sausnya sedang baunya harum dan sedap karena dicampur arak sedikit. Setelah selesai makan, In Hong memanggil pelayan, membayar harga makanan dengan menambah persen untuk pelayan itu. Diambilnya uang perak dari dalam pundi-pundi uangnya yang terisi perak dan emas, bekal yang diberikan oleh subonya. Pelayan itu melongo ketika melihat demikian banyaknya emas dan perak dalam pundi-pundi, dan dia berkata perlahan. “Aihh, nona membawa uang begitu banyak, harap hati-hati di jalan.” In Hong tersenyum dan orang-orang yang kebetulan melibatnya menjadi terpesona. Nona itu memiliki senyum yang bukan main manisnya, dan lenyaplah semua sifat dingin itu begitu dia tersenyum, seolah-olah awan-awan hitam yang lenyap oleh sinar matahari yang cerah dan yang muncul tiba-tiba. Sayang bahwa nona itu jarang tersenyum! “Terima kasih, paman. Jangan khawatir.” Sambil berkata demikian, In Hong menyambar pedangnya dan menggantungkannya di punggung lagi, mengikatkan kain pengikat pedang di depan dada, di antara sepasang buah dadanya sehingga talian itu membuat pakaiannya makin mengetat dan tonjolan dadanya makin tampak membusung. Kemudian dia memanggul buntalan pakaiannya dan hendak pergi dari situ ketika telinganya yang berpendengaran tajam itu menangkap bisikan halus dari arah kanan, “...Giok-hong-pang...”   In Hong bertanya kepada pelayan itu dengan suara cukup keras sambil menoleh ke kanan, sekaligus pandang matanya menyapu ke arah orang yang menyebut nama perkumpulan subonya itu, “Paman, berapa jauhnya perjalanan dari sini ke kota Tai-goan?” “Wah, masih jauh sekali, nona. Ke utara lalu membelok ke timur, lebih dari seratus li jauhnya. Apakah nona membutuhkan seekor kuda?” “Tidak, paman. Aku akan berjalan kaki saja.” In Hong kini sudah melihat dengan jelas bahwa dua orang yang tadi membisikkan nama perkumpulan subonya adalah dua orang laki-laki muda, yang seorang berkumis dan berjenggot pendek, tinggi besar dan matanya lebar, yang kedua masih muda, memakai topi, mukanya kurus dan tampan agak pucat. Setelah melibat jelas, In Hong bersikap seperti tidak ada apa-apa, kemudian dia keluar dari restoran itu dan melanjutkan perjalanannya. Hatinya lega setelah dia keluar dari kota Tai-lin, berjalan sendirian saja di atas jalan yang sunyi dan di kanan kirinya terdapat tanah yang penuh dengan rawa kering. Sampai belasan hari dia melakukan perjalanan dan tidak pernah terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan hatinya, tidak seperti yang didengung-dengungkan oleh para bibinya di Giok-hong-pang bahwa dunia ini kejam, terutama kaum prianya. Buktinya, dia tidak pernah mengalami gangguan! Dan kalau sebagian besar pria seperti pelayan restoran itu, hidup ini tidaklah begitu sengsara bagi wanita! Jalan itu memasuki sebuah hutan kecil dan tiba-tiba perhatian In Hong tertarik ke depan. Pandang matanya yang tajam dan terlatih itu dapat melihat berkelebatnya bayangen orang di balik pohon-pohon yang jarang di depan itu. Namun dia tidak menjadi gentar, bahkan tidak curiga karena mengira bahwa mungkin sekali bayangan itu adalah tukang-tukang kayu atau pemburu-pemburu yang biasa berkeliaran di hutan-hutan. Akan tetapi ketika dia tiba di tempat di mana tadi dia melihat bayangan orang berkelebat, tiba-tiba dia berhenti karena mendengar suara kaki orang, dan tepat seperti sudah diduganya, dia melihat dua orang laki-laki muncul dari balik batang pohon, satu dari kanan dan seorang lagi dari sebelah kiri. Kecurigaannya baru timbul ketika dia mengenal mereka itu sebagai dua orang tamu di restoran yang tadi membisikkan nama perkumpulan Giok-hong-pang. Namun In Hong masih tetap tenang dan tidak mengeluarkan kata-kata sesuatu, hanya memandang mereka bergantian dengan sinar mata yang amat tajam menyelidik. “Maafkan kami, lihiap!” Tiba-tiba orang muda yang bertopi dan bermuka kurus pucat itu berkata sambil menjura dengan hormat, sedangkan temannya juga menjura dengan senyum tertahan. Kini mereka berdua berdiri di depannya. “Kalian mau apa?” tanya In Hong dengan suara datar dan dingin. “Maafkan kami berdua, akan tetapi semenjak kami bertemu dengan lihiap di dalam restoran di kota Tai-lin pagi tadi, kami sangat tertarik dan ingin kami bertanya apakah lihiap seorang anggauta Giok-hong-pang yang amat terkenal di Telaga Kwi-ouw?” In Hong memandang dengan lirikan merendahkan, lalu menjawab datar, “Benar, aku adalah murid pangcu dari Giok-hong-pang, habis mengapa?” Mendengar ini, dua orang itu saling pandang, lalu mereka menjura makin dalam lagi. “Ah, maaf... maaf... karena tidak yakin maka kami tadi tidak berani bertanya. Kiranya lihiap adalah seorang tokoh penting dari Giok-hong-pang. Ketahuilah, lihiap, bahwa di antara kami dan Giok-hong-pang masih segolongan dan dengan telah berpindahnya Siong-bhok-kiam ke tangan golongan kita maka persahabatan di antara kita perlu dibina. Oleh karena itu, kami mengundang kepada lihiap sukalah dalam perjalanan lihiap ini datang mengunjungi tempat kami di hutan depan untuk mempererat persahabatan.” In Hong pernah mendengarkan penuturan subonya tentang dua golongan, yaitu golongan putih dan hitam dan subonya secara samar mengatakan bahwa Giok-hong-pang boleh jadi digolongkan golongan hitam. Menurut subonya, golongan putih terdiri dari orang-orang yang sombong dan merasa diri sendiri paling bersih dan paling pandai. Sedangkan golongan hitam banyak terdapat orang-orang yang melakukan perbuatan jahat. Oleh karena itu, subonya juga tidak pernah melakukan hubungan dengan golongan manapun juga. Akan tetapi dia pernah mendengar subonya bercerita tentang Siang-bhok-kiam sebagai pedang pusaka yang pernah menggegerkan dunia persilatan, milik dari seorang pendekar sakti yang menjadi ketua Cin-ling-pai di Cin-ling-san. Maka kini mendengar ucapan orang itu bahwa Siang-bhok-kiam telah berpindah ke tangan golongan hitam, dia merasa heran dan ingin mengetahui lebih banyak. “Kalian siapakah?” Si jenggot pendek yang tinggi besar dan berkulit kehitaman itu tersenyum lebar dan berkata, “Nona, kami adalah dua orang di antara Fen-ho Su-liong (Empat Naga Sungai Fen-ho) yang bukan tidak terkenal di seluruh daerah Tai-goan dan Tai-lin. Twa-suheng dan ji-suheng kami tentu akan merasa bangga sekali menerima kunjunganmu, nona. Marilah, tempat kami tidaklah jauh, hanya di hutan depan itu.” Si muka pucat juga tersenyum dan menyambung, “Harap lihiap jangan khawatir dan takut, kami menjamin keselamatan lihiap.” Ucapan si muka pucat itu mengusir semua keraguan di hati In Hong. Tadinya dia merasa ragu dan tidak ingin mengunjungi sarang mereka, akan tetapi begitu orang bertopi yang mukanya pucat itu menghiburnya agar tidak khawatir dan takut, harga dirinya memberontak. Dia khawatir? Dia takut? “Hemmm...!” Dia menggeram lirih. “Baiklah, hendak kulihat apa yang akan kalian lakukan!” Jawaban inipun jelas merupakan tantangan, namun dua orang itu seolah-olah tidak mengerti dan dengan girang mereka mengajak In Hong memasuki hutan kedua yang besar, yang berdampingan dengan hutan kecil itu. “Biar kubawakan buntalanmu, nona,” si muka pucat berkata. “Tidak perlu, aku bawa sendiri,” jawab In Hong. Si muka pucat ini berusaha untuk bersikap hormat dan ramah, namun berbeda dengah keramahan pelayan restoran yang wajar dan menyenangkan, sebaliknya keramahan orang muda ini mencurigakan dan tidak menyenangkan karena terlalu dibuat-buat dan pandang mata pemuda inipun tiada bedanya dengan pandang mata kaum pria yang begitu menjemukan dan kurang ajar. “Terserah kepadamu, lihiap, hanya kami biasa berjalan cepat, takut membuat lihiap lelah kalau membawa barang berat.” Setelah berkata demikian, si muka kurus itu bersama temannya lalu menggunakan ilmu lari cepat, berkelebatan memasuki hutan besar itu. In Hong melihat betapa gerakan mereka itu cepat juga, tanda bahwa mereka memiliki gin-kang yang cukup tinggi. Namun dia bergerak seenaknya mengikuti dan tidak pernah ketinggalan sehingga dua orang yang kadang-kadang menoleh ke belakang itu menjadi kagum juga. Karena melakukan perjalanan cepat, sebentar saja mereka telah tiba di tengah hutan besar di mana terdapat sebuah sungai, yaitu Sungai Fen-ho dan ternyata sarang mereka itu berada di tepi sungai, terdiri dari pondok-pondok yang berdiri sembunyi di antara pohon-pohon den semak-semak belukar. Kedatangan mereka disambut oleh dua orang laki-laki lain yang juga bertubuh tinggi besar dan kelihatan kuat, yang tersenyum lebar dan yang keluar dari dalam pondok terbesar. Dan In Hong melihat betapa masih ada belasan orang laki-laki bermunculan dari tempat-tempat tersembunyi, mereka itu kelihatan terdiri dari orang-orang kasar. “Ha-ha, sam-sute (adik ketiga) dan si-sute (adik keempat) sungguh hebat, pulang membawa anak ayam yang begini mulus! Ha-ha-ha!” Orang yang bertahi lalat di tengah hidungnya yang besar berkata sambil tertawa-tawa. “Twa-suheng, none ini adalah murid dari ketua Giok-hong-pang di Kwi-ouw. Mengingat akan nama besar Giok-hong-pang, maka sengaja kami persilakan untuk singgah di sini untuk berkenalan dengan twa-subeng dan ji-suheng,” kata si muka pucat. “Ahh, begitukah? Seorang naga betina dari Giok-hong-pang? Bagus, silakan masuk, nona,” kata si tahi lalat. In Hong yang tidak ingin dianggap takut, hanya mengangguk den mengikuti empat orang laki-laki itu memasuki pondok terbesar di mane dia dipersilakan duduk menghadapi meja dan tak lama kemudian jamuan makan dikeluarkan. “Aku hanya berhenti sebentar dan akan melanjutkan perjalananku ke Tai-goan.” In Hong berkata sambil mengerutkan alisnya. “Perjalanan ke Tai-goan hanya dekat, nona. Kita bicara dulu dan silakan menikmati hidangan seadanya,” kate si tahi lalat yang ternyata adalah orang pertama dari Empat Naga dari Fen-ho itu. “Kami mendangar bahwa Giok-hong-pang telah merampas Kwi-ouw dari tangan Kwi-eng-pang dan membasmi Kwi-eng-pang. Benarkah? Kami kenal baik dangan Kiang Ti, ketua Kwi-eng-pang, lalu bagaimana dia sekarang?” “Dia telah tewas,” In Hong menjawab pendek. “Ahhh...!” Si tahi lalat berseru. “Kalau Hek-tok-ciang Kiang Ti sampai tewas, tentu kepandaian subomu itu hebat bukan main!” In Hong tidak menjawab dan ketika dipersilakan makan, dia hanya mengambil beberapa sayur dan daging, kemudian minta disediakan air teh karena dia tidak suka arak. “Aku tadi mendangar tentang Siang-bhok-kiam, apakah kalian dapat menceritakan apa yang terjadi dengan pedang pusaka Cin-ling-pai ini?” Akhimya dia bertanya karena dia tidak ingin lama-lama berada di situ dan sebetulnya dia tadi hanya ikut untuk mengetahui lebih banyak tentang berita mengenai pedang pusaka itu. “Ha-ha-ha, apakah Giok-hong-pang belum mendangar berita hebat itu? Ha-ha, akhirnya Cin-ling-pai dangan Cap-it Ho-hannya menemui tanding! Cap-it Ho-han yang disohorkan lihai seperti dewa itu akhirnya mampus di tangan Lima Bayangan Dewa, bahkan pedang pusaka Siang-bhok-kiam dirampas! Ha-ha, ingin aku menyaksikan muka ketua Cin-ling-pai!” Si tahi lalat berkata dangan nada girang bukan main. In Hong tidak pernah mendangar dari subonya tentang Cap-it Ho-han, dia hanya mendangar bahwa ketua Cin-ling-pai adalah seorang kakek pendekar yang oleh subonya disebut nomor satu di dunia! Kalau sampai pedang pusaka terampas, tentu para perampasnya itu hebat sekali. “Siapakah Lima Bayangen Dewa?” tanyanya. “Kami sendiripun belum mendapatkan kehormatan untuk mengenalnya. Akan tetapi tentu mereka merupakan datuk-datuk baru dari golongan kita. Setelah ada datuk-datuk baru sehebat itu, yang mampu mengacau Cin-ling-pai, kita takut apa? Ha-ha-ha, kaum kang-ouw tentu akan geger sekarang.” In Hong bangkit berdiri. “Sudahlah, terima kasih atas jamuan kalian. Aku akan melanjutkan perjalananku.” “Eh, eh, nona... nanti dulu! Kami harap nona suka menginap di sini untuk beberapa malam, atau setidaknya untuk malam ini! Bukan merupakan hal biasa dapat menjamu seorang seperti nona, dan kami merasa beruntung sekali dengan pertemuan ini yang harus dirayakan malam nanti,” si hidung besar bertahi lalat berkata. Nona, rasa rindu kami belum terlampiaskan, mengapa tergesa-gesa pergi?” kata si muka pucat dangan nada merayu. Akan tetapi karena In Hong belum berpengalaman, dia tidak mengerti akan kekurangajaran yang tersembunyi di balik kata-kata itu. Tiba-tiba terdangar ribut-ribut di sebelah luar dan serombongan orang kasar itu masuk ke pondok sambil menyeret seorang laki-laki yang berpakaian seperti piauwsu (pengawal orang atau barang kiriman) yang terikat erat-erat seperti seekor babi yang akan disembelih. Lima orang kasar itu mendorong piauwsu itu ke atas lantai di depan Fen-ho Su-liong. “Siapa dia? Apa perlunya kalian membawa babi ini datang ke sini?” Si tahi lalat membentak marah. Sementara itu, melihat kejadian ini, In Hong tidak jadi pergi dan duduk sambil menonton penuh perhatian. “Twako, harap maafkan kami! Kami berhasil menahan sebuah perahu besar, akan tetapi ketika kami minta pajak kepada mereka seperti biasa, lima orang piauwsu yang mengawal perahu melawan dan memaki kami. Terpaksa kami turun tangan menggulingkan perahu karena piauwsu-piauwsu itu lihai. Kami berhasil menawan tiga ekor anak ayam untuk twako dan kepala piauwsu yang menjadi biang keladinya ini kami seret ke sini. Sayang bahwa sebagian besar harta di perahu itu ikut tenggelam.” Si tahi lalat menjadi merah mukanya. “Bodoh! Kenapa harus menggulingkan perahu?” “Piauwsu-piauwsu itu lihai, terutama kepalanya ini. Tanpa menggulingkan perahu kami tidak mampu mengalahkan mereka.” “Plakk!” Si tahi lalat menampar dan pelapor itu tergelimpang kena ditampar pipinya. “Memalukan saja, di depan tamu bicara memperlihatkan kelemahan!” Dia menoleh kepada In Hong sambil berkata, “Coba nona lihat, apakah tidak memalukan mempunyai anggauta seperti ini?” “Maafkan kami, twako...” “Hayo buka ikatannya!” Si tahi lalat memerintah sambil menuding ke arah piauwsu yang sudah mulai siuman itu. Pakaian piauwsu itu basah kuyup dan mukanya pucat karena tadi dia dikeroyok ketika tercebur ke air dan di dalam air dia sama sekali tidak mampu menandingi ilmu renang para bajak sungai ini,sehingga akhirnya dia pingsan dan diikat. “Tapi... twako...” anggauta bajak itu terkejut karena maklum akan kelihaian piauwsu ini. “Buka...!” Si tahi lalat membentak lagi lalu tertawa bergelak sambil minum araknya. Sejak tadi dia sudah minum arak terlalu banyak sampai mukanya menjadi merah dan dia sudah agak mabok. “Hendak kulihat sampai di mana kelihaiannya sehingga dia berani melawan anak buah Fen-ho Su-liong!” In Hong memandang dangan tenang saja dan bibirnya membentuk senyum mengejek menyaksikan lagak si tahi lalat itu. Dia tidak perduli dan tidak merasa kasihan kepada piauwsu itu karena merasa bahwa yang dihadapinya sama sekali tidak ada sangkut pautnya dangan dirinya, dan diam-diam diapun ingin sekali menyaksikan sampai di mana kelihaian Empat Naga Sungai Fen-ho yang sombong ini dan yang menganggap sebagai “sahabat” dari Giok-hong-pang. Piauwsu itu dibebaskan dan sejenak dia duduk sambil mengumpulkan napas dan kekuatannya. Dia maklum bahwa dia berada di sarang bajak dan tidak ada harapan baginya untuk dapat hidup. Akan tetapi setidaknya dia akan mempertahankan diri sebagai seorang gagah. “Hayo bangun, jangan pura-pura mampus!” Si muka pucat menghardiknya. Piauwsu itu sudah berusia lima puluh tahun lebih, tubuhnya tinggi kurus dan sikapnya gagah. Dihardik demikian, dia mengangkat muka, memandang kepada empat orang itu satu demi satu dan dia tercengang ketika melihat seorang gadis cantik jelita duduk bersama empat orang kepala bajak itu. Akan tetapi pandang matanya kepada In Hong juga tidak ada bedanya dangan ketika dia memandang bajak-bajak itu karena dia mengira bahwa tentu wanita muda yang cantik inipun kaki tangan bajak! Dengan perlahan dia pun bangkit berdiri dan langsung menghadapi si tahi lalat yang dia tahu adalah ketuanya karena tadi disebut twako. “Kalau tidak salah, su-wi (kalian berempat) adalah yang disebut Su-liong (Empat Naga) dari Fen-ho. Sungguh mengherankan sekali, biasanya antara su-wi dan kami golongan piauwsu tidak ada permusuhan, bahkan ada kerja sama baik. Seingat saya, Pek-eng Piauw-kiok (Perusahaan Pengawal Garuda Putih) tidak pernah menolak permintaan sumbangan dari semua sahabat di sekitar Fen-ho. Mengapa hari ini su-wi mengganggu kami?” “Ha-ha-ha, piauwsu busuk! Bicara manispun tidak ada gunanya! Tak perlu kau merengek-rengek karena kami tidak akan mengampunimu!” kata si jenggot pendek. Piauwsu itu membusungkan dadanya. “Saya tidak mengharapkan pengampunan. Setelah kami gagal mengawal, pemilik barang tewas tenggelam dan barang-barangnya hilang, isteri dan anak-anaknya perempuan kalian culik, kamipun tidak mengharapkan hidup lagi. Kami hanya ingin tahu mengapa terjadi perubahan ini di fihak kawan!” Suaranya tegas dan tidak menghormat lagi. “Ha-ha-ha-ha!” si tahi lalat tertawa. “Kalau kami merobah sikap, kalian mau apa? Boleh panggil semua jagoan kang-ouw, pendekar-pendekar yang sakti di kolong langit! Apakah mau minta bantuan ketua Cin-ling-pai, ataukah Cap-it Ho-han? Ha-ha-ha!” Piauwsu itu mengerutkan alianya. Dia mengerti. Kiranya berita yang menggegerkan dunia kang-ouw tentang kematian tokoh-tokoh Cin-ling-pai, tentang tercurinya pedang Siang-bhok-kiam itulah yang merobah sikap para golongan hitam! Bagus! Kami bukanlah pengecut-pengecut yang suka minta bantuan siapapun. Untuk pekerjaan kami, kami sendiri yang bertanggung jawab. Setelah kalian membebaskan ikatanku, apakah kehendak kalian?” “Ha-ha-ha, piauwsu cerewet!” Si tahi lalat tertawa dan segera menerjang dangan pukulan tangan kanannya ke arah kepala piauwsu itu. “Dukkk...!” Plauwsu itu menangkis dan keduanya terpental ke belakang, tanda bahwa tenaga mereka seimbang. “Haii, kau berani melawanku!” Si tahi lalat membentak marah dan terus menyerang dangan ganas. Ternyata si tahi lalat yang tinggi besar itu memiliki gerakan yang cepat juga, serangannya bertubi-tubi, susul-menyusul dengan pukulan dan tendangan kedua kaki tangannya, tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk balas menyerang sehingga piauwsu itu terhuyung-huyung ke belakang dan berusaha untuk mengelak dan menangkis. Akan tetapi tubuhnya memang sudah lemah dan tangannya belum pulih kembali dan orang pertama dari Fen-ho Su-liong itu memang lihai bukan main, maka piauwsu itu segera terdesak hebat. “Bukk!” Tiba-tiba orang kedua dari Fen-ho Su-liong menendang dari belakang dan tepat mengenai pinggul si piauwsu yang tentu saja terhuyung ke samping dengan kaget. “Plakkk!” Si jenggot pendek menampar dari samping. Biarpun piauwsu itu sudah mengelak, tetap saja serangan tiba-tiba ini mengenai pundaknya, membuat dia hampir terpelanting. “Desssss!” Dengan gaya yang gagah si muka pucat menghantam dari belakang, tepat mengenai punggung piauwsu itu sehingga muntah darah. “Bagus, kalian pengecut-pengecut hina! Jangan kira aku takut!” Piauwsu itu membentak dan dia menjadi nekat menyerang empat orang itu dangan niat untuk mengadu nyawa. Akan tetapi karena tingkat kepandaian empat orang itu rata-rata lebih tinggi sedikit dibandingkan dengan dia, sedangkan dia sudah lelah dan empat orang itu mengeroyoknya, tentu saja dia menjadi permainan mereka, dipukul dan ditendang ke sana ke mari sampai akhirnya sebuah tonjokan si tahi lalat yang mengenai perutnya membuat dia terjungkal dan tak dapat bangkit kembali. In Hong melibat ini semua dan dia kini berkata perlahan, “Bagus! Jadi begini gagahkah yang berjuluk Empat Naga? Mengeroyok orang yang sudah tak bertenaga lagi?” Empat orang yang sudah hendak memukuli piauwsu yang tak dapat melawan lagi itu mundur dan menyeringai agak malu. “Ha-ha-ha, biar ada sepuluh orang seperti dia, mana mampu melawan kami? Nona, kaulihat tonjokanku dangan jurus Naga Sakti Mencuri Mustika tadi begaimana, hebat tidak?” Si tahi lalat bertanya kepada In Hong. “Ha-ha-ha, twako lebih pandai lagi mencuri hati wanita!” si kurus pucat berkata sambil tertawa-tawa, tidak tahu betapa In Hong sudah mulai merasa mual dan panas perutnya. In Hong mengambil keputusan untuk segera pergi saja meninggalkan orang-orang yang menjijikkan itu, akan tetapi tiba-tiba dia mendangar suara tangis wanita dan melihat tiga orang wanita diseret-seret menuju ke tempat itu. Yang seorang adalah selir saudagar yang menjadi korban pembajakan, seorang wanita berusia tiga`puluhan tahun yang masih cantik dan berkulit putih sekali, sedangkan yang dua orang adalah gadis-gadis berusia tujuh belas dan lima belas tahun, puteri-puteri saudegar itu. Dengan kasar para bajak mendorong tiga orang wanita itu sehingga jatuh berlutut di depan Fen-ho Su-liong. “Ah, inikah anak-anak ayam itu?” Si tahi lalat menghampiri mereka seorang demi seorang, memegang dagu mereka dan mengangkat muka itu untuk dilihat. “Bagus, lumayan, masih mulus! Biarlah untuk kalian bertiga, sute! Sedangkan aku sudah mempunyai nona Giok-hong-pang ini. Nona, mari kita bersenang-senang di dalam kamarku, kita adalah orang sendiri dan sahabat, engkau nanti kupersilakan memilih simpanan benda-benda perhiasan yang paling berharga dariku dan...” “Manusia biadab! Keluarlah karena saat ini adalah saat kematian kalian semua di tanganku!” In Hong tak dapat menahan kemarahannya lagi. Suaranya dingin, seperti bukan suara orang marah dan anehnya, bibir yang biasanya diam dan dingin, agak cemberut itu kini membayangkan senyum manis. Dia telah melempar buntalannya ke atas tanah dan sekali meloncat, tubuhnya sudah melayang ke depan pondok itu. Dia tidak mau turun tangan di dalam pondok karena dia ingin mengalihkan perhatian mereka kepadanya agar tidak sempat mengganggu tiga orang wanita itu. Andaikata di situ tidak ada peristiwa penculikan tiga orang wanita yang dihina itu, agaknya belum tentu In Hong akan menjadi marah dan turun tangan. Bahkan dia tadi sudah ingin cepat-cepat pergi. Akan tetapi, melihat tiga orang wanita itu akan dihina merupakan puncak bagi kesabaran In Hong. Empat orang Fen-ho Su-liong saling pandang lalu tertawa. “Wah, kiranya dia juga seekor kuda binal yang tidak mau ditunggangi begitu saja dangan jinak, twako!” kata si muka pucat. “Ha-ha-ha, lebih baik lagi kalau begitu. Aku memang lebih suka kuda betina yang binal, yang melawan sebelum menjadi jinak penurut. Hayo kalian bantu aku menangkapnya dan menjinakkannya, sute bertiga!” Empat orang laki-laki itu sambil tertawa-tawa lalu berlompatan keluar. Tugas untuk mengurung dan menjinakkan dara cantik jelita ini tentu saja diterima dangan gembira oleh tiga orang sute itu, karena memang kecantikan In Hong amat mempesona hati mereka dan sama sekali tidak dapat dibandingkan dangan tiga orang wanita yang dibajak itu. In Hong berdiri tegak tanpa bergerak sedikitpun, kedua tangannya tergantung di kanan kiri tubuhnya, hanya matanya yang melirik ke kanan kiri ketika empat orang itu mengurungnya dari kanan kiri sambil tertawa-tawa. “Haaai-hooohhh!” Si tahi lalat menggertak dan pura-pura menggerak-gerakkan kedua tangannya seperti orang mau menangkap, akan tetapi In Hong tidak bergerak karena tahu bahwa itu hanyalah gertakan saja. Empat orang Fen-ho Su-liong tertawa-tawa dan beberapa kali menggertak, lalu tiba-tiba mereka berempat menubruk secara berbareng dan menerkam tubuh In Hong seperti empat ekor harimau menerkam seekor domba dari empat penjuru. “Bressss...!!” Mereka berteriak kesakitan dan bingung karena meraka saling bertubrukan sedangkan dara yang mereka tubruk itu telah lenyap. Cepat mereka meloncat mundur dan melihat In Hong berdiri dangan tenangnya di sebelah sambil memandang mereka dangan sikep mengejek. Sementara itu, para anggauta bajak sudah keluar semua dari pondok-pondok mereka ketika mendangar bahwa empat orang pimpinan mereke sedang “menjinakkan” seorang wanita cantik yang pandai ilmu silat, yang tadi menjadi tamu terhormat. Mereka semua sudah mendengar bahwa tamu itu adalah anggauta Giok-hong-pang yang diam-diam dimusuhi oleh pimpinan mereka karena mendengar bahwa wanita-wanita Giok-hong-pang membasmi Kwi-eng-pang dan mendengar pula betapa wanita-wanita itu pembenci kaum pria! Tentu akan merupakan tontonan yang menarik melihat bagaimana tempat orang pimpinan mereka menjinakkan wanita pembenci kaum pria yang cantik ini. Mereka masih tertawa-tawa ketika melihat empat orang pimpinan mereka tadi gagal menubruk, dan memuji bahwa wanita itu cepat juga gerakannya ketika meloncat keluar dari kepungan pada saat mereka menubruk. Kini empat orang itu mengepung In Hong dari depan dan belakang. Dari belakang, si muka pucat dan si tahi lalat di hidung menghampiri berindap-indap dangan sikap masih bermain-main sedangkan dari depan si jenggot dan suhengnya menghampiri dengan gaya seperti hendak menubruk katak hijau. Tiba-tiba terdangar suara melengking tinggi dan dahsyat sekali, suara ini keluar dari mulut In Hong dan tampak sinar berkilat menyilaukan mata, disusul pekik-pekik mengerikan. Semua orang terbelalak dan menggigil! Ternyata, sama sekali tidak terduga-duga saking cepatnya, membarengi suara lengkingnya yang dahsyat, In Hong sudah bergerak, entah kapan dia mencabut pedang dari punggungnya, karena tahu-tahu pedang di tangan kanannya itu telah menusuk tembus dada si jenggot pendek dan suhengnya yang berdiri depan belakang! Pedang itu menembus dada dua orang itu dan pada detik berikutnya, tangan kirinya bergerak menampar ke belakang dua kali, tepat mengenai kepala si muka pucat dan si tahi lalat, terdangar suara keras dan mereka menjerit berbareng dangan jerit dua orang yang “disate” itu, kemudian roboh dangan mulut, hidung, mata dan telinga mengeluarkan darah! In Hong meloncat ke belakang sambil mencabut pedangnya. Dua orang disate itu terjungkal dan roboh saling tindih, berkelojotan di dalam darah mereka sendiri. Dua puluh orang bajak menjadi panik. Seujung rambutpun mereka tidak pernah menyangka akan terjadi peristiwa seperti itu! Belasan orang segera mencabut senjata dan mengurung In Hong, akan tetapi beberapa orang yang cukup cerdik cepat melarikan diri dari situ. Empat belas orang anak buah bajak yang tak tahu diri itu menggerakkan senjata mereka menyerang, akan tetapi tiba-tiba tampak sinar-sinar kilat yang membuat mereka seperti buta karena tidak melihat lagi di mana adanya wanita yang hendak mereka keroyok dan tahu-tahu mereka sudah roboh satu demi satu, tak dapat bangun kembali karena mereka telah tewas semua! Piauwsu itu hampir tidak percaya akan pandangan matanya sendiri. Dia tadi siuman dan dangan susah payah merangkak keluar, sampai di depan pintu dia masih sempat melihat empat orang kepala bajak tewas dan disusul oleh empat belas orang bejak yang mati dalam waktu yang hampir bersamaan, dalam waktu singkat sekali. Kini dia hanya melongo memandang kepada dara jelita yang sudah tak berpedang lagi karena pedangnya sudah kembali ke dalam sarung pedang di punggung. Dangan sikap dingin In Hong lalu menghampiri buntalannya menyambar buntalan itu dan melangkah pergi. “Lihiap...! Tunggu dulu...!” Piauwsu itu berseru dan memaksa dirinya untuk berlari menghampiri. In Hong menoleh, matanya bertanya apa yang dikehendaki orang itu. Piauwsu itu mengenal orang pandai dan serta merta dia menjatuhkan diri berlutut. “Lihiap, terima kasih atas pertolonganmu. Bolehkah saya mengetahui namae besar lihiap...?” “Kauurus wanita-wanita itu, antar mereka pulang!” “Baik, lihiap...!” Piauwsu itu bengong karena ketika dia mengangkat mukanya, dia hanya melihat bayangan berkelebat dan wanita itu telah lenyap dari depannya! Dia terbelalak, menoleh ke kanan kiri yang penuh dengan mayat malang melintang. Tak seorangpun di antara delapan belas orang itu yang hidup, semua mati dengan cara dua macam, kalau tidak retak kepalanya tentu dadanya tembus oleh pedang. Dia bergidik. “Cantik seperti Dewi... akan tetapi ganas seperti Elmaut...!” Bergegas Piauwsu ini lalu menghampiri tiga orang wanita yang masih menangis itu, mengajak mereka pergi dari situ dangan sebuah perahu karena kalau sampai datang kembali bajak-bajak itu, dalam keadaan terluka parah seperti itu tentu dia tidak akan mampu melindungi mereka. Puas rasa hati In Hong. Dia telah membasmi laki-laki yang suka menghina wanita! Andaikata tidak terjadi penghinaan atas diri tiga orang wanita itu, tentu dia tidak akan mencampuri urusan Fen-ho Su-liong. Dia berjanji di dalam hatinya untuk terus mempergunakan ilmunya menentang kaum pria yang suka mempermainkan wanita! Bukan semua pria, pikirnya maklum. Ada pria yang baik, misalnya pelayan restoran dan piauwsu itu. Piauwsu itu gagah perkasa, patut dikagumi dan pelayan restoran itu ramah dan wajar, patut dijadikan sahabat. Tidak, dia bukanlah pembenci pria seperti subonya atau seperti para bibi anggauta Giok-hong-pang! Dia tidak akan memusuhi kaum pria secara membuta. Dia tahu, karena sering mendangar cerita para anak buah subonya, bahwa kebanyakan pria adalah pengganggu wanita. Akan tetapi dia hanya akan menentang mereka yang telah terbukti melakukan penghinaan terhadap kaum wanita. Pengalaman di sarang bajak itu, pertemuannya dengan piauwsu yang gagah perkasa menarik hatinya dan membuat dia berpikir. Betapa buruknya golongan hitam seperti para bajak itu. Dan kalau golongan putih seperti piauwsu itu, sungguh mengagumkan! Sikap piauwsu itu bukanlah suatu kesombongan ketika dia menghadapi Fen-ho Su-liong, melainkan sikap gagah dan jantan. Dia juga tertarik mendengar tentang terampasnya Siang-bhok-kiam dan tanpa dia ketahui sebabnya, secara aneh dia ingin mencari pedang pusaka yang terampas itu, ingin melihat bagaimana macamnya pedang Siang-bhok-kiam yang oleh subonya diceritakan sebagai Pedang Kayu Harum yang pernah diperebutkan oleh tokoh-tokoh persilatan, seperti halnya bokor emas yang terjatuh ke tangan subonya. Karena gangguan perjalanan itu, hari telah mulai gelap ketika dia tiba di kota Tai-goan. Kota yang besar sekali dan membuat dia takjub. Ketika memasuki kota, dia seperti orang dusun benar-benar memandang ke kanan kiri penuh kagum melihat rumah-rumah besar, toko-toko yang penuh barang-barang indah, dan keramaian kota yang belum pernah dia lihat sebelumnya. Karena tidak dapat memilih, ketika melihat sebuah rumah penginapan, dia langsung masuk. Sebetulnya banyak sekali rumah penginapan yang besar-besar di kota Tai-goan, akan tetapi karena tidak tahu, In Hong memasuki rumah penginapan pertama yang dilihatnya. Hampir dia tersenyum ketika dia diantar oleh pelayan ke sebuah kamar, dia melihat di antara para tamu yang berseliweran di situ seorang laki-laki tua bertopi yang segera dikenalnya sebagai kakek bertopi yang dijumpainya di restoran di kota Tai-lin pagi tadi, laki-laki yang melirik ke arahnya dan yang selalu memperhatikan buntalannya. Anehnya, laki-laki itu juga memandang kepadanya dan jelas kelihatan laki-laki tua itu girang dan lega, seolah-olah menemukan kembali orang yang dicari-carinya! Setelah mandi dan memesan makanan, makan kenyang dan mengaso sambil duduk bersila dan berlatih siulian sebentar, In Hong lalu menutup pintu dan jendela, menaruh buntalan pakaian dan uang di atas meja, meletakkan pedang di bawah bantal dan diapun tidur. Dia tidak memadamkan lilin karena sudah menjadi kebiasaannya tidur dalam kamar yang terang. Dia akan membiarkan lilin itu sampai padam sendiri setelah dia pulas. Menjelang tengah malam dia mendengar pernapasan orang di balik jendela! Dangan perlahan dia membalikkan muka dan memandang. Dilihatnya asap kebiruan memasuki kamarnya melalui celah-celah daun jendela! Asap beracun! Dengan tenang In Hong lalu mengambil hawa murni melalui hidungnya, sebanyak mungkin dan mengumpulkannya di dada, lalu menahan napas. Tak lama kemudian kamar itu sudah penuh dangan asap kebiruan itu. Perlahan-lahan daun jendela terbuka dan In Hong membalikkan muka setelah melirik. Lihai juga orang itu, pikirnya. Tentu memiliki obat penawar asap beracun dan cara membuka jendelanya sama sekali tidak mengeluarkan suara. Dia sudah bersiap-siap. Biarpun dia kini membalikkan muka dan tidak melihat orang itu, namun dangan pendengarannya telinganya dia dapat mengikuti segala gerak-gerik orang itu! Kalau orang itu hendak mengganggunya, tentu dia akan meloncat dan menangkapnya. Akan tetapi aneh, orang itu sama sekali tidak memasuki kamar, hanya mengulurkan tangannya dan meraih buntalannya di atas meja yang kebetulan berdiri di dekat jendela itu! Kiranya orang itu hanya seorang pencuri yang mengincar buntalannya! In Hong tidak mau ribut-ribut menimbulkan geger dan menarik perhatian orang yang bermalam di penginapan itu. Dia membiarkan orang itu menyambar buntalannya, dan ketika orang itu melarikan diri, barulah dia meloncat turun dangan hati-hati, memakai sepatunya dangan cepat dan sambil membawa pedangnya, dia meloneat keluar dari jendela. Dilihatnya bayangan berkelebat di sebelah belakang hotel itu, maka dia segera mengejar. Ketika tiba di belakang hotel, bayangan itu meloncat ke atas genteng dangan tubuh ringan. In Hong terkejut. Dari lampu di belakang hotel, ketika bayangan itu menoleh, dia mengenal muka laki-laki tua bertopi! Kiranya dia maling itu! Dan melihat cara orang itu meloncat ke atas genteng, agaknya tingkat kepandaian orang ini tidak di sebelah bawah tingkat kepandaian Fen-ho Su-liong! Maka agar jangan sampai kehilangan pakaian dan uang, In Hong mengerahkan tenaganya, tubuhnya melesat naik melakukan pengejaran. Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati maling itu ketika dia menoleh dan melihat nona yang tidur pulas terkena asap beracunnya yang merupakan obat bius nomor satu di dunia permalingan itu kini tahu-tahu sudah mengejar dekat sekali! Dia lalu mengerahkan seluruh tenaga dan gin-kangnya, tubuhnya melesat cepat sekali seperti tukang ngebut. Dia tersenyum sendiri. Mana mampu engkau mengejar aku si jago kebut, pikirnya. Akan tetapi ketika dia melayang turun ke atas tanah dan berlari cepat, mengira bahwa pengejarnya tentu telah ketinggalan, dia mendangar bentakan halus, “Maling sial, mau lari ke mana kau?” “Wah...!” Dia lari lagi, akan tetapi ketika mendengar angin di belakangnya, dia secara tiba-tiba menjatuhkan tubuhnya melintang di jalan. In Hong menjerit dan cepat meloncat karena kalau tidak tentu dia akan menginjak tubuh itu atau akan jatuh tersandung. Dia meloncati tubuh orang itu dan ketika membalik, orang itu telah lari lagi! In Hong menjadi gemas, merasa dipermainkan dengan akal kanak-kanak. Cepat dia membalik dan mengejar. Kalau dia menghendaki, dengan Siang-tok-swa, senjata rahasia pasirnya itu, tentu dia dapat merobohkan maling ini. Akan tetapi dia tidak mau turun tangan membunuhnya sebelum tahu akan duduknya perkara, mengapa maling itu mengikutinya. Dengan beberapa loncatan jauh dia dapat menyusul. “Kembalikan buntalanku!” bentaknya dan tangannya sudah meraih untuk merampas. Akan tetapi, tiba-tiba maling itu melemparkan buntalannya ke samping dan tubuhnya bergulingan lalu tangannya menyambar lagi buntalan itu, terus melompat dan lari sekuatnya! Kembali In Hong kena diakali sehingga maling itu dapat melarikan diri lagi. “Gila!” bentaknya dan dengan sekali lompatan jauh dan cepat sekali tubuhnya melayang ke depan, sekaligus ia sudah menubruk dan dangan tangan kirinya dia menyambar buntalan sedangkan tangan kanannya menampar pundak. “Waduuuhhh...!” Orang tua itu memekik dan roboh terguling, buntalan itu dapat dirampas kembali oleh In Hong. Meling itu merangkak bangun dan segera berlutut sambil berkata, “Ampunkan saya, lihiap. Sungguh malam ini saya Jeng-ci Sin-touw mengaku kalah dan bertemu dengan gurunya!” Kemarahan di hati In Hong terganti rasa geli melihat maling itu berlutut dan minta ampun sambil memperkenalkan dirinya yang mempunyai julukan demikian hebat. Jeng-ci Sin-touw (Copet Sakti Berjari Seribu)! Memang harus diakuinya bahwa maling ini memiliki kepandaian dan kecepatan yang mengagumkan, namun julukan itupun amat berlebihan. Sebelum dia sempat bicara, maling itu kembali memberi hormat, lalu bangkit berdiri, menjura dan berkata lagi, suaranya penuh permohonan. “Saya memiliki mata akan tetapi seperti buta sehingga berani mengganggu seorang pendekar wanita yang ilmu kepandaiannya tinggi menjulang sampai ke langit, biarlah kegagalan ini menjadi hukuman bagi Jeng-ci Sin-touw dan terima kasih atas pengampunan lihiap. Permisi!” Dia lalu membalikkan tubuhnya hendak lari, akan tetapi secepat kilat In Hong menggerakken kakinya. Ujung sepatunya menotok belakang lutut kanan orang itu dan untuk kedua kalinya maling itu roboh terpelanting. “Aduhh, ampun, apakah lihiap hendak membunuh saya?” Maling tua itu berteriak. “Buntalanku tidak lengkap seperti tadi!” In Hong mengangkat tinggi buntalannya. “Begini ringan, tentu ada yang kauambil dari dalamnya. Hayo kembalikan!” Maling itu merangkak bangun, menyeringai karena selain kakinya sakit, juga kecewa karena wanita muda yang cantik ini tidak dapat diakali. Dangan wajah membayangkan putus asa dia merogoh saku bajunya yang lebar, mengeluarkan kantung uang yang tadinya berada di dalam buntalah sambil mengomel. “Celaka tiga belas! Benar makian lihiap tadi bahwa saya benar-benar sial malam ini, bertemu dangan seorang seperti lihiap yang begini lihai. Sungguh sial, padahal menurut taksiran saya, di kantung ini terdapat tiga puluh tail emas dan sedikitnya sepuluh tail perak. Hasil yang lumayan, sesuai dangan jerih payah saya tadi! Akan tetapi semua sia-sia belaka.” In Hong terkejut dan kagum. Maling ini tadi begitu merampas buntalan terus lari dan dikejarnya. Bukan saja maling itu dapat menyembunyikan kantung uang dari dalam buntalan ke dalam saku jubahnya, bahkan maling itu dapat menduga hampir persis jumlah isinya! “Hemmm, kulihat engkau bukan orang tolol! Mengapa engkau menggunakan asap beracun di kamarku tadi? Hayo jawab, kalau kau membohong dan aku kehabisan sabar, aku tidak akan segan-segan membunuhmu!” “Apakah artinya asap mainan itu bagi lihiap? Buktinya lihiap tidak apa-apa!” Maling itu hendak mengelak. “Simpan saja kepura-puraanmu itu! Asap itu beracun dan dapat membius orang! Mengapa kaulakukan itu terhadap aku? Siapa kau dan apa maksudmu mengintai dan membayangi sejak dari Tai-lin sampai di sini kemudian mencuri buntalanku?” Maling itu menarik napas panjang. “Dasar sial dangkalan! Tidak hanya gagal malah dicurigai dan dituduh yang bukan-bukan awakku! Baiklah, harap lihiap, dengarkan baik-baik pengakuanku. Nama saya Can Pouw dijuluki orang Jeng-ci Sin-touw dan di Tai-goan, nama saya dikenal oleh semua orang, terutama kaum hartawan yang selalu ketakutan kalau-kalau saya menjadi tamu yang tak diundang. Sejak kecil pekerjaan saya mempergunakan kesempatan selagi orang lengah...” “Jangan memutarbalikkan omongan, pakai mempergunakan kesempatan selagi orang lengah, bilang saja pencopet!” In Hong membentak tak sabar. “Yaahh... kan semua ada seninya! Lihiap tidak mengerti akan seninya mencopet atau maling yang istilahnya mempergunakan kesempatan selagi orang bermalas-malasan. Amat jauh bedanya dangan perampok atau bajak, lihiap! Mereka itu adalah orang-orang kasar yang mempergunakan kekerasan mengandalkan kepandaian merampas dangan paksa, berbeda dangan kami yang bekerja dangan halus tidak mau menyinggung perasaan orang lain sehingga yang kehilangan barang tidak tahu siapa yang mengambilnya. Bukankah itu mengandung seni yang bermutu tinggi dan halus...?” “Cerewet! Kau hendak main-main dangan aku, ya?” In Hong menghunus sedikit pedangnya dan tampak sinar berkilat. “Eh, eh... oh... tidak, lihiap! Maafkan saya! Sampai di mana cerita saya tadi? Wah, lihiap membikin saya ketakutan setengah mati. Baiklah, saya terpaksa menggunakan asap pembius karena saya telah menduga bahwa lihiap adalah seorang yang amat lihai. Siapa kira, asap pembius yang cukup kuat untuk membikin pulas sepuluh orang itu hanya merupakan minyak wangi saja agaknya bagi lihiap. Dasar saya yang sialan!” “Dan mengapa engkau membayangi aku sejak di restoran di kota Tai-lin?” “Wah, sejak itu lihiap sudah curiga kepada saya? Hebat! Ketahuilah, lihiap. Saya bukan menyombongkan diri, namun pengalaman saya yang sudah puluhan tahun membuat saya dapat menduga bahwa isi buntalan yang lihiap bawa itu, selain pakaian tentu mengandung emas atau perak, terbukti dari beratnya. Melihat ikan kakap, seorang pengail seperti saya ini mana tidak tertarik untuk mengikuti betapa jauhnyapun?” “Bicara yang benar! Apa itu kakap dan pengail?” In Hong membentak, makin tertarik karena sikap dan bicara orang ini memang luar biasa dan lucu. “Eh, maaf. Jika seorang ahli memindahkan barang...” “Bilang saja pencopet! Pencopet! Maling!” In Hong membentak tidak sabar. “Iya, ya... jika seorang pencopet, maling tangan panjang melihat calon korban yang membawa barang berharga, maka istilahnya adalah kakap dan si... eh, pencopet menganggap dirinya seperti pengail yang akan menangkap ikan kakap itu. Saya melihat nona, maka tentu saja saya tertarik dan saya ikuti terus. Akan tetapi saya sudah putus harapan ketika melihat nona pergi bersama Fen-ho Su-liong. Mereka adalah perkumpulan bajak yang kuat, saya seorang diri tidak berani mencampuri urusan mereka, maka terpaksa saya menggigit jari dan melanjutkan perjalanan ke Tai-goan dengan hati mengkal, merasa betapa ikan kakap itu dicaplok buaya. Tidak tahunya, eh... nona muncul di penginapan itu! Tidak saya sangka nona dapat lolos dari Fen-ho Su-liong!” “Mereka telah mampus semua!” In Hong berkata tanpa disadarinya mengapa dia menjadi suka bercakap-cakap dengan maling ini. Maling itu terbelalak, mukanya menjadi pucat sekali dan kembali dia menjatuhkan dirinya berlutut. “Lihiap telah membunuh mereka semua? Aduhh... kalau begitu saya tentu akan mampus. Lihiap harap ampunkanlah kelancangan saya berani mengganggu harimau betina...” “Hayo ceritakan mengapa engkau begitu nekat mencoba untuk mencuri!” Dan tiba-tiba saja maling itu menangis! In Hong mengerutkan alisnya, berhati-hati karena takut kalau-kalau kena diakali oleh maling yang pandai bermain gila ini. “Huh! apa-apaan lagi engkau ini?” “Uhu-huhu-huuu...! Saya terpaksa melakukan ini, lihiap. Di rumah terdapat seorang isteri cerewet yang selalu minta dibelikan ini itu yang serba mahal, sedangkan anak saya ada tujuh orang...” Hampir saja In Hong tertawa karena geli hatinya. “Nah, kauterimalah ini untuk anak isterimu, kalau engkau berbohong, biar uang ini akan mendatangkan malapetaka kepadamu!” In Hong melemparkan dua potong uang perak kepada maling itu, kemudian sekali berkelebat dia sudah lenyap dari situ. “Heiiiii... lihiap, tungguuuuu...! Saya memang berbohong, tapi tunggu, saya mempunyai berita yang lebih penting lagi” Tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu In Hong sudah berada di depannya sehingga maling itu menutup mulutnya yang berteriak-teriak. Dia memandang kagum. “Bukan main kehebatan gin-kang dari lihiap.” “Hayo ceritakan, berita apakah itu?” “Lihia begini lihai, tentu lihiap merupakan seorang tokoh besar dari Giok-hong-pang.…” Mendangar suara yang sungguh-sungguh itu, kini In Hong menduga bahwa maling lucu ini tentu tidak main-main lagi. “Bagaimana kau bisa tahu?” “Sudah sejak di restoran itu saya menduga bahwa tentu lihiap seorang Giok-hong-pang, melihat perhiasan kepala lihiap berupa burung hong dari batu kemala itu. Sebetulnya karena saya sudah mendengar bahwa para wanita Giok-hong-pang adalah pembenci kaum pria, maka saya sengaja membayangi dan hendak mengganggu lihiap dangan mencuri buntalan lihiap. Ternyata lihiap berilmu tinggi sekali, dan sikap lihiap bukan pembenci pria sungguhpun ngeri saya membayangkan betapa gerombolan bajak Fen-ho itu terbunuh semua. Maka mudah menduga bahwa tentu lihiap seorang tokoh besar dari Giok-hong-pang.” “Dugaanmu benar, paman Can Pouw. Aku adalah murid tunggal dari ketua Giok-hong-pang.” “Paman...? Lihiap menyebutku paman...? Ohhhh, terima kasih!” Kakek itu kelihatan girang sekali, matanya bersinar-sinar di bawah cahaya bulan yang terang di malam itu. “Mengapa?” In Hong terheran. “Siapa tidak akan girang disebut paman oleh seorang tokoh besar dari Giok-hong-pang? Lihiap baik sekali! Kalau boleh saya mengetahui nama lihiap yang mulia...” “Jangan menjilat-jilat, aku menjadi benci mendengarnya! Namaku Yap In Hong dan lekas katakan, berita apa yang kau katakan penting tadi?” “Seorang tokoh besar yang lihai seperti lihiap telah keluar ke dunia ramai, sudah pasti ada hubungannya dengan geger di dunia kang-ouw tentang tercurinya Siang-bhok-kiam, bukan?” In Hong terkejut. Dia memang tertarik oleh urusan lenyapnya pusaka Cin-ling-pai yang dicuri orang itu. “Kalau benar demikian, mengapa?” “Lihiap, untuk kebaikan lihiap yang sudah mengampuni saya, sudah memberi hadiah uang kepada saya dan terutama sekali yang memanggil saya paman, biarlah saya membuka rahasia ini. Saya tahu siapa yang mencuri Siang-bhok-kiam itu!” In Hong terkejut lagi. “Bagaimana engkau bisa tahu?” tanyanya curiga, takut kalau dibohongi lagi. “Demi Thian dan semua Dewa, saya tidak bohong, lihiap!” Maling itu agaknya merasa bahwa dia dicurigai. “Dan tentu saja saya tahu. Bagi Jeng-ci Sin-touw seorang maling sakti yang terkenal, di dunia ini tidak ada berita yang lebih menarik daripada berita tentang permalingan, terutama permalingan yang hebat-hebat seperti dicurinya Siang-bhok-kiam itu. Ingat, saya berjuluk Seribu Jari, bukan hanya pandai mencopet akan tetapi juga mempunyai ribuan kawan yang dapat menyelidiki.” “Hemm, apa anehnya itu? Akupun sudah mendengar bahwa pencuri-pencuri itu adalah Lima Bayangan Dewa.” “Semua orang agaknya tahu bahwa mereka adalah Lima Bayangan Dewa, akan tetapi tahukah lihiap siapa sesungguhnya lima orang sakti itu dan terutama sekali di mana mereka itu berada?” In Hong benar-benar tertarik. “Dan engkau tahu, paman Can Pouw?” “Tentu saja! Dengar baik-baik, lihiap, dan sebaiknya kalau lihiap jangan mencoba-coba untuk menentang mereka tanpa bantuan yang banyak dan kuat. Mereka itu adalah tokoh-tokoh baru yang memiliki kepandaian hebat, lima orang sakti yang bersatu menjadi Lima Bayangan Dewa, yang kesemuanya merupakan musuh-musuh pribadi ketua Cin-ling-pai. Orang pertama adalah Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok. Melihat julukannya saja, Pat-pi Lo-sian (Dewa Tua Berlengan Delapan) sudah dapat dibayangkan kelihaiannya. Dia seorang yang aneh penuh rahasia, kabarnya datang dari utara dan masih keturunan Mongol, terkenal dengan pakaiannya yang serba putih mengerikan!” “Hemm, baru delapan lengannya apa sih hebatnya? Masih kalah oleh engkau yang berjari seribu.” “Lihiap mengejek! Dia itu kabarnya sakti sekali, bahkan kabarnya malah lebih sakti daripada mendiang suhengnya, Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok yang pernah menjadi datuk kaum sesat. Adapun orang kedua adalah Liok-te Sin-mo (Iblis Bumi) Gu Lo It yang kabarnya memiliki tenaga seratus ekor kuda jantan! Kemudian orang ketiga adalah Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok Hosiang yang tentu saja hanya seorang tokoh hitam yang menyamar sebagai pendeta, kabarnya kesaktiannya tidak kalah oleh yang dua itu, pandai merayap tembok seperti cecak den kepalanya merupakan senjata ampuh.” In Hong mencatat dalam hatinya. Biarpun kepandaian seperti itu tidak aneh baginya, namun dia tahu bahwa hal itu membuktikan betapa lihai adanya orang-orang dari Lima Bayangan Dewa itu. “Orang keempat adalah seorang iblis betina yang amat mengerikan, yaitu Hui-giakang (Kelabang Terbang) Ciok Lee Kim. Tentu saja mengerikan. Seekor kelabang sudah amat berbahaya den beracun, apalagi kalau pandai terbang. Kabarnya dia memang pandai terbang! Huh, mengerikan sekali. Aku tidak sudi berjumpa berdua saja dengan dia ini di tempat gelap!” In Hong menahan senyumannya. Maling tua ini memang lucu, kata-katanya jenaka den tidak dibuat-buat, bahkan kalau sudah bicara sungguh-sungguh dan lenyap wataknya yang suka bersendau-gurau dan membohong, dia memiliki kejujuran. “Sedangkan orang kelima bernama Toat-beng-kauw Bu Sit, dari julukannya saja sudah ketahuan bahwa dia seperti monyet, juga kecepatannya. Nah, lengkaplah lima orang dari Lima Bayangan Dewa itu, lihiap.” In Hong mengangguk-angguk, diam-diam dia mencatat semua nama dan julukan itu. “Terima kasih atas keteranganmu, paman. Memang berita ini penting sekali bagiku.” “Ada yang lebih penting lagi!” Can Pouw berseru. “Yaitu sarang mereka!” “Di mana?” “Di lembah Sungai Kuning, di sebelah timur kota Cin-an. Kurang lebih dua puluh li dari Cin-an terdapat lembah Sungai Hoang-ho yang penuh dengan hutan. Di dalam sebuah hutan dekat sungai yang bermuara, di sanalah letak pedusunan Ngo-sian-chung (Dusun Lima Dewa) dan di sana pulalah lima orang sakti itu tinggal di sebuah gedung besar, sedangkan para penghuni dusun kecil itu yang tidak berapa banyak semua adalah anak buah dan murid-murid mereka. Akan tetapi harap hati-hati, lihiap, jangan sekali-kali memberanikan diri mendekati tempat itu. Mereka bukan penjahat-penjahat biasa, tidak pernah melakukan kejahatan bahkan menjadi pelindung dan sahabat-sahabat baik para pembesar di Cin-an dan sekitarnya. Mereka itu kaya raya dan para anggautanya melakukan pekerjaan dagang. Ketika kami dan kawan-kawan menyelidik ke sana, dari sepuluh orang hanya saya dan seorang teman saja yang dapat keluar dalam keadaan hidup. Yang delapan orang lenyap entah ke mana!” In Hong mengerutkan alisnya. Hebat juga berita ini. Dia merogoh saku hendak mengeluarkan sepotong uang emas, akan tetapi didahului oleh Jeng-ci Sin-touw yang berkata, “Harap lihiap jangan memberi uang kepada saya. Perkenalan ini sudah cukup mengherankan hati saya dan kalau sewaktu-waktu lihiap membutuhkan saya, asal lihiap datang ke Tai-goan dan bertemu dengan seorang di antara seniman-seniman copet di pasar lalu menanyakan saya, tentu akan dapat berjumpa.” In Hong tersenyum. Baru sekali ini selama dia meninggalkan Kwi-ouw, dia sempat bercakap-cakap selama itu dengan seseorang dan anehnya, sunggub tak pernah diduga-duganya, orang itu adalah seorang laki-laki dan lebih lagi, seorang pencuri malah! “Terima kasih, paman Can, mudah-mudahan kelak kita akan dapat saling bertemu kembali dalam keadaan yang lebih baik.” Setelah berkata demikian, sekali berkelebat dara itu lenyap dari depan Can Pouw yang menjadi bengong. Sudah banyak dia berjumpa orang pandai, bahkan dia sendiri memiliki gin-kang yang cukup tinggi sehingga dia terkenal, akan tetapi gerakan dara yang bernama Yap In Hong itu benar-benar mengejutkan hatinya, seolah-olah dara itu pandai menghilang seperti setan! Demi dewa...!” Ia berkata lirih, “berani aku mempertaruhkan julukanku, bahwa Yap In Hong ini kelak akan menjadi seorang yang menggegerkan dunia!” Dia tidak tahu bahwa In Hong yang tadi mencelat dan bersembunyi di atas pohon mendengar semua ini. Dara ini berlaku hati-hati dan sengaja bersembunyi untuk melihat apa yang akan dilakukan oleh maling yang mencurigakan, tahu segala, dan banyak cakap akan tetapi lucu itu. Mendengar maling itu akan mempertaruhkan julukannya, In Hong menutup mulutnya dan tertawa geli. Benar-benar tolol dan lucu. Siapa sudi bertaruh dengan dia kalau yang dipertaruhkan itu julukannya, betapa mentereng sekalipun julukan itu? Setelah maling tua itu pergi, barulah In Hong meloncat turun dan melanjutkan perjalanannya. Timbut suatu hasrat aneh di dalam hatinya yang terdorong oleh kata-kata maling tua itu. Dia akan menjadi orang yang menggegerkan dunia! Dan dia ingin hal ini benar terjadi, menggegerkan dunia persilatan! Dan hal itu hanya dapat terlaksana kalau dia dapat merampas kembali Siang-bhok-kiam dari tangan Lima Bayangan Dewa! *** Lima orang itu duduk mengitari meja panjang dengan gembira sambil menghadapi makanan dan minuman yang serba mahal dan lezat. Semua masakan telah selengkapnya dihidangkan di atas meja, dan arak wangipun berlimpah-limpah. Para pelayan yang terdiri dari anak buah mereka sendiri, hanya menjaga di luar dan di sudut ruangan, menanti kalau-kalau ada perintah dari lima orang yang sedang makan minum dengan gembira itu. Mereka itu bukan lain adalah Lima Bayangan Dewa yang kini telah pulang dan merayakan pesta kemenangan mereka, setelah mereka berhasil membunuh tujuh orang Cap-it Ho-han dan mencuri pedang pusaka Siang-bhok-kiam. Sambil tertawa-tawa, empat orang menceritakan jalannya pertandingan ketika mereka membunuhi tokoh-tokoh Cin-ling-pai di ruangan atas loteng rumah makan Koai-lo di kota Han-tiong itu, sedangkan Pat-pi Losian Phang Tui Lok juga menceritakan pengalamannya yang berhasil ketika dia menyerbu Cin-ling-pai dan mencuri pedang pusaka Siang-bhok-kiam. “Sungguh menyebalkan,” Phang Tui Lok menutup ceritanya sambil menghunus sebatang pedang kayu yang mengeluarkan bau harum semerbak, “pedeng kayu macam ini saja pada puluhan tahun yang lalu pernah diperebutkan para tokoh kango-uw. Padahal pedang ini biasa saja, hanya sebatang pedang kayu harum yang biarpun mengandung hawa mujijat namun tidak lebih berguna daripada sebatang pedang baja yang baik.” “Dahulu lain lagi, Phang-suheng,” kata Liok-te Sin-mo Gu Lo It. “Dahulu pedang ini menyimpan rahasia tempat pusaka terpendam yang akhirnya terjatuh ke tangan Cia Keng Hong. Akan tetapi sekarang pedang ini hanya menjadi lambang kebesaran Cin-ling-pai belaka.” “Yang sudah beralih ke tangan kita, ha-ha-ha.” Pat-pi Lo-sian tertawa dan mukanya yang kelihatan muda itu menjadi makin muda dan tampan tiada ubahnya muka seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun saja. Padahal tokoh ini sudah berusia enam puluh lima tahun! Phang Tui Lok adalah seorang peranakan keturunan Mongol, terlahir dari ibu seorang Wanita Han yang menjadi tawanan dan dipaksa menjadi selir seorang kepala Suku Mongol. Dia adalah sute dari mendiang Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok yang selain suhengnya, juga seperti kakaknya sendiri karena dari tokoh ini dia sudah banyak berhutang budi. Oleh karena itu, ketika mendengar akan kematian Ouwyang Kok, Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok menjadi kaget dan berduka sekali. Ketika itu usianya baru empat puluh tahun lebih dan dia merasa tidak berdaya untuk membalas dendam kematian suhengnya terhadap seorang musuh seperti ketua Cin-ling-pai saktinya, maka diam-diam dia memperdalam ilmunya selama belasan tahun dan selama itu dia selalu berpakaian putih tanda berkabung terhadap kematian suhengnya. Setelah merasa dirinya kuat, dia lalu merantau ke selatan, melewati perbatasan dan Tembok Besar dan akhirnya dia berhasil menarik empat orang itu sebagai sekutunya, karena empat orang itupun merupakan orang-orang yang merasa sakit hati terhadap ketua Cin-ling-pai. Karena bersatu tujuan, mereka lalu mengangkat saudara sebagai saudara-saudara seperguruan, setelah Phang Tui Lok menurunkan ilmu tentang racun kepada mereka, ilmu yang didapatnya dari mendiang Ouwyang Kok sehingga ikatan ilmu ini membuat mereka merasa seperti saudara-saudara seperguruan. Karena Phang Tui Lok adalah yang tertua dan juga yang terlihai di antara mereka, maka dialah yang menjadi pemimpin dari Lima Bayangan Dewa, yaitu nama yang mereka pakai sebagai julukan mereka, diambil dari nama dusun di mana mereka tinggal, yaitu Dusun Lima Dewa. “Ingin sekali aku melihat muka Cia Keng Hong kalau dia pulang dan mendengar akan kematian Cap-it Ho-han dan hilangnya Siang-bhok-kiam! Dan dia akan bingung mendengar nama Lima Bayangan Dewa!” kata Toat-beng-kauw Bu Sit, Si Monyet Pencabut Nyawa. “Biar dia mencari-cari setengah mampus!” Hui-giakang Ciok Lee Kim tertawa dan menenggak araknya. “Omitohud... pinceng tidak akan merasa heran kalau besok atau lusa dia akan muncul di sini. Orang macam dia tentu tidak membutuhkan waktu lama untuk mencari tempat kita.” “Eh, hwesio murtad, apa engkau takut?” Pat-pi Lo-sian bertanya, “Engkau meramalkan kedatangannya seolah-olah engkau takut menghadapinya.” “Ha-ha-ha-ha, siapa takut kepadanya? Apanya yang harus ditakuti? Aku malah ingin sekali mencoba Thi-khi-i-beng dengan ilmu cecakku, hendak kulihat sampai di mana kekuatan daya sedotnya” Memang ada persamaan antara Thi-khi-i-beng dan ilmu yang dikuasai oleh hwesio ini sehingga membuat dia dapat merayap di tembok seperti seekor cecak, yaitu penggunaan sin-kang untuk menyedot dari telapak tangan. Tentu saja hwesio yang pongah ini tidak tahu bahwa Thi-khi-i-beng adalah ilmu mujijat yang langka, yang tidak hanya menyedot seperti dilakukan oleh telapak tangannya menyedot tembok sehingga dapat melekat, melainkan Thi-khi-i-beng menyedot sin-kang orang membanjir keluar dari dalam tubuh! Bagus, memang kita sudah menanti-nanti kedatangannya untuk membikin perhitungan. Betapapun juga, mengingat bahwa Cia Keng Hong mempunyai keluarga yang terdiri dari orang-orang sakti, juga banyak teman-temannya yang lihai, sebaiknya kalau kita juga menghimpun tenaga dari golongan kita. Setelah keberanian kita mencuri Siang-bhok-kiam, kiraku akan banyak tokoh hitam yang akan suka membantu kita.” Tiba-tiba terdengar suara halus seorang wanita, “Bagus! Lima Bayangan Dewa sungguh bernyali besar sekali!” Lima orang itu terkejut dan karena mereka adalah orang-orang yang berilmu tinggi, mereka segera dapat menekan kekagetan mereka dan tetap duduk di tempat sungguhpun mereka cepat menengok dan memandang ke arah orang yang mengeluarkan suara itu. Seorang nenek tua berpakaian serba hitam tahu-tahu telah berdiri di dalam ruangan itu tanpa ada penjaga yang melihatnya. “Memang mengagumkan dan kita perlu mengetahui dulu sampai di mana kelihaian mereka maka berani mengganggu Cin-ling-pai!” terdengar suara kedua dan tahu-tahu muncul pula seorang kakek yang usianya sudah jauh lebih tua. Kakek dan nenek ini keduanya berpakaian seperti pendeta. Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok maklum bahwa dua orang ini tentulah orang-orang pandai, akan tetapi karena sikap mereka tidak bermusuhan diapun lalu meraba sepasang sumpit dan secawan arak dari atas meja dan ingin menguji kepandaian dua orang tamu itu sebelum mengambil keputusan sikap apa yang akan diambilnya untuk menyambut mereka. “Kedua tamu yang tak diundang, silakan!” kata orang pertama dari Lima Bayangan Dewa itu dan tiba-tiba sepasang sumpit gading meluncur ke arah nenek itu, sedangkan secawan penuh arak meluncur ke arah si kakek tua. Dua orang itu berdiri tenang saja, kemudian nenek itu menggerakkan tangan kanan dan sekaligus jari-jari tangahnya dapat menjepit sepasang sumpit itu dengan enaknya seperti orang mengambil sumpit dari atas meja saja. Cawan arak yang meluncur ke arah muka kakek itu tiba-tiba terhenti di udara, berputaran dan ketika kakek itu menggerakkan tangannya, cawan itu berhenti di atas kepalanya dan perlahan-lahan mendoyong sehingga araknya mengucur perlahan-lahan. Dia membuka mulutnya sehingga arak itu masuk ke mulut dan diminumnya. “Nenek tua, terimalah suguhan pinceng!” Hok Hosiang juga menggunakan sumpitnya mengambil potongan-potongan daging dengan cepat sekali dan melempar-lemparkan ke arah nenek itu dengan kecepatan seperti sambitan senjata-senjata rahasia yang berbahaya. “Wut-wut-wut... cap-cap-cappp!” Hebatnya, nenek itu berhasil menerima tiga potong daging dengan sepasang sumpitnya, kemudian perlahan-lahan memasukkan daging-daging itu ke dalam mulutnya sambil mengunyah. Dia lalu melemparkan sumpit ke atas meja dan sepasang sumpit itu menancap di depan Pat-pi Lo-sian, disusul oleh terbangnya cawan kosong yang juga hinggap di depan orang pertama dari Lima Bayangan Dewa tanpa terbanting keras seolah-olah diletakkan oleh tangan yang tidak kelihatan! Menyaksikan ini, lima orang itu terkejut dan maklum bahwa dua orang kakek dan nenek itu amat lihai. Mereka segera bangkit berdiri dan menjura kepada mereka berdua, dan Phang Tui Lok berkata, “Maafkan kami yang tidak tahu akan kedatangan ji-wi sehingga tidak menyambut lebih cepat.” “Siancai, Lima Bayangan Dewa terlalu sungkan! Kamilah yang seharusnya merasa malu, datang tanpa diundang dan begitu datang ikut menikmati hidangan, ha-ha-ha!” kakek yang berpakaian seperti tosu itu berkata sambil tertawa. “Sebagai tamu-tamu tak diundang, biarlah pinto memperkenalkan diri...” “Nanti dulu!” Liok-te Sin-mo Gu Lo it berseru, “Biarkan kami menduga-duga siapa adanya ji-wi!” Lima orang itu lalu memandang dengan penuh perhatian wajah dan pakaian mereka berdua yang tersenyum-senyum saja. Akhirnya Liok-te Sin-mo yang lebih dulu berseru. “Aku mau didenda minum tiga cawan arak kalau dugaanku meleset bahwa locianpwe ini adalah Hwa Hwa Cinjin” Tosu tinggi kurus itu tersenyum dan mengangguk-angguk. “Hebat memang Lima Bayangan Dewa, bermata tajam di samping nyalinya yang amat besar.” “Dan siapa lagi tokouw ini kalau bukan Hek I Siankouw?” Hui-giakang Ciok Lee Kim juga berseru. Pendeta wanita berpakaian hitam itu lalu menjura sambil tersenyum pula. “Kalian memang hebat dan mengagumkan, bukan hanya karena telah berani mengejek ketua Cin-ling-pai, akan tetapi juga berani menanggung resikonya dan menghadapi pembalasan mereka. Kami berdua pasti suka membantu kalian,” kata Hek I Siankouw. Dua orang kakek dan nenek ini memang merupakan tokoh-tokoh yang terkenal juga sungguhpun mereka jarang menampakkan diri di dunia kang-ouw. Kakek yang hanya dikenal julukannya sebagai Hwa Hwa Cinjin itu adalah sute dari Toatbeng Hoatsu, seorang datuk kaum sesat yang dabulu tewas di tangan Panglima Besar The Hoo sendiri ketika terjadi perebutan bokor emas, di mana Cia Keng Hong menjadi pembantu utama dari The Hoo (baca Petualang Asmara). Karena kini Panglima The Hoo sudah meninggal, dan memang tidak mungkin bagi kaum sesat untuk membalas kepada seorang panglima besar yang amat kuat kedudukannya seperti Panglima The Hoo, maka kini semua dendam ditumpahkan kepada Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai. Apalagi ketika mendengar bahwa Cin-ling-pai berhasil diserbu dan dikacau oleh Lima Bayangan Dewa, Hwa Hwa Cinjin segera mengajak Hek I Siankouw untuk mengunjungi Cin-ling-pai, dengan dalih ikut berduka cita dan bersembahyang mereka telah melakukan penghinaan di Cin-ling-pai karena Cia Keng Hong tidak ada dan mereka segera pergi melihat munculnya kakek sakti Tio Hok Gwan dan ahli sihir Hong Khi Hoatsu. Nenek tokouw itu sebetuInya adalah bekas kekasih Hwa Hwa Cinjin. Karena penyelewengan mereka menuruti nafsu berahi inilah yang membuat mereka terpaksa melarikan diri dari golongan pendeta dan menjadi pendeta-pendeta perantau yang wataknya sudah bukan seperti pendeta suci lagi sampai mereka menjadi kakek dan nenek. Hanya aneh dan lucunya, sampai mereka menjadi kakek berusia tujuh puluh tahun dan nenek berusia enam puluh tahun, mereka masih tetap rukun dan ke manapun mereka berduaan terus! Setelah Hwa Hwa Cinjin dikenal oleh Liok-te Sin-mo, tentu saja mudah untuk mengenal Hek I Siankouw karena sudah terkenal betapa keduanya ini tak pernah berpisah. Pat-pi Lo-sian lalu mempersilakan mereka duduk dan dia lalu memperkenalkan diri dan juga para adik seperguruannya. Ketika dia memperkenalkan diri sebagai sute mendiang Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok yang tewas di tangan Cia Keng Hong, Hwa Hwa Cinjin menepuk meja. “Ahh, kiranya sicu adalah sute mendiang Ban-tok Coa-ong! Sungguh kebetulan sekali karena mendiang suhengmu itu adalah sahabat baik mendiang suhengku, yaitu Toat-beng Hoatsu yang tewas oleh Panglima The Hoo. Bagus, kini kita dapat berkumpul dan bekerja sama, dan memang sudah tiba saatnya untuk melakukan balas dendam kepada Cia Keng Hong dan keluarganya.” Pelayan dipanggil, makanan dan minuman ditambah dan mereka makan minum sambil mengatur rencana untuk mengadakan persekutuan menghadapi keluarga Cia Keng Hong yang amat terkenal sebagai keluarga yang sakti itu. “Aku mempunyai seorang sahabat baik yang kiranya perlu sekali diajak untuk bersama-sama menghadapi musuh. Dia pasti bersedia, karena diapun tidak suka kepada keluarga ketua Cin-ling-pai itu. Dia amat lihai dan kalau dia membantu kita, persekutuan kita tentu akan lebih kuat.” Hek I Siankouw berkata. “Bagus sekali, Siankouw. Siapakah gerangan sababatmu itu?” tanya Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok Hosiang, yang kagum melihat nenek berpakaian hitam itu sudah tua namun masih tetap cantik! “Dia adalah Go-bi Sinkouw dan kalau kita sendiri mengundangnya, tentu dia akan mau bergabung dan datang ke sini.” Sampai sehari penuh mereka berpesta dan berunding. Akhirnya mereka bersepakat untuk mengundang orang-orang pandai dari golongan hitam, untuk bersama-sama mereka menghadapi Cin-ling-pai, dan menghancurkan keluarga pendekar Cia Keng Hong yang dianggap merupakan pusat kekuatan golongan putih yang selalu menentang golongan hitam. Mereka berangkat berpencar dan menentukan satu tanggal dan bulan untuk berkumpul kembali di dusun Ngo-sian-chung sambil mengajak bantuan orang-orang sakti yang mereka undang. Untuk menjaga keselamatan, seluruh penduduk Ngo-sian-chung juga pergi semua bersembunyi dan hanya diam-diam melakukan pengintaian ke dusun mereka yang ditinggal pergi karena mereka tidak berani tinggal di situ selama lima orang pemimpin mereka tidak ada. *** “Adik In Hong...!” In Hong terkejut dan menghentikan langkahnya. Tempat itu sunyi dan matahari telah naik tinggi. Tidak nampak seorangpun manusia akan tetapi suara panggilan tadi terdengar dekat sekali. Kemudian dia melihat bayangan orang berlari cepat dari belakang dan dia terkejut. Orang itu telah memanggil namanya dari jarak yang amat jauh, namun suara panggilannya begitu dekat seolah-olah terdengar di pinggir telinganya! Maklumlah dia bahwa pemanggilnya itu adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi dan tahu pula dia siapa orang itu, maka dia menanti sambil berdiri tegak dan jantung berdebar tegang. Tak lama kemudian Kun Liong sudah berdiri di depannya, tersenyum dan memandang tajam waiah yang cantik jelita itu. “Yap In Hong, adikku, adik kandungku...” In Hong mengerutkan alisnya. Tak disangkanya bahwa dia akan bertemu dengan kakaknya di situ, atau lebih tepat lagi, kakaknya itu agaknya mengejar dan menyusulnya. “Sejak aku terusir dari Pulau Kwi-ouw, aku menanti kesempatan baik. Melihat engkau melakukan perjalanan seorang diri, diam-diam aku membayangimu dari jauh, dan dari jauh pula aku melihat segala sepak terjangmu. Engkau hebat, adikku, hanya sayang ketika menghadapi Fen-ho Su-liong, engkau terlampau ganas. Mereka memang bajak sungai yang kejam, akan tetapi belum tentu di antara mereka itu tidak dapat sadar dan kembali ke jalan benar jika diberi kesempatan. Hampir aku kehilangan kau ketika engkau malam-malam pergi mengejar maling, dan untung hari ini aku masih dapat menyusulmu.” “Engkau... engkau mau apakah?” Akhirnya In Hong dapat mengajukan pertanyaan itu. Hatinya berdebar tidak karuan, dan bermacam perasaan bergelora di dalam dadanya. Harus diakuinya bahwa ada semacam kebahagiaan dan keharuan terasa di hatinya ketika dia berhadapan dengan orang yang menjadi kakak kandungnya itu, akan tetapi juga terdapat rasa kekhawatiran dan tidak senang ketika dia teringat bahwa penghidupan gurunya yang tercinta dirusak oleh kakaknya ini. “In Hong, aku adalah kakak kandungmu yang mencari-carimu, dan setelah kita bertemu bagaimana engkau bisa mengajukan pertanyaan seperti itu? Aku adalah kakakmu, dan karena ayah bunda kita sudah tidak ada, maka aku adalah walimu, pengganti ayah bundamu.” Aku... aku tidak mempunyai urusan apa-apa denganmu dan... dan sejak kecilpun di antara kita tidak ada hubungan apa-apa. Sudahlah, kita tidak perlu saling mengganggu, jalan hidup kita berpisah dan aku tidak mau terlibat dengan urusanmu atau siapapun juga.” “In Hong! Dengar baik-baik, aku bertindak selaku kakak dan wakil orang tuamu. Aku harus melakukan kebaktian terakhir terhadap orang tua kita dengan mengatur urusan masa depanmu. Dengarlah, baru-baru ini Cia Keng Hong locianpwe, ketua Cin-ling-pai datang berkunjung ke rumahku dan beliau mengulurkan tangan menjodohkan puteranya yang bernama Cia Bun Houw denganmu! Tentu saja aku setuju karena menjadi mantu ketua Cin-ling-pai merupakan kehormatan besar sekali dan sekaligus mengangkat nama mendiang orang tua kita. Cia Bun Houw telah berguru kepada Kok Beng Lama, yaitu ayah mertuaku yang sakti dan kini tentu kepandaiannya sudah hebat bukan main, dan menurut penuturan ketua Cin-ling-pai, sekarang sedang dijemput untuk pulang ke Cin-ling-san.” Kun Liong yang mengucapkan kata-kata itu dengan hati gembira dan mengira bahwa adiknya sebagai seorang gadis muda tentu akan menjadi merah mukanya karena dibicarakan tentang urusan jodohnya, kini menghentikan kata-katanya dan memandang dengan heran. Wajah adiknya itu biasa saja, bahkan dingin dan sama sekali tidak perduli, kelihatannya agak termenung seperti orang terkejut. Dan memang bukan urusan perjodohan itulah yang menarik hati In Hong, melainkan mendengar betapa ketua Cin-ling-pai baru saja datang ke rumah kakaknya itu membicarakan urusan pernikahan, berarti bahwa ketika ketua itu pergi ke rumah kakaknya itulah Lima Bayangan Dewa datang menyerbu dan mencuri Siang-bhok-kiam. Dan jelas bahwa kakaknya ini belum mendengar tentang peristiwa yang menggegerkan itu, maka bicara enak saja tentang perjodohan, tidak tahu bahwa di tempat yang mengusulkan perjodohan itu terjadi malapetaka yang menggegerkan. “In Hong, karena itu sekarang engkau ikutlah pulang bersamaku. Percayalah bahwa selama ini aku dan kakak iparmu selalu mengenangmu. Aku tidak ingin memperhebat kebencian subomu kepadaku maka aku selama ini tidak mau mempergunakan kekerasan untuk merampasmu. Pula, aku tidak ingin mempergunakan paksaan terhadap dirimu, hanya kuharap engkau dapat sadar bahwa tempatmu adalah di samping kakak kandungmu.” “Koko, sudahlah, lupakan saja bahwa engkau mempunyai seorang adik kandung seperti aku. Engkau telah merusak kehidupan suboku, mana mungkin aku akan menyakiti hatinya dengan berbaik kepa damu? Marilah kita berpisah dengan baik dan selanjutnya tidak perlu kita saling bertemu kembali.” Setelah berkata demikian, In Hong membalikkan tubuhnya hendak pergi. “In Hong...!” Kun Liong berseru keras dan sekali berkelebat dia sudah menghadang di depan gadis itu. “Sadarlah, engkau adalah puteri pendekar besar Yap Cong San dan Gui Yan Cu, sama sekali bukan keturunan golongan hitam! Dan aku sudah menyetujui tentang ikatan jodohmu dengan putera ketua Cin-ling-pai! Engkau adalah calon mantu Pendekar Sakti Cia Keng Hong!” “Kalau begitu, mengapa tidak engkau saja yang menjadi mantunya, koko?” jawab In Hong dengan nada mengejek. Wajah Kun Liong berubah karena ucapan itu benar-benar menancap di hatinya, terasa benar kena dan tepatnya. Memang sebenarnya dialah yang dahulu hendak dijodohkan dengan puteri pendekar sakti itu, yaitu Cia Giok Keng. Akan tetapi dia jatuh cinta kepada Pek Hong Ing sehingga ikatan jodoh itu gagal. Kini, baru dia sadar bahwa desakan-desakannya kepada adiknya ini sebagian besar adalah untuk “menebus dosa” atau menyambung kembali yang dahulu putus olehnya. Dia lupa bahwa dalam hal perjodohan, adiknya sama dengan dia, berhak menentukannya sendiri! Ucapan adiknya itu seperti halilintar menyambar kepalanya dan membuatnya sadar, membuatnya tidak mampu lagi bicara, hanya memandang wajah adiknya yang cantik itu dengan muka muram. Melihat wajah kakaknya, In Hong menjadi sabar. “Koko, aku mohon kepadamu, habisilah urusan ini sampai di sini saja. Aku diperkenankan merantau oleh subo, dan aku sudah berjanji kepadanya untuk tidak kembali kepadamu, maka selamat berpisah dan semoga hidupmu bahagia, koko. Aku akan mencari jalanku sendiri, harap kau tidak mencampuri urusanku seperti akupun tidak akan mencampuri urusanmu.” In Hong meloncat dan berlari pergi. Kun Liong tidak lagi mengeiar, hanya memandang dengan mata sayu. Bibirnya bergerak seperti berdoa, “Ayah dan ibu, anakmu ini sejak dahulu tidak pernah berbakti kepada orang tua, sekarang mengurus adikpun tidak mampu. Ampunilah aku...” Sampai lama dia berdiri termenung di tempat itu. Ketika dia mengenangkan adiknya, hatinya perih. Dari sepak terjang adiknya yang dilihat dari jauh ketika In Hong membasmi Fen-ho Su-liong, dia tahu bahwa adiknya sudah ketularan watak keras dan ganas dari Bi Kiok sehingga andaikata adiknya menjadi mantu ketua Cin-ling-pai dan tidak dapat merobah wataknya, tentu malah akan mendatangkan hal-hal yang tidak baik. Perlahan-lahan dia lalu meninggalkan tempat itu untuk pulang dan mengabarkan kepada isterinya tentang adiknya ini dan selama melakukan perjalanan beberapa pekan ini. Kun Liong menjadi agak kurus. Batinnya tertekan dan tertindih apabila dia teringat kepada In Hong. Sementara itu, In Hong meninggalkan kakaknya, perasaan marah dan penasaran segera menghapus keharuannya. Mereka itu terlalu menghinanya, terlalu memandang rendah kepadanya, pikirnya. Keluarga ketua Cin-ling-pai dan kakaknya itu! Dia tidak dianggap sebagai manusia! Apakah dia itu kucing atau anjing, mau dikawinkan begitu saja dan telah dirundingkan masak-masak, telah diikat perjodohan sebelum dia sendiri tahu akan persoalannya? Belum apa-apa dia sudah ditentukan sebagai jodoh atau calon jodoh seorang pria yang sama sekali tak pernah dilihatnya, yang bernama... eh, siapa lagi tadi? Cia Bun Houw? Biar dia pendekar sakti seperti dewa sekalipun, apakah dia dikira seorang perempuan yang gila pria, mau menurut begitu saja dicarikan jodoh? Terlalu! Hatinya menjadi panas, terutama sekali kepada keluarga Cia yang begitu mudah saja menarik dia sebagai calon mantu. “Lihat saja kalian nanti!” gerutunya. “Aku bukan benda mati atau binatang peliharaan yang dapat kalian perlakukan seenak hati kalian sendiri!” Dengan hati panas dia melanjutkan perjalanannya, perantauannya yang tanpa tujuan tertentu itu. *** Sukar dibayangkan betapa hebat pukulan batin yang diderita oleh Pendekar Sakti Cia Keng Hong dan isterinya, Sie Biauw Eng, ketika mereka berdua pulang ke Cin-ling-san setelah mereka mengunjungi rumah Yap Kun Liong di Leng-kok. Padahal perjalanan itu amat menggembirakan hati kedua orang suami isteri yang sudah kakek nenek berusia enam puluh tahun lebih itu. Perjalanan yang menyegarkan dan menyehatkan setelah belasan tahun mereka tidak lagi melakukan perjalanan keluar dari Cin-ling-san. Cia Keng Hong menggigit bibirnya dan mengepal kedua tinju tangannya, sedangkan isterinya hampir pingsan, lalu menangis menjatuhkan diri di atas kursi ketika mereka berdua disambut dengan ratap tangis oleh anak buah dan anak murid mereka. Apalagi ketika mendengar penuturan mereka tentang matinya tujuh orang di antara Cap-it Ho-han dan seorang anak murid lain. Wajah Keng Hong berubah menjadi pucat sekali. “Biar aku pergi mencari mereka! Si bedebah Lima Bayangan Dewa biar akan bersembunyi di neraka sekalipun, akan kucari sampai dapat dan kucincang kepala mereka sampai hancur!” Nenek itu berteriak-teriak sambil mengepal tinju. Menghadapi malapetaka yang demikian hebat, nenek itu kembali menjadi Sie Biauw Eng, bekas pendekar wanita yang tidak pernah mengenal takut dan yang pernah namanya menggemparkan dunia kang-ouw ketika dia masih berjuluk Song-bun Siu-li! Kakek ketua Cin-ling-pai itu menghibur isterinya dan mereka duduk berdampingan di atas kursi dengan muka sebentar pucat sebentar merah ketika anak murid Cin-ling-pai menceritakan dengan sejelasnya akan penyerbuan di Cin-ling-pai oleh Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok dan pembunuhan atas diri para murid Cin-ling-pai di restoran Koai-lo di kota Han-tiong. “Tadinya teecu sekalian bingung karena tidak ada yang mengetahui nama empat orang lain dari Lima Bayangan Dewa, sedangkan yang tahu hanya suheng Coa Seng Ki yang pada saat itu belum tewas namun terluka amat hebat...” Pembicara itu menghapus air matanya. “Untung datang Hong Khi Hoatsu locianpwe bersama locianpwe Tio Hok Gwan yang dapat memberi kekuatan sementara kepada Coa-suheng untuk memberitahukan nama-nama mereka.” “Lekas sebutkan nama-nama mereka!” Cia Keng Hong berkata, suaranya penuh kegemasan dan kemarahan tertahan. Maka disebutlah satu demi satu nama dan julukan empat orang di antara Lima Bayangan Dewa itu dan dicatat baik-baik di dalam hati oleh Cia Keng Hong dan isterinya. “Hemm, tentu semua ini gara-gara Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok,” Cia Keng Hong berkata marah. “Dia adalah sute dari Ouwyang Kok dan tentu dia yang menggerakkan yang lain untuk membalas dendam. Dasar pengecut hina! Mengapa dia datang pada saat aku tidak berada di Cin-ling-san?” Mendengar dicurinya Siang-bhok-kiam, tidak begitu menyedihkan hati Cia Keng Hong, tidak seperti kematian tujuh orang Cap-it Ho-han dan seorang anak murid lain. Akan tetapi isterinya berkata, ”Biarpun pedang itu tidak sangat berharga, akan tetapi benda itu adalah pusaka lambang kebesaran Cin-ling-pai! Lebih dari itu malah, Siang-bhok-kiam sudah terkenal di seluruh dunia kang-ouw sebagai lambang kemenangan dari kebaikan melawan kejahatan. Lenyapnya Siang-bhok-kiam dari Cin-ling-pai tentu akan menggegerkan dunia persilatan dan memberanikan hati kaum sesat untuk beraksi.” Cia Keng Hong mengangguk-angguk membenarkan pendapat isterinya itu.”Bagaimana juga, aku sendiri akan bergerak mencari kembali Siang-bhok-kiam dan membasmi para pengecut itu. Akan tetapi kita harus menanti datangnya Kin Ta berempat yang menjemput Bun Houw.” Ketika suami isteri ini mendengar tentang kedatangan seorang tosu dan tokouw yang agaknya hendak mengacau di waktu peti-peti mati disembahyangi dan kedua orang aneh itu pergi ketika Tio Hok Gwan dan Hong Khi Hoatsu muncul, Keng Hong menarik napas panjang dan berkata kepada isterinya, “Tidak kusangka, di dalam usia tua aku masih terus dikejar-kejar musuh. Aihhh... jalan kekerasan memang selalu mendatangkan kekerasan lain sampai selama kita hidup. Akan tetapi aku tidak menyesal, memang sudah resikonya begini dan sampai matipun aku selalu akan membela kebenaran dan menentang kejahatan!” Isterinya setuju dengan pendirian suaminya ini dan berjanji akan membela suaminya sampai akhir hayat. Berhari-hari suami isteri yang sudah tua ini menanti dalam keadaan berkabung. Ketika pada suatu hari Bun Houw bersama empat orang tertua dari Cap-it Ho-han datang, mereka disambut dengan tangis dan ratap menyedihkan. Dapat dibayangkan betapa marah dan terkejut hati Kwee Kin Ta dan para sutenya mendengar penuturan tentang matinya tujuh orang sutenya dan lenyapnya pedang puaka Siang-bhok-kiam. Sambil mengeluarkan teriakan keras Kwee Kin Ta yang sudah berusia enam puluh tahun lebih, sebaya dengan ketuanya, roboh pingsan! “Ayah, akan percuma sajalah anak berlatih ilmu selama bertahun-tahun kalau aku tidak bisa mencari mereka, merampas kembali Siang-bhok-kiam dan membalaskan kematian para suheng itu!” Bun Houw berkata sambil menahan air matanya. Dia tidak dapat mengusap air matanya ketika melihat ayah dan ibunya yang sudah tua itu sampai menangis. Cia Keng Hong menyadarkan Kin Ta dan dengan suara keren lalu berkata, “Cukuplah semua kelemahan ini! Cin-ling-pai bukanlah perkumpulan orang-orang cengeng! Mati dalam mempertahankan kebenaran bukanlah mati konyol dan tidak perlu terlalu disedihkan benar. Mereka itu mati sebagai murid-murid Cin-ling-pai yang tidak memalukan, menghadapi kejahatan dengan gagah perkasa dan matipun tidak sia-sia. Habiskan semua kedukaan yang hanya melemahkan hati kita sendiri dan mari kita bicarakan bagaimana baiknya untuk mencari kembali Siang-bhok-kiam dan menghukum Lima Bayangan Dewa.” Cia Keng Hong dan isterinya lalu berunding dengan Bun Houw dan empat orang tertua Cap-it Ho-han, yaitu Kwee Kin Ta dan adiknya, Kwee Kin Ci, Louw Bi dan Un Siong Tek yang usianya masing-masing sudah lima puluh tahun. Di dalam perundingan ini, Bun Houw kukuh dengan keinginannya untuk mencari pusaka yang hilang dan menghukum musuh-musuhnya. Ketika ayahnya menyatakan keputusannya hendak pergi sendiri bersama ibunya, Bun Houw membantah keras. “Ayah dan ibu sudah tua, dan biarpun urusan ini adalah urusan ayah dan ibu, akan tetapi bukankah anak berhak untuk mewakili orang tua? Pula, lima pengecut hina itu adalah pengecut-pengecut yang hanya berani bergerak di waktu ayah dan ibu tidak ada, maka kurasa kepandaian mereka tidak berapa hebat. Sudah cukuplah kalau anak sendiri yang menghadapi mereka dan anak mempertaruhkan nyawa untuk tugas ini! Di samping itu, pengalaman yang sudah menjadi pelajaran bahwa apabila ayah dan ibu meninggalkan Cin-ling-pai, para pengecut berani bermain gila. Sebaiknya kalau ayah dan ibu tetap tinggal di sini, siapa tahu mereka itu akan datang lagi.” Cia Keng Hong saling bertukar pandang dengan isterinya. Betapapun juga, mereka masih khawatir untuk melepas Bun Houw pergi sendiri karena anak itu baru saja datang setelah pergi selama lima tahun dan biarpun kepandaiannya mungkin sudah tinggi, namun masih kurang pengalaman. Akan tetapi, untuk menolak dan melarang begitu sajapun sukar, selain tidak ada alasan kuat, juga amat tidak baik, berarti menekan semangat kependekaran putera sendiri. “Mari kita semua ke lian-bu-thia (ruangan belajar silat)!” Tiba-tiba Cia Keng Hong berkata kepada putera dan murid-muridnya. Setelah tiba di ruangan bersilat yang amat luas ini, Kwee Kin Ta dan tiga orang sutenya duduk di atas bangku di pinggir, sedangkan Cia Keng Hong lalu berkata kepada Bun Houw, “Kau bersiaplah melawanku dan waspadalah, aku bersungguh-sungguh!” Bun Houw adalah anak pendekar yang sejak kecil digembleng dengan ilmu silat. Tanpa banyak cakap dia sudah mengerti bahwa ayahnya tidak rela membiarkan dia pergi mencari pedang Siang-bhok-kiam karena ayahnya masih belum percaya akan kepandaiannya. Kalau dia tidak bisa mengalahkan ayahnya, atau setidaknya mengimbangi kepandaian ayahnya, jangan harap ayahnya akan membolehkannya pergi melakukan tugas berbahaya itu. Cepat dia lalu mengencangkan pakaian, meloncat ke tengah ruangan itu, berdiri tegak sambil berkata, “Aku sudah siap, ayah!” Cia Keng Hong berbisik kepada isterinya, kemudian mengeluarkan bentakan nyaring dan tubuhnya sudah mencelat ke tengah ruangan itu. “Awas serangan...!” Langsung dia lalu menyerang puteranya dengan pukulan-pukulan yang amat dahsyat, menggunakan jurus-jurus pilihan dari San-in Kun-hoat. Hebat bukan main Ilmu Silat San-in Kun-hoat ini karena begitu dimainkan, kedua telapak tangan pendekar tua itu mengeluarkan uap putih, sesuai dengan nama ilmu silatnya, yaitu San-in Kun-hoat (Ilmu Silat Awan Gunung). “Haiiittt...!” Bun Houw juga mengeluarkan suara pekik dahsyat dan cepat dia menggerakkan kaki tangannya menyambut serangan ayahnya, bukan mengelak melainkan menangkis sambil mengerahkan sin-kangnya. Terdengarlah suara dak-duk-dak-duk ketika berkali-kali lengan ayah dan anak itu saling beradu dan hanya beberapa kali saja Bun Houw agak tergeser ke belakang namun tidak membuat dia sampai terhuyung. Tentu saja dia sudah hafal benar akan Ilmu Silat San-in Kun-hoat ini dan dia dapat mengimbangi permainan ayahnya, bahkan dia juga membalas dengan jurus-jurus pilihan dari ilmu silat ini. Gerakan mereka makin lama makin cepat sehingga sukarlah bagi orang biasa untuk dapat mengikuti bayangan-bayangan yang sudah menjadi satu itu. Kwee Kin Ta dan para sutenya memandang kagum karena sebagai ahli-ahli silat tingkat tinggi merekapun dapat melihat betapa ketua mereka mengerahkan tenaga dan kepandaian, dan betapa putera ketua mereka itu melawan dengan kekuatan yang tidak kalah hebatnya! Tiba-tiba Cia Keng Hong merobah gerakannya setelah mengeluarkan suara keras dan kini dia mainkan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun! Bun Houw terkejut dan berlaku hati-hati sekali. Dia sendiri sudah melatih diri dengan ilmu silat mujijat ini, akan tetapi karena dia maklum bahwa ayahnya adalah seorang ahli yang sukar dicari bandingannya, maka dia tentu kalah matang dan karena itu dia mengimbanginya dengan Thai-kek Sin-kun dan mencampurinya dengan ilmu yang dia peroleh dari gurunya selama lima tahun ini di Tibet. Kedua tangannya menggetar-getar mengeluarkan tenaga mujijat karena dia telah mengerahkan Ilmu Thian-te Sin-ciang (Tangan Sakti Langit dan Bumi) yang membuat kedua tangan Kok Beng Lama dapat menahan segala senjata pusaka! Cia Keng Hong terkejut dan girang sekali ketika merasa betapa dari kedua tangan puteranya itu menyambar hawa yang luar biasa, ada rasa panas dan ada rasa dingin, dan semua gerakan serangannya yang terlalu cepat dan terlalu hebat sehingga mendesak puteranya, ternyata membalik dan tertahan oleh hawa aneh dari kedua tangan puteranya itu! Dia menyerang terus, dan juga menjaga diri karena Bun Houw tidak membiarkan dirinya diserang tanpa membalas. Dia membalas jurus dengan jurus, terjangan dengan terjangan yang tidak kalah dahsyatnya sehingga di sekeliling ayah dan anak ini, dalam jarak empat meter terasa angin yang menyambar-nyambar, kadang-kadang panas sekali, kadang-kadang amat dinginnya. Dua ratus jurus telah lewat dan belum juga Cia Keng Hong mampu mengalahkan puteranya, bahkan kini dia mulai terdesak karena betapapun usianya yang sudah enam puluh tahun lebih itu mengurangi tenaga dan napasnya. Hyyyyaaaaattt...!” Tiba-tiba Sie Biauw Eng mengeluarkan suara melengking nyaring dan wanita tua ini terjun ke dalam medan pertandingan, langsung menyerang puteranya dengan pukulan-pukulan Ngo-tok-ciang (Tangan Lima Racun)! Bun Houw sudah melatih diri dengan pukulan-pukulan ini pula, akan tetapi dia berlaku hati-hati dan cepat mengelak den membalas dengan serangan terhadap ibunya karena dia maklum bahwa kalau dia menggunakan tenaga Thian-te Sin-ciang terhadap ibunya, dia khawatir ibunya takkan kuat bertahan dan akan menderita luka. Maka dikeroyoklah pemuda itu oleh kedua ayah bundanya den inilah agaknya yang tadi dibisikkan oleh Cia Keng Hong kepada isterinya, yaitu untuk maju mengeroyok apabila dalam dua ratus jurus dia masih belum mampu mengalahkan puteranya. Pertandingan menjadi makin seru den kini bahkan Kwee Kin Ta den adik-adiknya sendiri menjadi pening mengikuti gerakan mereka yang luar biasa cepatnya. Empat orang tertua dari Cap-it Ho-han ini terkejut den kagum bukan main. Diam-diam mereka harus mengakui bahwa dibandingkan dengan Bun Houw, tingkat mereka kalah jauh sekali dan menduga-duga bahwa mungkin kepandaian pemuda itu kini sudah mengimbangi kepandaian ayahnya! “Hyaaaaatt!” “Haiiiiikkkkk!” Cia Keng Hong den isterinya memekik nyaring ketika pukulan Bun Houw menyambar ke arah mereka. Mereka tidak mengelak melainkan menyambut pula dengan telapak tangan mereka sehingga kedua tangan pemuda itu menempel pada tangan ayah dan ibunya. Suami isteri itu mengerahkan tenaga dan tubuh Bun Houw terangkat, kedua tangannya masih menempel di tangan ayah bundanya dan kakinya ditarik ke atas. “Aaaaahhhhh!” Suami isteri itu mengerahkan tenaga dan melemparkan tubuh putera mereka dengan dorongan keras. Tubuh Bun Houw terlempar ke atas, akan tetapi bukannya terbanting jatuh, sebaliknya malah berjungkir balik di udara, sampai dua kali dan ketika tubuhnya melayang turun, kedua kakinya sudah mengancam pundak kedua orang tua mereka! “Ihhh...!” Sie Biauw Eng memekik kaget dan cepat dia menangkap kaki yang hendak menotok pundaknya itu. Juga Keng Hong menangkap kaki kedua dan kembali mereka mendorong kedua kaki itu ke atas. Kini Bun Houw terlempar jauh dan dia berjungkir balik lagi, dan hinggap di atas lantai dengan kedua kakinya agak dibengkokkan.