“Kau sudah mendengar pula julukan ayah? Ayah seorang bekas pengawal yang setia, tentu saja akupun segan untuk melawan perajurit pemerintah. Akan tetapi melihat sikap Ciang-tikoan yang sewenang-wenang, terpaksa aku menentangnya. Sekarang, setelah terjadi peristiwa ini, kedua orang saudara Souw tidak mungkin lagi kembali ke Yen-tai, dan inilah yang membikin aku menyesal sekali.” “Ah, mengapa menyesal, twako? Kami berdua tidak menyesal. Biarlah kami tidak dapat kembali ke Yen-tai dan menanti sampai ayah ibu pulang dari barat. Kami berdua malah telah mengambil keputusan untuk membantu Tio-twako dalam mencari musuh-musuh Cin-ling-pai itu dan mengerahkan seluruh kemampuan kami untuk mencari Lima Bayangan Dewa yang menjadi musuh-musuh besar Cin-ling-pai. Ayah dan ibu tentu akan bangga kalau mendengar akan sikap kami ini,” kata Kwi Eng. Dapat dibayangkan betapa terkejut dan heran rasa hati Bun Houw mendengar percakapan mereka itu. Dan sampai bengong memandang mereka tanpa mampu mengeluarkan kata-kata. Kwi Eng yang kebetulan memandang kepada pemuda itu tiba-tiba menjadi merah mukanya dan menunduk karena melihat betapa pemuda tampan itu memandang kepadanya dengan mata terbelalak seolah-olah hendak menelannya bulat-bulat! “Bun-taihiap, engkau... mengapakah?” Kwi Eng yang tidak pemalu itu menegur halus. Bun Houw terkejut, mukanya menjadi merah sekali dan dia memandang kepada mereka bertiga dengan mata bersinar-sinar. “Sungguh mati saya amat terkejut mendengar betapa sam-wi menyebut-nyebut soal Lima Bayangan Dewa dan hendak membela Cin-ling-pai. Kalau boleh saya bertanya, apakah hubungan antara sam-wi dengan Cin-ling-pai?” Kini Tio Sun dan dua orang saudara kembar itu yang menatap wajah Bun Houw dengan tajam penuh selidik. “Bun-hiante... tahu soal... Lima Bayangan Dewa dan Cin-ling-pai?” Tio Sun bertanya. Bun Houw mengangguk. “Tentu saja, dan saya bahkan tersangkut secara langsung. Akan tetapi sebelum aku dapat menceritakan hal itu, harap sam-wi lebih dulu menerangkan apa hubungan sam-wi dengan Cin-ling-pai?” Tio Sun menghadapi Bun Houw, memandang dengan sinar mata tajam sejenak, lalu berkata, “Biarpun baru berjumpa pertama kali dan tidak mengenal benar siapa adanya dirimu, Bun-hiante, akan tetapi aku telah percaya benar kepadamu, maka biarlah aku mengaku terus terang. Seperti telah kukatakan kepadamu, aku adalah putera dari bekas pengawal Panglima The Hoo, ayahku bernama Tio Hok Gwan dan ayah adalah seorang sahabat baik dari Cia Keng Hong locianpwe, ketua Cin-ling-pai. Agaknya tentu engkau telah mendengar kegemparan di dunia kang-ouw dengan adanya penyerbuan Lima Bayangan Dewa di Cin-ling-san yang membunuh anak-anak murid Cin-ling-pai bahkan telah mencuri pedang pusaka Siang-bhok-kiam. Nah, mengingat akan hubungan persababatan yang amat baik dengan Cin-ling-pai, ayah lalu mengutus aku untuk mewakili ayah, membantu Cin-ling-pai mencari Lima Bayangan Dewa dan kalau mungkin merampas kembali pedang pusaka Siang-bhok-kiam. Demi persahabatan itu, aku melupakan kebodohanku sendiri, melakukan penyelidikan sampai di Yen-tai di mana aku bertemu dan berkenalan dengan kedua orang saudara Souw ini yang ternyata adalah cucu murid sendiri dari mendiang Panglima The Hoo.” “Adapun kami berdua, setelah terjadi peristiwa di Yen-tai, kami juga sudah sepakat untuk membantu Tio-twako mencari Lima Bayangan Dewa, karena ibu kami pernah bercerita kepada kami tentang kegagahan ketua Cin-ling-pai yang patut kami bantu pula,” kata Kwi Eng. Mendengar ini, Bun Houw segera bangkit dari atas batu dan dia lalu memberi hormat kepada tiga orang itu dengan menjura. Hal ini mengejutkan dan mengherankan mereka yang segera bangkit pula untuk membalas penghormatan itu. Dengan suara terharu Bun Houw lalu berkata, “Atas nama Cin-ling-pai, saya menghaturkan banyak terima kasih atas bantuan sam-wi yang demikian budiman.” “Eh, siapakah sesungguhnya Bun-taihiap?” tanya Tio Sun yang kembali menyebut taihiap karena dia menduga bahwa pemuda ini tentulah bukan orang sembarangan. “Maafkan kalau saya tadi kurang berterus terang. Sebetulnya saya she Cia dan bernama Bun Houw...” Aih...! Kiranya Cia-taihiap, putera dari ketua Cin-ling-pai?” Tio Sun berteriak girang. “Pantas saja demikian lihai, kiranya Cia-taihiap sendiri orangnya! Maafkan kalau kami bersikap kurang hormat.” “Putera Pendekar Sakti Cia Keng Hong...?” Kwi Eng berseru dan memandang dengan wajah bersinar penuh kekaguman. Juga Kwi Bang memandang kagum dan hal ini membuat Bun Houw menjadi makin sungkan dan malu. “Harap sam-wi jangan berlebihan. Marilah kita duduk kembali dan bicara dengan leluasa.” Mereka duduk kembali dan Bun Houw lalu memandang mereka dengan bergantian. “Tidak kukira bahwa ayah mempunyai demikian banyak sahabat yang diam-diam membela Cin-ling-pai dan hal ini amat mengharukan hatiku. Akan tetapi sebelum kita bicara, di antara kita adalah orang segolongan, apalagi sam-wi adalah penolong-penolong Cin-ling-pai, maka harap tinggalkan saja sebutan taihiap yang tidak pada tempatnya. Tio-twako, harap kau suka menyebutku adik saja, dan kedua adik Souw juga hendaknya menyebutku kakak saja. Bukankah sebagai orang-orang segolongan kita boleh dibilang bersaudara atau bersahabat baik?” Tiga orang gagah itu menjadi girang melihat sikap putera ketua Cin-ling-pai yang berilmu tinggi akan tetapi bersikap sederhana dan tidak tinggi hati itu. “Baiklah, Houw-te (adik Houw),” kata Tio Sun. “Terima kasih, Houw-ko,” kata Kwi Eng dan Kwi Bun hampir berbareng. Bun Houw menghela napas. “Niat kalian untuk membantu kami amat baik dan tentu saja saya merasa amat bersyukur. Akan tetapi apakah kalian tahu di mana tinggalnya Lima Bayangan Dewa dan ke mana kalian hendak mencari mereka?” “Tadinya kami mendengar bahwa seorang di antara mereka yang bernama Liok-te Sin-mo Gu Lo It tinggal di pantai Laut Timur, akan tetapi setelah kami selidiki, ternyata dia sudah pergi ke pedalaman dan kami hendak mencari jejaknya di pedalaman.” “Pedalaman Tiongkok berarti merupakan daerah yang puluhan ribu mil luasnya, bagaimana kita dapat menyelidiki mereka? Pula, tingkat kepandaian Lima Bayangan Dewa itu amat tinggi sehingga kalau sam-wi membantu kami, besar bahayanya sam-wi akan menghadapi malapetaka. Bukan aku tidak tahu terima kasih, akan tetapi ayahku yang telah menugaskan aku menghadapi mereka tentu akan marah kepadaku kalau aku membiarkan orang lain menjadi korban kejahatan Lima Bayangan Dewa. Maka, kuharap sam-wi suka kembali saja,” Bun Houw berkata dengan suara sungguh-sungguh. “Adik Cia Bun Houw mengapa berkata demikian?” Tio Sun membantah dengan suara keras. “Biarpun kepandaianku masih amat rendah, akan tetapi aku bukan orang yang takut menghadapi bahaya. Ayah sudah menugaskan kepadaku, bagaimana bisa pulang sebelum lecet kulitku, sebelum patah tulangku? Demi melaksanakan tugas yang diperintah ayah, selembar nyawaku menjadi taruhan!” “Kami berduapun tidak mempunyai tempat tinggal lagi sebelum orang tua kami pulang, maka harap Houw-ko tidak menolak bantuan kami yang juga tidak takut bahaya dalam menentang kejahatan!” Kwi Eng berkata, sikapnya gagah sekali dan Bun Houw menjadi makin kagum saja. “Kalau begitu besar tekad sam-wi, saya tidak berani mencegah dan saya makin berterima kasih. Ketahuilah bahwa saya sendiri telah memperoleh jejak mereka, bahkan telah bertemu dengan dua orang di antara mereka. Sayang saya tidak berhasil merobohkan mereka dan sekarang mereka telah melarikan diri. Menurut penyelidikan saya, Lima Bayangan Dewa itu kini agaknya berkumpul di Ngo-sian-chung, tidak jauh dari sini, di lembah muara Huang-ho.” “Bagus! Kalau begitu mari kita berempat menyerbu ke sana, Houw-te!” Tio Sun berseru penuh semangat. “Mereka itu selain lihai juga amat curang, maka kita harus berlaku hati-hati sekali!” Bun Houw menerangkan. “Belum lama ini aku sendiri terjebak dan hampir tewas oleh mereka, kalau tidak tertolong oleh seorang sahabat. Dan saya minta kepada sam-wi agar nama saya dirahasiakan sebagai putera Cin-ling-pai, karena selama ini saya hanya dikenal sebagai seorang she Bun bernama Houw. Sebelum berhasil meringkus atau membasmi mereka, saya tidak akan menggunakan nama sendiri, dan hanya kepada sam-wi saja yang saya tahu adalah putera-puteri sahabat dari ayah maka saya memperkenalkan diri secara sesungguhnya.” Empat orang muda itu lalu melanjutkan perjalanan sepanjang Sungai Huang-ho menuju ke timur. Kwi Eng yang berwatak terbuka dan tidak pemalu, dengan terang-terangan mengatakan sikap kagumnya terhadap putera ketua Cin-ling-pai ini, selalu berjalan di dekat Bun Houw dan ada saja hal yang dibicarakan, nampaknya begitu akrab dan sedikitpun Kwi Eng tidak menyembunyikan rasa tertarik dan sukanya. Di lain fihak, karena memang Kwi Eng amat cantik jelita, memiliki daya tarik yang keras, tentu saja Bun Houw juga senang sekali berdekatan dan bercakap-cakap dengan gadis ini. Kwi Beng sebagai saudara kembar memilki hubungan jiwa yang amat dekat dengan adiknya, maka tentu saja dia segera dapat merasakan debaran jantung adiknya yang mulai disentuh asmara itu. Sambil berjalan di dekat Tio Sun, Kwi Beng berbisik kepada pendekar muda itu tentang adiknya, menunjuk dengan gerakan mukanya ke depan, “Tio-twako, lihat betapa cocoknya mereka berdua... aihhh, betapa akan senang hatiku kalau saja adikku bisa menjadi jodohnya kelak...” Kwi Beng sama sekali tidak mengira bahwa bisikannya itu sebenarnya merupakan ujung pisau berkarat yang menghujam di ulu hati Tio Sun! Dia sama sekali tidak pernah menduga bahwa sebetulnya Tio Sun inilah yang sudah bertekuk lutut, jatuh hati kepada adiknya semenjak saat mereka saling jumpa. Tio Sun sudah jatuh cinta kepada Kwi Eng, dara jelita yang bermata lebar kebiruan dan berambut hitam agak pirang keemasan itu! Hanya karena Tio Sun orangnya pendiam dan pemalu, maka sedikitpun tidak pernah tampak perasaan cinta itu, baik pada pandang matanya, kata-katanya maupun gerak-geriknya. Hemmm...” Hanya begitulah Tio Sun menjawab sambil menundukkan mukanya, tidak tahan melihat betapa Kwi Eng sambil tersenyum-senyum bicara kepada Bun Houw yang jalan berendeng demikian dekatnya sehingga seolah-olah lengan mereka saling bersentuhan. Dan Bun Houw demikian gagahnya, demikian tampannya, juga memiliki kepandaian demikian tingginya. Putera ketua Cin-ling-pai pula. Seorang pemuda gagah perkasa, putera pendekar sakti yang dijunjung tinggi dan dihormati oleh semua orang kang-ouw. Sedangkan dia? Hanya putera seorang bekas pengawal miskin dan tidak terkenal. Tio Sun makin menunduk, berusaha mengusir rasa tidak enak dan sakit yang berada di rongga dadanya. Malam itu mereka melewatkan malam di sebuah hutan di tepi sungai karena menurut nasihat Tio Sun, lebih baik berhati-hati menyelidiki tempat Lima Bayangan Dewa yang selain lihai tentu juga memiliki banyak anak buah itu. Dia sendiri lalu membuat api unggun, dan kedua orang saudara Souw pergi menangkap beberapa ekor kelinci dan ayam hutan. Kwi Eng segera sibuk menguliti dan memanggang kelinci dan ayam hutan, sedangkan Bun Houw sudah duduk bersama Kwi Beng dan Tio Sun bercakap, saling menceritakan pengalaman masingmasing di dekat api unggun. Ketika Tio Sun bercerita tentang pengalamannya menolong seorang gadis cilik kemudian bertemu dengan Bun Hwat Tosu, Bun Houw dan Kwi Beng merasa kagum sekali. Terutama Bun Houw yang sudah sering mendengar dari ayahnya bahwa di jaman itu, Bun Hwat Tosu merupakan seorang di antara tokoh-tokoh sakti yang jarang muncul di dunia persilatan, yang merupakan seorang manusia setengah dewa. Tentu saja Bun Houw sama sekali tidak pernah mengira bahwa gadis cilik yang diselamatkan kawannya itu sebetulnya adalah Yap Mei Lan, anak dari Yap Kun Liong yang masih terhitung suhengnya itu! “Aku mendengar dari ayah bahwa ilmu kepandaian bekas ketua Hoa-san-pai itu seperti dewa. Dan Yap Kun Liong suheng juga menerima sebagian dari ilmu-ilmunya dari kakek dewa itu,” kata Bun Houw kagum. “Untung sekali engkau dapat bertemu dengan beliau, Tio-twako.” “Akan tetapi engkau sendiripun murid seorang manusia dewa, Houw-te. Aku pernah mendengar dari ayah yang mengenal baik keadaan Cin-ling-pai bahwa engkau sejak kecil telah menjadi murid Kok Beng Lama di Tibet yang kepandaiannya sukar dibicarakan saking tingginya.” “Ahhh, engkau terlalu memuji, twako. Memang, suhu Kok Beng Lama seorang sakti luar biasa, akan tetapi aku yang muda dan bodoh mana bisa mewarisi seluruh kepandaiannya? Sayang bahwa begitu pulang ke Cin-ling-pai, terdapat malapetaka itu sehingga aku terus saja berangkat menyelidiki Lima Bayangan Dewa, tidak sempat mengunjungi enciku yang tinggal di Sin-yang dan mengunjungi Yap-suheng yang tinggal di Leng-kok. Sungguh menggemaskan sekali Lima Bayangan Dewa itu.” “Mereka itu pengecut kalau berani bergerak selagi ayahmu tidak berada di Cin-ling-san, Houw-ko,” Kwi Beng ikut pula bicara. “Aiiiihhh...!” Tiga orang pemuda itu terkejut sekali, Bun Houw sudah mencelat dan diikuti oleh Tio Sun dan Kwi Beng. Yang menjerit adalah Kwi Eng dan kini dara itu sudah tidak kelihatan lagi, hanya kelihatan bayangan orang berkelebat ke barat. Bun Houw yang memiliki gerakan paling ringan dan cepat sudah meloncat seperti terbang cepatnya, disusul oleh Tio Sun dan Kwi Beng lari paling akhir karena pemuda peranakan ini biarpun juga memiliki kepandaian cukup tinggi, masih kalah jauh kalau dibandingkan dengan Bun Houw dan kalah setingkat oleh Tio Sun. “Aihhh... apa kau gila...?” Kwi Eng menjerit dan kelihatan terdesak hebat oleh serangan sesosok bayangan yang bertubuh ramping. Bayangan wanita! Ketika Bun Houw tiba di tempat itu, dia melihat Kwi Eng terancam bahaya maut dan cepat dia menerjang dan sempat menangkis pukulan maut yang sudah mengancam kepala Kwi Eng. “Dukkkk...! Aihhhh...!” Bayangan wanita itu terkejut ketika pukulannya tertangkis dan dia terhuyung ke belakang, lalu dia meloncat sambil terkekeh dan lenyap ditelan kegelapan malam. Bun Houw tidak dapat melihat wajahnya, akan tetapi melihat bentuk tubuh wanita itu dan melihat caranya bergerak dan menyerang, jantungnya berdebar tegang karena dia yakin siapa adanya wanita yang menyerang Kwi Eng tadi. Melihat Kwi Eng terhuyung, cepat dia menyambar, mendukungnya dan membawanya kembali ke tempat tadi, diikuti oleh Tio Sun dan Kwi Beng yang menjadi khawatir sekali. Bun Houw dengan hati-hati merebahkan Kwi Eng di dekat api unggun. Hatinya lega ketika memeriksa dan ternyata Kwi Eng tidak menderita luka parah, hanya mengalami tamparan yang membuat pipi dan lehernya terdapat tanda jari tangan yang merah, tanda bahwa tamparan itu keras sekali. Kwi Eng masih nanar, akan tetapi dia dapat bangkit duduk dan mukanya merah sekali. “Keparat, dia entah orang gila entah setan!” dia memaki sambil meraba leher dan pipinya yang terasa panas. “Eng-moi, apakah yang terjadi?” Kakaknya bertanya, kelihatan marah melihat adiknya dipukuli orang. “Aku sendiri tidak tahu dengan jelas. Seperti kalian tahu, aku baru memanggang daging dan aku hendak membuang isi perut kelinci dan ayam hutan agak jauh dari sini agar tidak mendatangkan bau tidak enak. Kulihat kalian masih sibuk bercakap-cakap. Ketika aku tiba di sana...” Dia menuding ke arah gerombolan pohon tak jauh dan yang gelap, “aku membuang isi perut itu dan tiba-tiba saja lenganku disambar orang dan aku dibawa lari seperti terbang cepatnya!”   Siapa dia? Bagaimana orangnya?” Tio Sun bertanya dan Bun Houw hanya mendengarkan, bahkan menundukkan mukanya karena dia sudah mulai menduga siapa orang yang mengganggu Kwi Eng itu dan sedang menduga-duga mengapa terjadi hal itu. “Aku tidak dapat melihat mukanya karena gelap, akan tetapi yang jelas dia adalah seorang wanita, agaaknya masih muda dan cantik karena cahaya api unggun sebentar menimpa pipinya. Dia kuat sekali karena betapapun aku meronta, aku tidak dapat melepaskan diri, malah dia lalu menampariku dan berbisik penuh ancaman. Tentu saja aku melawan, akan tetapi gerakannya lihai bukan main sehingga betapapun aku mengelak dan menangkis, tetap saja aku kena ditampar beberapa kali,” Kwi Eng kembali meraba leher dan pipinya. “Dan... kalau saja Houw-koko tidak keburu datang, aku... aku agaknya sudah terpukul mati, aku merasa betul bahwa iblis itu menghendaki kematianku dan kepandaiannya begitu hebat!” Kwi Eng bergidik. “Bagaimana kau tahu kepandaiannya amat hebat?” kakaknya mendesak. “Kau tahu, koko, ketika dia menarikku, aku sudah mengerahkan tenaga, aku diam-diam mencabut tusuk kondeku. Kau tahu tusuk kondeku itu adalah pemberian ibu, terbuat dari baja tulen seperti pedang, diselaputi emas luarnya. Aku menusuknya di tempat gelap, tepat pada lambungnya dan kaulihatlah ini...” Dara itu mengeluarkan sebatang tusuk konde yang telah patah menjadi dua! “Ihhhh...!” Kwi Beng berteriak ngeri. Membayangkan lawan yang lambungnya ditusuk dengan senjata itu malah senjatanya patah, benar-benar mengerikan sekali. “Adik Kwi Eng, kau tadi mengatakan bahwa iblis itu berbisik penuh ancaman. Bisikan apakah yang dikatakan kepadamu?” Tiba-tiba Tio Sun bertanya. Kwi Beng dan Bun Houw juga memandang dan Kwi Eng kelihatan gugup, bahkan lalu mengerling den menatap wajah Bun Houw sampai lama. Pemuda ini mengerutkan alisnya, hatinya menjadi tidak enak dan akhirnya dia menunduk. “Aku sendiripun merasa heran sekali memikirkan apa yang dibisikkan oleh iblis betina itu.” Kwi Eng akhirnya berkata lirih. “Suaranya halus dan bisikannya jelas terdengar olehku kelika dia menampariku. Dia berkata, berani kau mendekati dia? Kubunuh kau kalau kau berani jatuh cinta padanya!” “Ehhhh...! Gila!” Kwi Beng berkata marah dan memandang ke kanan kiri. “Hemmm, siapakah yang dimaksudkannya itu?” Tio Sun juga berkata sambil mengerling ke arah Bun Houw yang makin menundukkan mukanya. Mendengar penuturan ini, Bun Houw makin yakin siapa wanita yang telah menyerang Kwi Eng itu dan dia merasa heran, terkejut, bingung dan penasaran. Tentu dara bernama Hong itu! Akan tetapi mengapa demikian? Mengapa Hong bersikap seperti itu? Apa artinya semua itu? Cemburu? Ah, mengapa cemburu? “Houw-koko, apakah kau mengenal iblis itu?” Tiba-tiba Kwi Eng bertanya kepada Bun Houw dan pemuda ini terkejut, tersentak dari lamunannya. “Aku tidak tahu...” dia menggeleng ragu. “Aku tidak melihat suatu sebab yang membuat orang dapat bersikap seperti itu kepadamu. Mungkin dia seorang gila, atau siapa tahu dia adalah seorang mata-mata Lima Bayangan Dewa...” “Atau mungkin juga dia salah melihat orang, kau disangka orang lain, adik Kwi Eng,” kata pula Tio Sun yang merasa tidak enak melihat Bun Houw kelihatan bingung. “Sudahlah, karena tidak ada akibat yang terlalu hebat, mari kita makan dan beristirahat. Malam ini kita harus berjaga-jaga, siapa tahu kalau-kalau dia muncul kembali.” Kwi Eng melanjutkan pekerjaannya memanggang daging, kini tidak berani terlalu jauh dari teman-temannya. Setelah mereka makan daging dan cukup kenyang, Bun Houw yang masih merasa tidak enak dan menduga bahwa boleh jadi dara bernama Hong itu yang melakukan perbuatan kasar terhadap Kwi Eng karena orang aneh seperti dia sukar diduga sebelumnya apa yang akan dilakukannya, mengusulkan untuk mencari penginapan di dalam dusun di luar hutan saja. Mereka lalu melanjutkan perjalanan keluar dari hutan sambil membawa obor. Maksud Bun Houw mencari penginapan di dusun adalah untuk menghindari gangguan “iblis” tadi, karena hatinya masih khawatir akan keselamatan Kwi Eng. Ketika dia menangkis pukulan iblis tadi, dia memperoleh kenyataan betapa kuatnya tenaga lengan iblis betina itu dan kalau mereka tinggal di dalam hutan yang terbuka, sukarlah baginya untuk terus melindungi Kwi Eng. Benar saja, tepat di luar hutan, mereka mendapatkan sebuah dusun kecil yang dihuni oleh puluhan keluarga petani. Tentu saja di dusun kecil seperti itu tidak terdapat rumah penginapan, akan tetapi Kwi Eng yang pandai bicara ramah dan juga mempunyai banyak uaug bekal itu berhasil mendapatkan sebuah rumah besar tempat tinggal seorang petani yang agak kaya untuk menampung dan memberi kamar kepada mereka berempat untuk satu malam itu. Petani yang kecukupan ini she Ma dan hidup bersama seorang istri, dua orang anak gadis yang sudah dewasa dan dua orang pelayan. Keluarga she Ma ini ternyata ramah sekali dan dengan gembira mereka menyambut empat orang tamu mereka, bahkan menjamu mereka dengan nasi, lauk pauk dan minuman, memaksa mereka berempat makan walaupun mereka menyatakan bahwa mereka sudah makan di hutan. Memang kehidupan di dusun jauh bedanya dengan di dalam kota. Orang-orang kota biasanya terlalu mementingkan diri sendiri, hidup memisahkan diri, dan saling tidak mengacuhkan keadaan orang lain, jarang sekali nampak keakraban dan kegotongroyongan. Berbeda dengan kgbidupan di dusun di mana mereka lebih saling bergaul dengan akrab, senasib sependeritaan dan selalu bersikap ramah apabila kedatangan tamu. Demikian pula, keluarga she Ma ini, ketika mendengar permintaan Kwi Eng untuk dapat bermalam di situ malam itu, mereka gembira sekali, apalagi ketika melihat bahwa Kwi Eng adalah seorang dara yang demikian cantik jelita dan mempunyai kecantikan yang khas, sedangkan tiga orang pemuda itu begitu gagah-gagah dan tampan, terutama sekali Bun Houw dan Kwi Beng. Diam-diam timbullah keinginan besar di dalam hati suami isteri Ma. Sudah lama mereka itu ingin sekali memperoleh mantu-mantu yang sesuai dengan keadaan mereka. Sebagai petani yang paling kaya di dusun itu, tentu saja mereka menganggap pemuda-pemuda dusun itu kurang memenuhi syarat untuk menjadi mantu-mantu mereka. Kini muncul pemuda-pemuda kota yang demikian gagah dan tampan, tentu saja timbul harapan di dalam hati mereka dan sang ibu segera memberi nasihat kepada dua orang puterinya untuk keluar dan ikut pula melayani para tamu makan minum dan bersikap ramah dan manis kepada para tamunya. Tentu saja tidak lupa mereka itu berhias diri untuk menarik perhatian para pemuda kota itu, terutama Kwi Beng dan Bun Houw. Kwi Eng yang dapat mengerti sikap ibu dan dua orang anak gadisnya itu merasa geli dan juga kasihan. Sikap mereka begitu polos dan kaku sehingga amat menyolok mata ketika perawan pertama dengan manisnya melayani Bun Houw sedangkan adiknya dengan sikap memikat melayani Kwi Beng. Beberapa kali Kwi Eng menutup mulutnya menahan ketawa melihat betapa Kwi Beng dan Bun Houw menjadi merah mukanya dilayani oleh perawan-perawan dusun yang berbedak tebal dan memakai minyak wangi semerbak itu. Karena keramahan fihak tuan rumah sekeluarga, mereka berempat merasa tidak enak untuk menolak dan biarpun mereka sudah kenyang makan daging kelinci dan ayam hutan tadi, kini mereka makan dan minum lagi sekedarnya hanya untuk menyenangkan hati keluarga tuan rumah. Demikian pula setelah mereka makan, keluarga itu mengajak para tamunya bercakap-cakap di ruangan depan, dan kembali dalam kesempatan ini, dua orang anak gadis keluarga itu memperlihatkan sikap manis dan tertarik sekali kepada Bun Houw den Kwi Beng. Tentu saja dua orang pemuda ini menjadi sungkan dan malu-malu, dan baru mereka merasa terbebas ketika Tio Sun akhirnya minta perkenan dari keluarga itu untuk mengaso. Kwi Eng memperoleh kamar sendiri, sedangkan tiga orang pemuda itu tidur menjadi satu di dalam sebuah kamar besar sederhana di bagian belakang rumah itu. Menjelang tengah malam, semua orang terkejut ketika mendengar jerit melengking yang mengerikan. Sebagai orang-orang berkepandaian tinggi, tentu saja tiga orang pemuda itu cepat meloncat keluar dari kamar mereka, dan bertemu dengan Kwi Eng yang juga sudah meloncat keluar kamarnya. Lalu mereka mendengar suara tangis dari kamar dua orang gadis puteri tuan ruinah. Tentu saja mereka terkejut dan cepat mendatangi kamar itu dan dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka ketika melihat bahwa gadis pertama she Me telah rebah tak bernyawa lagi di atas pembaringannya dan di dahinya terdapat tanda tiga buah jari tangan menghitam. Jelas bahwa gadis ini tewas terbunuh orang yang memiliki kepandaian tinggi! Ketika melihat empat orang itu, suami isteri Ma dan anaknya yang kedua menangis makin riuh rendah. Tanpa diminta, Tio Sun dan tiga orang temannya sudah menggunakan kepandaian mereka untuk meloncat dan melakukan pengejaran, mencari di luar belakang dan di atas genteng rumah, namun tidak nampak bayangan orang lagi. Mereka kembali ke kamar itu di mana semua keluarga masih menangis. “Apakah sesungguhnya yang telah terjadi?” Tio Sun bertanya kepada tuan rumah. “Mengapa puteri ji-wi tahu-tahu meninggal seperti ini?” Sambil menangis orang she Ma itu menjawab bahwa mereka suami isteri juga tidak tahu, akan tetapi menurut penuturan gadis mereka yang kedua, anak pertama mereka itu dibunuh oleh seorang wanita! “Seorang wanita?” Bun Houw bertanya dengan suara terkejut sekali. Jentunguya berdebar tegang dan dia langsung bertanya kepada gadis Ma yang muda dan yang masih menangis itu, “Nona, harap ceritakan, apa yang telah terjadi dan siapa yang membunuh encimu?” “Saya... saya terbangun oleh suara dalam kamar kami...” gadis itu bercerita dengan air mata bercucuran. “Lampu kami bernyala kecil... dan... dan saya melihat bayangan seorang wanita di kamar... ada bau harum bunga... dan saya mendengar suara wanita itu berkata kepada enci...” Dia melihat lagi terisak-isak. Ibunya memeluknya dan berkata, “Kau tenanglah dan ceritakan dengan jelas...” “Saya... mendengar jelas, wanita itu... bayangan itu berkata, “Kau berani menggoda pemuda itu, kau harus mati!” Enci menjerit den bayangan itu berkelebat lenyap... seperti iblis... melalui jendela. Saya menghampiri enci dan... dan...” gadis itu menangis lagi sesenggukan. Kwi Eng, Kwi Beng, dan Tio Sun saling pandang dengan mata terbelalak, sedangkan Bun Houw yang merasa jantungnya berdebar dan tengkuknya meremang menundukkan mukanya sambil mengepal tinju tangannya. Benarkah? Benarkah wanita iblis itu adalah wanita yang telah mengancam Kwi Eng dan kini membunuh puteri tuan rumah ini? Benarkah nona Hong yang cantik jelita, gagah perkasa, penolong dan penyelamatnya itu, dia itukah iblis betina ini? Agaknya tidak mungkin salah lagi! Siapa lagi kalau bukan dia yang berkepandaian begitu tinggi sehingga Kwi Eng sendiripun tidak berdaya? Akan tetapi mengapa dia melakukan hal itu? Mengapa? Karena cinta kepadanya dan karena cemburu melihat sikap puteri tuan rumah manis kepadanya? Cemburu? Begitu kejamnya? Dia bergidik. Tio Sun menyentuh lengannya dan pemuda itu memberi isyarat kepadanya. Bun Houw mengangkat muka, melihat betapa tiga orang temannya itu memandang kepadanya dengan sinar mata tajam penuh selidik. Dia menghela napas dan keluar dari kamar itu bersama tiga orang temannya. Setelah tiba di ruangan depan rumah itu, Tio Sun memandang kepada Bun Houw dengan tajam lalu berkata, “Houw-te, agaknya pembunuhan ini ada hubungannya dengan penyerangan atas diri adik Kwi Eng. Apakah engkau dapat monduga siapa yang melakukannya?” Melihat mereka bertiga memandang penuh selidik, Bun Houw menghela napas dan menjawab, “Sungguh, aku sendiri menjadi bingung. Ada seorang pendekar wanita yang kukenal, akan tetapi agaknya tidak mungkin dia berobah menjadi iblis betina. Aku tidak dapat percaya. Tidak, tentu ada apa-apa yang aneh di balik semua ini” Bun Houw tetap tidak mau mengaku. Bagaimana mungkin dia menceritakan tentang nona Hong yang amat dikagumi dan yang telah menyelamatkan nyawanya itu? Terus terang saja, di sudut hatinya memang ada dugaan bahwa nona itulah yang melakukan ancaman terhadap Kwi Eng den pembunuhan malam ini, karena betapapun juga, dia tahu bahwa nona perkasa itu memiliki watak aneh dan hati yang keras, tidak dapat memberi ampun kepada musuhnya. Akan tetapi mengapa menyatakan cemburu secana demikian ganas? Dan benarkah perbuatan itu dilakukan karena cemburu? Apakah nona Hong yang panuh rahasia itu jatuh cinta kepadanya? Semua pertanyaan ini mengaduk otaknya dan karena belum terdapat bukti-bukti nyata, biarpun dia mulai menduga demikian, dia tidak mau merusak nama gadis panolongnya itu. Betapapun juga dia masih tidak mau percaya bahwa dara cantik jelita itu telah membunuh gadis she Me yang sama sekali tidak berdosa itu. Dia bergidik. Bagaimana kalau benar nona Hong yang membunuhnya? Betapa kejamnya. Seperti iblis betina saja! Dia menjadi makin penasaran dan ingin sekali dia bertemu dengan gadis itu untuk ditanyainya. Teringat dia betapa ganasnya nona itu ketika hendak membasmi anak buah Lembah Bunga Merah. Seorang gedis yang cantik jelita, berilmu tinggi dan amat ganas menghadapi musuh-musuhnya. Akan tetapi membunuh gadis she Ma yang tidak berdosa dengan darah dingin begitu saja? Sungguh keterlaluan! Bun Houw merasa terisksa batinnya di antara keraguan dan rasa penasaran. Benarkah nona Hong yang membunuhnya? Seorang dara seperti bidadari, seperti seorang dari kahyangan! Mengapa begitu kejam? Seperti Dewi Maut saja, bidadari yang bertugas mencabut nyawa sebagai pembantu Giam-lo-ong! Dapat dibayangkan betapa bingungnya hati pemuda itu. Dia amat kagum kepada In Hong dan merasa berhutang budi karena harus diakuinya bahwa kalau bukan nona itu yang menyelamatkannya dari tangan musuh-musuhnya, tentu dia sekarang sudah mati. Akan tetapi peristiwa penyerangan terhadap diri Kwi Eng dan pembunuhan terhadap gadis she Ma itu menunjukkan seolah-olah gadis yang dikaguminya itu seorang ibils betina yang kejam. Tangannya sudah merogoh kantong menyentuh burung hong kumala yang diterimanya dari nona itu. Saking gemas dan bencinya hampir saja dia meremas benda itu, akan tetapi dia ingat bahwa belum ada bukti nyata bahwa nona itulah yang melakukan semua kekejian ini. Kelak dia pasti akan menyelidiki dan membongkar rahasia ini! Karena hatinya amat terganggu oleh peristiwa itu, dan juga karena tiga orang temannya agaknya mencurigainya, maka dengan dalih mencari dan mengejar pembunuh itu, Bun Houw mengajak tiga orang temannya meninggalkan rumah keluarga Ma dan malam itu juga mereka meninggalkan dusun itu dan berusaha mencari jejak pembunuh, namun semua usaha mereka sia-sia belaka. *** Ngo-sian-chung (Kampung Lima Dewa) adalah sebuah dusun kuno yang terletak di lembah muara sungai Huang-ho. Di dusun itu, di dekat sungai, terdapat bukit kecil di mana orang dapat melihat adanya lima buah batu gunung besar yang berjajar dan jika dilihat dari kejauhan mirip lima orang sedang duduk bercakap-cakap. Karena itulah mungkin maka dusun itu disebut Dusun Lima Dewa. Akan tetapi, belasan tahun yang lalu ketika seorang datuk kaum sesat datang dan menetap di dusun itu, lambat-laun para penghuni dusun pindah ke lain tempat dan akhirnya dusun itu seolah-olah menjadi “milik pribadi” datuk kaum sesat itu yang bukan lain adalah Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok. Dia ini sebetulnya adalah seorang yang berilmu tinggi peranakah Mongol, ayahnya seorang Han akan tetapi ibunya seorang wanita Mongol. Ayahnya adalah seorang petualang yang berkepandaian tinggi dan ketika bertualang di dadrah Mongol ayahnya itu menikah dengan puteri kepala Suku Bangsa Mongol. Oleh karena itu, biarpun dia memakai nama keturunan ayahnya dan mempunyai nama Han, akan tetapi wajahnya yang tampan itu mirip orang Mongol dari seperti juga orang Mongol, dia tidak begitu suka kepada Bangsa Han, bangsa ayahnya sendiri, dan lebih setia kepada Bangsa Mongol yang dianggapnya bangsa paling besar dan mulia di dunia. Phang Tui Lok menerima ilmunya dari seorang sakti, dan dia adalah sute dari mendiang Ban-tok Coa-ong, seorang datuk kaum sesat yang pada puluhan tahun yang lalu amat terkenal di dunia persilatan. Seperti kita ketahui, di dalam cerita Petualang Asmara, Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok tewas di tangan Pendekar Sakti Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai, dan oleh karena ini maka Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok menaruh dendam kepada Cin-ling-pai dan semenjak dia tinggal di Ngo-sian-chung, dia selalu mencari kesempatan uatuk membalas sakit hatinya itu. Namun, dia bukanlah seorang bodoh dan ceroboh. Dia maklum betapa lihainya ketua Cin-ling-pai, maka dia selalu mencari kesempatan yang baik dan menyusun kekuatan. Setelah dia dapat mengumpulkan harta dan menjadi “majikan” dusun Ngo-sian-chung itu, mulailah dia mengumpulkan teman-teman yang dia tahu juga merupakan musuh-musuh dari ketua Cin-ling-pai sehingga akhirnya dia berhasil menarik empat orang lihai lainnya dan bahkan mengangkat saudara dengan mereka ini dan mereka menggunakan julukan Lima Bayangan Dewa, sesuai dengan Ngo-sian-chung yang menjadi sarang atau pusat pertemuan mereka. Setelah merasa kuat, maka Pat-pi Lo-sian mengajak empat orang saudara angkatnya itu untuk menyerbu Cin-ling-pai dan seperti telah dituturkan di bagian depan cerita ini, mereka berhasil membunuh Cap-it Ho-han murid-murid kepala Cin-ling-pai dan Phang Tui Lok sendiri sebagai saudara tertua dan yang terpandai, berhasil merampas pedang Siang-bhok-kiam. Setelah berhasil menggegerkan dunia kang-ouw dengan penyerbuan mereka ke Cin-ling-pai itu, Lima Bayangan Dewa maklum bahwa tentu fihak Cin-ling-pai tidak akan tinggal diam, maka merekapun lalu mengumpulkan teman-teman segolongan untuk bersiap-siap menghadapi musuh besar mereka. Bahkan Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok sendiri lalu membujuk dua di antara Lima Bayangan Dewa, yaitu Liok-te Sin-mo Gu Lo It yang tadinya tinggal di pantai timur, dan Toat-beng-kauw Bu Sit yang tadinya di selatan untuk tinggal di Ngo-sian-chung. Selain mengumpulkan tokoh-tokoh besar golongan sesat yang juga memusuhi Cin-ling-pai, juga Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok yang masih terhitung keluarga para bangsawan Mongol, diam-diam menghubungi seorang pembesar istana yang pada waktu itu sedang berkuasa besar, yaitu seorang pembesar thaikam (pembesar kebiri) yang berpengaruh di istana kaisar. Kini dusun Ngo-sian-chung tidaklah seramai dahulu lagi, sebagian besar penghuni aseli dusun itu, yang sudah tinggal di situ selama beberapa keturunan, telah pergi dari situ dan pindah ke dusun lain semenjak Lima Bayangan Dewa menguasai dusun itu. Mereka ini, orang-orang dusun yang lemah, tidak mau terlibat dengan urusan orang-orang kang-ouw yang mengandalkan kepandaian dan kekerasan untuk melewati hidup. Mereka yang masih tinggal di situ adalah orang-orang yang memperoleh keuntungan dengan adanya Lima Bayangan Dewa dan bekerja menjadi kaki tangan mereka Pada pagi hari itu, empat orang muda memasuki dusun Ngo-sian-chung dengan sikap tenang namun penuh kewaspadaan. Mereka itu adalah Bun Hoow, Tio Sun, Kwi Beng dan Kwi Eng. Setelah mereka pada malam hari itu gagal mencari dan mengejar pembunuh rahasia yang telah membunuh gadis she Ma, mereka merasa tidak enak untuk kembali ke dusun dan mereka melanjutkan perjalanan menuju ke Ngo-sian-chung. Karena Ngo-sian-chung memang sudah dekat, berada di lembar muara sungai Huang-ho, maka pada keesokan harinya, pagi-pagi mereka telah memasuki dusun itu dengan sikap penuh kewaspadaan karena mereka menduga bahwa mereka tentu tiba di sarang Lima Bayangan Dewa yang mereka cari-cari. Dugaan mereka memang tepat. Mereka sedang memasuki sarang naga yang amat berbahaya. Tidak percuma tempat itu dijadikan sarang Lima Bayangan Dewa dan biarpun pagi hari itu empat orang muda ini memasuki pintu gerbang dusun yang sunyi seolah-olah tempat itu aman den kosong, seolah-olah tidak terdapat bahaya sama sekali, namun sesungguhnya kedatangan mereka sudah sejak malam tadi diketahui oleh para penghuni Ngo-sian-chung dan pagi ini. empat orang itu memang dibiarkan memasuki dusun seperti empat ekor domba yang dibiarkan masuk ke dalam jebakan dan di sekeliling tempat itu, secara bersembunyi, telah menanti segerombolan harimau yang kelaparan dan yang memandangi gerakan empat ekor domba itu! Sebetulnya, sebelum mereka memasuki dusun itu, Tio Sun menyatakan tidak setujunya karena dia menganggap perbuatan mereka ini terlalu ceroboh. “Lima Bayangan Dewa yang telah melakukan perbuatan menentang Cin-ling-pai tentu selalu telah siap menghadapi lawan,” katanya kepada Bun Houw. “Kalau kita masuk secara berterang, bukankah hal itu amat berbahaya? Mereka sudah tahu bahwa kita hanya berempat, dan kita tidak tahu sampai di mana kekuatan mereka.” “Tio-twako,” Bun Houw menjawab malam tadi. “Mereka itu adalah orang-orang dari golongan sesat, ketika mereke menyerbu Cin-ling-pai, mereka sengaja menanti ketika ayah dan ibu tidak berada di sana, dan mereka memancing para suheng dari Cap-it Ho-han meninggalkan Cin-ling-san. Akan totapi, kedatanganku adalah untuk menuntut balas, maka aku pantang masuk secara menggelap. Aku menyesal sekali telah membawa twako dan kedua adik Souw ke dalam bahaya ini.” “Ah, Houw-koko mengapa berkata demikian?” Kwi Beng membantah. “Kita adalah keturunan pendekar, bahaya, sakit dan kematian dalam membela kebenaran bukan apa-apa bagi kita.” Tio Sun menarik napas panjang. “Maaf Houw-te, aku hanya memperingatkan, sama sekali bukan berarti bahwa aku takut. Kalau begitu, marilah kita masuk dusun itu.” Demikianlah, pagi itu mereka memasuki dusun dengan sikap tenang akan tetapi hati-hati dan penuh kewaspadaan. Mereka tidak melihat adanya fihak musuh yang memang sudah mengawasi setiap gerak-gerik mereka sambil bersembunyi, namun mereka seperti dapat merasakan kehadiran musuh yang tidak nampak itu. Pada waktu itu, orang tertua dari Lima Bayangan Dewa, yaitu Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok tidak berada di Ngo-sian-chung. Dia bersama orang ketiga, yaitu Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok Ho Siang, beberapa hari yang lalu berangkat ke kota raja atas panggilan pembesar thaikam di istana yang membutuhkah tenaga bantuan mereka. Oleh karena itu yang menjaga Ngo-sian-chung adalah Liok-te Sin-mo Gu Lo It, orang kedua dari Lima Bayangan Dewa. Dan beru saja rombongan Hui-giakang Ciok Lee Kim juga tiba di situ, yaitu Toat-beng-kauw Bu Sit, Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw, dan Bouw Thaisu sehingga Ngo-sian-chung penuh dengan orang-orang yang berilmu tinggi! Di samping tiga orang Bayangan Dewa dan tiga orang tamu mereka yang bahkan lebih lihai daripada mereka ini, masih terdapat anak buah Ngo-sian-chung yang hampir tiga puluh orang jumlahnya ditambah lagi beberapa orang pembantu den kaki tangan Hui-giakang Ciok Lee Kim yang ikut datang dari Lembah Bunga Merah. Sebetulnya Liok-te Sin-mo Gu Lo It yang pada saat itu menjadi wakil tuan rumah, telah memimpin barisan pendam yang telah siap dengan anak panah dan senjata rahasia mereka. Kalau dia memberi aba-aba untuk menghujankan senjata rahasia, kemudian dia bersama para temannya yang lihai itu menyerbu, kiranya empat orang muda itu akan menghadapi bahaya yang amat besar. Akan tetapi ketika mereka mengintai itu, para tamu dari Lembah Bunga Merah segera mengenal Bun Houw! Mereka terkejut sekali karena mereka sudah menyaksikan sendiri kelihaian pemuda ini, dan biarpun mereka telah berhasil menangkap pemuda itu, menyiksanya secara hebat, akan tetapi kini tampaknya pemuda itu sudah sembuh same sekali! Tiga orang muda lain yang ikut datang bersama Bun Houw, tidak mereka kenal akan tetapi mereka itu memandang rendah dan menduga bahwa ini agaknya adalah murid-murid Bu-tong-pai yang hendak membalas dendam kepada Hui-giakang Ciok Lee Kim. Oleh karena itu, Ciok Lee Kim lalu menahan suhengnya dan menyentuh lengan Liok-te Sin-mo Gu Lo It sambil berbisik-bisik. “Pemuda yang di depan itu lihai sekali, dan agaknya dia utusan Cin-ling-pai. Akan tetapi dia belum mengaku. Dan tiga yang lain itu, boleh jadi murid-murid Bu-tong-pai. Tidak baik kalau membunuh mereka, dan pemuda bernama Bun Houw itu harus dipaksa mengaku.” “Tepat sekali, memang mereka itu harus ditawan hidup-hidup untuk dimintai keterangan. Kita harus mengetahui gerak-gerik musuh, jangan sampai terjebak oleh Cin-ling-pai.” Toat-beng-kauw Bu Sit membenarkan pendapat sucinya. Sebetulnya siasat yang dipergunakan oleh dua orang tokoh Lima Bayangan Dewa ini mengandung niat lain yang bersumber kepada keinginan pribadi. Begitu Ciok Lee Kim melihat wajah dan bentuk tubuh Kwi Beng, dengan matanya yang bening kebiruan dan rambutnya yang agak pirang, wanita ini sudah menjadi tergila-gila dan dia akan merasa sayang sekali kalau pemuda seperti itu dibunuh begitu saja. Dia sudah membayangkan betapa akan senang hatinya kalau dia dapat ditemani oleh pemuda setampan itu untuk beberapa malam lamanya. Demikian pula Toat-beng-kauw Bu Sit si wajah monyet, begitu dia melihat Kwi Eng yang cantik jelita, yang memiliki kecantikan yang khas dan aneh namun amat menarik itu, dia sudah mengilar dan tergila-gila. Betapapun juga, dia harus dapat menguasai gadis yang demikian cantiknya! Gu Lo It bukan tidak tahu akan watak sumoi dan sutenya ini, akan tetapi karena memang usul mereka itu tepat dan diapun ingin sekali mengetahui siapa sebenarnya pemuda tampan yang menurut cerita dua orang adik angkatnya itu memiliki kepandaian yang amat tinggi, maka dia mengangguk dan lalu diaturlah siasat untuk menghadapi empat orang penyerbu muda yang demikian tenang dan beraninya memasuki sarang Lima Bayangan Dewa. Setelah empat orang muda itu tiba di tengah-tengah dusun Ngo-sian-chung dan di antara rumah-rumah yang agaknya kosong, tiba-tiba terdengar sorak-sorai dari empat penjuru dan tahulah mereka bahwa mereka telah terjebak dan terkurung. “Awas dan siap, kita harus saling melindungi!” Bun Houw berbisik dan tiga orang temannya mengangguk lalu mereka berdiri saling membolakangi, menghadapi empat penjuru dengan seluruh urat saraf di tubuh mereka menegang, siap menghadapi segala kemungkinan yang akan menimpa mereka. Kini tampaklah orang-orang muncul dari balik-balik rumah dengan gendewa terpentang dan anak panah siap ditodongkan ke arah mereka. Sedikitnya ada tiga puluh orang bersenjata lengkap, kebanyakan dari mereka menodongkan anak panah, muncul dan mengurung empat orang muda yang sudah siap dan tidak bergerak di tengah-tengah lapangan yang cukup luas itu. Dengan sikap tenang Bun Houw berkata, suaranya nyaring sekali sehingga bukan hanya dapat terdengar oleh semua pengepung, melainkan juga dapat terdengar sampai jauh di empat penjuru, “Kami datang bukan hendak mengganggu orang-orang yang tidak berkepentingan, maka harap suruh Lima Bayangan Dewa untuk keluar!” Tiba-tiba terdengar suara wanita tertawa mengejek, “Heh-heh-hi-hi-hik! Jadi engkau belum mampus?” Ciok Lee Kim meloncat keluar. “Dan engkau datang untuk mengantar nyawa? Jangan harap sekarang engkau akan dapat lolos dari tanganku, pemuda sombong!” Bu Sit juga menyusul sucinya, meloncat keluar dengan sikap sombong karena dia yakin bahwa dengan bantuan teman-temannya mereka akan dapat menangkap empat orang itu dengan mudah. Biarpun dia berkata kepada Bun Houw, namun matanya yang bulat seperti mata monyet, bulat kecil, mengincar wajah Kwi Eng karena empat orang muda itu kini membalik dan menghadapi tokoh yang menjadi musuh-musuh besar dan yang baru muncul itu. Melihat dua orang ini, tentu saja darah Bun Houw menjadi panas. Teringat dia betapa dia disiksa secara hebat oleh mereka ini. Akan tetapi sebagai seorang pendekar muda gemblengan orang-orang sakti, dia dapat menahan diri dan hanya memandang dengan tersenyum ketika melihat dua orang yang telah dikenalnya itu muncul diikuti oleh Bouw Thaisu yang amat lihai, Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw, dan seorang laki-laki berhidung besar berjubah hitam, bertopi dan bertubuh kokoh kuat berusia kurang lebih enam puluh tahun. Bun Houw menduga bahwa laki-laki ini agaknya merupakan seorang di antara Lima Bayangan Dewa, dan kalau benar demikian, mana yang dua lagi? Dia ingin bprhadapan dengan mereka berlima sekaligus agar dia dapat membuat perhitungan secara serentak. “Aku telah mengenal Hui-giakang Ciok Lee Kim dan Toat-beng-kauw Bu Sit, dua orang berwatak pengecut di antara Lima Bayangan Dewa,” kata Bun Houw dengan lantang dan berani, “akan tetapi mana yang tiga lagi? Apakah tiga orang Bayangan Dewa yang lain begitu pengecut untuk selalu menyembunyikan diri dan mengajukan orang-orang lain?” “Hemmm, kalau begitu robah saja julukan Bayangan Dewa menjadi Bayangan Tikus yang penakut dan pengecut!” Kwi Eng menyambung dengan suara mengejek. “Bocah she Bun yang sombong!” Liok-te Sin-mo Gu Lo It membentak sambil melangkah maju. “Dari sumoi dan sute aku telah mendengar bahwa engkau menyamar sebagai pengawal Kiam-mo Liok Sun, akan tetapi sebenarnya engkau dari Cin-ling-pai! Sebelum engkau mampus, hayo kauperkenalkan dulu siapa adanya tiga orang muda yang kauajak mengantar nyawa ke sini. Apakah kalian bertiga juga murid-murid Cin-ling-pai?” Tio Sun memandang dengan sinar mata berapi dan dia menjawab, “Ketahuilah, manusia-manusia iblis. Aku bernama Tio Sun dan ayahku adalah Tio Hok Gwan. Kami sekeluarga telah biasa menentang dan membasmi manusia-manusia iblis macam kalian.” Semua orang terkejut karena mereka tentu saja sudah mendengar nama besar Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan. “Dan kami kakak beradik bernama Souw Kwi Beng dan Souw Kwi Eng. Ibu kami adalah pendekar wanita Souw Li Hwa murid mendiang Panglima Besar The Hoo! Hayo kalian lekas berlutut dan menyerah daripada terpaksa kami membunuh kalian!” Kwi Beng juga membentak dengan suara nyaring. Kembali para tokoh kang-ouw yang memusuhi Cin-ling-pai itu terkejut. Nama Souw Li Hwa memang tidak mereka kenal, akan tetapi siapakah yang tidak mengenal nama The Hoo yang ditakuti lawan disegani kawan? Dan dua prang muda ini adalah putera-puteri murid The Hoo, hal ini saja sudah membuat mereka memandang dengan sinar mata lain dan tidak berani memandang rendah. Akan tetapi, tetap saja mata Si Kelabang Terbang Ciok Lee Kim dan Monyet Pencabut Nyawa Bu Sit seperti akan keluar dari rongganya saking kagumnya setelah kini mereka berdiri dekat dengan kakak beradik kembar itu yang ternyata memiliki ketampanan dan kecantikan yang benar-benar amat menjatuhkan hati mereka dan menimbulkan nafsu berahi karena memang keelokan mereka itu khas dan belum pernah mereka temukan dalam petualangan mereka bercinta dengan macam-macam orang! Liok-te Sin-mo Gu Lo It yang ditemani tidak hanya oleh dua orang sumoi dan sutenya, akan tetapi juga oleh tiga orang sakti Bouw Thaisu, Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw, belum lagi anak buah Ngo-sian-chung ditambah anak buah Lembah Bunga Merah, tentu saja sama sekali tidak merasa gentar, bahkan dia memandang rendah empat orang muda itu. “Bagus!” katanya mengejek. “Kiranya kalian adalah keturunan orang-orang pandai, akan tetapi sayang sekali bahwa guru-guru atau ayah-ayah kalian amat sembrono, mengirim kalian orang muda hijau datang ke sini. Orang muda she Bun, kalau engkau benar dari Cin-ling-pai, apa maksud kedatanganmu di sini mengajak tiga orang temanmu ini?” “Siapakah engkau?” Bun Houw balas bertanya sambil memandang penuh selidik. “Suruh tiga orang lain dari Bayangan Dewa untuk keluar menemui aku!” “Ha-ha-ha, betapa sombongnya! Aku adalah Liok-te Sin-mo Gu Lo It, orang kedua dari Lima Bayangan Dewa. Dengan adanya kami bertiga dan tiga orang sahabat kami yang mulia ini, sudah cukup. Orang pertama dan ketiga dari kami sedang ada urusan keluar, maka kausampaikan saja kepada kami apa yang menjadi keperluan dan kehendakmu.” Bun Houw agak kecewa bahwa dua orang di antara Lima Bayangan Dewa tidak hadir. Kini dia mengepal tinju dan membentak, “Liok-te Sin-mo, kalian Lima Bayangan Dewa telah bertindak pengecut, selagi ketua Cin-ling-pai tidak ada, kalian berani menyerbu dan mengacau Cin-ling-pai. Sekarang aku datang untuk minta kembali pusaka Cin-ling-pai, Siang-bhok-kiam dan nyawa Lima Bayangan Dewa.” “Ha-ha-ha, sungguh sombong kau, keparat!” Liok-te Sin-mo adalah seorang yang berwatak keras dan kasar, maka mendengar ucapan Bun Houw, dia tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Cepat dia memberi isyarat kepada teman-temannya dan kepada para anak buahnya. Sambil bersorak riuh, anak buah Ngo-sian-chung dibantu anak buah Lembah Bunga Merah maju menyerbu dengan senjata mereka, mengepung dan mengeroyok empat orang muda itu. Sedangkan Liok-te Sin-mo Gu Lo It, sesuai dengan rencana, mundur dan bersama teman-temannya mereka menonton lebih dulu untuk menilai siapa di antara empat orang muda itu yang paling lihai dan siapa pula yang lebih lemah agar lebih mudah bagi mereka untuk melakukan pengeroyokan yang menguntungkan. Akan tetapi, karena sudah maklum dari pelaporan dua orang adik angkatnya akan kelihaian Bun Houw, maka seperti telah direncanakan, Bouw Thaisu, Hwa Hwa Cinjin, dan Hek I Siankouw sudah menggerakkan tubuh mereka dan tiga orang sakti ini mengurung dan mengeroyok Bun Houw! Bun Houw sendiri maklum dari pengalamannya di Lembah Bunga Merah, bahwa tiga orang tua ini memang hebat sekali kepandaiannya, maka diapun malah merasa lega bahwa mereka langsung mengeroyoknya sehingga kawan-kawannya akan menghadapi pengeroyokan lawan yang tidak selihai mereka bertiga ini. Maka diapun cepat meraba pinggangnya dan nampaklah sinar pedang yang sudah dipegang di tangan kanannya. Pedang ini pedang pemberian In Hong, sebatang pedang yang cukup baik. Sebetulnya, berkat gemblengan dari suhunya, Kok Beng Lama, Bun Houw dapat menghadapi lawan yang betapa lihainyapun dengan kedua tangan kosong saja, akan tetapi karena dia tahu betapa hebat kepandaian tiga orang pengeroypknya yang juga mempergunakan senjata, maka dia tidak mau bersikap ceroboh memandang rendah, dan dia sudah mengeluarkan pedang itu untuk melakukan perlawanan mati-matian. Sementara itu, Tio Sun juga sudah mengeluarkan dua senjatanya yang ampuh, yaitu sebatang pedang di tangan kanan dan sebatang joan-pian, yaitu sabuk yang dapat dipergunakan sebagai cambuk, kemudian dia sudah mengamuk hebat, dalam waktu singkat saja sudah merobohkan dua orang pengeroyoknya. Kwi Beng dan Kwi Eng, dua saudara kembar yang tentu saja memiliki perasaan yang amat dekat dan saling membela, telah mengamuk pula dengan pedang di tangan, saling melindungi dan keduanya sudah memutar pedang dengan tangan kanan, sedangkan tangan kiri mereka melemparkan hui-to, yaitu pisau terbang yang mereka lempar dengan kegapahan seorang ahli sehingga masing-masing juga sudah merobohkan dua orang pengeroyok dengan hui-to mereka. Melihat ini, tiga orang Bayangan Dewa menjadi kaget juga. Akan tetapi begitu melihat tiga orang mude itu menggerakkan senjata, Liok-te Sin-mo Gu Lo It maklum bahwa di antara mereka, putera Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan itulah yang paling lihai, maka diapun lalu meloncat ke depan, menyerang Tio Sun dengan kedua ujung lengan bajunya yang merupakan senjatanya yang istimewa, karena kedua ujung lengan baju hitam itu dipasangi baja-baja yang kuat dan tersembunyi sehingga tidak kelihatan oleh lawan, akan tetapi kalau mengenai tubuh lawan sama bahayanya dengan senjata tajam manapun juga. Melihat gerakan orang kedua dari Lima Bayangan Dewa ini, Tio Sun cepat menyambut dan di antara mereka segera terjadi pertandingan yang amat hebat dan seru, akan tetapi atas isyarat Gu Lo It, beberapa orang anak buahnya sudah turun tangan pula membantu sehingga Tio Sun kembali dikepung dan sekali ini dia harus mengerahkan seluruh tenaga dan andalannya karena pengepungan itu dipimpin oleh Liok-te Sin-mo Gu Lo It yang amat lihai. Sementara itu, Ciok Lee Kim den Bu Sit girang bukan main ketika mendapat kenyataan bahwa biarpun dua orang kakak beradik kembar itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi pula, namun dibandingkan dengan dua orang muda lainnya, mereka ini paling lunak den kedua brang ini segera terjun ke dalam medan pertempuran, dan otomatis Bu Sit sudah menggerakkan pecut bajanya menahan pedang di tangan Kwi Eng, sedangkan Ciok Lee Kim mainkan dua helai saputangan suteranya menandingi Kwi Beng sambil tersenyum-senyum penuh gairah! Dengan cara memecah-mecah, pertandingan dibagi menjadi empat dan memang Liok-te Sin-mo dan kawan-kawannya merupakan orang-orang yang selain berilmu tinggi, juga pandai bersiasat. Andaikata pertempuran itu dilakukan dengan pengeroyokan umum, maka dengan gabungan kepandaian mereka, terutama dengan adanya Bun Houw yang amat lihai dan Tio Sun yang juga bukan orang lemah, maka fihak para pengeroyok akan mengalami kesukaran dan tentu akan banyak anak buah mereka yang dirobohkan empat orang muda itu. Akan tetapi, setelah dipecah-pecah dan setiap orang muda dikepung oleh fihak lawan yang disesuaikan, tentu saja mereka berempat menjadi repot juga! Terutama sekali Kwi Beng dan Kwi Eng! Tingkat kepandaian Kwi Beng dan Kwi Eng masih kalah jauh kalau dibandingkan dengan tingkat kepandaian Ciok Lee Kim dan Bu Sit. Tanpa dikeroyokpun mereka berdua akan kalah oleh dua orang Bayangan Dewa itu. Apalagi kini mereka dikeroyok oleh lima orang yang dipimpin oleh dua orang lihai itu! “Awas! Jangan lukai dia, tangkap hidup-hidup!” Pesan Ciok Lee Kim kepada lima orang pembantunya yang mengeroyok Kwi Beng dan dia sendiri menujukan sambaran kedua ujung saputangan suteranya ke arah jalan darah untuk menotok pemuda itu dan untuk menangkapnya. Kwi Beng repot sekali melindungi dirinya, dan tidak ada kesempatan menyerang sama sekali. Hati-hati jangan sampai kulitnya yang putih itu lecet!” Bu Sit tertawa-tawa memesan lima orang pembantunya pula, dan dia sendiri dengan pecut baja di tangannya yang meledak-ledak, beberapa kali hampir dapat merampas pedang di tangan Kwi Eng. Dara ini menjadi semakin marah sekali, mukanya merah dan matanya berapi-api mendengar kata-kata Bu Sit yang ditujukan kepadanya, kata-kata bujuk rayu, pujian dan lain-lain ucapan yang menusuk hati dan cabul. Bun Houw sendiri dikeroyok oleh Bouw Thaisu, Hwa Hwa Cinjin, dan Hek I Siankouw, masih ditambah oleh sepuluh orang anak buah Ngo-sian-chung yang menyerangnya dari lingkungan luar. Pemuda ini sama sekali tidak menjadi gentar. Gerakannya tangkas den cepat laksana kilat menyambar sehingga diam-diam tiga orang tokoh tua itu terkejut dan kagum bukan main. Sekarang, setelah pemuda itu dalam keadaan bebas, tidak dirintangi oleh orang seperti ketika di Lembah Bunga Merah dahulu, ketika dia dipeluk mati-matian oleh murid Ciok Lee Kim, maka baru ternyata oleh tiga orang tokoh tua ini betapa lihainya pemuda ini. Mereka terkejut bukan main dan mulai menduga-duga siapa gerangan adanya pemuda ini. Mereka tadinya hendak membalas dendam kepada Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai dan mereka membayangkan bahwa tingkat kepandaian ketua Cin-ling-pai itu tentu tidak berselisih jauh dengan tingkat mereka sendiri. Akan tetapi sekarang, seorang pemuda Cin-ling-pai memiliki ilmu kepandaian yang begini hebat sehingga Bouw Thaisu sendiri, orang yang terpandai di antara mereka, diam-diam merasa sangsi apakah dia akan dapat menang melawan pemuda ini kalau pertandingan itu dilakukan satu lawan satu! Beberapa kali lengannya tergetar kalau ujung lengan bajunya bertemu dengan jari-jari tangan kiri pemuda itu, tanda bahwa tenaga sin-kang pemuda itu luar biasa kuatnya, mungkin lebih kuat daripada tenaganya sendiri! Hal ini dianggapnya luar biasa dan tentu tidak akan dipercayanya kalau dia tidak mengalaminya sendiri! Maka dengan hati penuh penasaran, Bouw Thaisu, Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw mengeluarkan kepandaian mereka sehingga betapapun lihainya Bun Houw, dia menjadi repot juga dan hatinya mulai merasa khawatir akan keselamatan teman-temannya. Dia melihat betapa Tio Sun juga terdesak oleh para pengeroyoknya, sedangkan kedua orang kakak beradik Souw juga amat repot dan terancam bahaya. Memang Tio Sun juga mendapatkan tanding yang berat dalam dari orang kedua dari Lima Bayangan Dewa. Akan tetapi, dengan ilmunya Ban-kin-kiat, andaikata Liok-te Sin-mo Gu Lo It tidak dibantu oleh lima orang anak buah Lima Bayangan Dewa yang memiliki kepandaian lumayan, agaknya pemuda ini masih akan mampu mengalahkan lawannya. Memang hebat bukan main pertandingan antara Tio Sun dan Liok-te Sin-mo. Orang kedua dari Lima Bayangan Dewa ini terkenal sebagai seorang yang memiliki tenaga besar, maka merupakan lawan yang cocok sekali karena Tio Sun juga mewarisi tenaga mujijat yang amat kuat dari ayahnya. Berkali-kali pecut baja di tangan pemuda ini bertemu dengan ujung lengan baju yang dipasangi potongan baja dan akibatnya, terdengar suara nyaring sekali, bunga api berpijar dan kedua orang itu terbuyung ke belakang. Para pengeroyoknya, seperti juga para pengeroyok yang membantu tiga orang kakek mengepung Bun Houw, tidak lagi berani menyerang terlalu dekat karena pedang dan joan-pian di tangan Tio Sun merupakan tangan-tangan maut yang amat mengerikan. Sudah banyak anak buah yang roboh oleh Tio Sun dan Bun Houw, maka mereka itu hanya bertugas sebagai pengacau saja agar memecah-belah perhatian para muda yang perkasa itu. Yang merasa paling tidak enak dalam pertempuran itu adalah Bun Houw. Diam-diam dia merasa menyesal mengapa tiga orang muda itu dia perbolehkan membantunya menyerbu Ngo-sian-chung, karena sebelumnya diapun maklum akan behayanya pekerjaan ini, bahkan Tio Sun sendiripun sudah menyatakan betapa fihak lawan amat berbahaya dan lihai. Bagi dirinya sendiri, dia akan rela mengorbankan nyawa kalau perlu demi untuk mencari Siang-bhok-kiam dan membasmi musuh-musuh Cin-ling-pai, untuk mencuci penghinaan yang diderita oleh orang tuanya. Akan tetapi, tiga orang muda itu, terutama Kwi Eng, hanyalah orang-orang muda yang merasa bersahabat dengan dia dan dengan orang tuanya. Kalau sampai kini mereka menjadi korban, benar-benar membuat dia merasa tidak enak sekali. Pikiran ini membuat Bun Houw menjadi marah terhadap para musuhnya. “Tio-twako...! Adik Kwi Beng dan Kwi Eng...! Larilah kalian bertiga, biar aku sendiri yang membasmi mereka!” Teriaknya dengan suara nyaring sekali, pedangnya berkelebat seperti halilintar membabat ke arah tubuh Bouw Thaisu dan Hek I Siankouw dengan kekuatan yang amat hebat sehingga pedang itu mengeluarkan suara mengaung seperti ribuan ekor lebah beterbangan. Dua orang sakti ini terkejut, maklum betapa berbahaya sambaran pedang ini sehingga mereka tidak berani menangkis, dan cepat mereka meloncat ke belakang untuk menyelamatkan diri. Akan tetapi, pedang itu meluncur lepas dari tangan Bun Houw, merupakan sinar panjang berkelebat dan terbang dengan cepat, menyambar tubuh tiga orang pengeroyok, merobohkan mereka itu dengan leher hampir putus akan tetapi masih terus “terbang” seperti seekor naga hidup, membuat gerakan memutar dan kembali ke arah Bun Houw yang begitu pedang dilepaskan lalu menghantam ke arah kanan kiri, depan belakang dengan kedua kepalan tangannya sambil mengeluarkan pekik melengking amat dahsyatnya. Sambaran kedua tangannya yang memukul ini membuat Hwa Hwa Cinjin yang menggerakkan kebutannya dengan pengerahan tenaga lwee-kang sebagai seorarig ahli lwee-keh yang kuat, tak dapat menahan dan kakek ini terhuyung dengan muka pucat, sedangkan empat orang pengeroyok lain roboh pula seperti pohon-pohon ditebang! Itulah jurus Hong-tian-lo-te (Badai Mengamuk di Bumi) yang amat hebat, merupakan jurus mujijat dan ampuh yang sekali dari ilmu pedangnya. Ketika pedang yang telah merobohkan tiga orang pengeroyok itu “terbang” membalik, Bun Houw sudah menangkapnya kembali dan karena para pengeroyoknya gentar dan terpaku menghadapi jurus Hong-tian-lo-te yang mujijat tadi, dia cepat meloncat ke depan, merobohkan dua orang pengeroyok yang sedang mengepung Tio Sun. Hal ini membuat kepungan yang mendesak Tio Sun menjadi bobol dan Tio Sun dapat menguasai keadaannya lagi, akan tetapi segera Bouw Thaisu, Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw dan para pembantu lainnya sudah mengepung Bun Houw lagi dengan serangan-serangan maut dan kepungan ketat. Bun Houw gelisah sekali melihat betapa Kwi Beng dan Kwi Eng didesak dan dipancing sehingga menjauhi tempat dia bertempur. Dan memang demikianlah siasat yang dijalankan oleh para tokoh kaum sesat itu. Kwi Beng terus didesak oleh Ciok Lee Kim dan dipaksa menjauhi tempat itu, demikian pula Kwi Eng terus didesak oleh Bu Sit sampai keluar dari lapangan itu dan tidak kelihatan oleh kawan-kawanannya. Ketika Kwi Eng dengan kemarahan meluap-luap mencoba untuk membuka jalan darah, menerobos dari kepungan, dia berhasil melukai dua orang pengeroyok yang membantu Bu Sit, akan tetapi tiba-tiba pergelangan tangannya terasa sakit, terbelit ujung cambuk baja di tangan Bu Sit. Orang termuda dari Lima Bayangan Dewa ini tertawa mengejek, sekali dia menarik senjatanya, Kwi Eng menjerit dan pedangnya terlepas, karena pergelangan tangan kanannya seperti hendak patah rasanya. Pada saat itu, seorang pengeroyok lain menggunakan gagang tombak memukul ke arah kakinya dari belakang. Serangan ini tak dapat dihindarkan oleh Kwi Eng. Terdengar suara tulang patah dan dara ini mengeluh perlahan lalu terguling, tulang kaki kirinya dekat pergelangan telah patah. “Desss!” Bu Sit menendang orang yang mematahkan tulang kaki Kwi Eng itu. “Keparat, kau lukai dia?” bentaknya. Para pengeroyok itu menjadi ketakutan dan mereka lalu mundur dan membantu teman-teman yang lain, yang masih mengeroyok tiga orang muda lainnya, sedangkan Bu Sit sudah menubruk Kwi Eng, ditotoknya pundak dara itu, kemudian dia memondong tubuh Kwi Eng dan dibawa lari keluar dari dusun menuju ke sebuah hutan kecil di lembah sungai. “Adik Beng...! Di mana Eng-moi...?” Bun Houw yang dikepung ketat itu masih sempat berteriak dan bertanya kepada Kwi Beng yang dilihatnya makin didesak menjauhinya oleh Si Kelabang Terbang Ciok Lee Kim. Akan tetapi Kwi Beng hampir tidak sempat menjawab. “Tidak tahu...!” hanya demikianlah dia mampu menjawab karena Ciok Lee Kim dengan dua helai saputangan suteranya sudah membuat dia terengah-engah kehabisan napas dan pandang matanya berkunang. “Pemuda ganteng, marilah kau ikut aku bersenang-senang...” Ciok Lee Kim berbisik dan saputangannya yang berbau harum itu mengelus dagu Kwi Beng. Sudah sejak tadi Ciok Lee Kim membentak para pembantunya untuk mundur dan kini dia seorang diri mendesak Kwi Beng yang sudah kewalahan. Kwi Beng kini juga kehilangan adiknya dan dia mulai bingung, memandang ke sana ke mari untuk mencari adiknya. Tentu saja sikapnya ini amat tidak menguntungkan karena dengan penuh perhatian saja daya tahannya sudah mulai lemah menghadapi hujan totokan kedua saputangan Ciok Lee Kim, apalagi sekarang dia memecah perhatiannya. “Cus-cus... plakk!” Dua kali ujung saputangan itu menotok jalan darah di leher dan pundak, sedangkan telapak tangan Ciok Lee Kim menampar belakang telinga dan tanpa mengeluh lagi Kwi Beng roboh pingsan dalam pelukan Ciok Lee Kim dan seperti juga Bu Sit, wanita yang tak dapat menahan diri setiap kali melihat pemuda tampan ini lalu memondong tubuh Kwi Beng dengan girang dan membawanya pergi dari dusun itu. Andaikata melihat bahwa fihak mereka terancam bahaya oleh musuh, tentu saja dua orang Bayangan Dewa itu tidak akan meninggalkan gelanggang pertempuran dan betapapun mereka tergila-gila kepada orang-orang muda yang menjadi korban mereka itu, tentu mereka akan membantu teman-teman untuk menundukkan fihak musuh. Akan tetapi mereka tadi sudah melihat jelas bahwa biarpun pemuda she Bun dan pemuda putera pengawal Tio Hok Gwan itu memiliki kepandaian tinggi, namun merekapun sudah terkurung dan terdesak, tinggal menanti robohnya saja maka mereka berdua tidak perlu lagi membantu. Memang Si Kelabang Terbang Ciok Lee Kim dan si kepala monyet Bu Sit tidak keliru dengan dugaan mereka bahwa fihak musuh sudah terdesak hebat. Bun Houw sendiri yang memiliki kepandaian amat tinggi, kini mulai terdesak hebat. Dia makin marah dan menyesal kalau mengingat bahwa yang mengurungnya bukan orang-orang Lima Bayangan Dewa, melainkan tiga orang tokoh tua yang berilmu tinggi. Maka mulailah dia mengambil keputusan untuk menurunkan tangan maut terhadap tiga orang musuhnya ini. Tadinya dia selalu menghindarkan serangan maut karena dia selalu ingat akan pesan ayah ibunya agar jangan sampai menanam bibit permusuhan dengan golongan lain dan hanya menghadapi Lima Bayangan Dewa saja. Sebagai contoh, ayahnya menceritakan betapa ayahnya dehulu terlalu banyak menentang golongan sesat sehingga akibatnya, sampai tuapun dia masih dimusuhi orang! “Tahan...!” bentak Bun Houw sambil memutar pedang yang berobah menjadi gulungan sinar berkilauan sehingga musuh-musuhnya cepat mundur. “Sam-wi tiga orang tua mengapa bersikeras mencampuri urusan kami dari Cin-ling-pai dengan Lima Bayangan Dewa? Saya sama sekali bukan takut, hanya saya tidak ingin menanam bibit permusuhan dengan orang-orang yang bukan dari Lima Bayangan Dewa.” Bouw Thaisu mengangguk-angguk, hatinya kagum bukan main karena baru sekarang selama hidupnya, dia bertemu lawan yang begini muda namun yang ternyata memiliki ilmu kepandaian yang amat hebatnya. “Orang muda, kalau tidak ada alasan kuat yang memaksa aku orang tua mati-matian menghadapimu, tentu aku akan malu sekali mengeroyok seorang pemuda seperti engkau yang sepantasnya menjadi cucuku. Ketahuilah, seorang sahabat baikku yang melebihi saudara kandungku sendiri, yaitu Thian Hwa Cinjin, telah tewas di tangan keluarga ketua Cin-ling-pai! Kami di waktu muda pernah bersumpah bahwa kami akan saling membela, maka mendengar kematiannya, tentu saja aku tidak mau melanggar sumpah dan sebelum aku mati, aku harus menghadapi ketua Cin-ling-pai dan keluarganya.” Bun Houw mengerti bahwa kembali hal ini adalah sebagai akibat dari orang tuanya yang terlalu banyak menentang golongan hitam. “Dan kau boleh mengetahui bahwa pinto (aku) adalah sute dari Toat-beng Hoat-su yang biarpun tewas di tangan mendiang The Hoo, akan tetapi juga menjadi musuh dari ketua Cin-ling-pai dan golongannya. Dan Hek I Slankouw ini merupakan tangan kananku, sehidup semati denganku.” Bun Houw mengerutkan alisnya. “Sam-wi adalah tiga orang tua yang berilmu tinggi, akan tetapi mengapa berpandangan picik dan dikuasai oleh dendam kosong yang tidak ada artinya? Apakah sam-wi tidak tahu bahwa sam-wi diperalat oleh Lima Bayangan Dewa?” “Cukup, kalau kau takut, menyerahlah, orang muda yang sombong!” Hwa Hwa Cinjin yang biarpun sikapnya halus akan tetapi sebenarnya hatinya dipenuhi rasa penasaran dan malu karena menghadapi seorang pemuda saja, biarpun telah mengeroyok bersama Hek I Siankouw dan Bouw Thaisu masih belum dapat menang, sudah menerjang lagi dengan kebutannya. “Wiir... siuuuuttt...!” Ujung kebutan menyambar ke arah mata Bun Houw, akan tetapi begitu dielakkan, seperti ekor ular yang hidup saja ujung kebutan itu sudah membalik dan menotok ke arah ulu hati! “Kalau begitu, maaf kalau aku menjadi sebab kematian sam-wi!” Bun Houw membentak, tiba-tiba tangan kirinya mendorong dan ujung kebutan itu seperti digerakkan tangan yang tidak kelihatan, membalik dan menotok ke arah dada Hwa Hwa Cinjin sendiri! “Aihhh...!” Bukan main kagetnya hati kakek ini dan cepat dia menggerakkan tangan menarik kebutannya yang hendak menyerang dirinya sendiri. “Singgg... tranggg... aihhhh!” Hek I Siankouw menjerit karena pedangnya yang sudah dia gerakkan untuk menyusul serangan Hwa Hwa Cinjin tadi kini kena disentil oleh kuku jari tangan kiri Bun Houw, pedang itu tergetar dan selagi nenek itu terkejut, pedang di tangan kanan Bun Houw sudah menyambar ke arah lehernya! “Plakkk...! Hemm, kau hebat, orang muda!” Bouw Thaisu sempat menangkis pedang yang mengancam nyawa Hek I Siankouw tadi dengan tangkisan ujung lengan bajunya, akan tetapi ketika dia melihat, ternyata ujung lengan bajunya itu terobek! Kini Bun Houw yang sudah marah sekali itu telah mengerahkan Thian-te Sin-ciang yaitu ilmu sin-kang simpanan yang dia latih selama bertahun-tahun di bawah gemblengan Kok Beng Lama. Thian-te Sin-ciang ini merupakan ilmu tangan kosong yang amat mujijat, mengandung tenaga dahsyat dan ketika pemuda ini diuji oleh ayahnya sendiri. tenaga Thian-te Sin-ciang ini bahkan mampu menghadapi Thi-khi-i-beng, yaitu ilmu sin-kang yang tiada taranya, yang dapat menyedot hawa murni lawan! Maka tidaklah terlalu mengherankan ketika pemuda perkasa ini mulai mengerahkan Thian-te Sin-ciang, dia sekaligus mampu membuat tiga orang lawannya yang amat lihai itu terdesak mundur! Akan tetapi, kini mereka bertiga sudah maju lagi dan kehebatan Bun Houw bahkan membuat mereka menjadi makin berhati-hati dan kini mereka melakukan penyerangan secara teratur bahkan saling membantu karena mereka maklum bahwa biarpun mereka bertiga maju bersama, tanpa kerja sama dan saling bantu, amatlah berbahaya bagi mereka! Bun Houw menjadi makin gelisah. Bukan gelisah memikirkan dirinya sendiri, melainkan gelisah karena tidak lagi melihat Kwi Beng dan Kwi Eng, dan Tio Sun agaknya sudah kewalahan dan tentu tak lama lagi akan roboh. Celaka, pikirnya dan kini dia benar-benar menyesal mengapa dia menyeret mereka bertiga ke tempat berbahaya ini. Kalau sampai tugasnya gagal, dia tidak begitu menyesal karena dia sudah melakukannya dengan sepenuh hati dan dengan pengorbanan nyawa, akan tetapi kalau sampai tiga orang muda itu tewas, bukan hanya dia yang akan menyesal, bahkan ayah ibunya juga tentu akan menyalahkan dia! “Ayah...! Ibu...! Maafkan kegagalanku...!” Tiba-tiba dia berteriak dan mengamuk makin hebat, pedangnya merobohkan empat orang anak buah Ngo-sian-chung sekaligus sehingga tiga orang tua lihai itu makin berhati-hati. “Adikku, jangan putus asa. Encimu datang membantumu!” Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat didahului sinar merah yang panjang yang melakukan totokan ke arah pelipis Hek I Siankouw dan sinar kilat seperti perak menyambar ke arah leher Bouw Thaisu! “Keng-cici (kakak Keng)...!” Bun Houw berteriak, girang bukan main karena biarpun bayangan itu belum kelihatan jelas siapa orangnya, dia sudah mengenal sinar merah panjang dari sabuk merah muda dan sinar pedang Gin-hwa-kiam yang putih seperti perak itu. Hek I Siankouw dan Bouw Thaisu terkejut, maklum bahwa serangan itupun tak boleh dipandang ringan, maka mereka cepat mengelak dan membalas. Akan tetapi, Cia Giok Keng, wanita itu, adalah seorang wanita yang luar biasa lincah dan beraninya. Biarpun dibandingkan dengan adiknya, kepandaiannya belumlah dapat menandingi, namun sebagai puteri dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong dan pendekar wanita Sie Biauw Eng, tentu saja kepandaian Cia Giok Keng cukup hebat. Kegembiraan hati Bun Houw membuat gerakannya makin kuat dan tamparan tangan kirinya yang penuh dengan tenaga mujijat, Thian-te Sin-ciang menyerempet pundak Hwa Hwa Cinjin, membuat tosu tua itu terhuyung. “Mampuslah...!” Cia Giok Keng melihat tosu itu terhuyung sudah menerjang dengan sabuk sutera dan pedangnya. “Hayaaaaa...!” Hwa Hwa Cinjin terkejut akan kegalakan wanita ini yang sama sekali tidak memberi kesempatan padanya. Akan tetapi dia sudah memutar kebutannya menangkis dan sekaligus membelit ujung pedang Gin-hwa-kiam. “Plakk!” Ujung sabuk sutera merah menotok lehernya membuat tosu itu merasa separoh tubuhnya seperti lumpuh. “Sratttt...!” Giok Keng yang cerdik secara tiba-tiba menarik pedangnya dan ujung tali kebutan putus, bulu kebutannya berhamburan. Hal ini mengejutkan Hwa Hwa Cinjin dan dia meloncat ke belakang, mengambil sikap mempertahankan diri. “Enci, aku tidak perlu dibantu. Kaubantulah Tio-twako... dia terdesak!” Bun Houw berkata. Giok Keng menoleh. Dia tidak mengenal siapa pemuda jangkung berpakaian kuning yang didesak oleh seorang kakek dibantu oleh banyak anak buahnya itu. Akan tetapi dia menduga bahwa tentu pemuda itu teman adiknya, maka sekali meloncat dia sudah tiba di gelanggang pertempuran di mana Tio Sun terdesak, dan sabuk merahnya yang dikawani pedang peraknya mengamuk, merobohkan tiga orang pengeroyok dalam waktu singkat saja. Kepungan ketat terhadap diri Tio Sun menjadi kacau dan kini pertandingan berjalan makin seru dan mati-matian. Tio Sun berterima kasih dan girang sekali sedangkan Liok-te Sin-mo yang sudah hampir depat mengalahkan Tio Sun menjadi marah sekali, cepat dia meneriaki anak buahnya agar makin ketat mengepung dua orang itu. Bun Houw masih gelisah memikirkan kedua orang saudara Souw. Tio Sun sudah mending keadaannya, karena dia tahu bahwa encinya juga bukan orang sembarangan dan dengan bantuan encinya, tentu Tio Sun dapat membela diri lebih baik. “Bun Houw, kau terlalu sembrono!” sambil membantu Tio Sun, Giok Keng berteriak menegur adiknya. “Pengecut-pengecut macam ini selalu main keroyok dan curang!” Bun Houw tersenyum. Kakaknya itu sejak dahulu galaknya bukan main! Masa, baru saja datang dan masih menghadapi pengeroyokan musuh begitu banyaknya, eh, masih ada kesempatan untuk marah-marah dan menegurnya. “Cici, maaf!” Teriaknya kembali. “Tapi setelah engkau datang, mari kita basmi mereka. Yang kau hadapi itu adalah Liok-te Sin-mo Gu Lo It!” Mendengar bahwa kakek yang bertubuh tinggi besar, berjubah hitam dan kepalanya memakai topi, ujung lengan bajunya dipasangi baja, yang amat lihai ini adalah orang kedua dari Lima Bayangan Dewa, Giok Keng terkejut dan kemarahannya memuncak, wajahnya merah, matanya berapi-api. “Kiranya Si Iblis Kuburan!” bentaknya dan dia menggerakkan kedua senjatanya makin cepat lagi mendesak Liok-te Sin-mo. Kakek ini marah dan mendongkol bukan main. Julukannya adalah Iblis Bumi, akan tetapi wanita yang cantik jelita, gagah dan galak ini memakinya Iblis Kuburan. Belum pernah dia dihina orang seperti ini. “Keparat, siapa engkau?” bentaknya sambil mengelak dari sambaran ujung sabuk merah dan menangkis tusukan pedang Tio Sun dengan ujung lengan baju kiri. “Aku she Cia, mewakili ayah untuk memenggal leher Lima Bayangan Monyet!” bentak Cia Giok Keng sambil menyerang makin hebat. Kini terkejutlah semua tokoh itu. Kiranya wanita ini adalah puteri Cia Keng Hong, dan melihat hubungan antara wanita ini dengan pemuda itu, jelas bahwa pemuda itu kiranya adalah putera ketua Cin-ling-pai! Pantas begitu lihai! “Bagus...! Jadi engkau Cia Giok Keng yang membunuh sahabatku Thian Hwa Cinjin...?” Tiba-tiba Bouw Thaisu meloncat tinggi, meninggalkan Bun Houw dan dari atas dia sudah mengebutkan kedua lengan bajunya ke arah kepala dan dada Giok Keng. “Enci, awass...!” Bun Houw terkejut dan memperingatkan kakaknya. “Plak-plak, cringgg... bresss...!” Serangan Bouw Thaisu tadi memang hebat bukan main. Biarpun Giok Keng sudah mengelak, namun ujung lengan baju dari kakek ini seperti hidup. Tio Sun sudah cepat memapaki dengan pedangnya, akan tetapi juga pedangnya terpukul ke samping seperti pedang Giok Keng dan totokan sabuk merah Giok Keng pada pundak kakek itu seperti mengenai baja tebal saja. Ujung lengan baju kiri Bouw Thaisu sudah mengancam ubun-ubun kepala Giok K6hg dengan pukulan maut. Tiba-tiba saja ujung lengan baju itu terpental kembali dan lengan kakek itu bertemu dengan sebuah lengan lain yang dengan cepat menangkis. Kakek itu terpental dan hampir terbanting roboh. Dia terkejut bukan main dan melihat. Ternyata seorang laki-laki gagah dan tampan, berusia hampir empat puluh tahun, telah berdiri di situ sambil memandangnya dengan sikap tenang. “Kau...? Huh...!” Demikian kata Giok Keng, dan wanita ini tidak memperdulikan lagi laki-laki yang sebenarnya telah menyelamatkan nyawanya itu, dan dengan kemarahan hebat Giok Keng kini menyerang Bouw Thaisu yang masih bengong terlongong dan kaget bukan main. Tangkisan laki-laki yang masih belum tua ini telah membuat seluruh tubuhnya seperti digerayangi tenaga mujijat yang membuat napasnya sesak. Maka ketika Giok Keng menyerang, dia cepat meloncat jauh ke belakang. “Yap-suheng...!” Bun Houw berteriak girang. Biarpun sudah lama sekali dia tidak bertemu dengan laki-laki gagah perkasa itu, dia masih mengenalnya. “Sute, engkau sekarang hebat sekali!” Yap Kun Liong, pria itu, memujinya sambil tersenyum, kemudian sekali tubuhnya berkelebat, Kun Liong sudah meloncat dan menyerang Bouw Thaisu yang dia lihat tadi gerakannya paling lihai. Bouw Thaisu terpaksa menyambut serangannya dan keduanya segera bertanding mati-matian tidak mempergunakan senjata karene Bouw Thaisu menggunakan sepasang lengan baju sedangkan Kun Liong hanya menggunakan kedua lengannya saja. Terdengar suara dak-duk-dak-duk ketika lengan mereka saling bertemu bagaikan dua pasang lengan baja yang amat kuat dan berkali-kali Bouw Thaisu tergetar tubuhnya dan terbuyung ke belakang! Melihat datangnya wanita dan pria yang gagah perkasa itu, Liok-te Sin-mo Gu Lo It terkejut dan takut setengah mati. Dia mengerti bahwa Bun Houw dan Giok Keng adalah putera-puteri ketua Cin-ling-pai yang berilmu tinggi, dan setelah mendengar teguran Bun Houw tadi, dia dapat menduga siapa adanya laki-laki perkasa yang kini mendesak Bouw Thaisu. Dia sudah mendengar akan nama Yap Kun Liong, maka gentarlah hatinya dan diam-diam dia memaki sumoi dan sutenya yang tidak nampak batang hidungnya lagi. “Maju semua...! Kepung dan keroyok...!” teriaknya dan anak buahnya yang sesungguhnya juga merasa gentar, apalagi terhadap sikap Giok Keng yang demikian ganas mainkan pedang dan sabuk merahnya, terpaksa maju mengurung lagi. Jumlah mereka masih ada dua puluh orang lebih, maka pengepungan mereka cukup memberi kesempatan kepada Liok-te Sin-mo untuk diam-diam melarikan diri! Melihat ini Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw mendongkol sekali. Tiga orang dari Lima Bayangan Dewa, fihak yang mereka bantu, diam-diam telah melarikan diri semua. Maka Hwa Hwa Cinjin memberi isyarat kepada tokouw berpakaian hitam itu, lalu merekapun meloncat ke belakang dan melarikan diri. “Hemm, aku ingin bertemu dan bertanding sendiri kelak berhadapan dengan ketua Cin-ling-pai!” Bouw Thaisu berkata dan diapun meninggalkan Kun Liong yang sibuk dikeroyok banyak anak buah Ngo-sian-chung. “Cici, suheng, harap tahan mereka, aku hendak mencari dan menolong kedua saudara Souw!” Bun Houw berteriak dan tubuhnya mencelat dan lenyap dari tempat itu. Melihat ini, Giok Keng girang dan kagum sekali, sedangkan Kun Liong menarik napas panjang. Murid ayah mertuanya itu benar-benar amat lihai sekarang. Kini dengan enak saja Tio Sun, Giok Keng, dan Kun Liong menghadapi pengeroyokan dua puluh lebih orang-orang Ngo-sian-chung dan Lembah Bunga Merah. Diam-diam Kun Liong memperhatikan dan dia merasa lega bahwa biarpun masih kelihatan amat galak dan ganas, akan tetapi Cia Giok Keng bukanlah gadis belasan tahun yang lalu, yang seolah-olah merupakan harimau betina haus darah. Dahulu, menghadapi musuh-musuhnya, apalagi anak buah Lima Bayangan Dewa yang merupakan musuh besar, tentu gadis itu akan memperlihatkan sikap kejam tak mengenal ampun lagi, tentu ujung sabuk merah itu akan mencari sasaran jalan darah kematian, sedangkan pedang Gin-hwa-kiam tentu akan berlepoton darah sampai ke gagangnya. Akan tetapi sekarang, biarpun masih ganas, Giok Keng hanya merobohkan para pengeroyok tanpa menimbulkan kematian. Demikian pula Tio Sun membuat Kun Liong diam-diam kagum karena biarpun masih muda, Tio Sun juga jelas tidak menghendaki kematian terhadap para pengeroyoknya, hanya menjatuhkan mereka dengan mematahkan tulang dan mendatangkan luka yang ringan saja. Sementara itu, Bun Houw sudah mencari di seluruh perkampungan Ngo-sian-chung, namun sia-sia belaka. Akhirnya terpaksa dia menangkap seorang wanita anggauta keluarga anak buah Ngo-sian-chung dan menghardik, “Hayo cepat katakan di mana adanya Toat-beng-kauw But Sit dan Hui-giakang Ciok Lee Kim!” Sengaja menempelkan pedangnya di leher wanita yang tentu saja menjadi ketakutan sekali. “Hamba... hamba tidak tahu... tadi... mungkin... ke hutan di sebelah sana...” Bun Houw melepaskannya dan cepat dia berlari seperti terbang menuju ke dusun kecil di sebelah timur dusun itu. Ketika dia tiba di tepi sungai, di atas lapangan rumput yang tebal menghijau dan sunyi sekali, lapangan yang dihimpit oleh sungai dan hutan kecil, tiba-tiba dia berdiri seperti patung dan matanya terbelalak, mukanya pucat, kemudiah perlahan-lahan menjadi merah sekali. Dia melihat Toat-beng-kaw Bu Sit sedang menanggalkan bajunya sambil tertawa-tawa, sedangkan di atas rumput rebah Kwi Eng yang sudah tidak berpakaian! Pakaian gadis itu tertumpuk di sebelah dan dia melihat dara itu terbelalak memandang si muka monyet dengan air mata bercucuran, akan tetapi agaknya dalam keadaan tertotok karena tidak mampu bergerak sama sekali! Saking marahnya, Bun Houw mengayun pedang pemberian In Hong ke depan. Terdengar suara berdesing nyaring dan Bu Sit terkejut sekali. Cepat dia menoleh dan melihat sinar terang menyambar, dia mengelak, akan tetapi karena dia sedang membuka baju atasnya, pedang itu menerobos bajunya dan terus mcluncur ke depan, menancap ke atas tanah berumput sampai ke gagangnya. Tentu saja Bu Sit menjadi pucat sekali wajahnya ketika mengenal siapa yang datang. “Hyaaaaaatttt...!” Dalam kemarahan yang sukar dilukiskan hebatnya, Bun Houw sudah meloncat dan seperti seekor garuda terbang saja dia menerjang Bu Sit dengan kedua tangan di depan, jari-jarinya terbuka seperti cakar garuda. “Heiittt...!” Bu Sit yang sudah melempar jubahnya itu menyambar senjatanya, yaitu joan-pian atau pecut baja, lalu dia menggerakkan pecut itu. Terdengar suara meledak, pecut itu dengan tepat menghantam tubuh Bun Houw yang melayang datang, akan tetapi Bun Houw menggerakkan tangan menangkap ujung pecut baja! Bu Sit hampir tidak dapat percaya. Pemuda itu menangkap ujung pecut baja! Padahal perbuatan ini lebih berbahaya daripada menangkap pedang telanjang. Dia mengerahkan tenaga, mendengarkan pecutnya untuk membikin telapak tangan Bun Houw pecah atau mungkin tangan itu akan putus. Namun sia-sia belaka dan tahu-tahu pecutnya sendiri sudah melingkar di lehernya! “Augghhkkkk...!” Bu Sit mendelik karena lehernya terbelit pecutnya sendiri, menghentikan pernapasan. Dia melihat lawannya berdiri di depannya, maka dia lalu menggerakkan kedua tangannya, dikepal dan menghantam ke arah perut dan dada Bun Houw. “Bukkk! Dessss...!” Sedikitpun tubuh pemuda itu tidak bergoyang, akan tetapi pergelangan tangan kanan Bu Sit yang memukul dada tadi menjadi patah tulangnya! “Auukhhh... auukhhhhh...!” Toat-beng-kauw Bu Sit mendelik, lidahnya terjulur keluar. Mengingat akan penyiksaan Toat-beng-kauw kepadanya, masih belum begitu memarahkan hati Bun Houw, akan tetapi melihat si muka monyet ini menelanjangi Kwi Eng dan hampir saja memperkosanya, membuat dia menjadi mata gelap dan marah sekali. Akan tetapi, terngiang di telinganya segala nasihat orang tuanya, maka dia terengah-engah menahan kemarahan dan melepaskan libatan pecut itu yang dirampasnya dari tangan Bu Sit. Begitu dilepaskan libatan lehernya, Bu Sit memegangi leher dengan kedua tangan, megap-megap seperti seekor ikan dilempar ke darat, kemudian tanpa malu-malu lagi dia menjatuhkan dirinya berlutut! “Ampun... ampunkan aku...” Bun Houw meludah penuh kejijikan. Kemudian, teringat akan keadaan Kwi Eng, dia menoleh dan dia seperti silau melihat keadaan tubuh dara itu yang rebah terlentang dalam keadaan polos sama sekali. Cepat dia melempar pandang matanya ke bawah, menghindari penglihatan itu, lalu mengambil pakaian Kwi Eng, tanpa memandangnya lalu melemparkan pakaian itu menutupi tubuh Kwi Eng, kemudian dengan muka masih berpaling dan pandang mata terbuang ke samping dia membebaskan totokan tubuh Kwi Eng. Terdengar sedu-sedan dari leher dara itu dan Kwi Eng mengenakan pakaiannya cepat-cepat, kemudian dia terpincang-pincang berloncatan dengan sebelah kaki ke arah pedang Bun Houw yang menancap di tanah, mencabut pedang itu dan terpincang-pincang menghampiri Bu Sit. Bu Sit bukanlah seorang yang bodoh. Sama sekali tidak. Dia adalah seorang datuk kaum sesat yang amat cerdik. Dia masih berlutut setengah menangis minta-minta ampun, seolah-olah tidak melihat dara yang hampir diperkosanya tadi sekarang terpincang-pincang menghampirinya dengan pedang di tangan! Akan tetapi, begitu Kwi Eng telah tiba dekat dan mengayun pedang ke arah lehernya, cepat sekali Bu Sit mengelak dengan menggulingkan tubuh dan ketika pedang menyambar, dia meloncat bangun dan sudah menangkap kedua tangan Kwi Eng, memutarnya ke belakang tubuh dan kini jari tangannya mengancam ke ubun-ubun kepala dara itu. “Ha-ha-ha, majulah dan gadis ini akan mampus dengan kepala berlubang!” Bu Sit mengancam Bun Houw. Bun Houw memandang pucat, tak mengira bahwa orang termuda dari Lima Bayangan Dewa itu akan melakukan hal securang itu. “Serang dia, Houw-ko! Jangan perdulikan aku! Serang dia dan bunuh si jahanem ini keparat!” Kwi Eng berteriak-teriak sambil memandang pemuda itu. “Cobalah, majulah dan jari-jari tanganku akan menembus ubun-ubunnya, otaknya akan bereeceran keluar!” Bu Sit menghardik. Bun Houw masih memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak, tidak tahu harus berbuat bagaimana. Tentu saja dia tidak mau memenuhi permintaan Kwi Eng, menyerang dan membunuh Bu Sit karena dia tahu bahwa sebelum dia berhasil membunuh penjahat keji itu, tentu Kwi Eng akan tewas lebih dulu. “Jangan maju, selangkah saja aku akan bunuh dia!” Bu Sit berkata lagi dan kini dia menyeret Kwi Eng mundur-mundur menjauhi Bun Houw yang diam tak bergerak. Kwi Eng meronta, akan tetapi sia-sia saja. “Houw-koko, kauserang dia, kaubunuh dia! Aku lebih suka mati daripada diculik dan dibawanya!” Akan tetapi Bun Houw tetap tidak bergerak, seluruh urat syaraf di tubuhnya menegang dan siap untuk menyerang apabila dia diberi kesempatan. Akan tetapi dengan jari-jari tangan Bu Sit menempel di ubun-ubun Kwi Eng, bagaimana mungkin dia berani bergerak? Betapapun cepat gerakannya, tak mungkin dapat menang cepat dengan jari tangan yang sudah menempel di ubun-ubun itu. “Ha-ha-ha, sampai bagaimanapun engkau tidak akan mampu menandingi Lima Bayangan Dewa, ha-ha-ha...” Pada saat itu, tampak sinar hijau menyambar seperti sinar halilintar dari belakang, mengenai punggung Bu Sit yang masih telanjang karena tadi si muka monyet ini telah menanggalkan bajunya. “... ha-ha-ha... augghhhh...!” Suara ketawa dari Bu Sit disambung pekik melengking, matanya yang kecil bulat terbelalak, mulutnya menyeringai kesakitan, mukanya pucat dan kini dia mengangkat tangan kanannya ke atas untuk menghantam kepala Kwi Eng! Akan tetapi, kesempatan yang hanya beberapa detik ini cukuplah bagi Bun Houw. Kalau tadi jari-jari tangan Bu Sit menempel di ubun-ubun dara itu, dia tidak berani bergerak. Sekarang, setelah iblis itu menerima serangan sinar hijau dari belakang yang membuatnya terkejut dan mengangkat tangan baru akan memukul kepala Kwi Eng, cukuplah kesempatan itu bagi Bun Houw. Bagaikan terbang dia meloncat ke depan, tangannya bergerak dan hawa pukulan dahsyat menyambar, membuat tangan Bu Sit yang memukul itu tertahan di udara dan di lain saat Bun Houw sudah menyambar pinggang Kwi Eng, dipondongnya dan dengan telapak tangan itu keluar serangkum hawa pukulan yang amat panas mengarah dada lawan. Pada saat itu, Bu Sit berdiri limbung, dengan muka pucat sekali. Dalam keadaan sehat saja tak mungkin dia dapat menahan pukulan Bun Houw ini, apalagi dalam keadaan seperti ini, yaitu setelah dia mengalami luka yang amat hebat di punggungnya. “Dessss...!” Tubuhnya terjengkang dan terbanting ke atas tanah, roboh dan tak dapat bergerak lagi karena dia telah tewas seketika, isi dada dan perutnya hancur oleh getaran hawa pukulan dahsyat tadi. Bun Houw memandang ke sekeliling, terutama ke arah belakang Bu Sit dari mana tadi datang sinar hijau, akan tetapi dia tidak melihat sesuatu. Dengan lengan kiri masih merangkul Kwi Eng, dia menggunakan kakinya membalikkan tubuh Bu Sit dan tampaklah olehnya betapa punggung laki-laki bermuka monyet itu penuh dengan lubang-lubang kecil dan luka-luka kecil itu melepuh dan membengkak berwarna kehijauan. Dia tahu bahwa Bu Sit terkena serangan senjata rahasia beracun, agaknya seperti senjata pasir beracun, akan tetapi dia tidak tahu bahwa Toat-beng-kauw Bu Sit telah menjadi korban serangan Siang-tok-swa (Pasir Racun Harum), yaitu senjata rahasia khas dari Giok?hong?pang! Tiba-tiba suara isak tertahan membuat dia memandang Kwi Eng yang masih dia peluk pinggangnya. Dia tetkejut melihat dara itu menangis dan baru teringat bahwa dia masih merangkul pinggang yang ramping itu, maka dilepaskannyalah rangkulannya. Kwi Eng terhuyung dan hampir jatuh, maka cepat Bun Houw memegang lengannya, menahannya. “Ah, kau... kau terluka, adik Kwi Eng?” Bun Houw bertanya penuh kekhawatiran. Kwi Eng menggigit bibirnya. “Hanya... hanya kakiku... agaknya patah tulang pergelangan kakiku... terpukul gagang tombak tadi...” Dia lalu duduk di atas tanah. Bun Houw cepat berlutut memeriksa. Ternyata benar. Tulang pergelangan kaki kiri dara itu patah! “Ah, benar saja kakimu yang kiri ini... tulangnya patah. Harus cepat diobati, Eng-moi. Kautahankan rasa nyeri sedikit...” Dara itu mengangguk dan Bun Houw lalu menyingkap pipa celana kaki kiri itu. Berdebar juga hatinya ketika jari-jari tangan meraba kulit kaki yang halus sekali, halus lunak dan hangat itu, dengan kulit tipis putih, begitu tipis dan halusnya sehingga seolah-olah dia melihat urat-urat darah di bawahnya. Namun dia mengusir semua ingatan tentang yang indah-indah itu dan cepat dia menotok jalan darah di dekat lutut, kemudian dia meraba pergelangan kaki yang tulangnya patah, dengan cekatan dan tanpa ragu-ragu lagi dia menarik dan membenarkan letak tulang yang patah itu, kemudian mengambil bungkusan obat penyambung tulang, setelah mencampur obat dengan air, lalu menaruh o:bat di sekeliling pergelangan kaki itu, dibalutnya pergelangan kaki itu dengan kain yang dia ambil dari robekan bajunya dan sebagian sabuknya, dibalut dengan kuat-kuat dan kanan kiri kaki diganjal dengan kayu sehingga kedudukan tulang yong patah itu tidak akan berobah lagi. Semua ini dikerjakan oleh Bun Houw tanpa berkata-kata dan dengan cepat sekali. Dia kagum karena sedikitpun tidak terdengar keluhan dari dara itu dan setelah selesai membalut, dia mengangkat muka memandang. Dara itu ternyata sedang menatapnya dengan bulu-bulu mata terhias butiran air mata! “Sakit...?” Kini Bun Houw bertanya. Kwi Eng menggeleng kepala. “Sedikit...” bisiknya, akan tetapi dia lalu menahan tangis, bibirnya yang merah itu tergetar dan akhirnya dia menangis sesenggukan dan menutupi mukanya dengan kedua tangan. Butiran-butiran air mata mengalir turun melalui celah-celah jari tangannya. Bun Houw menjadi bingung dan dia mengusap pundak dara itu untuk menghibur. “Bahaya telah lewat, musuh telah tewas. Mengapa kau berduka, Eng-moi? Kau kan tidak... belum... tertimpa bahaya...” Tangis itu makin mengguguk. Bun Houw memegang kedua pundak dara itu, mengguncangnya halus dan berkata, “Eng-moi, kenapakah? Katakan kepadaku, mengapa kau begini berduka?” Perlahan-lahan Kwi Eng mengangkat mukanya. Dari tirai air mata dia memandang. Dua pasang mata bertemu, bertaut ketat den dua pasang sinar saling melekat, saling menyelami dan perlahan-lahan Kwi Eng berkata dengan suara menggetar, “Houw-koko, kau... kau telah... menyelamatkan aku... dari malapetaka yang lebih hebat daripada maut... Houw-koko, bagaimana aku dapat membalas budimu...?” “Hushhhh... perlukah hal itu dibicarakan lagi, moi-moi? Engkau yang membantu aku menghadapi musuh-musuhku, sampai-sampai engkau hampir mengorbankan nyawa, dan sekarang kau bicara tentang budi? Sudahlah, mari kita kembali ke tempat kawan-kawan. Aku yakin semua penjahat telah terbasmi. Tahukah engkau siapa yang datang membantu kita? Enciku Cia Giok Keng den suhengku Yap Kun Liong!” Kwi Eng mengangguk den berusaha untuk berdiri dengan satu kaki. “Ah, jangan pergunakan kakimu yang patah tulangnya. Mari kupondong.” Bun Houw lalu menggunakan kedua lengannya, memondong tubuh dara itu. Kwi Eng menyandarkan kepalanya di dada Bun Houw dan sejenak pemuda ini memejamkan matanya ketika hidungnya mencium bau harum dari rambut dan muka yang begitu dekat dengan mukanya. “Houw?koko...!” Bun Houw melangkah perlahan den menjawab, “Hemmm...?” Jantungnya berdebar karena tubuh yang hangat itu terasa begitu ketat di kedua lengan dan dadanya, maka dalam keadaan seperti itu sukar dia mengeluarkan kata-kata. “Di dunia ini... hanya ada dua orang pria yang telah melihatku... yang seorang telah mampus... dan orang kedua adalah engkau... dan aku bersumpah, tidak akan ada laki-laki ketiga yang akan melihatku...” Bun Houw terkejut, juga bingung. “Apa... apa yang kaumaksudkan, moi-moi?” Tiba-tiba Kwi Eng sesenggukan lagi dan kedua lengannya seperti dua ekor ular merayap dan merangkul leher pemuda itu. Tentu saja Bun Houw menjadi berdebar-debar, seluruh tubuhnya tergetar oleh gelora darah mudanya. Otomatis pelukan kedua tangannya makin dipererat seolah-olah dia hendak mendekap tubuh dara yang cantik jelita itu makin ketat. Rasa rindu akan seorang wanita yang selama ini ditahannya, rindunya kepada Yalima, wanita pertama yang dicintanya, kini seolah-olah memperoleh pelepasan pada diri Kwi Eng! “Koko... engkaulah satu-satunya pria yang melihat aku... seperti tadi... dan hanya engkaulah yang boleh melihatku seperti itu... untuk selama hidupku.” “Hemmm... maksudmu?” “Engkau telah menyelamatkan diriku dari bencana yang amat hebat, engkau telah melihat aku dalam keadaan seperti tadi... semua itu hanya dapat kutebus dengan penyerahan jiwa ragaku, koko... jika kau sudi menerimanya...” Hampir saja pondongan itu terlepas saking kagetnya hati Bun Houw. Kiranya demikian “mendalam” perasaan hati dara ini. Kiranya Kwi Eng hendak menyatakan bahwa dara yang cantik ini jatuh cinta kepadanya! “Maksudmu... kau... kau cinta padaku?” Dia menjelaskan sambil memandang. Kwi Eng juga mengangkat muka memandang. Dua muka saling berdekatan. Otomatis langkah kaki Bun Houw terhenti dan tiba-tiba kedua lengan Kwi Eng yang merangkul leher itu menarik leher Bur Houw makin kuat sehingga muka pemuda itu makin menunduk dan tak terhindarkan lagi, sukar dikatakan siapa yang lebih dulu bergerak, muka yang tampan dan cantik itu saling bertemu, dua mulut dengan bibir yang penuh gairah hidup saling berciuman, terdorong oleh getaran perasaan hati mereka. Mereka lupa diri, lupa keadaan, seperti dalam mabok sehingga seolah-olah ciuman itu takkan pernah berakhir, seolah-olah dalam ciuman itu mereka hendak saling mempersatukan diri, selamanya tidak akan terpisah lagi. Namun kebutuhan akan napas dan gelora perasaan yang melonjak membuat mereka terpaksa melepaskan bibir dengan napas terengah-engah, sejenak mereka saling pandang, pipi mereka menjadi merah sekali, pandang mata mereka menjadi sungkan dan malu, Kwi Eng menunduk dan Bun Houw menengadah, degup jantung mereka dapat saling mereka rasakan karena dada mereka berdekapan. “Eng-moi...” “Koko...” “Jangan... tak benar ini...” “Mengapa tak benar...? Aku rela...” “Tidak boleh... kita baru saja bertemu dan saling berkenalan...” “Bagiku engkau sudah selamanya kukenal...” “Sudahlah, harap kau jangan bicara tentang urusan kita ini dulu, moi-moi. Kau tahu bahwa tugasku masih jauh daripada selesai, aku... aku tidak mungkin bisa membagi perhatian terhadap soal lain. Kita tunda saja dulu urusan ini, maukah kauberjanji?” Kembali dua pasang mata saling bertemu dan Kwi Eng tersenyum. Senyum penuh kebahagiaan karena ciuman tadi baginya sudah lebih dari cukup sebagai tanda bahwa pemuda yang telah menjatuhkan cinta kasihnya ini, ternyata juga mencintanya. Kalau tidak demikian, tidak mungkin terjadi ciuman seperti tadi! Terasa benar olehnya menembus sampai ke dasar hatinya. Maka dia mengangguk sambil tersenyum. Bukan main manisnya dan penuh daya pikat sehingga terpaksa Bun Houw harus mengangkat kepala memandang ke atas. Tidak kuat dia untuk memandang wajah yang demikian manisnya, demikian dekatnya, bibir yang segar merah basah, sedikit terbuka, mulut yang seolah-olah menantang, dan yang diciptakan untuk dicium penuh kasih sayang, memandang kesemuanya ini tanpa menciuminya! Dan Kwi Eng kembali tersenyum. Senyum kemenangan seorang wanita yang mempunyai naluri kewanitaannya, yang tahu benar saat seorang pria bertekuk lutut tanpa syarat! Rangkulannya makin ketat dan sambil tersenyum-senyum, mata yang masih basah air mata itupun tersenyum malu-malu, dara ini menyembunyikan mukanya di dada kekasih pujaan hatinya! Pada saat itu, ketika Bun Houw melanjutkan langkahnya dan matanya memandang ke depan, dia melihat berkelebatnya bayangan orang di antara pohon-pohon. Dia cepat mengejar dengan pandang matanya dan dilihatnya bayangan itu berdiri tegak di samping sebatang pohon, bayangan seorang wanita dengan sinar mata berapi-api yang ditujukan kepada tubuh Kwi Eng yang dipondongnya. Tentu saja dia segera mengenal gadis yang berdiri dengan sinar mata berapi-api itu. “Hong-moi...!” Tak terasa lagi dia berseru memanggil. Akan tetapi bayangan itu berkelebat, dan lenyap di balik pohon-pohon di dalam hutan di tepi sungai itu. “Eh, kau memanggil siapa, Houw-koko?” Kwi Eng bertanya dan memandang ke kanan kiri. Bun Houw mengerutken alisnya. “Pendekar wanita yang pernah menolongku, Eng-moi. Seperti kulihat dia tadi berkelebat di dalam hutan. Akan tetapi mungkin juga aku salah lihat...” Namun hatinya merasa yakin bahwa gadis penolongnya itulah yang dilihatnya tadi. Dengan sinar mata tajam penuh kemarahan dan kebencian ditujukan kepada Kwi Eng. Bun Houw mengerutkan alisnya dan makin kuat dugaannya. Tidak salah lagi. Tentu gadis itulah yang pernah menyerang Kwi Eng, dan bahkan yang telah membunuh gadis she Ma itu. Jantungnya berdebar penuh ketegangan. Andaikata benar demikian, alasannya hanya satu, yaitu cemburu! Gadis yang bernama Hong itu agaknya selalu membenci setiap orang wanita yang berdekatan dengan dia! Cemburu, berarti gadis itu cinta kepadanya! Bun Houw bergidik dan kalau tadinya dia merasa amat tertarik kepada In Hong, kini dia mulai merasa jijik dan tidak suka. Dicinta oleh seorang wanita yang demikian besar cemburunya, yang demikian kejamnya, sungguh mengerikan. Biarpun cantik seperti dewi, akan tetapi selalu melakukan kekejaman seperti setan, Dewi Maut! Biarpun gadis itu amat cantik, amat tinggi ilmunya, dan sudah pernah menolongnya, menyelamatkannya dari bahaya maut, akan tetapi kalau sekejam itu perangainya, dia kelak akan menegurnya kalau dia sempat bertemu lagi dengan Si Dewi Maut itu. Akan tetapi... kematian Bu Sit tadi! Siapakah yang melepas pasir beracun dan merobohkan Bu Sit, dengan demikian menyelamatkan Kwi Eng? Apakah bukan Si Dewi Maut itu pula? Memang tidak keliru dugaan Bun Houw. Bayangan yang berkelebat di antara pohon-pohon dan yang tadi sejenak memandang tajam ke arah Bun Houw yang memondong Kwi Eng, adalah In Hong. Baru saja gadis perkasa ini juga menyelamatkan Kwi Beng dari ancaman maut di tangan Hui-giakang Ciok Lee Kim. Seperti kita ketahui, Kwi Beng, seperti juga Kwi Eng yang dipancing menjauhi gelanggang pertempuran oleb Bu Sit, juga dipancing oleh Hui-giakang Ciok Lee Kim si nenek cabul yang tergila-gila oleh ketampanan pemuda itu. Kemudian pemuda itupun roboh pingsan dan dipondong serta dilarikan oleh Ciok Lee Kim, dibawa ke dalam hutan di belakang dusun Ngo-sian-chung. Ketika tiba di tempat sunyi, Ciok Lee Kim menyandarken pemuda itu dan dia merayu Kwi Beng. Makin dipandang, makin tergila-glia Si Kelabang Terbang itu kepada pemuda ini. Kwi Beng yang sudah siuman akan tetapi dalam keadaan lemas tertotok, memandang marah dan memaki, “Perempuan iblis, setelah aku kalah, kaubunuhlah aku!” bentaknya dan berusaha menggerakkan kaki dan tangannya, akan tetapi anggauta badannya itu seperti lumpuh. Ciok Lee Kim membelai pipi dan leher pemuda itu. “Aihh, sayang kalau orang seperti engkau ini dibunuh. Orang muda yang ganteng, aku suka sekali kepadamu. Kaulayanilah aku dan bersumpah akan menjamin keselamatanmu dan selamanya engkau akan menjadi kekasihku, sahabatku, dan muridku.” “Cih, perempuan tak tahu malu!” Kwi Beng memaki. “Kau sudah gila!” “Hi-hik, memang aku sudah gila, tergila-gila kepadamu, sayang. Apa perlunya mati sia-sia dalam usia begini muda? Biarpun aku lebih tua darimu, aku adalah seorang ahli dalam permainan cinta, dan kau akan menjadi muridku, kau akan menikmati hidup dan apapun permintaanmu akan kupenuhi, sayang.” Ciok Lee Kim berlutut, merangkul dan menciumi. Dia benar-benar sudah tergila-gila melihat mata kebiruan dan rambut agak pirang itu. Sepuluh jari tangannya yang sudah mulai keriputan itu kini mulai meraba-raba. “Bedebah! Tua bangka gila! Pergilah, atau bunuhlah aku!” Kwi Beng merasa jijik dan muak sekali, akan tetapi tentu saja dia tidak dapat mencegah jari-jari tangan wanita itu menggerayangi tubuhnya, hal yang membuat pemuda itu merasa ngeri dan jijik sekali. Sudah sejak tadi ada sepasang mata jeli dan tajam yang menonton peristiwa ini. Bahkan sejak Ciok Lee Kim memasuki hutan memondong tubuh Kwi Beng yang pingsan, pemilik mata jeli itu sudah membayanginya. In Hong yang melihat peristiwa ini, diam-diam merasa kagum kepada Kwi Beng. Untuk ke sekian kalinya dia tercengang, dan setelah dia kagum melihat murid-murid Bu-tong-pai yang gagah perkasa, kemudian melihat Bun Houw yang lebih baik mati daripada tunduk kepada rayuan wanita, kini dia melihat Kwi Beng yang sama sekali tidak mau tunduk terhadap rayuan Ciok Lee Kim. Rasa kagum dan simpatinya sudah timbul dan tentu saja sekaligus menimbulkan perasaah muak dan marah kepada Si Kelabang Terbang itu. Memang sadah lama dia merasa benci kepada Hui-giakang Ciok Lee Kim yang dianggapnya wanita tak tahu malu, jahat dan keji. Kini, melihat betapa Ciok Lee Kim secara tak tahu malu menggerayangi tubuh pemuda yang terang-terangan menolak rayuannya itu, dan betapa jari-jari tangan nenek itu mulai membuka kancing baju Kwi Beng, In Hong tidak dapat menahan rasa jijiknya. “Iblis betina cabul tak tahu malu!” bentaknya sambil meloncat dekat Ciok Lee Kim terkejut bukan main, segera diapun meloncat berdiri sambil membalikkan tubuhnya. Di antara Lima Bayangan Dewa yang pernah bertemu dan berkenalan dengan dara perkasa ini hanyalah Toat-beng-kauw Bu Sit. Ciok Lee Kim belum pernah melihatnya, maka kini melihat bahwa yang muncul hanya seorang gadis muda belia yang cantik jelita, dia memandang rendah dan menjadi marah bukan main, kemarahan yang didorong rasa jengah dan malu karena perbuatannya merayu pemuda itu ketahuan orang lain. Dengan gerakan galak dan angkuh dia mencabut keluar sepasang senjatanya, yaitu sepasang saputangan sutera merah dan begitu kedua tangannya bergerak, terdengar suara bersiutan dan saputangan itu diputarnya sedemikian cepat sehingga lenyap bentuknya dan berubah menjadi dua gulungan sinar merah. Dengan demonstrasi tenaga sin-kang ini agaknya Ciok Lee Kini hendak menakut-nakuti gadis muda itu. Sungguh menggelikan! Dia tidak tahu siapa adanya wanita muda ini, dan tentu saja bagi Yap In Hong, murid tunggal ketua Giok-hong-pang yang telah mewarisi ilmu-ilmu simpanan dari bokor pusaka Panglima The Hoo, permainan nenek itu seperti permainan kanak-kanak saja. “Bocah yang bosan hidup, siapakah kau mengantar nyawa sia-sia dengan mencampuri urusanku?” bentak Ciok Lee Kim, karena biarpun dia marah sekali, timbul pula keinginan tahunya siapa adanya gadis muda yang begini berani mengganggunya. Padahal banyak orang kang-ouw sudah menggigil baru mendengar namanya saja. “Hui-giakang Ciok Lee Kim, setelah engkau lari terbirit-birit dari Lembah Bunga Merah, kiranya engkau bersembunyi di Ngo-sian-chung, hanya untuk melanjutkan perbuatannya yang tidak tahu malu. Tak perlu kau tahu aku siapa, hanya yang jelas, akulah yang akan mengantar nyawa kelabangmu terbang ke neraka.” Tentu saja Ciok Lee Kim menjadi marah bukan main mendengar ucapan yang memandang rendah den menghina ini. Sepasang matanya melotot, mulutnya mengeluarkan teriakan yang merupakan lengking tinggi nyaring den tahu-tahu tubuhnya sudah mencelat ke depan, seperti seekor burung terbang saja dan bayangan tubuhnya yang berkelebat itu didahului oleh sinar merah dari kanan kiri, yaitu gerakan saputangannya yang di dalam tangannya dapat berobah lemas atau kaku menurut penyaluran tenaganya. Kini ujung saputangan merah yang kiri menotok ke arah ubun-ubun kepala In Hong sedangkan yang kanan menotok ke arah buah dada kiri. Serangan maut yang amat berbahaya dan Kwi Beng yang menyaksikan ini, menjadi terkejut bukan main dan mengkhawatirkan nasib dara yang agaknya hendak menolongnya itu. Gerakan Ciok Lee Kim memang hebat. Wanita ini mendapat julukan Si Kelabang Terbang, mungkin dijuluki kelabang karena jahatnya sehingga pantas menjadi kelabang yang beracun, dan gerakannya memang amat cepat, gin-kangnya amat tinggi seolah-olah dia pandai terbang. Maka serangannya yang ditujukan kepada In Hong dalam keadaan merah itupun hebat bukan main, cepat laksana kilat menyambar. Akan tetapi, In Hong yang memiliki tingkat kepandaian jauh lebih tinggi daripada Ciok Lee Kim, hanya berdiri dengan tenang den menanti datangnya serangan lawan itu seperti seorang dewasa memandang lagak seorang kanak-kanak saja layaknya. Begitu serangan dengan dua helai saputangan itu tiba, In Hong menggerakkan kedua tangannya, yang satu menyampok saputangan yang menotok ubun-ubun kepala, sedangkan tangan kedua menangkis saputangan yang menotok dada terus dilanjutkan dengan dorongan tangannya dengan pengerahan tehaga sakti. “Desss... brukkkk!” Tubuh Ciok Lee Kim terbanting ke atas tanah dan wajah nenek itu menjadi luar biasa sekali, kaget, heran, tak percaya, dan juga kesakitan karena pantatnya yang tepos (tipis) itu terbanting keras ke atas tanah sehingga seperti remuk rasa ujung bawah tulang pinggulnya! Akan tetapi semua perasaan ini dilebur menjadi satu, menjadi perasaan kemarahan yang meluap-luap. Dia melupakan rasa nyeri di pantatnya dan sudah meloncat lagi dengan amat cepat, terus dia menerjang kalang kabut dengan mengerahkan seluruh tenaga dan kecepatannya, mengeluarkan semua jurus-jurus simpanannya yang paling ampuh. Amat indah nampaknya karena bayangan nenek ini lenyap, yang nampak hanya bayangan dan saputangannya yang seperti dua ekor kupu-kupu merah beterbangan cepat mengelilingi tubuh In Hong yang masih berdiri tegak dan hanya kadang-kadang saja kedua tangannya bergerak menangkis. Kwi Beng menonton dengan melongo. Dia melihat seolah-olah In Hong merupakan seorang dewi yang sedang menari-nari. Tarian menangkap sepasang kupu-kupu agaknya! Padahal nenek itu sudah melakukan penyerangan yang amat dahsyat dan mati-matian, akan tetapi anehnya, dara itu hanya bergerak sedikit saja, kedua kakinya bahkan jarang melangkah, hanya kedua lengannya saja bergerak-gerak seperti orang menari dan semua serangan tidak ada yang mengenai sasaran. “Nenek menjemukan, mampuslah!” Tiba-tiba gadis itu berseru nyaring dan tiba-tiba nampak sinar yang amat menyilaukan mata, sinar emas yang entah dari mana datangnya tahu-tahu berada di tangan dara itu dan sekali sinar emas itu berkelebat, hampak darah memancar dan tubuh nenek itu roboh, lehernya hampir putus terkena sambaran sebatang pedang yang dengan cepat sekali telah lenyap menjadi sabuk dara itu! Dengan langkah ringan In Hong menghampiri Kwi Beng, menotoknya dan seketika Kwi Beng terbebas dari totokan. Dia bangkit dan memandang mayat Ciok Lee Kim dengan mata terbelalak, kemudian dia memandang gadis itu dengan mata kagum. Bukan main cantiknya dara ini, cantik jelita dan gagah perkasa, belum pernah dia melihat seorang gadis seperti ini! Cepat Kwi Beng maju dan menjura dengan hormat kepada In Hong. “Saya Souw Kwi Beng menghaturkan terima kasih atas budi pertolongan lihiap yang gagah perkasa. Kalau tidak ada pertolongan lihiap, tentu saat ini saya telah menjadi mayat.” In Hong balas memandang dan tersenyum. “Belum tentu iblis ini akan membunuhmu. Betapapun juga, kau seorang laki-laki jantan dan siapapun tentu akan menentang iblis tak tahu malu ini!” Dengan gemas In Hong menggunakan kakinya menendang mayat Ciok Lee Kim sehingga diam-diam Kwi Beng bergidik, merasa betapa dara cantik jelita yang seperti dewa ini amat ganas terhadap musuh! Namun, rasa kagumnya mengusir kengerian ini dan dia memandang dengan rasa kagum yang tidak disembunyikannya sehingga In Hong yang menangkap pandang mata itu menjadi agak merah kedua pipinya yang tentu saja menambah kejelitaannya. “Lihiap sungguh memiliki kepandaian seperti Dewi Kwan Im! Dia ini adalah Hui-giakang Ciok Lee Kim, orang keempat dari Lima Bayangan Dewa. Kepandaiannya amat dahsyat, akan tetapi lihiap dapat membunuhnya hanya dalam waktu singkat, bahkan kalau saya tidak salah lihat, libiap hanya satu kali saja mempergunakan pedang! Bukan main! Sungguh kepandaian lihiap seperti dewi...” “Sudah, saudara Souw, urusan ini tidak perlu dibicarakan lagi dan harap kaulupakan saja semua ini.” Berkata demikian, In Hong membalikkan tubuhnya dan hendak pergi dari situ. “Nanti dulu, lihiap! Betapa mungkin saya melupakan... peristiwa ini, melupakan lihiap yang sudah melepas budi pertolongan kepada saya? Harap lihiap sudi memperkenalkan diri.” In Hong mengerutkan alisnya. Pemuda ini tampan dan gagah sekali, akan tetapi mengapa begitu bertemu lantas menaruh perhatian dan kekaguman yang begitu berlebihan? Dia teringat kepada Bun Houw dan dia lalu menjawab singkat, “Namaku Hong, dan pertemuan kita sampai di sini saja. Selamat berpisah.” “Hong-lihiap... harap jangan pergi dulu...! Saya... kalau boleh... saya ingin berkenalan lebih erat denganmu, karena... saya kagum sekali dan saya ingin memperkenalkan Hong-lihiap kepada adikku, kepada teman-teman di sana. Lihiap, percayalah, saya tidak mempunyai niat yang buruk, melainkan terdorong oleh kekaguman hati dan mudah-mudahan saja saya akan berkesempatan untuk membalas budi kebaikan lihiap...” “Cukup!” Tiba-tiba In Hong berkata agak keras dan dengan wajah dingin. “Saudara Souw Kwi Beng terlalu membesar-besarkan urusan kecil ini. Sudah, aku mau pergi!” “Nona Hong...!” Kwi Beng memanggil. Pada seat itu, muncul Tio Sun yang dari jauh sudah berteriak girang melihat Kwi Beng. Melihat munculnya Tio Sun, In Hong lalu berkelebat dan sekali bergerak saja dia sudah lenyap dari depan Kwi Beng yang menjadi bingung, mencari-cari dengan pandang matanya namun tetap saja tidak nampak bayangan nona yang amat lihai itu. Dia merasa menyesal dan kecewa sekali, merasa kehilangan sesuatu yang amat berharga den berulang-ulang dia menarik napas panjang. “Aihhh, kau berhasil membunuhnya? Hebat sekali, Beng-te, hebat sekali kau!” Tio Sun berteriak girang ketika melihat mayat Ciok Lee Kim yang menggeletak di situ dengan leher hampir putus. Kembali Kwi Beng menarik napas panjang dan dia kini malah duduk di atas rumput, termenung seperti orang kehilangan semangat. “Eh, apa yang terjadi, adik Beng? Kau kenapakah?” Kwi Beng mengangkat muka memandang sahabatnya itu. “Hampir saja aku mati di sini, Tio-twako. Kalau tidak ada dewi yang menolongku, tentu aku sudah mati oleh iblis betina itu.” Dia menuding ke arah mayat Ciok Lee Kim. “Hehh? Jadi bukan kau yang membunuhnya? Dewi? Dewi siapa?” “Dewi Maut agaknya...” Kwi Beng berkata karena masih ngeri membayangkan kehebatan nona cantik tadi. “Harap jangan main-main, Beng-te. Siapakah yang telah membunuh iblis ini?” “Aku sendiri tidak mengenalnya dengan baik. Ketika aku terancam maut dan sudah tidak berdaya, tiba-tiba saja muncul seorang gadis cantik jelita yang amat lihai. Dia mempermainkan Si Kelabang Terbang seperti mempermainkan anak kecil, kemudian sekali dia mencabut pedang dan hanya satu kali pedangnya bergerak dan... mampuslah iblis itu. Kemudian dia pergi...” Kembali pemuda ini termangu-mangu. “Siapa dia? Siapa gadis yang amat lihai itu?” Kwi Beng menggeleng kepala. “Aku tidak berhasil menahannya. Setelah membunuh iblis itu, dia lalu pergi, hanya meninggalkan namanya, yaitu Hong.” “Hong begitu saja?” Kwi Beng mengangguk dan termenung lagi. “Kita harus bersyukur bahwa engkau selamat dan iblis betina ini tewas, adik Kwi Beng. Akan tetapi di mana adik Eng? Aku sedang mencarinya, dan tadipun terpisah ketika melawan Bu Sit.” Mendengar ini, seketika timbul semangat Kwi Beng. Dia amat mencinta adiknya, dan mendengar bahwa adiknya lenyap, seketika dia lupa akan urusannya sendiri, lupa akan kerinduannya terhadap dara penolongnya yang seperti dewi tadi. Dia meloncat berdiri dan berseru, “Celaka! Kita harus mencarinya, twako!” Akan tetapi Tio Sun tidak menjawab dan pemuda ini berdiri seperti patung, mukanya agak pucat, memandang ke depan. Kwi Beng cepat memandang pula dan wajahnya berseri gembira melihat bahwa yang dipandang itu adalah Bun Houw yang datang berjalan cepat sambil memondong Kwi Eng! Tio Sun merasa betapa ada sesuatu yang menusuk ulu hatinya. Melihat Kwi Eng di dalam pondongan Bun Houw, dan gadis itu merangkulkan kedua lengan ke leher pemuda itu dan menyandarkan muka di dadanya. Begitu mesra! Hanya inilah yang tampak dan teringat oleh Tio Sun, yang membuat rongga dadanya terasa sesak dan hatinya terasa panas! Akan tetapi Kwi Beng melihat hal lain. Cepat dia menyongsong dan berteriak, “Eng-moi, kau terluka...?” Kwi Eng melepaskan rangkulan kedua lengannya dari leher Bun Houw dan mengangkat muka. Kedua pipinya merah sekali, matanya bersinar, wajahnya berseri dan bibirnya tersenyum. “Hanya tulang kaki kiriku... patah...” “Tulang kakimu patah?” Kwi Beng bertanya penuh kekhawatiran, akan tetapi juga penuh keheranan. Tulang kakinya patah mengapa masih bisa tersenyum-senyum dan berseri-seri wajahnya? Melihat Kwi Beng dan Tio Sun, Bun Houw menjadi malu dan cepat dia menyerahkan Kwi Eng kepada kakak kembarnya. Kwi Beng cepat memondong adiknya yang masih berseri dan bercerita kepadanya. “Hampir aku celaka oleh si laknat muka monyet itu, untung datang Houw-koko yang berhasil membunuhnya...” “Ah, Hui-giakang juga sudah tewas? Sungguh sayang...” Tiba-tiba Bun Houw yang melihat mayat wanita itu berseru. “Sayang?” Tio Sun bertanya heran. “Mengapa sayang?” “Tio-twako, aku terpaksa merobohkan Toat-beng-kauw tanpa dapat menanyainya lebih dulu dan sekarang tahu-tahu Hui-giakang juga sudah mati. Padahal aku membutuhkan keterangan mereka tentang Siang-bhok-kiam... akan tetapi, masih ada Liok-te Sin-mo. Tentu suheng dan enci berhasil membekuknya. Mari kita ke sana!” “Beng-koko, siapa yang membunuh iblis betina itu? Engkau ataukah Tio-twako?” tanya Kwi Eng yang kini dipondong okh kakaknya sendiri. “Bukan aku bukan pula Tio-twako, melainkan seorang dewi.” “Eh? Dewi? Dewi siapakah?” “Seorang gadis yang amat lihai, dan kalau tidak ada dia yang menolongku, tentu kakakmu ini sudah menjadi mayat.” “Ihhhh...! Seperti keadaanku, kalau tidak ada Houw-koko...” Mendengar percakapan itu, Bun Houw bertanya, “Adik Kwi Beng, siapakah gadis yang menolongmu dan membunuh Hui-giakang itu?” Sebetulnya dia sudah dapat menduganya, akan tetapi dia mendesak untuk merasa yakin. “Dia seorang yang aneh sekali, setelah membunuh iblis itu lalu pergi dan hanya meninggalkan namanya, yaitu Hong.” “Aih, dia... ya, tentu saja, siapa lagi...” Bun Houw menggumam. Kwi Eng mengerutkan alisnya. “Houw-koko, apakah yang kaupanggil nona Hong tadi?” Bun Houw mengangguk. “Dia seorang pendekar wanita yang amat lihai akan tetapi penuh rahasia, tidak mau mengenal orang.” Berkata demikian, Bun Houw meraba hiasan rambut burung hong yang berada di saku bajunya sebelah dalam. Benar-benar seorang nona yang amat aneh, dan lihai, dan ganas, dan... benarkah sekejam itu membunuh gadis she Ma karena cemburu? Mereka tiba di Ngo-sian-chung dan ternyata pertempuran sudah berhenti. Banyak anak buah Ngo-sian-chung malang melintang, ada yang tewas dan banyak yang terluka, selebihnya melarikan diri. Liok-te Sin-mo Gu Lo It, Bouw Thaisu, Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw, berhasil melarikan diri. “Enci Keng...!” Bun Houw lari menghampiri kakaknya dan memberi hormat. “Bun Houw...!” Giok Keng merangkul dan memeluk adiknya. Adapun Yap Kun Liong yang duduk di tempat yang agak jauh sambil termenung karena sejak tadi Giok Keng sama sekali tidak mau memandangnya, apalagi bicara dengannya, kini dihampiri oleh Tio Sun, Kwi Beng yang memondong Kwi Eng. Mereka bertiga tidak mau mengganggu pertemuan kakak dan adik yang penuh kemesraan itu, dan mendengar bahwa pendekar yang datang membantu itu adalah Yap Kun Liong, yang mereka bertiga sudah lama dengar dari orang tua masing-masing dan yang mereka kagumi, kini mereka menghampiri pendekar itu. Kun Liong menerima kedatangan tiga orang muda itu sambil tersenyum tenang. “Apakah kami berhadapan dengan Yap Kun Liong taihiap yang mulia?” Tio Sun bertanya penuh hormat. Juga Kwi Beng menurunkan adiknya dan mereka berdua memberi hormat. Kun Liong menggerakkan tangannya. “Harap kalian jangan terlalu sungkan. Agaknya kalian bertiga orang-orang muda adalah sahabat-sahabat sute Bun Houw, dan melihat gerakanmu tadi, apakah hubunganmu dengan Tio Hok Gwan locianpwe?” Tio Sun makin kagum. Tadi dia berkesempatan untuk mengamuk bersama pendekar ini dan kakak perempuan Bun Houw, dan agaknya dalam gerakan-gerakannya pendekar ini sudah mengenal ilmu ayahnya! “Memang sudah lama ayah menceritakan saya tentang taihiap, maka sungguh gembira hari ini saya dapat bertemu dengan Yap-taihiap.” “Aih, jadi engkau putera Tio-lo-enghiong?” Kun Liong berseru girang, kemudian dia memandang Kwi Beng dan Kwi Eng, alisnya agak berkerut melihat warna mata dan rambut dua orang kakak beradik yang wajahnya sama?sama tampan dan cantik itu yang menunjukkan bahwa dua orang muda ini adalah peranakan?peranakan barat. “Dan siapakah kalian berdua?” “Ayah dan ibu mengenal paman dengan baik sekali!” Kwi Eng yang lebih lincah dan berani itu sudah berseru sambil memegangi lengan kakaknya karena dia tidak berani menggunakan kakinya yang masih belum sembuh. “Ayah dan adalah sahabat?sahabat dari paman Yap Kun Liong yang gagah perkasa.” Kun Liong menjadi kaget dan juga bingung. “Siapa? Siapakah ayah bundamu?” Kini Kwi Beng yang menjawab, “Ayah adalah Yuan de Gama sedangkan ibu...” “Souw Li Hwa...! Ya Tuhan...! Mereka... mereka... kusangka mereka sudah tidak ada lagi...” Dia makin bingung karena dia sendiri yang membujuk?bujuk kedua orang itu meninggalkan kapal namun mereka tidak mau, dan dengan matanya sendiri dia menyaksikan betapa Yuan de Gama dan Souw Li Hwa tenggelam bersama kapalnya. Ayah dan ibu tidak tewas dengan kapal itu, paman, tertolong seorang nelayan pandai dan sampai sekarang masih hidup. Kami berdua adalah putera?puteri mereka, kakak kembarku ini bernama Richardo de Gama atau Souw Kwi Beng dan saya bernama Maria de Gama atau Souw Kwi Eng.” Bukan main girangnya hati Kun Liong mendengar ini dan dia melangkah maju, memegangi lengan Kwi Eng dan Kwi Beng, menatap wajah keduanya dan dia mengangguk?angguk. “Engkau persis ibumu, tapi matamu persis mata ayahmu... aih, betapa bahagia rasa hatiku mendengar bahwa mereka masih hidup...” Suara Kun Liong tergetar karena terharu. Tiga orang muda itu lalu menengok ke arah Cia Giok Keng. “Kami belum menghadap Cia?lihiap puteri ketua Cin?ling?pai...” kata Tio Sun, akan tetapi tidak perlu lagi karena kini Bun Houw yang menggandeng tangan encinya sudah menghampiri Kun Liong dengan air muka muram dan merah, pandang matanya marah, sedangkan Giok Keng jelas habis menangis karena matanya masih merah, dan kedua pipinya basah. “Yap?suheng...!” begitu tiba di situ Bun Houw menghadapi Kun Liong dan berkata dengan suara keras dan kaku. “Sudahlah, adikku, sudahlah...!” Giok Keng memegang tangan adiknya dan berusaha mencegah, akan tetapi agaknya Bun Houw tidak mampu mengendalikan kemarahannya lagi. Tadi dia mendengar penuturan encinya tentang kematian kakak iparnya, Lie Kong Tek yang membunuh diri untuk menebus “dosa” encinya yang sebetuinya tidak berdosa. Dapat dibayangkan betapa hancur hati pemuda ini ketika mendengar betapa encinya dituntut oleh Kun Liong dan gurunya, Kok Beng Lama, dituduh membunuh isteri suhengnya atau puteri gurunya itu. “Sute, engkau hendak bicara apakah?” Kun Liong bertanya, biarpun dia sudah dapat menduga akan kemarahan pemuda ini, dia bertanya dengan sikap tenang. “Yap?suheng, perbuatanmu yang telah menjatuhkan tuduhan kepada enci Keng tanpa bukti?bukti nyata itu sungguh tak kusangka dapat dilakukan oleh seorang seperti suheng! Apakah suheng tidak menyadari bahwa kematian Lie?cihu (kakak ipar Lie) disebabkan oleh suheng, seolah?olah suheng yang membunuhnya dengan tangan suheng sendiri?” “Houw?te, jangan... jangan bicara demikian...” Giok Keng merangkul adiknya dan menangis. “Kau... kau tidak tahu...” “Biarlah, enci!” Bun Houw berkata sambil melepaskan rangkulan encinya. “Aku tidak bisa mendiamkannya saja, dan kalau Yap?suheng sudah berobah menjadi begitu kejam, biarlah aku tewas di tangannyapun tidak mengapa!” “Sute, apakah maksudmu dengan kata?kata itu?” Kun Liong bertanya, memandang tajam penuh selidik, akan tetapi menekan kemarahannya mengingat bahwa Bun Houw hanyalah seorang pemuda yang masih amat muda dan kini sedang dicengkeram oleh kedukaan dan kemarahan mendengar akan nasib yang menimpa kakak kandungnya. “Maksudku, aku tidak akan menerima begitu saja suheng menyebabkan kematian cihu dan membuat hidup enciku menderita. Mari kita selesaikan hal ini antara kita sebagai laki?laki jantan!” Bun Houw menantang den melompat ke depan, siap untuk menghadapi suhengnya yang selama ini amat dikaguminya. “Sute, yang memaksaku menuntut encimu adalah ayah mertuaku, yaitu gurumu sendiri. Apakah engkaupun akan menantang gurumu kelak?” tanya Kun Liong dengan suara tenang dan sikap sabar. “Suhu tidak akan bertindak demikian kalau tidak suheng yang memberi tahu!” Kun Liong menarik napas panjang. “Sute, peristiwa yang telah terjadi itu sungguh amat menyedihkan, terlalu menyedihkan. Kalau engkau menyalahkan aku, biarlah, aku menerima salah, akan tetapi jangan harap aku akan dapat melayani tantanganmu yang mentah itu...” Kun Liong lalu membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi dari situ. “Yap Kun Liong! Berhenti kau...!” Bun Houw membentak, akan tetapi Kun Liong tidak menoleh. “Bun Houw, jangan... aihhh, jangan...! Ingat, kita masih mempunyai tugas yang lebih penting. Pula, Kun Liong tidak bersalah...” “Tapi, enci...” Bun Houw bersikeras. “Bun Houw! Kau tidak mentaati encimu?” Melihat encinya marah, Bun Houw menjadi lemas, menunduk dan memegang kedua tangan encinya. “Maaf, enci, aku terlalu marah dan hancur hatiku mengingat akan nasibmu.” “Kau sungguh terlalu! Kau hanya ingat akan kedukaan kita sendiri, lupa bahwa Kun Liong lebih dahulu kehilangan isterinya yang dibunuh orang secara kejam.” Wanita itu menghapus air matanya, “Dan kau telah berani menghinanya!” Bun Houw menunduk. “Maafkan, enci... maafkan...” “Sudahlah. Aku melihat Lima Bayangan Dewa, biarpun telah dua orang di antara mereka tewas, namun yang tiga masih hidup dan malah mereka dibantu orang?orang yang begitu pandai. Hal ini tidak mungkin dapat kita hadapi sendiri saja. Aku akan kembali ke Cin?ling?pai melaporkan hal ini kepada ayah.” “Baik, enci. Aku akan menyelidiki mereka.” “Akan tetapi jangan ceroboh seperti tadi, Bun Houw. Kalau saja tidak datang aku kemudian datang pula Kun Liong, tentu teman?temanmu itu akan terancam bahaya hebat.” Setelah mendengar tiga orang itu memperkenalkan diri, Giok Keng lalu meninggalkan tempat itu. Tio Sun, Kwi Beng dan Kwi Eng tadi hanya terbelalak mendengarkan dan menonton saja, sama sekali tidak berani mencampuri, bahkan setelah Kun Liong dan Giok Keng pergi, mereka tidak berani bertanya?tanya kepada Bun Houw yang kini menjadi amat keruh wajahnya. Penuturan encinya hanya diambil singkatnya saja, maka dia sendiripun belum tahu benar duduknya persoalan, akan tetapi hati siapa tidak akan berduka mendengar betapa suhunya kini berhadapan dengan keluarganya sebagai dua fihak yang bertentangan? Kedua adik Souw sebaiknya sekarang beristirahat. Saudara Kwi Beng, melihat tulang pergelangan kaki adikmu patah, maka harap kau suka membawa adikmu ke tempat aman dan merawatnya sampai sembuh. Setelah itu, kalian sebaiknya menanti sampai orang tua kalian pulang. Aku hendak melanjutkan penyelidikanku, mengejar Lima Bayangan Dewa yang tinggal tiga orang itu.” “Akan tetapi, aku ingin membantumu, Houw?koko!” Kwi Eng berkata, suaranya agak manja dan penuh permohonan. Bun Houw tersenyum memandang dara itu. “Terima kasih, Eng?moi. Akan tetapi, tulang kakimu itu sedikitnya dua pekan baru dapat bersambung kembali, itupun kalau terus mempergunakan obat penyambung tulang yang baik. Selain itu, fihak musuh amat lihai, mempunyai banyak teman yang berilmu tinggi. Enciku benar, aku tidak boleh ceroboh dan sekarang aku hanya hendak menyelidiki lebih dulu. Kalau keadaan musuh terlalu kuat aku harus minta bantuan ayah ibuku.” “Aku akan menyertaimu, Houw?te.” Bun Houw memandang Tio Sun dengan girang. Kepandaian putera Ban?kin?kwi ini cukup tinggi sehingga merupakan pembantu yang amat baik. “Terima kasih, twako. Nah, kaubawalah adikmu pergi ke tempat aman, saudara Kwi Beng. Kami berdua hendak berangkat sekarang juga. Lain hari kita pasti saling dapat berjumpa kembali.” Bun Houw dan Tio Sun segera berangkat. “Houw-koko...!” Kwi Eng berseru memanggil. Bun Houw berhenti, menoleh. Dara itu menangis! “Selamat tinggal Eng-moi, sampai jumpa kembali,” kata Bun Houw. Dengan suara terisak, Kwi Eng berkata, “Kalau... kalau terlalu... lama kau tidak datang... aku akan mencarimu...” Bun Houw hanya mengangguk dan melanjutkan perjalanannya bersama Tio Sun. Dia hanya merasa kasihan kepada Kwi Eng dan sama sekali dia tidak tahu betapa pemuda yang berjalan di sebelahnya itu memandang ke depan dengan pandang mata kosong, dengan hati yang tertusuk dan semangatnya seperti tertinggal bersama Kwi Eng, dara yang telah menjatuhkan hatinya itu. *** Pria itu berjalan di dalam hutan sambil menundukkan mukanya. Wajahnya yang tampan dan gagah nampah keruh dan muram, pandang matanya sayu diliputi kedukaan mendalam. Yap Kun Liong, pria itu, merasa seolah-olah semangatnya melayang-layang, tubuhnya kosong dan pikirannya membayangkan semua hal yang lalu dalam hidupnya. Semenjak kecil, hidupnya yang merupakan sebuah perahu kecil itu selalu dihantam dan dilanda ombak penghidupan yang membadai, yang mengombang-ambingkannya, kadang-kadang hampir menenggelamkannya. Selama ini dia masih dapat mengatasi itu semua, biarpun perahu hidupnya pecah-pecah, koyak-koyak, namun masih belum tenggelam. Semenjak peristiwa terakhir yang amat meremukkan hatinya, yaitu kematian isterinya disusul peristiwa di Cin-ling-pai di mana Giok Keng juga kehilangan suaminya yang membunuh diri, dia menjadi seorang pelamun dan pendiam. Hidupnya berobah sama sekali dan di dalam perjalanannya mencari anaknya, Yap Mei Lan, dia lebih banyak duduk melamun di tempat-tempat sunyi, di mana tidak ada seorangpun manusia lain mengganggu lamunannya. Kita manusia tidak menyadari bahwa hidup pasti merupakan medan pertentangan antara susah dan senang, lebih banyak dukanya daripada sukanya, lebih banyak kecewanya daripada puasnya, karena tanpa kita sadari sendiri, kita memang telah mengikatkan diri dengan lingkaran setan yang berupa sebab akibat dan im-yang (atau dewi unsur), yang dapat juga disebut kebalikan-kebalikan. Kita selalu menghendaki yang satu tapi menolak yang lain, kita selalu mengejar kesenangan namun menghindari kesusahan, mencari?cari kepuasan menolak kekecewaan dan sebagainya. Padahal, suka duka, senang susah, puas kecewa tidaklah pernah terpisah-pisah, seperti sebuah tangan yang mempunyai dua permukaan, yaitu telapak tangan dan punggung tangan. Mencari yang satu sudah pasti akan bertemu dengan yang lain. Sudah menjadi kebiasaan kita sejak kecil, menjadi suatu hal yang kita terima sebagai sudah semestinya dan seharusnya, yaitu bahwa di dalam segala gerak perbuatan kita, selalu didasari atas pamrih demi kepentingan, kepuasan, kesenangan diri pribadi. Dan setiap perbuatan yang didasari pamrih seperti itu adalah palsu, hanyalah suatu alat belaka untuk mencapai keinginan kita, dan perbuatan seperti itu, betapapun baik kelihatannya, sudah pasti menimbulkan konflik, pertentangan lahir dan batin. Mari kita tengok diri sendiri, mari kita perhatikan diri kita sendiri, bukan orang lain. Kita lihat saja segala gerak tubuh, gerak pikiran, dan gerak mulut atau kata-kata kita. Tidakkah kesemuanya itu mengandung kepalsuan belaka? Sikap kita bersopan-santun kepada tamu misalnya, kalau kita mau memandang diri sendiri secara bebas, kita akan melihat bahwa kesopanan kita itu bukan timbul dari kasih atau keakraban, melainkan merupakan bentuk penjilatan karena tamu itu lebih tinggi atau lebih kaya atau lebih pintar, atau bentuk perendahan diri karena takut, dan sebagainya. Kalau kita melakukan sesuatu demi orang lain sekalipun, di situ tersembunyi pamrih, agar kita dipuja, agar kita menjadi orang baik, agar kita kelak menerima balas jasa. Tidak dapatkah kita hidup dengan wajar, apa adanya, tanpa segala kepalsuan ini? Tidak dapatkah kita melakukan segala macam gerak tanpa dasar kepentingan diri pribadi? Hal ini hanya mungkin apabila terdapat CINTA KASIH di dalam diri kita! Dengan cinta kasih, segala apapun yang kita lakukan, yang kita pikirkan, yang kita ucapkan, adalah BENAR, karena CINTA KASIH adalah KEBENARAN. Tanpa cinta kasih, matahari akan kehilangan sinarnya, tumbuh-tumbuhan akan kehilangan warnanya, bunga-bunga akan kehilangan harumnya, dunia akan kehilangan keindahannya. Dengan adanya cinta kasih, kita tidak membutuhkan lagi kebahagiaan karena CINTA KASIH adalah KEBAHAGIAAN! Namun sayang! Yang kita miliki bukanlah cinta kasih yang murni, yang suci, yang sejati, yang tidak ada kebalikannya, melainkan kita hanya mengenal cinta terhadap seseorang atau sesuatu benda hidup atau benda mati, suatu yang abstrak dan yang kita puja-puja. Cinta kasih macam ini sesungguhnya bukanlah cinta kasih, melainkan hanya alat untuk menyenangkan diri pribadi, untuk mencari kepuasan seksuil, kepuasan lahirlah, kepuasan hiburan, atau juga kepuasan batiniah yang seaungguhnya hanya morupakan harapan-harapan untuk masa depan belaka! Tentu saja cinta kasih macam ini, yang sesungguhnya bukan cinta kasih melainkan nafsu-nafsu keinginan untuk kesenangan diri pribadi belaka, cinta kasih macam ini mengandung dwi unsur, yaitu senang dan susah, puas dan kecewa, dan karenanya mendatangkan pertentangan yang tiada habis-habisnya. Sebab dan akibat adalah suatu lingkaran setan yang tiada putus-putusnya, akibat dapat menjadi suatu sebab untuk akibat berikutnya, dan si sebab itupun dapat menjadi akibat dari sebab sebelumnya. Celakalah kita kalau mengikatkan diri terjebak dalam lingkaran setan ini. Sebab akibat berada di dalam tangan kita sendiri! Kitalah yang menentukan apakah sebab akibat itu akan berlarut-larut ataukah akan habis sampai di situ saja! Kalau kita menghadapi setiap peristiwa dalam hidup kita dan menyelesaikannya setiap saat, setiap detik peristiwa itu timbul, dan menghabiskannya sampai di situ saja, tanpa mengingat yang lalu dan tanpa membayangkan masa depan, maka sebab akibat sebagai rantai akan pecah berantakan dan lenyap! Marilah kita belajar untuk mengenal diri sendiri, setiap saat, dengan memandang penuh kewaspadaan dan kesadaran terhadep diri sendiri, setiap saat pula, dengan perhatian sepenuhnya tercurah pada setiap gerak perbuatan, kata-kata dan pikiran kita sendiri tanpa campur tangan. Dengan perhatian setiap saat, perhatian sepenuhnya, yang timbul dari pengertian yang mendalam, maka pandang mata kita akan menembus sampai sedalamnya, pengertian kita akan bangkit dan kita akan bebas dari segala ikatan karena kita mengerti bagaimana bahayanya ikatan-ikatan itu, dan kebebasan diri dari segala ikatan memungkinkan kita mengenal apa artinya CINTA KASIH tadi. Bukan cinta kasih terhadap sesuatu, atau terhadap semua, yang ada hanya cinta kasih saja. Cinta terhadap seseorang, terhadap semua orang, terhadap alam, kemesraan, semua itu tidak terpisah-pisah dan sudah tercakup di dalamnya. Kun Liong, seorang pendekar sakti yang sudah banyak menerima gemblengan hidup biarpun dia berilmu tinggi dan berjiwa pendekar, namun dia belum sadar akan hal ini, oleh karena itu, betapapun gagah perkasanya dia, tetap saja dia terseret dan terjebak di dalam lingkaran setan sebab akibat itu sehingga hidupnya menjadi permainan suka duka yang sesungguhnya hanyalah merupakan penonjolan si aku yang dikecewakan atau sebaliknya aku yang dipuaskan! Kalau saja dia mau mengenal diri pribadi setiap saat, maka segala ilmu di dunia ini sudah berada di dalam diri! Kun Liong terbenam di dalam kedukaan karena dia mengingat akan sikap Giok Keng dan Bun Houw. Dua orang sumoi dan sutenya itu, putera-puteri ketua Cin-ling-pai yang boleh dibilang juga gurunya, jelas amat membencinya! Dan dia tidak dapat menyalahkan mereka. Dia tidak mungkin dapat menyalahkan Bun Houw yang menghinanya, karena dia dapat membayangkan betapa hancur dan sakit rasa hati pemuda itu mendengar bahwa kakak iparnya sampai membunuh diri karena encinya didakwa membunuh orang. Padahal dia sendiri kini merasa yakin bahwa bukan Giok Keng yang membunuh isterinya. Sejak peristiwa itu terjadi, dia memang sudah tidak percaya kalau Giok Keng membunuh isterinya! Dia mengenal benar wanita ini, seorang wanita yang biarpun keras hati, namun gagah perkasa dan tidak mungkin mau melakukan perbuatan yang rendah, keji dan curang. Apalagi membunuh isterinya dalam keadaan pingsan. Tak mungkin dilakukan oleh Cia Giok Keng! Akan tetapi ayah mertuanya, tak dapat menahan kemarahan dan telah memaksa Giok Keng dan menuntut kepada ketua Cin-ling-pai sehingga terjadi peristiwa yang demikian menyedihkan, yaitu suami Giok Keng membunuh diri untuk menebus “dosa” isterinya! Akan tetapi, diapun tidak menyalahkan mertuanya yang kemudian bahkan menjadi terguncang batinnya dan berobah ingatannya oleh peristiwa-peristiwa itu! Ah, semua itu terjadi karena aku, pikirnya sedih. Karena diriku yang sial dan selalu mendatangkan malapetaka bagi orang lain, sejak dahulu! Mula-mula, di waktu dia masih kecil, dia telah mendatangkan malapetaka bagi ayah bundanya sendiri (baca cerita Petualang Asmara), kemudian hubungannya dengan banyak orang, terutama dengan dara-dara cantik, diapun hanya mendatangkan malapetaka bagi mereka. Teringat akan semua ini, Kun Liong menutupi mukanya dengan kedua tangan dan dia duduk seperti patung dalam keadaan demikian sampai lama sekali. Dia telah kehilangan segala-galanya dalam hidupnya. Dia kehilangan isteri yang dibunuh orang, sekaligus kehilangan anak kandungnya yang lari entah ke mana, kemudian kehilangan mertuanya yang menjadi gila, kini kehilangan hubungan dengan Cin-ling-pai sekeluarga. Ketika dia menutupi mukanya, terbayanglah wajah Giok Keng yang kurus pucat, dan perasaan iba memenuhi hatinya. Aihh, dia menjadi sumber segala kesengsaraan hidup orang-orang lain. Kalau demikian, apa pula artinya hidup baginya? Tiba-tiba dia menurunkan kedua tangannya dan mengepal tinju. Kalau dia mati, agaknya dunia ini akan lebih tenteram! Perlu apa dia hidup? “Perlu mencari pembunuh isteriku!” demikian dia membentak, seperti menjawab pertanyan hatinya sendiri, “Aku harus dapat mencari pembunuh isteriku, dan harus dapat menemukan kembali Mei Lan anakku!” Dengan tekad yang tiba-tiba muncul seperti sinar-sinar terang yang menerangi ruang hatinya yang gelap pekat tadi, Kun Liong meloncat dan lari secepatnya seperti terbang atau seperti sudah miring otaknya! Akan tetapi, baru saja dia tiba di tepi hutan, Kun Liong cepat meloncat jauh tinggi ke atas dan tubuhnya lenyap di dalam daun-daun yang lebat dari pohon yang amat tinggi itu. Dia melihat berkelebatnya orang dari jauh dan ketika bayangan itu tiba dekat, dia terkejut sekali karena mengenal bayangan itu yang bukan lain adalah Cia Giok Keng! Seperti juga dia, wanita itu berjalan seperti orang yang kehilangan semangat, sungguhpun Giok Keng mempunyai tujuan tertentu dalam perjalanannya, yaitu dia hendak kembali ke Cin-ling-san untuk melaporkan kepada ayahnya tentang kematian dua Bayangan Dewa dan tentang bantuan orang-orang pandai yang agaknya bergabung dengan mereka. Begitu melihat Giok Keng, makin mendalam rasa iba hati yang melanda perasaan Kun Liong. Wanita ini menjadi sengsara hidupnya karena dia! Tanpa disadarinya, seperti dalam mimpi, Kun Liong lalu bergerak dan membayangi Giok Keng dari jauh agar jangan sampai wanita itu melihatnya. Mereka sudah meninggalkan hutan, dan tiba-tiba terdengar teriakan dari arah kiri, “Nona Giok Keng...!” Giok Keng terkejut sekali. Siapakah yang menyebutnya nona dan mengenal namanya? Dia berhenti den menanti datangnya orang yang berlari-lari itu dan setelah dekat, ternyata orang itu adalah seorang tua yang menjadi pelayan ayahnya. Pantas saja orang itu menyebutnya “nona” biarpun dia sudah menikah dan sudah mempunyai anak, karena memang sejak dia kecil A-kiong ini sudah menjadi pelayan ayahnya. Begitu tiba di depan Giok Keng, A-kiong lalu menjatuhkan dirinya berlutut dan menangis! “Eh, A-kiong... apakah yang terjadi?” tanya Giok Keng, wajahnya yang sudah layu itu menjadi makin pucat. “Celaka, nona... celaka sekali...” “Tenanglah dan jangen menangis!” Giok Keng menghardik. dan A-kiong menyusuti air matanya. “Sekarang ceritakan yang jelas!” “Saya disuruh oleh taihiap untuk pergi menyusul Lie-kongcu ke Sin-yang...” A-kiong bereerita dan dia selalu menyebut Cia Keng Hong dengan sebuatan taihiap. “Lie-kongcu puteramu itu dibawa oleh Hong Khi Hoatsu ke Sin-yang dan saya disuruh menyusul untuk membantu dan melayani di sana.” Giok Keng mengangguk. Dia tidak merasa heran karena memang sudah sepatutnya kalau guru suaminya itu membawa Lie Seng ke Sin-yang, selain untuk menghibur hati orang tua itu, juga tentu orang tua itu hendak mendidik Lie Seng. “Saya telah tiba di Sin-yang... akan tetapi... ah, celaka sekali, nona...!” Kembali dia menangis dan tidak dapat melanjutkan ceritanya. “Diam! Hayo ceritakan! Kayak anak kecil saja kau, A-kiong!” bentak Giok Keng marah. Sudah kambuh kembali kekerasan hati wanita ini melihat sikap lemah dari pelayannya. “Setibanya di sana saya mendengar dari para tetangga... bahwa... bahwa... semua pelayan rumah dari nona, dan Hong Khi Hoatsu... mereka semua telah... dibunuh orang, sedangkan Lie-kongcu telah diculik oleh pembunuh-pembunuh itu...” Terdengar jerit melengking tinggi dan A-kiong terguling karena tidak kuat mendengar pekik yang menggetarkan seluruh isi dadanya itu. “Am... pun... nona...” ratapnya sambil berlutut. Giok Keng menutupi mukanya, berdiri menunduk dan terdengar kata-katanya tergetar hebat, “Kau pulanglah... pergilah ke Cin-ling-pai... ceritakan semua kepada ayah ibu...!” Setelah berkata demikian, kembali terdengar lengking tinggi seperti jerit kesakitan seekor burung hong dan tubuh Giok Keng sudah berkelebat lenyap dari depan A-kiong yang masih berlutut dan menangis sesenggukan seperti anak kecil. A-kiong mengangkat muka memandang ke kanan kiri, kemudian bangkit berdiri dan berjalan tersaruk-saruk menuju ke Cin-ling-san. Dalam waktu beberapa hari saja orang tua yang usianya sudah lima puluh tahun lebih ini menjadi makin tua tampaknya. Giok Keng lari memasuki hutan. Dia tadi menahan-nahan hatinya di depan A-kiong, dan kini setelah dia memasuki hutan yang sunyi, dia lalu menjatuhkan diri di atas an seperti anak kecil sambil menutupi mukanya. Dia menangis mengguguk, memanggil-manggil nama suaminya dan Lie Seng, dan menangis lagi, air matanya bercucuran dan diusapinya dengan lengan baju. Di balik sebatang pohon besar, Kun Liong berdiri dengan muka pucat dan beberapa butir air mata mengalir turun dari kedua matanya, dibiarkannya saja menuruni kedua pipinya. Dia telah mendengar semua dan dia makin merasa kasihan kepada wanita ini. Betapa hebat penderitaan batin Giok Keng. Suaminya membunuh diri di depan matanya, dan kini guru suaminya yang seperti ayah mertua sendiri mati terbunuh orang, anaknya diculik pula. Betapa hampir sama penderitaan wanita itu dengan penderitaannya sendiri. Isterinya juga mati, anaknya juga hilang dan ayah mertuanya gila! Seperti disayat pisau rasa hati Kun Liong melihat Giok Keng menangis bergulingan di atas rumput seperti anak kecil, kemudian dia merintih perlahan melihat tubuh Giok Keng tak bergerak lagi dan dia tahu bahwa wanita itu roboh pingsan saking sedihnya. “Aduhh... kasihan sekali kau, Giok Keng...” Kun Liong menghampiri tubuh wanita itu dan cepat menolongnya, memondongnya dan merebahkannya di tempat yang kering. Pakaian wanita itu basah dan kotor, rambutnya kusut dan mukanya pucat sekali. Dia mameriksa nadinya sebentar dan maklum bahwa kalau dia menyadarkan wanita ini begitu saja, hal itu amat tidak baik bagi jantungnya. Wanita ini mengalami tekanan batin yang amat hebat dan tangis tadi, juga pingsannya ini merupakan peringan yang baik malah. Maka dia hanya merapikan pakaian Giok Keng, merebahkannya terlentang dan mengurut punggung serta tengkuknya sampai pernapasan wanita itu menjadi rata dan teratur seperti orang sedang tidur, kemudian dia duduk menjaganya. Melihat wanita ini rebah terlentang di depannya, memandangi wajah yang cantik dan mengandung sinar kegagahan itu, Kun Liong menarik napas panjang dan teringatlah dia akan peristiwa di waktu dahulu, belasan tahun yang lalu. Dahulu, ayah bunda gadis ini mempunyai niat untuk menjodohkan Giok Keng dengan dia (baca cerita Petualang Asmara). Akan tetapi entah bagaimana, semenjak bertemu telah terjadi keributan antara dia dan Giok Keng yang galak. Dan akhirnya, Giok Keng sendiri yang minta diputuskannya tali perjodohan yang diikatkan oleh orang tuanya itu karena Giok Keng terbujuk oleh rayuan seorang pemuda sesat, yaitu Liong Bu Kong putera Kwi Eng Niocu. Untung bahwa perjodohan antata dia dan pemuda sesat itu belum berlangsung dan akhirnya Giok Keng maklum akan kesesatan pemuda yang menjatuhkan hatinya itu. Dan akhirnya, karena dia sendiri telah saling jatuh cinta dengan Pek Hong Ing, maka Giok Keng lalu berjodoh dengan Lie Kong Tek. Kini, melihat Giok Keng yang menggeletak dengan wajah pucat seperti mayat, yang dalam keadaan pingsan saja masih jelas membayangkan penderitaan batin yang hebat, timbul pertanyaan di hati Kun Liong. Bagaimana andaikata dahulu mereka itu menjadi suami isteri? Tentu tidak akan timbul peristiwa yang membuat mereka berdua menderita batin begitu hebat! Ooohhhhh... Seng-ji (anak Seng)... di mana kau...?” Giok Keng mengeluh dan menggerakkan tubuhnya, membuka matanya. Ketika melihat Kun Liong, dia nampak kaget sekali, dan meloncat bangkit duduk, kemudian meloncat berdiri dengan mata berapi-api. “Sumoi, aku melihat kau rebah pingsan maka...” “Yap Kun Liong, manusia iblis! Engkau yang membunuh suamiku, engkau yang membunuh mertuaku, engkau yang menculik Lie Seng!” Dan Giok Keng sudah menerjang maju dan menghantam dada Kun Liong dengan kepalan tangan kanannya. “Dukkkk!!” Pukulan yang keras itu diterima oleh Kun Liong tanpa melawan sedikitpun, tanpa mengerahkan tenaganya dan dia terjengkang roboh, lalu bangun kembali dengan muka pucat. “Keng-moi, kalau kau menyalahkan aku... biarlah aku menerima salah...” “Memang kau bersalah! Memang kau yang menjadi biang keladi semuanya! Memang kau yang merusak hidupku! Kau harus dlhajar!” Giok Keng menerjang lagi, mengamuk kalang-kabut dan memberikan pukulan dengan pengerahan tenaga sepenuhnya. “Dessss...!” Kun Liong terpelanting keras oleh pukulan ini. Namun dia tidak mengeluh dan bangkit lagi. “Bukkkk!” Tendangan kaki Giok Keng mengenai lambungnya dan dia terlempar. Giok Keng meloncat, mengejar dan memukulinya, menamparnya, menendangnya sampai Kun Liong babak belur dan matang biru seluruh muka, leher dan tubuhnya. Akan tetapi Kun Liong sama sekali tidak mau melawan, bahkan sambil menahan rasa nyeri dia bangkit lagi dan berdiri. “Kaubunuhlah aku, Giok Keng... dan aku tidak akan melawan. Aku memang telah menghancurkan hidupmu, aku salah...” “Pengecut! Keparat! Hayo kaulawan aku, mari kita selesaikan dengan taruhan nyawa. Engkau atau aku yang mampus di sini!” Melihat Giok Keng menghunus pedang yang berkilauan seperti perak, Kun Liong mengangkat dadanya. “Bagus, kautusuklah. Aku sajalah yang mati untuk menebus dosaku terhadapmu, Giok Keng. Untuk apa hidup bagiku, hidup yang penuh dengan derita, duka dan dosa ini? Kautusuklah!” “Kun Liong, hayo kaulawan aku...!” Giok Keng menjerit. Kun Liong menggeleng kepala sambil tersenyum, dari ujung bibirnya mengalir sedikit darah. Mukanya matang biru oleh bekas tamparan dan pukulan Giok Keng. Melihat ini, Giok Keng menjadi makin penasaran. “Kau... kau tidak melawan... kau... menyerahkan nyawa?” Kun Liong mengangguk. “Kalau begitu kau... mampuslah...!” Giok Keng melangkah maju, mengangkat pedangnya. Kun Liong memandang dengan sikap tenang, sama sekali tidak gentar menghadapi kematian yang hanya akan membuat dia menyusul isterinya. “Ouhhh...!” Pedang terlepas dari tangan Giok Keng dan wanita ini terkulai lemas, dan tentu sudah terjatuh kalau tidak cepat dipeluk oleh Kun Liong. Wanita itu pingsan lagi. Kun Liong kembali merebahkan Giok Keng di atas rumput dan dia duduk sambil menutupi mukanya dengan kedua tangan. Dia tidak menyesal telah diperlakukan seperti itu oleh Giok Keng, bahkan agak lega hatinya bahwa setidaknya dia telah memberi kesempatan kepada Giok Keng untuk melampiaskan rasa dendam dan sakit hatinya, telah memberi kesempatan kepada wanita itu untuk menghukumnya. Dia akan menanti sampai Giok Keng sadar, dan kalau hendak dilanjutkan membunuhnya, dia akan bersedia tanpa melawan! Karena batinya tertindih dan dia menutupi muka dengan kedua tangannya, Kun Liong tidak tahu bahwa Giok Keng sudah siuman dan membuka matanya. Wanita ini membuka matanya tanpa bersuara, kini memandang kepada Kun Liong dengan muka pucat dan mata sayu. Melihat muka yang bengkak-bengkak, pinggir bibir yang berdarah, teringatlah dia akan semua yang telah dilakukannya tadi. Dia setelah kini nafsu amarah yang membuatnya seperti buta tadi lenyap, terbukalah mata batinnya dan dia melihat jelas kini betapa dia telah berbuat keterlaluan! Teringat kini dia betapa Kun Liong telah menderita amat hebatnya, setelah kematian isterinya yang dibunuh oleh orang lain, kehilangan anak tunggalnya. Melihat Kun Liong yang telah dihajarnya habis-habisan tanpa melawan sedikitpun juga itu, bahkan yang menyerahkan nyawanya, kini duduk menjaganya dengan kedua tangem menutupi muka, tak terasa lagi kedua mata Giok Keng menjadi basah. “Kun Liong...” dia berkata lirih, suaranya seperti orang merintih dan dia bangkit duduk. Kun Liong terkejut, menurunkan kedua tangannya, memandang. Keduanya duduk saling berpandangan, dan dari pandang mata ini Kun Liong merasakan sesuatu yang membuat dia merasa jantungnya seperti disayat-sayat. Pandang mata Giok Keng penuh rasa iba, penuh rasa penyesalan, penuh permohonan maaf. “Giok Keng...” Keduanya saling berpegang tangan dan keduanya menangis sesenggukan. “Kun Liong, kauampunkan aku...” “Tidak, Giok Keng, tidak... kaulah yang harus mengampunkan aku...” Giok keng menangis, mengguguk dan menyandarkan dahi di pundak suhengnya itu, sedangkan Kun Liong mengusap rambut kepala yang kusut itu. Hati mereka seperti diremas-remas rasanya. Aku telah buta tadi... aku telah gila oleh kemarahan dan kedukaan... Kun Liong... mengapa justeru engkau... orang yang selamanya kukagumi, kupuja dalam hati... mengapa justeru engkau yang terlibat dalam malapetaka yang menimpa keluargaku? Ah, mengapa...?” “Giok Keng, semenjak semula aku sudah tidak percaya. Aku mengenal siapa kau... engkau memang keras hati, akan tetapi di balik kekerasan hatimu kau berbudi mulia, engkau gagah perkasa dan adil. Tidak mungkin engkau memiliki kekejian membunuh Hong Ing, tapi... tapi mertuaku yang seperti gila karena duka... ah, suamimu menjadi korban dan... dan...” “Sudahlah, Kun Liong. Sebenarnya akupun sudah menyadari bahwa semua peristiwa ini bukan karena kesalahan kita berdua, sungguhpun kuakui bahwa aku marah-marah kepada isterimu karena sikap adikmu. Aku... aku tahu betapa hebat penderitaanmu, Kun Liong, aku... aku menyesal sekali dan aku kasihan kepadamu...” Kun Liong bangkit berdiri dan membalikkan tubuhnya, memejamkan mata. “Kau... kasihan kepadaku? Jangan! Aku sudah merusak hidupmu. Akulah yang amat kasihan kepadamu, Giok Keng, maka aku rela menebus kesalahanku dengan nyawa sekalipun.” Giok Keng juga meloncat berdiri, lari berputar menghadapi Kun Liong. Mereka berdiri saling pandang dengan mata basah. “Nasib kita mengapa begini buruk, Kun Liong? Mengapa kita berdua mengalami semua ini?” Kun Liong tak mampu menjawab, hanya memegang kedua tangan wanita itu. Jari-jari tangan mereka saling genggam seolah-olah mereka hendak saling minta bantuan memikul penderitaan batin mereka. Melihat Giok Keng tersedu-sedu, air mata mengalir pula dari kedua mata Kun Liong. Giok Keng mengangkat muka memandang wajah Kun Liong. Kedua pipinya bengkak dan mata kirinya membiru, ujung bibirnya pecah. Dengan tangan gemetar, Giok Keng menyentuh bengkak-bengkak itu. “Aku... ah, aku telah gila... kautentu tersiksa lahir batin oleh perbuatanku tadi...” “Jangan ulangi lagi hal itu, Giok Keng. Malah merupakan obat penawar bagiku.” “Kun Liong, aku bersumpah untuk mencari pembunuh Hong Ing sampai dapat, dan juga untuk mencari Mei Lan dan mengembalikan kepadamu.” “Dan aku bersumpah untuk membasmi Lima Bayangan Dewa, dan mencari pembunuh mertuamu sampai dapat, dan mencari Lie Seng untuk kukembalikan kepadamu.” Giok Keng tersedu dengan hati terharu, lalu tiba-tiba melepaskan tangannya dan berkata, “Kun Liong, sampai... sampai jumpa...” Dia lalu lari secepatnya meninggalkan tempat itu. Kun Liong berdiri seperti patung di tempat itu, memandang sampai bayangan Giok Keng lenyap. Apa yang telah terjadi antara mereka? Dia bengong dan kedua tangannya masih tergetar, masih merasakan getaran jari-jari tangan Giok Keng tadi. Pipinya masih merasai sentuhan jari-jari tangan yang gemetar dari Giok Keng. Apa yang terjadi antara mereka? Pertanyaan ini bertubi-tubi menghantam dinding kalbunya. Mengapa timbul keinginan hatinya untuk menghibur Giok Keng, untuk mengembalikan Giok Keng ke dalam kehidupan bahagia, untuk membela dan melindunginya? Mengapa dia merasa amat berkasihan kepada wanita itu, yang dia tahu mengalami kekosongan batin dan dia mengisi kekosongan itu? Mengapa pula dia seperti mengharapkan hiburan dari Giok Keng sehingga sentuhan jari tangan gemetar pada pipinya itu tadi menggores dalam-dalam di hatinya? “Apakah aku sudah gila? Apakah dia sudah gila?” demikian Kun Liong berbisik-bisik sambil pergi meninggalkan hutan itu. Tidak, para pembaca budiman. Kun Liong tidak gila. Giok Kengpun tidak gila. Dan pengarangpun tidak gila! Memang belas kasihan adalah getaran yang mendekatkan hati kepada cinta kasih. Di mana ada belas kasihan, berlarianlah iblis-iblis kemarahan, kebencian, iri hati dan lain-lain sehingga memungkinkan terujudnya cinta kasih. Dan hati yang penuh dengan cinta kasih, selalu ada belas kasihan. Keduanya itu tak terpisahkan. *** “Koko, bagaimana engkau sampai dapat terbebas dari tangan Si Kelabang Terbang yang cabul itu? Siapakah sebetulnya wanita yang menolongmu itu?” Kwi Eng bertanya kepada kakaknya. Mereka bermalam di sebuah rumah penginapan di kota Yen-an, karena mereka belum berani pulang ke Yen-tai di mana mereka tentu dianggap pelarian dan pemberontak. “Dia hebat sekali, Eng-moi. Seorang dewi, seorang bidadari yang cantik jelita dan gagah perkasa. Aihhhh... hebat sekali dia, adikku!” Kwi Eng tersenyum. “Ihh, kau sudah bertekuk lutut kepadanya, kau jatuh cinta dan tergila-gila kepadanya, koko!” Kwi Beng memandang kepada adiknya dengan mata terbelalak. “Begitukah? Ah, agaknya benar demikian. Siapa pula orangnya yang tidak jatuh cinta kepada seorang dara seperti dia? Sayang dia diliputi rahasia dan keanehan, dia tidak mau memperkenalkan diri dengan jelas, hanya mengaku bernama Hong. Akan tetapi bagiku, nama itu sudah cukup dan memang mengingatkan aku akan burung dewata itu, burung hong yang terbang melayang-layang di antara awan-awan di angkasa raya, sukar dicapai tangan...” “Idiihhh... kalau orang jatuh cinta memang menjadi pengkhayal dan tiba-tiba saja menjadi ahli filsafat dan sajak!” “Jangan main-main, adikku. Aku benar-behar jatuh cinta kepada Hong-moi dan aku akan mencari dia sampai dapat. Aku akan menceritakan kepada ayah dan ibu agar mereka suka mengerahkan segala daya upaya untuk menemukan Hong-moi dan melamarnya menjadi calon isteriku. Amboiii... betapa akan bahagianya hidup di samping burung dewata itu...” “Hi-hik, dan engkau akan dibawanya terbang ke angkasa raya di antara gumpalan-gumpalan awan putih...” adiknya menggoda. “Hush, jangan main-main. Aku serius. Dan kau sendiri kulihatpun tergila-gila kepada Bun Houw. Hayo kausangkal kalau berani!” Tiba-tiba kedua pipi yang sudah kemerahan itu menjadi makin merah. Bukan karena godaan ini, melainkan karena dia teringat akan peristiwa asyik-masyuk dan mesra antara dia dan Bun Houw. Kwi Eng memejamkan matanya sehingga dua baris bulu matanya yang panjang lentik itu menjadi satu, membentuk bayang-bayang indah di atas pipi bawah matanya. Dia memejamkan mata dan mulutnya terenyum, mukanya terasa panas ketika dia membayangkan dan mengenangkan ciuman itu! “Beng-koko, aku lebih baik mati saja kalau tidak bisa menjadi isterinya!” Kwi Beng terkejut. Kiranya adiknya yang bengal inipun serius sekali! Hatinya menjadi terharu dan dia memegang tangan adiknya. “Moi-moi, aku doakan semoga akan terkabul cita-citamu dan menjadi isteri Cia Bun Houw yang gagah perkasa itu. Aku akan ikut merasa bangga kalau engkau bisa menjadi isterinya, moi-moi. Akan tetapi, seperti juga aku, apakah engkau tidak mengharap terlampau tinggi? Kita ini hanyalah peranakan-peranakan barat. Dan aku menjangkau burung hong di angkasa, sedangkan engkau menjangkau putera ketua Cin-ling-pai. Apakah kita tidak akan seperti si cebol merindukan bulan?” Kwi Eng cemberut memandang kakaknya. “Koko, engkau telah terlalu merendahkan diri sendiri. Aku yakin bahwa Houw-koko cinta padaku.” “Eh, bagaimana kau bisa tahu? Apakah karena dia telah menolong dan menyelamatkanmu? Adikku yang baik, seorang pendekar seperti dia, siapapun akan ditolongnya dan hal itu sama sekali bukanlah tanda jatuh cinta.” “Engkau seorang laki-laki, tentu tidak tahu. Akan tetapi aku yakin akan cintanya, koko.” Kwi Eng tersenyum dan mengenangkan ciuman itu dengan mata bersinar-sinar. “Begitukah? Syukurlah kalau begitu, adikku. Mudah-mudahan engkau berhasil. Andaikata aku gagal menjadi jodoh Hong-moi, akan tetapi melihat engkau bahagia, maka aku rela. Kebahagiaanmu lebih penting bagiku, adikku.” Kwi Eng memeluk kakaknya. “Tidak, akupun tidak akan berbahagia kalau melihat engkau gagal, koko. Kita sehidup semati, senasib sependeritaan.” Kwi Beng menarik napas panjang dan mengelus rambut kepala adiknya. Dia mengerti apa yang dirasakan oleh adiknya yang cantik itu, perasaan yang mungkin hanya terasa oleh mereka berdua, atau oleh orang-orang yang dilahirkan kembar, suatu getaran yang menghubungkan batin mereka berdua. Beberapa hari kemudian, dengan girang kedua orang kakak beradik kembar ini mendengar akan kedatangan orang tua mereka di Yen-tai. Mereka cepat memasuki kota itu dan seperti biasa, terjadilah “jalan damai” yang sudah lajim terjadi di seluruh dunia ini, di mana ada manusia-manusia yang menyalahgunakan kekuasaannya. Yuan de Gama dan isterinya setelah mendengar urusan anak-anaknya, cepat menghubungi tikoan dan para pembesar setempat, menghaturkan maaf dan tentu saja bukan maaf melalui kata-kata dan sikap yang memegang peran penting, melainkan meaf yang dinyatakan dalam keadaan tertutup dan yang hanya dibuka setelah berada di dalam kamar para pembesar itu, dan setelah dibuka mereka itu masing-masing dengan wajah girang menghitung jumlah emas dan perak yang akan menambah perbendaharaan mereka. Dari manakah timbulnya peristiwa-peristiwa penyuapan dan penyogokan yang telah menjalar di seluruh dunia ini? Suap dan sogok dalam bentuk apapun juga, bentuk harta benda, kedudukan, nama besar, wanita, kehormatan dan sebagainya terjadi di seluruh dunia dan agaknya telah ada semenjak sejarah berkembang. Semua ini terjadi karena manusia memegang kekuasaan dan karena manusia itu selalu memiliki kelemahan, yaitu menjadi hamba dari nafsu-nafsu keinginannya, maka manusia yang memegang kekuasaan melihat bahwa kekuasaannya itu merupakan alat yang amat berguna untuk mencapai apa yang diinginkannya! Dipergunakanlah kekuasaannya untuk memaksakan kehendaknya kepada orang lain, yaitu demi terlaksananya apa yang diinginkan dan dibutuhkannya. Padahal, selama manusia mengejar keinginan, maka tidak akan ada habisnya kebutuhan hidupnya. Dan untuk memenuhi ini, manusia tidak segan-segan melakukan apapun juga sehingga timbullah pencurian, perampokan, penipuan, pemerasan dan termasuk penyuapan dan pemogokan yang menjadi akibat dari pemerasan. Oleh karena itu, segala tindak korup di dunia ini tidak akan dapat dihentikan oleh apapun juga selama manusia menjadi hamba dari nafsu-nafsu keinginannya sendiri. Selama manusia belum mengenal diri pribadi dan tidak sadar bahwa dirinyalah sumber segala kebusukan. Dunia akan menjadi sebuah tempat yang berbeda sekali apabila kita sudah tidak lagi dikejar atau mengejar kebutuhan! Sandang pangan dan tempat tinggal memang merupakan keperluan mutlak bagi manusia hidup, namun sayang, bukan yang tiga itulah sesungguhnya yang kita kejar-kejar, yang menjadi kebutuhan kita, melainkan kesenangan, kepuasan yang tidak ada ukurannya lagi akan besar dan banyaknya. Maka bahagialah mereka yang TIDAK MEMBUTUHKAN APA-APA. Bukan berarti menolak dan memantang segala sesuatu, melainkan tidak mencari dan tidak akan mengejar. Kalau ada, boleh, kalau tidakpun tidak akan mengejar, karena pengejaran ini yang menimbulkan segala macam bentuk kejahatan di dunia. Yuan de Gama dan isterinya, Souw Li Hwa, bukan orang-orang yang suka menyuap pembesar. Kiranya tidak ada orang, betapapun kayanya dia, yang suka membuang-buang uang untuk menyuap dan menyogok kanan kiri. Hal ini dilakukan dalam keadaan terpaksa, karena itu merupakan satu-satunya jalan untuk keluar dari kesulitan yang sengaja ditekankan oleh mereka yang memegang kedudukan. Mendengar akan peristiwa anak-anak mereka yang membasmi sarang bajak laut musuh besar mereka Tokugawa, yang kemudian mengakibatkan kemarahan tikoan, maka Yuan de Gama cepat-cepat mengambil jalan damai itu, menggunakan kekayaan untuk menghabiskan persoalan yang tentu akan menjadi berlarut-larut kalau dilawan dengan kekerasan. Lain kali, kalau ayah dan ibu tidak berada di rumah, kalian jangan bertindak ceroboh dan menanti saja sampai kami pulang,” Yuan de Game menegur kedua orang anaknya setelah dia berhasil membereskan urusan itu dengan emas dan perak. “Ayah, kalau kakak diculik gerombolan Tokugawa, masa aku harus tinggal diam saja?” Kwi Eng membantah ayahnya. “Anak-anak kita tidak bersalah,” kata Li Hwa dengan sabar kepada suaminya. “Agaknya engkau lupa bahwa kita bukan tinggal di barat, di mana petugas hukum lebih baik daripada di sini, suamiku. Seolah-olah engkau sudah lupa saja akan semua pengalaman kita dahulu.” Yuan de Gama memegang tangan isterinya penuh kasih sayang. “Engkau seorang pendekar wanita, isteriku sayang, tentu saja pandanganmu selalu demikian, yaitu menggunakan kekerasan menghadapi kejahatan. Ahh, kalau saja aku tidak kasihan kepadamu yang tidak betah tinggal di barat, tentu akan kuboyong semua keluarga kita ke sana.” “Kalau ayah ingin tinggal di barat, biar kami berdua tinggal di sini saja!” Kwi Eng tiba-tiba berkata dengan sikap manja? “Kami lahir di sini dan mencintai tanah ini, dan kami bahkan telah bertemu dengan para pendekar yang amat mengagumkan hati kami.” Yuan de Gama tertawa. Dia paling sayang kepada anaknya yang perempuan ini, yang selalu dimanjanya karena anak itu mirip sekali dengan isterinya. “Ha-ha-ha, darah ibumu lebih kuat mengalir di tubuhmu daripada darahku, Maria. Tentu saja engkau cinta negara dan bangsa ini.” Akan tetapi Souw Li Hwa memandang kedua orang anaknya itu penuh perhatian, lalu bertanya, “Bertemu dengan pendekar-pendekar? Siapa mereka dan di mana?” “Kami belum menceritakan pengalaman-pengalaman kami yang amat hebat kepada ibu dan ayah,” jawab Kwi Beng. “Sesungguhnya ketika ayah dan ibu pergi, kami berdua telah mengalami hal-hal yang amat luar biasa...” “Keributan di Pulau Hiu melawan anak buah Tokugawa itu?” tanya Yuan de Gama, diam-diam merasa girang dan kagum bahwa kedua orang anaknya itu mewarisi keberanian dan kepandaian ibu mereka. “Ahhh, itu sih pengalaman kecil tidak berarti!” kata Kwi Eng. “Akan tetapi dalam pertempuran kami melawan anak buah Tokugawa, kami sudah bertemu dengan seorang pendekar yang mengenal baik nama ibu. Dia adalah Tio-twako, yang bernama Tio Sun dan tahukah ibu siapa dia? Dia adalah putera tunggal dari seorang bekas pengawal yang setia dari suhu ibu...” kata Kwi Beng. “Ah, putera Ban-kin-kwi?” Souw L Hwa bertanya, segera dapat menduga setelah mendengar she orang itu. “Benar, dia amat lihai dan tanpa bantuan dia, sukar bagiku untuk menolong Beng-koko. Mula-mula aku yang bertemu dengan Tio-twako, ibu.” Dan Kwi Eng lalu menceritakan pertemuannya dengan Tio Sun ketika pemuda perkasa ini dikeroyok oleh orang-orang mabok dan dia yang sedang kebingungan karena kakaknya diculik Tokugawa, melihat kelihaian Tio Sun lalu belajar kenal dan minta bantuannya. Girang sekali hati Souw Li Hwa mendengar betapa putera dari bekas pengawal suhunya itu telah menolong menyelamatkan puteranya. “Di mana dia sekarang, mengapa tidak kalian tahan supaya bertemu dengan kami di sini?” “Dia sudah pergi, ibu, bersama para pendekar yang lain. Ibu den ayah tentu terkejut sekali mendengar pengalaman kami selanjutnya,” kata Kwi Beng. “Beng-koko, biar aku yang bercerita kepada ibu!” Kwi Eng memotong kata-kata kakaknya. Kwi Beng tersenyum dan menggerakkan pundaknya, kebiasaan yang merupakan ciri khas dari ayahnya! “Pertama-tama ibu dan ayah berdua agar jangan kaget. Kami berdua telah bertemu dengan putera ketua Cin-ling-pai yang bernama Cia Bun Houw!” “Aihhh...!” Souw Li Hwa terkejut dan Yuan de Gama juga tercengang karena tidak menyangka bahwa anak-anaknya akan berjumpa dengan putera Pendekar Sakti Cia Keng Hong. “Juga dengan seorang pendekar wanita yang kepandaiannya seperti dewi kahyangan, namanya nona Hong. Sayang kami tidak tahu siapa nama lengkapnya dan murid siapa dia itu.” Kwi Bang yang sudah tidak sabar itu segera memperkenalkan dara yang menjadi pujaan hatinya. “Dan selain putera ketua Cin-ling-pai, juga kami bertemu dengan puterinya...” “Apa? Cia Giok Keng?” Souw Li Hwa bertanya dan Kwi Eng mengangguk. “Aihh, singa betina itu masih muncul di dunia kang-ouw?” Yuan de Gama juga bertanya dengan kagum. “Masih ada lagi, ibu,” Kwi Eng berkata lagi, gembira menyaksikan betapa ayah dan ibunya dilanda kekagetan yang bertubi-tubi, “dan ibu pasti tidak dapat menduga siapa dia.” Suami isteri itu bengong terlongong mendengar semua cerita itu, kadang-kadang menahan napas kalau mendengar bagian-bagian yang menegangkan, apalagi ketika mendengar betapa nyaris puteri mereka diperkosa oleh Toat-beng-kauw Bu Sit. Setelah ada kesempatan bicara, Yuan de Game tertawa. “Ha-ha-ha, ternyata kalian berdua adalah petualang-petualang seperti juga ibu kalian!” “Aihh, apakah bapaknya juga bukan seorang petualang besar? Kalau bukan, masa jauh-jauh dari begian dunia lain di barat datang ke sini dan menikah dengan seorang wanita pribumi?” Souw Li Hwa mencela suaminya dan Yuan de Gama hanya tertawa. “Ibu, Eng-moi jatuh cinta kepada penolongnya, kepada Cia Bun Houw!” tiba-tiba Kwi Beng berkata. Sebelum ayah dan ibu itu hilang kagetnya, Kwi Eng juga sudah membalas kakaknya, “Dan Beng-koko tergila-gila kepada burung... eh, nona Hong yang menyelamatkannya dari Hui-giakang Ciok Lee Kim!” “Eng-moi bilang lebih baik mati kalau tidak menjadi isteri Cia Bun Houw!” Kwi Beng kembali membalas. “Dan Beng-ko bersumpah untuk mencari nona Hong yang seperti dewi itu!” Kwi Eng membalas. Ayah dan ibu itu saling pandang dan Souw Li Hwa mendengar suaminya menarik napas panjang. “Aha...! Sampai lupa aku bahwa anak-anakku telah menjadi dewasa!” “Engkau sih hanya ingat berdagang saja!” Souw Li Hwa mencela. Kemudian, dia memandang kedua orang anaknya dan berkata, “Beng-ji dan Eng-ji, jangan kalian main-main dengan urusan cinta. Hati yang muda memang mudah sekali tergelincir dan tertarik akan yang indah-indah. Jangan lantas menentukan bahwa kalian jatuh cinta kalau kalian hanya tertarik oleh seseorang karena kegagahan dan keelokan wajahnya.” “Tidak, ibu. Aku dan dia... Houw-koko itu, kami... sudah saling mencinta. Dan... aku diselamatkan olehnya dalam keadaan seperti itu, ibu. Aku telah bersumpah bahwa hanya ada dua pria saja yang melihatku dalam keadaan seperti itu, yang pertama adalah iblis yang telah mampus itu, dan kedua adalah calon suamiku.” “Dan bagiku juga tidak ada wanita seperti dia, ibu. Aku harus berjodoh dengan dia, kalau tidak... hidupku tentu akan merana.” Kwi Beng juga berkata. Souw Li Hwa mengerutkan alisnya dan memandang kepada suaminya dengan sinar mata marah. Melihat ini, Yuan de Gama yang amat mencinta isterinya lalu tersenyum dan berkelakar, “Nah, nah, kenapa marah-marah kepadaku? Mereka sudah dewasa dan jatuh cinta, apa salahnya?” “Apa salahnya? Inilah akibat perbuatanmu, tahu!” “Eh, eh! Kok jadi aku yang kausalahkan, isteriku yang manis?” “Yuan de Gama, ini adalah gara-gara engkau mengajarkan Bahasa Portugis kepada mereka, lalu kausuruh mereka baca buku-buku roman itu!” “Aihhhh...! Cinta kasih mana bisa dipelajari dari buku? Kalau memang tidak ada rasa di hati, masa mereka begitu mati-matian?” “Sudahlah, kita harus urus hal ini. Anak-anak kita baru saja berkenalan dengan mereka dan dengan dunia kang-ouw. Anak-anak kita belum berpengalaman. Aku akan mengajak mereka pergi berkunjung ke Cin-ling-pai. Pertama untuk memberi hormat kepada Cia-taihiap dan keluarganya, kedua untuk mempererat hubungan. Setelah ada ikatan hubungan persahabatan, baru kita boleh pikir-pikir tentang hubungan perjodohan itu.” “Kita ke Cin-ling-pai, ibu? Horaaaayyyyy...!” Kwi Eng sudah girang sekali dan berloncatan, akan tetapi meringis karena kaki kirinya belum sembuh sama sekali dan dia terpincang-pincang duduk kembali di atas kursinya. “Dan kita selidiki tentang nona Hong itu,” kata pula Kwi Beng dan ibunya mengangguk. “Memang sebaiknya begitu, pula, engkau sudah terlalu lama terkurung di sampingku, isteriku sayang. Padahal dahulu engkau adalah seorang pendekar wanita yang biasa terbang bebas. Biarlah kau kukeluarkan dari kurungan untuk sementara, bersama anak-anakmu. Dengan kau di samping mereka, hatiku takkan merasa gelisah. Aku akan menjaga rumah di sini mengurus pekerjaan.” “Dagang lagi...!” isterinya mencela. “Bukan hanya itu! Kalau aku pergi ke pedalaman, tentu hanya akan menimbulkan hal-hal yang tidak baik dan tidak enak saja. Engkau tentu mengerti akan hal ini, isteriku yang tercinta. Ataukah, engkau tidak bisa berpisah dariku, padahal baru saja kita melakukan perjalanan bulan madu kedua sampai berbulan-bulan ke barat?” Yuan de Gama memeluk dan mencium isterinya di depan anak-anaknya karena hal ini memang biasa bagi mereka. “Phuahhh...! Siapa yang tidak dapat berpisah?” Li Hwa mencela akan tetapi setelah membalas ciuman suaminya itu. Kedua orang anaknya tertawa, sudah biasa mereka menyaksikan ayah dan ibu mereka itu bergurau, bercinta, dan kadang-kadang pura-pura bereckcok, padahal semua itu hanya sebagai tanda kasih sayang satu sama lain. Ibu dan dua orang anaknya itu lalu bersiap-siap. Mereka akan menanti sampai kaki kiri Kwi Eng sembuh sama sekali, baru akan melakukan perjalanan. Sebagai keluarga kaya, mereka akan melakukan perjalanan dengan berkuda, karena ketiganya pandai menunggang kuda dan tentu saja mereka akan membawa bekal secukupnya, karena perjalanan dari Yen-tai ke Cin-ling-san bukan merupakan perjalanan yang dekat. Daya tarik yang saling mempengaruhi pria den wanita adalah suatu kewajaran dan pembawaan dalam diri manusia, seperti terdapat pada mahluk apapun di permukaan bumi ini. Daya tarik ini menimbulkan rasa suka, rasa cinta antara pria den wanita, membuat masing-masing ingin saling mendekati, saling sentuh, saling belai den saling berkasih mesra, sedekat mungkin sehingga menimbulkan keinginan untuk bersatu badan dan hati. Hal ini sudah wajar, sudah benar, dan sudah merupakan sifat alamiah yang ada pada diri manusia. Hubungan kelamin seperti yang lajimnya dikenal dengan sebutan sex bukanlah hal yang kotor, bukanlah suatu hal yang menjijikkan atau memalukan. Sebaliknya malah, sex merupakan hal yang amat indah, yang suci, asalkan timbul dari naluri yang wajar, timbul dari gairah yang memang ada dalam diri manusia, timbul dari rasa cinta antara pria dan wanita karena daya tarik alamiah itu. Hubungan sex adalah suatu hal yang terhormat, suatu kenikmatan hidup yang patut dan layak dialami oleh setiap orang manusia, asal saja dilakukan dengan wajar dan dengan mata terbuka, dengan penuh kesadaran dan BUKAN DALAM KEADAAN DIMABOK NAFSU sehingga menjadi perbuatan membuta den menjadi hamba daripada nafsu berahi belaka. Kalau sudab begini, maka berobahlah sifatnya hubungan kelamin, menjadi kotor den najis, menjadi sumber dari kenikmatan palsu yang membawa kepada jurang kedukaan den kesengsaraan lahir batin. Kenikmatan hubungan kelamin adalah suatu kurnia hidup, suatu keindahan hihup, merupakan bagian dari kehidupan dan cinta kasih, tidak terpisah-pisah. Sex bukanlah yang mutlak terpenting dalam hidup, bukan pula hal yang diremehkan. Akan tetapi, seperti segala sesuatu dalam hidup, apabila sex sudah merupakan suatu kebutuhan yang dicari-cari, yang dikejar-kejar, maka hal itu akan hanya membawa kita ke dalam jurang kesesatan langkah yang akhirnya akan menghancurkan kita sendiri. Sia-sia belaka mereka yang mencari kesucian dengan menjauhi dan menganggap hubungan sex sebagai suatu pantangan, lalu bertapa, atau menyendiri, akan tetapi di dalam hatinya tersiksa karena digerogoti oleh nafsunya sendiri! Nafsu apapun bukan harus dipantang, bukan harus ditekan, melainkan semestinya dipandang, dimengerti! Bagaikan api, nafsu bukan harus ditutup karena api itu tidak akan padam, seperti api dalam sekam yang sewaktu-waktu akan membakar pula. Api nafsu itu semestinya dipandang dan dari pandangan ini timbul kewaspadaan, timbul kesadaran, dan api itu akan menjadi nikmat dan manfaat hidup, bukan merusak. Hubungan kelamin yang merupakan sesuatu yang amat indah dan murni, di mana manusia kehilangan akunya, akan berobah menjadi nafsu berahi yang membakar dan memperbudak jika pengalaman ini disimpan di dalam ingatan! Dengan mengingat-ingat, mengenangkan kenikmatan dalam hubungan atau pengalaman itu, timbullah nafsu berahi yang mendesak dan menggelora batin, yang membuat kita menjadi hambanya dan mulailah kita mengejar dan mencari, ingin mengalami lagi kenikmatan itu dan dengan demikian, kenikmatan ini menjadi satu di antara kepentingan-kepentingan hidup yang dikejar-kejar untuk didapatkan, maka mulailah pula langkah-langkah sesat kita ambil demi untuk memperolehnya! Maka sudah jelaslah bahwa hubungan kelamin baru benar apabila dilakukan oleh sepasang manusia yang saling mencinta sebagai puncak daripada kasih mesra yang saling ditujukan sebagai tanda bersatunya badan dan hati. Apabila hubungan ini dilakukan oleh sepasang manusia tanpa dasar cinta kasih, maka itu hanyalah dorongan nafsu berahi belaka dan tidak dapat dihindarkan lagi tentu akan mengakibatkan duka dan kesengsaraan, penyesalan dan kekecewaan. Di manapun, bilamanapun, siapapun dapat saja mengalami hal-hal yang berhubungan dengan asmara antara pria dan wanita, dan siapapun juga yang belum sadar akan diri sendiri, belum mengenal diri pribadi dan segala kelemahannya, betapapun cintanya dia, betapapun terpelajarnya dia dapat saja menjadi korban yang amat lemah dari cengkeraman nafsu berahi. Gadis yang cantik manis dan masih muda belia itu menangis seorang diri di bawah sebatang pohon besar, terlindung dari perkampungan oleh serumpun bambu kuning yang tumbuh dengan suburnya dan sedikitnya mempunyai kelompok yang terdiri dari dua puluh batang lebih. Angin Pegunungan Cin-ling-san bertiup lembut, namun cukup menggerak-gerakkan daun-daun bambu yang lincah sehingga menimbulkan desau dan desah gemersik daun yang resah, seresah hati dan pikiran dara muda belia yang menangis lirih itu. Biarpun suara tangisnya lirih, namun guncangan pundaknya yang keras menandakan bahwa tangisnya keluar dari hati yang sedang remuk. Gadis ini adalah Yalima, gadis Tibet yang kini tinggal di Cin-ling-san, yang oleh In Hong ditinggalkan di Cin-ling-pai karena menurut In Hong, Yalima harus dijodohkan dengan Cia Bun Houw karena menurut pengakuan Yalima, pemuda putera Cin-ling-pai itu adalah pacar gadis Tibet itu. Biarpun ketua Cin-ling-pai, yaitu Cia Keng Hong, bersikap cukup manis biarpun jarang bicara terhadap gadis Tibet ini, dan biarpun dia diperlakukan dengan sikap yang cukup ramah dan dihormati oleh para pelayan dan anak murid Cin-ling-pai karena dia dianggap sebagai seorang “sahabat baik” dari Cia Bun Houw, namun Yalima merasa tidak betah tinggal di situ. Hal ini terutama sekali karena dia merasa benar bahwa sesungguhnya dirinya tidak disuka di tempat itu, dan kadang-kadang rasa tidak suka ini tercermin keluar dari wajah nyonya ketua atau ibu Bun Houw! Memang sebenarnya demikianlah. Di dalam hati kecil Sie Biauw Eng, nenek yang menjadi isteri ketua Cin-ling-pai itu, terdapat rasa tidak puas mendengar bahwa puteranya berpacaran dengan Yalima, bahwa puteranya ingin memperisteri gadis Tibet yang bodoh, lemah dan buta huruf itu. Sungguh tidak sesuai menjadi isteri puteranya, menjadi mantunya! Nenek perkasa ini memang maklum bahwa pendapatnya yang demikian itu adalah tidak benar sama sekali, bahwa perjodohan adalah berdasarkan suka sama suka, bardasarkan kasih sayang, dan segala macam kedudukan, kepandaian dan harta kekayaan sama sekali tidak ada hubungannya dengan itu. Namun, sebagai seorang wanita, sukar baginya untuk merelakan puteranya yang dianggapnya paling tampan, paling lihai dan paling hebat itu berjodoh dengan seorang gadis dusun Suku Bangsa Tibet yang pada waktu itu dalam pandangan umum merupakan bangsa setengah biadab! Yalima menangis, di dalam hatinya dia mengeluh dan mengadukan nasibnya kepada para dewa yang dipujanya, para dewa yang tinggal di puncak-puncak Pcgunungan Himalaya, yang tahu akan segala derita manusia dan yang bertugas mengatur nasib manusia! Diam-dam dia menyesali dirinya sendiri yang lemah, yang telah tergelincir sehingga kini dia menghadapo malapetaka, menghadapi aib dan mungkin sekali akan menerima kemarahan hebat dari ketua Cin-ling-pai dan isterinya! Semua yang dialaminya selama dia tinggal di Cin-ling-san empat lima bulan lamanya, teringat dengan jelas menjadi bayang-bayang di antara linangan air matanya.   Mula-mula terjadi kurang lebih dua bulan yang lalu. Dia telah tinggal hampir tiga bulan di Cin-ling-san dan setiap hari dia merindukan Bun Houw dan menanti-nanti kembalinya pemuda yang dikaguminya itu. Akan tetapi yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang dan sikap ibu pemuda itu terhadap dirinya dirasakannya kurang manis, bahkan kadang-kadang dia menerima omelan kalau dia kurang rajin membantu para pelayan. Mulailah dia membayangkan betapa akan susah hatinya kalau kelak dia sudah menjadi isteri Bun Houw, menjadi mantu dari nyonya tua yang agaknya tidak suka kepadanya itu! Sebagai mertua, tentu nyonya itu akan lebih galak lagi sikapnya! Teringat dia akan cerita-cerita rakyat bangsanya tentang nasib mantu-mantu yang tidak disuka mertuanya, diperlakukan lebih rendah dan lebih kejam daripada budak belian! Mulailah dia merasa bimbang hati, dan mulailah terasa olehnya betapa jauh perbedaan tingkat antara dia dan Bun Houw. Dahulu, di waktu Bun Houw masih ikut dengan gurunya, Kok Beng Lama seorang pendeta yang hidup sederhana, perbedaan ini tidak nampak benar. Akan tetapi sekarang, di rumah ketua Cin-ling-pai, melihat betapa keluarga Bun Houw adalah keluarga pendekar dan ketua perkumpulan yang begitu dihormat oleh para anak murid dan pelayan, melihat betapa para pelayan perempuan di rumah itupun rata-rata memiliki kepandaian silat dan pandai pula membaca, mulailah dia melihat betapa rendah kedudukannya dibandingkan dengan Bun Houw.   Demikianlah, dua bulan yang lalu ketika dia mendapat marah dari nyonya ketua karena kebodohannya ketika diajar menulis membaca oleh seorang pelayan. Yalima lari ke tempat sunyi di balik rumpun bambu kuning ini dan menangis dengan amat sedihnya. Dia rindu akan kampung halaman, rindu kepada ayah bundanya, akan tetapi mana mungkin dia pulang ke Tibet? Andaikata dia nekat pulang juga, tidak urung akan dihajar oleh ayahnya dan dipaksa menjadi selir seorang bangsawan tua, menjadi semacam barang permainan, disayang sewaktu masih baru dan ditendang serta disia-siakan kalau sudah bosan!   Selagi dia menangis sedih itu, tiba-tiba terdengar teguran halus, “Yalima, mengapa engkau menangis seorang diri di sini?”   Yalima terkejut, akan tetapi ketika dia mengangkat muka memandang dan mengenal bahwa yang menegurnya itu adalah Kwee Tiong, pemuda yang selalu bersikap baik dan halus kepadanya, dia menunduk lagi dan menangis makin sedih, seolah-olah datang seorang sahabat baiknya yang berbela sungkawa atas nasibnya.   Kwee Tiong segera berlutut di dekat dara itu. Semenjak Yalima tinggal di situ pemuda ini memang sudah terpikat dan tergila-gila, menganggap bahwa dara itu memiliki kecantikan yang amat luar biasa, kecantikan yang khas dan aneh namun yang amat menarik hatinya. Diam-diam Kwee Tiong juga menganggap bahwa dara Tibet itu, yang jelas merupakan seorang gadis dusun, tidak pantas menjadi isteri Cia Bun Houw, putera seorang ketua Cin-ling-pai yang terkenal. Bun Houw pantasnya berjodoh dengan seorang puteri istana atau setidaknya seorang puteri bangsawan, hartawan atau puteri seorang pendekar lain. Dan Yalima, bunga dusun yang segar dan murni itu, lebih pantas menjadi jodohnya! Kwee Tiong adalah putera tunggal dari mendiang Kwee Kin Ta, telah berusia dua puluh lima tahun dan belum menikah. Pemuda ini tidak terlalu tampan, juga tidak buruk, sedang saja akan tetapi seperti rata-rata pemuda Cin-ling-pai, dia memiliki sifat-sifat kegagahan.   “Yalima, apakah yang menyusahkan hatimu? Percayalah, aku akan suka menolongmu, Yalima.”   Mendengar suara yang begitu halus dan penuh getaran, Yalima mengangkat muka memandang, menghapus air matanya dan dia menggeleng kepala. “Tidak ada apa-apa, kongcu (tuan muda)... aku hanya... hanya tidak kerasan di sini... dan aku rindu kampung halamanku...”   “Ahh, jangan menyebut aku kongcu. Engkau tahu bahwa aku hanyalah anak murid di sini, dan mendiang ayahku dahulupun hanya murid dan juga pelayan. Aku orang biasa seperti juga engkau, Yalima. Kau tahu namaku Kwee Tiong dan kausebut saja kakak kepadaku.”   “Terima kasih, Kwee-koko.” Mendengar kata-kata yang halus dan sikap yang ramah ini sudah agak terobatilah rasa hati Yalima dan dia kini dapat tersenyum sedikit sungguhpun kedua pipinya masih basah air mata. Melihat wajah yang demikian cantiknya, pipi yang basah itu kemerahan, mata yang lebar dan jeli itu seperti mata seekor kelinci ketakutan minta perlindungan, mulut yang kecil itu dengan bibir penuh kemerahan seperti buah ang-co kemerahan yang sudah masak dan berkulit tipis sekali sehingga agaknya kalau tergigit sedikit saja tentu akan pecah dan mengeluarkan cairan yang manis, jantung Kwee Tiong berdebar keras dan hatinya dipenuhi keharuan yang mendalam. Dikeluarkannya saputangannya, dan dengan gerakan halus penuh kasih sayang diusapnya kedua pipi yang basah air mata itu, kemudian saputangan itu dia berikan kepada Yalima sambil tersenyum berkata, “Nih, kaukeringkanlah mata dan hidungmu.”   Yalima terbelalak, memandang dengan hati penuh rasa syukur dan keharuan, sehingga air matanya kembali bercucuran. Dia menerima saputangan itu, menyusuti air matanya dari kedua pipinya, menyusut hidungnya sampai saputangan itu menjadi basah semua! Dia akan mengembalikan saputangan itu, akan tetapi ketika Kwee Tiong menerimanya, dia menarik kembali saputangan itu sambil berkata, “Akan kucuci lebih dulu, kongcu... eh, koko, besok setelah bersih kukembalikan.”   “Tidak usah...” Kwee Tiong menarik saputangannya akan tetapi dipertahankan oleh Yalima.   “Saputanganmu kotor, koko...”   “Tidak, sebaliknya malah. Aku ingin menyimpannya bersama... bekas air matamu, Yalima.”      Merah seluruh muka dara itu dan dengan tangan gemetar dia melepaskan saputangannya. Dengan mata terbelalak keheranan dia melihat Kwee Tiong mencium saputangan basah itu sebelum menyimpannya di dalam saku bajunya. “Kwee... koko... mengapa kaulakukan itu...?” Yalima bertanya, hatinya tergetar keras. “Mengapa? Karena... karena aku cinta padamu, Yalima. Engkau cantik seperti bidadari, engkau segar seperti bunga di puncak gunung, wajah seperti daun bambu kuning itu, dan engkau... sendirian dan patut dilindungi mati-matian.” “Kwee-koko...! Apa artinya ini?” Yalima masih memandang terbelalak, terkejut bukan main karena sungguh tak disangkanya bahwa pemuda yang dikiranya hanya baik dan kasihan kepadanya itu ternyata mencintanya sedemikian rupa! “Artinya? Aku cinta padamu dan aku akan melindungimu dengan taruhan nyawaku. Akan tetapi... ah, engkau... engkau adalah calon jodoh Cia-kongcu...” Kwee Tiong membalikkan tubuhnya memandang ke lain jurusan, suaranya tergetar penuh kedukaan. Wanita juga adalah seorang manusia biasa, dari darah dan daging, dengan hati dan perasaan yang amat lemah dan halus. Wanita selalu haus akan kasih sayang orang lain, terutama kasih sayang pria. Telah lama sekali, semenjak berpisah dari Bun Houw, Yalima mengalami banyak kesengsaraan dan rasa rindunya terhadap Bun Houw tak pernah terobati karena selama itu dia tidak pernah bertemu dengan Bun Houw. Dahulu, di waktu dia masih berada di Tibet, Yalima bertemu dengan Bun Houw dan tentu saja dia tertarik sekali, bukan hanya karena Bun Houw amat tampan, akan tetapi karena di perkampungannya, dia melihat pemuda-pemuda Tibet tidak ada yang segagah Bun Houw. Pemuda-pemuda sekampungnya adalah orang-orang pegunungan yang sederhana, tidak pandai berlagak, maka tentu saja Bun Houw kelihatan menonjol dan sekaligus memikat hatinya. Kini, di Cin-ling-pai, dia melihat banyak sekali pemuda perkasa, biarpun tidak mudah mencari seorang pemuda seperti Bun Houw, namun dibandingkan dengan para pemuda di Pegunungan Tibet, para pemuda Cin-ling-pai merupakan pemuda-pemuda yang jauh lebih unggul dalam segala-galanya! Sejak sejarah berkembang sampai kini, hati wanita memang amat lemah terhadap sikap manis dan bujuk rayu pria. Memang sudah menjadi naluri wanita dan segala jenis mahluk betina untuk memancing perhatian dan pujian dari lawan jenisnya, untuk memperkuat daya tariknya terhadap golongan jantan dan akan banggalah hatinya kalau golongan jantan terpikat oleh kecantikannya. Wanita haus akan pujian pria, hal ini wajar sungguhpun kaum wanita suka menyembunyikannya, bahkan kadang-kadang berdalih marah-marah kalau dipuji, sungguhpun di dalam hatinyat pujian dari mulut dan pandang mata pria merupakan peristiwa yang paling mengesankan di dalam hatinya. Yalimapun demikian pula. Apalagi dia, seorang dara remaja yang sedang dewasa, bagaikan bunga sedang mekar semerbak, mempunyai daya tarik yang tersembunyi di dalam keindahannya, warnanya dan keharumannya agar menarik datangnya kumbang jantan. Yalima sedang kesepian dan rindu akan rayuan dan pujian Bun Houw yang tidak pernah datang, apalagi pada saat itu dia sedang merasa sengsara hatinya karena merasa tidak disuka. Padahal, tidak disuka ini merupakan kedukaan paling hebat bagi wanita. Tidak disuka berarti tidak dibutuhkan, padahal wanita haus akan perasaan dibutuhkan ini, apalagi dibutuhkan oleh pria, dibutuhkan oleh anak-anaknya. Dalam keadaan “kosong” seperti itu, muncullah Kwee Tiong dalam hidupnya, tentu saja merupakan embun pagi bagi setangkai bunga yang kekeringan, merupakan curahan hujan bagi pohon yang kehausan! Mula-mula hubungan mereka hanya sebagai sahabat yang akrab dan karib sekali. Yalima mulai bergembira hatinya karena Kwee Tiong pandai menghiburnya. Dengan usianya yang sudah dua puluh lima tahun, sudah cukup dewasa dan matang, Kwee Tiong bahkan lebih pandai merayu dibandingkan dengan Bun Houw yang masih hijau. Dan Kwee Tiong betul-betul jatuh cinta kepada Yalima sehingga akhirnya runtuhlah pertahanan Yalima, runtuhlah sisa-sisa kesetiaannya terhadap Bun Houw yang hendak dipertahankannya. Hal ini bukan berarti bahwa Yalima adalah seorang wanita yang tidak setia, melainkan karena jalinan cintanya dengan Bun Houw masih belum kuat benar, atau yang lebih terkenal dinamakan cinta monyet, atau cinta muda-mudi yang masih mentah dan yang hanya sekedar tertarik oleh lahir belaka, belum mendalam sampai ke batin sehingga mudah luntur! Sebaliknya, getaran sayang Kwee Tiong terasa oleh Yalima, menjatuhkannya dan bujukan-bujukan Kwee Tiong membuat Yalima gadis dusun itu menjadi mabok kepayang. Kwee Tiong maklum akan bahayanya hal ini. Dia jatuh cinta kepada pacar Cia Bun Houw! Akan tetapi, karena cintanya memang bukan hanya cinta berahi belaka, dia berani menghadapi segala akibatnya, bahkan dia lalu membujuk dan merayu Yalima sehingga Yalima akhirnya runtuh dan menyerahkan dirinya dengan suka rela dan dengan gairah yang menggelora. Terjadilah hubungan badan di antara kedua orang muda itu! Hal ini disengaja oleh Kwee Tiong karena dia maklum bahwa hanya inilah satu-satunya jalan agar Yalima menjadi isterinya! Kwee Tiong lupa bahwa jalan menuruti nafsu adalah jalan yang tak mengenal mundur lagi. Sekali melangkah, harus dilanjutkan dengan langkah-langkah lain, karena nafsu berahi adalah seperti api yang membakar dan terus menjalar makin membesar. Sekali dituruti secara membuta, akan makin menggelora. Demikian pula halnya dengan Kwee Tiong dan Yalima. Hubungan pertama kali yang hanya disaksikan oleh tumbuh-tumbuhan, terutama oleh rumpun bambu kuning membuat pertahanan mereka bobol dan hubungan itu dilanjutkan terus-menerus setiap kali ada kesempatan. Hanya rumpun bambu kuning itulah yang menjadi saksi betapa mesranya keadaan mereka, betapa mereka telah lupa diri, lupa keadaan dan kehilangan pertimbangen, kehilangan kesadaran, hanya memejamkan mata menulikan telinga menurut nafsu berahi yang membakar dan yang memperhamba mereka berdua. Dan pagi hari itu, Yalima menangis seorang diri di dekat rumpun bambu kuning! Setelah dua bulan mereka melakukan hubungan gelap seperti itu, kini terasalah suatu kelainan pada dirinya. Naluri kewanitaannya memberi tahu kepada dara yang bodoh ini akan perobahan itu dan pagi hari itu, sambil menanti munculnya kekasihnya, ia menangis lirih namun hatinya seperti disayat-sayat rasanya. Dia telah mengandung! Betapa banyaknya di dunia ini terjadi peristiwa seperti yang dialami oleh Yalima. Betapa banyaknya gadis-gadis di dunia ini yang terbujuk oleh nafsu berahi, mengadakan hubungan kelamin di luar pernikahan dan mengandung! Lebih celaka lagi, betapa banyaknya akibat-akibat yang amat mengerikan dan hebat terjadi sebagai lanjutan dari peristiwa ini. Bunuh diri, pengguguran, pembunuhan dan sebagainya! Betapa lemah dan piciknya manusia! Salahkah Yalima dan gadis-gadis seperti dia itu? Berdosakah mereka? Siapakah yang bersalah kalau terjadi hal seperi itu? Si gadiskah? Si pemudakah? Atau keadaan? Pergaulan? Pendidikan? Tidak ada gunanya menyalahkan siapapun juga, karena kalau diusut, semuanya salah! Memang kehidupan manusia, cara hidup manusia seperti yang kita hayati selama ribuan tahun ini salah dan palsu adanya! Kita hidup seperti mesin, kita hidup seperti alat-alat mati, kita hidup hanya menurut garis-garis yang telah ditentukan oleh manusia-manusia lain, manusia-manusia terdahulu yang merupakan tradisi, ketahyulan, hukum-hukum yang mati dan kaku. Kita hidup dituntun, dibimbing, dikurung dan dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan contoh-contoh dan pola-pola yang telah dibangun oleh “peradaban” sejak ribuan tahun. Peradaban yang sesungguhnya tidak beradab! Segala sesuatu dalam hidup, baik buruknya dipandang dari segi hukum dan ketentuan umum, sehingga segalanya palsu adanya! Kesopanan dipandang dari pakaian dan sikap yang sesungguhnyapun hanya pakaian yang tak nampak, dan ini sudah menjadi pendapat umum yang mati. Padahal kesopanan letaknya di dalam batin, bukan di dasi atau sepatu! Demikian pula, kebenaran, kebajikan, budi dan lain-lain ditukar dari pendapat umum yang hanya memperhatikan lahiriah belaka! Padahal sumbernya adalah di dalam batin, dan hanya diri sendirilah yang dapat mengerti apakah kesopanan yang dilakukan itu, apakah kebajikan dan lain sebagainya yang dilakukan itu palsu belaka, pura-pura belaka, ataukah wajar! Kalau wajar dan tulus, tanpa pamrih, tanpa diikat oleh aturan-aturan lahiriah, itu barulah benar! Hukum pula yang menentukan bahwa hubungan kelamin baru benar kalau dilakukan setelah pria dan wanita itu menikah! Atau baru benar kalau dilakukan oleh orang-orang yang berjual beli dan sudah disyahkan pemerintah! Benarkah demikian? Kalau kita mau membuka mata batin, mau mempelajari diri sendiri, menjenguk hati dan pikiran sendiri, memandangnya dengan bebas, kiranya akan terlihat bahwa tidak benarlah demikian itu. Biarpun sudah disyahkan oleh hukum pernikahan, biarpun sudah disebut suami isteri oleh umum, kalau hubungan itu dilakukan tanpa adanya cinta kasih, melainkan hanya sebagai alat untuk mencari kepuasan dan kesenangan diri pribadi belaka, maka hubungan kelamin macam itu pun kotor dan palsu adanya! Sama saja dengan perbuatan menolong orang lain yang oleh pandangan umum disebut baik, akan tetapi kalau di dalam batinnya pertolongan itu dilakukan dengan pamrih, dilakukan sebagai alat untuk mencari pujian, untuk mencari balas jasa, maka “pertolongan” macam itupun kotor dan palsu adanya! Jadi yang mutlak menjadi mutu setiap perbuatan adalah dasarnya, dasar batiniahnya. Pengarang tidak hendak mengatakan bahwa perbuatan Yalima dan Kwee Tiong itu benar! Sama sekali tidak! Hanya hendak mengajak pembaca untuk membuka mata melihat segala kepalsuan dalam hidup, termasuk kepalsuan dalam urusan hubungan sex! Kwee Tiong dan Yalima patut dikasihani. Mereka berdua hanyalah menjadi akibat dari keadaan hidup kita sejak dahulu sampai sekarang. Mereka berdua belum mengerti, dan pengertian ini, baik bagi yang muda maupun bagi yang tua, hanya terdapat kalau kita sudah mengenal diri sendiri setiap saat! Pengenalan diri sendiri mendatangkan kewaspadaan dan kewaspadaan ini menghentikan segala perbuatan yang tidak benar! Kita tidak berhak membenarkan atau menyalahkan Yalima dan Kwee Tiong! Setiap perbuatan yang dilakukan oleh manusia, menjadi tanggung jawab si manusia itu sendiri, setiap buah dari pohon yang ditanam akan dipetik oleh tangan si penanam itu sendiri. Yang pasti, segala macam bentuk kesenangan yang dicari-cari, dikejar-kejar, dinikmati dan mendatangkan kepuasan sementara, sudah pasti disertai oleh kedukaan karena suka duka merupakan saudara kembar yang tak terpisahkan! “Yalima...!” Yalima terkejut karena lamunannya yang jauh sekali tadi membuat dia seolah-olah melayang di angkasa dan ada hasrat aneh di hatinya untuk terjun dari angkasa itu, sehingga tubuhnya akan hancur lebur dan dia akan terbebas dari siksa batin yang amat menakutkan itu. “Koko...!” Dia berlari dan menubruk kekasihnya sambil menangis sesenggukan. “Tenanglah, Yalima. Apa yang terjadi? Apakah kau dimarahi oleh subo (ibu guru) lagi?” “Tidak... tidak... akan tetapi kita celaka... aku celaka, koko...” “Eh, eh, celaka bagaimana? Aku berada di sini dan aku selalu mencintamu, selalu akan menjaga dan melindungimu, Yalima.” “Koko... aku... telah mengandung...” “Heiiiiiiii...?” Kwee Tiong terkejut bukan main, matanya terbelalak dan wajahnya pucat, akan tetapi hanya sebentar saja karena dia lalu merangkul Yalima, memeluk pinggangnya dan mengangkat dara itu diputar-putarnya sambil tertawa-tawa gembira! “Eh, eh, turunkan aku...!” Yalima menjerit dan setelah dia diturunkan, dia memegang kedua tangan kekasihnya itu sambil berkata dengan air mata berlinang. “Koko, apakah engkau sudah gila? Bagaimana engkau bisa bergembira seperti itu mendengar bahwa aku telah mengandung? Kita berdua, atau setidaknya aku tentu akan celaka...” “Tentu saja kita berbahagia dan gembira! Kita akan mempunyai anak! Siapa pula yang akan mencelakakan kita?” “Cia loya dan nyonya...” “Hushh! Guruku itu adalah seorang pendekar sakti yang budiman, demikian pula isterinya. Kau tidak perlu khawatir, akulah yang akan memberi tahu kepada mereka, dan aku pula yang akan menanggung segala hukumannya kalau memang kita berdua dipersalahkan!” Yalima menyandarkan mukanya di dada kekasihnya. Dia merasa agak terhibur akan tetapi tetap saja dia merasa menyesaL “Ah, koko, mengapa kita melakukan hal itu? Sekarang kita tertimpa aib dan malu...”   Memang kusengaja, kekasihku. Aku sendiripun tahu bahwa perbuatan kita itu tidak benar dan akan membawa kita kepada aib, malu dan duka. Akan tetapi, aku terlalu cinta padamu, aku tidak ingin melihat engkau menjadi isteri orang lain, maka aku menempuh jalan nekat itu. Biarlah, kini aku yang akan menanggung. Sekarang juga aku akan menghadap suhu dan subo, dan kau kembalilah ke tempat kerjamu, bekerjalah seperti biasa dan jangan takut.” Kwee Tiong mencium mulut kekasihnya, lalu meninggalkannya dengan langkah gagah. Yalima terisak dan dia lalu berlari kecil kembali ke rumah ketua Cin-ling-pai, hatinya masih terasa tidak enak sekali dan diam-diam dia merasa amat menyesal mengapa dia telah melakukan hal itu dengan Kwee Tiong. Rasa takut menerkam hatinya, bukan hanya takut akan hukuman, melainkan terutama sekali takut akan ketahuan semua orang sehingga dia, akan merasa malu dan rendah. Bagaimana kalau Bun Houw pulang, dan tahu akan hal ini? Dia sudah tidak mengharapkan diri Bun Houw lagi, akan tetapi betapa akan malunya kalau dia bertemu dengan bekas pemuda pujaan hatinya itu. Demikianlah, derita batin yang menimpa seseorang sungguh tidak sepadan dengan kenikmatan dari kesenangan yang dialaminya! Memang benar bahwa senang itu hanya selewat saja, namun susahnya lebih lama terderita! Maka, orang yang sudah sadar dan waspada akan segala gerak-geriknya sendiri, tidak mudah terjebak dan terpikat oleh kesenangan yang hanya merupakan bayangan pikiran belaka. Pikiran yang mengingat-ingat segala kesenangan seolah-olah mengunyah-ngunyahnya sehingga menimbulkan nafsu keinginan untuk mengejar kesenangan itu. Namun, siapa yang telah waspada akan hal ini, akan dapat melihat betapa palsunya semua itu dan pengertian akan kepalsuan inilah yang akan menjadi pengrobah dari seluruh jalan hidupnya. Wajah Cia Keng Hong menjadi merah bukan main, matanya mengeluarkan sinar berapi ketika dia mendengar pelaporan Kwee Tiong yang dengan terus terang menyatakan bahwa dia bersama Yalima telah melanggar dosa dan bahwa kini Yalima telah mengandung! “Keparat tak tahu malu! Engkau mencemarkan nama baik Cin-ling-pai saja!” Cia Keng Hong membentak den tangannya sudah bergerak hendak memukul. Akan tetapi secepat kilat Sie Biauw Eng memegang lengannya. “Tenanglah, dan mari kita pertimbangkan persoalan ini sebaiknya. Kwee Tiong, kau sudah mengakui kesalahanmu?” “Sudah, teecu sudah merasa bersalah dan teecu siap menerima segala macam hukuman, hanya hendaknya adik Yalima tidak dipersalahkan karena teeculah yang membujuknya,” jawab Kwee Tiong dengan suara tegas den sikap tenang. “Dan kau siap melakukan apa saja sebagai hukumanmu?” “Teecu siap, biar dihukum matipun teecu akan menerimanya.” “Kalau begitu, kautunggu di sini, jangan pergi ke mana-mana sampai kami keluar lagi.” Nenek Sie Biauw Eng lalu menggandeng tangan suaminya den diajaknya masuk ke dalam. Setibanya di dalam, Keng Hong menarik napas panjang dan mengepal tinjunya. “Bedebah! Berani dia main gila seperti itu? Dan gadis itu adalah kekasih Houw?ji!” “Aihh, kenapa engkau berpandangan sesingkat itu, suamiku? Kalau Yalima mencinta Houw-ji, tentu dia tidak akan berbuat itu dengan Kwee Tiong. Jelas bahwa gadis Tibet itu tidak mencinta Bun Houw, melainkan mencinta Kwee Tiong.” “Hemm, apa kau hendak mengatakan bahwa mereka itu tidak mendatangkan aib kepada Cin-ling-pai dan aku harus diam saja?” “Mereka memang bersalah, akan tetapi apakah kita juga tidak bersalah? Kita kurang memperhatikan Yalima sehingga dia mempunyai kesempatan berbuat seperti itu. Lupakah kau bahwa kalau ada anak yang menyeleweng, maka orang tuanya yang bersalah besar karena kurang mendidik dan kurang memperhatikan? Dan karena Yalima berada di sini, maka kita berdualah yang menjadi wakil orang tuanya.” Keng Hong meraba-raba jenggotnya dan pikirannya melayang kepada pengalaman dirinya sendiri ketika masih muda. Pernah pula dia terjebak bujuk rayu seorang wanita sehingga diapun pernah melakukan hubungan kelamin di luar nikah (baca cerita Pedang Kayu Harum). “Hemm... habis apa yang harus kita lakukan dengan mereka?” “Mereka sudah berbuat, dan Yalima sudah mengandung. Peristiwa itu tidak bisa dicegah dan diperbaiki lagi, paling-paling kita bisa merusaknya. Akan tetapi apa gunanya hubungan itu dirusak? Lebih baik disempurnakan, dan mereka dinikahkan. Bukankah itu jalan terbaik?” Keng Hong mengangguk-angguk. “Hemm... akan tetapi terlalu enak bagi Kwee Tiong. Sebagai seorang murid Cin-ling-pai dia harus menerima hukuman atas perbuatannya.” “Jangan, suamiku. Ampunkanlah dia, karena dia sudah melakukan suatu kebaikan bagi diri anak kita...” “Eh, apa maksudmu?” “Bayangkan saja, bagaimana kalau yang berdiri di tempat Kwee Tiong itu Bun Houw? Untung bahwa belum sejauh itu hubungan anak kita dengan Yalima yang ternyata adalah seorang dara yang amat lemah sehingga tidak mampu mempertahankan godaan nafsu dan merendahkan harga dirinya, dengan mudah menyerahkan kehormatannya biarpun kepada pria yang dicintanya.” Keng Hong mengangguk-angguk. “Baiklah, akan tetapi aku tetap akan mencobanya, apakah dia benar-benar seorang yang jantan dan patut menerima Yalima sebagai isterinya. Hayo kita keluar.” Kwee Tiong masih duduk berlutut di atas lantai ketika suami isteri tua itu keluar. “Kwee Tiong...!” Suara Cia Keng Hong mengejutkan karena tegas dan keras, menandakan kemarahannya. “Suhu...!” “Kaupanggil Yalima menghadap ke sini bersamamu!” “Ba... baik, suhu... harap suhu dan subo mengampuni dia...” Kwee Tiong lalu pergi ke belakang dan tak lama kemudian dia sudah datang lagi menggandeng tangan Yalima yang berjalan dengan muka menunduk. Keduanya lalu berlutut di depan suami isteri itu. Yalima terisak perlahan, tubuhnya gemetaran den mukanya pucat sekali. Yalima, benarkah engkau telah mengandung akibat hubunganmu dengan Kwee Tiong ini?” Biauw Eng bertanya, suaranya halus. Yalima terisak dan mengangguk, tidak kuasa mengeluarkan kata-kata dan tidak berani mengangkat mukanya. “Dan kau merasa bersalah?” Kembali Yalima mengangguk. Dia takut dan malu sekali, dan penyesalannya makin hebat. Mengapa dia tidak bunuh diri saja tadi? Akan habislah semua derita, semua rasa malu ini! Biauw Eng memberi isyarat kepada suaminya. Cia Keng Hong lalu membentak Kwee Tiong, “Kwee Tiong, kau benar-benar mencinta Yalima?” “Kalau tidak, mana teeeu berani berbuat itu dengan dia? Teecu mencintanya lahir batin.” “Kau berani berkorban nyawa untuknya?” “Teecu berani dan siap!” “Nah, karena kau sudah merasa berdosa, maka engkau harus dihukum. Engkau korbankan lengan kananmu untuk Yalima!” “Tidak...! Jangan...! Ahhh... loya, bunuh sajalah hamba... jangan hukum Kwee-koko... karena hamba yang bersalah...” Tiba-tiba Yalima menangis dan menubruk Kwee Tiong. Nenek dan kakek itu saling lirik dan ada cahaya berseri pada lirikan mata mereka. “Kwee Tiong, apakah engkau seorang laki-laki sejati?” bentak Cia Keng Hong. “Yalima, minggirlah. Suhu telah mengampunkan kita... terima kasih atas kebaikan hati suhu!” Kwee Tiong mendorong tubuh Yalima dengan halus, kemudian dia meloncat ke belakang, cepat sekali mencabut pedang dengan tangan kiri lalu menyabetkan pedang itu ke arah pangkal lengan kanannya. Yalima menjerit. “Trangggg...!” Pedang itu terlepas dan terjatuh dari tangan kiri Kwee Tiong sebelum menyentuh lengan kanannya. Kiranya ketua Cin-ling-pai tadi telah menggerakkan tangannya dan angin pukulan dahsyat membuat pedang itu terlepas dan terjatuh. Kwee Tiong menjatuhkan diri berlutut. “Suhu, apa artinya ini...?” tanyanya. “Kami hanya ingin melihat apakah benar kalian saling mencinta. Kami ampunkan kalian, bahkan dalam pekan ini juga kalian akan kami nikahkan. Akan tetapi, melihat keadaan Cin-ling-pai dalam perkabungan, pernikahan itu akan dilakukan dengan sederhana saja.” “Suhu...! Subo...! Terima kasih...!” Suara Kwee Tiong tergagap karena pemuda yang gagah ini sudah menangis saking gembiranya. “Sudahlah... sudahlah, pergilah kalian dari sini dan bersiap-siaplah untuk pernikahan itu...” kata Sie Biauw Eng. Setelah suami isteri tua ini masuk ke dalam, barulah Kwee Tiong bangkit, memondong tubuh Yalima dan membawanya berlarian keluar dari tempat itu dengan hati penuh rasa bahagia. Beberapa hari kemudian, dirayakanlah pernikahan itu secara amat sederhana hanya dihadiri oleh para anak murid Cin-ling-pai saja, tidak ada seorangpun tamu dari luar. Hal ini adalah mengingat bahwa Cin-ling-pai dalam beberapa bulan ini mengalami hal-hal yang amat buruk, selain tercurinya pedang pusaka, matinya Cap-it Ho-han yang tujuh orang itu, disusul pula tewasnya empat orang lagi dari Cap-it Ho-han dan juga tewasnya Hong Khi Hoatsu dan lenyapnya Lie Seng. Dua hari setelah pernikahan itu dilangsungkan, muncul Cia Giok Keng. Wanita ini hanya mengerutkan alis mendengar dari ibunya tentang peristiwa Kwee Tiong dan Yalima, kemudian dia menceritakan kepada ayah ibunya tentang matinya dua orang di antara Lima Bayangan Dewa, dan tentang orang-orang berilmu seperti Bouw Thaisu, Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw yang membantu Lima Bayangan Dewa, dan bahwa pedang pusaka Siang-bhok-kiam belum juga ditemukan. Wajah Cia Keng Hong yang biasanya selalu tenang itu kini kelihatan marah sekali. “Hemm... kiranya Lima Datuk Kaum Sesat yang dahulu itu biarpun telah tewas, roh jahatnya masih saja merajalela dan membujuk kawan-kawannya untuk mengacau dunia! Kalau para tua bangka itu keluar dan mengacau, dunia tidak akan menyalahkan aku kalau keluar pula untuk menghadapi mereka!” “Aku ikut! Aku ingin sekali membagi-bagi pukulan kepada cacing-cacing busuk itu!” Sie Biauw Eng berseru. “Dalam keadaan segawat ini, tidak baik kalau Cin-ling-pai ditinggalkan sama sekali. Karena kita berdua pergi bersama yang lalu, maka dapat terjadi malapetaka di sini. Kita harus membagi tenaga, isteriku. Kau menjaga Cin-ling-pai bersama Keng-ji, dan aku akan mencari mereka!” Sie Biauw Eng terpaksa membenarkan pendapat suaminya ini, maka biarpun hatinya penasaran, akhirnya dia membiarkan suaminya pergi. Untuk pertama kalinya sejak belasan tahun hidup tenteram di Cin-ling-pai, kini Pendekar Sakti Cia Keng Hong meninggalkan tempat kediamannya, turun gunung untuk membantu puteranya karena dia maklum betapa lihai adanya musuh-musuh itu yang terdiri dari saudara-saudara dan sahabat-sahabat para datuk kaum sesat yang dahulu telah menjadi musuh-musuhnya. Giok Keng tidak lama berdiam di Cin-ling-pai. Dia segera pamit untuk mencari Lie Seng yang lenyap terculik musuh. Ibunya tidak dapat menahannya, maklum betapa hebat penderitaan batin puterinya itu, dan dia hanya memesan agar supaya puterinya itu berhati-hati. Dengan penuh keharuan Giok Keng memeluk dan menciumi Lie Ciauw Si, puterinya yang baru sepuluh tahun usianya itu, yang menangis hendak ikut dengan ibunya. Setelah menghibur dan memberi nasihat dan pengertian kepada Ciauw Si, berangkatlah Cia Giok Keng meninggalkan Cin-ling-pai. Di depan ibunya dia menyatakan hendak mencari Lie Seng, akan tetapi di dalam hatinya, dia hendak mencari pembunuh Hong Ing dan mencari Mei Lan yang melarikan diri karena dia. Sedangkan nasib Lie Seng dia serahkan ke tangan Tuhan dan dia percaya bahwa Kun Liong akan berusaha mencari puteranya itu! *** Kaisar Ceng Tung diangkat meniadi kaisar ketika dia berusia delapan tahun, yaitu sebagai pengganti ayahnya yang mangkat, yaitu Kaisar Shian Tek. Tentu saja seorang bocah berusia delapan tabun tidak tahu apa-apa, apalagi memegang tampuk pemerintahan negara besar sebagai seorang kaisar! Maka ketika Kaisar Ceng Tung diangkat menjadi kaisar, kekuasaan terjatuh mutlak ke tangan ibu suri. Sebagai seorang kaisar, yang pada waktu itu dianggap sebagai seorang suci, utusan Tuhan sendiri, tentu saja Kaisar Ceng Tung menjadi dewasa tidak seperti anak-anak biasa. Dia hidup di dalam lingkungan istana yang penuh dengan kemuliaan dan kemewahan, dikerumuni panghormatan dan peraturan, dan sama sekali dia terasing dari hubungan dengan dunia luar atau dengan kehidupan rakyat biasa. Hal ini membuat kaisar ini seperti boneka hidup saja dan dia tunduk sepenuhnya kepada ibu surinya. Setelah dia menjadi dewasa, mulailah dia dapat memperlihatkan kekuasaannya sebagai seorang kaisar yang “maha kuasa” di dalam istana dan negara. Mulailah terjadi perebutan di antara para thaikam, yaitu bangsawan-bangsawan tinggi yang dikebiri, syarat mutlak yang merupakan keharusan bagi para ponggawa di dalam istana, dan ibu suri untuk menguasai hati kaisar muda itu. Karena pandainya membujuk, maka akhirnya Kaisar Ceng Tung terjatuh ke dalam kekuasaan seorang pembesar thaikam yang cerdik, yaitu seorang thaikam berasal dari utara yang bernama Wang Cin. Wang Gin mempunyai beberapa orang kaki tangan, yaitu para thaikam lain di dalam istana, dan akhirnya kekuasaan ibu suri tersisihkan dan semua kepercayaan kaisar muda terjatuh ke tangan Wang Gin inilah. Secara teoritis, Kaiser Ceng Tung adalah kaisar yang memegang tampuk pemerintahan, akan tetapi secara praktis, Thaikam Wang Cin inilah yang berkuasa memutuskan segala macam hal, karena apapun yang hendak diputuskan oleh kaisar, selalu kaisar yang muda itu minta petunjuk dan nasihat Wang Cin. Bahkan hampir semua urusan yang melalui tangan kaisar, tanpa diperiksa oleh kaisar ini terus saja disampaikan kepada Thaikam Wang Cin ini untuk diambil keputusan dan kaisar hanya tinggal menandatangani dan memberi cap saja! Betapapun juga, semenjak kanak-kanak, Kaisar Ceng Tung telah mempelajari kesusasteraan dan sebagai seorang terpelajar, tentu saja tidak akan mudah bagi seorang penjilat seperti Wang Cin untluk membujuk dan memeluknya dalam pengaruh pembesar kebiri itu, kalau hanya dengan bujukan dan omongan manis. Tidak, untuk urusan sebesar ini, Thaikam Wang Cin terlalu cerdik. Melihat betapa kaisar telah mulai dewasa, dia lalu menggunakan seorang gadis muda peranakan Mongol, gadis cantik jelita yang masih terhitung keponakannya sendiri, untuk memikat hati kaisar. Untuk siasat ini, memang Wang Cin telah mempersiapkan segala-galanya untuk bertahun-tahun lamanya, bahkan semenjak kaisar itu naik tahta pada usia delapan tahun. Pada waktu itu, biarpun dia masih menjadi seorang thaikam rendahan saja, sudah ada rencana besar ini di dalam benaknya dan dia telah mendidik keponakannya itu yang baru berusia tujuh tahun, yang bernama Azisha, dengan amat cermat dan dia sengaja mendatangkan ahli-ahli pendidik sehingga Azisha menjadilah seorang dara yang selain cantik jelita, namun juga ahli dalam segala macam kesenian, bernyanyi, menari, pekerjaan tangan, melukis, bersajak, dan bahkan ahli pula dalam membawa diri untuk merayu! Mula-mula, sebagai keponakan Wang Cin yang mulai meningkat pangkatnya, tentu saja keluarga kaisar tidak keberatan menerima seorang dara secantik Azisha sebagai dayang keraton. Akan tetapi, berkat kelihaian Wang Cin, maka thaikam yang licik ini mendekati kaisar yang mulai dewasa, menceritakannya tentang Azisha dan tentang kepandaian wanita-wanita Mongol dalam hal melayani pria, segala kecabulan yang membangkitkan berahi diceritakannya, dan akhirnya jatuhlah kaisar dalam pelukan Azisha yang biarpun masih seorang perawan, namun semenjak kecil telah dijejali pelajaran tentang bermain cinta dan merayu pria! Demikianlah, dalam usia enam belas tahun saja kaisar sudah tergila-gila dan hampir tidak pernah dia dapat meninggalkan pelukan dan rayuan Azisha yang memang cantik jelita. Dan kepercayaannya terhadap Wang Cin bertambah, tentu saja atas bujukan Azisha, sehingga dalam tahun itu juga, yaitu tahun 1443, dia menyerahkan semua kekuasaan kepada Wang Cin! Wang Cin inilah yang menjadi penguasa yang sesungguhnya, yang memerintah dan mengatur pemerintahan, menerima laporan dan membagi-bagi perintah. Adapun Kaisar Ceng Tung hanya bersenang-senang dengan selirnya yang tercinta, mabok kemewahan, kesenangan dan berahi. Para menteri yang setia menjadi amat khawatir menyaksikan perkembangan kekuasaan di istana ini. Mereka khawatir kalau-kalau terulang kembali dongeng-dongeng seperti yang terjadi dalam dongeng Hong-sin-pong, yaitu ketika Keisar Tiu-ong dirayu dan terjatuh ke dalam kekuasaan Tat Ki, seorang wanita cantik jelita yang amat kejam dan yang dalam dongeng disebut sebagai siluman rase! Mereka ini khawatir kalau-kalau kerajaan akan hancur di bawah kekuasaan Wang Cin yang tentu saja hanya mementingkan dirinya sendiri dan keluarganya, padahal menurut penyelidikan para menteri setia, Wang Cin adalah keturunan Mongol! Dan memang benarlah. Wang Cin adalah seorang keturunan Mongol, bahkan diam-diam dia menganggap dirinya sebagai “darah” keturunan Jenghis Khan yang maha besar, dan kini diam-diam dia merencanakan agar dialah yang membangkitkan kembali kebesaran nenek moyangnya itu, menjadi yang dipertuan di Kerajaan Beng-tiauw! Sudah banyak menteri-menteri setia dan panglima-panglima tua, patriot-patriot setia yang telah mengabdi kepada kerajaan semenjak jaman Yung Lo menjadi kaisar, mohon menghadapi kaisar muda itu untuk kembali memegang sendiri urusan kerajaan, jangan sepenuhnya mewakilkan kepada Thaikam Wang Cin. Akan tetapi, semua peringatan ini tidak ada gunanya dan Kaisar Ceng Tung tetap saja terlena di dalam pelukan hangat Azisha yang cantik molek! Hanya baiknya, kaisar ini sama sekali tidak marah, bahkan menghibur para menteri dan jenderal itu agar jangan khawatir, karena dia yakin benar bahwa Wang Cin amat pandai mengatur pemerintahan dan juga amat setia kepadanya. Tentu saja para pembesar itu hanya menarik napas panjang dan selama Wang Cin tidak memperlihatkan sikap sewenang-wenang dan merusak, mereka percaya kepada kata-kata junjungan mereka yang mereka cinta itu. Dan Wang Cin memang cerdik. Dia sama sekali bukan tidak tahu akan perasaan tidak senang dari para jenderal dan menteri tua, maka dia bertindak hati-hati sekali, bahkan bersikap cukup “adil” mengatur pemerintahan secara benar, bahkan dalam urusan-urusan khusus, dia tidak ragu-ragu untuk memanggil menteri-menteri atau jenderal-jenderal yang ahli untuk memberikan nasihat mereka. Sikap ini membuat para menteri yang setia itu kehabisan akal, bahkan diam-diam lalu menganggap bahwa pilihan kaisar mereka ternyata tepat, maka menipislah kekhawatiran hati mereka yang setia kepada kerajaan itu. Demikianlah, tujuh tahun telah lewat semenjak kaisar muda itu terjatuh ke dalam pelukan Azisha yang cantik dan kini setelah usianya meningkat, yaitu dua puluh dua tahun, wanita itu menjadi makin matang dan makin menarik hati saja sehingga sampai usia dua puluh tiga tahun itu, kaisar belum juga mau menikah dan hanya mempunyai belasan orang selir yang jarang sekali menerima perintah melayaninya, kecuali apabila Azisha sedang berhalangan. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kesal dan kecewa hati Thaikam Wang Cin karena sampai tujuh tahun lamanya, biarpun dia telah memanggil segala macam ahli obat, pertapa, peramal dan dukun-dukun, biarpun Azisha berhasil melayani kaisar selama tujuh tahun hampir tak pernah berhenti, tetap saja tidak ada hasilnya dalam kandungan Azisha! Padahal, dia mengharapkan agar keponakannya itu yang juga seperti dia mempunyai darah keturunan Jenghis Khan, dapat memperoleh seorang putera dari kaisar agar dengan mudah dia mengusulkan supaya Azisha diangkat menjadi permaisuri dan puteranya atau cucu keponakannya darah Mongol, kelak menjadi kaisar dan dia yang menjadi perdana menterinya! Akan tetapi, si tolol Azisha, demikian dia sering memaki-maki keponakannya yang dianggapnya tidak “becus”, setelah tujuh tahun lamanya tetap saja tidak mempunyai anak! Karena itu, diapun tetap menjadi seorang thaikam, betapapun besar kekuasaannya. Tidak mungkin menjadi perdana menteri! Dan karena itu pula, harus diambil cara lain agar dia dapat menjadi penguasa sepenuhnya, bahkan kalau mungkin mengangkat diri menjadi kaisar! Maka pada suatu hari, setelah diam-diam dia mengadakan hubungan dengan seorang datuk kaum sesat yang dikenalnya, yang bukan lain adalah Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok agar menjadi pembantunya untuk berhasilnya rencana tarbesar yang diaturnya itu, Wang Cin dengan bantuan keponakannya, Azisha, membujuk kaisar untuk mengadakan pesiar dan sekalian melakukan “pembersihan” atau pemeriksaan ke daerah perbatasan Mongolia. “Kekuasaan yang mulia tidak terbatas, akan tetapi hamba mendengar berita bahwa di perbatasan utara terdapat seorang kepala Suku Mongol yang memperlihatkan sikap menentang dan memberontak kedaulatan kerajaan paduka. Untuk memperlihatkan kebesaran paduka, hendaknya paduka mengerahkan pasukan dan menghajar gerombolan itu, dan sekalian paduka hamba persilakan untuk melihat kota kelahiran hamba dan tempat kelahiran keponakan hamba Azisha, yaitu di kota Huai-lai,” demikian Wang Cin berkata di antara bujukan-bujukannya. “Hambapun sudah amat rindu akan kota kelahiran hamba itu, yang mulia,” Azisha berkata dengan suara merdu dan sikap manja. “Kalau paduka berkenan menginjakkan kaki paduka yang mulia di tanah kelahiran hamba, tentu hal itu akan mendatangkan rezeki besar bagi kota Huai-lai dan bagi hamba.” Mula-mula Kaisar Ceng Tung tidak ada niat untuk pergi melakukan perjalanan itu, apalagi untuk menggempur Suku Bangsa Mongol yang memberontak sebaiknya diserahkan kepada angkatan perangnya. Akan tetapi dengan berbagai akal Wang Cin membujuk, dan terutama sekali bujuk rayu Azisha yang pandai pula mengucurkan air matanya kalau perlu, akhirnya kaisar menyatakan persetujuannya. Diam-diam dia terkesan juga oleh kesetiaan Wang Cin. Dia tahu bahwa Wang Cin dan Azisha adalah peranakan Mongol, akan tetapi kini Wang Cin mengusulkan untuk membasmi pemberontak Mongol. Hal ini baginya merupakan bukti betapa setianya Wang Cin kepadanya. “Baiklah, Wang Cin. Dan karena engkau adalah seorang berasal dari perbatasan utara, tentu engkau lebih mengenal dan faham akan daerah itu. Oleh karena itu, kami mengangkatmu dalam rombongan ini sebagai komandan atau pemimpin tertinggi dari pasukan kita.” Keputusan kaisar ini diumumkan dan tentu saja para jenderal tua menjadi terkejut bukan main dan merasa tersinggung sekali. Mereka adalah jenderal-jenderal yang telah puluhan tahun membela negara dan mengatur pasukan membersihkan musuh-musuh negara, akan tetapi di dalam rombongan pembersihan ke utara yang diikuti sendiri oleh kaisar, mengapa kaisar mengangkat seorang kebiri yang lemah dan dalam hal perang, sama sekali tidak mampu menggerakkan pedang apalagi mengatur barisan menjadi komandan atau panglima tertinggi? Hal ini dianggap penghinaan bagi mereka dan hampir saja terjadi tindakan kekerasan dari para jenderal, yaitu membunuh Wang Cin atau memberontak terhadap keputusan kaisar! Akan tetapi dua orang jenderal terkemuka yang sudah puluhan tahun mengabdi kepada negara, bahkan yang dahulu menjadi tangan kanan Jenderal Yung Lo yang kemudian menjadi kaisar, mencegah maksud rekan-rekannya itu. Dua orang jenderal ini adalah Jenderal Kho Gwat Leng, seorang jenderal yang bertubuh kurus kecil namun memiliki kegagahan dan wibawa luar biasa dan amat cerdik dan ahli dalam mengatur siasat perang. Dan kedua adalah Jenderal Tan Jeng Koan, seorang jenderal yang bertubuh tinggi besar, berkulit hitam dan berwatak jujur namun gagah perkasa seperti tokoh Thio Hui dalam cerita Sam Kok. Dua orang jenderal inilah yang melerai rekan-rekannya. “Kita adalah perajurit-perajurit,” kata Jenderal Kho Gwat Leng yang sudah berusia enam puluh tahun lebih. “Seorang perajurit tugasnya adalah mempertahankan negara dari serbuan musuh luar. Baik atau buruk adalah negara kita dan junjungan kita, maka harus kita taati dan kita bela. Kalau junjungan kita kaisar menghendaki demikian, biarlah, dan kita mengamat-amati saja dan membela sampai titik darah terakhir. Lebih baik mati sebagai seorang perajurit pembela kaisar yang setia daripada hidup mulia sebagai pemberontak.” “Kata-kata Kho-goanswe (Jenderal Kho) tidak meleset seujung rambutpun.” terdengar Jenderal Tan Jeng Koan berkata dengan suaranya yang mengguntur. “Sejak nenek moyang kami, semua adalah perajurit dan kami tidak akan mencampuri urusan negara kecuali ada yang mengancam keselamatan kaisar, itulah tugas kami.” Anehnya, dan hal ini juga menggirangkan hati para jenderal itu, Wang Cin yang diangkat menjadi panglima tertinggi justeru memilih para jenderal tua yang setia ini untuk membantunya memimpin pasukan besar! Terobatilah kekecewaan mereka dan lenyap pula keraguan dan kecurigaan hati mereka. Maka berangkatlah pasukan besar itu mengiringkan rombongan kaisar yang berada di dalam kereta bersama selirnya tercinta, Azisha dan beberapa orang selir lain di samping Wang Cin sebagai panglima perang yang berpakaian gagah biarpun gerak-geriknya seperti seorang wadam! Wang Cin mempunyai belasan orang pengawal pribadi dan di antara mereka ini, tanpa ada yang mengetahuinya, terdapat Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok, Sin-ciang Siauw-bin-sian, Liok-te Sin-mo Gu Lo it yang sudah menggabung setelah kekalahannya yang besar di Ngo-sian-chung, dan Bouw Thaisu! Adapun Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw telah berangkat lebih dulu sebagai utusan rahasia dari Wang Cin untuk menghubungi kepala suku pemberontak Mongol di perbatasan Mongolia! Bersama Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw, berangkat pula Go-bi Sin-kouw! Kita tinggalkan dulu pasukan besar yang mewah di bawah pimpinan Panglima Besar Wang Cin yang dibantu oleh jenderal-jenderal tua di bawah pimpinan Jenderal Kho Gwat Leng dan Tan Jeng Koan yaitu sebanyak delapan orang yang terkenal sebagai Delapan Jenderal Besar bekas pembantu-pembantu Jenderal Yung Lo, dan mari kita menengok keadaan di perbatasan Mongol. Memang keterangan Wang Cin benar bahwa di perbatasan itu, di sepanjang tembok besar, bahkan di sebelah dalam tembok besar, terdapat Suku Bangsa Mongol yang dipimpin oleh seorang ketua yang tidak pernah mau tunduk terhadap kedaulatan Pemerintah Beng. Akan tetapi tentu saja dia tidak menceritakan bahwa sesungguhnya ketua pasukan ini adalah seorang yang telah dihubunginya, bahkan yang diam-diam menjadi semacam sekutunya, sungguhpun ketua Suku Mongol ini tidak pernah bertemu dengannya dan hanya mengadakan hubungan melalui kurir belaka. Siapakah ketua Suku Bangsa Mongol ini? Dia adalah seorang laki-laki berusia empat puluh tahun, seorang yang benar-benar amat gagah perkasa, bertubuh seperti seekor singa dan dia benar-benar pantas menjadi seorang pemimpin suku bangsa yang hidupnya berkelana dan selalu menghadapi banyak kesulitan itu. Kepala suku ini namanya Sabutai, seorang gagah dan merupakan keturunan dari Jenderal Sabutai dari jaman Goan, yaitu ketika Bangsa Mongol sedang jaya-jayanya menguasai seluruh Tiongkok. Sabutai ini adalah seorang gagah perkasa yang memiliki kepandaian tinggi, karena gurunya, yaitu dua orang kakek dan nenek yang jarang terlihat orang, lebih menyerupai iblis daripada manusia! Dahulu, di waktu Panglima Beser The Hoo masih sering mengadakan pembersihan keluar daerah, bahkan ketika Panglima Besar The Hoo memimpin armada berlayar sampai jauh ke selatan, di Sailan Panglima The Hoo pernah bentrok dengan dua orang jagoan, laki-laki dan perempuan yang berilmu tinggi. Akan tetapi berkat kepandaian Panglima The Hoo yang amat sakti, dua orang jagoan Sailan yang suka mengganas itu dapat dikalahkan, dan biarpun dapat melarikan diri, namun diduga tentu akan tewas karena telah menerima pukulan-pukulan sakti dari Panglima The Hoo. Akan tetapi, orang salah duga, karena mereka itu tidak mati, biarpun nyaris mati dan setelah mereka sembuh namun tubuh mereka keracunan oleh hawa beracun mereka yang membalik dan memukul diri sendiri, mereka lalu bertapa sampai puluhan tahun lamanya dan tahu-tahu mereka kini menjadi kakek dan nenek yang muncul di perbatasan utara, menjadi guru Sabutai dan mereka hendak membalas kepada Beng-tiauw! Kini, mereka hanya dikenal sebagai Pek-hiat Mo-ko (Iblis Jantan Darah Putih) dan Hek-hiat Mo-li (Iblis Betina Darah Hitam). Sudah lama Sabutai mengincar ke selatan. Akan tetapi biarpun dia seorang berilmu tinggi dan yang pandai pula mengatur siasat perang, namun dia maklum bahwa dengan kekuatan pasukannya seperti sekarang ini, melakukan serbuan ke selatan hanya merupakan bunuh diri belaka. Oleh karena itu, dia selalu menanti kesempatan baik, dan setelah ada usaha dari Thaikam Wang Cin untuk mengadakan kontak dengan dia, tentu saja dia terima dengan baik. Penerimaan persekutuan rahasia ini hanya dia lakukan demi terlaksananya cita-citanya, karena sesungguhnya di dalam hatinya, orang gagah perkasa ini merasa muak terhadap Wang Cin, apalagi ketika dia mendengar akan segala sepak terjang Wang Cin di istana musuh-musuhnya itu. Dia menganggap orang macam Wang Cin amat berbahaya dan rendah, dan kalau saja dia tidak melihat kegunaan persekutuan ini sebagai jalan tercapainya cita-citanya, dia akan merasa suka sekali membunuh orang seperti thaikam itu dengan jari-jari tangannya sendiri yang amat kuat dan dahsyat! Pada suatu malam, Sabutai duduk termenung di dalam kamarnya. Dia mempunyai seorang isteri yang amat cantik, seorang puteri Suku Bangsa Khitan yang mempersembahkan dirinya atas perintah kepala Suku Khitan kepadanya. Puteri ini masih muda, baru delapan belas tahun usianya dan sudah tiga tahun menjadi isterinya. Namun, yang membuat Sabutai kecewa adalah mengapa isterinya itu belum juga mengandung. Betapapun juga, dia amat mencinta isterinya dan dia tidak mau mengambil selir. Selain kekecewaan tidak mempunyai putera, juga dia tahu bahwa isterinya itu sesungguhnya tidak cinta kepadanya, dan hanya terpaksa saja menjadi isterinya. Semua sikap manis isterinya itu hanya demi kewajiban saja, dia memiliki tubuh isterinya, akan tetapi tidak memiliki hatinya. Hal inipun kadang-kadang membuat pria yang jantan dan gagah ini merasa kecewa dan berduka karena dia sungguh-sungguh mencinta Khamila, isterinya yang cantik rupawan itu. Sabutai termenung dan di tangannya dia memegang sehelai surat yang diterimanya dari Wang Cin, pembesar thaikam yang pada waktu itu sedang berkuasa dan mempunyai pengaruh besar di Kerajaan Beng. Surat itu dibawa oleh utusan Wang Cin, yaitu tiga orang tokoh berilmu tinggi Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw, dan Go-bi Sin-kouw. Mereka diterima sebagai tamu-tamu agung dan diberi kamar-kamar yang mewah untuk tempat menginap. Sudah berjam-jam lamanya Sabutai duduk termenung dengan surat itu di dalam tangannya. Dadanya terasa panas, kebenciannya terhadap Wang Cin memuncak ketika dia membaca betapa di dalam surat itu Wang Cin menerangkan siasatnya yang memancing rajanya sendiri ke utara untuk “diserahkan” kepada Sabutai! Sabutai adalah seorang gagah perkasa dan tentu saja dia amat membenci seorang pengkhianat besar macam Wang Cin. Akan tetapi, diapun melihat kesempatan baik sekali untuk membangun kembali kekuasaan Bangsa Mongol, maka dia termenung dan menggunakan kepala dingin untuk mengatur siasat. Menurut surat Wang Cin, orang kebiri itu akan sengaja menjerumuskan kaisar dan pasukan-pasukan pengawalnya agar dihancurkan oleh Sabutai, kaisarnya dan semua pengawal kaisar yang setia dibinasakan, kemudian dia akan kembali ke kota raja dan diam-diam akan mengatur dari dalam untuk membantu barisan Mongol yang dipimpin Sabutai menyerbu kota raja, kemuthan setelah dapat merampas kota raja, Wang Cin akan mengangkat diri menjadi kaisar sebagai seorang yang berdarah keturunan Jenghis Khan dan Sabutai tentu saja akan menerima bagian yang layak! “Si keparat...!” Sabutai memaki di dalam hatinya. “Seorang, pengkhianat dan pengecut seperti dia, seorang yang sudah kehilangan kejantanannya, seorang kebiri yang berhati palsu, berani mengaku sebagai darah keturunan Jenghis Khan yang besar?” Dia merasa muak akan tetapi demi tercapainya cita-citanya untuk menyerbu ke selatan, cita-cita yang sudah dipupuk selama bertahun-tahun, dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu. Tiba-tiba dia bertepuk tangan dan muncullah beberapa orang pengawalnya dari tempat-tempat tersembunyi. Sabutai lalu memerintahkan mereka untuk memanggil para pembantunya agar berkumpul di situ pada malam itu juga karena ada hal yang amat penting untuk dirundingkan. Menjelang tengah malam, berkumpullah belasan orang pembantunya yang merupakan bekas kepala-kepala suku yang telah ditaklukannya dan yang kini menjadi para pembantunya. Setelah memerintahkan para pengawalnya untuk menjaga kamar-kamar tamu sehingga dia yakin bahwa perundingan itu tidak akan diintai dan didengarkan oleh tiga orang utusan yang dia tahu bukan orang-orang sembarangan itu, Sabutai lalu mengajak para pembantunya untuk berunding dan mengatur siasat untuk menghadapi uluran tangan Wang Cin yang khianat itu. Akhirnya, sampai hampir pagi, mereka telah bersepakat untuk mempergunakan pengkhianatan Wang Cin itu untuk memperoleh keuntungan, akan tetapi tentu saja Sabutai tidak sudi untuk selanjutnya mengadakan persekutuan dengan thaikam yang dianggapnya amat licik, curang dan berbahaya itu. Pada keesokan harinya, setelah menjamu tiga orang utusan itu, Sabutai lalu menyerahkan surat balasannya dan kepada Wang Cin dia menjanjikan untuk menyambut dan menghancurkan kaisar dan pasukannya di dekat Huai-lai, lewat lembah Nan-kouw. Surat balasan itu dibawa sendiri oleh Hwa Hwa Cinjin untuk disampaikan kepada Wang Cin pribadi, sedangkan dua orang nenek, Hek I Siankouw dan Go-bi Sin-kouw, tinggal di markas Mongol yang dipimpin oleh Sabutai itu. Sabutai lalu membuat persiapan, mengumpulkan kekuatan barisan yang besar jumlahnya, kemudian dia memimpin sendiri seluruh barisan itu menuju ke selatan, melalui pegunungan yang sukar dan gurun-gurun pasir yang luas, melewati tembok besar dan bersembunyi di sekitar kota Huai-lai, di sepanjang lembah Nan-kouw untuk menanti datangnya rombongan kaisar seperti yang dimaksudkan dalam surat Wang Cin. *** Di daerah padang rumput tak jauh dari tembok besar, di lereng pegunungan utara, pada pagi itu penuh dengan serombongan suku bangsa perantau yang terdiri dari campuran Bangsa Mancu dan Khitan. Mereka ini adalah Bangsa Nomad yang hidup dari peternakan dan mereka menggembala kuda yang baik untuk dijual ke daerah selatan. Kelompok keluarga yang terdiri dari hampir dua ratus orang ini menggiring ribuan ekor kuda pilihan dan mereka berhenti di tempat itu karena tempat itu amat subur rumputnya sehingga merupakan tempat peristirahatan yang amat baik. Telah tiga hari lamanya mereka memasang perkemahan di padang rumput ini. Akan tetapi pada pagi hari ketiga itu tampak kesibukan dan kegelisahan di antara mereka ketika terdapat laporan bahwa dua orang penggembala kedapatan menggeletak, yang seorang tewas dan seorang lagi terluka parah sedangkan lebih dari seratus ekor kuda lenyap di malam itu. Agaknya orang kedua itupun telah ditinggalkan karena disangka telah mati oleh para penyerangnya, dan orang inilah yang bercerita kepada kawan-kawan dan pemimpin mereka. Ternyata malam tadi, lewat tengah malam di waktu keadaan amat sunyi dan dingin, tiba-tiba muncul belasan orang bertopeng yang langsung menyerang mereka. Mereka berdua melakukan perlawanan mati-matian, akan tetapi akhirnya mereka roboh dan orang yang terluka parah dan disangka tewas pula itu hanya dapat melihat betapa belasan orang itu menggiring dan melarikan seratus ekor kuda yang mereka curi itu. Tentu saja rombongan itu menjadi marah sekali. Siapa yang begitu berani mati mencuri kuda mereka di tempat terbuka seperti itu? Penjagaan dilakukan dengan ketat di malam-malam berikutnya karena biasanya, pencuri-pencuri kuda itu tidak akan puas sebelum dapat mencuri habis ribuan ekor kuda yang berharga mahal itu. Dengan bergilir mereka melakukan penjagaan di malam hari. Malam berikutnya tidak terjadi sesuatu, akan tetapi dua hari kemudian, pada malam kedua semenjak peristiwa pencurian dan pembunuhan itu, tiba-tiba mereka diserbu oleh sedikitnya tiga puluh orang bertopeng yang rata-rata memiliki ketangkasan dan gerakan yang terlatih. Terjadilah pertempuran hebat dan keluarga rombongan itu tentu saja menjadi panik. Jerit dan tangis terdengar di antara teriakan-teriakan kemarahan dari mereka yang bertempur di bawah penerangan obor-obor dan api unggun. Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. “Maling-maling kuda yang hina!” Dan muncullah seorang kakek yang berusia enam puluh tahun lebih, berpakaian sederhana akan tetapi bersih, berwajah gagah dan sekaligus membayangkan kelembutan, bahkan bentakannya tadi biarpun nyaring dan menggetarkan jantung, namun suaranya halus. Akan tetapi, begitu dia muncul dan menggerakkan kedua tangannya, empat orang bertopeng jatuh tunggang langgang! Para perampok atau pencuri kuda itu menjadi terkejut dan marah. Mereka maklum babwa kakek ini bukanlah anggauta rombongan peternak atau pedagang kuda itu, melainkan seorang yang dari kata-katanya sudah diketahui datang dari selatan. Maka pemimpin perampok yang terdiri dari tiga orang yang bertubuh tinggi besar dan bersenjata golok besar yang amat berat dan tajam, menggereng dan sekaligus tiga orang ini menerjang kakek itu dengan golok mereka, serentak menyerang dari tiga jurusan, yaitu depan, kiri dan kanan. “Singg... singg... wuuuutttt...!” Tiga batang golok itu berdesing dan menyambar dengan kuat dan cepat sekali. Akan tetapi, kakek itu tetap saja berdiri tegak dan tenang seolah-olah tidak tahu bahwa ada bahaya maut mengancam nyawanya dari tiga jurusan. Akan tetapi, begitu tiga batang golok itu menyambar dekat, kakek itu kelihatan menggerakkan kedua tangan dan kaki kirinya dan... sungguh luar biasa sekali. Sukar diikuti pandang mata apa yang telah dilakukan oleh kaki kiri dan kedua tangan kakek itu, akan tetapi tahu-tahu penyerang dari depan mencelat goloknya dan orangnya roboh dan mengaduh-aduh, sedangkan dua orang penyerang dari kanan kiri terampas goloknya dan roboh pula! Kiranya kakek yang luar biasa itu menggunakan kakinya menendang pergelangan tangan penyerang dari depan dan dilanjutkan dengan gerakan kaki menendang lutut, sedangkan kedua tangannya dengan cepat sekali tadi telah menangkap golok itu, lalu mengangkat golok itu ke atas, kemudian menggunakan kedua sikunya menghantam dada kedua orang penyerang kanan kiri. Semua gerakarmya itu dilakukan dengan cepat dan kelihatan demikian mudahnya, padahal tiga orang pimpinan perampok itu adalah orang-orang kuat yang memiliki ilmu silat lumayan! Apalagi menangkap golok dengan tangan telanjang begitu saja, benar-benar membuktikan betapa kakek itu adalah seorang yang amat luar biasa! Melihat betapa dalam segebrakan saja tiga orang pimpinan mereka roboh, bukan main kagetnya para perampok bertopeng itu dan tanpa dikomando lagi larilah mereka cerai-berai dan menghilang di dalam kegelapan malam. Dua orang yang roboh oleh kakek tadi, yang menyerang dari kanan kiri, juga sudah serentak meloncat bangun dan melarikan diri, akan tetapi peyerang dari depan yang kena tendang lututnya ketika bangkit berdiri, roboh terguling lagi dan mengeluh. Para anggauta rombongan cepat mengepungnya dan beberapa batang senjata tajam sudah digerakkan, agaknya dalam kemarahan mereka, orang-orang itu hendak membunuh pemimpin para perampok bertopeng itu. “Tahan, jangan bunuh dia!” Kakek itu berkata, suaranya halus namun penuh wibawa sehingga orang-orang yang sudah mengangkat senjata itu mundur dan memandang kepada kakek itu dengan heran. Kakek ini datang dari mana tidak ada orang yang tahu, datang-datang telah memperlihatkan kepandaian membantu mereka mengalahkan perampok, akan tetapi sekarang melarang mereka untuk membunuhnya. Sungguh aneh! Yalu, pemimpin Suku Nomad campuran, seorang laki-laki tinggi besar bermuka hitam yang gagah, cepat menghampiri kakek itu dan berkata dengan lantang, “Locianpwe telah membantu kami mengusir perampok, akan tetapi mengapa mencegah kami membunuh kepala perampok ini?” Mendengar orang tinggi besar muka hitam ini pandai berbahasa Han, kakek itu tersenyum dan berkata tenang, “Mereka telah dapat diusir dan orang ini tidak dapat melarikan diri karena sambungan lututnya terlepas. Haruskah kita membunuh lawan yang sudah tidak berdaya?” “Locianpwe, harap suka mengampuni saya,” tiba-tiba orang itu berkata dan membuka topengnya. Kiranya dia adalah seorang Han pula yang berusia kurang lebih tiga puluh tahun. Kakek itu mengerutkan alisnya, nampaknya tidak senang melihat orang Han sampai begitu merendahkan diri menjadi pencuri atau perampok kuda, sedangkan yang dirampoknya adalah rombongan suku bangsa yang miskin! “Hemm, tidak malukah engkau dengan perbuatanmu yang hina ini?” bentaknya. “Maaf... kami... kami bukanlah pencuri-pencuri kuda biasa... akan tetapi, kami adalah anggauta pasukan Raja Muda Sabutai yang memerintahkan kami mencari kuda untuk memperlengkapi pasukan-pasukan kami...” “Ahhhh...!” Yalu, kepala rombongan itu terkejut bukan main. “Raja Muda Sabutai terkenal sebagai seorang gagah perkasa yang hanya memusuhi Pemerintah Beng di selatan dan selamanya tidak pernah mau mengganggu suku bangsa di utara, apalagi mencuri kuda kami.” “Maafkan kami, kawan...” orang itu berkata dengan muka merah, “kami telah bersalah... akan tetapi karena pasukan Raja Muda Sabutai sedang mengerahkan kekuatan menyeberang ke lembah Nan-kouw...” Tiba-tiba orang itu berhenti bicara. Lanjutkan ceritamu dan aku akan membebaskan engkau.” Kakek itu berkata dan matanya memandang tajam sehingga orang itu menjadi ketakutan. “Saya... saya tidak boleh bicara tentang itu...” “Engkau sudah terlanjur bicara dan para sahabat ini hanyalah rombongan pedagang kuda, kami hanya ingin tahu apa yang terjadi di daerah ini, Raja Muda Sabutai sedang mengerahkan pasukannya ke lembah Nan-kouw? Apakah keperluannya? Hayo katakan, keteranganmu itu sebagai penebus nyawamu.” Dengan muka pucat ketakutan orang itu berkata, “Barisan kami... akan... menyergap rombongan Raja Beng-tiauw yang akan lewat di sana...” “Hemmmm...!” Kakek itu mengangguk-angguk. “Dari mana Raja Muda Sabutai dapat mengetahui bahwa rombongan kaisar akan lewat ke sana?” “Hamba... saya mana tahu...? Hanya beritanya, ada datang tiga orang utusan dari selatan... dan raja muda kami lalu mempersiapkan barisan, kami ditugaskan untuk mengumpulkan kuda sebanyaknya guna perlengkapan...” “Tiga orang utusan itu, siapa namanya?” Kakek yang aneh itu mendesak terus. “Saya tidak tahu semua, hanya tahu bahwa yang kakek-kakek berjuluk Hwa Hwa Cinjin, sedangkan dua orang nenek lagi entah siapa...” “Sudahlah, kau boleh pergi,” kakek itu berkata dan dengan terpincang-pincang pemimpin para pencuri kuda itu pergi meninggalkan tempat itu. “Locianpwe, orang jahat seperti dia bagaimana dibebaskan begitu saja? Dan dia adalah anak buah Raja Muda Sabutai yang sedang melakukan kejahatan terhadap kaisar!” Yalu, pemimpin rombongan itu berkata, alisnya berkerut tanda tidak setuju. Kakek itu memandang tajam. “Kalian tidak menyetujui tindakan Sabutai itu?” “Tentu saja tidak! Kami bukan bangsa pemberontak, bahkan perbuatan Sabutai itu akan mencelakakan kami, karena pekerjaan kami berdagang kuda dengan orang-orang selatan di sebelah dalam tembok besar tentu tak mungkin dilanjutkan. Celakanya, kami tentu akan dianggap sekutu Sabutai dan akan dihukum pula oleh barisan Beng?” “Bagus! Kalau begitu mari kita menentangnya dan kita menyelamatkan kaisar. Dengan demikian kaisar akan dapat membedakan siapa yang baik dan siapa yang jahat. Aku akan memimpin kalian melindungi kaisar sebelum terlambat.” Yalu dan teman-temannya saling pandang dan mereka meragu, kemudian Yalu bertanya, “Siapakah locianpwe yang berilmu tinggi dan hendak membela kaisar ini?” Kakek itu berkata sederhana, “Aku adalah ketua dari Cin-ling-pai, namaku Cia Keng Hong dan sejak dahalu aku sudah sering kali membantu kaisar dan bekerja sama dengan mendiang Panglima The Hoo.” Yalu mengeluarkan teriakan girang, demikian pula para anak buahnya. “Locianpwe sahabat mendiang Panglima Besar The Hoo? Ah, kalau begitu kami telah bersikap kurang hormat.” Dan serta-merta Yalu dan anak buahnya menjatuhkan diri berlutut. “Hendaknya locianpwe ketahui bahwa kami dan ayah-ayah kami dahulu pernah membantu beliau ketika melawat ke utara. Harap locianpwe jangan khawatir, kami akan mengumpulkan teman-teman dan membantu locianpwe menolong dan melindungi kaisar, menentang Raja Muda Sabutai yang berniat memberontak.” Tentu saja ketua Cin-ling-pai, Pendekar Sakti Cia Keng Hong menjadi girang. Seperti kita ketahui, kakek Cia Keng Hong yang mendengar penuturan puterinya, Cia Giok Keng, bahwa Lima Bayangan Dewa yang telah dapat ditewaskan dua di antaranya itu dibantu oleh tokoh-tokoh lihai, lalu turun gunung untuk menghadapi musuh-musuh tangguh itu dan untuk mencari kembali pusaka Cin-ling-pai yang hilang, yaitu pedang Siang-bhok-kiam. Dalam perjalanannya menyelidik, dia mendengar bahwa musuh-musuhnya itu pergi ke kota raja dan kemudian dia menyusul, dia mendengar pula bahwa mereka itu bergabung dengan rombongan kaisar yang melakukan perlawatan ke utara. Tentu saja dia menjadi heran sekali mendengar bahwa musuh-musuhnya itu bergabung dengan rombongan kaisar. Timbullah kekhawatirannya, karena dianggapnya sebagai hal yang tidak wajar dan mencurigakan kalau musuh-musuhnya itu kini bekerja sebagai pengawal-pengawal kaisar. Karena itu, diapun menyusul ke utara dan kebetulan dia bertemu dengan rombongan pedagang kuda yang dipimpin oleh Yalu dan mendengar keterangan yang amat berguna dari pemimpin para pencuri kuda. Kini dengan hati penuh kekhawatiran, pendekar itu dapat menduga bahwa masuknya para musuhnya dalam rombongan kaisar tentu ada hubungannya dengan gerakan Sabutai den bahwa kaisar tentu terancam bahaya besar, sungguhpun dia mendengar pula bahwa kaisar dikawal oleh pasukan yang dipimpin oleh para jenderal tua yang setia, di antaranya adalah Jenderal Kho Gwat Leng den Jenderal Tan Jeng Koan yang dia tahu merupakan jenderal-jenderal yang amat setia dari Kerajaan Beng. Mengingat akan mendiang Panglima The Hoo yang mereka hormati dan junjung tinggi, Yalu dan kawan-kawannya lalu mulai mengumpulkan Suku-suku Bangsa Nomad di utara untuk bergabung dengan mereka menentang Sabutai dan menolong Kaisar Beng-tiauw yang terancam bahaya. Sementara itu, rombongan Kaisar Ceng Tung sudah meninggalkan kota raja menuju ke utara. Perjalanan itu amat sukar, melalui pegunungan-pegunungan yang terjal, hutan-hutan yang liar den daerah-daerah yang tandus. Dari permulaannya saja pasukan-pasukan yang mengawal rombongan kaisar ini sudah terlantar, perlengkapannya kurang dan juga ransumnya kurang karena Thaikam Wang Cin yang diangkat menjadi panglima komandan pasukan pengawal ini melarang membawa perlengkapan terlalu banyak. “Di utara banyak dusun yang harus menunjukkan darma bhakti dan kesetiaannya kepada pemerintah. Perlu apa kita membawa benyak perbekalan?” demikian bantahnya ketika para jenderal mengajukan usul. “Hal itu hanya akan menimbulkan ketidaksenangan mereka karena seolah-olah kita tidak percaya kepada mereka.” Biarpun alasan Wang Cin ini agaknya masuk di akal, namun sudah diperhitungkan oleh Wang Cin bahwa kaki tangannya di utara tentu sudah bergerak dan berusaha agar rombongan kaisar tidak mendapat ransum di utara, apalagi pada waktu itu musim panen belum tiba. Kaisar sendiri, yang masih muda dan belum berpengalaman, apalagi yang sejak dewasa terus dibuai dalam rayuan Azisha yang cantik jelita, terseret oleh arus kenikmatan permainan cinta dengan selirnya itu yang sesungguhnya hanya merupakan pemuasan nafsunya sendiri belaka sehingga kaisar itu tidak tahu apa-apa. Di dalam perjalanan inipun Kaisar Ceng Tung selalu berada dalam pelukan selirnya, berdua di dalam kereta, dan kadang-kadang ditemani oleh Wang Cin yang pandai menghibur hati kaisar seolah-olah perjalanan itu merupakan tamasya yang amat menyenangkan. Kaisar sama sekali tidak tahu betapa pasukan pengawalnya menghadapi perjalanan yang amat sukar, dan betapa para jenderal tua yang setia itu selalu merasa gelisah kalau-kalau terjadi hal-hal yang tidak diharapkan menimpa rombongan ini sehingga membahayakan keselamatan kaisar. Setelah melalui perjalanan yang amat lama dan amat melelahkan bagi para anggauta pasukan pengawal, akan tetapi amat meayenangkan bagi kaisar dan selirnya, dan amat menegangkan bagi Wang Cin yang mengharapkan terjadinya peristiwa hebat yang selain akan merubah jalannya sejarah juga akan mengangkatnya ke tingkat teratas sesuai dengan yang selama ini dicita-citakannya, rombongan itu tiba di kaki Pegunungan Nan-kouw dan di padang rumput mereka berkemah untuk melewatkan malam itu di situ dan memberi waktu kepada pasukan untuk beristirahat. Malam itu, delapan jenderal tua yang dipimpin oleh Jenderal Kho Gwat Leng dan Jenderal Tan Jeng Koan menghadap Wang Cin yang sedang mengadakan perundingan dengan para pengawal pribadinya termasuk tiga orang dari Lima Bayangan Dewa dan Bouw Thaisu yang lihai. Kedatangan delapan jenderal itu mengejutkan Wang Cin dan para pengawalnya otomatis bangkit dari kursi masing-masing dan oleh isyarat Wang Cin mereka itu berdiri di pinggir, selalu siap membela majikan mereka. Dengan muka manis Wang Cin mempersilakan para jenderal mengambil tempat duduk di dalam perkemahannya itu dan menanyakan maksud kedatangan mereka. “Wang-taijin, kami datang untuk mengajukan usul kepada taijin,” Jenderal Gwat Leng yang bertubuh kecil kurus itu berkata. “Hemm, tentu baik saja, Kho-goanswe. Segala macam usul demi kebaikan kita semua tentu saja kami sambut dengan gembira,” jawab orang kebiri yang memperoleh kedudukan tinggi itu. “Wang-taijin, kami semua telah melihat bahwa amat perlu perjalanan ini ditunda di sini sampai sedikitnya tiga hari,” kata Jenderal Kho Gwat Leng. “Ah, tidak mungkin!” Wang Cin berseru penasaran. “Kota Huai-lai sudah dekat, mengapa setelah hampir tiba di tempat tujuan lalu ditunda?” “Wang-taijin,” kata Jenderal Tan Jeng Koan yang bertubuh tinggi besar, berkulit hitam dan suaranya mengguntur itu. “Di depan adalah Lembah Nan-kouw yang terkenal sulit dilalui, juga tempat itu amat berbahaya apabila terdapat fihak musuh yang menghadang kita.” “Hemm, Tan-goanswe, siapakah yang berani menghadang rombongan kaisar? Pula, andaikata ada penjahat yang bosan hidup berani mengganggu, apa artinya ada pasukan besar pengawal yang dipimpin oleh delapan pahlawan Beng yang tersohor?” “Maaf, Wang-taijin,” Jenderal Kho Gwat Leng yang lebih halus sikapnya itu berkata. “Ucapan Tan-goanswe benar, dan juga pendapat Wang-taijin benar pula bahwa andaikata ada musuh menghadang, kami sudah siap menghadapinya. Akan tetapi, pasukan kita sudah amat lelah dan perbekalan sudah hampir habis, bahkan kami hampir kehabisan air, padahal perjalanan di depan melalui daerah pegunungan tandus yang sukar mencari air. Sebaiknya, kita menunda perjalanan selama dua tiga hari untuk menambah perbekalan, terutama ransum dan air.” Wang Cin menggeleng-geleng kepalanya dan berjalan mondar-mandir di ruangan itu. Dengan menggendong kedua tangan di bawah punggung dan menggeleng kepala, lalu berkata setelah kemudian duduk menghadapi delapan orang jenderal itu. “Tidak, tidak! Tidak ada perlunya itu. Sri baginda kaisar tentu akan kesal hatinya kalau perjalanan dihentikan sampai tiga hari. Kita berangkat besok pagi, melewati pegunungan dan Lembah Nan-kouw dan setelah tiba di Huai-lai, barulah kita berhenti, mengaso dan makan sepuasnya. Apakah perajurit-perajurit Beng begitu lemahnya dan mementingkan makan dan minum saja?” Mendengar ini, Jenderal Tan Jeng Koan mengepal tinju dan sudah hampir mendampratnya, akan tetapi Jenderal Kho Gwat Leng cepat memberi isyarat sehingga jenderal tinggi besar itu menahan kemarahannya. “Terserah kepada Wang-taijin yang menjadi komandan pasukan, akan tetapi kalau sampai terjadi hal-hal yang merugikan kita, jangan lupa bahwa kami sudah memberi peringatan,” kata pula Jenderal Kho yang maklum bahwa berdebat melawan orang yang sudah dipercaya penuh oleh kaisar ini akan percuma saja. Para jenderal ini adalah bekas panglima-panglima pembantu Panglima Besar The Hoo dan sudah mengabdi sejak jaman Kaisar Yung Lo. Seperti umumnya para panglima kuno, kesetiaan mereka terhadap kaisar adalah mutlak, dengan membuta dan keputusan apapun yang diambil oleh Kaisar merupakan perintah yang akan mereka pertahankan dengan pertaruhan nyawa, sungguhpun kesadaran mereka membuat mereka maklum betapa kelirunya keputusan itu sekalipun! Para jenderal ini tentu saja maklum akan keadaan kaisar muda yang berada di bawah pengaruh Wang Cin itu, akan tetapi mereka tidak berani membantah keputusan kaisar, dan betapapun juga Wang Cin telah diangkat oleh kaisar menjadi komandan pasukan, menjadi atasan mereka yang harus mereka patuhi! Diam-diam para jenderal yang sudah berpengalaman dan merupakan ahli-ahli perang yang telah puluhan tahun memimpin pasukan itu, telah menyebar penyelidik menyusup ke depan dan menyelidiki keadaan Pegunungan Nan-kouw yang menghalang di depan. Pada pagi harinya, hanya ada empat orang di antara dua puluh penyelidik itu yang kembali ke perkemahan, dan mereka inipun berada dalam keadaan luka-luka parah. Dengan lemah mereka memberi laporan bahwa pegunungan itu penuh dengan barisan musuh yang dipimpin sendiri oleh Sabutai, pemberontak Mongol yang amat tersohor keberaniannya itu. Berita ini tentu saja mengejutkan para jenderal dan kembali mereka membujuk Wang Cin untuk mencari perbekalan lebih dulu sebelum melanjutkan perjalanan. Kami sanggup mengawal kaisar sampai ke manapun, dan kita memang tidak perlu takut menghadapi para pemberontak liar itu,” kata Jenderal Tan Jeng Koan dengan suara nyaring. “Akan tetapi karena mereka tentu melakukan perang gerilya, maka pertempuran akan makan waktu lama. Tanpa perbekalan yang cukup, terutama sekali air minum, kedudukan kita dapat berbahaya.” “Aahhhh, laporan para pengecut itu mengapa mengecilkan hati goanswe? Kalau cu-wi (anda sekalian) takut, biarlah saya sendiri yang memimpin pasukan menggempur perampok-perampok laknat itu! Justeru di depan kehadiran sri baginda, mereka berani mengacau, maka harus dibasmi sampai ke akarnya! Sekarang juga kita harus menyerang ke Nan-kouw dan menghancurkan mereka!” Wang Cin berkata dengan muka merah karena diam-diam dia marah sekali bahwa para jenderal itu telah menyebar mata-mata tanpa dia ketahui dan timbul kekhawatirannya bahwa rencananya akan gagal. Kembali para jenderal itu tidak dapat membantah dan mereka lalu berunding, kemudian mengambil keputusan untuk mengerahkan seluruh tenaga menghadapi pasukan pemberontak Mongol yang menghadang mereka di Pegunungan Nan-kouw. Demikianlah, pada hari itu juga pasukan Beng-tiauw yang mengawal rombongan kaisar itu melanjutkan perjalanan mendaki Pegunungan Nan-kouw. Untuk menjaga keselamatan kaisar, kereta yang ditumpangi oleh kaisar dan selirnya tercinta itu berada di tengah-tengah, didahului oleh pasukan pengawal yang dipimpin sendiri oleh empat orang jenderal, sedangkan di belakangnya diiringkan oleh pasukan yang dipimpin oleh empat orang jenderal lainnya. Delapan orang jenderal itu sudah bersepakat untuk melindungi kaisar sedemikian rupa sehingga sebelum orang terakhir tewas, tak mungkin musuh akan dapat mendekati kaisar. Penjagaan yang mengelilingi kaisar dilakukan berlapis-lapis dan diatur secara ketat sekali. Hal yang memang sudah diduga-duga dan dikhawatirkanpun terjadilah. Menjelang tengah hari, mulailah pasukan Sabutai menyerang, mula-mula penyerangan itu dilakukan dari arah kiri. Sebagian pasukan pengawal menyambut dan selagi perang terjadi, muncul pasukan musuh menyerang dari kanan, kemudian bertut-turut musuh bermunculan dari depan dan belakang! Mereka telah mengurung rombongan kaisar! Akan tetapi karena delapan orang jenderal itu sudah bersiap-siap sebelumnya, penyerangan bertubi-tubi dari empat penjuru ini tidak mengacaukan pertahanan pasukan pengawal kaisar. Perlawanan dilakukan dengan baik, dan Jenderal Kho Gwat Leng sendiri yang memimpin pembuatan sebuah perkemahan di tengah-tengah pertahanan mereka untuk kaisar, selirnya, dan para pelayan kaisar. Dengan kata-kata penuh semangat Jenderal Kho membesarkan hati kaisar dan menghiburnya sehingga kaisar tidaklah begitu khawatir biarpun tahu bahwa ada pasukan pemberontak menyerang karena dia percaya penuh akan kemampuan delapan orang jenderalnya. Perang terjadi dengan hebatnya dan berkat kemampuan delapan orang jenderal yang mahir ilmu perang itu, biarpun jumlah musuh jauh lebih banyak, namun setelah bertempur sampai hari berganti malam, fihak penyerbu dapat dipukul mundur dan mereka melarikan diri ke dalam hutan-hutan di pegunungan itu. Betapapun juga, fihak pasukan pengawal juga kehilangan banyak perajurit yang gugur maupun yang terluka sehingga jumlah mereka tinggal tiga perempatnya. Hal ini membuat para jenderal menjadi khawatir akan keselamatan kaisar, maka untuk kesekian kalinya mereka mengusulkan kepada Wang Cin agar rombongan ditarik mundur dan kembali saja ke kota raja sebelum terlambat. Kalau mereka mundur ke selatan, mereka akan lebih mudah memperoleh bantuan dari benteng pasukan Beng-tiauw yang berjaga di tapal batas. “Tidak, sungguh memalukan kalau kita mundur. Bukankah dalam pertempuran tadi kita telah menang? Musuh telah kacau-balau, terpukul mundur dan kabur. Sebaiknya, besok pagi kita melanjutkan perjalanan ke kota Huai-lai dan di sana kita akan aman dan karena berada dalam benteng.” Wang Cin berkeras melanjutkan perjalanan itu. “Wang-taijin, biarpun musuh terpukul mundur, namun mereka dapat menyusun kekuatan baru dan kalau mereka melakukan pengurungan di lembah depan, amatlah berbahaya.” Jenderal Kho Gwat Leng memperingatkan. “Terutama sekali karena perbekalan kita sudah menipis.” “Tidak perlu kita takut. Kita sudah menang perang, mengapa harus melarikan diri dan mundur? Kita bahkan harus menggempur musuh yang sudah lari itu sampai terbasmi habis!” Wang Cin membantah. Delapan orang jenderal itu kembali tidak berhasil membujuk dan pada keesokan harinya, rombongan itu melanjutkan perjalanan menuju ke kota Huai-lai dan menjelang tengah hari tibalah mereka di Lembah Nan-kouw yang amat sukar dilalui dan merupakan tempat berbahaya karena mereka harus melalui lorong yang curam, kanan kirinya menjulang dinding batu yang tinggi. Terjadilah seperti yang dikhawatirkan oleh para jenderal yang berpengalaman itu. Terdengar suara gemuruh dan dari kedua tebing gunung itu datang hujan batu yang menyerang dan menimpa rombongan kaisar! Tentu saja pasukan pengawal menjadi panik, dan ketika mereka mundur, ternyata jalan di belakang telah dihadang oleh pasukan musuh, juga di sebelah depan nampak debu mengebul tanda bahwa musuh sudah datang dari depan untuk menyerbu mereka yang terjepit di lorong Lembah Nan-kouw itu. Delapan orang jenderal cepat membuat perkemahan yang terlindung, dan mengawal sendiri kaisar dan selirnya untuk berlindung ke dalam kemah Jenderal Kho Gwat Leng dan dua orang jenderal lain membantu para pengawal pribadi kaisar, menjaga kaisar di dalam kemah sedangkan Jenderal Tan Jeng Koan bersama empat orang kawannya lari keluar dan ikut memimpin pasukan pengawal untuk melawan musuh yang menyerbu dari depan dan belakang. Terjadilah pertempuran yang amat hebat, akan tetapi karena pasukan pengawal kaisar berada di tengah-tengah, kanan kiri terhalang dinding gunung dan musuh yang amat banyak jumlahnya menyerang dari depan dan belakang, maka tentu saja mereka terhimpit dan terdesak hebat. Betapapun juga, para jenderal memberi semangat kepada pasukan dengan amukan mereka. Terutama Jenderal Tan yang amat gagah, mengamuk seperti seekor naga yang sedang marah. Pakaian perangnya telah berobah menjadi merah oleh darah para pengeroyoknya dan darahnya sendiri yang keluar dari luka-lukanya. Demikian pula dengan empat orang jenderal lainnya.   Tiba-tiba terdengar sorak-sorai di sebelah belakang pasukan pengawal dan terjadilah kekacauan di fihak musuh yang menutup jalan keluer di belakang mereka. Ternyata kemudian bahwa datang pasukan campuran dari Suku Bangsa Mancu dan lain-lain, dipimpin oleh seorang kakek yang gagah perkasa menyerbu musuh dan membantu pasukan pengawal kaisar. Kakek itu bukan lain adalah Pendekar Sakti Cia Keng Hong yang memimpin suku-suku liar yang tidak suka melihat pemberontakan Sabutai dan kini membantu kaisar dengan menyerang pasukan Sabutai yang memotong atau menutup jalan keluar dari lorong Lembah Nan-kouw itu. Akan tetapi, biarpun pasukan bantuan ini dapat mengacaukan fihak musuh di sebelah belakang, musuh yang menyerbu dari depan terlalu banyak sehingga selagi sebagian kekuatan pasukan pengawal mendesak musuh di belakang yang menjadi terjepit dengan datangnya Cia Keng Hong dan pasukannya, sebaliknya pasukan pengawal di fihak depan dapat dihancurkan dan terus didesak oleh fihak musuh sehingga mereka mundur dan bergabung dengan teman-teman yang masih melawan musuh yang menghadang di belakang. Akhirnya, habislah anggauta pasukan yang mempertahankan diri di depan dan menyerbulah Sabutai yang dibantu oleh tiga orang tamunya yang lihai, yaitu Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw dan Go-bi Sin-kouw, terus menerjang maju sampai akhirnya tidak ada lagi perajurit yang dapat melawan. Bahkan delapan orang jenderal yang tadi mengamuk dahsyat itu tidak nampak lagi karena mereka itu semua sudah masuk ke dalam perkemahan kaisar untuk menyerahkan sisa darah dan nyawa mereka demi untuk melindungi junjungan mereka. Ketika akhirnya Sabutai yang diiringkan oleh belasan orang pengawalnya, termasuk pula tiga orang tua lihai yang menjadi utusan Wang Cin itu, menyerbu ke dalam tenda besar di mana Kaisar Ceng Tung berada, nampak pemandangan yang amat mengharukan. Kaisar yang masih amat muda itu duduk dengan sikap tenang sekali, tenang dan agung, di atas kursi sambil memeluk seorang wanita cantik yang nampak ketakutan. Wanita ini adalah Azisha, selir terkasih itu. Di dekat pintu tenda nampak bergelimpangan mayat delapan orang jenderal dengan tubuh penuh luka! Akan tetapi agaknya yang menewaskan mereka adalah luka-luka terakhir yang mereka terima dari serangan para pengawal Thaikam Wang Cin! Ketika itu, delapan jenderal yang melindungi kaisar telah luka-luka parah, namun di bawah pimpinan Jenderal Kho Gwat Leng dan Jenderal Tan Jeng Koan, mereka delapan orang kakek itu dengan pedang di tangan masih berjaga di pintu kemah kaisar. Tiba-tiba para pengawal Wang Cin, di antaranya terdapat Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok, Liok-te Sin-mo Gu Lo It dan Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok Hosiang, maju dan menyerang delapan orang jenderal itu dari belakang sehingga tewaslah mereka! Kaisar terkejut sekali, hendak menegur perbuatan Wang Cin itu, akan tetapi thaikam ini berkata, “Merekalah yang mencelakakan kita, sri baginda. Sekarang hamba dan para pengawal hamba yang melindungi paduka!” Akan tetapi, begitu Sabutai dan para pengawalnya memasuki perkemahan itu, Wang Cin menyambut kepala pemberontak Mongol ini dengan senyum dan mereka saling memberi salam, demikian pula para pengawalnya segera beramah-tamah dengan para pengawal musuh! “Hemmm... kiranya engkau seorang pengkhianat!” Kaisar berseru dan membuang muka tidak mau memandang wajah Thaikam Wang Cin yang tersenyum-senyum menyeringai itu. Kemudian, setelah akhirnya pasukan Sabutai bersatu padu dan berhasil pula mengusir pasukan Cia Keng Hong yang tidak berapa banyak jumlahnya, Sabutai cepat-cepat menggiring kaisar sebagai tawanannya bersama Azisha yang tidak kelihatan takut lagi, dan kembali ke bentengnya di utara bersama Wang Cin dan para pengawalnya. Diam-diam Sabutai merasa kagum bukan main kepada delapan orang jenderal itu, dari juga merasa kagum melihat sikap Kaisar Ceng Tung yang demikian tenang dan agung, sedikitpun tidak merasa takut dan biarpun telah menjadi tawanan, namun memperlihatkan sikap agung dan penuh wibawa sehingga membuat diam-diam merasa tunduk! Sabutai adalah seorang yang menjunjung tinggi kegagahan dan amat membenci kecurangan dan pengkhianatan. Oleh karena itu, biarpun pada lahirnya dia mau dipersekutu oleh Wang Cin si pengkhianat, namun diam-diam di dalam hatinya dia sangat kagum kepada kaisar muda itu dan amat benci kepada Wang Cin. Hanya karena dia ingin mempergunakan Wang Cin untuk usahanya menyerbu ke selatan, maka dia menahan diri dan tidak memperlihatkan kebenciannya itu. Akan tetapi dengan keras dia memerintahkan para pembantunya agar melayani kaisar dengan baik dan tidak boleh seorangpun ada yang bersikap kasar atau mengganggu kaisar muda ini dan selirnya. Bahkan Kaisar Ceng Tung dan selirnya ditempatkan di sebuah bangunan tersendiri, lengkap dengan taman dan diberi kebebasan, karena yang dijaga hanya sekeliling bangunan itu. Wang Cin berusaha membujuk kaisar untuk membuat dan menandatangani surat kekuasaan dan pengangkatan kaisar baru, tentu saja dengan nama Wang Cin sebagai penggantinya, akan tetapi mendengar usul ini, Kaisar Ceng Tung hanya menjawabnya dengan meludah ke muka thaikam itu! Kalau saja tidak dicegah oleh Sabutai, tentu Wang Cin sudah membunuh kaisar. Diam-diam Sabutai tertawa di dalam hatinya, melihat betapa pertemuan antara kaisar dan Wang Cin itu seperti pertemuan antara seekor burung hong dan seekor tikus! Dia maklum bahwa membujuk atau mengancam seorang yang demikian gagah perkasa dan berwibawa seperti Kaisar Ceng Tung tidak ada gunanya sama sekali, dan kaisar itu jauh lebih baik dijadikan sandera. Sabutai memang cerdik bukan main. Dia tahu benar bahwa selama kaisar itu menjadi tawanannya, bala tentara Beng-tiauw tidak nanti akan berani menyerangnya. Dan kalau dia memperlakukan kaisar itu dengan baik, sebagai seorang tamu terhormat, hal ini saja sudah cukup merupakan jaminan bahwa kelak, andaikata cita-citanya menyerbu ke selatan gagal dan dia kalah, Pemerintah Beng tentu suka akan memaafkannya, mengingat bahwa dia telah bersikap baik kepada kaisar. Maka dia melarang Wang Cin untuk bertemu sendiri dengan kaisar, selalu di bawah pengawasannya. Bahkan tempat yang dijadikan tempat tawanan atau lebih tepat disebut gedung tamu itu bersambung dengan istananya sendiri sehingga dengan demikian leluasalah dia untuk keluar masuk gedung tamu itu. *** Beberapa bulan setelah Kaisar Ceng Tung menjadi tawanan, mulai tampaklah watak aseli dari Azisha. Memang wanita ini sejak diumpankan kepada kaisar oleh Wang Cin, hanya melayani kaisar itu sebagai pelaksanaan tugasnya belaka. Sedikitpun dia tidak cinta kepada kaisar dan kalau toh ada cinta itu, yang dicintanya bukanlah pribadi kaisar melainkan kedudukannya! Kini, kaisar yang merupakan manusia terbesar di negaranya, bahkan dianggap sebagal “utusan Tuhan” atau “putera Tuhan”, telah kehilangan kedudukannya, kehilangan kebesarannya, bahkan telah menjadi seorang tawanan. Tentu saja Azisha merasa amat rendah kalau menjadi selir seorang tawanan! Mulailah dia bersikap keras dan berani menentang kaisar, bahkan berani mulai menggunakan kata-kata kasar dan menghina. Melihat ini, kaisar baru terbuka matanya, dan baru dia tahu bahwa wanita cantik jelita ini memiliki batin yang tidak secantik wajahnya, dan baru dialah mengerti bahwa Azisha merupakan “alat” dari Wang Cin yang sekarang terbukti seorang pengkhianat besar itu. Maka diapun tidak memperdulikannya lagi dan setiap hari Kaisar Ceng Tung hanya tekun membaca kitab-kitab yang disediaken oleh Sabutai untuk bacaannya atau melakukan siulian (samadhi). Kaisar yang usianya masih muda, baru dua puluh tiga tahun itu kini sadar bahwa hubungannya yang amat mesra dengan Azisha selama ini hanyalah hubungan yang didasari oleh nafsu berahi saja dari fihaknya, dan dari fihak Azisha hanyalah didasari karena pelaksanaan tugas yang diberikan oleh Wang Cin. Dia merasa terpukul oleh kenyataan ini, maka dia merasa muak dan akhirnya tidak memperdulikan lagi kepada Azisha, bahkan tidak pernah mendekatinya, dan tidak pernah mengajaknya bicara sehingga ketika wanita itu tidak pernah memasuki kamarnya, diapun tidak perduli lagi. Perhatian Azisha mulai tertuju pada Sabutai, laki-laki tinggi besar dan gagah perkasa yang usianya sudah empat puluh tahun lebih itu. Dibandingkan dengan Kaisar Ceng Tung yang muda da halus budi bahasanya, lemah-lembut gerak-geriknya, tentu saja Sabutai jauh lebih jantan dan perkasa. Akan tetapi, karena sejak kecil sudah dididik sebagai perayu, maka agaknya wanita macam ini sudah sama sekali tidak mengenal cinta lagi dan kalau dia mulai mendekati Sabutai adalah karena dia tahu bahwa Sabutai merupakan orang pertama di situ, bahkan orang yang mempunyai cita-cita untuk menyerbu ke selatan dan menjadi kaisar dari seluruh negara! Selain itu, juga dia masih merasa sedarah dengan Sabutai, darah Mongol! Seperti telah dkeritakan, Sabutai mempunyai seorang isteri muda dan cantik, usianya baru delapan belas tahun, seorang berbangsa Khitan yang cantik jelita dan menjadi isterinya di luar kehendak wanita itu. Sabutai amat cinta kepada isterinya yang cantik itu, akan tetapi dia sering kali termenung dan merasa kecewa dan bersedih karena dia maklum bahwa isterinya tidak mencintanya. Padahal dia mengharapkan scorang keturunan dari isterinya yang tercinta itu dan untuk mengambil selir, Sabutai tidak sampai hati. Dia terlalu mencinta Khamila dan tidak ingin membagi cintanya dengan wanita lain. Betapapun juga, agaknya Azisha tidak akan berani secara lancang melakukan pendekatan kepada Sabutai karena dia adalah selir raja yang menjadi tawanan, kalau saja hal itu tidak dikehendaki dan diatur oleh Wang Cin. Pembesar kebiri ini mulai khawatir melihat sikap Sabutai yang dingin terhadap dirinya dan sungguhpun dia dan para pengawalnya mendapat perlakuan cukup baik, akan tetapi Sabutai agaknya seperti tidak terlalu mengacuhkannya, bahkan desakannya untuk segera menyerbu ke selatan selalu ditolak oleh Sabutai dengan alasan “belum waktunya” dan “belum cukup kuat”. Juga Sabutai menolak keras ketika Wang Cin mengusulkan agar Kaisar Ceng Tung yang menjadi tawanan itu dipaksa, kalau perlu disiksa, agar suka memberi surat kuasa pengangkatan kaisar baru. Semua ini ditolak oleh Sabutai yang mengatakan bahwa dia tidak sudi mempergunakan cara-cara yang curang. “Saya adalah keturunan orang-orang gagah, kakek saya dahulu adalah Jenderal Sabutai yang terkenal dari Dinasti Goan, bagaimana mungkin saya melakukan tindakan yang begitu rendah dan curang? Saya bukan pengecut dan kalau sudah tiba waktunya, saya akan menyerbu ke Peking!” Sikap Sabutai ini amat mengkhawatirkan hati Wang Cin. Biarpun dia dianggap sebagai sekutu dan tamu, akan tetapi tidak ada bedanya dengan tawanan juga, seperti kaisar yang telah dikhianatinya itu. Dia menjadi serba salah. Pulang kembali ke selatan dia tidak berani karena tentu pengkhianatannya itu akan membuat dia celaka, tinggal di utara diapun tidak dapat menguasai Sabutai! Mulailah dia mencari akal, dan orang kebiri ini memang cerdik sekali. Pandang matanya cukup tajam sehingga dia dapat menduga bahwa Sabutai yang hanya mempunyai seorang isteri itu tentu tidak behagia dengan isterinya yang cantik den muda. Isterinya itu bersikap dingin den tidak acuh kepada suaminya. Maka dia melihat kesempatan baik untuk mempergunakan kecantikan dan kepandaian Azisha yang sudah dilatih sejak kecil untuk menjadi seorang perayu pria! Maka, mulailah dia mengatur siasat dengan Azisha untuk menundukkan hati pemimpin orang Mongol yang keras hati ini dengan pengaruh kecantikan dan kepandaian merayu Azisha. Pada suatu malam, ketika Sabutai duduk seorang diri di dalam kamarnya, termenung mencari siasat untuk dapat menyerbu ke selatan karena kini dia telah dapat menyusun barisan yang besar dan amat kuat, muncullah Azisha yang tentu saja diperkenankan oleh para pengawal karena para pengawal ini sudah lebih dulu disuap oleh Wang Cin! Apalagi, mereka tahu bahwa Azisha adalah selir kaisar yang tertawan, seorang wanita muda yang cantik jelita dan lemah, tentu saja tidak berbahaya dan mempunyai niat-niat yang mesra terhadap raja mereka! Maka, sambil menikmati hadiah suapan dari Wang Cin, mereka membiarkan Azisha lewat den bahkan saling pandang dengan senyum penuh arti karena tentu akan terjadi hal-hal mesra di dalam kamar pemimpin atau raja mereka. Bahkan di antara mereka ada yang berani mendekat ke kamar Sabutai dan memasang telinga untuk mendengarkan kemesraan itu! Beberapa orang pengawal ini saling pandang penuh arti ketika mereka mulai mendengar suara Azisha yang merdu, seolah-olah bertanya jawab dengan suara Sabutai yang nyaring dan keras. Mereka sudah mulai merasa tegang dan membayangkan hal-hal yang mengundang kegairahan hati mereka. Pembangkit nafsu berahi, seperti nafsu apapun juga, adalah pikiran sendiri. Kebencian dan rasa takut didatangkan oleh pikiran yang membayangkan hal-hal yang mengerikan dan tidak menyenangkan yang telah atau akan menimpa diri kita. Iri hati, keinginan, ambisi, gairah datang karena pikiran membayangkan hal-hal yang menyenangkan dan yang telah atau akan kita alami. Segala macam nafsu datang dari pikiran yang membayang-bayangkan hal-hal yang telah lalu dan yang akan datang sehingga kehidupan kita sepenuhnya dipermainkan dan dikuasai oleh kesibukan pikiran, membuat kita tidak mampu melihat keadaan sesungguhnya dan kenyataan dari saat sekarang ini. Oleh karena itu, seorang bijaksana akan selalu waspada terhadap pikirannya sendiri, karena pikiran yang sesungguhnya amat penting bagi fungsi hidup sehari-hari sebagai alat untuk mengingat dan mencatat, juga amatlah jahat kalau dipergunakan tidak pada tempatnya, yaitu dipergunakan untuk menguasai kehidupan seluruhnya dengan pembentukan si aku. Si aku adalah pikiran itu sendiri yang selalu mengejar kesenangan dan menyingkir dari yang tidak menyenangkan. Maka batin menjadi ajang perang dari kenyataan seperti apa adanya dan bayangan-bayangan pikiran yang selalu menginginkan hal-hal yang lain daripada kenyataan yang ada! Maka datanglah konflik batin yang tentu akan tercetus keluar menjadi konflik lahir. Kalau kita mau membuka mata melihat kenyataan konflik ini nampak di dalam kehidupan kita sehari-hari, dari konflik kecil antar manusia sampai konflik besar antar bangsa berupa perang! Karena kadang-kadang suara percakapan di dalam kamar itu lirih dan suara Azisha yang merayu-rayu itu terdengar kadang-kadang seperti rintihan halus, maka para pengawal itu yang tidak berani terlalu dekat tidak dapat menangkap jelas sehingga mereka menjadi makin penasaran. Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan keras dari Sabutai disusul jerit seorang wanita. Ketika para pengawal cepat lari ke depan pintu kamar, pintu terbuka dari dalam dan nampak Sabutai dengan muka merah berkata, “Lempar mayat perempuan hina itu keluar!” Para pengawal terbelalak melihat wanita muda yang cantik jelita itu telah rebah di atas lantai dengan kepala pecah sehingga mukanya yang cantik itu kelihatan mengerikan karena penuh darah, matanya terbelalak dan kini muka itu sama sekali tidak menarik lagi, bahkan menakutkan. Baju luar wanita itu telah terlepas sehingga nampak lekuk lengkung dadanya yang penuh di balik baju dalam yang berwarna merah muda. Agaknya wanita muda itu tadi menggunakan rayuan dengan menanggalkan baju luarnya, akan tetapi dia sama sekali tidak berhasil membangkitkan gairah di hati Sabutai, sebaliknya malah membangkitkan kemarahannya sehingga orang yang gagah perkasa ini dalam marahnya menampar kepala wanita itu sehingga pecah dan tewas seketika! Sungguh peristiwa yang amat menyedihkan. Azisha yang sejak kecil dididik sebagai seorang wanita perayu dan yang haus akan kemewahan dan kemuliaan, sama sekali tidak mengenal Sabutai dan menyangka bahwa setiap orang pria tentu akan runtuh oleh rayuan mautnya. Akan tetapi, Sabutai adalah seorang laki-laki jantan yang hanya memiliki satu saja cita-cita, yaitu membangun kembali Bangsa Mongol sebagai bangsa yang terbesar, merampas kembali tahta kerajaan deri Dinasti Beng dan membangun kembali Kerajaan Mongol yang sudah hancur berantakan. Sedikitpun dia tidak terpikat oleh wanita, apalagi karena satu-satunya wanita yang dicintanya adalah Khalima, isterinya yang masih muda akan tetapi yang tidak membalas cintanya. Maka, melihat rayuan Azisha, dia menjadi muak, apalagi mengingat bahwa Azisha adalah seorang wanita Mongol dan dia tahu betapa wanita bangsanya ini oleh Wang Cin telah diperalat untuk melemahkan Kaisar Ceng Tung yang amat dikaguminya karena kaisar yang muda itu ternyata adalah seorang yang gagah perkasa dan tak mengenal takut pula, sungguhpun kaisar yang muda itu agaknya lemah terhadap wanita cantik. Kemarahannya memuncak ketika dia mengusir Azisha, wanita ini malah menanggalkan baju luarnya untuk memamerkan lekuk lengkung tubuhnya, maka dalam kemarahannya dia menampar, lupa bahwa tamparan tangannya terlalu kuat dan kepala wanita ini terlalu lunak sehinga tewaslah Azisha dengan kepala pecah. Tentu saja hati Wang Cin terkejut setengah mati ketika dia mendengar betapa Azisha telah dibunuh oleh Sabutai. Cepat dia mengumpulkan para pengawalnya karena hatinya merasa tidak enak sekali. Diam-diam dia berunding dengan para pengawalnya yang berjumlah belasan orang, di antaranya termasuk Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw, Go-bi Sin-kouw, Bouw Thaisu, Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok, Liok-te Sin-mo Gu Lo It dan Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok Hosiang, orang-orang yang berkepandaian amat tinggi dan yang mempergunakan kesempatan itu untuk mencari kedudukan dengan membonceng pengaruh pembesar kebiri Wang Cin dan di samping itu juga untuk menyembunyikan diri sementara waktu karena mereka itu, terutama sekali tiga orang di antara Lima Bayangan Dewa, merasa jerih juga atas pengejaran dan pembalasan dendam dari Cin-ling-pai. Di samping tujuh orang berilmu ini, masih ada lagi enam orang pengawal pribadi Wang Cin yang juga rata-rata memiliki kepandaian tinggi. Setelah mengadakan perundingan dengan tiga belas orang pengawal kepercayaannya, pada keesokan harinya Wang Cin lalu pergi menghadap Sabutai, diikuti oleh tiga belas orang pengawalnya itu. Tentu saja Sabutai bukan seorang bodoh dan dia sudah tahu terlebih dulu bahwa peristiwa kematian Azisha di dalam kamarnya itu tentu mengejutkan hati Wang Cin, karena dia tahu bahwa wanita muda itu adalah sekutu Wang Cin sehingga yang langsung tersinggung oleh kematian itu bukannya kaisar Ceng Tung yang agaknya kini mulai terbuka matanya oleh kepalsuan-kepalsuan itu, melainkan thaikam itulah. Sebetulnya, menurut suara hatinya yang tidak suka kepada kepalsuan dan kecurangan Wang Cin, ingin dia membunuh saja pengkhianat itu, akan tetapi diapun maklum bahwa Wang Cin dikelilingi oleh orang-orang pandai yang amat lihai, dan juga ratusan orang sisa perajurit pengawal yang kini menakluk dan menjadi pasukan pengawal Wang Cin merupakan bantuan yang cukup kuat baginya. Inilah yang membuat dia menahan sabar dan tidak membunuh pengkhianat itu. Setelah dalam kemarahannya dia membunuh Azisha, Sabutai juga maklum bahwa kematian wanita palsu itu tentu akan menyusahkan hati kaisar yang kini agaknya telah terbuka matanya dan mengenal macam apa adanya wanita yang selama ini mempermainkannya, akan tetapi tentu akan diterima dengan marah oleh Wang Cin. Maka diapun telah bersiap-siap. Ketika Wang Cin yang diikuti tiga belas orang pengawalnya itu datang mengunjungi Sabutai, mereka disambut oleh Sabutai yang sudah duduk di ruangan besar itu bersama seorang kakek dan seorang nenek tua renta yang bermata tajam seperti mata harimau. Kakek dan nenek itu duduk di kanan kirinya, si kakek bermuka putih seperti kapur, seolah-olah tidak mempunyai darah, muka mayat yang dipupuri kapur tebal. Sedangkan muka nenek itu hitam sekali, hitam seperti terbakar hangus. Wajah kakek dan nenek yang sama sekali berlawanan warnanya itu membuat mereka kelihatan amat menyeramkan, apalagi karena nenek bermuka hitam hangus itu berpakaian serba putih sedangkan kakek bermuka putih kapur itu mengenakan pakaian serba hitam! Tangan mereka memegang tongkat butut yang sukar dikenal terbuat dari bahan apa, hanya nampaknya sudah butut sekali. Di belakang Sabutai berjajar pasukan pengawal yang terdiri dari tiga puluh orang lebih, bersenjata lengkap dan dalam keadaan siap siaga! Melihat ini, Wang Cin tercengang dan jantungnya berdebar. Dia merasa bahwa Sabutai agaknya sengaja memperlihatkan sikap bermusuh dan memamerkan kekuatan, dan diapun tidak mengenal siapa adanya dua orang kakek dan nenek itu. Di lain fihak, Sabutai menerima kedatangan Wang Cin dan para pengawalnya dengan sikap dingin, akan tetapi dia mempersilakan mereka duduk berhadapan dengan dia terhalang meja panjang. Wang Cin duduk di antara para pengawalnya, dan Sabutai lalu memperkenalkan kakek dan nenek itu. “Wang-taijin, perkenalkan kedua beliau ini adalah guru-guru saya. Pek-hiat Moko (Iblis Jantan Berdarah Putih) Hek-hiat Mo-li (Iblis Betina Berdarah Hitam). Suhu dan subo, inilah Wang-taijin dan para pengawalnya seperti yang sudah saya ceritakan kepada suhu dan subo (bapak dan ibu guru).” Wang Cin sebagai scorang pembesar istana yang tidak mengenal dunia persilatan, maka tidak pernah mendengar nama dua orang aneh itu dan tentu saja dia memandang rendah kepada kakek dan nenek yang lebih merupakan orang-orang terlantar atau jembel-jembel yang bertubuh lemah dan tua. Akan tetapi para pengawalnya memandang kakek dan nenek itu dengan penuh perhatian dan terutama sekali Bouw Thaisu kelihatan terkejut karena kakek ini pernah mendengar nama mereke sebagai tokoh-tokoh yang selalu menyembunyikan diri akan tetapi yang kabarnya memiliki kepandaian tinggi sekali. Maka Bouw Thaisu cepat menjura dan berkata, “Sudah lama saya mendengar nama besar ji-wi (anda berdua), sungguh menyenangkan sekali hari ini dapat bertemu.” Nenek itu tidak memperdulikan Bouw Thaisu, melainkan memandang dengan mata agak menjuling ke arah Hek I Sian-kouw dan Go-bi Sin-kouw, akan tetapi kakek itu melirik ke arah Bouw Thoisu dan terdengar dia berkata, suaranya jelas membayangkan lidah asing. “Bouw Thaisu meninggalkan tempat yang sunyi di pantai Po-hai dan muncul dalam keramaian, tentu ada apa-apa di balik itu. Hemmm...!” Tiba-tiba terdengar suara nenek itu, tinggi melengking penuh nada mengejek, “Dewi dari Go-bi yang sudah bongkok, sute Toat-beng Hoatsu dan pasangannya, semua muncul di sini. Betapa ramainya!” Jelas bahwa nenek itu menujukan kata-katanya kepada Go-bi Sin-kouw, Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Sinkouw. Tentu saja Bouw Thaisu dan teman-temannya menjadi terkejut sekali. Biarpun tak pernah muncul di dunia kang-ouw, kakek dan nenek itu ternyata dapat mengenal mereka! Hanya tiga orang dari Lima Bayangan Dewa agak mendongkol karena kakek dan nenek itu seolah-olah tidak perduli kepada mereka, selain tidak kenal, juga memandang rendah sekali, agaknya mereka bertiga dianggap pengawal-pengawal biasa saja, kelas rendahan! Akan tetapi tentu saja merekapun tidak dapat menunjukkan kemangkelan hati mereka, apalagi ketika itu, Sabutai sudah berkata kepada Wang Cin, “Keperluan apakah yang membawa Wang-taijin datang kepada saya? Agaknya ada hal yang amat penting untuk dibicarakan.” Wang Cin menahan gejolak hatinya yang diliputi kemarahan. Biarpun hatinya panas karena marah dan duka memikirkan kematian Azisha yang sekarang entah dibuang ke mana jenazahnya, namun dia memaksa wajahnya tenang dan mulutnya tersenyum ketika dia menjawab, “Saya telah mendengar berita bahwa telah terjadi sesuatu antara paduka dengan Azisha. Karena dia adalah selir kaisar dan dia masih segolongan dengan kita, maka saya menjadi terkejut dan datang menghadap untuk minta penjelasan mengenai peristiwa itu.” Sabutai tersenyum mengejek, kemudian berkata dengan suara menantang, “Tidak salah apa yang taijin dengar. Azisha telah saya bunuh malam tadi.” Dengan pandang mata keras, tak kuasa menyembunyikan kemarahannya, Wang Cin bertanya, “Kenapa?” “Perempuan tak tahu malu itu berani memasuki kamar saya dan bersikap tidak senonoh. Dalam kemarahan saya melihat ketidaksopanannya dan usahanya untuk merayu, saya memukulnya dan dia tewas. Jenazahnya sudah saya suruh kubur.” Wang Cin menghela napas panjang, lalu mengangkat kedua tangan ke atas, “Saya tidak mempersoalkan sebab-sebabnya mengapa dia dibunuh, bengcu.” Pembesar thaikam ini tidak mau menyebut Sabutai sebagai raja muda seperti yang dilakukan para anak buahnya, melainkan menyebutnya bengcu yang berarti pemimpin. “Akan tetapi yang terpenting, kenapa membunuh dia yang dapat menjadi pembantu kita yang amat baik? Bukankah lebih baik membunuh kaisar yang telah menjadi tawanan, atau mengancamnya dengan siksaan agar dia suka tunduk dan menyerahkan kedudukannya kepada kita?” Sabutai menggebrak meja di depannya. Dia marah sekali. “Wang-taijin! Harap taijin ingat bahwa taijin berada di tempat saya, dan di sini, sayalah yang berkuasa. Taijin tidak perlu mencampuri urusan saya. Perempuan hina itu sengaja hendak merayu saya, maka saya bunuh dia. Adapun kaisar yang muda itu, saya kagum sekali karena dia adalah seorang pemuda yang gagah berani. Saya terus saja membunuh perempuan itu tnnpa bertanya siapa yang mendalangi perbuatannya, hal itu karena saya tidak mau memperpanjang urusan.” Merah juga wajah Wang Cin mendengar sindiran ini. Alisnya berkerut dan diapun mencela, “Sabutai bengcu, hendaknya bengcu ingat bahwa tanpa siasat dari saya, tidak mungkin bengcu dapat menawan kaisar! Kita bekerja sama, maka saya berhak bicara dan sudah semestinya kalau bengcu mendengarkan kata-kata saya.” Sabutai makin marah dan dia sudah bangkit berdiri. “Wang-taijin yang mengajak bersekutu, bukan saya. Biar kita bekerja sama, akan tetapi sayalah yang menentukan segala langkah kita, dan bukan Wang-taijin!” Melihat suasana menjadi panes ini, Bouw Thaisu cepat bangkit berdiri dan berkata dengan suara halus. “Harap ji-wi suka bersabar dan bicara dengan kepala dingin. Di antara sahabat, akan merugikan sendiri kalau menurutkan hati panas. Segala sesuatu dapat dirundingkan secera baik-baik.” “Heh-heh-heh, omongan Bouw Thaisu sungguh seperti omongan pelawak di atas panggung!” Tiba-tiba nenek Hek-hiat Mo-li berkata. “Kalau mengaku sahabat, mengapa Wang-taijin datang dikawal oleh para jagoannya, seolah-olah hendak berangkat perang?” “Sungguh sombong!” Tiba-tiba Liok-te Sin-mo Gu Lo It yang berwatak keras dan kasar, membentak marah. “Wang-taijin adalah seorang pembesar tinggi, sekutu yang banyak berjasa, juga tamu agung di tempat ini, akan tetapi telah diperlakukan tidak sepatutnya. Sudah tentu saja ke manapun beliau pergi, kami para pengawalnya menjaga keselamatannya, kerena siape tahu di mana-mana terdapat musuh yang bersembunyi! Kalau ada yang tidak setuju melihat kami mengawal beliau, boleh coba mengusir kami!” Setelah berkata demikian, Gu Lo it yang bertubuh tinggi besar kokoh kuat, berhidung besar dan berjubah hitam dan bertopi itu, sekali meloncat telah berdiri di tengah ruangan, matanya melotot ditujukan kepada nenek bermuka hitam berpakaian serba putih itu dengan sikap menantang. “Heh-he-he-he, gagah sekali! Siapakah namamu, pengawal yang setia?” Nenek itu tertawa, bangkit berdiri dan menghampiri Gu Lo It. “Namaku tidak sedemikian gagah seperti namamu, Hek-hiat Mo-li. Namaku Gu Lo It.” “Heh-he-he, engkau benar-benar seekor kerbau hidung besar!” Nenek itu terkekeh dan kata-kata itu merupakan ejekan yang amat menghina karena nama keturunan Gu Lo It, yaitu Gu dapat juga diartikan kerbau, walaupun bukan itu maksudnya dan hanya bunyi suaranya saja yang sama. Dia dimaki kerbau karena memang She-nya dapat diartikan kerbau dan berhidung besar karena memang hidungnya agak terlalu besar untuk ukuran umum. Maka tentu saja Si Iblis Bumi ini menjadi marah bukan main. Dia adalah Liok-te Sin-mo, orang kedua dari Lima Bayangan Dewa dan nenek tua renta seperti mayat hidup ini berani menghinanya seperti itu. “Nenek sombong, engkau belum mengenal lihainya Liok-te Sin-mo. Nah, kaucoba sambutlah ini!” Tiba-tiba saja Liok-te Sin-mo Gu Lo It sudah menerjang nenek muka hitam itu dengan gerakan kedua tangannya yang mengandung tenaga besar sekali, menghantam dari kanan kiri. Serangan ini dilakukan dengan marah dan dengan tenaga penuh sehingga terdengar angin pukulan menyambar dari kanan kiri, bersuit suaranya. Baik Wang Cin maupun Sabutai hanya memandang saja. Sabutai tidak berani menahan subonya, sedangkan Wang Cin memang hendak memperlihatkan gigi maka diapun membiarkan saja jagoan-jagoannya memberi hajaran kepada fihak tuan rumah yang amat menyakitkan hatinya. Hanya Bouw Thaisu yang memandang dengan alis berkerut karena dia menganggap sikap Gu Lo It itu terlalu lancang.