“Heh-heh-heh, si kerbau hidung besar mengamuk dan menyeruduk!” nenek itu tertawa, kedua tangannya bergerak cepat sekali sehingga kedua lengan yang terbungkus lengan baju putih itu berobah menjadi bayangan putih dan tahu-tahu nenek itu telah menangkap kedua pergelangan tangan Gu Lo It yang kini terbelalak. Hanya Bouw Thaisu yang dalam sekejap mata dapat melihat betapa secara cepat dan aneh, Gu Lo It telah tertotok setengah lumpuh maka kini tidak mampu berbuat apa-apa ketika pergelangan kedua tangannya ditangkap. “Heiii... Mo?ko, kau suka daging kerbau? Nah, terimalah persembahanku ini, heh?heh!” Dan tiba?tiba Gu Lo It terlempar ke udara, menuju ke arah kakek muka putih. “Siapa sudi kerbau alot begini?” Kakek itu sekali bergerak sudah meloncat ke depan, kedua tangannya digerakkan dan tahu?tahu dia telah menangkap batang leher dan punggung baju Gu Lo It dan sekali ayun tubuh Gu Lo It sudah terlempar lagi ke arah Hek?hiat Mo?li! “Ihh, kerbau busuk, aku jijik!” Kini kaki nenek itu bergerak, cepat sekali dan pada saat itu sebetulnya Gu Lo It sudah terbebas dari totokan dan sudah mulai meronta dan bergerak hendak melawan, namun ujung sepatu nenek itu kembali membuatnya setengah lumpuh dan dengan suara berdebuk, pinggulnya kena ditendang sehingga tubuhnya kembali melayang ke arah Pek?hiat Mo?ko. Terkejut bukan main semua pengawal Wang Cin, terutama sekali Bouw Thaisu menyaksikan betapa Gu Lo It yang terkenal lihai itu dipermainkan oleh kakek dan nenek itu seperti sebuah bola yang sama sekali tidak berdaya! “Harap ji?wi maafkan dia!” Bouw Thaisu berseru keras ketika melihat tangan Pek?hiat Mo?ko sudah bergerak untuk menyambut tubuh Gu Lo It dengan sebuah tamparan ringan yang mengarah kepala Gu Lo It, tamparan yang mungkin akan merenggut nyawa orang kedua dari Lima Bayangan Dewa itu! “Plakk!” Bouw Thaisu terhuyung dengan kaget sekali, akan tetapi dia telah berhasil menyelamatkan Gu Lo It dengan menangkis tamparan itu, sedangkan Gu Lo It dengan muka sebentar pucat sebentar merah telah berdiri di pinggir, tadi disambar oleh suhengnya, yaitu Pat?pi Lo?sian Phang Tui Lok, yang kini memegang lengannya, mencegah sute yang sembrono itu maju lebih lanjut. “Bagus! Kiranya Bouw Thaisu tidak mengecewakan menjadi tokoh partai Po?hai!” Pek?hiat Mo?ko memuji ketika merasa betapa kuatnya lengan Bouw Thaisu yang menangkisnya tadi. “Dan akan menjadi lawan yang menggembirakan pula!” Akan tetapi, melihat betapa nenek dan kakek itu lihai sekali dan keadaannya tidak menguntungkan fihaknya, Wang Cin sudah bangkit berdiri. “Cukup semua ini! Harap Bouw Thaisu dan yang lain?lain suka duduk kembali!” Kemudian dia memandang Sabutai dan berkata, “Apakah bantuan kami diterima dengan cara begini oleh bengcu! Apakah semua pengorbanan kami sia?sia belaka?” Sabutai memberi isyarat kepada suhu dan subonya untuk duduk kembali, kemudian dia berkata, “Harap maafkan, Wang?taijin. Sebagai orang?orang yang suka akan ilmu silat, tentu saja suhu dan suboku akan melayani setiap lawan yang hendak main?main. Kami sama sekali tidak ingin memusuhi taijin, bahkan kami berterima kasih atas bantuan taijin. Urusan besar masih belum terlaksana, perlukah taijin meributkan kematian seorang perempuan hina seperti Azisha itu?” Wang Cin maklum bahwa fihaknya terdesak. Dia berada di guha harimau, maka dia tidak boleh main?main. Andaikata dia boleh mengandalkan ketangguhan tiga belas orang pengawalnya dan ratusan orang sisa pasukan, akan tetapi apa dayanya berada di antara puluhan ribu anak buah Sabutai? Maka dia mengangguk dan mereka melanjutkan pertemuan yang tadinya menegangkan itu dengan makan minum, dan nama Azisha sama sekali tidak pernah disinggung lagi dalam percakapan. Bahkan Sabutai dan Wang Cin membicarakan tentang beberapa kali terjadinya usaha penyerbuan pasukan Beng?tiauw dibantu oleh beberapa kelompok suku bangsa perantau di utara, untuk membebaskan kaisar. Namun karena jumlah para penyerbu itu kecil sekali dibandingkan dengan kekuatan barisan anak buah Sabutai, semua usaha penyerbuan itu dapat dihancurkan dan para penyerbu dipaksa untuk mundur. “Para penyelidik kami melaporkan bahwa di kerajaan terjadi pergolakan, akan tetapi sayang, para sekutu taijin agaknya membelakangi taijin dan saya mendengar bahwa mereka semua telah mengangkat seorang kaisar baru, yaitu Cing Ti.” Muka Wang Cin menjadi merah mendengar kata?kata ini. “Kalau begitu, mengapa kita tidak segera menyerbu ke selatan? Bengcu harap percava kepadaku bahwa di sana masih banyak sekutu yang akan membantu kita dari dalam. Kaisar Cing Ti sama saja dengan Kaisar Ceng Tung, diapun membenci bangsa kita. Sebelum kita berhasil merampas tahta kerajaan, bangsa kita akan selalu dianggap sebagai musuh dan tidak mungkin Kerajaan Goan?tiauw yang jaya dapat bangkit kembali.” Sabutai tersenyum. “Mungkin taijin mahir dalam urusan pemerintahan, akan tetapi mengenai urusan perang, serahkan saja kepada saya. Kalau sudah tiba saatnya, tentu saya akan menyerbu ke selatan.” Biarpun hatinya penasaran, namun Wang Cin tidak berani mendesak lagi dan terpaksa dia dan para pengawalnya harus bersabar menjadi tamu?tamu yang keadaannya tidak lebih daripada tawanan?tawanan yang selalu diawasi sungguhpun diperlakukan dengan hormat. Apa yang dikatakan oleh Sabutai tentang pergolakan di kota raja itu memang benar. Setelah diterima berita bahwa Kaisar Ceng Tung disergap dan ditawan oleh pasukan pemberontak Sabutai, kota raja menjadi geger, apalagi ketika mendengar bahwa delapan orang jenderal tewas dalam melindungi kaisar. Akan tetapi anehnya, keributan tentang berita ditawannya kaisar segera tenggelam, kalah oleh keributan tentang siapa yang harus menjabat kedudukan kaisar yang sementara kosong itu! Memang sudah menjadi watak manusia yang haus akan kesenangan, haus akan kekuasaan dan kemuliaan duniawi. Untuk mencapai kesenangan?kesenangan yang dirindukan itu, manusia tidak segan?segan berobah menjadi mahluk sebuas?buasnya, kalau perlu menyingkirkan, merobohkan dan membunuh manusia?manusia lain yang menghalang di tengah jalan, yang dianggapnya sebagai perintang tercapainya apa yang dikejar?kejar, yaitu kesenangan, kekuasaan, dan kemuliaan. Usaha untuk mencoba menolong dan membebaskan Kaisar Ceng Tung hanya dilakukan sembarangan saja, seolah?olah hanya untuk menutupi apa yang sebenarnya terjadi di kota raja, yaitu perebutan kekuasaan yang akhirnya jatuh ke tangan Cing Ti yang mengangkat diri menjadi kaisar pengganti Ceng Tung yang dianggap sudah tewas! *** Untuk ke sekian kalinya, pasukan kecil itu dipukul mundur oleh barisan penjaga di benteng Sabutai karena jumlah mereka jauh lebih kecil. Kakek gagah perkasa yang memimpin penyerangan itu mengamuk, seperti seekor naga, akan tetapi betapapun gagahnya dia, tidak mungkin dia dapat membobol penjagaan puluhan ribu orang pasukan Sabutai dan anak buahnya, yaitu pasukan yang terdiri dari orang?orang Nomad, pedagang dan penggembala kuda, telah terpukul mundur. Mereka terpaksa melarikan diri memasuki hutan?hutan dan kakek itu berdiri termenung dengan wajah penasaran. Beberapa orang pimpinan orang Nomad menghadapnya dan di antara mereka ada yang luka?luka. Orang yang tertua di antara mereka berkata, “Saya kira tidak ada gunanya lagi, taihiap. Kedudukan Sabutai terlalu kuat, orang?orangnya terlalu banyak. Tanpa adanya bantuan pasuka Kerajaan Beng, mana mungkin kita dapa menyelamatkan kaisar? Setiap penyerbuan hanya merupakan bunuh diri dan kita sudah kehilangan ratusan orang anak buah.” Cia Keng Hong, kakek pendeker yang gagah perkasa itu, menarik napas panjang, alisnya berkerut dan dia mengepal tinju. “Sungguh gila! Kenapa dari selatan tidak datang bala bantuan sedangkan sisa pasukan mereka telah lama kembali ke selatan minta bala bantuan? Apakah mereka sudah tidak memperdulikan lagi kaisar mereka yang tertawan musuh?” Seperti kita ketahui, Cia Keng Hong telah membantu Suku Nomad yang terdiri dari Bangsa Mongol dan Khitan, yang dipimpin oleh Yalu, ketika rombongan ini sedang menggiring kuda mereka dan diganggu perampok yang ternyata adalah anak buah Sabutai juga. Kemudian, Cia Keng Hong memimpin mereka dan teman?teman mereka yang berhasil dikumpulkan untuk mencoba menolong rombongan kaisar ketika rombongan kaisar terjebak di Lembah Nan?kouw, di lorong yang sempit. Akan tetapi, karena jumlah musuh yang jauh lebih banyak, pasukan orang Nomad ini terpukul mundur dan Cia Keng Hong tidak berhasil menyelamatkan kaisar sehingga kaisar menjadi tawanan Sabutai. Dengan hati penuh duka dan juga kagum Cia Keng Hong menyempurnakan jenazah delapan orang jenderal yang gugur secara gagah perkasa itu, kemudian pendekar ini menyusun kekuatan, bergabung dengan pasukan pemerintah yang menjaga di tapal batas dan berusaha untuk menyerang benteng Sabutai dan menolong kaisar yang ditawan. Akan tetapi, usaha yang berkali?kali dilakukan itu gagal terus, dan dengan sia?sia dia menanti bala bantuan dari selatan yang tak kunjung datang. Malam hari itu, kembali mereka telah gagal dan para pemimpin Suku Nomad mulai merasa putus asa dan mulai merasa berat untuk mengorbankan orang?orang mereka lebih banyak lagi demi kepentingan Kaiser Beng, sedangkan bala bantuan dari Kerajaan Beng tidak kunjung datang. Setelah melihat sikap pasukan orang?orang Nomad yang membantunya menentang Sabutai, dan mendengar pendapat-pendapat, para pemimpin mereka yang mulai merasa putus asa karena banyaknya korban di kalangan mereka dan gagalnya penyerbuan mereka terhadap benteng Sabutai yang amat kuat itu, Cia Keng Hong lalu berkata kepada mereka, ditujukan kepada Yalu, pemimpin suku pedagang kuda yang pernah dibantunya ketika suku ini diserbu oleh pencuri-pencuri kuda. “Aku dapat mengerti akan keadaan kita, dan aku ikut prihatin melihat jatuhnya banyak korban. Akan tetapi, kita telah melangkah jauh, menentang kemaksiatan dan pemberontakan, sudah banyak pula korban yang jatuh bagaimana kita dapat mundur begitu saja? Harap kalian tenang dan menanti di sini, aku besok akan berangkat ke selatan untuk mencari bala bantuan. Percayalah, aku dahulu sudah banyak membantu kerajaan, bahkan pernah bekerja sama dengan mendiang Panglima Besar The Hoo, maka tentu aku akan berhasil mendatangkan barisan besar untuk menggempur benteng Sabutai dan menyelamatkan sri baginda kaisar.” Yalu dan teman-temannya tentu saja merasa setuju dan girang. Mereka hanya merasa jerih kalau harus menyerang benteng yang kuat itu lagi, akan tetapi kalau hanya menanti, kemudian memperoleh kesempatan membalas kematian teman-teman dan anak-anak buah mereka, tentu saja mereka merasa girang. Maka berundinglah para pimpinan itu dengan Cia Keng Hong yang sudah mengambil keputusan untuk berangkat sendiri ke selatan. Selagi mereka melakukan perundingan dengan serius, tiba-tiba terdengar suara gaduh, disusul suara suitan-suitan yang menjadi tanda bahwa tempat itu kedatangan musuh! Tentu saja para pemimpin Suku Bangsa Nomad itu terkejut sekali, akan tetapi dengan tenang Cia Keng Hong berkata, “Harap jangan gugup. Kalian perintahkan anak buah masing-masing untuk mundur dan berpencar. Aku akan lebih dulu pergi memeriksa apa yang terjadi!” Baru saja habis kata-kata ini, orangnya sudah lenyap dari situ karena pendekar sakti itu telah mempergunakan ilmu kepandaiannya untuk melesat keluar perkemahan dengan cepat sekali! Seperti juga dengan lain pemimpin yang cepat berlarian keluar, Cia Keng Hong merasa lega ketika mendengar bahwa ribut-ribut itu bukan disebabkan oleh serbuan musuh, melainkan hanya dua orang mata-mata musuh yang telah dikepung! “Mereka itu lihai bukan main sampai kami kewalahan dan banyak sudah kawan-kawan yang roboh oleh mereka.” Mendengar laporan ini, Cia Keng Hong menjadi marah dan penasaran, dia lalu mempercepat larinya menuju ke tempat di mana anak buah Suku Bangsa Nomad itu sedang berteriak-teriak mengepung dua orang. Ketika tiba dekat, Cia Keng Hong terkejut bukan main. Dia tidak mengenal kakek dan nenek yang sedang duduk di atas tanah, saling beradu punggung dan kini mereka berdua menggerak-gerakkan tongkat butut mereka di atas tangan sambil bernyanyi-nyanyi itu. Nyanyian itu diucapkan dalam bahasa asing, dan biarpun dia tidak menguasai bahasa itu, Cia Keng Hong yang berpengalaman luas mengenal Bahasa Sailan. Dua orang kakek dan nenek berkebangsaan Sailan muncul di tempat itu, sungguh mengherankan. Akan tetapi yang mengejutkan hati pendekar sakti ini bukan kenyataan bahwa mereka adalah orang-orang asing dari barat itu, melainkan menyaksikan kelihaian mereka yang luar biasa. Mereka itu kelihatannya hanya memukul-mukulkan tongkat butut ke atas tanah di depan mereka, sama sekali tidak memperdulikan pengeroyokan puluhan orang yang menyerang mereka kalang-kabut dengan senjata mereka. Akan tetapi kenyataannya, tidak ada sebuahpun senjata para pengeroyok yang mengena tubuh mereka karena selalu tertangkis oleh tongkat butut dan bayangan tongkat sedangkan setiap kali tongkat mereka memukul tanah, pasir dan tanah muncrat meluncur ke depan, mengenai para pengeroyok dan hebatnya, pasir dan tanah ini sudah sanggup merobohkan banyak sekali orang-orang yang mengeroyok itu! Sekali pandang saja tahulah Cia Keng Hong bahwa dua orang tua itu adalah orang-orang yang amat lihai, gerakan tongkat mereka mengeluarkan angin menderu sehingga semua senjata lawan terhalau, dan tanah dan pasir yang beterbangan merobohkan para pengeroyok itu adalah akibat pencokelan dengan ujung tongkat dan tentu saja ada tenaga sin-kang yang amat kuat tersalur di tangan mereka untuk dapat melakukan serangan balasan itu. Apalagi kalau dia memandang ke arah wajah mereka yang tertimpa sinar layung matahari senja itu, dia makin kaget karena wajah putih kapur dari kakek itu, dan wajah hitam hangus dari nenek itu, adalah akibat dari hawa beracun yang agaknya dilatih oleh dua orang tua itu, seperti yang kadang-kadang dapat ditemukan di antara tokoh-tokoh kaum sesat yang berilmu tinggi. “Harap kalian semua mundur!” Cia Keng Hong berseru dan mendengu seruan pendekar tua yang mereka kagumi itu, semua pengeroyok mundur sambil menyeret belasan orang yang telah menjadi korban sambaran tanah dan pasir. Ternyata tanah dan pasir itu menyambar muka dan tubuh mereka demikian kerasnya sehingga menembus kulit daging, seperti peluru-peluru kecil dari baja saja! Mereka semua memandang kepada Cia Keng Hong penuh harapan, karena merekapun maklum bahwa dua orang kakek itu tentu merupakan orang-orang luar biasa yang tidak mungkin dapat dilawan oleh tenaga biasa, dan agaknya hanya Pendekar Sakti Cia Keng Hong saja yang akan dapat menghadapi mereka. Maka semua orang segera mundur dan duduk menonton, membuat lingkaran lebar. Juga Yalu dan teman-temannya yang sudah tiba di situ memberi isyarat agar orang-orang mereka diam saja jangan mengganggu Cia Keng Hong, akan tetapi juga harus siap menghadapi segala kemungkinan. Cia Keng Hong melangkah maju, dan kebetulan saja dia kini berhadepan dengan kakek bermuka putih yang masih duduk bersila, sedangkan nenek itupun masih duduk di belakangnya, beradu punggung dan bersila pula. Kakek itu mengangkat muka memandang dan sejenak mereka beradu pandang dengan penuh selidik. Karena Cia Keng Hong tidak mengenal mereka, juga tidak tahu apakah maksud kedatangan mereka, maka dia tidak berani bersikap kasar. “Ji-wi locianpwe, harap ji-wi suka memaafkan kalau para teman kami bersikap kasar terhadap ji-wi, karena tidak mengenal ji-wi locianpwe. Kalau boleh kami bertanya, siapakah ji-wi locianpwe yang terhormat dan apakah maksud kedatangan ji-wi?” Mendengar suara yang mengandung wibawa dan tenaga khi-kang kuat itu, si kakek bermuka putih memandang tajam, bahkan nenek muka hitam itupun menoleh dan kini sekali bergerak, tubuhnya yang tadi bersila membelakangi kakek itu, tahu-tahu telah pindah ke sebelah si kakek dan ikut memandang tajam. Kakek itu lalu terkekeh dan tongkatnya bergerak memukul tanah. Kini bukan pasir dan tanah halus yang berhamburan, melainkan segumpal tanah keras terbang ke arah muka Cia Keng Hong! Pendekar ini mengerutkan alis, menggerakkan tangannya dan sekali sampok saja gumpalan tanah itu meluncur ke depan si kakek dan amblas masuk ke dalam tanah saking kerasnya pendekar ini menyampok. Kakek dan nenek itu kelihatan terkejut dan memandang makin tajam penuh selidik. “Engkau siapa?” Kakek itu bertanya tanpa menjawab pertanyaan Cia Keng Hong tadi. “Nama saya Cia Keng Hong,” jawab pendekar itu dengan sikap tenang. Akan tetapi mendengar nama ini, kakek dan nenek itu sama sekali tidak tenang, bahkan terkejut sekali, memandang kepada Cia Keng Hong dengan mata terbelalak. “Engkau Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai?” Nenek itu bertanya, suaranya tinggi mendesis seperti ular marah. “Benar,” Keng Hong mengangguk. “Kau dahulu kaki tangan si keparat The Hoo?” Kakek itupun membentak sehingga Keng Hong menjadi kaget. Kiranya dua orang ini adalah bekas musuh-musuh mendiang Panglima Besar The Hoo. “Saya dahulu sahabat mendiang Panglima The Hoo,” dia menjawab dan kini balas memandang penuh selidik. “Dan kau yang memimpin orang-orang ini menyerbu benteng Mongol?” kembali kakek itu bertanya. Keng Hong mengangguk. “Secara curang, Sabutai telah menawan Kaisar Beng, maka kami berusaha untuk membebaskan beliau.” “Ha-ha-ha-ha!” Kakek bermuka putih itu tertawa, sehingga mulutnya terbuka dan tidak nampak sebuahpun gigi. “Cia Keng Hong manusia sombong! Kau tadi tanya siapa kami dan apa keperluan kami datang ke sini? Bukalah mata dan telingamu baik-baik. Kami adalah Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko dan calon Kaisar Sabutai adalah murid kami. Kedatangan kami di sini adalah untuk membunuh engkau dan membasmi semua anak buahmu!” Mendengar bahwa dua orang tua itu adalah guru Sabutai, marahlah Yalu. Dia tadi bersama teman-temannya telah mempersiapkan pasukan anak panah, maka begitu mendengar siapa adanya dua orang itu yang datang mengacau itu, Yalu sudah memberi isyarat kepada pasukan panahnya. Belasan batang gendewa dipentang dan anak-anak panah dilepaskan. Terdengar suara berdesing-desing ketika belasan batang anak panah menyambar ke arah dua orang tua yang masih duduk bersila berdampingan itu. Mereka hanya terkekeh, sama sekali tidak mengelak atau menangkis. “Suuingggg... wirrr... takk-takk-takkk!” Semua anak panah tepat mengenai sasaran, yaitu tubuh kakek dan nenek itu, akan tetapi betapa kaget hati Yalu dan kawan-kawannya melibat semua anak panah yang mengenai tubuh mereka itu seperti mengenai dua buah arca besi dan patah-patah, runtuh ke atas tanah di sekitar tubuh kedua orang tua itu! “Serang...!” Yalu berteriak dan bersama tiga orang temannya, yaitu kepala-kepala Suku Nomad yang bertubuh tinggi besar dan kuat, dia sudah menerjang ke depan. Terlambat Cia Keng Hong mencegah, karena empat orang tinggi besar itu sudah menyerbu dengan golok di tangan membacok dengan ganas. Terdengar dua orang tua itu terkekeh, lalu tiba-tiba mereka meloncat dan nampak segulungan sinar ketika mereka menggerakkan tongkat. “Cring-cring-tranggg...!” Empat batang golok yang menyambar itu bertemu dengan gulungan sinar, seperti dibelit oleh sinar itu dan terdengar teriakan mengerikan ketika senjata-senjata itu seperti dipaksa membalik dan menghunjam dada pemegangnya sendiri! Cia Keng Hong menjadi marah sekali. Cepat dia meloncat ke depan, kedua tangannya menyerang dengan pukulan tangan terbuka ke arah kakek dan nenek itu. “Ihhhh...!” Hek-hiat Mo-li memekik. “Aihh...!” Pek-hiat Mo-ko juga berteriak. Keduanya meloncat ke belakang dan robohlah empat orang pimpinan Suku Nomad itu, dengan golok menembus dada dan tewas seketika! Keng Hong memandang dengan penuh penyesalan. Akan tetapi, para suku Nomad yang melihat pemimpin mereka tewas, menjadi marah sekali. Sambil berteriak-teriek mereka mendekat dengan sikap mengancam. Keng Hong yang maklum bahwa kalau mereka maju berarti hanya mengantar nyawa secara sia-sia belaka, lalu mengangkat tangan dan berseru nyaring penuh wibawa, “Mundur semua! Biarkan aku menghadapi dua iblis ini!” Semua orang mentaati dan mengurung tempat itu. Sedangkan Keng Hong yang maklum bahwa dua orang lawannya itu lihai sekali, sudah mengeluarkan suara melengking nyaring dan panjang seperti pekik seekor burung rajawali yang menantang musuh, kemudian dengan tangan kosong tubuhnya sudah mencelat ke depan dan menyerang nenek dan kakek itu dengan jurus-jurus maut dari Ilmu Silat San-in-kun-hoat. Dalam segebrakan saja pendekar ini telah menghantam ke arah ulu hati Pek-hiat Mo-ko dan sekaligus tangannya menampar ke arah ubun-ubun kepala nenek Hek-hiat Mo-li dan sukar dikatakan mana di antara kedua serangan ini yang lebih berbahaya karena keduanya adalah gerakan maut yang kalau mengenai sasaran sukar bagi lawan untuk membebaskan diri dari maut. Kedua orang tua yang amat lihai itu terkejut, akan tetapi ternyata kakek dan nenek tua yang kelihatan sudah pikun itu masih memiliki kesigapan yang mengagumkan. Mereka berdua tidak saja dapat meloncat sambil mengelak, malah lompatan mereka itu membuat mereka berpencar dan mengurung Keng Hong dari depan belakang, kemudian secara langsung mereka membalas. Mereka berdua mengeluarkan teriakan-teriakan mengerikan dan Hek-hiat Mo-li sudah menghantamkan tangan kanannya dari belakang ke arah punggung Keng Hong. Sedangkan Pek-hiat Mo-ko juga menampar dengan telapak tangan ke arah dada pendekar sakti itu. Dari telapak tangan Hek-hiat Mo-li mengepul asap hitam, sedangkan dari tangan Pek-hiat Mo-ko mengepul asap atau uap putih! Itulah bukti betapa hebatnya sin-kang mereka dan tangan beracun mereka. Cia Keng Hong mengenal lawan tangguh. Secara otomatis kuda-kuda kedua kakinya bergerak ke kiri seperempat lingkaran sehingga kalau tadi kedua lawan berada di depan dan belakang, kini yang di depan menjadi di sebelah kanannya sedangkan yang tadinya di belakang menjadi di sebelah kirinya. Kedua lengannya dikembangkan ke kanan kiri dan dengan tepat sekali dia telah menyambut pukulan kedua orang lawannya dari kanan kiri itu dengan dorongan tangannya yang terbuka sambil mengerahkan tenaga sin-kang. “Plak! Plakk!” Hek-hiat Mo-li terpekik dan terhuyung dua langkah ke belakang, sedangkan Pek-hiat Mo-ko hanya terhuyung satu langkah ke belakang. Kedua kaki Cia Keng Hong sendiri ambles ke tanah sampai beberapa senti dalamnya. Diam-diam pendekar ini terkejut, maklum bahwa tenaga kedua orang lawan itu hampir setingkat kuatnya dengan tenaganya sendiri, dan ternyata si kakek itu sedikit lebih kuat daripada si nenek. “Cia Keng Hong, engkau akan mampus di tanganku!” teriak Pek-hiat Mo-ko. “Biar kau menyampaikan tantangan kami kepada The Hoo si keparat yang berada di neraka!” Hek-hiat Mo-li juga berteriak. Dua orang tua itu lalu menancapkan tongkat masing-masing di atas tanah, kemudian mereka menggosok-gosok kedua tangan mereka sehingga nampak uap mengepul makin tebal dan terasa ada hawa panas datang dari tubuh nenek itu, akan tetapi dari tubuh kakek itu menyambar hawa dingin! Kembali Keng Hong terkejut, namun dia tidak kehilangan ketenangannya den berdiri di tengah-tengah, kedua kakinya memasang kuda-kuda yang kokoh kuat, yaitu kedua kaki terpentang lebar, lutut ditekuk den tubuh tegak seperti seorang yang menunggang kuda. Memang pasangan kuda-kuda itu adalah yang disebut “Menunggang Kuda”, kokoh kuatnya seperti kedua kaki telah berakar di bumi, namun ringannya seperti kaki burung yang siap terbang. Tangan kanan di pinggang kanan, jari-jarinya terbuka dan membentuk cakar garuda, sedangkan jari-jari tangan kiri lurus di depan dada kiri. Seluruh tubuhnya sama sekali tidak bergerak, seolah-olah dia telah menjadi patung, dan hanya sepasang matanya yang masih tajam itu mengerling ke kanan kiri, mengikuti gerak-gerik kedua orang musuhnya yang lihai itu. “Yieeeehhh...!” Hek-hiat Mo-li sudah menerjang dari kiri, menggunakan kedua tangannya yang berobah hitam itu untuk mencengkeram. “Aarrggghhhh...!” Pek-hiat Mo-ko juga mengeluarkan suara gerengan seperti biruang, kedua tangannya menyerang pula dengan pukulan-pukulan tangan kosong dari kanan. Keng Hong maklum bahwa dengan menancapkan tongkat di tangan lalu menyerang dengan tangan kosong, tentu kakek dan nenek itu lebih mengandalkan kelihaian tangan mereka yang jelas mengandung hawa beracun yang jahat. Maka dia tidak berani memandang rendah dan melihat betapa serangan nenek itu lebih dulu sedetik, dia cepat menghadapinya dengan memutar tubuh ke kiri tanpa mengalihkan kedua kakinya yang terpentang lebar. Dengan tangan berputar, jari-jarinya menuding ke atas dan ke bawah, dia memapaki serangan nenek yang mencengkeramnya. Pendekar sakti ini menggunakan gerakan “Menyembah Langit dan Bumi”, suatu gerakan yang amat ampuh, apalagi karena dilakukan dengan pengerahan tenaga sin-kang yang kuat sehingga dari gerakan kedua tangannya itu menyambar hawa pukulan dahsyat. Akan tetapi, pendekar ini hanya menangkis saja karena dari sambaran angin di sebelah kanannya, dia maklum bahwa serangan Pek-hiat Mo-ko sudah tiba pula. “Desss! Plakk!” Tubuh nenek itu mencelat ke belakang dan Keng Hong sudah memutar tubuh ke kanan, melengkungkan tubuh ke kiri dan meluruskan kaki kanan sehingga tubuh atasnya menjauh. Dia melihat pukulan kedua tangan kakek itu datang mengancamnya dengan hebat, tangan kanan kakek itu menusuk ke arah matanya sedangkan tangan kiri digerakkan seperti sebatang golok menusuk ke arah ulu hatinya! Datangnya serangan amat cepat, didahului uap putih yang mengeluarkan hawa dingin sekali! Untuk mengelak sudah tidak ada waktu, maka Keng Hong lalu menyambut serangan ke matanya dengan tangan kiri, sedangkan tusukan ke dadanya dia terima begitu saja! Dia tidak berani menggunakan tangan kanannya karena tangan itu perlu dia persiapkan untuk menghadapi serangan nenek dari belakangnya. “Plakk! Bukk!” Tangan kanan kakek bermuka putih itu bertemu dengan tangan kiri Cia Keng Hong, sedangkan jari-jari tangan kiri kakek itu menghantam dengan jari-jari terbuka ke dada pendekar sakti ketua Cin-ling-pai. Akibatnya hebat! Kakek bermuka putih itu terbelalak, mukanya yang putih itu menjadi makin pucat dan matanya bergerak liar, mulutnya mengeluarkan teriakan-teriakan aneh dalam bahasa asing. Kiranya Cia Keng Hong telah mempergunakan ilmunya yang amat hebat, yaitu Thi-khi-i-beng, sehingga begitu kedua tangan Pek-hiat Mo-ko bertemu dengan tangan kiri dan dadanya, kedua tangan kakek muka putih itu melekat dan langsung saja tenaga sin-kangnya membanjir keluar, tersedot melalui tangan dan dada ketua Cin-ling-pai! Akan tetapi Keng Hong juga merasa khawatir karena sin-kang yang memasuki tubuhnya itu mengandung racun yang berhawa dingin, mengendalikan tenaganya agar tidak menyedot terlampau banyak dan Thi-khi-i-beng itu hanya dipergunakan untuk menundukkan lawan saja. “Ahhhhh...!” Pek-hiat Mo-ko mengeluarkan pekik nyaring dan mukanya menunjukkan kekagetan dan kengerian. Melihat ini, Hek-hiat Mo-li dapat menduga bahwa temannya itu terancam bahaya, apalagi dia melihat betapa kedua tangan temannya seperti melekat pada tubuh ketua Cin-ling-pai, maka sambil mengeluarkan suara melengking nyaring nenek inipun menyerang hebat dengan pukulan tangannya ke arah tengkuk Keng Hong. “Wuuuuttt... plak! Plak!” Kembali Keng Hong menghadapi musuhnya yang tidak kalah lihainya daripada kakek itu dengan penggunaan Thi-khi-i-beng yang tersalur di seluruh tubuhnya. Tangan kanannya menyambut hantaman nenek itu sehingga kedua tangan mereka bertemu dan saling menempel, sedangkan tamparan tangan kanan nenek itu ke arah punggungnya dia biarkan saja karena Ilmu Thi-khi-i-beng menyambut pukulan itu, membuat tangan si nenek melekat di punggungnya. Aihhhh...!” Hek-hiat Mo-li juga memekik ngeri ketika merasa betapa tenaga sin-kangnya membanjir keluar tanpa dapat dicegahnya, sedangkan ketika dia hendak menarik kedua tangannya, ternyata dua tangan itu sudah melekat pada tubuh lawan dan tidak dapat ditariknya lepas! Akan tetapi, pada saat dua orang kakek dan nenek itu terkejut dan khawatir sekali menghadapi ilmu aneh yang selamanya belum pernah mereka hadapi itu, ilmu yang membuat kedua tangan mereka melekat pada tubuh lawan dan yang membuat tenaga sakti mereka membanjir keluar, di lain fihak Cia Keng Hong juga terkejut dan maklum bahwa kalau dia melanjutkan penggunaan Thi-khi-i-beng, dia sendiri tidak urung akan celaka karena tenaga sin-kang yang membanjir keluar dari tubuh dua orang lawannya itu mengandung hawa beracun yang amat jahat dan berlawanan sifatnya, yaitu hawa beracun dari kakek itu amat dingin sebaliknya tubuh nenek itu mengeluarkan hawa yang amat panas. Di sebelah dalam tubuhnya bisa keracunan dan rusak oleh dua hawa beracun yang saling berlawanan ini. Pendekar sakti dari Cin-ling-pai ini tentu saja tidak sudi untuk mengadu nyawa dengan kedua orang lawannya, maka dia cepat merendahkan tubuh dengan menekuk kedua lututnya, kemudian dengan berbareng dia melepaskan tenaga sakti Thi-khi-i-beng dan pada saat itu juga tubuhnya meluncur ke depan sehingga terlepaslah dia dari kedua orang lawannya. Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li yang merasa betapa tenaga mujijat yang membuat tangan mereka melekat itu tiba-tiba lenyap, kalah cepat dan sebelum mereka sempat memukul, tubuh lawan yang sakti itu telah meluncur ke depan. Mereka menjadi marah sekali, akan tetapi juga agak jerih karena mereka maklum bahwa lawan ini memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi dan aneh. Dengan hati-hati dan dengan mata mengandung sinar berapi, nenek dan kakek itu kembali menerjang Keng Hong dengan pukulan-pukulan yang dikerahkan sekuatnya, mengandung hawa beracun bergulung-gulung berbentuk uap hitam dan putih. Cia Keng Hong yang sudah maklum bahwa tingkat kepandaian dua orang lawan ini tidak banyak selisihnya dengan tingkatnya sendiri, menghadapi mereka dengan waspada dan hati-hati, kini bersilat dengan dasar ilmu silat tinggi Thai-kek-sin-kun sehingga tubuhnya seolah-olah berobah menjadi bayang-bayang saja yang sukar sekali dapat disentuh oleh kedua orang lawan. Tiba-tiba Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li mengeluarkan pekik panjang dan mereka merobah gerakan mereka. Keng Hong terkejut sekali. Kini dua orang itu tidak bergerak menyendiri, melainkan mereka bersilat dengan gerakan bergabung! Pek-hiat Mo-ko berputaran dan kaki tangannya menghujankan serangan dari kanan ke kiri, sedangkan Hek-hiat Mo-li berputar dari kiri ke kanan. Gerakan mereka saling membantu dan saling mengisi sehingga Keng Hong menjadi sibuk menghadapi lawan yang seolah-olah merupakan seorang lawan yang dapat memecah diri menjadi dua, yang gerakan-gerakannya demikian otomatis sambung-menyambung, saling melindungi dan saling membantu. Dia terkejut dan kagum sekali karena dia maklum bahwa dua orang ini telah menciptakan semacam ilmu silat mujijat yang dimainkan secara berbareng oleh dua orang. Dia percaya bahwa kalau dua orang ini bersilat seperti itu, mereka kuat sekali dan biar menghadapi pengeroyokan banyak orangpun akan mampu saling melindungi. Dia sendiri mulai terdesak dan dua kali sudah dia terkena pukulan pada pundak kirinya dan totokan pada pangkal lengannya. Untung dia masih sempat melindungi bagian yang terpukul dan tertotok itu dengan sin-kang, kalau tidak tentu dia sudah terluka keracunan. Betepapun juga, pendekar sakti ketua Cin-ling-pai ini terdesak hebat dan harus diakuinya bahwa baru sekarang selama puluhan tahun ini dia bertemu tanding yang demikian lihainya. Hanya karena Cia Keng Hong mahir ilmu silat sakti Thai-kek-sin-kun sajalah maka dia masih mampu bertahan, sungguhpun dia terdesak dan tidak mampu melakukan serangan balasan. Sayang, pikirnya. Kalau Siang-bhok-kiam berada di tangannya, dia tidak akan gentar menghadapi dua orang ini, den tentu dia tidak akan terdesak seperti sekarang ini. “Desss...! Plak-plak...!” Kembali Cia Keng Hong terpaksa menerima dua kali tamparan Hek-hiat Mo-li yang mengenai punggung den pundaknya setelah dia menangkis hantaman Pek?hiat Mo?ko. Sekali ini, hebatnya tamparan membuat kepalanya pening dan tubuhnya terhuyung dan dadanya sesak. Untung baginya bahwa tangkisannya yang keras sebelumnya telah membuat tubuh Pek-hiat Mo-ko terpelanting. Kalau tidak, dalam keadaan terhuyung itu tentu sukar baginya untuk menyelamatkan diri. Melihat betapa jago mereka terhuyung-huyung, sedangkan pertempuran itu berjalan lambat sehingga mereka memandang rendah kepada kakek dan nenek itu, empat orang anggauta pasukan Mancu menyerbu dengan tombak di tangan, langsung menyerang kakek dan nenek itu. “Jangan...!” Cia Keng Hang membentak, namun terlambat. Empat orang itu telah menyerang dan menusukkan tombak mereka. “Trakk-trakkk... desss!” Empat batang tombak itu memang mengenai tubuh kakek dan nenek yang menerimanya sambil tersenyum mengejek dan patah-patahlah empat gagang tombak itu, kemudian begitu kedua tangan Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko bergerak, empat orang Mancu itu berteriak mengerikan dan tubuh mereka terlempar dengan kepala pecah dan tewas seketika itu juga! Keng Hong yang masih merasa pening itu menjadi marah sekali. Dia meloncat ke depan, kedua tangannya memukul dengan tangan terbuka, sambil mengerahkan sin-kangnya. Angin pukulan menyambar dahsyat ke arah tubuh Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko. Akan tetapi dua orang tua itu sudah siap siaga, mereka menekuk lutut, mengerahkan tenaga dan mendorongkan kedua tangan ke depan, masing-masing menyambut pukulan Cia Keng Hong.   Desss! Desss...!” Tubuh Cia Keng Hong kembali terjengkang dan terhuyung ke belakang. Tidak kuat dia menghadapi tenaga yang bergabung itu dan pendekar ini merasa dadanya sesak dan mencium bau darah, tanda bahwa dia menderita luka yang biarpun tidak parah dan tidak berbahaya akan tetapi mengurangi daya tempurnya. Sedangkan tubuh kedua lawannya hanya bergoyang-goyang saja. “Cia Keng Hong, bersiaplah untuk mampus!” Hek-hiat Mo-li berseru keras dan bersama temannya dia sudah siap untuk menyerang lagi. “Ayah, biarkan saya mengambil bagian!” Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu telah muncul seorang pemuda tampan yang bukan lain adalah Cia Bun Houw! Tak lama kemudian muncul pula seorang pemuda lain yang berpakaian sederhana berwama kuning, pemuda ini adalah Tio Sun yang datang bersama Cia Bun Houw. Seperti telah dituturkan di bagian depan Cia Bun Houw bersama Tio Sun berpisah dari encinya, dari Kwi Beng dan Kwi Eng untuk pergi melakukan penyelidikan terhadap musuh-musuh Cin-ling-pai yang telah melarikan diri ke utara. Di dalam perjalanan itu, mereka mendengar pula akan peristiwa hebat yang menimpa kaisar, yang kabarnya tertawan oleh musuh. Juga mereka mendengar berita angin bahwa para musuhnya kini bekerja kepada Thaikam Wang Cin yang menjadi biang keladi jatuhnya malapetaka atas diri kaisar yang tertawan gerombolan liar. Maka dua orang muda perkasa ini lalu mengambil keputusan untuk menyusul ke utara, kini dengan dua tujuan. Pertama untuk mencari musuh-musuh Cin-ling-pai, kedua untuk berusaha membantu dan menyelamatkan kaisar. Demikian, pada hari itu mereka tiba di dalam hutan yang menjadi markas dari pasukan-pasukan Mancu dan Khitan yang dipimpin oleh Cia Keng Hong dan secara kebetulan sekali melihat betapa ketua Cin-ling-pai dikeroyok oleh dua orang tua yang amat lihai. Tentu saja Bun Houw menjadi kaget dan marah, lalu meloncat mendahului Tio Sun untuk membantu ayahnya. Lega hati Cia Keng Hong melihat munculnya pemuda ini. Dia sudah pernah menguji kepandaian Bun Houw dan maklum bahwa tingkat kepandaian puteranya yang telah menerima gemblengan manusia sakti Kok Beng Lama kini telah cukup tinggi untuk menghadapi seorang lawan seperti kakek dan nenek ini. Dia tahu bahwa tingkat kepandaian Pek-hiat Mo-ko masih lebih tinggi sedikit daripada tingkat kepandaian si nenek, maka dia cepat menghadapi kakek itu dan berkata kepada puteranya, “Houw-ji, (anak Houw), kaulawanlah Hek-hiat Mo-li dan hati-hatilah terhadap hawa beracun dari tangannya yang mengandung tenaga Yang-kang yang cukup kuat.” “Jangan khawatir, ayah,” Bun Houw berkata dan pemuda yang merasa penasaran dan marah melihat ayahnya tadi terdesak, langsung saja bergerak cepat, menyerang Hek-hiat Mo-li dengan tamparan tangan kiri ke arah kepala nenek itu. Hek-hiat Mo-li adalah seorang tokoh tua yang sudah puluhan tahun malang melintang di dunia persilatan bagian barat, sudah banyak menghadapi lawan-lawan tangguh. Tentu saja dia memandang rendah kepada seorang pemuda yang menurut taksirannya tidak akan lebih dari dua puluh tahun usianya itu. Maka, melihat tamparan yang datang dengan perlahan itu, dia hanya terkekeh dan mengangkat lengan kanan untuk menangkis sambil mengerahkan hawa mujijatnya sehingga gerakan tangan itu didahului oleh uap hitam, lalu disusul tangan kirinya yang menusuk dengan jari-jari terbuka ke arah lambung lawan sebagai serangan balasan. “Dess... takkk!” Hek-hiat Mo-li terkejut bukan main dan cepat dia meloncat ke belakang. Ketika dia menangkis, dan tusukan tangannya juga tertangkis oleh pemuda itu, kedua tangannya bertemu dengan tangan pemuda yang memiliki tenaga dahsyat sekali. Akan tetapi gerakan tangan itu, dan kedahsyatan tenaga yang menggetar-getar itu, membuat dia terbelalak karena dia mengenal gerakan tangan sakti itu. Pernah dia dan Pek-hiat Mo-ko hampir celaka oleh gerakan tangan seperti itu, ketika mereka merantau sampai ke Tibet. “Apa hubunganmu dengan Kok Beng Lama...?” bentaknya dan mendengar bentakan ini, Pek-hiat Mo-ko juga menunda gerakannya menyerang Cia Keng Hong dan ikut memandang ke arah pemuda itu. Bun Houw tersenyum. “Kok Beng Lama adalah suhuku, mau apa kau tanya-tanya?” Mendengar ini, kakek dan nenek itu terkejut bukan main, lalu si nenek mengeluarkan kata-kata dalam bahasa asing, kemudian kakek dan nenek itu menggerakkan tangan dan segumpal uap putih dan hitam menyambar ke arah Cia Keng Hong dan Cia Bun Houw. Serangan ini hebat sekali, karena selain uap itu mengandung racun berbahaya, juga di dalamnya terdapat senjata rahasia berbentuk jarum-jarum halus yang meluncur ganas dan tersembunyi. “Houw-ji, awas...!” Keng Hong berseru, maklum akan bahayanya senjata rahasia itu. Akan tetapi, seperti juga ayahnya, dengan mudah saja Bun Houw menghindarkan diri dari serangan uap hitam dengan miringkan tubuh dan menggunakan pukulan tangan yang mengeluarkan angin dahsyat meruntuhkan uap hitam dan jarum-jarum di dalamnya. “Hendak lari ke mana kalian?” Bun Houw membentak. “Houw-ji, jangan kejar. Biarkan mereka pergi!” Keng Hong mencegah puteranya dan Bun Houw tidak melanjutkan pengejarannya. Keng Hong yang sudah mendengar tentang puteranya ini dari penuturan Cia Giok Keng yang pulang ke Cin-ling-pai, kini menceritakan kepada pemuda itu tentang kaisar yang ditawan musuh dan tentang usahanya untuk menyelamatkan kaisar. Dia merasa girang mendengar bahwa Tio Sun yang gagah perkasa itu adalah putera Tio Hok Gwan sahabat baiknya. Mendengar betapa beberapa kali usaha pendekar sakti ketua Cin-ling-pai itu dalam menyelamatkan kaisar gagal, Bun Houw dan Tio Sun menyatakan hendak membantu. “Cia-locianpwe, biarlah saya dan adik Bun Houw menyelundup ke benteng musuh untuk menyelamatkan sri baginda kaisar,” kata Tio Sun penuh semangat. Sebagai putera seorang bekas pengawal kaisar yang setia, tentu saja pemuda ini ingin sekali membuktikan dharma baktinya terhadap kaisar. Bun Houw juga menyetujui usul Tio Sun ini, akan tetapi Cia Keng Hong menggeleng kepalanya. “Berbahaya sekali...” orang tua sakti ini berkata perlahan. “Ayah, kami tidak takut menghadapi bahaya untuk menyelamatkan kaisar!” Bun Houw berkata nyaring. “Hemm, aku tahu. Akan tetapi bahayanya bukan hanya mengancam kalian berdua kalau kalian menyelundup ke sana, melainkan terutama sekali mengancam keselamatan nyawa kaisar.” “Eh, mengapa begitu?” Bun Houw bertanya kaget. “Apa maksud locianpwe?” Tio Sun juga bertanya karena merasa heran. “Menurut penyelidikanku, biarpun menjadi tawanan musuh, kaisar mendapat pelayanan baik dan selama ini tidak pernah diganggu keselamatannya. Besar kemungkinan Sabutai hendak mempergunakan kaisar sebagai sandera, atau hendak membujuk kaisar agar dengan suka rela suka menyerahkan tahta kerajaan kepadanya. Maka, kalau dia melihat kalian mengancam, bukan tidak mungkin dia akan merobah sikapnya terhadap kaisar.” Tio Sun dan Bun Houw mengangguk-angguk. “Habis, bagaimana baiknya, ayah? Tidak mungkin pula kita mendiamkan saja kaisar menjadi tawanan gerombolan liar.” “Satu-satunya jalan hanya menyerbu secara terbuka. Akan tetapi kekuatan pasukan yang berhasil kukumpulkan tidak betapa besar dan kita masih menanti datangnya bala tentara kerajaan yang tak kunjung datang. Sementara itu, kembali kita kehilangan beberapa orang, termasuk Yalu, yang tewas dalam tangan kakek dan nenek iblis itu. Tak kusangka bahwa Sabutai mempunyai guru-guru yang demikian lihainya. Pantas dia berani mengadakan pemberontakan dan menawan kaisar.” Dua orang pemuda itu maklum bahwa kalau mereka bertindak secara lancang, selain mereka sendiri terancam bahaya, juga mereka belum tentu dapat menolong kaisar, malah mungkin membahayakan nyawa kaisar. Oleh karena itu, mereka menyerahkan siasat kepada ketua Cin-ling-pai dan menyatakan hendak membantu sekuat tenaga. Tentu saja Cia Keng Hong merasa girang sekali memperoleh bantuan puteranya dan Tio Sun, hatinya menjadi besar, semangat dan harapannya timbul kembali untuk menyelamatkan kaisar. *** Memang benar seperti dikatakan oleh Cia Keng Hong kepada puteranya dan Tio Sun bahwa Kaisar Ceng Tung mendapat pelayanan baik sekali oleh Sabutai. Bahkan lebih dari itu, kaisar memperoleh kebebasan di dalam gedung kecil yang dikelilingi taman indah, hanya dijaga oleh pasukan penjaga secara ketat di sekeliling taman itu sehingga tidak ada orang luar yang dapat masuk. Akan tetapi, kaisar sendiri dapat berjalan-jalan di dalam taman, dan apapun yang dibutuhkannya dapat segera terlaksana karena banyak terdapat pelayan-pelayan wanita yang selalu siap melaksanakan perintahnya. Malam itu bulan purnama gilang-gemilang memenuhi permukaan bumi dengan sinarnya yang sejuk. Kaisar Ceng Tung nampak duduk seorang diri di dalam taman, duduk di atas bangku sambil termenung mehghadapi bunga-bunga yang mekar dan semerbak harum bermandikan sinar bulan purnama. Hatinya merasa lengang, sunyi dan merana karena malam yang indah dan sunyi ini mengingatkan dia akan kekasihnya, Azisha yang telah tewas. Malam yang seindah itu mengingatkan dia akan keindahan wajah kekasihnya, kemerduan suaranya dan kehangatan serta kelembutan tubuhnya, membuat dia merasa rindu sekali. Kaisar yang baru berusia dua puluh tiga tahun ini, yang masih amat muda, tersiksa oleh kerinduan akan belaian den kasih sayang wanita. Memang benar bahwa para pelayan yang disediakan oleh Sabutai untuk melayaninya terdiri wanita-wanita muda yang cantik-cantik, akan tetapi sebagai seorang kaisar yang berkedudukan tinggi dan mulia, jauh lebih tinggi daripada kedudukan Sabutai sebagai raja gerombolan liar itu, Kaisar Ceng Tung tidak sudi merendahkan dirinya dengan para pelayan itu. Pula, setelah selama ini dia setiap malam terbuai dalam pelukan seorang wanita secantik Azisha, mana mungkin dia tertarik oleh kecantikan biasa para pelayan itu? Sinar bulan purnama secara ajaib menyulap keadaan di dalam taman yang setiap hari telah dilihatnya itu menjadi semacam taman impian yang luar biasa, mandi cahaya keemasan yang redup den sejuk menghijau, menimbulkan bayang-bayang tipis yang aneh namun indah mempesonakan. Rasa rindunya terhadap Azisha makin menekan dan kaisar yang muda ini diam-diam merintih di dalam batinnya. Dia telah kehilangan segala-galanya. Kehilangan kedudukannya, kehilangan kekasihnya, bahkan hampir kehilangan harapan karena sampai berbulan lamanya tidak ada usaha datang dari kota raja untuk membebaskannya. Baru sekarang dia dapat melihat kenyataan, baru terbuka matanya betapa dia selama ini telah pulas dalam pelukan Azisha, telah terlena dalam kepalsuan Wang Cin yang kini menjebloskannya. Menyesallah hati kaisar muda ini dan diam-diam dia bersumpah bahwa andaikata umumya masih panjang dan dia dapat memperoleh kembali kedudukannya, dia akan menebus semua kesalahannya terhadap rakyatnya, dia akan menjadi seorang kaisar yang baik. Azisha...! Biarpun dia mendengar bahwa kekasihnya itu tewas karena hendak merayu Sabutai, dan biarpun dia sudah sadar bahwa wanita itu adalah kaki tangan Wang Cin yang sengaja diumpankan oleh Wang Cin untuk menundukkannya, namun tak mungkin baginya untuk melupakan wanita itu. Nama itu saja sudah mengandung kemesraan hebat, mengingatkan dia akan saat-saat penuh dengan kebahagiaan dan cinta kasih, penuh dengan kenikmatan dan harus diakuinya bahwa dia pernah jatuh cinta mati-matian kepada Azisha. Tiba-tiba kaisar muda itu menggerak-gerakkan cuping hidungnya karena hidungnya mencium keharuman yang lain daripada keharuman bunga di sekelilingnya. Keharuman semerbak yang halus dan menyegarkan, yang mengingatkan dia akan keharuman yang keluar dari tubuh Azisha. Cepat dia menoleh ke kiri dan kaisar itu menahan napas, jantungnya berdebar dan matanya terbelalak. Di dalam sinar bulan yang kuning emas kehijauan itu dia melihat sesosok bayangan orang. Bayangan Azisha! Tak salah lagi! Tubuh yang ramping itu, lenggang yang lemah gemulai, wajah yang bersinar-sinar itu, siapa lagi kalau bukan Azisha? Azisha...!” Kaisar berseru lirih dan mengulurkan kedua tangannya, jantungnya berdebar penuh kerinduan. Sesaat dia lupa bahwa wanita yang bernama Azisha telah tewas, dan bahwa tidak mungkin Azisha datang kepadanya malam hari ini. Sosok bayangan wanita itu kini telah tiba di depannya, sejenak wanita ini berdiri dan memandang dengan sinar mata bercahaya dan bibir manis menahan senyum, kemudian ketika kaisar mengulangi panggilannya, dia menjatuhkan diri berlutut. “Azisha...!” Wanita itu menghela napas panjang, lalu terdengar suaranya halus, lembut, “Harap paduka maafkan, hamba bukanlah Azisha.” Kaisar Ceng Tung terperanjat, lalu sadar bahwa memang tidak mungkin kalau wanita ini Azisha. Azisha sudah mati dan tidak mungkin arwahnya yang datang menggodanya. Biarpun dari tubuh yang berlutut itu keluar keharuman semerbak, akan tetapi keharuman yang berbeda dengan keharuman yang keluar dari tubuh Azisha, dan biarpun suara tadi halus merdu, namun logatnya berbeda dengan logat suara Azisha yang berdarah Mongol. Ah, tentu suasana malam terang bulan purnama telah membuat dia seperti gila, pikir kaisar itu dengan hati merasa malu. Wanita ini tentu hanya seorang di antara para pelayan. Kembali dia memandang penuh perhatian lalu menggeleng kepala, membantah suara hatinya sendiri. Tidak mungkin kalau pelayan, pikirnya. Pakaiannya bukan seperti pelayan, dan dandanan rambut yang panjang halus itu, hiasan rambutnya, pakaiannya, gerak-geriknya. Bukan, pasti bukan pelayan biasa! “Siapa namamu?” perlahan dia bertanya sambil memandang kepala yang menunduk sehingga tidak nampak mukanya itu. “Nama hamba Khamila,” jawab wanita itu lirih pula. Suaranya halus dan mengandung getaran penuh perasaan sehingga mengharukan bagi Kaisar Ceng Tung. “Engkau seorang pelayan?” Wanita itu menggelengkan kepalanya. Tepat, seperti dugaanku, pikir kaisar. Dia bukan pelayan. Habis, siapa? Dan mau apa? “Kalau begitu, apa keperluanmu masuk ke taman ini?” Pertanyaan kaisar mulai mengandung kecurigaan dan penyelidikan. “Ampunkan hamba, hamba sengaja datang untuk... melayani paduka...” Gemetar suara itu sekarang. Kaisar Ceng Tung mengerutkan alisnya, tidak mengerti. “Melayani aku? Melayani bagaimana maksudmu?” “Hamba ingin melayani paduka, apapun juga yang paduka kehendaki dari hamba, akan hamba lakukan dengan segala kerendahan dan kebahagiaan hati hamba.” Kini suara itu mulai agak lebih berani sehingga timbul keheranan kaisar dan dia ingin tahu lebih banyak. “Akan tetapi, Sabutai telah menyediakan banyak sekali pelayan dan segala kebutuhanku telah dicukupi. Sudah ada pelayan begitu banyak, perlu apa engkau hendak melayani aku?” “Mereka itu tidak akan mampu merawat paduka dalam kesepian paduka, tidak akan dapat mengobati kesengsaraan hati paduka yang merana...” Kaisar Ceng Tung terkejut, menahan kemarahannya dan memandang heran penuh kecurigaan. “Perempuan muda, kalau engkau mengira bahwa dengan kecantikan engkau akan dapat menggoda dan menundukkan aku, engkau keliru. Siapa yang menyuruhmu datang menemuiku di sini?” Dengan muka masih menunduk wanita itu menjawab, “Yang menyuruh hamba adalah perasaan hati hamba sendiri, hamba bersumpah bahwa tidak ada siapapun yang menyuruh hamba, harap paduka tidak menaruh kecurigaan karena niat hamba ini tulus ikhlas dan tidak menyembunyikan sesuatu.” Kaisar Ceng Tung makin terheran. Kata-kata yang keluar dengan halus dan tenang itu sama sekali tidak mengandung keraguan dan kebohongan, juga kata-katanya teratur baik tanda bahwa wanita ini terpelajar, sungguhpun ada logat asing dalam kata-katanya. Timbullah keinginan tahunya dan dia berkata, “Kalau begitu, apakah yang mendorongmu menemui aku dan hendak melayaniku?” “Yang mendorong hamba adalah rasa kagum dan iba. Hamba kagum akan kegagahan dan kejantanan paduka yang sedikitpun tidak mau menyerah, tidak merasa takut biarpun telah berada di dalam cengkeraman harimau, dan hamba merasa iba melihat nasib paduka, maka hamba datang ingin menghibur paduka...” Jantung kaisar muda itu mulai berdebar, hatinya tertarik sekali karena menganggap hal ini amat mustahil dan luar biasa anehnya. “Bangkitlah dan ke sinilah!” perintahnya. Wanita itu bangkit berdiri dan tegaklah tubuh yang langsing itu, tubuh muda yang penuh dengan lekuk-lengkung menggairahkan di balik pakaiannya yang terbuat dari sutera halus. Dengan langkah-langkah lemah-gemulai seperti seorang penari, wanita itu datang mendekat dan berdiri dekat sekali di depan kaisar yang juga telah bangkit berdiri, menundukkan kepalanya. Kaisar memandang rambut kepala yang halus hitam dan panjang itu dan hidungnya mencium keharuman yang aneh. “Angkat mukamu...” katanya perlahan Wanita itu mengangkat mukanya perlahan dan bukan main kagetnya kaisar ketika melihat wajah seorang wanita muda yang amat cantik jelita! Sepasang mata yang bersinar-sinar, yang tanpa sembunyi-sembunyi memandangnya dengan cinta kasih yang jelas nampak di dalam sinar matanya, dengan bibir merah tipis tersenyum malu-malu, raut muka yang amat cantik, sikap yang menantang. “Kau... kau cantik sekali...” Kaisar Ceng Tung berbisik lirih, suaranya agak gemetar. Wanita itu tersenyum, jelas bahwa dia kelihatan girang oleh pujian ini. “Terima kasih, dan hamba... hamba siap dengan segala kerelaan hati untuk melayani paduka, menghibur paduka...” Suara wanita itu gemetar, tanda bahwa saat itu diapun merasa tegang dan berdebar jantungnya. Jelas bahwa dia bukanlah seorang wanita yang sudah biasa merayu pria, bukan seorang wanita yang sudah biasa bermain gila dengan sembarang pria yang dijumpainya, bukan seorang wanita cabul penjaja cinta. Makin heranlah hati Kaisar Ceng Tung dan sampai lama dia yang mulai terpesona itu menatap wajah yang amat cantik itu, wajah seorang wanita yang usianya masih amat muda, kurang lebih delapan belas tahun! Bulan purnama bercahaya sepenuhnya memenuhi taman itu. Menurut dongeng, Dewi Asmara memang bertempat tinggal di bulan, dan setiap bulan purnama, Dewi Asmara mengirimkan kekuasaan mujijatnya melalui sinar bulan purnama ke permukaan bumi. Sinar bulan yang sudah mengandung kekuasaan mujijat ini akan mempengaruhi setiap mahluk di atas bumi, memperkuat daya tarik antara lawan kelamin, mendorong rangsangan berahi karena memang sudah menjadi tugas Dewi Asmara untuk memperlancar semua mahluk untuk berkembang biak. Demikianlah dongengnya. Dongeng itu entah benar atau tidak, terserah. Akan tetapi yang jelas, melihat wajah cantik jelita tertimpa cahaya bulan purnama yang keemasan, Kaisar Ceng Tung terpesona. Dia baru berusia dua puluh tiga tahun, masih amat muda dan sedang dalam keadaan duka merana dan penuh kerinduan karena kehilangan Azisha, kekasihnya. Kini, menghadapi seorang wanita yang kecantikannya tidak kalah oleh Azisha, yang datang-datang menyerahkan diri kepadanya, tentu saja dia terpesona dan tanpa disadarinya lagi, kedua tangannya bergerak dan di lain saat wanita itu telah didekapnya dengan ketat dan dua jantung berdetak keras. “Kau... kau cantik jelita...” kata Kaisar Ceng Tung setelah dia mencium wanita itu, yang dibalas oleh wanita itu dengan gerakan malu-malu namun jelas memperlihatkan bahwa wanita itu benar-benar kagum dan suka kepada kaisar muda ini. “Akan tetapi... kalau ternyata engkau disuruh oleh Sabutai untuk merayuku... aku akan berobah benci padamu...” Wanita itu membalik dan merangkul leher Kaisar Ceng Tung, memandang dengan sepasang matanya yang bening lembut lalu berkata, “Mengapa peduka masih tidak percaya? Hamba datang atas kehendak hamba sendiri, hamba berani bersumpah...” “Khamila, siapakah engkau yang begini berani memasuki taman ini untuk bertemu dengan aku? Kalau Sabutai mengetahui...” “Tidak akan ada yang berani mengganggu hamba, apalagi para penjaga itu, bahkan Sabutai sendiripun tidak akan mengganggu hamba...” “Bagaimana engkau begitu yakin? Siapakah engkau ini yang begitu besar kekuasaannya?” “Apakah paduka belum dapat menduga? Hamba adalah isteri Sabutai...” “Ahhh...!” Kaisar Ceng Tung mendorong dengan kedua tangannya sehingga tubuh Khamila terhuyung ke belakang dan hampir saja roboh terjengkang. Wanita itu memandang dengan mata terbelalak den wajah pucat, akan tetapi dia melangkah maju lagi dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaisar itu. “Harap paduka maafkan hamba... sesungguhnya hamba melakukan ini bukan sebagai penyelewengan melainkan dengan penuh kesadaran dan juga sepengetahuan suami hamba, Sabutai...” “Apa...?” Kaisar Ceng Tung makin terkejut dan heran, juga amat tertarik. Melihat wanita itu berlutut dan memandang kepadanya dengan mata sayu, timbul rasa iba di hatinya, apalagi ketika dia teringat betapa mesra sikap wanita itu tadi dalam pelukannya dan betapa dia telah mendorongnya hampir roboh. “Ke sinilah, Khamila, dan ceritakan sebenarnya.” Khamila bangkit berdiri dan tak lama kemudian dia telah dipangku dan dipeluk oleh kaisar yang duduk di atas bangku. Dengan suara lembut wanita cantik itu lalu menceritakan keadaannya, bahwa dia menjadi isteri Sabutai karena dipaksa, dan bahwa dia sama sekali tidak mencinta suaminya itu. “Akan tetapi, dia sangat mencinta hamba dan dia menyayangkan bahwa sampai sekarang hamba belum mempunyai keturunan. Saking cintanya kepada hamba, dia tidak mau mengambil isteri lain, bahkan dia merencanakan untuk menyuruh hamba tidur dengan pria lain secara diam-diam, semata-mata agar hamba dapat memperoleh keturunan.” “Ahhh...?” Kaisar Ceng Tung terkejut dan merasa heran sekali mendengar ini. “Hamba tidak cinta kepadanya, mana mungkin hamba dapat melahirkan keturunannya? Dan hamba ngeri kalau harus melayani pria lain. Setelah hamba melihat paduka yang menjadi tawanan, begini gagah perkasa, begini tampan dan halus, seketika hamba jatuh cinta dan hamba berterus terang kepada Sabutai bahwa kalau hamba diharuskan melayani pria lain agar memperoleh keturunan, hanya padukalah orangnya yang hamba pilih. Dia setuju, bahkan merasa terhormat karena paduka adalah seorang raja yang jauh lebih besar daripada dia.” Kaisar Ceng Tung mengangguk-angguk dan membelai leher yang halus itu. Gairahnya berkobar ketika wanita ini terang-terangan menyatakan cintanya. Tak lama kemudian, kaisar memondong tubuh yang ringan itu memasuki gedungnya, dan Khamila hanya merangkulkan lengan ke leher kaisar itu, menyembunyikan muka di dadanya dengan jantung berdebar. Dia tidak mau menceritakan bahwa kalau hubungan di antara mereka tidak menghasilkan keturunan, dia akan dibunuh oleh Sabutai! Dengan penuh kemesraan, mulai malam hari itu, setiap malam Khamila datang mengunjungi Kaisar Ceng Tung dan baru kembali ke istana menjelang pagi. Kaisar Ceng Tung merasa terhibur dan diam-diam dia jatuh cinta kepada isteri Sabutai ini, demikian pula dengan Khamila yang baru pertama kali itu menyerahkan cinta kasihnya kepada seorang pria. Kurang lebih satu bulan kemudian, Khamila tidak muncul lagi! Kaisar Ceng Tung menjadi gelisah dan sampai tiga malam lamanya dia menanti-nanti di taman dengan hati penuh kerinduan. Pada malam hari ketiga, ketika dia duduk melamun di atas bangku, tiba-tiba dia mendengar suara di belakangnya. Cepat dia menoleh dengan wajah girang, mengira bahwa Khamila yang muncul. Akan tetapi betapa kaget hatinya ketika dia melihat bahwa yang datang adalah Sabutai! Cepat kaisar berdiri dengan sikap angkuh, memandang kepada musuhnya yang muncul sendirian itu. Sedikitpun Kaisar Ceng Tung tidak merasa takut, hanya kecewa melihat bahwa yang datang bukanlah Khamila yang ditunggu-tunggui, melainkan musuhnya ini. Sabutai tersenyum lebar dan menjura dengan hormat. “Saya datang untuk mengucapkan terima kasih!” Kaisar Ceng Tung mengerutkan alisnya. “Apa maksudmu?” tanyanya tenang. “Karena paduka maka isteri saya kini mengandung dan akan melahirkan seorang anak, keturunan saya! Dan karena peristiwa ini pula maka isteri saya tidak akan mati, juga saya merasa makin hormat kepada paduka.” Kaisar Ceng Tung memandang dengan mata terbelalak. “Dia... dia tidak akan mati? Apa maksudmu?” Kembali Sabutai tersenyum. “Tidak tahukah paduka bahwa dia mendatangi paduka dengan taruhan nyawa? Kalau dia tidak berhasil, tidak mengandung dalam waktu satu bulan, dia akan saya bunuh sebagai seorang isteri yang melakukan jina, dan mungkin paduka tidak akan terbebas dari hukuman pula. Betapapun juga, syukur dia telah mengandung. Sekali lagi, terima kesih.” Sabutai menjura lagi, kemudian pergi dari situ dengan langkah lebar dan wajah berseri. Beberapa saat lamanya Kaisar Ceng Tung berdiri seperti patung, kemudian dia menjatuhkan diri di atas bangku dengan tubuh lemas. Berkali-kali dia menghela napas panjang, merasa hatinya kosong den berduka. Rasa cintanya terhadap Khamila makin mendalam. Wanita itu telah mengandung keturunannya! Betapa mesra dan lembut perasaan hatinya terhadap wanita itu. Akan tetapi dia tahu bahwa tidak ada kemungkinan lagi baginya untuk bertemu dengan wanita itu. Sabutai tentu akan melarang keras. Dan dia tidak dapat berbuat sesuatu! Memperjuangkan haknya sebagai ayah kandung dari anak yang berada dalam kandungan Khamila? Tidak mungkin, karena hal ini hanya akan mencemarkan nama Khamila dan dia sendiri. Tak terasa lagi, dua tetes air mata membasahi pipi kaisar ini. *** “Huh, engkau sudah menjadi gila agaknya...” Dia meremas tangannya sendiri. Suaranya lirih dan mengandung kegemasan. Sejak tadi dia duduk di bawah pohon di dalam hutan lebat itu, seorang diri saja dan kadang-kadang termenung, kadang-kadang berbisik-bisik seorang diri seperti orang yang gila. Dia seorang gadis yang amat cantik jelita. Usianya paling banyak dua puluh tahun, karena biarpun melihat wajahnya masih kelihatan seperti seorang dara remaja yang tidak akan lebih dari lima belas tahun, namun di balik sinar matanya dan lekuk mulutnya terbayang kematangan seorang gadis yang telah dewasa. Sepasang matanya tajam dan bening, agak lebar dan dihias bulu mata yang panjang lentik dan yang membentuk bayang-bayang di pipi atasnya. Hidungnya kecil mancung, amat serasi dengan mulutnya yang indah bentuknya, dengan sepasang bibir yang tipis merah dan amat lunak, namun bibir yang seperti buah masak itu membayangkan kekerasan hatip terutama sekali lekuk dagunya. Rambutnya hitam panjang dan halus, digelung ke atas seperti bentuk bunga teratai dan ujung rambutnya dibiarkan terurai di belakang punggungnya. Panjang sekali rambut itu, karena biarpun sudah digelung, sisanya masih mencapai punggung. Agaknya kalau gelung dilepas, rambut itu akan mencapai bawah pinggul panjangnya. Pakaiannya sederhana potongannya, juga terbuat dari bahan yang kuat dan tidak mahal, jahitannyapun kasar, akan tetapi setelah menempel di tubuhnya, menjadi patut dan manis sekali. Hal ini adalah karena bentuk tubuhnya memang amat indah, padat dan dengan lekuk lengkung sempurna, bagian atas dan bawah yang padat agaknya dipisahkan dan dibatasi oleh pinggang yang ramping sekali. Sebatang pedang panjang tergantung di pinggang kirinya dan pedang ini menambah kegagahan di samping kecantikannya yang aseli tanpa bantuan bedak dan gincu. Seorang dara yang cantik jelita, manis, dan gagah perkasa. Dia adalah Yap In Hong! Pada saat itu, In Hong yang sudah sejak tadi duduk termenung di bawah pohon, nampak kesal dan beberapa kali mengepal tinju, meremas tangan sendiri dan bersungut-sungut memaki diri sendiri. Dia merasa marah kepada diri sendiri karena semenjak pertemuannya dengan Bun Houw dia merasa tidak sewajarnya, tidak seperti dulu-dulu lagi dan betapapun dia berusaha untuk melupakan pemuda itu, namun setiap saat dia teringat lagi, teringat akan semua peristiwa yang dialaminya bersama pemuda itu, terbayang akan wajahnya, sinar matanya, senyum dan kata-katanya! Di lubuk hatinya ada perasaan mesra dan kerinduan untuk berdekatan dengan pemuda itu, dan inilah yang membuat dia marah kepada diri sendiri sampai dia memaki dirinya sendiri gila. Memang tanpa disadarinya sendiri, dia telah tergila-gila, telah jatuh cinta kepada pemuda itu. Pemuda itu merupakan suatu kekecualian. Selama ini, sejak kecil telah ditanamkan di dalam hatinya akan kepalsuan kaum pria, akan kejahatan dan kesewenang-wenangan mereka terhadap kaum wanita sehingga ada dasar tidak suka di dalam hatinya terhadap kaum pria. Akan tetapi, begitu bertemu dengan Bun Houw, melihat sikap pemuda itu yang gagah perkasa, yang jauh daripada mempermainkan wanita, bahkan menolak bujuk rayu wanita, yang bersikap baik, halus dan sopan kepadanya, maka jatuhlah hatinya! Akan tetapi dia berusaha menyangkal hal ini dan selalu melawan perasaan hatinya. Celakanya, makin dilawan, makin beratlah rasa hatinya, makin kuat dorongan hasratnya untuk selalu berdekatan dengan Bun Houw. Maka terjadilah perang di dalam hatinya sendiri dan akibatnya membuat gadis ini seperti orang bingung. Kadang-kadang dia menjauhi, akan tetapi tak lama kemudian kembali dia mendekati dan diam-diam membayangi perjalanan Bun Houw. Bahkan dari jauh dia melihat Bun Houw yang bertemu dengan orang-orang gagah, kemudian dia berkesempatan pula menyelamatkan Souw Kwi Beng dari tangan Hui-giakang Ciok Lee Kim dan membunuh orang keempat dari Lima Bayangan Dewa itu. Akan tetapi dia selalu cepat menghindarkan pertemuan dengan Bun Houw, karena dia merasa malu kalau sampai ketahuan oleh pemuda itu bahwa dia selama ini membayangi pemuda itu! Apalagi ketika dari jauh dia melihat Cia Giok Keng puteri ketua Cin-ling-pai, kemudian melihat pula Yap Kun Liong kakak kandungnya, In Hong terkejut dan cepat menjauhkan diri tidak berani mendekat. Betapapun juga, perasaan rindunya dan ingin berdekatan dengan Bun Houw membuat dia mengintai lagi dan akhirnya dia membayangi Bun Houw yang melakukan perjalanan ke utara bersama Tio Sun. Setelah Bun Houw dan Tio Sun membantu Cia Keng Hong mengusir dua orang kakek dan nenek yang amat lihai, dua orang pemuda itu masuk ke dalam perkemahan pasukan orang Mancu dan Khitan itu dan sampai berhari-hari lamanya tidak meninggalkan tempat itu. “Bodoh kau!” Kembali In Hong mengomeli dirinya sendiri. Betapa dia tidak akan merasa jengkel dan gemas terhadap dirinya sendiri yang selama ini selalu berkeliaran di dalam hutan di sekitar perkemahan itu, menanti-nanti munculnya Bun Houw! Dia telah membiarkan dirinya tersiksa hidup berhari-hari di dalam hutan liar dan lebat, tanpa kawan, dengan hati penuh rasa rindu dan kejengkelan. Beberapa kali dia ingin memasuki perkemahan itu untuk bertemu dengan Bun Houw, akan tetapi rasa malu membuat dia mundur kembali. Dia telah melakukan penyelidikan sekedarnya dan telah mendengar bahwa kaisar menjadi tawanan Sabutai dan bahwa kelompok orang Mancu dan Khitan yang dipimpin oleh ketua Cin-ling-pai itu berniat untuk menyelamatkan kaisar, akan tetapi selalu terpukul mundur oleh pasukan Sabutai yang jauh lebih banyak dan kuat. “Kalau begini terus, aku bisa gila benar-benar!” Akhirnya In Hong bangkit berdiri dan mengepal tinju, mengambil keputusan bahwa dia akan menemui Bun Houw! Dia sudah mempunyai alasan untuk mengatasi rasa malunya, yaitu bahwa dia akan membantu pemuda itu untuk menolong kaisar yang tertawan musuh! Akan tetapi In Hong tidak ingin bertemu dengan orang-orang lain, apalagi dengan ketua Cin-ling-pai! Orang tua sakti itu pernah hendak menjodohkan dia dengan puteranya, ingin mengambil mantu padanya. Tentu saja dia merasa malu kalau kelihatan oleh ketua itu bahwa dan ingin membantu Bun Houw dan merasa senang kalau berdekatan dengan pemuda she Bun itu, seorang pemuda biasa saja! Kecuali kalau pemuda itu sudah menerimanya, kalau kemudian terpaksa bertemu dengan siapapun, tidak mengapa. Yang penting, dia harus bertemu dulu dengan Bun Houw untuk menyatakan keinginannya membantu usaha pemuda itu menolong kaisar. Dia masih harus menanti sampai tiga hari, barulah pada suatu senja In Hong melihat Bun Houw keluar seorang diri dari daerah perkemahan itu. Dengan girang dia lalu muncul dari atas pohon, meloncat seperti seekor burung garuda ke depan Bun Houw yang memandang dengan kaget sekali, akan tetapi segera wajah pemuda ini berseri ketika dia mengenal siapa yang meloncat turun menghadang di depannya dari atas pohon itu. “Hong-moi...!” Seruan yang keluar dari mulut Bun Houw ini mengandung getaran karena memang selama ini seringkali dia mengenangkan dara itu dengan penuh kerinduan hatinya, maka pertemuan yang tidak disangka-sangkanya ini secara tiba-tiba membuat dia terkejut dan girang bukan main. Hati yang penuh kerinduan membuat matanya melihat gadis itu lebih cantik dan gemilang daripada yang dibayangkan selama ini, membuat jantungnya berdebar penuh kagum, dan membuat dia lupa akan segala hal lain mengenai diri In Hong yang dikenalnya sebagai seorang gadis cantik jelita dan berilmu tinggi dan yang mengaku bernama Hong saja. Hati gadis itupun girang sekali dan melihat wajah Bun Houw, mendengar suaranya, mendatangkan perasaan aneh di dalam dadanya, membuat jantungnya berdebar tegang dan ada perasaan malu-malu yang aneh sekali, yang membuat wajahnya menjadi merah dan tidak kuat dia menentang pandang mata itu. “Bun-twako... sudah berhari-hari aku menanti kesempatan ini... akhirnya kau muncul sendirian...” katanya lirih sambil menundukkan pandang mata, akan tetapi segera diangkatnya kembali mukanya dan dia memandang dengan sinar mata tajam berseri. “Berhari-hari menanti...? Kenapa kau tidak langsung saja masuk ke perkemahan dan menemui aku?” “Aku tidak ingin bertemu dengan yang lain-lain, terutama dengan ketua Cin-ling-pai, aku mau bicara dulu denganmu, Bun-twako.” “Engkau sudah tahu keadaan kami...” Tiba-tiba Bun Houw teringat dan alisnya berkerut, wajahnya yang tadinya berseri itu berobah muram. “Tentu saja aku tahu semua karena selama ini aku mengikutimu dari jauh, twako.” “Hemm... aku tahu... engkau telah menyerang dan hampir membunuh Souw Kwi Eng...” “Aku tidak kenal siapa itu Souw Kwi Eng, akan tetapi aku memang telah membunub Hui-giakang Ciok Lee Kim dan monolong Souw Kwi Beng...” kata In Hong terheran. Bun Houw mengangguk-angguk, hatinya mulai panas karena teringat akan perbuatan kejam gadis ini. Tentu dia tidak mau mengakui perbuatan keji itu, pikirnya. “Aku tahu semua itu... sekarang engkau menemui aku ada keperluan apakah?” In Hong makin terheran melihat perobahan sikap dan wajah pemuda itu. “Aku telah mendengar bahwa kaisar ditawan musuh dan aku tahu bahwa engkau hendak menolongnya, Bun-twako. Maka aku hendak menawarkan bantuanku, aku ingin membantumu.” “Tidak...! Aku tidak mau...!” Bun Houw menggeleng kepala, suaranya kasar karena dia membayangkan gadis she Ma yang tewas secara mengerikan di dalam kamarnya, tewas oleh seorang wanita lihai yang tentu saja gadis cantik yang berdiri di depannya inilah orangnya! Saking kaget dan herannya melihat sikap pemuda itu, In Hong melangkah maju mendekat, menatap wajah itu dengan penuh selidik lalu dia bertanya, “Bun-twako, engkau kenapakah?” “Aku tidak membutuhkan bantuanmu!” Bun Houw makin panas hatinya karena terdorong oleh rasa kecewa. Dia amat tertarik oleh dara perkasa ini, dia amat kagum kepada dara ini, bukan hanya kagum oleh kecantikannya yang luar biasa, juga terutama sekali oleh kepandaiannya, akan tetapi rasa kagumnya itu hancur oleh kekejaman gadis ini yang seperti iblis. “Engkau... engkau Dewi Maut, cantik jelita dan berilmu tinggi akan tetapi ganas dan kejam seperti iblis!” “Twako...!” In Hong mengerutkan alisnya dan pandang matanya mulai mengeras. Seketika lenyaplah semua perasaan mesra di hatinya oleh sikap dan kata-kata Bun Houw itu. “Engkau boleh saja menolak bantuanku akan tetapi engkau tidak berhak memaki aku seperti itu!” bentaknya. “Aku tidak memaki, hanya berkata sebenarnya. Engkau kejam dan ganas, dan aku tidak sudi kau bantu!” “Orang she Bun yang sombong!” In Hong sudah naik darah dan kedua tangannya dikepal. “Kau kira aku ini siapa boleh kauhina begitu saja?” Bun Houw juga marah. Kekecewaan hatinya melihat kenyataan bahwa dara yang dipujanya, yang diam-diam telah mencuri hatinya secara aneh ternyata adalah seorang iblis betina, membuat dia marah sekali. “Kau hendak membunuhku juga? Ha-ha, majulah, jangan mengira aku takut padamu!” “Keparat...!” In Hong sudah hendak menyerang dan Bun Houw sudah siap melawan, akan tetapi tiba-tiba In Hong melangkah mundur dua tindak, mukanya pucat dan mulutnya yang berbentuk indah itu tersenyum, senyum yang menutupi hati yang terasa sakit. “Tidak... tidak sekarang... aku akan membiarkan kau hidup sementara untuk membuka matamu agar kau melihat betapa tololnya engkau yang telah menuduhku yang bukan?bukan...” “Bukan menuduh melainkan kenyataannya kau telah membunuh gadis dusun itu secara kejam! Selain membunuh gadis dusun yang tak berdosa, engkaupun telah menyerang dan hampir membunuh Souw Kwi Eng! Kau tidak perlu mungkir lagi.” “Hemm, betapa mudahnya sekarang aku menggerakkan tangan membunuhmu untuk menghentikan ocehanmu yang penuh kepalsuan ini. Akan tetapi tidak, biar kau melihat kenyataan dan kau menyesali fitnah ini, baru aku akan mencabut nyawamu!” Setelah berkata demikian, In Hong berkelebat dan lenyap di balik pohon-pohon. Bun Houw hendak mengejar, akan tetapi cuaca sudah mulai gelap dan dia berdiri seperti patung di bawah pohon, hatinya masih panas dan dadanya bergelora, akan tetapi ada penyesalan menyelinap di dalam dadanya. Diam-diam dia menyesal bukan main. Gadis itu datang menawarkan bantuan, betapa baik niat hatinya. Akan tetapi, bagaimana dia dapat menerimanya, bagaimana dia dapat bekerja sama dengan gadis yang berwatak seperti iblis itu? Hanya karena cemburu, dan ini sudah jelas sekali, gadis itu hampir saja membunuh Kwi Eng, dan secara kejam membunuh gadis she Ma yang sama sekali tidak berdosa! Biarpun diam-diam dia amat kagum kepada gadis itu, namun mengingat akan kenyataan yang mengerikan ini dia harus mengeraskan hati dan memutuskan hubungan antara mereka! Jauh di sebelah dalam hutan itu, di antara kegelapan malam yang hampir tiba, In Hong berdiri menyandarkan tubuhnya pada sebatang pohon besar, kedua tangannya mengepal tinju, matanya terpejam dan pipinya basah oleh beberapa butir air mata. Akan tetapi, setiap ada butiran air mata turun dari matanya, kepalan tangannya mengusapnya dengan keras. Dia tidak harus menangis! Ingin dia berteriak untuk memberi jalan keluar hatinya yang bergelora, yang menindih. Dia telah dihina orang! Dihina seorang laki-laki dan celakanya, laki-laki itu adalah laki-laki yang disangkanya pria yang istimewa, yang mcrupakan kekecualian, yang tidak sama bahkan kebalikan dari para pria yang dikutuk oleh gurunya. Hatinya sakit bukan main. Bun Houw telah menolak bantuannya, bahkan memakinya sebagai seorang wanita kejam seperti iblis! Bahkan telah berani menantangnya! “Si keparat...!” desisnya di antara isak yang keluar dari dadanya. Orang macam dia berani menantang? Kalau dia tadi turun tangan, dalam beberapa jurus saja tentu akan dapat dibunuhnya laki-laki itu! Akan tetapi mengapa tidak dilakukannya hal itu? Padahal, kalau ada laki-laki lain bersikap kasar sedikit saja kepadanya, tentu dia tidak segan-segan untuk menurunkan tangan besi dan membunuhnya. Tidak, dia tidak akan turun tangan begitu mudah terhadap Bun Houw. Biar laki-laki itu terbuka matanya, bahwa semua tuduhannya itu bohong belaka, bahwa dia bukanlah iblis betina yang melakukan semua tuduhan itu, dan baru setelah laki-laki itu menyesal dan terbuka matanya, dia akan membunuhnya. Teringat akan itu semua, teringat betapa dia tersiksa batinnya karena rindu dan ingin berdekatan dengan Bun Houw, kemudian betapa sikap pemuda itu menghancurkan hatinya, jantungnya seperti ditusuk-tusuk dan merasa makin sakit. Apalagi kalau dia teringat betapa dia telah bersusah payah menolong pemuda itu ketika Bun Houw disiksa dan hampir mati di tangan dua orang Bayangan Dewa. Kalau tidak dia datang menolong, tentu pemuda itu kini sudah tewas. Dan pemuda itu membalas kebaikan itu dengan makian dan penghinaan! “Orang she Bun! Kaulihat saja pembalasanku nanti!” kembali In Hong mengepal tinju, akan tetapi dia terbayang akan kemesraan antara mereka, ketika mereka bercakap-cakap sambil makan, menukar pedang dengan giok-hong, dan tinjunya kembali harus menghapus dua titik air mata yang tiba-tiba saja meloncat keluar. Terngiang di telinganya tuduhan-tuduhan yang dilontarkan Bun Houw kepadanya. Dia menyerang dan hampir membunuh wanita yang bernama Souw Kwi Eng? Dia tidak mengenal nama itu, akan tetapi dia dapat menduga bahwa wanita itu agaknya masih ada hubungan saudara dengan Souw Kwi Beng, pemuda tampan bermata biru yang diselamatkannya dari tangan Hui-giakang Ciok Lee Kim itu. Dan kemudian katanya dia membunuh seorang gadis desa yang tidak berdosa? Sama sekali dia tidak mengerti siapa gadis ini. Semua itu fitnah belaka. Bohong belaka dan sekali waktu dia harus dapat membuka mata Bun Houw untuk melihat bahwa semua tuduhannya itu kosong. Baru kemudian dia akan membunuhnya. Hati yang panas dan sakit membuat In Hong pergi meninggalkan hutan itu dengan hanya satu saja niat di hatinya, yaitu membantu fihak yang dimusuhi Bun Houw! Dia ingin bertemu dalam pertempuran melawan pemuda itu, bukan untuk membunuhnya, melainkan untuk mengejeknya, karena dia baru akan membunuh kalau pemuda itu sudah melihat bahwa tuduhannya tadi kosong. Dia tidak mau dibantu? Baik, kalau pemuda itu tidak mau dibantu dia akan membantu fihak musuhnya! Benteng pasukan pemberontak yang dipimpin Sabutai tidak jauh dari tempat itu. Akan tetapi In Hong bukanlah seorang yang ceroboh. Sama sekali tidak. Semenjak kecil dia hidup bersama gurunya dalam keadaan penuh dengan kesukaran dan kekerasan, dan semua pengalaman itu membuat dia amat berhati-hati. Dia tidak akan memasuki tempat berbahaya yang belum dikenalnya begitu saja. Gurunya dahulu sudah sering memberi peringatan kepadanya agar dia jangan mudah menaruh kepercayaan kepada siapapun juga, apalagi kepada kaum pria. Dan benteng pasukan yang dipimpin Sabutai itu merupakan tempat yang penuh bahaya. Betapapun tinggi kepandaiannya, tentu dia tidak akan berdaya menghadapi kekuatan pasukan yang ribuan orang banyaknya itu, apalagi kalau di situ terdapat pula banyak orang pandai. Oleh karena itu, pada pagi hari itu, ketika keadaan masih gelap, In Hong berhasil menculik seorang penjaga yang melakukan tugas menjaga dan meronda di luar benteng, memukulnya roboh pingsan dan menyeretnya ke dalam hutan yang masih gelap. Kemudian dia mengancam dan memaksa penjaga yang ketakutan dan mengira bahwa dirinya diserang dan diculik setan penjaga hutan, agar orang itu menceritakan keadaan di dalam benteng Sabutai. Dari orang inilah In Hong mendengar bahwa kaisar masih menjadi seorang tawanan terhormat dan dalam keadaan sehat, sedangkan Wang Cin masih menjadi tamu yang tidak bebas, bersama para pembantunya yang lihai. Ketika In Hong mendengar bahwa di antara para pembantu Wang Cin itu terdapat nenak Go-bi Sin-kouw di samping tiga orang Bayangan Dewa, Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw, dan Bouw Thaisu, dia terkejut sekali akan tetapi juga girang. Dia tahu betapa kuatnya keadaan di dalam benteng dengan adanya para kakek dan nenek yang sakti itu, akan tetapi diapun melihat adanya kesempatan baginya untuk memasuki benteng itu dengan terang-terangan karena dia telah mengenal mereka, terutama Go-bi Sin-kouw sehingga dia dapat berpura-pura membantu nenek itu! Biarpun dia berhasil mengorek keterangan dari penjaga itu, namun dengan cerdik In Hong melakukan pertanyaan dan ancaman sambil bersembunyi dan merobah suaranya menjadi besar sehingga orang itu sama sekali tidak tahu siapa yang menculik dan mengajukan semua pertanyaan dan ancaman itu. Kemudian, kesempatan itupun tidak membuat In Hong kekurangan kewaspadaannya. Dia baru muncul di depan pintu benteng itu pada malam harinya. Dia memilih malam hari dengan maksud bahwa andaikata dia diterima dengan todongan senjata dan dia tidak mampu mengatasi begitu banyaknya orang pandai, dia akan lebih mudah menyelamatkan diri daripada kalau siang hari. “Berhenti! Siapa di situ?” Tiba-tiba beberapa orang penjaga muncul dan dengan tombak ditodongkan mereka menghampiri In Hong yang berhenti dan berdiri tegak di bawah lampu di pintu gerbang. Ketika enam orang penjaga melihat bahwa yang menghampiri pintu gerbang adalah seorang gadis yang cantik sekali, mereka terkejut, terheran, dan juga menjadi lega, bahkan tersenyum gembira karena penjagaan di tempat sunyi membuat mereka menjadi kesal dan munculnya seorang wanita yang begini cantik tentu saja merupakan hal yang amat menghibur. “Heii, nona manis, siapakah engkau malam-malam begini muncul di sini dan apa kehendakmu?” tegur kepala jaga sambil menyeringai, sedangkan enam pasang mata laki-laki seperti orang kehausan melihat air jernih menjelajahi seluruh tubuh In Hong dari kepala sampai ke sepatunya. Teguran itu diucapkan dalam Bahasa Mongol dan In Hong tidak mengerti artinya, maka dia hanya tersenyum dan menjawab dengan gelengan kepala saja. Seorang di antara para penjaga itu dapat berbahasa Han, maka dia lalu menjadi juru bahasa, menterjemahkan pertanyaan kepala jaga itu dengan suara yang kaku. “Aku adalah kenalan beik Go-bi Sin-kouw yang berada di dalam benteng, dan aku ingin bertemu dengan dia dan rombongannya,” jawab In Hong terpaksa menahan kesabarannya karena dia tidak ingin memancing keributan di tempat berbahaya ini. Mendengar keterangan ini, semua penjaga yang berjumlah dua belas orang dan kini sudah berkumpul di situ, saling memandang dengan curiga. Memang semua pengikut Sabutai menaruh curiga kepada rombongan Pembesar Thaikam Wang Cin itu. Kepala jaga lalu menyuruh seorang anak buahnya untuk melapor ke dalam, bukan langsung kepada Wang Cin melainkan kepada Sabutai! Jelaslah bahwa rombongan pembesar itu sebenarnya bukan lagi dianggap sebagai tamu agung, melainkan sebagai tawanan yang tidak ada bedanya dengan kaisar sendiri. Ketika itu Sabutai sedang bersenang-senang di dalam kamarnya, makan minum bersama Khamila untuk merayakan kandungan Khamila sebagai hasil hubungan wanita cantik ini dengan Kaisar Ceng Tung! Dapat dibayangkan betapa perih rasa hati wanita itu karena sesungguhnya diam-diam dia jatuh cinta kepada kaisar yang ditawan itu. Akan tetapi diam-diam dia juga merasa girang bahwa dia dapat mengandung keturunan kaisar itu. Ngeri dia kalau membayangkan betapa andaikata tidak ada Kaisar Ceng Tung, dia diharuskan menyerahkan diri kepada seorang pria lain yang diharuskan bertugas mewakili Sabutai menidurinya agar dia memperoleh keturunan! Kenyataan ini merupakan hiburan dan Khamila dapat juga berwajah girang ketika suaminya mengajaknya merayakan peristiwa yang dianggapnya menggirangkan itu. Adapun Sabutai benar-benar merasa girang. Sedikitpun dia tidak merasa cemburu kepada Kaisar Ceng Tung. Dia kagum kepada kaisar muda itu, kagum akan kegagahannya yang diperlihatkannya ketika menjadi tawanan, maka kini dia merasa terhormat untuk menjadi ayah kandung dari keturunan kaisar besar itu! Kalau pria lain yang menjadi ayah kandung dari anak yang berada di dalam kandungan isterinya, tentu dia akan membunuh pria itu agar rahasia ini tidak diketahui siapapun. Akan tetapi, karena yang menjadi ayah sejati adalah Kaisar Ceng Tung, maka dia tidak akan membunuh kaisar itu karena dia yakin bahwa rahasia itu akan tersimpan rapat dan Kaisar Ceng Tung tentu tidak akan membuka rahasia yang mencemarkan namanya sendiri itu. Tiba-tiba datang penjaga yang melaporken tentang munculnya seorang gadis cantik di depan pintu gerbang yang mengaku sebagai sahabat Go-bi Sin-kouw. Sabutai menjadi tertarik sekali dan tentu saja menaruh curiga. Diam-diam dia lalu menyampaikan berita kepada kedua orang gurunya, dan mengerahkan pasukan pengawal, mendatangi pembesar Wang Cin. Dia sendiri yang menyampaikan berita kedatangan seorang “sahabat” dari Go-bi Sin-kouw itu dan memerintahkan agar nona itu dipersilakan masuk. Wang Cin dan para pembantunya menanti di ruangan besar itu dengan hati tidak enak, terutama Go-bi Sin-kouw. Nenek ini menduga-duga dan maklum bahwa fihak Raja Sabutai mencurigai mereka dan mencurigai orang yang katanya datang hendak bertemu dengannya. Tak lama kemudian muncullah In Hong yang diantar oleh belasan orang pengawal bersenjata lengkap. Gadis ini melangkah dengan tenang biarpun di dalam hatinya dia maklum bahwa dia telah berada di tempat yang amat berbahaya. Dia melihat betapa benteng itu amat kuat dan penjagaan dilakukan ketat sekali. Sepintas lalu ketika dia dipersilakan masuk, dia melihat keadaan penjagaan di sepanjang tembok benteng dan biarpun dia akan dapat memasuki benteng ini dan keluar lagi melalui tembok yangg tidak berapa tinggi itu, namun dia akan menghadapi bahaya besar. Akan tetapi, dia tidak memperlihatkan sikap jerih dan melangkah dengan pandang mata ke depan, tangan kiri tertumpang di gagang pedangnya yang tergantung di pinggang. Ketika gadis itu memasuki ruangan besar yang dipasangi penerangan cukup, semua mata menyambutnya dengan pandang penuh selidik. Sabutai memandang dengan mata mengandung keheranan dan kekaguman. Dia tahu bahwa Bangsa Han di selatan banyak memiliki jago-jago silat yang berkepandaian tinggi sekali, akan tetapi baru sekarang dia melihat seorang gadis muda cantik jelita yang bersikap demikian gagahnya, memasuki tempat seperti bentengnya itu dengan sikap demikian tenang dan penuh keberanian. Juga sekali pandang saja dia meragukan apakah benar gadis cantik ini merupakan sahabat dari nenek tua itu, seorang di antara kaki tangan pembesar Wang Cin yang berjiwa khianat. Para tokoh lihai yang menjadi pembantu Wang Cin, terutama sekali Go-bi Sin-kouw, yang pernah bertemu dengan In Hong, kini memandang dara itu dengan alis berkerut dan hati penuh kecurigaan. Go-bi Sin-kouw menjadi tidak senang hatinya. Dia memang mengenal gadis ini sebagai seorang gadis yang amat lihai dan berwatak keras sekali dan aneh, akan tetapi sungguh lucu kalau gadis itu mengaku sebagai sahabatnya. Jauh daripada itu, bahkan antara dia dan gadis itu terdapat rasa benci dan saling mencurigai yang besar. Dan sekarang gadis ini datang mengaku sebagai sahabatnya! Tentu saja Go-bi Sin-kouw merasa curiga sekali dan sebelum yang lain membuka mulut, dia sudah melompat maju dan membentak, “Kiranya engkau yang datang mengaku sahabatku? Sri Baginda Raja Sabutai, jangan percaya, dia ini tentu mata-mata dari Kerajaan Beng!” Dia menoleh kepada teman-temannya karena untuk menghadapi gadis lihai itu sendirian saja, dia merasa agak jerih. “Teman-teman, mari bantu aku menangkap gadis setan ini!” Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw yang sudah tahu bahwa gadis lihai ini memang hanya mendatangkan kesulitan saja, sudah melangkah maju. Juga tiga orang Bayangan Dewa sudah saling pandang, karena mereka telah mendengar akan kematian Toat-beng-kauw Bu Sit dan Hui-giakang Ciok Lee Kim, dan menurut pendengaran mereka, Ciok Lee Kim terbunuh oleh seorang gadis cantik yang agaknya gadis inilah karena memang mereka tahu akan kelihaian Yap In Hong. Melihat gelagat tidak baik ini, In Hong hanya tersenyum saja. Dia seorang yang amat tabah dan ketenangannya itu membuat dia lebih dapat menguasai keadaan dan sekali pandang saja dia sudah dapat menduga yang mana adanya Raja Sabutai yang terkenal itu. Maka cepat dia menoleh ke arah raja ini yang kebetulan memang sejak tadi memandangnya penuh selidik, dan In Hong lalu menjura dengan hormat ke arah raja yang bersikap gagah itu dan berkata, “Kedatangan saya untuk menawarkan bantuan kepada sri baginda raja melalui Go-bi Sin-kouw yang telah saya kenal, akan tetapi ternyata kedatangan saya tidak diterima sebagaimana patutnya.” Sejenak pandang mata mereka saling bertemu, bertaut dan akhirnya Sabutai tersenyum. Raja inipun bukan seorang biasa, melainkan murid dua orang sakti Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko. Maka dia sudah dapat menyelami sikap gadis cantik itu yang kini jelas mengharapkan bantuan darinya untuk bersikap gagah. Maka raja ini lalu bangkit berdiri ketika melihat beberapa orang kakek dan nenek pembantu Wang Cin sudah bangkit dengan sikap mengancam untuk mengeroyok gadis itu, dan dia berkata nyaring. “Tahan dulu...!” Mendengar seruan ini, tentu saja Go-bi Sin-kouw dan teman-temannya lalu mundur kembali, menoleh dan memandang dengan alis berkerut, sedangkan Wang Cin sendiri memandang dengan sinar mata tidak senang. Namun Sabutai tidak memperdulikan semua itu, dia tersenyum lebar dan melanjutkan kata-katanya, “Setiap orang yang berani memasuki benteng ini, haruslah diketahui lebih dulu dengan jelas maksud kedatangannya baru diambil keputusan sikap apa yang akan kami ambil. Mengeroyok seorang gadis muda di depanku, sungguh merupakan hal yang amat memalukan dan merendahkan nama sendiri!” Wajah Go-bi Sin-kouw menjadi merah dan dia cepat memberi hormat kepada raja itu sambil berkata, “Harap paduka sudi memaafkan, akan tetapi gadis ini...” “Cukup!” Sabutai membentak. “Ingat bahwa cu-wi sekalian hanya tamu dan akulah tuan rumahnya dan akulah yang berhak menerima dan memeriksa tamu yang datang memasuki bentengku!” Ucapan ini cukup keras nadanya dan Go-bi Sin-kouw menunduk, melirik ke arah Wang Cin yang memberi isyarat agar nenek itu mundur. Sabutai bersikap seolah-olah dia tidak melihat itu semua dan kini dia menggapai ke arah In Hong sambil berkata, “Majulah ke sini, nona!” Dengan langkah gagah dan tenang, namun membayangkan keluwesan dan kepadatan tubuh seorang gadis dewasa, In Hong menghampiri raja itu, lalu menjura dan berdiri dengan sikap hormat. Melihat gadis itu tidak mau berlutut, dua orang pengawal sudah maju dan hendak menghardiknya, akan tetapi pandang mata Sabutai melarang mereka dan raja ini lalu menyambar sebuah bangku di sebelah kanannya, kemudian tersenyum dan berkata kepada In Hong, “Terimalah bangku ini untuk tempat dudukmu, nona! Tidak enak bicara sambil berdiri saja!” Setelah berkata demikian, Raja Sabutai yang pada saat itu masih diliputi kegembiraan karena isterinya mengandung itu lalu mengerahkan tenaga pada tangan kanannya, dan bangku itu melayang ke atas, berputaran seperti seekor burung hidup dan tiba-tiba bangku itu melayang turun ke arah kepala In Hong! Dara ini terkejut juga, tidak mengira bahwa raja kaum pemberontak liar itu ternyata memiliki kepandaian yang cukup hebat! Akan tetapi dia tidak menjadi gentar, bahkan ikut pula terbawa oleh kegembiraan Sabutai yang tersenyum ramah itu. In Hong mengerahkan tenaga gin-kangnya dan sambil mengeluarkan seruan tinggi tubuhnya mencelat ke atas dan tahu-tahu dia telah duduk di atas bangku yang masih melayang turun dan ketika bangku itu tiba di atas lantai, dia masih duduk, sedikitpun tidak terguncang tubuhnya seolah-olah dia tadi dibawa terbang oleh bangku yang telah “dijinakkan” itu. “Terima kasih atas keramahan paduka.” In Hong menjura dari tempat duduknya ke arah Sabutai yang menjadi kagum. Dia tadi memperlihatkan tenaga dalamnya dan gadis itu mengimbangi dengan mendemonstrasikan gin-kang yang luar biasa! “Ha-ha-ha, benar dugaanku. Tamu kami seorang yang lihai sekali. Nona, siapakah namamu?” “Nama saya... hanya Hong saja.” In Hong memperkenalkan dirinya dengan setengah hati karena memang dia tidak ingin memperkenalkan diri selengkapnya. “Apakah benar engkau sahabat Go-bi Sin-kouw?” “Saya tidak pernah bersahabat dan tidak pemah mengaku bersababat dengan dia,” jawab In Hong sambil melirik ke arah nenek itu. “Kepada para penjaga benteng tadipun saya hanya mengatakan bahwa saya kenal baik dengan Go-bi Sin-kouw dan hal itu saya lakukan agar saya diperbolehkan masuk ke sini. Sebenarnya saya ingin bertemu dengan paduka untuk menawarkan tenaga bantuan saya.” “Harap paduka jangan percaya!” Tiba-tiba Go-bi Sin-kouw berseru. “Dia tentu mata-mata musuh dan tentu dia datang untuk menyelidiki keadaan kita!” Sabutai memandang In Hong dengan pandang mata tajam penuh selidlk, kemudian dia bertanya, “Nona Hong, benarkah apa yang dituduhkan oleh Go-bi Sin-kouw itu bahwa engkau seorang mata-mata Kerajaan Beng?” “Bohong, sri baginda! Saya bersumpah bahwa saya bukan mata-mata manapun juga. Dan memang, Go-bi Sin-kouw dan teman-temannya itu bukan orang baik-baik dan pernah bentrok dengan saya maka kini mereka hendak menjatuhkan fitnah kepada saya.” Go-bi Sin-kouw bangkit berdiri dengan marah dan menuding, “Bocah setan! Engkau telah melarikan muridku. Engkau masuk ke sini pura-pura hendak bertemu dengan aku, akan tetapi siapa tidak tahu bahwa di luar sana ada gerombolan yang dipimpin oleh ketua Cin-ling-pai? Dan engkau adalah calon mantu Cin-ling-pai, bukan? Tentu engkau mata-mata, kalau bukan mata-mata Kerajaan Beng, setidaknya engkau dikirim oleh calon mertuamu itu!” “Tutup mulutmu yang busuk! Engkau tahu betul bahwa tidak demikian halnya.” In Hong juga membentak marah. “Heh-heh-heh, engkau selalu memperlihatkan sikap bermusuh, juga terhadap Lima Bayangan Dewa. Kami masih merasa heran apakah bukan engkau yang telah membunuh Hui-giakang Ciok Lee Kim.” “Benar aku! Karena dia hendak melakukan perbuatan keji dan tidak patut terhadap seorang pemuda.” Mendengar pengakuan ini, Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok mengeluarkan suara menggereng seperti seekor biruang marah. “Kalau begitu, aku harus membalas kematian sumoi!” Melihat para pembantu Wang Cin sudah bergerak dan bangkit hendak mengeroyok, Sabutai mengangkat tangan dan berkata nyaring, “Urusan pribadi tidak perlu dibawa-bawa ke sini! Aku memang membutuhkan pembantu, akan tetapi aku belum melihat kehebatan nona ini, maka perlu diuji! Dan aku tidak akan membiarkan orang-orang gagah seperti cu-wi, yang menjadi pembantu-pembantu Wang-taijin untuk melakukan perbuatan rendah mengeroyok seorang wanita muda. Sebaiknya urusan pertikaian pribadi kalian itu diselesaikan sekarang juga, dengan pertandingan satu lawan satu. Nona Hong, apakah engkau berani menghadapi mereka itu, satu lawan satu untuk memutuskan siapa yang benar melalui keunggulan ilmu silat?' In Hong tersenyum, lalu bangkit berdiri dan mundur ke tengah ruangan yang luas itu, berdiri tegak den menjawab, “Menghadapi manusia-manusia iblis ini, jangankan satu lawan satu, biarpun dikeroyok saya tidak akan takut, sri beginda.” Ucapan In Hong ini bukan semata-mata karena kesombongan belaka, melainkan dilakukan dengan sengaja sebagai siasatnya memancing kepercayaan dan kekaguman raja itu, karena yang menjadi tujuannya adalah dapat berada dalam benteng dan selain melindungi kaisar yang tertawan, juga hendak menentang pasukan yang dipimpin oleh Bun Houw. Siasatnya berhasil. Sabutai tersenyum lebar penuh kekaguman, lalu raja ini bangkit berdiri, memberi isyarat kepada dua orang gurunya yang juga bangkit dan berkatalah raja ini, “Demi kegagahan, aku tidak akan membiarkan terjadinya pengeroyokan. Wang-taijin, biarkan orang-orangmu maju satu demi satu melawan nona ini, dan siapa menggunakan kecurangan dan pengeroyokan, akan dihukum. Dua orang guruku akan menjadi pengawas.” Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko tertawa, lalu duduk kembali. Akan tetapi tiba-tiba bangku yang mereka duduki itu “terbang” ke atas dengan tubuh mereka masih duduk di atasnya dan bangku-bangku itu melayang turun di sudut kanan kiri ruangan itu, di mana mereka duduk dengan tenang, memegangi tongkat butut mereka. Diam-diam In Hong terkejut sekali. Pantas saja Raja Sabutai demikian lihainya, kiranya dia memiliki dua orang guru yang sakti. Gadis ini menjadi makin berhati-hati dan dengan wajah tersenyum dingin dia kini memandang ke arah rombongan pembesar thaikam yang berkhianat itu, sikapnya menantang. Kalau harus menghadapi mereka satu lawan satu, dia sama sekali tidak merasa jerih. Go-bi Sin-kouw menjadi gentar juga ketika melihat bahwa dia tidak dapat mengajak teman-temannya untuk mengeroyok gadis itu, maka dia berkata kepada Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok, “Phang-sicu, dialah yang membunuh sumoimu, maka sepatutnya kalau engkau sebagai orang pertama dari Lima Bayangan Dewa membalas kematian sumoimu.”     Di antara Lima Bayangan Dewa, Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok adalah orang pertama yang memiliki kepandaian paling tinggi dan dia sendiri belum pernah bertemu dengan In Hong. Melihat gadis muda itu tentu saja dia memandang rendah dan memang sejak tadi hatinya sudah diliputi kemarahan melihat gadis yang membunuh sumoinya ini, maka mendengar ucapan Go-bi Sin-kouw, dia cepat menengok ke arah Wang Cin dan dengan pandang matanya dia minta persetujuan majikannya itu. Wang Cin mengangguk-angguk. “Sri baginda telah menurunkan perintah, engkau harus mentaatinya.” Phang Tui Lok lalu menjura kepada Wang Cin, kemudian menjura ke arah Sabutai, lalu dia melangkah lebar dan tenang ke tengah ruangan, menghampiri In Hong. Tokoh pertama dari Lima Bayangan Dewa ini sudah berusia enam puluh tahun lebih, akan tetapi kelihatan masih tampan dan gagah seperti orang yang usianya paling banyak empat puluh tahun. Pakaiannya serba putih dan sepatunya hitam. Laki-laki peranakan Mongol ini adalah sute dari mendiang Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok, seorang di antara datuk-datuk golongan hitam puluhan tahun yang lalu. Tentu saja ilmu silatnya amat hebat. Seperti kita ketahui, kemunculan Pat-pi Lo-sian (Dewa Berlengan Delapan) Phang Tui Lok di dunia persilatan telah menggemparkan kaum kang-ouw karena begitu muncul dia dan sekutunya telah berani melakukan hal yang amat hebat yaitu membunuhi Cap-it Ho-han murid-murid Cin-ling-pai dan bahkan mencuri pedang pusaka Siang-bhok-kiam. Perbuatan itu, biarpun dia lakukan selagi ketua Cin-ling-pai dan isterinya tidak berada di Cin-ling-san, setidaknya telah mengangkat namanya cukup tinggi dan membuat nama Lima Bayangan Dewa dibicarakan orang secara bisik-bisik penuh rasa segan dan takut. Hal ini tentu saja mendorong kesombongan muncul dalam hati Phang Tui Lok, maka kematian sumoinya merupakan pukulan hebat, juga kematian Toat-beng-kauw Bu Sit. Kematian dua orang sekutunya itu selain memperlemah kedudukan Lima Bayangan Dewa, juga merupakan pukulan terhadap nama besarnya, maka kini dia hendak menumpahkan kemarahannya kepada In Hong, gadis muda ini. Merasa bahwa dia adalah seorang tokoh besar kenamaan, pemimpin dari Lima Bayangan Dewa, maka kini di depan pembesar Wang Cin dan Raja Sabutai dan banyak orang lagi dia harus menghadapi lawan seorang gadis muda, keangkuhannya tentu saja tersinggung, maka dengan lagak seorang guru terhadap seorang murid, atau seorang bertingkat tinggi terhadap seorang lain yang bertingkat rendah, dia bertanya, “Nona muda, siapakah gurumu?” In Hong memandang dengan wajah dingin dan sinar mata tajam menusuk, kemudian dia menjawab, “Nama guruku tidak ada sangkut pautnya dengan Pat-pi Lo-sian!” “Hemm, kau sudah mengenal julukanku!” “Go-bi Sin-kouw tadi menyebutmu sebagai orang pertama dari Lima Bayangan Dewa yang curang dan pengecut, yang menyerbu Cin-ling-pai selagi tuan rumah tidak ada, membunuhi murid-muridnya dan mencuri pedang Siang-bhok-kiam, tentu saja aku mengenalmu...” “Eh, apa sangkutanmu dengan Cin-ling-pai? Kalau begitu benar dugaan Go-bi Sin-kouw bahwa engkau adalah mata-mata yang dikirim oleh ketua Cin-ling-pai!” “Sama sekali tidak dan aku tidak mempunyai sangkutan dengan Cin-ling-pai, aku hanya ingin mengatakan bahwa Lima Bayangan Dewa adalah curang.” “Hemm, bocah sombong. Aku menanyakan nama gurumu agar kelak kalau bertemu aku dapat menegurnya karena dia tidak bisa mendidikmu. Bocah yang bosan hidup, kenapa engkau memusuhi Lima Bayangan Dewa? Lebih baik engkau mengakui agar nanti tidak mati penasaran.” “Aku tidak memusuhi Lima Bayangan Dewa.” “Kenapa membunuh sumoiku?” “Sudah kukatakan, perempuan hina Ciok Lee Kim itu melakukan hal yang tidak patut, memaksa seorang pemuda, maka aku menjadi muak dan membunuhnya. Aku datang ke sini untuk membantu pasukan Sri Baginda Sabutai, akan tetapi kalian hendak menjatuhkan fitnah. Majulah, Pat-pi Lo-sian, kalau memang kau berani dan jangan banyak mengoceh seperti burung kelaparan.” Tentu saja Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok menjadi marah sekali. “Bagus! Salahmu sendiri kalau kau ingin menjadi bangkai tak bernama! Nah, terimalah ini!” Gerakan Pat-pi Lo-sian memang hebat sekali. Begitu tubuhnya menyerbu, kedua tangannya melakukan serangan bertubi-tubi dan memang tidak percuma dia dijuluki Dewa Berlengan Delapan karena kedua tangannya melancarkan serangan bertubi cepat sekali seolah-olah dia mempergunakan delapan lengan! Dan setiap tamparan, pukulan, totokan atau cengkeraman mengandung hawa pukulan kuat sekali dan merupakan serangan maut. “Heiiiiittttt...!” In Hong memekik dan tubuhnya berkelebatan seperti seekor burung garuda, cepatnya sampai tidak dapat diikuti pandangan mata, tubuhnya seperti lenyap dan hanya nampak bayangan-bayangan saja. Semua serangan bertubi yang dilakukan Pat-pi Lo-sian mengenai tempat kosong dan paling hebat hanya menyentuh sedikit ujung bajunya. Sambil mengelak dari tamparan terakhir, In Hong menggerakkan kaki kirinya dan nyaris ujung sepatunya mencium hidung lawan. Pat-pi Lo-sian terkejut sekali dan cepat menarik tubuh ke belakang. Bau ujung sepatu yang kotor tidak enak membuktikan betapa dekatnya sepatu tadi menghampiri hidungnya! “Perempuan rendah!” Saking jengkelnya Pat-pi Lo-sian memaki, akan tetapi diam-diam dia mulai mengerti bahwa biarpun masih amat muda, lawan yang dihadapinya ini ternyata lihai sekali, maka diapun dapat mengerti mengapa Hui-giakang Ciok Lee Kim sampai roboh di tangan gadis ini. Dengan marah dan mulai hati-hati dia lalu mengerahkan tenaga sin-kang ke dalam kedua lengannya, kemudian dia menyerang lagi dengan dua kali pukulan tangan yang mengandung tenaga sin-kang sepenuhnya. “Wirrrr... wuuuuuttttt!” Angin dahsyat menyambar mendahului dua kepalan itu, dan In Hong yang dapat mengenal pukulan lihai, cepat mengelak ke kiri. “Haiiiiitt!” Pat-pi Lo-sian membentak, tubuhnya membalik ke kanan melanjutkan serangannya, tangan kanannya membentuk cakar naga mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala lawan. Cepat dan kuat sekali gerakannya itu. In Hong juga mengenal gerakan ini, gerakan yang amat berbahaya dan mengandung pancingan. Cengkeraman yang kelihatannya ganas itu bukanlah inti serangan, melainkan umpan dan gertakan belaka. Kalau dia menangkis, tentu lawan akan mempergunakan tangan kiri untuk mengirim pukulan inti yang mematikan, maka untuk menghindarkan pukulan tersembunyi atau susulan ini, In Hong mengeluarkan suara melengking nyaring dan tiba-tiba saja ketika dia menangkis cengkeraman itu, tubuhnya mencelat ke atas! Pat-pi Lo-sian terkejut, tahu bahwa siasatnya gagal sehingga tangan kirinya yang sudah siap mengirim pukulan ke anggauta tubuh di bawah dada itu tidak ada gunanya lagi. Ketika melihat tubuh gadis itu melayang ke atas, cepat dia melanjutkan gerakan cengkeraman tangan kanan yang tertangkis tadi, secepat kilat menangkap pergelangan kaki In Hong yang melayang di atas kepalanya. “Plak! Dukkk!” Tubuh In Hong terlempar, akan tetapi juga Pat-pi Lo-sian terhuyung ke belakang. Ketika tangannya berhasil menangkap pergelangan kaki tadi, tiba-tiba ujung sepatu dari kaki In Hong yang kedua telah menotok pergelangan tangannya sehingga seluruh tangan menjadi lumpuh, pegangannya terlepas. Merahlah muka Pat-pi Lo-sian! Sambil mengeluarkan suara menggereng seperti harimau terluka, dia lari menyerbu In Hong yang baru saja meloncat turun dan terjadilah pertandingan yang amat seru dan mati-matian. Namun, keunggulan Pat-pi Lo-sian mainkan kedua tangannya yang memang cepat sekali itu dapat diimbangi oleh In Hong dengan keunggulan gin-kangnya. Tubuhnya ringan seperti kapas, cepat seperti burung dan biarpun kelau dihitung, setiap tiga kali serangan lawan baru dapat dibalasnya satu kali, namun balasannya itu cukup mengimbangi tiga kali serangan karena kalau dia belum pernah tersentuh tangan lawan, adalah Pat-pi Lo-sian sudah dua kali kena ditampar pundak dan lehernya. Untung bahwa dia memiliki sin-kang yang kuat, tubuhnya yang terlindung hawa sin-kang menjadi kebal dan tamparan-tamparan itu hanya membuat dia mundur terhuyung saja. Setiap kali tamparannya mengenai lawan, terdengar tepuk tangan dari Sabutai. Hal ini membuat In Hong makin bersemangat dan Pat-pi Lo-sian makin marah. Dan inilah kesalahan Pat-pi Lo-sian. Kemarahan adalah satu di antara hal yang sebetulnya merupakan pantangan besar bagi seorang ahli silat di waktu menghadapi lawan yang pandai, karena kemarahan ini mengurangi kewaspadaan dan berarti mengurangi daya tahan karena sebagian besar perhatian dicurahkan untuk menyerang dan merobohkan lawan belaka. Yap In Hong telah mewarisi ilmu-ilmu mujijat dari Yo Bi Kiok, ilmu-ilmu silat tinggi yang didapat oleh gurunya itu dengan bantuan bokor emas milik mendiang manusia sakti The Hoo. Menurut tingkat ilmu silatnya, tingkat In Hong masih lebih tinggi daripada tingkat Pat-pi Lo-sian dan kalau orang pertama dari Lima Bayangan Dewa ini dapat mengimbangi bahkan mendesak hanyalah karena dia memiliki banyak pengalaman dan mengenal banyak tipu-tipu muslihat perkelahian. Kini, dalam keadaan marah, Pat-pi Lo-sian kehilangan banyak kewaspadaan, dan selagi dia menyerang hampir membabi buta, tiba-tiba ujung sepatu In Hong dapat mencium sambungan lutut kirinya sehingga tubuhnya agak merendah dan untuk beberapa detik lamanya Pat-pi Lo-sian terkejut dan tak berdaya. Beberapa detik ini cukup bagi In Hong untuk mendaratkan pukulan dengan tangan miring ke arah tengkuk Pat-pi Lo-sian. “Dukkkk!!” Tubuh Pat-pi Lo-sian terjungkal, akan tetapi memang dia seorang yang lihai sekali. Biarpun tadi menghadapi pukulan maut yang datangnya tak tersangka-sangka karena dia hampir tidak sadar, namun begitu pukulan mendarat, dia depat miringkan tubuh sehingga jatuhnya pukulan tidak tepat sekali. Betapapun juga, pukulan itu membuat kepalanya menjadi nanar dan pandang matanya berkunang. Maka, begitu tubuhnya terjungkal, Pat-pi Lo-sian terus bergulingan sampai jatuh sambil mengumpulkan hawa murni, maka begitu dia meloncat bangun lagi, kepeningan kepalanya sudah hampir lenyap dan dia mencabut pedangnya. “Srattt...!” nampak sinar keemasan dan di tangannya kelihatan sebatang pedang yang bentuknya seperti ular dan gagangnya terbuat daripada emas berukir indah. Dengan muka merah dan mata mendelik dia membentak, “Bocah setan, majulah untuk menerima kematian!” In Hong masih menoleh ke arah Sabutai yang kembali bertepuk tangan sambil memuji, kemudian gadis ini perlahan-lahan mencebut pedang di pinggang kirinya. Pedang itu keluar perlahan-lahan, akan tetapi begitu ujungnva tertarik dan In Hong menggunakan tenaga, ujung pedang yang keluar dari sarunngya itu mengeluarkan bunyi mendesing dan tergetarlah pedang Hong-cu-kiam di tangan gadis itu. Pedang tipis lemas yang kadang-kadang digantung di pinggang In Hong kadang-kadang tersembunyi karena dibawanya sebagai sabuk yang melilit pinggangnya yang ramping itu. Melihat betapa dua orang itu mencabut pedang, Raja Sabutai bertepuk tangan dua kali dengan nyaring dan dia berkata penub wibawa, “Di sini bukan medan tempat untuk saling bunuh! Sudah kukatakan tadi bahwa kedua fihak akan memutuskan urusan pribadi dengan kepandaian. Siapa berani menggunakan senjata berarti menentang perintahku!” Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko yang tadi hanya duduk di kedua ujung ruangan itu, kini sudah bangkit berdiri memandang ke arah Pat-pi Lo-sian dan In Hong dengan sikap mengancam, tongkat mereka melintang di dada. Ternyata bahwa dua orang kakek dan nenek ini selain menjadi guru Raja Sabutai, agaknya juga menjadi pengawal atau pembantunya yang taat dan siap melaksanakan segala kehendak raja itu. In Hong menoleh dan bertemu pandang dengan Raja Sabutai dan dari pandang mata ini tahulah In Hong bahwa raja itu mengkhawatirkan dirinya, maka dengan senyum dingin gadis ini menggerakkan tangan kanannya, nampak sinar berkelebat dan tabu-tahu pedang Hong-cu-kiam di tangannya tadi telah lenyap dan telah melingkari pinggangnya tersembunyi di balik jubah. Juga Pat-pi Lo-sian memandang ke arah Raja Sabutai, kemudian dia menarik napas panjang dan terpaksa dia menyimpan lagi pedangnya, hatinya menjadi jerih karena dia kini maklum bahwa gadis muda yang dipandangnya rendah itu ternyata amat lihai. Tiba-tiba Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw meloncat ke depan, menjura ke arah In Hong sambil melirik ke arah Raja Sabutai. Kemudian dengan suara halus Hwa Hwa Cinjin berkata, “Sungguh hebat kepandaianmu, nona, membuat kami berdua tertarik sekali dan ingin mengajak nona untuk main-main sebentar. Akan tetapi karena kami berdua selalu bersama, terpaksa kini kamipun hendak maju bersama, dan hal ini sekali-kali bukan karena kami ingin maju mengeroyok. Andaikata nona mempunyai seorang dua orang teman, boleh saja nona menyuruh mereka maju menghadapi kami berdua. Tentu saja kalau sri baginda tidak berkeberatan dan kalau nona memang berani melawan kami berdua.” Raja Sabutai makin kagum dan gembira melihat kegagahan In Hong, maka kini melihat majunya kakek dan nenek itu, dia meragu apakah dia harus membiarkan In Hong dikeroyok dua atau mencegahnya. Dia memang masih ingin melihat apakah dara perkasa itu akan sanggup menghadapi keroyokan kakek dan nenek itu. In Hong juga mengerti bahwa kalau dua orang itu maju bersama, dia akan menghadapi dua orang lawan yang amat tangguh, masing-masing tidak kalah lihainya kalau dibandingkan dengan orang pertama dari Lima Bayangan Dewa tadi. Akan tetapi untuk menolak tantangan itu, tentu saja pantang baginya, apalagi dia tadi sudah mengatakan bahwa biarpun dikeroyok oleh mereka semua, dia tidak akan mundur. “Kalau kalian takut maju satu demi satu dan hendak mengeroyokku, majulah, siapa takut kepada kalian?” kata In Hong dan memandang tajam. Wajah kakek dan nenek itu menjadi merah sekali. Ucapan In Hong ini sekaligus menantang dan merendahkan mereka. Mereka maklum bahwa kalau mereka maju satu demi satu, belum tentu mereka dapat menangkan dara yang benar-benar amat hebat kepandaiannya itu, akan tetapi kalau mereka boleh maju bersama, dengan ilmu silat gabungan yang mereka ciptakan, mereka merasa yakin akan dapat merobohkan dara perkasa ini. Tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar, “Heiiii... berhenti...! Tahan... tidak boleh masuk ke situ...!” Semua orang menoleh dan nampaklah bayangan seorang wanita cantik berlari cepat menuju ke tempat itu, dikejar dari belakang oleh banyak pengawal. Dengan beberapa kali lompatan saja wanita itu telah tiba di ruangan. Melihat ini, terdengar suara melengking dan Hek-hiat Mo-li bersama Pek-hiat Mo-ko sudah meloncat dari tempat duduk masing-masing, sekaligus seperti dua ekor burung rajawali mereka menerkam dan menyerang wanita yang baru datang itu. Wanita itu cantik sekali, usianya antara tiga puluh lima tahun, pakaiannya indah dan sikapnya angkuh, sepasang matanya tajam bersinar-sinar. Melihat dua bayangan yang menerjangnya seperti dua ekor burung menyambar, wanita itu mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya dan kedua tangannya bergerak ke depan dengan jari tangan terbuka. “Plak! Plakk!” Tubuh Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li terdorong ke belakang oleh tangkisan itu dan mereka harus berjungkir balik dua kali ke belakang agar jangan sampai terjengkang atau terbanting oleh hawa pukulan yang dahsyat dari tangkisan itu. Mereka terkejut sekali dan siap menyerang dengan tongkatnya. “Subo...!” In Hong berseru dan seruan ini membuat Raja Sabutai cepat mengeluarkan kata-kata mencegah kedua orang gurunya dalam Bahasa Mongol. Kakek bermuka putih dan nenek bermuka hitam itu lalu kembali ke tempat duduk masing-masing, akan tetapi pandang mata mereka masih marah dan penuh curiga kepada wanita cantik yang baru datang itu. Wanita yang baru datang itu memang Giok-hong-cu Yo Bi Kiok, ketua dari Giok-hong-pang di Telaga Setan. Burung batu kumala yang menghias rambutnya amat indah, membuat dia kelihatan seperti seorang ratu yang memakai mahkota, pedang panjang tergantung di pinggang dan gagang dua batang pedang pendek tersembul di pinggangnya. Wanita setengah tua yang masih cantik ini kelihatan gagah dan penuh wibawa. Raja Sabutai yang merasa tertarik dan kagum kepada In Hong, menjadi terkejut dan juga kagum melihat wanita cantik yang disebut subo oleh nona itu, apalagi melihat betapa wanita itu sekali tangkis dapat membuat dua orang gurunya terdorong ke belakang. Cepat dia berkata kepada Yo Bi Kiok, “Jadi toanio adalah subo dari nona Hong yang gagah perkasa ini?” Pertanyaan ini diajukan dengan pandang mata tajam penuh selidik, dan diam-diam Raja Sabutai merasa heran bagaimana nyonya cantik itu dapat memasuki tempat itu dan menerobos penjagaan yang amat ketat. “Benar, sri baginda. Dia adalah murid saya,” jawab Giok-hong-cu Yo Bi Kiok sambil menjura. “Muridmu datang menawarkan bantuannya kepada kami dan sedang kami uji kepandaiannya. Toanio datang seperti ini ada maksud hati apakah?” Biarpun di dalam hati merasa tidak senang melihat kedatangan nyonya ini secara paksa dan tanpa minta perkenan terlebih dahulu, namun dia membutuhkan bantuan orang-orang pandai, maka Sabutai menahan sabar, apalagi karena dia maklum bahwa orang-orang sakti di dunia kang-ouw memang tidak suka memakai banyak peraturan. “Saya bersama pasukan Giok-hong-pang sedang mencari murid saya ini, dan mendengar bahwa murid saya memasuki benteng paduka, maka saya menyusul ke sini. Saya setuju sekali dia membantu paduka, bahkan saya sendiripun dengan seluruh pasukan Giok-hong-pang siap membantu paduka. Akan tetapi kalau paduka hanya ingin menguji murid saya, kiranya tua bangka-tua bangka ini bukan sekedar menguji. Tua bangka-tua bangka seperti mereka hendak mengeroyok seorang bocah seperti murid saya, sungguh tidak adil, maka saya akan membantu murid saya agar dua lawan dua dan barulah adil. Tentu saja kalau mereka berani!” Mendengar ini, Raja Sabutai mengangguk dengan girang. “Bagus! Memang adil kalau begitu dan kami juga ingin sekali melihat kepandaian ketua Giok-hong-pang yang hendak membantu kami.” Raja ini lalu memandang kepada Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw yang kelihatan meragu. Tentu saja mereka telah mendengar nama ketua Giok-hong-pang yang baru saja menggegerkan dunia kang-ouw itu, sungguhpun baru sekarang mereka melihat orangnya. Betapapun juga, tosu dan tokouw yang berilmu tinggi itu tidak merasa takut, apalagi mereka memang mengandalkan ilmu silat pasangan yang mereka ciptakan bersama. “Siancai...!” Hwa Hwa Cinjin berkata halus. “Kiranya yang datang adalah Giok-hong-pangcu! Kami tadi sudah mengatakan kepada muridmu, bahwa kami memang selalu maju bersama. Baik menghadapi lawan satu orang atau sepuluh orang, bagi kami sama saja asal kami maju berdua. Bukan sekali-kali kami ingin mengeroyok muridmu.” “Subo, biarlah teecu menghadapi mereka sendiri, teecu tidak takut,” In Hong berkata. “Apa? Tentu saja kau tidak takut, akan tetapi mana mungkin aku diam saja? Kaulihatlah, gurumu akan membereskan mereka!” Yo Bi Kiok berkata dan tiba-tiba dia berseru nyaring. “Tua bangka-tua bangka tak tahu malu, sambutlah seranganku!” Tubuhnya sudah berkelebat lenyap dan hanya bayangannya saja yang tahu-tahu sudah menyambar ke arah Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw secepat kilat. Kakek dan nenek itu terkejut sekali karena sambil melompat secepat itu, ketua Giok-hong-pang ini telah melancarkan pukulan bertubi ke arah mereka dengan gerakan yang amat aneh dan juga kuat sekali. Maka mereka cepat bergerak dan mainkan ilmu silat gabungan yang mereka ciptakan berdua, yaitu ilmu silat tangan kosong yang dapat pula dimainkan dengan senjata, yaitu yang mereka namakan Im-yang-lian-hoan-kun. Ilmu silat ini sengaja mereka ciptakan untuk dimainkan bersama dan terdiri dari dua macam silat dan tenaga yang saling bertentangan namun saling membela. Kalau mereka mainkan ilmu silat ini dengan tangan kosong, Hwa Hwa Cinjin mengambil peran sebagai pemain ilmu silat yang mengandung tenaga keras sedangkan Hek I Siankouw mainkan ilmu yang berdasarkan tenaga halus (Im). Akan tetapi sebaliknya kalau mercka mainkan ilmu ini dengan senjata, Hwa Hwa Cinjin yang bersenjata hudtim bulu monyet maju menggunakan tenaga Im sedangkan Hek I Siankouw yang memegang sebatang pedang hitam menggunakan tenaga Yang. Karena ilmu ini mereka ciptakan berdua, tentu saja mereka dapat bekerja sama amat baiknya, saling melindungi seolah-olah mereka itu terdiri dari dua badan dengan satu hati dan pikiran. “Plak-plak! Duk-duk-duk-dukk!” bertubi-tubi datangnya pukulan kedua tangan Yo Bi Kiok, serangan dengan jurus-jurus yang amat aneh dan cepat. Namun karena kedua orang kakek dan nenek itu bekerja sama sehingga mereka seolah-olah memiliki empat mata, mereka dapat saling melindungi dan menangkis semua serangan itu. Akibat adu tenaga ini, mereka terhuyung ke belakang, akan tetapi Yo Bi Kiok juga terhuyung dengan kaget sekali karena pertemuan tenaga antara kedua tangannya dengan tangan mereka yang menangkis itu membuat tenaganya buyar dan dia menjadi bingung menghadapi tenaga Im dan Yang, yaitu tenaga lemas dan keras yang dipergunakan kedua orang lawannya secara saling membantu. Maklumlah dia bahwa kedua orang itu, biarpun andaikata maju satu lawan satu bukan merupakan lawan berbahaya, akan tetapi setelah maju berdua ternyata dapat bekerja sama baik sekali dan merupakan lawan yang tangguh. Mengertilah dia mengapa dua orang itu berkeras untuk maju bersama. Ketua Giok-hong-pang ini belum lama telah mengalami peristiwa yang amat memalukan, yaitu ketika dia dipermainkan oleh Kok Beng Lama, maka kini menghadapi kakek dan nenek yang berkepandaian luar biasa itu dia tidak ingin gagal dan kedua tangannya sudah meraba gagang pedang panjang dan sepasang pedang pendek. Tiba-tiba In Hong meloncat ke dekat subonya dan berbisik, “Subo, sri baginda melarang penggunaan senjata dalam adu kepandaian ini, biar teecu menghadapi Hek I Siankouw!” Tanpa menanti jawaban gurunya, In Hong sudah meloncat ke depan dan menyerang Hek I Slankouw dengan pukulan tangan kirinya. Akan tetapi, tepat pada saat Hek I Siankouw menghindarkan serangan ini dengan tubuh berputar, tiba-tiba Hwa Hwa Cinjin sudah melayangkan tangan menampar ke arah tengkuk In Hong. Elakan dan serangan ini datangnya begitu otomatis, seolah-olah Hek I Siankouw sendiri yang membalas serangan dengan menggunakan tangan Hwa Hwa Cinjin! Hampir saja tengkuk In Hong kena ditampar dan biarpun dia sudah miringkan tubuhnya, tetap saja pundaknya tercium ujung jari tangan Hwa Hwa Cinjin dan terasa panas sekali! Pada saat itu terdengar suara melengking nyaring dan Yo Bi Kiok sudah menyerang kakek itu dengan dahsyatnya. Hwa Hwa Cinjin mengelak dan Hek I Siankouw membantunya menangkis. Melihat cara kerja sama yang amat cepat dan serba otomatis itu, In Hong cepat membantu subonya dan terjadilah pertandingan yang amat seru dan hebat. Sesungguhnya, apabila pertandingan itu dilakukan satu lawan satu, baik Hwa Hwa Cinjin maupun Hek I Siankouw bukanlah lawan guru dan murid Giok-hong-pang ini, dan kiranya mereka tidak akan dapat meanahan lebih dari tiga puluh jurus. Akan tetapi, dengan kerja sama amat baiknya dalam ilmu Im-yang-lian-hoat-kun, mereka berdua dapat menghadapi Yo Bi Kiok dan In Hong dengan amat baiknya. Guru dan murid ini tidak dapat bertempur saling bantu seperti kedua orang lawannya, melainkan bertanding mengandalkan gerakan dan tenaga sendiri masing-masing. Beberapa kali mereka mencoba untuk memancing atau memaksa kedua orang kakek dan nenek itu agar berpisah, agar pertandingan dapat dilakukan menjadi dua kelompok, namun mereka selalu gagal karena kakek dan nenek itu tidak mau saling meninggalkan dan terus bergerak mengelak, menangkis atau membalas serangan secara otomatis dan saling melindungi. “Tiat-po-san...!” Tiba?tiba Yo Bi Kiok berbisik kepada muridnya sambil menubruk ke arah Hek I Siankouw. In Hong maklum akan maksud subonya. Dia dan subonya memiliki ilmu kekebalan yang disebut Tiat-po-san (Ilmu Kebal Baju Besi), yaitu pengerahan sin-kang untuk melindungi tubuh dengan hawa murni sehingga pada suatu saat berani menerima pukulan karena tubuh di bagian tertentu yang terpukul itu menjadi kebal seperti besi. Tentu subonya ingin merobohkan lawan dengan Tiat-po-san, membarengi pukulan lawan yang dibiarkan mengenai tubuh yang kebal sambil melancarkan serangan balasan. Akan tetapi, In Hong tidak ingin tubuhnya sampai terpukul lawan sungguhpun belum tentu lawan akan cukup kuat untuk menembus pertahanan Tiat-po-san. Dia teringat akan ilmu pukulan ampuh yang dia terima dari pendeta Lama yang amat sakti itu sebagai penukaran obatnya untuk menyembuhkan luka-luka akibat Siang-tok-swa yang diderita oleh anak laki-laki murid pendeta Lama itu. “Hyaaaatttt...!” In Hong mengeluarkan suara melengking tingal sesuai dengan ajaran yang diterimanya dari pendeta Lama, dan karena gurunya menyerang Hek I Siankouw, maka dia lalu menyerang Hwa Hwa Cinjin dengan pukulan Thian-te Sin-ciang. Angin pukulan dahsyat menyambar ganas ke depan, bukan hanya mengejutkan Hwa Hwa Cinjin yang diserangnya, melainkan juga Hek I Siankouw memekik dan Yo Bi Kiok sendiri terbelalak. Pada saat itu, Hwa Hwa Cinjin sudah melindungi Hek I Siankouw yang diserang oleh Yo Bi Kiok tadi, menangkiskan serangan Yo Bi Kiok terhadap Hek I Siankouw dan tokouw ini otomatis lalu menggerakkan tangan memukul ke arah lambung Yo Bi Kiok. Akan tetapi, Yo Bi Kiok yang sudah mengerahkan Tiat-po-san tidak mengelak atau menangkis, melainkan langsung saja membalas pukulan itu dengan tamparan ke arah dada nenek baju hitam itu. Tentu saja hal ini sama sekali tidak disangka oleh Hek I Siankouw yang sudah kegirangan karena pukulannya mengenai lambung, akan tetapi pada saat itu dia terkejut merasa betapa pukulannya bertemu dengan lambung yang keras seperti baja dan dia sendiri terancam pukulan lawan ke arah dada. Cepat dia miringkan tubuhnya dan selagi Hwa Hwa Cinjin hendak turun tangan melindunginya, tiba-tiba datang pukulan dahsyat bukan main dari In Hong yang menggunakan Thian-te Sin-ciang! Plakk! Dessss...!” Hek I Siankouw miringkan tubuhnya sehingga pukulan Yo Bi Kiok mengenai pundaknya, membuat dia terpelanting. Sedangkan Hwa Hwa Cinjin yang berusaha mengelak sambil menangkis pukulan In Hong, tetap saja terlempar dan terbanting jatuh sampai bergulingan, bahkan Yo Bi Kiok yang hanya kena sambaran hawa pukulan muridnyapun terhuyung dengan kaget dan heran sekali. Raja Sabutai bertepuk tangan memuji. “Cukup...!” teriaknya, “Kami menerima bantuan guru dan murid Giok-hong-pang!” Biarpun fihak Wang Cin masih penasaran, namun mereka tidak berani melanjutkan pertandingan itu. Apalagi, dua di antara tiga Bayangan Dewa sudah mengenal kelihaian Yo Bi Kiok, dan menyaksikan pukulan terakhir yang dilakukan oleh In Hong tadi, bahkan Bouw Thaisu sendiri menjadi terkejut sekali dan jerih. Demikianlah, mulai hari itu, In Hong dan Yo Bi Kiok diterima menjadi pengawal-pengawal Raja Sabutai, bahkan lima puluh orang perajurit wanita para anggauta Giok-hong-pang yang sudah siap di luar bentengpun lalu diterima menjadi pasukan pembantu dan diperlakukan dengan hormat di dalam benteng sebagai pasukan istimewa. Yo Bi Kiok yang seperti juga In Hong telah dapat menarik rasa suka di hati Raja Sabutai, diberi kamar yang mewah tak jauh dari kamar raja sendiri, dan ketua Giok-hong-pang ini lalu mengajak muridnya ke dalam kamarnya agar mereka dapat bicara empat mata. Begitu memasuki kamar dan menutupkan pintunya, Yo Bi Kiok memegang tangan muridnya dan tertawa girang. “Bagus, engkau telah memperoleh kemajuan pesat, kini dapat menjadi pembantu Raja Sabutai. Sungguh tepat tindakanmu ini, muridku. Selagi muda engkau memang harus mencari kedudukan dan aku sudah mendengar akan kekuatan Raja Sabutai yang telah menawan kaisar. Kalau kelak dia berhasil merampas kerajaan dan menjadi kaisar, engkau tentu memperoleh kedudukan tinggi pula.” In Hong diam-diam merasa terkejut. Sama sekali bukan itulah maksudnya menyelundup ke dalam benteng ini. Dia memasuki benteng ini sesungguhnya dengan niat melindungi kaisar yang tertawan di samping hendak menentang Bun Houw. Akan tetapi dia hanya mendengarkan gurunya bicara terus, tidak berani membantah. “Begitu mendengar akan peristiwa ini, aku lalu mengajak semua anak buah kita ke sini untuk membantu Raja Sabutai. Inilah saatnya yang amat tepat untuk mencari kedudukan. Setelah berhasil nanti, jangan khawatir, muridku, aku akan membantumu agar engkau dapat menikah dengan pemuda tampan itu...” “Ehh? Apa maksud subo...?” In Hong terkejut dan memandang gurunya dengan sinar mata tajam penuh selidik. Yo Bi Kiok tersenyum lebar sehingga wajahnya yang masih cantik itu kelihatan makin muda. Hanya terhadap muridnya ini saja Yo Bi Kiok dapat bersikap sewajarnya dan dapat bersikap gembira. Terhadap lain orang, bahkan terhadap para anak buahnya, dia selalu memperlihatkan sikap dingin, keras dan ganas. “In Hong, kaukira aku tidak tahu? Sudah lama aku membayangimu dengan diam-diam, dan aku tahu apa yang terjadi antara engkau dan pemuda she Bun itu.” “Tidak... tidak ada apa-apa...” In Hong menjadi merah sekali mukanya dan dia mencoba untuk menyangkal dan menggeleng kepala. Yo Bi Kiok memandang dengan senyum masih menghias wajahnya. “Aihh, muridku. Bukankah engkau menganggap gurumu ini sebagai pengganti orang tuamu pula? Coba katakan, ke mana perginya burung hong kumala di kepalamu, dan dari mana engkau memperoleh pedang di pinggangmu itu?” “Ini... ini... memang kutukar...” In Hong menjawab gugup, tangan kiri meraba rambut di kepalanya, tangan kanan meraba gagang pedang Hong-cu-kiam. “Hemm... tak perlu kau malu-malu terhadap gurumu, In Hong. Aku setuju dengan pilihanmu itu. Melihat dia seorang pemuda yang baik, bukan seperti pria-pria lain yang berwatak palsu. Engkau jangan mengulang sejarah gurumu. Engkau tidak boleh gagal dalam bercinta. Engkau tidak boleh selemah gurumu di waktu muda dahulu. Apa yang telah kau pilih harus kaupertahankan mati-matian. Oleh karena itu, melihat engkau kurang tegas, aku telah turun tangan menyerang setiap orang wanita yang berani jatuh cinta kepada pemuda pilihanmu itu.” “Ohhhh...!” In Hong memandang gurunya dengan mata terbelalak. “Jadi... jadi subo telah membunuh orang?” “Hemm, apa salahnya? Gadis dusun itu kurang ajar dan tak tahu malu, berani dia mencoba-coba untuk menggoda pemuda pilihanmu, dia pantas dibunuh.” In Hong menunduk, teringat dia akan kemarahan Bun Houw kepadanya. Kiranya tuduhan pemuda itu bukan fitnah kosong belaka, melainkan benar-benar ada orang terbunuh, hanya yang membunuh adalah subonya yang disangka dia. “Kenapa, muridku? Apakah engkau tidak senang dengan bantuanku?” In Hong masih menunduk. Dia menggeleng kepala dan mengerutkan alisnya, lalu berkata, “Teecu hanya tidak ingin subo mencampuri urusan dengan... dia itu...” “Hi-hi-hik!” Yo Bi Kiok tertawa sambil merangkul muridnya. “In Hpng, engkau seperti anakku sendiri, aku ingin melihat engkau berbahagia. Bagaimana aku tidak boleh mencampuri? Jangan kau khawatir aku akan mengusahakan agar engkau berjodoh dengan dia.” “Sudahlah, subo. Teecu tidak suka bicara tentang urusan itu.” “Baiklah, sekarang kita bicara tentang urusan kita di sini. Kita harus membantu Raja Sabutai sekuat kita. Dan kaisar yang tertawan itu harus dibunuh. Biar aku menemui Raja Sabutai sekarang juga! Mari kau ikut!” In Hong terkejut bukan main. Jantungnya berdebar keras. Entah apa yang mendorongnya, akan tetapi dia sama sekali tidak setuju dengan niat gurunya, bahkan dia telah mengambil keputusan bulat untuk melindungi kaisar sedapatnya! Dia tidak suka membantu raja liar itu, apalagi melihat betapa raja itu dibantu oleh orang-orang yang tidak disukanya seperti Go-bi Sin-kouw, Bayangan Dewa dan teman-teman mereka itu. Akan tetapi, dia tidak berani secara berterang menentang subonya, maka tanpa banyak cakap dia mengikuti subonya menghadap Raja Sabutai. Raja Sabutai yang didampingi oleh isterinya, Khamila yang kelihatan cantik jelita dan wajahnya bercahaya seperti yang biasa nampak pada wajah seorang calon ibu muda, menyambut kedatangan Yo Bi Kiok dan In Hong dengan girang, akan tetapi jelas bahwa raja ini tidak pula melepaskan kewaspadaannya, karena selain ditemani oleh isterinya, juga di dalam ruangan itu nampak Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko yang duduk seperti arca, dan di sekeliling ruangan itu nampak pula belasan orang pengawal yang melakukan penjagaan. “Ahhh, silakan duduk, pangcu, dan kau, nona Hong.” Raja Sabutai berkata dengan girang, “Perkenalkan ini adalah isteriku, Khamila.” Yo Bi Kiok dan muridnya memandang kagum kepada ratu yang muda dan cantik itu, sedangkan Khamila juga mengangguk sambil tersenyum kepada mereka berdua, terutama kepada In Hong dia memandang kagum. “Harap sri baginda suka memaafkan bahwa saya mohon menghadap dan mengganggu waktu paduka,” Yo Bi Kiok berkata. “Ah, pangeu mengapa bersikap sungkan? Sebagai pembantu kami, tentu saja kalian boleh menghadap sewaktu-waktu. Akan tetapi apakah tidak beristirahat lebih dulu?” “Ada keperluan penting sekali yang harus saya sampaikan kepada paduka,” kata Yo Bi Kiok. “Ceritakanlah.” Raja Sabutai memandang tajam karena dia dapat melihat betapa sikap ketua Giok-hong-pang itu amat serius. “Menurut pendapat saya, tidak ada gunanya lagi paduka menahan kaisar sebagai seorang sandera, dan kini tiba saatnya untuk segera berangkat menyerbu ke selatan.” “Eh, bagaimana kau dapat berkata demikian, pangcu? Apa alasannya?” “Pertama, karena kini Kerajaan Beng telah mengangkat seorang kaisar baru.” “Hehhh...?” Raja Sabutai berseru kaget. “Kenapa tidak ada berita dari para penyelidik kami?” “Memang hal itu dirahasiakan, akan tetapi saya yang baru saja datang dari selatan tahu akan hal itu. Yang diangkat menjadi kaisar adalah Kaisar Ceng Ti. Oleh karena itu, yang paduka tawan sekarang ini bukan lagi kaisar, maka tidak ada harganya lagi untuk dijadikan sandera, lebih baik dibunuh saja.” “Ihhh...!” Khamila cepat menutupi mulutnya yang berteriak kecil tadi dengan saputangannya, akan tetapi In Hong yang sejak tadi memandangnya, melihat betapa ketika mendengar ucapan gurunya ini, ratu itu menjadi pucat sekali mukanya, matanya terbelalak dan bibirnya gemetar. Raja Sabutai menengok kepada isterinya, menyentuh lengan isterinya sebagai tanda menghibur, kemudian dia menoleh lagi kepada Yo Bi Kiok sambil berkata, “Harap kaulanjutkan, Yo-pangcu. Bagaimana menurut rencanamu?” “Bekas kaisar itu hanya menjadi penambah beban saja. Dan sebaliknya, sekarang juga paduka mengerahkan pasukan untuk menyerbu ke selatan selagi keadaan belum begitu dikuasai oleh pimpinan kaisar baru yang saya dengar amat lemah. Hal ini adalah karena terjadi perpecahan di antara para pembesar, sebagian ingin mempertahankan kedudukan Kaisar Ceng Tung yang tertawan di sini, sebagian lagi adalah pendukung Kaisar Ceng Ti. Selagi keadaan musuh lemah karena pertikaian sendiri, bukankah hal itu merupakan kesempatan yang baik sekali?” Sampai beberapa lama Raja Sabutai mengerutkan alisnya yang tebal, kemudian dia berkata, “Sebetulnya aku masih meragu untuk menyerbu ke selatan yang amat kuat pertahanannya dan tadinya aku ingin mengambil jalan yang lebih aman, yaitu dengan menjadikan Kaisar Ceng Tung sebagai sandera. Akan tetapi dengan adanya perobahan ini, tentu saja amat baik sekali seperti yang kau usulkan, pangcu. Kita serbu Kerajaan Beng!” “Dan Kaisar Ceng Tung...?” Yo Bi Kiok bertanya. “Untuk sementara biarlah dia kami tahan dulu...” “Akan tetapi hal itu berbahaya, Sri baginda.” Yo Bi Kiok membantah. “Tentu akan muncul orang-orang yang berusaha untuk membebaskannya. Kalau kita semua pergi berperang dan dia tidak dijaga kuat-kuat...” “Biarlah saya akan menjaganya!” Tiba-tiba In Hong berkata menawarkan diri. Yo Bi Kiok mengangguk-angguk. “Sebaiknya begitu. Harap paduka jangan khawatir, kalau murid saya ini yang tinggal di sini menjaganya, tidak akan ada orang yang dapat membebaskannya.” Raja Sabutai memandang kepada In Hong dan mengangguk-angguk. “Kami percaya kepada nona Hong, dan selain menjaga agar Kaisar Ceng Tung jangan sampai lolos, juga kami menyerahkan keselamatan isteri kami kepada perlindungan nona Hong.” In Hong mengangkat kepala memandang sang ratu. Khamila juga memandang kepadanya dan di antara kedua orang wanita muda ini terdapat rasa simpati, maka In Hong segera menjawab, “Saya akan melindungi keselamatan isteri paduka dengan taruhan nyawa!” “Bagus! Legalah hatiku kalau begitu. Suhu dan subo,” Kini Raja Sabutai menoleh ke arah dua orang kakek dan nenek yang sejak tadi hanya mendengarkan sambil duduk melenggut saja. “Bagaimana pendapat suhu dan subo tentang penyerbuan ke selatan?” Kakek dan nenek itu mengangguk dengan malas. “Kami hanya setuju saja...!” jawab mereka acuh tak acuh. Maka sibuklah Raja Sabutai mengumpulkan para panglimanya, juga memanggil Wang Cin dan menyatakan rencananya menyerbu ke selatan. Tentu saja Wang Cin menjadi girang sekali dan diapun mempersiapkan semua anak buahnya untuk membantu penyerbuan Raja Sabutai ke selatan. Dalam kesempatan bertemu dengan muridnya, Yo Bi Kiok berbisik kepada In Hong, “Muridku, dengar baik-baik. Kau harus melindungi kaisar dan sedapat mungkin selamatkan dia keluar benteng.” In Hong memandang terbelalak, namun hatinya girang bukan main. Kiranya gurunya ini di depan Raja Sabutai hanya bersiasat saja, sebenarnya tidak ingin membunuh kaisar, malah hendak menyelamatkannya. Akan tetapi saking herannya dia bertanya, “Tapi, subo...” “Hushhh...!” ketua Giok-hong-pang itu mencela muridnya yang membantah, “kita tidak boleh menyia-nyiakan setiap kesempatan. Kalau Sabutai berhasil, itu baik sekali, kalau tidak, kita dapat mencari kedudukan melalui kaisar itu.” Hati In Hong kecewa lagi dan diam-diam dia mulai mengenal watak gurunya yang ternyata amat mementingkan dirinya sendiri sehingga untuk membela dia yang dianggapnya telah jatuh cinta kepada Bun Houw, gurunya tidak segan-segan membunuh gadis dusun yang dikira mencinta pemuda itu, dan kini kaisarpun hanya dijadikan jalan untuk mencapai kepentingannya pribadi. Diam-diam di dalam hati gadis ini timbul rasa tidak suka dan penentangan, akan tetapi, tentu saja dia tidak berani menyatakan dengan terang-terangan. Hanya dia merasa heran, mengapa sebelum ini dia menganggap gurunya sebagai satu-satunya orang yang baik, yang semua tindakannya dia anggap benar belaka. Mengapa sekarang dia melihat hal-hal yang dianggapnya tidak patut dan tidak benar dalam tindakan gurunya? Mulailah hati In Hong merasa bimbang. Mulailah dia memikirkan dan mencari akal untuk dapat menyelamatkan kaisar, dari tangan Sabutai dan dari tangan subonya sendiri. Dan dia menggantungkan harapannya kepada Khamila, isteri Raja Sabutai. Wanita cantik jelita itu berwajah ramah, sinar matanya lembut. Dua hari kemudian, mulailah Raja Sabutai yang telah mengerahkan pasukannya itu bergerak ke selatan. Sebagai pimpinan Suku Bangsa Nomad, dan karena khawatir akan keselamatan isterinya, dalam penyerbuan ini, Khamila dan Kaisar Ceng Tung yang menjadi tawananpun dibawa dan selalu berada di bagian belakang di dalam pasukan perbekalan yang juga bertugas mengatur ransum para anak buah pasukan. Yang bertugas menjaga keselamatan Khamila dan menjaga agar kaisar tawanan tidak sampai lolos adalah In Hong, dibantu oleh dua losin pengawal. Ketika fihak kerajaan mendengar akan gerakan pasukan Sabutai ini, tentu saja merekapun lalu bergerak mengirim bala tentara. Di perbatasan, para komandan pasukan kerajaan bertemu dengan pasukan kecil yang dipimpin oleh Cia Keng Hong dan puteranya, dan dengan gemas Cia Keng Hong dan puteranya mengerti bahwa kerajaan sama sekali tidak memperdulikan nasib Kaisar Ceng Tung, bahkan sama sekali tidak ada pengiriman pasukan dari kerajaan untuk menyelamatkan kaisar yang tertawan. Tahulah pendekar ketua Cin-ling-pai itu bahwa terjadi pergolakan dan perebutan kekuasaan di kota raja, apalagi ketika dia mendengar bahwa bukan saja tidak ada usaha menyelamatkan Kaisar Ceng Tung, bahkan kini para pembesar mengangkat seorang kaisar baru dan seolah-olah menganggap Kaisar Ceng Tung sudah mati! Dan kini, setelah Sabutai bergerak mengancam kerajaan, barulah bala tentara dikerahkan! Sebetulnya, di dalam hati, Cia Keng Hong marah kepada para pembesar di kota raja. Akan tetapi karena diapun melihat bahaya dari Sabutai yang bergerak ke selatan, dan karena dia tidak ingin mencampuri pula urusan perebutan tahta kaisar, maka pendekar inipun mengerahkan pasukannya untuk membantu bala tentara kota raja menghadapi musuh. Yang penting baginya adalah membela negara menghadapi musuh Bangsa Mongol yang hendak menjajah itu! Bentrokan pertama antara pasukan Sabutai dengan pasukan kerajaan terjadi di perbatasan. Dan biarpun mendapai bantuan Cia Keng Hong, Cia Bun Houw, Tio Sun dan orang-orang Mancu dan Khitan, pasukan kerajaan terdesak mundur dan mengalami pukulan hebat! Di dalam perang besar seperti itu, kepandaian perorangan dari Cia Keng Hong, Cia Bun Houw dan Tio Sun tidak begitu besar artinya. Apalagi di fihak musuh juga banyak sekali terdapat orang pandai seperti tiga orang tokoh Bayangan Dewa, Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw, Go-bi Sinkouw, Bouw Thaisu dan terutama sekali Yo Bi Kiok, Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko. Fihak kerajaan terlalu memandang rendah kepada Sabutai sehingga bala tentara yang dikirimkan itu jauh daripada mencukupi, kalah banyak jumlahnya dan memang kalah kuat para perajuritnya. Pasukan Sabutai terdiri dari perajurit-perajurit gemblengan yang selain terlatih kehidupan yang keras dan sukar, juga bersemangat besar untuk menegakkan kembali kerajaan bangsa mereka, Bangsa Mongol yang pernah menjadi bangsa yang jaya. Memang hebot gerakan Sabutai dan ternyata tidak kecewa dia mengaku sebagai keturunan Jenderal Sabutai yang pernah menjadi tokoh militer di jaman kejayaan Kerajaan Goan-tiauw, yaitu ketika Bangsa Mongol menguasai seluruh Tiongkok. Dia menggunakan siasat yang amat hebat sehingga pasukannya bergerak seperti kilat ke selatan, merobohkan semua rintangan sehingga semua pertahanan pasukan Kerajaan Beng terus-menerus dipukul mundur sampai akhirnya pasukan-pasukan pemberontak Mongol ini berhasil tiba di benteng pertama Kota Raja Peking! Cia Keng Hong prihatin sekali melihat keadaan ini dan dia bersama puteranya dan Tio Sun telah membantu mati-matian, merobohkan dan membunuh entah berapa banyak pasukan musuh. Namun mereka tidak berdaya karena fihak Mongol memang jauh lebih kuat daripada jumlah pasukan kerajaan yang bertahan. Hal ini adalah karena kerajaan sedang kacau dan para pembesar militerpun telah terpecah-pecah oleh suasana perebutan kekuasaan. Baru setelah bala bantuan datang, yaitu pasukan-pasukan yang ditarik dari semua jurusan, kekuatan pasukan kerajaan terkumpul dan terpusatkan dalam pertahanan, maka gerakan pasukan Sabutai dapat dibendung, bahkan mulai dihalau mundur dari daerah lingkungan kota raja. Dan di dalam pasukan bala bantuan yang kuat ini muncul pula banyak tokoh kang-ouw yang gagah perkasa yang selalu dalam saat negara terancam bahaya tentu muncul meninggalkan tempat-tempat persembunyian mereka untuk menyumbangkan jiwa raganya tanpa pamrih untuk kepentingan diri pribadi. Dan di antara para orang gagah ini terdapat pula Yap Kun Liong! Biarpun pendekar ini tadinya sibuk dengan urusan pribadinya sendiri, menyelidiki dan mencari hilangnya Yap Mei Lan, puterinya, juga mencari hilangnya Lie Seng, putera Cia Giok Keng, di samping menyelidiki kematian isterinya, mencari pembunuhnya, akan tetapi begitu mendengar bahwa pasukan Mongol menyerbu ke selatan dan telah tiba di benteng pertama pertahanan Kota Raja Peking, pendekar inipun segera melupakan semua urusan pribadinya dan terus saja menggabungkan diri dengan pasukan kerajaan yang datang dari berbagai jurusan itu, menyumbangkan tenaganya melawan musuh. Berkali-kali Sabutai mengalami kekalahan sehingga akhirnya dia menarik mundur sisa pasukannya yang hanya tinggal separuhnya! Dia mundur sampai di luar perbatasan kota raja dan membuat pertahanan kokoh di sebuah benteng yang telah dirampasnya ketika dia menyerbu ke sclatan. Sementara itu, In Hong telah menjadi sahabat baik dari Khamila. Dia tahu bahwa ada sesuatu di antara isteri Raja Sabutai itu dengan Kaisar Ceng Tung yang menjadi tawanan. Hal ini diketahuinya ketika kaisar muda itu jatuh sakit karena cemas memikirkan betapa pasukan Mongol makin mendekati kota raja, Khamila memperlihatkan perhatian luar biasa, bahkan dengan perantaraan In Hong minta agar mengirimkan buah-buah segar kepada kaisar itu. Tentu saja In Hong menjadi heran dan akhirnya dia dapat menduga bahwa isteri Sabutai itu merasa simpati kepada kaisar. “Kasihan sekali sri baginda kaisar,” pada suatu petang In Hong sengaja memancing di depan Khamila. “Dia menjadi tawanan yang tak berdaya dan hanya mendengar betapa kerajaannya terancam keruntuhan.” Mendengar ucapan In Hong ini, Khamila memandang tajam, kemudian bertanya lirih, “Hong-lihiap, engkau adalah seorang wanita yang gagah perkasa dan berilmu tinggi. Bagaimanakah pendapatmu tentang Kaisar Ceng Tung itu? Dia telah tertawan, akan tetapi dia tidak pernah sudi menyerah, tidak pernah mau tunduk dan sama sekali tidak takut mati.” Jelas terasa oleh In Hong betapa kekaguman besar terkandung dalam kata-kata ini, maka dia menjawab, “Dia memang seorang kaisar yang besar, seorang jantan yang mengagumkan.” In Hong memandang tajam, lalu melanjutkan, “Sayang dia menjadi tawanan yang tidak berdaya. Seorang gagah seperti beliau itu sepatutnya tidak menjadi tawanan.” “Maksudmu... sepatutnya dia bebas?” In Hong memandang. Dua orang wanita yang sama cantik jelitanya akan tetapi jelas memiliki sifat yang berlawanan itu, yang seorang penuh kelembutan dan kelemahan, yang seorang keras dan gagah, akan tetapi keduanya cantik jelita menggairahkan itu, untuk beberapa lamanya saling pandang. Akhirnya Khamila membuka mulut berkata, “Kalau begitu, engkau yang menjaganya, engkau yang mengepalai para pengawal di sini, kenapa engkau tidak membebaskannya?” In Hong tidak kaget mendengar pertanyaan aneh ini. Memang tidak aneh kalau isteri dari Raja Sabutai yang menawan kaisar itu bertanya demikian. Dia sudah menduga bahwa wanita itu suka kepada kaisar, sungguhpun mimpipun tidak pendekar wanita ini bahwa kandungan dalam perut ratu yang hamil muda ini adalah keturunan kaisar yang menjadi tawanan itu! “Bagaimana saya dapat membebaskan beliau? Para penjaga tentu akan mencegah dan pula... sungguhpun saya tidak takut menghadapi mereka, saya masih harus menjaga keselamatan paduka...” “Kaubebaskanlah beliau biar aku yang menanggung kalau sampai terjadi apa-apa...” kini wajah puteri itu merah, dan matanya sayu. “Bagaimana kalau paduka juga ikut lolos?” “Ehhh...?” Sepasang mata yang lebar dan indah itu terbelalak. “Apa maksudmu...?” “Saya kira, kaisar hanya dapat diselamatkan kalau paduka suka membantu. Kalau paduka yang keluar dari benteng ini, dikawal oleh saya dan seorang pembantu saya, yaitu kaisar yang menyamar, tentu tidak akan ada pengawal yang berani mencegah atau bercuriga. Kemudian, kalau saya sudah berhasil mengantar kaisar dengan selamat ke kota raja, saya pasti akan membawa paduka kembali kepada Raja Sabutai.” “Ahhh...!” Sejenak sepasang mata itu berseri dan bersinar mengingat bahwa dia akan berkesempatan dekat dengan kaisar yang dicintanya, dengan ayah dari anak yang dikandungnya, akan tetapi dia masih ragu-ragu karena, betapapun juga, dia tidak dapat meninggalkan Sabutai yang menjadi suaminya yang amat baik hati itu. “Tapi... bagaimana kalau suamiku mencegahnya? Suhu dan subonya seperti iblis-iblis mengerikan, belum lagi para pembantu Wang Cin itu...” “Kita harus cerdik, dan kita bergerak kalau mereka itu keluar dari benteng menyambut musuh.” Akhirnya Khamila dapat terbujuk juga karena wanita ini ingin sekali memperlihatkan bukti cintanya kepada ayah dari anak yang dikandungnya itu, bukti yang mutlak tentang cintanya sebelum mereka saling berpisah, mungkin untuk selamanya. Dia setuju dan kedua orang wanita yang sifatnya berlawanan ini menjadi akrab dan sama-sama mengatur siasat. Kemudian In Hong yang sudah memperkenalkan diri sebagai seorang yang berpura-pura berfihak kepada Sabutai untuk menolong kaisar itu membicarakan kepada kaisar tentang rencananya dengan Ratu Khamila. Tentu saja kaisar menjadi girang dan terharu sekali, dan dia segera sembuh dari sakitnya mendengar bahwa terbuka kesempatan baginya untuk lolos dari tawanan. Saat yang dinanti-nanti oleh In Hong, Khamila, dan Kaisar Ceng Tung tiba tidak lama kemudian. Bala tentara Kerajaan Beng yang telah menyelidiki bahwa musuh membuat pertahanan di dalam benteng yang kokoh itu, datang menyerbu. Sabutai mengerahkan pasukannya yang tinggal separuhnya, dan melakukan pertahanan di benteng itu, ada pula sebagian yang menjaga pintu-pintu benteng sehingga tidak mudah bagi bala tentara Beng untuk membobolkan benteng yang amat kuat itu. Kesempatan baik inilah yang ditunggu-tunggu oleh In Hong. Lewat senja, setelah cuaca mulai gelap dan seluruh benteng sedang sibuk menghadapi musuh, suara bising terdengar di luar dan sekeliling benteng besar itu, tampak Ratu Khamila dengan pakaian ringkas tergesa-gesa keluar dari ruangan-ruangan yang menjadi tempat tinggalnya, dikawal oleh In Hong dan seorang pengawal muda yang gagah dan berpakaian sebagai pengawal pribadi sang ratu. Para penjaga di luar yang melihat sang ratu naik kereta joli keluar, apalagi dikawal sendiri oleh In Hong yang mereka kenal sebagai kepala pengawal pribadi, tidak memperhatikan pengawal pria itu yang mereka anggap tentulah seorang pengawal biasa, seorang perajurit biasa. Tidak ada seorangpun berani membantah atau menentang dan hanya kepala jaga yang bertanya ke mana In Hong hendak mengantar sang ratu pergi dalam keadaan berbahaya seperti itu. Justeru karena keadaan bahaya maka Sri Baginda Sabutai mengutus aku untuk menyelamatkan ratu ke tempat aman di luar benteng!” jawab In Hong dan kepala penjaga itu tidak berani membantah lagi. Dengan mudah saja In Hong dan “perajurit pengawal” yang bukan lain orangnya adalah Kaisar Ceng Tung itu lalu mengawal Khamila keluar dari benteng melalui pintu darurat atau pintu rahasia yang berada di tempat tersembunyi di belakang benteng itu. Para penjaga memberi hormat dan membukakan pintu kecil itu, kemudian setelah tiga orang itu menyelinap keluar, pintu itu lalu ditutup kembali dan tidak kelihatan ada pintu di dinding tebal itu, baik dilihat dari luar maupun dari dalam. Dan para penjaga menjaga lagi seperti biasa. “Cepat kita lari ke hutan itu...!” In Hong berbisik kepada kaisar dan sang ratu. Kaisar yang menyamar seperti perajurit itu menarik kereta joli yang diduduki oleh Ratu Khamila dan mereka menyelinap di antara pohon-pohon memasuki hutan yang gelap. “Heiiii...! Tunggu...!” Tiba-tiba terdengar bentakan dari belakang. In Hong cepat menoleh dan terkejutlah dia ketika melihat selosin orang perajurit dipimpin oleh kepala jaga tadi! “Sri baginda, cepat ajak ratu bersembunyi di dalam semak-semak!” In Hong berbisik dan Kaisar Ceng Tung lalu menarik tangan kekasihnya itu, dan segera mereka lenyap di balik semak-semak belukar di mana mereka saling rangkul dengan hati tegang namun dengan perasaan bahagia bahwa mereka berdua yang saling mencinta itu masih sempat mengalami bahaya bersama-sama! Kereta joli mereka gulingkan ke dalam jurang untuk menghilangkan jejak mereka. “Hemm, kalian mau apa?” In Hong membentak sambil berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang dan sikap marah menantang. “Lihiap, kami mendapat laporan bahwa tawanan telah lenyap!” kata kepala jaga sambil memandang dengan penuh kecurigaan dan obor-obor yang dibawa oleh para perajurit diangkat tinggi-tinggi untuk meneliti keadaan di sekitar tempat itu. “Tawanan siapa?” In Hong berkata dengan nyaring dan disengaja agar kaisar yang sedang bersembunyi itu dapat mendengarnya dan berhati-hati. “Kaisar itu! Dia telah lenyap.” “Hemm, biarpun aku bertugas menjaganya di sana, akan tetapi engkau tahu bahwa aku tidak ada di sana ketika dia lolos. Kesalahan kalian semualah itu. Perlu apa mengejar aku?” “Lihiap... eh, tadi aku kurang teliti. Lihiap mengawal sang ratu keluar benteng, bersama seorang perajurit pengawal... dan sekarang baru aku ingat bahwa tidak ada perajurit pengawal seperti itu di dalam benteng. Di manakah mereka? Di mana perajurit itu dan sang ratu?” “Kurang ajar! Kau menuduh aku...?” “Bukan menuduh. Akan tetapi demi keselamatan, kuharap lihiap suka memperlihatkan surat perintah sri baginda!” “Ini perintah lisan, tanpa surat! Kalian tentu mata-mata musuh yang hendak mencegah aku menyelamatkan ratu!” “Hemm, sikap lihiap sungguh mencurigakan! Di mana sang ratu? Dan di mana pula tawanan itu kausembunyikan?” Kepala jaga itu memberi isyarat sambil melangkah maju dan selosin perajurit itu lalu mengurung In Hong. “Ratu menjadi tanggung jawabku! Kalian ini yang mencurigakan, tentu kalian adalah mata-mata musuh yang hendak mencelakakan ratu!” berkata demikian, In Hong yang tahu bahwa rahasianya mulai bocor, cepat mencabut pedangnya dan sekeli berkelebat, pedangnya telah meluncur menjadi sinar yang menyilaukan mata, sinar emas dari pedang Hong-cu-kiam dan terdengarlah pekik susul-menyusul ketika dalam segebrakan saja empat orang perajurit telah roboh dan tewas! Kepala penjaga itu menjadi marah dan cepat bersama sisa orangnya maju mengeroyok. Golok dan pedang menyambar-nyambar ke arah tubuh In Hong. Namun kini In Hong yang maklum bahwa kalau dia tidak bertindak cepat dan dikejar oleh pasukan besar, tentu kaisar akan celaka, bergerak seperti seekor harimau betina yang haus darah. Pedang Hong-cu-kiam yang tipis bersinar emas itu mengaum seperti bunyi singa marah, sinarnya bergulung-gulung dan para pengeroyok itu berjatuhan. Pekik kesakitan susul-menyusul du dalam waktu singkat saja semua pengeroyok yang berjumlah tiga belas orang itu roboh dan tewas! In Hong cepat meloncat ke balik semak-semak belukar tadi sambil menginjak obor-obor yang masih bernyala. “Ssstttt... sri baginda...! Ke sini...!” serunya perlahan ke arah semak-semak itu. Mereka keluar dari balik semak-semak, dan melihat di dalam keremangan malam betapa keisar tawanan itu merangkul leher Khamila sedangkan ratu itu merangkul pinggang kaisar. In Hong mengerutkan alisnya. Apa-apaan yang dilihatnya ini? Timbul perasaan tidak senang di dalam hatinya. Khamila adalah seorang ratu, isteri dari Raja Sabutai yang gagah Perkasa. Biarpun ada baiknya kalau ratu ini bersimpati kepada kaisar yang dia tahu memang seorang yang berwatak agung dan gagah, namun tidaklah sepatutnya kalau mereka bersikap seperti sepasang kekasih yang begitu mesra! “Kita pergi sekarang dengan cepat memasuki hutan,” katanya singkat dan dia mendahului mereka melangkah masuk ke dalam hutan itu, membawa sebatang obor yang diambilnya dari obor-obor yang tadi dibawa oleh para perajurit penjaga. Dapat dibayangkan betapa sengsaranya perjalanan semalam itu bagi sang ratu. Dia adalah seorang puteri yang halus, yang tidak pernah melakukan perjalanan jauh, dan kini dia terpaksa harus melakukan perjalanan di waktu malam gelap, melalui sebuah hutan lebat lagi! Dan dia sedang mengandung! Akan tetapi, karena di situ terdapat Kaisar Ceng Tung, yang dengan penuh kasih sayang menuntunnya, menghiburnya dan merangkulnya, ratu ini dapat juga melanjutkan perjalanan dan baru pada keesokan harinya, setelah matahari mengusir kegelapan malam, In Hong mengajak mereka berhenti di dalam hutan. “Aduh... seperti mau patah-patah rasanya kakiku...” Khamila mengeluh dan dia duduk di atas rumput, kakinya dipijati oleh Kaisar Ceng Tung. Melihat ini, In Hong membuang muka dan wajahnya menjadi merah sekali. Kurang ajar, pikirnya. Orang-orang bangsawan ini sungguh tak tahu malu! Kalau dia tidak ingat bahwa yang berada di depannya itu adalah Kaisar Kerajaan Beng dan ratu dari Raja Sabutai, tentu dia sudah menghajar mereka, atau setidaknya meninggalkan pergi tanpa memperdulikannya lagi! Untuk menutupi rasa marahnya dan muaknya, dia tanpa menoleh berkata, “Kita terpaksa melakukan perjalanan hanya di waktu malam, kalau siang kita beristirahat di dalam tempat-tempat tersembunyi.” Suaranya dingin dan datar. Hening sejenak dan tiba-tiba In Hong mendengar suara langkah kaki mendekatinya, akan tetapi dia tidak perduli dan dia tidak mau menoleh ke arah mereka. Sebuah tangan yang halus menyentuh pundaknya. Dia menoleh dan ternyata Khamila yang duduk di sebelahnya dan merangkulnya. “Hong-lihiap... eh, sebaiknya engkau kupanggil enci saja karena aku sudah menganggapmu sebagai saudara sendiri. Enci Hong, kau... kaumaafkanlah kami berdua...” In Hong mengerutkan alisnya dan membuang muka. “Urusan kalian tidak ada sangkut pautnya dengan aku!” katanya lirih dan dingin. Khamila menarik napas panjang. “Tentu engkau akan menganggap bahwa kami tidak sopan atau tidak mengenal kesusilaan. Akan tetapi ketahuilah, di antara beliau dan aku... kami sudah saling mencinta sejak lama...” “Ehhh? Bagaimana...?” In Hong terkejut juga mendengar ini. “Dan suamiku juga tahu akan hal itu, enci. Tidak perlu kubuka lebih lebar rahasia keluarga kami, akan tetapi ketahuilah bahwa aku cinta kepada kaisar, dan sebaliknya beliaupun cinta kepadaku. Dan hubungan kami bukanlah hubungan gelap, seperti kukatakan tadi, suamiku juga tahu dan... dan menyetujuinya. Hanya ini yang dapat kukatakan, enci Hong. Karena cintakulah maka aku mau berkorban seperti ini, untuk membebaskannya, kemudian... aku akan ikut denganmu kembali kepada suamiku.” Suaranya menjadi berduka sekali. “Hemmm...” In Hong tak dapat berkata apa-apa lagi karena dia merasa heran, kaget, dan juga terharu. Dia menoleh kepada kaisar yang masih duduk dan melihat In Hong memandangnya, kaisar mengangguk-angguk dan memandang kepada Khamila dengan sinar mata yang mesra, penuh cinta kasih. “Hemmm... biarlah aku mencari bahan makanan...” kata In Hong dan dia lalu bangkit dan pergi meninggalkan orang-orang yang sudah saling peluk lagi itu. Sampai dua hari dua malam, mereka melakukan perjalanan yang lambat sekali. Selama ini, In Hong melihat betapa mereka itu berkasih-kasihan dengan mesra sehingga dia menjadi malu sendiri dan selalu mienjauhkan diri, akan tetapi setelah jauh, dia duduk termenung dan terbayanglah wajah... Bun Houw! Membayangkan dia dan Bun Houw berkasih-kasihan seperti halnya kaisar dan Khamila, membuat dara ini berulang kali menarik napas panjang dan berulang kali pula mencela dan memaki diri sendiri. “Tidak tahu malu kau!” bentaknya dalam bisikan kepada diri sendiri setiap kali dia membayangkan dirinya dan Bun Houw bermesraan. Pada hari ketiga, ketika mereka baru saja berhenti dari perjalanan semalam suntuk yang amat melelahkan, dan In Hong sedang membuat api unggun, dibantu oleh kaisar dan Khamila, yang mengumpulkan daun-daun kering, tiba-tiba terdengar suara ketawa dan dari balik batang-batang pohon berlompatan keluarlah beberapa orang yang membuat In Hong terkejut sekali dan pendekar wanita ini melepaskan ranting yang dipegangnya. Di depannya telah berdiri Go-bi Sin-kouw, Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw, dan Bouw Thaisu, empat orang sakti yang membantu pembesar Thaikam Wang Cin itu! Akan tetapi In Hong sama sekali tidak menjadi gentar dan dia malah bersikap tenang memandang mereka seorang demi seorang dengan sinar matanya yang tajam dingin lalu terdengar dia berkata, suaranya datar dan penuh tantangan, “Kalian orang-orang tua datang menyusul kami mau apa?” “Heh-heh-heh, Yap In Hong, engkau masih bertanya kepada kami? Bukankah pertanyaan itu sebaiknya diajukan kepadamu? Mau apa engkau mengajak tawanan dan Ratu Khamila ke tempat seperti ini?” Sebelum In Hong menjawab, tiba-tiba kaisar yang sudah bangkit berdiri sambil menggandeng tangan Khamila itu berkata dengan lantang, “Kami lihat bahwa kalian adalah orang-orang Han yang menjadi kaki tangan si pengkhianat Wang Cin! Apakah sampai sekarang kalian tidak menyadari bahwa Wang Cin menyeret kalian orang-orang tua ke lembah penghinaan, hendak menjual negara kepada bangsa lain dan bahwa sekarang usaha Wang Cin sudah mengalami kegagalan dan di ambang kehancuran? Dengan suka rela kami ikut melarikan diri bersama nona Hong. Kalian mengejar ini mau apa? Hayo jawab!” Kaisar yang muda itu memang memiliki wibawa yang hebat. Pandang matanya, sikapnya, kata-katanya semua mengandung wibawa besar sehingga sejenak empat orang tua itu tidak mampu menjawab. Bahkan Go-bi Sin-kouw yang biasa pandai bicara, kini menunduk dengan muka merah. Akan tetapi, segera nenek ini dapat menguasai dirinya lagi dan dengan suara yang kurang galak dia berkata, “Kami mengejar untuk membawa kaisar dan ratu kembali ke benteng.”   Kaisar menudingkan telunjuknya ke arah empat orang tua itu, gerakan yang juga mengandung wibawa kemudian katanya lanteng, “Dengarlah, hai para pengkhianat bangsa! Aku lebih percaya kepada seorang musuh seperti Raja Sabutai daripada kepada pengkhianat-pengkhianat seperti kalian! Kalau Sabutai yang datang menyusul, aku akan menyerah tanpa perlawanan. Akan tetapi aku tidak sudi menjadi tawanan kalian, dan lebih baik mati. Nona, beranikah engkau melawan mereka?” In Hong mengangkat dadanya yang sudah membusung itu sehingga makin menonjol karena dia merasa kebanggaannya timbul dapat melindungi kaisar yang begini gagah sikapnya. “Tentu saja hamba berani!” jawabnya tegas. “Nah, aku perintahkan engkau untuk membasmi pengkhianat-pengkhianat bangsa seperti mereka itu, nona!” kata pula kaisar dan dengan sikap tenang dia lalu menggandeng tangan Khamila, diajaknya duduk di bawah sebatang pohon agar wanita muda itu tidak kepanasan, duduk di atas rumput hijau sambil siap untuk menonton pertandingan. Biarpun dia yang terancam bahaya, namun kaisar bersikap tenang saja seolah-olah dia yakin akan kemenangan In Hong, atau seolah-olah dia tidak perduli lagi dengan apa yang akan terjadi pada dirinya. “Enci Hong, hati-hatilah...!” Ratu Khamila juga berseru ke arah In Hong. In Hong menoleh dan memandang ke arah ratu yang cantik itu dengan senyum terima kasih. Dia makin bangga. Kaisar itu muda dan gagah berani, ratu itu cantik jelita dan manis budi, sungguh tidak percuma membela orang-orang seperti mereka. Apalagi dia sendiri memang sejak dahulu merasa tidak suka kepada empat orang ini, terutama kepada Go-bi Sin-kouw karena dia masih teringat akan kematian kakak iparnya, isteri dari kakak kandungnya, Yap Kun Liong, yaitu wanita cantik yang tewas dalam keadaan menyedihkan itu. Sampai sekarang, dia mempunyai dugaan keras bahwa nenek inilah yang telah membunuh isteri kakak kandungnya itu. In Hong melangkah maju menghadapi empat orang itu, sinar matanya menyambar-nyambar, kemudian dia berkata, “Aku tahu bahwa tiga orang locianpwe, Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw, dan Bouw Thaisu hanyalah terbawa-bawa saja oleh Lima Bayangan Dewa dan yang menjadi perantara adalah Go-bi Sin-kouw! Kalau sam-wi locianpwe masih dapat menyadari kesalahan, boleh meninggalkan tempat ini dan kembali ke tempat masing-masing, akan tetapi kalau hendak menemani Go-bi Sin-kouw mati di sini, silakan!” Hebat sekali ucapan gadis muda ini, karena biarpun kata-kata yang halus itu ditujukan kepada tiga orang tokoh yang merupakan datuk-datuk golongan hitam itu, namun jelas bahwa dia merendahkan Go-bi Sin-kouw dan juga membayangkan bahwa dia tidak takut menghadapi pengeroyokan mereka berempat! “Heh-heh-heh, sungguh lancang mulutmu, bocah setan! Kaukira menghadapi kami akan semudah itu? Kaukira membunuh kami akan semudah kau membunuh isteri Yap Kun Liong yang tidak berdaya itu? Heh-heh, jangan mimpi!” Kata-kata Go-bi Sin-kouw ini membuat seseorang yang sejak tadi bersembunyi di balik sebatang pohon besar hampir saja berseru kaget. Mukanya berobah dan dia mengintai dengan hati-hati dan perhatiannya makin tercurah karena hatinya tertarik sekali. Dia seorang laki-laki tua yang usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, berpakaian sederhana dan sikapnya masih gagah sekali. Tiba-tiba laki-laki tua ini menyelinap, gerakannya cepat bukan main dan tahu-tahu dia telah lenyaip ke dalam semak-semak belukar. Yang menyebabkan dia menghilang ini adalah karena dia melihat berkelebatnya seorang lain yang baru datang, seorang yang juga seperti dia, menyelinap dan mengintai ke depan dan kini orang itu, seorang wanita cantik, dengan gerakan ringan sekali telah meloncat ke atas sebatang pohon besar dan dari cabang ke cabang dia berloncatan seperti seekor tupai saja, mendekati tempat In Hong menghadapi empat orang tua itu. In Hong dan empat orang tua yang dihadapinya adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi. Mereka sedang dalam keadaan siap untuk bertanding, dalam keadaan tegang dan perhatian mereka tercurah kepada lawan yang berada di depan masing-masing. Andaikata tidak sedang demikian, betapapun ringan dan cepat gerakan laki-laki tua dan wanita cantik itu, agaknya mereka berempat tentu akan dapat melihatnya atau setidaknya dapat menimbulkan kecurigaan mereka akan adanya orang yang mengintai. Mendengar ucapan Go-bi Sin-kouw itu, In Hong menjadi merah mukanya, matanya menyorotkan sinar berkilat dan dia tersenyum mengejek. “Memang engkau seorang yang rendah, Go-bi Sin-kouw. Sejak dulu aku tahu bahwa engkau seorang pengecut yang suka memutarbalikkan kenyataan! Kau mengatakan bahwa aku membunuh isteri kakakku itu, akan tetapi tuduhanmu itu hanya untuk menutupi perbuatanmu yang hina! Tidak ada alasan bagiku mengapa aku harus membunuh isteri kakakku, sungguhpun aku tidak berhubungan dengan kakakku. Sebaliknya, isteri kakakku itu adalah bekas muridmu, dan sejak dahulu kau tidak setuju muridmu itu menjadi isteri kakakku. Kau memang nenek tua bangka hina...” “Bocah setan, makanlah tongkatku!” teriak Go-bi Sin-kouw yang sudah marah sekali dan tongkatnya yang butut dan berwarna hitam itu sudah meluncur digerakkan oleh tangannya, mengirim serangan kilat ke arah perut In Hong. “Huh!” In Hong mendengus dengan nada mengejek, lalu dia mengelak dengan mudah dan di detik berikutnya, sinar emas dari pedang Hong-cu-kiam telah menyambar ganas ke arah leher Go-bi Sin-kouw. “Tranggg...!” Bunga api berpijar ketika tongkat nenek itu menangkis pedang akan tetapi nenek itu terhuyung dan hampir jatuh. Go-bi Sin-kouw sudah terlalu tua, usianya sudah tujuh puluh lima tahunan, tenaganya sudah banyak berkurang maka biarpun dia masih lihai dan ilmu pedangnya yang dimainkan dengan tongkat, yaitu Pek-eng Kiam-sut (Ilmu Pedang Garuda Putih) amat berbahaya namun karena sudah mulai lemah maka benturan tongkat dengan pedang In Hong yang masih memiliki tenaga sepenuhnya membuat dia hampir roboh. Kembali kakek yang mengintai dari dalam semak-semak belukar itu membelalakkan matanya ketika melihat pedang di tangan In Hong yang tadinya dipakai sebagai sabuk. Dia memandang heran dan juga kagum, apalagi ketika kini tanpa banyak cakap Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw, dan Bouw Thaisu maju mengeroyok! Kakek yang bersembunyi itu mengerutkan alisnya dan seluruh urat di tubuhnya menegang. Dia melirik ke arah kaisar dan kakek ini menggeleng-geleng kepala dengan kagum. Kaisar muda itu menonton dengan tenang, sedikitpun tidak khawatir dan dia masih merangkul leher Khamila yang cantik itu dengan amat mesra, kadang-kadang mencium rambut atau muka wanita itu sekilas dengan gerakan penuh kasih sayang! “Gila... sungguh gila!” Kakek yang bersembunyi itu mengomel seorang diri. “Gila dan aneh.” Akan tetapi perhatiannya kembali tercurah ke tempat pertempuran di mana In Hong menghadapi pengeroyokan empat orang tua itu dari empat penjuru. Gadis itu memang hebat sekali. Tubuhnya sampai lenyap terbungkus sinar pedang keemasan yang bergulung-gulung menyelimuti dirinya, bahkan kadang-kadang sinar pedang yang bergulung-gulung itu mencuat ke sana-sini menyambar ke arah empat orang pengeroyoknya secara yang tidak tersangka-sangka dan dengan kecepatan kilat. Go-bi Sin-kouw menggerakkan tongkat butut hitam dengan penasaran. Dia masih berusaha mendapatkan kembali ketangkasannya puluhan tahun yang lalu, namun percuma, karena memang tenaganya sudah banyak berkurang, padahal Pek-eng Kiam-sut membutuhkan gin-kang hebat dan kecepatan seperti seekor burung garuda. Hwa Hwa Cinjin memainkan kebutannya yang terbuat dari bulu monyet salju yang hanya hidup di kutub utara dan kebutan ini amat kuat. Karena maklum bahwa gadis itu tidak boleh dipandang ringan, tosu ini tidak malu-malu untuk ikut mengeroyok dengan senjata di tangan, ditemani pula oleh Hek I Siankouw yang sudah menyerang pula dengan pedang hitamnya yang berbahaya. Akan tetapi, yang paling berbahaya di antara ketiga orang tua itu adalah Bouw Thaisu. Biarpun pertapa ini hanya mempergunakan lengan baju kanan kiri, akan tetapi ternyata sambaran lengan bajunya sedemikian kuatnya sehingga mengejutkan hati In Hong. Dia dapat menangkis semua senjata yang tiga macam itu dengan baik, bahkan setiap kali bertemu senjata, Go-bi Sin-kouw dan Hek I Siankouw selalu terhuyung atau terpental senjata mereka, dan Hwa Hwa Cinjinpun dengan susah payah dapat mengimbangi tenaganya, akan tetapi setiap kali pedangnya bertemu dengan lengan baju Bouw Thaisu, dia merasa betapa telapek tangannya tergetar! Lima puluh jurus telah lewat dan tetap saja empat orang tua itu belum dapat merobohkan In Hong. Jangankan merobohkan, mendesakpun tidak mampu dan dara itu dapat membalas setiap serangan lawan dengan serangannya yang tidak kalah ampuhnya. Bahkan ujung baju Go-bi Sin-kouw telah putus terbabat pedang dan paha Hwa Hwa Cinjin tercium ujung sepatu In Hong, merobek celana tosu itu dan membuat pahanya terasa nyeri. Marahlah Hwa Hwa Cinjin dan dia memberi tanda kepada partnernya, yaitu Hek I Siankouw dan mereka mulai bergerak dengan ilmu Im-yang-lian-hoan-kun! Dengan ilmu ini, gerakan mereka berdua menjadi otomatis dan saling melindungi, dan mereka berdua benar-benar merupakan pasangan yang amat tangguh setelah menggunakan ilmu ini. Bouw Thaisu sendiri juga merasa malu bahwa sampai demikian lamanya dia dan teman-temannya belum juga mampu mengalahkan dara muda ini, maka dia berseru melengking nyaring dan gerakan sepasang lengan bajunya meniadi lebih antep dan kuat. In Hong terkejut. Melihat pedang hitam menyambar dari kanan dan tongkat hitam menyambar dari depan, dia cepat mengelebatkan pedangnya. “Cring-cring... singggg...!” Sekaligus pedangnya menangkis pedang dan tongkat, dan terus meluncur ke arah Bouw Thaisu. “Wuuttt... plakkk!” Pedang di tangan In Hong terpukul sampai terpental dan membuat tubuh dara itu miring. Kesempatan ini dipergunakan oleh Hwa Hwa Cinjin yang cepat “memasuki” lowongan itu dengan totokan kebutannya. Hudtim yang terbuat dari rambut monyet yang lemas itu digerakkan dengan pengerahan sin-kang keras, sehingga rambut itu menjadi kaku sehingga hudtim itu seolah-olah berobah menjadi sebatang pedang yang menotok ke arah ulu hatinya! Terkejutlah In Hong karena pada saat itu, pedangnya sudah diputarnya lagi untuk menghalau sinar hitam dari pedang di tangan Hek I Siankouw sehingga tidak mungkin dipakai menangkis hudtim yang mengancam ulu hati, sedangkan untuk mengelak, kedudukan tubuhnya tidak mengijinkan. Otomatis tangan kirinya bergerak den otomatis pula dia telah mengerahkan Thian-te Sin-ciang yang pernah dia terima sebagal “hadiah” dari Kok Beng Lama. “Wuuuttt... plakkk... dessss...! Aughhhhh...!” Tubuh Hwa Hwa Cinjin melayang den terhuyung seperti sebuah layang-layang putus talinya karena tadi begitu dapat menangkis hudtim, tangan yang digerakkan secara aneh itu dan mengandung tenaga mujijat Thian-te Sin-ciang, terus meluncur den berhasil menggempur dada kakek itu. Tubuh Hwa Hwa Cinjin terbanting ke atas tanah dan tak dapat bergerak lagi, mulutnya mengeluarkan banyak darah den agaknya nyawanya hampir putus di saat itu juga. Tubuhnya yang sudah tua tidak kuat menerima gempuran Thian-te Sin-ciang! Melihat ini, Hek I Siankouw menjerit dan bersama Go-bi Sin-kouw dia sudah menyerang dengan nekat, pedang hitamnya mengeluarkan bunyi mendesing-desing ketika menyerang In Hong secara bertubi-tubi, diseling oleh totokan-totokan maut yang dilakukan Go-bi Sin-kouw dengan tongkat hitamnya. In Hong yang juga tergetar ketika melakukan serangan tangan kiri dengan Thian-te Sin-ciang tadi kini cepat memutar pedangnya menangkis. Dia harus cepat-cepat menggerakkan pedang kerena dua orang nenek itu kini benar-benar nekat dan marah sekali, dan dia sampai terdesak ke belakang, akan tetapi dengan mengeluarkan suara berdencingan nyaring, pedangnya berhasil juga menghalau dua senjata nenek itu. Akan tetapi pada saat itu, Hwa Hwa Cinjin yang sudah sekarat, tiba-tiba menggerakkan hudtimnya. Dari tempat dia rebah, bulu-bulu hudtim itu meluncur seperti anak panah menuju ke arah tubuh In Hong! Setelah bulu-bulu hudtim itu melesat cepat, barulah kakek itu terkulai dan tewas. In Hong terkejut bukan main, tidak mengira bahwa kakek yang disangkanya sudah tewas itu dapat menyerang sedemikian hebatnya. Cepat dia menjejak tanah dan tubuhnya mencelat ke atas, pedangnya masih sempat diputar menangkis senjata dua orang nenek yang lagi-lagi sudah menyerangnya. Akan tetapi pada saat itu, Bouw Thaisu yang penasaran dan agaknya sudah menanti-nanti kesempatan itu, membentak keras, kedua tangannya bergerak dan dua lengan bajunya menyerang dengan amat hebatnya! Karena tubuh In Hong masih di udara, dia berusaha menghindarkan serangan maut ini dengan elakan, dan tangan kirinya menyambar, menangkis dengan pengerahan Thian-te Sin-ciang, gerakan untung-untungan karena dia tahu bahwa ujung lengan baju kakek itu kuat seperti senjata pusaka, dan dia menangkis dengan tangan kosong saja! Aken tetapi dia teringat akan pesan Kok Beng Lama bahwa Thian-te Sin-ciang cukup kuat melindungi tangan kosong untuk menangkis senjata pusaka, maka daripada tubuhnya di“makan” senjata ujung lengan baju, lebih baik dia mencoba tangan kirinya. “Desss...! Plakk...!” Tubuh Bouw Thaisu berputar dan terhuyung. Kakek ini kaget setengah mati karena tangan kiri dara itu ternyata dapat menangkis dan mengembalikan lengan baju kirinya dengan tenaga yang sedemikian dahsyatnya sehingga tubuhnya ikut berputar, akan tetapi In Hong mengeluh dan pundaknya kena diserempet ujung lengan baju kanan sehingga dia terlempar dan cepat dia berjungkir-balik untuk menghindarkan serbuan musuh. In Hong menggigit bibirnya. Pundaknya yang kiri terkena sabetan ujung lengan baju dan nyerinya bukan main. Biarpun tulang-tulangnya tidak patah, akan tetapi pundak kiri itu terasa panas dan nyeri sehingga tangan kirinya menjadi setengah lumpuh! Bouw Thaisu dan dua orang nenek itu menerjang lagi, akan tetapi tiba-tiba dari atas pohon terdengar seruan, “Tua bangka-tua bangka pengecut!” Sesosok bayangan wanita menyambar turun dan tahu-tahu Yo Bi Kiok telah berada di situ! “Kalian hanya berani mengeroyok seorang kanak-kanak seperti muridku. Inilah gurunya, majulah kalau kalian sudah bosan hidup!” Hek I Siankouw sudah marah sekali, marah karena berduka melihat sababatnya, juga kekasihnya semenjak mereka masih sama muda itu kini telah menggeletak tewas, maka tanpa memperdulikan munculnya ketua Giok-hong-pang yang dia tahu amat lihai itu, dia sudah membentak lagi dan melanjutkan serangannya kepada In Hong! Melihat ini, Bouw Thaisu dan Go-bi Sin-kouw juga menerjang maju menghadapi Yo Bi Kiok ketua Giok-hong-pang yang telah mencabut keluar Lui-kong-kiam di tangan kanan dan menghadapi mereka berdua dengan senyum mengejek. Terjadilah kini pertandingan dua rombongan yang amat seru. In Hong hanya menghadapi seorang lawan, tentu saja lawan ini amat lunak baginya, akan tetapi karena pundak kirinya terasa nyeri kalau digerakkan dan tangan kirinya masih agak lumpuh, maka tentu saja ketangkasannya menurun banyak dan dia hanya mengandalkan geraken pedangnya saja. Dalam keadaan seperti itu, keadaannya menjadi seimbang juga dengan Hek I Siankouw dan mereka saling menyerang secara mati-matian. Biarpun Yo Bi Kiok amat lihai dan memandang rendah kedua orang lawannya, akan tetapi pertandingan antara dia dan dua orang tua itupun hebat den seru sekali. Boleh jadi tingkat Go-bi Sin-kouw masih jauh kalah olehnya, akan tetapi tingkat Bouw Thaisu tidak berselisih banyak dengan ketua Giok-hong-pang ini. Dia hanya menang cepat dan juga memiliki dasar-dasar ilmu silat tinggi yang murni, warisan dari Panglima The Hoo si manusia sakti. Juga pedang Lui-kong-kiam di tangannya adalah pedang kilat yang amat hebat sehingga setelah bertanding lima puluh jurus, ujung lengan baju kiri Bouw Thaisu kena dibabat buntung! Bouw Thaisu kaget dan marah, membentak beberapa kali dengan pengerahan khi-kang dan kedua tangannya melakukan pukulan jarak jauh. Angin dahsyat menyambar ganas ke arah ketua Giok-hong-pang itu, akan tetapi Yo Bi Kiok tertawa, mengelak dan pedangnya yang mengeluarkan sinar kilat itu menghantam ke arah Go-bi Sin-kouw yang cepat menangkis. “Trakkk!” Tongkat butut hitam itu patah menjadi dua dan Go-bi Sin-kouw cepat meloncat jauh ke belakang. Tiba-tiba nenek yang curang ini meloncat lagi dan tahu-tahu dia sudah berada di belakang kaisar dan Khamila, menodongkan sisa tongkatnya yang tinggal sepotong dan membentak, “Tahan senjata! Kalau tidak, akan kubunuh kaisar!” “Subo, harap mundur...!” In Hong berteriak kaget dan dia sendiri cepat mundur meninggalkan Hek I Siankouw yang sudah didesaknya tadi. “Jangan mundur, kalian basmi saja pengkhianat-pengkhianat itu kemudian nenek iblis ini. Biarlah kalau dia mau membunuh kami!” Kaisar berkata, sedikitpun tidak takut biarpun tongkat itu sudah menodong kepalanya. “Subo... harap mundur...!” kembali In Hong berteriak dan dengan ketawa mengejek Yo Bi Kiok meloncat, mundur meninggalkan Bouw Thaisu yang kini dapat bernapas lega. Dia sudah terdesak hebat tadi, nyaris tewas oleh sinar pedang kilat yang bergulung-gulung. “Hemm, tua bangka curang!” Yo Bi Kiok berseru. “Akan tetapi memang cukup berharga kalau sri baginda kaisar ditukar dengan nyawa anjing kalian bertiga!” “Sri baginda akan kubunuh kalau kalian tidak mau membiarkan kami pergi,” kata Go-bi Sin-kouw. “Yo-pangcu, sebagai ketua Giok-hong-pang, kau berjanjilah bahwa kau akan membiarkan kami pergi kalau aku melepaskan kaisar! Hayo berjanji!” Yo Bi Kiok kembali tersenyum mengejek. Melihat betapa Go-bi Sin-kouw yang sudah ketakutan itu bisa saja berlaku nekat dan membunuh kaisar dan Khamila, In Hong berkata, “Subo, berjanjilah! Nyawa beliau terlalu berharga untuk dikorbankan!” Yo Bi Kiok mendengus, kemudian dengan gemas dia berkata, “Nenek iblis tua bangka, biarlah sekarang aku berjanji akan membiarkan kalian bertiga pergi kalau kau membebaskan kaisar. Akan tetapi lain kali, begitu bertemu dengan aku, kepalamu yang sudah tua bangka itu akan kuhancurkan!” “Nona In Hong, kaupun berjanji yang sama?” Go-bi Sin-kouw bertanya lagi, ditujukan kepada In Hong. Gadis ini mendongkol sekali. Nenek itu ternyata amat cerdik, karena kalau saja dia tidak disuruh berjanji, begitu kaisar dibebaskan tentu dia akan menyerang nenek itu! Karena nenek itu ternyata cerdik dan menanyanya, terpaksa dia mengangguk. “Aku berjanji akan membiarkan kalian bertiga pergi asal sri baginda dibebaskan.” Tiba-tiba nenek dari Go-bi itu terkekeh girang, “Bagus, kalian tentu orang-orang yang memegang janji, bukan manusia hina. Khamila, engkaulah yang menjadi gara-gara sampai kaisar dapat lolos, maka aku takkan mengampunimu!” Dia mengangkat tongkatnya, hendak memukul ratu itu. “Go-bi Sin-kouw! Kau sudah berjanji...!” Akan tetapi In Hong menjadi pucat karena dia teringat bahwa janji tadi hanya mengenai diri kaisar, sama sekali tidak menyebut nama Khamila! “Heh-heh, siapa berjanji untuk wanita yang tidak setia ini?” Dia mengangkat tongkatnya. Yo Bi Kiok hanya memandang dengan senyum mengejek, sedangkan In Hong berdiri terlalu jauh untuk dapat menyelamatkan nyawa Khamila. “Mampuslah kau!” Go-bi Sin-kouw menggerakkan tongkatnya menghantam ke arah kepala Khamila. Pada saat itu, tiba-tiba dari balik semak-semak berkelebat bayangan putih dan orang itu adalah kakek yang tadi bersembunyi, tangannya diangkat menangkis dengan pengerahan tenaga. “Plakkk... krakkkk!” Tubuh Go-bi Sin-kouw terguling roboh dan kepalanya pecah karena ternyata tangkisan kakek itu sedemikian kuatnya sehingga pukulan tongkat itu membalik mengenai kepalanya sendiri sampai pecah! In Hong memandang dengan mata terbelalak. Dia mengenal kakek yang amat lihai itu, yang bukan lain adalah Cia Keng Hong, ketua dari Cin-ling-pai! Adapun kaisar sendiri menjadi girang bukan main melihat betapa kekasihnya selamat, maka dia lalu merangkul Khamila yang menangis dalam pelukannya. Kaisar yang sejak muda dahulu sudah tahu akan sepak terjang kakek ini, mengenal pendekar sakti itu, maka dia lalu berkata girang, “Ahh, kiranya Cia-taihiap ketua Cin-ling-pai yang telah menyelamatkan nyawa Ratu Khamila! Sungguh kami merasa girang sekali, Cia-taihiap!” Cia Keng Hong lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaisar itu dan memberi hormat. Kaisar menggerakkan tangan menerima penghormatan itu dan menyuruh pendekar sakti itu berdiri lagi. Sementara itu, Yo Bi Ktok menjadi marah karena kemunculan Cia Keng Hong itu seolah-olah menonjolkan pendekar itu dan menaruh dia di belakang, karena nyatanya pendekar sakti itulah yang sempat menyelamatkan nyawa Khamila. Dengan marah dia lalu menggerakkan pedangnya, menuding ke arah muka Bouw Thaisu dan Hek I Siankouw. “Kalian ini anjing-anjing tua harus mampus!” Bouw Thaisu dan Hek I Slankouw terkejut, akan tetapi mereka berdua siap menghadapi wanita sakti yang galak itu. “Subo, kita sudah berjanji melepaskan mereka tadi!” In Hong memperingatkan. Yo Bi Kiok meragu, dan tiba-tiba Cia Keng Hong, kakek itu yang diam-diam merasa kagum akan sepak terjang Yap In Hong, lalu kini tahu mengapa gadis puteri sahabat baiknya itu menjadi seorang gadis yang demikian dingin dan ganas sepak terjangnya. Kiranya yang menjadi biang keladi adalah wanita yang menjadi gurunya ini! Dia di dalam pengintaiannya tadi dapat mengenal dasar watak In Hong yang baik, tidak seperti gurunya ini yang benar-benar merupakan Dewi Maut yang tak mengenal ampun. Maka diapun berkata, suaranya berwibawa. “Orang yang tidak memegang janjinya adalah orang yang rendah wataknya!” Yo Bi Kiok seperti disambar petir. Dia membalik dan memandang ketua Cin-ling-pai itu dengan mata berapi-api. Sementara itu, In Hong yang sudah mengenal watak gurunya yang amat keras, cepat menggunaken kesempatan itu berkata kepada Bouw Thaisu dan Hek I Siankouw, “Ji-wi locianpwe harap segera pergi dan membawa jenazah mereka.” Bouw Thaisu sejenak memandang kepada Cia Keng Hong, kemudian berkata, “Kiranya engkau yang bernama Cia Keng Hong, ketua dari Cin-ling-pai.” Dia mengangguk-angguk. “Pinto ada peninggalan pesanan dari mendiang Thian Hwa Cinjin, biarlah lain kali saja pinto sampaikan, sekarang tidak ada waktu.” Dia lalu melangkah pergi, menyambar jenazah Hwa Hwa Cinjin, diikuti oleh Hek I Siankouw yang juga memanggul jenazah Go-bi Sin-kouw. Sebentar saja bayangan kedua orang kakek dan nenek yang lihai itu sudah lenyap dari tempat itu. Yo Bi Kiok sejak tadi memandang kepada ketua Cin-ling-pai dengan mata mendelik dan muka merah. Dia tidak memperdulikan lagi kakek dan nenek yang melarikan diri itu. Ketika Cia Keng Hong yang merasa akan pandang mata itu menoleh kepadanya, Yo Bi Kiok tersenyum mengejek, wajahnya dingin sekali. Melihat ini, berdebar jantung In Hong. Dia telah mengenal gurunya dengan baik dan tahu benar bahwa saat ini gurunya marah bukan main dan tentu akan terjadi hal yang hebat. Akan tetapi yang dihadapi gurunya adalah Cia Keng Rong, kakek ketua Cin-ling-pai yang sudah terkenal di seluruh dunia akan kesaktiannya. Maka diapun tidak berani mencegah keduanya dan dia hanya mendekati kaisar dan Khamila yang masih duduk di tempat tadi dengan sikap tenang. “Hemmm, kiranya inikah yang telah terkenal di seluruh dunia, ketua dari Cin-ling-pai yang pernah diobrak-abrik oleh Lima Bayangan Dewa!” Terdengar Yo Bi Kiok berkata, suaranya mengandung penuh ejekan. Cia Keng Hong tersenyum. Dia adalah searang pendekar sakti, pendekar besar, ketua perkumpulan yang telah terkenal akan kegagahannya, maka diapun bukan seperti kanak-kanak yang mudah dibakar hatinya. Mendengar ucapan itu, dia memandang Bi Kiok seperti memandang seorang anak nakal. “Dan kiranya engkaulah yang telah merusak anak sahabat baikku, Yap In Hong adik Yap Kun Liong ini...” Aku merusak keluarga Kun Liong atau akan membikin mampus padanya, kau perduli apa? Apakah kau hendak membela Yap Kun Liong?” Yo Bi Kiok membentak makin marah karena dia diingatkan kepada Kun Liong, satu-satunya pria di dunia ini yang pernah dan selalu dicintanya, akan tetapi yang telah menyakitkan hati karena menolaknya. Cia Keng Hong menggeleng kepalanya. “Aku tidak hendak membela siapa-siapa, hanya sayang bahwa engkau telah menyeleweng, padahal engkaulah kiranya yang telah mewarisi pusaka bokor emas milik mendiang Panglima Besar The Hoo itu.” Yo Bi Kiok tertawa. “Tak kausangka, ya? Engkau sama bodohnya dengan para datuk yang pernah memperebutkannya. Dan dengan kepandaian yang kuperoleh ini, dengan mudah aku akan dapat mengalahkan engkau, orang she Cia!” “Subo, harap subo bersabar. Apa perlunya mencari keributan lagi?” In Hong yang merasa betapa sikap gurunya itu keterlaluan sekali, tak dapat tinggal diam lagi dan menegur dengan halus. Yo Bi Kiok menoleh kepadanya. “Huh, kau penakut! In Hong, mari kita bawa tawanan itu kembali kepada Raja Sabutai.” Sambil berkata demikian, tanpa menghiraukan lagi kepada kakek itu, dia menghampiri Kaisar Ceng Tung. Akan tetapi tiba-tiba Cia Keng Hong melangkah maju dan menghadang di depan Yo Bi Kiok. “Pangcu dari Giok-hong-pang, engkau tidak boleh membawa pergi kaisar karena aku akan mengantar beliau kembali ke kota raja!” Tiba-tiba Bi Kiok menghentikan langkahnya dan membalikkan tubuhnya dengan sikap penuh ancaman kepada Cia Keng Hong. “Orang tua...” geramnya. “Mengingat akan nama baikmu, aku masih berlaku sabar dan tidak menyerangmu! Akan tetapi sekarang engkau malah menantangku!” “Tidak ada siapa-siapa yang kutantang, akan tetapi sri baginda kaisar telah berhasil lolos dari tawanan. Itu baik sekali dan aku akan mengawalnya ke kota raja.” “Enak saja kau bicara! Akulah yang menentukan dia hendak dibawa ke mana! Dan aku akan membawanya kembali kepada Raja Sabutai.” “Tidak! Terpaksa aku akan menentangmu, Yo-pangcu.” “Subo, biarlah sri baginda kaisar dikawal ke kota raja oleh Cia-locianpwe, dan kita mengantar Ratu Khamila kembali,” In Hong berkata dan Cia Keng Hong menoleh ke arah gadis itu dengan pandang mata senang. Akan tetapi, pada saat itu dia mendengar sambaran angin yang dahsyat sekali, dari arah Yo Bi Kiok berdiri. Tahulah pendekar sakti ini bahwa ketua Giok-hong-pang itu telah menyerangnya. Dia tadi sudah menyaksikan gerak-gerik Yo Bi Kiok dan mengenal sebagian dari gerakan yang bersumber pada ilmu kepandaian Panglima The Hoo, maka dia segera menduga bahwa tentu wanita inilah yang telah mewarisi ilmu-ilmu dari bokor emas itu. Yo Bi Kiok telah menyerang dengan pukulan kilat yang bertubi-tubi, juga mengandung tenaga sakti yang hebat sekali, Cia Keng Hong tidak berani memandang rendah, juga pendekar ini mengerahkan tenaga saktinya, menggerakkan kedua tangannya menangkis. “Wuuuutttt... plak-plak-duk-duk-dukk!” Berkali-kali kedua pasang lengan yang sama-sama mengandung tenaga sakti itu bertemu dan akibatnya kedudukan kaki Yo Bi Kiok tergeser mundur sampai dua langkah jauhnya! Wanita itu terkejut bukan main. Ketua Cin-ling-pai itu hanya menangkis saja berkali-kali, namun tenaga tangkisan itu telah membuat dia terdorong ke belakang. Padahal baru menangkis, belum menyerang! “Orang she Cia yang sombong, lihat pedangku ini!” “Singggg...!” Tampak sinar kilat ketika Lui-kong-kiam dicabut. Cia Keng Hong lalu memungut sebatang ranting dari atas tanah, sebatang ranting yang panjangnya tidak melebihi lengannya. “Yo-pangcu, bukankah itu Lui-kong-kiam yang dahulu pernah menjadi milik Liong Bu Kong?” tanyanya sambil memandang pedang bersinar kilat yang berada di tangan ketua Giok-hong-pang itu. Yo Bi Kiok tersenyum mengejek. “Dia mampus di tanganku seperti juga engkau akan mati di tanganku sekarang, orang she Cia. Hayo kaukeluarkan pedangmu Siang-bhok-kiam yang terkenal itu!” Cia Keng Hong menghela napas panjang. Dia merasa betapa wanita ini seperti seorang anak kecil saja. “Yo Bi Kiok, sembarang rantingpun cukuplah untuk menghadapi pedangmu itu.” Tentu saja Yo Bi Kiok menjadi marah sekali. Selama ini, kecuali ketika bertemu dengan pendeta Lama tinggi besar yang seperti setan itu, dia tidak pernah menemui tandingan. Kini, kakek Cin-ling-pai ini menghadapi pedangnya dengan hanya sebatang ranting! Tentu saja dia merasa dipandang rendah dan dihina sekali. Sambil berteriak mengeluarkan suara lengkingan tajam tinggi dan panjang, tubuhnya menerjang ke depan, pedang kilatnya menjadi sinar bergulung-gulung. In Hong memandang dengan khawatir. Dia tahu akan kelihaian ketua Cin-ling-pai itu, akan tetapi hanya menggunakan ranting menghadapi pedang subonya, benar-benar merupakan bunuh diri! Tampak sinar hijau di antara sinar kilat itu, sinar hijau yang meluncur dan membelit-belit di antara sinar kilat, disusul suara berdencingan dan tiba-tiba terdengar jeritan Yo Bi Kiok yang meloncat ke belakang dan dia mengusap lengan kanannya yang kena disabet oleh ranting itu, sakitnya bukan kepalang dan menimbulkan goresan panjang, padahal lengan bajunya tidak robek! Yo Bi Kiok memandang terbelalak, hidungnya kembang-kempis dan kemarahannya memuncak. Kemudian dia menjerit dan menyerang lebih hebat daripada tadi. “Suboooo... jangan...!” In Hong yang melihat kehebatan serangan ini, serangan maut yang juga merupakan serangan mengadu nyawa karena dalam serangan ini, seluruhnya dicurahkan kepada penyerangan tanpa memperhatikan pertahanan sama sekali. “Cringgg... ceppppp!!” Ranting di tangan Cia Keng Hong patah menjadi dua, akan tetapi, pedang Lui-kong-kiam itu terlepas dari tangan pemiliknya dan menancap di atas tanah di depan kaki Yo Bi Kiok. Sejenak wanita itu terbelalak, hampir tidak mempercayai pandangan matanya sendiri bahwa pedangnya benar-benar sampai dapat terpukul lepas dari tangannya. Tahulah dia bahwa pendekar di depannya ini benar-benar memiliki kesaktian yang luar biasa, maka dia menjadi malu sekali. Dia menyambar pedangnya, kemudian lari dari situ dan dari tenggorokannya keluar suara yang sukar ditentukan apakah itu suara ketawa ataukah suara menangis! Cia Keng Hong menghela napas dan menoleh kepada In Hong yang memandangnya dengan penuh kagum. “Gurumu itu tinggi sekali ilmunya, sayang dia dikuasai oleh watak yang ganas dan aneh, mendekati kegilaan,” katanya. “Memang dia mendekati kegilaan oleh perasaan hatinya yang gagal karena ditolak oleh Kun Liong koko,” kata In Hong. “Ahhhhh... begitukah...?” Cia Keng Hong menggeleng-geleng kepalanya. Dia tidak merasa heran karena dia tahu bahwa akibat cinta gagal banyak mendatangkan bencana pada manusia, sejak jaman gurunya masih muda (baca cerita Siang-bhok-kiam) sampai pengalamannya sendiri. “In Hong,” katanya teringat kepada orang tua gadis itu dan memanggil nama gadis itu dengan mesra. “Kau telah melakukan perbuatan baik sekali dengan melindungi sri baginda. Sekarang, aku akan mengawal sri baginda kaisar kembali ke kota raja.” In Hong mengangguk. Dia tunduk dan kagum kepada kakek ini sekarang, tidak hanya kagum akan kepandaiannya yang benar-benar hebat, akan tetapi juga kagum akan sikapnya. “Baiklah, locianpwe. Saya akan mengantar ratu kembali ke benteng Raja Sabutai.” Cia Keng Hong menghampiri sri baginda dan menjura dengan hormat. “Marilah, sri baginda, hamba mengawal paduka kembali ke kota raja.” Kaisar Ceng Tung saling pandang dengan Khamila dan wanita cantik itu sudah bercucuran air mata. Mereka saling pandang, juga kaisar itu kelihatan berduka dan terharu sekali. Kemudian, Khamila mengeluarkan suara jerit lirih dan mereka saling rangkul. In Hong menundukkan kepala dan Keng Hong membalikkan tubuhnya dengan alis berkerut. Tentu saja dia tidak tahu apa yang terjadi antara dua orang ini, seorang tawanan dan seorang isteri dari si penawan. Akan tetapi hal itu bukan urusannya dan dia tidak ingin mengetahuinya, akan tetapi telinganya tetap saja mendengar isak tangis Khamila. “Sri baginda... terpaksa... terpaksa saya harus meninggalkan paduka...” terdengar Khamila terisak. “Khamila, tidak bisakah... kau ikut dengan aku untuk selamanya?” suara kaisar penuh kelembutan dan permohonan seperti suara seorang pemuda biasa merayu dan membujuk kekasihnya. “Tidak mungkin, paduka juga tahu... betapa baiknya Sabutai... sudah menjadi kewajibanku untuk kembali kepadanya... selamat tinggal, sri baginda.” “Khamila... ah, perpisahan ini... mungkinkah pertemuan ini yang penghabisan? Bila kita dapat berjumpa kembali...?” “Agaknya hanya di alam baka kita dapat saling bertemu kembali, baginda. Biarlah kalau di dunia ini kita tidak dapat berjodoh, di dalam kehidupan kelak hamba akan menjadi pelayan paduka, menjadi...” “Ssstttt... di dalam pertemuan antara kita kelak, aku ingin menjadi suamimu, Khamila...” Kaisar muda yang lagi gandrung asmara itu lalu melepaskan sebuah kalung dari lehernya dan mengalungkan benda itu ke leher Khamila sambil barbisik, “Khamila, kalung ini pemberian ibundaku dan hanya boleh diberikan kepada permaisuriku.” Khamila menggenggam kalung yang melingkari lehernya itu, matanya yang berair memandang terbelalak. “Tapi... tapi... kita...” “Kita berpisah, akan tetapi hati kita tidak. Kau akan kukenang sebagai satu-satunya isteriku yang tercinta, biar aku lahiriah akan dilayani seribu orang wanita sekalipun.” “Ah, sri baginda...” Khamila menangis dan makin terharu dan beratlah hatinya untuk berpisah. “Kaumintalah kebijaksanaan suamimu, Sabutai, agar jika engkau melahirkan seorang putera, di samping nama pemberian Sabutai, juga diberi alias nama pemberianku, yaitu Ceng Han Houw.” Khamila membisikkan nama itu untuk menghafalnya sambil mengangguk, kemudian berbisik, “Kalau perempuan?” “Terserah kepadamu.” Setelah mendekap sekali lagi mereka berpisah. Khamila digandeng tangannya oleh In Hong dan pergi dari situ, dlikuti pandang mata kaisar yang berdiri dengan muka pucat. Ratu Khamila juga beberapa kali menoleh dan agaknya dia tentu akan lari kembali kepada kekasihnya kalau saja tidak digandeng dengan kuat oleh In Hong. Setelah bayangan dua orang wanita itu lenyap, barulah kaisar menghela napas panjang dan bertanya kepada kakek Cin-ling-pai yang masih menantinya itu, “Cia-locianpwe, apakah yang lebih menyedihkan daripada dua orang yang saling mencinta terpaksa harus berpisah?” Cia Keng Hong yang semasa mudanya juga banyak mengalami suka dukanya cinta, dapat memaklumi perasaan kaisar saat itu, akan tetapi dengan jujur dia mengingatkan. “Maaf, sri baginda, akan tetapi hamba kira bahwa cinta antara pria dan wanitapun hanya merupakan sebagian saja daripada hidup yang luas ini, apalagi bagi paduka sebagai kaisar, karena di sana masih menanti tugas yang menyangkut kehidupan rakyat senegara. Dan kedudukan paduka kini telah dipegang oleh lain orang.” Ini merupakan berita baru bagi kaisar dan dia cepat mendekati Keng Hong, memandang tajam dan bertanya, “Siapa dia?” “Beliau itu bukan lain adalah Pangeran Cing Ti, adik paduka sendiri yang dipaksa oleh para pembesar yang tidak setia kepada paduka, macam Wang Cin dan kawan-kawannya itu.: Kaisar mengerutkan alisnya. “Sungguh benar kata orang bijak jaman dahulu bahwa lebih mudah membedakan mana binatang buas dan mana yang jinak, karena manusia sukar ditentukan keadaan hatinya dari wajahnya. Locianpwe, engkau yang sejak dahulu sudah menjadi sahabat dan pembantu mendiang Panglima Besar The Hoo, yang sudah kuketahui sejak kecil akan kesetiaanmu terhadap negara dan bangsa, ceritakanlah apa yang terjadi semenjak aku ditawan oleh Sabutai.” Cia Keng Hong lalu menuturkan semua yang dialaminya dan diketahuinya melalui penyelidikannya selama ini. Diceritakannya betapa pasukan orang-orang Mancu dan Khitan yang dipimpinnya tidak berhasil menolong sri baginda yang ditawan karena tidak ada bantuan sama sekali dari fihak kota raja, kemudian betapa dia pergi menyelidiki kota raja dan tahu bahwa pembesar-pembesar yang berkuasa, yang menjadi sekutu Wang Cin, sengaja membiarkan kaisar tertawan tanpa ada usaha untuk menolong, kemudian malah mereka itu menentang para pembesar yang setia dan memaksa pengangkatan Pangeran Cing Ti sebagai pengganti kaisar. Kaisar mengangguk-angguk dan kini kedukaannya karena perpisahan dengan Khamila itu sama sekali telah terlupakan olehnya! Kini pikirannya terisi penuh dengan persoalan kerajaan, maka persoalan lain terusir sama sekali. Demikianlah keadaan pikiran manusia pada umumnya. Kita dipermainkan oleh pikiran yang selalu mengejar pengalaman yang menyenangkan dan menjauhi yang tidak menyenangkan. Selama keinginan mengejar kesenangan ini masih menguasai kita, maka kita tidak akan pernah merasa tenteram. Kalau sudah terpegang kesenangan yang kita kejar-kejar itu, maka hal itu bukan hanya berhenti sampai sekian saja karena pikiran kita sudah bergerak lagi mengejar kesenangan yang lain. Padahal setiap kesenangan itu selalu disanding oleh kekecewaan, kebosanan, dan kedukaan, juga ketakutan. Kita sendirilah yang membuatnya, bukan orang lain. Sumber segala kedukaan berada di dalam diri kita sendiri. Juga sumber dari segala kebijaksanaan dan kebahagiaan juga berada di dalam diri kita sendiri. Oleh karena itu, memandang atau mengawasi diri sendiri, mengamatinya setiap saat lahir batin kita membuat kita mengenal diri sendiri yang akan menimbulkan pengertian dan kesadaran. Pengertian mendalam ini akan mengakibatkan terjadinya perobahan mujijat dalam diri kita. “Bagaimana dengan para petugas kami yang setia?” kaisar beetanya. “Sebetulnya masih banyak menteri dan jenderal yang setia terhadap paduka, akan tetapi karena paduka tidak ada dan mereka tidak menghendaki perang saudara, tidak berani bertindak tanpa perintah paduka, maka sekarang hamba ingin mengantar paduka kepada mereka di kota raja.” “Hemm, baiklah. Mari kita berangkat, Cia Keng Hong locianpwe.” *** Kita tinggalkan dulu Kaisar Ceng Tung yang sedang menuju ke kota raja untuk memulihkan kembali keadaan kota raja yang kacau karena penggantian kaisar secara paksa itu, dan mari kita mengikuti perjalanan In Hong yang mengantar Ratu Khamila kembali ke benteng Sabutai. Di dalam perjalanan kembali ke tempat suaminya ini, sering kali Khamila menangis dan dihibur oleh In Hong. “Paduka telah melakukan hal yang baik sekali dengan membantu membebaskan sri baginda kaisar, mengapa paduka selalu berduka?” Khamila menarik napas panjang. “Enci Hong, engkau benar. Aku telah membebaskan orang yang kucinta dari bahaya, seharusnya aku bergembira. Akan tetapi... ah, perasaan mementingkan kesenangan sendiri belum juga mau meninggalkan aku. Padahal... demi keselamatannya, demi nama baiknya dan... demi negara terpaksa aku harus berpisah darinya... yang ada hanya ini...” Dia mengelus perutnya akan tetapi segera teringat bahwa dia harus merahasiakan kandungannya itu dari siapapun juga, maka tangannya yang mengusap perut itu terus menuju ke ikat pinggangnya dan dia mengeluarkan sesampul surat. “Hanya ini yang diserahkan padaku...” katanya pula dan In Hong kini baru mengerti bahwa kaisar menyerahkan sesampul surat kepada Khamila. “Untuk siapa?” tanyanya. “Untuk suamiku, untuk Sabutai. Sri baginda kaisar dalam suratnya ini menyatakan terima kasih atas kebaikan Sabutai.” Dia menarik napas panjang lagi dan menyimpan surat itu ke dalam ikat pinggangnya, lalu memandang In Hong dan berkata dengan suara sungguh-sungguh. “Aih, sering kalau aku memandangmu, timbul rasa iri di dalam hatiku, enci Hong.” “Iri hati? Kedudukan paduka begitu tinggi, sedangkan saya hanyalah seorang manusia pengembara.” Justeru itulah! Engkau memiliki kebebasan dan aku tidak! Engkau bebas pergi ke manapun menurut kesukaan hatimu, engkau bebas menentukan semua perbuatanmu sendiri, bebas memilih jalan hidupmu sendiri, dan terutama bebas memilih kawan hidupmu sendiri. Aku? Ah, aku hanya seperti barang berharga yang dijual dan aku tidak boleh memilih pembeli. Aku tidak pernah mengenal cinta kasih sebelum berjumpa dengan Kaisar Ceng Tung. Perjumpaan yang amat terlambat, yang hanya mendatangkan kebahagiaan sejenak namun segera disusul perpisahan selamanya yang akan mendatangkan duka saja.” Ucapan itu membuat In Hong termenung. Benarkah dia bebas dan bahagia? Bebas, memang benar akan tetapi dia yang sejak dahulu bebas tidak lagi dapat memakan kesenangan dari kebebasannya itu. Hanya orang yang tidak bebas seperti Khamila itu, yang akan dapat membayangkan betapa senangnya orang kalau bebas! Akan tetapi bahagia? Dan cinta kasih? Memilih kawan hidup sendiri? Otomatis tangannya meraba pedang Hong-cu-kiam karena dia teringat akan wajah Bun Houw. Heran dia, mengapa sering benar, di waktu pikirannya kosong termenung, di waktu dia mengenang akan nasib orang yang dilanda cinta kasih, dia selalu teringat kepada pemuda itu? Tak disadarinya pula, kedua pipi gadis ini menjadi merah dan dadanya berdebar aneh. Sekarang dia tidak lagi marah kepada pemuda itu, karena ternyata pemuda itu tidak menuduhnya membunuh orang secara sembarangan saja, bukan fitnah kosong, melainkan karena semua itu adalah perbuatan subonya yang mungkin saja oleh Bun Houw disangka dia. Akan tetapi, Bun Houw yang dia tahu amat setia kepada negara itu, tentu akan terkejut dan terheran-heran mendengar bahwa dia yang menyelundupkan kaisar, yang menyelamatkan kaisar keluar dari tahanan, padahal ketua Cin-ling-pai sendiri dengan pasukannya tak pernah berhasil menolong kaisar. Ingin dia bertemu dengan pemuda itu dan melihat bagaimana sinar mata pemuda itu memandangnya kalau mendengar tentang jasanya terhadap kaisar itu! Oleh karena keinginan yang timbul di dalam hatinya inilah yang membuat In Hong tersentak kaget kemudian wajahnya menjadi makin berseri kemerahan ketika dia mendengar suara yang sudah amat dikenalnya, “Hong-moi...!” In Hong segera menoleh ke kiri dan hampir saja dia lari menyambut pemuda yang muncul dari balik semak-semak itu kalau saja dia tidak ingat bahwa hal itu amat memalukan. Maka dia cepat mengambil sikap dingin biasa, bahkan seolah-olah dia masih menyimpan kemarahannya dahulu. “Hong-moi...!” In Hong memandang wajah tampan yang selama ini sering terbayang di depan matanya itu. Heran dia, karena wajah itu kini tidak merah lagi seperti dulu, pandang matanya tidak menyinarkan kemarahan dan penyesalan seperti pada pertemuan mereka yang terakhir. “Hemm, mau apa engkau menghadang perjalanan kami?” Bun Houw hendak membuka mulut, akan tetapt ketika dia melihat Khamila, dia cepat menjura dan berkata, “Maaf, bukankah paduka ini ratu dari Raja Sabutai?” Khamila memandang wajah tampan itu penuh perhatian, lalu dia mengangguk. “Enci Hong, siapakah dia ini?” “Dia orang she Bun, dia... dia kenalan saya,” jawab In Hong sederhana. Lalu dia bertanya lagi, “Bun-ko, engkau mau apa menjumpaiku?” “Aku... aku telah mendengar akan perbuatanmu yang amat gagah berani dan mulia, engkau telah membebaskan sri baginda kaisar! Hebat, aku kagum padamu, Hong-moi!” In Hong menatap wajah itu dan jantungnya berdebar keras. Pandang mata pemuda itu memang seperti yang dia bayangkan tadi, penuh kagum dan takjub, akan tetapi, sinar penyesalan masih belum meninggalkan sinar mata itu, penyesalan karena dia disangka membunuh gadis dusun itu! Maka hatinya menjadi dingin kembali. “Hemm, kalau sudah begitu mengapa?” tanyanya, dingin dan angkuh. Dengan wajah berseri Bun Houw memberi hormat dan berkata, “Perbuatanmu itu hebat dan mulia, aku ingin menghaturkan terima kasih, Hong-moi. Apalagi aku mendengar betapa engkau mempergunakan Hong-cu-kiam untuk melindungi sri baginda kaisar. Aku kagum dan bangga sekali!” “Bun-taihiap, apakah engkau sudah bertemu dengan sri baginda kaisar?” Tiba-tiba Khamila bertanya. Bun Houw mengangguk membenarkan. “Bagaimana kesehatan beliau?” tanya pula ratu itu sehingga Bun Houw terheran-heran melihat betapa ratu musuh ini begitu menaruh perhatian atas kesehatan diri kaisar yang pernah ditawan suaminya! Dia memang sudah berjumpa dengan ayahnya, akan tetapi karena tergesa-gesa, ayahnya tidak menceritakan secara lengkap, apalagi tentang hubungan kasih antara ratu musuh itu dengan kaisar. “Terima kasih, kesehatan beliau baik-baik saja.” “Hemm, jadi engkau mendengar semua itu dari Cia-locianpwe, ketua Cin-ling-pai?” kini In Hong bertanya. “Benar, Hong-moi. Aku sungguh kagum mendengarnya dan aku cepat-cepat menyusul ke sini untuk membantumu apabila engkau menghadapi kesukaran. A... eh, Cia-locianpwe juga yang mengutus aku karena beliau tergesa-gesa berangkat ke kota raja bersama semua pengawal.” “Perlu apa engkau menyusul aku? Engkau sudah tidak sudi bekerja sama dengan aku. Lupakah engkau?” Bun Houw mengerutkan alisnya karena ucapan nona itu mengingatkan dia akan hal-hal yang tidak menyenangkan. “Akan tetapi... sebagai penyelamat kaisar... engkau harus dibantu...” “Dan engkau masih menganggap aku sebagai pembunuh gadis dusun tak berdosa itu?” “Hemmm... tentang itu... eh, bukti-bukti menunjukkan demikian. Siapa lagi kalau bukan... sudahlah, Hong-moi, aku tidak lagi mau membicarakan hal itu. Yang penting sekarang aku harus membantumu mengawal Ratu Khamila kembali ke benteng Raja Sabutai sesuai yang diperintahkan oleh... oleh Cia-locianpwe.” In Hong menjadi marah. “Siapa sudi bekerja sama dengan engkau? Aku seorang pembunuh. Nih, kauterima kembali pedangmu, bisa kotor terjatuh ke tangan seorang pembunuh terkutuk seperti aku. Dan Giok-hong itu kembalikan padaku!” Bun Houw mendekap saku bajunya. Perhiasan yang dia terima dari gadis itu selalu dibawanya, menjadi teman yang tak pernah terpisah. “Tidak akan kukembalikan. Tidak boleh!” “Huh, kalau begitu nih terima pedangmu!” “Tidak, akupun tidak mau menerimanya kembali.” Sejenak mereka berdua saling pandang, sama-sama memperlihatkan kekerasan hatinya, kemudian In Hong mendengus dan menyimpan kembali pedang yang sesungguhnya amat disayangnya itu. “Huh, sesukamulah. Akan tetapi karena engkau seorang yang bersih, seorang yang suci, jangan dekat-dekat dengan pembunuh seperti aku. Lupakah engkau bahwa aku adalah Dewi Maut, kejam seperti iblis seperti pernah kaukatakan?” Dada gadis itu makin panas dan naik turun bergelombang karena dia teringat akan sikap Bun Houw kepadanya. “Mari kita pergi saja!” Dia menyambar tangan Ratu Khamila agak kasar dan mengajak ratu itu pergi meninggalkan Bun Houw yang masih berdiri bengong karena dia memang bingung melihat sikap In Hong dan dia memang mulai merasa ragu-ragu. Benarkah dara ini, yang telah mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkan kaisar, seperti yang dia dengar dari ayahnya, benarkah dara segagah ini melakukan perbuatan serendah itu, membunuh gadis dusun yang lemah tak berdosa? Dia mengikuti terus dan selagi In Hong berhenti, memutar tubuh dan hendak membentak, tiba-tiba terdengar suara berisik dan tahu-tahu tempat itu telah dikurung oleh ratusan orang perajurit Sabutai, dikepalai oleh Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko yang berdiri memandang seperti patung yang hidup, menyeramkan sekali. Mereka berdua tidak berkata apa-apa, hanya komandan pasukan itu yang cepat memberi hormat kepada Ratu Khamila dan berkata, “Hamba diutus oleh sri baginda untuk mengawal paduka kembali ke benteng.” Puteri Khamila mengerutkan alisnya. “Akupun sedang hendak kembali ke benteng dikawal oleh enci Hong dan Bun-taihiap ini.” Puteri Khamila memandang kepada In Hqng dan Bun Houw dengen sinar mata melindungi, keudian mengangguk kepada mereka. “Mari, enci Hong dan Bun-taihiap, mari ikut bersamaku menemui suamiku, Sri Baginda Sabutai dan semua hal akan menjadi terang dan beres. Aku yang akan bertanggung jawab dan membela kalian kalau kalian dipersalahkan.” Tadinya In Hong dan Bun Houw sudah siap untuk melawan, akan tetapi In Hong diam-diam khawatir akan keselamatan Bun Houw, karena dia tahu betul betapa hebatnya kepandaian kakek dan nenek guru Sabutai itu, apalagi di situ masih ada ratusan orang perajurit yang sudah mengepung mereka berdua. Maka diapun mengangguk, dan Bun Houw juga tidak banyak membantah. Jangankan baru memasuki benteng Sabutai, biarpun disuruh memasuki nEraka, kalau bersama nona Hong itu, dia akan bersedia! Maka, berangkatlah mereka, diiringkan oleh ratusan orang perajurit yang seolah-olah “mengawal” mereka, kembali ke benteng di mana Sabutai sendiri telah menanti. Wajah Sabutai yang tadinya keruh itu menjadi berseri seketika setelah dia melihat isterinya melangkah masuk ke ruangan itu dengan agungnya. Dia cepat bangkit berdiri, memegang tangan isterinya dan menuntunnya duduk di atas kursi kebesaran, di sampingnya sambil berkata, “Engkau harus menjaga kesehatanmu, jangan banyak terkena angin.” Khamila memandang suaminya dengan mata merah membasah karena tangis tadi, lalu berbisik, “...hamba... kaisar...” Raja Sabutai tersenyum dan menyentuh tangan isterinya. “Aku memang bermaksud membebaskannya...” Dia mengangguk dan tersenyum sehingga legalah hati Khamila. Sementara itu, In Hong melirik ke seluruh ruangan. Dia tidak melihat Bouw Taisu dan Hek I Siankouw. Akan tetapi subonya sudah berada di situ, duduk di atas kursi dengan muka dingin dan mata membayangkan kemarahan. Tentu saja subonya marah kepadanya, dan masih merasa penasaran dan malu karena dikalahkan oleh ketua Cin-ling-pai! Dua orang kakek dan nenek guru Sabutai kini telah mengambil tempat duduk di belakang raja itu. Adapun pembesar Wang Cin juga hadir di situ, bersama anak buahnya yang kini hanya tinggal tiga orang yang dapat dia andalkan, yaitu tiga orang Bayangan Dewa. Mereka itu agaknya belum tahu apa yang telah menimpa diri empat orang undangan pembantu mereka, tidak tahu akan kematian Go-bi Sin-kouw dan Hwa Hwa Cinjin yang jenazah-jenazahnya dibawa pergi oleh Bouw Thaisu dan Hek I Siankouw. Komandan pasukan pengawal tadi melaporkan kepada rajanya tentang sang ratu yang ditemukan di dalam hutan bersama In Hong den pemuda yang kini ikut pula dibawa menghadap dan menyerahkan keputusannya kepada raja. Karena laporan itu dilakukan dalam bahasa mereka sendiri, baik In Hong maupun Bun Houw tidak tahu artinya, akan tetapi melihat wajah Khamila yang tenang-tenang saja bahkan kelihatan lega, hati merekapun tidak khawatir. Setelah mendengarkan pelaporan komandang pasukan itu, Sabutai lalu memberi isyarat menyuruh mundur semua pasukan sehingga ruangan ini sekarang menjadi sunyi, hanya ada mereka dan Wang Cin bersama tiga orang Bayangan Dewa, Raja Sabutai, isterinya dan dua orang gurunya saja. Raja Sabutai kini menghadapi In Hong, memandang kagum kemudian dia berkata, “Nona Hong, engkau sungguh menepati janji, terus mengawal isteri kami sampai ke manapun sehingga telah kembali pula ke sini dengan selamat. Sayang engkau mempergunakan akal untuk meloloskan kaisar keluar dari benteng. Kenapa engkau tidak terang-terangan saja minta ijin dariku? Apakah engkau tidak tahu bahwa memang kami tidak mempunyai niat untuk membunuhnya? Kalau memang kami bermaksud membunuhnya, sudah sejak lama dia kami bunuh!” In Hong melirik ke arah Khamila, kemudian dia menjura dan berkata dengan gagah, “Saya telah melakukan hal itu, dan memang saya menyelundupkan kaisar keluar dari tempat tahanan. Setelah saya mengaku, maka terserah atas kebijaksanaan paduka!” Ucapan gagah ini sekaligus juga menyatakan bahwa dia tidak takut akan akibat dari perbuatannya itu. Mendengar ini, tentu saja Bun Houw merasa khawatir sekali. Dia salah duga, mengira bahwa In Hong hendak menyerahkan diri menerima segala hukuman, maka cepat dia berkata, “Harap paduka maafkan kelancangan saya. Akan tetapi sepanjang pengetahuan saya, bukanlah nona Hong yang meloloskan kaisar, melainkan isteri paduka, sang ratu! Sebagai seorang pengawal yang setia, tentu saja nona Hong menyertai sang ratu ketika beliau meloloskan tawanan keluar dari benteng, maka tidak semestinya kesalahan ditimpakan kepada nona Hong.” Semua orang memandang kepada pemuda itu, dan Raja Sabutai memandang dengan mata menyelidik. Sementara itu, Khamila berbisik kepada suaminya bahwa dia sudah menanggung keselamatan mereka dan agar pemuda yang menjadi sahabat baik nona Hong itu jangan diganggu. “Mereka saling mencinta...” bisik ratu itu akhimya. Sabutai tersenyum dan mengertilah dia kini mengapa pemuda itu mati?matian mempertahankan dan membela nona Hong. Juga In Hong terheran?heran bagaimana Bun Houw dapat menduga demikian tepat tentang larinya kaisar bersama Ratu Khamila. Dia tidak mengira bahwa pemuda ini adalah putera pendekar sakti Cia Keng Hong dan telah mendengar penuturan ayahnya tentang kaisar yang melarikan diri dibantu oleh Ratu Khamila itu. “Orang muda, siapakah engkau?” Raja Sabutai bertanya, diam?diam dia menaksir apakah pemuda itu pantas menjadi kekasih seorang pendekar wanita seperti In Hong. “Nama saya... Bun Houw.” Bun Houw masih menyembunyikan she?nya, karena dia teringat betapa In Hong sendiripun mengira dia she Bun. Pula, di tempat seperti ini, perlu apa memperkenalkan diri yang sesungguhnya? Yang terpenting, kaisar telah lolos dan dia hanya berada di situ untuk melindungi In Hong dan juga untuk mencari tiga orang musuh besarnya, yaitu tiga orang Bayangan Dewa yang kabarnya berada di situ. Sejak tadipun dia sudah memandang?mandang ke arah tiga orang kakek yang duduk di belakang seorang pembesar Han yang dia kira tentulah Wang Cin dan tiga orang kakek itu agaknya adalah orang?orang yang selama ini dicarinya, maka dia memandang penuh perhatian sampai dia ditanya oleh Raja Sabutai. Tiba?tiba Wang Cin berkata, “Sri baginda, harap sri baginda berhati?hati. Tidak salah lagi bahwa nona Hong tentulah seorang mata?mata dari kerajaan, dan pemuda ini tidak syak lagi juga seorang mata?mata. Oleh karena itu, sudah seharusnya kalau mereka berdua ditangkap dan dihukum mati karena mereka terang?terangan telah meloloskan kaisar itu dari tahanan!” “Apa yang dikatakan oleh Wang?taijin benar sekali” Tiba?tiba Pat?pi Lo?sian Phang Tui Lok berkata sambil bangkit berdiri. “Sudah sejak dahulu hamba semua tahu bahwa nona In Hong itu adalah mata?mata musuh dan tentu sekali waktu akan mengkhianati paduka. Juga pemuda ini adalah seorang jahat yang masih mempunyai perhitungan dengan hamba karena dia bersama nona Hong telah membunuh dua orang saudara hamba.” Melihat betapa para pembantu Wang Cin agaknya memusuhi In Hong dan Bun Houw, hati Raja Sabutai tertarik sekali. Memang raja ini, di samping ambisinya untuk menjadi raja besar yang akan membangkitkan kembali kejayaan Bangsa Mongol, juga merupakan orang yang keranjingan ilmu silat, amat suka menyaksikan pertandingan silat. Maka melihat sikap kedua fihak ini yang agaknya bermusuhan, dia lalu bertanya kepada pemuda yang buru datang itu. “Orang muda, benarkah engkau membunuh saudara mereka? Kalau benar, mengapa?” “Maaf sri baginda. Mereka itu adalah orang?orang jahat yang tadinya berlima, menamakAn diri Lima Bayangan Dewa yang dengan cara amat curang telah menyerbu Cin?ling?pai, di waktu ketuanya tidak ada, membunuh anak murid Cin?ling?pai dan mencuri pedang pusaka Siang?bhok?kiam dari Cin?ling?pai. Selain itu juga bersekutu dengan orang?orang jahat, dan kini bahkan menjadi kaki tangan pengkhianat ini!” Dengan berani Bun Houw menuding ke arah Wang Cin. “maka sudah sepatutnyalah kalau saya, sebagai orang yang menjunjung tinggi kegagahan, menentang mereka dan dalam pertandingan saya berhasil merobohkan saudare mereka termuda yang bernama Toat?beng?kauw Bu Sit ketika orang itu hendak melakukan pemerkosaan terhadap seorang gadis yang tidak berdosa.” “Bohong kau!” Pat?pi Lo?sian membentak marah. “Dan aku yang membunuh Hui?giakang Ciok Lee Kim ketika nenek cabul itu berbuat tidak patut terhadap seorang pemuda.” In Hong kint juga bersikap berani. “Sri baginda, harap tangkap mereka dan hukum mampus! Mereka berdua berani menghina saya dan menentang sri baginda!” Wang Cin menuding dengan marah. In Hong melirik kepada subonya yang hanya memandang ke kanan kiri dengan wajah dingin. Diam?diam gadis ini merasa ngeri. Subonya adalah seorang yang aneh luar biasa, sukar diketahui isi hatinya. Kalau subonya berfihak kepada Wang Cin celakalah, pikirnya. Sementara itu, Bun Houw juga sudah siap?siap untuk mengamuk dan melindungi In Hong. Sebaliknya, In Hong tidak mengerti apa yang akan dilakukannya andaikata Raja Sabutai hendak menangkap Bun Houw saja. Apakah dia akan melindungi pemuda ini? Dia tidak depat menjawab saat itu. Betapapun juga, kedua orang muda ini sudah merasa tegang dan mereka menanti saat yang menentukan sambil memandang wajah Sabutai yang tersenyum?senyum misterius. In Hong menaksir keadean. Kakek dan nenek di belakang raja itu amat lihai dan kiranya Bun Houw bukanlah lawan seorang di antara mereka. Apalagi ditambah tiba Bayangan Dewa, para perwira dan banyak perajurit, tentu mereka berdua tidak akan mampu menyelamatkan diri. Kecuali kalau gurunya berada di fihaknya, kalau demikian masih mending, sungguhpun agaknya, dengan kekuatan mereka bertiga sekalipun amatlah sukar lolos dari benteng yang kuat ini. Agaknya keputusan itu juga merupakan hal yang amat sulit bagi Raja Sabutai. Dia tadi mendengar bisikan isterinya bahwa antara In Hong dan Bun Houw terdapat hubungan cinta kasih, maka kalau dia menyuruh tangkap dan bunuh pemuda itu, tentu berarti dara perkasa yang dikaguminya itu akan membela mati?matian. Akan tetapi kalau tidak ditangkap, seolah?olah dia tidak menghargai bantuan Wang Cin dan kawan?kawannya dalam penyerbuannya ke selatan yang hampir berhasil akan tetapi sekarang mengalami kemunduran hebat itu. Pada saat dia meragu, tiba?tiba Khamila menyentuhnya. Dia menoleh dan ternyata isterinya menyerahkan sesampul surat. “Harap paduka baca ini dulu...” bisik Khamila.   Sabutai tertarik sekali dan hatinya tegang ketika mengenal surat yang datang dari Kaisar Ceng Tung itu. Dia membuka sampulnya, mengangkat tangan kiri sebagai isyarat agar semua orang diam dan menunda pembicaraan, kemudian dia mulai membaca surat yang ditulis dengan huruf?huruf halus dan indah itu. Raja Sabutai yang saya hormati, Anda mengetahui betapa Wang Cin yang khianat telah melemahkan saya dengan racun berupa Azisha yang seperti ular itu, sehingga saya sampai terjebak dan menjadi tawanan anda. Akan tetapi saya kagum kepada anda yang berbahagia dan yang memiliki seorang ratu yang amat mulia. Semoga anda hidup berbahagia dengan keluarga anda. Kini saya telah bebas. Saya akan menemui bala tentara saya dan menghentikan perang antara kita. Mengingat akan kebaikan anda dan ratu, maka apabila anda suka mundur dan menarik pasukan, anda akan tetap menjadi sahabat kami dan saya akan menjadi wali dari putera anda kelak. Sebaliknya, apabila anda melanjutkan penyerbuan ke selatan, kami akan membasmi semua pasukan anda dan akan mempersilakan ratu untuk hidup terhormat dan terpuji di dalam istana kami. Sekian dan kemudian terserah kebijaksanaan anda. Tertanda, Kaisar Ceng Tung Sabutai menyimpan surat itu dan tersenyum lebar sambil melirik ke arah isterinya. Kemudian dia memandang mereka semua seorang demi seorang, kemudian yang terakhir kepada Wang Cin, dan berkatalah dia dengan suara lantang. “Kami memutuskan agar urusan ini ditunda dulu. Nona Hong dan pemuda ini tetap menjadi tamu?tamu kami yang diawasi dan tidak diperkenankan keluar dari benteng. Juga harap Wang?taijin dan para pembantunya tidak sembarangan turun tangan menimbulkan keributan. Kami hendak melihat perkembangannya. Hendak kulihat apakah benar?benar kaisar muda itu berkepandaian begitu hebat untuk merampas kembali kedudukannya dan menarik mundur pasukan seperti yang dijanjikannya. Ha?ha?ha!” Sabutai tertawa, lalu mengajak isterinya memasuki ruangan sebelah dalam. Persidangan itu bubar dan sepasukan pengawal lalu mengantar Bun Houw ke dalam sebuah kamar tamu dan selanjutnya pemuda ini terus dikawal dan diawasi. Demikianpun In Hong dan Yo Bi Kiok maklum bahwa mereka diam-diam diawasi oleh kakek den nenek guru Sabutai. Semenjak peristiwa kekalahan Yo Bi Kiok dari Cia Keng Hong, guru ini bersikap dingin terhadap muridnya dan tidak pernah menegur, akan tetapi In Hongpun diam saja karena makin lama makin terbukalah matanya betapa subonya itu memiliki watak yang aneh, tidak lumrah, kadang-kadang ganas dan amat kejam sehingga dia merasa tidak senang dan juga berduka, karena sesungguhnya, subonya itulah yang selama ini dianggapnya sebagai orang yang paling baik baginya. Sementara itu, dengan bantuan Cia Keng Hong, Kaisar Ceng Tung cepat mengadakan kontak dengan para menteri dan jenderal yang setia kepadanya. Untung baginya, kebetulan sekali bala tentara yang dikerahkan ke utara untuk menghalau pasukan-pasukan Sabutai, dipimpin oleh Jenderal Bao Ciang, scorang jenderal yang setia kepadanya dan menjadi sahabat baik pendekar Cia Keng Hong. Mula-mula kaisar oleh Cia Keng Hong disembunyikan lebih dulu dan dia sendiri pergi menghadap Jenderal Bao Ciang. Di tempat ini, Cia Keng Hong berjumpa dengan Yap Kun Liong yang seperti banyak orang-orang gagah dari seluruh penjuru beramai-ramai menjadi sukarelawan membantu bala tentara pemerintah untuk menghadapi pemberontak dari utara. Sebelum bicara dengan Jenderal Bao Ciang, Cia Keng Hong menemui Kun Liong lebih dulu dan dari Yap Kun Liong inilah dia menyelidiki keadaan jenderal itu sekarang sehingga dia merasa yakin bahwa Jenderal Bao inipun tidak setuju akan pengangkatan Cing Ti yang dipaksa menggantikan kedudukan Kaisar Ceng Tung yang tertawan pemberontak. Dengan singkat Cia Keng Hong lalu bercerita kepada Yap Kun Liong betapa adik kandung Kun Liong yang bernama In Hong telah berhasil menyelamatkan dan meloloskan kaisar dari dalam tahanan pemberontak. Kun Liong terkejut dan girang bukan main. Tadinya dia sudah merasa kehilangan adiknya yang dianggapnya telah menyeleweng dan menjadi seorang yang kejam seperti gurunya, Yo Bi Kiok. Akan tetapi siapa tahu kini malah berjasa besar! “Supek, di manakah dia sekarang?” “Dia menjadi pengawal ratu, isteri Sabutai. Dia kembali ke benteng Sabutai, dan aku sudah menyuruh Bun Houw untuk menyusul dan melindunginya kalau-kalau ada bahaya mengancamnya. Karena aku sendiri harus cepat membantu sri baginda kaisar menghubungi para jenderal...” “Kalau begitu saya akan menyusul ke sana, supek.” “Sebaiknya begitulah.” Kun Liong memberi hormat dan berkelebat pergi, diikuti pandang mata Cia Keng Hong yang merasa kasihan sekali kepada pendekar itu. Dia tahu bahwa sampai sekarang, kematian isteri Kun Liong yang mengakibatkan banyak malapetaka itu masih juga belum terbongkar rahasianya dan tentu usaha penyelidikan semua terhenti oleh adanya perang melawan pemberontakan. Bahkan penyelidikan puteranya dan dia sendiri tentang pedang pusaka Siang-bhok-kiampun terhenti. Semua kepentingan pribadi memang terpaksa harus dikesampingkan untuk mendahulukan kepentingan negara dan bangsa. Apalagi menghadapi ancaman dari orang-orang Mongol yang pernah menjajah tanah air selama hampir satu abad lamanya itu. Kemudian Cia Keng Hong pergi menghadap Jenderal Bao dan dalam pertemuan antara dua sahabat lama, karena keduanya dahulu merupakan pembantu-pembantu Panglima Besar The Hoo, terdapat kegembiraan besar dan di sini Cia Keng Hong menjajagi isi hati Jenderal Bao, karena biarpun dia sudah mendengar keterangan dari Kun Liong, namun dalam urusan diri kaisar dia harus berhati-hati. Setelah dia yakin benar bahwa jenderal ini benar-benar masih setia kepada Kaisar Ceng Tung, Cia Keng Hong memancing. “Akan tetapi, Bao-goanswe, bukankah Kaisar Ceng Tung adalah kaisar yang lemah sekali, yang mudah saja dipermainkan oleh thaikam yang khianat, dan mudah tunduk oleh selirnya yang bernama Azisha?” Jenderal Bao mengerutkan alisnya yang tebal. “Memang benar, akan tetapi saya mengenal betul watak beliau sejak kecil, Cia-taihiap! Beliau adalah seorang yang sesungguhnya memiliki budi baik, dan seorang yang memiliki kecerdasan dan kemampuan besar untuk menjadi seorang kaisar yang baik. Pribadinya baik, dia gagah berani menentang segala kesukaran. Kalau dia berobah lemah, hal itu adalah karena pengaruh si laknat Wang Cin, si kebiri pengkhianat itu. Betapapun juga, pengangkatan Kaisar Cing Ti hanya terpaksa karena Kaisar Ceng Tung tidak ada beritanya, mungkin sudah tewas di dalam tahanan dan untuk itu, kami telah bersumpah untuk membalas dendam, untuk membasmi Sabutai dan semua anak buahnya!” Dia memukulkan tinjunya yang besar ke atas meja. “Seandainya Kaisar Ceng Tung ternyata masih hidup dan berhasil meloloskan diri dari tawanan, bagaimana, Bao-goanswe?” Mata yang lebar itu memandang tajam. “Tidak mungkin! Sudah terlambat. Mereka yang berambisi mencari kedudukan tinggi sudah memperjuangkan agar Kaisar Ceng Tung tidak ditolong selana ini dan agar mereka dapat mengangkat kaisar lain yang dapat mereka permainkan. Kelompok pengganti orang-orang macam Wang Cin memang banyak terdapat di istana dan tak lama lagi kaisar baru akan jauh lebih lemah lagi daripada Kaiar Ceng Tung.” “Akan tetapi seandainya Kaisar Ceng Tung masih hidup dan lolos?” “Tidak mungkin! Harapan kosong belaka!” “Goanswe, lupakah goanswe kepada ajaran Panglima The Hoo bahwa dalam setiap keadaan kita tidak boleh sekali-kali berputus asa? Kalau belum ada bukti-bukti bahwa Kaisar Ceng Tung telah meninggal dunia, mengapa goanswe mengatakan tidak mungkin dan harapan kosong belaka? Jawablah, andaikata beliau masih hidup dan sekarang dapat muncul di sini, apa yang akan kaulakukan?” Jenderal itu bangkit berdiri, menatap wajah pendekar itu penuh selidik, tiba-tiba memegang dan menekan tangan pendekar itu dengan tangannya yang besar dan kuat, dan matanya menjadi basah. “Cia-taihiap! Engkau satu-satunya orang yang paling kuhormat karena kegagahanmu dan kupercaya karena kesetiaanmu, katakanlah. Benarkah beliau masih hidup?” “Duduklah, goanswe. Lebih baik kaujawab dulu pertanyaanku tadi. Apa yang akan kaulakukan kalau beliau masih hidup dan muncul di sini?” “Demi Tuhan! Aku akan membantu beliau memperoleh kembali singgasana beliau karena itu adalah haknya! Kalau Sri Baginda Kaisar Ceng Tung masih hidup, maka kaisar yang baru itu tidak sah!” “Hemm, bagaimana akan kaulakukan hal itu begitu mudahnya? Kaisar yang baru memiliki banyak pendukung dan tentu akan terjadi perang saudara.” “Tidak! Sebagian besar bala tentara berada di bawah komandoku. Dan sisa pasukan di dalampun dipimpin oleh sahabat-sahabatku yang setia kepada Kaisar Ceng Tung. Hanya ada beberapa orang jenderal yang mengepalai pasukan-pasukan pengawal dan pasukan-pasukan pinggiran yang tidak berarti kekuatannya. Aku akan lebih dulu mengadakan pembersihan, menekan mereka atau menyingkirkan mereka kalau perlu. Akan tetapi betulkah...?” Dia memandang penuh harap. Cia Keng Hong sudah merasa yakin sekarang. Dia mengangguk dan berkata, “Lekas sediakan pasukan penjemput dan kereta.” Jenderal Bao merangkul Cia Keng Hong dan kepalan tangannya yang besar menghapus dua titik air matanya. “Kau hebat, taihiap! Kau hebat sekali telah menyelamatkan kaisar! Usaha puluhan ribu perajurit tidak berhasil, akan tetapi engkau seorang diri dapat...” “Ssssstt... jangan tergesa-gesa memuji. Engkau akan mendengar sendiri dari beliau siapa yang menyelamatkan beliau. Mari!” Malam itu juga, Jenderal Bao Ciang sendiri bersama Cia Keng Hong memimpin pasukan menjemput Kaisar Ceng Tung. Setelah berhadapan dengan kaisar, Jenderal Bao menjatuhkan diri berlutut sambil meruntuhkan beberapa titik air mata! Akan tetapi, dengan manis budi dan tenang kaisar itu berkata, “Bangkitlah, jenderalku yang setia! Dan mulai saat ini, perintahkan untuk menarik mundur semua pasukan, jangan lagi mengejar pasukan Sabutai.” Jenderal itu bangkit dan memberi hormat, terkejut menerima perintah pertama yang aneh itu. “Siap, sri baginda. Akan tetapi, bolehkah hamba menerima penjelasan?” Kaisar tersenyum angkuh. “Kalau dia diserang, dia akan mempertahankan mati-matian dan mungkin akan mengorbankan banyak pasukan kita yang kini perlu kita kerahkan ke selatan. Dan aku menjamin bahwa kalau dia tidak diserang, dia akan mundur. Dia telah tahu kini akan kekuatan kita dan kekalahannya merupakan pelajaran baginya. Dia kelak dapat menjadi sahabat yang baik.” Kaisar tersenyum lagi, teringat akan suratnya dan akan pengaruh Khamila atas diri suaminya. Cia Keng Hong yang tidak tahu akan urusan sedalam-dalamnya, diam-diam juga merasa heran sekali. Kaisar lalu diiringkan ke dalam benteng dan taat akan perintah kaisar, Jenderal Bao menarik kembali semua pasukan yang mengurung benteng. Sabutai hanya meninggalkan sedikit pasukan untuk melakukan pengintaian. Hal inipun segera diketahui oleh Sabutai yang tertawa dan mengangguk-angguk. “Hebat...” kata Raja Mongol ini. “Memang dia hebat, jauh hebat daripada aku, dalam banyak hal... dalam banyak hal...” dia teringat akan kandungan di dalam perut istrinya dan tersenyum lebar penuh kebanggaan bahwa dia akan menjadi ayah dari seorang anak keturunan kaisar yang demikian hebat! Setelah berunding dengan kaisara, Jenderal Bao yang dibantu oleh Cia Keng Hong yang kini bertindak sebagai pengawal kaisar pribadi untuk sementara, segera melaksanakan rencananya. Tentang kembalinya Kaisar Ceng Tung masih dirahasiakan dan jenderal itu menyusun kekuatan untuk mengembalikan singgasana kepada Kaisar Ceng Tung. Para menteri dan jenderal yang setia kepada Kaisar Ceng Tung tentu saja menyambut dengan penuh kegembiraan, akan tetapi di fihak para pengejar ambisi yang telah mengangkat Kaisar Ceng Ti secara paksa, tentu saja dengan mati-matian mempertahankan Kaisar Ceng Ti, karena turunnya kaisar baru dari tahta dan kembalinya kaisar lama ke istana berarti hilangnya kedudukan baru mereka yang mulia! Kembali merupakan bukti yang nyata betapa semenjak sejarah tercatat orang, semua pertikaian, semua permusuhan dan semua peperangan terjadi sebagai akibat daripada pengejaran ambisi dan cita-cita, baik perorangan maupun kelompok yang sesungguhnya sama saja, karena kelompok hanyalah merupakan sekumpulan orang-orang lemah yang tidak percaya kepada diri sendiri lalu menggantungkan kepercayaan mereka kepada beberapa gelintir orang dan mengeoper ambisi beberapa gelintir orang itu sebagai tujuan cita-cita mereka sendiri. Betapa banyak terjadi sejak dahulu. Raja demi raja ditumbangkan dari kekuasaannya oleh raja lain yang pada gilirannya selalu terancam akan digulingkan pula oleh kekuasaan lain yang ingin mencapai apa yang dicita-citakannya, apa yang diinginkannya dan yang dinamakan cita-cita atau ambisi. Cita-cita atau ambisi bukan lain hanyalah keinginan kita akan sesuatu yang tidak ada, sesuatu yang lain daripada yang ada sekarang, yang lain daripada apa yang berada di tangan kita, lain daripada apa yang kita miliki, yang kita anggap jauh lebih bagus dan lebih menyenangkan daripada yang ada sekarang. Dengan pandangan seperti ini, mata yang ditujukan kepada hal-hal yang belum ada, yang dianggap lebih menyenangkan, tentu saja yang ada sekarang tampak sama sekali tidak menyenangkan, atau bahkan tidak nampak sama sekali. Jelaslah bahwa cita-cita atau ambisi itu hanyalah pengejaran kesenangan belaka, kesenangan yang dibayang-bayangkan akan membuatnya bahagia. Padahal kalau yang dinamakan cita-cita itu tercapai, kepuasan hanya dirasakan sebentar saja karena mata sudah mulai lagi memandang jauh, bercita-cita yang lain lagi, mengejar kesenangan yang lain lagi, yang dianggap lebih daripada yang telah diperolehnya itu. Demikianlah, hidup lalu menjadi gelanggang pengejaran cita-cita yang akibatnya hanya dua, yaitu kalau tidak tercapai menjadikan kecewa dan putus asa, kalau tereapai menjadikan bosan dan mengejar yang lain lagi. Dan lebih celaka lagi, pengejaran-pengajaran demi tercapainya cita-cita atau ambisi yang pada hakekatnya hanyalah kesenangan terselubung itu, seringkali dilakukan dengan cara bagaimana saja, kadang-kadang kotor dan kejam bukan main, demi untuk memperoleh yang dicita-cita atau dikejarnya. Betapapun cara pengejaran keinginan itu diperhalus, dijaga agar tidak menyeleweng daripada kebenaran, tetap saja di dalamnya mengandung unsur untuk kepentingan diri pribadi, dan karena setiap orang mengejar keinginan masing-masing, maka tentu saja tidak mungkin dapat dlielakkan lagi terjadilah bentrokan-bentrokan, sikut-sikutan, jegal-jegalan demi untuk memperoleh apa yang diinginkan. Seperti sekelompok kanak-kanak memperebutkan layang-layang yang putus talinya. Apapun akan mereka lakukan demi memperoleh layang-layang itu. Oleh karena cita-cita inilah maka timbul perbuatan-perbuatan yang rendah, timbul perang dan permusuhan dan timbul cara-cara yang kotor dan keji, timbul pegangan kejam bahwa cita-cita atau tujuan menghalalkan segala cara! Dan kalau sudah begitu, celakalah manusia. Demikian pula dengan kerajaan di mana terjadi perebutan tahta itu. Fihak menteri dan jenderal yang bersimpati kepada Ceng Tung, yang masih setia kepada kaisar lama ini, menggunakan segala daya upaya dan kekuatan mereka untuk menggeser kaisar baru dan mendudukkan kembali Kaisar Ceng Tung ke singgasana. Sedangkan mereka yang berkedudukan tinggi, para pendukung atau pengangkat Kaisar Ceng Ti, mempertahankan kedudukan kaisar baru ini yang sebetulnya hanya dipergunakan sebagal “alat” untuk mencapai keinginan mereka sendiri, yaitu memperoleh pangkat dan kemuliaan, maka terjadilah ketegangan dan kekacauan di dalam istana kaisar. Karena maklum bahwa tentu akan timbul usaha fihak lawan untuk membunuh Kaisar Ceng Tung, maka kaisar ini disembunyikan di dalam rumah gedung seorang pembesar bernama Liang Kun Ong, seorang pembesar berdarah bangsawan dan masih terhitung keluarga biarpun agak jauh dengan Kaisar Ceng Tung dan yang termasuk seorang yang setia kepada kaisar ini. Dan tentu saja pendekar sakti Cia Keng Hong selalu mengawal kaisar karena pendekar inipun maklum bahwa sebelum kaisar itu menduduki kembali singgasananya, maka keselamatannya tidak terjamin. Sementara itu, Jenderal Bao cepat memperjuangkan kembalinya Kaisar Ceng Tung melalui saluran-saluran yang resmi. Malam itu sunyi sekali dan Kaisar Ceng Tung sudah beristirahat. Seperti biasa selama tinggal di dalam gedung itu yang sudah berjalan belasan hari, Cia Keng Hong tidur di sudut kamar, hanya teraling tirai dari pembaringan yang menjadi tempat tidur Kaisar Ceng Tung. Akan tetapi, tentu saja Cia Keng Hong hanya menidurkan tubuhnya saja, sedangkan kewaspadaannya tidak pernah tidur, nyenyak sehingga andaikata ada sedikit suara saja, suara yang tidak wajar, tentu dia sudah meloncat dan tahu-tahu sudah berada di dekat pembaringan kaisar untuk melindunginya. Hal seperti ini tidak mengherankan bagi seorang ahli ilmu silat tinggi, karena kewaspadaan seakan-akan sudah mendarah daging di seluruh urat syarafnya seperti telah menjadi semacam naluri yang biasanya hanya dimiliki oleh binatang-binatang yang peka perasaannya. Tentu saja bukan hanya Cia Keng Hong seorang yang menjadi pengawal menjaga keselamatan Kaisar Ceng Tung. Cia Keng Hong merupakan pengawal pribadi yang selalu berdekatan dengan kaisar, akan tetapi masih ada lagi sepasukan istimewa, yaitu pasukan pengawal Kuku Garuda yang dahulupun menjadi pengawal-pengawal dalam istana Kaisar Ceng Tung dan ketika terjadi penggantian kaisar, pasukan ini meloloskan diri karena mereka masih setia kepada Kaisar Ceng Tung. Mereka itu tersebar dan menjadi buronan, ada yang bergabung dengan barisan yang berada di bawah kekuasaan jenderal-jenderal yang setia kepada Kaisar Ceng Tung, akan tetapi ada pula yang kembali ke dusun. Kini yang dapat dikumpulkan oleh Jenderal Bao hanya ada dua puluh orang dan mereka ini dengan senang hati menerima tugas melindungi dan mengawal Kaisar Ceng Tung di dalam gedung Pangeran Liang Kun Ong. Biarpun sudah ada dua puluh orang pengawal Kuku Garuda yang boleh dipercaya ini, yang rata-rata memiliki kepandaian cukup tinggi, namun Cia Keng Hong tidak pernah lengah karena dia maklum bahwa kalau fihak musuh mengirim seorang pembunuh bayaran yang tinggi tingkat kepandaiannya, dengan mudah saja pembunuh itu akan dapat melalui penjagaan para pengawal itu. Oleh karena itu, biarpun pada malam hari yang sunyi dan dingin itu penjagaan seperti biasa dilakukan dengan ketat, tetap saja Cia Keng Hong yang kelihatan tidur pulas itu sebenarnya masih dalam keadaan “waspada”. Bunyi kentongan ronda malam menyatakan bahwa waktu itu sudah persis tengah malam. Telinga pendekar sakti yang masih tidur itu jelas mendengar dan kewaspadaannya membuat dia mengerti bahwa suara itu adalah suara kentongan yang menunjukkan waktu, maka diapun terus tidur dengan napas teratur. Akan tetapi, ketika ada suara berkeresekan di atas genteng gedung, seketika pendekar ini membuka mata! Di lain saat tubuhnya sudah berkelebat seperti terbang cepatnya dan tahu-tahu dia telah berada di tepi pembaringan kaisar yang ternyata masih tidur pulas. Dengan pendengarannya yang tajam ketua Cin-ling-pai ini mengerti bahwa yang datang lebih dari satu orang, maka dia cepat mengambil keputusan. Tanpa membangunkan kaisar, tangannya bergerak menotok pundak Kaisar Ceng Tung sehingga kaisar itu tertotok lemas dalam keadaan tidur, kemudian Cia Keng Hong memondong tubuh kaisar, disembunyikan di bawah kolong pembaringan dan dia sendiri lalu naik ke atas pembaringan itu, menggunakan selimut kaisar menutupi tubuhnya sebatas leher ke bawah, menggantikan tempat kaisar! Dengan cara ini dia hendak menjebak fihak musuh tanpa membahayakan kaisar, karena kalau dia melakukan perlawanan berterang, dia khawatir bahwa fihak musuh akan menyerang dari berbagai jurusan yang tentu saja akan amat menyukarkan baginya melindungi kaisar sebaiknya. Suara berkeresekan makin dekat dan kini tiba tepat di atas genteng kamar itu. Tiba-tiba dia mendengar suara jerit-jerit tertahan di luar kamar, di mana biasanya terdapat dua orang pengawal yang menjaga siang malam secara bergilir, suara ini disusul pula dengan suara-suara yang sama, seperti orang yang tidak sempat menjerit lagi lalu roboh dari luar jendela sebelah kiri dan dari atas genteng. Hemm, mereka telah mulai turun tangan, pikir Cia Keng Hong, seluruh urat syarafnya menegang dan semua panca inderanya siap sedia. “Sing-sing-singgg...!” Tepat seperti yang telah diduganya semula, sinar-sinar merah halus itu meluncur cepat sekali dari tiga jurusan! Dalam waktu bersamaan, sinar-sinar merah halus itu menyerang ke arah pembaringan, ke arah tubuhnya dari luar jendela dan dari dua arah di atas genteng! Andaikata dia masih berjaga dengan berdiri di dekat pembaringan, akan repot jugalah kalau dia harus menyelamatkan kaisar menghalau sinar-sinar merah yang datangnya dalam saat berbareng dari tiga jurusan bertentangan itu. Dia tahu apa sinar-sinar itu, dan kedua tangannya bergerak dari bawah selimut, jari-jari tangannya menjepit jarum-jarum halus yang berbau harum. Jarum yang mengandung racun halus dan kalau memasuki kulit akan mendatangkan kematian seketika! Matanya memandang cepat, melihat betapa di atas genteng, di dua tempat itu berlubang, juga daun jendela terbuka sedikit, dan kini terdengar suara “krekkk!” dan daun pintu kamar terbuka dari luar, pegangan daun pintunya hancur berantakan dicengkeram sebuah tangan yang memiliki tenaga amat kuat! Melihat bahwa yang masuk ke kamar ini seorang yang memiliki tenaga dahsyat, maka Cia Keng Hong menendang selimut yang menutupi tubuhnya. Berbareng dengan terbangnya selimut merah ke arah pintu, kedua tangannya bergerak dan meluncurlah sinar-sinar merah yang sama dengan tadi, akan tetapi suara berdesingnya jauh lebih nyaring lagi karena jarum-jarum itu kini diterbangkan oleh sambitan ketua Cin-ling-pai yang memiliki tenaga yang jauh lebih kuat, meluncur ke arah tiga jurusan, yaitu ke jendela dan lubang-lubang di atas genteng. Terdengar pekik-pekik kesakitan di atas genteng dan di luar jendela kamar, sedangkan orang tinggi besar yang baru saja menerjang masuk ke kamar dan pintu, berseru kaget ketika tiba-tiba ada selimut merah menerjangnya seolah-olah selimut itu mempunyai nyawa saja! “Wuuuuttt-plakkk... breettttt...!” Selimut itu ditangkis oleh orang tinggi besar dan cabik-cabik, lalu dilemparnya ke samping. Akan tetapi saat itu, Cia Keng Hong telah meloncat dan berdiri di depan orang tinggi besar ini. Mereka saling pandang! Sejenak pendekar sakti Cia Keng Hong memandang tajam penuh selidik kepada kakek tinggi besar yang berwajah gagah menyeramkan itu, dan dia memutar otak mengingat-ingat, kemudian dia berkata dengan heran, “Hemm, bukankah engkau Tiat-ciang-pangcu?” Kini dia teringat dan menyambung, “Tidak salah lagi, engkau adalah Ouw-pangcu dari Bayankara!” “Cia-taihiap...!” Kakek itu juga berseru kaget dan mukanya berobah. Memang orang itu adalah ketua dari perkumpulan Tiat-ciang-pang (Perkumpulan Tangan Besi) yang dahulu terkenal sebagai perkumpulan pejuang dari utara, berpusat di Pegunungan Bayankara, dan terkenal dengan kelihaian tangan mereka karena ketuanya memiliki Ilmu Tangan Besi yang amat ditakuti orang (baca cerita Siang-bhok-kiam). “Ouw-pangcu,” kata Cia Keng Hong, suaranya dingin dan pandang matanya tajam menusuk. “Apakah Tiat-ciang-pang kini telah menjadi begitu merosot dan rendah sehingga mau diperalat orang untuk melakukan pekerjaan hina seperti ini, melakukan penyerangan kepada orang secara menggelap?” Kakek tinggi besar itu kelihatan bingung. “Apa... apa artinya ini? Kami memang diperalat, akan tetapi diperalat oleh kaisar dan para pembesar untuk membasmi komplotan pengkhianat yang kabarnya bersembunyi di dalam gedung ini. Mengapa yang berada di sini malah Cia-taihiap? Mana komplotan pengkhianat itu?” “Ouw-pangcu!” Cia Keng Hong yang mengenal tokoh ini sebagai seorang pejuang dahulu, berkata tegas, “Yang menjadi komplotan pengkhianat adalah mereka yang memperalat pangcu.” Muka kakek itu berobah. “Apa... apa maksudmu, taihiap?” Tahukah pangcu siapa yang berhak menjadi kaisar? Siapakah sesungguhnya kaisar? Kalau kaisar lama, Sri Baginda Ceng Tung masih ada dan dalam keadaan selamat dan sehat, apakah kaisar yang sekarang ini sah?” “Cia-taihiap, apa maksud kata-katamu itu? Bukankah Sri Baginda Kaisar Ceng Tung telah tewas di tangan pemberontak Mongol dan sekarang yang menjadi penggantinya adalah Sri Baginda Kaisar Cing Ti?” “Nah, itulah buktinya bahwa yang memperalat pangcu itulah yang sebenarnya pengkhianat. Sri Baginda Ceng Tung masih hidup dan sehat, saya sendiri yang mengawalnya ketika beliau lolos dari tawanan orang-orang Mongol, akan tetapi ternyata kawanan pengkhianat telah mengangkat seorang kaisar lain, bahkan kini memperalatmu untuk membunuh Kaisar Ceng Tung.” “Ahhh...?” Ouw Kian terkejut setengah mati dan kedua tangannya gemetar. “Saya... saya disuruh membunuh Sri Baginda Kaisar Ceng Tung?” Cia Keng Hong mengangguk, lalu mengambil kaisar yang masih tidur pulas di bawah tempat tidur dan membaringkan kaisar di atas pembaringan kembali. Melihat ini, Ouw Kian menjatuhkan diri berlutut, membentur-benturkan dahinya di atas lantai dengan air mata bercucuran membasahi mukanya yang keriputan! “Celaka... aku layak mampus...! Cia-taihiap... bunuhlah aku yang berdosa ini...” Pada saat itu terdengar suara ribut-ribut di luar dan bentakan-bentakan keras dari para pengawal, “Tangkap pembunuh...!” Cia Keng Hong menjawab dari dalam. “Harap di luar tenang. Kaisar dapat diselamatkan dan singkirkan mayat orang-orang di luar jendela dan di atas genteng.” Terdengar para pengawal berseru girang dan lega. Mereka adalah para pengawal yang melihat enam orang teman mereka tahu-tahu telah tewas di tempat penjagaan masing-masing di sekitar kamar kaisar. Mendengar suara Cia Keng Hong, mereka menjadi lega dan segera memeriksa tiga tempat itu dan benar saja, di masing-masing tempat mereka menemukan mayat dua orang asing yang dadanya bengkak-bengkak merah terkena jarum-jarum halus! Sementara itu, di dalam kamar itu, Cia Keng Hong menguras keterangan dari Ouw Kian, siapa saja yang memperalatnya. Dengan jujur Ouw Kian lalu membeberkan persekutuan yang mendukung Kaisar Cing Ti dan dicatat secara diam-diam oleh Cia Keng Hong, kemudian setelah kakek itu mengakhiri pembongkaran rahasia persekutuan itu, Cia Keng Hong lalu berkata, “Ouw-pangcu, biarpun engkau telah melakukan suatu kedosaan yang besar sekali, melakukan usaha untuk membunuh kaisar, namun kesalahanmu ini adalah karena engkau diperalat orang dan kaulakukan di luar kesadaranmu. Oleh karena itu, sebagai imbalan semua keteranganmu, aku membebaskanmu. Pergilah!” Kakek itu memandang Cia Keng Hong dengan muka pucat. “Cia-taihiap, keputusanmu ini jauh lebih berat bagiku daripada kalau engkau membunuhku sekarang juga.” “Ouw-pangcu, pergilah.” Kakek itu mengangguk-angguk. “Baik, aku pergi dan aku pergi hanya untuk membalas kepada orang yang telah membodohi dan memperalatku. Taihiap, selamat tinggal dan terima kasih bahwa taihiap telah menghalangiku melakukan perbuatan terkutuk malam ini!” Kakek itu lalu melangkah keluar dari pintu kamar itu dan Cia Keng Hong berkata ke arah para penjaga di luar. “Biarkan sahabatku itu keluar! Dia bukan musuh!” Tentu saja para penjaga itu terheran-heran karena mereka tadi tidak melihat ada orang masuk, tahu-tahu sekarang ada yang keluar dari dalam kamar. Akan tetapi mereka percaya penuh kepada pendekar sakti itu, maka tidak ada yang berani membantah dan membiarkan kakek yang menyeramkan itu keluar dari gedung. Cia Keng Hong lalu menyuruh seorang penjaga untuk minta kedatangan Janderal Bao Ciang di malam itu juga dan setelah Jenderal Bao datang, dia menceritakan semua peristiwa yang terjadi malam itu, juga dia menyebutkan nama-nama para pembesar yang merupakan komplotan pendukung Kaisar Cing Ti sehingga Jenderal Bao menjadi makin girang, karena kini dengan mudah dia dapat melakukan pembersihan. “Sebaiknya sekarang juga sri baginda kaisar dipindahkan ke dalam Markas Pasukan agar lebih aman dan lebih mudah menjaga beliau,” kata jenderal itu dan Cia Keng Hong segera menyetujui. Kaisar lalu digugah, diceritakan tentang peristiwa penyerangan itu dan malam itu juga dikawal oleh Cia Keng Hong sendiri untuk pindah ke dalam markas pasukan kepercayaan Jenderal Bao. Dan malam itu terjadilah peristiwa hebat di dalam istana. Tiga orang pembesar tinggi yang dekat dengan kaisar telah dibunuh oleh seorang jagoan mereka sendiri dan si jagoan yang mengamuk itupun dapat ditewaskan. Mendengar ini, mengertilah Cia Keng Hong bahwa Ouw Kian benar-benar telah menebus dosanya terhadap kaisar dan telah membalas dendam kepada orang-orang yang memperalatnya. Diam-diam pendekar ini bersyukur bahwa orang gagah itu akhirnya dapat insyaf dan mati sebagai seorang gagah perkasa yang mempertahankan kebenaran. Demikianlah, dengan bantuan dari Cia Keng Hong, akhirnya Jenderal Bao berhasil juga mempengaruhi sebagian besar para pembesar di istana dan setelah menang suara, terutama sekali karena sebagian besar kekuatan militer telah dihimpun oleh Jenderal Bao Ciang, maka pada suatu hari Kaisar Ceng Tung dinaikkan kembali ke singgasananya dan Kaisar Cing Ti diturunkan! 285 “Tahukah pangcu siapa yang berhak menjadi kaisar? Siapakah sesungguhnya kaisar? Kalau kaisar lama, Sri Baginda Ceng Tung masih ada dan dalam keadaan selamat dan sehat, apakah kaisar yang sekarang ini sah?” “Cia-taihiap, apa maksud kata-katamu itu? Bukankah Sri Baginda Kaisar Ceng Tung telah tewas di tangan pemberontak Mongol dan sekarang yang menjadi penggantinya adalah Sri Baginda Kaisar Cing Ti?” “Nah, itulah buktinya bahwa yang memperalat pangcu itulah yang sebenarnya pengkhianat. Sri Baginda Ceng Tung masih hidup dan sehat, saya sendiri yang mengawalnya ketika beliau lolos dari tawanan orang-orang Mongol, akan tetapi ternyata kawanan pengkhianat telah mengangkat seorang kaisar lain, bahkan kini memperalatmu untuk membunuh Kaisar Ceng Tung.” “Ahhh...?” Ouw Kian terkejut setengah mati dan kedua tangannya gemetar. “Saya... saya disuruh membunuh Sri Baginda Kaisar Ceng Tung?” Cia Keng Hong mengangguk, lalu mengambil kaisar yang masih tidur pulas di bawah tempat tidur dan membaringkan kaisar di atas pembaringan kembali. Melihat ini, Ouw Kian menjatuhkan diri berlutut, membentur-benturkan dahinya di atas lantai dengan air mata bercucuran membasahi mukanya yang keriputan! “Celaka... aku layak mampus...! Cia-taihiap... bunuhlah aku yang berdosa ini...” Pada saat itu terdengar suara ribut-ribut di luar dan bentakan-bentakan keras dari para pengawal, “Tangkap pembunuh...!” Cia Keng Hong menjawab dari dalam. “Harap di luar tenang. Kaisar dapat diselamatkan dan singkirkan mayat orang-orang di luar jendela dan di atas genteng.” Terdengar para pengawal berseru girang dan lega. Mereka adalah para pengawal yang melihat enam orang teman mereka tahu-tahu telah tewas di tempat penjagaan masing-masing di sekitar kamar kaisar. Mendengar suara Cia Keng Hong, mereka menjadi lega dan segera memeriksa tiga tempat itu dan benar saja, di masing-masing tempat mereka menemukan mayat dua orang asing yang dadanya bengkak-bengkak merah terkena jarum-jarum halus! Sementara itu, di dalam kamar itu, Cia Keng Hong menguras keterangan dari Ouw Kian, siapa saja yang memperalatnya. Dengan jujur Ouw Kian lalu membeberkan persekutuan yang mendukung Kaisar Cing Ti dan dicatat secara diam-diam oleh Cia Keng Hong, kemudian setelah kakek itu mengakhiri pembongkaran rahasia persekutuan itu, Cia Keng Hong lalu berkata, “Ouw-pangcu, biarpun engkau telah melakukan suatu kedosaan yang besar sekali, melakukan usaha untuk membunuh kaisar, namun kesalahanmu ini adalah karena engkau diperalat orang dan kaulakukan di luar kesadaranmu. Oleh karena itu, sebagai imbalan semua keteranganmu, aku membebaskanmu. Pergilah!” Kakek itu memandang Cia Keng Hong dengan muka pucat. “Cia-taihiap, keputusanmu ini jauh lebih berat bagiku daripada kalau engkau membunuhku sekarang juga.” “Ouw-pangcu, pergilah.” Kakek itu mengangguk-angguk. “Baik, aku pergi dan aku pergi hanya untuk membalas kepada orang yang telah membodohi dan memperalatku. Taihiap, selamat tinggal dan terima kasih bahwa taihiap telah menghalangiku melakukan perbuatan terkutuk malam ini!” Kakek itu lalu melangkah keluar dari pintu kamar itu dan Cia Keng Hong berkata ke arah para penjaga di luar. “Biarkan sahabatku itu keluar! Dia bukan musuh!” Tentu saja para penjaga itu terheran-heran karena mereka tadi tidak melihat ada orang masuk, tahu-tahu sekarang ada yang keluar dari dalam kamar. Akan tetapi mereka percaya penuh kepada pendekar sakti itu, maka tidak ada yang berani membantah dan membiarkan kakek yang menyeramkan itu keluar dari gedung. Cia Keng Hong lalu menyuruh seorang penjaga untuk minta kedatangan Janderal Bao Ciang di malam itu juga dan setelah Jenderal Bao datang, dia menceritakan semua peristiwa yang terjadi malam itu, juga dia menyebutkan nama-nama para pembesar yang merupakan komplotan pendukung Kaisar Cing Ti sehingga Jenderal Bao menjadi makin girang, karena kini dengan mudah dia dapat melakukan pembersihan. “Sebaiknya sekarang juga sri baginda kaisar dipindahkan ke dalam Markas Pasukan agar lebih aman dan lebih mudah menjaga beliau,” kata jenderal itu dan Cia Keng Hong segera menyetujui. Kaisar lalu digugah, diceritakan tentang peristiwa penyerangan itu dan malam itu juga dikawal oleh Cia Keng Hong sendiri untuk pindah ke dalam markas pasukan kepercayaan Jenderal Bao. Dan malam itu terjadilah peristiwa hebat di dalam istana. Tiga orang pembesar tinggi yang dekat dengan kaisar telah dibunuh oleh seorang jagoan mereka sendiri dan si jagoan yang mengamuk itupun dapat ditewaskan. Mendengar ini, mengertilah Cia Keng Hong bahwa Ouw Kian benar-benar telah menebus dosanya terhadap kaisar dan telah membalas dendam kepada orang-orang yang memperalatnya. Diam-diam pendekar ini bersyukur bahwa orang gagah itu akhirnya dapat insyaf dan mati sebagai seorang gagah perkasa yang mempertahankan kebenaran. Demikianlah, dengan bantuan dari Cia Keng Hong, akhirnya Jenderal Bao berhasil juga mempengaruhi sebagian besar para pembesar di istana dan setelah menang suara, terutama sekali karena sebagian besar kekuatan militer telah dihimpun oleh Jenderal Bao Ciang, maka pada suatu hari Kaisar Ceng Tung dinaikkan kembali ke singgasananya dan Kaisar Cing Ti diturunkan! 285 “Tahukah pangcu siapa yang berhak menjadi kaisar? Siapakah sesungguhnya kaisar? Kalau kaisar lama, Sri Baginda Ceng Tung masih ada dan dalam keadaan selamat dan sehat, apakah kaisar yang sekarang ini sah?” “Cia-taihiap, apa maksud kata-katamu itu? Bukankah Sri Baginda Kaisar Ceng Tung telah tewas di tangan pemberontak Mongol dan sekarang yang menjadi penggantinya adalah Sri Baginda Kaisar Cing Ti?” “Nah, itulah buktinya bahwa yang memperalat pangcu itulah yang sebenarnya pengkhianat. Sri Baginda Ceng Tung masih hidup dan sehat, saya sendiri yang mengawalnya ketika beliau lolos dari tawanan orang-orang Mongol, akan tetapi ternyata kawanan pengkhianat telah mengangkat seorang kaisar lain, bahkan kini memperalatmu untuk membunuh Kaisar Ceng Tung.” “Ahhh...?” Ouw Kian terkejut setengah mati dan kedua tangannya gemetar. “Saya... saya disuruh membunuh Sri Baginda Kaisar Ceng Tung?” Cia Keng Hong mengangguk, lalu mengambil kaisar yang masih tidur pulas di bawah tempat tidur dan membaringkan kaisar di atas pembaringan kembali. Melihat ini, Ouw Kian menjatuhkan diri berlutut, membentur-benturkan dahinya di atas lantai dengan air mata bercucuran membasahi mukanya yang keriputan! “Celaka... aku layak mampus...! Cia-taihiap... bunuhlah aku yang berdosa ini...” Pada saat itu terdengar suara ribut-ribut di luar dan bentakan-bentakan keras dari para pengawal, “Tangkap pembunuh...!” Cia Keng Hong menjawab dari dalam. “Harap di luar tenang. Kaisar dapat diselamatkan dan singkirkan mayat orang-orang di luar jendela dan di atas genteng.” Terdengar para pengawal berseru girang dan lega. Mereka adalah para pengawal yang melihat enam orang teman mereka tahu-tahu telah tewas di tempat penjagaan masing-masing di sekitar kamar kaisar. Mendengar suara Cia Keng Hong, mereka menjadi lega dan segera memeriksa tiga tempat itu dan benar saja, di masing-masing tempat mereka menemukan mayat dua orang asing yang dadanya bengkak-bengkak merah terkena jarum-jarum halus! Sementara itu, di dalam kamar itu, Cia Keng Hong menguras keterangan dari Ouw Kian, siapa saja yang memperalatnya. Dengan jujur Ouw Kian lalu membeberkan persekutuan yang mendukung Kaisar Cing Ti dan dicatat secara diam-diam oleh Cia Keng Hong, kemudian setelah kakek itu mengakhiri pembongkaran rahasia persekutuan itu, Cia Keng Hong lalu berkata, “Ouw-pangcu, biarpun engkau telah melakukan suatu kedosaan yang besar sekali, melakukan usaha untuk membunuh kaisar, namun kesalahanmu ini adalah karena engkau diperalat orang dan kaulakukan di luar kesadaranmu. Oleh karena itu, sebagai imbalan semua keteranganmu, aku membebaskanmu. Pergilah!” Kakek itu memandang Cia Keng Hong dengan muka pucat. “Cia-taihiap, keputusanmu ini jauh lebih berat bagiku daripada kalau engkau membunuhku sekarang juga.” “Ouw-pangcu, pergilah.” Kakek itu mengangguk-angguk. “Baik, aku pergi dan aku pergi hanya untuk membalas kepada orang yang telah membodohi dan memperalatku. Taihiap, selamat tinggal dan terima kasih bahwa taihiap telah menghalangiku melakukan perbuatan terkutuk malam ini!” Kakek itu lalu melangkah keluar dari pintu kamar itu dan Cia Keng Hong berkata ke arah para penjaga di luar. “Biarkan sahabatku itu keluar! Dia bukan musuh!” Tentu saja para penjaga itu terheran-heran karena mereka tadi tidak melihat ada orang masuk, tahu-tahu sekarang ada yang keluar dari dalam kamar. Akan tetapi mereka percaya penuh kepada pendekar sakti itu, maka tidak ada yang berani membantah dan membiarkan kakek yang menyeramkan itu keluar dari gedung. Cia Keng Hong lalu menyuruh seorang penjaga untuk minta kedatangan Janderal Bao Ciang di malam itu juga dan setelah Jenderal Bao datang, dia menceritakan semua peristiwa yang terjadi malam itu, juga dia menyebutkan nama-nama para pembesar yang merupakan komplotan pendukung Kaisar Cing Ti sehingga Jenderal Bao menjadi makin girang, karena kini dengan mudah dia dapat melakukan pembersihan. “Sebaiknya sekarang juga sri baginda kaisar dipindahkan ke dalam Markas Pasukan agar lebih aman dan lebih mudah menjaga beliau,” kata jenderal itu dan Cia Keng Hong segera menyetujui. Kaisar lalu digugah, diceritakan tentang peristiwa penyerangan itu dan malam itu juga dikawal oleh Cia Keng Hong sendiri untuk pindah ke dalam markas pasukan kepercayaan Jenderal Bao. Dan malam itu terjadilah peristiwa hebat di dalam istana. Tiga orang pembesar tinggi yang dekat dengan kaisar telah dibunuh oleh seorang jagoan mereka sendiri dan si jagoan yang mengamuk itupun dapat ditewaskan. Mendengar ini, mengertilah Cia Keng Hong bahwa Ouw Kian benar-benar telah menebus dosanya terhadap kaisar dan telah membalas dendam kepada orang-orang yang memperalatnya. Diam-diam pendekar ini bersyukur bahwa orang gagah itu akhirnya dapat insyaf dan mati sebagai seorang gagah perkasa yang mempertahankan kebenaran. Demikianlah, dengan bantuan dari Cia Keng Hong, akhirnya Jenderal Bao berhasil juga mempengaruhi sebagian besar para pembesar di istana dan setelah menang suara, terutama sekali karena sebagian besar kekuatan militer telah dihimpun oleh Jenderal Bao Ciang, maka pada suatu hari Kaisar Ceng Tung dinaikkan kembali ke singgasananya dan Kaisar Cing Ti diturunkan! Seperti terbukti di dalam sejarah, nasib Kaisar Cing Ti, adik dari Kaisar Ceng Tung ini, amatlah menyedihkan. Dia naik ke atas tahta kerajaan di waktu kakaknya yang menjadi kaisar tertawan musuh dan dia naik karena dorongan dan setengah paksaan para pembesar yang berlomba mencari kedudukan. Kemudian, dia diturunkan dan dianggap sebagai seorang keluarga kaisar yang melakukan perbuatan khianat terhadap kaisar sehingga Kaisar Cing Ti ini lalu diasingkan, bahkan kelak setelah dia meninggal dunia, jenazahnya tidak berhak dikubur di dalam kedudukan sebagai kaisar, melainkan dikuburkan dalam sebuah kuburan terpencil yang berada di belakang Taman Pancuran Kumala, beberapa li jauhnya di sebelah barat Kota Raja Peking, jauh dari tanah pekuburan para raja dari Kerajaan Beng-tiauw yang lain, seolah-olah kenyataannya bahwa Cing Ti pernah menjadi kaisar di jaman kerajaan itu hendak dihapus dari sejarah! Setelah Kaisar Ceng Tung kembali menduduki singgasananya, kaisar muda ini tentu saja amat berterima kasih kepada Cia Keng Hong dan ingin memberi anugerah pangkat besar, akan tetapi pendekar sakti ini menghaturkan terima kasihnya dan mohon maaf karena dia sama sekali bukan membela kaisar untuk mencari kedudukan! Dengan halus dia menolak anugerah itu, kemudian mohon diri dan kembali ke Cin-ling-pai. *** Suasana di ruangan besar itu amat menegangkan. Menegangkan urat syaraf mereka semua, dari Raja Sabutai sampai kepada para perajurit yang mengepung dan menjaga ruangan itu dengan ketat dan dengan senjata lengkap di tangan. Ada tiga ratus orang perajurit yang menjaga di sekitar ruangan itu, menutup setiap lubang sehingga tidak ada kemungkinan bagi siapapun yang berada di dalam ruangan itu untuk lolos keluar! Terutama sekali bagi mereka yang berada di dalam ruangan itu, yang kini berkumpul untuk menghadapi lawan masing-masing karena Raja Sabutai telah mengumumkan bahwa permusuhan di antara kedua golongan itu akan diselesaikan dengan mengadu kedua golongan itu dengan adil! Akan diadakan pibu (adu kepandaian) yang adil dan menentukan antara fihak para pembantu Wang Cin dan fihak Bun Houw dan In Hong sebagai fihak kedua, sedangkan para jagoan Raja Sabutai menjadi fihak ketiga! Jadi semua ahli yang memiliki kepandaian di dalam ruangan itu kini terpecah menjadi tiga bagian. Raja Sabutai dengan wajah berseri hadir tanpa isterinya, karena Ratu Khamila tidak suka nonton adu manusia ini. Akan tetapi semua panglimanya hadir, dan juga semua jagoan Mongol termasuk kakek dan nenek guru raja itu yang selain hadir sebagai guru dan orang-orang yang diandalkan dari fihak raja, juga sebagai pengawal pribadi Raja Sabutai. Bun Houw duduk di atas bangku tidak jauh dari In Hong dan Yo Bi Kiok. Jantung pemuda ini berdebar keras dan dia merasa tidak tenang. Sejak tadi dia melihat gadis itu duduk dengan tenang dan seolah-olah tidak akan terjadi sesuatu, bahkan wajahnya membayangkan ketenangan yang dingin. Juga wanita cantik setengah tua yang menjadi guru gadis yang dikaguminya itu duduk tenang, wajahnya yang lebih dingin lagi bahkan menjadi mengerikan karena membayangkan suatu ancaman bagi siapapun yang berani menentangnya, dan mulut yang kecil manis itu mengulum senyum penuh ejekan, yang tidak ditujukan kepada orang-orang tertentu. Akan tetapi mata mereka ditujukan kepada Raja Sabutai yang pagi hari itu kelihatan gembira sekali. “Hong-moi...” Akhirnya Bun Houw tak dapat menahan lagi kegelisahan hatinya dan dia berbisik memanggil gadis itu. Akan tetapi In Hong tidak menjawab, juga tidak menoleh. “Hong-moi...” Bun Houw memanggil lagi, maklum bahwa tidak mungkin gadis yang berkepandaian tinggi itu tidak mendengar bisikannya. In Hong mengerutku alisnya, melirik tanpa menoleh, sebuah tanda bahwa dia telah mendengar. Bun Houw tidak merasa menyesal gadis itu agaknya tidak memperdulikannya, bahkan dia berkata lagi. “Hong-moi, harap kau jangan mencampuri urusanku dengan Bayangan Dewa. Mereka adalah lawanku, jangan kaumembahayakan dirimu sendiri.” In Hong menoleh den sejenak mereka saling pandang. Tiba-tiba In Hong merasa betapa jantungnya berdebar aneh dan tanpa disadarinya, seluruh wajahnya berobah merah sekali dan dara itu tidak tahu betapa subonya melirik kepadanya dan subonya mengulum senyum melihat keadaannya itu. Entah bagaimana, dia merasa malu dan cepat menundukkan mukanya. Kemudian untuk menutupi perasaan malu yang aneh ini, yang tidak dikenal dan tidak dimengertinya, In Hong mengangkat muka memandang lagi dan kini sinar metanya mengandung kemarahan! “Aku adalah Dewi Maut, kejam seperti iblis, pembunuh gadis tidak berdosa, kenapa engkau memperdulikan aku? Bun-ko, engkau datang ke sini karena terbawa-bawa olehku, maka sebaiknya engkau tidak ikut-ikut dalam pertandingan ini. Biar aku yang menghadapi mereka. Mereka itu berbahaya dan lihai, apalagi kakek dan nenek di belakang sri beginda itu!” “Hong-moi...!” Bun Houw hendak membantah. “Sudahlah!” In Hong membuang muka dan terpaksa Bun Houw menghentikan desakannya karena suaranya mulai menarik perhatian semua orang, babkan Raja Sabutai sendiri mulai memandang ke arahnya. Bun Houw kini melirik dan memandang ke arah orang-orang yang akan menjadi lawannya. Selama beberapa hari ini dia telah mencari keterangan dan tahulah dia siapa tiga orang tua yang berdiri di belakang Wang Cin itu. Mereka itu musuh-musuh besarnya, musuh besar Cin-ling-pai yang memang selama ini dicarinya. Kakek berkuncir panjang yang berwajah tampan gagah dan kelihatan masih muda itu, yang berpakaian serba putih adalah orang pertama dari Lima Bayangan Dewa, yaitu yang bernama Phang Tui Lok dan berjuluk Pat-pi Lo-sian. Dia itulah yang datang ke Cin-ling-pai selagi empat orang kawannya memancing pergi Cap-it Ho-han dari Cin-ling-pai dan dia pula yang mencuri pedang Siang-bhok-kiam. Dialah yang terlihai di antara Lima Bayangan Dewa. Kemudian kakek berjubah hitam, kepalanya bertopi, bertubuh kokoh kuat dan yang hidungnya besar itu adalah orang kedua dari Lima Bayangan Dewa yang bernama Liok-te Sin-mo Gu Lo It sedangkan hwesio tua gendut memegang tasbeh hijau itu adalah Sin-ciang Siauw-bin-siang Hok Hosiang. Di samping tiga orang yang diincarnya itu, ada pula beberapa orang pengawal pribadi Wang Cin yang tidak dia perhatikan, dan kini dia melirik ke arah Raja Sabutai. Raja itu sendiri kelihatan gembira sekali seolah-olah sedang berada dalam suasana suatu pesta meriah! Yang diperhatikan oleh Bun Houw adalah nenek berwajah kehitaman dan kakek berwajah putih yang berdiri seperti arca di belakang raja itu. Dia sudah mendengar nama Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko yang kabarnya memiliki kepandaian amat tinggi itu. Selain dua orang kakek dan nenek yang kabarnya menjadi guru Sabutai yang juga lihai, di situ masih terdapat beberapa orang Mongol tinggi besar yang kelihatannya kuat dan memiliki kepandaian. “Eh, orang she Bun!” Tiba-tiba ada suara orang berbisik, suaranya mendesis tajam. Bun Houw menoleh dan ternyata yang bicara kepadanya adalah Yo Bi Kiok, wanita setengah tua yang cantik itu. Dia tahu bahwa wanita itu adalah guru dari In Hong, maka dia memandang dan mendengarkan penuh perhatian. “Hayo kau minta maaf kepada muridku atas tuduhanmu yang bukan-bukan itu. Dia bukan seorang kejam seperti iblis, juga tidak membunuh orang. Hayo minta maaf kau!” “Subo, jangan ikut mencampuri...” In Hong berbisik pula mencela subonya. Bun Houw mengerutkan alisnya. “Akan tetapi...” “Tidak ada tapi, hayo minta maaf!” Yo Bi Kiok mendesak. Bun Houw merasa mendongkol. Tidak biasa dia didesak dan dipaksa orang seperti itu, maka sikap yang angkuh dan keras dari Yo Bi Kiok itu malah membuat dia berkeras tidak mau minta maaf dan dia menggeleng kepala. “Subo, sudahlah...” In Hong kembali mencela gurunya dan pada saat itu Raja Sabutai sudah mengangkat tangan kanan ke atas, tanda bahwa semua orang diminta untuk diam dan dia mau bicara. “Saudara sekalian harap maklum bahwa pertemuan ini diadakan pertama-tama untuk merayakan kemenangan seorang sahabatku yang kukagumi, yaitu Kaisar Ceng Tung yang telah dapat menduduki singgasananya kembali dan berhasil mengalahkan semua pengkhianat di dalam kerajaannya! Silakan saudara sekalian mengangkat cawan untuk kehormatan dan keselamatan Kaisar Ceng Tung!” Tentu saja Bun Houw menjadi terkejut dan juga terheran-heran menyaksikan sikap dan mendengar ucapan Raja Sabutai itu, akan tetapi dengan girang dia lalu mengangkat cawan arak yang memang sejak tadi disuguhkan di meja depan mereka semua. Semua orang mengangkat cawan dan minum arak, termasuk Yo Bi Kiok setelah nyonya ini melirik ke arah Wang Cin dengan senyum mengejek. “Pyarrr...!” Tiba-tiba mendengar suara mangkok pecah dan nampak sebuah cawan arak menggelinding di atas lantai. Cawan itu dibanting oleh Wang Cin yang kini sudah bangkit berdiri dengan marah sekali, matanya ditujukan ke arah Raja Sabutai dan tubuhnya yang gendut itu menggigil, mukanya merah padam. Suasana menjadi sunyi karena semua orang menahan napas dengan hati tegang menyaksikan betapa dua orang sekutu itu kini berhadapan sebagai musuh. “Sabutai, engkau sungguh merupakan seorang sekutu yang khianat!” bentak Wang Cin, suaranya melengking tinggi, saking marahnya suaranya menjadi seperti suara wanita, yaitu satu di antara ciri-ciri orang kebiri yang sedikit demi sedikit berobah sifatnya menjadi kewanita-wanitaan. “Bagaimana dengan tak tahu malu engkau berani menyuruh aku untuk memberi selamat atas kemenangan Ceng Tung dan secara tidak langsung memaki aku?” Raja Sabutai tersenyum mengejek. “Eh, Wang-taijin, salahkah aku kalau mengatakan bahwa engkau adalah seorang pengkhianat yang gagal? Engkau adalah seorang palsu, dan aku sudah benci kepadamu semenjak pertama kali, hanya karena kita bekerja sama maka aku masih dapat menahan diri membiarkan kehadiranmu yang memuakkan. Aku memang sejak semula kagum kepada Ceng Tung dan muak kepadamu. Sekarang, engkau merupakan seorang pengkhianat yang sudah tidak ada harganya lagi, dan Kaisar Ceng Tung berhasil manduduki tahta kerajannya lagi dan memegang janjinya kepadaku. Sudah sepatutnya kalau kita, apalagi seorang renah seperti engkau, mengucapkan selamat kepada Kaisar Ceng Tung yang gagah perkasa.” Makin marahlah Wang Cin. Dia adalah seorang yang pernah mencapai kedudukan tinggi sekali, kepercayaan kaisar dan hampir menjadi orang kedua di kerajaan, dan sekarang dia dihina oleh seorang raja liar, raja pemberontak! “Sabutai, raja liar yang rendah...! Kau... kau... hayo serbu dan bunuh dia!” bentaknya sambil monoleh dan memerintah para pengawal dan pembantunya. Akan tetapi tidak ada seorangpun yang berani bergerak. Tentu saja, para pengawalnya, juga termasuk tiga orang Bayangan Dewa, bukanlah orang-orang tolol yang mau membunuh diri secara konyol menyerang seorang raja di dalam bentengnya sendiri! Mereka semua adalah orang-orang yang menghambakan diri kepada Wang Cin atas perhitungan rugi untung, maka setelah kini malihat Wang Cin kalah dan gagal, tentu saja mereka tidak sudi untuk membuang nyawa sia-sia untuk pembesar kebiri itu. Memang demikianlah adanya “kesetiaan” yang didengung-dengungkan manusia di seluruh dunia itu! Apakah sesungguhnya kesetiaan itu? Apakah artinya kalau orang bersetia dan berani mengorbankan nyawanya demi untuk rajanya, untuk negaranya, untuk agamanya dan lain-lain? Apakah artinya itu? Kalau kita mau membuka mata dan menjenguk keadaan batin sendiri akan nampaklah dengan nyata bahwa sesungguhnya sebutan kesetiaan itu merupakan sebutan lain saja penonjolan diri pribadi, atau dapat juga dilihat bahwa yang mendorong “kesetiaan” itu hanyalah keinginan menonjolkan diri sendiri dan kesetiaan itu hanya merupakan suatu cara untuk memperoleh keuntungan diri pribadi, biarpun keuntungan itu bukan berupa benda lagi, melainkan dalam bentuk “nama besar” atau “nama baik”, kepahlawanan, dan sebagainya lagi. Mereka yang “setia” kepada Wang Cin juga tidak ada bedanya. Mungkin saja mereka itu tadinya benar-benar setia, yaitu ketika mereka masih menaruh harapan bahwa kalau perjuangan Wang Cin itu berhasil kelak, mereka tentu akan menerima ganjaran-ganjaran besar. Akan tetapi, setelah mereka sekarang melihat bahwa tidak ada manfaatnya dan tidak ada untungnya lagi untuk terus “setia” kepada Wang Cin, tentu saja kesetiaan merekapun lenyap seperti awan tipis ditiup angin badai. Jelaslah bahwa di dalam apa yang dinamakan kesetiaan itu tersembunyi pamrih demi keuntungan diri pribadi, baik keuntungan jasmani maupun keuntungen rohani yang sesungguhnya sama saja, karena keduanya bersumber kepada kepentingan diri pribadi. Sunyi menyambut perintah Wang Cin yang tidak mendapat sambutan sama sekali itu. Kesunyian yang amat menyakitkan hati Wang Cin, yang benar-benar merasa kecewa dan mukanya berobah pucat, matanya terbelalak hampir tidak percaya memandang kepada para jagoannya yang diam seperti patung, ada yang menatap lantai, ada yang menatap langit-langit, seolah-olah mereka tidak tahu akan keheranan pembesar kebiri itu! “Ha-ha-ha-ha!” Raja Sabutai tertawa bergelak. “Wang Cin, jangan kau mimpi yang bukan-bukan! Orang-orang yang tadinya membantumu bukanlah orang-orang bodoh atau orang-orang buta yang tidak depat melihat kenyataan. Engkau sekarang seperti seekor macan ompong tua yang tinggal kulitnya saja! Orang-orangmu hanya mempunyai dua pilihan, yaitu ikut bersama kami ke utara dan membantu kami atau melarikan diri menjadi buruan pemerintah Beng-tiauw, menjadi penjahat-penjahat dan perampok-perampok, akan tetapi tentu tidak ada yang sudi ikut denganmu karena hal itu berarti ikut ke neraka. Ha-ha-ha!” “Sabutai, manusia palsu kau!” Wang Cin marah sekali, lalu meneabut pedangnya dan lari menyerang Raja Sabutai. Tidak ada seorangpun berani bergerak, bahkan para pengawal Raja Sabutaipun tidak bergerak tanpa perintah rajanya, dan mereka hanya memandang sambil tersenyum karena mereka maklum bahwa rajanya bukaniah seorang lemah yang perlu dilindungi terhadap serangan seorang pembesar kebiri macam Wang Cin. “Sabutai, mampuslah kau...!” Wang Cin yang sudah putus harapan dan marah sekali itu menaiki tangga dan menyerang ke arah Raja Sabutai yang duduk sambil tertawa, pedang di tangannya diangkat tinggi-tinggi. Biarpun Wang Cin pernah pula mempelajari ilmu silat, akan tetapi pembesar ini sudah puluhan tahun lamanya tidak pernah berlatih, dan pedang yang dibawa-bawanya itu hanya merupakan hiasan belaka, tidak pernah dimainkan satu kalipun, maka tentu saja gerakannya kaku dan baru lari sebentar begitu saja napasnya sudah ngos-ngosan. Ketika dia tiba di depan meja Raja Sabutai dan mengayun pedangnya, tiba-tiba kaki Raja Sabutai yang masih tersenyum lebar itu menyambar dari bawah, cepat dan kuat sekali menendang ke arah perut yang gendut itu. “Bukkkkk!!” Wang Cin terpekik, pedangnya terlempar, tubuhnya terjengkang dan terbanting ke belakang, berdebuk menimpa lantai. “Seret babi ini keluar dan habisi dia!” Raja Sabutai memerintah dan empat orang pengawal menubruk maju, masing-masing memegang tangan atau kaki lalu menyeret tubuh gendut itu keluar. Wang Cin menjerit-jerit seperti babi disembelih, memaki-maki lalu menangis akan tetapi setiap gerakan dan setiap suaranya hanya mendatangkan perasaan muak saja karena seluruhnya membayangkan sifat pengecut yang menyebalkan. Dari jauh terdengar jerit melengking dari bekas pembesar kebiri yang pernah mempermainkan Kaisar Ceng Tung itu. Setelah gema lengking terakhir itu mereda, Sabutai yang masih tersenyum lalu berkata, ditujukan kepada semua orang. “Sekarang, seperti yang telah kami janjikan, mari kita selesaikan semua urusan pribadi, semua permusuhan pribadi, diselesaikan secara terhormat dan adil, cara orang-orang gagah agar seluruh dunia tidak akan menganggap bahwa Raja Sabutai tidak menghargai kegagahan orang! Sekarang, siapa yang mempunyai rasa penasaran dan mempunyai tuntutan kepada seseorang atau orang-orang lain, dipersilakan untuk menyatakan di depan kami secara terang-terangan!” Setelah berkata demikian, Raja Sabutai memandang ke sekeliling, terutama kepada bekas pembantu-pembantu Wang Cin dan kepada Bun Houw, In Hong, dan Yo Bi Kiok. Tiga orang Bayangan Dewa saling lirik, akan tetapi mereka tidak bergerak. Mereka bertiga adalah orang-orang yang mempunyai dua maksud tersembunyi ketika mereka datang ke tempat itu sebagai pembantu-pembantu Wang Cin. Pertama, untuk menyembunyikan diri dari pengejaran fihak Cin-ling-pai dan mencari perlindungan, kedua untuk mengejar kemuliaan, membonceng pengkhianatan Wang Cin. Kini Wang Cin sudah tamat riwayatnya, maka mereka tidak berani banyak berlagak lagi, apa pula karena empat orang kawan mereka yang mereka andalkan, yaitu Go-bi Sin-kouw dan teman-temannya, telah pergi entah ke mana. Betapapun juga, mereka bertiga percaya akan kemampuan sendiri dan tidak merasa gentar, apalagi karena di antara fihak lawan yang paling tinggi ilmunya hanyalah Yo Bi Kiok, dan sesungguhnya mereka tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan ketua Giok-hong-pang itu. Maka mereka masih merasa tenang saja menanti perkembangan selanjutnya. Suasana yang sunyi itu dipecahkan oleh suara nyaring dari Bun Houw yang mengangkat tangan kanan ke atas dan berkata, “Saya mempunyai tuntutan, mohon perkenan dari baginda untuk saya sampaikan!” Semua orang memandang kepada pemuda yang bersikap sederhana akan tetapi gagah dan tampan itu dan karena semua orang sudah mendengar bahwa pemuda yang baru datang itu mempunyai permusuhan dengan para pembantu Wang Cin yang telah mereka kenal sebagai orang-orang lihai, maka suasana mulai menjadi tegang. Raja Sabutai tersenyum lebar. “Ketahuilah kalian semua bahwa yang bicara adalah pendekar muda Bun Houw yang baru saja tiba. Dia adalah seorang sahabat nona Hong yang telah kita kenal.” In Hong hendak membantah akan tetapi sebelum dia mengeluarkan suara, sudah terdengar tepuk tangan para hadirin yang dipolopori oleh Raja Sabutai sendiri, maka In Hong diam saja. “Orang muda, katakanlah apa yang menjadi tuntutanmu dan kepada siapa!” Raja Sabutai berkata lagi sambil melirik ke arah tiga orang Bayangan Dewa, Di dalam hatinya raja ini agak kecewa mengapa dua orang kakek dan dua orang nenek yang dia tahu amat lihai, yang selama ini menemani para pembantu Wang Cin, telah lenyap ketika terjadi pertempuran yang terakhir menghadapi serbuan pasukan Beng-tiauw yang tadinya mengurung benteng. Bahkan menurut keterangan dua orang gurunya, Bouw Thaisu memiliki kepandaian yang paling tinggi di antara para pembantu Wang Cing akan tetapi sekarang Bouw Thaisu juga telah pergi entah ke mana, bersama Go-bi Sin-kouw, Hwa Hwa Cinjin, dan Hek I Siankouw. “Maaf, sri baginda. Sebetulnya, urusan saya ini tidak ada sangkut-pautnya dengan paduka atau dengan orang lain, akan tetapi oleh karena musuh-musuh saya itu berada di sini, maka terpaksa saya menyusul pula ke sini dan sekarang atas perkenan peduka, saya akan menuntut secara terang-terangan. Yang saya tuntut adalah mereka bertiga itulah, yang menamakan diri Lima Bayangan Dewa dan yang sekarang tinggal tiga orang lagi. Mereka itu adalah Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok, Liok-te Sin-mo Gu Lo It, dan Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok Hosiang. Mereka bertiga itu telah dengan curang mencuri pedang pusaka milik Cin-ling-pai dan telah membunuh sebelas orang Cap-it Ho-han murid-murid utama Cin-ling-pai secara kejam. Oleh karena itu, saya menuntut agar pedang Siang-bhok-kiam dikembalikan kepada saya dan saya menantang mereka untuk bertanding agar saya dapat menebus kematian para murid Cin-ling-pai!” Raja Sabutai mendengarkan tuntutan ini dan dia menjadi gembira, menoleh ke arah tiga orang kakek itu dan berkata, “Nah, kalian telah mendengar tuntutan. Kalian boleh membela diri dan menjawab. Silakan!” Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok mewakili dua orang sutenya, melangkah maju menghadapi Bun Houw dan terdengarlah suaranya yang tenang dan lantang, penuh suara dan nada meremehkan, “Maaf, sri baginda. Perkenankan saya bicara dengan orang muda she Bun ini.” Raja Sabutai mengangguk-angguk. “Orang she Bun, sebelum aku menjawab tuntutanmu, lebih dulu kami bertiga ingin mengetahui, ada hak apakah engkau menuntut urusan kami dengan Cin-ling-pai? Sepanjang pengetahuan kami, engkau hanyalah seorang pengawal dari Kiam-mo Liok Sun pemilik tempat perjudian di Kiang-shi. Engkau tidak berhak untuk mencampuri urusan kami dengan Cin-ling-pai!” Sudah berada di ujung lidah Bun Houw untuk mengaku bahwa dia adalah putera ketua Cin-ling-pai, akan tetapi karena dia sudah terlanjur menyembunyikan keadaan diri sebenarnya, pula diapun tidak mau mendatangkan keributan dengan kenyataan baru itu, maka dia menjawab, “Ketahuilah, Pat-pi Lo-sian! Aku adalah terhitung murid dari Cin-ling-pai, oleh karena itu, pedang Siang-bhok-kiam merupakan pusaka yang kuhormati dan Cap-it Ho-han termasuk suheng-suhengku, maka sudah semestinya kalau aku menentangmu!” Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok adalah seorang kakek yang sudah banyak makan garam, sudah banyak pengalaman dan dia amat cerdik. Dia maklum bahwa kedudukan dia dan dua orang sutenya sebagai bekas pengawal Wang Cin amatlah tidak menguntungkan, karena hal itu saja membuat mereka berada di tempat yang tidak begitu disuka oleh Raja Sabutai. Dan diapun maklum bahwa In Hong adalah seorang yang lihai, dan kalau benar gadis itu merupakan sahabat pemuda ini dan ikut turun tangan, maka keadaan bagi dia dan adik-adiknya akan makin berbahaya. Menghadapi pemuda itu, dia sama sekali tidak khawatir, bahkan memandang rendah. Akan tetapi, kalau menghadapi In Hong satu lawan satu, bukan merupakan hal yang tidak berbahaya, maka dia lalu berkata dengan cerdik, “Orang she Bun! Agaknya engkau sudah tahu bahwa Lima Bayangan Dewa terdiri dari lima orang bersaudara. Terus terang saja, kami berlima memang memusuhi Cin-ling-pai karena kami hanya membalaskan kematian suheng kami, Ban-tok Coa-ong, dan memang sejak dahulu kami menanam hati dendam terhadap Cin-ling-pai. Sudah sewajarnya kalau engkau sebagai anak murid Cin-ling-pai kini membela Cin-ling-pai pula. Akan tetapi engkau tentu maklum pula bahwa Lima Bayangan Dewa selalu bekerja bersama-sama, dan karena kini jumlah kami tinggal tiga orang, maka Tiga Bayangan Dewapun biasa bekerja sama tidak terpisah-pisah. Entah bagaimana engkau akan menghadapi kami bertiga. Tentu saja kalau engkau tidak berani menghadapi kami bertiga...” “Pat-pi Lo-sian, tidak perlu engkau bersikap sombong dan memancing-mancing!” Bun Houw memotong. “Tentu saja aku yang sudah berani membela Cin-ling-pai, berani pula menghadapi kalian bertiga, karena akupun tahu bahwa Lima Bayangan Dewa adalah orang-orang pengecut.” “Tidak, Bun-ko!” Tiba-tiba In Hong berseru dan cepat gadis ini menghadapi Raja Sabutai sambil berkata, “Maafkan saya, sri baginda. Akan tetapi sesungguhnya, sayalah yang lebih dulu bentrok dengan Lima Bayangan Dewa! Sejak semula, sebelum saudara Bun Houw ini bertemu dengan mereka, saya yang berniat untuk merampas kembali pedang Siang-bhok-kiam dari tangan mereka. Kini, setelah berhadapan dengan mereka, sayapun tidak akan membiarkan saudara Bun Houw seenaknya turun tangan sendiri merampas pedang, karena saya juga berhak untuk mengadu kepandaian merampas pedang pusaka Cin-ling-pai.” “Heh-heh, sayapun tentu saja ingin melihat seperti apa sih pedang pusaka yang disohorkan orang itu dan sayapun tidak mau ketinggalan meramaikan pertemuan ini, sri baginda!” Yo Bi Kiok tiba-tiba berkata pula. Raja Sabutai menggosok-gosok kedua tangannya, kelihatan makin gembira. Memang raja ini suka sekali nonton orang pibu, maka makin ramai dan makin banyak yang mengambil bagian dalam pertandingan mengadu ilmu, makin gembiralah hatinya. “Sam-wi lo-sicu,” katanya kepada Pat-pi Lo-sian bertiga. “Ternyata hebat juga pedang Siang-bhok-kiam yang kalian rampas itu sehingga semua orangpun ingin memilikinya. Kalian telah mendengarkan pendapat nona Hong dan gurunya. Nah, bagaimana?” Pat-pi Lo-sian terkejut sekali ketika tadi mendengar ucapan Yo Bi Kiok. Akan tetapi dia cerdik sekali dan sambil menghadapi Yo Bi Kiok dia menjura ke arah ketua Giok-hong-pang itu dan berkata, “Maaf, Yo-pangcu. Dahulu pernah Yo-pangcu mengatakan bahwa pangcu telah menawan Lie Seng, bocah cucu ketua Cin-ling-pai itu, bahwa pangcu hendak menukarkan bocah cucu musuh besar kami itu dengan pedang Siang-bhok-kiam. Akan tetapi sayang keburu terjadi perang dan...” Memang Pat-pi Lo-sian cerdik bukan main. Dia tadi mendengar bahwa pemuda tampan ini adalah anak murid Cin-ling-pai, maka melihat gelagat bahwa ketua Giok-hong-pang itu hendak turun tangan menentang mereka, maka cepat dia mengatakan hal tentang ditawannya cucu ketua Cin-ling-pai oleh Yo Bi Kiok agar diketahui oleh murid Cin-ling-pai itu. Akalnya ini berhasil karena tentu saja Bun Houw terkejut bukan main mendengar ucapan itu. “Yo-pangcu! Kauapakan Lie Seng...?” bentaknya marah, hatinya khawatir sekali mendengar bahwa keponakannya itu tertangkap oleh wanita cantik berwajah dingin ini. “Ha-ha-ha-ha!” Pat-pi Lo-sian tertawa untuk menambah minyak pada api itu. “Ketika kami menyerbu Sin-yang, membalas dendam kepada puteri ketua Cin-ling-pai, di mana kami berhasil menewaskan empat orang murid utama Cin-ling-pai dan besan dari ketua Cin-ling-pai, kami tentu tidak akan berhasil tanpa bantuan Yo-pangcu. Mengingat akan kerja sama yang sudah, kiranya sekarang Yo-pangcu tidak akan membalik dan membantu fihak musuh kita bersama.” “Kau...!” Bun Houw marah sekali dan kalau saja dia tidak ingat bahwa dia berada di dalam benteng Raja Sabutai, tentu dia sudah menyerang Yo Bi Kiok yang hanya tersenyum-senyum saja itu, senyum penuh ejekan. “Pat-pi Lo-sian, engkau tahu bahwa aku tidak pernah memihak siapa-siapa, melainkan memihak diriku sendiri. Aku hanya mau bilang bahwa aku menghendaki pedang itu, siapapun yang keluar sebagai pemenang, harus menghadapi aku lebih dulu untuk dapat memperoleh pedang.” Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok diam-diam merasa girang karena kini dia boleh merasa lega karena tak mungkin nyonya yang amat lihai itu akan membantu Bun Houw. Akan tetapi juga dia harus merelakan pedang Siang-bhok-kiam kalau tidak mau berurusan dengan wanita yang menyeramkan itu, maka dia lalu mendapatkan sebuah akal yang amat baik. Dia lalu menjura ke arah Raja Sabutai dan berkata. “Sri baginda, karena saya tidak ingin ada yang main curang dalam pibu ini, maka saya hendak menyerahkan Siang-bhok-kiam kepada paduka agar paduka yang menyimpannya dan menyerahkannya kepada pemenang setelah pibu selesai.” Tentu saja Raja Sabutai menjadi girang dan mengangguk-angguk. Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok lalu memberi tanda kepada Hok Hosiang dan hwesio ini lalu mengeluarkan sebuah bungkusan panjang dari bawah jubahnya yang lebar. Memang Pat-pi Lo-sian cerdik. Dia sebagai orang pertama Lima Bayangan Dewa, tidak mau menyimpan sendiri pedang itu karena semua orang tentu menyangka bahwa dialah yang memegang pedang, sebaliknya dia malah menitipkannya kepada sutenya yang nomor tiga dan hwesio ini tentu saja dengan mudah menyembunyikan pusaka itu di bawah jubahnya yang amat lebar dan terlalu besar. Raja Sabutai menerima bungkusan kain kuning, membuka bungkusan dan mengeluarkan sebatang pedang dalam sarungnya. Kemudian, perlahan-lahan dicabutnya pedang itu dan nampak sinar kehijauan yang dingin. Itulah Siang-bhok-kiam, pedang pusaka Cin-ling-pai! Bun Houw sekali pandang saja mengenal pedang itu dan hatinya terharu. “Suhu dan subo, pedang ini terlalu berharga, maka sebaiknya suhu dan subo yang menyimpannya agar aman,” Raja Sabutai berkata sambil menyerahkan pedang itu yang diterima tanpa banyak cakap oleh Pek-hiat Mo-ko dan diselipkan di pinggangnya. “Sekarang, pertandingan boleh dimulai!” Raja Sabutai berkata. “Orang muda she Bun, apakah kau sudah siap untuk menghadapi lawan?” “Saya sudah siap!” Bun Houw bangkit berdiri dan melangkah ke tengah ruangan. “Sayapun siap, sri baginda!” In Hong tak dapat mencegah dirinya, diapun sudah meloncat ke depan. Betapapun juga, gadis ini tidak akan membiarkan Bun Houw seorang diri menghadapi tiga Bayangan Dewa yang dia tahu amat lihai itu. Melawan satu orang saja di antara mereka, belum tentu pemuda ini menang, apalagi dikeroyok tiga! Melihat sikap muridnya, Yo Bi Kiok hanya tersenyum dan berkata, “Hong-ji, bodoh kau! Suruh dia minta maaf dulu!” Akan tetapi In Hong tidak memperdulikan kata-kata gurunya itu. Sementara itu, Raja Sabutai diam-diam juga girang melihat In Hong maju karena sebagai seorang gagah diapun merasa tidak senang kalau pemuda ini harus menghadapi pengeroyokan tiga orang kakek, maka kini dia berkata kepada Phang Tui Lok, “Apakah sam-wi sudah siap dan hendak maju berbareng?” Phang Tui Lok mengerutkan alianya “Sebetulnya, urusan kami dengan pemuda she Bun sebagai wakil Cin-ling-pai tidak ada sangkut-pautnya dengan nona Hong maka tidak semestinya kalau nona Hong mencampuri.” “Manusia curang!” In Hong membentak. “Katakan saja kalian takut dan beraninya hanya ingin maju bertiga mengeroyok satu orang!” “Siapa takut menghadapi pemuda Cin-ling-pai itu? Mundurlah, nona, dan pemuda itu hanya akan dihadapi oleh seorang di antara kami saja!” kata Phang Tui Lok yang memandang rendah kepada Bun Houw dan lebih jerih menghadapi In Hong. “Hong-moi, mundurlah, biar aku melawan sendiri mereka,” kata Bun Houw. “Ha, kami sudah mendengar!” Raja Sabutai berseru gembira. “Satu lawan satu, itu baru adil namanya! Nona Hong, harap mundur dan biarkan Bun-sicu menghadapi seorang di antara tiga Bayangan Dewa!” Terpaksa In Hong mundur dan karena hatinya gelisah mengkhawatirkan keselamatan pemuda itu, dia mundur ke dekat gurunya tanpa disadarinya. “Jangan khawatir, kalau kekasihmu itu kalah, kita dapat menggunakan Siang-tok-swa,” bisik gurunya.   In Hong terkejut, mukanya menjadi merah mendengar gurunya menyebut Bun Houw sebagai kekasihnya. Dia mengerutkan alisnya dan cepat menjauhi gurunya, duduk di atas bangku sambil memandang ke depan, tidak memperdulikan Yo Bi Kiok yang tersenyum dingin. Phang Tui Lok memberi tanda kepada sutenya yang nomor tiga, yaitu Hok Ho-siang. Hwesio ini sambil tersenyum menyeringai, bangkit berdiri dan melangkah lebar menuju ke tengah ruangan. Sambil berjalan dia memainkan senjatanya, yaitu tasbeh hijau sehingga terdengar suara berderik-derik nyaring sekali dan ketika dia memutar tasbehnya, terdengar suara mengaung dan nampak sinar hijau bergulung-gulung! Semua orang terkejut dan maklum bahwa hwesio ini memiliki tenaga sin-kang yang dahsyat dan senjatanya itu amat berbahaya. Ketika hwesio itu menggerak-gerakkan kepala, maka penghias kepalanya yang runcing itu berkilauan, dan diam-diam In Hong terkejut karena hiasan kepala yang runcing itu ternyata merupakan senjata yang hebat pula, terbuat dari baja pilihan! Maka khawatirlah dia melihat Bun Houw berdiri dengan kedua tangan kosong menghadapi lawan yang cukup kuat ini. “Ha, satu lawan satu, itu baru adil namanya! Dan karena ada tiga orang kakek, harus pula dilawan oleh tiga orang dan akupun ingin mendapat bagian dan meramaikan pesta ini!” Ucapan nyaring itu disusul berkelebatnya bayangan orang mendahului Bun Houw dan tahu-tahu Yo Bi Kiok telah meloncat ke depan hwesio itu dengan pedang Lui-kong-kiam di tangan kanan dan pedang pendek di tangan kiri. Sikapnya gagah bukan main. “Eh, Yo-pangcu, kau mau apa?” Hok Hosiang membentak marah akan tetapi juga khawatir sekali. “Yang diperebutkah adalah Siang-bhok-kiam, bukan? Nah, aku ikut memperebutkan dan kau lawanlah aku. Atau engkau tidak berani? Kalau begitu, bilang saja bahwa kau pengecut dan tidak berani!” “Oho, wanita sombong! Siapa yang tidak berani?” jawab Hok Hosiang tersinggung. “Kalau begitu, makanlah ini!” Cepat seperti kilat pedang pendek di tangan Yo Bi Kiok bergerak menyerang. “Tranggg...!” Tasbeh di tangan hwesio itu menangkis, akibatnya, hwesio gendut itu terhuyung dan pada saat itu sinar kilat Lui-kong-kiam menyusul cepat, membuat hwesio itu terkejut setengah mati. “Tranggg... cringggg...!” Kalau tidak dibantu oleh Phang Tui Lok yang membantu temannya menangkis Lui-kong-kiam, agaknya hwesio itu akan celaka. “Tahan!” Phang Tui Lok membentak marah, lalu menoleh kepada raja. “Kami memprotes campur tangan Yo-pangcu. Sri baginda maklum bahwa pertikaian tentang pedang Siang-bhok-kiam adalah urusan Bayangan Dewa dan Cin-ling-pai. “Kalau Yo-pangcu menghendaki pedang, semestinya dia baru maju menghadapi pemenang dalam pertandingan ini. Kecuali kalau Yo-pangcu menjadi wakil Cin-ling-pai!” Raja Sabutai mengangguk-angguk membenarkan. “Harap Yo-toanio suka mundur dan jangan mengacaukan pertandingan.” Bun Houw juga melangkah maju. “Harap Yo-toanio tidak mencampuri urusan kami!” Yo Bi Kiok tersenyum dan menyimpan pedangnya. “Baiklah, aku akan maju paling akhir, memang hwesio ini bukan tandinganku!” Kini Bun Houw menghadapi hwesio itu dengan kedua tangan kosong den berkata dengan sikap tenang, “Hok Hosiang, aku telah siap. Majulah!” Hok Hosiang inipun memandang rendah kepada Bun Houw yang biarpun kabarnya pandai akan tetapi kedudukannya hanya sebagai pengawal Liok Sun si pemilik rumah judi! Maka sambil memutar-mutar tasbehnya dia berkata, “Orang muda, jangan mati konyol, hayo keluarkan senjatamu!” “Penjahat tua menyamar sebagai hwesio, tak perlu banyak cakap, aku tidak perlu memegang senjata untuk menghadapimu.” “Kalau begitu, bersiaplah untuk mampus!” Hok Hosiang membentak. “Tahan dulu...!” Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu In Hong telah tiba di tengah ruangan itu. “Sri baginda, tidak adil kalau pertandingan dilakukan dengan yang seorang memegang senjata sedangkan yang lain tidak!” Raja Sabutai mengangguk. “Pertandingan sekali ini adalah pertandingan untuk menyelesalkan urusan dendam pribadi, maka fihak yang kalah dan tewas tidak boleh merasa penasaran. Bun-sicu, engkau boleh menggunakan senjata pula.” “Saya... saya tidak mempunyai senjata, sri baginda.” “Bun-ko, ini pedangmu, pakailah!” In Hong mencabut Hong-cu-kiam dan menyerahkan pedang itu kepada Bun Houw. Bun Houw cepat mundur dan memandang pedang itu dengan alis berkerut. “Aku tidak akan menggunakan senjata pedang itu, Hong-moi. Kausimpanlah...!” In Hong menghela napas dan menyimpan pedangnya. Dia mengerti bahwa pemuda ini masih belum hilang rasa marahnya, mengira bahwa dia adalah seorang pembunuh kejam, maka tidak mau menggunakan pedang itu. Akan tetapi dia khawatir sekali kalau pemuda ini menghadapi Hok Hosiang yang demikian lihai tanpa senjata. “Sri baginda, karena Bun-twako tidak mempunyai senjata, maka harus diberi kesempatan untuk meminjam senjata dari benteng ini.” Raja Sabutai mengangguk-angguk, teringat akan pesan isterinya, Ratu Khamila yang pernah membisikkan bahwa pemuda dan gadis itu saling mencinta. Dia lalu memerintahkan pengawal mengambil delapan belas macam senjata yang diangkut ke tempat itu. “Bun-sicu, silahkan memilih senjata mana yang kausuka dan boleh kaupergunakan dalam pertandingan ini,” kata raja. Hok Hosiang tersenyum mengejek, berjalan berkeliling dan menggerak-gerakkan tasbehnya sehingga sinarnya bergulung-gulung menyilaukan mata dan suaranya mengaung mengerikan. Dia yakin bahwa semua senjata itu sekali bertemu dengan tasbehnya pasti akan patah-patah. Untuk mendemonstrasikan kepandaian dan kehebatan senjatanya, juga untuk membikin kecil nyali calon lawannya, hwesio ini menggunakan kakinya mencokel sebatang tombak panjang ke atas kemudian menggerakkan tasbehnya yang diputar cepat. “Krek-krek-krekk!” Tombak itu patah-patah menjadi beberapa potong. Demonstrasi ini disambut suara berisik karena orang-orang terkejut sekali melihat betapa senjata tasbeh itu demikian ampuhnya! Padahal tombak itu terbuat dari baja pilihan dan merupakan senjata para pengawal raja! Melihat ini, Bun Houw merasa sebal. “Hong-moi, tolong kauuji dengan pedangmu itu. Senjata mana yang kuat menghadapi babatan pedangmu, akan kupakai.” In Hong girang. Karena memang diapun tahu bahwa tidak ada senjata di situ yang akan mampu melawan tasbeh Hok Hosiang kecuali Hong-cu-kiam, maka dia sengaja mengangkat setiap pedang, golok atau tombak diadukan dengan Hong-cu-kiam dan semua senjata itu satu demi satu terbacok patah! Melihat ini, Raja Sabutai diam-diam kagum. Orang-orang dari selatan ini memang hebat, pikirnya, hebat ilmu kepandaiannya, juga hebat senjata pusakanya. “Bun-ko, tidak ada senjata yang cukup baik, kaupakailah pedang ini!” Akhirnya In Hong menyerahkan pedang Hong-cu-kiam yang tipis dan amat tajam itu. Akan tetapi kembali Bun Houw menggeleng kepala menolak, bahkan pemuda ini lalu mengambil gagang tombak yang terbuat daripada kayu dan menyodorkannya ke arah In Hong. “Hong-moi, tolong kaupotong runcing kayu ini, sepanjang ukuran pedang.” In Hong mengerutkan alisnya, tidak tahu apa yang dimaksudkan sebenarnya oleh pemuda itu, akan tetapi Hong-cu-kiam berkelebat, sinar emas menyambar dan gagang tombak dari kayu itu terbabat putus dan ujungnya meruncing. Bun Houw mengobat-abitkan potongan kayu itu seperti sebatang pedang, lalu berkata kepada calon lawannya yang sejak tadi memandang dengan sikap marah karena pemuda itu seolah-olah memandang ringan sekali kepadanya, “Hok Hosiang, inilah senjataku!” “He, orang muda she Bun!” Tiba-tiba Raja Sabutai berseru. “Begitu sombongkah engkau sehingga engkau hendak menghadapi lawan yang memiliki senjata pusaka hanya dengan sebatang gagang tombak pendek dari kayu?” Raja ini adalah seorang ahli silat yang lihai pula. Dia mengenal senjata tasbeh yang lihai itu dan tahu bahwa seorang ahli silat yang sudah berani mempergunakan sebuah senjata aneh seperti tasbeh tentulah memiliki kepandaian yang luar biasa. Maka, melihat pemuda itu hanya menggunakan sebatang pedang-pedangan dari kayu seperti yang biasa dipakai anak-anak yang bermain perang-perangan, tentu saja dia merasa khawatir, penasaran dan juga marah atas sikap Bun Houw yang dianggapnya sombong dan tolol.