“Ha-ha-ha, tanpa pedangmu dengan mudah aku akan dapat merobohkan engkau, nona. Dan pakumu itupun tidak banyak gunanya. Bukankah lebih baik minum secawan arak sebagai sahabat daripada kita harus bertempur dan saling serang sendiri?” Setan Arak ini lalu menenggak guci araknya dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya menyodorkan cawan kecil itu kepada Si Kwi. Orang gila ini berbahaya, pikir Si Kwi. Menggunakan kekerasan agaknya akan lebih berbahaya baginya. Dia melihat Setan Arak itu berkali-kali meneguk arak dari guci itu, maka apa salahnya kalau hanya minum secawan? Biarpun dia merasa jijik harus minum arak dari guci yang sudah diteguk begitu saja oleh mulut Setan Arak itu, akan tetapi agaknya ini lebih aman daripada harus menggunakan kekerasan karena dia maklum bahwa tingkat kepandaian Setan Arak ini lebih tinggi daripada kepandaiannya sendiri. “Ciu-kwi, benarkah kau tidak akan menggangguku lagi setelah aku minum secawan arak?” tanyanya. “Kau berani berjanji demi kedua locianpwe di Lembah Naga?” Dia menyebutkan nama Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li karena maklum betapa takutnya orang gila ini terhadap mereka itu. “Ha-ha-ha, aku berjanji demi nama beliau berdua! Kau baik sekali mau menerima penghormatanku dan ucapanku selamat jalan, nona!” Ang-bin Ciu-kwi lalu menuangkan arak dari gucinya ke dalam cawan itu, lalu menyodorkannya kepada Si Kwi. Tanpa ragu-ragu lagi gadis itu lalu menenggak arak dari dalam cawan sampal habis, kemudian mengembalikan cawannya. Sambil menerima cawan itu dan menyimpannya, Ang-bin Ciu-kwi tertawa bergelak. Arak di dalam cawannya itu sudah dimasukinya obat bubuk pemberian isterinya dan tentu saja bagi dia tidak ada bahayanya karena dia telah lebih dulu minum obat penawarnya. Kini dia melihat wajah gadis itu menjadi kemerahan dan pandang mata gadis itu kelihatan aneh! Ha-ha-ha, selamat jalan, nona manis!” Si Kwi menggerakkan kedua kaki hendak pergi dari situ, akan tetapi tiba-tiba dia terhuyung. “Ouhhhh...!” Dia mengeluh dan berdiri dengan tubuh bergoyang-goyang, pandang matanya berkunang dan kepalanya terasa pening sekali, jantungnya berdebar aneh dan biarpun dia masih memiliki kesadaran bahwa dia merasakan segala keanehan ini, namun kemauannya lenyap sama sekali dan dia tidak tahu lagi apa yang harus dilakukannya, seolah-olah semangatnya terbang melayang. “Kau kenapa, nona manis...?” Ang-bin Ciu-kwi sudah berada di sampingnya den merangkul lehernya. “Auhhh... aku... auhhhh...!” Si Kwi hanya dapat mengeluh den merintih, bahkan dia memegang lengan Ang-bin Ciu-kwi, sama sekali tidak menolak ketika laki-laki itu merangkul lehernya dan mengecup pipinya sambil tertawa girang. Biarpun dia same sekali tidak pernah melakukan penyelewengan, namun sebagai seorang gadis berusia dua puluh lima tahun yang sehat den normal, karena kesukaran gurunya memilih jodoh untuk muridnya ini, tentu saja di dalam diri Si Kwi terdapat api gairah yang wajar, dorongan nafsu berahi yang normal bagi seorang dewasa yang sehat. Api gairah ini selalu ditekannya dan hanya dilepaskan di alam mimpi di mana dia bermimpi dengan bebas, bercumbu dengan pria yang dibayangkannya di dalam mimpi. Maka biarpun lahiriah Si Kwi merupakan seorang gadis yang alim, akan tetapi di dalam tubuhnya terkandung api yang bergairah sekali, maka kini setelah dia minum racun yang membiusnya, dia merasa seperti dalam mimpi den bercumbu dengan pria yang dirindukannya! “Ha-ha-ha, marilah manis!” Ang-bin Ciu-kwi lalu menuntunnya dan merebahkan gadis ini di atas rumput alang-alang. Si Kwi hanya memejamkan matanya dan seperti seekor domba jinak dia menurut saja apa yang dilakukan oleh Ciu-kwi yang menurut perasaan hatinya seperti pria di dalam mimpinya selama ini. Kini Ang-bin Ciu-kwi tidak perlu lagi merenggut dan merobek baju gadis itu, karena Si Kwi sama sekali tidak menolak ketika sambil membelai den menciumnya Ang-bin Ciu-kwi menanggalkan pakaiannya. “Bedebah!” tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. Ang-bin Ciu-kwi terkejut sekali dan menghentikan usahanya menanggalkan pakaian gadis itu. Ketika melihat ada seorang pemuda berdiri di jalan sambil memandangnya dengan mata tajam dan penuh kemarahan, Ang-bin Cui-kwi merasa heran dan marah. Orang ini bukan anak buahnya, jadi jelas adalah seorang luar! Maka dia meloncat meninggalkan Si Kwi yang masih rebah terlentang. Ketika merasa ditinggalkan orang, Si Kwi merintih, membuka matanya sedikit dan mengulurkan kedua lengannya ke arah pemuda itu sambil tersenyum penuh arti! “Keparat, siapa kau berani memasuk wilayah ini?” bentak Ang-bin Ciu-kwi sambil memegang guci araknya erat-erat. “Manusia iblis, siapapun adanya aku bukan hal yang penting. Akan tetapi setelah aku berada di sini, jangan harap engkau akan dapat melanjutkan perbuatanmu yang terkutuk itu!” jawab si pemuda yang memperhatikan keadaan gadis setengah telanjang itu dengan alis berkerut karena dia masih merasa heran akan keadaan dan sikap gadis itu. Kemudian dia dapat menduga mendengar rintihan gadis yang seperti orang mabok itu. “Hemm, keparat, engkau tentu menggunakan racun untuk membiusnya, bukan?” Ang-bin Ciu-kwi yang merasa marah sekali karena kesenangannya diganggu, sudah membentak keras. “Bocah yang bosan hidup!” Dan tangan kanannya menyambar dengan cepat sekali, juga amat kuat karena dia mengerahkan tenaganya untuk sekali pukul merobohkan pemuda yang mengganggunya ini. “Wuuuuuttt... dukkkk!” Ang-bin Ciu-kwi terpelanting dan dia memekik dengan kaget bukan main ketika merasakan betapa lengan tangannya nyeri sekali beradu dengan lengan pemuda itu. Akan tetapi dia meloncat berdiri lagi dan memandang penuh perhatian. Pemuda yang berpakaian sederhana namun tampan bukan main, tampan dan gagah dan tiba-tiba dia teringat akan janjinya kepada isterinya tadi dan tertawalah Ang-bin Ciu-kwi! “Ha-ha-ha, bagus! Engkau ternyata tampan dan gagah, cocok sekali untuk isteriku! Ha-ha-ha! Orang muda, lebih baik kita bersahabat. Aku adalah Ang-bin Ciu-kwi dan mari kuperkenalkan dengan isteriku di rumah.” Pemuda itu memandang tajam dan alisnya berkerut. Celaka, pikirnya. Orang ini kalau bukan pemabok besar tentu miring otaknya. Akan tetapi betapapun juga, orang ini bukan orang sembarangan karena dalam pukulannya tadi terkandung tenaga yang hanya dimiliki orang yang lihai. “Aihhhh... peluklah aku... peluklah...” Si Kwi kini rebah dengan gelisah, tubuhnya bergoyang ke kanan kiri dan mulutnya berbisik-bisik matanya setengah dipejamkan. “Ha-ha-ha, apakah tidak sayang dia dibiarkan sendiri saja?” Ang-bin Ciu-kwi tertawa. “Dan isteriku lebih hebat dari dia, orang muda.” “Jahanam busuk engkau!” Kini pemuda itu menjadi marah dan tangannya menyambar. Ang-bin Ciu-kwi yang masih tertawa itu dengan cepat mengelak dan balas memukul, kini menggunakan guci araknya yang merupakan senjata ampuh memukul ke arah kepala pemuda itu. Akan tetapi, dengan mudah pemuda itu mengelak dan sekali tangannya digerakkan dengan gerakan mendorong, hawa pukulan yang dahsyat menyambar dan Ang-bin Ciu-kwi terjengkang dan roboh! Si pemabok ini terkejut bukan main, cepat dia meloncat bangun lagi dan kini pandang matanya berbeda. “Siapa engkau? Mau apa engkau?” tanyanya, tidak lagi tertawa-tawa seperti tadi. “Tak perlu kaukenal dan aku tidak mempunyai urusan denganmu. Aku hendak pergi ke Lembah Naga...” Heii, keparat!” Ang-bin Ciu-kwi kini tidak ragu-ragu lagi. Ini tentu seorang musuh yang harus dijaganya agar jangan sampai ke Lembah Naga. “Memang kau harus mampus!” Dia menerjang lagi, tangan kanannya mencengkeram ke arah ubun-ubun pemuda itu, sedangkan guci araknya menyambar ke arah lambung, ada arak muncrat dari dalam mulut guci menyambar ke arah kedua mata lawan! Memang hebat serangan dari Ang-bin Ciu-kwi ini, dan muncratnya arak itupun merupakan serangannya yang istimewa. Namun, sekali ini Ang-bin Ciu-kwi menemukan tandingannya. Dengan tenang saja pemuda itu miringkan kepala untuk menghindarkan sambaran arak, kemudian tangan kiri menangkis cengkeraman ke arah ubun-ubun sedangkan hantaman guci itu diterimanya begitu saja dengan lambung yang terbuka. Ang-bin Ciu-kwi sudah girang sekali karena isi perut pemuda itu tentu akan berantakan terkena hantaman gucinya. “Bukkk! Plakk!” Lambung itu tepat kena dihantam guci akan tetapi bukan si pemuda yang roboh, melainkan Ang-bin Ciu-kwi sendiri yang terpelanting dan hampir pingsan dia karena lehernya yang ditampar oleh tangan pemuda itu rasanya seperti remuk dan patah-patah, kepalanya menjadi pening dan dengan susah payah barulah dia bisa bangkit berdiri. Dia memandang sejenak, kemudian larilah Ang-bin Ciu-kwi kembali ke Padang Bangkai, bahkan sedikitpun tidak lagi menengok ke arah Si Kwi yang masih rebah di atas rumput alang-alang tebal yang lunak seperti kasur! Pemuda itu memandang ke arah larinya lawan dan selagi dia hendak melanjutkan langkahnya, terdengar rintihan dan teringatlah dia kepada gadis setengah telanjang yang masih rebah merintih-rintih di atas rumput itu. Pemuda itu menarik napas panjang dan menghampiri, lalu berjongkok di dekat wanita itu. “Engkau siapakah? Apa yang telah dilakukan terhadapmu? Engkau diberi minum apa?” Suara pemuda itu halus namun mengandung wibawa. Si Kwi membuka matanya, menggigit bibirnya, kelihatannya tersiksa sekali. “Si iblis... Ang-bin Ciu-kwi... aku minum arak... ahhhh, kau... kau... peluklah aku...” Pemuda itu meraba dahi gadis itu, meraba pergelangan tangannya dan gadis itu bangkit duduk, merangkul pemuda itu dan menciuminya dengan mata terpejam. “Ah, tenanglah...” Pemuda itu memalingkan mukanya menghindarkan ciuman. “Engkau keracunan, terbius, biar kucoba mengusir hawa beracun dari tubuhmu.” Karena Si Kwi terus menggeliat dan hendak merangkul dan menggelutnya, pemuda itu menjadi repot juga, maka sekali dia menotok, Si Kwi mengeluh panjang dan terkulai lemas. Pemuda itu lalu menelungkupkan gadis itu, dan dengan tangan kirinya ditempelkan di punggung gadis itu, dia mengerahkan sin-kangnya, mengusir hawa beracun yang membuat gadis itu seperti orang mabok yang dirangsang nafsu berahi. Tenaga sin-kang pemuda itu memang luar biasa kuatnya. Hanya sepuluh menit kemudian, terdengar Si Kwi mengeluh normal dan pemuda itu lalu menotok pundaknya untuk membebaskannya. Si Kwi mengeluh lagi, membalikkan tubuhnya dan melihat pemuda itu, dia cepat meloncat dan dengan gerakan cepat dia sudah menghantam pemuda ini! “Eh, sabar dan tenanglah...!” Pemuda itu menangkis dan tubuh Si Kwi terhuyung ke belakang. Kini agaknya Si Kwi baru sadar benar dan melihat pemuda yang asing itu, dia terkejut dan heran, kemudian dia melihat betapa tubuhnya hanya tertutup pakaian dalam sedangkan pakaian luarnya telah tertumpuk di atas rumput. “Ihhhhh...!” Die menjerit dan dengan gerakan canggung den repot dia berusaha menutupi dada dan bawah pusarnya, kemudian membalikkan tubuh membelakangi pemuda itu. Pemuda itu tersenyum, lalu mengambil tumpukan pakaian den melemparkannya kepada dara itu, tepat menutup di pundaknya. “Kaupakailah kembali pakaianmu.” Tanpa menjawab, Si Kwi mengenakan lagi pakaian luarnya, barulah dia membalik dan memandang pemuda itu dengan muka merah dan sinar mata masih bingung. “Apa yang terjadi? Apa yang kaulakukan?” “Aku? Aku hanya mengusir hawa beracun yang menguasaimu, nona.” “Mana dia? Mana iblis itu?” “Kaumaksudkan si pemabok tadi? Dia sudah lari.” Si Kwi mulai teringat semuanya. Betapa dia minum arak dari cawan dan menjadi pening, kemudian betapa dia senang sekali dirangkul dan diciumi Ang-bin Ciu-kwi, bahkan dibaringkan di atas rumput alang-alang. “Cuhhh...!” Tiga kali dia meludah ke arah rumput alang-alang tadi, penuh kejijikan. Pemuda itu tersenyum. “Jangan khawatir, nona. Belum terlambat si bedebah itu melanjutkan perbuatannya yang terkutuk.” Si Kwi memandang pemuda itu, menatap wajah yang tampan den gagah itu dan mukanya menjadi makin merah. Dia telah terlihat oleh pemuda ini dalam keadaan setengah telanjang! “Engkau mengusirnya?” tanyanya hampir tidak percaya bahkan pemuda tampan sederhana ini telah menyebabkan Ang-bin Ciu-kwi melarikan diri. Pemuda itu mengangguk. “Aku lewat dan melihat perbuatannya yang terkutuk, maka aku menegurnya dan akhirnya dia lari.” “Dan kau lalu mengobatiku?” Kembali pemuda itu mengangguk. “Melihat sikapmu yang... eh, tidak wajar, aku tahu bahwa engkau terbius hawa beracun, maka aku lalu mengusir hawa beracun dari tubuhmu.” Tiba-tiba Si Kwi menjatuhkan dirinya berlutut dan dua titik air mata membasahi pipinya, “Ah, banyak terima kasih, taihiap. Tanpa ada pertolonganmu, tentu celakalah saya...” katanya terharu. “Sudahlah, nona, tidak perlu kau bersikap begini. Bangunlah dan ceritakan apa yang terjadi.” Pemuda itu mengangkat bangun Si Kwi yang kemudian berdiri dengan kedua pipi kemerahan dan sinar matanya penuh kagum memandang pemuda tampan yang demikian halus sikapnya, dan yang tentu berilmu tinggi karena buktinya dengan mudah mengusir Ang-bin Ciu-kwi dan juga dapat menyembuhkan dia dari pengaruh racun. “Nama saya Liong Si Kwi dan saya akan... ah, akan pergi meninggalkan tempat terkutuk ini, akan tetapi Setan Arak itu menghadang saya. Kami pernah bertanding dan saya kalah... lalu saya kena ditipunya, minum secawan arak dan...” “Cukuplah. Aku sudah dapat menduganya. Orang itu jahat sekali.” “Tentu saja jahat, taihiap, karena dia adalah majikan Padang Bangkai di sini. Selain dia, masih ada lagi isterinya, Coa-tok Sian-li yang tidak kalah kejamnya. Mereka berdua menjadi majikan Padang Bangkai, dibantu oleh lima belas orang anak buah mereka. Daerah ini amat berbahaya, taihiap, maka sungguh mengherankan taihiap dapat datang ke tempat seperti ini.” “Aku hendak pergi ke Lembah Naga.” “Ohhhh...!” Melihat gadis yang manis itu berseru kaget dan mukanya berubah, pemuda itu cepat bertanya, “Nona Liong, apakah engkau mengenal tempat itu?” “Mengenal Lembah Naga? Tentu saja, akan tetapi sebelumnya, siapakah taihiap ini dan apa perlunya mencari Lembah Naga?” Sinar mata gadis itu menatap wajah yang tampan itu dengan penuh kekhawatiran. Pemuda itu juga memandang si gadis penuh perhatian dan dia mengharap bahwa gadis yang telah diselamatkannya dari ancaman bahaya mengerikan tadi, yang agaknya mengenal daerah itu, akan dapat membantunya dengan petunjuk-petunjuk, maka dia lalu menjawab sejujurnya, “Aku bernama Cia Bun Houw...” “Aihhh...!” Kembali Si Kwi berseru kaget, mulutnya agak terbuka, matanya terbelalak menatap wajah pemuda itu seperti orang melihat sesuatu yang luar biasa! Tentu saja dia telah mendengar nama ini dari gurunya, nama putera ketua Cin-ling-pai yang kabarnya memiliki kepandaian amat hebat! Tak disangkanya kini dia berhadapan dengan orangnya, seorang pemuda yang luar biasa, tampan dan gagah, dan telah menyelamatkannya dari perkosaan Ang-bin Ciu-kwi! Bagaimana Cia Bun Houw dapat muncul di tempat itu dan secara kebetulan dapat menyelamatkan Liong Si Kwi dari bahaya perkosaan? Seperti telah kita ketahui, pemuda ini meninggalkan Cin-ling-pai, diutus oleh ayahnya untuk menyerahkan surat kepada keluarga Yuan de Gama di Yen-tai calon besan Cin-ling-pai, dan menghaturkan surat untuk kaisar di kota raja. Setelah mendengar bahwa dia telah dipertunangkan dengan Souw Kwi Eng atau Maria de Gama, hati Bun Houw merasa tidak tenang, karena sesungguhnya pemuda ini telah jatuh cinta kepada In Hong. Maka, menerima tugas ayahnya untuk menyerahkan surat kepada keluarga Souw itu, dia merasa enggan, karena dia merasa malu bertemu mereka, apalagi bertemu dengan Kwi Eng yang tentu telah tahu bahwa mereka telah bertunangan! Ah, menyesallah rasa hati Bun Houw kalau teringat betapa dahulu dia telah mencium gadis itu! Karena keengganan ini, maka dia tidak lebih dulu ke Yen-tai, melainkan lebih dulu ke kota raja untuk menyerahkan surat ayahnya kepada kaisar. Dan begitu tiba di kota raja, dia mendengar bahwa baru beberapa hari yang lalu, In Hong yang kini menjadi seorang puteri itu telah diculik oleh Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li! Tentu saja dia menjadi terkejut sekali dan marah. Dia menyerahkan surat ayahnya kepada kaisar dengan menghadap sendiri. Kebetulan sekali pada waktu itu, kaisar telah menerima balasan dari Raja Sabutai bahwa urusan kakek dan nenek guru Sabutai itu adalah di luar tanggung jawab Sabutai, bahwa Sabutai tidak tahu-menahu dengan semua perbuatan kedua orang gurunya itu yang kini telah meninggalkan dia dan berada di Lembah Naga. Maka begitu membaca surat ketua Cin-ling-pai yang mohon bantuan kaisar karena puteranya hendak merampas kembali Siang-bhok-kiam pusaka Cin-ling-pai dan dikhawatirkan bahwa kakek dan nenek iblis itu mengandalkan pasukan liar di utara, kaisar lalu memanggil panglima pengawal untuk mengerahkan pasukan pengawal dan membantu putera ketua Cin-ling-pai itu menuju ke Lembah Naga, bukan hanya untuk merampas kembali Siang-bhok-kiam, akan tetapi terutama sekali untuk menyelamatkan Yap In Hong. Akan tetapi Bun Houw yang tidak sabar menanti, berpamit dan berangkat lebih dulu seorang diri dengan cepat sehingga pada hari itu, dia tiba di luar dusun Padang Bangkai dan secara kebetulan dapat menolong Si Kwi. Ketika dia melihat Si Kwi terkejut mendengar namanya, bahkan wajah gadis yang manis itu menjadi pucat, dia lalu bertanya, “Nona, apakah engkau sudah mengenal namaku?” Si Kwi mengangguk, “Taihiap adalah putera ketua Cin-ling-pai, bukan?” “Benar. Bagaimana engkau bisa tahu, nona?” “Dan taihiap hendak pergi ke Lembah Naga untuk menuntut kembalinya Siang-bhok-kiam dan menolong nona Yap In Hong?” “Benar...! Bagaimana dengan nona itu?” Bun Houw girang sekali. Si Kwi menghela napas panjang. “Taihiap, mereka telah menanti-nanti datangnya orang-orang yang hendak menolong nona Yap In Hong, dan mereka telah bersiap-siap! Taihiap, kalau taihiap percaya kepada saya... harap taihiap jangan pergi ke sana. Berbahaya sekali...!” Si Kwi menatap wajah itu dan dia merass makin khawatir. Entah bagaimana, dia tidak dapat membayangkan pemuda ini menemui bencana di Lembah Naga   Hemm, mengapa begitu, nona?” “Cia-taihiap, percayalah kepadaku. Di sana, selain ada Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, juga ada Bouw Thaisu dan ada pula guruku, Hek I Siankouw di samping masih ada seratus orang anak buah kedua orang kakek dan nenek itu...” “Ah, kiranya engkau adalah murid Hek I Siankouw?” Tiba-tiba Si Kwi berlutut kembali dan kini dia tidak dapat menahan air matanya. “Taihiap harap jangan samakan saya dengan mereka! Tidak... saya hanya terbawa oleh subo yang tentu saja ingin membalas dendam kematian supek Hwa Hwa Cinjin. Akan tetapi sekarang saya telah melihat dengan jelas betapa mereka itu adalah orang-orang jahat. Karena itu, tadinya saya hendak melarikan diri dari sini, taihiap, sampai saya terhadang oleh Ang-bin Ciu-kwi dan hampir celaka... sungguh, saya amat khawatir kalau taihiap melanjutkan perjelanan. Amat berbahaya menempuh bahaya itu scorang diri saja. Kembalilah, taihiap, atau setidaknya, kalau taihiap hendak menyerbu, bawalah teman sebanyaknya.” Bun Houw dapat mempercayai keterangan gadis ini. Dia merasa beruntung bahwa secara kebetulan dia dapat menolong gadis ini sehingga dia akan mendengar keterangan yang amat jelas, boleh dipercaya dan berharga dari gadis ini. Maka dia lalu duduk di atas rumput. “Liong-kouwnio, kaududuklah dan mari kita bicara baik-baik. Engkau tentu tahu, sebagai putera ketua Cin-ling-pai aku tidak mungkin kembali dan mundur.” “Akan tetapi itu berarti bunuh diri, taihiap! Berbahaya sekali...” Bun Houw menggeleng kepalanya. “Bahayanya akan berkurang banyak kalau saja engkau suka menceritakan kepadaku keadaan di sana.” “Tentu! Tentu saja saya suka menceritakan. Taihiap, baru perjalanan menuju ke Lembah Naga saja sudah merupakan perjalanan penuh bahaya. Tidak ada jalan lain menuju ke Lembah Naga kecuali harus melalui Padang Bangkai yang dimulai dari sini. Banyak terdapat bagian-bagian yang amat berbahaya.” Gadis ini lalu menuturkan dengan jelas tentang rahasia tempat itu, mana jalan yang merupakan ancaman maut siapapun yang melanggarnya, dan mana pula jalan rahasia yang harus diambil. “Melihat kelihaian taihiap, agaknya Padang Bangkai masih akan dapat taihiap lewati. Akan tetapi setelah taihiap berada di daerah Lembah Naga, haruslah berhati-hati sekali. Seratus orang anak buah kakek dan nenek itu adalah orang-orang pilihan dari pasukan Raja Sabutai, dan Pek-hiat Mo-ko serta Hek-hiat Mo-li memiliki kesaktian luar biasa, taihiap. Dan taihiap hanya sendirian saja...” Mendengar penuturan yang panjang lebar itu Bun Houw menjadi girang sekali. Setidaknya dia kini tahu jalan mana yang harus diambil. Maka dia lalu bangkit berdiri, diikuti oleh Si Kwi, dan menjura sambil berkata, “Liong-kouwnio telah memberi bantuan yang amat berharga kepadaku, banyak terima kasih atas kebaikanmu, kouwnio.” “Jangan berkata demikian, taihiap. Sayalah yang berhutang budi dan nyawa...” “Selamat berpisah, kouwnio, aku hendak melanjutkan perjalanan.” Si Kwi masih hendak mencegah, namun pemuda itu telah menggerakkan kakinya dan berkelebat lenyap di antara rumpun alang-alang yang tinggi. Dia terkejut dan kagum bukan main. Dia sendiri adalah seorang yang memiliki ilmu gin-kang yang tinggi, namun gerakan pemuda itu demikian cepatnya sehingga dia maklum bahwa dibandingkan dengan tingkat kepandaian putera ketua Cin-ling-pai itu, kepandaiannya seperti permainan kanak-kanak saja! Jantungnya berdebar ketika dia teringat bahwa pemuda itu adalah putera seorang ketua perkumpulan yang amat besar dan terkenal. Subonya selalu menolak pinangan pemuda-pemuda yang jatuh cinta kepadanya karena subonya hanya mau menjodohkan dia dengan pemuda pilihan, bangsawan atau putera ketua perkumpulan yang berilmu tinggi dan terkenal. Dan pemuda tadi... “Ah, aku melamun yang bukan-bukan!: dia mencela diri sendiri, akan tetapi dara itupun kini melangkah, bukan melanjutkan perjalanan ke selatan, melainkan kembali ke utara, karena dia ingin kembali ke Lembah Naga! Pertemuannya dengan Bun Houw, mendengar bahwa pemuda itu akan menyerbu Lembah Naga, membuat dia khawatir sekali dan berubah sama sekali niatnya. Dia harus kembali ke Lembah Naga, dia tidak mungkin bisa meninggalkan pemuda itu begitu saja tertimpa malapetaka di Lembah Naga! Bun Houw berlari cepat akan tetapi juga dengan penuh kewaspadaan. Dia maklum akan bahaya yang terdapat di Padang Bangkai ini dan merasa bersyukur bahwa dia dapat menolong Si Kwi sehingga mendapatkan petunjuk-petunjuk yang amat berharga dari gadis itu. Dari Si Kwi dia mendengar tadi bahwa In Hong masih dalam keadaan baik-baik saja, karena memang gadis itu ditawan untuk dipergunakan sebagai umpan. Mendengar bahwa In Hong masih selamat, hatinya lega bukan main. Memang amat penting baginya untuk merampas kembali Siang-bhok-kiam, akan tetapi yang lebih penting lagi adalah menyelamatkan In Hong. Dirabanya perhiasan rambut burung hong kumala yang selalu berada di saku bajunya bagian dalam, kemudian dirabanya pedang Hong-cu-kiam yang melilit pinggangnya. Apapun yang terjadi, dia harus menyelamatkan In Hong! Tiba-tiba dia berhenti dan menyelinap di balik rumpun alang-alang ketika dari jauh dia melihat serombongan orang berjalan sambil tertawa-tawa, akan tetapi di antara suara ketawa banyak orang laki-laki itu dia mendengar suara isak tangis seorang wanita! Ketika rombongan itu telah tiba dekat, dia memandang dengan mata berkilat saking marahnya. Rombongan itu terdiri dari belasan orang laki-laki tinggi besar dan di tengah-tengah mereka terdapat seorang wanita cantik yang telanjang bulat, kedua tangannya dipegangi banyak orang dan dia setengah diseret menuju ke sebuah padang rumput hijau tak jauh dari situ. Dia mendengar dari penuturan Si Kwi tadi bahwa padang rumput hijau itu amat berbahaya, karena di bawahnya menyembunyikan lumpur maut yang sekali diinjak akan menyedot tubuh manusia dan di dalamnya terdapat lintah dan binatang lain yang beracun. Kini rombongan laki-laki itu mengangkat tubuh si wanita telanjang dan beramai-ramai mereka melemparkan tubuh wanita itu ke tengah padang rumput! Wanita itu menjerit, tubuhnya terbanting dan amblas ke bawah sampai ke pinggang. Matanya terbelalak dan dia meronta-ronta, akan tetapi terbenam makin dalam. Tiba-tiba wanita itu tertawa, lalu menangis lagi dan karena dia terus meronta, sebentar saja suara tawa atau tangisnya itu lenyap karena kepalanya telah terbenam, hanya tinggal kedua tangannya saja yang nampak, membentuk sepasang cakar yang kaku! Bun Houw menahan napas saking ngeri dan marahnya melihat peristiwa ini. Dia tidak menyangka bahwa wanita itu akan dilempar ke tempat berbahaya itu dan ketika dia melihat hal ini terjadi, dia sudah terlambat dan dia maklum bahwa tak mungkin lagi menolong wanita itu, maka setelah wanita itu tidak nampak lagi dan orang-orang kasar itu masih tertawa-tawa dan mengeluarkan kata-kata cabul dan tidak senonoh, dia lalu keluar dan berdiri tegak, memandang mereka penuh kemarahan sambil membentak, “Iblis-iblis bermuka manusia!” Tentu saja anak buah Padang Bangkai itu terkejut sekali. Cepat mereka menengok dan melihat seorang pemuda asing berdiri di situ, mereka segera mengepungnya. Mereka merasa heran sekali mengapa mereka tadi tidak melihat pemuda ini datang dan tahu-tahu pemuda itu telah berada di situ. Akan tetapi sebelum mereka bertanya, terdengar suara bentakan nyaring. “Hayo kepung den bunuh orang ini!” Itulah suara Ang-bin Ciu-kwi yang telah datang di situ bersama isterinya, Coa-tok Sian-li. Suami itu bercerita kepada isterinya bahwa dia telah gagal menggagahi Liong Si Kwi karena munculnya seorang pemuda yang amat lihai, pemuda yang amat tampan dan gagah. Mendengar ini, Coa-tok Sian-li sudah tertarik sekali, maka dia cepat bersama suaminya keluar dari sarang untuk menangkap pemuda yang tampan dan gagah itu. Kiranya pemuda itu telah dikepung oleh anak buah mereka. “Jangan!” Coa-tok Sian-li berseru, lebih nyaring dari suaminya. “Tangkap dia hidup-hidup!” Nyonya yang cantik ini memang tertarik sekali melihat Bun Houw yang tampan dan ganteng dan merasa sayang kalau seorang pemuda seperti itu dibunuh begitu raja! Mendengar perintah Coa-tok Sian-li, orang-orang kasar itu tersenyum dan saling pandang. Mereka ini tentu saja sudah mengenal baik akan kesenangan nyonya majikan itu, dan sambil tertawa-tawa, mereka lalu mengeluarkan sehelai jala, masing-masing mengeluarkan sehelai dan mengurung pemuda itu dengan jala siap di tangan. Bun Houw sejak tadi memperhatikan Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li, maklum bahwa suami isteri inilah majikan Padang Bangkai itu seperti yang diceritakan oleh Si Kwi tadi. Dia harus melalui Padang Bangkai untuk dapat pergi ke Lembah Naga dan untuk dapat melalui Padang Bangkai dia harus dapat mengalahkan suami isteri ini bersama belasan orang anak buah mereka. Kebetulan, pikirnya, mereka kini telah berkumpul semua di sini, di tepi padang rumput hijau yang menyeramkan itu. Teringat akan nasib wanita telanjang tadi, Bun Houw merasa perutnya muak dan kini sepasang matanya memandang ke sekeliling, ke arah belasan orang yang mengurungnya itu, dengan sinar berkilat-kilat. “Haaaiiittt...!” “Tangkaaappp...!” Empat orang menubruk dari empat penjuru dengan jala mereka. Jala itu bentuknya seperti jala ikan biasa, ada talinya dan ketika dilontarkan, jala-jala itu mengembang seperti layar dan keempatnya dengan tepat menyelimuti tubuh Bun Houw. Pemuda ini sama sekali tidak mengelak, membiarkan jala-jala itu menyelimutinya, akan tetapi segera dia menggerakkan kedua tangannya. “Breeeetttt...!” Empat helai jala itu pecah dan koyak-koyak hancur, dan si pemuda tampan itu masih berdiri di tengah-tengah pengepungan mereka dengan sikap tenang. “Heiii...!” “Ahhh...!” Mereka terkejut bukan main. Jala mereka itu amat terkenal kuat dan dapat menahan bacokan golok. Musuh yang sudah terjala, baru sehelai jala saja, akan sukar meloloskan diri. Akan tetapi kini pemuda itu, dengan tangan kosong telah menghancurkan empat helai jala sekali gerak! Suami isteri itupun terkejut bukan main dan jantung Coa-tok Sian-li makin berdebar penuh gairah berahi terhadap pemuda yang demikian jantan dan lihainya. “Serbu! Tangkap!” teriaknya dan kini lima belas orang anak buah Padang Bangkai itu bergerak seperti harimau-harimau kelaparan memperebutkan seekor domba. Sekaligus dua orang menubruk dari depan dan dua orang pula menyergap dari belakang. Karena mereka diperintah untuk menangkap, maka mereka tidak menghantam, hanya menubruk untuk meringkus pemuda ini yang mereka tahu amat diidamkan oleh nyonya majikan mereka. Kembali Bun Houw membiarkan empat orang itu meringkus dan merangkulnya, kemudian dia mengeluarkan suara melengking dahsyat dan menggerakkan tubuhnya. Akibatnya hebat karena empat orang tinggi besar itu semua terlempar seperti dilontarkan ke arah... padang rumput hijau! Mereka memekik ketakutan, akan tetapi karena tenaga yang melontarkan mereka itu amat kuat, akhirnya mereka terbanting ke atas padang rumput hijau dan celakanya, mereka jatuh dengan kepala lebih dulu dan langsung tubuh mereka menancap di lumpur dari kepala sampai ke pinggang, tinggal dua kaki mereka saja bergoyang-goyang lucu dan aneh! Teman-teman mereka terkejut dan hendak menolong kawan-kawan mereka itu dengan tali, akan tetapi kini Bun Houw mengamuk, tidak memberi kesempatan kepada mereka, kaki tangannya bergerak dan terdengar suara berkeretaknya tulang-tulang patah dan ada pula yang terlempar ke padang rumput hijau. Dengan gerakan kilat Bun Houw berloncatan dan ke manapun tubuhnya berkelebat, tentu ada anggauta Padang Bangkai yang roboh atau terlempar ke padang rumput berbahaya itu. Dalam waktu singkat, delapan orang terlempar ke padang rumput hijau dan “ditelan” lumpur, yang tujuh orang roboh tak dapat bangkit kembali, ada yang pingsan katena kena ditampar, ada yang patah tulang kaki atau tangannya dan mereka kini hanya merupakan sekumpulan orang cacad yang tidak mampu bangkit, hanya mengerang kesakitan! Melihat ini, tentu saja Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li terkejut bukan main. Semua gairah nafsu berahi lenyap dari benak wanita itu ketika melihat betapa lima belas orang anak buahnya telah roboh semua. Kini mukanya yang dihias tebal itu menjadi buruk karena ditarik sedemikian rupa oleh perasaan marah, tangannya bergerak berkali-kali dan puluhan batang jarum Coa-tok-ciam (Jarum Racun Ular) menyambar ke tubuh Bun Houw dari kepala sampai ke kaki! Hebat bukan main serangan beruntun dan bertubi-tubi dari jarum-jarum yang dilontarkan oleh Coa-tok Sian-li yang sudah marah, akan tetapi anehnya, Bun Houw sama sekali tidak mengelak, hanya mengangkat tangan untuk melindungi mukanya dari serangan jarum-jarum itu. Dan semua jarum itu tepat mengenai tubuhnya, dari leher sampai kaki, akan tetapi pemuda itu seolah-olah tidak merasakan sesuatu dan jarum-jarum itu banyak yang menancap di pakaiannya! Kini Bun Houw menggunakan tangannya mengusap pakaiannya dan jarum-jarum itu telah berada di tangannya, lalu tangannya bergerak dan belasan batang jarum menyambar ke arah suami isteri itu dan orang-orang mereka yang masih mengerang kesakitan. “Celaka...!” Coa-tok Sian-li berseru. Dia dan suaminya dapat meloncat jauh ke belakang menghindarkan diri dari sambaran jarum-jarum itu, akan tetapi empat orang anggauta atau anak buah mereka yang telah terluka tadi, kini menjerit dan terjengkang roboh berkelojotan termakan oleh jarum-jarum beracun! Hanya mereka yang tadi sudah pingsan dan rebah saja yang lolos dari maut. Melihat ini, Coa-tok Sian-li dan Ang-bin Ciu-kwi menjadi pucat dan tanpa menanti komando lagi, keduanya telah membalikkan tubuh dan lari dari situ seperti dikejar hantu! Mereka melarikan diri ke utara untuk melapor ke Lembah Naga tentang kedatangan pemuda yang luar biasa lihainya ini. Sementara itu, dari jauh Si Kwi melihat semua peristiwa itu dan jantungnya berdebar tegang dan penuh kekaguman. Makin kagumlah dia kepada Bun Houw, dan makin tetaplah tekadnya bahwa apapun yang akan terjadi, dia harus menjaga agar Bun Houw jangan sampai tertimpa malapetaka, atau dia akan berusaha untuk menolongnya sedapat mungkin. Ketika dia melihat pemuda itu dengan gerakan cepat sekali telah meninggalkan tempat itu dan agaknya seperti mengejar suami isteri yang melarikan diri, Si Kwi juga cepat melanjutkan perjalanannya. “Ohh, aku cinta padamu... betapa aku cinta padamu...” Bibirnya berkemak-kemik ketika dia memandang bayangan Bun Houw yang segera lenyap itu. Si Kwi bukan seorang gadis yang mudah jatuh cinta. Biasanya, karena sikap gurunya, dia malah ada kecondongan memandang rendah kaum pria, biarpun di dalam lubuk hatinya dia merindukan seorang suami yang seperti yang diidam-idamkan gurunya dan diidamkannya sendiri pula. Seorang pemuda yang gagah perkasa dan lebih lihai daripada dia sendiri, dan tentu saja yang tampan dan ganteng. Maka kini, bertemu dengan Cia Bun Houw dan melihat betapa semua idaman hatinya itu terkumpul di dalam diri pemuda itu, tidaklah mengherankan apabila dia tertarik, kagum, dan jatuh cinta! Apalagi karena justeru pemuda hebat itulah yang telah menyelamatkannya dari bahaya yang lebih mengerikan daripada maut! Dan selain ini, juga pemuda itu telah melihat dia dalam keadaan setengah telanjang, hanya memakai pakaian dalam yang tipis dan pendek saja! Seluruh kerinduan yang timbul semenjak beberapa tahun ini, semenjak dia telah menjadi dewasa, kini ditumpahkan kepada diri Bun Houw seorang! *** Berkat petunjuk dari Liong Si Kwi, Bun Houw tidak mengalami kesukaran melewati Padang Bangkai yang telah kosong ditinggalkan penghuninya itu dan akhirnya tibalah dia di luar tembok yang mengelilingi tempat tinggal Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li di Lembah Naga. Tembok itu seperti benteng saja, kokoh kuat dan tinggi. Akan tetapi sungguh aneh sekali, kalau benteng dijaga dengan ketat dan tentu tampak para perajurit penjaga hilir-mudik melakukan penjagaan dan perondaan, sebaliknya tempat ini sunyi saja tidak nampak seorangpun penjaga. Ketika Bun Houw tiba di depan pintu gerbang, pintu besar dari tembok benteng itu malah terbuka lebar-lebar dan tidak nampak ada yang menjaganya, seolah-olah pintu yang terbuka lebar itu mempersilakan dia memasukinya. Akan tetapi, Bun Houw bukan seorang pemuda sembrono atau bodoh. Baginya, pintu benteng yang terbuka lebar itu seperti mulut seekor naga yang terbuka, siap menelannya kalau dia tidak berhati-hati! Bun Houw menduga bahwa tidaklah mungkin Lembah Naga begitu lengah setelah sengaja menawan In Hong dan menggunakan gadis itu sebagai umpan datangnya para tokoh Kerajaan Beng. Apalagi karena sekarang Siang-bhok-kiam juga telah mereka rampas dan setiap saat mereka menanti datangnya orang Cin-ling-pai untuk merampas kembali pedang pusaka itu. Ini pasti sebuah perangkap, pikirnya. Dia teringat akan suami isteri majikan Padang Bangkai yang melarikan diri. Pasti karena dua orang itu telah datang melapor, maka kini Lembah Naga sudah siap menyambutnya dan mengatur perangkap. Namun Bun Houw sama sekali tidak merasa jerih. Dia sudah bertekad mempertaruhkan nyawanya, bukan hanya untuk merampas kembali Siang-bhok-kiam, melainkan terutama sekali untuk menyelamatkan In Hong gadis yang dicintanya itu. Dia lalu pergi mencari sebongkah batu yang beratnya kurang lebih seberat orang biasa, lalu dia melontarkan batu itu ke lantai di tengah pintu gerbang sedangkan tubuhnya sendiri mencelat ke atas seperti seekor burung terbang saja. “Bukkkk...!” Baru saja batu itu tiba di lantai pintu, terdengar bunyi berderit nyaring dan lantai di bawah pintu gerbang itu terkuak lebar sekali merupakan sumur besar yang dapat menelan puluhan orang perajurit yang menyerbu pintu gerbang itu. Kemudian, dari atas kanan kiri pintu gerbang itu, belasan orang laki-laki yang sudah bersiap dengan gendewa mereka melepas anak panah seperti hujan saja ke dalam lubang. Bun Houw bergidik. Jangankan baru dia seorang, andaikata ada pasukan yang lancang menyerbu masuk, tentu pasukan itu akan terjeblos ke dalam lubang sumur besar itu dan semua tewas di bawah hujan anak panah itu! Akan tetapi kini para anak buah Lembah Naga itu sudah melihat Bun Houw yang berdiri di atas tembok, maka mereka kini lalu membalikkan gendewa mereka dan menyerang pemuda itu dengan anak panah. Bun Houw meloncat ke bawah, kaki tangannya menangkis dan menendang anak panah yang datang menyerangnya, ada pula yang mengenai tubuhnya akan tetapi semua anak panah itu runtuh ke bawah, tidak ada yang dapat melukai tubuhnya yang sudah dilindungi oleh sin-kang menjadi kebal. Begitu tiba di bawah, Bun Houw berseru nyaring, “Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li! Keluarlah kalian kalau memang kalian bukan pengecut-pengecut hina! Aku Cia Bun Houw dari Cin-ling-pai telah datang!” Semua anak buah Lembah Naga terkejut mendengar ini. Di antara mereka memang ada yang sudah pernah melihat Cia Bun Houw ketika pemuda ini dahulu memasuki benteng Sabutai, akan tetapi ada pula yang belum melihatnya. Akan tetapi, mereka semua telah mendengar akan nama pemuda Cin-ling-pai yang kabarnya amat lihai itu dan tadi mereka sudah menyaksikan sendiri betapa selain tidak dapat terjebak di pintu gerbang, juga pemuda itu telah memperlihatkan kelihaiannya ketika dihujani anak panah. “Ha-ha-ha, bocah sombong!” Terdengar suara keras dan nampaklah Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li muncul dari dalam sebuah rumah gedung, langsung menghampiri tempat yang telah dikurung oleh puluhan orang anak buah mereka itu. Juga, nampak muncul Bouw Thaisu dan Hek I Siankouw, kemudian paling akhir muncul pula Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li yang memandang ke arah pemuda itu dengan sikap gentar. “Ha-ha-ha! Mana ketua Cin-ling-pai? Aku mengharapkan dia yang muncul di sini, bukan seorang bocah masih ingusan macam kau!” Pek-hiat Mo-ko berkata lagi, memandang rendah kepada Bun Houw. Bun Houw sudah memandang penuh perhatian. Pek-hiat Mo-ko yang bermuka putih dan berpakaian hitam di samping Hek-hiat Mo-li yang bermuka hitam berpakaian putih itu benar-benar merupakan pasangan yang menyeramkan sekali. Akan tetapi, teringat bahwa In Hong berada di sebelah dalam dari satu di antara rumah-rumah di benteng ini, bangkit kembali semangat Bun Houw dan dengan tabah dia lalu berkata, “Ji-wi locianpwe adalah dua orang tua yang berilmu, mengapa menggunakan cara yang amat tercela? Kalau hendak menantang kami mengapa harus menggunakan akal pancingan?” “Heh-heh-heh, bocah ini bermulut lancang!” Hek-hiat Mo-li mengejek. “Pedang Siang-bhok-kiam memang ada pada kami, suruhlah ketua Cin-ling-pai sendiri datang untuk mengambilnya kalau dia berani!” “Cukup dengan aku saja sebagai putera ketua Cin-ling-pai mewakili ayah dan seluruh Cin-ling-pai!” kata Bun Houw tenang. “Dan bukan hanya untuk Siang-bhok-kiam, terutama sekali hendaknya ji-wi suka membebaskan nona Yap In Hong sekarang juga!” Ucapan yang tenang dari Bun Houw ini mengherankan semua orang, heran akan keberanian pemuda ini yang datang seorang diri di tempat itu namun telah membuka suara lantang hendak merampas kembali Siang-bhok-kiam dan menuntut dibebaskannya Yap In Hong! Sejenak keadaan menjadi sunyi dan semua orang menanti jawaban dari dua urang kakek dan nenek itu dan tiba-tiba kesunyian itu dipecahkan oleh suara lemah, “Subo...” Semua orang menengok dan Hek I Siankouw juga menoleh. Ketika dia melihat muridnya yang berpakaian merah itu telah tiba di situ dengan muka agak pucat, dia cepat memanggil dengan suara dingin, “Si Kwi, ke sinilah engkau!” Mendengar suara gurunya, Liong Si Kwi terkejut dan melirik ke arah Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya yang keduanya menyeringai itu, dia lalu cepat menghampiri gurunya dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki Hek I Siankouw. “Heh-heh, bagus sekali muridmu, Siankouw! Kiranya muridmu yang kaubilang amat boleh dipercaya itu hanya seorang pengkhianat tak tahu malu!” kata Hek-hiat Mo-li. “Nanti dulu, Mo-li!” Hek I Siankouw membantah. “Kita tidak boleh hanya mendengarkan keterangan yang sepihak saja. Persoalan ini perlu diselidiki baik-baik sebelum menjatuhkan kesalahan kepada satu pihak. Eh, Si Kwi, bagaimana dengan perintah yang kuberikan kepadamu untuk menemui majikan-majikan Padang Bangkai dan menyampaikan pesan?” “Sudah teecu lakukan dengan baik, subo. Akan tetapi...” Dara itu mellrik ke arah Ang-bin Ciu-kwi yang masih menyeringai. “Akan tetapi engkau berkhianat kata orang, hendak melarikan diri dari sini, kemudian engkau bermain gila dengan pemuda Cin-ling-pai ini, berjina dengan dia dan ketahuan oleh Ang-bin Ciu-kwi dan...” “Bohong...!” Si Kwi menjerit dan dia melompat bangun, menghadapi Ang-bin Ciu-kwi dan menudingkan telunjuknya kepada majikan Padang Bangkai itu. “Dia bohong, dia bukan manusia, subo! Dia inilah manusianya yang hampir saja memperkosa teecu! Ketika teecu tiba di sana, mereka ini dan anak buah mereka tidak melakukan penjagaan, melainkan mengganggu banyak wanita biarpun kemudian mereka bilang bahwa wanita-wanita itu adalah anak buah Giok-hong-pang. Kemudian... dengan curang iblis ini menyuguhkan arak beracun kepada teecu dan nyaris teecu diperkosa olehnya! Bedebah keparat dia ini!” “Ha-ha-ha, kami lihat engkau dan pemuda Cin-ling-pai itu bergumul di antara rumpun alang-alang... ha-ha-ha, betapa asyiknya... dan sekarang masih memutar balikkan omongan!” kata Ang-bin Ciu-kwi. “Nanti dulu, Ciu-kwi. Benarkah omonganmu dan isterimu bahwa kalian melihat muridku berjina dengan pemuda Cin-ling-pai ini?” “Benar! Kami berdua melihatnya!” jawab Coa-tok Sian-li dengen tegas. “Bohonggg...!” Si Kwi menjerit lagi. “Diam kau, Si Kwi!” Hek I Siankouw membentak muridnya, lalu berkata kepada Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, “Kalian berdua tentu bukan anak kecil dan hal ini tentu saja dengan mudah dapat kita periksa. Sepanjang pengetahuanku, muridku adalah seorang perawan. Akan tetapi kini dua orang majikan Padang Bangkat ini mengatakan bahwa muridku berjina dengan seorang laki-laki. Harap Hek-hiat Mo-li suka memeriksa kebenaran keterangan itu. Kalau benar muridku sekarang sudah bukan perawan lagi, aku sendiri yang akan membunuhnya!” Heh-heh, itu benar sekali!” Hek-hiat Mo-li melangkah maju dan sebelum Si Kwi sempat mengelak, dia telah tertotok roboh. Dengan cekatan jari-jari tangan Hek-hiat Mo-li meraba-raba dan tak lama kemudian dia membebaskan totokannya, mencelat ke tempatnya kembali sambil berkata kecewa, “Dia benar masih perawan!” “Hemm...” Hek I Siankouw kini menghadapi Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li. “Bagaimana sekarang, manusia-manusia palsu? Kalau muridku telah berjina dengan seorang pria, bagaimana mungkin dia masih perawan sekarang?” Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li tentu saja menjadi bingung. Mereka memang sengaja memutarbalikkan fakta agar gadis itu tidak mengadukan keadaannya ketika berada di Padang Bangkai, siapa tahu kini terdapat bukti bahwa cerita mereka itu bohong belaka! “Akan tetapi dia... dia hendak lari ke selatan dan... sekarang buktinya, pemuda Cin-ling-pai ini mana mungkin bisa melewati Padang Bangkai dan tiba di sini kalau tidak atas petunjuk Si Kwi?” kata Ang-bin Ciu-kwi yang biarpun pemabok namun cukup cerdik itu. Kembali Hek I Siankouw meragu. “Si Kwi, benarkah engkau memberi petunjuk kepada pemuda Cin-ling-pai ini?” “Tidak, Hek I Slankouw, dia sama sekali tidak memberi petunjuk apa-apa kepadaku. Mengapa kalian ini begitu tolol untuk mempercaya omongan manusia-manusia macam suami isteri yang cabul dan kotor ini? Aku memaksa seorang anggauta Padang Bangkai untuk menunjukkan jalan ke sini!” Bun Houw cepat berkata untuk melindungi Si Kwi. “Nah, jelas bahwa engkau sengaja hendak memburukkan nama muridku, hanya karena engkau tadinya hendak memperkosanya dan kini kau memutarbalikkan kenyataan! Ang-bin Ciu-kwi, kau menghina muridnya, berarti kau menantang gurunya!” “Bagus, Hek I Siankouw, engkau sombong sekali!” Tiba-tiba Coa-tok Sian-li berteriak dan meloncat ke depan membela suaminya. “Muridmu bisa bercerita bohong dan tentu saja pemuda musuh ini membelanya, akan tetapi kami suami isteri juga mempunyai cerita tersendiri. Muridmu yang tak tahu malu...” “Tutup mulutmu, perempuan cabul!” teriak Hek I Siankouw. “Engkau yang harus tutup mulut!” teriak Coa-tok Sian-li. Dua orang wanita itu, tentu saja Coa-tok Sian-li dibantu suaminya, sudah akan saling serang ketika terdengar Hek-hiat Mo-li berseru keras. “Sungguh bodoh kalian! Mudah saja diadu domba oleh musuh. Sedangkan musuh masih berdiri di antara kita, kalian sudah saling cekcok! Lebih baik kalian bertiga cepat maju menangkap pemuda Cin-ling-pai ini!” “Benar, kalau memang kalian bertiga merupakan pembantu-pembantu kami yang setia, hayo kalian tangkapkan pemuda ini untuk kami!” kata pula Pek-hiat Mo-ko. Tentu saja Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li yang sudah tahu akan kelihaian pemuda itu, merasa jerih. Coa-tok Sian-li masih ngeri kalau mengingat betapa jarum-jarumnya yang ampuh itupun sama sekali tidak dapat melukai pemuda ini. Juga Hek I Siankouw sudah maklum betapa lihainya pemuda ini, maka diapun meragu untuk turun tangan. Akan tetapi dalam saat yang membingungkan bagi mereka itu, tiba-tiba saja semua kemarahan di antara mereka lenyap dan dengan pandang mata mereka itu saling melirik, maklumlah mereka bahwa mereka bertiga harus bekerja sama untuk menandingi pemuda Cin-ling-pai itu. “Singggg...!” Tangan kanan Hek I Siankouw sudah mencabut pedang hitamnya, sedangkan tangan kiri merogoh kantong senjata rahasianya, yaitu Hek-tok-ting (Paku Hitam Beracun). “Singggg...!” Coa-tok Sian-li juga sudah mencabut pedangnya, sebatang pedang yang berlika-liku seperti ular dan berwarna kehijauan, tangan kirinya juga mengambil segenggam jarum racun ular. “Wuuut-wuuuttt...!” Ang-bin Ciu-kwi menggerakkan guci araknya. Tiga orang ini karena terpaksa kini bekerja sama dan dengan gerakan dahsyat ketiganya sudah menerjang maju dari tiga jurusan, dua batang pedang dan sebuah guci arak menyambar ganas ke arah bagian tubuh yang berbahaya dari pemuda itu. Namun Bun Houw yang sudah bersiap-siap, tidak menjadi gugup menghadapi serangan-serangan itu. Dia adalah murid Kok Beng Lama yang telah mewarisi Thian-te Sin-ciang secara sempurna, sehingga biarpun dia belum dapat menyamai kekuatan Kok Beng Lama yang amat luar biasa, namun kedua tangan dan lengan pemuda itu sudah memiliki kekebalan seperti gurunya, yaitu berani untuk menangkis senjata-senjata pusaka yang tajam! Kini, menghadapi serangan-serangan itu, dia mengelak dan menangkis dari samping dengan kedua tangannya sambil mengerahkan tenaga. “Plak-plak-plakkk...!” Tiga orang pengeroyoknya itu terdorong ke belakang! Mereka terkejut bukan main dan otomatis Hek I Slankouw menggerakkan tangannya. Sinar-sinar hitam menyambar dan itulah Hek-tok-ting yang meluncur dari tangannya. Coa-tok Sian-li juga menyambitkan jarum-jarumnya, sedangkan Ang-bin Ciu-kwi yang tadi sudah menenggak araknya, kini menyemburkan arak dari mulutnya dan semburan arak itu berupa uap yang amat kuat menyambar ke depan dan biarpun hanya arak, akan tetapi karena disemburkan dengan dorongan tenaga khi-kang yang hebat, tidak kalah berbahayanya dengan senjata rahasia lainnya! Bun Houw meloncat ke atas dan kedua kakinya bergerak menendangi senjata-senjata rahasia yang masih menyambar ke arah tubuhnya bagian bawah, kemudian tubuhnya itu berjungkir-balik di udara dan bagaikan seekor naga sakti, kini tubuhnya meluncur ke depan, menyerang Ang-bin Ciu-kwi dengan cengkeraman tangan kanan, sedangkan tangan kiri dengan jari-jari terbuka menghantam ke arah Hek I Siankouw yang dia tahu merupakan lawan terlihai di antara mereka bertiga. Melihat suaminya diserang secara demikian hebat, Coa-tok Sian-li cepat menubruk maju dengan pedangnya, membacok ke arah lengan tangan Bun Houw yang mencengkeram, sedangkan Hek I Siankouw cepat meloncat ke samping. Namun tetap saja hawa pukulan Thian-te Sin-ciang masih menyerempet pundaknya dan pendeta wanita tua ini terhuyung-huyung ke belakang dan mukanya berubah pucat. Bun Houw menarik kembali tangan yang mencengkeram karena bacokan pedang dari samping itu cukup berbahaya, kemudian tubuhnya sudah tiba di atas tanah lagi. Kini pemuda itu kembali telah dikurung dan dengan isyarat bentakan nyaring, Hek I Siankouw mendahului menyerang, diikuti oleh dua orang temannya, dan terdengar suara Bouw Thaisu, “Siancai, bocah ini memang lihai. Biar aku membantu kalian!” “Wuuut-wuuuuuttt...!” Bun Houw cepat meloncat ke belakang, berjungkir-balik dan mengelak dari sambaran kedua ujung lengan baju Bouw Thaisu. Memang senjata kakek ini hanya ujung lengan baju, ujung kain biasa, akan tetapi Bun Houw maklum betapa ujung lengan baju ini lebih lihai daripada senjata-senjata tajam tiga orang pengeroyoknya yang lain. “Bagus! Majulah kalian semua! Memang aku sudah mengenal siapa kalian, orang-orang tua pengecut ini!” Bun Houw berseru dan diapun balas menyerang. Terjadilah pertandingan yang hebat bukan main, seorang pemuda dikeroyok oleh empat orang tua yang kesemuanya merupakan tokoh-tokoh besar dalam dunia persilatan. Namun, pemuda itu sama sekali tidak terdesak, bahkan beberapa kali empat orang itu kelihatan terhuyung ke belakang setiap kali hawa pukulan Thian-te Sin-ciang yang dahsyat mendorong mereka biarpun tidak mengenai langsung. Sementara itu, untuk kedua kalinya, Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li terkejut dan kagum melihat kehebatan pemuda itu. Mereka kini tidak begitu jerih lagi menghadapi pukulan-pukulan dahsyat yang mereka kenal sebagai pukulan yang pernah membuat mereka jatuh bangun dan dihajar habis-habisan ketika mereka pernah bentrok dengan pendeta Lama dari Tibet itu. Kini mereka telah menyempurnakan ilmu mereka, ilmu kekebalan yang membuat mereka tidak usah takut lagi menghadapi pukulan seperti Thian-te Sin-ciang dan lain-lain! “Kalau kita tidak maju, kurasa pembantu-pembantu kita yang tiada gunanya itu tidak akan mampu merobohkannya,” kata Pek-hiat Mo-ko dengan suara tidak puas. “Bukan salah mereka. Mereka merupakan pembantu-pembantu yang cakap, hanya pemuda inilah yang terlalu lihai. Dia merupakan seorang sandera yang amat baik untuk menjamin kedatangan ayahnya, ketua Cin-ling-pai ke sini,” kata Hek-hiat Mo-li. “Engkau benar sekali. Sebaiknya kalau kita tangkap dia.” “Jangan kira mudah menangkap seorang yang memiliki kepandaian seperti dia. Kita harus menggunakan akal. Ingatkah kau betapa tadi dia lebih mementingkan nona itu daripada pedang pusaka Siang-bhok-kiam? Hemm, ini tentu ada apa-apanya. Mo-ko, kaubantulah empat orang itu sebelum mereka terpukul mampus oleh musuh. Aku mempunyai akal untuk menundukkan pemuda itu sehingga dapat menjadi tawanan kita.” Pek-hiat Mo-ko mengangguk dan sekali tubuhnya bergerak, dia sudah meloncat dan menerjang Bun Houw dengan pukulan dahsyat dari tangan kanannya. Pek-hiat Mo-ko terkenal dengan sin-kangnya yang mengandung hawa beracun dan yang mendatangkan hawa dingin sekali. Ketika Bun Houw yang sedang berusaha merobohkan empat orang pengeroyoknya itu tiba-tiba merasa ada hawa dingin menyambar dari kiri, tahulah dia bahwa dia diserang oleh seorang yang memiliki sin-kang amat kuat. Cepat diapun mengerahkan tenaganya menangkis ke kiri, disusul oleh tamparan tangan kanannya dengan pukulan Thian-te Sin-ciang ke arah orang yang baru datang ini. “Prattt... dessss...!” Tangkisannya membuat lengan Pek-hiat Mo-ko terpental dan pukulan Thian-te Sin-ciang itu membuat si kakek bermuka putih ini bergulingan, akan tetapi sambil tersenyum dia sudah bangkit kembali, tanda bahwa pukulan sakti itu sama sekali tidak melukainya! “Ha-ha-ha, Thian-te Sin-ciang ternyata tidak seberapa! Boleh saja Lama busuk dari Tibet itu datang ke sini, kami tidak takut menghadapi pukulannya, ha-ha!” Pek-hiat Mo-ko tertawa girang. Tadi dia memang hendak menguji keampuhan ilmunya yang baru dan ternyata lulus dengan baik karena pukulan hebat itupun dapat diterimanya tanpa melukai bagian dalam tubuhnya! Dan kini dia menyerang lagi lebih hebat daripada tadi. Bun Houw menjadi penasaran dan marah. Kakek ini hebat sekali dan kalau dia lebih dulu merobohkan yang empat orang, tentu dia tidak akan dapat mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menghadapinya. Dalam pertandingan satu lawan satu, dia yakin akan dapat mengalahkan kakek ini, biarpun kakek ini memiliki kekebalan yang begitu istimewa. Berpikir demikian, dia lalu mengelak dari semua serangan Pek-hiat Mo-ko, menjauhinya dan dengan sungguh-sungguh dia kini menerjang empat orang yang lain! Hebat bukan main sambaran hawa pukulan Thian-te Sin-ciang dari tangannya dan selagi empat orang lawan itu mundur, dia sudah mengeluarkan senjatanya, yaitu pedang Hong-cu-kiam yang mengeluarkan sinar keemasan menyilaukan mata. “Trang-trang-trakk-breetttt...!” Sinar emas itu bergulung-gulung dengan amat hebatnya dan itulah Siang-bhok Kiam-sut yang dimainkan oleh pemuda ini dan akibatnya, pedang di tangan Hek I Siankouw rusak ujungnya, guci arak di tangan Ang-bin Ciu-kwi menjadi bocor dan ujung lengan baju sebelah kiri dari Bouw Thaisu juga terbabat putus! Empat orang itu berseru kaget dan cepat mundur, akan tetapi sinar emas dari pedang Hong-cu-kiam kini bergulung-gulung makin luas dan mengancam mereka tanpa mendekati Pek-hiat Mo-ko. Memang Bun Houw hendak mengalahkan empat orang pengeroyok itu lebih dulu sebelum dia dapat memusatkan seluruh perhatian dan kepandaiannya untuk menandingi kakek yang amat lihai itu. “Tahan...! Cia Bun How, lihat ini...!” Terdengar bentakan Hek-hiat Mo-li dengan suara nyaring. Bun Houw meloncat ke belakang, menoleh dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia melihat In Hong dalam keadaan terbelenggu kedua kaki tangannya telah berdiri di situ, dijaga oleh Hek-hiat Mo-li yang berdiri di belakang gadis itu. “Hong-moi...!” Tak disadarinya lagi Bun Houw berseru girang melihat gadis itu benar-benar masih dalam keadaan selamat, akan tetapi juga khawatir melihat gadis itu sama sekali tidak berdaya karena selain dibelenggu tangannya, juga tangan nenek yang membentuk cakar di dekat tengkuknya itu merupakan todongan maut! “Cia Bun Houw, pilihlah. Engkau menyerah baik-baik atau nona ini akan kuhabiskan nyawanya di depan matamu!” “Jangan dengarkan dia! Aku tidak takut mati!” Tiba-tiba In Hong berserun yaring dan Bun Houw menjadi terharu. Gadis itu masih sama dengan dulu, gadis lincah dan berani, tidak berkedip menghadapi ancaman maut! Masih sama dengan “nona Hong” yang dulu itu, dengan “Hong-moi” yang dulu itu! “Hong-moi...!” Kembali dia mengeluh dan meragu. “Cia Bun Houw, engkau adalah putera ketua Cin-ling-pai yang perkasa. Tunjukkanlah kejantananmu dan jangan perdulikan aku!” Kembali In Hong berkata. “Jangan kau merendahkan nama ayahmu.” “Cia Bun Houw, bergeraklah sedikit saja, dan nona ini akan mampus!” Tangan berbentuk cakar itu kini menempel di tengkuk In Hong. “Hek-hiat Mo-li!” Bun Houw berseru nyaring, mengerahkan khi-kangnya sehingga suaranya terdengar amat berwibawa dan menggetarkan jantung mereka yang mendengarnya. “Boleh jadi engkau dapat membunuh nona Yap In Hong akan tetapi akupun dapat membunuh kalian semua!” “Ha-ha-ha, Cia Bun Houw bocah sombong! Kaukira akan mampu membunuh kami? Ha-ha, nona itu dapat kami bunuh dan kaupun juga! Lihat berapa besar kekuatan kami?” Ucapan Pek-hiat Mo-ko ini membuat Bun Houw melihat ke sekeliling dan ternyata tempat itu telah terkurung oleh seratus orang anak buah yang kelihatannya kuat-kuat dan bersenjata lengkap. Dia memandang kepada Si Kwi sekejap dan diam-diam dia mengakui kebenaran keterangan gadis itu yang kini kelihatan amat berduka memandang ke arahnya. “Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li. Biarpun demikian, tetap saja untuk kematian nona Yap In Hong aku akan dapat membunuh banyak sekali orang di sini! Maka tidak adillah kalau aku menyerah begitu saja tanpa imbalan. Kalian bebaskan nona Yap In Hong dan sebagai gantinya, biar aku yang menjadi tawananmu, mau kalian bunuh atau apa saja terserah. Akan tetapi nona itu harus bebas dulu!” “Houw-ko, jangan gila...!” In Hong menjerit dan tanpa disadarinya dia kembali telah menyebut Houw-ko kepada Bun Houw. Bun Houw tersenyum kepadanya. “Hong-moi, sudah sepatutnya kalau laki-laki yang menjadi tawanan, bukan wanita. Pula, mereka tidak mempunyai urusan denganmu, melainkan dengan Cin-ling-pai. Kalau engkau yang ditawan, hal itu kiranya belum tentu akan menarik perhatian ketua Cin-ling-pai, berbeda kalau aku yang ditawan!” Sengaja Bun Houw mengucapkan ini keras-keras agar terdengar oleh semua orang. “Cia Bun Houw, engkau tetap tidak mau menyerah?” Hek-hiat Mo-li berteriak. “Sesukamulah kalau kau hendak membunuhnya akan tetapi aku bersumpah akan membasmi kalian, akan melawan sampai titik darah terakhir! Hanya kalau dia sudah kalian bebaskan saja, aku mau menyerah tanpa syarat.” “Houw-ko...!” In Hong menjerit lagi dan kini kedua matanya menjadi basah. Tak disangkanya pemuda itu kini begitu tabah dan rela mengorbankan dirinya, mengorbankan keselamatan nyawanya untuk menolong dia! “Bagaimana ji-wi locianpwe?” Bun Houw mengejek. “Kalian memilih aku mengaku dan membunuhi semua orang di sini ataukah menukar aku dengan nona itu?” Pek-hiat Mo-ko mendekati Hek-hiat Mo-li dan mereka bicara dalam Bahasa Sailan. “Memang dia lebih berharga daripada gadis ini,” kata Pek-hiat Mo-ko. “Akan tetapi bagaimana dengan nenek pakaian hitam yang telah membantu kita? Dia hendak menuntut balas kepada gadis ini,” kata Hek-hiat Mo-li. “Kita janjikan dia bahwa kelak kita akan membantu dia menangkap kembali gadis itu.” Setelah berunding dalam Bahasa Sailan, lalu Pek-hiat Mo-ko berkata kepada Bun Houw yang masih berdiri dengan pedang Hong-cu-kiam di tangan, “Cia Bun Houw, kami menerima usulmu untuk menukar dirimu dengan diri gadis ini. Nah, kau menyerahlah dan lemparkan pedang itu.” Bun Houw tersenyum, sejenak nampak deretan giginya yang putih dan kuat. “Siapa bisa percaya omongan kalian? Bebaskan dulu nona Yap In Hong, dan pedang di tanganku ini adalah pedengnya, akan kuberikan kepadanya. Kalau dia sudah keluar dari tempat ini, barulah aku akan menyerah.” Kakek dan nenek itu marah sekali, merasa terhina. “Bocah lancang! Kami adalah guru-guru dari seorang raja, dan kau berani menganggap kami sebagai orang-orang yang akan melanggar janji? Kalau tidak percaya kepada kami, kamipun bisa tidak percaya kepadamu. Bagaimana kalau setelah gadis ini kami bebaskan, kau tidak mampu menyerah?” “Aku adalah putera ketua Cin-ling-pai. Mana ada orang Cin-ling-pai melanggar janji? Kalian sudah jelas pernah melanggar ketika di antara Bayangan Dewa dan aku memperebutkan pedang Siang-bhok-kiam. Aku keluar sebagai pemenang, akan tetapi pedang tidak diberikan kepadaku, melainkan kalian tahan! Aku sudah berjanii dan lebih baik mati daripada melanggar janji, itulah watak seorang pendekar!” “Baiklah, memang kami akan lebih senang melihat putera ketua Cin-ling-pai melanggar janji daripada melihat kau mati, agar enak kami menceritakan ke seluruh dunia kang-ouw akan kerendahan watak putera ketua Cin-ling-pai!” kata Pek-hiat Mo-ko yang cerdik itu. “Mo-li, bebaskan nona ini!” “Eh, eh, nanti dulu, Moli!” Tiba-tiba Hek I Siankouw mengangkat tangan mencegah. “Apakah kalian akan melanggar janji kalian kepadaku? Nona itu adalah milikku, kalian harus ingat ini!” “Hek I Siankouw, kami tidak melanggar janji apa-apa!” Hek-hiat Mo-li menjawab. “Hanya karena terpaksa saja kami membebaskan nona ini. Kami menjanjikan kepadamu kalau urusan kita semua sudah selesai, dan sekarang urusan belum selesai, bantuanmupun belum kelihatan. Jangan khawatir, nona ini dibebaskan menurut perjanjian dengan Cia Bun Houw, hanya untuk hari ini saja sebagai penukaran dirinya. Kelak, apa sih sukarnya bagi kami untuk menangkapnya kembali? Kalau sudah selesai urusan kita, kami pasti akan membantumu menangkapnya kembali. Ingatlah, dari dalam istana kaisarpun kami dapat mengambilnya apalagi di tempat lain!” Hek I Siankouw tidak dapat membantah pula dan juga membantahpun tidak akan ada gunanya. Lebih baik bersahabat dengan kakek dan nenek ini yang memang amat lihai dan yang kelak boleh diandalkan untuk membantunya menangkap gadis yang telah membunuh kekasihnya, Hwa Hwa Cinjin itu, daripada sekarang memusuhinya dan sama sekali tidak akan menguntungkannya. Hek-hiat Mo-li lalu menggunakan kekuatan jari-jari tangannya untuk mematahkan semua belenggu kaki tangan In Hong dan membebaskan totokannya dengan jalan menotok kedua pundak gadis itu. Hampir saja In Hong roboh terguling kalau saja dia tidak cepat meloncat karena pembebasan totokan dan belenggu itu membuat seluruh tubuhnya terasa berdenyut nyeri. Bun Houw sudah cepat mendekatinya dan menyerahkan pedangnya. “Hong-moi, kau pergilah cepat dan laporkan kepada ayah tentang keadaanku. Lekaslah pergi, Hong-moi dan ini kukembalikan pedangmu.” Bun Houw menyerahkan Hong-cu-kiam. Seperti dalam mimpi atau seperti patung hidup In Hong menerima pedang itu, matanya masih basah ketika dia sejenak memandang Bun Houw. “Houw-ko... tidak boleh begini...” katanya dengan suara berbisik. “Sudahlah, Moi-moi. Pergilah, hatiku berbahagia sekali dapat melihat engkau bebas dari neraka ini!” “Tapi... tapi... kau...?” “Sudahlah, jangan mengkhawatirkan aku. Mereka hanya akan menggunakan aku sebagai umpan. Pergilah, Hong-moi dan... kaumaafkan semua keselahanku yang sudah-sudah...” “Houw-koko!” In Hong memejamkan mata dan menggunakan punggung tangan kiri untuk menghapus dua titik air mata. Lalu dia mengepal tinju tangan kirinya, memalangkan pedang Hong-cu-kiam di depan dada. “Houw-ko, biar kuhajar mereka ini!” “Hssshhh, jangan sembrono, Hong-moi. Aku sudah berjanji kepada mereka.” “Hayo lekas pergi, mengapa kami disuruh nonton sandiwara?” bentak Ang-bin Ciu-kwi dengan marah. “Pergilah, Hong-moi, sampai mati aku tidak akan melupakanmu,” kata pula Bun Houw sambil mendorong pundak nona itu dengan gerakan halus. Dengan isak tertahan In Hong membalikkan tubuhnya dan berlari keluar dari pintu gerbang tembok yang kini sudah tertutup kembali lubangnya itu. Setelah melihat In Hong pergi jauh barulah Bun Houw menundukkan muka, lalu mengangkatnya lagi memandang Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li. “Nah, sekarang aku menyerah.” “Engkau memang sungguh seorang muda yang amat gagah!” Pek-hiat Mo-ko memuji sambil mendekati pemuda itu bersama Hek-hiat Mo-li. “Akan tetapi demi keamanan, terpaksa kau harus ditundukkan!” kata Hek-hiat Mo-li dan secepat kilat, jari tangannya menotok. Bun Houw mengangguk. “Maaf, anggauta tubuhku bergerak otomatis tanpa kusengaja.” Pek-hiat Mo-ko mengeluarkan tali berwarna hitam dari saku bajunya, “Blar kuikat saja dengan ini.” Dan kakek inipun lalu mengikat kedua tangan pemuda itu di belakang tubuhnya. Tali ini bukan tali semberangan, melainkan otot dari harimau hitam yang hanya terdapat di daerah Sailan dan otot-otot ini setelah direndam obat, merupakan benda yang ulet dan tidak dapat dibikin putus oleb apapun. Setelah dibelenggu kedua tangannya, Bun Houw lalu digiring hendak dimasukkan dalam kamar tehanan. Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring, “Bebaskan dia!” “Hong-moi...!” Bun Houw membalikkan tubuh dan memandang dengan mata terbelalak lebar dan muka berubah saking kagetnya melihat bahwa yang datang itu bukan lain adalah In Hong! Gadis ini kelihatan jelas habis menangis, matanya merah den pipinya basah. Kini dia tidak menangis lagi, bahkan sikapnya gagah dan beringas, pedang Hong-cu-kiam di tangannya dan dia berdiri tegak, sikapnya mengancam seperti seekor harimau betina yang dirampas anaknya. “Hong-moi, pergilah...! Ahhh...!” Bun Houw menjadi bingung sekali. Sementara itu, Hek I Siankouw dan muridnya, Liong Si Kwi, sudah menerjang In Hong dengan senjata mereka, yaitu Hek I Siankouw menggunakan pedang hitamnya yang ujungnya rusak oleh Bun Houw tadi sedangkan Si Kwi mempergunakan sepasang pedang. Melihat betapa gadis itu melawan dengan nekat den gerakannya cepat bukan main, Bouw Thaisu juga sudah turun tangan membantu. Hanya Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li yang masih marah kepada Hek I Siankouw tidak mau membantu, hanya menonton. “Ha-ha-ha, tidak usah dicari dia sudah kembali, ha-ha!” Pek-hiat Mo-ko tertawa bergelak den Hek-hiat Mo-li sudah meloncat dan ikut mengeroyok In Hong. Tentu saja In Hong segera terdesak mundur karena nenek ini memang lihai bukan main. Pernah dia dicoba oleh nenek ini dan tidak dapat menang karena nenek ini memiliki kekebalan yang luar biasa. Akan tetapi, dengan pedang Hong-cu-kiam di tangan, In Hong merupakan seorang yang sukar dikalahkan begitu saja dan dia mengamuk dengan hebat sehingga Si Kwi yang tingkat kepandaiannya paling rendah terpaksa mundur. “Hek-hiat Mo-li! Apakah engkau demikian tak tahu malu untuk melanggar janji?” Bun Houw membentak den berusaha untuk membebaskan diri, namun biar dia telah mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya, kedua lengannya tidak mampu membikin putus tali yang membelenggunya. Tali itu terlampau ulet dan juga agak mulur sehingga tidak mungkin dapat dibikin putus. “Hemm, Cia Bun Houw! Siapa yang melanggar janji? Nona itu datang sendiri, dan kami tidak mengejarnya, dia yang datang mengamuk. Apakah itu berarti kami melanggar janji?” Pek-hiat Mo-ko berkata. Tentu saja Bun Houw tidak membantah kata-kata itu dan kembali dia berseru. “Hong-moi, jangan...! Pergilah lekas!” Sambil menangkis serangan yang dilakukan dengan penuh kebencian oleh Hek I Siankouw, In Hong menjawab, “Tidak! Kalau engkau tidak dibebaskan, aku akan mengamuk sampai titik darah terakhir!” Hek I Siankouw menjerit dan meloncat mundur karena pundaknya tergores ujung pedang Hong-cu-kiam sehingga berdarah. Hek-hiat Mo-li menubruk dan ketika sinar keemasan pedang Hong-cu-kiam menyambar, nenek ini menangkis dengan lengannya dan sebuah tamparannya mengenai pundak In Hong sehingga dara ini terhuyung. “Hong-moi, pergilah...!” kembali Bun Houw berteriak, akan tetapi In Hong sudah marah seperti seekor harimau terluka. Dia meloncat bangun dan dengan mata beringas memandang nenek bermuka hitam itu dan lima belas orang anak buahnya yang kini sudah mengurung In Hong dengan membawa tali-tali panjang yang digulung. Inilah pasukan tali yang sudah terlatih baik oleh dua orang kakek dan nenek itu. Begitu Hek-hiat Mo-li berseru keras, orang-orang itu menggerakkan tangan dan meluncurlah tali-tali yang panjang itu ke sekitar tubuh In Hong, dan ujung itu diterima oleh seorang teman di seberang. Dengan demikian, tahu-tahu In Hong telah dikurung oleh tali-tali yang ruwet dan aneh sehingga dia sukar untuk bergerak karena ke manapun dia maju, tentu terhalang oleh tali yang ruwet itu! In Hong menjadi marah, akan tetapi dia tidak mampu menyerang lima belas orang yang mengurungnya itu. Mereka ikut bergerak kalau dia bergerak, dan kedudukannya tetap saja di tengah-tengah terhalang oleh tali-temali itu. Terdengar dara ini mengeluarkan suara melengking keras dan pedangnya kini tidak lagi mencari sasaran manusia melainkan mengamuk kepada tali-tali itu. Tali itu ternyata juga terbuat dari bahan yang kuat sekali, akan tetapi Hong-cu-kiam yang tajam digerakkan oleh tangan dara itu yang mengandung sin-kang kuat, merupakan sinar yang bukan main hebatnya sehingga tak lama kemudian tali-temali itu mulai putus! Lima belas orang yang memegang ujung tali-temali itupun mulai menjadi kacau dan In Hong sudah dapat minggir mendekati mereka yang makin panik dan jerih karena tali-temali yang membentuk semacam jaring itu kini telah robek-robek! “Mundur!” teriak Pek-hiat Mo-ko setelah dia mengikat kedua kaki Bun Houw dengan tali otot hitam sehingga pemuda ini sekarang rebah di atas tanah tak dapat bergerak lagi. Kakek ini sekarang bersama nenek muka hitam lalu menyerbu ke depan. Melihat dua orang musuhnya ini, In Hong membentak dan pedangnya berkelebat menyerang dengan ganas. Namun, kakek dan nenek yang kini telah memegang sebatang tongkat itu menangkis dan mendesak ke depan. In Hong dikurung rapat dan didesak sedemikrian rupa sehingga gadis itu menjadi repot juga. Menghadapi seorang di antara mereka dia sudah kewalahan karena kekebalan mereka yang luar biasa, apalagi kini dikeroyok dua dan mereka berdua itu memainkan sebatang tongkat secara istimewa pula. Belum sampai lima puluh jurus dia mempertahankan, dia telah roboh oleh totokan istimewa yang dilakukan dengan ujung tongkat oleh Pek-hiat Mo-ko. Tubuh In Hong terguling dan segera diapun diikat kaki tangannya seperti Bun Houw dan dilempar di dekat Bun Houw. Kebetulan sekali In Hong terjatuh dengan muka berhadapan dengan pemuda itu. Mereka saling pandang dan sejenak pandang mata mereka bertaut, kemudian terdentar Bun Houw mengeluh kekecewaan. Percuma saja dia mengorbankan dirinya untuk gadis ini! Dukk! Dukk!” Dua kali tangan Pek-hiat Mo-ko bergerak ke arah tengkuk Bun Houw dan In Hong, dan kedua orang muda itu mengeluh dan tak bergerak lagi, mata mereka terpejam karena mereka telah pingsan. Kakek dan nenek itu sendiri yang mengempit tubuh dua orang muda yang merupakan tahanan dan sandera amat berharga itu, diiringkan oleh semua pembantunya mereka lalu membawa dua orang tawanan itu dan setelah membebaskan totokan dan tali, melemparkan mereka ke dalam kamar tahanan yang amat kuat, kamar tahanan dari baja yang tidak mungkin dapat dibobol oleh seorang lihai seperti Bun Houw sekalipun! “Mengapa mereka dibebaskan? Sungguh berbahaya, locianpwe,” Ang-bin Ciu-kwi mencela Pek-hiat Mo-ko setelah dua orang muda itu dibebaskan dari belenggu dan dilempar ke dalam kamar tahanan dan pintunya dikunci dari luar. Pek-hiat Mo-ko tersenyum. “Biarpun berbahaya, mereka itu hanya seperti dua ekor harimau di dalam kerangkeng. Mereka tidak berbahaya lagi dan sewaktu-waktu, mudah saja kita merobohkan mereka dari luar kerangkeng. Mereka adalah sandera-sandera yang amat berharga, harus dijaga jangan sampai sakit dan mati sebelum semua teman The Hoo si keparat itu mewakilinya datang ke sini dan menerima hukuman.” Ang-bin Ciu-kwi bergidik karena dalam suara kakek ini terkandung ancaman yang amat hebat. “Sungguh saya merasa heran, locianpwe. Panglima The Hoo sudah mati, kenapa ji-wi locianpwe menaruh dendam yang demikian hebat sehingga semua temannya harus dihukum!” Tiba-tiba leher baju Setan Arak itu dicengkeram oleh tangan kiri Pek-hiat Mo-ko sehingga Si Setan Arak kaget dan ketakutan. “Ampun... maafkan kalau saya salah bicara...” Akan tetapi Pek-hiat Mo-ko menarik muka Ang-bin Ciu-kwi sampai dekat dengan mukanya. “Lihat! Lihat baik-baik mukaku, dan lihat muka Hek-hiat Mo-li! Apakah seperti manusia lagi? Itu semua gara-gara si keparat The Hoo!” Dia lalu mendorong dan melepaskan tubuh Ang-bin Ciu-kwi yang jatuh terjerembab ke atas lantai. “Sekarang, engkau dan isterimu, harus menjaga baik-baik dua orang tawanan ini. Awas, kalau sampai mereka itu sakit atau mati atau lolos, nyawa kalian berdua yang menjadi gantinya!” Pek-hiat Mo-ko memang cerdik. Dia tidak mempercayakan penjagaan atas diri dua orang tawanan itu kepada Bouw Thaisu, atau Hek I Siankouw, karena dia tahu bahwa dua orang itu hanya membantunya karena mereka itu mempunyai tujuan pribadi masing-masing. Tidak seperti Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya yang sudah menjadi kaki tangan dan orang-orang taklukannya. Orang-orang seperti ini tentu saja lebih tunduk dan taat. *** Bun Houw siuman lebih dulu dan segera dia bangkit di atas lantai di mana tadi ia menggeletak. Yang pertama-tama menarik matanya adalah tubuh In Hong yang rebah pula di lantai itu, masih pingsan akan tetapi dalam keadaan sehat. Hal kedua yang lebih menarik perhatiannya adalah bahwa dia dan In Hong sama sekali tidak terbelenggu. Hal-hal ini menenangkan hatinya dan mulailah dia memeriksa keadaan di dalam kamar tahanan itu. Sebuah kamar yang tidak begitu besar, kurang lebih empat meter persegi, dindingnya terbuat dari baja yang amat kuat dan hanya ada sebuah daun pintu yang juga terbuat dari baja tebal. Pergantian udara hanya melalui lubang-lubang di atas pintu, yang cukup banyak sehingga mereka tidak akan mati pengap, akan tetapi terlalu sedikit sehingga mereka tidak dapat merasa enak bernapas. Betapapun juga, mereka tidak akan mati tinggal di kamar ini. Dari lubang-lubang itu, kadang-kadang dia melihat bayangan orang di luar daun pintu. Bun Houw melihat ada sebuah pembaringan di dalam kamar dan di sudut kamar terdapat sebuah lubang di lantai, agaknya dimaksudkan untuk tempat buang air! Kemudian dia melihat sebuah lubang yang lebarnya kurang lebih tiga puluh sentimeter persegi di bagian bawah pintu, akan tetapi lubang ini ditutup dari luar oleh baja pula dan agaknya lubang itu adalah tempat untuk memasukkan makanan dan lain-lain ke dalam kamar. Paling penting adalah menyadarkan In Hong, pikirnya dan dipondongnya tubuh nona itu, dibaringkannya terlentang di atas pembaringan. Kemudian Bun Houw mengurut tengkuk gadis itu yang tadi kena pukul. Tak lama kemudian gadis itu mengeluh perlahan dan membuka mata. Begitu melihat Bun Houw, dia cepat bangkit duduk, menoleh ke kanan kiri, melihat kaki tangannya dan serunya pertama, “Kita bebas...!” Bun Houw mengangguk. “Ya, akan tetapi kita dikurung di dalam kamar tahanan yang kuat sekali.” In Hong lalu turun, memeriksa kamar itu, melangkah hilir-mudik dan tiba-tiba dia membalik, menghadapi Bun Houw dan berkata, “Kita tidak ditotok, tidak dibius dan tidak dibelenggu. Kita bebas dan kalau kita berdua mengamuk, apa sukarnya kita basmi mereka dan lolos dari sini?” Bun Houw menggeleng kepala dan duduk di sudut pembaringan yang juga terbuat dari baja! “Kurasa tidak begitu mudah, Hong-moi. Merekapun bukan orang-orang bodoh. Sudah kuperiksa tadi dan jelas bahwa kita tidak mungkin membobol kamar ini. Pula, kalau kita memberontak dan mengamuk di dalam kamar ini, betapa akan mudahnya bagi mereka untuk membuat kita tidak berdaya dengan asap beracun atau serangan lain.” In Hong terkejut. “Aihhh... habis bagaimana?” “Hong-moi, tadi engkau sudah dapat lolos, kenapa engkau kembali?” Bun Houw tidak menegur, melainkan menyesal karena melihat dara itu tertawan kembali. In Hong kini berdiri dan memandang wajah pemuda itu dengan angkuh, mengingatkan Bun Houw akan sifat dara ini yang memang keras, akan tetapi keangkuhan itu baginya amat menarik karena dara itu tidak berpura-pura dan di dalam keangkuhan itu terdapat keagungan yang membuat dara itu menjadi makin menarik. “Kaukira aku ini orang macam apa, Houw-ko? Engkau mengorbankan dirimu untuk kebebasanku. Aku bebas akan tetapi engkau tertawan dan terancam nyawamu. Aturan mana itu? Mana bisa aku diam saja? Tentu selama hidupku aku akan merasa tersiksa oleh penyesalan kalau sampai terjadi sesuatu dengan engkau yang mengorbankan diri untukku. Tidak! Aku tidak bisa melanjutkan perjalanan kebebasanku dan aku nekat kembali untuk mencoba menolongmu dan membebaskanmu.” “Dan kau gagal...” “Lebih baik gagal dan sama-sama menghadapi kematian daripada mati sedikit demi sedikit digerogoti penyesalan kelak.” Hening sejenak. “Hong-moi...” “Hemm...?” “Agaknya engkau ini...” “Ya...?” “Angkuh bukan main!” “Maksudmu?” “Sedikitpun engkau tidak sudi menerima budi orang...” “Tentu tidak! Sejak kecil aku hidup sendiri, bersama subo yang kini sudah tidak ada. Aku tidak mengemis budi, tidak mengharapkan budi, dari siapapun!” “Hemm, engkau menjadi keras oleh keadaan, Hong-moi. Sungguh kasihan...” “Aku tidak mengharapkan kasihan orang...!” “Akan tetapi aku bukan orang biasa. Aku adalah seorang sahabatmu, Hong-moi. Lupakah engkau akan itu? Engkau malah sudah memberi Giok-hong-cu (Burung Hong Kumala) kepadaku dan aku memberikan Hong-cu-kiam padamu. Berarti kita telah terikat oleh persahabatan!” “Dan pedang itu terampas oleh mereka!” In Hong berkata kecewa. “Akan tetapi Giok-hong-cu pemberianmu masih kusimpan!” Bun Houw berkata dan tangannya merogoh ke saku baju sebelah dalam dan dikeluarkanlah hiasan rambut yang terbuat dari batu kumala indah berbentuk burung hong itu, “Benda ini selamanya tidak pernah terpisah dari badanku, Hong-moi!” Melihat pemuda itu memegang burung hong kumala dan menyatakan demikian, tiba-tiba saja jantung In Hong berdebar keras dan tanpa disadarinya, kedua pipinya menjadi merah dan dia merasa senang bukan main!   “Kita harus mencari akal untuk dapat lolos dari kurungan ini, Houw-ko, kemudian kita serbu mereka, rampas kembali Siang-bhok-kiam dan...” “Ssstt, jangan terburu nafsu, Hong-moi. Tidak akan mudah. Kita harus bersabar dulu.” “Tapi kita akan celaka...” “Kurasa tidak, Hong-moi. Sebetulnya, yang diinginkan oleh kakek dan nenek itu adalah ayahku dan para panglima bekes pembantu Panglima The Hoo, bukan kita. Kita ini hanya dijadikan umpan belaka. Kalau mereka hendak membunuh kita, tentu agaknya engkau sudah mereka bunuh, dan aku juga.” “Ssstt...!” In Hong memberi tanda agar pemuda itu jangan mengeluarkan kata-kata, dan keduanya memandang dengan penuh perhatian kepada lubang kecil yang tiba-tiba terbuka dari luar pintu. Kalau saja ada tangan diulur masuk, tentu In Hong yang sudah siap itu akan menangkapnya. Akan tetapi, terdengar suara ketawa Coa-tok Sian-li di luar pintu itu dan sebuah panci besar dan beberapa mangkok didorong masuk ke dalam satu demi satu tanpa memperlihatkan tangan yang mendorongnya. Kemudian juga sebuah poci minuman. Panci itu berisi masakan sayur mayur dan daging, baunya cukup sedap merangsang selera dan nasi itu putih dan masih mengebulkan uap, masih panas. Poci itu berisi air teh. “Iblis, aku tidak sudi makan dan minum suguhanmu!” In Hong hendak menendang hidangan itu, akan tetapi cepat-cepat Bun Houw mencegahnya dan memegang lengannya. “Hong-moi, apa gunanya itu?” Ketika gadis itu memandangnya, dia berkedip dan menggelengkan kepalanya. In Hong tidak berkata apa-apa dan keduanya diam. “Ha-ha-ha!” Terdengar suara ketawa Ang-bin Ciu-kwi di luar. Kiranya suami isteri itu menjaga di luar. Bun Houw dan In Hong cepat mengintai dari lubang-lubang angin dan benar saja. Di luar terdapat Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li duduk berjaga dan kini Ang-bin Ciu-kwi berkata, “Memang bocah she Cia itu pintar! Tidak seperti gadis itu yang liar!” Tiba-tiba terdengar suara Hek I Siankouw. “Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li, kalian dan aku adalah sekawan, lupakanlah pertikaian antara kita dan kalian turutilah permintaanku sedikit.” “Hemm, apakah permintaanmu itu, Siankouw?” “Biarkah aku memotong tangan kanan gadis bernama Yap In Hong itu untuk membalas kematian sahabatku.” “Wah, wah, dalam keadaan biasa aku sendiri akan suka menonton kau melakukan penyembelihan terhadap dia, akan tetapi kami berdua bertugas jaga di sini, tidak saja menjaga agar mereka jangan lolos, juga jangan mereka sakit atau mampus. Bagaimana mungkin kami berani membiarkan kau memotong lengannya? Tentu lengan kami akan hilang pula sebagai gantinya!” kata Ang-bin Ciu-kwi. “Siankouw, harap kau jangan cari-cari perkara. Kau tahu bahwa yang menentukan hanyalah dua orang locianpwe yang berkuasa di sini. Kalau engkau hendak minta sesuatu, mintalah kepada beliau berdua. Kalau sudah ada perkenan beliau, biar kaubunuh gadis itupun kami tidak mencampuri,” kata Coa-tok Sian-li. Hek I Siankouw menghela napas panjang. Diapun tidak berani melanggar perintah dua orang kakek dan nenek iblis itu, betapapun sakitnya hatinya dan betapa inginnya untuk segera membalas dendam. Tiga orang itu tiba-tiba bicara bisik-bisik dan menjauhi pintu kamar itu sehingga Bun Houw dan In Hong tidak lagi melihat atau mendengar mereka. “Hong-moi, mari kita makan, mumpung masih panas-panas.” Bun Houw mengangkati semua hidangan itu ke atas pembaringan besi dan mempersilakan gadis itu makan. “Uhhh! Aku tidak sudi makan hidangan mereka.” “Hong-moi, pikirlah dengan tenang. Kita perlu memelihara kesehatan dan mengumpulkan tenaga, bukan? Sekali waktu akan ada gunanya bagi kita. Kalau kau tidak mau makan sampai jatuh sakit dan lemah, bagaimana mungkin kita dapat melawan mereka kalau saatnya tiba?” Dibujuk demikian, In Hong termenung, lalu dengan cemberut dia duduk pula di atas pembaringan dan menerima semangkok nasi dan sumpitnya. Akan tetapi ketika dia hendak menyendok sayur, dia berkata penuh curiga, “Siapa tahu masakan ini mengandung racun!” Bun Houw tersenyum, menyendok sayur dan daging lalu memakannya dengan enak. “Tidak mungkin,” katanya. “Mereka perlu dengan kita sebagai sandera, mengapa mereka harus meracun kita? Pula banyak jalan untuk membunuh kita yang sudah tidak berdaya, mengapa menggunakan racun dalam makanan seperti perbuatan orang-orang lemah? Aku yakin mereka tidak akan meracun makanan kita.” In Hong lalu mau makan juga dan karena memang dia amat lapar, maka sebentar saja dia makan sama lahapnya dengan Bun Houw. Mereka lalu minum teh dan tak lama kemudian In Hong duduk melenggut karena mengantuk. Badannya terasa segar dan sehat, dan Bun Houw lalu turun dari pembaringan setelah menaruh semua perabot makan di depan lubang bagian bawah pintu yang sudah tertutup lagi dari luar itu. Dia mengintai dari lubang-lubang angin yang kecil, akan tetapi karena tidak dapat melihat Hek I Siankouw maupun Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya, juga tidak mendengar suara mercka maka diapun lalu membiarkan In Hong istirahat dan mulailah dia memeriksa keadaan kamar tahanan itu lebih teliti. Akan tetapi, tepat seperti telah diduganya, tempat itu amat kuat dan kokoh, tidak mungkin meloloskan diri dari tempat itu dengan menggunakan tenaga saja. Bagian depan yang ada pintunya terbuat dari baja, demikian pula seluruh dindingnya. Hanya lantainya saja terbuat dari batu. Akan tetapi untuk apa membongkar lantai? Selain tidak mudah, juga tentu nampak dari luar sebelum dia dan In Hong berhasil lolos. Setelah memerika dengan teliti, Bun Houw juga duduk bersila di atas lantai batu untuk menghimpun tenaga.   Sementara itu, Hek I Siankouw dan dua orang majikan Padang Bangkai itu berunding tidak jauh dari kamar tahanan sambil berbisik-bisik. “Jangan khawatir aku akan ikut bortanggung jawab. Bukankah Mo-ko dan Mo-li hanya berpesan agar mereka tidak sakit, mati atau lolos? Nah, ketiganya itu tidak akan terjadi. Aku ingin melihat mereka itu terhina dan rusak nama dan kehormatan mereka sedangkan kalian dapat menikmati tontonan itu!” Demikian antara Lin Hek I Siankouw berkata dan membujuk mereka. “Memang menyenangkan sekali!” Coa-tok Sian-li berkata. “Asyik sekali kalau menonton itu!” kata pula Ang-bin Ciu-kwi. “Andaikata Mo-ko dan Mo-li mendengarnya, tentu mereka tidak akan marah. Justeru mereka sendiri yang menyuruh mengurung dua orang itu dalam satu kamar, maka kejadian itu bukankah sudah sewajarnya?” kita pula Hek I Siankouw. “Baikiah, Siankouw. Lihat saja malam nanti, kehendakmu pasti terlaksana dan kami akan menikmati tontonan itu, hik-hik!” Coa-tok Sian-li tertawa-tawa genit. Sore hari itu, kembali Bun Houw dan In Hong mendapatkan suguhan makanan dan minuman, bahkan ada seguci kecil arak wangi. Lampu penerangan telah dipasang dan karena sinar lampu hanya dapat memasuki kamar tahanan itu melalui lubang-lubang angin kecil, maka kamar tahanan itu biarpun tidak gelap sama sekali, akan tetapi juga tidak terlalu terang, hanya remang-remang saja. Kini In Hong tidak ragu-ragu lagi untuk makan dan minum, bahkan diapun minum arak wangi yang manis dan lezat itu untuk menghangatkan tubuhnya, ditemani oleh Bun Houw yang sama sekali tidak kelihatan berduka atau khawatir. Dan memang sesungguhnya, secara aneh sekali kedua orang muda itu tidak merasa khawatir atau tidak senang, bahkan baru sekarang mereka merasakan kegembiraan yang aneh! Mereka tidak sadar bahwa itulah tanda-tanda cinta! Cinta tidak mengenal duka dan khawatir, dalam keadaan bagaimanapun juga. Ketika mereka selesai makan minum dan Bun Houw menaruh perabot-perabot makan di dekat lubang, lubang itu terbuka dari luar dan dengan cepatnya mangkok piring itu disambar oleh tangan yang tidak nampak, dibawa keluar dan terdengarlah suara terkekeh genit dari Coa-tok Sian-li yang berkata. “Hi-hi-hik, selamat menikmati malam pengantin!” Bun Houw mengerutkan alisnya. Ucapan seorang cabul seperti Coa-tok Sian-li memang tidak perlu diperhatikan, akan tetapi di dalam kata-kata itu terkandung sesuatu yang membuat dia menaruh curiga. Apalagi ketika lampu penerangan di luar dibesarkan sehingga keadaan di dalam kamar itu menjadi lebih terang, dan dia mendengar suara-suara manusia di luar kamar seolah-olah ada beberapa orang yang mengintai dari luar! Dia merasa curiga, maka didekatinya In Hong yang duduk di tepi pembaringan sambil berbisik, “Hong-moi, hati-hatilah...” “Ada apakah, Houw-koko?” “Aku menaruh curiga kepada mereka. Agaknya mereka hendak melakukan sesuatu, entah apa.” Karena merasa tegang, Bun Houw memegang tangan gadis itu dan tanpa disengaja jari-jari tangan mereka saling genggam. Rasa hangat yang aneh menjalar dari sentuhan tangan itu, getaran yang luar biasa menjalar dari ujung-ujung jari yang bersentuhan terus ke lengan dan ke seluruh tubuh, mengguncangkan jantung. Otomatis mereka saling pandang dan sinar mata mereka melekat. Di dalam cahaya yang remang-remang namun cukup terang itu, Bun Houw melihat wajah yang luar biasa cantiknya, luar biasa manjanya dan memiliki daya tarik yang amat kuat. Sepasang mata yang bening dan pandang matanya tajam penuh semangat hidup, hangat dan begitu dalam seperti lautan yang sukar dijajagi dalamnya, bibir yang agak terbuka seolah-olah menantangnya, napas yang panjang halus agak tersendat membuat cuping hidung mancung itu agak kembang-kempis, leher yang panjang dan seperti tangkai bunga. Dia terpesona! Dan sebaliknya, In Hong juga memandang wajah Bun Houw seolah-olah baru sekarang dia menemukan ketampanan dan kegagahan wajah pemuda itu. “Ahhh...!” In Hong berseru dan cepat menarik tangannya. “Maaf, Hong-moi...!” Bun Houw juga cepat melangkah mundur. Napas mereka agak memburu. In Hong menundukkan mukanya. Muka itu tentu merah sekali, pikir Bun Houw, di dalam cuaca yang agak remang-remang kelihatan gelap. Namun mata itu mengerling dari bawah, kerlingan yang seperti menggapai! Seperti didorong oleh tenaga yang tidak kelihatan, Bun Houw melangkah maju lagi, jantungnya berdebar sampai terdengar di dalam kedua telinganya. Benarkah penglihatannya? Dia melihat gadis yang menundukkan muka itu mengerling malu-malu dan tersenyum! Dan dada yang membusung itu kelihatan naik turun, napasnya memburu. “Hong-moi...” Kembali jari-jari tangannya menyentuh, perlahan saja, di ujung pundak gadis itu. Pundak itu tertutup baju dan sentuhan itu hanya perlahan saja, akan tetapi sungguh aneh. Sentuhan yang ringan ini mendatangkan getaran hebat yang membuat seluruh tubuh In Hong menggigil dan juga Bun Houw merasa betapa gairah yang dahsyat mendorongnya untuk merangkul gadis itu dan mendekap sekuatnya. Dengan seluruh kekuatan batinnya, dilawannya gairah ini dan kedua kakinya menggigil! “Ada apa... koko...?” Dara itu mengangkat mukanya, mukanya benar saja merah sekali setelah kini tertimpa sinar dari luar dan sepasang mata itu amat bercahaya seperti ada apinya, seolah-olah di dalam tubuh gadis itu terjadi kebakaran!   “Tidak... eh, aku hanya hendak mengatakan eh, kau... kau cantik sekali, Hong-moi!” Bun Houw sendiri terkejut mendengar kata-katanya ini. Apa yang telah terjadi? Dia menanti kemarahan dara itu andaikata akan menamparnya, dia akan menerimanya dengan rela karena dia menyadari betapa lancang mulutnya. Akan tetapi aneh! In Hong tidak marah, malah tersenyum, senyum manja dan senyum yang membayangkan kebesaran hati yang bangga! “Terima kasih... Houw-ko...” suaranya tersendat-sendat. Mereka masih saling pandang dan akhirnya tak kuat lagi menahan gelora hatinya yang membuatnya seperti mabok dan tidak sadar, Bun Houw merangkul leher gadis itu. Anehnya, In Hong juga balas merangkul pinggangnya, kini muka mereka saling berdekatan, begitu dekat sehingga mereka saling merasakan tiupan nafas masing-masing. Bibir mereka hampir saling bersentuhan, akan tetapi naluri kewanitaannya membuat In Hong menundukkan muka dan menyembunyikan mukanya di dada Bun Houw, mendekap dada itu dengan mukanya dan mengeluh, “Houw-ko...” “Hong-moi ah, Hong-moi...” Bun Houw terengah sambil mendekap kepala itu ke dadanya, timbul berahinya yang amat hebat sehingga ingin rasanya dia memasukkan kepala itu, seluruh tubuh gadis itu, ke dalam dirinya agar menjadi satu dan takkan terpisah lagi dengan dia! “Hi-hi-hik!” Suara ketawa ini seperti halilintar menyambar Bun Houw dan In Hong. Keadaan setengah sadar tadi kini buyar dan seperti ada sinar terang memasuki benak mereka, membuat mereka maklum behwa mereka sedang diintai orang! Bun Houw mclepaskan pelukannya, berseru kaget dan meloncat ke belakang. Dia terhuyung. In Hong juga memandangnya dengan mata terbelalak, kedua tangannya menekan pipi sendiri, bingung dan terkejut. “Hong-moi... celaka... kita keracunan...!” Bun Houw berseru dan mengepal tinjunya karena ada rangsangan yang makin hebat mendorongnya untuk mendekati gadis itu. “Ahhh... pantas aku merasa tidak wajar... panas sekali... tentu dalam makanan tadi...” “Dalam arak mungkin...” “Ha-ha-ha!” terdengar suata ketawa Ang-bin Ciu-kwi. “Memang kau pintar, putera Cin-ling-pai. Racun itu berada dalam arak tadi dan kalian sudah meminumnya. Kalian tahu racun apa? Eh, isteriku yang cantik dan cerdik, kauceritakan agar mereka itu dapat bersenang sepuasnya, ha-ha!” “Hi-hik, sebetulnya bukan racun berbahaya, kalian boleh tenang-tenang saja. Lebih baik dinamakan obat, dan arak itu kuciptakan sendiri, namanya Arak Malam Pengantin! Bersenanglah kalian!” “Coa-tok Sian-li iblis betina cabul!” In Hong membentak marah. “Kalau sekali aku dapat berhadapan denganmu, akan kuhancurkan kepalamu!” “Jangan harap kau dapat mempermainkan kami!” Bun Houw juga berteriak, namun jantungnya berdebar aneh dan ada suatu kekhawatiran besar timbul di dalam hatinya. “Ha-ha, mari kita sama lihat! Binatang-binatang seperti kuda dan kerbau saja tidak kuat menahan pengaruh obat ciptaan isteriku itu, apalagi manusia, dan masih muda seperti kalian! Ha-ha, ingin kulihat putera ketua Cin-ling-pai berjina di dalam kamar tahanan!” kata pula Ang-bin Ciu-kwi. “Dan aku ingin sekali melihat Yap In Hong perawan sombong yang telah membunuh sahabatku Hwa Hwa Cinjin itu menyerahkan kehormatannya secara murah seperti seorang pelacur!” terdengar suara Hek I Siankouw. Mendengar ini, terkejutlah Bun Houw. Kiranya itulah rencana mereka! Dia dan In Hong sengaja diberi minum racun yang agaknya merupakan racun perangsang nafsu berahi agar mereka berdua dalam keadaan tidak sadar melakukan hubungan kelamin, berjina di dalam kamar tahanan itu dan disaksikan oleh mercka. Maksud mereka tidak lain tentu agar mereka dapat menyebarluaskan peristiwa itu untuk menghancurkan nama dan kehormatan dia sebagai putera ketua Cin-ling-pai dan Yap In Hong sebagai seorang puteri yang dipercaya oleh kaisar! “Manusia-manusia iblis! Jangan mengharap kalian akan dapat memaksa kami melakukan perbuatan hina! Kami bukanlah manusia-manusia macam kalian!” Bun Houw membentak marah. “Hayo masuklah kalian ke sini kalau berani!” In Hong juga berteriak. “Akan kuhancurkan kepala kalian satu demi satu!” “Hi-hik, malam pengantin kenapa diisi dengan ribut-ribut? Yang tidak tahu akan menyangka pengantinnya cekcok!” Coa-tok Sian-li mengejek. “Sssttt... isteriku, diamlah. Kita beri kesempatan mereka bermesra-mesraan,” terdengar suara Ang-bin Ciu-kwi dan akhimya mereka bertiga itu tidak bersuara lagi, akan tetapi dua orang muda itu merasa yakin bahwa mereka, setidaknya suami isteri cabul itu, tentu diam-diam mengintai dari luar! Mereka berdiri berhadapan, hati mereka penuh ketegangan, akan tetapi juga penuh dengan gelora nafsu berahi yang menyesakkan dada. “Hong-moi... bagaimana rasanya tubuhmu...?”   In Hong yang merasa kepalanya pening itu duduk di tepi pembaringan. “Kepalaku pening, Houw-ko, dan tubuhku panas sekali... seolah-olah ada api yang membakar di dalam tubuh... hampir tak tertahankan rasanya, Houw-ko...” “Demikianpun keadaanku, Hong-moi. Kita tahu bahwa ini adalah akibat racun mereka. Kita harus melawannya, Hong-moi. Duduklah dan atur pernapasan, masukkan hawa murni sebanyaknya, pergunakan sin-kang untuk mengusir hawa yang memabokkan.” Bun Houw sendiri lalu duduk bersila di atas lantai, sedangkan In Hong duduk bersila di atas pembaringan, keduanya memejamkan mata dan melawan dorongan hasrat nafsu berahi yang makin kuat. Akan tetapi dua orang muda itu tidak tahu bahwa arak beracun buatan Coa-tok Sian-li itu memang amat luar biasa. Arak seperti itu terkenal dimiliki oleh para raja kuno di Sailan. Seperti raja-raja di negara manapun juga di dunia ini di jaman kuno, mereka tidak hanya memiliki seorang isteri, melainkan memelihara banyak selir. Tentu saja jika mereka mendapatkan seorang selir baru, seorang perawan yang usianya baru belasan tahun, raja itu tidak dapat mengharapkan pelayanan yang baik dari dara remaja itu. Pertama-tama karena anak itu memang belum tahu apa-apa, kedua kalinya karena tentu saja wanita muda itu tidak suka melayani seorang pria tua, sungguhpun pria itu seorang raja. Karena ini, untuk menyenangkan hati raja yang pada masa itu dianggap sebagai utusan Tuhan atau manusia pilihan, maka para ahli pengobatan lalu membuatkan minuman arak yang mengandung racun atau obat perangsang yang amat kuat. Obat ini juga sekaligus merupakan racun, kalau pada ukuran tertentu merupakan obat mujarab untuk mendatangkan rangsangan berahi sehingga raja yang tua itu akan memperoleh pelayanan istimewa dari seorang gadis yang masih perawan sekalipun, juga untuk raja sendiri yang sudah kekurangan gairah itu dapat dirangsang kembali oleh pengaruh obat. Akan tetapi kalau melewati ukuran tertentu akan dapat mematikan orang yang bagaimana kuatpun. Coa-tok Sian-li adalah seorang ahli racun, maka tentu saja dia dapat membuat obat perangsang ini yang dibuatnya dari sebangsa lalat istimewa yang hanya terdapat di rawa-rawa di daerah utara Sailan. Lalat-lalat ini dikeringkan dan ditumbuk halus, dicampur beberapa macam akar yang mempunyai daya panas, lalu dicampur arak. Sama sekali tidak merobah rasa arak sehingga mudah saja meracuni orang lain. Bun Houw dan In Hong adalah dua orang muda yang sudah memiliki dasar sin-kang kuat. Kalau hanya terkena pukulan beracun saja, atau hawa beracun mengeram di tubuh, tentu mereka akan dapat menyelamatkan diri dengan pengerahan sin-kang mengusir hawa beracun itu. Akan tetapi, arak itu langsung menyerang darah dan otak, langsung menembus bagian otak yang menggerakkan nafsu berahi sehingga biarpun mereka mengerahkan sin-kang, tetap saja tidak mampu mengusir rangsangan berahi itu. Makin malam, makin tersiksalah mereka berdua. Lebih-lebih lagi In Hong yang pada dasarnya sebetulnya memiliki gairah yang menggelora dan darah yang panas, hanya sejak kecil semua itu ditutupi oleh sikap dingin akibat didikan gurunya. Keadaan dara ini seperti gunung api tertutup salju, kelihatan dingin luarnya, akan tetapi di sebelah dalam menggelora dan panas sekali! Kini, beberapa kali In Hong mengeluh dan merintih dan duduknya sudah tidak tetap lagi. Beberapa kali dia membuka mata memandang ke arah Bun Houw dengan mata sayu dan setengah terpejam, seperti mata orang mengantuk, agak basah, hidungnya kembang-kempis, mulutnya setengah terbuka, bibirnya bergerak-gerak dan napasnya memburu, terdengar rintihan halus dari dalam kerongkongannya. Semua ini merupakan tanda-tanda seorang wanita yang sedang diamuk rangsangan berahi! Bun Houw juga sukar dapat mempertahankan dirinya. Diapun sudah membuka mata, memandang ke arah In Hong, melihat gadis itu kini merebahkan diri, menggeliat-geliat seperti cacing terkena abu panas. “Oohhhh... Houw-ko... ahhhh... Houw-ko... tolonglah aku, tolonglah...” In Hong merintih-rintih memelas sekali. “Pertahankanlah, Hong-moi. Memang, pengerahan sin-kang tidak menolong, jalan satu-satunya hanya bertahan sampai pengaruhnya lenyap kembali bersama waktu. Kita harus mempertahankan... harus ahhh...” Dan Bun Houw cepat memejamkan matanya kembali karena dalam keadaan terangsang hebat seperti itu, melihat In Hong menggeliat-geliat merupakan pemandangan yang menambah rangsangan makin hebat. “Houw-koko... aku tidak tahan lagi... Houw-koko... panas sekali... ah, panas sekali tubuhku...” Dan In Hong mulai melepaskan bajunya, direnggutnya begitu saja sehingga ada yang robek dan nampaklah sebagian dari dadanya yang putih mulus! “Hong-moi... jangan, Hong-moi!” Bun Houw meloncat, hampir jatuh karena dia terhuyung dan mendekati pembaringan itu, cepat dia menutupkan kembali baju In Hong yang setengah terbuka. “Houw-koko, panas sekali... aku tak tahan...” In Hong mengeluh dan setengah terisak. “Pertahankan, adikku, pertahankan...” “Ohhh, Houw-ko...” In Hong merintih dan terisak, merangkul leher pemuda itu. Bun Houw memejamkan matanya dan memalingkan mukanya agar jangan sampai mukanya menyentuh muka dara itu. Akhirnya In Hong terisak dan menyembunyikan mukanya di dada Bun Houw. “Houw-koko...” Suaranya memelas sekali, tergetar dan berbisik serak. “Bagaimana, Hong-moi...” “Houw-koko... selama hidupku... belum pernah aku mengalami seperti ini... aku tidak kuat, koko... ah, aku tidak perduli... kaulakukanlah sekehendak hatimu...” kedua lengan In Hong yang merangkul itu makin menguat dan mukanya dibenamkan di dada pemuda itu, tubuhnya tergetar dan panas sekali, matanya terpejam dan ada beberapa titik air mata di atas kedua pipinya. Bun Houw merasakan suatu dorongan yang amat kuat dan diapun merangkul akan tetapi dia menekan perasaan hatinya sedemikian rupa agar tidak sampai melakukan hal yang lebih jauh daripada berpelukan itu.   “Tidak, Hong-moi, tidak...! Kita harus kuat...! Hong-moi, betapa aku cinta padamu, Hong-moi. Aku cinta padamu...!” “Houw-ko...” In Hong terisak, tidak karuan perasaan hatinya mendengar pengakuan ini. Dia masih memejamkan matanya karena kepalanya pening dan dia dalam keadaan hampir tidak sadar, sama sekali tidak ingat lagi berada di mana dan berada dalam keadaan bagaimana “Kalau kau cinta padaku... apa salahnya lagi... ah, aku... aku rela... menyerahkan jiwa ragaku...” “Hong-moi, tidak...!” Bun Houw yang hampir tidak kuat lagi itu melepaskan pelukannya dan meloncat jauh ke belakang, sampai tubuhnya menabrak dinding dan dia roboh terguling. Dia lalu duduk bersila dan memejamkan mata, berusaha sekuatnya untuk melawan dorongan hasrat yang bernyala-nyala itu. In Hong terisak di atas pembaringan. Selama hidupnya, belum pernah dia menangis, dan baru sekarang ini dara perkasa yang biasanya berhati baja itu terisak dan merintih-rintih. “Kau benar... Houw-ko, kau benar...” Hening kini di kamar itu, yang terdengar hanya isak tertahan dari In Hong yang masih rebah di atas pembaringan. Pakaian gadis itu sudah tidak karuan, di sana-sini terbuka karena dia menggeliat-geliat tadi. Beberapa kancing baju terbuka didiamkannya saja karena memang dia pun tidak menyadarinya. Rambutnya morat-marit kondenya terlepas dan rambut yang panjang itu awut-awutan, namun hal ini sama sekali tidak mengurangi kecantikannya kalau tak dapat dikatakan bahkan menambah keaslian wajah yang amat jelita itu. Bun Houw sendiri masih berjuang dengan diri sendiri, karena setelah dia berdiam diri duduk di lantai, dia merasa tubuhnya seperti dibakar dan keadaannva malah makin menderita lagi. Mendengar suara rintihan dan isak tangis tertahan dari In Hong, Bun Houw membuka mata dan mengangkat muka memandang. Dia melihat betapa In Hong rebah terlentang, dadanya agak diangkat dan terengah-engah, kedua tangan menutupi muka dan gadis itu jelas kelihatan tersiksa sekali. Dia tidak tahan untuk mengawasi saja dan Bun Houw bangkit berdiri, terhuyung menghampiri pembaringan itu, lalu berdiri di dekat pembaringan sambil memandang gadis itu dengan perasaan kasihan sekali. “Hong-moi, ah, Hong-moi...” Perasaan kasihan mempunyai daya yang kuat sekali mendorong berahi. Kini Bun Houw yang sudah tidak kuat lagi dan dia lalu memeluk In Hong. Gadis itupun otomatis menggerakkan kedua lengan memeluknya. Bun Houw mendekatkan muka, seperti orang mabok dia berada di antara sadar dan tidak dan akhirnya dorongan nafsu membuat pertahanannya bobol dan dia mencium mulut dara itu. Begitu bibir mereka saling bertemu, naluri kewanitaan In Hong bangkit dan untuk sekilat cepatnya dia sadar. Dia menjerit dan cepat mendorong dada Bun Houw, lalu bangkit dan kepalanya bergoyang-goyang. “Tidak...! Jangan, Houw-ko...! Tidak boleh...!” teriaknya. “Hong-moi... aku tidak tahan lagi... Hong-moi...” Bun Houw kembali hendak merangkul, akan tetapi untuk kedua kalinya In Hong mendorong dadanya sehingga Bun Houw terjengkang dan jatuh dari atas pembaringan, berdebuk ke atas lantai seperti orang yang sama sekali tidak memiliki kepandaian atau tenaga. “Houw-ko...!” Melihat pemuda itu terbanting jatuh, In Hong cepat turun dan berlutut. “Kau... kau tidak apa-apa...?” Dengan mulut mengigau seperti orang mabok Bun Houw kembali memeluknya. Sejenak In Hong membiarkan pemuda itu memeluknya, akan tetapi ketika Bun Houw hendak menciumnya, dara ini sekuat tenaga menekan gairahnya sendiri dan dia memalingkan muka, “Houw-koko... kau begitu kuat, kenapa sekarang berbalik menjadi lemah? Koko, kita tidak boleh... kita harus mempertahankan sekuat tenaga...” “Ah, Hong-moi...” “Maafkan, aku, koko...” In Hong meponta dan melepaskan pelukan pemuda itu, kemudian dia menjauhkan diri. Bun Houw menjambak rambutnya sendiri. “Ah, apa yang kulakukan tadi? Kau benar, Hong-moi... lebih baik mati daripada tunduk kepada mereka...” Untung bagi Bun Houw bahwa In Hong pada saat terakhir itu disadarkan oleh naluri kewanitaannya yang sejak kecil memang jauh daripada penghambaan nafsu berahi sehingga dara itu menolak ketika pemuda ini sudah tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Dan untung bagi In Hong bahwa tadi, ketika dara ini memuncak nafsunya sehingga dia tidak sadar, Bun Houw yang masih ingat dan yang menyadarkannya. Dengan demikian, tidak sampai terjadi perjinaan atau hubungan kelamin seperti yang diharapkan oleh dua orang suami isteri di luar tempat tahanan itu dan oleh Hek I Siankouw yang tidak ikut mengintai karena tokouw ini sama sekali tidak cabul seperti mereka, sungguhpun di waktu mudanya Hek I Siankouw juga tidak dapat menahan godaan nafsu sehingga sebagai pendeta dia melakukan perjinaan dengan mendiang Hwa Hwa Cinjin dan hidup seperti suami isteri tidak sah saja dengan pendeta itu. Waktu itu hampir tengah malam. Pengaruh obat perangsang ttu sudah mencapai puncaknya sehingga kedua orang muda itu mengerang dan menggeliat-gellat di tempat masing-masing! In Hong di atas pembaringan dan Bun Houw di atas lantai. In Hong sudah hampir telanjang dan dara ini merosot turun dari pembaringan, tidak kuat lagi berdiri dan dengan merangkak dia menghampiri Bun Houw, tangannya meraba-raba karena matanya terpejam dan dia hanya dapat menghampiri karena mendengar suara rintihan Bun Houw saja. “Koko...” “Hong-moi...” Mereka otomatis saling berdekapan dan kini adalah In Hong yang mendahului, mencium atau lebih tepat merapatkan mukanya dengan muka Bun Houw karena dorongan hati hendak membelai pemuda itu dan merapatkan tubuhnya sedekat mungkin. Bun Houw tidak tahan, lalu dia mencium mulut In Hong. Hanya satu kali saja mereka berciuman sampai napas mereka hampir putus, lalu Bun Houw cepat merenggut dirinya lepas. “Hong-moi, hanya ini satu-satunya jalan, maafkan aku...” Tangannya bergerak dan menotok tengkuk In Hong. Karena dia sudah hampir pingsan, maka tentu saja totokannya tidak tepat dan In Hong mengeluh, terkulai. Begitu melihat dari itu terkulai, Bun Houw bangkit, terhuyung menjauhi dan roboh dalam keadaan setengah pingsan pula. “Terkutuk!” “Keparat!” Suami isteri di luar tempat tahanan itu menyumpah-nyumpah karena kecewa. Mereka telah menanggung resiko dimarahi oleh kakek dan nenek iblis itu hanya karena mereka mempunyai kesukaan yang luar biasa, yaitu menonton kecabulan. Dan kini, setelah mereka berhasil meracuni dua orang muda itu, ternyata mereka gagal!   Hampir pada umumnya manusia memiliki kesukaan yang sama atau mirip dengan kesukaan Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li! Hal ini dapat kita selidiki sendiri, karena merupakan kenyataan. Hampir semua orang, secara berbeda tentunya, ada yang terang-terangan ada pula yang sembunyi-sembunyi, ada yang kasar ada pula yang halus, suka menonton berlangsungnya kecabulan, baik itu berupa tontonan atau mendengar penuturan orang maupun membaca. Kalau toh ada yang menyangkal, penyangkalan itu timbul dari penekanan kemauan yang didasari oleh pengetahuan bahwa hal itu adalah tidak baik, maka terjadilah penyangkalan bahwa dia tidak suka melihat atau mendengar itu. Namun kenyataannya, rasa suka itu ada! Dicobanya dilenyapkan dengan keyakinan atas dasar pelajaran, kesusilaan, agama dan lain-lain bahwa hal itu tidak baik dan tidak seharusnya dilakukan! Namun, cara demikian tidak akan melenyapkan kesukaan itu. Seperti api, kesukaan itu belum padam! Hanya ditutup saja. Bersembunyi di balik pelejaran-pelajaran tentang kesusilaan dan sebagainya tidak akan ada gunanya. Lari dari kenyataan ini tidak ada gunanya. Yang penting adalah menghadapinya sebagai suatu kenyataan! Menghadapinya, mendekatinya dan memandangnya penuh kewaspadaan. Pandangan penuh kewaspadaan tanpa mencelanya, tanpa menerima atau menolaknya, akan menimbulkan pengertian akan segala hal-ihwal mengenai kesukaan aneh ini. Dari manakah timbulnya rasa suka melihat kecabulan? Sesungguhnya, kecabulan bukan berada di luar diri kita! Tidak ada kecabulan dalam hubungan kelamin (sex). Cabulkah kalau kita melihat binatang, terutama yang kecil sedang mengadakan hubungan kelamin? Kiranya tidak! Akan tetapi mengapa kalau melihat binatang yang besar, teruhama manusia, metakukan hubungan sex, lalu timbul istilah cabul? Barangkali karena melihat binatang besar terutama manusia melakukan hubungen sex mempunyai daya rangsang yang merangsang gairah dan nafsu berahi kita! Inilah sebabnya mengapa timbul istilah cabul. Yaitu pemandangan yang merangsang gairah nafsu berahi dianggap cabul! Padahal, tidak ada peristiwa apapun di dunia ini yang merangsang gairah nafsu berahi. Hubungan sex adalah sesuatu yang wajar dan sama sekali tidak merangsang gairah nafsu berahi. Yang merangsang adalah PIKIRAN KITA SENDIRI! Pikiran kitalah yang menambah penglihatan itu dengan bayangan-bayangan yang mendatangkan kenikmatan lahir batin kita, mengenang kembali semua pengalaman sex kita, atau bagi yang belum pernah mengalaminya secara badaniah, tentu membayangkan pengalaman yang pernah dibacanya, dilihatnya, atau didengarnya dari orang lain. Permainan pikiran kita sendiri itulah yang merangsang dan membangkitkan gairah berahi kita sendiri. Dan bagi orang-orang seperti Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li, perbuatan menonton kecabulan itu yang menimbulkan semacam kerikmatan tertentu, menjadi suatu kebiasaan yang telah mencandu sehingga sukar untuk dihentikan kembali dan telah menjadi sesuatu yang dicari-cari. Kenyataan itu hanya dapat terlihat oleh siapa saja yang mau membuka mata mempelajari dan mengenal diri pribadi, sehingga akan tampaklah bahwa segala hal yang oleh umum dianggap yang buruk-buruk, seperti kecabulan, kemaksiatan, kepalsuan, kemunafikan, kemarahan, kebencian, iri hati dan segalanya itu tidak terletak di tempat jauh di luar kita, melainkan terletak di dalam diri kita sendiri! Dan semua itu pasti timbul karena kita selalu mengejar kesenangan dalam bentuk apapun juga, kesenangan lahir maupun kesenangan batin. Pengejaran kesenangan menjadi sumber daripada semua kesengsaraan hidup yang timbul karena pertentangan dan kedukaan. Bukan KESENANGAN yang merusak hidup, melainkan PENGEJARAN kesenangan! In Hong rebah pingsan di atas lantai, sedangkan Bun Houw juga sudah setengah pingsan. Karena inilah maka mereka berdua tidak mendengar suara apa-apa, bahkan tidak melihat ketika lantai di sudut belakang kamar itu dibobol dari bawah dan tak lama kemudian muncullah sebuah kepala orang. Kepala seorang gadis cantik yang bukan lain adalah Liong Si Kwi! Seperti kita ketahui, gadis murid Hek I Siankouw ini telah diselamatkan oleh Bun Houw ketika dia hampir diperkosa oleh Ang-bin Ciu-kwi dan gadis ini selain merasa utang budi, juga gadis itu sekaligus jatuh cinta kepada pemuda itu. Apalagi ketika pemuda itu, yang telah dikurung dan diancam keselamatannya, namun masih juga membelanya di depan subonya, benar-benar membuat hati gadis ini jatuh! Diam-diam dia mengambil keputusan nekat untuk menolong pemuda itu. Kini terbuka matanya betapa demi untuk memuaskan nafsu dendam dan sakit hatinya, subonya tidak segan-segan untuk bersekutu dengan manusia-manusia iblis! Dia harus menyelamatkan Bun Houw, dia harus membebaskan putera ketua Cin-ling-pai yang gagah perkasa itu, kalau perlu dengan taruhan nyawanya. Hatinya makin kagum, akan tetapi juga iri sekali melihat betapa pemuda yang gagah perkasa itu telah mengorbankan dirinya, menyerah untuk menebus Yap In Hong yang dibebaskan. Kemudian, diapun iri kepada In Hong yang ternyata juga merupakan seorang gadis yang amat gagah, yang datang kembali dengan nekat untuk membebaskan pemuda itu. Dia merasa iri karena dia dapat menduga bahwa tentu ada hubungan cinta kasih antara pemuda dan dara itu. Namun, rasa cemburu dan iri hati ini tidak menghentikan tekadnya untuk menolong Bun Houw dengan cara apapun juga. Ketika dia melihat bahwa yang menjaga kamar tahanan adalah Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya, dan betapa Cia Bun Houw serta Yap In Hong dimasukkan dalam kamar tahanan tanpa dibelenggu dan bebas, timbullah harapannya. Asal saja dia dapat mengeluarkan mereka itu dari dalam kurungan, tentu dua orang yang memiliki kesaktian luar biasa itu akan mampu membebaskan diri, atau lebih penting baginya, asal Bun Houw dapat keluar dari kurungan, tentu pemuda itu akan dapat melarikan diri! Demikianlah, karena kebetulan sekali kamar yang ia dapat sebagai tamu Lembah Naga itu berdekatan dengan kamar tahanan, sore-sore dia telah menutup diri di dalam kamarnya, memberi alasan bahwa dia merasa tidak sehat, dan diam-diam dia telah menyelundupkan sebuah cangkul ke dalam kamarnya. Mulailah dia menggali lantai kamarnya, membuat terowongan di dalam tanah menuju ke kamar tahanan. Dia bekerja keras sampai kedua tangannya lecet-lecet berdarah, namun tidak pernah dia berhenti sebentarpun. Dengan penuh semangat dia terus menggali dan akhirnya, lewat tengah malam, dia dapat menembus kamar tahanan dan muncul di dalam kamar itu di waktu In Hong masih pingsan dan Bun Houw dalam keadaan setengah sadar karena saat itu pengaruh racaun perangsang sudah mencapai puncak kekuatannya yang hampir tak tertahan olehnya. Baiknya In Hong telah menggeletak pingsang, kalau tidak entah apa yang akan terjadi antara dia dan gadis itu!   Liong Si Kwi yang sudah berhasil masuk ke kamar itu, ketika melihat Bun Houw menggeletak seperti orang yang bernyawa lagi, segera meloncat mendekati dan berlutut di dekat pemuda itu, memeriksa dan legalah hatinya ketika melihat Bun Houw ternyata masih bernapas, bahkan bibirnya bergerak-gerak mengeluarkan suara lemah yang tak dimengertinya karena pada saat itu hati Si Kwi tegang bukan main, khawatir kalau-kalau perbuatannya diketahui penjaga sebelum dia berhasil membebaskan Bun Houw dihalangi oleh orang-orang berkepandaian tinggi di tempat itu. Dia tidak tahu akan apa yang dilakukan oleh suami isteri majikan Padang Bangkai itu, maka dia bingung melihat Bun Houw yang siang tadi masih sehat kini menggeletak di lantai dalam keadaan seperti orang yang tidak sadar. Juga dia melihat In Hong pingsan. Tadinya memang dia berniat untuk membebaskan mereka berdua, karena dengan adanya mereka berdua yang berilmu tinggi, kesempatan atau harapan untuk lolos lebih banyak lagi. Kini, melihat keadaan Bun Houw setengah pingsan dan gadis perkasa itu malah pingsan sama sekali, Si Kwi menjadi bingung, akan tetapi akhirnya dia mengambil keputusan untuk menyelamatkan Bun Houw saja. Cepat dia mendukung tubuh Bun Houw dan membawanya masuk ke dalam lubang terowongan yang dibuatnya. Biarpun tidak mudah membawa Bun Houw yang merangkulnya, dan yang mengelus rambutnya, mendekapnya dan kadang-kadang mencium pipi dan lehernya sepertu orang mabok itu, namun akhirnya berhasil jugalah Si Kwi membawa pemuda itu keluar dari lubang terowongan dan tiba di dalam kamarnya. “Eh... eh, taihiap...!” Si Kwi terkejut sekali karena kini Bun Houw membuka matanya yang merah dan pemuda itu langsung merangkul dan menciumi bibirnya dengan penuh nafsu. Si Kwi telah lama merindukan seorang pria yang akan memeluk dan menciumi seperti itu, maka kekagetan dan perlawanannya hanya sebentar saja, dan tak lama kemudian dia balas memeluk dan balas menciumi, tidak kalah hebatnya dengan orang yang terpengaruh obat perangsang. Keduanya lalu terguling di atas pembaringan Si Kwi dan mereka melupakan segala-galanya. Kalau tadi Bun Houw masih tidak melanggar keyakinannya dan dapat bertahan sehingga dia tidak melakukan hubungan dengan In Hong seperti yang dikehendaki oleh mereka yang sengaja meracuninya, adalah karena di fihak In Hong masih ada penolakan dan memang di lubuk hati Bun Houw, dia sama sekali tidak melakukan sesuatu yang tidak patut terhadap dara yang dicintainya itu. Akan tetapi sekali ini, selagi pengaruh obat perangsang itu memuncak dan sepenuhnya menguasainya, dia mendapat pelayanan dari Si Kwi, bahkan gadis itu lebih hebat merayunya seperti orang mabok pula, maka tentu tidak ada lagi yang menahan Bun Houw dan Si Kwi! Berlangsunglah hubungan kelamin seperti yang dikehendaki oleh Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li, hanya bedanya, putera ketua Cin-ling-pai itu tidak melakukannya dengan In Hong, melainkan dengan murid He I Siankow! Pada saat itu, Bun Houw sudah lupa segala-galanya, hampir tidak sadar sama sekali dan yang ada hanyalah keinginan untuk memenuhi desakan nafsu berahinya yang bernyala-nyala itu. Andaikata Si Kwi menolaknya seperti yang dilakukan oleh In Hong tadi, tentu sedikit sisa kesadaran yang masih membekas itu cukup untuk membuat pemuda ini sadar dan menghentikan perbuatannya. Akan tetapi kenyataannya tidak demikian. Si Kwi yang sudah jatuh hati benar-benar itu dan yang maklum bahwa perbuatannya menolong pemuda itu merupakan permainan yang mempertarubkan nyawa, ingin dalam saat terakhir dan kesempatan selagi dia masih hidup itu untuk menyerahkan jiwa dan raganya kepada pemuda yang dikagumi dan dicinta ini. Terjadilah hubungan dan bagaikan sebuah gunung berapi yang penuh dengan api dan uap, meledaklah Bun Houw. Menjelang pagi, barulah dia sadar karena pangaruh racun perangsang itu menipis. Begitu dia sadar dan melihat bahwa dia memeluk tubuh Si Kwi yang memandangnya dengan penuh kemesraan, pemuda ini terkejut bukan main, terkejut karena dia tahu apa yang telah terjadi. Sambil berteriak nyaring pemuda ini yang tadi bangkit duduk, terguling dan roboh pingsan! Penyesalan yang amat hebat, ditembah rasa kaget yang luar biasa besarnya, dan pemborosan tenaga yang didorong oleh racun, ketegangan-ketegangan yang dideritanya sejak dia menghadapi In Hong dalam keadaan keracunan, penggerahan tenaga kemauan yong amat hebat ketika dia menekan dorongan nafau bersama In Hong, semua itu menghantamnya di sebelah dalam sehingga dia roboh pingsan. “Ha-ha-ha-ha! Sungguh hebat... sungguh hebat bukan main!” Tiba-tiba terdengar suara tertawa Ang-bin Ciu-kwi di luar jendela kamar itu. Si Kwi yang tadinya terlena oleh kepuasan hasrat yang terpenuhi, yang makin menebal rasa kasih sayangnya kepada pemuda itu yang kini dianggapnya sebagai miliknya dan yang memilikinya, sebagai suaminya walaupun tidak secara sah, kini seperti disiram air dingin. Dia sadar akan semua yang telah terjadi. Dia tidak menyesal, hanya khawatir karena dia telah ketahuan dan akan celakalah Bun Houw! Dengan cepat dia melompat dan kembali terdengar suara Ang-bin Ciu-kwi di luar jendela. “Liong Si Kwi, engkau sungguh hebat! Akan tetapi sayang, dia keburu pingsan! Biarlah aku yang akan memuaskan dirimu, manis. Bukalah jendela ini, biarkan aku masuk.” Si Kwi menyambar pakaiannya, memakai pakaian itu secepatnya dan segera disambamya siang-kiam di atas mejanya dan dicabutnya sepasang pedang itu lalu menghadapi jendela dengan beringas, siap untuk mengadu nyawa dengan Ang-bin Ciu-kwi. “Ha-ha-ha, tenanglah, manis. Aku datang untuk menonton pertunjukan menarik yang berlangsung di dalam kamar ini tadi, sungguh asyik sekali... hemm, dan kau membangkitkan gairahku. Bukalah jendela ini, manis dan mari kita bermain-main sebentar. Atau kau lebih suka kalau aku pergi kepada Hek I Siankouw dan melaporkon apa yang telah terjadi di sini?”   Si Kwi yang sudah siap menerjang ke luar jendela itu menjadi terkejut. Maklumlah dia bahwa kalau sampai Setan Arak ini yang melapor kepada gurunya, nyawanya tidak tertolong lagi, demikian pula nyawa Bun Houw. Oleh karena itu, dia mengambil keputusan untuk mandahului laporan orang lain, apalagi laporan Ang-bin Ciu-kwi yang tentu akan memberi bumbu-bumbu lain yang lebih memanaskan hati subonya lagi. Memang, kalau dia menuruti kehendak Ang-bin Ciu-kwi, boleh jadi peristiwa antara dia dan Bun Houw tadi akan tertutup, akan tetapi, lebih baik dia mati saja daripada harus menuruti permintaan Ang-bin Ciu-kwi! Pula, setelah kini keadaannya sama sekali berubah daripada keadaan asyik-masuk seperti tadi, dara ini sadar pula bahwa adanya Bun Houw tadi melakukan perbuatan seperti itu adalah karena pemuda itu berada dalam keadaan tidak sadar, seperti orang mabok. Kini mengertilah dia halawa pemuda itu tentu terkena bius, terkena racun yang menyebabkan pemuda itu mudah saja melakukan perbuatan tadi bersama dia. Dia dapat menduga kini mengapa dia mendapatkan diri Bun Houw menggeletak hampir tidak sadar dengan tubuh panas dan sikap begitu hangat, merangkul dan hendak menciuminya, dan mengerti pula dia mengapa In Hong juga pingsan. Kiranya mereka berdua itu telah diberi racun, dan siapa lagi yang memberi racun kalau tidak suami isteri Padang Bangkai yang terkenal sebagai ahli-ahli tentang racun itu? Dia teringat akan pengalamannya sendiri ketika hampir diperkosa oleh Ang-bin Ciu-kwi. Diapun diberi minum arak dan segera dia diserang oleh racun perangasang yang amat hebat sehingga hampir-hampir saja dia menyerahkan diri secara suka rela kepada setan itu! “Aku harus cepat melapor kepada subo!” pikirnya dan dara itu cepat meloncat, bukan ke jendela melainkan ke pintu yang didorongnya terbuka dan cepat dia melarikan diri ke kamar subonya. Dia terpaksa meninggalkan Bun Houw, karena dia maklum bahwa melarikan diri sendiri saja belum tentu dia selamat, apalagi kalau harus membawa tubuh Bun Houw. Lebih baik dia cepat pergi ke subonya dan minta tolong subonya. Siapa tahu kalau dia sudah memberi tahu subonyo akan semua hal dengan terus terang, subonya suka menolong Bun Houw dan suka mengakuinya sebagai mantu! “Subo...! Subo... tolonglah teecu, subo...!” katanya sambil mengetuk pintu itu dengan kuat. Daun pintu terpentang lebar dan Hek I Siankouw telah berdiri di ambang pintu sambil memegang pedang hitamnya. Alisnya berkerut ketika dia melihat muridnya berdiri di situ dengan muka pucat sekali dan dengen siang-kiam di kedua tangan. “Si Kwi, apakah yang terjadi?” tanyanya dan dia membiarkan muridnya memasuki kamamya. Dia menjenguk keluar dan karena tidak melihat siapapun juga di luar, tokouw itu lalu menutupkan kembali pintu kamarnya. Tiba-tiba Si Kwi menjatuhkan dirinya berlutut di depan gurunya sambil menangis! Gurunya adalah satu-satunya orang yang selama ini dianggap sahabat, guru, juga orang tua! Sekarang, dalam keadaan seperti ini, terancam bahaya hebat, bukan hanya untuk dia, terutama untuk Bun Houw, tidak ada orang lain kecuali gurunya ini yang dapat diharapkan untuk menolongnya dan menolong Bun Houw. “Subo... sebelumnya harap subo mengampunkan dosa teecu...” “Si Kwi, jangan seperti anak kecil. Katakan apa yang telah terjadi!” gurunya membentak. “Subo, teecu telah jatuh cinta... semenjak teecu diselamatkan oleh Bun Houw putera ketua Cin-ling-pai... ketika teecu akan diperkosa oleh Ang-bin Ciu-kwi, teecu telah jatuh cinta kepada putera ketua Cin-ling-pai itu...” Gurunya mengerutkan alisnya. ”Memang kalau begitu mengapa engkau menangis?” Gadis itu mengangkat muka, memandang wajah subonya dengan penuh harapan. “Jadi... subo... setuju...?” “Dia seorang pemuda yang tinggi ilmunya, putera ketua Cin-ling-pai, kalau memang dia cinta padamu, kenapa aku tidak setuju? Sayangnya, dia berada di fihak lawan.” “Ah, terima kasih, subo...!” Si Kwi berseru girang dan memberi hormat. “Sesungguhnya... teecu... teecu telah menjadi isterinya...” Tiba-tiba saja wajah tokouw itu menjadi merah sekali dan matanya mengeluarkan sinar marah. “Apa? Jadi kalau begitu benar laporan Ang-bin Ciu-kwi?” bentak gurunya. “Ah, tidak...! Tidak, subo...! Bukankah subo sendiri sudah tahu, juga Hek-hiat Mo-li locianpwe, bahwa teecu... teecu masih perawan? Akan tetapi malam tadi...” “Malam tadi mengapa? Hayo katakan!” “Malam tadi, lewat tengah malam... teecu... teecu telah menjadi isterinya.” “Eh, Apa maksudmu? Pemuda itu berada di dalam kamar tahanan bersama In Hong, dan mereka...” Dia teringat akan minuman yang diberi racun perangsang oleh Coa-tok Sian-li, maka timbul kecurigaannya. “Si Kwi!” Dia membentak, “Ceritakan, apa yang terjadi!” Dengan suara terputus-putus Si Kwi lalu menceritakan betapa dia telah membuat jalan terowongan dari kamarnya ke dalam kamar tahanan, dan berhasil menolong Bun Houw keluar dari kamar tahanan memasuki kamarnya sendiri. “Akan tetapi, subo... ketika tiba di kamar teecu... dia... dia seperti mabok atau terbius... dan dia... dia merayu... ah, teecu cinta padanya, subo, teecu tidak mampu menolongnya dan... dan teecu menyerahkan diri kepada Cia Bun Houw... kemudian pagi tadi, muncul di luar jendela kamar teecu, si keparat Ang-bin Ciu-kwi, dia ternyata telah melihat peristiwa itu dan dia... dia menuntut agar teecu suka menyerahkan diri kepadanya. Teecu tidak sudi dan teecu lari ke sini... teecu menyerahkan nyawa teecu ke tangan subo...”   “Desss...!” Tubuh Si Kwi terlempar oleh tendangen gurunya. Muka gurunya sebentar pucat sebentar merah dan hati tokouw ini terasa panas dingin karena terjadi perang di dalam perasaan hatinya. Ada perasaan marah yang amat hebat mendengar penuturan muridnya itu yang telah menyerahkan diri begitu saja dengan amat mudahnya kepada seorang pria, dan biarpun pria itu adalah seorang pemuda yang harus dia akui pilihan, akan tetapi pemuda itu betapapun adalah seorang lawan, atau yang berada di fihak lawan. Akan tetapi di lain fihak, hatinya juga terharu karena dia telah menganggap Si Kwi sebagai puterinya sendiri dan sesungguhnya ada pertalian batin yang kuat antara dia den gadis itu. Sekarang dia tahu bahwa kalau tidak dia lindungi, nyawa dara itu berada dalam ancaman bahaya hebat! “Murid murtad, engkau hanya akan mencelakakan gurumu saja!” “Harap subo sudi mengampuni teecu!” kata pula Si Kwi. “Teecu bersedia untuk mati di tangan subo, untuk menebus kesalahan dan dosa besar teecu, akan tetapi, teecu mohon dengan sangat, mengingat akan hubungan antara kita sebagai guru dan murid, dan sebagai orang tua dan anak, teecu mohon sukalah subo menolong dan menyelamatkan Cia Bun Houw. Teecu sungguh cinta kepadanya, subo, teecu mencintanya, melebihi nyawa teecu sendiri!” Dan murid ini menangis lagi, menangis dengan penuh kesedihan. Sepasang mata Hek I Siankouw menjadi basah ketika dia mendengar dan melihat keadaan muridnya itu. Teringatlah dia ketika dia dahulu bermain cinta dengan Hwa Hwa Cinjin dan diapun amat mencinta Hwa Hwa Cinjin. Adanya dia tidak menjadi isteri yang sah dari Hwa Hwa Cinjin adalah karena sebagai pendeta-pendeta, tentu saja mereka tidak dapat menikah. Namun rasa cinta di hatinya terhadap Hwa Hwa Cinjin amat mendalam sehingga mereka berdua itu seperti suami isteri saja! Mereka saling setia dan tidak pernah mencinta orang lain sampai keduanya menjadi kakek dan nenek. “Akupun mencinta Hwa Hwa Cinjin melebihi nyawaku sendiri...” “Ahhh, subo, ampunkan teecu... teecu telah mengecewakan hati subo...” Kembali Si Kwi meratap dengan suara pilu. “Teecu rela mati di depan kaki subo, akan tetapi kalau subo sudi menyelamatkan Cia Bun Houw, biarlah roh teecu akan selalu membantu subo...” “Bocah yang bodoh! Mana mungkin menyelamatkan nyawa pemuda itu? Apa kaukira kita dapat menghadapi Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko? Tentang pemuda itu, tak perlu kita ributkan, yang penting, lekaslah kau pergi dari sini. Sekarang juga!” “Akan tetapi... subo...” “Tutup mulut! Tidak ada tapi lagi. Pergilah kau dari sini dan selamanya jangan kau memperlibatkan muka kepadaku!” “Subo...!” “Aku tidak mempunyai murid macammu! Pergiiiii...!” Hek I Siankouw membentak dan mengusir. Si Kwi terisak, akan tetapi terpaksa dia bangkit dan pergi dari kamar itu, diikuti oleh Hek I Siankouw yang kini basah kedua matanya. Tokouw ini sengaja mengusir muridnya karena dia tidak ingin muridnya terlibat dalam kesukaran. Dan dia sengaja membayangi muridnya itu agar dapat keluar dari Lembah Naga dengan selamat. Di tengah jalan, murid dan guru yang membayanginya itu bertemu dengan Hek-hiat Mo-li, Pek-hiat Mo-ko, Ang-bin Ciu-kwi, dan Coa-tok Sian-li. Dari wajah kedua orang kakek dan nenek Lembah Naga itu mengertilah Hek I Siankouw bahwa keduanya tentu telah tahu akan perbuatan Si Kwi. Akan tetapi Si Kwi sendiri berdiri dengan tenang dan air mata masih membanjiri pipinya. “Mo-ko dan Mo-li, karena perbuatan muridku yang mencemarkan namaku, terpaksa aku mengusirnya pergi dari sini!” Hek I Siankouw memecahkan kesunyian yang mencekam hatinya itu. “Hemm... agaknya banyak terjadi hal-hal hebat di sini semalam.” Kata Hek-hiat Mo-li. “Dan kejadian-kejadian itu adalah gara-gara muridmu yang baik ini!” Ucapan lanjutan itu bernada keras. “Kalau aku boleh berterus terang, Mo-li, bukan hanya gara-gara muridku, melainkan gara-gara aku juga, dan Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li!” “Eh-eh, Hek I Siankouw, kenapa kau begitu pengecut membawa-bawa nama kami dalam persoalan ini? Sudah jelas bahwa muridmu hendak meloloskan dua orang tawanan itu, untung masih terlihat oleh kami, karena muridmu tidak dapat menahan nafsunya! Kalau tidak, bukankah tawanan-tawanan itu sudah lolos semua oleh muridmu ini?” kata Coa-tok Sian-li. “Coa-tok Sian-li, aku hanya bicara apa adanya dan sama sekali bukan hendak membela muridku secara membuta. Memang muridku bersalah, akan tetapi kita bertigapun bersalah, bukan? Setelah akibat dari perbuatan kita seperti ini, mengapa kita tidak berani berterus terang saja kepada Mo-ko dan Mo-li?” “Hemm... apakah sebetulnya yang telah terjadi dan apa yang kalian bicarakan ini, Siankouw?” Pek-hiat Mo-ko membentak marah. “Terus terang saja, Mo-ko. Kami bertiga, yaitu aku, Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li telah main-main dengan dua orang tawanan itu. Karena aku ingin melihat gadis keparat itu tercemar, dan karena Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya ingin pula menonton hal-hal yang mereka berdua sukai, maka kami bertiga telah bersepakat untuk mencampuri racun perangsang, yaitu Arak Malam Pengantin buatan Coa-tok Sian-li ke dalam hidangan yang disuguhkan kepada dua orang tawanan itu.” Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li mengerutkan alis mereka, akan tetapi tidak kelihatan marah. “Hemm, lalu?” tanya Hek-hiat Mo-li. “Sementara itu, muridku yang murtad ini jatuh cinta kepada Bun Houw. Sama sekali dia tidak berniat untuk membebaskan tawanan, melainkan dia membuat terowongan dari kamarnya ke tempat tahanan, mengajak Cia Bun Houw yang sedang mabok oleh racun Arak Malam Pengantin itu ke kamarnya den menyerahkan dirinya kepada pemuda itu. Hal ini diketahui oleh Ang-bin Ciu-kwi yang menyangka muridku hendak melarikan tawanan. Padahal kenyataannya tidak demikian. Buktinya tawanan itu ditinggalkan pingsan di kamarnya dan muridku lalu melapor kepadaku. Dia sama sekali tidak hendak melarikan tawanan, karena kalau benar demikian, tentu dia telah mengajaknya pergi dari sini.” Hek I Siankouw berhenti sebentar untuk melirik ke arah Ang-bin Ciu-kwi. Dia sengaja tidak menceritakan tentang ancaman Ang-bin Ciu-kwi yang hendak menuntut agar Si Kwi menyerahkan dirinya kepada Setan Arak itu den hal ini dilakukan sebagai “pukulan simpanan” kalau-kalau Ang-bin Ciu-kwi tidak mau bekerja sama melindungi muridnya!   Ang-bin Ciu-kwi bukan seorang bodoh. Dia melihat bahwa yang dikemukakan oleh Hek I Siankouw memang cukup kuat dan beralasan, dan memang harus diakuinya bahwa dia mendapatkan Si Kwi dan Bun Houw sama sekali bukan dalam keadaan hendak melarikan diri. Sama sekali bukan, bahkan mereka itu bermain cinta sampai pagi! Dan diapun tahu bahwa Hek I Siankouw sengaja tidak menceritakan niatnya memaksa Si Kwi untuk menyerahkan diri dan dia maklum apa kehendak tokouw berpakaian hitam itu. “Keterangan yang diberikan Siankouw itu memang benar, ji-wi locianpwe,” katanya mendahului isterinya karena dia khawatir kalau-kalau isterinya tidak mengerti akan uluran tangan Hek I Siankouw. “Memang kami tadinya hanya ingin main-main karena Arak Malam Pengantin itu tidak menyakitkan dan tidak membunuh, malah dapat dikata menyehatkan, heh-heh... dan kalau tadi kami melapor kepada ji-wi locianpwe adalah karena kami kurang mengerti akan niat nona Liong Si Kwi. Kiranya dia hanya ingin begituan dengan pemuda itu.” “Memang harus kuakui bahwa muridku telah bersalah dan karena cintanya dia menjadi murtad terhadap gurunya yang dianggap orang tuanya. Oleh karena itu, sebagai hukumannya aku mengusirnya dan tidak mengakuinya lagi sebagai murid. Harap saja kalian berdua tidak mencampuri urusan antara guru dan murid ini, karena jelas bahwa tawanan tidak dilarikan. Dan harap kallan orang-orang tua cukup bijaksana terhadap orang muda yang gila cinta!” Setelah dua orang kakek dan nenek itu mendengar keterangan Hek I Siankouw dan Ang-bin Ciu-kwi, kemarahan mereka mereda, akan tetapi Hek I Siankouw maklum bahwa tidaklah begitu mudah untuk memuaskan hati dua orang kakek nenek itu, maka dia masih tetap waspada. Biarpun dia marah sekali kepada muridnya atas perbuatan muridnya itu, namun rasa kasih sayang dalam hatinya membuat dia masih selalu ingin melindungi dan agar muridnya itu menerima hukuman yang seringan mungkin atas kesalahan yang dilakukannya. Benar saja dugaannya, Hek-hiat Mo-li terdengar berkata nyaring, “Mendengar semua keteranganmu, Siankouw, kami boleh memandang mukamu untuk mengampunkan muridmu, akan tetapi tidak ada budi yang tidak terbalas. Oleh karena itu, sebelum kami membebaskan muridmu, dia harus meninggalkan sesuatu sebagai tanda bahwa dosanya sudah terhukum dan lunas, ditambahi janji bahwa engkau akan terus membantu kami sampai selesai.” Hek I Slankouw mengerutkan alisnya, lalu tiba-tiba dia berkata, “Si Kwi, kau sudah merasa berdosa terhadap aku?” “Teecu menyerahkan jiwa raga teecu ke tangan subo.” “Ke sinilah!” Gadis itu menghampiri gurunya dan menjatuhkan diri berlutut. “Singgg...crattt!” Nampak sinar hitam berkelebat dan pedang hitamnya menyambar ke depan. Si Kwi menjerit dan tangan kanannya memegangi lengan kirinya yang telah terbabat pedang dan buntung sebatas pergelangan tangannya! Dia masih berlutut dan mukanya pucat sekali memandang tangan kirinya yang sudah buntung itu. Dengan tenang Hek I Siankauw mengambil tangan muridnya itu, lalu menghampiri Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li sambil menyodorkan tangan berdarah itu. “Mo-ko dan Mo-li, harap kalian puas dengan tangan yang ditinggalkan muridku ini, dan aku berjanji akan membantu kalian sampai selesai.” “Ha-ha-ha, engkau sungguh mencinta muridmu. Sebenarnya, harus kedua tangannya dibuntungi, akan tetapi karena kau bertindak sendiri dengan suka rela, biarlah inipun cukup,” keta Hek-hiat Mo-li sambil menerima tangan yang berkulit halus itu. Hek I Siankouw menghampiri muridnya, menotok jalan darah di siku dan pundaknya, menggunakan obat bubuk ditaruh di lengan yang buntung, lalu membalutnya dengan saputangannya. Setelah selesai, diapun berkata dengan suara gemetar, “Nah, pergilah! Mau tunggu apa lagi?” Si Kwi maklum bahwa nyawanya telah ditolong oleh subonya dan sebagai penggantinya, subonya membuntungi tangan kirinya dan yang lebih berat lagi, subonya berjanji akan membantu kakek dan nenek iblis itu sampai selesai, berarti subonya telah mempertaruhkan nyawa demi untuk menyelamatkannya. Maka sambil menangis dia berlutut dan mencium kaki subonya sambil berkata, “Subo, terima kasih... sampai mati teecu tidak akan melupakan budi subo...” “Pergilah! Pergilah...!” Hek I Siankouw menjerit dan membalikkan tubuh, memalingkan muka tidak mau memandang muridnya dan dengan cepat tangannya menghapus dua butir air matanya. Si Kwi bangkit lalu pergi dari situ dengan cepat. Air matanya bercucuran di sepanjang kedua pipinya. *** Ketika Bun Houw siuman dari pingsannya, dia melihat In Hong telah duduk di tepi pembaringan dengan muka penuh kekhawatiran. Pemuda ini lalu teringat akan semua pengalamannya yang hanya setengah disadarinya itu, seperti sebuah mimpi yang hampir terlupa. Akan tetapi teringat bahwa dia telah bermain cinta dengan seorang gadis, dia cepat bangkit berdiri dengan gerakan kuat. “Ah, kau mengasolah dulu, Houw-ko... kau agaknya terserang sakit, wajahmu pucat sekali dan tubuhmu lemah.” In Hong memegang pundaknya dan dengan halus menyuruh pemuda itu berbaring kembali. Akan tetapi Bun Houw tidak mau rebah dan terus duduk di tepi pembaringan itu, matanya dipejamkan dan alisnya berkerut. “Hong-moi... apa yang terjadi...? Bagaimana aku bisa berada di sini lagi?”   Dia membuka mata dan memandang ke sudut kamar tahanan itu. Ternyata di situ terdapat bekas galian yang telah ditutup kembali. Jantungnya berdebar penuh penyesalan. Tadinya dia mengharapkan bahwa apa yang diingatnya itu hanya mimpi belaka, akan tetapi begitu melihat bekas lubang yang berada di sudut kamar tahanan dan yang telah ditutup kembali itu, tahulah dia bahwa semua pengalaman itu bukan sekedar mimpi! Melainkan kenyataan! Dan dia telah bermain cinta dengan seorang gadis, kalau dia tidak salah, Liong Si Kwi! Dia telah berjina! “Ohhh...!” “Kenapa, Houw-ko?” In Hong memegang lengan pemuda itu ketika melihat pemuda itu menggunakan kedua tangan untuk menutupi mukanya, seolah-olah hendak mengusir sesuatu dari depan matanya. Tanpa melepaskan kedua tangan dari depan mukanya, Bun Houw berkata lagi, “Hong-moi... demi Tuhan... kauceritakanlah padaku, apa yang telah terjadi semalam?” “Houw-ko, aku sendiripun tidak mengerti. Bahkan aku yang hendak bertanya kepadamu. Engkau tahu, setelah kita tersiksa semalam, aku lalu... tertidur atau pingsan dan aku tidak tahu apa yang telah terjadi. Akan tetapi, ketika aku siuman, aku melihat engkau telah rebah di lantai dan...” Wajah gadis itu menjadi merah sekali dan lehernya seperti tercekik, dan dia tidak dapat melanjutkan ceritanya. Bun Houw menurunkan kedua tangannya dan menoleh. Melihat wajah itu menjadi merah dan bibir gadis itu tersenyum menahan rasa malu, dia cepat mendesak, “Dan bagaimana, Hong-moi? Ceritakanlah... ceritakanlah...!” “Kau... kau dalam keadaan... ahhh... telanjang, Houw-ko. Dan pakaianmu bertumpuk di dekatmu. Tentu saja aku terkejut sekali dan melihat bahwa aku tidak apa-apa, hatiku lega. Maka selama engkau masih pingsan aku lalu mengenakan pakaian pada tubuhmu, memindahkanmu ke atas pembaringan dan aku menjagamu sampai kau sadar...” “Dan lubang itu...” Bun Houw bertanya, menoleh ke arah bekas lubang di sudut kamar. “Entahlah, sudah begitu ketika aku siuman. Houw-ko, apakah yang terjadi sebetulnya ketike aku sedang pingsan atau pulas?” Kembali In Hong memegang lengan pemuda itu dan tiba-tiba Bun Houw mengelak dan mundur menjauhi. “Aku tidak tahu... tidak tahu, Hong-moi... aku... aku terbius den seperti orang gila...” Bun Houw kembali menggunakan kedua tangan menutupi mukanya. Akan tetapi tetap saja terbayang pengalaman remang-remang yang tak mungkin dapat dia lupakan selamanya itu, di dalam sebuah kamar asing, di atas pemberingan, bersama Liong Si Kwi! Dia menduga-duga apa yang terjadi dengan gadis itu! Dan mengapa pula Si Kwi membuat terowongan dari kamarnya ke kamar tahanan? Tentu untuk menolongnya keluar! Dan dia sedang dalam keadaan terbius dan di bawah pengaruh obat atau racun perangsang yang amat hebat. Tentu dia dan Si Kwi telah... ah, ingin dia mengusir semua bayangan dan kenangan itu. Dia merasa malu, malu dan menyesal sekali! “Aku malu... aku malu...!” Tak terasa lagi bibirnya berbisik. “Houw-koko, sudahlah. Memang amat memalukan kalau mengenangkan kembali peristiwa semalam yang hanya samar-samar teringat olehku. Akan tetapi perbuatan kita itu terjadi karena di luar kesadaran kita, bukan? Kita berdua telah minum arak beracun! Karena itu, biarlah kita lupakan semua itu. Pula, bukankah tidak terjadi sesuatu di antara kita? Kita patut bersyukur bahwa kita tidak sampai terseret... ah, dan semua ini berkat kekuatan batinmu, koko.” “Tidak...! Tidak...! Engkaulah yang kuat dan hebat, Hong-moi. Dan aku... aku berterima kasih kepadamu, dan aku minta maaf...” “Sudahlah. Yang penting sekarang, kita harus mencari akal bagaimana dapat keluar dari tempat tahanan ini. Kalau kita menggabungkan tenaga dan berusaha untuk membongkar pintu ini...” “Hemm, sudah kupertimbangkan hal itu, Hong-moi, ketika engkau menolongku dahulu, mencarikan obat untukku, engkau bertemu dengan keponakanku, Lie Seng, putera enciku yang dibawa oleh seorang Pendeta Lama. Dan engkau pernah dapat mainkan Thian-te Sin-ciang, engkau belajar dari suhu Kok Beng Lama. Hong-moi, engkau sumoiku.” “Bukan. Suhumu sudah kuberikan janji bahwa aku tidak mengangkatnya segai guru. Betapapun juga, mengingat bahwa mendiang ibuku adalah sumoi dari ayahmu, maka kitapun boleh saja terhitung kakak dan adik seperguruan.” “Hong-moi coba kautampar telapak tanganku ini dengan Thian-te Sin-ciang!” “Apa maksudmu? Apa gunanya?” “Aku hendak mengukur sampai di mana tingkat ilmu itu pada dirimu.” Bun Houw lalu berdiri dan mengulur tangannya, dengan telapak tangan terlentang. Biarpun belum mengerti sepenuhnya apa yang dimaksudkan selanjutnya oleh pemuda itu, namun karena tahu bahwa pemuda itu hendak menguji kekuatannya, In Hong lalu mengerahkan tenaga dan menghantamkan telapak tangannya ke arah telapak tangan Bun Houw, tanpa ragu-ragu karena dia tahu bahwa pemuda itu memiliki kepandaian yang jauh lebih lihai daripada tingkatnya. “Tarrrr...!” Terdengar bunyi seperti ledakan ketika dua telapak tangan itu bertemu. In Hong merasakan tangannya panas dan membalik sehingga dia terhuyung. “Engkau hebat, Hong-moi. Baru mendapat petunjuk sebentar saja dari suhu, telah dapat menguasai Thian-te Sin-ciang hampir seperempat bagian” “Baru seperempat bagian?” In Hong bertanya dengan mata terbelalak dan kecewa. “Kukira sudah hampir sempurna!”   Bun Houw terganyum dan hatinya girang melihat kenyataan bahwa berbicara dengan In Hong, dia mulai melupakan peristiwa di dalam kamar bersama Si Kwi yang mendatangkan penyesalan amat besar di hatinya itu. “Hong-moi, engkau belum tahu benar kehebatan dari Thian-te Sin-ciang. Hanya suhu seoranglah yang telah memiliki ilmu itu dan menguasai secara sempurna. Kalau suhu berada di sini, pintu ini bukan apa-apa. Engkau memiliki hampir seperempat bagian sudah hebat, Hong-moi.” “Dan engkau sendiri, koko. Engkau sudah begitu hebat!” “Ah, mana bisa aku menandingi suhu? Paling-paling aku baru menguasai setengahnya atau lebih sedikit. Karena itu, biarpun kita menggabungkan tenaga, tidak akan mungkin dapat menjebol pintu ini. Akan tetapi ada kemungkinan kecil kalau engkau dapat memperkuat tenagamu di sini, dengan latihan-latiban khusus.” “Pikiran itu baik sekali, Houw-ko.” Bun Houw lalu menyuruh gadis itu duduk bersila di depannya, di atas pembaringan. Mereka berdua duduk bersila dengan kaki melintang di atas kedua paha, punggung mereka lurus dan kedua lengan mereka dilonjorkan sehingga kedua telapak tangan mereka saling bertemu, dengan jari-jari tangan lurus ke atas. “Sekarang kendurkan seluruh urat syarafmu, Hong-moi, sedikitpun jangan melakukan perlawanan dan kauikuti saja dorongan hawa dariku, kemudian terus ikuti sampai kau dapat melakukan latihan ini sendirl.” Bun Houw lalu memberi tahu tentang teori-teorinya melatih diri untuk memperkuat tenaga sin-kang Thian-te Sin-ciang. “Mula-mula gerakkan hawa melalui sepanjang Ci-kiong-hiat, lalu naik ke Koan-goan-hiat, turun lagi ke Tiong-teng-hiat dan akhirnya berhenti dan dipusatkan di Thian-te-hiat-to,” demikian Bun Houw mulai memberi petunjuk sambil mengerahkan sin-kangnya melalui telapak tangan gadis itu. In Hong merasakan hawa yang hangat mengalir ke dalam tubuhnya melalui telapak tangannya. Perasaan ini mendatangkan kenikmatan dan rasa nyaman menyelimuti seluruh tubuhnya itu, apalagi ketika dia teringat bahwa hawa itu datang dari Bun Houw, jantungnya berdebar keras dan tubuhnya terguncang! Hal ini terasa oleh Bun Houw dan pemuda ini menjadi terkejut karena ada hawa melawan dari In Hong, bukan melawan melainkan “menyambut”, akan tetapi hal itu sama saja karena dapat menghalangi penembusan jalan-jalan darah itu dengan hawa murninya. “Harap kau jangan membiarkan pikiran berkeliaran, Hong-moi. Pikiran harus kosong dan seluruh perasaan berpusat kepada perjalanan hawa sakti...” “Maaf, Houw-ko... aku tidak sengaja,” In Hong menjawab dan kedua pipinya merah sekali karena merasa jengah. Melihat sepasang pipi yang begitu kemerahan dan halus menyegarkan, cepat-cepat Bun Houw memejamkan matanya agar jangan melihat sepasang pipi yang demikian dekatnya! Demikianlah, dua orang muda itu mulai dengan latihan mereka dan mereka hampir tidak perduli akan hidangan yang disuguhkan melalui lubang kecil. Hanya kalau mereka sudah merasa lelah dan lapar saja mereka berhenti, makan dan mengaso. Setelah menerima petunjuk dari Bun Houw dan sudah hafal benar akan cara berlatih untuk memperkuat tenaga sakti Thian-te Sin-ciang, dua hari kemudian In Hong sudah mulai berlatih sendiri, dan Bun Houw juga mempergunakan kesempatan itu untuk berlatih, karena diapun perlu memperkuat tenaganya agar kelak dapat digabung dengan tenaga In Hong untuk mencoba membobolkan pintu baja itu. *** Meriah sekali pesta yang diadakan oleb Raja Sabutai di tempat tinggalnya yang baru itu, di tepi sungai yang bergabung dengan Sungai Nun-kiang di utara. Pesta besar itu dirayakan karena lahirnya sang putera, hal yang amat dinanti-nantikan dan diidam-idanikan selama bertahun-tahun oleh Sabutai. Isterinya yang tercinta, Khamila, telah melahirkan seorang putera yang sehat dan montok, dan yang tangisnya amat nyaring dan terdengar sebagai nyanyian yang paling merdu bagi telinga Sabutai dan Khamila. Pesta untuk merayakan kelahiran putera Sabutai itu dihadiri oleh semua kepala Suku Nomad yang banyak terdapat di luar tembok besar utara, dari suku-suku kelompok kecil sampai yang besar, dan di antara para tamu itu terdapat pula orang-orang Han dari dalam tembok besar. Mereka ini adalah pedagang-pedagang yang suka membawa barang-barang dagangan dari selatan, untuk diperdagangkan dan ditukar dengan barang-barang dari utara. Biarpun perjalanan yang mereka tempuh amat jauh dan sukar, namun karena keuntungannya cukup baik, maka banyak pula yang berani menempuhnya. Selain para pedagang, juga banyak hadir tokoh-tokoh persilatan di perbatasan, karena Sabutai selain terkenal sebagai seorang raja atau kepala suku yang besar, juga dia terkenal pula di antara tokoh-tokoh kang-ouw sebagai seorang ahli silat yang lihai. Selain hidangan yang berlimpah-limpah dan tari-tarian serta nyanyian daerah yang diselenggerakan untuk menghibur para tamu, juga Sabutai mengadakan pertandingan silat dan gulat dengan hadiah-hadiah yang menarik. Hal ini dilakukan dengan harapan agar kelak puteranya menjadi seorang gagah perkasa, maka kelahirannya disambut dengan pertandingan-pertandingan ketangkasan, yaitu yang umum di antara mereka adalah silat terutama sekali gulat. Banyak juga yang mendaftarkan diri untuk mengikuti pertandingan itu. Akan tetapi, Raja Sabutai kecewa melihat bahwa yang bertanding adalah orang-orang yang memiliki kepandaian biasa saja. Maka ketika menurut giliran maju seorang pegulat yang sudah cukup terkenal di antara para Suku Nomad, seorang pegulat yang tubuhnya seperti gajah, kokoh kuat dan kekar, berhadapan dengan seorang ahli silat bangsa Han di antara para tokoh perbatasan, Sabutai menjadi girang dan tertarik sekali. “Akan kutambah hadiahnya!” dia berseru girang. “Siapa di antara kalian yang menang, selain hadiah yang telah disediakan untuk tiap pemenang, akan kutambah dengan sebuah hadiah lagi yang boleh dipilih oleh si pemenang di antara barang-barang sumbangan yang kuterima hari ini!” Dia menudingkan telunjuknya ke arah meja besar yang penuh dengan barang sumbangan yang ditumpuk di situ setelah dicatatkan satu demi satu oleh pembantu yang menerimanya. Tentu saja semua orang menjadi gembira dan tegang. Jarang dipertandingkan seorang ahli silat melawan seorang ahli gulat, dan kini timbullah pertaruhan-pertaruhan di antara mereka. Bagi yang belum mengenal kebiasaan mereka, tentu akan merasa heran mendengar betapa di antara para kepala Suku Nomad itu, selain mempertaruhkan kuda mereka yang terbaik, atau ternak mereka, juga ada yang mempertaruhkan anak perempuan mereka, bahkan ada pula yang mempertaruhkan isteri atau selir mereka!   Sabutai memandang penuh perhatian. Dia sudah mengenal jago gulat itu dan tahu akan ketangguhannya. Tentu saja bagi dia sendiri, jago gulat itu bukan apa-apa, karena dia tahu bahwa jago gulat itu hanya mengandalkan tenaga besar dan cara-cara meringkus dan melontarkan lawan, di samping memiliki tubuh yang kuat dan kebal seperti gajah. Akan tetapi yang menarik perhatiannya adalah ahli silat itu. Dia tidak mengenal tokoh-tokoh kang-ouw perbatasan ini secara dekat, dan melihat cara jago silat itu memasang kuda-kuda, dia maklum bahwa akan terjadi pertandingan yang seru dan menarik. Ahli silat itu mempunyai kuda-kuda yang kuat dan sikapnya begitu meyakinkan, dengan kedua lutut ditekuk seperti orang menunggang kuda, lengan kanan ditekuk di depan dada dengan tangan miring di depan dada, lengan kiri di depan pusar, juga ditekuk dan tangan kirinya miring di depan pusar. Dengan kuda-kuda seperti itu, maka bagian tubuh atas bawah telah terjaga rapat dan kedua tanganpun sudah siap untuk dipergunakan sewaktu-waktu melakukan penyerangan dari atas atau bawah. Seorang wasit yang mewakili Raja Sabutai, yaitu seorang di antara panglimanya yang juga merupakan seorang ahli, baik dalam ilmu gulat maupun silat, memberi tanda dengan tangannya ke arah pembantunya yang segera membunyikan canang tanda dimulainya pertandingan itu. Si wasit lalu berdiri di sudut dan mulailah dua orang itu bergerak. Memang menegangkan sekali pertandingan ini. Bukan seperti pertandingan antara dua orang jago gulat yang saling tubruk den saling cengkeram, bprusaha saling banting, mengandalkan ketepatan saat dan gerak reflex dibantu oleh penggunaan tenaga besar yang tepat pada waktunya, atau seperti pertandingan antara dua orang jago silat yang saling serang mengandalkan kecepatan den ketepatan pukulan atau tendangan, akan tetapi karena masing-masing menghadapi lawan yang memiliki kepandaian berbeda, mereka berdua menjadi hati-hati sekali. Si jago gulat berdiri dengan kedua lengan dikembangkan di kanan kiri tubuhnya, tangannya siap untuk menangkap atau mencengkeram di depan, kedua kakinya agak terpentang dan dia agak membungkuk, sikapnya seperti seekor orang hutan besar menghadapi lawan. Ke manapun lawan bergerak, dia memutar tubuh menghadapinya! Sedangkan si jago silat masih menanti-nanti saat yang tepat, memilih-milih sasaran untuk serangannya dan dia mengatur langkah, digesernya dan perlahan-lahan memutari tubuh si jago gulat dengan perlahan, merobah-robah kedudukan kedua tangannya sesuai dengan kedudukan kedua kakinya, apakah menghadapi lawan dengan miring ataukah langsung berhadapan. “Hyaaaattt...!” Tiba-tibe si jago silat itu menyerang dari samping setelah dengan cepat dia melangkah ke samping kiri lawan, dengan pukulan cepat ke arah lambung. “Hehhh!” Si jago gulat mengelak dan tangannya yang panjang mencengkeram ke arah rambut kepala lawan. Akan tetapi jago silat itupun sudah cepat melompat ke belakang menghindarkan diri, memutar tubuhnya dan menendang dari depan ke arah perut lawan. “Dukkk!” Lengan yang besar itu menangkis dan ketika tangannya menyambar, kembali lawannya dapat menarik kaki sehingga sambaran itu luput. Kembali ahli silat itu bergerak mengitari si ahli gulat yang tetap tenang, sama-sama mencari kesempatan. Tiba-tiba, sekali ini tanpa mengeluarkan teriakan, jago silat itu meloncat ke atas, kakinya melayang ke arah muka jago gulat itu dengan kerasnya. Jago gulat itu menghindarkan diri dengan elakan, akan tetapi dengan cepat sekali tangan kanan jago silat itu menghantam tengkuknya. Jago gulat yang melihat kecepatan ini kaget, dia miringkan tubuh mengelak, akan tetapi tetap saja pundaknya terkena pukulan. “Bukkk!” Dia terhuyung, akan tetapi pemukulnya juga cepat meloncat ke belakang karena tangannya bertemu dengan daging yang tebal dan keras! Karena berbesar hati telah dapat menghantam pundak, jago silat itu kini melakukan serangan bertubi-tubi dengan gerak cepat dan ternyata siasatnya berhasil baik. Berkali-kali dia dapat menggunakan kedua tangan atau kakinya untuk menghantam dan menendang lawan dan ada beberapa di antaranya yang mengenai tubuh lawan. Terdengar suara bak-bik-buk ketika pukulan-pukulan itu mengenai tubuh si jago gulat, akan tetapi pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan itu tidak merobohkan lawan, hanya membuat si jago gulat terhuyung. Sorak-sorai dan tepuk tangan mulai terdengar, ada pula ejekan-ejekan terhadap si jago gulat, terutama mereka yang bertaruh memegang ahli silat itu. Tentu saja di depan Raja Sabutai, para tamu tidak berani bersikap melampaui batas, akan tetapi di dalam kesempatan seperti ini di tempat ini, bukan hal mustahil kalau gelanggang pertandingan menjadi gelanggang pertempuran antara para penjudi itu yang tentu saja dibela oleh anak buah masing-masing! Pertandingan dilangsungkan terus dengan serunya. Jago silat itu telah berhasil memukul beberapa kali sehingga pukulan yang mengenai muka jago gulat itu membuat bibirnya pecah dan berdarah. Akan tetapi si ahli silat ketika menendang tulang kering kakinya bertemu dengan tulang kaki si jago guiat yang besar dan kuat, sehingga biarpun tulang kakinya yang kecil itu tidak patah, cukup mendatangkan rasa nyeri dan membuat dia agak terpincang! Jago gulat itu menjadi marah sekali. Seperti seekor kerbau yang terluka, dia kini mulai aktip menyerang. Namun serangan-serangannya yang berupa cengkeraman dan tangkapan kedua tangan itu selalu dapat dialakkan oleh si jago silat yang lincah, selalu menubruk atau menangkap angin kosong belaka, dan sebagai jawabannya, tentu terdengar suara “Tak!” atau “Plak!” karena tangan jago silat itu berhasil memukul atau menampar. Kini lebih banyak darah lagi keluar ketika sebuah pukulan si jago silat tepat mengenai hidung si jago gulat sehingga muncratlah darah segar dari lubang hidung raksasa itu. Bagaikan serigala-serigala yang haus darah, para penonton berteriak-teriak penuh nafsu menjagoi pilihan masing-masing. Yang menjagoi ahli silat menjadi besar hati karena melihat jagonya lebih banyak membagi pukulan, sedangkan yang menjagoi si ahli gulat juga tidak putus harapan karena biarpun seringkali dipukul, si jago gulat yang kokoh kuat itu belum juga roboh, sedangkan si jago silat sebaliknya malah kelihatan lelah sekali. Hal ini karena si jago silat lebih banyak bergerak, sedangkan si jago gulat hanya berdiri dan bergerak sedikit sekali.   Setelah beberapa kali menerima hantaman den tendangan berturut-turut, tiba-tiba si jago gulat berhasil menangkap pergelangan lengan lawannya! Si jago silat meronta, namun percuma saja karena pegangan itu bukan main kuatnya. Karena maklum bahwa dia tidak akan mampu melepaskan diri, si jago silat lalu menggunakan sebelah tangannya lagi untuk menusuk mata lawan dengan jari tangan. Jago gulat itu miringkan mukanya, akan tetapi tetap saja pipinya kena ditusuk dan kembali darah mengucur. “Haarrgghhh...!” Jago gulat mengeluarkan gerengan seperti seekor biruang. Dia maklum betapa bahayanya untuk terus memegang lengan lawannya itu, maka sekali dia merendahkan diri dan mengerahkan tenaga sambil memegang pinggang lawan, dia telah mengangkat tubuh si jago silat tinggi-tinggi di atas kepalanya. Terdengar pekik dan sorak-sorai menyambut kemenangan si jago gulat ini ketika tiba-tiba si jago gulat melontarkan tubuh jago silat yang tak berapa besar itu sehingga terlempar sampai jauh ke arah para tamu! Jago silat itu berteriak kaget, maklum bahwa nyawanya terancam bahaya. Tubuhnya sudah tidak dapat dikuasainya lagi dan dia dilontarkan seperti peluru cepatnya, menimpa ke arah dua orang tamu yang duduk semeja di sudut yang agak sunyi. Akan tetapi, tiba-tiba seorang di antara dua tamu itu, yang berpakaian sederhana, berbangsa Han, bertubuh tinggi kurus dan bermata sipit, pakaiannya yang berwarna kuning itu penuh debu tanda bahwa dia telah melakukan perjalanan jauh, bangkit berdiri dan dengan tenangnya dia mengulur tangan kirinya den ketika tubuh si jago silat itu menimpa ke arah mejanya, dia menggerakkan tangan kirinya dan tahu-tahu tubuh itu mencelat ke atas mematahkan daya luncurnya, dan ketika turun kembali, disambutnya dengan tangan kiri dan si jago silat itu dapat turun dengan lunak dan sama sekali tidak terluka. Si jago silat memandang pemuda berusia dua puluh tahun lebih yang berpakaian kuning sederhana itu dengan mata terbelalak, kemudian dia menjura sambil berkata perlahan, “Terima kasih,” dan berjalan terhuyung kembali ke tempatnya, disambut oleh penyesalan dan celaan teman-temannya yang merasa kecewa mengapa ahli silat yang sudah lebih banyak membagi pukulan itu sampai dapat terpegang kalah, dan lain-lain. Sabutai bermata tajam sekali, dan dia mengenal orang pandai ketika melihat pemuda pakaian kuning tadi menerima tubuh si jago silat secara demikian mudahnya. Biarpun sebagian besar para tamu tidak tahu akan hal itu, namun dia sendiri mengerti bahwa orang yang memiliki sin-kang amat kuat saja yang akan mampu menyambut tubuh yang dilontarkan demikian kuatnya itu secara demikian rupa. Maka Sabutai lalu memberi perintah kepada seorang pengawalnya dan pengawal ini lalu cepat menghampiri dua orang tamu tadi tanpa diketahui orang lain. Pengawal itu dengan suara perlahan menyampaikan perintah atau pesan Sabutai bahwa dua orang itu dipanggil menghadap Raja Sabutai itu karena hendak ditanya tentang suatu urusan penting sekali. Dua orang pemuda itu saling pandang dan merasa girang karena memang kedatangan mereka di tempat ini adalah untuk bicara dengan Sabutai. Hanya kebetulan saja ketika mereka datang, tempat itu sedang penuh tamu karena Sabutai mengadakan pesta untuk merayakan kelahiran puteranya. Siapakah mereka itu? Tentu saja dari pakaian pemuda yang tadi secara mengagumkan menerima tubuh si jago silat, mudah diduga bahwa dia bukan lain adalah Tio Sun, sedangkan pemuda kedua yang berambut agak kuning keemasan sedangkan matanya agak biru itu bukan lain adalah Souw Kwi Beng atau Richardo de Gama! Seperti telah diceritakan di bagian depan, Tio Sun “ditangisi” oleh Kwi Beng agar pemuda ini suka menolongnya, yaitu untuk dapat menemaninya mencari In Hong yang dicinta oleh Kwi Beng dan untuk membantu perjodohannya dengan In Hong karena orang tuanya menyatakan tidak setuju. Sebetulnya, permintaan seperti ini jauh lebih berat daripada andaikata pemuda keturunan Portugis itu minta kepadanya membantu menghadapi musuh yang lihai. Akan tetapi, baru saja Tio Sun sendiri menderita “patah hati” karena ternyata gadis yang dicintanya, yang diam-diam dicintanya, yaitu Kwi Eng saudara kembar Kwi Beng, telah ditunangkan dengan Cia Bun Houw! Karena itu, dia merasa tidak tega kepada Kwi Beng dan dia memenuhi permintaan pemuda itu. Apalagi karena diapun ingin cepat-cepat menjauhi Kwi Eng sebelum luka di hatinya menjadi makin parah. Mereka berdua pergi ke kota raja ketika mendengar bahwa Yap In Hong telah berada di kota raja, bahkan telah menjadi seorang puteri! Akan tetapi, seperti halnya Bun Houw yang datang ke kota raja, mereka mendengar akan peristiwa penculikan atas diri In Hong yang dilakukah oleh Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li. Tentu saja mereka menjadi terkejut bukan main dan karena Tio Sun pernah membantu Bun Houw dan Cia Keng Hong, maka dia sudah tahu ke mana harus mencari Sabutai. Menurut perkiraannya, kakek dan nenek yang menjadi guru Sabutai itu tentu berada bersama raja itu, maka dia lalu mengajak Kwi Beng untuk langsung pergi keluar tembok besar di utara dan mencari di mana adanya Sabutai dan kedua orang gurunya itu. Inilah sebabnya mengapa dua orang muda itu kini berada di tempat pesta itu, dan secara tidak disengaja Tio Sun dapat menarik perhatian Sabutai sehingga kini dia dan Kwi Bang dipanggil oleh Sabutai yang tertarik menyaksikan kelihaian Tio Sun tadi. Pertandingan masih berlangsung terus, akan tetapi Sabutai tidak memperhatikan lagi karena memang dianggapnya tidak begitu menarik. Dia kini dihadap oleh dua orang pemuda itu, dan dengan ramah Sabutai lalu menanyakan nama mereka, juga dia amat memperhatikan Kwi Beng yang matanya agak biru dan rambutnya agak keemasan itu. “Nama saya Tio Sun dan sahabat saya ini bernama Souw Kwi Beng,” jawab Tio Sun setelah memberi hormat. “Karena kebetulan kami berdua lewat di sini dan mendengar akan perayaan yang diadakan oleh paduka di sini, maka kami lalu memberanikan diri datang menonton keramaian. Atas kelancangan ini, harap paduka sudi memaafkan kami.” “Ahh...!” Sabutai makin tertarik karena ternyata bahwa pemuda itu amat hormat kepadanya dan pandai membawa diri. “Kami malah merasa girang dan beruntung menerima kedatangan ji-wi sicu yang pandai. Kalau boleh kami mengetahui, ji-wi hendak ke manakah dan ada keperluan apa sampai jauh-jauh ke tempat ini?” “Kami berdua hendak mencari kedua locianpwe Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li,” kata Tio Sun dengan terang-terangan. Dia sudah mendengar bahwa Raja Sabutai ini sudah berbaik derigan kaisar, maka dia tidak khawatir memberitahukan maksud kedatangan mereka kepadanya. Apalagi karena mereka tadi tidak melihat adanya dua orang guru raja ini, bahkan ketika mereka bertanya-tanya kepada beberapa orang tamu, merekapun tidak ada yang tahu mengapa guru-guru raja itu tidak muncul di dalam pesta. Maka, terpaksa dia mengaku terus terang dengan harapan akan memperoleh keterangan dari raja ini.   “Ha...? Tahukah kalian siapakah dua orang tua yang kausebut tadi, Tio-sicu?” tanyanya, memandang dengan tertarik. “Kami telah mendengar bahwa kedua locianpwe itu adalah guru-guru paduka. Oleh karena itulah maka sekalian kami mohon petunjuk paduka, di mana kami kiranya akan dapat bertemu dengan mereka.” Sabutai menggeleng-geleng kepala dan memandang kagum. “Tio-sicu dan Souw-sicu, sungguh aku kagum sekali kepada kalian! Masih begitu muda sudah memiliki nyali harimau dan hati naga! Kalau tahu bahwa yang kalian cari itu adalah guru-guruku, akan tetapi kalian terang-terangan menanyakannya kepadaku, seolah-olah kalian berani menghadapi kami dengan bala tentara kami yang ribuan orang jumlahnya!” Tio Sun menjura lagi dan berkata, “Adanya kami berdua berani datang ke sini, karena kami sudah mendengar akan nama paduka yang besar sebagai seorang yang dapat menghargai kegagahan.” “Ha-ha, jangan kira kami tidak tahu akan maksud kedatangan kalian. Bukankah kalian mencari kedua orang guruku itu berhubung dengan diculiknya nona Yap In Hong?” Tio Sun tidak terkejut mendengar ini karena dia sudah menduga akan kecerdikan Raja Sabutai. Akan tetapi Souw Kwi Beng terkejut sekali dan karena dia merasa bahwa “rahasia” mereka sudah ketahuan, maka dia segera berkata dengan gagah dan nyaring, “Benar! Nona Yap In Hong telah diculik dan kami sengaja datang mencari untuk menolongnya dan kalau perlu kami akan mengadu nyawa dengan para penculiknya, siapapun adanya mereka itu!” Tio Sun kaget bukan main. Tak disangkanya bahwa pemuda itu akan mengeluarkan kata-kata yang begitu sembrono. Dia khawatir kalau-kalau Raja Sabutai menjadi marah dan berbahaya kalau begitu, maka dia cepat berkata, “Maafkan, sahabat saya ini amat mengkhawatirkan nona Yap yang amat dicintanya. Tentu paduka maklum...” Memang tadinya muka Raja Sabutai sudah memperlihatkan kemarahan ketika mendengar kata-kata Kwi Beng, akan tetapi begitu mendengar ucapan Tio Sun, dia tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, apa yang tidak akan dilakukan oleh orang-orang muda yang mabok cinta! Lautan api akan ditempuhnya, barisan golok akan diterjangnya! Apakah kalian ini utusan pribadi kaisar untuk menyelamatkan nona Yap In Hong?” Tio Sun cepat-cepat mendahului Kwi Beng. “Dapat dikata demikianlah, sri beginda. Ayah saya adalah seorang bekas pengawal yang amat setia dan karenanya, sayapun seorang yang selalu akan membela kaisar. Karena, nona Yap In Hong telah menjadi seorang puteri istana yang dipercaya oleh kaisar, maka tentu saja kaisar amat marah mendengar puteri itu diculik orang. Di antara banyak utusan kaisar yang mendapat perintah untuk mencari dan menyelamatkan nona Yap, termasuk kami berdua.” Kwi Beng tentu saja merasa heran sekali mendengar ucapan ini. Mereka menjadi utusan kaisar? Heran dia mengapa Tio Sun harus membohong seperti itu. Dianggpanya perbuatan ini tidak bijaksana dan tidak gagah! Menunjukkan rasa takut dan hendak bersembunyi di balik nama kaisar. Akan tetapi dia segera mengerti ketika mendengar raja itu berkata, Ah, Kaisar Ceng Tung memang seorang yang mengenal budi! Aku telah memberitahu kepada beliau bahwa urusan culik?menculik ini sama sekali tidak ada sangkut?pautnya dengan aku, sungguhpun yang melakukannya adalah guru-guruku. Namun dalam hal ini, mereka berdiri sendiri, dan nanti kita bicarakan lebih lanjut tentang di mana kalian dapat bertemu dengan mereka, kalau kupandang kalian memang pantas untuk bertemu dengan mereka!” Sabutai lalu memerintahkan pelayan untuk menambah tendangan makanan dan arak, kemudian raja ini menjamu mereka. Ini merupakan suatu kehormatan yang besar sekali dan banyak pandang mata para tamu diarahkan ke meja itu dan menduga-duga siapa adanya dua orang muda yang tadinya diundang oleh Raja Sabutai dan kini mereka dijamu itu. Setelah dua orang muda itu makan dan minum sampai kenyang, tiba-tiba terdengar sorak-sorai dan ternyata para tamu menyambut kemenangan seorang pegulat yang berkulit hitam, bertubuh seperti raksasa dan karena dia hanya mengenakan cawat saja maka kulit hitam yang berkeringat itu kelihatan berkilauan mengkilap. Nampak otot-otot membelit-belit seluruh tubuh yang amat kuat itu dan si pegulat hitam ini dinyatakan sebagai pemenang karena berturut-turut dia telah menangkan lima pertandingan dan kini dia mengangkat kedua tangan ke atas membuat isyarat menantang siapa lagi yang berani bertanding melawan dia di atas panggung! Raja Sabutai memandang kepada pegulat hitam itu dan dia tersenyum. Dia mengenal pegulat itu yang berjuluk Biruang Hitam, seorang pegulat yang selain memiliki tenaga yang amat kuat, juga telah menguasai ilmu gulat dengan baiknya sehingga dalam hal ilmu gulat, dia sendiri akan sukar mengalahkan Biruang Hitam itu. Maka timbullah pikirannya untuk mempergunakan si Biruang Hitam itu menguji utusan Kaisar Ceng Tung ini. “Tio-sicu, seperti kukatakan tadi, tidak sembarang orang dapat bertemu dengan kedua orang guruku itu. Apalagi menyelamatkan nona Yap In Hong! Hal itu merupakan tugas amat besar yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang pandai yang mempunyai tekad dan keberanian besar saja.” “Kami berdua tidak berani mengaku sebagai orang-orang pandai, akan tetapi kalau paduka suka memberi tahu di mana kami dapat menjumpai locianpwe Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, kami bertekad untuk menolong nona Yap In Hong dengan taruhan nyawa seperti yang dikatakan oleh adik Souw Kwi Beng tadi.” “Ha-ha-ha, tidak begitu mudah, sicu. Untuk dapat berjumpa dengan kedua orang guruku itu sedikitnya harus mempunyai kepandaian seperti si Biruang Hitam itu. Nah, mampukah Tio-sicu menandingi dia?” Tio Sun menoleh dan memandang ke arah raksasa hitam yang masih berdiri tegak dan memandang ke sekeliling menantang dengan sikap angkuh itu. Dia maklum bahwa betapapun juga, dia harus dapat meyakinkan hati raja ini agar dia dapat diberi petunjuk. Diapun sudah mendengar bahwa Sabutai paling suka nonton orang bertanding silat dan merasa simpati kepada orang yang pandai ilmu silat. Agaknya, tanpa memperlibatkan kepandaian, dia tidak akan bisa memperoleh petunjuk dari raja ini. Maka dia mengangguk dan berkata perlahan, “Akan saya coba untuk menandingi dia, sri baginda.” Sabutai tertawa gembira dan dia bertepuk-tepuk tangan dengan keras sehingga semua orang menoleh kepadanya. Juga raksasa hitam itu cepat membalik ke arah Raja Sabutai dan memberi hormat.   “Saudara sekalian, kebetulan sekali ada seorang utusan dari selatan detang menghadiri pesta ini dan dialah yang sanggup untuk menandingi si Biruang Hitam!” Mendengar ini, semua tamu bertepuk dan bersorak gembira. Tadi mereka sudah merasa khawatir bahwa pertunjukan adu silat dan gulat itu akan berakhir sampai di situ saja karena munculnya Biruang Hitam yang sudah berturut-turut mengalahkan lima orang lawan dan agaknya sudah tidak ada lagi yang berani maju. Maka mendengar bahwa ada utusan dari selatan yang hendak menandingi Biruang Hitam, tentu saja mereka menjadi gembira sekali, maklum bahwa mereka akan menyaksikan pertandingan yang hebat dan mungkin mati-matian karena jagoan dari selatan tentulah seorang ahli silat dan Biruang Hitam paling benci kepada orang selatan yang pandai silat! “Nah, Tio-sicu, silakan,” kata Sabutai kepada Tio Sun. Tio Sun bangkit, menjura kepada Sabutai dan memandang kepada Souw Kwi Beng. Pemuda ini mengerutkan alisnya dan berkata, “Tio-twako, hati-hatilah... dia kelihatan kuat sekali.” Tio Swi mengangguk dan setelah sekali lagi menjura ke arah Sabutai, dengan langkah tenang dia lalu menghampiri panggung dan meloncat ke atas panggung, berhadapan dengan Biruang Hitam. Raksasa hitam ini menyeringai dan mengeluarkan suara menggereng seperti seekor biruang ketika melihat bahwa calon lawannya hanyalah seorang tinggi kurus dan berpakaian sebagai orang Han! Dia amat membenci orang Han, apalagi seorang Han yang pandai silat! Dan calon lawannya ini bertubuh kecil, terlalu kecil baginya! Tiga kali tubuh lawan ini dijadikan satu barulah sama dengan dia. Tio Sun juga memandang lawannya dengan penuh perhatian. Seorang lawan yang berbahaya, pikirnya. Jelas bahwa Biruang Hitam ini mempunyai tenaga otot yang amat besar, mungkin lima kali lebih besar daripada tenaga manusia biasa. Dan kedua lengan yang hitam berbulu itu amat kuat dan panjang, dengan jari-jari tangan yang panjang dan yang dia dapat menduga tentu mempunyai kekuatan mencengkeram atau menangkap yang amat kuat. Celakalah kalau sampai kena dicengkeram oleh jari-jari tangan itu. Dia harus mengandalkan kecepatan gerakannya, karena betapapun kuatnya, raksasa hitam ini karena besarnya tubuh tentu lamban gerakannya dan dengan mengandalkan kegesitannya, mungkin dia akan menang. Pula, dia adalah putera seorang yang berjuluk Ban-kin-kwi (Iblis Bertenaga Selaksa Kati). Ayahnya, Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan, terkenal memiliki tenaga yang amat besar dan diapun telah mempelajari penghimpunan tenaga itu sehingga diapun merupakan seorang yang bertenaga besar. Namun, dalam hal tenaga luar, jelas bahwa dia tidak mungkin dapat menandingi raksasa di depannya itu. “Aku telah siap!” katanya kepada raksasa itu yang kelihatan ragu-ragu. Agaknya Biruang Hitam itu mengerti maksud kata-katanya, karena dia segera mengeluarkan suara menggereng dahsyat dan kedua lengannya bergerak menyambar ke depan dari kanan kiri seperti terkaman seekor biruang yang marah. “Wuuutttt...! Wuuutttt...!” Kedua tangannya yang lebar dengan jari-jari terbuka itu sampai mengeluarkan angin saking kuatnya dia menggerakkan kedua tangan dari kanan kiri yang mengadakan serangan cengkeraman itu. Namun dengan langkah ke belakang, Tio Sun dapat mengelak dengan mudah dan ketika raksasa hitam itu melanjutkan serangannya dengan menubruk ke depan, dia juga sudah dapat mengelak ke samping dengan lincahnya. Biruang Hitam menggereng marah dan kini dia menerjang lagi dengan pukulan kepalan tangan sebesar kepala Tio Sun sedangkan tangan kiri mencengkeram ke bawah, hendak menangkap kaki pendekar itu. Kembali Tio Sun cepat mengelak dan dari samping dia sengaja memasang diri untuk ditubruk. Melihat betapa pemuda itu mengelak dengan tubuh terhuyuhg, si raksasa menjadi girang dan cepat dia menubruk dengan kedua lengan terpentang untuk mencegah pemuda itu mengelak ke kanan atau ke kiri. Memang ini yang dikehendaki oleh Tio Sun. Melihat betapa dada itu “terbuka”, secepat kilat dia menghantam dengan tangan kanannya sambil mengerahkan tenaga dengan maksud membuat raksasa itu roboh dengan satu kali pukulan. Tentu saja gerakan Tio Sun ini amat cepatnya sehingga tidak tersangka-sangka oleh si Biruang Hitam yang lamban, maka sebelum dia tahu apa yang terjadi, dadanya sudah kena dipukul lawan. “Bukkk!” Pukulan yang keras bukan main mendarat di dada yang bidang itu. Akan tetapi akibatnya bukan tubuh tinggi besar itu yang roboh terjengkang, sebaliknya malah tubuh Tio Sun sendiri terdorong ke belakang dengan kerasnya! Pukulannya yang mengenai dada itu seolah-olah memukul bola karet yang amat kuat sehingga membalik dan akibatnya dia yang mencelat ke belakang dan tentu dia akan roboh terbanting kalau saja dia tidak cepat berjungkir balik sampai bersalto tiga kali ke belakang, baru dia dapat turun ke atas papan panggung dengan baik. Sorak-sorai menyambut peristiwa ini karena semua orang melihat betapa si raksasa kena pukulan keras namun yang terlempar malah yang memukul! Si Biruang Hitam tertawa bergelak dan sudah maju lagi dengan kedua lengan dikembangkan, persis seperti seekor biruang yang berjalan dengan dua kaki belakangnya, hidungnya mendengus-dengus dan bibirnya yang tebal itu menyeringai. Souw Kwi Beng yang melihat ini menjadi gelisah bukan main dan diam-diam dia meraba ke pinggangnya di mana terselip sebuah pistol kecil. Perbuatannya ini tidak terlepas dari pandang mata Raja Sabutai yang hanya tersenyum-senyum menonton pertandingan di atas panggung itu.   Semua mata ditujukan ke atas panggung dan semua jantung berdebar tegang melihat raksasa hitam itu kini telah menghampiri Tio Sun yang mundur-mundur dan memandang dengan sikap waspada sampai akhirnya pendekar itu tersudut. Biruang Hitam menggereng dan menubruk lagi, namun Tio Sun jauh lebih cepat, tubuhnya telah menyelinap melalui bawah lengan kiri lawan dan dia sudah melesat ke belakang raksasa itu. Biruang Hitam membalik dan menubruk lagi, kedua lengan yang panjang itu menyambar-nyambar ganas, namun selalu dapat dielakkan oleb Tio Sun yang mengasah otak bagaimana dia dapat merobohkan Biruang Hitam yang amat kuat dan tubuhnya kebal ini. Mungkin dia tadi kurang mengerahkan tenaga, pikirnya. Setelah memperhitungkan dengan masak-masak, untuk kesekian kalinya kembali dia mengelak ketika Biruang Hitam itu menubruk, akan tetapi sekali ini dia menggunakan gin-kangnya, mengelak sambil meloncat ke atas, kemudian sebelum lawan membalik, dari atas dia telah menghantamkan kedua kakinya ke tengkuk lawan. “Bresss!” Kembali tubuh Tio Sun terlempar akan tetapi dia dapat melayang turun sedangkan Biruang Hitam kini terhuyung ke depan. Tio Sun tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, cepat dia mengerahkan tenaga pada kedua tangannya dan menghantam dari belakang ke arah punggung dan lambung lawan. “Bukk! Desss!” Hantaman-hantaman itu hebat bukan main dan lawan biasa tentu akan roboh dan tewas. Akan tetapi Biruang Hitam memang kuat bukan main seolah-olah tubuhnya dilindungi oleh karet yang tebal. Dia tidak roboh, bahkan dia berhasil membalik dan meraih sehingga pundak Tio Sun kena dicengkeram oleh jari-jari tangan yang panjang dan kuat itu. Tentu saja Tio Sun yang tidak mengira sama sekali bahwa lawan tidak roboh, bahkan terguncangpun tidak oleh dua pukulannya tadi, terkejut ketika tahu-tahu pundaknya dicengkeram. Bukan main nyerinya, seolah-olah tulang pundaknya akan hancur oleh jari-jari tangan yang kuat itu. Maka dia cepat mengerahkah ilmu melemaskan badan, semacam Ilmu Jiu-kut-kang, membuat kulit pundaknya licin seperti belut dan dengan gerakan lincah dia merenggutkan tubuhnya dan meloncat mundur. “Breetttt...!” Pundaknya terlepas dari cengkeraman akan tetapi baju di pundak itu robek dan hancur di tangan Biruang Hitam yang tertawa-tawa. Tio Sun terkejut. Kiranya lawan ini lebih hebat daripada yang disangkanya. Timbul kemarahannya. Tadinya, dia hanya ingin mengalahkan lawan ini tanpa melukainya, karena dia memang tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan siapa juga di tempat itu. Akan tetapi pendekar ini maklum bahwa kalau dia tidak sungguh-sungguh dan berhati-hati dia sendiri bisa celaka, bahkan mungkin saja bisa tewas oleh manusia raksasa yang bertenaga gajah dan cara berkelahinya buas seperti harimau ini. Di antara para tamu sudah ramai orang mengadakan pertaruhan pula, taruhan yang berjumlah tinggi dan tentu saja raksasa hitam itu menjadi jagoan unggul sehingga yang bertaruh atas diri Biruang Hitam berani mempertaruhkan isterinya untuk selir seorang lawan bertaruh! Ini berarti bahwa dia sudah yakin akan kemenangan Biruang Hitam. Akan tetapi hanya sebentar mereka yang bertaruh ini ramai menambah taruhan mereka karena seluruh perhatian mereka segera dicurghkan lagi ke atas panggung di mana Biruang Hitam sudah menghujani serangan kepada Tio Sun yang kembali hanya mengelak ke sana-sini mengandalkan kelincahan tubuhnya. Makin lama, Birulang Hitam menjadi makin marah karena semua pukulan, tendangan dan cengkeramannya hanya mengenai tempat kQsong belaka. Keringatnya membasahi seluruh tubuhnya akan tetapi tenaganya tidak menjadi kendur, bahkan dia makin bersemangat karena terdorong oleh kemarahannya. Souw Kwi Beng yang menonton pertandingan itu kini bernapas lega. Tahulah dia bahwa kini Tio Sun berhati-hati sekali dan berganti siasat, mengandalkan kecepatan gerakannya untuk menghabiskan tenaga lawan. Dan melihat betapa lamban gerakan Biruang Hitam yang amat kuat itu, dia tidak khawatir bahwa Tio Sun akan dapat tertangkap lagi seperti tadi. Dugaannya ini memang benar. Tio Sun yang maklum akan berbahayanya apabila sampai dirinya tertangkap lawan menggunakan gin-kangnya dan dengan mudah dia mengelak terus sambil menanti datangnya kesempatan. Kesempatan itu tiba selagi si Biruang Hitam menghentikan serangan dan menghapus keringatnya yang menetes dari dahi memasuki matanya. Saat itu Tio Sun memekik keras dan tubuhnya berkelebat, dengan jari tangan terbuka dia menampar ke arah muka lawan. “Plakkk!” Hantaman telapak tangannya sengaja dijatuhkan ke atas hidung Biruang Hitam itu. “Currr...!” Darah segar muncrat dari dalam hidung Biruang Hitam. Betapapun kebalnya, tidak mungkin bagi raksasa ini untuk membikin kebal hidungnya maka begitu kena dihantam dengan keras, darahnya mengucur. “Oauurrgghh...!” Dia menggereng seperti binatang terluka dan mengamuklah Biruang Hitam. Dengan membabi buta dia menyerang sambil menggereng dan mendengus-dengus penuh kemarahan. Kalau saja kedua tangannya yang besar itu berhasil menangkap tubuh Tio Sun, tentu tubuh itu akan dicabik-cabik, tulang-tulangnya akan dipatah-patahkan dan otot-ototnya akan dicabuti! Namun Tio Sun tidak membiarkan dirinya disentuh, terus dia berkelebatan dan meloncat ke sana-sini untuk menghindarkan diri dari semua terkaman dan selain mengelak, juga dia selalu menggunakan setiap kesempatan untuk menghantam bagian-bagian yang dianggapnya tidak kebal. “Plakkk!” Kini telinga kiri raksasa itu digaplok keras sekali. Tubuh raksasa itu terputar karena dia merasa kepalanya pening dan ada suara mengiang-ngiang memenuhi telinganya. Rasa nyeri membuat dia mengeluh dan menggereng, lalu menyerang lagi. Tio Sun mengelak menjauhi, kemudian ketika raksasa itu menubruk, dia melompat ke samping dan dari samping kakinya melayang ke bawah pusar, ke bagian tubuh yang paling penting dan berbahaya bagi seorang pria.   “Dukkk!” Tio Sun meringis dan menarik kembali kakinya yang merasa nyeri. Kakinya bertemu dengan benda yang keras seperti besi! Mungkinkah anggauta kelamin si Biruang Hitam ini sudah mengeras seperti besi? Tidak mungkin! Dan Tio Sun mengerti bahwa tentu di bawah cawat itu dipasangi alat pelindung dari besi. Biruang Hitam menubruk dan kembali Tio Sun mengelak, kini memukul lagi ke arah telinga kanan. “Plakkk!” Kembali tubuh itu terputar-putar dan kini tiba saatnya bagi Tio Sun untuk menghajar lawannya dan dia mengerahkan tamparan-tamparan pada kedua telinga, hidung, dan mata. Mulailah para tamu yang menjagoi pendekar ini bersorak-sorak dan tubuh Biruang Hitam kini sudah mulai lemah. Dengan kecepatan kilat, Tio Sun yang melihat kelemahan lawan, cepat menggunakan dua jari tangan menotok. Tadi, selagi lawan amat kuat, dia khawatir totokannya akan tidak mampu menembus kekebalan. Kini, setelah lawannya mulai lemah, dia mengerahkan tenaga dan dengan mudah dia menotok kedua pundak lawan yang telanjang tepat mengenai jalan darah dan dua lengan panjang itu kini tergantung lumpuh! Tio Sun yang juga merasa lelah dan penasaran, lalu memperlihatkan tenaganya. Setelah kedua tangan yang berbahaya itu dibikin lumpuh, dia berani menerjang maju, menendang lutut lawan sehingga tubuh tinggi besar itu terguling, seperti kilat dia menangkap pinggang orang itu, mengerahkan tenaga dan mengangkat tubuh reksasa itu dengan kedua tangannya ke atas kepala dan melemparkannya ke bawah panggung. Tubuh raksasa itu jatuh berdebuk di atas tanah di luar panggung dan rebah pingsan di situ! Sorak-sorai memenuhi tempat itu menyambut kemenangan Tio Sun dan wajah mereka yang menang bertaruh berseri-seri dan mereka membayangkan kesenangan-kesenangan yang didapatkan atas kemenangan itu. Raja Sabutai bangkit dari tempat duduknya ketika Tio Sun kembali ke situ, dan sambil mengangguk-angguk, Sabutai memuji, “Sungguh Tio-sicu amat lihai!” Tio Sun menjura. “Biruang Hitam itu kuat sekali dan hanya kebetulan saja saya dapat mengalahkan dia.” Lalu dia menatap wajah raja itu tajam-tajam sambil berkata, “Saya harap sekarang paduka suka memberi petunjuk di mana adanya...” “Nanti dulu, sicu. Duduklah. Pasta belum berakhir. Kepandaian Tio-sicu sudah kami saksikan dan memang sicu seorang yang memiliki kepandaian hebat. Akan tetapi kami belum melihat kepandaian Souw-sicu.” Tio Sun merasa khawatir kalau-kalau Kwi Beng akan diadukan. Dia tahu bahwa Kwi Beng sebagai putera pendekar wanita Souw Li Hwa tentu saja memiliki kepandaian yang tinggi juga dan sudah boleh diandalkan, akan tetapi Kwi Beng masih muda dan dia khawatir kalau-kalau pemuda itu akan membunuh lawannya sehingga menimbulkan suasana tidak enak terhadap Raja Sabutai. Maka cepat dia berkata, “Sri baginda, tidakkah cukup dengan semua pertandingan itu? Para tamu juga tentu menjadi bosan karenanya. Bagaimana kalau adik Souw ini memperlihatkan kepandaiannya mainkan hui-to (pisau terbang) dan senjata rahasianya yang amat hebat, yang dapat memuntahkan peluru baja sedemikian cepatnya sehingga tidak dapat terlihat oleh mata? Tentu saja untuk permainan ini, tidak diperlukan adu kepandaian yang merupakan lawan karena dapat membunuh orang.” Sabutai mengangguk-angguk sambil tertawa. “Seorang ahli senjata rahasia, heh? Bagus, nah, aku sendiri yang akan mengujinya.” Tio Sun terkejut. Dia sudah mendengar bahwa raja ini, sebagai murid kakek dan nenek lihai Mo-ko dan Mo-li, memiliki kepandaian tinggi dan agaknya Kwi Beng bagaimanapun juga bukanlah lawannya. “Mana bisa adik Souw harus menghadapi paduka yang memiliki kepandaian amat tinggi?” dia mengajukan keberatan. Raja Sabutai tertawa. “Kami hanya menguji kepandaiannya mainkan senjata rahasia, bukan bertanding.” Raja itu lalu bangkit berdiri dan melangkah ke atas panggung. Semua tamu kini memandang dengan mata terbelalak. Apakah Raja Sabutai yang sakti itu kini hendak bertanding? Semua mata memandang ke arah pemuda tampan berambut agak keemasan yang mengikuti di belakang sri baginda dengan sikap tenang. “Saudara-saudara sekalian. Pemuda inipun seorang utusan dari selatan yang lihai. Anda sekalian tadi telah menyaksikan betapa lihainya Tio-sicu yang telah mengalahkan pegulat hebat kita Si Biruang Hitam. Dan sekarang, Bouw-sicu akan memperlibatkan kemahirannya menggunakan senjata rahasia.” Semua orang bertepuk tangan, menyambut dengan gembira karena bagi mereka, senjata yang mereka kenal hanyalah anak panah dan tombak yang dilontarkan, atau batu yang disambitkan. Akan tetapi mereka semua maklum bahwa Raja Sabutai juga mahir menggunakan bermacam senjata rahasia, terutama menggunakan anak panah. Kabarnya, sekali menarik gendewa, raja ini mempu meluncurkan tujuh batang anak panah, semua menuju ke sasaran dengan tepatnya! Atas isyarat raja, seorang pengawal datang berlari bersama dua orang pembantunya yang datang membawa sebuah alat yang biasa dipakai untuk berlatih ilmu memanah, yaitu sasaran terbuat dari kayu tebal yang sudah diberi lingkaran-lingkaran dan di tengah-tengahnya digambar kepala orang dengan mulut terbuka berwama hitam. Atas perintah Sabutai, sasaran itu dipasang dalam jarak seratus langkah. Kemudian Sabutai menerima gendewa dan tempat anak panah dari seorang pengawal lain, dan dia menoleh ke arah Kwi Beng sambil tersenyum. “Souw-sicu, kami di daerah ini hampir semua orang mahir bermain anak panah, oleh karena itu ingin sekali kami melihat apakah senjata rahasiamu dapat menandingi anak panah kami dan mengenai sasaran itu dengan sama tepatnya.” Sebelum pemuda itu menjawab, Sabutai sudah memasang tiga batang anak panah sekaligus di gendewanya, lalu menarik tali gendewa dan ketika dia melepaskan tali sehingga terdengar suara menjepret, meluncurlah tiga batang anak panah dengan cepatnya menuju sasaran. Menggunakan tiga batang anak papah sekaligus dapat dilakukan oleh pemanah-pemanah ahli, akan tetapi untuk ditujukan kepada tiga buah sasaran. Kalau tiga batang anak panah ditujukan kepada sasaran yang sama, sungguh merupakan hal yang amat sukar dan jarang dapat dilakukan orang. Akan tetapi, ketika tiga batang anak panah itu meluncur ke arah sasaran, tahulah semua orang dengan kagum bahwa sang raja itu menujukan ketiga batang anak panahnya kepada sasaran yang sama!   “Cep-cep-cepp!” Bagaikan berebut saja, tiga batang anak panah itu menancap di sasaran, dan tiga-tiganya tepat pada mulut hitam gambar kepala di tengah lingkaran itu. Tepuk sorak gemuruh menyambut kemahiran yang luar biasa ini. Raja Sabutai sambil tersenyum mengangkat kedua tangan ke atas untuk meredakan kebisingan itu, kemudian dia menghadapi Kwi Beng sambil berketa, “Nah, Souw-sicu, dapatkah senjata rahasiamu mengenai sasaran dengan tepat seperti anak-anak panahku?” “Akan saya coba, sri baginda,” kata pemuda ini sambil memandang tajam ke arah sasaran yang jaraknya seratus langkah itu. Dia melihat betapa sasaran inti, yang merupakan mulut hitam kecil dari gambar kepala orang itu, telah penuh oleh tiga batang anak panah sehingga tidak ada tempat lagi bagi senjata rahasianya, maka tahulah dia bahwa Sabutai sengaja mempersulit dia. Akan tetapi, Kwi Beng memiliki kelihaian melepas hui-to seperti juga saudara kembarnya dan memiliki kelihaian ibunya dan kecerdasan otak ayahnya, maka setelah mengincar dengan seksama, tiba-tiba pemuda ini mengeluarkan pekik dahsyat dan tangan kirinya bergerak ke pinggang, diikuti oleh tangan kanannya, kemudian kedua tangan itu bergerak cepat ke depan dan meluncurlah tiga sinar berkilauan ke arah sasaran. Pemuda ini berturut-turut, hampir sama saat pelemparannya saking cepatnya, telah menyambitkan tiga batang hui-to (pisau terbang) ke arah sasaran itu, diikuti oleh pandang mata semua tamu. Diam-diam Sabutai kagum juga menyaksikan cara pemuda itu melemparkan pisau, demikian cepatnya. “Cap-cap-cappp!” Tiga batang pisau itu menancap dan tiga bateng anak panah bergoyang-goyang. Ketika semua mata memandang, sejenak suasana hening saking herannya, kemudian lepaslah tepuk sorak dan pujian ketika mereka melihat bahwa tiga batang pisau itu dengan tepatnya telah menancap di ujung gagang anak panah yang tiga tadi! Raja Sabutai mengangguk-angguk akan tetapi dahinya berkerut. Dia kagum sekali akan tetapi juga ada rasa tidak senang, karena pemuda ini telah membikin rusak tiga batang anak panahnya. Maka timbul keinginannya untuk mengalahkan pemuda ini dan dia lalu mengambil lagi sebatang anak panah, dipasangnya di gendewa yang masih dipegang di tangan kirinya, lalu dia berkata lagi setelah semua tamu diam. “Souw-sicu, kepandaianmu ternyata hebat. Akan tetapi yang menjadi sasaranmu adalah benda tidak bergerak. Sekarang ingin aku mengujimu satu kali lagi, yaitu ingin aku melihat apakah dengan senjata rahasiamu, engkau dapat mengenai anak panah yang kulepas di udara.” Kalau saja pemuda tampan berambut keemasan itu menyatakan tidak sanggup, hati Sabutai sudah akan merasa puas dan tidak akan mendesak lagi karena hal itu sudah menyatakan bahwa pemuda itu masih kalah olehnya dalam hal menggunakan senjata rahasia. Akan tetapi, pemuda itu mengangguk dan berkata tenang, “Akan saya coba, sri baginda.” Sabutai menjadi penasaran. Benarkah pemuda ini akan dapat menjatuhkan anak panahnya? Betapapun mahirnya menggunakan pisau terbang, tentu saja luncuran pisau yang disambitkan tidak akan dapat lebih cepat daripada luncuran anak panahnya, dan pisau itu sampai bagaimanapun tidak akan mampu menyusul anak panahnya, apalagi mengenainya. Dan memang pemuda inipun tahu bahwa pisau terbangnya tidak akan mungkin dapat mengenai anak panah yang diluncurkan, akan tetapi dia sudah bersiap untuk tantangan ini. Semua mata para temu kini memandang dengan penuh perhatian dan ketegangan, karena merekapun kesemuanya adalah ahli-ahli panah yang tahu belaka bahwa luncuran anak panah, apalagi yang dilepaskan oleh tangan Raja Sabutai yang kuat, tidak mungkin dapat dikejar oleh sambitan biasa. Gendewa menjepret ketika Sabutai melepaskan tali gendewa dan meluncurlah sebatang anak panah ke angkasa! Pada saat itu, tangan kanan Kwi Beng sudah bergerak mencabut senjata apinya, yaitu sebuah pistol kecil yang tadi memang sudah dipersiapkan dan diisinya, lalu dengan ketepatan seorang jago tembak terlatih dia membidikkan pistolnya dan menarik pelatuknya. “Darr...!” Semua orang terkejut bukan main mendengar ledakan ini dan semua mata, termasuk mata Sabutai, memandang dengan penuh kagum, kaget, dan heran melihat anak panahnya yang masih meluncur itu tiba-tiba runtuh dan patah menjadi dua, jatuh di depan kaki raja itu! Dalam keadaan biasa, tentu Raja Sabutai akan menjadi penasaran dan marah sekali melihat anak panahnya runtuh dan patah menjadi dua itu. Akan tetapi pada saat itu dia terlalu kaget dan heran menyaksikan kehebatan senjata kecil yang aneh itu sehingga dia melongo memandang kepada pistol di tangan Kwi Beng yang masih mengepulkan asap. Barulah ketika para tamu yang tadi juga tercengang kini bertepuk tangan dan bersorak gemuruh memuji kehebatan senjata rahasia pemuda itu. Sabutai menjadi sadar dan dengan muka jelas membayangkan kekaguman dia memandang senjata api di tangan kanan Kwi Beng sambil bertanya, “Apakah itu?” Melihat sikap raja yang jelas sekali kelihatan amat tertarik dan kagum kepada senjata apinya, Kwi Beng lalu memperlihatkan pistolnya sambil berkata, “Ini adalah senjata api, sri baginda.” Sabutai menyentuh pistol yang masib hangat itu dan memuji, “Hebat bukan main...” Sambil tersenyum dan menyodorkan pistolnya, Kwi Beng berkata, “Kalau paduka suka memberi petunjuk agar kami dapat tahu di mana adanya nona Yap In Hong, sebagai tanda terima kasih saya menghaturkan pistol ini kepada paduka.” Sepasang mata Sabutai terbelalak dan wajahnya berseri. “Benarkah? Akan tetapi tidak ada gunanya, aku tidak bisa mempergunakannya.” “Saya akan mengajar paduka sampai dapat mempergunakannya.” Sabutai tertawa girang, memegang tangan Kwi Beng dan dituntunnya pemuda itu kembali ke tempat duduk kehormatan dan Tio Sun menyambut temannya itu dengan senyum puas karena dia maklum bahwa temannya telah mendatangkan kesan baik kepada Sabutai yang juga tersenyum-senyum.   Seperti seorang anak kecil meminang-minang permainan baru, Sabutai memegang dan meneliti pistol itu, kemudian dia mempelajarinya dan Kwi Beng menjadi gurunya. Cara mengisi peluru dan obat, cara menembakkan dan lain?lain. Sabutai yang memang cerdas itu sebentar saja sudah menguasainya dan ketika dia mencobakan pistol itu pada sasaran, ditonton oleh semua tamu, tiga kali tembakan saja Sabutai sudah dapat mengenai mulut kepala dalam gambar sasaran, disambut tepuk tangan para tamu. Kwi Beng menyerahkan semua peluru yang dibawanya, sebanyak beberapa puluh butir mesiu dan pistol itu kepada Sabutai. Raja ini girang sekali, menyimpan pistol dan peluru-pelurunya, lalu dia berkata, “Tio-sicu dan Souw-sicu, kalian ternyata adalah tamu-tamu yang amat menyenangkan dan kurasa cukup gagah dan berharga untuk berusaha menolong nona Yap In Hong, biarpun kami merasa sangsi sekali apakah kalian akan dapat berhasil. Kami kira kalian tidak akan mampu melawan kedua orang guru kami. Bahkan sekarang, setelah kedua orang guru kami itu berhasil melatih ilmu baru mereka, jangankan baru kalian berdua, biarpun ketua Cin-ling-pai sendiri dan puteranya yang lihai itu pasti tidak akan dapat menangkan suhu dan subo. Mereka telah memiliki kekebalan yang luar biasa sekali sehingga semua pukulan sakti, semua senjata pusaka tidak akan mampu melukai mereka luar dalam!” “Kami bukan hendak melawan siapapun kalau tidak terpaksa, yang kami kehendaki hanya agar nona Yap In Hong dibebaskan,” kata Tio Sun. Sabutai tersenyum dan menarik napas panjang. “Kami rasa tidak begitu mudah. Ilmu baru dari suhu dan subo ini amat hebat, dan baru saja diciptakan sehingga kami sendiripun belum pernah mempelajarinya. Akan tetapi sesuai dengan janji kami, biarlah ji-wi mengetahui di mana suhu dan subo menahan nona Yap In Hong, yaitu di kaki Pegunungan Khing-an-san, di Lembah Naga dekat tikungan Sungai Luan-ho. Nah, di sana ji-wi akan dapat menemui suhu dan subo, juga di sanalah nona Yap ditawan.” Tio Sun dan Souw Kwi Beng menjadi girang sekali. Mereka bangkit dan menjura sambil mengucapkan terima kasih lalu berpamit untuk melanjutkan perjalanan mereka ke Lembah Naga sekarang juga! Raja Sabutai juga bangkit berdiri dan berkali-kali dia menarik napas panjang. “Sayang... sungguh saya akan selalu menyayangkan bahwa dua orang pemuda sehebat ji-wi ini harus membuang nyawa secara sia-sia saja di Lembah Naga. Akan tetapi, kami tidak berhak untuk mencegah dan selamat jalan, Tio-sicu dan Souw-sicu...” Pada saat itu, seorang pengawal datang dengan cepat dan memberi hormat, lalu melapor dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh dua orang pemuda itu. Mendengar laporan itu, Sabutai berseri wajahnya dan berkata, “Tio-sicu dan Souw-sicu, tunggu sebentar! Baru saja pengawal kami melaporkan bahwa isteri kami mendengar akan kunjungan utusan kaisar dan kini beliau minta kepada ji-wi untuk menjenguk putera kami. Kami adalah sahabat kaisar, maka ji-wi sebagai utusan kaisar tentu juga merupakan sahabat kami pula. Bagaimana ji-wi dapat bercerita di kota raja tentang putera kami kalau ji-wi tidak menjenguknya? Nah, isteri kami telah mengundang, harap ji-wi suka masuk ke dalam sebentar.” Tentu saja Tio Sun dan Souw Kwi Beng tidak berani menolak undangan yang ramah ini dan mereka berdua lalu diantar oleh empat orang pengawal menuju ke dalam yang ternyata suasananya tenteram dan tenang, tidak seramai di tempat pesta itu. Mereka melalui ruangan-ruangan dan lorong-lorong, akhirnya mereka tiba di tempat kediaman Puteri Khamila. Di dalam sebuah kamar yang bersih dan sejuk, terdapat sebuah ayunan bayi yang dijaga oleh lima orang pelayan wanita. Agaknya, para pelayan itu sudah menerima perintah dari Puteri Khamila, karena begitu melihat empat orang pengawal yang mengantar dua orang pemuda asing itu, mereka lalu mundur dan mempersilakan mereka masuk. “Ji-wi (tuan berdua) dipersilakan masuk dan menjenguk pangeran,” kata seorang di antara empat pengawal itu dengan bahasa yang lancar akan tetapi kaku. Tio Sun dan Souw Kwi Beng lalu melangkah memasuki kamar itu dan menghampiri ayunan bayi. Mereka menjenguk dan melihat seorang bayi yang amat sehat dan mungil, sedang tidur terlentang dengan nyenyaknya. Dua orang pemuda itu tentu saja memandang dengan penuh perhatian dan diam-diam mereka memuji bahwa putera Sabutai ini memang seorang anak bayi yang sehat dan tampan, juga biarpun masih bayi sudah membayangkan keagungan. Pada saat itu, terdengar suara kaki melangkah dari dalam dan semua pelayan, juga empat orang pengawal itu cepat menjatuhkan diri berlutut. Souw Kwi Beng dan Tio Sun menengok dan mereka terkejut melihat seorang wanita yang berpakaian indah, keluar dari pintu dalam dan mereka dapat menduga bahwa tentu inilah permaisuri atau isteri Raja Sabutai, maka mereka cepat memberi hormat dengan menjura sampai dalam. “Saya mendengar bahwa ji-wi adalah utusan dari kaisar, benarkah?” suara Khamila yang halus dan merdu itu terdengar tidak kaku sehingga dua orang muda itu menjadi kagum. Tidak mereka sangka bahwa isteri dari raja liar Sabutai itu seorang wanita yang begini muda, cantik jelita dan juga terpelajar. Tio Sun yang tadi sudah terlanjur mengaku sebagai utusan kaisar, tentu saja tidak berani menyangkal lagi. “Benar, kami berdua datang dari kota raja.” “Kalian diutus untuk menghadiri pesta perayaan kelahiran puteraku?” kembali sang puteri bertanya, dan aneh, suaranya agak tergetar. “Maaf, harap paduka suka memaafkan kami. Sesungguhnya... eh, agaknya sri baginda kaisar belum mendengar akan kelahiran putera Sri Baginda Sabutai, dan kami diutus untuk menyelamatkan nona Yap In Hong, sedangkan kami hanya kebetulan mampir ketika mendengar akan perayaan ini untuk menyelidiki di mana kami dapat mencari nona Yap.”   “Dan kalian sudah tahu tempatnya?” “Berkat kemurahan hati Sri Baginda Sabutai, kami telah diberi tahu.” Hening sejenak. Para pengawal dan pelayan masih berlutut dan pelayan tidak berani mengangkat muka memandang sang puteri. “Saya mendengar bahwa keturunan raja-raja di negerimu sana adalah manusia-manusia utusan Tuhan yang ketika lahir ada tanda-tanda tertentu di tubuh mereka. Sampaikan kepada kaisar dan keluarga kerajaan di negerimu bahwa puteraku inipun mempunyai tanda tahi lalat merah di sebelah kanan pusar. Ingin aku mendengar apakah itupun merupakan tanda dari Tuhan.” Tio Sun dan Souw Kwi Beng terharu mendengar ini. Harapan scorang ibu di manapun sama saja, tidak perduli ibu itu seorang petani biasa atau seorang permaisuri, yaitu harapan agar puteranya kelak menjadi orang yang mulia dan bahagia! “Kami menghaturkan selamat atas kelahiran putera paduka dan semoga sang pangeran diberi berkah dan penjang usia. Kami akan menyampaikan semuanya ke kota raja,” jawab Tio Sun tanpa berani menyebut kaisar karena bagaimana dia berani menghadapi kaisar untuk menyampaikan semua ini? “Terima kasih. Kalian menghadapi tugas yang amat berat. Nah, kalian pergilah,” sambil berkata demikian, puteri itu menyerahkan sehelai kertas terlipat dan berbisik, “Bukalah jika menemui kesulitan.” Lalu puteri itu memberi perintah kepada pengawal untuk mengantar dua orang tamu itu keluar. Sambil menggenggam kertas itu dengan hati penuh pertanyaan, Tio Sun memberi hormat, diturut oleh Kwi Beng, kemudian keduanya lalu mundur dan meninggalkan kamar itu. Tio Sun cepat mengantongi kertas itu dan ketika Sabutai menyambut mereka, Tio Sun cepat memberi hotmat dan berkata, “Putera paduka sungguh sehat dan tampang semoga diberkahi Tuhan dan dikurniai usia panjang.” “Ha-ha-ha, terima kasih, sicu. Kelak dia tentu akan menjadi seorang yang lihai seperti sicu.” Dua orang pemuda itu lalu berpamit dan pergilah mereka meninggalkan tempat itu, langsung keluar dari tembok benteng dan melanjutkan perjalanan mereka menceri tempat yang kini telah mereka ketahui, yaitu Lembah Naga, yang sudah mereka ketahui dari Raja Sabutai. Di tengah perjalanan, Tio Sun mengeluarkan secarik kertas yang diterimanya dari Puteri Khamila tadi. Ternyata ada tulisannya, dua baris huruf-huruf indah. “Menemukan kelemahan Hek Pek tidaklah mudah, harus dicari dari lutut ke bawah!” Tio Sun dan Kwi Beng menjadi girang bukan main. Mereka sudah khawatir mendengar keterangan Raja Sabutai bahwa dua orang gurunya itu memiliki ilmu baru yang hebat, yaitu kekebalan yang tak terlawan oleh pukulan sekti atau senjata pusaka. Mereka percaya akan keterangan itu karena seorang seperti Sabutai tidak nanti membohong atau menyombongkan sesuatu yang tidak ada kenyataannya. Maka kini, membaca tulisan Puteri Khamila mereka selain terheran-heran juga merasa girang sekali. Diam-diam mereka menghafal bunyi tulisan itu lalu merobek-robek kertas itu dan mereka menduga-duga mengapa puteri itu mau membuka rahasia kakek dan nenek iblis itu kepada mereka. Tentu saja dua orang pemuda itu tidak tahu bahwa Puteri Khamila sendirl merasa kaget, bingung dan penasaran ketika mendengar bahwa nona Yap In Hong diculik oleh Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li. Dia telah berhutang budi kepada In Hong, bahkan bersama dengan In Hong dia telah meloloskan Kaisar Ceng Tung dari tahanan. Kini, mendengar bahwa In Hong diculik oleh kakek dan nenek iblis yang menjadi guru suaminya, dia merasa penasaran sekali. Akan tetapi, diapun maklum bahwa suaminya sendiri sebagai murid tentu tidak akan berdaya menghadapi kakek dan nenek itu, maka secara cerdik puteri ini lalu membujuk suaminya untuk bercerita tentang Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li. Sabutai yang amat cinta kepada isterinya dan tidak melihat bahaya kalau rahasia guru-gurunya diketahui isterinya, tidak menyimpan rahasia sesuatu dan menceritakan bahwa kedua orang gurunya itu telah menguasai semacam ilmu kekebalan yang amat mujijat dan bahwa kelemahannya dia sendiri tidak tahu dengan past!, hanya tahu bahwa kelemahannya itu terdapat di bagian tubuh dari lutut ke bawah. Maka, ketika Khamila mendengar bahwa ada dua orang utusan kaisar hadir dalam pesta, cepat dia menuliskan rahasia kelemahan itu pada secarik kertas, kemudian dia mengundang dua orang utusan itu untuk menjenguk puteranya. Dalam peristiwa ini, dia mempunyai dua maksud. Pertama, mengabarkan tentang keadaan puteranya pada ayah kandungnya, yaitu Kaisar Ceng Tung, dan kedua, dia dapat membocorkan rahasia kekebalan dua orang kakek dan nenek yang menculik In Hong. *** Tio Sun dan Kwi Beng telah tiba di sebelah selatan Padang Bangkai. Lembah Naga telah nampak dari jauh ketika mereka tadi meloncat ke atas pohon tinggi dan mengintai. Akan tetapi jalan menuju ke Lembah Naga itu terhalang oleh padang rumput dan alang-alang yang luas sekali. Mereka tidak tahu bahwa itulah Padan Bangkai yang amat berbahaya, pintu masuk ke Lembah Naga yang merupakan pintu neraka. Hari masih pagi ketika mereka mulai memasuki daerah Padang Bangkai. Tio Sun yang berwatak hati-hati itu tidak sembrono, melakukan perjalanan perlaban-lahan dan dengan penuh kewaspadaan dia selalu melihat ke kanan kiri menjaga segala kemungkinan. Tiba-tiba dia memberi isyarat kepada Kwi Beng yang berjalan di belakangnya. Mereka berhenti dan menahan napas. Siliran angin dari depan membawa pula suara tangis lirih. Kalau tidak ada angin bersilir, agaknya suara itu tidak akan terdengar oleh mereka.   Dengan isyarat tangan Tio Sun memberi tahu kepada temannya untuk maju perlahan dan tidak mengeluarkan suara berisik. Berindap-indap mereka lalu maju menghampiri ke arah suara tangis wanita itu. Sungguh menyeramkan mendengar suara tangis itu, di tempat yang demikian sunyi, penuh dengan rumput alang-alang tinggi dan tidak nampak orangnya yang menangis. Ketika mereka tiba di rumpun alang-alang yang berada di tepi jalan setapak, mereka terkejut karena melihat bahwa yang menangis itu adalah seorang wanita muda yang cantik, yang menangis sambil menelungkup di atas tanah yang tertutup batang dan daun alang-alang yang malang melintang menjadi alas tubuhnya. Wanita itu menangis sedih sekali, sesenggukan dan air matanya membasahi seluruh wajahnya yang cantik, tangan kanannya menutupi sebagian mukanya sedangkan tangan kirinya... buntung sebatas pergelangan tangan dan dibungkus dengan kain putih yang masih membekas darah merah, tanda bahwa luka atau buntungnya tangan itu terjadi belum lama. Dua orang pemuda itu tercengang dan merasa kasihan sekali melihat ke arah lengan kiri yang tidak bertangan lagi itu. “Apa yang terjadi, nona?” Kwi Beng yang memang berperasaan halus den mudah terharu itu bertanya sambil melangkah mendekati. Gadis itu terkejut, menurunkan tangan kanannya dan dengan mata merah dia memandang. Ketika melihat bahwa di depannya berdiri dua orang laki-laki yang tak dikenalnya, seperti seekor harimau yang marah, dia berteriak keras dan tubuhnya mencelat ke atas, langsung dia menyerang Kwi Beng dengan pukulan tangan kanannya. Cepat sekali gerakan tubuhnya, seperti terbang saja dan tubuhnya berkelebat menjadi bayangan merah karena gadis itu memakai pakaian serba merah. “Ehh...?” Kwi Beng terkejut dan cepat dia menangkis karena kecepatan serangan gadis itu membuat dia tidak sempat lagi mengelak. “Dukk...!” Dua lengan bertemu dan akibatnya Kwi Beng hampir terjengkang kalau saja dia tidak cepat berjungkir balik. Kiranya gadis itu memiliki tenaga yang amat kuat biarpun tangannya tinggal satu! “Eh, nanti dulu, nona!” Tio Sun berseru mencegah, akan tetapi tiba-tiba dia berseru, “Beng-te, awas...!” Kwi Beng cepat menggulingkan tububnya ke atas tanah. Sebagai seorang ahli melempar pisau terbang, tentu saja dia maklum apa artinya benda-benda hitam kecil yang menyambar ke arahnya. Ternyata paku hitam itu meluncur lewat dan juga Tio Sun sudah berhasil mengelak dari sambaran paku hitam yang disambitkan oleh gadis berpakaian merah itu. Akan tetapi, gadis itu sudah menyerang lagi, kini menyerang Tio Sun dengan tangan tunggalnya. Tio Sun cepat mengelak dan sambil mengelak tiga kali, dia tiba-tiba menangkap pergelangan tangan kanan gadis itu sambil berkata, “Tahan dulu, nona. Mari kita bicara!” “Bicara apalagi, kau kaki tangan kakek dan nenek iblis!” Nona itu membentak, meronta dan merenggutkan tangannya sambil menendang. Kakinya mencuat ke arah bawah pusar Tio Sun. Tentu saja pendekar ini terkejut sekali. Maklum akan bahayanya tendangan maut itu, terpaksa dia melepaskan tangan gadis itu. “Plakk!” Kembali gadis itu menghantam ke arah Kwi Beng dan ditangkis oleh Kwi Beng yang menjedi terhuyung. “Twako, gadis ini gila...!” Kwi Beng berseru kaget. Tio Sun cepat meloncat ke depan menghadang dan tiba-tiba nampak sinar berkelebat ketika gadis itu mencabut sebatang pedang dan tanpa banyak cakap lagi dia telah menyerang Tio Sun dengan pedangnya! “Hemmm...!” Tio Sun cepat mengelak dan melihat betapa gadis itu menyerang kalang-kabut dan nekat, dia mulai percaya akan ucapan Kwi Beng tadi. Harus diakuinya bahwa gadis ini bukan sembarangan orang, melainkan seorang ahli ilmu silat yang selain memiliki sin-kang yang lebih kuat daripada Kwi Beng, juga memiliki kecepatan yang luar biasa sekali dan ilmu silatnyapun tinggi. Akan tetapi melihat caranya menyerang begitu nekat dan kalang-kabut, dia tahu bahwa kalau tidak gila tentu gadis ini sedang bingung dan kacau pikirannya. “Minggir, Beng-te!” serunya karena dia tahu betapa bahayanya menghadapi seorang lawan yang kacau pikirannya karena lawan seperti ini hanya tahu menyerang dengan nekat saja sehingga kelihaiannya menjadi bertambah. Diapun cepat mencabut senjatanya, yaitu sebatang pedang dan melolos pula sabuknya yang dapat dipergunakan sebagai pecut. “Tringg-cringgg... tarrr...!” Dua pedang bertemu berkali-kali dan pecut di tangan kiri Tio Sun menyambar-nyambar. Namun gadis itu sama sekali tidak menjadi gentar, bahkan menyerang makin nekat. Tio Sun adalah seorang pemuda yang berpandangan luas dan tidak mau sembrono dalam segala tindakannya. Maka, menghadapi gadis yang nekat dan mengamuk ini, tentu saja dia tidak mau menurunkan tangan besi, tidak mau melukai apalagi membunuh orang yang sama sekali tidak dikenalnya dan tidak diketahui mengapa mengamuk seperti itu. Dengan hati-hati dia selalu menghalau pedang lawan dan mencari kesempatan baik. Memang dalam hal tenaga dan ilmu silat, Tio Sun masih menang banyak, maka kecepatan gerakan wanita itu tidak membuat pemuda ini menjadi bingung. Dengan tenang dia membiarkan gadis itu menyerang terus dan tiba-tiba dia menangkis sambil mengerahkan tenaga Ban-kin-kang (Tenaga Selaksa Kati). “Trangggg... aihhhh...!” Wanita itu menjerit dan pedangnya terlepas deri tangannya. Akan tetapi, betapa kaget hati Tio Sun melihat lawan yang sudah dilucuti senjatanya itu tiba-tiba menubruknya dan menyerang terus dengan tangan tunggalnya secara nekat! “Ahh, kau sungguh nekat...!” kata Tio Sun dan cepat sabuknya menyambar. Dua kali ujung sabuknya menotok dan wanita itupun mengeluh dan roboh tertotok, lemas tubuhnya dan tidak mampu bergerak lagi karena kaki tangannya seperti lumpuh! Akan tetapi matanya masih melotot memandang dan ketika dua orang pemuda itu menghampirinya, tiba-tiba gadis itu berteriak, “Kalian bunuhlah aku dan aku akan berterima kasih kepada kalian! Akan tetapi kalau kalian memperkosa aku, ingatlah, biar sampai matipun arwahku akan menjadi setan dan terus mengejar kalian untuk membalas dendam!”   Wajah kedua orang pemuda itu menjadi merah dan Tio Sun lalu berkata, “Nona, kau ini menganggap kami berdua orang macam apakah? Kami tidak sudi melakukan perbuatan terkutuk itu dan kalau aku merobohkanmu, itu adalah karena terpaksa melihat engkau begitu nekat menyerang kami mati-matian.” Kini pandang mata gadis itu berobah seperti orang baru sadar dan terheran. “Siapakah kalian? Bukankah kalian diutus oleh Mo-ko dan Mo-li untuk membunuh aku?” Tio Sun menggeleng kepala. “Kami sama sekali bukan diutus oleh Mo-ko dan Mo-li, bahkan kami datang untuk mencari Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, untuk menolong nona Yap In Hong. Apakah kau tahu tentang itu?” “Ohhh...!” Gadis itu kelihatan terkejut, memandang mereka berdua bergantian penuh perhatian. “Ahhh... kalau begitu lekas... lekas kalian selamatkan Cia Bun Houw...!” Setelah berkata demikian dia menangis lagi. Tentu saja Tio Sun dan Kwi Beng terkejut mendengar ini dan Tio Sun cepat membebaskan totokannya sehingga dara itu dapat bergerak kembali. Dia bangkit duduk dan berkata berulang kali. “Maafkan aku... maafkan aku...” sambil menangis. Tio Sun dan Kwi Beng juga duduk. Dengan duduk begitu, mereka kalah tinggi oleh rumpun ilalang dan tidak nampak dari jauh. “Nona, agaknya ada kesalahfahaman antara kita. Nona mengira bahwa kami adalah anak buah kakek dan nenek iblis di Lembah Naga itu, dan kami mengira bahwa nona adalah kaki tangan mereka yang hendak membunuh kami. Sekarang ceritakanlah dengan jelas, siapa nona dan mengapa mengira kami anak buah mereka? Bagaimana pula dengan saudara Bun Houw yang kausebut-sebut tadi?” “Ah, dia tentu celaka... kalau kalian ada kepandaian, harap lekas selamatkan dia. Dengar, aku adalah Liong Si Kwi, murid dari Hek I Siankouw. Guruku itu sekarang juga berada di Lembah Naga, membantu nenek dan kakek iblis itu. Yap In Hong memang ditawan di sana untuk memancing datangnya musuh-musuh kakek dan nenek itu. Akan tetapi yang muncul adalah Cia Bun Houw dan karena hendak membela nona Yap In Hong, Cia Bun Houw kinipun tertangkap dan mereka kini ditawan. Aku... aku... mencoba untuk membebaskan Cia Bun Houw, akan tetapi gagal dan ketahuan... dan aku...” Dia bicara tergagap-gagap dan memandang lengan kirinya yang buntung. “Engkau lalu dibuntungi tangan kirimu?” Tio Sun bertanya dan gadis itu mengangguk. “Betapa kejamnya!” Kwi Beng berseru marah dan mengepal tinju. Gadis itu memandang kepada mereka berdua bergantian, seperti hendak menaksir apakah benar dua orang pemuda itu boleh diandalkan. “Kalian hanya berdua saja dan hendak menyerbu Lembah Naga?” tanyanya. “Benar! Kami berdua akan menyerbu dan membebaskan nona In Hong, kalau perlu dengan taruhan nyawa kami!” Kwi Beng berkata dengan penuh semangat. Si Kwi, gadis yang bernasib malang itu, memandang tajam kepada Kwi Beng, lalu menarik napas panjang dan berkata lirih, “Aihh... engkau agaknya juga menjadi korban cinta...” Kwi Beng menjadi merah mukanya dan mengerutkan dahinya. “Apa? Apa maksudmu?” “Tidak apa-apa, hanya kiranya amat berbahaya kalau kalian berdua menyerbu Lembah Naga. Kalian tidak tahu betapa berbahayanya itu.” Kini sikap Si Kwi sudah tenang kembali dan dia lalu menceritakan keadaan Padang Bangkai yang penuh dengan tempat-tempat berbahaya itu. Dengan jelas dia memberi petunjuk tentang jalan menuju ke Lembah Naga yang harus melewati Padang Bangkai. “Akan tetapi, anak buah Padang Bangkai telah dibasmi oleh Cia Bun Houw dan ketua mereka suami isteri kini berada di Lembah Naga juga, maka akan mudahlah bagi kalian untuk menyeberangi padang ini. Biarpun begitu, di Lembah Naga kalian akan menghadapi bahaya besar. Kakek dan nenek itu sudah amat lihai dan berbahaya seperti iblis. Pula, selain mempunyai anak buah sebanyak seratus orang, juga mereka dibantu oleh orang-orang pandai seperti Bouw Thaisu, guruku Hek I Siankouw, kemudian Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li suami isteri ketua Padang Bangkai! Maka kalau hanya kalian berdua yang menyerbu Lembah Naga, bukankah hal itu sama artinya dengan mengantar nyawa sia-sia belaka?” Akan tetapi Kwi Beng masih tetap bersemangat dan Tio Sun tenang saja mendengar cerita itu, sungguhpun di dalam hati masing-masing mereka mengambil keputusan untuk bersikap hati-hati sekali setelah mendengar penuturan ini. “Aku tidak takut. Bagaimanapun juga aku harus berusaha untuk menolong dan menyelamatkan nona In Hong!” Tio Sun memandang kepada nona itu dan berkata, “Nona Liong Si Kwi, kami berterima kasih sekali atas segala petunjukmu dan engkau ternyata adalah seorang sahabat ygng baik sekali. Bahkan engkau telah mengorbankan sebelah tanganmu untuk menolong Cia-taihiap.” Mendengar ucapan itu, Si Kwi menunduk dan tidak menjawab, kelihatan berduka sekali. Melihat ini, Tio Sun lalu memberi isyarat kepada Kwi Beng dan mereka berdua lalu bangkit berdiri. “Nona Liong, kami hendak melanjutkan perjalanan ke Lembah Naga. Sekali lagi terima kasih,” kata Tio Sun, akan tetapi kini Si Kwi sudah mulai menangis lagi, menelungkup dan memeluki rumput-rumput di tempat itu.   Tio Sun menghela napas dan mengajak Kwi Beng meninggalkan tempat itu, melanjutkan perjalanan ke utara untuk menyeberangi Padang Bangkai yang ternyata amat berbahaya menurut petunjuk Si Kwi tadi. Kwi Beng juga diam saja mengikuti Tio Sun meninggalkan gadis yang masih menangis, dan setelah jauh baru dia bertanya, “Tio-twako, dia kenapakah?” Kembali Tio Sun menarik napas panjang, tidak menjawab langsung melainkan berkata lirih seperti kepada dirinya sendiri, “Betapa banyaknya di dunia ini manusia dipermainkan dan menjadi korban cinta...” “Eh, kenapa ucapanmu seperti nona Liong Si Kwi tadi? Dia juga mengatakan bahwa aku menjadi korban cinta. Apa maksudnya dan apa maksudmu?” “Aku tidak tahu bagaimana kenyataannya, akan tetapi menurut dugaanku, melihat keadaan gadis itu, agaknya tidak salah lagi bahwa dia jatuh cinta kepada Cia-taihiap. Karena cintanya maka dia berkhidnat dan berusaha menolong Cia-taihiap akan tetapi dia ketahuan sehingga dia dibuntungi tangan kirinya. Sungguh kasihan dia.” Tio Sun menghentikan kata-katanya karena hatinya seperti ditusuk karena dia teringat akan keadaannya sendiri yang juga gagal dalam cintanya. Dia memandang kepada Kwi Beng dan diam-diam dia mengharapkan agar kegagalan yang menyedihkan itu jangan menimpa pemuda tampan ini yang dia tahu benar-benar cinta dan tergila-gila kepada Yap In Hong. Biarpun mereka telah memperoleh petunjuk yang amat lengkap dari Si Kwi, namun kedua pemuda itu melakukan perjalanan dengan hati-hati sekali melewati Padang Bangkai dan benar-benar seperti cerita gadis tadi, dusun Padang Bangkai itu telah kosong dan ditinggalkan penghuninva sehingga tanpa banyak kesukaran mereka dapat melewatinya dan menuju ke Lembah Naga. *** Pohon di tepi padang rumput itu besar dan rimbun sehingga enak duduk beristirahat di dalam bayangannya di siang hari yang terik itu. Akan tetapi kakek tua renta yang sedang duduk di bawah pohon itu agaknya tidak lagi dapat menikmati kesejukan yang diberikan oleh kerindangan pohon itu kepada siapa saja yang berlindung dari panas matahari di bawahnya, karena seluruh perhatian kakek tua renta itu dicurahkan ke atas sebuah papan catur, dan tangannya menjalankan biji-biji catur putih dan hitam silih berganti. Dia sedang bertanding catur dengan diri sendiri! Kadang-kadang kakek tua renta itu menarik napas panjang seperti orang yang kecewa sekali karena tidak memperoleh musuh bertanding yang tentu akan menggembirakan sekali. Kakek itu sudah amat tua, sukar ditaksir usianya karena sedikitnya tentu sudah ada seratus tiga puluh tahun! Seluruh rambut, kumis dan jenggotnya sudah putih semua, mukanya penuh keriput, pakaiannya serba putih sederhana dan tubuhnya kurus sehingga kelihatan tulang terbungkus kulit yang sudah tipis. Segala sesuatu pada diri kakek ini kelihatan tua sekali, kecuali sepasang matanya! Sepasang mata itu lembut dan masih jernih, memandang dunia secara terbuka dan seolah-olah tidak ada rahasia lagi bagi sepasang mata yang sudah amat lama memandang dunia ini. Seorang dara remaja yang cantik duduk di dekatnya. Dara ini usianya kurang lebih lima belas tahun, cantik manis dan pakaiannya juga amat sederhana, bahkan sudah ada dua tambalan di bagian pundaknya. Wajah gadis ini membayangkan bahwa dia memiliki watak yang jenaka dan gembira, namun pandang matanya yang tajam itupun menunjukkan kekerasan hati yang sukar ditundukkan. Sejak tadi, dara remaja ini menjadi penonton, melihat betapa kakek itu bermain catur sendiri. Akan tetapi lama-kelamaan dia menjadi bosan dan tidak sabar. Kakek ini adalah seorang pemain catur yang ahli, maka biarpun dia sendiri sudah bisa bermain catur, namun dia bukan lawan kakek itu dan dia tidak mau menandingi kakek itu karena akan dapat dikalahkan dengan amat mudah. Kini, sebagai penontonpun dia bosan. Kembali kakek tua renta itu menarik napas panjang dan wajahnya yang tua itu kelihatan berduka. Kerut-merut di dahinya bertambah dan sepasang matanya ditujukan ke atas papan catur seperti orang melamun. Dia tidak tahu bahwa sejak tadi dara remaja itu memandang wajahnya dan kelihatan makin tidak sabar. “Suhu, kalau suhu tidak senang bermain-main catur sendiri, mengapa suhu memaksa diri?” Teguran ini membuat si kakek seperti orang terkejut dan dia menoleh ke arah dara itu. “Hemm...? Apa...?” katanya pikun. “Teecu tahu bahwa suhu suka sekali bermain catur, akan tetapi sudah beberapa hari ini kalau suhu bermain catur, selalu kelihatan berduka dan berulang kali menarik napas panjang. Kalau permainan itu hanya mendatangkan kekecewaan dan kedukaan, mengapa suhu tidak berhenti saja?” Kakek itu memandang kepada muridnya dan kembali dia menghela napas panjang, lalu bersandar ke batang pohon besar itu dan pandang matanya melayang jauh ke depan. Kakek tua renta ini bukan lain adalah Bun Hwat Tosu, seorang tosu tua sekali yang puluhan tahun yang lalu pernah menjadi ketua Hoa-san-pai, akan tetapi kemudian mengundurkan diri dari dunia ramai dan hidup berkelana ke tempat-tempat sunyi. Di dalam cerita Petualang Asmara diceriterakan bahwa tosu yang amat lihai ini pernah menjadi guru dari pendekar Yap Kun Liong, kemudian dia menghilang dan tidak ada kabar ceritanya lagi, bertapa di puncak-puncak gunung dan di guha-guha tepi laut. Akan tetapi, seperti telah diceritakan di bagian depan, kakek ini muncul dan telah menolong Yap Mei Lan, puteri dari Yap Kun Liong. Dara remaja itu adalah Yap Mei Lan yang telah setahun lebih lamanya ikut kakek ini dan menjadi muridnya, sama sekali tidak tahu bahwa kakek yang menjadi gurunya ini adalah guru dari ayahnya sendiri!   Mendengar ucapan muridnya itu, Bun Hwat Tosu menarik napas panjang. Kemudian terdengar dia berkata lirih, seperti kepada dirinya sendiri, “Melihat kelemahan diri sendiri, siapa yang tidak menjadi sedih? Sudah puluhan tahun aku berhasil melepaskan keduniawian, tidak membutuhkan apa-apa lagi, tidak menginginkan apa-apa lagi, hidup dengan bebas dan bahagia karena tidak dirongrong oleh pikiran dan keinginan sendiri. Akan tetapi sekarang...!” “Sekarang bagaimana, suhu?” dara itu mendesak sambil menatap wajah tua yang menimbulkan rasa iba di dalam hatinya itu. “Kaulihat sendiri, aku kegilaan bermain catur! Aku rindu akan adanya seorang lawan bertanding catur, seorang lawan yang kuat, persis seperti kesenangan yang kucari-cari puluhan tahun yang lalu ketika aku selalu mencari-cari seorang lawan bermain silat yang kuat. Dan perasaan ingin ini selalu mengejar-ngejarku, bahkan dalam mimpi! Akan tetapi sampai sekarang aku belum juga mendapatkan lawan yang seimbang dan menyenangkan. Bukankah itu menyedihkan sekali? Ini tandanya bahwa aku sebenarnya belum mati, dan kebebasan yang lalu itu bukan lain hanya mimpi belaka. Kini aku terbangun dan melihat bahwa yang lalu itu hanya merupakan mimpi, maka betapa menyedihkan itu!” “Memang suhu belum mati.” kata si dara yang menjadi bingung oleh kata-kata yang dianggapnya tidak karuan artinya itu. “Kalau saja sudah, alangkah baiknya!” kakek itu menghela napas panjang. “Akan tetapi kematian jasmani tidaklah terlalu penting, yang terpenting adalah mati dari semua keinginan den kehendak, mati aku-nya, mati keinginannya mengejar kesenangan.” Dara remaja yang cantik itu mengerutkan alisnya yang bentuknya indah seperti dilukis. “Akan tetapi, suhu. Kalau sudah mati keinginannya, sudah mati kehendaknya mengejar kesenangan, kalau sudah tidak butuh kesenangan lagi, bukankah hal itu sama saja dengan hidup seperti sebatang pohon yang suhu sandari itu? Bukankah hidup lalu tidak ada gunanya lagi?” Kakek itu tersenyum, senyum yang sudah lama tidak nampak oleh dara itu. “Justeru sebaliknya, muridku. Hanya orang yang sudah tidak ingin mengejar kesenangan sajalah yang dapat menikmati kesenangan yang sesungguhnya! Hanya orang yang sudah tidak ingin mengejar kebahagiaan sajalah yang benar-benar bahagia. Orang yang tidak puas saja yang mengejar kesenangan yang dianggapnya akan mengisi kekosongannya, akan memuaskannya. Akan tetapi setelah yang dikejarnya terdapat, ketidakpuasan itu tetap akan menghantuinya, dirinya akan selalu penuh ketidakpuasan dan hidupnya menjadi sengsara selalu.” “Akan tetapi, apakah kita lalu harus memantang kesenangan dan menjauhi kepuasan?” dara itu mengejar terus, wajahnya membayangkan penasaran. “Sama sekali bukan, Mei Lan. Bukan memantang kesenangan, bukan menolak kesenangan, melainkan TIDAK MENGEJAR, tidak memanjakan dan tidak memusuhi. Kalau sudah begitu, barulah segala saat dalam hidup merupakan kesenangan karena htdupnya adalah kesenangan itu sendiri! Bukan menjauhi kepuasan, melainkan tidak menginginkan kepuasan karena kalau sudah demikian, barulah setiap saat merasa puas karena hidupnya adalah kepuasan itu sendiri!” “Akan tetapi, kalau tidak mempunyai keinginan apa-apa lagi, bukankah itu sama saja dengan mati?” “Nah, itulah! Mati dalam hidup! Jasmaninya memang hidup dan baru benar-benar hidup kalau semua keinginan yang timbul dari si aku yang selalu mengejar keenakan dan kesenangan itu telah mati. Dan celakanya, aku sendiri belum mati, yang kusangka sudah mati puluhan tahun ini hanya mimpi belaka! Dan semua gara-gara papan catur ini!” Dia berkata gemas memandang ke arah papan caturnya. “Aku menjadi kegilaan bermain catur, menjadi pecandu catur, bahkan di dalam hati aku telah bersumpah bahwa aku tidak akan mau mati sebelum bertemu dengan seorang lawan catur yang setingkat! “Aihhh, sungguh aku seorang tua yang tolol!” Bun Hwat Tosu yang biasanya bersikap halus itu, kini menengadahkan mukanya ke atas, mengepal tinju dan berteriak keras, “Haii, segala dewa! Turunlah dan mari bertanding catur melawan aku!” Tiba-tiba terdengar suara yang bergema, tidak jelas dari mana datangnya. “Bagus! Aku datang memenuhi tantanganmu, tua bangka sinting!” Tentu saja Mei Lan menjadi terkejut bukan main dan biarpun dia tergolong seorang anak yang pemberani dan tidak mudah merasa ngeri atau takut, sekali ini dia merasa betapa bulu tengkuknya meremang. Benarkah muncul setan atau dewa di tengah hari yang terang dan terik itu? Benarkah suara dewa dari angkasa yang menyambut tantangan suhunya itu? Dia bangkit dan memandang ke kanan kiri, namun sunyi saja. Ketika dia menoleh kepada suhunya, dia melihat kakek itu tersenyum memandang ke depan. Mei Lan mengikuti arah pandang mata gurunya dan dia melihat betapa rumpun ilalang jauh di depan itu bergerak-gerak ujungnya dan nampak bayangan orang berkelebat seperti terbang melayang di atas rumpun ilalang itu! Dia memandang terbelalak penuh kekaguman. Manusiakah yang datang itu? Ataukah dewa? Dia tahu bahwa gurunya adalah seorang manusia sakti yang sudah pandai terbang di atas rumput, semacam ilmu gin-kang yang sudah mencapai puncak, akan tetapi kiranya kalau yang datang itu manusia, tentu orang itu memiliki kepandaian yang setingkat dengan gurunya! Setelah tiba dekat, ternyata orang itu gerakannya memang bukan main cepatnya dan tahu-tahu di situ telah meloncat turun seorang kakek raksasa berkepala gundul, jubahnya yang butut dan rombeng itu berwarna merah. Seorang pendeta! Pendeta miskin agaknya, menuntun seorang anak laki?laki berusia kurang lebih tiga belas tahun, bertubuh tegap dan kuat, wajahnya bundar dan membayangkan keberanian dengan sepasang mata tajam.   Begitu tiba di situ, pendeta Lama itu tertawa bergelak. Sepasang matanya yang lebar itu agak liar pandangannya, sikapnya menakutkan karena bunyi ketawanya aneh, dan dia sudah melangkah lebar menghampiri Bun Hwat Tosu yang duduk bersila menghadapi papan caturnya. Tosu itu memandang dengan senyum di mulutnya, pandang matanya penuh perhatian ditujukan ke arah pendeta Lama itu. “Sobat, benarkah engkau demikian baik hati untuk menemani aku bermain catur?” Bun Hwat Tosu bertanya dengan suaranya yang halus sambil menentang pandang mata yang aneh, tajam dan agak liar itu. “Ha-ha-ha, kalau tidak mendengar orang sinting menantang dewa, siapa sudi bermain catur denganmu? Setelah mendengar engkau menantang dewa, tentulah engkau pemain catur jagoan dan patut dilawan.” “Ha-ha, sobat baik, agaknya engkau seorang ahli main catur,” Bun Hwat Tosu berkata, girang sekali. “Ahli? Bukan, hanya bisa sedikit-sedikit, akan tetapi di seluruh Tibet tidak ada yang dapat mengalahkan aku!” Bun Hwat Tosu memandang dengan sinar mata berseri karena merasa bahwa sekali ihi dia benar-benar menemukan seorang tandingan yang pandai. Inilah yang dirindukannya selama ini! Dan sejenak, dua orang kakek itu saling pandang setelah pendeta Lama itu juga duduk bersila menghadapi Bun Hwat Tosu. Sedangkan anak laki-laki yang datang bersama dia juga duduk tidak jauh dari Mei Lan, setelah melempar pandang ke arah gadis cilik ini dengan sikap acuh tak acuh! Dua orang anak itu sama sekali tidak tahu bahwa sebetulnya, antara orang tua mereka masih terdapat hubungan yang amat erat. Anak laki-jaki yang baru datang itu bukan lain adalah Lie Seng, putera dari mendiang Lie Kong Tek dan isterinya, Cia Giok Keng. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Lie Seng diculik oleh Giok-hong-cu Yo Bi Kiok dan kemudian ditolong dan dibebaskan oleh Kok Beng Lama. Biarpun Lie Seng hampir saja tewas karena serangan pasir beracun dari Yo Bi Kiok, namun akhirnya gurunya dapat memperoleh obat dari Yap In Hong di tempat tinggal Yok-moi (Setan Obat) di puncak Gunung Cemara, dan semenjak saat itu, Lie Seng menjadi murid dari Kok Beng Lama. Seperti kita ketahui, setelah mendengar akan kematian puterinya, Pek Hong Ing, Kok Beng Lama menjadi sinting dan setengah gila. Maka pada tengah hari itu, secara kebetulan dia lewat di dekat tempat itu bersama Lie Seng dan mendengar tantangan Bun Hwat Tosu kepada dewa, maka dia menjadi tertarik dan menyambut tantangan itu. Adapun di antara Bun Hwat Tosu dan Kok Beng Lama, biarpun keduanya merupakan tokoh-tokoh besar di dunia persilatan, namun karena keduanya sudah puluhan tahun tidak pernah mencampuri urusan dunia kang-ouw, mereka tidak pernah saling mengenal dan baru satu kali ini mereka bertemu muka di tempat sunyi itu secara kebetulan saja. Andaikata keduanya tidak mempunyai kesenangan yang sama, yaitu bermain catur, agaknya kedua orang tokoh besar ini tidak akan dapat saling berjumpa. “Ha-ha, kiranya engkau adalah jagoan main catur dari Tibet. Lama yang baik, sungguh hatiku girang sekali, dalam keadaan kesepian seperti ini muncul seorang jago catur seperti engkau.” “Tosu tua bangka, tak perlu puji-memuji dan sungkan-sungkanan ini. Kita sudah sama-sama tua bangka, sama-sama ahli, hanya belum dapat dilihat siapa yang lebih unggul sebelum bertanding. Nah, sebagai tuan rumah tentu engkau suka mengalah dan membiarkan aku memainkan biji putih dan melangkah lebih dulu.” Sambil berkata demikian, Kok Beng Lama menggerakkan tangan kanannya untuk meraih biji catur yang berwarna putih. “Jangan sungkan-sungkan. Silakan saja, Lama. Kau boleh mengumpulkan biji-biji putih itu kalau bisa.” Sambil berkata demikian, Bun Hwat Tosu menggunakan tangan kanan memegang papan catur pada pinggirnya dan diam-diam dia menyalurkan sin-kangnya. “Ehhh?” Kok Beng Lama yang mengambil biji catur, terkejut karena biji catur itu melekat pada papan, seolah-olah berakar. Dia mengangkat mukanya memandang dan dua pasang mata saling bertemu dan kedua pasang mata itu seperti mata anak-anak yang tiba-tiba memperoleh permainan baru yang penuh kegembiraan. Kok Beng Lama maklum bahwa tosu tua renta ini ternyata lihai bukan main, dan tahu pula bahwa tosu itu agaknya tidak hanya ingin menguji kepandaiannya bermain catur, akan tetapi juga ingin menguji kekuatannya. Maka diapun lalu menyalurkan tenaga sin-kang melalui lengan dan jari-jari tangannya dan dengan pengerahan sin-kang dia berusaha mengambil biji catur putih yang sudah dipegangnya itu, yaitu biji catur raja. Akan tetapi, Bun Hwat Tosu yang tiba-tiba merasa betapa papan catur itu tergetar hebat dan suatu tenaga sakti yang amat kuat bergelombang menyerangnya, timbul kegembiraannya karena dia tahu bahwa pendeta Lama ini benar-benar merupakan tandingan yang amat tangguh, maka dia pun menghimpun tenaga saktinya mempertahankan raja putih itu dengan tenaga membetot. Maka terjadilah pertandingan yang amat aneh dan luar biasa, pertandingan yang tidak kelihatan oleh mata namun yang terjadi amat serunya karena masing-masing telah mengerahkan tenaga sin-kang yang hanya dimiliki oleh orang-orang yang sudah amat tinggi tingkat kepandaiannya. Baik Bun Hwat Tosu dan Kok Beng Lama, keduanya bukan main kaget dan herannya karena masing-masing sama sekali tidak mengira bahwa lawan ini sungguh tangguh, seorang yang telah mencapai puncak dari tingkat kepandaiannya! Benar-benar mereka tidak pernah mimpi akan dapat saling bertemu di tempat sunyi ini. Sementara itu, Mei Lan yang sejak kecil digembleng oleh ayahnya, Yap Kun Liong si pendekar sakti, dan Lie Seng juga mcrupakan putera suami isteri pendekar dan dari keluarga pendekar sakti ketua Cin-ling-pai, biarpun keduanya belum banyak mewarisi kepandaian dua orang kakek sakti ini, namun sebagai keturunan orang-orang pandai dua bocah itu telah menduga apa yang terjadi ketika melihat Kok Beng Lama dan Bun Hwat Tosu duduk bersila berhadapan, pendeta Lama itu memegang biji catur raja putih sedangkan tosu tua itu memegang atau menyentuh papan catur dan keduanya diam saja tanpa bergerak, akan tetapi dari kepala mereka mengepul uap putih! Keadaan menjadi sunyi, sunyi sekali dan menegangkan karena dua orang kakek itu kelihatannya tidak mau saling mengalah! Dan biarpun mereka tidak saling menyerang secara langsung, namun mengadu kekuatan sin-kang untuk memperebutkan biji catur itu juga amat berbahaya, tidak kalah bahayanya dengan mengadu pukulan! Bchkan lebih berbahaya lagi karena kalau pukulan atau tendangan dapat dielakkan, akan tetapi getaran sin-kang ini tak dapat dielakkan, harus dihadapi langsung dengan mengadu kekuatan.   Tiba-tiba kesunyian yang mencekam perasaan itu dipecahkan oleh suara nyaring Mei Lan, “Ji-wi suhu sedang apakah? Katanya hendak bertanding catur! Apakah acara pertandingan telah dirobah?” Mendengar suara ini, kedua orang kakek itu sadar dan keduanya tertawa dan otomatis keduanya menghentikan saluran sin-kang mereka. “Ha-ha-ha, pantas berani menantang dewa! Kiranya engkau lihai sekali, tosu!” “Dan tak kusangka di tempat ini aku dapat bertemu dengan kepala gundul yang sakti seperti engkau, Lama!” kata Bun Hwat Tosu dengan kegembiraan yang tidak disembunyikan lagi. “Mari kita mulai mengatur biji-biji catur!” Dengan berbareng tangan kanan mereka memunguti biji-biji catur di atas papan, Kok Beng Lama memunguti yang putih sedangkan Bun Hwat Tosu memunguti yang hitam. Begitu tangan mereka bergerak, keduanya segera berlomba pula, bercepat-cepatan mengatur biji-biji catur di atas papan sehingga biarpun masing-masing hanya menggunakan sebelah tangan saja, namun dilihat oleh mata orang biasa, satu tangan itu seperti berubah mbnjadi banyak sekali. Banyak tangan bergerak di atas papan catur itu dan keduanya menyelesaikan pekerjaan mengatur biji-biji catur itu dalam waktu yang sama. Tepat pada saat Bun Hwat Tosu melepaskan biji terakhir, demikian pula Kok Beng Lama melepaskan biji terakhir. Kembali mereka tertawa, saling pandang dan wajah mereka berseri gembira sekali. Gembira karena sekaranglah mereka merasa menemukan tanding yang amat menyenangkan dan berharga! “Kita bertanding catur dengan taruhan apa?” Tiba-tiba Kok Beng Lama menantang. Bun Hwat Tosu tersenyum. “Lama, apa sih yang dapat kita pertaruhkan? Pakaianku kumal, jubahmupun butut. Aku tidak mempunyai uang sepeserpun!” “Dan akupun tidak mempunyai harta secuwilpun!” Keduanya tertawa lagi dengan gembira. “Aku sudah tidak menginginkan apa-apa, Lama.” “Akupun tidak butuh apa-apa. Akan tetapi engkau mempunyai murid.” “Dan kau juga.” “Nah, kita berdua tidak butuh apa-apa, akan tetapi murid-murid kita yang masih muda itu tentu membutuhkan sesuatu. Hai, muridmu, gurumu akan bermain catur menandingi tosu tua bangka ini. Kau ingin bertaruh apa?” tanya Kok Beng Lama kepada Lie Seng. Lie Seng mengerutkan alisnya. Apa yang dapat diharapkan dari tosu tua berpakaian sederhana dan muridnya itu, anak perempuan yang pakaiannya juga tambal-tambalan? Akan tetapi Lie Seng adalah seorang anak yang cerdas dan juga berpandangan tajam. Dari sikap gurunya yang biasanya memandang rendah dan tidak perduli terhadap semua orang, yang kini kelihatan amat bergembira bertemu dengan tosu tua itu, dia dapat menduga bahwa tosu itu adalah seorang tua yang memiliki kesaktian hebat. Maka dengan cepat dia menjawab, “Teecu ingin agar kalau locianpwe itu kalah dari suhu, dia mengajarkan satu macam ilmu silat kepada teecu!” “Dan teeeu juga bertaruh demikian, suhu. Kalau locianpwe itu kalah, dia harus mengajarkan semacam ilmu kepada teecu!” kata Yap Mei Lan sambil memandang kepada Kok Beng Lama. Dua orang kakek itu saling pandang, lalu sama-sama tertawa bergelak.”Murid-murid kita memang cerdik, bisa mempergunakan kesempatan. Bagaimana pandapatmu, Lama?” tanya Bun Hwat Tosu. Kok Beng Lama mengangguk-angguk dan tiba-tiba pandang matanya bersinar aneh. “Mewarisi ilmu dari orang seperti engkau, sungguh amat berguna bagi orang muda, tosu. Eh, tosu tua! Apa yang kau lakukan terhadap aku tadi? Setelah mengadu sin-kang denganmu, aku merasa aneh! Eh, siapakah engkau, orang tua? Dan bagaimana dengan kematian puteriku? Apakah sudah dapat ditemukan pembunuhnya?” Bun Hwat Tosu memandang tajam, lalu menarik napas panjang. “Siancai... kiranya baru sekarang engkau dapat pulih kembali ingatanmu, Lama. Terus terang saja, tadi aku melihat sinar aneh di pandang matamu. Aku menduga bahwa tentu engkau menderita semacam penyakit atau keracunan, maka aku tadi sengaja mengerahkan sin-kang untuk membantumu mengusir hawa beracun. Akan tetapi, ternyata sin-kangmu amat kuat, tanda bahwa engkau tidak keracunan. Dan ternyata, tidak gagal sama sekali usahaku, karena ternyata engkau mengalami himpitan batin, pukulan batin yang amat kuat sehingga engkau seperti kehilangan sebagian ingatanmu.” “Omitohud!” Kok Beng Lama baru sekarang teringat untuk memuji nama Buddha dan dia memandang kakek tua itu dengan mata lebar. “Dan itu berarti bahwa betapapun juga, sin-kangmu masih lebih tinggi setingkat daripada aku, totiang, sehingga tenagamu dapat menyelinap ke dalam tubuhku, akan tetapi bukannya merusak malah menyembuhkan! Ahhh, aku teringat semua sekarang! Puteriku terbunuh orang... hemm, dan kau... bocah, kau menjadi muridku selama ini?” tanyanya kepada Lie Seng. “Benar, suhu. Setelah suhu menolong saya dari iblis betina itu dan menyerahkan saya dari luka akibat pasir beracun.” Kok Beng Lama kini bangkit berdiri dan menjura ke arah Bun Hwat Tosu. “Aku menghaturkan banyak terima kasih atas pertolonganinu, sobat. Aku tidak akan melupakan budimu.” Bun Hwat Tosu cepat balas menjura, lalu duduk bersila kembali dan mengomel, “Lama yang baik, aku tidak melepas budi apa-apa dan tidak minta balasan apa-apa. Asalkan engkau suka menemani aku main catur dengan taruhan seperti yang sudah dikatakan oleh murid-murid kita tadi, cukup senanglah hatiku. Hayo, kaumulai dan jangan banyak main sungkan-sungkan dan hutang-pihutang budi lagi!” Kok Beng Lama memandang tosu itu dan tertawa girang. “Aha, tidak mudah di dunia bertemu dengan seorang luar biasa seperti engkau, sahabat. Baiklah, mari kita buktikan, siapa yang lebih unggul mempermainkan biji-biji catur.”   Mulailah dua orang kakek itu bermain catur dan mulai pulalah dua orang anak itu menjadi tidak tenang dan bosan. Mereka memang ingin sekali melihat guru masing-masing menang agar bisa mendapatkan pelajaran ilmu silat tinggi, akan tetapi menonton mereka bermain catur begitu lambat, dua orang anak ini merasa bosan. Kadang-kadang sampai hampir satu jam lamanya seorang di antara dua kakek yang bergiliran jalan, hanya termenung memandang papan caturnya, tidak juga menggerakkan biji catur. Akan tetapi di samping kebosanan mereka, dua orang anak itu tidak berani mengganggu guru masing-masing, maka mereka hanya duduk gelisah, hanya kadang-kadang saja memandang ke arah papan catur, akan tetapi lebih sering mereka memandang ke kanan kiri, dan beberapa kali mereka saling pandang tanpa mengeluarkan kata-kata.