Orang-orang tua yang beranggapan seperti itu agaknya menganggap kehidupan anaknya itu sebagai sesuatu yang mati, sesuatu yang tidak berubah-ubah lagi, sesuatu yang sudah dapat dirumuskan dan dipastikan! Maka mereka ini merasa dapat menentukan bahwa kalau anaknya berjodoh dengan orang ini kelak akan hidup sengsara dan kalau berjodoh dengan orang itu barulah akan berbahagia! Betapa picik dan dangkalnya pendapat seperti ini! Perjodohan, seperti urusan apapun juga di mana terdapat hubungan antar manusia, seperti persahabatan dan sebagainya, sudahlah tepat dan benar di mana ada landasan cinta kasih! Dan cinta kasih sama sekali bukanlah pementingan diri sendiri! Bahkan di mana ada keinginan menyenangkan diri sendiri, di situ tidak mungkin ada cinta kasih, yang ada hanyalah cinta kepada diri sendiri untuk mencari kesenangan, dan segala sesuatu di luar dirinya hanya akan diperalat untuk mencapai kesenangan diri sendiri itulah! Tentu saja hal ini bukan berarti bahwa orang tua hanya akan memejamkan mata saja. Tidak, orang tua haruslah mengamati dan memperingatkan, menunjukkan apablia anaknya memilih dengan membuta, apabila anaknya hanya terbuai oleh nafsu berahi semata, terbuai oleh kemilaunya emas atau kedudukan atau keelokan rupa belaka. Namun, apabila orang tua melihat cinta kasih yang menghubungkan anaknya dengan orang yang dipilihnya, maka orang tua yang bijaksana akan menyetujui tanpa memasukkan pendapat-pendapatnya sendiri tentang pilihan anaknya itu! Beberapa hari kemudian setelah terjadinya peristiwa yang menimbulkan kedukaan di antara keluarga pendekar itu, Yap In Hong melahirkan seorang anak laki-laki dengan selamat. Dan atas usul para pimpinan Sin-ciang Tiat-thouw-pang, yang lama-lama merasa khawatir juga kalau-kalau akan ketahuan dan akan dianggap menyembunyikan buruan pemerintah, juga atas persetujuan para pendekar yang maklum bahwa mereka menaruh perkumpulan itu di tempat yang berbahaya, mereka lalu pindah dan tinggal di sebuah lereng bukit di seberang Sungai Min-kiang. Di lereng sunyi itu didirikan dua buah rumah kecil, di tepi sebuah dusun yang menjadi tempat tinggal para petani yang merangkap pula sebagai nelayan-nelayan Sungai Min-kiang, dan di situlah mereka tinggal. Lie Ciauw Si membantu ibunya dan pamannya pindah, dan sepekan kemudian setelah mereka pindah, dia berpamit untuk mengulang lagi perjalanamya yang tertunda karena pertemuannya dengan Lie Seng, yaitu ke kota raja. Dia akan mencari Phngeran Ceng Han Houw untuk minta pertolongan pangeran itu, agar ibu dan pamannya sekeluarga dapat dibebaskan dari tuduhan memberontak. Tinggal mondok di rumah orang lain, betapapun baiknya orang yang mempunyai rumah itu, memang merupakan hal yang amat tidak enak. Apalagi bagi suami isteri, dua pasang pendekar itu. Bahkan makin baik pemilik rumah, makin sungkanlah hati mereka. Oleh karena itu, setelah kini pindah dan tinggal di dalam dusun kecil di lereng bukit itu, Yap Kun Liong yang tinggal serumah dengan isterinya, dan Cia Bun Houw yang tinggal dalam rumah lain bersama isterinya dan anaknya, merasa gembira dan tenteram. Dua orang pendekar sakti itu berpakaian seperti para petani, bahkan mereka juga bertani, bahkan kadang-kadang juga ikut pula mencari ikan seperti para penduduk dusun itu. Akan tetapi mereka tidak tahu bahwa musuh besar mereka tidak pernah mengenal lelah dalam mencari jejak mereka. Kim Hong Liu-nio, wanita yang tadinya memusuhi keluarga Cin-ling-pai terutama orang-orang she Yap dan Cia hanya karena tugasnya sebagai murid dari Hek-hiat Mo-li, dan dia menganggap para pendekar Cin-ling-pal itu sebagai musuh-musuh gurunya yang harus dibasminya. Akan tetapi sekarang, wanita cantik ini mencari-cari musuh-musuhnya bukan hanya demi membalas sakit hati gurunya, melainkan terutama sekali karena dendam pribadinya atas kematian kekasihnya, yaitu mendiang Panglima Lee Siang. Setelah dia mempergunakan kecantikannya dan berhasil memikat hati kaisar sehingga dia selain menjadi wanita gagah penyelamat kaisar juga kini menjadi wanita cantik penghibur kaisar, dia memperoleh kekuasaan memimpin pasukan besar untuk mencari musuh-musuh yang telah berhasil dicapnya sebagai pemberontak dan buronan itu. Kim Hong Liu-nio tidak pernah berhenti mencari dan menyebar mata-matanya dan akhirnya tahulah dia di mana tempat sembunyi para musuhnya yang amat dibencinya itu! Yap In Hong, ibu muda yang baru satu bulan melahirkan, dengan wajah berseri pulang dari pasar. Wajahnya cantik jelita dan gilang-gemilang seperti biasanya wanita muda yang menyusui anaknya dan belum lama melahirkan. Memang ada cahaya yang aneh selalu nampak pada wajah wanita yang mulai mengandung tua dan sampai dia melahirkan dan menyusui bayinya, cahaya berseri yang membuat wajahnya cantik menarik dan gemilang. In Hong baru saja kembali dari pasar. Dia tadi berangkat pagi sekali membawa hash ikan yang diperoleh suaminya semalam bersama para nelayan lain. Memang kadang-kadang dialah yang membawa ikan hasil tangkapan suaminya itu ke pasar, untuk dijual dan dibelikan bahan-bahan atau bumbu-bumbu masak lainnya. Hidup sebagai seorang dusun, yang bebas dan tenang ini, benar-benar amat disukainya, dirasakannya begitu aman dan jauh sengketa, tidak seperti kehidupan wanita kang-ouw yang selalu harus menggunakan kekerasan karena dunianya adalah dunia kekerasan. Begitu ringan langkah In Hong, seringan hatinya yang riang sekali di pagi hari itu sehingga hampir dia bernyanyi-nyanyi kalau saja dia tidak merasa malu karena kadang-kadang dia bertemu dengan penduduk dusun yang pergi ke ladang. Ketika dia tiba di luar dusun, dari jauh dia melihat seorang wanita yang berjalan perlahan dengan tenang. Dari jauh saja In Hong sudah merasa tertarik dan terheran. Dia dapat melihat bahwa wanita itu memakai pakaian yang indah, jelas bukan seorang wanita dusun. Sama sekali bukan, karena dari jauh saja sudah kelihatan betapa rambut wanita itu digelung indah dan di rambut itu nampak kilauan permata dan kedua lengannya juga memakai gelang emas yang berkilauan. Setelah mereka saling berhadapan, barulah hati In Hong terkejut bukan main! Dari jauh tadi dia tidak mengenal wanita cantik ini, akan tetapi setelah dekat, melihat pedang yang tergantung di pinggang ramping itu, melihat kayu salib tergantung di punggung, barulah dia teringat bahwa wanita ini adalah musuh besar keluarga Cin-ling-pai Kim Hong Liu-nio! Juga Kim Hong Liu-nio terkejut bukan main setelah dia berhadapan dengan In Hong, karena diapun tidak mengira bahwa wanita dusun yang cantik dan kelihatan riang itu bukan lain adalah Yap In Hong, seorang di antara musuh-musuhnya yang paling lihai! Baru satu kali dia bertemu dengan pendekar wanita gagah perkasa ini, maka tadi diapun tidak mengenal In Honf, apalagi karena pendekar itu memakai pakaian seorang wanita dusun. Begitu mengenal musuh besar ini, giranglah hati Kim Hong Liu-nio. Memang dia memperoleh berita dari seorang di antara para penyelidik yang disebarnya di seluruh daerah bahwa empat orang musuh besar yang telah dicapnya sebagai pelarian dan buronan pemberontak itu berada di dusun itu. Mendapat berita ini dia langsung pergi sendiri mengadakan penyelidikan. Sungguh tak disangkanya bahwa dia akan bertemu dengan Yap In Hong di luar dusun. Tadinya dia sudah merasa putus asa karena tidak ada seorangpun penduduk dusun yang sederhana itu yang mengenal nama-nama pendekar yang dicarinya itu. Hal ini adalah karena memang dua pasang suami isteri pendekar itu menggunakan nama palsu dan memang kehidupan mereka sebagai petani-petani dan nelayan-nelayan biasa, sama sekali tidak seperti pendekar. “Bagus, kiranya para pemberontak bersembunyi di sini!” katanya sambil tersenyum mengejek. Kim Hong Liu-nio adalah seorang wanita yang tinggi sekali ilmu silatnya, bahkan dia sudah mewarisi hampir semua kepandaian subonya, maka bertemu dengan hanya seorang saja di antara musuh-musuhnya, dia tidak merasa gentar. Apalagi dia memang telah mempersiapkan pasukan yang setiap waktu akan dapat membantunya, yang kini sudah memasang barisan pendam di sekitar tempat itu, sudah mengurung dusun itu dengan ketat! Kekagetan hati In Hong juga hanya sebentar saja. Mendengar ucapan Kim Hong Liu-nio, dia sudah menjadi marah sekali. Tentu saja dia tidak takut menghadapi musuh ini. Yap In Hong adalah seorang pendekar wanita yang sakti, yang sukar dicari tandingannya. Biarpun semenjak dia mengalami guncangan batin akibat kemunculan Lie Seng yang hendak memperisteri Sun Eng, muridnya yang murtad itu kemudian dia melahirkan anak agak di bawah waktu, membuat kesehatannya terganggu dan dia belum boleh terlalu banyak mengerahkan tenaga, namun dia sama sekali tidak menjadi jerih. “Iblis betina, kalau engkau tidak menemukan kami akhirnya akulah yang akan mencarimu untuk membunuhmu dengan tanganku sendiri!” Kim Hong Liu-nio tersenyum mengejek dan kedua tangannya yang kecil dan yang memakai sarung tangan tipis, yang tidak kentara karena warnanya sama dengan kulitnya itu bergerak perlahan mengeluarkan beberapa batang hio. Sekali jari yang kecil-kecil itu memegang tangkai hio dan kedua tangannya bergerak, terdengar benturan dua buah gelangnya, terdengar nyaring dan nampak api bernyala dan... seperti main sulap saja, hio-hio di tangannya itu telah terbakar ujungnya dan terciumlah bau harum! In Hong tidak tahu bagaimana hal itu bisa terjadi, akan tetapi dia tidak merasa heran. Sebagai seorang pendekar wanita yang sudah banyak menjelajah di dunia kang-ouw, dia sudah banyak melihat hal-hal yang aneh. Biarpun dia tidak tahu bagaimana akal musuh itu membakar hio, namun dia mengerti bahwa tentu ada cara tertentu dan dia tidak perlu merasa heran. Memang benarlah dugaannya, dan di ujung hio-hio yang istimewa itu memang telah dipasangi obat bakar. Sekali terkena sentuhan benda keras, ujung-ujung hio itu akan terbakar. Semua ini dilakukan oleh Kim Hong Liu-nio untuk mengikat perhatian lawan, karena tiba-tiba saja kedua tangannya bergerak dan nampak sinar-sinar terang meluncur seperti kembang-kembang api ke arah jalan-jalan darah di bagian depan tubuh In Hong! Inilah keistimewaan Kim Hong Liu-nio, dan itulah bahayanya hio-hio itu. Pertama-tama dia bermain sulap dengan pembakaran hio sehingga calon korbannya menjadi lengah karena perhatiannya tertarik kepada sulapan itu sehingga kalau tiba-tiba diserang dengan sambitan hio-hio itu lawan terkejut dan sukar menyelamatkan diri. Namun, In Hong bukanlah seorang pendekar biasa. Dari tadipun dia sama sekali tidak merasa heran, maka dia masih terus bersikap waspada dan kedua matanya dapat menangkap dengan mudah sekali gerakan tangan lawan dan luncuran hio-hio itu. Memang serangan itu berbahaya sekali, maka In Hong juga tidak berani bersikap lambat. Dia tidak berani pula menangkis karena dia belum mengenal sifat hio-hio yang dipergunakan oleh lawan sebagai senjata-senjata rahasia itu. Maka dia sudah mengenjotkan kakinya ke atas tanah dan tiba-tiba tubuhnya sudah mencelat ke atas, berjungkir balik dan hio-hio itu lewat di bawah tubuhnya. Akan tetapi, Kim Hong Liu-nio masih menyambitkan sisa-sisa hio mengejar tubuh In Hong sehingga kini pendekar wanita itu terpaksa harus melayang lagi ke bawah dengan kepala lebih dulu dan dia menggunakan kedua tangannya untuk menyampok dan menggunakan hawa pukulannya membuat hio-hio itu runtuh ke atas tanah. Di lain saat In Hong sudan turun lagi ke atas tanah dengan sikap tenang, namun wajahnya agak pucat dan napasnya agak memburu, tanda bahwa gerakan-gerakan tadi membuat tubuhnya yang belum sehat benar itu menjadi lelah. Dia marah sekali melihat kesombongan dan kecurangan wanita iblis itu, maka kini tiba-tiba tangannya bergerak dan sinar hijau yang mendatangkan hawa dingin sudah melesat dan menyambar ke arah muka dan dada lawannya. Kim Hong Liu-nio juga cepat meloncat ke kiri untuk menghindarkan dirinya dan wanita ini tersenyum lebar. Dia dapat melihat dengan pandang matanya yang tajam itu betapa wajah lawannya pucat dam napasnya memburu, juga serangan dengan Siang-tok-swa (Pasir Beracun Wangi) itu dilakukan tidak dengan tenaga sepenuhnya. Tahulah dia bahwa wanita cantik yang wajahnya berseri gemilang ini sebenarnya sedang dalam keadaan tidak sehat benar. Maka diapun cepat menubruk maju. Dia harus dapat membunuh wanita musuh besar gurunya dan juga musuh pribadinya ini sebelum yang lain-lain muncul! “Cring-cringgg...!” Gelang-gelang yang menghias pergelangan tangan Kim Hong Liu-nio mengeluarkan suara nyaring dan kedua tangannya membuat gerakan-gerakan bersilang. Telapak tangan yang putih halus itu perlahan-lahan berubah kemerahan, dan makin lama makin menghitam ketika wanita itu mulai melancarkan pukulan-pukulan dengan tamparan-tamparan tangan terbuka. Terdengar suara angin bersuitan tanda bahwa tamparan-tamparan itu mengandung tenaga dahsyat dan melihat warna kedua telapak tangan itu, In Hong maklum bahwa lawannya telah menyerangnya dengan pukulan beracun! Namun dia tidak menjadi gentar. Dengan lincah dia menggeser kaki, membiarkan tamparan-tamparan itu lewat dan yang terlalu dekat lalu ditangkisnya dengan gerakan tangan yang mengandung tenaga Thian-te Sin-ciang. “Plak-plak-plakk!” Pertemuan dua pasang tangan yang sama kecil dan halus kulitnya itu merupakan pertemuan dua tenaga dahsyat yang mengakibatkan tubuh Kim Hong Liu-nio terdorong ke belakang. Namun In Hong merasa betapa kulit tangan yang bertemu dengan lawan itu panas dan nyeri sehingga perasaan nyeri ini nampak pada wajahnya yang pucat, atau nampak pada bibirnya yang bergerak. Hal ini dapat dilihat oleh Kim Hong Liu-nio. Wanita ini tertawa merdu dan kembali menubruk dengan pukulan-pukulan yang lebih hebat lagi. In Hong kembali mengelak dan kini diapun membalas dengan pukulan-pukulan Thian-te Sin-ciang yang tidak kalah dahsyatnya. Sebenarnya, kalau saja In Hong tidak sedang dalam keadaan lemah, Kim Hong Liu-nio tentu akan menghadapi lawan luar biasa kuatnya karena nyonya muda ini bahkan pernah mengalahkan subonya, Hek-hiat Mo-li. Biarpun Kim Hong Liu-nio telah mewarisi ilmu kepandaian nenek bermuka hitam itu, namun dasar ilmu silatnya dari golongan sesat itu tidak mungkin dapat mengatasi dasar ilmu silat In Hong yang kuat dan murni. Akan tetapi, ibu muda itu sedang lemah, dan kini Kim Hong Liu-nio telah memperoleh kemajuan pesat karena dia selalu menggembleng diri dengan ilmu-ilmu silat tinggi, maka perkelahian ini membuat In Hong cepat merasa lelah dan gerakan-gerakannya kurang kokoh. Beberapa kali ibu muda ini terhuyung kalau mereka saling mengadu tenaga dengan pertemuan tangan. “Plak! Plakk!” Kembali dua tangan mereka bertemu dua kali dan akibatnya, In Hong yang terhuyung. Kalau dalam pertemuan pertama kali tadi Kim Hong Liu-nio yang terhuyung, kini keadaan menjadi membalik, tanda bahwa ibu muda itu makin berkurang tenaganya atau tidak berani mengerahkan seluruh tenaga karena begitu dia mengerahkan tenaga, perutnya terasa sakit dan kepalanya pening. “Hik-hik, mampuslah engkau!” Kim Hong Liu-nio yang melihat lawan terhuyung lalu menerjang, mengirim tamparan cepat ke arah kepala lawan. Melihat ini, kembali In Hong menangkis sambil mundur dan dia tidak tahu bahwa di belakangnya terdapat sebuah batu. Maka kakinya menginjak permukaan batu licin dan diapun tergelincir dan jatuh! Terdengar suara ketawa merdu dan wanita iblis itu sudah menubruk dan menghantamkan kakinya ke arah kepala In Hong! Namun ibu muda yang sudah dalam keadaan berbahaya ini, cepat menggulingkan tubuhnya sehingga terluput dari injakan kaki lawan. Kim Hong Liu-nio merasa penasaran, meloncat dan menendang sambil terus mengejar ke mana tubuh lawan bergulingan. Setiap kali In Hong hendak meloncat bangun, dia menghantam dengan kedua tangannya yang ditangkis oleh In Hong dan kembali ibu muda ini terguling. Keadaan Yap In Hong sungguh terancam bahaya maut! Namun pada saat itu nampak bayangan putih berkelebat dan tiba-tiba muncullah pendekar Cia Bun Houw di tempat itu. Dapat dibayangkan betapa marahnya pendekar ini melihat isterinya yang dia tahu masih belum sehat benar itu didesak hebat oleh wanita yang dikenalnya sebagai musuh besar keluarganya. “Hong-moi, mundurlah dan serahkan iblis ini kepadaku!” bentaknya dan sekali dia meloncat, dia sudah berada di depan Kim Hong Liu-nio dan mengirim pukulan dengan tangan kirinya. Hebat bukan main pukulan yang datang ini, mengandung tenaga dahsyat sekali. Kim Hong Liu-nio terkejut dan cepat mengelak, akan tetapi pukulan aneh itu terus mengejarnya schingga terpaksa dia menangkis. “Dukkk!” Tubuhnya tergetar dan Kim Hong Liu-nio terpaksa meloncat ke belakang untuk mematahkan tenaga dahsyat yang mendorongnya secara hebat itu. Hatinya merasa menyesal sekali. Mengapa dia tidak cepat-cepat menewaskan Yap In Hong tadi? Harus diakuinya bahwa dia tadi sengaja hendak mempermainkan nyonya itu lebih dulu untuk memuaskan hatinya. Kalau dia tadi menghendaki, tentu sudah dapat membunuh musuh besar itu. Kini muncul suami wanita itu, Cia Bun Houw yang memiliki kepandaian hebat sekali sehingga kini dialah yang terancam bahaya. “Siluman betina, engkaulah biang keladi kematian ayah! Bersiaplah untuk mati di tanganku!” kata Bun Houw yang tidak mau memberi kesempatan kepada lawan, kini pendekar itu sudah menyerang lagi dengan pukulan-pukulan dahsyat yang membuat Kim Hong Liu-nio terdesak hebat. Wanita itu sama menyesal tidak sempat untuk melarikan diri, karena pendekar itu sudah menerjangnya dan mengirim pukulan bertubi-tubi, setiap pukulan merupakan serangan maut yang hebat sekali sehingga diam-diam Kim Hong Liu-nio terkejut bukan main. Dia pernah berhadapan dengan ketua Cin-ling-pai, yaitu pendekar sakti Cia Keng Hong yang amat sakti, dan kini puteranya ini ternyata memiliki kelihaian yang agaknya tidak kalah oleh ayahnya itu! Celaka, pikirnya, mengapa dia begini ceroboh, berani datang sendiri saja menghadapi orang-orang yang sakti seperti ini? Belum lagi kalau muncul pendekar Yap Kun Liong dan isterinya! Maka diapun menggerakkan kaki tangannya dan menghadapi desakan Cia Bun Houw sambil mengeluarkan semua kepandaiannya dan mengerahkan seluruh tenaga, mengandalkan keampuhan sarung tangan yang melindungi kedua tangannya. Memang, tanpa perlindungan sarung tangan itu, tentu kedua tangannya tidak kuat menghadapi sepasang tangan Cia Bun Houw yang ampuh. Sementara itu, ketika melihat suaminya muncul tadi, Yap In Hong yang tadinya masih bergulingan, lalu bangkit duduk dan bersila, mengatur napas mengumpulkan hawa murni, selain untuk menjaga agar di sebelah dalam tubuhnya tidak sampai terluka, juga untuk memulihkan tenaganya. Karena dia memang belum pernah terkena pukulan yang langsung, maka dia tidak menderita luka dan sebentar saja keadaannya sudah pulih kembali. Dia membuka mata, melihat betapa suaminya mendesak wanita iblis itu. Dia tahu bahwa tidak lama lagi suaminya tentu akan mampu merobohkan Kim Hong Liu-nio. Timbul perasaan marah di hatinya. Wanita itu tadi nyaris membunuhnya, mempergunakan kesempatan selagi dia dalam keadaan tidak sehat. Hal ini dianggapnya sebagai penghinaan dan menimbulkan kemarahan di hatinya. Dia lalu bangkit dan menghampiri tempat perkelahian itu. “Jangan bunuh dia dulu, aku harus memberi satu dua pukulan dulu kepada iblis betina ini!” katanya dan nyonya muda ini lalu ikut menerjang ke depan, menghantamkan kedua tangannya dengan pengerahan Thian-te Sin-ciang, akan tetapi tentu saja dia tidak berani mempergunakan seluruh tenaga, hanya seperempat bagian saja. Kim Hong Liu-nio tentu saja makin terdesak. Baru melawan sang suami itu saja dia telah kewalahan, apalagi kini sang isteri maju mengeroyoknya! Dia berusaha untuk menangkis, tahu akan kelemahan In Hong, akan tetapi tangkisannya itu terhenti oleh tangan Bun Houw dan pukulan In Hong datang menuju ke dadanya. Dia miringkan tubuh tetapi tidak mampu menghindarkan diri. “Bukk!” Pundaknya kena pukulan In Hong itu. Memang tidak dengan tenaga sepenuhnya, namun cukup hebat tenaga Thian-te Sin-ciang yang hanya seperempat bagian itu dan Kim Hong Liu-nio merasa dedanya sesak, tubuhnya terjengkang! Namun dia sudah meloncat lagi dan ketika dia hendak melarikan diri, Cia Bun Houw sudah menghadangnya! Agaknya pendekar ini yang tahu akan kemarahan isterinya, ingin memuaskan hati isterinya itu, maka dia tidak merobohkan wanita ini dan kembali dia menahan dengan tangannya ketika isterinya melakukan tamparan keras. Kim Hong Liu-nio berusaha mengelak, akan tetapi kembali gerakannya tertahan oleh tangan Bun Houw sehingga dia tidak mampu menghindarkan diri ketika tamparan nyonya muda itu mengenai punggungnya. “Plakkk!” Kim Hong Liu-nio kembali terpelanting dan kini dia muntahkan darah segar, lalu dia bangkit sambil mengeluarkan teriakan melengking berkali-kali dan mempergunakan seluruh tenaganya untuk menangkis pukulan-pukulan suami isteri yang terus mendesaknya itu. Dia tahu bahwa kalau tidak segera datang bala bantuan yang sudah dipanggilnya melalui suara lengkingan tadi, tentu dia akan binasa. Melarikan diripun tidak ada gunanya karena pendekar Cia Bun Houw itu benar-benar hebat! Kembali suami isteri itu memukul dari depan. Kim Hong Liu-nio menyilangkan kedua tangannya, mengandalkan gelang-gelangnya untuk menangkis. Pada saat itu terdengar teriakan, “Jangan bunuh dia...!” Dan nampaklah seorang pemuda remaja datang berlari-lari dengan cepat sekali ke tempat itu. Pemuda ini bukan lain adalah Sin Liong! Seperti kita ketahui, Sin Liong yang ingin melindungi Bi Cu terpaksa mengantar Ceng Han Houw bertemu dengan Ouwyang Bu Sek sesuai dengan janjinya. Setelah suhengnya menerima pangeran itu, Sin Liong lalu meninggalkannya dan pemuda ini lalu mencari musuh besarnya, yaitu Kim Hong Liu-nio. Dia mendengar bahwa musuh besarnya itu kini memimpin pasukan dan melakukan pencarian untuk memburu keluarga Cin-ling-pai yang dituduh memberontak. Maka tidak begitu sukar baginya untuk mengikuti jejak wanita itu dan akhirnya dia mendengar bahwa wanita itu berada di pegunungan dekat Sungai Min-kiang Propinsi Hok-kian itu. Ketika dia tiba di luar dusun dan melihat betapa Kim Hong Liu-nio dikeroyok oleh pendekar Cia Bun Houw dan isterinya, dan keadaan wanita iblis yang menjadi musuh besarnya itu terdesak hebat dan robohnya sudah boleh dipastikan akan terjadi tak lama lagi, terjadi hal aneh dalam hati Sin Liong yang mendorongnya untuk berteriak mencegah suami isteri itu membunuh wanita iblis itu! Ada dua hal yang menimbulkan perasaan ini di hati Sin Liong. Pertama-tama, melihat wanita itu dikeroyok dan didesak hebat, teringatlah dia akan peristiwa beberapa tahun yang lalu ketika dia, Bi Cu dan Tiong Pek putera mendiang Na Ceng Han terancam bahaya didesak oleh musuh-musuh yang menyerbu rumah keluarga Na itu. Ketika itu muncul pula Kim Hong Liu-nio ini yang membunuh para musuh itu sehingga betapapun juga, wanita iblis ini pernah menyelamatkan nyawanya. Teringat akan hal itu, timbullah niatnya untuk sekali ini menolongnya pula dari ancaman kematian sebagai pembalasan atau pertolongannya dahulu itu! Dan ke dua, ada rasa tidak rela di hatinya melihat wanita iblis ini akan terbunuh orang lain, sungguhpun orang lain itu adalah ayah kandungnya sendiri dan ibu tirinya! Dia ingin agar kematian wanita pembunuh ibu kandungnya dan pembunuh kakeknya itu di tangannya, bukan di tangan orang lain. Dialah yang harus menuntut balas kepada Kim Hong Liu-nio. Inilah sebabnya mengapa Sin Liong berteriak melarang mereka membunuh wanita iblis itu. Akan tetapi Bun Houw dan In Hong yang tidak ingat siapa adanya pemuda remaja itu, melihat pemuda itu berlari cepat sekali, mereka maklum bahwa pemuda itu memiliki kepandaian pula dan menyangka bahwa pemuda itu tentulah kawan dari wanita iblis ini. Maka Bun Houw dan In Hong memperhebat desakannya sehingga ketika Kim Hong Liu-nio menangkis dengan kedua tangannya dia terjengkang! Melihat ini, Bun Houw segera menggerakkan tangannya, melakukan pukulan maut untuk membunuh wanita yang menjadi musuh keluarganya itu. “Dukk!” Tangan pendekar itu bertemu dengan tangan Sin Liong dan Bun Houw merasa betapa lengannya tergetar keras. Dia terkejut, namun dia menggerakkan tangan kirinya, memukul lagi ke arah Kim Hong Liu-nio. “Desss!” Kembali Sin Liong menangkis dan sekali ini pertemuan tenaga antara mereka sedemikian kuatnya sehingga keduanya terdorong ke belakang! Kim Hong Liu-nio mempergunakan kesempatan ini untuk meloncat ke belakang dan melarikan diri! Bukan main marahnya hati Bun Houw ketika dia memandang kepada Sin Liong dan mengenal pemuda remaja ini sebagai anak yang pernah dipelihara dan dididik oleh mendiang ayahnya di Cin-ling-san. “Engkau...?” bentaknya. “Engkau melindungi iblis itu...?” “Aku tidak ingin orang lain membunuhnya...” jawab Sin Liong. Sejenak kedua orang ini saling pandang dengan tajam. Jantung Sin Liong berdebar rasanya. Inilah ayah kandungnya! Namun Bun Houw sama sekali tidak tahu akan hal ini dan dia hanya menganggap pemuda ini seorang yang tidak tahu diri, yang kini malah membela musuh padahal anak ini tahu bahwa wanita tadi adalah biang keladi kematian ketua Cin-ling-pai! “Bocah keparat, kau harus dihajar!” bentaknya dan dim sudah mengirim pukulan ke arah dada Sin Liong. “Desss...!” Tubuh Sin Liong terlempar bergulingan. “Houw-ko, jangan...!” In Hong berseru kaget, karena diapun mengenal Sin Liong sebagai anak yang dulu dicinta oleh mendiang Cia Keng Hong dan karena pernah menjadi murid ketua Cin-ling-pai itu, maka sebenarnya masih terhitung sute dan masih saudara seperguruan. Dia khawatir kalau-kalau pukulan tadi menewaskan Sin Liong, karena dia tahu betapa hebatnya pukulan dari suaminya. Akan tetapi, Sin Liong sama sekali tidak mati, bahkan tidak terluka oleh pukulan tadi. Dia tadi sudah mengerahkan sin-kangnya untuk melindungi dada sehingga tubuhnya menjadi seperti sehuah bola penuh hawa saja yang dapat dipukul sampai terpental dan bergulingan, namun tidak sampai melukainya, baik luka di luar maupun di dalam. Kini Sin Liong sudah meloncat bangun dan sepasang matanya memandang tajam, penuh rasa penasaran kepada Bun Houw. Ayah kandungnya ini telah memukulnya, memukul anak kandung sendiri! Betapa kejamnya! Bun Houw menjadi semakin marah dan penasaran ketika melihat betapa pukulannya tadi tidak merobohkan Sin Liong. Dia adalah seorang pendekar besar dan tentu saja hatinya bukan kejam. Dia tadi memukul dengan perhitungan yang masak sehingga pukulan itu tidak akan membunuh dan yang dipukulnya bukan tempat berbahaya, namun cukup untuk merobohkan bocah itu. Akan tetapi nyatanya bocah itu sama sekali tidak roboh bahkan terluka sedikitpun tidak. Dengan marah dia lalu menerjang lagi dan sekali ini dia memperkuat tenaga dalam pukulannya. “Dukk!” Sin Liong sekali ini menangkis dengan pengerahan tenaga pula, dan karena dia mengerahkan tenaga yang lebih besar, maka akibatnya tubuh Bun Houw yang terjengkang ke belakang! Baiknya pendekar ini sudah cepat berjungkir balik sehingga tidak sampai terbanting roboh. Matanya terbelalak karena dia tidak mengira bahwa Sin Liong akan memiliki tenaga sekuat itu! “Bocah setan...!” Dia memaki dan menyerang lagi. Sin Liong cepat menggerakkan kaki mengelak dan menangkis. “Aku tidak ingin berkelahi denganmu!” katanya berkali-kali sambil terus mengelak den menangkis, main mundur. Bun Houw makin penasaran. Bocah ini hebat benar, semua serangannya dapat dilumpuhkan dengan elakan cepat dan tangkisan kuat! Pada saat itu, datang Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng berlari-larian. “Tahan, jangan berkelahi...!” Yap Kun Liong berseru ketika dia mengenal Sin Liong sebagai anak yang pernah diambil murid ayah mertuanya. Dia pun mengenal gerakan kaki anak itu yang bergerak dengan langkah-langkah Thai-kek Sin-kun, akan tetapi dia tidak mengenal gerakan tangan ketika melancarkan tangkisan-tangkisan itu. Dia merasa heran melihat betapa Bun Houw yang sudah mengerahkan tenaga sepenuhnya itu ternyata tidak mampu merobohkan Sin Liong, dan setiap kali kedua tangan mereka saling bertemu, keduanya tergetar dan sama sekali tidak kelihatan anak itu kalah kuat! KARENA penasaran dan marah, Bun Houw tidak menghentikan serangan-serangannya biarpun sudah diteriaki oleh Kun Liong. Dan pada saat itu, terdengar suara gemuruh dan datanglah pasukan besar yang dipimpin oleh Kim Hong Liu-nio! Melihat munculnya pasukan besar ini, empat orang pendekar itu terkejut bukan main dan otomatis Bun Houw menghentikan serangannya dan Sin Liong juga sudah melompat jauh ke belakang. Bagaikan banjir yang datang mengamuk, pasukan itu lalu menyerbu, dipimpin oleh Kim Hong Liu-nio yang tadi merasa terheran-heran melihat Sin Liong bertanding melawan Cia Bun Houw. “Larilah kalian! Lekas, larilah!” tiba-tiba Sin Liong berseru, seruan yang ditujukan kepada empat orang pendekar itu dan dia sendiri lalu berlari ke depan, menyambut datangnya para perajurit yang menyerbu! Sejenak empat orang pendekar itu tertegun menyaksikan pemuda remaja itu mengamuk seperti seekor naga sakti. Sekali bergerak, kedua kakinya merobohkan empat orang perajurit dan kedua tangannya menangkap masing-masing seorang perajurit, diputar-putarnya lalu dilemparkan kepada para perajurit yang datang seperti air bah menyerang itu. “Mari kita pergi cepat!” Yap Kun Liong berkata dan empat orang itu lalu berlari cepat memasuki dusun untuk mengambil anak bayi putera Bun Houw yang dititipkan kepada seorang wanita tua petani ketika ibunya pergi ke pasar tadi. Kemudian, In Hong menggendong anaknya melarikan diri keluar dari dusun itu dikawal oleh suaminya dan oleh Yap Kun Liong bersama isterinya. Berkat ilmu kepandaian mereka yang tinggi, mereka dapat berlari cepat sekali dan tentu saja pasukan itu tidak dapat menyusul mereka, sedangkan Kim Hong Liu-nio yang juga memiliki gin-kang yang tinggi tidak berani melakukan pengejaran seorang diri saja karena empat orang buruan itu terlalu lihai baginya dan dia sendiri tidak mempunyai pembantu yang cukup pandai. Diam-diam dia menyesal mengapa dia tidak mengajak subonya. Sementara itu, Sin Liong mengamuk sampai lama untuk mencegah pasukan itu melakukan pengejaran. Setelah merasa cukup lama dan dia sudah terlalu banyak merobohkan perajurit tanpa membunuh mereka, Sin Liong lalu meloncat jauh dan hendak melarikan diri. Akan tetapi, Kim Hong Liu-nio menghadangnya bersama beberapa orang perwira yang memiliki kepandaian lumayan. “Engkau hendak lari ke mana?” Kim Hong Liu-nio menubruk dan menggunakan kedua tangannya menyerang. “Plak! Plak!” Tubuh Kim Hong Liu-nio terpelanting dan para perwira itu cepat menyerang dan menghujankan senjata mereka kepada Sin Liong sehingga pemuda remaja itu tidak sempat lagi untuk melanjutkan serangannya kepada wanita iblis yang menjadi musuh besarnya itu. Dia lalu meloncat lagi dan dengan beberapa kali loncatan jauh dia lalu menghilang di balik hutan yang lebat. Kim Hong Liu-nio bangkit berdiri dan memandang ke arah hutan itu, alisnya berkerut dan dia terheran-heran. Bocah itu kini lihai bukan main, pikirnya. Akan tetapi dia tidak mengerti bagaimana pendirian anak itu! Ketika dia terancam bahaya maut di tangan Cia Bun Houw dan Yap In Hong tadi, jelas bahwa anak itu melindunginya dan bahkan menyelamatkannya dari ancaman maut, sampai anak itu bertanding melawan pendekar sakti Cia Bun Houw. Padahal, menurut pengakuan anak itu dahulu, bukankah anak itu adalah putera sendiri dari pendekar Cia Bun Houw? Mengapa anak itu menyelamatkan dia dan melawan ayah sendiri? Dan yang lebih aneh lagi, setelah bocah itu melakukan hal yang luar biasa itu, mengapa tiba-tiba anak itu berbalik melindungi empat orang pendekar buronan itu dan mengamuk, melawan pasukan kerajaan? Sunguh anak yang amat luar biasa sekali! “Aku harus waspada terhadap dia... bocah itu berbahaya...!” Kim Hong Liu-nio mengepal tinju dan dia terpaksa lalu memerintahkan pasukannya untuk kembali dan tetap menyebar mata-mata untuk mengikuti jejak empat orang pendekar yang lolos itu. Sementara itu, Bun Houw, In Hong, Kun Liong dan Giok Keng yang melarikan diri juga terheran-heran melihat sikap Sin Liong. Mereka sudah dapat membebaskan diri dari pengejaran, dan kini mereka berjalan biasa karena In Hong masih terlalu lemah untuk melakukan perjalanan jauh sambil berlari cepat terus. “Sungguh aku tidak mengerti anak itu!” Kata Bun Houw sambil menggeleng kepalanya. “Mula-mula dia melindungi iblis betina itu dan melawan kami, kemudian dia berbalik melindungi kita dan melawan pasukan yang mengepung kita.” Yap Kun Liong menarik napas panjang. “Anak itu luar biasa sekali. Sekecil dia telah dapat mainkan Thai-kek-sin-kun dengan begitu baiknya, dan gerakan tangannya amat aneh, entah ilmu apa yang dipergunakannya ketika menangkis pukulan-pukulanmu tadi, Houw-te.” “Dia memiliki tenaga yang amat hebat pula...! Rasanya... rasanya... aku sendiri tidak akan mampu menandingi kekuatannya!” Ucapan Bun Houw ini membuat yang lain-lainnya terbelalak keheranan. Mereka semua tahu bahwa Bun Houw memiliki tenaga yang amat dahsyat dan di jaman itu sukarlah mencari tokoh yang akan dapat menandinginya, akan tetapi sekarang pendekar ini mengaku bahwa dia kalah oleh seorang pemuda remaja! Tentu saja mereka menjadi terheran-heran akan tetapi juga bukan tidak percaya karena Bun Houw bicara dengan serius. “Betapapun juga, kita harus berhati-hati kalau lain kali berjumpa dengan Sin Liong. Anak itu aneh dan kita tidak tahu bagaimana isi hatinya, sebentar menjadi lawan dan sebentar menjadi kawan,” kata Yap In Hong. Empat orang ini lalu pergi menuju ke Propinsi Ce-kiang. Atas usul Yap In Hong dan suaminya, mereka akan bersembunyi di Bun-cou, yaitu di kota yang dahulu menjadi tempat tinggal dia dan suaminya semenjak mereka berdua meninggalkan Cin-ling-san. Mereka pergi melakukan perjalanan seenaknya karena terdapat di antara mereka Cia Kong Liang, bayi yang baru berusia sebulan itu, putera dari Cia Bun Houw dan Yap In Hong. Biarpun sikap Sin Liong yang aneh itu mendatangkan keheranan dan dugaan-dugaan dalam hati empat orang pendekar ini, namun diam-diam mulai tumbuh kebencian terhadap pemuda remaja itu. Terutama sekali dalam hati Bun Houw dan In Hong, karena bukankah anak itu yang mencegah mereka membunuh Kim Hong Liu-nio, musuh besar mereka, dan perbuatan anak itu mengakibatkan mereka harus lari lagi dari tempat tinggal mereka, karena Kim Hong Liu-nio masih hidup dan masih mengerahkan pastikan untuk mengejar mereka? Sin Liong dianggap sebagai anak selain aneh akan tetapi juga merugikan, bahkan di lubuk hatinya, Bun Houw masih selalu berpendapat bahwa gara-gara Sin Liong inilah maka ayahnya sampai meninggal dunia. Maka biarpun kini di dalam sikap dan perbuatan Sin Liong itu terdapat dua hal yang berlawanan, di satu fihak merugikan karena pemuda itu menyelamatkan Kim Hong Liu-nio dan di lain fihak menguntungkan karena pemuda itu telah melindungi mereka dengan melawan pasukan, namun segi buruknya lebih menonjol dan ini menimbulkan rasa tidak suka kepada anak itu. Terutama sekali karena dalam diri pemuda remaja itu Bun Houw melihat seorang lawan yang amat berbahaya. Kita tinggalkan dulu empat orang pendekar bersama bayi yang melarikan diri dan mencari tempat persembunyian baru itu, dan meninggalkan Sin Liong yang kini kembali mulai membayangi Kim Hong Liu-nio untuk mencari kesempatan menjumpai wanita itu sendirian saja tanpa adanya pasukan yang melindunginya, untuk diajak bertanding dan membuat perhitungan. Mari kita mengikuti perjalanan Ceng Han Houw, pangeran berdarah campuran yaitu ibunya Puteri Khamila adalah seorang puteri berbangsa Khitan sedangkan ayahnya, ayah kandungnya adalah mendiang Kaisar Ceng Tung. Seperti telah kita ketahui, Pangeran Ceng Han Houw atau yang oleh ayahnya yang sah, Raja Sabutai, diberi nama Pangeran Oguthai, dengan bantuan Sin Liong telah berhasil menarik hati orang aneh yang sakti Ouwyang Bu Sek dan diangkat menjadi sutenya, menjadi murid Bu Beng Hud-couw yang dianggap sebagai guru besar di Himalaya, guru Ouwyang Bu Sek yang menulls kitab-kitab pelajaran ilmu silat tinggi itu. Dengan amat tekunnya Ceng Han Houw membantu Ouwyang Bu Sek menterjemahkan kitab-kitab kuno yang tiga jilid banyaknya itu, menuliskannya menjadi belasan jilid dalam bahasa sekarang, kemudian di bawah bimbingan Ouwyang Bu Sek mulailah Han Houw mempelajari kitab-kitab itu yang ternyata memang mengandung pelajaran ilmu-ilmu yang aneh dan mujijat. Berkat otaknya yang cerdas, sebentar saja Han Houw telah berhasil menghafal isi kitab-kitab itu dan kini dia tekun sekali bersamadhi menurutkan petunjuk kitab-kitab itu, di dalam sebuah guha besar yang kosong. Setelah dia mulai melatih, maka Ouwyang Bu Sek sendiri tidak lagi mampu membimbingnya. Seperti diketahui, kakek ini hanya membimbing teorinya saja, sedangkan untuk membimbing prakteknya tentu saja dia tidak mampu. Kakek ini sudah terlalu tua untuk melatih diri dengan ilmu-ilmu yang amat sukar itu, maka untuk latihan prakteknya, dia menyerahkan sang sute itu bergantung kepada semangat dan kemauannya sendiri karena dia sama sekali tidak mampu memberi petunjuk lagi. “Suheng,” pada suatu hari, setelah dia benar-benar sudah hafal akan isi seluruh kitab yang belasan jilid banyaknya sebagai terjemahan dari tiga kitab aseli itu, “aku telah menjadi murid dari suhu Bu Beng Hud-couw, akan tetapi bagaimana aku dapat bertemu dengan beliau? Apakah suheng mengetahui di mana beliau tinggal sehingga aku dapat pergi mencarinya di Himalaya sana?” Ouwyang Bu Sek, si kakek cebol yang tubuhya seperti kanak-kanak akan tetapi kepalanya besar seperti orang dewasa itu terkekeh genit “Heh-heh-heh-heh, sute, engkau ini lucu sekali! Mencari tempat tinggal suhu kita adalah hal yang mustahil selama kita masih hidup! Engkau harus mati dulu untuk dapat mencari tempat tinggal suhu, heh-heh-heh!” Tentu saja hati pangeran itu sebal sekali mendengar ini. Kebenciannya terhadap sang suheng itu masih menebal, apalagi karena sikap suhengnya yang sama sekali tidak menghargai atau menghormatinya itu membuat dia makin benci. Semua orang selalu menghormatinya dan menyembah-nyembahnya. Biarpun Sin Liong tidak menyembahnya, namun pemuda itu sedikitnya masih bersikap halus dan jujur, tidak seperti kakek ini yang kadang-kadang sikapnya menghina sekali! Hanya karena maklum akan kelihaian Ouwyang Bu Sek, dan karena kecerdikannya, maka Han Houw selalu bersikap lembut dan taat kepada suhengnya ini. “Akan tetapi, suheng. Bukankah suheng sendiri dapat berhubungan dengan beliau? Andaikata kita tidak dapat mencari beliau di tempat tinggalnya, aku ingin sekali dapat berhubungan dengan beliau dan berjumpa dengan beliau.” “Heh-heh-heh, orang setingkat engkau ini mana mampu untuk berjumpa dengan beliau? Hanya orang setingkat akulah yang dapat bertemu dengan beliau.” “Harap suheng sudi memberi petunjuk, aku akan berusaha untuk memungkinkan perjumpaanku dengan beliau.” “Guru kita itu sewaktu-waktu dapat saja berhubungan dengan kita kalau memang kita mampu mengirim getaran yang kuat, sute. Akan tetapi, untuk apa engkau ingin bertemu dengan suhu?” “Agar hatiku tenang dan puas, suheng, dan juga aku ingin bertanya sesuatu tentang pelaksanaan latihan ilmu-ilmu yang kuterima dari kitab-kitab suhu.” “Hemm... tidak mudah, dan kalau batinmu tidak kuat, dalam usaha mendatangkannya itu salah-salah engkau bisa gila atau mampus!” Akan tetapi Ceng Han Houw adalah seorang pemuda yang berhati keras seperti baja, dan memiliki keberanian yang amat luar biasa. Maka, ancaman mati itu sama sekali tidak membuat dia jerih, tidak membuat dia mundur. ”Aku akan menghadapi bahaya itu kalau suheng sudi memberi petunjuk.” “Heh-heh, kalau gila atau mati jangan salahkan aku, ya?” Kalau saja dia tidak merasa yakin bahwa ilmunya belum dapat mengatasi kakek itu, tentu Han Houw sudah memakinya atau menyerangnya. Namun, dengan tenang dia berkata. “Aku tidak akan menyalahkan siapa-siapa, juga menyalahkan suheng.” Kini kakek itu kelihatan serius. Sejenak dia menentang tajam pandang mata sutenya, lalu berkata, “Kalau engkau sampai bisa bertemu dengan suhu, hal itu sungguh amat menguntungkanmu, sute. Ketahuilah bahwa sute Sin Liong sendiri tidak pernah bertemu dengan suhu.” Mendengar ini, tentu saja hati Han Houw merasa girang bukan main dan makin besar keinginan hatinya untuk dapat bertemu dengan orang tua yang disebut Bu Beng Hud-couw itu. “Aku akan berterima kasih sekali kepada suheng kalau aku sampai dapat bertemu dengan suhu.” “Dengarlah baik-baik, sute. Untuk dapat bertemu dengan suhu, pertama-tama engkau harus mengenal baik bagaimana bentuk bayangan beliau. Beginilah gambaran suhu itu. Beliau itu sudah tua sekali, tidak dapat ditaksir berapa usianya, mungkin tiga ratus tahun atau lebih. Rambutnya dan jenggotnya sudah putih semua, panjang sekali sampai ke pinggul dan perut, wajahnya penuh wibawa, pakaiannya serba putih dan sederhana, kakinya telanjang dan beliau selalu memegang sebatang tongkat bambu kuning. Nah, itulah gambaran beliau. Kalau engkau ingin bertemu, engkau harus bersamadhilah menurut petunjuk dalam kitab itu, akan tetapi tujukan seluruh panca inderamu kepada bayangan beliau dan sebutlah namanya terus menerus sampai beliau datang. Jangan lupa buat api unggun di dalam guha, karena beliau biasanya datang melalui api dan asap. Nah, aku tidak bisa memberi penjelasan lebih jauh, lakukan saja apa yang kukatakan tadi, sute.” Setelah berkata demikian, Ouwyang Bu Sek meninggalkan sutenya. Ceng Han Houw menjadi girang bukan main. Cepat dia membuat persiapan, memasuki guha kecil mana dia biasa berlatih samadhi, membawa semua kitab-kitab terjemahannya, meletakkan kitab-kitab itu di dekatnya dan membuka halaman-halaman di mana dia masih merasa kurang mengerti dan hendak ditanyakannya secara langsung kepada suhunya karena suhengnya sama sekali tidak dapat memberi petunjuk kepadanya dalam latihan praktek. Dia membuat api unggun kecil di depannya, kemudian mulailah dia bersamadhi menurut petunjuk kitab, mengatur pernapasannya dan menyatukan panca indera merangkap kedua tangannya seperti menyembah di depan dada. Karena sudah biasa berlatih samadhi seperti ini menurut petunjuk kitab-kitab yang sedang dipelajarinya, maka sebentar saja Han Houw sudah tenggelam dan pikirannya sudah dapat dikumpulkan menjadi satu dengan panca inderanya, mulutnya berbisik-bisik menyebut nama Bu Beng Hud-couw berulang-ulang. Suara bisikan menyebut nama ini perlahan sekali, hampir tidak terdengar di luar dirinya, namun suara itu terdengar jelas oleh telinganya dan suara ini terdengar aneh dan bergulung-gulung, seolah-olah merupakan sesuatu yang sambung-menyambung dan membubung ke atas, merupakan tangga yang menuju ke tempat yang tak pernah dikenalnya. Suara yang berulang-ulang ini membuat dia merasa seperti melayang-layang, terdengar makin lama makin aneh. Dia tidak tahu lagi berapa lama dia sudah tekun bersamadhi seperti itu. Dia tidak merasakan apa-apa lagi, tidak mendengar apa-apa lagi kecuali suaranya yang menyebut-nyebut nama Bu Beng Hud-couw, yang seolah-olah bukan suaranya sendiri lagi, seolah-olah merupakan sesuatu yang terpisah darinya. Dia sama sekali tidak tahu apakah dia bersamadhi sudah satu jam, satu hari ataukah sudah sebulan! Tiba-tiba tubuhnya terasa tergetar hebat dan dia merasa seperti membuka matanya karena ada sesuatu di depannya. Han Houw terkejut melihat bahwa di depannya, atau di atas api unggun yang masih bernyala kecil dan mengeluarkan asap putih, kini telah berdiri seorang kakek tua renta, persis seperti yang tergambar di dalam otaknya menurut penuturan Ouwyang Bu Sek! Kakek tua renta itu berdiri tak bergerak, tangan kanannya memegang sebatang tongkat bambu kuning, persis seperti yang digambarkan oleh suhengnya. Dalam kagetnya, Han Houw girang bukan main dan dia masih duduk bersila dengan kedua tangan dirangkap di depan dada, kemudian dia berkata dengan suara halus. “Suhu, teecu mohon petunjuk...!” Dia lalu menyebutkan soal-soal dalam praktek latihannya yang mengalami kesukaran. Kakek yang seperti bayangan, yang berdiri seperti menjadi sambungan asap putih yang mengepul dari api unggun itu, kelihatan diam saja. Han Houw mengulang kata-katanya sampai tiga kali. Kini kakek itu mengangkat tangan kirinya ke atas, seperti orang yang mempersilakan, mengangguk-angguk dan perlahan-lahan lenyap membuyar seperti asap tertiup angin. Han Houw terkejut dan gelagapan seperti orang baru bangun dari tidur dan mimpi. Matanya mencari-cari namun tidak lagi nampak kakek itu, padahal tadi kakek itu berdiri jelas di depannya. Dia menegok ke arah kitab-kitabnya dan cepat dia mengamati halaman-halaman kitab di mana terdapat bagian-bagian yang sukar baginya. Di bawah sinar api unggun dia meneliti dan membaca dan... betapa girang hatinya ketika dia mendapatkan kenyataan bahwa kini dia dipat mengerti hal-hal itu dengan jelasnya! Keadaan seperti yang dialami oleh Han Houw ini bukanlah dongeng kosong belaka. Kiranya setiap orangpun akan dapat memperoleh pengalaman seperti itu, kalau saja dia memang percaya penuh dan tekun. Orang yang mengosongkan pikirannya dengan jalan mengulang-ulang sesuatu yang disebutnya dengan penuh pujaan akan berada dalam keadaan tersihir atau terpesona. Suara sendiri yang diulang-ulang itu mendatangkan pengaruh yang amat kuat menyihir diri-sendiri dan mengikat seluruh perhatian sendiri sehingga dirinya dalam keadaan “kosong” sungguhpun kekosongan yang dipaksakan. Dalam keadaan seperti ini, maka sesuatu yang dipujanya, yang diharapkan dan dipercayanya, tidak mengherankan kalau benar-benar muncul di depannya, merupakan bayangan yang bukan lain adalah pemantulan dari dalam batinnya sendiri. Orang yang memuja Sang Buddha mungkin saja bertemu dengan bayangan yang sesungguhnya merupakan pemantulan dari dalam hatinya, karena kepercayaan yang penuh, karena pemujaan yang tulus ikhlas ini membentuk bayangan atau gambaran di dalam batin. Bayangan apapun yang nampak oleh manusia, baik bayangan yang dinamakan setan maupun bayangan dewa, nabi dan sebagainya, adalah bayangan yang terpantul dari dalam batin sendiri yang membentuk dan menyimpan gambaran bayangan itu. Hal ini amat jelas dan mudah dimengerti. Seseorang yang mengaku pernah melihat setan umpamanya, pasti melihat setan seperti yang pernah didengarnya dari dongeng, dari buku dan dari cerita orang lain, atau dari khayalnya sendiri tentang setan. Demikian pula, seseorang yang mengaku pernah “bertemu” dengan orang suci atau nabi, sudah pasti yang ditemuinya itu adalah orang suci atau nabi dari agamanya, atau dari kepercayaannya, seperti yang pernah didengarnya dari dongeng, atau dilihatnya dalam gambar, dan sebagainya lagi. Namun kita, yang haus hal-hal yang aneh, yang haus akan sesuatu yang dapat dijadikan pegangan, merasa sayang dan enggan melepaskan kepercayaan ini dan tidak mau atau tidak berani melihat kenyataan ini! Setelah merasa “bertemu” dengan gurunya. Han Houw dengan mudah dapat mengerti pelajaran yang sedang dilatihnya. Hal inipun tidak aneh karena pikiran yang kosong memang amat mudah menerima sesuatu dan pada saat itu Han Houw benar-benar dalam keadaan kosong sehingga begitu dia melihat halaman-halaman pelajaran yang tadinya dianggap sukar dimengerti itu, kini amat jelas dan mudah baginya. Tentu saja dia menghubungkan ini dengan “kemunculan” bayangan suhunya yang, secara gaib telah membimbingnya! Dia tidak sadar bahwa “bayangan” Bu Beng Hud-couw yang dijumpainya itu belum tentu sama dengan “bayangan” yang dilihat oleh Ouwyang Bu Sek, karena batin masing-masing membentuk bayangan yang tentu saja berbeda menurut selera masing-masing. Keinginan akan sesuatu, betapapun “sesuatu” itu dapat diberi sebutan luhur, suci, tinggi, sempurna dan sebagainya, tetap saja merupakan suatu keinginan yang timbul dari pikiran atau si aku yang ingin senang, ingin selamat, ingin terjamin dan tercapai keinginannya, baik keinginan dalam bentuk keenakan badan maupun keenakan batin! Keinginan tetap merupakan keinginan dan keinginan ini lahir bermacam hal yang menjadi sumber segala konflik. Keinginan berpusat pada pementingan diri, penonjolan si aku dan karenanya merupakan pengasingan diri yang picik. Semenjak kecil sampai tua, kita selalu diperhamba oleh keinginan-keinginan kita. Yang berbeda hanyalah obyek dari keinginan-keinginan kita, kalau masih muda tentu keinginannya ditujukan kepada benda-benda duniawi untuk menyenangkan jasmani, setelah tua dan bosan dengan semua kesenangan duniawi atau kenikmatan jasmani lalu berpindah kepada tujuan yang dinamakannya lebih tinggi, yaitu benda-benda rohani untuk menyenangkan batin, untuk menenteramkan batin, untuk keselamatan jiwa. Namun, pada hakekatnya sama, yaitu si aku yang senang, ingin tenteram, ingin enak dan ingin terjamin! Dan selama batin dipenuhi keinginan ini, padahal keinginan ini hidup di alam khayal, sedangkan hidup ini berada di alam nyata maka kita akan terbuai terus oleh keinginan-keinginan itu yang melahirkan bermacam-macam khayal. Yang akan kita jumpai hanyalah bayangan-bayangan khayal kita sendiri belaka dan kita tidak akan pernah dapat bersua dengan kenyataan yang suci murni! Seorang tua akan mengatakan, “Aku tidak butuh lagi dengan kesenangan dunia, aku ingin ketenangan batin, aku ingin kesempurnaan jiwa, aku tidak butuh apa-apa lagi!” kata-katanya demikian, akan tetapi sebenarnya pada dasarnya, keinginan itu masih menebal di dalam batin, yang berubah hanyalah tujuan keinginan itu saja. Kalau dulu yang dikejar adalah uang, kedudukan, kemuliaan, kesenangan jasmani, sekarang yang dikejar adalah kesenangan rohani atau apa yang dinamakan “yang lebih tinggi”. Hasilnyapun akan sama saja! Di waktu mengejar uang, kedudukan dan sebagainya itu dia selalu bertemu dengan konflik, permusuhan, kepalsuan, kekecewaan, dan keserakahan yang tak kunjung habis, sekarangpun dia akan bertemu dengan semua itu! Karena yang dikejar adalah bayangannya sendiri! Oleh karena itu, pertanyaan yang amat gawat dan penting perlu kita ajukan kepada diri sendiri masing-masing, yaitu : Dapatkah kita hidup bebas, dari segala macam keinginan? Dapatkah kita menghadapi apa adanya tanpa menginginkan hal-hal atau benda-benda yang tidak atau belum ada? Segala sesuatu sudah ada pada apa adanya, namun mata kita seolah-olah buta, tidak melihat akan semua itu karena mata kita selalu ditujukan kepada hal-hal atau benda-benda yang tidak ada, kepada khayal-khayal kita, kepada gambaran-gambaran dari keinginan kita! Sama butanya dengan seorang penduduk pegunungan yang tidak dapat melihat keindahan di pegunungan karena dia gandrung akan bayangan keindahan lautan, dan sebaliknya seorang penduduk tepi laut yang tidak dapat melihat keindahan pemandangan tepi laut karena dia gandrung akan bayangan keindahan pemandangan di pegunungan! Sama butanya seperti seorang pemilik apel yang tidak dapat menikmati kelezatan buah apel itu karena dia membayangkan kenikmatan buah jeruk, dan pemilik jeruk yang tidak dapat menikmati kelezatan buah jeruknya karena dia membayangkan kelezatan buah apel! Kita hidup dibuai lamunan, dibuai khayal belaka sehingga keadaan nyata tak nampak lagi, tak dapat dinikmati lagi, dan inilah yang menyebabkan mengapa kita selalu mengeluh dan mengatakan bahwa hidup adalah penuh derita dan kesengsaraan! Maka, dapatkah kita bebas dari segala macam keinginan itu dan hidup dalam saat ini, saat demi saat, menghadapi apa adanya dari saat ke saat penuh kewaspadaan? Semenjak “pengalamannya” yang dianggapnya amat membahagiakan itu, Han Houw berlatih amat tekunnya dan setiap kali menemui kesulitan dia lalu “memanggil” datangnya sang guru sehingga lama-kelamaan dia sudah menjadi terbiasa. Karena ketekunannya inilah maka tak lama kemudian, hanya dalam waktu beberapa bulan saja Han Houw telah dapat menguasai latihan ilmu-ilmu silat dari kitab-kitab yang diterimanya dari Ouwyang Bu Sek itu. Dan memang hebat sekali hasilnya! Bukan saja pemuda bangsawan ini telah menguasai ilmu-ilmu silat tinggi yang amat aneh, namun dengan latihan-latihan siulian dan penghimpunan tenaga sakti yang amat kuat, jauh lebih kuat daripada sebelum dia tekun belajar di dalam guha itu! Berbedalah pemuda bangsawan ini dengan keadaannya beberapa bulan yang lalu ketika akhirnya dia mengambil keputuon untuk keluar dari tempat pertapaannya itu, dengan wajah yang agak pucat karena banyak berpuasa, akan tetapi dengan sepasang mata yang mencorong aneh penuh kewibawaan, kekuatan! Berjilid-jilid kitab salinan dari tiga buah kitab itu dikempitnya dan dia lalu mencari-cari dengan matanya, karena dia ingin menemui suhengnya Ouwyang Bu Sek. Namun sunyi sekali di sekitar puncak Bukit Tai-yun-san itu. Guha-guha yang banyak berjajar di tempat itu, seperti mulut ternganga yang hitam gelap, atau seperti sarang lebah besar, tidak menampakkan kehidupan sama sekali. Sunyi dan mati. Han Houw menggunakan tangannya melindungi kedua matanya dari sinar matahari yang menyilaukan. Setelah terlalu lama berada di dalam guha yang gelap, maka matanya tidak biasa menghadapi cahaya kemilauan yang amat terang itu sehingga menjadi silau. Dengan mata setengah terpejam dia meneliti ke seluruh penjuru. Tidak nampak bayangan suhengnya. Han Houw merasa jengkel. Tiba-tiba dia menggerakkan tubuhnya ke kiri, tangan kirinya menghantam, otomatis dia mengeluarkan jurus yang telah dilatihnya di dalam guha. “Cuiiittt...!” Angin yang keluar dari tangan kirinya itu hebat bukan main, sampai dia sendiri terkejut mendengar suara bercuit nyaring itu. “Byarrrr...!” Batu besar yang berada di sebelah kirinya ambyar dan hancur lebur terkena pukulannya yang ampuh itu. Debu beterbangan dan Han Houw memandang dengan mata terbelalak, namun wajahnya berseri dan mulutnya tersenyum. Bukan main girangnya. Dia lalu bersilat, mengeluarkan jurus-jurus yang selama ini dilatihnya, dan akibatnya hebat bukan main. Bukan hanya terdengar suara bercuitan nyaring, akan tetapi juga angin menyambar-nyambar, menggerakkan daun-daun pohon yang jauh, dan beberapa batang pohon sebesar orang, batu-batu sebesar kerbau, tumbang dan pecah terkena hantaman kedua tangannya yang mempergunakan tenaga dahsyat itu. Makin tebal debu beterbangan di tempat sunyi itu. “Desss...!” Sebongkah batu sebesar kerbau bunting ditendangnya, dan batu besar itu terlempar sampai jauh kemudian terbanting dan menggelundung turun ke dalam jurang, sampai lama sunyi ketika batu ini meluncur ke bawah, kemudian terdengar suara keras sekali di bawah jurang ketika batu itu menimpa dasar jurang. Suara keras ini disusul gema suara panjang, seolah-olah setan penjaga gunung menjadi marah oleh gangguan manusia itu. Han Houw merasa girang dan bangga bukan main, dia lalu mempergunakan ilmunya meringankan tubuh, mengerahkan tenaga yang selama ini dihimpunnya dalam samadhi menurut petunjuk ilmu-ilmu dalam kitab dan tubuhnya melesat dengan cepatnya ke depan. Han Houw terus berlari cepat ke arah puncak gunung yang tertinggi, kemudian dia sudah berdiri di atas batu besar di puncak gunung itu, dengan penuh kebanggaan dan dengan dada dibusungkan dia memandang jauh ke bawah. Dia merasa seolah-olah telah menjadi seorang raja besar, atau menjadi dewa yang berkuasa penuh di gunung itu sedang memandang ke bawah, ke dunia yang akan berlutut di depan kakinya! Dia membayangkan betapa dia telah menjadi jagoan nomor satu di dunia ini dan seluruh dunia kang-ouw akan menyembahnya, seluruh dunia kang-ouw yang dianggap sebagai datuk-datuk persilatan, baik dari golongan hitam maupun putih, berlutut menyembahnya sebagai jagoan nomor satu! Bangga bukan main rasa hatinya, merasa seolah-olah dia menjadi seekor naga sakti yang beterbangan di atas bumi yang penuh dengan orang-orang yang kepandaiannya jauh berada di bawahnya! Akan tetapi dia harus lebih dulu membuktikan keunggulannya, dan dia akan menghidapi setiap orang yang dianggap terpandai di dunia ini! Tiba-tiba dia tertawa bergelak, wajahnya yang tampan dan agak pucat itu menentang langit, kedua tangannya dikepal dan kedua kakinya terpentang lebar di atas batu itu. “Ha-ha-ha-ha! Sin Liong, aku akan membuktikan bahwa engkaupun tidak akan mampu menandingiku! Ha-ha-ha-ha!” Suara ketawanya mengandung kekuatan khi-kang yang amat hebat sehingga bergema di bawah puncak. Mengerikan sekali pada saat itu wajah yang tampan ini, yang agak pucat dengan sepasang mata mencorong liar, seperti bukan mata orang waras lagi! Dia sudah memakai topinya, topi bulu yang indah, dan bulu burung penghias topinya itu bergerak-gerak tertiup angin. Tiba-tiba wajah yang berseri itu nampak berubah. Matanya menjadi liar, alisnya yang tebal hitam itu berkerut dan bergerak-gerak, mulutnya yang manis itu cemberut dan dia menoleh ke belakang. Han Houw teringat akan tiga buah kitab itu! Tiga buah kitab masih berada di tangan Ouwyang Bu Sek! Padahal, seluruh ilmu yang dipelajarinya adalah ilmu-ilmu yang terkandung dalam tiga buah kitab itu. Selama ini dia hanya membawa kitab-kitab terjemahan dari tiga buah kitab aselinya. Ini berarti bahwa seluruh kepandaiannya berada di tangan suhengnya! Kalau ada orang lain yang kelak mempelajari ilmu-ilmu dari kitab itu, berarti kepandaiannya dapat ditandingi lain orang! Dia harus merampas kitab-kitab itu, dan menghancurkannya agar tidak ada orang lain yang akan dapat mengetahui rahasia dari ilmu-ilmunya. Teringat ini, dia lalu mengambil kitab-kitab terjemahan yang tadi dibawanya lari ke puncak gunung itu, dan satu demi satu kitab-kitab itu dicenkeramnya dengan kedua tangan dan dengan pengerahan sedikit tenaga saja kitab-kitab itu robek-robek dan remuk! Pecahan-pecahan kecil diterbangkan angin ketika Han Houw melemparkan remukan kitab itu ke udara, tersebar ke mana-mana dan andaikata ada orang menemukan secuwil robekan, tak mungkin dia dapat membacanya. Setelah mengikuti cuwilan-cuwilan kertas terakhir dengan pandang matanya dan merasa puas, Han Houw lalu melompat turun dari batu itu dan berlari seperti terbang cepatnya menuruni puncak tertinggi itu untuk kembali ke puncak di mana suhengnya tinggal. “Suheng...!” Han Houw berteriak dan suaranya melengking tinggi, penuh getaran, disambut oleh gema suara di empat penjuru. “Suheng Ouwyang Bu Sek...!” Untuk kedua kalinya suaranya mendatangkan gelombang udara yang besar dan mencapai tempat jauh sekali. Tak lama kemudian, sebelum gelombang suara itu habis, terdengar jawaban dari jauh, namun suara itu tordengar dekat sekali, “Aku datang, sute...!” Han Houw merasa girang karena dia mengenal suara kakek cebol itu. Dia lalu menanti sambil berdiri tegak dan memasang wajah gelisah. Tak lama kemudian, berbareng dengan menyambarnya angin, muncullah kakek cebol lucu itu di depan Han Houw. Ouwyang Bu Sek sejenak memandang sutenya, melihat wajah yang agak pucat itu diam-diam dia terkejut dan kagum, karena dari wajah agak pucat kehijauan itu dia sudah dapat melihat adanya tenaga mujijat di dalam diri sutenya ini. Maka sambil tersenyum menyeringai sehingga memperlihatkan dua buah gigi besar di bagian atas mulutnya, dia bertanya, “Bagaimana, sute? Engkau sudah berhasil...?” Han Houw adalah seorang pemuda yang cerdik sekali. Dia maklum bahwa suhengnya ini bukan seorang bodoh dan sudah memiliki ilmu yang tinggi sekali sehingga tidak mungkin dapat membohonginya dengan mengatakan bahwa dia tidak berhasil. Maka dia menarik napas panjang dan berkata, “Dengan petunjuk suhu yang mulia, aku telah berhasil, suheng. Akan tetapi ada beberapa bagian yang masih memusingkan aku, dan aku ingin sekali melihat catatan dalam kitab aselinya karena aku khawatir kalau-kalau terjemahan itu kurang cocok. Kuharap suheng suka memperlihatkan kitab aselinya sekali lagi kepadaku untuk dapat kuperiksa kembali agar dapat kuatasi kesukaran itu, suheng.” Kakek itu terkekeh girang. “Aha, dari cahaya di wajahmu dan sinar matamu saja aku sudah melihat perubahan besar atas dirimu, sute. Akan tetapi kalau memang ada kesukaran, sebaiknya sekali lagi meneliti isi kitab, akan tetapi ingat, hanya satu kali lagi saja, sute. Mari kuambilkan...” “Aku tidak mau membuatmu lelah, suheng. Biarlah aku yang mengamblinya sendiri, katakan saja di mana suheng menyimpan kitab-kitab itu.” “Oho-ho, kalau tidak aku sendiri yang mengambil, siapapun tidak boleh, sute, dan pula terlalu berbahaya untukmu... heh-heh, mari kau ikut...” Han Houw tidak mau membantah lagi dan dia menggunakan kekuatan batinnya untuk menekan kelegaan dan kegirangan hatinya sehingga pada wajahnya yang tampan itu tidak nampak perubahan sesuatu. Namun Han Houw terlalu memandang rendah kepada suhengnya itu. Sedikit kilatan sinar matanya sudah cukup bagi kakek itu untuk menaruh curiga kepada sutenya ini. Akan tetapi kakek itu tidak berkata apa-apa, melainkan menyeringai dan berlari terus, copat sekali dengan langkah-langkah kecil dari dua buah kakinya yang kecil telanjang itu Han Houw mengikuti dari belakang dan dengan girang dia memperoleh kenyataan bahwa dia dapat mengikuti suhengnya itu dengan amat mudahnya, berloncatan dari batu ke batu, melewati jurang-jurang menuju ke sebuah guha yang berada di lereng. Di depan guha besar sekali, kakek itu berhenti dan berkata, “Di dalam guha inilah kusembunyikan kitab-kitab itu.” “Biar aku yang mengambilnya, suheng!” “Ihh, jangan! Berbahaya sekali. Kautunggu di sini, biar aku yang mengambilnya.” Tanpa menanti jawaban, kakek itu menyelinap masuk ke dalam guha. Han Houw menanti di luar guha sambil menahan senyum. Perduli amat dia, malah kebetulan kalau kakek itu yang mengambilkan untuknya, pikirnya. Tak lama kemudian nampak kakek itu berjalan keluar sambil membawa sebuah peti hitam. Akan tetapi ketika kakek itu dari tempat gelap memandang wajah sutenya dan melihat sinar mata sutenya, tiba-tiba dia berhenti melangkah dan nampak terkejut. Pada saat itu, terdengarlah suara orang dari jauh, “Ouwyang locianpwe, kami datang memenuhi undangan!” “Celaka, ada orang datang! Kita tunda dulu urusan kita ini!” kata kakek itu dan bagaikan setan dia sudah menghilang lagi ke dalam guha yang gelap. Han Houw membalikkan tubuhnya dengan cepat memandang ke arah datangnya suara, akan tetapi belum nampak orang yang datang. Dia merasa ada angin menyambar dari dalam guha dan cepat dia menoleh. Kiranya suhengnya sudah berada di sampingnya. “Dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang sudah datang, mari kita temui mereka lebih dulu!” kata Ouwyang Bu Sek. Mendengar disebutnya dua orang ini, Han Houw terkejut dan wajahnya berseri karena dia teringat Lie Ciauw Si, wanita yang telah menjatuhkan hatinya itu, yang ditemuinya di rumah dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu sebelum dia pergi menemui suhengnya ini beberapa bulan yang telah lalu. Maka tanpa banyak cakap dia mengikuti suhengnya menuju kembali ke puncak, ke tempat pertapaan suhengnya, di mana banyak terdapat guha-guha itu. Mereka tidak menanti lama karena kembali terdengar suara, kini lebih dekat lagi dari tempat itu, “Ouwyang locianpwe, kami dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang telah menghadap!” Ouwyang Bu Sek lalu membuka mulutnya yang lebar, “Aku telah menanti di sini, harap ji-wi pangcu naik saja dan jangan sungkan-sungkan!” Dari bawah puncak nampaklah bayangan dua orang berlari naik, dan dari gerakan mereka saja mudah diketahui bahwa kedua orang itu memiliki kepandaian yang lumayan dan setelah dekat dengan Han Houw dapat mengenal dua orang itu. Mereka adalah Sin-ciang Gu Kok Ban dan Tiat-thouw Tong Siok, dua pimpinan dari perkumpulan Sin-ciang Tiat-thouw-pang di kota Yen-ping. Ketika dua orang gagah itu melihat Han Houw berada di situ, berdiri di samping Ouwyang Bu Sek, mereka terkejut, heran akan tetapi juga girang. Cepat mereka itu memberi hormat kepada pangeran yang dikenalnya baik itu. Akan tetapi kedua orang inipun merasa khawatir juga karena mereka teringat bahwa betapapun baiknya, pangeran ini adalah adik kaisar, dan mereka berdua ingat bahwa mereka telah melakukan kesalahan terhadap kerajaan dengan melindungi dan menyembunyikan empat orang pendekar Cin-ling-pai yang menjadi buronan. Melihat dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang yang gagah perkasa itu berlutut di depannya, Han Houw tersenyum dan mengangguk-angguk. Kemudian, dia menoleh kepada Ouwyang Bu Sek sambil berkata, “Kalau suheng ada urusan dengan mereka, silakan.” Sejak tadi Ouwyang Bu Sek sudah melotot memandang kepada dua orang yang berlutut itu, kemudian dia membentak, “Kalian berdua berdirilah!” Dua orang ketua itu lalu bangkit berdiri dengan sikap hormat, kemudian Sin-ciang Gu Kok Ban berkata, “Semalam locianpwe telah mengundang kami berdua untuk datang ke sini, nah, kami telah datang menghadap, tidak tahu ada urusan apakah locianpwe memanggil kami?” Suara Ouwyang Bu Sek terdengar bengis ketika dia membentak, “Ji-wi pangcu adalah orang-orang gagah dan Sin-ciang Tiat-thouw-pang terkenal sejak dahulu sebagai perkumpulan orang gagah, maka harap suka bersikap jujur dan tidak membohong!” Dua orang setengah tua yang gagah perkasa itu saling pandang, kemudian Tiat-thouw Tong Siok yang bertubuh tinggi besar, kepala botak dan muka bopeng, menggerakkan sebatang toya besinya yang berat itu sambil menegakkan kepalanya, menjawab dengan suaranya yang besar, “Ouwyang locianpwe harap jangan memandang rendah kepada kami. Belum pernah kami membohong, apalagi bersikap tidak jujur!” “Bagus, bagus! Nah, kalau begitu lekas katakan ke mana larinya Yap Kun Liong dan Cia Bun Houw bersama isteri-isteri mereka?” Seketika pucatlah wajah dua orang ketua itu. Mereka menatap wajah Ouwyang Bu Sek dan sejenak mereka tidak mampu menjawab. “Kami... kami tidak tahu...” Akhirnya Sin-ciang Gu Kok Ban berkata. “Ha-ha-ha, berbulan-bulan mereka tinggal di sarang Sin-ciang Tiat-thouw-pang, dan kini kalian menyatakan tidak tahu di mana adanya mereka. Aha, sejak kapankah Sin-ciang Tiat-thouw-pang menjadi pelindung para pemberontak buronan?” Kakek itu berkata mengejek. Dua orang itu terkejut dan keduanya otomatis memandang kepada Pangeran Ceng Han Houw. Pangeran muda itupun memandang kepada mereka dengan sinar mata yang dimikian tajam mencorong sehingga amat menyeramkan. Maka kini jawaban yang keluar dari mulut Gu Kok Ban bukan ditujukan kepada Ouwyang Bu Sek, melainkan kepada sang pangeran itu. “Tidak, mereka bukan pemberontak buronan. Bagi kami mereka adalah orang-orang gagah perkasa, pendekar-pendekar budiman dari Cin-ling-pai!” “Hemm, dan sejak kapan kalian bersahabat dengan orang-orang Cin-ling-pai?” kakek itu mendesak dengan suara mengandung kemarahan. Kini Tiat-thouw Tong Siok yang menjawab, “Ouwyang locianpwe, kami bersahabat dengan orang-orang gagah di dunia kang-ouw, siapakah yang boleh mengatur dan menentukan? Apa salahnya kalau kami bersahabat dengan mereka?” Mata yang lebar itu makin terbelalak. “Hayo jawab, sejak kapan kalian bersahabat dengan orang-orang Cin-ling-pai?” Ouwyang Bu Sek mengulang pertanyaannya, kini suaranya terdengar lambat-lambat penuh ancaman. Sin-ciang Gu Kok Ban adalah seorang yang cerdik. Dalam saat terdesak itu dia telah memperoleh akal, maka dengan wajah terang dia lalu menjawab, “Ouwyang locianpwe, ketahuilah bahwa kami menganggap keluarga Cin-ling-pai sebagai sahabat-sahabat baik semenjak kami menerima pertolongan dari nona pendekar Lie Ciauw Si, cucu dari mendiang ketua Cin-ling-pai. Di antara empat orang itu, nyonya Yap Kun Liong adalah ibu kandung nona Lie Ciauw Si! Setelah kami menerima budi Lie-lihiap yang menyelamatkan kami tentu saja kami menganggap keluarganya sebagai sahabat-sahabat kami.” Tentu saja ucapan itu ditujukan kepada Pangeran Ceng Han Houw. Ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang ini tentu saja dapat menduga bahwa ada hubungan cinta kasih mesra antara pangeran itu dengan Lie Ciauw Si, maka dia sengaja menyinggung-nyinggung nama nona itu di depan sang pangeran, Dan, sepasang matanya yang berpengalaman itu sudah dapat melihat perubahan pada wajah pangeran itu ketika dia menyebut nama Lie Ciauw Si. Akan tetapi, Ouwyang Bu Sek membanting kakinya yang telanjang. “Kalian bersahabat dan melindungi orang-orang Cin-ling-pai! Sebaliknya, aku memusuhi orang-orang Cin-ling-pai, mereka semua itu adalah musuh-musuh besarku! Dan karena kalian melindungi musuh-musuhku, berarti kalian juga menjadi musuhku!” “Ouwyang locianpwe...” “Hayo cepat katakan, di mana adanya keluarga Cin-ling-pai itu sekarang?” “Kami tidak tahu, locianpwe, bahkan andaikata kami tahu juga, kami tidak mengatakan kepada siapapun juga. Kami bukanlah pengkhianat-pengkhianat yang suka membikin celaka orang-orang gagah, apalagi kami telah berhutang budi. Lebih baik mati daripada mengkhianati mereka!” jawab Gu Kok Ban dengan sikap gagah. Kakek yang cebol seperti kanak-kanak itu berjingkrak marah. “Setan! Kalau begitu kalian sudah bosan hidup!” Kakek itu melangkah maju dengan sikap mengancam dan dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu tentu saja sudah siap-siap untuk membela diri. Biarpun mereka maklum bahwa mereka berdua bukan tandingan kakek Ouwyang Bu Sek yang mereka tahu amat lihai itu, namun tentu saja mereka tidak mau mati konyol begitu saja tanpa melawan. Sin-ciang Gu Kok Ban sudah melolos siang-kiam dari sarung pedangnya, melintangkan sepasang pedang itu di depan dada, sedangkan Tiat-thouw Tong Siok juga sudah melintangkan toya besinya dengan sikap gagah. “Bagus, ha-ha-ha, memang aku ingin melihat kalian melawan, aku tidak suka membunuh orang yang tidak melawan!” Kakek cebol itu tertawa dan tiba-tiba tubuhnya sudah menerjang ke depan. Tiat-thouw Tong Siok memapaki tubuh kakek cebol ini dengan toya besinya yang dihantamkan ke arah kepala yang besar itu. Pukulan toyanya mendatangkan angin dahsyat dan jangankan hanya kepala orang, biar batu gunung yang keraspun akan hancur tertimpa toya besi yang digerakkan dengan kekuatan gajah itu. Namun, kakek cebol itu sama sekali tidak mengelak atau menangkis, dan agaknya memang sengaja menerima hantaman toya itu dengan kepalanya yang besar den botak kelimis. “Takkkk!” Toya besi itu terpental, seolah-olah mengenai bola baja yang jauh lebih keras daripada toya itu! Dan si cebol itu hanya terkekeh memperlihatkan mulutnya yang ompong dan dua buah giginya di bagian atas. Tong Siok terkejut dan juga penasaran, toyanya diputar cepat dan mengirim serangan bertubi-tubi ke arah tubuh lawan. Terdengar suara bak-bik-buk seperti orang memukuli kasur yang dijemur ketika beberapa kali toya itu menghantam ke tubuh Ouwyang Bu Sek, akan tetapi kakek itu enak-enak saja dan setiap hantaman toya selalu membuat toya itu sendiri terpental! “Heh-heh, terima kasih untuk pijatan-pijaten itu, memang tubuhku beberapa hari ini pegal-pegal minta dipijati!” Ouwyang Bu Sek berkata. Pada saat toya itu terpental, Sin-ciang Gu Kok Ban sudah menerjang dengan siang-kiamnya. Nampak sinar berkilat ketika sepasang pedang itu menggunting ke arah leher dan pinggang. “Ehh... ohhh... pedangmu bisa merusak pokaianku!” Ouwyang Bu Sek berseru, dan tiba-tiba tubuhhya mencelat ke atas terbebas dari guntingan sepasang pedang itu, kemudian dari atas dia menukik dengan kepala di bawah dan dua kali dia membuang ludah. “Cuhh! Cuhhh!” Dua sinar putih menyambar ke bawah cepat sekali. Biarpun Sin-ciang Gu Kok Ban sudah mengelak, tetap saja pundaknya terkena ludah dan bajunya berlubang dan kulit pundaknya terasa nyeri sekali karena lecet dihantam air ludah itu! Hal ini tentu saja mengejutkan Gu Kok Ban yang cepat memutar sepasang pedangnya dibantu oleh Tong Siok yang menggerakkan toya besinya. Terjadilah perkelahian yang amat hebat dan seru, akan tetapi juga lucu. Dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu bukanlah orang-orang sembarangan. Nama mereka di dunia kang-ouw sudah amat terkenal dan keduanya merupakan orang-orang pandai yang ditakuti karena memang mereka telah memiliki tingkat kepandaian yang tinggi. Namun, kali ini mereka berdua merasa dipermainkan oleh Ouwyang Bu Sek! Biarpun keduanya memainkan senjata-senjata andalan mereka dan mengeroyok kakek cebol itu, namun si kakek cebol sama sekali tidak pernah terdesak, bahkan tertawa-tawa sambil mengelak ke sana-sini, kadang-kadang berloncatan seperti kera menari-nari, kadang-kadang menggelinding dan bergulingan ke sana-sini, kemudian meloncat dan membalas dengan tangkisan atau tamparan-tamparan yang membuat dua orang lawan itu repot karena setiap tangkisan tentu membuat senjata mereka terpental dan setlap tamparan harus mereka elakkan karena tidak mungkin ditangkis tanpa membahayakan diri mereka! Setelah lewat lima puluh jurus yang penuh dengan main-main di fihak Ouwyang Bu Sek, tiba-tiba kakek itu meloncat jauh ke belakang sambil berkata, “Nah, cukuplah bagi kalian sehingga kalian akan mati sebagai orang-orang gagah yang mempertahankan diri! Bersiaplah untuk mampus!” Tiba-tiba tubuh pendek kecil itu lenyap berubah menjadi bayangan yang cepat bukan main. Dua orang ketua itu cepat menyambut bayangan ini dengan senjata mereka. “Plakkk! Wuuuttt... cring-cringgg!” Tahu-tahu toya besi itu sudah dirampas, demikian pula sepasang siang-kiam itu! Dengan lagak seperti anak kecil main-main, Ouwyang Bu Sek saling mengadukan kedua pedang itu. Terdengar suara nyaring dan sepasang pedang itu patah menjadi empat potong dan dilemparkan ke arah kaki Gu Kok Ban. Sedangkan toya besi itu dia belit-belitkan ke lengan kirinya sampai melingkar-lingkar seperti ular, kemudian dilemparkannya pula di atas tanah, depan kaki Tong Siok. Kakek cebol itu lalu menyeringai, memandang mereka berdua yang berdiri dengan muka pucat. “Heh-heh, kalian masih belum mau memberi tahu di mana adanya orang-orang Cin-ling-pai itu?” tanya Si Cebol yang amat lihai ini. Dua orang ketua itu saling pandang, kemudian terdengar Gu Kok Ban berkata dengan tarikan napas panjang. “Kami sudah kalah, mau bunuh lakukanlah!” “Kami lebih baik mati daripada mengkhianati mereka!” sambung Tong Siok. Biarpun mereka sudah merasa kalah, namun keduanya masih memasang kuda-kuda dan siap untuk membela diri sampai napas terakhir. “Hemm, tolol kalian! Kalau tidak mengingat kegagahan kalian, apakah sekarang ini kalian belum menjadi bangkai? Kalian masih berkeras, terpaksa aku orang tua minta kalian yang muda-muda mendahului aku untuk mati!” Ouwyang Bu Sek sudah mengepal kedua tinjunya dan alisnya berkerut, sikapnya mengancam. “Tidak ada pilihan lain bagi kami!” kata Gu Kok Ban dengan sikap gagah. “Keparat, kalau begitu mampuslah!” Kembali tubuh kakek itu menerjang dengan cepat bukan main. Gu Kok Ban dan Tong Siok sudah siap-siap untuk membela diri mati-matian, akan tetapi tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan tubuh kakek cebol itu terhenti di tengah-tengah, bahkan terpental kembali ke belakang karena dorongan tangan Han Houw yang sudah menghadang. “Suheng, jangan bunuh mereka!” teriak pemuda ini sambil berdiri di antara mereka, bertolak pinggang menghadapi kakek cebol itu. Sejenak Ouwyang Bu Sek memandang terbelalak kepada sutenya itu. Sutenya itu telah berani menentangnya, bahkan tadi mendorongnya sehingga dia terjengkang ke belakang! Hampir dia tidak dapat percaya akan hal ini! Pangeran itu yang telah diterimanya sebagai sute, yang telah dibimbingnya dengan susah payah untuk dapat menguasai ilmu-ilmu tinggi dari Bu Beng Hud-couw, kini berani mencampuri urusannya! “Sute! Biarpun engkau seorang pangeran, engkau tidak boleh mencampuri urusan pribadiku!” bentaknya dengan penuh rasa penasaran melihat sikap sutenya yang berdiri tegak dan tenang penuh keangkuhan itu. “Bukan urusan pribadimu lagi, suheng!” jawab Han Houw dengan tenang dan tegas, sikapnya penuh wibawa dan sepasang matanya mencorong, mengeluarkan sinar aneh yang bahkan Ouwyang Bu Sek sendiri menjadi terkejut melihatnya. “Aku adalah seorang pangeran, maka tidak mungkin aku membiarkan saja rakyatku dibunuh oleh siapapun, termasuk engkau!” “Eh, sute...!” Ouwyang Bu Sek hampir tidak percaya sutenya akan berani menentangnya, kemudian dia melanjutkan, “Ingatlah, justeru karena engkau pangeran maka engkau harus tahu bahwa musuh-musuhku, orang-orang Cin-ling-pai itu, adalah musuh-musuhmu juga, musuh negara, pemberontak-pemberontak buronan!” “Diam! Tentang pendirianku dalam menilai seseorang, tidak perlu dengan nasihatmu!” “Sute! Bagaimana engkau berani blcara seperti itu terhadap aku? Aku suhengmu, juga aku pembimbingmu...” “Engkau seorang kakek tua bangka, dan aku pangeranmu, engkau harus taat kepadaku!” bentak Han Houw. Kini marahlah Ouwyang Bu Sek. Selamanya belum pernah dia dihina orang seperti itu, apalagi yang menghinanya itu adalah sutenya, bahkan seperti juga muridnya sendiri! “Keparat, engkau murid murtad! Hayo kembalikan semua ilmu yang telah kaupelajari dariku! Aku harus membuntungi kedua tanganmu agar engkau tak dapat mempergunakan ilmu-ilmu itu!” bentak Ouwyang Bu Sek dan seperti seekor katak melompat, dia telah menyerang Han Houw. Hebat bukan main serangan Ouwyang Bu Sek ini! Dari kedua tangannya yang dipentang itu menyambar hawa pukulan yang amat dahsyat dan angin pukulan berputar menggerakkan daun-daun pohon, bahkan banyak daun pohon yang rontok, sedangkan dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu terpaksa harus mundur karena mereka merasakan sambaran angin yang dingin dan seperti dapat mengiris kulit mereka! Angin yang berputar ini mengelilingi Han Houw seolah-olah menutup semua jalan keluar pemuda ini yang dipaksa harus menghadapi serangan langsung dari kakek yang sakti itu. Han Houw terkejut bukan main. Dia terlalu mengandalkan kepandaiannya sendiri setelah dia berhasil menguasai ilmu-ilmu dari dalam kitab-kitab itu dan menyaksikan kedahsyatan serangan kakek itu, dia merasa ngeri juga. Cepat dia mempergunakan gin-kangnya untuk mengelak ke kiri, akan tetapi “pagar” hawa pukulan itu menahannya dan terpaksa dia lalu menggerakkan kedua tangannyap mendorong ke depan menyambut kedua tangan kakek itu yang sudah bergerak menghantam ke depan. “Dess...!” Pertemuan dua tenaga dahsyat ini membuat tubuh Ouwyang Bu Sek terpelanting dan tubuh Han Houw terlempar dan terjengkang ke belakang sampai beberapa kaki jauhnya! Dada pemuda itu terasa sesak, akan tetapi dia dapat cepat melompat bangun lagi, dengan kepala agak pening dia menghadapi kakek yang juga terbelalak karena tidak menyangka bahwa pemuda itu selain mampu menahan serangannya, bahkan telah membuatnya terpelanting, tanda bahwa pemuda ltu telah memperoleh tenaga dahsyat dan tidak kalah kuat olehnya! Tahulah dia bahwa pemuda ini sudah berhasil pula, seperti Sin Liong, mewarisi ilmu sakti dari Bu Beng Hud-couw. Dia merasa menyesal bukan main. Menyesal mengapa dia mempercaya pemuda bangsawan ini yang baru saja selesai belajar sudah berani menentangnya! Kemarahan membuat wajah kakek itu menjadi merah sekali seperti udang direbus, dan sepasang matanya yang lebar itu mengeluarkan sinar mengerikan, wajahnya menjadi berubah menyeramkan. Biasanya kakek ini tertawa-tawa dengan lucu jenaka, menganggap segala peristiwa seperti lelucon saja, akan tetapi sekali ini dia benar-benar marah dan sinar matanya mengandung ancaman maut bagi Han Houw. “Sekarang aku akan membunuhmu!” bentaknya dan suaranya yang agak parau saking marahnya itu mengandung getaran yang membuat dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang menggigil. Dua orang ketua yang gagah perkasa ini masih berdiri di situ seperti patung, tidak kuasa untuk bergerak karena merasa tegang dan khawatir terhadap pangeran itu, juga mereka merasa terheran-heran bagaimana pangeran ini tiba-tiba menjadi sute kakek sakti itu, dan kini bahkan berani menentang suhengnya. Mereka merasa bahwa sepatutnya mereka membantu pangeran itu untuk mengeroyok Ouwyang Bu Sek, akan tetapi karena pertentangan itu adalah urusan antara suheng dan sute, berarti urusan dalam kekeluargaan perguruan mereka, tentu saja mereka tidak berani lancang mencampuri, apalagi mereka tahu sekarang bahwa kakek itu luar biasa lihainya dan bahwa kalau tadi dikehendaki, dalam beberapa jurus saja mereka tentu sudah roboh dan tewas, maka bantuan merekapun tidak akan banyak gunanya. Oleh karena itu, mereka kini hanya berdiri memandang saja dengan hati penuh ketegangan. Dapat dibayangkan betapa ngeri rasa hati mereka ketika mereka melihat kakek cebol itu telah mengangkat sebongkah batu gunung yang besar sekali, kemudian dengan gerakan dahsyat kakek itu sudah menerjang maju dan menimpakan batu sebesar gajah itu ke arah kepala sang pangeran yang masih berdiri dengan sikap tenang. Mereka terbelalak da membayangkan betapa tubuh pangeran itu akan remuk-remuk, karena selain batu itu besar dan amat berat, juga ditambah lagi dengan tenaga kakek itu yang amat kuat. “Blarrrrr...!” Debu mengepul tebal sehingga menutupi pandangan mata. Setelah debu lenyap, nampak oleh kedua orang ketua itu bahwa batu besar itu hancur berantakan, akan tetapi sang pangeran masih berdiri tenang seperti tadi! Ternyata hantaman batu besar itu telah disambut dengan pukulan kedua tangannya yang menghancurkan batu! Hampir saja kedua orang itu bersorak saking gembira dan kagumnya. Mereka tahu bahwa pangeran ini memang seorang pemuda yang lihai, akan tetapi sama sekali tidak pernah membayangkan bahwa pemuda itu ternyata adalah sute dari Ouwyang Bu Sek dan memiliki kehebatan seperti itu! Kini Ouwyang Bu Sek menjadi semakin marah. Banyak batu-batu dilontarkan, ditendang ke arah sutenya, namun dengan sikap tenang Han Houw memapaki semua serangan batu-batu besar itu dengan tendangan atau hantaman kedua tangannya sehingga batu-batu itu ada yang pecah berantakan ada pula yang terlempar kembali ke arah penyerangnya. Kemudian dengan lengking parau yang menggetarkan, Ouwyang Bu Sek menerjang ke depan, mulai menyerang dengan pukulan-pukulan kedua tangannya yang pendek namun yang mendatangkan desir angin bercuitan mengerikan. Han Houw juga bergerak dan pemuda ini mainkan ilmu sliat yang aneh, dengan langkah-langkah panjang dan kedua kaki ringan sekali karena dia hanya menggunakan ujung-ujung jarinya untuk melangkah, dengan tumit terangkat, seperti seorang penari. Gerakan-gerakannya aneh, namun selalu dapat membawa tubuhnya terhindar dari pukulan-pukulan kakek itu, bahkan diapun lalu membalas dengan pukulan-pukulan yang berupa tamparan-tamparan dengan lengan dilengkungkan. “Buk! Bukk!” Dua kali kedua tangan pemuda itu tepat mengenai sasaran, pukulan pertama mengenai lambung dan pukulan kedua mengenai dada, akan tetapi kakek itu agaknya sama sekali tidak merasakan pukulan itu! Padahal, Han Houw telah mengerahkan tenaganya memukul tadi. Tentu saja Han Houw terkejut bukan main dan barulah dia tahu bahwa suhengnya itu memiliki ilmu kekebalan yang amat luar biasa dan dapat diandalkan. Ouwyang Bu Sek malah tertawa mengerikan ketika menerima pukulan-pukulan itu dan dia menubruk ke depan. Han Houw yang agak terperanjat melihat pukulannya tidak terasa oleh lawan, menjadi gugup sehingga kurang cepat bergerak, maka pundaknya kena disambar. Hanya keserempet saja, namun akibatnya membuat dia terpelanting dan pundaknya terasa nyeri bukan main, sampai menyusup ke tulang-tulang rasa nyeri itu! Namun, dia sudah dapat meloncat memperbaiki kedudukannya sehingga desakan kakek itu dapat dipatahkannya. Han Houw mainkan ilmu silat yang dilatihnya dari kitab pertama, ilmu silat aneh yang dimainkan dengan kedua kaki berdiri di atas jari-jari kaki dengan tumit terangkat, dan karena kitab-kitab itu tidak mempunyai nama, maka Han Houw memilih sendiri dan menamakan ilmu silat ini Hok-liong Sin-ciang (Tangan Sakti Menalukkan Naga), karena dia menganggap dirinya lebih lihai daripada naga! Dialah Pendekar Lembah Naga, dan teringat akan Sin Liong yang namanya berarti Naga Sakti, maka diapun memilih nama itu untuk ilmu silatnya yang baru, tentu saja dengan maksud agar ilmu ini dapat mengalahkan Sin Liong! Dari kitab ke dua dia memperoleh ilmu bersamadhi dan melatih pernapasan untuk mengumpulkan tenaga sakti, dan dari kitab ke tiga dia mendapatkan ilmu yang aneh, yang dimainkan dengan kepala di bawah, dan dia memberi nama Hok-te Sin-kun (Ilmu Silat Membalikkan Bumi) kepada ilmu ini. Dengan ilmu Silat Hok-liong Sin-ciang dia sudah menghadapi suhengnya itu selama lima puluh jurus dan ilmu ini ternyata cukup tangguh sehingga dengan ilmu ini dia selalu dapat menghindarkan semua serangan Ouwyang Bu Sek, akan tetapi semua pukulannya yang mengenai tubuh lawan tidak membuat lawannya roboh, bahkan agaknya kakek itu tidak merasakan sama sekali! Dan dia malah terancam, karena dia tahu bahwa dalam hal tenaga sin-kang, dia masih kalah jauh dan sekali dia terkena pukulan yang tepat, dia akan roboh! Maka dicarinyalah akal, dan pemuda bangsawan yang cerdik ini tiba-tiba meloncat jauh ke belakang sambil berseru, “Tua bangka, kalau engkau berani hayo kaukejar aku!” OUWYANG BU SEK sudah hampir tidak dapat menahan kemarahannya. Sampai lima puluh jurus dia tidak mampu merobohkan sutenya ini! Sungguh hal yang amat mengejutkan dan memalukan, apalagi pertandingan itu ditonton oleh dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang! Rusaklah nama besarnya, apalagi kalau didengar oleh Lam-hai Sam-lo yang menjadi musuh lamanya, tentu dia akan ditertawakan untuk ketololannya, yaitu selain menerima sute yang durhaka, juga kini malah tidak mampu mengalahkan sutenya sendiri itu! Maka, begitu pangeran itu melarikan diri, tanpa banyak cakap lagi dia sudah melakukan pengejaran! Mereka berdua itu bergerak cepat sekali sehingga sebentar saja mereka sudah lenyap dan hanya nampak bayangan mereka berkejaran ke puncak bukit di sebelah barat. Gu Kok Ban dan Tong Siok saling pandang, menghapus keringat dingin dan mereka itu merasa tertarik sekali, tanpa bicara mereka seperti sudah tahu dan keduanyapun lalu lari mengejar karena mereka ingin sekali melihat bagaimana kesudahan dari pertandingan yang amat seru dan hebat itu. Ketika dua orang itu tiba di atas puncak di tepi sebuah jurang yang amat dalam, mereka melihat pangeran itu telah bertanding lagi dengan amat seru dan hebatnya melawan kakek cebol itu. Dua orang ketua itu melongo saking herannya melihat cara pangeran itu bersilat karena kini pangeran itu telah berdiri jungkir balik dengan kepala di bawah dan kedua kakinya di atas! Kedua kakinya itu melakukan gerakan tendangan dan tangkisan, dibantu oleh kedua tangan dari bawah yang menyerang ke arah kaki dan perut Ouwyang Bu Sek. Itulah ilmu silat aneh yang diberi nama Hok-te Sin-kun (Silat Sakti Membalikkan Bumi) oleh Han Houw. Dan memang ilmu ini aneh dan dahsyat bukan main. Setelah dalam keadaan jungkir balik seperti itu, ternyata tenaga yang keluar dari kaki dan tangan pangeran itu jauh lebih besar daripada tadi sehingga Ouwyang Bu Sek sendiri terkejut karena setiap kali tangannya bertemu dengan kaki pemuda itu, dia merasa tubuhnya tergetar hubat. Namun, biar dia lebih sering menerima tendangan aneh dari kaki yang berada di atas itu, dengan mengandalkan kekebalannya yang luar biasa, dia selalu dapat menahan diri sehingga tidak sampai terluka, biarpun kini kekuatan aneh dari kedua kaki itu dapat membuatnya terhuyung, bahkan kadang-kadang terpelanting. Perkelahian itu seru bukan main. Terdengar kakek tua renta itu sudah terengah-engah karena dia merasa lelah sekali. Betapapun juga, dia harus mengakui bahwa sutenya ini memiliki ilmu-ilmu aneh dari kitab-kitab yang hanya dia ketahui teorinya belaka, sedangkan dia sama sekali tidak pernah ikut melatihnya sehingga ketika sekarang sutenya mempergunakan ilmu-ilmu itu untuk menyerangnya, dia menjadi repot sekali. Lebih dari itu, usianya yang amat tua membuat daya tahannya banyak berkurang, terutama sekali napasnya. Dia sudah mandi keringat dan napasnya memburu sedangkan sutenya itu masih segar dan serangan-serangannya semakin hebat saja. Akan tetapi, dengan mengandalkan ilmu kekebalannya, kakek itu masih terus dapat mendesak Han Houw dan sudah beberapa kali pemuda ini terkena pukulannya sehingga pemuda itupun menderita luka-luka yang biarpun tidak berbahaya namun cukup membuat gerakannya makin lemah. Setiap pukulan pemuda itu tidak mendatangkan bahaya bagi kakek yang terlindung kekebalan hebat itu, sebaliknya pukulan kakek itu selalu membuat Han Houw menderita, maka kalau dilanjutkan agaknya Han Houw yang akhirnya akan harus mengakui keunggulan lawan. Hal inipun diketahui dengan baik oleh pangeran itu sebelum dia melarikan diri ke puncak ini tadi. Maka pangeran yang cerdik itu sengaja memancing suhengnya sehingga mereka mengadakan pertempuran di tepi jurang yang amat dalam, di mana tadi dia menyebarkan robek-robekan kitab terjemahannya. Semenjak tadi dia memang sudah mengatur siasat dan tidak cepat-cepat menjalankan siasatnya itu agar kakek itu lengah. Setelah di tempat ini mereka melakukan perkelahian mendekati seratus jurus lamanya, barulah diam-diam Han Houw menanti kesempatan baik. Dengan ilmu silat aneh Hok-te Sin-kun, dia masih terus melakukan perlawanan dan diam-diam dia mendesak kakek itu mendekati jurang. Setelah memperhitungkan dengan matang, tiba-tiba terdengar pemuda itu mengeluarkan seruan lengkingan panjang dan menggetarkan, sehingga dua orang ketua Sin-ciang Tiat-touw-pang yang nonton sambil bersembunyi di balik batu terkejut bukan main dan otomatis mereka menutupi kedua telinga dengan telapak tangan sambil memandang dengan mata terbelalak. Dan tiba-tiba tubuh yang berjungkir balik dari pangeran itu membuat loncatan kilat ke samping! Dengan gerakan indah, kakinya meluncur dan selagi tubuhnya masih melayang, kaki kirinya menendang secepat kilat, tepat mengenai dada Ouwyang Bu Sek yang berdiri membelakangi jurang. “Blukkk!” Kaki itu mengenai dada sedemikian kerasnya sehingga tubuh kakek itu terjengkang. “Hukkkk... crotttt...!” Dari mulut kakek yang terbuka itu menyembur darah segar. Kakek itu terkejut dan dengan tubuh terjengkang dia menggunakan kakinya yang pendek dan telanjang untuk melangkah mundur dan tentu saja tubuhnya terguling ke belakang karena kakinya menginjak tempat kosong. Terdengar teriakan mengerikan menyayat hati ketika tubuh kakek cebol itu melayang ke dalam jurang yang luar biasa dalamnya itu, Han Houw cepat lari mendekati tepi jurang dan menjenguk ke bawah. Dia masih sempat melihat tubuh suhengnya itu sudah terbanting ke dasar jurang, terguling-guling makin ke bawah, lalu diam menelungkup. Biarpun dari tempat yang tinggi itu tidak dapat dilihat jelas, namun tak dapat disangsikan lagi bahwa tubuh itu tentu telah remuk-remuk terjatuh dari tempat setinggi itu. Han Houw menarik napas lega dan baru terasa olehnya betapa seluruh tubuhnya sakit-sakit sebagai akibat hantaman-hantaman yang telah diterimanya dalam perkelahian yang amat seru itu tadi. “Pangeran, kepandaian paduka sungguh amat hebat mengagumkan!” “Dan hamba berdua berterima kasih atas pertolongan paduka tadi.” Han Houw membalikkan tubuhnya memandang. Dua orang ketua itu telah berlutut menghadapnya dengan sikap hormat dan memandang dengan penuh kekaguman. Sejenak dia merasa bangga sekali. Memang patut dibanggakan bahwa dia telah berhasil mengalahkan Ouwyang Bu Sek yang dianggapnya sebagai manusia sakti sukar dicari tandingannya, bahkan Lam-hai Sam-lo sendiripun pernah kalah oleh kakek itu. Akan tetapi tiba-tiba dia mengerutkan alisnya, lalu dia melangkah maju. “Gu-pangcu dan Tong-pangcu, berdirilah, aku ingin bertanya kepada kalian.” Dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu bangkit berdiri dan memandang pangeran itu dengan wajah berseri dan penuh kagum. Mereka sama sekali tidak mengira, bahkan hampir tidak dapat percaya betapa seorang pemuda bangsawan seperti ini telah berhasil memiliki ilmu kepandaian sehebat itu sehingga mampu mengalahkan seorang datuk persilatan seperti Ouwyang Bu Sek. Setelah dua orang itu berdiri di depannya, Han Houw lalu bertanya, “Bagaimana kabarnya dengan nona Lie Ciauw Si? Di manakah dia sekarang?” Berseri wajah dua orang ketua itu. Memang mereka sudah dapat menduga apa yang terjadi antara pangeran yang tampan ini dengan pendekar wanita muda yang cantik itu. “Sudah lama hamba tidak berjumpa dengan Lie-lihiap, pangeran. Akan tetapi yang terakhir hamba mendengar bahwa Lie-lihiap hendak pergi ke kota raja untuk mencari dan menghadap paduka,” kata Gu Kok Ban sambil tersenyum. Senang hati Han Houw mendengar ini, kemudian dia bertanya, “Dan benarkah seperti yang dikatakan oleh Ouwyang Bu Sek bahwa empat orang pendekar Cin-ling-pai bersembunyi di tempat kalian?” Terkejut hati dua orang itu mendengar pertanyaan ini, akan tetapi ketika mereka memandang wajah pangeran itu, nampak pangeran itu bersikap biasa saja, tidak kelihatan marah sehingga hati mereka menjadi besar kembali. “Memang benar, pangeran. Untuk beberapa bulan mereka menjadi tamu hamba, karena isteri dari Cia Bun Houw taihiap sedang mengandung dan setelah melahirkan, mereka itu lalu pindah.” “Tidak tahukah kalian bahwa mereka adalah orang-orang yang dianggap pemberontak-pemberontak yang menjadi buruan pemerintah?” Gu Kok Ban memandang kepada Tong Siok dengan muka pucat, kemudian dia menghadapi pangeran itu sambil berkata cepat, “Hamba tahu... akan tetapi sesungguhnya mereka itu bukan pemberontak, pangeran. Justeru untuk inilah maka Lie-lihiap pergi ke kota raja untuk menghadap paduka, untuk mohon kebijaksanaan paduka untuk menolong empat orang pendekar itu agar terbebas dari tuduhan memberontak. Mereka itu hanya difitnah, karera semua orang kang-ouwpun tahu belaka betapa semenjak dahulu, semenjak ketua Cin-ling-pai mendiang pendekar sakti Cia Keng Hong, Cin-ling-pai adalah perkumpulan orang-orang gagah yang selalu membantu pemerintah membasmi para pemberontak.” Disebutnya nama Lie Ciauw Si membuat wajah Han Houw kembali nampak berseri sehingga melegakan hati dua orang itu. Kini dengan halus Han Houw bertanya, “Sekarang di manakah adanya empat orang pendekar itu?” Kembali Gu Kok Ban memandang khawatir. “Pangeran... seorang di antara mereka adalah... ibu kandung dari Lie-lihiap...” Han Houw mengerutkan alisnya dan berkata tidak sabar. “Aku tahu, dan akupun bertanya untuk pergi menemui mereka dengan baik-baik dan mengusahakan kebebasan untuk mereka...” “Ah, terima kasih, pangeran...!” Mereka berdua berkata dengan girang sekali. “Katakanlah, di mana adanya mereka kini?” “Tadinya mereka meninggalkan tempat hamba dan pindah ke dalam sebuah dusun di lereng sebuah bukit, tidak jauh dari tempat kami. Akan tetapi, entah bagaimana, sebulan kemudian ada pasukan menyerbu tempat mereka sehingga mereka itu terpaksa melarikan diri lagi...” ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu kelihatan berduka. “Ke mana mereka melarikan diri? Di mana mereka sekarang?” “Tadinya hamba juga tidak mengetahuinya, pangeran. Akan tetapi dari para penyelidik, yaitu para anggauta yang hamba suruh mencari keterangan, hamba...” “Suheng...!” Tiba-tiba terdengar Tong Siok memanggil kakaknya dengan nada suara memperingatkan sehingga Gu Kok Ban tidak berani melanjutkan keterangannya, memandang kepada pangeran itu dengan keraguan yang mulai timbul. Han Houw mengerutkan alisnya, dan menoleh kepada Tong Siok, sepasang matanya mencorong mengeluarkan sinar berkilat. “Ji-wi pangcu! Apakah kalian masih tidak percaya kepadaku? Aku telah membunuh suheng sendiri karena dia memusuhi mereka! Aku ingin melindungi ibu kandung nona Lie Ciauw Si!” Dua orang ketua itu saling pandang, kemudian Gu Kok Ban melanjutkan keterangannya, kini tidak perduli lagi akan pandangan mata sutenya yang masih merasa khawatir itu. “Menurut keterangan para penyelidik, mereka melarikan diri ke Propinsi Ce-kiang dan tinggal di kota Bun-cou...” Tiba-tiba sepasang mata Gu Kok Ban terbelalak lebar, mukanya pucat melihat sepasang mata yang mencorong aneh itu dan begitu tangan Han Houw bergerak memukul, Gu Kok Ban yang mencoba menangkis itu masih tidak mampu menghindarkan hantaman itu. “Desss...!” Dadanya terpukul dan tubuhnya terlempar ke dalam jurang. Teriakannya yang menyayat hati bergema sampai lama ketika tubuhnya melayang turun ke bawah seperti yang dialami oleh Ouwyang Bu Sek tadi. Wajah Tong Siok menjadi pucat sekali, akan tetapi perlahan-lahan kulit mukanya yang bopeng itu berubah merah, matanya mengeluarkan sinar kebencian dan telunjuknya menuding ke arah muka Han Houw, “Manusia iblis berhati keji! Ternyata kecurigaanku benar, engkau adalah seorang manusia laknat! Bukan hanya membunuh suheng sendiri, akan tetapi juga membunuh suhengku, dan hatimu palsu. Manusia macam engkau ini kelak akan menjadi hantu neraka...!” Han Houw tersenyum. “Engkaulah yang akan pergi ke neraka!” katanya sambil melangkah maju hendak memukul. Akan tetapi Tiat-thouw Tong Siok sudah nekat dan dia sudah mendahului gerakan pangeran itu. Sambil berteriak dahsyat dia lalu menerjang ke depan dengan kepala lebih dulu, seperti seekor lembu jantan yang marah menyerang harimau. Serudukan kepalanya ini tidak boleh dipandang ringan, karena ini merupakan serangan andalan ketua nomor dua dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang ini. Julukannya adalah Tiat-thouw atau Si Kepala Besi dan serudukan kepalanya itu dapat menghancurkan batu! Namun, Han Houw yang percaya akan kepandaian dan kekuatannya sendiri tidak menjadi gentar, bahkan tidak mengelak, melainkan berdiri tegak sambil tersenyum mengejek, kemudian tangan kirinya meluncur ke depan, menyambut kepala botak yang menyeruduk ke arah perutnya itu. “Desss...!” terdengar suara keras seperti benda keras pecah dan tubuh Tiat-thouw Tong Siok itu terlempar ke belakang, langsung melayang turun ke dalam jurang dengan kepala retak-retak sehingga sebelum tubuhnya terbanting ke dasar jurang, dia telah tewas dan tidak terdengar jeritan mengerikan ketika dia terpelanting itu. Sejenak Pangeran Ceng Han Houw berdiri dan memandang ke bawah jurang. Dia tidak merasa menyesal telah membunuh tiga orang itu. Pertama, dia harus membunuh Ouwyang Bu Sek untuk menguasai kitab-kitab peninggalan Bu Beng Hud-couw itu. Ke dua, dia harus membunuh dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang karena mereka ini telah menyaksikan betapa dia telah membunuh suheng sendiri sehingga kelak mereka dapat menyebar berita yang amat tidak baik untuknya itu ke dunia kang-ouw, dan selain dari itu, dua orang itu telah memperlihatkan sikap tidak setia kepada pemerintah sehingga berani melindungi orang-orang buruan pemerintah. Mereka itu patut dihukum! Setelah merasa yakin bahwa tiga tubuh yang rebah di dasar jurang itu telah tewas dan tidak bergerak-gerak lagi, Han Houw lalu membalikkan tubuhhya, meninggalkan puncak bukit itu menuju ke guha di mana Ouwyang Bu Sek menyimpan peti hitam tempat tiga buah kitab yang ingin diambilnya agar jangan sampai terjatuh ke tangan orang lain itu. Guha yang besar dan gelap itu nampak menyeramkan, seolah-olah di dalamnya terdapat bahaya yang mengintai keselamatan siapa saja yang berani memasukinya. Namun dengan kepandaiannya yang tinggi, Ceng Han Houw tidak ragu-ragu lagi melangkah masuk dan dengan hati-hati dia menggerakkan kedua kakinya, perlahan-lahan dan berindap-indap penuh kewaspadaan memasuki sebelah dalam yang gelap. Kalau suhengnya dapat memasuki guha itu untuk mengambil peti hitam, mengapa dia tidak? Tiba-tiba dia mendengar suara mendesir dari kanan kiri dan secepat kilat dia menggerakkan kedua tangannya ke kanan kiri untuk melindungi diri dan mengerahkan sin-kang di tubuhnya. Bagaikan bermata, kedua tangannya itu dengan cekatan telah menangkap dua batang anak panah yang menyambar dari kanan kiri dan mengeluarkan suara mendesir tadi! Kiranya dia telah menginjak alat rahasia yang dipasang sehingga anak panah dari kanan kiri itu meluncur sendiri menyerang siapa saja yang berani masuk guha dan menginjak jebakan yang tidak nampak itu! Han Houw mendengus dan melemparkan dua batang anak panah itu keluar, kemudian dia melangkah terus dengan beraninya. Setelah agak dalam, nampak cahaya menembus dari celah terbuka di atas guha. Remang-remang nampaklah olehnya sebuah peti hitam di sudut ruangan guha itu setelah berbelok ke kiri. Hatinya girang, namun dia tetap berhati-hali, tidak mau menjadi lengah karena kegirangannya. Dengan waspada dia melangkah terus mendekati tempat peti itu terletak. Han Houw lalu menggosok-gosok kedua telapak tangannya. Kedua telapak tangan itu mengeluarkan hawa panas sampai mengepulkan uap, barulah dia mengambil peti itu dengan kedua tangannya. Ternyata tidak terjadi sesuatu dan cepat dia membawa peti itu ke luar guha. Setelah tiba di luar, di tempat yang terang, dia menurunkan peti dan melihat betapa kedua telapak tangannya penuh hangus. Untung dia tadi telah melindungi kedua telapak tangannya dengan hawa panas dari pengerahan sin-kangnya, kalau tidak tentu kedua telapak tangannya akan terkena racun jahat yang dioles-oleskan pada peti itu. Kini racun itu menjadi hangus karena hawa panas yang melindungi kedua telapak tangannya. Setelah membersihkan kedua telapak tangannya, Han Houw lalu membuka tutup peti itu. “Sssssttt...!” Sinar merah menyambar dan seekor ular merah telah meloncat keluar dan langsung menyerang ke arah lehernya! Namun, dengan jari telunjuk dan jari tengah tangan kirinya, dia sudah menyumpit leher ular itu, sekali kerahkan tenaga pada kedua jari itu terdengar suara “krekk” dan tulang leher ular itupun patah. Dia melemparkan bangkai ular yang masih berkelojotan dan melingkar-lingkar, kemudian memandang ke dalam peti yang telah dibukanya. “Jahanam!” Dia mengutuk karena ternyata peti sama sekali kosong! Dia merasa tertipu dan dengan marah dia masuk lagi ke dalam guha, mencari-cari. Namun guha itu kosong tidak ada apa-apanya lagi. Dengan hati penasaran Han Houw lalu membuat obor dan memeriksa seluruh bagian dalam guha. Namun hasilnya nihil, tidak ada apapun di dalam guha itu. Dia memeriksa peti, menghantamnya sampai berkeping-keping, namun juga selain ular merah yang kini telah mati, peti itu tidak berisi apa-apa lagi. “Ouwyang Bu Sek tua bangka keparat!” Dia memaki-maki dan mencari-cari keluar masuk semua guha di tempat itu. Tetap tidak ada hasilnya. Tiga buah kitab kuno itu ternyata hilang! Tentu disembunyikan oleh Ouwyang Bu Sek di suatu tempat, akan tetapi setelah kakek itu tewas, siapa pula yang mengetahui di mana adanya kitab-kitab itu? Sampai sore dia mencari-cari tanpa hasil dan menjelang senja dia melihat beberapa belas orang menuruni jurang di mana terdapat mayat Ouwyang Bu Sek, Gu Kok Ban dan Tong Siok. Dari tempat yang tidak nampak oleh mereka, Han Houw mengintai dan mendapat kenyataan bahwa mereka itu adalah para anggauta Sin-ciang Tiat-thouw-pang. Diam-diam dia tersenyum mendengar kata-kata mereka. Mereka itu tentu mengira bahwa dua orang ketua mereka telah bertanding melawan Ouwyang Bu Sek dan akibatnya mereka bertiga tewas semua atau mati sampyuh. Lebih baik begitu, pikirnya dan diam-diam dia meninggalkan puncak pegunungan itu. Kuil di puncak bukit itu amat besar, dikelilingi pagar tembok tebal yang berlapis-lapis seperti benteng saja kuatnya. Memang, kuil Siauw-lim-si adalah sebuah kuil yang amat besar dan kokoh kuat lagi kuno sekali. Kuil Siauw-lim-si amat terkenal semenjak jaman dahulu karena inilah yang menampung para pendeta Buddha dari See-thian (India), dan kuil ini pula yang menyebarluaskan pelajaran Agama Buddha ke seluruh Tiongkok. Selain sebagai tempat perkumpulannya para tokoh Buddha dan menjadi pusat keagamaan itu, juga Siauw-lim-si mempunyai nama yang amat terkenal sebagai perkumpulan agama yang menghasilkan banyak sekali ahli-ahli silat yang pandai, dan nama Siauw-lim-pai (partai Siauw-lim) amat terkenal di dunia kang-ouw sebagai gudang ilmu silat dan para pendekar Siauw-lim-pai memiliki ilmu silat murni yang amat kuat dan disegani. Bahkan sumber dari segala ilmu silat, menurut dongeng dari mulut ke mulut, berasal dari kuil Siauw-lim-si, yaitu ketika Tat Mo Couwsu, seorang pendeta Agama Buddha menciptakan gerakan-gerakan yang semula hanya ditujukan untuk menyehatkan tubuh namun kemudian berkembang menjadi gerakan-gerakan ilmu bela diri yang amat hebat. Sumber ilmu menggerakkan tubuh sebagai seni bela diri ini kemudian berkembang luas sekali, mengalami perubahan-perubahan sesuai dengan keadaan setempat dan tumbuhlah bermacam-macam ilmu silat yang sebetulnya bersumber satu. Namun, yang dianggap paling aseli sampai sekarang adalah ilmu silat yang diajarkan oleh Siauw-lim-pai sehingga nama ini selalu didengung-dengungkan sebagai gudangnya ahli silat yang paling kuat. Memang patutlah Kuil Siauw-lim-si itu kalau dikabarkan sebagai tempat orang-orang pandai. Bangunannya kuno dan kokoh kuat sehingga menimbulkan suasana keramat dan angker. Apalagi karena sebagai pusat keagamaan di kuil itu setiap hari diadakan upacara-upacara keagamaan dan hio mengepul terus setiap saat sehingga dari jarak jauh saja sudah tercium bau harum dupa, maka suasana menjadi semakin agung dan mendatangkan perasaan hormat akan sesuatu yang penuh rahasia bagi manusia. Tidak pernah sunyi kuil besar itu. Kalau tidak suara orang membaca doa atau membaca ayat-ayat suci dari kitab, tentu ada nyanyi-nyanyian pujian. Ini di bagian kuilnya. Sedangkan di bagian belakang atau samping kanan kiri, selalu terdengar bentakan-bentakan orang yang berlatih silat! Kompleks kuil itu memang luas sekali. Kuilnya sendiri berada di tengah depan sebagai bangunan induk, akan tetapi di kanan kiri dan belakang terdapat bangunan-bangunan kecil lainnya yang menjadi tempat tinggal para hwesio dan para murid Siauw-lim-pai. Tidak kurang dari lima puluh orang pendeta dant murid-murid Siauw-lim-pai yang setiap hari berada di tempat itu. Sedangkan murid-murid Siauw-lim-pai yang sudah keluar dari tempat penggemblengan ini dan tersebar di seluruh negeri berjumlah ratusan, bahkan ribuan orang. Ada yang mengepalai kuil-kuil kecil, ada yang menjadi pendeta-pendeta pengembara untuk menyebarkan keagamaan, ada pula yang menjadi orang-orang biasa, pedagang, sasterawan, buruh-buruh kasar, petani atau nelayan. Mereka ini adalah murid-murid Siauw-lim-pai yang tidak masuk menjadi hwesio dan tidak bertugas mengembangkan agama, melainkan terikat oleh peraturan Siauw-lim-pai yang mengharuskan para murid itu untuk hidup sebagai orang-orang gagah yang menjunjung tinggi nama baik Siauw-lim-pai dan dilarang keras mempergunakan kepandaiannya yang didapatkan dari Siauw-lim-pai untuk melakukan kejahatan. Dan memang pada waktu itu jarang sekali menemukan seorang murid Siauw-lim-pai menjadi penjahat. Kalau sampai terdengar seorang murid Siauw-lim-pai menyeleweng, maka perguruan ini sudah pasti akan mengutus murid yang lebih pandai untuk menangkap dan menghukum, kalau perlu membunuh murid yang menyeleweng. Sedikitnya, seorang murid yang menyeleweng tentu akan dikeluarkan dari perguruan itu, tidak diakui sebagai murid lagi dan kalau ketahuan mempergunakan ilmu dari Siauw-lim-pai untuk melakukan kejahatan, tentu akan ditentang dan dimusuhi. Karena peraturan yang keras inilah maka nama Siauw-lim-pai amat disegani oleh kawan dan ditakuti oleh lawan. Namanya tetap bersih, bahkan dalam pergolakan-pergolakan antara golongan-golongan yang memperebutkan kekuasaan di kota raja, Siauw-lim-pai selalu menjauhkan diri dan tidak mau tersangkut. Pagi hari itu cerah sekali. Matahari berseri di angkasa timur, melimpahkan cahaya kehidupan ke permukaan bumi. Di pagi hari seindah itu nampak wajah para hwesio yang serius namun berseri, seolah-olah mereka ini dapat merasakan kecerahan pagi yang sehat itu. Beberapa orang hwesio hilir-mudik melakukan tugas pekerjaan masing-masing di kuil, ada yang membersihkan semua perabot dan alat sembahyang, ada yang membersihkan lantai, menyapu halaman depan, pekarangan, menyirami bunga-bunga dan tumbuh-tumbuhan yang mereka tanam di sekitar bangunan, ada yang sibuk menimba air dari sumber di bawah puncak dan memikul air itu ke dalam kuil melalui pintu samping agar tidak membasahi lantai kuil, ada pula hwesio-hwesio tingkatan tua yang sepagi itu sudah melakukan upacara sembahyang, ada pula yang membaca kitab dengan suara yang menggetar penuh penghambaan diri, akan tetapi ada pula yang sedang bersamadhi di sebelah dalam, mengheningkan cipta, sama sekali tidak bergerak seolah-olah telah menjadi arca seperti yang banyak terdapat di dalam kuil. Di samping kesibukan yang tenang dan tenteram ini, terdengar pula suara murid-murid yang sedang berlatih silat, bertelanjang dada membiarkan sinar matahari memandikan tubuh mereka karena cahaya itu amat berguna bagi kesehatan tubuh mereka. Ada yang bergerak silat dengan pengerahan tenaga sehingga otot-otot tubuh mereka menggembung dan nampak kuat bukan main penuh kejantanan, ada pula yang gerakannya lemah gemulai seperti seorang penari dan agaknya sama sekali tidak mengandung tenaga. Memang Siauw-lim-pai ini gudang ilmu silat, dari ilmu silat yang sifatnya keras sampai yang sifatnya lunak, dan ilmu-ilmu silat yang gerakannya diilhami oleh gerakan binatang-binatang buas. Setiap pagi para anak murid tingkat terendah tentu berkumpul di taman itu, di mana terdapat lapangan yang luas dan memang diadakan untuk tempat berlatih silat di bawah sinar matahari. Di sebelah dalam terdapat pula ruangan belajar silat, yaitu di lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) dan di sini diajarkan jurus-jurus yang lebih tinggi dan di lian-bu-thia ini lengkap pula terdapat senjata-senjata yang delapan belas macam banyaknya. Pagi hari itu, seperti biasa, sudah mulai nampak beberapa orang tamu yang datang melakukan sembahyang. Bermacam-macam keperluan pribadi masing-masing yang datang bersembahyang. Ada yang bermaksud untuk minta sesuatu, agar sesuatu yang mereka citakan akan segera terkabul, di antaranya, ingin mempunyai anak, ingin segera memperoleh jodoh, ingin agar dagangannya laris, ingin agar mendapatkan kenaikan pangkat, ingin agar ujiannya lulus, dan sebagainya. Ada pula yang datang dengan wajah berseri untuk membayar kaul seperti yang dijanjikan. Banyak di antara mereka para peminta-minta ini yang dalam permintaannya selalu diberikuti janji-janji kepada yang mereka minta, janji-janji bahwa kalau sampai permintaan mereka berhasil, mereka akan melakukan ini atau itu, pendeknya melakukan sesuatu untuk menyenangkan yang diminta, sebagai semacam imbalan! Memang demikianlah keadaan hidup kita semenjak kuno dahulu sampai pada jaman modern sekarang ini! Segala macam hubungan kita dengan apapun dan dengan siapapun, selalu didasari jual beli, rugi untung seperti itulah! Tidak ada lagi sinar cinta kasih di dalam batin kita, yang ada hanyalah perhitungan jual beli seperti itu. Kita bersikap baik kepada sesama manusia hanya dengan dasar jual beli pula, kita baik sebagai pemberian sesuatu untuk memperoleh kebaikan pula yang lebih besar daripada yang kita berikan sehingga hal itu akan menguntungkan! Kita menyembah seseorang atau sesuatu yang kita anggap lebih tinggi hanya dengan dasar keuntungan ini pula! Kita menyembah-nyembah sesuatu yang baik atau yang kita anggap baik kepada kita, dan kita mengutuk atau membenci sesuatu yang kita anggap tidak baik kepada kita! Inilah kenyataannya dalam kehidupan kita yang serba palsu ini. Sinar matahari itu memberkati dan menghidupkan bagi siapanpun juga, tanpa memilih apakah yang menerima itu baik atau buruk, tinggi atau rendah, agung atau hina! Juga sinar matahari itu mendatangkan panas terhadap siapapun juga, dari raja sampai pengemis tanpa pandang bulu! Akan tetapi, kita kehilangan sinar cinta kasih itu! Kita hanya suka dan cinta kepada orang-orang tertentu saja, yang menyenangkan kita, yang kita anggap baik kepada kita. Sebaliknya kita membenci kepada orang-orang tertentu yang kita anggap merugikan lahir atau batin kepada kita. Di antara para tamu yang memasuki kuil dengan membawa alat-alat sembahyang, terdapat seorang pemuda tampan. Pakaiannya sudah kumal, tanda bahwa lama dia tidak berganti pakaian, namun jelas nampak bahwa pakaian itu adalah pakaian yang mahal dan indah, juga topinya dan jubahnya yang terbuat dari kulit binatang berbulu itu menunjukkan bahwa pemakainya adalah seorang hartawan. Tidak seperti para tamu lainnya, pemuda ini tidak membawa apa-apa, bertangan kosong saja dan dia memasuki halaman kuil dengan langkah-langkah tenang dan sikap yang agung, bahkan dia tidak perdulian terhadap orang-orang lain yang memasuki halaman itu. Pemuda ini adalah Ceng Han Houw. Mau apa pangeran ini muncul di Kuil Siauw-lim-si? Setelah Ceng Han Houw berhasil membunuh Ouwyang Bu Sek dan dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang, memang tadinya dia hendak cepat-cepat pergi ke kota raja kembali ke istana yang sudah terlalu lama ditinggalkannya itu, apalagi dia sudah merasa rindu sekali kepada Lie Ciauw Si dan hendak mencari dara yang dicintainya itu. Akan tetapi, di samping itu timbul keinginannya untuk mulai memperkenalkan diri kepada dunia kang-ouw bahwa dialah satu-satunya jagoan tanpa tanding di dunia ini! Dia ingin menguji kepandaian para tokoh kang-ouw dan hatinya belum puas kalau dia tidak dapat merobohkan mereka semua satu demi satu sehingga akhirnya dunia akan mengakui bahwa dialah juaranya! Dan untuk menguji diri sendiri, juga sebagai langkah pertama, yang paling tepat adalah mendatangi Siauw-lim-pai dan menantang ketuanya untuk mengadu ilmu silat! Dia tahu bahwa Siauw-lim-pai merupakan mercu suar bagi dunia persilatan, maka menjatuhkan Siauw-lim-pai tentu akan membuat namanya terkenal dan dunia persilatan akan geger karenanya. Jadi kedatangannya pagi hari ini, bersama dengan para tamu yang hendak bersembahyang ke kuil itu, adalah untuk mencari dan menantang ketua Siauw-lim-pai untuk mengadu ilmu! Melihat pemuda ini keadaannya lain daripada para tamu yang sudah biasa bersembahyang, tidak membawa apa-apa, dan kelihatan mencari-cari dengan pandang matanya, seorang hwesio tinggi kurus yang bertugas melayani para tamu cepat menghampirinya dan memberi hormat sambil bertanya, “Apakah kongcu hendak bersembahyang ataukah ada keperluan lain?” Han Houw memandang wajah hwesio ini dan melihat bahwa pada wajah itu terdapat ketenangan besar. Dia merasa kagum. Hwesio ini tentu kedudukannya rendah saja namun ada ketenangan yang mengagumkun pada dirinya. Maka diapun cepat membalas penghormatan itu dan berkata, “Saya datang bukan untuk bersembahyang, melainkan untuk minta bertemu dengan ketua Siauw-lim-pai.” Hwesio yang usianya tiga puluh tahun itu kelihatan tercengang. Jarang ada orang datang dengan maksud bertemu dengan ketua Siauw-lim-pai, apalagi yang datang hanya seorang pemuda seperti ini, bukan seorang tokoh kang-ouw yang terkenal. Dia memandang penuh sangsi, akan tetapi akhirnya menjawab juga, “Kongcu, tidak mudah untuk dapat bertemu dengan ketua, untuk itu kongcu harus mendaftarkan diri dan menyebutkan nama, tempat tinggal dan maksud kedatangan kongcu.” Han Houw mengerutkan alisnya, hatinya tidak senang. Kadang-kadang dia lupa bahwa tidak semua orang tahu bahwa dia adalah seorang pangeran yang berpengaruh dan berkedudukan tinggi sehingga sikap seorang yang kurang menghormatinya mendatangkan perasaan tidak senang di dalam hatinya. Ingin dia membentak dan memaki hwesio itu, akan tetapi dia tahu bahwa dia berada di tempat yang berbahaya, bahwa dia telah memasuki guha naga dan harimau, maka dia harus bersikap hati-hati. “Hwesio, katakanlah bahwa aku Pangeran Ceng Han Houw dari kota raja ingin bertemu dengan ketua Siauw-lim-pai.” Biarpun ucapan ini dikeluarken dengan suara haluss namun seketika wajah hwesio itu menjadi pucat, ketenangannya membuat sejenak dia hanya melongo memandangi tamu itu dari kepala sampai ke kaki, agaknya sukar baginya untuk percaya, akan tetapi juga timbul semacam perasaan gelisah dan takut kalau-kalau pemuda ini benar-benar seorang pangeran dan dia telah bersikap kurang selayaknya! Kalau benar pangeran, mengapa datang sendirian tanpa pengawal dan pakaiannya sudah agak kotor begitu? Mungkin dalam penyamaran, pikir hwesio itu dan karena dia tidak tahu bagaimana harus bersikap, maka dia hanya memberi hormat dengan membungkuk dan berkata dengan suara ragu-ragu. “Baiklah, akan pinceng laporkan ke dalam... silakan duduk menanti di ruang tamu...” Han Houw mengangguk, mengikuti hwesio itu pergi memasuki ruang tamu, lalu duduk di atas sebuah bangku menanti kembalinya hwesio tadi yang bergegas pergi untuk melaporkan kedatangan pemuda yang mengaku pangeran itu. Han Houw memandangi tulisan-tulisan dengan huruf-huruf indah, dan gagah, juga lukisan-lukisan yang menghias dinding ruangan tamu itu. Di istana kaisar dia sudah melihat banyak lukisan dan tulisan indah, namun baru sekarang dia melihat lukisan dan tulisan dan suasana yang kesemuanya membayangkan kegagahan dan juga kedamaian seperti di ruangan tamu itu. Diam-diam dia kagum. Tidak bohonglah suara di dunia kang-ouw yang mengatakan bahwa Siauw-lim-pai adalah gudangnya ilmu silat, sastera dan agama. Makin besar keinginan hatinya untuk menundukkan ketua Siauw-lim-pai, karena sekali dia berhasil mengalahkan ketua Siauw-lim-pai, namanya tentu akan menjulang tinggi sekali! Akan tetapi terlalu lama hwesio tadi pergi. Kesabaran Han Houw hampir habis. Dia tidak tahu betapa berita tentang kedatangannya itu menimbulkan kehebohan di sebelah dalam kuil, di antara para pimpinan Siauw-lim-pai. Pada waktu itu, yang menjadi ketua dari Siauw-lim-pai adalah Thian Khi Hwesio, seorang kakek berusia enam puluh tahun lebih. Akan tetapi kakek ini tidak banyak mencampuri urusan dari kuil karena dia sibuk mengembangkan agama Buddha dengan jalan merantau, mendatangi kuil-kuil Siauw-lim-si di seluruh negeri, selain untuk mengamati perkembangan agama juga untuk melihat sendiri agar tidak ada anak murid Siauw-lim-si yang menyelewengkan pelajaran. Dan urusan di kuil, baik mengenai agama maupun mengenai pelajaran sastera, silat dan hubungan dengan orang luar, diserahkan kepada tiga orang murid utamanya. Yang pertama adalah Thian Sun Hwesio, yang bertubuh gemuk seperti patung Ji-lai-hud, dengan muka yang bulat lebar, sepasang mata yang lebih banyak menunduk setengah terpejam, gerak-gerik yang halus pendiam. Sesuai dengan sifatnya, Thian Sun Hwesio ini mewakili suhunya untuk mengepalai bagian keagamaan, selain menjadi ketua kuil juga dialah yang menjadi guru besar pelajaran agama. Yang ke dua adalah Thian Bi Hwesio, berusia lima puluh tahun, beberapa tahun lebih muda dibandingkan Thian Sun Hwesio, dan hwesio ini bertubuh menyeramkan, tinggi besar dan berkulit hitam, nampak kokoh kuat seperti batu karang, dengan mata yang lebar memandang tajam, sikapnya kaku dan kata-katanya parau nyaring, wataknya jujur dan penuh disiplin. Hwesio inilah yang diserahi tugas mengajar ilmu silat kepada para murid. Adapun hwesio ke tiga adalah Thian Bun Hwesio, berusia lima puluh tahun pula, bertubuh tinggi kurus, sikapnya ramah sekali dan gerak-geriknya halus. Hwesio ini mengepalai bagian pelajaran sastera dan dia pula yang bertugas menerima tamu dan berhubungan dengan orang luar. Sebagai murid-murid utama dari Thian Khi Hwesio, tentu saja ilmu kepandaian silat dari tiga orang hwesio ini sudah tinggi dan mereka itu memiliki keistimewaan masing-masing. Di samping tiga orang hwesio sebagai murid utama ini tentu saja masih terdapat belasan orang hwesio pandai yang setingkat lebih rendah daripada mereka bertiga, namun bagi orang luar, setiap orang hwesio Siauw-lim-si, dari tukang kebun sampai tukang membersihkan lantai, rata-rata memiliki ilmu silat yang tangguh. Ketika hwesio yang tadi menerima Han Houw melapor ke dalam, para hwesio yang tadinya seperti biasa dalam keadaan tenang itu menjadi panik. Siapa orangnya tidak menjadi panik kalau mendengar bahwa pangeran istana kerajaan menjadi tamu secara begitu tiba-tiba? Seorang pangeran adalah seorang yang amat tinggi kedudukannya, tidak boleh disamakan dengan pembesar-pembesar biasa setempat. Maka para hwesio itu langsung melapor kepada Thian Bun Hwesio. Hwesio tinggi kurus ini juga terkejut dan karena Thian Sun Hwesio pada saat itu sedang bersamadhi dan tidak boleh diganggu, maka Thian Bun Hwesio lalu mengajak suhengnya, Thian Bi Hwesio yang tinggi besar untuk menemaninya menyambut tamu agung itu. Han Houw sudah hampir bilang sabar dan dia merasa jengkel juga ketika akhirnya pintu sebelah dalam itu terbuka dan muncul dua orang hwesio tua dari dalam. Dia tinggal duduk saja dengan sikap angkuh, matanya yang mencorong memandang kepada dua orang hwesio itu. Thian Bun Hwesio dan Thian Bi Hwesio juga memandang dan diam-diam mereka terkejut melihat mata yang mencorong dari pemuda itu. Sebagai ahli-ahli silat kelas tinggi tentu saja mereka mengerti apa artinya sepasang mata yang mengeluarkan sinar mencorong itu dan mereka terheran-heran, juga menduga-duga. Mungkinkah ada seorang pangeran istana yang memiliki sin-kang sedemikian kuatnya sehingga kekuatan itu sampai nampak pada sepasang matanya yang mencorong seperti mata naga? Ataukah hanya kebetulan saja? Dua orang hwesio itu lalu memberi hormat dengan membungkukkan tubuh, dan dengan suara halus dan muka ramah Thian Bun Hwesio lalu berkata, “Harap paduka sudi memaafkan pinceng sekalian karena tidak tahu akan kunjungan yang terhormat ini, maka pinceng terlambat menyambut dan tidak ada persiapan. Tentu saja pinceng sekalian merasa terkejut dan heran mendengar kunjungan seorang pangeran yang mulia tanpa pengiring dan berita terlebih dahulu.” Dalam kata-kata ini terkandung pertanyaan-pertanyaan karena keganjilan kunjungan itu. Han Houw juga mengerti akan keanehan kunjungannya sebagai seorang pangeran ini, akan tetapi dia tidak perduli dan dia langsung bertanya, “Siapakah di antara ji-wi locianpwe ini yang menjadi ketua Siauw-lim-pai? Aku hanya ingin bertemu dan bicara kepadanya.” Dua orang hwesio itu saling lirik. Pemuda ini menyebut mereka “locianpwe”, sebutan yang biasanya hanya dilakukan di kalangan persilatan sebagai tanda menghormat orang yang tingkat tinggi, orana-orang biasa tentu akan menyebut mereka “losuhu” saja, sebutan bagi para pendeta. Hal ini tentu saja makin membingungkan dan menimbulkan banyak dugaan. Apakah pangeran ini seorang ahli silat? Melihat sepasang matanya yang mencorong dan melihat sebutan itu, sangat boleh jadi. Thian Bun Hwesio menjura dengan penuh hormat. “Harap paduka sudi memaafkan kami, pada saat ini, suhu kami tidak berada di sini.” “Bukankah ketua Siauw-lim-pai bernama Thian Khi Hwesio? Ke manakah beliau pergi?” Tidak mengherankan kalau orang mengenal nama ketua Siauw-lim-pai atau guru mereka. Akan tetapi pemuda yang mengaku pangeran ini berkeras hendak menemui guru mereka, inilah yang mengherankan. Akan tetapi, benarkah pemuda ini seorang pangeran? Hal ini harus dibuktikannya lebih dulu. “Suhu Thian Khi Hwesio sedang mengadakan perjalanan ke selatan, akan tetapi setahu kami, suhu tidak pernah berurusan dengan fihak istana kerajaan. Oleh karena itu, kalau memang ada urusan dari istana, kiranya paduka dapat mengurusnya dengan pinceng sebagai murid dan sebagai wakilnya. Pinceng Thian Bun Hwesio dan ini suheng Thian Bi Hwesio adalah murid-murid beliau yang sudah diberi wewenang untuk mewakili beliau mengurus segala sesuatu atas nama Siauw-lim-pai. Tidak tahu ada urusan penting apakah seorang pangeran kerajaan saperti paduka sampai datang mencari suhu?” Ucapan yang panjang lebar itu jelas berbau kecurigaan namun dia tidak perduli. Dengan nada suara dingin dia berkata, “Aku Pangeran Ceng Han Houw adalah adik Kaisar Ceng Hwa. Ji-wi locianpwe mau percaya atau tidak terserah. Akan tetapi kedatanganku ini tidak membawa urusan kerajaan, melainkan urusan pribadi dengan ketua Siauw-lim-pai, Thian Khi Hwesio.” Lega rasa hati Thian Bun Hwesio mendengar ini. Tadinya dia khawatir kalau-kalau ada urusan dengan pemerintah dan ini tentu akan melibatkan Siauw-lim-pai dalam urusan yang amat tidak enak. Kiranya pemuda tampan yang mengaku pangeran ini datang untuk urusan pribadi dan melihat keadaan dan sikapnya, sangat boleh jadi kalau pangeran ini hendak minta belajar silat dari ketua Siauw-lim-pai! Tentu itulah kehendaknya, karena memang tidak jarang ada putera-putera bangsawan, bahkan dari istana, yang datang untuk mempelajari ilmu silat dari Siauw-lim-pai. Sikapnya menjadi makin ramah karena kelapangan hatinya. Pada saat itu, seorang hwesio yang memang tadi telah dipesan, datang membawa cangkir-cangkir teh yang dihidangkannya ke atas meja. Thian Bun Hwesio dengan ramah mempersilakan tamunya minum. Kemudian dia berkata dengan wajah berseri, “Kalau paduka mempunyai urusan pribadi, dapat paduka sampaikan kepada pinceng. Andaikata ada suhu di sinipun, tentu pelaksanaannya akan suhu berikan kepada pinceng. Ada keperluan apakah gerangan yang membuat paduka jauh-jauh datang ke Siauw-lim-si kami?” Mendengar ini, Han Houw yang telah minum teh yang dihidangkan itu, kini memandang kepada mereka berdua penuh perhatian, terutama Thian Bi Hwesio yang bertubuh tinggi besar dan bersikap keren dan pendiam itu. Kemudian dia mengajukan pertanyaan yang membuat dua orang hwesio itu terkejut, “Apakah ji-wi locianpwe yang mewakili ketua Siauw-lim-pai merupakan murid-murid utama?” Thian Bun Hwesio hanya mengangguk. “Ah, kalau begitu tentu ji-wi memiliki ilmu silat yang paling tinggi di antara semua murid Siauw-lim-pai?” Thian Bun Hwesio tersenyum. “Ah, orang-orang lemah seperti kami ini mana berani mengatakan memiliki kepandaian tinggi? Siauw-lim-pai amat luas dan memiliki ribuan orang murid yang tersebar di seluruh negeri dan sukar untuk mengukur siapa yang lebih tinggi kepandaiannya. Bahkan suhu sendiri tentu tidak berani menganggap diri terpandai di antara para murid Siauw-lim-pai. Akan tetapi kalau di kuil ini, tentu saja suhu yang paling pandai dan pinceng sekalian adalah murid-murid utamanya.” “Bagus sekali! Kalau begitu ji-wi locianpwe yang merupakan orang terpandai di sini sesudah ketua Siauw-lim-pai!” Han Houw berkata girang. Kenyataan ini menggirangkan hatinya yang tadi kecewa mendengar bahwa ketua Siauw-lim-pai sedang pergi. Setidaknya kalau dia sudah dapat menghadapi murid-murid utama Siauw-lim-pai, sudah cukuplah sebagai langkah-langkah pertama menuju kepada sebutan Jagoan Nomor Satu di dunia! Thian Bi Hwesio juga menyangka bahwa pangeran ini tentu ingin belajar silat, maka kini dialah yang bicara dengan suaranya yang nyaring, parau dan jujur, “Pangeran, ketahuilah bahwa pinceng yang mewakili suhu di sini untuk memimpin para murid belajar ilmu silat. Kalau paduka berniat hendak belajar...” Wajah Han Houw berseri dan mulutnya tersenyum, lalu dia bangkit berdiri. “Bagus sekali, Thian Bi Hwesio! Tadinya aku bermaksud belajar dari Thian Khi Hwesio ketua Siauw-lim-pai, akan tetapi karena beliau sedang berada di luar, maka biarlah aku mempelajari beberapa jurus pukulan dari Ji-wi locianpwe. Marilah, locianpwe!” Menyaksikan kegembiraan pemuda itu, dua prang hwesio itu tersenyum lebar. Pemuda ini begitu penuh semangat untuk belajar! Dan seketika itu juga minta diajari, seolah-olah ilmu silat itu adalah ilmu yang dapat seketika lalu bisa! Akan tetapi karena merekapun menduga bahwa tentu pemuda bangsawan ini sedikit banyak sudah mengenal ilmu silat, maka Thian Bi Hwesio lalu berkata. “Baik, marilah kita ke lian-bu-thia, pangeran.” Ketika mereka memasuki ruangan belajar silat yang luas itu, di situ terdapat belasan orang hwesio dan murid Siauw-lim-pai yang muda-muda sedang berlatih silat. Ada pula yang sedang berlatih sendirian, berdua, ada pula yang sedang melatih otot-otot mereka dengan mengangkat benda-benda berat dan sebagainya. Tubuh atas mereka yang tidak berbaju itu mengkilap oleh keringat. Melihat datangnya dua orang guru mereka bersama seorang pemuda tampan, mereka semua segera memberi hormat dan berdiri di pinggir, menghentikan latihan mereka. Dari hwesio penyambut tamu tadi sudah tersiar berita akan datangnya tamu agung, seorang pangeran, maka kini semua mata ditujukan kepada Han Houw dengan penuh perhatian karena mereka semua dapat menduga bahwa agaknya pemuda inilah yang disebut oleh hwesio penerima tamu tadi. Melihat lian-bu-thia yang lengkap dengan semua alat berlatih silat berikut rak senjata di mana terdapat semua bentuk senjata-senjata kaum persilatan, dinding-dinding yang dihias gambar-gambar tubuh manusia dengan keterangan tentang letak tulang-tulang, otot-otot dan syaraf, Han Houw memandang dengan kagum. Memang luas dan lengkap sekali lian-bu-thia ini, patut menjadi tempat berlatih silat perkumpulan yang demikian besar dan ternama. Dengan tangannya, Thian Bi Hwesio memberi isyarat kepada para murid untuk duduk di pinggir dan mereka semua lalu duduk bersila di dekat dinding dengan rapi, siap untuk melihat seperti sikap mereka kalau hendak diberi kuliah tentang ilmu silat oleh guru mereka. Juga Thian Bun Hwesio sambil tersenyum memandang dan hwesio ini duduk di atas sebuah bangku di sudut ruangan, ingin melihat bagaimana suhengnya akan memberi petunjuk kepada pangeran yang aneh ini. Mereka saling berdiri berhadapan, Pangeran Ceng Han Houw dan Thian Bi Hwesio, murid ke dua dari Thian Khi Hwesio. Pangeran itu yang bertubuh cukup jangkung tegap, nampak kecil berhadapan dengan hwesio berkulit hitam dan bertubuh tinggi besar seperti raksasa itu. “Pangeran, pernahkah paduka belajar ilmu silat?” tanyanya dengan suara nyaring akan tetapi sikapnya hormat. Pangeran itu mengangguk. “Untuk dapat memberi petunjuk kepada paduka dalam ilmu silat, maka lebih dulu pinceng harus melihat sampai di mana tingkat yang paduka miliki, apakah kedudukan kaki pada pelajaran yang lalu sudah benar. Karena ilmu silat Siauw-lim-pai haruslah murni dan tidak boleh dikacaukan dengan dasar-dasar dari ilmu silat lain, barulah ilmu itu dapat dilatih dengan sebaiknya. Oleh karena itu, harap paduka suka memperlihatkan gerak ilmu silat yang pernah paduka pelajari.” Han Houw tersenyum, “Locianpwe, tidak enaklah kalau bersilat sendirian saja dan menjadi tontonan, karena ilmu silatku amat buruk, sebaiknya kalau locianpwe memberi pelajaran satu dua jurus kepadaku.” Itulah merupakan tantangan, biarpun nadanya minta diberi pelajaran. Thian Bi Hwesio masih tersenyum. “Biarlah seorang murid pinceng yang terbaik menemani paduka, dari gerakan padukapun pinceng dapat menilai tingkat...” “Jangan, locianpwe. Tadinya aku hendak minta pelajaran langsung dari Thian Khi Hwesio, untuk minta beliau menguji kepandaianku, akan tetapi karena beliau tidak ada, harap locianpwe saja yang menguji. Aku datang bukan untuk belajar ilmu silat Siauw-lim-pai, melainkan untuk minta ketua Siauw-lim-pai menguji ilmu silatku, locianpwe.” Kini barulah Thian Bi Hwesio dan Thian Bun Hwesio, juga para murid Siauw-lim-pai yang berada di situ, terkejut bukan main. Kiranya pemuda tampan yang mengaku pangeran ini bukan ingin belajar silat dari Siauw-lim-pai, melainkan bendak minta Siauw-lim-pai menguji kepandaiannya, atau dengan lain kata, pemuda itu hendak menguji kepandaian ketua Siauw-lim-pai! “Ah, harap paduka tidak main-main, pangeran. Paduka adalah seorang pangeran yang harus kami hormati, sedangkan ilmu silat adalah ilmu pukulan yang tidak bermata, maka kalau sampai kesalahan tangan melukai paduka, tentu akan menimbulkan penyesalan hebat!” Han Houw tertawa dan bertolak pinggang. “Ha-ha-ha, locianpwe, jangan menganggap aku sebagai anak kecil yang takut terluka. Pula, apakah lodanpwe mengira bahwa aku akan dapat mudah kaukalahkan begitu saja? Kalau aku menganggap bahwa kepandaianku belum cukup, apakah aku berani datang ke Siauw-lim-pai?” Ucapan yang mulai tekebur ini mengejutkan semua orang dan kedua alis dari Thian Bi Hwesio berkerut. Dia salah menduga. Pemuda yang mengaku pangeran ini kiranya seorang pemuda yang tinggi hati dan yang agaknya terlalu mengandalkan kepandaian sendiri sehingga berani berlagak demikian sombongnya. Hendak mengajak mengadu kepandaian dengan dia! Bahkan dengan suhunya! Gila benar! “Pangeran,” katanya dengan nada suara serius dan matanya yang lebar itu memandang tajam, “hendaknya pangeran tidak mencari perkara, dan pinceng minta paduka menghentikan main-main ini. Kami tidak bersedia melayani permintaan paduka untuk main-main dalam ilmu silat. Ilmu silat Siauw-lim-pai bukan dimaksudkan untuk alat memukul orang atau menyombongkan diri!” Han Houw memandang hwesio itu dan tersenyum mengejek. “Apakah dengan lain kata locianpwe hendak menyatakan bahwa locianpwe tidak berani menerima tantanganku untuk saling menguji kepandaian atau pibu?” Tantangan itu sudah terang-terangan sekarang! Seorang hwesio muda, tidak lebih dari tiga puluh tahun usianya, yang bertelanjang baju, sudah meloncat ke depan. Dia ini merupakan murid pertama dari Thian Bi Hwesio dan wataknya keras jujur seperti gurunya. Matanya lebar bundar. “Suhu, biarlah teecu mewakili suhu untuk bermain-main sebentar dengan pangeran! Kalau sampai kesalahan tangan, biarlah teecu yang menderita hukuman, bukan suhu!” Murid ini agaknya maklum mengapa gurunya segan menyambut tantangan pemuda itu. Kalau gurunya menerima berarti membahayakan Siauw-lim-pai, karena kalau sampai suhunya melukai pangeran itu, bukankah fihak kerajaan akan marah dan sakit hati? Maka, gurunya meragu. Akan tetapi dia sendiri tidak sanggup menahan lebih lama lagi mendengar gurunya disebut takut menghadapi pangeran muda yang sombong itu. “Baiklah, kau berhati-hatilah, jangan kesalahan pukul,” kata Thian Bi Hwesio sambil mengangguk, lalu melangkah pergi menuju ke bangku di samping sutenya. Di situ mereka berdua berbisik-bisik dengan alis berkerut, merasa khawatir melihat seorang pangeran agaknya sengaja hendak mendatangkan keributan. Hwesio bermata lebar itu kini menghadapi Han Houw sambil tersenyum menyeringai dan berkata, “Pangeran, hambalah yang mewakili suhu Thian Bi Hwesio untuk menerima tantangan pibu paduka. Nah, paduka mulailah!” Sambil berkata demikian, hwesio ini sudah memasang kuda-kuda dengan gagahnya. Kedua kakinya terpentang lebar, dengan kedua lutut ditekuk membentuk segi yang lurus, dengan tubuh tegak dan mata tajam memandang kepada musuh, kedua tangan ditekuk dengan jari-jari terbuka membentuk cakar di bawah dan atas pusar. Gagah sekali kuda-kuda ini dan memang hwesio itu telah membuka gerakan dengan kuda-kuda ilmu silat harimau. Akan tetapi Han Houw yang merasa kecewa dan juga diam-diam marah karena Thian Bi Hwesio memandang rendah kepadanya itu, hanya tersenyum. “Hwesio, percuma saja kalau engkau yang maju. Dalam beberapa jurus saja engkau akan roboh!” Dia lalu menghampiri hwwsio itu dan dengan sembarangan tangannya bergerak menampar sambil berkata, “Nah, kauterimalah ini!” Semua orang menahan napas menyaksikan kelancangan ini. Gerakan pemuda tampan itu sama sekali bukan gerakan silat, melainkan cara menyerang yang amat lemah dan bodoh. Dengan kepandaian macam itu pemuda bangsawan ini berani menantang Thian Bi Hwesio, bahkan tadinya mencari Thian Khi Hwesio! Hwesio itu tentu saja bergerak cepat. Dia masih ingat bahwa pemuda ini seorang pangeran, maka dia hanya ingin mengalahkan tanpa melukai agar Siauw-lim-pai tidak sampai mendapat kesukaran, maka melihat tamparan itu, dia lalu mengelak cepat dan tiba-tiba tangan kirinya meluncur dari bawah, bukan lagi merupakan gerakan cakar harimau karena dia sudah merubahnya menjadi totokan dengan dua jari ke arah jalan darah di bawah lengan tangan Han Houw yang menampar. Dia ingin dalam segebrakan saja menotok lumpuh pangeran itu, dengan demikian mengalahkannya tanpa melukai. “Tukkk!” Totokan itu tepat mengenai jalan darah di dekat ketiak Han Houw, akan tetapi hwesio itu terkejut bukan main ketika kedua jarinya bertemu dengan kulit yang kerasnya seperti baja dan kini tahu-tahu tangan Han Houw sudah menampar lagi ke arah lehernya. Hwesio itu cepat menggunakan kedua lengannya untuk menangkis dari kanan kiri, dengan jalan menggunting! Akan tetapi dengan sikap tidak perduli, Han Houw melanjutkan tamparannya dan kedua lengan lawan itu dengan keras menggunting lengannya dari kanan kiri. Anehnya, kedua lengan hwesio itu terpental dan tangan Han Houw masih terus saja meluncur ke depan karena tangkisan itu sama sekali tidak mempengaruhinya. “Plakk!” Tengkuk hwesio itu kena ditampar perlahan saja, dan hwesio itu mengeluh kemudian kaki Han Houw bergerak menendang dan tubuh hwesio yang sudah lemas itu terlempar ke arah Thian Bi Hwesio! Hwesio tinggi besar ini cepat berdiri dan menerima tubuh muridnya. Cepat dia memeriksanya dan kagetlah dia melihat betapa muridnya itu telah pingsan tertepuk jalan darahnya secara lihai sekali. Dia tahu bahwa pemuda itu ternyata seorang yang lihai dan hanya berpura-pura saja tolol. Diapun tahu bahwa muridnya, yang terhitung pandai, dikalahkan dalam dua gebrakan saja bukan oleh ilmu silat, melainkan oleh tenaga dalam yang berselisih jauh. Jelas bahwa melihat kehebatan tenaga sin-kang pemuda itu, muridnya sama sekali bukan tandingannya dan tahulah dia bahwa pemuda ini merupakan lawan tangguh. “Sute, waspada...” bisiknya kepada Thian Bu Hwesio dan dia sendiri dengan sekali lompat sudah tiba di depan Han Houw. “Ah, kiranya paduka adalah seorang yang memiliki kepandaian hebat!” Thian Bi Hwesio berkata. “Maafkan pinceng yang tidak mengetahuinya. Tidak tahu dari perguruan manakah paduka dan apa sebabnya paduka mengajak adu kepandaian dengan kami orang-orang Siauw-lim-pai yang tidak pernah menggunakan kepandaian untuk menghina fihak lain?” “Hemm, Thian Bi Hwesio! Aku tidak terikat oleh partai manapun dan akupun tidak mempunyai permusuhan dengan Siauw-lim-pai. Akan tetapi karena mendengar bahwa Siauw-lim-pai merupakan gudang ahli-ahli silat, maka aku ingin sekali membuktikan. Alangkah akan kecewa hatiku kalau melihat bahwa ahli silat Siauw-lim-pai hanya seperti si lancang tadi! Maka aku ingin sekali mengadu ilmu dengan Thian Khi Hwesio atau setidaknya dengan orang terpandai di sini. Aku ingin melihat siapa di antara kita yang boleh disebut orang terpandai di dunia persilatan! Kalau locianpwe yang mewakili Thian Khi Hwesio tidak berani menghadapiku, akupun tidak akan memaksa, akan tetapi kalau tidak berani, Siauw-lim-pai harus menyatakan secara tertulis dan mengakui saya sebagai jagoan nomor satu di dunia!” Dua orang hwesio tua itu sampai terbelalak mendengar ucapan yang bernada tinggi hati dan sombong luar biasa itu! Mana ada ahli silat di dunia ini yang berani mengaku sebagai jagoan nomor satu di dunia? Akibatnya akan hebat dan tentu seluruh kang-ouw akan bangkit menentangnya! Di dunia persilatan berlaku istilah bahwa setinggi-tingginya puncak Gunung Thai-san, masih ada langit yang lebih tinggi lagi! Semenjak dahulu, belum pernah ada atau jarang sekali ada orang yang sedemikian sombongnya hendak mengangkat dirinya sendiri menjadi jagoan nomor satu di dunia, apalagi oleh seorang pemuda seperti ini! Thian Bi Hwesio adalah seorang hwesio yang jujur dan kasar, maka mendengar ucapan bernada sombong itu wajahnya menjadi semakin hitam. Dengan mata melotot dia lalu berkata, “Pangeran, tidak mungkin bagi kami untuk membuat pernyataan apapun, dan memang Siauw-lim-pai tidak pernah takut menghadapi apapun dan siapapun. Kami telah menolak ajakan pibu dari pangeran hanya untuk mencegah terjadinya hal-hal tidak baik menimpa paduka akan tetapi kalau paduka memaksa, kami sebagai wakil suhu tentu saja tidak akan takut.” “Bagus, itu baru suara seorang gagah! Nah, Thian Bi Hwesio, marilah kita main-main beberapa jurus untuk menentukan siapa di antara kita yang lebih pandai!” Han Houw berkata girang dan dia sudah memasang kuda-kuda. Melihat kepandaian murid hwesio ini tadi, dia agak memandang rendah dan mengambil keputusan untuk mempergunakan ilmunya yang pernah dipelajarinya dari subonya melalui sucinya. Melihat bentuk kuda-kuda pemuda itu, Thian Bi Hwesio makin berhati-hati. Kuda-kuda itu aneh, dengan kaki kiri diluruskan ke depan dan kaki kanan ditekuk hampir berjongkok, dan kedua lengan bersilang di depan muka, yang satu terkepal yang satu lagi terbuka. “Silakan, pangeran!” katanya sambil memasang kuda-kuda dan hwesio ini yang tidak berani memandang rendah sudah bergerak dan memainkan Ilmu Silat Lo-han-kun. Dia tidak mau mempergunakan ilmu yang kasar, melainkan ilmu yang halus seperti Lo-han-kun akan tetapi mengerahkan tenaganya sehingga tulang-tulangnya mengeluarkan bunyi berkerotokan mengerikan ketika dia mengerahkan kedua lengan yang besar berotot itu. Han Houw girang sekali. Dia tahu bahwa hwesio ini cukup tangguh, dan makin tangguh lawan, makin gembiralah dia karena lawan itu ada harganya untuk dikalahkan. Karena dia sebagai tamu dan fihak tuan rumah sudah mempersilakan, tanpa sungkan lagi Han Houw lalu menggeser kakinya dengan ilmu langkah ajaib Pat-kwa-po, kemudian tiba-tiba dia menyerang dengan pukulan tangan kanan ke arah perut lawan dari bawah! “Hiaaattt...!” “Wuuuuttt... ah!” Hwesio itu berseru dan menggunakan lengan menangkis ke bawah dengan pengerahan tenaga karena dia hendak membuat pemuda itu kesakitan dengan mengadu lengan. Akan tetapi, biarpun dia tidak gentar untuk mengadu tenaga, Han Houw cepat menarik tangannya dan tubuhnya sudah berputar dengan langkah-langkah ajaib itu, kini dia bangkit berdiri dan tangan kirinya menampar. “Wuuuuutttt...!” “Ehhh...!” Thian Bi Hwesio terkejut bukan main melihat tamparan ini. Sebagai seorang ahli silat tinggi yang sudah banyak pengalamannya, dia mengenal tamparan yang mengandung hawa beracun. Dan memang Han Houw telah mengerahkan tenaga dan menampar dengan ilmu Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam) yang ampuh, ilmu yang dipelajarinya dari Hek-hiat Mo-li. Hwesio tinggi besar itu mengebutkan ujung lengan bajunya menyambut tamparan ini dengan totokan ujung lengan baju ke arah pergelangan tangan Han Houw. Pemuda inipun cepat menarik tangannya dan menyerang lagi dengan tonjokan ke arah dada, dibarengi tamparan ke dua ke arah pelipis lawan. Gerakannya cepat bukan main dan langkah-langkah kakinya amat indah, juga amat cepat dan tidak terduga sebelumnya. Namun, Thian Bi Hwesio dapat menghindarkan diri dari dua serangan itu dengan jalan mengebutkan ujung lengan baju, bahkan balas menyerang dengan cengkeraman-cengkeraman kuat yang memaksa Han Houw untuk melangkah mundur dan memutar. KINI baru tahulah semua murid Siauw-lim-pai bahwa pemuda yang mengaku diri sebagai pangeran itu benar-benar lihai bukan main! Dan jelas bahwa Ilmu Silat Lo-han-kun yang dimainkan sedemikian baiknya oleh Thian Bi Hwesio itu sama sekali tidak dapat mendesaknya! Pemuda itu mempergunakan langkah-langkah ajaib, langkah-langkah yang membentuk segi delapan dan yang selalu dapat membawa dirinya terhindar dari desakan Ilmu Silat Lo-han-kun, dan pemuda itupun membalas dengan pukulan-pukulan, tamparan-tamparan dan totokan-totokan yang tidak kalah hebatnya sehingga untuk menyelamatkan diri dari semua itu, agaknya Thian Bi Hwesio harus mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaiannya! Seratus jurus telah lewat dan diam-diam Han Houw kagum sekali. Hwesio ini selain memlliki tenaga yang amat kuat, juga ilmu silatnya demikian bersih dan sempurna, demikian kokoh kuat sehingga dia tidak melihat adanya lubang sedikitpun untuk dapat memasukkan serangannya! Biarpun dia sendiri selalu dapat menghindarkan diri, namun sebaliknya diapun tidak mampu mendesak lawannya! Jelaslah baginya bathwa kalau dia hanya mengandalkan ilmu-ilmunya yang dia pelajari dari subonya saja, dia tidak akan mampu mengalahkan tokoh Siauw-lim-pai yang amat tangguh ini. Maka mulailah dia merubah gerakannya dan kini dia mulai mainkan Ilmu Silat Hok-liong Sin-ciang sambil mengerahkan sin-kang yang dipelajarinya dalam guha menurut kitab Bu Beng Hud-couw itu. Dan akibatnya hebat! Beberapa kali Thian Bi Hwesio berteriak kaget ketika pemuda itu mulai melancarkan pukulan aneh yang mendatangkan angin berpusing! Dia berusaha untuk mengelak atau menangkis, mengerahkan tenaganya, namun pukulan ke tiga yang datangnya amat lambat, terlalu lambat malah itu mendatangkan suara bercicitan seperti seekor tikus terjepit dan hwesio itu berseru kaget karena tangannya yang menangkis terasa perih dan bajunya robek. Dia cepat melangkah mundur dan melihat betapa lengannya telah terluka seperti disayat pedang tajam! Sementara itu, kini Han Houw sudah mendesak dengan kedua tangan didorongkan dari bawah. Kembali terdengar suara bercuitan dan ketika Thian Bi Hwesio mengerahkan tenaga menangkis dan juga mendorongkan kedua telapak tangannya, kembali hwesio ini mengeluh dan tubuhnya terjengkang, terbanting roboh dan dia berguling lalu meloncat bangun di dekat sutenya, berdiri dengan tubuh bergoyang dan muka pucat, napasnya sesak dan dia memejamkan mata, lalu duduk bersila karena hwesio ini telah terluka di bagian dalam tubuhnya! Bukan main kagetnya Thian Bu Hwesio melihat kakak seperguruannya dikalahkan oleh pemuda itu. Sejak tadi, dia sudah menonton dengan mata terbelalak, makin lama makin kagum dan heran terhadap pemuda bangsawan yang benar-benar amat lihai itu dan hampir dia tidak percaya melihat betapa suhengnya benar-benar kalah oleh pemuda itu! Dia menjadi penasaran sekali, akan tetapi sebagai seorang tokoh besar Siauw-lim-pai, hwesio ini tidak menuruti rasa penasaran di hatinya dan tetap berdiri dengan sikap tenang. Sebagai seorang kepala bagian pelajaran silat, tentu saja suhengnya yang baru saja kalah itu lebih kuat daipadanya, akan tetapi Thian Bun Hwesio ini memiliki suatu keistimewaan yang melebihi suhengnya, yaitu dalam hal ilmu gin-kang atau meringankan tubuh. Setelah memperoleh kemenangan itu dengan amat mudah setelah dia mempergunakan ilmu yang dipelajarinya dari kitab rahasia Bu Beng Hud-couw, Han Houw tersenyum lebar dan wajahnya berseri-seri. Gembira bukan main rasa hatinya bahwa dengan ilmunya yang hebat itu, dia telah merobohkan hwesio Siauw-lim-pai yang merupakan tokoh besar itu hanya dalam waktu tiga jurus saja! Padahal ilmu-ilmunya itu belum dilatihnya secara matang. Makin besarlah kepercayaannya kepada diri sendiri, akan tetapi juga makin tinggilah dia memandang diri sendiri sehingga menimbulkan kesombongan. Perasaan sombong dan tinggi hati ini yang membuat dia tertawa dan memandang kepada Thian Bun Hwesio dan timbul pula keinginannya untuk juga mengalahkan hwesio ini! Dia merasa belum puas kalau hanya mengalahkan seorang hwesio saja, apalagi dia tadi telah mempergunakan waktu seratus jurus lebih karena tadinya dia mempergunakan ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari Hek-hiat Mo-li. Kini dia ingin membuka mata semua hwesio di situ bahwa dia mampu merobohkan guru-guru mereka dalam waktu kurang dari sepuluh jurus saja dan dia merasa yakin akan dapat melakukan hal ini kalau dia langsung mempergunakan ilmunya yang amat hebat dari Bu Beng Hud-couw. Maka dia kini tertawa. “Ha-ha-ha, locianpwe, kalau engkau mau maju, aku berani pastikan bahwa aku akan mampu merobohkanmu dalam waktu kurang dari sepuluh jurus!” Mendengar ini, hampir semua murid Siauw-lim-pai yang mendengarnya menjadi merah mukanya dan mereka itu marah sekali. Thian Bi Hwesio, guru dan pelatih mereka sudah kalah dalam pertandingan yang sewajarnya, dan hal ini bagi mereka tidak menjadikan rasa penasaran karena mereka sudah digembleng lahir batin dan tahu bahwa kalah menang dalam adu silat adalah lumrah dan merekapun tidak berpendapat bahwa guru mereka merupakan orang tak terkalahkan dalam dunia persilatan. Akan tetapi, mendengar pemuda itu mengatakan akan merobohkan susiok (paman guru) mereka dalam waktu kurang dari sepuluh jurus, sungguh merupakan ucapan yang keterlaluan dan berlebihan! Mereka tahu akan kelihaian susiok mereka yang dalam hal ilmu silat setingkat atau hanya berselisih sedikit saja dengan suhu mereka, bahkan mereka maklum bahwa susiok mereka ini memlliki kelebihan dalam gin-kang. Maka pernyataan pemuda bangsawan itu akan merobohkannya dalam waktu kurang sepuluh jurus, sungguh merupakan suatu penghinaan yang keterlaluan. “Pangeran, harap pangeran menghentikan adu kepandaian yang tiada manfaatnya ini dan suka duduk sebagai tamu terhormat atau paduka pergi saja meninggalkan tempat ini dan tidak mengganggu kami.” Dengan sikap sopan dan lemah lembut Thian Bun Hwesio berkata sambil menjura dengan sikap hormat. “Ha-ha-ha, sudah kukatakan tadi bahwa aku ingin menguji sampai di mana kehebatan ilmu silat dari Siauw-lim-pai, locianpwe. Kalau locianpwe tidak mau melayaniku untuk saling menyelami kepandaian masing-masing, akupun tidak memaksa, hanya kuharap locianpwe suka memberi pernyataan tertulis bahwa ilmu silatku lebih tinggi daripada ilmu silat Siauw-lim-pai!” Berkerut alis pendeta yang bersikap halus itu. Dia menggeleng-geleng kepalanya. “Omitohud... apa akan jadinya kalau ada orang berkedudukan tinggi bersikap seperti ini? Pangeran, pinceng tidak berwenang untuk memutuskan sesuatu mengenai tindakan yang harus diambil oleh Siauw-lim-pai. Suhu kami sedang tidak berada di sini, dan pinceng tidak berani membuat pernyataan seperti itu.” “Kalau tidak berani, majulah agar aku dapat mencoba tingginya ilmu silatmu, locianpwe,” Mulutnya saja menyebut locianpwe atau orang tua yang gagah dan dihormati, akan tetapi sikap pangeran itu sungguh memandang ringan sekali. Hal ini terasa oleh Thian Bun Hwesio dan dia tahu bahwa dia tidak mungkin dapat mengelak lagi, maka dia lalu menarik napas panjang. “Agaknya paduka belum puas kalau belum merobohkan pinceng. Nah, bersiaplah. Pinceng hendak memperlihatkan kebodohan pinceng!” Setelah berkata demikian, hwesio itu menekan kedua kakinya di atas tanah dan di lain saat tubuhnya telah melayang naik ke atas, langsung menerjang dari atas ke arah Han Houw. “Uhhh...!” Pangeran itu terkejut bukan main. Tak pernah disangkanya bahwa pendeta itu memiliki gin-kang yang sedemikian hebatnya. Akan tetapi Han Houw sudah dapat menghindarkan diri dengan jalan merendahkan tubuhnya dan balas mengirim pukulan dari bawah. Terpaksa Thian Bun Hwesio mengelak dan berjungkir balik lalu turun beberapa meter jauhnya dari pemuda itu, kemudian dia sudah menerjang lagi dengan kecepatan luar biasa. Kedua lengan bajunya yang panjang lebar itu berkibar dan menyambar-nyambar, merupakan dua buah senjata yang menotok ke arah jalan-jalan darah yang penting dari tubuh Han Houw. Namun, dengan langkah-langkah Pat-kwa-po yang indah dan lihai itu Han Houw dapat menghindarkan diri dengan amat mudahnya. Kemudian secara tiba-tiba pemuda ini berjungkir balik, kepala di bawah, kaki di atas dan mulailah dia menyerang dengan kaki tangannya. Itulah jurus-jurus dari Ilmu Hok-te Sin-kun yang amat hebat itu. Thian Bun Hwesio mengeluarkan seruan kaget dan biarpun dia sudah berusaha mengelak secepatnya, namun serangan tangan dari bawah oleh pemuda itu masih mengenai pahanya dan saat itu Thian Bun Hwesio meloncat ke belakang, maka loncatannya terdorong oleh pukulan itu menjadi keras sekali dan dia melayang seperti sebuah layang-layang putus talinya, dan dari pahanya nampak darah membasahi celana! “Omitohud...!” Terdengar seruan halus dan tahu-tahu ada seorang hwesio tua lain yang menerima tubuh Thian Bun Hwesio denigah sebelah tangannya, lalu menurunkan tubuh Thian Bun Hwesio. Hwesio yang terluka pahanya itu cepat bersila dan memeriksa lukanya yang terkena pukulan ampuh dari tangan pemuda yang mengandung hawa beracun itu. Han Houw memandang hwesio yang baru muncul itu dengan penuh perhatian. Hwesio itu bertubuh gemuk, berwajah halus dan penuh kesabaran, namun sepasang mata yang bersinar lembut itu kelihatan amat berwibawa, usianya beberapa tahun lebih tua daripada Thian Bi Hwesio dan Thian Bun Hwesio. Hwesio ini melangkah maju menghampirinya lalu menjura dengan penuh hormat, sikapnya halus sekali. “Omitohud...! Dari laporan anak murid, pinceng mendengar bahwa paduka adalah Pangeran Ceng Han Houw dari kota raja. Perkenankan pinceng menghaturkan maaf sebesarnya atas kekasaran dua orang sute pinceng terhadap paduka.” Han Houw tersenyum. Dua orang hwesio yang pertama tadi juga bersikap halus dan hormat kepadanya, dan kini sikap amat halus dari hwesio ke tiga ini dianggapnya sebagai sikap takut terhadapnya. Setelah berhasil mengalahkan dua orang hwesio itu dia merasa makin bangga dan angkuh, memandang rendah kepada Siauw-lim-pai. Setelah dia mampu merobohkan dua orang itu, maka dia pikir bahwa untuk melawan guru merekapun dia tentu akan menang. Dia memandang hwesio tua yang menyebut sute kepada kedua orang hwesio tadi, lalu bertanya. “Siapakah locianpwe?” “Omitohud, paduka masih begini muda dan berkedudukan begitu tinggi akan tetapi paduka sudah pandai bersikap, sebagai seorang gagah yang menghormati orang tua, dan telah memiliki tingkat kepandaian yang demikian tinggi! Pinceng adalah Thian Sun Hwesio, murid tertua dari suhu yang menjadi ketua Siauw-lim-pai di kuil ini. Oleh karena itu, pincenglah yang mewakili suhu menghaturkan maaf sebesarnya kepada paduka.” “Hemm, Thian Sun Hwesio. Kedatanganku ini bukan untuk beramah-tamah, bukah pula untuk menjadi tamu, bukan untuk mengacau atau mencari permusuhan. Akan tetapi, sejak kecil aku suka sekali mempelajari ilmu silat dan aku ingin sekali menguji kepandaian semua tokoh persilatan, untuk melihat apakah aku patut menjadi jagoan nomor satu di dunia! Aku tadinya hendak mencari Thian Khi Hwesio untuk kuuji kepandaiannya, akan tetapi karena dia tidak ada, maka kuharap engkau sebagai murid tertua suka mewakilinya untuk menguji kepandaian denganku.” “Omitohud, mana pinceng berani begitu lancang? Pendeta-pendeta tua yang bodoh seperti pinceng ini mana ada kepandaian untuk memukul orang? Pinceng hanya dapat membaca liam-keng dan kalau paduka minta petunjuk tentang prikemanusiaan dan kehidupan, bolehlah pinceng memberinya sedapat pinceng. Akan tetapi ilmu silat? Pinceng tidak mengenal ilmu silat untuk memukul orang.” “Hemm, Thian Sun Hwesio, tidak perlu locianpwe seperti anda ini menyembunyikan kenyataan. Siapakah yang tidak tahu bahwa di samping ilmu keagamaan, para pendeta di Siauw-lim-si merupakan ahli-ahli silat yang pandai? Aku telah menguji kepandaian kedua orang sutemu yang ternyata tidak berapa tinggi, maka kini aku minta locianpwe suka mewakili Thian Khi Hwesio untuk mengadu kepandaian melawanku.” “Pinceng tidak berani.” “Kalau tidak berani, harap locianpwe suka membuat pernyataan tertulis bahwa Siauw-lim-pai tidak dapat menandingi ilmu silatku!” “Ah, untuk membuat itupun pinceng mana berani? Sebaiknya kelak kalau suhu sudah pulang saja paduka datang lagi dan bicara sendiri kepada suhu. Tentang kepandaian silat, di dunia ini siapakah yang dapat menentukan atau mengukur?” “Thian Sun Hwesio, bicaramu bercabang! Kalau memang ada kepandaian, hayo keluarkan untuk kutandingi!” “Omitohud... harap paduka pangeran jangan salah artikan. Pinceng tidak pernah mempelajari ilmu untuk berkelahi, melainkan hanya belajar sedikit ilmu untuk menjaga kesehatan.” “Hemm, kalau begitu coba locianpwe memperlihatkan ilmu untuk menjaga kesehatan itu!” Han Houw mendesak dan menantang. Hwesio ini tentu merupakan tokoh nomor satu di kuil ini sesudah ketuanya yang sedang pergi, maka hatinya belum puas kalau dia belum mengalahkan hwesio ini. Thian Sun Hwesio tersenyum ramah, lalu dia menghampiri sebuah sapu yang bersandar di sudut ruangan itu. “Beginilah pinceng menjaga kesehatan, yaitu dengan pekerjaan yang bermanfaat, misalnya menyapu lantai.” Sambil berkata demikian, Thian Sun Hwesio menggerakkan sapu tua itu dengan sekali ayun. Han Houw terkejut bukan main karena dia merasakan adanya sambaran angin yang berputar-putar dan semua debu dan kotoran di dalam ruangan itu ikut berputaran seperti terbawa angin puyuh dan semua kotoran dan debu terkumpul di suatu sudut ruangan itu. Dengan sekali ayun saja kakek itu telah dapat “menyapu” lantai ruangan itu sampai bersih, dan angin yang berputar-putar keluar dari ayunan sapunya tadi saja menunjukkan betapa kuatnya tenaga sin-kang dari Thian Sun Hwesio! Hwesio ini benar-benar tak boleh dipandang ringan, sama sekali tidak dapat dibandingkan dengah dua orang hwesio pertama tadi, dan dia harus berpikir sepuluh kali lebih dulu untuk dapat memastikan bahwa dia akan menang melawan kakek ini! “Bagus sekali! Kekuatanmu demikian hebatnya, Thian Sun Hwesio, marilah kita bertanding mengadu ilmu beberapa jurus!” tantangnya dan dia sudah melangkah maju lalu memasang kuda-kuda. Akan tetapi hwesio itu tersenyum dan menggeleng kepala. “Omitohud, pinceng sudah menyatakan bahwa pinceng tidak pernah mempelajari ilmu silat untuk berkelahi. Biar pinceng dipukul matipun pinceng tidak berani melawan dengan kekerasan. Pinceng hanya bisa menyapu lantai seperti tadi, tidak bisa berkelahi,” jawab pendeta itu. Han Houw mengerutkan alisnya. Dia merasa penasaran sekali, akan tetapi diapun tahu bahwa amat tidak baik kalau dia menyerang orang yang tidak akan mau melawan. Selain hal itu amat tidak baik, terutama bagi namanya yang diharapkan akan dapat disebut jagoan nomor satu di dunia, juga dia tidak sudi dan tidak tertarik. Maka dia menarik napas panjang, dan untuk melampiaskan rasa penasaran di dalam hatinya, dia lalu menghampiri sapu yang sudah disandarkan di pojok tadi. Dipegangnya gagang sapu dari kayu itu, ditimang-timangnya, kemudian digerak-gerakkan seperti orang menyapu, lalu diletakkannya kembali menyandar dinding. “Jelas aku tidak akan mampu menandingi kepandaianmu menyapu lantai, Thian Sun Hwesio! Maafkan aku!” Han Houw berkata sambil mengangguk dan membalikkan tubuhnya, pergi dari situ, diikuti oleh penghormatan Thian Sun Hwesio yang menjura dan merangkap kedua tahgan di depan dada. Setelah Han Houw pergi jauh, hwesio muda murid Thian Bi Hwesio yang tadi kalahkan oleh Han Houw berkata, “Omitohud... baiknya ada supek yang membuat dia jerih dan pergi. Kepandaian supek amat hebat sehingga pemuda sombong itu mundur tanpa berani mendesak!” Thian Sun Hwesio mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala. “Pangeran itu benar-benar hebat luar biasa dan dunia kang-ouw tentu akan geger dengan kemunculannya, bukan hanya karena ilmunya amat tinggi, akan tetapi terutama sekali karena dia seorang pangeran. Kau kira dia takut? Kauperiksa sapu itu baik-baik.” Mendengar ini, hwesio yang bertubuh tinggi besar itu lalu memandang heran, dan dihampirinya sapu yang dipegang oleb Han Houw. Kelihatannya sapu itu tidak apa-apa, akan tetapi begitu jari tangan pendeta itu menyentuhnya, sapu yang kelihatan tadi masih utuh itu tiba-tiba hancur berantakan! Tentu saja hwesio itu terkejut sekali dan mengeluarkan seruan kaget sambil melompat ke belakang. “Nah, kalian lihat betapa lihai dan berbahayanya tangan pangeran itu. Pinceng sendiripun belum tentu akan mampu menandingi kekuatan sin-kangnya yang mengandung keajaiban. Sute berdua apakah tadi mengenal gerakan-gerakannya, dan dari golongan manakah ilmu silatnya?” tanya hwesio ini kepada dua orang sutenya. Thian Bi Hwesio dan Thian Bun Hwesio saling pandang, kemudian menggeleng kepala dengan pandang mata terheran. “Gerakannya amat aneh dan selama hidup belum pernah pinceng melihat dasar ilmu silat seperti itu,” kata Thian Bi Hwesio. “Terutama gerakan-gerakannya dengan kepala di bawah dan kaki di atas itu,” sambung Thian Bun Hwesio. “Seperti didasari gerakan yoga dari India, akan tetapi tentu bercampur dengan ilmu kaum sesat.” Setelah kemunculan Han Houw yang seperti badai mengamuk mendatangkan kekalutan di dalam kuil itu, suasananya menjadi sunyi dan tenteram setelah pemuda itu pergi dan para hwesio melanjutkan tugas masing-masing, sungguhpun badai yang baru saja mengamuk itu mendatangkan kesan di dalam hati mereka dan menimbulkan kekhawatiran. Sementara itu, Han Houw pergi dengan hati yang puas. Betapapun juga, dia telah mengalahkan dua orang tokoh besar dari Siauw-lim-pai, dan hal ini saja tentu akan mengangkat namanya tinggi-tinggi di dunia kang-ouw! Dia lalu melanjutkan perjalanannya ke utara, ke kota raja akan tetapi di setiap kota dia tentu berhenti, mencari tokoh-tokoh kang-ouw untuk diajak mengadu ilmu silat! Banyaklah tokoh-tokoh kang-ouw yang dirobohkannya, sebagian besar dikalahkannya dengan ilmu silatnya yang memang amat tinggi itu, akan tetapi ada pula sebagian tokoh besar dunia kang-ouw yang tidak berani melawan sungguh-sungguh ketika tahu bahwa pemuda yang lihai itu adalah Pangeran Ceng Han Houw, adik dari kaisar! Mereka lebib baik mengalah daripada harus melukai atau salah-salah dapat membunuh seorang pangeran karena hal ini akan menimbulkan akibat yang amat hebat sekali! Maka, kemenangan demi kemenangan diraih oleh Han Houw yang menjadi semakin angkuh dan merasa bahwa sesungguhnya dialah jagoan nomor satu di dunia ini! Dan tentu saja, sepak terjangnya itu tersiar luas di dunia kang-ouw ketika berita bahwa di dunia persilatan muncul seorang jago muda yang amat lihai, yaitu Pangeran Ceng Han Houw. Bahkan tersiar pula berita bahwa selain banyak orang kang-ouw di selatan yang sudah kalah oleh pangeran ini, juga tokoh-tokoh Siauw-lim-pai roboh pula oleh jagoan muda ini! Berita ini tentu saja disiarkan oleh Han Houw sendiri dan para tokoh kang-ouw menjadi semakin ribut dan kagum! Pemuda itu menghempaskan dirinya di atas rumput hijau di bawah pohon besar yang teduh. Dia mengeluh panjang, lalu mengambil sehelai saputangan lebar dan menyusuti keringatnya di muka dan lehernya, membuka kancing bajunya bagian atas untuk merogoh dada dengan saputangannya yang kini menjadi basah kuyup. Diperasnya saputangan itu sehingga air keringat mengucur dan diusapnya lagi mukanya yang kemerahan. Dia mengeluh lagi. Sinar matahari amat teriknya di waktu siang hari itu, lewat tengah hari. Dan keteduhan di bawah pohon besar itu amat nyaman. Sehabis tertimpa panas matahari setengah harian lalu duduk berteduh di tempat itu, di tepi hutan, benar-benar menimbulkan rasa nyaman. Apalagi ketika ada angin berhembus lembut, membuat muka, leher dan dada yang kini terbuka sedikit itu tertiup angin, bukah main nikmatnya. Kulit yang tadinya gatal-gatal panas itu ditiup angin terasa sejuk nyaman dan pemuda itupun menguap. Kedua matanya mulai letih dan mengantuk. “Aihhh... Lan-moi dan Lin-moi, benar-benar membikin sengsara orang...!” keluhnya dan dia pun merebahkan tubuhnya yang gemuk itu di atas rumput, berbantal lengan kiri sedangkan lengan kanannya memegangi golok pada gagangnya, golok besar yang diletakkannya di atas rumput di samping tubuhnya yang besar. Tak lama kemudian diapun mendengkurlah, tidur dengan nyenyaknya! Pemuda itu bukan lain adalah Tee Beng Sin, keponakan Kui Hok Boan yang tinggal di dusuw Pek-jun dekat kota raja. Pemuda bertubuh gendut berwajah lucu ini seperti kita ketahui telah meninggalkan dusun Pek-jun bersama Kwan Siong Bu, seorang keponakan lain dari Kui Hok Boan, untuk mencari jejak Lan Lan dan Lin Lin yang melarikan diri karena mereka hendak diberikan kepada Pangeran Ceng Han Houw. Seperti telah diceritakan di bagian depan dari cerita ini, Beng Sin dan Siong Bu bersimpang jalan dan mereka tidak diperkenankan pulang oleh Kui Hok Boan sebelum menemukan dua orang gadis kembar yang minggat itu. Sudah berbulan-bulan, kurang lebih enam bulan lamanya, Beng Sin mencari-cari kedua orang adik seperguruan atau adik misan itu, dan akhirnya dia memperoleh jejak mereka di daerah ini. Dia mencari terus dan siang hari itu, saking lelah dan sedihnya dia jatuh pulas di tepi hutan lebat! Betapa hati pemuda gendut ini tidak akan berduka? Dia sudah setengah tahun meninggalkan rumah dan tidak berani pulang karena belum juga berhasil menemukan kembali Lan Lan dan Lin Lin. Dia amat suka kepada dua orang gadis kembar itu, mencinta mereka seperti adik-adik kandung sendiri, maka biarpun dia tidak dipesan oleh Kui Hok Boanpun, agaknya dia tidak mau pulang sebelum dapat bertemu dengan mereka. Kalau dia membayangkan nasib dua orang dara kembar itu, dia merasa kasihan sekali. Diam-diam dia menyesalkan sikap dan tindakan pamannya yang begitu tega untuk menyerahkan dua orang puterinya kepada pangeran tanpa persetujuan kedua orang dara itu! Memang menurut pendapat umum, diambil selir oleh seorang pangeran merupakan suatu kehormatan besar bagi seorang gadis, dan Beng Sin tentu saja terseret pula oleh anggapan umum ini, akan tetapi pemuda gendut ini tetap berpendirian bahwa betapa baikpun nasib dua orang dara itu telah dipilih oleh pangeran, namun karena urusan itu mengenai nasib kehidupan dua orang dara itu, maka tentu harus mendapat persejuan dari mereka sendiri. Saking kesalnya dan juga saking lelahnya, Beng Sin tidur pulas di bawah pohon dengan nyenyaknya sampai dia mendengkur! Tiba-tiba dia tersentak kaget dan sebagai seorang pemuda yang semenjak kecil belajar silat, begitu terbangun dia sudah meloncat dengan golok di tangan dan waspada, celingukan ke kanan kiri. Sungguh menyeramkan melihat pemuda yang gendut dan nampak tubuhnya kokoh kuat itu berdiri tegak dengan sebatang golok yang besarnya bukan main itu di tangan kanan, golok besar sekali yang berkilauan tertimpa sinar matahari. Beng Sin memandang ke kanan kiri dengan alis berkerut. Biarpun dia tadi tidur pulas, tak salah lagi, telinganya menangkap jeritan nyaring yang membuatnya tersentak kaget. Akan tetapi mengapa keadaan di situ sunyi saja dan dia tidak melihat atau mendengar apa-apa? Apakah dia mimpi? Tak mungkin. “Tolongggg... ohh, tolonggg...!” Beng Sin terperanjat, lalu meloncat dan lari ke arah suara itu, yaitu ke dalam hutan. Dia harus membabat semak-semak belukar dengan goloknya, menyusup-nyusup dan mukanya terasa gatal-gatal karena melanggar ranting-ranting semak-semak. Akan tetapi dia berlari terus dan akhirnya tibalah dia di tengah hutan. Nampak sebuah kereta tua yang ditarik oleh dua ekor kuda kurus di tengah hutan itu, di atas jalan hutan yang kasar. Lima orang laki-laki bertubuh tinggi besar dan bersikap kasar sambil tertawa-tawa sedang menarik-narik seorang gadis cantik sedangkan seorang wanita setengah tua menangis dan berusaha mencegah lima orang laki-laki itu. “Keparat!” Beng Sin membentak dan cepat dia meloncat ke dekat kereta itu. Lima orang laki-laki kasar itu terkejut mendengar bentakan Beng Sin. Mereka menoleh dan melihat munculnya seorang pemuda gendut yang memegang golok yang bukan kepalang besarnya, mereka lalu melepaskan gadis itu dan mencabut senjata masing-masing dengan sikap mengancam. “Jangan takut, nona, aku akan membasmi mereka!” kata Beng Sin dengan sikap gagah dan dia mendekati gadis dengan ibunya itu yang dengan tubuh gemetar lalu berlindung di belakangnya. Lima orang perampok kasar itu dipimpin oleh seorang pria setengah tua yang rambutnya riap-riapan dan mukanya bercambang bauk, matanya lebar dan sikapnya amat menakutkan, membayangkan keganasan dan keliaran. Bajunya terbuat dari kulit harimau yang memperlihatkan sebelah pundak dan sebagian dari dada kanannya yang tegap. Tangan kanannya memegang sebuah penggada yang besar sekali, besar dan berat, seimbang dengan besar dan beratnya golok di tangan Beng Sin. Empat orang anak buahnya berdiri di belakangnya, masing-masing memegang senjata mereka, ada yang golok, ada yang pedang atau tombak pendek. Dengan marah Beng Sin bertolak pinggang dan melintangkan golok besarnya di depan tubuhnya. “Hemm, kalian perampok-perampok laknat berani mengganggu wanita baik-baik di siang hari, ya? Setelah bertemu dengan tuan mudamu, kalian tentu tak dapat diberi ampun lagi!” Kepala perampok itu adalah seorang yang bertubuh tinggi besar dan kuat. Ketika dia meliha tubuh Beng Sin yang gendut dan besar, bahkan lebih besar daripada tubuhnya sendiri, dan melihat pemuda itu memegang sebatang golok yang amat besar dan agaknya tidak kalah berat dibandingkan dengan penggadanya, dia terbelalak dan kelihatannya agak jerih. “Kawan...” katanya sambil mengedip-ngedipkan mata seperti memberi isyarat rahasia. “Kita... kita bagi-bagi rata saja, dah! Berikan barang-barangnya kepada kami dan kau boleh mendapatkan orangnya.” Sejenak Beng Sin melongo, tidak mengerti. Akan tetapi kemudian dia mencak-mencak dan membanting-banting kaki kanannya. Celaka, pikirnya. Dia tentu disangka sebangsa pencoleng oleh kepala perampok itu! Ingin dia menghadapi cermin untuk melihat wajahnya sendiri. Benarkah wajahnya seperti wajah pencoleng? “Bangsat keparat jahanam laknat bermulut busuk!” Dia memaki-maki saking jengkelnya. Tangan kiri yang tadinya bertolak pinggang itu kini menuding ke hidungnya sendiri. “Buka lebar-lebar mata bangsatmu! Kaukira aku ini orang apa? Aku adalah seorang pendekar muda, tahu? Bagi-bagi nenek moyangmu itu! Hayo kalian pergi, kalau tidak, golokku yang sudah haus darah penjahat ini yang akan bicara!” “Wah, pendekarnya kok gendut amat...!” Terdengar seorang anak buah perampok berkata lirih. “Agaknya kurang latihan, sikat saja, twako!” kata orang ke dua. Didorong oleh anak buahnya, kepala perampok itu lalu mengeluarkan suara gerengan dan penggada itu diputar-putar di atas kepala sampai mengeluarkan suara berdesir-desir. “Taihiap hati-hati...!” bisik gadis itu dan Beng Sin yang tadinya merasa gentar juga melihat penggada yang besar itu, tiba-tiba membusungkan dadanya yang memang sudah besar dan lebar itu. Dia disebut “talhiap”. Dia pendekar besar! Ha! Untuk sebutan itu ingin rasanya dia menari-nari dan bermain silat mendemonstrasikan kemahirannya mempermainkan golok besarnya! Timbul pula keberanian dan kegagahannya, dan dia lalu menggerakkan golok sehingga nampak sinar berkelebat. “Kalian mau melawan? Bosan, hidup, ya? Nah, sambut ini!” Dia lalu membacokkan golok besarnya itu ke depan. Kepala rampok yang lebih biasa menalukkan korban dengan gertakan daripada tindakan ini, cepat menangkis. Biasanya, orang sudah bertekuk lutut minta ampun kalau dia sudah memutar penggadanya, akan tetapi pemuda gendut ini tidak takut! “Tranggg...!” Penggada itu terpental dan terlepas dari pegangan si kepala perampok! Beng Sin tersenyum-senyum, biarpun senyumnya menjadi agak kecut karena dia harus menahan rasa nyeri pada lengannya yang menjadi kesemutan karena getaran pertemuan senjata tadi. “Nah, ambil senjatamu, jahanam!” katanya dengan lagak gagah, sambil bertolak pinggang lagi. Tentu saja peristiwa ini mengagetkan semua perampok itu. Kepala perampok itu memiliki tenaga besar sekali. Penggada itu dapat menghancurkan batu karang sekali gempur dan dapat menumbangkan sebatang pohon sekali hantam. Akan tetapi kini bertemu dengan golok pemuda gendut itu, ruyung atau penggadanya itu terlepas dan lengannya terasa lumpuh! Tentu saja nyalinya terbang seketika dan dia menggeleng-geleng kepalanya, lalu membalikkan tubuhnya dan lari, diikuti oleh empat orang anak buahnya. Memang mereka itu hanyalah perampok-perampok kasar yang biasanya mengandalkan gertakan saja, sama sekali tidak memiliki kepandaian berarti. Betapapun juga, kalau mereka itu bukan pengecut dan mengeroyok Beng Sin, tentu pemuda ini akan repot juga! Bukan main lega hati Beng Sin. Dia tertawa dan mengamang-amangkan goloknya ke atas. “Tikus-tikus busuk! Kalau lain kali bertemu denganku, jangan harap golokku akan mengampuni kalian!” Gadis itu bersama ibunya lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Beng Sin. “Taihiap, terima kasih atas pertolonganmu...” gadis yang manis itu berkata, juga ibunya menghaturkan terima kasih. Beng Sin menjadi sibuk juga. Dengan tangan kirinya di menyentuh pundak gadis itu untuk membangunkannya, akan tetapi begitu jari tangannya menyentuh kulit daging yang hangat lunak, dia menggigil dan menariknya kembali. “Maaf... eh, nona dan bibi... harap bangkit dan mari kuantar kalian...” Ibu dan anak gadisnya itu lalu bangkit dan celingukan. “Apa yang kalian cari?” tanya Beng Sin ketika melihat mereka celingukan seperti itu. “Kusir kami... tadi ketika perampok-perampok muncul, dia lari entah ke mana...” Beng Sin lalu berteriak nyaring, “Heiii! Kusir kereta! Keluarlah, perampok sudah pergi semua!” Tak lama kemudian terdengar suara menjawab dan si kusir yang bertubuh kurus tinggi itu muncul dengan tubuh gemetar, muka pucat. Beng Sin merasa geli sekali, apalagi melihat betapa celana kusir itu basah. Entah basah terkena air ketika bersembunyi, entah basah ngompol saking takutnya. “Hayo lekas naik dan antar nona dan bibi ini pulang. Aku akan mengawal mereka!” kata Beng Sin dengan gagah. Gadis dan ibunya itu lalu masuk ke dalam kereta, dan Beng Sin juga masuk ke dalamnya, duduk berhadapan dengan gadis dan ibunya itu. Kusir kereta segera menjalankan kuda dan kereta itupun membalap keluar dari dalam hutan secepatnya. Di sepanjang perjalanan ini, ibu si gadis yang kini menjadi malu-malu dan bahkan jarang berani menatap wajah pemuda gendut yang dengan gagah perkasa telah menolongnya itu, menceritakan siapa adanya mereka. Suami wanita itu adalah seorang piauwsu, yaitu pengawal kiriman barang-barang atau orang-orang yang melakukan perjalanan jauh. Ciook-piauwsu ini bekerja pada piauwkiok (perusahaan pengawalan) yang bernama Hek-eng-piauwkiok di kota Su-couw di Ho-nan. “Kami ibu dan anak baru saja pulang dari menengok keluarga ke dusun, taihiap. Biasanya perjalanan ke dusun lewat hutan ini aman saja, tidak nyana hari ini kami mengalami gangguan penjahat. Untung ada taihiap yang menolong kami. Karena biasanya aman, maka suami saya tidak mengantar.” “Kalau ayah mengawal, penjahat-penjahat itu tentu sudah dibunuhnya!” kata gadis itu yang oleh ibunya diperkenalkan dengan nama Ciook Sui Lan. “Eh... nona Ciook adalah puteri seorang piauwsu yang pandai, kenapa tadi tidak melawan penjahat-pejahat itu?” tanya Beng Sin. Nona itu menunduk, tersenyum dan mengerling wajah pemuda gendut itu, membuat hati Beng Sin berdebar tidak karuan! “Ayah melarangku belajar silat, katanya tidak pantas bagi seorang wanita...” jawab gadis itu malu-malu. “Dan memang benar, aku sendiripun melarangnya, taihiap. Lebih baik seorang wanita mempelajari ilmu-ilmu yang halus, menulis, membuat sajak, menjahit, menari, bernyanyi dan memasak. Lebih berguna kalau kelak menjadi isteri orang.” “Ihhh, ibu...!” Siu Lan berkata sambil menunduk, mukanya menjadi merah sekali. “Tentu... tentu paman Ciook lihai sekali ilmu silatnya,” Beng Sin berkata dan diapun merasa sungkan dan tidak enak ketika ibu itu menyebut-nyebut tentang wanita menjadi isteri orang! Wanita itu menarik napas panjang. “Sejak muda, suamiku paling senang dengan ilmu silat. Dia seorang kasar, taihiap, akan tetapi dalam ilmu silat, dia cukup terkenal dan di Hek-eng-piauwkiok dia menjadi piauwsu yang diandalkan oleh majikan piauwkiok.” Ketika mereka tiba di rumah keluarga Ciook yang cukup besar, mereka disambut oleh seorang laki-laki setengah tua yang kelihatan gagah dan bermata tajam. Dia ini bukan lain adalah Ciook-piauwsu sendiri. Betapa kaget hati piauwsu ini ketika mendengar penuturan isteri dan puterinya bahwa kereta mereka dihadang perampok dan bahwa puterinya hampir saja celaka kalau tidak ditolong oleh pemuda gendut yang terus mengawal mereka sampai tiba di rumah. “Ah, sicu muncul seperti dituntun tangan Thian! Betapa besar rasa terima kasih kami kepadamu, sicu!” Piauwsu itu cepat memberi hormat kepada pemuda itu. Beng Sin cepat membalas dengan menjura. “Aih, lo-enghiong, aku telah mendengar bahwa engkau juga seorang ahli silat yang pandai. Antara sesama orang yang suka menentang kejahatan, bantu-membantu adalah wajar. Mana bisa bicara tentang budi?” Piauwsu itu menjadi kagum dan tahulah dia bahwa pemuda ini adalah seorang yang berwatak gagah dan jujur. Beng Sin lalu dipersilakan masuk dan mereka berkenalan. Ketika Beng Sin minta diri dan berpamit, piauwsu itu dan isterinya menahan-nahannya. “Tee-sicu telah menyelamatkan keluargaku, berarti telah menjaidi seperti keluarga atau sahabat baik kami sendiri, mengapa begitu tergesa-gesa? Sicu akan mengecewakan hati kami sekeluarga kalau tidak mau tinggal di sini untuk beberapa hari lamanya, sekedar memberi kesempatan kepada kami untuk menyatakan rasa terima kasih kami,” Ciook-piauwsu berkata dan karena dibujuk-bujuk, akhirnya Beng Sin merasa tidak enak juga dan akhirnya dia menyetujui. Pada sore harinya, ketika Beng Sin dan tuan rumah bercakap-cakap di kebun belakang, Ciook-piauwsu bertanya dari mana pemuda itu mempelajari ilmu silat dari golongan apa. “Saya belajar dari paman saya sendiri, lo-enghiong. Saya telah yatim piatu, ayah saya telah tiada dan ibu saya telah masuk menjadi nikouw dan tidak berurusan lagi dengan dunia, dan sejak kecil saya dirawat dan dididik oleh paman saya yang bernama Kui Hok Boan. Karena paman saya pernah menjadi murid Go-bi-pai, maka saya kira ilmu silat yang diajarkan kepada saya tentu dari aliran Go-bi-pai.” Wajah Ciook-piauwsu berseri. “Ahh, kalau begitu kita orang sendiri!” Dia berseru girang. “Ketahullah, sicu. Aku sendiripun adalah seorang murid Go-bi-pai!” “Kalau begitu, lo-enghiong mengenal paman saya?” Piauwsu itu menggeleng kepala. “Murid Go-bi-pai ribuan orang banyaknya dan berpencar di mana-mana. Menurut penuturanmu, pamanmu datang dari utara dan aku tinggal di selatan, biarpun antara kami memiliki sumber ilmu silat yang sama, namun tentu diajarkan oleh guru-guru yang lain. Sicu, kalau boleh, aku ingin melihat ilmu sliatmu. Harap kauperlihatkan ilmu golokmu, barangkali saja kita dapat saling memberi petunjuk karena sealiran.” Dengan girang Beng Sin lalu bersilat. Goloknya yang besar dan berat itu diputar sampai mengeluarkan suara berdesing dan nampak gulungan sinar yang besar menyambar-nyambar. Setelah selesai, piauwsu itu mengangguk-angguk. “Ilmu golokmu sudah cukup baik, akan tetapi sayang...” “Bagaimana, lo-enghiong?” “Masih banyak kekurangannya karena agaknya tercampur dengan ilmu dari sumber lain sehingga agak lemah, terutama sekali di bagian penyerangan. Ilmu golok Go-bi-pai yang aseli banyak menggunakan penyerangan dari bawah yang amat lihai dan berbahaya bagi lawan. Coba kaulihat, akan tetapi golokmu terlampau berat untukku, sicu, biarlah aku memakai golok biasa dan kaulihatlah baik-baik.” Ciook-piauwsu lalu bersilat dengan sebatang golok biasa dan gerakannya memang dikenal oleh Beng Sin sebagai ilmu golok Go-bi-pai, akan tetapi terdapat perbedaan-perbedaan dan terutama sekali ketika kakek setengah tua itu bersilat makin cepat, gerakannya berbeda dan kini dia melihat berkali-kali piauwsu itu bergulingan dan goloknya menyambar-nyambar dari bawah dengan amat cepatnya. Melihat ini, Beng Sin kagum sekali. Kiranya benar ucapan Siu Lan dan ibunya bahwa piauwsu ini memang benar memiliki ilmu silat yang tinggi sehingga kalau piauwsu ini mengawal anak isterinya, tentu lima orang perampok itu akan ketemu batunya! “Lo-enghiong, saya mohon petunjuk!” katanya setelah piauwsu itu menghentikan permainan silatnya. Ciook-piauwsu berdiri sambil tertawa dan mengangguk-angguk, “Boleh, boleh... akan tetapi untuk itu sicu harus tinggal di sini selama beberapa hari.” Tentu saja Beng Sin setuju dan menghaturkan terima kasih. Mulai hari itu pemuda gendut ini menerima petunjuk-petunjuk dalam ilmu golek Go-bi-pai dari Ciook-piauwsu. Kalau dibuat perbandingan, belum tentu Kui Hok Boan kalah oleh Ciook-piauwsu, akan tetapi dalam ilmu golok Go-bi-pai, memang ilmu yang dimiliki Kui Hok Boan kalah murni. Kui Hok Boan adalah murid Go-bi-pai, murid mendiang Kauw Kong Hwesio, akan tetapi dia telah memperdalam ilmu silatnya dengan ilmu-ilmu dari sumber lain sehingga ilmu golok yang diajarkannya kepada Beng Sin sudah tidak aseli lagi. Sebaliknya, Ciook-piauwsu adalah murid Go-bi-pai yang tidak mencampurkan ilmu golok itu dengan ilmu lain, dan selain itu, memang dia paling suka dengan senjata ini sehingga dalam hal memainkan golok dia lebih mahir. Selama kurang lebih sepuluh hari Beng Sin tinggal di situ, setiap hari dengan tekun menerima petunjuk-petunjuk sehingga kepandaiannya dalam hal main golok dalam ilmu golok Go-bi-pai menjadi lebih matang dan dia kini mampu melakukan jurus-jurus bergulingan yang amat lihai itu. Akan tetapi di samping itu, juga hubungannya dengan keluarga itu menjadi semakin akrab. Pada hari ke sebelas, ketika Beng Sin bermohon diri dari tuan rumahg Ciook-piauwsu mengajaknya duduk bercakap-cakap di ruangan belakang dan piauwsu yang selama beberapa hari sangat memperhatikan Beng Sin dan merasa suka kepada pemuda gendut yang ramah dan jujur ini, berkata, “Tee-sicu, ada sesuatu hal yang ingin saya tanyakan kepada sicu, harap sicu tldak menjadi kecil hati.” “Ah, lo-enghiong telah begitu baik kepada saya, seperti seorang guru saya, mengapa masih begitu sungkan? Kalau ada sesuatu, tanyakanlah saja tanpa ragu-ragu.” “Begini, sicu. Hal ini sudah saya bicarakan dengan isteri dan puteri kami, dan kami ingin sekali tahu apakah sicu sudah berkeluarga? Maksud saya, apakah sudah menikah?” Pertanyaan ini membuat Beng Sin yang jujur terbelalak heran dan cepat dia menggelengkan kepala. “Dan sudah bertunangan ataukah belum?” “Belum, lo-enghiong... akan tetapi kenapa...?” “Bagus! Ketahuilah, sicu, setelah berkenalan dengan sicu, apalagi mengingat betapa sicu telah menyelamatkan puteri kami dari bahaya, kami mengambil keputusan untuk menyerahkan puteri kami kepada sicu, yaitu kami ingin mengikatkan perjodohan antara puteri kami dengan sicu... harapan kami agar sicu tidak menolak maksud baik kami ini.” Tentu saja Beng Sin menjadi kaget dan bingung sekali, tidak tahu harus menjawab bagaimana. Mukanya yang gemuk menjadi kemerahan karena memang sesungguhnya dia sama sekali belum berpikir tentang perjodohan, sungguhpun diam-diam dia merasa telah “jatuh cinta” kepada Lin Lin, adik misannya itu. “Ini... ini... saya belum pernah berpikir tentang perjodohan, lo-enghiong, dan pula... tentu saya harus bertanya dulu kepada paman saya sebelum memberi keputusan...” katanya gagap. Piauwsu itu tersenyum dan mengangguk-angguk. Sikap pemuda ini jelas menunjukkan bahwa pemuda ini masih hijau dan polos, masih seorang jejaka tulen sehingga hatinya menjadi semakin suka. “Tentu saja, sicu. Aku akan mendatangi pamanmu itu sewaktu-waktu untuk minta persetujuannya. Dalam waktu dekat aku akan mengunjungi dusun Pek-jun untuk bicara dengan pamanmu kalau saja engkau sendiri sudah setuju. Kecuali kalau sicu menolak karena anak kami memang buruk rupa dan bodoh...” “Ah, tidak, tidak demikian, lo-enghiong. Puterimu adalah seorang gadis yang cantik dan baik... akan tetapi harap lo-enghiong tidak tergesa-gesa karena terus terang saja, keluarga kami sedang mengalami persoalan yang menyedihkan. Paman saya sedang dalam duka karena kehilangan kedua orang puterinya, bahkan saya sekarang inipun sedang dalam tugas untuk mencari jejak kedua orang adik misan saya itu. Sudah setengah tahun saya meninggalkan rumah dan belum juga berhasil. Saya telah menemukan jejak mereka ke daerah ini, akan tetapi belum juga berhasil menemukan kedua orang adik misan saya itu.” “Ahh!” Ciook-piauwsu nampak terkejut, “Kalau saya boleh tahu, apakah yang terjadi, sicu? Siapa tahu saya dapat membantumu.” Dengan singkat Beng Sin menceritakan peristiwa yang menimpa diri dua piauw-moinya (adik perempuan misan) itu. Dia sudah percaya kepada piauwsu ini yang dianggap sebagai guru sendiri. Tentu saja dia tidak bercerita terlalu banyak, hanya menceritakan bahwa dua orang gadis kembar itu melarikan diri karena tidak mau dijadikan selir pangeran dan sekarang dia harus mencari mereka sampai dapat. Mendengar cerita ini, Ciook-piauwsu terheran-heran. “Diangkat selir oleh pangeran adik kaisar! Itu merupakan kehormatan yang amat tinggi! Kenapa mereka melarikan diri... eh, kau bilang mereka itu adalah saudara kembar? Ahh, betapa kebetulan sekali!” Tiba-tiba piauwsu itu berkata dengan wajah berseri. “Aku... aku tahu di mana adanya mereka! Ah, kenapa tidak sejak dulu engkau menceritakan padaku, sicu? Mari, mari kau ikut aku!” Bukan main kagetnya Beng Sin mendengar ini. Tak disangkanya sama sekali bahwa piauwsu int justeru tahu tentang Lan Lan dan Lin Lin! “Benarkan engkau tahu, lo-enghiong? Di mana mereka?” “Agaknya tidak salah lagi! Majikanku, yaitu ketua atau pemilik Hek-eng-piauwkiok memungut sepasang gadis yatim piatu sebagai anak-anak angkatnya! Agaknya mereka itulah adik-adikmu itu! Tak salah lagi. Merekapun pandai ilmu sliat. Majikanku melihat mereka ketika mereka dibajak di Sungai Huang-ho dan majikanku menolong mereka, lalu membawa mereka pulang dan mereka diambil anak angkat!” Bergegas mereka pergi ke rumah ketua Hek-eng-piauwkiok yang bernama Ciang Lok, seorang piauwsu kawakan yang tidak mempunyai keturunan dan yang pada beberapa bulan yang lalu telah mengangkat dua orang gadis kembar menjadi anak-anak angkatnya. Setelah tiba di situ, mereka disambut oleh Ciang Lok sendiri. Begitu bertemu, Ciook-piauwsu cepat memberi hormat dan berkatag “Ciang-twako, di mana adanya dua orang anak angkatmu itu? Kalau tidak salah, mereka itu adalah adik-adik piauw dari Tee-sicu ini yang mencari-carinya!” Mendengar itu, Ciang Lok mengerutkan alisnya dan menarik napas panjang, lalu memandang kepada pemuda gendut itu sejenak, kemudian tanpa menjawab pertanyaan pembantunya itu dia lalu bertanya kepada Beng Sin, “Apakah engkau mengenal seorang pemuda bernama Kwan Siong Bo?” “Tentu saja!” Beng Sin menjawab. “Dia adalah kakak misanku pula, juga masih kakak misan dari kedua orang adik Lan dan Lin, sepasang gadis kembar yang saya cari, itu!” Piauwsu berusia lima puluh tahun lebih itu mengangguk-angguk, dan kembali menarik napas panjang. “Harap kalian suka duduk dan dengarkan ceritaku. Agaknya kedatanganmu terlambat, orang muda.” Tentu saja Beng Sin kaget sekali. Dia lalu cepat duduk bersama Ciook-piauwsu dan dengan hati tegang dia bertanya, “Terlambat bagaimana, lo-enghiong?” “Baru tiga hari yang lalu datang seorang pemuda yang bernama Kwan Siong Bu itu, dan ternyata dua orang anak angkatku itu mengenalnya sebagai kakak misan. Kemudian mereka berpamit karena dua orang anak angkatku itu terpaksa harus pulang ke dusun Pek-jun di utara bersama piauw-ko (kakak misan) mereka. Tentu saja aku, biarpun dengan hati amat berat, tidak berhak untuk melarang mereka.” Wajah Beng Sin berseri. “Ah, saya girang mendengar hal ini, lo-enghiong. Syukurlah kalau mereka sudah pulang bersama Kwan-twako. Dan saya sebagai kakak misannya menghaturkan beribu terima kasih kepada lo-enghiong yang telah menolong mereka, bahkan bersikap baik kepada mereka, menampung dan memelihara mereka selama ini!” Beng Sin lalu bangkit berdiri dan memberi hormat. Tuan rumah itu balas menghormat. “Hemm, engkau baik sekalig sicu, jauh lebih baik daripada kakak misanmu itu yang kelihatan angkuh. Sebaiknya kalau sicu cepat menyusul mereka, karena hatiku akan merasa lebih tenang kalau sicu sendiri yang mengantar mereka pulang.” Beng Sin bergegas pamit dan kembali bersama Ciook-piauwsu. Dia lalu mengemasi pakaiannya dan berangkat hari itu juga setelah berjanji kepada Ciook-piauwsu untuk membicarakan hal usul perjodohan itu kepada pamannya. Juga dalam kesempatan ini Beng Sin berpamit kepada nyonya Ciook dan kepada Siu Lan yang nampak berduka, akan tetapi dia melihat betapa dara ini makin cantik saja! Dengan menunggang kuda pemberian Ciook-piauwsu, Beng Sin melakukan perjalanan cepat menuju pulang ke utara. Di sepanjang jalan dia mencari keterangan dan mendapat petunjuk bahwa memang benar dua orang gadis kembar itu ditemani oteh Kwan Siong Bu melakukan perjalanan, akan tetapi ternyata mereka melakukan perjalanan cepat berkuda pula sehingga dia yang tertinggal selama tiga hari itu sukar untuk dapat menyusul mereka. Akhirnya, setelah melakukan perjalanan cepat, akhirnya Beng Sin tiba juga di pekarangan rumah pamannya di dusun Pek-jung. Dia melompat turun dari kudanya yang mandi keringat, membiarkan seorang pelayan merawat kuda itu, dan dia sendiri sudah berlari memasuki rumah pamannya. Rumah itu sunyi saja! Hanya ada pelayan-pelayan yang memandangnya dengan kaget karena tuan muda yang baru datang ini kelihatan tergesa-gesa dan begitu tegang, “Di mana tuan besar? Di mana kedua orang siocia?” Berkali-kali dia bertanya dan para pelayan hanya menggeleng kepala. Beng Sin tidak sabar lagi dan berlari mencari ke seluruh kamar di rumah itu. Akhirnya dia melihat Siong Bu seorang diri di dalam lian-bu-thia (ruangan belajar silat) yang luas, agaknya habis berlatih silat karena pedang telanjang masih di tangannya dan mukanya berkeringat. Dia sedang mengusap peluhnya dan tersenyum lebar ketika melihat masuknya Beng Sin. “Ha, kau baru datang Sin-te (adik Sin)? Ha-ha, aku lebih berhasil menemukan Lan-moi dan Lin-moi dan membawa mereka pulang tiga hari yang lalu. Kau tahu di mana mereka itu? Ha, betapa bodohnya kita, mencari ke timur dan ke barat, padahal mereka itu pergi...” “Aku sudah tahu, Bu-ko. Aku baru saja datang dari Su-couw, bahkan aku lebih dulu dari engkau tiba di Su-couw, hanya tidak kebetulan... ah, sudahlah. Engkau telah berhasil menemukan mereka dan membawanya kembali ke sini, itu yang penting. Tapi di mana mereka sekarang? Dan di mana paman?” Kembali Siong Bu tertawa dan pemuda ini nampak girang bukan main. “Duduklah, Sin-te, duduklah di sini. Kita bernasib baik sekarang! Ah, kita akan bisa menjadi orang-orang penting di istana! Pendeknya, kita dapat menjadi pembesar tanpa melalui ujian apapun, dan Pangeran Ceng Han Houw tentu akan menolong kita. Paman juga girang bukah main, dan kemarin paman sendiri pergi ke kota raja untuk menemui pangeran!” Berubah wajah Beng Sin, alisnya berkerut dan jantungnya berdebar tegang. “Apa...? Apa maksudmu, Bu-ko? Di mana Lan-moi dan Lin-moi?” Melihat ini, Siong Bu memandang dengan heran. “Tentu saja mereka berada di istana Pangeran Ceng Han Houw! Masa engkau masih harus bertanya lagi, Sin-te? Kita disuruh mencari untuk membawa mereka pulang dan untuk diserahkan kepada pangeran, karena kalau tidak, kita sekeluarga tentu akan celaka. Dan begitu berhasil, aku kebetulan bertemu pangeran sebelum tiba di rumah, maka tentu saja menjadi lebih mudah bagiku untuk menyerahkan mereka kepada pangeran dan beliau girang sekali, langsung membawa mereka ke istana dan menjanjikan kepadaku bahwa keluarga kita akan memperoleh kedudukan tinggi! Bukan hanya kemuliaan di istana atau di kota raja, Sin-te, bahkan lebih lagi! Diam-diam pangeran menjanjikan sesuatu yang lebih hebat lagi!” Pemuda berwajah tampan itu tersenyum-senyum dan wajahnya berseri tanda bahwa dia merasa gembira sekali. Beng Sin diam-diam merasa terkejut, marah akan tetapi juga heran. Dia tahu bahwa kakak misannya ini mencinta Kui Lan, akan tetapi mengapa sekarang begitu girang menyerahkan dara yang dicintanya itu kepada pangeran? Dia masih dapat menahan kemarahannya, dan dengan suara dingin dia bertanya, “Hemmm, sesuatu apakah yang dijanjikannya itu?” Dalam kegembiraannya, Siok Bu tidak mendengar betapa suara adik misannya itu dingin sekali dan sinar mata yang biasanya jenaka itu berapi-api. Sambil tersenyum dia menjawab, “Ah, hal ini hanya kuberi tahu kepadamu, Sin-te, tentu pamam tidak kuberi tahu karena ini merupakan rahasia kita berdua. Apa yang dijanjikan oleh pangeran itu? Beliau berkata bahwa kelak, kalau dia tidak membutuhkan lagi dia akan menghadiahkan Lan-moi dan Lin-moi kepadaku! Ha-ha, tentu saja Lin-moi akan kuserahkan kepadamu, Sin-te!” “Plakkk!” “Hei, gilakah engkau?” Siong Bu meloncat ke belakang, melintangkan pedangnya dan menggosok-gosok pipinya yang tadi ditampar oleh Beng Sin dengan keras sekali itu. Ujung bibirnya berdarah. Dia dapat ditampar karena dia tidak pernah menyangka sama sekali bahwa adik misan yang sejak kecil takut dan taat kepadanya itu tiba-tiba menyerangnya seperti itu. “Bu-ko, sungguh hatimu busuk dan kotor sekali!” Beng Sin membentak marah. Memang sejak kecil dia mengenal Siong Bu sebagai seorang yang nakal, disangkanya bahwa Siong Bu yang amat mencinta Kui Lan itu akan melindungi dara itu. Siapa kira, dengan keji sekali Siong Bu malah menyerahkan dua orang dara kembar itu kepada pangeran dan merasa girang akan memperoleh hadiah kedudukan, bahkan begitu tak tahu malu untuk bergirang hati oleh janji pangeran bahwa kalau kelak pangeran sudah bosan, dara kembar itu akan dihadiahkan kepadanya! Memang sejak kecil dia takut dan menurut kepada Siong Bu karena memang dia merasa kalah. Akan tetapi sekarang, setelah mereka sama-sama dewasa, apalagi demi membela Kui Lan dan terutama Kui Lin yang dicintanya, dia tidak akan takut melawan Siong Bu. Apalagi Siong Bu, siapapun akan dilawannya demi untuk membela dara kembar itu. “Sin-te, apakah engkau sudah gila? Kau berani menamparku?” Siong Bu memandang marah. “Bu-ko, hatimu busuk! Kusangka engkau menyayang Lan-moi dan Lin-moi, kukira engkau mencari mereka untuk melindungi, akan tetapi siapa kira, engkau malah menyerahkan mereka kepada pangeran, seperti mendorong masuk dua ekor domba ke kandang serigala! Engkau layak ditampar, bahkan patut dibunuh karena engkau jahat!” “Keparat! Jadi engkau bukan hanya berani menentangku, bahkan engkau hendak menjadi pemberotak menentang pangeran? Jahanam busuk, aku harus membunuhmu!” bentak Siong Bu sambil memegang sarung pedang dengan tangan kiri dan pedang di tangan kanannya digerakkan di depan mukanya. “Hemm, boleh kaucoba! Akulah yang akan menamatkan riwayatmu karena engkau busuk dan hina, dan aku harus membalaskan penghinaan yang kautimpakan atas diri Lan-moi dan Lin-moi!” “Beng Sin, tutup mulutmu yang kotor! Kubunuh engkau!” bentak Siong Bu makin marah. Beng Sin melintangkan golok di depan dada, tangan kirinya memegang punggung golok besar itu dan dengan tenang berseru, “Majulah, manusia busuk!” Pada saat itu, terdengar teriakan dari pintu! “Tahan! Jangan berkelahi!” Suara itu adalah suara Kui Hok Boan yang muncul di pintu dan terkejut melihat dua orang pemuda itu saling berhadapan dengan senjata di tangan, dan kelihatannya bukan seperti sedang berlatih silat seperti biasa karena wajah mereka tegang dan kelihatan marah. Akan tetapi, begitu melihat munculnya pamannya yang dianggapnya tentu cocok dengan dia mengenai urusan Lan Lan dan Lin Lin, Siong Bu sudah menubruk maju dan berkata, “Paman, bocah ini hendak memberontak!” Dan pedangnya sudah menyambar-nyambar ganas. Beng Sin cepat mengelak dan menangkis dengan penuh kewaspadaan karena diapun maklum betapa kakak misan atau juga suhengnya ini pandai sekali bermain pedang. “Jangan berkelahi!” bentak pula Kui Hok Boan akan tetapi dua orang muda itu sudah begitu marah, dan terutama sekali Beng Sin sudah membenci sekali karena tahu betapa dua orang dara itu seolah-olah disuguhkan begitu saja oleh Siong Bu kepada pangeran itu dan dia dapat membayangkan betapa sengsara dan sedihnya hati dua orang dara kembar itu dan bahwa keadaan mereka sukar ditolong lagi karena sudah berada dalam cengkeraman pangeran itu. Maka segala kedukaan, penyesalan dan kemarahannya dia timpakan kepada Siong Bu yang dianggap sebagai biang keladinya. Siong Bu yang merasa bahwa pamannya tentu membenarkannya juga menyerang dengan ganas sekali dan biarpun pamannya sudah berteriak agar mereka jangan berkelahi, dia masih terus menyerang dan tidak mau mengalah, apalagi karena di fihak Beng Sin juga sudah terus menyerangnya dengan nekat. Kui Hok Boan sendiri sejenak termangu-mangu, tak tahu harus berbuat apa. Dia baru saja kembali dari kota raja dan bertemu dengan Pangeran Ceng Han How, diterima sebagai tamu terhormat dan diberi janji-janji muluk oleh sang pangeran. Akan tetapi, dia tidak dapat bertemu dengan dua orang anaknya. Biarpun dia sudah mohon kepada pangeran itu untuk bertemu dengan mereka, akan tetapi Pangeran Ceng Han Houw tidak mengijinkannya dan hanya berkata bahwa dua orang puterinya itu telah berada di bagian keputren dan tidak bisa sembarangan begitu saja keluar dari istana. “Harap engkau tidak khawatir, mereka akan baik-baik saja, hidup dalam kemuliaan dan kemewahan,” kata Ceng Han Houw sambil tersenyum, kemudian Kui Hok Boan dipersilakan untuk bermalam di dalam istana. Biarpun dia memperoleh kamar yang amat mewah dan indah, namun Kui Hok Boan merasa gelisah. Sebagai seorang ayah, betapapun juga dia mengkhawatirkan keadaan dua orang puteri yang dicintanya. Semenjak Lan Lan dan Lin Lin minggat, selama berbulan-bulan lamanya dia berduka sekali dan setelah kini dua orang puterinya itu ditemukan oleh Siong Bu, dia belum sempat bertemu karena mereka telah diserahkan kepada Pangeran Ceng Han Houw oleh Siong Bu. Dia merasa rindu sekaii dan ingin melihat wajah dua orang puterinya, akan tetapi tidak ada kesempatan baginya. Diam-diam dia mulai menyesal. Biarpun dia akan mendapatkan hadiah dan mendapat kedudukan, apa artinya kalau dia tidak dapat lagi bertemu dengan mereka dan melihat dengan mata kepala sendiri bahwa mereka itu benar-benar hidup berbahagia? Karena itu, biarpun dia mendapat pelayanan sebagai tamu agung, Kui Hok Boan merasa tidak betah tinggal di istana dan pada keesokan harinya dia sudah berpamit dan pulang ke rumahnya di dusun Pek-jun. Dapat dibayangkan betapa kagetnya melihat dua orang keponakan itu sedang saling berhadapan kemudian berkelahi mati-matian. Hatinya terlalu pedih, terlalu risau untuk dapat bertindak cepat sehingga dia hanya berteriak-teriak melarang mereka berkelahi, seolah-olah tidak tahu harus berbuat apa, bahkan sama sekali tidak turun tangan melerai mereka. Tiba-tiba Kui Hok Boan terbelalak kaget melihat Beng Sin menjatuhkan diri bergulingan di lantai. Itulah jurus-jurus Trenggiling dari Go-bi-pai aseli yang tidak sempat dia pelajari! Heran bukan main hatinya. Dari mana Beng Sin dapat mainkan jurus-jurus yang berbahaya dan lihai ini? Juga Siong Bu terkejut sekali dan beberapa kali pedangnya masih mampu melindungi tubuhnya, akan tetapi tiba-tiba tangannya yang memegang pedang kena tendangan dari bawah sehingga pedangnya terlepas dan pada saat itu, golok Beng Sin menyambar. “Cappp!” “UGHHH!” Siong Bu menjerit dan darah bercucuran dari perutnya yang robek. “Heiiiii...!” Kui Hok Boan juga berseru dan meloncat ke depan, menendang tangan Beng Sin yang memegang golok, Beng Sin yang berdiri terbelalak memandang kepada kakak misannya yang roboh sambil mendekap perut yang terobek itu, tidak mengelak dan goloknya terlepas ketika tangannya ditendang oleh pamannya. “Siong Bu...!” Kui Hok Boan menubruk pemuda yang berkelojotan itu. Siong Bu merintih-rintih, kedua tangan mendekap perut menahan isi perut yang mau keluar. “Paman... aduhhh... mati aku, paman...” Dia merintih dan menangis. “Siong Bu... ah, Siong Bu, anakku...! Ah, Beng Sin, apa yang kaulakukan ini? Apa yang telah kalian lakukan ini?” Hok Boan menjerit-jerit dan memukul-mukul tanah dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya merangkul leher Siong Bu. “Kalian adalah saudara-saudara seayah, kalian adalah anak-anakku sendiri berlainan ibu, dan sekarang kalian saling serang, saling bunuh! Ya Tuhan...!” Beng Sin terbelalak dan wajahnya menjadi pucat sekali. Diapun berlutut dan memandang ayahnya dengan bingung. “Paman... ayahku... bagaimana ini...?” dia tergagap. “Siong Bu, ibumu adalah mendiang Kwan Siang Li, seorang janda... dan akulah ayah kandungmu... dan kau Beng Sin, ibumu yang kini menjadi nikouw bernama Tee Cui Hwa, dan akulah ayah kandungmu pula... dan kau sekarang membunuh saudara tirimu, seayah...!” Kui Hok Boan tak dapat menahan diri lagi, menangis terisak-isak karena Siong Bu mulai lemas dan kepala pemuda itu terkulai. Beng Sin memegang tangan yang lemas itu. “Bu-ko, maafkan aku... aku tidak tahu, bahwa... kita... kita masih seayah...” katanya seperti berbisik. Siong Bu membuka matanya, tersenyum. Agaknya kini rasa nyeri sudah meninggalkannya. “Aku... aku... yang salah...!” Dia memejamkan matanya dan napasnya putus! Kui Hok Boan menangis dan menjambak-jambak rambutnya. Kini Beng Sin bangkit berdiri, memandang kepada ayahnya itu dengan sepasang mata berapi-api. Setelah kini dia mendengar bahwa paman atau juga gurunya ini ternyata adalah ayah kandungnya sendiri, hatinya merasa makin sedih dan menyesal. Ayah macam apa yang dimilikinya ini? Anak-anak sendiri, dia dan Siong Bu tidak diakui sebagai anak, dirahasiakan! Kemudian, Lan Lan dan Lin Lin, dara kembar yang menjadi puteri kandungnya sendiri, juga secara keji telah diserahkan kepada Pangeran Ceng Han Houw. Dan teringat dia betapa penakut dan pengecut sikap ayahnya ini ketika muncul musuh-musuh yang tangguh, yaitu Kim Hong Liu-nio dan Pangeran Ceng Han Houw. Kini, mengingat akan nasib Lan Lan dan Lin Lin, melihat pula akibatnya yang membuat dia sampai membunuh Siong Bu, yang ternyata malah saudaranya sendiri, saudara seayah, Beng Sin merasa menyesal dan semua penyesalan itu ditimpakannya kepada ayahnya yang kini terisak-isak di tempat itu seperti seorang anak kecil yang tidak diberi permen! “Kau... kau manusia busuk, manusia tak berperasaan, engkau telah menjual puteri sendiri kepada pangeran! Engkau manusia terkutuk!” Setelah berkata demikian, Beng Sin memungut goloknya dan lari meninggalkan tempat itu, tidak memperdulikan suara ayahnya yang berteriak-teriak memanggilnya. “Beng Sin...! Beng Sin anakku, kembalilah...!” Hok Boan bangkit berdiri, hendak lari mengejar, akan tetapi teringat kepada Siong Bu, lalu kembali dan menjatuhkan diri berlutut lagi, lalu menangis, meratapi nasibnya yang buruk. Dua orang puterinya diambil pangeran, Siong Bu tewas, dan Beng Sin melarikan diri! Dia ditinggal seorang diri saja di dunia ini! Para pelayan yang mendengar ribut-ribut dan datang ke lian-bu-thia itu terkejut dan segera mundur kembali dengan ngeri melihat majikan mereka meratapi mayat tuan muda yang mandi darah! Betapa sebagian besar dari kita ini selalu bersikap seperti Kui Hok Boan! Kita selalu menyesali nasib, menyalahkan segala peristiwa yang kita anggap buruk kepada sang “nasib”. Mengapa kita begitu buta, tidak pernah mau membuka mata untuk memandang dan melihat kenyataan bahwa semua sebab dari segala “nasib” berada pada diri kita sendiri? Kitalah sumber segala penyakit, kitalah sumber segala duka, sumber segala kesengsaraan! Dan hal ini baru dapat nampak kalau kita memandang diri sendiri setiap saat tanpa membenarkan atau menyalahkan, tanpa pendapat atau kesimpulan, tanpa pamrih! Segala peristiwa yang terjadi adalah serangkaian yang sambung-menyambung, seperti lingkaran setan dan semua pendapat dan penilaian merupakan hasil pekerjaan dari pikiran kita sendiri. Pikiran membentuk sang aku yang selalu ingin senang, ingin enak, ingin baik, ingin benar! Kita membenci seseorang. Mengapa! Demikian pikiran bekerja. Karena orang itu jahat, karena orang itu merugikan aku, baik merugikan secara lahiriah maupun batiniah. Pendeknya, orang itu merugikan aku, tidak menyenangkan aku, maka aku membencinya. Kebencian ini adalah buatan pikiran yang menilai dengan dasar untung rugi bagi sang aku, dan kebencian ini menimbulkan scrangkaian perbuatan kekerasan, seperti memaki orang itu atau memukulnya dan sebagainya, pendeknya untuk melampiaskan dendam dan kebencian kita terhadap orang itu. Apakah perbuatan ini dapat menghilangkan kebencian tadi? Tidak sama sekali tentunya, bahkan perbuatan ini akan menimbulkan serangkaian akibat-akibat lain yang berupa kekerasan-kekerasan. Ada kalanya, kita merasa menyesal karena kita ingat, baik melalui orang lain ataupun diri sendiri, bahwa kebencian adalah tidak baik. Kini kita membalik pandangan kita kepada diri sendiri. Tadinya, kita menujukan pandangan kita kepada orang lain, pandangan dengan penuh penilaian pikiran, pertimbangan untung rugi sehingga menimbulkan kebencian. Kini, setelah kita memandang kepada diri sendiri, kita memandang pula dengan penilaian pikiran. Ada kalanya pikiran menganggap bahwa kebencian ini tidak baik, dan harus disingkirkan, dilenyapkan. Di lain saat pikiran membela diri sendiri, perbuatannya sendiri, menganggap bahwa kebencian kita itu tepat dan benar karena memang orang itu jahat dan layak dibenci, dan sebagainya. Jelaslah, bahwa yang menimbang, yang menilai ini, juga masih si pikiran atau sang aku itu tadi. Yang menilai ini tidak ada bedanya dengan yang menilai orang yang dianggap jahat tadi, yang menilai kebencian baik atau buruk inipun adalah sang kebencian itu sendiri, tiada bedanya dengan si pikiran itulah. Dengan demikian, pikiran kadang-kadang berubah menjadi ini dan menjadi itu, namun kesemuanya itu merupakan lingkaran setan yang masih terjadi dalam lingkungan pikiran. Dengan demikian, kebencian itu akan tetap ada, bahkan makin diperkuat, makin diperbesar karena dipupuk oleh pikiran sendiri yang menilai-nilai. Dapatkah kita memandang tanpa penilaian? Baik memandang kepada orang yang kita lalu nilai sebagai jahat itu, maupun memandang kepada kebencian kita yang kita nilai pula sebagai benar atau salah itu? Kalau kita dapat memandang tanpa ada sesuatu yang memandang, tanpa ada sesuatu yang menilai, melainkan memandang dengan penuh kewaspadaan dan kesadaran, tanpa ada yang waspada atau sadar, karena kalau ada berarti akan timbul pula penilaian-penilaian, maka dengan sendirinya kebencian itupun akan kehilangan tenaganya, akan lenyap dengan sendirinya karena tidak ada lagi pemupukan. Kita sadar bahwa ada kebencian dalam hati kita, akan tetapi kita tidak menilai, tidak membenarkan atau menyalahkan, kita pandang saja! Kita dalam hal ini, adalah sang pikiran itu, dan kebencian adalah sang pikiran itu pula. Biarkan pikiran memandang pikiran sendiri, tanpa ada kesatuan lain yang menilai atau menimbang, tanpa ada sesuatu yang membenarkan atau menyalahkan. Kui Hok Boan terguncang batinnya oleh semua peristiwa itu, terhimpit oleh penyesalan, kedukaan, ketakutan dan akhirnya semua pelayan melihat orang yang dianggap pandai, baik dalam kesusasteraan maupun dalam ilmu silat, juga kaya raya ini, menangis dan tertawa, menjambak-jambak rambut sendiri dan bersikap seperti orang yang miring otaknya atau gila! Dengan muka merah karena marah, Beng Sin terus lari meninggalkan dusun itu dan di sepanjang perjalanan banyak hal memenuhi pikirannya. Kui Lin ternyata adalah adiknya sendiri, adik tiri seayah! Dia merasa heran sekali mengapa Kui Hok Boan, paman yang ternyata adalah ayah kandungnya sendiri itu merahasiakan bahwa dia dan Siong Bu adalah anak anak kandungnya sendiri. Tentu ada rahasia di balik semua ini! Dan dia harus dapat mengetahui rahasia itu. Dia harus dapat bertemu dengan ibu kandungnya. Bukankah ibu kandungnya telah menjadi nikouw? Pernah Kui Hok Boan yang ketika itu sebagai pamannya, menjawab pertanyaan tentang ibunya, yaitu bahwa ibunya kini telah menjadi nikouw dalam Kelenteng Kwan-im-bio di tepi Sungai Fen-ho di kaki Pegunungan Lu-liang-san, di luar sebuah dusun bernama Kwan-si-men. Dia akan mencari ibunya, untuk bertanya tentang riwayat ibunya agar tabu siapa sebetulnya Kui Hok Boan yang mengaku sebagai ayah kandungnya itu! Dan setelah itu, barang kali, dia akan pergi ke selatan, mencari keluarga Ciook yang telah berlaku baik kepadanya dan yang mengusulkan perjodohan antara dia dan Ciook Siu Lan. Pemuda gendut yang pergi tanpa membawa pakaian, hanya membawa golok dan sisa bekal uang yang masih ada padanya, melanjutkan perjalanan menuju ke Pegunungan Lu-liang-san yang terletak di barat daya. Perjalanan yang amat sukar, melalui daerah-daerah yang liar, pegunungan dan hutan-hutan lebat, namun pemuda yang sudah merasa bahwa kini dia hidup seorang diri itu dengan tabah menempuh segala kesukaran itu, mengandalkan golok besarnya, melanjutkan perjalanannya tanpa mengenal lelah. Setelah melakukan perjalanan berpekan-pekan lamanya, akhirnya dia sampai juga di daerah kaki Pegunungan Lu-liang-san. Pegunungan itu nampak dengan puncak-puncaknya yang menjulang tinggi menembus awan, nampak seperti raksasa tidur yang angker dan menyeramkan. Senja itu indah sekali. Matahari telah bersembunyi di balik puncak Lu-liang-san, akan tetapi cahayanya masih membakar langit di barat, menciptakan warna-warna yang sukar dilukiskan dengan kata-kata karena indahnya. Ada warna merah yang aneh, merah bercampur kuning dan biru, dan di bagian agak ke utara nampak awan bergumpal-gumpal dengan bentuk-bentuk yang beraneka macam, bentuk-bentuk yang luar biasa anehnya dan yang tak mungkin ada yang sama. Awan-awan itu bergerak perlahan dan setiap saat berubah bentuk, akan tetapi di sisi agak ke selatan nampak lautan hitam dari awan yang kokoh dan tak pernah bergerak nampaknya, seolah-olah selamanya takkan berubah. Puncak-puncak gunung mulai kelihatan kehitaman dan pohon-pohon juga kelihatannya mulai tenang dan siap untuk mengundurkan diri ke dalam kegelapan malam di mana mereka akan beristirahat dalam kegelapan dan kesunyian. Melihat keadaan di sekeillingnya pada saat itu, yang menciptakan ketenangan dan keheningan, sejenak Beng Sin lupa akan diri sendiri, lupa bahwa dia ada dan merasa betapa dia telah dilebur menjadi satu dengan segala yang nampak itu. Akan tetapi, begitu pikirannya masuk memecahkan keheningan itu, lenyaplah keheningan dan datanglah iba diri karena dia merasa betapa dia hidup seorang diri dan betapa dia terpencil dan sunyi seperti sebatang pohon pek di kejauhan yang tumbuh terpencil di tepi sebuah jurang. Maka datanglah kedukaan. Tak lama kemudian, ketika kegelapan mulai menyelubungi bumi, pemuda itu sudah duduk bersandar pada sebatang pohon. Didekatnya bernyala api unggun dan dia termenung memandang api yang bergerak-gerak, satu-satunya yang nampak hidup di saat itu, dengan lidah-lidah api merah kekuningan yang seperti menari-nari dengan gembira. Akan tetapi, api yang indah bercahaya itupun akhirnya akan padam dan lenyap, yang tinggal hanyalah abu dan asap yang kemudianpun akan menghilang tanpa bekas. Pada keesokan harinya, Beng Sin mulai mencari keterangan. Akan tetapi para petani dan penghuni gunung yang ditemuinya, tidak seorangpun di antara mereka yang mengenal nama dusun Kwan-si-men atau Kuil Kwan-im-bio. Mereka hanya tahu di mana letaknya Sungai Fen-ho dan akhirnya Beng Sin mencari sungai ini. Setelah bertemu dengan sungai ini, dia mulai menyusuri sungai itu karena dia yakin bahwa dengan cara ini akhirnya dia akan bertemu dengan dusun yang dimaksudkan karena bukankah dusun itu terletak di tepi Sungai Fen-ho, di kaki Pegunungan Lu-liang-san? Perhitungannya itu ternyata tepat karena beberapa hari kemudian, dari seorang nelayan, dia mendengar bahwa dusun Kwan-si-men terletak di depan, hanya belasan li lagi jauhnya dan bahwa memang di luar dusun itu terdapat sebuah kuil yaitu kuil di mana dipuja Dewi Kwan Im maka dinamakan Kwan-im-bio. Mendengar ini, berdebar rasa jantung dalam dada Beng Sin dan dia mempercepat langkahnya menuju ke dusun itu. Kuil itu kecil saja, merupakan beberapa buah bangunan kecil dengan bangunan pusat di depan, yang dipergunakan sebagai tempat sembahyang. Halamannya cukup luas dan melihat halaman yang bersih itu menunjukkan bahwa kuil itu terurus baik-baik dan setiap hari halaman itu tentu disapu. Dari jauh sudah terdengar suara ketukan kayu yang mengiringi suara wanita berdoa. Setelah dekat orang akan melihat asap hio mengepul, dan makin dekat lagi orang akan mencium bau harum dupa. Biarpun para pengurus Kwan-im-bio adalah wanita-wanita yang telah menjadi nikouw, namun pengunjungnya tidak terbatas golongan wanita saja. Oleh karena itu, munculnya Beng Sin di kuil itu tidak membuat heran para nikouw yang melayani para pengunjung yang hendak bersembahyang. Hanya keadaan pakaian dan sikap pemuda itulah yang mendatangkan rasa heran. Biasanya, para pengunjung kuil itu hanya terdiri dari orang-orang dusun, petani-petani yang minta berkah agar hasil sawah ladang mereka baik, dan para nelayan yang juga minta berkah agar hasil penangkapan ikan mereka baik. Ada juga orang kota yang kadang-kadang datang, yaitu mereka yang mendengar berita dari bibir ke bibir bahwa kuil itu terkenal murah hati dan suka memenuhi atau mengabulkan doa-doa dan permintaan mereka yang datang bersembayang. Akan tetapi pemuda ini selain jelas bukan petani atau pemuda nelayan, melainkan orang kota yang agaknya datang dari jauh, melihat pakaiannya yang agak kotor dan dapat diduga bahwa pemuda ini seorang ahli silat, melihat dari golok besar mengerikan tergantung di punggung. Para nikouw itu adalah orang-orang yang hidup dengan bersih, yang menjauhi segala macam kekerasan, apalagi yang mereka puja adalah Dewi Kwan Im yang terkenal sebagai Dewi Welas Asih, maka tentu saja melihat seorang pemuda gendut yang membawa-bawa golok besar yang berkilauan saking tajamnya itu, mereka merasa ngeri! Seorang nikouw tua cepat maju menghampiri dan mengangkat kedua tangan depan dada dengan jari-jari terbuka dan dimiringkan. “Omitohud..., agaknya sicu mempunyai kepentingan sehingga jauh-jauh datang mengunjungi kuil ini. Apakah sicu hendak bersembahyang kepada Hud-couw?” Beng Sin cepat memberi hormat dan berkata sejujurnya, “Maaf kalau saya mengganggu, akan tetapi kedatangan saya bukan untuk bersembahyang, melainkan untuk mencari seorang nikouw...” Wajah halus nikouw itu kelihatan meragu dan pandang matanya penuh selidik, kemudian dia menarik napas panjang dan berkata, “Harap sicu maafkan. Para nikouw di sini adalah orang-orang yang telah mengundurkan diri dari dunia ramai, berarti sudah tidak mempunyai keluarga dan handai-taulan lagi, seluruh hidupnya telah diserahkan untuk mengabdi kepada Kwan Im Hud-couw dan kepada prikemanusiaan, tidak terikat lagi oleh ikatan keluarga atau sahabat.” “Saya tahu, akan tetapi yang saya cari adalah... ibu kandung saya sendiri yang menjadi nikouw di sini...” Kembali nikouw tua itu menarik napas panjang. “Yang dimaksud keluarga juga termasuk anak, sicu, maka semua nikouw yang berada di sini sudah tidak ada ikatan lagi dengan dunia, tidak ada ikatan dengan keluarga, termasuk anak. Maka, kalau sicu bukan bermaksud untuk sembahyang, pinni mohon agar sicu suka meninggalkan kuil ini dan harap jangan mengganggu ketenteraman kehidupan para nikouw.” Beng Sin mengerutkan alisnya. Dia sudah melakukan perjalanan jauh dan susah payah akan tetapi setelah tiba di tempat yang dicarinya, dia disuruh pergi begitu saja tanpa diberi kesempatan untuk bertemu dengan ibunya, bahkan untuk sekedar mendapat keterangan apakah ibunya masih hidup ataukah sudah mati! “Hemm, beginikah yang dinamakan prikemanusiaan dan mengabdi prikemanusiaan?” Dia berkata penasaran. “Agaknya para pendeta hanya mementingkan diri para pendeta sendiri, akan tetapi sama sekali tidak memperdulikan perasaan hati orang-orang biasa! Apakah suthai tidak merasakan betapa rindu hati seorang anak terhadap ibu kandungnya? Apakah suthai hendak membiarkan seorang anak menjadi kecewa dan berduka karena tidak diperbolehkan berjumpa dengan ibu kandungnya yang selamanya belum pernah dikenalnya karena sejak kecil telah dipisahkan? Bukankah itu merupakan perbuatan yang amat kejam, bertentang dengan sifat welas asih dari Kwan Im Hud-couw sendiri?” Nikouw tua itu menarik napas panjang. “Ahhh, sicu tidak tahu tentang belas kasih! Belas kasih adalah cinta kasih, dan cinta kasih tidak lagi membeda-bedakan antara anak atau orang lain, tidak lagi mementingkan diri pribagi, tidak ada lagi iba diri. Kami para nikouw memandang semua orang seperti anak sendiri, seperti diri sendiri, dan pemisah-misahan antara anak dan orang lain itu hanya mendatangkan ikatan belaka dan mengembalikan kami kepada asal semula, yaitu dunia yang penuh dengan ikatan-ikatan. Harap sicu memaklumi keadaan kami dan sudilah sicu meninggalkan kami, dan tidak lagi menganggap bahwa ada ibu kandung di tempat ini. Tempat ini tiada bedanya dengan tanah kuburan dan yang tinggal hanya namanya saja. Cukuplah, sicu, semoga Hud-couw memberkahimu.” Setelah berkata demikian, nikouw itu menjura dan pergi meninggalkan Beng Sin yang masih berdiri termangu-mangu di tempat itu. Akhirnya dia tahu bahwa berdebatpun tidak akan ada gunanya, dan untuk memaksapun selain dia tidak berani dan tidak mau, juga apa hasilnya? Dia tidak akan dapat mengetahui yang mana ibu kandungnya. Dia tidak mungkin dapat bertemu dengan ibu kandungnya kecuali kalau ibu itu sendiri yang memperkenalkan diri. Dengan kedua kaki lemas Beng Sin keluar dari kuil itu dan akhirnya dia menjatuhkan diri di bawah pohon tak jauh dari kuil. Baru sekarang terasa olehnya betapa seluruh tubuhnya lemas dan lelah sekali. Tadinya dia masih penuh semangat dan bayangan kegembiraan bertemu dengan ibu kandungnya membuat dia lupa akan segala kesengsaraan perjalanan jauh itu. Akan tetapi setelah kini dia kehilangan harapan dan semangat, lemaslah dia dan terasalah semua kelelahannya. Mengingat akan semua itu, kalau saja dia tidak memiliki kekerasan hati ingin rasanya dia menangis! Selagi dia duduk dengan muka pucat dan berulang kali menarik napas panjang, hatinya penuh kekecewaan dan kedukaan, tiba-tiba terdengar suara halus menegurnya, “Sicu, bukankah engkau she Tee bernama Beng Sin?” Beng Sin terkejut dan melompat berdiri, lalu membalikkan tubuhnya. Dilihatnya seorang nikouw yang agak gemuk berdiri di depannya, seorang nikouw yang usianya kurang lebih tiga puluh lima lebih, masih nampak muda karena wajahnya terang dan bibirnya selalu mengandung senyuman biarpun sepasang matanya lembut sekali. Sejenak mereka berdua berdiri berhadapan dan saling pandang dengan penuh perhatian. Jantung Beng Sin berdebar penuh ketegangan, akan tetapi dia ragu-ragu dan dengan lirih dia bertanya sambil menjura. “Benar sekali, bagaimana suthai mengetahuinya?” “Tentu saja aku tahu, karena wajahmu dan tubuhmu persis sekali, seperti kembar saja kalau dibandingkan dengan pamanmu yang tiada,” jawab nikouw itu. Beng Sin menatap wajah nikouw itu, melihat betapa bibir dan pelupuk mata nikouw itu gemetar, biarpun pandang matanya tetap lunak dan lembut. “Suthai... siapakah...?” “Pinni Thian Sin Nikouw, seorang anggauta kuil ini...” “Suthai... suthai mengenal Tee Cu Hwa yang saya cari-cari...?” Beng Sin bertanya dan sepasang matanya menatap tajam. Nikouw itu mengangguk dan matanya berkejap dua kali, alisnya agak berkerut “Tee Cui Hwa telah mati, tidak ada lagi di dunia ini... apa yang kaukehendaki?” Beng Sin tidak terkejut mendengar in akan tetapi dia menatap wajah itu makin tajam, wajah yang mendatangkan rasa anch dalam hatinya, seolah-olah dia selama hidupnya pernah mengenal wajah ini. “Saya... saya hanya ingin mengetahui apakah benar saya adalah anak kandung dari Kui Hok Boan, dan agaknya hanya ibu kandung saya yang dapat menceritakannya kepada saya. Maka saya harap ibu... saya harap suthai sudi membebaskan saya dari kegelisahan dan keraguan ini, sudi menceritakan kepada saya tentang riwayat ibu kandung saya dan juga ayah kandung saya!” Sepasang mata itu terpejam rapat-rapat seolah-olah hendak mencegah mengalirnya air mata dan menekan perasaan haru yang menghimpit, akan tetapi ketika kedua mata itu dibuka, biarpun tidak ada air mata mengalir tetap saja kedua mata itu basah. “Benar, Kui Hok Boan adalah ayah kandungmu. Akan tetapi perlukah sicu mengetahui riwayat yang tidak baik itu? Perlukah segala kekotoran dibongkar kembali? Tidak ada manfaatnya bagimu, sicu.” “Tidak, saya harus mengetahuinya! Lebih tidak baik lagi kalau kekotoran itu dirahasiakan dan ditutup-tutupi karena saya telah mencium baunya yang busuk! Demi Tuhan, demi segala dewa, demi Kwan Im Pouwsat, harap suthai suka menaruh kasihan kepada saya, seorang yang ayah bundanya masih hidup dan segar-bugar, akan tetapi yang merasa telah menjadi yatim piatu, karena baik ayahnya maupun ibunya sudah lama sekali tidak memperdulikan lagi kepada saya!” “Sicu! Jangan kaukeluarkan kata-kata seperti itu,” Nikouw itu menunduk, dan dengan halus dia menggunakan ujung lengan bajunya untuk menghapus dua titik air mata yang turun dari kedua matanya. “Sicu tidak tahu betapa mendiang Tee Cui Hwa menderita dengan hebat, menderita lahir batin, jauh lebih hebat daripada perasaan yang sicu derita sekarang ini.” “Akan tetapi saya sebagai anak kandung ibu dan ayah, berhak sepenuhnya untuk mengetahui riwayat mereka, suthai!” Beng Sin mendesak. “Baiklah, baiklah, mari kita masuk ke ruangan tamu di kuil, nanti pinni ceritakan semua kepadamu, sicu.” Setelah berkata demikian, nikouw itu lalu berjalan menuju ke kuil dengan kepala tunduk, diikuti oleh Beng Sin dari belakang. Nikouw yang mengaku bernama Thian Sin Nikouw itu memasuki ruangan tamu kuil dari pintu samping, kemudian dia duduk sambil mempersilakan pemuda itu duduk di depannya. Sejenak mereka yang duduk saling berhadapan itu saling pandang dan akhirnya nikouw itu menarik napas panjang. “Omitohud... sama sekali bukan maksud pinni untuk membongkar kebusukan orang, akan tetapi memang benar seperti ucapan sicu tadi, sebagai putera mereka, sicu berhak mendengar dan mengetahui kesemuanya itu.” Dia berhenti sejenak, memejamkan mata seolah-olah sedang berdoa mohon pengampunan kepada Dewi Kwan Im Pouwsat yang dipujanya atas kelancangannya membongkar kebusukan orang. Kemudian dia membuka matanya yang menjadi jernih dan tenang, lalu berceritalah dia dengan suara datar dan halus tanpa disertai ketegangan atau keharuan hati, seolah-olah hanya mulutnya saja yang bergerak akan tetapi hatinya tidak ikut bicara. Belasan tahun yang lalu, hampir dua puluh tahun yang lalu, gadis Tee Cui Hwa yang berusia tujuh belas tahun hidup berdua saja dengan Tee Kang, yaitu kakaknya yang berusia dua puluh lima tahun. Kakak beradik ini sudah yatim piatu, dan mereka hanya hidup berdua saja dari hasil pekerjaan Tee Kang sebagai seorang penjaga keamanan sebuah rumah judi yang besar. Tee Kang adalah seorang pemuda yang bertubuh kuat dan memiliki kepandaian silat lumayan, maka dia dapat bekerja sebagai penjaga keamanan rumah perjudian itu. Biarpun hidup sederhana, namun kakak beradik ini tidak kekurangan dan mereka hidup saling menyayangi karena hanya berdua saja mereka di dunia ini. Pada suatu hari, Tee Kang pulang membawa seorang tamu. Tamu ini adalah sahabatnya yang bernama Kui Hok Boan, seorang pemuda yang tampan dan menarik sekali, pandai dalam ilmu sastera dan ilmu silat, akan tetapi pemuda ini juga menjadi langganan setia dari rumah perjudian itu sehingga kenal dengan Tee Kang. Tee Kang yang diam-diam hendak mencarikan jodoh untuk adik perempuannya, tertarik melihat teman ini dan dia membayangkan betapa akan bahagianya adiknya dan dia kalau Kui Hok Boan yang disebut Kui-siucai ini dapat berjodoh dengan Cui Hwa! Setelah Kui Hok Boan bertemu dengan Cui Hwa, pemuda tampan ini segera tertarik, bukan oleh kecantikan Cui Hwa karena sesungguhnya gadis itu bukan tergolong gadis yang terlalu cantik sungguhpun wajahnya bersih dan tubuhnya montok. Akan tetapi memang Kui-siucai adalah seorang pemuda mata keranjang dan hidung belang, hanya semua watak ini tertutup oleh sikapnya yang halus sebagai sasterawan sehingga Tee Kang terkelabui dan mengira bahwa pemuda itu adalah seorang yang baik budi! Melihat seorang gadis bagi Kui Hok Boan tiada bedanya dengan melihat seekor daging segar bagi seekor serigala kelaparan, maka tentu saja dia diam-diam sudah mengilar! Hubungannya dengan Tee Kang menjadi makin erat sehingga akhirnya kadang-kadang Kui Hok Boan sampai bermalam di rumah kakak beradik itu. Pada suatu sore, ketika Tee Kang pulang dari tempat kerjanya, dia terkejut melihat adiknya menangis di dalam kamarnya. Ketika ditanya, Tee Cui Hwa mengaku bahwa siang tadi, ketika Tee Kang sedang bekerja, Kui Hok Boan datang dan memaksanya menuruti kehendaknya. Dia menolak, karena mereka belum menikah, akan tetapi Kui Hok Boan memaksa dan dengan kejam telah memperkosanya! Mendengar ini, Tee Kang menjadi marah bukan main. Memang benar dia ingin sekali agar adiknya menjadi isteri Kui Hok Boan, akan tetapi tidak secara dipaksa dan diperkosa! Maka dia cepat pergi lagi mencari Kui Hok Boan dan setelah bertemu, dia minta pertanggungan jawab Kui Hok Boan untuk segera mengawini adiknya. Akan tetapi, Kui Hok Boan menolak, bahkan menantangnya. Tee Kang menjadi marah sekali dan mereka lalu berkelahi. Akan tetapi akhirnya Tee Kang roboh dan tewas di tangan Kui Hok Boan yang lebih lihai. Nikouw itu menghentikan ceritanya dan memejamkan kedua matanya. “Demikianlah, sicu, pamanmu itu tewas di tangan pria yang jahat itu...” “Dan ibuku? Apa jadinya dengan dia?” Beng Sin mendesak, mukanya menjadi merah karena diam-diam dia marah sekali kepada Kui Hok Boan. “Dia telah kehilangan satu-satunya orang yang dapat dijadikan pelindungnya, satu-satunya keluarganya di dunia ini. Orang she Kui itu lalu datang dan memaksanya ikut pergi, memperkosanya dan mempermainkan sesuka hati sampai dia mengandung, lalu ditinggal pergi...” “Keparat jahanam Kui Hok Boan!” Beng Sin berseru sambil mengepal tinjunya. “Omitohud... semoga Pouwsat menerangi batinmu, sicu. Tidak boleh memaki dan mengutuk orang yang menjadi ayah kandungmu sendiri.” “Lalu bagaimapa dengan ibuku, suthai?” “Dia melahirkan engkau, sicu... kemudian setelah menitipkan atau memberikanmu kepada sebuah keluarga dusun yang baik hati, dia lalu masuk menjadi nikouw...” “Dan orang bernama Kui Hok Boan itu lalu mengambilku dan mengakuinya sebagai keponakannya!” Nikouw itu mengangguk. “Pinni mendengar bahwa sicu telah diambilnya dan tadinya hati pinni ikut merasa gembira karena agaknya ayah kandung itu ingat kepada anaknya sendiri...” “Tapi dia tetap jahat! Dan ibu... ibuku adalah engkau, suthai...! Ibu...!” Beng Sin lalu menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki nikouw itu. Nikouw itu bangkit berdiri, memejamkan mata dan merangkap kedua tangan di depan dada. “Tidak...! Ibumu, Tee Cui Hwa telah mati bagimu dan bagi dunia, sicu. Pinni adalah Thian Sin Nikouw...” “Ibu... tidak kasihankah engkau kepadaku, anakmu?” Beng Sin meratap, masih berlutut. “Pinni kasihan kepadamu seperti kepada semua orang yang menderita, sicu. Pouwsat tidak memilih-milih orang dalam belas kasihan beliau! Ibumu telah mati dan pinni adalah seorang nikouw...” Nikouw itu menyentuh kedua pundak Beng Sin, sejenak kedua tangannya menyentuh mesra dan jari-jari tangan itu gemetar, akan tetapi tak lama kemudian seperti ada tenaga baru yang menghilangkan getaran itu, lalu dia membangkitkan Beng Sin. “Bangkitlah dan jangan menuruti hati yang lemah, sicu.” Beng Sin bangkit berdiri, memandang kepada nikouw itu dengan mata basah. “Baiklah, suthai, akan tetapi tentu suthai sudi untuk menggantikan kedudukan ibuku dan memberi kepastian dan pendapat suthai tentang perjodohanku.” “Perjodohan? Sicu hendak menikah? Ah, baik sekali itu, tentu saja pinni merasa bersyukur dan akan pinni doakan selalu kepada Pouwsat agar hidupmu penuh dengan kebahagiaan, sicu, tidak seperti kehidupan ibumu dahulu!” Beng Sin lalu menceritakan tentang usul yang diajukan keluarga Ciook kepadanya, dan menceritakan pula semua peristiwa yang terjadi di dalam keluarga Kui Hok Bean, betapa dia hendak membela dua orang gadis kembar yang ternyata masih adik-adik tirinya sendiri seayah itu, dan betapa dalam perkelahian dia telah membunuh kakak tirinya. Nikouw itu mendengarkan dengan alis berkerut. Kemudian dia berkata setelah pemuda itu menghabiskan ceritanya, “Sicu, biarlah pinni mewakili ibumu dan menasihatimu. Sebaiknya engkau jangan kembali lagi kepada ayah kandungmu yang ternyata sampai sekarang masih belum juga insaf dari kesesatannya itu. Sebaiknya, mulai sekarang sicu tidak mendekatinya agar tidak timbul segala urusan yang tidak baik dan pergilah engkau kepada keluarga Ciook itu, terimalah usul mereka untuk menjodohkan sicu dengan gadis she Ciook itu. Pinni akan selalu berdoa untuk keselamatan dan kebahagiaanmu, sicu. Nah, sekarang terpaksa pinni mempersilahkan sicu pergi.” Beng Sin merasa girang sekali mendengar betapa nikouw ini, yang dia yakin adalah ibu kandungnya, telah menyetujui perjodohannya, dia merasa girang dan terharu sekali, maka dia lalu kembali menjatuhkan diri berlutut, “Ibu... suthai... terima kasih atas segala nasihatmu... kelak pada suatu hari... aku akan mengajak isteriku untuk datang menghadap ibu...!” Sejenak nikouw itu berdiri seperti patung, dua matanya menjadi basah dan cepat-cepat dia mengusapnya dnegan ujung lengan bajunya, lalu dia tersenyum, “Bangkitlah, Beng Sin! Pouwsat akan selalu melindungimu, nak. Dan selamat jalan, doa restuku selalu menyertaimu!” Dan dia lalu membalikkan tubuh, mengucapkan doa sambil pergi dari ruangan tamu itu. Beng Sin juga bangkit berdiri lalu melangkah keluar dari kuil, hatinya kini terasa lapang. Dia dapat memaklumi akan sikap ibu kandungnya. Dapat dia membayangkan betapa sengsara ibu kandungnya ketika diperkosa oleh Kui Hok Boan, dipermainkan bahkan dipisahkan dari kakak kandungnya yang terbunuh, kemudian, setelah mengandung lalu ditinggalkan oleh pria yang jahat itu. Dan pria itu adalah ayah kandungnya sendiri! Betapa benci hatinya terhadap orang itu, ingin dia kembali ke dusun Pek-jun dan membunuh Kui Hok Boan, atau terbunuh olehnya! Akan tetapi dia teringat akan semua kata-kata nikouw itu, ibu kandungnya, dan semua kebenciannya itupun dilupakannya. Memang tidak benar kalau dia akan memusuhi, apalagi membunuh ayah kandungnya sendiri. Kalau begitu, maka dia akan menjadi seorang manusia durhaka dan keji, bahkan mungkin lebih keji daripada ayah kandungnya itu sendiri! Maka, memang tepat nasihat ibunya, lebih baik dia tidak lagi mendekati manusia itu, dan menerima saja usul Ciook-piauwsu yang gagah dan baik budi itu untuk menjadi suami Ciook Sui Lan yang manis dan halus budi pula. Maka berangkatlah Beng Sin langsung menuju ke Su-couw dan dia melihat cahaya hidup baru membentang luas di depannya.