“Cukup, Beng Sin!” Tiba-tiba Ciook-piauwsu berkata dengan suara keras dan tegas. “Kami tidak ingin mendengar keburukan-keburukan orang, apalagi kalau orang itu adalah ayah kandungmu. Betapapun banyak penyelewengan yang pernah dilakukannya, apakah engkau sebagai puteranya tidak menaruh hati kasihan dan tidak mau memaafkannya? Dia sekarang... ah, sakit parah...” “Ahhh...?” Beng Sin terkejut. “Benar, Beng Sin,” sambung ibu mertuanya. “Ayahmu itu sedang menderita penyakit yang payah, maka sebaiknya kalau engkau cepat menengoknya agar terhibur hati orang tua itu. Juga, kasihan dua orang adikmu itu yang merasa bingung melihat ayah mereka sakit.” Mendengar betapa Kui Hok Boan sakit payah, dan dua orang gadis kembar itu menjadi bingung, timbul rasa kasihan dalam hati Beng Sin. Betapapun juga, ayah kandungnya atau bukan, Kui Hok Boan adalah orang yang telah melimpahkan banyak budi kebaikan kepadanya. Dan dia amat menyayang dua orang dara kembar itu, bahkan pernah dia jatuh hati kepada Lin Lin sebagai seorang pria yang mencinta wanita, sungguhpun kini cintanya itu berubah menjadi cinta seorang kakak terhadap seorang adiknya. “Baik, saya akan pergi mengunjungi mereka.” Giranglah hati ayah dan ibu mertua ini dan mereka lalu menunjukkan jalan ke arah rumah tinggal Lan Lan, Lin Lin, dan ayah mereka. Dengan jantung berdebar Beng Sin menuju ke rumah yang cukup besar itu. Kiranya, dengan bantuan keluarga Ciang-piauwsu, Kui Hok Boan kini membeli sebuah rumah, tentu saja, yang mengurusnya adalah Ciang-piauwsu bersama Kui Lan dan Kui Lin, dan tinggal di rumah ini, Kui Lan dan Kui Lin mempergunakan uang hasil penjualan perhiasan untuk membeli rumah dan perabot-perabot rumah, kemudian sisa harta mereka itu mereka serahkan kepada ayah angkat mereka, Ciang-piauwsu ketua Hek-eng-piauwkiok, untuk “dijalankan” sehingga modal itu dapat menghasilkan keuntungan dan tidak akan habis dimakan menganggur begitu saja. Ketika Kui Lan dan Kui Lin melihat siapa orangnya yang datang berkunjung, keduanya menjadi girang dan juga terharu. Mereka menubruk dan memegangi kedua tangan Beng Sin sambil menangis. “Sin-ko...!” Kui Lan terisak. “Sin-ko, kenapa baru sekarang kau muncul?” Kui Lin juga menangis. Beng Sin tidak dapat menahan runtuhnya beberapa butir air matanya melihat dua orang dara kembar yang disayangnya ini. “Lan-moi... Lin-moi... terima kasih kepada Thian bahwa kalian dalam selamat...” katanya berulang-ulang. Dia terharu sekali memandang wajah Kui Lan yang ternyata sekarang adalah adik tirinya, sedarah dengan dia, seayah! “Kami diselamatkan oleh Liong-koko,” kata Kui Lan. “Dan Liong-koko yang menyuruh kami membawa ayah pindah ke sini,” sambung Kui Lin. Sukar bagi mulut Beng Sin untuk bertanya tentang ayahnya. Ah, sudah tahukah dua orang kembar ini bahwa dia adalah saudara sedarah dengan mereka? Dan sudah dengarkah mereka tentang kematian Siong Bu? Yang paling buruk harus dibicarakan lebih dulu, pikirnya, maka dia lalu berkata, “Lan-moi dan Lin-moi, aku... aku telah... membunuh Bu-ko...” Dua orang dara itu mengangguk dan mengusap air mata, “Kami sudah mendengar semua itu dari Liong-koko, Sin-ko,” kata Kui Lan. “Bukan salahmu, Sin-ko, Bu-ko memang jahat dan dia tewas dalam perkelahian karena engkau membela kami... ah, kami sudah tahu akan semua itu dari Liong-koko dan dari... dari ayah...” “Kamipun sudah tahu bahwa engkau adalah putera kandung ayah pula, seperti juga mendiang Bu-ko. Ah, kami sudah mendengar banyak, Sin-ko... tentang ayah... dia... dia...” Kui Lan tak dapat melanjutkan kata-katanya dan menangis. Dari kata-kata ayah mereka yang sering mengigau dan bicara sendiri itu, akhirnya keluarlah semua rahasia Kui Hok Boan dan tahulah dua orang dara kembar itu betapa ayahnya dahulu adalah seorang yang amat kejam dan jahat, yang telah menganiaya dan merusak banyak sekali wanita. Ayah mereka adalah seorang laki-laki mata keranjang yang suka merayu dan menyia-nyiakan wanita yang telah menjadi korbannya. Bahkan mereka tahu pula bahwa pembunuh ayah Bhe Bi Cu, teman Sin Liong itu, juga adalah ayah mereka sendiri. Beng Sin mengangguk-angguk. Agak ringan hatinya setelah mendengar bahwa dua orang adiknya inipun sudah tahu segala hal tentang ayah mereka. “Bagaimana... ayah...?” tanyanya dengan kaku karena dia masih belum dapat menerima kenyataan bahwa Kui Hok Boan adalah ayah kandungnya sendiri. “Aku mendengar dari keluarga Ciook bahwa dia sakit payah?” Kui Lan hanya mengangguk, akan tetapi Kui Lin menerangkan, tubuhnya tidak apa-apa, Sin-ko. Jasmaninya tidak sakit akan tetapi...” “Tetapi bagaimana?” Beng Sin mendesak, alisnya berkerut dan jantungnya berdebar, dia hampir merasa dapat mengerti. “Pikirannya... batinnya terpukul hebat dan dia... dia...” “Seperti anak kecil, atau seperti orang bingung, selalu dalam duka dan sesal. Sungguh kasihan sekali dia, Sin-ko,” Kui Lan menyambung. Beng Sin lalu diantar oleh dua orang adiknya, digandeng di kanan kiri, menuju ke dalam dan dengan hati-hati Kui Lan membuka kamar ayahnya. Terharu bukan main hati pemuda gemuk yang memang berbudi ini ketika melihat orang tua itu. Kui Hok Boan yang dulu terkenal sebagai seorang pria tampan dengan pakaian yang selalu rapi itu kini seperti seorang jembel tua saja. Pakaiannya kusut, rambutnya kusut, tubuhnya kurus kering, matanya sayu dan biarpun kamar itu lengkap dengan pembaringan dan kursi, namun orang tua itu rebah di atas lantai kamar! Dia menoleh dan ketika bertemu pandang dengan Beng Sin, dia bangkit duduk dan melebarkan matanya. “Ayah, ini Sin-ko datang menjenguk,” kata Kui Lan. “Ayah, ini kakak Beng Sin. Lupakah ayah kepadanya?” Kui Lin mengingatkan. “Beng Sin... Beng Sin... anakku...” kata orang tua itu lirih seperti berbisik. Beng Sin tak dapat menahan keharuan hatinya. Dia menjatuhkan diri berlutut di depan orang tua itu sambil menitikkah air mata. “Ayah...!” Dia tidak dapat bicara apa-apa lagi kecuali menyebut ayah kepada orang tua itu. Mau bicara apakah? “Beng Sin, engkau anakku... ya, engkau telah membunuh Siong Bu! Kenapa engkau tidak membunuh aku sekalian? Bunuhlah aku, Beng Sin, seperti aku telah membunuh ibumu, Tee Cui Hwa, seperti aku membunuh ibu Siong Bu, Kwan Siang Li, seperti aku telah membunuh Liong Si Kwi. Ya, ibu-ibu kalian telah mati di tanganku semua... hu-huk, mati karena aku... bunuhlah aku... hu-huk-huhhhh...” dan orang tua itupun menangis seperti anak kecil! Beng Sin terkejut den momandang dengan muka pucat. Kui Lin lalu menarik tangan Beng Sin, diajaknya bangun den mereka lalu meninggalkan orang tua itu. Kui Lan menutupkan kembali daun pintu kamar itu perlahan-lahan. Suara isak tangis orang tua itu masih terdengar. “Dia selalu begitu...” kata Kui Lin berbisik. “Kalau ditanggapi, makin menjadi-jadi. Sebaiknya didiamkan dan dia akan tertidur.” Beng Sin menggeleng-geleng kepalanya. “Sungguh kasihan sekali ayah kita... dia harus menderita batin seperti itu...” “Itukah hukum karma? Siapa menanam bibitnya dia akan memetik buahnya?” kata Kui Lin meragu. “Betapapun juga, itu merupakan pelajaran bagi kita. Ayah kita pernah melakukan kesesatan dalam kehidupannya, biarlah itu memperingatkan kita agar kita tidak sampai melakukan penyelewengan dan menjadi sesat,” kata Kui Lan. Memang tiga orang anak dari Kui Hok Boan ini tadinya merasa tidak senang akan segala perbuatan jahat ayah kandung mereka dan ada perasaan benci dalam hati mereka. Akan tetapi setelah menyaksikan keadaan ayah mereka yang begitu mengenaskan, lebih menyedihkan daripada mati sendiri, hidup akan tetapi menderita dalam kedukaan dan penyesalan yang tiada habisnya, timbullah rasa iba. Apakah artinya segala penyesalan setelah terlambat? Apakah gunanya penyesalan? Penyesalan dianggap benar oleh umum karena penyesalan akan membuat orang itu sadar kembali. Akan tetapi benarkah demikian? Ataukah penyesalan sekedar merupakan hiburan saja bagi si pelaku, hiburan untuk menutupi batinnya yang menderita akibat perbuatannya sendiri? Betapa seringnya kita menyesal, akan tetapi betapa seringnya pula perbuatan yang sama kita lakukan dan kita ulang kembali! Orang yang berbatin lemah dan tumpul selalu berada dalam keadaan tidak waspada dan tidak sadar, sehingga mudah saja dibuai oleh bayangan kesenangan, dan kalau sudah menghadapi kesenangannya, maka tidak teringat apa-apa lagi, tidak teringat akan akibatnya. Orang yang batinnya lemah dan tumpul seperti itu hanya mementingkan kesenangan. Baru setelah kesenangan yang dinikmatinya itu kemudian mendatangkan akibat yang tidak menyenangkan, dia merasa menyesal! Coba andaikata tidak ada akibat yang mendatangkan derita, apakah dia akan menyesali perbuatannya mengejar kesenangan itu? Tentu saja tidak! Sama halnya dengan orang makan sambal. Setiap kali habis makan, kepedasan dan menyesal, menyatakan tobat dan kapok. Akan tetapi lain saat dia sudah makan sambal lagi! Demikian pula orang yang melakukan penyelewengan, menyesal dan menangis, bertobat melalui mulut kepada Tuhan. Akan tetapi begitu berhadapan dengan bayangan kesenangan yang sama, maka diulanglah perbuatan itu untuk kemudian menyesal dan bertobat kembali. Kalau kita mau membuka mata melihat kenyataan dalam kehidupan kita sehar-hari, dapatkah kita menyangkal kenyataan yang benar ini? Bukanlah penyesalan yang kita perlukan dalam hidup. Yang terpenting adalah kewaspadaan dan kesadaran yang timbul karena mengamati diri sendiri setiap saat. Pengamatan inilah yang akan menimbulkan kebijaksanaan dan kecerdasan, yang akan meniadakan penyelewengan dan kesesatan. Dan kalau tidak ada penyelewengan dan kesesatan, tidak perlu lagi ada penyesalan dan bertobat. Kalaupun kecerdasan dan kebijaksanaan yang timbul dari kewaspadaan melihat bahwa apa yang kita lakukan tidak benar, maka seketika itu juga kita menghentikan perbuatan tidak benar itu dan habis sampai di situ saja. Tidak ada penyesalan, juga tidak ada kerinduan terhadap perbuatan yang lalu itu. Yang lalu sudah mati, sudah habis dan kewaspadaan adalah sekarang, saat ini, saat demi saat. Hidup adalah saat demi saat, bukan kemarin, bukan esok. Akan tetapi sekarang. Maka hidup waspada dan sadar adalah sekarang ini! Yang teramat penting dalam hidup adalah sekarang ini. Sekarang benar! Apakah benar itu? Tak dapat diterangkan, karena yang dapat diterangkan adalah benarnya sendiri, benarnya masing-masing, maka terjadilah perebutan kebenaran sendiri-sendiri, dan jelas hal ini adalah tidak benar lagi! Akan tetapi, apapun yang kita lakukan, kalau didasari dengan cinta kasih, maka benarlah itu! Dan cinta kasih tidak akan ada selama di situ ada si aku yang ingin benar, ingin senang, ingin baik dan sebagainya! Melihat keadaan ayahnya, Beng Sin minta kepada calon mertuanya agar pernikahan diundurkan, menanti sampai ayahnya sembuh atau setidaknya agak normal keadaannya. Karena pada waktu itu, mendengar laporan anak-anaknya tentang perjodohan itu, dia hanya mengangguk saja atau menangis! Beberapa hari sebelum hari yang ditetapkan untuk pertemuan para tokoh kang-ouw itu tiba, daerah Lembah Naga telah dibanjiri oleh banyak orang kang-ouw. Juga banyak partai-partai persilatan yang mengutus serombongan anak murid untuk datang berkunjung, bukan untuk memperebutkan kedudukan bengcu atau jago nomor satu di dunia, melainkan untuk menyaksikan pemilihan itu dan untuk melihat siapa yang akan menjadi bengcu. Tentu saja para utusan itu diberi wewenang untuk menentang kalau pemilihan itu kurang tepat, dan tentu saja merekapun boleh turun tangan kalau untuk membela nama partainya sendiri. Partai-partai persilatan yang termasuk golongan putih atau bersih tentu telah memesan kepada para utusannya agar tidak mencari permusuhan, dan membuka mata dan telinga dengan waspada menyaksikan perkembangan pemilihan bengcu itu. Selain tokoh-tokoh kang-ouw perorangan, baik dari golongan hitam maupun putih, maka nampak bendera-bendera yang dibawa oleh para anak murid dari partai persilatan Kun-lun-pai, Bu-tong-pai, Hoa-san-pai, dan bahkan Siauw-lim-pai juga mengutus rombongannya. Selain empat partai besar ini, masih terdapat banyak pula partai-partai kecil. Di antara banyak orang itu, yang jumlahnya hampir ada dua ratus orang, terdapat empat orang pendekar atau due pasang suami isteri yang berpakaian sederhana, akan tetapi kalau para tokoh kang-ouw itu mendengar nama mereka, tentu orang-orang itu akan menjadi gempar. Dua pasang suami isteri ini adalah Yap Kun Liong tersama Cia Giok Keng, dan Cia Bun Houw bersama Yap In Hong. Cia Bun Houw dan Yap In Hong terkejut bukan main ketika mereka bertemu dengan kakak-kakak mereka itu dan mendengar bahwa kakak-kakak mereka itu menerima surat dari Lie Ciauw Si bahwa dara itu telah menikah dengan Pangeran Ceng Han Houw dengan upacara pernikahan di kuil tanpa disaksikan keluarga! Karena pangeran berada dalam keadaan terancam bahaya dan terdesak, maka kami terpaksa mengambil keputusan menikah di kuil, demikian antara lain bunyi surat Ciauw Si. Selain mohon maaf kepada ibu kandungnya, juga dara itu menyatakan bahwa dia dan sang pangeran sudah saling mencinta dan hanya kematian saja yang akan mampu memisahkan mereka satu dari yang lain. “Aihh, kenapa anak-anakku begitu bodoh...” keluh Cia Giok Keng, keluhan yang sudah dikeluarkan berkali-kali. Hati ibu ini berduka sekali mengingat akan nasib Lie Seng dan Lie Ciauw Si, dua orang anaknya yang dianggap keliru memilih jodoh. Juga Cia Bun Houw dan Yap In Hong merasa penasaran sekali mengapa Ciauw Si dapat terpikat oleh pangeran pemberontak murid Hek-hiat Mo-li itu. Hanya Yap Kun Liong seorang yang tidak mengeluarkan kata, akan tetapi di dalam hatinya pendekar yang sudah matang oleh gemblengan pengalaman hidup ini mengerti apa artinya orang jatuh cinta dan dia sama sekali tidak dapat menyalahkan Lie Seng maupun Lie Ciauw Si. “Lalu apa yang harus kita lakukan, enci Keng?” Cia Bun Houw bertanya kepada encinya, “Kita datang ke Lemhah Naga ini sebagai utusan kerajaan untuk menyelidiki dan kalau perlu menentang gerakan Ceng Han Houw, akan tetapi ternyata pangeran itu telah menjadi mantumu dan Ciauw Si berada di fihaknya sebagai isterinya!” Memang amat sukar untuk mengambil keputusan, menghadapi keadaan seperti itu. Akan tetapi dengan suara gemetar tanda bahwa hatinya terguncang hebat, Cia Giok Keng yang kini mulai nampak tua dalam usianya lima puluh tahun itu, berkata lantang, “Biar anak sendiri sekalipun, kalau salah harus kita tentang, dan biar orang sendiri, kalau benar juga haruslah kita bela!” Yap Kun Liong merasa kasihan sekali kepada isterinya yang tercinta ini. Dia berkata dengan suara yang halus, “Kita lihat saja bagaimana keadaannya nanti dan bagaimana perkembangannya. Sama sekali kita tidak boleh menurutkan dorongan perasaan hati. Seorang gagah harus adil dan bijaksana, oleh karena itu kita harus waspada dan dapat mengambil tindakan yang setepat-tepatnya. Menyalahkan atau membenarkan orang lain menurutkan perasaan hati sendiri sering kali menyesatkan.” Tiga orang pendekar lainnya mengangguk dan diam-diam membenarkan ucapan itu. Memang teringat oleh mereka betapa keluarga Cin-ling-pai sejak dahulu dilanda kekecewaan-kekecewaan dan penyesalan-penyesalan, bahkan nyaris dilanda bahaya perpecahan karena pandangan-pandangan yang terlalu menurutkan perasaan hati sendiri. Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng sudah mengalami pahit getirnya akibat dari pandangan seperti itu. Juga Cia Bun Houw dan Yap In Hong sudah merasakan betapa sampai bertahun-tahun mereka berdua meninggalkan keluarga Cin-ling-pai karena pandangan mendiang ayah Bun Houw yang menentang perjodohan itu. Kemudian, terjadi pula pada diri Lie Seng yang memilih jodoh yang tidak disetujui oleh ibu kandungnya dan keluarganya. Kini terulang kembali oleh Ciauw Si! Dan justeru apa yang dilakukan oleh Ciauw Si merupakan puncaknya, yang paling hebat di antara semua keturunan Cin-ling-pai. Ciauw Si memilih sebagai jodohnya orang yang justeru menjadi musuh keluarga Cin-ling-pai, dan bahkan kini menjadi musuh kerajaan, menjadi pemberontak besar! Benar-benar sukar bagi mereka membayangkan kemungkinan seperti ini. Lembah Naga menjadi ramai dan kini tampaklah barisan penjaga yAng berpakaian indah dan bersenjata lengkap, memenuhi kedua tepi jalan semenjak dari luar daerah sampai ke daerah Lembah Naga, berdiri dengan hormatnya menyambut para tokoh kang-ouw yang berbondong-bondong memasuki daerah itu. Orang-orang kang-ouw itu diam-diam terkejut juga menyaksikan betapa tempat itu telah terjaga sedemikian kuatnya oleh pasukan yang ratusan orang jumlahnya, bahkan mungkin tidak kurang dari seribu orang! Dan ketika mereka tiba di Istana Lembah Naga, ternyata tempat itu telah dihias dengan meriah seperti hendak mengadakan pesta besar. Ruangan depan yang amat luas dan dapat menampung seribu orang itu dihias dan nampak meja kursi dijajar rapi, sedangkan bagian tengahnya dibiarkan kosong. Pangeran Ceng Han Houw memang cerdik. Dia segera tahu dari para penyelidiknya siapa-siapa yang menghadiri rapat itu, maka diapun sengaja menyuruh para pembantunya yang tidak terkenal untuk menyambut di depan istana dan mempersilakan semua tamu itu duduk ke ruangan depan. Dengan demikian, maka di antara para tamu itu tidak ada yang merasa sungkan. Apalagi dia mendapat kabar bahwa empat orang pendekar Cin-ling-pai yang tadinya menjadi buronan pemerintah itupun datang! Kalau dia sendiri yang maju menyambut, tentu dia harus memberi hormat kepada ibu kandung Ciauw Si dan keluarganya, dan dia belum dapat membayangkan bagaimana sikap mereka setelah mendengar bahwa Ciauw Si menjadi isterinya. Dan tindakannya ini melegakan hati banyak tamu, terutama sekali empat orang pendekar Cin-ling-pai itu yang juga belum dapat menentukan bagaimana sikap mereka seandainya pangeran itu sendiri yang menyambut. Mereka menyusup di antara banyak tamu dan memilih tempat duduk agak di sebelah luar sehingga tidak terlalu menyolok. Ketika empat orang pendekar Cin-ling-pai ini sudah mengambil tempat duduk dan mereka mencari-cari dengan pandang mata mereka, tidak atau belum nampak adanya Pangeran Ceng Han Houw, atau Lie Ciauw Si. Bahkan juga Sin Liong tidak nampak. Memang mereka masih berada di dalam istana, mereka berempat, yaitu Ceng Hang Houw, Lie Ciauw Si, Sin Liong dan Bi Cu. Baru saja Pangeran Ceng Han Houw mengumpulkan pembantu-pembantunya yang lain, yaitu Kim Hong Liu-nio, Hek-hiat Mo-li, Hai-liong-ong Phang Tek dan yang lain-lain, memberi perintah-perintah kepada mereka. Barulah dia kini mengadakan perundingan dengan isterinya, yang dihadiri oleh Sin Liong dan Bi Cu. Wajah Ciauw Si nampak agak pucat. Jelas bahwa dia merasa gelisah sekali mendengar bahwa ibu kandungnya hadir pula di situ bersama ayah tirinya, paman dan bibinya. “Aku... aku bingung sekali, tidak tahu bagaimana harus bertemu dengan ibuku,” katanya “Bagaimana kalau beliau dipersilakan masuk sehingga aku dapat menghadapnya di sini saja?” Ceng Han Houw menggelengkan kepalanya. “Kurasa hal itu kurang biiaksana, Si-moi. Ingat bahwa beliau pada saat ini adalah tamu agung di antara orang-orang kang-ouw, maka kalau dipersilakan masuk, tentu beliau merasa tersinggung karena tentu akan menjadi bahan percakapan para tamu lainnya. Biarlah urusan pribadi dapat kita selesaikan kemudian, Si-moi. Yang terpenting sekarang kita harus menyelesaikan urusan perjuangan seperti yang telah kita rundingkan bersama sebelumnya. Kita berdua, ditemani oleh Liong-te, harus keluar menyambut tamu.” Pangeran itu memandang isterinya yang sudah berpakaian indah. “Kulihat engkau sudah siap, Si-moi, dan engkau juga, Liong-te. Kalian menemaniku keluar, sebagai isteriku dan sebagai adik angkatku, juga sebagai pembantu-pembantuku yang paling dapat kuandalkan. Hanya kalian yang mendampingi aku keluar. Engkau harap tinggal di dalam istana, nona Bhe, karena selain kurang baik memperkenalkan engkau sebagai tunangan Liong-te, juga kami menghadapi orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi dan berbahaya sekali, maka lebih aman kalau berada di sini saja.” Bi Cu tidak menjawab melainkan memandang kepada Sin Liong. Jelas bahwa dia menyerahkan keputusannya kepada kekasihnya itu. Sin Liong memandang Bi Cu dengan mengangguk. “Memang sebaiknya engkau menanti di dalam, Bi Cu. Di luar berbahaya kalau sampai terjadi keributan, kuharap saja tidak demikian,” katanya melirik kepada sang pangeran yang hanya tersenyum. Mendengar ucapan ini, Bi Cu mengangguk. “Baiklah, sungguhpun aku akan merasa jauh lebih aman kalau berada di dekatmu, Sin Liong. Akan tetapi akupun tidak mau menjadi pengganggu kalian.” Setelah berkata demikian, Bi Cu bangkit dari kursinya dan kembali ke dalam kamarnya. Jelas bahwa dia kecewa sekali, akan tetapi Sin Liong merasa bahwa memang lebih baik kalau Bi Cu tinggal di kamarnya, daripada harus menghadapi peristiwa besar itu, di mana dia harus waspada dan siap untuk turun tangan apabila perlu, sedangkan kalau Bi Cu berada di depan, dia kurang leluasa karena harus melindungi kekasihnya itu. Dengan jantung berdebar penuh ketegangan, Sin Liong dan Ciauw Si berjalan keluar mengapit sang pangeran yang tampak tenang-tenang saja, senyumnya tidak pernah meninggalkan bibirnya. Ciauw Si berjalan di sebelah kanannya, sedangkan Sin Liong berjalan di sebelah kirinya. Semua tamu mengangkat kepaka memandang ke dalam ketika terdengar pengumuman keras dari seorang komandan yang berpakaian gagah bahwa sang pangeran akan keluar menyambut para tamu terhormat. Pintu sebelah dalam ruangan itu terbuka lebar dan muncullah tiga orang muda itu yang membuat para tamu terbelalak penuh kagum. Pangeran Ceng Han Houw nampak gagah dan tampan sekali dalam pakaiannya yang serba indah, pakaian seorang pangeran dari sutera biru dengan baju tertutup mantel bulu yang amat indah. Sebuah topi bulu yang sama dengan mantelnya itu menutupi kepalanya, dihias dengan sehelai bulu burung yang berwarna merah. Dia berjalan tegak dan halus, pandang matanya bersinar-sinar, menyambar-nyambar ke ruangan yang luas itu, mulutnya tersenyum dan sedikitpun dia tidak kelihatan canggung atau gugup, Sikap seorang pangeran tulen, juga sikap seorang yang gagah perkasa. Lie Ciauw Si nampak cantik sekali dalam pakaiannya yang juga mewah dan indah. Wajahnya gemilang dan jelita sekali, dan diapun melangkah dengan sikap tenang dan gagah di samping suaminya. Sungguh seorang puteri yang cantik jelita dan agung, dan kelihatan begitu serasi dengan pangeran di sampingnya. Betapapun juga, karena maklum bahwa di antara ratusan pasang mata yang menatapnya itu terdapat sepasang mata ibunya, jantung Ciauw Si terasa berdebar kencang. Cia Giok Keng tak dapat menahan diri dan dia cepat-cepat mengusap air matanya dengan saputangan ketika melihat puterinya demikian cantik dan agungnya di samping sang pangeran. Harus diakui bahwa pilihan puterinya itu memang tidak keliru. Pangeran itu amat tampan dan gagah. Akan tetapi kalau dia mengingat bahwa pangeran itu adalah seorang pemberontak, dan bahkan murid dari musuh besar Cin-ling-pai, hatinya seperti ditusuk. Dia merasa tangannya digenggam tangan lain dengan halus dan mesra. Tahulah dia bahwa tangan suaminya yang menggenggam tangannya itu maka dia menarik napas panjang dan dapat menahan perasaannya, dapat memandang pula dan air matanyapun berhenti mengalir. Empat orang pendekar ini mengerutkan alisnya ketika melihat Sin Liong berjalan di samping sang pangeran pula. Hati meteka diliputi perasaan marah, bahkan Yap Kun Liong yang biasanya tidak mudah marah dan mempunyai pandangan yang luas itupun mengerutkan alisnya. Sungguh dia tidak dapat mengerti mengapa anak itu bisa diperalat oleh Pangeran Ceng Han Houw. Bukankah anak itu pernah menjadi pilihan orang-orang sakti seperti mendiang Cia Keng Hong dan mendiang Kok Beng Lama? Mungkinkah dua orang sakti itu salah pilih dan di dalam tubuh anak yang berbakat ini terdapat batin yang rendah? Dia bergidik melihat sepasang mata anak muda itu yang mencorong, lebih tajam daripada sinar mata sang pangeran sendiri, dan wajah pemuda itu membayangkan keteguhan dan kekerasan hati. Bagaimana mungkin wajah seperti itu kini dimiliki seorang yang dapat diperalat sedemikian mudahnya oleh pemberontak ini? Dari tempat duduk para tamu, semua orang dapat melihat pangeran dan dua orang pendampingnya itu, karena memang tempat itu lebih tinggi dan ketika pangeran dan Ciauw Si dan Sin Liong telah mengangguk ke arah tamu, mereka lalu duduk di kursi-kursi yang sudah disediakan, yaitu di bagian dalam ruangan dan kurang lebih satu meter lebih tinggi daripada tempat duduk para tamu. Dari tempat duduknya pangeran menyapu semua tamu dengan sinar matanya dan dia dapat melihat keluarga Cin-ling-pai di sebelah luar, akan tetapi dia pura-pura tidak melihat mereka, sungguhpun hatinya merasa girang sekali. Kalau saja dia mampu membujuk mereka itu membantunya, tentu kedudukannya akan menjadi semakin kuat. Selain itu, andaikata tidak berhasil sekalipun, dia akan dapat membuktikan bahwa dia lebih lihai daripada mereka sehingga julukan jago nomor satu di dunia patut dia miliki! Akan tetapi, Ciauw Si yang memang merasa ngeri untuk bertemu pandang dengan ibu kandungnya di tempat penuh orang itu, lebih banyak menunduk dan membatasi pandang matanya agar jangan sampai bentrok dengan pandang mata ibu kandungnya. Sebaliknya, dengan berani Sin Liong juga menyapukan pandang matanya ke arah semua tamu, dan dia melihat betapa empat pasang sinar mata keluarga Cin-ling-pai memandangnya dengan marah. Diapun mengerti akan isi hati mereka, akan tetapi, dia tidak peduli. Kalian akan melihat bahwa aku bukan membantu pangeran ini, melainkan melindungi Bi Cu, pikirnya. Kini semua tamu sudah berkumpul semua dan ternyata jumlah mereka tidak kurang dari tiga ratus orang! Namun ruangan yang luas itu sama sekali tidak kelihatan penuh, bahkan masih tampak kursi yang kosong di sebelah luar. Semua tamu merasa tegang dan juga gembira. Ruangan itu selain luas dan sejuk karena memperoleh angin dari luar yang terbuka, juga dihias indah dan megah. Pilar-pilarnya yang besar itu dicat putih, dan dihias kertas-kertas kembang. Langit-langitnya juga penuh dengan kertas-kertas berwarna dan lampu-lampu teng bermacam-macam bentuk dan warna. Kain-kain sutera warna-warni menghias pula tempat yang luas itu. Kursi-kursinya terbuat dari kayu terukir halus, demikian pula meja-mejanya. Guci-guci kuno terdapat di sudut-sudut dengan ukiran arca-arca binatang yang seperti hidup. Ketika para pelayan datang menyuguhkan arak yang amat baik dengan guci-guci perak, para tamu menjadi semakin gembira. Setiap orang tamu menerima sebuah cawan perak yang terukir indah, dan mulailah mereka minum arak sehingga ruangan itu penuh bau arak yang sedap. Setelah melihat semua tamu sudah menerima hidangan arak, Pangeran Ceng Han Houw lalu bangkit berdiri. Tubuhnya yang tinggi sedang itu nampak tegak lurus dan nampak wajahnya yang tampan berseri-seri. Tiba-tiba terdengar suara mengguntur dari komandan jaga yang juga bertugas sebagai pengatur tata tertib, “Silakan cu-wi menaruh perhatian, sang pangeran hendak bicara!” Sebetulnya tidak perlu komandan ini berteriak karena semua tamu sudah memandang ke arah pangeran itu, dan semua suara berisik telah berhenti. Suasana menjadi sunyi sekali, semua mata ditujukan kepada orang yang telah berani mengundang seluruh kaum kang-ouw tanpa pilih bulu itu. Biasanya pertemuan orang kang-ouw hanyalah memillh golongan mereka sendiri. Andaikata partai Siauw-lim-pai yang mengadakan pertemuan untuk membicarakan keadaan masyarakat, atau juga membicarakan soal persilatan, tentu yang diundang oleh partai itu hanyalah partai-partai bersih lainnya atau tokoh-tokoh golongan bersih, sama sekali tidak akan mengundang tokoh-tokoh sesat. Sebaliknya, kaum sesatpun kalau mengadakan pertemuan tidak akan mengundang golongan bersih yang dianggap sebagai orang-orang sombong dan selalu menentang mereka. Akan tetapi sekali ini, Pangeran Ceng Han Houw mengundang semua golongan, pendeknya dunia persilatan tanpa membedakan antara yang manapun juga! Tentu saja hal ini amat menarik, apalagi ketika di undangan itu disebutkan bahwa pertemuan itu dimaksudkan untuk memilih jago silat nomor satu di dunia! Mereka sudah mendengar pula akan sepak terjang pangeran itu yang sudah menundukkan tidak sedikit tokoh-tokoh persilatan, bahkan telah berani menantang ketua Siauw-lim-pai dan mengalahkan tokoh-tokohnya! Mereka mendengar berita bahwa pangeran ini memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa! “Cu-wi yang mulia,” terdengar suara pangeran itu, suaranya halus dan diucapkan perlahan saja akan tetapi dapat terdengar sampai jauh di luar ruangan itu karena dia mengerahkan tenaga khi-kangnya sehingga pidato itu sekaligus merupakan demonstrasi kekuatan khi-kangnya yang mengagumkan semua orang, “Kami mengucapkan terima kasih atas kehadiran cu-wi. Seperti telah kami sebutkan dalam surat selebaran atau undangan, pertemuan ini dimaksudkan untuk mengadakan pemilihan bengcu. Mengapa kita harus memilih seorang bengcu yang memimpin pergerakan seluruh rakyat jelata? Cu-wi tentu telah mendengar akan tindakan-tindakan pemerintah yang kurang bijaksana! Semua orang tahu belaka betapa kaisar telah melakukan tindakan lalim, dengan menjatuhkan tuduhan memberontak kepada orang-orang gagah perkasa! Akhir-akhir ini banyak pejabat tinggi yang bijaksana telah ditangkapi, dah banyak perkumpulan-perkumpulan orang gagah di selatan telah diobrak-abrik oleh pasukan pemerintah! Oleh karena itu, kita orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan, haruslah bertindak, menghimpun kekuatan untuk menentang kelaliman. Dan hal ini baru dapat dilaksanakan dengan baik apabila kita mempunyai seorang bengcu yang bijaksana dan tangguh! Maka dari itu, kita berkumpul semua ini untuk lebih dulu memilih seorang yang memiliki ilmu kepandaian silat paling tinggi, merupakan seorang yang paling lihai dan paling tangguh sehingga boleh disebut jago silat nomor satu di dunia dan dialah yang patut kita angkat menjadi seorang bengcu!” Tiba-tiba terdengar suara nyaring berseru, “Kami tidak setuju...!” Dan seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh dua tahun, bertubuh tinggi tegap berwajah tampan gagah seperti tokoh Si Jin Kui, berpakaian sederhana telah bangkit dari kursinya dan mengacungkan kepalan tangan kanan ke atas. Semua orang tentu saja terkejut dan menoleh kepadanya. Kiranya pemuda itu berdiri di antara kelompok yang membawa bendera Siauw-lim-pai. Pangeran Ceng Han Houw memandang dan tersenyum tenang. “Setiap orang tamu berhak untuk bicara. Harap enghiong (orang gagah) yang bicara memperkenalkan diri sebelum mengemukakan alasannya tidak setuju!” Pemuda Siauw-lim-pai yang gagah perkasa itu memandang kepada pangeran yang masih berdiri dengan sinar mata berapi-api, sedikitpun tidak nampak gentar oleh wibawa pangeran itu, dan terdengar dia menjawab lantang. “Saya bernama Ciu Khai Sun sebagai murid dan utusan Siauw-lim-pai kami. Atas nama Siauw-lim-pai saya menyatakan tidak setuju dengan apa yang dikemukakan oleh pangeran tadi. Memilih seorang bengcu tidaklah disamakan dengan memilih seorang kepala tukang pukul. Seorang bengcu adalah pemimpin rakyat, yang harus dipilih berdasarkan kebijaksanaannya dan cinta kasihnya terhadap rakyat, bukan diukur dari kepandaiannya bersilat. Kalau memilih kepala tukang pukul tentu saja dipilih yang paling kuat.” Terdengar suara ketawa di sana-sini yang disambut oleh tepuk tangan menyambut ucapan lantang dari pemuda Siauw-lim-pai ini. Pangeran Ceng Han Houw juga tersenyum lebar dan mengangkat kedua tangan ke atas minta agar suasana menjadi tenang kembali. “Harap Ciu-enghiong suka melanjutkan,” katanya tenang. “Kami fihak Siauw-lim-pai juga tidak setuju kalau memilih bencu mengingat akan keadaan negara, apalagi kalau dipergunakan untuk menentang pemerintah! Itu namanya berbau pemberontakan. Bengcu di kalangan persilatan adalah seorang bijaksana yang akan mencegah bentrokan-bentrokan, mengambil kebijaksanaan dengan musyawarah apabila terjadi kesalahlahaman, bukan sekali-kali untuk menuntun kita semua dalam pemberontakan terhadap pemerintah.” Setelah berkata demikian, pemuda gagah itu berhenti sebentar, memandang ke kanan kiri kemudian berkata lagi. “Hanya itulah pernyataan kami yang tidak setuju.” Suasana menjadi berisik kembali karena para tamu berbisik-bisik dan saling bicara sendiri. “Cu-wi harap tenang!” tiba-tiba terdengar suara pangeran itu yang mengatasi semua suara berisik. Semua orang memandang dan suasana menjadi tenang lagi. Ceng Han Houw masih tersenyum ramah dan dia segera menyambung kata-katanya, “Terima kasih atas sambutan Cui Khai Sun enghiong wakil dari Siauw-lim-pai. Memang setiap orang atau golongan boleh saja mempunyai pendapat masing-masing. Akan tetapi kita berkumpul di sini bukan untuk memperebutkan kebenaran pendapat masing-masing. Kita berkumpul untuk melakukan pemilihan bengcu! Dan apa yang akan diperbuat oleh bengcu yang kita pilih kemudian, itu adalah urusan bengcu itu, dan setuju atau tidak setuju di antara kita boleh diajukan kepada bengcu. Mengatur apa yang akan dan tidak akan dilakukan oleh seorang bengcu, sedangkan bengcu itu sendiri belum dipilih, merupakan hal yang sia-sia saja, bukan? Kita akan memilih bengcu berdasarkan suara. Akan tetapi karena kita adalah orang-orang yang semenjak kecil belajar silat, maka pertemuan ini tidak akan lengkap kalau tidak diadakan pertunjukan ilmu silat. Dan untuk itu, akan meriah dan menarik sekali kalau kita mengadakan pemilihan jagoan nomor satu di dunia. Siapapun boleh boleh mengajukan diri sebagai calon dan aku sendiri sebagai fihak tuan rumah juga mengajukan diri, bersama jago pilihan kami, yaitu adik angkatku sendiri yang bernama Cia Sin Liong!” Sin Liong terkejut bukan main. Pertama dia terkejut karena namanya disebut-sebut sebagai calon jago pilihan pangeran dan sebagai adik angkat, ke dua dia terkejut karena she-nya disebut sebagai she Cia. Rahasianya telah dibongkar oleh pangeran itu di tempat itu, di mana hadir pula keluarga Cip-ling-pai, bahkan hadir pula di situ ayah kandungnya! “Houw-ko,” bisiknya. “Aku tidak dapat menerima ini!” Sin Liong bangkit berdiri dan di antara para tamu ada yang bertepuk dan bersorak menyambut jago muda pilihan pangeran ini, akan tetapi Sin Liong segera berseru nyaring, “Cu-wi, maafkan. Akan tetapi aku tidak berniat menjadi jago apapun, tidak ingin ikut-ikut memperebutkan pilihan jago silat. Pangeran hanya berkelakar saja!” Dan diapun duduk kembali. Ceng Han Houw tertawa dan berkata lagi dengan lantang, “Cu-wi, lihat betapa sederhana dan pemalunya adik angkatku ini. Akan tetapi tentang ilmu silat... kiranya aku sendiri masih harus banyak belajar dari dia! Dia tidak mau menjadi calon jagoan, tidak mengapalah, akan tetapi aku mengangkat dia menjadi penguji! Calon-calon yang hendak memasuki pemilihan jago nomor satu di dunia harus dapat melawan dan menandingi kepandaian adik angkatku ini lebih dulu!” Kembali semua orang bertepuk tangan dan bersorak. “Houw-ko, aku tidak mau!” Sin Liong berbisik. Han Houw mundur dan mendekati Sin Liong, menghardik dalam bisikan pula. “Liong-te, mengapa engkau hendak mengacau aku? Ingat, Bi Cu berada di tanganku, dia kusuruh jaga subo dan suci. Engkau harus membantuku kalau tidak...” Lie Ciauw Si mendengar bisikan-bisikan ini dan dia memandang dengan mata terbelalak. Sedangkan Sin Liong sudah menjadi kaget setengah mati mendengar ucapan itu. Tak disangkanya bahwa dalam saat terakhir itu pangeran ini masih hendak bersikap curang dan ternyata bahwa dia sengaja dipisahkan dari Bi Cu agar pangeran itu dapat menguasal Bi Cu untuk memaksanya! Akan tetapi dia melihat betapa amat berbahayanya paksaan yang dilakukan oleh pangeran itu. Dia tidak mungkin mau memenuhi permintaan gila itu, dan lebih baik dia dan Bi Cu mati daripada dia harus membantu pangeran dengan rencana gilanya. “Aku tidak sudi!” katanya dan diapun sudah meloncat dan pergi dari situ, menuju ke dalam untuk mencari Bi Cu. Para tamu yang sedang berbisik itu hanya melihat Sin Liong melarikan diri ke dalam dan hal ini menambah kuat pernyataan sang pangeran tadi betapa pemuda perkasa itu wataknya sederhana dan amat pemalu. Agaknya saking malunya pemuda itu telah melarikan diri ke dalam maka merekapun makin keras tertawa dan bersorak. Sementara itu, Ciauw Si berbisik kepada suaminya, “Apa yang telah kaulakukan ini, pangeran?” “Sstt, Si-moi, tanpa siasat tidak mungkin kita akan berhasil.” Pangeran itu berbisik kembali dan dia sudah mengangkat tangan memberi tanda agar para tamu tidak berisik. “Cu-wi yang mulia! Adik angkatku itu memang pemalu sekali. Akan tetapi jangan cu-wi khawatir. Setiap orang boleh mengajukan diri sebagai calon dan selain adik angkatku itu, aku masih mempunyai seorang penguji lain, yaitu isteriku sendiri! Jangan cu-wi memandang rendah kepada isteriku yang tercinta ini, karena kepandaian silatnya tidak berselisih jauh dari kepandaianku sendiri. Nah, siapa yang mampu menandingi isteri saya dalam lima puluh jurus, dia berhak menjadi calon jago nomor satu di dunia! Inilah isteri saya, Lie Ciauw Si!” Di bawah tepuk tangan dan sorak-sorai, terpaksa Ciauw Si bangkit berdiri dan menjura ke arah penonton yang menjadi semakin riuh bertepuk tangan memuji karena memang Ciauw Si nampak cantik jelita dan menarik sekali. Wajah Ciauw Si agak pucat, apalagi ketika dia bertemu pandang dengan sepasang mata yang berapi-api, sepasang mata ibu kandungnya! Dia menjadi lemas dan cepat duduk kembali ke kursinya. Betapapun juga, dia harus membela suaminya yang tercinta, pikirnya sambil mengepal tinju kirinya. Sementara itu, keluarga Cin-ling-pai, empat orang pendekar itu sejak tadi sudah berbisik-bisik saling bicara dengan serius dan juga penuh keheranan. “Pangeran gila, kenapa dia menyebut she Sin Liong sebagai she Cia?” kata Bun Houw dengan marah. “Apa dia sengaja hendak menghina keluarga Cia kami?” “Mungkin dia hehdak memancing agar kita turun tangan membantah,” bisik Cia Giok Keng. “Akan tetapi dia tidak menyinggung-nyinggung tentang Ciauw Si.” Mereka berempat merasa bingung dan tidak mengerti, apalagi ketika melihat Sin Liong melarikan diri ke dalam. Apakah yang sedang terjadi? Permainan apakah yang dilakukan oleh Pangeran itu? Ketika pangeran itu mengangkat Ciauw Si yang diperkenalkan sebagai isterinya sebagai penguji, Giok Keng dengan gemas memandang kepada puterinya yang menerima pujian para tamu itu dan dia berbisik dengan suara mendesis, “Biar aku maju sebagai calon menghadapinya!” “Ah, jangan begitu, enci Keng!” adiknya menyela. “Ingat, kita menghadapi banyak orang, jangan menimbulkan keributan yang hanya akan mendatangkan aib bagi nama keluarga.” kata Yap Kun Liong menyabarkan isterinya. Para tamu menjadi semakin berisik ketika mereka melihat seorang laki-laki yang bertubuh tinggi besar dan bermuka merah, rambutnya riap-riapan dan pakaiannya kasar, meloncat dengan gerakan yang cukup lincah ke depan dan tiba di tengah-tengah ruangan yang tinggi itu, tersenyum dan memberi hormat ke arah pangeran. Orang ini adalah seorang laki-laki berusia empat puluh tahun, tubuhnya yang tinggi besar itu membayangkan kekuatan dahsyat, sikap dan pakaiannya yang kasar itu menunjukkan bahwa dia adalah seorang petualang di dunia kang-ouw. Wajahnya lebar dan matanya, hidungnya serta mulutnya juga serba besar. “Pangeran, saya Loa Khi berjuluk Tiat-pi-ang-wan (Lutung Merah Berlengan Besi) sama sekali tidak berani mengajukan diri sebagai calon jago nomor satu di dunia, akan tetapi saya mempunyai semacam penyakit, yaitu di mana terdapat pertandingan pibu, tangan saya menjadi gatal-gatal. Biarlah saya memelopori para enghiong di sini agar pertemuan ini menjadi lebih gembira.” Sambil berkata demikian, matanya yang lebar itu melirik ke arah Ciauw Si. Mengertilah Pangeran Ceng Han Houw bahwa yang mendorong laki-laki kasar ini untuk maju adalah karena pengujinya adalah isterinya yang cantik jelita. Atau kasarnya, pria itu ingin bersilat menandingi Ciauw Si yang cantik! Akan tetapi Han Houw hanya tersenyum dan dia berkata kepada isterinya dengan suara halus. “Isteriku, harap kau suka melayani Loa-eng-hiong.” Sebetulnya di dalam hatinya Ciauw Si merasa mendongkol sekali. Dia harus melayani segala macam orang kasar seperti itu! Akan tetapi karena dia maklum bahwa suaminya itu sedang berusaha untuk menentang kelaliman kaisar, dan karena betapapun juga dia harus membela suaminya yang tercinta, dia tidak berkata sesuatu melainkan bangkit berdiri dan menghampiri orang yang berjuluk Lutung Merah Berlengan Besi itu. Jantung di dalam dada yang bidang itu terguncang dan berdebar-debar penuh kegirangan. Loa Khi adalah seorang kang-ouw golongan sesat dan merupakan seorang yang kasar, gila akan kecantikan wanita. Tadi dari jauh dia melihat betapa cantiknya isteri pangeran itu, dan kini setelah berhadapan, dia terpesona. Belum pernah rasanya dia berhadapan dengan wanita secantik ini! Sungguh tidak rugi sekali ini, pikirnya. Dapat bersentuhan lengan dan tangan dengan wanita seperti ini sungguh merupakan hal yang amat menyenangkan, apalagi kalau diingat bahwa wanita ini bukanlah sembarangan wanita, melainkan isteri seorang pangeran dan tentu saja merupakan seorang puteri bangsawan simpanan! Maka diapun menyeringai dan mematut-matut diri agar kelihatan tampan dan gagah. “Orang she Loa, kau mulailah!” Ciauw Si berkata, membuyarkan lamunannya itu. “Eh... oh... mana saya berani mendahului?” kata Loa Khi yang meringis seperti seekor lutung aseli. Bicara demikian, selain meringis Loa Khi juga memainkan matanya yang bundar besar dan menggerak-gerakkan alisnya. Melihat lagak ini hati Ciauw Si menjadi muak dan panas, dan kalau dia tidak mengingat bahwa suaminya sedang berusaha mengambil hati dunia kang-ouw, tentu dia sudah menjatuhkan tangan maut menyerang orang ini. “Hemm, kalau begitu sambutlah seranganku!” kata Ciauw Si. Dia memberi kesempatan kepada orang itu untuk memasang kuda-kuda dan memang Loa Khi dengan mulut masih menyeringai telah memasang kuda-kuda dengan gaya yang gagah. Kedua kakinya dipentang lebar, kedua lutut ditekuk rendah dan kedua lengan disilangkan, tangannya dibuka membentuk cakar naga, tubuh atasnya tegak lurus dan matanya mengerling ke arah lawan yang berada di samping kanan. Semua tamu menyambut pasangan kuda-kuda ini dengan berbagai macam sikap. Mereka yang memiliki ilmu kepandaian tinggi memandang dengan senyum mengejek, karena mereka tahu bahwa kuda-kuda seperti itu hanya indah dipandang saja akan tetapi sesungguhnya tidak memiliki inti yang kuat. Sebaliknya, mereka yang belum begitu tinggi tingkatnya, merasa kagum karena memang Loa Khi kelihatan gagah dan kokoh kuat dengan kuda-kudanya itu. Ciauw Si yang sudah tidak sabar lagi melihat lagak orang, mengeluarkan seruan lembut dan mulai menyerang dengan kedua tangannya, menyambar dari kanan kiri, yang kiri menampar ke arah pelipis lawan sedangkan yang kanan menotok ke arah lambung. Serangan ini sebetulnya hanya merupakan pancingan saja karena pendekar wanita itu tidak mau sembarangan mengeluarkan ilmunya yang tinggi hanya untuk menghadapi seorang seperti laki-laki sombong ini. Dan melihat serangan yang cukup cepat dan dahsyat ini, Loa Khi cepat menggerakkan kedua tangannya untuk menangkap pergelangan tangan lawan. Memang yang mendorongnya maju adalah untuk dapat menyentuh tubuh atau memegang lengan wanita cantik itu, maka melihat serangan lawan, dia berusaha secepatnya untuk menangkap pergelangan tangan lawan dan akan memegangnya dengan kuat dan mesra! Namun Ciauw Si tentu saja maklum akan hal ini dan diapun tidak sudi membiarkan kedua lengannya dipegang. Dengan cepat dia sudah menarik kembali kedua tangannya dan kini kaki kirinya bergerak menendang dengan cepat. Akan tetapi, sambil tersenyum lebar lawannya menggerakkan tangan ke bawah dengan maksud menangkis atau kalau mungkin menangkap kaki yang kecil itu! Sedangkan tangan kiri Loa Khi sudah menyelonong ke depan, ke arah dada Ciauw Si! “Hemmm...!” Ciauw Si mendengus marah dan tiba-tiba tubuhnya bergerak cepat, kedua tangannya bergerak mendorong ke depan. Itulah pukulan sakti yang merupakan jurus ke tiga dari Ilmu San-in-kun-hoat, ilmu ampuh dari Cin-ling-pai! Angin pukulan dahsyat menyambar ke depan. Loa Khi terkejut bukan main dan cepat dia berusaha menangkis sambil mengerahkan tenaga kepada kedua kakinya dan tubuhnya untuk menjaga diri. “Desss...!” Betapapun kuatnya dia menangkis, tetap saja kedua tangan Ciauw Si dapat menerobos di antara lengan lawan yang menangkis dan terus menghantam dada. Untung bagi Loa Khi bahwa Ciauw Si masih ingat bahwa dia hanya bertugas menguji kepandaian lawan, maka dia tidak mempergunakan seluruh tenaga sin-kangnya. Akan tetapi biarpun demikian, tetap saja tubuh Loa Khi yang tinggi besar itu terjengkang dan terbanting ke atas lantai. Dia terengah-engah, merasa dadanya sesak dan sukar bernapas! Karena Loa Khi tidak datang bersama teman-teman dan tidak mempunyai rombongan, maka tidak ada yang menolongnya dan Han Houw memberi isyarat kepada pengawal-pengawalnya. Dua orang pengawal cepat maju membantu Loa Khi berdiri dan membawa orang yang masih terengah-engah itu ke tempat duduknya yang agak di belakang. Loa Khi tidak berani banyak cakap lagi dan membiarkan dirinya dituntun kembali ke kursinya, mukanya pucat sekali. Dia telah dirobohkan kurang dari lima jurus! Berisiklah para tamu melihat kehebatan Ciauw Si. Mereka yang tadinya berminat untuk memasuki pemilihan jagoan itu, menjadi kecil nyalinya dan mengurungkan niat hati mereka. Tentu saja tidak demikian dengan mereka yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Seorang tosu sudah mengeluarkan seruan dan tubuhnya melayang ke tengah ruangan itu. Tosu ini tinggi kurus, mukanya pucat seperti orang berpenyakitan, jubahnya kuning dan matanya sipit seperti orang mengantuk. Setelah dia menjura ke arah pangeran, dia melangkah maju tiga langkah dan terkejutlah pangeran itu melihat betapa di atas lantai itu nampak jejak kaki tosu itu sedalam dua senti! Tahulah dia bahwa tosu ini amat lihai dan telah mendemonstrasikan kelihaiannya dengan mengerahkan tenaga pada kedua kakinya yang melesak ke dalam lantai ketika dia melangkah perlahan-lahan. Kalau tadi Han Houw menyebutkan nama isterinya, memperkenalkannya sebagai pembantunya untuk menguji calon jagoan, maksudnya hanyalah untuk memperlihatkan kepada para tokoh kang-ouw, khususnya kepada keluarga Cin-ling-pai bahwa Lie Ciauw Si selain telah menjadi isterinya juga membantunya untuk menghimpun tenaga dan menentang kaisar lalim! Akan tetapi tentu saja bukan maksud hati Han Houw untuk membiarkan isterinya menghadapi semua orang yang ingin mencoba kepandaian. Dia hanya mengajukan isterinya untuk menghadapi kalau-kalau ada di antara tokoh Cin-ling-pai yang maju, maka kini melihat kelihaian tosu itu, tentu saja Han Houw merasa khawatir dan tidak membiarkan isterinya menghadapi bahaya. Tosu itu setelah menjura dan memperlihatkan tenaganya melalui injakan kaki yang meninggalkan jejak dalam di atas batu, lalu berkata kepada Ceng Han Houw, suaranya seperti suara ular mendesis namun dapat terdengar satu-satu sampai di bagian luar tempat itu, “Pangeran, harap maafkan kelancangan pinto. Sesungguhnya pinto datang bukan sekali-kali untuk memperebutkan kedudukan bengcu atau jagoan nomor satu, melainkan karena telah lama pinto mendengar nama besar pangeran sebagai seorang ahli silat yang pandai dan pinto ingin sekali menguji kebodohan sendiri untuk membuktikan sampai di mana kelihaian pangeran.” Ini merupakan tantangan langsung! Semua orang kang-ouw memandang dengan penuh perhatian karena mereka semua maklum bahwa ucapan itu merupakan tantangan yang tentu didasari urusan pribadi antara tosu itu dan Pangeran Ceng Harl Houw! Han Houw sendiri mengerutkan alisnya, akan tetapi mulutnya masih tersenyum ramah ketika dia berkata halus dan lantang, “Dalam menghadapi urusan besar ini, kami terpaksa melupakan urusan pribadi. Akan tetapi kalau totiang ingin saling menguji kepandaian dengan aku, dapat saja totiang memasuki pemilihan jago menurut yang telah ditentukan. Akan tetapi lebih dulu hendaknya totiang memperkenalkan diri.” “Pinto bernama Ciu Hek Lam dan banyak orang menyebut pinto dengan julukan yang amat buruk, yaitu Tok-ciang Sian-jin (Manusia Dewa Bertangan Racun). Tentu pangeran tidak mengenal nama pinto akan tetapi perlu kiranya diketahui bahwa mendiang Gak Song Kam ketua Jeng-hwa-pang adalah sute dari pinto.” Mendengar ini, sebagaian besar di antara para tokoh kang-ouw terkejut. Memang nama tosu ini tidak terkenal dan hanya beberapa orang saja di antara mereka yang banyak melakukan perjalanan ke utara melewati Tembok Besar mengenal namanya, akan tetapi nama Jeng-hwa-pang tentu saja dikenal mereka. Kiranya tosu yang lihai ini adalah saudara tua dari mendiang ketua Jeng-hwa-pang, maka tentu saja ilmu kepandaiannya amat tinggi. Diam-diam Ceng Han Houw mengerti sekarang, Gak Song Kam, ketua Jeng-hwa-pang itu tewas di tangan dia dan Sin Liong, maka agaknya tosu ini datang dengan maksud untuk membalas dendam atas kematian ketua Jeng-hwa-pang itu! Dia sama sekali tidak merasa takut menghadapi tosu ini, akan tetapi untuk menjaga kewibawaannya, dia tidak mau begitu saja terjun ke dalam urusan pribadi di tempat itu, apalagi karena dia sedang menghadapi urusan besar. “AH, kiranya totiang ingin menguji kepandaianku. Baiklah, akan tetapi kita tidak boleh melewati peraturan. Cu-wi yang mulia, kami sekarang menunjuk bengcu dari selatan, yaitu locianpwe Hai-liong-ong Phang Tek dan Kim-liong-ong Phang Sun untuk menjadi penguji. Siapa dapat mengalahkan mereka berdua berarti cukup berharga untuk menjadi calon jago nomor satu di dunia!” Mendengar ini, Phang Tek dan Phang Sun lalu melangkah maju. Sementara itu, Han Houw sendiri bangkit dari kursinya, menghampiri Ciauw Si yang masih berdiri memandang ke arah ibunya seperti orang terpesona, dan menggandeng tangan Ciauw Si untuk kembali ke tempat duduknya. Dengan sikap mesra Han Houw berbisik, “Terima kasih atas bantuanmu, Si-moi.” Mendengar dua orang ini, tahulah tosu dia berhadapan dengan orang-orang pandai. Dia telah mendengar tentang Lam-hai Sam-lo yang kabarnya kini tinggal dua orang kakak beradik ini. Akan tetapi dia tidak menjadi gentar melainkan merasa mendongkol karena pangeran itu ternyata tidak mau langsung menghadapinya melainkan menyuruh dua orang ini dengan alasan untuk mengujinya! Hal ini dianggapnya sebagai tanda bahwa pangeran itu jerih kepadanya, maka diapun menghadapi dua orang kakek itu dan memandang dengan sinar mata tajam dari kedua matanya yang sipit. “Pinto telah mendengar tentang nama besar Lam-hai Sam-lo,” katanya dengan nada suara mengejek, “Pangeran telah memerintahkan kalian maju, apakah ji-wi (kalian berdua) hendak maju berbareng dan mengeroyok pinto?” Ucapan ini biarpun hanya merupakan sebuah pertanyaan, namun bernada mengejek dan merendahkan, maka kedua orang datuk dari selatan itu tentu saja menjadi marah sekali. Mereka tadi maju hanya untuk memperkenalkan diri kepada para tamu setelah nama mereka disebut-sebut oleh pangeran, bukan sekali-kali hendak mengeroyok tosu itu. Kim-liong-ong Phang Sun, kakek berkepala gundul lonjong yang bertubuh kecil pendek seperti kanak-kanak, yang hanya memakai celana tanpa baju dan kakinyapun telanjang, sudah meloncat ke depan. Dengan lengan kiri yang dihias gelang emas tebal dia berkata, suaranya sungguh mengejutkan, karena lantang besar tidak seperti bentuk tubuhnya, “Tosu bulukan! Tekebur sekali ucapanmu! Menghadapi seorang tosu bulukan macam engkau, cucukupun akan berani. Sayang aku tidak pernah punya cucu! Maka biarlah aku mencoba, hendak kulihat apakah kepandaianmu seluas mulutmu! Twako, mundurlah, biarkan aku yang menghajar manusia sombong ini!” Hai-liong-ong Phang Tek mengerutkan alisnya, lalu mundur sambil berkata, “Hati-hati, jangan pandang rendah dia.” Hai-liong-ong yang tahu akan kemarahan adiknya merasa khawatir karena menghadapi seorang lawan tangguh seperti tosu ini, kemarahan merupakan hal yang amat merugikan dan mengurangi kewaspadaan. Kini dua orang itu sudah saling berhadapan. Keduanya sama kurusnya, hanya yang seorang tinggi dan yang lainnya pendek kecil. Semua orang kang-ouw yang hadir di situ memandang dengan penuh perhatian dan hati tegang karena mereka semua mengenal siapa adanya Kim-liong-ong, sedangkan tosu tua itu kurang begitu dikenal karena memang jarang muncul di dunia kang-ouw. Dan oleh karena yang hadir dalam pertemuan besar ini merupakan tokoh-tokoh campuran, banyak pula yang terdiri dari tokoh-tokoh kaum sesat, maka di antara mereka ini sudah ramai mengadakan pertaruhan! Dan rata-rata menurut anggapan mereka, Kim-liong-ong menduduki tempat unggul, bahkan ada yang mempertaruhkan uang sejumlah dua kali lipat menjagoi kakek pendek kecil itu. Tok-ciang Sian-jin memandang dengan alis berkerut kepada calon lawannya, kemudian berkata, suaranya halus dan penuh penyesalan, “Kim-liong-ong, engkau adalah seorang tokoh jauh di selatan sana, sedangkan pinto selamanya berada di utara. Kiranya sampai kita dua orang tua mati oleh usiapun kita tidak akan dapat saling berjumpa, apalagi harus saling berkelahi seperti lawan. Oleh karena itu, pinto menyesal sekali harus berhadapan denganmu, karena sesungguhnya kedatangan pinto ini hanya ingin menghadapi pangeran...” “Cukup, Tok-ciang Sian-jin. Kalau engkau takut, masih belum terlambat bagimu untuk mengundurkan diri!” Kim-liong-ong yang bersama Hai-liong-ong kakaknya itu memang telah lama menjadi kaki tangan Pangeran Ceng Han Houw, sudah memotong dengan suara lantang dan sikap merendahkan. Marahlah tosu itu. Mukanya menjadi merah kini tidak pucat seperti biasanya, dan biarpun matanya masih sipit, akan tetapi tidak seperti orang mengantuk lagi. “Engkau hendak menjadi perisai bagi pangeran? Bagus, majulah, orang sombong!” bentaknya dan diapun sudah menggerakkan jari-jari tangannya dan terdengar bunyi berkeretakan pada buku-buku jari tangannya dan kedua tangan itu kini nampak kehijauan. Kiranya kakek ini memang memiliki ilmu yang amat mengerikan, dan kalau sudah begitu, kedua tangannya merupakan benda-benda yang lebih berbahaya daripada sepasang senjata tajam, karena kedua tangan itu dari jari-jari tangan sampai ke siku yang berwarna kehijauan, mengandung hawa beracun yang amat berbahaya bagi lawan. Itulah sebabnya mengapa dia berani menerima julukan Tok-ciang (Si Tangan Racun). Akan tetapi, Kim-liong-ong Phang Sun menyeringai melihat ini. Dia sendiri adalah seorang ahli tentang racun, maka biarpun dia tahu betapa hebat dan berbahayanya kedua tangan lawan itu, namun dia tidak menjadi gentar. “Kedua tanganmu itu hanya baik untuk menakut-nakuti anak kecil saja. Bagiku tidak ada harganya sama sekali, seperti dua batang gagang sapu butut!” dia mengejek. Tok-ciang Sian-jin menjadi semakin marah. Memang cerdik Kim-liong-ong ini. Ketika menerima peringatan kakaknya tadi, diapun sadar akan kemarahan yang membakar hatinya, maka dia sengaja mengeluarkan ejekan-ejekan dan membakar hati lawan. Dia berhasil, karena tosu itu menjadi semakin marah kini dan dengan gerengan dahsyat dia telah maju menyerang lawan yang bertubuh pendek kecil itu. Kini keadaannya menjadi terbalik, bukan Kim-liong-ong yang dicekik kemarahan, melainkan lawannya. Tok-ciang Sian-jin menyerang dengan kedua tangan terbuka, jari-jari tangannya mencengkeram dari kanan kiri dan sebelum serangan itu tiba, hawa pukulannya yang mengandung hawa beracun itu telah menyambar lebih dulu dengan dahsyatnya. Akan tetapi, tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu kakek kecil itu lenyap dari depannya, tubrukan dan cengkeramannya mengenai tempat kosong dan begitu merasa ada angin menyambar dari kanan, tosu itu cepat membalik dan menangkis. Kiranya, Kim-liong-ong telah mempergunakan kecepatan gerakannya dan mengandalkan tubuhnya yang kecil dan gesit itu untuk menyelinap ketika tadi lawan menyerang, dan cepat memberi pukulan balasan dari arah kanan. “Dukkk!” Lengan Tok-ciang Sian-jin bertemu dengan gelang emas tebal yang melingkar di lengan kiri Phang Sun dan akibatnya, Tok-ciang Sin-jin terdorong ke belakang dan agak terbuyung. Terkejutlah tosu ini dan maklumlah dia bahwa kakek kecil pendek gundul telanjang ini memiliki tenaga sin-kang yang luar biasa kuatnya! Maka diapun lalu menerjang lagi dengan memperlipatgandakan kecepetan gerakannya dan terjadilah perkelahian yang seru dan sangat dahsyat. Kim-liong-ong Phang Sun telah mengeluarkan sebuah bungkusan sambil berloncatan ke sana-sini, lalu membalurkan bubuk putih ke atas lengannya. Itulah bubuk penolak racun. Setelah ini, dia dapat menangkis dan mengadu lengan dengan lawannya, tidak seperti tadi yang mempergunakan gelang emas untuk melindungi lengannya dari hawa racun yang keluar dari lengan lawan. Memang tidak percuma kalau Kim-liong-ong menjadi tokoh nomor dua dari Lam-hai Sam-lo yang ditakuti oleh semua tokoh di dunia selatan. Ilmu kepandaiannya memang hebat sekali, gerakannya aneh dan cepat, dan biarpun kaki tangan kecil-kecil, namun setiap gerakan kaki dan tangan itu mengandung hawa pukulan yang kuat, sehingga bahkan tosu itu sendiri sampai beberapa kali terhuyung kalau mereka terpaksa mengadu tenaga. Banyak di antara mereka yang bertaruh menjagoi Kim-liong-ong kecele. Ada yang bertaruh bahwa dalam waktu kurang dari tiga puluh jurus tosu itu tentu akan kalah. Akan tetapi ternyata tosu itu hebat sekali! Dia dapat mengimbangi semua kelincahan Kim-liong-ong dan setelah bertanding selama lima puluh jurus, ternyata kakek itu sama sekali tidak kalah, bahkan terdesakpun tidak, sungguhpun dia sendiri tidak mampu mendesak kakek kecil itu. Setelah perkelahian itu berlangsung kurang lebih enam puluh jurus, tiba-tiba Tok-ciang Sian-jin meloncat mundur keluar dari lapangan pertandingan lalu membalikkan tubuh menghadapi Pangeran Ceng Han Houw yang sejak tadi menonton dengan penuh perhatian, menjura dan berkata, “Sekarang pinto mengharapkan agar pangeran sendiri...” Baru sampai di situ dia bicara, tiba-tiba ada angin dahsyat menyambar dari belakang, memukul ke arah lambungnya! Bukan main kagetnya Tok-ciang Sian-jin. Cepat dia membalik untuk mengelak dan menangkis. “Plakkk... desss!” Tubuh tosu itu terpelanting dan roboh, dari mulutnya keluar darah segar karena biarpun dia berhasil menangkis pukulan Kim-liong-ong, akan tetapi tangkisannya kurang tepat dan pukulan kakek pendek kecil itu masih meleset dan mengenai punggungnya. Tosu itu bangkit duduk dan memejamkan mata untuk mengumpulkan hawa murni dan menahan ini dadanya yang terguncang hebat. Biarpun dia tidak sampai terluka separah kalau pukulan itu mengenai lambung, namun dia sampai muntah darah dan tentu saja dia tidak mungkin depat melanjutkan pertempuran. “Sungguh curang!” bentak Cui Kai Sun dengan lantang. Pemuda gagah murid Siauw-lim-pai ini menegur marah sekali. Kim-liong-ong hanya tersenyum mengejek ke arah pemuda itu. Melihat betapa di antara para orang kang-ouw yang hadir itu banyak yang memperlihatkan muka tidak senang, Ceng Han Houw cepat bangkit berdiri dan berkata dengan suara yang halus namun berwibawa dan terdengar sampai jauh di luar. “Cu-wi, hendaknya cu-wi bersikap adil! Tidak ada kecurangan terjadi di sini!” “Siapa bilang tidak curang? Aku tidak hendak membela Tok-ciang Sian-jin, akan tetapi kami semua melihat tosu itu sedang bicara dengan pangeran ketika Kim-liong-ong menyerangnya dari belakang secara curang sekali!” Ciu Kai Sun berteriak lagi dan banyak tokoh kang-ouw, teruatama sekali dari golongan bersih, mengangguk menyatakan persetujuan mereka dengan ucapan pemuda gagah itu. Akan tetapi Pangeran Ceng Han Houw tersenyum. “Itu adalah kesalahan tosu itu sendiri, pertandingan belum selesai dan...” “Aku menghitung sendiri bahwa tosu itu telah dapat melayani Kim-liong-ong sampai lima puluh jurus!” Terdengar suata orang lain membenarkan. Sekarang Ceng Han Houw tersenyum semakin lebar dan dia mengangkat kedua tangan ke atas untuk minta para tamu diam. Setelah mereka semua itu tidak berisik lagi, dia lalu berkata, suaranya jelas dan halus, “Cu-wi sekalian yang sudah lama berkecimpung di dunia kang-ouw tentu tahu bahwa syarat untuk menjadi orang kang-ouw bukan hanya tergantung kepada kepandaian silat saja, melainkan juga membutuhkan kecerdikan dan ketelitian! Memang betul bahwa kami tadi berjanji kepada siapa yang dapat menandingi isteri saya selama lima puluh jurus, dia berhak untuk menjadi calon jagoan. Akan tetapi, tidak ada seorangpun yang berjanji tentang lima puluh jurus itu terhadap dua orang pembantu kami, yaitu Hai-liong-ong dan Kim-liong-ong. Karena tidak ada perjanjjan maka pibu melawan merekapun tidak terbatas jumlah jurusnya. Tadi dalam keadaan belum ada yang kalah atau menang, Tok-ciang Sian-jin menghentikan pibu secara sepihak tanpa memberi tahu kepada Kim-liong-ong, maka kalau dia sampai terpukul, baik dari belakang maupun dari depan, bawah atau dari atas, hal itu adalah kesalahannya sendiri karena dia ceroboh dan lengah. Bukankah demikian, cu-wi?” Ucapan yang dilakukan dengan suara halus dan penuh wibawa itu diikuti oleh kesunyian yang lengang karena semua tamu saling pandang dan mereka semua mau tidak mau harus membenarkan pembelaan pangeran itu. Memang tadi pangeran itu berjanji tentang ujian selama lima puluh jurus dalam menghadapi isteri pangeran itu, dan terhadap dua orang pembantunya itu dia tidak berjanji apa-apa. Oleh karena itu, kekalahan Tok-ciang Sian-jin merupakan kekalahan mutlak, walaupun kekalahan itu adalah akibat dari kelengahannya, bukan akibat dari kalah tinggi ilmunya dibanding dengan Kim-liong-ong Phang Sun. “Pinto yang bodoh... pinto kena ditipu orang... pinto mengaku kalah.” Tiba-tiba tosu itu bangkit berdiri, dengan muka pucat dan mata bersinar memandang kepada pangeran itu, menjura lalu dengan langkah lebar dia meninggalkan tempat itu sambil mengusap darah dari ujung bibirnya. Semua tamu hanya mengikuti langkah tosu itu dengan pandang mata dan kini tidak ada lagi yang mau mencampuri karena orang yang bersangkutan sendiri sudah mengakui kebodohannya dan mengaku kalah! Karena ada yang merasa penasaran, berturut-turut terdapat beberapa orang tokoh yang belum mengenal betul kepandaian Lam-hai Sam-lo, maju memasuki ujian calon jagoan nomor satu di dunia. Namun, satu demi satu mereka itu dikalahkan oleh Kim-liong-ong atau Hai-liong-ong yang maju bergantian. Mereka yang sudah tahu akan kelihaian Lam-hai Sam-lo, siang-siang sudah kuncup nyalinya dan tidak berani maju. Setelah tujuh orang calon semua kalah, kini agaknya tidak ada lagi yang berani maju. Melihat ini, diam-diam Pangeran Ceng Han Houw merasa penasaran. Tidak mungkin di antara tokoh kang-ouw tidak ada yang mampu mengalahkan Lam-hai Sam-lo, pikirnya. Apalagi di situ terdapat tokoh-tokoh Cin-ling-pai yang belum bertindak sesuatu. “Siapakah lagi yang akan maju mencoba kemampuannya?” Hai-liong-ong Phang Tek berkata dengan suaranya yang lantang. Akan tetapi, para tamu hanya saling pandang dan agaknya tidak ada lagi yang berani maju. Pangeran Ceng Han Houw bangkit berdiri. “Cu-wi, mengapa cu-wi merasa sungkan? Saya percaya bahwa di antara cu-wi masih banyak orang pandai! Ataukah hanya demikian saja kepandaian para tokoh kang-ouw? Sungguh di luar dugaan kami kalau di dunia kang-ouw ini tidak ada tokoh yang mampu menandingi Lam-hai Sam-lo!” Ucapan itu halus, namun juga bernada mengejek dan membakar. Semenjak tadi Cia Giok Keng sudah merah sekali wajahnya dan dia sudah hendak bangkit berdiri. Akan tetapi adiknya, Cia Bun Houw, memegang lengannya dan berbisik, “Enci, Lam-hai Sam-lo itu terlalu lihai bagimu.” “Biar!” Cia Giok Keng, wanita berusia setengah abad yang nampak cantik dan gagah itu, menjawab dengan bisikan mendesis sehingga membuat beberapa orang tamu yang duduk dekat menengok. “Aku tidak takut. Kalau kalah, biar aku mati di depan mata anak durhaka itu!” Jelaslah bahwa sumber kemarahan wanita ini adalah melihat puterinya, selain menjadi isteri pangeran itu tanpa minta ijin dulu darinya, juga melihat puterinya itu membantu pangeran yang hendak memberontak itu. “Enci, itu kurang bijaksana. Apakah engkau ingin semua orang kang-ouw tahu akan pertentangan antara engkau dan puterimu sendiri? Biarkan aku saja yang maju, mereka itu bukan lawanmu, melainkan lawanku!” Sebelum Cia Giok Keng dapat membantah, disetujui oleh isterinya, yaitu Yap In Hong dan juga Yap Kun Liong yang maklum bahwa dua orang kakek dari selatan, Lam-hai Sam-lo itu memang lihai sekali, sekali bergerak Cia Bun Houw sudah meloncat ke depan. Semua tamu terkejut bukan main ketika melihat ada bayangan manusia melayang di atas kepala mereka, dari tempat duduk paling belakang dan melayang menuju ke depan, ke tengah ruangan di mana masih menanti Kim-liong-ong Phang Sun dengan lagak sombong itu. Ketika bayangan manusia itu telah tiba di tengah ruangan dan berdiri, mereka melihat seorang pria yang amat tampan dan gagah perkasa, dengan pakaian sederhana akan tetapi memiliki wibawa besar dan sepasang matanya menyapu ke arah pangeran, banyak di antara para tokoh kang-ouw mengenalnya dan di samping keheranan mereka, terdengar sorak-sorai menyambut pendekar ini. Siapakah yang tidak mengenal pendekar sakti Cia Bun Houw, putera Cin-ling-pai yang tersohor itu? Akan tetapi, banyak alis dikerutkan dengan heran dan menduga-duga. Isteri pangeran itu adalah cucu ketua Cin-ling-pai, dan kini tokoh Cin-ling-pai ini maju! Apa artinya ini? Akan tetapi mereka semua maklum bahwa kalau pendekar sakti ini maju untuk bertanding, maka akan terjadilah pertandingan yang amat hebat di tempat itu dan mereka semua merasa beruntung untuk dapat menyaksikannya. Wajah Lie Ciauw Si seketika menjadi pucat ketika dia melihat pamannya telah maju di tengah ruangan. Hampir dia tidak berani menatap wajah yang tampan dan yang nampak gagah penuh wibawa itu. Sementara itu, Pangeran Ceng Han Houw tersenyum gembira. Saat yang dinanti-nantikannya telah tiba. Memang untuk inilah dia mengadakan pertemuan besar itu. Selain untuk menghimpun orang-crang pandai, juga untuk menonjolkan dirinya sebagai yang terpandai di antara semua orang kang-ouw juga ingin memancing datangnya keluarga Cin-ling-pai. Kalau dia dapat menarik mereka menjadi sekutunya, dengan umpan kenyataan bahwa Ciauw Si telah menjadi isterinya dan pembantunya, maka hal itu akan baik sekali karena kedudukannya akan menjadi semakin kuat. Sebaliknya, kalau dia gagal menarik mereka dan mempengartihi mereka, dia akan dapat mengalahkan mereka satu demi satu sehingga dengan demikian dunia kang-ouw akan melihat bahwa dialah jago nomor satu di dunia, bahkan keluarga Cin-ling-pai yang terkenal sekali itu tidak ada yang mampu menandinginya! Maka, melihat betapa pendekar sakti Cia Bun Houw sudah maju, dia memandang dengan sinar mata berseri. Akan tetapi dia hendak membiarkan dulu dua orang pembantunya itu “menguji” sampai di mana kehebatan pendekar sakti ini, apakah memang sehebat apa yang dikabarkan orang. Ketika pendekar sakti itu berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang lebar, kedua tangan tergantung di kanan kiri dan memandang dengan sinar mata tajam penuh wibawa kepada pangeran itu, Ceng Han Houw dengan tenang dan dengan bibir masih tersenyum, balas memandang. Dua pasang mata yang sama-sama mempunyai sinar tajam mencorong dan penuh wibawa itu saling pandang, dan seolah-olah mereka berdua saling mengukur kekuatan masing-masing melalui sinar mata itu. Suasana menjadi sunyi, sunyi yang menegangkan dan mencekam hati. Hanya Lie Ciauw Si yang nampak bergerak, kepalanya saja, kadang-kadang diangkat memandang pamannya, kadang-kadang menunduk kembali, kedua tangannya meremas-remas ujung bajunya, jantungnya berdebar penuh ketegangan dan kebingungan. Akan tetapi suasana yang mencekam itu dipecahkan oleh suara Kim-liong-ong Phang Sun yang lantang, suaranya yang mengandung pura-pura karena sesungguhnya dia sudah tahu siapa adanya pria gagah yang kini berada di dekatnya itu. “Enghiong dari manakah yang kini maju? Apakah hendak mengajukan diri sebagai calon jagoan? Harap suka memperkenalkan diri.” Baru setelah mendengar teguran ini, Bun Houw membalikkan tubuhnya dan menghadapi Kim-liong-ong yang ternyata berdiri bersama dengan Hai-liong-ong. Sejenak Bun Houw menatap mereka berdua dengan sikap keren, kemudian terdengarlah suara yang lantang dan jelas. “Aku bernama Cia Bun Houw dan aku datang mewakili Cin-ling-pai!” Baru saja dia berkata sampai di sini terdengar suara berbisik di antara para tamu yaitu mereka yang baru sekarang melihat pendekar ini sungguhpun semua telah mendengar nama besarnya, apalagi nama besar Cin-ling-pai, yang akhir-akhir ini menjadi semakin terkenal setelah ada berita bahwa keluarga Cin-ling-pai dituduh sebagai pemberontak, bahkan menjadi pelarian-pelarian pemerintah. Setelah suara berbisik mereda, Bun Houw melanjutkan kata-katanya. “Kami dari Cin-ling-pal tidak pernah merasa menjadi orang yang paling pandai di dunia ini. Oleh karena itu, kedatanganku di sinipun sama sekali bukan hendak memperebutkan julukan kosong sebagai jagoan nomor satu di dunia! Akan tetapi aku datang justeru untuk menguji sampai di mana hebatnya orang yang berani menyebut dirinya sebagai jagoan nomor satu di dunia!” Terdengar tepuk tangan riuh rendah menyambut kata-kata ini dan kebanyakan yang bertepuk tangan adalah orang-orang yang termasuk dalam golongan bersih karena ucapan itu merupakan suara hati mereka pula. Mereka itu menganggap Bun Houw sebagai wakil mereka, wakil dari golongan putih untuk menentang usaha-usaha kaum sesat yang selalu hendak menonjolkan diri dan melakukan perbuatan-perbuatan demi mencari kedudukan, harta benda, atau nama besar. Mendengar ucapan yang penuh wibawa ini, melihat sikap pendekar itu yang keren, dan melihat sambutan para orang kang-ouw, kedua orang dari Lam-hai Sam-lo itu mengerutkan alis dan merekapun menjadi bingung. Akan tetapi Kim-liong-ong yang berwatak angkuh dan selalu memandang rendah lawan itu lalu berkata lantang. “Cia Bun Houw, ucapanmu itu sungguh menyimpang daripada maksud dari pertemuan besar yang diadakan oleh pangeran ini. Lalu dengan siapa engkau hendak bertanding, kalau jagoan nomor satu belum ditetapkan siapa?” Bun Houw yang tadipun merasa penasaran menyaksikan kelicikan dan kecurangan kakek kecil pendek ini lalu menjawab, “Dengan siapa saja yang merasa dirinya jagoan tak terkalahkan. Lam-hai Sam-lo terkenal sebagai datuk-datuk selatan, akan tetapi hari ini aku melihat betapa seorang di antaranya hanyalah seorang tukang berkelahi yang licik dan tak tahu malu. Kalau Lam-hai Sam-lo merasa hebat, boleh saja aku menghadapinya, dan terhadapku, Lam-hai Sam-lo boleh berlaku licik dan curang sesuka hatinya!” Ucapan ini terlalu hebat! Lebih-lebih lagi karena terdengar suara tertawa menyambut ucapannya yang terang-terangan mencela dan mengejek kelicikan Kim-liong-ong tadi. Akan tetapi, Kim-liong-ong dan Hai-liong-ong menjadi amat marah. Nama besar Lam-hai Sam-lo seperti diinjak-injak oleh pria muda ini! Kini Hai-liong-ong Phang Tek sudah berkata dengan suara keras, “Orang muda she Cia yang sombong! Ucapanmu terlalu besar dan engkau menantang Lam-hai Sam-lo. Kami masih ingat bahwa engkau adalah putera ketua Cin-ling-pai, dengan demikian engkau tentu masih keluarga dengan isteri pangeran yang terhormat, maka...” “Cukup!” Bun Houw membentak demikian nyaringnya sehingga mengejutkan semua orang karena dalam keadaan marah bentakan tadi mengandung tenaga auman harimau yang amat hebat, terbawa khi-kang dari Ilmu Thian-te Sin-ciang sehingga gema bentakan itu mendatangkan getaran dahsyat. “Tidak ada hubungannya keluarga dengan urusan ini...! Aku tidak datang membicarakan soal keluarga, dan kalau Lam-hai Sam-lo berani, majulah, tidak usah cerewet. Kalau tidak berani, menggelindinglah pergi dan biarkan aku menghadapi orang yang menggerakkan semua ini!” Sambil berkata demikian, kembali Bun Houw memandang ke arah Pangeran Ceng Han Houw. “Paman...!” Lie Ciauw Si yang mukanya berubah merah membuka mulut, akan tetapi suaranya itu hanya merupakan bisikan dan keburu lengannya disentuh oleh suaminya yang masih tersenyum-senyum saja. “Tenang, Si-moi dan kita lihat perkembangannya,” bisiknya kembali. Sementara itu, kemarahan Phang Tek dan Phang Sun membuat wajah mereka berubah merah sekali. “Cia Bun How, benarkah engkau menantang kami berdua untuk maju bersama melawanmu? Orang muda, hati-hatilah engkau dengan jawabanmu!” kata Phang Tek yang marah sekali, akan tetapi mengingat akan nama besar Lam-hai Sam-lo, dia merasa tidak enak dan malu kalau harus menghadapi orang muda ini dengan pengeroyokan mereka berdua. “Lam-hai Sam-lo, mengapa banyak cerewet? Jangankan kini tinggal kalian berdua, biar masih lengkap tiga orangpun aku tidak akan takut melawan kalian. Majulah!” Cia Bun Houw yang memang sudah mengambil keputusan untuk memberi hajaran kepada mereka ini, sudah berdiri menghadapi mereka dengan kedua kaki terpentang lebar, tubuhnya tegak dan kedua lutut agak ditekuk, sepasang matanya mencorong seperti mata seekor naga, tanda bahwa pada saat itu tenaga sin-kangnya telah naik dari pusar dan berputar-putar di seluruh tubuhnya, siap untuk dipergunakan dalam setiap gerakan. Dua orang kakek itu masih meragu, selain merasa malu kepada para tokoh kang-ouw, juga mereka merasa sungkan terhadap pangeran karena bukankah orang muda ini masih terhitung paman dari isteri sang pangeran sendiri? Maka Phang Tek lalu menghadap ke arah pangeran dan berkata, “Harap paduka maafkan kami berdua yang tidak tahu harus bersikap bagaimana dalam keadaan seperti ini.” Ceng Han Houw yang sejak tadi tersenyum dan wajahnya yang tampan itu tetap nampak berseri, lalu berkata tenang, “Seorang yang sakti dan gagah perkasa seperti Cia-taihiap telah berkenan meramaikan pertemuan ini dan hendak mempertihatkan kepandaian, hal itu sungguh membuat kita harus berterima kasih sekali. Sekarang Cia-taihiap mengajak kalian berdua untuk bermain-main dan menguji kepandaian, mengapa kalian berdua ragu-ragu lagi?” Diam-diam Cia Bun Houw terkejut sekali. Tak disangkanya bahwa pangeran yang masih begitu muda namun ternyata pandai sekali mengatur perasaan sehingga sampai sedemikian jauh tetap tenang dan ramah, sungguh merupakan sikap seorang yang sama sekali tidak boleh dipandang ringan! Mulailah dia mengerti mengapa keponakannya itu, seorang gadis gagah perkasa, dapat tunduk terhadap pangeran itu. Kiranya pangeran itu, biarpun masih muda, selain memiliki wajah yang amat tampan menarik, juga memiliki kekuatan batin yang mengagumkan dan tentu memiliki kepandaian yang tinggi pula! Dan wajah pucat dari Ciauw Si agak berseri ketika dia mendengar ucapan suaminya itu. Diam-diam dia melirik ke arah ibunya dan dia melihat ibunya itu berbisik-bisik dengan ayah tirinya, yaitu Yap Kun Liong. Tentu saja dia tidak tahu apa yang sedang dibicarakan oleh ibunya dan suami ibunya itu. Sedangkan bibinya, Yap In Hong, hanya memandang ke arah suaminya dengan penuh perhatian karena tentu saja bibi itu tahu bahwa suaminya sedang menghadapi lawan yang amat tangguh kalau dua orang kakek itu benar-benar hendak maju bersama mengeroyoknya. Sementara itu, dua orang kakek menjadi lega hati mereka. Jelaslah bahwa pangeran memperkenankan mereka maju bersama menghadapi tokoh Cin-ling-pai ini dan memang sudah menjadi tugas mereka untuk mengukur kepandaian orang-orang tangguh yang menjadi calon lawan majikan mereka. “Kalau begitu, kami tidak akan menolak tantanganmu, Cia-taihiap.” Setelah mendengar pangeran itu menyebut Cia-taihiap, maka Phang Tek juga tidak berani menyebut lain. “Kami akan maju bersama menghadapimu.” “Tak perlu banyak cakap, maju dan mulailah!” jawab Bun Houw tak sabar lagi. Dua orang kakek itu lalu memasang kuda-kuda dan melangkah perlahan mengitari Bun Houw dengan lagak dua ekor jago yang memilih-milih tempat yang baik, sudut yang tepat untuk memulai serangan mereka. Bun Houw tetap berdiri tegak, sama sekali tidak bergerak dan hanya pandang matanya saja yang mengikuti gerakan mereka. Akhirnya dua orang kakek itu mengambil sudut yang mereka anggap paling menguntungkan, yaitu di kanan kiri pendekar itu. Phang Tek di sebelah kanan dan Phang Sun di sebelah kiri. Tiba-tiba, setelah saling memberi tanda dengan sinar mata, keduanya mengeluarkan teriakan nyaring dan mulailah mereka menyerang dari kanan kiri! “Wuuut... wuuuttt... plak-plak plak-plak!” Dengan gerakan yang mantap Bun Houw menyambut serangan mereka dari kanan kiri itu dengan menggerakkan tubuh dan kedua lengannya bergerak menangkis sehingga dia telah berhasil menangkis masing-masing lawan dua kali dan membuat dua orang kakek itu agak terhuyung! Kembali Bun Houw berdiri tegak dan kedua orang lawannya kini berada di depan dan belakangnya. Dua orang kakek itu memandang dengan mata terbelalak karena pertemuan lengan mereka tadi dengan lengan Bun Houw membuat tubuh mereka terasa tergetar hebat. Dan hal itu tidaklah mengherankan karena Bun Houw telah mempergunakan tenaga Thian-te Sin-ciang yang sudah dilatih sampai di puncaknya! Dan kini, biarpun Kim-liong-ong Phang Sun berada di belakangnya, Bun Houw tidak menjadi gentar, bahkan sama sekali tidak menggerakkan kepalanya karena ketajaman pendengarannya dapat menangkap segala gerak-gerik lawan di belakang itu seolah-olah dia dapat melihatnya dengan mata, melihat dengan jelas. Maka dia membagi kekuatannya pada mata dan telinga sehingga dia dapat memperhatikan dan mengikuti segala gerak-gerik dua orang lawannya. Kembali dua orang kakek itu mengirim serangan dan kini mereka melakukan serangan bertubi-tubi dan sambung-menyambung. Pukulan-pukulan mereka amat dahsyatnya, semua merupakan pukulan maut dan ternyata tubuh besar Hai-liong-ong Phang Tek itu tidak menghalanginya untuk bergerak cepat sekali, jauh lebih cepat daripada gerakan adiknya yang bertubuh kecil pendek! Bagaikan seekor singa Phang Tek menyerang dengan kedua tangan dibentuk seperti cakar dan kedua lengannya itu bergerak-gerak seperti seekor naga. Dan memang sesungguhnya orang pertama dari Lam-hai Sam-to ini adalah seorang ahli silat naga Liong-jiauw-kun dan Liong-jiauw-kiam-sut (Ilmu Pedang Cakar Naga). Sebaliknya biarpun gerakannya tidak seringan dan secepat kakaknya, namun si pendek Kim-liong-ong Phang Sun itu memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat sehingga setiap pukulannya mendatangkan angin yang menyambar dahsyat dan mengeluarkan bunyi bercuitan! Tingkat kepandaian Phang Tek dan Phang Sun memang seimbang, karena kalau Phang Tek lebih cepat gerakannya, Phang Sun lebih kuat pukulannya. Hal ini terasa benar oleh Bun Houw maka diapun tidak berani memandang rendah dan untuk menghadapi serangan dua orang lawannya yang tangguh ini, dia telah mainkan Thai-kek Sin-kun, ilmu silat keramat dari ayahnya. Ilmu silat ini memang merupakan ilmu silat halus yang amat tangguh untuk menjaga diri dan mempunyai daya tahan yang amat kuat sehingga seolah-olah dengan ilmu ini dia dapat menahan serangan seribu orang lawan! Apalagi pada waktu itu tingkat kepandaian Bun Houw sedang berada di puncaknya, tubuhnya sedang kuat-kuatnya dan dia amat terlatih. Maka dengan langkah-langkah yang indah dari Thai-kek Sin-kun, dia mampu mengelak ke sana-sini atau menambah dengan tangkisan-tangkisan untuk kemudian melakukan serangan balasan dengan tamparan-tamparan Thian-te Sin-ciang yang amat ampuh itu. Pertandingan itu sudah lewat lima puluh jurus, namun dua orang pengeroyok itu sama sekali bukan pernah dapat menyentuh tubuh Bun Houw. Semua tamu memandang ke arah pertempuran dengan mata terbelatak karena kagum. Yap Kun Liong memandang dengan sikap tenang, tidak seperti isterinya, Cia Giok Keng yang memandang dengan alis berkerut dan tangan terkepal. Tingkat Cia Giok Keng tidak sedemikian tingginya sehingga dia sukar dapat mengikuti perkembangan dari pertandingan tingkat tinggi itu sehingga dia khawatir kalau-kalau adik kandungnya akan kalah. Sedangkan Yap In Hong sejak tadi mengikuti gerak-gerik tiga orang yang bertanding itu dengan sikap sama tenangnya dengan kakak kandungnya. Dia tahu bahwa suaminya tidak akan kalah, karena pada dasarnya suaminya lebih kuat dan andaikata suaminya mau menjatuhkan pukulan-pukulan maut yang ganas, sejak tadi tentu suaminya sudah dapat merobohkan dua orang pengeroyoknya itu, atau setidaknya seorang di antara mereka. Lie Ciauw Si yang biarpun amat lihai namun juga tidak setinggi itu tingkatnya, memandang dengan bingung. Dia tidak tahu harus berfihak mana. Yang dikeroyok adalah pamannya yang bertindak atas nama Cin-ling-pai, sedangkan dua orang pengeroyoknya itu adalah pembantu-pembantu suaminya yang menggantikan dia. Tak dapat dia membayangkan apa yang akan dilakukan kalau dia yang masih menjadi penguji dan harus berhadapan dengan pamapnya yang sakti itu! Sedangkan Pangeran Ceng Han Houw menonton dengan wajah berseri dan beberapa kali dia mengangguk-angguk menyatakan kagumnya terhadap gerak-gerik Cia Bun Houw yang memang merupakan seorang pendekar yang sukar dicari tandingannya. Akan tetapi, diam-diam pangeran ini merasa khawatir juga. Dia tahu bahwa dua orang pembantunya itu tidak akan dapat menang, maka mulailah dia memandang ke sana-sini mencari-cari Sin Liong. Kenapa adik angkatnya itu tidak kembali ke situ? Kalau ada Sin Liong, sebelum dia sendiri harus berhadapan dengan Cia Bun Houw, yaitu kalau dia gagal membujuk paman isterinya itu, dia akan menyuruh Sin Liong mewakilinya dan “menguji” pendekar dari Cin-ling-pai itu! Biarpun dia tahu bahwa Sin Liong, menurut pengakuannya adalah putera kandung pendekar sakti ini, akan tetapi agaknya di antara mereka berdua belum ada hubungan dan pendekar sakti ini belum tahu akan rahasianya sendiri itu! Maka hal ini merupakan kunci baginya! Kehadiran Sin Liong sebagai putera pendekar ini dapat dipergunakannya untuk menarik keluarga Cia itu, dan seandainya di antara ayah dan anak itu tidak ada yang mau mengulurkan tangan, dia dapat pula mengharapkan bantuan Sin Liong yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian yang tidak banyak selisihnya dengan kepandaiannya sendiri, seorang pembantu yang boleh diharapkan. Oleh karena itulah, maka melihat dua orang pembantunya itu agaknya terdesak oleh Cia Bun Houw, pangeran itu mulai teringat kepada Sin Liong dan mulai menoleh ke sana-sini untuk mencari adik angkatnya itu. Ke manakah perginya Sin Liong? Apa yang terjadi dengan dia? Mari kita mengikuti Sin Liong yang tadi meninggalkan tempat pertemuan itu. Setelah Sin Liong mendengar bisikan pangeran yang hendak memksa membantunya dan bahwa Bi Cu berada dalam pengaWasan dan kekuasaan Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio, tahulah Sin Liong bahwa kembali kakak angkatnya itu bertindak curang. Tahulah dia bahwa Bi Cu sengaja ditawan untuk dijadikan sandera, untuk memaksa dia harus membantu pangeran itu menghadapi para tokoh kang-ouw, membantu Pangeran itu agar berhasil menjadi jagoan nomor satu di dunia dan menjadi bengcu untuk menghimpun tenaga orang-orang kang-ouw dan membantunya melakukan pemberontakan terhadap kaisar! Dengan marah sekali Sin Liong lalu berlari masuk meninggalkan tempat itu. Dengar cepat Sin Liong berlari menuju ke kamar Bi Cu untuk mengajak kekasihnya itu segera pergi dari tempat itu sekarang juga. Daun pintu kamar Bi Cu tertutup dan dengan hati harap-harap cemas Sin Liong menghampiri daun pintu ini dan mendorongnya ke dalam. Kosong! Sunyi sekali dalam rumah ini. Agaknya semua pelayan dan pengawal sudah berkumpul di depan, nonton keramaian di luar. “Bi Cu...!” Dia berseru memanggil dan memandang ke sana-sini, lalu berjalan menuju ke dalam, membukai setiap daun pintu kamar dan ruangang mencari-cari. Akhirnya dia tiba di lorong yang menuju ke ruangan belakang den ketika dia memasuki lorong yang lebarnya hanya tiga meter akan tetapi amat panjang itu, tiba-tiba dia melihat gerakan orang dan tahu-tahu di kedua mulut lorong itu, di depan dan belakangnya, sudah berdiri puluhan orang pengawal dengan senjata tombak, pedang dan golok di tangan! Dia telah dikurung di dalam lorong itu dan tidak ada jalan keluar lagi karena di depan dan belakangnya, di mulut lorong, masing-masing telah berjaga belasan orang pengawal pilihan yang siap dengan senjata mereka. Dia seolah-olah seperti seekor harimau yang sudah terkurung dan terjebak. Sin Liong memandang dengan mata bernyala dan muka merah. “Kembalikan Bi Cu!” bentaknya. “Kembalikan Bi Cu atau... demi Tuhan, takkan ada seorangpun yang akan lolos dari tanganku!” Suaranya menggetar saking khawatirnya membayangkan Bi Cu berada di tangan mereka. Dia maklum bahwa Pangeran Ceng Han Houw hendak menggunakan Bi Cu untuk memaksanya. Akan tetapi sekali ini dia tidak mungkin mau dipermainkan, tidak mungkin dia harus mengalah dan memenuhi kehendak pangeran itu. Biarpun Bi Cu berada di tangan mereka, dia tidak akan mau tunduk dan menyerah lagi. Hanya ada dua jalan. Mereka mengembalikan Bi Cu dalam keadaan utuh dan selamat, atau... kalau mereka mengganggu kekasihnya, dia akan mengamuk dan membunuh semua orang dalam Istana Lembah Naga itu! Kedua matanya mencorong seperti mata seekor naga sakti ketika dia memandang kepada para pengawal yang menghadang di mulut lorong itu. Dengan berani dia terus melangkah maju sambil sekali lagi membentak, “Kembalikan Bi Cu!” Akan tetapi pengawal-pengawal yang berjaga di situ adalah pasukan pengawal pilihan yang tadinya menjadi pasukan pilihan dari Raja Sabutai. Mereka ini, sebagai pasukan pilihan, seolah-olah telah menjadi manusia-manusia robot yang tidak mempunyai keinginan sendiri dan mereka bergerak oleh perintah atasan. Mereka tadi menerima perintah untuk mencegah pemuda ini pergi ke gudang di belakang, di mana Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio mengurung gadis tawanan itu, dan mereka, pasukan pengawal yang jumlahnya tiga puluh orang itu, akan mentaati perintah ini sampai titik darah terakhir mereka! Maka, mendengar bentakan-bentakan Sin Liong, mereka itu seolah-olah tidak mendengarnya dan kini para pengawal yang menghadang di depan telah mengangkat senjata mereka dengan muka beringas, sedangkan pasukan yang berada di belakang Sin Liong kini sudah bergerak maju lagi memasuki lorong itu! Sin Liong benar-benar dihimpit dari depan dan belakang. Melihat ini, Sin Liong menjadi semakin marah dan tahulah dia bahwa sekali ini Pangeran Ceng Han Houw benar-benar memperlihatkan kedoknya dan hendak menentangnya mati-matian, maka diapun lalu mengeluarkan bentakan nyaring dan tubuhnya sudah menerjang ke depan seperti seekor harimau menubruk, tanpa memperdulikan adanya tombak, golok dan pedang yang menyambut tubuhnya. Dia mengerahkan seluruh tenaganya yang dihimpunnya selama dia mempelajari ilmu dari Bu Beng Hud-couw. Ada angin dahsyat menyambar ke depan, menyambut belasan orang yang menghadangnya itu, disusul oleh kedua tangan Sin Liong sendiri yang mendorong ke depan. “Bresssss...!” Hebat bukan main tenaga sin-kang yang menyambar keluar dari gerakan Sin Liong ini. Tombak, golok, pedang beterbangan, terdengar pekik-pekik kesakitan dan belasan orang itu sudah terjengkang dan terpelanting ke kanan kiri seperti setumpuk daun kering diamuk badai! Sin Liong terus meloncat keluar dari lorong itu, tiba di ruangan belakang yang luas. Di sini dia berdiri tegak, memandang ke sekelilingnya, mencari-cari Bi Cu. Belasan orang pengawal yang terpelanting tadi, hanya ada sepuluh orang saja yang sudah bangkit kembali dan yang lima orang tak dapat bangun. Ditambah oleh lima belas orang lagi, yaitu para pengawal yang mengejar dari belakang tadi, mereka kini mengurung dan mulai menerjang dan mengeroyok Sin Liong dari berbagai jurusan. Hujan senjata menyerang tubuh Sin Liong! Sin Liong mengamuk! Kedua tangannya yang penuh dengan tenaga Thian-te Sin-ciang sampai ke puncak, menyambar-nyambar dan setiap orang pengeroyok yang terkena sentuhan tangan ini, bahkan terkena sambaran hawa pukulannya saja, tentu terpelanting. Setiap senjata yang bertemu dengan lengannya tentu patah-patah atau beterbangan terlepas dari pegangan pemiliknya. Bagaikan sekepok nyamuk menyerang api lilin, para pengawal itu setiap kali maju terpelanting roboh dan setelah mengamuk dengan hebatnya, laksana seekor naga yang mengejar mustika di antara awan-awan hitam, semua pengawal itu roboh dan tubuh mereka malang-melintang memenuhi ruangan itu, merintih-rintih dan mengaduh-aduh. Darah berceceran di mana-mana dan senjata tajam berserakan. Sin Liong masih sempat melihat seorang pengawal yang luka terpincang-pincang lari ke belakang, ke sebuah gudang tua jauh di belakang istana itu. Maka diapun cepat berkelebat dan menuju ke tempat itu. “Brakkkk!” Sekali terjang daun pintu kayu yang tebal dari gudang itupun pecah berantakan dan Sin Liong meloncat masuk. Akan tetapi dia terbelalak berdiri di ambang pintu yang sudah jebol itu, memandang ke dalam. Gudang itu besar, dan agaknya merupakan gudang yang sudah tidak terpakai lagi karena selain kosong juga tidak terawat, kotor dan jauh berbeda dengan keadaan di dalam istana yang serba mewah dan indah. Memang gudang ini telah lama dipergunakan hanya untuk menyiksa para tawanan ketika Hek-hiat Mo-li tinggal di situ dan karenanya, setelah Pangeran Ceng Han Houw mempergunakan istana itu, gudang ini tidak dipakai dan hanya ditutup. Dan sekarang, tempat itu dipergunakan oleh Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio untuk menahan Bi Cu! Agaknya pengawal yang terluka dan tadi lari masuk untuk melapor, mengalami nasib sial karena dia sudah meringkuk di sudut itu tak bergerak-gerak, entah pingsan entah mati. Dan memang ketika dia selesai melapor bahwa semua pengawal tidak mampu menahan pemuda itu, Hek-hiat Mo-li telah “menghadiahi” dengan sebuah tendangan yang membuat tulang iga orang itu remuk-remuk! Dapat dibayangkan betapa marahnya hati Sin Liong ketika dia melihat Bi Cu terbelenggu pada sebatang tiang kayu di dalam gudang itu dan di sekeliling tiang itu terdapat tumpukan balok-balok kayu yang sudah disiram minyak dan kini Kim Hong Liu-nio sudah berdiri dekat sambil memegang sebatang obor yang bernyala, siap untuk membakar tumpukan kayu yang mengelilingi Bi Cu itu! Dara itu juga memandang kepadanya dengan muka pucat dan mata terbelalak, akan tetapi suaranya terdengar penuh kegembiraan ketika dia berseru, “Sin Liong...!” Agaknya baru sekarang dia dapat berseru memanggil nama kekasihnya itu karena sejak tadi mulutnya diikat dengan sapu tangan yang kini bergantung di lehernya, tentu sudah dilepaskan oleh Kim Hong Liu-nio. Dan agaknya wanita ini sudah mempersiapkan diri baik-baik karena selain kedua tangannya sudah mengenakan sarung tangannya yang dapat menahan senjata tajam, di atas punggungnya yang menggendong kayu palang salib itu nampak mengepul hio-hio yang terbakar, dan kini selain tangan kirinya memegang obor, juga tangan kanannya memegang sebatang pedang yang berkilauan! Dan tidak jauh dari situ berdiri si nenek muka hitam yang menyeringai mengerikan, bersandar pada tongkat bututnya. “Heh-heh-heh!” Hek-hiat Mo-li terkekeh dan nampak mulutnya yang tak bergigi lagi. “Kau bocah bandel, masih mau memamerkan sedikit kepandaian di sini?” “Hek-hiat Mo-li!” Sin Liong membentak. “Lepaskan Bi Cu!” “Heh-heh, bocah lancang! Hanya ada dua pilihan untukmu. Engkau kembali ke depan dan membantu pangeran sampai dia berhasil dengan cita-citanya, atau engkau akan melihat pacarmu ini dimakan api sampai habis dan engkau sendiri mampus di bawah tongkatku!” “Nenek iblis!” Sin Liong membentak dan dia sudah meloncat ke depan dan menerjang nenek itu dengan dahsyatnya! “Ihh...! Plakk!” Nenek itu meloncat untuk menghindar sambil menyabetkan tongkatnya yang dapat ditangkis oleh Sin Liong. “Bakar dia!” teriaknya sambil melawan pemuda yang sudah marah sekali itu. Kim Hong Liu-nio cepat membakar tumpukan kayu di sekeliling Bi Cu dan apipun berkobarlah. “Sin Liong...!” Bi Cu menjerit ketika api berkobar mengelilinginya, mendatangkan hawa panas yang luar biasa. Pilar di mana dia terbelenggu tidak akan cepat terbakar, dan pembakaran itu memang diatur sedemikian rupa untuk menyiksanya sehingga sebelum api itu akhirnya menjalar ke pilar, terlebih dulu dia akan mengalami siksaan luar biasa dikurung api berkobar yang besar dan amat panas. Sin Liong mengamuk, dan kini Kim Hong Liu-nio juga sudah maju dengan pedangnya, membantu gurunya mengeroyok Sin Liong. Pedangnya bergerak dengan amat cepatnya, lenyap bentuk pedang di tangan Kim Hong Liu-nio, berubah menjadi segulung sinar berkilauan yang menyambar-nyambar, mengeluarkan suara berdesing dan berciutan, juga tongkat di tangan nenek muka hitam itu berbahaya bukan main, karena gerakannya didorong oleh sin-kang yang amat hebat. Sekali ini Sin Liong benar-henar diuji kepandaiannya. Dua orang lawannya terdiri dari orang-orang yang pandai, terutama sekali nenek hitam itu. Dan celakanya dia bertanding dengan hati gelisah bukan main melihat api berkobar mengurung Bi Cu. Sebagian besar perhatiannya tertarik ke arah Bi Cu, dan setiap ada kesempatan, dia meninggalkan dua orang lawannya untuk meloncat ke arah api dalam usahanya untuk menyelamatkan dara itu lebih dulu dari ancaman maut yang mengerikan. Namun, dua orang lawannya maklum akan niatnya ini dan terus menghadang, bahkan kelengahan Sin Liong karena perhatiannya tertarik ke arah Bi Cu membuat dua kali punggung dan pundaknya kena dihantam tongkat Hek-hiat Mo-li! Kalau saja dia tidak memiliki kekebalan dan cepat menggunakan Thi-khi-i-beng, tentu dia sudah roboh oleh dua kali hantaman itu. Dia hanya merasa pening sedikit, akan tetapi dengan mengeluarkan jurus Hok-mo Cap-sha-ciang, angin pukulan menyambar dahsyat dan dua orang lawannya itu terkejut dan cepat mengelak sambil meloncat mundur. Di lain saat, guru dan murid itu sudah menerjang lagi dan kembali Sin Liong terdesak hebat karena dia masih terus mencurahkan perhatiannya kepada Bi Cu yang terus-menerus memanggil namanya. “Sin Liong... ah, Sin Liong, tolong...!” Sin Liong tak dapat menahan kegelisahannya dan meloncat ke depan. Kelengahannya itu dipergunakan oleh Kim Hong Liu-nio untuk menusukkan pedangnya ke arah lambungnya dari kanan. Untung bagi pemuda ini bahwa dia masih mendengar desir sambaran pedang ini, maka dia mengelak, sungguhpun perhatiannya masih ke depan, ke arah api berkobar. “Dess...!” Pukulan tangan kiri dari Kim Hong Liu-nio dengan tepat mengenai punggungnya, sebuah pukulan yang amat kuatnya. “Ihhh...!” Kim Hong Liu-nio menjerit karena tangannya itu melekat pada punggung dan tersedotlah hawa murni dari tubuhnya. Gurunya yang maklum akan keadaan muridnya, cepat menerjang ke depan, ujung tongkatnya berkelebat depan mata Sin Liong. Pemuda ini menarik tubuh ke belakang dan kesempatan itu dipergunakan oleh Hek-hiat Mo-li untuk menepuk punggungnya dan membentot kembali tangan muridnya! Setelah terlepas dari pengaruh Thi-khi-i-beng itu, Kim Hong Liu-nio mengamuk dan menujukan ujung pedangnya ke arah sasaran bagian tubuh yang berbahaya sehingga kembali Sin Liong terpaksa harus melayani dua orang lawan tangguh itu, sementara itu hatinya merasa semakin gelisah. “Brakkk...!” Tiba-tiba jendela di belakang gudang itu pecah berantakan dan sesosok bayangan yang amat gesit dan ringannya melayang masuk. Itu adalah bayangan seorang wanita cantik dan Sin Liong segera mengenal bayangan itu yang bukan lain adalah bayangan Yap In Hong, atau ibu tirinya! Nyonya yang cantik jelita dan gagah perkasa itu muncul secara demikian tiba-tiba sehingga bukan hanya mengejutkan Sin Liong, akan tetapi juga membuat Kim Hong Liu-nio dan Hek-hiat Mo-li menjadi kaget sekali. Bagaimanakah Yap In Hong dapat tiba-tiba muncul di tempat itu? Perlu diketahul bahwa rombongan keluarga Cin-ling-pai itu sesungguhnya berada di Lembah Naga, menghadiri pertemuan besar itu adalah dalam rangka bantuan mereka kepada pemerintah, yaitu kepada Pangeran Hung Chih yang sudah diberi tugas khusus oleh kaisar untuk menghadapi usaha pemberontakan Pangeran Ceng Han Houw dengan cara halus, kalau mungkin tanpa menimbulkan perpecahan atau perang saudara yang akan mendatangkan korban besar di antara rakyat. Oleh karena terikat oleh tugas inilah maka betapapun marahnya hati Cia Giok Keng melihat puterinya membantu pangeran pemberontak yang menjadi suaminya itu, namun Yap Kun Liong dan Cia Bun Houw selalu menyabarkannya. Ketika Cia Bun Houw sudah maju untuk menentang secara terang-terangan dan dikeroyok oleh kedua orang kakek Lam-hai Sam-lo dan terjadi pertandingan yang amat hebat dan seru, diam-diam Yap In Hong yang mengikuti gerakan mereka maklum bahwa suaminya tidak akan kalah. Oleh karena itu diapun merasa lega, lalu diam-diam dia berunding dengan kakak kandungnya, Yap Kun Liong, dan Cia Giok Keng yang menyetujui agar dia menyelidik dari bagian belakang istana, sementara Yap Kun Liong dan isterinya siap untuk membantu Cia Bun Houw apabila terjadi sesuatu dan siap pula untuk memberi tanda yang telah ditunggu-tunggu oleh pasukan besar yang menanti di luar lembah! Demikianlah mengapa Yap In Hong tahu-tahu berada di gudang itu. Ketika dia menyelinap ke belakang gudang dan mendengar suara orang berkelahi, dia mengintai dan betapa kagetnya ketika dia mengenal Sin Liong dikeroyok oleh Hek-hiat Mo-li dan murid perempuannya, dan melihat pula Bi Cu terkurung api dan dara itu sudah mulai sesak napas dan tubuhnya basah semua oleh peluh. Dia sudah tidak mampu berteriak lagi, hanya mengeluh dan merintih! Melihat keadaan dara ini, Yap In Hong lalu meloncat dengan kecepatan seekor burung terbang, kakinya menendangi balok-balok terbakar ke kanan kiri sehingga terbukalah jalan baginya untuk menerobos masuk. Cepat sekali dia sudah menggunakan jari-jari tangannya yang kecil mungil namun mengandung tenaga Thian-te Sin-ciang yang dahsyat itu untuk mematahkan semua belenggu kaki tangan Bi Cu yang sudah lemas dan pingsan itu, kemudian dia memondohg tubuh dara itu dan sekali meloncat dia telah keluar dari lingkungan api yang berkobar dan membawa Bi Cu ke sebuah sudut gudang yang luas itu. Ketika melihat Bi Cu pingsan, dia lalu mendudukkan dara itu dan menyandarkannya pada dinding, kemudian dia bangkit berdiri dan memandang ke arah pertempuran. Sinar matanya berubah ketika dia melihat Sin Liong dikeroyok. Tadinya, seperti juga suaminya, dia merasa benci kepada anak ini yang dianggapnya seorang anak yang tidak mengenal budi. Akan tetapi kini melihat anak itu dikeroyok dua secara mati-matian, pandangannya menjadi berubah. “Hek-hiat Mo-li, sebelum engkau mampus tentu engkau akan menyebar kejahatan saja di dunia ini! Akulah lawanmu, nenek iblis!” Dia hendak meloncat memasuki gelanggang pertempuran, akan tetapi Sin Liong cepat berkata, “Yap-lihiap... aku berterima kasih sekali kepadamu, akan tetapi... harap lihiap jangan mencampuri, biarkan aku menghadapi mereka ini! Aku ingin membalaskan kematian kong-kong Cia Keng Hong!” Suaranya mengandung isak karena saking terharunya melihat Bi Cu diselamatkan oleh ibu tirinya! Dan juga saking marahnya terhadap dua orang lawannya ini. Yap In Hong tercengang, karena dia terkejut mendengar ucapan itu dan melihat jalannya pertempuran. Bocah itu menyebut “kong-kong” kepada ayah mertuanya, dan selain menyatakan ingin membalas kematian ketua Cin-ling-pai, juga kini gerakan bocah itu sungguh jauh berbeda! Kini, pemuda itu mengeluarkan jurus-jurus yang amat luar biasa, dan setiap kali dia menerjang, ada hawa pukulan yang luar biasa dahsyatnya menyambar darinya, membuat dua orang lawannya menjadi terhuyung-huyung! Yap In Hong adalah seorang wanita sakti yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, akan tetapi belum pernah dia menyaksikan gerakan seperti yang dilakukan Sin Liong pada saat itu, dan dia dapat melihat dan merasakan kehebatan hawa pukulan yang luar biasa itu. Maka diapun lalu berdiri saja dan menonton, mendekati Bi Cu dan menjaga dara yang masih pingsan itu. Sementara itu, tumpukan kayu yang terbakar itu karena tadi ditendangi dan terlempar ke sana-sini, mulai membakar dinding rumah dan pilar! Tidak mengherankan apabila Yap In Hong pendekar wanita sakti itu tertegun menyaksikan kehebatan gerakan Sin Liong. Kini, setelah melihat Bi Cu selamat, Sin Liong menjadi demikian lega dan gembira sehingga dia mampu mencurahkan seluruh perhatiannya kepada perkelahian itu dan kini diapun tidak mau memberi hati kepada dua orang lawannya. Dia mempergunakan langkah-langkah Thai-kek Sin-kun dan dengan gerakan tiba-tiba sekali, dia sudah menerjang dengan jurus dari ilmu silat mujijat Hok-mo Cap-sha-ciang. Terjangan pertama membuat dua orang wanita itu terhuyung dan terdengar Kim Hong Liu-nio menjerit kecil karena pedangnya membalik dan melukai pundaknya sendiri! Mereka berdua maklum kini bahwa Sin Liong benar-benar tangguh, dan munculnya Yap In Hong yang berhasil menyelamatkan Bi Cu benar-benar membuat kedua orang itu agak bingung dan gentar. Maka kini mereka hendak memusatkan tenaga untuk bertahan, maka mereka tidak berpencar, melainkan berdiri berdampingan menghadapi Sin Liong. Pemuda ini mengeluarkan pekik yang dahsyat, dibarengi dengan gerakan tubuhnya mencelat ke depan dan dia sudah mengirim serangan ke dua dari Hok-mo Cap-sha-ciang. Kedua tangannya dengan jari-jari terpentang bergerak dari atas ke bawah, dan dua macam tenaga yang berlawanan, yang dari atas panas sekali dan dari bawah dingin sekali menyambar seolah-olah hendak menghimpit dua orang lawan itu. “Plak-plak... dessss...!” Hek-hiat Mo-li yang terkejut bukan main menyaksikan serangan yang luar biasa hebat dan ganasnya itu telah mengerahkan tenaganya dan dua kali dia menggunakan tongkat dan lengannya untuk menangkis dua tangan Sin Liong dan akibatnya dia terpental sampai beberapa meter jauhnya dan punggungnya menabrak dinding gudang! Pada saat Sin Liong melakukan pukulan dahsyat itu dan Hek-hiat Mo-li melakukan penangkisan, Kim Hong Liu-nio yang cerdik sudah menjatuhkan dirinya ke atas lantai, kemudian bagaikan seekor trenggiling dia menggelundung ke arah Sin Liong dan meloncat sambil menaburkan Hui-tok-san, yaitu bubuk kuning ke arah muka Sin Liong, diikuti oleh gulungan sinar merah dari sabuknya yang melakukan totokan ke arah kedua mata pemuda itu dan paling akhir pedangnya meluncur dari tangan, menusuk ke arah lambung! Sungguh wanita ini hebat dan berbahaya sekali, menggunakan kesempatan itu untuk melakukan serangan maut yang agaknya sukar untuk dapat dihindarkan lawan yang bagaimana tangguhpun! Akan tetapi pada saat itu, dalam kegembiraannya karena Bi Cu sudah bebas dari bahaya maut, Sin Liong berada dalam keadaan penuh gairah dan di puncak dari kewaspadaannya, seluruh tubuhnya menggetar dengan sin-kangnya yang memang luar biasa kuatnya, sin-kang yang diwariskan kepadanya oleh mendiang Kok Beng Lama, kemudian digembleng pula oleh mendiang Cia Keng Hong yang menurunkan Thi-khi-i-beng dan semua itu masih ditambah lagi dengan latihan dari kitab-kitab kuno peninggalan Bu Beng Hud-couw sehingga pada saat itu, kiranya sukar dicari bandingannya di dunia persilatan. Maka, melihat gerakan serangan bertubi-tubi ini, Sin Liong tidak menjadi gugup sama sekali. Dia dapat mengikuti gerak-gerik lawan ini satu demi satu dan sambaran bubuk kuning ke arah mukanya itu dibuyarkannya dengan tiupan khi-kang yang kuat sehingga uap kuning itu membuyar bahkan menyambar kembali ke muka Kim Hong Liu-nio yang tentu saja tidak takut menghisapnya karena dia telah memakai obat penawar racun Hui-tok-san itu. Kemudian, totokan ujung sabuk merah ke arah kedua matanya itu hanya dielakkan dengan miringkan kepala, kemudian tusukan pedang ke arah lambungnya itu cepat ditangkapnya dengan tangan dan sekali dia mengerahkan tenaga mencengkeram, pedang ltu dapat dicengkeramnya sampai patah-patah! Kim Hong Liu-nio terkejut bukan main, hampir tidak percaya akan pandang matanya sendiri! Betapa mungkin pedangnya yang terbuat dari baja murni itu, yang takkan patah oleh senjata apapun, kini menjadi patah-patah oleh cengkeraman jari-jari tangan pemuda itu? Dalam gugupnya, dia menggerakkan tangan kanannya itu memukul setelah membuang gagang pedang, memukul dengan kerasnya ke arah dada Sin Liong. “Bukk!” Pukulan itu tepat mengenai sasaran karena memang Sin Liong tidak mengelak, akan tetapi telapak tangan wanita itu melekat dan seketika tenaga sin-kang dari telapak langan itu membanjir tersedot oleh tubuh Sin Liong! “Aihhh...!” Kim Hong Liu-nio sudah diberi tahu subonya bagaimana menghadapi Thi-khi-i-beng, maka dia cepat menggunakan ujung sabuknya menotok pergelangan tangan kanannya sendiri sehingga tangan itu lumpuh, kehilangan tenaga dan dengan sendirinya terlepas dari sedotan karena sudah tidak mengandung tenaga sin-kang, dan wanita ini lalu melempar diri ke belakang, menggelinding dan pada saat dia menggelinding itu, nampak sinar api meluncur ke arah perut, leher dan mata Sin Liong! Itulah tiga hatang hio menyala dan yang dilontarkan secara tepat oleh Kim Hong Liu-nio! Melihat ini, Sin Liong menjadi marah sekali. Dia teringat akan kematian ibu kandungnya di tangan wanita ini, maka cepat kedua tangannya menangkap-nangkapi tiga batang hio itu dan secepat kilat dia melemparkan hio-hio itu ke arah pemiliknya. Betapapun wanita itu berusaha mengelak, namun dia kalah cepat oleh luncuran hio yang dilontarkan dengan tenaga sin-kang yang luar biasa itu. Terdengar jerit menyayati hati ketika dua di antara tiga batang hio itu mengenai sasarannya dengan tepat, yaitu, yang pertama menancap di antara kedua mata wanita itu sedangkan yang ke dua memasuki dada lewat ulu hatinya. Wanita itu roboh terjengkang dan agaknya hio yang menembus batok kepalanya itu langsung mengenai pusat otak yang membuat dia tak mampu bergerak lagi dan tak lama kemudain tewaslah Kim Hong Liu-nio dalam keadaan yang hampir sama namun lebih mengerikan daripada kematuian mendiang Liong Si Kwi, ibu kandung Sin Liong! Hek-hiat Mo-li mengeluarkan gerengan seperti seekor binatang marah dan dia sudah menubruk dari samping, menghantamkan tongkat butut ke arah belakang kepala Sin Liong sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah dada. Sin Liong yang sejenak tertegun melihat betapa dia telah berhasil membunuh wanita yang menjadi musuh besarnya, yang telah membunuh ibu kandungnya itu, cepat berbalik ketika merasa ada sambaran angin serangan dahsyat itu. Dari angin pukulan itu tahulah Sin Liong bahwa nenek ini sudah marah sekali dan telah mengerahkan seluruh tenaganya, agaknya hendak mengadu nyawa dengan dia karena marah melihat muridnya yang terkasih itu tewas. “Hemm, engkaupun harus mampus untuk pergi menghadap arwah kong-kong!” bentaknya dan diapun cepat menangkis dan balas menyerang. Karena sekali ini Sin Liong tidak mau memberi hati lagi, begitu balas menyerang diapun sudah memilih jurus dari Hok-mo Cap-sha-ciang yang merupakan ilmu simpanan dan yang belum dikenal oleh orang lain sehingga betapapun nenek itu hendak mengelak dan menangkis, tetap saja pukulan aneh itu mengenai dadanya. “Desss...!” Tubuh nenek itu terlempar lagi ke belakang dan menghantam dinding, gudang itu seperti tergetar saking kerasnya tubuh nenek itu menumbuk dinding. Akan tetapi, biarpun pukulan tadi hebat sekali, namun Hek-hiat Mo-li tetap merangkak bangung maju lagi dan memekik-mekik seperti orang gila sambil menyerang dengan tongkatnya, agaknya sedikitpun tidak merasakan pukulan dahsyat itu! Sip Liong merasa terkejut bukan main. Pukulannya tadi hebat sekali, dan dia sudah mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang pada tangannya. Namun ternyata nenek tua itu memiliki kekebalan yang luar biasa sekali, agaknya kekebalan yang sudah melindungi seluruh tubuh bagian dalam sehingga pukulan yang sedemikian ampuhnyapun tidak dapat melukai luar maupun dalam! KETIKA tadi Sin Liong merobohkan Kim Hong Liu-nio setelah melakukan serangan hebat yang membuat guru dan murid itu terdesak hebat, pendekar wanita Yap In Hong memandang dengan mata terbelalak! Dia merasa heran, terkejut, dan kagum bukan main. Dia sudah mengenal betul siapa adanya Hek-hiat Mo-li dan betapa lihainya nenek iblis itu, dan diapun tahu bahwa murid nenek itupun lihai bukan main. Akan tetapi, dikeroyok dua oleh guru dan murid itu, Sin Liong sama sekali tidak kelihatan repot, bahkan dalam waktu singkat saja telah berhasil menewaskan Kim Hong Liu-nio secara demikian luar biasa, menggunakan hio-hio (dupa biting) yang bernyala yang merupakan senjata rahasia dari lawan itu. Kini tubuh Kim Hong Liu-nio terlentang tak bernyawa lagi, akan tetapi dua batang hio yang menancap di dada dan dahi itu masih mengeluarkan asap harum! Dan melihat betapa dalam gebrakan selanjutnya Hek-hiat Mo-li sudah kena dihantam sedemikian kerasnya, benar-benar membuat Yap In Hong kagum bukan main! Dia sendiri pernah melawan nenek ini dan biarpun akhirnya dia bethasil menang, namun harus melalui pertandingan yang amat lama, amat melelahkan dan amat berbahaya. Dan kini, nenek ini dan biarpun akhirnya dia berpada dahulu, namun dalam perkelahian yang belum lama, Sin Liong telah mampu membuat tubuh nenek itu terlempar dua kali! Akan tetapi, melihat wajah pemuda itu terkejut dia mengerti sebabnya. Dia sudah mengenal kekebalan nenek itu yang dahulu pernah membuat dia repot dan bingung juga, maka diapun lalu cepat berkata, “Sin Liong, kauhantam kedua telapak kakinya!” Mendengar ini, mengertilah Sin Liong bahwa nenek itu memiliki kelemahan pada telapak kakinya. Dan memang benarlah demikian. Di dalam cerita Dewi Maut, pendekar wanita Yap In Hong pernah bertanding mati-matian dengan nenek ini dan seandainya dia tidak dapat menemukan rahasia kelemahan nenek ini, yaitu pada kedua kakinya, belum tentu dia dapat keluar sebagai pemenang. Kini dia membuka rahasia kelemahan itu kepada Sin Liong. Mendengar ini, girang hati Sin Liong. Tadi dia sudah kaget sekali menyaksikan kehebatan ilmu kekebalan nenek ini dan sungguhpun hal itu tidak membuat dia merasa gentar, namun setidaknya dia menjadi bingung karena tidak tahu bagaimana dia akan dapat mengalahkan orang yang tubuhnya kebal seperti itu. Kini, mendengar petunjuk dari Yap In Hong, dia girang sekali dan cepat dia menghantamkan kedua tangannya ke arah kedua kaki nenek itu dengan pengerahan tenaga sin-kangnya. Akan tetapi, betapa terkejutnya hati Yap In Hong dan juga Sin Liong sendiri ketika nenek itu hanya mengelakkan sebelah kaki saja, dan sambil terkekeh-kekeh dia menyambut hantaman Sin Liong dengan kakinya! Justeru dengan telapak kakinya yang dianggap tempat lemah itu. “Dukkk!” Kembali tubuh nenek itu terlempar ke belakang, akan tetapi Sin Liong terkejut sekali karena tangannya bertemu dengan benda yang amat keras, yang agaknya tersembunyi di dalam sepatu yang tebal itu. Kiranya, nenek itu telah melindungi bagian tubuhnya yang lemah itu, yaitu dua telapak kakinya, dengan logam, mungkin baja murni yang amat kuat dan tebal dan melindungi kedua telapak kaki itu dengan disembunyikan di dalam sepatu. Pantas saja sepatu nenek itu amat tebal! “Heh-heh-heh, Yap In Hong, kaukira masih akan dapat mengalahkan aku dengan memukul telapak kakiku? Heh-heh!” Nenek itu tertawa girang sekali dan dia sudah menerjang lagi ke arah Sin Liong dengan lebih dabsyat! Sin Liong menjadi marah. Dia menyambut terjangan nenek itu dengan kedua tangannya, tangan kirinya menangkis tongkat dan terus menangkap tongkat itu, tangan kanan menangkis pukulan tangan kiri lawan dan terus dia mengerahkan Thi-khi-i-beng sehingga tongkat dan tangan nenek itu tersedot dan melekat. “Heh-heh, siapa takut Thi-khi-i-beng?” Nenek itu berseru sambil menggerakkan tubuhnya meliuk seperti ular dan tiba-tiba tongkat dan tangannya dapat terlepas dari sedotan karena nenek itu menarik kembali sin-kangnya, dan secepat kilat nenek itu sudah menggerakkan tongkatnya dari jarak yang sedemikian dekatnya untuk menotok jalan darah maut di leher Sin Liong, di bawah telinga kiri! “Tok! Prakk!” Nenek itu terkejut bukan main. Totokannya tadi tepat mengenai sasaran. Biasanya, totokan seperti itu tidak mungkin dapat dilindungi oleh kekebalan, maka dia sudah girang sekali karena mengira bahwa totokannya tentu akan merobohkan pemuda itu. Dia tidak tahu bahwa dengan latihannya menurut kitab-kitab Bu Beng Hud-couw yang aneh, pemuda itu telah dapat membalikkan jalan darahnya sehingga ketika ujung tongkat itu mengenai jalan darah, yang ditotoknya hanyalah urat yang pada saat itu berhenti tidak mengalirkan darah karena darahnya berpindah mengalir melalui tempat lain! Dan pada saat itu juga, dengan tangannya, Sin Liong menampar ke arah tongkat dengan tenaga Thian-te Sin-ciang sehingga tongkat itu patah-patah. Kini Sin Liong menggunakan kecepatan gerakan tubuhnya, mainkan San-in-kun-hoat dengan kedua tangannya, gerakannya lembut seperti awan gunung, namun ilmu silat yang dipelajarinya dari ketua Cin-ling-pai ini hebat sekali sehingga biarpun lembut, jari-jari tangannya mengancam ke arah mata nenek itu, bagian yang tentu saja tidak mungkin dilindungi oleh kekebalannya yang amat kuat itu. “Ihhh...!” Nenek itu mengelak dan menggunakan kedua tengan untok melindungi mukanya. Inilah yang dikeheridaki oleh Sin Liong. Begitu kedua lengan nenek itu bergerak melindungi matanya, gerakan sekilat ini sedikit banyak mengurangi kewaspadaan nenek itu karena matanya terhalang lengan dan nenek itu terlalu mengandalkan kekebalannya sehingga tidak melindungi tubuh lain. Kesempatan ini dipergunakan oleh Sin Liong untuk melakukan gerakan cepat mencengkeram dengan kedua tangannya, menangkap leher dan baju di bagian dada nenek itu dan sebelum Hek-hiat Mo-li tahu apa yang hendak dilakukan oleh pemuda itu, tiba-tiba Sin Liong mengeluarkan bentakan nyaring dan dengan sekuat tenaga dia melemparkan tubuh nenek itu ke arah api yang sedang berkobar! “Hiaaattt...!” Bentakan ini disusul lemparan kedua tangan dan tubuh nenek itu melayang cepat ke arah api! “Brakkk!” Pilar kayu di mana tadi Bi Cu dibelenggu dan yang kini sudah berkobar-kObar itu patah-patah tertimpa tubuh Hek-hiat Mo-li, disusul oleh pekik dahsyat nenek itu karena pakaiannya terjilat api dan mulailah dia terbakar oleh api yang mulai bernyala di pakaian dan rambutnya! Nenek itu meloncat ke sana-sini, akhirnya bergulingan dan menjerit-jerit. Namun api makin membesar dan akhirnya dia berkelojotan dan Sin Liong membuang muka. Setelah nenek itu tidak bersuara lagi, Sin Liong lalu menghampiri Bi Cu, “Sin Liong...!” Kebetulan Bi Cu siuman dan mereka saling tubruk dan saling berangkulan, dipandang oleh Yap In Hong yang menahan senyumnya. Sin Liong lalu menggandeng tangan kekasihnya, diajaknya berlutut di depan pendekar wanita itu. “Yap-lihiap telah menyelamatkan nyawa Bi Cu, kami berdua berterima kasih sekali dan kami takkan melupakan budi kebaikan lihiap,” kata Sin Liong dengan suara terharu. Yap In Hong tersenyum dan memandang kagum kepada pemuda yang berlutut di depannya itu. Baru sekarang dia tahu bahwa pemuda ini benar-benar memiliki kepandaian yang hebat sekali, dan mulailah dia mengerti mengapa pemuda ini dahulu mencegah dia dan suaminya ketika hendak membunuh Kim Hong Liu-nio. Kiranya pemuda ini hendak membunuh sendiri wanita jahat itu, dan tentu ada alasannya yang amat kuat. “Sudahlah, Sin Liong, dalam keadaan seperti ini, tidak perlu sungkan-sungkan. Engkau terus teranglah sekarang, apakah engkau benar-benar hendak membantu pemberontakan Pangeran Ceng Han Houw?” Sin Liong mengangkat muka memandang dan wanita perkasa itu terkejut menyaksikan sinar mata yang mencorong seperti mata naga itu! “Tidak, lihiap. Bahkan aku akan membantu untuk menghancurkan usahanya yang busuk itu!” “Bagus, kalau begitu lekas kita keluar. Tempat ini mulai terbakar dan aku tidak tahu bagaimana jadinya dengan pertandingan di luar.” Yap In Hong lalu cepat meloncat keluar. Sin Liong yang menggandeng tangan Bi Cu bangkit bersama dara itu, mereka saling pandang. Ketika Bi Cu melihat tubuh Kim Hong Liu-nio sudah menjadi mayat dan hio-hio itu masih mengepulkan asap harum, sedangkan tubuh nenek itu menjadi makin hitam karena terbakar, dia mengeluh dan merangkul Sin Liong, menyembunyikan mukanya di dada kekasihnya. Teringatlah dia betapa kalau dia tidak tertolong, tentu dia akan mati secara mengerikan seperti nenek itu pula. “Semua sudah berlalu... tenanglah,” Sin Liong berkata sambil mendekap dan mengelus rambut kekasihnya, kemudian mengajaknya keluar dari tempat itu, menuju keluar, ke tempat pertemuan dengan jalan memutar, tidak lewat dalam istana, melainkan lewat taman bunga di samping istana. Mereka melihat betapa Yap In Hong sudah berjalan cepat menuju ke ruangan depan. Mereka lalu melangkah perlahan-lahan menuju keluar di mana agaknya masih terjadi keributan-keributan. Ternyata bahwa pertandingan antara Cia Bun Houw yang dikeroyok dua oleh Hai-liong-ong Phang Tek dan Kim-liong-ong Phang Sun berjalan amat seru dan mati-matian. Ketika Yap In Hong meninggalkan suaminya untuk melakukan penyelidikan ke belakang istana, dia melihat bahwa suaminya telah mendesak dua orang lawan itu, maka setelah berunding dengan Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng, dia meninggalkan tempat itu, menyelinap ke belakang tanpa diketahui orang dan di gudang itu dia sempai menyaksikan Sin Liong menewaskan Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio. Bahkan dia sempat pula menyelamatkan Bi Cu yang terancam maut. Karena ternyata di belakang istana itu tidak terdapat gerakan apa-apa, dan karena girang bahwa Sin Liong ternyata berpihak kepada Cin-ling-pai dan menentang pangeran, maka wanita perkasa itu lalu cepat kembali ke situ. Akan tetapi ternyata, sungguhpun dia tidak mempergunakan waktu yang terlalu lama meninggalkan tempat itu, setelah kini dia kembali, pertandingan itu telah berubah lebih menegangkan dan mati-matian karena dua orang yang mengeroyok suaminya itu setelah terdesak hebat lalu mengeluarkan senjata masing-masing. Phang Tek sudah mempergunakan senjata tongkatnya yang hanya sepanjang sebatang pedang dan mainkan tongkat itu seperti sebatang pedang dengan Ilmu Pedang Liong-jiauw-kiam yang ganas. Juga adiknya, Phang Sun, telah mempergunakan sebatang pisau belati berwarna hitam yang mengetuarkan bau amis. Memang belati di tangan Kim-liong-ong Phang Sun ini mengandung racun yang amat jahat, sekali gores pada kulit saja sudah cukup untuk mengirim lawan ke lubang kubur! Akan tetapi melihat dua orang lawannya yang telah terdesak itu kini menggunakan senjata, Bun Houw tidak berkata apa-apa. Dia maklum bahwa memang dua orang lawan itu bukan sekadar menguji kepandaiannya, melainkan kalau mungkin akan membunuhnya, maka diapun lalu mencabut sebatang pedang. Semua orang menjadi silau melihat sekilat sinar emas yang kemudian bergulung-gulung. Kiranya itu adalah Hong-cu-kiam, sebatang pedang tipis yang bisa digulung atau dipakai sebagai sabuk, pedang yang pernah menggemparkan kolong langit di tangan pendekar ini. Dengan pedang di tangan, pendekar ini tentu saja seperti seekor harimau tumbuh sayap. Dua orang kakek dari selatan itu kecele, karena begitu mereka bermain senjata, melawan pedang pemuda itu sungguh merupakan hal yang amat berbahaya. Belum sampai lima puluh jurus mereka bertanding, Hai-liong-ong Phang Tek telah kehilangan tongkatnya yang patah menjadi dua dan Kim-liong-ong Phang Sun terobek kulit lengan kirinya sehingga mengeluarkan darah. Keduanya terkurung hebat oleh gulungan sinar pedang dan kalau Bun Houw hendak menurunkan tangan kejam, tentu mereka dalam saat-saat berikutnya akan roboh! Pada saat itu, Pangeran Ceng Han Houw bangkit dan melangkah maju sambil berseru, “Tahan senjata...!” Mendengar ini, sebagai seorang tamu yang tahu aturan, Bun Houw menahan pedangnya dan lenyaplah sinar gemilang dari pedang itu. Kini pendekar itu berdiri tegak menghadapi pangeran, pedangnya sudah masuk kembali ke sekeliling pinggangnya, dililitkan seperti sebatang sabuk! Hanya sedikit peluh di leher pendekar itu yang menunjukkan bahwa dia telah mengeluarkan banyak tenaga menghadapi dua orang lawan tangguh tadi, sedangkan dua orang kakek dari Lam-hai Sam-lo itu berdiri di pinggiran sambil terengah-engah dan seluruh muka, leher dan baju mereka basah oleh keringat! Pangeran Ceng Han Houw sudah melangkah maju dan menjura dengan sikap hormat dan ramah kepada Cia Bun Houw. “Paman Cia Bun Houw sungguh gagah perkasa dan amat mengagumkan...” “Maaf, pangeran, saya tidak pernah merasa mempunyai seorang keponakan seperti Pangeran. Bicaralah yang benar!” Cia Bun Houw memotong dengan suara ketus penuh teguran. Tentu saja ucapan ini merupakan tamparan hebat, namun Ceng Han Houw masih tersenyum dengan ramahnya. “Mungkin saja seorang enghiong gagah perkasa seperti Cia-tahiap tidak menganggap saya sebagai keponakan, akan tetapi adalah merupakan kenyataan bahwa isteri saya, Lie Ciauw Si, adalah keponakanmu. Taihiap telah menundukkan dua orang kakek dari Lam-hai Sam-lo, dengan demikian berarti sudah memenuhi syarat secukupnya untuk menjadi jago nomer satu di dunia, kecuali kalau ada yang akan menandingi taihiap. Dengan kepandaian taihiap yang tinggi, maka kami mengharapkan agar taihiap akan sudi membantu agar kita semua dapat bangkit dan menentang kelaliman kaisar...” “Cukup, pangeran! Aku bukan seorang pemberontak!” “Justeru itulah, Cia-taihiap. Taihiap dan semua anggauta keluarga Cin-ling-pai bukan pemberontak dan tidak pernah memberontak, akan tetapi apa yang telah terjadi? Seluruh dunia kang-ouw tahu belaka bahwa keluarga Cin-ling-pai yang gagah perkasa telah dituduh pemberontak oleh kaisar yang tak mengenal budi, bahkan telah menjadi orang-orang buruan pemerintah. Bukankah hal itu amat membikin orang menjadi penasaran?” “Kami sekarang sudah dibebaskan, dan aku tidak mau bicara tentang itu!” Cia Bun Houw berkata dengan ketus. Pada saat itu Lie Ciauw Si juga sudah bangkit dan berkata, “Paman Cia Bun Houw, hendaknya paman mengetahui bahwa yang menbebaskan keluarga Cin-ling-pai dari tuduhan pemberontak adalah Pangeran Ceng Han Houw yang telah menjadi suamiku inilah! Dia bermaksud baik, dia hendak menghimpun kekuatan orang-orang gagah, kaum patriot untuk menentang penindasan...” “Lie Ciauw Si!” Tiba-tiba terdengar suara Cia Giok Keng yang nyaring, membuat semua orang menengok ke belakang, “Aku malu melihat engkau menjadi kaki tangan gerakan pemberontak! Aku malu mendengar kata-katamu yang membelanya! Aku malu melihat engkau merendahkan diri menjadi isterinya!” Seketika wajah Ciauw Si menjadi pucat dan dia memandang ke arah ibunya yang sudah bangkit berdiri dari kursinya itu dengan sinar mata sedih. “Ibu... dia... dia seorang suami yang baik...” Cia Giok Keng yang marah sekali itu hendak meninggalkan tempat duduknya dan menghampiri ke tengah ruangan, akan tetapi lengan tangannya dipegang oleh Yap Kun Liong dan suaminya ini membujuknya sehingga akirnya dia duduk kembali, menutupi mukanya dan menangis! Sementara itu, Cia Bun Houw berkata kepada Pangeran Ceng Han Houw, “Pangeran kita bicara seperti laki-laki, ataukah engkau hendak menggunakan wanita untuk membelamu?” Han Houw tersenyum, memengang tangan Ciauw Si dan membujuknya lalu menuntunnya sehingga akhirnya Ciauw Si kembali duduk di atas kursinya dan menundukkan mukanya, menyembunyikan air matanya yang menetes keluar. Kemudian pangeran itu kembali menghampiri Bun Houw dan mereka berdiri berhadapan dan saling memandang. Pangeran itu tahu bahwa bujukannya yang dibantu isterinya tidak akan berhasil, maka kini dia hendak mengambil jalan lain yang menguntungkan dia, yaitu hendak merobohkan orang-orang Cin-ling-pai di depan semua orang kang-ouw agar mereka semua tahu bahwa dialah jagoan nomor satu di dunia ini! Kemenangannya atas diri pendekar-pendekar Cin-ling-pai tentu akan membuat para tokoh kang-ouw lain menjadi tunduk dan pengaruhnya tentu akan menjadi lebih besar sehingga mudah baginya untuk menguasai mereka. Setelah dua orang ini saling pandang dengan sinar mata tajam, akhirnya Han Houw berkata, suaranya lantang karena dimaksudkan agar semua orang mendengarnya, “Cia-taihiap, kami bermaksud baik dan mengingat akan pertalian kekeluargaan, akan tetapi taihiap menolaknya. Sekarang, pendekar sakti Cia Bun Houw dari Cin-ling-pai telah maju ke sini dan mengalahkan dua orang yang menjadi penguji. Taihiap adalah seorang calon jagoan nomor satu di dunia.” “Aku tidak ingin menjadi jagoan, hanya ingin mengukur sampai di mana kepandaian orang yang berani mengaku sebagai jago nomor satu di dunia, tidak peduli siapa adanya dia itu!” Ceng Han Houw tersenyum dan dia memandang ke sekeliling. “Cu-wi tentu telah mendengarnya. Pendekar Cia Bun Houw adalah seorang pendekar yang amat lihai pada waktu ini, dan aku mendengar kabar bahwa ilmu kepandaiannya bahkan telah melampaui tingkat mendiang ayahnya, yaitu ketua dan pendiri dari Cin-ling-pai! Oleh karena itu, kemunculannya ini dapat diartikan mewakili seluruh Cin-ling-pai dan dia telah lulus ujian dan mengalahkan kedua orang kakek dari Lam-hai Sam-lo. Oleh karena itu, kalau ada di antara para locianpwe dan enghiong yang merasa pantas untuk menjadi calon jago nomor satu di dunia, harap suka maju untuk menghadapi Cia-taihiap!” Memang pangeran ini cerdik sekali. Dia ingin mengadukan semua orang gagah di situ, dan nanti pemenang terakhir barulah akan dihadapinya. Hal ini selain tidak terlalu melelahkan baginya, juga dia dapat sekali pukul merobohkan orang terpandai dan otomatis menjadi jagoan nomor satu di dunia! Diam-diam Bun Houw juga mendongkol sekali mendengar ini, akan tetapi karena pangeran itu adalah tuan rumah, maka tentu saja dia berhak untuk bicara kepada semua tamunya bahkan berhak untuk mengeluarkan peraturan. Maka diapun diam saja. Dia yakin bahwa di antara para orang gagah dari golongan bersih tidak akan ada seorangpun yang sudi untuk memperebutkan julukan yang sombong itu dan tidak akan ada yang mau menentangnya karena mereka semua melihat bahwa dia maju untuk menentang pangeran pemberontak itu. Maka, dia hanya ingin tahu tokoh golongan hitam yang mana yang akan maju. Dia akan menghadapi mereka semua, karena memang tugasnya bersama keluarga Cin-ling-pai ini membantu Pangeran Hung Chih untuk menumpas persekutuan hitam yang akan memberontak terhadap pemerintah di bawah pimpinan pangeran muda ini. Akan tetapi, ternyata dari golongan hitampun tidak ada yang berani maju! Setelah mereka semua tadi menyaksikan betapa Cia Bun Houw mampu merobohkan dua orang dari Lam-hai Sam-lo, para tokoh hitam menjadi gentar sekali dan tidak ada seorangpun yang berani lancang, maju menghadapi pendekar Cin-ling-pai yang selain sudah terkenal sekali, kelihaiannya itupun bahkan sudah mereka saksikan sendiri betapa hebat sepak terjangnya ketika mengalahkan Hai-liong-ong dan Kim-liong-ong tadi. Maka mereka ingin sekali melihat sang pangeran itu sendiri yang menghadapi pendekar Cia Bun Houw. Mereka tahu bahwa pangeran muda itu memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan telah mengalahkan banyak tokoh-tokoh besar dunia persilatan, telah berani menantang tokoh-tokoh Siaw-lim-pai malah! Maka, menurut pendapat mereka, hanya pangeran itulah yang patut untuk menghadapi pendekar Cin-ling-pai itu. “Pangeran saja yang maju!” tiba-tiba terdengar seruan seorang di antara mereka. Seruan ini seperti menyinggung semua perasaan para tamu golongan hitam maka bisinglah tempat itu dan semua orang menyatakan agar pangeran yang mau menandingi pendekar Cin-ling-pal itu! Selain mereka menganggap bahwa pangeran muda ini lawannya, juga mereka semua ingin menyaksikan pertandingan yang tentu akan berlangsung amat hebatnya itu. Diam-diam Pangeran Ceng Han Houw merasa kecewa. Kenapa tidak ada jagoan lagi yang berani maju? Apakah orang-orang yang akan dihimpunnya dan dijadikan pembantu-pembantunya itu hanya terdiri dari orang-orang yang begitu penakut? Melihat ini, Hai-liong-ong Phang Tek lalu berkata, “Harap paduka pangeran sendiri yang maju menghadapi Cia-taihiap karena agaknya tidak ada lagi yang sanggup.” Memang kakek inipun ingin melihat sang pangeran merobohkan pendekar yang telah membikin dia dan adiknya kewalahan dan mendapatkan malu itu dan dia yang telah tahu akan kelihaian pangeran, merasa yakin bahwa pangeran muda itu akan sanggup merobohkan lawan tangguh ini. Ceng Han Houw tersenyum lebar dan mengangkat kedua tangan ke atas sehingga suara bising itupun berhenti. Kemudian terdengar suaranya lantang dan halus, “Pendekar Cia Bun Houw adalah paman dari isteriku, maka bagaimanapun juga kami masih terhitung keluarga dekat dan tentu saja tidak sepatutnya kalau aku sebagai mantu keponakan maju melawannya. Akan tetapi, seperti kita semua ketahui, dalam ilmu silat tidak harus memandang hubungan apapun, dan untuk menentukan siapa yang lebih lihai tidak ada jalan lain kecuali mengadu kepandaian silat. Dan sudah jelas bahwa Cia-taihiap merupakan calon tunggal, maka biarlah saya akan melayaninya untuk melihat siapa di antara kita yang lebih unggul. Tentu saja saya mengharapkan kelonggaran hati Cia-taihiap dengan memandang muka isteriku!” Kalimat terakhir ini ditujukan kepada Cia Bun Houw. Bun Houw memandang tajam, lalu berkata, “Kalau engkau berhasrat untuk menjadi jagoan nomor satu di dunia, nah, majulah pangeran. Aku ingin mengukur sampai di mana kelihaian jagoan nomor satu di dunia!” Dua orang itu telah saling berhadapan dan siap untuk saling serang. Semua mata tertuju ke arah mereka dan semua hati merasa tegang karena mereka semua maklum bahwa sekali ini tentu akan terjadi pertandingan yang amat seru dan hebat. Bahkan Yap In Hong yang baru saja datang dan duduk di kursinya kini memandang dengan jantung berdebar tegang, lalu berbisik-bisik dengan kakaknya, Yap Kun Liong untuk mengatur siasat yang memang sudah diperslapkan sebelumnya. Bagaimanapun juga, Yap In Hong tidak menganggap pertandingan itu sebagai pibu, maka diapun siap membantu suaminya andaikata suaminya terancam bahaya. Juga Sin Liong yang sudah tiba di luar ruangan itu bersama Bi Cu, menyelinap di antara penonton, di bagian paling belakang sehingga tidak nampak jelas dari dalam, sambil memegang tangan Bi Cu mereka berdua nonton dengan hati tegang pula. Tidak ada seorang pun memperhatikan pemuda dan dara yang baru datang ini, karena semua orang mencurahkan perhatian mereka ke arah dua orang pria yang saling berhadapan seperti dua ekor ayam jago dalam medan laga. Pangeran yang mengenakan pakaian indah, dengan mantel dan topi bulu itu nampak gagah dan tampan sekali, bulu burung yang menghias topinya berwarna merah biru dan kuning emas. Senyumnya tak pernah meninggalkan wajahnya dan dia sedikitpun tidak memperlihatkan wajah gentar, berseri-seri dan sikapnya menunjukkan bahwa dia percaya penuh akan keunggulannya. Pendekar Cia Bun Houw yang berdiri di depannya merupakan seorang laki-laki gagah yang berpakaian dan bersikap sederhana dan keren, sepasang matanya tajam penuh wibawa dan dia menanti serangan lawan dengan tenang. “Pangeran...!” Ketegangan itu melunak dan Pangeran Ceng Han Houw menoleh, memandang kepada isterinya yang tadi memanggilnya dengan suara halus dan menggetar. Dilihatnya wanita cantik itu memandang kepadanya dan sepasang mata yang indah itu agak kemerahan dan basah. “Pangeran, ingatlah bahwa dia adalah pamanku...” kata Ciauw Si, hatinya merasa bingung dan tegang sekali. Wanita ini tahu benar betapa lihainya suaminya. Dia telah menguji sendiri kehebatan suaminya itu dan dia bahkan mempunyai keyakinan bahwa pamannya itu sekalipun tidak akan dapat mengalahkan Pangeran Ceng Han Houw, maka kekhawatirannya tertuju kepada pamannya sehingga dia merasa perlu untuk mengingatkan suaminya yang berarti minta suaminya agar jangan menurunkan tangan keras kepada adik ibunya itu. Ceng Han Houw tersenyum bangga. Perkataan isterinya itu, walaupun diucapkan perlahan, namun karena suasana sedang tegang dan amat sunyi, ucapan itu terdengar oleh semua orang dan ucapan isterinya itu saja sudah mengangkatnya tinggi-tinggi di atas pendekar sakti yang akan menjadi lawannya. Isterinya minta agar dia berlaku murah kepada pendekar itu, berarti bahwa isterinya menyatakan kepada semua orang bahwa dia lebih unggul daripada pendekar Cin-ling-pai itu! “Jangan khawatir isteriku, ini hanya sebuah pibu, bukan perkelahian, tentu saja aku tidak akan berani kurang ajar dan menyakiti paman sendiri!” jawab Ceng Han Houw sambil tersenyum lebar. Bukan main panas rasa hati Bun Houw mendengar ucapan pangeran itu. Dia merasa direndahkan, dipandang ringan sekali di depan para tokoh kang-ouw. “Pangeran, luka atau mati sudah jamak terjadi dalam pibu. Nah, kausambutlah ini!” Karena tidak ingin membiarkan pangeran itu berlagak lebih lanjut, Bun Houw sudah mengirim serangan dengan pukulan tangan kiri yang ditamparkan ke arah leher lawan, tamparan yang kelihatannya sembarangan dan ringan saja akan tetapi sesungguhnya tamparan itu merupakan serangan Ilmu Thian-te Sin-ciang yang amat ampuh. “Harap Cia-taihiap jangan bersikap sungkan lagi,” kata sang pangeran yang menghadapi serangan itu masih sempat bicara, sambil mengelak dengan amat mudahnya, seolah-olah dengan ucapannya itu dia menegur pendekar Cin-ling-pai itu bahwa serangannya terlalu lemah dan terlalu sungkan! Tentu saja Cia Bun Houw dapat merasakan sindiran ini dan diapun lalu mulai menggerakkan tubuhnya dengan cepat, mengerahkan sin-kang di kedua tangannya dan pendekar inipun menyerang dengan dahsyatnya. Karena dia dapat menduga bahwa pangeran ini bukan sekadar omong kosong atau sombong belaka, melainkan sungguh-sungguh memiliki kepandaian yang tinggi, maka begitu bergerak, Bun Houw sudah menggunakan jurus-jurus Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun yang ampuh itu, dan kedua lengannya mengandung tenaga dari Ilmu Thian-te Sin-ciang yang amat dahsyat dan kuat. Setiap gerakannya mendatangkan angin pukulan yang amat mantep sehingga setiap kali dielakkan lawan, jari-jari tangannya seolah-olah tergetar ketika pukulan ditahan, seperti ujung pedang saja! Gembira sekali rasa hati Han Houw. Inilah yang selalu dinanti-nantikannya. Yaitu menandingi seorang pendekar yang sudah mencapai puncak ketenarannya, dan kemudian mengalahkannya! Kemenangan seperti ini akan jauh lebih menyenangkan dan nikmat daripada melawan tokoh-tokoh biasa saja. Dan kalau saja dia dapat mengalahkan pendekar dari Cin-ling-pai ini di depan penyaksian demikian banyaknya orang kang-ouw, sekali ini namanya tentu akan meningkat tinggi dan dia selain berhak memakai gelar Thian-he Te-it Tai-hiap (Pendekar Sakti Nomor Satu di Kolong Langit), juga dengan sendirinya dia akan menduduki kursi Bengcu (Pemimpin Rakyat) dan akan mudah menghimpun dan mengerahkan tenaga orang-orang dunia kang-ouw untuk niatnya menentang kaisar! Dialah yang patut menjadi kaisar, bukan Kaisar Ceng Hwa yang sekarang, bukan pula Pangeran Hung Chih. Dialah yang paling tepat menjedi kaisar! Dan dia merasa yakin akan dapat mengalahkan pendekar Cin-ling-pai ini, sungguhpun dia maklum bahwa untuk itu dia harus mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya. Dua orang pria yang berilmu tinggi itu kini bertanding dengan seru. Mata semua tamu ditujukan untuk mengikuti pertandingan itu, dengan pandang mata penuh ketegangan dan kekaguman dan hampir tak pernah ada yang berkedip, seolah-olah merasa sayang untuk melewatkan sedikit gerakan tanpa mereka ikuti dengan seksama. Memang hebat sekali mereka itu. Setiap pukulan mendatangkan angin keras dan merupakan pukulan yang ampuh, dapat menghancurkan batu karang. Namun, setiap serangan dapat dihindarkan masing-masing dengan indah pula, kalau tidak mengelak dengan gerakan cepat dan tepat, tentu ditangkisnya dan setiap kali dua lengan mereka saling bertemu, semua orang dapat merasakan pertemuan dua tenaga dahsyat. Suara “dukk!” yang keras dari bertemunya dua lengan itu seolah-olah menggetarkan sekeliling tempat itu, dan seolah-olah terasa oleh mereka yang menonton sehingga makin lama suasana menjadi semakin menegangkan, apalagi karena nampaknya kedua fihak sama kuatnya dan setiap kali mereka beradu tenaga, keduanya tergetar namun dapat saling mempertahankan sehingga tidak sampai terhuyung. Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun yang dimainkan oleh kaki tangan Bun Houw adalah ilmu yang amat tinggi dan memiliki dasar yang amat kuat, apalagi dimainkan oleh Bun Houw tanpa kesalahan sedikitpun dan didorong pula oleh tenaga sin-kang dari Thian-te Sin-ciang, maka amatlah sukarnya menandingi gerakan Bun Houw seperti itu. Ceng Han Houw, biarpun masih muda, maklum akan lihainya lawan, maka biarpun sikapnya seperti memandang ringan, dan senyumnya tak pernah meninggalkan wajahnya, akan tetapi sebetulnya dia berhati-hati sekali dan dia menggerakkan tubuhnya dan bersilat dengan Ilmu Silat Hok-liong Sin-ciang (Ilmu Silat Sakti Menaklukkan Naga), yaitu satu di antara ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari kitab-kitab Bu Beng Hud-couw. Akan tetapi, untuk menghadapi langkah-langkah dari Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun yang amat indah dan ampuh itu, diapun harus mempergunakan langkah-langkah Pat-kwa-po yang juga amat rapi sehingga dia mampu menghindarkan diri dari setiap kurungan yang diciptakan oleh desakan serangan bertubi-tubi dari lawannya. Bahkan pangeran ini mampu pula untuk membalas sehingga mereka berdua bertanding dengan amat rapi dan serunya, masing-masing tidak mau mengalah. Biarpun mereka berdua tidak memperlihatkan kemarahan atau mengeluarkan seruan-seruan yang mengejutkan, namun, dari gerakan mereka berdua, para tokoh kang-ouw yang menjadi penonton itu maklum bahwa kedua orang itu tidak lagi melakukan pibu biasa sekedar untuk mengukur kepandaian masing-masing, melainkan berkelahi dengan amat hebatnya, setiap serangan merupakan tangan maut yang haus darah, dan setiap jurus yang dipergunakan telah diperhitungkan masak-masak sehingga merupakan jurus yang ampuh. Diam-diam Yap In Hong dan Yap Kun Liong, dua orang pendekar yang tingkat kepandaiannya sudah tinggi sekali, tidak banyak selisihnya dengan tingkat kepandaian Cia Bun Houw, menjadi terkejut bukan main menyaksikan kelihaian pangeran itu. Beberapa kali pendekar sakti Yap Kun Liong memuji dalam hatinya melihat betapa pangeran itu dapat menghadapi desakan-desakan yang amat berbahaya dari adik iparnya itu. Apalagi ilmu langkah sakti Pat-kwa-po yang dimainkan oleh pangeran itu, sehingga langkah-langkah kakinya teratur rapi dan dapat dipergunakan untuk menyelamatkan diri terhadap setiap desakan, mengingatkan dia akan ilmunya sendiri, yaitu Pat-hong Sin-kun yang langkah-langkahnya juga berdasarkan rahasia Pat-kwa (Delapan Segi). Diam-diam dia harus mengakui bahwa menghadapi pangeran itu bukanlah hal yang ringan, dan dia sendiri pun tidak berani memastikan bahwa dia akan menang kalau menghadapi pangeran muda yang telah menjadi suami dari anak tirinya itu. Yap In Hong juga merasa khawatir, karena diapun dapat merasakan bahwa menghadapi pangeran itu, dia sendiri tidak akan mampu menang, dan suaminya agaknya tentu harus menggunakan seluruh kepandaian dan waktu yang tidak singkat untuk dapat mengatasi pangeran yang biarpun masih muda namun sudah amat hebat itu. Teringatlah dia akan Sin Liong dan dia membandingkan pangeran ini dengan Sin Liong. Diam-diam dia merasa heran dan kagum bagaimana orang-orang yang masih muda itu telah memiliki kepandaian sehebat itu. Mereka sudah saling serang selama seratus jurus dan belum ada seorangpun di antara mereka yang menang atau kalah, bahkan belum ada yang nampak terdesak. Diam-diam Yap In Hong mengerutkan alisnya. Ilmu silat tangan kosong dari pangeran itu memang kuat bukan main. Kenapa suaminya tidak mengajakanya bertanding menggunakan senjata saja? Mungkin kalau bersenjata, suaminya akan dapat lebih unggul, karena ilmu pedang suaminya amat hebat. Dan memang demikian pula pendapat Bun Houw. Akan tetapi, lawannya hanyalah seorang pemuda, dan tuan rumah pula dan dia seorang tokoh Cin-ling-pai, bagaimana mungkin dia sudi menggunakan senjata kalau lawannya itu hanya bertangan kosong saja? Dan sebelum bertanding tangan kosong selesai lalu menantang mengadu senjata, hal itu sama artinya dengan merasa kewalahan dalam pertandingan tangan kosong itu! Dia merasa serba salah dan diam-diam diapun kagum bukan main karena mengertilah pendekar ini bahwa tingkat kepandaian pangeran muda itu sungguh-sungguh luar biasa, bahkan masih lebih tinggi daripada tingkat kepandaian mendiang Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li sendiri. Selama hidupnya, baru sekarang inilah Cia Bun Houw merasa bertemu tanding yang amat kuatnya. “Hehhh!” Cia Bun Houw membentak dan dia mengirim tamparan dengan Ilmu Thian-te Sin-ciang sambil mengerahkan seluruh tenaga. Kedua tangannya menyambar dari kanan dan kiri, mengirim tamparan-tamparan yang sampai mengeluarkan suara bercuitan saking cepat dan kuatnya. Melihat ini, Ceng Han Houw melangkah mundur dua tindak, ketika lawannya mengejar dengan langkah ke depan sambil melanjutkan tamparan-tamparan itu, dia sudah menangkis dengan membuang lengan dari dalam keluar, ke kanan kiri. “Dukk! Dukk!” Untuk ke sekian kalinya, keduanya tergetar hebat karena sekali ini masing-masing mengerahkan seluruh tenaga mereka sehingga getaran itu terasa sekali sampai ke jantung mereka. Keduanya terkejut karena keadaan mereka sungguh amat berbahaya. Kurang kuat sedikit saja tentu jantung mereka akan terguncang dan setidaknya mereka akan mengalami luka dalam yang hebat. Baiknya bagi mereka bahwa tingkat kekuatan sin-kang mereka berimbang sehingga keduanya mengalami getaran seperti itu. Pangeran Ceng Han Houw juga terkejut bukan main. Sekarang dia baru percaya bahwa tokoh Cin-ling-pai ini memang hebat sekali. Pantas saja dahulu Pek-hiat Mo-ko, suami Hek-hiat Mo-li, sampai tewas di tangan pendekar ini. Mulailah dia merasa khawatir. Baru pendekar ini saja, sudah begini lihainya, apalagi kalau sampai semua keluarga Cin-ling-pai maju! Padahal, menurut pendengarannya, isteri pendekar ini, Yap In Hong, memiliki ilmu kepandaian yang setingkat dengan suaminya, dan bahwa Yap Kun Liong, ayah tiri dari Ciauw Si, juga memiliki ilmu yang malah lebih matang dan lebih banyak macam ragamnya dibandingkan dengan pendekar Cia Bun Houw ini. Semua itu telah didengarnya dari penuturan isterinya. Dia harus dapat mengalahkan pendekar ini lebih dulu sebelum menghadapi yang lain-lain, kalau memang mereka itu nanti akan maju pula. Tiba-tiba pangeran muda itu mengeluarkan teriakan lantang dan terkejutlah Bun Houw ketika melihat betapa lawannya itu mendadak berjungkir balik, dengan kepala di bawah menjadi kaki dan kedua kakinya di atas, kemudian kaki dan tangan itu melakukan serangan-serangan dari atas dan bawah secara tangkas sekali dan yang lebih hebat daripada itu, serangan-serangan dari kaki dan tangan itu mengandung tenaga yang lebih dahsyat daripada tadi ketika pemuda bangsawan itu masih berdiri di atas kedua kakinya! Memang itulah hebatnya ilmu simpanan dari Pangeran Ceng Han Houw. Ilmu inilah yang didapatnya dari kitab Bu Beng Hud-couw, yang bernama Hok-mo Sin-kun dan memang dia telah melatih diri dengan samadhi atau siulian yang juga dilakukan dengan berjungkir balik sehingga dia memperoleh sin-kang yang lebih kuat daripada kalau dia berdiri di atas kedua kakinya! Bun Houw cepat menangkis dan mengelak dan kembali dia terkejut bukan main karena selain tangkisan itu membuat lengannya terpental ketika bertemu dengan kaki lawan, juga dari bawah kedua tangan lawannya mengirim pukulan-pukulan dahsyat yang amat berbahaya sehingga dia terpaksa melompat dan berjungkir balik ke belakang! Kesempatan itu dipergunakan oleh Ceng Han Houw untuk membentak nyaring sekali dan tubuhnya sudah melesat ke depan, tahu-tahu dia sudah membalikkan tubuhnya lagi dan dia mendesak Bun Houw yang masih belum hilang kagetnya. Kini dengan jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya, pangeran itu menusuk ke arah kedua mata lawan, sedangkan kaki kanannya diangkat, menggunakan lutut untuk menghantam perut. Ketika Bun Houw yang terdesak itu mengelak ke belakang, tangan kiri pangeran itu menghantam ke arah muka. “Hiaaattt...!” Pangeran itu mendesak dan bermaksud merobohkan Cia Bun Houw. “Ehhh...!” Bun Houw cepat melempar tubuh ke belakang dan kembali dia berjungkir balik sampai berturut-turut tiga kali. Gerakannya ini hebat sekali dan dia berhasil menghindarkan diri dari bahaya maut. Para tokoh kang-ouw yang menonton pertandingan itu juga ikut merasa terkejut. Biarpun gerakan pendekar Cin-ling-pai itu amat indah dan cepat, dan sudah membuat pendekar itu berhasil menghindarkan diri, namun harus diakui bahwa pendekar itu tadi terdesak hebat dan nyaris celaka! Sebelum Ceng Han Houw yang merasa penasaran karena serangannya yang hampir berhasil tadi pada saat terakhir gagal dapat menggunakan ilmunya yang aneh lagi, tiba-tiba terdengar bentakan keras, “Ceng Han Houw, akulah lawanmu!” Nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu di depan pangeran itu telah berdiri seorang pemuda remaja yang bukan lain adalah Sin Liong! Semua orang terkejut, baik dari golongan hitam maupun golongan bersih memandang heran. Bukankah Sin Liong ini adalah pemuda yang tadi diperkenalkan oleh pangeran itu sebagai adik angkatnya, bahkan diakui sebagai pembantu utamanya? Kenapa sekarang pemuda itu malah muncul dan menantang pangeran itu? Peristiwa ini memang amat mengejutkan dan mengherankan. Bun Houw sendiri sampai terkejut dan terheran, sehingga diapun hanya berdiri di pinggir dan tidak dapat berkata apapun. Dia masib terkejut oleh serangan-serangan aneh dan hebat dari pangeran itu tadi, dan kini melihat munculnya Sin Liong secara tiba-tiba yang menantang pangeran itu, sungguh membuat dia termangu dan tidak mengerti harus berbuat atau berkata apa. Semua tamu yang menjadi bengong memandang dengan hati semakin tegang. Lie Ciaw Si sampai bangkit dari tempat duduknya dan memandang khawatir, akan tetapi dia bertemu dengan sinar mata ibunya dan kembali dia duduk serba salah. Yap In Hong tersenyum dan Yap Kun Liong juga tersenyum. Pendekar ini sudah mendengar penuturan singkat dari adiknya tentang sepak-terjang Sin Liong di belakang istana, dan diam-diam dia merasa kagum sekali. Tadi ketika dia menyaksikan serangan pangeran itu yang aneh, dengan cara membalik tubuh, dia tidak merasa heran. Memang dia tahu bahwa di antara kaum sesat banyak terdapat ilmu-ilmu yang aneh dan sifatnya sesat pula, akan tetapi sebagian besar dari ilmu-ilmu hitam itu hanya kelihatannya saja menggiriskan, akan tetapi sebetulnya tidak mengandung dasar yang kuat. Maka terkejutlah dia ketika ilmu yang dipergunakan oleh pangeran itu tadi telah membuat Bun Houw terdesak hebat dan nyaris kena dipukul. Maka legalah hatinya melihat adik iparnya itu mampu membebaskan diri. Dia tadi melihat betapa adik kandungnya sudah bangkit dari tempat duduknya, siap untuk menolong suaminya yang terdesak, bahkan dia sendiripun sudah siap untuk turun tangan. Kini, melihat munculnya Sin Liong, dia menjadi ingin sekali melihat apakah pemuda yang telah dipilih oleh ketua Cin-ling-pai sebagai pewaris Thi-khi-i-beng ini benar-benar sehebat seperti yang tadi dia dengar dari adiknya. Diam-diam dia menyangsikan cerita adiknya. Dia membandingkan keadaan Sin Liong dengan keadaannya sendiri. Mungkinkah bocah itu dapat mengumpulkan ilmu-ilmu sehebat itu, melebihi In Hong, dia sendiri, atau Bun Houw? Rasanya tidak mungkin! Bukankah bocah itu hanya mewarisi ilmu-ilmu yang sesungguhnya merupakan ilmu-ilmu dari keluarga Cin-ling-pai dan dari Kok Beng Lama? Jadi, tiada bedanya dengan kepandaian Bun Houw? Dan tidak mungkin pemuda ini dapat memainkan ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai atau pemberian mendiang Kok Beng Lama lebih baik daripada permainan Bun Houw. Andaikata ada perbedaannya karena bocah itu kabarnya diwarisi Ilmu Thi-khi-i-beng oleh mendiang Cia Keng Hong kelebihan itupun sebetulnya tidak banyak artinya. Dia sendiripun ahli Thi-khi-i-beng, akan tetapi dia tidak berani menyatakan bahwa dia lebih lihai daripada Bun Houw dan dia sendiri masih sangsi apakah dapat mengalahkan pangeran itu. Dan latihan dari Sin Liong tentu sekali belum matang. Biarpun demikian, ada harapan dalam hati pendekar Yap Kun Liong ini bahwa siapa tahu, mungkin saja Sin Liong menemukan sesuatu yang hebat, yang melebihi dia atau Bun Houw. Buktinya, bukankah pemuda itu dapat merobohkan dan mengalahkan pengeroyokan Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio? Dan bukankah pangeran itupun seorang yang masih amat muda namun telah menemukan ilmu yang aneh dan amat hebat? Orang yang paling terkejut dan merasa penasaran adalah pangeran itu sendiri. Melihat munculnya Sin Liong yang datang-datang menantangnya, dia terkejut bukan main. Cepat matanya mencari-cari keluar dan dia dapat melihat Bi Cu berdiri di luar dalam keadaan sehat dan selamat. Seketika jantungnya berdebar tegang dan hatinya merasa tidak enak. Apa yang telah terjadi dengan suci dan subonya? Mereka itu bertugas menjaga Bi Cu, akan tetapi mengapa kini Bi Cu telah keluar dan muncul pula Sin Liong? Jantungnya makin berdebar khawatir ketika dia menduga bahwa jangan-jangan sucinya dan subonya telah dirobohkan oleh Sin Liong! Melihat pangeran itu memandang ke arah Bi Cu, kemudian seperti orang mencari-cari dengan matanya, Sin Liong berkata. “Tidak perlu kaucari lagi dua iblis betina itu, mereka sudah melayang ke neraka!” Wajah Han Houw berubah agak pucat, akan tetapi dia lalu menatap wajah Sin Liong dengan kebencian yang besar. Memang sejak dahulu dia membenci pemuda ini, membencinya karena timbul dari perasaan iri hati! Sejak Sin Liong masih kecil, ketika menjadi tawanan kim Hong Liu-nio, dia melihat pemuda yang masih anak-anak itu demikian berani dan amat gagahnya, hal ini membuat dia kagum sekaki, akan tetapi juga mendatangkan rasa iri yang pertama kalinya. Kemudian, ketika dia mendengar bahwa bocah yang berwatak gagah itu adalah putera seorang pendekar besar, cucu ketua Cin-ling-pai, irinya menjadi makin besar. Di samping rasa iri ini memang ada rasa suka sehingga dia mengambil Sin Liong sebagai saudara angkat. Akan tetapi semua sifat-sifat baik dari Sin Liong merupakan siksaan baginya dan membuat perasaan iri hati itu makin menjadi-jadi. Melihat Sin Liong begitu kuat terhadap wanita, tidak mudah tunduk kepada nafsu, membuat dia melihat betapa dia sendiri amat lemah terhadap wanita dan hal inipun menimbulkan iri pula. Kemudian, melihat kepandaian Sin Liong yang melebihi dia, iri hatinya makin memuncak sehingga beberapa kali dia sudah hendak membunuh pemuda itu. Kebenciannya amat mendalam, dan sekarang, melihat Sin Liong membangkang terhadap dia, tidak mau menjadi pembantunya, bahkan menentang dan membunuh sucinya dan subonya, kebencian yang meracuni hati Ceng Han Houw membuat dia memandang dengan muka beringas. Akan tetapi, dasar dia amat cerdik, maka dia dapat menekan perasaannya itu dan tiba-tiba saja pangeran itu tertawa. Semua orang terkejut melihat wajah beringas itu, dan terheran-heran mendengar betapa pangeran yang nampak marah itu tiba-tiba malah tertawa. “Ha-ha-ha-ha, Cia Sin Liong! Akhirnya, engkau sendiri yang membuka rahasiamu! Jadi engkau hendak membela ayahmu yang sudah hampir kalah?” Ucapan ini tentu saja mengejutkan hati semua keluarga Cin-ling-pai, terutama sekali Cia Bun Houw. Sedangkan Ciauw Si mengerutkan alisnya dan dia merasa heran menyaksikan perubahan sikap suaminya seperti itu. “Pangeran Ceng Han Houw! Tak perlu banyak cakap lagi, marilah kau mulai. Akulah lawanmu, bukan untuk memperebutkan sebutan jagoan atau apa, melainkan untuk memperebutkan kebenaran, untuk membereskan semua perhitungan antara kita yang sudah bertumpuk-tumpuk selama ini! Hayo, kalau memang engkau seorang jantan dan jangan selalu menggunakan kecurangan yang licik!” “Hei, Liong-te, lupakah engkau bahwa engkau telah mengangkat sumpah menjadi adik angkatku?” “Cukup! Sumpah itu berkali-kali kaulanggar sendiri dan beberapa kali engkau hendak mencelakakan aku, dan berkali-kali mengganggu Bi Cu. Kita bukan saudara angkat lagi, melainkan musuh-musuh besar!” “Hemm, bukankah engkau masih saudara misan langsung dari isteriku? Isteriku adalah puteri pendekar wanita Cia Giok Keng keturunan langsung dari locianpwe Cia Keng Hong, sedangkan engkau juga keturunan langsung dari beliau karena engkau putera kandung dari pendekar Cia Bun Houw...?” “Tutup mulutmu yang kotor!” tiba-tiba terdengar pendekar sakti Cia Bun Houw membentak dari pinggiran karena pendekar ini marah sekali mendengar ucapan terakhir yang mengatakan bahwa Sin Liong adalah anak kandungnya itu. Pangeran itu tertawa. “Ha-ha, memang dirahasiakan, hemmp seluruh dunia kang-ouw mengira bahwa para pendekar Cin-ling-pai adalah orang-orang gagah sejati yang suci murni. Akan tetapi...” “Pangeran...!” Tiba-tiba Lie Ciauw Si berseru dan pangeran itu menoleh kepada isterinya. “Si-moi, aku tidak berdaya. Lihat, mereka semua memusuhi aku, aku maka terpaksa aku harus membela diri dan membalas. Aku dikeroyok oleh mereka semua, keluarga Cin-ling-pai yang gagah dan suci ini, apakah engkau tidak hendak membelaku dan juga hendak berfihak dengan mereka mengeroyokku sekalian?” Melihat sinar mata penuh duka dan marah dari suaminya, Ciauw Si menunduk, baru sekarang dia melihat betapa suaminya memang memiliki watak yang curang dan licik, apalagi ketika dia melihat betapa Bi Cu ditawan untuk memaksa Sin Liong dan kini betapa suaminya itu hendak membongkar rahasia pamannya. Akan tetapi, betapapun juga, dia mencinta suaminya itu! Baik atau buruk pria itu adalah suaminya, satu-satunya pria di dunia ini yang telah memilikinya lahir batin, memiliki tubuhnya, cintanya. Mana mungkin dia akan menentang orang yang dicintainya? Tentu saja kalau suaminya itu hendak memberontak, hendak melakukan hal-hal yang jahat, dia tidak akan mau membantunya. Namun, apapun yang dilakukan oleh suaminya itu, dia menilainya bukan sebagai kejahatan, melainkan hanya sebagai kelemahan batin suaminya yang ingin mencapai kedudukan tertinggi. Maka kini, melihat betapa suaminya menentang keluarganya sendiri, diapun diam saja, hanya merasa betapa hatinya tertekan dan terasa sengsara sekali. “Ceng Han How, manusia pengecut, hayo majulah untuk menentukan siapa di antara kita yang akan mati dan siapa yang boleh hidup terus!” Sin Liong sudah menantang lagi. Han Houw tersenyum. “Sin Liong, aku sudah cukup mengenalmu lahir batin. Aku tahu bahwa engkau tidak akan menyerang seorang yang tidak mau melawan, dan sebelum aku habis bicara, aku tidak akan melawanmu dan boleh engkau memukul mampus padaku!” Kemudian pangeran ini memandang ke sekeliling dan suaranya meninggi sehingga terdengar oleh semua orang, “Cu-wi, cu-wi telah menyaksikan sendiri bagaimana sifat dan watak orang-orang Cin-ling-pai. Sudah jelas bahwa cucu wanita ketua Cin-ling-pai telah dengan suka rela menjadi isteriku yang tercinta, namun keluarga yang agung itu tidak mau menerima kenyataan ini, soolah-olah mereka merasa sebagai keluarga yang terlalu bersih, terlalu tinggi dan terlalu agung untuk menerima aku sebagai anggauta keluarga mereka! Padahal, siapakah yang tidak tahu akan segala rahasia busuk mereka? Tentang petualangan-petualangan cinta keturunan mereka? Dan yang terakhir, mereka malah merahasiakan adanya seorang keturunan gelap, seorang anak haram yang terlahir di antara mereka. Inilah anak itu, Cia Sin Liong, yang terlahir dari seorang ibu yang sengsara karena setelah mengandung dia, wanita itu tidak dinikah dan ditinggalkan begitu saja oleh seorang pria yang mengaku sebagai pendekar gagah perkasa dan suci, Cia Bun Houw!” “Keparat jahanam!” Cia Bun Houw tak dapat menahan kemarahannya. “Buktikan tuduhanmu itu, kalau tidak... aku bersumpah untuk menghancurkan mulut busukmu!” Kini Pangeran Ceng Han Houw tidak tersenyum lagi, melainkan memandang ke arah Cia Bun Houw dengan sinar mata menantang. “Cia Bun Houw, engkau masih hendak berlagak sebagai seorang yang bersih dan gagah? Tidak perlu aku banyak bicara, kalau engkau hendak melihat bukti dari perbuatanmu yang rendah dan hina itu, tanyalah Cia Sin Liong ini sendiri! Tanyakan apakah dia bukan anak kandungmu!” Karena dia masih merasa bersih dan melihat tidak mungkinnya dia mempunyai seorang anak seperti pemuda ini, Cia Bun Houw memandang kepada Sin Liong dan pemuda itu juga sedang memandang kepadanya, hendak melihat apa yang menjadi reaksi dari ayah kandungnya itu mendengar kata-kata serangan Han Houw. Mereka saling berpandangan dengan tajam dan penuh selidik, dan akhirnya, dengan suara penuh penasaran Bun Houw bertanya, suaranya seperti membentak nyaring, “Sin Liong, benarkah bahwa engkau adalah anak kandungku?” Sin Liong menelan ludahnya. Sebetulnya, tidak ada keinginan di dalam hatinya untuk mengakui pendekar ini sebagai ayahnya, dia tidak sudi untuk ikut membonceng ketenaran nama keluarga Cin-ling-pai. Akan tetapi, kekerasan hatinya itu sebagian besar terdorong oleh kenyataan betapa ayah kandungnya itu telah meninggalkan ibunya dan telah menikah dengan seorang wanita lain. Ketika dia melihat Yap In Hong, mula-mula dia merasa benci dan iri. Akan tetapi, begitu Yap In Hong berhasil menyelamatkan nyawa Bi Cu, seketika pandangannya berubah dan baru dia tahu bahwa Yap In Hong adalah seorang pendekar wanita gagah perkasa dan bahwa dia dan Bi Cu berhutang budi kepadanya. Kemudian, dia melihat pembongkaran rahasia itu oleh Pangeran Ceng Han Houw. Tidak mungkin lagi baginya untuk menyangkal. Menyangkal berarti membohong dan dia tidak mau membohong. Pula, memang sudah sepatutnya kalau pendekar itu, yang selamanya terkenal sebagai seorang pria yang gagah perkasa, ditegur secara hebat seperti ini untuk perbuatan yang amat kejam terhadap seorang wanita bemama Liong Si Kwi, seorang wanita yang dilupakan dan ditinggalkan begitu saja di Lembah Naga! Dan di sinilah tempat itu! Di sinilah dia terlahir, dan di sinilah pula ibunya meninggal dunia. Ibunya yang telah menumpahkan darah ketika dia terlahir, yang telah disia-siakan oleh pendekar ini. Sudah selayaknya dan sepatutnyalah kalau kini pendekar itu menebus dosa, mengakui perbuatannya itu di tempat ini pula, di mana roh ibunya mungkin masih akan dapat mendengarnya. Pikiran ini mendatangkan ketegasan dan dia lalu memandang ayah kandungnya itu dengan sinar mata tajam penuh ketegasan dan dia lalu mengangguk. Dapat dibayangkan betapa kaget dan marahnya hati Bun Houw melihat Sin Liong mengangguk, yang berarti membenarkan tuduhan pangeran itu! Kemarahannya kini berpindah kepada Sin Liong dan dia membentak, “Engkau sudah bersekongkol dengan pangeran jahat itu untuk menjatuhkan fitnah ini kepadaku!” katanya sambil menerjang dan memukul Sin Liong dengan kemarahan meluap. Akan tetapi dengari tenang dan cepat Sin Liong sudah mengelak dari serangan dahsyat itu. Pada saat itu ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu Yap In Hong telah berada di situ dan pendekar wanita ini sudah menyentuh pundak suaminya. “Bersikaplah tenang...” bisik isteri ini kepada suaminya, lalu menambahkan lebih lirih lagi, “...ingat Si Kwi...” Bisikan isterinya itu membuat wajah Bun Houw seketika berubah pucat sekali. Dia terhuyung ke belakang dan menatap wajah Sin Liong. Teringatlah dia sekarang. Mata dan mulut itu! Tak salah lagi! “Kau... kau... siapakah engkau...siapa nama ibumu...?” Melihat munculnya Yap In Hong dan mendengar bisikan tadi, biarpun amat lemah namun dia dapat pula menangkapnya, Sin Liong lalu menjawab, dan hatinya timbul ingin tahu sekali rahasia apa yang terjadi di balik hubungan ibu kandungnya dan pendekar ini, “Mendiang ibuku bernama Liong Si Kwi.” Mendengar ini, Cia Bun Houw memejamkan kedua matanya sejenak. Isterinya yang juga berdiri di sisinya hanya memandang dengan muka agak pucat, akan tetapi Yap In Hong adalah seorang pendekar wanita yang gagah perkasa dan tidak cengeng. Dia sudah tahu akan peristiwa yang terjadi antara suaminya dan Liong Si Kwi (baca cerita Dewi Maut), maka diapun tidak merasa heran mendengar bahwa Si Kwi telah mempunyai seorang anak dari suaminya, sungguhpun tentu saja hal itu sama sekali tidak pernah disangkanya, juga tak pernah disangka oleh suaminya sendiri. “Ha-ha-ha!” suara ketawa Pangeran Ceng Han Houw memecah kesunyian dan terdengar suaranya lantang, memang disengaja agar terdengar oleh semua orang. “Bagaimana, pendekar sakti Cia Bun Houw, apakah engkau masih hendak mengatakan aku menuduh yang bukan-bukan?” Cia Bun Houw adalah seorang yang gagah perkasa. Dia kini merasa yakin bahwa anak ini memang anaknya yang lahir dari Liong Si Kwi. Kini mengertilah dia, mengapa mendiang ayahnya begitu sayang kepada anak ini sehingga dididik, bahkan diwarisi Thi-khi-i-beng, dan mengapa pula mendiang Kok Beng Lama juga begitu sayang kepada anak ini! Mungkin dua orang kakek itu telah tahu! Padahal, dua orang kakek itu sebetulnya tidak pernah diberi tahu, hanya mereka memang suka kepada Sin Liong. Kini Cia Bun Houw yang sudah merasa kepalang, karena semua orang kang-ouw telah mendengar tentang hal itu, segera memandang ke arah para tamu dan berkata dengan suara lantang sehingga terdengar oleh semua orang. “Cu-wi, aku Cia Bun Houw bukan seorang pengecut! Setelah mendengar bahwa anak ini adalah anak kandung seorang wanita yang bemama Liong Si Kwi, maka aku dapat menerima kenyataan bahwa besar sekali kemungkinan anak ini adalah anakku sendiri! Akan tetapi, bukan sekali-kali aku pernah menodai Liong Si Kwi lalu kutinggalkan! Hendaknya cu-wi sekalian ketahui bahwa dua puluh tahun yang lalu, ketika aku tertawan oleh mendiang Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, guru dari pangeran curang ini, dua kakek dan nenek iblis itu telah meracuni aku dengan obat perangsang sehingga aku lupa diri. Dan gadis bernama Liong Si Kwi itu menolongku dari penjara, maka terjadilah hubungan di luar kesadaranku yang sedang terbius obat perangsang. Sungguh tidak pernah kuduga bahwa hubungan di luar kesadaran itu akan menghasilkan anak ini. Baru sekarang aku mendengar dan mengetahuinya. Namun, dengan berani bertanggung jawab kuakui bahwa Cia Sin Liong ini adalah puteraku!” Semua orang kang-ouw merasa kagum akan kegagahan Cia Bun Houw dan biarpun ada beberapa orang dari golongan hitam yang tidak suka kepada para pendekar mentertawakan, namun pandangan para tamu terhadap Cia Bun Houw sama sekali tidak merendahkan lagi. Setelah mengeluarkan kata-kata yang merupakan pengakuan gagah itu, Bun Houw memandang kepada Sin Liong dan berkata lirih, “Biarlah pada lain kesempatan kita bicara tentang ini. Sekarang hadapilah manusia curang ini, dan kalau benar engkau puteraku, engkau harus dapat mengalahkan dia.” Di dalam sinar mata dan suara itu terkandung rasa suka dan kagum yang membuat dua titik air mata membasahi mata Sin Liong. Dia mengangguk tanpa mengeluarkan kata-kata, hanya memandang ayah kandungnya dan ibu tirinya itu meninggalkan gelangang dan kembali ke tempat duduk mereka. Tiba-tiba Sin Liong merasa hatinya lapang bukan main dan dihadapinya pangeran itu dengan senyum tenang. “Nah, pangeran. Apakah engkau sudah siap sekarang, ataukah engkau takut melawan aku? Kalau takut, lebih baik katakan saja dan kaububarkan semua ini, jangan lanjutkan usahamu untuk memberontak atau menjadi bengcu, apalagi menjadi jagoan nomor satu di dunia. Lebih baik ganti julukan itu menjadi penjahat licik dan curang nomor satu di dunia.” Sin Liong sengaja mengeluarkan kata-kata ejekan ini untuk membikin panas hati Han Houw dan memang dia berhasil. Sebelumnya memang Han Houw sudah merasa kecewa, menyesal dan marah sekali bahwa serangannya terhadap nama Cia Bun Houw dan keluarga Cin-ling-pai ternyata sama sekali tidak berhasil karena sikap Cia Bun Houw yang gagah perkasa mengakui semua itu, bahkan pengakuan pendekar itu malah melontarkan kejahatan ke alamat mendiang Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li. Dan baru saja, dari seorang pengawal yang berhasil merangkak dalam keadaan terluka parah ke tempat itu dia mendengar bahwa memang benar seperti yang diduganya, Sin Liong berhasil menyelamatkan Bi Cu dan selain membunuhi semua pengawal yang tiga puluh orang banyaknya itu, juga telah membunuh Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio. Hal ini tentu saja menambah kemarahannya dan semua kemarahan itu ditumpahkan kepada Sin Liong yang dianggapnya menggagalkan semua rencananya, orang yang dianggapnya sepatutnya membantunya itu kini malah menentangnya dan hal ini dianggap suatu pengkhianatan! “YA SIN LIONG! Di seluruh dunia ini, agaknya hanya kita berdua yang mewarisi ilmu rahasia dari Bu Beng Hud- couw, akan tetapi jangan kaukira bahwa karena engkau yang lebih dulu mempelajari ilmu-ilmu dari guru kita itu lalu kauanggap dirimu lebih pandai. Ingat, sekali ini aku tidak akan mau mengampuni lagi nyawamu, kecuali kalau engkau sekarang berlutut dan minta ampun, dan selanjutnya mau membantuku seperti yang sudah-sudah.” “Sin Liong, kalau engkau menyerah kepadanya, aku selamanya tidak mau mengenalmu lagi!” Sin Liong menoleh dan memandang ke arah Bi Cu yang berseru itu, dia tersenyum lalu berkata, “Jangan khawatir, Bi Cu, aku tidak akan...” Akan tetapi terpaksa Sin Liong menghentikan kata-katanya karena pada saat itu Han Houw dengan kemarahan meluap telah menubruk dan menyerangnya dengan dahsyat. Bi Cu sampai berteriak kaget “Curang!” ketika melihat serangam yang dilakukan dengan mendadak selagi Sin Liong masih menoleh kepadanya itu. Akan tetapi biarpun kelihatannya Sin Liong menoleh dan lengah, sesungguhnya pemuda ini selalu waspada karena dia sudah cukup mengenal watak pangeran itu yang curang sekali. Oleh karena itulah ketika Han Houw menyerang dengan tiba-tiba, dia dapat dengan cepat menghadapinya, menangkis dengan keras dan balas menyerang. Dalam waktu singkat, dua orang pemuda yang sama lihainya ini sudah saling serang dengan hebatnya! Perkelahian yang terjadi sekali ini sungguh amat hebat. Baru belasan jurus saja semua orang tahu bahwa dua orang pemuda itu memang memiliki ilmu yang sama tingginya dan sama anehnya, akan tetapi pandang mata Bun Houw, Yap Kun Liong dan In Hong yang tajam dapat melihat betapa dalam beberapa kali pertemuan lengan, ternyata bahwa dalam hal sin-kang, agaknya Sin Liong masih menang kuat, terbukti dari tubuh pangeran itu yang selalu tergetar dan terguncang sedangkan tubuh Sin Liong sama sekali tidak terpengaruh oleh adu tenaga itu. Sin Liong bertanding dengan penuh semangat dan dia mengerahkan seluruh tenaga, mengeluarkan semua kegesitannya. Dia berkelahi bukan semata-mata untuk dirinya sendiri, melainkan terutama sekali untuk Bi Cu. Sudah beberapa kali kekasihnya itu hampir tewas oleh pangeran ini, maka kini dia bertindak mewakili kekasihnya itu untuk mengenyahkan pangeran jahat ini dari permukaan bumi! Selain itu, juga dia hendak membela ayah kandungnya yang tadi terdesak oleh pangeran ini dan dia tahu bahwa kalau dilanjutkan, tentu pendekar sakti Cia Bun Houw itu akan kalah pada akhirnya. Betapapun juga, dia tidak rela melihat orang yang menjadi ayah kandungnya itu dibikin malu dan dikalahkan di depan umum. Tadi dia telah mendengar betapa Han Houw membongkar rahasia ayah kandungnya, dan ketika dia mendengar jawaban Cia Bun Houw, tahulah dia sekarang! Ayah kandungnya itu sama sekali tidak bersalah! Bahkan ayah kandung itu tidak tahu bahwa dia dilahirkan! Juga hubungan antara ayah kandungnya dan ibunya adalah hubungan yang dipaksakan oleh muslihat yang amat curang dari guru Pangeran Ceng Han Houw! Rasa girang oleh kenyataan bahwa Cia Bun Houw sama sekali tidak menyia-nyiakan ibunya bercampur dengan perasaan duka dan pahit bahwa dia sesungguhnya adalah seorang anak haram, seorang anak yang dilahirkan tanpa ayah, dilahirkan dari ibu yang tidak dinikah dan dilahirkan sebagai akibat hubungan yang tidak disadari oleh orang yang menjadi ayahnya! Betapa hal ini menusuk hatinya dan kini dia hendak memperlihatkan dirinya di depan orang banyak bahwa biarpun dia orang rendah, anak haram, anak yang tidak mengenal ayahnya, adalah orang yang akan mampu menundukkan pangeran yang amat lihai itu! Oleh karena inilah Cia Sin Liong menyerang dengan sepenuh tenaga dan kemampuannya. Pertama-tama dia mempergunakan San-in Kun-hoat yang dipelajarinya dari kakeknya, dicampur dengan Thian-te Sin-ciang. Melihat betapa pemuda itu dapat mengombinasikan dua ilmu ini dengan amat baiknya, para anggauta keluarga Cin-ling-pai memandang dengan girang dan bangga. Pemuda itu sungguh tahu diri dan agaknya memang ingin menjunjung tinggi nama Cin-ling-pai maka dia menghadapi lawan yang tangguh ini dengan ilmu-ilmu Cin-ling-pai. Hanya Lie Ciauw Si yang menonton dengan alis berkerut, muka pucat dan bibirnya gemetar. Dia merasa serba salah. Dia mengkhawatirkan keadaan suaminya, akan tetapi perkelahian itu terjadi dengan adil, satu lawan satu, maka diapun tidak dapat berbuat apapun. Pula, dia tahu bahwa suaminya berada di fihak salah dan bahwa suaminya sudah memperlakukan Sin Liong secara keterlaluan. Masih teringat dia betapa Sin Liong yang mengajak pangeran itu ke selatan untuk mencarl Ouwyang Bu Sek, karena suaminya ingin mempelajari ilmu-ilmu yang diajarkan oleh kakek itu kepada Sin Liong demikian yang didengarnya. Dan kini, setelah suaminya itu memperoleh ilmu yang tinggi, suaminya malah memperlakukan Sin Liong tidak semestinya, hendak memaksa pemuda itu membantunya dengan jalan menawan Bi Cu. Tak disangkanya bahwa pangeran yang dicintanya itu memiliki watak yang demikian curang dan palsu. Baru sekarang semua watak buruk itu terungkapkan dan dia merasa berduka dan gelisah sekali. “Hyaaaattt...!” Sin Liong menyerang seperti seekor naga menyambar dari angkasa. Tangan kanannya menampar dengan tenaga Thian-te Sin-ciang, dan dia terus mendesak lawan, kini dia mempergunakan Ilmu Thai-kek Sin-kun yang ampuh! Melihat serangan bertubi-tubi yang dahsyat ini, Ceng Han Houw bersikap tenang dan dia cepat merendahkan diri dengan menekuk lutut kirinya sampai rendah sekali, kemudian setelah dia mengelak beberapa kali dan menangkis, diapun balas menyerang dengan pukulan-pukulan dahsyat dari bawah yang mengarah lambung dan pusar lawan. Sin Liong maklum akan bahayanya serangan balasan lawan, maka dia cepat meloncat dan membalikkan tubuhnya, tubuhnya itu dari atas meluncur turun dan kedua tangannya membentuk cakar naga menyerang dengan cengkeraman maut ke arah kepala lawan. Namun, dengan gerakan inilah pangeran itu dapat menggulingkan tubuhnya ke atas lantai dan menghindarkan cengkeraman itu, karena untuk ditangkis terlalu besar bahayanya baginya. Setelah dia meloncat bangun, dia memapaki tubuh Sin Liong yang baru turun itu dengan pukulan bertubi-tubi sambil memutar tubuh. Itulah jurus yang ampuh dari ilmu Hok-liong Sin-ciang (Tangan Sakti Penakluk Naga). Sin Liong kini terdesak dan pemuda ini berlompatan dan memutar-mutar tubuhnya pula, gerakannya seperti seekor naga. Memang pantas sekali Sin Liong diumpamakan sebagai seekor naga sakti dari Lembah Naga, dan pangeran itu berusaha menaklukkannya. Akan tetapi naga ini hebat bukan main dan ilmu penakluk naga itu sama sekali tidak mampu mendesak terus, apalagi menaklukkan. Sin Liong membalas dengan tamparan-tamparan sakti Thian-te Sin-ciang sehingga desakan pangeran itu membuyar karena pangeran itu harus melindungi dirinya baik-baik kalau dia tidak mau kepalanya pecah terkena sambaran tamparan Thian-te Sin-ciang yang ampuh. Demikianlah, dua orang pemuda itu saling serang, saling desak dan keadaan mereka benar-benar seimbang dan sama cepatnya, sama gesitnya, sama kuat dan sama-sama menguasai semua gerakan mereka dengan baik. Juga mereka bertanding dengan kemantapan yang membuat setiap serangan dan tangkisan atau elakan nampak indah sekali. Semua yang menonton pertandingan itu tiada hentinya memuji, bahkan kaum tua yang sudah berpengalaman dan menyaksikan pertandingan itu sampai menahan napas saking kagumnya. Tak pernah mereka sangka bahwa di dunia persilatan muncul dua orang muda yang memiliki kepandaian sedemikian hebatnya! Mereka berdua itu benar-benar merupakan tandingan yang seimbang, baik usianya, gagah dan tampannya, dan pandainya. Tadi ketika pangeran itu melawan Cia Bun Houw, masih terdapat kepincangan karena Cia Bun Houw adalah pendekar yang dianggap sudah memiliki banyak sekali pengalaman. Jangankan sampai dapat mendesak atau bahkan hampir mengalahkan pendekar Cin-ling-pai itu, baru dapat mengimbangi saja sudah amat mengagumkan. Dengan terdesaknya Cia Bun Houw, semua tamu dari tingkat atas mulai meragukan keampuhan Cin-ling-pai sebagai partai persilatan yang terkenal sekali, karena Cia Bun Houw dianggap mewakili Cin-ling-pai dan merupakan jagoan yang paling ahli dengan ilmu-ilmu Cin-ling-pai. Akan tetapi, setelah kini Cia Sin Liong maju, pemuda yang kini dikenal sebagai putera Cia Bun Houw dan yang kini juga bersilat dengan ilmu-ilmu Cin-ling-pai, bahkan kini memainkan Thai-kek Sin-kun dengan mahirnya, pandangan mereka terhadap Cin-ling-pai sudah naik lagi. Ternyata Cin-ling-pai masih mempunyai keturunan terakhir yang amat lihai! Sin Liong memang sengaja hanya memainkan ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari kakeknya dan Kok Beng Lama saja, karena selain dia hendak memperlihatkan bahwa apa yang dipelajarinya dari dua orang kakek yang disayangnya itu tidak sia-sia dan dia dapat menjujung nama mereka dengan ilmu-ilmu yang telah diberikannya kepadanya itu, juga dia tahu benar bahwa selama pangeran itu tidak mainkan ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari kitab-kitab Bu Beng Hud-couw, maka dia akan dapat menanggulanginya dengan ilmu-ilmu pemberian kakeknya dan Kok Beng Lama, bahkan akan mampu untuk mengalahkannya. Setiap kali pangeran itu menghujankan pukulan, kadang-kadang dia bahkan menggunakan Thi-khi-i-beng untuk memunahkan semua serangan, karena dengan Thi-khi-i-beng, pangeran itu tidak berani melanjutkan serangannya dan setiap kali tangannya melekat dan tersedot, dia menggunakan ilmu yang pernah diterimanya dari subonya, yaitu ilmu melemaskan diri mengosongkan tangan yang tertempel sehingga tidak mengandung sin-kang lagi dan mudah terlepas. “Anak itu hebat sekali, berbakat baik!” Yap Kun Liong memuji. Cia Giok Keng dan Yap In Hong, yang juga menonton dengan hati tegang, mengangguk membenarkan. Pangeran Ceng Han Houw sejak tadi memang tidak mengeluarkan ilmu simpanannya, karena dia menghendaki agar lawannya itu lebih dulu mengeluarkan ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari Bu Beng Hud-couw di bawah bimbingan Ouwyang Bu Sek itu, akan tetapi alangkah kecewa dan marahnya ketika dia melihat bahwa Sin Liong hanya mengeluarkan ilmu-ilmu seperti yang dimainkan oleh Cia Bun Houw tadi. Biarpun permainan Sin Liong dalam hal ilmu-ilmu itu tidaklah sehebat Bun Houw, akan tetapi karena Sin Liong memiliki tenaga yang luar biasa kuatnya dan karena Han Houw tidak atau belum mengeluarkan ilmu-ilmunya yang dirahasiakan, pangeran itu kewalahan dan kalau dilanjutkan, akhirnya dia tentu akan kalah. Oleh karena itu, gagal memancing Sin Liong mengeluarkan ilmu simpanan lebih dulu untuk dipelajarinya, Ceng Han Houw tiba-tiba mengeluarkan bentakan aneh dan nyaring dan tiba-tiba tubuhnya sudah menubruk ke depan dan dia sudah mulai mainkan Ilmu Hok-liong Sin-ciang yang amat ampuh dan yang tadi telah membuat Bun Houw sendiri terkejut dan kewalahan itu! Sin Liong sudah berjaga-jaga karena dia sudah selalu waspada. Menyaksikan perubahan gerak tubuh lawan, dan melihat betapa dahsyatnya angin pukulan yang menyambar ke arahnya, maklumlah dia bahwa inilah ilmu simpanan yang dipelajari pangeran itu di dalam gua-gua dari kitab-kitab Bu Beng Hud-couw! Maka diapun lalu mencondongkan tubuh atas ke belakang, dan dari mulutnya keluar pula gerengan seperti seekor naga marah dan kedua tangannya membuat gerakan menyilang dan dari gerakan ini menyambarlah dua angin pukulan bersilang yang selain amat kuat dan mampu menangkis serangan Han Houw, juga telah menggulung pukulan itu dan membalas dengan tamparan yang amat kuatnya pula! “Uhhh!” Ceng Han Houw terkejut dan cepat dia membuang diri ke belakang dan sejenak dia berdiri memandang dengan mata terbelalak. Para tokoh kang-ouw yang menonton dengan asyik tidak tahu bahwa ada dua jurus aneh yang berbeda dengan tadi telah dikeluarkan oleh masing-masing, namun para tokoh Cin-ling-pai yang tentu saja tadi mengenal gerakan Sin Liong ketika pemuda itu mainkan ilmu-ilmu Cin-ling-pai, kini tahu bahwa pemuda itu telah menggunakan jurus yang amat aneh, yaitu ketika dia mencondongkan tubuh ke belakang dan kedua tangannya membuat gerakan menyilang tadi. Dan kini berturut-turut dua orang pemuda itu mengeluarkan jurus-jurus yang aneh, yang mendatangkan angin dahsyat dan yang mengeluarkan bunyi bersiutan dan bahkan kadang-kadang nampak asap atau uap tebal mengepul dari kedua tangan mereka! Dan memang pangeran Ceng Han Houw sudah mainkan Hok-liong Sin-ciang dengan penuh rasa penasaran sedangkan Sin Liong sudah menghadapinya dengan Hok-mo Cap-sha-ciang! Dan ternyata bahwa semua serangan pangeran itu dapat dibuyarkan, bahkan ketika Sin Liong membalas, pangeran itu terhuyung-huyung ke belakang! “Keparat!” pikir Ceng Han Houw dan kembali dia memekik, sekali ini tubuhnya seperti berubah kaku dan meluncurlah tubuhnya itu ke depan. Dia menyerang bukan hanya dengan gerakan tangan atau kaki, melainkan dengan tubuh meloncat atau meluncur ke depan dalam keadaan kaku dan lurus, dan kedua tangan yang di depan itu terbuka jari-jarinya dan tidak diketahui apakah dia hendak memukul, menampar, menusuk atau mencengkeram! Ini merupakan satu di antara jurus-jurus Hok-liong Sin-ciang yang paling lihai. Sin Liong agak terkejut menghadapi serangan aneh ini. Tubuh pangeran itu seolah-olah berubah menjadi sebatang tombak raksasa yang dilontarkan ke arah dadanya! Akan tetapi, kalau tombak, betapapun besarnya, hanya merupakan benda mati saja dan tentu dapat dihindarkannya dengan mengelak atau menolak dari samping. Sedangkan yang meluncur ini adalah seorang manusia, dan bukan manusia sembarangan, melainkan Ceng Han Houw yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, tenaga sin-kang yang amat kuat, dan kecurangan yang membahayakan. Maka Sin Liong tidak mau mengelak, melainkan dia memasang kuda-kuda dengan kuatnya, lalu dia bergerak melakukan jurus yang ampuh dari Hok-mo Cap-sha-ciang, menggerakkan kedua lengan dari bawah ke atas, seolah-olah dia menyedot tenaga bumi dan langit, kemudian dengan bentakan nyaring dia menyambut luncuran tubuh lawan itu dengan kedua tangan didorongkan ke depan, dengan jari-jari terbuka. Inilah yang dinamakan menyambut keras lawan keras dan untuk ini tentu saja diandalkan kepada tenaga sepenuhnya. Melihat ini, pangeran itu terkejut. Tak disangkanya lawan akan menggunakan kekerasan. Dia tadinya mengharapkan Sin Liong untuk mengelak atau menangkis, dan kalau hal itu terjadi, tentu dia akan lebih mudah untuk merubah gerakan tangan dan dengan demikian dia mengharapkan untuk dapat mengelabuhi dan memukul lawan. Siapa kira, pemuda itu agaknya nekat menyambutnya dengan kekerasan juga, dengan dorongan kedua tangannya yang disertai pengerahan tenaga sin-kang! Apa boleh buat, terpaksa pangeran itupun mengerahkan tenaga pada kedua lengannya dan membuka lengan untuk menyambut atau menahan dorongan lawan. Dua pasang telapak tangan yang sama kuatnya bertemu di udara dengan tenaga sepenuhnya. “Desss...!” bukan main hebatnya pertemuan dua pasang tangan itu. Semua tamu sampai merasa betapa ada hawa pukulan kuat mengguncang mereka dan bumi seperti tergetar. Akibat dari pertemuan dua telapak tangan itu ternyata merugikan sang pangeran. Sin Liong terdorong kuda-kuda kakinya sampai satu meter ke belakang, kakinya terseret dan membuat guratan dalam sampai hampir dua senti di lantai, sedangkan mukanya berubah pucat. Akan tetapi lawannya, Pangeran Ceng Han Houw, yang melakukan adu tenaga dengan tubuh masih meluncur, terpelanting dan terbanting ke atas tanah. “Pangeran...!” Ciauw Si mengeluarkan seruan kaget. Akan tetapi Ceng Han Houw yang terbanting itu sudah bergulingan lalu tahu-tahu dia sudah meloncat bangun, mengeluarkan teriakan nyaring yang aneh, melengking tinggi dan setelah itu, dia lalu berjungkir balik. Kepalanya yang kini menggantikan kedudukan kedua kakinya itu berloncatan mengeluarkan suara duk-duk-duk, kaki tangannya bergerak-gerak dan dia sudah mulai menyerang Sin Liong dengan ilmu silatnya yang aneh itu, yaitu Hok-te Sin-kun (Silat Sakti Membalikkan Bumi). Sin Liong yang mengenal ilmu aneh yang amat berbahaya, yang tadi hampir mengalahkan ayah kandungnya, cepat bersikap hati-hati dan dia tetap mempergunakan Hok-mo Cap-sha-ciang untuk menandingi ilmu aneh ini. Sementara itu, kiranya teriakan melengking yang dikeluarkan oleh pangeran itu bukan semata-mata teriakan marah, melainkan merupakan suatu tanda bagi para pembantunya untuk bergerak. Buktinya, begitu dia mengeluarkan teriakan melengking itu, beberapa orang dari golongan hitam yang tadinya duduk di antara para tamu, telah bangkit berdiri, para pengawal yang tadinya berjaga-jaga di luar kini datang dan mengurung tempat itu, dan kedua orang kakek dari Lam-hai Sam-lo juga sudah meloncat untuk mengeroyok Sin Liong! Akan tetapi, Yap Kun Liong dan Yap In Hong sudah siap siaga, maka begitu melihat dua orang kakek itu berloncatan ke medan pertandingan, merekapun dengan loncatan jauh telah berada di situ. Yap Kun Liong sudah menghadapi Hai-liong-ong Phang Tek sedangkan adik kandungnya telah menghadapi Kim-liong-ong Phang Sun! “Hemm, kiranya Lam-hai Sam-lo yang tinggal dua orang ini tak lain hanya orang-orang licik dan curang tukang keroyok seperti tukang-tukang pukul di pasar saja!” Yap Kun Liong berkata sambil menghadapi Phang Tek dengan senyum mengejek. “Kau agaknya sudah bosan hidup, bocah tua bangka!” Yap In Hong juga membentak Phang Sun yang disebutnya bocah tua karena memang tubuh kakek ini seperti anak kecil. “Saudara-saudara, para pendekar sombong ini sudah mulai mengacau, hayo bangkit serentak dan menghancurkan mereka sebelum kelak mereka yang akan membasmi kita!” tiba-tiba terdengar bentakan seorang kakek yang baru muncul dan ternyata dia itu adalah Kim Hwa Cinjin, Ketua Pek-lian-kauw dari selatan yang perkumpulannya telah diobrak-abrik oleh Pangeran Hung Chih akan tetapi yang sempat pula melarikan diri bersama banyak pimpinan Pek-lian-kauw yang pada saat itu berkumpul pula di situ. Kalau tadi dia tidak nampak adalah karena dia disuruh bersembunyi dulu oleh Pangeran Ceng Han Houw yang sudah membuat bekas musuh-musuh ini menjadi sekutunya. Mendengar seruan ini, banyak tokoh kang-ouw dari golongan hitam yang serentak bangkit dari tempat duduk mereka. Golongan ini adalah orang-orang yang selalu mengejar keuntungan, dan tentu saja mereka melihat kesempatan baik untuk memperoleh keuntungan jika mereka membantu pangeran yang selain lihai juga besar pengaruhnya dan kaya raya itu. Akan tetapi pada saat itu Cia Bun Houw sudah meloncat maju dan menghadapi ketua Pek-lian-kauw itu sambil membentak marah, “Pemberontak-pemberontak hina! Cu-wi yang gagah perkasa dari dunia kang-ouw tentu tidak akan membiarkan kaum sesat ini untuk menjebak kita dan untuk memberontak kepada pemerintah. Siapa yang merasa dirinya gagah, silakan maju membantu pemerintah untuk menghadapi mereka!” “Bagus! Mari kita basmi penjahat-penjahat pemberontak ini! Siauw-lim-pai takkan pernah sudi bersahabat dengan kaum pemberontak dan penjahat!” teriakan dengan suara amat lantang ini dikeluarkan oleh Cui Khai Sun, pemuda Siauw-lim-pai yang gagah perkasa tadi. Seruannya ini membangkitkan semangat para orang gagah di situ dan banyak di antara mereka yang bangkit dan siap menghadapi kaum sesat. Akan tetapi masih banyak yang ragu-ragu dan tetap duduk saja dan tidak ingin mencampuri urusan itu. Sementara itu, Pangeran Ceng Han Houw yang mengamuk dalam keadaan jungkir balik itu, selalu dapat disambut oleh sin Liong dengan baik. Melihat betapa banyak orang gagah yang bangkit dan hendak menentangnya, dia meloncat dalam keadaan jungkir balik dan menjauhi Sin Liong sambil berkata, “Tahan semua orang yang hendak melawan kami! Pasukanku berjumlah ribuan orang telah mengurung tempat ini! Kalian telah terkurung, siapa menyerah dan membantuku akan diampuni, yang menentang akan dibunuh!” “Pangeran pemberontak! Engkau dan pasukanmulah yang terkurung! Dengar dan lihat baik-baik, sepuluh ribu pasukan telah mengurung Lembah Naga!” teriak Bun Houw pula dan pada saat itu Cia Giok Keng sudah melepaskan sebatang anak panah yang membumbung tinggi di angkasa dan anak panah api itu mengeluarkan asap tebal di angkasa. Tiba-tiba terdengar suara tambur dan hiruk-pikuk di empat penjuru, tanda bahwa tempat itu telah dikurung oleh pasukan besar yang kini mulai datang mengurung dan mendesak! Bukan main kaget dan marahnya Pangeran Ceng Han Houw. Dia meloncat dan menyerang lagi Sin Liong yang sudah menyambutnya dengan tangkas. Maka perkelahianpun dimulailah! Lam-hai Sam-lo yang tinggal dua orang kakek itu ditandingi Yap Kun Liong dan Yap In Hong, sedangkan ketua Pek-lian-kauw Kim Hwa Cinjin dihadapi Bun Houw. Orang-orang golongan hitam yang membantu pangeran pemberontak itu berhadapan dengan orang-orang gagah yang menjadi tamu di situ. Setelah melepaskan anak panah api yang menjadi tugasnya dan mendengar sambutan balatentara kerajaan, Cia Giok Keng juga menyerbu dan ikut mengamuk dalam pertempuran itu, karena jumlah para tokoh sesat yang dibantu oleh pengawal-pengawal itu jauh lebih banyak daripada jumlah orang gagah yang menentang pangeran. Pertempuran hebat terjadi di tempat pesta atau tempat pertemuan itu. Sin Liong dan Pangeran Ceng Han Houw berkelahi di tengah-tengah dan perkelahian mereka itu amat serunya, dan tidak ada yang mendekat untuk membantu karena keduanya telah mengeluarkan ilmu silat mereka yang mujijat, yang mereka dapatkan dari Bu Beng Hud-couw dan merupakan ilmu silat yang luar biasa sekali sehingga membantu mereka selain bahkan akan mengganggu, juga mungkin pembantunya akan terancam bahaya oleh yang dibantunya itu sendiri. Sementara itu, di luar Lembah Naga sudah terjadi perang antara pasukan Lembah Naga melawan pasukan pemerintah. Akan tetapi karena jumlah pasukan yang datang nienyerbu itu jauh lebih besar, maka sebentar saja pasukan Lembah Naga itu terdesak dan terus mundur, dihimpit dari luar dari pasukan kerajaan. Sementara itu, pertempuran yang terjadi di ruangan yang luas itupun terjadi dengan hebatnya. Akan tetapi karena tokoh tokoh besarnya seperti Pangeran Ceng Han Houw dan dua orang kakek Lam-hai Sam-lo, juga para tokoh Pek-lian-kauw, menemui tanding yang amat kuat dari pihak keluarga Cin-ling-pai, Siauw-lim-pai dan tokoh-tokoh kang-ouw lain yang tangguh, maka kaum sesat itupun kehilangan semangat dan mereka itu banyak yang sudah roboh oleh para orang gagah. Ketua Pek-lian-kauw Kim Hwa Cinjin yang sudah amat tua itu bukanlah lawan dari Cia Bun Houw. Dalam pertandingan yang kurang dari lima puluh jurus saja, dengan tamparan Thian-te Sin-ciang yang dahsyat, pendekar ini telah merobohkan kakek ini yang tewas seketika karena tidak dapat menahan tamparan dahsyat yang mengenai dadanya. Cia Ciok Keng yang mengamuk dengan pedang Gin-hwa-kiam yang bersinar perak telah merobohkan beberapa orang tokoh Pek-lian-kauw. Juga perkelahian antara Yap In Hong yang melawan Kim-liong-ong Phang Sun berlangsung dengan luar biasa serunya. Pendekar wanita itu menemui tanding karena kakek kecil pendek itu memang hebat dan merupakan tokoh yang terkenal dengan ilmu silat yang tinggi. Namun, karena dasar ilmu silat yang dimiliki pendekar wanita itu lebih murni dan juga karena hati kakek pendek kecil ini sudah gentar menyaksikan betapa keadaan kini tanpa diduga-duga telah terbailk, dan keadaan pangeran yang dibelanya itu terancam bahaya, maka perlahan-lahan Kim-liong-ong Phang Sun mulai terdesak hebat. Perlahan namun tentu, Yap In Hong mulai melancarkan lebih banyak serangan, terutama tamparan-tamparan Thain-te Sin-ciang dan Phang Sun hanya main mundur, mengelak dan menangkis tanpa sempat melakukan penyerangan balasan. Dia yang biasanya lihai ini sudah mulai mencari-cari jalan keluar untuk melarikan diri, namun lawannya terus mengurungnya dengan serangan-serangan dahsyat dan bertubi-tubi sehingga kakek kecil ini repot sekali. Tidak demikiain dengan kakaknya, yaitu Hai-liong-ong Phang Tek. Kalau Phang Sun masih dapat melakukan perlawanan, sebaliknya Hai-liong-ong Phang Tek begitu bergerak melawan Yap Kun Liong segera mendapat kenyataan bahwa lawannya ini hebat bukan main, tidak kalah hebatnya dibandingkan dengan Cia Bun Houw! Bahkan pendekar yang sudah setengah tua ini selain memiliki kematangan dalam gerakan juga ternyata memiliki banyak sekali ilmu silat yang aneh-aneh! Hanya gerakan gin-kang yang amat tinggi dari Hai-liong-ong Phang Tek, maka dia masih dapat bertahan akan tetapi dia tahu bahwa tidak mungkin dia akan menang menghadapi pendekar yang amat lihai ini dan seperti juga Kim-liong-ong Phang Sun, mulailah orang pertama dari Lam-hai Sam-lo ini untuk mencari kesempatan lari! Ketika dia melihat kesempatan itu terbuka, yaitu ketika lawannya bergerak agak lambat, dia menggereng dan dari samping lengan kanannya yang panjang itu menyambar, tangannya mencengkeram ke arah muka Yap Kun Liong. Ini merupakan gerakan yang cepat dan dahsyat, akan tetapi hanya untuk menggertak saja dan dia sudah siap melompat jauh dan melarikan diri kalau lawannya mengelak dan mundur. Akan tetapi ternyata lawannya tidak mengelak, melainkan mundur sedikit dan membiarkan pundaknya terbuka tidak terlindung. Melihat ini, tentu saia Hai-liong-ong Phang Tek tidak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk menang ini. Tangannya yang masih terbuka seperti cakar harimau itu tiba-tiba mencengkeram ke arah pundak lawan yang tak terlindung itu. “Capp...!” Seperti cakar baja kelima jari tangan kanan kakek itu mencengkeram ke arah pundak dan Yap Kun Liong sama sekali tidak mengelak maupun menangkis, melainkan membiarkan pundaknya dicengkeram. “Auhhhh...!” Terdengar Hai-liong-ong Phang Tek berseru kaget sekali ketika dia merasa betapa cengkeramannya mengenai benda lunak yang melekat dan terus menyedot sehingga tenaga sin-kang dari tubuhnya menerobos keluar melalui tangannya itu! Dia berusaha menggunakan tenaga untuk menarik kembali tangannya, akan tetapi makin dia mengerahkan tenaga, makin hebat pula sin-kangnya mengalir dan membanjir keluar! Pucatlah wajah Hai-liong-ong Phang Tek dan tubuhnya menggigil. Dengan nekat tangan kirinya lalu menghantam, akan tetapi sekali ini tangan itu ditangkap oleh lawan. Begitu tertangkap, kembali sin-kangnya mengalir kuat dari pergelangan tangan yang tertangkap itu sehingga makin banyaklah kini sin-kang yang membanjir keluar itu. “Aduh... celaka...!” Kakek itu berseru. Teringatlah dia akan Ilmu Thi-khi-i-beng yang mujijat dan dia menjadi takut bukan main. “Hemm, kejahatanmu sudah melewati takaran agaknya. Pergilah!” Yap Kun Liong tiba-tiba menampar dengan tangan kirinya, tepat mengenai belakang telinga lawan dan Hai-liong-ong Phang Tek mengeluh, tubuhnya terpelanting dan dia tewas di saat itu juga. Melihat kakaknya roboh, Kim-liong-ong Phang Sun menjadi semakin jerih. Dia mengeluarkan teriakan panjang dan tiba-tiba dia meloncat pergi. Akan tetapi wanita perkasa itu membentak. “Hendak lari ke mana kau?” Dan Yap In Hong mengejar dengan cepat, tangan kirinya bergerak dan sinar hijau menyambar. Itulah Siang-tok-swa, senjata rahasia istimewa merupakan pasir hijau yang berbau harum. Akan tetapi pasir halus ini mengandung racun yang amat berbahaya. Kim-liong-ong Phang Sun cepat melempar tubuh ke samping lalu bergulingan sehingga sambaran pasir beracun itu lewat di atas kepalanya, akan tetapi baru saja dia hendak meloncat bangun, lawannya telah menerjangnya. Kakek kecil pendek ini hendak mengelak, namun dia kalah cepat dan begitu tangan Yap In Hong mengenai tengkuknya dengan tamparan Thian-te Sin-ciang yang ampuh, robohlah kakek itu dan nyawanyapun melayang sebelum tubuhnya terbanting ke atas lantai. Cia Bun Houw, Yap Kun Liong, Yap In Hongs dan Cia Giok Keng kini terus mengamuk, membantu para tokoh kang-ouw golongan bersih untuk menghadapi kaum sesat yang membantu Pangeran Ceng Han Houw. Biarpun jumlah kaum sesat lebih banyak, namun dengan bantuan mereka berempat ini mereka menjadi kocar-kacir dan banyak di antara mereka yang roboh dan tewas. Sementara itu, Lie Ciauw Si masih tetap duduk seperti patung di kursinya yang tadi, sedikitpun tidak bergerak, tidak membantu suaminya, juga tidak menentang suaminya. Dia seperti orang kehilangan semangat menyaksikan keruntuhan cita-cita pria yang dicintanya itu dan diam-diam dia merasa ikut bersedih untuk suaminya itu. Semenjak tadi dia tidak melihat yang lain kecuali menonton suaminya yang masih bertanding dengan hebat dan serunya melawan Sin Liong! Para tokoh Cin-ling-pai itu setelah merobohkan banyak orang dari golongan hitam dan kini ikut menonton pertandingan antara Sin Liong dan pangeran itu, mulai mendekat dan melihat mereka mendekat, Sin Liong berkata, sambil tetap mendesak lawannya, “Harap cu-wi dari Cin-ling-pai membiarkan saya menghadapi musuh besar ini sendiri.” Mendengar ini, tiga orang itu berhenti dan hanya menonton dengan penuh kagum. Pertandingan itu sudah mencapai puncaknya, dan keduanya sudah mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaga mereka untuk saling mendesak dan kalau mungkin merobohkan lawan. Ceng Han Houw masih mempergunakan ilmunya yang aneh, dengan berjungkir balik dia berusaha untuk mendesak lawan dengan kedua tangan dari bawah dan kedua kaki dari atas. Namun, dengan ilmu Hok-mo Cap-sha-ciang, Sin Liong selalu dapat membuyarkan semua serangannya, bahkan serangan balasan Sin Liong selalu membuat tubuh yang berjungkir balik itu tergetar dan bergoyang, bahkan kadang-kadang memaksa pangeran itu untuk berloncatan ke belakang sehingga kepala yang menyentuh lantai itu mengeluarkan suara dak-duk-dak-duk. Dengan sekilas pandang saja tahulah Pangeran Ceng Han Houw bahwa dia telah gagal total. Para tokoh kang-ouw golongan hitam yang membantunya telah roboh satu demi satu, para pembantunya yang dipercaya, seperti subo dan sucinya, telah tewas dan bahkan dua orang Lam-hai Sam-lo telah roboh pula. Dan dari gemuruh suara pertempuran antara pasukannya dan pasukan pemerintah, dia maklum pula bahwa pasukannya terus terdesak mundur, karena suara gemuruh itu makin lama makin dekat juga. Hatinya menjadi sedih dan kecewa, akan tetapi kemarahannya terhadap Sin Liong mengatasi semua itu. Bocah inilah yang menjadi gara-gara kegagalanku, demikian pikirnya. Kini dia telah dikurung oleh tokoh-tokoh Cin-ling-pai. Dia harus dapat merobohkan Sin Liong lebih dulu, harus dapat menewaskan bocah ini. Maka, nekatlah Ceng Han Houw. Dengan mengeluarkan pekik dahsyat yang melengking tinggi, tubuhnya yang berjungkir balik itu meluncur ke depan dan tiba-tiba tubuh itu meloncat tinggi kemudian dari atas tubuhnya meluncur turun dan dia menubruk ke arah Sin Liong seperti seekor harimau kelaparan menubruk seekor kijang! Tubrukannya ini hebat, cepat dan dilakukan dengan tenaga sepenuhnya, tenaga yang dipusatkan kepada dua tangan dan kepalanya karena dia hendak menyerang lawan dengan kedua tangan dan kepala! Menghadapi serangan seperti ini, Sin Liong juga terkejut. Inilah serangan yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang sudah nekat, yang tidak memperdulikan keselamatan diri sendiri, yang ingin mengadu nyawa kalau perlu dengan musuhnya! Sin Liong maklum bahwa kalau dia menyambut serangan itu dengan kekerasaan pula, biarpun dia akan dapat merobohkan lawan, akan tetapi dia sendiri terancam bahaya maut. Tenaga yang dipergunakan Han Houw dalam serangan itu adalah tenaga yang dipusatkan, ditambah tenaga luncurannya yang kuat, sehingga amat berbahaya kalau disambut dengan kekerasan. Oleh karena itu, diapun lalu mainkan jurus terakhir dari Hok-mo Cap-sha-ciang yang memang khusus diciptakan untuk mempergunakan tenaga lemas melawan serangan dahsyat yang keras. Sin Liong berdiri tegak, mengerahkan tenaga “Im” dan mula-mula dia hendak mempergunakan Thi-khi-i-beng, akan tetapi segera dibatalkan niat ini karena dia maklum bahwa ilmu ini akan membahayakan dirinya kalau ada tenaga sin-kang yang demikian kuat dan kerasnya membanjir masuk dengan kekuatan sepenuhnya, bisa merusak seluruh isi perutnya. Maka dia lalu melakukan jurus terakhir itu, dan pula saat kedua tangan lawan sudah hampir mengenai dadanya, dia menangkis dari bawah dan pada saat itu, karena dia menyimpan tenaga, tidak terjadi benturan tenaga dan dia terjengkang atau sengaja melempar diri ke belakang sehingga dia terlentang dan karena lawannya meluncur dengan tenaga penuh, maka tubuh pangeran itu meluncur terus di atasnya tanpa dapat ditahan oleh pangeran itu sendiri. Saat itulah Sin Liong menggerakkan tangan kanan dari bawah, menghantam ke atas dan ujung-ujung jari tangannya dengan tenaga Thian-te Sin-ciang telah dengan cepat menampar perut lawan agak ke atas dekat ulu hati. “Plaakkk!” Tubuh pangeran itu masih meluncur terus akan tetapi kehilangan keseimbangan dan akhirnya terbanting ke atas tanah, bergulingan dan tidak bergerak lagi. Dari mulutnya mengalir darah segar dan sepasang matanya mendelik, napasnya empas-empis. Ternyata dia telah menerima pukulan yang amat hebat dan tepat sehingga sebelum tubuhnya terbanting, pangeran ini telah pingsan dan dia telah menderita luka dalam yang amat hebat. “Pangeran...!” Terdengar suara jeritan dan Lie Ciauw Si telah meloncat dan menubruk tubuh suaminya sambil menangis. Sin Liong berdiri dengan muka pucat, memandang kepada pangeran itu. Hatinya penuh dengan penyesalan dan kedukaan. Betapapun juga, dia teringat akan semua kebaikan pangeran itu dan sekarang, begitu melihat pangeran itu roboh pingsan dan dia tahu berada dalam keadaan gawat karena pukulannya tadi amat kuat dan tepat mengenai ulu hati, timbul rasa terharu dan kasihan dalam hatinya. Dia tahu bahwa sebetulnya banyak terdapat sifat-sifat baik pada diri pangeran ini, hanya sayang, karena kemanjaan dan karena ambisi yang luar biasa besarnya maka pangeran itu tidak segan-segan melakukan segala kecurangan dan kejahatan. Dia menunduk dan memandang kepada Lie Ciauw Si dengan penuh iba, lalu berkata lirih. “Piauw-ci... dia... semua ini adalah salahnya sendiri...” Lie Ciauw Si menoleh dan memandang kepada Sin Liong. Pemuda ini sudah menduga bahwa tentu wanita yang amat mencinta pangeran itu akan membenci dan marah kepadanya. Akan tetapi dia terheran melihat betapa wanita yang pucat dan basah air mata itu memandangnya tanpa membayangkan kemarahan atau kebencian sama sekali. “Aku tahu... dan terima kasih atas sikapmu. Engkaulah satu-satunya orang yang agaknya tidak membencinya, Sin Liong. Biarlah aku membawanya...” “Silakan, piauw-ci...” Ciauw Si dengan terisak lalu memondong tubuh itu, kemudian tanpa menoleh lagi kepada para tokoh Cin-ling-pai dia lalu meloncat dan membawa lari tubuh yang pingsan itu dari tempat itu. “Ciauw Si...!” Cia Giok Keng berseru dan hendak mengejar, akan tetapi lengannya dipegang dengan halus oleh suaminya. “Jangan ganggu dia... pangeran itu tentu akan tewas, sebaiknya biarkan dia seorang diri dalam kedukaannya...” Cia Giok Keng lalu menjerit dan menangis di atas dada suaminya yang merangkulnya. Sementara itu, pertempuran di ruangan itu telah berhenti dan semua tokoh kang-ouw golongan hitam telah dapat dirobohkan. Di antara para tokoh kang-ouw yang gagah perkasa dan yang menentang pangeran tadi, terdapat beberapa orang yang terluka dan kini mereka sedang dirawat oleh teman-teman sendiri. Dan benar seperti dugaan Pangeran Ceng Han Houw, perang kecil-kecilan itupun tidak lama berlangsung karena fihak pasukan Lembah Naga jauh kalah kuat dan sisanya melarikan diri meninggalkan mayat teman-teman mereka. Orang-orang kang-ouw golongan sesat yang tadi sudah membuang senjata dan menaluk, setelah menerima peringatan dari komandan-komandan pasukan yang mewakili Pangeran Hung Chih, lalu dibebaskan. Pangeran Hung Chih sendiri menghampiri tokoh-tokoh Cin-ling-pai dan dengan senyum lebar menghaturkan terima kasih, terutama sekali kepada Cia Sin Liong. Ketika dia mendengar bahwa pemuda itu adalah putera Cia Bun Houw, dia cepat menjura dan berkata kagum. “Ah, seekor naga sakti tentu mempunyai turunan seekor naga pula!” Setelah melakukan pembersihan di lembah itu, Pangeran Hung Chih menyuruh seorang komandan mengepalai pasukan kecil untuk melakukan penjagaan di Istana Lembali Naga, kemudian dia memimpin pasukannya kembali ke kota raja. Yap Kun Liong, Cia Giok Keng, Yap In Hong, dan Cia Bun Houw menitipkan puteranya yang masih kecil di dalam istana Pangeran Hung Chih. Tentu saja rombongan keluarga Cin-ling-pai ini juga mengajak Cia Sin Liong dan Bhe Bi Cu yang telah diterima sebagai keluarga Cin-ling-pai, dan bersama-sama mereka pergi ke kota raja. Di dalam perjalanan inilah, dalam keadaan gembira karena berhasil melaksanakan tugas membela negara, Sin Liong menceritakan semua pengalamannya semenjak dia kecil dan dipelihara oleh monyet-monyet besar di hutan-hutan sekitar Lembah Naga, didengarkan oleh semua orang dengan rasa penuh keharuan dan kekaguman. Terutama sekali hati Cia Bun Houw menjadi terharu dan juga bangga. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa peristiwa yang terjadi antara dia dan Liong Si Kwi yang mencintanya pada saat dua puluh tahun yang lalu itu (baca cerita Dewi Maut), akan menghaslikan seorang anak seperti Sin Liong ini! Tak pernah diduga-duganya bahwa dia mempunyai seorang anak laki-laki seperti ini, ketemu sesudah dewasa. Hanya Cia Giok Keng seorang yang mendengarkan dengan wajah lesu dan hati diliputi kedukaan. Betapapun juga, hati nyonya ini terasa prihatin dan berduka sekali kalau dia mengingat puterinya. Baru saja hatinya tertusuk dan berduka dengan peristiwa yang terjadi atas diri puteranya, Lie Seng. Kini, sebelum perasaan dukanya itu sembuh, dia tertimpa lagi oleh peristiwa ke dua yang menimpa diri puterinya. Diam-diam dia merasa berduka sekali mengapa dua orang anaknya, putera dan puterinya, mengalami kesengsaraan dan kemalangan dalam kehidupan mereka, dalam perjodohan mereka? Ketika pada malam hari itu terpaksa rombongan harus bermalam di tengah jalan, di luar daerah kota raja di sebelah dalam Tembok besar, Yap Kun Liong yang mendapat kesempatan untuk berdua saja dengan isterinya, membiarkan isterinya menangis ketika mereka membicarakan tentang dua orang anak isterinya itu. Yap Kun Liong, sebagai seorang pendekar yang sudah mengalami gemblengan hidup yang amat mendalamg maklum sepenuhnya akan kesengsaraan hati isterinya, oleh karena itu dia tidak mencela dan tidak menegur isterinya yang membiarkan dirinya terseret oleh duka. Baru menjelang tengah malam, ketika dia berhasil menghibur isterinya dan perasaan duka tidak terlalu menghimpit hati isterinya sehingga mengaburkan kewaspadaan, dia mengajak isterinya bicara dengan hati terbuka. “Isteriku, sungguhpun aku telah menganggap Seng-ji dan Ciauw Si sebagai anak-anakku sendiri, akan tetapi selama ini aku tidak berani mencampuri urusan antara mereka dengan engkau. Sekarang, semuanya itu telah terjadi, marilah kita bicara dari hati ke hati dengan hati terbuka, dengan kewaspadaan sepenuhnya untuk melihat peristiwa-peristiwa itu tanpa dicampuri oleh pendapat dari pikiran kita yang selalu ingin memenangkan diri sendiri dan membenarkan diri sendiri saja. Marilah kita memandang dengan mata terbuka dan mempelajarinya, menyelidikinya, di mana letak kesalahannya sehingga perjodohan kedua orang anak kita itu mengalami kegagalan seperti itu.” Giok Keng mengangguk, kemudian berkata sambil menarik napas panjang. “Apalagi yang perlu kita selidiki? Sudah jelas bahwa semua kegagalan dan kesengsaran itu diakibatkan oleh karena mereka itu terburu nafsu, terdorong oleh darah muda dan mereka salah pilih.” “Isteriku yang baik, bagaimana kau dapat mengatakan bahwa mereka salah pilih. Pikirlah dengan tenang dan dengan teliti, penuh kebijaksanaan, apa sebabnya engkau mengatakan bahwa mereka salah pilih?” “Tentu saja, mereka memilih jodoh tanpa melihat bagaimana keadaan orang yang mereka pilih. Lie Seng memilih seorang wanita yang sama sekali tidak berharga menjadi isterinya sehingga mengakibatkan bencana yang demikian hebat dan mematahkan hatinya, sedangkan Ciauw Si... ahhh... perlukan kukatakan lagi betapa kelirunya pilihannya itu?” Tiba-tiba Kun Liong merangkul isterinya. Biarpun usianya sudah lima puluh lebih dan demikian pula isterinya, namun kedua orang suami isteri ini masih saling mencinta dan tidak jarang menunjukkan cinta kasih mereka melalui pandang mata, suara, maupun rangkulan mesra. “Isteriku, katakanlah, apakah engkau cinta padaku?” Sepasang mata Giok Keng terbelalak, lalu dia merangkul. “Ah, jangan kau main-main. Perlukah hal itu ditanyakan lagi? Tentu saja aku mencintamu.” “Akupun percaya akan hat itu. Engkau cinta sepenuh hati kepadaku seperti juga aku cinta padamu, Giok Keng. Nah, seandainya ada orang-orang lain yang mengatakan bahwa pilihanmu terhadap diriku itu keliru, bagaimana pendapatmu?” “Aku tidak akan perduli! Aku cinta padamu dan aku tidak perduli siappun yang akan mengatakan bagaimanapun tentang dirimu, tentang hubungan kita.” “Nah, itulah! Dan dua orang anakmu itupun memiliki watak seperti engkau, setia dan penuh cinta kasih murni, dan aku kagum dan menghormat mereka seperti aku kagum dan menghormatimu, isteriku!” Kun Liong lalu mencium isterinya. “Eh, eh, apa maksudmu?” Giok Keng bertanya heran, menatap wajah suaminya melalui sinar api unggun yang merah. “Perjodohan adalah urusan dua orang saja, urusan pria dan wanita yang bersangkutan, urusan hati dan perasaan mereka, dan orang lain, siapapun mereka itu, baik orang tua sendiri sekalipun, tidak semestinya mencampuri! Orang tua atau keluarga hanya membantu pelaksanaannya belaka, akan tetapi sedikitpun tidak boleh mencampurinya, karena sekali mencampuri, hanya akan merusak suasana! Cobalah kita pikir secara mendalam dan jujur. Andaikata... andaikata keluarga Cin-ling-pai tidak mencampuri urusan cinta kasib antara Lie Seng dan Sun Eng, kurasa cinta kasih mereka tidak akan berakhir sedemikian menyedihkan.” Cia Giok Keng diam saja, tak bergerak seperti pulas dalam pelukan suaminya. Akan tetapi sesungguhnya dia merasa terpukul, tertusuk dan ucapan suaminya itu mengena benar di hatinya dan terbayanglah semua peristiwa yang terjadi dengan diri Lie Seng dan Sun Eng. “Aku tidak mencela siapa-siapa, tidak mencela keluarga kita yang mencampuri, karena aku tahu bahwa maksud kalian semua itu baik saja. Akan tetapi baik untuk siapa? Untuk kalian sendiri tentu saja, bukan untuk Lie Seng dan Sun Eng. Itulah akibatnya kalau kita sebagai orang-orang tua mencampuri urusan cinta kasih antara dua orang anak muda.” Hening sejenak. Akhirnya terdengar suara pembelaan Cia Giok Keng, lirih dan lemah, “Akan tetapi mana mungkin seorang ibu seperti aku mendiamkannya saja melihat puteranya keliru memilih calon jodoh? Aku ingin melihat puteraku bahagia...” “Nah, di situlah letak kesalahannya, bukan? Kita ingin melihat putera kita bahagia, oleh karena itu kita hendak memilihkan jodoh yang tepat untuk putera kita! Ah, seolah-olah jodoh itu seperti sehelai baju yang dapat kita patut-patut. Bahkan bajupun tergantung daripada selera, isteriku, dan selera kita tentu belum tentu sama dengan selera putera kita! Apa yang kita anggap baik belum tentu baik bagi putera kita, oleh karena itu wajarlah kalau apa yang dianggap baik oleh putera kitapun belum tentu baik bagi pandangan kita. Kalau kita berkata bahwa kita ingin melihat putera kita bahagia, maka dia harus menurut pilihan kita, bukankah itu berarti bahwa sesungguhnya, di balik semua kata-kata kita itu, kita sebetulnya ingin melihat hati kita sendiri senang karena putera kita memilih jodoh yang kita sukai? Kita harus jujur, isteriku. Dalam perjodohan, yang terutama adalah cinta-mencinta. Itu saja, yang lain tidak masuk hitungan! Dan cinta kasih, apakah cinta itu mengenal usia, maupun kedudukan, maupun baik buruk? Cinta adalah cinta dan bagaimana mungkin kita dapat menyalahkan seseorang, apalagi putera kita sendiri kalau dia jatuh cinta kepada seseorang? Kalau engkau jatuh cinta kepadaku dan aku jatuh cinta kepadamu, siapakah yang berhak menyalahkan kita, isteriku?” Giok Keng termenung. “Jadi... kaupikir... dahulu Lie Seng dan Sun Eng sudah saling jatuh cinta, maka mereka berdua sudah berhak untuk saling berjodoh, dan kita, fihak keluarga dan orang-orang tua, sama sekali tidak boleh mencampurinya?” “Tidakkah begitu menurut kesadaranmu?” “Ah, engkau mengatakan begitu karena sekarang akibatnya buruk bagi mereka.” “Bukan, isteriku. Aku tidak mengatakan bahwa andaikata dahulu keluarganya tidak mencampuri, Lie Seng dan Sun Eng akan hidup berbahagia atau tidak sampai mendapatkan halangan. Soal halangan dan apakah hidup dapat beruntung atau tidak sama sekali tidak ada hubungannya dengan ini. Akan tetapi, setelah kita mencampuri urusan jodoh mereka sehingga akhirnya persoalan menjadi berlarut-larut dan mengakibatkan hal yang amat menyedihkan, bukankah hal itu menyadarkan kita bahwa urusan jodoh adalah urusan dua orang dan di mana ada cinta-mencinta maka perjodohan itu sudah benar, asalkan tidak melanggar suatu hal lain yang merugikan orang lain? Lie Seng masih bebas, dan Sun Eng pun wanita bebas, mereka saling mencinta, maka sudah benarlah itu, dan sudah benar pula kalau mereka itu saling berjodoh. Kita harus dapat melihat kesalahan kita yang telah mencampuri urusan mereka, lepas dari soal apakah hal itu mendatangkan kerusakan atau kebaikan.” Hening lagi sejenak dan perlahan-lahan, semua ucapan suaminya itu dapat menembus kekerasan hati Cia Giok Keng dan dapat membuka mata hatinya.”Akan tetapi... bagaimana kalau apa yang terjadi dengan pilihan Ciauw Si itu?” “Apa salahnya pilihan Ciauw Si? Diapun memilih pangeran itu karena saling mencinta, dan kita harus menghormatinya bahwa dia memang benar-benar mencinta pilihan hatinya itu, sampai mati sekalipun! Demikianlah seharusnya orang memilih jodohnya, berdasarkan cinta, bukan berdasarkan sifat-sifat baik dari yang dipilih, karena memilih jodoh berdasarkan apakah yang dipilih itu tampan, cantik, pandai, kaya, berpangkat, berbudi dan sebagainya sama sekali bukan berdasarkan cinta, melainkan berdasarkan ingin menyenangkan hati sendiri. Bukankah demikian?” Akhirnya ibu yang merana ini kembali terisak dan merangkul suaminya. “Engkau benar... mengapa aku hendak mencampuri urusan cinta kasih anak-anakku? Aku tidak ingat akan pengalamanku sendiri, pengalaman kita...” “Sudahlah, isteriku. Segala sesuatu telah terjadi, dan betapapun juga, kita harus bangga mempunyai anak-anak yang demikian tulus cinta kasihnya seperti Lie Seng dan Ciauw Si.” Memang demikianlah adanya. Betapa banyaknya orang tua yang tanpa mereka sadari sendiri telah melakukan tindakan-tindakan yang sama sekali menyimpang daripada cinta kasih dan kebenaran. Kita selalu ingin menyatakan cinta kasih kita kepada anak-anak kita dengan jalan mengatur sedemikian rupa untuk anak-anak kita, bukan hanya mengatur pendidikannya, pemeliharaannya, akan tetapi juga kita ingin mengatur masa depannya, mengatur kesukaannya, bahkan mengatur jodoh mereka! Kita beranggapan bahwa kalau anak-anak kita itu menurut kepada kita, mereka pasti akan hidup berbahagia, seolah-olah kehidupan merupakan garis tertentu yang sudah mati, yang dapat diatur sedemikian rupa menuju kepada kebahagiaan! Seolah-olah apa yang kita anggap baik den menyenangkan tentu akan baik dan menyenangkan pula bagi anak-anak kita! Kita lupa bahwa kehidupan itu selalu berubah, bahwa alam-pikiran dan selera manusia itupun berkembang dan mengalami perubahan-perubahan. Apa yang kita sendiri senangi di waktu kita masih kanak-kanak akan menjadi membosankan di kala kita sudah dewasa, dan apa yang menyenangkan kita di waktu kita dewasa mungkin akan menjadi memuakkan di waktu kita telah tua. Oleh karena itu, benarkah itu kalau kita memakai ukuran mata kita untuk mengatur kehidupan anak-anak kita yang lebih muda dan mempunyai selera lain sama sekali dari kita? Benarkah kita mencinta anak-anak kita kalau kita hanya ingin mereka itu menurut kepada kita, yang pada hakekatnya menunjukkan bahwa sesungguhnya kita ingin senang sendiri. Ingin melihat anak-anak kita menuruti kemauan hati kita? Cinta adalah demi si anak, demi perasaan hati si anak, sekarang, bukan kelak! Bukan masa depan, melainkan saat demi saat! Maukah kita sebagai orang tua yang bijaksana memberi kebebasan seluasnya kepada anak-anak kita, dengan memberi petunjuk-petunjuk, bukan mendikte, melainkan memberi petunjuk dan menjaga, membuka mata batin mereka kalau mereka itu tanpa mereka sadari menyeleweng, dengan penuh kasih sayang dan demi kebahagiaan mereka saat demi saat? Hal ini hanya mungkin dilakukan kalau sudah tidak ada keinginan dalam hati kita untuk menikmati kesenangan diri sendiri melalui anak kita! Setelah tiba di kota raja, keluarga Cin-ling-pai mengajak Sin Liong dan Bi Cu untuk ikut ke Cin-ling-pai. “Engkau adalah puteraku, dan Bi Cu adalah calon mantuku,” demikian Cia Bun Houw berkata dengan terus terang kepada mereka, “maka sebaiknya kalau kalian berdua ikut bersama kami ke Cin-ling-pai. Engkau adalah keluarga Cin-ling-pai dan berhak tinggal di sana, dan karena semenjak kecil kita saling berpisah, maka sebaiknya kalau kita sekarang berkumpul.” “Benar, Sin Liong. Ayahmu dan aku ingin membangun kembali Cin-ling-pai. Marilah ikut bersama kami di sana, ke Cin-ling-san!” Cia Giok Keng juga membujuk. “Akan tetapi... sri baginda kaisar telah menganugerahkan Lembah Naga kepada kami...” Sin Liong menjawab agak ragu-ragu. “Maksudku untuk sementara kalian tinggal di Cin-ling-san sampai kalian menikah. Kalau kalian sudah menikah, terserah kalau kalian ingin tinggal di Istana Lembah Naga,” kata Bun Houw. “Apakah tidak terlalu sunyi tinggal di tempat itu?” Cia Giok Keng bertanya. “Ah, kalau tinggal berdua, mana bisa merasa sunyi?” Yap Kun Liong menyambung sambil tertawa dan semua orang tertawa, juga Bi Cu tersenyum malu-malu. “Banyak terima kasih atas kebaikan ayah, ibu dan paman serta bibi berempat. Kami berdua pasti akan pergi ke Cin-ling-san, akan tetapi sekarang ini kami ingin pergi ke selatan untuk menengok adik-adik saya Kui Lan dan Kui Lin. Setelah menengok mereka, kami tentu akan menyusul ke Cin-ling-pai dan selanjutnya tentang pernikahan, terserah kepada semua orang tua di Cin-ling-pai.” Akhirnya mereka semua setuju dan berangkatlah Sin Liong dan Bi Cu ke kota Su-couw di Ho-nan. Sesungguhnya, bukanlah semata untuk menengok Lan Lan dan Lin Lin saja mereka pergi ke Su-couw, melainkan untuk melihat keadaan Kui Hok Boan. Di tengah perjalanan menuju ke kota raja, Sin Liong telah menceritakan secara terus terang kepada Bi Cu bahwa dia menduga keras bahwa pembunuh ayah kandung Bi Cu yang bernama Bhe Coan itu adalah Kui Hok Boan, ayah tirinya sendiri. “Aku mendengar ketika dia mengigau,” demikian antara lain Sin Liong menuturkan. “Dan agaknya dialah yang membunuh ayahmu.” “Keparat, sungguh jahat jahanam itu! Aku harus membalas kematian ayah!” Bi Cu berkata dengan marah. “Nanti dulu, Bi Cu, dengarlah dulu baik-baik. Ketahuilah, bahwa ketika dia mengigau itu, dia berada dalam keadaan tidak sadar dan dia telah berubah ingatannya.” “Ah? Maksudmu, dia...” Bi Cu membuat tanda dengan melintangkan telunjuk di atas dahinya. “Benar, dia telah mengalami tekanan batin sehingga menjadi gila.” Sin Liong lalu menceritakan tentang semua riwayat Kui Hok Boan, kemudian tentang dua orang pemuda yang sebenarnya adalah anak-anaknya sendiri akan tetapi yang diakuinya sebagai keponakan dan betapa dua orang anaknya itu saling bermusuhan dan saling bunuh sendiri. Semua itu membuat Kui Hok Boan merasa menyesal dan membikin dia menjadi gila. “Nah, dalam keadaannya seperti sekarang ini, dalam keadaan hidup menderita dan merana, sampai menjadi gila, apakah engkau masih mempunyai gairah untuk membalas dendam? Membalas kepada orang yang sudah terhukum sehebat itu karena perbuatan-perbuatannya sendiri?” Bi Cu termangu-mangu, kemudian berkata, “Memang tidak enak memusuhi orang sakit, apalagi sakit gila. Akan tetapi aku masih penasaran sebelum melihat keadaannya dengan mata sendiri, Sin Liong. Mari kita mengunjunginya dan setelah melihat keadaannya, baru aku akan memutuskan apakah aku akan membalas kematian ayah ataukah tidak.” Demikianlah, setelah mendapatkan persetujuan para tokoh Cin-ling-pai, Sin Liong dan Bi Cu lalu berangkat ke selatan. Mereka menunggang dua ekor kuda yang amat baik karena mereka mendapatkan hadiah dari Pangeran Hung Chih. Pakaian merekapun serba bersih dan indah. Bukankah mereka adalah pahlawan-pahlawan yang berjasa menentang dan menggagalkan pemberontakan? Mereka menerima banyak hadiah berupa pakaian dan uang emas dari pangeran itu, bahkan kaisar sendiri berkenan menyerahkan Istana Lembah Naga kepada Sin Liong setelah mendengar bahwa pendekar itu terlahir di dalam istana itu. Raja Sabutai telah dihubungi melalui utusan dan raja itupun tidak membantah ketika kaisar menentukan bahwa istana itu diserahkan dan menjadi hak milik yang dilindungi dari Cia Sin Liong! Tentu saja perjalanan kali ini yang dilakukan oleh Sin Liong dan Bi Cu berbeda dengan perjalanan-perjalanan yang lalu sebagai orang yang dikejar-kejar oleh kaki tangan Pangeran Ceng Han Houw. Kini mereka berdua melakukan perjalanan dengan santai dengan hati penuh keriangan, karena hati mereka penuh dengan cinta kasih yang terpancar dari sinar mata mereka yang saling memandang penuh kelembutan, kata-kata yang penuh kemesraan dan sentuhan-sentuhan yang menggetar. Mereka adalah sepasang kekasih yang saling mencinta, melakukan perjalanan bersama. Kadang-kadang mereka berlumba dengan kuda mereka dan ada kalanya mereka berjalan kaki sambil bergandengan tangan, menuntun dua ekor kuda itu di belakang mereka, dan kalau mereka beristirahat, Bi Cu menyandarkan dadanya di pundak atau dada Sin Liong. Akan tetapi, betapapun meara hubungan antara mereka, dan betapapun besar cinta kasih mereka, keduanya selalu menjaga diri dan mereka tidak sampai melakukan pelanggaran dalam hubungan mereka itu. Sebaliknya, seorang wanita yang sejak kecil hidup sendiri dan tidak malu-malu seperti kebanyakan wanita muda, pernah dalam keadaan istirahat itu Bi Cu menyatakan terus terang kepada Sin Liong. “Sin Liong, kita sudah bertunangan secara resmi, direstui oleh ayahmu dan keluarga Cin-ling-pai.” “Ya, kita beruntung sekali, Bi Cu,” jawab Sin Liong sambil mengelus rambut yang hitam halus dan panjang itu. “Dan kulihat engkau tidak pernah mencoba untuk membujukku, untuk mengajakku... eh, menyerahkan diri kepadamu... sungguhpun... hemm, mungkin sekali... ah, tiada bedanya bagiku, aku merasa bahwa aku telah menjadi milikmu lahir batin. Mengapa, Sin Liong?” “Ah, kita belum menikah dengan resmi, Bi Cu.” “Hemm, aku tahu, akan tetapi... andaikata engkau minta kepadaku dan aku menuruti permintaanmu, kita melakukan hubungan sebelum menikah, lalu mengapa?” “Tidak, hal itu tidak mungkin Bi Cu.” “Mengapa, Sin Liong? Apakah karena engkau tidak menginginkannya?” Sin Liong mendekap kepala itu penuh kasih sayang. “Tentu saja aku ingin sekali!” “Kalau begitu, sama dengan aku. Lalu apa halangannya?” Bukan main, kekasihnya ini sungguh seorang gadis yang jujur dan terbuka, tidak pura-pura! “Tidak, Bi Cu, karena aku cinta padamu!” “Mengapa kalau engkau cinta padaku malah engkau tidak menuntut penyerahan diri dariku?” “Ah, kekasihku, dewiku, betapa polos dan jujurnya engkau. Engkau percaya sepenuhnya kepadaku, dan justeru karena kepercayaanmu itulah, justeru karena cinta kita itulah, maka aku tidak akan melakukan hal itu, betapapun besar dorongan gairah nafsuku! Aku cinta padamu, Bi Cu, dan karena aku cinta padamu, maka aku tentu menghormatimu, aku tentu menjaga namamu, aku tentu, akan menjaga dengan nyawaku untuk tidak merendahkanmu, meremehkanmu. Betapapun juga, kita hidup di dalam belenggu-belenggu peraturan, kesusilaan, dan kebudayaan. Belenggu-belengga itu telah menentukan bahwa tidak semestinya hubungan itu dilakukan sebelum menikah, dan siapa melanggarnya, apalagi wanita, tentu akan dikutuk dan dipandang rendah! Nah, karena cintaku kepadamu, betapapun besar keinginan hatiku, harus kujaga agar engkau jangan sampai dikutuk dan dipandang rendah. Aku sayang kepadamu, aku ingin engkau senang dan hidup bahagia. Kalau aku membujukmu untuk melakukan hubungan suami isteri, hal itu berarti bahwa aku hanya ingin mencari senang dan enak sendiri dan membiarkan engkau yang terancam aib. Mengertikah engkau, Bi Cu?” Bi Cu bergerak perlahan dan membalik, mengangkat muka ke atas dan merangkul leher kekasihnya. Sin Liong menunduk dan mereka berciuman sampai napas mereka terengah-engah dan terpaksa mereka melepaskan ciuman karena sukar untuk bernapas! “Sudahlah, mari kita lanjutkan perjalanan. Kalau begini terus, bisa-bisa aku tidak kuat dan mata gelap!” Sin Liong mendorong dara itu dengan halus dan mereka bangkit berdiri. Bi Cu tersenyum dan memandang kekasihnya dengan sinar mata menggoda. “Kalau begitu kenapa? Kalau aku rela, siapa perduli?” “Ihh, engkau nekat!” Sin Liong tertawa. “Ingat, kebahagiaan itu adalah kita punya, maka perlu apa kita rusak sendiri? Mengapa kita tidak menahan bersama, agar kelak setelah tiba saatnya kita berdua akan lebih dapat menikmatinya?” DEMIKIANLAH, dengan dasar cinta kasih yang mendalam, dua orang muda itu mampu mempertahankan kemurnian mereka dan tidak sampai menjadi buta oleh nafsu berahi. Sesungguhnya kasih sayang itu membuat kita menjadi kuat menghadapi apapun juga, bahkan kuat pula menghadapi godaan setan berupa nafsu berahi yang biasanya tak terkalahkan oleh manusia itu! Pada suatu hari, setelah mereka tiba di perbatasan Propinsi Ho-nan. Mereka melewati sebuah hutan yang amat luas. Dari pagi sampai matahari hampir naik menjelang tengah hari, mereka masih berada di dalam hutan. Tiba-tiba mereka mendengar suara orang-orang bertempur di depan dan mereka lalu membedalkan kuda mereka menuju ke arah suara hiruk-pikuk itu. “Bi Cu, jangan kau sembarang bergerak, ya?” Sin Liong memesan dan Bi Cu hanya mengangguk. Dan tibalah mereka di tempat pertempuran itu. Kiranya ada banyak orang bertempur. Sedikitnya ada sebelas orang yang berpakaian sebagai piauwsu, yaitu para pengawal kiriman barang, melawan hampir dua puluh orang-orang yang berpakaian kasar dan mudah diduga bahwa mereka itu tentu perampok-perampok yang buas. Yang menarik perhatian Bi Cu adalah seorang pemuda yang memainkan sebatang pedang dengan gagahnya, melawan kepala perampok yang berambut panjang dan bermuka brewok. Biarpun pemuda yang kelihatannya seperti melakukan perlawanan mati-matian itu berusaha mati-matian dan gagah perkasa, namun jelas bahwa dia mulai terdesak hebat oleh sepasang golok kepala perampok yang amat lihai itu. Melihat wajah pemuda itu, Bi Cu tertarik dan cepat dia mengerling ke arah gerobak piauwkiok dan begitu dia melihat bendera piauwkiok yang berdasar merah dengan lukisan garuda berwarna kuning, terkejutlah dia dan dia yang sudah meloncat turun dari atas kudanya itu memegang lengan Sin Liong. “Dia itu twako Na Tiong Pek...!” Sekarang Sin Liong juga mengenal ilmu pedang yang dimainkan oleh pemuda tampan gagah itu. “Benar, dialah itu!” “Lihat, itu bendera Ui-eng-piauwkiok! Aku harus membantunya, dia sudah terdesak!” kata Bi Cu dan dia lalu mengambil sebatang ranting kayu pohon, kemudian dengan cepat dia sudah meloncat ke depan dan menyerbu ke medan laga sambil berseru keras. “Na-twako, jangan khawatir, minggirlah, biarkan aku menghajar babi hutan ini!” Tongkat di tangannya berkelebat dan membentuk segulung sinar hijau yang mengejutkan kepala perampok itu sehingga dia meloncat ke belakang karena gulungan sinar hijau itu dapat menembus sinar goloknya dan hampir saja ujung ranting itu menusuk hidungnya! Sementara itu, Na Tiong Pek yang sudah terdesak itu meloncat mundur dengan napas terengah-engah dan dia terkejut dan heran melihat munculnya seorang dara cantik yang bergerak cepat bukan main seperti burung terbang saja dan tahu-tahu sudah mendesak kepala perampok itu dengan sebatang ranting di tangan! Ketika dia melihat wajah dara itu, hampir dia tidak percaya. “Bi... Bi Cu...!” Dia tergagap, karena biarpun dara itu wajahnya persis Bi Cu, akan tetapi mana mungkin Bi Cu memiliki ilmu kepandaian sehebat itu sehingga hanya dengan sebatang ranting saja mampu menahan sepasang golok di tangan kepala perampok yang lihai dan yang tadi membuat dia kewalahan? “Benar, twako, lekas kauhajar anak-anak babi itu dan biarkan aku merobohkan babi butan yang satu ini!” teriak Bi Cu dengan nada suara gembira sekali dapat bertemu dengan pemuda ini. Na Tiong Pek kembali memandang dengan penuh kagum dan dia menoleh, memandang kepada Sin Liong yang masih berdiri memegangi dua ekor kuda. Agaknya, pemuda itu datang bersama Bi Cu, akan tetapi dia tidak tahu siapa pemuda itu. Maka, melihat betapa anak buahnya masih dengan gigihnya melawan para perampok, dia lalu berteriak nyaring dan mengamuk, menyerang para anak buah perampok itu, mengeluarkan kegesitan dan kepandaiannya karena dia ingin memamerkan kepandaiannya kepada Bi Cu, lupa bahwa dia tadi hampir kalah oleh kepala perampok yang kini ditandingi oleh Bi Cu itu. Dan ternyata bahwa dibandingkan dengan teman-temannya, yaitu para piauwsu, kepandaian pemuda she Na ini memang lebih menonjol. Begitu dia terjun ke dalam pertempuran itu, maka beberapa orang perampok roboh dan mereka menjadi kacau-balau dan terdesak oleh pemuda yang mengamuk seperti seekor harimau marah itu. Sin Liong hanya menonton, akan tetapi tentu saja setiap saat dia siap untuk melindungi kekasihnya. Dia melihat bahwa gerakan kepala perampok itu hanya dahsyat dipandang saja, namun hanya merupakan orang kasar yang mengandalkan tenaga otot, tidak memiliki dasar kepandaian berarti sehingga tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Begitu bergebrak, dia tahu bahwa kekasihnya itu tidak akan kalah. Dan memang benar, baru belasan jurus saja Bi Cu yang mempergunakan ilmu Ngo-lian Pang-hoat yang dipelajarinya dari mendiang Hwa-i Sin-kai, telah dapat melecut muka kepala perampok itu berkali-kali dan paling akhir malah dia berhasil menusuk sebelah mata kiri kepala perampok itu sehingga terobek dan berdarah. Kepala perampok itu merasa bahwa dia tidak akan menang, maka dia lalu mengeluarkan seruan keras dan meloncat jauh ke belakang terus melarikan diri, diikuti oleh anak buahnya yang telah mendengar aba-aba lari tadi, sambil menyeret dan membawa teman-teman mereka yang terluka, memasuki hutan lebat, diikuti suara tertawa dan sorakan para piauwsu yang merasa gembira memperoleh kemenangan. Na Tiong Pek cepat menghampiri Bi Cu dan sejenak mereka berdiri saling berhadapan dan saling pandang. Melihat betapa sinar mata pemuda tampan itu ditujukan kepadanya dengan penuh kagum, kekaguman seperti yang dulu sering dia lihat dari tatapan pandang mata Tiong Pek, tiba-tiba Bi Cu merasa jantungnya berdebar dan kedua pipinya merah. Apalagi ketika Tiong Pek berkata, “Bi Cu... alangkah cantiknya engkau sekarang! Dan betapa hebat kepandaianmu, sungguh aku merasa kagum bukan main!” Untuk mengalihkan rasa jengah dan malu, Bi Cu tersenyum. “Ah, engkau masih sama saja seperti dulu, Na-twako. Mari kautemui dia...” “Siapa?” Tiong Pek menoleh dan memandang kepada pemuda yang menuntun dua ekor kuda itu. “Hei, lupakah engkau kepadanya? Lihat baik-baik, siapa dia?” Bi Cu berkata lagi sambil menghampiri Sin Liong, diikuti oleh Tiong Pek. Kini mereka berhadapan Sin Liong tersenyum. “Saudara Na Tiong Pek, lupakah engkau kepada Sin Liong?” “Sin Liong...? Ah, engkaukah ini?” Tiong Pek berseru kaget dan girang. Tak disangkanya bahwa pemuda itu adalah Sin Liong, anak yang dahulu ditolong oleh mendiang ayahnya! “Ah, bagaimana kalian dapat datang bersama? Di manakah saja engkau tingagal selama ini, Bi Cu? Dan bagaimana bisa bersama Sin Liong bertemu denganku di sini?” Bertubi-tubi pertanyaan itu diajukan kepada Bi Cu. “Kami... hanya kebetulan saja bertemu dan kami berdua mengadakan perjalanan bersama menuju ke Ho-nan, ke kota Su-couw.” “Aih, tidak pernah aku bermimpi akan dapat bertemu denganmu di sini, Bi Cu. Dan kepandaianmu demikian hebat! Dari mana engkau mempelajari ilmu tongkat yang demikian lihai? Sungguh lucu, begitu bertemu, engkau yang menyelamatkan aku malah! Haii, teman-teman, lihatlah baik-baik, nona penolong kita ini bukan lain adalah sumoiku sendiri! Kalau tidak ada dia yang lihai, mungkin barang-barang kita terampas dan kita belum tentu selamat!” Semua piauwsu memandang dengan kagum. “Ah, sudahlah jangan banyak sungkan, twako.” “Kita bukan suheng dan sumoi lagi!” “Terserah, akan tetapi karena aku sudah menjadi murid orang lain, maka biarlah kusebut engkau Na-twako saja. Bagaimana keadaanmu selama ini, twako? Apakah engkau sudah berumah tangga?” Tiong Pek menggeleng kepalanya, dan dia tertawa, ketawanya polos dan Sin Liong melihat bahwa biarpun pemuda ini masih mempunyai sifat sombong, akan tetapi kini sudah berubah dan lebih jujur. “Setelah ditolak olehmu, aku jera untuk mencari jodoh, takut ditolak lagi. Pula, di mana mencari orang yang melebihimu?” “Aih, jangan bergurau, twako!” Bi Cu berkata dan mukanya berubah merah lagi. “Siapa bergurau? Coba tanya Sin Liong ini! Betul tidak ucapanku tadi, Sin Liong? Mana ada gadis melebihi dia ini? Eh, dan kau sendiri bagaimanat, Sin Liong? Apakah engkau sudah memperoleh jodoh?” Sin Liong memandang wajah Bi Cu dan melihat dara itu kelihatan malu sekali, Sin Liong menjawab lirih, “Belum.” “Ha-ha, kita masih sama seperti dulu! Kalau kuingat betapa kita bertiga melawan para penyerbu itu. Ah... sungguh malang ayah dan ibuku... eh, kau dibawa pergi wanita sakti itu, lalu apa yang terjadi, Sin Liong?” “Aku hanya merantau ke segala tempat sampai... kebetulan bertemu dengan Bi Cu dan kami lewat di sini, kebetulan bertemu denganmu.” “Kita harus rayakan pertemuan kita! Akan tetapi di hutan begini bagaimana kita bisa merayakannya? Hayo kalian mampir dulu di rumahku, aku masih tinggal di Kun-ting, di rumah yang dulu. Sumoi... eh, Bi Cu, tidak maukah engkau singgah di rumahku lagi?” “Tentu saja twako, akan tetapi, aku ada urusan penting sekali, harus pergi ke Su-couw, nanti kalau aku kembali dari selatan, tentu aku mau mampir...” “Ke Su-couw? Kau sendiri, atau bersama Sin Liong?” “Kami berdua ke Su-couw...” “Kalau begitu, aku akan mengantarmu. Ada urusan apa, Bi Cu? Biar kubantu engkau!” Tiong Pek memwarkan jasanya. Akan tetapi sebelum mereka melanjutkan percakapan itu, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan muncullah seorang tosu, yang menunggang kuda. Pakaiannya seperti tosu, rambutnya seperti tosu, akan tetapi sikapnya seperti perampok ganas! Pria itu berusia kurang lebih lima puluh tahun, biarpun jenggot dan kumisnya terpelihara rapi, namun sepasang matanya melotot liar dan sikapnya kasar. Di belakang tosu ini nampak kepala perampok yang sebelah matanya masih terluka dan kini dibalut, sehingga nampak lucu sekali. Sekali lihat saja, mengertilah Bi Cu bahwa agaknya tosu ini merupakan teman si kepala perampok, maka dia sudah bangkit dan memandang kepada kepala perampok tadi sambil mengejek. “Eh, babi hutan mata satu berani datang lagi? Apakah masih kurang merasakan gebukan dan minta lagi?” Kini tosu itu sudah meloncat turun dari atas kudanya dan melihat caranya meloncat, Sin Liong maklum bahwa tosu ini memiliki kepandaian yang lumayan. Tosu itu memegang sebatang tongkat panjang dan dengan berdiri tegak dia membentak, “Siapa berani melukai muridku?” Na Tiong Pek mengkhawatirkan keselamatan Bi Cu, maka dengan pedang di tangan dia sudah meloncat ke depan sambil memaki, “Tosu busuk, kau membela perampok?” Dan pedangnya sudah menyerang dengan gencar ke arah tubuh tosu itu. Terdengar suara nyaring berkali-kali ketika tongkat itu menangkis pedang, kemudian tiba-tiba tosu itu membentak nyaring dan tongkatnya kini balas menyerang dan Na Tiong Pek menjadi sibuk sekali, harus berloncatan ke sana-sini sambil menangkis, dan akhirnya kaki kanannya kena diserampang. “Tukk!” Dia terguling roboh karena tulang keringnya kena dipukul dan pada saat itu tongkat panjang sudah menyambar lagi ke arah kepala Tiong Pek. “Takkk!” Tongkat panjang itu tertangkis oleh ranting di tangan Bi Cu. Kakek itu memandang dengan penuh perhatian. “Minggirlah, twako,” kata Bi Cu dan Tiong Pek menyeret pedang sambil terpincang-pincang mendekati Sin Liong. “Tosu kerbau itu lihai juga...” dia mengomel, akan tetapi Sin Liong tidak memperdulikannya karena dia mengkhawatirkan kekasihnya yang harus menghadapi tosu yang dia tahu memiliki kepandaian lumayan itu. Akan tetapi dia maklum akan kekerasan hati Bi Cu maka dia tidak mau membantu atau menggantikannya karena hal itu akan menyinggung hati Bi Cu. Dia hanya siap untuk melindungi kekasihnya itu kalau perlu dan diam-diam mempergunakan jari-jari tangannya meraba dan memainkan beberapa buah batu kerikil. Setelah memandang wanita muda yang memegang ranting pohon itu, si tosu menjadi terkejut dan terheran-heran. “Inikah dia dara yang mengalahkan kamu?” tanyanya kepada kepala perampok brewok itu. “Betul, suhu, akan tetapi dia curang, dia menusuk mata!” “Heh-heh-heh, memang cantiknya bisa menusuk mata. Eh, nona, engkau telah kesalahan tangan melukai mata muridku, maka kalau engkau mau ikut dengan pinto, menjadi murid pinto selama satu bulan, pinto mau mengampunimu. Mari pergi bersama pinto, sayang kalau sampai kulitmu yang halus itu luka oleh tongkatku.” “Heh, tosu busuk, tosu cabul, mulutmu kotor! Belum tentu engkau dapat mengalahkan dia!” Na Tiong Pek sudah memaki-maki dengan marah mendengar ucapan tosu itu. Dan Bi Cu tidak mau melayani tosu itu, terus saja dia sudah menerjang dan menggunakan ranting di tangannya untuk menyerang dengan totokan-totokan ke arah jalan darah yang berbahaya. “Eh, kau hebat juga!” Tosu itu berseru kaget dan cepat mengelak sambil menggerakkan tongkatnya menangkis. Akan tetapi Bi Cu tidak memberi kesempatan kepadanya dan terus saja dara ini mainkan ilmu tongkatnya yang amat lincah. Semenjak dia menerima petunjuk-petunjuk dari Sin Liong memang dia memperoleh kemajuan pesat, terutama sekali kekuatan sin-kang dan kecepatan gerakan tubuhnya. Akan tetapi, tepat seperti dugaan Sin Liong, tosu itu memang tangguh sekali. Setelah bertanding selama tiga puluh jurus lebih, tiba-tiba tosu itu menangkis dengan keras dan membuat Bi Cu terdorong ke belakangy lalu tosu itu membentak. “Hei, bukankah kau mainkan Ngo-lian Pang-hoat? Masih apamukah mendiang Hwa-i Sin-kai?” “Beliau adalah guruku! Kau mau apa?” “Ha-ha-ha!” Tosu itu tertawa bergelak. “Kalau begitu, semestinya kalau aku bersikap lunak kepadamu. Bahkan andaikata dia masih hidup, tentu pinto akan mengalah. Akan tetapi dia sudah mati, dan engkau begini cantik, kau jadilah muridku selama sebulan...” “Tosu busuk!” Bi Cu sudah menerjang lagi, akan tetapi sekali ini tosu itu memutar tongkatnya yang panjang, membentuk gulungan sinar yang lebar dan begitu Bi Cu bertemu dengan gulungan sinar ini, dia terhuyung ke belakang dan nyaris dia roboh kalau saja tidak cepat meloncat dan berjungkir balik. Akan tetapi pada saat itu, tangan yang berlengan panjang dari tosu itu menyambar lengannya dalam cengkeraman yang amat kuat. Selagi Bi Cu terkejut, tiba-tiba tosu itu berteriak kesakitan dan melepaskan lengan Bi Cu. Tiba-tiba saja, ketika dia tadi memegang lengan dara itu, sikunya dihantam oleh benda kecil, entah apa dan tiba-tiba saja, lengannya menjadi kesemutan dan lumpuh! Melihat bahwa tidak ada apa-apa, dia mengira bahwa hal itu kebetulan saja, maka dia sudah memutar lagi tongkat panjangnya dan hendak menyerang Bi Cu. Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan yang amat nyaring, “Tahan senjata! Di mana ada seorang pendeta suci menyerang seorang gadis remaja?” Dan muncullah seorang pemuda yang bertubuh tinggi besar dan demikian gagahnya sehingga mengagumkan Na Tiong Pek yang memandangnya. Bi Cu mengenal pemuda itu, sungguhpun hanya sekelebatan saja ketika pemuda ini ikut pula mengamuk di Istana Lembah Naga. Juga Sin Liong mengenalnya, karena pemuda itu bukan lain adalah Ciu Khai Sun, pemuda tinggi tegap, gagah dan tampan dari Siauw-lim-pai itu! Akan tetapi Ciu Khai Sun tidak memperhatikan dara itu, juga tidak melihat Sin Liong karena semua perhatiannya ditujukan ke arah tosu itu. Tosu itu mengira bahwa tentu pemuda ini yang tadi berlaku usil dan membuat pegangannya terlepas, maka dia lalu membentak marah, “Manusia lancang! Berani kau mencampuri urusan pinto?” Dan tanpa banyak cakap lagi dia sudah menggerakkan tongkat panjangnya menyerang pemuda itu! Akan tetapi sekali ini tosu itu kecelik dan dia bertemu dengan batu karang! Melihat gerakan tongkat panjang itu jagoan Siauw-lim-pai ini menghadapinya dengan dua tangan kosong saja! Perlu diketahui bahwa ahli-ahli silat Siauw-lim-pai sebagian besar pandai memainkan toya, maka melihat gerakan tongkat itu Ciu Khai Sun maklum bahwa biarpun tosu ini memiliki kepandaian lumayan, namun ilmu tongkat itu belum cukup hebat untuk membuat dia terpaksa mencabut senjata! Dan memang pemuda tinggi tegap ini memiliki tenaga sin-kang yang kuat, maka dengan mengerahkan tenaga sin-kang, dia berani menggunakan kedua lengannya untuk menangkis tongkat lawan dan setiap tangkisannya bahkan membuat lawan itu merasa telapak tangannya panas dan nyeri! Terkejutlah tosu itu. Tak disangkanya bahwa di tempat ini dia bertemu dengan seorang tokoh Siauw-lim-pai yang begini tangguh! Bertempur belasan jurus saja sudah membuka matanya bahwa yang dilawannya adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai, maka gentarlah tosu itu. Dia menyerang secara membabi-buta, akan tetapi setelah lewat tiga puluh jurus, tiba-tiba Ciu Khai Sun mengeluarkan bentakan nyaring, tangan kirinya menangkis tongkat itu dengan keras dan tangan kanannya menghantam ke depan. “Krakkk! Bukk...!” Tubuh tosu itu terlempar sampai dua meter dan roboh terbanting ke atas tanah dengan napas megap-megap karena dadanya terasa sesak. Melihat itu, kepala perampok brewok itu cepat menyambar tubuh gurunya dan melarikan diri dengan membalapkan kudanya. Cui Khai Sun tidak mengejar dan Na Tiong Pek sudah berlari menghampiri dan menjura dengan penuh hormat. “Bukan main hebat kepandaian enghiong yang perkasa!” Dia memuji. “Saya akan merasa terhormat sekali berkenalan dengan enghiong. Saya Na Tiong Pek, kepala piauwsu dari Ui-eng-piauwkiok di Kun-ting.” Ciu Khai Sun membalas penghormatan itu dengan sederhana. “Aku Cui Khai Sun. Eh, Na-piauwsu, apa yang terjadi di sini? Siapakah tosu tadi dan siapa pula orang brewok tadi?” “Mereka itu perampok-perampok jahat! Mula-mula si brewok itu memimpin anak buahnya merampok kami, dan kemudian setelah para perampok itu dipukul mundur, muncullah guru si brewok, yaitu tosu tadi. Untung engkau muncul, Ciu-enghlong dan ternyata engkau adelah seorang pendekar yang jempol!” Pada saat itu, Sin Liong dan Bi Cu datang mendekat. Ciu Khai Sun menoleh dan begitu melihat dua orang muda itu, dia terkejut sekali dan cepat-cepat dia menghadapi Sin Liong dan Bi Cu sambil menjura penuh hormat. “Aih, kiranya Cia-taihiap berada di sini? Dan yang bertanding dengan tosu tadi adalah Bhe-lihiap? Ah, kalau begitu aku telah lancang sekali...” “Engkau telah menyelamatkan aku, Ciu-enghiong...” “Eh, jangan membuat aku merasa malu, nona. Jangan menyebut enghiong, sungguh membikin aku merasa malu di depan Cia-taihiap.” “Baikiah, diantara orang sendiri, biarlah kusebut engkau Ciu-twako saja!” kata Bi Cu yang merasa suka melihat sikap yang begitu jujur dan sederhana dari jagoan Siauw-lim-pai yang lihai ini. Mereka semua tertawa dan Na Tiong Pek merasa heran sampai bengong. Apalagi mendengar betapa pandekar yang gagah itu menyebut Sin Liong dengan “Cia-taihiap”! Tentu saja dia menjadi bingung dan tidak mengerti sama sekali. “Ciu-twako hendak pergi ke manakah?” Sin Liong bertanya ramah. “Aku sedang menuju ke rumah pamanku di Su-couw.” “Su-couw? Ah, sungguh kebetulan, kami berduapun hendak pergi ke Su-couw,” kata Sin Liong girang. “Begitulah? Aku sudah merasa heran bertemu dengan ji-wi di sini, tidakkah semestinya ji-wi pergi ke utara, ke Lembah Naga? Bukankah aku mendengar bahwa kaisar...” “Tidak, kami masih banyak urusan dan hendak pergi ke Su-couw.” kata Sin Liong memotong ucapan itu. Melihat sikap pendekar ini agaknya tidak suka membicarakan urusan Lembah Naga, maka jagoan Siauw-lim-pai itupun tidak mau menyebutnya lagi. “Kalau begitu, kebetulan sekali, kita dapat melakukan perjalanan bersama!” katanya dengan girang, “Kita dapat pergi bertiga...” “Berempat, Ciu-enghiong. Akupun akan pergi ke sana! Sekarang juga aku akan mengatur semua piauwsu untuk mengantarkan barang-barang ini sampai ke tempat tujuan yang sudah tidak jauh lagi dan aku akan ikut bersama kalian ke Su-couw. Ketahuilah, Ciu-enghiceng, aku baru saja berjumpa kembali dengan dua orang... eh, sute dan sumoiku ini setelah kami berpisah selama bertahun-tahun.” “Ahh...!” Ciu Khi Sun tentu saja terkejut sekali mendengar bahwa pemuda tampan ini adalah suheng dari Cia Sin Liong yang sakti dan nona Bhe Bi Cu. “Tentu saja...” katanya dengan pandang mata terheran-heran. Sin Liong dan Bi Cu tidak berkata apa-apa dan setelah Tiong Pek membagi-bagi tugas kepada para piauwsu yang menjadi anak buahnya untuk melanjutkan perjalanan ke tempat tujuan, dia lalu memberikan seekor kuda kepada Ciu Khai Sun dan mereka berempat lalu melanjutkan perjalanan menuju ke selatan. Mereka berjalan seenaknya saja sambil menikmati keindahan pemandangan di pegunungan itu setelah keluar dari hutan, karena memang pemandangan alam di daerah perbatasan utara Propinsi Honan amatlah indahnya. Pada tengah hari itu mereka berhenti di tepi sebuah danau kecil di lereng gunung untuk makan siang dari perbekalan masing-masing sambil mengobrol ke barat dan ke timur. Setelah memberi waktu kepada kuda mereka untuk beristirahat sejenak, mereka lalu melanjutkan perjalanan. Akan tetapi, menjelang senja, tiba-tiba mereka mendengar derap kaki kuda dan nampak ada tiga penunggang kuda mengejar mereka. Tadinya mereka tidak menaruh perhatian, akan tetapi setelah mereka mendengar teriakan-teriakan dari belakang, Na Tiong Pek mengenal bahwa seorang di antara mereka adalah si perampok brewok bersama dua orang yang membalapkan kuda mereka. Jelaslah bahwa tiga orang itu mengejar mereka berempat! “Wah, si babi hutan mata satu itu lagi!” kata Na Tiong Pek gembira, menirukan julukan yang diberikan oleh Bi Cu kepada kepala perampok yang terluka sebelah matanya. Hatinya sedikitpun tidak merasa khawatir karena di situ terdapat Ciu Khai Sun, yang gagah perkasa dan berkepandaian tinggi, juga tokoh Siauw-lim-pai pula seperti yang didengarnya dari percakapan mereka. Selain ada Ciu Khai Sun, juga di situ ada Bi Cu yang sekarang ternyata lebih lihai daripada dia sendiri. Mengenai diri Sin Liong, dia meragukan apakah pemuda inipun memperoleh kemajuan seperti Bi Cu! Empat orang muda itu menahan kuda lalu membalikkan kuda mereka menghadapi tiga orang yang datang dengan cepat itu. Ternyata mereka itu adalah si kepala perampok yang mata kirinya tertutup balutan kain bersama dua orang kakek, akan tetapi bukan tosu yang menjadi gurunya dan yang telah dikalahkan oleh Khai Sun tadi. Mereka ini juga dua kakek tua, dan seorang di antara mereka berpakaian seperti tosu, mukanya putih dan matanya memandang bengis, di punggungnya terdapat sebatang pedang panjang. Orang ke dua berpakaian seperti seorang pengemis, membawa sebatang tongkat dan tubuhnya tinggi kurus, mukanya penuh senyum. “Hemm, mereka itu adalah Kim Lok Cinjin dan Lam-thian Kai-ong.” Sin Liong berkata lirih akan tetapi cukup dapat didengar oleh tiga orang temannya. “Ahh! Mereka yang terkenal sebagai datuk-datuk kaum sesat di selatan itu?” Ciu Khai Sun berkata dengan nada suara kaget. Biarpun dia sendiri belum pernah jumpa dengan dua orang itu, namun nama besar mereka sudah pernah didengarnya. Kim Lok Cinjin, tosu muka putih itu adalah sute dari mendiang Kim Hwa Cinjin ketua Pek-lian-kauw yang tewas di tangan Cia Bun Houw ketika terjadi pertempuran di Lembah Naga. Sedangkan Lam-thian Kai-ong (Raja Pengemis Dunia Selatan) adalah seorang pengemis yang berilmu tinggi dan yang menguasai seluruh kai-pang (perkumpulan pengemis) di seluruh daerah selatan. “Bi Cu, harap engkau diam saja dan jangan ikut maju,” tiba-tiba Sin Liong berkata kepada kekasihnya. “Tapi, Sin Liong...” Bi Cu hendak membantah. “Mereka itu lihai bukan main, dan kejam,” kata pula Sin Liong memotong kata-kata kekasihnya. “Cia-taihiap, biarlah jembel tua itu kuhadapi dan Kim Lok Cinjin yang kabarnya luar blasa lihainya itu taihiap yang menandinginya.” “Ciu-twako, kuharap twako sekali ini menonton saja, biar aku yang menghadapi mereka berdua,” jawab Sin Liong yang maklum akan bahayanya dua orang lawan itu dan biarpun dia tahu akan kelihaian pemuda Siauw-lim-pai ini namun dia khawatir kalau-kalau pemuda itu akan celaka. Na Tiong Pek mendengarkan percakapan itu dengan heran sampai dia melongo. Sin Liong hendak menghadapi lawan yang dikabarkan amat lihai itu seorang diri saja, menghadapi mereka berdua? Apa artinya ini? Dia merasa tidak enak melihat semua orang mengajukan diri untuk menghadapi musuh, maka diapun berkata, “Sute, aku akan membantumu!” Sin Liong tersenyum. “Na-twako jangan main-main. Mereka itu datuk-datuk golongan sesat yang lihai, biarlah kau nonton saja dan siap membantuku kalau aku sampai terancam bahaya.” Kalimat terakhir itu dimaksudkan untuk “mengangkat” orang ini, akan tetapi Tiong Pek yang belum tahu benar bahwa Sin Liong kini telah menjadi seorang yang memiliki kepandaian luar biasa tingginya, bahkan yang kini terkenal dengan sebutan Pendekar Lembah Naga, segera menjawab dengan sungguh-sungguh. “Baik!” Kini tiga orang itu sudah tiba di situ dan mereka sudah berloncatan turun dengan sikap mengancam. Melihat ini, Sin Liong menyerahkan kendali kudanya kepada Tiong Pek yang berada di sebelah kirinya sambil berkata, “Twako, tolong kau pegangkan kendali kudaku sebentar.” Setelah berkata demikian, diapun lalu turun dari kudanya dan melangkah ke depan menyambut dua orang kakek itu dengan sikap tenang. “Kim Lok Cinjin dan Lam-thian Kai-ong, apakah ji-wi baik-baik saja? Dan ada keperluan apakah ji-wi mengejar kami?” tanya Sin Liong dengan suara tenang. Dua orang kakek itu yang tadinya memandang ke arah Ciu Khai Sun yang ditunjuk oleh si kepala rampok sebagai orang yang mengalahkan gurunya dan kepada Bi Cu sebagai gadis yang telah melukainya, kini terkejut dan memandang kepada Sin Liong dengan heran. Tak disangkanya begitu jumpa, pemuda sederhana ini telah mengenal nama mereka. Mereka kini mengamati pemuda itu dengan penuh perhatian. Kemudian merekapun mengenal pemuda ini dan Kim Lok Cinjin berseru kaget, “Kau... kau adalah... adalah bocah bernama Sin Liong itu...?” Tentu saja Kim Lok Cinjin terkejut karena dia pernah bertemu, bahkan pernah bergebrak dengan pemuda ini ketika diadakan pemilihan bengcu di selatan, bahkan Lam-thian Kai-ong juga hadir dan menyaksikan kelihaian anak itu ketika menghadapi Lam-hai Sam-lo! “Ah, kalau begitu dia inilah yang menggagalkan gerakan di Istana Lembah Naga!” teriak pula Lam-thian Kai-ong. Kiranya dua orang inipun telah dihubungi oleh Kim Hwa Cinjin untuk membantu gerakan Pangeran Ceng Han Houw, akan tetapi mereka terlambat dan mereka mendengar bahwa gerakan itu gagal sama sekali, banyak orang kang-ouw golongan hitam tewas dan pasukan Pangeran Ceng Han Houw ditumpas oleh pasukan pemerintah. Dan kaum kang-ouw golongan hitam atau sesat yang telah dibebaskan itu mengabarkan bahwa gara-gara kegagalan itu adalah Cia Sin Liong! “Kim Lok Cinjin, suhengmu telah tewas, demikian pula Lam-hai Sam-lo dan banyak lagi kaum sesat yang membantu pemberontakan. Pemberontakan telah ditumpas, oleh karena itu, sebaiknya kalau engkau pergi dan membujuk para anggauta Pek-lian-kauw agar jangan mencoba-coba untuk memberontak terhadap pemerintah. Dan engkau, Lam-thian Kai-ong, apakah engkaupun hendak membawa kaum pengemis untuk memberontak pula?” “Mengapa tidak? Kaum pengemis di kota raja dikejar-kejar, dan Hwa-i Sin-kai juga dibunuh. Bukankah pemerintah menindas kaum pengemis yang sudah sukar hidupnya?” kata Lam-thian Kai-ong. “Bohong!” tiba-tiba Bi Cu berteriak, “Hwa-i Sin-kai adalah guruku dan aku tahu bahwa dia tewas karena difitnah, karena semua itu diatur oleh Kim Hong Liu-nio yang sekarang sudah tewas pula! Pemerintah tidak pernah memusuhi rakyatnya, apalagi rakyat miskin.” “Sudahlah, sebaiknya kalian mundur saja sebelum terlambat. Masih banyak kesempatan bagi kalian untuk kembali ke jalan benar!” “Cia Sin Liong! Pinto mendengar bahwa engkau adalah keturunan Cin-ling-pai dan bahwa ilmu kepandaianmu hebat sekali. Dahulu di dalam pemilihan bengcu kita tidak sempat mengadu ilmu secara memuaskan, sekarang pinto ingin mencoba-coba ilmumu sebelum mendengarkan bujukanmu itu!” kata Kim Lok Cinjin. “Akupun ingin mencoba kepandaian orang yang dijuluki Pendekar Lembah Naga!” kata pula si Raja Pengemis. Sin Liong tersenyum. “Kalian ini orang-orang tua masih saja memiliki nafsu besar untuk berkelahi. Biarlah aku mengaku kalah tanpa berkelahi, asal kalian suka mundur dan kembali ke jalan benar,” kata Sin Liong sambil menjura. Melihat ini, Na Tiong Pek mengerutkan alisnya. Tadi dia merasa semakin heran sampai memandang dengan mata terbelalak mendengar percakapan itu. Tak disangkanya bahwa Sin Liong telah memperoleh kemajuan sedemikian hebatnya sehingga dikenal sebagai seorang pendekar yang sakti. Pantas saja Ciu Khai Sun menyebutnya Cia-taihiap! Akan tetapi mendengar dan melihat sikap Sin Liong yang mengalah itu, sungguh dia merasa penasaran. Kalau memang benar Sin Liong memiliki kepandaian tinggi, kenapa dia tidak menyambut tantangan dua orang kakek sesat itu? Kim Lok Cinjin masih merasa sakit hatinya mendengar akan kematian suhengnya, yaitu Kim Hwa Cinjin, yang menurut berita tewas di tangan Cia Bun Houw, tokoh Cin-ling-pai atau ayah dari pemuda yang kini berdiri di depannya itu. Sebagai seorang tua yang banyak pengalaman, dia tentu tidak akan mau menimpakan dendamnya kepada pemuda ini, akan tetapi karena kegagalan gerakan pangeran itu dikabarkan karena pemuda ini, maka dia ingin melampiaskan rasa kecewanya dengan menghinanya. “Cia Sin Liong, kalau engkau mau berlutut dan minta ampun sebanyak delapan kali kepadaku, barulah pinto akan menghabiskan segala urusan dan akan pergi meninggalkanmu.” Sin Liong masih tetap tenang, akan tetapi kedua matanya mencorong tanda bahwa dia mulai marah. “Kim Lok Cinjin, bagi seorang gagah, kalau memang bersalah, aku akan suka tanpa diminta lagi untuk berlutut minta ampun kepada seorang anak kecil sekalipun, akan tetapi kalau tidak bersalah, biar menghadapi siapapun, biar setan atau iblis, aku tidak akan sudi berlutut dan mengalah!” “Bagus! Itu artinya menantang kami!” kata Si Raja Pengemis yang sudah menggerakkan tongkatnya melakukan penyerangan yang amat cepat dan ganas. Kim Lok Cinjin yang pernah menyaksikan kelihaian Sin Liong, tidak malu-malu lagi untuk membantu temannya itu dan dia juga mencabut pedang dan menubruk, melakukan serangan kilat ke arah Sin Liong. Sin Liong cepat mengelak sambil berloncatan ke sana-sini. “Hem, kalian memang sudah tidak dapat diperbaiki lagi,” katanya dan diapun balas menyerang dengan tamparan-tamparan tangannya. Tongkat butut di tangan Raja Pengemis itu menyambar ganas, namun hanya dengan miringkan kepalanya, tongkat itu lewat dan luput. “Darrr!” Batu besar di belakang Sin Liong yang terkena pukulan tongkat itu pecah! “Singgg...!” Sinar kilat pedang di tangan Kim Lok Cinjin menyambar, namun kembali serangan dahsyat ini dapat dielakkan oleh Sin Liong dengan mudah. Dua orang kakek itu menjadi semakin marah dan penasaran, mereka lalu memutar senjata mereka dengan cepat sehingga lenyap bentuk pedang dan tongkat itu, berubah menjadi dua gulungan sinar hitam dan sinar keemasan yang amat cepat menyambar-nyambar. Tubuh kedua orang kakek itu sampai lenyap tertutup gulungan sinar senjata mereka, hanya nampak kaki mereka saja kadang-kadang menginjak tanah dan berloncatan ke sana-sini. Namun dengan tenangnya Sin Liong menghadapi pengeroyokan itu dengan langkah-langkah Thai-kek Sin-kun dia dapat menghindarkan setiap serangan, dan kedua lengan yang dipenuhi tenaga sin-kang dari Thian-te Sin-ciang itu, seperti juga kedua lengan Kok Beng Lama dahulu, dapat dipergunakannya untuk menangkis tongkat dan bahkan menangkis pedang tanpa terluka! Melihat betapa pemuda itu yang bergerak tenang dikeroyok oleh dua orang kakek yang demikian lihainya, Na Tiong Pek menjadi gelisah sekali. “Ciu-enghiong, kenapa engkau tidak membantunya? Sumoi... lebih baik engkau membantu Sin Liong... dua orang lawannya demikian ganas...!” “Na-twako, jangan khawatir, Sin Liong tidak akan kalah.” “Saudara Na, apakah engkau tidak dapat melihat betapa Cia-taihiap sudah mulai mendesak mereka?” Mendengar ucapan kedua orang itu, Tiong Pek membelalakkan mata dan memandang dengan penuh perhatian ke arah pertempuran, akan tetapi gerakan dua orang kakek itu terlalu cepat sehingga dia tidak dapat mengikuti dan sama sekali tidak dapat melihat bagaimana keadaan Sin Liong yang kini juga mulai bergerak dengan cepat bukan main. Maka, tentu saja ucapan dua orang tadi tidak dapat melenyapkan kekhawatirannya. Dia lalu mencabut pedangnya. Melihat ini, Bi Cu terkejut. “Eh, twako, kau mau apa?” “Mau... ini... mau meminjamkan pedangku kepada Sin Liong. Dua orang lawannya menggunakan senjata, dia harus menggunakan pedang ini... agar tidak kalah...” Akan tetapi pada saat itu terdengar teriakan keras dan nampak olehnya betapa tubuh Lam-thian Kai-ong terlempar dan terbanting ke atas tanah, tongkgtnya patah menjadi dua, dan selagi Na Tiong Pek memandang dengan mata terbelalak, terdengar teriakan lain dan tubuh Kim Lok Cinjin juga terlempar dan terbanting roboh! Dua orang kakek itu mengeluh, lalu merangkak bangun dan dengan saling bantu mereka berdua lalu bangkit berdiri memandang kepada Sin Liong. “Cia-taihiap, pinto mengaku kalah...” kata tosu itu. “Taihiap sungguh hebat, pantas menjadi Pendekar Lembah Naga... uhh... saya mengaku kalah...” Si Raja Pengemis juga mengeluh dan keduanya lalu dibantu oleh kepala perampok brewok menaiki kuda masing-masing dan mereka bertiga lalu pergi dari situ tanpa menoleh lagi. Tiong Pek menyimpan kembali pedangnya dan dia berlari menghampiri Sin Liong, memegang tangan pendekar itu dan berkata, “Ah, sungguh tak pernah kusangka! Engkau telah menjadi seorang pendekar yang demikian lihai... ah, sute... hemm, tak pantas lagi aku menyebutmu sute... kau... Cia-taihiap...” Sin Liong tertawa dan memegang pundak Tiong Pek. “Twako, kenapa engkau begini sungkan? Aku masih tetap Sin Liong yang biasa. Kepandaian apapun tidak merubah seorang manusia.” Na Tiong Pek makin gembira dan diam-diam dia merasa malu kepada diri sendiri yang biasanya suka mengagulkan diri sendiri. “Ah, Sin Liong... sungguh tak pernah kubayangkan engkau menjadi sehebat ini!” Ciu Khai Sun juga menghampiri dan menyerahkan kendali kuda Sin Liong dan Tiong Pek yang tadi dipegangnya ketika Tiong Pek menghampiri Sin Liong dengan girang sehingga melepaskan tali kendali dua ekor kuda itu. “Mari kita lanjutkin perjalanan, sebentar lagi malam akan tiba dan kita sebaiknya kalau sudah tiba di dusun depan untuk bermalam,” kata Ciu Khai Sun. Mereka melanjutkan perjalanan dan membalapkan kuda masing-masing. Malam itu mereka bermalam di sebuah dusun di mana mereka mengobrol dan makan malam di rumah seorang penghuni dusun yang mereka tumpangi dan mereka sewa kamarnya. Dalam percakapan ini, tanpa disengaja Ciu Khai Sun bertanya kepada Sin Liong, “Maaf, taihiap dan nona Bhe, kalau boleh aku mengetahui, setelah kita menjadi sahabat baik, ehh... kapan kiranya aku menerima surat undangan untuk pernikahan ji-wi?” Wajah Bi Cu menjadi merah dan dia menundukkan mukanya. Sin Liong tersenyum dan menjawab singkat. “Kalau sudah tiba saatnya kami takkan melupakanmu, Ciu-twako.” Mendengar ini, Na Tiong Pek meloncat bangun dan wajahnya berseri gembira. “Wah, kalian akan menikah? Ahaiii.... betapa bodohnya aku! Seperti buta saja! Kiranya kalian sudah saling berjodoh dan bertunangan?” Melihat sikap ini, sejenak Sin Liong dan Bi Cu saling pandang. Mula-mula mereka merasa khawatir, akan tetapi melihat betapa Tiong Pek benar-benar bergembira, keduanya lalu tersenyum lega. “Na-twako, kami... berdua saling mencinta...” pengakuan Bi Cu ini untuk menyatakan bahwa pertunangannya dengan Sin Liong adalah berdasarkan cinta dan minta agar bekas suhengnya itu suka memakluminya. “Tentu saja! Aku memang setuju sekali bahwa setiap perjodohan harus berdasarkan cinta kedua fihak, baru dapat diharapkan pernikahan itu akan berbahagia. Kionghi (selemat), Sin Liong dan Bi Cu. Kionghi dan jangan lupa kelak untuk mengirim undangan untuk aku ikut minum arak pengantin!” Melihat betapa kegembiraan pemuda itu tulus, Sin Liong lalu memegang tangan bekas suheng itu. “Aku senang sekali melihat sikapmu, twako. Tidak percuma engkau menjadi putera tunggal mendiang paman Na Ceng Han yang budiman.” Tiong Pek teringat sikapnya ketika mereka bertiga masih bersama-sama dahulu dan dia menarik napas panjang. “Aku bukan kanak-kanak lagi dan sudah menjadi dewasa sekarang, Liong-te dan sumoi! Aku sungguh girang bahwa kalian dapat berjodoh, dan memang kalian sudah cocok sekali untuk menjadi suami isteri.” Demikianlah, perjalanan pada keesokan harinya dilakukan dengan lebih menyenangkan dan lebih leluasa bagi Sin Liong dan Bi Cu yang kini sudah tahu akan isi hati Tiong Pek. Sebelum percakapan malam tadi, baik Sin Liong maupun Bi Cu merasa agak tidak enak terhadap Tiong Pek dengan adanya kenyataan bahwa pemuda itu pernah jatuh cinta kepada Bi Cu dan mengingat pula akan segala peristiwa yang pernah terjadi di waktu dahulu. Oleh karena itulah pula maka di depan Tiong Pek, keduanya tidak pernah memperlihatkan kemesraan, bahkah mereka tidak pernah menyinggung soal pertunangan mereka. Akan tetapi sekarang mereka merasa lega dan karena itu mereka dapat melanjutkan perjalanan dengan lebih gembira.