“Cia Keng Hong... kau... kejam...!” Dia mengeluh dan terpaksa hanya melihat saja betapa tenaganya makin lama makin habis, seolah-olah tubuhnya yang tua itu mulai dihisap kering, seperti seekor laba-laba menghisap kering semua cairan dari tubuh seekor lalat yang telah tertawan dalam sarangnya. Akan tetapi, Cia Keng Hong sendiripun tidak tahu akan hal ini. Disangkanya bahwa Kok Beng Lama telah mengetahui rahasia Thi-khi-i-beng dan kini dia malah mulai merasa betapa dia terancam maut di tangan kakek gundul itu. Maka dia terus saja mempertahankan! Kalau saja tidak terjadi kesalahfahaman ini, kiranya dua orang kakek itu akan dapat masing-masing menghentikan sin-kang mereka yang diarahkan keluar, dan dapat terbebas dari sedotan hawa aneh yang berputaran di dalam tubuh anak itu. “Ouhhhh... Cia Keng Hong... selamatkan anak ini...!” itulah keluhan terakhir dari Kok Beng Lama yang pada saat-saat terakhir telah waras kembali ingatannya dan dia masih dapat meninggalkan pesan agar menyelamatkan bocah yang tadi memperlihatkan sikap ramah kepadanya. Setelah berkata demikian, pendeta Lama ini menarik napas panjang sekali lalu tubuhnya menjadi lunglai kehabisan tenaga. Setelah pendeta Lama itu kehabisan tenaga, barulah Cia Keng Hong terkejut bukan main. Barulah dia tahu bahwa sejak tadi, tenaganya sendiripun tersedot ke dalam tubuh anak itu, sama sekali bukan untuk menahan serangan Kok Beng Lama! Dan pendeta Lama itu agaknya juga kehabisan tenaga bukan untuk bertanding dengannya, melainkan habis teredot oleh anak itu. “Aihhhh...!” Ketua Cin-ling-pai itu mengerahkan tenaganya yang tinggal setengahnya itu, membuat gerakan menarik sehingga kedua tangannya dapat terlepas dari kedua pundak Sin Liong. Dia meloncat berdiri dengan tubuh lemas dan bergoyang-goyang, mukanya pucat sekali karena hampir setengah dari tenaganya juga amblas! Dia mengalami luka di dalam tubuhnya, biarpun tidak terlalu berbahaya namun membutuhkan waktu untuk memulihkan kesehatannya. Ketika dia memandang lagi, kini tubuh Kok Beng Lama yang masih duduk bersila ternyata telah tidak bernyawa lagi! “Celaka...!” keluhnya. “Sin Liong, bangkitlah engkau!” Sin Liong tadinya bersila, kedua matanya terpejam, mukanya merah sekali dan napasnya kadang-kadang berhenti, kadang-kadang terengah. Mendengar ucapan ini, dia menggerakkan kepalanya dan menengadah, membuka mata. Terkejutlah Cia Keng Hong melihat sepasang mata yang mendorong seperti mata seekor naga sakti dalam dongeng itu! Dan tiba-tiba saja tubuh anak itu meloncat dan... tubuhnya mencelat ke atas dengan cepatnya. “Aahhhhh... tolong, locianpwe...!” Ternyata ketika meloncat bangun tadi, otomatis Sin Liong menggunakan tenaganya, akan tetapi dia tidak tahu bahwa pada saat itu, tenaga sin-kangnya yang amat kuatnya memenuhi tubuhnya dan begitu dia menggerakkan syarafsyarafnya, tenaga ini bangkit bekerja dan akibatnya tubuhnya mencelat seperti kilat ke atas tanpa dapat diremnya lagi. Tubuhnya itu mcluncur ke arah sebuah puncak bukit batu karang dan untung baginya bahwa dia sudah biasa berloncatan dan memiliki kesigapan seekor monyet, maka biarpun dia terkejut sekali dan minta tolong, namun kedua tangannya masib dapat menyambar ke depan dan dia dapat berpegang kepada ujung batu karang dan berjungkir balik, tidak sampai terbanting pada batu karang. Dia berdiri di atas batu karang itu dengan mata terbelalak. Tubuhnya masih terasa menggelembung besar, hampir meledak rasanya, dan tubuhnya demikian ringannya seolah-olah hembusan anginpun akan dapat membuat tubuhnya melambung tinggi seperti sebuah balon karet penuh hawa! Cia Keng Hong memandang ke atasan anak itu. Anak itu telah mengoper semua tenaga sin-kang dari dalam tubuh Kok Beng Lama, yang telah tewas dalam keadaan bersila itu, bahkan, telah menyedot setengah dari tenaganya sendiri! Aneh sekali bagaimana anak itu masih dapat hidup! “Turunlah, jangan meloncat, berjalan saja dengan hati-hati!” kata Cia Keng Hong. Akan tetapi pada saat itu Sin Liong sudah merasa demikian tersiksa sehingga dia seperti tidak lagi mendengar suara kakek itu. Siksaan amat hebat dideritanya. Tubuhnya terasa panas semua seolah-olah dia dipanggang di atas api bernyala-nyala. Lebih tersiksa dari pada ketika dia teracun oleh Kinn Hong Liu-nio yang menggunakan Hui-tok-san, bahkan lebih tersiksa daripada ketika dia dijemur dan dikeroyok burung gagak. Panas yang dirasakan sekarang adalah panas dari dalam, dan tiba-tiba saja berubah dingin sampai rasanya seluruh tubuh seperti ditusuki ribuan batang jarum. Isi perutnya seperti diremas-remas, kepala seperti hampir meledak, telinganya terngiang-ngiang, matanya pedas dan perih, pendeknya, seluruh tubuhnya terasa sakit-sakit sampai hampir tak tertahankannya lagi. Dan celakanya, itulah. Kalau dia tidak tahu, pingsan atau mati, dia akan terbebas dari siksaan. Celakanya dia pingsan tidak matipun tidak dan semua derita itu dapat dirasakannya. Dia memandang kepada kedua tangannya. Begitu dia memandang tangannya dan jalan pikirannya ditujukan kepada kedua tangan ini, maka otomatis tenaga sakti yang dahsyat mengalir ke arah kedua tangannya dan Sin Liong merasa betapa kedua tangannya itu tergetar hebat dan terasa panas-panas, gatal-gatal dan seolah-olah kedua tangan dengan sepuluh jarinya itu dibakar dalam api, digigiti semut-semut berbisa dan nyerinya bukan kepalang. “Setan...!” Dia memaki dan dengan kedua tangannya itu dia menghantam batu di sampingnya, kanan kiri. “Pyarr! Pyarrr...!” Sin Liong terbelalak memandang pecahan-pecahan batu yang berhamburan disambar oleh kedua tangannya itu. Sejenak dia memandangi kedua tangannya dengan mata terbelalak. Kepalanya menjadi pening dan otomatis kedua tangan itu memegang kepalanya. Aku telah gila, pikirnya. Tak mungkin hanya dengan sekali tampar saja tangannya berhasil menghancurkan batu! Akan tetapi dia teringat betapa kedua tangannya yang tadinya terasa nyeri bukan main itu menjadi berkurang nyerinya ketika dipakai menghantam batu. Maka dia lalu turun dari atas batu karang itu, dan menggunakan kedua tangannya menghantam ke sana-sini, menghantami batu-batu besar yang berserakan di tempat itu. Terdengar suara-suara keras dan batu-batu itu remuk dan pecah berhamburan setiap kali terkena hantaman kedua tangannya. Sin Liong merasa betapa kedua tangan itu makin lama makin enak, tidak nyeri-nyeri lagi seperti tadi, bahkan makin hebat dia mengamuk memukuli batu-batu itu, sesak napasnya berkurang dan pening kepalanya juga mereda. Oleh adanya kenyataan ini, Sin Liong makin mengamuk, makin hebat menggerakkan kedua tangannya, bahkan juga kedua kakinya, untuk memukul dan menendang batu-batu di sekelilingnya. Anehnya, batu-batu hancur dan kaki tangannya tidak merasa nyeri. Dia sendiri keheranan, seperti melihat sulapan saja. Akhirnya, dia kelelahan dan duduk terengah-engah, tenaganya masih terus mendorongnya untuk bergerak, akan tetapi napasnya hampir putus dan di dalam dadanya terdapat hawa yang menggelora dan bergerak-gerak berputaran membuat dia seperti mau berpusing. Tiba-tiba dia melihat berkelebatnya bayangan orang dan tahu-tahu Cia Keng Hong telah berada di depannya. “Kau diamlah, aku akan mencoba mengobatimu,” kata kakek itu dan dia lalu mengulurkan kedua tangannya menempel di kedua pundak Sin Liong sambil mengerahkan tenaga Ilmu Thi-ki-i-beng! Cia Keng Hong maklum apa yang terjadi pada anak ini. Anak ini penuh dehgan hawa sakti dan kelau dibiarkan saja tentu akan hancur atau luka-luka semua isi dadanya, maka dia akan menyedot hawa murni dan kuat itu dengan Thi-khi-i-beng. “Ahh...!” Cia Keng Hong terkejut dan cepat dia menggerakkan tangannya terlepas dari kedua pundak Sin Liong. Baru saja kedua tangannya menempel tadi, bukan dia yang menyedot, bahkan dia lagi-lagi tersedot! Dan dia kalah kuat! Celaka, bocah ini tanpa disadarinya memiliki tenaga sin-kang yang luar biasa sekali dan satu kali diajari Thi-khi-i-beng, tenaga sedotnya itu terus-menerus bekerja! “Kau jangan melawan, matikan semua gerakan, dan pusatkan pikiranmu, jangan melawan, kendurkan semua, jangan kauingat lagi pelajaran yang kuajarkan kepadamu tadi!” kata Cia Keng Hong. Sin Liong mengerti dan dia mengangguk-angguk, masih terengah-engah. Kemudian dia merasa betapa tangan kakek itu kembali menempel di pundaknya dan dia mengosongkan pikirannya. Perlahan-lahan, dia merasa betapa hawa yang mengamuk di dalam dadanya itu mulai berkurang. Dan memang dengan Thi-khi-i-beng Cia Keng Hong mulai menyedot kelebihan hawa itu. Akhirnya, setelah dia merasa betapa tenaganya sendiri pulih, kakek itu menghentikan sedotan itu dan melepaskan kedua tangannya. Dia telah sembuh, dan anak itu kini hanya memiliki sin-kang dari Kok Beng Lama yang telah diopernya tanpa disadarinya itu. “Bagaimana rasanya tubuhmu?” tanya Cia Keng Hong. Sin Liong mengangguk. “Sudah agak baik... tapi masih mau muntah...” Dia bangkit berdiri dan terhuyung. “Sin Liong, tahukah engkau apa yang telah terjadi?” Anak itu menggeleng kepalanya. “Saya melihat locianpwe melakukan pertandingan aneh dengan kakek gundul itu... ah, bagaimana dengan dia?” “Mari kita turun dan lihat,” kata Cia Keng Hong dan dia dengan hati-hati menggandeng tangan Sin Liong karena anak ini masih terhuyung-huyung dan kalau dibiarkan turun sendiri dari puncak tentu akan terjatuh ke bawah. Setelah tiba di bawah, mereka melihat tubuh Kok Beng Lama masih duduk bersila. Sin Liong melihat betapa wajah kakek gundul itu aneh sekali, matanya masih terbuka akan tetapi pandang matanya kosong. Dia merasa bahwa ada sesuatu yang luar biasa pada tubuh tinggi besar yang duduk bersila itu, maka dia bertanya. “Apakah dia tidak... apa-apa?” Cia Keng Hong menarik napas panjang. “Dia telah tewas...” Sin Liong terbelalak dan otomatis kakinya bergerak, tahu-tahu tubuhnya sudah “melayang” ke arah kakek gundul itu dan begitu tangannya menyentuh pundak kakek itu, mayat itu tergelimpang. “Ahhh...!” Sin Liong membalikkan tubuhnya, memandang kepada kakek sakti yang ternyata adalah kakeknya sendiri itu. “Locianpwe... telah... membunuhnya?” Cia Keng Hong menggeleng kepalanya. “Bukan aku yang membunuhnya.” “Habis siapa? Mengapa dia mati?” Kembali kakek itu menarik napas panjang. “Kami berdua tadi sedang mengadu sin-kang, maksudku... dia memaksaku untuk melindungi diriku karena dia menyerangku dengan sin-kang. Lalu kau tiba-tiba masuk di antara kami dan kau terseret. Engkau terancam bahaya maut maka aku mengajarkan Thi-khi-i-beng kepadamu. Dan tanpa kausadari, juga tanpa kusadari, ternyata semua hawa sin-kang di tubuhnya telah berpindah ke dalam tubuhmu, membuat dia tewas...” Sin Liong menggigil dan kembali dia menoleh, memandang kepada tubuh yang tak bernyawa itu dan tiba-tiba kedua matanya mengalirkan beberapa butir air mata. Kakek gila yang patut dikasihani. Dia yang membunuhnya? “Lociaripwe mengajarkan saya ilmu iblis untuk membunuhnya!” Cia Keng Hong menggeleng kepala. “Dia sendiri yang salah... ah, dalam usia, setua itu kambuh kembali penyakit gilanya... sungguh patut dikasihani...” “Tapi locitnpwe mengajarkan Ilmu Mencuri Hawa Memindahkan Nyawa! Dan dia mati karena saya! Ah, locianpwe mengajarkan saya menjadi pembunuh orang yang tidak berdosa!” “Tidak, Sin Liong. Aku mengajarkan Thi-khi-i-beng kepadamu hanya untuk menyelamatkan nyawamu yang tadi terancam bahaya. Kok Beng Lama meninggal dunia karena kesalahannya sendirii dan memang dia sedang kumat gilanya, dan dia sudah tua. Engkau tidak membunuh, apalagi karena hal itu terjadi di luar kesadaranmu, di luar pengetahuanmu.” “Tapi... tapi dia mati karena saya...” Sin Liong merasa menyesal bukan main, apalagi sekarang tubuhnya masih merasa tidak karuan, masih sakit-sakit dan penuh dengan hawa yang bergerak-gerak mengerikan. Lebih-lebih sekarang setelah dia tahu bahwa yang bergerak-gerak di dalam tubuhnya itu adalah hawa sin-kang dari kakek gundul itu yang telah berpindah ke dalam tubuhnya, dia merasa ngeri dan serem, seolah-olah nyawa kakek gundul itu telah memasuki jasmaninya! “Sudahlah, Sin Liong. Daripada meributkan hal-hal yang sudah terjadi di luar kesadaranmu, lebih baik kau membantu aku menguburkan jenazah Kok Beng Lama. Kau tidak tahu siapa dia. Dia itu adalah seorang tokoh besar di dunia persilatan. Ilmu kepandaiannya luar biasa sekali sehingga akupun tadi hampir celaka dan kalah olehnya kalau saja engkau tidak masuk di antara kami. Dan dia itu adalah guru dari putera saya sendiri, bahkan guru dari cucu saya sendiri, jadi dia bukanlah musuhku. Hal ini perlu kuberitahukan agar kau tidak salah duga, Sin Liong. Aku sama sekali tidak bermusuh dengannya, apalagi ingin membunuhnya!” Sin Liong memandang dengan jantung berdebar. Kakek ini adalah ketua Cin-ling-pai, kakek ini adalah kong-kongnya sendiri! Dan kakek gundul tadi adalah guru dari putera kong-kongnya, berarti guru dari ayahnya, ayah kandungnya! Akan tetapi karena masih meragukan kebenaran hal luar biasa ini dia bertanya, “Dia... dia itu guru putera locianpwe, siapakah putera locianpwe itu?” Pertanyaan itu terdengar sepintas lalu saja, maka tidak menimbulkan kecurigaan dalam hati Cia Keng Hong yang menarik napas panjang lagi. “Ah, puteraku itu bernama Cia Bun Houw...” Lalu kakek itu termenung karena sampai sekarang hatinya masih terluka oleh kepergian Bun Houw yang tiada kabar ceritanya itu. Mendengar ini, yakinlah hati Sin Liong dan ingin dia memeluk kakeknya ini saking girangnya, akan tetapi dia menahan perasaannya dan berkata, “Akan tetapi, bukankah locianpwe tadi bertanding secara aneh dengan dia?” “Bukan bertanding, melainkan aku terpaksa membela diri karena dia menyerangku...” “Kalau dia itu bukan musuh locianpwe, kenapa dia menyerang locianpwe?” Kakek itu termenung. Memang ada sebabnya dan dia merasa tidak perlu menceritakan kepada anak ini tentang sebab musababnya yang terlampau panjang. Di dalam kisah Dewi Maut diceritakan betapa puteri Kok Beng Lama tewas dan puteri ketua Cin-ling-pai ini yang tertuduh menjadi pembunuhnya sehingga pernah terjadi bentrok antara Kok Beng Lama dan Cin-ling-pai. Kemudian, biarpun ternyata bukan puteri Cin-ling-pai itu yang membunuh, namun kematian itu terjadi sebagai akibat dari percekcokan antara puteri Kok Beng Lama dan puteri ketua Cin-ling-pai. Akan tetapi, hal itu telah diselesaikan oleh kedua fihak, dan hanya kalau Kok Beng Lama kambuh penyakit gilanya maka urusan itu timbul lagi di dalam hatinya. Cia Keng Hong tentu saja merasa tidak perlu menceritakan urusan itu kepada anak kecil yang ditolongnya itu. “Dia bukan musuhku, akan tetapi dia itu mempunyai penyakit gila yang kadang-kadang kambuh. Dan sekarang, dia sedang kambuh, maka dia menyerangku. Sudahlah, Sin Liong, mari kita menggali kuburan untuk dia.” Melihat betapa Cia Keng Hong hanya menggunakan sebatang kayu untuk menggali tanah berbatu itu, Sin Liong ikut-ikut dan... betapa heran hatinya ketika dia mampu pula menggunakan sebatang kayu untuk menggali tanah berbatu! Walaupun tidak secepat kakek itu dan dia amat canggung dan beberapa kali kayu itu patah dan harus diganti, namun dia dapat mengerahkan tenaga melalui kayu itu dan menggali tanah yang keras! Kagum sekali hati Sin Liong melihat betapa kakeknya itu meletakkan sebuah batu besar di depan kuburan sebagai nisan, dan menggunakan jari telunjuknya untuk menggores-gores permukaan batu yang halus dengan huruf-huruf indah yang berbunyi MAKAM KOK BENG LAMA. Diam-diam dia kagum dan juga girang. Kakeknya ternyata adalah seorang yang luar biasa saktinya, juga seorang kakek yang berhati mulia! Mereka melanjutkan perjalanan dan Cia Keng Hong melihat betapa anak itu diam saja, padahal tubuhnya masih penuh dengan hawa mujijat itu. Anak ini benar-benar hebat, pikirnya. Anak lain tentu akan mengeluh, dan mungkin sekali mengamuk atau melakukan hal-hal aneh, apalagi setelah diketahuinya bahwa ada tenaga hebat di dalam tubuhnya. Dia mengajak Sin Liong mengaso duduk bersila di depannya. “Sin Liong, engkau tentu merasa bahwa ada sesuatu yang aneh dalam dirimu, bukan?” Anak itu mengangguk. “Di dalam seluruh tubuh saya ada hawa bergerak-gerak, locianpwe.” “Dan engkau sudah tahu bukan, apa artinya itu?” “Locianpwe sudah memberi tahu bahwa tenaga sakti dari mendiang Kok Beng Lama telah pindah ke dalam tubuh saya.” “Benar, dan engkau telah pula mengetahui rahasia Thi-khi-i-beng. Biarpun kuberikan ilmu itu dalam keadaan darurat, akan tetapi berarti engkau telah mewarisi ilmu itu dariku. Ketahuilah bahwa puteraku sendiri, Cia Bun Houw, tidak mewarisi ilmu ini. Satu-satunya orang yang pernah mempelajarinya adalah Yap Kun Liong. Oleh karena itu, engkau boleh dibilang adalah seorang muridku, Sin Liong.” Sin Liong menundukkan mukanya. “Terima kasih atas kebaikan locianpwe.” “Aku tidak memberi kebaikan apa-apa. Hanya engkau harus berjanji. Tidak sembarang orang boleh memiliki Thi-khi-i-beng, dan setelah engkau terlanjur memilikinya, maka engkau harus mengucapkan janji. Kalau tidak, terpaksa aku akan mencabut ilmu itu dengan merusak jalan darahmu, hal ini terpaksa agar kelak engkau tidak mendatangkan malapetaka bagi manusia di dunia.” “Saya akan berjanji, locianpwe,” jawab Sin Liong dengan alis berkerut. Untung bahwa yang bicara itu adalah Cia Keng Hong, atau lebih tepat lagi untung bahwa Sin Liong tahu bahwa kakek ini adalah kong-kongnya, karena andaikata tidak demikian, dia lebih memilih mati daripada ditekan! “Kau harus bersumpah dan berjanji bahwa Thi-khi-i-beng tidak akan kaupergunakan untuk membunuh orang, kecuali dalam pembelaan diri, dan juga kau berjanji bahwa engkau tidak akan mengajarkan Thi-khi-i-beng kepada siapapun juga sebelum aku mati, dan kalau terpaksa kauajarkan kepada orang kelak, engkau harus menyuruh dia bersumpah pula untuk mempergunakan demi kebaikan dan kebenaran.” Sin Liong mengucap janji dan sumpahnya sehingga agak terhibur jugalah hati kakek itu. Setelah Sin Liong mengucapkan janjinya, keadaan menjadi hening dan akhirnya terdengar kakek itu berkata, “Dengan demikian, mulai sekarang engkau adalah muridku. Nah, sekarang perhatikan baik-baik dan dengarkan dengan penuh perhatian. Aku akan mengajarkan pertama-tama agar kau dapat menyimpan dan menyalurkan hawa yang amat dahsyat di dalam tubuhmu itu, karena kalau tidak, tubuhmu yang masih muda dan lemah tidak akan kuat bertahan dan engkau takkan dapat hidup lama.” Kakek itu lalu mengajarkan cara-cara menghimpun tenaga sakti itu, cara bersamadhi dan mengatur pernapasan. Selama semalam suntuk kakek itu menggembleng sehingga Sin Liong mengerti benar dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sin Liong masih duduk bersamadhi dan dia sudah mulai merasakan betapa tubuhnya tidak begitu hebat lagi menderita kelebihan tenaga sakti itu, sungguhpun gerakannya masih kaku karena dia merasa kadang-kadang hawa itu hendak membawanya terbang ke angkasa, kadang-kadang pula mendatangkan berat yang hampir tak dapat terbawa oleh tubuhnya. Melihat keadaan anak itu, Cia Keng Hong maklum bahwa betapapun juga, anak ini memerlukan tempat istirahat untuk terus berlatih mengendalikan hawa sakti yang terlalu kuat untuk tubuhnya itu. Maka dia mengambil keputusan untuk cepat pulang saja ke Cin-ling-san, biarpun hatinya masih penasaran dan menyesal bahwa dia belum juga berhasil menemukan Lie Ciauw Si, cucunya yang pergi mencari Bun Houw itu. Dia sendiripun perlu istirahat untuk memulihkan tenaga. *** Ketika mereka mulai mendaki puncak Cin-ling-san, hati Sin Liong dilanda kegembiraan dan juga keharuan. Kakeknya tidak banyak bercerita tentang Cin-ling-san, maka diapun tidak tahu apakah ayah kandungnya berada di tempat itu, akan tetapi dia tidak berani banyak bertanya, dan ketika dia tiba di daerah pegunungan ini, merasa betapa tempat ini adalah tempat ayah kandungnya, dia merasa gembira dan terharu. Maka dalam kegembiraannya itu, dia berjalan sambil menoleh ke kanan kiri, memperhatikan setiap keadaan di pegunungan itu. Dari lereng sudah nampak bangunan di puncak Cin-ling-san, bangunan yang menjadi tempat atau pusat dari Cin-ling-pai. Akan tetapi pagi hari itu sunyi saja di daerah puncak. Memang kini Cin-ling-pai tidaklah seramai dahulu. Apalagi semenjak isterinya meninggal, Cia Keng Hong lalu menyuruh semua anggauta Cin-ling-pai untuk meninggalkan puncak dan para murid atau anggauta Cin-ling-pai lalu tersebar di mana-mana, banyak yang masih tinggal di kaki Pegunungan Cin-ling-pai dan hidup sebagai petani-petani. Cia Keng Hong tadinya hanya tinggal berdua saja bersama cucunya, yaitu Lie Ciauw Si, dilayani oleh dua orang pelayan wanita. Kakek ini dan cucunya sendiri turun tangan di kebun menanam sayur-mayur. Hanya pada waktu-waktu tertentu saja para murid kadang-kadang naik ke puncak mengunjungi ketua mereka. Ketika Cia Keng Hong dan Sin Liong mendaki puncak, di puncak telah menanti empat orang. Dari jauh Sin Liong melihat bahwa mereka itu adalah dua orang pria dan dua orang wanita yang menanti kedatangannya kakek itu dengan wajah gembira, dan dia melihat betapa kakek itu mengeluarkan seruan tertahan kemudian tubuh kakek itu melesat dengan cepatnya ke atas puncak. Sin Liong juga berlari mengikutinya dan dia melihat betapa kakek itu kini berhadapan dengan mereka berempat, memandang dengan mata terbelalak kepada seorang di antara mereka, seorang laki-laki tampan yang berdiri dengan kepala agak tunduk. “Kau...? Kau...!” Dan tiba-tiba Cia Keng Hong terhuyung dan jatuh terguling!   Pria tampan gagah berusia tiga puluh tahun lebih itu bukan lain adalah Cia Bun Houw dan wanita cantik jelita di sampingnya yang usianya satu dua tahun lebih muda itu adalah isterinya, Yap In Hong! Adapun pria dan wanita lain yang berada di situ adalah Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng. Dalam cerita Dewi Maut telah diceritakan betapa Cia Bun Houw, putera bungsu dari ketua Cin-ling-pai itu, pergi meninggalkan orang tuanya ketika Cia Keng Hong menentang puteranya yang hendak menikah dengan Yap In Hong, karena puteranya itu telah ditunangkan dengan orang lain. Ayah dan anak bersikeras mempertahankan kehendaknya sendiri sehingga akhirnya Bun Houw pergi bersama In Hong dan menjadi suami isteri tanpa perkenan orang tua! Kepergian Bun Houw inilah yang menghancurkan hati Cia Keng Hong dan isterinya, sampai isterinya meninggal dunia karena semenjak kepergian pemuda itu, tidak pernah ada berita lagi. Ketika Cia Giok Keng, puteri ketua Cin-ling-pai itu, mendengar bahwa puterinya Lie Ciauw Si yang ikut dengan kakeknya di Cin-ling-san untuk belajar silat dan menemani kakeknya, pergi meninggalkan Cin-ling-san untuk pergi mencari pamannya, hatinya menjadi gelisah! Maka dia lalu pergi kepada pendekar Yap Kun Liong, pria yang sesungguhnya dicintanya itu, dan minta pertolongan Yap Kun Liong untuk pergi mencari adiknya, Cia Bun Houw yang telah membuat orang tuanya berduka itu. Pergilah pendekar Yap Kun Liong dan akhirnya dia berhasil menemukan Cia Bun Houw dan Yap In Hong yang ternyata mengasingkan diri dan tinggal jauh di sebelah selatan. Yap Kun Liong membujuk Cia Bun Houw untuk pulang ke utara menengok ayahnya, dan Bun Houw yang mendengar akan kematian ibunya dan kedukaan hati ayahnya, lalu bersama isterinya ikut dengan Kun Liong pergi ke utara. Mereka berhenti dulu di Sin-yang, kemudian diantar pula oleh Cia Giok Keng, mereka semua pergi ke Cin-ling-san. Setelah tiba di puncak itu, mereka menemukan tempat kosong dan mereka menanti di situ selama dua hari. Demikianlah, pada pagi hari itu, mereka berempat menyambut kedatangan Cia Keng Hong yang pulang bersama seorang anak laki-laki yang tidak mereka kenal. Akan tetapi, Cia Keng Hong yang baru saja kehilangan tenaga dan masih terluka biarpun sudah mulai sembuh, luka di sebelah dalam sebagai akibat pertandingannya dengan Kok Beng Lama, begitu melihat Bun Houw, jantungnya tergetar hebat. Berbagai macam perasaan mengaduk hatinya. Rasa gembira, rasa terharu, juga rasa marah dan mendongkol bercampur duka teringat akan isterinya, membuat dia tidak dapat menahan lagi dan dia jatuh tergulingg dan pingsan dalam rangkulan Cia Giok Keng yang tadi cepat menubruk dan menyambut tubuh ayahnya yang terguling. Melihat ini, Sin Liong terbelalak dan marah bukan main. Dia tadi melihat betapa kakek itu memandang kepada laki-laki gagah yang berbaju kuning dan menggerak-gerakkan tangan ke arah laki-laki itu, maka sudah tentu laki-laki itulah yang telah membuat kakeknya roboh dan mungkin mati itu. Kemarahan memenuhi hatinya dan Sin Liong sudah menerjang ke depan sambil berteriak, “Kau manusia jahat...!” Semua orang terkejut, terutama sekali Cia Bun Houw sendiri yang melihat dirinya diserang oleh anak yang datang bersama ayahnya tadi. Lebih terkejut lagi hati empat pendekar yang berilmu tinggi itu ketika melihat betapa tubuh anak laki-laki tanggung itu bergerak luar biasa cepatnyag dengan gaya seperti seekor harimau menubruk, atau seperti seekor binatang buas lainnya, dan ketika tangan kirinya mencengkeram ke arah leher Bun Houw dan tangan kanannya memukul ke arah dada, ternyata gerakan anak itu mendatangkan hawa pukulan yang luar biasa kuatnya sehingga terdengar angin menyambar dahsyat! “Ehhh...!” Cia Bun Houw mengelak cepat dan kaget sekali. Tentu saja bagi pendekar ini yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, serangan Sin Liong itu tidak merupakan bahaya, akan tetapi pendekar ini kaget melihat betapa seorang anak kecil yang usianya baru dua belas atau tiga belas tahun ini bisa memiliki tenaga sin-kang sedahsyat itu, juga kecepatan yang luar biasa sungguhpun gerakannya ketika menyerang lebih patut gerakan seekor binatang buas daripada gerakan silat. Akan tetapi, begitu serangannya luput, Sin Liong sudah membalik lagi dan menyerang lebih dahsyat, menggunakan pukulan dengan pengerahan tenaga seperti yang diajarkan oleh kakeknya sehingga kini dia dapat mengerahkan tenaga yang terkumpul di pusarnya itu. Tenaga dahsyat yang hangat dan hidup mengalir ke dalam lengan sampai ke ujung-ujung jarinya ketika dia memukul dan mengerahkan tenaga. Terdengar suara bercuitan dan kembali Bun Houw terkejut karena angin pukulan dari anak itu benar-benar dahsyat, seperti pukulan seorang ahli sin-kang yang amat kuat! Dengan hati penuh keheranan dan keinginan tahu, pendekar ini laki menggerakkan lengannya menangkis, dengan maksud untuk mengukur sampai di mana kekuatan anak yang luar biasa ini. “Dukkk! Aihhh...!” Kini Cia Bun dia mengeluarkan teriakan. Siapa yang tidak akan kaget ketika dua lengan itu bertemu, selain dia merasakan kekuatan yang amat dahsyat, yang tidak patut dimiliki oleh seorang bocah berusia dua belas atau tiga belas tahun, juga dia merasa betapa tenaga sin-kangnya tersedot ke luar! Itulah Thi-khi-i-beng! Ataukah lain ilmu iblis yang dapar menyedot sin-kang lawan? Sebagai murid terkasih dari Kok Beng Lama, tentu saja dengan sekali mengerahkan tenaga membetot, lengannya dapat terlepas dari lekatan lengan lawan yang mempunyai daya sedot, dan dia memandang dengan mata terbelalak kepada anak itu. Akan tetapi, Sin Liong tidak perduli orang terheran-heran. Dia tidak tahu sama sekali bahwa orang itu kagum dan terkejut melihat kehebatan tenaganya, dan dia merasa penasaran mengapa dia belum dapat menghantam orang yang telah membuat kakeknya sampai roboh pingsan itu. “Orang jahat kau...!” Dia berteriak lagi dan kini kembali dia menubruk, dengan gerakan yang ganas. Bun Houw kembali mengelak dan pada saat itu nampak bayangan berkelebat, jari-jari tangan yang runcing mungil meluncur dan menotok pundak Sin Liong yang luput menyerang lawannya tadi. “Dukk! Ahh...!” Wanita cantik itu, Yap In Hong, terkejut bukan main. Karena tadinya dia memandang rendah kepada seorang bocah yang disangkanya hanya liar dan ganas, dia tentu saja menotok tanpa mempergunakan tenaga sakti, khawatir kalau sampai membunuh anak itu. Akan tetapi ketika jari tangannya bertemu pundak Sin Liong yang pada saat itu sedang mengerahkan tenaga, In Hong merasa betapa tenaga kasarnya membalik dan jari-jari tangannya terasa nyeri bukan main! Barulah dia tahu mengapa suaminya kelihatan terkejut dan terheran-heran, ragu-ragu, kini dia mengerti bahwa memang bocah ini luar biasa sekali, memiliki tenaga sin-kang yang luar biasa kuatnya. Maka diapun menjadi marah dan kini tangannya kembali melayang, sekali ini mengandung tenaga sin-kang yang kuat, bahkan dia mempergunakan tenaga Thian-te Sin-ciang yang ampuh. “Dess...!” Anak itu terpelanting dan roboh dengan tubuh lemas karena jalan darahnya tertotok. Akan tetapi, Sin Liong yang marah itu merasa betapa tenaga dan hawa aneh di dalam pusarnya bergolak, mendorong-dorong akan tetapi tidak mampu menembus jalan darah yang sudah tertotok. Dia sama sekali tidak menjadi jerih, bahkan matanya melotot memandang kepada Bun Houw dan In Hong yang menghampirinya, memandang penuh kebencian. “Kalian tunggu saja...” desisnya, “kalau locianpwe Cia Keng Hong sampai mati, aku bersumpah kelak aku akan membunuh kalian berdua manusia-manusia jahat!” Sepasang matanya mencorong seperti naga sakti. “Aku benci kalian! Aku benci kalian...!” Melihat sinar mata yang penuh nafsu membunuh, seperti mata seekor harimau kelaparan yang marah, diam-diam In Hong bergidik. “Bocah setan ini perlu dihajar!” katanya dan dia sudah mengangkat tangannya untuk menampar. “Tahan, jangan pukul dia!” Bun Houw berseru menahan isterinya yang menurunkan kembali tangannya sambil menoleh kepada suaminya. Mengapa suaminya melarang dia memukul anak yang mengeluarkan ancaman mengerikan itu? Melihat pandangan mata isterinya, Bun Houw berkata, “Aku melihat dia tadi menggunakan Thi-khi-i-beng.” Mendengar ini, In Hong terkejut dan terheran-heran, akan tetapi mereka berdua lalu menghampiri kakek Cia Keng Hong yang sudah mulai siuman. “Ah, kau datang, kalian datang semua... ah, aku agak lelah...” Akhirnya kakek itu bangkit duduk. “Ayah, engkau harus beristirahat dulu. Nanti saja kita bicara...” Cia Giok Keng lalu merangkul dan memapah ayahnya, dibantu oleh Bun Houw. Kakek itu tidak mau dipondong dan dengan dipapah oleh kedua orang anaknya, dia melangkah tertatih-tatih memasuki pondoknya. Cia Keng Hong jatuh sakit! Beberapa kali dia jatuh pingsan dan terserang demam. Bun Houw dan encinya yang memeriksa, mendapat kenyataan bahwa tenaga ayah mereka itu berkurang banyak sekali, menjadi lemah, dan di sebelah dalam tubuh, ayah mereka itu mengalami guncangan hebat dan seperti orang baru sembuh dari luka parah di dalam tubuh. Akan tetapi mereka belum dapat bicara dengan ayah mereka dan dengan penuh ketelitian kedua orang anak itu merawat ayah mereka, dibantu oleh Yap In Hong dan kakaknya, Yap Kun Liong. Seperti telah diketahui jelas oleh para pembaca cerita Dewi Maut, isteri dari Cia Bun Houw, Yap In Hong, adalah adik kandung pendekar Yap Kun Liong. Dan semenjak Bun Houw dan isterinya ini meninggalkan orang tuanya, belasan tahun yang lalu, kakak dan adik inipun tidak pernah saling jumpa, apalagi karena Kun Liong juga selama ini hanya menyembunyikan diri saja di rumahnya, yaitu di Leng-kok. Biarpun antara Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng terdapat perasaan cinta kasih yang mendalam, duda dan janda ini tidak melanjutkan hubungan itu dengan hubungan jasmani, melainkan hanya saling mencinta saja di dalam hati masing-masing. Maka kini, pertemuan antara mereka semua tentu saja mendatangkan percakapan yang asyik, saling menceritakan keadaan mereka masing-masing. Hanya keadaan kakek ketua Cin-ling-pai itu yang menimbulkan prihatin di hati mereka, dan juga, anak aneh yang datang bersama ketua Cin-ling-pai itu tidak mau banyak membuka mulut, hanya berwajah muram dan ikut pula menjaga kakek yang sedang sakit itu. Yap Kun Liong juga menasihatkan yang lain agar jangan sembarangan terhadap bocah ini, karena diapun menduga bahwa tentu ada rahasia di balik kedatangan bocah ini, dan tentu ada hubungan erat antara bocah itu dan pendekar sakti Cia Keng Hong, apalagi ketika dia mendengar bahwa anak itu agaknya pandai Thi-khi-i-beng. “Kita tunggu saja sampai Cia-locianpwe sudah sembuh kembali dan menceritakan siapa adanya anak itu,” kata pendekar ini dan yang lain-lain merasa setuju. Anak itu benar-benar amat luar biasa. Kalau ditanya, hanya memandang dengan mata mendelik marah dan memang Sin Liong merasa tidak suka kepada empat orang ini, terutama kepada Cia Bun Houw dan isterinya yang dianggapnya jahat karena telah membuat kakeknya roboh pingsan dan sakit. Dia tidak tahu siapa mereka dan juga tidak ingin tahu, dan diapun tidak suka memperkenalkan diri ketika ditanya. Diapun ingin menanti sampai kakek itu sembuh, baru dia akan mengambil keputusan apakah akan terus tinggal di situ ataukah akan pergi. Hanya terhadap Yap Kun Liong dia tidak begitu dingin dan ketus, karena pendekar yang usianya sudah empat puluh delapan tahun ini bersikap manis budi kepadanya. Bahkan hanya dari Yap Kun Liong saja dia mau menerima makanan. Biarpun dia diberi sebuah kamar, akan tetapi dia tidak mau tidur di kamarnya, sebaliknya dia terus berada di kamar Cia Keng Hong dan di situ dia duduk bersila, bersamadhi seperti yang telah diajarkan oleh kakek itu kepadanya. Dan diapun tidur dalam keadaan bersila. Melihat cara anak itu bersamadhi, makin yakinlah hati empat orang pendekar itu bahwa anak ini pasti memiliki hubungan yang erat dengan ketua Cin-ling-pai. Ternyata guncangan batin ketika dia melihat wajah puteranya itulah yang membuat Cia Keng Hong jatuh sakit. Ketika dia mengadu ilmu melawan Kok Beng Lama, dia sudah merasa bahwa dia terluka di sebelah dalam tubuhnya, apalagi ketika sebagian dari tenaga sin-kangnya tersedot oleh kekuatan dahsyat yang mengeram di dalam tubuh Sin Liong. Biarpun kemudian dia dapat menyedot kembali tenaga dari tubuh Sin Liong dengan menggunakan Ilmu Thi-khi-i-beng dan dengan demikian selain menyelamatkan Sin Liong juga memulihkan kembali tenaganya, namun luka yang dideritanya belumlah sembuh sama sekali. Maka ketika menerima guncangan hebat dan mendadak dalam perjumpaan yang tak disangka-sangkanya dengan puteranya itu, dia jatuh pingsan dan jantungnya yang sudah tua itu mengalami tekanan berat yang membuat dia jatuh sakit. Baru setelah sepekan dirawat dengan penuh perhatian oleh putera dan puterinya, Cia Keng Hong sembuh dari demam dan ingatannya kembali. Biarpun tubuhnya masih lemah namun dia sudah dapat bangun duduk dan bicara. Ketika melihat Sin Liong duduk bersila di sudut kamar, Cia Keng Hong tersenyum dan wajahnya berseri. Dia mengangguk-angguk dan berkata kepada Bun Houw dan Giok Keng, “Bantu aku keluar, aku ingin duduk di luar pondok, di tempat terbuka yang sejuk.” Cia Giok Keng dan Cia Bun Houw lalu memapah ayah mereka itu, membawanya keluar dan di bawah sebatang pohon pek di depan pondok itu memang terdapat sebuah batu halus yang menjadi tempat duduk dan tempat samadhi kakek ini. Di situlah dia duduk bersila dan empat orang pendekar itupun duduk di atas tanah di depannya. “Sin Liong, kau ke sinilah...” kata kakek itu kepada Sin Liong yang ikut pula keluar dengan sikap sungkan, karena dia merasa bahwa dia adalah seorang pendatang baru yang asing. Namun hatinya lega melihat bahwa ternyata empat orang itu bukanlah musuh kakeknya. Mendengar ucapan kakek itu, Sin Liong cepat menghampiri dan menjatuhkan diri berlutut, lalu duduk bersila pula di depan batu besar yang diduduki kakek itu. Sejenak keadaan di situ sunyi. Udara pagi itu cerah dan hangat oleh sinar matahari pagi. Angin gunung mendatangkan kesejukan di bawah pohon itu dan mereka semua seperti tenggelam dalam keheningan yang maha luas. Cia Keng Hong memandang ke kanan dan alisnya berkerut, hatinya diliputi penuh keharuan dan penyesalan. Melihat puteranya kini telah menjadi seorang pria yang matang, berusia tiga puluh tahun lebih, duduk bersila di dekat Yap In Hong yang memang cantik jelita dan gagah, dia melihat kesalahan yang telah dilakukannya belasan tahun yang lalu. Jelas bahwa puteranya itu saling mencinta dengan wanita itu, mengapa dia dahulu berkeras tidak menyetujui perjodohan mereka? Padahal, mereka itulah yang akan saling berjodoh, yang akan hidup berdua selamanya, mereka berdualah yang akan hidup bersama membagi suka duka bersama-sama. Perjodohan adalah urusan mereka berdualah, dengan hak dan kewajiban mereka berdua sepenuhnya pula. Mengapa dia bercampur tangan, mengapa dia hendak mengatur kehidupan kedua orang itu, ingin menyesuaikan mereka berdua untuk menyenangkan hatinya? Betapa bodohnya dia, dan betapa bodohnya orang-orang tua yang ingin mencampuri urusan perjodohan anak-anak mereka! Memang dahulu dia mempunyai alasan kuat untuk menentang, mengingat betapa Yap In Hong sendiri pernah memutuskan pertunangannya dengan Bun Houw (baca kisah Dewi Maut), dan ke dua betapa Bun Houw telah ditunangkan dengan gadis lain. Namun, segala macam alasan itu sesungguhnya hanyalah untuk mempertahankan pebdiriannya atau kesenangan dirinya pribadi. Kini nampak jelas olehnya dan dia merasa menyesal sekali. Dan ketika dia menoleh ke kiri, dia melihat si duda, Yap Kun Liong duduk bersanding dengan puterinya, Cia Giok Keng yang sudah menjadi janda, dan hatinyapun tertusuk keharuan bercampur kekaguman. Dua orang itu benar-benar memiliki cinta kasih yang murni, cinta kasih yang sama sekali tidak dikotori oleh nafsu berahi. Betapa mereka saling mencinta, dia dapat merasakannya, namun keduanya tetap bertahan dan hanya berhubungan sebagai sahabat-sahabat yang saling mencinta. Benar-benar mengagumkan dan patut dipuji kedua orang itu! Lalu dia memandang ke depan, kepada Sin Liong. Bocah ini juga mengagumkan! Senanglah hati Cia Keng Hong karena biarpun sejak tadi tidak pernah ada yang bicara sepatah katapun, namun dalam keadaan sehening dan seindah itu, memang kata-kata tidak banyak gunanya lagi. “Sin Liong, setelah beberapa hari kau berada di sini, apakah engkau sudah mengenal siapakah adanya mereka ini?” Dia menoleh ke kanan dan kiri. Empat orang pendekar itu memandang kepada Sin Liong dan anak itupun menoleh dan memandang kepada mereka dengan wajah yang masih muram. Dia menggeleng kepala. “Saya belum mengenal mereka, locianpwe,” jawabnya kemudian. “Ah! Engkau belum mengenal mereka? Lihatlah baik-baik, Sin Liong, yang duduk di sebelah kirimu itu adalah puteraku yang bernama Cia Bun Houw dan isterinya!” Kakek itu berhenti karena tiba-tiba Sin Liong menoleh ke kiri dan sepasang matanya mencorong aneh ketika dia memandang kepada Bun Houw. Tidak ada seorangpun di antara mereka yang tahu betapa kagetnya hati Sin Liong mendengar perkenalan itu. Jadi laki-laki gagah itu adalah ayah kandungnya! Dan beberapa hari yang lalu dia telah menyerang orang itu sebagai orang yang dibencinya! Kiranya ayah kandungnya, yang oleh mendiang ibu kandungnya dipuji-puji sebagai pendekar sakti itu. Akan tetapi mengapa ayah kandungnya itu duduk di situ bersama wanita cantik yang diperkenalkan sebagai isteri ayahnya itu? Dan wanita itu telah turun tangan menotoknya! Dia kini memandang kepada Yap In Hong dengan pandang mata penuh kebencian. Ketika Bun Houw dan In Hong memandang Sin Liong, mereka melihat sinar mata anak itu dan keduanya terkejut sekali. “Ihhh...!” In Hong mengeluarkan seruan lirih dan Bun HoUw mengerutkan alisnya. Cia Keng Hong juga merasa heran melihat sikap Sin Liong itu, maka dia bertanya. “Ada apakah Sin Liong?” Sin Liong tidak menjawab, hanya memandang kepada Bun Houw dan In Hong dengan sinar mata aneh, dan kini tanpa disadarinya, sepasang mata yang menyinarkan kebencian itu menjadi basah dan dua titik air mata mengalir keluar. Melihat ini, Bun Houw cepat berkata, “Ayah, dia salah sangka terhadap kami berdua. Ketika ayah terkejut dan tak sadarkan diri, dia langsung menyerangku, dan aku heran sekali melihat dia memiliki sin-kang yang luar biasa, bahkan memiliki Thi-khi-i-beng!” Cia Keng Hong tersenyum dan mengangguk-angguk mengerti. “Ah, kiranya begitukah? Sin Liong, engkau salah duga. Dia bukanlah musuh, dia adalah puteraku. Hayo kau cepat minta maaf, biarpun kau melakukan hal itu tanpa kausadari.” Sin Liong menunduk, kemudian menghadap kakek itu sambil berkatap “Maafkan saya, locianpwe.” Dia tidak minta maaf kepada Bun Houw, melainkan kepada kakeknya! Memang hati anak ini luar biasa kerasnya. Dia telah bertemu dengan ayah kandungnya, akan tetapi melihat kenyataan pahit betapa ayah kandungnya yang telah meninggalkan ibu kandungnya ini menjadi suami wanita lain, mana mungkin hatinya tidak diliputi kekecewaan dan kebencian? “Dan yang duduk di sebelah kiri itu adalah puteriku, Sin Liong. Namanya Cia Giok Keng. Sedangkan pria itu adalah Yap Kun Liong, kakak ipar dari puteraku Bun Houw, juga dia dapat dibilang muridku karena hanya dia seorang yang telah mewarisi Thi-khi-i-beng dariku, di samping engkau sendiri, sekarang engkau telah menjadi muridku, maka engkau adalah sute mereka, sute paling kecil.” Kakek itu mengangguk-angguk senang. Hatinya gembira sekali, terutama karena dia dapat melihat puteranya kembali. “Ayah, siapakah anak ini dan bagaimana asal mulanya sampai dia dapat memiliki sin-kang sedemikian hebatnya, dan telah mewarisi Thi-khi-i-beng pula?” tanya Bun Houw. Betapapun juga, dia merasakan sinar mata benci dari anak itu, oleh karena itu, diapun mempunyai perasaan tidak senang kepada Sin Liong! “Memang aneh dia, dan banyak pula terjadi hal-hal aneh menimpanya. Pertama-tama, ketahuilah, Bun Houw, bahwa gurumu telah meninggal dunia.” “Ahhh...!” Bun Houw berseru kaget. “Ihhh...!” In Hong juga berseru tertahan yang merasa sayang kepada kakek pendeta Lama itu. “Hemmm...!” Yap Kun Liong juga menahan seruannya karena diapun merasa amat kagum kepada ayah mertuanya itu. Kok Beng Lama adalah ayah mertua pendekar ini, karena mendiang isterinya, Pek Hong In, adalah puteri tunggal dari pendeta Lama itu (baca cerita Petualang Asmara). “Ayah, apakah yang telah terjadi? Bagaimana suhu sampai meninggal dunia? Apakah dia dibunuh musuh?” Ayahnya menggeleng kepala. “Dia memang sudah tua dan pikun, Bun Houw, dan agaknya memang sudah tiba saatnya bagi Kok Beng Lama untuk meninggalkan dunia ini. Betapapun juga, kematian itu terjadi karena kesalahannya sendiri.” Dengan singkat ketua Cin-ling-pai itu menceritakan tentang pertemuannya dengan Kok Beng Lama, betapa Kok Beng Lama memaksanya untuk mengadu tenaga sin-kang dan betapa Sin Liong yang mencoba untuk melerai itu tanpa disengaja malah mewarisi seluruh tenaga dari Kok Beng Lama, biarpun hal itu juga hampir saja menewaskannya, dan betapa dia terpaksa membuka rahasia Thi-khi-i-beng kepada anak itu untuk menolongnya. Empat orang pendekar itu mendengarkan dengan penuh keheranan dan kekaguman dan mereka kini memandang kepada Sin Liong dengan sinar mata lain. Memang anak luar biasa, pikir mereka. “Bagus, kalau begitu engkau adalah suteku, Sin Liong!” Bun Houw berseru dengan girang. “Engkau she apakah?” Sin Liong sejenak menatap wajah ayah kandungnya itu. Hampir saja dia menitikkan air mata, dan ingin hatinya berteriak bahwa dia adalah putera pendekar itu. Akan tetapi, hatinya memang keras sekali. Melihat ayah kandungnya mempunyai seorang isteri dan meninggalkan ibu kandungnya, dia tidak mau memperkenalkan diri. Hatinya terasa nyeri, lupa dia bahwa ibu kandungnya juga mempunyai suami baru! “Aku tidak mempunyai she,” jawabnya sambil menunduk. “Eh, kenapa begitu aneh?” Giok Keng yang biarpun usianya sudah empat puluh tujuh tahun masih cantik dan masih juga keras hatinya itu berseru. “Lalu siapakah nama ayahmu?” Sin Liong memandang sejenak kepada puteri kakeknya yang sesungguhnya adalah bibinya itu, lalu dia menunduk dan menjawab singkat, “Aku tidak mengenal siapa ayah bundaku.” Cia Keng Hong tersenyum. “Memang dia aneh. Dia tidak tahu siapa ayah bundanya, dan dia hanya ingat bahwa dia bekerja sebagai kacung pada keluarga Na-piauwsu. Akan tetapi, untuk bertanya tentang asal-usul anak ini kepada keluarga Na-piauwsu juga tidak mungkin karena keluarga Na itu dibunuh oleh musuh-musuhnya. Anak ini dibawa oleh seorang wanita kejam yang bernama Kim Hong Liu-nio, seorang wanita yang benar-benar memiliki kepandaian yang mengejutkan dan entah mengapa wanita iblis itu demikian bencinya kepada Sin Liong sehingga menyiksanya dan aku telah membebaskannya dari tangan wanita itu.” “Sin Liong, siapakab wanita itu?” tanya Yap Kun Liong yang merasa tertarik karena diapun tidak mengenal tokoh kang-ouw bernama Kim Hong Liu-nio itu. Kalau ada seseorang tokoh sampai dipuji kepandaiannya oleh Cia Keng Hong, su dah pasti bahwa tokoh itu bukan orang sembarangan dan kepandaiannya tidak boleh dibuat main-main. Sin Liong memang tidak ingin menceritakan banyak-banyak tentang dirinya, akan tetapi karena semua orang memandang kepadanya dan sinar mata mereka menunjukkan bahwa mereka itu ingin sekali mendengar tentang Kim Hong Liu-nio, dia teringat akan tantangannya terhadap Kim Hong Liu-nio dan dengan lantang dia lalu berkata, “Saya tidak mengenalnya. Ketika keluarga Na-piauwsu diserbu musuh dan dibunuh, dia muncul dan dia membunuh semua musuh keluarga Na itu lalu menangkap saya dan membawa saya pergi ke hutan di mana Cia locianpwe menolong saya. Akan tetapi, saya mendengar dia berkata-kata seorang diri bahwa dia akan membunuh semua orang yang she Cia, Yap dan Tio.” “Ehhh?” “Ahhh?” “Heiii...?” Seruan-seruan itu keluar dari mulut Yap Kun Liong, Cia Giok Keng, Cia Bun Houw dan Yap In Hong. Mereka saling pandang, lalu memandang kembali kepada anak itu. Sin Liong merasa senang melihat mereka terkejut. Kalau benar mereka ini adalah pendekar-pendekar besar, ingin dia melihat wanita iblis yang lihai itu berhadapan dengan mereka. “Sungguh aneh sekali! Mengapa justeru she-she dari kita yang dimusuhinya?” tanya Cia Bun Houw sambil memandang Yap In Hong. “DAN she Tio itu bukanlah ada hubungannya dengan Tio Sun twako?” tanya pula Yap In Hong. “Ahhh, sekarang aku ingat...!” Tiba-tiba kakek ketua Cin-ling-pai itu berkata. “Ya, benar. Tadinya aku merasa heran mengapa aku sampai tidak mengenal dasar ilmu silatnya. Kini, setelah mendengar bahwa dia memusuhi kita dan juga Tio Sun, teringatlah aku. Sudah tentu wanita itu ada hubungannya dengan Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li! Benar, ilmu silatnya memang mempunyai dasar ilmu silat dua orang iblis tua itu!” “Akan tetapi mereka itu sudah mati!” kata Yap In Hong. “Pek-hiat Mo-ko telah tewas olehmu dan Hek-hiat Mo-li terluka parah olehku.” Dia bicara kepada Bun Houw. Bun Houw mengangguk-angguk. “Kalau memang ada hubungannya dengan mereka, tentu ada hubungannya dengan Hek-hiat Mo-li. Pek-hiat Mo-ko jelas telah mati, akan tetapi Hek-hiat Mo-li belum tewas biarpun terluka parah akan tetapi dia disalamatkan dengan datangnya Raja Sabutai. Mungkin dia itu murid dari Hek-hiat Mo-li yang masih selalu menaruh dendam kepada kita.” Bun Houw mengerutkan alisnya dan teringatlah akan peristiwa belasan tahun yang lalu ketika dia dan In Hong mengalahkan Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li dalam pertandingan mati-matian. Cia Keng Hong juga mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya. “Kiranya begitu... ilmunya lihai sekali dan setelah menggunakan Thi-khi-i-beng baru aku berhasil menundukkannya. Akan tetapi dia segera mengenal ilmu itu dan mengenalku, lalu pergi. Agaknya tentu Hek-hiat Mo-li yang berdiri di belakangnya. Hemmm, musuh sudah mulai keluar dari sarang dan mencari gara-gara, harap kalian suka berhati-hati,” katanya sambil memandang kepada dua pasang pendekar itu. Empat orang pendekar itu tinggal di Cin-ling-san sampai kakek itu sembuh dari luka-lukanya. Dalam kesempatan itu, Cia Keng Hong secara bergiliran bicara berdua saja dengan dua orang anaknya. Dengan hati terharu dia mendengar dari Bun Houw ketika dia bertanya mengapa puteranya itu belum mempunyai keturunan, dan pengakuan puteranya itu yang bicara dengan nada suara duka mengejutkannya. “Ayah, sebelum ayah memberi restu kepada kami untuk menikah, mana mungkin kami berdua dapat menjadi suami isteri dan mempunyai anak?” Cia Keng Hong memandang kepada puteranya dengan mata terbelalak. “Apa katamu? Engkau dan In Hong... kalian... belum menjadi suami isteri?” Bun Houw mengangkat mukanya memandang kepada ayahnya, sepasang matanya jernih akan tetapi wajahnya agak pucat. “Ayah, kami berdua saling mencinta, saling menghormat, maka bagaimana mungkin kami saling merendahkan dengan jalan melakukan hubungan jina? Biarpun kami telah hidup bersama selama belasan tahun ini, akan tetapi selama ayah masih ada, tanpa perkenan dari ayah atas perjodohan kami, mana berani kami melakukan hubungan yang akan menjadi perjinaan?” Sepasang mata yang terbelalak memandang itu kini menjadi sayu, bibir tua itu gemetar dan hati pendekar itu seperti ditusuk pedang rasanya. Terbukalah kini matanya dan tahulah dia betapa dahulu dia terlalu menuruti hati, terlalu mempertahankan kehendaknya sendiri sehingga dia mengorbankan puteranya yang menderita karena keangkuhannya. Dia memeluk puteranya, merangkul dan berbisik. “Houw-ji... kaumaafkan aku... ah, mendiang ibumu benar, aku terlalu keras kepala... aku telah membuatmu hidup menderita, kaumaafkanlah aku, anakku...” Dua titik air mata membasahi mata pendekar sakti itu, hal yang luar biasa sekali, dan menandakan bahwa hati pendekar itu luar biasa sakitnya, tertindih oleh rasa sesal dan haru. “Tidak, ayah, sebaliknya akulah yang selama ini merasa berdosa dan membikin susah hati ayah,” jawab Bun Houw lirih. “Aku yang bodoh, anakku, lupa akan keadaanku sendiri ketika masih muda. Ah, aku seperti buta dan lupa bahwa tak mungkin mengatur hati orang lain, dan aku bangga sekali mendengar betapa murni cinta antara kalian. Bun Houw, lekas kaupanggil In Hong ke sini!” Bun Houw cepat pergi ke belakang dan tak lama kemudian dia sudah kembali dengan In Hong. Melihat gadis itu, Cia Keng Hong makin terharu. Dia memegang tangan In Hong, memandang tajam dan berkata, “In Hong, kau maafkanlah aku, orang tua tak tahu diri yang kukuh sehingga aku telah membuat kalian berdua menderita. Kalau... kalau kalian masih mau menganggap dan mau menerima, biarlah detik ini aku menyatakan bahwa aku girang sekali kalian saling berjodoh! Kuharap kalian suka menjadi suami isteri dalam arti yang sesungguhnya. Aku... aku... ingin sekali dapat melihat cucuku, putera dari kalian sebelum aku mati...” “Gak-hu...!” In Hong yang biasa menyebut locianpwe itu kini menyebut “ayah mertua” dan menjatuhkan diri berlutut sambil meneteskan beberapa titik air mata. Keadaan tiga orang ini sungguh mengharukan, akan tetapi di dalam keharuan ini muncul sinar yang amat membahagiakan mereka bertiga, terutama di dalam hati Bun Houw dan In Hong sehingga dalam pertemuan pandang mata mereka, selain kasih sayang seperti biasanya, terdapat pula sinar yang membayangkan kegirangan dan juga perasaan malu-malu. Bun Houw juga berlutut di samping isterinya dan berkata, “Kami menghaturkan terima kasih kepada ayah atas kebijaksanaan ayah.” Ucapan itu malah makin menusuk perasaan Cia Keng Hong, sungguhpun Bun Houw tidak bermaksud demikian. Dengan mata basah pendekar sakti yang sudah tua ini menggunakan kedua tangan meraba kepala putera dan mantunya, seperti hendak memberi berkah. “Ayahmu bersalah, ayahmu terlalu mementingkan perasaan dan keinginan hati sendiri sehingga kalian menderita dan menjadi korban selama belasan tahun. Ah, anak-anakku, hendaknya peristiwa ini menjadi pelajaran bagi kalian sehingga kelak kalian tidak melakukan kebodohan seperti yang telah kulakukan ini, dan tidak membikin anak-anak kalian menderita...” Selain mendatangkan kebahagiaan dalam hati dua orang yang saling mencinta itu, menjodohkan mereka sehingga mereka dapet menjadi suami isteri secara sah oleh persetujuan orang tua, dapat menjadi suami isteri dalam arti kata yang sesungguhnya, juga pendekar sakti tua Cia Keng Hong mengadakan pertemuan bertiga saja dengan puterinya, Cia Giok Keng dan Yap Kun Liong. Juga kepada dua orang yang sesungguhnya saling mencinta ini, Cia Keng Hong memberi “lampu hijau”. Antara lain dia berkata dengan nada suara sungguh-sungguh dan yang didengarkan oleh kedua orang itu dengan muka menunduk. “Aku tahu bahwa kalian berdua saling mencinta, Kun Liong dan Giok Keng. Dan kalian adalah orang-orang bebas, seorang duda dan seorang janda. Oleh karena itu, yakinlah hati kalian bahwa aku akan merasa ikut berbahagia, apabila kalian berdua dapat mengisi kekosongan hidup masing-masing dan menjadi suami isteri. Kalian masih cukup muda untuk menikmati hidup, dan sudah selayaknyalah kalau saling mengisi dan saling menghibur. Nah, legalah kini hatiku, karena aku telah menyatakan isi hatiku. Tentu saja pelaksanaannya terserah kepada kalian berdua.” Di depan kakek tua renta itu, tentu saja Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng merasa malu untuk menjawab, akan tetapi terdapat sinar lain dalam pandang mata mereka ketika mereka saling bertemu pandang. Dan sinar-sinar mata inipun dapat ditangkap oleh kakek Cia Keng Hong yang membuatnya tersenyum penuh kelegaan hati, seperti kelegaan hati seorang ayah yang melihat anak-anaknya hidup bahagia. Dua pasang pendekar itu tinggal di puncak Cin-ling-san, merawat Cia Keng Hong sampai kakek pendekar ini sembuh dari sakitnya. Selama beberapa hari itu, ada beberapa orang anggauta Cin-ling-pai yang datang pula untuk menjenguk sehingga terjadilah pertemuan-pertemuan yang menggembirakan. Dalam kesempatan itu, Cia Giok Keng mengusulkan kepada ayahnya apakah tidak sebaiknya kalau Cin-ling-pai dibangun kembali dan memanggil para anggauta yang kini tinggal terpisah-pisah. Kakek itu menggeleng kepala dan menarik napas panjang. “Tidak, Keng-ji. Tidak ada gunanya sama sekali. Kini nampak benar olehku betapa pendirian sebuah perkumpulan hanya berarti memisahkan diri dari orang-orang lain saja. Sebaiknya kalau kita menganggap dunia manusia adalah anggautanya! Dengan demikian, setiap orang manusia sebagai anggauta perkumpulan besar itu akan selalu menjaga dunia, dan saling setia, saling mencinta antara manusia sebagai rekan hidup. Sebaliknya, mendirikan perkumpulan-perkumpulan terpisah-pisah hanya akan mendatangkan lebih banyak permusuhan dan persaingan belaka. Tidak, biarlah Cin-ling-pai bubar saja, lebih baik begini...!” Diam-diam Cia Giok Keng dan Cia Bun Houw melihat betapa ayah mereka telah berubah sama sekali. Dahulu, ayah mereka amat mementingkan nama dan kehormatan sehingga ayah mereka itu menentang perjodohan Bun Houw dengan In Hong karena hendak menjaga nama dan kehormatan pula. Sekarang, ayah mereka telah menjadi lunak dan memiliki pandangan yang amat luas dan sama sekali tidak kukuh lagi. Dua pasang pendekar yang memiliki kepandaian tinggi itu hampir setiap hari menjenguk makam ibu mereka, nyonya Cia Keng Hong. Pada suatu pagi Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng berdua saja bersembahyang di depan kuburan itu. Setelah selesai bersembahyang, mereka berdua lalu berjalan dan tanpa disadari mereka saling bergandengan tangan menuju ke tepi jurang yang ditumbuhi rumput hijau yang gemuk. Mereka tidak mengucapkan sepatah kata, akan tetapi jari-jari tangan mereka yang saling berpegang itu sudah bicara banyak. Mereka lalu duduk, saling berhadapan di atas rumput hijau di tepi jurang, saling memandang, kemudian Cia Giok Keng menundukkan mukanya ketika dia mulai bicara, seolah-olah dia tidak dapat menatap wajah pria yang dicintanya itu. “Kun Liong, apa yang kaupikirkan?” Kun Liong memandang wajah yang menunduk itu. Baginya, wanita yang usianya sudah empat puluh tujuh tahun itu masih nampak seperti dulu, seperti ketika masih gadis remaja, masih tetap cantik menarik. “Giok Keng, agaknya apa yang berada dalam pikiranku tidak jauh bedanya dengan apa yang sedang kaupikirkan. Aku teringat akan pesanan ayahmu.” Wajah yang memang masih jelas memperlihatkan raut yang cantik itu menjadi agak kemerahan, akan tetapi dengan berani Giok Keng mengangkat mukanya memandang. Kembali dua pasang mata bertemu dan melekat. Memang, di saat seperti itu, kata-kata dari mulut tidak lagi banyak artinya, bahkan terasa janggal dan kaku karena sinar mata lebih lancar menyatakan perasaan hati. “Lalu, bagaimana pendapatmu?” Giok Keng bertanya, pertanyaan yang hanya untuk memecahkan kesunyian yang mendatangkan rasa kikuk baginya itu karena sesungguhnya, tanpa bertanyapun dia sudah tahu apa yang menjadi isi hati Kun Liong. Mereka berdua memang saling mencinta, dan tidak ada kesenangan yang lebih besar daripada perkenan ayahnya tadi yang bahkan menganjurkan, agar mereka berdua menjadi suami isteri. Membayangkan bahwa mereka berdua akan tinggal serumah, akan selalu hidup berdampingan, akan membagi segala sesuatu yang mereka hadapi, akan bersama-sama menikmati kesenangan, bersama-sama menanggung penderitaan, benar-benar merupakan suatu hal yang amat menghibur dan membahagiakan hati. “Kau tahu betapa akan bahagia rasa hatiku kalau kita selalu dapat saling berdekatan. Giok Keng, maukah engkau pergi bersamaku ke Leng-kok?” Giok Keng mengerutkan alisnya, berpikir sejenak lalu berkata, “Sebetulnya, apakah bedanya bagi kita tinggal di Leng-kok atau di rumahku di Sin-yang? Di manapun, asal kita berdua, apa bedanya?” Yap Kun Liong memegang tangan wanita itu dan menggenggamnya. “Engkau benar, aku meributkan soal-soal yang kecil saja. Kalau engkau lebih suka tinggal di Sin-yang, akupun tidak akan menolak tinggal di sana.” Melihat betapa pria itu sudah memperlihatkan sikap mengalah. Giok Keng merasa tidak enak hati juga. Seolah-olah dia masih Cia Giok Keng yang dahulu, yang keras hati sehingga kekerasan hatinya itulah yang menggagalkan perjodohannya dengan Kun Liong, dan kekerasan hatinya pula yang mendatangkan atau mengakibatkan segala macam peristiwa hebat (baca Kisah Dewi Maut). Teringat akan ini, dia cepat berkata lagi. “Tentang di mana kita tinggal, kita lihat saja nanti. Bagiku, ke manapun kau pergi dan tinggal, di situ aku merasa betah dan senang, Kun Liong. Akan tetapi, hatiku merasa tidak enak mendengar akan kepergian Ciauw Si yang mencari Bun Houw dan sampai kini belum pulang. Aku mempunyai keinginan untuk lebih dulu pergi merantau mencari anakku itu sampai dapat. Engkau tentu tahu, Seng-ji dan Ciauw Si sekarang telah menjadi anak-anak yang telah dewasa. Dalam urusan antara kita ini, adalah bijaksana kalau aku lebih dulu memberitahukan kepada mereka. Mengertikah engkau?” Kun Liong menggenggam tangan itu dia mengangguk. “Tepat sekali. Memang semestinya demikian, Giok Keng. Akupun akan merasa tidak enak kalau mereka tidak diberi tahu lebih dulu. Kalau begitu, aku akan membantumu mencari puterimu itu. Dan bagaimana dengan puteramu?” “Dia akan pulang kalau sudah tamat belajar dari Kok Beng Lama. Dan kurasa kini memang sudah tiba saatnya dia akan pulang. Kalau begitu, mari kita pergi mencari Ciauw Si besok. Ayah juga sudah sembuh.” Demikianlah, pada keesokan harinya, Cia Giok Keng dan Yap Kun Liong berpamit kepada kakek Cia Keng Hong untuk pergi mencari Ciauw Si. Kakek itu segera menyatakan persetujuannya. Dan dalam kesempatan ini, Cia Bun Houw dan Yap In Hong juga berpamit untuk kembali ke selatan. Karena merasa bahwa dia sudah sembuh, hanya tinggal memulihkan tenaganya saja, Cia Keng Hong sama sekali tidak menahan, bahkan diam-diam dia merasa girang karena kepergian kedua pasang anak-anaknya itu disertai dengan pancaran kebahagiaan di wajah mereka! Dia merasa bahagia sekali dan ketika kedua pasang pendekar itu berpamit lalu pergi, dia mengikuti bayangan mereka dengan pancaran sinar mata penuh kebahagiaan. Sin Liong yang duduk bersila di dekatnya juga memandang dengan sinar mata sayu. Tidak seorangpun di antara mereka tahu betapa anak ini menderita tekanan batin yang cukup hebat, melihat ayah kandungnya pergi tanpa menoleh sedikitpun kepadanya, bahkan tanpa mengetahui bahwa dia adalah anak kandungnya! Ingin dia berteriak, ingin dia mengaku sebelum ayahnya pergi akan keadaan dirinya, akan tetapi anak ini duduk bersila dan menggigit bibir untuk menahan dorongan hati yang ingin berteriak itu sampai akhirnya bayangan empat orang itu lenyap di sebuah tikungan. “Eh, kenapa kau menangis?” Pertanyaan ini mengejutkan hati Sin Liong. Tanpa disadarinya, ketika tadi dia melawan dorongan hatinya, menggigit bibirnya, ada dua titik air mata meloncat keluar ke atas pipinya. “Menangis? Apakah saya menangis, locianpwe?” tanyanya sambil menggerakkan tangan mengusap dua titik air mata itu. Kakek itu tersenyum maklum. Tentu anak ini diam-diam merasa suka kepada kedua putera dan puterinya, dan kini merasa berduka melihat mereka pergi. Kasihan sekali anak ini. Hidup sebatangkara di dunia yang luas dan penuh dengan kekerasan dan kekejaman ini. “Sin Liong, jangan khawatir. Setelah engkau memiliki sin-kang yang diwariskan oleh Kok Beng Lama kepadamu, setelah engkau memiliki Thi-khi-i-beng, dan dalam waktu dekat aku akan mengajarkan ilmu-ilmu silat tinggi kepadamu, kelak engkau dapat menjaga diri sendiri dan dapat mengembara ke manapun sebagai seorang pendekar, seperti anak-anakku itu.” Sin Liong tidak menjawab, melainkan segera berlutut di depan kakeknya itu. Dia kagum kepada kakeknya ini, amat menghormatnya, dan amat sayang kepada kakeknya yang dianggap merupakan seorang manusia budiman yang sangat baik kepadanya. “Terima kasih, locianpwe, terima kasih...” Diam-diam Cia Keng Hong merasa heran mengapa anak ini tidak pernah menyebut suhu kepadanya, akan tetapi karena dia sekarang tidak lagi mau memperdulikan tentang segala macam upacara dan sebutan, dan karena diapun tahu bahwa Sin Liong adalah seorang anak yang aneh sekali, maka diapun tidak pernah menegurnya. Baginya tidak ada bedanya apakah dia akan disebut locianpwe ataukah suhu, karena pendekar sakti yang tua ini mulai terbuka matanya bahwa segala macam upacara dan sopan santun, segala macam sebutan itu hanyalah kosong belaka, seperti kosongnya semua kata-kata yang keluar dari mulut, yang hanya merupakan permainan dari hawa dan angin kosong belaka! Yang penting baginya adalah tindakan, kenyataan, bukan segala macam sebutan dan omongan.   Pendekar sakti Cia Keng Hong memenuhi kata-katanya kepada Sin Liong. Mulai hari itu semenjak kedua orang putera dan puterinya pergi, dia menurunkan ilmu-ilmunya kepada Sin Liong. Ketika dia melatih cucunya, Lie Ciauw Si, dia juga melatih dengan tekun, akan tetapi sekarang, melihat keadaan diri Sin Liong, pendekar ini menjadi kagum dan gembira bukan main. Cucunya perempuan itu hanya memiliki bakat biasa saja dan mempelajari ilmu-ilmu silat tinggi yang amat sukar itu tidak mudah dikuasai oleh Ciauw Si. Akan tetapi tidak demikian halnya dengan Sin Liong. Anak ini benar-benar amat luar biasa sekali. Segala macam pelajaran dasar ditelannya dengan mudah, bahkan ketika kakek itu mulai mengajarkan ilmu-ilmu silat tinggi yang rumit, mudah saja bagi Sin Liong untuk menguasainya. Seolah-olah sekali diberi pelajaran setiap teori ilmu silat, semua itu telah melekat di dalam benaknya dan tidak lupa lagi. Dan ketika dia mulai melatih diri, juga di dalam gerakan-gerakannya terkandung bakat yang amat besar, gerakannya tidak kaku dan seolah-olah gaya ilmu silat memang sudah mendarah daging di dalam tubuhnya. Maka semua pelajaran dapat diterimanya dengan lancar. Cia Keng Hong merasa betapa amat sukar baginya untuk memulihkan tenaganya. Tubuhnya sudah sehat kembali, akan tetapi tenaganya tidak dapat pulih seperti sebelum dia bertanding melawan Kok Beng Lama. Hal ini dianggapnya bahwa usianya sudah sangat tua dan ini pula yang membuat dia tergesa-gesa menurunkan semua ilmu silat tinggi kepada Sin Liong. “Pelajari dulu kauwkoat (teori silat) sampai kau hafal betul. Melatihnya boleh belakangan, Sin Liong.” Demikianlah kakek itu berkata dan dia lalu mengajarkan teori-teori dari ilmu-ilmu silat yang pernah menggemparkan dunia persilatan, seperti San-in-kun-hoat, Thai-kek-sin-kun, Siang-bhok-kiam-sut dan banyak lagi ilmu-ilmu silat yang sukar dicari bandingnya di dunia persilatan. Dan semua teori ilmu silat yang aneh-aneh itu telah dicatat oleh ingatan dalam otak Sin Liong yang luar biasa cerdasnya. Dalam waktu kurang lebih setahun lamanya, Sin Liong telah berhasil menghafal semua teori ilmu silat yang banyak macamnya itu, dan selain hafal, juga dia telah diberi petunjuk oleh kakek itu bagaimana untuk melatih ilmu-ilmu itu seorang diri kelak. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Cin-ling-pai sekarang sama sekali tidak sama dengan Cin-ling-pai belasan tahun yang lalu, ketika Cin-ling-pai masih merupakan sebuah perkumpulan besar dengan tokoh-tokohnya yang terkenal sebagai Cap-it Ho-han (Sebelas Pendekar) dari Cin-ling-pai. Akan tetapi semenjak Cap-it Ho-han tewas di tangan musuh-musuh besar Cin-ling-pai, yaitu Ngo-sian Eng-cu (Lima Bayangan Dewa), maka Cin-ling-pai seperti kehilangan pamornya (baca cerita Dewi Maut). Apalagi setelah Cia Keng Hong kehilangan puteranya dan kematian isterinya kakek ini lalu membubarkan Cin-ling-pai sehingga semua anak murid atau anggauta Cin-ling-pai menjadi tersebar ke mana-mana. Betapapun juga, masih ada saja anak murid yang kadang-kadang naik ke Cin-ling-san untuk mengunjungi guru besar mereka itu. Para anggauta atau lebih tepat lagi bekas anggauta Cin-ling-pai yang datang berkunjung, mengerti bahwa kini guru besar mereka mempunyai murid lagi, seorang pemuda aneh yang pendiam dan serius, yang jarang sekali bicara bahkan tidak menjawab sepenuhnya kalau ditanya. Juga Cia Keng Hong yang mengerti akan keanehan anak itu, tidak mau banyak bicara tentang Sin Liong, hanya samar-samar kakek ini mengatakan bahwa Sin Liong merupakan pewarisnya yang terakhir dan yang paling berbakat! Pada suatu senja yang cerah dan indah, seperti biasa semenjak dia pulang ke Cin-ling-san bersama Sin Liong, kakek Cia Keng Hong bersamadhi seorang diri di dalam kebun di belakang pondoknya. Bersamadhi setiap matahari timbul dan matahari tenggelam merupakan pekerjaan sehari-hari kakek itu, dan dalam keadaan seperti itu, dia tidak mau diganggu. Oleh karena itu, Sin Liong dan para anggauta Cin-ling-pai tidak ada yang berani mendekati kakek itu kalau kakek Cia Keng Hong sedang berada di kebun. Dan pada senja hari itu, ada belasan orang bekas anggauta Cin-ling-pai yang datang berkunjung. Mereka ini berkumpul di ruangan besar bercakap-cakap, karena Cin-ling-san kini merupakan suatu tempat bertemu dan berkumpul antara mereka dan dalam pertemuan ini tentu saja banyak yang mereka bicarakan. Di antara mereka terdapat beberapa orang bekas anggauta golongan tua yang memiliki kepandaian tinggi karena mereka dahulu adalah tokoh-tokoh tingkat dua, yaitu murid-murid langsung dari mendiang Cap-it Ho-han, yaitu sebelas orang pendekar dari Cin-ling-pai itu. Sin Liong sendiri yang juga maklum akan kebiasan kakeknya, tidak berani mengganggu dan dia berada di dalam kamarnya untuk melatih pernapasan seperti yang diajarkan oleh kakeknya. Kini, anak berusia empat belas tahun ini sudah dapat menguasai hawa sin-kang yang amat kuat di tubuhnya itu, bahkan tahu cara memeliharanya dengan pengumpulan hawa murni dan mengatur pernapasan. Dia dapat pula menggerakkan hawa sin-kang itu di seluruh tubuhnya sehingga biarpun semua ilmu silat tinggi itu belum dikuasainya, namun dengan tenaganya yang dahsyat dia sudah merupakan seorang pemuda tanggung yang amat tangguh. Kakek Cia Keng Hong duduk bersila di atas batu bulat di kebunnya, di bawah sebatang pohon yang-liu yang daunnya bergerak-gerak lembut tertiup angin senja. Dia bersamadhi dengan tenang, kedua tangannya bersilang di depan dada. Kakek ini tenggelam di dalam samadhinya, dan biarpun kini kesehatannya sudah pulih kembali, namun tenaganya jauh berkurang dibandingkan dengan dahulu. Diapun sudah tidak berminat lagi untuk memperkuat tubuhnya, hanya memperdalam ketenangan batinnya, menghentikan segala macam gangguan pikiran. Kini tidak ada lagi kedukaan mengganggu batinnya. Dia sudah bertemu kembali dengan puteranya, bahkan telah memberi persetujuan kepada puteranya untuk berjodoh dengan wanita yang dipilihnya. Diapun sudah memberi dorongan kepada puterinya untuk menikmati kehidupan bersama pria yang dicintanya. Dan diapun merasa lega bahwa dia bertemu dengan seorang anak luar biasa seperti Sin Liong sehingga dia dapat menurunkan semua kepandaiannya. Dalam diri Sin Liong dia melihat bakat yang ada pada dirinya sendiri, dan dibandingkan dengan puteranya, Bun Houw, bakat Sin Liong bahkan masih menang setingkat. Maka hatinya sudah puas dan kakek ini merasa sudah siap untuk meninggalkan dunia ini dengan hati tenang dan tenteram. Tidak ada lagi duka dan persoalan yang mengikat batinnya, maka samadhinya demikian mendalam, membuat dia lupa segala. Kakek itu yang sudah bebas dari kekhawatiran, tidak tahu bahwa pada saat dia tenggelam dalam samadhinya itu tiba-tiba muncul dua orang yang mendaki puncak dan dengan gerakan yang cepat sekali memasuki taman di belakang pondoknya. Mereka adalah seorang wanita yang cantik sekali bersama seorang nenek bermuka hitam yang memegang sebatang tongkat. Mereka itu adalah Kim Hong Liu-nio dan gurunya, Hek-hiat Mo-li! Seperti telah kita ketahui, wanita cantik jelita ini, telah berhasil menewaskan seorang di antara tiga tokoh utama yang menjadi musuh besar gurunya, yaitu Tio Sun. Sudah berkuranglah sumpahnya dan kini dia tidak perlu lagi mengejar-ngejar dan membunuhi orang-orang she Tio karena orang she Tio yang utama telah berhasil dibunuhnya. Ketika dia sedang menyiksa Sin Liong yang diketahuinya sebagai putera Cia Bun Houw menurut pengakuan anak itu sendiri, dia bertemu dengan pendekar tua Cia Keng Hong dan dia terkejut bukan main menyaksikan kelihaian kakek tua itu. Memang sudah lama dia mendengar tentang ketua Cin-ling-pai itu dari gurunya, akan tetapi Kim Hong Liu-nio yang tadinya terlalu mengandalkan kehebatan ilmu kepandaiannya sendiri, mula-mula memandang rendah. Baru setelah dia bentrok dengan Cia Keng Hong, dia terkejut setengah mati dan merasa jerih, meninggalkan kakek itu dan cepat-cepat dia mencari gurunya yang memang sudah hendak turun tangan sendiri, meninggalkan utara, dan kini Hek-hiat Mo-li sudah berada tidak jauh dari tempat itu. Maka Kim Hong Liu-nio lalu menceritakan kepada gurunya tentang pertemuannya dengan pendekar tua Cia Keng Hong dan mengatakan pula betapa lihainya pendekar tua itu. Mendengar ini, Hek-hiat Mo-li lalu mengajak muridnya untuk melatih diri dan memperkuat diri sebelum mereka berdua turun tangan. Sampai beberapa bulan lamanya guru dan murid ini melatih diri dan setelah merasa diri mereka benar-benar kuat, keduanya lalu pergi mendaki Bukit Cin-ling-san dan pada senja hari itu mereka memasuki kebun di mana pendekar tua Cia Keng Hong sedang duduk bersamadhi seorang diri. Ketika Kim Hong Liu-nio yang berjalan di depan dengan langkah ringan sekali itu melihat betapa dari kepala kakek yang sedang duduk bersamadhi itu mengepul uap putih yang tebal, dia terkejut dan tertegun, merasa makin jerih. Akan tetapi tidak demikian dengan Hek-hiat Mo-li. Nenek ini merasa girang sekali melihat uap putih itu dan dia tahu bahwa saat itu musuh besarnya sedang dalam keadaan “kosong”, maka dengan mukanya yang hitam berubah beringas, nenek ini lalu meloncat dan menggerakkan tongkatnya ke arah punggung kakek itu sambil mengerahkan tenaga sin-kang sepenuhnya. Melihat ini, Kim Hong Liu-nio menjadi berani dan diapun meloncat dan dengan tangan kanannya dia memukul pula ke arah tengkuk kakek itu. “Blukk! Plakkk!” Hantaman tongkat dan tamparan tangan itu tepat mengenai punggung dan tengkuk Cia Keng Hong hampir berbareng akan tetapi kedua orang penyerang gelap itu terkejut setengah mati. Tongkat di tangan Hek-hiat Mo-li patah menjadi dua potong sedangkan Kim Hong Liu-nio merasa betapa telapak tangan kanannya panas dan nyeri bukan main. Mereka terkejut dan meloncat mundur. Ketika menerima pukulan-pukulan tadi, Cia Keng Hong dalam keadaan samadhi yang amat mendalam, akan tetapi sebagai seorang ahli silat yang tingkatnya sudah amat tinggi, apalagi karena dia telah menguasai Thi-khi-i-beng dengan sempurna, maka tubuhnya dapat secara otomatis menjaga diri dan begitu pukulan-pukulan itu tiba, tenaga sin-kangnya sudah bergerak dan menolak dan mengejutkan kedua orang lawannya, namun sesungguhnya dia telah menderita luka-luka yang hebat di dalam tubuhnya! Pukulan tongkat dan hantaman tangan guru dan murid tadi hebat bukan main dan takkan dapat tertahan oleh seorang ahli yang bagaimana kuatpun. Jangankan pukulan itu diterima oleh Cia Keng Hong dalam keadaan tidak sadar, bahkan andaikata diterimanya dalam keadaan sadar sekalipun, tentu dia akan terluka hebat. Akan tetapi hal ini tidak diketahui oleh Kim Hong Liu-nio dan gurunya, maka mereka berdua terkejut bukan main. Kim Hong Liu-nio menjadi makin jerih, akan tetapi Hek-hiat Mo-li yang sudah marah bertemu dengan seorang di antara musuh-musuh utamanya itu, kini sudah menerjang maju lagi dengan tongkatnya.   Tubuh Cia Keng Hong yang masih bersila tadi, kini melayang turun dari atas batu dan dengan dorongan-dorongan kedua tangannya, dia membuat guru dan murid itu terhuyung ke belakang. Pendekar tua itu memaksa dirinya untuk menggunakan sin-kang yang hebat, dan hal ini makin membuat luka-lukanya di dalam tubuh menjadi parah. Dia maklum akan hal ini, akan tetapi dia tahu pula bahwa tanpa memamerkan kekuatan sin-kangnya dia tidak akan dapat membikin jerih dua orang lawan tangguh ini, dan untuk mengadu silat, dia merasa bahwa dia tidak akan dapat bertahan lama dengan luka-luka hebat itu. Untuk menambah kekuatannya, Cia Keng Hong mengeluarkan suara melengking dahsyat dan kembali kedua tangannya mendorong ke arah dua orang lawannya dan kembali guru dan murid itu terhuyung ke belakang, biarpun mereka sudah mencoba untuk mempertahankan diri. Suara melengking itu mengejutkan belasan orang anggauta Cin-ling-pai yang sedang berkunjung dan berkumpul di dalam ruangan besar, juga terdengar pula oleh Sin Liong. Mereka semua menjadi terkejut dan cepat-cepat mereka berlarian menuju ke kebun di belakang. Ketika melihat betapa ketua Cin-ling-pai itu sedang bertanding dan dikeroyok oleh seorang wanita cantik dan seorang nenek tua bermuka hitam, mereka terkejut sekali dan tidak berani sembarangan turun tangan tanpa ada perintah dari guru besar itu. Akan tetapi, selagi belasan orang tokoh Cin-ling-pai itu tertegun dan meragu, tiba-tiba terdengar gerengan seperti suara seekor monyet besar atau seekor harimau marah dan sesosok bayangan berkelebat dan bayangan itu langsung menerjang Kim Hong Liu-nio dengan terkaman dahsyat dan dengan pukulan kedua tangannya. Semenjak dia kecil, Sin Liong sudah sering kali melihat orang-orang yang disayangnya dibunuh orang tanpa dia mampu membantu atau mencegah kejadian itu. Pertama-tama dia melihat ibu kandungnya dibunuh orang, biang monyet yang memellharanya dibunuh orang, kemudian melihat Na-piawsu dibunuh orang. Kini, melihat kakek yang amat disayangnya itu diserang oleh dua orang ini, apalagi mengenal bahwa seorang di antara mereka yang menyerang kakeknya adalah Kim Hong Liu-nio, wanita yang bukan hanya telah membunuh ibu kandungnya akan tetapi yang sudah sering menyiksanya, dia menjadi marah sekali dan timbullah sifat liarnya. Dia menyerang seperti seekor binatang buas dan kemarahan yang hebat ini mendorong keluar semua tenaga sin-kang yang mengeram di dalam tubuhnya. Melihat Sin Liong, wanita itu mengenalnya dan tentu saja memandang rendah, bahkan menyambut terjangan Sin Liong itu dengan hantaman tangan kirinya. “Desss...! Ihhhh...!” Tubuh Kim Hong Liu-nio terlempar dan bergulingan, lalu dia meloncat bangun, mukanya pucat dan matanya terbelalak. Tak disangkanya betapa pertemuan tenaga dengan anak berusia empat belas tahun itu membuat dia terlempar, dan hampir saja dia celaka! Melihat betapa anak itu berani turun tangan membantu guru besar mereka, para anggauta Cin-ling-pai juga lalu menerjang maju. Sementara itu, nenek Hek-hiat Mo-li yang merasa penasaran karena hantaman tongkatnya tadi tidak menewaskan Cia Keng Hong, kini membentak keras dan tubuhnya melayang ke depan, menyerang Cia Keng Hong. Pendekar ini menanti sampai nenek itu datang dekat, kemudian dengan gerakan istimewa dia menangkis hantaman nenek itu, dan membarengi dengan tamparan tangan kirinya. Itulah gerakan dari jurus Ilmu Silat Thai-kek-sin-kun yang tidak disangka-sangka oleh Hek-hiat Mo-li, maka tanpa dapat dicegah lagi pundaknya kena ditampar sehingga diapun terlempar dan jatuh bergulingan seperti halnya Kim Hong Liu-nio tadi. Akan tetapi baik nenek muka hitam ini maupun Kim Hong Liu-nio, telah memiliki kekebalan yang luar biasa, kekebalan yang bukan hanya dapat menghadapi pukulan kosong bahkan mampu bertahan terhadap pukulan sakti dan pukulan senjata tajam! Kekebalan inilah yang dahulu membuat mendiang kakek Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li amat sukar dilawan dan barulah pendekar Cia Bun Houw berhasil membunuh Pek-hiat Mo-ko dan Yap In Hong berhasil melukai Hek-hiat Mo-li setelah mereka berdua ini mengetahui rahasia kelemahan kakek dan nenek itu (baca cerita Dewi Maut). Cia Keng Hong sudah mendengar dari puteranya bahwa nenek ini memiliki kelemahan di telapak kakinya, akan tetapi karena dia sendiri sudah terluka hebat, maka tidak mudah baginya untuk menyerang tempat berbahaya lawan ini. Apalagi hantaman-hantaman yang dilakukannya tadi menggunakan sin-kang pula sehingga keadaannya menjadi makin parah dan hampir saja dia tidak kuat berdiri lagi. Hanya dengan paksaan dan pengerahan tenaga terakhir dia masih mampu menghadapi lawan. Kini para anggauta Cin-ling-pai sudah mengeroyok nenek dan wanita cantik itu, dan Sin Liong yang terutama sekali menerjang dan mendesak Kim Hong Liu-nio yang dibencinya. Melihat betapa kakek Cia Keng Hong benar-benar lihai bukan main, kini ditambah pula oleh orang-orang Cin-ling-pai, nenek dan muridnya itu mulai merasa gentar. Mereka mengamuk dan ada empat orang anggauta Cin-ling-pai yang roboh dan tewas, sedangkan Sin Liong yang baru menguasai teori-teori belaka dari ilmu-ilmu silat tinggi, tentu saja dalam ilmu silat masih kalah jauh dibandingkan dengan Kim Hong Liu-nio sehingga berkali-kali dia kena dihantam sampai bergulingan. Akan tetapi diam-diam Kim Hong Liu-nio bergidik karena bukan saja anak itu tidak sampai tewas atau terluka oleh hantamannya, bahkan sering kali tangannya melekat dan tenaganya tersedot oleh ilmu Thi-khi-i-beng yang amat ditakutinya itu. Kalau saja dia tidak memperoleh latihan khusus dari gurunya untuk melepaskan diri terhadap ilmu mujijat itu, tentu dia sudah kena ditempel dan disedot sampai tehaganya habis oleh anak ini! Setelah berhasil merobohkan empat orang, Hek-hiat Mo-li maklum bahwa dia dan muridnya takkan berhasil, bahkan kalau tokoh-tokoh lain seperti putera Cin-ling-pai itu, dan wanita perkasa Yap In Hong muncul, juga kakak wanita itu yang bernama Yap Kun Liong tentu dia dan muridnya akan celaka. “Mari kita pergi!” bentaknya dan sekali meloncat, tubuhnya sudah melayang jauh, pergi dari situ. Melihat ini, Kim Hong Liu-nio juga meloncat pergi menyusul gurunya. Sin Liong yang marah sekali sudah bergerak hendak mengejar, juga para anggauta Cin-ling-pai, akan tetapi terdengar suara lemah kakek itu mencegah, “Jangan kejar...!” Sampai lama Sin Liong dan para anak buah Cin-ling-pai berdiri memandang ke arah lenyapnya dua orang musuh itu, kemudian para bekas anggauta Cin-ling-pai itu sibuk merawat mereka yang luka dan tewas dalam pertempuran itu. “Kong-kong...!” Teriakan itu mengejutkan semua orang. Mereka menengok dan melihat Sin Liong menangis di depan kakek yang telah duduk bersila kembali di atas batu itu. Semua bekas anggauta Cin-ling-pai berlari menghampiri dan terkejut bukan main melihat bahwa guru besar mereka itu ternyata telah tak bernapas lagi! Kiranya setelah mencegah semua orang mengejar musuh-musuh yang amat lihai itu, Cia Keng Hong kembali duduk bersila dan kakek ini melepaskan napas terakhir sambil duduk bersila. Pukulan-pukulan dua orang lawan yang amat lihai itu tadi telah mengguncangkan jantung dan melukai isi dada dan perutnya. Hanya karena semangatnya yang luar biasa saja kakek tua renta ini tadi masih mampu melawan, bahkan membikin jerih hati musuh-musuhnya. Akan tetapi justeru perlawanannya itu membutuhkan pengerahan tenaga dan dalam keadaan luka hebat dia mengerahkan tenaga, maka hal ini tentu saja membuat luka-lukanya menjadi makin parah dan yang mencabut nyawanya setelah dia duduk bersila. Sin Liong yang pertama kali melihat keadaan kakek itu, menjerit dan dalam kedukaannya dia sampai lupa diri dan menyebut kakek itu “kong-kong” karena dia memang merasa amat sayang kepada kong-kongnya (kakeknya) itu. Melihat kakeknya mati, dia berteriak lalu menangis mengguguk seperti anak kecil. Belum pernah selamanya dia menangis seperti itu. Akan tetapi hanya sebentar dia menangis dan setelah berhenti menangis, dia hanya diam saja seperti patung, ketika melihat para bekas anak buah Cin-ling-pai sambil menangis lalu mengangkat jenazah itu, bersama empat orang anggauta Cin-ling-pai lainnya, membawanya masuk ke dalam pondok. Sampai semua jenazah dimasukkan peti dan dijajarkan di ruangan depan dengan peti jenazah bekas ketua Cin-ling-pai itu di depan dan empat buah peti jenazah para anggauta itu di belakang, Sin Liong tidak pernah menangis lagi, juga tidak pernah mengeluarkan sepatahpun kata. Akan tetapi dia hanya duduk bersila di dekat peti jenazah kongkongnya itu, tak pernah makan tak pernah tidur, hanya duduk bersila seperti sebuah arca. Setiap kali terdengar orang menangis dan berkabung, para keluarga empat orang anggauta Cin-ling-pai itu. Bekas anak buah Cin-ling-pai berbondong-bondong datang dan menangis. Berita secepatnya dikirim melalui dunia kang-ouw dan beberapa hari kemudian berturut-turut datanglah Cia Bun Houw dan Yap In Hong, lalu Yap Mei Lan, Lie Seng, Souw Kwi Eng dan Souw Kwi Beng yang datang bersama. Riuh rendah tangis mereka di depan peti mati. Seperti telah diceritakan di bagian depan, empat orang muda itu, Yap Mei Lan, Lie Seng, Souw Kwi Eng dan Souw Kwi Beng, datang ke Cin-ling-pai uniuk mengabarkan tentang kematian Tio Sun di tangan ketua Hwa-i Kai-pang yang kenal baik dengan ketua Cin-ling-pai, kong-kong dari Lie Seng. Akan tetapi, ketika mereka akhirnya tiba di Cin-ling-san, mereka hanya mendapatkan bahwa ketua Cin-ling-pai telah tewas. Setelah bertangis-tangisan dan berkabung, Bun Houw dan isterinya bercakap-cakap dengan empat orang itu. Sebenarnya, kalau saja tidak terjadi hal yang menyedihkan berhubung dengan kematian kakek Cia Keng Hong, tentu pertemuan itu akan menggembirakan sekali, Yap Mei Lan adalah keponakan dari In Hong, dan Lie Seng adalah keponakan dari Bun Houw. Bahkar, Souw Kwi Eng pernah ditunangkan dengan Cia Bun Houw (baca Dewi Maut)! Akan tetapi, mereka semua sedang berkabung dalam kedukaan, maka tentu saja tidak ada suasana gembira dalam pertemuan mereka. Hanya In Hong yang merangkul keponakannya yang dia duga tentu sudah memiliki kepandaian hebat setelah digembleng oleh Kok Beng Lama itu. Tiba-tiba Souw Kwi Eng menangis lagi, kini tangisnya tidak seperti ketika menangis di depan peti mati kakek Cia, bahkan dia menangis dengan penuh kedukaan sehingga mengejutkan Bun Houw dan In Hong. Yap In Hong yang tidak lagi cemburu kepada bekas tunangan suaminya ini karena dia sudah tahu bahwa wanita peranakan barat ini sudah menikah dengan Tio Sun, segera mendekatinya dan memegang pundaknya. “Adik Kwi Eng, sudahlah, jangan engkau terlalu berduka...!” dia menghibur. Kwi Eng mengangkat muka memandang dan tiba-tiba dia merangkul leher In Hong dan tangisnya makin mengguguk. Di antara tangisnya In Hong mendengar kata-kata yang membuatnya terbelalak dan terkejut sekali, “...bagaimana... takkan berduka... kalau... kalau suamiku dibunuh orang...?” Tentu saja bukan hanya In Hong yang terkejut mendengar ini, juga suaminya, Cia Bun Houw kaget bukan main. Mereka tadi melihat betapa nyonya muda yang cantik jelita ini memakai pakaian berkabung, akan tetapi mereka hanya mengira bahwa nyonya muda ini karena sudah mendengar akan kematian kakek Cia yang amat dikaguminya, memang sengaja mengenakan pakaian berkabung. Siapa kira, nyonya muda ini berkabung karena kematian suaminya yang dibunuh orang! “Siapa yang membunuh Tio-twako? Siapa?” Bun Houw berseru dengan penasaran sekali. Ayahnya baru saja dibunuh orang, dan kini dia mendengar bahwa Tio Sun dibunuh orang pula. Dengan panjang lebar Souw Kwi Beng mewakili saudara kembarnya, menceritakan tentang kematian Tio Sun di tangan ketua Hwa-i Kai-pang dalam suatu pertempuran gara-gara seorang wanita bernama Kim Hong Liu-nio. “Iparku itu hanya ingin mendamaikan antara Panglima Lee Siang dan ketua Hwa-i Kai-pang,” demikian dia menutup ceritanya, “akan tetapi siapa kira, ketua Hwa-i Kai-pang mengira bahwa iparku itu membela wanita yang bernama Kim Hong Liu-nio itu sehingga terjadi pertempuran dan iparku tewas...” “Kim Hong Liu-nio...?” Bun Houw bangkit berdiri dan mengepal tinjunya. “Kiranya perempuan itu pula yang menjadi gara-gara?” Kini giliran empat orang itu, Yap Mei Lan, Lie Seng, Souw Kwi Eng, dan Souw Kwi Beng yang mendengar betapa kakek Cia juga tewas oleh Kim Hong Liu-nio dan gurunya, Hek-hiat Mo-li! “Dan semua ini adalah gara-gara bocah itu!” tiba-tiba Bun Houw berkata sambil menudingkan telunjuknya ke arah Sin Liong yang masih duduk seperti arca di dekat peti jenazah dengan muka pucat. Mendengar kata-kata ayah kandungnya yang menuding kepadanya itu, Sin Liong memandang dengan mata terbelalak dan mukanya menjadi pucat. Semua mata kini ditujukan kepadanya. “Mendiang ayah bentrok dengan Kim Hong Liu-nio karena menolong bocah itu!” Bun Houw berkata penuh penyesalan. “Dan bocah itu pula yang bercerita kepada kami bahwa Kim Hong Liu-nio memusuhi orang-orang she Tio, Yap dan Cia. Sebelum muncul bocah itu kita semua hidup tenteram dan tidak pernah terjadi permusuhan dengan siapapun. Bocah ini benar-benar mendatangkan sial!” Yap In Hong menyentuh lengan suaminya yang sedang dicekam kedukaan dan kemarahan itu, lalu dia menghampiri Sin Liong dan bertanya, “Sin Liong, menurut keterangan para anggauta Cin-ling-paim nenek itu berwajah hitam. Engkau yang mengenal Kim Hong Liu-nio, tentu engkau tahu pula siapa nenek yang datang bersama wanita itu? Apakah benar dia itu Hek-hiat Mo-li?” Yap In Hong ini pernah bertanding dengan Hek-hiat Mo-li, bahkan berhasil melukai nenek yang kebal itu karena dia tahu di mana letak kelemahannya. Akan tetapi sebelum dia sempat membunuh nenek iblis itu, keburu datang Raja Sabutai yang menyelamalkan nenek yang juga guru raja itu. Kini dia bertanya kepada Sin Liong, selain untuk memperoleh keyakinan, juga untuk menghentikan suaminya memarahi anak itu. Sin Liong yang sejak tadi mengalami tekanan batin, merasa berduka sekali, penasaran dan juga marah-marah mendengar ayah kandungnya sendiri memaki dan menyalahkannya, tidak menjawab, bahkan tidak mendengar pertanyaan yang diajukan oleh Yap In Hong itu. Dia hanya bersila sambil menundukkan mukanya, alisnya berkerut, bibirnya dikatupkan keras-keras. “Kalau dia tidak bisa bicara lagi, biar saja tak usah ditanya!” Bun Houw yang masih merasa marah karena terdorong kedukaan dan penyesalan, berkata lagi. “Tak perlu mendapatkan keterangan anak sial itupun sudah jelaslah bahwa nenek muka hitam itu pasti Hek-hiat Mo-li orangnya. Dan perempuan itu tentu muridnya. Setelah selesai pemakaman jenazah ayah, aku akan mencarinya dan membunuh mereka!” “Tidak perlu!” Tiba-tiba Sin Liong yang sejak tadi diam saja, kini membentak dengan suara yang amat lantang sehingga mengejutkan semua orang. Seperti sebuah gunung berapi yang sudah ditahan-tahan sekian lamanya dan kini meletus, Sin Liong bangkit berdiri, sepasang matanya mencorong seperti mata naga sakti, kedua tangannya dikepal dan dia berkata, “Akulah yang akan membalas kematian kong-kong! Akulah yang akan mencari musuh-musuh besar itu dan membunuh mereka. Aku tidak mengharapkan bantuan para pendekar. Para pendekar yang hebat-hebat hanya namanya saja pendekar, duduk di tempat tinggi, mabok kemuliaan dan nama besar seolah-olah mereka itu adalah dewa-dewa di sorga, bukan manusia! Padahal, namanya saja pendekar-pendekar mulia, akan tetapi perbuatannya banyak yang rendah dan hina, di balik nama-nama besar itu tersembunyi perbuatan kotor!” “Bocah lancang mulut...!” Bun Houw membentak akan tetapi isterinya menyentuh lengannya. “Ssttt...!” kata In Hong berbisik sambil memandang kepada Sin Liong dengan mata penuh kagum dan tertarik. Bocah itu bukan sembarang bocah dan dia melihat sesuatu yang aneh pada mata bocah itu, dan dia merasa seolah-olah dia sudah mengenal anak ini, entah di mana dan kapan. “Para pendekar merasa bahwa mereka itu orang-orang paling mulia, paling suci, paling terhormat dan paling tinggi, paling hebat! Semua itu hanya untuk menyembunyikan perbuatan-perbuatan mereka yang kotor dan tidak bertanggung jawab! Biarlah aku seorang yang akan membalas dendam, aku yang akan mencari mereka itu dengan taruhan nyawaku, jangan ada yang turut campur!” Setelah mengeluarkan kata-kata sebagai peluapan rasa marah dan penasarannya itu, Sin Liong terisak sekali lalu duduk bersila lagi di dekat peti jenazah, menunduk dan apapun yang akan dilakukan orang kepadanya, jangan harap dia akan mau membuka mulut lagi. Dia sudah menyampaikan isi hatinya yang penuh penasaran. Ketika dia bicara, dia teringat akan ibu kandungnya yang ditinggalkan ayah kandungnya, maka dia bicara tentang perbuatan kotor para pendekar yang dikatakan tidak bertanggung jawab! Tentu saja dia tujukan ucapan itu kepada ayah kandungnya. Dan dia memang menaruh dendam kepada Kim Hong Liu-nio, lebih dari pada mereka semua, karena wanita itu telah membunuh ibu kandungnya di depan matanya, dan membunuh pula kong-kongnya. Semua orang bengong menyaksikan sikap dan mendengar ucapan Sin Liong itu. Yap In Hong masih memegang lengan suaminya, mencegah suaminya marah-marah, karena amat tidak baik marah-marah di depan peti jenazah ayah mertuanya itu. Pada saat semua orang masih bengong memandang kepada Sin Liong, tiba-tiba terdengar jerit tertahan, “Ayahhhh...!” Dan berkelebatlah sesosok bayangan orang. Bayangan ini adalah Cia Giok Keng yang begitu tiba di situ terus menjatuhkan diri berlutut di depan mati jenazah ayahnya, memeluki peti dan menangis tersedu-sedu, kemudian dia tentu akan terguling roboh kalau tidak cepat-cepat Yap Kun Liong menyambar tubuh yang pingsan itu. Kembali hujan tangis di tempat itu karena semua orang yang menyaksikan ini mulai menangis lagi. Sin Liong telah dilupakan orang yang tenggelam dalam kedukaan dan keharuan itu. Ternyata Cia Giok Keng dan Yap Kun Liong yang belum berhasil menemukan Lie Ciauw Si, mendengar berita tentang kematian kakek Cia dari suara di dunia kang-ouw. Mereka cepat-cepat kembali ke Cin-ling-san dan di sepanjang jalan Cia Giok Keng sudah menangis sedih, dihibur oleh Yap Kun Liong. Maka begitu tiba di depan peti jenazah, wanita ini lalu menjerit dan menangis, kemudian roboh pingsan. Suasana di situ diliputi keharuan dan kedukaan. Cia Giok Keng menangis tersedu-sedu ketika dia telah siuman kembali dan dia berangkulan dengan Cia Bun Houw. Dua orang inilah yang merasa paling terpukul dengan kematian ayah mereka, dan kini pendekar sakti Cia Bun Houw tak dapat lagi menahan tangisnya melihat encinya, apalagi dia teringat betapa dia telah pernah marah dan meninggalkan ayahnya sampai belasan tahun sehingga kematian ibunyapun tidak diketahuinya. Sekarang, baru saja dia pulang dan berbaik kembali dengan ayahnya, merasakan betapa ayahnya sesungguhnya amat mencintanya, baru saja berjumpa satu kali dengan ayahnya, kini ayahnya telah mati dibunuh orang, atau setidaknya, meninggal akibat pertempuran melawan orang lain. Dia mengerti bahwa sebenarnya ayahnya tidaklah langsung dibunuh orang, melainkan bertempur melawan guru dan murid itu dan menurut cerita para anggauta Cin-ling-pai, ayahnya tidak kalah, bahkan membikin jerih musuh-musuh yang melarikan diri. Akan tetapi dia tahu bahwa ayahnya memang telah tua dan lemah, telah banyak berkurang tenaganya sehingga ketika menghadapi dua orang yang tangguh itu, ayahnya terluka dan tewas. Pada saat itu, di antara para tamu yang mulai berdatangan untuk memberi penghormatan terakhir kepada jenazah dalam peti, muncul orang laki-laki tua yang aneh sekali bentuk tubuhnya. Melihat wajahnya, jelaslah bahwa laki-laki ini sudah tua sekali, seorang kakek yang memang sukar ditaksir berapa usianya, akan tetapi tentu sudah tua sekali karena mukanya yang kurus itu penuh keriput, matanya agak juling dan kepalanya gundul pelontos dan halus kulitnya, hanya ada sedikit rambut kering yang tumbuh di padang tandus, tumbuh di atas kepala, di tengah-tengah menutupi ubun-ubun. Kepalanya besar dan bulat, tapi kurus, dengan dua buah daun telinga yang tebal dan lebar. Alisnya tebal, sudah bercampur uban, bengkak-bengkok di atas sepasang matanya yang juling. Hidungnya pesek dan mulutnya lebar sekali, agaknya memang tidak dapat ditutup baik-baik sehingga balik bibirnya selalu nampak. Gigi bawahnya sudah habis dan gigi atasnya tinggal beberapa buah saja, berderet jarang. Kepala dan wajah itu biarpun amat buruk dan menyeramkan, namun belumlah aneh kalau dibandingkan dengan bentuk tubuhnya dari leher ke bawah. Kakek yang kelihatan sudah tua sekali ini ternyata memiliki bentuk tubuh seperti kanak-kanak yang baru sepuluh tahun usianya! Tubuh itu kecil pendek, dengan dua tangan yang kecil dan dua kaki bersepatu yang kecil pula. Siapakah adanya kakek aneh itu? Semua orang yang hadir di situ tidak ada yang mengenalnya. Padahal, kakek ini sesungguhnya adalah seorang yang memiliki kesaktian hebat, yang datang dari barat dan telah lama merantau di dunia utara, di balik tembok besar. Kakek ini bernama Ouwyang Bu Sek! Di dalam cerita Petualang Asmara, terdapat seorang tokoh yang merupakan datuk kaum sesat yang ditakuti orang dan yang berjuluk Ban-tok Coa-ong (Raja Ular Selaksa Racun) dan datuk ini bernama Ouwyang Kok, seorang datuk dari utara. Datuk ini tewas di tangan Cia Keng Hong. Kakek cebol aneh ini adalah seorang keponakan dari Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok itu. Dia masih muda ketika mendengar bahwa pamannya telah terbunuh oleh seorang pendekar bernama Cia Keng Hong. Akan tetapi karena putera tunggal pamannya itu yang bernama Ouwyang Bouw juga terbunuh oleh suci dari Pek Hong Ing (mendiang nyonya Yap Kun Liong), maka pamannya itu tidak mempunyai orang lain lagi kecuali dia untuk membalaskan kematiannya. Dia adalah keponakan pamannya itu dan akan kecewalah dia sebagai seorang keturunar keluarga Ouwyang, keluarga yang terkenal sebagai keluarga pandai, kalau dia tidak menuntut balas. Akan tetapi, dia tahu betapa lihainya pendekar Cia Keng Hong, bahkan pendekar ini mempunyai keluarga yang terdiri dari orang-orang lihai. Inilah yang menyebabkan Ouwyang Bu Sek harus menahan diri sampai bertahun-tahun lamanya, bahkan sampai puluhan tahun lamanya karena dia harus memperdalam kepandaiannya lebih dulu. Sampai puluhan tahun lamanya dia merantau ke barat dan mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi dari para pertapa aneh di Pegunungan Himalaya dan di Tibet. Baru setelah dia merasa bahwa kepandaiannya sudah mencapai tingkat yang jauh lebih tinggi daripada tingkat mendiang Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok, dia berani meninggalkan barat sebagai seorang kakek aneh dan pergi ke Cin-ling-san mencari musuh besar keluarga Ouwyang itu. Akan tetapi, betapa menyesal, kecewa dan juga mendongkol rasa hatinya ketika dia tiba di puncak Cin-ling-san, dia menemukan musuh besarnya itu telah berada di dalam peti mati!   Pada waktu itu, semua keluarga dari bekas ketua Cin-ling-pai sedang berduka dan dibangkitkan kembali kedukaan dan keharuan mereka oleh kedatangan Cia Giok Keng. Mereka sedang bertangisan sehingga tidak ada yang memperhatikan kedatangan kakek cebol itu. Akan tetapi Sin Liong yang sejak tadi memandang ke arah para keluarga yang bertangisan itu, melihat kakek ini di antara para tamu dan dia merasa terkejut dan tertarik sekali. Keanehan bentuk tubuh kakek ini sungguh amat menonjol di antara para tamu sehingga dia diam-diam memperhatikan ketika kakek itu seperti para tamu yang lain menghampiri peti dengan langkah-langkah yang pendek dan lucu. Akan tetapi, tidak seperti para tamu lain yang memberi penghormatan kepada jenazah dengan hio menyala di tangan, tamu aneh ini hanya berdiri tegak di depan peti jenazah dan tiba-tiba dia mengeluarkan kata-kata yang cukup lantang. “Cia Keng Hong, engkau sungguh seorang pengecut besar! Setelah susah payah puluhan tahun aku mempelajari ilmu dan kini datang berkunjung, engkau melarikan diri melalui kematian. Huh, kalau tidak merusak tubuhmu dalam peti, hatiku selamanya akan merasa penasaran!” Mendengar ini, semua orang terkejut dan terutama sekali Cia Bun Houw dan Cia Giok Keng sudah meloncat berdiri dan menengok ke arah tamu aneh itu dengan sinar mata berapi karena marahnya. Akan tetapi, sebelum mereka sempat bergerak, tiba-tiba terdengar suara gerengan aneh seperti seekor binatang buas yang marah, disusul teriakan, “Jangan ganggu jenazah kakekku!” Penyerangan yang dilakukan oleh Sin Liong menyusul teriakannya itu mengejutkan Ouwyang Bu Sek. Tak disangkanya bahwa anak yang tadi bersila di dekat peti mati, tiba-tiba saja meloncat dan menerkamnya seperti seekor binatang buas. Ouwyang Bu Sek melihat betapa anak itu memiliki tenaga sin-kang yang amat luar biasa, pukulan dalam terkamannya itu mendatangkan angin berdesir menuju arahnya. Dia kagum dan kaget, juga girang menghadapi anak yang mengaku cucu dari musuh besarnya itu. Kalau tidak dapat membalas kepada Cia Keng Hong, kini dapat menangkap cucunya juga sudah baik, pikirnya. Maka dia mendiamkan saja anak itu menyerangnya, kemudian setelah terkaman datang dekat, tiba-tiba dia menggerakkan tangan kirinya menangkap pundak Sin Liong. “Dess! Desss!” Pukulan kedua tangan Sin Liong itu dengan tepat mengenai tubuh kakek cebol itu, akan tetapi alangkah kagetnya hati Sin Liong ketika merasa betapa kedua pukulannya itu seperti dua buah batu dilempar ke dalam air. Tenaganya amblas dan pukulannya mengenai tubuh yang lunak dan yang membuat tenaga pukulan buyar, dan tahu-tahu dia sudah kena dipegang dan dicengkeram pundaknya. Ketika Sin Liong hendak mengerahkan tenaga dari pusar, tiba-tiba saja tubuhnya menjadi lemas dan dia tidak mampu bergerak lagi karena kaki tangannya seperti lumpuh, semua jalan darahnya seperti tiba-tiba menjadi kacau dan dia tidak mengerahkan tenaga lagi! “Jahanam berani engkau mengacau di sini!” Bun Houw sudah membentak dan sambil meloncat dia telah mengirim pukulan jarak jauh ke arah kakek cebol itu. Melihat ada pukulan jarak jauh yang mengeluarkan suara mencicit seperti itu, Ouwyang Bu Sek terkejut dan kagum. Hebat, pikirnya dan dia menggunakan tangan kirinya mengebit. Dua tenaga sakti bertemu di udara dan biarpun kakek cebol itu berhasil menangkis pukulan Bun Houw, namun dia terkejut karena tangan kirinya tergetar. Pada saat itu, terdengar bunyi lengking nyaring dan Yap In Hong sudah menyerang dari depan. Kembali kakek itu melihat tenaga dahsyat sekali seperti angin puyuh menerjangnya! Diapun cepat menggerakkan tangan kirinya mengebut dan kembali pukulan In Hong yang dilakukan sambil menerjang ke depan itu dapat ditangkisnya, dan juga sekali ini Ouwyang Bu Sek terkejut karena wanita cantik itu memiliki tenaga yang tidak kalah dahsyatnya dibandingkan dengan penyerang pertama. “0rang tua, siapa engkau dan mengapa engkau berani mengacau di sini?” Tiba-tiba terdengar bentakan halus dan Ouwyang Bu Sek makin kaget karena tahu-tahu suara itu telah berada di belakangnya dan ketika dia membalik, dia melihat seorang laki-laki gagah berusia kurang dari lima puluh tahun yang gerakannya mendatangkan angin dahayat ketika orang itu mengulurkan tangan menepuk ke arah pundaknya. Ternyata orang inipun lihai bukan main, dapat bergerak tanpa diketahuinya, bahkan gerakan tangannya itu sama sekali tidak mendatangkan angin atau suara ketika menuju ke pundak, tahu-tahu sudah dekat dan mengandung kekuatan dahsyat! Cepat dia mengelak dan meloncat mundur. Ketika dia melihat mereka itu menghampirinya dari depan dengan langkah-langkah ringan dan pandang mata penuh kemarahan, dia menjadi jerih juga. Bukan main, pikirnya. Keluarga Cia ini memang hebat! Kalau hanya melawan mereka satu demi satu, tentu saja dia tidak akan gentar. Akan tetapi kalau harus menghadapi pengeroyokan orang-orang yang memiliki kepandaian seperti mereka, biarpun dia sudah memiliki kesaktian hebat, dia tahu bahwa akhirnya dia yang akan celaka. “Ha-ha-ha! Berhenti kalian semua! Kalau tidak, serangan kalian akan mengenai tubuh anak ini!” Dia mengangkat tubuh Sin Liong dan mempergunakan tubuh itu sebagai perisai. Melihat ini, Yap Kun Liong yang tadi merupakan penyerang terakhir, cepat berhenti dan demikian pula para pendekar itu berhenti melangkah. Mereka semua adalah orang-orang yang berjiwa pendekar. Biarpun mereka tidak senang kepada Sin Liong, akan tetapi mereka melihat betapa Sin Liong adalah orang yang pertama kali membela jenazah itu dan mungkin saja kakek cebol itu tadi sudah berhasil merusak jenazah kalau tidak dihalangi dan diserang oleh Sin Liong, maka kini mereka tidak berani turun tangan terhadap kakek itu yang sudah menawan Sin Liong. Kakek cebol itu jelas memiliki kepandaian tinggi, maka kalau mereka nekat menyerang dan kakek itu mempergunakan tubuh Sin Liong sebagai senjata atau perisai, tentu anak itu yang akan kena pukulan. “Ha-ha-ha, dengarlah baik-baik, kalian keluarga dari Cia Keng Hong! Aku Ouwyang Bu Sek, mewakili keluarga Ouwyang dan kedatanganku tadinya hendak menagih hutang nyawa kepada Cia Keng Hong. Akan tetapi dia sudah mati dan dia menebus dosanya dengan menyerahkan cucunya ini kepadaku. Ha-ha, biarlah aku menerimanya dan hitung-hitung sudah lunas hutangnya kepada keluarga Ouwyang!” Setelah berkata demikian, kakek itu meloncat dan semua orang terkejut karena kakek itu ternyata dapat bergerak cepat bukan main, loncatannya membawanya melayang jauh dan dia lalu melarikan diri sambil membawa Sin Liong. Yap Kun Liong mengerutkan alisnya. “Ouwyang...? Ah, kiranya keluarga dari dia si jahat itu...!” Semua orang mendekati pendekar ini. “Siapakah yang kaumaksudkan, Yap twako?” tanya Bun Houw. “Dahulu ada musuh besar ayahmu yang bernama Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok, seorang di antara datuk-datuk kaum sesat dari utara. Ouwyang Bu Sek tadi tentu masih keluarganya yang datang untuk membalas dendam,” jawab Yap Kun Liong. “Dan dia telah membawa pergi Sin Liong!” In Hong berkata dengan suara menyesal. “KITA tidak mampu mencegahnya,” kata pula Cia Giok Keng penasaran. “Biarlah aku akan mengejarnya dan merampas kembali anak itu, ibu,” kata Lie Seng dengan penuh semangat. “Benar kata sute, biarlah aku membantunya. Kami tentu akan dapat merampas kembali anak itu, ayah!” kata Yap Mei Lan kepada ayahnya. Yap Kun Liong menggeleng kepalanya dan mengerutkan alisnya. “Kukira tidak bijaksana itu. Merampas kembali anak itu dengan kekerasan bahkan mungkin akan membahayakan nyawa anak itu. Kurasa kakek cebol itu tidak akan membunuh anak itu, karena kalau dia berniat demikian, tentu tadi sudah dibunuhnya. Dia hanya ingin mempergunakan Sin Liong tadi sebagai sandera agar dia dapat lari dari sini dan mungkin dia hendak membalas dengan cara menculik anak itu agar kita menjadi berduka. Dia tidak tahu bahwa anak itu bukan keluarga Cia, bukan cucu dari musuh besarnya.” Semua orang teringat kini betapa tadi Sin Liong berteriak agar kakek itu jangan niengganggu jenazah kong-kongnya, jadi anak itu seolah-olah mengaku sebagai cucu Cia Keng Hong. Kakek cebol itu telah salah mengerti, mengira bahwa Sin Liong adalah cucu ketua Cin-ling-pai! “Kalau begitu, biarkan sajalah,” kata Bun Houw yang merasa tidak suka kepada anak itu. “Anak itu hanya mendatangkan sial belaka, bahkan urusan sampai berlarut-larut, keluarga kita terperosok ke dalam permusuhan pula, sampai-sampai ayah turun tangan dan menghadapi lawan, semua adalah gara-gara bocah itu. Biarlah, memang dia lebih pantas berdekatan dengan orang-orang macam kakek ibils tadi.” Semua orang tidak ada yang mau membantah, karena merekapun tidak mengenal siapa sebenarnya Sin Liong, anak yang demikian disayang oleh mendiang Cia Keng Hong sehingga ditarik sebagai muridnya. Mereka semua sama sekali tidak pernah menduga bahwa anak yang bernama Sin Liong itu oleh kakek Cia Keng Hong telah dipilih untuk menjadi ahli warisnya dan telah diberi pelajaran seluruh ilmu yang dimilikinya, walaupun sebagian besar hanya baru dipelajari teorinya saja. Dan tentu saja mereka, terutama Bun Houw, tidak pernah mimpi bahwa anak itu adalah benar-benar cucu dari ayahnya, karena anak itu adalah anak kandungnya! Kita tinggalkan keluarga yang masih berkabung dan yang sebentar saja sudah melupakan Sin Liong yang diam-diam tidak mereka sukai itu, dan mari kita mengikuti pengalaman Sin Liong yang dilarikan oleh kakek cebol yang amat sakti itu. Ouwyang Bu Sek tertawa-tawa dengan hati puas. Dia telah memperlihatkan kepada semua keluarga musuhnya, juga kepada para tamu yang terdiri dari orang-orang kang-ouw, bahwa keluarga Ouwyang bukanlah keluarga yang lemah, bahwa keluarga Ouwyang tidak melupakan penghinaan yang ditimpakan orang kepadanya bahwa hari ini keluarga Ouwyang telah membalas sakit hati keluarga itu dengan menculik cucu dari ketua Cin-ling-pai! Akan tetapi terjadi keanehan dalam perasaan hatinya terhadap Sin Liong. Dia tadi sudah terkejut dan kagum sekali ketika bocah ini menyerangnya. Seorang bocah yang belum dewasa, paling banyak empat belas tahun usianya, sudah memiliki tenaga yang demikian dahsyat. Cucu dari pendekar sakti Cia Keng Hong ini memang tidak memalukan menjadi cucu ketua Cin-ling-pai yang terkenal sekali kelihaiannya itu. Dan yang lebih mengagumkannya lagi adalah sikap anak ini. Sama sekali tidak mengeluh! Sama sekali tidak ketakutan, apalagi menangis! Setiap kali dia melirik dan memandang wajah anak yang dipanggulnya itu, dia melihat sepasang mata yang mencorong seperti mata naga, dan wajah yang sedikitpun tidak kelihatan takut atau khawatir! Ouwyang Bu Sek melarikan diri dengan cepat sekali dan tidak pernah berhenti. Dia hanya berhenti untuk menotok lagi tubuh Sin Liong kalau merasa betapa anak itu sudah mulai dapat bergerak, sehinga anak itu terus menerus dalam keadaan lumpuh. Setelah hari mulai gelap, baru kakek itu melempar tubuh Sin Liong ke atas tanah yang berumput. Mereka tiba di sebuah hutan yang sunyi. Sejenak kakek cebol itu memandang kepada Sin Liong yang rebah terlentang. Anak itupun memandangnya dengan sinar mata berapi-api. “Ha-ha-ha, mengapa engkau melotot kepadaku?” Ouwyang Bu Sek bertanya, tertawa untuk menutupi kemendongkolan hatinya. Dia ingin melihat cucu dari musuhnya ini menderita, menangis, atau setidaknya mengeluh. Hal itu amat baik baginya. Dia sudah mengorbankan waktu puluhan tahun lamanya untuk dapat membalas dendam kepada Cia Keng Hong, akan tetapi ternyata setelah dia memiliki kepandaian, musuh besar itu telah mati. Tentu saja dia amat kecewa, dan kalau dia melihat cucu musuhnya ini menderita, hal itu tentu akan memperingan kekecewaannya. “Kakek cebol, engkau adalah seorang manusia yang berhati iblis, jahat dan kejam. Tentu saja semua orang akan memandang kepadamu dengan penuh kebencian!” Wajah kakek itu menjadi merah. Dia belum pernah melakukan hal yang kejam, kecuali tentu saja kalau menghadapi musuh! Apalagi jahat, dia malah menentang kejahatan! Maka ucapan itu tentu saja membuat dia marah. “Bocah bandel, lancang mulut! Kau mau memamerkan keberanianmu kepadaku, ya? Kau sombong, mentang-mentang menjadi cucu Cia Keng Hong kau boleh bersikap kepala batu, ya? Merasa gagah dan tidak takut mati, ya?” “Aku memang tidak takut mati. Hayo kau bunuh aku, kakek tua bangka yang berhati curang dan pengecut besar, beraninya hanya kepada anak kecil!” Kakek itu makin marah dan penasaran. Anak ini akan tahu rasa, pikirnya. Dia dihadapkan pada suatu tantangan lain sekarang. Dia harus melihat anak ini ketakutan, menangis dan minta ampun. Baru akan dilepaskannya anak ini. “Wah, kau benar-benar tidak mengenal takut? Mari kita sama-sama melihatnya! Kalau aku tidak bisa membikin kau menjerit-jerit minta ampun, menangis ketakutan, jangan panggil aku Ouwyang Bu Sek!” Setelah berkata demikian, dia menyambar tubuh Sin Liong dan menyeretnya memasuki hutan itu lebih dalam lagi. Setelah hari menjadi gelap, kakek itu telah mendaki sebuah puncak bukit yang penuh dengan padang rumput dan alang-alang yang liar dan luas. Sambil terkekeh senang kakek itu lalu membuat salib dari dua batang balok besar, lalu mengikat tangan dan kaki Sin Long pada kayu salib itu. “Kau tidak mengenal takut? Benar-benar kau tidak mau minta ampun kepadaku?” Sejenak Sin Liong memandang wajah kakek yang tingginya hanya sampai di dadanya itu, lalu tiba-tiba dia meludah, “Cuhh! Daripada minta ampun kepadamu, lebih baik aku mati seribu kali!” Ouwyang Bu Sek berjingkrak, berloncatan saking marahnya. Sudah gatal-gatal kedua tangannya hendak menghantam anak itu dan sekali hantam saja tentu Sin Liong akan mati. “Begitu, ya? Nah, kau boleh mati seribu kali, selaksa kali!” teriak kakek itu dengan marah dan dia lalu meninggalkan Sin Liong yang terbelenggu di atas kayu salib dengan kedua lengan terpentang itu. Malam itu bulan hanya muncul seperempat bagian saja. Cuaca remang-remang menyeramkan, apalagi ditambah dengan suara angin yang menggerakkan ujung rumpun ilalang dan yang mengeluarkan bunyi mengerikan, seolah-olah semua iblis dan setan berkeliaran di tempat itu. Malam makin larut dan di langit terdapat banyak awan berarak. Sin Liong menengadah dan memandang ke atas. Awan-awan itu membentuk makluk-makluk aneh dan berarak perlahan-lahan menuju bulan. Kalau awan-awan itu melintasi bulan, maka cuaca menjadi gelap remang-remang dan nampak betapa bayangan bulan sepotong itu seperti berlari cepat di antara awan-awan yang sebentar-sebentar merubah bentuknya. Bukan main indahnya Sin Liong hampir lupa bahwa dia sedang terbelenggu dan berada dalam keadaan tertotok lumpuh. Bahkan ada rasa gembira di dalam hatinya menyaksikan keindahan langit itu! Dan rasa gembira ini bukan hanya karena melihat pemandangan indah itu, melainkan juga oleh perasaan bahwa dia telah berkorban untuk kong-kongnya! Dia tidak percuma menjadi cucu kakeknya yang gagah perkasa itu, dia telah membela nama kakeknya dan biarpun dia akan mati karenanya, dia merasa puas. Akan tetapi kalau dia teringat kepada ayah kandungnya dan semua keluarga kakeknya, dia merasa marah dan benci. Jelas bahwa ayah kandungnya itu benci kepadanya. Dia dilarikan musuh, namun tidak ada seorangpun di antara mereka yang memperdulikannya. Dia juga tidak butuh dengan pertolongan mereka! Keangkuhan dan perasaan tinggi hati ini memenuhi benak dan hati Sin Liong. Tidak, dia tidak membutuhkan mereka! Tiba-tiba, di antara suara desir angin yang menggerakkan ujung rumpun ilalang di sekelilingnya, terdengar suara aneh. Suara melengking nyaring yang makin lama makin keras, yang datangnya dari arah kanan. Sin Liong tidak mampu bergerak karena terbelenggu dan juga tertotok, akan tetapi dia dapat melirik dan tiba-tiba matanya terbelalak. Dia merasa tengkuknya dingin sekali dan seolah-olah semua bulu tubuhnya bangkit berdiri karena merasa seram. Sin Liong bukan seorang penakut, akan tetapi apa yang dilihatnya membuat dia terkejut dan ngeri. Dia melihat sesosok tubuh tanpa kepala yang berloncat-loncatan di sebelah kanannya dan yang mengeluarkan suara melengking nyaring memekakkan telinga. Setan! Iblis! Tak salah lagi. Mana mungkin ada mahluk lain seperti ini? Akan tetapi, Sin Liong adalah seorang anak yang memiliki kekuatan luar biasa, dia tabah dan sebentar saja rasa kaget dan ngerinya telah mereda, bahkan kini dia memandang dengan penuh perhatian karena amat tertarik. Dia melihat betapa mahluk itu berkerudung kain putih, tanpa kepala, akan tetapi kedua kakinya kecil bersepatu dan tiba-tiba dia tersenyum, “Kakek cebol tolol! Kaukira aku takut dengan permainanmu ini?” Mendengar ucapan itu, mahluk aneh itu mengeluarkan seruan kecewa dan sekali berkelebat mahluk itu telah lenyap dan suasana menjadi sunyi kembali. Sin Liong menengadah dan melanjutkan lamunannya. Kakek itu sengaja hendak menakut-nakutinya, pikirnya. Hemm, dia ingin sekali melihat aku ketakutan dan mengeluh, minta-minta ampun. Engkau takkan berhasil! Biar sampai mati aku tidak akan memperlihatkan rasa takut di depanmu. Demikianlah watak Sin Liong, makin ditekan dia, makin melawan dia. Makin dihimpit, makin keras dia menentang. Dia seperti baja keras yang tidak tunduk menghadapi tempaan yang mengandalkan kekerasan. Tiba-tiba dari sebelah kirinya terdengar suara seperti orang menangis dan merintih. Sin Liong mengerling ke kiri dan dia melihat bayangan sebuah kerangka manusia dengan tengkorak yang menakutkan bergerak-gerak. Kini Sin Liong sudah bebas dari rasa takut. Dia memandang penuh perhatian dan pandang matanya yang amat tajam itu melihat tali-tali halus di antara kerangka itu yang menggerak-gerakkan kaki tangan kerangka itu dan dia tertawa. “Ha-ha-ha, kakek tolol. Kaukira aku anak kecil yang mudah kautakut-takuti begitu saja? Membuang-buang waktu saja. Kalau kau mau bunuh, lekas bunuh, siapa takut padamu?” Kerangka manusia itu kembali lenyap, dan Sin Liong melanjutkan renungannya. Memang, rasa takut itu hanya timbul dari bayangan yang dipantulkan oleh pikiran kita sendiri. Kita tidak mungkin dapat takut akan sesuatu yang tidak kita kenal. Kita hanya takut akan sesuatu yang telah kita kenal, baik kita kenal melalui pengalaman kita sendiri, maupun melalui pengalaman lain orang yang kita dengar atau baca dalam buku. Orang yang takut setan tentu pernah mengenal setan itu melalui cerita orang atau dongeng dalam buku. Dia membayangkan setan itu dalam benaknya dan membayangkan betapa akan ngerinya kalau dia bertemu setan itu. Maka terpantullah bayangan-bayangan setan yang menakutkannya ketika dia berada seorang diri di tempat sunyi, dan terjadilah rasa takut. Orang yang tidak pernah mendengar tentang setan takkan mungkin takut terhadap setan. Orang yang tidak pernah mendengar tentang siksa neraka tentu tidak akan takut terhadap neraka. Dan selanjutnya lagi. Jadi rasa takut timbul dari kenangan masa lalu yang dihubungkan dengan kemungkinan masa depan. Kita pernah membaca tentang setan sehingga terbentuk bayangan setan dalam benak kita. Lalu kita khawatir kalau-kalau kita akan diganggu setan, maka timbullah rasa takut. Kita pernah melakukan sesuatu di masa lampau, perbuatan yang tidak patut dan memalukan, dan kita khawatir kalau-kalau di masa depan akan ada orang mengetahui perbuatan itu, maka timbullah rasa takut. Jelaslah bahwa rasa takut timbul kalau kita membayang-bayangkan sesuatu yang tidak enak bagi kita! Dan segala yang dibayangkan itu pastilah sesuatu yang belum atau yang tidak ada! Yang merasa takut akan wabah tentulah dia yang belum terkena penyakit itu, dia membayangkan betapa bahaya dan ngerinya kalau terkena penyakit wabah itu, maka takutlah dia. Kalau dia sudah benar-benar terkena penyakit itu? Tentu saja hilang pula rasa takut terhadap penyakit itu, akan tetapi rasa takut yang berikutnya yaitu takut kalau-kalau akan mati! Dan demikian selanjutnya. Dengan membuka mata memandang semua ini, timbullah pengertian bahwa yang menyebabkan rasa takut adalah pikiran kita, pikiran yang membayangkan hal yang lalu, yaitu ingatan-ingatan, kemudian membayangkan hal yang mendatang, yang kita kira mungkin akan terjadi menimpa diri kita. Oleh karena itu kalau kita terbebas dari masa lalu, terbebas dari segala macam ingatan masa lalu dan kepercayaan dan ketahyulan yang termasuk hal-hal masa lampau, apakah ada lagi rasa takut di dalam batin kita? Kalau kita tidak mengenangkan soal-soal yang berhubungan dengan setan umpamanya, maka kiranya andaikata ada setan muncul pada suatu waktu di depan kita, tanpa kenangan masa lalu tentang setan, kita akan memandang dan timbullah keinginan tahu untuk menyelidiki, seperti kalau kita tiba-tiba melihat seekor kupu-kupu yang aneh dan belum pernah kita lihat! Hidup penuh dengan rasa takut, kekhawatiran, hampir di semua lapangan. Setelah mengerti akan semua itu, tidak mungkinkah bagi kita untuk hidup tanpa rasa takut sama sekali? Akhirnya Sin Liong tak dapat menahan kelelahan dan kantuknya. Dia dapat tidur pulas dengan kedua lengan bergantung pada kayu salib itu! Memang luar biasa anak ini, pikir Ouwyang Bu Sek sambil berdiri bertolak pinggang di depan anak itu, memandangi anak yang tidur pulas sambil bergantung pada kayu salib. Anak itu tidur pulas, mendengkur halus dan wajahnya tenang dan cerah, bahkan bibirnya agak tersenyum seolah-olah anak itu sedang mimpi indah! Rasa kagum dan heran membuat hati tua itu makin penasaran karena dia ingat bahwa anak ini adalah cucu dari musuh besarnya. “Hendak kulihat apakah dia masih dapat bersikap setabah itu kalau benar-benar menghadapi ancaman bahaya maut yang mengerikan,” katanya penasaran dan kakek cebol itu lalu berkelebat pergi. Salak dan gonggong anjing yang riuh rendah membangunkan Sin Liong. Dia membuka kedua matanya dan menjadi silau oleh sinar matahari. Kiranya matahari telah naik tinggi. Dia cepat memandang ke bawah dan melihat ada empat ekor anjing menyalak-nyalak dan menggonggong-gonggong di sekelilingnya. Bukan anjing, pikirnya, melainkan srigala! Srigala-srigala yang liar dan buas! Kedua matanya terbelalak dan otaknya segera bekerja mencari akal. Dia terancam bahaya! Srigala-srigala itu meraung-raung, dan lidah mereka terjulur keluar, lidah yang basah dan air liurnya berpercikan ke mana-mana, tanda bahwa mereka itu sudah lapar betul dan ingin menikmati daging manusia muda itu! “Ha-ha-ha, anak bandel. Kalau tidak minta ampun kepadaku, empat ekor srigala itu akan mencabik-cabik kulit dan dagingmu, mengganyangmu hidup-hidup!” Tiba-tiba terdengar suara kakek cebol di sebelah kanannya. Kehadiran kakek ini seketika mengusir semua kekhawatiran di hati Sin Liong, terganti oleh keangkuhan dan kekerasan hati yang luar biasa. Dia tersenyum. “Anjing-anjingmu ini tidaklah sekejam engkau, kakek iblis. Biar kautambah dengan engkau sendiri yang menyalak-nyalak, aku tidak merasa takut sama sekali!” “Bocah setan!” Kakek itu berkelebat pergi dengan hati kecewa, dan dari jauh dia mengintai karena dia tidak percaya kalau anak itu benar-benar sedemikian tabahnya sehingga menghadapi kematian yang amat mengerikan dengan sikap begitu tenang saja. Lihat kalau dia sudah digigit srigala, pikirnya. Sin Liong kembali memandang kepada empat ekor srigala yang mengelilinginya sambil menyalak-nyalak itu. Naluri kebinatangannya timbul seketika dan diapun lalu menyeringai, memperlihatkan gigi seekor monyet muda dan mengeluarkan gerengan dari kerongkongannya. Srigala-srigala itu terkejut dan undur, akan tetapi melihat orang muda itu tidak bergerak menyerang, mereka berani lagi dan mulai mengelilingi lebih dekat.   Aku harus dapat membebaskan diri, pikir Sin Liong. Dia lalu memejamkan kedua matanya dan mengingat-ingat pelajaran yang dia terima dari kakek Cia Keng Hong. Dia sudah menguasal Thi-khi-i-beng, dan dia sudah menghafalkan semua bagian jalan darah di tubuh. Kini dia tertotok oleh kakek cebol itu, dan dia merasa betapa jalan darah utama di punggungnya yang dibikin lumpuh sehingga kaki tangannya tidak mampu bergerak. Dia memutar otak mengingat-ingat jurus Thai-kek-sin-kun dan dengan tenaga sin-kang dari pusar, mulailah dia menyalurkan tenaga itu menurut pelajaran Ilmu Thai-kek-sin-kun yang telah dia hafal di luar kepala. Semua pelajaran yang telah diterimanya dari kakeknya adalah teorinya belaka yang sudah dihafalnya baik-baik dan kini dalam keadaan terhimpit bahaya maut, Sin Liong mulai menyalurkan hawa dari pusar itu sesuai dengan pelajaran itu. Mula-mula hawa itu macet di sana-sini karena dia berada dalam keadaan tertotok, hawa murni di tubuhnya seperti air mengalir yang berhenti di tempat-tempat saluran yang tersumbat. Akan tetapi, hawa itu berkumpul dan menjadi makin kuat di setiap sumbatan, bagaikan air yang kelihatan lembut namun mengandung kekuatan dahsyat, satu demi satu sumbatan itu jebol dan hawa murni seperti air itu mengalir terus, makin lama makin kuat membobolkan sumbatan-sumbatan akibat totokan itu dan jalan darahnyapun mulai lancar kembali. Perlahan-lahan Sin Liong berhasil membebaskan diri dari totokan yang amat luar biasa dari kakek itu! Hal ini saja sudah merupakan sesuatu yang amat hebat dan tentu akan membuat kakek itu terheran-heran dan terkejut sekali karena jarang ada tokoh persilatan di dunia kang-ouw yang akan mampu membebaskan totokannya dalam waktu sesingkat itu, apalagi hanya seorang anak-anak! Akan tetapi, pada saat itu, empat ekor anjing srigala tadi sudah mulai menerjangnya! Dengan suara gerengan menyeramkan, mereka menubruk dan ada yang menggigit kaki Sin Liong, ada yang mencakar dadanya sehingga bajunya robek dan kakinya berdarah. Dari jauh, Ouwyang Bu Sek memandang penuh perhatian dan siap untuk turun tangan membunuh empat ekor srigala itu begitu dia mendengar anak itu menjerit, menangis atau mengeluh. Akan tetapi, anak itu sama sekali tidak mengeluarkan suara keluhan! Sebaliknya malah, gigitan srigala pada kakinya itu dibarengi gonggong dan gerengan binatang-binatang itu membangkitkan hawa murni dari dalam pusar Sin Liong. Dia terbelalak dan dari dadanya, melalui kerongkongannya, terdengar lengking yang menyeramkan dan pada saat itu, putuslah semua tali yang mengikat tubuhnya! Itulah tenaga sin-kang yang diwarisinya dari Kok Beng Lama, tumbuh sepenuhnya dan bangkit serentak sehingga sedikit gerakan saja tali-tali itupun putuslah! Dan kini Sin Liong mengamuk! Srigala yang masih menggigit kakinya itu terlempar ke atas ketika Sin Liong menggerakkan kakinya. Tangan kirinya dikepal dan memukul muka anjing yang menggigit dadanya. “Prakk!” Tubuh anjing srigala itu terbanting dan kepalanya pecah, dengan rintihan aneh srigala itu menggerak-gerakkan tubuh, berkelojotan dan mati! Anjing yang terlempar tadi terbanting ke atas tanah, akan tetapi dia sudah menerjang lagi bersama dua ekor temannya. Sin Liong mengeluarkan suara gerengan seperti seekor monyet, disambarnya ekor srigala yang terdekat, diangkatnya dan sekali dia membantingkan tubuh srigala itu, terdengar suara “krakk!” dan kepala srigala itu pecah berantakan karena menimpa batu! Dua ekor lagi menubruk dan menggigit Sin Liong, akan tetapi kini tubuh anak itu sudah menjadi kebal dan keras sehingga gigitan itu tidak merobek kulitnya, hanya merobek bajunya. Sin Liong menggunakan kedua tangannya, yang kiri mencekik leher srigala ke tiga sedangkan yang kanan kembali memukul kepala srigala ke empat. Pukulannya itupun membuat pecah kepala srigala, dan saking marahnya, Sin Liong lalu menggunakan mulutnya menggigit leher srigala yang dicengkeramnya dengan tangan kiri. Demikian kuat dia menggigit sehingga robeklah leher srigala itu yang sia-sia saja meronta karena cengkeraman tangan Sin Liong membuat jari-jari tangannya menembus kulit srigala! Setelah puas merobek-robek leher srigala, dia mengangkat tubuh srigala itu dan membantingnya. “Nguikk!” Srigala terakhir itu berkelojotan dan mati pula. Dari tempat sembunyinya, Ouwyang Bu Sek terbelalak dan melongo, seperti melihat setan di tengah hari. Akan tetapi, dia melihat anak itu terhuyung, mengeluh dan memegangi kepalanya, lalu terhuyung ke depan dan hampir roboh. Melihat ini, kakek cebol itu cepat melompat dan mulutnya berkata, “Ah, anak luar biasa...!” Dan tepat ketika Sin Liong terguling, dia sudah tiba di situ dan dia menyambut tubuh anak itu sehingga tidak sampai terbanting. “Anak luar biasa... anak baik... anak ajaib...!” Ouwyang Bu Sek berkali-kali mengeluarkan pujian ini ketika dia memeriksa tubuh Sin Liong dan melihat bahwa tubuh itu hanya luka-luka sedikit, dan di dalam tubuh itu mengandung hawa sin-kang yang luar biasa sekali, yang tarik-menarik secara kuat sehingga anak itu sendiri sampai tidak kuat menahan dan menjadi pingsan. Dia lalu mendukung anak itu dan dibawanya lari cepat meninggalkan tempat itu. Ouwyang Bu Sek adalah seorang manusia yang berwatak aneh. Tadinya dia memang tidak berniat untuk menculik Sin Liong. Hanya ketika menduga bahwa anak itu adalah cucu musuh besarnya yang telah mati dan melihat betapa di Cin-ling-san terdapat banyak sekali orang sakti yang takkan sanggup dilawannya kalau dikeroyok, maka dia menawan anak itu untuk dipergunakan sebagai perisai agar dia dapat meloloskan diri. Kemudian, diapun tidak mempunyai niat untuk membunuh atau menyiksa anak itu. Hanya melihat kebandelan dan kekerasan hati Sin Liong, dia menjadi penasaran, merasa seperti ditantang dan dia lalu menakut-nakuti anak itu untuk mematahkan kebandelannya. Namun, melihat betapa Sin Liong bahkan dapat membebaskan diri dan membunuh empat ekor srigala, dia merasa terkejut, terheran-heran dan juga kagum sekali. Timbul rasa suka di dalam hatinya, maka dengan rasa sayang dia lalu membawa pergi Sin Liong untuk dirawat.   Sebelum dia mengambil keputusan memberanikan diri pergi ke Cin-ling-san untuk mencari ketua Cin-ling-pai dan membalaskan sakit hati atas kematian pamannya, Ouwyang Bu Sek yang baru turun dari Gunung Himalaya itu berada di selatan sampai hampir tiga tahun. Karena ilmu kepandaiannya memang tinggi sekali, maka sebentar saja dia dikenal oleh semua tokoh kang-ouw di dunia selatan, bahkan dia diakui sebagai seorang di antara datuk-datuk dunia persilatan dan disegani orang. Akan tetapi, kakek ini memang seorang yang amat aneh, dia selalu menjauhkan diri dan tidak mau menerima murid. Akan tetapi hampir semua tokoh besar dunia kang-ouw mengenal kakek cebol ini, dan setiap ada pertemuan-pertemuan penting, pesta-pesta dan sebagainya, tentu kakek cebol ini menerima undangan dan menjadi tamu kehormatan. Sepak terjang Ouwyang Bu Sek memang aneh dan kadang-kadang mencengangkan orang di dunia kang-ouw. Kakek ini agaknya sudah tidak mau mengenal lagi rasa sungkan dan tidak mau memperdulikan segala petaturan dan sopan santun, akan tetapi ketika terjadi pemilihan bengcu di daerah selatan, kakek ini sempat menghebohkan dunia kang-ouw. Ketika itu, dua tahun yang lalu, di daerah selatan diadakan pemilihan bengcu, yaitu seorang yang dianggap cukup pandai, berwibawa dan cakap untuk menjadi kepala atau pemimpin, dari apa yang dinamakan golongan hitam di selatan. Dan yang mempunyai harapan besar untuk terpilih sebagai bengcu dan wakil-wakilnya adalah tiga orang tokoh besar di selatan yang dikenal sebagai Lam-hai Sam-lo (Tiga Datuk Laut Selatan). Mereka bertiga ini selain terkenal sebagai tokoh-tokoh tua di selatan, juga terkenal memiliki kepandaian tinggi dan juga mempunyai pengaruh yang amat luas, terutama sekali karena seluruh bajak laut di laut selatan adalah anak buah mereka atau setidaknya mengakui mereka sebagai datuk para bajak laut. Akan tetapi, kesempatan baik dan harapan tiga orang datuk ini hancur oleh munculnya Ouwyang Bu Sek dalam persidangan pemilihan bengcu itu dengan pembongkaran rahasia tiga orang kakek itu yang oleh Ouwyang Bu Sek dinyatakan tidak patut menjadi bengcu karena mereka bertiga itu adalah orang-orang berjiwa cabul dan suka mengeram dara-dara muda untuk perbuatan-perbuatan cabul! Seluruh hadirin tercengang menyaksikan keberanian Ouwyang Bu Sek, akan tetapi karena Ouwyang Bu Sek mengajukan hal itu sebagai fakta-fakta dengan mengajukan pula bukti dan saksi, maka tiga orang datuk itu tidak mampu menyangkal, hanya dengan marah menyatakan bahwa urusan dalam kamar adalah urusan pribadi yang tidak ada sangkut-pautnya dengan pemilihan bengcu. Betapapun juga, pembongkaran rahasia oleh Ouwyang Bu Sek itu tentu saja menjatuhkan nama mereka dan banyak pemilih yang menarik kembali suara mereka sehingga akhirnya pemilihan bengcu jatuh pada orang lain. Tentu saja tiga orang datuk ini menaruh dendam yang amat mendalam kepada Ouwyang Bu Sek. Mereka tidak berani menyatakan permusuhan itu secara berterang, karena hal itu akan membuat mereka makin jatuh di dalam mata para tokoh kang-ouw yang memandang tinggi kepada Ouwyang Bu Sek. Bagi dunia kang-ouw di selatan perbuatan Ouwyang Bu Sek membongkar rahasia kecabulan tiga orang Lam-hai Sam-lo itu bukan dianggap sebagai penyerangan pribadi, melainkan sebagai tindakan bijaksana demi pemilihan bengcu yang tepat. Dan memang sesungguhnya Ouwyang Bu Sek tidak memusuhi Sam-lo itu, hanya karena dia seorang yang aneh dan tidak mau memakai banyak peraturan dan sopan santun maka dia berani membongkar rahasia kecabulan mereka di depan umum, bukan dengan niat menghina atau mendatangkan aib, melainkan untuk melihat bahwa bengcu yang dipilih benar-henar tepat. Kalau tiga orang datuk itu mendendam kepada Ouwyang Bu Sek, sebaliknya kakek cebol ini sama sekali tidak memusuhi mereka, bahkan dia sudah lupa bahwa dia pernah menghalangi mereka menjadi bengcu. Akan tetapi, mengapa Ouwyang Bu Sek selalu menyembunyikan diri di dalam pondok sunyi di puncak Bukit Tai-yun-san di Propinsi Kwan-tung di selatan? Kalau dia tidak merasa bermusuh dengan Lam-hai Sam-lo, mengapa dia harus bersikap seperti orang yang mengasingkan diri atau menyembunyikan diri? Memang kakek aneh ini menyimpan suatu rahasia besar dan memang dia selalu merasa takut akan sesuatu. Rahasia itu adalah bahwa kepergiannya dari Pegunungan Himalaya adalah sebagai seorang pelarian! Dari sebuah kuil tua sekali di Pegunungan Himalaya, kuil yang disebut Kuil Sanggar Dewa, di mana hampir semua pendeta dan pertapa dari seluruh dunia singgah ke tempat suci itu untuk berdoa, dia melarikan sebuah peti hitam yang terisi pusaka-pusaka yang sudah ratusan tahun usianya, pusaka-pusaka yang merupakan kitab-kitab kuno yang tak pernah dibuka orang, karena selain tulisan-tulisan dalam kitab-kitab itu amat sukar dibaca, juga kitab-kitab itu dianggap sebagai barang keramat dan tidak boleh sembarangan disentuh tangan. Para pendeta dan pertapa mempunyai kepercayaan bahwa kitab-kitab itu adalah peninggalan dari Sang Buddha, oleh karena itu dianggap sebagai benda keramat. Inilah sebabnya mengapa Ouwyang Bu Sek kini melarikan diri jauh ke selatan dan jarang mencamputi urusan dunia kang-ouw sungguhpun namanya dikenal sebagai seorang datuk yang disegani. Dan di luar tahunya siapapun, dia menyimpan kitab-kitab kuno itu dan dengan penuh ketekunan dia mempelajarinya, mencoba untuk memecahkan rahasia tulisan kuno dalam kitab-kitab itu. Demikianlah sedikit catatan tentang keadaan kakek cebol luar biasa itu, yang tanpa direncanakan lebih dulu telah menawan Sin Liong dan kemudian karena merasa suka dan kagum, dia membawa Sin Liong yang pingsan untuk pulang ke tempat tinggalnya, di dalam pondok sunyi di puncak Bukit Tai-yun-san, di mana dia merawat dan mengobati Sin Liong yang menderita luka dalam. Ketika Sin Liong siuman dari pingsannya dan merasa betapa tubuhnya dipondong dan dilarikan dengan sangat cepatnya oleh si kakek cebol, dia merasa heran sekali. Kemudian teringatlah dia betapa dia telah disiksa oleh kakek ini, bahkan diberikan kepada srigala-srigala untuk dikeroyok, maka dia cepat meronta. “Eh, eh, kau sudah sadar...?” Ouwyang Bu Sek yang merasa betapa tubuh yang dipanggul dan dipondongnya itu meronta, lalu berhenti berlari dan menurunkan tubuh Sin Liong. Pemuda kecil itu turun dan terhuyung-huyung, kepalanya terasa pening sekali. Tentu dia sudah jatuh kalau tidak cepat dipegang tangannya oleh kakek cebol itu. “Heh, hati-hatilah, engkau masih lemah, tidak boleh mengerahkan tenaga dulu biarpun sudah tidak berbahaya lagi.” Sin Liong mengerutkan alisnya dan menatap wajah kakek cebol itu, memandang dengan sinar mata penuh perhatian. Teringatlah dia betapa dia dikeroyok srigala-srigala dan setelah berhasil membunuh binatang-binatang itu, dia roboh pingsan. Dia memandang ke sekeliling dan mendapatkan dirinya berada di lereng sebuah gunung. Dia merasa kepalanya masih pening dan dadanya masih terasa nyeri. Mendengar ucapan kakek itu dia bertanya, “Apakah engkau telah menolongku dan mengobatiku?” Kakek itu terkekeh dan mengangguk. “Kalau tidak begitu dan aku meninggalkan engkau di sana, apa kaukira masih hidup saat ini?” Sepasang mata Sin Liong memandang dengan sinar mata mencorong, membuat kakek itu makin kagum sekali. “Kau menawanku, menyiksaku, kenapa lalu menolongku? Apa kehendakmu?” Bukan main, pikir Ouwyang Bu Sek. Bocah ini memang luar biasa sekali, sikapnya penuh wibawa. Benar-benar seorang bocah yang memiliki dasar dan bakat hebat sekali. Akan tetapi diapun berwatak aneh dan biasanya diapun tidak mau tunduk kepada siapapun juga. “Aku memang mau begitu.” “Aku tidak membutuhkan pertolonganmu.” “Akupun tidak perlu engkau minta tolong, aku memang mau menolong.” “Engkau memusuhi keluarga Cin-ling-pai.” “Huh, apa kaukira engkau disuka oleh mereka? Engkau agaknya berbakti kepada kong-kongmu, akan tetapi jelas engkau tidak disuka oleh keluarga Cin-ling-pai.” “Buktinya?” “Mereka itu tentu sudah mengejarku kalau memang mereka sayang kepadamu. Mereka tidak mengejar, berarti mereka tidak menghiraukan nasibmu.” Sin Liong menundukkan mukanya, menarik napas panjang dan perasaan hatinya sakit juga. Memang benar, mereka itu, termasuk ayah kandungnya, sama sekali tidak berusaha menolongnya, padahal dia telah membela peti mati kakeknya, ketika hendak diganggu oleh kakek cebol ini. Hatinya menjadi panas. “Betul juga, mereka tidak suka kepadaku,” katanya. Kakek itu memandang wajah yang menunduk itu dengan mata terbelalak heran. Anak ini makin aneh saja dalam pandang matanya. “Siapakah ayahmu? Apakah ayah bundamu tidak berada di sana dan ikut berkabung?” Sin Liong mengangkat mukanya yang menjadi agak pucat dan memandang kepada kakek yang wajahnya lucu itu. “Aku tidak punya ayah ibu, tidak punya keluarga, tidak punya siapa-siapa di dunia ini!” “Eh? Dan kau bilang engkau cucu dari mendiang Cia Keng Hong?” Sin Liong menggeleng kepalanya. “Dia pernah menolongku dan kusebut kong-kong... beliau satu-satunya orang yang baik kepadaku...” “Dan beliau sudah meninggal, dan yang lain-lain itu tidak suka kepadamu? Ah, kebetulan sekali!” “Apa kebetulan?” “Kau sebatangkara, aku sebatangkara, aku suka kepadamu dan...” “Dan aku tidak suka padamu!” “Kenapa?” “Kau jahat! Kau mengganggu peti jenazah kong-kong.” “Dia yang mulai lebih dulu. Dia dahulu membunuh pamanku. Aku terlambat datang karena dia sudah mati, maka sedikit mengganggu peti jenazahnya untuk melepaskan rasa mendongkol di hatiku, apa salahnya?” “Kau jahat, engkau menyiksaku, hampir membunuh.” “Anak bodoh! Itu hanya untuk mengujimu, karena engkau bandel dan membikin hatiku penasaran.” “Lalu kau mau apa sekarang?” tanya Sin Liong. “Mau apa? Mau mengajakmu ke tempatku di puncak Tai-yun-san, tinggal di sana bersamaku, menjadi muridku, menjadi anakku... heh-heh, kita memiliki sifat-sifat yang cocok!” “Tidak, aku mau pergi saja!” “Kembali ke Cin-ling-san di mana semua orang tidak suka padamu?” “Tidak, aku tidak sudi ke Cin-ling-san. Aku akan pergi ke mana saja!” “Kalau tidak karuan yang kautuju, mengapa tidak bersamaku saja ke selatan? Aku akan mengajarkan ilmu-ilmuku kepadamu.” Sin Liong memandang dengan sinar mata penuh selidik, lalu berkata dengan nada suara mengejek, “Engkau? Mengajarku? Huh, apa sih kepandaianmu, baru menghadapi orang-orang Cin-ling-pai saja engkau lari terkencing-kencing!” “Aku? Lari? Hah, bocah tolol, engkau tidak tahu siapa Ouwyang Bu Sek! Kalau aku sudah berhasil menguasai ilmu-ilmu rahasiaku, biar mereka semua itu ditambah seratus orang lagi, takkan mampu melawanku. Sekarangpun, kalau mereka maju satu demi satu, apa kaukira aku kalah?” “Cin-ling-pai adalah gudang orang-orang sakti, dan mendiang kong-kong merupakan seorang yang luar biasa tinggi ilmunya. Aku pernah dididik oleh kong-kong, sekarang mana bisa aku merendahkan diri menjadi muridmu? Kepandaianmu sampai di mana aku belum tahu.” Kakek itu mencak-mencak saking marahnya. Lalu dia meloncat ke depan, tangan kanannya menghantam sebatang pohon kayu sebesar tubuh manusia, tangan kirinya menampar sebongkah batu sebesar kerbau di bawah pohon itu. Sin Liong hanya mendengar suara “plak-plak!” akan tetapi pohon dan batu itu sama sekali tidak bergoyang! Sin Liong hampir tak kuat menahan ketawanya. Dia memandang dengan senyum mengejek. Kakek ini lucu seperti badut, pikirnya. “Uh, hanya sebegitu saja kepandaianmu? Lalatpun tidak akan mati kautampar, dan kau bilang mau mengambil aku sebagai murid?” “Eh, apa engkau buta? Bocah bodoh, lihatlah baik?baik!” Kakek itu lalu menggunakan tangannya mendorong batu dan batang pohon itu. Sin Liong terbelalak memandang dengan kaget karena ternyata batu itu telah hancur lebur dan batang pohon itu tumbang. Pukulan-pukulan yang kelihatan perlahan dan tidak berakibat apa-apa tadi ternyata telah meremukkan batu dan mematahkan pohon di bagian dalamnya, akan tetapi permukaan batu dan kulit pohon tidak kelihatan pecah. Dia tidak dapat membandingkan siapa yang lebih sakti antara kakeknya dan kakek cebol ini, akan tetapi dia tahu bahwa kakek ini benar-benar lihai sekali. Kalau dia dapat terdidik langsung oleh kakek ini, sungguh merupakan keuntungan baik. Pula, biarpun dia sudah banyak mempelajari ilmu dari mendiang kong-kongnya, namun yang dipelajarinya baru teorinya saja, karena kong-kongnya agaknya sudah dapat menduga bahwa dia akan meninggal dunia tak lama lagi, maka semua ilmunya diturunkan kepada Sin Liong secara tergesa-gesa. “Bagaimana? Kau masih memandang rendah kepadaku?” Ouwyang Bu Sek bertanya ketika melihat anak itu bengong saja. “Aku... aku suka belajar silat kepadamu, locianpwe, akan tetapi aku tidak tahu apakah aku mau menjadi muridmu...?” Mendengar anak itu kini menyebutnya locianpwe, Ouwyang Bu Sek tersenyum dan diapun berkata, “Akupun tidak mudah menerima murid dan selama hidupku belum pernah aku mempunyai murid. Mari kita saling mencoba dulu, seperti orang hendak membeli buah boleh dicoba dulu, kalau cocok baru beli. Kitapun saling coba, kalau cocok, barulah menjadi guru dan murid.” Sin Liong tidak dapat menolak lagi. Memang dia tidak ingin kembali ke Cin-ling-san setelah kong-kongnya tidak ada, dan ke manakah dia hendak pergi? Keluarga Na Ceng Han telah terbasmi musuh dan dia tidak tahu apa yang terjadi dengan Na Tiong Pek dan Bhe Bi Cu. Dulu, ketika dia meninggalkan utara, dia masih mempunyai tujuan, yaitu mencari ayah kandungnya di Cin-ling-san. Kini, setelah melihat ayah kandungnya mempunyai isteri lain dan tidak suka kepadanya sungguhpun belum tahu bahwa dia adalah puteranya, maka dia tidak lagi mempunyai tujuan. “Baik, saya mau ikut locianpwe,” katanya. Ouwyang Bu Sek girang sekali dan dia cepat menyambar tubuh Sin Liong lalu dibawanya lari lagi seperti terbang cepatnya. Dan karena kakek cebol ini hendak memamerkan kepandaiannya kepada bocah yang agaknya masih belum percaya kepadanya itu, maka dia mengerahkan seluruh tenaganya dan Sin Liong terpaksa memejamkan mata ketika melihat tubuhnya meluncur seperti terbang di atas tanah, kadang-kadang melewati jurang yang amat curam. Dan diam-diam dia makin kagum kepada kakek yang benar-benar amat sakti ini. Perjalanan itu memakan waktu cukup lama, sampai hampir satu bulan barulah mereka tiba di puncak Pegunungan Tai-yun-san di selatan itu. Di sepanjang perjalanan, setiap hari Sin Liong dibantu memulihkan kesehatannya oleh Ouwyang Bu Sek, yang menempelkan telapak tangan di dada anak itu dan menyalurkan sin-kangnya mengobati luka di dalam dada Sin Liong. Beberapa kali kakek ini terheran-heran dan merasa takjub ketika dia merasakan sin-kang yang benar luar biasa sekali, yang terkandung dalam tubuh anak itu. Dia tidak tahu bahwa anak itu telah mewarisi sin-kang dari Kok Beng Lama, dan hanya menduga bahwa anak ini memang memiliki bakat yang amat hebat. Setelah mereka tiba di puncak Pegunungan Tai-yun-san yang sepi, melihat pondok sederhana dan kebun luas di belakang pondok yang menjadi tempat tinggal kakek itu Sin Liong merasa suka sekali. Tempat itu amat indah, hawanya sejuk dan kesunyian tempat itu yang penuh dengan hutan mengingatkan Sin Liong akan Lembah Naga di mana dia terlahir. Mulailah Sin Liong dengan hidup baru yang penuh keheningan dan ketenteraman di tempat sunyi itu, setiap hari hanya mengurus kebun sayur dan mempelajari ilmu silat yang mulai diajarkan oleh Ouwyang Bu Sek kepadanya. Akan tetapi di samping mempelajari ilmu silat yang aneh dari kakek itu, diam-diam Sin Liong mulai pula melatih diri dengan teori-teori ilmu-i1mu yang pernah dia pelajari dari mendiang kong-kongnya. Tiga bulan telah lewat dengan aman dan damai di pondok sunyi puncak Bukit Tai-yun-san itu. Akan tetapi pada suatu malam terang bulan, terjadilah hal yang amat mengejutkan hati Sin Liong dan yang seketika mengusir ketenteraman hidup yang telah tiga bulan itu. Pada waktu itu, bulan purnama menciptakan pemandangan yang amat indah dan hawa yang amat sejuk sehingga Sin Liong merasa sayang untuk meninggalkan itu semua, maka dia tidak mau memasuki kamarnya yang sederhana, melainkan duduk di belakang pondok, di atas batu besar dalam keadaan setengah bersamadhi atau merenung. Tiba-tiba anak itu dikejutkan oleh suara orang bercakap-cakap dan ketika dia mendengar bahwa di antara suara itu terdapat suara Ouwyang Bu Sek, dia cepat meloncat turun dan berindap-indap menuju ke depan pondok dari mana suara-suara itu datang. Dia terheran-heran melihat tiga orang kakek berdiri berhadapan dengan Ouwyang Bu Sek di depan pondok itu, di bawah sinar bulan purnama. Sikap tiga orang kakek itu kaku dan marah, sebaliknya Ouwyang Bu Sek tersenyum ramah. “Ha-ha-ha, kiranya Lam-hai Sam-lo, tiga iblis penghuni laut selatan yang datang berkunjung. Ha-ha-ha, selamat datang, tiga orang sahabat baik. Agaknya sinar bulan purnama yang mendorong kalian bertiga berkunjung ke pondokku yang buruk!” Ouwyang Bu Sek menyambut mereka sambil tertawa-tawa. Sin Liong memperhatikan tiga orang kakek yang kelihatan marah itu. Orang pertama adalah seorang kakek berusia enam puluh tahun lebih, bertubuh tinggi besar dengan muka menyeramkan, seperti muka Panglima Tio Hui di jaman Sam Kok, penuh cambang bauk yang membuatnya nampak gagah. Kakek ini dijuluki Hai-liong-ong (Raja Naga Laut) Phang Tek. Kakek ini orangnya pendiam, serius dan ilmu pedangnya amat disegani oleh seluruh dunia kang-ouw di selatan. Hai-liong-ong Phang Tek inilah yang mewarisi kepandaian dari mendiang Lam-hai Sin-ni, seorang di antara datuk-datuk dunia hitam pada waktu puluhan tahun yang lalu (baca cerita Pedang Kayu Harum). Karena dia tidak pandai bicara, maka dalam segala macam pertemuan, dia menyerahkan kesempatan kepada adik kandungnya untuk menjadi wakil pembicara dari Lam-hai Sam-lo (Tiga Kakek Laut Selatan). Adiknya itu bernama Phang Sun, berjuluk Kim-liong-ong (Raja Naga Emas), berusia enam puluh tahun akan tetapi sungguh tidak patut dia menjadi adik kandung Hai-liong-ong Phang Tek. Kalau kakaknya itu merupakan seorang pria yang tinggi besar dan gagah sekali, sebaliknya Phang Sun ini tubuhnya pendek kecil seperti orang berpenyakitan, kepalanyapun kecil lonjong tidak ditumbuhi rambut tapi matanya tajam sekali. Dia kelihatan aneh, lebih mirip setan daripada manusia karena selain bentuk kepala gundul lonjong dan tubuhnya yang aneh itu, juga dia mempunyai kebisaan janggal, yaitu tidak pernah memakai baju dan sepatu. Tubuh atasnya telanjang, hanya tubuh bawah tertutup celana panjang sampai ke bawah betis, kemudian kedua kakinya itupun telanjang. Pada lengan kirinya yang kecil pendek itu nampak sebuah gelang emas tebal. Akan tetapi, biarpun kakek ini kelihatan aneh dan ringkih, namun sesunggubnya dia lihai bukan main, tidak kalah lihai dibandingkan dengan kakaknya. Dia memiliki tenaga sin-kang yang luar biasa, di samping kecerdikannya dan juga dia terkenal memiliki kepandaian tentang racun-racun jahat. Orang ke tiga dari Lam-hai Sam-lo juga memiliki wajah yang mengerikan. Bentuk tubuh dan pakaiannya biasa saja, akan tetapi wajahnya amat buruk mengerikan, dengan hidung pesek sekali, melesak ke dalam dan mulut lebar dengan gigi tidak karuan susunannya, membuat wajahnya itu nampak seperti tengkorak. Akan tetapi, kakek yang usianya juga sudah enam puluh tahun ini memiliki tenaga kasar yang amat kuat, sekuat gajah dan ilmu silatnya juga tinggi sehingga kalau dibandingkan dengan kedua orang rekannya, dia hanya kalah sedikit saja. Namanya Hek-liong-ong (Raja Naga Hitam) Cu Bi Kun. “Ouwyang Bu Sek, kami bertiga datang bukan untuk beramah-tamah atau mengobrol denganmu!” kata Kim-liong-ong Phang Sun si kecil pendek dengan suaranya yang lantang dan besar, sungguh berlawanan dengan bentuk tubuhnya. “Aihhh... habis mau apa? Sayang aku tidak memiliki arak wangi dan hidangan sedap maka tidak dapat menyuguhkan apa-apa.” “Ouwyang Bu Sek, bersiaplah engkau. Kami datang untuk membuat perhitungan denganmu. Marilah kita selesaikan perhitungan di antara kita dengan mengadu kepandaian,” kata pula Phang Sun. “Wah-wah, ini namanya mengkhianati alam yang begini indah! Tadinya kukira kalian hanya ketularan penyakit umum dari manusia yang tidak dapat menikmati keadaan sehingga orang-orang di tepi laut tidak dapat menikmati lagi keindahan lautan dan pergi mencari keindahan di pegunungan, sebaliknya orang pegunungan sudah bosan dengan keindahan di pegunungan lalu pergi mencari keindahan di tepi lautan. Kiranya kalian datang untuk menantangku berkelahi mati-matian mengotori pemandangan yang begini indah. Dan kalian ingin menyelesaikan perhitungan, padahal aku tidak merasa mempunyai hubungan apa-apa kepada kalian.” “Ouwyang Bu Sek, tak perlu berpanjang lidah! Dua tahun yang lalu engkau telah menjatuhkan fitnah atas diri kami ketika diadakan pemilihan bengcu. Apakah engkau masih hendak menyangkal hal itu?” bentak Kim-liong-ong marah sedangkan Hek-liong-ong sudah mengepal tinjunya, Hai-long-ong sudah memukul-mukulkan tongkatnya ke atas tanah. Kembali kakek cebol itu tertawa, kelihatannya tenang-tenang saja melihat betapa mereka itu marah-marah. “Aih-aihh, jadi kiranya hal itukah yang kalian maksudkan? Aku tidak merasa menjatuhkan fitnah. Kawan-kawan, tahukah kalian apa artinya fitnah? Fitnah adalah tuduhan terhadap orang lain tanpa bukti nyata, itulah fitnah. Akan tetapi, aku telah membongkar rahasia kecabulan kalian bertiga dengan bukti-bukti, itu sama sekali bukan fitnah namanya!” Wajah tiga orang kakek itu menjadi marah sekali dan kemarahan mereka makin berkobar. “Kau mencampuri urusan pribadi orang lain!” bentak Hai-liong-ong Phang Tek. “Kau menghina kami di depan orang banyak!” bentak pula Hek-liong-ong Cu Bi Kun. “Ouwyang Bu Sek, tak perlu banyak cakap. Kami datang untuk membalas penghinaan yang kaulemparkan ke atas kepala kami. Hayo kaulawan kami, kalau tidak berani, lekas berlutut minta ampun, barangkali kami masih hendak mempertimbangkan hukumanmu!” Kim-liong-ong Phang Sun berkata. “Ha-ha-ha, aku tidak berani? Lam-hai Sam-lo, kalau aku melawan, apamukah yang kalian andalkan untuk dapat menang?” Mendengar ucapan ini, Hek-liong-ong sudah tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Sebagai seorang datuk yang amat terkenal, biarpun tadi dia sudah meraba-raba gagang goloknya, namun dia tidak mau sembarangan mengeluarkan senjata. Kepandaiannya terlalu tinggi untuk secara sembrono mempergunakan senjata, karena kaki tangannya saja sudah merupakan senjata-senjata maut yang ampuh. Maka sambil menggereng marah dia sudah menubruk maju dan karena kakek raksasa muka hitam ini memang kuat bukan main, begitu dia menjejakkan kakinya di atas tanah untuk landasan menubruk, bumi seperti tergetar dan gerakannya didahului angin yang kuat. “Wuuuttt... bresss...!” Debu mengepul tinggi ketika kakek raksasa ini menubruk, akan tetapi yang ditubruknya telah lenyap sehingga dia menangkap angin belaka. Demikian cepatnya gerakan Ouwyang Bu Sek, sehingga elakannya itu sampai tidak kelihatan oleh lawannya yang menyerang. Akan tetapi tentu saja nampak oleh Hai-liong-ong Phang Tek yang juga memiliki gin-kang istimewa, maka melihat tubrukan temannya itu luput dan melihat betapa kakek cebol itu menggunakan gin-kangnya yang hebat, diapun lalu berseru keras dan tubuhnya menyambar ke depan seperti kilat cepatnya, lalu kedua tangannya sudah menampar dari kanan kiri dengan gerakan melingkar sehingga gerakan kedua tangan ini sudah menutup semua jalan keluar! “Bagus!” Ouwyang Bu Sek memuji karena memang serangan orang pertama dari Lam-hai Sam-lo itu hebat bukan main dan dia tidak lagi melihat jalan keluar untuk mengelak sehingga otomatis dia harus memapaki dua tamparan dari kanan kiri dengan tangkisan kedua lengannya yang pendek. “Dukk! Dukkk!” Hebat sekali benturan antara dua pasang lengan itu dan akibatnya, tubuh Hai-liong-ong Phang Tek terdorong ke belakang sedangkan kakek cebol itu menertawakannya! Jelas bahwa kakek cebol itu lebih kuat dalam mengadu tenaga sin-kang tadi. “Hemmm...!” Suara ini keluar dari mulut Kim-liong-ong yang sudah menggerakkan tangan menyerang. Sekali ini, Ouwyang Bu Sek terkejut karena sambaran angin dahsyat yang keluar dari tangan kakek kurus pendek ini ternyata amat kuatnya dan terdengar suara mencicit nyaring. “Bagus!” Dia memuji lagi dan cepat diapun mendorongkan tangannya menyambut.   “Plakk!” Dua telapak tangan kanan bertemu dan melekat, dari dalam dua telapak tangan itu meluncur tenaga sin-kang yang amat kuat dan kini mereka saling mendorong. Biarpun Kim-liong-ong Phang Sun nampak terdorong ke belakang, namun dia dapat mempertahankan dan Ouwyang Bu Sek maklum bahwa orang ke tiga dari Lam-hai Sam-lo ini memiliki sin-kang yang terkuat di antara mereka bertiga. Dan tiba-tiba dia mengeluarkan seruan aneh ketika merasa betapa telapak tangannya gatal-gatal. “Ih, kau iblis beracun!” bentaknya dan Ouwyang Bu Sek yang maklum bahwa selain amat kuat sin-kangnya, juga Kim-liong-ong ini ternyata memiliki tangan beracun, mengerahkan tenaganya dan tubuh lawannya itu terpental, telapak tangan mereka terlepas dari lekatan lawan. Namun, Hai-liong-ong dan Hek-liong-ong sudah menyerang lagi dari kanan kiri, membuat Ouwyang Bu Sek kewalahan juga. Kakek cebol ini masih tertawa-tawa ketika dia menyambut serangan mereka dan gerakannya aneh dan lincah, tubuhnya yang kecil itu menerobos ke sana-sini di antara sambaran tangan dan kaki tiga orang lawannya yang lihai. Namun, biarpun kakek cebol itu masih tertawa-tawa, sebenarnya dia repot bukan main menghadapi pengeroyokan Lam-hai Sam-lo. Tiga orang kakek ini bukan orang sembarangan melainkan datuk-datuk selatan yang lihai sekali, selain memiliki sin-kang yang amat kuat juga mereka memiliki ilmu-ilmu silat yang aneh. Kalau mereka bertiga tidak mengeluarkan senjata, hal ini adalah karena selain si cebol juga bertangan kosong, juga mereka merasa berada di fihak yang mendesak dan menang. Andaikata mereka itu maju seorang demi seorang, agaknya mereka masih tidak akan mampu menandingi Ouwyang Bu Sek, akan tetapi dengan maju bersama, mereka dapat saling melindungi dan tentu saja keadaan mereka menjadi tiga kali lipat kuatnya, membuat Ouwyang Bu Sek repot sekali dan kakek cebol ini hanya mampu mempertahankan diri, mempergunakan kecepatan gerakannya untuk mengelak ke sana-sini dan kadang-kadang mengandalkan sin-kangnya untuk menangkis. Namun dia tidak mempunyai kesempatan lagi untuk balas menyerang. Betapapun juga, setelah mempertahankan diri lebih dari seratus jurus, ketika agak terlambat gerakannya, Ouwyang Bu Sek kena dihantam oleh telapak tangan Kim-liong-ong pada pundaknya. “Desss...!” Biarpun Ouwyang Bu Sek sudah mengerahkan tenaga saktinya sehingga tubuhnya kebal dan hantaman itu tidak sampai melukainya, namun tubuhnya terpelanting dan bergulingan di atas tanah. Pada saat itu terdengar suara gerengan seperti seekor binatang buas yang marah dan nampak berkelebat sesosok tubuh yang dengan cepatnya menubruk ke arah Kim-liong-ong Phang Sun yang baru saja menghantam Ouwyang Bu Sek. Bayangan ini bukan lain adalah Sin Liong. Pemuda ini tadi hanya menonton karena dia maklum betapa lihainya tiga orang lawan kakek cebol itu. Akan tetapi melihat kakek cebol itu terpukul roboh, dia cepat meloncat dan menerjang kakek kecil aneh itu dan langsung menyerang dengan pukulan-pukulan keras dan totokan-totokan satu jari tangan kirinya. Pemuda ini memang memiliki sin-kang luar biasa, maka tentu saja serangan-serangannya mendatangkan angin yang dahsyat, membuat Kim-liong-ong terkejut dan cepat mengelak. Ouwyang Bu Sek tertawa girang dan dia sudah meloncat bangun lagi, kini kakek ini mendesak dan melawan pengeroyokan Hai-liong-ong dan Hek-liong-ong sambil tertawa-tawa. Mendengar kakek cebol itu tertawa-tawa, hati Sin Liong merasa lega karena hal itu membuktikan bahwa kakek cebol itu tidak terluka parah, maka dia dapat mencurahkan perhatiannya menghadapi kakek kecil aneh itu. Kim-liong-ong Phang Sun kini marah bukan main. Kiranya yang menolong musuh mereka itu hanya seorang pemuda cilik dan biarpun dia tahu bahwa pemuda ini memiliki tenaga sakti yang besar dan ilmu silat yang aneh dan tinggi, namun gerakan pemuda ini masih mentah. Maka ketika dia melihat Sin Liong mendesak, dan menghantam, dia sengaja mengerahkan sin-kangnya untuk menangkis lengan pemuda itu dan mematahkannya. “Plakk...! Aahhhhh...!” Kim-liong-ong berteriak kaget bukan main karena tangannya bertemu dengan lengan seorang pemuda kecil dan tangan itu melekat, kemudian mendadak dia merasa betapa tenaga sin-kang yang dipergunakan untuk menangkis tadi kini memberobot keluar, membanjir meninggalkan tubuhnya melalui tangan, disedot oleh lengan bocah itu! Dia berusaha untuk menarik kembali tangannya sambil mengerahkan sin-kang, akan tetapi celakanya, makin dia mengerahkan sin-kang, makin banyak tenaganya membanjir keluar! Melihat wajah temannya yang terbelalak matanya dan pucat mukanya itu, Hek-liong-ong terkejut dan menduga bahwa tentu bocah itu melakukan hal aneh dan mungkin memiliki ilmu luar biasa, maka diapun menerjang dan menghantamkan kepalan tangannya ke arah Sin Liong. Pada waktu itu, Sin Liong telah memiliki kewaspadaan dan kegesitan seorang ahli silat tinggi. Kepekaan tubuhnya mulai bangkit setelah dia menerima latihan dari Ouwyang Bu Sek, maka menghadapi hantaman yang mengandung tenaga raksasa yang amat kuat itu, dia tidak menjadi bingung. Dengan miringkan sedikit tubuhnya, dia menghindarkan pukulan langsung, kemudian lengannya menangkis. “Plakkk!” Dan kini tangan Hek-liong-ong (Raja Naga Hitam) itupun menempel pada lengannya dan tidak dapat ditarik kembali karena tenaganya membanjir keluar seperti yang dialami oleh Kim-liong-ong Phang Sun. Akan tetapi, kedua orang itu adalah tokoh-tokoh besar dari dunia kang-ouw dan mereka telah memiliki kepandaian yang hebat. Melihat keadaan ini, mereka dapat menduga bahwa bocah aneh itu memiliki tenaga sedot yang luar biasa, dan mereka saling pandang kemudian Kim-liong-ong berkata, “Sute, kita kerahkan tenaga bersama. Satu-dua-tiga...!” Akan tetapi celaka, makin hebat kedua orang itu mengerahkan tenaga untuk menarik tangan mereka, makin hebat pula tenaga mereka membanjir keluar, seperti air yang terjun ke dalam samudera! Tentu saja wajah mereka menjadi pucat sekali. Dan pada saat itu, Ouwyang Bu Sek menotok ke arah pundak Sin Liong sambil membentak, “Lepaskan!” Sin Liong terkejut dan otomatis syarafnya bergerak dan tenaga menyedot itupun sudah disimpannya kembali dan dua orang yang tadi melekat kepadanya terlempar beberapa meter ke belakang karena mereka sudah dilontarkan oleh Ouwyang Bu Sek. Hai-liong-ong Phang Tek terkejut bukan main, mengira bahwa kepandaian Ouwyang Bu Sek memang hebat bukan kepalang. Melihat dua orang temannya sudah terluka dan dirobohkanm dia lalu menjura. “Lain kali kita bertemu kembali,” katanya dan dia lalu menyambar tubuh dua orang temannya yang masih lemas, dan sekali melompat dia sudah menghilang dari tempat itu. Sejenak Ouwyang Bu Sek berdiri tegak memandang ke arah menghilangnya Lam-hai Sam-lo, kemudian dia menoleh dan menghadapi Sin Liong yang masih berdiri, lalu dia merangkul Sin Liong dan... menangis! Kakek itu menangis seperti anak kecil kehilangan layang-layang yang putus terbawa angin, terisak-isak dan sesenggukan sehingga Sin Liong menjadi bingung sekali. “Locianpwe, kenapa kau menangis? Kenapa...?” tanyanya berkali-kali dan dia membiarkan saja kakek itu merangkulnya sambil menangis dan dia merasa betapa pundak kirinya di mana kakek itu bersandar telah menjadi basah oleh air mata. Akhirnya, tangis itu mereda dan kakek itu melepaskan rangkulannya, lalu menggunakan ujung baju untuk membuang ingus dengan suara nyaring bukan main. Akhirnya dapat juga dia bicara. “Ah, tak kusangka bahwa malam ini Ouwyang Bu Sek diselamatkan oleh seorang anak-anak...” Sin Liong memandang dengan heran, dan tidak menjawab. “Dan mengingat betapa aku menganggap anak itu sebagai kacung, bahkan selama berbulan-bulan aku tidak tahu dan tidak ingin menanyakan namanya, tidak memperdulikannya dan hanya menurunkan ilmu sekedarnya, tahu-tahu malam ini dia menyelamatkan nyawaku, hati siapa takkan terharu?” Mendengar ini, Sin Liong baru mengerti dan dia merasa heran dan juga geli. Kakek yang luar biasa lihainya ini seperti anak kecil saja. “Locianpwe, memang nama saya tidak ada harganya untuk diketahui oleh locianpwe.” Kakek itu melompat dan berjingkrak. “Tidak, siapa bilang tidak berharga? Engkau adalah in-kong (tuan penolong) bagiku. Hayo katakan, siapakah namamu?” “Nama saya Sin Liong...” “Hebat! Naga Sakti? Memang hebat dan tepat sekali. Cia Sin Liong!” Sin Liong terkejut. “Saya... saya... bukan she Cia!” “Habis she apa?” “Saya... saya tidak tahu, locianpwe.” “Justeru karena tidak tahu itu maka engkau she Cia, seperti kong-kongmu...” “Akan tetapi... saya hanya mengaku-aku saja beliau sebagai kong-kong...” “Kalau bukan kong-kongmu sendiri, mana mungkin engkau diwarisi Thi-khi-i-beng? Yang kaupergunakan tadi adalah Thi-khi-i-beng, bukan? Hayo kaucoba terima ini!” Cepat bukan main kakek itu sudah menerjang dan menghantam ke arah kepala Sin Liong. BUKAN MAIN kagetnya Sin Liong melihat pukulan yang cepat dan kuat ini. Otomatis dia menggerakkan lengan ke atas untuk menangkis dan otomatis pula dia mengerahkan tenaga Thi-khi-i-beng yang menjadi lebih kuat karena baru saja dia “minum” tenaga atau hawa sakti dari dua orang kakek itu. “Plakk!” Telapak tangan kakek itu bertemu dengan lengan Sin Liong dan seketika tenaga sin-kangnya tersedot! Akan tetapi, kakek cebol itu cepat melepaskan sin-kangnya dan ternyata daya lekat itupun lenyap. Memang demikianlah keistimewaan Thi-khi-i-beng. Kalau yang menyerang pemilik Thi-khi-i-beng itu tidak menggunakan tenaga sin-kang, maka dia tidak akan melekat dan tersedot. Akan tetapi begitu tenaga sin-kang tersedot, sukarlah untuk membebaskan diri, karena baik menyerang maupun berusaha menarik tangan tentu dilakukan dengan pengerahan tenaga yang akan makin hebat tersedot saja. Ouwyang Bu Sek yang bertahun-tahun lamanya mempersiapkan diri untuk melawan mendiang Cia Keng Hong, sudah mendengar akan keistimewaan Ilmu Thi-khi-i-beng yang dimiliki pendekar Cin-ling-pai itu, maka dia sudah mempelajari kelemahannya dan sudah tahu bagaimana caranya untuk menghindarkan diri dari Thi-khi-i-beng. Selain melepaskan diri dengan menyimpan sin-kangnya, juga dia dapat menotok bagian yang menyedot itu sehingga urat-urat syaraf di bagian itu tergetar dan saat itu dia dapat menarik anggauta tubuhnya yang melekat. “Memalukan! Memalukan sekali!” Tiba-tiba kakek itu berkata sambil memandang kepada Sin Liong. “Apa yang memalukan, locianpwe?” “Kau!” “Saya...?” “Ya, engkau yang memalukan. Pertama-tama, engkau menyebutku locianpwe. Mulai saat ini sebutan itu harus kaubuang jauh-jauh dari benak dan mulutmu. Awas, sekali lagi menyebut, engkau akan menjadi musuhku karena berarti engkau menghinaku, tahu?” “Eh? Ini... ini... locian...” Sin Liong menghentikan sebutan itu. “Lalu saya harus menyebut apa?” “Aku adalah suhengmu, mau sebut apa lagi?” “Suheng?” Sin Liong memandang dengan mata terbelalak bingung. Kakek ini suhengnya? Dengan perhitungan bagaimanakah tahu-tahu kakek ini menjadi suhengnya? “Ya, sute, aku adalah suhengmu. Kita sama-sama menjadi murid dari Bu Beng Hud-couw di Himalaya!” “Siapakah Bu Beng Hud-couw (Dewa Tanpa Nama) itu?” “Nanti kujelaskan. Sekarang, hal ke dua yang memalukan. Yaitu, engkau telah menjadi pencuri yang menemukan kalau menggunakan Thi-khi-i-beng untuk menyedot dan mencuri tenaga sin-kang lawan. Huh, benar-benar memalukan sekali.” “Tapi, lo... eh, ssuu... heng...” Sukar sekali bagi Sin Liong untuk menyebut suheng kepada kakek itu, akan tetapi dia takut kalau-kalau benar kakek aneh itu akan memusuhinya kalau dia berani menyebut locianpwe lagi. “Aku tidak bermaksud mencuri tenaga orang. Memang demikianlah sifat Thi-khi-i-beng, menyedot tenaga lawan yang menyerang. Adalah kesalahan lawan itu sendiri karena dia menyerang...” “Alasan dicari-cari! Mendiang Cia Keng Hong sendiri tentu tidak sudi menggunakan ilmu itu untuk mencuri sin-kang orang. Ilmu itu hanya untuk menghindarkan diri dari terluka oleh pukulan orang, bukan untuk mencuri hawa sin-kang. Mulai sekarang, engkau tidak boleh menggunakannya untuk menyedot tenega orang. Huh, seperti perempuan cabul saja!” Sin Liong melongo, tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh kakek itu dan mengapa dia dimaki seperti perempuan cabul segala! Akan tetapi dia tidak membantah, dan tidak menjawab. “Aku adalah suhengmu, maka juga mewakili guru kita. Hayo kau ikut bersamaku melakukan upacara pengangkatan guru kepada guru kita Bu Beng Hud-couw di Himalaya!” Sin Liong tidak membantah pula dan dia lalu mengikuti kakek itu, bukan memasuki pondok melainkan pergi menjauhi pondok ke sebuah lereng bukit! Anak ini merasa terheran-heran. Benarkah kakek ini mempunyai seorang guru yang tinggal di tempat terpisah? Di bawah penerangan sinar bulan purnama, dua orang itu berjalan berdampingan menuruni puncak. Dilihat dari jauh, tentu disangka orang bahwa Sin Liong lebih tua karena kakek itu hanya setinggi pundaknya! Ketika tiba di lereng yang penuh dengan batu-batu karang dan guha-guha kecil, kakek itu berhenti, sejenak dia berdiri di atas batu memandang ke kanan kiri penuh perhatian. Setelah dia merasa yakin bahwa di situ tidak ada orang lain kecuali mereka berdua, dia lalu mengajak Sin Liong menghampiri sebuah batu sebesar gajah. Dengan hati-hati dia lalu mendorong batu itu sampai bergeser dan ternyata di balik batu besar itu terdapat sebuah guha kecil yang lebarnya hanya satu meter, guha kecil namun gelap karena selain terhalang batu besar juga agaknya dalam sekali. Kakek itu merangkak masuk dan tak lama kemudian dia sudah keluar lagi membawa sebuah peti hitam yang bentuknya persegi dan ukurannya kurang dari setengah meter. Dengan penuh khidmat diletakkannya peti hitam itu di atas batu, kemudian dia menjatuhkan diri di depan peti itu. “Sute, cepat kau berlotut memberi hormat,” dia berbisik. Sin Liong merasa seram karena dia tidak melihat siapa-siapa, akan tetapi dia tidak membantah dan cepat diapun berlutut di samping kakek itu, menghadapi peti hitam. Kakek itu memberi hormat dengan berlutut dan bersoja tiga kali, lalu terdengar dia berkata, “Suhu, teecu membawa sute datang menghadap suhu dan perkenankanlah teecu memperlihatkan ilmu-ilmu pemberian suhu kepada sute.” Setelah berkata demikian, kakek itu mengeluarkan sebungkus obat bubuk putih dari sakunya. “Cepat kautiru perbuatanku, melumuri muka, leher dan tangan, semua bagian tubuh yang nampak, dengan bubuk putih ini.” Sin Liong terheran-heran, akan tetapi dia tidak membantah dan dia meniru kakek itu membedaki semua kulitnya yang tidak tertutup pakaian. Hampir dia tertawa melihat betapa wajah kakek itu menjadi putih seperti wajah seorang badut yang hendak berlagak di atas panggung. Akan tetapi dia teringat bahwa tentu wajahnya sendiripun putih seperti itu, maka dia tidak jadi tertawa. Kakek itu sekali lagi memeriksa dan setelah melihat benar bahwa seluruh kulit yang nampak dari anak itu telah tertutup bubuk putih, dia lalu memberi hormat lagi dan kedua tangannya membuka tutup peti. “Kriyeeettt...!” Peti hitam terbuka tutupnya dan tiba-tiba terdengar suara mendesis nyaring dan nampak berkelebat sinar emas dari dalam peti menyambar keluar. Kiranya sinar emas itu adalah seekor ular berkulit kuning keemasan yang menyambar keluar, lehernya mengembung dan dari mulutnya keluar uap hitam, lidahnya yang merah keluar masuk dan sepasang matanya seperti menyala! “Kim-coa-ko (saudara ular emas), kami berdua sudah mendapat perkenan suhu untuk memeriksa kitab, harap kau tenang saja.” Aneh sekali ular yang “berdiri” dengan penuh sikap mengancam itu lalu turun kembali dan melingkar di sudut peti hitam, di mana terdapat setumpuk kitab-kitab yang sudah kuning saking tuanya. “Lihatlah, sute. Inilah kitab-kitab wasiat, kitab-kitab pusaka yang diturunkan oleh suhu Bu Ben Hud-couw kepada kita. Aku sudah terlalu tua untuk mempelajarinya, hanya baru dapat membacanya saja yang membutuhkan waktu puluhan tahun. Aku tidak mempunyai waktu lagi untuk melatih ilmunya, maka semua penterjemahanku atas kitab-kitab ini akan kuserahkan kepadamu dan engkaulah yang akan dapat melatih diri dan menguasai ilmu-ilmu dari dalam kitab-kitab ini.” Sin Liong memandang dengan mata terbelalak dan ular itu diam saja ketika Owyang Bu Sek mengambil kitab paling atas lalu membalik-balik lembarannya. Di dalam kitab itu terdapat tulisan-tulisan yang amat sukar dibaca, karena sebagian besar merupakan gambaran-gambaran yang menjadi huruf-huruf kuno. Akan tetapi kitab itu juga mengandung gambar-gambar gerakan orang bersilat. “Aku telah mempergunakan waktu bertahun-tahun untuk menterjemahkannya, sute, dan kini aku sudah kehabisan waktu untuk melatihnya. Pula, orang setua aku, untuk apa sih mempelajari ilmu-ilmu baru? Maka aku mewariskan semua ini kepadamu, sute. Jangan khawatir, aku akan membimbingmu untuk mengerti isi kitab-kitab ini.” Setelah kakek itu menutupkan kembali peti hitam dan membawanya masuk lagi ke dalam guha, Sin Liong membantu kakek itu mendorong batu besar kembali ke tempat semula, yaitu menutupi guha rahasia itu. “Lo... suheng, mengapa ular itu ditaruh di dalam peti?” tanyanya. “Ha-ha, itu akalku. Tadi sudah kumasukkan lima ekor katak ke dalam peti. Ular itu merupakan ular yang paling berbahaya, gigitannya mematikan dan biarpun orang memiliki kepandaian tinggi sekalipun, sekali kena digigitnya, bahayalah nyawanya. Akan tetapi dengan obat bubuk putih ini, dia menjadi jinak.” “Dan siapakah Bu Beng Hud-couw... guru kita itu, suheng?” “Sstt, kita menghaturkan terima kasih lebih dulu!” kata kakek itu dan tiba-tiba dia menarik tangan Sin Liong, diajaknya berlutut di luar guha di depan batu dan kakek itu berkata, “Suhu, teecu berdua menghaturkan terima kasih kepada suhu dan mohon suhu sudi membimbing agar sute dapat mempelajari ilmu-ilmu dari suhu dengan lancar dan berhasil.” Sin Liong hanya meniru saja ketika suhengnya yang aneh itu berlutut dan memberi hormat. Kemudian Ouwyang Bu Sek menarik napas panjang dan kelihatan lega hatinya. “Ahhh, suhu senang sekali dengan keputusanku ini, sute.” Sin Liong menengok ke kanan kiri. Tidak ada siapa-siapa di situ sejak tadi kecuali mereka berdua, bagaimana kakek ini bisa bicara tentang suhunya merasa senang dan lain-lain? “Di manakah suhu, suheng? Aku tidak melihatnya.” “Heh-heh, mana bisa begitu mudah, sute? Tingkatmu belum sampai ke situ. Kelak kau tentu akan dapat bertemu dengan suhu kita yang mulia.” “Suheng, harap kau sudi menceritakan kepadaku tentang suhu itu.” Sin Liong merasa tertarik sekali. Kakek itu menarik napas panjang lalu duduk di atas batu besar. Sin Liong juga duduk di depannya, siap untuk mendengarkan karena dia benar-benar merasa penasaran dan heran mengapa dia tidak mampu melihat orang yang disebut Bu Beng Hud-couw dan yang oleh kakek ini dikatakan sebagai guru mereka. “Guru kita, yang mulia Bu Beng Hud-couw adalah seorang manusia suci yang sudah mencapai tingkat tinggi, tingkat para dewa dan nabi-nabi,” kakek itu mulai bercerita dengan suara sungguh-sungguh. “Selama lebih dari tiga ratus tahun bellau tinggal di salah satu di antara puncak-puneak Pegunungan Himalaya...” “Tiga ratus tahun? Sampai sekarang?” Kakek itu mengangguk. “Ya, sampai sekarang.” Sepasang mata Sin Liong terbelalak. “Tidak mati?” Kakek itu tersenyum. “Dikatakan mati, beliau masih memakai jasmaninya, dinamakan hidup, beliau sudah berbeda dari kita. Tapi dia masih hidup, sute, bertempat tinggal di dalam pondok sunyi dan suci di puncak sana. Akan tetapi tidak sembarang manusia dapat menjumpainya, hanya yang sudah memiliki tingkat seperti aku dan sudah ada kontak dengan beliau. Kalau sudah ada kontak, biar di sinipun aku dapat berjumpa dengan beliau, karena sesungguhnya beliau itu dapat datang ke manapun dalam sekejap mata.” “Bagaimana caranya?” “Melalul alam pikiran, melalui getaran perasaan.” Sin Liong makin bingung akan tetapi dia merasa seram dan tidak berani membantah. Dia masih terlampau muda dan terlampau wajar untuk dapat mengerti permainan orang-orang tua seperti yang diceritakan oleh Ouwyang Bu Sek itu. Memang, betapa banyaknya manusia di dunia ini yang suka sekali, bahkan merindukan dan mengejar-ngejar, hal-hal yang bersifat mistik, yang penuh rahasia, pendeknya yang lain daripada yang kita lihat sehari-hari dalam kehidupan kita di dunia ini! Kita manusia pada umumnya menghendaki hal-hal yang aneh, ajaib, yang tidak lumrah, dan semua ini timbul karena kita telah menjadi seperti buta, kita tidak lagi dapat melihat betapa di dalam kehidupan ini, sudah terdapat keajaiban-keajaiban yang amat hebat, sudah terjadi berkah berlimpahan dan kekuasaan cinta kasih memenuhi alam. Kita seperti tidak melihat lagi keindahan dan keajaiban yang terjadi di waktu kita bernapas, di waktu jantung kita berdenyut, di waktu rambut dan kuku kita bertumbuh tanpa terasa, di waktu seluruh anggauta tubuh kita hidup. Kita tidak lagi dapat menikmati atau melihat keajaiban dan cinta kasih yang terkandung dalam sinar matahari, bulan dan bintang, dalam keharuman bunga-bunga, warna-warni yang tertangkap oleh mata, suara-suara yang memasuki telinga, keajaiban dan cinta kasih yang terkandung dalam setiap tarikan napas kita! Kita sudah buta akan semua itu, dibutakan oleh keinginan mengejar segala macam kesenangan, termasuk kesenangan untuk bertemu dengan keajaiban-keajaiban baru dan lain berupa mistik-mistik dan keanehan dan untuk itu kita tidak segan-segan untuk pergi bertapa, menyiksa diri, berpantang, dan sebagainya lagi. Apa yang diceritakan oleh Ouwyang Bu Sek memang tidaklah aneh, dan memang mungkin saja terjadi. Apapun yang diangan-angankan oleh pikiran memang dapat terujud, sungguhpun ujud itu bukan merupakan kenyataan melainkan hanya merupakan gambaran angan-angan belaka, merupakan pemantulan daripada khayal kita sendiri. Bukan bohong kalau ada orang yang mengatakan bahwa dia melihat setan, akan tetapi setan yang dilihatnya itu tentulah suatu ujud atau rupa yang telah diangankan sebelumnya, telah didengar dari dalam cerita, telah dikenal dari dongeng atau penuturan orang lain. Bukan hal aneh pula kalau seseorang dapat melihat atau bertemu dengan seorang tokoh dewa atau nabi, akan tetapi yang dilihat atau dijumpainya itu tentulah tokoh yang memang dipuja-pujanya, atau setidaknya yang berkesan di hatinya, dan sudah pasti merupakan tokoh yang pernah didengarnya, jadi telah dikenal pula penggambarannya sehingga telah terbentuk suatu gambaran khayal di dalam batinnya. Hal ini adalah jelas dan mudah dimengerti, bukan teori kosong belaka. Oleh karena itu, tidaklah aneh kalau seorang tokoh aneh seperti Ouwyang Bu Sek dapat “bertemu” dengan seorang tokoh pujaannya yang disebutnya Bu Beng Hud-couw itu, sungguhpun Sin Liong atau orang lain tidak dapat melihatnya. Dan tidak aneh pula kalau dia dapat “bercakap-cakap” dengan tokoh bayangan itu. Bukankah sering kali kita dapat pula “bercakap-cakap” di dalam batin kita, seolah-olah ada dua, bahkan lebih banyak lagi fihak yang bercakap-cakap dan bahkan berbantahan? Betapapun juga, Sin Liong beruntung berjumpa dengan kakek itu karena sesungguhnya kitab-kitab yang dilarikan oleh Ouwyang Bu Sek dalam kuil tua di Himalaya itu mengandung pelajaran-pelajaran ilmu yang amat tinggi, dan mulailah Sin Liong mempelajari isi kitab di bawah petunjuk dan bimbingan Ouwyang Bu Sek. Dan memang Sin Liong memiliki bakat yang baik sekali, terutama sekali karena dia memiliki dasar yang amat kuat setelah dia mewarisi tenaga sakti dari Kok Beng Lama dan mewarisi ilmu-ilmu dari pendekar sakti Cia Keng Hong. Kota Yen-ping terletak di tepi Sungai Min-kiang di Propinsi Hok-kian. Karena tempat ini terletak di pegunungan yang subur dan sunyi, juga karena Sungai Min-kiang itu mengalir terus ke laut, maka tempat ini dipilih oleh para tokoh liok-lim dan kang-ouw sebagai tempat berkumpul dan pada hari itu di sebuah lereng di luar kota Yen-ping kelihatan ramai sekali dengan berkumpulnya banyak tokoh karena pada hari itu mereka mengadakan pemilihan seorang “bengcu” baru. Seorang bengcu adalah seorang yang dianggap sebagai pemimpin untuk menjaga keutuhan para tokoh kang-ouw, liok-lim, dan para partai yang banyak terdapat di selatan. Para tokoh dunia hitam yang juga disebut kaum sesat pada waktu itu adalah golongan hina atau rendah. Sebaliknya malah, mereka menganggap diri mereka sebagai orang-orang gagah berani yang hidup mengandalkan kekuatan sendiri. Bagi mereka ini, hukum berada di ujung senjata atau di dalam kepalan tangan mereka sendiri! Betapapun juga, mereka maklum bahwa tanpa adanya seorang bengcu yang berwibawa dan pandai, maka persatuan dan keutuhan tidak dapat dipertahankan dan mereka tentu akan mudah diserang atau dibasmi oleh fihak lain. Juga tanpa adanya seorang bengcu, maka pertikaian-pertikaian di antara mereka sendiri dapat berlarut-larut dan membahayakan ketahanan mereka sendiri. Dengan adanya bengcu, maka segala dapat didamaikan dan diselesaikan dengan baik yaitu urusan yang timbul di antara mereka sendiri yang menganggap sebagai orang-orang segolongan dan senasib. Pemilihan bengcu tahun ini diselenggarakan atau dipelopori oleh perkumpulan Sin-ciang Tiat-thouw-pang, yaitu perkumpulan yang paling terkenal di daerah itu. Perkumpulan ini bergerak dalam bermacam lapangan, di antaranya membuka perusahaan ekspedisi, yaitu pengawal barang-barang kiriman, baik melalui darat, sungai maupun laut. Oleh karena itu, perkumpulan ini tentu saja berhubungan baik dengan golongan perampok dan bajak. Di samping itu, juga perkumpulan ini membuka bandar-bandar judi dan tempat-tempat pelacuran di kota-kota besar, maka selain perkumpulan ini terkenal dan kuat, juga berhasil mengumpulkan kekayaan yang lumayan besarnya. Dari namanya saja menunjukkan bahwa perkumpulan ini adalah perkumpulan orang-orang yang memiliki sin-ciang (tangan sakti) dan tiat-thouw (kepala besi), pendeknya orang-orang yang merupakan jagoan-jagoan. Dan sekali ini Sin-ciang Tiat-thouw-pang mengambil prakasa melakukan pemilihan bengcu dan membiayainya oleh karena perkumpulan yang berpengaruh dan luas daerah operasinya ini merasa terancam kedudukan mereka oleh perkumpulan-perkumpulan lain yang mereka anggap suka menjilat kepada pemerintah. Kalau mereka mengambil prakasa, maka bengcu yang dipilih kelak tentu akan melindungi mereka. Tempat yang dipilih untuk pertemuan besar antara tokoh-tokoh kaum sesat itu adalah puncak sebuah bukit yang datar dan dilindungi pohon-pohon dan tanahnya tertutup rumput segar seperti permadani hijau. Di tengah-tengah padang rumput di puncak bukit itu didirikan sebuah panggung yang cukup luas, terbuat dari papan-papan tebal di atas tiang-tiang batang pohon yang besar dan kokoh kuat. Karena pertemuan itu merupakan rapat umum, demi kepentingan umum, bukan undangan pribadi dari perkumpulan Sin-ciang Tiat-thouw-pang, maka perkumpulan itupun tidak menyediakan meja kursi dan para tokoh kang-ouw yang datang mengambil tempat duduk di sekitar lapangan itu. Ada yang duduk di atas batu dan akar pohon, di atas rumput, ada yang nongkrong berjongkok seenaknya, ada pula yang sambil rebah melepaskan lelah, ada yang bersila dalam samadhi dengan sikap yang lebih hendak menjual tampang daripada bersamadhi benar-benar, ada pula yang nongkrong di atas pohon. Bermacam-macam sikap orang-orang liok-lim yang kasar-kasar ini, tidak jarang pula yang sikapnya aneh-aneh. Lucunya, seperti hampir dapat kita saksikan sampai hari ini, kekasaran dan keanehan sikap itu tidaklah wajar, melainkan disengaja dan dibuat-buat karena pada dasarnya semua sikap itu terdorong oleh keinginan untuk menonjolkan diri agar menjadi perhatian orang lain! Betapa kita ini, orang-orang dewasa, orang-orang tua, masih saja seperti kanak-kanak, yaitu mempunyai kecenderungan ingin menjadi pusat perhatian orang, ingin menonjolkan, ingin “lain daripada yang lain” sehingga muncullah sikap bermacam-macam. Ada pula di antara mereka yang datang hanya dengan mengenakan cawat saja, bertubuh kurus kering karena kurang makan atau berpuasa. Sepintas lalu orang akan merasa segan karena menganggap dia itu seorang pertapa sederhana yang menjauhkan diri dari segala urusan dunia! Akan tetapi, kehadirannya di situ saja membuktikan bahwa dia sama sekali tidaklah sederhana! Kesederhanaan cawat dan tubuh kurus itu tak lain tak bukan hanya merupakan suatu kesengajaan yang di “pasang” agar menarik perhatian belaka. Kesederhanaan yang berteriak lantang, “lihatlah aku ini, lihatlah kesederhanaanku! Hebat, bukan?” Karena pada waktu itu keadaan kerajaan sedang kemelut, pergantian kaisar tua yang meninggal oleh kaisar muda mendatangkan keguncangan hebat, maka guncangan itu terasa sampai ke dunia hitam dan oleh karena itu pertemuan rapat yang diadakan untuk memilih bengcu ini mendapat perhatian amat besar, tidak hanya oleh golongan sesat, oleh partai-partai persilatan, akan tetapi juga oleh golongan pendekar. Semenjak pagit para tokoh datang membanjiri tempat itu. Wakil-wakil partai persilatan, wakil-wakil perkumpulan dan golongan, juga perorangan, memenuhi tempat itu dan keadaan seperti pesta karena rombongan-rombongan itu membawa bendera dan tanda perkumpulan masing-masing. Juga terdapat kegembiraan besar karena dalam kesempatan inilah mereka dapat saling bertemu dan berkumpul, dan di antaranya banyak terdapat teman-teman lama yang tentu saja menjadi gembira karena dapat saling jumpa. Di antara para wakil-wakil partai persilatan besar, terdapat seorang pemuda berusia delapan belas tahun, bertubuh tinggi tegap, berkulit agak kecoklatan, sikapnya gagah sekali akan tetapi tarikan dagunya membayangkan ketinggian hati seorang jagoan muda yang memandang diri sendiri terlampau tinggi dan seolah-olah tidak ada orang lain di dunia ini yang lebih lihai daripada dia! Ketika dia memperkenalkan diri, semua orang memandang kepadanya dengan agak segan karena pemuda itu memperkenalkan diri sebagai wakil dari Cin-ling-pai! “Ahhh, taihiap adalah wakil dari Cin-ling-pai? Silakan duduk di tempat kehormatan...!” Demikianlah para penyambut dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang berkata dengan hormat dan sebutan “sicu” berubah menjadi “taihiap”. Demikian angkuhya pemuda itu lalu duduk di “tempat kehormatan” yang sebenarnya hanyalah bangku-bangku kayu biasa, hanya diletakkan di belakang panggung dan di tempat yong agak tinggi. Sin Liong yang berada pula di situ, yang menyelinap di antara para tamu yang amat banyak dan tidak seorangpun memperhatikan pemuda tanggung berpakaian sederhana ini, merasa tertarik sekali ketika mendengar bahwa pemuda gagah perkasa itu adalah wakil Cin-ling-pai. Dia cepat menyusup di antara orang banyak dan duduk tidak jauh dari pemuda tampan gagah itu. Akan tetapi dia tidak mengenal pemuda ini, padahal baru tiga tahun dia meninggalkan Cin-ling-san. Sin Liong kini telah berusia enam belas tahun, dan sudah tiga tahun dia berada di tempat tinggal Ouwyang Bu Sek. Hari itu dia diutus oleh suhengnya untuk mewakili suhengnya yang sudah tua dan malas pergi di tempat pertemuan itu. Karena dia hanya seorang pemuda tanggung berusia enam belas tahun yang tidak menarik perhatian, maka fihak Sin-ciang Tiat-thouw-pang tidak menyambutnya dan diapun menyusup di antara banyak tamu. Dia tentu hanya dianggap seorang pengikut dari sekian banyaknya rombongan yang datang. Tentu saja Sin Liong tidak mengenal pemuda yang gagah itu. Pemuda itu bernama Kwee Siang Lee. Dia adalah putera dari seorang tokoh Cin-ling-pai yang terkenal pula. Ayahnya adalah Kwee Tiong, seorang anak murid Cin-ling-pai yang sudah memiliki tingkat lumayan, sedangkan ibunya adalah seorang wanita dari Tibet bernama Yalima, puteri seorang kepala dusun di Tibet yang melarikan diri untuk mencari Cia Bun Houw yang menjadi kekasihnya, akan tetapi kemudian karena Cia Bun Houw tidak lagi mencintanya lalu mendapatkan penggantinya dalam diri Kwee Tiong sehingga mereka berdua lalu menikah di Cin-ling-san (baca cerita Dewi Maut). Kwee Siang Lee, pemuda yang berusia delapan belas tahun itu, adalah anak tunggal suami isteri ini, dan sejak kecil tentu saja Kwee Siang Lee telah digembleng oleh ayahnya dengan ilmu-ilmu yang khas dari Cin-ling-pai. Sebenarnya pemuda ini sama sekali bukanlah seorang wakil Cin-ling-pai yang diutus oleh perkumpulan itu. Seperti kita ketahui, semenjak kematian Cia Keng Hong sebagai ketua dan pendiri Cin-ling-pai, perkumpulan ini seolah-olah telah bubar dan hanya tinggal bekas-bekas anggautanya saja yang tinggal di sekitar Pegunungan Cin-ling-san atau bahkan banyak yang sudah pergi ke tempat lain yang jauh. Ketika itu Kwee Siang Lee sedang melakukan perjalanan merantau dan ketika dia tiba di daerah itu dia mendengar akan pertemuan yang diadakan untuk melakukan pemilihan bengcu. Sebagai seorang pemuda yang berdarah panas dan menganggap bahwa perkumpulan Cin-ling-pai adalah perkumpulan terbesar dan bahwa kepandaiannya telah boleh diandalkan untuk mewakili perkumpulan kebanggaannya itu, maka dia ingin mengangkat nama Cin-ling-pai dan mewakili perkumpulan itu secara pribadi! Setelah matahari naik tinggi, tempat itu sudah penuh dengan para pendatang. Tempat kehormatan yang berada di dekat panggung itupun sudah penuh dengan para tokoh besar di dunia persilatan bagian selatan. Tak lama kemudian, fihak penyelenggara pertemuan itu, yaitu dua orang ketua dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang, maju ke atas panggung dan memberi hormat ke empat penjuru. Mereka berdua itu adalah Sin-ciang Gu Kok Ban yang tinggi kurus sebagai ketua pertama dan Tiat-thouw Tong Siok yang tinggi besar sebagai ketua ke dua atau wakil ketua dari perkumpulan itu. Setelah menghaturkan terima kasih dan selamat datang kepada hadirin semua, dengan suara lantang Sin-ciang Gu Kok Ban lalu berkata, “Seperti cu-wi (anda sekalian) ketahui, bengcu kita yang lalu adalah seorang tua yang kurang tegas dan kini telah meninggal dunia, maka perlulah bagi kita untuk mengangkat seorang bengcu baru. Setelah kita semua berkumpul, maka sebaiknya kita kini mengajukan calon masing-masing untuk pemilihan bengcu baru. Hendaknya cu-wi memilih seorang yang benar-benar cakap, berkepandaian tinggi, berwibawa dan berani untuk diajukan sebagai calon. Pertama-tama, kami dari perkumpulan Sin-ciang Tiat-thouw-pang mengajukan calon kami, yaitu Tiat-thouw Tong Siok, wakil ketua dari perkumpulan kami sendiri!” Orang tinggi besar berusia empat puluh tahun itu kini menjura ke empat penjuru, disambut tepuk sorak para anggauta Sin-ciang Tiat-thouw-pang yang memenuhi tempat itu dan tentu saja mereka ini menjagoi calon mereka. Sin Liong memandang penuh perhatian. Wakil ketua dari perkumpulan itu bertubuh tinggi besar, mukanya penuh bopeng, dan kepalanya yang botak itu mengkilap agak kebiruan. Melihat julukannya, Tiat-thouw (Kepala Besi) dapat diduga bahwa kepala yang botak itu tentu ampuh sekali. “Para calon dipersilakan naik untuk memperkenalkan diri,” kata pula Sin-ciang Gu Kok Ban yang memberi isyarat kepada Tong Siok untuk kembali ke tempat duduknya di fihak tuan rumah. Gu Kok Ban sendiri, seorang kakek berusia empat puluh lima tahun yang tinggi kurus dan bermuka pucat, masih berdiri di situ menanti datangnya calon-calon untuk diperkenalkan. Tidak banyak tokoh yang berani muncul di atas panggung. Pemilihan bengcu bukanlah hal yang remeh dan hanya orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi sajalah yang patut menjadi bengcu. Kepandaian dua orang ketua dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang sudah terkenal sekali, maka majunya wakil ketua itu sebagai calon sudah merupakan hal yang membuat jerih para calon lain karena mereka merasa tidak akan mampu menandingi kepandaian Tiat-thouw Tong Siok! Akan tetapi tentu saja ada pula beberapa golongan yang merasa penasaran dan ingin kalau tokoh dari golongan masing-masing yang menjadi bengcu, segera mengajukan tokoh yang mereka pilih sebagai calon. Pertama-tama yang melayang ke atas panggung dengan gaya yang kasar adalah seorang kakek yang pakaiannya penuh tambalan. Dari pakaiannya jelas dapat dikenal bahwa dia adalah seorang pengemis tua yang memegang sebatang tongkat butut dan mukanya tertawa-tawa penuh kepercayaan kepada diri sendiri. Kakek ini adalah seorang tokoh yang amat terkenal di selatan dan semua orang, termasuk Sin-ciang Tiat-thouw-pang sendiri menjadi tercengang karena mereka tidak menyangka bahwa kakek tokoh pengemis ini akan muncul menjadi calon bengcu! Padahal biasanya, kaum pengemis itu seperti “tahu diri” dan tidak pernah ada yang mencalonkan diri sebagai bengcu, sungguhpun pada setiap pemilihan mereka hadir dan mereka juga ikut menentukan pilihan. Akan tetapi baru sekarang mereka mengajukan seorang calon yang keluar dari golongan mereka sendiri. Kakek ini adalah Lam-thian Kai-ong (Raja Pengemis Dunia Selatan) yang biarpun tidak secara resmi menjadi “raja pengemis” namun telah diakui sebagai datuk yang ditaati oleh semua perkumpulan pengemis di daerah selatan. Hadirnya Lam-thian Kai-ong sebagai calon bengcu benar-benar mencengangkan dan merupakan tanda bahwa kini fihak pengemis mulai menaruh perhatian akan kedudukan dan pengaruh dan hal ini ada hubungannya dengan kemelut yang terjadi di kota raja sebagai akibat dari penggantian kaisar. Setelah Lam-thian Kai-ong diperkenalkan kepada hadirin sebagai calon ke dua, banyak tokoh yang tadinya berniat memasuki pemilihan ini diam-diam mengundurkan diri. Setelah orang-orang lihai seperti Tiat-thouw Tong Siok dan Lam-thian Kai-ong maju, siapakah yang akan berani menandingi mereka? Daripada kalah dan mendapat malu, lebih baik siang-siang mengundurkan diri! Maka, kini yang berani muncul menjadi wakil golongan masing-masing hanya tinggal lima orang saja! Pertama adalah Tiat-thouw Tong Siok, wakil ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang yang menjadi tuan rumah. Calon ke dua adalah Lam-thian Kai-ong yang mewakili golongan pengemis dan gelandangan. Ke tiga adalah seorang tosu tua bermuka putih yang bermata tajam dan bersikap angkuh. Tosu ini bernama Kim Lok Cin-jin, wakil ketua Pek-lian-kauw bersama belasan orang tokoh perkumpulan itu. Calon ke empat adalah seorang guru silat yang terkenal sekali dari kota Amoi, berkepandaian tinggi dan menerima murid-murid dengan bayaran mahal. Guru silat ini dipilih oleh golongan tukang pukul, guru silat, dan para piauwsu. Dia bernama Ouw Bian, dikenal dengan sebutan Ouw-kauwsu, berusia lima puluh tahun, tubuhnya tinggi besar dan matanya lebar. Adapun calon ke lima yang dicalonkan oleh para maling tunggal dan dunia pelacuran, adalah seorang maling tunggal yang amat terkenal di dunia selatan. Dia seorang pria berusia empat puluh lima tahun, berwajah tampan, tubuhnya sedang saja akan tetapi pakaiannya selalu indah seperti pakaian seorang hartawan. Namanya adalah Bouw Song Khi dan orang ini selain terkenal sebagai seorang maling tunggal yang lihai dan ditakuti, juga dia terkenal sebagai seorang hidung belang yang biasa keluyuran di tempat-tempat pelacuran dan selain itu juga dia dikenal sebagai seorang yang suka mengganggu wanita, seorang jai-hwat-cat (penjahat pemerkosa wanita) yang cabul, sungguhpun dia tidak pernah mau melakukan kejahatan-kejahatan itu di daerahnya sendiri, melainkan memilih daerah di luar kekuasaannya sehingga namanya disegani dan dihormati. Itulah sebabnya mengapa dia sampai dapat terpilih menjadi seorang calon bengcu. Lima calon ini saja sudah terhitung banyak, karena andaikata pada saat itu muncul orang-orang seperti Lam-hai Sam-lo, kiranya beberapa orang di antara mereka akan mundur lagi! Para gerombolan yang termasuk golongan bajak sudah merasa tidak puas dan heran mengapa datuk-datuk mereka itu tidak muncul. Melihat tidak ada orang lagi yang maju sebagai calon, Sin-ciang Gu Kok Ban sebagai ketua penyelenggara pemilihan bengcu lalu berseru nyaring kepada semua yang hadir. “Apakah tidak ada lagi saudara-saudara yang mengajukan calon bengcu kecuali lima orang ini saja?” Memang pemilihan kali ini agak sepi. Pilihan bengcu pada beberapa tahun yang lalu diikuti oleh belasan orang calon! Hal ini adalah karena yang maju adalah orang-orang yang amat terkenal sehingga para calon yang merasa tidak mungkin dapat menandingi calon-calon yang terkenal ini sudah lebih dulu mundur untuk menghindarkan diri mendapat malu, kalah dalam perebutan itu. Lima orang yang tinggal ini adalah tokoh-tokoh yang biarpun sudah saling mengenal namun belum pernah menguji kepandaian masing-masing, maka mereka berani untuk maju. Tiba-tiba semua orang dikejutkan oleh suara yang nyaring. “Aku maju sebagai seorang calon!” Yang membuat semua orang terkejut dan memandang heran adalah karena mereka melihat bahwa yang berseru nyaring itu adalah seorang pemuda remaja yang tadi mengaku sebagai utusan atau wakil dari Cin-ling-pai! Kini semua mata memandang kepada Kwee Siang Lee dengan penuh perhatian. Pemuda itu memang gagah dan tampan, sepasang matanya yang lebar dan bukan seperti kebanyakan orang itu amat tajam, menentang semua orang dengan penuh keberanian. Memang pemuda ini memiliki mata seperti mata ibunya, wanita Tibet itu. Memang pemuda ini mengesankan sekali. Usianya baru delapan belas tahun, wajahnya bersih tampan dengan rambut hitam lebat disisir rapi dan digelung ke atas dibungkus dengan kain berwarna merah. Bajunya berwarna biru, diikat dengan sabuk sutera kuning, dan celananya berwarna putih bersih. Biarpun pakaiannya tidak dapat disebut mewah, bahkan terbuat dari bahan sederhana, namun karena bersih dan yang memakainya seorang pemuda remaja yang tampan, maka kelihatan pantas dan rapi. Tubuhnya sedang saja, namun padat dan membayangkan tenaga muda yang kuat. Semua orang yang hadir merasa terkejut dan heran karena mereka semua mendengar bahwa Cin-ling-pai adalah sebuah partai yang besar dan termasuk partai dari golongan pendekar, partai bersih yang biasanya menjadi lawan dari golongan sesat atau golongan hitam. Kalau Cin-ling-pai hanya mengirim utusan sebagai peninjau saja, seperti partai-partai lain yang juga mengirim utusan seperti partai-partai Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai dan lain-lain itu, maka hal ini tidak mengherankan. Akan tetapi bagaimana Cin-ling-pai mengirim seorang wakil yang mencalonkan diri menjadi bengcu? Akan tetapi karena pemuda yang mengaku sebagai wakil Cin-ling-pai itu sudah mengajukan diri sebagai calon bengcu, maka ketua Sin-ciang Toat-thouw-pang menjadi bingung juga. Dia tentu saja tidak berani menolak, apalagi ketika para wakil golongan bersih yang lain bertepuk tangan dan mengangguk-angguk tanda setuju. Tentu saja mereka ini merasa suka kalau bengcu terjatuh ke tangan seorang Cin-ling-pai yang terkenal menjadi pusat para pendekar. Sejak tadi, Sin Liong memang sudah memperhatikan Kwee Siang Lee yang mengaku sebagai wakil Cin-ling-pai. Kini, melihat pemuda tampan itu bahkan mengajukan diri sebagai wakil yang mencalonkan diri sebagai bengcu, tentu saja Sin Liong makin terheran-heran. Kehadirannya di tempat itu hanyalah karena dorongan suhengnya Ouwyang Bu Sek menyuruh dia menghadiri pemilihan bengcu hanya untuk meninjau dan mencari pengalaman saja. Kini, mendengar pemuda tampan itu mewakili Cin-ling-pai mengajukan diri sebagai calon bengcu, tentu saja dia amat tertarik karena dia menjunjung tinggi nama Cin-ling-pai sebagai partai dari kong-kongnya (kakeknya). Selagi ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu meragu dan tidak berani menolak, akan tetapi juga belum menerima Kwee Siang Lee sebagai calon bengcu yang ke enam, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring, “Tidak pantas...!” Dan nampak bayangan orang meloncat ke atas panggung, langsung berdiri menghadapi Sin-ciang Gu Kok Ban ketua perkumpulan tuan rumah. Semua orang memandang. Kiranya yang meloncat ke atas panggung itu adalah Kim Lok Cinjin, wakil ketua Pek-lian-kauw yang tadi sudah diangkat menjadi seorang di antara calon-calon bengcu. Kim Lok Cinjin ini adalah sute dari Kim Hwa Cinjin, ketua Pek-lian-kauw di selatan. Dan sejak dahulu, Pek-lian-kauw memang membenci Cin-ling-pai yang dianggap menjadi musuh mereka. Oleh karena itu, Kim Lok Cinjin juga membenci Cin-ling-pai sehingga begitu melihat Cin-ling-pai diwakili seorang pemuda remaja yang mengajukan diri sebagai calon bengcu, hatinya sudah terasa panas dan dia cepat meloncat ke atas panggung sambil mencela. Melihat tosu ini, Sin-ciang Gu Kok Ban menjura dan bertanya, “Apakah yang dimaksudkan oleh totiang?” “Pangcu, kami menolak kalau bocah itu menjadi calon bengcu mewakili Cin-ling-pai!” bentaknya dengan nada keras dan menghina. “Semua calon bengcu yang berada di sini adalah orang-orang terhormat, yang menjadi calon karena diangkat oleh golongan masing-masing sebagai orang pilihan. Akan tetapi, siapakah yang mengangkat wakil Cin-ling-pai ini? Huh, siapakah yang tidak mendengar Cin-ling-pai itu perkumpulan macam apa? Mana mungkin ada kerja sama antara Cin-ling-pai dengan kita? Lihat saja buktinya. Cin-ling-pai mengirim wakilnya yang hanya seorang, itupun masih seorang bocah ingusan pula, dan kini bocah itu malah mengajukan diri sebagai calon bengcu! Bocah ingusan seperti itu menjadi bengcu? Ha-ha, bisa ditertawakan oleh cucu-cucu kita! Coba cu-wi (anda sekalian) pikir baik-baik, bukankah perbuatan Cin-ling-pai itu berarti memandang rendah dan menghina jagoan-jagoan selatan? Apa Cin-ling-pai mengira bahwa pemilihan bengcu di antara kita ini hanya permainan kanak-kanak belaka yang boleh dimasuki oleh bocah ingusan itu?” “Tosu sombong...!” terdengar teriakan nyaring dan semua orang melihat pemuda Cin-ling-pai yang tampan itu tiba-tiba meloncat tinggi sekali dan tubuhnya lalu membuat poksai (salto) berjungkir balik tiga kali dengan gaya yang indah sekali, baru dia turun ke atas panggung tanpa menimbulkan suara tanda bahwa pemuda ini memiliki gin-kang yang sudah lumayan tingkatnya. Ketika Kwee Siang Lee meloncat, banyak orang bertepuk tangan memuji. Sin Liong mengerutkan alisnya. Dia mengerti pula bahwa loncatan dengan gaya jungkir balik seperti itu membutuhkan latihan dan juga membutuhkan tenaga gin-kang yang lumayan, akan tetapi dengan memamerkan kepandaian seperti itu di hadapan demikian banyaknya orang pandai sungguh merupakan suatu kebodohan dan menandakan bahwa pemuda Cin-ling-pai itu sungguh-sungguh berwatak angkuh, sombong dan tolol! Akan tetapi dia hanya melihat saja dan mencurahkan penuh perhatian untuk melihat perkembangannya. Kwee Siang Lee sudah berdiri di depan tosu Pek-lian-kauw yang memandangnya dengan mulut bercibir, sedangkan ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang sudah turun dari atas panggung. Ketua perkumpulan ini memang cerdik juga. Dia tahu siapa adanya tosu itu dan tosu itu tentu saja akan merupakan saingan berat bagi sutenya yang dia calonkan menjadi bengcu. Kalau sekarang tokoh Pek-lian-kauw ini ribut dengan wakil Cin-ling-pai yang ternyata memiliki gin-kang yang boleh juga itu, hal ini merupakan suatu keuntungan baginya. Dua orang calon bengcu yang datang dari perkumpulan besar sudah hendak ribut dan bermusuhan sebelum pemilihan dilakukan, hal itu baik sekali bagi fihaknya, setidaknya akan mengurangi seorang saingan, fihak yang kalah. Maka diapun diam saja bahkan lalu menyingkir untuk memberi “kesempatan” kepada kedua fihak agar keributan itu makin berkobar. Dan semua orang yang hadir di situ adalah kaum sesat yang paling suka menyaksikan perkelahian dan pertumpahan darah, maka kini terdengar suara-suara yang memihak keduanya, seperti para penonton adu ayam yang hendak bertaruhan!   “Tosu bau, siapakah tidak mengenal nama Pek-lian-kauw di mana engkau tadi diperkenalkan sebagai wakil ketuanya? Pek-lian-kauw adalah perkumpulan yang biasa menipu rakyat, memeras, membohongi dengan agama palsu, dan memikat perempuan-perempuan untuk diperkosa! Dan kau masih berani menghina Cin-ling-pai? Jangan kira bahwa aku, biarpun hanya seorang anggauta muda Cin-ling-pai, takut menghadapimu!” Ucapan yang dilakukan dengan sikap gagah dan dengan suara lantang itu disambut tepuk tangan dari mereka yang memihak pemuda ini. Kim Lok Cinjin tertawa mengejek. “Heh-heh, bocah ingusan! Baru memiliki kepandaian gin-kang macam itu saja sombongnya sudah demikian hebat sampai memuakkan perutku! Padahal gin-kang seperti itu hanya patut untuk dipamerkan dalam permainan komidi di pasar saja, untuk menarik perhatian orang agar menderma. Kami tadi bicara menurut aturan, bukan seperti engkau yang hanya pandai menyombongkan diri belaka. Kalau engkau ingin menjadi calon bengcu, siapakah yang mencalonkanmu? Kalau tidak ada, siapakah percaya bahwa engkau ini orang Cin-ling-pai? Jangan-jangan engkau ini bocah sinting hanya mengaku-aku saja wakil Cin-ling-pai! Hayo jawab, siapa yang mencalonkan engkau sebagai wakil Cin-ling-pai?” Tiba-tiba terdengar suara melengking, “Aku yang mencalonkan dia!” Tentu saja semua orang menengok ke bawah panggung, ke arah penonton dan melihat seorang anak laki-laki berusia enam belas tahun mengacungkan jari telunjuknya. Bahkan wakil ketua Pek-lian-kauw dan Kwee Siang Lee yang berada di atas panggung juga menoleh dan memandang kepada Sin Liong. Siang Lee memandang dengan terheran-heran karena dia sama sekali tidak mengenal pemuda remaja yang berpakaian sederhana itu. “Aku mencalonkan dia sebagai wakil Cin-ling-pai menjadi calon bengcu! Cin-ling-pai adalah sebuah perkumpulan yang maha besar, maka cukuplah dengan mengutus anggauta mudanya. Karena dia sudah ada yang mengangkatnya sebagai calon, maka sudah memenuhi syarat dan dia harus diterima menjadi seorang calon bengcu!” kata Sin Liong dan karena memang anak ini memiliki hawa sin-kang yang luar biasa kuatnya di dalam pusarnya, ketika dia berteriak suaranya melengking nyaring sekali. Mereka yang berfihak kepada Kwee Siang Lee menyambut dengan sorakan gembira. Akan tetapi Kim Lok Cinjin mengangkat kedua tangan ke atas dan suaranya terdengar melengking tinggi mengatasi sorakan itu, “Kesaksian itu lebih tidak pantas lagi! Lihat siapa yang mengangkat bocah ini sebagai calon bengcu? Benar-benar kita semua dihina orang! Yang diajukan adalah bocah ingusan, akan tetapi yang mengajukan malah bocah yang masih menetek!” Mereka yang pro kakek ini tertawa dan bersorak mengejek. “Pendeknya, bocah ingusan ini harus lebih dulu membuktikan bahwa dia adalah benar-benar wakil Cin-ling-pai dan buktinya hanyalah apabila dia memperlihatkan ilmu-ilmu aseli dari Cin-ling-pai. Mellhat usianya, andaikata benar dia murid Cin-ling-pai, tentu kepandaiannya masih rendah dan mentah, maka biarlah kami akan mengajukan jago tingkat empat saja untuk mengujinya. Kita semua dapat melihat apakah benar-benar dia memiliki ilmu Cin-ling-pai dan mampu mengalahkan jago tingkat ke empat dari Pek-lian-pai!” Mendengar ini, Siang Lee menjadi marah bukan main. Wajahnya yang tampan menjadi merah sekali dan dan sudah ingin menerjang kakek Pek-lian-pai itu. Akan tetapi pada saat itu, Kim Lok Cinjin sudah melompat turun den sebagai gantinya dari tempat kehormatan tadi melompatlah seorang kakek yang berpakaian sebagai petani, kakek yang usianya sudah enam puluh tahun, namun gerakannya masih gesit, sepasang matanya liar. Memang Pek-lian-kauw merupakan perkumpulan yang anggautanya terdiri dari banyak macam orang, terutama sekali para petani dan penduduk dusun. Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih) adalah perkumpulan yang selain menyebarluaskan agama campuran dari Buddha dan Tao dicampur dengan mistik den sihir, juga mengandung cita-cita untuk menguasai kerajaan demi berkembangnya agama mereka. Untuk maksud itu, Pek-lian-kauw selalu menyusup ke dusun-dusun dan mempengaruhi rakyat kecil. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau tokoh ke empat ini berpakaian sebagai seorang petani. “Orang muda, coba perlihatkan jurus-jurus Cin-ling-pai kepadaku,” kata kakek petani itu. Tubuhnya yang kurus sudah memasang kuda-kuda dan sikapnya memandang rendah. Tokoh ke empat dari Pek-lian-kauw sudah terhitung seorang pandai kerena ilmu silatnya sudah mencapai tingkat pelatih bagi para anggauta muda, yaitu pelatih dasar-dasar ilmu silat Pek-lian-kauw. Siang Lee yang berwatak keras dan memang dia seorang pemuda berdarah panas sudah tidak dapat menahan kemarahannya lagi, tidak dapat mengeluarkan kata-kata karena marahnya, maka tanpa bicara apa-apa lagi dia membentak nyaring dan dia sudah menyerang kakek itu dengan pukulan yang amat keras. Cin-ling-pai bukanlah partai sembarangan, melainkan sebuah partai perkumpulan yang dipimpin oleh seorang pendekar sakti, yaitu Cia Keng Hong. Seperti dapat kita ketahui dari cerita seri Siang-bhok-kiam (Pedang Kayu Harum), Cia Keng Hong telah menguasai banyak ilmu silat tinggi yang hebat den sukar dicari bandingnya di dunia persilatan. Setelah dia mendirikan perkumpulan Cin-ling-pai, pendekar sakti ini telah menciptakan ilmu silat khusus untuk perkumpulannya, diambilnya dari ilmu-ilmu silat yang telah dikuasainya dan para anak murid Cin-ling-pai digembleng dengan ilmu yang khas ini. Ilmu silat itu dinamakan Cin-ling-kun-hoat dan ilmu ini terdiri dari ilmu silat yang dapat dimainkan baik dengan tangan kosong maupun dengan senjata apa saja. Hanya para anggauta Cap-it Ho-han yang merupakan sebelas orang murid utama sajalah yang diberi pelajaran ilmu-ilmu hebat seperti Siang-bhok Kiam-sut dan sebagian dari Thai-kek-sin-kun, akan tetapi murid-murid lain hanya digembleng dengan Cin-ling-kun-hoat saja yang sudah mcrupakan ilmu silat lengkap dan amat tangguh. Siang Lee juga telah mempelajari Cin-ling-kun-hoat sampai tingkat yang cukup tinggi sehingga dia merupakan seorang ahli dalam mainkan ilmu silat itu dengan pedang maupun dengan tangan kosong. Maka, begitu menyerang, dia sudah menggunakan jurus Cin-ling-kun-hoat yang ampuh, tangan kanannya dikepal menyerang dengan jotosan ke arah muka lawan sedangkan tangan kirinya dengan jari-jari terbuka dan miring membacok ke arah ulu hati. Sebenarnya, serangan tangan kiri inilah yang merupakan inti jurus serangan ini, sedangkan yang kanan biarpun dilakukan dengan kuat sebenarnya bertugas sebagai pancingan dan menutupi serangan inti itu. “Dukk...!” Kakek itu menangkis jotosan tangan kanan, dan terkejutlah dia ketika merasa ada angin dahsyat menyambar disusul bacokan tangan miring sebelah kiri. “Plakkk!” Kembali dia berhasil menangkis, akan tetapi dia terhuyung ke belakang dan dadanya terasa sesak. “Hehh...!” Dia membuang napas dan dengan marah kakek itu lalu menubruk ke depan dengan jurus Singa Mengejar Mustika. Tubrukan itu berbahaya sekali karena kakek itu mempergunakan kedua tangan dan kedua kaki untuk menyerang, setelah meloncat, kedua tangannya mencengkeram dan kedua kakinya menginjak dengan pengerahan tenaga. Namun, Siang Lee mempergunakan gin-kangnya dan tubuhnya sudah mencelat ke belakang lalu dilanjutkan dengan loncatan ke samping sehingga tubrukan kakek itu yang dilanjutkan pula dengan tendangan kaki kiri tidak mengenai sasaran. Para penonton tertarik sekali dan suasana di sekeliling panggung menjadi riuh dengan suara penonton. Tentu saja hanya fihak anak buah Pek-lian-kauw saja yang menjagoi kakek petani itu, sedangkan selebihnya dari para penonton tidak berfihak, melainkan menjagoi karena penafsiran masing-masing akan kekuatan dua orang yang sedang bertanding itu. Dan mulailah mereka itu mengadakan taruhan. Akan tetapi karena gerakan Siang Lee amat sigap dan cepat, sedangkan sikap pemuda itupun angkuh dan angker, maka lebih banyak yang menjagoi pemuda ini. Kalau di bawah panggung orang ramai bertaruhan, di atas panggung terjadi perkelahian yang makin lama makin seru. Kakek itu makin merasa penasaran sekali. Dia adalah seorang tokoh tingkat empat dari Pek-lian-kauw, dia dianggap sebagai tokoh besar dan juga pelatih yang amat pandai oleh ratusan orang anggauta Pek-lian-kauw, dan pula, melihat lawan yang baru belasan tahun usianya itu sedangkan dia sudah enam puluh tahun, tentu saja dia merasa menang segala-galanya, baik tenaga, ilmu silat, maupun pengalaman. Maka setelah pertandingan berlangaung hampir lima puluh jurus dan dia belum mampu mengalahkan pemuda itu, dia merasa penasaran bukan main. Di lain pihak, Siang Lee yang terlalu percaya kepada kepandaian sendiri juga merasa penasaran sekali. Karena keduanya sudah marah, maka perkelahian itu kini bukan sekedar menguji kepandaian, melainkan perkelahian mati-matian untuk mencari kemenangan, kalau perlu dengan merobohkan dan membunuh lawan! Tiba-tiba kakek itu mengeluarkan suara menggereng seperti harimau dan dia sudah menubruk lagi, serangannya sekali ini adalah serangan nekat untuk mengadu nyawa. Dia tidak memperdulikan lagi segi penjagaan diri, melainkan mengerahkan seluruh kemampuan dan perhatian untuk menyerang dalam nafsunya untuk menjatuhkan lawan dan memperoleh kemenangan. Tentu saja sikap seperti ini tidak benar sama sekali bagi seorang ahli silat yang menghadapi lawan pandai, yang seharusnya membagi kekuatan untuk menjaga diri, tidak semua dikerahkan untuk menyerang dan membiarkan diri terbuka. Siang Lee terkejut juga menyaksikan serangan nekat itu. Memang hebat sekali serangan itu dan dia tahu bahwa kalau dia menangkis berarti keras lawan keras dan karena dia tahu pula bahwa tenaganya seimbang dengan tenaga lawan, maka hal itu amat berbahaya dan dapat membuat dia terluka, baik menang maupun kalah dalam adu tenaga itu. Maka dengan kecepatan kilat, menggunakan gin-kangnya yang diandalkan, dia melempar diri ke samping dan berhasil lolos melalui bawah lengan kiri lawan, akan tetapi pemuda ini masih sempat sambil mengelak itu mengayun tangan menyerang ke bawah pangkal lengan kiri itu. “Dukkk...!” Tubuh kakek itu terpelanting, lambungnya kena ditonjok dan dia roboh, meringis sambil memegangi lambungnya yang kena pukul. Pada saat itu terdengar gerengan keras dan seorang kakek yang seperti raksasa telah muncul di atas panggung. Kakek ini menyeramkan sekali, selain tubuhnya tinggi besar dan otot-ototnya menonjol di seluruh bagian tubuhnya, juga mukanya bengis, alisnya tebal, matanya lebar, kumis dan jenggotnya pendek namun lebat dan kaku seperti kawat. Bajunya berlengan pendek sampai di pundak, memperlihatkan sepasang lengan yang besar berotot, di kedua pergelangan tangannya nampak masing-masing seekor ular kecil melingkar seperti gelang. Dua ekor ular itu sebetulnya adalah ular-ular aseli, hanya saja ular yang sudah mati dan diberi obat menjadi kaku dan keras. Di punggungnya nampak tersembul gagang golok besar, gagangnya berbentuk kepala harimau dan dandanan seperti itu menambah seram keadaan raksasa yang usianya sekitar lima puluh tahun ini. “Sute, kau minggirlah!” bentaknya dengan suara kasar dan parau kepada kakek petani yang telah kena dipukul oleh Siang Lee tadi. Kakek petani itu meringis, mengangguk dan kembali ke tempatnya di mana dia lalu diberi sebutir obat oleh Kim Lok Cinjin yang segera ditelannya. “Bocah sombong dari Cin-ling-pai! Engkau telah mengalahkan suteku, marilah engkau main-main sebentar denganku! Kalau engkau takut, biar aku mengampuni orang Cin-ling-pai, akan tetapi engkau harus berlutut dan memberi hormat kepadaku sembilan kali sambil minta ampun, kemudian menggelinding pergi dari tempat ini!” Suara kakek raksasa ini lantang dan ketika dia bicara, matanya melotot dan perutnya bergerak-gerak, kedua lengannya yang diayun-ayun itu mengeluarkan suara berkerotokan! Melihat ini, Sin Liong terkejut sekali dan maklumlah dia bahwa kalau pemuda murid Cin-ling-pai itu memaksa diri maju dia akan celaka di tangan raksasa itu. Dia melihat betapa selain raksasa itu memiliki kepandaian jauh lebih tinggi daripada kakek petani tadi dan juga pemuda itu, raksasa ini memiliki sifat kejam dan besar sekali kemungkinan si pemuda akan terbunuh kalau dia berani melawan. Dan dia tahu pula bahwa dari sinar matanya, pemuda itu tentu malu untuk mundur, apalagi kini pemuda itu sudah membusungkan dada, amat bangga karena kemenangannya tadi, kemenangan yang amat tipis. “Hemm... siapa takut...” “Haii, nanti dulu! Penasaran ini! Melanggar peraturan dan merusak tata susila pemilihan bengcu!” Teriakan ini nyaring sekali dan semua orang memandang, lalu terdengar suara tertawa di sana-sini ketika mereka melihat betapa yang berteriak itu adalah pemuda remaja yang tadi mengangkat Siang Lee sebagai calon bengcu, dan kini pemuda remaja itu sudah memanjat tiang penyangga panggung untuk naik ke atas, hal ini membuat orang merasa geli. Mereka semua adalah ahli-ahli silat dan untuk naik ke atas panggung yang hanya kurang lebih dua meter tingginya itu, tentu mereka akan menggunakan kepandaian meloncat. Akan tetapi pemuda remaja itu agaknya tidak pandai meloncat tinggi, maka memanjat seperti seekor monyet. Akan tetapi karena teriakan itu nyaring sekali, Siang Lee tidak melanjutkan kata-katanya, dan si kakek raksasa juga menoleh, memandang ke arah Sin Liong yang kinisudah muncul kepalanya dan dengan susah payah kakinya mengait pinggir panggung, berdiri di depan Siang Lee untuk menghalangi pemuda itu berhadapan dengan kakek raksasa. “Cu-wi (tuan-tuan sekalian) yang mulia adalah orang-orang gagah yang tentu mengenal peraturan!” Demikian Sin Liong berteriak sambil memandang keempat penjuru sambil menggerak-gerakkan kedua lengannya yang dikembangkan seperti gaya seorang ahli pidato di depan rapat umum. “Saudara ini adalah seorang di antara para calon bengcu yang mewakili Cin-ling-pai. Tadi ada fihak yang meragukan dan ingin mengujinya apakah benar-benar dia tokoh Cin-ling-pai den cu-wi telah melihat sendiri bahwa dia keluar sebagai pemenang. Jelas bahwa dia adalah tokoh Cin-ling-pai den sebagai calon bengcu tentu saja tidak boleh bertanding dulu. Hal ini merugikannya karena kalau calon-calon lain masih segar bugar, dan tentu menjadi lelah. Kalau ada fihak yang hendak menantang Cin-ling-pai di sini, jangan ditujukan kepada calon bengcu, biarlah aku yang mewakili Cin-ling-pai untuk menghadapi fihak yang menantang Cin-ling-pai!” Setelah berkata demikian, dengan cepat Sin Liong menghadapi Siang Lee, dan mengedip-ngedipkan matanya, lalu berkata dengan sikap hormat, “Taihiap, harap taihiap sudi duduk saja di tempat kehormatan, menanti sampai dimulainya sayembara perebutan kedudukan bengcu. Adapun badut-badut yang hendak mengacau, biarlah serahkan saja kepadaku.” Jelas bahwa sikap dan kata-kata Sin Liong ini amat mengangkatnya tinggi sekali, maka tentu saja Siang Lee tidak hendak membantah. Dengan sikap bangga dan angkuh dia mengangguk kepada Sin Liong, sikapnya seperti kaum atasan memandang kepada bawahannya dan dia masih berkata, “Kau hati-hatilah!” lalu Siang Lee berlenggang menuju ke tempat duduknya semula. Tentu saja diam-diam Sin Liong merasa geli menyaksikan sikap pemuda yang kosong itu. Sementara itu, selagi semua penonton terheran-heran menyaksikan pemuda remaja yang naik ke panggung saja harus memanjat itu kini hendak mewakili pemuda Cin-ling-pai menghadapi tokoh-tokoh Pek-lian-kauw, kakek raksasa tadi juga bengong dan sejenak tak dapat berkata apa-apa. Akan tetapi setelah melihat Kwee Siang Lee, calon lawannya yang tadi telah mengalahkan sutenya itu mundur, dia menjadi marah sekali. “He, bocah ingusan! Apa kau sudah gila? Mau apa engkau naik ke sini dan menyuruh lawanku mundur? Kalau dia tidak berani, dia harus berlutut dulu dan minta ampun...!” Sin Liong menggerakkan tangan kanannya mencela. “Eeihhh! Siapa bilang dia tidak berani? Dia masih terlampau tinggi kedudukannya untuk melawanmu. Bikankah dia calon bengcu? Masih ada aku di sini, kenapa dia harus turun tangan sendiri?” Kakek itu terbelalak. “Kau...? Kaumaksudkan bahwa engkau berani melawan aku? Ha-ha-ha-ha!” Kakek itu tertawa geli karena merasa lucu, dan banyak orang yang hadir ikut pula tertawa. “Kakek harimau, engkau menggereng seperti harimau dan mukamu juga seperti harimau, jangan tertawa dulu. Ketahuilah bahwa Cin-ling-pai adalah sebuah perkumpulan besar yang namanya setinggi langit. Pendirinya, pendekar sakti Cia Keng Hong adalah seorang pendekar yang tanpa tanding, kepandaiannya sudah mencapai langit. Ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai tidak ada keduanya di dunia ini. Dan aku mendapat berkah, pernah aku belajar sedikit ilmu dari Cin-ling-pai, oleh karena itu, kalau ada yang menghina dan memandang rendah Cin-ling-pai, biarlah aku mewakili Cin-ling-pai untuk membuka mata orang yang menghina itu!” Kakek itu tidak marah, bahkan tertawa makin keras karena dia menganggap bocah di depannya itu seperti badut sedang berlagak saja. “Eh, anak lucu, siapakah namamu?” Melihat kakek itu bertanya sambil berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, kedua tangan bertolak pinggang dan dadanya dibusungkan, Sin Liong lalu meniru dengan berdiri tegak, kedua kaki dipentang lebar, kedua tangan bertolak pinggang, lalu berkata lantang. “Ah, kakek yang tidak lucu, siapakah namamu?” Bagi orang yang pernah mengenal Sin Liong semenjak kecil sampai dia berada di Cin-ling-pai ikut kakeknya, tentu akan terheran-heran mengapa terjadi perubahan demikian besar pada diri anak ini. Semenjak kecil, sampai dia berada di Cin-ling-pai, anak ini berwatak pendiam dan serius, wajahnya lebib sering muram daripada cerah dan dia tidak pandai berkelakar. Akan tetapi, semenjak dia menjadi murid Ouwyang Bu Sek, terjadi perubahan pada wataknya yang pendiam itu, Ouwyang Bu Sek adalah seorang kakek yang pandai bicara, jenaka dan lucu, maka selain ilmu kepandaiannya, juga sifatnya ini agaknya menurun kepada Sin Liong. Akan tetapi, karena pada dasarnya Sin Liong pendiam, maka sifat itu hanya sewaktu-waktu saja timbul padanya, terutama apabila menghadapi saat berbahaya, dan sifat ini timbul sebagian besar sebagai siasat. Tentu saja sikap ini memancing suara ketawa geli dari para hadiri sampai ada yang terkekeh-kekeh, terutama sekali mereka yang memang merasa tidak suka kepada Pek-lian-kauw. Melihat kakek yang menyeramkan itu dipermainkan dan diejek oleh seorang bocah ingusan yang baru berusia belasan tahun, benar-benar merupakan penglihatan yang lucu dan tentu saja memuaskan hati mereka yang anti Pek-lian-kauw. Kakek itu terbelalak. Dia adalah seorang tokoh besar Pek-lian-kauw. Bahkan orang-orang kang-ouw yang pandaipun tidak berani sembarangan terhadap dia, banyak pula yang takut. Akan tetapi kenapa anak ini demikian beraninya? Akan tetapi kakek raksasa itu mempunyai dua dugaan, pertama, tentu saja anak ini sama sekali buta akan keadaan di dunia kang-ouw, dan karena tidak mengenal siapa maka berani bersikap seperti itu, dan ke dua, boleh jadi anak ini agak miring otaknya maka berani busikap demikian gila-gilaan!   “ENGKAU malah berani balas bertanya sebelum menjawab?” bentaknya. “Tentu saja! Engkau adalah fihak yang mencari perkara, dan aku hanyalah fihak yang melayanimu, maka boleh dibilang engkau ini tamunya dan aku ini tuan rumahnya. Tidakkah sepatutnya kalau tuan rumah lebih dulu mengetahui nama si tamu baru memperkenalkan diri? Betul tidak, cu-wi yang mulia?” Dia menoleh ke bawah panggung. “Betul...! Betul!” Tentu saja mereka yang menonton pertunjukan lucu itu menyetujui. Dalam keadaan seperti itu, selagi Sin Liong mendapatkan simpati karena kelucuan dan keberaniannya mempermainkan seorang tokoh besar yang ditakuti, tentu saja apapun yang dikatakan anak itu akan disetujui mereka. Sin Liong kini menghadapi lagi kakek raksasa sambil tersenyum lebar. “Nah, kakek yang tidak lucu, kalau aku saja yang bicara tentu engkau tidak percaya, akan tetapi pendapat semua orang gagah yang terhormat itu, apakah engkau berani untuk melanggarnya? Nah, jawablah dulu, siapakah namamu!” Kulit muka yang kasar dan agak hitam itu menjadi lebih hitam lagi karena kakek itu sudah marah sekali dan mukanya menjadi kemerahan, matanya melotot dan anehnya, kalau sedang marah kakek ini terjadilah hal yang lucu di luar kesadarannya sendiri, yaitu cuping hidungnya yang kiri bergerak-gerak kembang kempis dengan keras sehingga kumisnya sebelah kiri juga ikut pula bergerak-gerak, seperti kumis kelinci! Melihat ini, Sin Liong merasa geli sekali dan diapun terkekeh-kekeh. Kakek raksasa itu menjadi makin marah. “Anak bedebah! Mengapa engkau tertawa?” “Heh-heh-ha-ha-ha, engkau lucu sekali! Aku menarik kembali omonganku tadi, kalau tadi aku menyebutmu kakek yang tidak lucu, sekarang aku menamakan engkau kakek yang lucu. Nah, kakek yang lucu, siapakah sih namamu? Jangan jual mahal, ah!” Kembali banyak orang tertawa dan kakek itu kembali mendongkol. “Bocah sialan! Kaukira aku ini orang apa maka engkau berani main gila seperti ini? Dengar baik-baik agar terbawa mampus olehmu. Aku adalah tokoh tingkat tiga di Pek-lian-kauw, dan julukanku adalah Kiu-bwee-houw, namaku... ah, bocah macam engkau tidak pantas mengenal namaku. Biarlah arwahmu nanti ingat selalu bahwa engkau mampus di tangan Kiu-bwee-houw!” Kakek yang berjuluk Kiu-bwee-houw (Harimau Berekor Sembilan) ini bukan tidak ada sebabnya mengapa dia tidak mau memperkenalkan namanya kepada Sin Liong. Melihat anak itu lincah dalam bicara, pandai mempermainkan orang dan kelihatan nakal dan kurang ajar, maka kakek ini sengaja menyembunyikan namanya karena khawatir kalau namanya diperkenalkan, nama itu akan menjadi bulan-bulan dan olok-olok anak itu. Namanya adalah Toa Bhi dan dia she Bhe. Nama itu dapat pula diartikan Si Hidung Besar! “Pantas... pantas...!” Sin Liong mengangguk-angguk. “Wajahmu seperti harimau, lagakmu seperti harimau, gerakanmu seperti harimau hendak menubruk, dan gagang golokmupun ukiran kepala harimau. Pantas julukanmu Harimau Ekor Sembilan, akan tetapi aku sama sekali tidak melihat ekormu! Apakah benar-benar ekormu ada sembilan? Coba kau perlihatkan kepadaku, kakek lucu!” Tentu saja ucapan ini disambut oleh ketawa riuh rendah oleh para penonton dan Kiu-bwee-houw menjadi makin gemas. “Bocah yang sudah bosan hidup! Hayo kaukatakan siapa namamu agar kelak aku dapat memberitahukan kepada Cin-ling-pai bahwa engkau telah mampus di tanganku!” “Uuuhhhh, tidak gampang, sobat. Namaku adalah Sin Liong!” Kwee Siang Lee yang sejak tadi memperhatikan anak itu, diam-diam terkejut bukan main. Dia belum pernah bertemu dan berkenalan dengan Sin Liong, akan tetapi tentu saja dia pernah mendengar nama Sin Liong, nama anak yang katanya merupakan murid baru dan murid terakhir dari sucouwnya, yaitu Cia Keng Hong! Pernah dia mendengar betapa seorang anak kecil yang aneh diambil murid oleh sucouwnya itu, dan kabarnya anak itu dilarikan penjahat sakti ketika peti mati sucouwnya sedang dihormati dalam upacara berkabung oleh keluarga sucouwnya. Jadi inikah anak yang menjadi murid terakhir dari sucouwnya itu? Diam-diam dia terkejut bukan main. Anak yang usianya paling banyak enam belas tahun ini ternyata masih terhitung paman kakek gurunya! Karena kakeknya, mendiang Kwee Kin Ta, seorang di antara Cap-it Ho-han, adalah murid dari Cia Keng Hong, dan bocah yang menjadi murid bungsu dari Cia Keng Hong ini terhitung sute dari kakeknya sendiri. Keringat dingin keluar dari seluruh tubuh pemuda ini. Dia tadi telah bersikap keterlaluan! Dia telah dengan lancang mengangkat diri sendiri menjadi wakil Cin-ling-pai! Bahkan lebih dari itu, dia telah lancang mencalonkan diri sebagai calon bengcu sebagai wakil Cin-ling-pai pula! Padahal di situ ada pemuda ini yang masih terhitung susiok-kong atau paman kakek guru darinya! “Sin Liong? Bocah sombong engkau ini tokoh tingkat berapakah dari Cin-ling-pai? Dengan nyali sebesar ini, agaknya engkau tentu seorang tokoh penting juga!” Kakek itu memancing untuk kelak memperolok Cin-ling-pai kalau dia sudah merobohkan, ah, bahkan membunuh bocah yang telah memanaskan perutnya itu. “Tokoh tingkat berapa? Wah, orang macam aku ini di Cin-ling-pai dapat kau temui losinan banyaknya, sukar dihitung, dan belum masuk hitungan kelas sama sekali! Aku sepatutnya hanya menjadi jongos atau tukang sapu saja di sana!” Makin mengkal rasa hati kakek raksasa itu. Dengan kata-kata itu, kembali bocah itu yang kelihatannya meremehkan diri, sebenarnya menyeret dia ke tempat rendah, karena bukankah bocah itu seolah mengatakan bahwa dia hanya patut bertanding melawan jongos atau tukang sapu dari Cin-ling-pai saja? Kalau dia belum terlanjur maju, tentu dia tidak akan sudi untuk melayani seorang kacung Cin-ling-pai! Akan tetapi karena mereka sudah berhadapan, tidak ada jalan lain baginya untuk menebus penghinaan dan rasa malu itu dengan merobohkan atau membunuh anak ini secepat mungkin. Dia mengeluarkan gerengan seperti seekor harimau dan memang gerengannya itu dilakukan dengan pengerahan khi-kang, suara yang keluar dari dalam perut dan menggetarkan jantung para pendengarnya, terutama sekali Sin Liong yang berdiri di depannya. Kalau anak ini tidak memiliki kepandaian, tentu dia akan menjadi pucat, menggigil atau lumpuh seketika, seperti pengaruh gerengan harimau tulen terhadap manusia. Akan tetapi, murid kakek sakti Ouwyang Bu Sek ini tentu saja cepat mengerahkan sin-kangnya sehingga gerengan itu baginya tidak lebih berbahaya daripada bunyi suara kucing saja. Dia tersenyum mengejek. “Wah, julukanmu macan, gerenganmu seperti macam pula. Seekor macam muda dan kuat memang berbahaya, akan tetapi macam tua ompong macam engkau ini bukan menakutkan melainkan menggelikan. Aku berani bertaruh bahwa menghadapi seekor domba muda saja engkau tidak akan mampu merobohkannya. Eh, orang tua, percaya tidak engkau?” Ditanya demikian, seperti orang tua latah raksasa itu menjawab, “Tidak percaya!” Akan tetapi dia segera sadar bahwa dia telah melayani pembicaraan anak itu maka dengan marah dia membentak, “Bersiaplah untuk mampus!” “Mampus ya mampus, akan tetapi aku ingin melihat apakah macam ompong ini mampu membunuh seekor domba. Biar aku yang menjadi dombanya.” “Biar engkau berubah menjadi anjing, kau akan tetap mampus di tanganku, bocah setan!” “Eh, kau menantang anjing? Ingat, anjing lebih kuat daripada domba, lho! Kau tidak menyesal nanti kalau dikalahkan aniing? Biar aku menjadi anjing dulu!” Dan seketika itu juga Sin Liong menjatuhkan diri merangkak-rangkak dengan kaki empat seperti seekor anjing. Selagi semua orang terheran-heran, tiba-tiba anak itu mengeluarkan gonggongan keras dan menyalak-nyalak, suaranya persis seekor anjing tulen! Orang-orang tertawa dan memuji karena andaikata tidak melihat anak itu, tentu mereka mengira bahwa memang anjing tulen yang menyalak-nyalak itu. Hal ini sebenarnya tidaklah mengherankan. Karena semenjak bayi dipelihara oleh monyet-monyet liar, maka penangkapan dari pendengaran Sin Liong lebih peka daripada manusia biasa, dan dia lebih dapat menangkap “inti” dari suara binatang-binatang hutan. Yang ditirunya itu adalah suara yang dikenalnya benar, suara anjing hutan, maka dia dapat mengeluarkan bunyi yang persis dengan suara anjing tulen. Melihat betapa pemuda remaja itu merangkak-rangkak, menyalak-nyalak dan menggoyang-goyang pinggul yang tidak ada ekornya, meledaklah suara ketawa mereka yang hadir dan disuguhi tontonan lucu ini. Hanya orang-orang Pek-lian-kauw yang tidak bisa tertawa karena mereka itu ikut merasa gemas dan marah melihat betapa tokoh ke tiga dari Pek-lian-kauw itu dipermainkan oleh seorang bocah! “Mampuslah!” Tiba-tiba tubuh tinggi besar itu menubruk. Tubrukan ini bukan tubrukan ngawur belaka yang didorong oleh nafsu amarah, melainkan tubrukan yang telah diperhitungkan masak-masak, yang hendak ditangkap adalah tengkuk dan pinggul Sin Liong. Sekali tertangkap, tentu tubuh anak itu akan dibanting sampai tulang-tulangnya remuk. Akan tetapi, seperti gerakan seekor anjing tulen, Sin Liong meloncat dengan tekanan kaki dan tangannya sehingga tubrukan itu luput! Hal ini mengejutkan hati para tokoh Pek-lian-kauw. Mereka tahu bahwa Kui-bwee-houw tadi telah menggunakan jurus Harimau Menerkam Domba yang amat dahsyat, dan tubrukan pertama itu disusul dengan cengkeraman ke manapun lawan yang diserang itu mengelak. Akan tetapi, seperti seekor anjing, anak itu benar-benar telah melompat cepat ke samping lalu cepat pula memutar sehingga si raksasa sama sekali tidak mampu melanjutkan serangannya dan gagallah jurus pertama dari serangannya itu. Terpaksa dia membalik sambil memutar dan mengayun kaki kirinya. Itulah jurus Harimau Memutar Tubuh yang mirip dengan ilmu para tokoh kai-pang (perkumpulan pengemis), yaitu ilmu yang amat diandalkan oleh mereka dan yang dinamakan Ilmu Silat Mengusir Anjing. “Huk-huk-hukkk!” Sin Liong menyalak-nyalak dan melihat sambaran kaki itu, dia menggerakkan kepala dan kaki depan ke samping, kemudian dia menggigit ke arah betis yang lewat di depan mukanya. “Brettt... aughh...!” Kakek itu mengguncang kakinya yang tergigit dan semua orang bersorak-sorai melihat pemuda cilik itu betul-betul menggigit betis lawan, persis seperti seekor anjing. Celana si raksasa itu robek dan setelah diguncang-guncang kaki yang tergigit, terpaksa Sin Liong melepaskan gigitannya. “Monyet cilik, akan kubunuh kau!” Kiu-bwee-houw berteriak, mukanya merah dan matanya terbelalak liar. Akan tetapi sebelum kakek ini menyerang lagi, Sin Liong sudah membuat gerakan meloncat ke atas dan berdiri dengan sikap seperti seekor monyet! “Aha, kebetulan sekali, engkau menyuruh aku menjadi monyet? Baiklah, dan mari kita lihat apakah macan ompong mampu mengalahkan monyet!” Lalu pemuda itu mengeluarkan suara aneh, suara monyet tulen. Dan cara dia berdiri dengan kedua pundak diangkat, mukanya dengan mulut agak meringis, kedua tangannya, memang mirip, bahkan persis monyet. Dan hal ini tentu saja lebih tidak aneh lagi karena Sin Liong sudah tahu benar bagaimana gerak-gerik seekor monyet. Bahkan dahulu, sebelum dia bertemu dengan ibu kandungnya, dia adalah seekor monyet cilik. Melihat lagak ini, kembali suasana di bawah panggung riuh rendah karena lagak Sin Liong benar-benar lucu dan menarik hati. Juga timbul rasa kagum bukan main di dalam hati mereka. Jelas bahwa pemuda ini agaknya sama sekali tidak becus (mampu) bersilat, akan tetapi sudah berani melawah seorang tokoh besar seperti Kiu-bwee-thouw. Bukan hanya berani melawan, bahkan memperolok-oloknya sehebat itu. Kembali Kiu-bwee-houw menggereng dan menyerang. Tangan kanannya yang dikepal sebesar kepala Sin Liong itu menyambar, meluncur ke depan seperti peluru meriam, mengarah kepala Sin Liong. Bagi pandangan Sin Liong yang nampak hanya bulatan besar mengerikan itu meluncur ke arah kedua matanya. Namun dia tidak menjadi gugup dan bergerak lincah sekali, gerakannya tidak lagi gerakan kuda-kuda ilmu silat melainkan gerakan monyet mengelak, dan pukulan itupun hanya mengenal angin saja. “Aihh... macan ompong main tubruk dan cakar, tidak ada gunanya! Gigimu telah ompong semua, cakar kukumu telah puntul!” Sin Liong mengejek dan raksasa itu makin marah. Diserangnya Sin Liong secara bertubi-tubi, namun semua gerakan serangan itu sia-sia belaka karena “manusia monyet” itu dengan amat mudahnya berloncatan ke sana-sini, mengelak ke sana-sini. Sorak-sorai penonton menyambut pertandingan itu, pertandingan yang amat menarik di mana kakek raksasa itu sama sekali tidak pernah dapat menangkap atau memukul anak kecil yang kini bergerak-gerak persis monyet, mengeluarkan suara seperti monyet tulen pula. Dapat dimengerti bahwa andaikata Sin Liong belum memiliki demikian banyak ilmu, pertama-tama ilmu silat tinggi yang diturunkan atau diwariskan oleh Cia Keng Hong kepadanya, kemudian gemblengan-gemblengan yang diberikan oleh kakek Ouwyang Bu Sek, dan kalau dia hanya mengandalkan kegesitan tubuhnya meniru monyet, sudah pasti dalam satu dua jurus saja dia akan celaka! Adalah karena pemuda ini telah mewarisi ilmu silat tinggi, maka dia dapat mempermainkan lawannya yang dalam tingkat ilmu silat masih jauh sekali di bawah tingkat anak luar biasa ini. Tingkah yang lucu dan gerakan yang amat luar biasa gesitnya dari Sin Liong membuat pertandingan itu nampak ramai dan juga lucu. Ada kalanya ujung jari-jari tangan kakek itu hampir menyentuh tubuh Sin Liong, namun pemuda itu sudah dapat menghindarkannya dengan cepat dan dengan gerakan aneh. Tak terasa lagi lima puluh jurus telah lewat dan biarpun Sin Liong belum pernah balas menyerang, hanya pertama kali tadi dia menggigit robek celana lawan, namun kakek raksasa itupun belum pernah mampu menyentuh ujung baju pemuda yang perkasa yang lihai ini. Tiba-tiba ada angin menyambar ke depan. Angin ini kuat sekali dan memaksa Sin Liong yang mengenal pukulan ampuh cepat berjungkir balik, membuat poksai (salto) di udara sampai lima kali lalu turun dan memandang. Kiranya di tepi panggung telah berdiri Kim Lok Cinjin, kakek muka putih yang matanya kini makin beringas nampaknya. “Bocah kurang ajar, engkau telah menipu kami! Engkau pasti bukan orang Cin-ling-pai, melainkan dari golongan lain. Melihat gerakan-gerakanmu yang liar, engkau sama sekali bukan murid Cin-ling-pai. Mengapa engkau berani membela Cin-ling-pai?” bentak Kim Lok Cinjin, sedangkan Kiu-bwee-houw Bhe Toa Bhi nampak menghapus peluh dari muka dan lehernya, menggunakan ujung bajunya. Dia merasa lelah sekali. “Sudah kukatakan tadi bahwa aku pernah mempelajari ilmu yang tiada bandingnya di dunia ini, ilmu dari Cin-ling-pai, akan tetapi aku bukan tokoh bukan murid. Aku hanya membela tokoh muda Cin-ling-pai tadi... eh, mana dia?” Sin Liong mencari-cari dengan pandang mata namun ternyata tempat duduk Kwee Siang Lee telah kosong! Kemudian ada seorang tamu menerangkan bahwa tidak lama setelah pertarungan di atas panggung dimulai, pemuda tampan dari Cin-ling-pai itu telah pergi secara diam-diam. Sin Liong menarik napas panjang, napas yang melegakan dadanya. Dia memang mengkhawatirkan keselamatan pemuda lancang itu dan setelah kini pemuda itu pergi, hatinya gembira dan enak. Dia tersenyum kepada Kim Lok Cinjin, lalu berkata, “Aku memang tidak menggunakan jurus-jurus agung dan ampuh dari Cin-ling-pai tadi, dan sekarang, melihat betapa saudara Kwee Siang Lee tokoh Cin-ling-pai telah pergi tanpa pamit, agaknya enggan turun tangan menghadapi lawan-lawan yang terlampau rendah tingkat kepandaiannya, maka akupun tidak lagi membelanya dan karena Cin-ling-pai tidak mempunyai wakil di sini, maka akupun tidak lagi membela Cin-ling-pai atau membela siapapun juga. Dan hendaknya kalian ketahui bahwa kalau aku tadi tidak menggunakan jurus Cin-ling-pai adalah karena sekali aku mengeluarkan jurus dari Cin-ling-pai dalam satu jurus saja macan ompong itu tentu roboh.” Terdengar seruan kaget dari semua penonton. Bahkan para tokoh besar yang duduk di panggung kehormatan mengerutkan kening. Anak ini boleh jadi lihai dan menyembunyikan kepandaian hebat, akan tetapi terlalu sembrono dan terlalu sombonglah kalau berani mengatakan bahwa dengan satu jurus dari Cin-ling-pai, orang macam Kiu-bwee-houw akan dapat dirobohkan! “Bocah bermulut besar! Kalau dengan satu jurus dari Cin-ling-pai engkau mampu merobohkan murud pertamaku, Kiu-bwee-houw Bhe Toa Bhi itu, biarlah pinto memberi hormat kepadamu!” teriak Kim Lok Cinjin marah dan kakek ini lalu mundur dan duduk kembali ke atas kursi kehormatan. “Hemm, kakek lucu, beranikah engkau menyambut satu jurus seranganku menggunakan ilmu Cin-ling-pai?” Tiba-tiba Sin Liong menantang kepada Kiu-bwee-houw. Tentu saja semua orang tertawa lagi, akan tetapi suara ketawa mereka terkendalikan oleh perasaan sangsi dan khawatir karena siapapun orangnya tidak akan percaya bahwa bocah yang kelihatan tidak pandai limu silat, yang agaknya hanya memiliki kecepatan gerakan seperti monyet, dan tidak mempunyai tenaga besar, buktinya tadi tidak pernah menyerang dan tidak pernah menangkis, akan dapat merobohkan kakek raksasa itu dalam satu jurus saja! Jurus apa gerangan yang demikian hebat? “Anak iblis! Suhu telah berjanji kalau aku roboh dalam satu jurus olehmu, beliau akan memberi hormat kepadamu. Akan tetapi bagaimana kalau engkau tidak berhasil merobohkan aku dalam satu jurus?” Kiu-bwee-houw bertanya. “Kalau tidak bisapun tidak mengapa, dan aku yang akan memberi hormat kepada gurumu dan kepadamu. Boleh saja, kan?” “Seenak perutmu sendiri! Kalau engkau tidak berhasil merobohkan aku dalam satu jurus, engkau harus menjilati sepatu guruku sampai bersih, kemudian melanjutkan pertempuran ini sampai seorang di antara kita roboh.” Hebat bukan main syarat itu, penghinaan yang sangat besar. Namun dengan sikap enak saja Sin Liong mengangguk. “Boleh, itu sudah adil sekali! Sekarang aku ingin engkau memilih, satu jurus dari ilmu yang manakah dari Cin-ling-pai yang harus kugunakan untuk merobohkan engkau? Ilmu-ilmu Cin-ling-pai amat banyak, ampuh dan luar biasa. Pilih saja yang mana. Mau San-in-kun-hoat, Siang-bhok Kiam-sut yang bisa dimainkan dengan pedang tangan, atau Thai-kek-sin-kun? Masih ada lagi ilmu-ilmu simpanan dari pendekar sakti Cia Keng Hong, di antaranya Sin-kun-hok-houw (Pukulan Sakti Menaklukkan Harimau) atau Ta-houw-ciang (Tangan Pemukul Harimau) dan masih banyak lagi pukulan-pukulan yang sengaja diciptakan untuk mengalahkan segala macam harimau, termasuk harimau tua yang ompong.” Jelaslah bahwa ilmu-ilmu yang terakhir itu adalah isapan jempol saja dari Sin Liong, sengaja menggunakah nama harimau untuk mengejek lawan. Akan tetapi, disebutnya banyak ilmu itu, diam-diam Kiu-bwee-houw menjadi terkejut. Jangan-jangan anak ini memang benar ahli silat kelas satu! Dia merasa jerih juga mendengar nama ilmu-ilmu yang mengancam harimau itu. Maka dia memilih nama ilmu yang kedengarannya tidak begitu seram, yaitu Ilmu Silat San-in-kun-hoat (Silat Awan Gunung). “Aku mendengar di antara semua ilmu silat dari Cin-ling-pai, yang paling hebat adalah ilmu Thi-khi-i-beng dan San-in-kun-hoat. Nah, kaupergunakan dua ilmu itu dan merobohkan aku dalam satu jurus!” Kakek ini tersenyum lebar mengejek. Dia sudah mendengar bahwa di dunia ini, yang menguasai ilmu Thi-khi-i-beng (Ilmu Mencuri Hawa Memindahkan Nyawa) hanya dua orang, yaitu mendiang Cia Keng Hong dan Yap Kun Liong. Bahkan kabarnya, putera dari pendekar Cia Keng Hong itu sendiri tidak diberi pelajaran Thi-khi-i-beng, apalagi bocah ingusan ini! Kakek ini merasa cerdik menyebut nama ilmu itu, dan dia tidak gentar menghadapi Ilmu San-in-kun-hoat, ilmu yang namanya saja lemah lembut itu, apalagi kalau hanya dipergunakan satu jurus saja. Akan tetapi Sin Liong menjadi girang sekali. Ilmu San-in-kun-hoat adalah ilmu yang amat halus dan hebat, apalagi setelah dia digembleng oleh Ouwyang Bu Sek, ilmu silat ini telah dilatihnya secara luar biasa. Dan tentang Thi-khi-i-beng, tidak ada orang lain tahu kecuali kakeknya, bahwa dia telah menguasai sepenuhnya ilmu itu, bahkan tidak kalah kuat dibandingkan dengan kakeknya sendiri! “Bagus, kau bersiaplah. Dalam satu jurus aku akan membanting tubuhmu yang gemuk itu ke atas papan panggung!” bentaknya. Kakek raksasa itu menyeringai, lalu memasang kuda-kuda dengan kedua kaki terpentang dan dia mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya pada kaki dan tangannya, siap untuk menangkis atau mengelak dari jurus serangan yang akan dipergunakan oleh Sin Liong. Dia merasa yakin bahwa dia mampu mengelak, dan kalau gerakannya kurang cepat, dia boleh mengandalkan kedua tangannya untuk menangkis dan pengerahan tenaga sekuatnya itu tentu akan membuat bocah ini terpental. Demikianlah pikiran dan dia merasa yakin sekali akan kemenangannya. “Cu-wi yang terhormat, harap suka menjadi saksi. Aku akan mempergunakan satu jurus saja dari ilmu silat sakti San-in-kun-hoat, yaitu jurus Pek-in-tui-san (Awan Putih Mendorong Gunung). Dengan tangan kiri aku akan menyerang ke arah kepalanya, kemudian disusul dengan cengkeraman tangan kananku untuk mengangkat tubuhnya dan membantingnya ke atas lantai, aku menjadi awan putih dan dia menjadi gunungnya. Nah, harap suka melihat baik-baik!” Tentu saja ucapan ini mengandung kesombongan besar sekali. Semua orang terkejut. Bagaimana bocah ini berani bersikap sedemikian sombong dan sembrono? Belum diberitahukan saja tentang jurus itu, agaknya tidak mungkin dia akan berhasil merobohkan Kiu-bwee-houw, apalagi setelah jurus itu dia perkenalkan, tentu mudah bagi lawan untuk menghadapinya. Benar-benar seorang bocah tolol yang besar mulut. Kiu-bwee-houw juga merasa geli. “Ha-ha-ha! Keluarkanlah jurus kentut busukmu!” Dia mengejek. “Sambutlah gerakan pertama jurus mautku!” Sin Liong mengerahkan tenaga sin-kang tangan kirinya sudah melayang ke arah kepala atau kedua mata lawan. Karena pukulannya ini dilakukan dengan pengerahan sin-kang yang amat kuat, pula dilakukan cepat sekali, maka terkejutlah Kiu-bwee-houw dan dia tidak berani main-main lagi. Cepat dia menggerakkan tangan kanan dari sebelah luar dan ditangkapnya pergelangan tangan Sin Liong dengan jari-jari tangannya yang panjang dan kuat. Sekali tangkap, lengan anak itu sama sekali tidak mampu bergerak lagi dan Kiu-bwee-houw sudah mulai tertawa bergelak. “Ha-ha-ha... hauhhh...!” Suara ketawa berubah menjadi kekagetan setengah mati ketika dia merasa, betapa hawa sin-kang yang dipergunakan tangan kanannya untuk menangkap pergelangan tangan kiri pemuda remaja itu kini melekat pada pergelangan tangan itu dan hawa sin-kangnya membanjir keluar, disedot oleh pergelangan tangan lawan! “Thi... Thi-khi-i-beng...!” Keluhnya tergagap, namun sudah terlanjur. Makin dia mengerahkan sin-kang untuk melepaskan tangannya, makin hebat pula tenaga sin-kangnya membanjir keluar, demikian cepat dan kuatnya hawa murni itu keluar dari tubuhnya disedot oleh lawan sehingga sebentar saja mukanya menjadi pucat dan tubuhnya terasa lemas kehilangan tenaga. “Kini gerakan ke dua dari jurus mautku!” teriak pula Sin Liong dan dengan tangan kanan dia mencengkeram ke arah ikat pinggang lawan, lalu diangkatnya tubuh raksasa itu dan sambil melepaskan daya sedot Thi-khi-i-beng, dibantingnya tubuh itu ke atas papan panggung. “Brukkk!” Papan panggung jebol dan tubuh kakek raksasa itu amblas ke dalamnya sampai sepinggang! Tentu saja hal ini sama sekali tidak pernah diduga oleh semua orang sehingga bantingan itu disusul oleh keheningan yang menegangkan. Semua orang seperti menahan napas menyaksikan peristiwa yang amat aneh ini dan tidak ada seorangpun yang tidak meragukan apa yang mereka lihat. Akan tetapi ketika mereka melihat Kiu-bwee-houw meronta-ronta dan keluar dari dalam lubang papan sambil terengah-engah, keheningan itu segera pecah oleh sorak-sorai dan tepuk tangan mereka. Pada saat itu, nampak bayangan putih berkelebat dan Kim Lok Cinjin menarik Kiu-bwee-houw dibawanya melayang ke tempat duduknya, setelah diperiksa dan ternyata tidak terluka apa-apa, wakil ketua Pek-lian-kauw wilayah selatan ini melompat lagi ke tengah panggung menghadapi Sin Liong. Mereka berhadapan dan beberapa saat lamanya Kim Lok Cinjin memandang dengan penuh perhatian, mukanya yang putih itu agak merah dan matanya yang beringas menjadi makin galak. Dia merasa malu dan terhina sekali melihat betapa muridnya telah dipermainkan seorang pemuda setengah kanak-kanak, bukan hanya dipermainkan, bahkan dihina sekali karena dirobohkan dalam satu jurus saja. Dia tidak percaya bahwa bocah ini sedemikian lihainya sehingga mampu merobohkan muridnya dalam satu jurus. Tentu ada apa-apa dalam pertandingan tadi, atau memang muridnya yang tidak hati-hati. Tadi Sin Liong penuh semangat naik ke atas panggung karena dia melihat betapa keselamatan Kwee Siang Lee, pemuda yang mengaku menjadi anak murid Cin-ling-pai itu, terancam bahaya. Kini, melihat betapa Siang Lee telah pergi tanpa pamit, maka dia kehilangan nafsunya untuk membikin ribut di atas panggung. Dia hanya mewakili suhengnya untuk menonton dan menerima pesan dari suhengnya agar ikut menjaga tertib dan adilnya pemilihan calon bengcu itu tanpa mengajukan diri sebagai calon bengcu. Demikianlah, melihat bahwa tidak ada lagi yang harus dilindunginya, Sin Liong mendapatkan kembali ketenangan dan watak aselinya yang pendiam dan tidak suka mencampuri urusan orang. Dia menjura dan suaranya halus penuh hormat ketika dia berkata, “Harap maafkan saya.” Akan tetapi Kim Lok Cinjin sudah marah sekali. “Bocah sombong, kalau memang engkau mewakili Cin-ling-pai hendak menghina Pek-lian-kauw, hayo maju dan kaulawan pinto!” Kembali Sin Liong menjura, “Saya tidak tahu apa-apa tentang permusuhan antara Cin-ling-pai dan Pek-lian-kauw, tadi saya hanya membela pemuda itu. Harap locianpwe tidak mendesak dan saya hendak menjadi penonton saja.” Setelah berkata demikian, Sin Liong sudah meloncat turun dari atas panggung. Marahlah Kim Lok Cinjin. Dia adalah wakil ketua Pek-lian-kauw di selatan dan Kiu-bwee-houw adalah muridnya yang pertama, yang amat diandalkan oleh Pek-lian-kauw sebagai tokoh ke tiga, sesudah ketua dan dia sebagai wakil ketua. Mana dia dapat menghabiskan urusan itu begitu saja setelah Pek-lian-kauw mengalami penghinaan hebat dari bocah Cin-ling-pai? “Bocah hina, hayo kau naik ke sini!” bentaknya dan kakek bermuka putih pucat itu menggerakkan tangannya ke bawah, ke arah Sin Liong yang sudah meloncat turun dari atas panggung. “Syuuuuttt...!” Angin pukulan yang dahsyat menyambar ke arah Sin Liong. Itulah pukulan jarak jauh yang hanya mengandalkan angin pukulan saja, namun amat berbahaya melebihi pukulan tangan langsung. “Hemmm, harap jangan mendesak, locianpwe!” Sin Liong mengibaskan tangannya dan pukulan itu dapat ditangkisnya! Tentu saja wakil ketua Pek-lian-kauw itu terkejut dan makin marah. Akan tetapi sebelum dia menyerang lagi, nampak ada bayangan dua orang berkelebat naik ke atas panggung dan mereka itu ternyata adalah Sin-ciang Gu Kok Ban, dan Tiat-thouw Tong Siok, dua oang pimpinan dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang. Mereka berdua sudah menjura kepada wakil ketua Pek-lian-kauw dan berkatalah Sin-ciang Gu Kok Ban. “Harap totiang suka bersabar. Totiang sebagai calon bengcu tidak semestinya bertanding sebelum waktu sayembara dimulai, dan tidak semestinya kalau bertanding dengan seorang di antara penonton. Kecuali kalau pemuda ramaja itu diangkat menjadi calon pula, maka totiang akan dapat berhadapan dengan dia nanti secara sah.” “Betul! Kami mencalonkan dia menjadi bengcu!” Tiba-tiba terdengar teriakan dari para wakil peninjau rombongan Kun-lun-pai dan suara ini segera disusul pula oleh para wakil dari golongan-golongan bersih, dari Siauw-lim-pai dan dari beberapa orang kang-ouw yang tadinya hanya datang sebagai penonton saja. Melihat kelihaian bocah, apalagi mendengar bahwa bocah itu murid Cin-ling-pai, mereka ini merasa suka dan setuju kalau Sin Liong menjadi bengcu yang berarti bahwa golongan sesat atau dunia hitam dapat dikendalikan. Akan tetapi Sin Liong cepat bangkit berdiri dan mengangkat kedua lengannya ke atas. “Saya tidak ingin menjadi bengcu, saya hanya ingin menjadi penonton saja!” Sin-ciang Gu Kok Ban lalu berkata lantang, “Kalau orang tidak mau menjadi calon bengcu, pun tidak dapat dipaksa. Harap totiang suka mundur dulu dan sebaiknya urusan pribadi dapat dikesampingkan dan diselesaikan sendiri setelah urusan pemilihan bengcu selesai. Setelah urusan beres, kalau totiang menghendaki apapun, biar dia bersayap mana bisa meloloskan diri dari totiang.” Kim Lok Cinjin mengangguk dan dia merasa malu untuk mendesak seorang bocah. Dia menoleh ke arah Sin Liong, memandang tajam lalu berkata, “Engkau tunggulah saja!” Lalu dia kembali ke tempat duduk semula. Kini dimulailah sayembara pemilihan bengcu dan oleh ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang diadakan undian untuk menentukan siapa yang harus maju lebih dulu untuk saling berhadapan. Ketika undian dibuka, ternyata yang mendapatkan nomor satu dan nomor dua adalah Lam-thian Kai-ong dan Ouw-kauwsu, yang menurut peraturan harus lebih dulu bertanding untuk menentukan kemenangan di antara keduanya agar si pemenang dapat maju ke babak berikutnya. Dua orang jago itu kini sudah meloncat ke atas panggung dengan gaya masing-masing, disambut sorak-sorai oleh para penonton dan para rombongan yang memihak. Lam-thian Kai-ong, kakek berusia enam puluhan tahun itu memegang tongkat butut. Dia bertubuh tinggi kurus, mulutnya tersenyum-senyum, dan di dunia kang-ouw bagian selatan, nama Lam-thian Kai-ong ini sudah amat terkenal karena dia diakuinya sebagai Kai-ong (Raja Pengemis). Hanya jarang ada tokoh yang mengenal sampai di mana tingkat ilmu kepandaiannya, karena sebagai golongan pengemis dan gelandangan, tentu saja Lam-thian Kai-ong ini biasanya mengundurkan diri di tempat sunyi dan jarang sekali bentrok dengan fihak lain. Memang, di dunia kang-ouw, golongan pengemis ini agak dijauhi oleh golongan lain, karena agaknya menurut perhitungan mereka, apa untungnya berselisih dengan para pengemis? Tidak ada apa-apa yang diperebutkan dan karena kehidupan para gelandangan itu amat sengsara, maka tentu membuat mereka menjadi orang-orang nekat yang sukar dilawan! Hanya kabar-kabar angin saja yang dibawa oleh para jembel itu yang mengatakan bahwa Raja Pengemis itu memiliki kesaktian yang luar biasa. Adapun orang ke dua, Ouw Bian atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ouw-kauwsu, amat terkenal di antara para guru silat, para tukang pukul, dan para piauwsu (pengawal barang kiriman), sebagai seorang yang memiliki kepandaian tinggi dan paling disegani di kota Amoi. Tubuhnya tinggi besar, matanya lebar dan dari gerak-geriknya sudah cukup menunjukkan bahwa guru silat ini memiliki tenaga yang besar. Biarpun dia tidak memegang senjata seperti calon lawannya yang memegang tongkat, namun orang dapat melihat bahwa ikat pinggangnya terbuat dari baja sehingga menimbulkan dugaan bahwa agaknya benda itulah senjata Ouw-kauwsu. Dan dugaan ini memang benar. Ikat pinggang itu dapat dimainkan seperti senjata pian yang lihai. “Kai-ong, apakah begitu maju engkau hendak menggunakan tongkatmu?” Ouw-kauwsu bertanya. Raja Pengemis itu tersenyum. “Tidak, Ouw-kauwsu, aku cukup mengerti akan peraturan. Pertandingan diadakan dua kali, bukan? Pertama dengan tangan kosong dan kalau selama seratus jurus dengan tangan kosong ini belum ada yang menang atau kalah, barulah kedua calon boleh menggunakan senjata masing-masing. Benarkah begitu, pangcu?” tanyanya sambil menoleh ke arah Sin-ciang Gu Kok Ban. Ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu mengangguk. “Hanya senjata di tangan, bukan senjata rahasia! Penggunaan senjata rahasia tidak diperkenankan, kecuali kalau kedua calon saling menyetujui.” “Ha-ha-ha, tongkat bututku ini sudah cukup untuk mengusir segala macam anjing, perlu apa menggunakan senjata rahasia? Nah, aku sudah siap, kauwsu yang baik.” Sambil berkata demikian, kakek pengemis itu melontarkan tongkat bututnya yang meluncur seperti anak panah dan menancap di ujung papan panggung, menggetar dan mengeluarkan bunyi. Tenaga lontaran ini saja sudah membuktikan betapa lihainya kakek itu sehinga tongkat bambu dapat menancap di papan kayu yang keras itu seperti sebatang anak panah saja. Ouw Bian juga maklum akan kelihaian lawan pertamanya ini, maka dia sudah siap memasang kuda-kuda dengan kedua lengan disilangkan, jari-jari tangannya dibuka dan membentuk cakar harimau. Kauwsu ini memang terkenal sekali dengan ilmu silat gaya pesisir timur yang mengutamakan cengkeraman dan tangkapan, diseling totokan jari tangan yang amat lihai. Agaknya Lam-thian Kai-ong juga mengenal ilmu itu, maka dengan tenang diapun memasang kuda-kuda dengan sikap lembut untuk mengimbangi lawan yang hendak mempergunakan serangan berdasarkan kekuatan jari tangan dan kecepatan. “Lihat serangan!” Ouw Bian mulai menyerang, kedua tangannya bergerak hampir berbareng, yang kiri mencakar ke arah kedua mata lawan sedangkan yang kanan menyusul dengan cengkeraman ke arah pusar. Serangan pertama sebagai serangan pembukaan ini cukup mengandung maut! “Bagus!” Kai-ong berteriak dan dia memutar tubuhnya ke kanan, membalik dan setelah menghindarkan cakaran pada kedua matanya berhasil menangkis cengkeraman pada pusar, lalu dibarengi dengan kaki kirinya yang panjang itu meluncur dan menendang ke arah lutut lawan. Kakek jembel ini memang ahli sekali dalam mainkan kaki, baik untuk melangkah secara teratur dan mudah mengelak serangan lawan maupun untuk balas menyerang dengan tendangan kilat. “Hemm... dukk!” Dengan tangan kanan dimiringkan, Ouw Bian berhasil menangkis tendangan itu lalu balas mencengkeram ke arah leher yang dapat pula dielakkan oleh Lam-thian Kai-ong. Kiranya kedua orang ini begitu bergebrak telah saling mempergunakan kecepatan untuk mencari kemenangan. Pertandingan berjalan makin cepat, sehingga akhirnya mereka yang kurang tinggi ilmu kepandaiannya menjadi kabur pandang mata mereka dan tidak lagi dapat mengikuti gerakan kedua orang yang sedang bertempur itu saking cepatnya gerakan mereka. Yang nampak hanya bayangan tubuh kedua orang itu berkelebatan dan kadang-kadang ruwet menjadi satu! Hanya para tokoh yang berkepandaian tinggi, terutama mereka yang duduk sebagai calon bengcu masih dapat mengikuti gerakan mereka dan tahulah mereka ini bahwa kalau dibuat perbandingan, maka Lam-thian Kai-ong masih menang sedikit dalam hal kecepatan gerakan. Ouw-kauwsu juga maklum akan hal ini, maka tiba-tiba dia mengeluarkan suara gerengan keras dan gerakan kedua cakar tangannya menjadi makin kuat. Kiranya dia hendak mengatasi kekurangannya dalam ilmu gin-kang (meringankan tubuh) itu dengan kekuatannya yang ternyata memang menang sedikit dibandingkan dengan lawannya. Terjadilah serang-menyerang yang makin sengit. Semua serangan Ouw-kauwsu kebanyakan dielakkan dengan gesit oleh lawan, sebaliknya serangan balasan Kai-ong sengaja ditangkis oleh kauwsu itu dengan pengerahan tenaga sepenuhnya. Para anak buah berbagai rombongan yang menonton menjadi gembira bukan main dan segera terjadi pemisahan menjadi dua kelompok yang mendorong jagoan masing-masing dengan sorakan dan anjuran. Bahkan banyak di antara mereka, terutama anak buah yang menganggap Ouw-kauwsu sebagai jagoannya, yaitu mereka yang tergolong tukang pukul dan tukang judi, sudah mulai ramai mengadakan taruhan. Sungguh mengherankan sekali karena dari fihak rombongan pengemis banyak pula yang menanggapi dan melayani taruhan dalam jumlah uang yang tidak kecil itu. Kiranya di antara pengemis-pengemis itu banyak yang mempunyai simpanan uang besar! Tak terasa lagi, lima puluh jurus telah terlewat dan kedua orang yang sedang bertanding itu belum juga dapat merobohkan lawan. Kalaupun ada pukulan atau tendangan yang mengenai tubuh lawan, namun kenanya tidak telak dan tidak cukup kuat untuk merobohkan lawan, padahal, dalam pertandingan ini, yang berlaku dan yang dianggap kalah adalah kalau lawan roboh di atas papan atau terlempar keluar panggung. Sebetulnya, kedua fihak sudah merasa penasaran sekali dan sudah gatal-gatal tangan mereka untuk mencabut senjata dan mengandalkan keahlian mereka dengan senjata itu untuk merebut kemenangan. Akan tetapi karena merekapun mengerti bahwa pertandingan mereka belum lewat seratus jurus, maka mereka kini terus saling serang dengan semakin seru. Tiba-tiba terdengar bentakan menggeledek dibarengi berkelebatnya bayangan orang tinggi besar ke atas panggung, “Kalian berdua menggelindinglah!” Dan sungguh luar biasa, dua orang kakek lihai yang sedang saling serang itu tiba-tiba terdorong dan terlempar ke kanan kiri dan terjatuh keluar panggung! Semua orang memandang dan ternyata yang berdiri di atas panggung itu adalah seorang kakek berusia enam puluh tahun, tubuhnya tinggi besar mukanya hitam bopeng dan tanpa daging seperti tengkorak. Tentu saja mereka semua mengenal, terutama sekali para bajak karena mereka sudah bersorak riuh rendah menyambut munculnya orang ke tiga dari Lam-hai Sam-lo ini! Kakek itu bukan lain adalah Hek-liong-ong Cu Bi Kun, orang ke tiga dari Tiga Kakek Laut Selatan yang amat lihai. Dalam segebrakan saja dia mampu melempar dua orang lihai yang sedang bertanding tadi dari atas panggung sudah membuktikan betapa lihainya raksasa muka tengkorak ini. Dan dia ini baru orang ke tiga! Belum yang ke dua dan yang pertama. Karena calon bengcu sudah roboh dua orang, maka kini tinggal tiga orang lagi, yaitu Tiat-thouw Tong Siok sendiri sebagai tuan rumah, Kim Lok Cinjin wakil ketua Pek-lian-kauw, dan Sin-to Bouw Song Khi Si Maling Sakti. Hati tiga orang ini agak gentar karena memang mereka sudah mendengar akan kehebatan ilmu dari Lam-hai Sam-lo, akan tetapi karena belum pernah bentrok sehingga belum mengukur tenaga mereka, tiga orang sakti inipun merasa penasaran. Sin-ciang Gu Kok Ban sebagai ketua dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang yang menjadi penyelenggara dan tuan rumah, cepat meloncat naik ke atas panggung dan menjura kepada Hek-liong-ong Cu Bi Kun. “Kiranya Hek-liong-ong Cu Bi Kun yang datang. Mengapa lo-enghiong melanggar peraturan pibu untuk memilih calon bengcu? Kalau lo-enghiong berminat memasuki sayembara, mengapa tadi tidak mendaftarkan diri?” Demikian dia menegur dengan halus. “Sekarangpun kami mendaftarkan diri juga belum terlambat!” terdengar suara halus dan tiba-tiba berkelebat bayangan dua orang yang tahu-tahu telah berada di atas panggung pula. Semua orang mengenal mereka ini, karena yang pertama adalah Hai-liong-ong Phang Tek, kakek enam puluh lima tahun yang tinggi besar menyeramkan, wajahnya penuh brewok seperti Panglima Thio Hwi di jaman Sam-kok. Orang ke dua adalah adik kandungnya, Kim-liong-ong Phang Sun, berusia enam puluh tahun yang tubuhnya berbeda sekali dengan kakaknya karena dia ini bertubuh pendek kecil berkepala gundul lonjong dan dia tidak pernah pakai baju dan sepatu. Melihat munculnya ketiga orang kakek sakti itu, hati Sin-ciang Gu Kok Ban menjadi makin gentar. Akan tetapi dia menyambut dengan hormat. “Kiranya Lam-hai Sam-lo yang terhormat telah hadir selengkapnya. Tentu saja locianpwe boleh mendaftarkan sebagai calon. Siapakah di antara locianpwe yang hendak memasuki sayembara?” “Kami bertiga!” “Tapi... tapi... setiap rombongan hanya diperbolehkan mengajukan seorang calon...” “Ah, aturan mana itu? Sin-ciang Gu-pangcu, engkau dan semua yang hadir tahu belaka bahwa semenjak pemilihan beberapa tahun yang lalu, sesungguhnya kami yang berhak menjadi bengcu. Akan tetapi gara-gara pengacauan dari Ouwyang Bu Sek, maka terjadi keributan dan kami mengundurkan diri. Sekarang, dalam pemilihan ini, kami tidak mau gagal lagi. Kalau tadi kami agak terlambat adalah karena kami memang menanti munculnya setan cebol itu. Dia tidak berani muncul, maka kami segera datang dan apabila ada calon-calon lain, silakan naik dan asal dapat mengalahkan kami seorang demi seorang, baru dia atau mereka dapat diangkat menjadi calon.” Sunyi senyap suasana di tempat itu setelah orang pertama dari Lam-hai Sam-lo ini bicara. Sin-ciang Gu Kok Ban mengerutkan alisnya. Munculnya Lam-hai Sam-lo dengan sikapnya itu melanggar peraturan dan Sin-ciang Tiat-thouw-pang tentu akan kehilangan muka sebagai penyelenggara sayembara. Pula, dia mengenal siapa adanya Lam-hai Sam-lo, yang termasuk penjilat-penjilat pemerintah yang hendak mengejar kekuasaan dan kedudukan di daerah selatan. Kalau Lam-hai Sam-lo, yang menjadi Beng-cu, tentu para anggauta liok-lim dan kang-ouw akan tergencet. Dengan muka merah ketua ini lalu menghadap tiga orang kakek itu dan dengan suara lantang berkata, “Tadinya ada lima calon, akan tetapi setelah dua di antara mereka sam-wi robohkan, tinggal tiga orang lagi, yaitu sute Tiat-thouw Tong Siok, Kim Lok Cinjin dari Pek-lian-kauw, dan Sin-to Bouw Song Khi.” “Kim Lok Cinjin?” Tiba-tiba Hai-liong-ong Phang Tek berseru sambil memutar tubuh memandang ke arah tosu Pek-lian-kauw yang duduk di panggung kehormatan. “Benarkah itu? Sedangkan suhengnya, Kim Hwa Cinjin sendiri selalu mendukung kami sebagai calon bengcu!” Pek-lian-kauw juga terkenal sebagai perkumpulan yang anti pemerintah pada waktu itu, dan dalam hal ini, Pek-lian-kauw lebih condong kepada Sin-ciang Tiat-thouw-pang yang juga anti pemerintah. Wakil Pek-lian-kauw ini maklum pula bahwa Lam-hai Sam-lo adalah orang-orang yang berusaha mendekati pemerintah dan mencari kedudukan dengan menjilat-jilat, maka diapun enggan untuk mundur, sungguhpun dia tahu betapa suhengnya sendiri merasa jerih kepada tiga orang kakek sakti itu. “Siancai... tidak disangka bahwa Lam-hai Sam-lo datang juga! Pinto telah terlanjur masuk sebagai calon bengcu, sebelum gagal dalam ujian mana mungkin mundur kembali?”