Majikan restoran menyuruh para pembantunya untuk cepat-cepat bertukar pakaian bersih dan dia sendiripun sibuk keluar masuk untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Kunjungan seorang pembesar pada sebuah rumah makan merupakan peristiwa besar dan menegangkan bagi pemiliknya, karena peristiwa itu dapat mengakibatkan berbagai kemungkinan, yang baik maupun yang buruk! Tak lama kemudian, sebuah kereta berhenti di depan rumah makan dan turunlah seorang laki~laki berpakaian pembesar dari kereta itu, kemudian dengan iringan para pembantu dan pengawalnya, rombongan itu memasuki restoran, disambut dengan penuh kehormatan oleh majikan restoran, sedangkan para pelayan, termasuk Sin Liong, hanya berdiri di kanan kiri dengan tubuh membungkuk penuh sikap hormat. “Eh, Liong-kongcu... kenapa berada di sini...?” Sin Liong terlonjak kaget mendengar ini dan cepat dia mengangkat mukanya. Kiranya pembesar yang memasuki restoran dan diiringkan banyak pembantu dan pengawal itu bukan lain adalah Gu-taijin, pembesar dari kota Kiu-kiang! Tentu saja pembesar Gu ini mengenalnya, karena dia pernah bermalam di rumah gedung pembesar ini, bahkan di rumah pembesar inilah dia mengangkat saudara dengan Han Houw! “Siapa... eh, paduka... salah lihat...” Dia berkata gagap. Akan tetapi Gu-taijin yang telah mengenalnya, tertawa. “Aihh, Liong-kongcu harap jangan main-main! Biarpun kongcu menyamar, tetap saja saya akan mengenalmu. Kalau tidak, tentu pangeran akan marah kepada saya. Kongcu adalah tuan muda Liong Sin Liong, mengapa berada di sini dan apakah yang saya lihat ini? Apakah kongcu menyamar sebagai pelayan...? Ha-ha-ha...!” “Bukan... bukan...! Hamba adalah A-sin... pelayan restoran ini...” “Ha-ha, saya sudah tahu akan kesenangan pangeran untuk merantau dan menyamar seperti rakyat biasa. Kongcu sebagai adik angkatnya tentu mempunyai kesukaan yang sama. Akan tetapi saya tetap mengenali Liong-kongcu. Marilah, beri kesempatan kepada saya untuk menghormati kongcu dengan tiga cawan arak. Dan saya ingin mohon pertolongan kongcu...” Pembesar itu mendekatkan mulutnya. “Mengenai puteriku...” “Tidak... bukan... aku bukan...” Sin Liong bingung sekali, apalagi ketika melihat majikannya menjadi pucat dan memandang kepadanya dengan mata terbelalak. Baru pagi tadi A-tong, pembantu tukang masak bercerita bahwa ada “setan penjaga kebun” menangkapnya dan setan itu bertanya tentang A-sin. Hal itu tentu saja ditertawakan dan orang-orang menganggap A-tong mimpi, sedangkan A-sin yang mendengar itu hanya tertawa saja. Dan kini, seorang pembesar yang berpakaian indah datang-datang memberi hormat kepada A-sin seolah-olah pelayan itu adalah seorang pemuda bangsawan yang amat tinggi kedudukannya. Apalagi pembesar itu juga menyebut-nyebut pangeran! “Ah? Liong-kongcu menyimpan rahasia? Kalau begitu biarlah kita bicara di dalam saja...” “Harap taijin sudi memaafkan hamba, akan tetapi hamba... hamba A-sin... pelayan, bukan orang lain...” “Hemm, benarkah itu?” Tiba-tiba terdengar bentakan wanita. “Akulah yang akan dapat memaksa harimau keluar dari kulit domba!” Bukan main kagetnya hati Sin Liong ketika dia mendengar suara wanita ini karena wanita itu bukan lain adalah seorang wanita cantik yang sudah amat dikenalnya. Seorang wanita cantik jelita dengan pakaian mewah dan indah, rambutnya digelung ke atas seperti model gelung rambut seorang puteri istana, wajahnya manis akan tetapi kelihatan angkuh dan dingin, matanya bersinar kejam, lengan kirinya penuh dengan gelang-gelang emas dan di punggungnya tergantung kayu salib sedangkan di pinggangnya tergantung sebatang pedang panjang. Kim Hong Liu-nio! Melihat musuh besar yang dicari-carinya ini tahu-tahu berdiri di depannya, tentu saja Sin Liong menjadi terkejut bukan main, girang dan juga gugup karena dia berada di dalam restoran, di tempat ramai sehingga amat berbahaya baginya kalau dia bertanding melawan musuh besarnya ini karena wanita ini merupakan seorang tokoh kepercayaan istana! Akan tetapi, menghadapi Kim Hong Liu-nio dia tidak mungkin dapat menyangkal keadaan dirinya lagi, dan juga hal itu akan sia-sia karena pada saat itu, Kim Hong Liu-nio sudah menggerakkan tangan kirinya dan dua batang hio (dupa biting) telah meluncur seperti anak panah, menyambar ke arah kedua matanya! Kiranya wanita itu bukan hanya ingin membuka rahasia, melainkan juga ingin membunuhnya secara keji. Dan dupan ini memang benar. Begitu melihat Sin Liong kemarahan Kim Hong Liu-nio bangkit karena dia ingat bahwa anak ini mengaku keturunan Cia Bun Houw. Sakit hatinya karena kematian kekasihnya, Panglima Lee Siang, membuat dia segera menurunkan tangan kejam, menyerang kedua mata Sin Liong dengan senjata rahasia hionya yang telah banyak merobohkan korban manusia itu. Diserang sehebat itu, tentu saja Sin Liong tidak dapat menyembunyikan lagi kepandaiannya. Dia melihat jelas dua batang hio yang menyambarnya itu, maka dia cepat mengerahkan tenaga pada tangan kirinya dan dengan menggunakan tenaga sin-kang dia berhasil memukul patah dua batang hio itu. Dia tidak mungkin mengelak karena kalau hal ini dilakukan, dua batang hio itu tentu mengambil korban, yaitu mengenai orang-orang yang berada di sebelah belakangnya. Maka terpaksa dia memperlihatkan kehebatannya dan dua batang hio itu ditangkisnya runtuh. Hal ini amat mengejutkan Kim Hong Liu-nio karena dia tahu benar bahwa jarang ada tokoh di dunia kang-ouw ini yang berani menangkis sambaran hionya, dan kalau ada yang berani mencobanyapun tentu akan celaka karena hionya itu didorong oleh tenaga sakti yang amat kuat sehingga kalau ditangkis akan dapat melesat dan melanjutkan serangannya. Akan tetapi, dua batang hionya itu patah dan runtuh begitu bertemu dengan tangan Sin Liong! Marahlah Kim Hong Liu-nio. Dia tahu bahwa Sin Liong pernah digembleng oleh kakek Cia Keng Hong, maka diapun tidak heran kalau anak ini telah mewarisi ilmu yang hebat dari ketua Cin-ling-pai itu. Hal ini mendorongnya untuk cepat membunuhnya, karena kalau tidak, kelak akan menambah deretan musuhnya yang berilmu tinggi. “Hyaaaaattt...!” Kim Hong Liu-nio mengeluarkan suara melengking tinggi sehingga mengejutkan semua orang, bahkan ada beberapa orang yang terguling roboh karena jantung mereka tergetar dan membuat kedua kaki mereka lumpuh ketika mereka mendengar suara melengking tinggi itu. Dan terasa angin menyambar ketika wanita itu sudah menerjang ke depan dan mengirimkan pukulan maut dengan tangan kirinya yang bergelang kerincing, dengan tangan terbuka menghantam ke arah dada Sin Liong. Sebelum tangan itu tiba, lebih dulu telah terasa angin pukulan dahsyat yang berhawa panas datang menyambar. “Ehhh...!” Sin Liong terkejut, maklum akan kehebatan pukulan itu maka diapun cepat mengangkat tangan kanannya, dengan telapak tangan terbuka didorongkannya tangan itu ke depan menyambut pukulan lawan. “Plakkk!” Kedua telapak tangan bertemu dan seketika tubuh Kim Hong Liu-nio tergetar hebat dan tenaga sin-kangnya memberobot keluar tersedot melalui telapak tangan pemuda remaja itu. “Eiiihhhhh...!” Kim Hong Liu-nio menjerit dan tangan kanannya menyambar dengan totokan ke arah kedua mata Sin Liong! Wanita ini mengenal Thi-khi-i-beng maka dia merasa ngeri dan cepat mengeluarkan serangan yang dapat menolong dirinya dari ilmu sedot yang hebat itu. Ketika Sin Liong menggerakkan tangan kanan menangkis, maka wanita itu secepat kilat menarik tangan kirinya yang tersedot melekat pada tangan lawan sambil mengerahkan sin-kangnya dan terlepaslah tangannya. Dia menjadi marah bukan main. “Tarrr...!” Sabuk sutera merahnya telah menyerang, meluncur ke arah leher Sin Liong. Akan tetapi Sin Liong maklum bahwa dia berada dalam bahaya setelah kini semua orang tahu keadaan dirinya yang sebenarnya. Dia cepat mengerahkan tenaga lemas untuk menangkis sabuk. “Pratti!” Ujung sabuk merah itu membelenggu pergelangan tangannya. Akan tetapi Sin Liong mengerahkan Ilmu Thian-te Sin-ciang, mengebutkan dengan telapak tangannya ke arah muka lawan. “Ihhh...!” Kim Hong Liu-nio kembali menjerit dan dia mengelak, akan tetapi tetap saja pundaknya terdorong angin pukulan Thian-te Sin-ciang yang ampuh dan dia terhuyung, sedangkan pergelangan tangan lawan yang terbelit sabuk sudah terlepas pula. Kesempatan selagi lawannya terhuyung ini dipergunakan oleh Sin Liong untuk meloncat keluar restoran dan menyelinap di antara penonton yang memenuhi tempat itu karena tertarik oleh kedatangan pembesar, kemudian oleh keributan yang terjadi di restoran itu. “Tangkap dia! Dia itu putera pemberontak Cia Bun Houw...!” Kim Hong Liu-nio berteriak sambil mengejar. Akan tetapi dia terhalang oleh banyak orang, dan melihat para pasukan melakukan pengejaran, wanita ini dengan cemberut lalu masuk kembali ke dalam restoran di mana dia disambut oleh Gu-taijin yang masih terheran-heran. Sementara itu, melihat dirinya dikejar-kejar pasukan yang makin lama makin banyak jumlahnya, Sin Liong terus melarikan diri. Dia menjadi bingung. Kalau dia dikabarkan sebagai anak pemberontak yang melarikan diri, tentu sukar baginya untuk keluar dari kota raja ini. Tentu pintu-pintu gerbang yang kuat itu telah terjaga dengan ketat, dan ke manapun dia bersembunyi, tentu dia akan terus dicari oleh para perajurit. Mana mungkin dia dapat melawan pasukan yang banyak jumlahnya? Dan diapun tidak mempunyai ingatan untuk melawan pemerintah. Dalam gugupnya dia segera membelok dan masuk ke dalam pasar ketika larinya melewati tempat ini. Dari belakang terdengar hiruk-pikuk para perajurit yang mengejarnya. Pasar itu menjadi geger ketika para perajurit memasukinya dan orang-orang berlarian ke mana-mana ketika mendengar betapa para perajurit itu mengejar-ngejar seorang pemberontak! Makin ribut dan terkejutlah orang-orang itu ketika mendengar bahwa yang dikejar-kejar dan dianggap seorang sebagai pemberontak yang buron itu adalah seorang pelayan rumah makan bernama A-sin! Ketika Sin Liong sedang kebingungan, berdiri di antara orang-orang pasar yang menyelinap ke sana-sini itu, tiba-tiba tangannya dipegang oleh seorang pengemis muda yang berbisik, “A-sin... cepat, kau ikut...!” Melihat bahwa pemuda pengemis itu adalah seorang di antara “langganannya”, Sin Liong yang sedang kebingungan itu mengangguk dan cepat dia mengikuti pengemis muda itu menyelinap di antara orang-orang yang sedang panik itu. Dia dibawa ke bagian belakang pasar, di tempat pengumpulan sampah dan di situ dia melihat empat orang pengemis muda lainnya bersama seorang gadis. Melihat gadis ini, jantungnya berdebar tegang karena dia segera mengenal yang semalam memasuki kamarnya! Gadis itu masih memakai baju biru, entah baju yang semalam entah memang bajunya semua berwarna biru, akan tetapi sepasang matanya tetap bening dan bersinar tajam, pantas kalau dijuluki Walet Mata Emas! Melihat dia, gadis itu tersenyum mengejek. “Aihh, kiranya si pelayan restoran yang tolol ini seorang pelarian pemberontak?” “Aku... aku bukan...” “Ahh, sikapmu yang tolot itu hanya kedok saja. Lekas kau sembunyi ke sini, itu para perajurit sudah datang!” Gadis itu dengan cekatan sudah menyambar tangan Sin Liong dan mendorong pemuda itu ke tempat sampah, kemudian dia bersama teman-temannya lalu menimbuni tubuh Sin Liong yang duduk di atas tanah itu dengan sampah! Baunya bukan main dan terpaksa Sin Liong mengerahkan tenaganya agar jangan muntah-muntah dan juga agar jangan sesak napas. Dia tidak dapat melihat keluar, akan tetapi dia dapat mendengar suara para perajurit yang tiba di situ. “He! Apakah kalian melihat pemberontak yang lari ke sini?” terdengar bentakan nyaring. “He! He! Engkau bicara dengan orang atau setan? Begitukah pendidikan sopan santun yang kauterima ketika menjadi perajurit, menyapa orang hanya dengan he-he saja?” tiba-tiba terdengar suara gadis itu marah. “Apa...? Kalian ini sekumpulan pengemis...” suara pertama menghardik. “Ah, jangan ceroboh, Ciong-ko, dia ini adalah Kim-gan Yan-cu...!” terdengar suara orang ke dua, agaknya seorang perajurit lain yang mengenal gadis itu. “Ahhh... maafkan aku, nona. Aku tidak tahu...” kata suara pertama. Terdengar gadis yang berjuluk Walet Mata Emas itu mengomel. “Hemm, setelah mengenal orang baru bersikap sopan, itu namanya sopan palsu. Biarpun kami orang miskin, apakah para perajurit berhak untuk memandang rendah dan menghina kami? Kalau tidak mampu bertanya dengan sopan, kamipun tidak mampu menjawab!” “Kim-gan Yan-cu, maafkan kawan kami ini. Dia perajurit baru, pindahan dari luar kota raja. Kami sedang bingung dan sibuk, mengejar-ngejar seorang buronan, seorang pemberontak yang amat berbahaya. Biasanya engkau dan kawan-kawanmu tak pernah mengganggu, bahkan sering kali membantu kami mengamankan daerah-daerah. Maka kini kami mohon bantuanmu dan kawan-kawanmu untuk mencari buronan itu. Dia seorang muda, namanya A-sin, tadinya bekerja sebagai pelayan restoran.” “Hemm, kami tidak melihat dia sekarang.” “Kalau kalian melihatnya, harap suka membantu kami menangkapnya, dan harap kalian menyuruh kawan-kawan kalian yang banyak untuk ikut mencarinya.” “Baik, baik...!” Tak lama kemudian, para perajurit itu sudah pergi dan Sin Liong disuruh keluar dari tumpukan sampah. Dia merasa heran sekali. Ternyata para perajurit itu tidak hanya mengenal gadis ini, bahkan kelihatan takut dan menghormatinya! Maka diapun cepat menjura. “Terima kasih atas pertolongan kalian...” “Pertolongan apa! Engkau masih terancam bahaya. Hayo kerjakan dia!” perintah gadis itu. Empat orang pengemis muda itu lalu beramai-ramai mengenakan pakaian butut kepada Sin Liong dan dengan arang dan lumpur mereka menyulap wajah Sin Liong menjadi wajah yang kotor, wajah seorang pengemis yang terlantar. Sin Liong tidak sempat menolak karena dia tahu bahwa mereka itu bermaksud baik terhadap dirinya. “Nah, kau diam saja, pura-pura sakit dan kelaparan. Jangan mengeluarkan suara, kecuali rintihan dan keluhan kalau bertemu perajurit,” kata gadis itu dan Sin Liong yang masih keheranan itu hanya mengangguk. Dia benar-benar merasa canggung sekali berhadapan dengan gadis yang ternyata amat berwibawa ini dan merasa makin canggung lagi ketika empat orang itu menggotongnya, seperti menggotong seekor kerbau yang akan disembelih! Dan gadis itu berjalan di depan! Beberapa kali mereka bertemu dengan pasukan dan seperti dipesankan oleh gadis itu, setiap kali ada pasukan berhenti dan memandang kepadanya, dia mengeluh. “Ini seorang pengemis kelaparan dari luar daerah. Mengotori kota raja saja, dan kami hendak mengirim dia kembali ke tempatnya, biar kalau sampai matipun mati di tempatnya sendiri, tidak di kota raja!” demikian gadis itu menerangkan setiap kali ada pertanyaan dari para perajurit yang masih sibuk mencari-cari Sin Liong itu. Akhirnya, dengan mudah para pengemis muda itu menggotong Sin Liong keluar dari pintu gerbang selatan. Agaknya mereka itu amat dipercaya oleh para penjaga pintu gerbang, apalagi keterangan gadis lincah itu agaknya tidak pernah diragukan orang. Setelah keluar dari pintu gerbang kota raja sebelah selatan dan para pengemis yang menggotong tubuh Sin Liong itu sudah tiba jauh dan tidak nampak lagi oleh para penjaga, Sin Liong lalu diturunkan. “Nah, sekarang kita harus berlari cepat. Hayo ikut dengan kami, A-sin!” kata gadis baju biru itu. Sin Liong hanya mengangguk saja dan dia ikut berlari bersama gadis itu dan empat orang pengemis muda, menuju ke sebuah hutan kecil di lereng bukit yang nampak dari situ. Ternyata di tengah hutan itu terdapat sebuah kuil rusak yang kosong dan ke tempat inilah mereka menuju. Agaknya gadis itu dan kawan-kawannya sudah biasa di tempat ini karena mereka langsung masuk dan membersihkan sebuah ruangan yang masih belum begitu bobrok dan dapat dipergunakan untuk tempat bersembunyi yang teduh dan terlindung dari panas atau hujan. Memang demikianlah, tempat-tempat seperti kuil kosong, kolong-kolong jembatan, emper-emper toko merupakan tempat-tempat yang tidak asing bagi kaum gelandangan seperti mereka itu, yang tidak mempunyai rumah atau keluarga. Setelah membersihkan ruangan itu dibantu oleh empat orang pengemis muda yang agaknya menjadi anak buah gadis itu, mereka lalu berunding. “Kalian harus cepat kembali ke kota raja dan menyelidiki keadaan. Kalau ada bahaya mengancam, lekas beri tahu kami di sini. Aku terpaksa harus melindungi si lemah ini!” kata gadis berbaju biru itu kepada empat orang anak buahnya yang menyatakan setuju. Mereka segera berangkat meninggalkan Sin Liong berdua gadis itu. Diam-diam Sin Liong merasa kagum menyaksikan kesigapan dara itu, kesederhanaannya, kecerdikannya, dan juga wibawanya. Gadis itu tentu paling banyak lima belas atau enam belas tahun usinya, namun telah dapat memimpin pengemis-pengemis muda yang kelihatan begitu taat kepadanya! Setelah empat orang pengemis muda itu pergi, gadis baju biru itu keluar dari dalam kuil. Tanpa diperintah, Sin Liong mengikutinya dan ketika gadis itu duduk di atas sebuah bangku batu rendah yang berada di belakang kuil rusak, Sin Liong hanya berdiri memandang, sinar matanya masih membayangkan kekaguman dan juga keheranan karena kembali ada perasaan mengganggunya bahwa dia pernah bertemu dengan gadis ini! Wajah gadis ini tidak asing baginya! Akan tetapi biarpun dia payah mengingat-ingat, dia merasa belum pernah berkenalan dengan seorang gadis pengemis, apalagi pemimpin pengemis! Tiba-tiba gadis itu menoleh dan memandang kepadanya. Dua pasang mata bertemu pandang, melekat sebentar. Gadis itu cemberut. “Ada apa engkau memandangku seperti itu? Engkau berani mengandung pikiran kurang sopan? Kugampar mukamu nanti!” Sin Liong menjadi gugup dan mukanya menjadi merah, seperti telah dipukul saja. Dia cepat menundukkan mukanya dan tidak berani memandang. Terdengar gadis itu tertawa kecil. “Hik-hik, aku hanya main-main. Kau mengapa begini pemalu? Eh, A-sin, sungguh tidak kusangka bahwa engkau ternyata bukan sembarang orang, melainkan seorang penting yang menyembunyikan diri dan menyamar sebagai pelayan! Hebat! Semuda ini engkau sudah dijadikan buruan pemerintah. Wah, engkau pasti orang penting yang menyamar. Siapakah sebenarnya engkau dan mengapa engkau dikejar-kejar perajurit kerajaan?” Sin Liong tidak ingin diketahui sebabnya dia dikejar-kejar para perajurit. Dia dikejar perajurit karena hasutan Kim Hong Liu-nio bahwa dia adalah putera pemberontak Cia Bun Houw dan dia sama sekali tidak suka mengaku sebagai putera pendekar itu. Akan tetapi, para pengemis muda pembantu gadis itu pergi menyelidiki ke kota raja. Mereka itu tentu akan mendengar pula bahwa dia menjadi buronan karena putera pendekar Cia Bun Houw. Setelah berpikir sejenak dia menemukan akal. “Ahh, aku adalah orang biasa dan bekeria sebagai pelayan untuk mencari sesuap nasi. Akan tetapi sungguh sial, mungkin karena persamaan wajah, aku dituduh sebagai anak pemberontak dan dikejar-kejar. Kalau tidak ada engkau yang menolongku, tentu aku telah ditangkap dan dihukum mati.” Gadis itu bangkit berdiri, menghadapi Sin Liong dan sepasang matanya yang jeli itu dengan penuh selidik mengamati Sin Liong, dari rambut sampai ke kaki, kemudian dia cemberut, menggeleng kepalanya. “Tidak, engkau bukan seorang pelayan restoran biasa! Engkau tidak setolol yang ingin kauperliliatkan. Aku lebih percaya kalau engkau benar-benar seorang penting yang menyamar pelayan daripada seorang pelayan tulen dari dusun yang buta huruf dan tolol. Dan... wajahmu ini tidak asing bagiku! Benar, aku pasti sudah pernah melihatmu. Hayo kau mengaku sajalah!” Sin Liong terkejut dan dia kembali memandang. Mereka berpandangan dan makin terasa oleh mereka bahwa mereka memang pernah saling jumpa, dan betapa wajah itu tidak asing sama sekali. Kini, setelah tidak berada dalam keadaan tegang, mereka dapat memperhatikan wajah masing-masing. Akan tetapi tetap saja Sin Liong tidak ingat pernah berkenalan dengan seorang gadis pemimpin pengemis, sebaliknya gadis itu agaknya juga tidak ingat pernah bertemu dengan seorang pelayan atau buronan pemberontak. “Nona, siapakah namamu?” akhirnya Sin Liong bertanya karena dia yakin kalau dia mengetahui nama gadis ini tentu dia akan teringat. Kembali sinar mata gadis itu memperlihatkan perasaan tidak senang dan curiga. “Mau apa kau tanya-tanya nama orang!” bentaknya curiga, menduga bahwa pemuda ini, seperti pemuda-pemuda lain berwatak ceriwis. Galak benar bocah ini, pikir Sin Liong. Akan tetapi karena gadis ini telah menolongnya, dia tetap bersikap sabar. “Terus terang saja, nona, akupun merasa seperti pernah bertemu denganmu. Kalau aku mengetahui namamu, mungkin saia aku akan teringat lagi dan kenal padamu.” “Hemm, engkau sudah mendengar bahwa namaku dikenal sebagai Kim-gan Yan-cu!” kata nona itu dan mendengar nama julukan ini, mau tidak mau Sin Liong memperhatikan mata gadis itu dan memang pantaslah kalau gadis itu dijuluki Kim-gan (Si Walet Emas) karena sepasang mata itu memang amat indahnya! “Aku tidak mengenal julukan itu.” “Hemm, kalau tidak mengenal sudah saja!” Gadis itu mendengus marah karena hatinya merasa tidak senang mendengar ada orang yang tidak mengenal “nama besarnya”. Ketika mendengus marah, dia menggerakkan kepalanya sehingga rambut yang dikucir menjadi dua itu pindah ke depan pundak dan gerakan itu membuat lehemya tersibak. Nampak kulit tengkuk leher yang amat mulus, akan tetapi bukan kemulusan kulit itu yang membuat Sin Liong terbelalak, melainkan setitik tahi lalat di kulit tengkuk yang putih mulus itu. Tahi lalat itu! Kini dia teringat dan matanya terbelalak memandang kepada gadis itu. Tahi lalat itu membuat sepasang mata yang tajam dan jeli, hidung kecil mancung dan mulut dengan sepasang bibir mungil itu menjadi sama sekali tidak asing lagi baginya. “Bi Cu...!” suara ini hanya terdengar sebagai bisikan saja keluar dari mulut Sin Liong yang masih menatap wajah itu tanpa berkedip. Kini gadis itu yang kelihatan kaget bukan main. Selama ini tidak ada orang yang mengenal namanya, dan dia hanya memperkenalkan nama dengan julukannya itu. “Eh, bagaimana kau bisa mengenal namaku? Kau... kau siapa...?” bentaknya, heran, kaget dan curiga. Mendengar ini, yakiniah hati Sin Liong dan tiba-tiba dia merasa sekali, teringat akan malapetaka yang menimpa keluarga Na yang amat baik kepadanya itu. “Bi Cu, lupakah engkau kepadaku? Aku Sin Liong...!” Sepasang mata itu terbelalak lebar, amat indahnya. “Sin Liong...? Ah, tentu saja...! Akan tetapi siapa sangka engkau menjadi pelayan restoran dan seorang buronan pasukan pemerintah pula?” Gadis itu juga teringat akan masa lalu, maka menjadi terharu dan juga gembira sekali. “Sin Liong...!” Mereka saling berpegang tangan, lalu keduanya berloncatan menari-nari dengan gembira seperti dua orang anak kecil bermain-main. Kegembiraan meluap di dalam hati mereka karena mereka berdua sama sekali tidak pernah mengira akan dapat saling berjumpa setelah malapetaka itu menimpa mereka dalam rumah keluarga Na Ceng Han atau Na-piauwsu. Akhirnya keduanya ingat bahwa mereka telah bersikap seperti anak kecil. Dengan muka berubah merah Bi Cu melepaskan pegangan tangannya, lalu terengah-engah duduk di atas bangku batu tadi. Wajahnya berseri dan merah sekali, akan tetapi matanya basah air mata. “Aihh... siapa kira dapat bertemu denganmu lagi, Sin Liong,” Katanya dan dia terhenti karena lehernya seperti tercekik oleh rasa haru. Sin Liong tersenyum. Bukan main gembira rasa hatinya, Bi Cu yang dulu seorang anak perempuan pendiam itu kini telah menjadi seorang gadis remaja yang lincah, cantik dan cerdik. Teringat akan waktu dulu, dia tertawa dan menudingkan telunjuk kirinya ke arah gadis itu. “Dan siapa sangka akan dapat bertemu engkau yang kini telah menjadi ratu pengemis? Engkau dahulu begitu pendiam dan pemalu dan sekarang...” Kegembiraan Sin Liong menular kepada Bi Cu yang kini memang berwatak lincah itu. Dia membuat gerakan lucu dan bersungut-sungut, tangan kirinya terbentang. “Dan sekarang kau hendak mengatakan bahwa aku cerewet dan tak tahu malu?” “Ihh, tentu saja tidak!” Sin Liong tersenyum. “Engkau menjadi seorang gadis lincah, cerdas dan berani, sungguh mengagumkan sekali, Bi Cu! Sungguh mati, mana mungkin aku dapat mengenalmu lagi?” “Tapi toh engkau tadi mengenalku lebih dulu!” “Atas bantuan tahi lalatmu.” “Eh?” Bi Cu meloncat bangun dan berdiri menghadapi Sin Liong, menatap wajah pemuda itu dengan tajam. “Tahi lalat?” “Ya, tahi lalat di tengkukmu. Tadi tampak ketika engkau memindahkan kuncirmu ke depan. Engkau mempunyai tahi lalat kecil di tengkuk, apakah engkau tak dapat melihatnya?” “Hik-hik, tolol engkau. Apa kaukira aku sudah menjadi siluman yang mempunyai mata di belakang kepala? Mana bisa melihat tahi lalat di tengkuk sendiri!” Sin Liong juga tertawa. “Akan tetapi, sejak dahulu engkau sudah mempunyai tahi lalat itu, apakah kau lupa betapa tahi lalatmu itu dijadikan bahan godaan oleh... Tiong Pek?” “Ohhh...!” Mendengar disebutnya nama ini, berubah wajah Bi Cu dan dia duduk kembali di atas bangku, termenung! Tanpa ragu-ragu Sin Liong juga duduk di atas bangku itu setelah Bi Cu menggeser ke pinggir. Mereka duduk berdampingan, seperti dulu di waktu mereka baru berusia dua belas tahun. Sin Liong maklum bahwa tentu gadis ini mengalami banyak sekali hal luar biasa, maka dia sampai menjadi seorang pemimpin kaum jembel di pasar kota raja itu. “Bi Cu, bagaimana engkau dapat berada di sini dan menjadi pemimpin para pengemis muda itu? Bukankah dahulu engkau masih bersama Tiong Pek dan tinggal di Kun-ting?” Bi Cu bertopang dagu, mukanya masih muram dan bibirnya cemberut, seolah-olah saat itu dia terkenang akan hal-hal yang tidak menyenangkan hatinya, kemudian dia melirik ke arah muka Sin Liong dan bertanya, “Engkau sendiri, setelah dulu dibawa pergi oleh wanita itu, bagaimana tahu-tahu muncul di kota raja sebagai pelayan restoran yang kemudian dikejar-kejar oleh pasukan pemerintah?” Sin Liong tersenyum dan memandang kagum. “Ah, engkau benar-benar telah berubah banyak sekali, Bi Cu. Engkau dulu pemalu dan pendiam, kini engkau demikian lincah dan pandai bicara. Belum menjawab pertanyaan orang, engkau sudah menyerang kembali dengan pertanyaanmu.” “Sudah sepatutnya dan selayaknya seorang pria mengalah terhadap wanita, bukan? Nah, kauceritakan pengalamanmu.” “Seperti engkau ketahui, ketika keluarga paman Na diserbu penjahat dan engkau bersama aku dan Tiong Pek melawan para penjahat, muncul wanita iblis itu dan aku lalu dibawanya pergi...” “MANUSIA IBLIS? Kaumaksudkan wanita cantik gagah perkasa yang telah berhasil membunuh semua penjahat keji yang telah menewaskan suhu sekeluarganya itu? Mengapa kau menyebut wanita gagah itu iblis?” “Engkau tidak tahu, Bi Cu. Memang dia, entah mengapa, telah membunuh penjahat-penjahat yang membasmi keluarga paman Na, dan memang agaknya ada kegagahan tersembunyi dalam dirinya, akan tetapi wanita itu adalah seorang manusia iblis yang amat kejam sekali. Namanya Kim Hong Liu-nio, ah, engkau tidak tahu betapa kejamnya. Aku nyaris tewas disiksa olehnya, untung aku dapat... eh, membebaskan diri, ditolong oleh seorang kakek.” Sin Liong tidak ingin menceritakan tentang kakek Cia Keng Hong yang sesungguhnya adalah kakeknya sendiri itu. Juga dia tidak ingin menceritakan bahwa dia telah mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi, dia ingin dikenal oleh Bi Cu sebagai Sin Liong yang dahulu ketika mereka bersama-sama belajar di bawah bimbingan Na-piauwsu yang baik hati. “Nona... nona Kim-gan Yan-cu...!” Sin Liong dan Bi Cu cepat menengok dan mereka melihat dua orang pengemis muda yang tadi membantu datang dengan muka pucat dan penuh keringat, napas mereka terengah-engah. Semua pengemis muda yang menjadi anak buah Bi Cu memang diharuskan menyebut nona oleh gadis itu. Melihat keadaan dua orang pembantunya yang dia tahu tidak mudah ketakutan itu, Bi Cu maklum bahwa tentu terjadi hal-hal yang hebat. “Hem, A-sam dan A-khun, ada apakah?” tanyanya dengan alis berkerut sambil bangkit berdiri. Sin Liong sudah berdiri, memandang penuh perhatian. A-khun memandang kepada Sin Liong dengan terbelalak, sedangkan A-sam setelah menoleh ke arah Sin Liong berkata, “Nona, kita telah tertipu... dia... dia ini benar-benar orang yang menyamar..., kabarnya dia... dia ini seorang yang berkedudukan tinggi, masih saudara dengan seorang pangeran, akan tetapi juga kabarnya dia dicari karena dia keluarga pemberontak... wah, celaka, nona, sekarang ada pasukan kerajaan sedang menuju ke sini untuk menangkap dia, dan juga untuk menangkap nona sendiri...!” “Biar mereka menangkap aku!” Sin Liong berkata penasaran. “Akan tetapi mengapa mereka hendak menangkap Kim-gan Yan-cu?” “Ya, mengapa mereka bendak menangkap aku, A-sam?” “Karena nona diketahui telah menolong dia melarikan diri. Cepat, nona, itu, sudah terdengar bunyi derap kuda mereka!” Benar saja dari jauh terdengar derap kaki kuda memasuki hutan. Sin Liong tidak merasa gentar, akan tetapi dia mengkhawatirkan keselamatan Bi Cu, sementara itu, A-sam dan A-khun sudah menyelinap dan melarikan diri di antara semak-semak belukar. “Bi Cu, cepat mari ikut aku pergi!” Dia menggandeng tangan gadis itu dan mengajak lari. Bi Cu yang biasanya menjadi pemimpin, kini menurut saja karena dia masih terlampau kaget dan bingung. Dikejar pasukan pemerintah bukan merupakan hal yang remeh, pikirnya. “Ke mana kita akan pergi, Sin Liong?” Mereka sudah tiba di luar hutan bagian belakang atau bagian selatan dan derap kaki kuda tidak terdengar lagi. Agaknya pasukan yang mengejar mereka itu sedang mencari-cari dan berkeliaran di dalam hutan karena memang hutan belukar itu tidak memungkinkan mereka melarikan kuda cepat-cepat tanpa mengetahui ke arah mana mereka harus mengejar. “Bi Cu, aku menyesal sekali bahwa engkau terseret oleh kesialanku. Akan tetapi, aku sudah mempunyai tempat yang baik sekali untuk melarikan diri. Mari kati ikut bersamaku ke dalam dusun di mana tinggal keluarga Kui...!” “Siapa itu keluarga Kui?” Bi Cu bertanya sambil terus melangkah mengikuti Sin Liong. Mereka tidak lari lagi, hanya berjalan cepat menyusup-nyusup di antara batu-batu besar, pohon-pohon dan semak-semak. “Sin Liong, engkau ini aneh sekali. Benarkah engkau menjadi saudara seorang pangeran? Dan benarkah engkau keluarga pemberontak?” Di tengah perjalanan itu Bi Cu bertanya, suaranya penuh keheranan. Sin Liong mengerutkan alisnya. Tak salah lagi, tentu Gu-taijin yang mengabar-ngabarkan keadaan dirinya sebagai saudara Pangeran Ceng Han How, dan tentu Kim Hong Liu-nio yang mengabarkan bahwa dia adalah putera pemberontak Cia Bun Houw! Dia tetap tidak ingin bercerita tentang Cia Bun Houw kepada siapapun juga, apalagi kepada Bi Cu, hanya kenyataan tentang hubungannya dengan Han Houw tentu tidak mungkin untuk dirahasiakannya lagi. “Baik, kuceritakan semua kepadamu, Bi Cu. Pertama-tama tentang keluarga Kui yang akan kita datangi dan di mana kita akan berlindung dan bersembunyi. Dia... Kui Hok Boan itu adalah ayah tiriku...” “Ahh...!” Bi Cu menoleh dan memandang wajah Sin Liong dengan tertarik. Selama Sin Liong berada di rumah gurunya atau paman Na Ceng Han, belum pernah anak ini menceritakan keadaan keluarganya yang dirahasiakan. “Dan ibumu masih ada...?” Sin Liong menggeleng kepala. “Ibu telah meninggal dunia. Beberapa hari yang lalu aku melihat keluarga Kui di kota raja, bahkan melihat mereka berbelanja di pasar kemudian melihat betapa engkau dan kawan-kawanmu mengganggu mereka dan mencopet barang-barang mereka...” “Ah, kaumaksudkan... pemuda gendut itu?” “Dia itu keponakan dari Kiu Hok Boan. Dua orang gadis...” “Dua gadis kembar yang cantik manis itu?” “Ya, mereka adalah saudara-saudara tiriku.” Bi Cu mengangguk-angguk, kemudian dia kelihatan meragu. “Kalau si gendut dan yang lain-lain itu mengenali aku, tentu mereka curiga dan mana bisa aku tinggal di tempat orang yang pernah kuganggu?” “Tidak, Bi Cu. Mereka tidak mungkin mengenailmu. Pula, ada hal lain yang amat perlu bagimu. Kui Hok Boan pernah tinggal lama di utara, dan mungkin dia pernah mendengar tentang ayahmu yang tinggal di utara.” “Ahh...! Bagus sekali kalau begitu, Sin Liong. Sekarang ceritakan tentang pangeran itu.” Dengan hati-hati Sin Liong menceritakan tentang Ceng Han Houw, betapa dia bertemu dengan pangeran ini dan sang pangeran suka kepadanya sehingga mengangkatnya sebagai saudara. Akan tetapi dia tetap tidak menceritakan tentang kepandaiannya, bahkan tidak menyinggung tentang kelihaian Ceng Han Houw. Biarpun demikian, Bi Cu tidak mendesak lebih lanjut karena dara ini sudah merasa terlalu heran mendengar betapa Sin Liong menjadi saudara angkat seorang pangeran! “Sungguh hebat pengalamanmu, Sin Liong. Akan tetapi engkau yang menjadi saudara angkat pangeran, mengapa lalu tinggal di restoran sebagai pelayan?” “Aku tidak suka akan cara hidup mewah pangeran itu, disanjung-sanjung dan dihormati orang, dijilat-jilat secara berlebihan. Aku lebih suka menjadi orang biasa, bebas melakukan apa-apa tanpa diperhatikan orang.” “Lalu apa sebabnya engkau yang menjadi saudara angkat pangeran dituduh pemberontak dan dikejar-kejar pasukan? Bukankah engkau dapat mengatakan bahwa engkau adalah saudara angkat pangeran dan pasukan itu tidak akan berani mengganggumu?” Sin Liong menarik napas panjang. Bi Cu terlalu cerdik untuk menerima ceritanya yang tidak lengkap itu. Kalau dia tidak hati-hati, dia tentu akan terpaksa membuka rahasianya bahwa dia adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi, diapun amat cerdik dan cepat dia mengambil keputusan untuk membuka sedikit rahasia pribadinya untuk tetap menutupi rahasia lain. “Ah, semua itu adalah gara-gara wanita iblis itu, Bi Cu.” “Eh? Kaumaksudkan... wanita cantik yang berjuluk Kim Hong Liu-nio itu?” “Benar.” “Oya, kau pernah diculiknya dan kau bilang nyaris tewas disiksanya, tentu ada apa-apa antara dia dan engkau.” “Memang benar, dan karena itu pula aku berada di kota raja, menyamar sebagai pelayan rumah makan. Aku memang sedang menyelidikinya. Siapa kira dia telah melihat aku lebih dulu dan mengabarkan bahwa aku adalah pemberontak maka aku dikejar-kejar pasukan.” “Mau apa engkau menyelidiki wanita itu?” “Karena dia musuh besarku. Dialah yang telah membunuh ibu kandungku.” “Ahh...!” Bi Cu sampai menghentikan langkahnya saking kagetnya. Sebelum mendengar ini, dia selalu mengenangkan wanita yang telah membunuh para penyerbu dan para pembunuh keluarga Na itu dengan hati penuh kagum dan dia selalu menganggap wanita itu seorang pendekar wanita yang gagah perkasa dan budiman, sungguhpun dia tidak mengerti mengapa pendekar wanita itu melarikan Sin Liong. Kini, dia mendengar bahwa wanita itu dianggap iblis oleh Sin Liong dan ternyata wanita itulah yang telah membunuh ibu kandung Sin Liong! Pemuda itu terpaksa berhenti pula. Sampai lama mereka hanya saling pandang. “Dan ayah kandungmu, Sin Liong?” Pemuda itu menggeleng kepala. “Sudah mati!” “Kasihan engkau, sudah yatim piatu.” “Sama dengan engkau, Bi Cu.” “Dan engkau menyelidiki wanita itu untuk apa?” “Untuk apa? Kalau engkau kelak mengetahui siapa pembunuh ayahmu, apa yang akan kaulakukan, Bi Cu?” “Membunuhnya!” “Demikian juga aku.” “Tapi, wanita itu demikian lihainya! Apa kau mampu menandinginya?” “Demi membalas kematian ibuku, akan kucoba.” “Tapi... apakah engkau selama ini mempelajari ilmu-ilmu silat?” “Hanya dari Na-piauwsu.” “Ah, dengan kepandaiantnu seperti itu, mana mampu engkau menandingi wanita itu? Akan tetapi, biar aku membantumu, Sin Liong?” “Terima kasih, agaknya engkau sekarang telah memiliki kepandaian tinggi, Bi Cu.” “Cukup lumayan, biarpun aku tidak berani memastikan apakah aku akan mampu menandingi Kim Hong Liu-nio yang kelihatannya amat lihai itu. Sekarang dengarlah ceritaku tentang pengalaman semenjak kita saling berpisah, Sin Liong.” Dengan sikapnya yang polos, gerak-gerik yang lincah dan amat menarik bagi Sin Liong, gerak bibir yang manis dan gerak mata yang menunjukkan kecerdikan, dara remaja itu lalu menceritakan semua pengalamannya selama kurang lebih lima tahun ini. *** Seperti telah kita ketahui, kurang lebih lima tahun yang lalu keluarga Na Ceng Han di kota Kun-ting telah diserbu oleh musuh-musuhnya yaitu piauwsu dari Gin-to-piauwkiok bernama Ciok Khun yang dibantu oleh Lu Seng Ok, tokoh Hwa-i Kai-pang yang murtad dan telah diusir dari perkumpulan itu, dibantu oleh lima orang anak buah Ciok Khun. Penyerbuan hebat ini mengakibatkan matinya Na Ceng Han dan isterinya dan beberapa orang anggauta Ui-eng-piauwkiok yang dipimpin oleh Na-piauwsu itu. Bahkan putera Na-piauwsu, Na Tiong Pek, bersama Bhe Bi Cu dan Sin Liong nyaris tewas pula oleh para penyerbu itu. Akan tetapi muncul Kim Hong Liu-nio yang timbul watak gagahnya melihat tiga orang anak-anak bertanding mati-matian melawan para penyerbu itu sehingga wanita sakti ini turun tangan membunuh Ciok Khun dan enam orang pembantunya, kemudian Kim Hong Liu-nio mengenal Sin Liong dan menculiknya lalu membawanya pergi. Gegerlah kota Kun-ting dengan terjadinya peristiwa ini Tiong Pek dan Bi Cu hanya dapat menangisi jenazah Na-piauwsu dan isterinya. Kemudian muncul para anggauta Ui-eng-piauwkiok yang segera mengurus mayat-mayat itu. Ui-eng-piauwkiok berkabung dan untung bagi Tiong Pek dan Bi Cu bahwa para anggauta piauwkiok itu cukup setia dan telah mengurus kedua jenazah itu sebaiknya sampai selesai dimakamkan. Bahkan setelah selesai pemakaman itu, para tokoh Ui-eng-piauwkiok yang menjadi pembantu-pembantu utama dari mendiang Na Ceng Han, mengadakan rapat dan kemudian diambil keputusan untuk melanjutkan Ui-eng-piauwkiok yang sudah terkenal dan dipercaya oleh para pedagang. Sebagai pengganti Na Ceng Han diangkat Na Tiong Pek. Akan tetapi karena anak itu baru berusia tiga belas tahun, dan ilmu kepandaiannya masih jauh untuk dapat diandalkan menjadi piauwkiok, maka pengangkatan pemimpin ini hanya untuk mempertahankan nama Na-piauwsu saja dan juga rumah keluarga. Na itu dipakai sebagai pusat, sedangkan yang memimpin adalah para pembantu-pembantu utama mendiang Na-piauwsu itulah. Mereka bahkan melanjutkan pelajaran Na Tiong Pek dan melatih ilmu silat kepada pemuda remaja ini. Bi Cu tetap tinggal di rumah Tiong Pek. Akan tetapi gadis cilik ini merasa kesepian dan kehilangan, dan merasa tidak senang lagi tinggal di rumah besar itu. Apalagi ketika nampak gejala-gejala betapa Tiong Pek makin tergila-gila kepadanya. Beberapa kali pemuda ini menyatakan bahwa mereka adalah calon suami isteri! Pada suatu senja, ketika mereka berdua duduk di dalam taman bunga yang sedang indah-indahnya karena semua bunga sedang mekar di tengah-tengah musim bunga itu, kembali Tiong Pek menyatakan persoalan itu. “Sumoi, marilah duduk dekat denganku di sini.” Dia menepuk papan bangku di sebelahnya. Bi Cu mengerutkan alisnya dan menjawab, “Di sinipun sama saja, suheng.” Dia sendiri duduk di atas bangku batu kecil tak jauh dari tempat duduk Tiong Pek. “Ke sinilah, sumoi, aku mau bicara penting sekali.” “Di sinipun aku sudah dapat mendengarmu, suheng. Mau bicara apakah?” Diam-diam dara kecil ini merasa khawatir karena selama satu tahun semenjak tewasnya Na-piauwsu dan isterinya, sering kali dia harus menolak kalau Tiong Pek ingin memperlihatkan perasaannya dengan menyentuhnya atau memegang lengannya atau mengeluarkan kata-kata manis merayu!   “Sumoi, kenapa engkau selalu bersikap dingin dan malu-malu terhadap aku? Bukankah kita ini sudah menjadi calon suami isteri? Kita tinggal menanti beberapa tahun lagi sampai kita cukup dewasa dan kita akan menikah, menjadi suami isteri.” Bosan sudah Bi Cu mendengar pernyataan-pernyataan seperti itu. “Suheng, engkau selalu bicara tentang itu. Sudah kukatakan bahwa aku masih terlalu kecil, usiaku baru dua belas tahun, untuk bicara soal pernikahan!” “Akan tetapi kita telah saling bertunangan!” “Sejak kapankah kita bertunangan?” “Eh, semua orang tahu belaka bahwa ayah dan ibuku menghendaki begitu. Semua paman di Ui-eng-piauwkiok juga sudah mendengar sendiri pernyataan mendiang ayahku kepada mereka, yaitu bahwa engkau telah dipilihnya untuk menjadi jodohku.” Bi Cu yang biasanya pendiam itu menjadi khawatir dan bingung. Dia tahu bahwa dia berhutang budi kepada keluarga Na, semenjak kecil dia telah hidup di dalam lingkungan keluarga itu, diperlakukan dengan baik sekali, seperti anggauta sendiri. Mendiang ayah dan ibu Tiong Pek amat baik kepadanya, bahkan dia harus mengakui pula bahwa Tiong Pek sendiri selalu bersikap manis dan baik kepadanya. Agaknya, pengangkatan dirinya sebagai calon isteri Tiong Pek merupakan hal yang wajar, bahkan sudah semestinya, dan tentu akan disetujui oleh semua tokoh Ui-eng-piauwkiok dan mereka tentu menganggap bahwa nasibnya amat baik! Akan tetapi, dia sendiri merasa tidak suka! Bukan dia tidak suka kepada Tiong Pek yang amat baik kepadanya, akan tetapi dia sama sekali belum memikirkan soal pernikahan! Apalagi kalau dia teringat kepada ayah kandungnya yang kabarnya dibunuh orang tanpa dia mengetahui siapa pembunuhnya! “Akan tetapi, suheng, hal itu belum resmi, jadi tidak semestinya kalau kau mengatakan bahwa kita telah bertunangan.” Sikap dari Bi Cu ini mengecewakan hati Tiong Pek. Pemuda ini memang sejak masa kanak-kanak sudah merasa suka sekali kepada Bi Cu dan menjelang dewasa dia makin mencinta sumoinya ini. Melihat sikap Bi Cu, dia merasa kecewa dan juga khawatir, maka pada keesokan harinya dia lalu minta bantuan paman-pamannya. “Seperti paman sekalian tentu mengetahui, mendiang ayah dan ibu sudah mengambil keputusan untuk menjodohkan aku dengan Bi Cu, dan karena mereka berdua meninggal dunia tanpa sempat meninggalkan pesan, maka keinginan hati mereka itu bagiku merupakan pesan dan wasiat terakhir. Dan mengingat bahwa kami berdua sudah makin besar dan menjelang dewasa, maka aku minta kepada paman agar suka mengatur persembahyangan dan meresmikan pertunangan kami di depan arwah ayah ibu agar mereka dapat tenang di alam baka.” Para tokoh Ui-eng-piauwkiok itu terdiri dari lima orang, dipimpin oleh pembantu utama mendiang Na-piauwsu yang bernama Louw Kiat Hui, seorang laki-laki tinggi besar, berwatak jujur dan bermata lebar. Louw Kiat Hui memang masih terhitung sute sendiri dari mendiang Na Ceng Han, yaitu ketika mereka berdua berguru kepada seorang guru silat kenamaan di selatan. Jadi orang she Louw ini masih terhitung susiok dari Tiong Pek. Mendengar ucapan keponakannya ini, Louw Kiat Hui mengangguk-angguk dengan girang. “Memang kami semua sudah mengetahui akan hal itu, Tiong Pek. Dan kalau demikian permintaanmu, memang sebaiknya pertunangan itu diresmikan dan dilakukan sembahyang besar-besaran dan mengundang tamu-tamu sebagai saksi.” “Terserah kepada Louw-susiok untuk mengaturnya,” jawab Tiong Pek dengan girang. Louw Kiat Hui adalah seorang gagah yang jujur dan berpandangan luas. “Perjodohan adalah pertalian hidup antara dua orang manusia,” katanya dengan wajah serius, “oleh karena itu, yang pertama kali tersangkut dan mempunyai kepentingan adalah dua orang yang akan mengikatkan diri dalam pertalian perjodohan itulah. Oleh karena itu, sebelum kita mengambil langkah-langkah selanjutnya, sudah selayaknya kalau kita mendengar dulu pendapat yang bersangkutan, yaitu Bi Cu.” Bi Cu segera dipanggil dan gadis kecil itu menghadap dengan hati menduga-duga, karena dia melihat lima orang penting dari Ui-eng-piauwkiok itu memandang kepadanya dengan wajah berseri dan bibir tersenyum, sedangkan Tiong Pek sudah lebih dulu berada di situ. “Ada apakah Louw-susiok memanggilku?” tanyanya. Bi Cu, seperti juga Tiong Pek, kini dipimpin oleh Louw Kiat Hui dalam pelajaran ilmu silat dan diapun menyebut susiok kepada tokoh yang kini menggantikan kedudukan mendiang Na-piauwsu memimpin perusahaan itu. “Duduklah, Bi Cu. Kita akan mengajakmu bicara tentang perjodohanmu dengan Tiong Pek seperti telah berkali-kali dinyatakan oleh mendiang Na-suheng dan isterinya.” Bi Cu mengerling kepada Tiong Pek dan dia dapat menduga bahwa hal ini tentu sengaja diatur oleh suhengnya itu dalam usahanya untuk meresmikan pertunangan mereka. Jantungnya berdebar keras dan mukanya menjadi merah, hatinya terasa panas dan timbul semacam perlawanan, alisnya berkerut. “Apakah yang susiok maksudkan? Aku tidak mengerti,” jawabnya lirih sambil menunduk. Lima orang pimpinan Ui-eng-piauwkiok itu tersenyum, dan saling pandang. Menggelikan dan juga mengharukan melihat seorang dara remaja menundukkan muka kemalu-maluan kalau diajak bicara tentang perjodohan! “Begini, Bi Cu. Semenjak engkau dan Tiong Pek masih kecil, mendiang Na-suheng dan isterinya sudah sering kali menyatakan bahwa kalian berdua akan saling dijodohkan, akan tetapi sayang, sebelum niat itu dilaksanakan, mereka telah lebih dulu meninggalkan kita. Sekarang, karena kalian berdua sudah menjelang dewasa, kami merasa sudah menjadi kewajiban kami untuk melaksanakan cita-cita mereka berdua itu, dan agar arwah mereka tenang di alam baka, maka kami bermaksud untuk mengadakan sembahyang dan meresmikan pertunanganmu dengan Tiong Pek, disaksikan oleh sahabat-sahabat dan para undangan. Dan sebelum itu, kami sengaja memanggilmu untuk memberi tahu dan mendengar bagaimana pendapatmu tentang maksud kami itu, Bi Cu.” Gadis kecil itu masih menundukkan mukanya dan semua orang memandang kepadanya, menduga bahwa seperti kebiasaan para gadis pada umumnya yang ditanya tentang pernikahan, dia tentu akan menjawab “terserah kepada susiok”, atau hanya mengangguk tanpa kata, atau juga lari memasuki kamarnya. Semua itu akan menjadi tanda bahwa Bi Cu sudah setuju! Akan tetapi, terkejut dan heranlah semua orang di situ ketika mereka melihat Bi Cu menggeleng kepalanya, mengangkat mukanya yang merah dan menjawab dengan suara gemetar, “Tidak, susiok, aku masih terlalu kecil untuk bicara tentang perjodohan. Aku belum memikirkan perjodohan dan tidak mau bicara tentang itu.” Dia menundukkan mukanya kembali. Louw Kiat Hui saling berpandangan dengan teman-temannya, dan mengerling kepada Tiong Pek yang hanya duduk diam sambil menundukkan mukanya pula. Kemudian orang tinggi besar ini memandang kepada Bi Cu yang menunduk itu dan berkata, suaranya lantang dan mendesak. “Bi Cu, mengapa engkau menolak? Apakah engkau tidak setuju dijodohkan dengan Tiong Pek? Apakah engkau hendak menentang pesan terakhir dari Na-suheng dan isterinya?” Di dalam hatinya, Louw Kiat Hui merasa penasaran karena dia tahu benar betapa gadis ini telah menerima budi berlimpah-limpah dari keluarga Na, dan bahwa Tiong Pek adalah seorang pemuda cukup tampan, gagah dan berharta sehingga tidak pantaslah kalau gadis ini menolaknya. Gadis yang baru berusia dua belas tahun itu mengangkat mukanya dan kini nampak mukanya agak pucat dan kedua matanya basah. Akan tetapi suaranya cukup tegas ketika terdengar dia berkata, “Susiok sekalian agaknya hanya mengingat keluarga sefihak saja, mengingat akan pesan dari suhu, yaitu ayah dari suheng. Agaknya sama sekali susiok sekalian tidak pernah mengingat keluargaku, tidak mengingat orang tuaku sendiri sehingga aku diharuskan memutuskan sendiri tentang perjodohanku.” Louw Kiat Hui terkejut. Kembali dia saling berpandangan dengan para temannya, kemudian dia berkata dengan suara lembut, “Ah, Bi Cu, jangan engkau beranggapan seperti itu. Andaikata kami tahu bahwa engkau masih mempunyai orang tua, sudah tentu kami tidak akan berani lancang dan tentu kami akan minta pendapat orang tuamu. Akan tetapi, kita semua tahu bahwa ibumu telah tiada, sedangkan ayahmu...” “Ayah dibunuh orang, dan sampai sekarang aku belum tahu di mana kuburnya! Pantaskah aku sebagai anak tunggalnya kini memutuskan sendiri perjodohan tanpa memperdulikan keadaan ayah? Tidak, susiok, sebelum aku tahu siapa pembunuh ayah, dan sebelum aku dapat bersembahyang di depan makam ayah kandungku, aku tidak mungkin bisa memutuskan tentang ikatan jodoh ini.” Setelah berkata demikian, sambil menangis Bi Cu bangkit berdiri kemudian lari memasuki kamarnya di mana dia membanting dirinya menelungkup dan menangis di atas pembaringan. “Sudahlah, susiok. Dia memang benar. Kita kurang memperhatikan hal itu. Biarlah pertunangan resmi diundurkan dulu, betapapun juga kami toh sudah dapat dibilang bertunangan, biarpun belum resmi. Dan sebaiknya kalau susiok sekalian mencoba untuk menyelidiki tentang kematian ayah kandung sumoi di utara,” kata Tiong Pek yang merasa terharu juga melihat sikap Bi Cu yang dicintanya. Akan tetapi, para piauwsu yang sibuk dengan pekerjaan itu, mana mempunyai kesempatan untuk menyelidiki tentang kematian ayah Bi Cu jauh di utara, di luar tembok besar? Memang sekali-kali pernah mereka ini mengawal barang atau orang sampai keluar tembok besar, akan tetapi tidak sejauh tempat yang pernah menjadi tempat tinggal Bhe Coan, ayah kandung dari Bhe Bi Cu itu. Dan kalau mendiang Na-piauwsu sendiri pernah menyelidiki ke sana dan tidak berhasil mengetahui siapa pembunuh Bhe Coan, apa pula yang bisa mereka lakukan? Setelah terjadi peristiwa itu, Bi Cu makin merasa gelisah dan tidak kerasan berada di rumah Tiong Pek. Dia merasa betapa dia telah berhutang budi kepada keluarga Na, betapa pemuda itu memang amat baik kepadanya. Inilah yang menyebabkan dia makin gelisah. Tiong Pek amat baik kepadanya dan dia tidak ingin menghancurkan hati pemuda itu, akan tetapi diapun tidak mungkin dapat membalas cinta Tiong Pek. Setiap hari Bi Cu termenung duka, apalagi setelah lewat berbulan-bulan, belum juga ada berita tentang hasil usaha Louw Kiat Hui dan para paman yang lain mencari atau menyelidiki tentang pembunuh ayahnya. Sementara itu, sikap Tiong Pek makin hari makin mendesak dan makin mesra, pandang mata pemuda itu seperti hendak menembus hatinya dan senyum yang merayu itu mendatangkan rasa iba dalam hatinya. Akhirnya Bi Cu tidak kuat menahan lagi dan pada suatu malam, dengan bekal beberapa potong pakaian, larilah dia meninggalkan rumah Tiong Pek untuk pergi ke utara dan melakukan penyelidikan sendiri! Pada keesokan harinya, Tiong Pek dan para tokoh Ui-eng-piauwkiok menjadi geger melihat kepergian Bi Cu yang tidak meninggalkan pesan apapun. Mereka menjadi bingung dan segera melakukan pengejaran ke utara karena mereka dapat menduga bahwa tentu gadis kecil itu nekat pergi ke utara untuk menyelidiki tentang pembunuh ayah kandungnya. Dugaan semua tokoh Ui-eng-piauwkiok ternyata tepat. Setelah melakukan pengejaran selama sehari penuh, akhirnya pada malam harinya Louw Kiat Hui dan empat orang temannya, bersama Tiong Pek sendiri, telah dapat menyusul Bi Cu yang beristirahat di rumah seorang petani di dusun sebelah selatan kota raja. Mudah saja mencari jejak seorang gadis kecil yang melakukan perjalanan seorang diri pada waktu itu. Bi Cu terkejut dan menangis ketika lima orang pamannya itu bersama Tiong Pek muncul. “Mari kita pulang ke Kun-ting, Bi Cu,” kata Louw Kiat Hui dengan sikap halus tanpa banyak kata-kata teguran. “Tidak, aku tidak mau...!” Bi Cu menangis. “Aku hendak pergi mencari pembunuh ayah. Tinggalkan aku sendiri!” Tiong Pek menghampiri Bi Cu dan memegangi tangannya. “Sumoi, mengapa engkau hendak meninggalkan aku? Apakah kesalahanku kepadamu?” “Tidak, suheng, engkau tidak bersalah, kalian semua tidak bersalah. Akulah yang bersalah, akan tetapi... blarkan aku pergi, biarkan aku mencari sendiri pembunuh ayahku, jahgan memaksa aku kembali ke Kun-ting.” Louw Kiat Hui memandang gadis yang menangis terisak-isak itu. “Bi Cu, engkau harus ikut kami kembali ke Kun-ting dan marilah di sana kita bicara.” Mendengar ucapan Louw Kiat Hui agak mendesak karena orang tinggi besar ini memang sudah tidak sabar lagi melihat Bi Cu menangis dan memang diam-diam diapun merasa penasaran dan marah melihat gadis kecil itu nekat melarikan diri tanpa pamit, Bi Cu mengangkat mukanya memandang. “Louw-susiok, mengapa susiok hendak memaksa aku kembali ke sana? Aku tidak mau kembali! Apakah susiok demikian jahat...?” Louw Kiat Hui memandang tajam kepada murid keponakan itu. “Bi Cu!” Suaranya terdengar tegas dan menunjukkan kemarahan, “Omongan apa yang kaukeluarkan ini? Kalau kami membiarkan engkau pergi, melakukan perjalanan berbahaya seorang diri, sehingga akhirnya engkau pasti celaka, maka barulah kami benar-benar jahat! Sebaliknya, kalau engkau memaksa hendak pergi minggat begitu saja meninggalkan rumah di mana engkau dibesarkan dan dirawat penuh kasih sayang, maka engkau adalah seorang anak yang tak mengenal budi dan jahat!” Bi Cu adalah seorang anak yang wataknya pendiam dan keras. Mendengar ucapan itu dia lalu membantah, “Dan kalau aku akan dipaksa menikah hanya untuk membalas budi, apa itu namanya, paman?” Sejenak Louw Kiat Hui terperanjat, akan tetapi dia lalu berkata, kembali suaranya halus, “Sudahlah. Mari kita semua pulang ke Kun-ting dan segala sesuatu dapat dibicarakan dengan tenang di sana.” Louw Kiat Hui lalu mengeluarkan uang dan membayar secukupnya kepada pemilik rumah dusun itu yang telah mau menampung Bi Cu, kemudian dengan memaksa dia mengajak Bi Cu untuk kembali ke Kun-ting malam itu juga! Tindakan Louw Kiat Hui ini dilakukan dengan penuh kesadaran bahwa dia telah melakukan hal yang benar. Dia harus melindungi keselamatan Bi Cu, kalau perlu dengan paksaan. Dia tahu bahwa kalau dia membiarkan Bi Cu melanjutkan perjalanan seorang diri, sudah pasti gadis kecil ini akan mengalami malapetaka di tengah jalan. Ilmu silat yang dikuasai gadis itu masih terlampau rendah untuk dapat dipakai menjaga diri. Karena lelah, maka akhirnya mereka bermalam di sebuah kuil di tengah perjalanan. Kuil itu adalah kuil seorang tosu yang merawat kuil bersama beberapa orang muridnya. Dengan ramah tosu-tosu itu menerima kedatangan Louw Kiat Hui yang terkenal sebagai seorang piauwsu yang budiman, dan mereka semua mendapatkan kamar. Untuk mencegah gadis itu nekat melarikan diri lagi, maka Louw Kiat Hui sendiri bersama empat orang pembantunya menjaga di luar, tidur bergiliran, sedangkan Tiong Pek yang kelelahan sudah lebih dulu tidur di atas sebuah pembaringan di kamar sebelah. Malam itu sunyi sekali. Semua penghuni dusun di mana kuil itu berdiri sudah tidur karena waktu itu menjelang tengah malam. Para tosu dan sebagian dari para piauwsu juga sudah tidur nyenyak. Hanya Louw Kiat Hui sendiri dan seorang piauwsu lain yang bergilir melakukan penjagaan masih duduk di depan kamar Bi Cu. Di sebelah dalam kamar itu, Bi Cu sendiri juga tidak dapat tidur, masih menangis perlahan karena merasa tidak berdaya. Dia diharuskan kembali lagi ke rumah itu! Tiba-tiba kesunyian malam itu terganggu oleh suara batuk-batuk kecil disusul menyambarnya sebuah batu kecil yang tepat mengenai lampu yang tergantung di luar kamar Bi Cu. Tentu saja tempat itu seketika menjadi gelap dan Louw Kiat Hui cepat meloncat berdiri, diikuti oleh piauwsu lainnya. “Siapa di situ?” bentak Louw Kiat Hui yang sudah mencabut pedangnya, lalu dia meloncat ke arah suara batuk tadi. Akan tetapi pada saat itu dia merasa ada angin menyambar dan ada orang berkelebat di dekatnya. Nampak bayangan remang-remang karena cuaca yang gelap dan yang hanya mendapat penerangan dari lampu yang tergantung agak jauh dari situ. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget hati orang she Louw ini ketika melihat betapa bayangan itu telah mendorong daun pintu dan memasuki kamar Bi Cu! “Heiii... tahan...!” Dia meloncat ke kamar, akan tetapi cepat menghindar ketika dari dalam kamar itu meloncat bayangan tadi, kini sudah mengempit tubuh Bi Cu! “Lepaskan dia!” bentak piauwsu yang lain sambil menubruk dengan goloknya. “Plakk! Tranggg...!” Piauwsu itu roboh dan goloknya terlempar. “Berhenti! Siapa engkau berani menculik orang?” teriak Louw Kiat Hui sambil mengejar. Bayangan itu membalik dan Louw Kiat Hui yang tidak dapat melihat jelas muka orang karena cuaca yang gelap, sudah mendorong dengan tangan kirinya. Dia tidak berani lancang mempergunakan pedangnya. Akan tetapi bayangan itu tidak mengelak, melainkan menangkis dorongan itu dengan gerakan sembarangan. “Plakk! Ahhh...!” Louw Kiat Hui terhuyung dan merasa betapa tangkisan itu membuat lengan kirinya seperti lumpuh rasanya. Maklumlah dia bahwa dia menghadapi lawan tangguh, maka dia sudah menubruk lagi dengan pedangnya, membabatkan pedang ke arah kedua kaki lawan, dilanjutkan dengan tusukan ke arah lambung. Namun, dengan lincah dan mudahnya, bayangan itu mengelak terus sampai lima jurus. Kemudian dia membentak dan sebatang tongkat menangkis pedang itu sedemikian kuatnya sehingga pedang terlepas dari tangan Kiat Hui dan sebelum piauwsu ini mampu mengelak, dia sudah roboh tertotok. Para piauwsu lain terbangun oleh suara gaduh, akan tetapi selagi mereka hendak mengeroyok, bayangan itu telah meloncat ke atas dan lenyap ditelan kegelapan malam sambil membawa pergi tubuh Bi Cu! Gegerlah para piauwsu. Setelah Louw Kiat Hui dibebaskan totokannya, dia bersama para piauwsu lainnya mengejar dan mencari-cari, namun tidak berhasil menemukan jejak bayangan tadi. Mereka menanyakan kepada para tosu, namun para tosu yang lemah itupun tidak dapat memberi keterangan. Louw Kiat Hui dan teman-temannya lalu mencari terus, sampai beberapa hari mereka mencari di sekitar tempat itu, namun, jangankan menemukan jejak orang itu, bahkan keterangan tentang orang itupun tidak bisa mereka dapatkan. Mereka tidak tahu siapakah bayangan yang sedemikian lihainya, bayangan yang mempergunakan tongkat! Louw Kiat Hui menghibur Tiong Pek yang merasa berduka dan khawatir sekali. Mereka terpaksa lalu kembali ke Kun-ting dengan tangan kosong dan biarpun para piauwsu itu masih selalu mencari-cari, namun mereka tidak pernah berhasil dan Bi Cu tetap lenyap tanpa meninggalkan jejak. Siapakah yang menculik Bi Cu? Mari kita ikuti pengalamannya semenjak malam dia lenyap dari kuil itu. Ketika itu, Bi Cu masih menangis perlahan ketika tiba-tiba dia mendengar suara gaduh dan pintu kamarnya jebol. Dia hanya melihat bayangan orang menyerbu masuk dan sebelum dia tahu apa yang terjadi, bayangan orang itu telah meloncat ke depan pembaringannya dan berkata, “Mari kau ikut bersamaku melarikan diri dari mereka, anak yang baik.” Bayangan itu lalu menyambar tubuhnya dan Bi Cu tidak mampu bergerak lagi. Dia merasa bingung harus berbuat apa, menyerah atau melawan. Kalau menyerah, dia belum tahu siapa adanya orang ini, kalau melawan, dia merasa tertarik oleh kata-kata yang sifatnya hendak menolongnya membebaskan diri dari Tiong Pek dan para piauwsu itu. Apalagi ketika orang yang membawanya itu kemudian bertanding, dia makin bingung dan khawatir. Akan tetapi ketika dia dibawa pergi dengan berloncatan demikian cepatnya ke atas genteng, tahulah Bi Cu bahwa pembawanya adalah seorang yang berilmu tinggi. Apalagi kini dia sudah melihat orang itu, seorang kakek tua yang berpakaian aneh, bajunya penuh tambalan seperti baju pengemis, namun tambalan-tambalan itu berkembang-kembang, tubuhnya pendek kurus dan mukanya seperti tikus! Setelah terbebas dari pengejaran para piauwsu, kakek itu menurunkan tubuh Bi Cu dah memegang tangannya, menggandengnya dan mengajaknya berjalan kaki menuju ke kota raja. “Nah, engkau kini sudah terbebas dari mereka, anak baik. Aku melihatmu dibawa mereka dan engkau menangis di sepanjang jalan, maka aku tahu bahwa engkau tidak suka mereka bawa dan ingin bebas. Siapakah namamu dan mengapa engkau mereka paksa untuk ikut dengan mereka?” Mendengar keterangan kakek ini, Bi Cu lalu menceritakan keadaan dirinya. “Aku hendak mencari pembunuh ayah kandungku, akan tetapi mereka melarang, karena itu aku berduka dan menangis, kek.” Dia menutup penuturannya. Kakek itu tersenyum. “Ha-ha, engkau sungguh keras hati dan berbakti. Akan tetapi engkau hanya seorang anak perempuan yang lemah, mana mungkin sendirian saja pergi ke tempat begitu jauh, di luar tembok besar mencari seorang musuh pembunuh ayahmu? Bagaimana kalau engkau belajar ilmu silat dulu dariku, kemudian setelah pandai baru engkau pergi mencari musuhmu?” Bi Cu tadi telah menyaksikan kelihaian kakek ini, maka dia menjadi girang dan segera menjatuhkan diri berlutut. “Terima kasih atas perhatian suhu terhadap diri teecu!” katanya. Kakek itu tertawa girang dan segera mengangkatnya bangun. “Ketahuilah, bahwa gurumu ini dinamakan orang Hwa-i Sin-kai dan aku pemimpin seluruh pengemis Hwa-i Kai-pang di daerah kota raja dan sekelilingnya. Engkau boleh menjadi muridku, akan tetapi Hwa-i Kai-pang mempunyai suatu peraturan yang melarang menerima anggauta wanita. Oleh karena itu, biarpun engkau ini muridku, namun engkau tidak boleh menjadi anggauta perkumpulan Hwa-i Kai-pang. Mengertikah engkau, Bi Cu?” “Teecu mengerti, dan pula, teecu memang tidak ingin menjadi pengemis!” Hwa-i Sin-kai tertawa lagi. “Dan mulai saat ini engkau tidak boleh memperkenalkan namamu, karena para piauwsu dari Ui-eng-piawkiok itu tentu akan mencarimu. Maka kalau sampai ada yang mengenal namamu, tentu akan mudah bagi mereka untuk menemukanmu dan aku merasa tidak enak kalau harus bentrok dengan mereka. Mereka terkenal sebagai piauwsu-piauwsu yang baik. Tadipun untuk menolongmu, aku mempergunakan kecepatan agar tidak sampai dikenal oleh mereka.” “Kalau tidak, memakai nama teecu, habis lalu memakai nama apa, suhu?” “Sudah kuperhatikan dirimu. Matamu amat tajam dan indah, merupakan ciri khas bagimu, maka sepatutnya kalau engkau memakai julukan Kim-gan (Si Mata Emas) dan mengingat engkau seorang anak perempuan kecil hidup sendirian di dunia ini dan setelah menjadi muridku engkau kelak tentu akan memiliki kegesitan, maka biarlah engkau tambahkan julukan Yan-cu (Burung Walet), jadi mulai sekarang engkau terpaksa memperkenalkan nama, pakailah nama Kim-gan Yan-cu.” Mulai saat itu, Bi Cu menjadi murid Hwa-i Sin-kai, diajak pergi ke dalam hutan di sebelah utara kota raja, tinggal di dalam kuil tua dan di situ dia digembleng ilmu oleh kakek yang lihai itu. Dan mulai saat itu dia dikenal di antara para anggauta Hwa-i Kai-pang sebagai Kim-gan Yan-cu, murid dari ketua mereka. Biarpun Bi Cu tidak menjadi anggauta Hwa-i Kai-pang, namun dia dikenal oleh semua anggauta dan disuka oleh para anggauta muda, apalagi karena dia dikagumi sebagai murid sang ketua dan memang Bi Cu berbakat sehingga ilmu silatnya maju dengan pesatnya. Dan karena pergaulan inilah maka sedikit demi sedikit sifat pendiam dari Bi Cu mulai berubah, menjadi lincah, gembira dan juga cekatan dan cerdas sekali. Demikianlah riwayat Bi Cu seperti yang diceritakannya kepada Sin Liong dan didengarkan dengan penuh perhatian oleh pemuda remaja itu. *** “Menurut ceritamu tadi, engkau tidak boleh menjadi anggauta perkumpulan pengemis itu, akan tetapi mengapa engkau kini malah menjadi pemimpin para pengemis muda di pasar itu, Bi Cu?” Sin Liong menegur setelah dara itu selesai bercerita. “Karena terpaksa. Hal ini terjadi setelah Hwa-i Kai-pang bubar!” “Eh? Bubar? Mengapa?” “Karena dituduh pemberontak oleh pemerintah dan semenjak suhu tewas.” “Suhumu, kakek pangcu yang lihai itu tewas? Siapa yang membunuhnya?” “Dikeroyok pasukan pemerintah. Ketika itu suhu sedang menghadiri pesta pernikahan keluarga pendekar sakti Yap Kun Liong, dan entah mengapa aku sendiri tidak tahu, pesta itu diserbu oleh pasukan tentara, dan suhu tewas dalam serbuan itu oleh pengeroyokan pasukan, sedang para pendekar Yap Kun Liong dan Cia Bun Houw bersama isteri mereka kabarnya ditangkap pasukan.” “Ahhh...?” Tentu saja Sin Liong terkejut bukan main mendengar berita penangkapan atas diri ayah kandungnya itu. “Akan tetapi menurut kabar, mereka berempat itu berhasil meloloskan diri lagi dan kini menjadi buronan pemerintah. Pemerintah memang sewenang-wenang, masa suhu dan para pendekar sakti itu dianggap pemberontak! Terpaksa Hwa-i Kai-pang bubar dan karena tidak puas dengan kelaliman pemerintah, maka aku lalu memimpin para pengemis muda itu yang sebagian besar merupakan keturunan para anggauta Hwa-i Kai-pang, untuk sekedar mengacau pemerintah! Dan itu pula sebabnya maka ketika pasukan mengejarmu dan menuduhmu sebagai pemberontak buronan, kami menolongmu mati-matian.” Sin Liong menarik napas panjang. Ternyata dara remaja inipun mengalami hal-hal yang amat pahit. Akan tetapi dia mengusir semua itu dari kenangannya dan dia tersenyum memandang wajah yang manis itu. “Aih, kiranya engkau sekarang telah menjadi seorang pendekar wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi!”   “Tidak berani aku menganggap diri begitu, Sin Liong. Memang benar aku telah menerima latihan-latihan ilmu silat tinggi dari mendiang suhu sehingga kalau dibandingkan dengan dahulu ketika kita masih sama-sama belajar kepada Na-piauwsu, tentu saja aku telah memperoleh kemajuan pesat sekali. Akan tetapi setelah berkecimpung di dunia kang-ouw, aku tahu benar bahwa kepandaianku masih belum masuk hitungan! Aku harus mematangkan kepandaianku lebih dulu, barulah aku akan berangkat ke utara mencari pembunuh ayah.” “Aku akan membantumu, Bi Cu. Kita akan mencari keterangan dari ayah tiriku, kemudian aku akan menemanimu mencari ke utara. Ingat aku datang dari Lembah Naga dan aku mengenal daerah di utara.” Bi Cu tersenyum. “Dan akupun tadi telah berjanji untuk membantumu menghadapi musuh besarmu.” Sin Liong mengangguk-angguk. “Memang sebaiknya kita saling bantu. Kita bersama-sama mencari pembunuh ayahmu dan pembunuh ibuku, kita berdua orang-orang yatim piatu memang sudah selayaknya saling bantu.” “Engkau baik sekali, Sin Liong. Aku girang dapat bertemu denganmu.” “Dan akupun girang sekali. Mari kita percepat jalan kita, itu dusun di mana tinggal keluarga Kui sudah nampak. Hari sudah hampir gelap.” Mereka lalu mempercepat jalan mereka, setengah berlari-larian menuju ke dusun di depan dan waktu itu sudah hampir senja. Akhirnya mereka berjalan memasuki dusun itu dan mereka berdiri di luar pekarangan sebuah rumah yang cukup besar. Sampai di sini Bi Cu termangu-mangu. “Sin Liong, kau masuklah saja dulu,” bisiknya. “Aku merasa malu, karena kalau kuingat betapa aku telah mencopet barang-barang mereka...” “Ah, mereka tidak akan tahu...” “Kau masuklah dulu, kalau engkau lihat tidak ada halangan bagiku untuk masuk, baru engkau panggil aku. Kau boleh beritahukan dulu kepada mereka tentang kehadiranku...” Akhirnya Sin Liong menyetujui juga karena memang dia sendiri baru saja akan bertemu dengan keluarga Kui, maka tidak enaklah kalau datang-datang dia membawa teman. Lebih baik dia melihat gelagat lebih dulu, kalau sekiranya keluarga itu tidak keberatan menerima Bi Cu, baru dia akan memanggil dara itu. Andaikata mereka berkeberatan menerima Bi Cu, dia sendiripun tidak akan mau tinggal di situ! “Baik, kautunggu di sini sebentar,” katanya dan dia lalu melangkah masuk. Pekarangan rumah itu sunyi saja, bahkan serambi depan juga kelihatan sunyi tidak nampak adanya seorangpun. Karena merasa bahwa dia adalah seorang anggauta keluarga ini, maka Sin Liong ingin mengejutkan mereka dengan kemunculan yang tiba-tiba melalui pintu belakang. Dia lalu mengambil jalan memutar, melewati samping rumah di mana terdapat sebuah kebun yang cukup luas. Selagi dia jalan berindap-indap dengan jantung berdebar tegang penuh kegembiraan dan membayangkan betapa keluarga itu akan kaget sekali melihat kemunculan yang tiba-tiba dan betapa akan gembiranya pertemuan antara dia dan keluarga itu, terutama dengan adik-adiknya, Lan Lan dan Lin Lin, tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan halus dan nyaring dan dari ujung tikungan dinding rumah itu berloncatan keluar dua orang gadis remaja yang cantik-cantik dan lincah, yang bukan lain adalah Lan Lan dan Lin Lin. Dua orang dara remaja kembar ini masing-masing memegang sebatang pedang dan tanpa banyak cakap lagi mereka sudah menyerang Sin Liong dengan ganasnya! Diserang secara tiba-tiba itu Sin Liong tidak menjadi gugup dan dengan beberapa kali melangkah ke belakang saja dia sudah dapat menghindarkan serangan-serangan pedang itu. “Eh... oh... nanti dulu...!” serunya. “Maling hina, engkau sudah bosan hidup!” bentak seorang di antara sepasang dara kembar itu dan dengan loncatan cepat dia sudah menyerbu dan menusukkan pedangnya ke arah dada Sin Liong! “Dia tentu kawan-kawan para pencopet itu, enci Lan. Hajar saja!” bentak dara ke dua dan diapun menerjang ke depan dan mengayun pedangnya menyerang ke arah kedua kaki Sin Liong! “Eittt... tahan dulu...!” Sin Liong membuat gerakan kaku menarik tubuh atas ke belakang menekuk lututnya sehingga tusukan pedang Lan Lan tadi luput dan ujung pedang itu berhenti di depan hidunngnya, sedangkan ketika pedang Lin Lin menyambar lutut, dia cepat meloncat ke belakang menghindarkan diri. Biarpun gerakannya kaku karena memang Sin Liong tidak ingin memamerkan kepandaian, namun tentu saja gerakan ini dengan mudah dapai membebaskan dia dari serangan yang tiba-tiba itu. “Lan Lan dan Lin Lin, tahan dulu...!” teriaknya ketika melihat mereka menyerang lagi sehingga terpaksa dia meloncat ke sana-sini seperti monyet menari-nari, namun semua serangan bertubi-tubi itu luput semua. Mendengar disebutnya nama panggilan sehari-hari mereka, dua orang dara kembar itu makin marah. “Kurang ajar kau!” bentak mereka hampir berbareng dan kini pedang mereka digerakkan makin gencar, bertubi-tubi mendesak ke arah Sin Liong. Diam-diam Sin Liong gembira menyaksikan gerakan dua orang adik tirinya itu karena dia memperoleh kenyataan bahwa gerakan mereka cukup gesit dan mengandung tenaga sin-kang yang lumayan. Diapun tidak mau memperkenalkan diri lebih dulu karena dia ingin menguji lebih jauh sampai di mana tingkat kepandaian dua orang adik kembarnya. Tentu saja dia selalu membuat gerakan kaku dan terdesak, namun tak pernah ujung kedua batang pedang itu dapat menyentuh ujung bajunya sekalipun. Tiba-tiba nampak bayangan orang berkelebat dan ternyata Bi Cu sudah meloncat cepat ke tempat itu dan tangan kanannya memegang sebatang rating kayu sebesar lengan. Dengan gerakan indah dia menangkis dengan ranting kayu itu. “Trakk! Trakkk!” Dua batang pedang itu terpukul mundur dan ternyata tangkisan ranting kayu yang digetarkan hebat itu membuat dua orang dara kembar ini terkejut karena mereka merasa betapa pedang mereka tergetar dan tangan mereka nyeri! “Jangan takut, Sin Liong, biar aku menghadapi mereka!” bentak Bi Cu. Dua orang dara kembar itu terkejut dan heran. Mereka terbelalak memandang kepada Sin Liong dan dengan berbareng bibir mereka bergerak, “Sin Liong...?” “Lan-moi dan Lin-moi, apakah kalian tidak mengenal kakakmu sendiri? Aku adalah Sin Liong...” kata Sin Liong dengan suara gemetar karena terharu. Dua orang gadis itu terbelalak, lalu melemparkan pedang dan mereka berlari menghampiri pemuda itu. “Liong koko...!” Lan Lan dan Lin Lin merangkul dengan wajah berseri gembira. Sin Liong teringat ibunya. Dia merangkul dua orang dara kembar itu dengan penuh kasih sayang. “Lan-moi dan Lin-moi, kalian telah menjadi dua orang dara yang amat manis dan cantik jelita, juga kepandaianmu hebat, hampir saja aku kalian jadikan bakso!” Akan tetapi dua orang dara remaja kembar itu tiba-tiba menoleh dan memandang kepada Bi Cu yang masih berdiri bengong sambil tetap memegang ranting kayu di tangannya yang tadi dipergunakannya untuk melindungi Sin Liong. Dia memang mempunyai kepandaian istimewa dalam memainkan senjata tongkat, yaitu ilmu Tongkat Ngo-lian Pang-hoat (Ilmu Tongkat Lima Teratai) yang dipelajarinya dari mendiang Hwa-i Sin-kai. “Liong-ko, siapakah dia?” tanya Lan Lan. Sin Liong baru teringat kepada Bi Cu maka cepat-cepat dia memperkenalkan. “Bi Cu, inilah adik-adikku itu, Kui Lan dan Kui Lin. Lan-moi dan Lin-moi, ini adalah Bhe Bi Cu, yang pernah menjadi sumoiku.” “Ahhh...!” Dua orang dara kembar itu berseru girang dan mereka segera tersenyum ramah kepada Bi Cu. Lenyaplah kemarahan Bi Cu tadi ketika melihat dua orang dara kembar itu tersenyum demikian manisnya. “Liong-ko, engkau mengagetkan orang saja!” Lan Lan menegur, “Kenapa tidak langsung masuk dari pintu depan?” Sin Liong tersenyum. “Aku memang ingin membikin kaget kalian. Bagaimana keadaan kalian sekeluarga?” “Ayah pasti akan girang mendengar kedatanganmu. Mari, Liong-ko, ayah berada di dalam. Mari kita temui dia! Enci Bi Cu, mari ikut!” kata Lin Lin yang mendahului mereka lari melalui pintu samping ke dalam rumah sambil berteriak-teriak. “Ayah. Liong-koko telah pulang...!” Sin Liong hanya tersenyum penuh keharuan ketika dia menggandeng tangan Lan Lan mengikuti Lin Lin dan Bi Cu mengikuti pula dari belakang. Dia ikut gembira melihat penyambutan dua orang dara kembar itu terhadap kedatangan kakaknya dan diam-diam dia merasa iri hati terhadap Sin Liong. Biarpun seperti juga dia, Sin Liong sudah yatim piatu, akan tetapi setidaknya Sin Liong mempunyai adik-adik tiri semanis dua orang dara kembar itu! Sedangkan dia, dia tidak mempunyai siapa-siapa. Kui Hok Boan tercengang ketika mendengar bahwa Sin Liong muncul secara tiba-tiba di rumahnya. Diam-diam dia merasa tidak senang dan menganggap kedatangan ini sebagai gangguan. Selama beberapa tahun ini, semenjak pindah dari Lembah Naga, dia hidup tenteram sebagai seorang hartawan dan tuan tanah yang disegani di dusun itu. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Kui Hok Boan yang tampan dan selalu berpakaian seperti sasterawan ini, semenjak kematian isterinya, yaitu Liong Si Kwi ibu kandung Sin Liong, segera meninggalkan Lembah Naga karena memang hal ini diharuskan oleh Raja Sabutai. Ketika meninggalkan Lembah Naga, Kui Hok Boan membawa harta bendanya, yaitu harta pusaka yang didapatkannya di Istana Lembah Naga, maka dia dapat hidup sebagai seorang hartawan besar di dusun dekat kota raja itu dan mempunyai sawah yang luas sekali. Dia hidup dengan tenteram, mendidik dua orang puterinya dan dua orang keponakannya, yaitu Kwan Siong Bu dan Tee Beng Sin. Selama ini dia mengambil beberapa orang selir, akan tetapi tidak pernah menikah kembali dan di antara selir-selirnya tidak ada yang mempunyai anak. Dia tidak pernah lagi ingat kepada Sin Liong yang dianggapnya dan diharapkannya telah meninggal dunia. Maka, tentu saja dia tercengang ketika mendengar suara Lin Lin yang meneriakkan kedatangan Sin Liong. Betapapun juga, Kui Hok Boan adalah seorang yang cerdik. Dia dapat menekan perasaan tidak senangnya dan dengan muka berseri dan senyum lebar dia keluar menyambut kedatangan anak tirinya itu. Alisnya terangkat ketika dia melihat Bi Cu ikut masuk bersama dua orang puterinya dan Sin Liong, akan tetapi sepasang matanya membuat Bi Cu diam-diam mencatat bahwa tuan rumah ini tergolong seorang laki-laki yang matanya berkilat dan berminyak apabila memandang wanita! Sebagai seorang dara remaja yang sudah biasa bergaul dan setiap hari berada di pasar, tentu saja Bi Cu dapat mengenal pandang mata para laki-laki yang memandangnya. Sejenak Kui Hok Boan dan Sin Liong saling pandang dan dalam waktu singkat itu masing-masing telah menilai. Bagi Sin Liong, ayah tirinya itu nampak lebih kurus dari biasanya, dan kini telah berkumis dan berjenggot pendek. Di lain fihak, Kui Hok Boan memandang wajah Sin Liong penuh perhatian dan dia harus mengakui bahwa anak tirinya ini telah menjadi seorang pemuda remaja yang tampan dan membawa sifat-sifat gagah yang tersembunyi. Maka dia bersikap hati-hati sekali dan sambil tersenyum lebar dia maju menghampiri. “Ahhh, anak Sin Liong, ke mana saja engkau selama bertahun-tahun ini?” tegurnya ramah. “Saya merantau sampai jauh, paman, dan akhirnya saya tinggal di kota raja, bekerja sebagai pelayan rumah makan,” jawab Sin Liong yang sampai sekarang tetap tidak mau menyebut ayah kepada ayah tirinya itu, melainkan menyebut paman, Hok Boan agaknya juga tidak perduli akan hal ini dan dia mendengarkan penuturan Sin Liong dengan penuh perhatian. “Ah, bagus kalau begitu! Dan sekarang engkau datang ke sini, apakah hanya ingin berkunjung ataukah ada keperluan lain? Dan siapakah nona ini?” Dia memandang kepada Bi Cu dan kembali dara ini melihat sinar mata laki-laki ini berkilat, membuat dia makin tidak senang dan segera menundukkan mukanya. “Saya datang untuk minta pertolongan dan perlindungan dari paman Kui,” Sin Liong berkata, “Saya dituduh pemberontak dan dikejar-kejar oleh pasukan pemerintah.” Berubah wajah Kui Hok Boan mendengar ini, dan jelas bahwa dia nampak terkejut sekali dan juga terheran. “Duduklah kalian berdua, dan ceritakan semuanya kepadaku, Sin Liong.” Sin Liong dan Bi Cu duduk berhadapan dengan orang she Kui itu, sedangkan Lan Lan dan Lin Lin duduk di samping ikut mendengarkan dengan penuh perhatian. Karena memang mengharapkan perlindungan dalam rumah keluarga itu, Sin Liong lalu dengan singkat namun jelas menuturkan keadaannya tanpa menyebut-nyebut tentang hubungannya dengan pemberontak Cia Bun Houw, bahkan dia tidak menyinggung tentang kepandaiannya. Akan tetapi karena dia tahu bahwa Kui Hok Boan telah mengenal Kim Hong Liu-nio, bahkan menjadi musuh besarnya karena Kim Hong Liu-nio adalah pembunuh ibu kandungnya, juga ibu kandung Lan Lan dan Lin Lin, dia tidak menyembunyikan tentang wanita iblis itu. “Ketika saya sedang bekerja di rumah makan itu, tiba-tiba muncul iblis betina musuh besar kita itu, paman, dan dia berteriak menuduh saya sebagai pemberontak. Saya melarikan diri dan dikejar-kejar oleh pasukan. Untung ada nona Bhe Bi Cu ini yang menolong saya dan menyembunyikan saya sehingga pasukan itu tidak menemukan saya, kemudian saya mengajaknya untuk melarikan diri ke sini dengan harapan paman akan suka menolong kami dan memberi perlindungan di sini sampai keadaan menjadi aman.” Diam-diam Kui Hok Boan terkejut dan gentar bukan main mendengar penuturan Sin Liong itu. Mendengar bahwa wanita iblis itu muncul di kota raja dan melakukan pengejaran terhadap Sin Liong saja sudah mendatangkan rasa ngeri di dalam hatinya, apalagi mendengar bahwa Sin Liong kini dianggap pemberontak dan dikejar-kejar oleh pasukan pemerintah. Tentu saja dia merasa gentar, takut kalau-kalau wanita itu akan terus mengejar dan sampai ke situ, apalagi kalau sampai pasukan pemerintah tahu bahwa Sin Liong tinggal di rumahnya, tentu dia akan dituduh sebagai orang yang melindungi pemberontak dan akan menerima hukuman berat! Akan tetapi, pada wajahnya tidak kelihatan tanda sesuatu. “Ayah, kita harus melindungi Liong-koko!” tiba-tiba Lan Lan berkata. “Benar, ayah. Liong-ko dan enci Bi Cu biar tinggal dan bersembunyi dulu di sini!” sambung Lin Lin. Kui Hok Boan memandang kedua orang puterinya itu dan dia makin merasa tidak enak untuk menolak permintaan Sin Liong tadi. Dia sendiri memang tidak mempunyai perasaan apapun terhadap Sin Liong karena memang anak ini bukan apa-apanya, hanya anak tiri, akan tetapi bagi Lan Lan dan Lin Lin, Sin Liong merupakan saudara seibu dan sekandung, biarpun berlainan ayah. “Hemm, tentu saja aku tidak keberatan dan suka melindungimu, Sin Liong, hanya kita harus pikirkan baik-baik akan bahayanya kalau sampai wanita iblis itu mengejar ke sini.” “Kita akan lawan bersama!” terlak Lan Lan. “Apalagi di sini ada enci Bi Cu. Ayah, enci Bi Cu ini lihai sekali, tadi kami salah sangka menyerang Liong-koko, akan tetapi hanya dengan sebatang ranting saja enci Bi Cu dapat menangkis pedang kami!” Bi Cu tersenyum dan dia tidak pernah bosan memandang dua orang dara kembar itu yang dianggapnya amat manis dan juga demikian serupa bentuk wajah dan gerak-geriknya sehingga biarpun dia tadi sudah diperkenalkan, dia tetap saja tidak mampu membedakan dan tidak dapat mengenal lagi yang mana Lan Lan dan yang mana Lin Lin. Akan tetapi, tentu saja bagi Sin Liong tidak sukar untuk membedakan kedua adiknya itu karena dia tahu bahwa Lan Lan mempunyai titik kecil merah di leher kirinya, dan yang sikapnya terbuka, lincah dan gembira adalah Lan Lan, sedangkan Lin Lin lebih pendiam. Mendengar ucapan Lan Lan itu, Kui Hok Boan makin tertarik kepada Bi Cu dan dia memandang penuh perhatian. Kini sinar kekaguman terpancar dari sepasang matanya tanpa disembunyikan lagi sehingga Bi Cu merasa makin kikuk. “Ah, kiranya nona memiliki kepandaian silat yang tinggi? Kalau boleh saya bertanya, siapakah guru nona?” Laki-laki yang usianya kurang lebih empat puluh lima tahun itu tersenyum seramahnya kepada dara remaja yang cantik manis itu. Bi Cu hanya memandang sejenak lalu menunduk kembali, mengerutkan alisnya karena dia meragu untuk mengaku. Akan tetapi Sin Liong maklum akan kekerasan hati ayah tirinya, dan ketidak terusterangan Bi Cu akan menimbulkan curiga. Maka dia lalu cepat menerangkan, “Paman Kui, Bi Cu adalah murid dari mendiang Hwa-i Sin-kai.” “Ahhh...!” Kui Hok Boan benar-benar terkejut bukan main mendengar disebutnya nama ini. Siapa orangnya yang tidak mengenal nama ketua Hwa-i Kai-pang yang tersohor di kota raja dan sekelilingnya itu? Apalagi setelah perkumpulan itu dianggap pemberontak dan dimusuhi oleh pemerintah! “Hwa-i Kai-pangcu...? Bukankah... bukankah perkumpulan itu...” Dia tidak melanjutkan dan menatap wajah dara itu dengan tajam. Bi Cu yang merasa bahwa dia tidak perlu merahasiakannya lagi setelah Sin Liong menceritakan siapa gurunya, dan pula terhadap keluarga ayah tiri Sin Liong memang tidak perlu merahasiakan hal itu karena bukankah dia dan Sin Liong hendak berlindung di sini? Maka dia mengangguk. “Benar, paman. Guruku adalah mendiang ketua perkumpulan Hwa-i Kai-pang yang dituduh pemberontak pula. Akan tetapi semua itu adalah fitnah, Hwa-i Kai-pang yang telah dimusuhi dan kini terpaksa dibubarkan itu tidak pernah memberontak, dan akupun sama sekali tidak ada hubungannya dengan Hwa-i Kai-pang, bahkan bukan menjadi anggautanya biarpun aku menjadi murid mendiang suhu yang menjadi ketua perkumpulan itu.” SELAMA Bi Cu bicara yang didengarkan dengan penuh perhatian oleh Hok Boan, orang ini telah dapat menekan hatinya yang terkejut tadi dan kini dia tersenyum dan memandang kagum. “Ah, kiranya nona adalah murid seorang sakti! Tentu ilmu kepandaian nona amat tinggi. Mengingat akan bahaya yang mengancam kalian berdua, biarlah untuk sementara waktu kalian boleh bersembunyi di sini, akan tetapi kuharap kalian tidak memperlihatkan diri keluar karena kalian sendiri tahu bahwa kalau pasukan pemerintah menemukan kalian di sini, berarti keluarga kami akan binasa.” “Baiklah, paman dan banyak terima kasih kami haturkan atas kebaikan paman menolong kami. Kamipun hanya akan bersembunyi sampai keadaan mereda sehingga kami dapat melanjutkan per­jalanan kami menuju ke utara.” “Apa? Engkau hendak ke sana...? Ke Lembah Naga...?” Hok Boan bertanya kaget. Sin Liong menggeleng kepala. “Bukan ke Lembah Naga, paman, melainkan ke dusun Pek-hwa-cung di kaki Pegunungan Khing-an-san...” Sin Liong berhenti dan memandang wajah ayah tirinya karena dia melihat perubahan pada wajah itu, yang menjadi agak pucat dan matanya terbelalak, tanda bahwa ayah tirinya itu terkejut dan heran mendengar disebutnya nama dusun itu. “Pek-hwa-cung...?” Khi Hok Boan mengulang nama dusun itu dan matanya memandang jauh.  “Benar, paman, dan Bi Cu ingin ber­tanya sesuatu kepada paman, mengingat bahwa paman sudah banyak menjelajah di sekitar daerah utara.”  Ucapan ini memberi kesempatan ke­pada Kui Hok Boan untuk menenangkan jantungnya yang berdebar karena kaget mendengar nama dusun yang mendatang­kan kembali kenang-kenarigan hebat yang pernah dialaminya di dusun itu. Dia ter­senyum kembali dengan sikap tenang, me­noleh ke arah Bi Cu dan memandang gadis itu dengan sikap ramah, lalu ber­tanya, suaranya biasa lagi. “Nona, apakah yang hendak kautanya­kan kepadaku? Memang banyak juga aku mengenal tempat-tempat di sana, dan dusun Pek-hwa-cun tidak asing bagiku.” Berdebar jantung dalam dada Bi Cu, penuh ketegangan dan harapan. Siapa tahu dia akan berhasil memperoleh ke­terangan tentang ayahnya dari orang ini. “Paman Kui, sebelumnya terima kasih atas kebaikanmu. Aku hanya ingin me­ngetahui apakah paman mengenal seorang laki-laki yang bernama Bhe Coan dan pernah tinggal di dusun Pek-hwa-cung sana?” Kembali Kui Hok Boan mengalami guncangan batin hebat, namun kini dia sudah siap menghadapi segala sesuatu, maka wajahnya tidak memperlihatkan perubahan sungguhpun dia hampir ter­lonjak saking kagetnya. Diam-diam Sin Liong yang sejak tadi mengawasi ayah tirinya itu, merasakan kekagetan ayah tirinya yang ditekan-tekan itu, namun dia diam saja. “Bhe Coan...?” Kui Hok Boan pura-pura mengingat-ingat dan mengerutkan alisnya sambil menekan perasaannya yang terlontar melalui pengulangan nama yang amat dikenalnya itu sehingga suaranya tadi terdengar agak sumbang dan gemetar.  “Ya, Bhe Coan, seorang pandai besi, seorang ahli pembuat pedang!” Bi Cu yang sedang dilanda ketegangan dan harapan itu tidak mendengar getaran suara itu dan melengkapi keterangannya cepat-cepat sambil memandang wajah Hok Boan penuh perhatian dan pengharapan. “Ah, Bhe Coan...? Bhe Coan si pandai besi, ahli pembuat pedang? Tentu saja aku mengenal mendiang Bhe Coan! Dia telah meninggal dunia...” Wajah Bi Cu girang sekali. “Memang dia telah meninggal dunia, paman Kui. Aku tahu bahwa ayahku telah meninggal dunia dan karena itulah maka aku bertanya kepada paman...” “Ayahmu...? Ah, sungguh tak terduga! Jadi engkau ini anaknya...?” Hampir saja Kui Hok Boan kelepasan bicara karena memang dia dahulu pernah mendengar dari Bhe Coan bahwa ahli pembuat pedang itu mempunyai seorang anak perempuan yang dititipkan kepada seorang sahabat baiknya ketika dia menikah dengan janda yang bernama Leng Ci. Menurut penuturan mendiang Bhe Coan, sahabatnya itu adalah seorang piauwsu she Na yang tinggal di kota Shen-yang di Propinsi Liao-ning. Tentu saja dia tidak tahu bahwa Na-piauwsu semenjak menerima Bi Cu sebagai anak angkat atau muridnya, telah pindah ke kota Kun-ting di Propinsi Ho-pei, sebelah selatan kota raja. Dia tidak tahu pula malapetaka yang menimpa keluarga Na itu. “Benar, paman Kui. Aku adalah anak tunggal dari mendiang ayahku itu, dan yang hendak kutanyakan kepada paman adalah tentang kematian ayahku. Paman mengenalnya, tentu paman mendengar pula bagaimana ayah meninggal dunia.” Sepasang mata yang jernih itu meman­dang dengan penuh perhatian dan juga penuh harapan kepada Kui Hok Boan yang tentu saja amat terguncang batin­nya.Segera terbayang semua peristiwa yang dialaminya di dalam rumah Bhe Coan, belasan tahun yang lalu itu. Seperti telah dituturkan di bagian depan dari cerita ini, Kui Hok Boan yang ketika itu masih merupakan seorang pria berusia tiga puluh tahun yang tampan dan gagah, berpakaian sasterawan dan gerak-geriknya halus, datang bertamu ke rumah pandai besi atau ahli pembuat pedang yang ter­kenal itu untuk memesan sebatang pe­dang. Karena pandainya bersikap manis, Bhe Coan yang jujur tertarik dan mem­persilakan Kui Hok Boan untuk bermalam dan tinggal di rumahnya selagi dia membuatkan pedang yang dipesannya. Dalam kesempatan ini, Kui Hok Boan yang ter­kenal mata keranjang itu tak dapat me­lewatkan seorang wanita cantik seperti isteri Bhe Coan begitu saja. Dirayunya isteri Bhe Coan, bekas janda Leng Ci yang cantik genit itu dan mereka lalu mengadakan hubungan perjinaan di dalam rumah Bhe Coan sendiri! Akhirnya, se­telah pedang selesai, Bhe Coan menangkap basah dua orang yang sedang berjina di dalam kamarnya itu. Kemarahan yang meluap-luap membuat Bhe Coan menusuk­kan pedang yang baru selesai dibuatnya itu ke arah Hok Boan. Hok Boan meng­elak dan pedang itu menembus dada Leng Ci! Kemudian, terpaksa Hok Boan menggunakan kepandaiannya untuk mem­bunuh Bhe Coan, dan tanpa diketahui siapapun dia meninggalkan dua jenazah itu dalam kamar dan melarikan diri! “Bagaimana, paman Kui? Maukah paman menceritakan kepadaku tentang kematian ayahku itu?” Bi Cu mengulangi pertanyaannya ketika dia melihat tuan rumah duduk termenung seperti tidak pernah mendengar pertanyaannya yang pertama tadi. “Ohh? Tidak... aku tidak tahu, aku hanya mendengar bahwa dia meninggal dunia. Sudah lama aku tidak bertemu lagi dengan dia semenjak aku memesan pedang kepadanya, kau tunggu... pedang itu masih kusimpan sampai sekarang...” Kui Hok Boan lalu bangkit berdiri dan meninggalkan ruangan itu melalui pintu sebelah dalam. Melihat sikap tuan rumah yang seperti tergesa-gesa itu, diam-diam Sin Liong merasa heran sekali. Dia melihat seolah-olah ayah tirinya menjadi gugup dan bingung ketika ditanya tentang kematian ayah kandung Bi Cu!Sementara itu, begitu menutupkan daun pintu yang menembus ke ruangan itu, Kui Hok Boan cepat berlari memasuki kamarnya dengan napas agak memburu. Celaka, pikirnya, siapa sangka bahwa dia akan bertemu muka dengan puteri Bhe Coan yang dibunuhnya itu! Dan lebih celaka lagi, dara itu justerubertanya kepadanya tentang kematian ayahnya! Ini berbahaya! Kalau dia tidak cepat bertindak, dan rahasia itu sampai terbuka, berarti dara itu merupakan musuh besar yang tentu akan selalu berusaha untuk membalas kematian ayahnya. Dia menduga-duga sampai berapa jauh dara itu tahu tentang kematian ayahnya. Sementara itu, otaknya bekerja cepat dalam usahanya merencanakan suatu siasat untuk menyelamatkan dirinya dan menghancurkan orang-orang yang tidak disenanginya.   Di lain saat Kui Hok Boan telah menulis sehelai surat dalam kamarnya. Jari-jari tangannya yang memang cekatan dan pandai menulls itu bergerak cepat menyelesaikan sebuah surat yang dimasukkannya dalam sampul dan ditutupnya rapat-rapat. Setelah itu, dengan tergesa-gesa dia mengantongi surat itu dan mengeluarkan seguci arak dari dalam almari, berikut sebungkus obat putih dari saku bajunya. Dituangkannya sedikit bubuk putih ke dalam guci arak, kemudian setelah menyimpan kembali bungkusan obat bubuk itu, dia memanggil pelayan.          “Sediakan makanan untuk dua orang dan juga arak ini, lalu hidangkan di kamar tamu!” perintahnya kepada pelayan wanita yang cepat datang memenuhi panggilannya. “Dan coba panggil dulu kedua orang nona ke sini!”           Pelayan itu cepat berlalu menuju ke depan, ke ruangan di mana Lan Lan dan Lin Lin sedang bercakap-cakap dengan gembira bersama Sin Liong dan Bi Cu.  “Eh, Lan-moi, di mana adanya Siong Bu dan Beng Sin? Kenapa aku tidak melihat mereka?” tanya Sin Liong. “Mereka disuruh oleh ayah untuk menagih uang sewa tanah, dan sore nanti baru akan pulang,” jawab yang ditanya.             Pada saat itu muncullah pelayan yang menyampaikan panggilan Kui Hok Boan kepada dua orang puterinya. Dua orang dara kembar itu merasa heran, akan tetapi mereka segera minta maaf dan meninggalkan dua orang tamunya, langsung pergi ke kamar ayah mereka bersama pelayan yang juga kembali ke situ untuk mengambil guci arak dan mempersiapkan hidangan untuk dua orang tamu seperti dipesan oleh majikannya.       “Ayah memanggil kami?” tanya Lan Lan.             “Ya, ayah mempunyai urusan yang amat penting. Kalian cepat pergilah kepada komandan Kwan di kota raja dan serahkan suratku ini kepadanya. Pergilah cepat-cepat dan kembali cepat.”       “Tapi, ayah, di sini ada Liong-koko. Kenapa ayah tidak menyuruh pelayan saja, atau menanti sampai Bu-ko atau Sin-ko pulang?” Lan Lan membantah.          “Urusan ini penting sekali, kalian harus cepat serahkan surat ini dan jangan membantah!” bentak Kui Hok Boan sambil menyerahkan surat itu. “Kalian naik kuda saja agar cepat!”             “Biar aku yang mengantar surat itu, biar enci Lan menemani Liong-ko dan enci Bi Cu,” kata Lin Lin.            “Tidak! Tidak baik seorang gadis pergi sendirian saja. Kalian pergi berdua, jangan khawatir tentang Sin Liong dan Bi Cu, aku yang akan menemani mereka. Aku masih ingin bicara banyak dengan mereka.”      Dua orang gadis kembar itu saling pandang. Lin Lin adalah seorang gadis pendiam, lebih pendiam dibandingkan dengan watak Lan Lan yang lincah jenaka akan tetapi karena pendiam ini dia lebih cerdas. “Ayah, Liong-ko dan enci Bi Cu sedang dicari-cari pasukan pemerintah. Sekarang ayah mengirim surat kepada komandan Kwan, seorang komandan pengawal istana. Apakah ada hubungannya dengan kedatangan Liong-ko?”            Kui Hok Boan memandang wajah puterinya ini dan mengangguk-angguk. “Engkau cerdas sekali, Lin Lin. Memang benar dugaanmu. Kalian tahu, mereka berdua itu harus bersembunyi di sini untuk beberapa pekan lamanya sampai keadaan mereda. Bagaimana kalau tiba-tiba Kwan-ciangkun berkunjung ke sini seperti biasanya? Oleh karena itu, aku mengirim surat kepadanya, memberi tahu bahwa aku hari ini akan berangkat pergi ke selatan selama satu bulan sehingga dengan demikian, sebelum lewat sebulan dia tentu tidak akan datang ke sini. Nah, cepat kalian sampaikan surat ini kepadanya!”      Mendengar ini, Lan Lan dan Lin Lin tidak banyak cakap lagi, lalu mereka berganti pakaian dan berangkat meninggalkan rumah mereka, menunggang dua ekor kuda pilihan. Sementara itu, Kui Hok Boan mengambil sebatang pedang dari dalam almari, kemudian membawa pedang itu ke luar kembali ke ruangan tamu di mana Sin Liong dan Bi Cu menanti dengan tuan rumah pergi begitu lama, dan juga Lan Lan dan Lin Lin tidak nampak kembali, bahkan mereka tadi jelas mendengar derap kaki dua ekor kuda membalap meninggalkan rumah itu.            “Sin Liong, perasaanku tidak enak sekali... aku... aku tidak kerasan tinggal di sini,” bisik Bi Cu.      “Sstt, kita terpaksa, Bi Cu. Hanya untuk beberapa hari sampai keadaan mereda. Jangan kahwatir, andaikata ayah tiriku itu kurang begitu suka kepadaku, namun jelas kedua orang adikku Lan Lan dan Lin Lin itu amat sayang kepadaku.” Mendengar jawaban ini, legalah hati Bi Cu karena diapun dapat melihat sendiri betapa sikap kedua orang dara kembar itu amat baik dan ramah.Mereka segera diam ketika mendengar langkah kaki, dan muncullah Kui Hok Boan dengan wajah berseri dan tangannya membawa sebatang pedang yang sarungnya terukir indah. “Maaf, karena ada keperluan lain, maka agak lama aku meninggalkan kalian di sini,” katanya.       “Paman, di manakah adik Lan dan Lin?” Sin Liong bertanya, teringat akan bunyi derap kaki dua ekor kuda tadi.       “Ah, mereka sedang pergi, kusuruh menyusul Siong Bu dan Beng Sin,” jawab Hok Boan yang memang sudah siap menghadapi pertanyaan itu, Sin Liong menjadi girang dan hilanglah kecurigaannya.     “Nona Bhe, inilah pedang buatan mendiang saudara Bhe Coan itu. Dan hanya satu kali itulah aku bertemu dengan dia ketika aku berkunjung dan memesan pedang ini,” Hok Boan mengulurkan tangan yang memegang pedang kepada Bi Cu. Dara remaja ini segera menerima pedang, menghunus pedang itu. Sebatang pedang yang amat baik. Tiba-tiba keharuan dan kedukaan menyerang hati Bi Cu dan dara ini tersedu sambil mendekap pedang dan mencium mata pedang buatan ayahnya, merasa seolah-olah dia sedang mencium tangan ayahnya. Sama sekali dia tidak pernah mimpi bahwa pedang yang diciumnya itu pernah dipergunakan oleh ayah kandungnya untuk menyerang tuan rumah ini dan pedang itu menembus dada ibu tirinya. Akan tetapi hanya sebentar dia menangis karena Bi Cu sudah dapat mengusai guncangan batinnya, lalu mengembalikan pedang itu kepada pemiliknya.       Pada saat itu, Lan Lan dan Lin Lin sudah pergi jauh dengan kuda mereka yang mereka balapkan menuju ke kota raja. Debu mengepul tinggi di belakang kaki kuda mereka yang lari kencang. Akan tetapi ketika mereka berada di jalan di antara sawah ladang yang sepi, tiba-tiba Lin Lin berseru kepada encinya agar berhenti.          “Ada apakah?” Lan Lan bertanya setelah dia menahan kendali kudanya dan kedua ekor kuda itu berhenti di tengah jalan.     “Enci Lan, hatiku sungguh merasa tidak enak,” kata si adik yang biasanya pendiam itu.     “Aihh, jangan bilang bahwa engkau takut untuk melewati hutan di depan itu, Lin-moi. Sudah beberapa ratus kali kita lewat di situ dan tidak pernah terjadi sesuatu. Pula, siapakah yang akan berani mengganggu kita? Andaikata ada yang berani mengganggu kita, kitapun tidak usah takut! Pedang kita akan menghadapi dan menghajar siapa yang berani meng­ganggu kita!” Lan Lan menepuk pedang yang tergantung di pinggangnya. Lin Lin menggeleng kepala. “Hatiku merasa tidak enak bukan mengkhawatir­kan diri kita, enci, melainkan diri Liong-koko.”    Lan Lan membelalakkan mata dengan heran. “Eh, apa maksudmu, Lin Lin?”          “Surat yang kaubawa itu, enci. Liong-koko dituduh pemberontak dan berada di dalam rumah kita. Sekarang ayah me­ngirim surat kepada Kwan-ciangkun. Benar-benar aneh dan mengkhawatirkan.”      “Kau mencurigai ayah?”             “Aku tahu bahwa mencurigai ayah sendiri adalah tidak baik, akan tetapi akupun tahu betapa ayah tidak suka ke­pada Liong-ko, kalau bukannya membenci malah. Lupakah kau akan sikap ayah terhadap Liong-ko dahulu? Aku khawatir, enci.” Lan Lan juga menjadi bimbang. Di­ambilnya surat bersampul tertutup rapat itu dari dalam saku bajunya dan ditimang-timangnya. “Habis, bagaimana?” tanyanya bingung.             “Kita buka dan baca dulu isinya!”            “Ahh...!” Lan Lan meragu. “Surat ini bersampul dan tertutup rapat...”          “Aku sengaja membawa perekat dari rumah, enci. Kita buka, baca dan tutup lagi dengan perekat ini.” Lin Lin mengeluarkan sebungkus perekat. Kiranya sejak dari rumah tadi gadis ini sudah menaruh curiga dan sudah merencanakan untuk membuka surat ayahnya itu dan membaca isinya.       “Engkau benar, adikku. Biarpun per­buatan kita ini tidak patut, akan tetapi kita harus mencegah ayah melakukan hal yang jahat.”      Mereka berdua lalu turun dari pung­gung kuda, bersama-sama mereka lalu membuka sampul surat itu dengan hati-hati agar jangan sampai terobek, kemudian bersama-sama pula mereka mem­baca isi surat dalam sampul.  Kwan-ciangkun yang terhormat  Harap segera membawa pasukan untuk menangkap pemberontak-pem­berontak Cia Sin Liong dan Bhe Bi Cu yang berada di rumah saya. Cepat agar jangan terlambat!  Hormat saya. yang setia kepada negara, Kui Hok Boan   Wajah kedua orang dara kembar itu menjadi pucat seketika. “Celaka, kiranya dugaanmu benar, Lin-moi!” seru Lan Lan dengan gemas. “Ayah telah mengkhianati mereka! Ah, sungguh celaka!”     Lin Lin juga menjadi bingung sejenak, akan tetapi gadis yang cerdik ini lalu berkata, “Kita harus menggunakan akal, enci.”   “Bagalmana akalnya? Ah, betapa jahatnya ayah...!”         “Ssst, jangan berkata demikian, enci! Mungkin ayah melakukan hal itu ter­dorong oleh rasa setia kepada negara, atau juga karena tidak sukanya kepada Liong-koko. Betapapun juga, kita harus menolong Liong-ko.”  “Engkau benar, akan tetapi bagaimana caranya? Kalau kita tidak menyampaikan surat ini, tentu ayah akan marah sekali kepada kita dan hal itupun bukan berarti menolong Liong-ko terbebas dari ancam­an bahaya.”        “Kita harus cerdik, enci Lan. Surat itu harus kita sampaikan kepada alamat­nya, akan tetapi tidak perlu kita berdua yang ke kota raja. Sebaiknya engkau saja melanjutkan perjalanan ke kota raja untuk menyampaikan surat ini kepada Kwan-ciangkun, dan aku sendiri akan kembali ke rumah dan aku akan memberi tahu kepada Liong-ko agar dia dan enci Bi Cu dapat melarikan diri sebelum pasukan itu datang.”        “Bagus! Akan tetapi bagaimana kalau ayah curiga dan marah melihat engkau pulang sendiri dan tidak menemaniku ke kota raja?”     “Jangan khawatir, hal itu dapat ku­atur. Pula, setelah tiba di rumah, tentu malam telah tiba dan aku dapat secara diam-diam melakukan hal itu. Engkau sendiri harap melakukan perjalanan lam­bat saja, makin lambat makin baik, enci Lan. Atau, engkau dapat menyerahkan surat itu besok pagi-pagi saja, dengan alasan bahwa tidak enak malam-malam datang berkunjung ke rumah Kwan-ciang­kun. Sementara itu, malam ini Liong-koko dan enci Bi Cu sudah dapat me­nyelamatkan diri.”  Lan Lan merangkul dan mencium pipi adik kembarnya. “Engkau hebat! Nah, kita berpisah di sini dan membagi tugas masing-masing.”          “Surat itu harus direkat kembali lebih dulu, enci,” kata Lin Lin. Mereka berdua lalu merapatkan kembali sampul surat dan setelah Lan Lan memasukkan sampul surat itu ke dalam sakunya, keduanya lalu meloncat ke atas punggung kuda masing-masing, akan tetapi mereka ber­pisah jalan. Lan Lan melanjutkan perjalanan ke kota raja sedangkan Lin Lin kembali ke dusun. Lan Lan menjalankan kudanya lambat-lambat akan tetapi Lin Lin membalap.  Di sepanjang perjalanan, Lan Lan termenung sedih. Biarpun ada kemungkinan ayahnya melakukan pengkhianatan terhadap Sin Liong itu karena terdorong oleh keinginan berbakti kepada negara dan membantu penangkapan orang yang dituduh pemberontak, namun perbuatan itu kejam dan jahat. Betapapun juga, Sin Liong adalah putera ibu kandungnya, dan anak tiri dari ayahnya, semenjak kecil tinggal serumah. Mengapa ayahnya begitu tega dan kejam untuk melakukan siasatpenangkapan terhadap Sin Liong itu? Pula, siapa mau percaya bahwa Sin Liong adalah seorang pemberontak? Itu hanya tuduhan keji, fitnah keji. Tak terasa lagi kedua mata Lan Lan menjadi basah karena hatinya amat sedih melihat kenyataan betapa ayahnya adalah seorang yang kejam dan jahat. Kenyataan ini membuat dia makin rindu kepada ibu kandungnya, dan teringat olehnya betapa ibu kandungnya adalah seorang yang ga­gah perkasa. Dan hal ini membuat dia teringat pula akan kematian ibunya itu, dan membuat hatinya makin sakit dan mendendam kepada wanita iblis yang telah membunuh ibunya. “Kim Hong Liu-nio iblis betina! Sekali waktu aku akan memenggal batang lehermu!” teriaknya dan dia mencabut pedangnya, diputar-putar di atas kepalanya sehingga kudanya menjadi terkejut dan berlari kencang. Peluapan rasa marah dan dendam di hati Lan Lan ini sedikit banyak menghapus kedukaan dan kekecewaan hatinya melihat sikap ayahnya yang kejam terhadap Sin Liong. Malam itu Lan Lan menginap dalam kamar sebuah hotel di kota raja dan pada keesokan harinya, setelah matahari naik tinggi, barulah dia mengunjungi rumah komandan Kwan yang telah dikenalnya karena komandan itu merupakan sahabat ayahnya. Sudah beberapa kali dia mengunjungi rumah keluarga komandan Kwan itu, dan sering pula komandan Kwan datang berkunjung ke rumah mereka.Kwan-ciangkun sendiri yang me­nyambut kedatangannya dan kebetulan Kwan-ciangkun bertemu dengan dara ini di depan rumah karena komandan itu hendak pergi ke tempat kerjanya.         “Eh, nona Kui Lin...”      “Aku Kui Lan, ciangkun.”           “Ah, ha-ha-ha, maaf, sudah beberapa tahun berkenalan, tetap saja aku masih belum mampu membedakan antara kalian berdua.” Komandan yang bertubuh tinggi besar itu tertawa. “Dengan siapa nona datang? Dan bagaimana kabar ayahmu?”      “Aku datang sendirian saja, ciangkun. Dan aku disuruh oleh ayah untuk meng­antarkan sebuah surat untuk Kwan-ciangkun.”             “Ah, agaknya penting. Untung aku belum pergi, mari silakan duduk di dalam nona.”            “Terima kasih, ciangkun. Aku hanya mengantar surat saja dan akan terus kembali, karena banyak pekerjaan me­nanti di rumah.”       “Kalau begitu, biar kubaca dulu surat ayahmu, barangkali membutuhkan balas­an.”             Komandan itu lalu merobek sampul dan mengeluarkan isinya, membaca surat itu. Wajahnya berubah, matanya terbelalak dan dia memandang kepada Kui Lan dengan mata bersinar-sinar. “Ah, kiranya urusan yang amat penting sekali! Aku harus segera melaporkan ke atasan dan mengumpulkan pasukan! Dan kebetulan sekali dia berada di kota raja...”   “Kwan-ciangkun, kalau tidak ada balasannya, aku minta pamit sekarang saja.”      “Baik, baik... tidak perlu balasan, hanya katakan kepada ayahmu bahwa aku telah menerima suratnya dan semua akan beres! Begitu saja...!” Perwira itu kelihatan gugup dan tergesa-gesa. Lan Lan juga tidak mau ambil pusing lagi siapayang dimaksudkan “dia” oleh perwira itu, dia memberi hormat lalu keluar dari pekarangan rumah itu, kembali ke hotel­nya dan tak lama kemudian dia sudah membedal kudanya keluar kota raja, kembali menuju ke dusun tempat tinggalnya.Kwan-ciangkun itu adalah seorang kepala atau komandan dari pasukan pe­ngawal istana. Dia bersahabat dengan she Kui ini adalah orang yang terkaya di dusunnya, dan selain itu, juga komandan ini tahu bahwa Kui Hok Boan adalah seorang hartawan yang memiliki ilmu silat tinggi. Persahabatan antara mereka itu mendatangkan keuntungan timbal balik. Bagi Kwan-ciangkun tentu saja dia mendapat untung berupa pemberian hadiah-hadiah di samping dia mendapat­kan seorang kawan yang pandai dalam ilmu silat maupun ilmu surat, sehingga enak untuk diajak berbincang-bincang, bahkan dalam ilmu silat, dia banyak memperoleh petunjuk dari hartawan she Kui itu. Di fihak Kui Hok Boan, tentu saja dia merasa bangga mempunyai seorang sahabat yang menjadi komandan pasukan pengawal istana ka­rena selain hal ini mendatangkan kehormatan baginya, juga dia akan mudah memperoleh bantuan seorang “dalam” apabila terjadi sesuatu atau apabila dia membutuhkan sesuatu dari fihak yang berkuasa.Maka, begitu menerima surat dari sahabatnya itu, Kwan-ciangkun mempercaya sepenuhnya dan dia merasa girang sekali karena menangkap pemberontak buronan itu, atau lebih tepat lagi, putera dari pemberontak terkenal Cia Bun How, berarti dia akan membuat jasa yang besar. Cepat dia berlari-lari melapor ke atasannya, yaitu panglima pasukan keamanan di kota raja dan gegerlah keadaan di dalam benteng itu. Panglima itu segera menghubungi Kim Hong Liu-nio karena wanita ini yang pertama kali menyiarkan bahwa bocah yang tadinya bekerja sebagai pelayan di rumah makan itu adalah putera pendekar sakti Cia Bun Houw yang menjadi buronan dan bocah itu bernama Cia Sin Liong. Pemilik rumah makan telah ditangkap, disiksa untuk mengaku dan menceritakan keadaan Sin Liong, akan tetapi majikan rumah makan yang sial itu dalam keadaan setengah mati tetap mengatakan bahwa dia mengenal pemuda itu sebagai A-sin.  Pasukan besar yang dipimpin sendiri oleh Kwan Heng Lai atau Kwan-ciangkun, ditemani pula oleh Kim Hong Liu-nio, segera berangkat melakukan pengejaran ke dusun kecil itu, dengan menunggang kuda. Orang-orang di sepanjang perjalanan memandang dengan takut-takut dan heran melihat pasukan yang bersenjata lengkap, berwajah serius dan melakukan perjalanan tergesa-gesa ini. Tentu ada sesuatu yang tidak beres, pikir mereka dan mereka merasa ngeri membayangkan dusun yang dijadikan sasaran oleh pasukan itu. Biasanya, setiap kali ada pasukan melakukan pembersihan di suatu dusun, akan terjadi hal-hal yang mengerikan. Apakah yang terjadi dengan Sin Liong dan Bi Cu di rumah keluarga Kui? Seperti kita ketahui, setelah Lan Lan dan Lin Lin pergi memenuhi perintah ayah mereka untuk menyerahkan surat malam itu juga kepada komandan Kwan di kota raja, Sin Liong dan Bi Cu dilayani oleh Kui Hok Boan sendiri yang memperlihatkan pedang buatan mendiang Bhe Coan kepada Bi Cu.        Selagi mereka bercakap-cakap, muncul­lah pelayan wanita yang membawa hidangan. Melihat ini, Sin Liong dan Bi Cu menjadi sungkan dan kikuk. “Ah, harap paman tidak usah repot-repot,” kata Sin Liong melihat betapa Kui Hok Boan sendiri yang menemani mereka untuk makan minum.           “Sama sekali tidak. Hari sudah malam, sudah tiba waktunya makan malam. Mari silakan, aku sendiri sudah makan tadi. Mari silakan, nona Bhe.”     Melihat dua orang muda itu kelihatan sungkan-sungkan dan kikuk, Kui Hok Boan lalu bangkit berdiri dan berkata, “Harap kalian berdua makan yang enak, aku akan pergi dulu melakukan sesuatu di dalam. Silakan dan harap makan secukupnya, yang kenyang dan jangan malu-malu. Itu araknya harap diminum, arak wangi yang tidak keras.” Dengan ramah Kui Hok Boan mempersilakan dua orang tamunya, kemudian dia mengangguk dan meninggalkan dua orang muda remaja itu. Setelah Kui Hok Boan pergi, barulah Sin Liong dan Bi Cu tidak merasa kikuk lagi dan karena perut mereka memang sudah lapar, mereka berdua lalu mulai makan.          “Kau suka minum arak?” tanya Sin Liong sambil mengangkat guci untuk dituangkan ke dalam cawan yang tersedia. Bi Cu menggeleng kepalanya.    “Kami kaum pengemis, mana biasa minum arak?” kata Bi Cu tersenyum. “Pula, mendiang suhu mengatakan bahwa arak berhawa panas, hanya tepat untuk orang-orang tua yang memerlukan bantuan hawa panas memperlancar jalan darah mereka. Tidak, aku tidak biasa minum.”         Sin Liong meletakkan kembali guci arak itu di atas meja. “Aku sendiripun tidak begitu suka minuman arak. Terlalu banyak arak bisa memabukkan, dan saat-saat seperti ini kita berdua perlu selalu waspada dan sadar.”  Mereka makan secukupnya dan minum air teh, sama sekali tidak menyentuh arak di dalam guci. Selagi makan minum, diam-diam Sin Liong memperhatikan ke arah pintu yang menembus ke dalam. Biarpun matanya tidak dapat menembus daun pintu, namun pendengarannya yang amat tajam berkat kepandaiannya yang tinggi dan sin-kangnya yang kuat, dapat menangkap suara orang di balik daun pintu. Mula-mula dia mengira bahwa tentu orang itu adalah pelayan yang siap untuk melayani mereka, akan tetapi makin lama dia makin merasa curiga. Kalau pelayan, mengapa bersembunyi di balik pintu? Dan orang itu memiliki kepandaian tinggi, ketika mendekati pintu, langkah kakinya demikian ringan dan ketika kini bersembunyi di balik pintu, tidak mengeluarkan suara apa-apa kecuali pernapasannya. Dan pernapasan ini cukup bagi pendengaran Sin Liong untuk mengetahui bahwa di balik pintu itu ada orang bersembunyi, agaknya mengintai dan mendengarkan. Akan tetapi dia pura-pura tidak melihatnya dan melanjutkan makan minum dengan tenang.Bi Cu yang tidak begitu banyak makannya telah meletakkan mangkok dan sumpit di atas meja ketika Sin Liong masih melanjutkan makan. Pada saat itu, pintu terbuka dan sambil makan bakso dari mangkoknya Sin Liong melirik. Kiranya orang yang bersembunyi di balik daun pintu tadi adalah Kui Hok Boan sendiri! Orang ini masuk sambil mencoba tersenyum, akan tetapi pandang matanya nampak kecewa. “Silakan makan sekenyangnya, nona. Mengapa nona tidak makan?” Dia berkata mempersilakan sambil menghampiri meja.            “Terima kasih, aku sudah makan cukup,” kata Bi Cu sedangkan Sin Liong masih melanjutkan makannya.   Kui Hok Boan duduk. “Ah, nona Bhe, kenapa makan hanya sedikit? Dan ini... ah, kenapa arak dalam guci masih penuh? Apakah kalian tidak mau minum arak yang kusuguhkan?”   “Terima kash paman, kami berdua tidak biasa minum arak,” jawab Sin Liong sambil meletakkan sumpit dan mangkoknya yang kini telah kosong.       “Aahh, kalau terlalu banyak minum arak memang bisa mabuk dan tidak baik untuk kesehatan. Akan tetapi kalau hanya dua tiga cawan saja, bahkan amat baik bagi kesehatan. Orang bijaksana selalu berkata bahwa sedikit arak menjadi obat, terlampau banyak arak menjadi racun. Nah, sekarang, mengingat akan kegembiraan pertemuan antara kita, apa salahnya kalian minum barang dua tiga cawan? Nona, engkau adalah seorang murid dari mendiang Hwa-i Sin-kai yang sejak dahulu kukagumi. Kini, bertemu dengan muridnya, perkenankan aku mengucapkan selamat datang dan hormatku kepada mendiang gurumu dan engkau sebagai wakil beliau!” Kui Hok Boan menuangkan secawan arak di dalam cawan depan dara remaja itu. Bi Cu merasa bingung, akan tetapi tentu saja sukar baginya untuk menolak. Menolak berarti tidak menghormati tuan rumah yang sudah begitu baik hati. “Aku tidak biasa minum arak, paman, kalau hanya secawan saja bolehlah,” jawabnya dan dia lalu mengangkat cawan itu dan meneguk arak dalam cawan se­dikit demi sedikit, khawatir tersedak. Akhirnya arak itupun habis dan Kui Hok Boan tertawa gembira.             “Secawan tadi adalah selamat datang, kini secawan arak penghormatanku ke­pada mendiang suhumu belum kauminum.” Dia menuangkan lagi secawan.       Bi Cu tersenyum. “Ah, paman terlalu mendesak. Akan tetapi aku hanya mau minum secawan lagi kalau paman ber­janji tidak akan menambahkan lagi. Yang secawan ini tadi saja sudah membuat perut terasa panas.”     “Baik, cukup secawan lagi, minumlah, nona Bhe.”           Bi Cu menerima secawan arak itu dan minum lagi. Sin Liong memandang penuh perhatian ketika Bi Cu minum arak itu dan hatinya merasa lega ketika dara remaja itu menghabiskan dua cawan tanpa ada terjadi sesuatu yang mencuriga­kan. Wajah yang manis dan berkulit halus putih itu kini mulai menjadi kemerahan, menambah cantiknya Bi Cu.           “Dan untuk kembalimu kepada keluarga kita, Liong-ji, untuk pertemuan yang amat menggembirakan ini, aku ingin menyampaikan selamat kepadamu dengan tiga cawan arak, harap kau suka menerimanya!” Kui Hok Boan lalu menuangkan arak ke dalam cawan Sin Liong sampai tiga kali, dan tanpa ragu-ragu Sin Liong meneguk tiga cawan arak itu ke dalam kerongkongannya. Dia merasa ada hawa aneh bersama arak itu, dan cepat dia lalu mengerahkan sin-kang Thi-khi-i-beng, dengan hawa yang amat kuat dari Thi-khi-i-beng dia dapat menekan dan me­nguasai hawa asing itu di dalam perutnya schingga hawa itu tidak menjalar ke mana-mana! Penggunaan ilmu yang luar biasa ini tentu saja tidak diketahui oleh Bi Cu atau Kui Hok Boan sendiri.           Tak lama kemudian Bi Cu kelihatan mengantuk sekali, beberapa kali dia me­nutupi mulut dengan punggung tangan ketika dia menahan kuapnya.       “Ah, nona Bhe kelihatan sudah lelah. Kalau mau tidur, silakan, nona, telah diperslapkan dua buah kamar untuk kalian. Mari ikut bersamaku, mari Sin Liong, engkaupun agaknya perlu mengaso.”           Sebetulnya Sin Liong belum merasa lelah atau mengantuk, akan tetapi melihat keadaaan Bi Cu diapun pura-pura mengantuk dan menguap. Dua orang muda itu lalu mengikuti Hok Boan masuk ke dalam dan diam-diam Sin Liong memperhatikan Bi Cu. Sungguh tidak wajar kalau Bi Cu demikian mengantuk dan lelah, padahal tadi masih segar-bugar. Kini dara remaja itu hampir tidak kuat melangkah lagi sehingga terpaksa dia memegangi tangannya.      Begitu tiba di depan pintu kamar dan ditunjukkan oleh Kui Hok Boan bahwa itu adalah kamar untuknya, Bi Cu terus lari masuk dan menjatuhkan diri di atas pembaringan, dan terus saja dia pulas! Melihat ini, Kui Hok Boan tertawa. “Ah, kasihan, dia sudah amat lelah,” katanya sambil menutupkan daun pintunya. “Kaupun tentu amat lelah, Sin Liong.”        Sin Liong mengangguk, masih terheran-heran melihat keadaan Bi Cu. “Aku mengaso juga, paman,” katanya sambil memasuki kamarnya yang berada di sebelah kamar Bi Cu. Dia mendengar betapa langkah kaki pamannya meninggalkan kamar itu, maka Sin Liong cepat menutupkan pintu kamarnya, duduk bersila dan mengerahkan hawa sakti di dalam tubuhnya yang telah menekan dan menguasai hawa aneh yang masuk melalui arak tadi, kini memaksa hawa itu keluar dari mulutnya. Setelah semua hawa asing itu habis, barulah dia berani bernapas seperti biasa dan dia mencium bau harum yang aneh. Diam-diam dia terkejut dan curiga sekali. Benarkah dugaannya bahwa pamannya bermain curang dan membius dia dan Bi Cu melalui arak tadi? Melihat keadaan Bi Cu, sudah jelas tentu demikian, dan hawa aneh tadi tentu akan membuat dia pulas pula seperti Bi Cu kalau saja tidak dikuasainya dengan Thi-khi-i-beng. Dia lalu menghampiri dinding pemisah kamarnya dan kamar Bi Cu, menempelkan telinganya pada dinding itu dan mengerahkan tenaga saktinya untuk mendengarkan. Dia dapat menangkap lapat-lapat suara pernapasan Bi Cu dan tahulah dia bahwa gadis itu masih tidur pulas. Hatinya merasa lega dan diapun lalu duduk bersila, sama sekali tidak berani tidur, hanya mendengarkan keadaan di sekitarnya, terutama dari arah kamar Bi Cu.         Kurang lebih satu jam kemudian dia mendengar suara bisik-bisik dari luar kamarnya, suara bisik-bisik dari tiga orang laki-laki. Dia tidak dapat menang­kap kata-kata mereka karena mereka itu berbisik-bisik lirih sekali, akan tetapi dia tahu bahwa yang bicara itu adalah Kui Hok Boan bersama dua orang laki-laki yang tidak dikenalnya. Mendengar nada suara mereka, tentu dua orang itu adalah laki-laki yang masih muda. Akan tetapi, sebentar saja mereka itu berbisik-bisik, lalu keadaan menjadi sunyi lagi dan ter­dengarlah bunyi langkah seorang diantara mereka menjauh. Hanya seorang saja yang pergi! Berarti bahwa ada dua orang lain yang tadi datang bersama Kui Hok Boan, tinggal di sekitar luar kamarnya dan kamar Bi Cu! Hati Sin Liong ter­guncang dan dia makin bercuriga. Apakah artinya semua ini?             Sin Liong tetap duduk bersila dengan penuh perhatian ke arah sekelilingnya, namun tidak terjadi sesuatu. Menjelang tengah malam, tiba-tiba seluruh urat syaraf di tubuhnya menegang. Ada suara langkah orang berindap-indap ke arah jendela kamarnya yang berada di belakang, berlawanan dengan pintu kamar. Kemudi­an, langkah orang ini berhenti di luar jendela kamarnya, kemudian terdengar daun jendela kamar itu bergerak dibuka orang dari luar! Sin Liong tetap diam saja, menanti sampai daun jendela itu terbuka dan orang yang membongkar daun jendela itu masuk. Begitu dia melihat bayangan hitam meloncat dan ber­kelebat masuk dari jendela yang sudah terbuka, diapun meloncat dan sebelum orang itu mampu bergerak, dia sudah menangkap lengannya. Lengan yang kecil halus! “Siapa kau...?” “Sssttt... Liong-ko, aku Lin Lin...!” bisik orang itu yang menyeringai karena lengannya yang dipegang itu terasa nyeri sekali. “Eh, adik Lin...? Mengapa kau...?”          “Ssttt, jangan keras-keras... dengarlah baik-baik, Liong-ko. Kau harus cepat pergi dari sini bersama enci Bi Cu, sekarang juga. Cepat... akan datang pasukan dari kota raja untuk menangkap kalian...!” suara itu terisak dan ditahannya.             “Hemm, dari mana kau tahu? Siapa yang memberi tahu kepada pasukan kota raja bahwa kami berada di sini?” Sin Liong berbisik masih memegang lengan adik tirinya itu akan tetapi dia tidak mempergunakan tenaga lagi.           “...ayah...”        Sin Liong melepaskan pegangannya dan melangkah mundur, menatap wajah adik tirinya di dalam gelap remang-remang itu. “Dan kalian disuruh ke kota raja melaporkan kehadiran kami...?” Dia berhenti sebentar masih tidak mau percaya. “Kenapa kau... kau sekarang memberi tahu kepadaku...?”         Lin Lin menjadi tidak sabar atas sikap Sin Liong yang tidak cepat-cepat pergi melarikan diri itu. “Dengar, Liong-ko,” bisiknya sambil mendekat. “Kami disuruh antar surat kepada Kwan-ciang­kun di kota raja. Karena curiga, kami membukanya di jalan dan baru kami tahu bahwa ayah melaporkan engkau. Kami tidak berani membangkang, maka enci Lan melanjutkan perjalanan ke kota raja sedangkan aku diam-diam kembali untuk memberi tahu kepadamu. Nah, kau cepat ajak enci Bi Cu pergi sebelum terlam­bat!”        “Bi Cu... ah, kamipun tadi telah disuguhi arak yang agaknya mengandung obat bius...”       “Ahhh... aku menyesal sekali, Liong-ko, ayahku...” Lin Lin tidak melanjutkan kata-katanya.            Sin Liong merangkulnya dan mencium pipinya. “Lin Lin, kalian baik sekali, aku cinta kepadamu dan kepada Lan-moi...” Dia melepaskan rangkulannya. “Aku akan pergi sekarang juga, akan kuambil Bi Cu dari kamarnya.” Dia lalu melangkah hendak keluar melalui jendela itu.   “Liong-ko...!” Lin Lin berbisik.     Sin Liong menoleh.“Kau... harap kaumaafkan ayahku...!” “Hemmm...!” Sin Liong mendengus marah, teringat akan pengkhianatan ayah tirinya.         “Demi aku, demi enci Lan...!”     Hening sejenak, kemudian terdengar Sin Liong menarik napas panjang. “Baik­lah, Lin-moi, jangan khawatir, akan kulupakan saja apa yang diperbuat oleh ayahmu malam ini.”      “Nanti dulu, Liong-ko. Di depan pintu kamar enci Bi Cu dan di depan kamar ini terdapat penjaga-penjaga, mungkin Bu-ko dan Sin-ko juga diperintah oleh ayah untuk melakukan penjagaan. Biar kupancing mereka agar melepaskan per­hatian dari kamar enci Bi Cu. Kalau engkau nanti sudah mendengar suara kami bercakap-cakap, nah, kau boleh memasuki kamar enci Bi Cu dari jendela belakang.” “Baik, Lin-moi, dan terima kasih.”           “Tapi, bagaimana selanjutnya engkau akan melarikan diri membawa enci Bi Cu? Bagaimana kalau engkau dikejar-kejar dan tertawan?” Suara Lin Lin ter­dengar penuh kegelisahan.     “Serahkan saja kepadaku...!” Sin Liong lalu ke luar dari jendela, didahului oleh Lin Lin. Dara itu lalu menyelinap melalui jalan memutar sedangkan Sin Liong berindap-indap mendekati kamar Bi Cu. Memang benar, dia melihat beberapa bayangan orang bergerak dan menjaga di sekitar kamarnya dan kamar Bi Cu, ma­ka dia mendekam di tempat gelap, men­dengarkan. Tak lama kemudian dia men­dengar suara seorang laki-laki, suara seorang muda yang dia tahu tentu seorang di antara keponakan Kui Hok Boan, menegur Lin Lin.  “Heiii, Lin-moi... engkau sudah pulang? Mana Lan-moi?”   “Aku... aku pulang lebih dulu, perutku sakit, enci Lan melanjutkan perjalanan seorang diri...” terdengar suara Lin Lin menjawab. “Mengapa engkau belum tidur, Sin-ko? Mana ayah?”    “Ayah sudah tidur, aku dan Bu-ko ditugaskan menjaga...”             “Lin-moi, kenapa engkau pulang malam-malam? Bukankah engkau dan Lan-moi ke kota raja?” terdengar suara laki-laki lain dan tahulah Sin Liong bah­wa laki-laki ini tentu Kwan Siong Bu dan yang tadi adalah Tee Beng Sin. Betapa inginnya untuk keluar dan menjumpai mereka, akan tetapi teringat akan ke­adaan dirinya yang terancam, apalagi Bi Cu yang mungkin masih tidur nyenyak karena obat bius, dia menekan keinginan ini dan selagi mereka bercakap-cakap, cepat dia menyelinap menghampiri jen­dela kamar Bi Cu. Mudah saja baginya membuka daun jendela tanpa mengeluar­kan suara dan dia cepat meloncat ke dalam. Kamar itu remang-remang gelap seperti kamarnya tadi, namun matanya yang tajam dapat melihat Bi Cu rebah miring di atas pembaringan dengan pakai­an masih lengkap seperti ketika makan minum tadi. Dia menghampiri dan ternyata dara itu masih tidur nyenyak. Dia mengguncangnya beberapa kali, namun Bi Cu seperti dalam keadaan pingsan saja, sama sekali tidak bergerak. Maka tanpa ragu-ragu dia lalu memanggul tubuh Bi Cu di pundak kirinya, merangkul dengan lengan kiri dan dibawanya ke luar dari dalam kamar melalui jendela! Sin Liong mempergunakan kesempatan selagi Lin Lin mengalihkan perhatian dua orang muda dan para penjaga itu, menjauhi kamar ke sebelah belakang bangunan, kemudian dengan kepandaiannya yang tinggi dia meloncat ke atas genteng tanpa menimbulkan sedikitpun suara, dan berlarilah Sin Liong membawa tubuh Bi Cu yang masih belum sadar itu, menjauhi dusun itu. Karena dia tahu bahwa pasukan kerajaan tentu akan melakukan pengejaran, maka dia melarikan diri menuju ke barat di mana nampak pegunungan dari jauh. Dia harus pergi bersama Bi Cu ke utara, akan tetapi tidak boleh sekali-kali melalui kota raja, maka dia mengambil jalan memutar, melalui sebelah barat kota raja di mana terdapat banyak pegunungan liar, kemudian baru ke utara.Biarpun Sin Liong telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan dia dapat mempergunakan gin-kangnya untuk berlari cepat sekali, namun malam itu gelap hanya diterangi bintang-bintang yang bertaburan di langit. Apalagi dia harus memanggul tubuh Bi Cu, dan dia lari melalui jalan-jalan liar, maka tentu saja dia harus berhati-hati dan tidak dapat berlari cepat. Betapapun juga, karena pandainya Lin Lin memancing perhatian para penjaga, tidak ada seorangpun da­lam rumah keluarga Kui yang mengetahui bahwa dua ekor burung itu telah terbang dari sarangnya!   Pada keesokan harinya pagi-pagi se­kali Kui Hok Boan sudah bangun dari tidurnya dan segera dia pergi menuju ke kamar dua orang “tamu” itu. Hatinya lega melihat betapa Siong Bu dan Beng Sin bersama para penjaga masih berada di depan kedua kamar itu, akan tetapi Kui Hok Boan merasa heran melihat Lin Lin ikut pula menjaga di situ!  “Eh, engkau sudah pulang? Mana Lan Lan?”       “Ayah, aku pulang lebih dulu. Di tengah perjalanan aku merasa sakit perut dan terpaksa aku kembali malam tadi, sedangkah enci Lan seorang diri melanjutkan perjalanan ke kota raja.”    “Hemm, dan sekarang bagaimana sakit perutmu?” tanya ayah ini sambil me­mandang wajah puterinya itu yang agak pucat, dan hal ini adalah karena se­malam suntuk Lin Lin tidak tidur dan juga diam-diam merasa gelisah. “Mengapa engkau tidak tidur semalam dan ikut berjaga di sini kalau perutmu sakit?”        “Sekarang sudah sembuh, ayah dan aku memang ikut berjaga bersama Bu-ko dan Sin-ko.”            Ayah itu termenung dan mengerutkan alisnya. “Kenapa Lan Lan belum juga pulang? Kalau dia langsung ke rumah Kwan-ciangkun, seharusnya dia sudah pulang bersama pasukan...”       “Mungkin enci Lan lelah dan ber­malam di kota raja, ayah,” kata Lin Lin dan Hok Boan mengangguk. Akan tetapi tetap saja dia tidak merasa puas karena dianggapnya pengiriman pasukan dari kota raja amat lambat. Mestinya pagi-pagi sudah tiba di sini. Kalau pasukan sudah datang dan menangkap Sin Liong dan Bi Cu, baru dia merasa lega. Makin diperpanjang waktunya, makin gelisahlah dia. Tentu saja dia tidak takut dua orang itu akan mampu melarikan diri, karena kepandaian dua orang muda seperti itu tentu tidak ada artinya baginya, akan tetapi betapapun juga dia merasa sungkan dan tidak enak terhadap Sin Liong. Maka makin cepat perkara ini selesai, makin baiklah.Untuk menenangkan hatinya, dia menghampri kamar Sin Liong lalu me­ngetuk daun pintu kamar itu. “Liong-ji...! Sin Liong...! Tuk-tuk-tukk! Sin Liong...!”          Tidak ada jawaban dari dalam kamar dan Kui Hok Boan menoleh sambil me­nyeringai, lalu berkata kepada para pen­jaga itu, “Dia masih tidur nyenyak!”           Kembali dia mencoba dengan ketukan dan panggilan di depan pintu kamar Bi Cu, akan tetapi hasilnya sama saja, tidak ada jawaban dari balik kamar yang ter­tutup pintunya itu.     “Biarkan mereka tidur, kalian jaga di sini jangan lengah sampai pasukan da­tang,” kata Kui Hok Boan dengan hati lega. “Lin Lin, kau agak pucat, hayo kau mengaso ke kamarmu sana. Atau sebaik­nya kau makan pagi dulu, baru mengaso.”      “Aku ingin ikut berjaga di sini, ayah. Nanti kalau sudah lelah, aku akan pergi mengaso. Aku menanti kembalinya enci Lan.”  Kui Hok Boan mengangguk dan memasuki kamarnya kembali. Hatinya lega. Betapapun juga, dua orang bocah itu tidak akan melarikan diri. Kalau per­lu, sebelum pasukan datang, dan mereka itu akan melarikan diri, dia dapat meng­gunakan kekerasan untuk menahan atau menangkap mereka. Sungguhpun kalau dapat, jangan dia yang melakukan pe­nangkapan, biar Kwan-ciangkun bersama pasukannya agar jangan terlalu kentara dia memusuhi mereka itu. Matahari telah naik tinggi ketika terdengar derap kaki kuda dan Lan Lan muncul dengan muka agak pucat. Kui Hok Boan cepat menyambut kedatangan puterinya ini dan langsung bertanya, “Bagaimana?”Lin Lin juga sudah menyambut kakaknya dan kini mereka berdua berdiri berdampingan di depan ayah mereka dan keduanya memandang kepada Kui Hok Boan dengan sinar mata mengandung kemarahan.    “Ayah sungguh keterlaluan!” tiba-tiba Lan Lan berkata. “Bagaimana ayah sampai dapat bertindak sekejam itu?” kata pula Lin Lin yang kini berubah sikapnya, tidak pendiam dan pura-pura tidak tahu seperti malam tadi ketika pulang sendirian. Kini dia bersikap seperti Lan Lan, menentang ayah mereka.        “Eh, eh, mengapa kalian ini? Apa maksud kalian?” Kui Hok Boan membentak, pura-pura tidak mengerti.     “Ayah mengirim surat kepada Kwan-ciangkun selagi Liong-ko berada di sini. Apa maksud ayah?” kata Lin Lin.         “Ahh... bukankah kalian sudah kuberi tahu? Agar Kwan-ciangkun tidak datang ke sini dan...”          “Ayah tidak perlu membohongi kami!” teriak Lan Lan marah. “Ayah melaporkan kehadiran Liong-koko dan menyuruh Kwan-ciangkun membawa pasukan datang ke sini untuk menangkap Liong-ko dan enci Bi Cu!”Kui Hok Boan menarik napas panjang dan tersenyum, mengangguk-angguk. “Ah, kiranya Kwan-ciangkun telah memberi tahu kepadamu, Lan Lan? Itu lebihbaik lagi. Memang kalian harus tahu, kita tidak mungkin dapat melindungi pemberontak-pemberontak! Selain hal itu amat membahayakan kita, juga memberontak merupakan perbuatan yang amat berdosa. Kita sebagai rakyat yang baik harus menentang pemberontak-pemberontak, dan mengingat bahwa Sin Liong dan Bi Cu adalah keturunan dan murid pemberontak dan menjadi buronan pemerintah, sudah seharusnya kalau kita melaporkan agar mereka ditangkap.”          “Ayah sungguh kejam! Betapapun juga Liong-koko adalah saudara kami, saudara seibu, sekandung! Kami tak dapat membiarkan dia celaka oleh ayah!” Lan Lan berseru.             “Kami tidak bisa mendiamkan saja ayah melakukan tindakan rendah dan kejam!” Lin Lin menyambung.       “Lan dan Lin! Tahan mulut kalian itu! Ini adalah urusan pribadiku, kalian tidak usah ikut campur. Aku tidak ingin kalian ikut campur, karena itu aku tidak memberi tahu kepada kalian ketika aku mengutus kalian mengirim surat kepada Kwan-ciangkun. Akan tetapi Kwan-ciangkun telah memberi tahu kepadamu, Lan Lan, dan engkau harus mengerti bahwa perbuatan ayahmu ini...”            “Kami tidak tahu dari Kwan-ciangkun! Kami tahu sendiri!” potong Lan Lan dengan berani.    “Dan aku telah membebaskan Liong-ko!” sambung Lin Lin.           Mendengar ini, terkejutlah Kui Hok Boan. Sejenak dia memandang kepada kedua orang puterinya dengan mata terbelalak dan bingung, kemudian dia berlari ke tempat kedua orang tamu itu tidur. Siong Bu, Beng Sin dan para penjaga terkejut melihat Hok Boan datang berlari-lari diikuti oleh dua orang dara kembar itu, lebih terkejut lagi melihat Hok Bean mendobrak pintu kamar Sin Liong.“Krakkkk!” Pintu itu jebol dan terbuka memperlihatkan kamar yang kosong! Kui Hok Boan berlari ke kamar Bi Cu, dibukanya daun pintu dengan kasar dan ternyata kamar itupun telah kosong. “Keparat...!” Kui Hok Bean menyumpah-nyumpah, lalu membalikkan tubuhnya menghadapi dua orang puterinya dengan mata mendelik saking marahnya.“Hayo kalian katakan, apa artinya semua ini!” bentaknya marah.Akan tetapi dua orang dara itu menentang pandang, mata ayah mereka dengan berani, kemudian Lan Lan berkata lantang, “Kami tidak ingin melihat ayah melakukan perbuatan yang khianat dan kejam, maka kami berdua lalu berpisah, membagi tugas. Aku melanjutkan perjalanan ke kota raja, dan baru pagi tadi aku menyampaikan surat ke Kwan-ciangun...”            “Dan aku kembali ke sini untuk memperingatkan Liong-ko sehingga dia dapat pergi melarikan enci Bi Cu!” sambung Lin Lin.Kemarahan Kui Hok Boan mencapai puncaknya mendengar ucapan dua orang puterinya itu. “Keparat! Kalian anak-anak durhaka!” bentaknya dan tangannya bergerak cepat menampar ke depan dua kali.             “Plak! Plak!”      Tubuh Lan Lan dan Lin Lin terpelanting dan pipi mereka menjadi biru membengkak oleh tamparan ayah mereka yang amat keras tadi.           “Ayah boleh membunuh kami!” teriak Lan Lan sambil bangun kembali. “Lebih baik mati daripada menjadi pengkhianat kejam!” teriak Pula Lin Lin.             “Jahanam, kalian berani melawan ayah sendiri? Kalian sudah bosan hidup?” Kemarahan Kui Hok Boan membuat dia mata gelap. Dia sudah melangkah maju lagi, siap untuk menghajar.Akan tetapi pada saat itu, dua orang pemuda cepat maju menghadang dan berlutut di depan Hok Boan. Yang seorang adalah Kwan Siong Bu yang berwajah tampan dan berpakaian rapi, sedangkan pemuda yang ke dua adalah Tee Beng Sin yang berwajah ramah dan bertubuh gendut.      “Harap paman sudi mengampuni adik Lan dan adik Lin, dan... saya bersedia menerima hukuman mewakili mereka...” kata Tee Beng Sin, pemuda gendut itu dengan gerak-gerik dan suara yang lucu sungguhpun dia tidak bermaksud untuk melucu.   “Saya mintakan ampun untuk Lan-moi dan Lin-moi. Harap paman jangan khawatir, sekarang juga saya akan mengejar mereka berdua. Agaknya mereka belum lari jauh!” Kwan Siong Bu penuh semangat.Tiba-tiba terdengar suara ketawa dan disusul kata-kata nyaring, “Wah, sungguh mengagumkan sekali dua tangkai bunga kembar itu, demikian cantik dan gagah perkasa, pantas menjadi adik-adik Liong-te!”    Semua orang terkejut dan menengok. Betapa kaget dan heran hati mereka ketika mereka semua melihat adanya dua orang yang tahu-tahu telah berdiri di situ, padahal mereka tadi tidak mendengar suara apapun. Dari mana datangnya dua orang ini, dan bagaimana me­reka bisa masuk tanpa menimbulkan sua­ra sedikitpun. Yang seorang adalah pe­muda tampan sekali, tampan dan gagah, pakaiannya juga amat indah dan mewah, kepalanya terlindung topi bulu burung berwarna kuning emas. Pemuda inilah yang tadi mengeluarkan suara dan sikap­nya amat berwibawa dan angkuh. Orang ke dua adalah seorang wanita yang juga amat cantik jelita, pakaiannya mewah, kedua lengan tangannya memakai gelang emas, pedang panjang tergantung di pinggang kiri sedangkan di punggungnya tergendong papan kayu salib.        Kui Hok Boan terkejut setengah mati ketika mengenal wanita itu yang bukan lain adalah Kim Hong Liu-nio, sedangkan pemuda tampan gagah itu adalah Pange­ran Ceng Han Houw! Juga Lan Lan dan Lin Lin mengenal wanita ini. Mana mung­kin mereka dapat melupakan wanita yang telah membunuh ibu kandung mereka itu? Maka, dengan kemarahan yang meluap-luap, dua orang dara kembar ini me­ngeluarkan teriakan nyaring dan seperti menerima komando saja, keduanya itu dengan berbareng telah melencat ke depan sambil mencabut pedang mereka dan serentak mereka menyerang Kim Hong Liu-nio dengan pedang! Serangan mereka dilakukan dengan ganas karena terdorong oleh kemarahan melihat musuh besar ini.          “Lan dan Lin, jangan...!” Kui Hok Boan berseru kaget, akan tetapi dua orang anak perempuan itu tidak memperdulikan seruan ayah mereka. Bahkan mereka makin gemas mendengar larangan ayah mereka itu, teringat betapa dahulupun ayah mereka ini sama sekali tidak pernah berdaya upaya untuk membalas kematian ibu kandung mereka. Dengan nekat mereka menyerang terus biarpun serangan pertama mereka tadi dengan amat mudahnya telah dielakkan oleh Kim Hong Liu-nio.         “Iblis betina keji!” bentak Lan Lan.           “Kau harus menebus kematian ibu!” bentak Lin Lin.          “Ha-ha, bagus, bagus! Sungguh bersemangat dan menarik sekali!” Ceng Han Houw tertawa girang melihat keganasan dua orang dara kembar itu yang menyerang sucinya.            “Hemm, pergilah kalian!” bentak Kim Hong Liu-nio, kedua tangannya bergerak cepat, lengan kiri yang dihias banyak gelang itu menangkis dua kali ke arah pedang dan dua batang pedang itu terlepas dari pegangan pemiliknya dan terpental jauh, sedangkan tamparan perlahan dengan tangan kanan membuat dua orang dara kembar itu terpelanting ke kanan kiri!          “Berani kau merobohkan mereka!” bentak Kwan Siong Bu marah.             “Engkau wanita kejam!” bentak pula Tee Beng Sin.          Dua orang pemuda ini sudah menerjang maju untuk membela Lan Lan dan Lin Lin. Siong Bu telah mencabut pedangnya, sedangkan Beng Sin juga sudah mengayun golok besar di tangannya. “Siong Bu! Beng Sin! Mundur kalian!” bentak Kui Hok Boan dan dua orang pemuda itu terkejut, meragu saling pandang, kemudian melangkah mundur, tidak jadi melanjutkan serangan mereka.Akan tetapi Lan Lan dan Lin Lin sudah bangkit lagi dan biarpun mereka sudah tidak memegang senjata, mereka masih nekat, maju menerjang dan menyerang dengan tangan kosong. “Lan dan Lin, jangan kurang ajar kalian!” kembali Kui Hok Boan membentak, akan tetapi dua orang dara itu sama sekali tidak memperdulikannya, melainkan terus menyerang dengan pukulan-pukulan yang dahsyat.          “Heiiitttt!!” Lan Lan menghantamkan kepalan kanannya ke arah muka musuh besarnya itu. “Hiaaaaattt!” Lin Lin juga menyerang, menonjok ke arah ulu hati dengan sekuat tenaga.      “Hemm, menjemukan kalian!” bentak Kim Hong Liu-nio sambil menggeser kaki miringkan tubuhnya.            “Plak! Plak!” Dua kali tangannya bergerak dan ternyata dia telah menotok pundak kedua orang lawan itu. Lan Lan dan Lin Lin mengeluh dan roboh terguling, tidak mampu bergerak lagi.    “Kalian ini bocah-bocah lancang be­rani menyerangku? Nah, bersiaplah untuk mati!” “Kouwnio... harap ampunkan mereka...!” Kui Hok Boan meratap! Laki-laki ini memang mempunyai watak pengecut. Karena tahu bahwa wanita itu lihai sekali dan dia tidak akan mampu menandinginya, maka dia tidak berani berkutik dan hanya meratap minta ampun melihat nyawa dua orang puterinya terancam bahaya.Kim Hong Liu-nio menoleh dan ter­senyum mengejek, “Orang she Kui, eng­kau hendak membela mereka? Majulah!” “Tidak... tidak... harap kouwnio ampunkan kami...”           Akan tetapi Kim Hong Liu-nio yang merasa dihina oleh dua orang dara kem­bar itu tidak memperdulikan ratapan ini, dia melangkah maju mengangkat tangan kirinya ke atas dan menampar ke arah kepala Lan Lan dan Lin Lin.“Plakk!” Sebuah tangan menangkis tamparannya. “Aih, suci, jangan bunuh mereka! Mereka ini menarik sekali, sayang kalau dibunuh. Wah, sungguh manis dan serupa benar. Amat menarik! Sukar mengenal mana enci mana adik, dan andaikata diberitahupun aku akan lupa lagi, ha-ha-ha! Kelak aku akan minta kepada Sin Liong agar kedua adiknya ini diserahkan kepadaku.”         Aneh sekali, Kim Hong Liu-nio tidak jadi melanjutkan niatnya membunuh ke­dua orang dara kembar itu setelah di­cegah oleh sutenya. Dan pada saat itu terdengar derap kaki banyak kuda, dan muncullah Kwan-ciangkun memasuki ruangan itu. “Hee, Kui-sicu, mana buronan-buronan itu?” begitu memasuki ruangan, Kwan-ciangkun berseru kepada Kui Hok Boan. “Ah, kiranya paduka sudah mendahului ke sini, pangeran?” Dia memberi hormat kepada Ceng Han Houw, kemudian mem­beri hormat pula kepada Kim Hong Liu-nio sambil berkata, “Dengan adanya lihiap dan pangeran di sini sebetulnya tidak perlu mengerahkan pasukan menangkap dua orang buronan pemberontak kecil, ha-ha-ha!”   Melihat munculnya sahabatnya ini, legalah hati Kui Hok Boan. “Wah, celaka, Kwan-ciangkun, kedua orang itu telah berhasil meloloskan diri dan melarikan diri semalam!” “Ahhh...?” Kwan-ciangkun berseru kaget.“Ha-ha, berkat ketangkasan dua orang dara kembar yang cantik dan gagah ini!” kata Han Houw. “Orang she Kui, ke mana larinya mereka?”          Pertanyaan yang diajukan oleh Kim Hong Liu-nio dengan suara dingin ini membuat Kui Hok Boan gelagapan.“Mereka... saya kernarin bicara tentang Lembah Naga, sudah pasti mereka itu menuju ke utara. Saya... saya berani bertaruh nyawa mereka pasti melarikan diri ke utara.”  “Kalau lari ke utara, tentu bertemu dengan pasukan kami di jalan!” bantah Kwan-ciangkun.             “Hemm, mereka itu tentu tidak berani melalui kota raja! Kenapa engkau begitu bodoh? Hayo, coba engkau pergunakan pikiranmu, ke mana kiranya dua orang buronan itu lari, Kwan-ciangkun?” Han Houw bertanya sambil mentertawakan perwira itu.         Perwira she Kwan itu kelihatan bi­ngung, mukanya berubah merah dan sikap­nya gugup. “Menurut penuturan Kui-sicu, agaknya mereka melarikan diri ke utara, akan tetapi kalau ke utara tentu bertemu dengan pasukan kita... maka agaknya... eh, mereka itu tidak lari ke utara, pangeran.” “Ha-ha-ha, jawabanmu itu bodoh se­kali, Kwan-ciangkun. Dan aku tahu bah­wa Sin Liong amat cerdik. Coba bayang­kan seandainya engkau menjadi dia. Eng­kau tahu bahwa dari utara datang serombongan pasukan seperti diceritakan oleh adik tiri yang manis itu, padahal engkau hendak melarikan diri ke utara, maka jalan mana yang akan kauambil? Melarikan diri ke utara sudah pasti tidak mungkin melalui selatan, hanya bisa melalui barat atau timur. Dan karena eng­kau tahu bahwa pasukan tentu akan me­lakukan pengejaran, maka jurusan mana yang akan kauambil? melalui timur ber­arti melalui dusun-dusun dan kota-kota terbuka, sedangkan melalui barat berarti melalui daerah pegupungan dan hutan-hutan.”     Wajah Kwan-ciangkun berseri. “Ah, kalau begitu mereka tentu lari menuju ke barat!”          Pangeran Ceng Han Houw juga ter­tawa mengejek. “Kalau begitu, mengapa engkau tidak lekas mengejarnya?”Perwira itu memberi hormat. “Terima kasih, pangeran!” lalu dia mengeluarkan aba-aba dan tak lama kemudian terdengar derap kaki kuda pasukan itu membalap ke arah barat. Kim Hong Liu-nio menghampiri Kui Hok Boan, memandang sejenak lalu ber­kata dengan suara dingin, “Hemm, orang she Kui, kembali engkau melibatkan diri­mu, dulu dengan isteri orang she Cia dan kini malah dengan puteranya.”     “Akan tetapi, kouwnio, saya telah berusaha menghubungi Kwan-ciangkun untuk menangkap mereka...” Kui Hok Boan membantah dengan wajah pucat.         “Dan siapa yang memberi tahu me­reka sehingga lolos? Dua orang puterimu, bukan? Seharusnya kubunuh mereka, akan tetapi karena pangeran sayang kepada mereka, maka engkau ayahnya yang sepatutnya menjadi gantinya!”Wajah Kui Hok Boan makin pucat, dan terdengar Ceng Han Houw tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, suci, hayo potong saja hidungnya atau sepasang telinganya!”   Orang she Kui itu makin ketakutan. Dia tahu bahwa melawan wanita itu akan sia-sia belaka, kepandaiannya masih terlalu jauh untuk dapat menandinginya, dan dia tidak melihat jalan lain untuk menyelamatkan dirinya, apalagi setelah melihat betapa Kwan-ciangkun tadi amat takut kepada pemuda tampan yang disebut pangeran ini. Kedua kakinya menjadi lemas dan dia menjatuhkan dirinya, berlutut di depan dua orang itu!“Ampunkan hamba... ampunkan hamba...” ratapnya.Tiba-tiba Lan Lan dan Lin Lin yang sudah mengambil kembali pedang mereka yang tadi terlempar, melompat ke depan ayah mereka dengan pedang di tangan. “Jangan membunuh ayah kami!” bentak Lan Lan.           “Kalau kami yang bersalah, hukumlah kami, ayah kami tidak bersalah!” bentak Lin Lin. Dua orang dara kembar itu berdiri berdampingan dengan pedang di tangan, wajah mereka yang cantik itu memerah dan mereka siap bertanding mati-matian untuk melindungi ayah mereka.Melihat betapa sang ayah berlutut minta ampun dengan wajah pucat sebaliknya dua orang anak kembar itu berdiri menentang dan melindungi ayah mereka dengan wajah merah. Ceng Han Houw bertepuk tangan memuji. “Ha-ha, sungguh mengherankan sekali seekor ular tanah yang merayap dapat mempunyai dua orang anak seperti sepasang naga terbang di angkasa! Betapa gagahnya, betapa cantiknya. Suci, biarkan aku menghadapi mereka!”          Sambil tersenyum manis pangeran itu melangkah maju mendekati sepasang dara kembar itu, memandang mereka penuh kagum. “Nona berdua sungguh manis dan gagah sekali, benarkah kalian hendak melindungi ayah kalian?” “Akan kami bela sampai mati!” jawab Lan Lan tegas sambil meniandang pangeran itu dengan mata bersinar penuh ke­tekadan.         “Hemm, kalian hebat! Daripada menggunakan kekerasan, bukankah lebih baik kalian ikut bersamaku menjadi ke­kasihku dan kami akan mengampuni ayah kalian?”    “Tidak sudi!” bentak Lin Lin marah.         “Lebih baik kami mati!” teriak pula Lan Lan.         Han Houw menoleh kepada sucinya yang memandang dengan wajah dingin saja. “Lihat, suci, betapa gagahnya mereka ini! Sayang masih terlampau muda, bagaikan bunga belum mekar benar. Beri waktu satu dua tahun lagi dan mereka akan menjadi sepasang bunga yang semerbak harum dan hebat!” Kemudian pangeran ini kembali menghadapi Lan Lan dan Lin Lin. “Engkau belum tahu aku siapa dan biarlah kita saling berkenalan melalui pertandingan. Nah, aku akan membunuh ayah kalian, kalian boleh membelanya!” Dengan tertawanya yang memikat Han Houw lalu menggertak hendak memuKui Kui Hok Boan.Melihat ini Lan Lan dan Lin Lin ce­pat menerjangnya dan menyerang dengan pedang mereka, bukan hanya untuk men­cegah pangeran itu mengganggu ayah mereka melainkan juga untuk merobohkan pangeran yang ceriwis itu.       Akan tetapi, dengan amat mudahnya Han Houw menghindarkan sambaran dua batang pedang itu sambil tertawa-ta­wa menggoda. Lan Lan dan Lin Lin menjadi makin marah dan mereka sudah nekat untuk mengadu nyawa. Hati kedua orang dara kembar ini sudah merasa sa­kit bukan main, bukan hanya sakit ka­rena melihat penghinaan-penghinaan dua orang ini, terutama sekali sakit melihat sikap ayah mereka yang mereka anggap amat pengecut dan memalukan itu. Me­lihat ayahnya berlutut dan meratap-ratap minta ampun, mereka tak dapat menahan rasa jijik dan malu, maka mereka nekat ­maju menentang dua orang itu biarpun mereka cukup maklum bahwa mereka, terutama wanita iblis musuh besar mereka itu, memiliki kepandaian yang amat lihai. Kini, melihat pangeran itu ber­maksud kurang ajar terhadap mereka, Lan Lan dan Lin Lin sudah menyerang­nya dengan nekat dan mati-matian, mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaga mereka.Akan tetapi mereka tidak tahu bahwa pangeran ini memiliki kepandaian yang amat hebat pula! Betapapun mereka me­nyerang dengan ganasnya, tidak pernah ujung pedang mereka dapat menyentuh tubuh pengeran itu yang hanya berloncat­an ke sana-sini sambil tersenyum girang seperti seekor harimau mempermainkan dua ekor kelinci sebelum diterkamnya!          “Ha-ha-ha, cukuplah, kalian benar-benar mempunyai semangat berkobar-kobar, kelak akan menjadi kekasih yang menyenangkan sekali!” kata pangeran itu. Akan tetapi ucapan ini bahkan makin mengobarkan api kemarahan di hati se­pasang dara kembar itu, dan sambil ber­seru nyaring mereka menusukkan pedang mereka ke arah dada pangeran itu de­ngan kekuatan sepenuhnya. Tiba-tiba dua tangan pangeran itu bergerak mendahului. “Tuk! Tukk!” Jari tangan kanan kiri telah berhasil menotok pundak kiri dua orang dara itu dan di lain saat dia sudah menangkap pergelangan tangan yang memegang pedang sehingga Lan Lan dan Lin Lin tidak mampu berkutik lagi. Ketika mereka hendak menggerakkan tangan kiri, ternyata lengan kiri mereka sudah lumpuh tertotok, dan pada saat itu, sambil tersenyum Han Houw lalu melangkah maju dan mencium pipi dua orang dara kembar itu bergantian. Lan Lan dan Lin Lin hanya mampu menarik muka mereka untuk mengelak, akan tetapi tetap saja pipi mereka kena dicium!     “Lepaskan mereka!” Siong Bu me­loncat ke depan diikuti oleh Beng Sin.    “Siong Bu! Beng Sin, jangan lancang. Mundur kalian!” bentak Kui Hok Boan yang masih berlutut dan dua orang muda itu kembali menahan kemarahan mereka dan tidak jadi bergerak, mundur kembali. Sementara itu, Han Houw sudah menepuk pundak kanan Lan Lan dan Lin Lin. Dua orang dara itu mengeluh lirih dan roboh dengan tubuh lemas!  “Ha-ha-ha, menyenangkan sekali! Eh, orang she Kui, aku mengampunkan eng­kau, akan tetapi engkau harus berjanji bahwa setahun lagi engkau akan me­nyerahkan dua orang puterimu ini kepada­ku. Antarkan saja ke istana, cari aku, Pangeran Ceng Han Houw. Mengertikah engkau?”   Kui Hok Boan yang masih berlutut itu mengangguk-angguk. “Hamba mengerti dan hamba menghaturkan terima kasih atas anugerah ini, pangeran!” Dan me­mang orang she Kui itu girang bukan main. Kalau dua orang puterinya menjadi isteri pangeran, tentu saja derajatnya akan naik tinggi sekali!        “Suci, hayo kita cepat mengejar Sin Liong!” Han Houw berkata dan sekali berkelebat, dia lenyap dari situ. Kim Hong Liu-nio mendengus ke arah Kui Hok Boan, lalu berkelebat pula dan le­nyap! Kui Hok Boan, Siong Bu dan Beng Sin melongo keheranan dan bergidik me­lihat kelihaian dua orang yang seperti iblis itu.Kui Hok Boan lalu menghampiri dua orang puterinya dan membebaskan totokan atas diri mereka. Setelah dua orang puterinya itu bangkit berdiri, Kui Hok Boan mengelus jenggotnya memandang kepada mereka. “Baik sekali nasib kita, terutama sekali nasibmu, Lan dan Lin, kalian menjadi tunangan seorang pangeran”Lan Lan dan Lin Lin memandang kepada ayah mereka dengan mata terbelalak, seolah-olah ditampar karena mereka sungguh tidak mengerti mengapa ayahnya bersikap serendah itu. Merekamengeluh dan berlari memasuki rumah sambil menangis! Kui Hok Boan mengira bahwa mereka itu seperti biasanya anak-anak perawan kalau mendengar tentang perjodohan mereka, merasa malu dan menangis, maka dia mengikuti mereka dengan suara ketawa puas.“Paman, sebaiknya paman membawa Lan-moi dan Lin-moi dan cepat pergi dari sini!” tiba-tiba Kwan Siong Bu ber­kata.          Kui Hok Boan menghentikan tawanya dan memandang heran. “Eh, kenapa?”         “Bu-ko benar, paman. Sebelum mereka itu datang lagi, sebaiknya paman dan ke­dua adik sudah pergi dari sini dan Lan-moi berdua Lin-moi tidak akan menjadi korban!”             “Eh, eh, apakah kalian sudah menjadi gila? Lan Lan dan Lin Lin akan menjadi isteri atau setidaknya selir-selir pangeran! Itu merupakan suatu kehormatan besar! Mereka akan hidup mulia dan mewah di dalam istana, dan aku... aku akan disebut mertua pangeran. Ha-ha-ha, siapa kira kemuliaan akan kudapatkan melalui kedua anak kembarku itu!”   Siong Bu dan Beng Sin saling pandang dan muka mereka menjadi pucat. “Akan tetapi, paman! Lan-moi dan Lin-moi akan menjadi permainan pangeran keparat itu!” Siong Bu berseru.      “Dan mereka berdua tidak sudi menjadi permainan pangeran itu!” sambung Beng Sin.         Kui Hok Boan memandang kepada mereka berdua dengan alis berkerut. “Hal ini bukan urusan kalian dan kalian tidak usah mencampuri! Dan lain kali, tanpa perintahku, kalian tidak boleh lancang hendak turun tangan. Apa kalian kira kalian akan dapat menang melawan pa­ngeran dan sucinya itu? Mereka adalah orang-orang sakti, selain sakti juga ber­kedudukan tinggi di istana! Menjadi mu­suh pangeran jelas celaka, sama dengan bunuh diri. Akan tetapi menjadi mertua­nya, hemmm, bahkan kalian sendiri akan ikut terangkat derajat kalian! Pergilah!”Dua orang pemuda itu dengan wajah pucat lalu pergi meninggalkan Kui Hok Boan yang masih berseri-seri membayangkan betapa bahaya maut yang baru saja mengancam dia sekeluarga berubah men­jadi berkah yang sama sekali tak pernah dimimpikannya! Menjadi mertua pangeran! Bayangkan saja!Akan tetapi, bayangan-bayangan mu­luk dari Kui Hok Boan ini pada keesokan harinya berubah menjadi kebingungan dan kemarahan ketika melihat dua orang puterinya tidak berada di dalam kamar mereka. Kamar itu telah kosong dan dua orang puterinya telah lolos dan pergi meninggalkan rumah sambil membawa beberapa potong pakaian dan uang bekal, tanpa meninggalkan surat atau jejak. Lan Lan dan Lin Lin telah lolos dan pergi dari rumah itu karena mereka merasa muak dengan sikap ayah mereka, dan terutama sekali karena mereka tidak sudi diserahkan oleh ayahnya kepada pangeran itu! Mereka berdua mengambil keputusan untuk minggat dan mencari Sin Liong karena daripada ikut ayah mereka yang berwatak pengecut, pengkhianat dan penjilat itu, mereka lebih suka ikut merantau bersama kakak tiri mereka!       Tentu saja Kui Hok Boan menjadi bingung dan panik seperti kebakaran jenggot! Bukan saja dia kehilangan dua orang puteri yang dicintanya, akan tetapi juga kehilangan bayangan muluk itu, dan terutama sekali dia akan terancam bahaya dari pihak pangeran itu dan sucinya ka­lau sampai dia tidak dapat menemukan kembali dua orang puteri mereka.  “Siong Bu! Beng Sin! Apa kerja kalian ini sampai tidak tahu mereka itu me­larikan diri? Hayo kalian pergi cari mereka sampai dapat! Dan jangan pulang kalau belum berhasil menemukan mereka!” bentaknya dengan marah kepada dua orang pemuda itu.Kwan Siong Bu dan Tee Beng Sin lalu membawa senjata dan pakaian, berangkat mencari dua dara kembar itu dan agar lebih cepat bisa berhasil, mereka ber­pencar, Siong Bu mengejar ke barat dan Beng Sin mengejar ke timur. Tinggal Kui Hok Boan seorang diri dan dia duduk termenung di depan rumah, wajahnya muram membayangkan kedukaan, ke­kecewaan dan kekhawatiran.             Setiap keinginan untuk menyenangkan diri sendiri SELALU mendatangkan per­tentangan, kebencian dan kesengsaraan! Keinginan untuk menyenangkan diri sen­diri ini dapat saja berselubung dengan pakaian atau istilah yang lebih tinggi, lebih halus atau lebih mulia, seperti “demi kebahagiaan anak”, demi kemajuan golongan, demi partai, demi agama, atau demi bangsa. Padahal, semua itu hanya berintikan “demi aku” yang berarti pe­ngejaran keinginan untuk senang pribadi itulah!Di mana terdapat pamrih menyenangkan diri sendiri, di situ sudah pasti TIDAK ADA cinta kasih! Pamrih menyenangkan diri pribadi meniadakan cinta kasih, karena demi untuk mencapai kesenangan itu segala sesuatu adalah benar atau salah disesuaikan dengan tujuan mencapai kesenangan itu. Dan siapapun juga orangnya, yang menjadi perintang untuk mencapai kesenangan bagi diri sendiri, sudah pasti akan ditentang, dibenci dan dimusuhi. Maka terjadilah pertentangan, permusuhan, kebencian, yang semua itu merupakan pintu-pintu yang lebar menuju jurang kesengsaraan.Seperti juga Kui Hok Boan dalam menghadapi perkara itu. Bisa saja dia mengemukakan alasan bahwa kalau sampai kedua orang puterinya menjadi isteri atau selir pangeran, tentu dua orang puterinya itu akan berbahagia hidupnya. Seolah-olah kebahagiaan kedua orang puterinya itu dialah yang menentukan! Dan kalau dua orang puterinya itu menentang, dia lalu menjadi marah, benci, duka, kecewa! Inikah yang dinamakan cinta kasih orang tua terhadap anaknya? Betapa banyaknya orang tua yang baik disadarinya maupun tidak, bertindak seperti Kui Hok Boan ini, dan toh masih merasa benar selalu. Benarnya sendiri! Orang tua seperti ini selalu menganggap bahwa dia LEBIH MENGERTI, lebih berpengalaman, lebih ini dan itu sehingga dia berhak menentukan jalan hidup anaknya menurut dia, tentu akan berbahagia! Semua diaturnya, dengan alasan demi anaknya demi kebahagiaan anaknya, akan tetapi kalau si anak menolak dia menjadi marah dan membenci anaknya! Inikah cinta kasih? Yang setiap saat berubah menjadi benci kalau keinginannya dibantah? Betapa bodohnya, betapa butanya! Bukankah orang yang mencinta akan merasa ikut bahagia kalau melihat orang yang dicintanya itu berbahagia dan ikut berduka kalau melihat orang yang dicintanya itu sengsara? Cinta yang menuntut kesenangan untuk diri pribadi sama sekali bukan cinta, melainkan nafsu memuaskan diri sendiri belaka.      Orang bisa saja, dan semua ini adalah lihainya sang pikiran, lihainya si aku, menyelubungi pula si aku yang ingin senang sendiri itu dengan istilah yang muluk-muluk, seperti pengorbanan. Cinta adalah pengorbanan, katanya. Padahal, orang yang merasa bahwa dia telah berkorban diri demi cinta juga menginginkan kesenangan melalui pengorbanan itulah, yang menimbulkan bangga diri merasa suci, dan sebagainya lagi yang tak lain tak bukan juga merupakan kesenangan, yang dikejar. Dan semua bentuk kesenang­an, yang kasar, yang halus, yang rendah, yang tinggi, selalu pasti dibayangi oleh kekecewaan, kebosanan dan kedukaan. Orang tua yang bijaksana tidak akan mengekang anaknya, tidak akan menekan anaknya, tidak akan mempergunakan anaknya untuk menyenangkan diri sendiri, membanggakan diri sendiri, tidak akan memperalat si anak untuk mendatangkan kepuasan, kebanggaan, atau kesenangan bagi diri sendiri. Tidak mengekang, bukan­lah berarti acuh tak acuh, bukan berarti tidak perduli kepada si anak. Sebaliknya malah. Cinta kasih selalu diikuti perhati­an yang menyeluruh! Perhatian terhadap si anak, bukan terhadap keinginan diri sendiri! Kalau ada keinginan di sini, satu-satunya keinginan hanyalah melihat anak­nya menjadi seorang manusia yang baha­gia, benar dan bajik, di samping pelajar­an-pelajaran yang menjadi syarat dalam kehidupan di dunia ramai. Sungguh patut disayangkan betapa hampir saja sebagian orang tua hanya ingin melihat anaknya menjadi orang yang berhasil, dalam arti kata menjadi kaya raya, berkedudukan tinggi, dihormati, tidak kalah oleh orang-orang lain, dan sebagainya lagi. Padahal, jelas nampak bahwa kebahagiaan bukan terletak dalam kesemuanya itu. “Eh, di manakah aku...?” Bi Cu membuka matanya dan ketika dia melihat bahwa dirinya berada dalam pondongan Sin Liong, dia cepat meronta. Sin Liong melepaskannya dan mereka berdiri saling pandang. Malam telah berganti pagi biarpun sang matahari sendiri masih belum nampak cahayanya telah men­ciptakan sinar kuning keemasan yang cerah di permukaan bumi.  “Di mana kita...? Dan kenapa kau memondongku ke tempat ini, Sin Liong?”Kalimat terakhir ini diucapkan dengan nada menegur dan pandang matanya penuh tuntutan.            “Ah, engkau tidak tahu, Bi Cu. Semalam suntuk aku terpaksa berlari-lari memondongmu sampai ke sini, dikejar-kejar orang!” Sin Liong pura-pura meng­omel dan memijit-mijit lengan kirinya yang memondong tadi.          “Semalam suntuk dikejar-kejar orang? Dan aku terus kaupondong? Aih, sungguh luar biasa sekali! Kenapa aku tidak ter­bangun? Padahal, biasanya biarpun aku sedang tidur nyenyak sekali, sedikit suara nyaring saja cukup membangunkan aku, apalagi sampai dipondong dan dibawa lari semalam suntuk! Aneh sekali!” Dara remaja itu memijit-mijit pelipisnya. “Dan aku masih merasa pening...”           “Tidak aneh karena engkau telah men­jadi korban minuman yang mengandung obat bius.”   “Aku? Dibius? Ah, Sin Liong, apakah yang telah terjadi? Bukankah kita tadi­nya menjadi tamu dari ayah tirimu... ah, kini ingat aku! Apakah kaumaksudkan arakitu mengandung obat bius?” Sepasang mata itu terbelalak dan bersinar-sinar demikian tajamnya seolah-olah dapat me­nembus dada Sin Liong.Sin Liong menarik napas panjang, ter­ingat akan pengkhianatan Kui Hok Boan dan juga pertolongan kedua orang adik tirinya. Sepanjang malam ketika dia me­larikan diri, dua hal ini selalu terbayang dalam ingatannya, membuat dia terheran-heran dan bingung. Ayah tirinya mengkhianatinya, akan tetapi puteri-puteri ayah tirinya itu demikian baik kepadanya. Tidak tahu dia apakah hal itu akan membuat dia menangis atau tertawa!   “Bi Cu, dugaanmu benar. Arak yang disuguhkan kepada kita itu mengandung obat bius, maka setelah minum beberapa cawan engkau lalu terbius dan tidur nyenyak semalam suntuk sehingga engkau bahkan tidak merasa bahwa engkau ku­bawa lari sepanjang malam.” “Akan tetapi... engkau sendiri kulihat juga minum arak itu, kenapa engkau tidak terbius?”   Gadis ini terlampau cerdas, kalau dia tidak berhati-hati, mana dia dapat me­nyembunyikan kepandaiannya? Matanya terlalu awas, otaknya terlalu tajam! “Ah, akupun tadinya sudah terbius dan sudah merasa pening ketika kita bersama menuju ke kamar kita masing-masing, akan tetapi belum kuceritakan kepadamu bahwa dalam perantauanku, aku pernah bekerja kepada toko obat sehingga aku tahu gejalanya ketika itu. Karena pening itu aku dapat menduga bahwa aku minum obat bius, maka, aku cepat menelan pel penawar racun yang kebetulan hanya tinggal sebuah dan selama itu kusimpan dalam saku baju. Pel itu menawar racun obat bius itu sehingga aku tidak sampai tidur nyenyak seperti engkau, Bi Cu.” “Ah, engkau licik akan tetapi ceroboh, Sin Liong. Semestinya dalam keadaan seperti itu, engkau memberikan obat itu kepadaku sehingga bukan aku yang ter­bius, melainkan engkau.”       “Eh? Kenapa begitu?”    “Kalau engkau yang terbius dan aku masih sadar, bukankah aku dapat me­lindungimu kalau ada bahaya mengancam? Dalam keadaan seperti itu yang lebih kuat berkewajiban menghadapi bahaya yang mengancam.”Sin Liong tersenyum. “Baiklah, lain kali akan kuingat kata-katamu itu, Bi Cu.” “Sudahlah, buktinya engkau juga dapat menyelamatkan diri kita, hanya kasihan, engkau harus memondongku semalam suntuk, tentu pegal-pegal rasa lenganmu.”     Sin Liong memijit-mijit lengannya. “Seperti hampir patah rasanya!” Akan tetapi sekarang teringat olehnya betapa hangat dan lunak tubuh yang dipondong­nya semalam itu, biarpun ketika melarikan diri dia tidak ingat sama sekali akan hal itu, dan baru sekarang dia teringat yang membuat jantungnya berdebar aneh.          “Akan tetapi... mengapa ayah tirimu itu membius kita, Sin Liong? Padahal dia begitu baik dan ramah...” Bi Cu tiba-tiba menahan kata-katanya karena teringat kini betapa sinar mata tuan rumah itu amat kurang ajar seperti hendak menelanjanginya, sinar mata yang seperti dapat dia rasakan menjelajahi tubuhnya, sinar mata cabul!Kembali Sin Liong menarik napas panjang. Inilah bagian-bagian yang paling sulit dalam pertanyaan-pertanyaan Bi Cu, dan dia tidak boleh berbohong. “Bi Cu, Kui Hok Boan itu hendak menangkap kita, hendak menyerahkan kita kepada pasukan pemerintah, bahkan dia telah mengirim surat kepada seorang perwira di kota raja, memberitahukan tentang adanya kita di rumahnya.”          “Ah, sungguh jahat!” teriak Bi Cu. “Sungguh sikap manisnya itu hanya se­bagai topeng domba di balik muka srigala! Akan tetapi... bagaimana engkau bisa tahu akan pengkhianatannya itu dan dapat melarikan diri, bahkan membawa aku yang masih terbius nyenyak?” Gadis itu memandang penuh perhatian kepada wajah Sin Liong, seperti hendak menyelidiki keadaan pemuda itu. “Kalau tidak ada Lan-moi dan Lin-moi, tentu sekarang kita sudah tertawan pasukan kerajaan, Bi Cu. Semalam, tanpa diketahui orang, Lin-moi memasuki ka­marku lewat jendela dan dia mencerita­kan semuanya. Dia bersama Lan-moi disuruh mengantarkan surat oleh ayah mereka kepada seorang perwira di kota raja. Karena curiga mereka berdua mem­buka surat itu di tengah jalan dan tahu­lah mereka bahwa surat itu berisi pem­beritahuan bahwa kita berada di rumah mereka. Karena tidak berani membang­kang, Lan-moi melanjutkan perjalanan ke kota raja, akan tetapi surat itu pagi hari ini baru akan diserahkan, sedangkan Lin-moi bertugas pulang untuk memberi tahu kepada kita. Nah, mendengar penuturan Lin-moi, aku lalu memasuki kamarmu lewat jendela dan membawamu kabur dari sana, dibantu oleh Lin-moi yang me­mancing perhatian para penjaga sehingga mudah bagiku untuk berlari keluar.”         “Hebat sekali! Adik-adik tirimu itu benar manis dan gagah, Sin Liong, aku makin suka kepada mereka! Sungguh aneh, ayah tirimu itu demikian curang, akan tetapi sebaliknya anak-anaknya demikian baik. Bagaimana ini?”Sin Liong menggeleng kepala. “Aku sendiripun tidak mengerti, semalam sun­tuk dua hal yang berlawanan itu menghantui pikiranku.”  “Aihh, aku tahu! Tentu saja begitu...” Tiba-tiba Bi Cu berseru dan wajahnya berseri, sikapnya seperti orang yang baru saja dapat memecahkan suatu teka-teki yang sulit.             “Apa yang kau tahu? Bagaimana?”         “Tentu saja! Ayah tirimu itu seorang yang curang dan khianat, pendeknya se­orang yang jahat! Akan tetapi Lan Lan dan Lin Lin tidak menuruti watak ayah mereka, melainkan mewarisi watak gagah dan baik dari mendiang ibumu! Tentu saja begitu, maka mereka demikian baik.”    Sin Liong mengangguk-angguk, dan dia dapat percaya pendapat ini, juga hatinya girang karena ucapan Bi Cu itusekaligus memuji-muji ibunya yang dikatakannya gagah dan baik, padahal Bi Cu belum pernah bertemu dengan ibunya. “Sin Liong, marilah kita kembali ke sana. Aku harus menghajar ayah tirimu yang curang dan jahat itu!” tiba-tiba Bi Cu berkata sambil mengepal tinjunya.Diam-diam Sin Liong tersenyum dalam hati melihat lagak ini. Dia tahu bahwa kepandalan Bi Cu masih jauh untuk dapat menandingi kepandaian ayah tirinya. “Mana mungkin itu, Bi Cu? Sekarangpun agaknya sudah ada pasukan yang menuju ke dusun itu, bahkan setelah me­nerima penjelasan, tentu akan mengejar kita ke sini.”             “Ohh! Kalau begitu, bagaimana baik­nya? Di mana kita ini sekarang, dan hendak pergi ke mana?”    “Aku sengaja mengambil jalan pe­gunungan yang penuh hutan liar ini, Bi Cu. Aku lari menuju ke barat dan se­telah tiba di sini, kita menyusuri pe­gunungan ini membelok ke utara. Kita pergi ke Lembah Naga dan ke tempat tinggal mendiang ayahmu untuk me­nyelidiki kematian ayahmu, tanpa melewati kota raja.”   “Baik, dan aku berterima kasih kepadamu, Sin Liong,” Bi Cu memegang lengan pemuda itu. “Percayalah, kalau ada kesempatan, aku akan membalas pertolonganmu itu, dan aku tidak akan ogah untuk menggendongmu semalam suntuk!”          “Wah, kalau bisa jangan terjadi hal itu. Aku tentu akan ditertawakan orang, sebagai seorang laki-laki digendong seorang wanita.” Sin Liong menjawab. “Mari kita melanjutkan perjalanan. Di depan itu ada hutan besar, kita memasuki hutan dan mencari sesuatu yang dapat dimakan.”       Demikianlah, pemuda dan pemudi remaja ini melanjutkan perjalanan mereka, masuk keluar hutan, naik turun gunung dan jurang-jurang karena mereka melalui jalan liar yang sama sekali tidak mereka kenal. Penunjuk jalan mereka hanyalah matahari. Mereka tahu arah utara, yaitu jika pagi hari matahari berada di sebelah kanan mereka dan pada sore hari matahari berada di sebelah kiri mereka. Kadang-kadang mereka melewati dusun pegunungan dan di setiap dusun me­reka diterima dengan ramah dan baik oleh para penghuni dusun yang rata-rata berwatak polos, jujur dan penuh perikemanusiaan itu. Akan tetapi, Sin Liong dan Bi Cu yang masih hijau dan belum berpengalaman dalam taktik sebagai buronan itu tidak tahu bahwa justeru di dusun-dusun inilah mereka meninggalkanjejak yang jelas sekali! Para pemburu mereka tentu akan dapat mencari keterangan tentang mereka di dusun-dusun ini, dan tentu para penghuni dusun yang jujur itu akan menceritakan kepada siapapun juga tentang mereka berdua! Setelah melakukan perjalanan beberapa hari lamanya, mereka telah melewati batas Propinsi Ho-pei dan Shen-si, melalui kaki Pegunungan Tai-hang-san. Pada hari itu, pagi-pagi sekali mereka telah tiba di depan sebatang sungai yang besar dan karena, pada waktu itu banyak turun hujan, maka air sungai meluap dan membanjir! Tidak nampak sebuahpun perahu di sekitar tempat itu dan dua orang muda itu berdiri di tepi pantai dengan bimbang ragu dan bingung.       “Wah, mengapa sungai ini menghalangi perjalanan kita?” Bi Cu mengomel dan bersungut-sungut.   “Aih, Bi Cu, engkau sungguh tidak adil kalau menyalahkan sungai ini. Sudah beratus tahun, mungkin ribuan tahun la­manya, sungai ini tentu sudah ada di sini dan mengalir tiada hentinya. Dan hari ini, kita yang, muncul di sini. Mengapa kau menyalahkan dia yang tidak berdosa? Lebih tepat menyalahkan kita yang meng­ambil jalan sampai di sini.”Bi Cu makin cemberut. “Menyalahkan sungai tidak benar, menyalahkan diri sendiripun apa gunanya? Sekarang ini bagaimana? Menyeberang sungai ini tanpa perahu, sungguh tidak mungkin!”   “Heran mengapa ada perahu di sini?” Sin Liong menoleh ke kanan kiri.      “Tidak heran! Sungai banjir begini, tentu para nelayan sudah pergi. Mau apa berperahu di tempat berbahaya begini? Ikan-ikanpun tentu pada sembunyi, dan tidak ada pelancong yang begitu gila untuk menyeberang. Tentu perahu-perahu itu telah ditarik ke darat oleh para ne­layan agar jangan diseret pergi oleh air bah.”          “Wah-wah, agaknya engkau mengerti betul tentang kehidupan nelayan.”    “Tentu saja! Suhu pernah mengajakku hidup beberapa bulan di perkampungan nelayan dan aku malah pernah membantu mereka mencari ikan.”        “Kalau begitu engkau tentu pandai berenang?”     “Tentu saja!”     “Wah, engkau ini gadis si segala bisa!”   “Apa engkau tidak pandai berenang, Sin Liong?”  Tentu saja Sin Liong dapat berenang dengan baik, karena ketika dia hidup secara liar di dalam hutanpun dia sudah sering kali mandi di telaga kecil dalam hutan yang cukup dalam. Akan tetapi dia menggeleng kepala dan merenungi sungai itu, seperti hendak mengukur dan me­naksir dengan pandang matanya apakah mungkin menyeberangi sungai lebar yang sedang banjir itu dengan cara berenang.  “Bi Cu, apakah engkau dapat berenang menyeberangi sungai ini?”            “Hanya orang gila yang akan berenang menyeberangi sungai banjir seperti ini! Dia tentu akan hanyut dan tewas. Tidak, kurasa aku tidak akan mampu menyebe­ranginya, Sin Liong. Lebih baik kita men­cari perahu. Kalau kita menyusuri tepi sungai, tentu akhirnya kita akan bertemu orang yang mempunyai perahu.” Sin Liong setuju dan mereka berdua lalu berjalan mengikuti aliran sungai yang menuju ke timur itu. Setelah mata­hari naik tinggi, mereka tiba di sebuah perkampungan nelayan dan benar seperti diduga oleh Bi Cu tadi, perahu-perahu nelayan itu mereka ungsikan sampai jauh ke daratan agar jangan terseret oleh banjir, dan setiap perahu dicancang pada sebatang pohon. Giranglah hati mereka berdua melihat ini dan dengan wajah berseri mereka berlari-lari menghampiri sebuah rumah yang berada di barisan pertama. Sin Liong menghampiri daun rumah dan mengetuknya. Ketukan itu seperti aba-aba saja karena serentak muncullah banyak orang dengan pakaian seragam. Pasukan tentara kerajaan! Melihat ini, Bi Cu mengeluarkan jerit ter­tahan.   “Ha, inilah mereka, buronan-buronan itu!” teriak seorang anggauta pasukan.           “Tangkap mereka!” bentak seorang perwira.         “Bi Cu, lari...!” Sin Liong berseru, menggandeng tangan gadis itu dan melarikan diri menjauhi dusun.Hanya sebentar saja Bi Cu menjadi gugup. Dia lalu teringat bahwa dialah yang lebih kuat daripada Sin Liong, maka dialah yang sepatutnya memimpin untuk menyelamatkan diri mereka berdua.“Lekas... ke sungai...! Tak mungkin lari...!” katanya dan memang kini terdengar derap kaki kuda yang ditunggangi para anggauta pasukan itu. Kini Bi Cu yang berbalik menarik tangan Sin Liong diajak lari menuju ke sungai. Setelah tiba di tepi sungai Sin Liong berkata, “Tapi... tapi... mana mungkin kita berenang di air yang deras itu...?” “Kita terpaksa, hanya jalan satu-satunya. Lihat, mereka sudah dekat! Hayo cepat!” Bi Cu menarik tangan Sin Liong dan keduanya terjun ke dalam air sungai! Gelagapan juga Sin Liong ketika terseret arus air yang amat kuat. Bi Cu menggerakkan kaki tangan melawan arus dan berusaha menarik pundak baju Sin Liong. Akan tetapi pada saat itu, beberapa orang tentara telah meloncat turun dari atas punggung kuda mereka, memegang busur dan anak panah, lalu mereka menyerang dua orang yang melarikan diri itu dengan anak panah.Melihat ini, Sin Liong cepat menggerakkan tangan dan kaki untuk menangkis dan setiap anak panah yang menyambar tepat ke arah mereka, dapat diruntuhkannya dengan gerakan ini. Akan tetapi, gerakannya itu membuat Bi Cu menjadi sibuk. Dara ini tidak melihat adanya serangan itu karena dia sibuk melawan arus.  “Ah... eh... jangan meronta-ronta... kau menurut sajalah kutarik... aku akan menyelamatkanmu, Sin Liong...!” kata Bi Cu sambil terengah-engah dan menarik Sin Liong makin ke tengah.          Arus air sungai itu makin deras dan kuat bukan main. Sh, Liong merasakan hal ini dan dia terkejut bukan main. Bahaya di air ini ternyata lebih besar daripada bahaya yang menanti di darat. Kenapa dia tadi menurut saja ketika ditarik oleh Bi Cu? Kenapa dia masih bersikeras untuk menyembunyikan kepandaiannya? Kalau dia tadi berada di darat, dia masih mampu memanggul Bi Cu melarikan diri dan serangan-serangan anak panah itu tidak ada artinya baginya.            Namun, kini telah terlanjur dan dia harus melawan arus air yang amat kuat itu. “Menyelamlah... kita menyelam... itu mereka membawa anak panah...!” baru sekarang Bi Cu melihat pasukan anak panah itu berjajar di tepi sungai. Bi Cu berusaha untuk menarik Sin Liong menyelam, dan Sin Liong tetap meronta untuk menangkisi anak panah yang menyambar-nyambar. Rontaannya ini membuat Bi Cu kewalahan dan akhirnya mereka terseret oleh arus air yang kuat, bergulingan dan gelagapan!    Sin Liong timbul kembali dan melihat seorang pemuda berpakaian mewah di pantai. Agaknya pemuda itu mencegah pasukan anak panah melakukan serangan, karena pemuda itu bukan lain adalah Ceng Han Houw dan tak jauh dari pemuda itu berdiri Kim Hong Liu-nio! “Sin Liong... ah... hauppp...!” Bi Cu meraih-raih dan akhirnya mereka dapat saling berpegangan. “Jangan pergunakan anak panah! Tangkap mereka hidup-hidup!” terdengar Han Houw berseru. Kemudian dia berteriak pula, “Liong-te, mengapa membunuh diri? Aku akan menolongmu, jangan khawatir, tidak akan ada yang mengganggumu. Kautangkaplah tali ini!”Han Houw melontarkan sehelai tali panjang dan tali itu meluncur cepat sekali, ujungnya terjatuh di dekat Sin Liong. “Tidak... jangan pegang... mereka akan membunmu...!” Bi Cu membantah dan merangkul Sin Liong, mencegah pemuda itu memegang ujung tali. Karena ini, ujung tali itu terbawa hanyut oleh air sehingga terpaksa Han Houw menariknya kembali, menggulung­nya dan kembali dia memutar-mutar tali di atas kepalanya “Liong-te, kautangkap ujung tali, jangan khawatir, aku akan melindungimu!”Tali itu dilemparkan dengan amat kuatnya dan kini tepat mengenai tubuh Sin Liong yang cepat menangkapnya. “Jangan, Sin Liong...!” “Tidak apa-apa, Bi Cu. Dia itu kakak angkatku, lebih baik kita di darat dari­pada mati konyol di air. Di darat, se­tidaknya kita dapat membela diri.” Lalu ditambahnya sambil tersenyum, sengaja memanaskan hati gadis yang wataknya keras ini, “Apakah engkau takut meng­hadapi mereka di darat?”            “Aku? Takut?” Bi Cu membentak. “Hayo kita mendarat!”   Sin Liong saling berpegang tangan dengan Bi Cu, dan tangannya yang se­belah lagi memegangi ujung tali yang dia libatkan pada lengannya. Tali itu kini ditarik oleh Han Houw ke pinggir. Akan tetapi saking derasnya air, dua orang muda itu masih terbanting-banting dan terguling-guling. Setelah mereka tiba dalam jarak tiga meter dari tepi sungai, tiba-tiba Han Houw mengeluarkan seruan keras dan membetot tali itu sekuat te­naga. Karena tali itu melibat lengan Sin Liong, maka pemuda ini tertarik dan me­layang ke atas bersama Bi Cu yang sa­ling berpegang tangan dengan dia!Sin Liong berjungkir balik ketika tu­run ke atas tanah, akan tetapi dia me­lihat betapa Bi Cu sudah ditolong oleh Han Houw yang dengan cekatan tadi telah menyambut tubuh dara itu dengan tangkas. Sin Liong merasa bersyukur, akan tetapi betapa kaget hatinya ketika dia melihat Han Houw menangkap kedua lengan dara itu dan ditelikungnya ke belakang. “Houw-ko... apa yang kaulakukan itu...?” bentaknya. Para anggauta pasukan segera mengurungnya dengan senjata ditodongkan, akan tetapi Han Houw membentak mereka, menyuruh mereka itu mundur. Kim Hong Liu-nio hanya memandang dengan senyum dingin, agaknya wanita ini membiarkan saja segala yang dilakukan oleh sutenya yang juga merupakan junjungannya.       “Pangeran, sebaiknya kita bunuh saja bocah keparat ini!” katanya perlahan sambil memandang kepada Sin Liong. Semenjak Han Houw menjadi pangeran dalam istana Kerajaan Beng, suci ini menyebut pangeran terutama sekali di tempat umum.       Sambil tersenyum Han Houw menoleh kepada perempuan cantik itu. “Eh, suci, apa kau lupa bahwa dia itu adik angkatku yang tercinta? Siapa yang berani membunuhnya akan berhadapan dengan aku sendiri! Bukankah begitu, Liong-te? Bukankah kita telah bersumpah sebagai kakak beradik?”  “Memang benar, Houw-ko, akan tetapi sikapmu ini sungguh tidak dapat dinamakan sikap seorang kakak angkat yang baik. Hayo kaulepaskan Bi Cu.”           “Nona ini? Ha-ha, dia ini cantik dan gagah pula, pantas kalau engkau jatuh cinta padanya, Liong-te...”         “Jangan bicara yang tidak-tidak!” Sin Liong cepat memotong dan wajahnya berubah merah sekali, sedangkan Bi Cu meronta-ronta hendak melepaskan kedua tangannya, akan tetapi tangan yang memegang kedua pergelangan tangannya itu terlalu kuat baginya.            “Ha-ha, engkau masih seperti dulu, Liong-te, kokoh kuat seperti batu karang, dingin beku seperti es di musim salju. Akan tetapi sekali api cinta membakar hatimu, engkau akan berkobar seperti lautan api. Ha-ha-ha! Liong-te, aku terpaksa menawan dia ini agar engkau tidak melakukan kenekatan yang bukan-bukan. Kalau engkau menyerah baik-baik, aku tidak akan mengganggu dia ini.”Sin Liong mengerutkan alisnya. Dia memang suka kepada Han Houw dan dia percaya kepada pangeran ini, akan tetapi dia juga tahu bahwa pangeran ini mempunyai watak aneh luar biasa dan kalau sudah hendak membunuh orang, agaknya sama seperti kalau membunuh ayam saja.    “Kau berjanji akan membebaskan dia?”   “Aku berjanji, asal engkau menyerah dan engkau penuhi pula permintaanku yang patut.”    “Permintaanmu yang patut?” Sin Liong tersenyum mengejek.       “Benar-benar patut dan sudah semesti­nya. Akan kukatakan kepadamu nanti, akan tetapi agar tetap aman, engkau menyerah. Suci, totok dia dan Sin Liong, kalau engkau melawan, nona ini akan kubunuh lebih dulu!”       Kim Hong Liu-nio tersenyum meng­ejek. “Merobohkan setan cilik ini apa sukarnya, pangeran?” Setelah berkata demikian, wanita itu menghampiri Sin Liong dan tangan kirinya bergerak cepat sekali. Kalau Sin Liong mau, tentu saja dia akan dapat mengelak atau menangkis, akan tetapi dia melihat sinar mata dari Han Houw dan dia tidak berani berkutik. Dia tahu betul bahwa sekali dia melawan, sekali pukul saja Han Houw akan mampu membunuh Bi Cu! Maka dia menyimpan tenaganya dan membiarkan dirinya di­totok. Begitu jari tangan Kim Hong Liu-nio mengenai tubuhnya, robohlah Sin Liong dalam keadaan lumpuh, tidak mampu menggerakkan kaki tangannya.      “Ha-ha-ha, mari kita bicara baik-baik dalam rumah, Liong-te. Ringkus dia dan belenggu baik-baik, juga nona ini!” Tiba-tiba Bi Cu merasa pundaknya ditekan dan diapun mengeluh lirih, lalu terguling dan lumpuh karena dia telah ditotok pula oleh Han Houw. Para perajurit cepat mengikat kedua kaki tangan Sin Liong dan Bi Cu, mengikat kedua tangan ke belakang tubuh, kemudian beramai-ramai mereka menggotong dua orang tawanan itu memasuki sebuah rumah yang paling besar di antara rumah-rumah nelayan itu, karena ini adalah rumah kepala dusun itu. Atas perintah Han Houw, Bi Cu yang dibelenggu kaki tangannya itu dibawa ke dalam sebuah kamar dan direbahkan ke atas pembaringan, sedangkan Sin Liong didudukkan di atas sebuah bangku ruang­an luar, di mana terdapat sebuah meja dan Han Houw duduk di atas kursi di belakang meja itu dengan lagak seorang hakim yang hendak mengadili seorang pesakitan. Pangeran ini lalu melepaskan topinya karena hawa dalam rumah itu agak panas, bahkan melepaskan baju bulunya dan memakai pakaiah biasa dari sutera tipis sehingga dia nampak lebih tampan. Sambil tersenyum dia lalu me­mandang kepada Sin Liong dan memberi isyarat dengan tangan agar para peng­awal yang menjaga di ruangan itu pergi semua. Tanpa diminta, Kim Hong Liu-nio yang tadinya duduk pula di sudut, mengangkat pundak dan pergi meninggal­kan ruangan itu. Wanita ini maklum pula bahwa sang sute yang menjadi junjungan­nya itu ingin bicara berdua saja dengan tawanannya, maka sebelum sute itu min­ta dia pergi, dia telah mendahuluinya meninggalkan ruangan. Biarpun Ceng Han Houw seorang pangeran yang sudah sepantasnya memerintah dia, namun dia selalu merasa tidak enak kalau diperintah pangeran yang menjadi sutenya ini, apa­lagi di depan para perajurit atau orang-orang lain.     Sin Liong masih dalam keadaan terbelenggu dan tertotok. Kalau dia meng­hendaki, agaknya dia akan mampu mem­bebaskan diri dari totokan itu, apalagi dari belenggu yang baginya tidak banyak berarti itu. Akan tetapi Sin Liong bukan­lah orang bodoh untuk bertindak ceroboh. Dia tahu bahwa keselamatan Bi Cu ter­ancam bahaya, maka dia berpura-pura tidak berdaya sambil memikirkan bagai­mana cara sebaiknya untuk menolong Bi Cu dan pergi membebaskan diri dari Han Houw dan pasukannya. Untuk melawan dengan kekerasan, amat berbahaya bagi keselamatan Bi Cu. Dia sendiri tidak takut menghadapi Han Houw, Kim Hong Liu-nio dan pasukannya, akan tetapi bagaimana dengan Bi Cu? Apa artinya dia dapat lolos kalau dara itu tertawan!       Han Houw kini tertawa dengan sikap­nya yang khas, tertawa dan tersenyum lepas sehingga wajahnya makin menarik dan tampan. Sepasang matanya yang tajam itu memandang wajah Sin Liong ketika dia tertawa. “Ha-ha, sungguh tak kusangka kita akan saling berhadapan seperti ini, engkau terbelenggu seperti seorang musuh! Rasanya seperti mimpi saja, atau seperti main sandiwara!” Kembali pangeran itu tertawa seperti orang yang merasa amat geli melihat peristiwa yang lucu.     “Hemm, aku sendiri juga merasa heran, Houw-ko, mengapa engkau melakukan hal seperti ini kepadaku setelah dahulu engkau mengajakku untuk bersembahyang dan bersumpah menjadi kakak dan adik angkat,” kata Sin Liong dengan suara dan sikap dingin.           Han Houw mengangkat alis, membelalakkan mata dan mengembangkan kedua lengannya. “Aih, kenapa engkau malah menyalahkan aku, Liong-te? Aku selalu baik kepadamu, akan tetapi pada suatu waktu yang lalu engkau malah pergi moninggalkan aku tanpa pamit! Kemudian engkau merendahkan namaku dengan menjadi seorang pelayan restoran di kota raja. Adik angkatku menjadi pelayan restoran, bukankah itu berarti engkau hendak menyeret namaku ke dalam lumpur? Bukan itu saja, malah keluarga Cia, termasuk ayah kandungmu, Cia Bun Houw itu, semua menjadi pemberontak, melawan pemerintah dan membunuh banyak orangnya pemerintah sehingga tentu saja engkau sebagai keluarga dari Cia Bun Houw itu ikut terseret! Dan setelah engkau dikepung dan nyaris tenggelam akulah yang menolongmu! Nah, katakan salah siapa semua ini?”Sin Liong tahu akan kelihaian kakak angkatnya ini memutar lidah, maka dia merasa tidak perlu untuk menanggapi. “Sudahlah, Houw-ko, sekarang katakan apa kehendakmu setelah engkau menawan kami berdua?” Dia tahu bahwa tentu Han Houw ingin minta dia melakukan sesuatu yang amat penting bagi pangeran itu, dan sebagai sandera atau cara untuk memaksanya maka Bi Cu ditawan.         “Hemm, agaknya engkau tergesa-gesa ingin melihat dara itu bebas, Liong-te! Ah, sebagai kakak angkatmu, aku berhak mengetahui apakah dia itu pantas menjadi calon iparku? Memang dia cantik manis, akan tetapi aku mendengar bahwa dia itu berjuluk Kim-gan Yan-cu dan menjadi pemimpin para pengemis! Engkau memilih seorang wanita pengemis untuk menjadi jodohmu? Ah, apakah tidak ada wanita lain di dunia ini, Liong-te? Biarpun dia cantik manis, akan tetapi...”    “Sudahlah, Houw-ko, aku tidak mau berbantahan lagi. Dia bukan apa-apaku, dan karena bukan apa-apa itulah maka aku tidak ingin dia celaka karena aku. Kaubebaskan dia dan mari kita bicara baik-baik.”         “Ha-ha-ha, engkau cinta kepadanya! Benar, aku dapat melihat ini! Sungguh heran, padahal kalau engkau menginginkan seorang isteri, aku dapat memilihkan seorang di antara puteri-puteri istana yang cantik-cantik. Akan tetapi kata orang, cinta memang buta! Dan karena engkau mencinta gadis itulah maka dia kutawan, karena hendak kutukar dengan sesuatu darimu.”            “Lekas kaukatakan, apa kehendakmu, Pangeran Ceng Han Houw?” Sin Liong membentak marah.Pangeran itu mengerutkan alisnya mendengar sebutan itu. “Liong-te, apakah engkau telah melupakan dan hendak melanggar sumpah kita bahwa kita telah mengangkat saudara? Seorang gagah ti­dak akan melanggar janji dan sumpahnya sendiri!”            “Baikiah, Houw-ko, nah, lekas kata­kan, apakah kehendakmu sebenarnya?” “Liong-te, kita adalah kakak dan adik angkat, maka sepatutnya harus suka sa­ma dinikmati, dan duka sama dipikul. Bukankah begitu? Nah, aku amat tertarik akan kepandaianmu yang amat hebat itu, Liong-te. Maka, aku minta agar engkau suka menceritakan semua rahasia ke­pandaianmu itu, karena menurut peng­akuanmu, engkau adalah murid Ouwyang Bu Sek, akan tetapi kepandaianmu malah melebihi tingkat kepandaian Ouwyang Bu Sek, ini menurut penuturan Lam-hai Sam-lo. Nah, sekarang ceritakan terus terang kepadaku, dari mana engkau memperoleh kepandaian hebat itu? Kuharap engkau bersikap jujur!” Sin Liong mengerutkan alisnya. Tentu saja dalam keadaan biasa dia tidak akan mau membuka rahasia ini. Akan tetapi dia tahu bahwa keselamatan Bi Cu tergantung dari pertanyaan ini agaknya, maka dia menjadi bimbang.          “Dan engkau akan membebaskan gadis itu kalau aku menceritakannya kepadamu?”          “Tergantung dari sikapmu, Liong-te. Kalau engkau jujur, tentu saja akan kubebaskan dia. Aku tidak begitu gila untuk mengganggu gadis yang kaucinta.” Sin Liong marah mendengar ini, akan tetapi dia merasa tidak perlu untuk berbantah tentang hal itu. “Baiklah, aku percaya bahwa engkau masih memiliki kegagahan untuk memegang janjimu.” Ketika dulu melakukan perjalanan bersama pangeran itu, Sin Liong pernah bercerita bahwa dia dibimbing ilmu silat oleh Ouwyang Bu Sek, suhengnya itu, dan bahwa dia tidak pernah bertemu dengan gurunya yang disebut Bu Beng Hud-couw itu, akan tetapi dia tidak memberi penjelasan selanjutnya tentang cara dia mempelajari ilmu-ilmu yang aneh itu. Dia tahu bahwa pangeran itu amat tertarik, dan sudah menyatakan ingin berguru kepada manusia dewa yang disebut Bu Beng Hud-couw yang belum pernah dilihatnya sendiri itu, dan kini pangeran itu minta penjelasan.           “Seperti sudah kuceritakan kepadamu dahulu, Houw-ko, aku mempelajari ilmu silat di bawah bimbingan dan petunjuk suheng Ouwyang Bu Sek. Sebetulnya dialah guruku, akan tetapi dia tidak mau disebut guru, minta disebut suheng karena katanya aku sebetulnya juga murid Bu Beng Hud-couw seperti dia! Akan tetapi, seperti telah kuceritakan kepadamu, aku sendiri selama hidupku belum pernah bertemu atau melihat suhu Bu Beng Hud-couw itu.” “Hemm...!” Han Houw mengerutkan alisnya karena merasa tidak puas dengan keterangan yang memang pernah didengarnya ini. “Tentu ada sesuatu yang menyebabkan Ouwyang Bu Sek tidak mau disebut guru, dan kenyataannya, kepandaianmu lebih tinggi daripada dia. Sebagai sutenya, apalagi muridnya, tidak mungkin kepandaianmu dapat melampaui dia. Ceritakan terus terang, Liong-te.”Sin Liong menarik napas panjang. Tak mungkin dia menyembunyikan lagi. Pange­ran ini terlampau cerdik, dan Bi Cu berada di tangannya. “Baiklah, Houw-ko. Sesungguhnya hal ini merupakan rahasia, akan tetapi apa boleh buat, kepadamu akan kuceritakan terus terang. Suheng Ouwyang Bu Sek mempunyai sim­panan kitab-kitab dari suhu Bu Beng Hud-couw dan aku telah mempelajari kitab-kitab itu, sedangkan suheng yang sudah tua tidak mempelajarinya, akan tetapi tentu saja aku mempelajarinya atas petunjuk dan bimbingannya.” “Ahhh...! Begitukah?” teriak Han Houw dengan girang. “Di mana adanya kitab-kitab itu?”     “Kitab-kitab itu telah dibakar oleh suheng.” “Ahhh...! Akan tetapi Ouwyang Bu Sek tentu masih menyimpan kitab-kitab lain atau minta kitab-kitab lain dari suhunya yang luar biasa itu! Liong-te, sekarang engkau harus membawaku kepada Ouwyang Bu Sek dan membujuknya agar dia suka mencrimaku sebagai muridnya atau sutenya, mempelajari ilmu-ilmu dari Bu Beng Hud-couw!”  Sin Liong terkejut bukan main dan menggeleng kepalanya. “Hal itu tidak mungkin, Houw-ko!”          Wajah yang tampan itu menjadi muram. “Liong-te, engkau lupa bahwa aku adalah kakak angkatmu sendiri? Engkau tidak ingin membantuku untuk memenuhi cita-citaku, yaitu menjadi jagoan nomor satu di dunia ini?”     “Bukan begitu, Houw-ko. Akan tetapi aku tidak berani, karena suheng sudah memesan agar jangan bicara dengan orang lain tentang suhu dan kitab-kitab itu.”           “Akan tetapi aku bukan orang lain! Aku adalah kakak angkatmu!”  “Houw-ko, mintalah yang lain akan tetapi jangan itu. Bagaimana kalau sam­pai suheng marah kepadaku?”    “Aku hanya ingin mewarisi ilmu-ilmu dari Bu Beng Hud-couw, mengapa dia akan marah? Dan engkau akan membantuku sampai berhasil, sampai mau menerimaku dan memintakan limu-ilmu dari Bu Beng Hud-couw, engkau harus membantuku!”         “Eh, maksudmu?” Sin Liong meman­dang tajam melihat sikap keras dan sua­ra penuh ancaman itu.“Mari kaulihat sendiri!” Han Houw lalu mengangkat tubuh Sin Liong, dibawa­nya masuk ke dalam kamar di mana terdapat Bi Cu yang masih terlentang dalam keadaan terbelenggu kaki tangan­nya. Dara itu memandang dengan mata terbelalak ketika melihat Han Houw membawa Sin Liong masuk kemudian membelenggu kedua tangan Sin Liong pada tiang yang berada di dalam kamar itu. Gadis itu masih dalam keadaan se­tengah lumpuh karena tertotok dan hanya dapat menggerakkan tubuhnya sedikit saja, sedangkan kedua pergelangan ta­ngannya masih dibelenggu ke belakang punggungnya, demikian pula kedua pergelangan kakinya telah dibelenggu, se­dangkan sepatunya telah dicopot dari ke­dua kakinya. “Houw-ko, apa yang hendak kaulaku­kan ini?” Sin Liong bertanya dengan wajah mengandung kekhawatiran.Han Houw tersenyum dan menengok ke arah pembaringan di mana tubuh Bi Cu rebah terlentang. “Kau tentu tidak ingin melihat dia terganggu, bukan?” “Maksudmu?” Sin Liong membentak.