Serial Pedang Kayu Harum Pendekar Sadis mjbookmaker by: http://jowo.jw.lt PAGI yang amat cerah dan indah! Matahari, sesuatu yang perkasa adil dan murah hati, juga amat indahnya, muncul di permukaan bumi mengusir segala kegelapan dan datang membawa keriangan dan kesegaran kepada semua yang berada di permukaan bumi, memandikan segala sesuatu dengan cahayanya yang keemasan dan yang menjadi sumber tenaga dari segala sesuatu yang tidak nampak. Cahaya matahari seolah-olah membangkitkan semua yang tadinya penuh ketakutan dan kekhawatiran tenggelam dalam kegelapan malam, mendatangkan kembali semangat hidup pada tumbuh-tumbuhan, pohon-pohon besar, binatang-binatang dari yang kecil sampai yang paling besar, yang beterbangan di udara maupun yang berjalan dan merayap di atas bumi. Matahari pagi yang demikian indahnya, cahaya keemasan yang menerobos di antara gumpalan-gumpalan awan yang berarak bebas teratur rapi di atas langit, embun-embun pagi yang berkilauan di ujung daun-daun, kicau burung gembira, semua itu seolah-olah mengingatkan kita bahwa kegelapan den kesunyian dan keseraman yang timbul bersama datangnya malam bukanlah peristiwa yang abadi, melainkan hanya sementara saja. Demikian pula sebaliknya, kecerahan dan keriangan yang datang bersama matahari pagi itu pun akan terganti oleh sang malam yang membawa kegelapan. Baik buruknya siang dan malam timbul dari penilaian kita. Kalau kita sudah menilai bahwa yang siang itu baik dan yang malam buruk, maka kita akan terseret ke dalam lingkaran baik dan buruk, senang dan susah. Sebaliknya, kalau kita menghadapi siang dan malam, atau segala sesuatu yang terjadi di dunia ini tanpa penilaian, maka tidak akan timbul pula baik buruk itu. Dan bukan tidak mungkin bahwa kita akan menemukan keindahan dalam kegelapan den kesunyian malam itu! Pagi hari yang amat cerah dan indah itu selalu mendatangkan keriangan pada semua mahluk, kecuali manusia! Manusia terlalu diperbudak oleh perasaan yang timbul karena terlalu menonjolkan keakuannya. Manusia terlalu mudah mengeluh, juga terlampau mudah mabuk. Di waktu menghadapi peristiwa yang tidak menyenangkan, manusia mengeluh seolah-olah dialah orang yang paling sengsara di dunia ini, dan di waktu menikmati peristiwa yang menyenangkan, manusia menjadi mabuk den lupa diri! Di dalam hutan di lereng bukit pada pagi hari itu pemandangannya amatlah indahnya. Dari ujung daun-daun dan rumput sampai kepada awan, semua seolah-olah tersenyum gembira bersama cahaya matahari pagi yang lembut dan menghidupkan. Akan tetapi, seorang wanita yang berjalan mendaki lereng bukit itu, yang memanggul tubuh seorang pria, berjalan sambil menangis sedih! Sungguh, di manapun juga di dunia ini, selalu terdapat manusia yang merasa sengsara dan tenggelam dalam kedukaan. Wanita itu masih amat muda dan cantik sekali, paling banyak dua puluh empat tahun usianya, berwajah serius dan gagah. Biarpun dia memanggul tubuh seorang pria di pundaknya, namun langkahnya yang tegap dan ringan itu jelas menunjukkan bahwa dia adalah seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Memang sesungguhnya demikianlah. Wanita ini adalah seorang pendekar wanita yang amat lihai, juga terkenal sekali, bukan hanya karena kelihaiannya sendiri melainkan karena dia adalah cucu dari mendiang ketua Cin-ling-pai yang amat terkenal. Wanita ini bernama Lie Ciauw Si, cucu luar dari mendiang ketua Cin-ling-pai dan dialah satu-satunya cucu Cin-ling-pai yang menerima penggemblengan langsung dari mendiang kakeknya, yaitu mendiang Cia Keng Hong, pendekar sakti yang pernah menggegerkan dunia persilatan itu. Maka, dapat dibayangkan betapa lihainya karena dia telah mewarisi ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai, biarpun harus diakui bahwa dia tidak atau belum menguasai ilmu-ilmu tinggi itu secara sempurna seperti kakeknya. Tubuh pria yang dipanggulnya itu seperti sudah mati saja, lemas dan wajahnya pucat seperti mayat, di ujung bibirnya nampak darah, napasnya tinggal satu-satu. Siapakah pria itu? Dia pun masih muda, bahkan masih amat muda, kurang lebih dua puluh satu atau dua puluh dua tahun usianya, amat tampan dan pakaiannya amat mewah, seperti pakaian pria-pria bangsawan. Pria ini adalah suami Lie Ciauw Si! Dia adalah seorang Pangeran, bahkan Pangeran dari dua kerajaan. Dia adalah putera kandung dari Puteri Khamila yang menjadi isteri Raja Sabutai, seorang raja liar di utara daerah Mongol, maka tentu saja dia adalah seorang Pangeran kerajaan utara ini. Akan tetapi, ayah kandungnya bukanlah Raja Sabutai, melainkan mendiang Kaisar Ceng Tung, Kaisar Kerajaan Beng-tiauw dan hal ini selain diketahui oleh Raja Sabutai, juga diakui oleh mendiang Kaisar itu sebelum meninggal dunia sehingga secara resmi dia pun menjadi seorang Pangeran dari Kerajaan Beng-tiauw. Namanya adalah Pangeran Oguthai, yaitu sebagai Pangeran utara, atau Ceng Han Houw, sebagai Pangeran Kerajaan Beng-tiauw. Ceng Han Houw ini adalah seorang Pangeran muda yang semenjak kecil suka bertualang dan suka sekali mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi, bahkan yang berhasil mempelajari ilmu-ilmu silat tinggi dari orang-orang sakti sehingga dalam hal ilmu silat, dia bahkan lebih lihai dibandingkan dengan isterinya yang lihai itu! Kepandaiannya yang hebat membuat Pangeran ini menjadi tinggi hati dan sombong, di samping ambisinya yang amat besar untuk menjadi jagoan nomor satu di dunia, bahkan kaiau mungkin untuk merampas tahta Kerajam Beng-tiauw. Sikap inilah yang telah menjatuhkannya! Di bawah Pimpinan Pangeran Hung Chih, yang dianggap sebagai Pangeran Mahkota, para pendekar yang sakti telah bergerak menentangnya dan akhirnya Pangeran ini roboh dan terluka secara hebat sekali ketika terjadi pertempuran. Juga semua pengikutnya, pasukannya, telah dihancurkan sehingga semua usahanya itu mengalami kehancuran dan kegagalan. Pangeran Ceng Han Houw sudah kehilangan segala-galanya, kecuali isterinya yang amat setia dan amat mencintanya itu. Isterinya inilah yang membawa tubuhnya yang terluka parah itu, membawanya lari meninggalkan gelanggang pertempuran di mana suaminya mengalami kegagalan, melarikannya siang malam sampai pada pagi hari itu, dengan tubuh amat letih, pendekar wanita Lie Ciauw Si tiba di lereng bukit itu sambil menangis. Hampir dia tidak kuat melangkah lagi, namun dipaksanya karena dia harus dapat membawa suaminya yang sudah lebih mendekati mati daripada hidup itu sampai ke puncak. Dia mendengar bahwa di puncak bukit itu tinggal seorang pertapa yang pandai sekali mengobati orang, maka harapan satu-satunya hanyalah membawa suaminya menghadap pertapa itu. Semua peristiwa di atas telah diceritakan dalam kisah Pendeker Lembah Naga. Dia telah melakukan perjalanan dua hari dua malam, hanya berhenti untuk memberi minum, atau lebih tepat memasukkan air ke dalam perut suaminya, karena suaminya itu hampir terus-menerus dalam keadaan tidak sadar. Dia sendiri selama itu hanya minum sedikit air saja! Maka, ketika dia mendaki lereng bukit ini, kedua kakinya sudah gemetar dan dia harus menggigit bibir dengan air mata menetes-netes untuk menguatkan dirinya. Betapapun juga, berkat kepandaiannya yang tinggi, langkahnya masib nampak ringan ketika dia terus mendaki ke atas, ke arah sebuah pondok di puncak yang sudah kelihatan dari bawah. Melihat pondok kecil itu, Ciauw Si merasa seperti melihat cahaya yang penuh harapan, tenaganya timbul kembali dan setengah berlari dia berloncatan naik ke atas puncak. Pondok itu kecil sederhana dan pintunya terbuka! Maka Ciauw Si yang sudah merasa betapa matanya berkunang dan kepalanya pening, melangkah masuk. Samar-samar dia melihat seorang kakek duduk bersila di dalam pondok. Dia cepat melangkah maju dan sempat berkata lirih, “...mohon... mohon Locianpwe sudi... menolong suami saya...” dan tergulinglah isteri setia ini bersama suami yang dipanggulnya, roboh ke depan kaki pria tua yang duduk bersila itu. “Siancai..., siancai...! Jarang di dunia ini ditemui wanita seperti dia ini....” Kakek itu berkata lembut, lalu turun dari atas pembaringan dan dengan tidak mudah karena dia sudah tua dan tenaganya sudah lemah, dia mengangkat suami isteri itu seorang demi seorang dan merebahkan mereka di atas pembaringan kayu sederhana. Dia berdiri menggeleng kepala dan menarik napas panjang memandang kepada suami isteri yang tampan dan cantik lagi muda itu, yang keduanya dalam keadaan pingsan dan kelihatan amat menderita. Kemudian, dia menggulung lengan bajunya, mendekati Han Houw dan dengan teliti sekali dia memeriksa denyut nadi dan detak jantung pria muda itu. Wajah yang keriput itu nampak terkejut sekali. “Aihhh... kacau dan remuk keadaan dalam tubuh orang muda ini! Hemm... tak tahu aku apakah aku akan dapat mengobati... sungguh hebat, mengapa kekerasan saja yang timbul dari penumpukan kepandaian?” Setelah memeriksa dengan teliti dan berkali-kali dia menggeleng kepala, dia lalu memeriksa keadaan Ciauw Si dan mengangguk-angguk. “Terlampau lelah, terlampau duka dan gelisah, menderita kelaparan dan kehausan. Sungguh wanita luar biasa, penuh kasih sayang dan kesetiaan...” Karena maklum benar bahwa keadaan Ciauw Si tidak apa-apa sebaliknya keadaan Han Houw amat berbahaya, kakek itu cepat-cepat mengambil akar yang masih segar, lalu mengirisnya tipis-tipis dan menggodoknya dalam periuk, mencampurinya dengan beberapa macam daun dan bubukan buah kering. Sambil mengipasi api arang, dia bersenandung mengikuti irama kipas yang dia gerak-gerakkan. Siapakah kakek ini? Kakek ini adalah seorang sasterawan ahli obat yang sudah lama bertapa di puncak bukit sunyi itu, menjauhkan dunia ramai dan hanya tekun memperdalam ilmunya untuk mengobati. Hanya di waktu timbul wabah yang menyerang dusun-dusun atau kota-kota, kakek ini keluar dari tempat pertapaannya untuk memerangi wabah itu. Selain ini, juga setiap kali ada orang sakit datang kepadanya, dia selalu mengobatinya dan ternyata obatnya amat manjur sehingga sebentar saja namanya terkenal di seluruh daerah perbatasan dekat Tembok Besar itu. Karena dia tidak pernah mau mengakui namanya, maka dia segera diberi julukan Yok-sian (Dewa Obat) yang diterimanya dengan senyum saja. Setelah godokan obat itu masak, dia lalu mendinginkannya di atas cawan dan dengan hati-hati dia lalu memasukkan obat itu sesendok demi sesendok ke dalam mulut Han Houw yang dalam keadaan setengah sadar meneguk obat itu dengan susah payah. Tak lama kemudian Ciauw Si sadar dari pingsannya, mengeluh dan membuka mata. Melihat kakek itu sedang menyuapi obat kepada suaminya, dia cepat bangkit duduk. “Mengasolah dulu, anak yang baik, engkau perlu mengaso dan makan...” “Tidak, Locianpwe, saya tidak apa-apa...” Ciauw Si memaksa diri turun dari pembaringan. Pada saat itu, Yok-sian sudah selesai memindahkan air obat itu ke dalam perut Han Houw dan dia memandang kepada Ciauw Si sambil tersenyum ramah. “Engkau kuat bukan main, akan tetapi sebaiknya engkau mengisi perutmu dengan bubur. Aku masih mempunyai bubur, di meja itu...” Ciauw Si sudah menjatuhkan dirinya berlutut di depan kakek itu. “Locianpwe, harap jangan memusingkan diri saya, akan tetapi... bagaimanakah dengan dia...?” Dia menoleh ke arah suaminya yang masih rebah terlentang dengan muka pucat seperti mayat. Kakek itu memegang kedua pundak Ciauw Si dengan sikap halus dan mengangkatnya bangun. “Jangan begitu, duduklah, Nyonya muda, dan mari kita bicara dengan tenang.” Ucapan yang halus dan serius itu membuat Ciauw Si tidak berani membantah dan dia pun lalu bangkit dan duduk di atas bangku berhadapan dengan kakek itu, terhalang meja kecil penuh rempah-rempah dan obat-obatan. “Harap Locianpwe katakan, bagaimana dia?” dia bertanya, sinar matanya penuh permohonan, mukanya yang pucat dan penuh kekhawatiran itu menyedihkan sekali. “Engkau adalah seorang wanita gagah, maka kurasa engkau pun akan berhati tabah dan tidak lemah. Terus terang saja, keadaannya amat parah, luka-lukanya di dalam tubuh amat hebat. Akan tetapi, tentu saja aku tidak berani mendahului kehendak Tuhan, tidak berani menentukan apakah aku akan dapat menyembuhkannya atau tidak. Betapapun juga, aku hendak mencobanya.” “Ah, terima kasih, Locianpwe, terima kasih...” Suara Clauw Si mengandung isak keharuan karena pengharapannya timbul kembali. “Hanya Locianpwe yang dapat saya harapkan... hanya Locianpwe yang dapat menyembuhkannya...” “Apamukah dia itu?” “Dia suami saya, Locianpwe... sudah dua hari dua malam...” “Dan kau terus-menerus memanggulnya selama itu? Ah, engkau harus makan dulu, nah, kaumakanlah bubur ini, kemudian istirahatiah. Masih banyak waktu bagi kita untuk bicara.” Setelah mengatakan demikian, kakek itu lalu keluar dari pondok untuk mencari daun-daun obat segar yang diperlukan untuk mengobati orang yang terluka parah itu, diam-diam dia menduga-duga apa yang telah terjadi dengan orang itu dan siapa adanya suami isteri muda belia yang kelihatan bukan orang-orang sembarangan itu. Diam-diam hatinya khawatir. Kakek ini lebih suka menolong dan berhubungan dengan penduduk dusun yang sederhana daripada berhubungan dengan orang-orang kang-ouw yang memiliki kebiasaan untuk saling pukul, saling melukai dan saling membunuh itu, kebiasaan yang membuat dia merasa jijik sekali. Sementara itu, Ciauw Si maklum bahwa anjuran kakek itu adalah demi kebaikannya. Dia harus sehat agar dia dapat merawat suaminya setelah kini timbul harapan di dalam hatinya. Setelah tiba di sini, melihat Hen Houw, dia hampir putus harapan. Apa artinya hidup ini baginya tanpa adanya Hen Houw di sampingnya? Dia sudah terbuang dari keluarganya, sudah dianggap kambing hitam atau anak durhaka! Terbayanglah dia betapa keluarga Cin-ling-pai, keluarganya, membantu fihak pemerintah menentang Han Houw, bahkan ibu kandungnya sendiripun menentang. Dia maklum bahwa tidak ada seorang pun di antara keluarga Cin-ling-pai yang suka melihat dia menjadi isteri Han Houw! Dan setelah dia merasa dibuang atau diasingkan dari keluarga Cin-ling-pai, maka hanya Han Houw seoranglah yang dia miliki. Dan dia amat mencinta Pangeran itu, lepas dari soal apakah suaminya itu memberontak atau tidak, jahat atau tidak. Harapan untuk suaminya ini mengembalikan semangat Ciauw Si den mulailah dia makan bubur dengan sekedar sayur asin yang didapatkannya di tempat itu. Kelemasan tubuhnya segera berangsur lenyap, tenaganya pulih kembali setelah dia mekan bubur den minum air teh. Kemudian dia mencuci mangkok piring dan membersihkan meja den ruangan pondok itu. Dilihatnya suaminya masih tidur nyenyak, agaknya karena pengaruh obat yang telah diminumkan oleh kakek tadi, maka hatinya terasa lapang den dia menanti kembalinya kakek ahli obat itu. Setelah matahari naik tinggi barulah Yok-sian pulang, membawa banyak daun den akar obat. Ciauw Si menyongsongnya dan membantunya membawa rempah-rempah itu masuk pondok. “Engkau sudah makan?” Ciauw Si mengangguk. “Terima kasih Locianpwe.” Ketika Kakek itu memasuki pondok den melihat pondoknya bersih den rapi, dia tersenyum girang, lalu dia langsung memeriksa keadaan Han Houw, “Kau taruh daun yang ini, akar yang ini dan buah-buahan ini ke atas tambir dan jemur di luar. Ini adalah obat-obat pembersih darah untuk suamimu. Sungguh beruntung baginya bahwa tidak ada hawa beracun mengeram dalam tubuhnya...” “Saya... saya sudah mengeluarkannya dalam perjalanan, Locianpwe...” Kakek itu memandangnya dengan heran. “Apa maksudmu? Mengeluarkannya bagaimana?” “Dengan pengerahan sin-kang, mendorong semua hawa beracun keluar tubuhnya...” “Ah, engkau selihai itu? Hemm, kiranya kalian adalah suami isteri pendekar yang amat tinggi ilmunya. Akan tetapi dengar, mulai sekarang jangan lagi engkau mempergunakan kekuatan dalam untuk mencoba mengobatinya!” “Mengapa, Locianpwe?” Kakek itu menarik napas panjang. “Terus terang saja, keadaannya amat parah, entah mengapa keadaannya sampai seperti itu. Menggunakan tenaga besar untuk memaksakan penyembuhan bahkan akan membahayakan, karena dia sudah kehilangan tenaga untuk menerima pengobatan seperti itu. Pengobatan harus dilakukan dengan wajar, sedikit demi sedikit, mengandalkan kemanjuran obat dan perawatan alam yang sewajarnya. Entah berapa lama engkau harus merawatnya, dan dengan cara demikian barulah dapat diharapkan dia sembuh.” “Baik, baik... saya akan mentaati semua pesan Locianpwe,” kata Ciauw Si dengan hati khawatir karena dia sendiri maklum bahwa suaminya mengalami luka hebat yang menurut dia sendiri tak mungkin dapat disembuhkan. “Sekarang ceritakanlah, siapa kalian dan apa yang telah terjadi dengan suamimu sehingga keadaannya sampai sedemikian rupa?” Sejenak Ciauw Si diam saja, berpikir. Akan tetapi dia lalu mengambil keputusan untuk menceritakan keadaan dirinya secara terus terang saja. Kakek ini adalah seorang luar biasa dan yang diharapkannya akan dapat menghidupkan kembali suaminya, maka sebagai seorang penolong besar tentu saja dia harus menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada kakek ini. “Locianpwe, saya adalah seorang anak yang durhaka, yang mendurhakai dan menyusahkan ibu kandung dan keluarga karena cinta kepada seorang pria. Saya... saya bernama Lie Ciauw Si dan ibu kandung saya adalah puteri dari mendiang ketua Cin-ling-pai...” “Ahhh...! Kiranya begitu? Tak kusangka bahwa engkau adalah cucu pendekar sakti yang budiman itu. Pengakuanmu sebagai anak durhaka menandakan bahwa engkau tidaklah demikian, anak baik, lanjutkan ceritamu.” “Saya telah saling mencinta dengan suami saya ini dan... kami menikah di luar persetujuan keluarga saya. Suami saya seorang yang bercita-cita terlalu besar... akhirnya dia gagal dan dalam pertempuran, dia roboh oleh seorang sakti lain... juga cita-citanya gagal dan hancur. Saya tidak berduka tentang gagalnya cita-citanya itu, saya tidak peduli akan hal itu... dan terus terang saja, saya sendiri tidak setuju dengan semua yang telah dilakukannya, akan tetapi... Locianpwe, saya... saya cinta padanya...” Dan Ciauw Si menunduk, menahan air matanya. Dalam keadaan biasa, memang seolah-olah pantang bagi wanita perkasa ini untuk terlalu cengeng, terlalu mudah menjatuhkan air mata. Sejenak sepasang mata kakek tua itu memandang penuh kagum kepada kepala yang menunduk itu, juga terkandung perasaan iba yang besar. “Bahagialah dia yang telah mendapatkan cinta kasih seorang wanita sepertimu cinta yang tanpa kecuali. Nah, mulai sekarang, kau belajarlah bagaimana cara mengobatinya, obat-obat apa yang harus kauberikan setiap hari karena terus terang saja, engkau akan harus merawatnya sampai berbulan-bulan, bahkan mungkin bertahun-tahun baru dia akan dapat sembuh sama sekali. Engkau akan menghadapi masa yang amat sulit, anak yang baik, akan tetapi itu juga merupakan suatu ujian bagi kesetiaan dan cinta kasihmu.” Demikianlah, kakek itu lalu membuat ramu-ramuan obat-obatan dan dia mengajarkan kepada Ciauw Si tentang obat-obat itu, di mana mencarinya. Dan memang kepandaian kakek itu hebat sekali. Setelah menerima pengobatan selama kurang lebih sebulan, Han Houw memperoleh kembali kesadarannya dan bahaya yang mengancam nyawanya telah lewat, dia telah tertolong sungguhpun keadaan tubuhnya masih amat lemah sehingga dia belum mampu turun dari pembaringan. Bekas Pangeran ini merasa amat terharu atas kecintaan isterinya. Dia sampai menangis mengguguk ketika mendengar akan penderitaan isterinya ketika menyelamatkannya dan diam-diam Pangeran ini mulai menyesali semua sepak terjangnya untuk mengejar ambisi dan cita-citanya. Baru sekarang, setelah dia gagal dan mengalami kesengsaraan sebagai akibat daripada pengejaran cita-citanya itu, nampak jelas olehnya betapa bodohnya dia, betapa gilanya dia, digilakan oleh berkilaunya semua cita-cita yang dijangkaunya. Memang demikianlah, ambisi atau cita-cita selalu nampak indah cemerlang, jauh lebih indah daripada apa adanya saat kita mengejar cita-cita itu! Dan telah menjadi pendapat umum yang menyesatkan bahwa kita manusia hidup HARUS bercita-cita, karena kalau tidak ada cita-cita, kita akan mati, tidak berdaya cipta, dan tidak akan maju! Benarkah demikian? Tidak sehat dan tidak cerdaslah namanya kalau kita hanya menerima pendapat begini atau begitu tanpa menyelidikinya dalam kehidupan kita sehari-hari. Sebaliknya kalau kita menyelidiki, apakah sesungguhnya ambisi atau cita-cita itu? Cita-cita adalah bayangan akan sesuatu yang belum ada, akan sesuatu yang kita anggap akan lebih baik, lebih menyenangkan daripada keadaan yang ada sekarang ini. Cita-cita adalah bayangan suatu keadaan yang lebih menyenangkan. Bukankah demikian? Jadi, cita-cita adalah pengejaran, atau keinginan akan sesuatu yang dianggap akan lebih menyenangkan dari pada keadaan sekarang ini. Ada yang bercita-cita untuk menjadi kaya raya, atau setidaknya jauh lebih kaya daripada keadaannya sekarang, berarti dia ini mengejar-ngejar harta kekayaan yang dianggapnya akan mendatangkan kesenangan dalam hidupnya. Ada pula yang bercita-cita untuk memperoleh kedudukan yang lebih tinggi daripada sekarang, tentu saja cita-cita itu muncul karena dianggap bahwa hal itu akan mendatangkan kesenangan dalam hidupnya. Pendapat umum mengatakan demikian, dan kita menerima saja sebagai sesuatu yang sudah pasti! Padahal, apakah kekayaan dan kedudukan itu pasti mendatangkan kesenangan? Memang, mendatangkan kesenangan, akan tetapi juga kesusahan sebagai tandingannya. Yang jelas, tidak akan mendatangkan kebahagiaan! Dan seperti dapat dilihat dari bukti sehari-hari, yang dikejar-kejar yang masih merupakan ambisi atau cita-cita itu hanyalah merupakan kesenangan yang pada kenyataannya tidaklah seindah dan sekemilau seperti yang dikejarnya. Setelah yang dikejarnya itu terdapat, maka apa yang didapat itu hanya mendatangkan kesenangan sepintas saja, lalu membosankan, karena mata kita sudah melihat lagi jauh ke depan, kepada yang kita anggap lebih menyenangkan lagi, yang merupakan penyakit yang takkan habis sebelum kita mati, yaitu penyakit mengejar sesuatu yang kita anggap lebih menyenangkan. Dan pengejaran atau penyakit ini membuat kita tidak pernah dapat merasakan keindahan saat ini, tidak pernah dapat menikmati keadaan saat ini. Kita hanya menikmati bayangan-bayangan indah dari cita-cita atau ambisi itu saja. Kemajuan yang dijadikan pendapat umum itu apakah sesungguhnya? Kalau kita mau meneliti diri sendiri, segala sesuatu telah kita dasarkan kepada kebendaan, kepada lahiriah belaka sehingga ukuran kata “kemajuan” bagi kita bukan lain adalah uang dan kedudukan! Majukah seseorang kalau dia sudah memiliki kedudukan tinggi atau banyak uang? Beginilah memang pendapat umum, pendapat kita! Bahagiakah seseorang kalau dia sudah berkedudukan tinggi atau memiliki banyak uang? Kalau kita menyelidiki mereka yang umum anggap berkedudukan tinggi atau berharta besar, maka jawabannya ternyata akan berbunyi : TIDAK! Pengejaran kesenangan sudah pasti mendatangkan perbuatan-perbuatan yang kejam dan menyeleweng, karena demi pencapaian cita-cita itu kita tidak segan-segan untuk menyingkirkan siapa juga yang menjadi penghalang. Kita tidak segan-segan melakukan penyelewengan-penyelewengan, korupsi, kelicikan, jegal-menjegal, perebutan kursi, apa saja tanpa ada yang diharamkan, demi mencapai cita-cita atau demi tercapainya yang kita anggap akan menyenangkan itu. Dan apakah artinya semua “kemajuan” lahir tanpa disertai kebersihan batin, tanpa adanya cinta kasih antar manusia dalam batin kita? Dunia sekarang membuktikannya. Semua “kemajuan” yang serba hebat, tenaga-tenaga yang serba dahsyat, lebih banyak dipergunakan oleh manusia untuk saling menghancurkan, saling membunuh. Mari kita sama-sama membuka mata melihat keadaan yang sebenarnya dari kehidupan kita di dunia. Lihatlah perang senjata-senjata yang serba dahsyat, serba maut! Lihatlah kepalsuan-kepalsuan dalam politik. Lihatlah kelicikan-kelicikan dalam perdagangan. Lihatlah perbedaan-perbedaan antara si kaya dan si miskin. Lihatlah negara ini berlimpah-ruah, negara itu kelaparan. Lihatlah, lihatlah keadaan dunia pada umumnya. Apakah kita boleh berbangga hati dan membusungkan dada mengatakan bahwa kita manusia ini telah “maju”? Betapa menyedihkan! Setelah Ciauw Si mempelajari bagaimana dia harus mengobati suaminya, dia lalu mencari sebuah rumah di dalam sebuah dusun kecil di lereng bukit itu. Dengan sisa perhiasan yang menempel di tubuhnya, cukuplah baginya untuk membeli sebidang tanah dengan rumah yang sederhana, dan di situlah dia merawat suaminya sambil mempergunakan tenaga petani mengusahakan tanahnya, cukup untuk keperluan sehari-hari selama dia merawat suaminya dengan penuh ketekunan. Ciauw Si amat mencinta suaminya. Dengan penuh cinta kasih dalam dada, biarpun dia hidup sederhana, berpakaian wanita petani, tinggal di rumah sederhana, namun wanita muda ini nampak segar dan kedua pipinya kemerahan seperti buah tomat yang ditanamnya, sepasang matanya selalu bening berseri, murah senyum. Di sini, dia tidak pernah memikirkan tentang kekerasan, melainkan hidup penuh tenteram dan damai di antara penduduk dusun yang hanya memiliki sedikit kebutuhan hidup mereka secara wajar. Han Houw semakin terharu oleh sikap isterinya. Dia maklum bahwa nyawanya tertolong, akan tetapi sebagai seorang ahli silat yang memiliki kepandaian tinggi, dia pun tahu bahwa ada beberapa bagian tubuhnya yang rusak sehingga dia tidak akan mampu lagi mengerahkan seluruh tenaga sin-kang seperti dahulu. Kepandaian, yaitu ilmu silatnya, memang masih ada, akan tetapi apa artinya kalau sin-kangnya sudah lenyap dan tidak sedikit tenaga dalam yang tidak ada artinya itu? Maka, dalam keadaan masih setengah lumpuh, kedua kakinya masih belum kuat dipakai jalan, dia mulai mencatatkan ilmu-ilmunya yang paling rahasia dan tinggi, yang didapatnya dari pelajaran kitab ciptaan Bu Beng Hud-couw. Dia menuliskan ilmu-ilmu Hok-liong-sin-ciang dan Hok-te Sin-kun, juga ilmu menghimpun tenaga, dengan cara yang amat cerdik, dengan tulisan-tulisan rahasia dan kalau orang lain yang membaca kitab itu, maka dia takkan mungkin mengerti semua isinya dan kalau orang berani mempelajarinya tanpa tahu akan rahasianya, maka orang itu akan memperoleh pelajaran sesat yang berbahaya bagi dirinya sendiri! Dengan tekun, sama tekunnya dengan isterinya yang merawatnya, Han Houw menuliskan kitab itu. Diapun, seperti isterinya, dapat mulai merasakan ketenteraman hidup, ketenangan batin tinggal di tempat sunyi ini, penuh dengan kesegaran hawa gunung dan sinar matahari. Yok-sian kadang-kadang datang berkunjung, atau kadang-kadang Ciauw Si yang datang berkunjung ke puncak dan ke pondok kakek itu untuk minta nasihat tentang pengobatan suaminya. Mereka menjadi sahabat-sahabat baik dan Yok-sian diam-diam kagum akan pengetahuan bekas Pangeran itu yang cukup luas, karena memang Han Houw banyak mempelajari kitab-kitab sejarah dan kesusastraan. Ketika Han Houw mendengar bahwa selain ilmu pengobatan, kakek ini juga memiliki keahlian untuk meramal, dia tertawa. “Ah, kalau begitu, tolonglah engkau lihatkan garis nasibku, Locianpwe,” katanya sambil bangkit duduk dan menyeret kedua kakinya yang masih setengah lumpuh itu agar dia dapat duduk di pembaringan. Yok-sian tertawa juga melihat kegembiraan wajah tampan dari Pangeran muda itu. “Aihh, ilmu meramal hanyalah ilmu iseng-iseng saja, Pangeran. Perlu apa mengetahui keadaan yang belum tiba?” “Aku pun hanya iseng-iseng mau tahu saja Locianpwe. Habis, untuk apa Locianpwe mempelajari ilmu meramal kalau tidak mau melihat garis nasib orang?” kata Han Houw sambil menyodorkan tangan kirinya. Pada saat itu, Ciauw Si masuk dan dia pun ikut gembira, ikut mendesak kakek itu untuk iseng-iseng melihat garis tangan suaminya dan dia pun duduk di samping Han Houw dengan sikap gembira. Karena didesak, akhirnya Yok-sian memeriksa garis-garis tangah Pangeran itu dan tak lama kemudian dia pun mengerutkan sepasang alisnya yang sudah putih dan wajahnya nampak serius ketika dia berkata, “Pangeran, dari garis tangan ini saya dapat mengetahui jelas bahwa Pangeran akan sembuh dan selamat dari bahaya maut ini.” Suami isteri itu saling pandang dengan gembira dan Han Houw mencela dengan gaya berkelakar, “Ah, tanpa melihat garis tangan sekalipun Locianpwe tentu tahu bahwa aku sudah terbebas dari bahaya. Bukankah Locianpwe yang telah mengobati dan menyelamatkan diriku?” “Ah, jangan mencela dan memandang rendah!” Ciauw Si menegur suaminya. “Locianpwe, harap teruskan membaca garis nasibnya.” Kakek itu terus menyusuri garis-garis telapak tangan Han How, kemudian, tanpa mempedulikan teguran Pangeran itu tadi, dia berkata lagi, “Pangeran akan mempunyai keturunan, seorang putera...” Han Houw menoleh kepada isterinya dan mereka saling pandang dengan penuh arti. Sejak Han Houw terluka, kedua kakinya dan tubuh bawahnya seperti dalam keadaan lumpuh sehingga dia tidak mampu melaksanakan tugasnya sebagai seorang suami. Bagaimana mungkin dia akan dapat mempunyai seorang putera? “Tapi... tapi...” katanya ragu.“ “Ini hanya ramalan iseng saja, Pangeran, tidak perlu terlalu dipercaya. Akan tetapi menurut garis nasib, jelas bahwa Pangeran akan mempunyai seorang putera. Akan tetapi yang terlebih penting lagi...” Kakek itu mengerutkan alisnya dan meneliti garis-garis tangan itu, kelihatan serius sekaii sehingga Han Houw dan Ciauw Si ikut pula merasa tegang. “Ada apakah, Locianpwe?” tanya Ciauw Si khawatir. “Inilah kebaikannya ilmu meramal,” akhirnya kakek itu berkata, “manusia dapat berhati-hati menghadapi bintang gelap. Saya melihat bintang gelap sekali dalam perjalanan hidup Pangeran, dan bahaya besar mengancam kalau Pangeran mendekati keluarga. Oleh karena itu, saya hanya dapat menganjurkan agar Pangeran dan isteri mengasingkan diri dan hidup tenteram di sini, jangan sekali-kali mendekati keluarga.” “Yang Locianpwe maksudkan, keluarga... yang mana?” Ciauw Si bertanya khawatir sedangkan Han Houw hanya tersenyum saja karena dia tidak percaya akan semua ini. “Tidak dijelaskan dalam garis-garis itu, hanya ada tanda bahwa bahaya itu ditang melalui keluarga. Maka sebaiknya kalau ji-wi (kalian) tinggal tenteram saja di tempat ini dan lupakan semua masa lalu dan hubungan keluarga.” Ramalan yang dilakukan secara iseng-iseng itu mendatangkan kesan mendalam dalam hati Clauw Si. Akan tetapi Han Houw tidak mempedulikannya, sungguhpun untuk waktu itu dia sama sekali tidak berkeinginan untuk berhubungan dengan keluarganya. Keluarga mana yang akan dihubunginya? Ayah kandungnya telah tiada, dan saudara-saudaranya, kaisar dan para pangeran di Kerajaan Beng tentu semua benci dan menganggapnya sebagai musuh dan pemberontak. Sedangkan ayah tirinya, Raja Sabutai, tentu juga marah kepadanya karena kegagalannya. Di samping itu, dia merasa malu untuk berjumpa dengan siapapun juga dalam keadaan setengah lumpuh dan tidak berdaya ini. Demikianlah, dengan penuh cinta dan kesetiaan, Ciauw Si pendekar wanita yang gagah perkasa dan cantik manis itu merawat suaminya. Perlahan-lahan, sedikit demi sedikit, kesehatan Han Houw makin membaik dan kedua kakinyapun mulai dapat digerakkan! Agaknya ramalan Yok-sian itu mendekati kebenaran karena Han Houw yang tadinya mengira akan lumpuh selamanya itu kini mulai dapat berjalan dan setelah dirawat selama dua tahun, benar saja, dia telah sembuh sama sekali! Dia telah sehat lagi, tidak lumpuh, dan dia dapat melakukan tugas sebagai suami normal, dan dapat berjalan, bahkan berlari dan bergerak cepat, sungguhpun tenaga sin-kangnya telah banyak hilang sehingga biarpun dia dapat mainkan kembali semua ilmu silatnya, namun tidak dapat sepenuh tenaga dan tentu saja dia telah kehilangan kelihaiannya. Bahkan dengan sisa tenaga sin-kang yang tidak berapa kuat itu, dia tidak lagi mampu memainkan ilmu-ilmu silatnya yang dipelajarinya dahulu dari kitab-kitab Bu Beng Hud-couw. Tentu saja Pangeran ini menjadi kecewa dan berduka, akan tetapi isterinya yang mencintanya itu menghiburnya dan mereka berdua hidup rukun dan saling mencinta di tempat yang sunyi itu. Beberapa bulan kemudian, suami isteri itu merasa amat gembira dan berbahagia dengan kenyataan bahwa Ciauw Si mulai mengandung! Dan sembilan bulan kemudian terbuktilah ramalan Yok-sian dengan lahirnya seorang anak laki-laki yang sehat dan mungil! Akan tetapi, kegembiraan bagi suami isteri itu disuramkan dengan peristiwa kematian Yok-sian! Kakek yang usianya tentu sudah lebih dari seratus tahun itu meninggal dunia dalam keadaan tenang dan karena kakek itu tidak berkeluarga, maka Han Houw dan Ciauw Si yang mengganggap kakek itu sebagai penolong mereka, lalu merawat dan mengurus jenazahnya, dibantu oleh para penghuni dusun mereka. Anak laki-laki itu mereka beri nama Ceng Thian Sin. Tentu saja suami isteri itu merasa amat berbahagia dan mereka merawat Thian Sin penuh kasih sayang. Sejak kecil sekali Thian Sin telah menunjukkan bahwa dia amat cerdik di samping memiliki wajah yang sangat tampan sekali. Dengan adanya Thian Sin, suami isteri itu merasa terhibur dan agaknya mereka sudah tidak membutuhkan apa-apa lagi, sudah cukup berbahagia hidup bertiga di dusun itu, mempunyai para tetangga orang-orang dusun yang amat jujur dan bersahaja hidupnya, hidup sehat dekat dengan alam, jauh dari keributan karena ulah manusia kota yang selalu bersaing untuk mengejar kesenangan, memperebutkan uang, kedudukan dan nama serta menjadi hamba yang membuta dari nafsu-nafsu mereka. Bertahun-tahun lewat dengan cepatnya tanpa terasa dan tahu-tahu delapan tahun telah lewat sejak Thian Sin terlahir ke dalam dunia. Setelah berusia delapan tahun, makin nampak betapa anak ini memiliki wajah yang amat tampan, wajah yang sedemikian eloknya sehingga nampak manis seperti wajah seorang anak perempuan! Akan tetapi wataknya cukup jantan karena anak ini selain cerdik, juga memiliki pribadi yang kuat dan tabah dan semenjak kecil tentu saja dia telah digembleng oleh ayahnya sendiri. Biarpun dia sendiri sudah kehilangan sin-kangnya, namun tentu saja Han Houw tahu bagaimana caranya mendidik dan melatih ilmu-ilmu silat kepada puteranya yang amat disayangnya. Dasar-dasar ilmu silat tinggi telah diajarkan kepada anak itu semenjak anak itu berusia lima tahun. Bukan hanya ilmu silat bahkan anak itu pun sejak kecil telah diajarkan ilmu tulis dan baca karena ayah bundanya menghendaki agar putera mereka kelak bukan hanya menjadi seorang ahli silat, akan tetapi juga seorang ahli dalam kesusastraan, patut menjadi keturunan keluarga Kaisar dan keturunan keluarga Cin-ling-pai! Han Houw dan Ciauw Si juga tidak merahasiakan keturunan mereka dan anak itu telah mendengar penuturan orang tuanya bahwa ayahnya sebetulnya adalah Pangeran Oguthai atau Pangeran Ceng Han Houw, seorang pangeran kerajaan besar dari Kaisar Beng-tiauw, sedangkan ibu kandung ayahnya adalah Permaisuri Khamila di utara. Dan ibunya adalah cucu dari ketua Cin-ling-pai, sebuah perkumpulan silat yang amat terkenal di seluruh dunia persilatan. Penuturan ini tentu saja menanamkan sesuatu dalam batin Thian Sin, dan semenjak mendengar tentang keturunan ini, dia merasa bahwa dirinya jauh lebih tinggi dalam hal keturunan dan derajat daripada semua anak di dalam dusun itu. Dia tidak menjadi tinggi hati atau sombong karenanya, hanya dia merasa seperti menyimpan suatu rahasia yang membuatnya merasa amat bangga! Dari ibunya, Thian Sin memperoleh pelajaran tentang sikap seorang pendekar besar yang selalu harus membela kebenaran dan keadilan, harus melindungi yang lemah tertindas den harus menentang setiap kejahatan dan orang-orang kuat yang bertindak sewenang-wenang, harus pula selalu merendahkan hati dan menjauhi sikap sombong. Pada suatu hari, selagi Thian Sin berada di depan rumahnya, seorang hwesio memasuki halaman rumah itu. Seorang hwesio yang berpakaian sederhana berwarna kuning, memegang tongkat den sebuah mangkok butut. Hwesio itu masih belum tua benar, belum ada empat puluh tahun usianya, berwajah tegap dan nampak kuat, wajahnya tampan den bundar, sepasang matanya mengeluarkan sinar ketulusan dan kejujuran, mulutnya tersenyum wajar tidak dibuat-buat. Melihat hwesio itu memasuki halaman dengan langkah lambat tanpa ragu-ragu, Thian Sin bangkit dan memandang tajam. Dia adalah seorang anak yang sejak lahir berada di dalam dusun, namun pengetahuannya telah cukup banyak berkat bimbingan ayah bundanya sehingga melihat hwesio ini, tahulah dia apa yang dikehendaki oleh pendeta itu. Apalagi, di dusun itu sudah beberapa kali lewat hwesio-hwesio berkelana yang singgah di dusun untuk minta diberi makanan sekedarnya untuk penyambung hidup. “Losuhu, apakah Losuhu seorang hwesio yang sedang melakukan perjalanan berkelana dan kebetulan lewat di tempat ini?” tanyanya tanpa ragu, suaranya bening dan pandang matanya tajam. Hwesio itu tertarik sekali. Dia tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang anak laki-laki yang cerdik luar biasa, maka dia tersenyum ramah dan memandang penuh kagum. “Benar, dugaanmu, sahabat kecil.” “Dan apakah Losuhu singgah di sini untuk minta bantuan makanan?” Dia memandang ke arah mangkok kosong di tangan kanan hwesio itu. “Sekali lagi dugaanmu tepat, sahabat kecil. Pinceng kebetulan lewat dan melihat bahwa rumah ini adalah rumah paling besar di antara rumah-rumah di dusun ini, maka pinceng singgah dengan harapan untuk mendapatkan sekedar makanan kalau ada makanan lebih di dalam rumah ini.” “Tentu saja, Losuhu. Silakan duduk dulu di ruangan depan, aku akan memberi tahu kepada ibu untuk menyediakan makanan.” “Omitohud... sahabat kecil sungguh berhati murah! Harap jangan repot-repot, kalau engkau suka mengisi mangkokku ini dengan makanan, sudah cukuplah itu bagi pinceng,” Dia lalu menyerahkan mangkok putih itu kepada Thian Sin. Anak itu menerima mangkok dan dia melihat bahwa di topi mangkok itu ada tulisan cat hitam yang berbunyi LIE. Sejenak dia tertegun, lalu dia berlari masuk membawa mangkok butut itu kepada ibunya yang sedang sibuk di dapur. “Anak baik... Anak baik...” Hwesio itu mengangguk-angguk dengan kagum dan juga heran bagaimana di dalam sebuah dusun sederhana seperti itu dia dapat bertemu dengan seorang anak laki-laki yang demikian cerdik dan pandai membawa diri seperti seorang anak terpelajar saja. Diam-diam timbul rasa sukanya kepada anak itu. Sementara itu, Thian Sin berlari-lari ke dalam dan ketika bertemu dengan ibunya di dalam dapur, dia cepat berkata, “Ibu...! Ibu...! Di luar ada seorang hwesio minta sedekah makanan!” Ciauw Si tersenyum. Nyonya yang usianya telah tiga puluh tiga tahun lebih itu masih nampak muda dan cantik segar, berkat kehidupan bersih di pegunungan dan berkat keadaan batin yang tenteram dan bahagia. Dia tersenyum memandang puteranya penuh kasih sayang. “Aihh, Sin-cu (Anak Sin), kenapa engkau ribut-ribut? Apa anehnya sih dengan kedatangan seorang hwesio minta sedekah? Engkau kelihatan tegang dan terengah-engah. Tenanglah, menghadapi apa pun juga, apalagi hanya seorang hwesio minta sumbangan.” “Tapi dia bukan hwesio biasa, ibu. Dia masih muda dan kelihatan gagah. Aku percaya bahwa dia tentu seorang hwesio yang lihai! Dan ibu lihat mangkok ini, lihat huruf apa yang tertulis di sini!” Dia memperilhatkan mangkok putih itu kepada ibunya. Ciauw Si masih tersenyum ketika menerima mangkok itu, akan tetapi tiba-tiba senyumnya lenyap, dan mukanya berubah penuh keheranan ketika dia membaca huruf LIE yang tertulis pada mangkok itu. “Dia she Lie? Ataukah kebetulan saja mangkok ini pemberian orang she Lie?” Ciauw Si termangu-mangu, akan tetapi dia lalu mengisi mangkok itu sepenuhnya dengan nasi dan beberapa macam masakan sayur tanpa daging. Ketika Thian Sin membawa mangkok yang sudah terisi makanan itu keluar, Ciauw Si tak dapat menahan keinginan tahunya dan dia mengikuti dari belakang. Hwesio itu bangkit berdiri sambil tersenyum ramah ketika dia melihat Thian Sin datang membawa mangkoknya yang telah terisi, akan tetapi ketika dia melihat nyonya muda yang berjalan di belakang anak itu, dia memandang terbelalak dan kelihatan terkejut sekali. Demikian pula, ketika Ciauw Si melihat wajah hwesio itu, wajahnya seketika berubah pucat dan matanya terbelalak. Sejenak mereka berdua berdiri bengong saling pandang, kemudian wajah hwesio itu tersenyum kembali, agaknya hanya sedetik saja dia terangsang oleh rasa kaget. “Omitohud... semoga Sang Buddha memberkahi kita semua... bukankah engkau... Ciauw Si, adikku...?” “Seng-koko...!” Ciauw Si menjerit dan menangis, lari menghampiri lalu menubruk kedua kaki hwesio itu sambil sesenggukan. “Seng-ko... bagaimana... bagaimana engkau bisa menjadi begini...?” Ciauw Si menangis sesenggukan sambil mengangkat muka memandang. “Kehendak Tuhan... kehendak Tuhanpun jadilah...” kata hwesio itu yang kemudian berdoa. “Berkah Sang Buddha Yang Maha Murah sajalah yang mempertemukan kita hari ini, Si-moi. Dan anak itu... dia puteramu...?” Thian Sin juga menjadi bengong dan melihat ibunya menubruk kaki hwesio itu sambil menangis dan menyebut Seng-koko, dia cepat menaruh mangkok itu di atas meja dan lari menghampiri, ikut berlutut di dekat ibunya. “Ibu apakah dia ini Toapek (Uwa) Lie Seng? Kenapa dia seorang hwesio?” anak itu sudah bertanya dengan heran. Dia pernah mendengar cerita ibunya tentang kakak ibunya yang bernama Lie Seng, seorang pendekar perkasa. “Benar, anakku, dia ini adalah Toapekmu. Seng-ko, ini adalah Ceng Thian Sin, anakku...” “Ceng...?” Lie Seng yang kini telah menjadi hwesio itu bertanya. Tentu saja dia merasa terheran-heran. karena selama ini dia mengasingkan diri dan tidak pernah mencampuri urusan dunia, tekun mempelajari agama sehingga dia tidak tahu apa yang telah terjadi dengan keluarganya, dengan adiknya ini. Hwesio itu yang dahulu bernama Lie Seng, seorang pendekar yang lihai, murid dari mendiang Kok Beng Lama yang sakti. Lie Seng ini adalah kakak dari Lie Ciauw Si, Cucu luar dari mendiang ketua Cin-ling-pai. Dibandingkan dengan adik kandungnya itu, keadaannya lebih menyedihkan lagi, peristiwa yang menimpa kehidupannya membuat dia putus asa dan memaksa dia masuk menjadi seorang hwesio! Seperti juga adiknya, dia saling mencinta dengan seorang dara yang tidak disetujui oleh keluarga Cin-ling-pai. Tidak dapat menyalahkan sikap keluarga Cin-ling-pai memang karena dara yang dicintanya itu, yang bernama Sun Eng, adalah seorang gadis yang pernah melakukan penyelewengan besar, pernah menyerahkan diri begitu saja kepada pria-pria bangsawan dan hartawan yang hidung belang. Biarpun kemudian antara dua orang muda ini terjalin cinta kasih yang murni, yang tidak mau mengingat lagi hal-hal yang lampau, namun keluarga Cin-ling-pai tidak setuju dan akibatnya Lie Seng pergi berdua bersama Sun Eng dan hidup sebagai suami isteri tanpa restu dari orang tuanya! Kemudian, Sun Eng yang merasa rendah diri itu melakukan pengorbanan demi keselamatan keluarga Cin-ling-pai yang difitnah dan menjadi buronan pemerintah. Sun Eng merayu dan berhasil memikat hati Pangeran Ceng Han Houw yang ketika itu masih mempunyai kekuasaan besar. Akan tetapi kemudian perbuatan Sun Eng ini diketahui oleh Han Houw dan akibatnya Sun Eng tewas dalam keadaan tersiksa oleh anak buah Pangeran Ceng Han Houw! Lie Seng hampir gila melihat wanita yang dicintanya itu seolah-olah membunuh diri demi keluarga Cin-ling-pai, hatinya penuh sesal dan duka. Kemudian muncul seorang hwesio tua yang berhasil mendatangkan penerangan dalam hatinya dan dia pun lalu meninggalkan dunia ramai, ikut bersama hwesio tua itu mempelajari kebatinan dan agama di dalam kuil dengan masuk menjadi hwesio pula. Semua ini telah diceritakan dalam kisah Pendeker Lembah Naga dan sejak memasuki Kuil Thian-to-tang di bukit kecil sebelah selatan kota raja, dia tidak pernah lagi mencampuri urusan dunia. Saking tekunnya mempelajari agama, setelah hwesio tua yang menyadarkannya itu meninggal dunia, dialah yang dipilih menjadi ketua Kuil Thian-to-tang itu dan berjuluk Hong San Hwesio. Seperti kebiasaan para hwesio lainnya, Hong San Hwesio sering kali mengadakan perjalanan berkelana, menyebarkan pelajaran agama mendatangkan penerangan kepada banyak orang, di samping itu juga tekun berprihatin dan makan hanya dari hasil pemberian dan kasih sayang orang-orang lain saja. Maka pada hari itu dia tiba di dusun tempat tinggal adik kandungnya juga tanpa sengaja dan hanya kebetulan belaka. Mendengar pertanyaan kakaknya yang terkejut mendengar bahwa anaknya memiliki she Ceng, Ciauw Si lalu bangkit, menggandeng tangan kakaknya diajak duduk di ruangan tamu. “Mari kita duduk dan bicara dengan leluasa, koko.” Lie Seng atau lebih tepat kita sebut Hong San Hwesio sudah memperoleh kembali ketenangannya ketika dia duduk berhadapan dengan Ciauw Si yang merangkul puteranya. Dia menatap wajah adiknya dan melihat wajah adiknya yang cantik segar dan menyinarkan cahaya kebahagiaan itu, diam-diam dia memuji syukur dan merasa ikut berbahagia. “Seng-ko, bagaimana tiba-tiba engkau menjadi hwesio? Kukira engkau telah... di mana adanya Sun Eng?” Mulut itu masih tersenyum dan memang kini peristiwa yang dulu pernah membuat hatinya berdarah itu kini tidak lagi membekas. “Dia telah bebas dari kesengsaraan, dia telah meninggalkan dunia yang penuh dengan kepalsuan dan kesengsaraan ini.” jawabnya lembut. “Ahhh...!” Ciauw Si terbelalak dan menatap wajah kakaknya penuh rasa iba. “Dan... sejak itu... engkau lalu menjadi hwesio?” “Ya, sejak aku sadar melihat betapa hidup ini penuh dengan kepalsuan, dendam, kebencian, permusuhan, maka aku mengalihkan langkah hidup menyusuri lorong yang bersih dan diterangi oleh sinar cinta kasih. Dan engkau sendiri, bagaimana tahu-tahu bisa tinggal di sini, Si-moi? Aku girang sekali melihat bahwa engkau hidup berbahagia.” Adik itu memandang kepada kakaknya dan melihat bahwa kakaknya tersenyum dengan wajah berseri itu, dia pun tidak lagi merasa berduka dan kini wajahnya malah berseri. “Memang aku hidup berbahagia, koko! Lihat, ini keponakanmu, Thian Sin. Aku hidup tenteram dan bahagia di sini, jauh daripada segala macam kekerasan dan permusuhan.” Hong Sian Hwesio meraih pundak anak itu dan memangkunya sambil mengelus kepalanya. “Anak baik... anakmu ini baik sekali...” dia memuji dan berdoa untuk memberkahi anak itu. Thian Sin hanya tersenyum dan memandang kepada wajah Toapek-nya dengan terheran-heran. Tak disangkanya sama sekali bahwa kakak ibunya yang dikabarkan seorang pendekar perkasa itu kini telah menjadi seorang hwesio! “Si-moi, anakmu ini she Ceng, apakah engkau menjadi...” “Ceng Han Houw adalah suamiku, koko.” jawab Ciauw Si cepat sambil menatap wajah kakaknya. Dia tidak akan heran kalau melihat wajah itu terkejut, akan tetapi kini dia malah agak heran akan tetapi juga lega melihat betapa wajah kakaknya itu tetap biasa dan tenang saja, sungguhpun ada sinar keheranan pada pandang mata yang lembut itu. “Ya, aku telah menjadi isteri Pangeran Ceng Han Houw dan Thian Sin ini adalah anak kita. Dan... koko... perjodohan antara kami juga tiada bedanya dengan perjodohanmu dengan Sun Eng, aku mengalami penderitaan batin yang hebat, hampir saja aku tidak kuat menanggungnya, koko. Akan tetapi semua itu telah berlalu dan kini kami hidup bahagia, sungguhpun putus dengan keluarga.” Kemudian Ciauw Si lalu menceritakaan semua pengalamannya kepada kakaknya, dengan singkat namun cukup jelas. Diceritakannya betapa dia membantu usaha pemberontakan Pangeran Ceng Han Houw karena dianggapnya suaminya itu benar dan kaisar yang lalim dan telah memusuhi keluarga Cin-ling-pai. Kemudian betapa fihak Cing-ling-pai malah membantu pemerintah menumpas gerakan suaminya dan sebagai akibatnya, suaminya menderita luka-luka parah dan hampir saja suaminya tewas kalau tidak bertemu dengan mendiang Yok-sian dan mengalami perawatan secara teliti selama dua tahun. “Pengalaman yang amat pahit, koko, akan tetapi kami sudah melupakan itu semua, kami anggap sebagai mimpi buruk saja dan kini kami hidup bertiga penuh bahagia di tempat sunyi ini.” Hong San Hwesio mengangguk-angguk dan masih tersenyum. Memang hebat sekali perubahan yang terjadi dalam batin hwesio ini. Adik kandungnya kini telah menjadi isteri Pangeran Ceng Han Houw, padahal Pangeran itulah yang menyebabkan kematian kekasihnya secara demikian menyedihkan. Akan tetapi, mendengar semua itu, batinnya tenang saja dan sedikit pun tidak timbul kemarahan atau kebencian terhadap Pangeran Ceng Han Houw! “Bersyukurlah kepada Tuhan bahwa segala-galanya berakhir dengan baik, Si-moi. Sekarang, di mana adanya suamimu?” “Dia sedang mencangkul di sawah tadi.” kata Ciauw Si. Hong San Hwesio tertawa. Seorang Pangeran yang demikian tinggi kedudukannya dahulu, kini mencangkul di sawah. Betapa aneh dan lucu kedengarannya. “Itu ayah pulang...!” Thian Sin turun dari atas pangkuan Toapek-nya dan menuding keluar, menyambut ayahnya yang datang memanggul cangkul. “Eh, ada tamu? Siapa tamunya? Seorang hwesio...?” Ceng Han Houw yang kini sama sekali tidak kelihatan seperti seorang pangeran melainkan seperti seorang petani yang tampan dan gagah itu bertanya sambil memandang ke dalam dengan heran. Ketika dia memasuki ruangan depan, Hong San Hwesio bangkit berdiri dan merangkap kedua tangannya memberi hormat. “Selamat bertemu, Pangeran,” katanya hormat. “Eh, siapakah... suhu...?” Ceng Han Houw membalas penghormatan itu, agak terkejut disebut pangeran oleh hwesio itu. “Dia ini adalah kakakku Lie Seng,” Ciauw Si yang merasa gembira dengan pertemuan ini setelah keharuan mereda, cepat memperkenalkan. “Lie Seng...?” Ceng Han Houw terkejut bukan main dan memandang dengan mata terbelalak keheranan. “Pendekar Cin-ling-pai itu...?” “Omitohud... bukan pendekar melainkan seorang hwesio yang mengemis sedekah,” kata Hong San Hwesio sambil menjura. Tiba-tiba Ceng Han Houw tertawa bergelak, suara ketawa yang bebas dan wajar saking gelinya. “Ha-ha-ha-ha, betapa dunia ini telah berubah banyak! Pendekar Cin-ling-pai Lie Seng yang gagah perkasa kini telah menjadi seorang hwesio peminta-minta sedekah! Dan aku, seorang pangeran, lihat, kini menjadi petani miskin sederhana. Ha-ha-ha-ha!” Mereka saling pandang dan melihat betapa pangeran itu bicara sewajarnya dan sejujurnya, sama sekali tidak ada tanda-tanda mengejek, Hong San Hwesio juga tertawa sehingga suasana pertemuan itu menjadi semakin gembira. “Mari, duduklah, Lie-toako... eh, apakah aku harus menyebut suhu? Bagaimana ini?” tanya Han Houw bingung. “Biar dia menjadi hwesio seratus kalipun, dia tetap kakakku Lie Seng. Di dunia ini aku hanya mempunyai seorang kakak, apakah itu pun akan diambil dariku? Tidak, engkau panggil saja dia Toako.” “Bolehkah itu, Lie-toako?” tanya Han Houw. Hong San Hwesio tersenyum. “Apakah artinya nama? Pinceng boleh disebut apapun, dan karena engkau adalah Moihu-ku (adik iparku) maka tentu saja engkau boleh menyebut pinceng Toako.” Tentu saja Ciauw Si melarang kakaknya makan makanan dari mangkok tadi dan sebagai gantinya dia lalu mengeluarkan masakan-masakan tanpa daging, kemudian mereka makan bersama sambil bercakap-cakap dengan penuh kegembiraan. Thian Sin kelihatan amat sayang kepada Pekhu-nya, demikian pula Lie Seng juga sayang sekali kepada Thian Sin yang dipujinya sebagai seorang anak yang bertulang baik sekali. Sehabis makan, mereka duduk di ruangan depan. “Koko, engkau harus bermalam di sini, tinggal di sini barang seminggu!” kata Ciauw Si dengan suara menuntut. “Ya, tinggallah di sini, Toako, dan anggap saja seperti di rumah sendiri.” kata Han Houw. “Terima kasih, aku akan tinggal di sini barang beberapa hari sebelum melanjutkan perjalananku. Kalian tentu tahu bahwa seorang hwesio memiliki tugas untuk menyebarkan pelajaran agama dan memberi penerangan kepada yang sedang kegelapan. Selain itu, Kuil Thian-to-tang masih membutuhkan bimbinganku.” Hong San Hwesio menolak halus. Akhirnya Ciauw Si terpaksa mengalah dan tidak dapat memaksa kakaknya untuk tinggal terlalu lama di situ dan mereka berjanji bahwa kakak itu akan tinggal selama tiga hari di rumah adik kandungnya. “Seng-koko, engkau belum menceritakan tadi tentang bagaimana matinya Sun Eng,” tiba-tiba Ciauw Si bertanya. “Sun Eng siapa...?” Ceng Han Houw bertanya, suaranya lirih dan dia menahan perasaan kagetnya, lalu memandang kepada Hong San Hwesio. Hwesio ini menarik napas panjang, kemudian balas memandang kepada wajah pangeran itu, akan tetapi pandang matanya tetap lembut dan tenang. “Si-moi, dia sudah mati, sudah terbebas daripada kekejaman dunia, kiranya tidak perlu dibicarakan lagi. Dia tewas dalam usahanya yang amat baik, dan pinceng sudah lupa lagi bagaimana dia mati.” Jantung dalam dada Han Houw berdebar keras sekali. Dia yakin bahwa kakak kandung isterinya ini tahu apa yang telah terjadi dengan diri Sun Eng, siapa pula yang menyebabkan kematian wanita itu, akan tetapi pendekar yang telah menjadi hwesio ini benar-benar tidak menaruh dendam, bahkan tidak nampak sedikit pun rasa penasaran dalam pandang matanya! “Sun Eng itu... masih apakah dengan Lie-toako?” Dia memberanikan diri bertanya kepada isterinya. Dengan suara terharu Ciauw Si berkata. “Dia adalah isterinya yang amat dicintai Seng-koko dan amat mencintanya, keduanya saling mencinta bahkan Seng-ko tidak mempedulikan larangan semua keluarganya. Seperti keadaan kita...” Wajah pangeran itu menjadi agak pucat ketika dia memandang kepada Lie Seng atau Hong San Hwesio. Isterinya malah! Cepat dia bangkil berdiri dan menjura dengan penuh keharuan dan penuh penyesalan, namun dengan sikap yang jujur dan suara gemetar, “Lie-toako, aku... aku ikut menyesal sekali atas malapetaka yang menimpa dirimu...” Lie Seng atau Hong San Hwesio itu bangkit berdiri, tersenyum dan merangkap kedua tangan depan dada. “Omitohud, kehendak Tuhan tak mungkin dapat dielakkan. Yang sudah lewat tidak baik untuk dibicarakan. Batin harus kosong dari segala kenangan karena kenangan hanya mendatangkan kekeruhan. Semoga Thian memberkahi kita semua!” PELARIAN dari duka merupakan hal sia-sia belaka. Hiburan-hiburan untuk menutupi duka juga merupakan pelarian. Dengan demikian, mungkin duka akan tidak terasa, akan tetapi hal itu hanya berlangsung sejenak saja, seperti api dalam sekam. Api duka itu masih belum padam, hanya tertutup dan masih membara di sebelah dalam. Sewaktu-waktu akan berkobar lagi. Kalau hiburan itu sudah mereda, maka duka akan muncul lagi sehingga kita terpaksa sibuk mencari-cari hiburan yang lain lagi. Mengapa kita harus lari dari kenyataan? Kalau timbul duka atau takut atau kesengsaraan yang lain lagi, mari kita hadapi dengan penuh kewaspadaan! Mengamati diri sendiri lahir batin setiap saat dengan penuh kewaspadaan berarti mempelajeri segala sesuatu tentang kehidupan manusia di dunia ini! Hong San Hwesio tinggal selama tiga hari di rumah adik kandungnya dan kehadirannya selama tiga hari itu amat membahagiakan hati keluarga itu. Dia memberi tahu pula di mana dia menjadi hwesio kepala dari sebuah kuil dekat kota raja. Setelah lewat tiga hari dia pun berpamit untuk melanjutkan perjalanan dan dia meninggalkan dusun itu diantar oleh Han Houw, Ciauw Si dan Thian Sin sampai ke pinggir dusun. *** Dua tahun telah lewat lagi dan kini Thian Sin telah berusia sepuluh tahun. Semakin besar, anak ini menjadi semakin mengerti keadaan dan sering kali dia bertanya kepada ayah dan ibunya mengapa dia tidak diajak menghadap nenek-neneknya. “Kata ibu, nenek masih hidup, baik ibu dari ibu maupun ibu dari ayah. Kenapa aku tidak boleh bertemu dengan nenekku? Kenapa pula aku tidak boleh bertemu dengan keluarga ayah dan ibu?” Mendengar puteranya merengek itu, Ceng Han Houw tak dapat menahan lagi hatinya. Selama ini, dia sudah menahan-nahan keinginannya untuk pergi mengunjungi ibu kandungnya. Dia merasa rindu sekali kepada ibunya itu dan ingin melihat bagaimana keadaan ibunya. Maka dia lalu mengajak isterinya untuk pergi berkunjung kepada Ratu Khamila, ibu kandungnya. “Akan tetapi, bukankah kita sudah mengambil keputusan untuk tidak berhubungan lagi dengan keluarga kita dan hidup menyendiri di sini?” Han Houw menarik napas panjang, “Memang benar, isteriku, dan betapapun rinduku kepada ibuku, aku kiranya masih akan dapat bertahan. Akan tetapi kita harus kasihan kepada anak kita. Dan betapa akan senangnya dia bertemi dengan ibuku, juga betapa akan bahagianya hati ibu kalau melihat cucunya.” Ciauw Si mengerutkan alisnya. “Tapi... tapi... mendiang Yok-sian...” “Ah, isteriku, aku percaya akan ramalan itu kalau kita pergi ke kota raja, di mana banyak orang memusuhiku. Akan tetapi kalau mengunjungi ibu kandungku di utara, apakah bahayanya? Pula, ibuku sangat sayang kepadaku, dan mempunyai kekuasaan besar di sana, bahkan Raja Sabutai sendiri tidak berani bertindak sembarangan, maka siapakah yang akan berani mengganggu kita?” Biarpun merasa ragu, namun melihat suaminya kelihatan begitu rindu kepada ibu kandungnya, dan melihat pula Thian Sin yang sudah mendengar akan maksud kepergian itu menjadi sangat gembira, akhirnya Ciauw Si mengalah dan menyetujui. Bukan main gembiranya Han Houw memperoleh persetujuan isterinya. Dia seolah-olah menjadi seperti kanak-kanak yang dijanjikan hadiah besar, demikian girangnya sehingga berhari-hari dalam persiapan itu dia nampak luar biasa gembiranya. Demikian pun Thian Sin yang terbawa oleh kegembiraan ayahnya, kelihatan penuh semangat. Melihat keadaan suami dan puteranya ini, tentu saja Ciauw Si menjadi semakin tidak tega dan demikianlah, pada suatu hari mereka bertiga berangkat menuju ke utara! Mereka tidak mau mengambil jalan melalui Lembah Naga, pertama karena hal itu akan makan waktu lebih lama dan jaraknya menjadi lebih jauh, juga terutama sekali karena suami isteri itu tidak mau mendekati lagi Lembah Naga, tempat yang hanya akan menimbulkan kenangan pahit saja bagi mereka. Mereka langsung menuju ke kerajaan kecil yang dikuasai ayah tirinya, yang sering berpindah tempat dan kini berada di sebelah timur Huhehot. Setelah melakukan perjalanan yang cukup jauh dan amat menarik bagi Thian Sin, tanpa ada halangan sesuatu berkat kepandaian suami isteri itu, biarpun Han Houw kini tidaklah sehebat dulu, mereka tibalah di kerajaan kecil itu yang lebih tepat merupakan sekelompok besar suku-suku campuran di utara yang dulu dipimpin oleh Raja Sabutai yang terkenal perkasa. Mereka disambut oleh Permaisuri Khamila dengan banjir air mata, dan Pangeran Oguthai atau Ceng Han Houw bersama isteri dan puteranya segera diajak masuk ke dalam istana kecil Sang Permaisuri. Di situ Han Houw mendengar bahwa Raja Sabutai telah meninggal dunia dan sebagai penggantinya kini diangkat seorang adik misannya Raja Sabutai yang bernama Agahai, terhitung paman dari Han Houw yang sejak mudanya telah menjadi pembantu Raja Sabutai yang paling setia. Puteri Khamila merangkul puteranya sambil menangis dan dalam tangisnya ini samar-samar dia menyesalkan kepergian puteranya karena kalau tidak, tentu puteranya ini yang kini menggantikan Raja Sabutai, bukan Agahai! Puteri Khamila yang cantik dan agung itu kini ternyata amat lemah dan sering sakit, terutama sekali karena memikiran puteranya yang tadinya disangka telah tewas karena gagal dalam pemberontakannya. Raja Agahai yang maklum akan kelihaian Han Houw menerimanya dengan ramah, bahkan dengan sikap manis menawarkan kedudukan tinggi kepada Han Houw kalau saja dia mau tinggal di situ dan membantu raja. “Kami membutuhkan bantuanmu, Pangeran,” antara lain raja ini berkata, “karena kita harus dapat menundukkan kembali suku-suku dan kelompok-kelompok kecil di utara sebelum mereka itu dikuasai oleh suku Mongol. Kita harus menjadi bangsa yang besar dan mengembalikan kejayaan mendiang ayahmu.” Akan tetapi Han Houw menghaturkan terima kasih dan tidak menerima penawaran ini, karena dia sudah berjanji kepada isterinya bahwa mereka datang itu hanya untuk menengok Puteri Khamila, dan sama sekali tidak akan mencampuri urusan kerajaan lagi. Han Houw dan isterinya tinggal di tempat itu selama hampir sebulan. Kemudian mereka berpamit dan diantar oleh tangisan Puteri Khamila, mereka meninggalkan kerajaan kecil itu dengan membawa bekal yang diberikan oleh Raja Agahai, bahkan mereka diberi tiga ekor kuda yang amat baik untuk melakukan perjalanan pulang. Perjalanan itu amat berkesan dalam hati Thian Sin dan diam-diam dia merasa bangga dapat melihat sendiri bahwa ayahnya adalah seorang pangeran, bahwa dia adalah keturunan darah bangsawan, tidak seperti anak-anak dalam dusunnya. Akan tetapi, terpengaruh oleh pendidikan ayah bundanya, kebanggaan ini hanya disimpannya di dalam hati saja sehingga pada lahirnya, anak ini tidak menyombongkan keadaan keturunannya. Ciauw Si merasa girang sekali melihat bahwa suaminya sudah benar-benar insyaf dan sudah benar-benar tidak mempunyai ambisi lagi seperti dulu. Hal ini dapat dibuktikannya dengan sikap suaminya ketika diminta oleh Raja Agahai untuk tinggal di sana dan membantu raja itu. Akan tetapi, nyonya muda ini dan sekeluarganya sama sekali tidak tahu bahwa ada bahaya besar yang mengancam mereka dan sedang diatur oleh orang-orang yang tidak suka kepada mereka. Tanpa mereka sangka sama sekali, Raja Agahai merasa khawatir sekali melihat munculnya Han Houw. Tadinya dia sendiri mengira bahwa pangeran itu telah tewas ketika gagal dalam pemberontakannya di Lembah Naga. Kini, tahu-tahu pangeran itu muncul dan dia maklum betapa lihainya keponakannya itu. Apalagi melihat sikap Puteri Khamila yang agaknya ingin sekali melihat puteranya itu menggantikan kedudukan raja, maka diam-diam raja ini mengatur rencananya untuk melenyapkan bahaya bagi kedudukannya ini. Dia amat khawatir kalau-kalau Pangeran Oguthai akan merebut kedudukannya, maka sebelum pangeran itu bergerak, dia harus bergerak lebih dulu. Beginilah kalau orang sudah terikat kepada sesuatu yang dianggap merupakan sumber kenikmatan dan kesenangan hidupnya. Selalu merasa khawatir dan berprasangka terhadap orang lain, khawatir kalau-kalau kedudukannya itu akan lenyap. Dan dipertahankannya sesuatu itu, kalau perlu tidak segan-segan dia membinasakan orang lain yang dianggap sebagai penghalang. Dari sinilah timbulnya segala perbuatan kejam dan jahat. Raja Agahai mengirim berita kepada Kaisar Beng-tiauw bahwa Pangeran Ceng Han Houw yang hendak memberontak itu masih hidup dan memberitahukan tempat sembunyinya. Bahkan kemudian bersekutu dengan Kaisar untuk sama-sama mengirimkan orang-orang pandai dan pasukan untuk menangkap atau membinasakan pemberontak yang berbahaya itu! Demikianlah, kurang lebih tiga bulan kemudian semenjak Han Houw dan anak isterinya mengunjungi Puteri Khamila, pada suatu hari di dusun lereng bukit itu nampak ada dua orang kakek mendaki lereng dan memandang ke kanan kiri ke arah rumah para penduduk dusun. Kedatangan dua orang itu menarik perhatian karena memang dusun itu agak terpencil dan jarang dikunjungi orang luar, akan tetapi karena kakek yang usianya kurang lebih enam puluh tahun itu kelihatan juga tidak luar biasa, maka para penghuni dusun tidak menaruh perhatian. Akhirnya dua orang kakek itu memasuki sebuah warung, satu-satunya warung makanan yang terdapat di dusun itu. Pemilik warung dengan sikap hormat mempersilakan mereka duduk. Mereka duduk, melepaskan topi lebar yang dipakai melindungi kepala dari terik matahari siang itu dan mereka menggunakan topi itu untuk mengipasi leher sambil membuka kancing baju bagian atas. Hari itu memang agak panas, apalagi kalau orang melakukan perjalanan mendaki bukit itu. Mereka memesan arak dingin. Sambil menghidangkan arak kasar, pemilik warung itu bertanya, “Agaknya ji-wi baru datang dari tempat jauh?” Dua orang kakek itu saling pandang dan bersikap tak acuh. Seorang di antara mereka bertubuh tinggi kurus, berjenggot panjang dan sepasang matanya agak juling, membuat wajah itu nampak lucu akan tetapi juga menyeramkan, sungguhpun dia bersikap lemah lembut, sikap yang nampak dibuat-buat karena sepasang mata yang juling itu bergerak liar dan sama sekali tidak lembut sinarnya. Adapun kakek ke dua yang usianya sebaya, bertubuh tinggi besar dan suaranya besar lantang, nampak kokoh kuat biarpun dia berusaha menutupi keadaannya itu dengan pakaian longgar dan sikap yang lemah lembut. “Kami memang telah melakukan perjalanan jauh,” jawab Si Mata Juling. Pada saat itu, seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun memasuki warung. Melihat anak ini, pemilik warung tersenyum dan menyambutnya dengan ramah, “Thian Sin, sepagi ini kau sudah datang ke sini?” tegurnya ramah. Anak itu memang Thian Sin adanya, putera Han Houw dan Ciauw Si. Semua orang dusun mengenalnya dan sayang kepadanya. Biarpun anak ini tahu benar bahwa dia masih keturunan kaisar dan raja, dan bahwa orang-orang dusun itu tidak berhak memanggil namanya saja seperti itu, namun dia tidak pernah menolak dan membiarkan semua orang memanggil namanya begitu saja, seperti terhadap anak-anak lain. Juga ayah bundanya tidak pernah merasa keberatan karena memang ayahnya menyembunyikan keadaan dirinya dan tidak ada seorang pun tahu bahwa ayahnya adalah seorang pangeran! Bahkan nama ayahnya pun tidak ada yang tahu, dan ayahnya hanya dikenal sebagai “Ceng-siauwya” atau tuan muda Ceng karena semua orang dapat menduga bahwa ayahnya itu bukanlah seorang petani biasa saja. “Paman A-coan, saya disuruh ibu untuk membeli tao-co, karena ibu telah kehabisan tao-co.” katanya sambil menyerahkan panci kecil. “Baik-baik, kau masuklah ke dapur dan minta tao-co yang paling baik dari A-sam.” kata pemilik warung sambil tersenyum ramah. Sementara itu, kakek yang bertubuh tinggi besar dan bermuka agak kehitaman itu tanpa mempedulikan anak itu lalu bertanya, “Eh, A-coan, kami ingin bertanya sesuatu kepadamu.” Mendengar nada suara itu agak sombong, Si Pemilik Warung menengok dengan alis berkerut. Tidak biasa penghuni dusun mendengar nada suara yang sombong seperti itu, apalagi dari orang asing yang baru saja mendengar namanya disebut oleh Thian Sin tadi. “Hemm, bertanya tentang apakah?” jawabnya dengan sederhana dan memang pemilik warung ini, seperti para penghuni lain di dusun itu, tidak biasa berbasa-basi sehingga cara bicara mereka pun kasar sungguk pun kekasaran itu berdasarkan kejujuran, bukan kesombongan. “Di dusun ini tinggal seorang pangeran pemberontak! Di manakah rumahnya?” Pemilik warung itu terkejut sekali, akan tetapi juga terheran-heran. Dia tidak melihat betapa Thian Sin sudah keluar dari dalam membawa panci berisi tao-co, dan anak itu memandang dengan mata terbelatak dan jantung berdebar. Siapa lagi kalau bukan ayahnya yang dimaksudkan orang itu. Hanya ayahnyalah pangeran di dusun itu, akan tetapi mengapa disebut pemberontak? “A-coan, demi keselamatanmu, kau berterus terang sajalah, di mana rumah pangeran pemberontak itu?” kata Kakek Mata Juling dengan suara meninggi. A-coan, pemilik warung itu memandang kepada dua orang kakek itu bergantian dengan mata penuh keheranan dan penasaran. “Apakah ji-wi sudah gila?” tanyanya dengan marah, “dalam dusun kami ini, mana ada seorang pangeran, pemberontak pula? Yang ada hanyalah petani-petani yang bersih dan jujur. Harap ji-wi tidak mengada-ada yang bukan-bukan!” Tiba-tiba Si Mata Juling, yang kelihatan lemah lembut itu, menggebrak meja. “Krakk!” Ujung meja segi empat itu terbuat dari papan tebal, pecah dan patah terkena hantaman telapak tangannya. Kemudian, sekali bergerak, Si Mata Juling itu sudah meloncat dari atas bangkunya dan di lain saat, dia telah mencengkeram punggung baju pemilik warung itu dan mengangkatnya ke atas, matanya yang juling itu melotot dan menjadi makin juling. “Kau berani mengatakan kami gila? Eh, tukang warung dusun, jaga hati-hati mulutmu, atau ingin kuhancurkan sepert ujung meja itu?” Si Mata Juling mengancam dan tukang warung itu tentu saja menjadi ketakutan. Mula-mula dia hendak melawan, akan tetapi ketika dia tahu betapa tubuhnya tak mampu bergerak dan cengkeraman itu kuat sekali, maklumlah dia bahwa dia berada dalam cengkeraman seorang yang amat lihai. “Maaf... maafkan saya...” katanya gugup. “Katakan dulu di mana pangeran itu tinggal, baru aku akan memaafkan kamu!” Si Mata Juling berkata dengan suara penuh ancaman, tangan kanannya mencengkeram tubuh itu ke atas dan tangan kirinya menampar dua kali dari kanan kiri. “Plak! Plak!” Dan kedua pipi pemilik warung yang sial itu menjadi bengkak, bibirnya pecah berdarah. “Hayo katakan!” Akan tetapi, pada saat itu ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu Thian Sin sudah menerjang ke depan, memukul ke arah perut Si Mata Juling itu. Si Mata Juling terkejut bukan main karena pukulan itu tak boleh dipandang ringan, melainkan pukulan yang cukup keras dan mungkin saja dapat mendatangkan rasa nyeri kalau tidak luka dalam! Maka dia pun cepat melepaskan tubuh A-coan dan menangkis pukulan anak itu. “Dukk!” Tubuh Thian Sin terdorong ke samping, akan tetapi kakek bermata juling itu terkejut karena dia merasa lengannya tergetar, tanda bahwa pukulan bocah itu mengandung tenaga dalam! “Eh, bocah setan, siapa kau?” bentaknya. “Manusia kejam, sembarangan memukuli orang yang tidak bersalah!” Thian Sin berkata, wajahnya yang tampan itu berubah merah, matanya yang bening indah itu bersinar-sinar. “Pangeran yang kalian tanyakan itu adalah ayahku! Kalian mau apa?” Dua orang kakek itu saling pandang dan nampak girang, juga terkejut. Anak itu masih kecil, paling banyak sepuluh tahun usianya, dan tubuhnya sedang, bahkan agak kurus, kulit mukanya halus seperti kulit muka anak perempuan, nampaknya lemah lembut dan tidak mempunyai tenaga, akan tetapi pukulannya tadi mengandung hawa sin-kang! Siapakah dua orang kakek itu? Mereka itu adalah dua orang perwira tinggi yang bertugas jaga di perbatasan. Mereka menerima tugas dari pasukan yang datang dari kota raja dan dipimpin oleh dua orang kakek sakti untuk pergi menyelidiki dusun di mana kabarnya tinggal pangeran pemberontak Ceng Han Houw. Maka berangkatlah dua orang perwira tinggi itu, menyamar dengan pakaian biasa. Mereka adalah tentara-tentara yang kasar dan sudah biasa melakukan perbuatan sewenang-wenang, mengandalkan kekuasaan mereka untuk menindas rakyat dan mereka berdua itu agaknya belum mengenal siapa adanya Pangeran Ceng Han Houw yang mereka hendak selidiki itu, maka mereka bersikap sombong dan ceroboh sekali. Di dusun itu mereka bersikap kasar, karena mereka memandang rendah kepada pangeran yang katanya pemberontak itu. Kini mendengar pengakuan Thian Sin bahwa pangeran yang dicari-cari itu adalah ayah dari anak ini, tentu saja mereka girang dan juga kaget. SebetuInya dua orang perwira tinggi ini memiliki kepandaian yang cukup tinggi, maka mereka ditugaskan untuk itu. Dan mereka itu pun telah memiliki kedudukan, hanya karena mereka sudah biasa menyiksa tawanan untuk memaksa mereka mengaku, maka terhadap A-coan merekapun bersikap kasar untuk memaksa tukang warung itu mengaku. Kini, menghadapi anak itu, sikap mereka lain. “Eh, bocah lancang, jangan main-main kau!” kata Si Tinggi Besar muka hitam. “Kami tidak mau salah tangkap. Coba katakan, siapa she ayahmu?” “Ayah she Ceng, dan dialah satu-satunya pangeran di sini! Kalian ini orang-orang kejam mau apakah mencari Ayahku?” Dua orang itu girang bukan main. “Ha-ha-ha, bagus sekali! Kami akan menangkap ayahmu yang memberontak!” Sungguh Si Tinggi Besar muka hitam ini tiada bedanya dengan temannya, ceroboh dan menganggap rendah kepada Pangeran Ceng Han Houw. Sebetulnya tugas mereka hanya menyelidiki saja apakah benar Ceng Han Houw tinggal di dusun itu, sama sekali tidak bertugas untuk menangkap keluarga itu, karena yang memerintah mereka cukup mengetahui betapa lihainya Pangeran Ceng Han Houw dan isterinya. Akan tetapi, mereka berdua ini adalah orang-orang yang biasa ditakuti orang dan sudah terlalu percaya kepada diri sendiri, maka mereka berpikir bahwa kalau mereka dapat menangkap pemberontak itu tentu mereka akan berjasa besar dan selain naik pangkat tentu akan menerima hadiah banyak. Sementara itu, mendengar bahwa ayahnya dituduh pemberontak dan hendak ditangkap, Thian, Sin yang berusia sepuluh tahun itu menjadi marah. “Ayah bukan pemberontak, kalian bohong dan jahat!” Dia lalu menerjang ke depan memukul kakek tinggi besar bermuka hitam itu. Di antara anak-anak sebaya, agaknya Thian Sin tentu merupakan anak paling kuat dan sukar dicari bandingannya, bahkan menghadapi orang dewasa pada umumnya saja agaknya dia masih akan menang. Akan tetapi yang diserangnya itu adalah seorang perwira tinggi yang sudah memiliki kepandaian tinggi dan tenaga besar, maka betapapun cepat dan kuat serangannya itu, Si Tinggi Besar yang sudah siap dan tidak memandang rendah anak itu telah menyambutnya dengan sambaran tangan untuk menangkapnya. “Plakk!” Lengan tangan Thian Sin yang kecil tertangkap oleh tangan berjari panjang dan besar-besar itu. Namun, dengan kecepatan luar biasa Thian Sin menggunakan sebelah tangan lagi memukul ke arah sambungan siku dari tangan yang memegangnya. Cepat sekali pukulan ini dan Si Tinggi Besar berteriak kaget, tangannya kesemutan karena yang terkena pukulan adalah tepat di sambungan siku bawah dan tentu saja pegangannya terlepas ketika anak itu menarik lengannya dan membuat gerakan memutar ke belakang! “Bocah setan!” Si Tinggi Besar muka hitam berseru marah bukan main dan sambil mengembangkan kedua lengannya yang besar dan panjang itu dia menubruk ke arah Thian Sin dengan cepat. Akan tetapi betapa terkejutnya ketika tubrukannya itu luput, mengenai tempat kosong karena anak itu telah menggeser ke tempat lain secara cepat dan aneh sekali! Dia menubruk lagi, lebih cepat, akan tetapi kembali tubrukannya luput dan anak itu telah berhasil mengelak dengan baiknya. Dengan kemarahan makin meluap dan rasa penasaran yang membuat mukanya menjadi semakin hitam, Si Tinggi Besar itu menubruk dan menubruk lagi, seperti orang mengejar-ngejar ayam yang terlepas dan amat gesitnya. Namun anak itu sukar sekali ditangkap, tubuhnya licin bagaikan belut dan kakinya bergerak-gerak aneh dengan langkah-langkah yang membuat tubuhnya menyelinap ke sana-sini dan semua tubrukan itu tidak mengenai sasaran. Tidaklah aneh karena anak kecil itu sudah mahir sekali mempergunakan langkah-langkah yang dinamakan langkah Pat-kwa-po yang diajarkan oleh ayahnya kepadanya. Melihat kawannya tidak juga berhasil menangkap anak itu, Si Mata Juling membantu dan mencegat. Kalau saja Thian Sin sudah lebih besar dan memiliki tenaga lebih kuat, dengan kombinasi langkah Pat-kwa-po dan ilmu pukulan dari apa yang telah dimilikinya, tentu dia akan mampu melawan dua orang ini. Akan tetapi, betapa baiknya langkah Pat-kwa-po itu, kedua kakinya masih terlalu pendek untuk mengatur langkah-langkah dengan cukup sempurna untuk orang dewasa, maka tentu saja langkah-langkahnya kurang lebar dan kini dicegat oleh Si Mata Juling, akhirnya dia tertangkap, pundaknya dicengkeram dan dia diangkat ke atas oleh Si Mata Juling! “He-he-heh, kau hendak lagi ke mana, anak pemberontak?” Si Mata Juling mengejek dengan bangga karena akhirnya dia dapat berhasil menangkap bocah itu. “Hayo ajak kami ke rumah orang tuamu!” Biarpun dia telah ditangkap dan cengkeraman pada pundaknya itu mendatangkan rasa nyeri, namun Thian Sin menegangkan tubuhnya dan memandang dengan mata melotot, lalu membentak, “Aku tidak sudi!” “Eh, bocah setan! Apa kau sudah bosan hidup?” Si Mata Juling mengancam dan memperkuat cengkeramannya. “Siapa takut mampus?” Thian Sin juga membentak. Melihat ini, A-coan, pemilik warung itu cepat maju berlutut di depan Si Mata Juling dan berkata dengan suara memohon, “Harap ji-wi tidak mengganggu dia... kalau ji-wi ingin mengetahui rumah orang tuanya, biar saya yang mengantar...” “Paman A-coan!” Thian Sin membentak, akan tetapi Si Tinggi Besar sudah menangkap lengan A-coan dan berkata dengan suara penuh ancaman. “Awas, kalau kau bohong, kupatahkan kedua lenganmu ini!” Dan dia mengerahkan sedikit tenaga, membuat pemilik warung itu meringis kesakitan karena lengannya seperti akan patah-patah rasanya. “Baik... baik... tidak bohong... tidak bohong...” Dua orang kakek itu lalu keluar dari dalam warung, Si Tinggi Besar menyeret tubuh A-coan sambil memegang lengannya, sedangkan Si Mata Juling masih mengangkat Thian Sin di atas kepala sambil mencengkeram pundaknya, seperti orang membawa seekor kucing saja. A-coan menjadi penunjuk jalan menuju ke rumah Han Houw dan semua penghuni dusun yang melihat peristiwa ini menjadi terkejut dan heran, lalu mengikuti mereka dari jauh, tidak tahu harus berbuat apa. Ada beberapa orang di antara mereka yang setia kawan, hendak menyerbu untuk menolong A-coan dan Thian Sin, akan tetapi ada pula yang mencegah niat ini melihat betapa pemilik warung dan anak itu sudah berada dalam kekuasaan dua orang kakek asing itu sehingga kalau mereka menyerbu, dikhawatirkan dua orang tawanan itu akan celaka. Maka mereka hanya mengikuti dari belakang. Dua orang kakek itu sama sekali tidak peduli bahwa para penghuni dusun mengikuti dari belakang dengan pandang mata marah, karena tentu saja mereka sama sekali tidak memandang mata kepada para petani dusun itu. Ketika rombongan yang diikuti banyak orang ini tiba di pekarangan rumah Han Houw, nampak seorang wanita cantik keluar dari rumah itu dan seketika dia terbelalak kaget melihat Thian Sin masih diangkat oleh seorang kakek bermata juling dan dicengkeram pundaknya. Wanita itu bukan lain adalah Lie Ciauw Si. Tentu saja dia kaget dan marah sekali melihat ini. Dua orang kakek itu memandang rendah kepada Ciauw Si, maka mereka tetap melangkah masuk sampai jarak mereka dari tempat nyonya itu berdiri tinggal lima meter lagi. Mereka berhenti dan Si Tinggi Besar menghardik A-coan, “Inikah rumah pangeran pemberontak itu?” “Saya... saya tidak tahu pangeran mana... tapi inilah rumah orang tua anak itu...” A-coan berkata dan dia lalu didorong pergi oleh Si Tinggi Besar sehingga tubuhnya terbanting dan terguling-guling sampai jauh. Sambil merintih pemilik warung ini lalu tertatih-tatih pergi menjauhkan diri, mencampurkan diri dengan para penghuni dusun yang kini berdiri nonton di luar pekarangan. Tiba-tiba nyonya yang cantik itu mengeluarkan suara teriakan melengking nyaring yang mengejutkan semua orang dan tahu-tahu tubuhnya sudah mencelat ke atas, berjungkir balik beberapa kali dan kini meluncur turun ke arah kepala Si Mata Juling, dengan kedua tangan membentuk cakar garuda dan menyerang dengan dahsyatnya! Bukan main kagetnya Si Mata Juling melihat ini, dan cepat dia menggunakan tangan kanan untuk melindungi kepalanya. Akan tetapi pada saat itu, Thian Sin yang melihat ibunya sudah turun tangan, dan melihat betapa tangan kanan kakek itu tidak mengancamnya, cepat menggerakkan kakinya menendang sekerasnya. “Dukkk!” Sepatu kecil itu dengan tepatnya menghantam hidung yang agak pesek itu dengan cukup keras. “Auhhh...!” Si Mata Juling terkejut, cengkeramannya terlepas dan Thian Sin sudah meloncat turun dan cepat lari ke depan, sedangkan tamparan tangan Ciauw Si menyerempet pundak Si Mata Juling yang sudah kesakitan karena hidungnya berdarah itu, maka tubuhnya terjengkang. Si Tinggi Besar muka hitam cepat menubruk ke arah nyonya cantik itu untuk membantu temannya, akan tetapi tiba-tiba Ciauw Si memutar tubuh dengan kaki kiri menyambar ke depan. “Ngekk!” Cepat sekali gerakan kaki dengan tubuh memutar itu sehingga Si Tinggi Besar tidak sempat mengelak dan perutnya yang gendut besar itu kena ditendang oleh ujung sepatu Ciauw Si. “Aduhhh...!” Dia terpelanting dan memegangi perutnya yang seketika terasa mulas. Kini dua orang kakek itu bangkit berdiri, Si Mata Juling menyusut darah yang mengucur dari hidungnya sedangkan Si Tinggi Besar menekan-nekan perutnya yang tertendang. Mereka marah dan malu bukan main. “Sratt! sratt!” Keduanya menggerakkan tangan ke bawah baju dan tercabutlah dua batang golok tajam. Ciauw Si sudah merangkul anaknya dan cepat memeriksa. Melihat bahwa puteranya itu tidak terluka, hatinya lega dan kemarahannya mereda. “Ibu, mereka ini orang-orang kejam yang menuduh ayah pemberontak!” Thian Sin berkata sambil menuding ke arah dua orang kakek itu. Ciauw Si terkejut. Agaknya terjadi sesuatu yang gawat, pikirnya, sehingga pemberontakan suaminya yang terjadi lebih sepuluh tahun yang lalu itu kini disebut-sebut orang. Maka dia lalu mendorong puteranya ke belakang. “Kau mundurlah,” bisiknya dan kini dia menghadapi dua orang kakek itut memandang tajam penuh selidik, akan tetapi tetap saja dia tidak merasa kenal dengan mereka. “Siapakah kalian? Dan apa keperluan kalian datang ke sini?” dia bertanya kepada dua orang yang sudah memegang golok dengan sikap mengancam itu. Akan tetapi dua orang perwira yang kasar itu sudah terlalu marah dan malu, dan bagaimanapun juga, mereka masih terlalu memandang ringan kepada nyonya muda yang cantik itu. Mereka telah dibikin malu di depan banyak orang, yaitu para penghuni dusun yang bergerombol di luar pekarangan, maka mereka menjadi penasaran dan marah, sehingga pertanyaan Ciauw Si itu tidak mereka jawab. Sebaliknya mereka malah mengeluarkan suara gerengan seperti dua ekor biruang terluka dan mereka lalu memekik panjang dan menerjang nyonya itu dengan golok diputar dan dibacokkan! Para penghuni dusun tentu saja memandang dengan muka pucat. Biarpun mereka semua dapat menduga bahwa tetangga mereka itu bukan orang-orang dusun sembarangan, akan tetapi mereka tidak mengira bahwa nyonya cantik itu pandai ilmu silat. Tadi mereka melihat betapa nyonya itu dapat “terbang” seperti burung, akan tetapi kini melihat dua orang kakek galak itu menerjang dengan golok diputar seperti itu, mereka merasa ngeri dan mengkhawatirkan keselamatan wanita itu. Sementara itu, melihat ibunya dikeroyok dan diancam, Thian Sin cepat lari memanggil ayahnya yang dia tahu berada di ladang! Para penghuni dusun yang tadinya khawatir kini menjadi terbelalak kagum melihat betapa nyonya cantik itu dengan mudahnya mengelak dari sambaran dua batang golok yang merupakan dua gulung sinar putih itu. Ke manapun golok membacok, selalu hanya mengenai angin belaka. Tubuh nyonya itu terlampau gesit dan ringan sehingga gerakannya jauh lebih cepat daripada sambaran dua batang golok. Lie Ciauw Si adalah cucu luar dan juga murid mendiang ketua Cin-ling-pai. Dia telah mewarisi ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai yang hebat-hebat seperti San-in-kun-hoat yang delapan jurus, Thai-kek-sin-kun yang penuh dengan jurus-jurus sakti yang halus sekali itu, bahkan telah menguasai ilmu silat pedang Siang-bhok Kiam-sut yang pernah mengangkat tinggi nama Cin-ling-pai. Maka, menghadapi serangan dua orang kasar ini tentu saja terlalu ringan baginya. Dia membiarkan kedua orang lawannya itu menyerang sepuasnya, setelah mengelak dan berloncatan dengan cepat selama kurang lebih tiga puluh jurus, tiba-tiba dia mengeluarkan pekik dahsyat yang menggetarkan jantung kedua orang penyerangnya. Gerakannya luar biasa cepatnya sehingga tidak kelihatan oleh para penonton, bahkan dua orang itu sendiri tidak tahu apa yang telah terjadi, akan tetapi tiba-tiba tangan kanan mereka menjadi lumpuh, golok di tangan itu terlepas dan sambaran tangan halus menampar leher mereka, membuat mereka terpelanting dengan kepala pening dan mata berkunang-kunang! “Isteriku, jangan bunuh orang...!” Tiba-tiba terdengar suara mencegah dan Ciauw Si yang sudah akan menyusulkan pukulan itu meloncat ke belakang dan menengok. Kiranya Han Houw dan Thian Sin telah berada di situ. Han Houw mengerutkan alisnya ketika dia memandang dua orang kakek yang juga tidak dikenalnya itu. Kemudian dia memandang kepada para penduduk dusun yang berkumpul di luar pekarangannya, maka dihampirinya mereka. “Harap saudara sekalian kembali ke tempat kerja masing-masing. Tidak ada apa-apa di sini, hanya sedikit kesalahpahaman.” Mereka semua amat menghormat Han Houw yang selalu bersikap ramah dan selalu siap menolong mereka, maka setelah mereka menyatakan syukur bahwa keluarga itu tidak sampai celaka, semua penghuni itu meninggalkan tempat itu. Setelah semua orang pergi, Han Houw menghampiri dua orang yang masih pening dan masih duduk di atas tanah, tidak berani bangkit itu. Kini mereka berdua maklum bahwa sesungguhnya mereka bukanlah lawan wanita itu, apalagi kini suaminya telah datang! Pantas saja mereka hanya disuruh menyelidik dan fihak atasan telah mengerahkan pasukan untuk menangkap keluarga ini. Kiranya merupakan keluarga yang sakti! “Hemm, kalian berdua ini siapakah dan apa sebabnya kalian mencariku dan memancing keributan?” Dua orang itu sudah mati kutunya dan tidak berani banyak lagak lagi. Si Mata Juling berlutut sambil mengangkat kedua tangan ke depan dada memberi hormat, diturut oleh temannya yang tinggi besar. “Harap paduka ampunkan hamba berdua yang hanya utusan... apakah... apakah paduka Pangeran Ceng Han Houw...?” “Hemm, kalau betul mengapa? Kalian mau apa?” tanya Han Houw sambil memandang tajam. “Ampun... ampun, hamba hanya utusan untuk membuktikan apakah benar paduka yang tinggal di sini... dan... ah, hamba berdua telah lancang karena tidak mengira bahwa betul-betul paduka sekeluarga maka hamba berani kurang ajar... mohon ampun...” Diam-diam Han Houw terkejut sekali. Apa maksud Kerajaan Beng menyelidikinya? Dia mengerutkan alisnya. “Mengapa kalian disuruh menyelidiki?” “Hamba... hamba tidak tahu... hanya ada utusan dari kota raja yang memerintah kami berdua untuk menyelidiki...” Han Houw merasa sebal menyaksikan sikap pengecut dari dua orang ini. Dia tahu bahwa dua orang macam ini sama sekali tidak ada harganya, merupakan orang-orang pengecut yang biasanya memang berlaku kejam dan sewenang-wenang kepada sesamanya yang lebih rendah. Hanya orang pengecut yang pada dasar batinnya menderita ketakutan sajalah yang dapat bertindak kejam dan sewenang-wenang. “Pergilah kalian!” katanya dan dua kali kakinya bergerak, tubuh dua orang itu telah terpental dan bergulingan sampai keluar pintu pekarangan! Mereka cepat bangkit dan merangkak-rangkak, lalu menjura berkali-kali dan melarikan diri dari tempat itu seperti seekor anjing dipukul! Melihat ini, Thian Sin bertepuk tangan. “Bagus, bagus, dua ekor anjing itu memang patut ditendangi!” Han Houw memegang lengan puteranya dan ditariknya masuk ke dalam rumah. “Thian Sin, ayah bundamu terpaksa saja melakukan hal itu untuk membikin mereka jera dan takut, akan tetapi sesungguhnya kami tidak menyukai kekerasan itu. Sudah cukup banyak kekerasan membuat kami hidup menderita dahulu, dan engkau, ingat baik-baik, jangan sekali-kali menggunakan ilmu silat untuk melakukan kekerasan. Mengerti?” Bentakan ayahnya ini membuat Thian Sin terkejut dan takut, maka dia pun mengangguk. Pada malam hari itu, setelah Thian Sin tidur di kamarnya sendiri, Pangeran Ceng Han Houw mengajak isterinya bercakap-cakap tentang peristiwa itu, “Aku khawatir akan terulang peristiwa belasan tahun yang lalu,” kata Ciauw Si sambil menarik napas panjang. “Jangan-jangan kaisar masih mendendam dan menganggap kita sebagai pemberontak-pemberontak. Akan tetapi mengapa baru sekarang mereka datang mengganggu kita kalau memang kaisar masih marah kepadamu? Apa yang menimbulkan bencana ini?” Ceng Han Houw mengerutkan alisnya. “Aku sendiri tidak tahu dan sukarlah untuk menduga sebabnya. Lebih baik kita bersiap-siap untuk menghadapi segala kemungkinan, isteriku. Malam ini dan seterusnya, kita harus berjaga-jaga dan kalau terpaksa kita harus tidur bergantian.” “Ya, dan terutama kita harus menjaga keselamatan anak kita.” Akan tetapi malam itu suami isteri ini sama sekali tidak dapat tidur karena hati mereka gelisah. Dan menjelang pagi, ketika mereka masih duduk di atas pembaringan sambil menyelam ke dalam keheningan, tiba-tiba pendengaran mereka yang terlatih baik itu menangkap sesuatu. Bagaikan disengat laba-laba, keduanya sudah bangkit dan turun dari atas pembaringan, kemudian, hanya dengan saling pandang, mereka tahu apa yang harus mereka lakukan. Ciauw Si cepat keluar dari kamar menuju ke kamar puteranya di sebelah, sedangkan Han Houw sudah melayang keluar melalui jendela kamarnya. Hati Ciauw Si terasa lapang ketika dia mendapatkan puteranya masih tidur nyenak, dan dia duduk di situ, mendengarkan keluar penuh perhatian. Ketika dia mendengar suara bising di luar, di arah ruangan depan seperti ada orang bertempur, dia lalu cepat membangunkan puteranya. Sebagai seorang anak yang sejak kecil sudah terdidik dan digembleng dengan ilmu bela diri yang tinggi tingkatnya, begitu terbangun Thian Sin sudah siap dan sudah sadar benarg sepasang matanya menatap wajah ibunya dan telinganya segera menangkap suara tidak wajar di luar itu. “Apa yang terjadi, ibu? Apa yang terjadi di luar itu?” “Sstt, kita didatangi musuh-musuh, mari ikut aku keluar. Aku harus bantu ayahmu, akan tetapi engkau tidak boleh sendirian saja di sini.” Ciauw Si lalu menggandeng tangan puteranya dan mereka lari keluar. Sementara itu, ketika Han Houw tadi meloncat keluar dari kamar melalui jendela, dengan gerakan ringan dia sudah menuju ke arah datangnya suara, yaitu di depan rumah. Dia memasuki ruangan depan di mana tergantung sebuah lampu yang cukup menerangi ruangan itu karena malam baru saja akan terganti pagi dan keadaan cuaca di luar rumah masih remang-remang dan kelabu. Ketika dia memasuki ruangan itu, tiba-tiba saja Ceng Han Houw meloncat ke samping dan terdengar suara mendesis-desis ketika beberapa ekor ular menyerangnya dari kanan kiri dan depan. Ular-ular beracun yang amat ganas dan terdiri dari beberapa macam ular sendok, dan ada yang menyembunyikan ekornya. Han Houw maklum bahwa ular-ular seperti itu amat ganas dan berbahaya, sekali terkena gigitannya, kalau tidak memperoleh obat penawar yang tepat dan cepat, tentu nyawa akan melayang. Dia tidak gentar, tidak takut atau kaget, melainkan marah sekali karena dia maklum bahwa tidak mungkin di tempat ini dapat datang begitu banyaknya ular berbisa kalau tidak ada orang yang membawanya dan sengaja melepasnya di situ. Ular-ular itu menerjangnya dari bawah. Han Houw mencabut pedang dan dengan beherapa kali gerakan pedangnya, enam ekor ular itu berkelojotan dengan tubuh putus-putus! Bau amis memenuhi ruangan itu. Biarpun Han Houw telah kehilangan sebagian besar tenaga sin-kangnya, namun dia masih cukup lihai, bahkan terlalu lihai kalau hanya menghadapi enam ekor ular saja, apalagi dia memegang sebatang pedang. “Wirrr...! Siuuuuuttt...!” Han Houw memutar pedangnya. “Tringg! Tringg...!” Beberapa batang senjata piauw tertangkis dan menancap di dinding ruangan itu. Nampak ronce-ronce hijau bergoyang-goyang di ujung senjata kecil itu yang tidak ikut masuk ke dalam dinding. Melihat ronce-ronce hijau membentuk bunga itu, Han Houw terkejut dan berkata lantang, “Hemm, bangsat-bangsat dari Jeng-hwa-pang, keluarlah!” Jeng-hwa-pang (Perkumpulan Bunga Hijau) adalah sebuah perkumpulan yang dahulu pernah menjadi perkumpulan yang amat terkenal dan amat ditakuti orang. Pernah merajalela sebagai perkumpulan yang berpengaruh di daerah perbatasan Tembok Besar. Perkumpulan ini dahulunya didirikan oleh mendiang Jeng-hwa Sian-jin, seorang tokoh besar Pek-lian-kauw yang menemukan semacam jeng-hwa (bunga hijau) yang hanya tumbuh di daerah perbatasan itu, mempelajari jeng-hwa yang mengandung racun paling hebat itu dan menjadi ahli racun. Ketika Jeng-hwa-pang masih berdiri dengan kokohnya, perkumpulan itu terkenal memiliki pasukan yang kuat dan mereka merupakan ahli-ahli racun yang amat kejam. Akan tetapi semenjak Jeng-hwa-pang yang dipimpin oleh ketua mereka yang bernama Gan Song Kam, yaitu seorang murid Jeng-hwa Sian-jin, diobrak-abrik oleh Kim Hong Liu-nio, suci dari Ceng Han Houw, perkumpulan itu kehilangan pamornya dan bahkan lalu mengundurkan diri dari keramaian kang-ouw. Apalagi ketika ketuanya itu tewas di tangan Ceng Han Houw maka perkumpulan itu dapat dikatakan bubar. Namun sesungguhnya para tokoh Jeng-hwa-pang masih menaruh dendam atas kehancuran perkumpulan mereka dan dendam ini ditujukan kepada Ceng Han Houw. Seperti telah diceritakan dalam kisah Pendekar Lembah Naga, dendam dari Jeng-hwa-pang ini pernah mengakibatkan munculnya seorang tosu bernama Tok-siang Sian-jin Ciu Hek Lam, yaitu suheng dari mendiang Gak Song Kam atau murid utama dari mendiang Jeng-hwa Sian-jin, dan tosu ini berusaha untuk membalas sakit hati perkumpulannya kepada Ceng Han Houw. Namun dia mengalami kegagalan pula dan melarikan diri. Kini, melihat munculnya orang-orang dari Jeng-hwa-pang yang dapat diduganya setelah melihat cara penyerangan mereka dengan ular-ular berbisa disusul senjata-senjata piauw dengan ronce bunga hijau, Ceng Han Houw terkejut dan marah sekali, maka dia lalu membentak dan menantang. Tiba-tiba terdengar suara gedebrugan keras dan dari pintu-pintu dan jendela berlompatan masuk tujuh orang yang terlindung oleh perisai lebar di tangan kiri sedangkan tangan kanan mereka masing-masing memegang sebatang golok besar yang berkilauan saking tajamnya. Begitu berloncatan masuk, tujuh orang itu sudah mengurung Han Houw dan muka mereka berikut hampir seluruh tubuh tertutup dan terlindung oleh perisai baja yang lebar itu, hanya mata mereka saja mengintai dari dua buah lubang yang dibuat di perisai itu! Pakaian mereka serba hijau dan seragam dan gerakan mereka gesit dan tangkas. Han Houw terkejut juga menyaksikan ketangkasan dan kerapian gerakan mereka yang begitu teratur dan rapi, maka tahulah bekas pangeran yang berkepandaian tinggi dan berpengetahuan luas tentang ilmu silat ini bahwa dia berhadapan dengan semacam bu-tin (pasukan silat) yang lihai. Akan tetapi dia juga merasa heran karena belum pernah dia melihat pasukan seperti ini pada perkumpulan Jeng-hwa-pang. “Siapa kalian?” dia membentak. Seorang di antara mereka yang berada di depannya, menjawab dari balik perisainya, “Ha-ha-ha, Ceng Han Houw, masih ingatkah engkau akan dosa-dosamu terhadap Jeng-hwa-pang? Kami diutus Raja Agahai untuk menangkapmu, hidup atau mati!” Setelah berkata demikian, tujuh orang itu lalu bergerak, berjalan atau setengah berlari mengitarinya dan menggerak-gerakkan goloknya dengan gerakan yang sama dan saling susul. Melihat ini, Han Houw menjadi marah sekali. Dia tahu bahwa memang mereka itu merupakan orang-orang Jeng-hwa-pang yang ingin membalas dendam, dan yang sama sekali tidak disangka-sangkanya adalah bahwa orang-orang Jeng-hwa-pang telah dipergunakan oleh Raja Agahai untuk menangkapnya, hidup atau mati, pamannya sendiri yang telah menggantikan mendiang Raja Sabutai menjadi raja? Akan tetapi, mengapa? Bukankah pamannya itu menyambutnya dengan baik ketika dia datang berkunjung? Hampir dia tak dapat percaya dan mengira bahwa orang-orang ini hanya mempergunakan nama raja itu untuk menggertak saja. Akan tetapi karena mereka sudah bergerak, dan dia melihat bahwa menghadapi pengepungan bu-tin yang kuat amatlah tidak baik kalau dia berada di tempat yang sempit, maka dia lalu menerjang ke kiri dengan maksud membobolkan kepungan itu dan dia dapat meloncat keluar, ke pekarangan di mana tempatnya lebih luas dan akan lebih mudah baginya untuk menghadapi kepungan itu. Akan tetapi, tiba-tiba saia tujuh buah perisai membentuk benteng baja dan tujuh buah golok menyambar dari semua jurusan, membuat Han Houw terpaksa mundur kembali ke tengah ruangan di mana dia dikepung ketat! Pada saat itulah Ciauw Si muncul sambil menggandeng tangan puteranya. Melihat suaminya dikepung oleh tujuh orang yang bersenjata golok besar dan perisai, dan melihat bangkai-bangkai ular berbisa berserakan di ruangan itu, Ciauw Si terkejut dan cepat dia meloloskan pedangnya. “Keparat, kalian datang mengantar nyawa!” bentak Ciauw Si dan dia pun menerjang ke dalam ruangan itu. Pedangnya bergerak dengan hebatnya, dan Pek-kang-kiam, pedang baja putih itu berubah menjadi sinar putih yang menyilaukan mata menerjang ke arah tujuh orang itu. Melihat munculnya isterinya, dan melihat bahwa puteranya juga berada dalam keadaan selamat, Han Houw menjadi tenang hatinya dan dia pun sudah menerjang dari dalam sambil memutar pedangnya! Tujuh orang itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi, dan mereka adalah murid-murid dari Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam. Mereka telah melatih diri dalam barisan Jit-seng-twa-to-tin (Barisan Golok Besar Tujuh Bintang) dan dengan ilmu ini mereka sukar sekali dikalahkan lawan. Akan tetapi, keampuhan mereka adalah mengepung lawan di sebelah dalam, tidak peduli lawan itu seorang ataupun lebih. Gerakan mereka yang teratur, saling bantu dan juga dapat mengadakan perubahan-perubahan yang tidak terduga-duga lawan membuat lawan yang terkepung menjadi sibuk dan bingung. Akan tetapi, mereka belum pernah menghadapi dua orang lawan yang secara langsung monyerang atau menghadapi serangan mereka dari dalam dan luar kepungan! Dan lebih lagi, yang mereka kepung adalah Ceng Han Houw, seorang yang memiliki kepandaian silat yang amat tinggi sungguhpun tenaga sin-kangnya banyak berkurang setelah dia menderita sakit dan oleh karena itu kepandaiannya menurun lebih setengahnya. Dan lebih lagi, karena di luar kepungan kini terdapat seorang wanita sakti yang mengamuk. Lie Ciauw Si adalah cucu dari ketua Cin-ling-pai, bahkan telah menerima ilmu-ilmu dari kakeknya yang sakti itu, maka tentu saja memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada ilmu yang dimiliki oleh tujuh orang anggauta Jit-seng-twa-to-tin itu. Maka kini tujuh orang yang mengurung itu malah terkurung! Mereka berusaha sedapat mungkin untuk mengatur barisan, akan tetapi menghadapi serangan-serangan dahsyat, dari dalam dan luar itu, terutama dari luar karena Ciauw Si sudah mengamuk melihat suaminya dikepung, tujuh orang itu sibuk sekali. “Crokkk... aughhh...!” Pedang Ciauw Si yang meluncur ganas itu menembus perisai baja dan terus menusuk leher pemegang perisai. Robohlah seorang pengeroyok dan tewas seketika. Melihat ini, terkejutlah enam orang yang lain, akan tetapi mereka menjadi semakin ganas sungguhpun gerakan mereka kini menjadi kacau-balau oleh perasaan tegang dan panik. Hal ini tentu saja lebih memudahkan Han Houw dan Ciauw Si untuk menggerakkan pedang mereka dan dalam waktu singkat saja enam orang itu telah roboh semua. Ciauw Si merobohkan seorang di antara mereka tanpa menggunakan seluruh tenaga sehingga pedangnya hanya melukai pundak saja dan lawannya tidak terluka berat. Setelah mereka semua roboh, Ciauw Si cepat menghampiri orang yang terluka itu, karena yang enam lainnya sudah tewas semua! “Hayo cepat katakan yang sebenarnya, siapa yang menyuruh kalian ke sini dan menyerang kami?” bentak Ciauw Si. Akan tetapi orang itu tidak menjawab dan ketika Ciauw Si mengguncangnya dan hendak memaksanya, dia terkejut bukan main melihat orang itu telah kaku dan mati! Dari mulutnya mengalir busa kehijauan, maka tahulah dia bahwa orang yang roboh terluka itu ternyata telah tewas oleh racun yang amat ganas dan jahat. Dan dia tahu pula bahwa racun itu masuk ke jalan darah melalui sebatang jarum yang oleh orang itu sendiri ditusukkan ke lehernya. Ternyata orang yang terluka ini setelah melihat semua temannya tewas, lalu membunuh diri! “Tidak perlu, mereka tadi sudah mengaku bahwa mereka diutus oleh Raja Agahai untuk menangkapku, hidup atau mati!” kata Han Houw yang tahu akan maksud isterinya. “Apa? Pamanmu sendiri?” Ciauw Si terkejut bukan main dan Han Houw mengangguk. “Lebih baik kita mengurus mayat-mayat ini lebih dulu!” katanya dan dia cepat memanggil para tetangga yang menjadi terkejut bukan main melihat mayat tujuh orang itu dan bangkai ular-ular berbisa berserakan di dalam rumah itu. Ketika mendengar bahwa tujuh orang itu adalah perampok-perampok jahat, mereka pun merasa bersyukur bahwa suami isteri itu telah berhasil membasmi mereka dan beramai-ramai mereka lalu mengubur jenazah-jenazah itu. “Sekarang aku menyesal karena ramalan mendiang Yok-sian ternyata benar,” kata Han Houw setelah semua jenazah selesai dikubur. “Maksudmu?” Ciauw Si bertanya. “Mereka itu adalah utusan Paman Raja Agahai. Sekarang aku mengerti mengapa kaisar juga mengirim mata-mata menyelidiki ke sini. Ini semua tentulah perbuatan Raja Agahai. Jadi tepat dengan ramalan mendiang Yok-sian bahwa tidak boleh mengunjungi keluarga karena dari situ datangnya malapetaka.” “Tapi mengapa pamanmu melakukan hal ini? Ketika kita datang dulu itu, dia bersikap amat baik.” “Sikap palsu! Kini aku mengerti! Tentu dia merasa khawatir kalau-kalau aku akan merebut kekuasaan dari tangannya. Maka dia tentu mengirim berita kepada kaisar bahwa aku kini hidup di sini sehingga kaisar yang mengkhawatirkan aku akan memberontak lagi lalu mengirim utusan. Tidak puas hanya dengan melaporkan kepada kaisar, Raja Agahai yang jahat itu lalu mengirim orang-orang Jeng-hwa-pang yang memang mendendam kepadaku untuk membunuhku.” “Ah, dan dia tentu tidak akan berhenti sampai di sini saja!” kata Ciauw Si. “Demikian pula tentu akan ada lanjutan penyelidikan kaisar.” “Hemm, boleh jadi. Akan tetapi aku tidak takut dan akan kulawan mereka semua!” kata Han Houw dengan marah. “Aku pun tidak takut, suamiku, dan aku selalu akan membantumu sampai akhir hayat. Akan tetapi kita harus mengingat Thian Sian...” Diingatkan akan hal ini, Han Houw termangu-mangu dan memandang kepada putera mereka yang duduk di situ dan mendengarkan percakapan antara ayah bundanya itu dengan penuh perhatian. “Aku pun tidak takut!” kata anak itu. Ciauw Si tersenyum bangga dan merangkul puteranya. “Engkau tidak takut, akan tetapi kami khawatir, Thian Sin.” “Dia harus pergi dulu dari tempat ini, menyingkir. Akan tetapi ke mana...?” Han Houw berkata dan suaranya terdengar penuh sesal karena baru sekarang dia melihat betapa mereka merupakan keluarga yang tidak mempunyai siapa-siapa lagi yang boleh diandalkan untuk menolong mereka. Mereka merupakan keluarga yang sudah terputus sama sekali hubungan mereka dengan keluarga kedua fihak, bahkan keluarganya sendiri kini memusuhinya. “Ah, kenapa tidak ke tempat Seng-koko?” tiba-tiba Ciauw Si berkata dan wajah Han Houw berseri gembira. Dia menepuk kepala sendiri. “Ah, mengapa aku begini bodoh dan pelupa? Tentu saja! Dialah satu-satunya manusia di dunia ini yang boleh kita percaya, bukan hanya untuk melindungi Thian Sin, bahkan juga untuk mendidiknya!” “Bagus, aku pun setuju sekali kalau dia dikirim ke sana,” kata Ciauw Si. “Aku tidak mau pergi! Aku mau bersama ayah dan ibu!” Tiba-tiba Thian Sin berkata pula dengan lantang. “Thian Sin, engkau tidak boleh membantah perintah ayah dan ibu! Kami tahu apa yang baik untukmu!” bentak Han Houw. “Ayah dan ibu tidak takut mati menghadapi lawan, apakah aku harus lari dan takut mati?” Thian Sin merengek. Ibunya sudah merangkulnya dan berkata dengan halus, “Thian Sin, jangan berkeras. Kami mati pun tidak apa-apa asal engkau selamat. Kalau engkau berada di sini dan mati pula bersama kami, habis bagaimana?” “Siapa yang akan mati? Kita tidak akan mudah mati begitu saja!” Han Houw berkata keras. “Pendeknya, engkau harus mentaati perintah kami, Thian Sin. Kami akan menghadapi musuh-musuh yang banyak, kami tidak akan dapat leluasa melawan kalau harus melindungimu di sini.” Akhirnya Thian Sin tidak berani membantah pula dan Han Houw lalu memanggil seorang laki-laki berusia lima puluh tahun, tetangga mereka yang baik dan seorang petani yang bertubuh kuat. Suami isteri ini menyerahkan semua harta yang ada pada mereka berupa sedikit perhiasan kepada kakek itu dan minta kepada kakek itu untuk mengantarkan Thian Sin ke Kuil Thian-to-tang di selatan kota raja, menemui Hong San Hwesio ketua kuil itu, menyerahkan surat dan Thian Sin kepada hwesio itu. Sambil menangis Thian Sin berpamit dari ayah bundanya pada pagi hari itu juga dan meninggalkan tempat itu, diikuti pandang mata sayu oleh ayah bundanya. Setelah anak itu pergi jauh dan tidak kelihatan lagi, barulah Ciauw Si yang sejak tadi sudah menahan-nahan hatinya itu merangkul suaminya sambil menangis. Sejenak Han Houw membiarkan isterinya menangis, lalu mengelus rambutnya dan mengajaknya memasuki rumah dan duduk di ruangan dalam. “Sudahlah, isteriku, tidak perlu kita bersedih, malah kita harus bersyukur bahwa anak kita terlepas dari ancaman bahaya.” “Suamiku, apakah tidak lebih bijak kalau kita juga melarikan diri mengambil lain jurusan dari yang diambil anak kita? Apa gunanya kita melawan pasukan, baik dari utara maupun dari selatan?” Ceng Han Houw menegakkan kepalanya dan sinar matanya bernyala. “Tidak!” Akan tetapi dia lalu menghampiri dan merangkul isterinya yang kelihatan pucat. “Dengar baik-baik, isteriku sayang, bukan sekali-kali aku menolak usulmu semata-mata karena keras kepala, sama sekali bukan. Akan tetapi engkau tahu bahwa aku adalah seorang pangeran, maka amat merendahkan martabatlah kalau aku melarikan diri, apalagi melarikan diri dari Raja Agahai yang berhati keji itu. Dan ke dua, dan ini merupakan kenyataan penting. Isteriku, apa gunanya bagiku untuk melarikan diri? Yang memusuhiku adalah Raja Agahai di utara dan kaisar di selatan, maka ke manakah aku dapat melarikan diri? Ke mana pun aku lari, tentu akan dikejar dan akhirnya tertangkap juga. Betapa akan celakanya hidup menjadi buruan yang selalu dikejar-kejar, selalu hidup dalam keadaan ketakutan dan tidak tenang. Lebih baik aku menghadapi bahaya dengan mata terbuka di tempat terbuka ini.” Ciauw Si tidak berkata apa-apa, hanya merangkul suaminya dan perlahan-lahan air matanya membasahi baju di dada suaminya. “Isteriku, engkau tidak seharusnya terancam bahaya bersamaku. Sudah terlalu banyak aku menyusahkan dirimu. Sudah terlalu banyak engkau menderita karenaku. Dan baik Raja Agahai maupun kaisar tidak memusuhimu. Oleh karena itu, engkau pergilah menyusul Thian Sin. Engkau tidak boleh membahayakan nyawamu demi membelaku.” “Tidak!” Tiba-tiba Ciauw Si berkata keras dan merenggutkan badannya dari rangkulan suaminya. “Aku adalah isterimu, mati hidup bersamamu! Bagaimana engkau dapat berkata demikian? Ah, apakah engkau masih ragu akan kesetiaanku?” Han Houw cepat memeluknya. “Jangan salah mengerti, isteriku. Sungguh mati, bukan aku meragukan kesetiaanmu, melainkan aku... aku tidak ingin melihat engkau tewas dalam membelaku. Aku... aku ingin agar engkau hidup terus... demi anak kita...” Ciauw Si balas merangkul. “Tidak! Aku harus berada di sampingmu, hidup atau mati! Tentang anak kita... di sana sudah ada Seng-koko yang tentu akan melindunginya.” Han Houw mengenal kekerasan hati isterinya maka dia pun tidak mau membantah lagi. Dalam keadaan terancam, berduka terpisah dari Thian Sin, juga maklum bahwa nyawa mereka berada di ambang maut, mereka semakin merasa saling membutuhkan, dan ingin melindungi, menghibur. Sampai matahari naik tinggi, mereka tidak mau saling berjauhan, bahkan tidak mau saling melepaskan seperti sepasang pengantin baru saja. Lewat tengah hari terdengarlah derap kaki banyak kuda memasuki dusun itu. Ceng Han Houw dan Lie Ciauw Si maklum bahwa saat yang mereka nanti-nantikan dengan hati gelisah telah tiba. Mereka sudah siap untuk itu dan dengan langkah-langkah tenang mereka berdua lalu keluar dari dalam pondok, masing-masing sudah siap mengenakan pakaian yang ringkas dengan pedang tergantung di pinggang. Pasukan berbuda itu datang dari sebelah timur, memasuki pintu gerbang berbondong-bondong dan jumlah mereka tidak kurang dari seratus orang! Dari pakaian seragam yang rapi itu mudah dikenal bahwa mereka adalah pasukan Kerajaan Beng-tiauw, dipimpin oleh seorang perwira berusia kurang lebih lima puluh tahun, akan tetapi di samping perwira ini terdapat dua orang kakek. Mereka ini juga naik kuda di samping sang perwira, yang seorang bertubuh kurus sekali akan tetapi memiliki sepasang mata yang tajam dan dia memegang sebatang tongkat, pakaiannya penuh tambalan seperti lajimnya pakaian tokoh pengemis di dunia kang-ouw. Memang kakek kurus ini adalah Lo-thian Sin-kai, seorang tokoh besar dari Hwa-i Kai-pang, sebuah perkumpulan pengemis yang besar dan berpengaruh di kota raja. Orang ke dua adalah seorang tokoh Hwa-i Kai-pang pula yang bernama Hek-bin Mo-kai, bermuka hitam sekali akan tetapi leher dan kedua tangannya berkulit putih. Lo-thian Sin-kai berusia enam puluh tahun lebih sedangkan Hek-bin Mo-kai kurang lebih sepuluh tahun lebih muda dari suhengnya. Hwa-i Kai-pang dahulunya adalah sebuah perkumpulan yang pernah menentang pemerintah. Akan tetapi semenjak Pangeran Hung Chih menggantikan kedudukan Kaisar Ceng Hwa, pangeran yang telah menjadi kaisar ini lebih cerdik daripada Kaisar Ceng Hwa, maka kaisar baru ini mendekati Hwa-i Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Baju Kembang) sehingga kini tenaga tokoh-tokohnya yang berilmu tinggi dapat dipergunakan. Melihat pasukan yang terdiri dari seratus orang lebih itu, dan masih dibantu oleh dua orang pengemis tua yang melihat pakaiannya saja sudah dikenal oleh Ceng Han Houw sebagai tokoh Hwa-i Kai-pang, maka pangeran dan isterinya itu diam-diam terkejut sungguhpun mereka tidak menjadi gentar dan bahkan merasa marah sekali melihat betapa kaisar telah mempergunakan pula orang-orang kang-ouw. Sebelum mereka sempat bertanya jawab, tiba-tiba terdengar suara gemuruh dan dari pintu gerbang sebelah barat nampak debu mengepul disusul masuknya puluhan orang perajurit dari Raja Agahai yang berjalan kaki dan kurang lebih lima puluh orang perajurit itu merupakan perajurit-perajurit pilihan yang bertubuh besar dan berwajah menyeramkan, semua memegang sebatang tombak panjang, dan dipimpin oleh seorang perwira tinggi besar bermuka penuh brewok. Akan tetapi yang menarik perhatian Han Houw adalah seorang kakek yang berjalan dekat perwira pasukan itu, seorang yang berjubah kuning, tinggi kurus bermuka pucat dan bermata sipit. Dia mengenal kakek ini yang bukan lain adalah Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam, seorang tokoh perkumpulan Jeng-hwa-pang yang mendendam kepadanya karena dia pernah membasmi Jeng-hwa-pang bahkan membunuh ketuanya. Mengertilah dia kini bahwa kakek ini tentu datang untuk membalas dendam, setelah gagal menyuruh tujuh orang tokoh Jeng-hwa-pang yang membentuk barisan perisai dan golok yang menyerangnya malam tadi. Kini semakin yakinlah dia akan tepatnya dugaannya. Melihat munculnya dua pasukan secara berbareng, dari pintu gerbang timur dan barat ini, dia tahu bahwa memang sudah ada kerja sama antara Raja Agahai dan pasukan kaisar, dan jelaslah bahwa tentu pamannya itu sendiri yang berkhianat. “Kalian ini pasukan-pasukan dari Raja Agahai dan pasukan-pasukan dari Kaisar Kerajaan Beng, ada maksud apakah datang mengunjungi dusun ini?” Terdengar suara Ceng Han Houw membentak lantang. Suara pangeran ini masih mengandung wibawa karena baik fihak tentara Beng maupun tentara Raja Agahai, sudah mengenal belaka siapa adanya pangeran ini yang disohorkan sebagai orang yang berilmu tinggi, bahkan yang kabarnya adalah jago nomor satu yang tak terkalahkan di dunia ini! Menurut kabar, satu-satunya orang yang mampu mengalahkannya hanyalah Pendekar Lembah Naga, yaitu adik angkat Pangeran itu sendiri. Maka, tentu saja di dalam hati mereka merasa gentar juga, apalagi karena mereka mendengar bahwa isteri pangeran yang cantik itu pun lihai bukan main. AKAN tetapi, Lo-thian Sin-kai dan Hek-bin Mo-kai, juga Tok-ciang Sian-jin Ci Hek Lam, yang merasa dendam kepada pangeran itu, kini melangkah maju dengan sikap mengancam. “Ceng Han Houw, engkau pemberontak hina, menyerahlah atau terpaksa kami akan membunuhmu!” kata Lo-thian Sin-kai dengan garang sambil menggerakkan tongkatnya di depan dada. “Ceng Han Houw, pemberontak dan pembunuh kejam! Hutang lama belum kaubayar, sekarang engkau telah menambah hutang tujuh nyawa anak buah kami lagi! Hanya kematianlah yang akan membayar lunas hutang itu!” Kata Tok-ciang Sian-jin sambil meloloskan senjatanya berupa sebatang cambuk baja hitam yang panjang dan melingkar-lingkar. Cambuk itu terbuat dari baja murni dan panjangnya tidak kurang dari dua tombak, merupakan senjata yang amat ampuh dari tokoh Jeng-hwa-pang ini apalagi karena senjata itu mengandung racun jahat sekali sehingga terkena lecutan sekali saja, kulit akan pecah, tulang remuk dan darah menjadi terkena racun yang sukar disembuhkan. Sungguh merupakan senjata yang amat keji. Memang, Jeng-hwa-pang terkenal sebagai tempat tokoh-tokoh yang ahli dalam penggunaan racun, terutama sekali racun Jeng-hwa (Bunga Hijau) yang sukar diobati dan kabarnya obat pelawan racun Jeng-hwa hanya dimiliki oleh orang-orang Jeng-hwa-pang saja. Ceng Han Houw memandang kepada tiga orang itu sambil tersenyum mengejek. “Hemm, kalian bukan datang sebagai tokoh-tokoh kang-ouw yang hendak mengadu ilmu denganku, melainkan sebagai anjing-anjing penjilat dan tukang-tukang pukul bayaran yang hina. Siapa sudi menyerah kepada anjing-anjing macam kalian? Kalau memang ada kepandaian dan berani, kalian majulah!” Mendengar tantangan ini, Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam menjadi marah dan dia mengeluarkan teriakan nyaring Lalu menerjang ke depan, memutar cambuknya dan terdengar suara meledak-ledak ketika ujung cambuk itu mematuk ke arah ke dua mata Ceng Han Houw dengan cepat sekali! Namun, biarpun Ceng Han Houw sudah kehilangan banyak tenaga sin-kangnya, ilmu kepandaiannya masih lengkap dan dia mengenal kedahsyatan serangan ini. Dengan sedikit merendahkan tubuhnya, dia sudah mampu mengelak sambaran cambuk. Cambuk itu membalik seolah-olah hidup ketika tidak mengenai sasaran dan kini ujungnya meluncur dan menotok ke arah ubun-ubun kepala lawan. Hal inipun sudah diduga oleh Han Houw, maka diapun sudah mencabut pedangnya dan menangkis. “Tringgg...!” Terdengar suara nyaring ketika pedang bertemu ujung cambuk dan nampak api berhamburan. Sinar api ini seolah-olah menjadi isyarat bagi mereka semua, karena dengan suara gemuruh, para anggauta pasukan sudah menyerang, didahului oleh Lo-thian Sin-kai dan Hek-bin Mo-kai, dua orang tokoh dari Hwa-i Kai-pang itu yang telah menerjang Lie Ciauw Si. Nyonya muda ini sudah mencabut Pek-kang-kiam dan nampak sinar putih bergulung-gulung ketika dia memutar pedang, menangkis dua batang tongkat dari dua orang kakek tokoh Hwa-i Kai-pang itu dan sekaligus membalas dengan dua kali tusukan yang berkelebat seperti kilat menyambar. Dua orang kakek itu cepat memutar tongkat menangkis dan mereka lalu mainkan Ilmu Tongkat Ngo-lian Pang-hoat (Ilmu Tongkat Lima Teratai) yang menjadi andalan para tokoh Kai-pang. Akan tetapi, dengan gagah Ciauw Si lalu menghadapi mereka dan mainkan Ilmu Silat Siang-bhok Kiam-sut yang menjadi ilmu kebanggaan Cin-ling-pai, semacam ilmu pedang yang amat indah dipandang akan tetapi mengandung gerakan-gerakan yang amat berbahaya bagi lawan. Seperti namanya, Siang-bhok Kiam (Pedang Kayu Harum) sebetulnya merupakan ilmu pedang yang dimainkan dengan pedang kayu, merupakan ilmu tunggal yang hebat dari pendiri Cin-ling-pai, yaitu mendiang pendekar sakti Cia Keng Hong, kakek dari Lie Ciauw Si. Dengan pedang kayunya yang berbau harum, terbuat dari semacam kayu cendana yang aneh, ketua Cin-ling-pai membuat nama besar dan dikenal di seluruh dunia kang-ouw. Kini, cucu perempuannya mengamuk dengan ilmu Siang-bhok Kiam-sut, biarpun tidak selihai kakeknya yang berpedang kayu, namun ilmu pedang ini membuat dua orang tokoh Hwa-i Kai-pang menjadi terkejut dan seketika terdesak mundur. Akan tetapi, pasukan yang berada di belakang meeka lalu maju mengepung, bersama pasukan Raja Agahai yang juga sudah maju mengeroyok. Suami isteri itu lalu dikeroyok oleh hampir seratus orang dan pertempuran yang sesungguhnya berat sebelah, akan tetapi juga mengerikan melihat betapa suami itu mengamuk seperti sepasang naga sakti. Ke manapun pedang mereka berkelebat, robohlah seorang pengeroyok dan sebentar saja pekarangan di depan pondok itu telah banjir darah dan mayat-mayat berserakan. Suara orang-orang mengeluh dan merintih karena luka parah memenuhi tempat itu dan sepasang suami isteri itu sendiripun tidak ter1uput dari luka-luka yang terdapat pada hampir seluruh tubuh mereka. Akan tetapi berkat permainan pedang mereka, mereka masih dapat bertahan terus dan hanya menderita luka-luka ringan saja. Andaikata Han Houw masih memiliki sepenuh tenaga sin-kangnya, kiranya kalau hanya dikeroyok hampir dua ratus orang pasukan itu, dia dan isterinya akan dapat menghadapi mereka dan mungkin akan dapat membasmi habis mereka! Akan tetapi sayang baginya, tenaga sin-kangnya sudah banyak hilang ketika dia sembuh dari sakit akibat luka dalam yang amat parah sehingga kini tenaganya sudah tinggal sedikit. Biarpun ilmu silatnya masih lihai, akan tetapi karena tenaga sin-kangnya lemah hal ini tentu saja mengakibatkan gerakannya kurang cepat dan kurang mantap sehingga tingkatnya kini bahkan masih di bawah tingkat Ciauw Si. Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam adalah seorang tokoh Jeng-hwa-pang yang amat tinggi ilmunya, bahkan dibanding dengan Ciauw Si dia masih menang setingkat! Biarpun demikian, kalau dia bertanding melawan Han Houw sebelum pangeran ini menderita luka, kiranya dia takkan mampu bertahan sampai lebih dari lima puluh jurus saja! Kini, biarpun dia dibantu oleh pasukan, namun pertahanan Han Houw dengan ilmu silatnya yang aneh sedemikian rapatnya sehingga sekian lamanya belum juga dia mampu merobohkan pangeran ini biarpun tubuh pangeran itu sudah menderita banyak luka oleh pengeroyokan itu dan sudah hampir dua puluh orang roboh oleh pedang pangeran ini! Di lain fihak, Ciauw Si juga mengamuk, bahkan lebih ganas daripada suaminya. Dia sudah merobohkan tiga puluh orang lebih dan masih terus mengamuk. Akan tetapi, gerakannya makin menjadi lemah karena dia sudah menderita banyak luka seperti suaminya dan sudah terlalu banyak mengeluarkan darah. Ketika dia menengok dan melihat keadaan suaminya tidak lebih baik dari padanya, Ciauw Si mengeluh. “Suamiku, jangan kautinggalkan aku...!” dia berseru lirih dan seruannya ini terdengar oleh Han Houw yang cepat memutar pedangnya membuka jalan darah untuk dapat mendekati isterinya. Ciauw Si tahu akan usaha suaminya ini maka dia pun memutar pedang dengan kuat dan berhasillah suami isteri itu kini menghadapi musuh sambil beradu punggung, saling menjaga, dan memutar pedang di depan untuk menghalau hujan senjata dari depan, kanan kiri dan atas. Suami isteri itu terus melawan dengan penuh semangat, sungguhpun keduanya sudah tahu dengan pasti bahwa mereka tidak akan dapat lolos dan pasti akan roboh, namun mereka tidak mau menyerah sama sekali dan ingin melawan sampai akhir. “Ciauw Si... isteriku...” Han Houw merintih ketika pundaknya untuk kesekian kalinya tertusuk tombak lawan, dia membabat dan seorang perajurit yang menusuknya itu roboh. “Pangeran... suamiku...” Ciauw Si juga merintih dan kembali pahanya kena disambar tongkat sehingga rasanya seperti patah tulangnya. Dia menusuk ke depan, dan ketika tongkat tokoh Hwa-i Kai-pang itu menangkis, dia membalik dan robohlah seorang pengeroyok di sebelah kirinya, akan tetapi dia terguling karena kakinya yang kiri tidak dapat dipakai berdiri lagi. “Si-moi...!” Han Houw berseru dan dengan tangan kiri dia merangkul isterinya, tangan kanannya masih diputarnya untuk melindungi mereka berdua. Ciauw Si menguatkan dirinya, dan dia pun menggerakkan pedangnya untuk menangkis ke kanan kiri dan ke atas. Hebat bukan main pertahanan dua orang suami isteri itu, akan tetapi fihak musuh terlampau banyak dan luka-luka mereka dari pundak sampai ke kaki itu terus mengucurkan darah segar dan membuat mereka merasa lemas sekali. Kini mereka berdua tidak lagi dapat membalas serangan, tidak lagi dapat merobohkan lawan, hanya mampu menangkis terus menerus. Akan tetapi tentu saja tenaga mereka makin lama makin lemah dan habis sehingga tangkisan-tangkisan mereka tidak begitu kuat lagi dan mulailah mereka menerima bacokan atau tusukan senjata tajam dan terpukul oleh tongkat beberapa kali. Akhirnya, Ceng Han Houw dan Lie Ciauw Si tidak mampu mempertahankan diri lagi. Wajah mereka pucat sekali karena darah mereka hampir habis bercucuran dari luka-luka mereka dan akhirnya robohlah mereka saling rangkul, dengan pedang masih tergenggam di tangan dan nyawa sudah melayang sebelum banyak senjata datang bagaikan hujan, karena mereka telah kehabisan darah! Suami isteri yang luar biasa ini benar-benar telah melawan sampai titik darah terakhir. Setelah berhasil membunuh suami isteri itu, para anggauta pasukan, baik pasukan Kerajaan Beng maupun pasukan Raja Agahai, bersorak-sorai dan mulailah terjadi kekejaman yang biasa terjadi dalam setiap peristiwa “pembersihan” seperti itu. Mereka memasuki rumah-rumah para penduduk dusun dan senjata mereka berpesta-pora minum darah orang-orang yang sama sekali tidak berdosa apa-apa! Karena Pangeran Ceng Han Houw mereka serbu sebagai seorang pemberontak, maka tentu saja para penduduk dusun yang berada di situ semua dianggap kaki tangan pemberontak pula! Dan terjadilah penyembelihan tak kenal kasihan terhadap mereka. Semua pria muda mereka bunuh, dan wanita-wanita mudanya mereka permainkan dan perkosa. Terdengar jerit tangis memilukan di dusun yang biasanya tenang dan tenteram itu. Lewat tengah hari, pasukan-pasukan itu telah pergi meninggalkan dusun, membawa mayat-mayat dan teman-teman mereka yang terluka dalam pertempuran ketika mereka mengeroyok suami isteri itu. Dusun itu masih memperlihatkan jejak kebuasan mereka. Mayat-mayat para pria muda dusun itu berserakan, darah mengalir dan membanjir, wanita-wanita muda terisak menangis, ada yang melolong-lolong dan wanita-wanita tua dan kakek-kakek menangisi nasib keluarga mereka, anak-anak kecil juga ikut menangis karena ketakutan. Akan tetapi akhirnya kenyataan membuka mata mereka bahwa tangis saja tidak ada gunanya. Maka mulailah para kakek, nenek dan wanita-wanita muda korban perkosaan itu bergerak keluar dari rumah masing-masing dan mengurus mayat-mayat itu sambil mencucurkan air mata. Juga jenazah Ceng Han Houw dan Lie Ciauw Si mereka rawat. Semua peti mati di dusun itu dikumpulkan, namun tidak cukup untuk menampung korban yang jumlahnya belasan orang itu, sehingga terpaksa sedapat mungkin para kakek di dusun itu lalu membuat peti mati dari papan-papan yang ada, amat sederhana dan tipis. Pada keesokan harinya, selagi para sisa penghuni dusun itu berkabung, menangisi peti-peti mati dan bersembahyang, muncullah Ceng Thian Sin! Dia datang berlari-lari memasuki dusun itu, dikejar-kejar oleh kakek tua yang tadinya diutus untuk mengantarnya. Ternyata anak itu setelah tiba di tengah jalan, tak dapat menahan hatinya dan memberontak, lari pulang seolah-olah ada sesuatu yang menariknya. Ketika melihat rumah orang tuanya penuh kakek, nenek dan anak-anak yang menangisi peti-peti mati yang berjajar panjang, Thian Sin terhuyung-huyung dengan wajah pucat, menghampiri mereka dan matanya memandang ke arah peti-peti mati itu, satu demi satu. Kemudian dia berteriak-teriak, “Ayaaah...! Ibuuu...!” Dan berlarilah dia memasuki rumah, mencari-cari dan memanggil-manggil. “Ayaaaah...! Ibuuuuu...!” Dia mencari-cari terus dan matanya terbelalak melihat di dalam rumah orang tuanya itu berantakan dan nampak darah di sana-sini dan bau darah yang amis. Kemudian dia berlari keluar lagi sambil berteriak-teriak dan melihat semua wanita menangis semakin riuh, dia lalu berteriak kepada mereka dengan suara parau, “Di mana ayah dan ibuku?” Seorang wanita menjerit dan maju menubruknya. “Ayahmu... Ibu...” Dia tidak dapat melanjutkan, hanya menudingkan telunjuknya yang menggigil itu ke arah dua buah peti mati yang berdiri di tengah-tengah. Sepasang mata anak itu terbelalak memandang ke arah dua buah peti yang ditunjuk, kemudian dengan langkah-langkah gontai dan tubuh menggigil dia menghampiri, matanya seperti kosong dan tak pernah berkedip memandang kepada dua peti itu, bibirnya bergerak gemetar, bertanya dengan suara bisik-bisik penuh ketidakpercayaan, “Ayahku... Ibuku... mereka... mereka tewas...?” Ketika melihat semua orang mengangguk dan menangis, Thian Sin menjerit, pekik yang mengerikan sekali karena amat nyaring dan panjang, keluar dari dasar hatinya yang seperti tersayat, dia menubruk ke depan dua buah peti itu dan terguling, pingsan! Kematian merupakan suatu peristiwa yang nyata, suatu fakta yang tak dapat dirubah oleh siapapun, suatu hal yang akan menimpa setiap manusia di dunia ini. Oleh karena peristiwa kematian akan menimpa semua orang, tak peduli dia itu kaisar maupun pengemis, tak peduli dia itu pendeta maupun penjahat, maka kita semua tahu bahwa kematian merupakan hal yang wajar. Akan tetapi, mengapa dalam setiap peristiwa kematian selalu menimbulkan duka? Duka itu timbul dari perpisahan, dan setiap perpisahan terasa menyakitkan bilamana di situ terdapat ikatan batin. Ikatan ini tercipta oleh kesenangan atau sesuatu yang kita anggap menyenangkan, yang enak, sehingga kita tidak ingin terlepas lagi dari yang menyenangkan itu, seperti juga kita tidak ingin dekat dengan yang tidak menyenangkan. Dan sekali waktu yang menyenangkan itu direnggut dari kita, seperti peristiwa kematian, maka kita akan merasa nyeri. Yang menyenangkan itu telah berakar di dalam hati, maka apabila direnggut oleh kematian, hati kita akan terobek dan menjadi perih. Sebagian besar daripada ratap tangis yang ditumpahkan orang dalam peristiwa kematian, adalah ratap tangis karena iba diri, karena perasaan duka ditinggalkan orang yang mendatangkan kesenangan dalam hati kita. Di mulut kita mengatakan kasihan kepada si mati, namun sesungguhnya di lubuk hati, yang ada hanya rasa kasihan kepada diri kita sendiri yang ditinggalkan, yang kehilangan sesuatu atau rasa senang di hati. Itulah sebabnya mengapa di dalam setiap peristiwa kematian timbul duka cita dan ratap tangis, bukan untuk si mati melainkan karena rasa iba diri dari yang hidup. Kematian terjadi setiap saat, menimpa siapapun juga. Bahaya yang dapat menimbulkan kematian berada di sekeliling kita dan setiap saat dapat merenggut nyawa kita, melalui kuman-kuman penyakit, melalui kecelakaan, kekerasan dan sebagainya. Mati hanyalah rangkaian dari hidup seperti juga hidup merupakan rangkaian dari mati. Tidak ada kehidupan tanpa ada kematian dan tidak akan ada kematian tanpa kehidupan. Mati yang terjadi sebagai rangkalan dari hidup adalah suatu proses yang wajar, suatu peristiwa yang sudah semestinya seperti tenggelamnya matahari di senja hari untuk muncul kembali di pagi hari berikutnya. Akan tetapi, kebanyakan dari kita merasa takut akan kematian! Kematian terasa sedemikian mengerikan, menakutkan, penuh rahasia. Mengapa kita merasa ngeri dan takut menghadapi kematian yang pada suatu saat sudah pasti akan datang kepada kita itu? Karena kita tidak mengenalnya! Karena kita tidak tahu apa akan jadinya dengan kita! Karena kita terikat kuat-kuat kepada segala yang menyenangkan dan yang enak-enak di dunia kehidupan ini. Karena kita tidak rela berpisah dari segala yang menyenangkan itu dan kita enggan memasuki sesuatu yang belum kita ketahui benar apakah akan mendatangkan nikmat atau derita. Kematian adalah terputusnya semua ikatan kita dengan kehidupan di dunia. Semakin erat kita terikat secara batinlah kepada hal-hal dan benda-benda yang ada dalam kehidupan kita, semakin takut dan ngerilah kita menghadapi perpisahan dengan semua itu. Bukan kematian yang menakutkan, melainkan perpisahan dengan segalanya itulah! Dengan keluarga yang tercinta, dengan harta benda, kedudukan, kehormatan, kemuliaan, dan dengan segala hal yang dianggap menyenangkan dalam hidup. Untuk menginggalkan semua itu, untuk berpisah dengan semua itu! Inilah yang membuat kita merasa tidak rela dan berat, dan timbullah kengerian dan ketakutan. Tidak dapatkah kita “mati” selagi hidup ini? Dalam arti kata, mati atau bebas dari segala ikatan batin ini? Kebebasan dari semua ikatan batin akan membebaskan kita dari rasa takut itu pula terhadap perpisahan yang berupa kematian dan yang tak mungkin dielakkan itu. Bukan berarti lalu kita menjadi tidak peduli atau tidak acuh kepada keluarga, pekerjaan dan sebagainya selagi hidup. Sama sekali bukan! Melainkan bebas dari ikatan batiniah yang selalu berupa kesenangan itulah. Kesenangan dan keinginan untuk selalu menikmati kesenangan dari apa yang kita miliki itulah yang mengikat. Tanpa kebebasan dari rasa takut akan kematian ini, kita akan selalu mencari-cari cara atau jalan agar sesudah mati kitapun akan senang dan enak! Kita akan mencari segala daya upaya untuk mendatangkan rasa terhibur, rasa terjamin bahwa sesudah mati kita akan tetap menikmati kesenangan. Jadi kita akan terjerumus semakin dalam lagi ke dalam lingkaran dari pengejaran kesenangan, kita akan terikat semakin kuat. Mengejar enak dan senang selama hidup, bahkan sampai kelak sesudah mati di “sana”! Akibat dari guncangan batin yang amat hebat, dengan terjadinya peristiwa yang amat mengejutkan dan menyedihkan hatinya, Thian Sin yang baru berusia sepuluh tahun itu roboh pingsan dan ketika siuman, tubuhnya panas sekali dan dia menderita sakit demam. Dia dirawat oleh tetangga dan tiga hari kemudian, setelah menangis tersedu-sedu di depan kuburan ayah bundanya, Thian Sin bersumpah bahwa dia akan membalas kematian ayah bundanya itu. “Ayah, ibu, kelak akan kucari mereka! Akan kubalaskan kematian ayah dan ibu!” katanya berkali-kali. Setelah dibujuk-bujuk oleh Kakek Lai Sui, yaitu kakek yang dimintai tolong oleh mendiang ayah bundanya untuk mengantarnya kepada pamannya yang menjadi hwesio di dekat kota raja, akhirnya Thian Sin mau juga diajak berangkat melanjutkan perjalanan. “Sebagai anak berbakti, engkau harus memenuhi pesan terakhir ayah bundamu, harus pergi menghadap Hong San Hwesio. Mari kita kumpul-kumpulkan barang apa yang akan kaubawa serta,” kata kakek Lai Sui yang sabar. Akan tetapi Thian Sin tidak mau membawa apa-apa. Dia hanya membawa bungkusan pakaian dan kitab-kitab yang telah diberikan ayahnya kepadanya, kitab-kitab tulisan ayahnya dan yang hanya dapat dimengerti olehnya sendiri karena tulisan itu dibuat sedemikian rupa oleh ayahnya sehingga tidak dapat dimengerti dan dipelajari orang lain, sedangkan kunci rahasianya telah diketahui oleh Thian Sin. “Rumah dan semua isinya kuserahkan kepadamu, Lai-pek.” kata Thian Sin kepada Lai Sui. “boleh kaupakai dan kau tinggali sampai aku kembali.” Maka berangkatlah mereka menuju ke selatan, suatu perjalanan yang amat jauh dan sukar, melalui Tembok Besar dan menuju ke kota raja, karena Kuil Thian-to-tang di mana Hong San Hwesio tinggal itu terletak di sebelah selatan kota raja. Akan tetapi karena Lai Sui dan Thian Sin hanya berpakaian sederhana seperti ayah dan anak dusun yang tidak membawa barang berharga, maka perjalanan mereka itu dapat dilakukan dengan aman. Tidak ada penjahat yang mau gatal tangan mengganggu orang-orang miskin yang lewat. Dan di dalam perjalanan ini, kakek Lai Sui-lah yang sering harus berhenti untuk beristirahat, karena betapapun juga, dia tidak mampu menandingi kekuatan Thian Sin yang sudah digembleng sejak kecil oleh ayah bundanya itu. Akhirnya, tanpa terjadi sesuatu yang penting di jalan, mereka sampai di depan Kuil Thian-to-tang. Kuil itu berada di lereng dekat puncak bukit yang sunyi, akan tetapi dari lereng itu nampak pedusunan di bagian bawah. Di ruangan depan kuil itu nampak asap hio mengepul dan suasananya amat tenang dan tenteram. Seorang hwesio berusia tiga puluhan tahun yang sedang membersihkan pekarangan di sebelah kanan kuil, segera melepaskan sapunya dan membungkuk-bungkuk menyambut Lai Sui dan Thian Sin yang dikiranya tamu-tamu yang hendak datang bersembahyang, walaupun waktunya masih terlampau pagi bagi tamu untuk bersembahyang. “Apakah ji-wi (kalian berdua) hendak bersembahyang?” tanya hwesio itu setelah merangkap kedua tangan di depan dada tanda menghormati suaranya halus dan sopan. Melihat sikap ini saja Thian Sin sudah merasa tertarik dan girang. Betapa bedanya dengan orang-orang yang dijumpainya di sepanjang perjalanan, yang rata-rata memandang rendah dan bersikap angkuh terhadap mereka berdua yang berpakaian seperti orang dusun miskin. Akan tetapi hwesio ini menyambut mereka dengan wajah yang ramah dan sikap yang sopan, dan agaknya beginilah hwesio ini menyambut semua tamu, tanpa membedakan dan membandingkan keadaan pakaian para tamunya. “Maaf, Siauw-suhu, kami datang bukan untuk bersembahyang, melainkan mohon menghadap Hong San Hwesio, Ketua Kuil Thian-to-tang,” kata Lan Sui. Kini hwesio itu memandang kepada Lai Sui penuh perhatian, dari atas sampai ke bawah, lalu memandang kepada Thian Sin, wajahnya membayangkan keheranan karena jarang ada tamu yang datang untuk ketuanya itu. Kemudian dia menjawab. “Sayang sekali, Hong San Hwesio sedang melakukan sembahyang dan doa pagi.” Lai Sui dan Thian Sin lapat-lapat dapat menangkap suara orang berdoa diikuti irama ketukan genta kayu yang dipukul. “Kalau begitu, biarlah kami menunggu sampai dia selesai berliam-kheng (membaca doa),” kata Lai Sui. “Silakan duduk di ruangan tamu, Lo-heng, akan tetapi setelah selesai berdoa, biasanya dia lalu duduk samadhi.” “Biarlah, Siauw-suhu, kami datang dari jauh sekali, kami telah melakukan perjalanan berpekan-pekan lamanya, maka menanti sampai setengah hari pun tidak ada artinya bagi kami.” jawab Lai Sui sambil tersenyum. Setelah mempersilakan tamu-tamunya duduk, pendeta itu lalu meninggalkan mereka untuk melanjutkan pekerjaannya. Kemudian, dari pintu belakang dia memasuki kuil dan melihat ketuanya sudah selesai membaca liam-kheng, dia lalu melaporkan tentang kedatangan dua orang tamu itu. “Omitohud...! Sepagi ini sudah datang tamu yang mencari pinceng?” kata Hong San Hwesio. “Entah dari mana gerangan mereka?” “Teecu juga tidak tahu, akan tetapi mereka kelihatan lelah sekali dan mengaku telah datang dari tempat yang jauh sekali, melakukan perjalanan berpekan-pekan lamanya.” “Omitohud...! Kalau begitu tentu mereka mempunyai maksud kedatangan yang amat penting sekali. Cepat persilakan mereka masuk, akan pinceng terima di sini saja.” kata hwesio itu dengan serius. Dia menghargai tamu-tamu yang datang dari tempat sedemikian jauhnya yang tentu membawa berita penting sekali. Tak lama kemudian, muncullah Kakek Lai Sui dengan Thian Sin. Melihat dua orang ini memberi hormat kepadanya dan berlutut, Hong San Hwesio memandang penuh perhatian, dan dia merasa tidak mengenal kakek itu, akan tetapi wajah anak laki-laki itu tidak asing baginya, hanya dia lupa lagi di mana dia pernah berjumpa dengan anak ini. “Paman, apakah paman lupa kepada saya? Saya Thian Sin yang malang menghadap paman memenuhi pesan ayah...” kata Thian Sin, tidak menangis, akan tetapi suaranya mengandung kedukaan besar. Disebut paman oleh anak itu, Hong San Hwesio, terkejut, “Ah, kiranya engkau...” dia meragu. “Dua tahun yang lalu paman mengunjungi kami...” “Ah, benar, engkau putera Ciauw Si! Siapa namamu? Ya, benar, Thian Sin, Ceng Thian Sin! Dan siapakah Saudara ini?” Lai Sui memperkenalkan diri sebagai utusan keluarga anak itu dan dengan suara terputus-putus karena duka dan haru kakek ini lalu menceritakan betapa keluarga anak itu telah tertimpa malapetaka, diserbu oleh pasukan-pasukan dari kaisar dan dari raja utara, dan mereka telah tewas bersama para penduduk dusun. “Mereka telah merasa akan datangnya malapetaka, maka mereka telah mengutus saya untuk mengantar anak ini ke sini dan menyerahkan surat mereka kepada suhu di sini,” Kakek itu mengakhiri ceritanya. “Dan ternyata surat ini merupakan pesah terakhir mereka.” Tentu saja Lie Seng atau Hong San Hwesio terkejut bukan main mendengar penuturan itu. Sejenak dia terdiam, alisnya berkerut dan pandang matanya menjadi sayu, lalu dia memejamkan kedua mata sejenak sambil berdoa untuk kematian adik kandungnya dan adik iparnya itu. Setelah hatinya tenang, dia membuka mata dan memandang kepada Thian Sin, keponakannya itu. Anak itu nampak berduka, kurus dan pucat, akan tetapi tidak menangis dan jelas di wajahnya terbayang kekerasan dan dendam yang hebat. Kembali dia menarik napas, lalu dibukanya sampul surat dari adik iparnya itu. Dibacanya surat terakhir yang ditulis oleh dua tangan itu, tangan adik kandungnya dan tangan adik iparnya, yang isinya minta tolong kepadanya agar suka merawat dan mendidik Thian Sin untuk sementara waktu karena mereka berdua terancam bahaya. Minta kepadanya agar mendidik soal kerohanian kepada Thian Sin, di samping membimbing dan mengamati latihan silatnya. Setelah membaca surat terakhir itu, Lie Seng atau Hong San Hwesio menarik napas panjang dan membisikkan doa-doa. Ketika menulis surat itu, biarpun adiknya masih belum yakin akan kematiannya, namun adiknya itu agaknya sudah merasa tidak ada harapan! Dia lalu memandang kepada Kakek Lai Sui dan berkata, “Saudara Lai Sui, engkau telah melaksanakan tugasmu dengan baik dan untuk itu, pinceng menghaturkan banyak terima kasih. Pinceng telah menerima surat dari mendiang adik pinceng dan telah menerima Thian Sin, maka silakan Saudara Lai untuk beistirahat.” Lai Sui cepat memberi hormat. “Terima kasih, suhu. Akan tetapi setelah saya menyerahkan surat dan anak ini, perkenankan saya untuk cepat-cepat kembali ke dusun kami, karena selain dusun kami sedang tertimpa malapetaka dan dalam keadaan berkabung, juga saya yang telah dipercaya oleh anak ini harus menjaga rumahnya yang ditinggalkan oleh ayah bundanya. Thian Sin, engkau baik-baik saja di sini, memenuhi pesan terakhir dari orang tuamu, ya?” Thian Sin mengangguk dan dia lalu merangkul kakek itu yang duduk di dekatnya, tidak menangis, akan tetapi jelas dia merasa amat terharu. “Terima kasih, Lai-pek, engkau sungguh baik sekali dan aku tidak akan melupakan kebaikanmu. Kau tolong... tolong kadang-kadang menengok dan merawat makam orang tuaku, ya?” “Tentu saja, Thian Sin, tentu saja, jangan khawatir... nah, selamat tinggal, anak baik. Suhu, terima kasih dan saya akan berangkat pulang sekarang.” Lai Sui lalu meninggalkan kuil itu untuk kembali ke dusunnya yang telah tertimpa malapetaka itu. Dia sendiri karena tidak berkeluarga maka tidak mengalami kehancuran keluarganya. Akan tetapi kehidupan di dusun amatlah akrab antara tetangga, seperti keluarga sendiri saja maka kakek ini pun merasakan kedukaan hebat maka dia ingin lekas-lekas pulang. Sementara itu, Hong San Hwesio yang melihat bayangan dendam hebat pada wajah keponakannya itu lalu berkata. “Thian Sin, apakah engkau sudah tahu siapa yang membunuh ayah bundamu?” Anak itu mengangkat muka memandang wajah pamannya yang penuh kelembutan itu, dan dia menggeleng kepalanya. “Saya belum tahu paman. Akan tetapi kelak akan saya selidiki hal itu! Saya tahu bahwa yang menyerbu rumah kami adalah pasukan dari Raja Agahai dan pasukan dari kaisar. Kelak akan saya selidiki siapa yang memimpin penyerbuan itu dan akan saya bunuh mereka semua untuk membalaskan kematian ayah dan ibu!” Dari sepasang mata anak itu memancar api dendam yang hebat, dan diam-diam Hong San Hwesio bergidik dan dia cepat menarik napas panjang. “Omitohud...! Anak yang baik, agaknya engkau sama sekali tidak pernah berpikir dan bertanya mengapa ayah bundamu sampai mengalami penyerbuan itu?” Ketika anak itu menggeleng kepala, Hong San Hwesio dengan suara lembut dan sabar lalu menceritakan secara singkat semua perbuatan mendiang Ceng Han Houw yang pernah hendak menimbulkan pemberontakan. Dia hendak membimbing anak itu agar meneliti diri sendiri dan sadar akan kesalahan diri sendiri sebelum menyalahkan orang lain. Dia hendak membuat anak itu sadar bahwa apa yang terjadi atas diri Ceng Han Houw hanya merupakan akibat daripada perbuatan-perbuatannya sendiri di masa lampau. Mendengar cerita pamannya itu, Thian Sin termenung dan diam-diam dia terkejut juga. Kiranya ayahnya pernah melakukan dosa-dosa yang besar, bahkan pernah memberontak terhadap kaisar. “Nah, sekarang engkau mengerti, Thian Sin. Tiada perbuatan tanpa akibat dan tiada akibat tanpa sebab. Yang tidak mengerti akan hal ini akan terjerumus ke dalam lingkaran setan dari sebab akibat, dari balas-membalas, dendam-mendendam! Kalau sudah begitu, kita hanya akan menjadi hamba-hamba dari nafsu kekerasan belaka, menjadi hamba-hamba dari nafsu dendam dan permusuhan, menciptakan sebab-sebab baru yang kelak akan mendatangkan akibat-akibatnya pula. Orang bijaksana akan menghentikan berputarnya sebab akibat ini dengan berdiam diri.” “Tapi... tapi... ayah bundaku dibunuh orang... mana mungkin saya akan berdiam diri saja, paman?” Hong San Hwesio lalu memejamkan matanya dan bibirnya bergerak-gerak membaca doa yang berupa ajaran-ajaran Sang Buddha, yang diucapkan satu-satu dan jelas terdengar dan dimengerti oleh Thian Sin. “Tiada yang lebih panas daripada nafsu tiada yang lebih ganas daripada kebencian tiada yang lebih menjerat daripada kebodohan tiada yang lebih menghanyutkan daripada keserakahan, Kesalahan orang lain mudah nampak kesalahan diri sendiri sukar terlihat orang menyaring kesalahan orang lain seperti menampi dedak namun kesalahannya sendiri disembunyikannya seperti penipu menyembunyikan dadu lemparannya terhadap penjudi lainnya.” Setelah mendengarkan nyanyi dan yang berupa ajaran-ajaran dari kitab Dhammapada ini, Thian Sin yang baru berusia sepuluh tahun itu mencoba untuk menangkap artinya, dan dia pun lalu membantah, “Akan tetapi, paman. Mereka itu membunuh ayah bundaku, mereka itu melakukan kekejaman dan kejahatan. Kalau tidak kuberantas perbuatan mereka itu, kalau tidak kubasmi orang-orang kejam seperti itu, bukankah mereka akan melakukan kekejaman lebih jauh lagi kepada orang-orang lain?” Hong San Hwesio masih memejamkan kedua matanya, tersenyum dan berkata sambil merangkapkan kedua tangan. “Omitohud... hatimu penuh dendam kebencian, tentu saja tidak mungkin dapat berpikir jernih. Nah, kaudengarkanlah, Thian Sin, pelajaran pertama dari ayat-ayat suci.” Hwesio itu tanpa membuka mata, dengan duduk bersila dan kedua tangan dengan jari-jari terbuka menyembah di depan dada, lalu bernyanyi, membacakan ayat-ayat pertama dari Dhammapada. Segala keadaan kita adalah hasil dari apa yang telah kita pikirkan didasarkan atas pilihan kita dan dibentuk oleh pikiran kita Jika seseorang bicara atau berbuat dengan pikiran jahat, penderitaan akan mengikutinya, seperti roda gerobak mengikuti jejak kaki lembu yang menariknya. Jika seseorang bicara atau berbuat dengan pikiran murni kebahagiaan akan mengikutinya, seperti bayang-bayang yang tak pernah meninggalkannya Dia mencaci maki saya, memukul saya, mengalahkan saya, merampok saya, yang menyimpan pikiran ini, kebencian takkan berakhir, yang tidak mmyimpan pikiran ini, dendam kebencian akan berakhir. Karena kebencian tak dapat dipadamkan oleh kebencian, kebencian hanya musnah oleh cinta kasih inilah suatu aturan yang abadi...” Entah bagaimana, suara nyanyian halus yang keluar dari mulut hwesio yang memejamkan matanya itu terdengar demikian mempesona oleh Thian Sin sehingga anak ini seperti hanyut, dan tidak lama dia pun duduk bersila seperti hwesio itu, memejamkan mata, merangkapkan kedua tangan dan mendengarkan dengan penuh perhatian, dan dia merasakan suatu ketenangan yang amat indah dalam hatinya yang semula penuh dengan kebencian dan dendam yang membara! Demikianlah, mulai hari itu, Thian Sin digembleng oleh Hong San Hwesio delam ilmu kebatinan dan keagamaan dan karena dia sendiri adalah seorang hwesio yang memeluk Agama Buddha, maka tentu saja dia mengajarkan filsalat kehidupan menurut pelajaran agama itu. Di samping setiap hari mempelajari ayat-ayat suci, juga Thian Sin diberi pelajaran kesusastraan oleh Hong San Hwesio, dan kadang-kadang anak itu juga berlatih ilmu silat di bawah petunjuk pamannya yang dahulu sebelum menjadi hwesio juga merupakan seorang pendekar, ahli silat yang berilmu tinggi. Selain mempelajari ilmu silat, ilmu sastra dan keagamaan dari pamannya, juga dari beberapa orang hwesio yang tinggal di Thian-to-tang itu, Thian Sin belajar menulis sajak dan meniup suling dan dalam kesenian ini ternyata dia memiliki bakat yang kuat sekali. Sungguh patut disayangkan bahwa kita ini semenjak kecil biasanya hanya memperoleh petunjuk-petunjuk saja, bagaimana untuk dapat menjadi seorang yang baik, yang benar, yang sabar dan sebagainya. Seolah-olah kebaikan itu dapat dipelajari! Seolah-olah kebenaran itu mempunyai garis tertentu! Seolah-olah kesabaran itu dapat dibuat! Biasanya, kalau kita mendendam, kalau kita membenci, kalau kita marah, kita dinasihati untuk bersabar. Kita dinasihati untuk mengendalikan diri, mengendalikan kemarahan itu, menekannya dengan kesabaran, dengan mengingat bahwa kemarahan itu tidak baik, kesabaran itu baik dan sebagainya. Kita diajar untuk menjauhi kemarahan, kebencian dan lain-lain itu seperti menjauhi penyakit, dan kita dipaksa untuk berpaling kepada kesabaran, cinta kasih antara sesama, kebaikan dan sebagainya. Semua ini membuat kita seperti sekarang ini, penuh dengan teori-teori tentang kebajikan, kebaikan, teori-teori kosong yang sama sekali tidak kita hayati dalam kehidupan, karena penghayatan dalam kehidupan melalui teori-teori ini hanya merupakan peniruan belaka, dan setiap bentuk peniruan tentu mendatangkan kepalsuan dalam tindakan itu karena di balik itu sudah pasti mengandung pamrih. Sejak kecil kita diajarkan untuk menjadi orang baik sehingga kita selalu ingin disebut baik, kita mempunyai anggapan baik itu searah dengan senang, atau baik itu mendatangkan senang di hati. Maka “perbuatan baik” yang kita lakukan itu, jika kita mau membuka mata mengenal diri sendiri, bukan lain hanyalah merupakan suatu daya upaya atau jembatan bagi kita untuk memperoleh hasil yang menyenangkan itu tadi saja. Hasil yang dianggap akan mendatangkan kesenangan dari perbuatan baik, dan hasil yang menyenangkan itu bisa saja berupa kesenangan bagi lahir maupun batin. Mungkin bersembunyi di bawah sadar, namun karena pendidikan budi pekerti yang diberikan kepada kita semenjak kecil, maka kita selalu berbuat baik dengan harapan agar memperoleh buah dari perbuatan itu yang tentu saja akan menguntungkan atau menyenangkan kita lahir batin. Bisa saja kita menyangkal bahwa hal ini tidak benar, akan tetapi setiap perbuatan yang kita anggap sebagai perbuatan kebaikan, yang kita lakukan dengan unsur kesengajaan untuk berbuat baik, sudah pasti mengandung pamrih, biar pamrih itu bersembunyi di bawah sadar sekalipun! Maka, yang penting adalah mengenal apakah perbuatan tidak baik itu! Kita tahu dan mengenal tindakan-tindakan palsu dan tidak baik itu, kita mengenal dan sudah mengalami betapa nafsu-nafsu seperti marah, benci, dendam, iri, serakah itu mendatangkan hal-hal yang amat buruk. Untuk dapat terbebas daripada dendam, bukanlah hanya sekedar belajar sabar! Memang, dengan kesabaran atau mengendalian diri, kemarahan dapat saja berhenti, nampaknya lenyap dan padam, akan tetapi sesungguhnya, api kemarahan itu masih belum padam, hanya tertutup oleh kesabaran yang dipaksakan menurut ajaran-ajaran itu tadi. Seperti api dalam sekam. Sekali waktu api itu akan berkobar lagi, mungkin lebih hebat, untuk dikendalikan dan ditutup lagi oleh kesabaran, dan lain kali berkobar lagi, ditutup lagi, maka kita pun terseret ke dalam lingkaran setan seperti keadaan hidup kita sekarang ini! Mengapa kita harus lari dari kenyataan kalau sekali waktu amarah atau benci datang? Mengapa kita harus menyembunyikan diri ke balik pelajaran kesabaran untuk melarikan diri dari kemarahan? Mengapa kita tidak berani menghadapi kenyataan itu bahwa kita marah? Mari kita mencoba untuk menghadapinya, setiap kali kemarahan timbul, setiap kali kebencian, iri hati, dan sebagainya datang ke dalam batin kita. Kita hadapi semua itu, kita amati, kita pandang, kita pelajari tanpa melarikan diri, tanpa ingin sabar, ingin baik dan sebagainya lagi! Dengan pengamatan ini, dengan kewaspadaan ini, dengan perhatian ini, maka kita akan awas, dan sadar, kita akan melihat bahwa kemarahan dan kita tidaklah berbeda, maka tidaklah mungkin melarikan diri dari kemarahan yang sesungguhnya adalah diri kita sendiri, pikiran kita sendiri, si aku itu sendiri. Kita hadapi saja, amati saja, pandang saja, dan akan terjadilah sesuatu yang luar biasa, yang tak dapat diteorikan, hanya dapat dihayati, dilakukan pada saat semua itu timbul! Demikian pula dengan Thian Sin. Dia dijejali oleh pelajaran untuk mengendalikan diri, untuk menekan dan menghilangkan dendam yang membara di dalam hati. Memang nampaknya berhasil, nampaknya dia telah kembali menjadi seorang anak yang riang dan berwajah manis, murah senyum, tampan sekali dan tidak pernah dia menyinggung-nyinggung lagi tentang kematian orang tua dan dendamnya. Namun, benarkah api dendamnya itu telah padam? Hanya kenyataan yang akan menentukan dan menjawabnya. *** Bangunan kuno yang sebenarnya amat indah itu dari luar nampak menyeramkan karena dikelilingi tumbuh-tumbuhan yang besar dan lebat. Bangunan itu dinamakan orang Istana Lembah Naga! Lembah ini terietak di kaki Pegunungan Khing-an-san, di dekat tikungan Sungai Luan-ho, termasuk daerah Mongol dan berada di luar Tembok Besar. Dahulu sebelum lembah ini dibersihkan oleh pasukan kaisar, kemudian diserahkan sebagai hadiah kepada pendekar sakti Cia Sin Liong, tempat ini merupakan tempat yang ditakuti orang karena selain angker juga menjadi tempat tinggal keluarga mendiang Raja Sabutai yang terkenal kejam. Akan tetapi semenjak pendekar Cia Sin Liong bersama isterinya yang dicintanya, yaitu Bhe Bi Cu, tinggal di istana itu, keadaannya berubah sama sekali. Lembah yang memang amat indah itu tidak ditakuti orang lagi, bahkan kini banyak orang berdatangan untuk tinggal di sekitar lembah, terbentuk dusun-dusun yang cukup makmur karena tanah di sekitar pegunungan itu memang cukup subur. Dan pendekar itu bersama isterinya dikenal sebagai orang-orang yang amat baik, bahkan yang melindungi para penghuni dusun itu. Tidak mengherankan apabila keluarga ini dicinta dan dihormati, dan dusun di sekeliling lembah itu menjadi semakin ramai. Memang pemandangan di lembah itu amat mentakjubkan. Padang rumput luas di bawah kaki lembah yang dahulu dinamakan orang Padang Bangkai dan yang amat menyeramkan itu kini sebaglan telah menjadi sawah ladang. Tempat-tempat berbahaya yang mengandung lumpur yang dapat menyedot telah ditutup oleh pasukan kaisar ketika mereka mengadakan pembersihan di tempat ini sehingga kini padang maut itu tidak pernah lagi mengambil korban. Istana itu sendiri sekarang terawat baik, mempunyai taman bunga dan tembok-temboknya juga tidak penuh lumut seperti dahulu sebelum menjadi tempat tinggal pendekar itu. Kini, ada saja penduduk dusun yang beberapa pekan sekali membantu pendekar ini untuk membersihkan bangunan yang kokoh kuat itu. Sungguh kini suasananya jauh berbeda dibandingkan dengan dahulu ketika istana ini masih menjadi tempat tinggal sepasang kakek dan nenek iblis yang terkenal dengan nama Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, dua orang guru dari mendiang Raja Sabutai. Seperti telah diceritakan dalam kisah Pendekar Lembah Naga, untuk terakhir kalinya tempat ini menjadi benteng di mana terjadi keributan dan sarang pemberontakan yang dipimpin oleh Pangeran Ceng Han Houw yang dibantu oleh Hek-hiat Mo-li dan yang lain-lain. Setelah pemberontakan itu dapat dibasmi, dan istana itu diserahkan oleh kaisar kepada pendekar Cia Sin Liong yang berjasa menumpas pemberontakan, maka tempat itu sama sekali berubah keadaannya dan sampai sekarang menjadi tempat yang indah, yang banyak menarik datangnya para pelancong yang melewati Tembok Besar. Bahkan karena dusun-dusun di sekitarnya semakin ramai dan di situ banyak menghasilkan rempah-rempah dan bahan-bahan obat, hanyak pula berdatangan pedagang-pedagang dari sebelah dalam Tembok Besar untuk berdagang, membawa barang-barang keperluan para penduduk dari kota di sebelah selatan dan pulangnya mereka membawa rempah-rempah dan bahan-bahan obat. Telah kurang lebih dua belas tahun pendekar Cia Sin Liong dan isterinya tinggal di Istana Lembah Naga itu dan di dunia kang-ouw, tempat inipun terkenal sebagai istana tempat tinggal Pendekar Lembah Naga, demikianlah orang-orang kang-ouw memberi julukan kepada Cia Sin Liong. Dan dari pernikahannya dengan Bhe Bi Cu yang amat dicintanya, pendekar ini telah memperoleh seorang putera yang mereka beri nama Cia Han Tiong dan yang kini telah berusia sebelas tahun. Semenjak kecil, Han Tiong menerima cinta kasih yang berlimpah-limpah dari orang tuanya, bukan pemanjaan, melainkan cinta kasih, dan semenjak kecil dia tinggal di tempat yang selalu hening dan tenteram, di antara para penduduk dusun yang hidupnya sederhana, terbuka, jujur dan tenang. Maka tidaklah mengherankan apabila keadaan sekelilingnya ini membentuk watak yang tenang dan pendiam kepada diri anak itu. Cia Han Tiong yang mempunyai ayah yang tampan dan gagah, ibu yang cantik manis itu ternyata tidaklah memiliki wajah yang terlalu tampan. Wajahnya biasa saja, wajah yang tidak terlalu menonjol seperti wajah anak-anak lain di dusun itu, tidak terlalu tampan sungguhpun tidak dapat dikatakan buruk. Hidungnya agak pesek, matanya sipit, akan tetapi wajah yang biasa ini amat menyenangkan karena gerak-geriknya yang lembut, mulutnya yang selalu membayangkan keramahan dan sepasang mata sipit itu memiliki sinar yang bening tajam, kalau dia bicara, suaranya tenang halus dan jelas, dan apablia dia memandang wajah orang lain, dalam pandangannya itu terdapat rasa suka dan terbuka. Karena itu, sejak kecil Han Tiong amat disuka oleh semua orang yang mengenalnya. Sebagai putera seorang pendekar sakti, tentu saja semenjak kecil Han Tiong telah digembleng ilmu oleh ayahnya, juga ayah ibunya mengajarkan ilmu membaca dan menulis sedapat mereka karena mereka pun bukanlah ahli dalam ilmu ini. Di samping berlatih silat setiap hari, Han Tiong suka pula bekerja di ladang, dia suka bercocok tanam, merawat tanaman, dia suka berjalan-jalan seorang diri menikmati pemandangan alam, di waktu pagi-pagi sekali atau waktu senja, dia merasa sangat dekat dengan alam, menyayang binatang dan sikapnya selalu riang, yang nampak pada seri wajahnya, sinar mata dan senyumnya, walaupun dia adalah seorang anak yang pendiam dan tidak bicara kalau tidak perlu sekali. Bentuk tubuhnya juga sedang saja, sikapnya sederhana sungguhpun dia tahu bahwa ayahnya adalah seorang taihiap, seorang pendekar sakti yang disegani dan ditakuti lawan dan dihormat semua orang. Sikapnya yang sederhana ini justeru membuat semua orang merasa suka sekali kepadanya dan ke mana pun Han Tiong berada, orang-orang akan menyambutnya dengan sangat hormat dan gembira. Setelah Han Tiong berusia sebelas tahun, timbul kekhawatiran di dalam hati Sin Liong. Biarpun selama ini puteranya memperlihatkan sikap yang amat baik dan ternyata memiliki bakat besar dalam ilmu silat, namun dia tahu bahwa puteranya itu kurang memperoleh pendidikan dalam hal sastera dan kebatinan. Dia tidak sanggup untuk mengajarkan kedua hal itu lebih mendalam kepada puteranya. Dia tahu bahwa dia akan menurunkan ilmu-ilmu silat yang dahsyat kepada puteranya, akan tetapi dia tahu pula betapa besar bahayanya memiliki ilmu-ilmu silat dahsyat itu tanpa memiliki dasar watak yang kuat. Betapa banyaknya orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian silat tinggi lalu menyeleweng di dalam hidupnya, karena merasa memiliki sesuatu yang dapat diandalkan, memiliki kekuasaan atas orang lain dan karenanya lalu timbul penyelewengan dan sikap sewenang-wenang. Kalau dia membayangkan puteranya dapat menyeleweng seperti halnya kakak angkatnya, Ceng Han Houw misalnya, dia merasa lebih baik kalau puteranya itu tidak diwarisi ilmu-ilmu yang dahsyat itu. Akan tetapi kalau tidak diwariskan kepada puteranya, lalu untuk apa? Apakah hendak dibawanya sampai mati? Kekhawatiran dalam hati Sin Liong itu memang bukan tanpa alasan. Di dalam pengalaman hidupnya, pendekar ini sudah melihat betapa banyaknya orang-orang dengan kepandaian tinggi lebih mudah melakukan penyelewengan dan kejahatan dalam kehidupan mereka dibandingkan dengan orang-orang bodoh seperti orang-orang dusun umpamanya. Orang-orang yang tidak memiliki batin yang bersih amat mudah menyeleweng, apalagi orang-orang yang memiliki kepandaian silat, mereka mengisi hidupnya hanya dengan perkelahian, permusuhan dan dendam mendendam! Memang demikianlah, kemajuan ilmu pengetahuan bukannya mendatangkan berkah dalam kehidupan, bahkan sebaliknya mendatangkan malapetaka apabila tidak disertai dengan kemajuan di bidang batin. Kemajuan ilmu pengetahuan memberi kekuasaan yang lebih besar kepada manusia, dan tanpa batin yang bersih maka kekuasaan itu akan dipergunakan oleh manusia untuk mementingkan diri sendiri, mengejar kesenangan dan dengan kekuasaannya itu manusia akan membasmi manusia lain yang menghalang di depan, yang mengganggu usahanya untuk meraih kesenangan pribadi itu. Hal ini nampak dengan jelas di mana pun dalam dunia ini. Kemajuan ilmu haruslah disertai kemajuan batin, kalau tidak, maka kemajuan ilmu itu hanya akan mendatangkan bencana bagi manusia. Kekuasaan yang berada di dalam tangan manusia yang berbatin lemah hanya akan dipergunakan untuk mengumbar nafsu-nafsunya tanpa mempedulikan betapa untuk mencari kesenangan dia mempergunakan kekuasaan dari ilmu itu untuk mencelakakan orang lain. “Lalu apakah yang dapat kita lakukan?” Bhe Bi Cu berkata kepada suaminya pada suatu malam setelah suaminya itu mengeluarkan isi hatinya. “Di tempat seperti ini, mana ada orang yang akan mampu memberi pendidikan batin kepada anak kita? Siapa yang dapat menolong kita...?” “Aku ingat,” tiba-tiba Sin Liong berkata, “ada satu orang yang mungkin akan tepat sekali menjadi pendidik untuk Hai Tiong, entah dia masih berada di sana atau tidak.” “Siapa dia?” Bi Cu bertanya penuh gairah. “Dia adalah saudara misan sendiri, dia cucu luar dari mendiang Kakek Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai.” “Siapa sih?” “Dia Kanda Lie Seng yang kini telah menjadi hwesio. Kalau tidak salah, julukannya sekarang adalah Hong San Hwesio dan dia menjadi ketua Kuil Thian-to-tang di sebelah selatan kota raja.” “Ah, bagus sekali kalau begitu! Jadi, anak kita masih keponakannya sendiri.” “Memang sebaiknya kalau kita menyerahkan anak kita kepadanya untuk dididik selama beberapa tahun. Engkau tahu, aku belum berani mengajarkan ilmu-ilmu silat yang terlampau dahsyat kepada anak kita, sebelum dia memiliki dasar kebatinan yang kuat. Biarlah dia belajar di sana selama beberapa tahun, setelah dasarnya kuat, baru kita bahwa dia pulang.” “Aku setuju, biarpun tidak enak harus berpisah dari anak tunggal kita,” kata isterinya. “Bagus! Kalau engkau setuju, itu baik sekali. Sekarang bersiaplah, dalam pekan ini juga kita berangkat ke selatan bersama Han Tiong. Dia pun perlu memperluas pengetahuan dan pengalamannya dengan perjalanan jauh, bukan hanya terpendam saja di tempat sunyi ini.” “Apakah kita langsung saja ke kuil Thian-to-tang?” “Tidak, kesempatan ini kita pergunakan untuk mengunjungi keluarga. Sudah bertahun-tahun kita seperti orang-orang bertapa saja di tempat ini, tidak pernah mengunjungi dunia ramai, tidak pernah mengunjungi keluarga. Maka sekali ini, sekalian membawa Han Tiong merantau dan meluaskan pengalamannya, kita lebih dulu mengunjungi Cin-ling-san, lalu menengok Lan-moi dan Lin-moi di Su-couw, setelah itu baru kita mengantarnya ke kuil Hong San Hwesio atau Lie Seng Koko.” Wajah yang manis itu berseri gembira membayangkan perjalanan itu. Memang harus diakuinya bahwa selama berada di Istana Lembah Naga, Bi Cu merasa bahagia sekali di samping suaminya yang amat dicintanya, apalagi setelah terlahir Han Tiong, dan juga hidup sederhana di tempat itu bersama sekumpulan penghuni dusun-dusun yang jujur dan bersahaja, amatlah menyenangkan. Belum pernah dia mempunyai perasaan ingin mengunjungi tempat ramai di luar lembah. Akan tetapi begitu kini suaminya hendak mengajak dia dan putera mereka merantau, hatinya menjadi gembira bukan main dan nyonya muda ini segera berkemas dan dengan girang dia memberi tahu kabar gembira itu kepada Han Tiong yang menerima kabar itu dengan tenang-tenang saja, sungguhpun wajahnya menjadi berseri dan matanya bersinar-sinar. “Sudah lama aku ingin sekali bertemu dengan kakek, ibu,” katanya. “Benarkah kakek Cia Bun Houw adalah seorang pendekar yang tiada bandingannya di kolong langit? Dan bahwa Cin-ling-pai adalah perkumpulan yang paling besar di dunia?” Pada saat itu, Sin Liong memasuki ruangan dan mendengar pertanyaan puteranya, maka dia lalu duduk dan menjawab, “Kakekmu memang seorang pendekar sejati yang gagah perkasa, akan tetapi janganlah menganggap bahwa dia seorang pendekar yang tiada bandingannya di kolong langit. Gunung Thai-san yang menjulang tinggi menembus awan sekalipun tidak dapat dikatakan sebagai benda yang paling tinggi, karena ada langit di atasnya. Demikian pula Cin-ling-pai, memang merupakan perkumpulan silat yang amat baik dan terkenal, akan tetapi tidak perlu dikatakan paling besar di dunia. Ingatlah selalu bahwa memandang terlalu tinggi diri sendiri amatlah berbahaya, anakku. Hal itu akan mendatangkan watak besar kepala, sombong, dan memandang rendah pihak lain.” Anak itu mengangguk dan diam-diam, seperti biasa, dia mencatat semua kata-kata ayahnya itu di dalam hatinya dan dia melihat kebenaran dalam ucapan itu. “Ayah dan ibu telah banyak bercerita tentang kakek dan nenek di Cin-ling-pai, akan tetapi kata ibu tadi kita akan pergi mengunjungi Bibi Lan dan Bibi Lin, juga mengunjungi Paman Lie Seng di mana aku akan disuruh belajar ilmu. Siapakah mereka itu, ayah?” Memang selama ini Sin Liong hanya menceritakan keadaan Cin-ling-pai ke pada puteranya, maka tidaklah mengherankan kalau Han Tiong kini bertanya tentang mereka itu. Maka dengan singkat dia lalu memperkenalkan nama-nama itu kepada puteranya. “Bibimu Kui Lan dan Kui Lin adalah adik-adik tiri ayahmu satu ibu berlainan ayah. Mereka adalah dua orang wanita kembar yang kini sudah menikah dan bertempat tinggal di Su-couw. Telah belasan tahun aku tidak mendengar berita tentang mereka, maka sekali kita keluar dari lembah ini, aku ingin mengajak ibumu dan engkau perg mengunjungi mereka pula di Su-couw. Sedangkan Pamanmu Lie Seng itu sekarang telah menjadi seorang hwesio berjuluk Hong San Hwesio, ketua Kuil Thian-to-tang di sebelah selatan kota raja. Diapun seorang pendekar yang berilmu tinggi di samping dia seorang pendeta yang suci, oleh karena itu engkau harus belajar darinya barang beberapa tahun, Han Tiong.” Menyebut nama adik-adik tirinya itu, diam-diam Sin Liong membayangkan keadaan mereka dan diam-diam timbul perasaan rindunya. Dia amat sayang kepada adik-adiknya itu dan dia tidak tahu bagaimana keadaan mereka sekarang. Apakah mereka telah mempunyai anak? Ah, sungguh lucu rasanya membayangkan adik-adiknya itu mempunyai anak-anak! Dan tentu saja di dalam hatinya, pendekar ini merasa girang sekali membayangkan betapa akan gembiranya perjumpaannya dengan Kui Lan dan Kui Lin nanti. Akan tetapi pendekar ini tidak tahu apa yang telah terjadi dengan dua orang wanita kembar ini. Sudah hampir tiga belas tahun dia tidak pernah bertemu dengan dua orang adik kandung lain ayah itu. Seperti telah diceritakan dalam kisah Pendekar Lembah Naga, Kui Lan dan Kui Lin adalah adik-adiknya seibu berlainan ayah dan mereka berdua telah menikah. Perjumpaan Sin Liong dengan dua orang adiknya ini adalah ketika dia hadir dalam upacara pernikahan mereka. Untuk mengetahui apa yang telah terjadi dengan dua orang wanita kembar ini, sebaiknya kita menengok keadaan mereka di Su-couw. Seperti telah diceritakan dalam kisah Pendekar Lembah Naga, mendiang Kui Hok Boan, yaitu ayah tiri Sin Liong atau ayah kandung Kui Lan dan Kui Lin, bersama anak-anaknya itu pindah ke Su-couw atau lebih tepat lagi di dalam keadaan tidak waras ingatannya dibawa pergi ke Su-couw oleh dua orang puteri kembarnya itu. Kebetulan sekali, puteranya, atau kakak seayah berlainan ibu dari Lan dan Lin, yang bernama Beng Sin, juga berada di Su-couw dan Kui Beng Sin ini, putera Kui Hok Boan dari wanita lain lagi, juga menikah dengan seorang gadis Su-couw, bernama Ciook Siu Lan, putera seorang piauwsu dari Hek-eng-piauwkiok di Su-couw. Semua ini telah diceritakan dalam kisah Pendekar Lembah Naga. Kui Lan telah menikah dengan Ciu Khai Sun, seorang pendekar murid Siauw-lim-pai yang gagah perkasa dan bertubuh tinggi besar seperti tokoh Si Jin Kui. Sedangkan Kui Lin, adik kembarnya, menikah dengan Na Tiong Pek yang masih terhitung suheng dari Bi Cu di waktu mereka masih kecil, karena Bi Cu dirawat sejak kecil dan dididik oleh ayah dari Na Tiong Pek ini. Setelah menikah, Kui Lan ikut dengan suaminya, yaitu Ciu Khai Sun yang tetap tinggal di Su-couw, di rumah yang diberikan pamannya kepadanya. Sedangkan Kui Lin ikut suaminya, Na Tiong Pek yang memiliki perusahaan piauwkiok juga, yaitu Ui-eng-piauwkiok di Kun-ting, Propinsi Ho-pei. Maka berpisahlah dua orang wanita kembar itu ketika mereka menikah. Akan tetapi perpisahan itu tidak lama, hanya berjalan satu tahun. Hal ini adalah karena Ciu Khai Sun agak sukar memperoleh pekerjaan yang cocok dengan kepandaiannya, yaitu kepandaian silat tinggi yang dilatihnya semenjak dia masih kecil. Sedangkan di lain fihak, Na Tiong Pek membutuhkan bantuan orang pandai untuk memperkuat perusahaan piauwkiok (ekspedisi, pengawal barang). Oleh karena itu, dalam pertemuan di antara mereka Na Tiong Pek membujuk Ciu Khai Sun agar ipar ini suka membantunya. Dua orang wanita kembar itu ikut membujuk karena sebagai saudara kembar, tentu saja mereka akan merasa lebih senang kalau dapat hidup bersama, atau setidaknya tinggal di satu kota sehingga lebih mudah bagi mereka untuk saling berkunjung. Akhirnya, Ciu Khai Sun menerima bujukan Na Tiong Pek ini, apalagi mengingat bahwa baginya, pekerjaan menjadi piauwsu tentu saja amat cocok, sesuai dengan kepandaiannya. Bukan main girangnya hati Na Tiong Pek setelah Khai Sun bekerja membantunya. Khai Sun adalah seorang murid Siauw-lim-pai yang amat lihai, jauh lebih lihai daripada dia sendiri, oleh karena itu, masuknya Khai Sun di Ui-eng-piauwkiok tentu saja memperkuat nama piauwkioknya dan dia tidak takut lagi perusahaannya akan mengalami gangguan dari para penjahat karena ada jagoan yang boleh diandalkan. Maka selain memberi upah yang amat besar kepada Khai Sun, dia juga bahkan menarik Khai Sun sebagai pesero, dan menyerahkan kekuasaan kepada Khai Sun sebagai wakil ketua atau orang ke dua di dalam piauwkiok itu setelah dia sendiri. Pada permulaannya, perpindahan Khai Sun ke Kun-ting itu berjalan lancar dan kedua keluarga ini merasa berbahagia, terutama sekali Kui Lan dan Kui Lin. Setelah Kui Lan pindah ke Kun-ting dan tinggal di sebuah rumah yang tidak jauh letaknya dari rumah adik kembarnya, mereka dapat saling berkunjung setiap hari dan tentu saja bagi mereka berdua yang memiliki pertalian batin yang lebih kuat daripada saudara-saudara biasa, hal ini amat membahagiakan. NAMUN kehidupan manusia di dunia ini tidaklah kekal, dan kebahagiaan atau yang dianggap sebagai kebahagiaanpun tidak kekal adanya, sungguhpun segala peristiwa itu merupakan akibat daripada ulah manusia itu sendiri. Khai Sun yang merasa “ditolong” oleh adik iparnya itu, bekerja keras dan tidak mengenal lelah. Semua barang kiriman yang berharga, apalagi yang melalui tempat-tempat berbahaya, dikawalnya sendiri dan beberapa kali rombongan pengawal ini diganggu penjahat, namun gangguan dapat disapu bersih oleh Khai Sun yang gagah perkasa. Tentu saja Na Tiong Pek menjadi girang bukan main dan amat berterima kasih, sehingga setiap kali Khai Sun pulang dari perjalanan jauh mengawal barang berharga, tentu disambutnya dengan pesta kehormatan yang dirayakan oleh mereka berempat bersama para pembantu piauwkiok yang penting-penting saja. Dengan adanya Khai Sun, perusahaan itu memperoleh kemajuan pesat, memperoleh kepercayaan para bangsawari dan hartawan yang mengirim barang atau melakukan perjalanan bersama keluarga mereka dan membutuhkan pengawalan yang kuat. Tentu saja keuntungan yang mereka peroleh menjadi semakin besar sehingga dalam waktu setahun saja Khai Sun sudah dapat membangun rumahnya dan hidup serba kecukupan. Pendeknya dua keluarga ini menjadi semakin makmur. Akan tetapi, hal yang buruk adalah bahwa dengan adanya Khai Sun, Tiong Pek menjadi keenakan dan malas! Dia menyerahkan urusan-urusan penting kepada kakak ipar itu, dan dia sendiri bermalas-malasan dan dalam keadaan makmur ini, timbullah pula penyakit yang memang sejak muda menggeram dalam sanubari Na Tiong Pek. Dia mulai mengejar kesenangan, terutama sekali mencari hiburan antara wanita-wanita cantik dengan mempergunakan hartanya. Memang sejak muda remaja dahulu, Na Tiong Pek memiliki kelemahan terhadap wajah cantik wanita. Kini, setelah makmur dan banyak menganggur, mulailah dia mengumbar hawa nafsunya. Hal ini lambat-laun diketahui oleh isterinya dan Kui Lin mulai merasa sakit hati dan marah. Dengan marah dia menegur suaminya dan setiap kali ditegur oleh isterinya, Tiong Pek kelihatan jinak di rumah dan tidak berani banyak keluar. Akan tetapi, diam-diam hatinya tersiksa dan nafsunya bergulung-gulung di dalam batin. Karena halangan ini, maka mulailah dia menujukan pandang matanya yang ceriwis dan mata keranjang itu kepada Kui Lan! Memang hampir setiap hari kedua orang saudara kembar ini saling mengunjungi, bahkan kalau Khai Sun sedang melakukan tugas mengawal barang yang jauh sehingga sampai beberapa hari meninggalkan rumah, Kui Lan kadang-kadang suka bermalam di rumah adik kembarnya. Wajah keduanya hampir tiada bedanya, dan sesungguhnya, tidak ada sesuatu pada diri Kui Lan yang tiada ada pada diri Kui Lin. Daya tarik, kecantikan dan kemanisan mereka itu sesungguhnya tidak berbeda. Akan tetapi, tetap saja bagi Tiong Pek, Kui Lan lebih menggairahkan! Memang beginilah watak manusia pada umumnya. Buah pisang yang tumbuh di kebun orang lain nampaknya lebih lezat daripada buah pisang di kebun sendiri. Bunga mawar di taman orang nampak lebih indah dan harum daripada bunga mawar di taman sendiri. Isteri orang nampak lebih menggairahkan daripada isteri sendiri! Padahal, Kui Lan dan Kui Lin hampir sama segala gerak-geriknya. Manusia sejak kecil telah terdidik untuk menjangkau yang lebih, yang dianggap lebih menyenangkan daripada apa yang sudah ada! Oleh karena inilah, semenjak kecil manusia tanpa disadari telah terdidik untuk tidak menghargai apa yang telah dimilikinya dan matanya selalu tertuju ke luar, kepada apa yang belum ada, yang belum dimilikinya. Selalu ingin lebih pandai, ingin lebih besar, ingin lebih tinggi, lebih kaya, lebih senang, lebih bahagia, dan segala yang “lebih” lagi. Semua keinginan ini menciptakan perasaan kurang puas dan tidak dapat menikmati apa yang ada, dan semua keinginan ini dihias dengan sebutan-sebutan indah seperti cita-cita, kemajuan dan sebagainya. Padahal, menginginkan sesuatu yang belum ada dan yang dimilikinya ini merupakan pangkal segala macam perbuatan jahat, korupsi, dan sebagainya, karena dorongan keinginan untuk memperoleh sesuatu yang belum dimilikinya itu membutakan mata batin sehingga tidak segan-segan lagi untuk melakukan pelanggaran apapun demi memperoleh yang diidam-idamkannya. Na Tiong Pek mulai dimabuk nafsunya sendiri. Dalam penglihatannya, segala gerak-gerik Kui Lan nampak luar biasa manis dan cantiknya, seperti bidadari yang baru turun dari sorga saja! Dengan berbagai akal mulailah dia mendekati Kui Lan, dengan sikap yang luar biasa manisnya, dengan pancingan-pancingan omongan. Namun, Kui Lan adalah seorang wanita yang mencinta suaminya dan keras hati, dan tidak mudah ditundukkan oleh rayuan dan sikap manis. Juga dia tidak mempunyai sangkaan buruk, mengira bahwa memang suami adik kembarnya itu seorang yang manis budi dan ramah! Dorongan nafsu berahi yang semakin diperkuat oleh khayal pikirannya, membayarigkart betapa nikmat dan senangnya kalau dia dapat berhasil memiliki tubuh Kui Lan, membuat Tiong Pek menjadi semakin nekat. Pada suatu hari, dia melihat Kui Lan seorang diri di ruangan belakang, sedang menyulami kain yang akan dipergunakannya untuk alas meja di rumahnya. Hawa pada siang hari itu agak panas dan isterinya, Kui Lin, sedang tidur siang di kamarnya. Hawa yang panas dan ketekunannya menyulam membuat wajah Kui Lan yang menunduk dan memperhatikan sulamannya itu kemerahan dan ada sedikit keringat membasahi dahi dan lehernya. Jari-jari tangannya yang mungil dan runcing itu bergerak-gerak cekatan sekali menggerakkan jarum sulam dan saking asyiknya, wanita muda ini menggigit bibir bawahnya. Kadang-kadang dia berhenti untuk menghapus peluh dari dahi dan lehernya, membuka sedikit belahan baju di leher sehingga nampak Kuiit lehernya yang putih mulus dan berkilat karena agak basah oleh keringat itu. Dia sama sekali tidak sadar bahwa dari balik pintu, sepasang mata mengikuti gerak-geriknya dengan berkilat-kilat penuh nafsu! Mata itu adalah milik Na Tiong Pek yang pada siang hari itu timbul kembali gairahnya, apalagi melihat isterinya sedang tidur dan wanita yang membuatnya tergila-gila, yaitu kakak kembar isterinya, sedang berada di ruangan itu sendirian saja! Kebetulan sekali Kui Lan memakai pakaian yang sama dengan yang dipakai isterinya! Memang semenjak Kui Lan tinggal sekota, apalagi kalau kebetulan Kui Lan tinggal di rumah Kui Lin selagi suaminya bertugas keluar kota, seperti hari ini, Kui Lan dan Kui Lin hampir selalu mengenakan pakaian yang sama. Inilah kesempatan baik bagiku, pikir Tiong Pek, untuk mempergunakan kesempatan itu, menyampaikan gairah nafsunya dan juga untuk “menguji” hati Kui Lan! Telah diperhitungkan baik-baik apa yang hendak dilakukan, dan semua kecerdikan dan akal ini timbul di waktu nafsu mendorongnya dan membuatnya menjadi buta akan segala hal, karena dalam dorongan gairah nafsu, yang ada hanyalah melaksanakan dan memuaskan hasrat keinginannya itu saja! Tentu saja dia tidak berani menggunakan kekerasan terhadap Kui Lan, pertama karena wanita ini memiliki kepandaian silat yang cukup tinggi dan dia sendiri belum tentu akan dapat mengatasinya, apalagi kalau diingat bahwa suami wanita ini lihai bukan main! Tidak, dia tidak akan begitu bodoh, pikirnya, dan mulailah dia melaksanakan siasat cerdik yang diaturnya dengan cepat itu. Dengan hati-hati sekali, dan berindap-indap, degup jantungnya terdengar memenuhi kedua telinganya karena tegang, dia menghampiri wanita itu dari arah belakang, hati-hati sekali dia berjalan mengelilingi meja kursi sampai akhirnya dia berdiri di belakang Kui Lan yang masih menyulam dan duduk di atas bangku itu. Tiong Pek menahan napas, kemudian dengan tiba-tiba saja dia merangKui leher yang berKuiit putih mulus itu, kedua tangan merangKui pundak dan dia berbisik mesra, “Lin?mol, isteriku sayang... ah, betapa aku cinta padamu...” Tentu saja Kui Lan terkejut bukan main. Kain yang disulamnya terlepas dan dia mengangkat muka, akan tetapi sebelum dia sempat bicara, tahu-tahu Tiong Pek telah mencium mulutnya yang setengah terbuka, membuat dia tak dapat mengeluarkan suara! Saking kagetnya, Kui Lan seperti menjadi kaku seketika, semangatnya melayang dan dia hampir pingsan! Akan tetapi dia sadar kembali dan cepat dia mendorong dengan kedua tangannya kepada dada Tiong Pek dan meloncat berdiri, mukanya merah sekali dan matanya terbelalak. “Aih, isteriku... aku... aku ingin sekali...” Tiong Pek bersandiwara, masih menikmati ciuman yang dicurinya dan dilakukannya semesra-mesranya tadi. “I-thio... ini aku... Kui Lan...!” Kui Lan akhirnya bisa berkata dan muka yang tadinya merah seperti udang direbus itu berubah pucat sekali ketika dia teringat apa yang telah dilakukan oleh iparnya itu kepadanya tadi. Tiong Pek pandai bersandiwara. Dia terbelalak, melangkah mundur tiga langkah, memandang penuh perhatian, kemudian dia menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki Kui Lan! “Ahh... Lan-i... maafkan aku... ampunkan aku... ah, kusangka bahwa engkau adalah Lin-moi isteriku... ah, sungguh aku menyesal sekali...” Kedua kaki Kui Lan masih menggigil, jantungnya berdebar keras dan tubuhnya terasa panas dingin. Betapapun juga, dia telah dapat menguasai dirinya, maklum bahwa iparnya ini telah keliru sangka dan salah mengenal orang. Memang sering kali iparnya ini keliru, kadang-kadang mengajaknya bicara sebagai isterinya! Dia tidak tahu bahwa hal itu memang disengaja oleh Tiong Pek yang sesungguhnya dapat membedakan mereka dengan baik! Bahkan sepekan yang lalu, pernah Tiong Pek bicara kepadanya sambil berbisik “Isteriku, terima kasih semalam tadi engkau sungguh mesra...” dan tentu saja ucapan itu membuat Kui Lan menjadi merah mukanya dan cepat memperkenalkan diri. Semua kesalahan sangka dari Tiong Pek itu tentu saja membuat Kui Lan mengerti bahwa sekali inipun Tiong Pek telah salah lihat, jadi tidak mungkin dia terlalu menyalahkannya! Kini melihat suami adiknya itu berlutut dan minta ampun, lenyaplah kemarahannya, sungguhpun dia merasa betapa perbuatan tadi sungguh sudah keterlaluan sekali dan akan terjadi geger kalau sampai terlihat oleh orang lain. Bayangkan saja andaikata Kui Lin atau suaminya melihat dia dicium seperti itu oleh Tiong Pek! “I-thio (sebutan untuk summi saudara perempuan), lain kali jangan engkau begitu ceroboh!” tegurnya. “Maaf, I-i... maaf, ah, aku layak mampus! Mataku seperti telah buta... akan tetapi sudilah engkau memaafkan aku dan tidak memberitahukan kebodohanku ini kepada orang lain...” “Tentu saja... asal lain kali engkau jangan begitu ceroboh lagi, I-thio.” Kata Kui Lan yang segera meninggalkan laki-laki yang masih berlutut itu. Pengalaman ini membuat gairah nafsu di dalam hati Tiong Pek semakin berkobar! Dianggapnya bahwa ketidakmarahan Kui Lan itu sebagai tanda bahwa wanita itu diam-diam memang menyambut cintanya! Dan dia seperti masih terus merasakan kelembutan bibir Kui Lan yang diciumnya tadi. Makin dibayangkan, makin mesra dan menyenangkan pengalaman itu, makin mendesaknya untuk mendapatkan yang lebih daripada itu! Demikianlah terciptanya gelora segala macam nafsu dan gairah. Dari pikiran! Pikiran mengunyah-ngunyah pengalaman dalam kenangan memupuk dan bahkan membumbui dengan khayal sehingga pengalaman yang menyenangkan itu dianggap semakin hebat lagi, mempunyai daya tarik yang amat kuat sehingga mendorong kita untuk mengulangnya. Kenikmatan yang pernah dirasakan itu dikunyah-kunyah, terbayang semakin nikmat dan timbullah keinginan untuk mengalami kembali yang membuat kita mengejar-ngejar hal yang merupakan bayangan kesenangan hebat itu. Pikiran adalah sumber segala macam nafsu keinginan, hal ini dapat dilihat dengan jelas. Pikiran yang membayangkan kembali hal-hal yang lalu, mengenang kembali hal-hal yang menyenangkan, dan pikiran pula yang membayangkan hal-hal yang belum ada, dibayangkan sebagai sesuatu yang amat hebat dan nikmat dan menyenangkan. Pikiran menimbulkan nafsu-nafsu. Pikiran pula yang membanding-banding, menimbulkan perasan iri. Pikiran pula yang membayangkan hal-hal yang belum ada, hal-hal buruk yang mungkin menimpa kita, menimbulkan rasa takut. Dapatkah kita bebas daripada pikiran yang mengenang-ngenang itu? Bukan berarti kita tidak harus mempergunakan pikiran. Pikiran mutlak perlu bagi kehidupan kita akan tetapi pada tempatnya yang benar, dalam melakukan pekerjaan dan sebagainya. Namun, sekali kita membiarkan pikiran mengenang-ngenang, membanding-banding, memasuki hati, merajuk urusan batin, maka akan terjadilah kekacauan dan akan bangkitlah segala nafsu-nafsu yang menguasai semua tindakan kita. Makin dibayangkan oleh Tiong Pek, makin hebatlah pengalaman tadi, mendorongnya untuk memperoleh yang lebih dari itu! Nafsu berahi, seperti segala macam nafsu-nafsu keinginan untuk memperoleh kepuasan dan kesenangan, amatlah kuatnya dan kadang-kadang membutakan mata kita, mata lahir maupun mata batin. Yang nampak hanya bayangan kesenangan itu saja, yang amat menyilaukan. Apa lagi karena isterinya telah beberapa pekan ini sering kelihatan tidak senang dan marah-marah kepadanya, berhubung dengan seringnya dia keluar rumah dan mengumbar kesenangan di luar rumah. Sementara itu, pengalaman tadi membuat Kui Lan menjadi tidak tenang. Ada kemarahan berkobar di dadanya, kalau saja dia tidak yakin benar bahwa Tiong Pek memang salah mengenalnya dan mengira dia Kui Lin, tentu dia sudah turun tangan dan agaknya mau rasanya dia membunuh pria itu! Mengingat akan ciuman yang begitu mesra, begitu penuh nafsu, mukanya menjadi panas sekali rasanya. Akan tetapi, bagaimana mungkin dia akan marah atau menyatakan kemarahannya secara berterang? Tiong Pek tidak sengaja, jadi tidak bisa terlalu disalahkan. Dan selain itu, Tiong Pek adalah penolongnya, penolong suaminya, telah berjasa dalam mengangkat kehidupan suaminya! Dan juga, kalau sampai peristiwa yang terjadi tadi, peristiwa yang terjadi di luar kesengajaan dan hanya karena kesalahan Tiong Pek mengenalnya saja, terdengar oleh Kui Lin, bukankah hal itu berarti bahwa dia akan menyakitkan hati adik kembarnya itu? Dan mungkin sekali rumah tangga adiknya akan menjadi retak! Dia tahu bahwa suaminya adalah seorang bijaksana dan andaikata suaminya mendengar akan hal itu, dengan hatinya yang terbuka dan jujur itu tentu suaminya hanya akan tertawa dan menganggap hal itu amat lucu. Suaminya amat mencintanya dan dia tahu bahwa cinta suaminya itu bersih, tanpa cemburu seperti cintanya kepada suaminya. Betapapun juga, peristiwa itu membuat Kui Lan merasa tubuhnya lemas karena terjadi keguncangan dalam hatinya, terjadi pertentangan-pertentangan dan penekanan-penekanan maka sehabis makan malam bersama adik kembarnya, dia terus saja memasuki kamarnya dengan dalih bahwa kepalanya terasa agak pening. Dia tidak ingin gejolak batinnya akan nampak pada wajahnya dan Kui Lin yang amat peka perasaannya terhadap dia itu akan bertanya-tanya. Andaikata dia pada siang harinya tidak sudah berjanji akan tidur di rumah adiknya ini, tentu dia akan pulang saja. Akan tetapi, kalau mendadak menyatakan pulang padahal suaminya belum kembali dari perjalanan keluar kota, tentu malah akan mendatangkan kecurigaan Kui Lin saja! Demikianlah, sore-sore dia telah memasuki kamarnya dan kelelahan batin membuat dia bahkan cepat tidur pulas. Kalau Kui Lan dapat tidur nyenyak dengan mudahnya karena batinnya lelah, sedangkan Kui Lin juga dapat tidur nyenyak karena tidak menyangka sesuatu, adalah Tiong Pek yang gelisah dan tidak dapat tidur sama sekali di samping isterinya. Hati dan pikirannya penuh dengan bayangan peristiwa siang tadi ketika dia mencium bibir Kui Lan! Dan memang sejak siang tadi dia sudah mengatur rencana! Khai Sun sedang bertugas jauh, sedikitnya lima hari lagi baru akan pulang. Dan Kui Lan berada di situ, di dalam kamar sendirian saja, dan melihat gelagatnya siang tadi, agaknya Kui Lan mudah memaafkannya dan tidak marah, tentu wanita itu pun menderita kesepian dan akan menerimanya dengan girang walaupun di luarnya kelihatan marah! Semua ini terbayang di benaknya sejak siang tadi dan diam-diam dia pun sudah mengatur rencana sebaik-baiknya. Ketika dia melihat bahwa isterinya sudah tidur nyenyak, hal ini diketahuinya dari pernapasan yang halus sejak tadi, dia lalu turun dari pembaringan dengan hati-hati sekali! Ketika itu sudah lewat tengah malam dan keadaan sudah amat sunyi. Hawa yang masuk ke dalam kamar dari lubang-lubang di atas jendela mendatangkan hawa dingin yang membuat Kui Lin tidur semakin nyenyak lagi. Dengan berjingkat-jingkat akhirnya Na Tiong Pek dapat keluar dari kamarnya dan menghampiri kamar di mana Kui Lan tidur sendirian. Sebetulnya kamar itu tidak berapa jauh letaknya dari kamar Kui Lin, akan tetapi karena nafsu berahi sudah memuncak dan membikin mata buta, Tiong Pek tidak peduli akan semua kenyataan ini. Suasana amat sunyi dan semua pelayan sudah tidur di bagian belakang. Dengan hati-hati dia menghampiri kamar Kui Lan dan mendengarkan di dekat jendela kamar. Dia tahu bahwa pembaringan di dalam kamar itu berada di dekat jendela. Dengan mencurahkan perhatiannya, dia dapat menangkap pernapasan halus dan tahulah dia bahwa wanita itupun telah tidur. Dengan jari-jari tangan gemetar dan jantung berdebar penuh ketegangan dan nafsu, dia lalu mengeluarkan tiga batang hio (dupa biting) dan dinyalakannya dupa-dupa itu, kemudian dupa-dupa yang bernyala itu dia sisipkan di antara celah-celah jendela, dimasukkan ke dalam kamar sehingga kini tiga batang dupa itu melepaskan asapnya yang harum ke dalam kamar. Tiong Pek memegangi ujung biting dupa itu di luar jendela sambil tersenyum simpul dan matanya berkilat-kilat, bibirnya agak gemetar tanda bahwa hatinya tegang sekali. Sebetulnya, Tiong Pek bukanlah sebangsa penjahat yang suka mempergunakan asap pembius. Akan tetapi, pekerjaannya sebagai piauwsu membuat dia banyak berkenalan dengan penjahat-penjahat dan dari seorang Jai-hoa-cat yang juga seorang maling dia memperoleh hio-hio itu. Jai-hoa-cat (penjahat tukang memperkosa wanita) itu mempergunakan asap hio untuk membius pemilik rumah yang akan dimalinginya, atau wanita dalam kamar yang akan diperkosanya. Kini Tiong Pek, dalam keadaan buta oleh gejolak nafsu berahi, mempergunakan alat yang keji ini untuk mengirim asap hio pembius ke dalam kamar Kui Lan! Dia membiarkan hio itu terbakar sampai habis dan dengan girang dia mula-mula mendengar suara Kui Lan terbatuk-batuk, kemudian pernapasan wanita itu terdengar semakin berat dan panjang, tanda bahwa wanita itu sudah terbius dan berada dalam keadaan pulas benar-benar! Maka dia pun Lalu membuka jendela itu, dan menggunakan saputangan basah menutupi hidung dan mulutnya, memasuki kamar dan menggunakan jubahnya untuk mengusir asap yang memenuhi kamar itu keluar. Setelah asap yang mengandung bius itu terbang keluar dan kamar itu bersih kembali, dia menutupkan lagi daun pintu dan dalam keadaan tergesa-gesa dan tegang, dia tidak menguncikan daun jendela, hanya merapatkannya saja. Kamar itu gelap, hanya mendapatkan penerangan dari luar sehingga agak remang-remang. Dia melihat tubuh Kui Lan rebah terlentag dan hatinya tidak dapat menahan lagi. Ditubruknya wanita itu dengan penuh gairah dan Kui Lan tidak mampu bergerak melawan, bahkan dia berada dalam keadaan tidak sadar sehingga mudah bagi Na Tiong Pek untuk melakukan apa saja sesuka hatinya. Peristiwa yang kotor dan menjijikkan terjadilah di dalam kamar itu, menimpa diri Kui Lan yang berada dalam keadaan tidak sadar sama sekali akan apa yang terjadi pada dirinya. Nafsu membuat manusia menjadi lupa segala, dan celakanya, makin dituruti nafsu itu, bukannya dia mereda, bahkan menjadi semakin berkobar dan selalu menghendaki yang lebih lagi daripada yang telah didapatkannya! Na Tiong Pek lupa diri sehingga sampai malam terganti pagi, dia masih berada di dalam kamar itu. Dia lupa bahwa dia telah mengusir keluar asap bius sehingga kekuatan obat bius itu tidak bertambah dan kini mulailah Kui Lan bergerak dan mengeluh, akan tetapi hal ini tidak menakutkan Tiong Pek yang mengira bahwa setelah kini dia berhasil memiliki tubuh Kui Lan tentu wanita ini akan menyerahkan diri dengan suka rela! Maka dia pun masih memeluk tubuh wanita itu. Kui Lan membuka matanya dan mula-mula dia tidak sadar, mengira bahwa dia berada dalam pelukan suaminya. Akan tetapi ketika dia melihat wajah pria yang merangkulnya itu di dalam cuaca yang remang-remang, dia menjerit dan meronta, lalu bangkit duduk! Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia mengenal Na Tiong Pek dan melihat betapa tubuhnya tidak berpakaian sama sekali, seperti juga tubuh Na Tiong Pek! Seketika tahulah dia apa yang telah terjadi! “Jahanam! Keparat hina-dina... ouhhh, engkau jahanam laknat...!” Kui Lan menjerit-jerit dan tanpa mempedulikan dirinya yang masih telanjang bulat dia sudah menyerang dengan pukulan-pukulan dahsyat ke arah kepala dan dada Na Tiong Pek! Mula-mula Na Tiong Pek tersenyum ketika melihat Kui Lan terbangun, akan tetapi betapa kagetnya, melihat reaksi wanita ini. “I-i... eh, Kui Lan... sssttt, jangan ribut... sudah terlanjur... aku... aku cinta padamu...” “Jahanam...!” Kui Lan menyerang lagi ketika pria itu mengelak dan kini terjadilah perkelahian di dalam kamar itu, perkelahlan yang terjadi dengan seru antara dua orang yang sama sekali tidak berpakaian! “Ssst, Kui Lan... kau akan mengejutkan semua orang... kita berpakaian dulu...” Tiong Pek membujuk dan mulai merasa khawatir, akan tetapi Kui Lan terus menyerangnya sambil menangis. “Dukk!” Sebuah tendangan kaki Kui Lan mengenai paha Tiong Pek dan pria ini terhuyung ke belakang dan terguling ke atas pembaringan. Kui Lan mengejar, menubruk dengan kedua tangan menghantam sekuatnya. “Bukk!” Hanya bantal dan kasur yang kena dihantamnya karena Tiong Pek sudah menggulingkan tubuhnya turun dari pembaringan dan kini karena dia didesak dan diserang secara bertubi-tubi, dia mencari jalan untuk melarikan diri. Akan tetapi celakanya, Kui Lan terus menyerangnya dan agaknya Kui Lan juga tahu akan maksudnya, maka wanita itu selalu mencegahnya melarikan diri melalui jendela atau pintu. “Kui Lan... aduhhh, Kui Lan... sudah terlanjur... mengapa engkau mengamuk...?” Tiong Pek menjadi takut sekali. “Brakkkkk...!” Tiba-tiba daun pintu terpental dan terbuka, dan tubuh Kui Lin sudah meloncat masuk. Wanita ini membawa pedang dan wajahnya pucat karena dia tadi terkejut bukan main mendengar suara ribut-ribut dan cepat dia mengambil pedang dan melihat bahwa suaminya tidak berada di sisinya, dia cepat lari keluar dan mendengar suara perkelahian di dalam kamar encinya, dia cepat menerjang jendela dan memasuki kamar itu. Biarpun cuaca remang-remang, namun Kui Lin dapat melihat betapa suaminya yang telanjang bulat itu diserang dengan gencar oleh encinya yang juga bertelanjang bulat! “Apa... apa yang terjadi...?” tanyanya dengan suara gemetar. “Enci Lan... apa yang telah terjadi...?” Dia bertanya sambil memandang mereka berganti-ganti, seolah-olah tidak percaya akan apa yang dilihatnya dan diduganya. Tiba-tiba Kui Lan menangis, mengguguk menutupi mukanya. “Hu-huu-huuuhh... dia... dia membiusku dan... dan... menodaiku... hu-hu-huuuhh...” Pengakuan ini seperti sebatang pedang yang menusuk jantung Kui Lin. Wajahnya menjadi semakin pucat dan matanya terbelalak memandang ke arah suaminya. “Kau... kau... jahanam busuk...!” Dan Kui Lin sudah menerjang ke depan, menusukkan pedangnya ke arah dada suaminya! “Eeiiiiitt... sabar dulu, Lin-moi...!” Tiong Pek mengelak dan dengan gugup menyabarkan isterinya. Akan tetapi alasan apa yang dapat dikemukakannya? Dia tertangkap basah dan tidak mungkin lagi dia mengatakan salah lihat! “Sabar? Manusia berhati binatang, engkau telah merusak segala-galanya, engkau layak mampus!” Dan Kui Lin kembali menerjang dengan pedangnya. Na Tiong Pek menyambar bangku dan menangkis, lalu terpaksa balas menyerang. Melihat betapa pria yang telah menodainya itu malah berani menyerang Kui Lin, kemarahan Kui Lan memuncak dan dia pun menyambar pedang yang digantungkannya di dalam kamar itu. Dia memang masih membawa pedang kalau datang bertamu karena dia suka berlatih pedang dengan adik kembarnya. Kini tanpa kata-kata lagi dia pun membantu adiknya menyerang Na Tiong Pek! Tentu saja Tiong Pek menjadi bingung sekali dan karena bujukan-bujukannya dan permohonan ampunnya tidak berhasil, diapun lalu melawan sekuat tenaga. Akan tetapi dengan kecepatan kilat, ujung pedang Kui Lan berhasil menusuk lengannya, membuat bangku itu terlepas dari pegangannya dan saat itu, pedang Kui Lin menyambar dan menusuk memasuki perutnya! “Aduhhh...!” Tiong Pek terhuyung dan hendak lari ke pintu, akan tetapi pedang di tangan Kui Lan menyambar dan menusuk dada menembus jantung! Dia roboh terkapar dan darah bercucuran dari perut dan dadanya. Melihat ini, dua orang wanita itu saling memandang dan terbelalak. Kemudian Kui Lan melepaskan pedangnya dan berbisik, “Ya Tuhan... kita... kita telah membunuhnya...” Kui Lin bersikap tenang. Dia melemparkan pedangnya dan berkata. “Dia sudah layak mampus! Enci Lan, cepat berpakaian!” katanya. Baru teringat oleh Kui Lan bahwa dia masih telanjang bulat, maka sambil terisak dia lalu mengenakan pakaiannya, sedangkan Kui Lin dengan air mata bercucuran juga mulai mengenakan pakaian suaminya pada mayat suaminya yang mandi darah. Setelah selesai, kembali mereka saling pandang dan melihat wajah masing-masing yang pucat dan basah, keduanya lalu saling tubruk dan saling rangkul sambil menangis sesenggukan dengan hati hancur luluh. Tiba-tiba Kui Lan merenggutkan rangkulannya dan melangkah mundur, memandang adiknya dengan mata terbelalak, kemudian berkata dengan bisikan parau, “Aku layak mati...” Dia mengambil pedangnya yang berada di atas lantai dan menggunakan pedang itu untuk menggorok leher sendiri! “Enci Lan...!” Kui Lin dengan cepat sekali sudah menubruk, merampas pedang dan membuang pedang itu ke atas pembaringan. “Apa yang akan kaulakukan ini?” bentaknya. Kui Lan menangis. “Untuk apa aku hidup lagi...? Aku sudah ternoda... dan aku telah membunuh suamimu... aku telah menghancurkan kebahagiaanmu... aku layak mati, jangan kauhalangi aku...” Kui Lan meronta, akan tetapi Kui Lin memeluknya dengan ketat sambil menangis, tidak membiarkan encinya melepaskan diri. “Enci Lan, jangan... jangan kaulakukan itu...” “Apa gunanya aku hidup? Dia... dia membiusku dengan asap harum... dan dalam keadaan tidak sadar dia... dia menodaiku... Adikku, apa gunanya lagi aku hidup dan bagaimana aku dapat menghadapi suamiku?” “Enci Lan, apakah hanya dirimu sendiri saja yang kaupikirkan?” Tiba-tiba Kui Lin melepaskan rangkulannya. “Engkau hendak membunuh diri sekarang setelah apa yang telah terjadi? Enak saja engkau, mau melarikan diri dan kemudian membiarkan aku hidup sendiri menanggung semua aib ini di pundakku? Dia akan mati dalam caci-maki orang, dikatakan manusia jahanam, dan engkau akan mati dalam keadaan terhormat, sebagai isteri yang setia dan baik, dan aku? Aku akan hidup menjadi cemoohan kanan kiri? Enci Lan, sekejam itukah hatimu kepadaku? Apa kaukira hatiku tidak hancur lebur dengan terjadinya peristiwa ini? Dan aku pula yang telah kehilangan suami, kehilangan rumah tangga, kehilangan kebahagiaan? Engkau mau lari meninggalkan aku hidup menderita seorang diri? Nah, kalau memang engkau sekejam itu, lakukanlah niatmu, biar aku yang... hidup... merana dan menanggung semua aib...!” Kui Lin menangis tersedu-sedu dan Kui Lan berdiri dengan muka pucat memandang adiknya. Baru dia sadar bahwa penderitaan batin adiknya itu sebenarnya jauh lebih hebat daripada dia! “Lin-moi...!” Dia menubruk dan keduanya sudah saling merangkul dan bertangisan lagi. Sementara itu, di luar kamar mulai terdengar ribut-ribut karena para pelayan sudah terbangun mendengar suara ribut-ribut itu. Mendengar ini, Kui Lin lalu merangkul kakaknya dengan erat sambil berbisik, “Enci, apa pun yang terjadi sekarang, kita hadapi berdua, hidup atau mati. Setuju?” Kui Lan mengangguk pasrah. “Kalau begitu, serahkan segala-galanya kepadaku,” bisik Kui Lin lagi dan dia pun membuka daun pintu dan masih dalam keadaan menangis. Juga Kui Lan hanya bisa menangis di belakang Kui Lin. Ketika para pelayan melihat keadaan dalam kamar itu yang awut-awutan seperti bekas dipakai berkelahi, dan melihat majikan mereka menggeletak di atas lantai mandi darah, mereka terkejut sekali. Para pelayan wanita menjerit dan menangis. Sambil terisak Kui Lin lalu menceritakan kepada mereka bahwa semalam rumah mereka didatangi penjahat. Penjahat itu hendak mencuri dan memasuki kamar di mana Kui Lan tidur. Kui Lan terbangun dan melawan penjahat sambil berteriak-teriak. Dia dan suaminya terbangun dan membantu Kui Lan. “Akan tetapi penjahat itu lihai sekali, suamiku roboh dan tewas sedangkan kami berdua tidak mampu nmnangkapnya.” Cerita nyonya majikan mereka itu tentu saja mereka percaya sepenuhnya den seisi rumah lalu sibuk merawat jenazah itu dan pagi hari itu jenazah sudah dimasukkan ke dalam peti dan semua orang bersembahyang dan berkabung. Peti jenazah itu tidak akan dikubur sebelum Ciu Khai Sun pulang dan menanti pulangnya suaminya ini, jantung Kui Lan berdebar penuh ketegangan, kekhawatiran dan kedukaan. Hanya karena adanya Kui Lin saja maka wanita ini tidak mengambil keputusan nekat. Rasanya dia tidak sanggup untuk menemui suaminya lagi, akan tetapi Kui Lin menghiburnya, bahkan menyatakan bahwa kalau encinya tidak sanggup menceritakan kepada suaminya, dialah yang akan menghadapi suami encinya itu. Betapapun juga, nyonya muda ini merasa hatinya hancur dan dia selalu merasa ketakutan, merasa seolah-olah dirinya kotor dan tidak berharga untuk suaminya. Dia telah ternoda, tercemar dan kotor! Bukan itu saja, dia malah telah membunuh suami adiknya, dia telah menghancurkan kehidupan adik kembarnya! Hal ini lebih menyakitkan hatinya lagi dan nyonya ini selalu mencucurkan air mata, seolah-olah tidak akan ada habisnya sumber air matanya. Memang demikianlah kehidupan manusia di dunia ini. Seperti berputarnya bumi, seperti beredarnya matahari, sebentar terang sebentar gelap. Hidup ini nampaknya seolah-olah begitu penuh dengan penderitaan, kekecewaan, penyesalan, kesengsaraan yang tumpang-tindih. Ada kadang-kadang datang suka ria, akan tetapi hanya seperti selingan kilat di waktu hujan gelap saja. Manusia hidup seakan-akan dibayangi oleh duka nestapa selamanya. Semua hal yang dikejar-kejarnya mati-matian, dengan pengorbanan macam-macam, bahkan yang kadang-kadang dalam pengejaran itu tidak sungkan-sungkan untuk memperebutkan dengan orang lain, kalau perlu menjatuhkan orang lain, mencelakainya, bahkan membunuhnya, setelah terdapat ternyata tidaklah mendatangkan kebahagiaan seperti yang diharapkan atau dibayangkannya semula! Si miskin membayangkan bahwa kalau dia memiliki harta banyak, hidupnya akan menjadi bahagia. Namun si kaya tidak lagi merasakan kebahagiaan lewat hartanya! Rakyat kecil membayangkan bahwa kalau dia memiliki kedudukan tinggi, hidupnya akan menjadi bahagia. Namun para pembesar tidak lagi merasakan kebahagiaan lewat kedudukannya, bahkan sebaliknya, kebanyakan dari mereka menderita banyak kepusingan karena kedudukannya yang tinggi! Si orang awam ingin terkenal, akan tetapi mereka yang terkenal merasa terganggu hidupnya oleh ketenarannya! Demikianlah, manusia akan selalu sengsara dan tidak bahagia hidupnya selama dia diburu oleh keinginan untuk memperoleh sesuatu yang belum dimilikinya. Dan keinginan ini akan terus mengejarnya sampai liang kubur sekalipun, tak pernah terpuaskan karena keinginan itu merupakan penyakit yang akan terus mendorongnya mengejar sesuatu yang baru lagi. Kita selalu menginginkan yang baru, karena yang baru itu menarik dan kita anggap amat menyenangkan. Kita lupa sama sekali bahwa yang baru ini akan menjadi lapyk dan kita akan terus mencari yang lebih baru lagi! Menuruti keinginan takkan ada habisnya, dan tidaklah mungkin bagi kita untuk memiliki segala-galanya di alam mayapada ini. Hanya dia yang sudah tidak menginginkan apa-apa lagilah maka segala-galanya ini adalah untuknya! Atau dengan lain kata-kata, hanya orang yang sudah tidak menginginkan apa-apa lagilah maka dia itu benar-benar seorang kaya raya lahir batin! Tidak menginginkan apa-apa ini dalam arti kata tidak mengejar sesuatu yang tidak ada padanya, tidak menghendaki sesuatu yang tak terjangkau olehnya. Bukan berarti menolak segala sesuatu, bukan berarti acuh tak acuh, bukan berarti mandeg dan menjadi seperti patung hidup. Tiga hari kemudian, datanglah rombongan piauwsu yang dipimpin oleh Ciu Khai Sun dari perjalanan mengawal barang berharga. Tentu saja berita tentang kematian Na Tiong Pek datang bagaikan sambaran petir di siang hari bagi Ciu Khai Sun. Ketika pengawal piauwkiok menyambutnya di pintu gerbang kota dan menyampaikan berita bahwa Na Tiong Pek telah tewas oleh penjahat yang menyerbu rumahnya tiga hari yang lalu, Ciu Khai Sun terbelalak, wajahnya pucat dan tanpa banyak cakap lagi dia lalu mendahului rombongan, lari ke rumah Na Tiong Pek. Ketika dia tiba di ruangan depan, melihat peti mati terbujur di situ, dan dia disambut oleh ratap tangis, kemudian melihat isterinya lari terhuyung menghampiri dan menjatuhkan diri berlutut, merangkul kedua kakinya sambil menangis, melihat pula adik isterinya menangis di belakang isterinya, pendekar ini berdiri dengan muka pucat dan sampai lama dia tidak dapat mengatakan sesuatu. Dia mengepal kedua tinjunya dan akhirnya dia berkata. “Siapa yang melakukan itu? Siapa...? Aku akan mencari pembunuhnya... hemm, aku akan mencari pembunuhnya sampai dapat!” Melihat sikap suaminya ini, Kui Lan menangis tersedu-sedu. Barulah pendekar itu merasa heran dan dia lalu membungkuk, memegang kedua pundak isterinya dan menariknya berdiri. Akan tetapi sungguh aneh, Kui Lan meronta halus melepaskan diri dan menutupi muka dengan kedua tangan sambil menangis sesenggukan. “Ada... ada apakah...?” Pendekar itu mulai merasakan adanya sesuatu yang luar biasa pada diri isterinya. Tentu saja isterinya ikut pula berduka dengan tewasnya suami adiknya terbunuh orang itu, akan tetapi mengapa isterinya kelihatan begini sengsara? Kui Lin yang tidak ingin urusan itu sampai terdengar orang lain, dan hal ini mungkin akan menimbulkan kecurigaan orang lain kalau sampai Kui Lan tidak mampu mempertahankan perasaannya, segera maju merangkul kakak kembarnya dan berkatalah dia dengan halus kepada suami kakaknya. “I-thio... sebaiknya kita bicara di dalam saja...” Setelah berkata demikian, dengan setengah memaksa dia menarik tubuh kakaknya dan membawanya masuk ke dalam. Ciu Khai Sun lalu menghampiri peti mati dan bersembahyang dengan penuh khidmat, alisnya yang tebal hitam itu berkerut dan wajahnya yang gagah itu diliputi awan duka, namun sepasang matanya mengeluarkan cahaya kilat oleh kemarahannya terhadap si pembunuh yang belum diketahuinya siapa. Sementara itu, Souw Kiat Hui, yaitu pembantu utama dari Na Tiong Pek yang dahulunya merupakan pembantu utama ayahnya, seorang tokoh Ui-eng-piauwkiok yang setia, segera menggantikan sebagai wakil keluarga yang kematian untuk menyambut para tamu yang datang berlayat. Souw Kiat Hui ini juga baru datang karena dia menemani Ciu Khai Sun mengawal barang yang amat berharga itu. Tentu saja dia pun merasa amat berduka karena Na Tiong Pek baginya sudah seperti keponakannya sendiri. Diam-diam dia merasa heran sekali mengapa ada penjahat yang datang menyerbu ke rumah itu dan hanya membunuh Na Tiong Pek, sedangkan isterinya dan isteri Ciu Khai Sun yang juga kabarnya melawan penjahat itu tidak diganggu dan tidak ada pula barang berharga yang dilarikan. Akan tetapi, diapun tahu bahwa sebagai seorang piauwsu, tentu saja bukan tidak mungkin kalau ada penjahat yang menaruh dendam kepada Na Tiong Pek. Akan tetapi yang membuat hatinya merasa penasaran adalah mengapa penjahat itu datang seperti maling dan memasuki kamar isteri Ciu Khai Sun. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani bertanya akan hal ini kepada dua orang wanita kembar itu dan hanya diam-diam merasa penasaran sekali sungguhpun dia tidak berani menduga yang bukan-bukan. Dapat dibayangkan betapa heran dan juga kaget rasa hati Ciu Khai Sun ketika dia tiba di ruangan dalam, dia melihat Kui Lin segera menutupkan semua pintu dan jendela, sedangkan isterinya, Kui Lan kembali menubruk kakinya dan menangis tersedu-sedu. Setelah menutupkan semua pintu dan jendela, Kui Lin juga menangis dan duduk di atas bangku tidak jauh dari situ. Jantung pendekar itu mulai berdebar keras dan dia merasa tidak enak. Pasti telah terjadi sesuatu yang hebat, pikirnya, kalau tidak demikian, tidak nanti isterinya bersikap seperti ini. Memang harus diakuinya bahwa peristiwa kematian Na Tiong Pek itu merupakan peristiwa hebat yang mendatangkan duka dan bingung, akan tetapi kalau tidak terjadi sesuatu yang hebat, tidak mungkin isterinya akan bersikap seperti ini. Kematian Na Tiong Pek saja tidak akan membuat isterinya bersikap seperti ini, dan lagi dia melihat keanehan dalam sikap Kui Lin yang ikut pula bersama mereka ke ruangan itu dan bahkan menutupkan semua pintu dan jendela, seolah-olah mereka berdua itu hendak menyampaikan sesuatu kepadanya, suatu rahasia yang tidak boleh didengar atau dilihat orang lain! “Lan-moi, ada apakah? Kau tenanglah dan ceritakan kepadaku.” Akhirnya dia berkata sambil mengelus kepala isterinya yang berlutut di depannya itu dan mencoba untuk membangunkan Kui Lan. Akan tetapi Kui Lan tidak mau bangun, bahkan merangkul kedua kaki suaminya lebih erat dan tangisnya makin sesenggukkan, dan di antara isak tangisnya itu terdengar suaranya tersendat-sendat, “Sun-koko... kau... kaubunuhlah saja aku...” Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Khai Sun mendengar kata-kata isterinya ini. Dia terbelalak, mengerutkan alisnya dan merangkul isterinya yang masih berlutut. “Ahh... apakah yang telah terjadi? Mengapa engkau... berkata demikian, isteriku?” “Koko... dia... dia itu...” Kui Lan terisak-isak sambil menudingkan telunjuknya keluar dengan tangan menggigil, “...akulah yang... membunuhnya...” “Aihhh...?” Khai Sun merasa seperti disambar kilat kepalanya dan dia bangkit berdiri, mukanya pucat dan matanya terbelalak memandang kepada kepala isterinya yang menunduk itu. Kui Lin cepat menghampiri encinya dan juga berlutut merangkul encinya lalu dengan air mata bercucuran dia menengadah, berkata kepada suami encinya. “Bukan! Bukan dia saja yang melakukannya, melainkan kami berdua! Kami berdua yang mengeroyoknya dan membunuhnya!” Mendengar ini, Khai Sun semakin bingung dan heran. Dia berdiri sambil mengepal kedua tinjunya, memandangi mereka bergantian dengan bingung sekali, lalu membentak penuh penasaran, “Apakah kalian sudah menjadi gila? Kalian... kalian yang membunuh Na Tiong Pek? Apa artinya ini?” Melihat keadaan pria yang tinggi besar dan gagah perkasa itu seperti marah, Kui Lin khawatir akan keselamatan encinya, maka dia pun berkata dengan cepat sambil terisak mienangis, “Bukan kami... melainkan dia yang gila... dia layak mati... dia telah memperkosa Enci Lan...!” “Ohhhhh...?” Seketika tubuh Khai Sun terasa lemas seperti dilolosi seluruh urat syarafnya dan dia terjatuh duduk kembali ke atas kursinya, mukanya pucat sekali dan matanya menatap ke arah isterinya yang masih sesenggukan di depannya. Tangan kanannya meraba ujung meja lalu mencengkeram ujung meja itu. Ada perasaan marah yang hebat sekali membakar hatinya, akan tetapi dia tidak tahu harus menumpahkan kemarahannya kepada siapa, maka tanpa disadari tangannya mencengkeram dan meremas ujung meja yang terbuat daripada kayu yang keras itu. Terdengar suara berkerotokan dan ujung meja itu hancur menjadi tepung di dalam genggaman tangannya! Agaknya pelampiasan kemarahan ini menyadarkannya. Dengan mata nanar dia membuka tangannya dan memandang kepada tepung kayu di dalam genggaman itu, sedangkan dua orang wanita itu masih menangis terisak-isak. Sejenak Khai Sun tidak dapat berkata apa-apa, bahkan tidak dapat berpikir apa-apa, dia seperti kehilangan semangat, merasa tubuhnya seperti terapung dalam mimpi, tidak menentu apa yang harus dipikirkannya. Akan tetapi, memandang ujung meja yang sudah menjadi bubuk di dalam tangannya itu, dia sadar kembali dan terdengar dia menarik napas panjang, seolah-olah hendak melepaskan semua ganjalan hatinya melalui napas panjang itu. Setelah tiga kali dia menarik dan membuang napas panjang sambil mengerahkan tenaga dalam untuk menyedot hawa murni, pikirannya menjadi terang dan tenang, dan terdengarlah suaranya yang parau dan berat, “Lan-moi, bangkit dan duduklah, dan ceritakan semua yang telah terjadi padaku.” Akan tetapi Kui Lan tidak dapat mengeluarkan suara kecuali menangis sesenggukan, sehingga akhirnya Kui Lin yang merangkulnya itu menariknya bangun sambil berkata dengan suara gemetar, “Enci Lan, duduklah... biar aku yang akan menceritakan...” Kui Lin membawa encinya duduk di atas bangku di depan Khai Sun, dan dia sendiri berdiri di samping encinya, merangkulnya kemudian menggunakan lengan baju untuk menghapus air matanya. Muka wanita itu pucat sekali, matanya cekung tanda bahwa dia menderita tekanan dan kedukaan hatin yang amat mendalam. “I-thio Khai Sun, harap kaudengarkan dengan tenang dan jangan menyalahkan Enci Lan karena dia sama sekali tidak berdosa. Mendiang suamiku itulah yang bersalah, dan sudah selayaknya dia tewas. Malam itu... dengan mempergunakan asap pembius, dia membuat Enci Lan tidak sadar dan dia lalu menodai Enci Lan. Ketika paginya Enci Lan sadar, Enci Lan lalu menyerangnya dan aku mendengar ribut-ribut lalu datang dan setelah kuketahui duduknya perkara, aku pun lalu membantu Enci Lan mengeroyoknya dan akhirnya dia tewas di tangan kami berdua! Nah, itulah apa yang terjadi, I-thio, dan... untuk menjaga nama baik keluarga, terpaksa kami menceritakan bahwa dia terbunuh oleh penjahat...” Mendengar ini, Khai Sun termangu-mangu, perasaannya terasa kosong dan hampa. Dia memang tahu bahwa iparnya, Na Tiong Pek itu, mempunyai watak yang mata keranjang dan suka main perempuan. Akan tetapi sungguh tak pernah disangkanya bahwa orang itu akan mau dan tega mengganggu isterinya. Kakak dari isteri sendiri! Melihat keadaan suaminya seperti orang kehilangan ingatan setelah mendengar penuturan itu, Kui Lan menjerit lirih dan dia sudah menubruk kaki suaminya kembali sambil menangis. “Suamiku... kau...kaubunuhlah saja aku... aku tidak dapat membunuh diri... karena... karena Lin-moi...” Dia menangis tersedu-sedu. Khai Sun yang masih merasa pikirannya hampa dan tidak tahu harus berkata atau berbuat apa, memandang kepala isterinya dan dengan suara seperti bukan suaranya sendiri dia bertanya. “Mengapa kau minta kubunuh?” Kui Lan menengadah, memandang kepada suaminya dengan muka pucat sekali dan basah air mata. “Aku tidak pantas hidup lagi di permukaan bumi ini... aku telah menjadi seorang perempuan ternoda dan kotor... aku tidak pantas menjadi isterimu bahkan tidak pantas bertemu muka denganmu... dan aku... aku telah membunuh suami Lin-moi... aku telah merusak hidup Lin-moi...” “Tidak... tidak...!” Kui Lin berseru sambil terisak. “Enci Lan tidak bersalah, dia terbius dan tidak berdaya melawan... dan tentang pembunuhan itu... kami berdua yang melakukannya dan memang dia sudah layak mati...! Kalau Enci Lan hendak mengambil nyawa sendiri, berarti hendak melarikan diri dan meninggalkan aku sendirian menanggung aib dan derita! Tidak, kalau Enci Lan harus mati, akupun tidak sudi hidup lagi di dunia ini...!” “Lin-moi...!” “Enci Lan. Jangan kau kejam kepadaku!” Dua orang wanita kembar itu saling rangkul, dan menangis dengan sedihnya, membuat Khai Sun menjadi semakin terharu dan bingung. Tentu saja dia sudah dapat membayangkan apa yang telah terjadi dan memang dia tidak marah kepada isterinya, bahkan merasa kasihan sekali. Dia adalah seorang laki-laki yang gagah perkasa, yang adil, dan bukan semacam pria yang berpemandangan picik dan cemburu, hanya merasa kasihan kepada isterinya, dan diam-diam menyesal kepada Na Tiong Pek mengapa orang itu sampai hati melakukan hal yang keji itu. “Sudahlah, Lan-moi... aku... aku tidak marah padamu, memang Lin-moi benar... peristiwa ini tidak perlu sampai terdengar orang lain.” Dengan suara tenang pendekar itu menghibur isterinya. Dengan mata merah dan basah Kui Lan memandang suaminya. “Kau... kau tidak benci kepadaku?” Khai Sun menggeleng kepala dan tersenyum duka. “Apakah aku sudah gila? Tidak, isteriku, aku tidak benci, bahkan aku merasa amat kasihan kepadamu.” Kui Lan masih meragu. “Tapi... tapi aku... aku telah menghancurkan kebahagiaan hidup Lin-moi...” “Sudahlah, Lan-ci. Suamimu sudah mendengar semua dan ternyata suamimu amat bijaksana, dapat menerima kenyataan pahit ini dengan hati lapang. Kita harus keluar untuk menyambut tamu yang datang berlayat.” “Benar, isteriku, mari keluar agar tidak sampai mendatangkan kecurigaan kepada orang luar,” kata pula Khai Sun. Mereka segera keluar dan dengan wajah lesu dan penuh duka mereka menyambut para tamu yang datang berlayat. Di antara para tamu itu terdepat pula Kui Beng Sin, kakak tiri dua orang wanita kembar itu yang bahkan sudah sejak mendengar kematian Na Tiong Pek itu sibuk ikut mengurus perkabungan itu. Kui Beng Sin adalah putera Kui Hok Boan dari isteri lain dan dia tinggal di kota Su-couw di Ho-nan. Ketika mendengar berita kematian Na Tiong Pek yang menjadi adik iparnya, maka dia cepat berangkat ke Kun-ting dan tiba di situ sebelum Khai Sun kembali dari perjalanannya mengawal barang. Kurang lebih satu bulan setelah penguburan jenazah Na Tiong Pek, rumah itu nampak sunyi dan masih dalam suasana berkabung, sungguhpun pekerjaan Ui-eng-piauwkiok telah dimulai lagi di bawah pimpinan Khai Sun yang tetap dibantu Souw Kiat Hui. Dan hampir setiap hari Kui Lan berada di rumah itu menemani adiknya. Pada malam itu, sudah jauh malam dan suasana sudah sunyi sekali, terjadilah percakapan antara dua orang saudara kembar ini di dalam kamar Kui Lin, dan biarpun percakapan itu terjadi penuh semangat dan kesungguhan, namun mereka lakukan dengan bisik-bisik sehingga andaikata ada orang berdiri di luar kamar itupun tidak akan dapat menangkap jelas apa yang mereka bicarakan. “Enci Lan, apa kau sudah menjadi gila? Usulmu itu sungguh tak masuk di akal, memalukan dan amat merendahkan aku!” “Tenanglah, adikku, dan dengarkan baik-baik, pertimbangkan masak-masak karena aku bukan hanya sekedar mengeluarkan kata-kata tanpa alasan. Hal ini sudah kupikirkan semenjak peristiwa itu terjadi dan merupakan satu-satunya jalan bagiku untuk dapat hidup atau untuk berani menghadapi kehidupanku selanjutnya. Aku tahu bahwa dalam peristiwa itu engkau tidak menyalahkan aku, akan tetapi perasaan salah dalam hatiku terhadapmu sama sekali tidak mungkin kulenyapkan selamanya. Betapapun juga, peristiwa itu terjadi karena aku, karena adanya diriku, jadi akulah biang keladinya. Kalau tidak ada aku di sini, tidak akan terjadi hal itu dan kehidupanmu masih akan tetap bahagia, bukan? Nah, perasaan salahku terhadapmu ini tidak akan dapat terhapus kecuali... kecuali kalau engkau sudi mempertimbangkan usulku.” “Gila! Gila dan memalukan, Enci Lan!” “Sama sekali tidak, Lin-moi. Engkau adalah seorang janda, sungguh amat tidak baik kalau hidup sendiri, engkau masih muda, engkau perlu seorang pelindung sebagai suami yang baik. Dan engkau adalah adikku, adik kembarku dan di antara kita seolah-olah ada perasaan sehidup semati, bukan? Dan kalau engkau sebagai janda muda, cantik, berharta, hidup sendiri tentu akan banyak pria yang berusaha menggodamu. Kita tidak tahu bagaimana kalau sampai engkau terpikat oleh seorang pria yang hanya akan memerasmu. Sebaliknya, keadaan Cui Khai Sun sudah kukenal benar, dia laki-laki yang gagah perkasa, yang baik hati, yang budiman dan setia. Kita... kita berdua akan berbahagia di sampingnya, Lin-moi.” “Memalukan sekali, Dan pula, belum tentu I-thio sudi menerima usulmu itu.” “Serahkan saja kepadaku. Engkau tahu, semenjak terjadinya peristiwa itu, aku tidak pernah berani mendekatinya, tidak mau dijamah olehnya. Aku masih selalu merasa diriku kotor, Lin-moi, dan satu-satunya hal yang akan menghapus perasaan itu adalah kalau dia mau mengambilmu menjadi isterinya! Dia adalah seorang bijaksana dan dia tentu akan dapat mengerti apa yang terkandung dalam hatiku.” “Enci, usulmu ini sungguh akan membuat orang sedunia mentertawakan aku. Apalagi aku sendiri, tanganku sendiri yang bersamamu membunub suamiku, kalau kemudian aku menjadi... eh, menjadi isteri suamimu, bukankah itu berarti bahwa aku seolah-olah sengaja untuk membunuh suami sendiri agar dapat menikah dengan orang lain?” “Ah, peduli apa dengan anggapan orang lain, adikku. Yang penting kita tahu benar bagaimana duduk persoalannya dan bahwa engkau sama sekali tidak ada pikirain semacam itu. Dan tentu tidak dilaksanakan sekarang, melainkan setelah setahun engkau berkabung. Akan tetapi, aku harus lebih dulu mendapatkan persetujuanmu, karena kalau tidak...” “Kalau tidak, mengapa, Enci?” “Kalau engkau tidak mau... aku bukan berwaksud mengancam, atau memaksamu, melainkan agar kuketahui saja bahwa aku tidak akan berani hidup lebih lama lagi kalau engkau tidak mau menjadi isteri suamiku, hidup bersama kami selamanya dan dengan demikian menghapus rasa salah dalam hatiku.” “Enci Lan...!” “Aku bersungguh-sungguh, adikku, dan kalau engkau mau mempertimbapgkan dengan hati tenang, engkau akan mengerti mengapa aku mengajukan usul ini.” “Enci, kasihanilah aku, jangan tergesa-gesa mendesakku... berilah aku waktu untuk mempertimbangkan, aku bingung, Enci...” “Baiklah, kau boleh mempertimbangkannya untuk sepekan, sedangkan aku akan bicara dengan suamiku.” Semenjak percakapan dengan kakak kembarnya itu, Kui Lin janda muda yang cantik itu setiap hari nampak termenung dan kadang-kadang dia menangis seorang diri di kamarnya. Sementara itu, beberapa hari kemudian setelah Ciu Khai Sun pulang dari pekerjaannya, juga terjadi percakapan serius antara suami isteri ini. “Lan-moi, isteriku sayang, kenapa engkau selalu menjauhkan diri? Aku... aku rindu padamu, Lan-moi...” kata Ciu Khai Sun yang berusaha hendak merangkul isterinya yang duduk di tepi pembaringan. Akan tetapi Kui Lan mengelak dan menggeser duduknya agak menjauh. Mereka sama-sama duduk di tepi pembaringan dan saling pandang. Khai Sun dengan alis berkerut dan pandang mata khawatir, Kui Lan memandang dengan pandang mata berlinang air mata. “Aku... rasanya aku takkan mungkin dapat melayanimu... aku akan selalu merasa kotor dan hina...” “Aihh, Lan-moi, bukankah engkau isteriku tercinta? Dan aku sudah mengatakan kepadamu berkali-kali bahwa aku sudah melupakan peristiwa itu, kuanggap tidak pernah terjadi padamu dan...” “Aku mengerti, dan aku berterima kasih atas kebijaksanaanmu itu. Akan tetapi, tetap saja di dasar hatiku akan selalu terdapat perasaan kotor dan hina itu, kecuali kalau...” “Kecuali apa, isteriku?” “Kecuali kalau engkau mau memperisteri Lin-moi...” “Aahhh...! Sudah gilakah engkau?” Seperti juga Kui Lin ketika pertama kali mendengar usul itu, Khai Sun berseru kaget dan memandang kepada isterinya dengan mata terbelalak. Kui Lan menggeleng kepalanya. “Tidak, Sun-ko. Usulku itu telah kupertimbagkan masak-masak dan hanya jalan itulah yang akan menghapus semua rasa kotor dan rendah dari lubuk hatiku. Aku telah ternoda oleh suami Lin-moi, maka kecuali kalau engkau mau memperisteri Lin-moi, rasanya tidak mungkin lagi aku dapat melayanimu dengan hati bersih dari rasa kotor itu, bahkan rasanya tidak mungkin lagi akan dapat melanjutkan hidup ini yang akan menyiksa batinku.” “Akan tetapi, isteriku! Usulmu ini sungguh gila. Mana mungkin hal itu terlaksana? Bukankah itu malah berarti engkau akan meremehkan dan menghina adikmu sendiri yang sudah tertimpa malapetaka itu?” Kembali Kui Lan menggeleng kepalanya. “Aku mempunyai dua tekanan batin yang tidak memungkinkan aku dapat bertahan hidup terus tanpa obat ini. Pertama, aku akan selalu merasa kotor dan hina di depanmu, Sun-ko. Dan ke dua, aku akan selalu merasa bahwa aku telah menghancurkan kebahagiaan adikku. Dua hal itu hanya dapat terhapus jika engkau mau menerima usulku itu, yakni mengambil Lin-moi sebagai isterimu di samping aku.” “Tapi... tapi...” “Hanya itulah jalan satu-satunya yang memungkinkan kita menjadi suami isteri kembali tanpa ada ganjalan hati.” “Tapi... Lin-i...” “Hal ini telah kubicarakan dengan Lin-moi. Lin-moi telah menjadi seorang janda, muda, cantik dan berharta. Diapun memerlukan seorang suami sebagai pelindung, dan satu-satunya orang yang pantas menjadi suaminya adalah engkau. Sedang dia pertimbangkan usulku ini dan kalau kalian berdua menghendaki aku dapat hidup seperti biasa kembali, bahkan kalau menghendaki aku dapat melanjutkan hidupku, maka penuhilah permintaanku ini.” “Tapi, kaukira aku ini laki-laki macam apa, Lan-moi? Harus menikah lagi dengan wanita lain sedangkan aku amat mencintamu, setia kepadamu...” “Aku tahu, akan tetapi Lin?moi bukanlah wanita lain. Bahkan dia adalah belahan badan dan jiwaku. Kami adalah saudara kembar yang memiliki perasaan sehidup semati. Kalau engkau cinta padaku, Sun-ko, berarti engkau dapat juga mencinta Lin-moi. Hanya inilah satu-satunya jalan, demi kebaikan kami berdua.” Dengan lemas Khai Sun lalu menjatuhkan diri terlentang di atas pembaringan, kedua tangannya menutupi muka. Dia bingung sekali dan menarik napas berulang kali. “Ahhh, betapa akan malu rasanya dalam hatiku terhadap mendiang Na Tiong Pek! Seolah-olah aku mempergunakan kematiannya untuk mencari kesenangan sendiri! Isteriku, berilah aku waktu... aku harus memikirkan hal ini secara mendalam...” “Baiklah, dan tentu saja pelaksanaannya tidak sekarang, melainkan menanti sampai satu tahun setelah Lin-moi terbebas dari masa perkabungannya. Aku hanya ingin mendapatkan janji persetujuan kalian dulu. Sebelum kalian berjanji setuju, rasanya tidak mungkin aku dapat membiarkan engkau menjamah diriku yang kotor, suamiku.” Demikianlah keadaan dua orang kakak beradik kembar Kui Lan dan Kui Lin itu, yang dipermainkan oleh nasib sedemikian hebatnya, sebagai akibat dari perbuatan mendiang Na Tiong Pek. Dan waktu telah berlalu dengan cepatnya sehingga sembilan tahun telah lewat ketika Cia Sin Liong bersama isterinya, Bhe Bi Cu dan anak mereka Cia Han Tiong turun meninggalkan Istana Lembah Naga dan hendak mulai dengan perjalanan mereka ke selatan untuk mengunjungi Cin-ling-pai kemudian hendak menengok Kui Lan dan Kui Lin di Su-couw dan untuk melanjutkan mengantar putera mereka kepada Hong San Hwesio. Marilah kita kembali mengikuti perjalanan keluarga penghuni Istana Lembah Naga itu. Setelah diceritakan di bagian depan, dengan gembira sekali Cia Sin Liong mengajak isteri dan puteranya meninggalkan istana tua itu untuk memulai dengan perantauan mereka. Bukan hanya Han Tiong yang bergembira, akan tetapi juga Sin Liong dan Bi Cu yang sudah lama sekali, bertahun-tahun sudah, selalu berada di Istana Lembah Naga dan sekarang ini hendak melakukan perjalanan yang lama dan jauh, merasa gembira bukan main. Keduanya memang merupakan pendekar-pendekar petualang yang suka merantau, maka kini mereka dapat pergi bertiga, tentu saja hal itu merupakan peristiwa yang amat menggembirakan. Atas kehendak Sin Liong dan isterinya, mereka bertiga turun gunung dengan berjalan kaki saja, tidak menunggang kuda. Hal ini selain untuk melatih Han Tiong, juga melakukan perjalanan dengan jalan kaki lebih mengasyikkan, lebih memudahkan mereka untuk menikmati keindahan alam di sepanjang perjalanan, juga mereka hanya membawa bekal sedikit saja, pakaian sekedarnya dan uang untuk biaya dalam perjalanan. Ketika mereka menuruni bukit dan keluar dari dalam sebuah hutan, mereka itu tiada ubahnya sebuah keluarga petani saja. Pakaian mereka amat sederhana, namun dari sikap mereka, dengan cara mereka melangkahkan kaki saja orang sudah dapat menduga, bahwa mereka itu bukanlah keluarga petani “biasa” karena langkah-langkah mereka selain tegap juga cepat sekali. CIA SIN LIONG adalah seorang pendekar besar di jaman itu, dan namanya sebagai Pendekar Lembah Naga amat terkenal sampai di seluruh dunia kang-ouw. Akan tetapi karena semenjak menikah dan tinggal di Lembah Naga dia tidak pernah mencampuri urusan dunia kang-ouw, hanya namanya sajalah yang amat terkenal, akan tetapi orangnya jarang ada yang pernah berjumpa. Maka, kalau ada yang melihat keluarga itu melakukan perjalanan sederhana dengan gembira itu, tentu tidak akan ada yang menyangka bahwa itulah keluarga Pendekar Lembah Naga yang amat terkenal kesaktiannya itu! Akan tetapi justeru keadaan mereka seperti petani sederhana itulah agaknya yang membuat perjalanan itu dapat dilakukan tanpa banyak menarik perhatian sehingga mereka dapat melakukan perjalanan dengan aman! Karena kalau orang mengenalnya sebagai Pendekar Lembah Naga, tentu akan banyak yang menaruh perhatian. Setelah melakukan perjalanan selama hampir tiga bulan, perjalanan seenaknya dan kadang-kadang berhenti di tempat-tempat indah, sampailah mereka di Pegunungan Cin-ling-san! Pegunungan Cin-ling-san ini sebetulnya hanya merupakan satu di antara banyak gunung-gunung yang indah sehingga merupakan pegunungan biasa saja. Akan tetapi nama pegunungan ini amat dikenal orang karena adanya perkumpulan Cin-ling-pai di puncak pegunungan itu. Cin-ling-pai amat terkenal, sudah puluhan tahun terkenal sebagai tempat keluarga Cin-ling-pai yang sakti. Pada waktu itu, yang tinggal di puncak Cin-ling-san, di perumahan Cin-ling-pai yang merupakan sebuah pedusunan dikurung pagar tembok tinggi, adalah pendekar sakti Cia Bun Houw bersama isterinya yang juga merupakan seorang pendekar wanita yang berilmu tinggi bernama Yap In Hong. Pada waktu itu Cia Bun Houw merupakan seorang kakek setengah tua yang berusia lima puluh dua tahun, namun masih nampak tegap dan tampan seperti orang berusia empat puluh tahun saja, tidak seperti biasanya pria umur sekian kalau tidak perutnya menggendut terlalu banyak makan gajih dan daging tentu menjadi kurus kering karena terlalu banyak pikiran! Isterinya, Yap In Hong, juga masih nampak jelas bekasnya sebagai seorang wanita cantik, tubuhnya masing ramping dan padat kuat, sungguhpun rambutnya mulai terhias uban. Namun sepasang matanya masih tajam dan menggiriskan karena penuh wibawa dan kadang-kadang dapat menjadi dingin seperti ujung pedang tajam! Seperti dapat kita baca dalam cerita Pendekar Lembah Naga, suami isteri pendekar sakti ini biarpun semenjak muda telah saling berkenalan dan saling jatuh cinta, namun baru setelah mereka berusia tiga puluh tahun lebih mereka hidup sebagai suami isteri dalam arti yang sesungguhnya. Sebelum itu, selama kurang lebih belasan tahun mereka hidup sebagai kekasih karena perjodohan mereka tidak disetujui oleh keluarga Cin-ling-pai dan hal itu membuat mereka berdua menjauhkan dan menyembunyikan diri selama belasan tahun. Baru pada pertemuan-pertemuan terakhir, ayah pendekar itu, yaitu mendiang Kakek Cia Keng Hong, merestui perjodohan mereka sehingga dengan demikian, setelah dia berusia kurang lebih tiga puluh enam tahun barulah Yap In Hong melahirkan seorang putera! Kini, putera mereka itu telah berusia empat belas tahun, seorang anak laki-laki yang tampan dan gagah bernama Cia Kong Liang. Cia Sin Liong adalah putera Cia Bun Houw yang terlahir dari seorang wanita bernama Liong Si Kwi (baca cerita Dewi Maut dan Pendekar Lembah Naga), yang lahir di luar nikah akan tetapi yang akhirnya diakui juga oleh Cia Bun Houw, bahkan Yap In Hong juga dapat menerima kenyataan itu dan menganggap Sin Liong sebagai anak tirinya, menjadi kakak tiri dari Cia Kong Liang. Karena hubungan yang baik antara Sin Liong dengan ayah kandung dan ibu tirinya, maka kini Sin Liong mengajak isterinya dart puteranya untuk berkunjung ke Cin-ling-pai. Setelah mereka bertiga tiba di lereng Cin-ling-san, Sin Liong dan isterinya merasa pangling dengan keadaan di situ. Ternyata keadaan Cin-ling-san kini cukup ramai, banyak dusun baru dibangun di sekitar lereng, dan dari bawah sudah nampak tembok putih di puncak, di mana Cin-ling-pai berada. Ternyata bahwa Cin-ling-pai yang tadinya boleh dibilang tidak terurus itu kini telah dibangun kembali oleh pendekar Cia Bun Houw bersama isterinya, bahkan mereka mempunyai banyak murid sehingga nama Cin-ling-pai sebagai perkumpulan silat yang besar menjadi terkenal kembali. Begitu keluarga ini tiba di pintu gerbang, mereka telah disambut oleh beberapa orang pemuda yang bertubuh tegap-tegap dan nampak gagah, berpakaian rapi, pakaian murid-murid yang belajar ilmu silat. Sin Liong memandang ke arah papan nama yang cukup megah dan besar, dengan huruf-huruf CIN-LING-PAI yang ditulis dengan gaya gagah. Kemudian dia memandang kepada beberapa orang pemuda yang menyambutnya dengan sikap hormat dan ramah itu. “Selamat datang di Cin-ling-pai,” kata seorang di antara mereka, agaknya yang memimpin mereka yang bertugas jaga di pagi hari itu. “Ada keperluan apakah saudara sekalian datang mengunjungi tempat kami?” Pertanyaan itu singkat dan tegas, akan tetapi diucapkan dengan sikap hormat dan manis, disertai senyum ramah. Melihat sikap mereka ini, Sin Liong merasa gembira dan juga bangga. Pantaslah Cin-ling-pai menjadi perkumpulan besar kalau melihat sikap para muridnya seperti ini! “Kami ingin bertemu dengan ketua Cin-ling-pai,” jawab Sin Liong dengan ramah pula. Para murid Cin-ling-pai itu saling pandang, kemudian pemimpin para penjaga itu memandang penuh perhatian kepada Sin Liong, sambil berkata. “Maaf, ketua kami tidak mudah diganggu karena beliau banyak pekerjaan, sebaiknya kalau kami laporkan dulu siapa adanya saudara dan dari mana...?” Sin Liong tersenyum. Sikap mereka ini amat baik dan hormat, dan ucapan itu hanya suatu alasan belaka. Mereka ini bersikap hati-hati dan tentu saja menaruh curiga kepadanya yang belum mereka kenal. Maka Sin Liong tersenyum, lalu berkata. “Baik sekali, harap kalian laporkan kepada ketua Cin-ling-pai bahwa kami datang dari jauh, dari luar Tembok Besar...” “Kami datang dari Lembah Naga!” sambung Bi Cu yang merasa tidak sabar lagi melihat suaminya bersikap sungkan untuk memperkenalkan diri itu. “Kami ingin bertemu dengan ketua Cin-ling-pai, dia itu adalah kong-kongku!” kata pula Han Tiong yang juga tidak sabar ingin lekas-lekas bertemu dengan kakeknya, yang didengarnya sebagai seorang pendekar sakti yang amat terkenal itu. Mendengar ucapan Bi Cu dan Han Tiong, semua murid Cin-ling-pai terbelalak dan wajah mereka berubah pucat ketika mereka memandang kepada Sin Liong yang hanya tersenyum ramah itu. “Ah,... apakah... taihiap ini Cia Sin Liong...?” Melihat kegugupan orang, Sin Liong berkata, “Benar, itulah namaku.” “Maaf... maaf... kami tidak mengenal... silakan masuk...” kata mereka dan beberapa orang di antara mereka sudah lari ke dalam untuk menyampaikan berita yang amat mengejutkan dan menggirangkan hati ini. Semua murid memandang kepada Sin Liong dengan sinar mata penuh kagum. Sudah lama mereka mendengar nama besar Sin Liong, putera ketua mereka yang kabarnya memiliki kepandaian yang bahkan lebih tinggi atau setidaknya tidak kalah oleh tingkat kepandaian ketua mereka dan yang merupakan seorang pendekar yang menjadi penghuni Istana Lembah Naga. Tak pernah disangkanya bahwa pendekar sakti itu ternyata hanya seorang pria, yang biarpun gagah, akan tetapi berpakaian sederhana dan juga bersikap amat sederhana pula. Hal ini menambah kekaguman mereka karena memang semua murid Cin-ling-pai bersikap sederhana, sesuai dengan pengertian mereka tentang hidup sederhana seperti diajarkan oleh ketua mereka. Ketika para murid Cin-ling-pai yang sedang berada di sebelah dalam, yang berlatih silat, yang melakukan pekerjaan masing-masing, mendengar bahwa Pendekar Lembah Naga bersama isteri dan puteranya datang berkunjung, berbondong-bondong mereka berlari keluar untuk menyambut dan melihat.