Dan memang ilmu pedang itu luar biasa sekali, apalagi dimainkan dengan baiknya oleh Kong Liang. Biarpun kakek bertelinga buntung satu itu berusaha mati-matian, namun dia sama sekali tidak mampu membalas dan sampai hampir tiga puluh jurus dia selalu diserang dan didesak hebat. Tiba-tiba kakek itu menggerakkan tangan kirinya dan sinar kehijauan yang halus meluncur dari tangan kiri ke arah tubuh Kong Liang. Thian Sin dan Han Tiong terkejut bukan main karena mereka maklum apa artinya sinar-sinar lembut itu. Itu adalah jarum-jarum halus sebagai senjata rahasia kakek itu. Jarum-jarum ini amat berbahaya, disebut Coa-tok-ciang (Jarum Racun Ular) dan kalau jarum ini sampai mengenai kulit lawan, racun yang berada di ujung jarum itu dapat terbawa darah dan akibatnya seperti orang digigit ular berbisa saja. Bahkan Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng juga terkejut dan khawatir. Akan tetapi Cia Kong Liang tidak mengecewakan menjadi putera Cin-ling-pai. Begitu melihat menyambarnya sinar hijau, dia sudah memutar pedangnya dan meloncat ke belakang, kemudian berjungkir balik ke atas dan meluncur turun setelah semua jarum itu dapat ditangkis pedangnya dan lewat di bawah kakinya. Begitu tubuhnya meluncur, pedangnya sudah menyambar dengan kecepatan kilat ke arah ubun-ubun, kedua pundak, dada dan pusar lawan, demikian cepatnya bertubi-tubi sehingga seolah-olah yang menyerang itu bukan sebatang pedang, melainkan lima batang! “Ihhh...!” Kakek itu terkejut dan mengelak mundur sambil menangkis. Terdengar bunyi berdencingan ketika dua pedang itu bertemu dengan keras berkali-kali, akan tetapi tiba-tiba kakek itu berteriak kaget dan terjengkang! Sebatang jarum, jarumnya sendiri, telah menancap di dadanya sebelah kiri, menembus bajunya dan menancap sampai setengahnya lebih. Itulah sebatang jarum yang tadi dapat ditangkap oleh tangan kiri Kong Liang tanpa dapat dilihat oleh lawan dan kini jarum itu telah makan tuannya! Kong Liang menerjang terus, hendak mengirim tusukan maut, akan tetapi Yap Kun Liong berseru keras, “Kong Liang, jangan...!” Namun pedang telah digerakkan, tak mungkin dapat ditarik kembali dan pemuda itu hanya dapat memiringkan tangannya saja sehingga pedang yang tadi menusuk dada, kini menyeleweng dan hanya mengenai pangkal lengan. Namun luka yang didatangkan tusukan itu cukup lebar dan dalam, membuat kakek itu mengaduh dan meloncat mundur. Pangkal lengak kanannya luka, juga dadanya yang sebelah kiri terkena jarum beracun yang perlu harus cepat diobatinya, maka tentu saja dia tidak dapat melanjutkan pertandingan dan melangkah mundur dengan muka pucat. “Hemm, sungguh sayang pada paman ini telah gagal. Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng, kuharap kalian suka maju sendiri agar perhitungan antara kita dapat dilunaskan sekarang juga. Kalian mati di tanganku atau aku yang akan tewas di tangan kalian seperti kakek dan nenekku.” Kata dara manis itu dan tidak nampak dia menggerakkan kakinya, akan tetapi tahu-tahu tubuhnya telah melayang ke tengah taman itu. Ini saja sudah menunjukkan betapa lihainya dara ini dan melihat betapa ketika tubuhnya melayang tadi kedua tangannya digerakkan seperti burung, menunjukkan bahwa dia adalah seorang yang ahli dalam ilmu gin-kang yang disebut Hui-heng-sut (Ilmu Lari Terbang) dan orang yang memiliki ilmu ini amat berbahaya karena gerakannya amat ringan seperti seekor burung saja. Dara itu berdiri tegak menghadap ke arah kakek dan nenek itu, sikapnya tenang dan tabah, nampak gagah sekali sehingga diam-diam Thian Sin merasa kagum bukan main. Hebat dara ini, pikirnya dengan jantung berdebar karena dia merasa tertarik sekali. Tanpa disadari dia sudah melangkah maju dan berkata, “Biarlah aku menghadapi nona ini!” “Sin-te, jangan lancang!” Han Tiong mencela adiknya. “Kalian mundurlah,” kata Kong Liang yang masih memegang pedang Hong-cu-kiam di tangannya, sambil melangkah maju. “Nona ini agaknya memiliki kepandaian, biarlah aku yang mewakili paman dan bibi memberi hajaran kepadanya!” Dara itu tadi sudah menatap wajah Thian Sin dan sejenak keduanya saling pandang, dan keduanya merasa tertarik. Dara itu mendapat kenyataan betapa tampan dan gagahnya pemuda yang pertama kali maju ini dan harus diakuinya bahwa belum pernah dia bertemu dengan seorang pemuda yang begini menarik hatinya. Akan tetapi, majunya Kong Liang dan teguran kakaknya itu membuat Thian Sin mundur kembali sungguhpun dia masih terus memandang wajah dara yang amat manis dan menarik hatinya itu. Dan dara itupun terpaksa kini memandang Kong Liang yang tadi telah merobohkan kakek telinga buntung. Tahulah dara ini bahwa dia berhadapan dengan lawan yang tangguh, akan tetapi sedikitpun dia tidak gentar. “Pertandingan ini adalah untuk mengadu nyawa, oleh karena itu aku tidak ingin membunuh atau terbunuh oleh orang yang tidak kuketahui siapa. Kalau aku tidak salah, engkau adalah orang dari Cin-ling-pai, bukan?” Dara itu bertanya. “Aku telah memperkenalkan diriku. Aku bernama So Cian Ling, murid dari See-thian-ong. Akan tetapi aku datang sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan guruku, melainkan mewakili arwah nenek dan kakekku untuk membalas dendan kepada Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng.” Sikap dara itu sungguh tenang dan juga gagah, tidak seperti orang dari golongan jahat dan kasar. Apalagi ketika dia mengaku bahwa dia adalah murid See-thian-ong, Yap Kun Liong dan isterinya, juga para pemuda itu terkejut sekali. Mereka sudah mendengar akan nama See-thian-ong yang dianggap sebagai datuk dunia bagian barat, yang setingkat dengan Pak-san-kui dari utara, atau dengan Tung-hai-sian dari timur dan Lam-sin dari selatan! Kiranya dara ini adalah murid datuk barat, maka dapat diduga bahwa dia tentu lihai sekali, jauh lebih lihai daripada tiga orang kakek yang telah kalah tadi. Diam-diam Cia Kong Liang juga terkejut, bukan hanya karena ternyata bahwa dara ini adalah murid See-thian-ong yang terkenal, akan tetapi juga betapa dara ini telah dapat menduga bahwa dia datang dari Cin-ling-pai hanya dengan melihat gerakan-gerakannya tadi. Maka diapun menjawab cepat. “Memang benar, aku adalah putera ketua Cin-ling-pai dan keponakanku di sana itu adalah putera Pendekar Lembah Naga. Nah, kami semua telah berada di sini untuk melindungi paman dan bibiku yang sudah tua. Engkau sungguh sudah bosan hidup berani menentang paman dan bibiku.” Dara itu juga terkejut, bukan hanya mendengar bahwa pemuda di depannya ini adalah putera ketua Cin-ling-pai, akan tetapi juga mendengar bahwa pemuda-pemuda yang lain itu datang dari Lembah Naga, bahkan seorang di antaranya adalah putera Pendekar Lembah Naga. Tahulah dia bahwa dia benar-benar sial, akan tetapi karena sudah terlanjur, dia tidak akan undur lagi. “Siapapun yang melindungi mereka, aku tidak peduli. Kematian kakek dan nenekku harus ditebus! Nah, majulah!” tantangnya dan sekali tangannya bergerak ke belakang dia telah mencabut pedangnya dan nampak sinar putih seperti perak. Ternyata pedangnya itupun merupakan sebatang pedang pusaka yang indah dan juga ampuh. “Bagusi bersiaplah engkau!” bentak Kong Liang dan sekali bergerak dia sudah mengirim serangan bertubi-tubi sampai lima kali beruntun! Akan tetapi, dengan tangkas sekali nona itu menangkis sampai lima kali dan balas menyerang, sekali serang juga sudah mengirim tusukan dan bacokan sampai lima kali berturut-turut yang semua telah dapat dielakkan dan ditangkis oleh Kong Liang. Ketika pemuda ini menangkis untuk ke lima kalinya, dia sengaja mengerahkan tenaganya. “Trang...!” Bunga api berpijar menyilaukan mata dan keduanya merasa betapa lengan tangan mereka tergetar hebat. Cepat mereka memeriksa pedang masing-masing, akan tetapi dengan hati lega mereka mendapat kenyataan bahwa pedang mereka tidak rusak. Pada saat itu, Yap Kun Liong sudah meloncat datang dan menengahi. “Kong Liang, kau mundurlah dan biarkan aku sendiri menyelesalkan urusan pribadiku ini.” Mendengar ucapan pamannya ini, tentu saja Kong Liang cepat mundur dan menyimpan kembali pedangnya, memakainya sebagai ikat pinggang. “Nona So, sungguh sedih sekali hatiku melihat bahwa urusan ini berlarut-larut. Aku tidak ingin membuat keluargaku terikat dengan urusan permusuhan yang tidak ada artinya ini. Nah, kalau memang benar-benar engkau mendendam atas kematian Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li, kaubunuhlah aku, dan aku tidak akan melawan sama sekali. Aku tidak menyesal bahwa dahulu aku menentang mereka, karena sesungguhnyalah bahwa mereka berdua itu adalah suami isteri yang amat jahat dan menyeleweng dalam kehidupan mereka! Aku melihat nona bukanlah orang seperti mereka itu, akan tetapi nona berkeras hendak membalas dendam kematian mereka. Nah, aku menyerahkan nyawaku kepadamu agar dendam ini dapat dihabiskan sampai di sini saja.” MELIHAT kakek yang penuh wibawa itu memasang dada dan siap menerima kematian, dara itu melangkah mundur dan mukanya berubah agak pucat. Dia memandang ragu-ragu dan melihat keadaan suami isteri tua yang gagah perkasa, apalagi tiga orang pemuda yang jelas merupakan pendekar-pendekar perkasa dan amat mengagumkan itu, dia sudah mulai dapat melihat bahwa agaknya tidak salah lagi bahwa permusuhan antara kakek dan nenek angkatnya bersama suami isteri pendekar ini tentu terjadi karena kesalahan kakek dan nenek angkatnya. Apalagi kalau mendengar penuturan Yap Kun Liong bahwa kematian itu terjadi dalam perang. Akhirnya dia membalikkan tubuhnya dan berkata kepada tiga orang kakek yang sudah terluka tadi. “Sudahlah, mari kita pergi dari sini!” “Tetapi... tetapi... dendam kita...” Kakek yang buntung telinga kirinya membantah. “Sudah, tidak ada urusan dendam lagi bagiku. Aku tidak mau lagi mendengar bujukan kalian!” kata So Cian Ling dan dia lalu menengok, memandang kepada Thian Sin lalu bibirnya membentuk senyum yang mewakili hatinya, dan sekali meloncat dia lenyap dari situ. Tiga orang kakek itu tentu saja sudah kehilangan nyalinya melihat dara itu tidak mau membantu mereka, dan tanpa pamit mereka itupun berlari pergi. Baru sekarang, setelah semua pengacau pergi, kakek dan nenek itu merasa gembira sekali. Yap Kun Liong lalu memandang Han Tiong dan berkata, “Bocah nakal, mengapa kau datang tanpa memberi tahu? Mengagetkan saja! Dan kau sudah begini besar, dan gagah perkasa seperti ayahmu. Hebat sekali gerakan-gerakanmu tadi.” “Ah, saya masih banyak mengharapkan petunjuk dari locianpwe,” kata Han Tiong dengan sikap merendah, lalu memandang kepada Kong Liang sambil berkata, “Paman Kong Liang, ilmu pedangmu tadi sungguh membuat aku kagum bukan main!” Kong Liang tersenyum, diam-diam merasa bangga. Akan tetapi dia memandang kepada Thian Sin dan bertanya kepada Han Tiong. “Siapakah temanmu ini, Han Tiong?” “Ya, siapakah dia ini?” Cia Giok Keng menyambung dan sejak tadi dia menatap wajah pemuda yang tampan itu. Ditanya begini, sebelum Han Tiong menjawab, Thian Sin sudah menjatuhkan diri di depan Cia Giok Keng sambil berkata. “Nenek, cucumu yang bodoh mohon ampun bahwa baru sekarang dapat datang menghadap.” Tentu saja Cia Giok Keng menjadi kaget dan bingung, akan tetapi pada saat itu Han Tiong berkata dengan hati terharu, “Dia ini adalah Ceng Thian Sin yang menjadi adik angkat saya dan menjadi murid ayah, dia adalah putera dari Paman Ceng Han Houw dan Bibi Lie Ciauw Si.” “Ehh...?” Cia Giok Keng menjerit dan mengangkat bangkit pemuda itu, menatap wajahnya dan kemudian merangkulnya. “Cucuku...! Ah, cucuku, tak kusangka bahwa aku akan dapat berjumpa dengan anak Ciauw Si...” Suaranya mengandung isak. “Cucuku, di manakah mereka? Mengapa ibumu tidak ikut datang bersamamu menengokku...?” Ditanya tentang ibunya, tentu saja Thian Sin merasa seperti ditusuk jantungnya. Dia menunduk, menahan air matanya agar tidak keluar dari matanya yang terasa panas itu, kemudian dapat juga dia berkata lirih. “Maafkan nek... mereka... ayah dan ibu telah tiada...” Sepasang mata tua itu terbelalak, muka yang memang sudah agak pucat itu menjadi semakin pucat. “Apa...? Bagaimana...?” Dan nenek itu tentu sudah roboh kalau tidak dipeluk cucunya. Yap Kun Liong cepat menghampiri dan memondong tubuh isterinya yang pingsan, lalu berkata kepada tiga orang muda itu. “Mari kita bicara di dalam...” Keadaan menjadi menyedihkan ketika tiga orang pemuda itu mengikuti kakek yang memondong tubuh nenek yang pingsan itu memasuki pondok, setelah merebahkan Cia Giok Keng di atas dipan dan mengurut beberapa jalan darahnya, akhirnya nenek itu mengeluh dan membuka matanya. Akan tetapi begitu dia melihat Thian Sin duduk di dekat situ, diapun menangis dan teringat lagi. “Ah, Ciauw Si... Ciauw Si anakku... mengapa engkau yang masib muda telah mati lebih dulu? Betapa buruk nasibmu, anakku...” Thian Sin menggigit bibirnya dan menahan agar jangan ikut menangis mendengar neneknya itu menangis sambil meratap. Yap Kun Liong menghibur isterinya. “Sudahlah, kematian akan datang kepada siapapun juga, muda maupun tua. Menyedihi si mati hanya melemahkan batin dan badan saja, dan tidak ada manfaatnya. Lebih baik kita mendengarkan Thian Sin menceritakan kematian ayah bundanya.” Cia Giok Keng menyusut air matanya lalu memandang kepada cucunya, menarik napas panjang untuk menenangkan hatinya yang tertekan, “Cucuku, ceritakanlah bagaimana ibumu sampai tewas?” Dengan lirih dan hati-hati Thian Sin lalu bercerita tentang pengeroyokan pasukan, baik pasukan dari Kerajaan Beng yang dibantu oleh pasukan dari Raja Agahai di utara, dan betapa dia sendiri oleh ibu dan ayahnya diungsikan sebelum malapetaka itu datang, mengungsi ke kuil pamannya, yaitu Hong San Hwesio Lie Seng dan belajar di bawah asuhan pamannya itu bersama Han Tiong, dan betapa kemudian dia ikut bersama kakak angkatnya itu dan mempelajari ilmu silat di Lembah Naga. Mendengar penuturan itu, Yap Kun Liong berkata, “Hemm, segala macam perbuatan manusia tiada bedanya dengan menanam benih yang tentu akan menumbuhkan pohon yang berkembang dan berbuah. Bunga dan buahnya tidak akan lepas daripada sifat benih yang ditanam itu sendiri. Oleh karena itu, segala akibat takkan lepas daripada sebabnya dan kita tidak perlu menyesal. Ciauw Si terbawa oleh akibat daripada perbuatan suaminya, maka hal itupun tidak perlu disesalkan.” “Tapi, anakku adalah seorang wanita gagah. Tidak semestinya terbunuh demikian menyedihkan. Kematiannya tidak mungkin dapat didiamkan saja! Para pembunuhnya tidak dapat membedakan siapa salah siapa benar, dan para pembunuhnya itu harus dibalas!” Yap Kun Liong memegang lengan isterinya. “Tenang dan sabarlah. Apakah engkau akan mengulang apa yang telah dilakukan oleh cucu dari para penghuni Padang Bangkai tadi, yaitu hidup diracuni dendam?” “Ah, tapi mereka itu lain lagi! Kakek dan nenek mereka adalah orang-orang jahat yang sudah sepatutnya dibunuh! Akan tetapi Ciauw Si anakku! Apa salahnya? Salahnya dia hanya jatuh cinta kepada seorang yang...” “Sudahlah, perlu apa menggali hal-hal yang sudah lalu? Mereka telah tiada, akan tetapi mereka meninggalken seorang putera dan dia telah menjadi seorang pemuda yang begini gagah,” kata Yap Kun Liong yang cepat mencegah isterinya melanjutkan kata-katanya mencela mendiang Ceng Han Houw di depan puteranya sendiri. “Cucuku...!” Cia Giok Keng lalu merangkul Thian Sin dan menangis. Betapapun juga, kunjungan tiga orang pemuda itu, terutama sekali hadirnya Thian Sin di situ, mendatangkan kegembiraan dalam hati nenek itu dan membuatnya sehat kembali. Tiga orang pemuda itu tinggal di puncak Bwee-hoa-san, melayani kakek dan nenek itu sehingga mereka merasa berbahagia sekali. Giok Keng merasa amat gembira dan amat mencinta cucunya. Saking girang dan senangnya terhadap cucunya, dia menyerahkan pedang pusakanya, yaitu Gin-hwa-kiam kepada Thian Sin, bahkan mengajarkan ilmu silat memainkan sabuk sebagai senjata yang ampuh. Memang nenek ini amat ahli mempergunakan sabuk panjang sebagai senjata dan sabuk ini memang lihai bukan main, dapat mempergunakan untuk menghadapi senjata tajam lawan dan melilit serta merampasnya. Juga Yap Kun Liong tidak tinggal diam. Dia merasa gembira dekat dengan tiga orang pemuda yang berbakat dan gagah perkasa itu, dan dia tahu bahwa inilah kesempatan terakhir baginya. Dia sudah tua, tidak mempunyai anak kecuali Yap Mei Lan yang telah pergi keluar negeri bersama suaminya, Souw Kui Beng (baca cerita Pendekar Lembah Naga). Maka kalau dia tidak meninggalkan ilmu-ilmunya tentu tak lama lagi akan terbawa mati. Dan siapa lagi yang lebih pantas menerima ilmu-ilmunya itu kecuali tiga orang pemuda ini? Yap Kun Liong merasa kagum bukan main melihat watak Cia Han Tiong. Dia tahu bahwa pemuda ini memiliki kebijaksanaan yang luar biasa, yang amat menonjol dan jauh melampaui dua orang pemuda lainnya. Dan diapun diam-diam merasa prihatin dan khawatir melihat sifat-sifat ganas yang dimiliki Thian Sin. Dalam percakapan berdua dengan Thian Sin, Yap Kun Liong banyak memberi nasihat-nasihat dan menanamkan jiwa kependekaran kepada pemuda ini, dan diapun mengajarkan Ilmu Pat-hong Sin-kun dan Pek-in-ciang yang amat lihai kepada Thian Sin. Kepada Cia Kong Liang dia mengajarkan Siang-liong-pang dan Im-yang Sin-kun. Dan kepada Cia Han Tiong dia telah memberikan kitab yang selama ini merupakan pusakanya yang amat disayangnya, yaitu kitab Keng-lun Tai-pun ciptaan Bun Ong yang mengandung pelajaran yang amat halus dan hanya dapat dimengerti oleh orang yang benar-benar berbakat! Demikianlah, tiga orang pemuda itu tinggal di situ sampai hampir satu bulan lamanya, dan mereka bertiga merasa gembira bukan main memperoleh ilmu-ilmu dari kakek dan nenek itu. Kemudian karena waktunya bagi Cia Kong Liang telah tiba untuk mewakili orang tuanya menghadiri undangan dari Tung-hai-sian di Ceng-tao Propinsi Shan-tung yang merayakan ulang tahun, mereka bertiga meninggalkan puncak Bwee-hoa-san, diantar oleh pandang mata kesepian oleh kakek dan nenek itu! *** Han Tiong dan Thian Sin diajak Kong Liang untuk ikut ke Ceng-tao, menemaninya mengunjungi pesta ulang tahun itu. Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng juga menganjurkan kepada dua orang pemuda itu untuk ikut. “Tung-hai-sian adalah datuk kang-ouw yang amat disegani di dunia timur, oleh karena itu dalam pesta perayaan itu tentu hadir banyak sekali orang-orang kang-ouw dan tokoh-tokoh besar. Pertemuan dengan mereka itu amat penting bagi kalian orang-orang muda,” demikian Yap Kun Liong berkata. Han Tiong dan Thian Sin memang juga ingin meluaskan pengalaman, maka tentu saja ajakan itu mereka terima dengan hati gembira. Mereka melakukan perjalanan ke timur dengan cepat dan di sepanjang perjalanan mereka bertiga itu bergembira. Maklumlah, biarpun Kong Liang disebut paman oleh mereka, namun usia mereka sebaya. Kong Liang berusia dua puluh dua tahun, Han Tiong sembilan belas tahun dan Thian Sin delapan belas tahun. “Ingat, kita bertiga mewakili Cin-ling-pai dan karena Cin-ling-pai sudah dikenal di seluruh dunia, maka kita harus menjaga gerak-gerik kita yang tentu akan diperhatikan orang. Dan karena aku yang bertanggung jawab atas nama Cin-ling-pai, maka kuminta agar kalian tidak sembarangan melakukan sesuatu sebelum ada ketentuan dariku. Di sana berkumpul banyak sekali orang kang-ouw, maka kalau kalian salah bertindak sedikit saja dapat menimbulkan kegemparan dan kalau sampai nama Cin-ling-pai terbawa, tentu ayah akan marah kepadaku.” “Baiklah, paman. Kami hanya ikut saja dan nonton, tentu saja kami tidak akan berani membuat ribut. Bukankah begitu, Sin-te?” Thian Sin hanya mengangguk, akan tetapi karena dia memang kadang-kadang mendongkol melihat sikap Kong Liang yang seolah-olah menganggap mereka berdua masih “hijau” dan bersikap kepada mereka seolah-olah mereka itu masih kanak-kanak, lalu berkata. “Kami mengerti, Paman Kong Liang. Pendeknya, biarlah engkau yang menjadi pemimpinnya, dan kami hanya mentaati saja.” Ucapan ini sewajarnya saja bagi Kong Liang yang mengangguk senang, akan tetapi Han Tiong yang telah mengenal watak adik angkatnya ini, benar-benar tahu bahwa adiknya itu merasa mendongkol dan dalam kata-katanya tadi terkandung ejekan. Siapakah adanya Tung-hai-sian (Dewa Laut Timur) ini? Mari kita berkenalan dengan tokoh yang terkenal sebagai datuk kaum persilatan di wilayah timur dan bahkan di sepanjang pantai timur. Sebetulnya, Dewa Laut Timur ini adalah bekas seorang bajak laut yang pernah menggemparkan seluruh permukaan laut yang amat luas dan namanya dikenal oleh semua pelaut baik pelaut Tiongkok, Jepang, maupun Korea. Dia adalah seorang “samurai” Jepang, seorang pendekar Jepang yang pernah menjadi pengacau atau pemberontak yang amat terkenal di Jepang. Sebetulnya dia bukanlah seorang samurai biasa saja. Kakeknya adalah seorang panglima besar yang bernama Minamoto, seorang pengikut Daig II yang dijatuhkan dari kedudukannya oleh Ashikaga Takauji. Karena junjungannya kalah dan jatuh, Panglima Besar Minamoto ini melarikan diri dan bersembunyi di pulau kosong bersama keluarganya. Di tempat ini mereka hidup sebagai nelayan biasa, akan tetapi bekas panglima itu tidak pernah padam cita-citanya, yaitu untuk sekali waktu keturunannya kembali ke Jepang untuk membalas dendam terhadap kaisar baru! Dia menurunkan ilmu-ilmunya kepada seorang cucunya yang berbakat, dan cucunya inilah yang sekarang menjadi Dewa Laut Timur! Tung-hai-sian ini dikenal di Tiongkok sepanjang pantai timur dengan nama Bin Mo To, yaitu sebutan dalam bahasa Tionghoa untuk nama Minimoto, karena dia memakai nama besar kakeknya. Setelah dia dewasa dan memiliki ilmu kepandaian tinggi, Minimoto muda ini meninggalkan pulau kosong untuk memenuhi cita-cita kakeknya. Di Jepang dia mengalahkan banyak jagoan samurai, menjadi pemimpin pemberontak dan berusaha memberontak terhadap istana yang pada waktu itu diperintah oleh Kaisar Muromaci. Akan tetapi usahanya gagal oleh karena usahanya ini ditentang oleh para pengikut aliran Zen Buddhis yang amat kuat. Dia gagal, pasukannya dihancurkan dan diapun dikejar-kejar. Maka larilah Minimoto dan menjadi buronan. Mulai saat itulah dia memasuki dunia penjahat, menjadi bajak laut dan karena dia terlahir di pulau kosong dan digembleng oleh segala macam ilmu oleh kakeknya, maka diapun memiliki keahlian ilmu dalam air laut yang amat hebat. Maka ketika dia menjadi bajak laut, sebentar saja namanya ditakuti semua orang. Pekerjaannya membajak kapal-kapal ini membuat dia berhasil mengumpulkan banyak harta. Pada usia empat puluh tahun, dia menghentikan pekerjaannya membajak dan bertempat tinggal di Korea, di mana dia hidup menjadi semacam “datuk” yang menerima “bagi hasil” dari para penjahat yang takut dan segan kepadanya. Namun, setelah tinggal di Korea selama lebih dari sepuluh tahun, kembali dia harus angkat kaki karena dimusuhi oleh Kerajaan Korea. Itulah sebabnya, dalam usia kurang lima puluh tahun, Minimoto atau Bin Mo To yang berjuluk Tung-hai-sian, julukan yang diperolehnya setelah dia tinggal di Ceng-tao, pindah ke kota itu dan di situ dia tidak lagi berani menjadi datuk secara terang-terangan. Tung-hai-sian Bin Mo To berusaha untuk membersihkan namanya dan mendirikan perkumpulan yang dinamai Mo-kiam-pang (perkumpulan Pedang Iblis), sebuah perkumpulan silat. Perkumpulan ini tidak secara terang-terangan melakukan kejahatan, akan tetapi seluruh penjahat di wilayah itu semua tunduk terhadap perkumpulan ini karena setiap penjahat yang tidak tunduk tentu akan berhadapan dengan pedang iblis yang amat ganas. Maka diam-diam Tung-hai-sian diangkatlah oleh dunia hitam sebagai datuk yang mereka takuti. Tung-hai-sian yang kaya raya dan lihai ini amat berpengaruh, dapat menguasai para pembesar setempat dengan sogokan-sogokan yang berani. Sebagian besar perusahaan pengawal, yaitu piauwkiok, seolah-olah menjadi anak buahnya dan semua membayar semacam “pajak” kepadanya kalau menghendaki pekerjaan mereka tidak terganggu. Perusahaan pengawal yang memakai bendera kuning kecil bergambarkan pedang bersilang dan tengkorak, yaitu tanda dari Mo-kiam-pang, dapat terlindung karena tak seorangpun penjahat berani mengganggunya. Dan untuk memperoleh bendera kecil ini tentu saja perusahaan itu harus membelinya dengan harga mahal. Juga Tung-hai-sian menanam banyak modal dalam perusahaan-perusahaan besar di kota-kota pelabuhan besar sehingga kekayaannya semakin bertambah. Tung-hai-sian Bin Mo To ini mempunyai banyak isteri atau selir, tidak kurang dari dua puluh orang, akan tetapi di antara para isterinya itu, hanya isteri ke dua sajalah yang mempunyai seorang anak perempuan. Isteri ke dua itu adalah seorang wanita Korea dan diperisterinya ketika dia masih tinggal di Korea, bahkan anaknyapun terlahir di Korea. Anak itu baru berusia tujuh tahun ketika dia pindah ke Ceng-tao dan kini anak itu telah berusia tujuh belas tahun, seorang anak perempuan yang cantik, bertubuh tinggi langsing seperti ibunya, berani dan tangkas dan lincah seperti ayahnya. Dara ini diberi nama Bin Biauw, dan tentu saja sebagai seorang puteri Tung-hai-sian yang menjadi pendiri dan ketua perkumpulan Mo-kiam-pang, Bin Biauw ini adalah seorang ahli pedang. Demikianlah sedikit riwayat dari Tung-hai-sian. Kini datuk ini mengadakan pesta untuk merayakan ulang tahunnya yang ke enam puluh, suatu hal yang baru dapat dilakukannya di bumi Tiongkok ini, di mana dia dapat hidup bebas dari pengejaran yang berwajib dan hidup sebagai seorang terhormat! Undangan itu tentu saja mengandung maksud. Pertama, dia hendak memperkenalkan diri kepada para tokoh kang-ouw sebagai datuk timur yang sepuluh tahun lebih ini tak pernah menemui tanding! Dan selain itu, juga dia hendak mencari-cari jodoh untuk puterinya yang telah berusia tujuh belas tahun. Tentu saja dia tidak sudi mencari mantu di antara tokoh-tokoh sesat. Puterinya tidak akan menjadi isteri seorang bajingan! Dia sendiri adalah keturunan samurai, keturunan jago dan pendekar kenamaan, maka puterinya harus memperoleh jodoh setidaknya seorang pendekar gemblengan pula! Inilah sebabnya maka dia mengundang semua perkumpulan besar kecil di dunia kang-ouw, bukan terbatas pada golongan sesat belaka. Dan demikian pula sebabnya maka Cin-ling-pai juga menerima undangan yang kini diwakili oleh Cia Kong Liang yang mengajak dua orang keponakannya. Rumah gedung milik Tung-hai-sian di kota Ceng-tao itu amat besar, dengan pekarangan depan luas sekali, juga dengan sebuah taman yang indah dan luas di sebelah kiri dan belakang rumah gedung yang seperti istana pembesar tinggi itu. Di sebelah kanan gedung itu terdapat rumah-rumah petak tempat tinggal para murid atau pembantunya, tokoh-tokoh Mo-kiam-pang yang tingkatnya sudah tinggi, ada belasan orang banyaknya. Adapun para murid lainnya berkumpul di sebuah rumah perkumpulan yang lebih besar lagi, yang berada di jalan itu juga, tidak begitu jauh dari rumah gedung tempat tinggal Tung-hai-sian. Pada hari yang telah ditentukan itu, para tamu membanjiri kota Ceng-tao dan suasana di gedung keluarga itu amat meriah. Pekarangan depan yang amat luas itu dijadikan ruangan tamu yang dihias dengan bunga-bunga dan kertas-kertas berwarna. Tempat itu dapat menampung seribu orang, dan tamu yang datang sedikitnya ada lima ratus orang dari bermacam golongan. Boleh dibilang dari hampir semua perkumpulan-perkumpulan dunia persilatan, baik dari golongan bersih maupun dari golongan kotor, apa yang disebut kaum putih dan kaum hitam, mengirimkan wakil, bahkan banyak pula yang ketuanya memerlukan hadir sendiri. Thian Sin dan Han Tiong yang mengikuti Kong Liang hadir di tempat yang luas itu, dari jauh melihat pula hadirnya seorang pemuda pesolek tampan yang membuat mereka terkejut karena tidak disangkanya mereka akan melihat pemuda itu di situ. Pemuda itu bukan lain adalah Siangkoan Wi Hong. Si pemuda pesolek, pemain yang-kim yang pandai. Kiranya pemuda itu hadir mewakili ayahnya, yaitu Pak-san-kui yang dianggap sebagai datuk utara. Tidaklah mengherankan kalau dia disambut sebagai tamu agung ditempatkan di ruangan kehormatan, yaitu panggung yang dibuat sengaja untuk menyambut tamu-tamu yang dihormati. Siangkoan Wi Hong datang bersama tiga orang kakek yang juga dikenal oleh Han Tiong. Dia teringat betapa dahulu ayahnya pernah diuji oleh Pak-san-kui, diadu dengan tiga orang kakek itu yang berjuluk Pak-thian Sam-liong, yaitu murid-murid Pak-san-kui yang lihai. Dan tiga orang pemuda itupun terkejut ketika melihat hadirnya seorang dara manis yang bukan lain adalah So Cian Ling, murid dari See-thian-ong atau keturunan penghuni Padang Bangkai yang pernah datang untuk membalas dendam kepada Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng itu! Dara cantik manis itu datang mewakili suhunya, ditemani oleh seorang suhunya yang kelihatan gagah dan berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun. Juga wakil-wakil dari See-thian-ong in memperoleh kursi di panggung kehormatan. Tiga orang pemuda yang mengaku wakil Cin-ling-pai itu tidak memperoleh kursi di panggung kehormatan dan hal ini saja menyatakan bahwa datuk kaum sesat itu tidak memandang tinggi kepada fihak Cin-ling-pai! Akan tetapi hal itu tidak mendatangkan perubahan pada wajah Kong Liang yang tampan itu, sungguhpun sebenarnya hati merasa panas sekali! Memang pemuda ini sudah pandai menyimpan perasaannya. Betapapun juga Han Tiong dan Thian Sin yang merasa lega karena dengan mendapat duduk di golongan tamu biasa mereka tidak harus bertemu muka dengan Siangkoan Wi Hong dan So Cian Ling. Semua tokoh kang-ouw melihat-lihat dan merasa heran mengapa seorang di antara empat datuk, yaitu Lam-sin (Malaikat Selatan) tidak nampak mengirim wakilnya, padahal nama Lam-sin juga amat terkenal sungguhpun jarang ada orang yang pernah bertemu dengan orangnya. Hanya namanya sajalah yang amat terkenal, dan nama itu dibuat terkenal oleh para anggautanya, yaitu golongan pengemis! Lam-sin ini di selatan menjadi ketua dari sebuah perkumpulan pengemis yang terkenal dengan nama yang amat sombong, yaitu Bu-tek Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Tanpa Tanding)! Dan memang menurut kabar angin, perkumpulan ini memiliki anggauta-anggauta yang semua memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi dan anggauta mereka tidaklah banyak, ketanya hanya dua puluh orang lebih namun rata-rata amat lihai sehingga nama Bu-tek Kai-pang itu ditakuti semua orang, apalagi ketuanya yang hanya dikenal sebagai Lam-sin atau Malaikat Selatan. Lam-sin sendiri tidak pernah keluar, akan tetapi setiap ada pengemis sakti dari Bu-tek Kai-pang melakukan sesuatu yang menggemparkan dunia kang-ouw, tentu nama Lam-sin semakin terangkat karena setiap pengemis sakti itu amat menjunjung tinggi nama Lam-sin sebagai guru dan majikan mereka! Pendeknya, sampai sekarang nama Lam-sin merupakan tokoh misterius yang hanya dikenal nama namun belum dikenal rupanya itu. Pesta itu berjalan dengan amat meriah. Suguhan-suguhan yang dihidangkan adalah masakan-masakan yang mahal dan araknya juga arak pilihan, pendeknya benar-benar merupakan pesta seorang yang kaya raya. Semua ini masih diramaikan dengan serombongan penari dan penyanyi yang didatangkan dari Nan-king, yang tentu saja amat mahal bayarannya. Selagi pesta itu berlangsung meriah, tiba-tiba seorang pembantu fihak tuan rumah yang bertugas sebagai pengacara bangkit berdiri di atas panggung di mana para penari baru saja mengundurkan diri. Musikpun berhenti dan terdengar suara orang itu lantang, “Dimohon perhatian cu-wi yang mulia! Atas perintah fihak tuan rumah, kami memberitahukan bahwa acara hiburan ditunda untuk memberi kesempatan kepada Bin-siocia yang hendak memberi selamat kepada Bin-loya (tuan Besar Bin). Hendaknya cu-wi maklum bahwa Bin-siocia adalah puteri tunggal dari Tuan Besar Bin Mo To yang mulia. Dan sebagai hadiah untuk ayahnya, Bin-siocia berkenan hendak mempertunjukkan tarian pedang!” Tentu saja pengumuman itu disambut dengan tepuk sorak riuh karena para tamu tentu saja ingin sekali melihat ilmu pedang dari puteri Tung-hai-sian Bin Mo To. Hanya beberapa orang saja di antara para tamu, termasuk para pembesar di Ceng-tao, yang sudah tahu bahwa Bin-siocia adalah seorang dara yang amat cantik dan manis, dan yang kabarnya memiliki ilmu silat yang amat tinggi, paling tinggi di antara anak buah atau murid-murid datuk itu sendiri! Tiba-tiba terdengar musik ditabuh, yaitu tambur dan gembreng dan terompet. Selagi tambur dipukul gencar, dari dalam keluarlah seorang dara berpakaian serba merah, baju dan celana merah muda, ikat pinggang merah tua, pita rambut merah tua dan di dadanya terdapat hiasan dari sutera kuning, kedua kakinya mengenakan sepatu hitam yang mengkilap. Bukan main cantik manis dan gagahnya dara itu nampaknya. Pakaiannya dari sutera tipis itu menempel ketat di tubuhnya, membuat tubuhnya nampak menonjol dan padat menggairahkan, namun juga menimbulkan segan karena sikapnya amat gagah. Dia berlari keluar, berlari kecil seperti seorang penari yang lincah, dan wajahnya yang manis itu tersenyum ketika dia memandang kepada para tamu dan mengangguk sebagai tanda terima kasih karena para tamu menyambutnya dengan tepuk tangan riuh. Ketika dara itu tersenyum, nampak dua buah lesung pipit di kanan kiri mulutnya, dan memang dara ini manis sekali. Mulutnya merupakan daya tarik yang paling kuat dari wajahnya, sebuah mulut yang amat indah, dengan bibir melengkung penuh berkulit tipis seolah-olah setiap saat bibir itu akan pecah dan mengeluarkan darah karena bibir itu nampak demikian merah dan basah. Ketika dia tersenyum dan kedua bibir itu agak terpisah merenggang, nampak kilauan gigi putih seperti mutiara. Di punggungnya tergantung sebatang pedang dengan ronce berwarna kuning emas. Dara itu adalah Bin Biauw, puteri remaja berusia tujuh belas tahun yang merupakan anak tunggal dari Tung-hai-sian Bin Mo To! Setelah berlari berputaran di atas panggung sambil memberi hormat dengan kedua tangan dirangkap di depan dada kepada para penonton yang menjadi tamu, Bin Biauw lalu menghampiri panggung di mana ayahnya duduk. Semua mata kini memandang ke arah tuan rumah. Tung-hai-sian adalah seorang kakek berusia enam puluh tahun yang mengenakan pakaian mewah, di kanan kirinya duduk dua orang wanita setengah tua yang juga berpakaian mewah. Di sebelah kanan itu adalah isterinya yang pertama, sedangkan di sebelah kirinya adalah isterinya yang ke dua atau ibu kandung Bin Biauw. Isteri pertamanya tidak mempunyai anak dan dia adalah seorang wanita Jepang, tidak seperti ibu Bin Biauw yang merupakan wanita Korea, bertubuh tinggi langsing seperti Bin Biauw. Tung-hai-sian sendiri bertubuh pendek tegap dan bersikap gagah, biarpup usianya sudah enam puluh tahun namun dia masih nampak kuat, hanya kepalanya saja yang sudah botak kelimis, hanya ditumbuhi rambut di bagian belakang dan dekat telinga sampai ke pelipis. Ubun-ubun dan atas dahinya sudah tidak ada rambutnya sama sekali. Di pinggangnya tergantung sebatang pedang samurai yang sarungnya amat indah. Sepasang matanya yang lebar itu amat tajam, dan alisnya hanya merupakan bundaran hitam kecil saja yang ditumbuhi rambut pendek-pendek. Biarpun Tung-hai-sian sudah menjadi datuk dunia persilatan di daratan Tiongkok, bahkan sudah berganti nama dengan nama Bin Mo To sebagai pengganti nama Minamoto, namun kakek ini dalam kesempatan gembira merayakan hari ulang tahunnya yang ke enam puluh tahun itu mengenakan pakaian seorang Samurai Jepang! Kakinya juga memakai sandal model Jepang dan dia kelihatan bangga sekali berpakaian seperti itu! Bin Biauw menghampiri ayahnya dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki ayahnya. Kakek ini merangkul dan mencium kepala puterinya sambil tertawa gembira. Setelah mengucapkan selamat dengan suara lirih yang tertindih oleh suara musik, dara itu lalu bangkit dan berlari lagi ke atas panggung, sesudah menghormat ke empat penjuru, tiba-tiba dia mengeluarkan teriakan melengking nyaring dan tahu-tahu dia sudah mencabut sebatang pedang yang mengeluarkan sinar kilat sehingga mengejutkan semua orang. Itu adalah sebatang pedang pusaka yang hebat, pikir mereka. Kemudian dara itu mulai bersilat pedang, atau menari pedang, karena gerakannya lemah gemulai seperti orang menari mengikuti irama tambur dan gembreng, akan tetapi di dalam gerakan tari lemah gemulai ini terkandung kekuatan yang dahsyat, yang menyambar setiap kali pedang berkelebat dan semua orang yang hadir, kebanyakan ahli-ahli silat, dapat melihat betapa ujung pedang tergetar setiap kali digerakkan, getaran yang mendatangan suara mengaung! Jelaslah bahwa dara ini bukan sekedar menari biasa. Sungguhpun tari-tarian itu merupakan gerakan-gerakan yang amat indah, sesuai dengan tubuhnya yang tinggi langsing, namun jelas bahwa dara itu sedang mainkan ilmu silat yang selain indah juga amat tangguh sekali! Dan benarlah dugaan mereka karena semakin lama, gerakan itu semakin cepat dan ketika bunyi tambur dan gembreng sudah menjadi cepat sekali, dara itu lenyap, yang nampak hanya bayangan merah terbungkus oleh gulungan sinar pedang putih berkeredepan menyilaukan mata. Semua orang bertepuk tangan memuji karena memang harus mereka akui bahwa jarang mereka menyaksikan ilmu pedang yang demikian hebatnya. Tiba-tiba Tung-hai-sian mengambil sebatang lilin merah yang bernyala, dan dia melontarkan lilin itu ke arah puterinya sambil berseru. “Sambutlah, anak Biauw!” Tiba-tiba bayangan yang dibungkus gulungan sinar itu berhenti dan nampak dara itu berdiri tegak menanti sampai lilin yang dilontarkan itu tiba di atasnya, kemudian, secepat kilat pedangnya bergerak ke kanan kiri... dan lilin bernyala itu agaknya seperti tertahan oleh sesuatu di udara, dan berulah sesudah dara itu menghentikan gerakannya, lilin itu terjatuh ke atas lantai dan... berserakan menjadi belasan potong, sedangkan ujung lilin yang bernyala kini ternyata telah menempel di ujung pedang! Tentu saja kepandaian seperti itu adalah kepandaian yang merupakan keahlian karena dilatih, akan tetapi betapapun juga, tanpa memiliki gerakan yang cepat dan kuat, tidak mungkin dapat melakukan seperti itu. Dan meledaklah tepuk tangan para tamu yang merasa kagum sekali. “Bagus, kiam-hoat (ilmu pedang) yang bagus sekali!” Tiba-tiba terdengar seruan nyaring mengatasi kegaduhan tepuk tangan itu. Semua orang menoleh, juga Bin Biauw menoleh. Ternyata yang berseru itu adalah Thian Sin! Saking kagumnya, bahkan hanya melihat ilmu peding itu melainkan terutama sekali melihat kecantikan dara itu, Thian Sin lupa diri dan dia memuji sambil bangkit berdiri. Melihat ulah adiknya, Han Tiong terkejut sekali dan dia maklum bahwa adiknya itu tentu tertarik sekali kepada dara yang cantik itu, karena diapun sudah tahu akan kelemahan hati adiknya terhadap wanita cantik. Sementara itu, ketika menengok dan melihat pemuda yang amat tampan itu, Bin Biauw menjadi merah mukanya, akan tetapi dia menahan senyum dan mengerling malu-malu. Hati siapa takkan merasa girang dan bangga kalau dipuji, terutama sekali hati seorang wanita yang selalu haus akan pujian, dan lebih-lebih lagi kalau pemujinya itu seorang pemuda yang demikian gantengnya? Juga Bin Mo To yang bangkit berdiri, dari atas dapat melihat pemuda tampan gagah yang mengeluarkan seruan pujian itu, maka dia lalu tersenyum dan memberi perintah kepada pengacara dengan kata-kata lirih. Pengacara itu segera bangkit dan menuju ke panggung, lalu berkata dengan lantang, “Kami menyampaikan permintaan Bin-loya kepada cu-wi yang terhormat, bahwa untuk meramaikan pesta dan untuk menguji kepandaian Bin-siocia, maka dipersilakan kepada para pendekar muda yang mau menambah meriah pesta ini untuk melayani Bin-siocia bermain pedang!” Ucapan itu tentu saja disambut dengan riuh-rendah dan semua tamu tertawa. Pengumuman itu sudah tidak aneh lagi artinya bagi orang-orang kang-ouw. Kalau seorang ayah memberi kesempatan kepada orang-orang muda untuk bertanding dengan puterinya, hal itu dapat diartikan bahwa sang ayah hendak mencarikan jodoh bagi puterinya! Hampir semua tokoh kang-ouw tentu saja menghendaki mantu yang lihai bagi puterinya, maka selalu diadakan sayembara pertandingan silat untuk memilih mantu. Dan agaknya datuk wilayah timur inipun tidak ketinggalan. Akan tetapi, siapakah yang berani untuk maju? Sebagian besar dari mereka sudah kehilangan nyali menyaksikan permainan pedang dari Bin Biauw tadi, yang memang amat lihai. Apalagi kalau diingat bahwa dara itu adalah puteri tunggal dari Tung-hai-sian, mereka merasa lebih sungkan dan segan lagi. Tidak boleh main-main dengan keluarga datuk itu! Semua orang memandang ke arah Thian Sin yang masih berdiri, juga dara itu sendiri memandang kepadanya, agaknya mengharapkan pemuda tampan itu untuk maju. Dan Thian Sin memang sudah merasa gatal tangan dan hatinya untuk maju menandingi nona manis itu, akan tetapi tiba-tiba dia merasa tangannya disentuh dan ditarik oleh kakaknya dan terdengar bisikan Kong Liang, “Thian Sin, kau duduklah!” Teringatlah Thian Sin bahwa dia hanya ikut saja dengan pamannya itu dan dia sama sekali tidak diperbolehkan bergerak sebelum mendapat perkenan Cia Kong Liang, maka diapun lalu duduk kembali. Bin Biauw kelihatan kecewa, akan tetapi tidak demikian dengan Tung-hai-sian, karena datuk ini tentu saja tidak menghendaki seorang mantu dari golongan rendah, yaitu golongan tamu yang duduk di bawah panggung. Sejak tadi perhatiannya tertuju kepada Siangkoan Wi Hong. Pemuda yang baru pertama kali dilihatnya ini tentu saja amat menarik perhatiannya, setelah memperkenalkan diri sebagai putera Pak-san-kui! Pemuda yang cukup tampan dan gagah, apalagi putera Pak-san-kui, sungguh akan merupakan pasangan yang cocok bagi puterinya, setingkat, bahkan segolongan! Maka, diam-diam dia mengharapkan pemuda itu untuk maju menandingi puterinya agar dia dapat melihat kelihaian pemuda itu yang dia yakin tentu berkepandaian tinggi sebagai putera Pak-san-kui. Ternyata tidak ada orang yang berani sembarangan naik ke panggung untuk menyambut ajakan Tung-hai-sian tadi. Banyak di antara mereka yang merasa jerih untuk menandingi ilmu pedang yang demikian lihainya dari Bin Biauw, akan tetapi sebagian besar di antara mereka itu lebih merasa segan terhadap Tung-hai-sian sendiri. Apalagi mereka yang duduk di bawah panggung, andaikata di antara mereka ada yang merasa kuat melawan Bin Biauw sekalipun, agaknya mereka masih harus pikir-pikir beberapa kali untuk berani memamerkan kepandaian di depan datuk itu, apalagi dalam kesempatan di mana hadir begitu banyak tokoh-tokoh besar dunia persilatan. Pembicaraan atau pengatur acara tadi telah menerima bisikan-bisikan dari Tung-hai-sian, maka setelah melihat bahwa di antara para tamu tidak ada yang berani maju dia lalu angkat bicara lagi dengan sikap ramah, “Bin-loya telah mohon kepada cu-wi untuk meramaikan pesta dan melayani Bin-siocia beberapa jurus, apakah cu-wi merasa sungkan? Kami melihat bahwa di sini hadir wakil-wakil dari tokoh-tokoh besar, bahkan ada wakil-wakil dari See-thian-ong dan dari Pak-san-kui Locianpwe, diharap agar cu-wi yang mewakili kedua locianpwe sudi memberi petunjuk kepada Bin-siocia, selain untuk memeriahkan pesta juga hitung-hitung untuk memperkekal persahabatan, demikian pesan Bin-loya.” Mendengar ucapan itu, So Cian Ling bergerak di tempat duduknya, akan tetapi dia dilarang oleh suhengnya dan sang suheng inilah yang bangkit berdiri. Dia adalah seorang pria berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus, mukanya agak pucat dan matanya sipit, pakaiannya sederhana dari kain berwarna kuning. Pria ini bernama Ciang Gu Sik dan merupakan murid pertama atau murid kepala dari See-thian-ong, itu datuk wilayah barat yang terkenal. Akan tetapi, dalam hal ilmu silat, dia masih sedikit di bawah tingkat So Cian Ling, sungguhpun dara itu merupakan sumoinya. Hal ini adalah karena So Ciang Ling amat disayang oleh See-thian-ong sehingga murid wanita inilah yang menerima ilmu-ilmu simpanan Sang Datuk! Betapapun juga, tingkat kepandaian Ciang Gu Sik sudah terhitung tinggi dan karena sudah percaya penuh akan kepandaiannya, maka dia dipercaya untuk mewakili See-thian-ong dalam memenuhi undangan Tung-hai-sian itu, sedangkan So Cian Ling hanya ikut suhengnya untuk menambah pengalaman saja. Ketika tadi melihat puteri tuan rumah itu bermain pedang, diam-diam So Cian Ling juga merasa kagum akan keindahan ilmu pedang itu. Akan tetapi dia merasa bahwa dia akan sanggup menandingi ilmu pedang yang indah itu, akan tetapi tentu saja dia tidak peduli, karena kedatangannya hanya ikut sang suheng dan hanya ingin menambah pengalaman dengan menjumpai orang-orang pandai dari segala fihak. Akan tetapi ketika dia melihat seorang pemuda di bawah panggung memuji ilmu pedang itu dan dia mengenal Thian Sin sebagai pemuda tampan yang amat menarik hatinya ketika dia dan para pamannya bertemu dengan pemuda itu di puncak Bwee-hoa-san, diam-diam hatinya merasa... cemburu dan panas! Inilah sebabnya maka dia berniat untuk menandingi Bin Biauw, bukan hanya untuk mengalahkan dara itu, melainkan terutama sekali untuk memperlihatkan kepada Thian Sin bahwa dia tidak kalah oleh dara puteri tuan rumah. Akan tetapi suhengnya melarangnya karena suheng ini maklum bahwa yang dikehendaki oleh tuan rumah adalah majunya tamu-tamu pria! Dia sendiri bukan seorang pria yang suka kepada wanita sehingga sampai berusia tiga puluh lima tahun dia masih belum menikah. Dia tidak merasa tertarik kepada Bin Biauw, akan tetapi pemuda ini amat menjunjung tinggi nama gurunya. Oleh karena itu, ketika nama gurunya disebut-sebut, dia merasa penasaran juga. Kalau dia tidak maju, tentu orang-orang di situ akan mengira bahwa wakil dari See-thian-ong takut untuk menghadapi puteri tuan rumah dan hal itu berarti gurunya akan dipandang rendah. Begitu Ciang Gu Sik bangkit berdiri dan tubuhnya yang tinggi kurus itu melangkah maju ke depan, semua tamu memandang dengan mata terbelalak dan hati tegang, juga gembira karena ternyata ajakan atau tantangan itu kini diterima seorang tamu yang duduk di bagian kehormatan. Bin Biauw juga memandang kepada pria itu dan alisnya sedikit berkerut. Dia sudah bermufakat dengan ayahnya untuk memilih calon jodoh, dan melihat pria yang maju ini, jelas bahwa dia tidak akan sudi berjodoh dengan orang ini! Sungguhpun dia tahu dan sudah diperkenalkan tadi bahwa pria ini adalah murid kepala dari See-thian-ong! Ciang Gu Sik maklum bahwa majunya itu diikuti oleh pandang mata semua tokoh kang-ouw yang hadir, dan bahwa majunya itu bukanlah suatu hal yang boleh dibuat main-main karena dia mewakili gurunya, maka dia lalu memberi hormat ke arah tempat duduk Tung-hai-sian, kemudian dia menjura ke empat penjuru, kemudian dia bicara, ditujukan kepada para tamu, “Cu-wi yang mulia. Sesungguhnya saya tidak akan berani lancang maju ke panggung ini untuk memamerkan kepandaian. Akan tetapi karena tadi wakil dari Bin-locianpwe menyebut nama guru kami, yaitu See-thian-ong, maka sebagai wakil beliau dan murid kepala, terpaksa saya maju untuk atas nama suhu membantu memeriahkan pesta ini.” Setelah berkata demikian, dia lalu membalikkan tubuh menghadapi Bin Biauw, menjura dan berkata. “Maafkan saya yang lancang berani memajukan diri untuk melayanimu, nona.” “Ah, aku malah gembira sekali bahwa murid utama dari See-thian-ong Locianpwe mau untuk maju dan memberi petunjuk kepadaku yang bodoh.” kata Bin Biauw dengan gayanya yang lincah. Sementara itu, pembicara yang mewakili Tung-hai-sian sudah memperoleh bisikan pula dari majikannya dan dia berkata dengan lantang. “Permainan silat bersama diadakan selama lima puluh jurus saja. Kalau selama lima puluh jurus tidak ada fihak yang kalah, berarti bahwa kedua fihak sama kuatnya dan memiliki tingkat yang sama! Demikianlah keputusan dari Bin-loya!” Bin Biauw tersenyum manis, menggerakkan pedangnya di depan dada dan berkata. “Silakan Ciang-sicu memilih senjata!” Ciang Gu Sik meraba pinggangnya dan mengeluarkan senjatanya yang ternyata adalah sebuah senjata yang disebut Kim-coa-joan-pian (Cambuk Ular Emas), semacam ruyung lemas yang dapat dipergunakan sebagai ikat pinggang, gagangnya berbentuk kepala ular terbuat dari pada emas. “Tar-tarr!” Pecut itu meledak dua kali di atas kepalanya. “Bin-siocia, saya sudah siap!” katanya dengan tangan kanan yang memegang joan-pian di atas kepala dan tangan kiri miring di depan dada, kaki kiri diangkat dan ditekuk di depan tubuhnya, sikapnya tenang dan kokoh sekali. Bin Biauw tersenyum, lalu membentak. “Lihat serangan!” Pedangnya sudah meluncur dengan cepat membentuk sinar kilat menuju ke dada lawan. “Tar! Tringgg...!” Joan-pian itu berubah menjadi lurus kaku dan menangkis pedang, kemudian mcluncur ke samping. Pada saat itu, pedang yang tertangkis sudah menerjang lagi, dan pecut itu dari samping menyambar ke arah pundak dan sambungan siku yang memegang pedang, melakukan totokan untuk mendahului gerakan pedang. “Hemm...!” Bin Biauw terpaksa mengelak dan dengan sendirinya tusukannyapun batal, dan diam-diam dia tahu bahwa lawannya ini amat tenang dan amat lihai maka dia berlaku hati-hati dan segera memutar pedangnya sedemikian rupa sehingga tubuhnya diselimuti gulungan sinar pedang yang berkilauan! Melihat ini, murid See-thian-ong itupun cepat memutar joan-pian di tangannya sehingga nampak sinar keemasan bergulung-gulung. Joan-pian itu memang gagangnya terbuat dari emas murni dan joan-piannya sendiri terbuat daripada baja diselaput emas maka sinarnya menjadi keemasan. Nampaklah pemandangan yang amat indah menyilaukan mata ketika dua gulungan sinar yang putih berkilauan dan keemasan saling sambar dan saling desak. Bagi mata orang yang kurang tinggi kepandaiannya, tentu sukar untuk dapat mengikuti gerakan kedua orang itu. Gerakan mereka cepat dan kuat, dan keduanya mengadu kepandaian dengan pengerahan tenaga dan keduanya berusaha untuk menang karena pertandingan itu bagi mereka merupakan adu kepandaian untuk mempertahankan nama guru mereka masing-masing. Bin Biauw tidak lagi bertanding untuk menguji kepandaian seorang pria yang mungkin menjadi calon jodohnya, melainkan hendak mempertahankan nama ayah dan juga gurunya agar tidak kalah oleh murid See-thian-ong datuk dari barat itu, sebaliknya Ciang Gu Sik sama sekali bukan melawan dara itu karena tertarik kepadanya melainkan juga hendak memperlihatkan bahwa See-thian-ong tidak kalah dari Tung-hai-sian! Jadi pertandingan itu mewakili datuk barat dan datuk timur, masing-masing tidak mau kalah. Oleh karena itu, pertandingan itu hebat sekali dan hal ini dirasakan oleh semua orang, terutama sekali oleh mereka yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan yang dapat mengikuti jalannya pertandingan itu dengan jelas. So Cian Ling memandang jalannya pertandingan itu dengan alis berkerut. Dia mengerti bahwa suhengnya itu terus didesak dan dia merasa menyesal mengapa suhengnya tidak membiarkan dia saja yang maju tadi, karena dia merasa dapat menandingi puteri Tung-hai-sian itu. Biarpun suhengnya eukup lihai dengan joan-piannya, akan tetapi dibandingkan dengan lawan, dia itu kalah senjata, dalam arti kata kalah ampuh senjatanya sehingga keunggulan senjata itu membuat lawan dapat lebih menindih dan mendesaknya. Memang kalau hanya lima puluh jurus saja, belum tentu Bin Biauw akan mampu mengalahkan suhengnya, akan tetapi kini jelas nampak oleh semua tokoh kang-ouw bahwa suhengnya itu telah terdesak dan lebih banyak menangkis daripada menyerang! Dan semua orang yang sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi tentu sudah dapat menduga bahwa kalau dilanjutkan lebih dari lima puluh jurus, suhengnya itu tentu akan kalah! Penglihatan So Cian Ling itu memang benar. Dengan ilmu pedangnya yang hebat, Bin Biauw mulai mendesak lawannya dan betapapun murid See-thian-ong itu berusaha untuk balas menyerang, tetap saja dia harus melindungi diri lebih dulu dan setelah lawan menyerang tiga jurus, barulah dia mampu membalas dengan satu kali serangan. Dia didesak terus dan main mundur, akan tetapi dia masih mampu mempertahankan sampai wakil Tung-hai-sian berseru, “Lima puluh jurus telah lewat! Kedua fihak tidak ada yang kalah, berarti keduanya sama kuat!” Bin Biauw menarik pedangnya dan berdiri sambil tersenyum manis, melintangkan pedangnya di depan dada. Ciang Gu Sik juga menarik joan-piannya, dan dia menjura. “Ilmu pedang Bin Siocia sungguh amat tangguh!” katanya dengan jujur. “Ah, Ciang-sicu terlalu merendah dan mengalah!” kata Bin Biauw sambil tetap bersenyum. Para penonton menyambut dengan tepuk sorak, dan tentu saja tepuk sorak itu ditujukan untuk memuji Bin Biauw. Dengan muka agak kemerahan, murid See-thian-ong itu kembali ke tempat duduknya, disambut oleh So Cian Ling dengan alis berkerut karena betapapun juga, peristiwa itu membuat dara ini merasa penasaran dan tersinggung. Bin Biauw masih berdiri di atas panggung. Hatinya merasa penasaran. Mengapa pemuda tampan di bawah panggung tadi tidak berani naik? Kalau pemuda itu yang melayaninya, tentu dia akan merasa gembira sekali! Tapi Kong Liang sudah berbisik-bisik kepada dua orang keponakannya itu. “Jangan kalian sembarangan bergerak. Di sini terdapat banyak sekali tokoh kang-ouw yang lihai. Dan ternyata tuan rumah tidak menghargai Cin-1ing-pai. Hemm, kalian lihat saja hal ini tak dapat kudiamkan saja!” “Apakah paman hendak melayani nona itu?” Thian Sin berbisik. “Kalau perlu, akan kuperlihatkan bahwa kita tidaklah kalah oleh mereka yang duduk di atas panggung!” Diam-diam Kong Liang merasa penasaran dan marah karena dia dan dua orang keponakannya, walaupun sudah mengaku sebagai wakil Cin-ling-pai, tetap saja dipersilakan duduk di bawah panggung. Ini dianggapnya suatu penghinaan bagi Cin-ling-pai! “Ah, di sinipun tidak apa-apa, apa sih bedanya dengan di atas panggung, paman?” Han Tiong berkata karena memang di dalam hatinya, dia sama sekali tidak merasa penasaran, tidak seperti Thian Sin yang setuju dengan pendapat paman itu. “Bagi kita pribadi memang tidak ada bedanya, akan tetapi kita membawa nama Cin-ling-pai, dan kalau orang tidak menghormati Cin-ling-pai, aku tidak bisa tinggal diam saja!” “Biarlah aku menghadapi nona itu, paman, mewakilimu dan Cin-ling-pai,” kata Thian Sin. “Thian Sin, jangan kau gegabah! Nona itu lihai sekali ilmu pedangnya. Kalau kau mewakili Cin-ling-pai dan sampai kalah, bukankah berarti nama Cin-ling-pai makin hancur lagi? Pula, kalau engkau sampai terluka oleh pedang nona itu, bukankah aku akan mendapat marah dari ayah? Aku yang bertanggung jawab atas keselamatan kalian berdua. Selain nona itu, di sini banyak orang pandai. Lebih baik kalian diam saja dan hanya bersiap-siap membantu kalau ada terjadi kecurangan terhadap diriku.” Thian Sin hendak membantah akan tetapi pandang mata Han Tiong membuat dia terdiam. Sementara itu, pembantu Tung-hai-sian sudah berseru lagi dengan suara lantang dan gembira, “Siapa lagi di antara para pendekar yang ingin memeriahkan pesta, silakan maju. Tadi dari fihak Locianpwe See-thian-ong telah ada waklinya yang maju, maka oleh Bin-loya diharapkan majunya wakil dari Pak-san-kui Locianpwe dan juga dari Lam-sin Locianpwe yang belum nampak wakilnya. Silakan, silakan. Nona kami masih sabar menunggu!” Siangkoan Wi Hong berbisik-bisik dengan Pak-thian Sam-liong, tiga orang laki-laki gagah yang menjadi murid kepala Pak-san-kui. Mereka bertiga itu setuju kalau Siangkoan Wi Hong maju karena mereka tahu bahwa Siangkoan-kongcu mereka itu memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi daripada mereka sendiri dan lebih pantas kalau kongcu itu yang menandingi puteri tuan rumah, selain untuk mempertahankan nama Pak-san-kui, juga untuk mencoba kalau-kalau berjodoh dengan nona manis puteri Tung-hai-sian itu. “Akan tetapi kalian tahu bahwa aku tidak ingin menikah, suheng!” kata Siangkoan Wi Hong berbisik. Tiga orang suheng itupun tahu akan hal ini. Siangkoan Wi Hong adalah seorang pemuda yang sejak remaja sudah suka bermain-main dengan wanita, bahkan banyak mempunyai selir di mana-mana. Akan tetapi anehnya, pemuda ini tidak pernah mau mengikatkan diri dengan pernikahan, maka biarpun dia kagum melihat kecantikan Bin Biauw, tetap saja dia tidak bermaksud untuk membiarkan diri menjadi calon suami nona itu. Kalau hanya berkenalan dan bermain-main, tentu dia akan menyambutnya dengan senang sekali! “Kongcu, saat ini, soal perkawinan tidaklah begitu penting. Yang terpenting adalah mempertahankan kehormatan ayah kongcu sebagai datuk utara! Kalau kini puteri datuk timur dan murid datuk barat telah memperlihatkan kepandaian, apa kata orang kalau kita diam saja? Disangka bahwa wakil-wakil datuk utara tidak berani muncul!” Siangkoan Wi Hong menarik napas panjang dan diapun bangkit berdiri. Melihat ini, hati Tung-hai-sian girang sekali. Dia ingin sekali melihat sampai di mana kelihaian putera Pak-san-kui itu yang kabarnya merupakan seorang yang selain lihai dan dikenal sebagai datuk, juga seorang yang amat kaya raya. Kiranya sudah cocoklah kalau dia berbesan dengan Pak-san-kui, akan tetapi dia harus melihat dulu kemampuan pemuda yang tampan dan pesolek itu. Maka dengan girang dia lalu bertepuk tangan, diikuti oleh para tamu yang duduk di ruangan kehormatan, dan wakil pembicara itu lalu berteriak “Siangkoan-kongcu, putera dari Locianpwe Pak-san-kui, berkenan untuk maju meramaikan pesta!” Mendengar ini semua orang memandang dan ketika melihat seorang pemuda yang tampan dan berpakaian mewah menuju ke tengah panggung sambil membawa sebuah alat musik yang-kim yang kedua ujungnya berbentuk gagang dan runcing pedang, mereka bertepuk tangan. Akan tetapi Siangkoan Wi Hong menghampiri tempat duduk Tung-hai-sian, lalu menjura dengan hormat. “Paman Tung-hai-sian,” katanya dengan sikap ramah dan dia sengaja menyebut “paman” agar lebih akrab. “Saya mewakili ayah, Pak-san-kui Siangkoan Tiang, untuk menyampaikan selamat kepada paman dan semoga paman diberi berkah panjang umur. Sekarang, karena diundang untuk memeriahkan pesta, terpaksa saya berlancang tangan untuk turut memperlihatkan kebodohan. Akan tetapi tentu paman tahu bahwa di antara kita terdapat ikatan persahabatan, oleh karena itu saya tidak setuju kalau main-main ini dianggap sebagai pertandingan. Biarlah saya nenemani saja puteri paman untuk sekedar meramaikan pesta.” Hati Tung-hai-sian makin girang menyaksikan sikap yang ramah dan halus ini. Pemuda ini patut menjadi jodoh Bin Biauw, pikirnya. Dia mengangguk. “Baiklah, dan terima kasih atas kebaikanmu dan kebaikan keluarga Pak-san-kui yang terhormat.” Siangkoan Wi Hong lalu menghampiri panggung, lalu menjura ke empat penjuru dan berkata lantang. “Kami sebagai wakil dari ayah Pak-san-kui Siangkoan Tiang terpaksa maju melayani Bin-siocia untuk bermain-main sebentar agar fibak kami jangan djanggap tidak bersedia memeriahkan pesta,” ucapannya mendapat sambutan tepuk tangen pula. “Nona, harap jangan bersikap kejam terhadap saya,” kata Siangkoan Wi Hong sambil tersenyum manis ketika dia menjura kepada Bin Biauw. Nona ini sejak tadi memandang kepada tamu ini dan memang dia sudah tahu bahwa putera Pak-san-kui ini seorang pemuda yang tampan gagah dan pesolek. Akan tetapi sejak pertemuan pertama, ketika dia diperkenalkan, dia merasa tidak begitu suka kepada pemuda ini karena pandang mata pemuda ini kepadanya seolah-olah orang yang meremehkan! Pemuda ini amat angkuh terhadap wanita! Sungguhpun pandai bersikap manis dan mengeluarkan kata-kata merayu, namun pemuda seperti ini tentu akan selalu memandang ringan kepada wanita. “Sebaliknya, saya mohon petunjuk dari Siangkoan-kongcu,” jawabnya dengan ramah pula. Dia sendiri seorang dara yang lincah gembira, maka kalau dia hanya menjadi sahabat, tentu keduanya akan merasa cocok. “Bin-siocia, engkau pandai sekali menari, dan sedikit banyak aku sudah biasa memainkan yang-kim, maka kalau engkau menari pedang dan aku mainkan yang-kim, bukankah cocok sekali?” Siangkoan Wi Hong berkata, lalu dia memegang gagang yang-kim yang seperti gagang pedang itu, mengayun benda itu, jari-jari tangan kirinya mengejar dan terdengarlah bunyi “tang-ting-tang-ting” yang berirama dan merdu! Banyak tamu tertawa melihat lagak kongcu ini, dan mengira bahwa kongcu itu hanya berkelakar saja. Akan tetapi beberapa orang yang tajam pandang matanya, terkejut karena dalam suara tang-ting-tang-ting itu terkandung tenaga getaran yang mengejutkan. Jelas bahwa yang-kim itu bukan dibunyikan sembarangan saja! Dan kini yang-kim itu mulai menyambar turun dan membentuk kuda-kuda yang kokoh kuat. “Silakan, nona!” Bin Biauw juga sudah menduga akan kelihaian lawan ini. Sebagai putera tunggal Pak-san-kui, sudah pasti pemuda ini lihai sekali, apalagi ketika yang-kim itu berbunyi tadi diapun merasakan getaran yang kuat menyerangnya, membuat dia cepat mmggunakan hawa murni untuk melindungi dadanya. Kini melihat fihak lawan sudah memasang kuda-kuda, dia juga membentak. “Lihat pedang!” Dan pedangnya sudah menerjang ke depan dengan kecepatan kilat, disusul dengan gulungan sinar pedang yang sudah berkelebatan ke sana-sini bagaikan halilintar menyambar-nyambar ke atas kepala lawan! “Bagus!” Siangkoan Wi Hong menggerakkan yang-kimnya menangkis. ”Trangg...!” kemudian diapun memutar yang-kimnya dan segera nampak sinar bergulung-gulung dan di dalam sinar itu muncul suara yang-kim yang merdu! Kiranya pemuda itu mainkan yang-kim, mainkan sebagai senjata ampuh dan juga dengan sentilan-sentilan jari-jari tangan kiri yang membuat yang-kim itu mengeluarkan suara! Dan memang ilmu pedang yang dimainkan Bin Biauw amat indahnya, maka segera nampak perpaduan yang amat indah. Nona itu seolah-olah tidak sedang menyerang, melainkan sedang menari-nari dan mereka itu lebih patut menjadi pasangan, yang wanita menari yang pria mengikutinya dengan suara yang-kim! Akan tetapi, sesungguhnya keduanya sedang mengeluarkan kepandaian masing-masing. Diam-diam, Thian Sin dan Han Tiong menonton pertempuran itu dengan penuh perhatian dan mereka berdua mendapatkan kenyataan bahwa setelah mempergunakan yang-kim sebagai senjata, putera Pak-san-kui itu ternyata lihai bukan main! Kiranya memang keistimewaannya adalah mempergunakan yang-kim itu sebagai senjata! Kalau dulu ketika berhadapan dengan Thian Sin dia mempergunakan yang-kimnya itu, agaknya tidak akan mudah bagi Thian Sin untuk mengalahkannya. Memang hebat pemude itu. Yang-kimnya bukan hanya merupakan senjata yang ampuh, terbuat dari logam yang dapat dipakai untuk menangkis senjata pusaka, akan tetapi juga suara yang keluar dari yang-kim itu merupakan serangan-serangan ke arah batin dan jantung lawan! Fihak lawan dapat digetarkan jantungnya lewat suara-suara itu, bahkan dapat dikacaukan pikirannya selagi mereka bertanding! Hal ini agaknya belum diketahui benar oleh Bin Biauw, maka dara ini merasa penasaran ketika melihat betapa semua serangannya gagal oleh tangkisan alat musik lawan. Bin Biauw mulai marah. Harus diakuinya bahwa pemuda itu cukup tampan dan gagah, akan tetapi melihat betapa pemuda itu melawannya sambil tersenyum-senyum mengejek dan setiap gerakannya diikuti suara yang-kim sehingga seolah-olah mempermainkannya atau mengejeknya. Hal ini membuat dia penasaran sekali dan akhirnya dia menjadi marah. Dia mengeluarkan suara melengking nyaring dan gerakannya berubah semakin cepat sehingga akhirnya Siangkoan Wi Hong menjadi kelabakan dan terdesak juga. Akan tetapi tiba-tiba yang-kim itu mengeluarkan bunyi yang aneh, suaranya nyaring sekali dan makin lama meninggi dan tiba-tiba saja permainan pedang Bin Biauw menjadi kacau-balau! Ternyata suara yang-kim itu merupakan serangan suara yang amat hebat, membuat dara itu merasa kacau pikirannya dan pening kepalanya, jantungnya berdebar-debar! Maka, kalau tadi dia mendesak, sekarang sebaliknya malah gerakan pedangnya menjadi kacau dan kadang-kadang nampak dia terhuyung! Melihat ini, diam-diam Tung-hai-sian menjadi terkejut dan juga girang. Ternyata kepandaian pemuda putera Pak-san-kui itu hebat! Maka dia memberi isyarat kepada pembantunya agar membiarkan kedua orang muda itu melanjutken pertempuran karena dia percaya bahwa keduanya mampu menjaga diri dan juga dia merasa yakin bahwa pemuda itu tidak akan mau mencelakai puterinya. Dan memang sesungguhnya demikianlah. Dengan bantuan suara yang-kimnya, kini keadaannya menjadi terbalik dan kalau Siangkoan Wi Hong menghendaki, kiranya dia akan dapat mengalahkan Bin Biauw, atau setidaknya mendesaknya dengan hebat. Akan tetapi dia adalah seorang yang cerdik. Biarpun dia tidak berniat untuk diambil mantu, akan tetapi dia tahu bahwa dia harus bersahabat dengan fihak Tung-hai-sian dan kalau dia dapat berpacaran dengan dara ini, berpacaran saja tanpa ikatan perkawinan, tentu dia akan gembira sekali! Maka diapun hanya menyerang tanpa mendesak, sungguhpun kini permainan Bin Biauw tidak setangkas tadi karena dia merasa bingung oleh suara yang-kim yang seperti menusuk-nusuk telinganya itu. TIBA-TIBA mendengar suara tambur dan gembreng dibunyikan riuh-rendah, tentu saja suara ini menelan suara yang-kim dan tiba-tiba Bin Biauw memperoleh ketangkasannya kembali setelah dia tidak lagi terganggu oleh suara yang-kim. Dia merasa penasaran dan marah oleh gangguan yang-kim tadi. Dianggapnya pemuda tadi curang dan berkelahi mengandalkan ilmu siluman dengan suara yang-kim tadi. Kini Bin Biauw kembali mengamuk dan kembali Siangkoan Wi Hong terdesak. Pada saat itu, Tung-hai-sian sendiri melompat ke tempat pertempuran sambil tertawa. “Cukup... cukup... sudah mendekati seratus jurus!” Hebat sekali kakek ini, begitu dia “masuk”, dia mampu menolak yang-kim dan pedang dengan hawa pukulan tangannya yang dikembangkan ke kanan kiri dan dua orang muda itu terdorong ke belakang! Siangkoan Wi Hong terkejut dan kagum sekali, maklum bahwa tingkat kepandaian kakek pendek ini amat tinggi, setingkat dengan ayahnya barangkali. “Maafkan kebodohan saya!” Siangkoan Wi Hong menjura. Kembali Tung-hai-sian tertawa. “Kepandaian putera Pak-san-kui benar-benar hebat!” katanya dan kesempatan ini dipergunakan oleh Siangkoan Wi Hong untuk menjura kepada kakek itu sambil berkata, suaranya halus dan lantang, terdengar oleh semua tamu. “Paman, saya kira Bin-siocia sudah terlalu banyak bermain pedang dan sudah lelah. Oleh karena itu, kalau diperkenankan, biarlah saya mewakilinya melayani orang-orang yang masih ingin memperlihatkan kepandaian di panggung ini untuk meramaikan pesta.” Tung-hai-sian tertawa. “Aih, engkau baik sekali, Siangkoan-kongcu dan kami menghargai sekali bantuanmu untuk meramaikan pesta kami. Akan tetapi siapakah lagi di antara sahabat-sahabat yang berada di panggung ini yang masih suka maju memperlihatkan kepandaian dan meramaikan pesta?” “Paman Tung-hai-sian yang terhormat, bukankah di bawah panggung masih terdapat banyak sekali tamu yang lihai?” Siangkoan Wi Hong berkata sambil tertawa dan secara sambil lalu dia mengerling ke arah para tamu di bawah panggung sebelah kanan di mana duduk Han Tiong dan Thian Sing “Bahkan jumlah tamu di bawah itu jauh lebih banyak dibandingkan dengan para tamu yang duduk di atas panggung.” “Aih, anak yang baik, jangan main-main. Sedangkan para tamu yang duduk di atas panggung saja tidak ada yang maju memperlihatkan kepandaian, apalagi yang berada di bawah panggung.” “Eh, apakah paman hendak mengatakan bahwa mereka itu hanyalah orang-orang kelas rendahan saja? Ha-ha, tak kusangka sama sekali bahwa keturunan mendiang Pangeran Ceng Han Houw kini hanya menjadi tokoh kelas rendahan saja!” “Keturunan Pangeran Ceng Han Houw?” Datuk yang bertubuh katai itu berseru kaget dan memandang heran, bahkan semua tamu yang mendengar disebutnya nama ini menjadi terkejut. Mereka memandang ke kanan kiri untuk mencari-cari keturunan orang yang pernah menggemparkan seluruh dunia persilatan itu. Benarkah pangeran yang amat terkenal itu mempunyai keturunan dan bahkan sekarang hadir di tempat itu? Sementara itu, mendengar semua kata-kata itu, Thian Sin tak mampu lagi menahan kemarahannya dan tanpa dapat dicegah oleh Kong Liang dan Han Tiong, dia sudah meloncat naik ke atas panggung sambil berteriak. “Siangkoan Wi Hong, siapa takut padamu? Hayo majulah kalau engkau memang laki-laki!” Melihat majunya pemuda yang amat tampan ini, Tung-hai-sian terkejut dan juga memandang heran. “Apakah... apakah engkau yang disebut keturunan Pangeran Ceng Han Houw?” tanyanya. “Benar, saya Ceng Thian Sin adalah putera tunggal Pangeran Ceng Han Houw. Tadi orang she Siangkoan ini mengajukan tantangan, nah, saya datang untuk menyambut tantangannya itu!” kata Thian Sin sambil menjura kepada orang tua itu. Tung-hai-sian menjadi gembira sekali. Tentu saja sebagai seorang datuk persilatan, diapun mempunyai semacam penyakit, yaitu suka sekali menonton pertandingan silat, apalagi kalau hal itu dilakukan oleh orang-orang yang pandai. Putera Pangeran Ceng Han Houw? Dia sendiri belum pernah bertemu dengan pangeran yang telah meninggal dunia itu, akan tetapi nama besarnya telah didengarnya, sebagai seorang jagoan yang tak pernah terkalahkan, demikian menurut kabar yang didengarnya. Tentu saja dia memandang pemuda itu dengan sinar mata lain dan dia ingin sekali melihat bagaimana kepandaian putera pangeran yang amat terkenal itu. Dan pemuda ini putera seorang pangeran! Biarpun pangeran yang sudah menjadi pemberontak, betapapun juga putera pangeran, berdarah bangsawan tinggi! Ini saja sudah menarik perhatiannya dan dia segera mundur sambil berkata, “Silakan... silakan...!” Siangkoan Wi Hong adalah seorang pemuda yang amat cerdik. Ketika tadi dia melihat hadirnya Han Tiong dan Thian Sing sudah timbul akalnya untuk membalas kekalahannya tempo hari, dan kalau mungkin mengalahkan dan menghina pemuda-pemuda itu di depan orang banyak, dan kalau tidak mungkin, mengadu domba antara mereka dengan fihak tuan rumah! Itulah sebabnya maka dia sengaja merendahkan mereka atau memanaskan hati mereka, yang hanya diterima sebagai tamu-tamu rendahan saja oleh Tung-hai-sian! Tapi sungguh tak disangkanya bahwa Thian Sin demikian beraninya untuk muncul juga dan mengaku sebagai putera Pangeran Ceng Han Houw dan menantangnya! Akan tetapi dia sama sekali tidak merasa takut! Memang dia pernah kalah oleh Thian Sin, akan tetapi kekalahannya itu adalah karena dia menghadapi pemuda itu dengan tangan kosong, dan dia tidak mengira bahwa putera pangeran itu memiliki Ilmu Thi-khi-i-beng yang amat lihai itu. Kini dia memegang yang-kimnya, dan dia tahu bahwa lawannya memiliki Thi-khi-i-beng, dia tahu bagaimana harus menghadapinya dan sekali ini dia tidak akan kalah! Maka sambil tersenyum dia menghadapi Thian Sin. “Ha-ha-ha, engkau anak pemberontak, masih berani banyak lagak? Bersiaplah dan keluarkan senjatamu!” Siangkoan Wi Hong menantang. Thian Sin tersenyum mengejek. “Engkau boleh berbesar hati karena memegang senjata yang-kimmu, Siangkoan Wi Hong, akan tetapi aku merasa cukup menghadapimu dengan kedua tangan kosong saja!” Semua orang termasuk Tung-hai-sian, terkejut mendengar ini dan menganggap pemuda keturunan Pangeran Ceng Han Houw itu terlalu tinggi hati. Menghadapi yang-kim putera Pak-san-kui yang amat lihai itu dengan tangan kosong? Akan tetapi, sikap dan wajah Thian Sin sudah menarik hati Bin Biauw, dan memang tadipun dia sudah mengharapkan pemuda yang memuji ilmu pedangnya ini untuk naik ke panggung sebelum Siangkoan Wi Hong muncul. Maka, melihat kini pemuda itu muncul dan mendengar bahwa pemuda tampan itu adalah putera seorang pangeran, dan melihat kegagahannya yang hendak melayani Siangkoan Wi Hong yang bersenjata yang-kim dengan tangan kosong, Bin Biauw segera melangkah maju dan berkata kepada Siangkoan Wi Hong. “Harap Siangkoan-kongcu suka mundur. Aku sendiri akan menghadapi orang she Ceng ini!” Siangkoan Wi Hong pura-pura kaget, sungguhpun di dalam hatinya dia merasa senang. Betapapun juga, agaknya dia akan berhasil mengadu domba antara Thian Sin dan fihak tuan rumah! “Ah, tapi aku sudah sanggup untuk menandinginya...” “Siangkoan-kongcu, ingat bahwa engkau tadi bertindak sebagai wakilku, tanpa bertanya apakah aku mau kauwakili ataukah tidak. Dan sekarang aku mau menyatakan bahwa aku tidak ingin kauwakili untuk menghadapi siapapun yang naik ke panggung ini. Aku hendak menghadapinya sendiri!” Bin Biauw tidak tersenyum lagi, melainkan memandang Siangkoan Wi Hong dengan mata bersinar-sinar penuh tantangan! Siangkoan Wi Hong menggerakkan pundak seperti orang yang tidak berdaya, lalu memandang kepada Thian Sin. “Hemm, agaknya belum tiba saatnya engkau roboh di tanganku, Ceng Thian Sin. Biarlah kita bertemu di lain kesempatan!” Dia lalu menghadapi Bin Biauw dan berkata kepada nona itu, “Silakan, nona. Akan tetapi hati-hatilah, bocah setan ini berbahaya juga. Awas, jangan sampai dia menggunakan Thi-khi-i-beng!” Mendengar disebutnya ilmu mujijat yang bagi kebanyakan orang kang-ouw hanya merupakan semacam dongeng itu, semua orang terkejut, tidak terkecuali Tung-hai-sian. Akan tetapi Bin Biauw menjadi marah. “Aku tahu bagaimana harus menghadapi lawan-lawanku!” bentaknya dan Siangkoan Wi Hong lalu kembali ke tempat duduknya. Thian Sin menjadi bingung setelah Siangkoan Wi Hong pergi meninggalkan dia dan berhadapan dengan nona manis itu. Dia memandang dengan penuh keraguan, tidak tahu harus berbuat apa. “Akan tetapi... aku... aku tidak hendak melawanmu, nona...” Bin Biauw tersenyum manis. “Apakah engkau menganggap aku kurang berharga untuk menandingimu dalam ilmu silat?” “Bukan... bukan begitu... tapi...” Pada saat itu, nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu tubuh Kong Liang telah berada di atas panggung. Semua tamu terkejut. Itulah gerakan yang amat ringan dan cepatnya, membayangkan gin-kang tingkat tinggi! Dan kini semua mata ditujukan kepada pemuda yang bertubuh tegap dan gagah ini, yang berdiri tegak dan memandang kepada Thian Sin lalu berkata, “Thian Sin, kau kembalilah ke tempatmu!” Thian Sin memandang pamannya dan dia tahu bahwa pamannya itu marah sekali kepadanya. Teringatlah dia bahwa dia datang sebagai “anggauta” rombongan wakil Cin-ling-pai dan bahwa tadi dia meloncat ke atas panggung tanpa perkenan pamannya, maka dia merasa bersalah. Tadi dia berbuat seperti itu karena tak dapat menahan kemarahan hatinya ketika nama ayahnya disebut-sebut oleh Siangkoan Wi Hong. Kini, berhadapan dengan pamannya yang marah, dia mengangguk. “Maafkan, paman,” katanya dan diapun melompat turun, kembali ke tempat duduknya di dekat Han Tiong yang memegang lengan adiknya dan menyuruhnya sabar dengan tepukan tangan pada bahunya. Sementara itu, Cia Kong Liang yang kini telah berdiri di atas panggung, segera memberi hormat ke arah tempat duduk Tung-hai-sian dan ke empat penjuru, ke arah penonton. Sikapnya dingin dan sinar matanya angkuh. Memang sejak tadi dia sudah menjadi marah. Pertama-tama, karena dia sebagai wakil, apalagi putera ketua Cin-ling-pai diberi tempat duduk di bawah panggung. Kemudian, percakapan antara fihak tuan rumah dan putera Pak-san-kui itu sungguh menyinggung perasaannya, yaitu bahwa mereka yang duduk di bawah panggung hanyalah tamu-tamu kelas rendahan saja! Hal ini tak mungkin dapat dibiarkannya saja, karena dengan membiarkan hal itu berarti dia mengakui bahwa Cin-ling-pai adalah perkumpulan “kelas rendahan” dan hal ini tentu akan menjadi buah tertawaan dunia kang-ouw kalau mendengar bahwa putera ketua Cin-ling-pai dihina dalam pesta datuk kaum sesat itu! Betapapun juga, dia masih menahan sabar, teringat akan pesan ayahnya agar dia tidak sembarangan membikin ribut di luar. Akan tetapi, dengan majunya Thian Sin, dia tidak mungkin dapat mendiamkannya saja. Thian Sin adalah keponakannya, dan dialah yang bertanggung jawab atas keselamatan keponakan itu. Juga, dia khawatir kalau-kalau Thian Sin akan celaka kalau maju bertanding. Semua itu ditambah lagi dengan rasa penasaran ketika mendengar Siangkoan Wi Hong menyebut-nyebut Ilmu Thi-khi-i-beng yang dikatakannya dimiliki oleh Thian Sin. Dia sendiri belum tahu bahwa ilmu mujijat dari kakeknya, yaitu pendiri Cin-ling-pai itu telah diturunkan kepada Thian Sin, padahal ayahnya sendiri yang kini menjadi ketua Cin-ling-pai juga tidak mewarisi ilmu itu, apalagi dia! Benarkah ilmu itu telah diwarisi oleh Thian Sin putera dari mendiang Pangeran Ceng Han Houw yang kabarnya jahat itu? Dia merasa penasaran, maka dia lalu meloncat ke atas panggung dan menyuruh Thian Sin turun, yang diturut oleh keponakannya itu. Kini dia harus memberi penjelasan akan sikapnya. “Cu-wi yang terhormat,” katanya ditujukan kepada fihak tuan rumah dan juga para tamu. “Saya adalah Cia Kong Liang, datang ke sini untuk mewakili ayah saya, yaitu ketua Cin-ling-pai, memenuhi undangan fihak tuan rumah, bersama dua orang keponakan saya, yang seorang diantaranya adalah Ceng Thian Sin tadi. Nah, sebagai wakil Cin-ling-pai, kami mengajukan diri, bukan untuk memamerkan kepandaian, melainkan memperlihatkan bahwa kepandaian seseorang tidak dapat diukur dari kekayaan atau nama besar, juga untuk sekedar membantu memeriahkan suasana pesta. Biarlah kami sekalian menjadi wakil dari para tamu kelas rendahan yang duduk di bawah panggung!” Ucapan Cia Kong Liang ini nadanya keras sekali, seolah-olah menampar muka tuan rumah sehingga wajah Tung-hai-sian seketika menjadi pucat, kemudian berubah merah. Dia merasa tidak enak sekali dan diam-diam menyesalkan para pembantunya yang kurang teliti sehingga pemuda-pemuda wakil dari perkumpulan-perkumpulan besar diberi tempat di bawah, bahkan putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw juga diberi tempat di bawah panggung! Akan tetapi, diam-diam diapun gembira melihat bahwa pemuda perkasa deri Cin-ling-pai itu mau melayani puterinya. Dengan demikian, semakin banyak kini bermunculan pemuda-pemuda yang baik sehingga memudahkan pemilihannya. Mula-mula Siangkoan Wi Hong, lalu putera pangeran itu yang belum sempat disaksikannya sampai di mana tingkat ilmu silatnya sungguhpun dia sudah girang sekali mendengar dari Siangkoan Wi Hong tadi bahwa putera pangeran itu memiliki ilmu mujijat Thi-khi-i-beng. Selain putera pangeran itu, kini putera ketua Cin-ling-pai! Dia sendiri pernah mendengar tentang Cin-ling-pai, akan tetapi karena sudah lama sekali Cin-ling-pai tidak pernah menonjolkan diri di dunia kang-ouw, maka nama Cin-ling-pai tidak terkenal lagi dan nama besarnya seolah-olah semakin pudar. Maka kini kemunculan putera ketua Cin-ling-pai menarik perhatian para tokoh kang-ouw, terutama sekali kaum tuanya yang dulu pernah mengalami masa jayanya perkumpulan itu. Sejak tadi Bin Biauw memandang dan memperhatikan Cia Kong Liang dari kepala sampai ke kaki dan dara ini merasa kagum bukan main! Pemuda ini sungguh gagah! Biarpun tidak setampan pemuda putera pangeran tadi, namun pemuda ini gagah perkasa dan sikapnya demikian penuh wibawa dan matang, kokoh kuat dan penuh keberanian! Kalau saja ilmu silatnya sehebat sikapnya ini, maka dia adalah seorang pemuda yang amat hebat! Maka ingin sekali dia menguji kepandaian pemuda ini, apakah selihai ilmu silat Siangkoan Wi Hong yang agaknya memandang rendah wanita itu? Pemuda ini sama sekali tidak memandangnya dengan sikap merendahkan, bahkan memandangnya dengan sekilas saja dengan pandang mata sopan! “Terima kasih bahwa Cia-enghiong suka memberi petunjuk kepadaku yang bodoh,” katanya sambil tersenyum manis. Akan tetapi sikap Kong Liang biasa saja tidak membalas senyum itu, melainkan berkata dengan sikap hormat dan tegas, “Silakan, ilmu pedang nona indah dan lihai, namun saya kira saya akan mampu menjaga diri.” Bin Biauw gembira sekali dan dia sudah mencabut pedangnya yang mengeluarkan sinar kilat. Kong Liang juga melepaskan pedang Hong-cu-kiam yang tadinya melingkari pinggangnya dan nampaklah sinar keemasan yang menyilaukan mata. Melihat ini, Bin Biauw memuji, “Po-kiam (pedang pusaka) yang bagus! Cia-enghiong, bersiaplah dan lihat serangan!” Dia menyebut eng-hiong (pendekar) kepada pemuda yang berwibawa ini, dan di dalam hatinya, dara ini sudah tunduk kepada putera Cin-ling-pai ini! Bin Biauw sudah menyerang dengan gerakan yang amat cepat. Akan tetapi Kong Liang tidak pindah dari tempat dia berdiri, bahkan kakinyapun tidak tergeser. Dia tidak mempedulikan sinar pedang yang bergulung-gulung itu, hanya setiap kali sinar pedang berkelebat ke arahnya, dia menggerakkan Hong-cu-kiam menangkis. “Cringgg...!” Tangkisan pertama itu mengejutkan hati Bin Biauw karena seluruh tangan kanannya tergetar hebat. Tahulah dia bahwa pemuda ini memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat dan bahwa pedang tipis bersinar emas itu benar-benar merupakan pedang yang ampuh. Maka dia bersikap hati-hati dan menyerang dengan lebih cepat. Namun, ke mana juga pedangnya menyambar, selalu bertemu dengan sinar emas yang menangkisnya! Padahal pemuda itu sama sekali tidak menggeser kaki. Bahkan ketika dia menyerang dari belakang, sinar emas itupun sudah menangkis di belakang tubuh pemuda itu. Terdengar bunyi berdencing nyaring berkali-kali dan nampak bunga api berpijaran menyilaukan mata ketika semakin lama semakin seringlah pedang Bin Biauw bertemu dengan pedang yang berubah menjadi gulungan sinar emas yang menyilaukan mata itu. Hebatnya, pemuda itu selain tidak pernah membalas serangan, juga tubuhnya hampir tidak mengubah kedudukan kakinya, hanya memutar tubuh ke kanan atau kiri dan ke manapun sinar pedang Bin Biauw menyambar, selalu tentu bertemu dengan sinar emas yang menangkisnya. Dengan ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut, Kong Liang dapat membentuk pertahanan yang seperti benteng baja kokohnya dan tidak mudah ditembus oleh sinar pedang Bin Biauw. Apalagi dia memang memiliki sin-kang yang kuat sekali, sehingga setiap tangkisan yang disertai tenaga membuat lengan dara itu merasa tergetar hebat. Makin lama, serangan Bin Biauw menjadi semakin lemah dan belum lima puluh jurus kemudian, ketika Kong Liang memperkuat tenaganya dan menangkis terdengar bunyi “trangg...!” keras sekali dan tubuh Bin Biauw terhuyung ke belakang. Dia menghentikan serangannya, dahinya penuh keringat dan wajahnya menjadi merah sekali, mulutnya tersenyum malu-malu dan matanya mengerling tajam melebihi tajam pedangnya, dan diapun menjura. “Cia-enghiong sungguh pandai, saya mengaku kalah!” Setelah berkata demikian, dara itu lalu mundur dan lari menuju ke tempat duduk ayahnya dengan muka merah dan sikap malu-malu! Melihat ini, Tung-hai-sian mengerti bahwa selain pemuda putera ketua Cin-ling-pai itu memang lebih lihai dari puterinya, juga agaknya Bin Biauw sudah jatuh hati kepada pemuda itu, maka mengalah sebelum dikalahkan. Diapun bangkit berdiri dan di bawah tepuk tangan para tamu yang menyambut kemenangan Cia Kong Liang dengan girang, terutama mereka yang duduk di bawah panggung, karena betapapun juga, tadi Kong Liang mengatakan bahwa dia mewakili para tamu di bawah panggung, dia menghampiri pemuda itu. “Cia-sicu sungguh memiliki ilmu pedang yang lihai sekali. Itukah yang disohorkan orang sebagai Siang-bhok Kiam-sut?” kata datuk itu sambil tersenyum. Diam-diam Kong Liang terkejut juga. Ilmu pedang ini menurut ayahnya, selama belasan tahun tidak pernah dimainkan di depan umum, apalagi dipergunakan dalam pertandingan, maka kini begitu melihatnya, padahal hanya dipergunakan sebagai pertahanan saja, kakek ini telah mampu menerkanya dengan tepat, menandakan bahwa kakek ini memang memiliki pengetahuan yang luas sekali. “Pandangan locianpwe amat tajam dan memang tadi adalah Siang-bhok Kiam-sut dari perkumpulan kami.” “Bagus, bagus... dan maafkan kami yang telah berlaku kurang teliti sehingga sicu dan rombongan memperoleh tempat duduk di bawah panggung. Sekarang silakan sicu dan dua orang keponakan sicu untuk duduk di atas panggung, agar kita dapat bicara dengan enak.” Kong Liang adalah seorang pemuda yang angkuh, akan tetapi dia bukan orang yang suka disanjung. Kalau tadi dia maju untuk memperlihatkan kepandaiannya, hanyalah agar orang jangan memandang rendah kepada Cin-ling-pai, bukan berarti dia ingin disanjung dan dipuji. Andaikata nama Cin-ling-pai tidak disebut-sebut, atau andaikata para tamu yang duduk di bawah panggung tidak dianggap sebagai kelas rendahan, kiranya diapun akan menahan rasa penasaran dan kemarahannya. Kini, setelah dia berhasil memperlihatkan kepandaiannya yang tidak usah kalah dibandingkan dengan puteri tuan rumah atau para tamu dari panggung, sudah cukuplah baginya. “Terima kasih, locianpwe. Bagi kami, duduk di bawah panggungpun tidak mengapa asal orang tidak memandang rendah kepada kami yang duduk di bawah!” jawabnya sambil membalas dengan penghormatan, kemudian dia melompat turun dari atas panggung. “Cia-sicu, sebelum pulang aku ingin bicara dengan sicu lebih dulu!” Kakek itu berseru dari atas panggung. “Baik, locianpwe.” jawab Kong Liang yang kembali ke tempat duduknya semula. Dia disambut oleh Han Tiong dengan senyum akan tetapi Thian Sin nampak muram wajahnya. Pemuda ini merasa tidak puas dengan sikap pamannya itu. Cia Kong Liang terlalu sombong dan mengandalkan dirinya sendiri, seolah-olah dia yang paling lihai! Sikap pamannya itu seolah-olah menganggap dia dan kakaknya masih kanak-kanak saja! Dan caranya mencegah dia bertanding dengan Bin Biauw benar-benar membuat dia kecewa dan mendongkol. Akan tetapi diapun tidak banyak cakap, hanya menunduk saja. Setelah para tamu mulai berpamitan, Thian Sin berkata kepada Han Tiong sengaja bicara keras agar terdengar pula oleh Kong Liang, “Tiong-ko, mari kita pulang. Kita harus segera pergi ke Lok-yang, memenuhi pesan ayah mengunjungi Paman Ciu Khai Sun.” “Engkau benar, adikku. Paman, marilah kita berpamit. Para tamu mulai pulang dan kami berdua masih harus melakukan perjalanan jauh ke Lok-yang.” Kong Liang bangkit berdiri dan menarik napas panjang. Dia tadi sedang termenung ketika beberapa kali dia memandang ke arah tempat duduk Bin Biauw dan melihat betapa dara itu selalu memandang ke arahnya dan kadang-kadang tersenyum manis. Tadi, ketika dia naik ke panggung untuk memperlihatkan kepandaian, sedikitpun tidak mempunyai niat untuk memperhatikan dara itu, dan biarpun seperti para tamu lain dia dapat menduga bahwa majunya Bin Biauw ke atas panggung sesungguhnya untuk mencari jodoh, namun sedikitpun juga dia tidak mempunyai niat untuk memasuki sayembara yang tidak diumumkan itu. Kini, setelah dia dapat menangkan Bin Biauw dan mendengar ucapan dan melihat sikap Tung-hai-sian, diam-diam dia mengerti bahwa agaknya fihak keluarga itu tertarik kepadanya dan diam-diam diapun baru merasa bingung karena sesungguhnya dia sama sekali belum mempunya pikiran untuk mencari jodoh, sungguhpun sudah sering ayah bundanya mengemukakan keinginan mereka untuk mempunya mantu. Mereka bertiga lalu bersama para tamu yang lain menghampiri panggung di mana Tung-hai-sian menerima para tamu yang berpamit. Ketika melihat Kong Liang dan dua orang pemuda keponakannya, Bin Biauw bangkit dengan kaget dan memegang tangan ayahnya, alisnya berkerut seakan-akan hendak memperlihatkan kekecewaannya melihat pemuda gagah perkasa itu hendak meninggalkan tempat itu. Tung-hai-sian Bin Mo To juga segera melangkah maju menyambut Kong Liang, Han Tiong dan Thian Sin. “Locianpwe, kami bertiga mohon diri dan kami menghaturkan terima kasih atas segala penyambutan Locianpwe sekeluarga,” kata Kong Liang sambil memberi hormat, diturut oleh dua orang keponakannya. “Eh, Cia-sicu, kenapa tergesa-gesa? Saya ingin bicara dengan sicu... penting sekali...” kata kakek itu, akan tetapi pada saat itu terdapat tamu-tamu lain yang datang berpamit, maka dia tidak dapat bicara dengan leluasa. Setelah rombongan tamu itu disambutnya dan terbuka kesempatan, Kong Liang berkata dengan suara smgguh-sungguh. “Maaf, locianpwe, bukan saya tidak bersedia, hanya karena kami masih ada urusan yang harus segera kami selesaikan, maka terpaksa kami tidak dapat menanti lebih lama lagi. Kami mohon diri.” “Cia-sicu... kalau begitu, begini saja. Sampaikan hormat dan salamku kepada ketua Cin-ling-pai, ayahmu, dan sampaikan kepada beliau bahwa dalam waktu dekat ini saya akan datang berkunjung kepada beliau di Cin-ling-san, untuk... bicara... eh, untuk mempererat persahabatan antara kita.” Wajah Kong Liang berubah merah akan tetapi sikapnya tetap tenang. Dia tahu apa yang dimaksud oleh kakek itu. Tiada lain tentu akan membicarakan urusan perjodohan. Apalagi? Antara Cin-ling-pai dan para datuk kaum sesat tidak ada sangkut-paut dan urusan apa-apa. “Baiklah, akan saya sampaikan, locianpwe. Selamat tinggal, dan... Nona Bin, selamat tinggal dan terima kasih.” Bin Biauw membalas penghormatan pemuda itu. “Sampai berjumpa kembali, Cia... koko...” kata dara itu dengan sikap manis sekali. Setelah mereka bertiga meninggalkan tempat itu, di tengah perjalanan Thian Sin tidak dapat menahan perasaan hatinya dan berkata sambil tersenyum masam. “Ah, Paman Kong Liang telah berhasil sekali ini.” Kong Liang memandang kepada putera pangeran itu. “Berhasil? Apa maksudmu?” “Paman tidak hanya telah mengalahkan pedang Nona Bin, melainkan juga telah menundukkan hatinya dan juga menaklukkan ayahnya.” “Hemm, Thian Sin, coba jelaskan, apa maksud kata-katamu ini!” “Kenapa paman masih pura-pura lagi? Tung-hai-sian sudah menjelaskan sikapnya, hendak datang menemui ketua Cin-ling-pai. Apalagi kalau tidak hendak membicarakan urusan pernikahan? Ah, kionghi (selamat), paman!” Dan Thian Sin benar-benar memberi selamat dengan kedua tangan dirangkapkan di depan dada. “Gila!” Kong Liang membentak, mukanya berubah merah. “Apa kaukira begitu mudah menentukan urusan kawin? Yang penting adalah dua orang yang bersangkutan!” “Wah, sikap Nona Bin sudah jelas. Bukankah tadi diapun tiba-tiba saja menyebutmu... dengan sebutan koko yang mesra? Dan paman sendiri, ahh, masih pura-pura lagi?” “Thian Sin, jangan sembarangan bicara kau!” Kong Liang yang merasa malu itu menjadi marah, atau pura-pura marah. Melihat ini, Han Tiong yang sejak tadi memperhatikan adiknya, cepat menengahi dan berkata, “Paman, Thian Sin hanya main-main saja. Sin-te, jangan kaugoda paman. Mari kita percepat perjalanan kita yang masih jauh.” Akan tetapi ketika mereka baru saja keluar dari kota Ceng-tao dan tiba di kaki pegunungan yang sunyi, mereka melihat beberapa orang berdiri menghadang mereka di tengah jalan dan tiga orang pemuda ini memandang dengan penuh perhatian. Mereka segera mengenal dua orang diantara mereka, yaitu Siangkoan Wi Hong yang memanggul yang-kimnya dan seorang dara cantik manis berpakaian mewah yang bukan lain adalah So Cian Ling murid dari See-thian-ong, dara keturunan penghuni Padang Bangkai yang pernah datang untuk membalas dendam kepada Kakek Yap Kun Liong dan Nenek Cia Giok Keng itu! Di samping dua orang muda yang lihai ini nampak tiga orang kakek yang dikenal oleh Han Tiong, yaitu Pak-thian Sam-liong, tiga orang kakek murid-murid Pak-san-kui yang pernah dikalahkan oleh ayahnya beberapa tahun yang lalu. Juga di samping dara manis itu berdiri Ciang Gu Sik, murid kepala See-thian-ong yang berusia tiga puluh lima tahun itu, yang pernah bertanding melawan Bin Biauw dan amat lihai dengan joan-pian berselaput emas itu. Melihat betapa enam orang itu bersikap mengancam, Kong Liang mengerutkan alisnya dan berkata kepada dua orang keponakannya dengan bisikan. “Kalian diamlah saja. Mereka itu lihai, biar aku yang menghadapi mereka kelau terpaksa aku harus melawan mereka. Kalian boleh melihat saja dan siap-siap saja untuk membela diri kalau diserang.” Thian Sin tersenyum mengejek, akan tetapi Han Tiong mengangguk, dan menyentuh lengan adiknya yang sudah gatal-gatal tangan hendak menantang musuh itu. Dengan sikap yang tenang namun berwibawa, ketabahan yang amat besar, Kong Liang mendahului dua orang keponakannya dan mengambil sikap seolah-olah dia hendak melindungi dua orang pemuda keponakannya itu. Dia berjalan terus sampai tiba di depan enam orang yang menghadangnya, lalu berkata dengan sopan namun tegas, “Harap cu-wi suka minggir dan membiarkan kami lewat.” Bagaimanakah putera Pak-san-kui dan murid See-thian-ong itu dapat berkumpul menjadi satu dan menghadang di tempat itu? Memang, di antara empat orang datuk, yaitu See-thian-ong, Pak-san-kui, Tung-hai-sian dan Lam-sin, maka datuk dari barat See-thian-ong dan dari utara Pak-san-kui telah lama saling mengadakan hubungan seperti rekan seangkatan atau segolongan, maka tidak mengherankan apabila Siangkoan Wi Hong sudah lama mengenal So Cian Ling. Ketika Siangkoan Wi Hong melihat betapa pemuda putera ketua Cin-ling-pai itu dapat mengalahkan, bahkan menundukkan hati Bin Biauw dan bahkan Tung-hai-sian nampak tertarik untuk mengambil mantu pemuda itu, diam-diam Siangkoan Wi Hong merasa tidak senang sekali. Bukan karena dia sendiri ingin memperisteri Bin Biauw, melainkan karena Tung-hai-sian telah dianggapnya sebagai orang segolongan dengan ayahnya sebagai datuk timur. Adapun pemuda itu adalah putera Cin-ling-pai, golongan yang menamakan dirinya “pendekar” dan yang sejak dahulu telah menjadi fihak yang menentang dan ditentang golongan para datuk. Kalau sampai Tung-hai-sian menjadi besan ketua Cin-ling-pai, tentu hal itu berarti akan melemahkan golongan mereka. Inilah sebabnya maka Siangkoan Wi Hong lalu cepat-cepat menghubungi para murid See-thian-ong mengajak dua orang murid See-thian-ong untuk melakukan penghadangan terhadap tiga orang dari Cin-ling-pai itu. Hal ini disetujui Ciang Gu Sik yang berpemandangan sama dengan Siangkoan Wi Hong, sedangkan So Cian Ling yang pernah berhadapan dengan tiga orang perbuda itu sebagai lawan ketika dia hendak membalas dendam kepada Kakek Yap Kun Liong dan Nenek Cia Giok Keng, juga penuh semangat menyokong maksud ini. Demikianlah, Siangkoan Wi Hong ditemani tiga orang Pak-thian Sam-liong, dan dua orang murid See-thian-ong itu bersama-sama memotong jalan dan menghadang tiga orang pemuda yang tadi menjadi tamu sebagai wakil Cin-ling-pai itu. “Tring-tranggg...!” Yang-kim di tangan Siangkoan Wi Hong itu berbunyi, disusul suara tertawa pemuda tampan pesolek itu. “Ha-ha-ha, sudah lengkap tiga-tiganya berkumpul di sini, ha-ha-ha! Putera ketua Cin-ling-pai, putera Pendekar Lembah Naga, dan putera Pangeran Ceng Han Houw! Wah-wah, tiga serangkai yang cocok! Pantas saja sikapnya sombong bukan main!” Han Tiong yang pernah berkenalan dengan pemuda ini, bahkan pernah disambut sebagai sahabat dan dijamu makan, merasa tidak enak kalau harus bermusuhan dengannya, maka dia sudah cepat berkata, “Saudara Siangkoan, kami adalah orang-orang yang lebih mengutamakan persahabatan, tidak ingin mencari permusuhan, harap engkau tidak mengganggu kami.” “Han Tiong, mundurlah dan biarkan aku menghadapi orang-orang liar ini!” Cia Kong Liang berkata dengan suara nyaring dan tajam karena memang dia sudah marah sekali menyaksikan sikap Siangkoan Wi Hong. Mendengar ucapan Han Tiong yang dianggapnya terlalu merendahkan diri itu kemarahannya makin berkobar. Dia sudah melangkah maju di depan Han Tiong dan dia menghadapi Siangkoan Wi Hong dengan sikap penuh wibawa dan sepasang matanya mencorong seperti mata seekor naga saja. “Memang benar bahwa kami tidak mencari permusuhan, akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa kami takut menghadapi siapapun juga yang hendak memusuhi kami! Kalau aku tidak salah melihat, kalian ini adalah orang-orangnya Pak-san-kui dan See-thian-ong, bukan? Nah, apa maksud kalian menghadang perjalanan kami dan bersikap seperti ini?” Enam orang itu nampak jerih juga menyaksikan sikap yang gagah dari putera ketua Cin-ling-pai itu, bahkan Siangkoan Wi Hong yang biasanya tenang dan tertawa-tawa itu, yang biasanya amat mengandalkan kepada diri sendiri, kini diam-diam merasa girang bahwa dia mempunyai teman-teman yang lihai karena terus terang saja, kalau dia harus menghadapi pemuda Cin-ling-pai ini seorang diri saja, dia masih akan berpikir panjang. Akan tetapi pada saat itu, sebelum ada yang menjawab pertanyaan Kong Liang, terdengar suara keras, “Mana orang Cin-ling-pai? Biar kami menghadapinya!” Dan nampaklah bayangan orang berkelebat dari atas pohon dan dua tubuh yang melayang itu berjungkir balik seperti bola-bola besar, berputar-putar dan baru turun di depan Kong Liang. Cara mereka meloncat dari atas dan berjungkir balik itu hebat sekali, seperti permainan akrobatik para pemain sirkus yang terlatih baik saja. Dan ketika semua orang memandang, kiranya mereka itu adalah dua orang laki-laki berpakaian pengemis! Usia mereka sekitar lima puluh tahun, pakaian mereka terbuat dari kain tambal-tambalan beraneka macam dan warna, akan tetapi pakaian itu tidak butut seperti pakaian pengemis-pengemis biasa, melainkan bersih dan agaknya memang hanya merupakan pakaian model pengemis, yaitu berbagai macam kain baru ditembel-tembel menjadi pakaian. Di punggung mereka, seperti model orang membawa pedang, nampak sebatang tongkat, entah terbuat dari bahan apa, hanya kelihatan hitam dan butut. “Aha, kiranya dua orang gagah dari Bu-tek Kai-pang?” seru Siangkoan Wi Hong dengan girang sekali ketika melihat munculnya dua orang kakek pengemis ini. Dia tidak mengenal pribadi semua anggauta Bu-tek Kai-pang yang jumlahnya dua puluh empat orang itu, akan tetapi melihat pakaian mereka dan tongkat yang mereka namakan “Hok-mo-pang” (Tongkat Penakluk Iblis) itu, tahulah dia bahwa mereka itu adalah dua orang anggauta Bu-tek Kai-pang yang dipimpin atau diketuai Lam-sin (Malaikat Selatan) yaitu datuk selatan. Dua orang pengemis itu menjura ke arah Siangkoan Wi Hong dan seorang di antara mereka, yang hidungnya melengkung seperti hidung burung hantu, berkata, “Selamat bertemu, Siangkoan-kongcu dan bukankah sam-wi (tuan bertiga) adalah Pak-thian Sam-liong yang perkasa? Selamat jumpa!” Pak-thian Sam-liong, tiga orang murid Pak-san-kui menjura dengan hormat. “Dan selamat bertemu pula kepada dua orang murid See-thian-ong Locianpwe!” pengemis ke dua, yang mukanya merah sekali, berkata kepada So Cian Ling dan Ciang Gu Sik yang cepat membalas pemghormatan mereka pula. Diam-diam mereka terkejut bahwa para pengemis ini telah mengenal mereka, menunjukkan bahwa pengemis-pengemis itu mempunyai mata tajam, atau mungkin sekali mereka sudah lama mengintai ketika terjadi keributan di dalam pesta yang diadakan Tung-hai-sian. Ciang Gu Sik yang pendiam itu membalas penghormatan sambil berkata, “Kami merasa terhormat sekali dapat bertemu dengan ji-wi dari Bu-tek Kai-pang yang terkenal!” “Akan tetapi mengapa ji-wi tidak terang-terangan hadir dalam pesta ulang tahun Locianpwe Tung-hai-sian?” So Cian Ling bertanya, yang merupakan teguran dan juga sindiran bahwa dia sudah menduga mereka berdua tentu hadir dengan sembunyi. “Dan memalukan fihak tuan rumah dengan kehadiran pengemis-pengemis macam kami?” Jawab si hidung melengkung. “Ah, mana kami berani?” Han Tiong dan Thian Sin memandang kepada mereka semua itu dengan penuh perhatian dan dengan hati tegang. Kini mereka berdua sudah bertemu dengan orang-orang dari empat datuk yang terkenal itu! Dan kini yang menghadang mereka adalah orang-orang atau para murid dari Pak-san-kui, See-thian-ong dan Lam-sin! Akan tetapi, Kong Liang sudah menjadi marah sekali. Pemuda ini biasanya dihormati orang, dan memang sebagai putera ketua Cin-ling-pai tentu saja dia merasa dirinya tinggi, dan sekarang, orang-orang dari golongan hitam atau kaum sesat ini saling bertemu dan bicara gembira, bersikap seolah-olah dia tidak berada di situ, atau dia dianggap sebagai patung atau semut saja! Di dalam pesta dia sudah tidak dihargai, mendapat tempat duduk di bawah panggung, dan kini orang-orang inipun tidak menghargainya. Sungguh membuat perut terasa panas! “Jalan ini adalah jalan umum! Kalau mau bicara minggirlah dan biarkan kami lewat!” kata Kong Liang yang sudah melangkah ke depan dan menggunakan kedua tangannya mendorong ke arah dua orang pengemis yang berada paling dekat dan menghadang jalan. Dorongannya ini disertai tenaga Thian-te Sin-ciang, maka terdengar angin menyambar keras. Dua orang pengemis itu menggerakkan tubuh mereka mengelak, dan masing-masing telah mencabut tongkat mereka, lalu membentak. “Hemm, inikah putera ketua Cin-ling-pai? Sebelum kau melanjutkan perjalanan, hayo lebih dulu kauhadapi kami!” bentak si hidung melengkung sambil melintangkan tongkat di depan dadanya. Kiranya tongkat itu berwarna hitam mengkilap dan bentuknya seperti tubuh ular. Itu adalah sebatang tongkat yang terbuat daripada tumbuh-tumbuhan dalam laut yang melingkar-lingkar atau saling lingkar sehingga kalau diambil dan dikeringkan menjadi bentuk seperti ular, semacam kayu akar bahar yang kuat dan ulet sekali, juga yang menurut kepercayaan umum yang tahyul mengandung kekuatan mujijat! “Akulah Cia Kong Liang, putera ketua Cin-ling-pai! Kalian ini jembel-jembel dari mana dan mengapa memusuhi Cin-ling-pai?” “Kami adalah anggauta Bu-tek Kai-pang dari Heng-yang. Guru, ketua dan pemimpin kami, yang mulia Lam-sin akan membenarkan sikap kami memusuhi putera Cin-ling-pai! Sejak dahulu, Cin-ling-pai adalah musuh golongan kami, akan tetapi engkau putera ketuanya berani sekali menghina dan hendak memperisteri puteri Tung-hai-sian Locianpwe! Sungguh tak tahu malu dan bosan hidup!” “Pendapat Bu-tek Kai-pang cocok dengan pendapat kami!” kata Siangkoan Wi Hong dengan girang dan untuk menambah semangat kepada dua orang pengemis itu. Hati pemuda ini menjadi lebih besar setelah muncul dua orang pengemis itu yang memperkuat fihaknya. Wajah Cia Kong Liang menjadi merah sekali mendengar ucapan pengemis itu. Sedikitpun juga dia tidak bermaksud memperisteri Bin Biauw, akan tetapi menyangkal hal ini sama saja dengan membela diri, seolah-olah dia merasa takut. “Jembel busuk lancang mulut. Apapun yang akan kuperbuat, apa sangkut-pautnya dengan kalian? Pergilah sebelum aku kehilangan kesabaran dan membuat kalian roboh!” “Bagus! Coba saja, orang Cin-ling-pai sombong!” Dua orang pengemis itu sudah mengerakkan tongkat mereka dan mengeroyok dari kanan kiri Kong Liang tidak mau memberi hati dan pemuda perkasa inipun sudah mencabut Hong-cu-kiam yang melilit pinggang sehingga nampak sinar emas bergulung-gulung. Dua orang pengemis ini seperti sebagian besar dari pada anggauta Bu-tek Kai-pang, dahulu adalah tokoh-tokoh yang tunduk kepada Lam-thian Kai-ong (Raja Pengemis Dunia Selatan). Akan tetapi semenjak munculnya Lam-sin yang menjatuhkan Lam-thian Kai-ong dan yang mengangkat diri sendiri sebagai Malaikat Selatan yang menguasai seluruh pengemis bahkan Lam-thian Kai-ong yang sudah tua itu menjadi pembantu utamanya, maka para tokoh pengemis di seluruh wilayah selatan menjadi anggauta Bu-tek Kai-pang. Jumlah mereka tidak banyak, hanya dua puluh empat orang karena Lam-sin tidak mau mengambil pengemis sebagai anggautanya tanpa diuji dulu. Ujian yang amat berat dan hanya para tokoh yang benar-benar memiliki kepandaian tinggi sajalah yang berhasil lulus dan jumlah mereka tidak lebih dari dua puluh empat orang untuk seluruh wilayah selatan! Tentu saja, dengan para anggauta yang memiliki kepandaian tinggi itu, nama Bu-tek Kai-pang menjadi terkenal sekali. Dan seperti para anggauta lain, dua orang tokoh inipun amat lihai, terutama sekali dalam menggunakan tongkat akar bahar hitam itu karena mereka semua telah mempelajari ilmu tongkat ciptaan ketua baru mereka, yaitu Lam-sin. Ilmu tongkat yang diberi nama Hok-mo-pang (Tongkat Penakluk Iblis). Mereka berdua itu sengaja diutus oleh Lam-sin untuk mewakilinya memenuhi undangan Tung-hai-sian, akan tetapi karena watak Lam-sin ini yang paling aneh di antara empat datuk, dan selalu merahasiakan dirinya, maka diapun memesan kepada dua orang wakilnya itu untuk hadir secara bersembunyi saja! Baru setelah terjadi sesuatu, dua orang pengemis itu memperlihatkan diri, dan mereka mempunyai pendapat yang sama dengan pendapat Siangkoan Wi Hong, yaitu kalau sampai Tung-hai-sian memilih putera Cin-ling-pai sebagai mantu, maka kekuatan empat datuk akan menjadi retak dan hat itu amat membahayakan mereka sendiri. Karena inilah maka dua orang pengemis ini lalu turun tangan menentang. Akan tetapi, sekali ini mereka berdua bertemu dengan batu karang. Begitu tongkat-tongkat mereka itu bertemu dengan Hong-cu-kiam, keduanya terkejut karena lengan tangan mereka yang memegang tongkat itu tergetar hebat dan hampir saja tongkat mereka terlepas dari pegangan! Maka mereka lalu mengerahkan tenaga dan mengeluarkan ilmu mereka Hok-mo-pang untuk mengeroyok dan terjadilah perkelahian yang amat seru! Han Tiong memandang dengan ails berkerut, tidak senang dengan terjadinya perkelahian dan permusuhan yang dia tahu dapat menjadi besar ini. Akan tetapi sebaliknya, Thian Sin memandang dengan senyum tenang sehingga So Cian Ling yang memang sudah tertarik kepada pemuda ini, merasa semakin kagum. Dia tahu bahwa pemuda tampan ini, yang kabarnya adalah putera Pangeran Ceng Han Houw yang terkenal sebagai seorang perayu wanita yang tampan dan juga seorang jagoan tanpa tanding yang pernah menggemparkan dunia persilatan, adalah seorang pemuda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Ingin sekali dia berkenalan lebih intim dengan pemuda ini, akan tetapi sayangnya, keadaan membuat mereka berdiri saling berhadapan sebagai lawan. Sementara itu, perkelahian antara Kong Liang yang dikeroyok oleh dua orang pengemis Bu-tek Kai-pang terjadi dengan serunya karena dua orang pengemis itu kini semakin penasaran dan mereka telah mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaian mereka untuk mengalahkan orang muda itu. Namun, kiranya masih harus membutuhkan sedikitnya enam orang seperti mereka untuk dapat mengalahkan Cia Kong Liang, pemuda yang sudah mewarisi kepandaian ketua Cin-ling-pai itu dan perlahan-lahan, sinar pedang berwarna keemasan itu makin kuat dan makin menindih sinar dua batang tongkat hitam mereka. Melihat betapa dua orang pengemis Bu-tek Kai-pang itu takkan menang, diam-diam Siangkoan Wi Hong lalu memberi isyarat kepada tiga orang suhengnya yang juga menjadi anggauta atau anak buah ayahnya, Pak-thian Sam-liong. Tiga orang laki-laki gagah yang merupakan murid-murid kepala Pak-san-kui ini, biarpun termasuk golongan kaum sesat, akan tetapi mereka adalah orang-orang yang berkedudukan tinggi sehingga segan melakukan hal yang dianggapnya rendah seperti misalnya pengeroyokan, karena mereka itu menganggap kedudukan mereka tinggi sehingga malu untuk mengeroyok, bukan karena memang sungguh-sungguh berwatak jantan atau gagah. Maka, melihat isyarat sute mereka yang juga merupakan tuan muda mereka, ketiganya saling pandang, lalu mereka melepaskan jubah masing-masing sehingga nampak pakaian mereka yang ringkas, putih-putih dengan sabuk biru dan di punggung masing-masing nampak sebatang pedang. “Ji-wi Sin-kai, mundurlah, biar kami yang menggantikan ji-wi!” kata seorang di antara mereka kepada dua orang pengemis yang sudah terdesak hebat itu. “Kami belum kalah!” teriak seorang di antara dua pengemis itu sambil mencoba untuk membalas serangan lawan dengan tongkatnya. Melihat kebandelan dua orang pengemis itu, Pak-thian Sam-liong mendongkol. Sudah jelas terdesak, dan tinggal menanti mampus saja, mengapa masih berlagak, pikir mereka. “Orang she Cia, lawanlah kami Pak-thian Sam-liong kalau memang engkau jagoan!” Mereka berteriak, kini menggunakan akal lain, menantang putera ketua Cin-ling-pai itu. Kong Liang juga mendongkol bahwa sampai begitu lamanya dia belum juga berhasil merobohkan dua orang lawannya, padahal dia sudah mendesak mereka dengan hebat. Kini mendengar tantangan Pak-thian Sam-liong, dia berseru keras. “Kalau kalian sudah bosan hidup, majulah sekalian, siapa takut kepada orang-orangnya Pak-sam-kui?” Tantangan ini terlalu tekebur, pikir Han Tiong yang mengerutkan alisnya. “Paman, biarkan aku menghadapi mereka!” katanya karena dia mengkhawatirkan pamannya kalau sampai dikeroyok lima! “Han Tiong, jangan! Biarkan aku sendiri merobohkan mereka!” jawab Kong Liang tegas, ucapan yang menunjukkan wataknya yang angkuh, tidak mau dibantu dan seolah-olah dia sudah yakin akan menang sehingga dia menggunakan kata-kata “merobohkan” mereka. Han Tiong tidak berani membantah dan Thian Sin tersenyum kepadanya ketika melihat Pak-thian Sam-liong kini sudah terjun ke dalam medan pertempuran membantu dua orang kakek pengemis, karena mereka tadi ditantang, jadi merekapun tidak segan-segan lagi untuk mengeroyok! “Tiong-ko, fihak mereka masih ada, mengapa tidak sikat mereka ini saja? Orang she Siangkoan ini agaknya masih belum kapok! Hayo Siangkoan Wi Hong, kalau engkau ingin kurobohkan untuk ke dua kalinya, majulah engkau!” Siangkoan Wi Hong tertawa untuk menyembunyikan rasa marah dan malunya ketika diingatkan akan kekalahannya melawan pemuda ini di depan orang-orang lain, terutama di depan para murid See-thian-ong dan Lam-sin, “Ha-ha-ha, bocah sombong, kalau engkau mampu mengalahkan yang-kimku ini, biarlah engkau boleh membuka mulut lebar!” Akan tetapi tiba-tiba berkelebat bayangan So Cian Ling yang sudah maju menyambut Thian Sin sambil berseru kepada Siangkoan Wi Hong, “Siangkoan-kongcu, biarlah aku yang menghadapi dia ini!” Dan tanpa banyak cakap lagi So Cian Ling menerjang dan menyerang dengan pedangnya yang bersinar putih! Thian Sin cepat mengelak dan menegur dengan suara penuh sesalan. “Hemm, kukira engkau telah sadar ketika kita saling berjumpa di Bwee-hoa-san, ternyata sekarang engkau kembali memusuhi kami tanpa sebab!” Akan tetapi, So Cian Ling sudah menyerang lagi sambil berkata, “Orang she Ceng, keluarkanlah senjata dan kepandaianmu!” dara ini memang merasa tertarik kepada Thian Sin, kagum dia melihat ketampanan, kegagahan dan juga sikap Thian Sin, maka sekarang dia hendak melihat sampai di mana ilmu kepandaian pemuda ini. Pernah dia melihat Thian Sin mengalahkan seorang di antara tiga orang pewaris ilmu-ilmu kakeknya, akan tetapi memang tingkat kepandaian tiga orang paman itu masih rendah dan dia belum menguji sendiri sampai di mana kelihaian Thian Sin. Oleh karena itu, melihat kesempatan ini dia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan dan segera menandingi Thian Sin, biarpun di dalam hatinya dia sama sekali tidak membenci atau memusuhi Thian Sin. Sebaliknya malah, dia ingin sekali mengenal Thian Sin lebih dekat, sebagai sahabat baik! Akan tetapi Thian Sin tidak mau mengeluarkan pedang pemberian neneknya, yaitu Gin-hwa-kiam. Pedang itu dianggapnya benda pusaka warisan neneknya. Dan dia menganggap bahwa lawannya ini, murid See-thian-ong, bukankah lawan yang perlu dihadapi dengan pedang. Dengan amat gesitnya dia mengelak ke kanan kiri dari sambaran pedang yang bersinar putih itu, dan sambil mengelak diapun balas menyerang dengan tamparan-tamparan yang amat kuat, karena tamparan itu mengandung tenaga Thian-te Sin-ciang. “Wuut-wuuut-singgggg...!” Pedang di tangan So Cian Ling bergerak cepat sekali dan menyambar-nyambar kuat, namun Thian Sin dapat mengelak lebih cepat lagi dan ketika pedang itu masih meluncur menyambar dengan tusukan kilat ke arah lehernya, tangan kirinya menangkis. “Eh...?” So Cian Ling terkejut dan berusaha menarik pedangnya karena dia tidak ingin pedangnya bertemu dengan tangan kosong pemuda itu, membayangkan betapa tangan itu tentu akan robek atau putus kalau bertemu dengan pedang pusakanya. Namun gerakannya kalah cepat dan pedang itu bertemu dengan tangan kiri Thian Sin. “Plakk!” Dara itu terpekik dan meloncat ke belakang. Tangan itu seperti daging yang amat lunaknya terasa oleh tangannya yang memegang pedang, akan tetapi sama sekali tidak terluka. Dia memandang kagum bukan main. Tahulah dia bahwa pemuda ini telah memiliki tenaga sin-kang yang tingkatnya sudah amat tinggi sehingga bukan hanya dapat membuat tangan menjadi sekeras baja, akan tetapi juga membuat tangan itu menjadi selemas kapas dan tidak mungkin dapat terluka! Itulah tingkat sin-kang yang baginya masih terlatu tinggi dan mungkin hanya gurunya saja yang sudah mencapai tingkat itu! “Engkau hebat...!” katanya berbisik, namun cukup untuk dapat terdengar oleh Thlan Sin. Pemuda ini merasa mukanya agak panas karena merasa malu dan juga senang sekali mendapat pujian lawannya. Maka diapun lalu mencoba ilmu yang baru saja dipelajarinya dari kakeknya, yaitu Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun (Silat Sakti Delapan Penjuru Angin) yang dipelajarinya dari Yap Kun Liong. Dan benar hebat ilmu ini, apalagi dimainkan oleh orang yang sudah memiliki tingkat gin-kang dan sin-kang sepertl dia! Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun adalah ilmu silat tingkat tinggi yang tidak mungkin dapat dikuasai sepenuhnya oleh Thian Sin yang baru mempelajari selama sebulan saja! Akan tetapi, karena memang pada dasarnya pemuda ini telah memiliki ilmu-ilmu silat tinggi, terutama setelah dia menguasai Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun yang merupakan biang ilmu-ilmu silat tinggi, gerakannya sudah amat cepat dan juga hebat ketika dia mainkan Pat-hong Sin-kun sehingga dia dapat membalas serangan pedang lawan dengan sama cepat dan seringnya. Hal ini amat mengagumkan Cian Ling sehingga berkali-kali dara ini mengeluarkan suara memuji. Siangkoan Wi Hong sejak tadi menonton pertandingan ini dan hatinya merasa semakin tidak senang mendengar betapa Cian Ling memuji-muji pemuda putera Pangeran Ceng Han Houw itu. Pemuda putera Pak-san-kui ini tadinya selalu merasa bahwa di dunia ini tidak akan ada pemuda yang melebihi dia! Akan tetapi, dia harus mencatat kenyataan pahit ketika dia dikalahkan oleh Thian Sin dan sekarang, selagi dia ingin membalas kekalahannya itu dengan mengandalkan yang-kimnya sebagai senjatanya yang paling diandalkan didahului oleh Cian Ling dan mendengar betapa Cian Ling memuji-muji Thian Sin. “Bocah sombong!” teriaknya dan dia sudah menerjang maju. “Plakk!” Ujung yang-kim yang menyerang Thian Sin dengan hebatnya itu tersampok miring dan ternyata yang menangkis itu adalah tangan kiri Han Tiong yang berkata dengan tenang, “Saudara Siangkoan yang gagah, apakah tidak malu untuk melakukan pengeroyokan?” Kemarahan Siangkoan Wi Hong makin berkobar, “Keparat, siapa takut berhadapan dengan putera Pendekar Lembah Naga?” Setelah berkata demikian, yang-kimnya bergerak cepat meluarkan suara berdering dan yang-kim itu sudah menyambar ke arah kepala Han Tiong. Han Tiong dengan sikapnya yang selalu tenang dan waspada itu dengan mudah mengelak sampai belasan kali sambil diam-diam mempelajari gerakan-gerakan senjata aneh itu. Hanya kadang-kadang saja dia membalas dengan tamparan Thian-te Sin-ciang untuk menahan serangan lawan yang bertubi-tubi datangnya dan amat berbahaya itu. Sementara itu, melihat betapa sumoinya yang berpedang, dia tahu lebih daripada dia sendiri itu, belum juga mampu mendesak lawannya yang bertangan kosong, dan mendengar betapa sumoinya itu memuji-muji lawan, Ciang Gu Sik juga menjadi penasaran dan marah. Diam-diam perjaka tua yang berusia tiga puluh lima tahun ini tergila-gila kepada sumoinya, maka kini melihat adanya tanda-tanda bahwa sumoinya tertarik kepada pemuda ganteng yang lihai ini, tentu saja dia merasa cemburu dan iri hati. Tanpa banyak cakap lagi dia sudah mencabut joan-pian terselaput emas itu dan nampaklah sinar keemasan ketika joan-pian itu bergerak menyambar dan menyerang Thian Sin. “Suheng! Jangan main keroyok! Aku tidak perlu bantuan!” Cian Ling berseru kaget melihat gerakan suhengnya. Akan tetapi Ciang Gu Sik tidak mau peduli, bahkan mempercepat gerakannya menyerang Thian Sin dengan senjatanya. Namun dengan mudahnya Thian Sin mengelak, bahkan dua kali dia menangkis dengan tangan telanjang, membuat ujung cambuk baja terselaput emas itu membalik dan mengejutkan pemegangnya. Sementara itu, Cia Kong Liang juga sudah dikeroyok oleh lima orang, yaitu dua orang pengemis dari Bu-tek Kai-pang dan tiga orang Pak-thian Sam-liong! Pendekar muda putera ketua Cin-ling-pai ini mengamuk dengan pedangnya, namun karena lima orang lawannya itu tergolong tokoh-tokoh yang lihai, dia dikepung rapat oleh Pak-thian Sam-liong yang masing-masing memegang pedang dan dua orang pengemis yang masing-masing memegang tongkat. Kong Liang terpaksa harus memutar pedangnya dan mainkan Siang-bhok Kiam-sut, ilmu pedang yang luar biasa itu dan yang memang merupakan ilmu pedang yang amat kuat dalam pertahanan. Seluruh gulungan sinar pedangnya seolah-olah menyelimuti tubuhnya, merupakan benteng baja yang kokoh kuat sehingga semua serangan lima orang lawan itu selalu tertangkis dan tidak pernah dapat menembus benteng gulungan sinar keemasan yang amat kuat itu. Betapapun juga, tidaklah mudah bagi Kong Liang untuk balas menyerang karena lima orang pengeroyoknya itu benar-benar dapat bekerja sama dengan baiknya, terutama setelah Pak-thian Sam-liong membentuk barisan Sha-kak-tin (Barisan Segi Tiga), dibantu pula oleh dua orang kakek pengemis yang lihai. Juga pertandingan antara Siangkoan Wi Hong dan Han Tiong berlangsung dengan seru dan kelihatannya seimbang. Padahal, sesungguhnya bukanlah demikian. Memang harus diakui bahwa setelah dia mempergunakan senjatanya yang aneh, yaitu yang-kim, Siangkoan Wi Hong kini jauh lebih lihai daripada ketika dia dengan tangan kosong melawan Thian Sin, bagaikan seekor harimau tumbuh sayap. Akan tetapi, dibandingkan dengan putera Pendekar Lembah Naga itu, dia masih kalah jauh, apalagi dalam kehebatan ilmu silat yang dipelajari oleh putera pendekar sakti itu. Biarpun Han Tiong bertangan kosong, namun kalau dia menghendaki, dia dapat mendesak lawan dengan serangan-serangan ampuhnya. Akan tetapi Han Tiong tidak mempunyai keinginan untuk merobohkan lawan. Antara dia dan Siangkoan Wi Hong tidak ada permusuhan apapun, dan dia tidak membenci pemuda ini, maka mengapa dia harus merobohkannya dan melukainya? Dia lebih banyak bertahan saja dan mencoba untuk mengalahkan lawan tanpa melukainya, dan tentu saja hal ini tidak mudah mengingat bahwa Siangkoan Wi Hong merupakan seorang lawan yang cukup pandai, bahkan berbahaya sekali. Berbeda dengan Han Tiong, begitu Ciang Gu Sik maju mengeroyoknya, Thian Sin segera menghadapinya dengan kekerasan. Sejak tadi dia mainkan Pat-hong Sin-kun untuk menghadapi Cian Ling, sekalian untuk melatih ilmu silat baru ini, dan begitu dia melihat Ciang Gu Sik memasuki medan perkelahian dan menyerangnya dengan hebat, dia cepat mencoba pula ilmu barunya yang dipelajarinya dari Kakek Yap Kun Liong, yaitu Pek-in-ciang. Begitu dia mengerahkan sin-kang dan menggunakan pukulan dengan tangan kirinya mengerahkan Pek-in-ciang nampak uap mengepul dari telapak tangannya. Itulah sebabnya ilmu ini dinamakan Pek-in-ciang (Tangan Awan Putih). Ciang Gu Sik adalah murid pertama See-thian-ong, sungguhpun tingkat kepandaiannya masih di bawah So Cian Ling, namun dia memiliki banyak pengalaman pertempuran dan termasuk seorang tokoh pandai. Akan tetapi dia terkejut ketika merasa betapa uap putih itu menyambar dahsyat, membuat ujung joan-pian yang dipergunakan untuk menyerang itu membalik! Pada saat itu, Cian Ling sudah menusukkan pedangnya ke arah leher Thian Sin sambil membentak nyaring, bentakan yang dikeluarkan agar pemuda itu dapat peringatan lebih dulu sebelum dia menyerang karena majunya suhengnya yang mengeroyok ini membuat hatinya tidak enak. Thian Sin yang ingin memamerkan kepandaiannya, masih tetap menggunakan Pek-in-ciang, mendorongkan tangannya yang mengeluarkan uap putih itu ke arah pedang sehingga pedang itupun menyeleweng. Akan tetapi, Thian Sin kurang pengalaman dan tidak tahu bahwa Pek-in-ciang lebih tepat dan ampuh kalau dipergunakan untuk melawan orang yang bertangan kosong. Kini, menghadapi dua lawan yang bersenjata dia mengandalkan Pek-in-ciang, tentu saja tidak tepat karena Pek-in-ciang itu baru ampuh kalau bertemu dengan tubuh dan tangan lawan, dan kalau untuk menghadapi senjata tajam yang keras, hanya mampu mendorongnya sedikit saja. Maka kini dia dihujani serangan dan akhirnya ujung joan-pian di tangan Ciang Gu Sik itu berhasil pelecut pundaknya dan ujung joan-pian yang digerakkan dengan ahli itu terus melilit lehernya! “Aihhh...!” Cian Ling memekik kaget, dan menahan tusukan pedangnya. Akan tetapi sesaat kemudian, bukan Thian Sin yang mengeluh, melainkan Gu Sik sendiri. “Auhhhhh... ah, lepaskan...!” Murid See-thian-ong ini terbelalak, terengah dan menarik-narik joan-piannya yang melingkari leher Thian Sin! Sungguh suatu pemandangan yang aneh sekali, jelas nampak betapa joan-pian itu tadi mengenai pundak Thian Sing bahkan ujungnya, seperti seekor ular, melilit leher pemuda itu. Akan tetapi kenapa bukan pemuda itu yang menderita, sebaliknya malah Gu Sik yang memegang gagang cambuk atau joan-pian itu? Ternyata bahwa Gu Sik merasa betapa tenaga sin-kang dari tubuhnya tersedot keluar melalui joan-pian, membanjir keluar dan hal ini amat mengejutkannya. Semakin dia mengerahkan tenaga untuk membetot joan-pian, makin hebat pula tenaga sin-kangnya membanjir keluar. Hal ini amat mengejutkan dan mendatangkan kengerian sehingga akhirnya dia berteriak-teriak minta dilepaskan! Thian Sin sudah melangkah dekat dan tangan kirinya menampar. “Plakk!” Tubuh Gu Sik terpelanting dan joan-pian itu terlepas dari tangannya. Akan tetapi Thian Sin masih teringat akan larangan kakaknya untuk tidak membunuh, maka tamparannya yang mengandung tenaga Thian-te Sin-ciang itu hanya diarahkan ke pundak lawan sehingga Gu Sik tidak sampai menderita luka parah yang membahayakan nyawanya. Pada saat Gu Sik berteriak-teriak tadi, Cian Ling terkejut dan dia ingin membantu suhengnya, akan tetapi diapun tidak ingin mencelakai Thian Sin, maka tangan kirinya yang maju dan mencengkeram ke arah pundak pemuda itu. Akan tetapi, Thian Sin tidak mengelak dan membiarkan pundaknya dicengkeram. Dia melanjutkan dengan menampar Gu Sik dan membiarkan tangan dengan jari-jari yang kecil meruncing itu mencengkeram pundak. “Ehhh...!” Cian Ling juga mengeluarkan seruan kaget ketika merasa betapa sin-kangnya tersedot secara hebat sekali melalui tangannya yang mencengkeram. Dan pada saat itu, Thian Sin sudah melangkah dekat dan tangannya bergerak untuk menampar! Cian Ling terkejut bukan main, maklum bahwa nyawanya terancam maut, akan tetapi dia yang sudah tersedot sin-kangnya itu saking kagetnya tidak mampu berbuat apa-apa, hanya memandang kepada Thian Sin dengan sepasang matanya. Justeru daya tarik kewanitaan So Cian Ling terletak pada hidung dan terutama matanya. Mata itu jeli dan indah sekali, dan melihat sepasang mata itu memandang kepadanya seperti itu, Thian Sin yang sudah menggerakkan tangan itu, tiba-tiba mengubah gerakannya sehingga tangannya tidak jadi menampar, melainkan... meraba dan mengelus dagu yang halus itu lalu mencubitnya dan melangkah mundur melepaskan tenaga Thi-khi-i-beng. CIAN Ling mengeluh lirih dan meloncat ke belakang. Seluruh tubuhnya terasa panas dingin dan kedua kakinya masih gemetar teringat akan bahaya maut tadi, dan mukanya merah sekali teringat betapa pemuda itu mengelus dan mencubit dagunya! “Ahhh... kau... kau...” dan dia tersenyum malu-malu, menundukkan mukanya yang menjadi semakin merah. “Kenapa kau... tidak memukulku...?” bisiknya. “Aku tidak bisa memukul wanita...” kata Thian Sin. Pada saat itu, Han Tiong juga sudah mendesak Siangkoan Wi Hong. Kalau dia menghendaki, kiranya belum sampai lima puluh jurus dia akan mampu merobohkan pemuda putera Pak-san-kui itu, akan tetapi Han Tiong tidak ingin merobohkan orang, apalagi membunuhnya. Pada saat Thian Sin hendak membantu kakaknya agar lawan dapat segera dikalahkan, tiba-tiba terdengar suara halus, “Tahan, jangan berkelahi...!” Dan muncullah Tung-hai-sian bersama Bin Biauw dan belasan orang anak buah Tung-hai-sian. Melihat betapa Kong Liang dan lima orang pengeroyoknya masih terus berkelahi, kakek cebol itu cepat memasuki medan perkelahian dan dengan tenang dia beberapa kali menggerakkan kedua tangannya. Terdengar seruan-seruan kaget, juga Kong Liang sendiri cepat mencelat ke belakang karena dari kedua tangan kakek itu menyambar hawa pukulan yang luar biasa dinginnya dan kuatnya, yang membuat mereka yang mengeroyoknya terhuyung ke belakang dan dia sendiri harus meloncat ke belakang kalau tidak mau terdorong oleh hawa dingin yang amat kuat itu. Tahulah putera ketua Cin-ling-pai ini bahwa kakek cebol itu sungguh memiliki tenaga sin-kang yang amat luar biasa. “Tahan, jangan berkelahi antara orang sendiri. Ada urusan boleh dibicarakan dengan baik!” kata pula Tung-hai-sian. Sedangkan sejak tadi Han Tiong telah melompat mundur meninggalkan lawannya dan Siangkoan Wi Hong juga tidak berani melanjutkan perkelahian setelah melihat adanya Tung-hai-sian yang melerainya. Hanya Kong Liang sajalah yang tadi tidak peduli dan memaksa lima orang lawannya untuk melanjutkan pertempuran. Di antara lima orang itu, ada dua orang dari Pak-thian Sam-liong dan seorang dari pengemis-pengemis Bu-tek Kai-pang yang terluka oleh pedang Kong Liang, walaupun bukan luka yang berat, sedangkan Kong Liang kelihatan mandi keringat karena dia tadi harus terus memutar pedangnya secepat mungkin untuk membendung serangan bertubi-tubi dari lima oreng pengeroyoknya. Tung-hai-sian memandang kepada Kong Liang dan dua orang keponakannya, kemudian kepada para murid tiga datuk dari barat, utara, dan selatan itu, lalu menarik napas panjang. “Hemm, kiranya para wakil dari sahabat-sahabat See-thian-ong, Pak-san-kui, dan Lam-sin yang berkelahi di sini menghadapi wakil Cin-ling-pai. Kalian semua adalah tamu-tamu kami maka kami harap, menghabisi urusan dan tidak berkelahi di wilayah ini. Tentu kalian tahu bahwa kami tidak menghendaki tamu-tamu kami yang terhormat sampai ada yang terganggu di wilayah kami.” Ucapannya itu halus namun mengandung ketegasan seorang datuk yang merasa bahwa kekuasaan atas wilayahnya dilanggar. “Maaf, locianpwe. Kami dari Cin-ling-pai sama sekali tidak mencari permusuhan, akan tetapi kalau dalam perjalanan pulang kami dihadang dan ditantang, tentu saja kami tidak akan undur selangkahpun!” jawab Kong Liang dengan sikap gagah. Tung-hai-sian menoleh kepada Siangkoan Wi Hong, dan pemuda inipun segera berkata dengan suara mengandung rasa penasaran, “Paman, sejak dahulu Cin-ling-pai adalah musuh kita, apakah sekarang paman hendak mengubah keadaan itu? Apakah kita harus tunduk kepada manusia-manusia sombong yang mengangkat diri sebagai pendekar-pendekar?” Tung-hai-sian menarik napas panjang. Sebagai seorang datuk, dia sudah tahu akan maksud kata-kata itu dan tahu pula akan isi hati para putera dan murid tiga orang datuk itu. Mereka ini tentu merasa tidak rela kalau melihat dia hendak berbesan dengan ketua Cin-ling-pai yang dianggapnya sebagai golongan putih yang selalu dianggap musuh oleh golongan hitam! Akan tetapi, bicara tentang urusan pribadinya dengan orang-orang muda yang hanya merupakan murid-murid tiga orang datuk lain itupun terlalu rendah baginya. Dia akan bicara kalau yang dihadapinya itu tiga orang datuk itu sendiri. Maka diapun lalu berkata, suaranya lantang sekali dan penuh wibawa. “Cu-wi, kami tidak peduli dari golongan mana, akan tetapi sekali menjadi tamu kami, keselamatannya harus kami lindungi selama mereka berada dalam wilayah kami! Kami harus menjaga nama sebagai tuan rumah yang baik dan selama menjadi tamu kami, maka semua urusan pribadi untuk sementara tidak ada! Tamu tetap tamu yang harus diterima dengan baik dan keselamatannya adalah keselamatan kami. Oleh karena itu, kami melarang siapapun juga untuk menggunakan kekerasan di dalam wilayah kami. Di luar wilayah kami, hal itu bukan urusan kami lagi. Harap cu-wi mengerti dan mentaati hal ini!” Cia Kong Liang menjura dan menghindarkan pandang mata penuh kemesraan disertai senyum simpul manis sekali dari Bin Biauw, dan dia berkata, “Kami dari Cin-ling-paipun sama sekali tidak ingin mencari permusuhan dengan siapapun juga. Nah, kami mohon diri, locianpwe.” Tung-hai-sian yang diam-diam merasa suka untuk mempunyai seorang mantu yang demikian lihai, halus dan sopan, mengangguk dan balas menjura. “Selamat jalan, Cia-sicu, dan sampai jumpa.” “Selamat jalan, Cia-koko...” kata Bin Biauw, suaranya merdu merayu dan sikapnya manis sekali. Terpaksa Kong Liang menjawab, “Selamat tinggal, nona.” Tanpa berkata apa-apa lagi, Han Tiong dan Thian Sin mengikuti paman mereka itu pergi dengan cepat meninggalkan tempat itu. Baru setelah tiga orang pemuda itu pergi dan kini sikap dan cara mereka bicara sungguh berlainan sekali dibandingkan dengan tadi ketika mereka bicara di depan tiga orang pemuda itu atau di dalam pesta. Kini sikap orang-orang muda itu tidaklah sehalus dan sesopan tadi, dan juga sikap mereka lebih terbuka. Kong Liang, Han Tiong dan Thian Sin tentu akan merasa terheran-heran kalau mereka bertiga itu mendengarkan percakapan antara mereka itu sekarang. “Paman Tung-hai-sian!” kata Slangkoan Wi Hong dengan sinar mata memandang penuh teguran. “Kita adalah golongan srigala atau harimau. Patutkah kalau srigala berbesan dengan golongan anjing atau harimau berjodoh dengan kucing? Datuk timur ingin berbesan dengan ketua Cin-ling-pang? Huh, betapa menyebaikan!” “Ha-ha-ha-ha, agaknya locianpwe dari timur sudah mulal lemah den jerih menghadapi Cin-ling-pai, maka ingin berbaik dengan mereka!” Seorang di antara dua pengemis Bu-tek Kai-pang juga berkata, suaranya mengejek. “Kalian ini cacing-cacing busuk!” Tiba-tiba Bin Biauw yang tadinya bersikap amat halus dan sopan itu kini memaki-maki. “Urusan perjodohanku apa perlunya kalian ikut bicara? Apakah kalian ini nenek moyangku yang akan mencampuri urusan jodohku?” Tung-hai-sian memegang tangan puterinya untuk menyabarkannya, kemudian dia berkata sambil memandang, bergantian kepada Siangkoan Wi Hong den pengemis itu, “Kalau tidak ingat bahwa kalian mewakili Pak-san-kui dan Lam-sin, tentu sudah kurobek mulut kalian yang lancang! Siapa yang mau berbesan dengan Cin-ling-pai? Andaikata hal itu kulakukan juga, apakah aku harus menyembah-nyembah minta ijin dari datuk lain lebih dahulu? Sudahlah, kalian pergi dari sini dan jangan membuat aku marah.” “Hemm, aku akan lapor kepada ayah, lihat apa pendapatnya tentang keanehan ini!” kata Siangkoan Wi Hong yang segera mengajak tiga orang suhengnya pergi dari situ. “Orang-orang lelaki memang mulutnya busuk!” tiba-tiba So Cian Ling mengomel. “Mereka sendiri seenaknya memilih perempuan, akan tetapi melarang perempuan memilih lelaki! Huh, menyebalkan!” Dan diapun lalu meloncat pergi, diikuti oleh Ciang Gu Sik. “Kamipun akan membawa oleh-oleh cerita lucu dan baik untuk pimpinan kami. Selamat tinggal, locianpwe!” kata dua orang pengemis itu yang segera berlari pergi pula dari situ. Tung-hai-sian tidak menjawab dan memang sopan santun tidak berlaku dalam dunia mereka, kecuali hanya untuk berpura-pura di depan tamu-tamu lain. Di antara golongan mereka sendiri, sopan santun hanya dianggap sebagai lelucon yang menggelikan, suatu kepura-puraan palsu. Bin Biauw masih mendongkol dengan sikap orang-orang yang agaknya hendak menghalangi perjodohannya dengan putera Cin-ling-pai yang membuatnya tergila-gila itu, maka diapun lalu pergi dengan sikap marah, diikuti oleh ayahnya dan orang-orangnya. Sementara itu, di tengah perjalanan, Ciang Gu Sik mengomeli Cian Ling. “Sumoi, sikapmu tadi sungguh memalukan. Engkau hendak main gila dengan putera Pangeran Cen Han Houw itu!” Cian Ling berhenti melangkah, sepasang matanya memandang tajam. Matanya masih indah, akan tetapi kini dari sepasang mata itu bersinar sesuatu kemarahan yang menyeramkan. “Suheng, dia itu gagah dan tampan dan aku suka padanya! Apa salahnya kalau timbul berahiku melihatnya dan kalau aku ingin bermain cinta dengan dia, engkau mau apakah?” Suaranya penuh tantangan, dadanya yang sudah membayangkan tonjolan di balik pakaiannya itu dibusungkan, bibirnya tersenyum mengejek. Wajah Ciang Gu Sik menjadi merah, akan tetapi sebentar kemudian kembali menjadi warna aselinya, yaitu pucat seperti wajah orang berpenyakitan. “Mau apa? Hanya ingin membunuhnya!” “Hi-hi-hik! Mau membunuhnya? Silakan kalau engkau mampu, suheng!” “Tentu saja aku mampu! Aku tadi kalah karena terkejut oleh ilmu silumannya. Ilmu itu tentu yang dinamakan Thi-khi-i-beng. Aku akan bertanya kepada suhu bagaimana caranya menundukkan Thi-khi-i-beng!” “Sesukamulah! Aku sih ingin menundukkan hatinya. Hemmmmm... dia ganteng dan menarik sekali!” Dara itu lalu berloncatan ke depan melanjutkan perjalanannya. Memang mengejutkan kalau melihat sikap datuk Tung-hai-sian dan para murid datuk-datuk yang lain itu. Mereka begitu kasar, akan tetapi juga blak-blakan mengucapkan segala hal yang terkandung di dalam hati mereka, tanpa mempedulikan tata susila dan kesopanan lagi. Bagi mereka, kesopanan adalah sesuatu yang palsu, kepura-puraan dan kemunafikan yang menggelikan. Pandangan mereka itu bagaikan bumi dan langit, sama sekali menjadi kebalikan dari pandangan golongan yang menamakan diri mereka golongan bersih atau kaum pendekar. Mereka ini mengutamakan kesusilaan, kesopanan dan kebudayaan. Kehormatan bagi seorang pendekar lebih berharga daripada nyawanya sendiri. Nama baik didahulukan, nama baik pribadi yang mengembang menjadi nama baik keluarga dan mungkin dikembangkan lagi menjadi nama baik golongan. Manakah yang benar di antara dua pandangan ini? Keduanya mengandung kebenaran dan kekeliruan, seperti pada umumnya segala hal di dunia ini. Sekali dinilai, maka akan nampaklah kebenarannya, baik buruknya, untung ruginya dan sebagainya lagi. Yang penting bagi kita adalah membuka mata, waspada sehingga mengenal apa yang menjadi kenyataan, apa yang palsu di dalam segala hal. Karena kewaspadaan ini akan menimbulkan kesadaran dan pengertian yang selanjutnya akan mendatangkan tindakan seketika, yaitu melepaskan yang palsu itu, seperti kalau kita melihat dan mengerti bahwa yang kita genggam adalah kotoran dan kita melepaskan kotoran itu tanpa dipikirkan lagi! Semenjak kecil, kita diajar oleh orang tua, oleh guru, oleh masyarakat di sekeliling kita, untuk bersopan-sopan untuk bersusila. Kita diperkenalkan kepada hal-hal yang dianggap tidak sopan den tidak bersusila, hal-hal yang dianggap sopan den bersusila. Ditekankan kepada kita sampai mendalam sekali bahwa yang tidak sopan itu tidak baik dan yang sopan itu baik, dan sebagainya. Ditekankan pula bahwa hidup haruslah baik dan sebagainya. Tekanan-tekanan inilah yang mendorong kita untuk menjadi baik! Untuk dianggap baik! Dan keinginan baik inilah yang melahirkan kepalsuan, kemunafikan, sehingga kita pandai sekali berpura-pura, lain mulut lain di hati. Kita terdorong oleh keinginan agar “menjadi orang baik” termasuk orang sopan, bersuslia dan sebagainya, sehingga kita melakukan hal-hal yang palsu, berpura-pura berlawanan dengan isi batin sendiri, hanya demi agar dianggap sebagai orang baik. Maka timbullah sikap manis di mulut pahit di hati, penghormatan-penghormatan yang sifatnya menjilat-jilat, dan kepalsuan-kepalsuan dalam hampir setiap gerak-gerik kita dalam kehidupan sehari-hari. Kalau kita mau membuka mata dengan waspada dan memandang dengan sewajarnya dan sejujurnya kepada diri sendiri, akan nampaklah semua kepalsuan ini. Sikap dan ucapan kita terhadap isteri atau suami, terhadap pacar, terhadap anak atau orang tua, terhadap sahabat, terhadap orang-orang lain. Bahkan sikap kita dalam sembahyang misalnya, terhadap Tuhan! Kita ini orang-orang munafik. Beranikah kita melihat kenyataan ini? Melihat kenyataan ini bukan berarti bahwa kita harus hidup bebas semau gue, seperti golongan para datuk, boleh bersikap dan bicara sesuka hatinya, bersikap kasar dan keras sekali terhadap orang lain. Sama sekali bukan demikian! Melainkan melihat kenyataan akan kepalsuan kita agar kita tidak palsu lagi, agar kita bebas dari sikap pura-pura itu. Agar kalau kita menghormat seseorang, maka penghormatan itu datang dari lubuk hati, agar kalau mulut kita tersenyum, agar kalau kita mengucapkan kata-kata sayang kepada isteri atau suami, pacar atau anak, batin juga penuh dengan kasih sayang itu! Belajar hidup dalam keadaan utuh! Betapa indahnya ini! Utuh dalam arti kata SATUNYA HATI, KATA DAN PERBUATAN! Betapa akan indahnya! Bebas dari kepalsuan dan kepura-puraan. Dapatkah... atau lebih tepat lagi, maukah kita mulai sekarang juga, saat ini juga? Kehidupan akan mengalami perubahan yang luar biasa hebatnya dan ini hanya dapat dibuktikan dengan penghayatan, bukan dengan teori belaka! Dua orang pemuda itu memandang kepada Kong Liang yang berdiri di depan mereka, di persimpangan jalan, dan kalau Han Tiong memandang kepada pamannya dengan bayangan perasaan heran dan iba, sebaliknya Thian Sin mengerutkan alisnya dan kelihatan penasaran sekali. “Akan tetapi, mengapa paman mencela kami? Bukankah kami berdua membantu paman menghadapi musuh yang mengeroyok paman?” Thian Sin membantah dengan suara bernada penasaran. “Kalian sungguh gegabah sekali! Fihak lawan begitu lihai, bagaimana kalau sampai kalian terluka atau lebih celaka lagi, terbunuh dalam perkelahian itu? Aku yang bertanggung jawab terhadap keselamatan kalian,” Kong Liang mengomel. “Tapi kami dapat menjaga diri, paman,” Han Tiong berkata dengan tenang, sama sekali tidak terdengar penasaran seperti adiknya. “Hemm, betapapun, aku sendiri cukup untuk melayani dan mengalahkan mereka semua. Tanpa bantuan kalianpun, kalau tidak keburu Tung-hai-sian datang, mereka semua akan roboh oleh pedangku.” Dua orang pemuda dari Lembah Naga itu tidak membantah lagi. “Maafkan kami, paman.” akhirnya Han Tiong berkata. “Dan sekarang kami akan melanjutkan perjalanan kami ke Lok-yang. Harap sampaikan hormat kami kepada ayah bunda paman.” “Sampaikan pula hormat dan terima kasihku kepada mereka, terutama kepada nenek, paman,” kata pula Thian Sin. Kong Liang mengangguk. “Baik, akan kusampaikan. Dan hati-hatilah kalian dalam perjalanan. Kalian belum banyak pengalaman dan di dunia ini banyak orang jahat yang amat lihai, hindarkanlah bentrokan-bentrokan dengan orang-orang kang-ouw.” Dia menasihati dengan sikap seperti seorang dewasa menasihati anak-anak yang masih bodoh. Setelah mereka berpisah, dua orang pemuda Lembah Naga itu melanjutkan perjalanan ke Lok-yang. Diam-diam Thian Sin merasa heran kalau mengenangkan sikap Cia Kong Liang. Pamannya itu harus diakui seorang yang gagah perkasa. Akan tetapi kalau dibandingkan dengan kakaknya, sepatutnyalah kalau Han Tiong kakaknya itu yang menjadi paman sedangkan Kong Liang yang menjadi keponakan. Sikap kakaknya yang pendiam dan penuh wibawa, yang selalu merendahkan diri dan tidak suka menonjolkan kepandaian, juga yang selalu menghindarkan kekerasan itu jauh lebih “matang” dibandingkan dengan sikap Kong Liang yang gagah perkasa namun mentah itu. “Tiong-ko, kenapa sikap paman Kong Liang seperti itu?” Akhirnya dia tidak dapat menahan rasa penasaran di dalam hatinya dan bertanya kepada kakaknya. Han Tiong menarik napas panjang dan menjawab sambil lalu, “Sudahlah, adikku, Paman Kong Liang itu memang paman kita akan tetapi diapun masih muda.” Dari jawaban ini saja Thian Sin merasa betapa kakaknya sungguh lebih “tua” dan matang dibandingkan dengan Cia Kong Liang, dan dia merasa yakin bahwa dalam hal kepandaianpun kakaknya itu agaknya tidak kalah dibandingkan dengan putera ketua Cin-ling-pai. Lok-yang adalah sebuah kota yang besar dan ramai. Seperti kita telah ketahui, di kota inilah Gu Khai Sun tinggal bersama dua orang isterinya, yaitu wanita kembar Kui Lan dan Kui Lin, bersama dua orang anak mereka, yaitu Ciu Bun Hong putera Kui Lin yang telah berusia kurang lebih tujuh betas tahun dan Ciu Lian Hong puteri Kui Lan yang telah berusia enam belas tahun. Ciu Khai Sun, jagoan lihai murid Siauw-lim-pai ini hidup berbahagia dengan keluarganya, membuka sebuah perusahaan pengawalan barang yang bernama Hui-eng-piauwkiok (Perusahaan Ekspedisi Garuda Terbang), yaitu melanjutkan perusahaan yang tadinya dipegang oleh mendiang Na Tiong Pek, yaitu suami Kui Lin yang pertama. Setelah dipimpin oleh Ciu Khai Sun yang dikenal sebagai murid Siauw-lim-pai yang pandai, perusahaan ini semakin maju dan semakin banyak orang mempercayainya untuk mengawal barang-barang yang berharga atau keluarga mereka yang dikirim atau pergi ke tempat jauh melalui daerah-daerah berbahaya. Bendera kecil yang bergambar seekor burung garuda terbang itu amat terkenal di kalangan liok-lim, yaitu para bajak sungai dan para perampok hutan, dan tidak ada penjahat yang berani mencoba-coba mengganggu rombongan yang dikawal oleh piauwsu (pengawal) dari Hui-eng-piauwkiok. Baru melihat kereta-kereta yang atasnya ditancapi sebuah bendera kecil bergambar burung garuda terbang itu saja, para penjahat sudah mundur kembali dan tidak berani mengganggunya. Tentu saja untuk memperoleh nama besar yang ditakuti para penjahat ini bukan merupakan hal yang mudah. Selama bertahun-tahun Ciu Khai Sun mengawal sendiri setiap pengiriman barang berharga dan entah sudah berapa puluh kali dia harus menggunakan kepandaiannya menundukkan para perampok dan merampas kembali barang-barang yang dirampok mereka. Setelah melihat kegagahan pimpinan Hui-eng-piauwkiok ini, barulah perusahaan itu memperoleh nama besar dan sampai bertahun-tahun selama ini, tidak pernah ada gangguan dalam perjalanan. Oleh karena itu, Ciu Khai Sun yang sudah berusia empat puluh enam tahun itu, selama beberapa tahun ini hanya mengandalkan kebesaran namanya dan membiarkan semua barang atau keluarga dikawal oleh para pembantunya. Sedangkan dia sendiri lebih banyak berada di rumah, menerima tamu-tamu yang hendak mempercayakan barang-barang atau keluarga mereka untuk dikawal, dan semua sisa waktunya dipergunakan untuk melatih silat kepada dua orang anaknya, yaitu Ciu Bun Hong dan Ciu Lian Hong. Semua ilmu silat yang dimilikinya dia ajarkan kepada dua orang anaknya itu sehingga mereka menjadi dua orang muda yang pandai. Ciu Bun Hong kini telah menjadi seorang pemuda berusia tujuh belas tahun yang bertubuh tinggi besar seperti ayahnya. Adapun Ciu Lian Hong telah menjadi seorang dara remaja berusia enam belas tahun yang amat cantik jelita, dengan tubuh yang sedang dan langsing, seperti ibunya. Kecantikan Lian Hong memang mengagumkan sekali sehingga dia terkenal di kota Lok-yang sebagai ratu di antara semua dara karena cantiknya. Orang tuanya amat mencintanya dan mereka bertiga, yaitu ayahnya dan dua orang ibunya, merasa bangga sekali akan dia. Juga dalam hal ilmu silat, dia tidak kalah dibandingkan dengan kakaknya, sedangkan dalam ilmu kesusasteraan dan kesenian, dia meninggalkan kakaknya itu jauh di belakang. Memang, Lian Hong adalah seorang dara yang amat mengagumkan, seorang dara pilihan dan selain menjadi kebanggaan orang tuanya, juga menjadi kembang mimpi para muda di Lok-yang. Akan tetapi sampai dia berusia enam belas tahun, orang tuanya masih belum dapat menentukan jodohnya. Agaknya bagi orang tua dara ini, tidak ada seorangpun pemuda yang pantas menjadi jodoh puteri mereka, setidaknya, selama ini mereka telah menolak entah berapa banyak lamaran yang datang. Lian Hong sendiri agaknya sama sekali belum memikirkan soal perjodohan. Cia Han Tiong pernah berkunjung ke Lok-yang dan dia masih teringat akan tempat tinggal kedua orang bibinya itu. Ternyata kini rumah gedung itu semakin besar dan megah, dan kantor yang berpapan Hui-eng-piauwkiok dengan huruf-huruf besar itupun agaknya telah diperbesar. Dari keadaan rumah dan kantor ini saja Han Tiong sudah dapat mengerti bahwa perusahaan pamannya itu telah memperoleh kemajuan pesat, maka diam-diam diapun mereka gembira. Pagi telah melarut menjelang siang ketika dua orang pemuda Lembah Naga ini memasuki pekarangan rumah gedung keluarga Ciu. Han Tiong memandang dengan wajah berseri dan senyum gembira ketika dia mengenal kedua orang bibinya itu sedang duduk di ruangan depan, dan dia sendiripun bingung karena tidak dapat membedakan mana Bibi Lan dan mana Bibi Lin! Mereka begitu sama, bukan hanya bentuk wajah mereka, bahkan bentuk tubuh merekapun tiada bedanya. Adapun dua orang nyonya kembar itu, yang kini sudah menjadi nyonya setengah tua berusia kurang lebih empat puluh tiga tahun, menghentikan percakapan mereka dan memandang dengan heran ketika melihat ada dua orang pemuda memasuki pekarangan rumah mereka. Biasanya, semua tamu tentu datang ke kantor di sebelah dan kalau ada yang hendak bertemu dengan Ciu Khai Sun sendiri, tentu pegawai kantor akan melaporkan kepada majikannya dan Khai Sun akan menemui tamu itu di kantor pula. Memang ada beberapa orang sahabat baik yang langsung datang ke rumah untuk berkunjung kepada keluarga itu, akan tetapi kini dua orang wanita itu sama sekali tidak mengenal dua orang pemuda yang datang ini, maka keduanya memandang heran. Han Tiong dengan wajah gembira, sudah melangkah ke depan dan menjura dengan hormatnya kepada mereka, diikuti pula oleh Thian Sin. “Saya harap bibi berdua sekeluarga berada dalam keadaan baik-baik saja selama ini,” kata Han Tiong dengan sikap halus. “Siapa kalian...?” tanya Kui Lan. “Dan ada keperluan apakah?” sambung Kui Lin. Han Tiong tentu saja tidak tahu yang mana bibi pertama dan mana bibi ke dua. “Ah, harap bibi berdua suka memaafkan kami kalau kami membikin kaget. Agaknya bibi tidak mengenal saya. Saya adalah Cia Han Tiong...” “Han Tiong...?” “Putera Sin-koko...?” Dua orang wanita itu melangkah maju dan mereka segera memegang kedua tangan Han Tiong dengan wajah gembira sekali. “Aihhh, sudah menjadi seorang dewasa!” “Dan gagah benar kau, Han Tiong!” “Mana mungkin kami dapat mengenalmu, dulu ketika kau datang, engkau masih kecil dan sekarang telah menjadi begini besar!” Han Tiong menjadi bingung. Dia tidak tahu yang mana Bibi Lan dan mana Bibi Lin yang bicara sambil sambung itu. “Maaf... maaf... saya sendiri juga tidak dapat mengenal dan membedakan antara bibi berdua...” Kedua orang wanita itu tersenyum lebar. Bagi mereka tidaklah aneh melihat kebingungan orang yang tidak dapat membedakan antara mereka. “Aku Bibi Lan,” dan kata Kui Lan. “Dan aku Bibi Lin.” kata yang kedua. “Dan siapakah pemuda ini?” Kui Lan dan Kui Lin memandang kepada Thian Sin yang sejak tadi hanya diam saja dan melihat pertemuan antara Han Tiong dan dua orang bibinya itu. Dia tahu bahwa kedua orang wanita itu adalah adik-adik tiri dari ayah angkatnya, merupakan dua orang wanita kembar. Akan tetapi dia sendiri sudah dapat melihat perbedaan antara kedua orang wanita itu, sungguhpun memang pada lahirnya mereka itu serupa benar. Thian Sin memiliki pandangan yang amat tajam dan dia sudah melihat bahwa perbedaan yang cukup besar antara mereka itu terdapat pada pandang mata mereka. Yang mengaku sebagai Bibi Lan itu mempunyai sinar mata yang mengandung keriangan atau kelincahan, sebaliknya yang mengaku sebagai Bibi Lin itu mempunyai sinar mata yang lebih dalam dan juga pendiam dan lebih tenang. Dan hanya kalau keduanya dilanda kegembiraan seperti ketika mengetahui bahwa pemuda itu adalah keponakan mereka, maka keduanya sukar dibedakan karena sinar mata mereka itu keduanya berseri-seri. “Dia ini adalah Ceng Thian Sin, putera mendiang Paman Ceng Han Houw dan Bibi Lie Ciauw Si.” Han Tiong memperkenalkan dan kembali Thian Sin menjura. Karena dia menjura sambil menundukkan muka, maka dia tidak melihat betapa sejenak wajah kedua orang wanita itu berubah dan mata mereka agak terbelalak mendengar nama Ceng Han Houw. Thian Sin hanya mendengar kakaknya menyambung kata-katanya dengan agak tergesa-gesa. “Thian Sin ini juga menjadi saudara angkat saya dan putera angkat dari ayah, maka dia boleh dibilang juga menjadi keponakan bibi berdua pula.” “Ahhh... syukurlah kalau begitu,” kata Kui Lin. “Dia tampan sekali!” puji Kui Lan. “Mari-mari, kita masuk saja. Pamanmu sedang melatih silat kepada Bun Hong dan Lian Hong.” Dengan ramah dua orang wanita itu lalu mengajak Han Tiong dan Thian Sin memasuki gedung dan mempersilakan mereka duduk di ruangan dalam. Kui Lan sudah berlari ke belakang untuk mengabarkan tentang kedatangan dua orang muda itu kepada suaminya dan dua orang anak mereka. Tak lama kemudian wanita itu datang lagi bersama suaminya dan dua orang anak mereka. Han Tiong dan Thian Sin cepat bangkit dari tempat duduk mereka dan menghormat kepada laki-laki tinggi besar yang gagah perkasa itu. Ciu Khai Sun sudah berusia empat puluh enam tahun, sebagian rambutnya sudah mulai memutih, akan tetapi dia masih nampak gagah dan tubuhnya yang tinggi besar itu nampak kokoh kuat. Dengan wajah berseri pendekar yang gagah perkasa ini menerima penghormatan Han Tiong dan Thian Sins tertawa dan dia memegang kedua pundak Han Tiong. “Ah, engkau telah menjadi seorang pemuda dewasa Han Tiong!” katanya dengan ramah sekali, kemudian menoleh dan memandang kepada Thian Sin. “Dan ini Ceng Thian Sin, adik angkatmu? Tampan dan gagah dia!” Hati Thian Sin merasa lega bahwa tidak nampak keheranan mendengar bahwa putera Pangeran Ceng Han Houw, seperti yang sering kali dia lihat kalau dia diperkenalkan sebagai putera pangeran itu. “Tiong-koko!” kata Bun Hong sambil maju memberi hormat. “Hai, engkau sudah menjadi seorang pemuda yang lebih tinggi daripada aku!” Han Tiong berseru gembira sambil membalas penghormatan pemuda yang bertubuh seperti ayahnya itu. Memang Bun Hong nampak gagah perkasa seperti ayahnya, apalagi pada saat dia mengenakan pakaian ringkas, pakaian berlatih silat sehingga nampaklah bentuk tubuhnya yang kekar. “Tiong-koko!” Dara itu memberi hormat dan memanggil pula. Han Tiong memandang dan jantungnya berdebar. Belum pernah dia merasakan jantungnya berdebar seperti ini kalau dia bertemu dengan seorang dara. Akan tetapi gadis ini memang luar biasa sekali, sukar baginya untuk menggambarkan bagaimana cantiknya. Semua bagian tubuh dara itu, dari rambutnya yang agak kusut karena habis berlatih silat, dahinya yang masih agak basah oleh peluh, sampai kepada cara dia berdiri dan memberi hormat, semua itu memiliki daya tarik yang demikian mempesonakan sehingga untuk sekejap Han Tiong seperti terpesona dan tidak dapat mengeluarkan kata-kata. Akhirnya, dengan kekuatan hatinya dia mampu juga membuat dirinya bergerak dan keluar dari pesona yang melumpuhkan itu. “Ah, adik Lian Hong! Engkaupun telah menjadi seorang gadis yang dewasa...!” hanya demikian dia mampu berkata, setelah menahan sekuat hatinya agar mulutnya tidak mengatakan “yang sangat cantik jelita” sungguhpun hatinya meneriakkan demikian. Kemudian dia teringat Thian Sin dan menyambung kata-katanya, “O ya, Bun-te dan Lian Hong-moi, perkenalkan dia ini adalah Ceng Thian Sin, adik angkatku, juga boleh dibilang suteku sendiri karena diapun menjadi anak angkat dan murid ayah. Sin-te, inilah adik Bun Hong dan Lian Hong yang sering kuceritakan kepadamu.” Akan tetapi sudah sejak tadi sepasang mata Thian Sin seperti melekat pada diri Lian Hong! Semenjak dara itu muncul, dia sudah memandang wajah dan tubuh dara itu dan dia seperti melihat seorang bidadari dari kahyangan turun! Kedua matanya hampir tidak dapat dikejapkan lagi, karena dia sudah terpesona. Banyak sudah dia melihat wanita cantik, akan tetapi belum pernah rasanya dia bertemu dengan seorang dara seperti ini bahkan dalam mimpipun belum. Begitu melihat, dia sudah jatuh cinta sepenuhnya. Sesungguhnya, tidak tepatlah kalau dikatakan bahwa Lian Hong adalah seorang dara yang cantiknya melebihi wanita-wanita lain atau seorang yang tanpa cacad. Akan tetapi, sungguh merupakan kenyataan bahwa bukan jarang seorang wanita berubah menjadi bidadari tanpa cacad di dalam pandang mata pria, kalau pria itu telah jatuh cinta atau sudah tergila-gila. Setiap gerakan, setiap bagian tubuh, bahkan apapun juga yang menempel pada wanita yang menjatuhkan hati seorang pria, akan nampak cantik dan indah tanpa cacad! Rambut kusut melingkar-lingkar yang bagi umum akan nampak kacau, bagi orang yang jatuh hati akan nampak sebagai penambah manis yang menggairahkan! Dan demikian selanjutnya dan hal itu bukanlah semata-mata terjadi pada diri seorang wanita yang telah menjatuhkan hati seorang pria. Segala keindahan itu bukanlah melekat kepada sesuatu yang berada di luar, melainkan diciptakan oleh rasa peka akan keindahan, yaitu yang bersumber di dalam batin kita sendiri. Keindahan bukan melekat pada sang bunga, melainkan orang yang memiliki rasa keindahan sajalah yang dapat melihat betapa indahnya bunga itu. “Sin-te...!” Dengan suara halus Han Tiong menegur. Thian Sin terkejut dan cepat dia menjura dengan sikap hormat sambil menundukkan mukanya yang berubah merah. Akan tetapi dia memang seorang pemuda yang pandai membawa diri, maka dengan riang dia berkata, “Maaf, maafkan, karena sesungguhnya saya terkejut sekali. Tiong-ko pernah menceritakan tentang adik berdua masih kecil-kecil, dan kiranya adalah seorang pemuda dan seorang dara yang sudah dewasa. Maafkan...” Mereka semua tertawa dan dengan ramah Khai Sun lalu mempersilakan mereka duduk. Seorang pelayan datang membawa minuman dan Han Tiong yang menjadi pusat perhatian dan pertanyaan, harus menjawab hujan pertanyaan yang diajukan oleh keluarga itu. Dengan sikap hormat Han Tiong lalu menyerahkan surat dari ayahnya yang ditujukan kepada Ciu Khai Sun dan dua orang isterinya itu. Setelah membaca surat itu, wajah pendekar ini berseri-seri dan sambil tersenyum dia menyerahkan surat itu kepada dua orang isterinya yang membacanya secara bergilir kemudian menyimpan surat itu. Isi surat dari Pendekar Lembah Naga itu adalah di samping mengabarkan keselamatan, dan memperkenalkan dua orang muda itu, juga mengajukan usul kepada keluarga Ciu untuk menjodohkan puteri keluarga Ciu dengan seorang di antara mereka. Pertemuan itu sungguh mendatangkan kegembiraan besar di dalam hati semua anggauta keluarga di Lok-yang itu. Di dalam kegembiraan Ciu Khai Sun dan dua orang isterinya terdapat kebingungan dan keraguan pula karena sungguh tidaklah mudah bagi mereka untuk memilih di antara Han Tiong dan Thian Sin! Kalau melihat keadaan lahiriah, jelas bahwa Thian Sin jauh lebih tampan dibandingkan dengan Han Tiong. Dan tentang sikap, biarpun Thian Sin tidak sependiam seperti Han Tiong, namun dia tergolong pemuda yang sikapnya sopan dan pandai membawa diri, bahkan ramah sekali dibandingkan dengan Han Tiong yang hanya bicara kalau perlu saja. Akan tetapi kalau mengingat ayah mereka, tentu saja hati keluarga ini condong memilih Han Tiong. Han Tiong adalah putera dari Pendekar Lembah Naga, sehingga tidak diragukan lagi. Akan tetapi, Thian Sin adalah putera Pangeran Ceng Han Houw yang demikian jahatnya! “Kita tidak boleh menilai seseorang dari keadaan ayahnya atau ibunya!” kata Kui Lin dan ucapan ini tentu saja didukung seratus persen oleh Kui Lan. Bukankah mereka berduapun anak kandung dari seorang ayah yang tak dapat dibilang mempunyai watak yang baik? Ciu Khai Sun adalah orang yang bijaksana, maka diapun mengerti isi hati kedua orang isterinya itu. Dia mengangguk-angguk menyatakan setuju. “Dan sepatutnyalah kalau membiarkan Lian Hong menentukan pilihannya sendiri,” kata Kui Lan. Ciu Khai Sun kembali mengangguk. “Apa yang kalian katakan adalah benar dan tepat. Betapapun juga, kita sebagai orang tua tentu saja tidak boleh menutup mata kalau melihat puteri kita melakukan pilihan yang keliru. Sudah sepatutnya kalau kita membantunya dan memperingatkan dia kalau dia salah pilih agar kelak dia tidak menyesal. Memang amat sukar memilih di antara dua orang pemuda itu. Keduanya gagah perkasa dan telah mewarisi ilmu-ilmu yang amat lihai dari Pendekar Lembah Naga. Kitalah yang untung besar kalau dapat mempunyai mantu seorang di antara mereka. Betapapun juga, kita harus hati-hati dan membuka mata lebar-lebar untuk melihat, siapa di antara mereka itu yang lebih cocok untuk menjadi suami anak kita.” Selama beberapa hari semenjak dua orang pemuda Lembah Naga itu tiba di rumah keluarga Ciu, hubungan antara mereka dengan Bun Hong dan Lian Hong menjadi amat akrabnya. Kedua orang saudara she Ciu itu minta petunjuk dalam hal ilmu silat kepada mereka, dan dua orang pendekar muda Lembah Naga itupun dengan senang hati memberi petunjuk. Terutama sekali Thian Sin yang dengan pandai berusaha menarik hati Lian Hong atau memperlihatkan sikap yang amat mesra dan baik terhadap diri gadis itu. Melihat sikap Thian Sin itu, Han Tiong seperti biasa menahan dirinya dan Han Tiong lebih banyak mendekati Bun Hong untuk memberi petunjuk dalam hal ilmu silat, dan membiarkan Thian Sin lebih mendekati Lian Hong. Hal itu adalah karena memang Thian Sin jauh lebih pandai bergaul dibandingkan dengan Han Tiong, apalagi bergaul dengan wanita. Thian Sin memiliki bakat untuk itu, dan dia tidak malu-malu untuk bersikap manis terhadap wanita, tidak seperti Han Tiong yang merasa malu-malu. terutama sekali malu diketahui orang lain bahwa dia hendak bermanis-manis terhadap wanita. Apalagi, pemuda ini memiliki perasan yang amat peka, dan melihat betapa Thian Sin tidak menyembunyikan perasaan suka terhadap Lian Hong yang mudah dilihat dari sikapnya, maka diapun mundur teratur, sungguhpun harus diakuinya di dalam hatinya sendiri bahwa dia telah jatuh hati kepada dara itu! Kurang lebih dua minggu kemudian, pada suatu senja ketika keluarga itu bersama dua orang tamunya berkumpul, makan malam sambil bercakap-cakap, datanglah seorang tamu dari Su-couw yang membawa kabar yang amat mengejutkan. Tamu itu adalah seorang pegawai Pouw-an-piauwkiok di Su-couw, yaitu perusahaan pengawal atau ekspedisi yang dipimpin oleh Kui Beng Sin. Piauwsu (pengawal) dari Su-couw itu menceritakan bahwa Kui Beng Sin yang mengawal sendiri sebuah kereta yang penuh terisi barang-barang berharga milik seorang pembesar di Su-couw yang dikirim ke selatan, yaitu ke Sin-yang, telah diganggu gerombolan perampok yang mengakibatkan kereta itu dilarikan perampok. Kui Beng Sin terluka cukup parah dan sebagian besar anak buah piauwkiok itu telah tewas. Mendengar laporan itu, Ciu Khai Sun mengerutkan alisnya. “Di mana terjadinya perampokan itu dan apakah sudah diketahui siapa perampoknya?” “Perampokan itu terjadi dekat kota Sin-yang di sebelah utara kota itu, di hutan yang berada di lembah Sungal Luai. Kui-piauwsu mengawainya sendiri mengingat bahwa barang-barang itu amat berharga, akan tetapi tetap saja dia dan semua pembantunya tidak kuat menghadapi gerombolan yang amat kuat itu.” “Hemm... di lembah Sungai Luai? Setahuku di sana biasanya aman, tidak terdapat perampok, dan andaikata ada juga, tentu para perampok itu telah mengenal bendera Pouw-an-piauwkiok,” Ciu Khai Sun berkata sambil mengelus jenggotnya. Sebagai seorang piauwsu tentu saja dia mengetahui daerah itu, yang masih termasuk daerah Propinsi Ho-nan dan tidak jarang anak buahnya mengawal barang melalui daerah selatan itu. “Itulah yang mengejutkan, Ciu-piauwsu,” kata orang itu. “Gerombolan perampok itu agaknya merupakan gerombolan baru di daerah itu yang datang dari lain tempat. Menurut para anggauta Pouw-an-piauwkiok yang berhasil menyelamatkan diri, gerombolan itu dipimpin oleh dua orang laki-laki setengah tua yang memiliki kepandaian yang tinggi sekali, dan anak buah merekapun tidak lebih hanya sepuluh orang saja yang rata-rata memiliki ilmu silat yang tangguh.” “Engkau harus tolong Beng Sin-twako,” kata Kui Lan juga Kui Lin mendesak suaminya untuk menolong. Kui Beng Sin adalah kakak tiri dua orang wanita kembar ini, satu ayah berlainan ibu, oleh karena itu, mendengar akan malapetaka yang menimpa diri kakak tiri mereka itu, tentu saja mereka membujuk suami mereka untuk menolongnya. “Barang-barang milik pembesar itu berharga sekali, dan inilah yang menyusahkan Kui-piauwsu. Pembesar itu menuntut penggantian, dan agaknya, biar seluruh harta milik Pouw-an-piauwkiok dijual sekalipun, belum tentu akan dapat mengganti harga barang-barang itu yang jumlahnya ribuan tail emas. Dalam keadaan terluka parah, Kui-piauwsu menghadapi semua ini dan dia benar-benar merasa tak berdaya. Kami mengingat akan hubungan keluarga dengan Ciu-piauwsu, maka kami memberanikan diri untuk menyampaikan berita ini.” Cim Khai Sun mengangguk-angguk. “Pulanglah, dan kami akan mempertimbangkan apa yang kiranya akan dapat kami lakukan.” Setelah orang itu pergi, Kui Lan dan Kui Lin menangis. Mereka merasa kasihan dan juga khawatir sekali mendengar akan kemalangan yang menimpa kakak tiri mereka itu. Pada saat itu, Thian Sin berkata, “Harap paman dan bibi suka menenangkan hati. Biarlah saya yang akan berangkat mengejar perampok-perampok laknat itu, membasmi mereka dan merampas kembali barang-barang yang mereka rampok untuk menolong Pouw-an-piauwkiok.” “Benar apa yang dikatakan oleh Sin-te, paman,” kata Han Tiong. “Biarlah kami berdua pergi mengejar perampok- perampok itu.” “Aku ikut!” kata Lian Hong. “Akupun ikut!” kata Bun Hong. Ciu Khai Sun tersenyum dan dua orang isterinya memandang kepada dua orang pemuda Lembah Naga itu dengan kagum. “Ah, kalian anak-anak baik. Bagaimana mungkin aku dapat membiarkan kalian pergi menghadapi perampok-perampok lihai itu? Ayah kalian tentu akan marah kalau sampai terjadi sesuatu dengan kalian dan bagaimana tanggung-jawabku?” “Tidak, paman,” kata Han Tiong, suaranya tegas. “Bahkan sebaliknya, kalau ayah mendengar bahwa kami diam saja melihat malapetaka yang menimpa diri Paman Kui Beng Sin yang sudah saya kenal itu, tentu ayah akan sangat marah kepada kami. Biarkan kami pergi, paman.” “Aku tanggung bahwa kami akan dapat merampas kembali barang-barang yang mereka rampok itu, paman!” kata Thian Sin tegas. Ciu Khai Sun menarik napas panjang, hatinya lega. Tentu saja dia percaya sepenuhnya kepada mereka berdua, karena dia yakin bahwa kepandaian mereka, melihat cara mereka memberi petunjuk kepada Lian Hong dan Bun Hong, tentu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kepandaiannya sendiri. “Baiklah, kalau begitu, biar kupersiapkan pasukan piauwsu untuk membantu kalian.” “Tidak perlu, paman. Biar kami berdua pergi sendiri saja,” jawab Han Tiong. “Ayah, aku ikut!” kata pula Lian Hong. “Aku juga, biarkan kami ikut bersama Sin-ko dan Tiong-ko!” sambung Bun Hong. “Aihh, anak-anak, apa kalian kira dua orang kakakmu itu hendak pergi pelesir?” Kui Lan mencela. “Kalian ini seperti anak kecil saja. Kedua orang kakakmu hendak menempuh bahaya, masa kalian hendak ikut?” Kui Lin juga mengomel. “Ayah selama ini mengajarkan ilmu silat, dan sekarang terbuka kesempatan bagi kami untuk menambah pengalaman, kenapa kami tidak boleh ikut?” Lian Hong membantah. “Benar, kita hanya boleh ikut dengan rombongan piauwsu saja, dan hanya diberi kesempatan berhadapan dengan segala pencopet, maling dan perampok kecil saja. Ayah, sekarang Sin-ko dan Tiong-ko hendak melakukan urusan besar, menghadapi perampok-perampok lihai, maka biarlah kami meluaskan pengalaman dan ikut dengan mereka,” kata Bun Hong. “Setidaknya, kita tidak boleh enak-enak saja mambiarkan mereka pergi menghadapi bahaya sendiri!” Lian Hong menambah pula. Ciu Khai Sun menarik napas panjang. “Kalian ini sungguh seperti anak-anak kecil saja. Menurut pelaporan, perampok-perampok itu amat lihai sehingga para piauwsu Pouw-an-piauwkiok sampai banyak yang tewas, bahkan Saudara Kui Beng Sin sendiri sampai terluka parah. Jangan kalian main-main, ini bukan urusan kecil.” Melihat wajah Lian Hong cemberut dan mendekati tangis karena kecewa mendengar pencegahan ayahnya itu, Thian Sin segera berkata, “Paman, sayalah yang akan melindungi adik Lian Hong dan menjamin keselamatannya dan bertanggung jawab kalau ada apa-apa menimpa dirinya!” Ucapannya itu dilakukan dengan penuh kesungguhan hati sehingga suami dan dua orang isterinya itu diam-diam saling lirik. Juga Han Tiong terkejut mendengar pernyataan yang membayangkan keadaan hati adiknya itu, dan merasa tidak enak mendengar betapa adiknya itu hanya berjanji melindungi Lian Hong saja. Maka diapun cepat berkata dengan suara tenang. “Benar, paman. Dan saya akan melindungi adik Bun Hong. Kami berdua yang menjamin keselamatan mereka.” Mendengar ucapan dua orang pemuda Lembah Naga itu, Bun Hong dan Lian Hong menjadi girang sekali. “Kami akan berhati-hati, ayah!” kata Lian Hong. “Kami hanya akan menonton Sin-ko dan Tiong-ko menundukkan penjahat, dan kalau perlu membantu,” sambung Bun Hong. Akhirnya, keluarga itu merasa tidak enak kalau menolak terus. Dua orang pemuda Lembah Naga itu siap untuk menghadapi penjahat, bahkan berjanji untuk melindungi dua orang anak mereka. Kalau mereka berkeras tidak membolehkan, bukankah hal itu membayangkan bahwa mereka takut kalau-kalau terjadi sesuatu menimpa diri anak mereka? Dan sikap seperti itu jelas tidak membayangkan kegagahan seorang pendekar! “Baiklah, baiklah...” Akhirnya Ciu Khai Sun berkata dan dua orang anaknya itu girang sakali. Mereka lalu berkemas karena dua orang pemuda Lembah Naga itu akan berangkat besok pagi-pagi sekali. Kebetulan sekali, Bun Hong pernah ikut rombongan piauwsu melakukan perjalanan ke selatan, maka dia tahu di mana adanya lembah Sungai Luai itu dan dapat bertindak sebagai penunjuk jalan. *** Dua belas orang itu duduk melingkari api unggun yang besar. Malam itu amat dingin mereka lebih suka duduk di luar mengelilingi api unggun besar daripada tidur di dalam pondok-pondok di mana mereka tidak dapat membuat api unggun besar. Biarpun mereka itu tidak dapat tidur karena hawa dingin, namun mereka bergembira, minum-minum arak sampai sepuas mereka den makan daging panggang dan roti yang halus. “Ha-ha-ha, sungguh sayang, di malam sedingin ini kita terpaksa harus tinggal sendirian di tempat dingin ini.” “Alangkah senangnya kalau kita bisa berada di kota ditemani oleh wanita cantik!” Macam-macam ucapan keluar dari mulut mereka, diseling suara ketawa ringan, akan tetapi juga ucapan mereka bernada kecewa karena mereka agaknya terpaksa bersembunyi di tempat sunyi dalam hutan di tepi sungai itu. Dua orang yang berusia kurang lebih empat puluh tahun, yang bersikep penuh wibawa dan jelas merupakan pimpinan mereka, sedang menggerogoti paha kijang yang mereka panggang tadi. “Hemm, mengapa kalian ini cerewet seperti nenek-nenek bawel saja?” tegur seorang di antara dua orang pemimpin itu, yang tubuhnya tinggi besar seperti raksasa dan mukanya hitam. “Taijin (pembesar) hanya menyuruh kita bersembunyi selama tiga hari tiga malam, dan kalian masih terus mengomel. Tinggal semalam ini dan besok kita boleh pergi sesuka hati.” “Dengan hadiah uang yang memenuhi kantong, kalian akan dapat hidup seperti raja di kota, setiap malam ditemani wanita cantik dan membeli apa saja yang kalian inginkan. Untuk semua itu, kita hanya diharuskan menyembunyikan diri tiga hari, apa susahnya?” kata orang ke dua, yaitu pemimpin yang mukanya penuh brewok, akan tetapi tubuhnya kecil kurus, sungguh tidak sepadan dengan mukanya yang menyeramkan. “Maaf, kami tidak mengomel, hanya kedinginan,” kata seorang anak buah. “Ha-ha-ha, sungguh lucu kalau diingat tingkah piauwsu gendut itu. Kenapa twako (kakak tertua) tidak membunuhnya saja seperti para piauwsu lainnya?” Si Tinggi Besar itu minum araknya, lalu mengusap bibir dengan lengan baju dan berkata, “Enak saja kau bicara! Si Gendut itu memiliki ilmu golok Go-bi-pai yang lumayan dan kita dikeroyok jumlah yang lebih besar. Sudah untung kita berhasil melarikan kereta dan tidak seorangpun di antara kita yang terluka parah.” “Kalau tidak dikeroyok banyak, Si Gendut itu tentu telah mampus di tanganku!” kata pemimpin ke dua yang bertubuh kecil dan mukanya brewok. “Akan tetapi mengapa taijin menyuruh kita bersembunyi? Takut apa sih?” seorang anak buah bertanya. “Orang bodoh macam engkau ini tahu apa? Barang-barang itu harus diselamatkan dulu sampai ke Sin-yang tanpa ada yang tahu. Kalau sudah selamat, barulah keadaan benar-benar beres dan berhasil, dan kita boleh pergi meninggalken tempat persembunyian ini. Sebelum lewat tengah malam ini, kita masih bertugas sebagai perampok-perampok lembah Sungai Luai, ha-ha-ha!” Si Muka Hitam tinggi besar yang merupakan pimpinan pertama itu tertawa dengan gembira sekali. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dengan penuh kegembiraan dua belas orang itu meninggalkan hutan. Akan tetapi ketika tiba di tepi hutan, tiba-tiba mereka berhenti karena mereka melihat empat orang muda, yaitu tiga orang pemuda dan seorang dara, berjalan memasuki hutan itu. “Ah, dara itu cantik sekali, seperti bidadari!” kata Si Muka Hitam raksasa. “Patut kalau malam nanti menemani aku, ha-ha-ha!” “Twako, ingat, mulai hari ini kita sudah bukan perampok-perampok lagi!” kata pemimpin ke dua memperingatkan kawannya. “Sute, kau bodoh! Justeru sebelum kita meninggalkan hutan, berarti kita masih perampok dan munculnya mereka itu sungguh kebetulan sekali. Kita serang dan lukai mereka, rampok pakaian dan bekal mereka, dan tentang gadis itu... ha-ha, jangan khawatir, aku yang akan membawanya. Dengan demikian, tiga orang muda itu akan mengabarkan bahwa kita memanglah perampok-perampok lembah Sungai Luai. Ha-ha, dan mereka boleh mencari-cari sampai mati perampok-perampok itu yang tentu saja akan lenyap.” Semua orang setuju dan tertawa-tawa, dan mengikuti Si Tinggi Besar itu keluar dari hutan, dengan langkah lebar menyambut empat orang muda yang datang dari luar hutan itu. Empat orang muda ini bukan lain adalah Han Tiong, Thian Sin, Bun Hong dan Lian Hong! Melihat belasan orang yang menyeringai dan bersikap kasar itu keluar dari dalam hutan, Han Tiong memberi isyarat kepada saudara-saudaranya dan mereka berhenti dan menanti dengan sikap tenang. Matahari pagi telah menerobos masuk melalui celah-celah daun pohon dan biarpun cuaca belum terlalu terang, akan tetapi mereka sudah dapat melihat dengan jelas dua belas orang pria yang keluar dari dalam hutan itu. Yang berjalan di depan sendiri adalah seorang pria tinggi besar seperti raksasa yang bermuka hitam bersama seorang laki-laki kecil kurus yang tingginya sampai di pundak orang pertama, akan tetapi muka pria ke dua ini penuh brewok dan kelihatan menyeramkan sekali. Akan tetapi yang mengherankan hati Han Tiong dan Thian Sin adalah kenyataan yang nampak oleh pandang mata mereka yang tajam bahwa mereka itu bersikap kasar yang dibuat-buat agar mendatangkan kesan bahwa mereka itu orang-orang kasar! “Agaknya merekalah orang-orangnya,” kata Thian Sin lirih. “Mungkin, akan tetapi kita harus hati-hati dan jangan salah turun tangan terhadap orang lain,” kata Han Tiong. Kini dua belas orang itu telah tiba di depan mereka dan Si Tinggi Besar yang sejak tadi menatap dengan pandang mata penuh kekurangajaran kepada Lian Hong, kini berdiri sambil bertolak pinggang, memandang mereka berempat itu dan kembali pandang matanya berhenti pada wajah Lian Hong, kemudian tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, empat orang muda sungguh bernyali besar berani lewat di wilayah kekuasaan kami! Hayo cepat keluarkan pajak jalan kalau kalian ingin selamat!” Si Tinggi Besar ini, walaupun lagaknya agak dibuat-buat, mencoba untuk menirukan lagak seorang kepala rampok tulen. Akan tetapi Ciu Bun Hong, sebagai putera seorang kepala piauwsu yang sudah sering juga ikut mengawal barang-barang bersama para piauwsu dan sudah mengenal perampok-perampok dan lagak serta kebiasaan mereka, memandang agak ragu-ragu kepada belasan orang itu. Sikap orang-orang ini bukan seperti sikap perampok-perampok yang berkellaran di hutan-hutan dan biasa dengan kehidupan yang keras dan sukar. Kulit mereka tidak kasar, rambut dan pakaian mereka terawat, hanya sikap mereka saja yang kasar dan seperti lagak para perampok, akan tetapi sikap ini dapat ditiru atau dibuat-buat. “Mereka bukan perampok,” bisiknya kepada Thian Sin yang berdiri di dekatnya. Sementara itu, Han Tiong yang mewakili rombongannya, sudah menghadapi Si Tinggi Besar itu, sikapnya tenang dan dia memandang penuh selidik, meragu apakah gerombolan di depannya ini yang telah merampok barang-barang kawalan Kui Beng Sin. “Saudara-saudara yang gagah, kami tidak tahu apa yang kalian maksudkan. Kami adalah empat orang muda yang sedang melancong, tidak mempunyai apa-apa yang berharga. Harap kalian suka membiarkan kami lewat.” Mendengar ucapan Han Tiong itu Si Tinggi Besar tertawa bergelak, diikuti oleh teman-temannya karena ucapan pemuda yang kelihatan lemah itu mereka anggap sebagai tanda ketakutan, sungguhpun pada sikap empat orang muda itu sama sekali tidak nampak tanda-tanda takut. “Ha-ha-ha, kamipun tahu bahwa kalian hanyalah empat muda yang sederhana dan agaknya tidak memiliki apa-apa. Akan tetapi kami melihat bahwa kalian membawa sesuatu yang amat berharga, yang tak dapat disamakan dengan barang berharga apapun dan tak dapat terbeli dengan uang. Nah, kami menginginkan kalian meninggalkannya kepada kami.” Han Tion mengerutkan alisnya. “Benda berharga? Apa yang kalian maksudkan? Kami tidak membawa apapun kecuali sedikit uang untuk bekal membeli makan...” Akan tetapi dua belas orang itu tertawa-tawa dan Si Tinggi Besar menudingkan telunjuknya ke arah Lian Hong sambil berkata, “Apakah yang lebih berharga daripada nona manis ini? Kami tidak butuh uang, kami sendiri sudah mempunyai cukup banyak, akan tetapi nona manis ini amat menarik hatiku, kalian harus meninggalkannya untukku...!” “Keparat bermulut busuk!” Tiba-tiba Thian Sin sudah meloncat ke depan dan berdiri dekat sekali di depan Si Tinggi Besar itu, sepasang mata pemuda ini mengeluarkan sinar mencorong dan melibat ini, Si Tinggi Besar itu terkejut juga. Akan tetapi karena dia memandang rendah kepada empat orang muda itu, maka diapun tidak menjadi gentar, sebaliknya mentertawakan sikap Thian Sin. “Engkau ini bocah kemarin sore hendak berlagak? Pilih saja, kalian tiga pemuda ini dapat melanjutkan perjalanan dengan selamat akan tetapi meninggalkan gadis ini kepadaku, atau kami harus bunuh dulu kalian bertiga dan merampas gadis ini dengan paksa.” “Iblis yang layak mampus!” Thian Sin sudah hendak menerjang dan menyerang dengan serangan maut, karena hatinya telah dibakar oleh kemarahan hebat mendengar betapa orang kasar itu menghina Lian Hong, akan tetapi lengan kirinya sudah dipegang dengan halus oleh Han Tiong. Thian Sin menoleh dan melihat sinar mata kakaknya, kemarahannyapun lenyap, dan dia menarik napas panjang lalu melangkah mundur. “Sobat,” kata Han Tiong dengan tenang, “terus terang saja, kami berempat ini melancong sambil ingin mencari gerombolan yang beberapa hari yang lalu telah merampas barang-barang yang dikawal oleh Pouw-an-piauwkiok di Su-couw. Melihat tempat perampokan yang terjadi di hutan ini, apakah sobat sekalian yang telah melakukan perampokan itu?” Si Tinggi Besar mengangkat alisnya, memandang dengan mata terbelalak lalu bertukar pandang dengan para anak buahnya. Akan tetapi, karena dia memang memandang rendah kepada empat orang itu, dia malah memberi isyarat dengan tangannya dan belasan orang itu lalu mengepung empat orang muda ini dari berbagai penjuru karena pertanyaan Han Tiong tadi membuktikan bahwa empat orang muda itu adalah musuh-musuh yang datang berhubungan dengan perampokan itu. “Ha-ha-ha, kiranya kalian datang untuk barang-barang itu? Wah, kalau begitu kalian tak boleh pergi lagi dari sini dan menjadi tawanan kami!” kata Si Tinggi Besar. “Sobat, kalian telah melakukan sesuatu yang keliru besar. Bukankah Kui-piauwsu yang memimpin Pouw-an-piauwkiok selalu bersikap baik terhadap orang-orang kang-ouw? Kenapa kalian telah mengganggunya dan dengan demikian merusak perhubungan baik antara para piauwsu dan orang-orang di kalangan liok-lim? Harap kalian suka menyerahkan kembali barang-barang itu kepada kami dan tentu kami akan membalas budi itu dan Pouw-an-piauwkiok akan kami anjurkan untuk mengirim sumbangan kepada kalian.” Han Tiong bersikap tenang dan sabar. Hal ini amat menjengkelkan hati Thian Sin yang menganggap tidak semestinya kakaknya bersikap demikian mengalah dan lunaknya terhadap orang-orang jahat seperti perampok-perampok ini yang bukan hanya telah merampas barang-barang kawalan Pouw-an-piauwkiok, akan tetapi bahkan telah menghina Lian Hong. Akan tetapi diam-diam Bun Hong dan Lian Hong merasa kagum akan sikap Han Tiong itu. Sebagai putera puteri ketua piauw-kiok, tentu saja mereka tahu betapa pentingnya sikap Han Tiong itu. Betapapun juga, akan jauh lebih baik bagi para piauwsu untuk mengikat semacam hubungan yang baik dengan orang-orang di kalangan liok-lim (perampok dan bajak) dan kang-ouw, karena kalau sampai terjadi ikatan permusuhan, tentu pekerjaan mereka tidak akan pernah aman lagi. Tentu saja kalau sudah tidak dapat ditempuh jalan damai, barulah mengandalkan kepandaian untuk menundukkan para penjahat itu. “Ha-ha-ha, kami telah mengambil barang-barang itu dengan tenaga dan kepandaian. Apakah kalian empat orang muda ini datang hendak mengambilnya begitu mudah, dengan kata-kata manis belaka? Kami telah mengambil dengan kepandaian, dan siapapun jangan harap dapat mengambil dari kami tanpa lebih dulu mengalahkan kami!” kata Si Tinggi Besar dengan sikap congkak. “Aku akan merampasnya dengan kepandaianku!” Tiba-tiba Thian Sin berseru lagi dengan suara penuh tantangan. “Tentu saja kalau kau berani melawanku, manusia busuk!” Mendengar tantangan ini, tentu saja kepala perampok itu menjadi marah sekali. Dia menganggap Thian Sin amat lancang, tidak seperti pemuda pertama yang bersikap halus dan sopan kepadanya. “Keparat, engkau bocah kemarin sore sungguh bermulut besar. Tentu saja aku berani melawanmu, dan bagaimana kalau dalam beberapa jurus engkau kalah?” tanyanya dengan nada mengejek. Thian Sin tersenyum untuk menekan kemarahannya. Dia sudah tenang lagi sekarang, dan dia merasa betapa bodohnya dapat dipancing kemarahannya tadi. Akan tetapi diapun maklum bahwa kemarahannya itu terutama sekali adalah karena mendengar betapa Lian Hong dihina oleh orang itu. “Kalau aku kalah, aku menyerahkan nyawaku kepadamu.” “Ha-ha, tidak begitu mudah. Aku bukannya orang yang suka membunuh orang muda. Kalau kau kalah, engkau akan menjadi tawananku, juga dua orang muda lainnya itu, sedangkan gadis ini... hemm, biarlah dia menjadi tamuku yang baik, ha-ha-ha!” “Majulah dan jangan banyak bicara!” Thian Sin membentak karena dia sudah marah lagi mendengar betapa kepala rampok itu kembali telah menghina Lian Hong. Sambil ketawa kepala perampok itu sudah menggulung lengan bajunya, memperlihatkan dua buah lengan yang besar dan berotot tanda bahwa dua batang lengan itu kuat sekali. Akan tetapi sebelum mereka bergerak, Lian Hong sudah berkata dengan suara nyaring, “Sin-ko, karena dia telah menghinaku, biarkan aku menghadapinya!” Thian Sin juga maklum bahwa gadis itu telah memiliki kepandaian yang lumayan karena ayahnya yang melatihnya sendiri adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai yang lihai. Pula, dia tidak ingin mengecewakan hati Lian Hong, maka diapun melangkah mundur dan membiarkan gadis itu maju untuk menghadapi kepala perampok itu. HAN TIONG mengerutkan alisnya, merasa khawatir, akan tetapi diapun merasa tidak enak kalau melarang, karena melarang akan bisa menimbulkan salah faham dan bisa disangka memandang rendah dan tidak percaya kepada gadis itu. Maka diapun hanya berkata, “Hati-hatilah Hong-moi.” Sementara itu, kepala perampok tinggi besar itu girang bukan main melihat majunya gadis yang sejak tadi telah membuat dia tergila-gila itu. “Bagus, engkau hendak menyerahkan diri ke dalam pelukanku sekarang juga? Mari, mari... nona manis, ha-ha-ha!” Dengan marah Lian Hong sudah menerjang maju dan mengirim pukulan ke arah leher orang tinggi besar itu. Pukulan dara ini cukup mantap dan keras sehingga Si Tinggi Besar yang memiliki kepandaian tinggi itu maklum akan bahayanya pukulan lawan dan biarpun sikapnya memandang ringan, akan tetapi ternyata gerakannya cepat sekali, dan sambil mengelak, kakinya telah menyambar dan menendang ke arah lutut Lian Hong. Sungguh gerakan yang cukup bagus, cepat dan berbahaya sehingga mengejutkan hati Bun Hong yang mengkhawatirkan keselamatan adiknya. Akan tetapi, dengan cekatan Lian Hong dapat meloncat dan menyelamatkan lututnya, dan membalas dengan pukulan berbahaya ke arah lambung dari samping. Akan tetapi dengan mudahnya kepala rampok itu menangkis dan menggerakkan tangan untuk mengubah tangkisan menjadi cengkeraman untuk menangkap lengan gadis itu. Akan tetapi, dengan memutar pergelangan tangannya, gadis itu mampu menghindarkan lengannya untuk ditangkap. Perkelahian itu terjadi semakin seru dan Liang Hong yang maklum akan kepandaian kepala perampok yang telah mengalahkan dan melukai Kui Beng Sin dan anak buahnya ini, mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan seluruh kepandaian silat yang pernah dipelajarinya dari ayahnya. Akan tetapi, tiga puluh jurus kemudian, nampaklah bahwa Lian Hong bukan lawan kepala perampok itu. Jelas bahwa dia kalah tenaga dan biarpun dalam hal kecepatan dara ini tidak kalah, namun kekalahan tenaga itu membuat ia repot sekali. Setiap kali lengan mereka beradu, tubuh dara itu terhuyung dan kedua lengannya terasa nyeri dan di balik bajunya, kulit lengannya telah menjadi matang biru semua! Melihat adiknya terdesak hebat seperti itu, Bun Hong tak dapat tinggal diam lagi dan diapun meloncat dan menyerang kepala rampok itu. Melihat ini, si kepala rampok tertawa dan berseru kepada kawan-kawannya, “Hayo tangkap mereka semua, ha-ha-ha!” Akan tetapi, sungguh ia terkejut bukan main ketika melihat betapa empat orang teman-temannya yang maju hendak menerjang Thian Sin dan Han Tiong, tiba-tiba saja terjengkang ke belakang begitu dua orang muda itu menggerakkan tubuh mereka! “Hong-moi, tinggalkan babi hutan ini, biar aku yang menghajarnya.” kata Thian Sin yang sudah meloncat ke depan dan menghadapi Si kepala perampok. “Bun Hong-te, hadapi saja anak buahnya, babi ini bagianku!” katanya pula kepada Bun Hong. Karena melihat betapa kepala perampok itu memang lihai sekali, Bun Hong dan Lian Hong lalu meloncat mundur dan mereka siap untuk menghadapi para anak buah perampok yang sudah mengepung mereka. Kepala perampok itu kini maklum bahwa empat orang muda yang datang ini adalah orang-orang muda yang lihai dan agaknya memang mereka berempat itu merupakan jagoan-jagoan yang didatangkan oleh pihak Pouw-an-piauwkiok untuk merampas kembali barang-barang kawalan itu. Maka diapun lalu mencabut sebatang golok besar dari punggungnya dan perbuatannya ini ditiru oleh semua anak buahnya yang masing-masing kini telah memegang sebatang golok yang tajam. Kepala perampok itu tidak mau main-main lagi sekarang, maklum akan keadaan lawan yang tangguh, maka diapun berteriak, “Bunuh tikus-tikus muda ini, tapi sedapat mungkin tangkap yang wanita!” Akan tetapi dia tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena Thian Sin yang sudah marah itu kini telah menerjangnya dengan dahsyat sekali. Si Tinggi Besar itu cepat menyambut serangan lawan yang bertangan kosong dengan goloknya, menyambut dengan bacokan golok ke arah kepala Thian Sin sambil berteriak menyeramkan. “Plakkkkk! Dess...!” Si Tinggi Besar berseru kaget karena tangkisan Thian Sin yang disertai tamparan itu telah membuat dia terhuyung dan hampir saja goloknya terlepas dari pegangannya. Hampir dia tidak dapat percaya akan hal ini! Mana mungkin pemuda itu menangkis golok besarnya dengan tangan kosong saja malah berbalik menamparnya dengan sedemikian dahsyatnya sehingga sekali gebrakan saja hampir membuatnya roboh? Sementara itu, belasan orang itu telah mengepung dan menyerang, akan tetapi mereka berhadapan dengan Han Tiong yang begitu menggerakkan kaki tangannya telah menahan mereka, merobohkan mereka dan golok-golok mereka terpelanting ke sana-sini. Rata-rata belasan orang itu memiliki kepandaian yang cukup tangguh, akan tetapi, menghadapi Han Tiong tentu saja mereka ini merupakan lawan yang terlalu lunak. Hanya dua orang kakak beradik Ciu itu yang merupakan lawan seimbang dan mereka sudah melawan dua orang perampok yang berusaha untuk merobohkan mereka, namun dua orang muda ini telah mengeluarkan sebatang pedang dan melawan dengan pedang mereka dengan gigih. Perkelahian antara kepala perampok dan Thian Sin tidak berlangsung terlalu lama. Kalau saja dia tidak sungkan kepada kakaknya yang telah meneriakinya agar dia jangan membunuh orang, tentu dalam satu gebrakan saja Thian Sin akan mampu merobohkan lawan dan menewaskannya. Dia membiarkan kepala perampok itu menghujaninya dengan serangan golok bertubi-tubi, setelah lewat beberapa jurus, barulah dia membiarkan golok itu lewat dekat kepalanya dan dia hanya sedikit miringkan tubuhnya kemudian sekali tangan kirinya menyambar, dia sudah berhasil menangkap siku tangan kanan lawan yang memegang golok. “Ah, adik Lian Hong! Engkaupun telah menjadi seorang gadis yang dewasa...!” hanya demikian dia mampu berkata, setelah menahan sekuat hatinya agar mulutnya tidak mengatakan “yang sangat cantik jelita” sungguhpun hatinya meneriakkan demikian. Kemudian dia teringat Thian Sin dan menyambung kata-katanya, “O ya, Bun-te dan Lian Hong-moi, perkenalkan dia ini adalah Ceng Thian Sin, adik angkatku, juga boleh dibilang suteku sendiri karena diapun menjadi anak angkat dan murid ayah. Sin-te, inilah adik Bun Hong dan Lian Hong yang sering kuceritakan kepadamu.” Akan tetapi sudah sejak tadi sepasang mata Thian Sin seperti melekat pada diri Lian Hong! Semenjak dara itu muncul, dia sudah memandang wajah dan tubuh dara itu dan dia seperti melihat seorang bidadari dari kahyangan turun! Kedua matanya hampir tidak dapat dikejapkan lagi, karena dia sudah terpesona. Banyak sudah dia melihat wanita cantik, akan tetapi belum pernah rasanya dia bertemu dengan seorang dara seperti ini bahkan dalam mimpipun belum. Begitu melihat, dia sudah jatuh cinta sepenuhnya. Sesungguhnya, tidak tepatlah kalau dikatakan bahwa Lian Hong adalah seorang dara yang cantiknya melebihi wanita-wanita lain atau seorang yang tanpa cacad. Akan tetapi, sungguh merupakan kenyataan bahwa bukan jarang seorang wanita berubah menjadi bidadari tanpa cacad di dalam pandang mata pria, kalau pria itu telah jatuh cinta atau sudah tergila-gila. Setiap gerakan, setiap bagian tubuh, bahkan apapun juga yang menempel pada wanita yang menjatuhkan hati seorang pria, akan nampak cantik dan indah tanpa cacad! Rambut kusut melingkar-lingkar yang bagi umum akan nampak kacau, bagi orang yang jatuh hati akan nampak sebagai penambah manis yang menggairahkan! Dan demikian selanjutnya dan hal itu bukanlah semata-mata terjadi pada diri seorang wanita yang telah menjatuhkan hati seorang pria. Segala keindahan itu bukanlah melekat kepada sesuatu yang berada di luar, melainkan diciptakan oleh rasa peka akan keindahan, yaitu yang bersumber di dalam batin kita sendiri. Keindahan bukan melekat pada sang bunga, melainkan orang yang memiliki rasa keindahan sajalah yang dapat melihat betapa indahnya bunga itu. “Sin-te...!” Dengan suara halus Han Tiong menegur. Thian Sin terkejut dan cepat dia menjura dengan sikap hormat sambil menundukkan mukanya yang berubah merah. Akan tetapi dia memang seorang pemuda yang pandai membawa diri, maka dengan riang dia berkata, “Maaf, maafkan, karena sesungguhnya saya terkejut sekali. Tiong-ko pernah menceritakan tentang adik berdua masih kecil-kecil, dan kiranya adalah seorang pemuda dan seorang dara yang sudah dewasa. Maafkan...” Mereka semua tertawa dan dengan ramah Khai Sun lalu mempersilakan mereka duduk. Seorang pelayan datang membawa minuman dan Han Tiong yang menjadi pusat perhatian dan pertanyaan, harus menjawab hujan pertanyaan yang diajukan oleh keluarga itu. Dengan sikap hormat Han Tiong lalu menyerahkan surat dari ayahnya yang ditujukan kepada Ciu Khai Sun dan dua orang isterinya itu. Setelah membaca surat itu, wajah pendekar ini berseri-seri dan sambil tersenyum dia menyerahkan surat itu kepada dua orang isterinya yang membacanya secara bergilir kemudian menyimpan surat itu. Isi surat dari Pendekar Lembah Naga itu adalah di samping mengabarkan keselamatan, dan memperkenalkan dua orang muda itu, juga mengajukan usul kepada keluarga Ciu untuk menjodohkan puteri keluarga Ciu dengan seorang di antara mereka. Pertemuan itu sungguh mendatangkan kegembiraan besar di dalam hati semua anggauta keluarga di Lok-yang itu. Di dalam kegembiraan Ciu Khai Sun dan dua orang isterinya terdapat kebingungan dan keraguan pula karena sungguh tidaklah mudah bagi mereka untuk memilih di antara Han Tiong dan Thian Sin! Kalau melihat keadaan lahiriah, jelas bahwa Thian Sin jauh lebih tampan dibandingkan dengan Han Tiong. Dan tentang sikap, biarpun Thian Sin tidak sependiam seperti Han Tiong, namun dia tergolong pemuda yang sikapnya sopan dan pandai membawa diri, bahkan ramah sekali dibandingkan dengan Han Tiong yang hanya bicara kalau perlu saja. Akan tetapi kalau mengingat ayah mereka, tentu saja hati keluarga ini condong memilih Han Tiong. Han Tiong adalah putera dari Pendekar Lembah Naga, sehingga tidak diragukan lagi. Akan tetapi, Thian Sin adalah putera Pangeran Ceng Han Houw yang demikian jahatnya! “Kita tidak boleh menilai seseorang dari keadaan ayahnya atau ibunya!” kata Kui Lin dan ucapan ini tentu saja didukung seratus persen oleh Kui Lan. Bukankah mereka berduapun anak kandung dari seorang ayah yang tak dapat dibilang mempunyai watak yang baik? Ciu Khai Sun adalah orang yang bijaksana, maka diapun mengerti isi hati kedua orang isterinya itu. Dia mengangguk-angguk menyatakan setuju. “Dan sepatutnyalah kalau membiarkan Lian Hong menentukan pilihannya sendiri,” kata Kui Lan. Ciu Khai Sun kembali mengangguk. “Apa yang kalian katakan adalah benar dan tepat. Betapapun juga, kita sebagai orang tua tentu saja tidak boleh menutup mata kalau melihat puteri kita melakukan pilihan yang keliru. Sudah sepatutnya kalau kita membantunya dan memperingatkan dia kalau dia salah pilih agar kelak dia tidak menyesal. Memang amat sukar memilih di antara dua orang pemuda itu. Keduanya gagah perkasa dan telah mewarisi ilmu-ilmu yang amat lihai dari Pendekar Lembah Naga. Kitalah yang untung besar kalau dapat mempunyai mantu seorang di antara mereka. Betapapun juga, kita harus hati-hati dan membuka mata lebar-lebar untuk melihat, siapa di antara mereka itu yang lebih cocok untuk menjadi suami anak kita.” Selama beberapa hari semenjak dua orang pemuda Lembah Naga itu tiba di rumah keluarga Ciu, hubungan antara mereka dengan Bun Hong dan Lian Hong menjadi amat akrabnya. Kedua orang saudara she Ciu itu minta petunjuk dalam hal ilmu silat kepada mereka, dan dua orang pendekar muda Lembah Naga itupun dengan senang hati memberi petunjuk. Terutama sekali Thian Sin yang dengan pandai berusaha menarik hati Lian Hong atau memperlihatkan sikap yang amat mesra dan baik terhadap diri gadis itu. Melihat sikap Thian Sin itu, Han Tiong seperti biasa menahan dirinya dan Han Tiong lebih banyak mendekati Bun Hong untuk memberi petunjuk dalam hal ilmu silat, dan membiarkan Thian Sin lebih mendekati Lian Hong. Hal itu adalah karena memang Thian Sin jauh lebih pandai bergaul dibandingkan dengan Han Tiong, apalagi bergaul dengan wanita. Thian Sin memiliki bakat untuk itu, dan dia tidak malu-malu untuk bersikap manis terhadap wanita, tidak seperti Han Tiong yang merasa malu-malu. terutama sekali malu diketahui orang lain bahwa dia hendak bermanis-manis terhadap wanita. Apalagi, pemuda ini memiliki perasan yang amat peka, dan melihat betapa Thian Sin tidak menyembunyikan perasaan suka terhadap Lian Hong yang mudah dilihat dari sikapnya, maka diapun mundur teratur, sungguhpun harus diakuinya di dalam hatinya sendiri bahwa dia telah jatuh hati kepada dara itu! Kurang lebih dua minggu kemudian, pada suatu senja ketika keluarga itu bersama dua orang tamunya berkumpul, makan malam sambil bercakap-cakap, datanglah seorang tamu dari Su-couw yang membawa kabar yang amat mengejutkan. Tamu itu adalah seorang pegawai Pouw-an-piauwkiok di Su-couw, yaitu perusahaan pengawal atau ekspedisi yang dipimpin oleh Kui Beng Sin. Piauwsu (pengawal) dari Su-couw itu menceritakan bahwa Kui Beng Sin yang mengawal sendiri sebuah kereta yang penuh terisi barang-barang berharga milik seorang pembesar di Su-couw yang dikirim ke selatan, yaitu ke Sin-yang, telah diganggu gerombolan perampok yang mengakibatkan kereta itu dilarikan perampok. Kui Beng Sin terluka cukup parah dan sebagian besar anak buah piauwkiok itu telah tewas. Mendengar laporan itu, Ciu Khai Sun mengerutkan alisnya. “Di mana terjadinya perampokan itu dan apakah sudah diketahui siapa perampoknya?” “Perampokan itu terjadi dekat kota Sin-yang di sebelah utara kota itu, di hutan yang berada di lembah Sungal Luai. Kui-piauwsu mengawainya sendiri mengingat bahwa barang-barang itu amat berharga, akan tetapi tetap saja dia dan semua pembantunya tidak kuat menghadapi gerombolan yang amat kuat itu.” “Hemm... di lembah Sungai Luai? Setahuku di sana biasanya aman, tidak terdapat perampok, dan andaikata ada juga, tentu para perampok itu telah mengenal bendera Pouw-an-piauwkiok,” Ciu Khai Sun berkata sambil mengelus jenggotnya. Sebagai seorang piauwsu tentu saja dia mengetahui daerah itu, yang masih termasuk daerah Propinsi Ho-nan dan tidak jarang anak buahnya mengawal barang melalui daerah selatan itu. “Itulah yang mengejutkan, Ciu-piauwsu,” kata orang itu. “Gerombolan perampok itu agaknya merupakan gerombolan baru di daerah itu yang datang dari lain tempat. Menurut para anggauta Pouw-an-piauwkiok yang berhasil menyelamatkan diri, gerombolan itu dipimpin oleh dua orang laki-laki setengah tua yang memiliki kepandaian yang tinggi sekali, dan anak buah merekapun tidak lebih hanya sepuluh orang saja yang rata-rata memiliki ilmu silat yang tangguh.” “Engkau harus tolong Beng Sin-twako,” kata Kui Lan juga Kui Lin mendesak suaminya untuk menolong. Kui Beng Sin adalah kakak tiri dua orang wanita kembar ini, satu ayah berlainan ibu, oleh karena itu, mendengar akan malapetaka yang menimpa diri kakak tiri mereka itu, tentu saja mereka membujuk suami mereka untuk menolongnya. “Barang-barang milik pembesar itu berharga sekali, dan inilah yang menyusahkan Kui-piauwsu. Pembesar itu menuntut penggantian, dan agaknya, biar seluruh harta milik Pouw-an-piauwkiok dijual sekalipun, belum tentu akan dapat mengganti harga barang-barang itu yang jumlahnya ribuan tail emas. Dalam keadaan terluka parah, Kui-piauwsu menghadapi semua ini dan dia benar-benar merasa tak berdaya. Kami mengingat akan hubungan keluarga dengan Ciu-piauwsu, maka kami memberanikan diri untuk menyampaikan berita ini.” Cim Khai Sun mengangguk-angguk. “Pulanglah, dan kami akan mempertimbangkan apa yang kiranya akan dapat kami lakukan.” Setelah orang itu pergi, Kui Lan dan Kui Lin menangis. Mereka merasa kasihan dan juga khawatir sekali mendengar akan kemalangan yang menimpa kakak tiri mereka itu. Pada saat itu, Thian Sin berkata, “Harap paman dan bibi suka menenangkan hati. Biarlah saya yang akan berangkat mengejar perampok-perampok laknat itu, membasmi mereka dan merampas kembali barang-barang yang mereka rampok untuk menolong Pouw-an-piauwkiok.” “Benar apa yang dikatakan oleh Sin-te, paman,” kata Han Tiong. “Biarlah kami berdua pergi mengejar perampok- perampok itu.” “Aku ikut!” kata Lian Hong. “Akupun ikut!” kata Bun Hong. Ciu Khai Sun tersenyum dan dua orang isterinya memandang kepada dua orang pemuda Lembah Naga itu dengan kagum. “Ah, kalian anak-anak baik. Bagaimana mungkin aku dapat membiarkan kalian pergi menghadapi perampok-perampok lihai itu? Ayah kalian tentu akan marah kalau sampai terjadi sesuatu dengan kalian dan bagaimana tanggung-jawabku?” “Tidak, paman,” kata Han Tiong, suaranya tegas. “Bahkan sebaliknya, kalau ayah mendengar bahwa kami diam saja melihat malapetaka yang menimpa diri Paman Kui Beng Sin yang sudah saya kenal itu, tentu ayah akan sangat marah kepada kami. Biarkan kami pergi, paman.” “Aku tanggung bahwa kami akan dapat merampas kembali barang-barang yang mereka rampok itu, paman!” kata Thian Sin tegas. Ciu Khai Sun menarik napas panjang, hatinya lega. Tentu saja dia percaya sepenuhnya kepada mereka berdua, karena dia yakin bahwa kepandaian mereka, melihat cara mereka memberi petunjuk kepada Lian Hong dan Bun Hong, tentu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kepandaiannya sendiri. “Baiklah, kalau begitu, biar kupersiapkan pasukan piauwsu untuk membantu kalian.” “Tidak perlu, paman. Biar kami berdua pergi sendiri saja,” jawab Han Tiong. “Ayah, aku ikut!” kata pula Lian Hong. “Aku juga, biarkan kami ikut bersama Sin-ko dan Tiong-ko!” sambung Bun Hong. “Aihh, anak-anak, apa kalian kira dua orang kakakmu itu hendak pergi pelesir?” Kui Lan mencela. “Kalian ini seperti anak kecil saja. Kedua orang kakakmu hendak menempuh bahaya, masa kalian hendak ikut?” Kui Lin juga mengomel. “Ayah selama ini mengajarkan ilmu silat, dan sekarang terbuka kesempatan bagi kami untuk menambah pengalaman, kenapa kami tidak boleh ikut?” Lian Hong membantah. “Benar, kita hanya boleh ikut dengan rombongan piauwsu saja, dan hanya diberi kesempatan berhadapan dengan segala pencopet, maling dan perampok kecil saja. Ayah, sekarang Sin-ko dan Tiong-ko hendak melakukan urusan besar, menghadapi perampok-perampok lihai, maka biarlah kami meluaskan pengalaman dan ikut dengan mereka,” kata Bun Hong. “Setidaknya, kita tidak boleh enak-enak saja mambiarkan mereka pergi menghadapi bahaya sendiri!” Lian Hong menambah pula. Ciu Khai Sun menarik napas panjang. “Kalian ini sungguh seperti anak-anak kecil saja. Menurut pelaporan, perampok-perampok itu amat lihai sehingga para piauwsu Pouw-an-piauwkiok sampai banyak yang tewas, bahkan Saudara Kui Beng Sin sendiri sampai terluka parah. Jangan kalian main-main, ini bukan urusan kecil.” Melihat wajah Lian Hong cemberut dan mendekati tangis karena kecewa mendengar pencegahan ayahnya itu, Thian Sin segera berkata, “Paman, sayalah yang akan melindungi adik Lian Hong dan menjamin keselamatannya dan bertanggung jawab kalau ada apa-apa menimpa dirinya!” Ucapannya itu dilakukan dengan penuh kesungguhan hati sehingga suami dan dua orang isterinya itu diam-diam saling lirik. Juga Han Tiong terkejut mendengar pernyataan yang membayangkan keadaan hati adiknya itu, dan merasa tidak enak mendengar betapa adiknya itu hanya berjanji melindungi Lian Hong saja. Maka diapun cepat berkata dengan suara tenang. “Benar, paman. Dan saya akan melindungi adik Bun Hong. Kami berdua yang menjamin keselamatan mereka.” Mendengar ucapan dua orang pemuda Lembah Naga itu, Bun Hong dan Lian Hong menjadi girang sekali. “Kami akan berhati-hati, ayah!” kata Lian Hong. “Kami hanya akan menonton Sin-ko dan Tiong-ko menundukkan penjahat, dan kalau perlu membantu,” sambung Bun Hong. Akhirnya, keluarga itu merasa tidak enak kalau menolak terus. Dua orang pemuda Lembah Naga itu siap untuk menghadapi penjahat, bahkan berjanji untuk melindungi dua orang anak mereka. Kalau mereka berkeras tidak membolehkan, bukankah hal itu membayangkan bahwa mereka takut kalau-kalau terjadi sesuatu menimpa diri anak mereka? Dan sikap seperti itu jelas tidak membayangkan kegagahan seorang pendekar! “Baiklah, baiklah...” Akhirnya Ciu Khai Sun berkata dan dua orang anaknya itu girang sakali. Mereka lalu berkemas karena dua orang pemuda Lembah Naga itu akan berangkat besok pagi-pagi sekali. Kebetulan sekali, Bun Hong pernah ikut rombongan piauwsu melakukan perjalanan ke selatan, maka dia tahu di mana adanya lembah Sungai Luai itu dan dapat bertindak sebagai penunjuk jalan. *** Dua belas orang itu duduk melingkari api unggun yang besar. Malam itu amat dingin mereka lebih suka duduk di luar mengelilingi api unggun besar daripada tidur di dalam pondok-pondok di mana mereka tidak dapat membuat api unggun besar. Biarpun mereka itu tidak dapat tidur karena hawa dingin, namun mereka bergembira, minum-minum arak sampai sepuas mereka den makan daging panggang dan roti yang halus. “Ha-ha-ha, sungguh sayang, di malam sedingin ini kita terpaksa harus tinggal sendirian di tempat dingin ini.” “Alangkah senangnya kalau kita bisa berada di kota ditemani oleh wanita cantik!” Macam-macam ucapan keluar dari mulut mereka, diseling suara ketawa ringan, akan tetapi juga ucapan mereka bernada kecewa karena mereka agaknya terpaksa bersembunyi di tempat sunyi dalam hutan di tepi sungai itu. Dua orang yang berusia kurang lebih empat puluh tahun, yang bersikep penuh wibawa dan jelas merupakan pimpinan mereka, sedang menggerogoti paha kijang yang mereka panggang tadi. “Hemm, mengapa kalian ini cerewet seperti nenek-nenek bawel saja?” tegur seorang di antara dua orang pemimpin itu, yang tubuhnya tinggi besar seperti raksasa dan mukanya hitam. “Taijin (pembesar) hanya menyuruh kita bersembunyi selama tiga hari tiga malam, dan kalian masih terus mengomel. Tinggal semalam ini dan besok kita boleh pergi sesuka hati.” “Dengan hadiah uang yang memenuhi kantong, kalian akan dapat hidup seperti raja di kota, setiap malam ditemani wanita cantik dan membeli apa saja yang kalian inginkan. Untuk semua itu, kita hanya diharuskan menyembunyikan diri tiga hari, apa susahnya?” kata orang ke dua, yaitu pemimpin yang mukanya penuh brewok, akan tetapi tubuhnya kecil kurus, sungguh tidak sepadan dengan mukanya yang menyeramkan. “Maaf, kami tidak mengomel, hanya kedinginan,” kata seorang anak buah. “Ha-ha-ha, sungguh lucu kalau diingat tingkah piauwsu gendut itu. Kenapa twako (kakak tertua) tidak membunuhnya saja seperti para piauwsu lainnya?” Si Tinggi Besar itu minum araknya, lalu mengusap bibir dengan lengan baju dan berkata, “Enak saja kau bicara! Si Gendut itu memiliki ilmu golok Go-bi-pai yang lumayan dan kita dikeroyok jumlah yang lebih besar. Sudah untung kita berhasil melarikan kereta dan tidak seorangpun di antara kita yang terluka parah.” “Kalau tidak dikeroyok banyak, Si Gendut itu tentu telah mampus di tanganku!” kata pemimpin ke dua yang bertubuh kecil dan mukanya brewok. “Akan tetapi mengapa taijin menyuruh kita bersembunyi? Takut apa sih?” seorang anak buah bertanya. “Orang bodoh macam engkau ini tahu apa? Barang-barang itu harus diselamatkan dulu sampai ke Sin-yang tanpa ada yang tahu. Kalau sudah selamat, barulah keadaan benar-benar beres dan berhasil, dan kita boleh pergi meninggalken tempat persembunyian ini. Sebelum lewat tengah malam ini, kita masih bertugas sebagai perampok-perampok lembah Sungai Luai, ha-ha-ha!” Si Muka Hitam tinggi besar yang merupakan pimpinan pertama itu tertawa dengan gembira sekali. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dengan penuh kegembiraan dua belas orang itu meninggalkan hutan. Akan tetapi ketika tiba di tepi hutan, tiba-tiba mereka berhenti karena mereka melihat empat orang muda, yaitu tiga orang pemuda dan seorang dara, berjalan memasuki hutan itu. “Ah, dara itu cantik sekali, seperti bidadari!” kata Si Muka Hitam raksasa. “Patut kalau malam nanti menemani aku, ha-ha-ha!” “Twako, ingat, mulai hari ini kita sudah bukan perampok-perampok lagi!” kata pemimpin ke dua memperingatkan kawannya. “Sute, kau bodoh! Justeru sebelum kita meninggalkan hutan, berarti kita masih perampok dan munculnya mereka itu sungguh kebetulan sekali. Kita serang dan lukai mereka, rampok pakaian dan bekal mereka, dan tentang gadis itu... ha-ha, jangan khawatir, aku yang akan membawanya. Dengan demikian, tiga orang muda itu akan mengabarkan bahwa kita memanglah perampok-perampok lembah Sungai Luai. Ha-ha, dan mereka boleh mencari-cari sampai mati perampok-perampok itu yang tentu saja akan lenyap.” Semua orang setuju dan tertawa-tawa, dan mengikuti Si Tinggi Besar itu keluar dari hutan, dengan langkah lebar menyambut empat orang muda yang datang dari luar hutan itu. Empat orang muda ini bukan lain adalah Han Tiong, Thian Sin, Bun Hong dan Lian Hong! Melihat belasan orang yang menyeringai dan bersikap kasar itu keluar dari dalam hutan, Han Tiong memberi isyarat kepada saudara-saudaranya dan mereka berhenti dan menanti dengan sikap tenang. Matahari pagi telah menerobos masuk melalui celah-celah daun pohon dan biarpun cuaca belum terlalu terang, akan tetapi mereka sudah dapat melihat dengan jelas dua belas orang pria yang keluar dari dalam hutan itu. Yang berjalan di depan sendiri adalah seorang pria tinggi besar seperti raksasa yang bermuka hitam bersama seorang laki-laki kecil kurus yang tingginya sampai di pundak orang pertama, akan tetapi muka pria ke dua ini penuh brewok dan kelihatan menyeramkan sekali. Akan tetapi yang mengherankan hati Han Tiong dan Thian Sin adalah kenyataan yang nampak oleh pandang mata mereka yang tajam bahwa mereka itu bersikap kasar yang dibuat-buat agar mendatangkan kesan bahwa mereka itu orang-orang kasar! “Agaknya merekalah orang-orangnya,” kata Thian Sin lirih. “Mungkin, akan tetapi kita harus hati-hati dan jangan salah turun tangan terhadap orang lain,” kata Han Tiong. Kini dua belas orang itu telah tiba di depan mereka dan Si Tinggi Besar yang sejak tadi menatap dengan pandang mata penuh kekurangajaran kepada Lian Hong, kini berdiri sambil bertolak pinggang, memandang mereka berempat itu dan kembali pandang matanya berhenti pada wajah Lian Hong, kemudian tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, empat orang muda sungguh bernyali besar berani lewat di wilayah kekuasaan kami! Hayo cepat keluarkan pajak jalan kalau kalian ingin selamat!” Si Tinggi Besar ini, walaupun lagaknya agak dibuat-buat, mencoba untuk menirukan lagak seorang kepala rampok tulen. Akan tetapi Ciu Bun Hong, sebagai putera seorang kepala piauwsu yang sudah sering juga ikut mengawal barang-barang bersama para piauwsu dan sudah mengenal perampok-perampok dan lagak serta kebiasaan mereka, memandang agak ragu-ragu kepada belasan orang itu. Sikap orang-orang ini bukan seperti sikap perampok-perampok yang berkeliaran di hutan-hutan dan biasa dengan kehidupan yang keras dan sukar. Kulit mereka tidak kasar, rambut dan pakaian mereka terawat, hanya sikap mereka saja yang kasar dan seperti lagak para perampok, akan tetapi sikap ini dapat ditiru atau dibuat-buat. “Mereka bukan perampok,” bisiknya kepada Thian Sin yang berdiri di dekatnya. Sementara itu, Han Tiong yang mewakili rombongannya, sudah menghadapi Si Tinggi Besar itu, sikapnya tenang dan dia memandang penuh selidik, meragu apakah gerombolan di depannya ini yang telah merampok barang-barang kawalan Kui Beng Sin. “Saudara-saudara yang gagah, kami tidak tahu apa yang kalian maksudkan. Kami adalah empat orang muda yang sedang melancong, tidak mempunyai apa-apa yang berharga. Harap kalian suka membiarkan kami lewat.” Mendengar ucapan Han Tiong itu Si Tinggi Besar tertawa bergelak, diikuti oleh teman-temannya karena ucapan pemuda yang kelihatan lemah itu mereka anggap sebagai tanda ketakutan, sungguhpun pada sikap empat orang muda itu sama sekali tidak nampak tanda-tanda takut. “Ha-ha-ha, kamipun tahu bahwa kalian hanyalah empat muda yang sederhana dan agaknya tidak memiliki apa-apa. Akan tetapi kami melihat bahwa kalian membawa sesuatu yang amat berharga, yang tak dapat disamakan dengan barang berharga apapun dan tak dapat terbeli dengan uang. Nah, kami menginginkan kalian meninggalkannya kepada kami.” Han Tion mengerutkan alisnya. “Benda berharga? Apa yang kalian maksudkan? Kami tidak membawa apapun kecuali sedikit uang untuk bekal membeli makan...” Akan tetapi dua belas orang itu tertawa-tawa dan Si Tinggi Besar menudingkan telunjuknya ke arah Lian Hong sambil berkata, “Apakah yang lebih berharga daripada nona manis ini? Kami tidak butuh uang, kami sendiri sudah mempunyai cukup banyak, akan tetapi nona manis ini amat menarik hatiku, kalian harus meninggalkannya untukku...!” “Keparat bermulut busuk!” Tiba-tiba Thian Sin sudah meloncat ke depan dan berdiri dekat sekali di depan Si Tinggi Besar itu, sepasang mata pemuda ini mengeluarkan sinar mencorong dan melibat ini, Si Tinggi Besar itu terkejut juga. Akan tetapi karena dia memandang rendah kepada empat orang muda itu, maka diapun tidak menjadi gentar, sebaliknya mentertawakan sikap Thian Sin. “Engkau ini bocah kemarin sore hendak berlagak? Pilih saja, kalian tiga pemuda ini dapat melanjutkan perjalanan dengan selamat akan tetapi meninggalkan gadis ini kepadaku, atau kami harus bunuh dulu kalian bertiga dan merampas gadis ini dengan paksa.” “Iblis yang layak mampus!” Thian Sin sudah hendak menerjang dan menyerang dengan serangan maut, karena hatinya telah dibakar oleh kemarahan hebat mendengar betapa orang kasar itu menghina Lian Hong, akan tetapi lengan kirinya sudah dipegang dengan halus oleh Han Tiong. Thian Sin menoleh dan melihat sinar mata kakaknya, kemarahannyapun lenyap, dan dia menarik napas panjang lalu melangkah mundur. “Sobat,” kata Han Tiong dengan tenang, “terus terang saja, kami berempat ini melancong sambil ingin mencari gerombolan yang beberapa hari yang lalu telah merampas barang-barang yang dikawal oleh Pouw-an-piauwkiok di Su-couw. Melihat tempat perampokan yang terjadi di hutan ini, apakah sobat sekalian yang telah melakukan perampokan itu?” Si Tinggi Besar mengangkat alisnya, memandang dengan mata terbelalak lalu bertukar pandang dengan para anak buahnya. Akan tetapi, karena dia memang memandang rendah kepada empat orang itu, dia malah memberi isyarat dengan tangannya dan belasan orang itu lalu mengepung empat orang muda ini dari berbagai penjuru karena pertanyaan Han Tiong tadi membuktikan bahwa empat orang muda itu adalah musuh-musuh yang datang berhubungan dengan perampokan itu. “Ha-ha-ha, kiranya kalian datang untuk barang-barang itu? Wah, kalau begitu kalian tak boleh pergi lagi dari sini dan menjadi tawanan kami!” kata Si Tinggi Besar. “Sobat, kalian telah melakukan sesuatu yang keliru besar. Bukankah Kui-piauwsu yang memimpin Pouw-an-piauwkiok selalu bersikap baik terhadap orang-orang kang-ouw? Kenapa kalian telah mengganggunya dan dengan demikian merusak perhubungan baik antara para piauwsu dan orang-orang di kalangan liok-lim? Harap kalian suka menyerahkan kembali barang-barang itu kepada kami dan tentu kami akan membalas budi itu dan Pouw-an-piauwkiok akan kami anjurkan untuk mengirim sumbangan kepada kalian.” Han Tiong bersikap tenang dan sabar. Hal ini amat menjengkelkan hati Thian Sin yang menganggap tidak semestinya kakaknya bersikap demikian mengalah dan lunaknya terhadap orang-orang jahat seperti perampok-perampok ini yang bukan hanya telah merampas barang-barang kawalan Pouw-an-piauwkiok, akan tetapi bahkan telah menghina Lian Hong. Akan tetapi diam-diam Bun Hong dan Lian Hong merasa kagum akan sikap Han Tiong itu. Sebagai putera puteri ketua piauw-kiok, tentu saja mereka tahu betapa pentingnya sikap Han Tiong itu. Betapapun juga, akan jauh lebih baik bagi para piauwsu untuk mengikat semacam hubungan yang baik dengan orang-orang di kalangan liok-lim (perampok dan bajak) dan kang-ouw, karena kalau sampai terjadi ikatan permusuhan, tentu pekerjaan mereka tidak akan pernah aman lagi. Tentu saja kalau sudah tidak dapat ditempuh jalan damai, barulah mengandalkan kepandaian untuk menundukkan para penjahat itu. “Ha-ha-ha, kami telah mengambil barang-barang itu dengan tenaga dan kepandaian. Apakah kalian empat orang muda ini datang hendak mengambilnya begitu mudah, dengan kata-kata manis belaka? Kami telah mengambil dengan kepandaian, dan siapapun jangan harap dapat mengambil dari kami tanpa lebih dulu mengalahkan kami!” kata Si Tinggi Besar dengan sikap congkak. “Aku akan merampasnya dengan kepandaianku!” Tiba-tiba Thian Sin berseru lagi dengan suara penuh tantangan. “Tentu saja kalau kau berani melawanku, manusia busuk!” Mendengar tantangan ini, tentu saja kepala perampok itu menjadi marah sekali. Dia menganggap Thian Sin amat lancang, tidak seperti pemuda pertama yang bersikap halus dan sopan kepadanya. “Keparat, engkau bocah kemarin sore sungguh bermulut besar. Tentu saja aku berani melawanmu, dan bagaimana kalau dalam beberapa jurus engkau kalah?” tanyanya dengan nada mengejek. Thian Sin tersenyum untuk menekan kemarahannya. Dia sudah tenang lagi sekarang, dan dia merasa betapa bodohnya dapat dipancing kemarahannya tadi. Akan tetapi diapun maklum bahwa kemarahannya itu terutama sekali adalah karena mendengar betapa Lian Hong dihina oleh orang itu. “Kalau aku kalah, aku menyerahkan nyawaku kepadamu.” “Ha-ha, tidak begitu mudah. Aku bukannya orang yang suka membunuh orang muda. Kalau kau kalah, engkau akan menjadi tawananku, juga dua orang muda lainnya itu, sedangkan gadis ini... hemm, biarlah dia menjadi tamuku yang baik, ha-ha-ha!” “Majulah dan jangan banyak bicara!” Thian Sin membentak karena dia sudah marah lagi mendengar betapa kepala rampok itu kembali telah menghina Lian Hong. Sambil ketawa kepala perampok itu sudah menggulung lengan bajunya, memperlihatkan dua buah lengan yang besar dan berotot tanda bahwa dua batang lengan itu kuat sekali. Akan tetapi sebelum mereka bergerak, Lian Hong sudah berkata dengan suara nyaring, “Sin-ko, karena dia telah menghinaku, biarkan aku menghadapinya!” Thian Sin juga maklum bahwa gadis itu telah memiliki kepandaian yang lumayan karena ayahnya yang melatihnya sendiri adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai yang lihai. Pula, dia tidak ingin mengecewakan hati Lian Hong, maka diapun melangkah mundur dan membiarkan gadis itu maju untuk menghadapi kepala perampok itu. HAN TIONG mengerutkan alisnya, merasa khawatir, akan tetapi diapun merasa tidak enak kalau melarang, karena melarang akan bisa menimbulkan salah faham dan bisa disangka memandang rendah dan tidak percaya kepada gadis itu. Maka diapun hanya berkata, “Hati-hatilah Hong-moi.” Sementara itu, kepala perampok tinggi besar itu girang bukan main melihat majunya gadis yang sejak tadi telah membuat dia tergila-gila itu. “Bagus, engkau hendak menyerahkan diri ke dalam pelukanku sekarang juga? Mari, mari... nona manis, ha-ha-ha!” Dengan marah Lian Hong sudah menerjang maju dan mengirim pukulan ke arah leher orang tinggi besar itu. Pukulan dara ini cukup mantap dan keras sehingga Si Tinggi Besar yang memiliki kepandaian tinggi itu maklum akan bahayanya pukulan lawan dan biarpun sikapnya memandang ringan, akan tetapi ternyata gerakannya cepat sekali, dan sambil mengelak, kakinya telah menyambar dan menendang ke arah lutut Lian Hong. Sungguh gerakan yang cukup bagus, cepat dan berbahaya sehingga mengejutkan hati Bun Hong yang mengkhawatirkan keselamatan adiknya. Akan tetapi, dengan cekatan Lian Hong dapat meloncat dan menyelamatkan lututnya, dan membalas dengan pukulan berbahaya ke arah lambung dari samping. Akan tetapi dengan mudahnya kepala rampok itu menangkis dan menggerakkan tangan untuk mengubah tangkisan menjadi cengkeraman untuk menangkap lengan gadis itu. Akan tetapi, dengan memutar pergelangan tangannya, gadis itu mampu menghindarkan lengannya untuk ditangkap. Perkelahian itu terjadi semakin seru dan Liang Hong yang maklum akan kepandaian kepala perampok yang telah mengalahkan dan melukai Kui Beng Sin dan anak buahnya ini, mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan seluruh kepandaian silat yang pernah dipelajarinya dari ayahnya. Akan tetapi, tiga puluh jurus kemudian, nampaklah bahwa Lian Hong bukan lawan kepala perampok itu. Jelas bahwa dia kalah tenaga dan biarpun dalam hal kecepatan dara ini tidak kalah, namun kekalahan tenaga itu membuat ia repot sekali. Setiap kali lengan mereka beradu, tubuh dara itu terhuyung dan kedua lengannya terasa nyeri dan di balik bajunya, kulit lengannya telah menjadi matang biru semua! Melihat adiknya terdesak hebat seperti itu, Bun Hong tak dapat tinggal diam lagi dan diapun meloncat dan menyerang kepala rampok itu. Melihat ini, si kepala rampok tertawa dan berseru kepada kawan-kawannya, “Hayo tangkap mereka semua, ha-ha-ha!” Akan tetapi, sungguh ia terkejut bukan main ketika melihat betapa empat orang teman-temannya yang maju hendak menerjang Thian Sin dan Han Tiong, tiba-tiba saja terjengkang ke belakang begitu dua orang muda itu menggerakkan tubuh mereka! “Hong-moi, tinggalkan babi hutan ini, biar aku yang menghajarnya.” kata Thian Sin yang sudah meloncat ke depan dan menghadapi Si kepala perampok. “Bun Hong-te, hadapi saja anak buahnya, babi ini bagianku!” katanya pula kepada Bun Hong. Karena melihat betapa kepala perampok itu memang lihai sekali, Bun Hong dan Lian Hong lalu meloncat mundur dan mereka siap untuk menghadapi para anak buah perampok yang sudah mengepung mereka. Kepala perampok itu kini maklum bahwa empat orang muda yang datang ini adalah orang-orang muda yang lihai dan agaknya memang mereka berempat itu merupakan jagoan-jagoan yang didatangkan oleh pihak Pouw-an-piauwkiok untuk merampas kembali barang-barang kawalan itu. Maka diapun lalu mencabut sebatang golok besar dari punggungnya dan perbuatannya ini ditiru oleh semua anak buahnya yang masing-masing kini telah memegang sebatang golok yang tajam. Kepala perampok itu tidak mau main-main lagi sekarang, maklum akan keadaan lawan yang tangguh, maka diapun berteriak, “Bunuh tikus-tikus muda ini, tapi sedapat mungkin tangkap yang wanita!” Akan tetapi dia tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena Thian Sin yang sudah marah itu kini telah menerjangnya dengan dahsyat sekali. Si Tinggi Besar itu cepat menyambut serangan lawan yang bertangan kosong dengan goloknya, menyambut dengan bacokan golok ke arah kepala Thian Sin sambil berteriak menyeramkan. “Plakkkkk! Dess...!” Si Tinggi Besar berseru kaget karena tangkisan Thian Sin yang disertai tamparan itu telah membuat dia terhuyung dan hampir saja goloknya terlepas dari pegangannya. Hampir dia tidak dapat percaya akan hal ini! Mana mungkin pemuda itu menangkis golok besarnya dengan tangan kosong saja malah berbalik menamparnya dengan sedemikian dahsyatnya sehingga sekali gebrakan saja hampir membuatnya roboh? Sementara itu, belasan orang itu telah mengepung dan menyerang, akan tetapi mereka berhadapan dengan Han Tiong yang begitu menggerakkan kaki tangannya telah menahan mereka, merobohkan mereka dan golok-golok mereka terpelanting ke sana-sini. Rata-rata belasan orang itu memiliki kepandaian yang cukup tangguh, akan tetapi, menghadapi Han Tiong tentu saja mereka ini merupakan lawan yang terlalu lunak. Hanya dua orang kakak beradik Ciu itu yang merupakan lawan seimbang dan mereka sudah melawan dua orang perampok yang berusaha untuk merobohkan mereka, namun dua orang muda ini telah mengeluarkan sebatang pedang dan melawan dengan pedang mereka dengan gigih. Perkelahian antara kepala perampok dan Thian Sin tidak berlangsung terlalu lama. Kalau saja dia tidak sungkan kepada kakaknya yang telah meneriakinya agar dia jangan membunuh orang, tentu dalam satu gebrakan saja Thian Sin akan mampu merobohkan lawan dan menewaskannya. Dia membiarkan kepala perampok itu menghujaninya dengan serangan golok bertubi-tubi, setelah lewat beberapa jurus, barulah dia membiarkan golok itu lewat dekat kepalanya dan dia hanya sedikit miringkan tubuhnya kemudian sekali tangan kirinya menyambar, dia sudah berhasil menangkap siku tangan kanan lawan yang memegang golok. Tangkapannya itu seperti sepasang jepitan baja yang amat kuat sehingga si kepala perampok berteriak kesakitan karena tiba-tiba saja lengannya terasa lemas dan lumpuh dan sambungan tulang sikunya seperti remuk. Namun dia masih menggerakkan tangan kiri untuk mencengkeram ke arah kepala Thian Sin. Pemuda ini membiarkan tangan lawan sampai dekat, kemudian tangan kanannya menyambut dan dua tangan itu saling cengkeram. Terdengar suara berkerotoka, dan akibatnya, tulang-tulang jari tangan kiri kepala perampok itu ketika dicengkeram jari-jari tangan kanan Thian Sin, menjadi patah-patah. Rasa nyeri seperti ujung pedang karatan menusuk jantung, membuat kepala perampok itu menjerit-jerit seperti babi disembelih! Terdengar bunyi “krek-krekk!” dan ketika Thian Sin mendorong tubuh kepala perampok itu terguling dan dia bergulingan dan berkelojotan karena rasa nyeri yang amat sangat terasa oleh kedua tangannya. Jari-jari tangan kirinya remuk-remuk dan sambungan tulang siku kanannya terlepas! Goloknya terlempar entah ke mana. Sementara itu, biarpun dengan lebih lunak, Han Tiong juga sudah merobohkan enam orang perampok yang tidak mungkin dapat melawan lagi karena mereka itu roboh dengan kaki atau tangan yang patah tulangnya. Empat orang masih mengeroyoknya dan dua orang lagi masih bertanding melawan Bun Hong dan Lian Hong, akan tetapi keadaan dua orang inipun sudah terdesak hebat. Thian Sin yang baru saja merobohkan si kepala rampok, kini cepat bergerak membantu dan dengan dua kali tendangan saja dia sudah merobohkan dua orang lawan Bun Hong dan Lian Hong, sedangkan bersama Han Tiong dia merobohkan empat orang sisa perampok. Kini, dua belas orang perampok itu sudah rebah semua tak dapat bangkit kembali. Peristiwa ini terlalu cepat dan mengejutkan sehingga di samping rasa nyeri yang mereka derita, juga mereka itu masih belum pulih dari rasa kaget dan heran sehingga mereka memandang kepada empat orang muda itu dengan mata terbelalak, juga dengan sikap takut-takut! Tahulah mereka bahwa mereka berhadapan dengan empat orang pendekar muda, dan terutama dua orang pendekar yang sakti! “Hemm, sudah kami katakan bahwa perbuatan kalian merampok barang kawalan Pouw-an-piauwkiok adalah perbuatan bodoh. Nah, sekarang di mana adanya barang-barang itu?” Han Tiong berkata kepada kepala perampok yang masih merintih-rintih kesakitan itu. Akan tetapi kepala perampok itu hanya mendelik saja dan tidak menjawab. Agaknya dia sudah nekad dan hendak menebus kekalahan itu dengan tutup mulut dan tidak mau menyerahkan kembali barang-barang rampasan itu! “Biar kupaksa dia, Tiong-ko!” Thian Sin melangkah maju menghampiri kepala perampok itu, akan tetapi kembali Han Tiong mencegahnya. “Sin-te, orang nekad seperti dia percuma juga dipaksa bicara. Bukankan dia sudah cukup tersiksa dan tetap saja dia tidak mau bicara?” Thian Sin maklum juga akan hal ini. Kalau tadi dia memilih si kepala rampok untuk disiksanya adalah karena hatinya masih panas mengingat betapa kepala rampok itu tadi menghina Lian Hong dengan kata-kata kotor. Maka diapun lalu menghampiri para anak buah perampok dan memilih di antara mereka seorang perampok yang mukanya pucat ketakutan, tubuhnya sudah menggigil ketika Thian Sin menghampirinya. Perampok ini tadi roboh oleh tendangan kaki Thian Sin yang membuat tulang kering kakinya patah dan membuat dia tidak mampu bangkit berdiri lagi. “Nah, katakan di mana barang-barang rampokan itu kalau kau tidak ingin kakimu yang sebelah lagi juga kupatahkan tulangnya!” kata Thian Sin dengan suara dingin dan sinar matanya mencorong menyeramkan. “Tapi... tapi...” orang itu berkata denga ketakutan dan menoleh kepada kepala rampok yang mendelik kepadanya itu. Tahulah Thian Sin bahwa anak buah perampok itu takut kepada kepalanya, maka diapun tersenyum mengejek dan berkata, “Dengar baik-baik, perlu apa kau takuti dia yang sudah tak berdaya itu? Dia tidak dapat mengganggumu lagi, akan tetapi aku dapat! Dan ingat apa yang akan kulakukan padamu. Tidak hanya mematahkan dua batang tulang kakimu, juga dua tulang lenganmu, kemudian kupatahkan kedua tulang pundakmu, kubuntungi dua telingamu dan hidungmu. Lihat, sesudah itu apakah engkau masih dapat disiksa yang lebih hebat lagi.” Dan Thian Sin meraba kaki kanan orang itu yang belum patah tulangnya, mengerahkan sin-kangnya sehingga tampak tangannya terasa dingin menembus celana kaki kanan itu. Orang itu menarik kakinya seperti disengat binatang berbisa dan mukanya menjadi lebih pucat lagi. “Tidak... jangan...” “Katakan di mana barang-barang itu! Jangan kira kalau tidak diberi tahu kami tak dapat mencari dan menemukannya!” “Di dalam... gua... di dalam hutan ini...” “Di mana letaknya itu?” bentak Thian Sin. “Sin-ko, aku tahu di mana letak gua dalam hutan ini. Mari!” kata Bun Hong. Thian Sin mengangguk dan memandang kepada Han Tiong. “Pergilah, Sin-te. Kau dan Bun Hing pergi mencari barang-barang itu dan aku akan menjaga dan mengurus mereka ini.” “Aku akan membantumu, Tiong-ko.” kata Lian Hong. Thian Sin memandang kecewa karena dia ingin agar gadis itu tidak pernah berpisah lagi dari sampingnya. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani membantah dan diapun mengajak Bun Hong mencari gua itu. Mereka memasuki hutan tak lama kemudian tibalah mereka di depan sebuah gua di mana terdapat dua orang penjaga. Dua orang perampok yang melihat munculnya dua orang pemuda itu, menjadi terkejut dan segera mereka mencabut golok. Akan tetapi, hanya dengan dua kali gerakan saja, Thian Sin telah membuat mereka roboh dan pingsan. Melihat ini, Bun Hong kagum bukan main dan diam-diam dia merasa ngeri juga menyaksikan sepak terjang Thian Sin dan tahulah dia bahwa pemuda ini sungguh memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Akan tetapi diapun tahu bahwa pemuda ini juga seorang yang memiliki hati yang ganas terhadap penjahat, tanpa mengenal ampun, sungguh wataknya menjadi kebalikan dari watak Han Tiong yang selalu tenang, sabar dan penuh kebijaksanaan itu. Setelah mereka memasuki gua, benar saja, di dalam gua yang besar itu terdapat dua gerobag barang-barang itu, dan mereka berdua bahkan berhasil menemukan beberapa ekor kuda tak jauh dari gua. Thian Sin dan Bun Hong lalu bekerja cepat. Mereka menangkap beberapa ekor kuda itu, lalu memasang mereka di depan kereta dan melemparkan tubuh dua orang perampok yang pingsan itu ke atas kereta, kemudian membawa dua buah kereta itu ke tempat di mana terjadi pertempuran tadi. Ketika mereka tiba di situ, mereka melihat betapa Han Tiong dibantu oleh Lian Hong sibuk merawat para perampok itu! Dengan ilmunya yang tinggi, Han Tiong telah mengobati mereka dengan totokan-totokan dan bahkan menyambung tulang-tulang yang patah, dan membalut kaki dan tangan yang patah tulangnya. Melihat ini, Thian Sin meloncat turun dari kereta dan menghampiri kakaknya dengan alis berkerut. “Tiong-ko, mengapa kaulakukan itu? Bahkan minta kepada Hong-moi untuk membantumu? Sungguh tidak pantas manusia-manusia binatang ini ditolong, apalagi oleh tangan Hong-moi, Sepatutnya mereka ini dibasmi dan dibunuh saja!” Han Tiong tersenyum dan bangkit berdiri. “Sin-te, jangan begitu. Bagaimanapun juga, mereka ini adalah manusia-manusia dan yang jahat hanyalah perbuatan mereka yang mereka lakukan karena kegelapan batin mereka. Merekapun dapat menderita seperti kita, mana mungkin aku dapat membiarkan saja mereka merintih dan mengeluh?” Thian Sin makin tidak puas dengan jawaban itu. “Habis, mereka ini mau diapakan? Kalau kita yang kalah tadi, kiranya mereka tidak akan mau peduli kepada kita, bahkan mungkin mereka akan membunuh kita, dan Hong-moi... ah, mereka akan melakukan hal-hal yang lebih jahat lagi!” Han Tiong menarik napas panjang. “Mungkin saja mereka lakukan itu, akan tetapi kita bukan mereka dan kita tidak akan melakukan hal-hal yang seperti mereka. Inilah yang membedakan antara orang-orang sadar dan orang tidak sadar, Sin-te, antara orang yang dikuasai nafsu kejahatan dan orang yang tidak membiarkan diri diseret nafsu.” “Lalu mereka ini mau diapakan?” desak Thian Sin. “Kita bawa ke kota, kita serahkan kepada yang berwajib. Bukankah demikian semestinya? Biarlah yang berwajib yang akan menghukum mereka, bukan kita yang akan menghukum mereka.” Perdebatan antara dua orang muda itu diperhatikan oleh semua perampok, dan terutama sekali amat diperhatian oleh Lian Hong. Juga Bun Hong dapat melihat perbedaan besar antara dua orang muda yang memiliki kepandaian hebat itu. Semua perampok digiring ke kota Su-couw. Yang hanya luka dan patah tulang tangannya, diharuskan berjalan kaki, akan tetapi yang tidak dapat berjalan karena tulang kakinya patah, dinaikkan ke atas gerobag yang ditarik oleh kuda-kuda itu dan empat orang muda itu mengawalnya dari depan dan belakang. Di sepanjang perjalanan, para penghuni dusun menyambut rombongan aneh ini dan sebentar saja tersiarlah berita bahwa empat orang muda itu telah menangkap segerombolan perampok dan merampas kembali barang-barang yang dirampok. Di kota Su-couw, mereka menyerahkan para penjahat kepada pembesar setempat dan mereka disambut dengan penuh kehormatan dan kegembiraan oleh Kui Beng Sin yang mengerahkan semua anak buah Pouw-an-piauwkiok. Empat orang muda itu, terutama Han Tiong den Thian Sin, disambut dengan sorak-sorai, dengan puji-pujian dan Kui Beng Sin seperti melupakan luka-luka di tubuhnya saking gembiranya melihat barang kawalan itu dapat dirampas kembali. Apalagi ketika dia melihat dan mendapat keterangan bahwa yang menolongnya adalah putera Cia Sin Liong dan Ceng Han Houw, kegembiraannya membuat dia menitikkan air matanya dan dia merangkul Han Tiong dengan girang sekali. “Ah, kiranya putera Sin Liong jugalah yang menyelamatkan aku dan keluargaku!” katanya dengan bangga sekali. Ciu Khai Sun yang mendengar akan hasil dua orang pemuda bersama dua orang putera-puterinya itu segera menyusul ke Su-couw bersama isteri-isterinya dan pertemuan di antara mereka di rumah Kui Beng Sin sungguh merupakan pertemuan yang amat menggembirakan. Malam itu juga, Kui Beng Sin mengadakan pesta keluarga untuk menyambut usaha yang amat berhasil dari empat orang muda itu, dan dalam kesempatan ini, Kui Beng Sin juga mengundang Phoa-taikin, yaitu pembesar di Su-couw yang mempunyai barang-barang berharga yang telah dirampok dan berhasil dirampas kembali itu. Undangan terhadap Phoa-taijin ini juga dimaksudkan untuk memberi selamat kepada pembesar itu yang memperoleh kembali barang-barangnya kembali, juga untuk menyerahkan kembali barang-barangnya karena belum sampai terkirim ke Sin-yang. Ruangan lebar yang biasanya dipakai untuk tempat berlatih silat itu, di bagian belakang rumah Kui Beng Sing telah dihias dengan meriah dan tempat itu nampak bersih dan rapi. Beberapa meja ditempatkan di ruangan itu, mengelilingi sebuah meja besar yang merupakan meja pusat, di mana Kui Beng Sin akan menjamu tamu-tamunya yang terdiri dari keluarga Ciu dari Lok-yang, lalu dua orang pemuda pendekar yang telah berjasa itu, kemudian Phoa-taijin yang kedatangannya masih sedang ditunggu. Para anak buah Pouw-an-piauwkiok juga ikut berpesta, dan mereka itu duduk melingkari meja-meja yang lain, dengan sikap gembira, akan tetapi juga hormat karena di tengah-tengah ruangan itu terdapat keluarga majikan atau ketua mereka sedang menjamu tamu-tamu agung itu. Akhirnya, tamu yang ditunggu-tunggu, Phoa-taijin, datang juga, diiringkan oleh dua orang pengawalnya. Phoa-taijin adalah seorang pembesar yang terkenal di kota Su-couw, sebagai seorang pembesar yang kaya raya dan juga terkenal suka memberi sumbangan kepada semua golongan. Dia dikenal sebagai seorang pembesar kaya raya yang dermawan! Orang tidak mau lagi peduli dari mana pembesar itu memperoleh kekayaannya yang besar. Bagi orang-orang itu, apalagi yang menerima sumbangan langsung, tidak mau tahu lagi dari mana kekayaan si penyumbang didapatkan. Dari manapun datangnya harta yang disumbangkan, seorang penyumbang akan dipuji-puji sebagai seorang dermawan yang baik hati! Padahal, kalau orang mau menaruh perhatian dan menyelidiki, tentu dia akan merasa heran bukan main bagaimana seorang yang menjadi pembesar dapat mengumpulkan kekayaan yang demikian melimpah, padahal kalau melihat dari hasilnya sebagai pejabat, biar dia bekerja sampai seratus tahun sekalipun, hasil dari gajinya belum dapat menyamai jumlah seperseratus jumlah kekayaannya yang terkumpul bukan dari hasil kerjanya itu. Memang Phoa-taijin seorang yang pandai sekali, bukan hanya pandai mengumpulkan kekayaan, akan tetapi juga pandai mengambil hati orang-orang sehingga dia memperoleh nama sebagai seorang pembesar yang baik dan berhati dermawan. Dia muncul di ruangan itu dengan wajah cerah, mulutnya tersenyum lebar dan pandang matanya berseri-seri. Dia disambut dengan sopan dan gembira oleh Kui Beng Sin dan isterinya. Juga Ciu Khai Sun dan dua orang isterinya bangkit berdiri memberi hormat karena biarpun dia tinggal di Lok-yang, namun sebagai seorang ketua piauwkiok yang terkenal, tokoh Siauw-lim itu tentu saja mengenal pembesar yang cukup terkenal di daerah Propinsi Ho-nan ini. Phoa-taijin membalas penghormatan mereka sambil tertawa gembira dan diapun memandang kepada Ciu Khai Sun, lalu berkata, “Ah, Ciu-piauwsu juga telah hadir di sini! Kami mendengar bahwa barang-barang kami itu berhasil dirampas kembali berkat keluarga Ciu-piauwau di Lok-yang, benarkah itu?” Dia melirik ke arah Thian Sin dan Han Tiong, lalu disambungnya. “Kami mendengar dari Ji-ciangkun yang menerima dan menahan para perampok itu.” Yang disebut Ji-ciangkun adalah pembesar penjaga keamanan yang telah menerima penyerahan para perampok oleh empat orang muda itu. “Ah, sesungguhnya saya tidak berjasa, dan kedua anak sayapun hanya ikut saja, taijin,” kata Ciu Khai Sun merendah. Kui Beng Sin tertawa. “Taijin, yang berjasa adalah dua orang keponakan kami inilah!” Dia menunjuk kepada Thian Sin dan Han Tiong yang tadi telah memberi hormat dan kini telah duduk kembali. “Ketahuilah, taijin, mereka ini adalah keponakan-keponakan saya yang gagah perkasa. Ini adalah Cia Han Tiong, putera dari saudara tiri saya yaitu Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong! Dan seorang ini adalah muridnya, yaitu bernama Ceng Thian Sin. Taijin tentu tidak tahu siapa dia ini! Dia adalah putera dari mendiang Pangeran Ceng Han Houw yang namanya pernah menggemparkan dunia persilatan itu!” Baik Ciu Khai Sun maupun Han Tiong telah memberi isyarat kepada Beng Sin agar tidak memberitahukan hal itu, namun agaknya piauwsu gendut itu tidak sadar akan hal ini. Dia terlalu bersyukur, berterima kasih dan bergembira sehingga dia memperkenalkan dua orang muda yang dibanggakannya itu, lupa bahwa pembesar itu adalah “orang luar” dan bahwa nama Ceng Han Houw bukanlah sembarangan nama yang boleh diumumkan begitu saja, mengingat keadaannya ketika masih hidupnya. Pangeran itu adalah seorang yang bukan hanya menggegerkan dunia kang-ouw, akan tetapi bahkan menggegerkan pemerintah dan kota raja, dan sebagai seorang pemberontak malah! Maka, amat tidaklah enak untuk memperkenalkan putera pangeran itu! Akan tetapi, Kui Beng Sin telah menceritakan hal itu, semua telah terjadi dan Thian Sin hanya duduk dengan tenang. Juga pembesar itu tidak memperlihatkan sikap lain, kecuali membelalakkan kedua matanya memandang kepada dua orang muda itu dan berseru. “Ah, siapa kira dua orang muda remaja ini telah memiliki kepandaian yang demikian hebatnya.” Pesta itu berlangsung dengan gembira dan ketika Kui Beng Sin menyampaikan kembali barang-barang milik pembesar she Phoa itu, Phoa-taijin mengucapkan terima kasih dan biarpun barang-barang itu belum dikirim ke tempat tujuan, yaitu Sin-yang, namun pembesar itu merasa girang bahwa tidak ada sedikitpun di antara barang itu yang hilang. Phoa-taijin minta agar barang-barang itu besok dikembalikan ke gudangnya dan dia tidak lupa untuk memberi hadiah kepada Pouw-an-piauwkiok. *** Beberapa hari kemudian, Han Tiong dan Thian Sin berpamit dari keluarga Ciu untuk pulang ke utara. Ciu Khai Sun telah mempersiapkan surat balasan untuk Cia Sin Liong dan menyerahkan surat itu kepada Han Tiong yang segera menyimpannya dalam bungkusan pakaiannya. Merekapun menerima pemberian kuda-kuda yang cukup baik dari keluarga Ciu dan mereka berdua diantar sampai ke tepi kota oleh Ciu Bun Hong dan Ciu Lian Hong. “Hong-te dan Hong-moi, terima kasih atas semua kebaikan kalian. Selamat tinggal, cukup kalian mengantar sampai di sini saja,” kata Han Tiong setelah mereka tiba di batas kota. “Hong-te, terima kasih dan selamat berpisah, Hong-moi... kuharap... kita akan dapat saling bertemu kembali dalam waktu dekat...” kata Thian Sin sambil memandang wajah dara itu dan suaranya terdengar mengandung nada bersedih oleh perpisahan yang amat memberatkan hatinya itu. “Tiong-ko, Sin-ko, selamat jalan dan selamat berpisah,” kata kakak beradik itu dan ketika dua orang pemuda itu meloncat ke atas punggung kuda dan mulai menjalankan kuda mereka meninggalkan tempat itu, kakak beradik ini melambaikan tangannya sampai dua orang pemuda itu lenyap di sebuah tikungan. Melihat adiknya masih melambalkan tangan seperti orang yang merasa sukar sekali untuk melepaskan mereka pergi, Bun Hong berkata sambil tersenyum, “Tiong-ko tidak akan lama pergi, tentu akan sigera ada kabar dari keluarga Cia.” Lian Hong terkejut dan sadar bahwa dia masih melambaikan tangannya. Mukanya yang cantik itu berubah merah sekali dan dia lalu mencubit lengan kakaknya. “Ih, siapa yang mengharap-harap kedatangannya?” Bun Hong hanya tertawa akan tetapi dia tahu bahwa adiknya ini telah jatuh cinta kepada Han Tiong dan dia merasa setuju dan gembira sekali karena diapun lebih suka kalau adiknya menjadi isteri Han Tiong daripada kalau adiknya memilih Thian Sin. Memang harus diakuinya bahwa dalam hal ketampanan wajah dan daya tariknya sebagai seorang pria, Thian Sin lebih tampan dan lebih menarik. Akan tetapi, dia melihat betapa Thian Sin berwatak ganas dan bahkan kejam terhadap musuh, sedangkan Han Tiong memiliki watak yang amat mengagumkan hatinya, watak seorang pendekar budiman tulen! Maka dia yang diberi tugas oleh ayah bundanya untuk mengamat-amati sikap Lian Hong terhadap dua orang pemuda itu, melaporkan apa adanya dan Ciu Khai Sun lalu memberi surat kepada Cia Sin Liong bahwa keluarga mereka menyetujui kalau Lian Hong dijodohkan dengan Cia Han Tiong. Ketika mereka meninggalkan kota Lok-yang, di sepanjang jalan Thian Sin tiada hentinya membicarakan tentang kebaikan keluarga itu, terutama sekali kebaikan Lian Hong. Antara lain dia berkata, “Lian-moi sungguh seorang gadis yang amat hebat! Dia memiliki ilmu silat yang sudah cukup tinggi di antara gadis-gadis lainnya, dan diapun gagah berani. Ingat saja ketika kita menyerbu gerombolan di hutan itu!” Han Tiong hanya tersenyum, akan tetapi diam-diam hatinya merasa agak gelisah. Harus diakuinya bahwa dia jatuh cinta kepada Lian Hong, dan dia melihat dengan jelas pula betapa adiknya inipun mencinta mati-matian kepada dara itu! Melihat betapa kakaknya diam saja, Thian Sin segera menoleh, memandangnya dan berkata, “Bagaimana pendapatmu, Tiong-ko?” Thian Si menatap tajam wajah kakaknya karena diam-diam diapun mempunyai dugaan bahwa kakaknya ini kelihatan tertarik dan amat kagum kepada dara itu. “Maksudmu?” Han Tiong berbalik mengajukan pertanyaan karena sungguhpun dia sudah mengerti maksudnya, namun dia tidak dapat segera menjawab dan merasa gugup. “Eh, kau sedang melamunkan apa sih, Tiong-ko sehingga tidak mengerti apa yang kutanyakan? Aku tadi bicara tentang Hong-moi dan aku menanyakan pendapatmu tentang Hong-moi.” “Apa? Hong-moi...? Ah, dia seorang gadis yang baik sekali, mengapa?” “Tidak apa-apa, Tiong-ko, hanya aku membayangkan betapa akan bahagianya seorang pria kelak yang dapat menjadi suaminya.” Wajah Han Tiong menjadi merah karena ucapan itu dengan tepat menusuk hatinya. Tepat sekali seperti apa yang sering dia renungkan tentang diri Lian Hong. “Ah, engkau ini aneh-aneh saja, Sin-te. Setiap orang suami dari wanita manapun juga tentu akan berbahagia sekali kalau dia menikah dengan wanita yang dicintanya dan juga yang mencintanya.” Agaknya karena ada sesuatu yang menahan perasaan hati mereka di Lok-yang, maka biarpun mereka melakukan perjalanan dengan kuda, namun perjalanan itu amatlah lambatnya. Mereka itu seperti dua orang pemuda yang sedang pesiar saja, menjalankan kuda mereka seenaknya, atau bahkan nampak seolah-olah mereka tidak rela meninggalkan Lok-yang. Dan memang sejak tadi, bayangan Lian Hong seolah-olah melambaikan tangan dan seperti terdengar suara merdu dara itu memanggil mereka agar kembali ke Lok-yang, atau agar tidak meninggalkannya. Seperti orang kehilangan sesuatu, dua orang pemuda itu tidak begitu bersemangat melakukan perjalanan dan hari mulai sore ketika mereka berhenti di sebuah dusun dan bermalam di sebuah rumah penginapan sederhana. Setelah makan sore yang sederhana pula di dusun itu, mereka beristirahat. Padahal, bukan tubuh mereka yang lelah, melainkan semangat mereka yang padam atau seperti tertinggal di dekat Lian Hong. Bahkan tak lama kemudian merekapun nampaknya sudah tidur dan tidak terdengar bercakap-cakap lagi di dalam kamar mereka. Akan tetapi sesungguhnya mereka itu belum tidur walaupun keduanya sudah memejamkan mata seperti orang pulas. Thian Sin bangkit dengan hati-hati dan pemuda ini lalu mengulurkan tangannya ke arah bungkusan pakaian mereka yang diletakkan di atas meja. Dengan hati-hati pula dikeluarkan surat titipan dari Ciu Khai Sun kepada Han Tiong ketika mereka berangkat tadi, dan dengan jantung berdebar dibukanya sampul surat dan dikeluarkannya sehelai surat itu dan dibacanya di bawah sinar lilin yang tidak begitu terang itu. Kedua tangan yang memegang surat itu gemetar dan wajah Thian Sin menjadi pucat ketika dia membaca isi surat. Diulanginya lagi dan tetap isi surat itu antara lain bahwa keluarga Ciu menyetujui diikatnya perjodohan antara Lian Hong dan Han Tiong! Thian Sin memejamkan kedua matanya dan merasa seolah-olah semua isi kamar terputar-putar. Dia berusaha menenangkan hatinya, akan tetapi makin lama hatinya menjadi semakin panas dan tidak enak. Dimasukkannya lagi surat itu ke dalam sampulnya dan disimpannya kembali ke dalam buntalan pakaian, kemudian dia melirik ke arah Han Tiong yang masih tidur nyenyak. Lalu dengan sikap aneh, dengan sepasang mata yang kadang-kadang bersinar-sinar kadang-kadang meredup, dia turun dari atas pembaringan, membuka daun pintu dan keluar dari kamar itu. Han Tiong tahu akan semua perbuatan Thian Sin itu. Di dalam hatinya, dia terkejut dan merasa tidak senang sekali menyaksikan kelancangan adiknya yang berani membuka surat dari Ciu Khai Sun untuk ayahnya. Akan tetapi karena merasa heran dengan kelakuan adiknya ini, juga karena dia tidak tega untuk membikin malu adiknya dengan menegurnya pada saat itu juga, maka Han Tiong pura-pura tidak tahu dan pura-pura tidur nyenyak. Ketika dia melihat Thian Sin mengembalikan surat lalu keluar dari kamar, dia mengira bahwa Thian Sin agaknya tidak dapat tidur dan hanya ingin mencari hawa sejuk di luar. Dan diapun tidak akan menegurnya tentang surat itu, karena dianggapnya bahwa Thian Sin tentu hanya ingin tahu saja dan tidak bermaksud buruk, buktinya surat itu dikembalikannya tanpa diganggu. Maka tidurlah Han Tiong, tidak menyangka sama sekali apa yang telah terjadi di luar. Thian Sin sama sekali bukan seperti yang disangkanya berjalan-jalan di luar! Pemuda itu setelah tiba di luar rumah penginapan, lalu mengerahkan seluruh kepandaiannya dan gin-kangnya, lalu secepatnya kembali ke kota Lok-yang! Perjalanan yang dilakukannya ini jauh lebih cepat daripada ketika mereka berdua meninggalkan kota Lok-yang yang berkuda siang tadi karena Thian Sin menggunakan ilmu berlari cepat. Dia tidak mau menunggang kuda karena tidak ingin kakaknya mengetahui bahwa dia pergi ke Lok-yang. Dia harus pergi ke sana, harus menemui Lian Hong! Tekad inilah yang membuat dia lari secepat angin menuju ke kota itu. Rumah keluarga Ciu sepi sekali malam itu. Agaknya semua orang telah tidur. Akan tetapi benarkah itu? Kiranya tidak semua penghuninya telah pulas. Lian Hong belum tidur dan dara ini masih duduk di atas pembaringannya. Sejak ia merebahkan diri tadi, hatinya terasa gelisah saja dan ia tidak dapat tidur. Bayangan dua orang pemuda ying siang tadi pergi, selalu terbayang olehnya. Dia tidak tahu bahwa ada bayangan berkelebat dengan kecepatan luar biasa di atas genteng rumahnya. Bayangan itu adalah Thian Sin yang sudah mengenal benar di mana letak kamar Lian Hong dan ke situlah dia menuju. Setelah mengintai dari atas genteng dan melihat bayangan Lian Hong di dalam kesuraman cahaya lilin kecil itu masih duduk di atas pembaringan, Thian Sin menjadi girang sekali. Gadis itu belum tidur! Maka diapun lalu meloncat turun dengan hati-hati sekali dari atas genteng, menghampiri jendela kamar itu dan mengetuknya dengan lirih tiga kali. Hening sejenak, lalu terdengar suara Lian Hong, “Siapa...?” “Ssttt... aku, Hong-moi... aku Thian Sin...” “Hehh...? Sin-ko...? Ada apa... mengapa...?” “Hong-moi, keluarlah, kita bicara di luar. Aku ingin bicara denganmu, penting sekali!” Bisik pula Thian Sin. Daun pintu kamar itupun dibuka dari dalam dan keluarlah Lian Hong. Dia terpesona memandang dara itu yang nampak lebih cantik daripada biasanya! Lian Hong telah mengenakan pakaian ringkas dan ditutupnya dengan mantel merah. Rambutnya agak kusut karena tadi sudah rebah untuk tidur. Sepasang matanya terbelalak penuh keheranan memandang wajah pemuda itu. “Sin-ko, kau di sini...? Apa yang terjadi dan...” “Ssttt... mari kita bicara di taman, Hong-moi. Jangan sampai mengagetkan keluargamu.” Thian Sin mendahului gadis itu berjalan keluar dari situ, menuju ke taman yang letaknya di samping kanan rumah. Dengan ragu-ragu dan heran akan tetapi tanpa bertanya atau membantah lagi, Lian Hong mengikutinya. Ia tentu saja tidak menaruh curiga apa-apa terhadap pemuda yang telah dipercayakan sepenuh hatinya itu. “Duduklah, Hong-moi, aku mau bicara,” kata Thian Sin dan melihat sikap pemuda itu begitu sungguh-sungguh, Lian Hong menjadi makin terheran-heran, akan tetapi diapun lalu duduk di atas bangku batu, berhadapan dengan pemuda itu, dipisahkan oleh meja batu yang bundar. “Sin-ko, ada apakah? Mengapa engkau berada di sini? Bukankah kalian telah berangkat tadi? Dan di mana Tiong-ko?” “Hong-moi, aku minta dengan sangat agar engkau suka bersikap jujur dan berterus terang kepadaku, karena hal ini sama saja dengan urusan mati hidup bagiku.” “Eh... apa artinya ini, Sin-ko? Apa yang kaumaksudkan dengan ucapanmu itu? Aku sungguh tidak mengerti!” “Artinya, Hong-moi, bahwa aku... aku cinta padamu.” Lian Hong memandang bayangan pemuda itu dengan mata terbelalak. Tempat itu hanya diterangi oleh bintang-bintang di langit sehingga biarpun mereka duduk berhadapan, hanya terhalang sebuah meja batu, namun mereka hanya dapat melihat bayangan masing-masing. Lian Hong bukan terkejut mendengar pernyataan cinta dari penuda itu, karena memang sudah dapat menduganya, karena sinar mata, juga suara pemuda itu jelas membayangkan perasaan hatinya. Ia hanya terheran-heran mendengar betapa Thian Sin yang sudah meninggalkan kota Lok-yang itu, kini datang pada malam hari untuk menyatakan cintanya! Melihat dara itu hanya diam saja dan agaknya memandang kepadanya dengan penuh keheranan, Thian Sin yang sudah dapat melampaui garis yang menggelisahkan hatinya, yaitu pengakuan cinta tadi, kini melanjutkan, suaranya lebih tenang. “Hong-moi, lebih baik aku bicara terus terang, dan kuharap engkau juga suka bersikap jujur, Hong-moi, sejak aku bertemu denganmu, aku telah jatuh cinta padamu. Engkau tentu merasakan pula hal ini dan kalau aku tidak salah sangka, melihat sikapmu kepadaku, kalau belum boleh dikatakan mencinta. Hong-moi, benarkah ucapanku ini bahwa engkaupun mencintaku?” Setelah didesak-desak, akhirnya Lian Hong yang sejak tadi belum dapat menghilangkan rasa terkejut dan herannya, kini menarik napas panjang. Ia merasa sukar untuk menjawab pertanyaan yang begitu tiba-tiba datangnya, apalagi pertanyaan tentang cinta! “Sin-ko... bagaimana aku harus menjawabmu? Engkau adalah putera angkat dan juga murid Paman Cia Sin Liong, dan engkau bersama Tiong-ko sudah begitu baik kepada kami, bahkan kalian telah memperlihatkan kegagahan dengan merampas kembali barang-barang yang dirampok gerombolan itu. Tentu saja aku merasa kagum dan suka padamu...” “Dan engkau bersedia untuk menjadi isteriku, Hong-moi?” “Aihhh...!” Lian Hong setengah menjerit karena sungguh tidak mengira akan menerima pertanyaan semacam itu. “Jawablah sejujurnya, kuminta kepadamu, berterus-teranglah...” “Ah, Sin-ko, bagaimana aku harus menjawab pertanyaan seperti itu? Soal perjodohan... ah, itu adalah urusan orang tuaku, soal jodoh adalah urusan mereka... mana mungkin aku dapat menjawab sendiri...?” “Hong-moi, mari kita bicara secara terbuka saja, karena jawaban-jawananmu yang berterus-terang amat penting bagiku. Dengarlah. Aku sudah tahu bahwa ayahmu telah menitipkan surat kepada Tiong-ko. Nah, sekarang katakanlah terus terang, apakah engkau mencinta Tiong-ko? Jawablah Hong-moi, apakah engkau lebih mencinta Tiong-ko daripada aku? Karena aku mempunyai keyakinan bahwa engkau cinta kepadaku, maka berita tentang ikatan jodoh antara engkau dan Tiong-ko itu sungguh mengejutkan hatiku. Aku harus mengetahui isi hatimu, Hong-moi. Siapakah yang kaupilih antara kami? Siapakah yang lebih kaucinta?” Lian Hong menundukkan mukanya. Ia tentu saja sudah diberi tahu oleh kakaknya, Bun Hong, tentang ikatan jodoh itu dan memang ia sudah ditanya oleh kakaknya tentang itu dan ia sudah mengambil keputusan dan berterus terang kepada kakaknya bahwa ia memilih Han Tiong. Berdasarkan pilihannya itulah ayahnya mengirim surat kepada Pendekar Lembah Naga. “Sin-ko, bagaimana harus kukatakan? Aku suka kepada kalian berdua, kagum dan juga bangga. Kalian adalah dua orang pemuda yang hebat.” “Tapi... tapi... kalau engkau dihadapkan pada pilihan ini, siapakah yang lebih kauberatkan, Hong-moi...? Aku ataukah Tiong-ko? Jawablah, agar hatiku tidak merasa penasaran lagi, Hong-moi!” Thian Sin mendesak. Lian Hong menarik napas panjang. Memang sesungguhnya ia merasa bingung dan amat sukar untuk mengakui hal itu di depan yang bersangkutan. Di depan kakaknya, ia dapat mengaku terus terang dengan rasa canggung sedikit saja, akan tetapi bagiamana mungkin ia dapat mengaku terus terang di depan orang yang bersangkutan? Apalagi karena ia tahu bahwa pengakuannya tentu akan menyakitkan perasaan hati Thian Sin karena ia memilih Han Tiong! Akan tetapi ia teringat bahwa Thian Sin, seperti juga Han Tiong, adalah seorang pemuda yang gagah perkasa lahir batin, maka tentu akah dapat menerima segala kenyataan, betapa pahit sekalipun. Dan terhadap seorang pendekar seperti Thian Sin, tidak baiklah kalau tidak berterang terang. Maka dara ini lalu menarik napas panjang, mengambil keputusan tetap dan terdengarlah jawabannya yang didengarkan oleh Thian Sin dengan penuh perhatian. “Sin-ko, baiklah, aku akan berterus terang karena engkau menghendakinya. Sesungguhnya, sejak engkau dan Tiong-ko berada di sini, melihat kegagahan kalian berdua, aku merasa amat tertarik dan terpikat. Terus terang saja, belum pernah aku mempunyai perasaan terhadap seorang pria seperti perasaanku terhadap kalian berdua. Dan kalau ditanya siapakah di antara kalian yang lebih kusukai, akan sukarlah aku untuk menjawabnya. Kalian memiliki daya tarik yang sama kuatnya bagiku dan andaikata aku disuruh memilih di antara kalian, aku akan menjadi bingung. Akan tetapi, terus terang saja, ada sesuatu yang membuat aku lebih condong kepada Tiong-ko. Yaitu... maafkan aku, Sin-ko, karena... karena aku menyaksikan keganasanmu terhadap para gerombolan itu. Engkau... engkau agak kejam, Sin-ko. Dan Tiong-ko begitu bijaksana...” Hening sekali saat itu setelah Lian Hong menghentikan kata-katanya. Dara itu menundukkan mukanya. Biarpun ia tidak dapat melihat wajah pemuda itu dengan jelas di dalam cuaca yang suram itu, namun ia tetap tidak berani mengangkat mukanya. Sementara itu, Thian Sin mengepal tinju dan merasa penasaran. Kalau hanya itu yang membuat Lian Hong memilih Han Tiong daripada dia, sungguh membuatnya penasaran! “Akan tetapi, Hong-moi. Aku bersikap ganas dan kejam terhadap penjahat! Dan memang demikian watak seorang pendekar sejati, bukan? Kalau kita sebagai pendekar-pendekar yang mempertahankan kebenaran dan keadilan tidak menghukum keras penjahat-penjahat itu, tentu di dunia ini semakin banyak kejahatan merajalela dan para penjahat tidak akan takut melakukan segala macam kejahatan yang paling keji karena tidak ada yang ditakutinya lagi!” “Maaf, Sin-ko. Aku tidak dapat membantahmu, akan tetapi aku merasa lebih setuju dengan sikap Tiong-ko yang menundukkan kejahatan dengan kepandaian akan tetapi menundukkan hati para penjahat itu dengan kelembutan dan cinta kasih. Aku tidak dapat melupakan betapa Tiong-ko dengan perasaan penuh kasih mengobati para penjahat itu, dan kalau engkau melihat pandang mata para penjahat itu terhadap Tiong-ko... ah, aku tidak dapat melupakan itu dan saat itulah yang meyakinkan hatiku bahwa aku akan hidup tenang dan bahagia di samping Tiong-ko...” “Akan tetapi, kalau penjahat-penjahat itu dimanjakan, tentu mereka tidak akan pernah merasa kapok! Terlalu enak bagi mereka yang jahat dan keji itu memperoleh pengampunan dan memperoleh perlakuan yang lunak. Tiong-ko terlalu lemah dan kelemahan hatinya itu sewaktu-waktu bahkan akan mencelakainya sendiri!” Lian Hong merasa tidak setuju dalam hatinnya, akan tetapi ia tidak mampu membantah atau menjawab, maka iapun hanya mendengarkan saja semua kata-kata Thian Sin yang berusaha membenarkan sikap dan tindakannya. Pendapat Thian Sin itu mungkin sekali juga merupakan pendapat umum atau kebanyakan dari kita, yaitu yang berpendapat bahwa tindakan kekejaman terhadap orang-orang yang bersalah atau yang melakukan kejahatan adalah tindakan yang benar. Biasanya, tindakan itu kita namakan keadilan! Akan tetapi benarkah demikian? Benarkah itu kalau kita menyiksa seorang yang kita namakan penjahat, bahkan kalau kita membunuhnya, maka penyiksaan atau pembunuhan itu dapat dinamakan keadilan? Sebaiknya kalau kita menyelidiki dulu persoalan ini sebelum kita memberinya suatu nama seperti keadilan! Kita selidiki apa perbedaan antara perbuatan kejam dan dianggap adil! Apakah dasar yang mendorong ke arah tindakan yang kejam, menakuti orang, menyiksa orang? Atau bahkan membunuh orang? Semua perbuatan kejam itu tentu mempunyai dasar yang sama, yaitu kebencian. Kebencianlah yang membuat seorang melakukan tindakan kejam, baik itu dinamakan kejahatan maupun keadilan. Kebencian di dalam hati ini tentu saja meniadakan cinta kasih. Siapapun yang melakukan tindakan kejam, baik dia itu dinamakan penjahat ataupun pendekar, pada dasarnya sama saja, yaitu melampiaskan kebencian. Ini bukanlah berarti bahwa kejahatan atau kekejaman yang dilakukan oleh orang-orang yang kita namakan jahat itu harus didiamkan saja! Sama sekali tidak demikian. Akan tetapi, alangkah jauh bedanya antara hukuman yang sifatnya mendidik dan hukuman yang sifatnya membalas dendam! Balas dendam adalah akibat kebencian yang melahirkan perbuatan-perbuatan kejam seperti menyiksa dan membunuh. Sebaliknya, hukuman yang sifatnya mendidik tidak dapat dinamakan kekejaman karena tidak dilakukan dengan hati yang membenci. Jeweran pada telinga anak dari seorang ayah dapat merupakan hukuman mendidik, dapat pula merupakan pelampiasan kebencian. Kalau si ayah itu marah, jengkel di waktu menjewer, maka perbuatannya itu adalah perbuatan yang didorong oleh kebencian. Sebaliknya, kalau jeweran itu dilakukan tanpa kebencian, maka itu adalah perbuatan yang mengandung maksud mendidik, dan antara dua jeweran yang sama ini terdapat perbedaan bumi langit. Biasanya, kata keadilan hanya dipergunakan oleh mereka yang dipenuhi kebencian untuk menuntut balas. Jelaslah bahwa segala macam perbuatan yang didasari oleh kebencian, maka perbuatan semacam itu sudah pasti kejam dan jahat. Sebaliknya, perbuatan apapun yang dilakukan dengan dasar cinta kasih, maka perbuatan itu pasti benar dan baik. “Kalau bukan para pendekar yang membasmi orang-orang jahat, habis siapa lagi? Sebagian besar para pejabat pemerintah malah menjadi sahabat-sahabat para penjahat! Mana mungkin mengandalkan para pejabat untuk membasmi kejahatan? Siapa yang akan membela dan melindungi rakyat daripada penjahat-penjahat yang keji? Siapa lagi kalau bukan para pendekar yang harus membasmi habis para penjahat keji dan pembunuh-pembunuh itu?” “Sin-ko, aku tidak mengerti, akan tetapi dengan membunuhi dan membasmi para pembunuh, bukankah itu berarti kita telah menciptakan segolongan pembunuh lain?” “Ah, tidak bisa! Para pendekar tidak akan membunuhi rakyat atau orang-orang yang benar, hanya akan membasmi orang-orang jahat!” Lian Hong tidak bicara lagi karena iapun tidak mengerti benar akan apa yang diperdebatkan oleh Thian Sin yang dikecewakan hatinya itu. Ia hanya tidak suka akan kekejaman yang diperlihatkan Thian Sin, sebaliknya ia setuju dan kagum akan kebijaksanaan dan kelembutan yang dilakukan oleh Han Tiong terhadap para penjahat. Tiba-tiba Thian Sin berhenti bicara dan dia meloncat berdiri dengan demikian cepatnya sehingga Lian Hong menjadi terkejut sekali. Akan tetapi pemuda itu sudah memegang lengannya dan berbisik, “Awas... ada banyak orang...” dan dia mengajak Lien Hong lari menyusup ke dalam taman, di balik semak-semak dan mengintai keluar. Dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka ketika melihat banyak sekali orang telah mengepung rumah dan taman itu, orang-orang itu adalah pasukan besar, karena pakaian mereka seragam! Dan di antara banyak pasukan itu, Thian Sin melihat banyak orang pula yang berpakaian biasa dan gerakan mereka gesit dan tangkas, tanda bahwa mereka ini memiliki ilmu silat yang lihai! Dan yang membuat mereka merasa lebih kaget lagi adalah ketika melihat betapa di antara pasukan itu ada yang mulai membakar rumah itu! Segera terjadi kegaduhan ketika keluarga Ciu terbangun dan menyerbu keluar rumah mereka yang mulai terbakar itu. Ciu Khai Sun meloncat ke luar dan berteriak dengan nyaring. “Siapa membakar rumah? Eh, apa artinya semua pasukan ini?” “Tangkap pemberontak! Tangkap anak pemberontak Ceng Han Houw! Basmi pemberontak dan pengkhianat...!” Teriakan-teriakan itu terdengar dari seluruh penjuru rumah di mana terdapat pasukan yang besar jumlahnya dan kini pasukan-pasukan itu telah maju menyerbu. Mereka itu sama sekali bukan hendak menangkap pemberontak seperti yang mereka teriakkan, melainkan mereka itu langsung menyerang Ciu Khai Sun bersama dua orang isterinya dan juga Bun Hong yang sudah berdiri di depan pintu! Tentu saja keluarga itu segera bergerak membela diri dan mereka tidak diberi kesempatan lagi untuk bertanya atau memprotes. Pasukan itu sudah menyerbu dengan membabi-buta, bahkan dibantu oleh beherapa orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan yang berpakaian biasa, bukan pasukan pemerintah. Ciu Khai Sun, Kui Lan, Kui Lin dan Bun Hong terpaksa melawan dan mengamuk untuk mempertahankan nyawa mereka karena para penyerbu itu menyerang untuk membunuh, bukan untuk menangkap. Percuma saja Ciu Khai Sun berteriak-teriak untuk mencoba menghentikan mereka. Agaknya mereka memang telah menerima perintah untuk membunuh semua penghuni rumah yang mereka bakar itu. Bahkan di antara para penyerbu itu ada yang sudah menyerbu masuk melalui pintu samping dan merampoki segala macam barang yang berada di dalam rumah. Dan mereka tidak peduli, siapa saja yang nampak dalam rumah itu, sampai pelayan-pelayan, mereka bunuh dengan bacokan-bacokan golok. Sementara itu, ketika melihat betapa pasukan itu membakar rumah, Thian Sin dan Lian Hong menjadi terkejut dan marah sekali. Apalagi setelah Lian Hong mendengar teriakan-teriakan ayahnya, juga teriakan-teriakan kedua ibunya dan kakaknya yang agaknya telah melawan para penyerbu. “Keparat!” teriaknya dan iapun lari hendak menuju ke depan hendak membantu ayah bundanya. Akan tetapi di situ telah muncul pula banyak pasukan yang langsung menyerangnya. Melihat ini, Thian Sin mengeluarkan seruan panjang dan tubuhnya telah menerjang maju menyambut pasukan yang menyerang Lian Hong itu dan sekali terjang, dia sudah merobohkan empat orang perajurit! Dalam waktu singkat saja, Thian Sin telah dikepung oleh banyak perajurit, juga oleh beberapa orang berpakaian preman yang lihai. Dia mengamuk dan hatinya khawatir sekali karena dia tidak melihat Lian Hong yang terpisah dengan dia dalam pengeroyokan demikian banyaknya pasukan. Karena mengkhawatirkan keadaan keluarga Ciu, terutama keselamatan Lian Hong, Thian Sin menjadi marah bukan main. Apalagi dia tadi mendengar teriakan-teriakan itu, yang katanya hendak menangkap pemberontak, putera dari pemberontak Ceng Han Houw. “Di sinilah aku! Di sinilah Ceng Thian Sin, putera Ceng Han Houw!” bentaknya nyaring dan kakinya merobohkan seorang pengeroyok yang hendak membacoknya dari belakang. “Jangan ganggu orang lain, inilah aku putera Ceng Han Houw!” Terjadilah perkelahian yang amat hebat. Tidak kurang dari tiga puluh orang perajurit dan dibantu oleh beberapa orang yang lihai-lihai, mengepung dan mengeroyok Thian Sin. Thian Sin sudah merobohkan belasan orang, namun pengeroyoknya tidak berkurang, bahkan mengepungnya semakin ketat. Dengan kemarahan meluap-luap, apalagi karena rumah itu telah terbakar semakin berkobar, Thian Sin lalu mencabut pedang Gin-hwa-kiam, pemberian neneknya dan mulailah dia mengamuk dengan pedangnya, dengan tamparan-tamparan tangan kirinya atau dengan tendangan-tendangan bertubi-tubi yang dilakukan oleh kedua kakinya. Hebat bukan main sepak terjangnya dan para pengeroyoknya banyak yang roboh. Darah muncrat-muncrat dari tubuh para pengeroyoknya yang kena disambar sinar perak pedangnya, dan kini yang mengeroyoknya hanyalah orang-orang yang tidak berpakaian seragam, melainkan orang-orang berpakaian preman yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi. Di antara mereka itu ada yang berpakaian pengemis, mengingatkan Thian Sin kepada para anggauta Bu-tek Kai-pang, anak buah Lam-sin, datuk selatan itu. Tidak kurang dari lima belas orang yang rata-rata berilmu tinggi mengeroyoknya, dengan berbagai macam senjata. Namun Thian Sin tidak menjadi gentar, dan dia terus mengamuk. Akan tetapi kini dia merasa gelisah sekali karena dia tidak tahu bagaimana dengan keadaan keluarga Ciu, terutama Lian Hong! Maka, sambil melawan dia mulai mengalihkan gelanggang pertempuran menuju ke depan rumah, di mana dia tadi mendengar teriakan-teriakan keluarga Ciu. Melihat gerakan ini, para pengepung itu mengira bahwa Thian Sin hendak melarikan diri, maka merekapun mengejar dan tetap mengepungnya, bahkan kini agaknya perkelahian hanya terpusat di sini karena tidak terdengar perkelahlan di tempat lain. Ketika dia tiba di depan rumah, Thian Sin terbelalak dan wajahnya pucat sekali. Api yang berkobar membakar rumah itu cukup menerangi tempat itu dan dengan jelas dia dapat melihat mayat-mayat berserakan banyak sekali, mayat-mayat pasukan yang berpakaian seragam dan di antara mereka itu terdapat pula mayat Ciu Khai Sun, kedua isterinya, dan Bun Hong! Hampir saja Thian Sin menjerit ketika dia melihat ini dan dia meloncat ke arah mayat Ciu Khai Sun dengan cepat sekali, berjongkok dan memeriksa. Akan tetapi sebatang tombak menyambar dari belakang, disusul bacokan pedang dari samping. “Tranggg... desss! Creppp!” Dua orang itu memekik dan roboh, seorang terkena tamparan tangan kiri Thian Sin dan yang ke dua tertusuk lambungnya oleh pedang Gin-hwa-kiam. Thian Sin cepat memeriksa dua orang isteri Ciu Khai Sun dan juga mayat Bun Hong. Semuanya telah tewas! Tewas dengan tubuh penuh luka-luka, tanda bahwa mereka itu telah mengamuk dengan mati-matian dan hal inipun dapat dibuktikan dengan banyaknya korban, yaitu mayat-mayat pasukan pengeroyok yang berserakan di sekeliling tempat itu! Keluarga ini telah tewas dalam keadaan yang menyedihkan, namun harus diakui tewas dalam keadaan gagah perkasa. Dan semuanya itu karena dia! Bukankah pasukan itu datang untuk mencari dia sebagai putera Pangeran Ceng Han Houw? Dan dia tidak tahu apa yang telah terjadi dengan diri Lian Hong! “Hai, keparat semua! Inilah Ceng Thian Sin putera Ceng Han Houw! Majulah dan terimalah pembalasanku!” Dan diapun mengamuk lagi. Sepak terjangnya amat menggiriskan karena tidak ada lawan manapun yang sanggup menahan sambaran pedangnya, pukulan tangan kirinya atau tendangan kakinya! Dia dikepung, dikeroyok, akan tetapi yang mawut adalah para pengeroyok itu sendiri. Banjir darah terjadi di dekat rumah yang terbakar itu. Entah herapa jam lamanya Thian Sin mengamuk. Seluruh tubuhnya menjadi basah oleh keringatnya sendiri dan basah oleh darah musuh. Makin lama makin banyak saja pihak pengeroyok yang roboh tewas. Sedikitnya, sejak dia mulai mengamuk tadi, ada tiga empat puluhan orang yang roboh di tangan Thian Sin dan dia seperti seekor harimau yang haus darah saja, tidak mengenal puas. Bahkan dia menjadi semakin buas dan sepak terjangnya makin menggiriskan. Akhirnya, para pengeroyok itu menjadi gentar. Mereka maklum bahwa kalau dilanjutkan, agaknya pemuda ini akan membunuh mereka semua sampai tidak ada seorangpun yang ketinggalan! Maka, larilah mereka, dan sisa pasukan pemerintah juga melarikan diri ketika melihat orang-orang yang lihai itu tidak berani melawan lagi. Thian Sin mengejar dan merobohkan sebanyak-banyaknya orang yang mungkin dia lakukan. Kemudian dia menangkap seorang perwira yang mencoba untuk menyelinap ke tempat gelap. Dibantingnya perwira itu ke atas tanah. “Ngekk!” Dan perwira itu merintih, tulang pundaknya patah. Thian Sin menempelkan pedangnya yang berlumuran darah itu ke leher perwira itu. “Cepat, ceritakan mengapa pasukan melakukan ini!” Ketika dia melihat perwira itu meragu, dia menekan pedangnya dan kulit leher itupun terobek sedikit dan berdarah. “Baik... baik... kami hanya diperintah... mula-mula komandan kami menerima laporan dari... dari Su-couw...” Thian Sin adalah pemuda yang cerdik sekali. Mendengar disebutnya kota Su-couw, diapun langsung menghubungkan tentang perampokan barang-barang kawalan Pouw-an-piauwkiok itu dengan peristiwa hebat ini. Dia teringat bahwa yang mendengar akan keadaan dirinya, yaitu sebagai orang luar, bahwa dia adalah putera Pangeran Ceng Hen Houw, hanyalah seorang saja, yaitu Phoa-taijin. “Phoa-taijin...?” Dia membentak dengan sikap mengancam. “Ya... ya benar...!” “Mengapa? Hayo katakan mengapa dia melakukan ini?” bentaknya dan perwira itu menggeleng-geleng kepala karena memang dia tidak tahu. Dia hanya tahu bahwa Phoa-taijin melaporkan tentang adanya putera pemberontak Ceng Han Houw di rumah ketua Hui-eng-piauwkiok di Lok-yang, dan komandannya segera bertindak mengepung rumah itu. Anehnya, Phoa-taijin dari Su-couw itu juga mengirim bala bantuan berupa dua puluh lebih orang-orang yang berilmu tinggi di antaranya ada beberapa orang pengemis. “Tidak... tidak tahu...” perwira itu berkata dan kata-katanya berhenti di tengah jalan karena Thian Sin telah menggerakkan pedangnya dan perwira itu tewas seketika dengan leher hampir putus! Malam itu juga, lewat tengah malam, Thian Sin telah berada di atas gedung tempat tinggal Phoa-taijin! Sejak mengamuk tadi, dia tidak pernah lagi menyimpan pedangnya yang masih berlepotan darah den kalau saja ada sinar menerangi wajahnya, orang tentu akan merasa ngeri melihat wajah yang tampan itu, kini penuh dengan kekejaman, penuh dengan kemarahan, dan sinar matanya mencorong penuh dendam seperti mata iblis dalam dongeng! Dia tidak ingin langsung turun tangan, melainkan hendak menyelidiki terlebih dahulu mengapa pembesar ini melakukan hasutan agar keluarga Ciu dibasmi. Kalau memang niatnya hanya menangkap dia sebagai putera Ceng Han Houw, mengapa pasukan itu bertindak demikian? Membakar dan menyerang sampai seluruh anggauta keluarga Ciu terbasmi habis? Tiba-tiba dia melihat tiga orang yang berpakaian preman dan seorang komandan pasukan memasuki rumah itu dengan sikap tergesa-gesa. Dia dapat menduga bahwa tentu mereka ini adalah orang-orang yang tadi ikut menyerbu rumah keluarga Ciu dan kini dengan tergopoh-gopoh mereka tentu hendak melapor kepada Phoa-taijin! Maka diapun cepat menyelinap, meloncat turun dari atas, memasuki pekarangan belakang, lalu menyelinap ke dalam melalui tembok belakang. Akhirnya dia dapat mengintai dari belakang jendela, ke dalam ruangan di mana dia mendengar orang bicara dengan suara perlahan namun serius sekali. Jantungnya berdebar penuh amarah yang ditahan-tahannya ketika dia mengenal suara Phoa-taijin yang sedang bicara dengan suara mengandung penyesalan besar. “Apa? Anak pangeran pemberontak itu tidak dapat ditangkap atau dibunuh dan bahkan telah membunuh banyak orang? Dan puteri Ciu-piauwsu juga dapat lolos? Ah, bagaimana kalian ini? Pasukan seratus orang ditambah orang-orang yang terkenal sebagai anak buah tiga datuk See-thian-ong, Lam-sin dan Pak-san-kui, masih tidak mampu merobohkan seorang pemuda remaja seperti anak pemberontak she Ceng itu? Sungguh celaka, kalian tiada guna sama sekali!” “Tapi, taijin. Keluarga Ciu telah dapat dibasmi, lolos seorang anak perempuan saja mengapa? Dan tentang pemberontak she Ceng itu, memang dia lihai sekali...” terdengar suara orang lain. “Saya belum mengerti mengapa taijin memusuhi keluarga Ciu?” seorang lain dengan suara serak. “Bodoh, apakah kau tidak mendengar betapa keluarga Ciu dan dua orang keponakannya itu yang telah menggagalkan siasat kami ketika kami menyuruh orang-orang mnyamar perampok untuk merampok barang-barang yang kusuruh kawal Pouw-an-piauwkiok? Kalau mengandalkan orang-orang bodoh seperti kalian, mana mungkin kita berhasil mengumpulkan harta untuk menyokong gerakan kawan-kawan di utara?” THIAN SIN mengerutkan alisnya. Biarpun hanya samar-samar saja, dia kini dapat menduga bahwa para perampok itu adalah orang-orangnya Phoa-taijin sendiri yang diutus untuk menyarnar sebagai perampok dan merampas barang-barangnya sendiri! Mungkin dengan maksud memeras Pouw-an-piauwkiok untuk bertanggung jawab dan mengganti barang-barangnya yang berharga. Dan karena kemudian barang-barang itu ditemukan kembali, usaha itu gagal oleh dia dan Han Tiong yang menjadi tamu keluarga Ciu, maka pembesar itu kini melakukan serangan balasan dan kebetulan dia mendengar tentang putera Pangeran Ceng Han Houw, maka hal itu dijadikan dalih untuk melaporkan bahwa di rumah Ciu-piauwsu terdapat putera pangeran pemberontak Ceng Han Houw. “Aku berada di sini!” Tiba-tiba Thian Sin tidak dapat menahan kemarahannya lagi dan dia sudah menerjang jendela itu. “Braakkkkk!” daun jendela itu pecah dan diapun sudah meloncat ke dalam. “Pembesar keparat she Phoa! Inilah Ceng Thian Sin, putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw, datang untuk mengirim nyawa kotormu ke neraka jahanam!” Akan tetapi empat orang yang berada di dalam kamar itu, yaitu tiga orang berpakaian preman dan seorang berpakaian komandan telah mencabut senjata masing-masing dan segera menubruk dan menyerangnya dengan ganas, akan tetapi juga dengan hati gentar ketika mengenal bahwa yang menerobos masuk ini bukan lain adalah pemuda putera pangeran pemberontak yang amat lihai itu. Melihat serangan empat orang ini, Thian Sin sama sekali tidak mengelak atau menangkis, melainkan mengerahkan tenaga sin-kangnya, membuat tubuhnya menjadi lunak seperti karet, lunak namun kuat sekali dan begitu tiga batang pedang dan sebatang ruyung itu menimpa tubuhnya, tenaga sin-kang itu menyambut empat senjata itu dan langsung dia mengerahkan Thi-khi-i-beng sehingga daya pukulan yang mengandung tenaga sin-kang empat orang itu tersedot seketika. Empat orang itu berteriak kaget, maka mereka mengerahkan tenaga untuk menarik kembali senjata masing-masing. Namun, mereka tidak mengenal Thi-khi-i-beng. Makin mereka mengerahkan tenaga, makin hebat pula tenaga sin-kang mereka tersedot dan pada saat itu, sinar pedang perak berkelebat dan robohlah empat orang itu dengan mandi darahnya sendiri dan tewas seketika. Phoa-taijin sudah melarikan diri melalui sebuah lorong, akan tetapi tiba-tiba bayangan Thian Sin menyambar dan pemuda ini sudah menangkap tengkuk si pembesar yang segera menjerit-jerit seperti seekor anjing tersiram air panas. “Ampun... ampun... taihiap...!” “Keparat jahanam! Engkau mengerahkan orang-orang untuk membunuhku, ya? Nah, ini aku Ceng Thian Sin, putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw. Kau mau apa sekarang!” “Ampuun... aku... aku hanya melakukan tugas sebagai pejabat pemerintah. Aku harus membantu pemerintah... dan karena... ayahmu dahulu pernah memberontak maka... aku... aku...” “Cacing busuk! Kalau begitu, kenapa bukan hanya aku saja yang hendak dibunuh, akan tetapi seluruh keluarga Ciu dibasmi? Engkau membalas karena kami mengagalkan siasatmu ketika menyuruh orang-orang merampok barang-barangmu sendiri dari tangan Pouw-an-piauwkiok itu, ya? Hayo katakan, siapa itu kawan-kawanmu yang berada di utara...” Wajah yang sudah pucat itu menjadi semakin pucat, akan tetapi sinar matanya nampak penuh harapan ketika pembesar itu memandang kepada wajah Thian Sin kemudian kepada apa yang berada di belakang pemuda itu melalui atas pundak Thian Sin. Pemuda ini cukup waspada. Pandang mata pembesar itu membuatnya mencurahkan perhatian pendengarannya ke belakang dan tahulah dia bahwa ada dua tiga orang bergerak di belakangnya. Dia menanti sampai angin serangan mereka menyambar dekat dan tanpa menoleh dia menggerakkan pedang Gin-hwa-kiam ke belakang. Tiga orang itu menjerit dan roboh mandi darah! Melihat ini, Phoa-taijin berlutut dan tubuhnya menggigil ketakutan. “Hayo jawab!” “Mereka... mereka itu... ah... para datuk kaum kang-ouw... telah bersekutu... eh, dengan mereka yang bergerak di utara... orang-orang bangsa Mancu...” “Siapa para datuk itu? Hayo jawab, cepat!” “See-thian-ong, Lam-sin, dan Pak-san-kui...” “Hem, juga Tung-hai-sian?” “Tidak... tidak... belum, sedang dihubungi... dia yang keras kepala...” “Setan, mampuslah kau!” Thian Sin menggerakkan pedangnya beberapa kali, terdengar tulang terbacok beberapa kali disusul jerit-jerit melengking dari pembesar itu dan ketika Thian Sin meninggalkannya dan meloncat pergi, yang tertinggal pada Phoa-taijin itu hanyalah sebuah tubuh tanpa kaki tanpa tangan telinga dan tanpa hidung. Tubuh yang menjadi pendek karena kedua kakinya terputus sebatas paha dan kedua lengan terputus sebatas pundak itu bergerak-gerak aneh dan mandi darah. Sungguh merupakan pemandangan yang amat mengerikan. Matanya melotot dan mulutnya mengeluarkan suara aneh, seperti tangis setengah tawa. Menyeramkan sekali. Sekarang Thian Sin sudah dikepung lagi dan kembali dia mengamuk. Kiranya para pengawal di rumah pembesar Phoa itu telah mengambil bala bantuan dan kini tidak kurang dari tiga puluh pasukan keamanan kota Su-couw telah mengeroyoknya. Namun Thian Sin tidak mau melarikan diri, hal yang sebetulnya mudah baginya. Tidak, dia tidak akan lari, dia akan mengamuk sampai semua pengeroyoknya terbasmi habis! Tubuhnya telah lelah sekali, dan batinnya tertekan hebat karena kematian keluarga Ciu dan lenyapnya Lian Hong, akan tetapi kemarahannya membuat dia 1upa akan segala itu, dan dia mengamuk seperti seekor harimau yang haus darah. Pakaiannya telah robek-robek terkena senjata sejak dia mengamuk di Lok-yang tadi, akan tetapi tidak dipedulikannya, karena tubuhnya yang dilindungi kekebalan Thian-te Sin-ciang membuat senjata-senjata itu tidak melukai kulit dagingnya. Dan memang sepak terjang Thian Sin hebat sekali. Biarpun pengeroyoknya kini merupakan orang-orang yang baru saja terjun ke dalam gelanggang pertempuran, masih segar badannya, namun sebentar saja sudah ada enam orang yang roboh mandi darah oleh sambaran pedangnya. “Inilah Ceng Thian Sin! Inilah putera Pangeran Ceng Han Houw! Hayo majulah kalian semua anjing-anjing keparat kalau ingin kuantar nyawa kalian ke neraka!” Thian Sin mengamuk sambil berteriak-teriak. “Sin-te...!” Sesosok bayangan berkelebat dan sebuah tangan yang kuat menangkap pergelangan tangan kanan Thian Sin. Teriakan-teriakan Thian Sin tadilah yang mendatangkan Han Tiong! Ketika Han Tiong mendusin dari tidur nyenyak dan tidak melihat Thian Sin, dia merasa terkejut dan juga terheran-heran sekali. Ke manakah adiknya itu yang belum juga pulang? Dia lalu keluar dan semakin heran karena tidak menemukan adiknya di luar rumah penginapan kecil itu. Di luar sunyi sekali karena malam telah larut. Dua ekor kuda mereka masih ada. Hatinya terasa tidak enak dan diapun kembali ke dalam kamarnya, menyalakan lilin dan mengambil sampul surat yang tadi dibaca oleh Thian Sin. Biarpun dia tahu bahwa perbuatannya ini sungguh melanggar aturan, yaitu melihat isi surat yang ditujukan kepada ayahnya, akan tetapi karena khawatir akan keadaan Thian Sin, dia memaksakan diri mengambil surat itu dan membacanya. Kedua tangannya gemetar ketika dia membaca tentang ikatan jodoh antara dia dan Lian Hong. Hatinya gembira dan girang sekali, akan tetapi juga berdebar penuh ketegangan ketika dia teringat kepada Thian Sin. Mengertilah dia sekarang mengapa Thian Sin kelihatan gelisah. Akan tetapi, ke mana perginya adiknya itu? Kudanya masih ada dan pakaian adiknya juga masih terbungkus dan berada di atas meja. Tiba-tiba dia merasa khawatir sekali, membayangkan betapa dalam kekecewaannya itu Thian Sin kembali ke Lok-yang untuk memprotes ikatan jodoh itu! Siapa tahu! Thian Sin memiliki watak aneh dan keras. Dugaan ini semakin kuat ketika dia menanti-nanti dan belum juga adiknya pulang. Maka dia lalu mengambil keputusan nekad untuk pergi menyusul adiknya. Dia membawa buntalan-buntalan pakaian lalu menitipkan dua ekor kuda itu pada penjaga rumah penginapan dan dengan cepat dia lalu mengerahkan ilmu berlari cepat, menyusul adiknya yang disangkanya tentu pergi ke Lok-yang itu. Tak pernah disangkanya sama sekali betapa waktu itu, ketika dia sedang berlari cepat sekali menuju ke kota Lok-yang dan baru tiba di pertengahan jalan, adiknya itu sedang mengamuk mati-matian di luar rumah keluarga Ciu yang terbakar! Dan ketika akhirnya Han Tiong tiba di kota Lok-yang, dia telah melihat nyala api berkobar itu dari arah rumah keluarga Ciu dan mendengar orang-orang yang kelihatan panik di luar rumah-rumah mereka dan bicara simpang siur tentang penyerbuan pasukan di rumah Hui-eng-piauwkiok! Dapat dibayangkan betapa cemas rasa hati Han Tiong mendengar itu dan dia mempercepat larinya ke arah rumah keluarga Ciu. Dan dapat dibayangkan betapa terkejut dan hancur hatinya ketika dia melihat puluhan mayat berserakan di antara puing-puing dan di luar rumah yang masih terbakar, dan di antara mayat-mayat itu dia melihat mayat Ciu Khai Sun, Kui Lan, Kui Lin dan Ciu Bun Hong! Tentu saja Han Tiong segera menubruk mayat-mayat itu dan dia bahkan menangis. Akan tetapi tiba-tiba tubuhnya dipegang oleh beberapa buah tangan yang kuat dari belakang dan kanan kiri. Han Tiong menoleh dan melihat, bahwa yang menangkapnya adalah tangan-tangan dari tiga orang perajurit. Melihat bahwa pakaian para perajurit yang telah menjadi mayat berserakan di tempat itu, tahulah dia bahwa mereka ini adalah teman-teman dari orang-orang yang telah menyerbu, membakar rumah dan membunuh keluarga Ciu. Maka diapun lalu meloncat dan sekali menggerakkan tubuhnya, tiga orang yang memegangnya itu terpelanting. Mereka bangkit lagi dan mencabut senjata, bahkan kini banyak berdatangan perajurit-perajurit yang bertugas menjaga di tempat itu dan Han Tiong sudah dikepung. Akan tetapi pemuda ini tidak mengamuk seperti yang telah dilakukan oleh adiknya tadi, dia lalu menghindarkan semua serangan, mengelak, menangkis, kemudlan menangkap seorang di antara mereka dan melarikan diri ke tempat gelap. Para perajurit mengejar-ngejarnya, namun tak seorang di antara mereka mampu menyusul dan sebentar saja Han Tiong telah pergi jauh membawa seorang yang telah ditotoknya. Di tempat sunyi, Han Tiong melepaskan orang itu dan membebaskan totokannya. “Aku tidak akan mengganggumu lagi kalau engkau suka memberitahukan apa yang telah terjadi.” Melihat sikap Han Tiong yang halus itu, si perajurit tidak takut lagi dan diapun lalu menceritakan dengan singkat bahwa pasukan diutus oleh komandan mereka, atas laporan Phou-taijin, untuk menangkap pemberontak yang katanya keturunan Pangeran Ceng Han Houw, di rumah Ciu-piauwsu. Akan tetapi, para pembantu yang dikirim oleh Phoa-taijin, yang rata-rata amat lihai itu, begitu datang lalu langsung saja membakar rumah dan menyerbu sehingga terjadi pertempuran hebat yang mengakibatkan keluarga Ciu tewas semua. “Dan keturunan Pangeran Ceng Han Houw itu sendiri?” Han Tiong mendesak, jantungnya berdebar tegang karena dia seperti melihat bekas amukan adiknya. Siapa lagi yang dapat mengamuk seperti itu, membunuh puluhan perajurit, kalau bukan adiknya? “Pemuda itu luar biasa, menyeramkan sekali. Siapa yang dekat dengannya tentu mati!” “Di mana dia sekarang?” “Tidak tahu... tidak tahu, dia telah pergi menghilang begitu saja.” “Dan di mana pula Nona Ciu? Puteri dari keluarga Ciu yang tewas itu?” “Tidak tahu... hanya kabarnya lolos...” Han Tiong lalu menotok orang itu sampai pingsan dan diapun lalu copet melarikan diri menuju ke Su-couw. Dia menduga bahwa tentu adiknya itupun melakukan seperti yang dia perbuat tadi, yaitu memaksa seorang perajurit untuk menceritakan keadaannya dan begitu mendengar bahwa semua penyerbuan itu gara-gara Phoa-taijin yang secara kebetulan mendengar bahwa Thian Sin adalah putera Pangeran Ceng Han Houw, tentu adiknya itu pergi ke Su-couw. Cepat diapun menyusul ke sana dengan hati berat dirundung duka kalau dia membayangkan kembali mayat-mayat keluarga Ciu. Tak disangkanya akan terjadi hal seperti itu, kalau saja dia mengundurkan kepergiannya satu hari saja. Kalau dia masih berada di situ ketika terjadi penyerbuan, siapa tahu dia akan mampu mencegah terjadinya malapetaka hebat itu. Akan tetapi, semua telah terjadi. Keluarga Ciu telah tewas dan sekarang yang terpenting adalah mencari Thian Sin dan Lian Hong, dua orang yang dia harap mudah-mudahan masih dalam keadaan selamat. Ketika dia tiba di Su-couw, langsung dia mencari rumah gedung Phoa-taijin dan sungguh kebetulan sekali dia mendengar teriakan Thian Sin yang menantang-nantang. Cepat dia meloncat ke atas genteng dan melayang ke dalam. Melihat keadaan Thian Sin, di bawah sinar lampu yang cukup terang di pelataran itu, Han Tiong bergidik! Pakaian adiknya sudah robek-robek dan penuh dengan darah! Pedangnya juga berlepotan darah dan sinar mata adiknya itu seperti bukan manusla lagi! Maka, tanpa membuang waktu lagi, dia meloncat turun dan menangkap pergelangan tangan kanan adiknya. “Sin-te, ingatlah...!” Dia berkata lagi. Thian Sin menoleh dan melihat kakaknya, dia merintih, kemudian roboh pingsan di dalam pelukan Han Tiong. Cepat Han Tiong memondong tubuhnya, menyambar pedang Gin-hwa-kiam dan membawa adiknya itu lari sambil memutar pedang untuk menangkis semua senjata yang menyambar ke arah mereka. Berkat ketangkasannya, Han Tiong dapat cepat melarikan diri keluar dari Su-couw dan langsung dia melarikan diri ke dalam hutan di lereng gunung. Setelah melihat bahwa tidak ada lagi orang yang mengejar mereka, dia lalu menurunkan tubuh Thian Sin di bawah sebatang pohon besar. Dia memeriksa tubuh adiknya itu. Tidak ada luka, baik luar maupun dalam. Adiknya pingsan karena lelah, karena tertekan batinnya. Maka diapun lalu mendiamkannya saja, dan diapun duduk bersila di dekat adiknya untuk mengatur pernapasan karena dia sendiri juga tertekan dengan kedukaan dan kekhawatiran. Baru saja terang tanah, Thian Sin mengerang dan tiba-tiba meloncat bangun. Ketika Han Tiong juga meloncat berdiri, Thian Sin tiba-tiba menyerangnya dengan hebat, dengan pukulan-pukulan mematikan. Baiknya Han Tiong bersikap waspada maka dia dapat mengelak dan menangkis beberapa kali sambil berseru, “Sin-te, sudah gilakah engkau sehingga tidak mengenalku? Kau lihat baik-baik, aku adalah Han Tiong!” Tiba-tiba Thian Sin menghentikan serangannya, memandang kepada wajah Han Tiong, kemudian dia menjadi lemas, menjatuhkan dirinya berlutut dan menangis mengguguk seperti anak kecil! Han Tiong juga berlutut dan merangkul adiknya, diam-diam dia menyusut beberapa butir air matanya. “Adikku... ah, Sin-te... tenangkanlah hatimu. Aku tahu... aku telah melihatnya... akan tetapi, kita harus dapat menenangkan hati kita, Sin-te.” “Tiong-ko... aduh, Tiong-ko... betapa aku tidak akan sedih? Semua itu adalah gara-gara aku! Keluarga Ciu binasa karena aku! Karena aku yang menjadi anak pangeran terkutuk itu!” “Sin-te! Jangan bicara yang bukan-bukan. Ceritakan, apa yang telah terjadi dan mengapa engkau berada di Lok-yang dan Su-couw?” Thian Sin menenangkan hatinya, lalu duduk bersila sejenak. Han Tiong membiarkan adiknya, bahkan diapun lalu duduk bersila. Akhirnya terdengar Thian Sin menarik napas panjang dan suaranya telah menjadi tenang kembali ketika dia bercerita. “Tiong-ko, maafkanlah aku, Tiong-ko. Aku... aku malam tadi membaca surat titipan Paman Ciu untuk ayah...” “Aku sudah tahu, adikku.” “Kau tahu? Dan kau diam saja...” Han Tiong tersenyum duka. “Keinginan tahu seorang muda bukanlah kesalahan yang terlalu besar, lupakanlah saja, Sin-te.” “Lupakanlah? Ah, Tiong-ko, engkau tidak tahu betapa jahat adikmu ini. Aku membaca surat itu, isinya mengikatkan perjodohan antara engkau dan Hong-moi. Dan aku penasaran! Aku yang tak tahu diri ini! Aku penasaran dan aku kembali ke Lok-yang. Aku harus bicara dengan Hong-moi!” “Ah!” Han Tiong terkejut sekali den hatinya cemas. Apakah yang telah dilakukan adiknya ini? Itulah yang dicemaskannya. “Aku berhasil memanggil Hong-moi keluar dan kami bicara penjang lebar. Dan dia memang cinta kepadamu, Tiong-ko, dia memilih engkau karena... karena aku... hemm, aku orang yang kejam dan jahat!” “Sin-te, jangan berkata demikian. Kau seperti merasa penasaran!” “Pada waktu itu memang aku penasaran! Dan selagi kami bicara, terdengar suara ribut-ribut dan pasukan anjing jahanam itu telah menyerbu. Mereka berteriak-teriak katanya hendak menangkap aku, anak pemberontak, akan tetapi kenyataannya mereka membakar rumah dan menyerbu. Aku tentu saja tidak tinggal diam. Melihat Paman Ciu sekeluarganya melawan, akupun lalu mengamuk. Akan tetapi, eh... betapa hancur hatiku melihat mayat-mayat mereka berempat...” Dan pemuda itu memejamkan mata dan mengerutkan alisnya, menahan gelombang duka yang menyerangnya. “Akupun telah melihat mereka, Sin-te. Dan... dan... Hong-moi, bagaimana dengen dia?” tanya Hen Tiong, suaranya agak gemetar. “Tidak tahu, Tiong-ko... tidak tahu... lenyap begitu saja... aku tidak tahu ke mana ia pergi... ah, hal itu membuatku semakin sedih karena malapetaka yang menimpanya adalah karena aku. Aku harus mencarinya sampai dapat, Tiong-ko!” “Jangan, Sin-te. Urusan yang terjadi ini terlalu besar. Ingat, pasukan pemerintah mencampuri dan setelah engkau membunuh sekian banyaknya perajurit, tentu pemerintah takkan tinggal diam saja. Tentang Hong-moi, ke mana engkau hendak mencarinya? Tidak ada jejak darinya...” “Kalau perlu, aku akan siksa semua perajurit yang ada di Lok-yang, dan memaksa mereka itu mengaku di mana adanya Hong-moi!” “Hemm, perbuatan itu bodoh, Sin-te. Kukira Hong-moi berhasil melarikan diri. Kalau ia tertawan misalnya, tentu engkau atau aku sudah mendengarnya. Engkau tidak boleh sembarangan pergi mencarinya setelah apa yang terjadi malam tadi, Sin-te.” “Habis apakah kita harus mendiamkan saja Hong-moi terancam bahaya dan tidak kita ketahui bagaimana nasibnya? Begitu kejamkah engkau, Tiong-ko? Dan... ia adalah calon isterimu sendiri!” Kalimat terakhir ini diucapkan dengan nada berteriak penuh rasa penasaran. Han Tiong menarik napas panjang. “Sin-te, haruskah aku memperlihatkan atau memamerkan rasa dukaku karena kematian keluarga Ciu dan kegelisahanku karena hilangnya Hong-moi? Kita harus bersikap tenang dalam menghadapi segala hal, Sin-te. Saat ini, pemerintah tentu telah mendengar tentang peristiwa itu dan mata-mata tentu telah disebar untuk mencari kita. Menghadapi persoalan yang besar ini, tiada lain jalan bagi kita selain melaporkannya kepada ayah dan minta pendapat ayah bagaimana selanjutnya kita harus bertindak. Kita tidak boleh bertindak sembarangan. Ingat, kita menghadapi pemerintah yang tidak mungkin kita lawan begitu saja, Sin-te.” Akhirnya, biarpun dengan hati penuh rasa penasaran, Thian Sin mentaati kakaknya. Dia bukan takut, melainkan segan untuk membantah dan membikin susah atau marah kakaknya yang amat dikasihinya ini. Biarpun pilihan Lian Hong kepada kakaknya itu sedikit banyak mendatangkan rasa iri hati dan juga menghancurkan perasaannya yang sudah jatuh cinta kepada dara itu, namun dia tidak dapat membenci kakaknya ini. Dia terlampau sayang dan terlampau kagum terhadap kakaknya sehingga tidak mungkin dia membencinya, bahkan sekarangpun dia tidak mau membantahnya terus karena tidak mau menyusahkan hati kakaknya yang dia tahu amat sayang kepadanya itu. Maka, dengan cepat, setelah mengambil kuda mereka, dua orang muda inipun melakukan perjalanan pulang ke Lembah Naga. *** Dapat dibayangican betapa kaget rasa hati Cia Sin Liong dan Bhe Bi Cu, isterinya, ketika mereka berdua melihat dua orang putera itu datang dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki mereka sambil menangis! Han Tiong dan Thian Sin menangis! Tentu telah terjadi sesuatu yang luar biasa hebatnya maka dapat membuat dua orang muda yang tak pernah menangis ini sekarang mengguguk sambil berlutut di depan mereka, tanpa dapat mengeluarkan kata-kata sedikitpun. Melihat keadaan dua orang muda, Bhe Bi Cu sudah menjadi gelisah sekali. Dia berlutut pula di dekat Han Tiong dan mengguncang-guncang pundak putera kandungnya itu. “Apakah yang telah terjadi? Tiong-ji... ada apakah? Mengapa kalian menangis? Thian Sin, ceritakanlah, apa yang telah terjadi?” Melihat kegelisahan isterinya, Cia Sin Liong Si Pendekar dari Lembah Naga itu segera menyentuh pundaknya dengan halus, memberi isyarat dengan pandang matanya agar isterinya itu tenang kembali. Bi Cu yang melihat pandang mata suaminya, menahan tangis dan duduk kembali sambil memandang dua orang muda itu dengan khawatir sekali. Kini Sin Liong yang berkata-kata dengan suara yang penuh wibawa. “Han Tiong! Thian Sin! Kalian ini pemuda-pemuda macam apa? Menangis seperti anak-anak kecil. Lupakah kalian bahwa nafsu kedukaan, seperti juga nafsu-nafsu lain, hanya akan melemahkan batin kita dan menghilangkan kewaspadaan? Tidak ada hal yang bagaimana pahit sekalipun yang akan dapat meruntuhkan ketenangan hati seorang pendekar! Hayo hentikan tangis kalian itu dan berceritalah dengan tenang!” Dua orang muda itu memejamkan kedua mata dan menahan napas, dan akhirnya mereka berdua dapat menenangkan hati mereka dan tidak terisak-isak lagi sungguhpun kedua mata mereka masih basah. Kemudian Han Tiong menceritakan perjalanan mereka dan semua yang mereka alami, mulai dari pengalaman mereka di kota raja, pertemuan mereka dengan putera Pak-san-kui yaitu Siangkoan Wi Hong, kemudian kunjungan mereka berdua ke Cin-ling-san lalu kunjungan ke Bwee-hoa-san, tempat kediaman Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng. Di bagian ini, Thian Sin membantu kakaknya, bahkan dia menceritakan kegembiraannya bertemu dengan neneknya, ibu dari mendiang ibunya dan betapa neneknya itu telah memberikan Gin-hwa-kiam kepadanya, dan betapa mereka berdua menerima latihan-latihan ilmu silat tinggi dari kakek dan nenek itu. Pendekar Lembah Naga dan isterinya tertarik sekali mendengarkan penurutan dua orang muda itu, apalagi ketika mereka menceritakan tentang kunjungan mereka ke dalam pesta ulang tahun Tung-hai-sian di Ceng-tao bersama Cia Kong Liang, tentang peristiwa yang terjadi di dalam pesta ulang tahun yang dikunjungi oleh wakil-wakil para datuk itu. Kemudian dua orang muda itu menceritakan kunjungan mereka ke Lok-yang di mana mereka telah berjumpa dengan keluarga Ciu dan menyerahkan surat yang dititipkan oleh Pendekar Lembah Naga kepada mereka. Dan begitu menceritakan keadaan mereka di Lok-yang, sikap dan suara dua orang muda itu berubah dan kedukaan menyelimuti wajah mereka sehingga mudah bagi Sin Liong dan isterinya untuk menduga bahwa tentu terjadi sesuatu di Lok-yang. Membayangkan betapa terjadi sesuatu atas diri keluarga dua orang adiknya, adik seibu berlainan ayah, yaitu Kui Lan dan Kui Lin, berdebar juga rasa jantung pendekar itu dan kegelisahan mulai menyelimuti hatinya. Akhirnya cerita dua orang muda itu sampailah kepada peristiwa yang mengerikan itu, dan untuk ini, Thian Sin yang merasa betapa dialah yang bersalah dan menjadi biang keladi peristiwa itu, hanya menundukkan kepalanya dan membiarkan kakaknya yang bercerita. “Sungguh tidak pernah kami kira bahwa peristiwa perampasan kembali barang-barang kawalan Paman Kui Beng Sin itu mendatangkan akibat yang amat hebat, ayah.” Han Tiong melanjutkan ceritanya dengan suara agak gemetar. “Pada malam terakhir kami berada di Lok-yang secara tiba-tiba saja pasukon pemerintah menyerbu, membakar rumah Paman Ciu dan menyerang secara membabi-buta! Kami berdua tentu saja membantu keluarga Ciu, mengadakan perlawanan, namun fihak musuh terlalu banyak, bahkan pasukan itu dibantu oleh orang-orang pandai yang ternyata adalah anak buah dari tiga datuk sesat See-thian-ong, Lam-sin, dan Pak-san-kui. Dan dalam pertempuran itu, rumah keluarga Ciu terbakar habis dan Paman Ciu Khai Sun, kedua Bibi Kui Lan dan Kui Lin, juga Ciu Bun Hong... mereka berempat itu... ah, mereka semua tewas...!” “Ohhhhh...!” Bi Cu menjerit dan terbelalak, mukanya pucat sekali. “Hemm...!” Cia Sin Liong memejamkan kedua matanya seolah-olah hendak menolak penglihatan yang nampak oleh cerita puteranya itu. Sejenak keadaan hening sekali dan dua orang muda itupun menundukkan muka. “Tapi mengapa? Mengapa?” Akhirnya Sin Liong berkata. “Aku yang bersalah, ayah! Karena kesalahankulah maka hal itu terjadi! Karena aku putera pangeran pemberontak Ceng Han Houw maka hal itu terjadi! Mereka itu berteriak-teriak hendak menangkap putera pangeran pemberontak, akulah yang berdosa, keluarga Ciu tewas semua karena aku seorang! Aku anak keturunan pangeran terkutuk...!” “Thian Sin!” Cia Sin Liong membentak dengan keren. Akan tetapi Thian Sin yang seperti merasa dikejar-kejar dosa itu seolah-olah tidak mendengar bentakan ayah angkatnya. “Aku telah meneriakkan bahwa aku di situ, agar mereka jangan mengganggu keluarga Ciu, aku telah mengamuk, aku telah membunuh puluhan orang perajurit, akan tetapi tidak berdaya menyelamatkan mereka. Ayah, ibu, aku telah membasmi mereka sebanyak mungkin, lalu aku memaksa mereka mengaku dan ternyata yang menghasut adalah Phoa-taijin! Pembesar laknat itu ternyata telah mengatur sendiri perampokan barang-barangnya yang dikawal Paman Kui Beng Sing untuk mengumpulkan uang pengganti, dia... dia bersekongkol dengan para datuk, dan mereka itu berhubungan dengan orang-orang di utara, bangsa Mangcu yang katanya hendak memberontak. Aku telah menyiksa pembesar itu, memaksanya mengaku, kemudian aku telah menghukumnya, membuntungi kaki tangannya, telinganya, hidungnya...” “Sin-te...!” Han Tiong berseru. “Biarlah, Tiong-ko, akulah yang berdosa, akulah yang menyebabkan keluarga Ciu terbasmi. Namun kematian mereka telah diantarkan oleh kematian puluhan orang musuh, dan akan masih banyak lagi, lebih banyak lagi penjahat-penjahat yang akan kubunuh untuk membalaskan kematian mereka! See-thian-ong, Lam-sin, Pak-san-kui... dan semua penjahat di dunia ini akan kubasmi untuk membalaskan sakit hatiku ini!” “Thian Sin! Diam kau!” Tiba-tiba Sin Liong membentak, bentakan yang disertai pengerahan tenaga khi-kang sehingga ruangan itu tergetar dan Thian Sin sendiri yang langsung diserang itu melonjak dan terkejut sekali. Dia memandang wajah ayah angkatnya, melihat sepasang mata yang seperti naga itu, dan diapun sadarlah. Dia menyentuh lantai dengan dahinya berulang kali sambil merintih minta maaf. Mereda kemarahan Sin Liong melihat Thian Sin minta-minta maaf seperti itu dan terbayanglah wajah Pangeran Ceng Han Houw. Dia menarik napas panjang dan merasa kasihan sekali kepada pemuda ini, akan tetapi juga khawatir. “Sudahlah, engkau patut selalu ingat bahwa ketenangan batin seorang pendekar tidak akan tergoyahkan oleh peristiwa apapun juga. Kalau engkau menuruti perasaan dan nafsu dendam menguasai batinmu, maka engkaupun akan menjadi sama jahatnya dengan mereka. Han Tiong, teruskan ceritamu.” Wajah pemuda ini agak pucat oleh sikap Thian Sin yang penuh emosi tadi. Dia tadi sudah berusaha untuk menyembunyikan segala perbuatan Thian Sin di Lok-yang, akan tetapi dalam kedukaan dan kemarahannya, Thian Sin malah mengakui sendiri sehingga diapun tidak akan banyak bicara lagi. “Ayah, melihat Sin-te mengamuk di rumah pembesar di Su-couw itu, aku segera memaksanya pergi. Keluarga Ciu tewas semua, kecuali Adik Ciu Lian Hong yang lenyap entah ke mana. Mungkin sekali dia berhasil melarikan diri, karena kalau tertawan, tentu kami telah mendengarnya. Sin-te hendak nekat mencarinya, akan tetapi karena peristiwa itu hebat sekali, membawa pasukan pemerintah yang banyak tewas di tangan Sin-te, maka aku memaksanya untuk pulang dan melaporkannya kepada ayah. Dan ini... ini adalah surat yang sebelum peristiwa itu terjadi, pada pagi harinya, diberikan kepada Paman Ciu Khai Sun untuk disampaikan kepada ayah.” Han Tiong menyerahkan surat itu kepada ayahnya. Pada wajah yang gagah dari pendekar sakti yang telah mulai tua ini, nampak keharuan ketika dia membaca surat tulisan adik iparnya yang telah tewas! Tulisan seorang yang telah mati, berarti pesannya yang terakhir. Pesan untuk menjodohkan Lian Hong dengan Han Tiong! Jadi Han Tiong yang dipilih oleh keluarga itu, keluarga yang terbasmi habis, kecuali Lian Hong seorang. “Han Tiong... kau harus... harus mencari Lian Hong, calon isterimu itu sampai dapat. Sekarang juga!” akhirnya dia berkata. “Ah, dia baru saja datang!” bantah isterinya yang tidak rela melepaskan puteranya untuk pergi lagi pada hari dia kembali dari perantauannya selama hampir setahun itu. Suaminya menyerahkan surat itu kepada isterinya. Bhe Bi Cu membacanya dan diapun merasa terharu sekali. “Bagaimanapun juga, jangan sekarang kau pergi, Tiong-ji, kau baru saja tiba dan belum beristirahat, juga belum menyediakan perlengkapan. Kini kau melakukan perjalanan yang tak tentu tujuannya, mencari tunanganmu yang belum kauketahui jejak kepergiannya.” “Kau boleh bersiap-siap, Han Tiong. Demi ibumu, biarlah kau berada di rumah selama dua hari dan besok lusa engkau harus berangkat mencarinya sampai dapat. Ini merupakan tugas suci bagimu.” “Baik, ayah.” Kemudian pendekar itu memandang Thian Sin lalu berkata, “Dan engkau perlu untuk berlatih lagi, Thian Sin. Ilmu silatmu sudah cukup, apalagi engkau telah menerima petunjuk-petunjuk dari kakek dan nenekmu. Akan tetapi, menyaksikan sepak terjangmu di Lok-yang dan Su-couw, dan sikapmu tadi, engkau sungguh masih harus berlatih diri dengan keras untuk memperkuat batinmu. Ingat, Thian Sin, kelemahan batin merupakan suatu yang amat gawat bagi seorang pendekar, karena hal itu kelak bisa mencelakakan dirimu sendiri. Nah, mulai sekarang engkau harus lebih banyak berlatih samadhi dan menguasai nafsu itu, bukannya diperbudak atau sewaktu-waktu engkau dapat dikuasainya sehingga melakukan perbuatan secara membuta, hanya menurutkan dorongan nafsu. Mengerti?” “Tapi... tapi, ayah... saya ingin sekali membantu Tiong-ko mencari Hong-moi...” “Tidak! Dengan kelemahan batinmu seperti sekarang ini, engkau bukannya membantu, bahkan mungkin saja menimbulkan kekacauan yang lain dan malah bisa menggagalkan tugas suci Han Tiong yang cukup berat. Engkau tinggal di rumah dan berlatih samadhi!” Thian Sin mengangguk dan menundukkan mukanya, tidak membantah lagi. Setelah mendengarkan penuturan Han Tiong lebih lanjut tentang segala yang mereka tanyakan mengenai perjalanan mereka berdua selama hampir setahun ini, kedua orang muda ini lalu mengundurkan diri untuk beristirahat.