Mendengar pertanyaan ini, Gak Song berkatag dengan suara sungguh-sungguh, “Kami semua sungguh tidak tahu pasti di mana adanya orang itu, akan tetapi kami pernah mendengar kabar angin bahwa dia kini bersekutu dengan Pek-lian-kauw tak jauh dari kota raja. Tentu saja dia sudah mendengar tentang taihiap, maka dia ingin mendekati sekutunya ketika melakukan pengeroyokan terhadap Pangeran Ceng Han Houw.” “Apa maksudmu? Sekutunya? Siapakah mereka?” “Ada dua orang yang dahulu diperbantukan oleh Kerajaan Beng untuk mengeroyok ayah bunda taihiap. Mereka itu adalah dua orang tokoh Hwa-i Kai-pang, bernama Hek-bin Mo-kai dan Lo-thian Sin-kai. Hanya itulah yang kami ketahui, taihiap.” Thian Sin mengangguk-angguk. “Terima kasih, Paman Gak. Nah, aku pergi sekarang!” Sekali dia berkelebat, pemuda itu sudah tidak nampak lagi di depan mereka. Semua orang menjadi terkejut dan juga kagum bukan main. Sementara itu, dua tubuh yang sudah tidak keruan rupanya itu masih berkelojotan dan dari tenggorokan mereka terdengar suara rintihan-rintihan yang tidak jelas. Melihat ini, Gak Song menjadi tidak tega. Biarpun Su Lo To pernah melakukan banyak kejahatan dan menindas dia dan semua temannya, namun melihat tubuh itu berkelejotan dan tersiksa, dia tidak tega. Cepat dia menyambar dua batang tombak dan dengan gerakan kuat dia menancapkan tombak-tombak itu ke dada dua orang itu, menembus jantung dan punggung. Tewaslah kedua orang itu seketika juga dan Gak Song lalu memimpin orang-orangnya untuk mengubur dua mayat itu di dalam lubang, bersama mayat teman mereka yang menjadi korban orang hutan, juga bangkai orang hutan itu, lalu menutup lubang jebakan itu dengan tanah. Setelah itu, beramai-ramai mereka kembali ke perkampungan mereka dengan hati terasa lapang, karena mereka melihat masa depan yang cerah setelah Su Lo To tidak ada. *** Perkumpulan pengemis Hwa-i Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Baju Kembang) adalah sebuah perkumpulan pengemis yang besar di kota raja dan daerahnya. Dahulu, ketika perkumpulan itu didirikan oleh Hwa-i Sin-kai, perkumpulan ini merupakan perkumpulan pengemis yang mengutamakan kegagahan, bahkan tidak segan-segan untuk menentang para pejabat pemerintah kalau para pejabat itu menindas rakyat. Bahkan perkumpulan Hwa-i Kai-pang terkenal sebagai perkumpulan yang membela rakyat jelata. Hwa-i Sin-kai sendiri tewas dikeroyok pasukan pemerintah ketika dia dituduh menjadi pemberontak (baca Pendekar Lembah Naga). Ketika itu, Hwa-i Kai-pang bahkan condong menentang pemerintah yang berada di bawah pimpinan Kaisar Ceng Tung. Akan tetapi, setelah Hwa-i Sin-kai tewas dan Kaisar Ceng Tung sendiri juga sudah tidak ada lagi, pemerintahan dipegang oleh Kaisar Ceng Hwa, terjadilah perubahan besar. Hwa-i Kai-pang didekati dan mendekati pemerintah, apalagi setelah perkumpulan ini dipegang oleh Hek-bin Mo-kai dan Lo-thian Sin-kai yang haus akan kedudukan dan kemuliaan, perkumpulan itu terkenal sebagai perkumpulan yang pro pemerintah. Dan biasanya, kemuliaan dan kekayaan suka menyeret manusia ke dalam lembah nafsu yang tak mengenal puas. Kesenangan selalu mendatangkan, di samping kepuasan sesaat saja, juga keserakahan dan kehausan akan kesenangan yang lebih besar dan lebih besar lagi. Makin kita memanjakan nafsu mengejar kesenangan, makin dalam lagi kita terperosok ke dalam lembah kehausan ini. Makin dituruti, nafsu menjadi semakin kuat menguasai kita sehingga kita sudah bukan menjadi manusia lagi, melainkan menjadi hamba nafsu yang hidup hanya sekedar menjadi permainan nafsu belaka. Sudah jelaslah bahwa menuruti nafsu saja membuat kita menjadi manusia yang tiada guna, menjadi hamba nafsu yang akhirnya akan menyeret kita ke lembah kehancuran, baik jasmani maupun rohani. Bukan hanya terdapat dalam pelajaran kitab-kitab suci ataupun filsafat-filsafat belaka yang kesemuanya itu hanya teori belaka, akan tetapi dapat kita saksikan dan hayati sendiri dalam kehidupan kita sehari-hari. Akan tetapi, bagalmana pengekangan nafsu-nafsu seperti yang dianjurkan oleh hampir semua pelajaran kebatinan? Siapakah yang mengekang atau mengendalikan nafsu? Yang mengendalikan adalah aku yang melihat bahwa menuruti nafsu adalah buruk, maka aku ingin agar dapat menguasai dan mengendalikan nafsu, agar menjadi baik. Aku melihat bahwa menuruti nafsu membawa kepada kesengsaraan, maka aku ingin mengendalikan nafsu, menguasainya agar tidak terjerumus, agar memperoleh keamanan dan keselamatan yang berarti aku akan menikmati keadaan yang menyenangkan. Kalau kita mau mendalami hal ini, akan nampaklah bahwa nafsu adalah kita sendiri, pikirkan kita sendiri, nafsu adalah si aku yang ingin senang, sedangkan yang ingin mengendalikan nafau adalah aku pula, maka tidak ada bedanya antara nafsu dan yang ingin mengendalikan nafsu! Semua itu adalah permainan si aku yang ingin senang selalu. Terjadilah konflik antara keadaaan aku yang ingin memuaskan nafsu dan aku yang ingin mengendalikan dan menguasai nafsu. Dan hal ini malah akan menjadi pupuk bagi nafsu itu sendiri. Mengendalikan saja tidak akan mematikan nafsu, hanya akan menyeilmuti saja untuk sementara. Dan di dalam konflik pengekangan ini, kita membuang energi yang amat besar dan amat banyak. Akibatnya, nafsu tidak akan lenyap dan kita kehilangan energi dan menjadi tumpul, lemah. Yang terpenting adalah pengamatan terhadap diri sendiri, terhadap nafsu kalau timbul, terdapat keinginan-keinginan untuk menguasainya, keinginan untuk begini dan begitu yang kesemuanya tentu menuju ke arah satu, yaitu ingin bebas, ingin aman, ingin selamat, yang sebenarnya hanyalah topeng-topeng halus dari satu keinginan, yaitu keinginan untuk senang. Pengamatan yang dilakukan oleh si pengamat, masih sama saja, berada dalam satu lingkaran setan, karena si pengamat adalah si aku pula, si nafsu untuk memperoleh keadaan yang lebih menyenangkan juga. Jadi, yang ada hanyalah pengamatan saja, tanpa aku si pengamat. Dalam pengamatan ini terdapat kewaspadaan dan kesadaran yang menimbulkan pengertian yang mendalam. Dan hanya pengertian mendalam inilah yang akan menimbulkan tindakan yang mendatangkan perubahan. Setelah kini menjadi perkumpulan yang dilindungi oleh pemerintah, apalagi di kota raja di mana, perkumpulan itu dapat berhubungan langsung dengan para pembesar tingkat tertinggi, Hwa-i Kai-pang menjadi amat berpengaruh dan kekuasaannya terasa oleh penduduk. Kai-pang ini amat disegani oleh semua golongan. Setiap orang pengemis baju kembang selalu diterima sebagai seorang yang dihormati dan disegani, padahal sesungguhnya adalah merupakan orang yang ditakuti dan dibenci, dan mudah bagi setiap orang pengemis baju kembang untuk memperoleh sumbangan dari toko-toko dan pedagang-pedagang, maupun orang-orang. Tidak ada sumbangan yang diberikan dengan hati rela oleh siapapun juga. Selama suatu pemberian itu terjadi karena diminta, dan selama pemberian itu disebut pemberian atau sumhangan atau dermaan dan sebagainya, maka di dalam pemberian itu sudah pasti terkandung suatu sebab yang melahirkan pemberian itu. Mungkin sebab itu merupakan pamrih memperoleh pujian, atau sekedar memuaskan hati sendiri, atau karena takut, maka sudah pasti bahwa sumbangan yang biasanya dinamakan sumbangan suka rela itu dilakukan orang dengan hati yang sama sekali tidak rela! Hanya pemberian yang dilakukan dengan dasar cinta kasih sajalah yang bahkan pemberiannya tidak tidak menganggapnya pemberian atau sumbangan lagi, melainkan merupakan suatu kewajaran dan yang tidak diingat-ingat lagi. Orang-orang Hwa-i Kai-pang mudah dikenal dari pakaian mereka. Pakaian yang tambal-tambalan seperti lajimnya pakaian pmgemis, akan tetapi sama sekali tidak butut atau kotor, melainkan pakaian yang ditambal-tambal, sengaja ditambal-tambal dan terbuat daripada kain yang bersih dan baru. Dan mereka ini yang menjadi semacam “pelindung” dari toko-toko dan rumah-rumah penduduk. Memang benar bahwa sejak mereka berkuasa, di kota raja boleh dikatakan tidak ada lagi pencoleng yang berani beroperasi karena mereka akan berhadapan dengan Hwa-i Kai-pang yang amat kuat. Para pencuri, pencopet dan pencoleng pergi untuk beroperasi di kota-kota atau dusun-dusun lain yang jauh dari kota raja. Akan tetapi, tidak adanya kaum pencoleng itu bukan berarti bahwa kehidupan rakyat di kota raja menjadi aman. Sama sekali tidak! Karena, para “pelindung” itu sendirilah yang kini menjadi pengganti para pencoleng itu. Hanya bedanya, kalau para pencoleng itu melakukan pekerjaan mereka dengan cara mencopet, mencuri atau menggertak dengan kasar, sebliknya para “pelindung” itu melakukannya dengan halus, dengan dalih melindungi, sumbangan dan sebagainya. Namun, apa bedanya bagi rakyat yang menderita rugi karenanya? Sama saja! Pelindung yang seharusnya melindungi rakyat dari ganggual luar itu kini malah menjadi pengganggu sendiri, seperti pagar makan tanaman. Inilah ciri dan penyalahgunaan kekuasaan dan hal ini terjadi semenjak jaman kuno sampai sekarang, di seluruh dunia. Kalau toh ada perbedaannya, maka perbedaan itu hanya terletak pada caranya saja. mungkin kasar, mungkin pula halus. Namun pada hakekatnya kekuasaan disalahgunakan untuk mencari kemuliaan diri sendiri, kemakmuran diri sendiri dan kesenangan diri sendiri. Karena kekuasaan merupakan senjata mutlak untuk memperoleh kesenangan, maka tidak mengherankan kalau seluruh manusia di dunia ini lalu memperebutkan kekuasaan, dan perebutan kekuasaan ini melahirkan permusuhan, dari permusuhan pribadi, sampai permusuhan golongan, antara saudara, antara suku sampai kepada antara bangsa dan negara! Setelah kita melihat dengan jelas bahwa kekuasaan itu merusak kehidupan, maka satu-satunya jalan bagi kita hanyalah melepaskan tangan dan tidak ikut memperebutkan kekuasaan lagi! Para penjaga keamanan kota kini boleh tinggal, enak-enak dan bersenang-senang. Bahkan para perajurit penjaga tidak perlu lagi berkeliaran dari toko-toko untuk minta sumbangan karena mereka itu sudah dijamin oleh orang-orang Hwa-i Kai-pang! Betapapun juga, kini kota raja nampak aman dan tenteram dan Hwa-i Kai-pang seolah-olah menjadi semacam pasukan istimewa yang menjamin keamanan di dalam kota raja. Tentu saja hal ini hanya kelihatannya saja, karena banyak penghuni yang mengeluh dan merasa diperas dan ditekan oleh orang-orang berbaju kembang itu. Pada suatu hari, di tanah lapang dekat dengan pasar sebelah selatan kota raja, banyak orang berkerumun dan kadang-kadang mereka itu bertepuk tangan dan bersorak memuji. Seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun bersama seorang gadis berusia tujuh belas tahun sedang membuka pertunjukkan silat untuk menarik perhatian orang-orang. Mereka adalah penjual-penjual koyo, yaitu obat luka, penyambung tulang dan obat memulihkan otot-otot yang keselio, juga menyembuhkan sakit pegal linu dan sebagainya. Permainan silat tukang obat itu, terutama sekali permainan silat puterinya yang manis menarik perhatian dan memancing tepuk tangan memuji tadi. Pada akhir pertunjukkan, Si Ayah membuka baju atasnya, kemudian dengan bertelanjang dada dan punggung, dia menghadap ke empat penjuru. “Untuk membuktikan keampuhan koyo kami, biarlah saya akan memperlihatkan betapa koyo itu dapat menyembuhkan luka bekas pukulan dengan cepat.” Puterinya mengambil sebatang toya kuningan, dan dengan toya ini, mulailah dara itu mengayun toya dan memukuli tubuh ayahnya, pada punggung dan dadanya. Nampak tanda-tanda matang biru pada dada dan punggung itu dan para penonton merasa ngeri juga. Biarpun pukulan-pukulan keras itu agaknya tidak sampai melukai sebelah dalam tubuh, namun jelas bahwa kulit punggung dan perut serta dadanya menjadi matang biru. Atas isyarat ayahnya, dara itu menghentikan pukulan-pukulannya dan tukang obat itu lalu berjalan berkeliling mendekati para penonton melihat keadaan kulit punggung dan dadanya itu dari dekat. Setelah itu, dibantu oleh puterinya dia lalu menempelkan koyo-koyo pada luka-luka itu. Sambil membiarkan koyo-koyo itu bekerja, kini si dara kembali memperlihatkan kemahirannya bermain toya. Toya yang dimainkan dengan cepat itu kelihatannya berubah menjadi banyak sekali, menyambar-nyambar di sekeliling tubuh si dara manis. Para penonton memuji dan bertepuk tangan. Setelah dara itu menghentikan permainan silatnya, ayahnya lalu membuka koyo-koyo itu dan semua penonton kembali memuji karena memang benar sekali, warna biru-biru pada kulit dada dan punggung itu lenyap sudah. “Cu-wi telah menyaksikan kemanjuran koyo ini! Cu-wi perlu menyediakan koyo seperti ini di rumah, untuk menjaga kalau-kalau cu-wi sendiri, atau anak-anak cu-wi, terjatuh dan terluka atau membengkak. Harganya murah saja karena koyo ini adalah buatan kami sendiri, maka cu-wi tidak dapat memperolehnya di toko-toko dan kami tidak setiap hari lewat di kota raja ini...” Dara itu membawa baki terisi bungkusan koyo dan berjalan berkeliling. Banyak penonton yang membeli koyo, bukan hanya karena mereka sudah menyaksikan sendiri kemanjuran obat itu, melainkan juga karena kagum akan kemahiran ayah dan anak itu bersilat, dan karena dara yang manis itu memang menarik hati. Sebentar saja seluruh persediaan koyo itu telah habis dibeli orang! Dara itu menjadi girang dan berkali-kali ia menjura dan mengucapkan terima kasih sambil tersenyum manis, juga penjual koyo itu mengucapkan terima kasih kepada para pembeli. “Cu-wi sekalian telah begitu baik hati untuk membantu kami membeli koyo kami sampai habis. Untuk kebaikan cu-wi ini, biarlah kami mainkan beberapa jurus ilmu silat lagi,” kata si tukang koyo. Akan tetapi tiba-tiba para penonton itu mundur dan membuka jalan bagi dua orang pengemis baju kembang. Semua orang merasa khawatir karena biasanya kalau ada pengemis Hwa-i Kai-pang mencampuri sesuatu urusan, tentu akan timbul keributan. Mereka itu adalah dua orang pengemis yang usianya masih muda, baru tiga puluh tahun lebih dan melihat sikap mereka, jelas nampak bahwa mereka itu sudah biasa berbuat ugal-ugalan dan biasa pula ditakuti orang sehingga mereka memasuki lingkaran itu dengan tersenyum mengejek. Seorang di antara mereka yang pipi sebelah kirinya ada bekas luka memanjang dari hidung ke telinga kiri, melangkah maju memasuki lingkaran itu dan menghampiri si penjual koyo yang memandang dengan heran karena dia sebagai orang luar tidak mengenal para pengemis Hwa-i Kai-pang, lalu berkata dengan suara galak, “Hei, tukang penjual koyo! Apakah engkau sudah mendapat ijin dari Hwa-i Kai-pang untuk berdagang di sini dan memamerkan sedikit kepandaian ilmu silatmu?” Menerima pertanyaan yang kasar dan nadanya merendahkan ini, tukan obat yang sudah berpengalaman itu maklum bahwa pengemis-pengemis ini memang mau mencari keributan. Dia adalah seorang pendatang, seorang tamu, maka dia bersikap sabar. “Maaf, karena tidak mengerti peraturan, maka kami membuka pertunjukan untuk menjual koyo guna menyambung biaya perjalanan kami.” “Huh, enak saja bicara!” kata pengemis ke dua yang mukanya hitam dan kasar. “Siapapun juga, sebelum mendapatkan ijin dari pemerintah atau dari Hwa-i Kai-pang, tidak boleh sembarangan membuka pertunjukan di sini!” “Kami telah terlanjur karena tidak tahu akan peraturan itu, harap maafkan. Lain kali kami akan minta ijin lebih dulu,” kata tukang penjual obat itu dengan sikap merendah. “Mana ada aturan begitu? Sudah mengeduk uang baru minta maaf. Hayo serahkan setengah dari pendapatan kalian kepada kami, baru bisa bicara tentang maaf!” kata Si Muka Codet. Tukan obat itu mengerutican alisnya, dan dara itu yang merasa penasaran sudah berkata dengan suara keras, “Mana bisa? Keuntungan kamipun tidak ada setengahnya, bagaimana dapat diminta setegahnya?” “Aha, nona, siapa tidak tahu bahwa koyo kalian ini hanya terbuat dari tahi kerbau dan tanah lumpur? Kalian membuat koyo tanpa modal dan biarpun membayar kepada kami setengahnya sekalipun, kalian masih kebagian keuntungan yang cukup banyak!” kata Si Muka Hitam sambil tersenyum cengar-cengir secara kurang ajar sekali. Mendengar ini, kemarahan tukang obat itu tak dapat ditahannya lagi, “Harap ji-wi tidak main-main. Kami ayah dan anak melakukan perjalanan merantau dan mengandalkan biaya perjalanan dengan menjual obat. Kami bukanlah pemeras-pemeras yang mengambil keuntungan terlalu banyak. Karena kami tidak mengenal peraturan di sini, maka kami telah melanggar dan harap ji-wi suka memaafkan. Biarlah kami memberi sekedar sumbangan kepada ji-wi.” Berkata demikian, tukang obat itu yang belum tahu dengan pengemis macam apa ia berhadapan, telah menyerahkan beberapa potong uang kecil kepada mereka. “Plakk!” Si Codet menampar tangan itu sehingga beberapa potong uang kecil itu terlempar. “Hemm, siapa main-main? Engkaulah yang main-main dan kurang ajar menghina kami, memberi kami beberapa potong uang kecil. Apa kaukira kami ini orang-orang kelaparan? Dan memang aku mau main-main, yaitu main-main dengan puterimu ini. Biarlah jumlah yang setengahnya dari uang pendapatan itu kauganti saja dengan puterimu ini yang harus melayani kami berdua selama satu malam. Akur, bukan?” Inilah penghinaan yang sudah jauh melewati batas! Tukang obat itu adalah seorang kang-ouw yang banyak merantau di dunia kang-ouw, maka mendengar ucapan ini, tahulah dia bahwa yang bersembunyi di balik pakaian pengemis ini adalah orang-orang jahat yang bermoral bejat. Maka diapun melompat maju dan bertolak pinggang. “Sobat, aku orang she Liang bukanlah seorang pengecut yang tidak berani membela kehormatan dengan nyawa. Kalian sengaja hendak menghina kami, nah, majulah, jangan dikira aku takut berhadapan dengan penjahat-penjahat bertopeng pengemis macam kalian ini!” Dua orang pengemis itu melotot. “Eh, monyet! Berani engkau menghina Hwa-i Kai-pang?” Sudah biasalah bagi orang-orang yang mengandalkan nama perkumpulan, sedikit-sedikit menyinggung kepada perkumpulannya di mana dia bersandar. “Apakah engkau sudah bosan hidup?” bentak Si Codet dan diapun sudah menyerang dengan pukulan keras ke arah muka tukang obat itu. Akan tetapi, tukang obat itu mengelak dan balas memukul ke arah lambung. Si Codet menangkis. “Dukk...!” Dua lengan bertemu dan akibatnya mereka sama-sama terhuyung dan merasa lengan mereka nyeri. Ini menandakan bahwa tenaga kedua orang ini berimbang. Si Codet yang merasa sebagai jagoan dan selama ini di kota raja belum pernah ada orang berani menentangnya, merasa penasaran dan menyerang lagi dengan cepatnya. Seperti para anggauta Hwa-i Kai-pang lainnya, dia juga mengandalkan ilmu silatnya. Ta-houw Ciang-hoat (Ilmu Silat Memukul Harimau). Gerakannya memang dapat cepat sekali dan setiap pukulannya mengandung tenaga yang cukup kuat. Tukang obat itu harus mengeluarkan semua kepandaian untuk mengimbangi serangan-serangan lawannya yang ternyata tangguh itu. Mereka saling serang dan keadaan mereka seimbang, walaupun tukang obat itu merasa sibuk juga menghadapi ilmu silat yang lihai itu. Melihat betapa temannya belum juga mampu mengalahkan Si Tukang Obat, Si Muka Hitam menyerbu ke depan. Akan tetapi, dara itu berseru marah. “Pengecut jangan main keroyok!” Dan iapun menerjang ke depan menyambut Si Muka Hitam. Karena maklum betapa lihainya para pengemis ini, tukang obat itu berseru kepada puterinya agar mundur. “Cin-ji, mundurlah, biarkan aku menghadapi mereka!” Akan tetapi, tentu saja dara itu tidak mau mundur dan dengan cepat ia sudah menyerang Si Muka Hitam yang melayaninya sambil tertawa-tawa. Dan memang benarlah, kepandaian dara itu masih terlampau rendah untuk menandingi Si Muka Hitam, apalagi ia kalah tenaga. Setiap tangkisan Si Muka Hitam itu, lengannya terasa nyeri sekali dan ia terhuyung. Akhirnya, sebuah tendangan dari Si Muka Hitam mengenai lutut dara itu yang membuatnya terpelanting roboh. Kakinya terkilir dan dara itu tidak dapat berdiri lagi. “Ha-ha-ha, malam nanti kupijiti kakimu yang terkilir, manis!” kata Si Muka Hitam yang kini cepat membantu temannya menghadapi Si Tukang Obat yang sudah terdesak. Melawan Si Codet seorang saja, dia sudah terdesak, apalagi setelah Si Muka Hitam maju. Mulailah Si Tukang Obat menerima pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan yang membuatnya babak bundas dan jatuh bangun. Namun, dia masih terus melawan sungguhpun setiap kali dia bangkit, hanya untuk menjadikan dirinya menjadi bulan-bulanan tendangan dan pukulan belaka. “Ha-ha-ha, nah cobalah sekarang obati luka-lukamu dengan koyo itu! Ha-ha-ha!” Si Muka Hitam tertawa-tawa. “Hayo kau ikut bersama kami!” Si Codet maju dan menangkap lengan dara yang masih duduk di atas tanah karena kakinya terkilir dan ia tidak mampu bangkit berdiri. Ketika lengannya ditangkap, dara itu meronta-ronta sambil menangis. Akan tetapi, semua orang yang tadinya menjadi penonton, kini mundur dan tidak ada seorangpun yang berani melerai, apalagi menolong dara dan ayahnya itu. “Dunia sudah kacau, dunia sudah gila binatang buas berkedok manusia merajalela di kota raja seenaknya tanpa ada yang berani merintanginya!” Semua orang terheran-heran melihat seorang pemuda tampan berpakaian sasterawan, membawa kipas dan mengebut-ngebutkan kipas mengusir panas, membaca sajak dengan suara merdu, mendekati tempat dua orang pengemis Hwa-i Kai-pang itu bereaksi. Dua orang pengemis inipun melihat Si Pemuda dan mereka menjadi marah sekali. “Heh, engkau inilah yang agaknya sudah gila. Hayo pergi, atau kupatahkan tulang-tulangmu bersama kipasmu!” bentak Si Muka Hitam yang sudah merasa lelah memukuli Si Tukang Obat dan kini agaknya hendak mencari sasaran lain untuk memamerkan kekuatannya. Akan tetapi Thian Sin, pemuda itu, tidak mempedulikan Si Muka Hitam, melainkan menghampiri dara yang sudah dilepaskan oleh Si Codet yang kini juga memandang marah kepada Thian Sin yang dianggapnya mencampuri urusannya. Thian Sin tidak mempedulikan dua orang pengemis itu, melainkan menggunakan kipasnya yang ditutup untuk menotok ke arah kaki kiri dara itu. “Tuk-tukk!” Dua kali dia menotok dan dara itu merasa betapa kakinya sembuh kembali! Maka cepat iapun bangkit berdiri dan memandang heran kepada pemuda itu. Thian Sin menjura kepada dara itu. “Nona, dua ekor anjing belang ini telah memukuli ayahmu dan bersikap kurang ajar kepadamu, mengapa engkau diam saja, nona. Engkau adalah seorang gadis yang pandai ilmu silat, mengapa dihina orang diam saja? Hayo kauhajar dua ekor anjing belang yang kurang ajar ini!” Berkata demikian, tanpa dilihat orang lain, Thian Sin mengedip kepada dara itu. Entah apa yang menyebabkan dara itu seketika menjadi percaya sekali kepada Thian Sin. Mungkin melihat sikap aneh dari pemuda ini, dan mungkin pula melihat betapa dongan totokan kipasnya saja pemuda itu sudah mampu membuat kakinya yang terkilir menjadi sembuh kembali. Akan tetapi dara itu sudah meloncat ke depan menyerang kepada pengemis muka codet. “Cin-ji... hati-hati...!” Ayahnya yang babak-belur itu memperingatkan karena dia tahu bahwa puterinya itu sama sekali bukan tandingan pengemis-pengemis yang lihai itu. Akan tetapi betapa kaget hatinya melihat betapa pukulan tangan dara itu dengan tepat mengenai leher pengemis muka codet. “Plakkk!” Pukulan itu cukup keras sehingga kepala Si Codet itu sampai miring dan tubuhnya terhuyung ke belakang. “Bagus nona! Itu aniing belang muka hitam minta bagian!” seru Thian Sin dengan suara gembira. Semua orang yang melihat peristiwa ini menjadi terheran-heran, juga tukang obat sendiri. Kini, mendapatkan semangat baru karena hasil pukulannya tadi dan mendengar dorongan pemuda sasterawan, dara itu menyerang dengan tendagan kaki ke arah perut Si Muka Hitam. “Desss...!” Si Muka Hitam terjengkang dengan mata terbelalak dan muka merah, memegangi bagian perutnya yang tertendang karena terasa nyeri. Si Codet dan Si Muka Hitam sudah bangkit lagi, mata mereka terbelalak karena tanpa ada yang tahu, mereka tadi tentu saja tidak membiarkan dirinya ditampar dan ditendang oleh nona itu, akan tetapi sungguh luar biasa, setiap kali mereka hendak menggerakkan tangan atau kaki untuk menangkis atau mengelak, tubuh mereka mogok dan tidak dapat digerakkan sehingga tentu saja pukulan dan tendangan gadis itu selalu tepat mengenai sasaran dan tubuh mereka terpelanting atau terhuyung, mereka mampu bergerak lagi! Dara itu menjadi gembira bukan main melihat betapa setiap pukulan dan tendangannya mengenai sasaran. Maka dia terus menyerang kedua orang pengemis itu bergantian, dengan tamparan-tamparan dan tendangan-tendangan sekuatnya. Akibatnya, tubuh kedua orang pengemis itu iatuh bangun seperti ketika ayahnya dihajar tadi. Sementara itu, tentu saja semua itu disebabkan oleh Thian Sin yang mempergunakan kepandaiannya sehingga kedua orang pengemis itu tidak berdaya. Dan mulutnya terus memberi anjuran kepada dara itu, “Terus, nona. Hantam terus! Atau lebih baik gunakan kaki saja. Mereka itu tidak pantas bersentuhan dengan tanganmu, lebih baik gunakan sepatu menghajar muka mereka!” Dan dara itu pun menurut. Agaknya Thian Sin melihat bahwa dara itu memiliki ilmu tendangan yang baik sekali, maka dia memberi anjuran demikian. Dan kini, orang-orang melihat betapa kedua kaki dara itu bergantian menyambar-nyambar dan setiap kali menyambar, tentu mengenai muka kedua orang pengemis sehingga hidung dan mulut mereka berlumuran darah! Dua orans pengemis itu kini mencabut pedang masing-masing. Akin tetapi, tetap saja setiap kali tendangan tiba, mereka tidak mampu bergerak dan akhirnya, setelah muka mereka bengkak-bengkak dan berdarah, keduanya lari meninggalkan tempat itu. “Heiii, ini pedang kalian tertinggal!” Thian Sin berseru dan mengambil dua batang pedang mereka yang memang tadi terlepas dari pegangan dan mereka tinggalkan. Sekali mengayun tangannya, Thian Sin melepaskan dua batang pedang itu yang menyambar seperti dua batang anak panah ke arah dua orang pengemis itu. Terdengar dua orang pengemis itu menjerit dan mendekap telinga kiri mereka yang telah buntung disambar pedang mereka sendiri dan kini mereka melarikan diri seperti dikejar setan saking merasa ngeri takutnya! Thian Sin cepat menghampiri tukang obat. “Paman, cepat kau ajak puterimu keluar dari kota ini. Cepat sebelum mereka ini datang. Biarkan aku menghadapi mereka!” Tukang obat itu tadi telah maklum bahwa pemuda inilah yang membantunya, dan diapun dapat menduga bahwa pemuda ini adalah seorang pendekar yang memiliki ilmu kepandaian hebat sekali. Maka diapun memberi hormat dan mengajak puterinya berlutut di depan Thian Sin. “Taihiap telah menolong kami, mohon tahu siapa nama taihiap yang mulia.” Thian Sin tersenyum dan membangkitkan mereka, “Bangunlah dan pertilah cepat. Namaku, tidak ada artinya, kelak kalian akan tahu sendiri. Sudahlah, paman. Pergilah cepat kalau paman ingin melihat puterimu selamat.” Tukang obat itu kembali menghaturkan terima kasih, kemudian membawa barang-barang mereka dan pergi bersama puterinya yang merasa berterima kasih dan kagum sekali kepada Thian Sin. Pemuda ini tidak pergi, malah duduk di atas tanah dengan tenang. Melihat ini, orang-orang yang merasa takut akan pembalasan para pengemis, sudah meninggalkan tempat itu, takut terbawa-bawa. Dan beberapa orang memberi nasihat kepadanya agar cepat pergi. Akan tetapi pemuda itu menggeleng kepala dan tertawa. “Aku memang menanti mereka,” katanya seenaknya lalu pemuda ini bernyanyi-nyanyi gembira. Orang-orang menjadi semakin khawatir, akan tetapi karena takut tersangkut, akhirnya mereka pergi dan hanya berani nonton dari jarak jauh saja. Tak lama kemudian, muncul lima orang pengemis yang usianya kurang lebih lima puluh tahun bersama Si Muka Hitam yang kepalanya sudah dibalut dan telinganya yang buntung tertutup kain pembalut. Si Muka Hitam tidak bicara hanya menuding ke arah Thian Sin. Lima orang pengemis itu meloncat dengan gerakan ringan sekali dan mereka telah berdiri mengepung Thian Sin. Sikap mereka itu hati-hati sekali dan dari gerakan mereka tahulah Thian Sin bahwa kepandaian mereka jauh lebih tinggi daripada tingkat dua orang pengemis yang dihajarnya melalui kaki nona penjual koyo tadi. Akan tetapi dia masih enak-enak saja, tersenyum-senyum memandang kepada mereka. “Inikah manusianya yang berani menghina anggauta Hwa-i Kai-pang?” bentak seorang di antara mereka. “Manusia bosan hidup!” teriak yang ke dua. “Bocah setan, hayo mengaku siapa namamu sebelum kami mengantarkanmu ke neraka jahanam!” tertak orang ke tiga. Thian Sin masih berdiri sambil tersenyum, menurunkan kedua tangannya yang tadi bertolak pinggang dan kini dia menggerak-gerakkan kedua tangannya sambil menengadah dan bersajak dengan suara merdu, kepalanya juga bergerak-gerak menurutkan irama kata demi kata yang keluar dari mulutnya. “Yang lemas mengalahkan yang kaku, yang halus mengalahkan yang kasar, yang lunak mengalahkan yang keras, yang lemah mengalahkan yang kuat? Siapa bilang? Hwa-i Kai-pang menyalahgunakan kekuatan yang macam ini harus dihadapi dengan kaku, kasar, keras, kuat dan berani!” Lima orang itu menjadi marah sekali, akan tetapi juga terheran-heran melihat ada seorang pemuda yang begini berani menantang Hwa-i Kai-pang di kota raja! Baru mengingat akan kekuasaan dan pengaruh Hwa-i Kai-pang sudah membuat partai-partai persilatan besar tidak berani bersikap sembarangan, apalagi hanya seorang manusia saja. Belum lagi diingat bahwa perkumpulan ini dilindungi oleh pemerintah sehingga menentang Hwa-i Kai-pang bisa berhadapan dengan pasukan keamanan pemerintah! “HAYO mengaku siapa namamu agar engkau tidak mampus sebagai manusia tanpa nama!” “Huh, manusia ini agaknya sudah gila dan tidak berani mengakui nama sendiri!” Thian Sin tersenyum, lalu menjawab dengan suara tetap merdu seperti orang bernyanyi. “Namaku memang tidak berharga namun kalian anjing-anjing hina terlampau rendah untuk mengenalya!” Inilah penghinaan yang sudah dianggap keterlaluan oleh lima orang pengemis itu. Mereka itu adalah lima orang anggauta Hwa-i Kai-pang yang tingkatnya sudah cukup tinggi, yaitu anggauta tingkat tiga yang sudah merupakan pengurus-pengurus perkumpulan itu. Bukan hanya itu saja, juga mereka ini telah menjadi satu pasukan yang disegani dalam Hwa-i Kai-pang, yaitu Ngo-lian-tin (Barisan Lima Teratai). Di dalam Hwa-i Kai-pang, selain terdapat ilmu silat tongkat yang merupakan inti dari ilmu tongkat para pimpinan perkumpulan itu, yaitu yang dinamakan Ta-houw Sin-pang (Ilmu Tongkat Sakti Memukul Harimau) yang juga dapat diubah menjadi Sin-ciang (Tangan Sakti), juga terdapat semacam ilmu tongkat yang bernama Ngo-lian Pang-hoat (Ilmu Tongkat Lima Teratai). Para pengurus Hwa-i Kai-pang semua menguasai Ilmu Tongkat Lima Teratai ini, akan tetapi hanya mulai dari tingkat tiga sajalah yang mampu mempergunakan ilmu tongkat itu untuk membentuk Ngo-lian-tin, yaitu semacam barisan atau kerja sama dari lima orang yang mempergunakan Ngo-lian Pang-hoat untuk mengeroyok lawan dengan kerja sama yang amat teratur, baik dan tangguh sekali. Mendengar penghinaan Thian Sin yang memaki mereka sebagai anjing-anjing hina yang terlampau rendah untuk mengenal namanya, lima orang itu tak dapat menahan kemarahan mereka lagi. Tongkat di tangan mereka bergerak disusul gerakan tubuh mereka dan dengan gerakan indah namun gagah sekali mereka itu telah mengepung Thian Sin dari lima jurusan, dengan tongkat yang digerakkan secara berantai dan saling “mengisi” sehingga merupakan kekuatan yang dahsyat. Namun, Thian Sin masih tersenyum saja. Hatinya gembira bukan main bahwa akhirnya dia dapat berhadapan dengan orang-orang Hwa-i Kai-pang. Sebetulnya, dia tidak mempunyai urusan dengan Hwa-i Kai-pang dan yang dicarinya adalah dua orang tokoh besarnya yang kini menjadi ketuanya. Akan tetapi mengingat bahwa mereka ini adalah anak buah dari dua orang tokoh Hwa-i Kai-pang yang menjadi musuhnya itu, maka hatinya gembira untuk melayani mereka. “Mari, mari, ingin kulihat bagaimana kalian membadut dengan tongkat-tongkat butut itu!” katanya dengan nada penuh ejekan. Tiba-tiba lima orang itu mengeluarkan seruan keras dan tongkat mereka sudah menyambar, menusuk dari lima penjuru. Gerakan mereka memang cepat dan kuat, dan yang diserang adalah bagian-bagian tubuh yang berbahaya dan cara menyerangnya juga bertubi-tubi, susul-menyusul sehingga merupakan kerjasama yang baik dan serangan itu amatlah berbahaya bagi lawan. Thian Sin maklum akan hal ini, akan tetapi karena dia hendak mempermainkan mereka, diapun mempergunakan kegesitannya, mengelak dan menangkis setiap tusukan tanpa berusaha merusak tongkat mereka, bahkan dia memperlihatkan diri seperti orang terdesak. Tiba-tiba tongkat-tongkat yang luput menusuk tubuhnya itu membuat gerakan aneh dan tahu-tahu lima batang tongkat itu telah membentuk sebuah kurungan yang menghadangnya dan menutup semua jalan keluarnya, karena tongkat-tongkat itu malang-melintang saling tindih dan saling sambung membuat sebuah ruang di tengah-tengah di mana Thian Sin berdiri. Pemuda itu seolah-olah telah terkurung atau tertangkap oleh lima batang tongkat itu! Thian Sin menekan tongkat-tongkat itu dan meloncat ke atas, akan tetapi tongkat-tongkat itu melayang mengikutinya dan tahu-tahu seperti hendak “meringkus” kedua kakinya. Melihat ini, Thian Sin berjungkir-balik, menghalau tongkat-tongkat itu dengan kedua tangan dan meminjam tenaga mereka untuk meloncat lagi ke depan, sehingga dia terlepas dari kepungan tongkat. Akan tetapi, lima orang itu bergerak cepat, berloncatan lagi dan tahu-tahu dia telah terkurung lagi! Diam-diam Thian Sin merasa kagum. Memang indah sekali dan juga tangguh sekali gerakan dari Ngo-lian-tin ini, dan tongkat mereka ini memang sudah mencapai tingkat yang cukup kuat sehingga jago-jago silat biasa saja jangan harap akan mampu melawan mereka. Bahkan pendekar yang sudah pandaipun akan bingung menghadapi kepungan tongkat-tongkat yang dapat bergerak otomatis dan amat rapi bekerja sama ini. Ketika kembali dia terkepung oleh tongkat-tongkat yang saling tindih itu, dia mengangkat kedua tangannya ke atas. “Hei, jembel-jembel busuk. Aku muak dengan main-main ini. Dengarlah, aku akan menyerah asal kalian membawaku menghadap ketua kalian!” “Menghadap ketua kami sebagai mayat!” bentak seorang di antara mereka dan tanpa merusak “kurungan” itu, dia sudah menarik tongkatnya dan menggunakan tongkatnya menusuk ke arah pusar pemuda itu yang nampaknya sudah terkurung dan tidak mampu bergerak lagi. Thian Sin tersenyum dan mendiamkan saja bawah perutnya ditusuk. Dia hanya menurunkan sedikit tubuhnya dan menerima tusukan tongkat itu dengan perutnya sambil mengerahkan sedikit tenaga. “Krekkk!” Dan tongkat yang bertemu dengan perutnya itupun patah-patah menjadi tiga potong saking kerasnya pengemis yang memegangnya tadi menusuk. Terkejutlah pengemis itu, juga empat orang kawannya. Mereka menarik tongkat masing-masing dan kini kembali mereka menyerang, ada yang memukul kepala, ada yang menusukkan tongkatnya, semua itu dilakukan dengan beruntun, juga pengemis yang kehilangan tongkatnya itu menerjang dengan pukulan tangannya. Terdengar suara keras patahnya tongkat-tongkat itu dan ternyata empat batang tongkat itu semua patah-patah, sedangkan pengemis yang menghantamkan tangannyapun berteriak kesakitan karena tulang jari tangannya juga patah! Kini mereka berlima yang masih berdiri mengepung Thian Sin memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak. Pemuda itu tersenyum tenang. “Bagaimana? Apakah kalian masih belum puas dan hendak main-main terus? Ataukah mau membawaku menghadap ketua kalian sebagai tawanan?” Lima orang pengemis itu bukanlah orang-orang bodoh. Mereka sudah tahu bahwa sesungguhnya pemuda ini adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian hebat sekali. Kekalahan mereka merupakan tamparan bagi mereka, maka kalau mereka dapat membawa pemuda ini sebagai tawanan, hal itu bukan hanya berarti menebus kekalahan yang memalukan itu, akan tetapi juga mereka tidak akan mendapat kemarahan dari ketua mereka. Dan bertapapun lihainya pemuda ini, kalau sudah berhadapan dengan dua orang ketua mereka, akan dapat berbuat apakah? “Sebagai tawanan katamu? Jadi engkau mau untuk kami tangkap, kami ikat dan kami bawa kepada ketua kami?” tanya pengemis berhidung pesek yang agaknya menjadi pemimpin mereka berlima. Thian Sin berpikir bahwa agaknya tidak akan mudah baginya untuk bertemu dengan dua orang musuh besarnya itu. Biarpun dia dapat memancingnya, namun yang akan keluar tentulah para pembantunya dan dua orang itu sebagai orang yang berkedudukan tinggi, ketua Hwa-i Kai-pang yang agaknya telah menjadi perkumpulan yang besar dan berpengaruh sekali di kota raja, agaknya tidak akan sembarangan keluar dari sarang dan untuk mencari mereka ke sarang merekapun bukan merupakan hal mudah karena menurut penyelidikannya, kai-pang itu kini dekat dengan pemerintah dan tentu saja akan bisa memperoleh bantuan pasukan penjaga, dan kalau sudah demikian, akan semakin sukarlah baginya untuk dapat berhadapan dengan mereka. Maka diapun mengambil keputusan cepat. “Baik, kau boleh, bawa aku sebagai tawanan, boleh mengikat kedua tanganku kalau perlu,” jawabnya. Lima orang pengemis itu menjadi girang. Mereka lalu mempergunakan tali yang kuat untuk mengikat kedua pergelangan Thian Sin ke belakang tubuhnya. Baru saja ikatan yang amat kuat itu selesai, Thian Sin sudah berkata. “Akan tetapi, jangan kalian main-main. Lihat, aku akan dapat melepaskan diri dengan mudah kalau kalian main gila.” Dan sekali dia menggerakkan kedua tangan... ternyata kedua tangannya itu telah terlepas dari ikatan tali tanpa membuat tali itu putus! Tali itu jatuh ke atas tanah begitu saja. Tentu saja lima orang pengemis itu terkejut bukan main dan muka mereka menjadi pucat sekali. Mereka tidak tahu bahwa pemuda ini tadi telah mempergunakan kekuatan sihirnya sehingga biarpun mereka merasa telah membelenggu kedua tangan itu, sebenarnya kedua tangan pemuda itu sama sekali tidak terikat, maka dentan mudah Thian Sin dapat membebaskan kedua tangannya. Bagi pemuda ini diikat atau tidak sama saja karena biarpun kedua tangannya terikat secara sungguh-sungguh sekalipun, dengan mudah dia akan dapat membikin putus tali-tali itu. “Tidak... kami tidak main-main...” kata Si Hidung Pesek. “Nah, ikatlah lagi baik-baik kalau begitu dan antar aku menemui ketua kalian.” Lima orang pehgemis itu lalu mengikat lagi kedua pergelangan tangan Thian Sin ke belakang tubuhnya, kemudian pemuda ini lalu mereka giring menuju ke sarang mereka. Di sepanjang perjalanan, banyak orang menonton iring-iringan ini. Tidak aneh melihat orang-orang Hwa-i Kai-pang menganiaya orang. Akan tetapi sekali ini lain. Pemuda itu tidak kelihatan berduka atau ketakutan. Sebaliknya malah, lima orang pengemis yang menggiringnya itu, yang oleh banyak orang terkenal sebagai tokoh-tokoh tinggi Hwa-i Kai-pang, berjalan di depan dan belakang pemuda itu dengan wajah muram dan pendiam, nampak serius sekali, sedangkan si pemuda yang menjadi tawanan mereka itu tersenyum-senyum, bahkan kelihatan bernyanyi-nyanyi kecil! Tentu saja hal ini membuat semua orang menjadi terheran-heran dan ada yang mengira bahwa pemuda tampan yang berpakaian mewah itu tentu telah menjadi gila! Tempat yang menjadi pusat atau sarang Hwa-i Kai-pang sekarang jauh berbeda dengan dahulu sebelum perkumpulan pengemis itu dekat dengan kekuasaan kaisar. Tempat itu berada di luar pintu gerbang sebelah timur, merupakan bangunan yang cukup besar, terdiri dari rumah-rumah kecil mengelilingi bangunan besar yang menjadi tempat tinggal dua orang ketua mereka. Dan di sekeliling perumahan itu terdapat pagar tembok yang tinggi dan tebal, seperti keadaan sebuah benteng saja. Pintu tembok itupun tebal dan dijaga ketat oleh pengemis-pengemis yang lagaknya seperti penjaga di pintu gerbang istana saja, setiap orang pengemis memegang sebuah tongkat. Diam-diam Thian Sin merasa girang bahwa dia telah mempergunakan siasat membiarkan dirinya ditawan ini. Harus diakuinya bahwa biarpun dengan mudah dia akan dapat melewati tembok itu dan menyerbu ke dalam, namun belum tentu dia akan bisa mencari dua orang ketua itu kalau mereka menyembunyikan diri atau melarikan diri. Dengan akainya yang sekarang, dia malah akan dibawa menghadap mereka, jadi dia tidak perlu mencari lagi! Jantungnya berdebar tegang ketika dia dibawa melalui lorong di mana terdapat pengemis-pengemis yang berjaga-jaga. Beberapa orang pengemis tua memandang heran dan ada yang bertanya kepada lima orang tokoh pengemis yang menangkap pemuda itw. Mereka menjawab dengan singkat bahwa pemuda itu adalah tawanan mereka yang hendak mereka hadapkan kepada ketua. Jawaban ini saja sudah dapat dimengerti oleh para rekan mereka itu bahwa tangkapan itu adalah orang penting maka harus dihadapkan dengan ketua sendiri. Betapapun juga, para tokoh Hwa-i Kai-pang dari tingkat tiga ke atas menjadi tertarik dan merekapun ikut pula mengawal pemuda itu memasuki bangunan besar untuk menghadap ketua. Mereka semua ingin mendengar dan melihat karena mereka dapat menduga bahwa pemuda itu tentulah orang yang penting maka oleh lima orang rekan itu dibawa menghadap ketua. Pada waktu itu, Hwa-i Kai-pang merupakan perkumpulan yang kuat. Para anggauta pimpinan terdiri dari dua orang ketuanya, para murid tingkat dua yang jumlahnya ada enam orang, yaitu murid-murid kepala yang digembleng oleb dua orang ketua itu sendiri, lalu lima belas orang murid yang ilmu silatnya lebih rendah daripada murid-murid kepala, akan tetapi lima belas orang murid tingkat tiga ini telah membentuk Ngo-heng-tin yang tangguh dan biasanya merupakan inti kekuatan Hwa-i Kai-pang kalau menanggulangi urusan yang memerlukan kekerasan. Kini, melihat adanya seorang pemuda yang tampan dan kelihatan gagah menjadi tawanan dan diajukan kepada ketua, hal yang jarang terjadi, semua murid tingkat dua dan tiga yang kebetulan berada di tempat itu segera berkumpul dan ikut pula menghadap. Tentu saja murid-murid lain yang lebih rendah tingkatnya tidak berani ikut memasuki ruangan di mana terdapat ketua mereka. Murid-murid tingkat rendah ini tidak berani menghadap tanpa dipanggil. Pada waktu itu, yang kebetulan berada di sarang ada tiga orang murid tingkat dua dan sepuluh orang murid tingkat tiga, atau dua Ngo-lian-tin berikut yang menawan Thian Sin. Mereka memasuki sebuah ruangan yang luas, karena ruangan ini selain merupakan ruangan untuk persidangan para pimpinan, juga merupakan sebuah lian-bu-thia di mana mereka biasa berlatih silat. Thian Sin yang dibawa memasuki ruangan ini memandang dengan penuh perhatian. Dia melihat betapa ruangan yang luas itu cukup mewah, dihias dengan lukisan-lukisan dan di sudut terdapat rak-rak terisi segala macam senjata. Biarpun keistimewaan para pengemis ini adalah memainkan tongkat, namun sebagai ahli-ahli silat tinggi mereka juga melatih diri dengan senjata lain sehingga mereka tidak akan merasa asing apabila berhadapan dengan lawan yang mempergunakan lain macam senjata. Di sudut ruangan itu nampak dua orang kakek yang tengah duduk berhadapan dengan santai dan bercakap-cakap. Sebagai ketua perkumpulan yang intinya adalah ilmu silat, maka dua orang ketua ini tidak pernah dikawal dan kini mereka duduk berdua saja di ruangan itu dan baru mereka mengangkat muka memandang ketika para murid datang menghadap membawa seorang pemoda yang tidak mereka kenal. Thian Sin memperhatikan dua orang kakek itu. Yang seorang bertubuh kurus sekali, seperti tulang dibungkus kulit saja, mukanya penuh keriput dan pucat, nampak sudah tua sekali dan kiranya kakek ini tidak akan kurang dari tujuh puluh tahun lebih, mukanya hitam seperti pantat kwali, sungguh merupakan kebalikan dari muka kakek pertama, akan tetapi anehnya, kakek bermuka hitam ini mempunyai kulit tangan yang putih. Melihat keadaan mereka, Thian Sin dapat menduga bahwa tentu kakek tua renta itu adalah Lo-thian Sin-kai sedangkan yang kedua adalah sutenya yang bernama atau berjuluk Hek-bin Mo-kai. Jantungnya berdebar karena tegangnya dan juga marah. Jadi dua orang inilah yang telah membantu Kerajaan Beng untuk mengeroyok dan ikut membunuh ayah bundanya! Tiga belas orang tingkat dua dan tiga itu berlutut di atas lantai menghadap dua orang kakek yang masih duduk di atas kursi itu. Akan tetapi ketika lima orang pengemis itu mendorong Thian Sin untuk berlutut, pemuda ini tetap berdiri saja sambil memandang ke arah dua orang kakek itu dengan sinar mata tajam penuh selidik. “Apa artinya ini? Siapakah bocah yang kalian bawa ini?” Hek-bin Mo-kai menegur dengan suara tidak senang melihat sikap pemuda itu yang demikian angkuh. Biarpun pemuda itu tampan dan gagah, memakai pakaian mewah seperti seorang pelajar tinggi, akan tetapi berhadapan dengan dua orang ketua Hwa-i Kai-pang dengan sikap demikian angkuh sungguh merupakan suatu sikap yang kurang ajar. Si Hidung Pesek, pemimpin dari Ngo-lian-tin itu, cepat memberi hormat, “Harap ji-wi pangcu sudi memaafkan kami. Pemuda ini telah membuat kacau di lapangan dekat pasar, membela penjual koyo yang berani membuka dagangan tanpa ijin kita, bahkan pemuda ini telah memukul dan membuntungi telinga dua orang anak buah kita. Maka kami lalu datang dan kami menangkapnya untuk kami bawa menghadap ji-wi pangcu dan mohon keputusan ji-wi pangcu terhadap dirinya.” Mendengar laporan itu, Hek-bin Mo-kai yang wataknya berangasan itu menjadi marah. Terutama dia mendongkol mendengar ada orang berani membuntungi telinga kedua orang anak buah Hwa-i Kai-pang. “Hemm, urusan sepele begini saja kalian tidak dapat memutuskan sendiri dan harus minta keputusan kami? Tolol! Dia telah mengacau, dia telah menghina anak buah kita, mau apa lagi? Kalau dia membuntungi telinga anak buah kita, nah, buntungi kedua telinganya dan cokel kedua mata itu yang seperti mata setan!” Mendengar perintah ini, para tokoh yang lain mengangguk-angguk setuju, akan tetapi lima orang pengemis yang tadi menggiring Thian Sin masuk saling pandang dengan muka pucat. Si Hidung Pesek menjadi serba salah maka diapun tak dapat berlagak telah menangkap pemuda itu lagi. “Tapi... tapi... pangcu, dia... dia itu lihai sekali dan kami tidak akan dapat melaksanakan perintah itu.” Kini dua orang ketua itu mengangkat muka memandangnya penuh keheranan, juga merasa marah dan terkejut. “Apa? Dan kalian bukankah telah meringkusnya dan menyeretnya ke sini?” yang bertanya ini adalah Lo-thian Sin-kai, suaranya halus dan sikapnya hati-hati, kini memandang penuh kecurigaan kepada lima orang anak buahnya itu, juga kepada Thian Sin. “Mohon maaf sebesarnya dari ji-wi pangcu,” Si Hidung Pesek berkata, suaranya gemetar. “Sesungguhnya... kami berlima telah dikalahkan oleh pemuda ini... dan dia... dia sendiri yang minta agar dibelenggu dan dibawa menghadap ji-wi pangcu.” Dua orang ketua Hwa-i Kai-pang itu terkejut bukan main. Kiranya pemuda ini dapat mengalahkan Ngo-lian-tin! Akan tetapi mengapa lalu menyerah dan minta ditangkap? Apa yang tersembunyi di balik sikap aneh ini? Kini kedua orang ketua itu bangkit dari tempat duduk mereka, memandang tajam kepada Thian Sin. “Orang muda, siapakah engkau?” Lo-thian Sin-kai bertanya, suaranya halus. “Apa maksudmu mengacau anak buah kami lalu minta dihadapkan kepada kami?” Dengan kedua tangan masih terbelenggu ke belakang tubuhnya, Thian Sin menjawab sambil tersenyum, akan tetapi sepasang matanya mencorong seperti hendak membakar kedua orang pengemis tua itu! “Kalian adalah Lo-thian Sin-kai dan Hek-bin Mo-kai, benarkah?” “Benar!” bentak Hek-bin Mo-kai. “Dan siapakah engkau, pemuda sombong?” “Ha-ha-ha!” Thian Sin tertawa girang setelah mendapatkan kepastian bahwa dua orang inilah musuh besar yang dicari-carinya. “Kuberitahukan namakupun kalian tidak akan mengenalnya. Akan tetapi kalian tentu mengenal nama Pangeran Ceng Han Houw dan isterinya yang bernama Li Ciauw Si, bukan?” Seketika pucat wajah kedua orang kakek pengemis itu mendengar disebutnya nama ini. Semenjak mereka berdua ikut mengeroyok dan membunuh pangeran itu bersama isterinya, mereka dapat mengangkat nama Hwa-i Kai-pang sebagai perkumpulan yang tidak lagi dimusuhi oleh kerajaan, bahkan dianggap berjasa dan memperoleh kekuasaan dan pengaruh. Akan tetapi, sering kali mereka bermimpi buruk karena mereka tahu bahwa pangeran itu adalah seorang yang amat sakti dan isterinya adalah keluarga dari Cin-ling-pai. Kalau saja Cin-ling-pai berusaha membalas kematian itu! Mereka sering merasa ngeri dan ketakutan, maka mereka lebih banyak bersembunyi dan berlindung di balik kekuasaan kaisar. Setelah lewat bertahun-tahun dan tidak ada usaha dari fihak Cin-ling-pai untuk mengganggu mereka, hati mereka mulai tenang sungguhpun mereka lebih menikmati kedudukan mereka itu dengan bersenang-senang di dalam sarang yang terjaga kuat itu daripada berkeliaran di luar. Maka, sungguh amat mengejutkan hati mereka ketika pemuda ini bicara tentang Pangeran Ceng Han Houw dan isterinya! “Siapakah engkau? Apa maksudmu bicara tentang orang yang sudah mati?” tanya Hek-bin Mo-kai sambil berusaha menyembunyikan getaran suaranya di balik bentakan marah yang tidak sangat berhasil. “Pandanglah baik-baik. Lo-thian Sin-kai dan Hek-bin Mo-kai. Aku adalah putera tunggal mereka!” Dia berhenti sebentar, menikmati kekagetan yang membayang di wajah-wajah yang pucat itu. “Dan tak perlu kiranya kujelaskan mengapa aku datang mencari kalian, bukan?” Dua orang ketua Hwa-i Kai-pang itu terbelalak, akan tetapi mereka bukanlah orang lemah. Apalagi di situ terdapat tiga belas orang murid-murid mereka yang boleh diandalkan, dan juga bukankah pemuda itu dalam keadaan terbelenggu kedua tangannya? “Bentuk dua Ngo-lian-tin dan bekuk pemuda ini!” bentak Hek-bin Mo-kai, memerintah kepada sepuluh orang murid tingkat tiga itu. Biarpun lima orang yang tadi menggiring Thian Sin pernah merasakan kelihaian pemuda ini dan mereka merasa gentar, namun kini mereka berada di kandang sendiri. Di situ terdapat dua orang guru dan ketua mereka, juga teman-teman mereka yang lihai, maka timbul pula keberanian mereka, bahkan mereka hendak mempergunakan kesempatan ini untuk membalas kekalahan mereka tadi. Cepat mereka lari ke rak senjata dan menyambar tongkat-tongkat yang banyak terdapat di situ, kemudian bersama Ngo-lian-tin yang kedua, mereka sudah membentuk barisan lima teratai dan mengurung Thian Sin. Pemuda ini masih belum melepaskan belenggu kedua tangannya. Dia berdiri menghadapi pengepungan dua barisan Ngo-lian-tin itu dengan tenang sekali dan masih tersenyum-senyum saja. Kepada Si Hidung Pesek dia berkata, “Sekali ini aku tidak akan mengampuni kalian.” Dan dia masih saja belum melepaskan diri dari belenggu kedua tangannya, seolah-olah dia hendak menunjukkan bahwa untuk menghadapi kedua barisan Ngo-lian-tin itu dia tidak membutuhkan kedua lengannya! Melihat hal ini, tentu saja Si Hidung Pesek melihat keuntungan dan cepat dia memberi aba-aba kepada teman-temannya unluk cepat bergerak. Maka mulailah Ngo-lian-tin pertama itu bergerak menyerang sedangkan Ngo-lian-tin ke dua juga mendesak dan membantunya. Thian Sin mempergunakan kecepatan gerak tubuhnya untuk mengelak dan berloncatan ke sana-sini, dan sungguhpun kedua tangannya masih terbelenggu, namun dia kelihatan seenaknya dan mudah saja menghindarkan semua sambaran tongkat. Akan tetapi, kini sepuluh batang tongkat panjang itu bekerja sama dan diapun terkurung oleh gulungan sinar tongkat yang makin lama makin menyempit dan akhirnya tubuhnya sudah tertutup rapat oleh tongkat-tongkat itu dari segenap penjuru. Akan tetapi sambil tertawa, Thian Sin meloncat lurus ke atas untuk membebaskan diri dari kepungan tongkat-tongkat itu. Sepuluh orang itu bergerak dengan cepat, tahu-tahu tubuh Thian Sin di udara telah tertahan dan terjepit oleh tongkat-tongkat itu! Keadaan Thian Sin seolah-olah sudah tidak berdaya lagi karena tubuhnya tertahan di udara oleh tongkat-tongkat itu yang malang-melintang dan menghimpitnya. Terdengar Hek-bin Mo-kai tertawa senang menyaksikan hal ini. Akan tetapi tiba-tiba saja terdengar suara melengking tinggi dan tubuh Thian Sin meronta, kedua kakinya bergerak-gerak dan terpelantinglah sepuluh orang itu, tongkat mereka beterbangan jauh ke kanan kiri menimpa dinding-dinding ruangan yang luas itu, sedangkan sepuluh orang yang terpelanting itupun mengaduh-aduh karena beberapa di antara mereka terkena tendangan kaki Thian Sin yang kini sudah turun kembali sambil tersenyum-senyum. Hek-bin Mo-kai maklum akan kelihaian pemuda itu, maka diapun mengeluarkan seruan nyaring, memerintahkan tiga orang murid kelas dua untuk mengeroyok. Tiga orang pengemis tua ini adalah murid-murid kepala yang telah memiliki tingkat kepandaian tinggi. Mereka lalu menerjang maju sambil menggerakkan tongkat mereka. Melihat gerakan ini dan mendengar suara angin pukulan tongkat mereka, Thian Sin maklum bahwa tiga orang ini telah memiliki kepandaian tinggi, apalagi di situ terdapat dua orang ketua Hwa-i Kai-pang yang sudah mulai memutar tongkat masing-masing pula. Sambil tertawa Thian Sin lalu menggerakkan kedua tangannya dan putuslah tali pengikat pergelangan tangannya tadi. Sekali dia menggerakkan kedua tangan yang memegang tali, maka tali itu seperti seekor ular saja menyambar ke depan. Terdengar pekik mengerikan ketika tiga orang pengemis, termasuk Si Hidung Pesek, terjengkang roboh dengan kepala pecah terkena tali yang disambitkan Thian Sin itu. Tentu saja semua orang terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa pemuda itu sedemikian lihainya sehingga sambitan tali bekas belenggu tangannya saja sudah berhasil membunuh tiga orang anggauta Ngo-lian-tin yang lihai! Dan mulailah Thian Sin mengamuk! Dia dikeroyok lima, yaitu oleh dua orang ketua Hwa-i Kai-pang yang dibantu oleh tiga orang murid utama mereka. Lo-thian Sin-kai adalah seorang tokoh Hwa-i Kai-pang yang paling lihai karena dia telah mewarisi ilmu-ilmu dari Hwa-i Sin-kai pendiri dari Hwa-i Kai-pang. Dia memiliki semua ilmu silat kai-pang itu, pandai sekali memainkan tongkat, baik dengan Ilmu Ngo-lian Pang-hoat mampun Ta-houw Sin-pang, dan selain itu, juga dia memiliki tenaga yang kuat sekali. Sutenya, Hek-bin Mo-kai, juga amat lihai dan hanya kalah sedikit saja dibandingkan dengan suhengnya itu. Maka, dibantu oleh tiga orang murid utama mereka, tentu saja lima orang ini merupakan lawan yang amat tangguh dan amat berbahaya. Mereka itu merupakan inti kekuatan yang paling tinggi sebagai pucuk pimpinan Hwa-i Kai-pang. Akan tetapi sekali ini mereka bertemu dengan Thian Sin sehingga ketangguhan mereka itu sama sekali tidak ada gunanya. “Hemm, sejak dahulu sampai kini kalian adalah pengecut-pengecut hina yang hanya berani kalau mengandalkan pengeroyokan,” Thian Sin berkata sambil menghadapi terjangan mereka yang bertubi-tubi itu dengan tangan kosong saja. Dia tidak begitu mempedulikan tiga orang murid utama itu, karena yang diincarnya adalah dua orang ketua Hwa-i Kai-pang yang pernah mengeroyok dan ikut membunuh ayah bundanya. “Wuuuttt...!” Sinar tongkat menyambar dari kanan dengan amat hebatnya karena tongkat ini ditusukkan dengan pengerahan tenaga oleh Hek-bin Mo-kai yang maklum bahwa dia dan suhengnya dibantu murid-muridnya harus dapat membunuh pemuda putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw ini kalau tidak mereka sendiri yang akan tewas. Maka serangannyapun selalu dilakukan dengan pengerahan tenaga sepenuhnya. “Plakk!” Thian Sin menangkap tongkat itu, tidak mempedulikan pukulan tiga batang tongkat dari arah belakangnya yang dilakukan oleh tiga orang murid utama Hwa-i Kai-pang itu. Dia hanya mengerahkan sin-kangnya untuk melindungi tubuh belakangnya. Terdengar suara keras ketika tiga batang tongkat itu mengenai punggung, pinggul dan leher belakang atau tengkuknya, dan tiga batang tongkat itu membalik, membuat tiga orang penyerangnya berteriak kaget dan kesakitan karena telapak tangan mereka terobek dan berdarah! Sementara itu, Thian Sin yang sudah berhasil menangkap tongkat Hek-bin Mo-kai itu lalu melangkah maju dengan cepat sekali, tangan kanan menangkap tongkat, tangan kiri menyambar ke depan untuk mencengkeram dada lawan yang dibencinya ini. Hek-bin Mo-kai tadi telah berusaha menarik kembali tongkatnya, namun sia-sia belaka dan melihat serangan pemuda itu, dia cepat melangkah mundur dan terpaksa dia melepaskan tongkatnya. Pada saat itu, Lo-thian Sin-kai telah menyerang pula dengan tongkatnya yang menghantam ke arah kepala Thian Sin. Melihat serangan yang amat hebat ini, Thian Sin yang telah merampas tongkat Hek-bin Mo-kai, menggunakan tongkat itu untuk menangkis sambil mengerahkan tenaga sekuatnya. “Krakkk!” Tongkat di tangannya patah menjadi dua, demikian pula tongkat di tangan Lo-thian Sin-kai! Ketua pertama dari Hwa-i Kai-pang ini terkejut bukan main, apalagi pada saat itu, Thian Sin berseru keras dan potongan tongkatnya tadi telah dilontarkan ke depan. Hek-bin Mo-kai sedang lari untuk mengambil senjata baru dari rak, dan Thian Sin yang mengira bahwa kakek muka hitam itu hendak melarikan diri, telah mempergunakan kepandaiannya menyambitkan potongan tongkat di tangannya. “Aughhh...!” Hek-bin Mo-kai berteriak dan roboh, paha kirinya tertusuk potongan tongkat sampai tembus! Melihat ini, Lo-thian Sin-kai terkejut dan marah, lalu menubruk ke depan pada saat Thian Sin menyambitkan tongkatnya tadi dan menggunakan kedua tangannya sambil mengerahkan sin-kang yang amat kuat untuk menghantam ke arah dada dan lambung pemuda itu. Inilah jurus yang paling hebat dari Ta-houw Sin-ciang-hoat. Jangankan manusia, bahkan harimau yang kuat sekalipun akan tewas seketika terkena hantaman yang dapat menghancurkan isi dada dan perut ini. Thian Sin yang sedang menyambitkan potongan tongkat itu, melihat hantaman ini, akan tetapi dia tidak peduli dan membiarkan dada dan lambungnya dipukul! “Plak! Plak! Krekkk...!” Tubuh Lo-thian Sin-kai terpelanting dengan tulang pundak kanan kiri remuk, sedangkan tubuh Thian Sin hanya terguncang sedikit saja. Kiranya ketika menerima pukulan pada dada dan lambungnya itu, Thian Sin menerima pukulan lawan sambil balas menghantam dengan ketukan jari-jari tangannya ke arah kedua pundak lawan yang membuat tulang-tulang kedua pundak itu patah. Sengaja Thian Sin tidak membunuhnya, melainkan merobohkan kedua orang kakek itu lebih dulu. Tentu saja robohnya dua orang ketua ini membuat tiga orang murid utamanya terkejut dan gentar bukan main. Namun mereka tidak diberi kesempatan lagi. Thian Sin bergerak cepat sekali dan dengan beberapa kali serangan saja, tiga orang itu telah roboh dan tewas! Tujuh orang murid tingkat tiga yang tadinya sudah mengepung, kini maju mengeroyok, ditambah lagi dengan para anggauta pengemis yang datang mendengar keributan di ruangan itu. Terjadilah pengeroyokan, namun Thian Sin mengamuk dan dalam waktu singkat telah merobohkan dan menewaskan beberapa orang murid-murid rendahan sehingga tubuh-tubuh yang telah menjadi mayat itu malang melintang di ruangan itu. Melihat ini, kedua orang ketua Hwa-i Kai-pang terkejut dan ketakutan, akan tetapi mereka itu tidak mampu meninggalkan lantai di mana mereka roboh tadi. Lo-thian Sin-kai telah remuk kedua pundaknya sehingga untuk bangun saja dia tidak mampu, sedangkan Hek-bin Mo-kai yang pahanya tertusuk tongkat itupun tidak mampu bangkit. Mereka berteriak-teriak beberapa kali untuk minta tolong kepada anak buah mereka agar mereka dibawa melarikan diri, namun setiap orang pengemis yang mencoba mendekatinya tentu dirobohkan oleh Thian Sin. Akhirnya, para pengemis itu maklum bahwa melawan pemuda ini sama dengan membunuh diri, maka sisanya, kurang dari setengahnya, lari ketakutan meninggalkan sarang mereka dan ada yang cepat melapor kepada komandan pasukan penjaga keamanan kota raja di benteng. Melihat sisa para pengeroyoknya melarikan diri, Thian Sin tidak mau mengejar. Yang dicarinya adalah dua orang ketua itu dan kini mereka telah roboh tak mampu bergerak lagi. Sambil tersenyum dia menghampiri mereka setelah dia menendang tubuh Hek-bin Mo-kai sehingga tubuh orang ini terlempar di dekat suhengnya. Mereka berdua hanya dapat memandang kepada pemuda itu dengan sinar mata mengandung kebencian dan juga rasa serem. Belum pernah mereka bertemu dengan seorang pemuda yang selihai ini, yang mengingatkan mereka akan kelihaian mendiang Pangeran Ceng Han Houw. “Hemm, kiranya engkaulah yang disebut Pendekar Sadis!” akhirnya Lo-thian Sin-kai berkata. Dia tidak mengharapkan depat hidup lagi, akan tetapi diapun tidak takut mati. Betapapun juga Sin-kai yang gagah perkasa dan lihai, dan ketika mereka itu ikut mengeroyok dan membunuh Pangeran Ceng Han Houw, merasa berada di fihak benar karena pangeran itu dianggap seorang pemberontak dan seorang yang amat jahat, dan sudah pernah mengacau dunia kang-ouw pula. Thian Sin tersenyum. “Salah kalian sendiri, sudah mendengar aku datang mencari kalian, kalian tidak mau bersembunyi. Ha-ha, sekarang bagaimama? Coba ceritakan begaimana kalian dahulu ikut mengeroyok dan membunuh ayah bundaku.” “Ayahmu seorang penjahat, seorang pemberontak yang kejam!” bentak Lo-thian Sin-kai. “Dan engkau tidak kalah jahatnya dengan ayahmu!” Hek-bin Mo-kai juga memaki. Thian Sin hanya tersenyum. “Apakah kalian tidak jahat? Apakah anak buah kalian yang melakukan pemerasan di kota raja tidak busuk? Memang, melihat kebusukan orang lain, betapapun kecilnya, amatlah mudah, sebaliknya, kebusukan sendiri segede gajah takkan pernah kalian lihat!” “Tidak perlu banyak cakap lagi, kami sudah kalah, mau bunuh kami, bunuhlah!” bentak Lo-thian Sin-kai. “Kami adalah laki-laki sejati yang tak takut mati!” Hek-bin Mo-kai juga berkata, sambil menyeringai menahan sakit. “Bagus! Gagah perkasa tak takut mati, akan tetapi pengecut hina, beraninya hanya mengandalkan pengeroyokan banyak orang, dahulu terhadap ayah bundaku dan sekarang terhadap diriku.” “Bocah setan yang sombong tak perlu banyak mulut lagi!” Hek-bin Mo-kai membentak. Thian Sin tersenyum lebar dan tangannya bergerak ke bawah, dua kali jari tangannya menotok ke arah dada dan leher Hek-bin Mo-kai. Dan kembali dia bergerak melakukan penotokan yang sama terhadap tubuh Lo-thian Sin-kai. Mula-mula kedua orang kakek itu tidak merasakan sesuatu, hanya ada hawa dingin menyelinap ke dalam bagian tubuh yang tertotok jari tangan pemuda itu. Akan tetapi, mulailah terasa gatal-gatal dan dingin, lalu rasa gatal itu semakin menghebat disertai rasa perih seperti ditusuk-tusuk jarum! Kedua orang kakek itu berusaha mempertahankan diri, akan tetapi rasa nyeri yang tidak begitu hebat namun makin lama makin terasa itu mulai menggerogoti perasaan mereka. Rasa gatal sukar dapat dipertahankan orang, apalagi rasa perih yang sedikit demi sedikit menusuk-nusuk perasaan itu. Rasa nyeri yang hebat sekali dapat mematikan rasa, atau dapat membuat orang pingsan karenanya. Akan tetapi rasa gatal-gatal disertai perih sedikit demi sedikit itu menyerap makin hebat dan keduanya tidak dapat mengerahkan sin-kang karena tenaga mereka telah punah oleh totokan itu. Mereka berusaha mempertahankan diri tanpa mengeluh, dan keduanya sampai menggigit bibir mereka. Akan tetapi rasa nyeri makin hebat dan bibir mereka pecah-pecah oleh gigitan sendiri. Darah mengalir membasahi mulut mereka. Sungguh keadaan mereka amat mengerikan. Muka mereka penuh dengan keringat dan tubuh mereka menggeliat-geliat, dan akhirnya keduanya tidak dapat bertahan lagi dan mulailah mereka mengeluh. Mula-mula hanya rintihan-rintihan saja, masih mereka tahan, akan tetapi tak lama kemudian mereka sudah menangis dan meraung-raung minta mati! Dan Thian Sin berdiri sambil bertolak pinggang, tersenyum menyaksikan dua orang lawan yang disiksanya sedemikian hebat itu. Dia tadi telah menotok mereka dengan pengerahan tenaga sin-kang yang dipelalarinya dari kitab ayahnya, dan dia telah membuat mereka itu keracunan sedikit demi sedikit. Raungan-raungan kedua orang kakek itu masih terdengar, sungguhpun semakin lama semakin lemah dan pada saat itu, terdengar suara hiruk pikuk di luar, lalu tak lama kemudian banyak perajurit penjaga keamanan kota raja yang mengurung tempat itu menyerbu ke dalam! Melihat betapa dua orang kakek yang menjadi musuhnya itu telah mulai sekarat dan nyawa mereka tak mungkin dapat tertolong lagi, Thian Sin tertawa bergelak dan tubuhnya meloncat ke atas, menerobos genteng. Beberapa orang anggauta kai-pang dan perajurit yang beriaga di atas genteng, terkejut melihat munculnya pemuda itu yang menerobos genteng. Mereka mencoba untuk menyerang, dan akibatnya mereka sendiri yang terlempar dan jatuh tunggang-langgang di atas genteng, ada pula yang terus menggelinding ke bawah dan tentu saja mengalami kematian terbanting dari atas genteng, ternyata pemuda itu telah lenyap tanpa meninggalkan bekas. Bekas amukannya yang ada, yaitu kematian banyak sekali anggauta kai-pang dan beberapa orang perajurit, dan yang amat mengerikan adalah kematian dua orang ketua kai-pang itu. Wajah mereka masih menyiringai, mata mereka terbelalak dan wajah itu masih membayangkan rasa nyeri yang luar biasa, akan tetapi nyawa mereka telah melayang. Gegerlah ibu kota atau kota raja dengan terjadinya peristiwa yang mengerikan ini, dan semakin terkenallah nama Pendekar Sadis karena kini semua orang sudah dapat menduga, melihat dari cara-cara kematian yang disebabkannya, bahwa yang mengamuk itu tentu bukan lain Pendekar Sadis yang banyak disohorkan orang akhir-akhir ini. Bukan hanya sampai di situ saja sepak terjang Thian Sin di kota raja. Dia memang sudah berhasil membunuh Lo-thian Sin-kai dan Hek-bin Mo-kai, dua orang di antara para pengeroyok dan pembunuh ayah bundanya. Akan tetapi dia belum puas karena dia belum berhasil menemukan orang yang lebih dibencinya dari pada yang lain, yaitu Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam. Seperti diketahui, Tok-ciang Sian-jin ini adalah seorang tokoh Jeng-hwa-pang yang juga ikut pengeroyok dan membunuh ayah bundanya. Dan bahkan lebih dari itu, orang ini adalah yang terpandai di antara mereka yang mengeroyok ayah bundanya. Dan sampai kini dia belum juga berhasil membalas, bahkan belum tahu di mana adanya Tok-ciang Sian-jin yang dicari-carinya itu. Maka, Thian Sin lalu mendatangi para tokoh kang-ouw, terutama sekali para penjahat di sekitar kota raja. Maksudnya untuk mencari keterangan dan menyelidiki di mana adanya Tok-ciang Sian-jin, akan tetapi caranya menimbulkan kegemparan hebat di kota raja. Terhadap para tokoh dunia hitam ini, Thian Sin bersikap luar biasa kejamnya. Dia menangkap, menyiksa, membunuh, memaksa kepada mereka itu untuk membuka rahasia di mana adanya Tok-ciang Sian-jin. Dan untuk itu dia tidak segan-segan melakukan kekejaman yang mendirikan bulu roma terhadap para penjahat itu. Makin terkenallah nama Pendekar Sadis dan ditakuti oleh kaum penjahat melebihi iblis sendiri. Belum pernah ada tokoh atau datuk sesat sekalipun lebih mengerikan dan lebih ditakuti oleh kaum sesat seperti Pendekar Sadis ini. Thian Sin amat membenci kepada penjahat karena diangapnya bahwa penjahat-penjahat itulah yang telah merusak hidupnya, telah mencelakakan orang-orang yang dicintanya dan karena itu, dia telah mengambil keputusan untuk memusuhi semua penjahat di dunia ini! Ada kalanya dia memasang mata di pasar dan tempat-tempat ramai dan kalau dia melihat ada penjahat yang melakukan pencopetan saja, dia tidak segan-segan untuk turun tangan dan mematahkan tulang lengan pencopet itu. Bahkan di waktu malam dia sering keluar dan sekali dilihatnya ada pencuri, tentu pencuri itu akan dibuntungi tangannya! Pemerkosa jangan harap dapat hidup kalau bertemu dengannya, karena Thian Sin segera akan menghukumnya secara mengerikan, yaitu membuntungi alat kelaminnya! Belum ada sebulan dia datang ke kota raja, keadaan kota raja menjadi gempar. Bukan hanya para penjahat yang ketakutan setengah mati, bahkan penduduk kota raja juga merasa gelisah dan ngeri. Siapapun adanya dia, setiap orang sudah tentu tidak akan luput daripada kesalahan, dan dia tentu merasa ngeri untuk dilihat dan dihukum oleh seorang seperti Pendekar Sadis ini. Pada suatu senja, Thian Sin kembali ke dalam kuil tua di mana dia menyembunyikan diri karena dia tahu bahwa pasukan kota raja selalu mencarinya. Sudah beberapa kali dia bertemu dengan penyelidik-penyelidik dari kota raja itu, akan tetapi selalu dia dapat membuat mereka tidak berdaya. Untuk dapat beristirahat dengan tanpa banyak gangguan, dia lalu mencari penginapan di luar kota raja dan akhirnya dia menemukan sebuah kuil tua yang dikabarkan orang sebagai kuil tua kosong yang banyak hantunya. Sungguh kebetulan, pikirnya. Kalau kuil itu berhantu, tentu tidak ada orang yang akan berani mendekatinya. Dari penduduk di kampung-kampung sekitar kuil yang berada di tempat sunyi di lereng pegunungan sebelah utara kota raja ini, dia mendengar bahwa siapapun yang berani datang ke kuil ini, apalagi di malam hari, tentu akan bertemu dengan hantu dan kabarnya sudah ada beberapa orang yang mati dengan mengerikan di tempat itu. Mati menggantung diri, atau digantung hantu, tak ada yang dapat tahu dengan pasti. Pendeknya, di sebelah belakang kuil itu terdapat sebuah tengkorak manusia yang masih tergantung di batang pohon. Hanya tinggal kepala dan leher saja yang tergantung, sedangkan tulang-tulang bagian lainnya telah runtuh dan bertumpuk di bawah pohon itu tanpa ada yang berani mengganggunya. Kepercayaan akan tahyul membuat orang yang memiliki kepandaian tinggi sekalipun menjadi penakut. Orang yang lihai boleh jadi tidak takut menghadapi pengeroyokan banyak lawan tangguh dan bahkan tidak gentar menghadapi kematian. Akan tetapi, karena kepercayaan tahyul yang telah berakar di dalam hati mereka, ditanamkan sejak kecil, membuat mereka atau orang yang tinggi ilmu silatnya sekalipun dapat lari tunggang langgang. Mereka itu merasa serem. Akan tetapi Thian Sin sama sekali tidak merasa takut. Dia telah sering menghadapi hal-hal menyeramkan, yaitu ketika dia bertapa di dalam gua dan mempelajari ilmu sihir dari kakek pertapa di Pegunungan Himalaya. Kalau memang ada hantunya, biarlah aku berkenalan dengan hantu itu, pikirnya, siapa tahu dia akan dapat mempelajari ilmu yang lebih hebat lagi dari hantu itu! Maka, beberapa malam yang lalu, ketika dia untuk pertama kali mendatangi tempat itu, dia melakukan pengintaian. Tidak ada apa-apa di situ, sunyi saja. Akan tetapi ketika dia sedang duduk beristirahat di dalam kuil itu, tiba-tiba dia mendengar suara melengking yang aneh. Seketika bulu tengkuknya nwremang, akan tetapi dia melawannya dan dengan mengusap tengkuknya, rasa meremangpun lenyaplah. Dia lalu berindap-indap menuju ke arah suara yang datangnya dari belakang kuil di mana terdapat pohon yang ada tengkoraknya tergantung itu. Dia melangkah maju menghampiri karena malam itu gelap, cuaca hanya diterangi oleh sinar bulan yang sepotong. Ketika dia sudah dekat untuk dapat melihat tengkorak itu, dia mendapat kenyataan bahwa suara itu memang datang dari arah tengkorak itu dan kembali bulu tengkuknya meremang ketika dia melihat tengkorak itu bergoyang-goyang! Padahal pada saat itu tidak ada angin sama sekali! Kalau bukan Thian Sin yang menghadapi penglihatan dan pendengaran seperti itu, agaknya tentu sudah melarikan diri karena sepandai-pandainya manusia, kalau harus menghadapi sesuatu yang tidak dimengertinya dan yang berada di luar kemampuannya sebagai manusia, apalagi setelah segala yang didengarnya sejak kecil tentang ketahyulan yang menyeramkan, tentu dia sudah ketakutan. Akan tetapi, biarpun bulu tengkuknya terasa dingin, kepalanya terasa berat dan seperti membengkak besar, Thian Sin kembali mengusap tengkuknya dan dia malah maju menghampiri! Agaknya “hantu” itu menjadi penasaran melihat pemuda ini tidak ketakutan seperti orang-orang lain yang pernah melihat dan mendengarnya, maka suara melengking itu menjadi semakin nyaring menyeramkan, dan tengkorak yang bergantungan pada pohon itu juga bergoyang-goyang lebih keras lagi, seolah-olah hendak terbang dan menubruknya. Thian Sin tidak berhenti dan terus menghampiri, dan pada saat itu, terdengar teriakan parau menyeramkan dari atas pohon dan dari atas itu melayanglah sesosok tubuh tinggi besar hitam seolah-olah bayangan itu hendak menyerbu Thian Sin. Pemuda ini menghentikan langkahnya dan siap sedia menyambut terkaman bayangan tubuh tinggi besar yang tidak kelihatan jelas dalam keremangan cuaca itu, akan tetapi... tubuh itu berhenti di tengah udara dan tergantung-gantung. Kiranya bayangan tubuh manusia yang bergantung diri atau digantung orang! Thian Sin meloncat dan tangannya menyambar, maksudnya untuk menolong orang yang tergantung itu dan sekali tangannya bergerak, tali yang menggantung orang itu putus dan diapun sudah memondong tubuh itu ke bawah. Akan tetapi ternyata tubuh itu hanyalah sepotong kayu besar yang diberi pakaian! Mengertilah dia bahwa ada yang mempermainkannya dan kalau ada yang main hantu-hantuan maka tentu yang main-main itu adalah manusia! Karena suara itu datang dari atas pohon, maka Thian Sin lalu meloncat lagi, kini menerjang ke tengah daun-daun pohon yang rindang itu. Ada pedang menyambutnya, akan tetapi dengan gerakan tangannya, Thian Sin dapat membuat pedang itu terpukul ke samping dan orang yang memegang pedang itu tidak kuat menyambut terjangan Thian Sin. Sambil mengeluarkan teriakan orang itu terjatuh dari atas pohon! Suara berdebuk keras membuktikan bahwa orang itu tidak mempunyai ilmu gin-kang yang baik dan tubuhnya telah terbanting keras ke atas tanah. Thian Sin mengikutinya dan melompat turun, lalu menghampiri tubuh yang menggereng kesakitan itu. Kirinya dia seorang laki-laki setengah tua yang mengerang kesakitan dan napasnya empas-empis karena tadi dia telah terkena pukulan tangan sakti Thian Sin yang mengenai dadanyap ditambah lagi dia terbanting roboh ke atas tanah yang mematahkan beberapa tulang iganya. “Hemm, mengapa kau menakut-nakuti orang?” Thian Sin membentak. Orang itu sukar sekali menjawab karena dia menderita sakit bukan main dan napasnya tinggal satu-satu, “...agar... tempat ini menjadi tempatku... tanpa diganggu orang... dan... dan... orang-orang yang ketakutan... meninggalkan barang-barangnya...” Orang itu tidak dapat bicara terus karena kepalanya terkulai dan tewas. Pukulan Thian Sin tadi memang hebat sekali, dilakukan karena menduga bahwa ada lawan tangguh bersembunyi di dalam pohon. Thian Sin menarik napas panjang dan sejenak dia berdiri termenung. Orang ini mati karena kesalahan sendiri, dan pula, memang orang itu bukan orang baik-baik, agaknya menakut-nakuti orang selain untuk membuat orang takut datang ke tempat itu, juga agaknya untuk memperoleh barang-barang orang yang lari ketakutan. Betapapun juga, orang ini telah berjasa baginya, telah memberikan sebuah tempat persembunyian yang baik sekali. Maka malam itu juga Thian Sin menggali lubang dan mengubur jenazahnya. Rasa takut memang selalu mempengaruhi kehidupan manusia. Hampir seluruh manusia di dunia ini hidup dalam cengkeraman rasa takut yang dapat juga dinamakan kekhawatiran, kegelisahan, dan sebagainya. Pendeknya, rasa takut akan sesuatu. Tentu saja perasaan ini mempengaruhi kehidupannya, karena setiap tindakan yang didasari oleh rasa takut tentu merupakan suatu tindakan yang tidak wajar dan palsu. Dapatkah kita hidup bebas dari rasa takut? Apakah sesungguhnya perasaan takut akan sesuatu ini? Kalau kita mau mengamatinya dengan waspada, maka kita akan dapat melihatnya bahwa rasa takut timbul dari permainan pikiran kita sendiri yang membayangkan sesuatu yang tidak ada, sesuatu yang belum tiba, sesuatu yang dibayangkan akan ada dan akan menyusahkan diri kita. Kalau tidak ada pikiran yang membayang-bayangkan keadaan yang belum ada ini, maka rasa takutpun tidak akan ada. Orang yang takut akan penyakit menular yang sedang mengamuk tentu belum terkena penyakit itu, orang yang takut akan kehilangan pekerjaan tentu belum kehilangan pekerjaan, orang yang takut akan kematian tentu belum mati. Demikian pula, orang yang takut akan setan tentu belum bertemu dengan yang ditakutinya itu. Maka dari itu, apabila menghadapi setiap persoalan, setiap peristiwa, kita membuka mata dengan waspada tanpa membayangkan hal-hal yang belum terjadi, tindakan kita tentu akan lebih tepat. Seperti halnya Thian Sin, ketika menghadapi segala penglihatan dan pendengaran itu, dia tidak membayangkan hal-hal yang mengerikan, melainkan dengan waspada dia mengamati, maka dia terbebas dari rasa takut dan dapat menanggulangi keadaan yang bagaimanapun juga. Ada yang mengatakan bahwa kita takut setan karena kita tidak mengertinya, karena kita tidak mengenalnya. Benarkah itu? Kalau kita mau menyelidiki, maka rasa takut akan setan itu sama sekali bukan timbul karena kita tidak mengenalnya. Orang yang tidak pernah mengenal setan, yang tidak pernah mendengar cerita tentang setan, anak-anak yang belum pernah mendengar sama sekali tentang setan, tidak mungkin akan takut! Sebaliknya, yang kita takuti adalah karena kita sudah tahu tentang setan, sudah mendengar tentang setan, bahwa setan itu menakutkan, mengerikan, menyeramkan dan sebagainya. Maka, takutlah kita, karena pikiran kita membayangkan hal-hal yang menakutkan itu! Sederhana sekali, bukan? Maka sekali lagi, dapatkah kita hidup bebas dari rasa takut? Senja itu Thian Sin kembali ke tempat persembunyiannya yang sunyi itu. Seperti biasa kalau dia hendak beristirahat di tempat ini, dia tidak langsung memasuki kuil. Dia tahu bahwa pada waktu itu, dia telah menanam banyak sekali bibit permusuhan dan pasti banyak orang pandai yang akan mencarinya dan mencelakainya. Oleh karena itu, dia selalu hati-hati dan ketika dia tiba di tempat sunyi itu, diapun tidak langsung memasuki kuil tua. Dia mengambil jalan memutar, lebih dulu mengelilingi kuil itu untuk melihat kalau-kalau ada orang bersembunyi. Ketika dia mulai memutari kuil, tiba-tiba dia mendengar suara isak tangis perlahan yang datangnya dari arah belakang kuil di mana terdapat pohon besar yang menakutkan itu. Hemm, apakah ada orang gila lain lagi yang hendak menakut-nakutinya, pikirnya. Ataukah ada orang pandai yang datang untuk membalas segala perbuatannya terhadap orang-orang jahat selama beberapa pekan di kota raja ini? Dengan hati-hati Thian Sin lalu pergi ke belakang kuil, dan diapun terheran-heran melihat ada sesosok tubuh wanita berlutut di bawah pohon besar itu, tak jauh dari tengkorak yang masih tergantung, dan menangis terisak-isak! Hemm, apakah ini? Perangkap? Thian Sin bersikap hati-hati sekali dan dengan kepandaiannya, dia berloncatan jauh dan mengelilingi pohon itu dari jauh untuk melihat kalau-kalau kehadiran wanita itu merupakan perangkap untuknya. Akan tetapi sunyi saja. Tidak ada orang lain kecuali wanita itu sendiri yang masih menangis. Maka diapun tidak curiga lagi dan cepat menghampiri, lalu setelah berdiri dekat diapun menegur halus. “Siapakah engkau? Mengapa kau menangis di sini?” Wanita itu nampak terkejut dan mengangkat muka memandang. Thian Sin melihat sebuah wajah yang cukup manis, dengan usia kurang dari tiga puluh tahun dan wanita itu segera bangkit berdiri dan menghadapi Thian Sin dengan sikap marah. “Kenapa engkau menggangguku? Pergilah! Urusanku tidak ada sangkut-pautnya denganmu. Pergi!” Akan tetapi tentu saja Thian Sin tidak mau pergi, bahkan dia mengerutkan alisnya dan berkata, “Hemm, engkaulah yang menggangguku, engkaulah yang harus pergi dari sini. Tempat ini adalah tempatku. Kau siapa dan apa maksudmu...” “Persetan denganmu!” bentak wanita itu, yang segera menerjang dan memukulnya! Thian Sin melihat gerakan orang yang paham ilmu silat, bahkan pukulannya cukup cepat dan keras. Dia menangkap lengan yang memukulnya itu dan sekali memutarnya, tubuh wanita itu terpelanting jatuh. Akan tetapi, dengan nekat wanita itu bangkit lagi dan menyerang lagi, kini menendang dengan tendangan cepat dan kuat ke arah pusar. Thian juga menangkap kaki itu dan mendorongnya sehingga wanita itu jatuh terbanting lebih keras lagi! Wanita itu menangis lagi. “Hu-huuuh... kau... kamu manusia kejam... !” Dan iapun menghampiri pohon di mana sudah terpasang selendangnya, sehelai selendang yang diikatkan ujungnya di cabang, dekat tempat tengkorak bergantung, kemudian wanita itu meloncat, memegang selendang yang tergantung itu dan memasang ujungnya pada lehernya, kemudian melepaskan kedua tangannya sehingga lehernya tergantung! Thian Sin terkejut sekali, akan tetapi dia berdiri dan tetap tersenyum. Ah, wanita itu tentu hanya hendak menggertak saja, pikirnya. Wanita seperti itu tentu bisa saja mempergunakan akal, pura-pura gantung diri untuk menarik perhatiannya, atau mungkin juga ada udang di balik batu. Siapa tahu wanita itu hendak menjebaknya. Maka diapun diam saja, bahkan bersedakap dan berdiri memandang sejenak, kemudian membalikkan tubuhnya dan memasuki kuil! Wanita itu sejak menggantung diri tadi memandang kepada Thian Sin dengan sinar mata tajam dan kini tubuhnya berkelojotan, lidahnya terjulur keluar, matanya melotot, akan tetapi ia tetap tidak mau mempergunakan kedua tangannya untuk menahan selendang. Kalau dikehendakinya, tentu saja ia dapat mempergunakan tangannya untuk menahan selendang dan melepaskan lehernya dari gantongan itu. Akan tetapi agaknya keputusannya sudah bulat dan ia memilih mati di tempat gantungan itu, berdekatan dengan tengkorak orang yang dahulu telah menggantung diri sampai mati di situ dan yang arwahnya kabarnya menjadi setan di tempat itu. Setelah tubuh itu tidak berkejojotan lagi, barulah Thian Sin berloncatan keluar dari kuil menuju ke pohon itu. Dengan mudah saja dia menurunkan wanita itu dari tempat gantungan, memondongnya memasuki kuil di mana telah dinyalakan sebatang lilin. Dia biasa tidur di lantai yang ditilami jerami kering dan seilmut. Direbahkannya tubuh itu ke atas selimut dan dia memeriksanya. Memang wanita itu telah pingsan. Cepat dia mengurut leher itu, menotok beberapa jalan darah dan memaksa bibir itu terbuka dan dituanginya beberapa teguk air dari guci airnya. Tak lama kemudian wanita itu membuka mata, mengeluh dan nampak bingung. “Su... sudah matikah...?” akan tetapi ia melihat wajah Thian Sin dan cepat ia memukul sambil meloncat bangun. Thian Sin menangkap tangan itu. “Tenanglah. Aku menyelamatkanmu dari kematian dan engkau malah hendak memukulku?” “Kenapa kau menurunkan aku? Kenapa tidak membiarkan aku mati. Ah, aku ingin mati saja! Aku ingin mati... huh-huuuhh...” dan wanita itupun menangis lagi, mengguguk. Thian Sin merasa kasihan. Tadinya dia merasa curiga, akan tetapi setelah melihat betapa wanita itu sungguh-sungguh hendak membunuh diri, dia merasa kasihan dan timbul keinginannya untuk menolong wanita yang merasa berduka dan lebih baik memilih mati itu. “Katakanlah kepadaku, mengapa engkau ingin mati? Kalau ada rasa penasaran, beritahukan padaku dan aku akan menolongmu.” Wanita itu menghentikan tangisnya dan memandang kepada wajah Thian Sin, lalu menangis lagi. “Tak mungkin...” isaknya. “Biarpun engkau dapat mengalahkan aku, akan tetapi seorang pemuda pelajar macam engkau ini mana mungkin dapat menandingi Toan-ong-ya?” Diapun menangis lagi. Diam-diam Thian Sin tertarik. Dia sudah pernah mendengar nama ini. Toan-ong-ya adalah seorang pangeran tua yang kabarnya tidak aktip lagi dalam pemerintahan, akan tetapi orang itu terkenal sebagai seorang pangeran yang kaya raya, memiliki ilmu silat cukup tinggi, dan terutama sekali, amat dermawan dan dikenal baik oleh para tokoh persilatan. Pangeran tua yang dikabarkan kaya raya dan gagah itu bagaimana kini dapat membuat seorang wanita muda yang manis ini menderita dan ingin membunuh diri? “Ceritakanlah, jangankan Toan-ong-ya, biarpun raja neraka sekali, kalau kuanggap cukup memenuhi syarat untuk dibasmi, akan kubunuh dia!” katanya dengan nada suara yang serius dan halus, namun mengandung ancaman yang mendirikan bulu roma. Wanita itu masih menangis, membuat Thian Sin menjadi jengkel juga. “Ceritakanlah dan aku akan membantumu. Kalau engkau tidak mau, nah, pergi dari sini dan kalau kau mau bunuh diri, silakan, akan tetapi jangan di tempatku sini!” Wanita itu menghentikan tangisnya, kemudian menjatuhkan diri berlutut di depan Thian Sin. “Benarkah taihiap sudi menolongku, membalaskan dendam sakit hatiku yang sedalam lautan?” “Ceritakanlah apa yang terjadi,” potong Thian Sin. “Pangeran terkutuk itu telah membunuh ayahku, suamiku, lalu memperkosaku dan memaksaku menjadi selirnya. Aku tak tahan lagi dan hendak membunuhnya untuk membalas kematian ayahku dan suamiku, akan tetapi dia terlalu kuat bagiku dan aku malah dihinanya... sampai aku melarikan diri dan pergi ke tempat yang terkenal ada hantunya ini untuk membunuh diri...” Thian Sin mengerutkan alisnya. Tentu saja dia tidak mau menelan dan menerima saja cerita sepihak macam ini. “Mengapa ayahmu dan suamimu dibunuh oleh pangeran itu?” Wanita itu lalu bercerita yang kadang-kadang diselingi isak. Ia bernama Louw Kim Lan, sudah beberapa tahun lamanya menjadi isteri dari seorang pemburu she Gak yang pekerjaannya memburu binatang buas berdua dengan ayahnya. Mereka berburu di hutan-hutan sebelah utara kota raja dan mereka telah mendapatkan seorang langganan yang baik, yaitu keluarga Pangeran Toan itulah. Pada suatu hari, ketika Kim Lan membawa kulit binatang hutan untuk dikirimkan ke rumah Toan-ong-ya, kebetulan sekali pangeran tua itu sendiri yang menerimanya dan agaknya pangeran yang terkenal kaya raya dan dermawan akan tetapi juga terkenal suka bermain-main dengan wanita-wanita cantik itu agaknya tertarik kepada Kim Lan yang manis. KIM Lan dibujuk dan diancam, bahkan Sang Pangeran itu mempergunakan kekerasan untuk menahannya di dalam istananya dan akhimya Kim Lan tak dapat melawan dan terpaksa harus menyerahkan diri kepada pangeran tua yang juga adalah seorang ahli silat tinggi yang amat lihai itu. Suaminya dan ayahnya yang sudah lama menjadi teman berburu suaminya, jauh sebelum ia menikah dengan pemburu itu, malam-malam datang menyelidiki dan dalam pertempuran melawan Toan-ong-ya, keduanya roboh tewas. Selanjutnya, Kim Lan diambil sebagai selir oleh pangeran itu. Ketika malam tadi Kim Lan mencari kesempatan untuk membunuh pangeran itu dengan racun ia ketahuan dan biarpun ia diampuni, namun ia diusir pergi dari istana. “Demikianlah, taihiap. Apa dayaku sebagai seorang wanita lemah? Biarpun aku mengerti sedikit ilmu silat, akan tetapi mana mungkin aku menandingi Toan-ong-ya? Baru melawan para pengawalnya saja aku tidak akan mampu. Karena putus harapan dan penasaran, aku mengambil keputusan untuk mati dan menyusul ayah dan suamiku saja!” Kim Lan mengakhiri penuturannya dan menangis lagi. Thian Sin sudah mengerutkan alisnya dan mengepal tinju tangannya. “Baik, malam ini juga Toan-ong-ya akan kubunuh, akan tetapi engkau harus ikut untuk membuktikan kebenaran ceritamu!” katanya. Wanita itu terkejut dan menggeleng kepala. “Tidak... tidak... mana aku berani ke sana?” “Jangan takut, ada aku yang akan melindungimu. Aku berjanji, takkan ada orang yang dapat mengganggumu seujung rambutmupun. Mari!” Dengan terpaksa, akan tetapi juga penuh harapan, wanita yang bernama Kim Lan itu lalu berlari menuju ke dalam kota raja. Ketika mereka tiba di pintu gerbang kota raja, Thian Sin memondongnya dan membawanya melompati tembok kota raja yang tinggi itu, membuat Kim Lan menahan napas dan juga kagum bukan main. Setelah mereka turun di sebelah dalam tembok itu, Kim Lan berkata. “Ah, sekarang aku percaya bahwa taihiap tentu akan dapat membantuku menghadapi pangeran terkutuk itu!” Thian Sin tidak menjawab, melainkan menurunkan Kim Lan dan mereka melanjutkan perjalanan menuju ke istana pangeran itu. Suasana sudah sunyi karena waktu telah mulai menjelang tengah malam. Dengan mudahnya mereka tiba di sebelah belakang tembok yang mengurung istana Pangeran Toan itu. Di sini, kembali Thian Sin memondong tubuh Kim Lan dan meloncat ke atas pagar tembok, lalu mereka, atas petunjuk Kim Lan, turun ke dalam taman di belakang istana. Dari sini, Kim Lan menjadi penunjuk jalan. Dengan berindap-indap mereka memasuki bangunan yang besar dan megah itu, melalui pintu-pintu rahasia kecil yang dikenal baik oleh Kim Lan. Setelah memeriksa dengan berindap-indap, akhirnya mereka tiba di luar sebuah ruangan tamu di belakang, di mana pangeran itu suka menerima tamu-tamunya yang penting atau sahabat-sahabat baiknya. Dan ruangan itu masih terang, berarti bahwa Sang Pangeran masih berada di situ, dan terdengarlah lapat-lapat suara orang bicara di balik pintu ruangan itu. “Dia berada di dalam ruangan menamu tamunya...” Kim Lan berbisik di dekat telinga Thian Sin. Thian Sin mengangguk dan balas berbisik, “Aku akan naik dan mengintai dari atas, engkau harus dapat membuktikan ceritamu kepadaku tadi, baru aku akan turun tangan.” Setelah berkata demikian, sekali berkelebat Thian Sin telah lenyap dari depan wanita itu. Ditinggal seperti ini, Kim Lan terkejut dan gelisah. Akan tetapi ia percaya bahwa pemuda itu pasti mengintai dari atas dan ia harus dapat meyakinkan hati pemuda itu akan kebenaran ceritanya tadi, dan kalau pemuda itu turun tangan, ia yakin bahwa musuh besarnya pasti akan dapat terbunuh dan dendamnya akan terbalas secara memuaskan sekali! Ia memberi kesempatan beberapa waktu agar pemuda itu dapat menemukan tempat pengintaian yang baik. Setelah lewat beberapa waktu, barulah ia mendorong pintu ruangan itu dan masuk ke dalam ruangan. Perbuatannya ini mengejutkan tiga orang laki-laki yang sedang duduk menghadapi meja dan bercakap-cakap di dalam ruangan itu. Mereka menghadapi cawan dan guci arak dan beberapa macam makanan kering. Tadinya pangeran tua itu mengira bahwa ada pelayan lancang yang memasuki ruangan, akan tetapi ketika dia melihat siapa yang masuk, alisnya berkerut dan dia bangkit berdiri dengan muka merah karena marah. “Hemm, perempuan rendah budi! Engkau berani datang lagi ke sini?” bentaknya. Dari atas atap yang sudah dia lubangi, Thian Sin mengintai. Dia melihat bahwa yang berdiri dan membentak itu adalah seorang laki-laki yang usianya sudah lima puluh tahun lebih, bertubuh tinggi dan masih gagah, nampak berwibawa namun sikapnya halus sebagai tanda bahwa kakek ini adalah seorang terpelajar tinggi. Mudah baginya untuk menduga bahwa orang inilah yang dimaksudkan oleh Kim Lan, yaitu Toan-ong-ya, Pangeran Toan yang terkenal itu. Dari teguran itu maklumlah dia bahwa memang benar pangeran itu mengenal baik kepada Kim Lan. Dia melihat Kim Lan menjatuhkan diri berlutut. “Ong-ya... saya tidak percaya paduka begini kejam! Sesudah membunuh ayahku, suamiku, dan setelah sekian lama saya melayani paduka, kini paduka hendak mengusirku begitu saja!” “Hemm, engkau tak mungkin lupa akan perbuatanmu yang hina! Engkau hampir berhasil membunuhku dengan meracuni minumanku, dan engkau mengatakan aku yang kejam? Hayo pergi dari sini, jangan engkau injak lagi tempat ini!” “Tapi... tapi saya mencoba meracuni paduka karena paduka telah membunuh ayahku dan suamiku...” “Ayahmu dan suamimu mencari mampus sendiri! Sudahlah, pergi kataku!” Dari atas, Thian Sin mendengar ini semua dan percayalah dia akan kebenaran cerita Kim Lan. Pangeran itu tidak menyangkal telah membunuh ayah dan suami wanita itu, dan Kim Lan juga sudah mengaku telah mencoba meracuni Sang Pangeran, persis seperti yang diceritakan oleh wanita itu kepadanya tadi. Marahlah Thian Sin. Membunuh ayah dan suami orang, memperkosa isteri orang, dan hal ini dia tidak sangsi lagi melihat bahwa Kim Lan begitu berbakti dan mencinta suaminya sehingga mau meracuni pangeran itu, dan sekarang hendak mengusir wanita itu begitu saja. Jelas bahwa pangeran itu bukan seorang baik-baik! Dia melihat bahwa dua orang tamu pangeran itu ternyata adalah dua orang laki-laki yang nampak gagah perkasa, yang seorang bertubuh tinggi besar berpakaian seperti petani, sikapnya polos dan gagah, sedangkan yang kedua adalah seorang berjubah hwesio berkepala gundul, berusia sebaya dengan petani itu, yaitu kira-kira empat puluh tahun. Namun dia tidak peduli. Kalau mereka akan mengeroyoknya, terserah, pikirnya. Maka diapun segera menerobos atap dan melayang turun ke dalam ruangan itu. “Yang berkedudukan mempergunakan kekuasaannya untuk menindas orang, yang kaya-raya mempergunakan hartanya untuk memperbudak orang, yang kuat mempergunakan kepandaiannya untuk bersikap sewenang-wenang, seorang pangeran membunuh dan memperkosa orang seenak perutnya sendiri. Ahah, sungguh dunia sudah penuh dengan manusia-manusia jahat yang harus dibasmi!” Sementara itu, melihat munculnya seorang pemuda yang menerobos masuk dari atas, maklumlah Pangeran Toan bahwa orang ini tentulah sekutu dari Kim Lan, maka dia sudah mencabut pedangnya dan menudingkan pedang itu ke arah muka Thian Sin sambil membentak, “Siapakah engkau yang berani memasuki rumah orang tanpa ijin?” Thian Sin tersenyum. “Hemm, biarpun engkau seorang pangeran yang kaya raya, apa kaukira boleh membunuh orang tanpa ijin?” Lalu sambil melangkah maju dia menyambung, “Kenalilah, aku adalah wakil orang-orang yang kaubunuh.” Tangannya sudah bergerak menampar ke depan dengan cepat dan kuat. Melihat ini, sang pangeran cepat menggerakkan pedangnya membacok ke arah tangan yang menampar itu. Akan tetapi tamparan itu memang hanya serangan pancingan saja dari Thian Sin. Ketika pedang membacok, dia membuka tangannya dan menerima pedang itu dengan tangan terbuka! Melihat kenekatan lawan ini, Sang Pangeran sendiri sampai terkejut karena tangan itu akan buntung bertemu dengan pedangnya. Akan tetapi dia kecelik, karena pedang itu terhenti dan sudah digenggam oleh tangan Thian Sin dan begitu pemuda ini menarik dan mengirim tendangan ke arah lengan yang memegang pedang, Sang Pangeran tidak mampu mempertahankannya lagi dan pedang itu telah dapat dirampas oleh lawan! Selagi pangeran itu terkejut dan terheran, menjadi bengong karena selama hidupnya belum pernah dia menghadapi kelihaian seperti itu, Thian Sin sudah berseru, “Sekarang terimalah hukumanmu!” Pedangnya menyambar seperti kilat. “Tranggg...!” Pedangnya bertemu dengan tongkat yang dipegangnya oleh hwesio itu. Kiranya hwesio itu telah menangkis pedang dengan tongkatnya dan dari getaran pedangnya, Thian Sin tahu bahwa hwesio ini tidak boleh dipandang ringan. “Omitohud... harap jangan terlalu ganas, orang muda!” kata hwesio itu. “Persetan dengan kamu! Aku tidak ada urusan denganmu!” bentak Thian Sin sambil terus menerjang Sang Pangeran yang sudah melangkah mundur. Hwesio itu menerjang dengan tongkatnya untuk melindungi, akan tetapi tiba-tiba pedang itu membalik dan berkelebat menyambar ke arah leher hwesio itu, lalu bertubi-tubi menyerangnya. Hwesio itu terkejut sekali dan sambil memutar tongkatnya diapun meloncat ke belakang. Kesempatan ini dipergunakan oleh Thian Sin untuk menubruk ke depan dan sebelum Sang Pangeran dapat mengelak, pedang itu telah menyambar seperti kilat. Sang Pangeran mengeluarkan jeritan mengerikan dan nampak darah muncrat dari bawah perutnya karena pedang itu telah menyambar ke arah alat kelaminnya! Pangeran itu terhuyung lalu roboh dan berkelojotan, kedua tangannya mendekap ke arah bagian yang terbabat pedang tadi. Peristiwa ini sedemikian cepatnya sehingga hwesio dan petani itu sejenak memandang bengong dan dengan muka pucat. Kemudian mereka berdua marah bukan main. “Penjahat kejam, apa yang kaulakukan?” bentak mereka dan keduanya lalu menyerang Thian Sin dengan gerakan yang amat kuat dan cepat. Hwesio itu menyerang dengan tongkatnya, sedangkan orang yang berpakaian petani itu telah menyerangnya dengan sebatang golok. Gerakan Si Petani ini tidak kalah tangkas dan kuatnya dibandingkan dengan hwesio itu. Melihat gerakan mereka, Thian Sin terkejut juga karena dia mengenal gerakan dari ilmu silat partai Siauw-lim-pai. Dia mengelak ke kanan kiri dan tongkat bersama golok itu telah menjadi gulungan sinar yang terus mengejarnya. Thian Sin tahu bahwa lawannya tangguh dan bahwa dia harus bertindak cepat kalau tidak mau keburu datang pasukan pengawal. Dari luar sudah terdengar ribut-ribut. Maka diapun cepat mainkan Thai-kek Sin-kun, kedua kakinya bergerak dengan langkah-langkah yang hebat dan tahu-tahu tangannya sudah berhasil mendorong kedua orang lawan itu sampai mereka terhuyung ke belakang. Dua orang itu terkejut bukan main karena mereka juga mengenal Thai-kek Sin-kun, akan tetapi mereka tidak mengenal tenaga serangan yang amat dahsyat tadi. “Kau... kau Pendekar Sadis!” teriak orang yang berpakaian petani. “Omitohud... yang ini tidak patut dinamakan pendekar, melainkan Penjahat Sadis!” kata Si Pendeta. “Aku tidak mempunyai urusan dengan kalian!” kata Thian Sin dan cepat dia menyambar tubuh Kim Lan yang berdiri di sudut dengan wajah khawatir, lalu hendak berlari keluar. “Penjahat kejam jangan lari!” bentak Si Petani dan diapun sudah meloncat dengan cepatnya menerjang Thian Sin sambil menggerakkan goloknya. “Plakk! Tranggg...!” Golok itu terlempar dan Si Petani itu jatuh terpelanting ketika Thian Sin menyambutnya dengan pukulan Pek-in-ciang. Melihat pukulan yang mengeluarkan uap putih itu Si Hwesio yang tadinya juga mengejar, terkejut dan cepat dia menolong temannya yang roboh pingsan, memeriksanya dan baru merasa lega ketika melihat bahwa temannya itu tidak tewas, melainkan terguncang hebat oleh pukulan itu sehingga menjadi pingsan. Hwesio ini juga mengenal pukulan Pek-in-ciang, semacam pukulan sakti yang kabarnya hanya dimiliki oleh pendekar Yap Kun Liong, seorang locianpwe yang bertapa di Bwee-hoa-san dan yang kabarnya sudah tidak mencampuri lagi urusan dunia. Para pengawal berserabutan masuk, akan tetapi Thian Sin dan Kim Lan sudah tidak nampak lagi bayangannya. Mereka lalu menolong pangeran itu, akan tetapi terlambat karena pangeran itu telah tewas dengan anggauta kelaminnya terbabat buntung! Dengan hati penuh duka hwesio dan petani itu membantu keluarga pangeran itu untuk berkabung dan kematian Pangeran Toan ini benar-benar mengejutkan semua orang dan bahkan sempat menggegerkan dunia kang-ouw, terutama para tokoh persilatan di sekitar kota raja. Pangeran ini dikenal sebagai seorang yang amat akrab dengan tokoh-tokoh kang-ouw, terkenal sebagai seorang budiman dan dermawan. Memang dia terkenal pula sebagai seorang pria yang suka dengan wanita-wanita muda sehingga di samping isterinya, juga di istananya terdapat belasan orang selir yang muda-muda dan cantik-cantik. Namun hal ini bukan merupakan kejahatan apalagi di masa itu di mana seorang bangsawan atau hartawan sudah biasa mempunyai banyak selir muda yang cantik. Pula, tidak pernah terdengar pangeran ini menggunakan kekuasaannya untuk memaksa isteri atau anak orang untuk menjadi selirnya. Oleh karena itu, pembunuhan terhadap dirinya sungguh mengejutkan dan menggegerkan, apalagi ketika para tokoh itu mendengar bahwa pembunuhnya adalah Pendekar Sadis yang terkenal sebagai pembasmi yang kejam terhadap orang-orang jahat, dan bahwa pembunuhan itu dilakukan karena Sang Pendekar yang kejam itu menuduhnya berbuat kejahatan. Para tokoh besar dunia kang-ouw yang sudah mendengar akan sepak terjang Pendekar Sadis, yang sudah merasa marah dan menentang, tidak setuju akan kekejaman-kekejaman itu walaupun dilakukan terhadap penjahat-penjahat, kini menjadi marah dan menganggap bahwa Pendekar Sadis itu kini telah menyeleweng dan menjadi Penjahat Sadis! Ramailah dipersoalkan orang siapa adanya pemuda yang disebut Pendekar Sadis itu. Pendekar Sadis tidak pernah mengakui namanya dan julukannya itupun adalah pemberian orang kepadanya karena sepak terjangnya yang mengerikan. Datangnya seperti setan, tersenyum-senyum, tampan, ganteng, halus sikapnya, suka bersajak dan membaca ayat-ayat suci dari kitab-kitab suci, suka menyuling dan bernyanyi dengan suara merdu, akan tetapi sekali tangannya bergerak, maka lawan akan terjatuh dan tewas dalam keadaan tersiksa dan amat mengerikan! Belum pernah para tokoh kang-ouw melihat kekejaman yang sehebat itu dan merekapun merasa muak dan menentang keras. Perbuatan seperti yang dilakukan oleh Pendekar Sadis itu sungguh kejam dan tidak patut dilakukan oleh orang yang mengaku Pendekar. Hal ini bisa menodai dan mengotorkan nama pendekar-pendekar di dunia! Pendekar bukanlah orang yang kejam, walaupun pendekar selalu menentang kejahatan. Bahkan seorang pendekar harus menentang kekejaman, bersikap adil tanpa kejam, mengabdi kebenaran dan keadilan, membela yang lemah tertindas menentang yang kuat sewenang-wenang. Bahkan dua orang murid Siauw-lim-pai itu, yang malam itu menjadi tamu Pangeran Toan dan bahkan menjadi saksi kekejaman Pendekar Sadis, cepat-cepat pulang ke Siauw-lim-si untuk melaporkan sepak terjang Pendekar Sadis kepada para pemimpin Siauw-lim-pai. Sementara itu, Thian Sin juga merasa menyesal bahwa dia harus bentrok dengan dua orang yang melihat gerakannya dapat diduga tentu tokoh-tokoh Siauw-lim-pai itu. Akan tetapi dia tidak peduli. Kalau mereka itu membela Toan-ong-ya, berarti mereka membela fihak yang salah, pikirnya. Dengan cepat dia membawa lari Kim Lan dari istana pangeran itu. Dia tidak mau meninggalkan wanita itu di sana, karena hal itu sama saja dengan mencelakakannya. Dengan cepat sekali dia telah keluar dari kota raja dan menuju ke kuil yang gelap dan sunyi itu. Setibanya di luar kuil, dia menurunkan tubuh Kim Lan dan berkata, “Nah, sudah terbalas dendammu, sekarang pergilah kau.” Tiba-tiba wanita itu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Thian Sin. “Taihiap... aku merasa berterima kasih sekali kepadamu... dan biarlah aku menyerahkan diriku kepada taihiap untuk membalas budi taihiap...” “Hemm, pergilah dan jangan kauganggu aku lagi!” kata Thian Sin. “Tapi... tapi, taihiap, ke manakah aku dapat pergi? Kalau bertemu dengan kaki tangan dan teman-temannya Pangeran Toan, tentu aku akan ditangkap dan dibunuhnya. Taihiap, mengapa taihiap menolong aku setengah-setengah?” Thian Sin mengerutkan alisnya, maklum bahwa apa yang dikatakan oleh wanita itu memang ada benarnya. “Habis, apa maumu?” tanyanya, agak bingung juga. “Taihiap, biarlah selama taihiap berada di sini aku menemani taihiap, aku akan melayani taihiap... dan apapun yang taihiap kehendaki dariku, akan kulakukan dengan senang hati.” Thian Sin tidak menjawab. Dia sendiri bingung apa yang harus dilakukannya terhadap wanita ini. Untuk mengusirnya begitu saja terang tidak mungkin karena tentu wanita ini akan tertimpa malapetaka kalau bertemu dengan orang-orang yang mencarinya. Kematian Toan-ong-ya tentu akan menggemparkan kota raja dan para penjaga keamanan tentu akan mencari wanita ini. Maka diapun lalu masuk ke dalam kuil, menyalakan lilin. Ketika dia hendak membuat api unggun, dia telah didahului oleh Kim Lan yang tanpa banyak cakap, telah membuat api unggun, kemudian wanita itu duduk di sudut tanpa banyak bergerak, hanya sepasang matanya yang bening itu menatap ke arah pemuda itu. Thian Sin melirik. Wanita itu memang manis, dengan bentuk tubuh yang padat, kulit leher dan tangan cukup bersih dan halus. Sudah beberapa lamanya dia tidak berdekatan dengan wanita dan wanita ini memang manis, masih muda pula. “Tidak mungkin aku dapat melindungimu terus, besok aku akan pergi dari sini,” tiba-tiba pemuda itu berkata sambil merebahkan dirinya di alas jerami kering. Kim Lan memandang dengan mata terbelalak, lalu bangkit dan menghampiri duduk di atas jerami dekat dengan Thian Sin. “Engkau hendak pergi, taihiap? Ke mana? Lalu aku... aku bagaimana...?” Sambil rebah itu Thian Sin memandang. Apa gunanya wanita ini? Dan tiba-tiba dia bertanya, “Kim Lan, apakah yang harus kulakukan denganmu? Aku mempunyai banyak urusan penting dan aku tidak mungkin dapat melindungimu terus. Aku telah membalaskan sakit hatimu. Besok aku harus pergi untuk mencari seorang musuh besarku yang sampai kini belum juga kutemukan. Aku terpaksa akan meninggalkanmu di sini.” “Mencari musuhmu, taihiap? Siapakah yang kaucari? Siapa tahu aku dapat membantumu menemukannya.” Ucapan ini mendatangkan harapan pada Thian Sin. “Benarkah? Yang kucari itu adalah seorang yang bernama Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam, seorang tokoh Jeng-hwa-pang yang kabarnya melarikan diri di kota raja, akan tetapi sampai kini belum juga dapat kutemukan.” Wanita itu nampak termenung dan bibirnya membisikkan nama itu berkali-kali. “Tok-ciang Sian-jin...? Tok-ciang... ah, pernah aku mendengar nama itu, taihiap!” Dan iapun mendekat dan jari-jari tangannya memegang lengan Thian Sin karena merasa tegang dan girang. Pemuda itu merasa jari-jari tangan yang halus itu mencengkeram lengannya, akan tetapi hal ini tidak begitu diperhatikan karena dia sudah bangkit duduk dan memandang dengan sinar mata penuh selidik. “Benarkah? Engkau tahu di mana dia?” tanyanya. Kim Lan mengangguk-angguk. “Sekarang aku teringat. Mendiang suamiku pernah mengirimi kulit harimau yang dipesan oleh ketua Pek-lian-kiuw di lereng Tai-hang-san, di dusun yang disebut Dusun Tiong-king. Ya, suamiku pernah bercerita bahwa di situ terdapat seorang kakek yang berjuluk Tok-ciang... yang kuingat hanya Tok-ciang begitu saja, entah Tok-ciang Sian-jin atau Tok-ciang siapa. Suamiku mendengar julukan itu dari percakapan antara para anggauta Pek-lian-kauw ketika dia menantikan pembayaran.” “Bagus sekali!” Thian Sin berseru dengan girang. “Engkau mau membantuku?” “Tentu saja, taihiap. Setelah apa yang kaulakukan untukku, biar harus berkorban nyawapun untukmu aku bersedia melakukannya!” “Aku akan mencari harimau dan engkau boleh menawarkan kulitnya ke orang Pek-lian-kauw, dengan demikian engkau dapat menyelidiki di mana adanya orang yang berjuluk Tok-ciang Sian-jin apakah dia itu benar Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam atau bukan.” “Baik, taihiap, dengan senang hati. Dan lebih dari itu... kalau engkau menghendaki... aku... aku akan senang sekali menemanimu tidur...” Wajah itu masih sempat menjadi merah ketika mengatakan hal ini dan matanya mengerling tajam, mulutnya tersenyum. Memang sejak pertemuannya yang pertama dengan pemuda itu, Kim Lan sudah tergila-gila oleh ketampanan wajah Thian Sin, apalagi setelah menyaksikan sepak terjang Pendekar Sadis ini. Thian Sin tersenyum, lalu meraih dan menarik tubuh wanita itu dalam pelukannya. Tentu saja dia tidak menolak penawaran diri seorang wanita semanis Kim Lan, apalagi karena sudah beberapa lamanya dia tidak pernah menyentuh wanita. *** Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih) sebenarnya bukanlah suatu perkumpulan agama, melainkan sebuah perkumpulan politik yang menentang pemerintah. Memang para pemimpinnya terdiri dari para tosu yang sebagian menganut Agama To yang sudah tidak aseli lagi, yang bercampur-baur dengan pelajaran-pelajaran Agama Buddha dan pelajaran aliran-aliran lain yang suka akan hal-hal mistik. Pek-lian-kauw merupakan perkumpulah penentang pemerintah yang kuat. Biarpun sudah sering kali pemerintah melakukan usaha untuk membasminya, namun perkumpulan ini selalu berdiri lagi dan mempunyai cabang di mana-mana. Kekuatannya terletak kepada pengerahan rakyat yang mudah terbujuk perkumpulan ini melalui ilmu-ilmu sihir, melalui filsafat-filsafat agama dan janji-janji. Tentu saja semua ini didasarkan atas penderitaan rakyat. Pek-lian-kauw pandai menggunakan bujuk rayu, memanfaatkan kemiskinan dan penderitaan rakyat yang merasa tidak puas terhadap pemerintah yang memang pada waktu itu amat buruk. Banyak pembesar yang bersikap sewenang-wenang, pejabat-pejabat yang menindas rakyat dengan berbagai jalan. Kekeliruan pemerintah yang terutama adalah bahwa pemerintah selalu mengejar-ngejar perkumpulan itu dengan kekerasan. Tentu saja pemerintah selalu gagal, karena pemerintah hanya mengejar den berusaha membasmi akibatnya saja tanpa mempedulikan sebabnya. Timbulnya ketidakpuasan rakyat membentuk adanya perkumpulan seperti perkumpulan Pek-lian-kauw yang ideologinya dilandaskan atas kemiskinan rakyat yang menderita dan tidak puas itu adalah akibat saja, dan sebabnya terletak pada keadaan rakyat itu sendiri. Biarpun ribuan kali perkumpulan semacam itu dibasmi, namun selama rakyat masih tertindas, miskin dan tidak puas, tentu akan muncul pula perkumpulan baru yang serupa, yaitu menentang pemerintah dan merongrong pemerintah. Pek-lian-kauw selalu menghasut di dusun-dusun, rakyat miskin dengan mengatakan betapa rakyat sengsara hidupnya, ditindas, dan menonjolkan pula, betapa mewahnya kehidupan orang-orang kaya dan pembesar-pembesar yang korup di kota-kota dan kota raja. Dengan perbandingan-perbandingan yang menyolok ini, yang ditambahi pula bumbu-bumbu, Pek-lian-kauw menghasut rakyat jelata untuk menentang, untuk memberontak terhadap orang kaya, terhadap pembesar, terhadap pemerintah. Kemiskinan rakyat merupakan sumber pertumbuhan perkumpulan semacam Pek-lian-kauw itulah. Rakyat yang kecewa atau tidak puas akan keadaan hidupnya, merupakan makanan empuk bagi perkumpulan semacam itu, mudah dihasut. Oleh karena itu, mengejar-ngejar Pek-lian-kauw, membasminya dengan kekuatan senjata, sama saja dengan membabat rumput pada daunnya saja. Karena akarnya masih, maka dalam waktu singkat saja rumput-rumput itu akan tumbuh lagi, bahkan lebih subur mungkin. Sebuah pemerintahan yang baik, di bawah bimbingan pemimpin-pemimpin yang bijaksana, tentu akan lebih mempelajari sebabnya daripada terkecoh oleh akibatnya, tentu akan lebih memperhatikan akarnya daripada mengacuhkan rumputnya. Sebabnya atau akarnya terletak kepada kesengsaraan atau kemelaratan rakyat jelata. Kalau pemerintah memperhatikan keadaan kehidupan rakyat jelata, di dusun-dusun, di gunung-gunung, kalau pemerintah dapat meningkatkan kehidupan mereka yang miskin dengan pendapatan yang memadai, sehingga semua rakyat dapat memperoleh sandang pangan papan yang layak, kalau perbedaan antara si kaya dan si miskin tidak begitu menyolok, kalau semua pejabat yang memeras dan korupsi diberantas dan diganti orang-orang yang bijaksana, maka rakyat akan hidup tenteram, tenang dan tidak kecewa. Nah, kalau sudah begini, maka tanpa diberantaspun, perkumpulan-perkumpulan macam Pek-lian-kauw itu akan mati sendiri. Rakyat tentu akan terbuka matanya bahwa perkumpulan semacam itu hanya menghasut belaka untuk mempergunakan kekuatan mereka, kekuatan rakyat, untuk memberontak dan mengambil alih kekuasaan, atau lebih jelas lagi perkumpulan itu hendak mempergunakan kekuatan rakyat untuk merebut kedudukan, demi kepentingan beberapa gelintir pemimpin perkumpulan itu sendiri tentu saja. Dan rakyat tentu akan menentangnya. Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam adalah seorang tokoh besar yang memiliki ilmu kepandalan tinggi. Akan tetapi semenjak Jeng-hwa-pang diserbu oleh putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw yang kemudian dibantu oleh keturunan Cin-ling-pai, dia merasa tidak aman hidupnya. Dia masih merasa ngeri kalau membayangkan kelihaian putera Pangeran Ceng Han Houw itu. Dan diapun mengerti bahwa pemuda yang mengandung sakit hati atas kematian ayah bundanya itu tentu akhirnya akan mencarinya. Maka larilah dia, setelah Jeng-hwa-pang dibasmi, ke kota raja di mana dia mempunyai banyak sahabat dan dapat menyembunyikan dirinya. Beberapa tahun lamanya tidak ada orang mencarinya maka dia mulai merasa tenang. Akan tetapi, kemudian terdengar munculnya seorang pemuda yang dijuluki Pendekar Sadis karena kekejamannya membasmi orang-orang jahat. Tok-ciang Sian-jin teringat kepada Thian Sin, putera Ceng Han Houw itu, dan dia sudah dapat menduga bahwa agaknya Pendekar Sadis adalah Ceng Thian Sin putera pangeran yang pernah menggegerkan dunia persilatan sebagai jagoan nomor satu itu! Dan diapun menjadi panik dan ketakutan, apalagi ketika dia mendengar bahwa Hwa-i Kai-pang telah diobrak-abrik oleh Pendekar Sadis, bahkan Lo-thian Sin-kai dan Hek-bin Mo-kai juga telah dibunuhnya secara mengerikan. Makin yakinlah hatinya bahwa pemuda itu tentulah Ceng Thian Sin dan diapun tahu bahwa pemuda itu tentu akan mencarinya, tentu tahu pada akhirnya bahwa diapun menjadi satu di antara pengeroyok dan pembunuh Pangeran Ceng Han Houw. Tok-ciang Sian-jin merasa tidak aman lagi tinggal di kota raja dan diapun lari ke satu-satunya tempat yang dirasanya aman baginya, yaitu ke sarang Pek-lian-kauw. Memang sudah lama dia mempunyai hubungan baik dengan Pek-lian-kauw. Setelah dia menempati sebuah pondok di dalam komplek sarang Pek-lian-kauw dan beberapa oreng tokoh Pek-lian-kauw yang cukup lihai sebagai teman, hatinya menjadi tenteram juga. Betapapun juga putera Sang Pangeran Ceng Han Houw yang diduganya tentulah Si Pendekar Sadis itu hanya seorang diri saja, maka dengan bantuan Pek-lian-kauw, bukan saja dia akan mampu menandingi Pendekar Sadis, bahkan kalau pemuda itu berani muncul, dia tentu akan berusaha agar pendekar itu dikeroyok dan tewas seperti mendiang ayahnya. Sarang Pek-lian?kauw yang berada di lereng Pegunungan Tai-hang-san dan tidak jauh dari daerah kota raja itu memang merupakan tempat yang amat baik bagi perkumpulan ini. Dan agaknya untuk tidak menarik perhatian pemerintah, maka perkumpulan itu tidak mendirikan sebuah benteng, melainkan mempergunakan sebuah dusun untuk menjadi sarang mereka. Mereka mendirikan rumah-rumah di antara penduduk dusun, dan ada pula yang mendirikan rumah-rumah di hutan-hutan tepi dusun itu, akan tetapi di antara rumah-rumah ini terdapat hubungan rahasia dan setiap saat tempat itu terjaga oleh anak buah Pek-lian-kauw yang bersembunyi di tempat-tempat rahasia. Para penduduk dusun Tiong-king itupun kesemuanya telah dipengaruhi dan biarpun mereka masih merupakan penduduk dusun biasa, namun sesungguhnya mereka itu telah menjadi anggauta-anggauta yang setia dari Pek-lian-kauw yang menjanjikan perbaikan nasib bagi mereka kalau kelak “perjuangan” Pek-lian-kauw berhasil. Pada suatu pagi, seorang wanita yang manis memasuki perkampungan Pek-lian-kauw itu dan karena ia membawa kulit harimau dan mengatakan bahwa wanita itu adalah isteri mendiang Hok-houw-kwi (Setan Penakluk Harimau), yaitu pemburu yang biasa menjual kulit harimau dan ular besar kepada para pimpinan Pek-lian-kauw, maka ia diterima tanpa banyak kecurigaan. Bahkan Kim Lan yang membawa dua gulung kulit harimau itu segera dibawa menghadap kepada Thian Hwa Lo-su, yaitu kakek yang pada waktu itu menjadi pemimpin atau ketua cabang Pek-lian-kauw di daerah itu. Adapun pusat Pek-lian-kauw masih berada di selatan, di Propinsi Hok-kian. Thian-hwa Lo-su ini adalah seorang sahabat baik dari Tok-ciang Sian-jin, dan dia memimpin Pek-lian-kauw cabang daerah itu dengan bantuan lima orang sutenya. Dengan hadirnya Tok-ciang Sian-jin di tempat itu, tentu saja dia merasa gembira dan berarti memperoleh tenaga yang boleh diandalkan, yang akan membuat Pek-lian-kauw cabang daerah itu menjadi semakin kuat. Pada waktu itu, Thian-hwa Lo-su sedang bersama lima orang sutenya dan juga Tok-ciang Sian-jin hadir pula. Mereka sedang menerima kunjungan seorang tokoh Pek-lian-kauw dari Hok-kian. Tokoh ini adalah seorang tosu Pek-lian-kauw yang bernama Giok-lian-cu, seorang tosu tinggi kurus yang mukanya seperti tikus akan tetapi matanya amat berwibawa dan memang tokoh ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi di samping ilmu sihir yang cukup kuat. Giok-lian-cu ini datang membawa pesan dari para pimpinan Pek-lian-kauw pusat untuk memperingatkan para pengurus cabang bahwa mereka itu kurang tekun berusaha menarik dukungan rakyat. “Bagaimana dapat dikatakan kami kurang berusaha?” Thian-hwa Lo-su membantah. “Kami setiap hari sudah membujuk dan menghibur rakyat di dusun-dusun, dan sudah banyak yang menjadi pengikut kami. Seperti di dusun Tiong-king ini, dari anak-anak sampai kakek-kakek, laki-laki maupun wanita, semua mendukung gerakan kita!” Dia merasa agak penasaran kalau dikatakan bahwa para pimpinan cabang kurang giat atau rukun bekerja. “Siancai... harap Lo-heng jangan salah mengerti dan dapat menyelami apa yang dimaksudkan para pimpinan kita,” kata Giok-lian-cu sambil tersenyum. Kalau tersenyum, mukanya semakin mirip dengan muka tikus karena bentuk muka itu memang meruncing dan panjang, sedangkan muka itu dicukur licin, hanya disisakan beberapa helai kumis jarang. “Coba Lo-heng jawab, selain berusaha membujuk dan mengambil hati rakyat dengan janji-janji muluk, apakah juga kawan-kawan di daerah ini berusaha untuk mencegah dan menghalangi adanya kemakmuran rakyat? Apakah ada usaha untuk mengacaukan pembagian air sawah, merusak tanaman, meracuni sungai-sungai agar ikan-ikan banyak mati, juga mengadakan kekacauan-kekacauan berselubung sehingga rakyat hidup dalam kekurangan, kelaparan dan kegelisahan?” Para pimpinan Pek-lian-kauw daerah itu terbelalak. Selama mereka menerima “gemblengan” di pusat belum pernah mereka mendengar akan usaha seperti itu. “Tapi mengapa? Bukankah kita malah harus berbaik dengan rakyat miskin? Mengapa kita harus membuat kehidupan mereka menjadi semakin memburuk...?” “Ha-ha-ha, agaknya Lo-heng lupa bahwa rakyat harus dibuat semenderita mungkin, karena dengan demikian, dengan adanya kegagalan panen, kegagalan para nelayan, kekacauan dan ketidakamanan, maka semakin besar pula rakyat akan tidak puas dan membenci pemerintah. Kaisar dianggap sebagai utusan Thian, dan kalau sampai panen gagal dan kehidupan sukar, berarti bahwa Thian marah kepada kaisar maka menjatuhkan hukuman. Ini lebih mudah untuk mendorong rakyat untuk memberontak dan menjadi pengikut-pengikut kita.” Para pimpinan Pek-lian-kauw mengangguk-angguk dan mereka merasa kagum akan siasat baru yang dibawa oleh rekan ini dari pusat. Mereka lalu menyatakan kesanggupan mereka untuk mempergiat usaha mereka membuat rakyat di wilayah kekuasaan mereka menjadi semakin melarat, dan kalau perlu mereka akan membasmi hartawan-hartawan yang suka menderma, menghancurkan atau membakar persediaan pangan, meracuni sungai yang banyak ikannya dan meracuni tanaman-tanaman agar mati sebelum mengeluarkan hasil. Akhirnya mereka itu minum arak dari cawan mereka sambil berseru, “Hidup Pek-lian-kauw! Demi kemakmuran rakyat kalau pemerintah telah digulingkan dan Pek-lian-kauw yang berkuasa!” Rapat pimpinan dilanjutkan dengan makan minum untuk menjamu tamu dari pusat itu. Dan biarpun para pimpinan Pek-lian-kauw itu terdiri dari orang-orang yang mengenakan jubah pendeta, akan tetapi mereka semua tidak pernah pantang makan barang berjiwa maupun minuman keras. Bahkan merekapun tidak pernah pantang bersenang-senang dengan wanita. Karena itu, dalam perjamuan itupun terdapat beberapa orang wanita muda, yaitu wanita-wanita dari dusun-dusun yang telah menjadi pendukung mereka, tentu saja dipilih yang manis-manis melayani mereka makan minum. Para gadis yang telah dipilih oleh pimpinan Pek-lian-kauw itu rata-rata telah lama menjadi kekasih mereka pula, dan sewaktu-waktu dapat dipanggil untuk menghibur para pimpinan Pek-lian-kauw. Gadis ini merasa seolah-olah mereka itu terpilih dan merasa bangga karena selain mereka merasa dipakai oleh para orang terkemuka, juga mereka tentu saja dihadiahi banyak barang berharga, pakaian indah dan emas permata. Karena itu, dalam melayani mereka makan minum gadis-gadis itupun bersikap genit-genit, apalagi terhadap tamu itu, walaupun pendeta tamu itu tak dapat dikatakan memiliki wajah dan bentuk badan yang menarik hati wanita. Pada pagi hari itulah, selagi para pimpinan Pek-lian-kauw menjamu Giok-lian-cu, tokoh Pek-lian-kauw pusat itu, muncul Kim Lan yang menawarkan dua gulungan kulit harimau kepada para pimpinan Pek-lian-kauw. Anggauta Pek-lian-kauw yang mengenal suami wanita ini dan bahwa ketua mereka suka sekali mengumpulkan kulit binatang buas, segera membawa Kim Lan masuk ke ruangan di mana mereka sedang berpesta, apalagi melihat bahwa wanita penjual kulit harimau ini amat manis. Melihat anggautanya datang membawa seorang wanita yang tidak mereka kenal, Thian-hwa Lo-su mengerutkan alisnya. Betapa sembrono anak buahnya itu. “Siapa yang kaubawa menghadap ini?” “Maaf, suhu, ia adalah isteri mendiang Hok-houw-kwi si pemburu yang pernah menjual kulit binatang buas ke sini, dan ia sekarang membawa dua gulung kulit harimau...” Kecurigaan segera lenyap dari sepasang mata ketua Pek-lian-kauw itu dan kini dia memandang dengan penuh perhatian, juga dengan pandang mata lembut ketika melihat betapa wanita itu memiliki wajah yang manis dan pakaiannya yang ketat itu menonjolkan tubuh yang padat dan menggairahkan. Juga pandang mata wanita itu mengandung kerling tajam, tanda bahwa wanita itu tidak berdarah dingin. Dan terutama sekali, baru sekarang tuan rumah ini melihat betapa pandang mata tamunya berkilat. Kalau tadi tamunya menghadap para pelayan itu dengan sikap tak acuh dan jemu, kini kedatangan wanita itu membangkitkan gairah tamunya. Dan memang, dibandingkan dengan gadis dusun yang sudah terbiasa melayani mereka dan bersikap genit-genit itu, wanita penjual kulit harimau ini jauh lebih unggul, baik dalam hal kemanisan wajah, kepadatan tubuh yang nampak menyembunyikan kekuatan dan kehangatan, maupun dalam sikap yang nampak alim. “Ah, jadi engkau adalah isteri Hok-houw-kwi? Pinto mengenal baik suamimu itu. Apa, sudah mendiang? Duduklah nyonya muda, duduklah dan ceritakan kapan suamimu itu meninggal dunia,” kata Thian-hwa Lo-su dengan sikap ramah. Kim Lan menolak dengan sikap malu-malu, akan tetapi setelah dibujuk oleh para tokoh Pek-lian-kauw yang lain akhirnya duduklah ia di sebuah kursi, setelah ia menarik kursi itu agak menjauh dari meja dan dari para tokoh Pek-lian-kauw yang sedang duduk menghadapi masakan di atas meja yang panjang dan lebar itu. Diam-diam ia mengerling ke arah mereka dan dengan mudah ia dapat mengenal Tok-ciang Sian-jin seperti yang didengarnya dari Thian Sin. Seorang kakek berusia hampir tujuh puluh, masih nampak kuat dan tubuhnya tinggi kurus, mukanya pucat agak kehijauan, sepasang mata yang sipit seperti terpejam, dan jubahnya kuning. Yang berwajah dan bertubuh seperti itu hanya orang ini, maka tentu inilah Tok-ciang Sian-jin, pikirnya. Pendeta yang selalu menatapnya, yang tinggi kurus pula, mukanya seperti tikus, tentu bukan Tok-ciang Sian-jin. Maka, iapun cepat mencurahkan perhatian kepada tugasnya dan setelah duduk, ia diam saja menundukkan mukanya yang manis. “Ceritakanlah, nyonya, bagaimana suamimu meninggal? Apakah meninggal ketika memburu binatang buas? Sudah lama sekali dia tidak pernah mengirim kulit binatang ke sini,” desak pula ketua cabang Pek-lian-kauw itu sambil tersenyum melihat betapa Si Muka Tikus itu nampak makin tertarik setelah mendengar bahwa suami wanita ini telah meninggal dunia. Didesak demikian, tiba-tiba saja sepasang mata Kim Lan yang bening itu menjadi basah dan ia menjawab dengan suara gemetar memancing rasa iba, “Suami saya... dan ayah saya... telah dibunuh oleh si keparat Pangeran Toan.” Ia sengaja memaki nama pangeran itu karena iapun tahu bahwa orang-orang Pek-lian-kauw ini amat membenci kaum bangsawan, hartawan, dan juga pemerintah. “Toan-ong-ya...?” tanya ketua cabang Pek-lian-kauw itu dan semua orang memandangnya dengan penuh perhatian. “Benar, totiang,” kata wanita itu sambil menahan isaknya. “Ahhh...! Tapi bukankah pangeran keparat ini baru-baru saja dibunuh oleh Pendekar Sadis? Demikian yang kami dengar!” Tiba-tiba Tok-ciang Sian-jin berkata dan diam-diam Kim Lan bergidik mendengar suara ini, suara yang mengandung getaran yang mengguncangkan jantungnya. Pendekar Sadis telah memberi tahu kepadanya bahwa pendeta ini memiliki kepandaian yang amat lihai. “Saya juga sudah mendengar akan hal itu dan saya bersyukur karenanya. Siapapun yang membunuhnya, sakit hati saya akan kematian suami dan ayah saya telah terbalas!” katanya dan ia dapat membuat suaranya terdengar lega dan bersyukur. “Eh, nyonya muda, kau belum menceritakan mengapa suamimu dan ayahmu dibunuh oleh pangeran itu, dan kapankah terjadinya hal itu?” “Ayah saya dan suami saya dibunuh oleh kaki tangan pangeran itu, kurang lebih empat bulan yang lalu karena... karena... ketika saya diutus suami saya menjual kulit harimau ke sana, pangeran itu hendak memaksa saya menjadi selirnya... saya melarikan diri, dikejar kaki tangan pangeran itu. Ayah dan suami saya membela, akan tetapi mereka dibunuh dan saya berhasil melarikan diri dan bersembunyi. Setelah mendengar pangeran keparat itu dibunuh orang barulah saya berani keluar dari tempat persembunyian saya lagi.” Semua orang mengangguk-angguk. Akan tetapi ketua cabang Pek-lian-kauw itu tiba-tiba mengajukan pertanyaan, “Kalau mereka sudah mati, bagaimana engkau bisa memperoleh dua gulung kulit harimau ini?” Hemm, ketua perkumpulan ini cerdik juga, pikir Kim Lan. Ia harus berhati-hati, karena kalau sampai bocor rahasianya, tentu ia akan mati tanpa dapat menghindarkan diri dari bahaya maut lagi. “Setelah mendengar pangeran keparat itu tewas, saya berani keluar lagi dan bersama teman-teman pemburu yaitu bekas teman-teman suami saya, saya lalu melanjutkan pekerjaan suami saya. Kami berhasil menjebak dua ekor harimau dan karena kami memburu di hutan-hutan yang berdekatan dengan tempat ini, yaitu di lereng Tai-hang-san sebelah barat, saya lalu teringat kepada pesan suami saya untuk menjual hasil buruan, terutama kulit harimau ke dusun Tiong-king, di mana katanya ada ketua perkumpulan yang suka membelinya.” “Hemm, dia mengatakan ketua perkumpulan? Perkumpulan apa?” tanya ketua Pek-lian-kauw dengan kaget. “Saya tidak tahu namanya, totiang, hanya dikatakan bahwa di dusun ini saya boleh minta menghadap ketuanya untuk menawarkan kulit-kulit ini. Maka saya berani datang ke sini karena menurut keterangan suami saya dahulu, para pendeta di sini berani membayar mahal dan juga bahwa mereka... semua manis budi dan gagah perkasa.” “Ha-ha-ha-ha!” Tiba-tiba pendeta muka tikus itu tertawa. “Sayang suamimu telah meninggal nyonya, kalau belum, tentu aku akan suka berkenalan dengan dia.” Melihat sikap tamunya, ketua cabang Pek-lian-kauw tertawa. “Lo-te, kalau suaminya sudah meninggal, masih ada isterinya, bukankah boleh juga untuk berkenalan?” Mereka semua tertawa, kecuali Tok-ciang Sian-jin. Pendeta ini memang sejak dahulu tidak suka kepada wanita. Dia lebjh suka untuk mengajak seorang pria tampan menemaninya tidur. Dan mendengar bahwa suami dan ayah wanita ini terbunuh oleh Toan-ong-ya yang baru saja terbunuh oleh Pendekar Sadis, dia tidak merasa enak hati sungguhpun dia tidak dapat menghubungkan wanita ini dengan Pendekar Sadis. “Nyonya muda, jangan khawatir. Dua gulung kulit harimau itu tentu akan kami beli dan kami akan membayar berapa saja harga yang kauminta. Akan tetapi, mengingat bahwa mendiang suamimu adalah sahabat baik kami, maka engkaupun merupakan sahabat baik kami dan engkau kami anggap sebagai seorang tamu yang terhormat. Mari masuk dan minum bersama kami, nyonya!” Dan kepada para pelayan itu Thian-hwa Lo-su berteriak agar disediakan mangkok, sumpit dan cawan bersih. “Ah, mana saya berani, totiang... ? Saya... tidak seharusnya saya...” “Nyonya, kami dengan sungguh hati menghormatimu sebagai isteri bekas sahabat dari Thian-hwa Lo-su, mengapa engkau hendak menolaknya? Apakah engkau tidak mau menerima kebaikan kami?” Tiba-tiba pendeta yang bermuka tikus itu berkata sambil tersenyum penuh arti. Sekali pandang saja Kim Lan yang sudah berpengalaman itu maklum apa yang berkecamuk dalam benak kepala yang seperti kepala tikus itu dan di dalam hatinya iapun tersenyum puas. Memang inilah yang dicarinya. Tanpa dapat mengait seorang di antara para pimpinan Pek-lian-kauw dengan kecantikannya, mana mungkin ia akan dapat menyelidiki tentang keadaan Tok-ciang Sian-jin itu? Dan Si Muka Tikus ini agaknya bukan seorang yang berkedudukan rendah, buktinya dia dapat bicara seolah-olah dia berkuasa di situ. Mendengar ucapan tamunya ini, Thian-hwa Lo-su girang sekali. Terbuka jalan baginya untuk meyenangkan hati tamunya dan hal ini amat perlu karena dengan demikian maka tentu orang penting ini akan membuat laporan baik ke pusat tentang dirinya. “Ha-ha-ha, engkau sungguh beruntung sekali, nyonya, telah menyenangkan hati tamu agung kami. Perkenalkanlah, Lo-te ini adalah Giok-lian-cu, seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali dan engkau tidak akan rugi berkenalan dengan dia.” Dengan lagak seorang wanita “baik-baik”, Kim Lan akhirnya menerima ajakan makan minum itu dengan sikap malu-malu. Akan tetapi setelah makan minum beherapa cawan arak, wanita ini mulal tersenyum manis sekali kepada Si Muka Tikus. Wajahnya yang manis menjadi kemerahan, senyumnya makin lebar, tidak malu-malu lagi seperti tadi sehingga kalau tersenyum nampak deretan gigi putih rapi dan kadang-kadang nampak ujung lidahnya yang merah meruncing. Giok-lian-cu, tosu Pek-lian-kauw yang seperti juga rekannya, biarpun sudah memakai pakaian pendeta namun masih menjadi hamba nafsu yang amat lemah, sudah menjadi tergila-gila kepada Kim Lan. Seorang janda yang sudah empat bulan ditinggal suaminya! Tentu saja bayangan ini lebih menarik daripada wanita-wanita dusun yang melayani mereka makan minum itu, yang biarpun tidak bersuami, namun setiap malam melayani para pimpinan Pek-lian-kauw di tempat itu secara bergilir. Dan Kim Lan pandai jual mahal, bersikap seperti seorang wanita yang belum tahu apa-apa, dan hanya dengan bujukan dan seperti orang setengah terpaksa karena takut akhirnya ia membiarkan diririya digandeng dan setengah ditarik-tarik oleh tosu muka tikus itu memasuki kamar tamu yang sudah disediakan untuknya oleh para rekan-rekannya. Para tosu pimpinan cabang Pek-lian-kauw mengiringi mereka berdua yang masuk kamar itu dengan ketawa gembira, membuat Kim Lan mudah saja menjadi merah mukanya, yang sesungguhnya bukan merah karena malu-malu, melainkan karena marah! Namun semua ini harus dilakukannya. Betapapun juga, ia harus berkorban untuk Pendekar Sadis. Bukan hanya karena pendekar itu telah mampu membalaskan sakit hatinya terhadap Pangeran Toan, melainkan juga karena ia amat takut kepada pendekar yang luar biasa kejamnya itu, dan disamping rasa takut, juga ia tunduk dan tergila-gila kepada pemuda itu setelah beberapa hari lamanya ia menjadi kekasih pemuda yang lihai, gagah dan juga kejam dan aneh itu. Ia sudah berjanji untuk membantu, untuk menyelidiki tempat persembunyian Tok-ciang Sian-jin dan tentang keadaan di sarang Pek-lian-kauw, dan satu-satunya jalan baginya untuk dapat berhasil tentu saja hanya dengan mengorbankan dirinya dan menggunakan kecantikannya untuk memikat hati seorang pimpinan Pek-lian-kauw. Dan ia berhasil. Dengan baik sekali karena dari percakapan tadi ia diperkenalkan bahwa tamu agung yang harus dilayaninya adalah Giok-lian-cu, seorang tokoh Pek-lian-kauw dari pusat yang tentu saja amat dihormati oleh para pimpinan di situ. Juga, di dalam perjamuan tadi ia diam-diam memperhatikan musuh Pendekar Sadis dan diam-diam ia merasa serem dan ngeri. Tosu itu nampak demikian pendiam dan dingin, memandang rendah segala sesuatu di sekelilingnya, bahkan dialah satu-satunya orang di antara para tosu itu yang tidak bersikap merendah dan menjilat terhadap tosu tamu muka tikus itu. Kim Lan maklum bahwa orang seperti itu tentu amat kejam dan juga amat cerdik, maka ia bersikap amat hati-hati. Untung bahwa bukan kepada tosu musuh besar Pendekar Sadis itu ia harus melayani, karena biarpun Tok-ciang Sian-jin itu jauh lebih menarik sebagai pria dibandingkan dengan kakek muka tikus, namun ia akan merasa ketakutan dan ngeri terhadap Tok-ciang Sian-jin dan tosu itu tentu akan dengan mudah dapat membongkar rahasianya. Dengan pengalaman yang luas dalam hal hubungan antara wanita dan pria, Kim Lan dengan mudah saja membuat tosu muka tikus itu semakin terbuai dan tergila-gila kepadanya, dan dari tosu inilah Kim Lan akhirnya dapat memperoleh keterangan selengkapnya tentang diri Tok-ciang Sian-jin, di mana tinggalnya, di pondok mana, dan apa kedudukannya di tempat itu. Satu-satunya pertanyaan Si Muka Tikus yang membayangkan keheranan tanpa kecurigaan hanyalah, “Eh, kenapa engkau tanya-tanya tentang Tok-ciang Sian-jin?” Kim Lan menjawab sambil merangkul dan tubuhnya agak menggigil seperti orang ketakutan dan ngeri. “Mukanya begitu dingin dan sinar matanya kepadaku seolah-olah hendak menembus jantungku. Itulah sebabnya aku ingin tahu siapa sih manusia bermuka dingin itu.” Jawaban ini menyenangkan hati Giok-lian-cu dan diapun menceritakan semua keadaan Tok-ciang Sian-jin seperti yang ditanyakan oleh wanita yang malam itu benar-benar telah menghiburnya dan membuatnya merasa senang sekali. Biarpun malam itu merupakan siksaan jasmani dan rohani bagi Kim Lan yang harus melayani seorang kakek yang dibencinya, harus menurut saja apapun yang dilakukan oleh laki-laki itu kepadanya, namun pada keesokan harinya, ketika ia berpamit dan dibekali uang cukup banyak untuk membayar dua gulung kulit harimau dan pelayanannya, Kim Lan pulang dengan hati senang bukan main. Ia telah berhasil, ia akan membikin girang hati Pendekar Sadis yang dipuja dan dicintanya! Setelah Thian Sin mendengarkan semua keterangan dari Kim Lan tentang musuh besarmya, dia tersenyum girang. “Terima kasih, Kim Lan. Kau tunggu saja di dalam hutan ini, aku mau pergi, tunggu sampai aku kembali!” “Taihiap...!” Kim Lan berseru, akan tetapi pendekar itu telah lenyap dari depannya dengan cepat sekali. Kim Lan duduk di atas batu sambil termenung, merasa kesepian dan juga gelisah. Malam tadi ia telah melakukan tugas yang berat dan sekarangpun ia masih merasa muak kalau teringat akan kakek si muka tikus. Akan tetapi, pendekar itu tidak mau menghiburnya dan pergi begitu saja, menyuruhnya tinggal seorang diri di tempat sunyi itu. Akan tetapi ia percaya bahwa Pendekar Sadis tentu akan kembali dan kalau pendekar itu sudah berhasil membunuh musuh besarnya, barulah ia akan menagih upah sepuas hatinya atas jasa-jasanya membantu pendekar itu! Sementara itu, Thian Sin sudah melakukan perjalanan cepat sekali menuju ke sarang Pek-lian-kauw. Dia telah memperoleh keterangan dengan jelas dari Kim Lan. Tok-ciang Sian-jin memang benar berada di sarang Pek-lian-kauw, dan menurut keterangan wanita itu, Tok-ciang Sian-jin bersembunyi di dalam sebuah pondok seorang diri di sebelah utara dusun atau perkampungan Pek-lian-kauw itu. Dan perkampungan itu setiap saat dijaga oleh anak buah Pek-lian-kauw sehingga tidak mungkin ada orang asing dapat memasuki kampung tanpa diketahui mereka dan sebelum dia sempat bertemu dengan musuh besarnya itu, tentu dia telah dilaporkan terlebih dahulu dan fihak musuhnya dapat berjaga-jaga. Akan tetapi, pada waktu pagi itulah kesempatannya yang paling baik karena menurut keterangan Kim Lan, Tok-ciang Sian-jin berlatih samadhi dan tidak keluar dari pondoknya dari pagi sampai sore, tosu itu melatih ilmu silat kepada para pimpinan Pek-lian-kauw, atau setidaknya bertukar pikiran tentang ilmu silat dan saling mengisi. Menurut penuturan kakek muka tikus yang memberi keterangan kepada Kim Lan, katanya Tok-ciang Sian-jin mempunyai hubungan baik sekali dengan Thian-hwa Lo-su dan sering mewakili ketua itu untuk melatih ilmu silat kepada murid-murid ketua itu, dan bahkan kepada para sute ketua itu yang merupakan dewan pimpinan cabang Pek-lian-kauw. Tentu saja hal itu dilakukan sebagai imbalan jasa Pek-lian-kauw yang sudah menerimanya untuk bersembunyi di tempat itu dan juga tentu saja untuk perlindungan yang dijanjikan oleh Pek-lian-kauw kepadanya untuk menghadapi musuh besarnya, demikian pikir Thian Sin. Dan memang sesungguhnya dugaan pemuda ini tidak meleset dari kenyataan. Tok-ciang Sian-jin sudah mendengar tentang Pendekar Sadis itu, sudah dapat menyangka siapa adanya pendekar kejam itu, dan dia merasa gentar sekali. Maka dia sudah berunding dengan pimpinan Pek-lian-kauw untuk minta bantuan mereka apabila musuh besarnya tiba, dan sudah memperoleh janji dari pihak pimpinan Pek-lian-kauw. Akan tetapi tentu saja Thian Sin tidak merasa takut menghadapi mereka semua itu. Hanya dia bersikap cerdik, tidak mau memasuki sarang Pek-lian-kauw begitu saja, karena kalau dia tidak hati-hati dan masuk begitu saja, sebelum dia bertemu dengan musuhnya, dia akan ketahuan dan musuhnya yang mendengar akan kedatangannya itu sangat boleh jadi akan melarikan diri terlebih dulu. Dia harus dapat menyergap Tok-ciang Sian-jin di pondoknya sebelum orang itu pergi, dan setelah itu, biar dia akan dikeroyok oleh seluruh anggauta Pek-lian-kauw sekalipun, dia tidak merasa gentar. Yang penting dia harus dapat bertemu dengan Tok-ciang Sian-jin dan membunuh musuh besar ini sebelum orang itu sempat melarikan diri lagi. Ketika Thian Sin menyelinap di antara pohon-pohon di luar dusun sebelah utara. Sampai beberapa lamanya dia diam saja bersembunyi tanpa bergerak dan akhirnya dia dapat melihat tiga orang anggauta Pek-lian-kauw yang mendekam di dalam parit, agak jauh di depannya. Hemm, kiranya mereka itu berjaga sambil bersembunyi di dalam parit, seperti barisan pendam. Tentu saja sukar bagi orang luar untuk memasuki wilayah itu tanpa ketahuan, pikirnya. Dia lalu menyelinap di antara pohon dan semak-semak, mempergunakan kepandaiannya sehingga gerakannya seperti terbang saja, cepat sekali dia berpindah dari pohon ke pohon, bergerak ke sebelah kanan. Tepat seperti yang diduganya, antara jarak seratus meter dari parit itu, terdapat parit lain dengan tiga orang anggauta Pek-lian-kauw yang berjaga sambil enak-enak duduk di dalam parit. Ketika dia memeriksa ke kiri, di sebelah parit pertama, juga dalam jarak seratus meter, terdapat parit lain. Kiranya demikian ketat penjagaannya. Thian Sin bergerak cepat, setelah dia merunduk dan bergerak sambil tiarap di antara rumput, mendekati parit pertama, setelah tiba dekat tubuhnya terjun ke bawah dan sebelum tiga orang itu sempat mengeluarkan suara, hanya memandang dengan mata terbelalak, dalam beberapa detik saja Thian Sin telah merobohkan mereka dengan menotok mereka. Gerakannya terlampau cepat bagi tiga orang penjaga ini sehingga mereka itu sebelum tahu apa yang terjadi telah roboh terkulai pingsan! Thian Sin cepat menggunakan sabuk mereka untuk mengikat kaki tangan mereka, lalu menggunakan baju mereka untuk menyumbat mulut mereka sehingga kalau mereka siuman kembali, mereka takkan dapat berkutik atau berteriak. Semua ini dilakukannya dalam waktu kurang dari lima menit dan di lain saat, dia sudah bergerak seperti seekor ular, bertiarap dan merangkak maju menuju ke parit ke dua di sebelah kiri. Kembali dia menaklukkan tiga orang penjaga seperti tadi dan tak lama kemudian dia sudah meninggalkan mereka menuju ke parit ke tiga dalam keadaan terikat dan tersumbat mulut mereka seperti tiga orang teman mereka yang pertama tadi. Tanpa banyak mengalami kesukaran, Thian Sin juga membuat tiga orang penjaga di parit ke tiga tidak berdaya. Giranglah hatinya dan diapun cepat bergerak maju. Akan tetapi dia tidak kehilangan kewaspadaannya. Biarpun dia sudah membersihkan jalan masuk dengan menundukkan para penjaga di tiga parit, dan dia percaya bahwa penjaga di parit yang lain jauh untuk dapat melihatnya, dia masih maju dengan sangat hati-hati. Pondok yang paling ujung itu, pondok tempat tinggal Tok-ciang Sian-jin sudah nampak. Akan tetapi Thian Sin menahan kegembiraan hati yang dapat membuat orang menjadi lengah itu. Dia tetap berhati-hati dan memeriksa keadaan sekelilingnya dengan teliti. Dan sikapnya ini berhasil baik ketika tiba-tiba dari jauh dia melihat gerakan di atas pohon. Cepat dia menyelinap di balik semak-semak belukar dan mengintai. Ternyata di atas pohon itu terdapat seorang penjaganya! Ah, tentu di lain-lain pohon yang agaknya sengaja ditanam di sekeliling daerah itu tentu ada penjaganya yang bersembunyi. Untuk melumpuhkan penjaga di atas pohon itu seperti yang dilakukannya terhadap para penjaga di parit tidaklah mudah, pikirnya. Tentu gerakannya itu akan nampak oleh para penjaga lain di pohon lain, atau bahkan nampak dari jendela pondok itu. Siapa tahu Tok-ciang Sian-jin sedang melihat dari sana. Thian Sin memutar otak mencari akal. Kemudian dia mengambil keputusan untuk mempergunakan kepandaiannya yang lain, yaitu ilmu sihirnya. Dengan langkah tetap dia lalu bangkit dan berjalan menghampiri pohon itu! Dia telah berada di dalam wilayah Pek-lian-kauw setelah dapat melampaui para penjaga di parit tadi, maka biarlah dia berlagak seperti bukan orang asing di daerah itu! Setelah tiba di dekat pohon dia lalu memandang ke atas, ke arah penjaga yang sejak tadi tentu saja telah melihatnya dan sudah mempersiapkan anak panah di busurnya untuk menyerang ke bawah itu. Akan tetapi penjaga itu menjadi ragu-ragu ketika pemuda yang berada di bawah itu menggapai dengan tangan, tersenyum ramah dan berkata, “Hai, kawan, aku ada pesan penting sekali dari ketua. Turunlah, akan kuberitahukan padamu!” Penjaga itu meragu, akan tetapi melihat sikap pemuda ini dan melihat bahwa pemuda itu telah berada di daerah mereka sendiri, berarti bukan orang asing karena orang asing takkan mungkin mampu melewati para penjaga parit, dan mendengar bahwa pemuda itu membawa pesan penting dari ketua, dia menjadi ingin tahu dan cepat memanjat turun dari pohon. Pemuda itu tidak membawa senjata dan sikapnya tidak seperti seorang musuh, maka diapun tidak khawatir. Akan tetapi ketika dia sudah berdiri berhadapan dengan pemuda itu, dia melihat sepasang mata yang mencorong seperti mata harimau. Penjaga itu terkejut sekali, namun terlambat karena dia sudah tunduk di bawah pengaruh pandang mata Thian Sin yang kini berkata dengan suara lirih namun mengandung penuh wibawa, terutama sekaii terasa oleh orang itu sebagai perintah yang tak mungkin dibantah. “Antarkan aku menghadap Tok-ciang Sian-jin ke pondoknya!” “Baik, kuantarkan, marilah,” jawab penjaga itu seakan-akan dia bicara dengan seorang rekannya sendiri. Tentu saja hal ini adalah hasil dari kekuatan sihir Thian Sin yang memaksa orang itu percaya bahwa dia adalah seorang temannya. Para penjaga lain di atas pohon yang berada di kanan kiri tentu saja melihat hal ini, akan tetapi karena penjaga itu menerima Si Pemuda dengan baik, bahkan mengajaknya berjalan menuju ke pondok tempat tinggal Tok-ciang Sian-jin, tentu saja para penjaga lain itu tidak menaruh curiga dan mengira bahwa pemuda itu adalah penduduk dusun atau juga orang yang sudah dikenal oleh penjaga itu maka dapat diterima. Apalagi melihat orang itu dibawa oleh si penjaga menuju ke pondok Tok-ciang Sian-jin, para penjaga lain itu tersenyum. Mereka sudah mengenal watak Tok-ciang Sian-jin, yang lebih suka berdekatan dengan seorang pemuda tampan daripada dengan wanita. Dan pemuda itu, biarpun kelihatan dari jarak agak jauh, memang nampak tampan! Berdebar tegang juga rasa hati Thian Sin setelah mereka berdua mendekati pondok itu. Di sinilah orang yang selama ini dicari-carinya! Hatinya berdebar karena tegang dan girang, juga khawatir kalau-kalau dia gagal. “Panggil dia keluar, katakan ada tamu yang membawa berita penting untuknya!” bisiknya dengan pengerahan tenaga sihirnya. Orang itu mengangguk dan mengetuk pintu pondok yang tertutup dengan hati-hati. “Sian-jin harap suka buka pintu, ada tamu yang membawa berita penting sekali untuk Sian-jin!” Sunyi saja di dalam. Tidak ada jawaban. Penjaga itu, atas desakan Thian Sin, mengetuk lagi dan mengulang kata-ketanya sampai beberapa kali. Akan tetapi tetap saja sunyi, tidak ada jawaban dari dalam. Tentu saja Thian Sin menjadi curiga dan khawatir kalau-kalau gagal. Dia lalu menerjang ke depan, mendorong pintu dengan kedua tangannya. “BRAKKK...!” Pintu itu jebol dan terbuka. Thian Sin dengan berani meloncat ke dalam pondok, membiarkan penjaga itu bengong terlongong, seperti baru bangun dari tidur dan merasa terheran-heran mengapa dia berada di depan pondok itu melihat orang menjebol pintu pondok, padahal seharusnya dia berjaga di atas pohon! Thian Sin bergerak cepat di dalam pondok, memeriksa seluruh isi pondok. Ternyata pondok itu kosong! Burung itu telah terbang! Dia telah ditipu, atau bahkan dijebak! Dengan marah dia lalu menedangi semua barang di dalam pondok itu sehingga terdengar suara hiruk-pikuk dan barang-barang di situ rusak semua. Tiba-tiba terdengar suara ketawa di luar pondok! “Ha-ha-ha, Pendekar Sadis! Engkau telah masuk perangkap!” Thian Sin menjadi marah sekali, tidak tahu marah kepada siapa. Dia tidak tahu apakah Kim Lan mengkhianatinya? Agaknya tidak demikian. Lebih besar kemungkinan bahwa memang Pek-lian-kauw ini lihai sekali sehingga mereka sudah tahu akan kunjungannya sehingga sebelum dia tiba di pondok, Tok-ciang Sian-jin telah pergi dulu dan membiarkan dia memasuki pondok kosong. Dia lalu menerjang keluar dan ternyata orang yang dicarinya itu, Tok-ciang Sian-jin, memang sudah berada di luar, berdiri dengan tegak di samping tujuh orang berjubah pendeta yang dia duga tentulah tokoh-tokoh Pek-lian-kauw, dan di belakang orang-orang itu nampak puluhan orang anggauta Pek-lian-kauw. Tempat itu telah dikurung oleh para anggauta Pek-lian-kauw. Thian Sin tersenyum mengejek. Sikapnya tenang sekali walaupun dia maklum bahwa dia telah dikurung oleh sedikitnya seratus orang, dan dia berhadapan dengan orang-orang yang memiliki ilmu silat tinggi. Bahkan dia masih mampu mengeluarkan kata-kata yang dinyanyikannya untuk mengejek lawannya, “Seekor buaya selalu memilih pecomberan di mana dia akan merasa senang. Seorang Ciu Hek Lam, biarpun sudah berjuluk Tok-ciang Sian-jin, merasa perlu untuk menyembunyikan dirinya di antara orang-orang Pek-lian-kauw yang tidak segan-segan untuk melakukan pengeroyokan. Betapa menjemukan!” Mendengar ini, para pimpinan cabang Pek-lian-kauw menjadi merah mukanya, sedangkan Tok-ciang Sian-jin diam saja, hanya memandang dengan tajam, wajahnya yang dingin sama sekali tidak membayangkan sesuatu. Senjatanya pecut baja masih terlibat di pinggangnya, dan dia selalu mengikuti gerak-gerik Thian Sin dengan penuh perhatian. Diam-diam dia merasa heran sekali bagaimana seorang yang masih begini muda telah memiliki kepandaian yang demikian menggiriskan, bahkan telah dikenal sebagai Pendekar Sadis yang sepak terjangnya mendirikan bulu roma. Untunglah dia bersikap waspada dan dia sudah curiga kepada wanita pembawa dua gulung kulit harimau itu, maka diam-diam setelah wanita itu pergi, dia mengadakan perundingan dengan para pimpinan Pek-lian-kauw, menyatakan kecurigaannya dan diam-diam diapun sudah bersiap-siap schingga ketika pemuda itu muncul, dia telah mengetahuinya terlebih dulu dan mengatur jebakan. Kini pemuda itu telah terkurung dan menurut kehendaknya, dia ingin lekas-lekas melihat pemuda yang merupakan ancaman baginya itu dienyahkan dari muka bumi. Akan tetapi, di depan para orang Pek-lian-kauw, tentu saja dia merasa malu untuk memperlihatkan rasa takutnya, apalagi di situ terdapat Giok-lian-cu yang kabarnya amat lihai itu. Sementara itu, mendengar ucapan Thian Sin yang dilagukan seperti nyanyian ejekan ini, pendeta bermuka tikus itu lalu tertawa dan diapun lalu memandang kepada Thian Sin dengan sinar mata yang amat tajam, seolah-olah ada getaran keluar dari sinar matanya, lalu mulutnya mengeluarkan suara yang juga mengandung getaran amat berwibawa, sehingga terasa oleh semua orang yang berada di situ. “Orang muda, engkau berhadapan dengan Giok-lian-cu. Engkau telah terkurung, melawanpun tidak ada gunanya. Orang muda, lihatlah baik-baik padaku dan kuperingatkan engkau untuk lekas berlutut dan menyerah!” Thian Sin merasa bahwa ada kekuatan yang cukup hebat seperti hendak memaksanya berlutut. Namun dia dapat menangkis dan melawan kekuatan sihir ini, akan tetapi dia lalu mempunyai akal. Mengapa dia tidak pura-pura menurut? Kalau dia sudah berlutut, tentu Tok-ciang Sian-jin akan turun tangan menyerangnya dan saat itu, selagi semua orang lengah, dia akan dapat menyerang musuh besarnya itu dan merobohkannya! Kalau sekarang dia menyerang, tentu akan terdapat banyak orang yang melindungi Tok-ciang Sian-jin sehingga dia khawatir kalau-kalau serangannya akan gagal dan dia keburu dikepung ketat sehingga musuh besarnya itu akan mampu melarikan diri lagi. Maka, setelah memperhitungkan dengan cepat, diapun lalu menjatuhkan diri berlutut! Melihat ini, Giok-lian-cu tertawa bergelak dengan hati penuh kebanggaan. Dia telah berhasil memperlihatkan kepandaiannya, disaksikan oleh semua anak buah Pek-lian-kauw. Dan memang semua orang mengeluarkan seruan kagum melihat betapa dengan sekali perintah saja, pemuda yang didesas-desuskan sebagai Pendekar Sadis itu telah menjatuhkan diri berlutut di depan tamu dari Pek-lian-kauw pusat itu! Sementara itu, melihat pemuda itu menjatuhkan diri berlutut Tok-ciang Sian-jin merasa girang sekali dan menurutkan kata hatinya, ingin dia segera menubruk, menyerang dan membunuh pemuda itu. Sudah dilolosnya cambuk atau pecut bajanya dari pinggangnya, akan tetapi kecerdikannya menahan tangannya untuk bergerak, sebaliknya dia lalu, berkata kepada dua orang sute dari Thian-hwa Lo-su yang juga dapat disebut muridnya karena lima orang itu sering kali menerima petunjuk-petunjuknya dalam ilmu silat. “Lekas ringkus dia, tapi patahkah dulu kedua tulang pundaknya!” Dua orang sute dari Thian-hwa Lo-su cepat menubruk maju dari kanan kiri. Merekapun ingin berjasa dan memperlihatkan kepandaian, dan tentu saja mereka berani melakukan ini bukan hanya karena tingkat kepandaian merekapun sudah tinggi akan tetapi terutama melihat keadaan pemuda itu yang sudah dikuasai oleh sihir dari Giok-lian-cu. Jangankan pemuda itu sudah tak berdaya, biarpun pemuda itu masih sehat sekalipun kalau mereka maju berdua, mereka tidak merasa takut. Nama besar Pendekar Sadis itu mungkin omong kosong belaka, pikir mereka, melihat keadaan usia pemuda ini yang masih begitu muda. Maka, sekali menubruk, keduanya sudah menghantamkan tangan terbuka dengan pengerahan sin-kang untuk menghancurkan tulang pundak kanan kiri Thian Sin. Diam-diam Thian Sin kecewa bukan main. Siasatnya memang sudah berhasil dan orang menyangka dia benar-benar telah dikuasai ilmu sihir dari tosu muka tikus itu. Akan tetapi sialnya, bukan Tok-ciang Sian-jin yang maju sendiri walaupun orang itu telah melolos senjata, melainkan menyuruh dua orang tosu Pek-lian-kauw yang lain. Akan tetapi, tentu saja dia tidak sudi tulang pundaknya diremukkan orang dan melihat angin pukulan yang cukup dahsyat itu berbahayalah tulang pundaknya kalau dia tidak melawan. “Dess! Desss!” Thian Sin bangkit menangkis dan tubuh dua orang pimpinan Pek-lian-kauw itu terlempar ke kanan kiri dan terbanting keras. Thian Sin tidak berhenti sampai sekian saja, sambil membentak, “Tok-ciang Sian-jin pengecut hina!” Dia sudah menerjang dan mengirim pukulan dahsyat ke arah Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam. “Desss...! Desss...!” Tok-ciang Sian-jin dan juga Thian-hwa Lo-su yang ikut menangkis serangan itu untuk melindungi sahabatnya, terjengkang dan keduanya tentu akan terbanting pula kalau mereka tidak cepat berjungkir balik. “Tar-tar-tarrr!” Cambuk baja di tangan Tok-ciang Sian-jin sudah meledak-ledak ke atas kepala Thian Sin. Akan tetapi setiap serangan cambuk itu membalik ketika bertemu dengan jari-jari tangan pemuda itu. Dari samping menyambar angin pukulan dahsyat sekali. Thian Sin terkejut, maklum akan datangnya serangan yang kuat. Cepat ia membalik dan menangkis sambil menggunakan tenaga Thi-khi-i-beng. “Plakk! Ahhhhh... ahhhhh, lepaskan...!” Giok-lian-cu terkejut bukan main ketika melihat betapa lengannya melekat dengan lengan pemuda itu dan betapa tenaga sin-kangnya membanjir keluar dari tubuhnya melalui lengan yang merapat dengan lengan pemuda itu. Melihat ini, Thian-hwa Lo-su juga menampar ke arah kepala Thian Sin. Pemuda itu miringkan kepalanya, dan menerima tamparan itu dengan pangkal lengannya. “Plakk! Aihhhhh... lepaskan tanganku...!” Thian-hwa Lo-su juga berseru dan kedua orang ini sudah mengerahkan tenaga untuk menarik tangan mereka akan tetapi sungguh celaka, makin besar mengerahkan tenaga, makin hebat pula tenaga mereka membanjir keluar. “Itu Thi-khi-i-beng, jangan kerahkan sin-kang!” Tiba-tiba Tok-ciang Sian-jin berseru keras dan cambuknya menyambar-nyambar lagi, kini cambuknya itu seperti burung mematuk-matuk mengarah ubun-ubun kepala, kedua mata dan bagian-bagian yang lemah lainnya. Menghadapi ini, Thian Sin terpaksa berlompatan dan melepaskan dua orang yang melekat pada lengannya tadi. Akan tetapi, sebelum ia mampu mendesak Tok-ciang Sian-jin, para tosu lain telah mengurung dan mengeroyoknya. Juga Thian-hwa Lo-su dan Giok-lian-cu yang marah sekali karena dipermainkan pemuda ini, telah maju mengeroyok sambil mengeluarkan senjata masing-masing. Bukan hanya mereka, bahkan kini banyak anggauta Pek-lian-kauw yang mengepung dan mendesaknya. Para anggauta ini dikerahkan oleh Tok-ciang Sian-jin yang tiba-tiba saja menghilang di antara banyak anggauta Pek-lian-kauw itu. “Tok-ciang Sian-jin manusia pengecut, jangan lari kau!” Thian Sin membentak marah, akan tetapi orang itu sudah menghilang dan dia dikeroyok oleh banyak sekali orang. Thian Sin mengamuk, akan tetapi dia tidak mau membunuh orang karena dia tidak merasa bermusuhan dengan perkumpulan itu walaupun perkumpulan itu telah melindungi musuh besarnya. Dia tidak begitu bodoh untuk menanam permusuhan dengan perkumpulan besar itu, sama saja dengan mencari penyakit. Setelah musuhnya benar-benar lenyap, diapun merobohkan beberapa orang pengeroyok dengan angin dorongan kedua tangan, kemudian tubuhnya mencelat ke atas genteng. “Pek-lian-kauw bukan musuhku!” teriaknya dan diapun berloncatan cepat sekali dan menghilang di balik pohon-pohon di luar dusun itu. Giok-lian-cu melarang anak buahnya mengejar, dan Thian-hwa Lo-su memberi perintah agar penjagaan lebih diperketat. Kemudian mereka dengan hati kecil dan gentar membicarakan kehebatan ilmu kepandaian pemuda itu yang terkenal dengan sebutan Pendekar Sadis, dan mereka bergidik. Untung pemuda itu tidak menganggap Pek-lian-kauw sebagai musuh, kalau demikian halnya, tentu telah jatuh banyak korban tadi. Dan merekapun merasa tidak perlu bermusuhan dengan pemuda yang demikian lihainya, maka para pimpinan Pek-lian-kauw itu menganjurkan kepada Tok-ciang Sian-jin untuk bersembunyi di kamar rahasia dan jangan keluar dulu sebelum pemuda itu benar-benar meninggalkan daerah itu. Juga Giok-lian-cu terpaksa dengan terus terang mengatakan kepada Tok-ciang Sian-jin untuk mencari tempat perlindungan lain saja karena Pek-lian-kauw tidak mau terbawa-bawa ke dalam permusuhan dengan Pendekar Sadis. *** “Sungguh mati, taihiap, apakah aku telah menjadi gila, berani mengkhianatimu? Aku sampai harus menahan diri dari kemuakan ketika aku terpaksa melayani mereka, dan... ah, sudah kukatakan bahwa aku mau mati untuk membantumu, taihiap. Apakah engkau masih tidak percaya bahwa aku telah menyerahkan seluruh jiwa ragaku kepadamu?” “Tidak perlu semua janji dan sumpah itu, kalau memang benar perasaanmu itu, nah, engkau sekarang harus dapat memancing keluar Tok-ciang Sian-jin dari tempat sembunyinya.” “Baik, saya akan melakukan segala perintahmu,” kata Kim Lan dengan sikap menantang, untuk membuktikan bahwa ia memang tidak mengkhianati pemuda itu. “Asalkan... asalkan engkau tidak melupakan semua pembelaanku, taihiap...” katanya dengan sikap manja. Thian Sin tersenyum dan karena dia membutuhkan bantuan wanita ini, maka diapun mengulurkan kedua tangannya dan menerima wanita itu yang menubruknya dan merangkulnya dengan isak tertahan saking gembiranya. Thian Sin sengaja tidak pernah memperlihatkan diri sampai dua minggu lamanya. Dan setelah dia menduga bahwa fihak Pek-lian-kauw tentu mengira dia telah pergi dan mencari jejak Tok-ciang Sian-jin di lain tempat, apalagi ketika Thian Sin sengaja melakukan kegemparan dengan mcmbasmi beberapa orang penjahat di kota-kota yang berjauhan dari kota raja dan dari dusun Tiong-king, barulah Thian Sin menyuruh Kim Lan berjalan seorang diri di lereng Pegunungan Tai-hang-san, pura-pura hendak berburu binatang. Tentu saja diam-diam dia membayangi wanita ini dari jarak tidak terlampau jauh, akan tetapi dengan hati-hati sekali sehingga tidak akan ada orang yang dapat melihatnya. Selama dua hari tidak terjadi sesuatu, tidak ada yang menegur atau menemui Kim Lan. Akan tetapi pada hari ke tiga, pagi-pagi sekali, ketika Kim Lan mengejar-ngejar seekor kelinci gemuk untuk ditangkapnya, tiba-tiba saja kelinci putih gemuk itu roboh berlumuran darah. Kim Lan terkejut sekali dan menghampiri kelinci itu. Ketika diperiksanya, ternyata kepala kelinci itu pecah! Dia mengambil kelinci itu dan menoleh ke kanan kiri, dengan wajah membayangkan keheranan. “Kepalamupun akan kupecahkan seperti kepala kelinci itu!” Tiba-tiba terdengar suara halus dan dari atas melayanglah turun seorang berpakaian jubah kuning. Tok-ciang Sian-jin! Seketika tubuh Kim Lan menggigil, bukan dibuat-buat biarpun dia tahu dilindungi oleh Pendekar Sadis. Memang wanita ini semenjak pertemuan pertama sudah merasa takut sekali kepada tosu ini, maka munculnya tosu itu secara tiba-tiba benar-benar membuat dia menggigil dan merasa ngeri. “Pelacur hina! Tentu engkau yang telah mengkhianatiku dan menyelidiki keadaanku untuk kaulaporkan kepada Pendekar Sadis! Hayo mengaku sebelum kuhancurkan kepalamu seperti kepala kelinci ini!” bentak Tok-ciang Sian-jin dengan suara yang menyeramkan dan wajahnya yang dingin itu sungguh nampak menakutkan sekali bagi Kim Lan. Wanita ini merasakan kedua lututnya menggigil. “Tidak... ti... tidak...!” Suara Kim Lan juga menggigil dan diam-diam wanita ini merasa gelisah sekali mengapa Pendekat Sadis belum juga muncul, padahal ia seperti merasa betapa maut telah mengelus-elus kepalanya. “Hemm, tidak ada gunanya kau membohong. Engkau kaki tangan Pendekar Sadis, atau setidaknya, ketika engkau datang menjual kulit harimau itu, engkau menyelidiki aku kemudian melaporkan kepada Pendekar Sadis. Hayo katakan di mana dia sekarang berada?” “Tok-ciang Sian-jin, aku berada di sini!” Tiba-tiba terdengar suara ini yang seketika membuat mata kakek itu yang biasanya sipit seperti terpejam kini terbelalak dan mukanya yang sudah pucat itu menjadi semakin pucat seperti mayat. “Bagus! Kalau begitu kita akan mengadu nyawa di sini! Mampuslah kau, perempuan laknat!” Cambuk baja di tangannya bergerak dan suara meledak-ledak ketika ujung cambuk itu menyambar ke arah ubun-ubun kepala Kim Lan. Akan tetapi, secepat kilat Thian Sin sudah meloncat dan menangkis cambuk, membarenginya dengan tendangan kakinya ke arah Kim Lan. Tubuh Kim Lan terlempar, sampai bergulingan akan tetapi ia selamat dari cengkeraman maut di ujung cambuk baja tadi. Tok-ciang Sian-jin yang sama sekali tidak menyangka bahwa musuh besarnya akan berada di situ, kini maklum bahwa dia telah masuk perangkap. Bahwa adanya wanita yang berkeliaran di tempat ini dan kelihatan berburu kelinci, sebetulnya merupakan umpan untuk memancingnya keluar, sedangkan musuh besarnya itu memang selalu membayangi wanita itu. Tahulah dia bahwa tidak ada jalan lari lagi baginya, dia menyerang dengan dahsyat. Cambuknya meledak-ledak mengeluarkan asap dan tangan kirinya juga melakukan serangan pukulan beracun. Tokoh ini terkenal dengan kelihaiannya yang mengerikan, yaitu tangan beracun dan pukulan tangan kirinya itu tidak kalah lihainya dibandingkan dengan sambaran pecut bajanya. Namun, sekali ini dia menghadapi Thian Sin yang telah memiliki tingkat kepandaian yang jauh melampauinya. Pukulan-pukulan tangan kiri itu disambut Thian Sin dengan berani, dan bukan pemuda itu yang menderita oleh tangan beracun lawan, melainkan Tok-ciang Sian-jin sendiri yang tergetar hebat dan dari pertemuan tangan itu menjalar hawa yang panas dan amat kuat. Itulah tenaga Thian-te Sin-ciang yang amat hebat, yang sekaligus mengembalikan semua hawa beracun yang keluar dari tangannya. Dan cambuk bajanya juga dapat dihadapi dengan amat mudah oleh Thian Sin! Pemuda itu seolah-olah mempermainkannya seperti seekor kucing mempermainkan seekor tikus. Kalau pemuda itu menghendaki, tentu dengan mudah dia merobohkan lawannya. Akan tetapi Thian Sin tidak mau begitu saja. Dia mempermainkan lawan, mengelak ke sana-sini, kadang-kadang mengirim tamparan yang hanya membuat tubuh lawan terhuyung dan tiada hentinya dia mengejek. “Hemmm, pengecut yang hanya berani main keroyok. Kalau tidak mengeroyok, dalam beberapa jurus saja ayahku atau ibuku tentu telah mampu membunuhmu. Pengecut! Hayo keluarkan semua ilmumu untuk melawanku! Plak!” Kembali sebuah tamparan yang cukup keras membuat kakek ini mulai menjadi ketakutan. Dia tahu benar bahwa dia tidak akan mampu menandingi putera Pangeran Ceng Han Houw ini, dan kalau dia teringat akan kekejamannya sebagai Pendekar Sadis, keringat dingin keluar dari leher dan mukanya. Dia tidak takut mati, akan tetapi membayangkan kekejaman pemuda itu, benar-benar dia merasa ngeri sendiri. Maka, setelah cambuknya menyambar dan pemuda itu mengelak sambil tertawa, diapun lalu membalikkan tubuhnya dan menggunakan gin-kangnya untuk mencoba lari dari tempat itu menuju ke sarang Pek-lian-kauw di balik puncak. Akan tetapi, tiba-tiba ada angin berkesiur dan bayangan berkelebat, tahu-tahu pemuda itu telah berdiri di depannya! Dia membalik dan lari lagi, namun lagi-lagi pemuda itu telah mendahuluinya dan menghadang sambil tertawa. Akhirnya, Tok-ciang Sian-jin putus asa dan untuk yang terakhir kali, dia mengerahkan seluruh tenaganya, menyalurkan tenaga itu pada cambuknya dan menyerang sekuat tenaga. Cambuknya meledak dahsyat dan menyambar dengan totokan, ujung cambuk meluncur dan menjadi kaku menusuk ke arah leher Thian Sin. Sungguh serangannya ini amat hebat dan berbahaya sekali sehingga Thian Sin sendiri sampai terkejut dan cepat pemuda ini miringkan tubuhnya dan dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, sebelum ujung cambuk lewat atau ditarik kembali, jari-jari tangannya telah menjepit ujung cambuk itu dan saat itu juga dia telah mempergunakan Thi-khi-i-beng. Daya sedot yang amat kuat menjalar melalui cambuk itu sehingga ketika Tok-ciang Sian-jin mengerahkan tenaga hendak membetot cambuknya, tenaga sin-kangnya membanjir keluar. Terkejutlah kakek itu dan cepat dia melepaskan tenaga sin-kangnya, akan tetapi pada saat itu, Thian Sin telah menarik cambuk itu sehingga terlepas dan terampas olehnya. Tangan kiri Thian Sin bergerak memukul dan tubuh Tok-ciang Sian-jin terpelanting keras. Habislah harapan kakek itu dan karena dia tidak ingin disiksa, dia sudah menggerakkan tangan kirinya ke arah ubun-ubun kepalanya sendiri, akan tetapi... tiba-tiba dia terbelalak karena tangan kiri itu tidak dapat digerakkannya lagi. Dia mencoba tangan kanan, akan tetapi juga tangan kanannya tidak dapat digerakkan. Kiranya, dengan kecepatan yang luar biasa Thian Sin yang maklum bahwa lawannya hendak membunuh diri, telah mendahuluinya dan menggerakkan cambuk baja rampasan, menotok ke arah kedua pundak kakek itu sehingga membuat kakek itu lumpuh kedua lengannya dan tidak mampu digerakkan. “Hemm, jangan mengira akan enak saja engkau menghabisi nyawamu sendiri, Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam. Terlalu enak bagimu!” kata Thian Sin sambil tertawa dan dari jauh, Kim Lan yang nonton pertempuran itu bergidik. Wanita ini sendiri bukan orang lemah dan sudah banyak ia melihat kekejaman dilakukan orang, namun menyaksikan sikap Pendekar Sadis, ia benar-benar bergidik dan hampir ia tidak berani melihat apa yang hendak dilakukan oleh pendekar itu terhadap diri Tok-ciang Sian-jin. Betapapun juga, ia semakin kagum melihat betapa dengan mudahnya pemuda itu dapat merobohkan lawan, bahkan mampu pula mencegah lawan yang hendak membunuh diri. “Ceng Thian Sin, aku sudah kalah olehmu, bunuhlah, siapa yang takut mati?” bentak Tok-ciang Sian-jin, bersikap galak dan berani, padahal dia menggigil kalau teringat bahwa dia terjatuh ke tangan Pendekar Sadis yang sepak terjangnya sudah banyak didengarnya itu. “Ayah bundaku tewas dikeroyok ratusan orang lawan yang tidak seimbang, maka engkaupun harus mati dikeroyok!” “Apa... apa maksudmu...?” Tok-ciang Sian-jin kini tidak lagi menyembunyikan rasa ngeri dan takutnya, suaranya gemetar. “Kaulihat saja nanti...!” Thian Sin lalu menggerakkan cambuknya dan ujung cambuk panjang itu melibat tubuh kakek itu, lalu diseretnya kakek itu menuju ke sebuah pohon besar yang agaknya memang sudah dipersiapkan oleh Thian Sin untuk keperluan ini. Sebuah pohon besar dan di atas pohon itu penuh dengan semut-semut besar, semacam semut yang suka makan bangkai, semut yang ganas sekali, berwarna merah darah! Melihat semut-semut itu, mengertilah Tok-ciang Sian-jin dan diapun berteriak-teriak. “Jangan...! Jangan... bunuh saja aku...!” Akan tetapi Thian Sin hanya tersenyum dan cambuk rampasan di tangannya itu menyambar-nyambar dan dalam waktu singkat saja semua pakaian tosu itu telah direnggut lepas dan tosu itu sudah telanjang bulat. Lalu cambuk itu beberapa kali menyambar, melecuti tubuh itu dan pecah-pecahlah kulit tubuh itu, membuat guratan-guratan berdarah yang panjang. Kemudian, dengan sabuk tosu itu sendiri, Thian Sin mengikat pinggang tubuh yang berdarah-darah itu lalu menggantung tubuh itu di cabang pohon. Kemudian, dengan cambuknya, dia melecuti sarang-sarang semut merah di cabang-cabang. Mengamuklah semut-semut itu dan akhirnya menemukan korban, yaitu tubuh Tok-ciang Sian-jin. Mulailah mereka mengeroyok, menggigit dan tosu itu tanpa malu-malu lagi menjerit-jerit, meronta-ronta, menangis dan minta-minta ampun. Akan tetapi Thian Sin hanya tertawa saja dan semut-semut itu makin banyak berdatangan, menggigiti seluruh tubuhnya, bahkan mulai merayap sampai ke muka tosu itu. Mula-mula tosu itu mengusirnya dengan tiupan-tiupannya, akan tetapi akhirnya dia kehabisan napas dan mulailah semut-semut itu menggigiti dan menggerogoti kulit mukanya sedikit demi sedikit, hidungnya, bibirnya, pipi, mata, telinga! Tok-ciang Sian-jin meronta-ronta dan tangisnya merupakan lolong yang mengerikan sampai Kim Lan sendiri menutupi telinganya dan membuang muka tidak berani memandang lebih lama lagi. Berjam-jam Tok-ciang Sian-jin mengalami siksaan yang amat hebat, mati tidak hiduppun tidak. Menjelang senja, setelah mengalami siksaan yang lebih dari setengah hari lamanya, akhirnya diapun terkulai dan pingsan, mendekati mati. Thian Sin lalu menggunakan cambuk baja itu, diayun ke atas dan dengan pengerahan sin-kangnya, cambuk itu menyambar seperti pedang, tepat mengenai leher tubuh itu dan putuslah leher Tok-ciang Sian-jin. Dengan pakaian tosu itu yang tadi dilucutinya dengan cambuk, dia membungkus kepala itu, lalu dengan cambuknya dia membelit tubuh tanpa kepala itu, menyeretnya secara kasar sambil berjalan pergi menuju ke sarang Pek-lian-kauw! “Taihiap...!” Kim Lan berseru, mukanya pucat sekali. “Kau kembalilah dan tunggu aku di kuil tua.” kata Thian Sin dan wanita itu mengangguk, lalu pergi cepat-cepat dari situ dengan hati penuh kengerian. Pada keesokan harinya, gegerlah orang-orang Pek-lian-kauw ketika menemukan tubuh tanpa kepala, tubuh yang telanjang bulat dan rusak oleh gigitan semut-semut, tergantung oleh cambuk baja di pintu gerbang Pek-lian-kauw! Biarpun kepalanya sudah tidak ada dan tubuh itu sukar dikenal lagi, namun melihat cambuk baja itu, para tosu Pek-lian-kauw dapat menduga siapakah pula orangnya yang membunuh Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam secara demikian sadisnya. Siapa lagi kalau bukan Pendekar Sadis! Akan tetapi karena Tok-ciang Sian-jin bukan orang Pek-lian-kauw, dan melihat kenyataannya pendekar itu tidak membunuh seorangpun anggauta Pek-lian-kauw, maka merekapun diam saja. Sementara itu, di kota raja juga gempar ketika pagi hari itu orang-orang melihat sebuah kepala terpancang di atas menara istana! Orang hanya dapat menduga-duga siapa yang melakukan itu, akan tetapi ada beberapa orang kang-ouw mengenal bahwa kepala itu adalah kepala Tok-ciang Sian-jin, maka orang-orangpun dapat menduga bahwa pembunuhnya agaknya adalah Pendekar Sadis. Sementara itu setelah menggantung mayat di depan pintu gerbang Pek-lian-kauw dan kepalanya di menara istana, Thian Sin lalu kembali ke kuil kuno di mana Kim Lan telah menantinya. Kim Lan terisak ketika menyambut pemuda itu dengan pelukannya, kadang-kadang dia masih bergidik ngeri sungguhpun dia merasa girang sekali telah dapat mendekap lagi pemuda yang dikaguminya, dicinta, dipuja dan juga amat ditakutinya itu. Akan tetapi pada keesokan harinya, mereka berdua yang masih tidur dikejutkan oleh suara halus dari luar kuil. Suara itu halus, akan tetapi juga berwibawa, “Pendekar Sadis, keluarlah, kami hendak bicara denganmu!” Thian Sin juga mendengar suara itu. Dia mengulet dan mengucek matanya. Tubuhnya terasa segar karena hatinya puas telah berhasil menewaskan musuh besarnya. Dia terkejut juga mendengar suara itu, akan tetapi sama sekali tidak memperlihatkannya. Bahkan ketika Kim Lan mengintai keluar, kemudian kembali dengan mata terbelalak dan sikap takut, dia tersenyum. “Tenanglah, kenapa takut?” “Taihiap, yang datang adalah hwesio tua, tosu dan tiga orang tua lain. Mereka kelihatan begitu berwibawa dan marah. Aku...aku khawatir, taihiap.” “Tenanglah dan berpakaianlah yang pantas untuk menemui tamu.” Thian Sin bangkit dan membereskan pakaiannya. “Pendekar Sadis, kami menanti, keluarlah!” Setelah agak lama, terdengar lagi suara tadi. Thian Sin mengajak Kim Lan keluar dan dia melangkah dengan tenang sekali. Ketika tiba di luar, dia melihat ada lima orang kakek yang berdiri di pckarangan kuil kuno. Seorang hwesio tua yang wajahnya keren, memegang sebatang tongkat hwesio, jubahnya lebar dan berwarna kuning. Orang ke dua adalah seorang tosu tinggi kurus, selalu tersenyum namun sepasang matanya tajam, dan tosu ini seperti juga si hwesio, tentu sudah berusia enam puluh tahun lebih dan dia memegang tasbih. Tiga orang kakek yang usianya juga enam puluhan tahun, ternyata mengenakan pakaian biasa, seperti sastrawan, namun sikap mereka dan keadaan mereka, Thian Sin dapat menduga bahwa mereka berlima itu tentu bukan orang-orang sembarangan, apalagi melihat sikap hwesio dan tosu yang alim dan berwibawa itu, sungguh jauh bedanya dengan sikap para pendeta Pek-lian-kauw. Maka diapun lalu menjura dengan sikap hormat dan berkata, “Ngo-wi locianpwe datang mencari saya, entah membawa keperluan apakah?” Thian Sin memang pandai bersikap halus dan sopan tidak ubahnya seorang sastrawan muda yang tahu akan sopan santun. “Omitohud...! Benarkah sicu ini yang dijuluki Pendekar Sadis?” tanya Si Hwesio tua sambil merangkap kedua tangan di atas dada sedangkan tongkatnya bersandar di pundaknya. “Kiranya tidak salah dugaan lo-suhu, sungguhpun saya sendiri sama sekali tidak menghendaki menerima julukan seperti itu,” jawab Thian Sin dengan sikap merendah dan masih manis budi. “Siancai... siapa dapat percaya pemuda yang gagah dan ramah ini yang dijuluki Pendekar Sadis,” kata pula Si Tosu sambil memperlebar senyumnya. “Siapa ngo-wi locianpwe kalau saya boleh bertanya dan apakah maksud kunjungan ngo-wi ini?” “Pinceng adalah Hwa Siong Hwesio dari Siauw-lim-pai,” kata hwesio itu dengan sederhana, akan tetapi Thian Sin terkejut sekali karena nama Hwa Siong Hwesio ini adalah nama seorang tokoh yang amat tinggi kedudukannya di Siauw-lim-pai! “Pinto adalah Kui Yang Tosu dari Kun-lun-pai,” kata Si Tosu yang ramah. Kembali Thian Sin terkejut karena kalau dia tidak salah ingat, yang bernama Kui Yang Tosu adalah wakil ketua partai persilatan Kun-lun-pai yang amat terkenal itu! “Kami bertiga adalah Shan-tung Sam-lo-heng, sahabat baik dari mendiang Toan-ong-ya.” kata seorang di antara tiga orang tua gagah itu. Biarpun Thian Sin belum pernah mendengar nama ini namun dia dapat menduga bahwa agaknya tiga orang ini adalah pendekar-pendekar yang kenamaan di Propinsi Shan-tung dan memang dugaannya itu tepat sekali. “Pinceng juga mengenal baik Toan-ong-ya,” kata pula hwesio Siauw-lim-pai itu. “Pinto banyak berhutang budi kepada mendiang Toan-ong-ya,” sambung tosu Kun-lun-pai. Diam-diam Thian Sin merasa tidak enak hati. Kiranya mereka ini adalah sahabat-sahabat Toan-ong-ya, maka jelaslah dapat diduga bahwa kunjungan mereka tentu hendak menegurnya, bahkan mungkin saja untuk membalaskan kematian pangeran itu. Akan tetapi, karena dia yakin akan kebenarannya, bahwa pembunuhannya terhadap Toan-ong-ya itu adalah karena kesalahan pangeran itu sendiri, dia bersikap tenang dan tidak merasa takut sedikitpun juga. Hal ini nampak oleh lima orang kakek itu dan merekapun diam-diam amat kagum. Pendekar Sadis ini selain masih muda, tampan, gagah dan halus budi, sopan santun, juga ternyata memiliki nyali yang amat luar biasa. “Ah, kiranya ngo-wi locianpwe adalah sahabat-sahabat baik mendiang Toan-ong-ya. Kalau begitu, agaknya kedatangan ngo-wi adalah karena saya telah membunuh pangeran itu, bukan?” tanyanya dengan jujur, tanpa membuang waktu lagi. “Bukan hanya itu, orang muda,” kata tosu Kun-lun-pai. “Pinto datang untuk menegur caramu membasmi orang-orang dari dunia hitam!” “Omitohud, dosamu bertumpuk-tumpuk, orang muda. Siapakah kaukira engkau ini? Giam-lo-ong sendiri? Ataukah ibils berwajah manusia? Pinceng sudah mendengar akan caramu menghakimi orang-orang, dengan penyiksaan dan pembunuhan yang amat mengerikan. Omitohud... Siauw-lim-pai akan ikut bersalah kalau tidak turun tangan terhadap keganasanmu ini!” Thian Sin mengerutkan alisnya, akan tetapi, sambil tersenyum suaranya masih halus ketika dia berkata, “Ji-wi locianpwe dari Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai, maafkan kalau saya tidak dapat menyenangkan hati ji-wi, akan tetapi hendaknya diingat bahwa semua urusan saya tidak ada sangkut-pautnya dengan ji-wi locianpwe. Dan karena saya bukanlah anggauta kedua partai terbesar di dunia persilatan, maka kiranya saya tidak perlu mempedulikan larangan dan peraturan yang terdapat dalam perguruan ji-wi.” Jawaban itu singkat, padat, dan juga tegas. Kedua orang pendeta itu saling pandang dan nampaknya kehabisan akal, karena bagaimanapun juga, memang ucapan pemuda itu benar. Selain pemuda itu tidak ada urusan dengan Kun-lun-pai maupun Siauw-lim-pai, juga pemuda ini sama sekali tidak melakukan kejahatan dalam membasmi mereka yang tergolong jahat. Oleh karena itu, mereka kini menoleh kepada tiga orang gagah dari Shan-tung itu dan menggantungkan harapan kepada mereka untuk menyudutkan pemuda yang ganas ini. Seorang di antara tiga pendekar tua dari Shan-tung itu lalu berkata, suaranya garang. “Pendekar Sadis, kedua orang pendeta yang budiman ini datang untuk menyadarkanmu dari kesesatan, akan tetapi engkau malah menjawab dengan kata-kata sombong. Akan tetapi ketahuilah, bahwa kami tidak mungkin dapat mendiamkan saja engkau membunuh Toan-ong-ya. Kalau kami diamkan, berarti kami membiarkan orang berbuat sewenang-wenang dan jahat.” Thian Sin tersenyum lebar. “Hemm, apakah sekarang orang-orang gagah di dunia ini telah berbalik hati dan hendak membela orang jahat? Kalau benar ngo-wi yang saya hormati sudah berbalik hati, membela orang jahat, biarlah saya akan menghadapi ngo-wi karena dengan demikian berarti pula bahwa ngo-wi adalah orang-orang jahat juga!” “Omitohud...!” “Siancai...!” “Pendekar Sadis, berani kau berkata demikian? Siapakah yang mengatakan bahwa Toan-ong-ya adalah orang jahat? Agaknya wanita itu yang memberitahukanmu, bukan?” Seorang di antara tiga pendekar tua Shan-tung itu membentak. “Kalau pangeran itu tidak jahat, mengapa sampai mati di tangan Pendekar Sadis?” Thian Sin balas bertanya. “Coba katakan, kejahatan apakah yang telah dilakukan oleh Toan-ong-ya, maka engkau turun tangan membunuhnya secara keji!” “Saya tahu apa yang saya lakukan, dan saya merasa tidak perlu berdebat. Akan tetapi, kalau ngo-wi hendak membela orang jahat yang telah saya bunuh, silakan maju, saya tidak akan undur selangkahpun!” “Keparat...!” Tiga orang gagah dari Shan-tung itu meloncat ke depan, wajah mereka menjadi merah karena marah. Pemuda itu mereka anggap sombong bukan main. Terdengar suara berdesing dan nampak sinar berkilat ketika mereka bertiga sudah mencabut pedang masing-masing, dan gerakan mereka sungguh cepat dan indah. “Orang muda sombong, keluarkanlah senjatamu!” Thian Sin tersenyum dan biarpun dia tahu bahwa mereka bertiga itu lihai sekali ilmu pedangnya, namun dia tidak merasa takut. “Sam-wi hendak membela orang jahat? Majulah, saya belum merasa perlu untuk memakai senjata untuk menghadapi sam-wi.” Betapa sombongnya jawaban ini. Tiga orang gagah dari Shan-tung itu menjadi semakin marah, dan mereka sudah hendak menerjang maju, akan tetapi tiba-tiba tokoh Siauw-lim-pai itu memalangkan tongkatnya dan berkata. “Omitohud... harap sam-wi tenang dulu. Tidak baik turun tangan sebelum diperoleh penjelasan.” Karena menghormati tokoh Siauw-lim-pai ini, Shan-tung Sam-lo-eng mundur dengan muka merah padam. Hwa Siong Hwesio lalu melangkah maju menghadapi Thian Sin. “Orang muda, harap engkau suka menghadapi urusan dengan kepala dingin. Sungguh kami bukanlah orang-orang yang usil atau membela orang jahat, akan tetapi agaknya ada kesalahfahaman antara kita tentang diri mendiang Toan-ong-ya. Oleh karena itu, pinceng harap engkau suka memandang muka orang-orang tua ini untuk menjelaskan, kejahatan apakah yang telah dilakukan oleh Toan-ong-ya sehingga engkau mengambil keputusan untuk membunuhnya?” Menghadapi sikap yang begini halus, Thian Sin merasa kewalahan juga. Kalau dia terus berkeras, berarti dia yang tidak tahu aturan. Maka diapun menjawab tenang. “Locianpwe, kalau saya tidak melihat dia jahat, mengapa harus saya bunuh dia? Toan-ong-ya itu telah memperkosa wanita, membunuh ayah dan suami wanita itu. Coba ngo-wi bayangkan, apakah kejahatan itu tidak melewati batas dan sudah sewajarnya kalau saya membunuhnya?” “Hemm, engkau tentu mendengar semua itu dari wanita ini, bukan?” seorang di antara tiga orang Shan-tung itu berkata. Thian Sin mengangguk. “Benar, dan dia di sini karena harus kulindungi dari ancaman kaki tangan Toan-ong-ya yang tentu akan membunuhnya.” Dia sengaja menggunakan kata-kata kaki tangan Toan-ong-ya untuk menyindir kepada mereka. “Omitohud... Sicu, engkau orang muda, biarpun telah memiliki ilmu silat yang tinggi, namun kurang pengalaman. Tahukah engkau mengapa Toan-ong-ya membunuh dua orang laki-laki yang menjadi ayah dan suami wanita ini?” Mendengar pertanyaan ini, Thian Sin terperanjat. Baru dia sadar bahwa memang dia tidak mengenal dengan baik siapa sebenarnya diri Kim Lan sebelumnya, dan dia hanya percaya saja kepada cerita wanita ini! “Mereka adalah pemburu-pemburu binateng liar yang menjadi langganan Toan-ong-ya dan ketika wanita ini mengantar kulit harimau, ia telah ditahan dan diperkosa oleh pangeran itu. Ketika suami dan ayahnya datang untuk menyelidik, mereka dibunuh oleh pangeran itu...” “Siancai...!” Tosu itu berseru dengan suara panjang. “Pemutarbalikan fakta yang sungguh memalukan. Pendekar Sadis, ketahuilah bahwa wanita ini adalah bekas seorang maling tunggal yang terkenal di kota raja. Ia pernah berusaha untuk mencuri di istana Toan-ong-ya, lalu tertangkap, akan tetapi ia diampuni oleh Toan-ong-ya bahkan diberi pekerjaan menjaga keamanan asalkan ia berjanji akan merubah jalan hidupnya. Baru satu bulah dipekerjakan di istana Toan-ong-ya, ia bersekutu dengan dua orang perampok yang memang adalah suaminya dan ayahnya, dan ketika mereka datang malam itu, mereka ini masih tetap diampuni oleh Toan-ong-ya karena selama itu ia telah diambil selir oleh Toan-ong-ya, suatu kesalahan kecil dari mendiang Toan-ong-ya yang mudah dirayu wanita. Akan tetapi, bukan berterima kasih, ia malah hendak meracuni Toan-ong-ya. Bayangkan betapa jahatnya. Akan tetapi Toan-ong-ya tidak menuntut atau membunuhnya, hanya mengusirnya.” “Omitohud, sekarang jelaslah. Agaknya, mendengar akan namamu, Pendekar Sadis, ia telah berhasil membujukmu dan memutarbalikkan fakta sehingga engkau tertipu dan mau membunuh orang yang demikian berbudi seperti Toan-ong-ya...” Thian Sin sudah tidak dapat menahan kemarahannya lagi. “Kim Lan...!” Dia memanggil dan menengok, akan tetapi wanita yang tadi berhenti di belakangnya itu tiba-tiba melarikan diri. “Berhenti kau...!” Tosu Kun-lun-pai itu menggerakkan tangan memukul dari jarak jauh. “Plakk!” Thian Sin menangkisnya dan tosu itu terhuyung ke belakang. “Harap locianpwe jangan mencampuri urusanku!” Thian Sin berkata dan sekali loncat, tubuhnya sudah melesat ke depan seperti seekor burung saja, dan sekali tangannya meraih, rambut Kim Lan telah dijambaknya dan ditariknya dengan kuat sehingga tubuh wanita itu jatuh tergungkur. Kim Lan meloncat bangun, mencabut sebuah pisau belati dan menusukkan pisau ke perutnya sendiri, akan tetapi sekali renggut saja, pisau itu telah pindah ke tangan Thian Sin dan sebuah tendangan membuat wanita itu terjungkal. Tiga orang kakek itu telah maju mendekat dan hanya menonton. Thian Sin seperti tidak menganggap ada orang lain di tempat itu. “Kim Lan, hayo katakan, benarkah semua itu? Benarkah bahwa engkau datang pura-pura menggantung diri untuk membujuk dan membohongi aku? Benarkah mereka itu perampok dan engkau pencuri, dan bahwa Toan-ong-ya adalah seorang yang budiman? Hayo jawab sebenarnya!” Tiba-tiba wanita yang menangis itu menjadi nekat. Dipandangnya Thian Sin melalui air matanya, dan ia berkata, “Benar, memang benar! Akan tetapi ayahku dan suamiku dibunuh, aku harus membalas dendam, dan engkau taihiap... engkau... aku tergila-gila kepadamu... ahhh!” “Perempuan iblis, jadi engkau telah menipuku, mataku masih melek seperti hendak kaubikin buta, dan mulutmu pandai sekali membujuk, merayu, berbohong! Rasakan ini!” Beberapa kali pisau berkelebat. Lima orang kakek itu hendak mencegah akan tetapi menahan tangan mereka karena maklum bahwa selain tidak keburu, juga pemuda itu agaknya tidak mau dicampuri orang lain. Terdengar wanita itu menjerit-jerit mengerikan dan darah muncrat-muncrat dari mukanya. Kedua matanya telah dicokel keluar oleh pisau di tangan Thian Sin, dan ada dua guratan pisau membentuk palang merobek mulutnya dari pipi di kanan kiri sampai ke dagu. Tentu saja Kim Lan berkelojotan di atas tanah dan karena bibirnya dan pipinya sudah robek-robek, suara yang terdengar dari mulutnya menjadi aneh, seperti suara binatang! “Inilah biang-keladi semua peristiwa itu, ngo-wi locianpwe. Selamat berpisah!” Thian Sin melompat dengan cepat tanpa memberi kesempatan lima orang itu menjawab. Lima orang kakek itu masih terlampau kaget dan ngeri menyaksikan hukuman kejam yang dijatuhkan oleh Pendekar Sadis kepada Kim Lan sehingga mereka tercengang dan tidak sempat menghalangi perginya pemuda itu. Dan pula, apa perlunya menghalanginya. Mereka datang selain untuk menuntut pembunuhan atas diri Toan-ong-ya, juga untuk memberi nasihat kepada pendekar yang hatinya kejam seperti iblis itu. Dan ternyata, dalam urusan pangeran itu, Pendekar Sadis bukannya sengaja membunuh orang baik-baik, melainkan tertipu oleh wanita ini yang telah dihukumnya pula, sedangkan tentang nasihat, agaknya pemuda itu agaknya tidak dapat dinasihati. Buktinya, baru saja mereka menegur si pendekar itu kembali telah melakukan kekejaman dalam menghukum orang jahat, yaitu terhadap wanita itu, dan di depan mata mereka sendiri malah! Thian Sin cepat meninggalkan daerah itu. Dia agak merasa gelisah juga setelah pertemuannya dengan lima orang kakek itu. Mengapa dia begitu ceroboh sehingga mudah saja tertipu oleh seorang wanita seperti Kim Lan? Kini dia dihadapkan dalam keadaan yang tidak enak sekali dengan para tokoh pendekar di dunia. Akan tetapi, dia tidak peduli dan hatinya merasa puas setelah dia berhasil membunuh semua musuh orang tuanya. Dan sekarang tinggal musuh-musuh keluaarga Lian Hong! Dan musuh-musuh keluarga Ciu Khai Sun itupun hanya tinggal See-thian-ong, Lam-sin dan Pak-san-kui. Musuh-musuh yang amat berat. Akan tetapi, dia harus dapat mengalahkan mereka, membunuh mereka. Biarpun bukan tokoh-tokoh besar itu sendiri yang bergerak, namun jelas bahwa orang-orang mereka ikut menyerbu dan menyebabkan terbasminya keluarga Ciu itu. Dan selain keinginannya hendak membalaskan kematian keluarga Ciu itu, ada satu keinginan lain yang pada akhir-akhir ini menyelinap di dalam hati sanubarinya. Mendiang ayahnya telah gagal menjadi jagoan nomor satu di dunia! Dia, sebagai keturunannya, putera tunggalnya, harus menebus kegagalan itu. Dia harus dapat mengalahkan semua jagoan di dunia, terutama sekali datuk-datuk kaum sesat. Memang, dia pernah mengalahkan See-thian-ong dan Pak-san-kwi, akan tetapi kemenangannya itu belum mutlak. Barulah kemenangannya akan diakui oleh dunia kalau dia sudah dapat membunuh mereka, yaitu ketiga datuk itu, See-thian-ong, Lam-sin dan Pak-san-kwi! Dan dia akan mencari, akan membunuh mereka selain untuk membalas sakit hati Ciu Lian Hong, juga untuk membikin puas hati mendiang ayahnya bahwa puteranya telah dapat mengalahkan semua detuk di dunia sesat! Setelah membunuh mereka bertiga, barulah dia akan menghadapi Tung-hai-sian, datuk di timur itu. Biarpun dengan datuk ini dia tidak mempunyai urusan sesuatu, namun untuk dapat mengangkat nama ayahnya dia harus dapat mengalahkan semua datuk, termasuk Tung-hai-sian. Dan puterinya itu, siapa namanya? Ah, ya, Bin Biauw, sungguh cantik jelita, kecantikan yang khas wanita keturunan Korea! Dia pernah mengalahkan See-thian-ong dan Pak-san-kwi, juga dia pernah bertemu dengan Tung-hai-sian. Hanya Lam-sin saja, datuk kaum sesat dari selatan itulah yang belum pernah dijumpainya, walaupun dia pernah bertemu dengan anak buahnya, yaitu anggauta-anggauta Bu-tek Kai-pang yang rata-rata amat lihai itu. Juga berita tentang Lam-sin ini amat menarik hatinya, karena tokoh datuk kaum sesat yang satu ini keadaannya diliputi penuh rahasia dan kabarnya lihai bukan main, lebih lihai daripada tiga datuk lainnya. Pula, untuk sementara waktu, memang ada baiknya untuk meninggalkan kota raja sejauh mungkin, apalagi setelah para pendekar merasa tidak senang kepadanya. Dan tempat tinggal datuk selatan itu tempatnya paling jauh dari kota raja. Dia mendengar bahwa Bu-tek Kai-pang berpusat di Heng-yang, di Propinsi Hu-nan, maka ke sanalah dia pergi. Adapun tentang Lam-sin sendiri, tidak ada yang tahu berada di mana atau di mana tempat tinggalnya. Akan tetapi dia merasa yakin bahwa di sarang Bu-tek Kai-pang, tentu dia akan dapat menemukan ketuanya, yaitu Lam-sin, atau setidaknya, dari para pengemis itu tentu dia akan dapat menemukan alamat Lam-sin. Sama sekali Thian Sin tidak pernah menduga bahwa dia menuju ke sebuah kota di mana dara yang dicintanya itu, Ciu Lian Hong, pernah tinggal, bahkan tinggal bersama dengan Lam-sin, juga bahwa kakak angkatnya, Cia Han Tiong, bersama ayah dan ibu angkatnya, yaitu Pendekar Lembah Naga, pernah datang ke kota itu dan bertemu dengan Lam-sin! Bu-tek Kai-pang memang merupakan perkumpulan pengemis yang amat berpengaruh di Propinsi Hu-nan bahkan di seluruh daerah selatan. Bukan hanya karena para pengemis yang bajunya tambal-tambalan dan bersih itu rata-rata berkepandaian tinggi yang membuat para pengemis ini ditakuti orang, akan tetapi terutama sekali karena perkumpulan ini adalah anak buah dari Lam-sin, datuk selatan yang dianggap sebagai datuk semua kaum sesat di daerah selatan. Yang disebut daerah selatan adalah yang berada di sebelah selatan Sungai Yang-ce-kiang. Lam-sin sendiri merupakan seorang tokoh yang penuh rahasia, jarang ada yang tahu bahwa datuk kaum sesat selatan yang hanya terkenal dengan sebutan Lam-sin (Malaikat Selatan) itu adalah seorang nenek. Bahkan orang-orang di dalam kota Heng-yang di Propinsi Hu-nan itu sendiri, kalau bertemu dengan nenek ini, tidak tahu bahwa ia adalah Lam-sin yang tersohor itu. Lam-sin tidak pernah keluar turun tangan sendiri menghadapi segala macam urusan. Cukup dengan perkumpulan Bu-tek Kai-pang saja yang membereskan semua persoalan. Memang dalam urusan yang besar, yang tidak mampu dibereskan oleh Bu-tek Kai-pang, seperti ketika ada lima jagoan dari Jepang yang membuat kacau di pantai lautan timur selatan dan yang amat lihai sehingga para pimpinan Bu-tek Kai-pang tidak mampu menundukkannya, Lam-sin sendiri yang turun tangan. Namun, ia turun tangan di waktu malam dan lima orang jagoan dari Jepang itu tidak tahu, orang macam apakah yang menghajar mereka sehingga mereka lari tunggang langgang naik ke dalam perahunya dan tidak pernah berani kembali lagi. Pendeknya, tokoh Lam-sin ini penuh rahasia dan di manapun ia berada, tidak pernah ia memperkenalkan dirinya kepada orang lain. Bu-tek Kai-pang merupakan nama perkumpulan yang membayangkan ketinggian hati ketuanya. Bu-tek Kai-pang berarti Perkumpulan Pengemis Tanpa Tanding! Dan untuk urusan sehari-hari, perkumpulan ini dipimpin oleh ketua-ketua yang disebut pangcu-pangcu karena Lam-sin sendiri tidak mau disebut ketua pengemis! Tiga orang pangcu dari Bu-tek Kai-pang adalah orang-orang yang menerima pelajaran ilmu silat langsung dari Lam-sin, dan mereka itupun hanya dikenal julukan mereka saja yang sesuai dengan warna pakaian mereka. Ketua pertama adalah Ang-i Kai-ong (Raja Pengemis Berbaju Merah), ketua ke dua adalah Jeng-i Kai-ong karena pakaiannya yang berwarna hijau dan yang ke tiga adalah Pek-i Kai-ong yang selalu berbaju putih. Tiga orang inilah yang langsung menangani semua urusan kai-pang itu. Mereka adalah orang-orang yang berilmu tinggi dan amat tunduk dan setia kepada Lam-sin yang merupakan guru mereka. Tentu saja Bu-tek Kai-pang dianggap sebagai perkumpulan kaum sesat dan Lam-sin sendiri juga sebagai datuk sesat karena sepak terjang perkumpulan itu sendiri memang jelas menunjukkan bahwa mereka adalah golongan hitam. Perkumpulan ini merupakan pemerintah gelap yang menuntut pajak dari tempat-tempat perjudian, pelacuran dan semua penjahat dari golongan apapun di selatan selalu membayar semacam “pajak” atas penghasilan mereka kepada Bu-tek Kai-pang. Kalau hal ini tidak dipenuhi, jangan harap mereka itu akan dapat melanjutkan “pekerjaan” mereka. Oleh karena itu, tentu saja penghasilan Bu-tek Kai-pang yang masuk amat banyak dan perkumpulan itu memperoleh dana yang lebih dari cukup. Bahkan Lam-sin yang memang tadinya sudah memiliki harta yang besar itu kini hidup serba kecukupan dalam sebuah istana yang indah dan penuh dengan barang berharga. Ketika pada pagi itu Thian Sin memasuki kota Heng-yang, tanpa bertanya-tanya saja dia sudah dapat melihat ada beberapa orang anggauta pengemis Bu-tek Kai-pang berkeliaran di dalam kota. Pakaian mereka yang tambal-tambalan akan tetapi bersih dan baru itu sudah menunjukkan siapa adanya mereka. Dan mereka itu tidak ada yang mengemis! Mereka berjalan-jalan seperti penjaga-penjaga keamanan saja, dengan sikap yang angkuh dan pendiam, tidak mempedulikan keadaan kanan kiri agaknya. Ada yang memegangnya dengan tangan, ada pula yang menaruhnya di punggung, akan tetapi setiap orang pengemis Bu-tek Kai-pang selalu mempunyai sebatang tongkat akar bahar yang berwarna hitam dan berlekak-lekuk seperti ular. Thian Sin memasuki sebuah rumah makan dan sengaja memilih meja yang berdekatan dengan pintu. Dengan penuh perhatian dia melihat pengemis yang mendekati rumah makan itu. Pengemis itu masih muda, belum empat puluh tahun usianya. Pakaiannya yang tambal-tambalan dan masih baru, nampak jelas sekali bahwa itu bukan baju robek yang ditambal-tambal, melainkan sengaja dibuat baju baru dari kain baru yang disambung-sambung. Pengemis inipun mempunyai sebatang tongkat akar bahar yang tergantung di punggungnya. Dari gerak kedua kaki itu ketika si pengemis menghampiri rumah makan, mudah dilihat bahwa dia memiliki kepandaian silat yang cukup kuat. Gerakan kakinya tegap dan teguh, dengan punggung tegak lurus dan sikap waspada. Thian Sin memang sengaja mau mencari gara-gara... Dia tadi sudah makan panggang ayam dan melihat pengemis itu lewat di dekat mejanya, dia lalu mengambil tulang-tulang ayam di dalam mangkoknya, dan memberikan itu kepada si pengemis sambil berkata dengan suara lantang. “Heii, jembel! Nih kuberi tulang ayam sebagai hadiahku kepada rajamu. Berikan ini kepada rajamu, ya?” Semua orang menoleh dan banyak mata terbelalak, muka orang-orang itu menjadi pucat ketika melihat siapa yang dihina oleh pemuda itu. Ada orang berani menghina seperti itu kepada seorang pengemis Bu-tek Kai-pang, sungguh itu berarti mengantar nyawa untuk mati konyol! Semua orang memandang dan menduga bahwa di lain saat mereka akan melihat pemuda itu menggeletak tanpa nyawa di tempat itu. Akan tetapi, pengemis muda yang sudah berhenti melangkah dan berdiri di depan Thian Sin, sejenak memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik. Jelas bahwa dia marah sekali. Agaknya memang dia tidak mau membikin ribut di dalam restoran. Dia menerima tulang-tulang ayam itu, kemudian sekali banting, tulang-tulang ayam itu menancap di atas papan meja di depan Thian Sin! Itulah demontrasi kekuatan sin-kang yang lumayan! Akan tetapi Thian Sin tertawa melihat kemarahan ini. “Ha-ha-ha, rajamu tidak doyan tulang? Aneh sekali! Bukankah biasanya pengemis berebut tulang dengan anjing-anjing? Kalau rajamu menghendaki daging, suruh dia datang ke sini!” Semua orang yang mendengar ini merasa ngeri. Sudah gilakah pemuda itu, pikir mereka. Tidak ada seorangpun di kota itu akan berani bersikap menghina seperti ini, apalagi ditujukan kepada raja pengemis. Sungguh mencari mati seratus kali! Akan tetapi pengemis itu mampu menahan kemarahannya. Dia mengerti benar bahwa pemuda ini tentu bukan penduduk Heng-yang dan dapat menduga pula bahwa pemuda ini memang sengaja mencari gara-gara. Maka setelah memandang dengan sinar mata penuh ancaman, dia melangkah keluar dari rumah makan itu, tidak jadi masuk. Biasanya, seorang anggauta Bu-tek Kai-pang yang memasuki rumah makan akan dilayani seperti tamu-tamu biasa, walaupun mereka itu tidak perlu membayar. Dan fihak pemilik rumah makan juga tidak merasa menyesal karena para anggauta Bu-tek Kai-pang itu selalu tertib, tidak memperlihatkan sikap sewenang-wenang dan hanya masuk dan makan kalau memang mereka lapar dan membutuhkan makanan. Pendeknya, sikap mereka itu rata-rata berwibawa dan tidak rendah seperti penjahat-penjahat kecil. Melihat pengemis itu pergi keluar, Thian Sin hanya tersenyum dan melanjutkan makan minum seperti tidak pernah terjadi sesuatu. Dia tidak peduli akan pandang mata para tamu lain yang ditujukan kepadanya, bahkan di antara mereka ada yang memberi tanda-tanda dengan kedipan mata agar dia itu cepat-cepat pergi saja. Sebaliknya, Thian Sin malah minta ditambah araknya dan pelayan yang melayaninya juga memandang dengan wajah pucat, lalu berbisik ketika membawa arak yang dipesannya. “Kongcu sebaiknya cepat meninggalkan tempat ini...!” “Jangan campuri urusanku!” bentak Thian Sin dan pelayan itu pergi ketakutan. Semua orang merasa tegang dan ngeri, apalagi ketika mereka melihat bahwa pengemis yang tadi kini telah nampak di luar rumah makan, bersama pengemis kedua yang bermuka hitam, bertubuh tinggi besar dan nampak kuat sekali. Mereka berdua itu kini telah memegang tongkat mereka, tanda bahwa mereka telah bersiap-siap menghajar pemuda kurang ajar yang masih enak-enak minum arak di dalam rumah makan itu. Thian Sin juga melihat dua orang pengemis itu dan dia tersenyum, hatinya gembira bahwa pancingannya mulai berhasil. Tidak mudahlah baginya untuk mencari Lam-sin tanpa memancing keributan dengan Bu-tek Kai-pang. Setelah selesai makan minum yang dilakukan dengan sabar dan tidak tergesa-gesa, membuat dua orang pengemis itu makin marah, dia lalu membayar kepada pelayan yang kelihatan lega melihat pemuda itu akhirnya mau meninggalkan rumah makan itu. Akan tetapi dia terbelalak melihat pemuda itu mengumpulkan tulang-tulang ayam dan membawanya keluar dari restoran. Thian Sin melangkah keluar sambil tersenyum-senyum tenang melihat lagak dua orang pengemis yang menghadangnya di luar itu. Thian Sin bersikap seolah-olah tidak melihat bahwa dua orang pengemis itu marah sekali, dan tidak melihat bahwa tangan mereka yang memegang tongkat akar bahar itu tergetar karena marah dan ingin memukul. Malah dia tersenyum. “Aih, kiranya engkau masih berada di sini dan membawa teman? Apakah kalian diutus oleh raja kalian untuk menerima hadiah tulang ayam dariku?” “Keparat bermulut busuk!” “Bocah sudah bosan hidup!” Dua orang pengemis itu sudha bergerak cepat, yang seorang menusukkan tongkatnya ke arah dada Thian Sin, yang ke dua menghantamkan tongkat itu ke arah lehernya. Namun Thian Sin dengan dua kali langkah ke kiri dan belakang saja sudah dapat menghindarkan diri dan dia berkata sambil tertawa, “Nah, ini hadiahku, sampaikan kepada Lam-sin!” Dan tangannya bergerak, ada sinar menyambar dan dua orang pengemis itu berteriak kesakitan, tongkat-tongkat mereka terlepas dan mereka mundur dengan mata terbelalak. Kedua tangan mereka lumpuh dan tulang-tulang ayam itu telah menancap pada lengan mereka, mengenai urat-urat besar yang membuat lengan mereka menjadi lumpuh dan terasa nyeri bukan main. Maklum bahwa pemuda itu adalah seorang ahli dan bukan lawan mereka, kedua orang pengemis itu lalu membalikkan tubuh dan pergi dari situ dengan langkah lebar, kedua lengan masih bergantung lumpuh. “HEI, jangan lupakan tongkat jimat kalian!” Thian Sin berseru dan dia menyambar dua tongkat itu, lalu melemparkannya sembarangan ke depan. Tongkat-tongkat itu melayang dan dengan tepat sekali tiba di punggung kedua orang pengemis itu, mengait dan bergantung seperti kalau mereka sendiri yang menggantungnya! Semua orang yang berada di rumah makan itu tadi telah melongok keluar pintu dan jendela, karena mereka merasa yakin bahwa pemuda itu akan dibunuh oleh dua orang Bu-tek Kai-pang, kini terbelalak dan melongo penuh keheranan. Hampir mereka itu tidak dapat mempercayai pandang mata mereka sendiri menyaksikan dua keanehan yang selama bertahun-tahun tak pernah terjadi itu. Pertama, adanya seorang pemuda yang berani mati melawan dua orang Bu-tek Kai-pang, bahkan berani menyebut-nyebut dan menantang Lam-sin. Dan ke dua, adanya seorang pemuda yang mampu mengalahkan dua orang pengemis Bu-tek Kai-pang dalam segebrakan saja, tidak mempergunakan senjata melainkan menggunakan tulang-tulang ayam! Dan kini mereka melihat pemuda itu dengan lenggang kangkung meninggalkan tempat itu seenaknya, seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu yang luar biasa. Maka mulailah orang-orang bertanya-tanya. Siapakah gerangan pemuda yang luar biasa itu? Luar biasa beraninya dan juga luar biasa lihainya? Pertanyaan ini bergema di seluruh Bu-tek Kai-pang. Tiga orang Kai-pangcu yang mendengar laporan dua orang anak buahnya, melihat betapa tulang-tulang ayam itu menusuk lengan-lengan murid atau anak buah mereka bagaikan senjata-senjata rahasia yang ampuh, menggebrak meja. “Siapakah pemuda keparat itu?” “Kami... kami tidak tahu namanya.” “Bodoh! Kenapa tidak kalian tanya dan di mana dia sekarang?” Seorang pengemis yang baru datang berkata, “Harap pangcu ketahui bahwa pemuda itu kini mondok di rumah penginapan Lok-nam.” “Bagus,” kata Ang-i Kai-ong, ketua pertama. “Lima Ular Hitam, malam nanti kutugaskan menangkapnya dan menyeretnya ke sini!” Lima orang pengemis berusia empat puluhan tahun yang bertubuh tinggi kurus dan terkenal dengan julukan Hek-coa Ngo-kai (Lima Pengemis Ular Hitam) cepat memberi hormat dan menyatakan kesanggupan mereka. Hek-coa Ngo-kai ini tadinya adalah lima orang perantau yang menjual obat-obat dan racun-racun ular dengan memainkan pertunjukkan dengan ular-ular hitam. Oleh karena itulah, setelah mereka ditundukkan oleh Bu-tek Kai-pang dan menakluk, mereka diterima sebagai anggauta-anggauta kai-pang dan merupakan lima di antara pembantu-pembantu para ketua kai-pang itu, dengan julukan Lima Pengemis Ular Hitam. Mereka adalah ahli-ahli racun yang lihai, di samping ilmu silat mereka yang tinggi, apalagi setelah mereka menerima Ilmu Hok-mo-pang (Tongkat Penakluk Iblis). Malam itu sunyi sekali di penginapan Lok-nam. Hal ini bukan sekali-kali karena penginapan itu sepi tamu, sama sekali tidak, melainkan karena pemilik penginapan dan para tamu, penjaga dan pelayan telah mendengar dari Bu-tek Kai-pang bahwa seorang di antara para tamu mereka, yaitu pemuda tampan berpakaian sasterawan yang bersikap halus itu, adalah musuh Bu-tek Kai-pang yang malam itu hendak ditangkap oleh Bu-tek Kai-pang! Tentu saja hal ini menimbulkan ketegangan, apalagi ketika para pelayan membocorkan rahasia itu kepada tamu-tamu lainnya. Para tamu ada yang pindah tempat, dan yang tidak pindah penginapan, sore-sore telah menutup pintu kamar dan tidur atau berdiam di dalam kamar saja dengan hati gelisah, takut kalau-kalau mereka terbawa-bawa. Thian Sin tentu saja tahu atau menduga bahwa malam itu tentu akan terjadi sesuatu. Setelah pancingannya yang berhasil pagi tadi, setelah dia melukai dua orang pengemis itu, luka-luka ringan saja untuk sekedar memancing keluarnya “kakap”, yaitu Lam-sin yang dicarinya, dia menanti dengan sabar. Sejak pagi tidak terjadi sesuatu, akan tetapi dia tahu bahwa tidak mungkinlah kalau Bu-tek Kai-pang diam-diam saja dan merasa takut kepadanya. Demontrasi kepandaian yang diperlihatkannya ketika dia mengalahkan dua orang pengemis itu tidak berapa hebat, tidak mungkin membuat jerih tokoh-tokoh Bu-tek Kai-pang yang tentu jauh lebih lihai daripada tingkat yang telah diperlihatkannya pagi tadi. Dia menduga kalau hari itu tidak ada sesuatu, tentu fihak perigemis itu menanti sampai malam ini. Maka diapun sudah bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan, akan tetapi pada lahirnya, dia nampak tenang-tenang saja, bahkan para pengurus dan pelayan rumah penginapan itu mendengar dia bernyanyi-nyanyi dan membaca sajak dengan suara merdu di dalam kamarnya! Menjelang tengah malam, keadaan di rumah penginapan itu sudah sunyi benar-benar. Pemuda yang menjadi pusat perhatian yang tadi masih membaca sajak dengan suara merdu, kinipun tidak ada suaranya lagi. Kamarnya sudah sunyi, lilin sudah dipadamkan dan agaknya pemuda ini sudah tidur. Ada bayangan-bayangan orang berkelebat dengan cepatnya. Mereka memasuki rumah penginapan itu dengan mudah karena memang mereka bekerja sama dengan pengurus hotel, lalu mereka itu menyelinap mendekati kamar nomor lima, kamar di mana Thian Sin bermalam. Tak lama kemudian, ada asap putih memasuki kamar itu melalui lubang jendela. Asap dari dupa harum sekali. Setelah membiarkan kamar itu penuh asap dupa wangi yang mengandung obat bius sampai beberapa lamanya, lima orang Pengemis Ular Hitam itu lalu mencokel jendela dan membiarkan asap-asap itu keluar lagi melalui jendela-jendela yang terbuka. Betapapun juga, mereka masih mempergunakan saputangan yang telah diberi obat penawar untuk ditutupkan di muka mereka dan mereka lalu berloncatan masuk melalui jendela yang telah terbuka. Mereka berlima melihat tubuh berselimut di atas pembaringan, sedikitpun tidak bergerak. Dengan girang karena ternyata lawan yang dikatakan lihai ini begitu mudah ditundukkan, lima orang itu menubruk ke depan dengan penerangan yang menyorot ke dalam dari luar jendela yang sudah terbuka, biarpun remang-remang mereka dapat melihat bahwa lawan mereka itu rebah berselimut dalam keadaan tak berdaya. “Hayaaa...!” Mereka berteriak, dengan kaget. “Kita tertipu...!” Kiranya yang mereka tubruk bersama itu bukan lain hanyalah sebuah guling yang diselimuti dan diletakkan di atas bantal, seperti orang tidur. Dan orangnya sendiri entah berada di mana! “Cepat keluar, angin buruk!” kata yang menjadi pimpinan. Angin buruk ini berarti bahwa keadaan tidak baik bagi mereka dan mereka hendak cepat-cepat pulang melaporkan kegagalan mereka itu. Akan tetapi, ketika mereka berlompatan keluar, di ruangan depan telah menanti seorang pemuda yang berdiri bertolak pinggang sambil tersenyum memandang kepada mereka. Dan pemuda ini bukan lain adalah Thian Sin! “Ha-ha-ha, pengemis-pengemis tolol bisanya hanya menangkap bantal guling!” Pemuda itu mengejek sambil tersenyum lebar. Lima orang pengemis yang sudah menerima perintah ketua mereka untuk menangkap pemuda itu, “hidup atau mati” demikian kata ketua mereka, cepat maju mengurung. “Orang muda, menyerahlah agar kami dapat membawamu kepada ketua kami dan tidak perlu untuk melukaimu,” kata seorang di antara mereka. Sebenarnya ucapan ini sama sekali bukan timbul karena sayang kepada pemuda ini melainkan karena gentar dan mereka ingin agar pemuda itu menyerah saja agar mereka tidak perlu menghadapi bahaya perlawanan pemuda yang cerdik sekali ini. “Jembel busuk, ucapanmu seolah-olah kalian akan mampu melukaiku, apa lagi menangkapku! Suruh ketua kalian ke sini, itu si Lam-sin ke mana dia? Kenapa tidak berani muncul? Sampaikan tantanganku kepadanya!” “Manusia sombong!” Lima orang pengemis itu marah bukan main karena nama Lam-sin bagi mereka seperti nama dewa junjungan yang tidak boleh dibicarakan begitu saja tanpa dipuja. Mereka sudah menerjang dengan tongkat akar bahar mereka, langsung mereka mainkan Ilmu Tongkat Hok-mo-pang yang lihai. Tingkat kepandaian Lima Ular Hitam ini sebetulnya masih jauh terlalu rendah kalau dibandingkan dengan tingkat yang dimiliki Thian Sin pada waktu itu sehingga kalau dia menghendaki dalam satu dua jurus saja Thian Sin akan dapat dengan mudah merobohkan, bahkan menewaskan mereka. Akan tetapi, pemuda ini melanjutkan siasatnya memancing “kakap” dan dia tidak mau membikin gentar kakap yang hendak dipancingnya itu. Maka diapun melayani lima orang itu dengan hati-hati agar nampak agak seimbang. Dengan Ilmu San-in-kun-hoat dia mempermainkan mereka seperti seorang dewasa mempermainkan lima orang anak-anak yang nakal saja. Ke manapun tongkat mereka menyambar, selalu mengenai tempat kosong atau dapat ditangkis oleh tangan Thian Sin. Beberapa kali dia membiarkan tubuhnya terpukul, bahkan sempat dia pura-pura terhuyung. Dengan demikian, lima orang itu akan menganggap bahwa sebetulnya tingkat kepandalannya tidak jauh lebih tinggi daripada mereka. Dengan lagak seperti orang kewalahan, akhirnya Thian Sin mencabut pedangnya dan nampaklah sinar perak. Itulah Gin-hwa-kiam (Pedang Bunga Perak) yang diterimanya sebagai hadiah dari neneknya, yaitu Nenek Cia Giok Keng suami pendekar sakti Yap Kun Liong di Bwee-hoa-san. Dan kini perkelahian menjadi semakin seru. Dengan pedang di tangan, Thian Sin memainkan pedang itu dengan indahnya, dan mereka nampak setanding. Setelah membiarkan lawannya mengeroyok selama tiga puluh jurus lebih barulah pedang Gin-hwa-kiam menyambar ganas dan robohlah empat orang pengeroyok dengan leher berlubang dan mereka tewas seketika, sedangkan yang seorang lagi kehilangan lengan kanan sebatas siku yang dibuntungi oleh Thian Sin! Orang ini merintih-rintih dan menggunakan tangan kiri memegangi sisa lengan yang buntung itu. “Hemm, pulanglah dan katakan kepada Lam-sin bahwa aku menanti kedatangannya di dalam kamarku!” Setelah berkata demikian, tanpa mempedulikan apa-apa lagi, Thian Sin berjalan kembali ke dalam kamarnya dan memasuki kamar, menutup jendela dan pintu, lalu tidur berselimut dan sebentar saja diapun sudah pulas! Tentu saja peristiwa ini menimbulkan kegemparan pada kalangan pengemis di Bu-tek Kai-pang. Pemuda yang pagi tadi melukai dua orang pengemiss malam ini malah membasmi Lima Ular Hitam, membunuh empat di antara mereka dan membuntungi lengan yang seorang lagi! Inilah hebat bukan main! Lima Ular Hitam adalah pembantu-pembantu utama dari tiga orang ketua, bahkan dalam hal ilmu kepandaian, mereka itu hanya berada di bawah tingkat tiga orang ketua itu! Biarpun menurut laporan orang terakhir yang buntung lengannya itu bahwa kepandaian pemuda itu hanya setingkat dengan mereka, namun pemuda itu telah dapat membunuh Lima Ular Hitam, maka hal ini saja sudah amat hebat. Berarti bahwa para ketua itu sendiri harus turun tangan. Dan mereka semua bertanya-tanya, siapa gerangan pemuda yang berani mati menentang Bu-tek Kai-pang, dan bukan hanya menghina, kini malah berani membunuh itu. Dan merekapun teringat akan nama yang baru-baru ini menghebohkan dunia persilatan, bahkan sempat menggegerkan kota raja, yaitu Pendekar Sadis! Benarkah Pendekar Sadis pemuda ini dan kalau benar demikian, mengapa dia mengacau di Heng-yang dan sengaja memusuhi Bu-tek Kai-pang? Kalau benar pemuda itu Pendekar Sadis, maka fihak Bu-tek Kai-pang harus bersikap hati-hati. Tiga orang ketua Bu-tek Kai-pang itu bersikap hati-hati dan mereka bertiga lalu pergi menghadap Lam-sin di dalam gedungnya yang indah itu. Lam-sin, nenek itu, sedang duduk menghadapi makan pagi ketika tiga orang ketua itu datang menghadap, dan sebelum ia menerimanya, ia telah lebih dulu mendengar dari pelayan wanita tentang permohonan tiga orang itu untuk menghadap. “Hemm, pagi-pagi begini sudah berani mengganggu, tentu ada hal penting. Suruh mereka langsung saja datang ke sini dan sediakan sarapan untuk mereka,” perintahnya yang cepat ditaati oleh para pelayannya, yaitu wanita-wanita yang cantik-cantik. Begitu masuk dan bertemu dengan nenek itu, tiga orang ketua Bu-tek Kai-pang yang juga dapat disebut murid-murid Lam-sin, menjatuhkan diri berlutut. Akan tetapi nenek itu cepat menggerakkan tangannya menyuruh mereka bangkit dengan sikap muak. “Sudah, jangan banyak memakai peraturan kuno. Lebih baik duduklah dan temani aku sarapan, dan jangan bicara sebelum kita selesai makan.” Ucapannya ini diikuti sikap wajah ramah dari muka yang berkeriputan itu, akan tetapi sepasang mata itu, yang selalu ditakuti dan dikagumi oleh tiga orang ketua kai-pang ini, nampak bersinar-sinar dan mencorong penuh wibawa menyeramkan. Tiga orang ketua itu tidak berani menolak, biarpun agak canggung namun mereka makan sarapan pagi bersama guru dan ketua mereka yang mereka hormati dan takuti itu. Akhirnya, selesai jugalah nenek itu sarapan pagi, pekerjaan yang dilakukan dengan seenaknya seolah-olah tidak ada apa-apa yang menyusahkan di dunia ini, sama sekali tidak peduli akan sikap tiga orang bawahannya yang canggung dan kelihatan gugup itu. Setelah para pelayan wanita yang cantik-cantik dan muda-muda itu membersihkan meja, barulah Lam-sin menghadapi tiga orang ketua itu dan berkata, “Sepagi ini kalian datang menggangguku, tentu ada urusan penting yang kalian merasa tidak sanggup menanggulangi sendiri. Nah, apakah itu?” “Harap locianpwe sudi memaafkan kami,” kata mereka. Mereka memang hanya berani menyebut locianpwe kepada nenek itu, karena nenek itu tidak menganggap mereka sebagai murid. Dan memang kenyataannya, nenek itu hanya menurunkan beberapa macam ilmu pukulan, terutama Hok-mo-pang kepada mereka itu. “Sesungguhnya kami tidak berani mengganggu locianpwe dan rasanya kami masih sanggup untuk menanggulangi sendiri. Akan tetapi, karena kami menduga bahwa pengacau yang menentang Bu-tek Kai-pang sekali ini adalah seorang yang baru-baru ini namanya menonjol di dunia kang-ouw, bahkan telah menggegerkan kota raja, maka kami memberanikan diri melaporkan kepada locianpwe dan mohon petunjuk dan keputusan. Kalau locianpwe menghendaki kami turun tangan sendiri, tentu kami tidak lagi mengganggu locianpwe.” “Menggegerkan kota raja? Siapakah yang menggegerkan kota raja akhir-akhir ini selain Pendekar Sadis itu?” “Itulah dia orangnya yang akan kami laporkan kepada locianpwe.” Nenek itu nampak tertarik. “Ah, benarkah? Benarkah Pendekar Sadis itu yang kini datang ke sini menentang Bu-tek Kai-pang? Ceritakan semua!” Ang-i Kai-ong lalu mewakili para sutenya menceritakan semua peristiwa yang terjadi dengan sejelasnya, dimulai peristiwa di rumah makan di mana ada seorang pemuda yang telah menghina seorang pengemis, kemudian dua orang pengemis dilukainya dengan tulang ayam dan disertai penghinaan agar tulang-tulang ayam itu disampaikan kepada raja pengemis. “Bahkan dia berani menyebut-nyebut dan menantang nama locianpwe. Inilah yang membuat kami berpikir lebih baik melaporkan kepada locianpwe.” Nenek itu tidak marah. Nenek itu tidak pernah memperlihatkan kemarahan. Bahkan ada kalanya dia membunuh orang sambil tersenyum saja! “Menarik sekali!” katanya dan sepasang matanya itu bersinar-sinar, nampak tertarik benar. “Lalu bagaimana? Teruskan dan ceritakan bagaimana kepandaiannya!” “Menurut laporan para anggauta, kepandaiannya tidaklah seberapa hebat. Memang dia telah merobohkan dua orang pengemis tingkat rendahan. Kemudian kami mengutus Lima Ular Hitam untuk menangkapnya di rumah penginapan.” “Hemm, kalau mereka juga gagal, maka menarik sekali,” kata Si Nenek yang sudah mengenal kelihaian serta kelicikan Lima Ular Hitam itu. “Memang mereka telah gagal, locianpwe. Akan tetapi menurut seorang di antara mereka yang hanya buntung lengannya, tingkat kepandaian pemuda itu seimbang saja dengan mereka berlima, jadi menurut pikiran kami, bukan merupakan bahaya besar.” Dia lalu menceritakan semua peristiwa di rumah penginapan itu, tentang matinya empat di antara Lima Ular Hitam dan seorang lagi dibuntungi lengannya dan kembali dalam kesempatan itu, Si Pemuda tanpa menyebutkan namanya menantang Lam-sin. Lam-sin mengangguk-angguk. “Hemm, agaknya lancang juga pemuda itu, dan sombong sekali.” “Memang dia sombong sekali, locianpwe, akan tetapi kami masih cukup kuat untuk menundukkannya dan menyeret ke hadapan kaki locianpwe, kalau locianpwe menghendaki,” kata Ang-i Kai-ong dengan penasaran sekali. Akan tetapi nenek itu tersenyum. “Dia sudah berulang kali menantangku, kalau aku diam saja bisa disangka bahwa aku tidak berani kepadanya. Akan tetapi, sebelum kau menyerahkan surat tantanganku kepadanya, selidiki lebih dulu apakah benar dia adalah Pendekar Sadis yang disohorkan itu atau bukan. Kalau bukan, jangan berikan suratku dan bunuh saja dia, aku tidak mau mencampurinya lagi. Kalau benar dia Pendekar Sadis, serahkan surat tantanganku dan aku akan melihat dulu bagaimana kelihaiannya menghadapi kalian. Kalau kuanggap dia patut untuk melawanku, baru aku akan menemuinya.” Lam-sin memanggil pelayan dan membuat coretan-coretan di atas kertas merah muda, lalu memasukkan surat itu ke dalam amplop yang ditulis dengan huruf-huruf halus : PENDEKAR SADIS! Sehari lewat tanpa ada apa-apa. Thian Sin masih menanti di rumah penginapan itu. Dia tidak merasa heran bahwa semua orang di dalam rumah penginapan itu bersikap seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Padahal malam tadi ada empat orang tewas di ruangan depan, dan seorang lagi buntung lengannya. Dia tahu bahwa semua bekas telah dibersihkan dan para pengurus rumah penginapan itu tidak berani membuka mulut, tentu telah dipesan oleh pihak Bu-tek Kai-pang. Dia tidak tahu bahwa sehari itu dipergunakan oleh para anggauta kai-pang untuk melakukan penyelidikan, mendengar tentang Pendekar Sadis. Setelah mereka memperoleh berbagai keterangan, tentang pendekar itu yang dikabarkan masih muda, berpakaian sasterawan, pandai bersajak dan suka bernyanyi, bersikap lemah lembut, murah senyum, mereka tidak ragu-ragu lagi bahwa pemuda yang bermalam di rumah penginapan Lok-nam itu sudah pasti adalah Pendekar Sadis! Maka pada hari berikutnya, pagi-pagi sekali seorang pelayan mengetuk pintu kamar Thian Sin. “Masuk saja, pintuku tidak dikunci!” kata Thian Sin yang sedang duduk termenung di dalam kamarnya. Pintu terbuka dan pelayan itu menyerahkan sebuah amplop. “Ada orang menyerahkan surat ini, kongcu, akan tetapi biarpun nomor kamarnya nomor lima, kami tidak tahu apakah benar surat ini untuk kongcu ataukah bukan.” Thian Sin menerima surat beramplop merah muda itu, membaca tulisannya di luar KEPADA PENDEKAR SADIS. Dia tersenyum dan mengangguk. “Benar, surat ini untukku. Terima kasih!” Itulah tindakan terakhir dari pihak kai-pang untuk meyakinkan bahwa memang pemuda itu Pendekar Sadis, yaitu melalui pelayan itu. Pelayan itu membungkuk, agak terlalu dalam karena dia terkejut dan ketakutan, lalu mengundurkan diri keluar dari kamar itu. Thian Sin tersenyum dan merobek amplop, mengeluarkan kertas merah muda. Dia bersikap hati-hati, tidak ceroboh ketika membuka surat karena dia maklum bahwa seorang penjahat yang lihai dapat saja membunuh lawan melalui surat. Akan tetapi, tidak ada jarum rahasia atau asap beracun yang menyambar keluar dari amplop, juga tidak tercium sesuatu kecuali sedikit keharuman minyak wangi, maka dia membuka kertas tertulis itu dengan senyum geli. Namanya juga datuk kaum sesat, pikirnya. Menulis surat dengan amplop dan kertas berwarna merah muda dan berbau harum pula! Dengan tenang namun tertarik dibacanya tulisan yang goresannya halus dan rapi itu. Lam-sin menantang kepada Pendekar Sadis untuk mengadu kepandaian melawan murid-muridnya di Lembah Gunting Cemara sebelah timur kota Heng-yang, kalau memang Pendekar Sadis berani! Lewat tengah hari menjelang sore hari ini Tertanda : Lam-sin Thian Sin tertawa dan merasa girang sekali. Akhirnya sang kakap mulai memperlihatkan dirinya, walaupun masih bersembunyi di balik murid-muridnya. “Ha-ha-ha, menghadapi engkau sendiri aku tidak takut, apalagi murid-muridmu, Lam-sin!” katanya sambil tersenyum dan tak lama kemudian, sudah terdengar pemuda ini bernyanyi-nyanyi di dalam kamarnya, sikapnya tenang-tenang saja sehingga anak buah kai-pang yang dipasang di situ untuk menyelidiki, cepat melaporkan kepada tiga orang ketua kai-pang yang menjadi semakin terheran-heran, akan tetapi juga mendongkol dan penasaran sekali. Pemuda itu sudah menerima tantangan Lam-sin, tentu sudah membacanya, akan tetapi malah bernyanyi-nyanyi. Manusia ataukah setan orang itu? Siang hari itu Thian Sin memesan makanan yang cukup mewah seperti orang berpesta-pora seorang diri. Tadinya timbul pikiran para ketua kai-pang untuk meracuni pemuda ini, akan tetapi mereka takut kepada Lam-sin, karena satu di antara hal-hal yang dibenci oleh datuk itu, kecuali perkosaan yang merupakan hal terutama, adalah kecurangan dalam menghadapi lawan. Lam-sin kini sudah mengirim surat sendiri, menantang, maka kalau sampai mereka melakukan penyerangan melalui makanan dengan racun, kalau sampai gagal, tentu Lam-sin akan mendapat malu dan akan menjadi marah kepada mereka. Dan mereka bergidik kalau membayangkan datuk itu marah kepada mereka. Sehabis makan, setelah beristirahat beberapa jam lamanya, pada saat matahari mulai condong ke arah barat, Thian Sin keluar dari kamarnya, langsung menghampiri meja pengurus rumah penginapan itu dan bertanya dengan ramah, “Tolong kalian beritahukan di mana aku dapat menemukan lembah Gunung Cemara di sebelah timur kota ini.” Para pengurus itu gemetar ketakutan. Alangkah beraninya pemuda ini, pikir mereka. Tentu pemuda ini sudah menduga bahwa para pengurus di rumah penginapan ini juga tunduk kepada kai-pang akan tetapi sikapnya demikian tenang seperti berada di antara sahabat-sahabat sendiri saja. Tergopoh-gopoh pengurus rumah penginapan yang memang sudah menerima pesan itu memberitahukan jalan dan arah tempat yang hendak dikunjungi oleh pemuda yang kini diam-diam mereka kenal sebagai Pendekar Sadis sehingga pandang mata mereka berbedap penuh kengerian den ketakutan. Lembah itu merupakan padang rumput yang rata dan lembut, nampak kehijauan seperti permadani dihamparkan. Tempat itu dikelilingi hutan-hutan kecil, akan tetapi di padang rumput itu sendiri tidak ada pohonnya. Ketika Thian Sin sedang berjalan seorang diri menuju ke lembah ini, melalui hutan cemara seperti yang diberitahukan oleh pengurus rumah penginapan, tempat yang sunyi dan tidak nampak ada seorangpun manusia, tiba-tiba dia dikejutkan oleh suara ketawa dan berkelebatnya orang tak jauh di sampingnya. Yang amat mengejutkan hatinya adalah karena orang itu bergerak sedemikian cepatnya seperti menghilang saja. Thian Sin seakan tenang-tenang saja dan tidak akan mengambil peduli kalau saja yang bergerak itu orang biasa, atau dengan gin-kang biasa saja. Akan tetapi gerakan orang ini mengejutkan hatinya. Demikian cepatnya seperti terbang. Maka ia merasa penasaran dan diapun lalu mengerahkan gin-kang dan melakukan pengejaran. Bayangan itu masih nampak di depan, akan tetapi bayangan itu sungguh luar biasa cepatnya. Lenyap di balik pohon di depan, tahu-tahu muncul di sebelah kirinya. Dia mengejar, lenyap lagi dan muncul di sebelah kanan. Thian Sin semakin penasaran, jelas bahwa bayangan itu mempermainkannya, atau setidaknya, tentu hendak menguji kecepatan gerakannya. Dia lalu meloncat dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk mengejar, akan tetapi bayangan itu lenyap ketika dia tiba di padang rumput dan di situ ternyata telah berkumpul tiga orang ketua berikut sedikitnya tiga puluh orang anak buah Bu-tek Kai-pang yang tinggi tingkatnya. Thian Sin teringat bahwa dahulu, menurut penuturan Cia Kong Liang, Bu-tek Kai-pang dipimpin oleh seorang pengemis sakti bernama Lam-thian Kai-ong. Dia tidak tahu bahwa kini telah terjadi perubahan besar, Lam-thian Kai-ong telah meninggal dunia dan kini Bu-tek Kai-pang telah berganti pimpinan, yaitu ketiga orang pengemis setengah tua yang berdiri dengan gagahnya di depannya itu. Maka, melihat tiga orang pengemis yang berdiri dengan kedua kaki tegak agak dipentang dengan sikap gagah, dia lalu melangkah maju, menghampiri mereka dan setelah memandang ke kanan kiri, dia lalu berkata, suaranya halus, wajahnya berseri, seolah-olah dia tidak sedang menghadapi calon lawan melainkan berada di antara para sahabat! “Manakah ketua Bu-tek Kai-pang yang bernama Lam-thian Kai-ong? Dan mana pula datuk Lam-sin yang telah mengirim surat tantangan kepadaku? Aku telah datang, harap mereka berdua suka mempprkenalkan diri.” “Pendekar Sadis, kalau engkau mencari ketua Bu-tek Kai-pang, kamilah ketuanya!” Thian Sin memandang kepada tiga orang itu dengan penuh perhatian. Yang bicara tadi adalah seorang kakek berusia kurang lebih enam puluh tahun, berjubah merah tambal-tambalan, di sampingnya berdiri kakek berjubah hijau dan seorang lagi berjubah putih. Usia mereka sebaya dan ketiganya memegang sebuah tongkat yang ujungnya runcing. “Yang manakah di antara sam-wi yang bernama Lam-thian Kai-ong?” Ang-i Kai-ong menjawab, “Pendekar Sadis, orang yang kaucari itu, Lam-thian Kai-ong telah meninggal dunia dan kini yang menjadi ketua Bu-tek Kai-pang adalah kami bertiga.” “Ah, begitukah? Dan di mana adanya locianpwe yang berjuluk Lam-sin? Aku datang untuk memenuhi panggilan dan tantangannya.” “Bocah sombong!” bentak Jeng-i Kai-ong dengan marah. “Tidak sembarangan orang boleh berhadapan dengan Locianpwe Lam-sin! Engkau telah mengacau dan menghina Bu-tek Kai-pang, nah, kini engkau sudah berhadapan dengan kami, ketuanya. Kalau engkau mampu mengalahkan kami, barulah boleh bicara tentang bertemu dengan Lam-sin!” Thian Sin mengangguk-angguk dan tersenyum. Dia sudah menduga akan hal ini, maka diapun tertawa bergelak dan berkata lantang, dengan harapan agar suara ketawanya dan kata-katanya dapat terdengar oleh Lam-sin yang dia kira tentu bersembunyi tidak jauh dari situ. Dia keliru karena Lam-sin sama sekali tidak mendekati tempat itu kecuali ketika mencoba gin-kangnya tadi, lalu terus pulang dan hanya mengutus seorang pelayannya untuk menyaksikan jalannya pertempuran sambil bersembunyi. “Ha-ha-ha-ha! Kiranya yang bernama Lam-sin hanyalah seorang licik yang bersembunyi dan berlindung di belakang sekumpulan pengemis tukang pukul!” Ucapan Thian Sin ini merupakan penghinaan yang luar biasa. Para pengemis Bu-tek Kai-pang memandang Lam-sin sebagai seorang junjungan yang ditakuti, dikagumi dan dihormati. Sekarang pemuda ini memaki nenek itu, tentu saja mereka menjadi marah sekali. Akan tetapi, tiga orang ketua Bu-tek Kai-pang itu sudah mendengar tentang Pendekar Sadis yang telah menggegerkan kota raja, telah mengacau Hwa-i Kai-pang di kota raja, membunuh dua orang ketua Hwa-i Kai-pang, bahkan telah membunuh Toan-ong-ya, kemudian terdengar desas-desus bahwa pemuda ini telah mengacau Pek-lian-kauw dan membunuh Tok-ciang Sian-jin yang amat lihai itu. Maka, mereka bertiga tidak berani ceroboh dan Ang-i Kai-ong lalu berteriak kepada para anak buahnya, yaitu para tokoh Bu-tek Kai-pang yang sudah mempunyai tingkat tinggi, untuk maju mengepung dan mengeroyok! Kurang lebih tiga puluh orang tenaga Bu-tek Kai-pang segera maju mengepung dan mereka bergerak mengitari pemuda itu sambil mengeluarkan senjata masing-masing. Sebagian besar di antara mereka, memegang tongkat pendek dari baja, akan tetapi ada pula yang membawa tombak, golok atau pedang. Thian Sin yang datang memang dengan maksud membasmi Bu-tek Kai-pang yang pernah membantu ketika keluarga Ciu Khai Sun diserbu, berdiri tegak dengan sikap tenang sekali. Sepasang matanya mengerling ke depan kanan dan kiri, sedangkan telinganya mengikuti gerak-gerik para pengurung yang tidak dapat dilihat oleh sepasang matanya, yaitu mereka yang berada di belakangnya. Setiap urat syaraf di tubuhnya menegang dan siap. Dia berdiri tegak dan diam bukan karena menanti mereka menyerang lebih dulu, melainkan terutama sekali membuat perhitungan, mempelajari kedudukan mereka. Dia melihat bahwa para pengemis itu bergerak dengan teratur, dengan barisan yang terlatih bukan sekedar mengeroyok secara awut-awutan belaka. Oleh karena itu diapun bersikap waspada. Dia melihat betapa ketua baju merah berdiri di belakang barisan yang berada di depannya, ketua baju hijau memimpin barisan yang berdiri di belakang barisan yang berada di depannya, ketua baju hijau memimpin barisan di sebelah kanannya sedangkan ketua baju putih memimpin barisan yang berdiri di sebelah kirinya. Sisa pasukan pengemis itu berada di belakangnya. Tiba-tiba mereka yang berada di belakangnya itu bersorak dan dia mendengar mereka itu sudah menggerakkan senjata dan menyerbu ke arahnya. Menurut pendengarannya, kiranya tidak kurang dari sepuluh orang yang menerjangnya dari belakang. Akan tetapi dia masih sempat memperhatikan ke depan, kanan dan kirinya dan tahulah dia bahwa bahaya datangnya dari tiga orang ketua itu. Dia melihat betapa mereka, tiga golongan ini telah siap untuk menyerbu dan menanti kesempatan. Diapun dapat menduga bahwa barisan belakang yang agaknya tidak dipimpin langsung oleh para ketua itu hanya dipergunakan untuk menggertak atau mengacau saja, untuk memecah perhatiannya, padahal yang menjadi inti pasukan penyerang adalah dari depan, kanan dan kiri itu. Karena itu, Thian Sin seperti tidak mempedulikan serangan dari belakang, melainkan tetap memperhatikan musuh-musuh di depan. Baru setelah dia merasa adanya sambaran senjata sudah dekat sekali dengan tubuh belakangnya, dia membalik dan menggerakkan kedua tangan yang mengandung tenaga sakti Thian-te Sin-ciang. Terdengar teriakan-teriakan, dan nampak senjata-senjata terlempar lalu disusul robohnya lima orang penyerang terdepan yang terjengkang dan tidak berkutik lagi karena mereka telah tewas oleh sambaran hawa pukulan Thian-te Sin-ciang yang meretakkan kepala dan memecahkan dada mereka itu! Memang Thian Sin tidak mau berlaku kepalang tanggung, begitu memapaki serangan dia telah mengerahkan tenaga sin-kang yang kuat sekali. Melihat ini, sisa penyerang dari belakang itu terbelalak dan muka mereka pucat, hati mereka gentar sekali. Belum pernah mereka melihat ada lawan yang diserbu, sekali membalikkan tubuh mendorong dengan kedua tangan membunuh lima orang teman mereka! Ketika Ang-i Kai-ong menggerakkan pasukannya menyerbu, Thian Sin sudah membalikkan tubuhnya lagi. Dia melihat bahwa Jeng-i Kai-ong dan Pek-i Kai-ong telah menggerakkan barisan masing-masing maka senjata dari depan, kiri dan kanan datang bagaikan hujan saja. Thian Sin menyambut semua serangan itu dengan tangkisan, elakan, dan juga tidak tinggal diam melainkan membagi-bagi tamparan dan tendangan. Hebatnya, setiap serangan balasan dari kaki dan tangannya tentu membuat roboh seorang pengeroyok untuk tidak bangun lagi karena tewas seketika! Terjadi pengeroyokan dan perkelahian yang seru dan mengerikan. Karena datangnya senjata seperti hujan, dan penyerangan itu amat teratur, maka biarpun Thian Sin dapat melindungi dirinya dengan pengerahan sin-kang yang membuat tubuhnya kebal dan tidak dapat terluka oleh senjata, namun dia tidak dapat melindungi bajunya yang menjadi robek-robek di sana-sini! Dia menjadi marah. Memang penyerangan itu teratur sekali, kalau dia menghadapi barisan kiri, maka barisan kanan menyerbu, kalau dia membalik ke kanan, maka yang dari depan menyerbu dan demikian sebaliknya. Dia mengamuk terus dan kini sudah ada kurang lebih dua belas orang roboh dan tewas oleh amukannya. Dan ketika dia memperoleh kesempatan, melihat Ang-i Kai-ong yang terdekat, dia meloncat, membiarkan senjata para pengemis menghantaminya dan melindungi dirinya dengan kekebalan, dia langsung menyerang Ang-i Kai-ong! Kakek ini terkejut dan menggerakkan tongkatnya, menyambut tubuh Thian Sin dengan tusukan tongkat dengan ujung tongkat yang runcing itu meluncur ke arah ulu hati Thian Sin. Pemuda ini cepat miringkan tubuhnya sehingga tusukan itu luput. Akan tetapi dengan gerakan kilat, tongkat berujung runcing itu sudah membalik dan dari samping menusuk ke arah lambung. Melihat kecepatan gerakan tongkat ini, maklumlah Thian Sin bahwa ilmu kepandaian si jubah merah ini hebat juga. “Dukkk!” Dia menangkis dengan lengannya dan mengerahkan tenaga. Kini giliran Ang-i Kai-ong terkejut. Tangkisan pemuda itu mengandung tenaga yang sedemikian besarnya sehingga dia terdorong mundur dan terhuyung. Cepat dia memberi isyarat dan kedua orang adiknya, yaitu Jeng-i Kai-ong dan Pek-i Kai-ong sudah cepat meloncat datang dan tongkat mereka menyambar ganas. Tongkat Jeng-i Kai-ong meluncur ke arah pusarnya dan tongkat Pek-i Kai-ong menghantam ke arah kepalanya. “Plak! Plak!” Dua tangan Thian Sin berhasil menangkis dua batang tongkat itu dan seperti juga Ang-i Kai-ong, dua orang ketua pengemis ini terkejut karena tangkisan itu membuat mereka terpelanting dan hampir terbanting roboh. Mereka lalu bergerak cepat dan mengeroyok dengan permainan tongkat mereka yang lihai. Karena mereka telah menerima latihan dari Lam-sin, maka permainan tongkat mereka dengan Ilmu Hok-mo-pang (Tongkat Penakluk Iblis) sungguh hebat dan tingkat kepandaian mereka itu tidak di sebelah bawah mendiang Lo-thian Sin-kai dan Hek-bin Mo-kai, kedua orang ketua Hwa-i Kai-pang di kota raja itu! Para anggauta Bu-tek Kai-pang terlalu kaget dan gentar menyaksikan betapa pemuda yang terkenal dengan julukan Pendekar Sadis itu telah membunuh dua belas orang teman mereka! Oleh karena itu, melihat betapa kini tiga orang ketua mereka telah maju bertiga dan mengeroyok Pendekar Sadis, mereka hanya mengurung tempat itu dan membiarkan tiga orang ketua mereka membereskan pemuda yang lihai itu dengan senjata siap di tangan. Masih ada dua puluh orang yang mengepung tempat itu. Sementara itu, Thian Sin mengamuk dengan hebat. Biarpun tiga orang itu memiliki Hok-mo-pang yang tangguh dan senjata mereka yang terbuat dari baja tulen itu juga ampuh sekali, apalagi gerakan mereka bertiga demikian teratur, saling mengisi dan saling melengkapi, namun berhadapan dengan Thian Sin mereka seolah-olah bertemu dengan gurunya. Pemuda ini menghadapi tiga tongkat mereka dengan tangan kosong saja dan sama sekali tidak pernah terdesak! Bahkan sebaliknya malah, dengan mainkan Thai-kek Sin-kun, dan mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang, pemuda itu membuat mereka repot sekali dan sering kali mereka terhuyung-huyung dan terpaksa memutar tongkat melindungi diri dan cepat-cepat dibantu oleh temannya. Thian Sin memang sengaja hendak memamerkan kepandaian dan juga hendak mengenal Ilmu Tongkat Hok-mo-pang, karena dia harus mempersiapkan diri menghadapi Lam-sin yang tentu lebih lihai lagi daripada tiga orang ini. Setelah dia mengenal liku-liku Ilmu Tongkat Hok-mo-pang yang harus diakuinya memang hebat itu, dia mengambil keputusan untuk mengakhiri perkelahian itu. “Plakkk!” Tongkat Ang-i Kai-ong yang menghantam punggungnya, dia terima dengan punggungnya tanpa mengelak atau menangkis. Tongkat itu tetap melekat. Sepasang mata Ang-i Kai-ong terbelalak dan wajahnya pucat sekali. Dia meronta, akan tetapi semakin hebat tenaga sin-kang mengalir keluar dari kedua tangannya yang memegang tongkat. Hal ini terasa olehnya, membuat dia panik. “Tolong... tolong...!” teriaknya dan terus berusaha menarik-narik tongkatnya. Melihat ini, Jeng-i Kai-ong dan Pek-i Kai-ong cepat membantu. Si jubah hijau cepat memasukkan tongkatnya ke arah lambung Thian Sin. Dan Pek-i Kai-ong menghantamkan tongkatnya ke punggung pemuda itu untuk membantu kakaknya melepaskan diri. “Plakk! Bukk!” Thian Sin menangkap tongkat yang menusuk lambungnya dan membiarkan tongkat Pek-i Kai-ong menghantam punggungnya pula. Tenaga Thi-khi-i-beng yang dia kerahkan kini bekerja sepenuhnya dan tiga batang tongkat itu melekat di tangan dan punggungnya. Tiga orang pengemis tua itu terkejut, akan tetapi makin hebat mereka mengerahkan tenaga, makin keras pula tenaga sin-kang mereka membanjir keluar tersedot oleh tubuh pemuda itu! Para pengemis yang melihat tiga orang ketua mereka itu memegangi tongkat dan meronta-ronta seperti hendak menarik kembali tongkat mereka, dengen muka pucat mata terbelalak dan terengah-engah, menjadi terheran-heran. Mereka tidak tahu apa yang terjadi. Karena mengira bahwa para ketua mereka itu hendak menarik kembali tongkat itu yang agaknya secara aneh dipertahankan oleh si pemuda, maka beberapa orang lalu meloncat maju dan membantu ketua mereka, memegang tongkat dan bantu menarik. Namun mereka inipun berteriak kaget ketika tenaga merekapun tersedot. Lebih banyak lagi yang datang ikut membantu dan kini ada belasan orang menarik-narik tongkat-tongkat itu, dan lebih banyak orang lagi tenaga sin-kangnya tersedot oleh Thian Sin! Sisa para pengemis memandang bengong. Pada saat itu, nampak ada bayangan berkelebat di atas kepalanya. Thian Sin terkejut melihat bayangan orang yang gerakannya cepat sekali dan ketika bayangan itu melayang lewat, ada dua buah benda kecil hitam menyambar ke arah kedua pundak Thian Sin! “Tuk! Tuk!” Dua buah batu hitam sebesar ujung jari tangan menyambar dengan lembut ke arah kedua pundak pemuda itu. Akan tetapi ternyata dua buah batu kecil itu tepat mengenai jalan darah yang membuat Thian Sin seketika merasa tubuhnya tergetar hebat. Dia terkejut bukan main, maklum bahwa orang itu merupakan lawan yang amat tangguh dan kini keadaannya menjadi terancam. Maka dia menarik kembali tenaga sedotan Thi-khi-i-beng dan menggunakan tenaga yang telah disedotnya itu untuk dihempaskan keluar melalui kedua tangan dan seluruh badannya, membuat gerakan seperti seekor anjing berkirik mengusir air dari tubuhnya. Akibatnya, terdengar teriakan-teriakan dan belasan orang itu terlempar sampai jauh. Banyak di antara mereka yang tidak begitu kuat, roboh dan tewas, sedangkan tiga orang ketua Bu-tek Kai-pang itu hanya merasa dada mereka sesak dan mereka muntah darah. Akan tetapi mereka masih mempunyai sisa tenaga untuk bangkit dan melarikan diri secepatnya! Thian Sin berloncatan mengejar bayangan tadi. Akan tetapi dia melihat bayangan itu telah berada jauh sekali di depan, melintasi sebuah lereng bukit. Dia terus mengejar, akan tetapi akhirnya bayangan itu lenyap dan kemanapun dia mencari, hasilnya sia-sia. Akhirnya dia kembali ke tempat pertempuran tadi dan di situ telah sunyi, tidak nampak seorangpun pengemis, juga mayat-mayat para anggauta pengemis telah lenyap. Hanya darah-darah yang berceceran di situ saja yang membuktikan bahwa di tempat itu baru saja terjadi perkelahian yang hebat. Tiba-tiba Thian Sin tertarik oleh bentuk ceceran darah di atas rumput. Ceceran darah itu membentuk huruf-huruf! LAM-SIN MENANTANG PENDEKAR SADIS DI RUMAHNYA. Membaca huruf-huruf itu, Thian Sin tertawa. “Ha-ha-ha, Lam-sin, biarpun engkau main curang, jangan mengira aku takut padamu!” Thian Sin lalu berlari cepat memasuki kota dan segera mencari sarang Bu-tek Kai-pang. Sarang itu megah dan menyeramkan, akan tetapi dengan langkah tenang pemuda itu memasuki pintu gerbang yang terjaga oleh beberapa orang pengemis Bu-tek Kai-pang. Para penjaga itu berdiri berbaris di kanan kiri pintu gerbang, sama sekali tidak melarang atau bertanya kepada Thian Sin, bahkan rata-rata mereka memperlihatkan sikap tegang dan gentar terhadap pemuda ini. Thian Sin berlenggang kangkung, masuk menuju ke gedung di belakang perumahan Bu-tek Kai-pang itu sambil tersenyum. Akan tetapi tentu saja dia tidak pernah melepaskan kewaspadaannya karena dia maklum bahwa dia telah memasuki tempat tinggal Lam-sin, datuk dari selatan yang amat terkenal itu. Dia telah memasuki gua naga dan harimau! Kelengahan di tempat seperti ini berarti ancaman maut. Keadaan di tempat itu sunyi saja. Hanya nampak beberapa orang anggauta Bu-tek Kai-pang yang berdiri seperti patung. Seolah-olah tempat itu diselubungi suasana berkabung dan memanglah, selain gentar, juga para anggauta Bu-tek Kai-pang berkabung karena kematian para anggauta yang dua belas orang itu, ditambah lagi enam orang yang tewas ketika Thian Sin mempergunakan Thi-khi-i-beng. Di dalam gedung Bu-tek Kai-pang, tiga orang ketuanya sedang rebah dengan muka pucat, karena mereka telah menderita luka dalam yang cukup parah. Ketika Thian Sin tiba di depan gedung yang menjadi tempat tinggal Lam-sin, dia memandang kagum. Gedung itu mungil dan nyeni, dengan tanaman-tanaman yang amat terawat rapi dan indah. Halaman depan dihias petak rumput yang hijau segar dan rata, dan di sana-sini tumbuh pohon kembang mawar dan bermacam-macam bunga. Jalan menuju ke pintu depan ditutup dengan kerikil yang merupakan kerikil yang putih kebiruan. Ketika menginjak jalan berkerikil itu, terdengar suara berisik dan Thian Sin lalu mengerahkan gin-kangnya. Kini dia berjalan melalui kerikil itu tanpa mengeluarkan suara sedikitpun seolah-olah tubuhnya hanya seringan bulu saja! Dua orang wanita muda yang menyambutnya di pintu depan, memandang dengan wajah tak berhasil menyembunyikan keheranan dan kekaguman mereka melihat betapa pemuda itu dapat berjalan di atas jalan kerikil tanpa menimbulkan suara. Ini saja merupakan demontrasi gin-kang yang hebat, dan yang mereka ketahui hanya dapat dilakukan oleh majikan mereka, Lam-sin. Ketika Thian Sin berdiri di depan pintu, dua orang wanita yang berpakaian rapi dan memiliki wajah yang manis itu cepat memberi hormat. Seorang di antara mereka, yang mempunyai tahi lalat kecil di dagu sehingga ia nampak manis sekali, berkata dengan suara halus dan merdu, “Kongcu, silakan masuk. Pangcu sedang menghadapi meja makan dan mempersilakan kongcu untuk masuk saja.” “Pangcu juga mengundang kongcu untuk makan malam bersamanya,” kata wanita ke dua. Thian Sin tersenyum. Dua orang gadis muda ini sungguh cantik dan berpakaian mewah, sama sekali tidak nampak seperti pelayan. Maka diapun mengangguk. “Pangcu kalian sungguh baik hati.” Maka diapun melangkah ke dalam gedung itu, diiringkan oleh dua orang, satu di depan dan satu lagi di belakangnya. Ketika memasuki gedung kecil itu, Thian Sin merasa semakin kagum. Lantainya begitu bersih dan licin mengkilat, langit-langitnya agak tinggi dan banyak terpasang lubang angin berukir sehingga ruangan di dalam gedung terasa sejuk sekali. Dan di dinding tergantung lukisan-lukisan indah dan tulisan-tulisan huruf indah yang tentu terbuat oleh ahli-ahli yang pandai dan berharga mahal sekali. Kain-kain sutera dan beludru menghias ruangan, dan perabot-perabot yang mungil. Sebuah rumah gedung kecil mungil yang dalamnya indah seperti istana saja!