Jadi jelaslah bahwa sex itu sendiri bukanlah sesuatu yang cabul. Cabul tidaknya sesuatu itu tergantung dari dasar batin orang yang menonjolkannya atau juga dasar batin orang yang memandangnya. Di antara segala perbuatan di dunia ini, satu-satunya yang membuat kita merasa bebas, satu-satunya yang melenyapkan perasaan si aku untuk sesaat, hanyalah sex itulah! Di sini tidak lagi terdapat si aku yang menikmati. Seluruh diri lahir batin lebur menjadi satu dengan kenikmatan itu sendiri. Dan keadaan seperti itu, keadaan tanpa aku inilah yang merupakan kenikmatan tertinggi dan membuat sex menjadi sesuatu yang teramat penting dan terpenting di dalam kehidupan, membuat orang mendewa-dewakannya. Dan karenanya sex menjadi suatu kesenangan, dan setelah menjadi kesenangan lalu menciptakan pengejarannya. Maka terjadilah hal-hal yang amat buruk. Thian Sin dan Kim Hong lupa diri. Setelah berpisah, barulah mereka merasa betapa mereka itu saling membutuhkan, dan pertemuan yang mesra ini membuat ikatan di antara mereka menjadi semakin kuat. Walaupun tidak ada ikatan lahir seperti pernikahan dan sebagainya di antara mereka, namun di dalam batin, mereka saling mengikatkan diri. *** “Sudah engkau pikirkan secara mendalamkah, Kong Liang?” Ibunya bertanya, suaranya mengandung kekerasan karena betapapun Yap In Hong mencinta puteranya ini, namun apa yang dikemukakan puteranya itu sungguh tidak berkenan di hatinya. “Engkau harus ingat bahwa engkau adalah putera ketua Cin-ling-pai!” “Ibu, apakah ibu hendak menonjolkan kedudukan di sini?” puteranya membantah. Cia Kong Liang sudah berusia dua puluh empat tahun, sudah lebih dari dewasa dan pandangannya sudah luas walaupun dia mewarisi kekerasan hati ibunya. “Bukan begitu maksudku, Liang-ji. Aku tidak menonjolkan kedudukan ayahmu, melainkan hendak mengingatkanmu bahwa ayahmu seorang pendekar besar. Ibumupun sejak muda adalah seorang pendekar dan engkau tentu maklum perdirian seorang pendekar, yaitu menentang kejahatan. Dan engkau tentu maklum pula siapa adanya Tung-hai-sian Bin Mo To itu! Engkau tentu sudah mendengar perkumpulan macam apa yang disebut Mo-kiam-pang yang diketuai dan didirikan oleh Tung-hai-sian itu, menguasai seluruh dunia perbajakan.” “Akan tetapi, ibu. Yang saya cinta dan yang saya ingin agar menjadi jodohku bukanlah Tung-hai-sian, melainkan Nona Bin Biauw!” Pemuda itu bicara penuh semangat, akan tetapi dia bertemu pandang dengan ayahnya dan sadar bahwa dia bicara terlalu keras kepada ibunya, maka disambungnya dengan suara halus, “Ibu, aku tahu bahwa Tung-hai-sian adalah seorang datuk golongan sesat yang menguasai dunia timur. Akan tetapi ketika aku menjadi tamu di sana, aku melihat benar bahwa sikap dan wataknya sama sekali tidak membayangkan seorang yang berhati jahat. Kecuali itu, aku sama sekali tidak peduli akan keadaan orang tuanya, karena apakah kita harus menilai seseorang dari keadaan orang tuanya, ibu?” “Betapapun juga, orang tua dan keluarga tidak mungkin dikesampingkan begitu saja, anakku. Aku tidak melarang, tidak menentang, hanya minta kebijaksanaahmu.” Cia Bun Houw tidak dapat mendiamkan saja puteranya dan isterinya berbantahan seperti itu. Dia menarik napas panjang dan berkata, “Sudahlah, setiap pendapat tentu saja didasari oleh perhitungan-perhitungan yang kesemuanya mengandung kebenaran, akan tetapi betapapun juga, pendapat akan bertemu dengan pendapat lain dan terjadilah perselisihan dan kalau sudah begitu, maka keduanya menjadi tidak benar lagi. Isteriku, betapapun tepat semua pendirianmu tadi, namun kita harus selalu ingat bahwa suatu perjodohan adalah urusan yang sepenuhnya mengenai diri dua orang yang bersangkutan itu sendiri. Percampurtanganan orang lain, biar orang tua sendiri sekalipun, biasanya tidak menguntungkan dan hanya menimbulkan penyesalan di kemudian hari. Harap kauingat akan hal ini.” Tentu saja Yap In Hong ingat benar akan hal itu. Bukankah perjodohannya sendiri dengan suaminya itupun mengalami hal-hal yang menimbulkan penyesalan, bahkan membuat suaminya itu terpaksa berpisah dari orang tua selama bertahun-tahun karena orang tua suaminya tidak menyetujui perjodohan suaminya dengannya? Ia tahu benar akan hal ini, tahu bahwa sebenarnya ia tidak berhak menentang kehendak puteranya yang telah jatuh cinta kepada puteri Tung-hai-sian. Akan tetapi ia adalah seorang ibu, seorang wanita, dan betapa sukarnya menerima kenyataan yang amat berlawanan dengan keinginan hatinya itu. Maka, mendengar ucapan suaminya yang tak dapat dibantah lagi kebenarannya itu, ia hanya menundukkan mukanya dan matanya menjadi basah. Melihat ini, Bun Houw merasa kasihan kepada isterinya. Mereka sudah mulai tua, sudah mendekati enam puluh tahun. Tentu saja isterinya itu ingin sekali melihat puteranya berjodoh dengan seorang dara yang memuaskan dan menyenangkan hati isterinya sebagai seorang ibu. “Pula, kita belum pernah melihat gadis itu, isteriku. Siapa tahu, pilihan Kong Liang memang tepat.” Mendengar ini, Yap In Hong mengusap air mata dan menarik napas panjang, lalu mengangkat mukanya memandang kepada puteranya sambil memaksa senyum penuh harapan. “Itulah harapanku dan agaknya anak kita tidak akan memilih dengan membabi buta.” Kong Liang maklum benar apa yang diusahakan oleh ayahnya dan maklum apa yang terjadi dalam perasaan ibunya. Maka diapun mendekati ibunya dan memegang lengan ibunya dengan penuh kasih. “Percayalah, ibu, aku selama ini banyak bertemu dengan wanita, akan tetapi dalam pandanganku, tidak ada yang dapat menyamai Nona Bin Biauw. Ia selain cantik jelita, juga amat lincah dan gagah perkasa, lesung pipit di kedua pipinya manis sekali, dan gerak-geriknya, pakaiannya, amat sederhana, sama sekali tidak membayangkan sifat pesolek walaupun ia anak orang kaya.” Ibunya tersenyum. “Begitulah kalau sudah jatuh cinta. Ayahmu dulupun menganggap ibumu ini sebagai wanita paling cantik di dunia!” “Tapi, ibu memang wanita paling hebat di dunia!” Kong Liang berseru. “Pilihan ayah sama sekali tidak keliru!” Lenyaplah sudah semua kemasygulan dari hati Yap In Hong. Nenek ini tersenyum dan berkata, “Tentu saja, karena aku ibumu! Dan kalau ayahmu dahulu tidak memilih aku, tentu tidak akan terlahir engkau!” Mereka bertiga tertawa-tawa gembira dan suasana menjadi tenang dan akrab kembali. Akhirnya kedua orang tua itu terpaksa menyetujui kehendak Kong Liang karena mereka melihat kenyataan betapa putera mereka memang telah jatuh cinta kepada puteri Tung-hai-sian Bin Mo To. “Akan tetapi, sebaiknya kalau kita mengirim utusan saja,” kata Cia Bun Houw ketua Cin-ling-pai itu. “Biarpun engkau telah merasa yakin bahwa keluarga Bin itu akan menerima pinangan kita, Kong Liang, akan tetapi keyakinanmu itu berdasarkan dugaan saja. Pula, siapa tahu kalau-kalau dara itu telah dijodohkan dengan orang lain. Tentu saja engkau tidak ingin melihat ayah bundamu mengalami pukulan batin dan rasa malu kalau sampai pinangan ini gagal. Maka, sebaiknya pinangan ini dilakukan melalui surat dan utusan, jadi andaikata gagal sekalipun tidak langsung membikin malu.” Kong Liang setuju dan dapat mengerti alasan yang diajukan ayahnya. Memang dia dapat membayangkan betapa akan terpukul rasa hati orang tuanya apabila melakukan pinangan sendiri, datang ke rumah Tung-hai-sian kemudian pinangan mereka ditolak karena gadis itu telah ditunangkan dengan orang lain misalnya. Demikianlah, ketua Cin-ling-pai itu lalu mengirim utusan yang membawa surat lamaran ke Ceng-tou di Propinsi Shan-tung. Dan tentu saja lamaran itu diterima dengan amat gembira dan bangga oleh keluarga Tung-hai-sian Bin Mo To. Utusan itu dijamu penuh kehormatan, kemudian ketika mengirim jawaban yang menerima pinangan itu Bin Mo To tidak lupa membekali banyak barang-barang berharga sebagai hadiah kepada keluarga Cia! Juga dia mengirim undangan agar keluarga itu datang untuk membicarakan penentuan hari pernikahan. Sebelum menerima undangan calon besan ini, Cia Bun Houw berunding dengan isterinya dan puteranya. “Kong Liang, pernikahan bukanlah hal yang remeh dan patut dipertimbangkan dengan baik-baik agar kelak tidak akan menimbulkan penyesalan. Ibumu dan aku percaya bahwa engkau telah jatuh cinta kepada Nona Bin Biauw, akan tetapi harus kauakui bahwa perkenalanmu dengan nona itu masih amat dangkal. Oleh karena itu, demi kebaikan kalian berdua sendiri, seyogyanya kalau pernikahan ditunda dulu beberapa bulan sehingga dalam masa pertunangan engkau dan juga kami dapat mengamati dan melihat bagaimana keadaan dan watak dari keluarga Bin. Karena selama belum menikah, masih belum terlambat untuk mengubah jika terjadi sesuatu yang tidak kita kehendaki.” Kong Liang menyetujui pendapat ayahnya, dan pada hari yang ditentukan, berangkatlah mereka menuju ke Ceng-tou memenuhi undangan Bin Mo To yang dalam kesempatan itu sekalian mengundang hampir semua tokoh kang-ouw karena dia hendak mengumumkan pertunangan puterinya dengan putera Cin-ling-pai dan tentu saja dalam kesempatan ini dia yang merasa bangga sekali itu memperoleh kesempatan untuk menikmati kebanggaannya. Pada hari yang ditentukan itu, suasana dalam rumah gedung keluarga Tung-hai-sian Bin Mo To sungguh amat meriah. Rumah gedung besar itu dihias dengan indah, dan semua anak buahnya, yaitu para anggauta Mo-kiam-pang (Perkumpulan Pedang Setan) nampak sibuk sekali. Tamu-tamu berdatangan dari segenap penjuru, diterima oleh murid-murid kepala atau tokoh-tokoh Mo-kiam-pang yang mewakili pihak tuan rumah. Sementara itu, keluarga Bin Mo To sendiri sibuk melayani keluarga Cia yang sudah lebih dulu datang dan terjadi pertemuan ramah tamah di dalam gedung, di mana keluarga Cia disambut penuh kehormatan, keramahan dan kegembiraan. Tung-hai-sian Bin Mo To merasa amat berbahagia dan bangga. Hal ini tidaklah mengherankan. Dia adalah seorang Jepang, biarpun keturunan samurai sekalipun, namun tetap merupakan seorang asing, orang Jepang yang selalu dianggap rendah oleh orang Han, dianggap sebagai pelarian, sebagai bangsa biadab dan digolongkan sebagai bangsa bajak dan perampok! Dan betapapun juga, tidak dapat diingkari bahwa dia merupakan seorang datuk golongan hitam, seorang tokoh besar di antara dunia penjahat yang biasanya dipandang rendah dan dimusuhi oleh para pendekar. Dan sekarang, dia hendak berbesan dengan ketua Cin-ling-pai, sebuah partai persilatan besar yang disegani. Puteri tunggalnya ternyata berjodoh dengah putera tunggal ketua Cin-ling-pai! Tentu saja hal ini merupakan penghormatan besar sekali baginya dan akan mengangkat namanya ke tempat tinggi dalam pandangan dunia kang-ouw dan para pendekar. Karena itu, biarpun pesta yang diadakan itu hanya untuk merayakan pertunangan, bukan pernikahan, namun dia mengerahkan harta bendanya untuk membuat pesta yang besar dan meriah sekali, dan mengirim undangan ke segenap pelosok. Semua tokoh besar dari semua kalangan, baik itu merupakan kaum liok-lim, kang-ouw atau kaum pendekar, dikirimi undangan. Maka, pada hari yang telah ditentukan, tempat tinggal keluarga Tung-hai-sian Bin Mo To atau nama aselinya Minamoto itu dibanjiri tamu dari berbagai golongan. Bukan hanya gedung yang memiliki ruangan depan amat luas itu yang penuh, bahkan di pekarangan depan yang lebih luas lagi yang kini dibangun atap darurat, penuh dengan para tamu. Minuman berlimpahan disuguhkan berikut kuih-kuih ringan sebelum hidangan dikeluarkan dan tempat itu amat berisik dengan suara para tamu yang bercakap-cakap sendiri antara teman semeja. Suara berisik para tamu ini bahkan mengatasi suara musik yang sejak tadi pagi telah dibunyikan oleh rombongan musik. Semua wajah nampak gembira seperti biasa nampak dalam pesta perayaan seperti itu, di mana para tamu bergembira karena minuman yang memasuki perut dan mendapat kesempatan bertemu dengan teman-teman dan kenalan-kenalan yang duduk semeja. Kelompok memilih kelompok dan setiap pendatang baru mengangkat muka melihat-lihat untuk mencari kelompoknya sendiri-sendiri, atau mencari orang-orang yang mereka kenal baik. Dengan wajah penuh senyum, mata bersinar-sinar dan muka berseri-seri, Bin Mo To sendiri sudah keluar ke tempat kehormatan di atas panggung, mengiringkan tamu kehormatan, yaitu keluarga Cia. Untuk keperluan ini, Bin Mo To tidak melupakan asal-usulnya dan dia mengenakan pakaian tradisional Jepang, dengan jubah lebar dan sandal jepit berhak tinggi dan tebal. Kepalanya yang agak botak itu licin, rambutnya digelung ke atas dan dihias dengan tusuk konde emas permata. Pedang samurainya tergantung di pinggang, dengan sarung pedang berukir dan berwarna-warni seperti juga pakaiannya. Dia nampak gagah sekali dan ketika berjalan, tubuhnya yang pendek tegap itu berlenggang seperti langkah seeker harimau. Isterinya yang pertama berjalan bersama dengan isteri ke dua, yaitu wanita Korea yang menjadi ibu kandung Bin Biauw. Hanya isteri pertama dan isteri ke dua inilah yang hadir secara resmi, sedangkan belasan isterinya yang lain sibuk di dapur, kemudian merekapun muncul di pinggiran. Bagaimanapun juga, Bin Mo To merasa sungkan untuk menonjolkan belasan orang selirnya itu. Isterinya yang tertua sudah berusia hampir enam puluh tahung juga seorang wanita Jepang yang pendek. Akan tetapi isterinya yang ke dua, ibu kandung Bin Biauw, merupakan seorang wanita berusia kurang lebih empat puluh tahun, bertubuh tinggi semampai dengan pakaian yang khas Korea masih nampak cantik. Bin Biauw sendiri berjalan bersama ibunya. Dara ini nampak cantik jelita dan manis sekali, juga gagah. Karena perayaan pertunangan itu tidak diadakan upacara resmi, maka iapun berpakaian sebagai seorang pendekar wanita bangsa Han, walaupun rambutnya sama dengan gelung rambut ibunya, yaitu gelung rambut seorang puteri bangsa Korea, dengan tusuk konde yang panjang melintang ke kanan kiri dihias ronce-ronce yang indah. Untung bahwa dara ini memiliki bentuk tubuh menurun ibunya, tidak seperti ayahnya. Tubuhnya ramping dan biarpun ia menjadi tokoh utama dalam pesta itu karena pesta itu untuk hari pertunangannya, namun pakaiannya yang indah itu tidak terlalu menyolok, bahkan mukanya tidak dibedak terlalu tebal dan juga tidak memakai gincu dan pemerah pipi. Memang tidak perlu, karena kedua pipinya sudah merah dan segar membasah. Dara ini memang manis sekali dan dalam pertemuannya dengan calon mantu ini, diam-diam Yap In Hong sendiripun merasa puas. Suami isteri pendekar dari Cin-ling-san itu sendiri, yang menjadi tamu-tamu kehormatan, menjadi pusat perhatian orang. Pendekar Cia Bun Houw, ketua Cin-ling-pai itu biarpun usianya sudah enam puluh tahun namun masih nampak gagah dan jauh lebih muda daripada usia yang sebenarnya. Pakaiannya sederhana berwarna abu-abu dan nampak berwibawa walaupun wajahnya tersenyum ramah dan langkahnya tegap. Dia tidak nampak membawa senjata. Akan tetapi pedang Hong-cu-kiam pada saat itu menjadi sabuk atau ikat pinggangnya. Isterinya, Yap In Hong, yang usianya sudah hampir enam puluh tahun itu, juga berpakaian sederhana dan nyonya tua ini juga masih nampak gesit dan padat tubuhnya, bertangan kosong pula dan sepasang matanya amat tajam. Dibandingkan dengan ayah bundanya Cia Kong Liang berpakaian lebih mewah dan rapi. Di punggungnya nampak gagang pedang dan langkahnya tegap, dadanya yang bidang itu agak membusung dan sepintas lalu nampak bahwa pemuda ini mempunyai sikap yang agak tinggi hati. Betapapun juga, harus diakui bahwa dia adalah seorang pemuda yang tampan dan gagah, tidak mengecewakan menjadi putera tunggal ketua Cin-ling-pai. Tempat pesta sudah penuh tamu dari berbagai kalangan. Memang sudah disediakan tempat yang bertingkat-tingkat, sesuai dengan kedudukan dan tingkat para tamu. Di barisan pertama nampak duduk wakil-wakil dari partai persilatan besar dan perkumpulan-perkumpulan kang-ouw dan liok-lim, juga tokoh-tokoh besar dari dunia persilatan. Semua tempat sudah penuh, dan yang paling ramai dan riuh adalah bagian terbelakang di mana berkumpul orang-orang muda yang termasuk tingkatan paling rendah, yaitu murid-murid atau anggauta-anggauta dari berbagai perkumpulan silat. Juga tamu umum yang tidak begitu menonjol dalam dunia persilatan kebagian tempat di sini sehingga tempat itu penuh dengan orang-orang berbagai golongan yang tak saling mengenal. Ketika Tung-hai-sian Bin Mo To bangkit dan menjura ke arah suami isteri yang menjadi besannya itu dia berjalan ke tepi panggung menghadapi semua tamunya, maka suara yang berisikpun perlahan-lahan berhenti. Tuan rumah yang bertubuh pendek tegap ini berdiri dengan kedua kaki terpentang dan dia mengangkat kedua tangannya ke atas memberi isyarat agar para tamu tenang dan bahwa dia minta perhatian. Setelah suasana menjadi sunyi, barulah kakek pendek ini mengeluarkan suaranya yang terdengar lantang, tegas, namun dengan nada suara yang agak kaku dengan lidah asingnya itu. “Saudara sekalian yang terhormat dan yang gagah perkasa! Kami berterima kasih sekali bahwa cu-wi telah memenuhi undangan kami dan kami merasa bergembira bahwa hari ini kita dapat berkumpul dalam suasana gembira. Seperti cu-wi telah ketahui, pesta ini dirayakan untuk menyambut hari pertunangan anak kami, yaitu Bin Biauw, yang dijodohkan dengan Cia Kong Liang, putera tunggal dari ketua Cin-ling-pai, yang terhormat Saudara Cia Bun Houw dan isterinya.” Sorak-sorai dan tepuk tangan menyambut pengumuman ini dan wajah kakek pendek itu berseri gembira. Dia membiarkan sambutan sorak-sorai itu beberapa lamanya, kemudian dia mengangkat kedua tangan mohon perhatian. Suasana kembali menjadi hening ketika orang-orang menghentikan sorak-sorainya. “Bagi kami, ikatan perjodohan ini merupakan suatu kehormatan dan kemuliaan yang teramat besar. Dan untuk menghormati kedudukan besan kami yang menjadi ketua Cin-ling-pai, maka kamipun tahu diri dan berusaha untuk menyesuaikan diri. Kami hendak mencuci tangan membersihkan diri agar tidak sampai menodai nama mantu dan besan kami yang terhormat. Oleh karena itu, kami mohon hendaknya cu-wi menjadi saksi akan peristiwa yang terjadi ini!” Si Pendek ini lalu mengangkat tangan kanannya memberi isyarat kepada anak buahnya. Delapan orang yang berpakaian seragam hitam, yaitu para anggauta dari Mo-kiam-pang, bergerak maju, memberi hormat kepada ketua mereka lalu mereka melangkah ke arah papan nama yang tergantung di depan. Sebuah papan nama yang bertuliskan MO KIAM PANG dari papan hitam dengan huruf perak, amat megah nampaknya. Ketika delapan orang itu berjalan tiba di depan dan bawah papan nama besar itu, mereka menggerakkan tangan dan nampaklah bayangan pedang berkelebat menyambar ke atas ke arah kawat yang menggantung papan nama itu. Papan nama itu tentu saja terlepas dan jatuh ke bawah, diterima oleh tangan delapan orang itu, yang membawa papan nama itu kepada Tung-hai-sian. Sejenak, kakek ini memandang papan nama itu dengan muka agak pucat, tanda bahwa perasaannya terguncang, kemudian dia menarik napas panjang dan begitu tangannya bergerak, nampak bayangan samurai berkelebat disusul bunyi keras dan papan nama yang terpegang oleh delapan orang itu runtuh ke bawah menjadi kepingan-kepingan kayu yang tak terhitung banyaknya! Kemudian, tanpa dapat diikuti pandang mata bagaimana pedang samurai itu sudah kembali ke sarungnya, Bin Mo To sudah menjura kepada para tamunya dan berkatat “Mulai saat ini, Mo-kiam-pang telah tidak ada lagi. Para bekas anggauta Mo-kiam-pang diperbolehkan memilih. Pulang ke tempat asal mereka atau tetap menjadi pembantu kami, dalam hal ini membantu perusahaan perdagangan kami.” Tentu saja perbuatan Tung-hai-sian membuat semua orang melongo. Tak disangkanya bahwa datuk ini akan membubarkan perkumpulannya demikian saja. Dan pembubaran ini berarti bahwa semua bajak dan perampok di daerah pesisir itu telah dibebaskan, tidak lagi berada di bawah pengamatan dan perlindungan Mo-kiam-pang! Sungguh merupakan peristiwa besar yang mengejutkan, baik pihak kaum sesat maupun kaum pendekar. Akan tetapi, mereka merasa lebih terkejut lagi ketika kembali Tung-hai-sian mengangkat kedua tangannya dan suaranya mengatasi semua kegaduhan, “Harap cu-wi suka mendengarkan sebuah pengumuman lagi dari kami!” Semua drang memandang dan suasana menjadi sunyi. “Cu-wi yang terhormat, mulai detik ini, bukan hanya Mo-kiam-pang yang bubar, akan tetapi juga tidak ada lagi sebutan Tung-hai-sian, tidak ada sebutan Datuk Dunia Timur! Mulal saat ini, saya hanyalah seorang saudagar biasa saja yang bernama Bin Mo To. Saya mencuci tangan dan melepaskan diri dari dunia kang-ouw!” Pengumuman ini sungguh mengejutkan semua orang. Orang bisa saja membubarkan perkumpulan, akan tetapi mana mungkin meninggalkan julukan dan nama besar sebagai Datuk Dunia Timur? Tentu saja, kalau pihak para pendekar mengangguk-angguk dengan hati kagum dan memuji, sebaliknya para tokoh dunia hitam mengerutkan alisnya. Mereka akan kehilangan seorang tokoh dan berarti bahwa golongan mereka menjadi lemah. Apalagi tiga orang datuk lain telah tumbang, Lam-sin tidak lagi terdengar beritanya dan kabarnya lenyap tanpa meninggalkan jejak. See-thian-ong telah tewas, demikian pula Pak-san-kui, tewas di tangan Pendekar Sadis seorang yang agaknya berdiri di pihak para pendekar karena memusuhi para datuk kaum sesat, akan tetapi yang kekejamannya malah melebihi kekejaman golongan sesat yang manapun juga! Di antara empat datuk, hanya tinggal Tung-hai-sian dan kini datuk inipun mengundurkan diri. Karena merasa penasaran, seorang tokoh kaum sesat yang hadir di situ bangkit berdiri dan berseru, “Locianpwe Tung-hai-sian meninggalkan kedudukannya tanpa alasan, apakah gentar oleh munculnya Pendekar Sadis?” Ucapan ini mendatangkan ketegangan di antara para tamu. Memang berita tentang para datuk yang diserbu dan bahkan sampai tewas oleh Pendekar Sadis, sudah tersiar sampai ke mana-mana. Menurut berita itu, See-thian-ong dan Pak-san-kui, dengan murid-murid mereka, semua tewas oleh Pendekar Sadis, dan Lam-sin dikabarkan lenyap tak meninggalkan jejak setelah pendekar itu muncul di selatan pula. Melihat sepak terjang Pendekar Sadis yang memusuhi para datuk, maka tentu saja semua orang dapat menduga bahwa pada suatu hari tentu pendekar itu akan muncul di timur untuk menghadapi dan menandingi datuk timur Tung-hai-sian Bin Mo To. Inilah sebabnya mengapa ucapan tokoh kaum sesat itu mendatangkan ketegangan dan semua orang memandang kepada pembicara itu sebelum mereka semua menoleh dan memandang ke arah tuan rumah yang wajahnya berubah merah karena pertanyaan yang sifatnya menyerang dan menyudutkannya itu. “Aha, kiranya Giok Lian-cu Totiang yang mengajukan pertanyaan kepada kami,” kata datuk itu sambil tersenyum penuh kesabaran, walaupun hatinya mendongkol bukan main. Baru saja dia menyatakan melepaskan kedudukannya, orang telah berani memandang rendah kepadanya seperti itu! “Benar, pinto adalah Giok Lian-cu, akan tetapi dalam hal pertanyaan yang pinto ajukan ini, katakanlah bahwa pinto mewakili seluruh tokoh kang-ouw dan kami semua mengharapkan jawaban locianpwe secara terus terang.” Bagaimanapun juga para tamu merasa senang mendengar ini karena merekapun rata-rata merasa tidak puas dan ingin sekali tahu apa yang mendorong atau memaksa datuk itu meninggalkan kedudukannya dan melepaskan julukan semudah itu. Padahal, semua tokoh maklum belaka betapa sukarnya mencapai kedudukan tinggi seperti Tung-hai-sian dan julukannya itu tidak diperolehnya secara mudah. “Telah kunyatakan tadi bahwa setelah keluarga kami berbesan dengan keluarga ketua Cin-ling-pai, maka kami menyadari sepenuhnya bahwa kami tidak mungkin lagi melanjutkan kedudukan lama kami. Bagaimanapun juga, kami harus menghormati kedudukan ketua Cin-ling-pai. Demi kebahagiaan puteri kami, maka kami rela mencuci tangan dan mengundurkan diri dari dunia kang-ouw, dan menjadi seorang berdagang biasa saja. Tidak ada persoalan gentar kepada siapapun juga.” “Bohong! Ucapan bohong dan memang Tung-hai-sian telah menjadi seorang penakut!” Ucapan suara wanita ini tentu saja mengejutkan semua orang dan semua mata memandang ke arah wanita yang berani bicara seperti itu. Orang-orang menjadi semakin heran ketika melihat bahwa yang bicara itu hanyalah seorang dara muda remaja yang duduk di antara tamu tingkat paling rendah! Dara itu kini sudah bangkit berdiri dan orang yang memandangnya bukan hanya terheran karena keberaniannya, melainkan terutama sekali terpesona oleh kecantikannya. Seorang dara yang cantik jelita dan manis sekali, bahkan agaknya tidak kalah cantiknya dibandingkan dengan Nona Bin Biauw yang menjadi bunga perayaan saat itu. Kulit muka, leher dan tangannya nampak putih mulus, dengan sepasang mata yang tajam mencorong, mulut manis yang selalu tersenyum dan pada saat itu senyumannya mengandung ejekan, kedua tangannya bertolak pinggang, menekan kanan kiri pinggang yang ramping itu. Sikapnya gagah dan sedikitpun ia tidak nampak malu-malu atau takut-takut, padahal seluruh pandang mata para tamu yang terdiri dari orang-orang kang-ouw, liok-lim dan para pendekar itu ditujukan kepadanya. Tung-hai-sian Bin Mo To memandang kepada gadis itu dan dia mengerutkan alisnya karena dia tidak merasa mengenal gadis ini. Tahulah dia bahwa gadis ini memang sengaja mencari gara-gara, dan mungkin gadis itu adalah seorang di antara kaki tangan para tokoh yang merasa tidak puas dengan pengunduran dirinya. Dia tahu bahwa banyak pihak, di antaranya pihak Pek-lian-kauw yang tadi diwakili oleh Giok Lian-cu, merasa terpukul dan dirugikan kalau dia mengundurkan diri dari dunia hitam. Akan tetapi karena yang memakinya bohong dan penakut hanya seorang gadis muda remaja, tentu saja sebagai orang yang kedudukannya jauh lebih tinggi, Bin Mo To terpaksa menahan kembali kemarahannya. Dia memaksa senyum dan berkata dengan suara yang cukup sabar dan tenang. “Agaknya nona hendak mengatakan sesuatu. Silakan dan hendaknya nona suka memperkenalkan diri kepada kami dan para tamu yang tentu ingin sekali mengenal siapa adanya nona.” Dengan ucapan ini, Bin Mo To telah menempatkan dirinya di tempat terang dan seperti memaksa gadis itu untuk memperkenalkan diri karena kalau tidak tentu gadis itu akan nampak tolol dan juga bersalah sekali. Akan tetapi, tiba-tiba dara itu mengeluarkan suara ketawa yang merdu dan manis sekali dan tubuhnya sudah melayang dengan gerakan yang mengejutkan orang karena ia seperti terbang melayang, tahu-tahu tubuhnya sudah meluncur ke atas papan panggung dan sudah berhadapan dengan Tung-hai-sian Bin Mo To. Gerakan ini tentu dikenal oleh para ahli silat yang hadir sebagai gerakan yang mengandung ilmu gin-kang yang amat tinggi. Melihat ini, Bin Mo To juga terkejut. Gin-kang seperti ini hanya dimiliki oleh seorang ahli silat yang tingkatnya sudah tinggi. Maka, diapun tidak berani memandang rendah dan cepat dia menyambut dengan sikap hormat. “Kiranya nona adalah seorang muda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi! Maaf kalau kami sebagai tuan rumah yang sudah tua tidak mengenal pendekar muda dan penyambutan kami kurang menghormat. Harap nona suka memperkenalkan diri dan mengeluarkan isi hati nona.” “Aku bernama Toan Kim Hong. Kenapa aku tadi mengatakan bahwa Tung-hai-sian menjadi penakut? Karena memang agaknya dia sengaja hendak menghindarkan Pendekar Sadis! Sudah menjadi ketetapan hati pendekar itu untuk menumbangkan empat orang datuk di dunia ini. Lam-sin, datuk selatan telah kalah olehnya, juga See-thian-ong datuk barat dan Pak-san-kui datuk utara. Kini tinggal Tung-hai-sian seorang yang akan diajak bertanding untuk menentukan siapa yang lebih unggul. Akan tetapi, begitu dia muncul, Tung-hai-sian mengundurkan diri! Bukankah ini berarti bahwa datuk timur telah kehilangan nyalinya dan menjedi seorang penakut?” Wajah Tung-hai-sian menjadi merah. Kalau hal ini terjadi kemarin sebelum puterinya bertunangan dengan putera ketua Cin-ling-pai tentu dia sudah mencabut samurainya untuk menghajar orang yang berani menghinanya seperti itu. Akan tetapi, demi puterinya, dia harus menelan semua penghinaan itu agar tidak sampai terpancing. Bukankah orang yang kini kedudukannya hanya sebagai pedagang tidak boleh sembarangan mencabut senjata dan mempergunakan kekerasan? Apa artinya dia mengundurkan diri dari dunia kang-ouw dan melepaskan kedudukan dan julukannya kalau dia masih suka menyambut dan mempergunakan kekerasan? Maka, dengan mengerahkan kekuatan batinnya, dia memaksa sebuah senyum pahit. “Nona, aku tidak mengenal Pendekar Sadis, tidak mempunyai urusan dengan dia sama sekali. Sedangkan di waktu aku masih menjadi Tung-hai-sian sekalipun belum tentu aku mau melayani dia bertempur tanpa sebab yang jelas, apalagi sekarang setelah aku menanggalkan semua itu dan menjadi seorang pedagang biasa.” Khawatir gagal membangkitkan kemarahan tuan rumah untuk diadu dengan Thian Sin, Kim Hong mengerutkan alisnya. Ia datang ke tempat itu bersama Thian Sin, menyelundup di antara para tamu muda yang duduk berbondong-bondong di bagian tamu umum. Ketika Thian Sin mendapat kenyataan betapa Tung-hai-sian sedang merayakan hari pertunangan puterinya dan bahwa puterinya itu ditunangkan dengan pamannya, yaitu Cia Kong Liang, dan melihat pula betapa ketua Cin-ling-pai dan isterinya berada di situ, hatinya sudah merasa sungkan dan malu. Dia tidak bermaksud melanjutkan niatnya menantang Tung-hai-sian, setidaknya bukan pada saat itu. Akan tetapi Kim Hong yang tidak mempedulikan semua itu, sudah mendahuluinya dan menantang Tung-hai-sian sehingga Thian Sin terpaksa hanya menonton saja dengan hati berdebar tegang dan merasa serba salah. “Tung-hai-sian! Pendekar Sadis sudah berada di sini dan menantangmu, tidak peduli engkau mau memakai nama Tung-hai-sian atau Bin Mo To, atau juga seorang pedagang tak bernama! Pendeknya, kalau engkau tidak berani, katakan saja, bahwa engkau takut menghadapi dan melawan Pendekar Sadis, baru aku akan pergi dari sini membawa kesan bahwa yang bernama Tung-hai-sian Bin Mo To bukan lain hanyalah seorang kakek yang penakut!” Wajah Bin Mo To menjadi pucat dan selagi dia bingung untuk menguasai dirinya yang dibakar kemarahan, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. “Perempuan hina, berani engkau mengacau tempat kami?” Dan nampak sinar pedang berkelebat ketika Bin Biauw sudah meloncat dan menyerang Kim Hong dengan tusukan pedangnya yang mengarah lehernya. Akan tetapi, ayahnya sudah menangkap pergelangan tangan yanm memegang pedang itut menahan serangan puterinya. “ANAKKU, hari ini adalah hari baikmu, tidak sepantasnya kalau engkau terjun ke dalam perkelahian. Duduklah kembali, Biauw-ji,” kata Bin Mo To dengan suara lemah lembut dan penuh kasih sayang. “Hemm, anaknya jauh lebih gagah daripada ayahnya!” Kirn Hong sengaja mengejek dan ia memang merasa kagum melihat kecantikan Bin Biauw tadi. Akan tetapi sebelum Bin Biauw kembali ke tempat duduknya, tiba-tiba nampak bayangan berkelebat cepat sekali dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang pemuda bertubuh tegap gagah perkasa dengan pakaian yang rapi, seorang berpotongan pendekar sejati, dengan pedang di punggung, tampan dan ganteng, sikapnya angkuh namun berwibawa. “Biauw-moi, biarkan aku menghadapi perempuan liar ini!” Melihat bahwa yang maju adalah calon mantunya, Bin Mo To merasa girang dan bangga. Dia sendiri tentu saja tidak gentar menghadapi wanita itu walaupun disebutnya nama Pendekar Sadis membuat hatinya agak tidak enak. Akan tetapi dengan munculnya mantunya yang dia tahu amat lihai, apalagi di situ hadir pula besannya, yaitu ketua Cin-ling-pai, hatinya menjadi besar dan diapun tersenyum dan berkata kepada calon mantunya, “Harap engkau berhati-hati.” Lalu diapun mengajak puterinya kembali ke tempat duduk mereka. Kini Cia Kong Liang berhadapan dengan Kim Hong yang agak terpesona oleh pemuda yang gagah perkasa dan ganteng ini. Kim Hong memandang pemuda itu dan tidak menyembunyikan rasa kagumnya. Sambil tersenyum manis iapun berkata, “Ah, kiranya inikah yang menjadi mantu Tung-hai-sian Bin Mo To dan putera ketua Cin-ling-pai? Hebat! Sungguh pandai sekali Tung-hai-sian memilih mantu!” katanya dan semua orang yang mendengar menjadi semakin heran. Gadis itu bicara tentang Tung-hai-sian seolah-olah kakek yang menjadi datuk itu hanyalah orang yang setingkat dengan dirinya saja. Cia Kong Liang tidak mau banyak bicara dengan wanita cantik itu. “Engkat tadi mengatakan bahwa Pendekar Sadis sudah muncul untuk mengacau di sini. Nah, akulah lawannya karena aku mewakili tuan rumah, Locianpwe Bin Mo To untuk menghadapi Pendekar Sadis. Sudah lama aku mendengar tentang kekejamannya dan hari ini aku ingin sekali untuk merasakan sampai di mana sebenarnya kelihaian orang kejam itu!” Kim Hong tersenyum dan menjadi semakin kagum akan kegagahan sikap pemuda ini. “Hemm, kau tentu she Cia, bukan? Aku mendengar bahwa keluarga Cia, ketua dari Cin-ling-pai merupakan pendekar-pendekar sakti yang berilmu tinggi sekali. Akan tetapi, munculnya Pendekar Sadis di sini adalah untuk menandingi Tung-hai-sian, bukan lain orang. Kalau lain orang yang maju, maka akulah lawannya!” Cia Kong Liang mengerutkan alisnya. “Engkau seorang wanita yang sombong sekali. Aku tidak peduli siapa yang akan maju, Pendekar Sadis atau antek-anteknya, pendeknya siapapun yang hendak mengacaukan perayaan hari ini, biarlah dia boleh berhadapan dengan aku!” Sambil berkata demikian, Kong Liang sudah mencabut pedangnya, sebatang pedang yang terbuat dari bahan yang amat baik, mengeluarkan sinar kebiruan tanda bahwa pedang itu amat tajam dan kuat. Dengan pedang melintang di depan dadanya, Kong Liang menanti, sikapnya siap untuk bertanding. Kim Hong memandang kagum. Sungguh seorang pemuda yang pilihan, pikirya. Tampan, ganteng, dan gagah perkasa. Pantas menjadi putera ketua Cin-ling-pai yang terkenal kesaktiannya itu. Maka timbullah kegembiraannya dan ingin ia mencoba kepandaian pemuda ganteng itu. Pula, iapun mengerti bahwa Thian Sin akan merasa sungkan untuk melawan pemuda ini yang menurut penuturan kekasihnya itu, masih terhitung paman sendiri. “Bagus! Cia-taihiap, mari kita main-main sebentar!” katanya dengan manis dan iapun sudah mencabut sepasang pedangnya yang mengeluarkan sinar hitam mengerikan. Sikap Kim Hong seperti menghadapi suatu permainan atau pertunjukkan yang amat menarik saja, sama sekali tidak nampak tegang atau khawatir, seolah-olah ia tidak tahu bahwa ia telah menantang putera tunggal ketua Cin-ling-pai! Kong Liang sendiri merasa mendongkol bukan main. Perempuan sombong ini memang perlu dihajar, pikirnya. Kalau tidak, maka tentu nama baik calon mertuanya akan tercemar. “Ingat, nona, engkau sendiri yang datang mencari keributan, bukan kami!” kata Kong Liang sambil memutar pedangnya ke atas kepala sehingga pedang itu berubah menjadi gulungan sinar kebiruan. “Hi-hik, jangan khawatir. Memang aku datang untuk membikin ribut!” tantang Kim Hong yang juga sudah bergerak, memasang kuda-kuda yang manis sekali, kaki kanan diangkat dan ditekuk, tubuhnya tegak lurus. Pedang kanan menuding ke atas dada, mulutnya tersenyum dan matanya mengerling ke arah lawan karena mukanya menghadap ke kiri. “Lihat serangan!” Kong Liang yang bagaimanapun juga merasa tidak enak harus melawan seorang dara muda, membentak dan mulai dengan membuka serangan pertama. Kim Hong menangkis dengan pedang kiri sambil mengerahkan tenaga karena ia melihat betapa serangan lawan itu mengandung sin-kang yang kuat. “Cringgg...!” Kong Liang yang tadi hanya mengeluarkan separuh tenaganya, terkejut karena pedangnya tergetar hebat. Tahulah dia bahwa lawannya itu, walaupun hanya merupakan seorang wanita muda, namun memiliki sin-kang yang kuat. Maka diapun menyerang lagi, sekali ini mengerahkan seluruh tenaganya. Kim Hong yang agaknya hendak mengukur tenaga lawan, kembali menangkis. “Tranggg...!” Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika dengan amat kerasnya dua batang pedang itu bertemu dan pedang kanan Kim Hong sudah meluncur ke depan dengan cepatnya menuju ke tenggorokah Kong Liang! Pemuda ini terkejut. Pertemuan pedang tadi, yang digerakkan dengan sepenuh tenaga, ternyata ditangkis oleh tenaga yang tidak kalah kuatnya, bahkan pada saat berikutnya, pedang ke dua dari lawannya sudah menusuk ke arah tenggorokannya. Cepat dia miringkan kepala, memutar kaki dan membalas dengar sabetan pedang dari samping. Kembali Kim Hong menangkis. “Bagus!” Kong Liang memuji dengar sejujurnya dan mulailah dia menggerakkan pedangnya dengan jurus-jurus Siang-bhok Kiam-sut yang hebat. Ilmu Pedang Kayu Harum ini adalah ilmu inti dari Cin-ling-pai. Maka kehebatannya bukar main. Aselinya dimainkan oleh pedang kayu, akan tetapi untuk mencapai tingkat ini bukanlah mudah sehingga Kong Liang sendiripun tidak mampu kalau harus menggunakan pedang kayu, maka sebagai gantinya dia mainkan ilmu itu dengan pedang baja. Biarpun tidak sehebat kalau ayahnya bermain pedang kayu, namun ilmu pedang pemuda ini sudah hebat bukan main. Melihat gerakan-gerakan aneh dan indah sekali ini, Kim Hong sendiri terkejut dan kagum. Ia amat tertarik dan untuk belasan jurus lamanya ia hanya mengelak dan menangkis sambil memperhatikan gerakan lawan. “Bagus sekali! Inikah Siang-bhok Kiam-sut dari Cin-ling-pai? Hebat... hebat... hebat...!” Ia menangkis lagi dan mulai membalas dengan serangan-serangan yang tidak kalah dahsyatnya. Sepasang pedangnya telah membentuk dua gulungan sinar hitam yang melingkar-lingkar seperti dua ekor naga hitam yang menyambar-nyambar. Iapun segera mainkan ilmunya yang paling diandalkan, yaitu Hok-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Menaklukan Iblis) dan karena ia memiliki gin-kang yang masih lebih tinggi dibandingkan dengan Kong Liang maka gerakannya amat cepat dan cukup membuat Kong Liang menjadi bingung. Pemuda ini cepat mengubah permainan pedangnya dan mempergunakan gerakan Thai-kek Sin-kun untuk melindungi dirinya. Memang hanya ilmu inilah yang dapat dipergunakan untuk melindungi dirinya terhadap desakan lawan yang lihai. Akan tetapi, karena mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaga untuk melindungi diri, dengan sendirinya Kong Liang tidak dapat membalas dan mulailah dia terdesak dengan hebat. Kim Hong yang merasa gembira sekali itu sudah mergerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaiannya, maka tentu saja Kong Liang menjadi repot karena bagaimanapun juga, tingkat kepandaian Kim Hong yang pernah menjadi Lam-sin datuk selatan itu masih lebih tinggi dari tingkatnya! Semua orang, termasuk juga Bin Mo To, dan bahkan Cia Bun Houw dan Yap In Hong, terkejut bukan main melihat kenyataan yang pahit ini. Tak pernah ada yang mengira bahwa gadis muda yang sama sekali tidak terkenal itu ternyata memiliki ilmu kepandaian yang demikian hebatnya sehingga putera ketua Cin-ling-pai yang lihai itupun menjadi kewalahan! Yap In Hong yang melihat puteranya terdesak, sudah hendak bangkit, sepasang matanya mengeluarkan sinar berkilat. Akan tetapi suaminya menyentuh lengannya dan iapun teringat bahwa kalau sampai ia bangkit membantu puteranya, maka tentu saja hal itu akan mencemarkan nama besar Cin-ling-pai. Mana mungkin keluarga Cin-ling-pai main keroyok! Akan tetapi pandang mata Cia Bun Houw lebih tajam lagi. Dia memang dapat melihat bahwa dara itu bukan orang sembarangan, dan terutama sekali dalam hal gin-kang, wanita itu jauh mengatasi puteranya. Puteranya akan kalah, akan tetapi betapapun juga Kong Liang telah memiliki dasar yang amat kokoh kuat maka tidak mungkin dapat celaka begitu saja dan di samping itu, agaknya wanita itupun tidak bermaksud jahat kerhadap puteranya. Maka pendekar inipun hanya menonton saja dengan hati tegang akan tetapi wajah tetap tenang. Juga Tung-hai-sian yang berilmu tinggi, melihat kenyataan ini diam-diam dia terheran-heran mengapa dapat muncul seorang dara yang demikian lihainya. Apalagi ketika dia terlihat sepasang pedang hitam itu, dan gerakan-gerakan yang mengingatkan dia akan ilmu-ilmu dari Lam-sin, rekannya, yaitu datuk selatan dia menjadi semakin heran. Apakah dara ini murid Lam-sin, pikirnya. Akan tetapi kalau muridnya begini lihai luar biasa, tentu Lam-sin sekarang telah menjadi orang yang sukar dicari bandingnya lagi di dunia ini. Akan tetapi kalau benar murid Lam-sin, bagaimana bisa bersahabat dengan Pendekar Sadis? Bukankah Lam-sin lenyap karena datangnya Pendekar Sadis dan mungkin sekali juga sudah terbunuh oleh pendekar itu? Para tamu terbelalak keheranan, terutama sekali para tokoh kang-ouw yang hadir. Mereka semua tidak mengenal siapa adanya wanita ini, akan tetapi semua takjub menyaksikan kelihaiannya. Maka keadaan menjadi berisik, semua tamu saling bertanya siapa adanya wanita yang mengaku bernama Toan Kim Hong ini. Kini perkelahian itu mencapai puncaknya. Gerakan mereka sedemikian cepatnya sehingga tubuh kedua orang itu sudah lenyap terbungkus gulungan sinar biru itu makin mengecil sedangkan dua gulungan sinar hitam makin menghimpit. Akhirmya, terdengar suara keras dari beradunya pedang, gulungan sinar pedang terhenti dan tubuh Kong Liang terhuyung ke belakang, mukanya pucat dan keringatnya membasahi dahi dan leher. Sebaliknya, Kim Hong berdiri tegak dengan kedua pedang bersilang di depan dada, mulutnya tersenyum. Dalam jurus terakhir, biarpun ia tidak berhasil merobohkan Kong Liang karena memang pemuda itu memiliki dasar ilmu yang tinggi dan kokoh, namun ia sudah mendesaknya dan membuat Kong Liang terhuyung. Pemuda inipun maklum bahwa kalau saat dia terhuyung tadi lawannya mendesak, bukan tidak mungkin tidak akan celaka dan dirobohkan. Akan tetapi Kim Hong tidak menghendaki hal itu terjadi, tidak mau ia merobohkan paman dari kekasihnya. “Kim Hong, jangan kurang ajar engkau!” Tiba-tiba nampak tubuh Thian Sin berkelebat dan sudah berada di atas panggung, menegur Kim Hong yang hanya tersenyum-senyum. Thian Sin lalu menjura kepada Kong Liang dengan hati tidak enak sekali. “Paman, maafkanlah kelancangan nona ini...” Thian Sin memberi hormat dan menyambung, “biarkanlah aku yang mintakan maaf, paman.” Cia Kong Liang berdiri dengan muka pucat, lalu menarik napas panjang dan menyimpan pedangnya, sejenak memandang tajam kepada Thian Sin tanpa menjawab, lalu membalikkan tubuhnya dan kembali ke tempat duduknya. Wajah Thian Sin berubah merah sekali. Dia maklum betapa pamannya itu, putera dari adik neneknya, memandang rendah kepadanya, bahkan agaknya tidak mau mengenalnya lagi. Dia memandang marah kepada Kim Hong dan berbisik, “Kau mencari gara-gara!” Kim Hong tersenyum. “Hi-hik, bukankah aku membuka jalan bagimu? Sekarang kauhadapi sendiri!” Gadis itupun melayang turun dan duduk di sudut menjauhi para tamu lain. Para tamu memperhatikan wanita ini, namun Kim Hong bersikap tak acuh dan memandang ke panggung karena pemuda tampan yang baru muncul itu sudah berkata dengan suara lantang. Apalagi karena semua orang sudah menduga bahwa tentu pemuda itulah yang berjuluk Pendekar Sadis, yang amat ditakuti oleh orang-orang dunia hitam. Dan di antara mereka yang pernah melihat Thian Sin, sudah menjadi pucat mukanya karena memang benar bahwa yang kini berdiri di atas panggung itu adalah sang pendekar yang ditakuti itu. “Seperti sudah dikatakan oleh temanku, Nona Toan Kim Hong tadi, kedatanganku ini adalah untuk menantang Tung-hai-sian Bin Mo To untuk mengadu ilmu! Aku tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan Tung-hai-sian dan sepanjang pendengaranku, biarpun dia seorang datuk kaum sesat, namun tindakan Tung-hai-sian tidak sewenang-wenang. Hanya karena aku sudah pernah bersumpah dan bertekad untuk mengalahkan empat datuk di dunia, maka sekarang aku datang untuk menantang kepada Tung-hai-sian untuk mengadu ilmu dan menentukan siapa di antara kami berdua yang lebih unggul. Tung-hai-sian Bin Mo To harap suka keluar den jangan melibatkan orang lain. Mari kita mulai, disaksikan oleh banyak tokoh segala kalangan.” Tung-hai-sian yang kini sudah melepaskan julukan itu menjadi Bin Mo To biasa, melangkah maju dengan tindakan tenang menghadapi Thian Sin. Dia menjura dan berkata, “Sebagai tuan rumah kami mengucapkan selamat datang kepada Pendekar Sadis yang sudah lama kami dengar namanya. Bukan hanya mendengar sebagai Pendekar Sadis, akan tetapi juga sebagai putera mendiang Pangeran Ceng Hen Houw yang amat terkenal. Orang muda, sudah kukatakan tadi bahwa Tung-hai-sian kini sudah tidak ada lagi, yang ada hanyalah pedagang Bin Mo To yang tidak mau mencampuri urusan kang-ouw, tidak mau lagi aku mempergunakan kekerasan dan buktinya adalah ini!” Kakek itu mengambil pedang samurainya dengan gerakan yang amat cepatnya sehingga nampak kilat menyambar dan mengejutkan hati Thian Sin yang sudah bersiap-siap. Memang gerakan Bin Mo To mencabut pedang samurai tadi amat cepat sekali. Akan tetapi, terdengar bunyi “trak” dan pedang samurai itu patah menjadi dua potong di tangan kakek itu. Dan kini nampak ada dua butir air mata di bawah mata pendekar Jepang itu ketika dia memegangi potongan samurai, menarik napas panjang dan berkata lagi. “Orang muda, entah sudah berapa banyaknya nyawa melayang dan darah mengalir oleh samurai ini. Dan sekarang, seperti juga patahnya samurai ini, sudah patah semangat saya untuk mempergunakan kekerasan. Biarlah aku mengaku kalah darimu, dan kalau engkau masih belum puas, dan hendak menyerang dan hendak membunuhku, silakan!” Kakek pendek itu membusungkan dada seperti menantang Thian Sin untuk memukul dan membunuhnya. “Tapi yang kau bunuh bukan Tung-hai-sian Si Datuk Timur, melainkan Bin Mo To saudagar biasa!” Thian Sin menjadi ragu-ragu dan bingung bagaimana harus bicara atau bertindak menghadapi sikap seperti itu. “Orang muda, maafkan kalau aku yang tua memberi peringatan kepadamu. Sudah puluhan tahun aku berkecimpung di dalam dunia kang-ouw dan aku tahu benar bahwa nama besar hanyalah kosong belaka, hanya mengundang datangnya orang yang merasa iri hati dan musuh-musuh yang ingin melihat kita terjungkal. Mengapa engkau yang muda, yang gagah perkasa, mencari permusuhan secara berlebihan seperti ini? Ingatlah bahwa makin tinggi kedudukan seseorang, makin terkenal namanya, akan makin menyakitkan apabila sekali waktu dia terjungkal dari kedudukannya. Mengapa engkau yang masih begini muda hendak memaksa kedudukan tinggi dengan kekerasan? Seingatku, tidak ada orang yang terkenal di dunia ini dan sekali waktu akan bertemu dengan yang lebih pandai dan yang akan merobohkannya.” “Wah-wah-wah, sekali menanggalkan julukannya, Tung-hai-sian berubah menjadi tukang kibul!” tiba-tiba Kim Hong berseru dan dara ini sudah meloncat lagi naik ke atas panggung, tak sempat dicegah oleh Thian Sin. “Tua bangka, tidak perlu banyak cakap. Kalau engkau memang jerih dan takut melawan Pendekar Sadis, hayo lawanlah aku, hendak kulihat sampai di mana sih kepandaian orang yang berani mengangkat dirinya menjadi datuk timur?” “Nona muda, aku tidak mengenalmu, mengapa engkau sengaja hendak menghina orang tua?” kata Tung-hai-sian dengan sabar. “Kulihat sepasang pedang dan ilmumu dan aku yakin bahwa engkau masih mempunyai hubungan dengan Lam-sin, datuk selatan itu. Kenapa engkau tiba-tiba memusuhiku?” “Lam-sin sudah tidak ada, yang ada hanya Toan Kim Hong dan kalau engkau tidak berani menghadapi Pendekar Sadis, biarlah kauhadapi aku saja yang menantangmu!” “Bocah bermulut lancang dan bersikap sombong!” Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan Yap In Hong telah berdiri di situ. Nenek yang usianya hampir enam puluh tahun ini masih gesit sekali dan kini mukanya merah, sepasang matanya berkilat dan jelas bahwa ia marah sekali. Ia memandang kepada Thian Sin dan menudingkan telunjuknya kepada pemuda itu. “Ceng Thian Sin! Bagus sekali, engkau telah menjadi seorang manusla keji berjuluk Pendekar Sadis! Engkau agaknya mewarisi ambisi ayah kandungmu, akan tetapi engkau memalukan mereka yang menjadi nenek moyangmu. Hayo, majulah dan tandingi aku! Aku ingin sekali melihat sampai di mana kesadisanmu!” Nenek ini menantang-nantang dengan penuh kemarahan. “Ahh... tidak... tidak...!” Thian Sin mundur-mundur menjauhi nenek itu dengan bingung. Kini Yap In Hong menghampiri Kim Hong. “Dan engkau, engkau bocah perempuan tak tahu malu, sombong dan tak tahu aturan! Engkau mencari musuh? Mari, mari kauhadapi aku. Jangan panggil aku Yap In Hong kalau aku mundur setapak menghadapimu. Mari kita bertanding sampai salah seorang dari kita mampus di tempat ini!” Kim Hong terkejut melihat nenek yang amat galak luar biasa ini. Namun diam-diam ia merasa kagum sekali. Biarpun sudah tua, nenek ini tetap cantik dan penuh semangat dan jelaslah bahwa dahulu tentu merupakan seorang pendekar wanita yang hebat. Dan mendengar namanya, yaitu Yap In Hong, tahulah ia bahwa memang nenek ini seorang pendekar wanita yang luar biasa, yaitu isteri dari ketua Cin-lin-pai. Akan tetapi tentu saja ia tidak bisa digertak seperti Thian Sin karena ia tidak mengenal nenek ini dan juga bukan apa-apanya. Maka ia tersenyum mengejek. “Wah, galak-galak amat kau, nenek tua!” “Keparat, terimalah seranganku!” bentak Yap In Hong dan wanita ini sudah menerjang dengan kemarahan meluap-luap. Begitu menerjang maju, ia sudah mempergunakan Ilmu Thian-te Sin-ciang yang ampuh itu. Melihat datangnya pukulan yang membawa angin berdesir dahsyat, Kim Hong juga cepat menangkis sambil mengerahkan tenaganya. “Duk! Dukkk!” Dua kali kedua lengan wanita itu bertemu dan akibatnya, keduanya terdorong ke belakang. Tentu saja Kim Hong terkejut bukan main. Benar dugaannya, nenek ini merupakan seorang lawan yang amat tangguh. Maka iapun mengeluarkan bentakan marah dan membalas serangan itu yang dapat ditangkis pula oleh Yap In Hong. “Kim Hong, jangan melawan! Jangan kurang ajar!” Thian Sin berseru, akan tetapi Kim Hong tidak mau mempedulikannya dan ia memang sudah saling gempur dengan nenek itu, saling pukul dengan marah seperti dua ekor singa betina yang memperebutkan seekor domba. Tiba-tiba berkesiur angin dan terdengar bentakan, “Tahan!” Dan pada saat itu, Kim Hong sedang menyerang lawannya, akan tetapi tangannya bertemu dengan tangan yang luar biasa kuatnya, yang membuat ia terdorong ke belakang sampai terhuyung-huyung. Ia terkejut sekali dan melihat bahwa di depannya telah berdiri seorang kakek yang gagah perkasa, yang matanya mencorong seperti mata naga sakti dan tahulah ia bahwa di depannya itu berdiri ketua Cin-ling-pai! Maka, diam-diam Kim Hong merasa kagum bukan main. Keluarga Cia ini memang hebat dan ia sungguh ragu-ragu apakah ia akan mampu menandingi ketua Cin-ling-pai ini. Sementara itu, Thian Sin sudah melangkah maju menghalang di depan Kim Hong lalu menjatuhkan dirinya berlutut di depan Cia Bun Houw. “Mohon maaf... mohon maaf sebesar-besarnya. Saya sungguh tidak mengira bahwa Locianpwe Tung-hai-sian telah berbesan tengan keluarga Cia... maka harap sudi memberi ampun dan sayapun menghaturkan selamat atas perjodohan Paman Cia Kong Liang dengan Nona Bin Biauw. Sekali lagi maaf!” Setelah memberi hormat, diapun lalu bangkit berdiri, memegang tangan Kim Hong dan menariknya dengan paksa meninggalkan tempat itu. Dengan beberapa kali lancatan saja, kedua orang muda itupun lenyap dari tempat itu. “Bukan main...!” Terdengar Bin Mo To berseru kagum. “Dia benar-benar seorang pendekar yang masih muda dan hebat! Dan wanita itu... ah, benarkah ia murid Lam-sin?” Pesta perayaan dilanjutkan dan munculnya Pendekar Sadis itu tentu saja menjadi bahan percakapan dari para tamu sambil menikmati hidangan yang dikeluarkan agak terlambat berhubung dengan adanya gangguan yang tidak tersangka-sangka tadi. Sementara itu, Kim Hong yang ditarik dan diajak pergi setengah paksa oleh Thian Sin, tiada hentinya mengomel panjang pendek. “Engkau memang seorang manusia yang tak berjantung!” Akhirnya Kim Hong berkata marah dan berhenti, mogok berjalan. “Eh? Tak berjantung?” Thian Sin memandang heran. “Ya, tak berjantung, tak mengenal budi!” “Apa maksudmu, Kim Hong?” “Aku mati-matian membelamu, membantumu, engkau tidak berterima kasih, sebaliknya engkau malah membikin malu padaku! Engkau mengalah, engkau mundur teratur, bukankah itu memalukan aku yang sudah terlanjur menantang-nantang?” “Ah, engkau tentu mengerti bahwa tidak mungkin aku menghadapi ketua Cin-ling-pai sebagai lawan, Kim Hong.” “Huh! Engkau takut? Kalau engkau ingin menjadi jagoan nomor satu di dunia, kenapa takut melawan ketua Cin-ling-pai?” Kim Hong mencela. “Kim Hong, cita-citaku hanya ingin menundukkan dan mengalahkan seluruh tokoh kaum sesat di dunia hitam saja, sama sekali bukan ingin mengalahkan seluruh pendekar. Tak mungkin aku melawan keluarga Cia, karena kalau begitu aku tentu akan berhadapan dengan ayah angkatku sendiri, Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong. Itu sungguh tak mungkin, Kim Hong. Dan sekarang setelah Tung-hai-sian menjadi besan keluarga Cia di Cin-ling-pai, berarti keluarganya juga sudah menjadi keluargaku, bukan orang lain. Mana mungkin aku memusuhinya? Apa lagi, engkau melihat sendiri tadi, sekarang Tung-hai-sian sudah tidak ada, datuk timur sudah tidak ada dan Bin Mo To menjadi seorang saudagar biasa.” “Huhh!” Kim Hong masih merajuk. Thian Sin tersenyum dan merangkulnya, lalu menciumnya dengan mesra sambil berbisik. “Betapapun, aku berterima kasih kepadamu, sayang, atas semua bantuanmu.” “Hemm, hanya cukup dengan terima kasih saja?” “Habis, engkau mau apa lagi? Katakanlah, aku tentu akan mau membantumu, biar bertaruh nyawa sekalipun!” kata Thian Sin sungguh-sungguh. Thian Sin mempererat pelukannya dan hendak mencium. Akan tetapi Kim Hong melepaskan diri dan berkata, “Nanti dulu, benarkah engkau mau membantuku dengan taruhan nyawa?” “Tentu saja... asal engkau tidak minta aku memusuhi keluarga para pendekar Cin-ling-pai atau keluarga Cia...” “Tidak, akan tetapi untuk menghadapi seorang lain yang mungkin belum kaukenal.” “Siapakah dia? Dan kenapa engkau harus menghadapinya sebagai lawan?” “Dia adalah musuh ayah... atau orang yang membuat ayah terpaksa harus bersembunyi di pulau kosong sampai matinya. Nah, sejak dahulu aku bercita-cita untuk menghadapi orang itu dan membalas dendam ayah.” “Kenapa sampai sekarang belum juga kaulakukan? Bukankah dengan kepandaianmu...” “Aku takkan dapat menang melawannya. Ayah sendiripun dulu sampai jerih karena orang itu amat lihai, kepandaiannya melebihi ayah. Kalau engkau membantu, nah, kita berdua tentu akan mampu mengalahkannya. Dan engkau sudah berjanji untuk membunuhku tadi.” “Ceritakanlah, siapa dia dan bagaimana dia bermusuhan dengan mendiang ayahmu.” Kim Hong lalu bercerita. Toan Su Ong, ayah Kim Hong, adalah seorang pangeran yang suka memberontak dan menentang kebijaksanaan kaisar yang dianggapnya tidak bijaksana. Dia dianggap pemberontak dan pangeran inipun melarikan diri dari kota raja sebagai seorang buronan dan pemberontak. Pangeran Toan Su Ong tidak takut menghadapi pengejaran kaisar, akan tetapi ada seorang yang ditakuti, yaitu seorang suhengnya yang setelah gurunya meninggal dunia boleh dibilang menjadi wakil gurunya pula. Suhengnya itu memiliki ilmu silat yang hanya setingkat lebih tinggi daripadanya, dan ketika Toan Su Ong sudah menikah dengan pendekar wanita Ouwyang Ci, dengan kepandaian mereka berdua, tentu mereka akan dapat mengalahkan suheng itu. Akan tetapi suhengnya memiliki sebuah bendera pusaka peninggalan suhu mereka dan sebagai seorang murid yang berbakti, Toan Su Ong tidak berani melawan bendera ini. Pada waktu itu, hal seperti ini tidak aneh. Seorang murid paling takut terhadap gurunya, dan pesan seorang guru akan ditaati sampai selama hidupnya. Maka Toan Su Ong juga tidak berani melawan suhengnya yang memegang bendera pusaka itu, seolah-olah suhengnya itu menjadi gurunya yang telah tiada. Karena rasa takutnya terhadap suhengnya membantu kaisar untuk mengejarnya, maka Toan Su Ong hidup terlunta-lunta dan akhirnya bersembunyi di pulau kosong, yaitu Pulau Teratai Merah, sampai tiba ajalnya ketika dia tewas di tangan isterinya sendiri karena cekcok. Hal ini diketahui oleh Kim Hong karena ia mendengar penuturan ibunya. Mendengar penuturan ini, Thian Sin mengangguk-angguk. Memang, bagaimanapun juga, mendiang ayah Kim Hong terlunta-lunta karena suhengnya itulah, atau supek (Uwa Guru) dari Kim Hong. Dianggapnya sebagai hal yang sepantasnya kalau Kim Hong menaruh dendam dan hendak membalas sakit hati ayahnya karena ayahnya sendiri dahulu tidak berani melawannya. “Akan tetapi, apakah supekmu itu masih hidup sekarang? Siapa namanya dan di mana tempat tinggalnya?” “Ketika aku masih menjadi Lam-sin, hal itu kusuruh anak buahku menyelidiki dan telah kutemukan di mana adanya musuh besar ayahku itu. Akan tetapi, aku tahu bahwa aku bukanlah tandingannya, maka aku menahan sabar sampai aku bertemu dengan engkau. Dia kini telah mengasingkan diri setelah menerima pahala dari kaisar sebagai seorang pendekar yang berjasa besar untuk negara! Namanya dijunjung tinggi oleh semua orang! Padahal, bagiku dia adalah pengkhianat yang mencelakakan ayahku, adik seperguruannya sendiri. Aku harus menandinginya, baik engkau mau membantuku atau tidak!” Gadis itu mengepal tinju. “Tenanglah, Kim Hong. Aku pasti membantumu. Teruskan ceritamu. Siapa namanya dan di mana dia kini berada.” “Dahulu ketika dia masih menjadi penjilat kaisar, namanya adalah Gouw Gwat Leng. Akan tetapi menurut hasil penyelidikan anak buahku ketika itu, kini dia telah menjadi seorang tosu dan berjuluk Jit Goat Tosu dan bertapa di dalam kuil para tosu Kun-lun-pai...” “Ah! Di Kun-lun-pai?” Kim Hong mengangguk. “Dia bertapa di dalam kuil dan kadang-kadang di dalam gua di daerah Pegunungan Kun-lun-san yang masih termasuk daerah Kun-lun-pai.” Thian Sin mengerutkan alisnya. “Apakah dia seorang tokoh Kun-lun-pai?” Gadis itu menggeleng kepalanya. “Bukan. Perguruan mendiang Ayah bukanlah Kun-lun-pai, melainken perguruan yang tidak mempunyai partai karena ilmu yang diwarisi oleh ayah dan suhengnya adalah ilmu keluarga. Akan tetapi setelah tua, agaknya suheng dari mendiang ayah itu tertarik oleh Agama To dan masuk menjadi tosu dan mungkin karena bersahabat dengan para tosu Kun-lun-pai maka dia menggabungkan diri atau mempelajari tentang agama di kuil Kun-lun-pai itu?” Thian Sin menarik napas panjang dengan hati lapang. “Masih baik kalau dia bukan tokoh Kun-lun-pai, Kim Hong.” “Andaikati dia anggauta Kun-lun-pai, engkau menjadi jerih dan takut dan tidak berani membantuku?” “Bukan jerih bukan takut, melainkan khawatir sekali. Engkau tentu tahu bahwa di antara para tokoh dunia persilatan, yang paling terkenal adalah tokoh-tokoh dari partai persilatan besar di antaranya adalah Kun-lun-pai. Kalau sampai engkau menanam permusuhan dengan Kun-lun-pai, sungguh sama artinya dengan bermusuhan melawan seluruh pendekar persilatan. Akan tetapi, musuhmu itu bukan murid dan bukan tokoh Kun-lun-pai, maka legalah hatiku.” “Kau mau membantuku mencarinya ke Kun-lun-pai?” “Tentu saja aku mau!” “Kalau perlu dengan taruhan nyawa?” Thian Sin mengangguk dan tiba-tiba Kim Hong menubruk dan merangkul, menciuminya sampai dia hampir terjengkang. Thian Sin tertawa dan tenggelam dalam kemesraan yang terdorong oleh rasa girang dan terima kasih gadis itu. *** Kun-lun-pai adalah satu di antara partai-partai persilatan terbesar di seluruh Tiongkok. Kalau Siauw-lim-pai sejak pertama dipimpin oleh para tokoh beragama Buddha, maka Kun-lun-pai pada beberapa abad terakhir ini dipimpin oleh para tokoh beragama To yang berilmu tinggi. Seperti juga Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai mempunyai banyak sekali murid-murid yang lihai, bahkan kalau Siauw-lim-pai agak ketat mengambil murid yang bukan hwesio, Kun-lun-pai mempunyai banyak murid yang menjadi anggauta Agama To atau To-kauw. Memang dalam hal tertib keagamaan, Agama To-kauw agak lebih bebas daripada Agama Hud-kauw (Buddhis). Namun, mengenai tertib pelajaran ilmu silat Kun-lun-pai juga ketat menjaga murid-muridnya dan baru membiarkan atau memperbolehkan seorang murid Kun-lun-pai “turun gunung” kalau ilmu silatnya sudah mencapai tingkat tinggi dan sudah lulus dari ujian. Hal ini dilakukan oleh partai-partai persilatan besar untuk menjaga nama mereka, sehingga para murid itu kelak tidak akan memalukan nama partai kalau sampai bergerak di dunia ramai. Agaknya karena peraturan yang keras inilah maka nama partai-partai seperti Siauw-lim-pai atau Kun-lun-pai menjadi semakin terkenal, karena setiap murid kedua partai ini selain dapat mengangkat nama besar perkumpulan dengan sepak terjang mereka yang gagah dan juga lihai. Yang menjadi pimpinan dari Kun-lun-pai pada waktu itu adalah Kui Im Tosu dan Kui Yang Tosu, dua orang tosu yang usianya sudah mendekati tujuh puluh tahun, dan tentu saja selain kedua orang yang tingkatnya tertinggi di Kun-lun-pai ini, masih ada beberapa orang sute mereka yang menjadi pembantu-pembantu mereka dalam mengurus perkumpulan yang mempunyai banyak anggauta itu. Kui Im Tosu merupakan ketuanya dan tosu, ini lebih banyak berdiam di kuil, bertapa atau mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan kepada para murid dan kalaupun dia mengajarkan ilmu silat, maka yang diajarkan hanyalah murid-murid tingkat tinggi saja. Yang bertugas keluar adalah wakilnya, yaitu sutenya yang bernama Kui Yang Tosu. Oleh karena itu, yang lebih banyak dikenal oleh dunia luar terutama di dunia persilatan, adalah Kui Yang Tosu. Jaranglah kedua orang tosu ini memperlibatkan ilmu kepandaian mereka. Akan tetapi melihat sepak terjang para murid mereka, yaitu jagoan-jagoan atau pendekar-pendekar Kun-lun-pai yang demikian lihai dan gagah, mudah diduga bahwa kedua orang tosu ini telah mencapai tingkat yang tinggi dalam ilmu silat. Murid-murid Kun-lun-pai tersebar luas di seluruh pelosok, dan yang tinggal di dalam kuil hanyalah belasan orang tosu sebagai penghuni tetap dan ada dua puluh lebih murid-murid yang belum lulus dari tempat penggemblengan jiwa raga itu. Perumahan untuk para penghuni kuil dan para murid ini dikurung pagar tembok yang tingginya ada tiga meter, di lereng Pegunungan Kun-lun-san. Di dalam daerah yang cukup luas ini terdapat sebuah kuil besar dan di belakang kuil inilah tempat para murid yang tinggal dalam rumah-rumah yang dibangun untuk mereka, merupakan bangunan panjang. Daerah ini luas sekali, ada tamannya, ada kebun di mana mereka menanam sayur-sayur dan berladang, ada pula kebun yang penuh pohon-pohon berbuah. Bahkan ada pula bagian bukit yang berbatu-batu yang mempunyai banyak gua-gua buatan alam di mana sering dipergunakan oleh para murid Kun-lun-pai untuk bersamadhi untuk menggembleng batin. Karena tempat itu memang amat sunyi dan jarang sekali didatangi orang luar, maka para murid Kun-lun-pai dapat melatih diri tanpa ada gangguan dan dapat mencurahkan perhatian mereka baik terhadap pelajaran silat maupun pelajaran agama sebagai penggemblengan mental. Semua perguruan silat yang tinggi, juga para guru silat yang benar-benar baik, tidak pernah melupakan penggemblengan mental ini, karena mereka semua tahu betul betapa berbahayanya kalau orang muda dibiarkan belajar ilmu silat tanpa disertai penggemblengan watak dan batin ini. Ilmu silat sama dengan senjata yang ampuh dan berbahaya, maka kalau sampai terjatuh ke tangan orang yang tidak kuat batinnya, tentu saja dengan mudah disalahgunakan, diambil manfaatnya untuk keuntungan diri sendiri sehingga muncullah perbuatan-perbuatan sewenang-wenang mengandalkan ilmu silat. Sebaliknya, kalau ilmu silat dikuasai orang yang memiliki batin yang kuat, maka ilmu itu akan berguna sekali, baik bagi diri sendiri maupun bagi masyarakat, karena ahli silat yang bermoral tinggi tentu akan mempergunakannya untuk membela kebenaran dan keadilan, menentang yang lalim dan membela yang lemah. Biarpun tempat itu merupakan pegunungan yang sunyi dan aman, namun para murid Kun-lun-pai tidak pernah lengah melakukan penjagaan secara bergilir. Mereka tidak memusuhi orang-orang tertentu, akan tetapi mereka tahu bahwa Kun-lun-pai banyak dimusuhi orang-orang dari golongan hitam, karena mereka yang tergolong penjahat-penjahat dan yang pernah ditentang oleh para murid Kun-lun-pai sebagai musuh. Pula, selain untuk menjaga segala kemungkinan buruk, juga penjagaan itu merupakan pelaksanaan ketertiban yang dilaksanakan dengan ketat, yaitu para murid yang sedang digembleng di asrama itu tidak diperkenankan keluar tanpa ijin dari guru mereka. Kui Im Tosu dan Kui Yang Tosu memimpin Kun-lun?pai dengan bijaksana sehingga nama partai persilatan itu menjadi semakin terkenal. Digalangnya persatuan dan persahabatan yang makin erat dengan partai-partai bersih lainnya, maka nama Kun-lun-pai dibicarakan dengan rasa hormat dan segan. Hal ini dimengerti benar oleh Thian Sin dan juga Kim Hong yang melakukan perjalanan jauh menuju ke Pegunungan Kun-lun-san itu. Mereka telah melakukan penyelidikan dan mendengar betapa angkernya nama Kun-lun-pai sehingga mereka sudah bersepakat untuk bersikap hati-hati dan sedapat mungkin menghindarkan bentrokan atau kesalahpahaman dengan fihak Kun-lun-pai. Karena nama besar Kun-lun-pai itulah maka biarpun pada suatu senja mereka telah tiba di daerah Kun-lun-pai, mereka tidak mau mengunjungi asrama itu di waktu malam karena hal itu dianggap kurang sopan. Juga mereka membuang niat mereka untuk melakukan penyelidikan secara diam-diam, yaitu mempergunakan kepandaian untuk malam-malam memasuki asrama secara menyelundup. Mereka bersikap hati-hati, karena memasuki Kun-lun-pai sebagai maling adalah amat berbahaya dan sukar, juga kalau sampai mereka ketahuan, hal itu tentu akan menimbulkan permusuhan dan akan mempersulit maksud mereka berurusan dengan Jit Goat Tosu tanpa melibatkan Kun-lun-pai. Mereka bermalam di sebuah gua batu yang banyak terdapat tak jauh dari asrama Kun-lun-pai itu dan baru pada keesokan harinya setelah matahari naik tinggi, setelah mereka membersihkan diri di sumber air dan sarapan pagi daging ayam hutan panggang, mereka berdua pergi mengunjungi asrama Kun-lun-pai. Kuil Kun-lun-pai bukanlah kuil umum di mana umum suka datang bersembahyang, melainkan kuil yapg khusus dipergunakan belajar agama oleh para murid Kun-lun-pai. Oleh karena itu, tidak ada orang luar datang bersembahyang dan ketika Thian Sin dan Kim Hong tiba di pintu gerbang asrama di mana terpancang sebuah papan nama dengan huruf-huruf besar yang berbunyi KUN LUN PAI, beberapa orang tosu dan beberapa orang murid Kun-lun-pai yang bertugas jaga segera menyambut mereka dengan pandang mata heran dan juga bercuriga. “Ji-wi (anda berdua) siapakah dan ada keperluan apakah mengunjungi tempat kami?” tanya seorang di antara para murid yang bertugas jaga, tanpa menyembunyikan kekaguman terhadap Kim Hong, kekaguman yang jujur, tidak mengandung berahi atau sikap kurang ajar. “Kami mohon bertemu dengan ketua Kun-lun-pai,” kata Thian Sin, sikapnya hormat dan bicara singkat, setelah dia dan Kim Hong memberi hormat dan dibalas oleh mereka. “Maaf,” kata seorang di antara para tosu, “akan tetapi sungguh tidak mudah untuk menghadap para pimpinan kami. Ketua kami sibuk dengan pekerjaan beliau atau sedang siulian (samadhi), sedangkan wakil ketua kami juga lebib banyak lagi pekerjaannya. Kalau tidak ada keperluan penting sekali, kami sungguh tidak berani lancang mengganggu beliau berdua.” “Totiang,” kata Kim Hong. “Kalau tidak ada keperluan penting, untuk apa kami jauh-jauh datang ke tempat sunyi seperti ini? Terus terang saja, yang mempunyai kepentingan adalah aku, dan kawanku ini hanya menemaniku saja. Nah, sekarang bagaimana caranya kalau kami hendak menghadap para pimpinan?” “Caranya hanya satu, yaitu nona memperkenalkan nama dan memberitahukan kepentingan nona agar dapat kami laporkan kepada pimpinan. Itupun belum dapat kami menanggung bahwa nona akan pasti diterima menghadap, namun setidaknya kedatangan nona akan kami sampaikan sebagai laporan.” “Baiklah, katakan bahwa aku Toan Kim Hong bersama temannya minta dapat menghadap pimpinan Kun-lun-pai karena ada urusan yang amat penting.” “Maaf, Nona Toan. Kami minta agar urusan itu disebutkan sehingga kalau pimpinan kami menanyakan, kami dapat menjawab dan tidak akan mendapat teguran. Kami tidak ingin permintaan nona ditolak hanya karena nona tidak memberitahukan kepentingan nona.” Kim Hong mengerutkan alisnya. Bagaimanapun juga, permintaan tosu ini masuk di akal dan pantas, maka terpaksa iapun harus mengaku terus terang. “Aku minta menghadap pimpinan Kun-lun-pai untuk minta perkenan mereka agar aku diperbolehkan bertemu dengan Jit Goat Tosu yang sedang bertapa di daerah Kun-lun-pai.” Tosu itu nampak terkejut. “Siancai...” katanya lirih penuh keheranan karena sesungguhnya dia sendiri sudah hampir lupa kepada seorang kakek yang telah bertahun-tahun bertapa di dalam gua di sebelah belakang ladang Kun-lun-pai di belakang perumahan itu. Seorang kakek yang penuh rahasia dan yang menurut pimpinan Kun-lun-pai, amat sakti dan tidak boleh diganggu sama sekali. “Ada apa, totiang? Aku sudah berterus terang, masih kurang apa lagi?” “Ah, tidak apa-apa, nona. Baik kami akan segera melaporkan ke dalam dan harap ji-wi sudi menanti sebentar di luar.” Dan pintu gerbang itu lalu ditutup dari dalam! Kim Hong saling pandang dengan Thian Sin dan pemuda ini hampir tertawa melihat wajah yang muram dan jengkel itu. “Tenang dan sabar sajalah. Tiada gunanya jengkel.” “Kalau para tosu itu mempersulit, jangan salahkan aku kalau aku mencari sendiri tanpa seijin mereka!” Gadis itu mengancam dengan hati mengkal dan melihat keadaan gadis itu, Thian Sin merasa lebih aman untuk berdiam diri saja. Tak lama kemudian, daun pintu itu terbuka lagi, kini terbuka kedua-duanya sehingga nampaklah sebelah dalam pekarangan depan yang luas itu. Para penjaga kini nampak berbaris rapi, dan selain para tosu yang tadi, kini nampak tiga orang tosu yang lain yang lebih tua dan melihat sikap mereka dapat diduga bahwa tentu tingkat mereka lebih tinggi daripada para tosu pertama. Seorang di antara mereka, yang memiliki tahi lalat di dagunya, dengan pandang mata penuh selidik memandang kepada kedua orang tamunya, terutama kepada gadis yang katanya hendak bertemu dengan Jit Goat Tosu itu. “Siancai... Nona yang masih begini muda berkeras hendak bicara dengan pimpinan kami. Akan tetapi pimpinan kami amat sibuk dan tentu saja tidak mempunyai waktu untuk melayani segala macam orang, terkecuali orang-orang istimewa yang mempunyai keperluan istimewa lagi.” “Hemm, totiang, tidak perlu bicara seperti teka-teki. Katakanlah, macam yang bagaimanakah orang istimewa itu?” tanya Kim Hong, menahan kemarahannya dan masih tersenyum, walaupun ia merasa dipandang rendah. “Melihat sikap nona, tentu nona adalah seorang yang biasa berkelana di dunia kang-ouw, maka ucapan pinto tadi kiranya sudah cukup jelas. Hanya tokoh kang-ouw yang berkepandaian sajalah yang kiranya berharga untuk berhadapan dengan pimpinan kami, sedangkan tokoh kang-ouw biasa, cukuplah berurusan dengan kami, anak murid Kun-lun-pai. Tidak tahu apakah nona termasuk golongan pertama ataukah ke dua.” Hati Kim Hong mulai menjadi panas. “Totiang, apakah yang harus kulakukan untuk membuktikan kepada kalian di sini golongan mana aku termasuk?” “Maaf nona. Akan tetapi setiap perkumpulan mempunyai peraturan masing-masing dan Kun-lun-pai juga tidak terkecuali. Kami di sini mempunyai peraturan yang telah ditentukan sejak dahulu. Di antara para tamu kami bagi menjadi tiga golongan. Golongan paling rendah adalah mereka yang tidak dapat melewati kami dan golongan ini cukup membicarakan keperluannya dengan kami saja. Adapun golongan ke dua adalah golongan tamu yang biarpun mampu melewati kami namun tidak mampu melewati para suheng kami di ruangan tengah dan golongan itupun cukup disambut dan dilayani oleh para suheng kami itu. Adapun golongan pertama haruslah dapat melewati kami dan kemudian melewati pula para suheng kami di ruangan tengah. Barulah dia berhak untuk bicara dengan pimpinan kami.” “Begitukah? Kenapa tidak sejak tadi kalian memberitahu kepadaku? Nah, susunlah barisanmu, totiang hendak kulihat sampai di mana kehebatan barisan Kun-lun-pai!” Kim Hong menantang dan dibisikkannya kepada Thian Sin. “Kau jangan mencampuri yang ini.” Thian Sin tersenyum dan mengangguk. Tentu saja dia tidak mau mencampuri karena diapun hanya hendak membantu kekasihnya kalau menghadapi musuh besarnya, Si Pertapa itu. Dia tidak mau bermusuhan dengan Kun-lun-pai dan diapun tidak ingin kalau Kim Hong bermusuhan dengan partai besar itu. “Ingat, jangan lukai orang,” bisiknya dan Kim Hong mengangguk. Sementara itu, tiga orang tosu yang baru datang telah mengatur lima orang tosu dan sembilan orang murid Kun-lun-pai yang berpakaian biasa untuk mengatur barisan. Sembilan orang murid itu membentuk setengah lingkaran menghadang di depan, dan di belakangnya berdiri lima orang tosu yang memegang sebatang pedang. Adapun sembilan orang murid terendah dari Kun-lun-pai itu bertangan kosong karena tugas mereka hanya mempergunakan tenaga mencegah wanita itu maju. “Nona Toan Kim Hong, kami sudah siap, silakan melewati kami kalau kau mampu!” tiba-tiba tosu yang bertahi lalat dagunya berteriak. Kim Hong tersenyum lalu ia melangkah maju, akan tetapi tiba-tiba sembilan orang itu bergerak menghadangnya dan ke manapun ia melangkah, ia selalu bertemu dengan mereka yang terus membuat gerakan menghadang. “Kenapa menghadang di jalan? Aku mau lewat!” kata Kim Hong dan ia melangkah maju terus. Tentu saja ia tabrakan dengan seorang di antara mereka yang menghadang di jalan dan dengan gerakan sikunya, orang itupun terjengkang. Melihat ini, empat orang sudah menangkap kedua lengan dara itu, dua di kanan dan dua di kiri. Kedua lengannya dipegang kuat-kuat oleh empat orang laki-laki muda yang kokoh kuat dan terlatih. Kim Hong masih tersenyum dan tiba-tiba ia menggerakkan kedua lengannya dan terdengarlah teriakan-teriakan ketika empat orang murid Kun-lun-pai itu terpelanting ke kanan dan ke kiri sampai beberapa meter jauhnya! Empat orang murid lain yang belum jatuh, cepat menubruk dari kanan dan kiri. Akan tetapi Kim Hong menggerakkan kakinya yang kanan dan kiri bergantian dengan kecepatan yang luar biasa dan tahu-tahu empat orang itupun sudah roboh semua. Mereka tidak terluka, akan tetapi mengaduh-aduh karena bekas tendangan dan bekas terbanting itu cukup mendatangkan rasa nyeri, sementara itu dara yang mereka halangi sudah lewat! Kim Hong melangkah ke depan menghadapi lima orang tosu yang memalangkan toya mereka dan begitu Kim Hong mendekat, mereka sudah mengurung dengan toya di tangan. Sementara itu, Thian Sin tersenyum melihat sembilan orang murid Kun-lun-pai berpelantingan tadi dan dengan lenggang seenaknya diapun masuk mengikuti Kim Hong. Dia tidak mau campur tangan, hanya menonton saja. Kim Hong sudah dikurung oleh lima orang tosu yang melihat gerakannya, tentu tidaklah selemah sembilan orang pertama tadi. Dan memang benarlah. Lima orang tosu ini adalah murid-murid tingkat tiga dan sudah memiliki dasar ilmu silat Kun-lun-pai yang kokoh kuat dan latihan yang cukup matang walaupun mereka belum mewarisi ilmu-ilmu simpanan dari partai besar itu. Namun ilmu toya mereka cukup hebat karena pada waktu itu, Kui Im Tosu telah mengembangkan Ilmu Toya Kim-kauw-pang-hoat, yaitu ilmu tongkat yang sumbernya dari ilmu tongkat tokoh dongeng Si Raja Monyet Sun Go Kong, dan ilmu tongkat ini diajarkan kepada murid-murid tingkat tiga. Apalagi mereka berlima juga membentuk barisan Ngo-heng-tin maka mereka dapat bekerja sama dan seolah-olah tenaga lima orang digabung menjadi satu! Kim Hong yang dikepung itu masih tersenyum tenang saja. “Benarkah kalian tidak mau memberi jalan kepada seorang muda seperti aku?” tanyanya. Ditanya begini, lima orang tosu itu sejenak bingung. Menurut pantas memang nampaknya janggal kalau lima orang pendeta seperti mereka tidak mau mengalah terhadap seorang wanita muda yang mau lewat. Kesempatan ini dipergunakan oleh Kim Hong untuk meloncat ke depan. Akan tetapi dua batang tongkat sudah memotong jalan menghadang dua tongkat lain mengancam ke atas kepala dan tongkat ke lima dari belakang siap menyambar kakinya! “Hebat!” katanya memuji karena memang gerakan refleks lima orang tosu itu sedemikian hebatnya. Akan tetapi ia tidak menghentikan gerakannya dan cepat ia memegang dua tongkat di depannya, dengan gerakan tiba-tiba menarik dua tongkat itu ke atas sambil mengerahkan sin-kangnya kemudian tubuhnya meloncat untuk membiarkan tongkat yang menyambar kaki itu lewat. “Trak! Trak!” Dua tongkat yang dipegangnya itu menangkis tongkat yang menghantam dari atas dan selain dapat meloloskan diri dari serangan lima orang itu, juga dalam segebrakan ini Kim Hong sudah berhasil mengacaukan mereka. Namun dengan gerakan sigap sekali lima orang tosu itu sudah dapat mengepungnya lagi sebelum ia mampu lewat! Kim Hong tersenyum. “Bagus, Ngo-heng-tin yang hebat!” katanya memuji dan tiba-tiba saja tubuhnya melayang ke atas! Melihat ini, lima orang tosu itu cepat menggerakkan toya mereka menyerang dan juga mereka berlompatan. Akan tetapi, tubuh nona itu sudah berjungkir balik dan begitu kepalanya digerakkan, rambutnya berkelebat seperti ular dan melibat lima ulung tongkat itu, kemudian tubuhnya membalik lagi dan kedua kakinya bergerak menendang ke arah lima tangan yang memegang tongkat. Lima orang tosu itu terkejut bukan main ketika merasa betapa tongkat mereka tidak dapat mereka tarik kembali, sudah terbelit dengan amat kuatnya oleh rambut wanita itu dan menghadapi tendangan kedua kaki di udara yang mengarah tangan mereka itu, mereka tidak dapat menghindarkan diri lagi. Tangan mereka seketika lumpuh dan tahu-tahu tongkat mereka telah terampas dan sekali Kim Hong menggerakkan kepalanya, tongkat-tongkat itu meluncur ke bawah dan menancap di atas tanah sampai setengahnya! Sebelum lima orang tosu itu sempat menahan lagi, Kim Hong sudah berjungkir balik dan turun di sebelah dalam, telah melewati lima orang tosu itu yang hanya mampu saling pandang, kemudian menarik tongkat masing-masing dari tanah. Tiga orang tosu yang berada di sebelah dalam, memandang penuh kagum. Mereka merasa kagum karena maklum bahwa dara muda ini selain lihai bukan main, juga tidak mempunyai niat buruk sehingga kini telah mengalahkan barisan pertama dari sembulan orang dan barisan ke dua dari lima orang tanpa melukai mereka sama sekali! Mereka ini adalah murid-murid tingkat tingkat dua yang sudah memiliki kepandaian tinggi. Melihat gerakan Kim Hong tadi, sebagai ahli-ahli silat tinggi mereka sudah maklum bahwa Kim Hong adalah seorang wanita yang lihai bukan main, yang agaknya mewarisi ilmu silat dari seorang sakti. Kelihaian dan sikap Kim Hong yang tidak mau melukai lawan itu sebetulnya sudah mendatangkan rasa simpati dalam hati mereka dan menurutkan hati mereka, agaknya mereka akan suka membiarkan Kim Hong lolos untuk menemui ketua mereka. Akan tetapi, mereka adalah tosu-tosu yang berdisiplin, maka mereka tidak berani melanggar peraturan dan tata tertib. Sambil menjura, tosu yang bertahi lalat di dagunya itu berkata. “Ah, kiranya nona sungguh memiliki kepandaian yang luar biasa. Akan tetapi nona masih harus dapat melewati kami bertiga sebelum memasuki ruangan sebelah dalam.” Mereka bertiga lalu bergerak membentuk barisan segi tiga dengan pedang mereka. Kim Hong menggerakkan kepala untuk memindahkan kuncir rambutnya ke belakang. Manis sekali gerakan ini dan iapun tersenyum. “Ah, aku tidak percaya bahwa para tosu Kun-lun-pai yang bijaksana dan baik budi akan mau mencelakakan seorang tamu wanita muda yang hanya ingin menghadap ketuanya.” Setelah berkata demikian, dara ini lalu menerjang ke depan, menerjang di antara dua batang pedang yang membuat pertahanan dan membentuk dua daun pintu. Akan tetapi dua batang pedang itu bergerak cepat dan nampaklah gulungan sinar pedang yang menghadang di depannya. Adapun pedang ke tiga juga sudah siap menggantikan teman dengan berputar-putar di atas kepalanya. Tahulah Kim Hong. Tiga orang tosu ini yang tingkatnya sudah lebih tinggi tidak akan menyerangnya seperti para penghadang pertama dan kedua tadi, melainkan membentuk sinar pedang untuk menghalangnya dan kalau ia menerjangnya dan sampai terluka oleh sinar pedang, hal itu berarti bahwa ia yang salah sendiri menerjang pedang, bukan pedang yang sengaja menyerangnya! Maka iapun tersenyum dan tentu saja ia tidak tega untuk melukai tosu-tosu yang begini sungkan dan baik kepadanya. Maka ia hendak memaksa agar tiga orang tosu itu memperlihatkan kepandaiannya dan tidak sungkan-sungkan lagi kepadanya, karena bukankah perasaan sungkan itu berarti sudah menyeleweng daripada tugas mereka? Ia tidak ingin mereka itu ditegur atasan mereka sebagai penjaga-penjaga yang kurang ketat. “Sam-wi totiang harap jangan bersikap sungkan lagi!” katanya dan tiba-tiba saja ia menggerakkan tangannya, bukannya dengan maksud menerobos ke dalam, melainkan menggunakan tangan untuk menyerang mereka! Serangan tangannya tentu saja hebat sekali, didahului oleh hawa pukulan yang amat kuat dan mengeluarkan angin berdesir. Dua orang tosu itu terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa tamu ini malah berbalik menyerangnya demikian dahsyatnya. Cepat mereka memutar pedang untuk menangkis, akan tetapi kekagetan mereka bertambah ketika gadis itu berani mempergunakan tangan kosong untuk menyambar pedang mereka! Dengan tangan dimiringkan, gadis itu begitu saja menangkis pedang dan mereka merasa betapa tangan mereka bergetar hebat ketika pedang bertemu dengan tangan! Tahulah kini tiga orang tosu itu bahwa lawannya benar-benar amat tangguh dan merekapun tidak bersikap sungkan lagi. Kalau bersikap sungkan dan mengalah terhadap lawan yang tingkat kepandaiannya lebih tinggi, hal itu sungguh lucu dan sama dengan menyerah kalah. Maka kini merekapun mengubah gerakan mereka, dan Sam-ciok-tin (Barisan Segi Tiga) mereka benar-benar dipergunakan, dengan jurus-jurus serangan dari tiga penjuru sehingga sebentar saja tubuh Kim Hong sudah dijatuhi dan dihujani serangan bertubi-tubi. “Bagus! Kun-lun Kiam-sut memang hebat!” Kim Hong memuji, bukan hanya untuk menyenangkan lawan melainkan memang ia dapat merasakan hebatnya ilmu pedang yang dimainkan dalam barisan segi tiga ini. Serangan mereka demikian mantap dan kuat, penjagaan mereka demikian ketat sehingga ia menghadapi lawan yang tangguh dan hal ini menimbulkan kegembiraannya. Sementara itu lima orang tosu dan sembilan orang anak murid Kun-lun-pai sudah berdiri menonton dan merekapun merasa kagum bukan main. Tahulah mereka bahwa gadis muda itu tadi bersikap lunak sekali terhadap mereka. Setelah mencoba ilmu pedang tiga orang tosu tingkat dua itu selama hampir lima puluh jurus, puaslah hati Kim Hong. Ia sudah memperlihatkan kecepatan gerakannya sehingga tiga batang pedang itu tidak pernah dapat menyentuhnya, dan yang terlalu dekat dapat ditangkis dengan tangan terbuka. Sebaliknya, iapun membalas setiap serangan dengan totokan-totokan yang tidak kalah hebatnya dan setelah lewat lima puluh jurus, tiba-tiba ia berseru, “Maaf sam-wi totiang, aku mau lewat!” Tiba-tiba saja tiga orang tosu itu merasa betapa tangan mereka yang memegang pedang menjadi lemas dan lumpuh untuk beberapa detik lamanya dan kesempatan ini sudah cukup bagi Kim Hong untuk meloncat ke sebelah dalam melewati mereka! Tiga orang itu hanya dapat memutar tubuh dan memandang bengong. Mereka tadi hanya melihat berkelebatnya sinar hitam disertai bau harum dan tahulah mereka kini bahwa wanita tadi telah menotok pundak mereka dengan ujung rambut kunciran itu! Diam-diam ketiganya bergidik karena kalau wanita itu menghendaki tentu bukan tempat itu yang ditotok, melainkan jalan darah yang lebih berbahaya lagi, misalnya di leher yang dapat membuat mereka roboh atau bahkan tewas! Maka mereka bertiga lalu menjura dengan hormat kepada gadis itu dan berkata, “Nona telah lulus dan dapat melewati kami, silakan masuk.” “Terima kasih, akan tetapi biarkan temanku lewat juga,” katanya sambil menanti Thian Sin yang berjalan menghampirinya dari luar. “Akan tetapi, yang dapat melewati kami hanya nona seorang. Dia belum memperkenalkan diri dan...” “Bukankah sudah kukatakan bahwa aku akan menghadap pimpinan Kun-lun-pai bersama seorang kawanku? Totiang, akulah yang bertanggung jawab atas dirinya!” kata Kim Hong. Tosu bertahi lalat di dagunya itu mengerutkan alisnya akan tetapi dia menarik napas panjang, lalu menggerakkan pundaknya. “Siancai... kami telah kalah, tidak perlu banyak cakap lagi. Akan tetapi mungkin sekali para suheng kami yang di dalam akan berpikiran lain. Harap nona berhati-hati karena para suheng kami tidak boleh disamakan dengan kami yang masih bodoh.” Kim Hong menjura ke arah mereka dan tersenyum. “Terima kasih, totiang sekalian sungguh baik sekali!” Dan iapun melangkah masuk bersama Thian Sin, meninggalkan para penjaga di luar yang tentu saja merasa kagum dan tiada hentinya membicarakan nona cantik jelita yang berilmu tinggi itu. Kim Hong dan Thian Sin melangkah maju terus, melalui lorong yang panjang. Mereka berjalan dengan penuh kewasdaan, siap menghadapi segala macam rintangan. Akan tetapi, lorong itu ternyata tidak mengandung jebakan-jebakan atau rintangan-rintangan apapun. Setelah lorong itu habis, tibalah mereka di sebuah ruangan yang amat luas dan mereka melihat dua orang tosu yang usianya kurang lebih lima puluh tahun, keduanya tinggi kurus dan wajah mereka membayangkan kehalusan budi akan tetapi sikap mereka berwibawa. Thian Sin menahan kakinya dan membiarkan Kim Hong yang maju sendiri menghadapi dua orang tosu itu. Mereka itu adalah murid-murid kepala dari Kun-lun-pai, yang menerima pendidikan langsung dari ketua dan wakil ketua Kun-lun-pai. Hanya ada lima orang murid kepala dan pada waktu itu, yang berada di dalam asrama hanya dua orang inilah. “Maaf, ji-wi totiang. Aku mohon lewat untuk menghadap ketua Kun-lun-pai,” kata Kim Hong dengan sikap biasa dan tenang sekali sambil menghampiri mereka. “Siancai... Nona Toan Kim Hong dapat melewati penjagaan pertama, sungguh lihai sekali dan pinto berdua menyatakan kagum bukan main!” kata seorang di antara mereka yang mukanya pucat dan matanya sipit seperti terpejam. Setelah berkata demikian, tosu ini mengangkat kedua tangan dikepal di depan dada dan memberi hormat sambil melangkah maju ke arah Kim Hong. Angin pukulan menyambar dahsyat dari kedua tangan itu ke arah dada Kim Hong! Maklumlah dara ini bahwa tosu bermuka pucat itu adalah ahli lwee-keh yang memiliki tenaga sakti kuat, maka mukanya selalu pucat seperti itu, mungkin disebabkan latihan yang terlalu terpaksa sehingga berakibat seperti itu. Maka iapun cepat mengangkat kedua tangan di depan dada membalas penghormatan itu sambil berkata, “Ah, totiang terlalu memuji. Mana aku berani menerimanya?” Dari kedua tangan nona inipun menyambar tenaga sin-kang yang merupakan angin berkesiur menyambut serangan lawan. Tosu itu nampak terkejut ketika merasa ada hawa dingin menolak tenaganya, maka diapun membuka kedua kepalan tangannya dan kini mengulurkan kedua lengannya itu, dengan kedua telapak tangan terbuka mendorong dengan terang-terangan untuk memperkuat daya serangannya tadi. Melihat lawannya menyerang secara terbuka, Kim Hong juga mengulurkan kedua lengannya menyambut dan kini dua pasang telapak tangan itu saling bertemu dan dari situ mengalir keluar kekuatan sin-kang yang sama dahsyatnya! Adu sin-kang terjadi dan biarpun keduanya hanya berdiri tegak dengar kedua lengan dilonjorkan, kedua tangan terbuka dan saling sentuh, namun bagi Thian Sin dan tosu ke dua merupakan saat menegangkan di mana dua orang yang memiliki sin-kang kuat saling menguji tenaga sinkang mereka! UNTUK beberapa saat lamanya Kim Hong mengerahkan sin-kangnya dari sedikit dan setelah ia mengerahkan sampai tiga perempat bagian, barulah ia dapat mengimbangi tenaga lawan. Diam-diam ia kagum juga. Murid kepala Kun-lun-pai telah memiliki sin-kang sekuat ini! Akan tetapi, setelah mengukur kekuatan lawan, ia tidak ingin mencelakai lawannya itu, lalu tiba-tiba ia mengeluarkan seruan nyaring dan tosu itu kaget setengah mati. Mendadak saja dia merasa betapa telapak tangan nona itu menjadi lunak sekali dan dia merasa tenaganya seperti terjun ke tempat tanpa dasar dan diapun terjerumus ke depan. Pada saat itu, Kim Hong sudah meloncat ke atas, melalui kepalanya dan melewatinya, tiba di belakangnya sedangkan tosu pucat ini terhuyung ke depan dan nyaris terjelungkup. Dia membalikkan tubuh, mukanya penuh keringat dan napasnya agak memburu, lalu dia menjura. “Terima kasih atas petunjuk nona yang lihai sekali!” Tosu ke dua, yang mukanya ramah dan jenggotnya panjang, tertawa. “Ha-ha-ha, sungguh luar biasa sekali. Di dunia ini telah bermunculan orang muda yang memiliki kepandaian tinggi sekali. Sungguh membuat pinto merasa seperti seekor katak dalam tempurung! Nona Toan, kalau saudaraku tadi menguji sin-kangmu, maka sekarang tiba giliranku untuk menguji ketinggian gin-kangmu. Nah, aku akan mencegah engkau masuk, dan cobalah engkau melewati aku dengan menggunakan kecepatan gerakanmu!” Setelah berkata demikian, tosu itu berdiri di atas ujung jari kakinya, berjingkat dan mengembangkan kedua lengannya. Kim Hong tersenyum dan hatinya girang. Tosu Kun-lun-pai ternyata bukanlah orang-orang yang suka mempergunakan kekerasan, walaupun murid-murid mereka di dunia kang-ouw terkenal gagah perkasa dan gigih menentang kejahatan. “Baik, totiang. Nah kauhalangilah aku!” Tiba-tiba Kim Hong berkelebat lari ke sebelah kiri tosu itu, akan tetapi tosu itupun sudah mcloncat ke sana sehingga jalan bagi Kim Hong terhalang. Nona itu meloncat tinggi ke atas, berjungkir balik sampai tiga kali sehingga ia mencapai langit-langit, akan tetapi tosu itupun mengeluarkan seruan keras dan tubuhnya juga sudah mencelat ke atas menghadang di atas! Kim Hong turun lagi diikuti oleh tosu itu dan selanjutnya dua orang itu seperti sedang bermain kejar-kejaran seperti anak kecil. Tubuh mereka tidak nampak lagi saking cepatnya gerakan mereka. Yang nampak hanya bayangan yang berkelebatan dan memang tosu yang seorang ini memiliki gerakan cepat bukan main. Akan tetapi, kini dia bertemu dengan gadis yang pernah menjadi Lam-sin, yang terkenal sekali dengan ilmu kepandaiannya yang hebat-hebat, di antaranya kecepatan gerakannya. Demikianlah, setelah mengajak tosu itu berkelebatan dengan cepat di mana tosu itu selalu dapat memotong jalan masuk, tiba-tiba Kim Hong mengerahkan seluruh tenaga gin-kangnya dan tubuhnya berpusingan cepat seperti gasing! Tentu saja tosu itu terkejut sekali dan tidak tahu harus berbuat apa. Untuk ikut berpusing seperti itu, dia tidak sanggup dan tiba-tiba saja nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu dara itu telah melesat di sampingnya tanpa dia mampu mencegahnya, saking cepatnya gerakan itu. Tahulah tosu itu bahwa kalau tadi-tadi nona itu mengerahkan seluruh tenaga gin-kangnya, dia tidak akan mampu mencegahnya. “Hebat, hebat... pinto mengaku kalah!” katanya sambil tertawa dan menghapus keringatnya. Tosu yang matanya sipit tadi kembali menjura. “Nona telah memperlihatkan ketinggian ilmu silat, kekuatan sin-kang dan ketinggian gin-kang. Nona adalah seorang tamu yang sudah sepatutnya minta berjumpa dengan wakil ketua kami. Akan tetapi, orang muda itu tidak boleh masuk. Dia hanya teman nona, dan dia tidak melalui ujian masuk.” “Totiang bersikap kurang adil sekali.” Dua orang tosu itu saling pandang dan yang bermata sipit kembali menghadapi Kim Hong. “Siancai...! Kalau ada kesalahan kami, harap kautunjukkan, nona. Sikap kami yang manakah yang kurang adil menurut pendepatmu?” “Setiap orang mempunyai peraturan masing-masing. Kun-lun-pai mempunyai peraturan bahwa siapa hendak menghadap ketuanya harus melalui ujian barisan murid-murid Kun-lun-pai. Aku menghormati peraturan tuan rumah dan sudah memenuhi syarat. Sebaliknya, sebagai tamu akupun mempunyai peraturan, peraturan kepantasan yang kiranya dapat dimengerti oleh para tokoh Kun-lun-pai. Aku adalah seorang wanita muda, dan menurut patut, kalau aku menghadap seorang pria, aku harus membawa teman. Karena itulah maka untuk menghadap ketua Kun-lun-pai aku membawa temanku, apakah sudah dianggap tepat oleh ketua Kun-lun-pai untuk menerima tamu wanita muda berdua saja tanpa ada orang lain?” Wajah kedua orang tosu itu menjadi merah dan mereka merasa bingung, saling pandang karena mereka menganggap alasan nona ini cukup kuat. Memang, dari sudut kesusilaan, amatlah tidak pantas kalau menolak orang yang menemani nona ini menghadap ketua Kun-lun-pai, dan amatlah memalukan dan mendatangkan dugaan yang bukan-bukan kalau ketua atau wakil ketua Kun-lun-pai menerima kunjungan seorang wanita muda cantik jelita yang bukan murid dan bukan keluarga sendiri saja! Akan tetapi, tosu berjenggot panjang yang ramah itu cerdik. Tiba-tiba dia bertanya, “Nona, apamukah orang muda yang hendak mengantarmu menjumpai wakil ketua kami?” “Dia adalah kekasihku, tunanganku!” Kim Hong berkata dengan lantang dan terus terang sehingga Thian Sin sendiri menjadi terkejut dan mukanya berubah merah. Akan tetapi diapun lantas dapat menangkap bahwa memang jawaban terus terang itulah yang paling tepat, karena kalau bukan saudara bukan tunangan, melakukan perjalanan berdua saja tentu sudah melanggar kepantasan pula! Selagi dua orang tosu itu termangu-mangu, tiba-tiba terdengar suara dari balik daun pintu di sebelah dalam, suara yang halus dan ramah, “Siancai... seorang muda yang penuh semangat! Persilakan Nona Toan dan temannya masuk...!” Dua orang tosu itu nampak lega dan menjura ke arah Kim Hong dan Thian Sin. “Wakil ketua kami, Kui Yang Tosu, mengundang ji-wi untuk datang menghadap. Silakan!” Mereka lalu membuka daun pintu yang besar itu. Kim Hong dan Thian Sin membalas penghormatan mereka lalu melangkah, memasuki ambang pintu memasuki sebuah ruangan lain yang terang. Ternyata kamar itu adalah sebuah kamar buku karena di sudut berdiri rak penuh dengan buku-buku tua, juga merangkap kamar tamu karena di situ terdapat meja kursi dan di atas dipan berkasur duduk bersila seorang tosu yang wajahnya ramah dan tosu itu duduk sambil tersenyum gembira, memandang kepada mereka. Thian Sin dan Kim Hong juga mengangkat muka memandang kepada tosu tua yang duduk bersila di atas dipan itu. Seorang tosu yang usianya mendekati tujuh puluh tahun, tinggi kurus, wajahnya dihias senyum gembira dan sepasang matanya membayangkan keramahan dan kehalusan budi. Di sudut duduk pula tiga orang tosu lain yang usianya lebih muda, kurang lebih enam puluh tahun, dari sikap mereka diam menanti, tanda bahwa mereka ini kalah tinggi tingkatnya dengan tosu tua itu. Diam-diam Thian Sin merasa seperti pernah mengenal tosu tua itu, akan tetapi dia sudah lupa lagi di mana. Dan memanglah, dia pernah melihat tosti itu bukan lain adalah Kui Yang Tosu, tokoh Kun-lun-pai yang pernah datang mencarinya bersama tokoh-tokoh pendekar lain ketika dia membunuh Pangeran Toan Ong! Dan tiga orang tokoh lain adalah para sutenya, pembantu-pembantunya yang tentu saja tingkat kepandaiannya lebih tinggi daripada dua orang murid kepala tadi. Sementara itu, ketika dia memandang kepada wajah Thian Sin dan bertemu pandang dengan sepasang mata pemuda yang mencorong tajam itu, jantung tosu itu terguncang dan senyumnya lenyap seketika, alisnya yang putih berkerut dan sekali meloncat diapun sudah bangkit berdiri menghadapi dua orang muda itu. “Pendekar Sadis!” teriaknya mengejutkan tiga orang sutenya yang juga segera bangkit ketika mendengar sebutan ini. “Pendekar Sadis! Kiranya engkau berhasil menyelundup ke sini? Apakah engkau kini mulai dan hendak menyebar maut di Kun-lun-pai?” Ketika Thian Sin melihat tosu itu mengeluarkan tasbehnya dari saku jubahnya yang lebar, diapun teringatlah kepada tosu ini. Sambil tersenyum pahit Thian Sin menggelengkan kepalanya dan berkata, “Maaf, totiang. Sekali ini aku hanya menemani Nona Toan saja, dan sama sekali tidak ada urusan dengan pihak Kun-lun-pai.” “Siancai...!” Tosu itu nampak lega mendengar ini, akan tetapi kini pandangannya terhadap Kim Hong menjadi lain, tidak seramah tadi. “Maaf, nona. Kalau pinto tidak salah dengar, namamu adalah Toan Kim Hong. Nama keluarga Toan tidak banyak di dunia ini, apakah nona masih ada hubungan keluarga dengan mendiang Pangeran Toan Ong?” Kim Hong tersenyum. “Tidak ada salahnya menjawab pertanyaan itu, locianpwe, walaupun tidak ada sangkut-pautnya dengan kunjunganku ke sini. Memang benar ada hubungan keluarga, karena Pangeran Toan Ong itu adalah pamanku sendiri.” “Ahh...!” Tosu itu terkejut. “Apakah Toan-siocia sudah tahu siapa yang membunuh Pangeran Toan?” Nona itu mengangguk dan mengerling ke arah Thian Sin. “Aku sudah tahu, locianpwe, pembunuhan karena salah paham dan karena fitnah orang. Pembunuhnya adalah temanku inilah...” “Tapi mengapa...?” “Sudahlah, locianpwe. Kedatanganku bukan untuk urusan itu, melainkan untuk urusan yang lain sama sekali.” Kui Yang Tosu menarik napas panjang, lalu mengangguk. “Benar, memang demikianlah. Nah, katakanlah, apa perlunya nona berkeras hendak bertemu dengan pimpinan Kun-lun-pai?” “Kedatanganku ini ingin minta perkenan locianpwe agar aku diperbolehkan bertemu dengan Jit Goat Tosu yang sedang bertapa di asrama Kun-lun-pai.” Tosu itu mengangguk-angguk. “Permintaan nona itu sudah pinto dengar tadi, akan tetapi pinto masih ragu-ragu karena permintaan itu sungguh amat aneh. Kehadiran Jit Coat Tosu di sini adalah suatu rahasia dan sudah bertahun-tahun tidak ada yang tahu, bagaimana nona bisa mengetahuinya? Dan bolehkah pinto mengetahui apa urusan nona dengan Jit Goat Tosu?” “Hemm, aku cukup menghormati Kun-lun-pai, locianpwe, sehingga untuk menemuinya, aku lebih dulu menghadapi pemimpin Kun-lun-pai dan minta ijin, bukannya langsung mencarinya sampai dapat kutemukan. Aku tidak ingin melibatkan Kun-lun-pai dengan urusan kami, maka pertanyaan itu tidak dapat kujawab karena tidak ada sangkut-pautnya dengan Kun-lun-pai.” “Siancai...! Jangan Nona Toan berpendapat demikian. Ketahuilah bahwa Jit Goat Tosu bukanlah orang lain bagi kami. Dia adalah saudara angkat kami, maka tentu saja kami ingin tahu apa yang menjadi sebabnya maka nona datang untuk mencarinya di sini.” Kim Hong mengerutkan alisnya. Ah, urusan menjadi sulit kalau begini. Tak disangkanya bahwa supeknya itu kini selain menjadi tosu dan mondok di asrama Kun-lun-pai, malah telah mengangkat saudara dengan para pimpinan Kun-lun-pai! Kalau begini, agaknya tak dapat dihindarkan lagi keterlibatan Kun-lun-pai! “Locianpwe, urusanku dengan dia adalah urusan pribadi, urusan antara seorang murid keponakan dengan supeknya. Apakah locianpwe masih hendak mencampurinya?” Mendengar ini terkejutlah kakek itu. “Siancai... siancai... kiranya nona adalah puteri mendiang Toan Su Ong...?” “Benar sekali, locianpwe.” “Ah, kalau begitu... tentu saja pinto tidak berhak mencampuri urusan pribadi nona dengan supek nona.” Lalu Kui Yang Tosu menoleh kepada tiga orang tosu itu. “Thian-sute, harap kauantarkan Nona Toan menghadap Jit Goat Tosu. Karena beliau sedang bertapa, maka antar saja sampai di depan gua dan tinggalkan di situ. Terserah kepada yang berkepentingan mau menemui atau tidak.” “Baik, suheng,” jawab seorang di antara tiga tosu itu. “Marilah, nona.” Kim Hong dan juga Thian Sin mengikuti tosu itu dan Kui Yang Tosu tidak berani mencegah ketika Thian Sin juga ikut, walaupun hatinya merasa tidak enak dengan munculnya Pendekar Sadis di tempat itu. Maka setelah sutenya pergi mengantarkan dua orang muda itu ke arah belakang asrama, dia sendiri lalu bergegas masuk ke dalam untuk menemui suhengnya, yaitu Kui Im Tosu untuk membicarakan urusan itu. Ternyata daerah markas Kun-lun-pai itu luas bukan main. Melalui sebuah pintu rahasia yang kecil, mereka keluar dari pagar tembok dan mendaki bukit atau puncak pegunungan di belakang dan setelah melalui daerah berbatu, akhirnya tibalah mereka pada dinding puncak yang penuh dengan gua-gua besar. Tosu itu membawa mereka ke sebuah gua besar yang gelap, berhenti di depan gua sambil berkata, “Nah, di sinilah tempat Jit Goat Tosu bertapa, nona.” Setelah berkata demikian, tosu itu lalu membalikkan badan dan meninggalkan dua orang muda itu termangu-mangu di depan gua. Thian Sin dan Kim Hong memandang ke sekeliling. Tempat itu tentu saja sudah berada di luar pagar tembok Kun-lun-pai, akan tetapi masih termasuk daerah Kun-lun-pai. Tempatnya amat sunyi, di dekat sebuah puncak dan kalau saja mereka tidak diantar oleh seorang tosu Kun-lun, agaknya tidak mungkin mereka akan dapat menemukan tempat pertapaan Jit Goat Tosu. Di situ terdapat banyak sekali gua-gua besar berjajar seperti pintu-pintu hitam atau seperti mulut-mulut raksasa, ada puluhan banyaknya. Mereka tentu akan mempergunakan banyak waktu untuk menyelidikinya satu demi satu! Tidak nampak seorang manusia lain, bahkan agaknya tidak ada binatang hutan di pegunungan batu ini. Hanya ada beberapa ekor burung yang beterbangan di puncak, agaknya mempunyai sarang di sana, semacam burung pemakan bangkai. Thian Sin memberi isyarat kepada Kim Hong untuk membuka suara. Dara itu mengangguk, lalu ia berseru dengan suara yang mengandung tenaga khi-kang sehingga getaran suaranya itu terdengar sampai jauh dan tentu akan sampai ke dasar gua di depannya, “Jit Goat Tosu, keluarlah! Aku Toan Kim Hong datang untuk bicara denganmu!” Dari dalam gua itu terdengar gema suara Kim Hong, terdengar mengaung menyeramkan seolah-olah ada suara iblis yang menjawabnya. Akan tetapi hanya gaung suara yang memantul itu saja yang terdengar, tidak ada suara lain. Beberapa kali Toan Kim Hong mengulangi seruannya tedi, namun sia-sia. Tidak ada suara menjawabnya. “Sialan tosu-tosu Kun-lun-pai itu. Aku ditipu, tempat ini kosong agaknya!” gerutu Kim Hong. Thian Sin menggeleng kepalanya. “Tidak mungkin dia membohong.” “Kalau begitu orangnya berada di dalam, sengaja tidak mau menjawab. Sebaiknya kumasuki saja dan kalau memang berada di dalam, kuseret dia keluar!” Akan tetapi Thian Sin memegang lengannya dan menggeleng kepala. Kim Hong teringat dan bergidik. Bagaimana ia bisa lupa bahwa supeknya itu memiliki ilmu kepandaian yang bahkan lebih lihai daripada mendiang ayahnya? Karena ia tidak merasa mampu melawan maka ia minta bantuan Thian Sin, bagaimana kini secara lancang hendak memasuki gua gelap itu? Sungguh ceroboh karena hal itu akan berbahaya sekali. “Tentu dia tidak mengenalmu, coba sebut nama ayahmu,” bisik Thian Sin. Kim Hong teringat. Betul juga, pikirnya. Supeknya itu belum pernah melihatnya, belum pernah pula mendengar tentang dirinya, tentu saja tidak ada artinya memperkenalkan nama. Maka ia lalu berteriak lagi, ditujukan ke dalam gua, dengan mengerahkan khi-kangnya. “Supek Jit Goat Tosu! Supek Gouw Gwat Leng! Keluarlah, aku Toan Kim Hong puteri tunggal dari Toan Su Ong datang hendak bicara dengan supek!” Baru saja gema suara itu menghilang, terdengarlah suara yang halus dari dalam gua itu, suara yang agak menggetar penuh perasaan, “Siancai... siancai... siancai...!” Dan tak lama kemudian keluarlah seorang kakek dari dalam gua itu. Seorang kakek yang amat kurus kecil dan mukanya pucat seperti mayat, mungkin karena terlalu lama tidak pernah terkena sinar matahari. Melihat munculnya kakek yang kelihatan amat lemah dan sudah mendekati liang kubur ini, hati Kim Hong merasa kecewa sekali. Beginikah macamnya orang yang selama ini dicari-carinya dengan hati penuh dendam kebencian? Hanya seorang kakek tua renta yang sudah hampir mati, tertiup angin kencang saja agaknya tentu akan roboh! Kakek itu berdiri agak bongkok di depan gua, sepasang matanya yang lemah itu berkedip-kedip, agaknya silau oleh sinar matahari yang sudah lama sekali tidak dilihatnya. Tangan kirinya dipergunakan melindungi matanya dari sinar matahari sedangkan tangan kanannya memegang sebuah bendera kecil yang sudah lapuk. Bendera itu berwarna kuning dan sudah tidak nampak jelas lagi apa gambarnya, hanya bendera itu pinggirnya sudah robek-robek seperti biasanya pada bendera kuno yang sudah terlalu lama dan dimakan usia. Gagang bendera itu ternyata merupakan sebatang anak panah terbuat dari perak. “Mana ia puteri Toan Su Ong?” tanya kakek itu dengan suara gemetar. Kim Hong hampir tidak dapat menerima kenyataan itu. Tidak percaya bahwa mendiang ayahnya ketakutan terhadap orang lemah macam ini! Ia meragu dan dengan hati kecewa ia bertanya, “Mungkinkah engkau ini yang bernama Gouw Gwat Leng atau Jit Goat Tosu?” Kakek itu memandang kepada Kim Hong, lalu terkekeh lirih, “Heh-heh, benar... matamu seperti mata ayahmu. Engkau tentu anak sute Toan Su Ong, tidak salah lagi... heh-heh, anak baik, boleh jadi engkau meragukan diriku sebagai supekmu Gouw Gwat Leng, tetapi ayahmu tentu pernah bercerita tentang bendera pusaka kita ini, peninggalan kakek gurumu...” Melihat bendera tua itu, hati Kim Hong menjadi panas rasanya. Bendera itulah yang membuat ayahnya selalu tunduk terhadap suhengnya ini. “Bendera sialan!” bentaknya dan tiba-tiba saja tubuhnya sudah berkelebat meloncat ke arah kakek itu dan tangannya menjangkau untuk merampas bendera itu. Akan tetapi betapa kagetnya ketika tangannya hanya menangkap angin saja! Entah bagaimana caranya, kakek yang kelihatan lemah itu telah dapat mengelakkan bendera itu dari jangkauan tangan Kim Hong yang amat cepat tadi. “Siancai... tidak seorangpun di dunia ini boleh merampas bendera pusaka ini dari tanganku...” Kakek itu terkekeh. Tentu saja Kim Hong merasa penasaran sekali. Kembali ia menubruk, kini mempergunakan kedua tangannya untuk merampas. Akan tetapi, dua kali bendera kecil itu berkelebat dan tak dapat ditangkap oleh tangan Kim Hong. Marahlah gadis itu dan kini pandangannya terhadap kakek itu berubah. Biarpun nampaknya lemah, kiranya kakek ini memiliki kepandaian tinggi. “Aku akan merampas bendera itu!” bentaknya dan kini ia menerjang, tangan kirinya menyerang dengan tusukan jari tangan ke arah lambung, kepalanya bergerak dan kuncir rambutnya menotok ke arah ulu hati dan tangan kanannya mencengkeram untuk merampas bendera! Hebat bukan main jurus serangan yang dilakukan oleh Kim Hong ini dan jarang ada orang yang akan dapat menyelamatkan diri dari serangan seperti itu yang selain dilakukan amat cepat, juga dengan tenaga dahsyat dan terutama sekali penggunaan rambut sebagai senjata itu sukar diduga. “Plak-plak-plakkk!” Tubuh Kim Hong terbuyung ke belakang! Kiranya kakek yang kelihatan lemah itu telah mampu menangkis semua serangannya, bukan hanya menangkis, malah juga membalas dengan dorongan yang membuat gadis itu terhuyung! Melihat ini, Thian Sin sendiri memandang kaget dan kagum. Gerakan kakek itu kelihatan lambat, namun begitu tepat dan mengandung tenaga yang dahsyat sekali. “Hemm, kiranya engkau pemberontak seperti ayahmu?” Kakek itu menegur, suaranya berwibawa, biarpun suara itu masih saja agak menggetar dan agak kaku, mungkin karena lamanya dia bertapa dan selama itu tidak pernah mengeluarkan suara. Kim Hong sendiri terkejut dan maklum bahwa yang membuat ia sampai kena terdorong adalah bendera itu. Bendera itu ketika tadi Si Kakek menangkis, berkelebat di depan matanya dan membuatnya lengah sehingga kena didorong. Kiranya bendera itu bukan hanya merupakan bendera pusaka, akan tetapi juga merupakan sebuah senjata aneh yang agaknya ampuh sekali walaupun belum dipergunakan sepenuhnya oleh kakek itu. “Bocah she Toan, kau sebagai puteri Toan Su Ong merupakan satu-satunya keturunan yang seharusnya mewarisi bendera ini dan menghormati bendera ini sampai mati. Akan tetapi kini engkau malah menghinanya dan hendak merampasnya. Katakan, apa perlunya engkau datang untuk menemuiku?” “Gouw Gwat Leng, lupakah engkau betapa ayahku sampai hidup terlunta-lunta, menjadi buronan dan selama hidupnya bersembunyi sampai mati, hanya karena engkau? Mendiang ibuku bercerita bahwa engkaulah yang menyebabkan ayah tidak berani muncul di dunia ramai, engkau dan bendera sialan itu. Ayah boleh jadi terlalu bodoh untuk merasa jerih menghadapi engkau dan bendera terkutuk itu, akan tetapi aku, anaknya, tidak! Aku yang akan membalaskan kematian dan menebus kesengsaraan ayah kepadamu, dan menghancurkan bendera terkutuk itu!” “Siancai... akhirnya tiba juga saat yang kunanti-nantikan! Anak baik, engkau hendak berbakti secara sesat kepada ayahmu. Ayahmu sendiri takut kepadaku karena menghormati bendera dan karena tahu diri, sekarang engkau hendak melawanku? Sungguh engkau telah murtad terhadap bendera pusaka nenek moyang perguruanmu sendiri, dan engkau tidak tahu diri berani melawan supekmu!” “Tak usah banyak cerewet, bersiaplah untuk menyusul ayah dan ibu!” Setelah berkata demikian, Toan Kim Hong sudah mencabut sepasang pedang hitamnya dar menyerang dengan sengit. “Trang-tranggg...!” Gagang bendera itu telah menangkis sepasang pedang. “Aihhh, aku telah mendengar bahwa ayah ibumu dalam persembunyiannya menciptakan Hok-mo Sin-kun! Apakah ini yang namanya Hok-mo Siang-kiam?” Akan tetapi Kim Hong sudah tidak mempedulikan lagi dan menyerang terus, menggunakan jurus-jurus terampuh dari ilmu pedangnya. Dan ternyata kakek itu, biarpun kelihatan sudah tua dan lemah, ternyata masih hebat! Gerakannya begitu ringan seperti kapas tertawa angin. Seolah-olah tubuhnya sudah terdorong oleh angin sambaran pedang lawan sehingga tanpa mengelak pedang itu tidak mengenai sasaran! Dan benderanya bergerak-gerak, berkibar-kibar, namun bukan sembarangan berkibar karena bendera tua itu berkelebat menggelapkan pandangan dan ujung gagangnya yang tumpul menjadi alat penotok yang ampuh, sedangkan mata anak panah yang menjadi gagang bendera itupun menyambar-nyambar seperti patuk seekor rajawali! Biarpun Kim Hong bergerak cepat dan mengerahkan tenaga, namun Thian Sin dapat melihat bahwa memang kakek itu memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi tingkatannya sehingga dengan mudah kakek itu dapat menghalau semua serangan Kim Hong tanpa banyak kesukaran, sebaliknya setiap serangan balasan kakek itu agaknya memang tepat sehingga membuat Kim Hong kewalahan dan sibuk menyetamatkan diri. “Jit Goat Tosu, sungguh tak patut yang tua menghina yang muda, dan aku sudah menjanjikan bantuan kepada Kim Hong!” Berkata demikian, Thian Sin sudah meloncat ke depan sambil mengelebatkan Gin-hwa-kiam sehingga nampak sinar perak menyambar ganas. “Tranggggg...!” Tangkisan anak panah yang menjadi gagang bendera terhadap Gin-hwa-kiam itu membuat Si Kakek terdorong ke belakang, akan tetapi juga Thian Sin terdorong mundur. Keduanya terkejut dan kakek itu sejenak memandang kepada pemuda itu. “Toan Kim Hong! Siapakah pemuda yang membantumu ini?” Pertanyaan ini lebih menyerupai bentakan dan di dalamnya mengandung ancaman maut! Kim Hong merasa malu kalau harus mengeroyok kakek itu bersama orang lain, maka iapun menyahut lantang, “Dia adalah Ceng Thian Sin, tunanganku!” Dengan mengaku pemuda itu sebagai tunangannya yang berarti jodohnya, maka berarti bahwa yang ikut mengeroyok kakek itu “bukan orang luar”. Dan memang pendapatnya ini tepat sekali. Kakek itu tertawa. “Ha-ha-ha, pantas...! Dia tampan dan gagah, ilmunya hebat. Hayo anak-anak, hayo kita latihan dan lihatlah kehebatan ilmu dari nenek moyang perguruanmu!” Setelah berkata demikian kakek itu menggerakkan anak panah bendera itu dan sekaligus gerakan ini menyerang Thian Sin dan Kim Hong secara bertubi-tubi. Dua orang muda itu kaget dan juga heran bagaimana senjata kecil seperti itu dapat bergerak sedemikian anehnya dan setiap gerakan merupakan serangan maut yang berbahaya sekali. Tentu keduanya sudah menggerakkan pedang untuk menangkis dan balas menyerang. Kim Hong sudah mainkan Hok-mo Siang-kiam-sut dan sepasang pedangnya yang hitam itu berubah menjadi dua sinar hitam bergulung-gulung amat menyeramkan, diiringi angin dingin yang mengeluarkan suara bercuitan. Tubuhnya sendiri lenyap terbungkus dua gulungan sinar hitam ini dan kadang-kadang ada sinar hitam mencuat dari dua gulungan itu, menyambar ke arah tubuh kakek kecil kurus. Thian Sin juga memutar pedangnya dengan cepat, dan selain sambaran pedangnya yang berubah menjadi gulungan sinar perak mengimbangi dua gulungan sinar hitam itu, saling membantu, juga tangan kirinya diam-diam melancarkan pukulan-pukulan Pek-in-ciang yang dipelajarinya dari pendekar sakti Yap Kun Liong di Bwe-hoa-san. Tangan kirinya itu mengepulkan uap putih ketika dia mempergunakan ilmu pukulan ampuh itu. Melihat kehebatan kedua orang muda ini, berkali-kali kakek itu mengeluarkan seruan kagum dan kaget. Akan tetapi kakek tua renta itu memang hebat sekali ilmu kepandaiannya. Dia telah memiliki kematangan yang sempurna, ilmu silatnya telah mendarah daging dan berkat latihan samadhi yang tak kunjung henti, dia telah menghimpun kekuatan dalam yang luar biasa sekali, tidak lumrah dimiliki manusia. Tubuhnya, jasmaninya memang nampak lemah, akan telapi, kekuatan sakti yang tersembunyi di tubuhnya bangkit semua dan telah terhimpun sin-kang yang mencapai puncaknya. Gerakan anak panah berikut bendera tua itu aneh sekali, akan tetapi ke manapun senjata ini bergerak, selalu tentu dapat menahan senjata lawan dan begitu terbentur, langsung saja anak panah itu menyambar dan mengirim serangan balasan yang tidak kalah lihainya daripada serangan lawan. Biarpun dikeroyok dua, kakek itu sama sekali tidak pernah terdesak, bahkan dia seolah-olah telah menguasai ilmu lawan. Padahal, ilmu yang dikeluarkan oleh dua orang muda itu adalah ilmu-ilmu yang belum dikenalnya, akan tetapi kematangannya dalam ilmu silat membuat dia dapat melihat intinya dan karenanya gerakan dua orang muda itu tidak mengejutkan hatinya, hanya membuatnya kagum bukan main. “Bagus sekali ilmu pedang kalian, mari kita berlatih dengan tangan kosong!” Setelah berkata demikian, kakek itu menyelipkan anak panah itu di pinggangnya dan menghadapi mereka dengan kedua tangan kosong saja. Melihat ini, Thian Sin otomatis menyimpan pedangnya, dan melihat sikap pemuda ini, Kim Hong juga menyimpan sepasang pedang hitamnya! Diam-diam gadis ini merasa heran sendiri. Ia datang untuk membunuh kakek ini, akan tetapi kenapa sekarang ia menghadapi kakek itu seperti supeknya sendiri mengajaknya berlatih saja? Sebetulnya bukanlah demikian. Seperti juga yang dirasakan oleh Thian Sin, Kim Hong merasa malu di sudut hatinya bahwa menghadapi seorang kakek tua renta yang kelihatan amat lemah ini ia harus menggunakan pengeroyokan. Dan di samping itu, juga ia merasa kagum bukan main melihat kepandaian kakek ini. Oleh karena itu melihat kakek itu menyimpan senjata, mana mungkin ia ada muka untuk menyerang kakek yang bertangan kosong itu dengan pedang? Hal itu tentu akan memalukan sekali, dan karena inilah maka Thian Sin dan ia sendiri juga menyimpan senjata mereka. Bagi Thian Sin, ada hal lain yang mendorongnya menyimpan senjata. Sebetulnya, kalau dibuat perbandingan, pemuda ini lebih lihai bertangan kosong daripada mempergunakan senjata. Hal ini adalah karena dia telah mewarisi banyak ilmu kesaktian yang dipergunakan dengan tangan kosong, antara lain seperti Ilmu Pek-in-ciang dari pendekar Yap Kun Liong, lalu Thi-khi-i-beng dari ayah angkatnya, Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong, belum lagi ilmu silat tinggi seperti Thai-kek Sin-kun, San-in-kun-hoat, Pat-hong Sin-kun dan tenaga Thian-te Sin-ciang. Malah ilmu-ilmu yang diwarisinya dari ayah kandungnya juga ilmu silat tangan kosong yang mengandalkan kaki tangan belaka, seperti Ilmu Hok-liong Sin-ciang dan Hok-te Sin-kun itu. Maka, ketika ditantang untuk bertanding dengan tangan kosong, dengan gembira Thian Sin menyimpan pedangnya yang diturut pula oleh Kim Hong. Terjadilah pertandingan yahg hebat sekali, malah lebih menegangkan daripada ketika mereka mempergunakan senjata tadi. Kalau tadi mereka bertanding dalam jarak agak jauh, kini mereka berkelahi dalam jarak pendek, saling pukul, saling tendang, menangkis dan mengelak dengan kecepatan yang mengagumkan. Kadang-kadang gerakan mereka nampak begitu otomatis seolah-olah tiga tubuh itu telah menjadi satu dan enam batang lengan, enam batang kaki itu digerakkan oleh satu otak saja. Dan Thian Sin menjadi semakin kagum. Ilmu-ilmu silat tinggi telah dikeluarkannya, akan tetapi dia dan Kim Hong tidak mampu mendesak kakek itu. Bahkan senjata rambut panjang Kim Hong tidak dapat mendesak lawan, malah beberapa kali hampir saja ujung rambut itu terkena cengkeraman kakek itu kalau saja Thian Sin tidak cepat membantunya. Kakek itu mentertawakan Kim Hong dan mengejeknya dengan kata-kata, “Senjata khas wanita, tapi curang!” Karena merasa penasaran, setelah lewat hampir seratus jurus belum juga dia mampu mendesak kakek itu, ketika kakek itu menampar ke arah kepalanya, Thian Sin miringkan tubuh, akan tetapi memasang pundaknya sehingga kena ditampar. “Plakk!” “Uuhhhhh... apa ini...? Ahh, Thi-khi-i-beng...?” Kakek itu berseru dan bukan menarik tenaganya malah mengerahkan tenaga sehingga Thian Sin menjadi gelagapan seperti orang yang dimasukkan ke dalam air. Ilmu itu adalah ilmu menyedot tenaga sin-kang lawan, akan tetapi kakek itu membanjirinya dengan tenaga berlebihan sehingga dia tidak dapat menampungnya den otomatis Thian Sin mengembalikan tenaga yang membanjir itu dan menghentikan sedotannya! Kakek itu meloncat ke belakang. “Orang muda, engkau dari Cin-ling-pai?” tanya kakek itu heran. Biarpun tidak pernah mengenal secara pribadi, agaknya kakek ini pernah mendengar ilmu mujijat dari Cin-ling-pai itu. “Masih ada hubungan keluarga!” kata Thian Sin akan tetapi hatinya merasa kecewa karena ternyata Thi-khi-i-beng juga tidak ada gunanya terhadap kakek yang hebat ini. “Akan tetapi yang ini bukan dari Cin-ling-pai, terimalah!” Dan Thian Sin sudah berjungkir balik, kemudian, tiba-tiba dia menghantam dari bawah. Itulah Hok-te Sin-kun yang hebat sekali. Angin pukulan yang dahsyat menyambar dan kakek itu agaknya mengenal ilmu mujijat maka sambil berseru dia memapaki dengan pukulan tangannya. “Desss...!” Tubuh kakek itu terlempar dan nyaris terbanting, sedangkan Thian Sin terpaksa harus berjungkir balik beberapa kali karena pertemuan tenaga itu membuat seluruh tubuhnya tergetar. Wajah kakek itu berubah dan matanya terbelalak. “Ilmu setan...!” Dia menggerutu, dan ketika Kim Hong dan Thian Sin maju lagi, dia berkata dengan nyaring, “Tahan!” “Toan Kim Hong, engkau tidak menghormati bendera pusaka, maka habislah riwayat bendera pusaka perguruan kami, akan tetapi ilmu silatmu juga sudah tidak aseli lagi. Den biarpun salahnya ayahmu sendiri, namun memang aku yang membuat hidup ayahmu menderita. Aku menyesal sekali dan sudah menebus dengan pertapaan, akan tetapi agaknya belum impas kalau belum mati badan tua tak berguna ini. Nah, saksikanlah. Supekmu menebus dosa dan membawa bendera pusaka bersama dan lunaslah sudah!” Tiba-tiba kakek itu mencabut anak panah yang menjadi gagang bendera itu dan sekali menggerakkan anak panah itu, senjata ini amblas memasuki dadanya berikut benderanya dan ujung anak panah itu tembus di punggungnya. Dia terhuyung lalu roboh miring, tak bergerak lagi. Thian Sin dan Kim Hong merasa terkejut sekali sehingga mereka terkesima dan berdiri bengong memandang kepada tubuh kakek yang sudah tewas itu. Setelah kakek itu tewas barulah terasa menyesal dalam hati mereka. Kakek ini memiliki ilmu kepandaian yang hebat bukan main, dan kakek ini tadi jelas tidak menghadapi mereka sebagai musuh melainkan sebagai lawan berlatih belaka. Baru sekarang keduanya mengerti bahwa kalau kakek itu menghendaki, tadi kakek itu tentu sudah dapat merobohkan dan menewaskan mereka. Kakek itu telah mengalah! Dan kini kakek itu telah membunuh diri! Mereka tidak tahu bahwa sebetulnya Gouw Gwat Leng amat mencinta sutenya, yaitu Toan Su Ong. Mereka berdua telah mewarisi ilmu-ilmu silat tinggi dari guru mereka. Sayang sekali bahwa Toan Su Ong kemudian dinyatakan sebagai pemberontak karena terlalu berani menentang kebijaksanaan kaisar. Sebetulnya, kalau kaisar menghendaki, dengan pengerahan bala tentara, apa sukarnya menangkap dan membunuh seorang manusia saja, betapapun lihainya dia itu? Gouw Gwat Long melihat hal ini dan diapun menghadap kaisar dan menyatakan bahwa dialah yang akan mengejar sutenya dan menghalangi sutenya agar tidak memberontak. Dan memang dia melakukan pengejaran. Toan Su Ong tidak berani melawan suhengnya yang menjadi ahli waris bendera pusaka guru mereka, maka diapun terus pergi menyembunyikan diri sampai matinya di Pulau Teratai Merah, terbunuh dalam pertikaian oleh isterinya sendiri. Dan memang inilah yang dikehendaki oleh Gouw Gwat Leng, yaitu agar sutenya tidak sampai dikeroyok oleh bala tentara dan tidak sampai terbinasa oleh kaisar. Akan tetapi, diapun merasa menyesal dan berdosa karena biarpun dia telah menyelamatkan nyawa sutenya, sebaliknya diapun membuat sutenya hidup merana dan menderita, selalu bersembunyi. Penyesalan inilah, ditambah kedukaan bahwa sejak muda ia terpaksa harus berpisah dari sutenya yang tercinta, yang membuat Gouw Gwat Leng menjadi semakin berduka ketika mendengar akan tewasnya sutenya itu. Dia lalu pergi ke Kun-lun-pai, minta kepada para tokoh Kun-lun-pai yang menjadi sahabat baiknya untuk menerimanya menjadi tosu dan memberi pelajaran Agama To kepadanya. Diapun menurunkan beberapa ilmu silat tinggi kepada para pimpinan Kun-lun-pai sehingga dia dianggap sebagai saudara tua dan diperbolehkan untuk bertapa di dalam gua-gua di Kun-lun-san. Ketika puteri sutenya itu menghadapinya sebagai musuh, sampailah Gouw Gwat Leng yang sudah menjadi Jit Goat Tosu itu pada puncak penyesalannya. Puteri sutenya itu sebetulnya merupakan ahli waris tunggal dari ilmu-ilmu perguruan yang berikut bendera pusaka itu. Akan tetapi gadis itu malah menghina bendera pusaka dan menghadapinya sebagai seorang musuh besar yang menyengsarakan kehidupan ayah gadis itu. Maka, untuk menebus penyesalannya, kakek yang sudah tua sekali itu akhirnya menyimpan bendera pusaka ke dalam tubuhnya dan membunuh diri di depan Kim Hong tanpa penyesalan karena diapun sudah puas melihat puteri sutenya itu menjadi seorang gadis yang demikian lihai, berjodoh dengan seorang pemuda yang lihai pula, bahkan seorang pemuda Cin-ling-pai pula. Ketika mendengar gerakan di belakang mereka, Thian Sin dan Kim Hong baru sadar dan memutar tubuh. Mereka melihat bahwa di situ telah berdiri dua orang tosu tua yang bukan lain adalah Kui Yang Tosu dan seorang tosu lain yang juga tinggi kurus akan tetapi wajahnya muram tidak segembira wajah Kui Yang Tosu. Mereka dapat menduga bahwa tentu tosu inilah yang menjadi ketua Kun-lun-pai dan memang benar, tosu itu adalah Kui Im Tosu! Di belakang ketua dan wakil ketua Kun-lun-pai ini berdiri para sute mereka, lalu para murid mereka dari tingkat tertinggi sampai tingkat terbawah. Semua penghuni asrama Kun-lun-pai telah keluar dan menghadapi dua orang muda itu agaknya. “Siancai, siancai, siancai... Saudara tua Jit Goat Tosu telah tewas dalam keadaan yang menyedihkan sekali...” kata Kui Im Tosu sambil memandang ke arah tubuh kurus yang rebah miring itu dengan nada suara penuh kedukaan dan wajahnya semakin muram. “Puluhan tahun lamanya beliau tidak pernah mengganggu siapa atau apapun, tidak akan mau membunuh seekor semut, akan tetapi sekarang tewas oleh kekerasan. Di mana Pendekar Sadis tiba di situ tentu ada bekas tangannya yang kejam,” kata Kui Yang Tosu, kini senyumnya lenyap dari wajahnya yang biasanya gembira itu. “Aku yang datang untuk membunuhnya, dia hanya datang menemani dan membantuku!” kata Kim Hong dengan lantang. “Jit Goat Tosu membunuh diri, kalau tidak mana kalian akan mampu membunuhnya?” kata Kui Yang Tosu. “Akan tetapi bagaimanapun juga, kalian yang telah mendesaknya, sehingga dia membunuh diri.” “Locianpwe, sudah kukatakan bahwa kedatanganku ke sini bukan untuk berurusan dengan Kun-lun-pai, melainkan urusan pribadi dengan Jit Goat Tosu yang masih terhitung supekku. Kami membuat perhitungan lama antara dia dan ayahku, dan sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan Kun-lun-pai. Maka kuminta agar Kun-lun-pai jangan mencampuri urusan pribadi orang lain!” “Siancai... tidak begitu mudah, nona,” kata Kui Yang Tosu yang agaknya lebih pandai bicara daripada suhengnya yang pendiam. “Kami sudah mendengar dan melihat semua. Engkau sebagai murid keponakan telah berani melawan supek, berarti engkau telah mengkhianati bendera pusaka perguruan. Ini termasuk perbuatan jahat sekali. Dan kalian berdua telah menyebabkan kematian seorang saudara angkat kami. Tak mungkin kami mendiamkcan saja kejahatan dilakukan orang di wilayah Kun-lun-pai.” “Habis, kalian mau apa?” tanya Kim Hong, nadanya tidak menghormat lagi dan mengandung tantangan. Kumat lagi sikapnya sebagai Lam-sin yang memandang rendah siapapun juga di dunia ini. “Siancai!” kata Kui Im Tosu. “Kami terpaksa harus menangkapmu untuk dimintakan pengadilan kepada rapat pertemuan para tokoh kang-ouw!” “Singgg!” Kim Hong sudah mencabut pedang hitamnya. “Bagus! Seekor semutpun kalau diinjak pasti balas menggigit, seekor ayampun kalau akan ditangkap pasti melarikan diri dan seekor harimaupun kalau akan dibunuh pasti melawan. Apalagi manusia! Aku Toan Kim Hong tdak berniat memusuhi Kun-lun-pai, akan tetapi kalau ada yang mendesakku, menangkap atau membunuhku, silakan maju. Jangan disangka aku takut terhadap Kun-lun-pai!” “Tangkap mereka!” kata Kui Yang Tosu kepada anak buahnya. Dia tahu bahwa dua orang muda itu lihai sekali, maka dia sendiripun bersama sang ketua sudah siap untuk bantu mengeroyok dan menangkap, walaupun sebagai orang yang berkedudukan tinggi dan tidak tergesa-gesa turun tangan. Dan dia maklum bahwa para murid Kun-lun-pai akan mentaati perintahnya, yaitu menangkap mereka, bukan membunuh. Melihat para tosu dan para murid Kun-lun-pai sudah bergerak, Thian Sin memegang lengan gadis itu. “Jangan lukai atau bunuh orang. Simpan pedangmu!” Dalam kemarahannya, Kim Hong masih dapat diingatkan dan cepat iapun menyimpan kembali sepasang pedangnya, kemudian berdiri saling membelakangi dengan Thian Sin, memandang kepada anak murid Kun-lun-pai yang telah mengepung mereka itu. Ketika para murid Kun-lun-pai itu bergerak maju, keduanya segera mengamuk. Dengan gerakan mereka yang cepat, Kim Hong dan Thian Sin menggerakkan kaki tangan dan merobohkan tanpa membuat mereka terluka parah. Akan tetapi, segera murid-murid yang tingkatnya lebih tinggi sudah menyerbu, membuat mereka berdua berloncatan ke sana-sini sebelum akhirnya membalas dengan tenaga yang lebih kuat. Para anak buah Kun-lun-pai itu, dari murid-murid kepala sampai murid-murid yang tingkatnya paling rendah, menjadi sibuk sekali seperti sekumpulan semut mengeroyok dua ekor jengkerik yang besar dan setiap gerakan jengkerik-jengkerik itu membuat semut-semut yang mengeroyok terlempar ke sana-sini. “Mundur!” Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan berkelebatlah dua bayangan orang. Kiranya Kui Yang Tosu dan Kui Im Tosu sendiri yang telah maju menghadapi dua orang muda itu. Thian Sin terkejut sekali. Dua orang ketua Kun-lun-pai telah maju sendiri! Permusuhan dengan Kun-lun-pai tak dapat dihindarkan lagi! Dan untuk melarikan diri tidaklah mudah karena dengan rapi para murid Kun-lun-pai telah mengurung tempat itu dengan ketatnya. “Ji-wi locianpwe,” kata Thian Sin dengan suara merendah. “Kami dua orang muda sama sekali tidak berniat untuk bentrok dan bermusuhan dengan Kun-lun-pai, mengapa ji-wi tidak membiarkan kami pergi dengan aman?” “Hemm, kalian telah membunuh Jit Goat Tosu dan mengatakan tidak berniat memusuhi kami? Kalau benar kalian berniat baik, menyerahlah agar kami bawa ke depan pertimbangan dan pengadilan para tokoh kang-ouw,” kata Kui Yang Tosu. “Kami bukan penjahat!” bentak Kim Hong. “Kalau terpaksa kami melawan Kun-lun-pai, adalah karena kami didesak!” “Hemm, kalian telah melakukan pembunuhan, masih berani berkata bukan penjahat?” Kui Im Tosu berseru, dan Kui Yang Tosu sudah menerjang maju disambut oleh Kim Hong. Kui Im Tosu juga maju, disambut oleh Thian Sin. Kui Yang Tosu terkejut bukan main ketika tangannya bertemu dengan Kim Hong dan dia merasa betapa seluruh lengannya menjadi tergetar hampir lumpuh. Tak disangkanya bahwa murid keponakan dari mendiang Jit Goat Tosu memiliki tenaga sin-kang yang demikian dahsyatnya. Sebaliknya, dari pertemuan tenaga itupun Kim Hong maklum bahwa ia menghadapi lawan yang berat, maka ia tidak banyak cakap lagi, lalu cepat menyerang dengan kedua pukulan dan kedua kakinya dibantu oleh rambutnya. Kui Yang Tosu bergerak dengan mantap dan tenang, akan tetapi dia terkejut melihat sambaran kuncir rambut yang amat cepat dan kuat itu yang nyaris menotok jalan darah di lehernya. Cepat tangan kirinya bergerak dan terdengar suara berkerotokan nyaring ketika tasbehnya menyambar ke depan menyambut rambut itu. Kui Yang Tosu balas menyerang, namun semua serangannya dapat dielakkan dengan baik oleh Kim Hong dan mereka bertanding dengan amat seru, dan ternyata bahwa tingkat kepandaian mereka seimbang, hal yang amat mengejutkan wakil ketua Kun-lun-pai itu. Sementara itu pertandingan antara Thian Sin dan ketua Kun-lun-pai juga terjadi dengan amat seru dan hebatnya. Angin pukulan menyambar-nyambar ganas dan Thian Sin mendapat kenyataan betapa lihainya ketua Kun-lun-pai ini. Dia merasa repot sekali karena tosu yang bersilat dengan amat tenang itu seolah-olah dilindungi oleh hawa murni yang sukar diterobos, amat kuat sehingga semua serangannya, kalau tidak dapat dielakkan atau ditangkis lawan, selalu membentur tenaga yang membuat serangannya menyeleweng. Akhirnya, secara terpaksa sekali Thian Sin yang tidak ingin bermusuhan dengan Kun-lun-pai itu mengeluarkan ilmu simpanannya. Tiba-tiba dia berjungkir balik dan dengan tenaga dari tanah dia menerjang ke atas dan mempergunakan Ilmu Hok-te Sin-kun. “Hiaaaaattt...!” Dia memekik dengan nyaring sekali seketika bersamaan dengan pekik itu, tubuhnya sudah mencelat dari atas tanah dengan serangan yang amat dahsyat. “Bresss...!” Ketua Kun-lun-pai menangkis dengan kedua lengannya, akan tetapi kakek ini terlempar sampai empat meter dan biarpun jatuh berdiri, akan tetapi wajah kakek ini pucat dan matanya terbelalak, tanda bahwa dia terkejut bukan main menghadapi serangan yang amat luar biasa itu. “Kim Hong, lari...!” teriak Thian Sin. Kim Hong maklum bahwa amat sukarlah melawan dua orang pimpinan Kun-lun-pai itu tanpa merobohkan mereka dengan serangan maut yang amat tidak dikehendakinya, maka tiba-tiba tangan kirinya bergerak dan sinar halus merah menyambar ke arah tubuh jalan darah di tubuh lawan bagian depan. “Siancai...!” Kui Yang Tosu berseru kaget dan cepat mengebut dengan kedua lengan bajunya sehingga sinar merah itu runtuh. Sebatang jarum merah menancap di lengan bajunya. Mempergunakan kesempatan ini, Kim Hong meloncat jauh dan bersama Thian Sin melarikan diri. Para murid Kun-lun-pai hendak mengejar, akan tetapi Kui Im Tosu berseru dengan tenang, “Jangan kejar!” Kui Yang Tosu memperlihatkan jarum merah itu kepada suhengnya. “Suheng mengenal ini?” Kui Im Tosu memeriksa jarum itu. “Hemmm, bukankah jarum seperti ini, juga permainan rambut itu, menjadi ilmu yang terkenal dari datuk sesat bagian selatan yang berjuluk Lam-sin?” Kui Yang Tosu mengangguk-angguk. “Benar, suheng. Jelaslah bahwa Nona Toan puteri mendiang Pangeran Toan Su Ong itu tentu ada hubungannya dengan Lam-sin. Akan tetapi, menurut berita tingkat kepandaian Lam-sin seperti tingkat para datuk lain, jadi tidak banyak berbeda dengan tingkat kita. Dan gadis itu lihai bukan main, agaknya tidak mudah bagi pinto untuk mengalahkannya, agaknya kami setingkat. Kalau ia murid Lam-sin, apakah ia telah mencapai tingkat seperti gurunya?” Kui Im Tosu menggeleng kepala. “Pinto rasa tidak begitu, sute. Menurut perasaan pinto, ia sendirilah Lam-sin itu!” “Ehh...?” Kui Yang Tosu memandang kepada suhengnya dengan heran, “Akan tetapi, bukankah menurut berita Lam-sin adalah seorang nenek yang lihai sekali?” “Seorang nenek yang jarang sekali bertindak sendiri, bukan? Hanya perkumpulannya saja yang bernama Bu-tek Kai-pang yang mewakilinya dan bukankah berita terakhir mengatakan bahwa setelah Pendekar Sadis muncul maka nenek itupun menghliang, dan Bu-tek Kai-pang juga dibubarkan? Kemudian, ke manapun Pendekar Sadis pergi, gadis yang lihai itu ikut, ikut pula menyerbu See-thian-ong, Pak-san-kui dan bahkan Tung-hai-sian? Pinto berpendapat bahwa gadis itulah yang dahulu menjadi Lam-sin, mungkin menggunakan alat penyamaran sebagai seorang nenek.” Sutenya mengangguk-angguk. Kini dia dapat melihat kemungkinan itu dan biasanya, biarpun suhengnya tidak pernah keluar, namun suhengnya memiliki kecerdasan yang luar biasa. “Kita harus mengumpulkan para tokoh pendekar dan membicarakan urusan ini. Tak mungkin sepak terjang Pendekar Sadis dibiarkan saja,” katanya. Kui Im Tosu mengangguk-angguk. “Dia sudah berani mengacau ke sini, dan pula sedikit banyak Cin-ling-pai bertanggung jawab, karena bukankah Pangeran Ceng Han Hduw itu masih ada hubungannya dengan Cin-ling-pai? Menurut kabar yang kita peroleh, dia adalah anak pungut Pendekar Lembah Naga. Nah, kita harus minta pertanggungan jawab para pendekar itu.” Demikianlah, orang-orang Kun-lun-pai lalu mengurus jenazah Jit Goat Tosu kemudian mereka mengirim undangan kepada para tokoh pendekar dan wakil partai-partai persilatan besar untuk membicarakan tentang Pendekar Sadis yang biarpun termasuk pendekar yang menentang orang-orang jahat, namun sepak terjangnya liar dan kekejamannya tidak patut dilakukan oleh seorang pendekar. Di samping itu, juga Kun-lun-pai perlu memberitahukan tentang pembunuhan yang terjadi di Kun-lun-pai dan minta pertanggungan jawab para pendekar yang masih ada hubungannya dengan Pendekar Sadis. Maka, tidak lupa dia mengundang Cin-ling-pai, juga mengirim utusan untuk mengundang Pendekar Lembah Naga! Telah lama sekali kita tidak bertemu dengan Cia Han Tiong, putera tunggal Pendekar Lembah Naga itu. Seperti telah diketahui, Han Tiong merasa berduka sekali ketika adik angkat yang amat dicintainya, yaitu Thian Sin, pergi meninggalkan Lembah Naga. Diapun mulai merantau dan mencari adik angkatnya, juga mencari dara yang dicintanya dan yang telah ditunangkan dengannya, yaitu Ciu Lian Hong. Akhirnya, dia berhasil menemukan Ciu Lian Hong di selatan, bersama datuk selatan Lam-sin karena dara itu selain telah ditolong oleh datuk ini, juga telah menjadi muridnya. Dengan bantuan ayah bundanya, Han Tiong berhasil minta kembali tunangannya itu dan Lian Hong ikut pulang bersama calon mertuanya ke Lembah Naga. Adapun Han Tiong sendiri belum mau pulang, hendak mencari adik angkat yang amat disayangnya itu. Akan tetapi, berbulan-bulan lamanya dia mencari dengan sia-sia saja. Sejak adik angkatnya itu lenyap sama sekali seperti ditelan bumi. Hal ini tidak mengherankan karena pada waktu dia mencari-cari itu, Thian Sin sedang tekun bertapa dan melatih diri dengan ilmu peninggalan ayah kandungnya, di Pegunungan Himalaya. Setelah merantau hampir setahun lamanya dan tidak berhasil menemukan adik angkatnya, akhirnya dengan hati berat karena kecewa dan berduka Han Tiong pulang ke Lembah Naga, disambut dengan gembira oleh ayah bundanya dan juga tunangannya. Melihat wajah Han Tiong yang muram dan berduka, ayahnya menghibur, “Han Tiong, sudahlah jangan terlalu memikirkan adikmu. Dia sudah cukup dewasa, bukan anak kecil lagi. Kalau dia mau mengambil jalannya sendiri, bagaimana kita dapat menghalanginya? Biarkanlah saja, kelak kalau dia teringat kepada kita, tentu dia akan kembali juga.” “Ucapan ayahmu benar, Han Tiong. Watak adikmu itu agak keras dan manja maka kalau terlalu kauperlihatkan rasa sayangmu kepadanya, dia akan menjadi semakin manja kelak hanya akan menimbulkan hal-hal yang memusingkan saja,” sambung ibunya. “Justeru karena itulah, ibu, karena mengingat betapa keras hatinya, maka aku merasa khawatir sekali. Dia masih seperti anak kecil saja, belum mampu berpikir secara mendalam dan memandang jauh,” kata Han Tiong menarik napas panjang. “Habis, setelah engkau tidak berhasil mencarinya, apa yang dapat kaulakukan, Han Tiong?” tanya ayahnya. “Kalau saja aku dapat menemukan dia, tentu aku akan dapat membujuknya untuk pulang dulu, ayah. Aku hanya ingin melihat dia berbahagia, dan hanya kalau dia dekat dengan kitalah maka ada yang mengamati dan menasihatinya.” Ibunya tersenyum, diam-diam kagum atas besarnya kasih sayang dalam hati puteranya. “Sudahlah, ayahmu benar, Thian Sin bukan anak kecil lagi. Dan setelah kami menanti-nanti engkau pulang, kami berbahagia melihat engkau pulang dalam keadaan sehat, anakku. Dan, perkabungan Lian Hong juga sudah hampir habis dan begitu ia tidak berkabung lagi, kita dapat merayakan pernikahan kalian.” “Kata-kata ibumu memang tepat. Pernikahan itu tidak mungkin dapat ditunda lebih lama lagi,” sambung ayahnya. Mendengar betapa percakapan menjurus ke urusan pernikahan, Lian Hong menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali dan ia lalu berpamit untuk menyiapkan makan siang. Kedua orang mertuanya memandang sambil tersenyum ketika gadis itu tergesa-gesa meninggalkan ruangan itu. “Hong-ji, engkau tidak tahu betapa baiknya tunanganmu itu. Ia anak yang baik sekali, manis budi dan kami sayang sekali kepadanya,” kata ibunya. “Hemm, yang lebih dari itu, ia amat mencintaimu Han Tions,” sambung ayahnya. “Kau tidak percaya?” kata ibunya ketika melihat puteranya memandang kepada ayahnya. Dia tidak pernah membicarakan engkau, akan tetapi aku tahu bahwa setiap hari ia mengharapkan kedatanganmu. Kau tahu, setiap malam jam dua balas tengah malam ia pasti bersembahyang di pekarangan, bersembahyang untukmu, Han Tiong! Bersembahyang untuk keselamatanmu dan agar engkau lekas pulang dalam keadaan selamat.” Keharuan mencekam hati Han Tiong dan diapun menunduk. Keharuan disertai kebahagiaan hati. Benarkah Lian Hong mencintanya begitu mendalam? Dan dia selama ini mempunyai keinginan dan harapan gila, yaitu ingin menjodohkan Lian Hong dengan Thian Sin, kalau hal itu akan membahagiakan hati Thian Sin! Kini baru terbuka matanya bahwa dia hanya memikirkan Thian Sin saja dan dia lupa bahwa Lian Hong juga seorang manusia yang berhak menentukan pilihannya sendiri. Lian Hong bukan boneka yang dapat dioper-operkan begitu saja! “Menurut perhitungan kami, tiga bulan lagi Lian Hong bebas dari perkabungan dan kita dapat melangsungkan pernikahan kalian,” kata pula ibunya. “Kuharap saja Sin-te sudah pulang pada waktu itu, ibu.” “Hemm, kenapa begitu?” tanya ayahnya. “Ayah, kalau tidak ada kehadiran Sin-te, tentu aku merasa bahwa kebahagiaanku itu tidak lengkap. Aku akan bergembira, akan tetapi kalau teringat kepadanya, mungkin dia terancam bahaya dan malapetaka, bagaimana hatiku dapat berbahagia?” Ayah ibunya saling pandang, dan ayahnya berkata, “Ah, anak itu hanya membikin pusing saja. Biarlah aku akan menyuruh beberapa orang muda dusun di luar lembah untuk pergi menyelidiki kalau-kalau mereka akan berhasil menemukan atau mendengar tentang Thian Sin. Biarpun harapannya hanya tipis, namun hatinya agak lega mendengar janji ayahnya itu. Hatinya terhibur, apalagi di situ terdapat Lian Hong yang dicintanya dan setelah dia pulang, maka pergaulannya dengan Lian Hong semakin akrab. Gadis itu memang manis budi, bukan hanya manis wajahnya, dan dari gerak-geriknya, ucapannya, senyumnya, pandang matanya, terasa benar oleh Han Tiong bahwa memang gadis itu amat mencintanya! Ah, betapa berbahagia hidupnya, kalau saja Thian Sin juga berada di situ! Kurang lebih dua bulan kemudian, seorang di antara pemuda dusun itu pulang dan membawa kabar tentang munculnya seorang pendekar yang berjuluk Pendekar Sadis! Mendengar berita tentang sepak terjang pendekar itu yang membunuh tokoh-tokoh pengemis Hwa-i Kai-pang, seketika tahulah Han Tiong bahwa yang disohorkan sebagai Pendekar Sadis itu pastilah Thian Sin orangnya! “Belum tentu dia, Tiong-ji,” kata ibunya dengan khawatir melihat kegelisahan puteranya. “Siapa lagi, ibu, kalau bukan Sin-te? Sudah pasti dia orangnya dan aku akan mencarinya dan akan mencegahnya terseret lebih jauh ke dalam kekejaman yang terdorong oleh sakit hatinya.” Ayah bundanya, juga tunangannya, tidak dapat menahan pemuda itu untuk pergi lagi mencari adik angkatnya yang diduganya telah menjadi seorang tokoh kejam yang dijuluki Pendekar Sadis. Ibunya hendak berkeras menahan, akan tetapi Cia Sin Liong mencegah isterinya, dan membiarkan pemuda itu pergi dan memberi waktu enam bulan. Setelah pemuda itu pergi, barulah Sin Liong berkata kepada isterinya dan calon mantunya yang menangis dan saling rangkul itu. “Sudahlah, tidak perlu ditangisi. Han Tiong adalah seorang laki-laki sejati yang mencinta adiknya dan watak seperti itu amat baik. Kalian sepatutnya berbangga akan dia. Andaikata kita larang, dia tentu akan menjadi berduka. Biarlah dia berhasil menemui Thian Sin lebih dulu, agar hatinya tenteram dan pernikahan dapat dilangsungkan dalam keadaan gembira.” Akan tetapi, baru satu bulan kemudian, Cia Sin Liong terkejut menerima surat undangan dari Kun-lun-pai yang mengundangnya untuk menghadiri pertemuan para tokoh pendekar untuk membicarakan Pendekar Sadis Ceng Thian Sin dan minta pertanggungan jawab keluarga pendekar itu yang telah berani mengacau di Kun-lun-pai dan membunuh saudara tua dari para ketua Kun-lun-pai. Tentu saja Cia Sin Liong merasa terkejut bukan main dan setelah memesan kepada calon mantunya untuk tinggal di Istana Lembah Naga, dia bersama isterinya lalu berangkat karena isterinya berkeras mau ikut karena merasa khawatir akan keadaan Han Tiong yang belum ada beritanya. Sementara itu, di dalam perjalanannya sambil mencari keterangan, Han Tiong mendengar sepak terjang yang hebat dari Pendekar Sadis. Betapa pendekar itu membunuh seorang pangeran di kota raja, membunuh pula Tok-ciang Sian-jin dan mengacau Pek-lian-kauw. Yang lebih mengejutkan hatinya adalah ketika dia mendengar betapa Pendekar Sadis yang kini sudah dikenal orang sebagai putera Pangeran Ceng Han Houw itu telah membasmi See-thian-ong dan anak buahnya, juga telah mengamuk dan membinasakan Pak-san-kui dan murid-muridnya! Tentu saja Han Tiong merasa terkejut bukan main. Bagaimana adik angkatnya dapat menjadi selihai itu, mengalahkan dan membunuh para datuk? Juga cara-cara kejam yang dipergunakan oleh Pendekar Sadis membuat hatinya berduka sekali dan dia makin mempercepat perjalanannya agar dapat segera bertemu dengan adiknya. Ketika dia mendengar tentang sepak terjang Pendekar Sadis di Kun-lun-pai yang beritanya cepat tersiar di seluruh kang-ouw itu, dia makin terkejut dan cepat pergi menyusul adiknya ke barat. Demikian tekun sekali ini Han Tiong menyelusuri jejak adik angkatnya dan karena nama Pendekar Sadis sedang menjadi buah bibir semua orang kang-ouw, lebih mudah baginya kini mencari adiknya sebagai pendekar itu daripada ketika dia mencari sebagai Thian Sin yang tidak dikenal orang. Maka, tidak mengherankanlah kalau berkat ketekunannya ini pada suatu pagi dia berhasil berhadapan dengan Thian Sin dan Toan Kim Hong! Ketika itu, Thian Sin dan Kim Hong sedang menuruni sebuah bukit sambil bergandengan tangan. Dua sejoli ini telah dua hari tinggal di puncak bukit itu, puncak yang amat indah di mana terdapat hutan yang kaya akan binatang buruan dan pohon-pohon yang buahnya dapat dimakan. Mereka berdua tinggal di situ, seperti sepasang pengantin baru yang setiap saat bermesraan dan berkasih sayang, bermain cinta sepuasnya tanpa ada orang lain yang mengganggu mereka. Dan pada pagi hari itu mereka menuruni puncak sambil bergandengan tangan. Setelah menuruni puncak, barulah menjadi persoalan dalam pikiran mereka ke mana akan pergi. “Eh, ke manakah kita menuju sekarang...?” tanya Kim Hong. Thian Sin merangkul leher kekasihnya dan sambil berangkulan mereka berjalan terus perlahan-lahan. “Kekasihku, aku sudah mempunyai rencana untuk itu, untuk masa depan kita.” Kim Hong juga tertawa. “Akupun sudah mempunyai rencana yang baik sekali.” “Bagus!” kata Thian Sin. “Kita berdua sudah mempunyai rencana, khawatir apa lagi?” “Tapi,” kata Kim Hong. “Bagaimana kalau rencana kita berbeda dan saling bertolak belakang?” “Ah, mana bisa? Kita kan sudah sepaham, senasib sependeritaan, dan kita saling mencinta, bukan?” kata Thian Sin. “Benar, Thian Sin. Untuk membuktikan cintamu kepadaku, engkay tentu akan menyetujui rencanaku.” “Dan kalau memang benar cinta padaku seperti aku cinta padamu, Kim Hong, kau tentu tidak akan menentang rencanaku untuk hari depan kita yang amat baik.” Kim Hong melepaskan diri dari rangkulan dan mundur beberapa langkah, lalu memandang pemuda itu dengan alis berkerut. “Nah, nah hal ini perlu dibereskan sekarang juga. Coba katakan bagaimana rencanamu, baru aku akan menceritakan rencanaku.” “RENCANAKU baik sekali. Kita memerlukan tempat untuk hidup tenteram, Kim Hong. Setelah kita terlibat dalam pertengkaran dengan Kun-lun-pai, aku merasa tidak enak sekali dan kita perlu beristirahat di tempat yang aman. Dan satu-satunya tempat yang aman bagiku adalah Lembah Naga. Kita pergi ke Lembah Naga...” “Apa? Ke tempat tinggal Pendekar Lembah Naga?” Kim Hong bertanya dan nampak terkejut, matanya terbelalak memandang kekasihnya itu. “Mengapa tidak? Pendekar Lembah Naga adalah ayah angkatku, dan Cia Han Tiong, putera tunggal mereka adalah kakak angkatku yang amat kuhormati dan kucinta. Engkau akan merasa seperti berada di rumah sendiri, antara keluarga sendiri. Mereka adalah keluarga yang terhormat, keluarga gagah perkasa dan budiman...” “Tidak! Aku tidak akan ke sana!” Kim Hong berseru marah, teringat betapa ketika masih menjadi Lam-sin, ia pernah ditolak untuk berkenalan dengan keluarga itu. “Dan di sana bertemu dengan gadis yang kaucinta itu, Ciu Lian Hong?” “Ah, mengapa engkau berkata demikian? Yang kucinta adalah engkau, dan dara itu telah menjadi jodoh kakak angkatku, mungkin sekarang telah menjadi isterinya. Percayalah, Kim Hong. Keluarga Cia akan menerimamu dengan manis budi kalau mereka mendengar bahwa engkau adalah kekasihku, tunanganku. Dan kita sekalian minta doa restu mereka untuk dapat berjodoh...” “Apa? Maksudmu menjadi suami isteri?” “Habis, apa lagi? Bukankah kita sudah menjadi suami isteri? Tinggal pengesahannya saja, tinggal upacara pernikahannya saja.” “Tidak! Urusan pernikahan adalah urusan kelak. Kalau kita memang menganggap perlu, kita menikah, kalau tidak ya tidak.” “Apa... apa maksudmu?” “Lupakah engkau, Thian Sin, ketika pertama kali kita bertemu, sudah kunyatakan bahwa aku menyerahkan diri bukan untuk menjadi isterimu melainkan untuk memenuhi sumpahku kepada ibuku? Kalau kemudian kita saling jatuh cinta, itu adalah urusan sama kita. Sedangkan pernikahan, secara umum, berarti hanya pengakuan saling mencinta kita itu kepada umum. Kalau kita tidak membutuhkan umum itu? Asal kita saling mencinta, apa hubungannya dengan umum, apakah cinta kita itu disahkan, dirayakan atau tidak? Yang penting bukan pernikahan itu, melainkan tempat kita hidup selanjutnya. Aku tidak mau di Lembah Naga.” Thian Sin merasa penasaran. “Habis, kalau menurut rencanamu, di mana kita harus mengasingkan diri?” “Ada suatu tempat yang paling baik, yaitu di Pulau Teratai Merah!” “Hemmm, tempat ayah dan ibumu mengasingkan diri berdua sampai mati itu?” “Ya, apa salahnya? Tempat itu cukup indah, tanahnya subur, dan kita dapat berhubungan dengan dunia luar melalui laut, hanya berlayar selama setengah hari. Di sana aman, kita takkan terganggu...” “Dan begitu amannya sampai ayah bundamu cekcok dan saling bunuh?” “Thian Sin! Kalau engkau tidak maupun tidak mengapa, tidak perlu engkau mencela ayah bundaku, keparat!” “Eh, engkau memaki?” “Ya, aku memaki karena engkau memualkan perut, menggemaskan. Habis, kau mau apa?” “Engkau makin kurang ajar, Kim Hong!” “Eh, kurang ajar? Kaukira aku takut padamu? Kaukira aku ini apamu, harus taat kepadamu, ya?” Setelah berkata demikian, Kim Hong meloncat ke depan menampar dengan amat kerasnya. Thian Sin menangkis sambil mengerahkan tenaganya. “Plak!” Tangkisan yang tidak disangka oleh Kim Hong itu membuat lengan dara itu terasa nyeri dan iapun menjadi semakin marah. Dengan mata berlinang iapun lalu menyerang kalang kabut, menyerang dengan sungguh-sungguh, terdorong hati yang marah. Thian Sin terpaksa melayani karena diapun sudah marah. Dua orang muda itu kini saling serang dengan ganas dan seru, lupa bahwa baru beberapa jam yang lalu mereka itu saling mencumbu rayu, dan saling menumpahkan rasa sayang masing-masing dengan hati penuh kemesraan! Tingkat kepandaian kedua orang muda ini memang seimbang, dan andaikata mereka berdua itu saling serang untuk saling membunuh juga, kiranya Thian Sin hanya akan menang setelah lewat waktu yang cukup lama. Apalagi kini mereka saling serang hanya karena terdorong rasa marah, maka perkelahian itu seru sekali dan agaknya keduanya tidak mau saling mengalah. Debu mengepul di sekeliling mereka dan kedua lengan mereka telah terasa nyeri dan matang biru karena mereka saling tangkis dengan pengerahan sin-kang sekuatnya, walaupun mereka tidak mempunyai niat untuk saling bunuh. Keunggulan Thian Sin dalam tenaga sin-kang diimbangi oleh keunggulan serangan Kim Hong yang dibantu oleh rambutnya yang amat lihai. Beberapa kali Thian Sin sempat terdesak oleh totokan-totokan yang dilakukan dengan kuncir rambut itu. Lebih dari lima puluh jurus mereka berkelahi dan keduanya menjadi semakin marah karena tidak mau saling mengalah, menganggap bahwa masing-masing sudah saling membenci. Tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu ada seorang pemuda terjun ke dalam medan perkelahian itu sambil membentak nyaring, “Perempuan kejam, jangan ganggu adikku!” Orang ini bukan lain adalah Cia Han Tiong! Dia telah menemukan jejak adiknya dan cepat melakukan pengejaran dan di tengah jalan dia melihat betapa Thian Sin sedang saling serang dengan seorang wanita yang lihai bukan main. Dia melihat betapa adiknya itu nampak sibuk dan terdesak menghadapi totokan-totokan kuncir rambut yang amat berbahaya. Karena gerakan wanita itu amat cepat dan rambutnya merupakan bayangan hitam menyambar-nyambar, maka Han Tiong tidak dapat melihat wajah wanita itu dengan jelas, hanya mengira bahwa tentu wanita itu seorang wanita iblis jahat maka menggunakan senjata yang demikian aneh dan mengerikan. Begitu dia terjun ke dalam pertempuran, dia sudah mengulur tangan hendak mencengkeram bayangan hitam rambut itu! Kim Hong terkejut bukan main. Rambutnya hampir kena dicengkeram pendatang baru ini, maka ia mengelak ke samping sambil menggerakkan kepala menarik kembali kuncirnya, dan kakinya menendang dengan gerakan kilat ke arah pusar orang yang baru datang itu. Han Tiong terkejut, tidak mengira bahwa gerakan wanita itu sedemikian cepatnya, maka diapun menangkis dengan lengan kanannya. “Dukkk!” Akibatnya, tubuh Han Tiong tergetar akan tetapi kaki yang menendang itupun terpental. Han Tiong makin kaget karena sekarang dia dapat melihat bahwa wanita itu sama sekali bukan merupakan seorang wanita iblis yang mengerikan, melainkan seorang dara muda yang amat cantik jelita dan manis, akan tetapi yang nampak marah bukan main. Juga Kim Hong mengenal Han Tiong putera Pendekar Lembah Naga yang pernah dilihatnya ketika ia masih menjadi Lam-sin itu. Han Tiong yang mengira bahwa wanita itu adalah musuh adik angkatnya, dan tahu bahwa wanita itu lihai sekali, sudah maju menyerang lagi. “Dukkk!” Serangannya ditangkis oleh Thian Sin yang sudah meloncat maju ke depan. “Tiong-ko, tahan, jangan serang, ia adalah teman sendiri!” Han Tiong kaget, lalu menjura ke arah wanita itu. “Harap maafkan saya.” Kemudian dua orang pemuda itu saling pandang. Sampai lama mereka hanya saling pandang dan seperti didorong oleh sesuatu yang amat kuat, keduanya lalu saling tubruk dan saling rangkul. “Sin-te...!” “Tiong-ko...!” Sampai lama mereka berangkulan seperti itu dan ketika mereka saling melepaskan, mata kedua orang pemuda ini menjadi basah. Mereka saling pandang dengan senyum tapi mata mereka basah, dan saling berpegangan tangan. Baru terasa oleh mereka betapa di antara mereka terdapat getaran kasih sayang yang amat besar. “Sin?te, mengapa kau meninggalkan kami begitu lama tanpa berita?” Han Tiong menegur dengan suara mengandung penyesalan. Thian Sin menunduk, merasa bersalah. Berhadapan dengan kakaknya ini, lenyaplah semua keangkuhannya, dan dia selalu merasa kecil, selalu merasa betapa dia harus mentaati kakaknya ini. “Maafkan Tiong-ko, aku... aku harus melaksanakan urusan pribadiku... yang berhubungan dengan mendiang ayah...” “Hemm, membalas dendam, ya? Melepas dendam hati sepuasnya dan menghukum musuh-musuh secara keji sekali sehingga engkau dijuluki orang Pendekar Sadis?” “Tiong-ko, bukan keinginanku berjuluk demikian. Aku memang menghukum mereka, membunuh mereka yang kuanggap jahat, untuk memuaskan dendam hatiku yang bertumpuk-tumpuk. Aku membunuh mereka semua yang telah menyebabkan kematian ayah bundaku. Salahkah itu, Tiong-ko?” Kim Hong mendengarkan dengan penuh keheranan. Suara kekasihnya itu kini seperti anak kecil yang minta dikasihani! “Sin-te, aku tidak menyalahkan kalau engkau mengandung sakit hati mengingat akan kematian orang tuamu, dan memang sudah menjadi tugasmu sebagai seorang pendekar untuk menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan. Akan tetapi, kalau engkau melakukan penentangan itu dengan hati penuh kebencian lalu melakukan kekejaman, lalu apa bedanya antara mereka? Kebenaran yang dibela dengan kekejaman bukanlah kebenaran lagi, adikku, melainkan menjadi kejahatan pula! Tujuan tidak menentukan, akan tetapi kenyataannya terletak pada pelaksanaan. Kalau pelaksanaannya buruk, maka tujuannyapun tak dapat dinamakan baik. Kalau caranya kotor, maka tujuannyapun tentu tidak bersih. Tak mungkin tujuan bersih dicapai dengan melalui cara yang kotor. Seorang pendekar yang kejam bukanlah pendekar lagi namanya, melainkan seorang penjahat.” Hening sejenak, dan akhirnya, dengan lemah Thian Sin mencoba untuk membela diri. “Kalau begitu, apakah aku harus mengampuni mereka semua itu, Tiong-ko?” “Apa salahnya mengampuni orang yang pernah melakukan penyelewengan dalam hidupnya kalau memang dia itu ingin kembali ke jalan benar dan sudah insyaf akan penyelewengannya? Adikku yang baik, bukalah mata dan lihatlah kenyataan di dunia ini. Siapakah orangnya yang tidak pernah melakukan penyelewengan yang dinamakan kesalahan atau dosa? Penyelewengan dalam hidup sama dengan sakit, walaupun bukan badannya yang sakit, melainkan batinnya. Setiap orang tentu pernah dilanda penyakit ini, baik badan maupun batinnya. Kalau ada orang yang melakukan penyelewengan, berarti dia itu baru sakit, apakah kita harus membunuhnya saja, menyiksanya untuk memuaskan hati kita? Bukankah sepatutnya kalau kita mengulurkan tangan membantunya keluar dari jurang kesesatannya, membantunya sembuh dari penyakitnya? Ingatlah, orang yang sakit itu sewaktu-waktu dapat sembuh. Orang yang tadinya menyeleweng dan dianggap jahat tidak selamanya demikian, sekali waktu dapat saja dia menjadi orang baik atau orang waras. Sebaliknya, yang sedang dalam keadaan sehat jangan sekali-kali memandang rendah kepada orang yang sedang sakit, karena yang sehat itu sewaktu-waktu dapat saja jatuh sakit atau menyeleweng.” Kim Hong ikut mendengarkan dan hatinya tersentuh. Iapun merasa bahwa ia pernah menyeleweng, bahkan lebih dari penyelewengan biasa. Ia pernah menjadi Lam-sin, menjadi datuk kaum sesat di dunia selatan, bahkan membentuk Bu-tek Kai-pang yang menjagoi seluruh dunia selatan. Pernah membiarkan anak buahnya melakukan kesewenang-wenangan mengandalkan kepandaian, pernah melakukan kejahatan apapun juga. Akan tetapi semenjak ia bertemu dengan Thian Sin, semenjak ia menanggalkan penyamarannya sebagai Lam-sin, ia seolah-olah hidup di dunia lain. Iapun ingin menjadi orang sehat, bahkan lebih dari itu, ia ingin menjadi pendekar! Maka semua kata-kata pemuda putera Pendekar Lembah Naga itu terasa benar oleh sanubarinya. Ia sendiripun bukan keturunan penjahat! Ayahnya adalah seorang pangeran dan ibunya seorang pendekar wanita! “Ah, Tiong-ko, betapa aku merindukan semua kata-kata dan nasihatmu selama ini...” Akhirnya terdengar Thian Sin mengeluh. “Akan tetapi, apa hendak dikata, semua itu telah kulakukan, Tiong-ko, terdorong oleh rasa sakit hatiku yang bertumpuk-tumpuk. Semua telah terlewat, lalu apa yang dapat kulakukan?” “Yang sudah-sudah memang tak dapat diperbaiki kembali, Sin-te. Akan tetapi aku mendengar bahwa akhir-akhir ini engkau juga telah menyerbu Kun-lun-pai. Benarkah berita yang kudengar itu? Bahwa engkau telah membunuh seorang tokoh Kun-lun-pai yang sudah tua dan sedang bertapa?” Thian Sin melirik ke arah Kim Hong, melihat dara itu diam mendengarkan diapun mengangguk. “Ahh, Sin-te... Sin-te...! Engkau ini pendekar bagaimana? Apakah engkau tidak tahu bahwa Kun-lun-pai adalah perguruan dan perkumpulan silat para pendekar yang terkenal di dunia kang-ouw? Yang menyerbu Kun-lun-pai, pantasnya hanya para penjahat! Bagaimana engkau sampai bisa memusuhi Kun-lun-pai, Sin-te? Kau tahu, sekarang Kun-lun-pai hendak mengadakan pertemuan para pendekar untuk menuntut pertanggungan jawab dan mau tidak mau, ayah kita tentu akan terbawa-bawa. Sin-te, seorang pendekar harus berani mempertanggungjawabkan semua perbuatannya. Dan aku ingin agar engkau, sebagai adikku yang tercinta, juga mau mempertanggungjawabkan perbuatanmu terhadap Kun-lun-pai!” “Maksudmu bagaimana, Tiong-ko?” “Mari kau ikut bersamaku menghadap para pimpinan Kun-lun-pai dan pertemuan antara para pendekar itu, untuk mempertanggungjawabkan perbuatanmu.” “Ah, tidak mungkin, Tiong-ko. Aku tidak mungkin menghadap mereka!” Thian Sin menolak dengan suara terkejut sekali. Menghadap pimpinan Kun-lun-pai sama saja dengan mencari mati! “Engkau harus, Sin-te! Dan aku akan menanggungmu, aku akan membelamu, kalau perlu aku akan membelamu dengan nyawaku. Akan tetapi, mati atau hidup, kita harus tetap bersikap sebagai seorang pendekar yang berani bertanggungjawab atas semua perbuatannya!” “Tidak, Tiong-ko, aku tidak mau...” Han Tiong maju selangkah. “Sin-te mungkin ilmu kepandaianmu sudah jauh melampaui tingkatku, akan tetapi adalah menjadi kewajibanku sebagai pendekar, terutama sekali sebagai kakakmu yang mencintamu, untuk menyadarkanmu dan kalau perlu aku akan memaksamu untuk pergi bersamaku menghadap ke Kun-lun-pai.” Thian Sin memandang kakaknya dengan muka berubah dan mata terbelalak. “Maksud... maksudmu...?” “Kalau engkau tidak mau ikut dengan suka rela, aku akan menggunakan kekerasan, menawanmu dan membawamu menghadap dalam pertemuan para pendekar itu, atau... biarlah aku tewas dalam tanganmu demi membawamu ke jalan yang benar, adikku!” “Tidak, Tiong-ko... engkau tidak mungkin...” Akan tetapi Han Tiong sudah menerjang maju untuk menotok jalan darah di kedua pundak adiknya dan karena dia tahu benar akan kelihaian adiknya itu, begitu menyerang dia sudah mempergunakan ilmu andalannya, yaitu It-sin-ci, ilmu menotok yang mempergunakan satu jari. Ilmu ini hebat bukan main dan jarang ada lawan yang mampu menghindarkan diri dari serangan It-sin-ci. Akan tetapi pada waktu itu, tingkat kepandaian Thian Sin sudah amat tinggi, tidak kalah lihainya dibandingkan dengan kakak angkatnya, maka dengan tidak begitu sukar dia berhasil menangkis totokan-totokan itu sambil meloncat ke belakang. “Tidak, Tiong-ko, jangan...!” Akan tetapi Han Tiong terus mendesak dan Thian Sin yang tidak mau melawan kakaknya hanya mengelak, menangkis sambil mundur terus. Melihat ini tiba-tiba Kim Hong meloncat ke depan dan ia menangkis totokan berikutnya sambil membentak, “Tahan dulu!” “Dukk!” Kembali Han Tiong mengadu tenaga dengan Kim Hong dan sekali ini, Kim Hong yang menangkis dan kembali keduanya merasa tergetar oleh kekuaten lawan. “Nona, urusan kami adalah urusan kakak dan adik, tidak perlu dicampuri oleh orang luar!” “Cia Han Tiong taihiap, aku bukanlah orang luar! Bahkan dalam urusan Kun-lun-pai, akulah yang menyerbu ke sana, dan akulah yang memusuhi pertapa itu. Thian Sin hanya kumintai bantuan saja, jadi akulah pula yang bertanggung jawab, bukan dia!” Mendengar ucapan ini, tentu saja Han Tiong menjadi terkejut dan memandang kepada adik angkatnya dengan penuh perhatian dan alis berkerut ketika dia bertanya, “Sin-te, apa artinya ini? Siapakah nona ini?” “Ia... ia adalah tunanganku, Tiong-ko...” “Ahh...!” Seketika wajah Han Tiong berseri gembira dan dia cepat menoleh dan memandang kepada Kim Hong penuh perhatian. Makin giranglah hatinya ketika dia mendapat kenyataan betapa nona itu memang sungguh amat cantik setelah kini dia memandang dengan jelas, cantik jelita tidak kalah dibandingkan dengan Lian Hong! “Begitukah? Kionghi, Sin-te, kiong-hi...! Ah, aku girang sekali... dan suara nona... seperti... pernah aku mendengarnya!” Kim Hong tersenyum dan nampak semakin manis. “Memang sebelumnya pernah kita saling bertemu, taihiap.” Thian Sin hendak memberi isyarat agar kekasihnya jangan memperkenalkan dirinya, akan tetapi Kim Hong yang masih mendongkol karena pertengkarannya dengan Thian Sin tadi, melanjutkan, “Mungkin taihiap teringat kalau kukatakan bahwa tunangan taihiap, Nona Ciu Lian Hong, pernah menjadi muridku...” Han Tiong terkejut dan terbelalak heran memandang wajah nona itu. Kini dia teringat! Memang, suara nona ini sama benar dengan suara nenek datuk kaum sesat di selatan itu, yaitu Nenek Lam-sin yang lihai! Tentu saja dia tidak percaya dan berkata, “Tapi... tapi... Hong-moi ditolong dan menjadi murid Nenek Lam-sin...” “Semenjak bertemu dengan adikmu, taihiap, nenek Lam-sin sudah tidak ada lagi dipermukaan bumi ini, yang ada hanyalah aku, Toan Kim Hong.” Han Tiong masih belum yakin benar dan dia menoleh kepada adiknya, diguncang-guncangnya. “Apa artinya ini, Sin-te? Apa artinya ini?” Thian Sin memegang tangan kakaknya, “Tiong-ko, jangan kauserang aku lagi, sampai matipun aku tidak mungkin mau melawan. Marilah kita bicara baik-baik dan dengarkan ceritaku. Yang menjadi Nenek Lam-sin itu adalah nona ini, Toan Kim Hong dan dia telah menjadi kekasihku, tunanganku, isteriku...” Pemuda itu menarik tangan kakaknya diajak duduk di atas padang rumput tak jauh dari tempat itu, diikuti oleh Kim Hong yang tersenyum melihat betapa Han Tiong kini menurut saja ditarik adiknya, tidak lagi marah-marah seperti tadi. Dengan panjang lebar Thian Sin lalu menceritakan segala pengalamannya, tidak ada yang dirahasiakan kepada kakak angkatnya itu. Betapa dia pernah gagal membalas kepada See-thian-ong dan betapa dia telah mempelajari ilmu-ilmu peninggalkan ayah kandungnya di Himalaya. Diceritakannya ketika dia membalas dendam kepada semua musuh-musuh orang tuanya, dan juga musuh-musuh yang telah membuat keluarga Ciu terbinasa. Betapa dia bertemu dengan Lam-sin yang kemudian menjadi Kim Hong dan menjadi isterinya dan dibantu oleh wanita itu dia berhasil membunuh See-thian-ong dan Pak-san-kui berikut semua muridnya. “Memang dalam dendam dan sakit hatiku, aku berlaku kejam terhadap mereka, Tiong-ko. Juga para penjahat yang bertemu denganku, kubasmi secara kejam. Aku sakit hati sekali kepada mereka, sakit hati sejak orang tuaku terbunuh, sampai ketika keluarga Ciu terbasmi. Diam-diam aku sudah bersumpah untuk memhasmi semua penjahat di dunia ini!” Han Tiong mendengarkan dengan penuh perhatian dan kadang-kadang menahan napas ketika adiknya menceritakan cara adiknya itu menyiksa dan membunuh para penjahat dan musuh besar itu. Lalu dia berkata, “Akan tetapi, engkau telah membunuh Pangeran Toan Ong yang terkenal budiman...” “Itu merupakan kesalahanku mudah terbujuk fitnah seorang wanita jahat,” katanya dan diapun terang-terangan menceritakan tentang pertemuannya dengan Kim Lan dan betapa dia dibohongi Kim Lan sehingga membunuh Toan Ong. Kemudian betapa setelah tahu akan rahasia Kim Lan dia lalu merusak muka wanita itu. Kakak angkatnya bergidik mendengar semua penuturan yang diceritakan dengan terang-terangan itu. “Nona Toan, engkau tadi mengatakan bahwa urusan di Kun-lun-pai adalah urusanmu. Sesungguhnya, bagaimanakah hal itu terjadi dan mengapa sampai bentrok dengan Kun-lun-pai?” “Begini, taihiap...” “Nanti dulu, nona. Kalau engkau bakal menjadi isteri adikku, mengapa engkau menyebutku taihiap segala? Membuat hatiku menjadi tidak enak saja.” “Baiklah... Tiong-ko,” kata Kim Hong sambil tersenyum, meniru panggilan Thian Sin terhadap Han Tiong. Han Tiong tersenyum gembira. “Nah, begitu lebih baik bukan, Sin-te? Kelak kalau kalian sudah punya anak, boleh sebut toa-pek (uwak) padaku!” Mereka bertiga tertawa lagi dengan gembira akan tetapi tak lama kemudian Kim Hong lalu menceritakan tentang riwayatnya, tentang kematian ayahnya, seorang pangeran yang dianggap buronan oleh kaisar dan dikejar-kejar sampai akhirnya hidup sengsara dan mati sebagai buronan. Diceritakannya mengapa ia mendendam kepada supeknya, yaitu Gouw Gwat Leng yang kemudian menjadi Jit Goat Tosu dan bertapa di Kun-lun-pai, betapa ia dibantu oleh Thian Sin lalu mendatangi Kun-lun-pai, dengan baik-baik minta menghadap ketua Kun-lun-pai dan minta bertemu dengan Jit Goat Tosu tanpa melibatkan Kun-lun-pai sama sekali. Kemudian tentang pertemuannya dengan supeknya yang amat lihai sehingga terpaksa mereka berduapun akan kalah kalau saja supeknya itu tidak mengalah, bahkan akhirnya supek mereka itu membunuh diri untuk menebus penyesalannya tentang kesengsaraan hidup sutenya, yaitu Pangeran Toan Su Ong. “Urusan antara keluargaku dan supek Gouw Gwat Leng adalah urusan pribadi dan kami sama sekali tidak menyangkutkan Kun-lun-pai. Akan tetapi sungguh para tosu Kun-lun-pai itu tidak tahu diri. Supek mati karena membunuh diri, karena dia merasa menyesal dan baru setelah dia membunuh diri aku melihat kenyataan bahwa sebenarnya supek amat mencinta mendiang ayahku. Kematian supek sungguh sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan Kun-lun-pai, akan tetapi para tosu itu dengan membabi buta mengeroyok kami, bahkan kini melaporkan kami kepada tokoh-tokoh kang-ouw!” Kim Hong mengepal tinjunya. Gadis ini dengan terus terang menceritakan semua riwayatnya. Mendengar cerita nona itu, Han Tiong menarik napas panjang. Dia merasa kagum sekali kepada kakek yang bernama Couw Gwat Leng atau Jit Coat Tosu itu. “Beliau seorang bijaksana, sayang kalian tidak tahu akan hal itu sebelumnya sehingga terpaksa nyawa seorang yang demikian bijaksana dikorbankan dengan sia-sia. Tahukah kalian mengapa beliau membunuh diri? Bukan hanya karena penyesalan, melainkan untuk mencegah engkau berdua, karena kalau sampai beliau mati di tanganmu, hal itu akan membuat engkau seorang murid durhaka dan selamanya engkau akan menyesali perbuatanmu itu. Di atas dunia ini, segala perkara tidak akan dapat diatasi dengan kekerasan. Ilmu sliat hanya patut dipergunakan mencegah terjadinya kejahatan melindungi diri sendiri dan juga orang-orang lain yang terancam bahaya. Akan tetapi, kalau ilmu silat dipergunakan untuk melampiaskan dendam, maka itu menjadi ilmu terkutuk, menjadi ilmu hitam.” Dua orang itu mendengarkan sambil bertunduk. Berhadapan dengan kakaknya, Thian Sin merasa kehilangan semua semangat perlawanannya, membuat dia seperti mati kutu. Hal ini adalah karena perasaan cinta kasih dan hormat yang amat besar, membuat dia tidak mungkin dapat menentang atau membantah. Bukan karena takut, melainkan karena cinta dan juga apapun yang keluar dari mulut kakaknya itu terasa olehnya amat tepat dan tidak mungkin dapat dibantah kebenarannya lagi. Keadaan menjadi serius lagi setelah Han Tiong bicara dengan sungguh-sungguh. Menghadapi keadaan ini, di mana dia merasa dirinya tenggelam tak berdaya dan bahkan Kim Hong yang agaknya berwatak pemberontak itupun terdiam, Thian Sin merasa tidak enak sekali dan diapun mencoba untuk memecahkan suasana itu dengan berkelakar. “Aduh, Tiong-ko, lama tidak bertemu denganmu, sekali berjumpa, engkau agaknya seperti telah menjadi seorang pendeta! Kuliahmu penuh dengan hal-hal batiniah belaka!” Han Tiong tersenyum, akan tetapi jawabannya tetap saja serius, “Sin-te, mana mungkin kita mengabaikan soal-soal batiniah? Hidup ini bukan hanya lahirlah belaka, bukan? Lahir dan batin, haruslah serasi, maju bersama, karena kalau tidak demikian, kita tentu akan terjeblos ke dalam lembah sengsara. Batin yang waspada membuat orang menjadi bijaksana, Sin-te.” “Semua ucapanmu memang benar, Tiong-ko. Akan tetapi aku ingin mendengar tentang segi lain dari hidupmu semenjak kita berpisah. Bagaimana keadaan ayah dan ibu? Dan bagaimana dengan keadaan Lian Hong?” Kini ringan saja lidah Thian Sin menyebut nama ini, tidak ada rasa berat sedikitpun di hatinya, tanda bahwa dia memang sama sekali sudah tidak mengharapkan gadis itu, dan hal inipun terasa oleh Han Tiong yang menjadi lega. Dia tahu bahwa adiknya telah memperoleh seorang pengganti, seorang gadis yang harus diakuinya dalam segala hal tidak kalah dibandingkan dengan Lian Hong. Bahkan lebih cantik dan dalam hal ilmu silat jauh lebih lihai. “Ayah dan ibu baik-baik saja, sungguhpun mereka juga amat mengharapkan kedatanganmu, Sin-te. Dan Adik Lian Hong juga baik-baik saja, kini sudah tinggal di Lembah Naga bersama kami. Kau tahu, Sin-te, di mana aku menemukan Hong-moi? Di sarang datuk sesat Lam-sin, bahkan sempat menjadi murid datuk itu yang ternyata juga telah menolongnya ketika terjadi keributan itu.” Han Tiong tersenyum dan memandang kepada Kim Hong yang hanya tersenyum saja. Tentu saja Thian Sin sudah tahu akan hal itu dari Kim Hong. Dia hanya mengangguk-angguk dan berkata, “Syukurlah kalau ia sudah berada di Lembah Naga. Bukankah kalian sudah menikah sekarang, Tiong-ko?” Han Tiong menggeleng kepala dan memandang kepada adiknya. “Aku selalu mengulur waktu untuk itu, Sin-te. Aku tidak mau menikah sebelum engkau pulang...” “Eh, kenapa begitu?” Thian Sin bertanya kaget. Han Tiong mengerling kepada Kim Hong, lalu berkata, “Tadinya aku selalu meragu, adikku... mana mungkin aku hidup bersenang-senang sendiri saja sementara engkau masih belum kuketahui keadaanmu? Tapi sekarang, ah, sekarang lain lagi. Tapi sudahlah, ada hal yang lebih penting yang perlu kubicarakan denganmu, Sin-te, juga denganmu, Nona Toan.” “Hal penting apakah, Tiong-ko?” jawab kedua orang itu hampir berbareng dan mereka berdua memandang kepada Han Tiong dengan penuh perhatian. “Bukan lain tentang pertanggungan jawab, adik-adikku. Tanggung jawab akan perbuatan sendiri merupakan syarat mutlak bagi seorang pendekar. Oleh karena itu, aku minta kepadamu, Sin-te, agar engkau suka mempertanggungjawabkan perbuatanmu di Kun-lun-pai dan menyerahkan diri!” “Tiong-ko...!” Thian Sin memandang dengan mata terbelalak. “Tiong-ko, sudah kukatakan bahwa urusan Kun-lun-pai adalah urusanku sendiri!” Kim Hong membantah. “Thian Sin tidak bertanggung jawab, aku yang bertanggung jawab!” Han Tiong menggeleng kepala dan menghela napas. “Adik Kim Hong, biarpun aku tahu bahwa ilmu silatmu amat hebat, akan tetapi agaknya namamu tidaklah sedahsyat nama julukan Sin-te sebagai Pendekar Sadis, sehingga Kun-lun-pai menekankan Pendekar Sadis dalam peristiwa di Kun-lun-pai itu sebagai pelaku utamanya. Pula, jelas bahwa Sin-te ikut pula turun tangan maka dia tidak mungkin dapat lepas dari tanggung jawab. Selain itu, setelah kalian berdua menjadi calon jodoh, bukankah berarti tanggung jawab yang seorang juga menjadi tanggung jawab yang lain? Maka, kuminta, marilah pergi ke Kun-lun-pai, biar aku yang antar kalian. Kun-lun-pai adalah perkumpulan orang-orang gagah yang tentu akan bersikap bijaksana.” Thian Sin menggeleng kepalanya lalu memegang lengan kakaknya. “Tiong-ko, engkau tidak tahu. Mereka itu memusuhi aku, memusuhi kami. Mereka itu membenciku! Ketika kami berada di Kun-lun-pai, kami sudah menjelaskan bahwa kami tidak memusuhi Kun-lun-pai, bahkan ketika mereka itu mengeroyok dan hendak menangkap kami, kami mengalah dan tidak membunuh seorangpun. Kami melarikan diri. Mana mungkin sekarang kami harus menyerahkan diri begitu saja padahal kami tidak bersalah terhadap mereka?” Han Tiong membalas pegangan adiknya. “Adikku, sudah kukatakan bahwa Kun-lun-pai bukanlah perkumpulan jahat, melainkan perkumpulan para pendekar dan dijunjung tinggi oleh para pendekar di seluruh dunia persilatan. Kalian telah menyebabkan kematian Jit Goat Tosu yang dianggap sebagai saudara sendiri oleh para pimpinan Kun-lun-pai, dan kematian itu terjadi di Kun-lun-pai, dan engkau masih mengatakan bahwa Kun-lun-pai tidak ada sangkut-pautnya sama sekali? Biarpun begitu, Kun-lun-pai tidak mau membalas dendam begitu saja terhadapmu, Sin-te, melainkan mau minta pertimbangan dan keadilan dalam pertemuan para pendekar. Mereka hendak menangkap kalian untuk dimintakan pengadilan, bukan untuk membalas dendam dan mencelakai kalian. Tahukah engkau bahwa menurut kabar yang kudapatkan di jalan, pihak Kun-lun-pai bahkan akan minta pertanggungan jawab Cin-ling-pai dan ayah kita di Lembah Naga? Nah, sebagai seorang gagah, marilah kuantar engkau menghadap ke Kun-lun-pai, menyerahkan diri dan menghadapi pengadilan dengan gagah pula. Percayalah, kalau terjadi ketidakadilan nanti, aku yang akan membelamu, kalau perlu dengan taruhan nyawaku!” Thian Sin menjadi ragu-ragu dan menoleh kepada Kim Hong. Akan tetapi Kim Hong mengerutkan alisnya dan gadis itu kemudian menggeleng kepala. “Aku tidak akan menyerahkan diri kepada tosu-tosu bau itu!” Thian Sin juga membayangkan betapa akan malunya untuk menyerahkan diri, dan tentu para tosu yang merasa sakit hati itu akan berdaya sedapat mungkin untuk membalas dendam. Pula, dia tidak mau kalau sampai perbuatannya harus dipertanggungjawabkan oleh semua keluarga Cin-ling-pai, apalagi harus ayah angkatnya ikut-ikut bertanggung jawab. “Tiong-ko, ah, Tiong-ko, mengapa begitu? Mengapa engkau malah hendak membantu mereka yang hendak menangkap kami?” Dia mengeluh sambil memandang kepada kakaknya dengan sinar mata sedih. Han Tiong mengerutkan alisnya. “Adikku, ke manakah kegagahanmu? Lupakan engkau bahwa seorang pendekar adalah pembela kebenaran, bahwa matipun bukan apa-apa, asal mati dalam kebenaran? Aku bukan membantu mereka yang hendak menangkapmu, adikku, melainkan membantumu kembali ke jalan lurus seorang pendekar. Marilah kuantar engkau. Biarlah kalau Adik Kim Hong tidak mau pergi, sudah sepatutnya kalau engkau yang mempertanggungjawabkan pula perbuatan calon isterimu.” Kembali Thian Sin menjadi ragu-ragu. Menurutkan kata kesadarannya, apa yang dikatakan oleh kakaknya itu memang benar. Kalau dia mempertanggungjawabkan semua perbuatannya, apapun akibatnya, maka urusan akan menjadi selesai dan selanjutnya dia tidak akan merasa dikejar-kejar dan dimusuhi orang lagi. Akan tetapi ketika dia melihat wajah Kim Hong yang cemberut, diapun maklum bahwa kalau dia menuruti kata-kata kakaknya, Kim Hong akan menentang dan marah sekali dan bukan tidak mungkin hubungan antara mereka akan putus sampai di situ saja. “Tiong-ko, makilah aku, pukullah aku, suruh melakukan apa saja, akan tetapi jangan menyerahkan diri kepada Kun-lun-pai!” akhirnya Thian Sin berkata. Han Tiong bangkit berdiri dan mukanya menjadi merah, alisnya berdiri dan matanya terbelalak. “Sin-te! Masih begitu lemahkah engkau? Sudah kupikirkan masak-masak dan satu-satunya jalan bagimu untuk dapat kembali ke jalan lurus dan membersihkan namamu, hanyalah menyerahkan dan membiarkan dirimu diadili!” Akan tetapi Thian Sin sudah mengambil keputusan bulat. Dia menggeleng kepala dan wajahnya menjadi agak pucat. Sakit sekali hatinya bahwa dia terpaksa harus menentang kehendak kakaknya yang amat disayangnya dan yang telah lama sekali baru saja dijumpainya kembali itu. “Tidak, Tiong-ko. Aku tidak akan menyerahkan diri kepada Kun-lun-pai. Maafkan aku, Tiong-ko, akan tetapi sungguh aku tidak bisa menyerahkah diri kepada mereka.” “Sin-te, apakah engkau sudah menjadi seorang penakut? Engkau takut menghadapi hukuman? Takut mati?” Thian Sin menggelengkan kepalanya, “Tidak, aku hanya tidak mau diperlakukan tidak adil. Aku tidak merasa bersalah, maka tidak mungkin aku menyerahkan diri seperti orang yang bersalah.” “Akan tetapi, engkau akan diadili!” “Hemm, pengadilan terhadap Pendekar Sadis yang dibenci sudah dapat dibayangkan lebih dulu akan bagaimana jadinya.” “Sin-te, sekali lagi, demi membersihkan nama Cin-ling-pai dan Lembah Naga yang terlibat namanya olehmu, mari ikut aku ke Kun-lun-pai.” “Sekali lagi, tidak, Tiong-ko, dan maafkan aku.” “Kalau aku menggunakan kekerasan terhadapmu?” Thian Sin tersenyum. “Terserah, engkau tahu aku tidak akan melawanmu, aku tidak akan dapat mengangkat tangan terhadapmu. Akan tetapi engkau harus tahu benar bahwa engkau takkan dapat membawaku dan memaksaku ke Kun-lun-pai selama aku masih bernyawa. Engkau harus membunuh aku lebih dulu sebelum dapat memaksa pergi, Tiong-ko. Ah, Tiong-ko, mengapa kita harus begini?” Dan tiba-tiba Thian Sin menubruk, merangkul dan menangis! Kim Hong memandang dengan wajah pucat dan bengong. Tak pernah dapat disangkanya bahwa kekasihnya, Pendekar Sadis yang demikian gagah perkasa, berani mati, dan keras hati itu kini seakan-akan mencair semua kekerasannya dan menjadi lembek dan lunak dan lemah sekali! Han Tiong sendiri merangkul adiknya dan menengadah, mukanya pucat sekali. “Kaupun tahu bahwa tak mungkin aku dapat melakukan kekerasan terhadap dirimu, adikku,” katanya dengan suara serak penuh keharuan. “Akan tetapi engkaupun tahu bahwa tak mungkin aku membiarkan saja namamu berlepotan noda dan membawa pula nama Lembah Naga menjadi tercemar. Kalau engkau berkeras tidak mau ikut aku ke Kun-lun-pai, nah, selamat tinggal, adikku. Semoga Thian memberkahimu dan engkau dapat hidup bahagia bersama isterimu. Selamat tinggal, adikku, dan akulah yang akan menebus segalanya, selamat tinggal!” Setelah berkata demikian, pemuda itu lalu pergi meninggalkan Thian Sin dan Kim Hong yang memandang dengan muka pucat sampai akhirnya bayangan Han Tiong lenyap dari pandang mata mereka. Thian Sin menjatuhkan dirinya duduk di atas rumput dan menggunakan kedua tangannya untuk menutupi mukanya. Kesedihan besar mencekam hatinya. Dia merasa berduka sekali bahwa pertemuannya dengan kakaknya yang tersayang, terpaksa harus berakhir seperti itu. Kakaknya yang selama ini merindukannya, mencintanya, bahkan tidak mau menikah sebelum bertemu dengannya! Dia tahu bahwa kakaknya itu menunggunya, bahkan dia tahu pula bahwa kakaknya itu akan mau mengalah untuk mundur dan membiarkan Lian Hong menikah dengan dia! Dia tahu benar akan isi hati dan watak kakaknya, tahu akan kasih sayang kakaknya itu terhadap dirinya yang amat mendalam. Kim Hong hanya memandang saja, membiarkan kekasihnya terbenam dalam lamunannya sendiri. Iapun dapat mengerti akan kesedihan Thian Sin. Setelah agak lama, barulah Kim Hong mendekati kekasihnya duduk di dekatnya di atas rumput, memegang tangannya tanpa bicara. Thian Sin yang merasa tangannya dipegang dan digenggam kekasihnya, lalu mengangkat muka dan menurunkan tangannya. Mukanya pucat dan matanya agak kemerahan, pipinya masih basah air mata. Mereka saling pandang sejenak, kemudian Kim Hong mengangguk perlahan dan berkata lirih. “Engkau benar, Thian Sin. Kakakmu itulah yang terlalu lemah, mau mengalah saja terhadap orang lain. Pihak manapun juga, kalau mau menang sendiri dan terlalu mendesak, harus kita tandingi, bukannya mengalah dan membiarkan diri dihina.” Thian Sin memandang wajah kekasihnya lalu menarik napas panjang. “Engkau tidak tahu, Kim Hong. Engkau belum mengenal Tiong-ko. Dia sama sekali bukan orang lemah, bukan mengalah begitu saja, dan sama sekali tidak takut. Akan tetapi Tiong-ko selalu bertindak demi kebenaran, dan untuk membela kebenaran, dia tidak segan-segan untuk mengorbankan dirinya sendiri. Dia seorang manusia yang gagah perkasa lahir batin, yang berhati tulus dan cintanya amat tulus. Aku khawatir sekali...” “Khawatir apa, Thian Sin?” “Aku tidak dapat menduga apa yang akan dilakukannya di Kun-lun-pai. Aku hanya merasa tidak enak sekali. Apa kata-katanya yang terakhir tadi? Selamat tinggal, akulah yang akan menebus segalanya. Nah, itulah yang membuat hatiku merasa gelisah sekali.” Kim Hong mengerutkan alisnya. “Lalu, apa yang akan dilakukannya?” “Kita harus membayanginya, Kim Hong. Aku harus melihat apa yang akan dilakukan Tiong-ko. Kalau sampai terjadi sesuatu dengan dirinya, karena aku, maka selama hidupku aku akan menderita penyesalan batin yang lebih hebat daripada kematian. Mari, kita bayangi dia dan lihat apa yang akan dilakukannya.” Kim Hong lalu mengangguk dan keduanya lalu bangkit dan lari cepat mengejar Han Tiong, menuju ke Kun-lun-san. Para tokoh kang-ouw sudah mulai berdatangan ke Kun-lun-pai. Undangan dari sebuah partai persilatan seperti Kun-lun-pai tentu saja merupakan peristiwa besar dan memperoleh perhatian dari mereka yang diundang, apalagi dalam undangan itu Kun-lun-pai dengan terus terang menyatakan bahwa pertemuan antara para tokoh pendekar itu dimaksudkan untuk membicarakan tentang sepak terjang Pendekar Sadis yang namanya sudah menggemparkan seluruh dunia persilatan itu. Sehari sebelum hari yang ditetapkan, di Kun-lun-pai telah hadir belasan orang tokoh pendekar dari berbagai aliran. Kui Im Tosu, ketua Kun-lun-pai, ditemani oleh sutenya yang menjadi wakilnya, yaitu Kui Yang Tosu, telah menyambut dan menemani para tamu-tamu yang awal datang itu di ruangan tamu yang luas itu. Di antara belasan orang tamu yang telah datang itu terdapat pula tiga orang Shan-tung Sam-lo-eng (Tiga Pendekar Tua dari Shan-tung) dan Hwa Siong Hwesio, tokoh hwesio Siauw-lim-pai. Mereka ini bersama dengan Kui Yang Tosu pernah menemui Pendekar Sadis untuk menegur pendekar itu karena telah membunuh Toan-ong-ya di kota raja. Selain empat orang pendekar itu, telah hadir pula beberapa orang yang benar-benar merupakan pendekar yang dihormati dan disegani orang, antara lain Lo Pa San yang berjuluk Hui-to-sian (Dewa Golok Terbang), seorang pendekar yang terkenal gagah perkasa bertubuh tinggi besar dan bermuka merah. Pendekar ini terkenal sekali di daerah pantai Lautan Po-hai. Thian Heng Losu, kakek tinggi kurus bertongkat bambu kuning berusia enam puluh tahun lebih, ketua Bu-tong-pai yang berkenan datang sendiri karena selain ingin mendengar tentang Pendekar Sadis, juga ketua Bu-tong-pai ini ingin bertemu dengan para pendekar. Juga hadir pula Liang Sim Cianjin, seorang pendekar yang terkenal sebagai seorang bun-bu-coan-jai (ahli silat dan surat) berusia enam puluh lima tahun. Pertapa ini pakaiannya seperti petani, bercaping lebar dan sikapnya halus, tubuhnya kecil kurus sama sekali tidak membayangkan bahwa dia memiliki kepandaian yang tinggi. Kehadiran ketua Bu-tong-pai, juga dari perkumpulan-perkumpulan besar seperti Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Thai-san-pai dan lain-lain tentu saja membawa beberapa orang anak murid yang kini berkumpul di lain bagian karena kini kedua orang ketua Kun-lun-pai itu sedang menyambut para tamu yang sejajar atau setingkat dengan mereka berdua. Keadaan dalam kamar tamu yang cukup luas itu meriah namun pembicaraan terjadi dengan serius. Kui Yang Tosu menceritakan kepada belasan orang tamunya itu dalam suasana ramah tamah karena pertemuan yang resmi belum dilakukan, tentang peristiwa yang terjadi di situ ketika Pendekar Sadis dan gadis lihai itu datang sehingga mengakibatkan kematian Jit Goat Tosu yang telah menjadi saudara yang dihormati dari para pimpinan Kun-lun-pai. Sebagai seorang yang gagah dan jujur, Kui Yang Tosu tidak menyembunyikan sesuatu, menceritakan pula alasan-alasan dua orang itu datang ke Kun-lun-pai dan hubungan antara Toan Kim Hong dan Jit Goat Tosu. Mereka juga menceritakan hendak menangkap mereka namun gagal. “Kami hendak menahan mereka, minta pertanggungan jawab mereka dan pertimbangan rapat para pendekar, namun Pendekar Sadis dan nona itu mengamuk dan melarikan diri. Ilmu kepandaian mereka memang tinggi sekali dan kamipun tidak berniat untuk membunuh, melainkan hendak menahan mereka, namun kami gagal. Oleh karena itu kami mengundang para orang gagah untuk dimintai pertimbangan.” Suasana menjadi sunyi ketika semua orang mendengar penuturan itu dan diam-diam mereka semua merasa terkejut dan kagum bukan main. Pada jaman itu, kiranya sukar dicari orang yang akan mampu membebaskan diri dari kepungan orang-orang Kun-lun-pai! Dari kenyataan itu saja sudah dapat diukur betapa lihainya Pendekar Sadis dan kawannya, wanita muda itu. “Sungguh aku belum mengerti benar, Toyu,” terdengar Lo Pa San berkata. Pendekar ini orangnya jujur, ramah dan adil, juga amat sederhana sehingga bicara dengan pimpinan Kun-lun-pai sekalipun dia hanya menyebut toyu yang berarti sahabat saja, “Menurut penuturanmu tadi, Pendekar Sadis hanya menemani atau membantu nona bernama Toan Kim Hong datang mencari supeknya sendiri. Apa yang terjadi antaara mereka itu, sampai yang berakibat kematian Jit Goat Tosu yang membunuh diri, kiraku merupakan urusan pribadi dalam kekeluargaan mereka. Kiranya sama sekali bukan menjadi hak kita untuk mencampuri.” Beberapa orang gagah yang berada di situ mengangguk membenarkan. Mereka itu rata-rata adalah pendekar-pendekar yang gagah perkasa dan menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, tidak mau sembrono dan tidak mau berpihak siapapun juga, kecuali pibak kebenaran dan keadilan. “Siancai... apa yang dikatakan Lo-enghiong memang tidak keliru. Kamipun bukanlah golongan yang suka usil dan suka mencampuri urusan orang lain. Akan tetapi Jit Goat Tosu bukanlah orang lain lagi, melainkan saudara tua kami. Dan seperti telah pinto ceritakan tadi, nona itu tadi adalah seorang murid durhaka yang tidak menghormati bendera pusaka perguruan sendiri, tidak tahu pula bahwa Jit Goat Tosu telah mengalah karena kalau dia menghendaki, dua orang muda itu takkan mungkin mampu mengalahkannya. Tapi mereka mendesak terus sehingga dia mengalah dan membunuh diri. Peristiwa kejam ini terjadi di Kun-lun-pai. Sedangkan andaikata hal itu menimpa diri orang lain di luar Kun-lun-pai sekalipun, sebagai pendekar-pendekar kita haruslah turun tangan mengadilinya. Apalagi hal itu terjadi menimpa saudara tua kami, terjadi di Kun-lun-pai sendiri, dan yang terutama sekali, dilakukan oleh Pendekar Sadis yang sudah mencemarkan sebutan pendekar itu. Maka, pinto kira sudah selayaknya kalau hal ini dibahas secara teliti di dalam rapat besok di antara para pendekar.” Karena alasan yang dikemukakan oleh Kui Yang Tosu itu memang pantas, semua orang mengangguk dan memang kebanyakan di antara mereka merasa tidak senang mendengar sepak terjang Pendekar Sadis yang terlalu kejam dalam menangani musuh-musuhnya, biarpun yang diberantasnya itu termasuk tokoh-tokoh sesat. Terutama sekali pembunuhan Pendekar Sadis terhadap Toan Ong sungguh membuat mereka merasa penasaran sekali. Keadaan menjadi berisik ketika mereka membicarakan semua perbuatan Pendekar Sadis yang amat kejam ketika membunuh musuh-musuhnya dan bagaimanapun juga, mereka semua merasa kagum dan jerih mendengar betapa Pendekar Sadis telah berhasil membunuh See-thian-ong, Pak-san-kui, dan melenyapkan Lam-sin. Bahkan berita tentang Pendekar Sadis menyerbu Tung-hai-sian sudah ramai mereka bicarakan. “Cin-ling-pai harus bertanggung jawab. Bukankah Pendekar Sadis itu sanaknya? Tung-hai-sian terluput dari perbuatannya karena berbesan dengan Cin-ling-pai.” kata seseorang. “Pendekar Lembah Naga adalah ayah angkatnya, maka dialah yang paling besar tanggung jawabnya,” kata yang lain. “Harap para saudara bersabar karena pinto juga telah mengundang mereka. Pinto kira, besok mereka akan dapat hadir semua dan kita minta saja pendapat dan pertimbangan mereka. Jiwa pendekar menuntut keadilan dan harus menghukum siapapun yang salah, biar keluarga sendiri tidak semestinya kalau dilindungi sehingga kejahatannya semakin merajalela,” kata Kui Yang Tosu, sedangkan Kui Im Tosu hanya mendengarkan saja sambil menundukkan mukanya. Ketua Kun-lun-pai ini memang tidak suka banyak bicara. Tiba-tiba terdengar suara lantang, “Harap cu-wi jangan khawatir. Mengenai semua perbuatan Pendekar Sadis, akulah yang bertanggung jawab sepenuhnya!” Semua orang menoleh dan mereka melihat masuknya seorang pemuda yang berpakaian sederhana akan tetapi amat gagah perkasa sikapnya. Karena Han Tiong memang tidak pernah menonjolkan diri di dunia kang-ouw, maka tidak ada yang mengenal pemuda ini dan semua orang bangkit berdiri, memandang dengan heran akan tetapi juga membalas penghormatan pemuda yang sudah menjura ke arah mereka dengan sikap hormat itu. “Para pimpinan Kun-lun-pai dan para locianpwe yang berada di sini. Kedatangan saya ini untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatan Pendekar Sadis. Cin-ling-pai dan Lembah Naga tidak ada urusannya dengan dia dan tidak seharusnya bertanggung jawab, melainkan saya seoranglah.” Kui Yang Tosu sudah melangkah maju dan memandang kepada pemuda gagah itu dengan pandang mata penuh selidik. “Siapakah sicu yang muda ini?” tanyanya. Han Tiong memandang kepada tosu itu dan menduga bahwa tentu dia berhadapan dengan ketua Kun-lun-pai. “Apakah totiang ketua Kun-lun-pai?” “Pinto adalah Kui Yang Tosu, wakil ketua Kun-lun-pai. Siapakah engkau, orang muda?” “Saya adalah kakak dari Pendekar Sadis, nama saya Cia Han Tiong,” jawab Han Tiong sederhana. “Cia...? Adakah hubunganmu dengan Cia Sin Liong Taihiap, Pendekar Lembah Naga?” “Dia adalah ayah saya.” Kui Yang Tosu, juga semua orang gagah yang berada di situ terkejut sekali. Kiranya pemuda sederhana yang bersikap gagah perkasa ini adalah putera Pendekar Lembah Naga! Mengertilah sekarang Kui Yang Tosu mengapa pemuda ini memperkenalkan diri sebagai kakak dari Pendekar Sadis, dan dia mengerutkan alisnya. “Hemm, selamat datang, Cia taihiap. Mari silakan duduk.” “Terima kasih, totiang. Kedatangan saya bukan untuk menghadiri rapat para pendekar, melainkan, seperti saya katakan tadi, untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatan Pendekar Sadis, adik saya. Hanya saya seoranglah yang menjadi penanggung jawabnya, bukan Cin-ling-pai maupun Lembah Naga.” Makin dalam kerut di antara alis Kui Yang Tosu. “Orang muda, apa yang kaumaksudkan dengan pertanggungan jawab itu?” “Apapun yang totiang kehendaki! Kalau adik saya dianggap bersalah dan hendak dihukum, nah, hukumlah saya! Saya yang mewakilinya menerima hukuman, kalau memang sudah sepatutnya dia dihukum. Akan tetapi saya merasa yakin bahwa para locianpwe yang gagah perkasa tentu akan memiliki kebijaksanaan dan pertimbangan seadil-adilnya. Saya sudah mendengar akan semua yang dilakukan adik saya, mendengar dengan jelas. Saya datang bukan untuk membelanya, bukan melindunginya, melainkan untuk menebus semua kesalahannya, kalau memang ada perbuatannya yang dianggap bersalah.” “Pendekar Sadis bertindak amat kejam, perbuatan itu mencemarkan nama para pendekar! Dia memang menentang penjahat, namun tindakannya luar biasa kejamnya!” kata Kui Im Tosu yang sejak tadi diam saja. “Cia-taihiap, apakah hal itu tidak kau anggap bersalah?” “Maaf, totiang. Salah atau tidak itu tergantung yang menilainya. Akan tetapi saya tahu benar mengapa adik saya itu bertindak kejam terhadap musuh-musuhnya yang dibasminya. Dia menderita dendam sakit yang amat mendalam, dan karena dia lemah, maka dia memberi kesempatan kepada nafsunya untuk membalas dendam, untuk menyiksa dan memuaskan sakit hatinya.” “Ha-ha, bagaimana jawabanmu terhadap perbuatannya membunuh Toan Ong?” kata seorang di antara Shan-tung Sam-lo-eng. Han Tiong memandang kepada pembicara lalu menjawab, “Hal itupun telah saya bicarakan dengan adik saya. Dia melakukan hal itu karena fitnahan orang lain sehingga dia menganggap Toan Ong seorang manusia jahat, maka dibunuhnya. Setelah dia menyadari kekeliruannya, diapun sudah menghukum orang yang melakukan fitnah. Pembunuhan itu hanya merupakan hasil fitnah, bukan berarti adik saya sengaja membunuh orang baik-baik.” “Hemm, kalau menurut pendapatmu, Pendekar Sadis itu patut dibebaskan dan tidak dianggap bersalah? Begitukah?” Hui-to-sian Lo Pa San ikut bertanya, suaranya lantang. “Sama sekali bukan demikian maksud saya, locianpwe. Sudah saya katakan bahwa saya bukan membela atau melindunginya, melainkan mewakilinya menerima hukuman kalau memang dianggap bersalah.” “Omitohud...! Cia-taihiap yang begini muda sudah memiliki kasih sayang yang luar biasa sekali terhadap adiknya, adik angkatnya lagi. Begitu mendalam, sungguh mengagumkan!” Hwa Siong Hwesio tokoh Siauw-lim-pai itu berkata. “Akan tetapi, mana mungkin menghukum orang lain sedangkan yang berdosa boleh bebas? Apa gunanya itu? Si jahat harus dihukum biar lenyap dari dunia ini atau biar bertobat sehingga tidak terulang lagi kejahatannya!” kata Thian Heng Losu ketua Bu-tong-pai. “Cia-taihiap, andaikata kami menghukummu sebagai orang yang mewakili Pendekar Sadis, apa artinya itu? Dia akan tetap saja menyebar kekejaman di dunia ini!” “Tidak, locianpwe. Kalau dia mendengar bahwa saya dihukum karena perbuatannya tentu dia akan insyaf dan sadar, dan tidak akan mengulangi perbuatan-perbuatannya yang para locianpwe anggap tidak selayaknya.” “Bagaimana kalau kita memutuskan bahwa Pendekar Sadis harus dilenyapkan, harus dijatuhi hukuman mati?” Lo Pa San yang juga kagum kepada pemuda ini bertanya, memancing. “Saya sudah bertekad untuk mewakili adik saya menjalani hukuman apa saja kalau perlu saya tidak akan menolak untuk dihukum mati, kalau memang itu dapat menebus kesalahannya dan cu-wi locianpwe tidak mengganggu dia, Cin-ling-pai atau Lembah Naga!” Bukan main hebatnya jawaban tegas ini, membuat semua tokoh itu sejenak terbisu dan memandang kepada Han Tiong dengan heran. Biasanya kalau seseorang mencinta adiknya, tentu adik itu dibelanya dan dilindunginya, kalau perlu membantu adiknya menentang semua orang yang hendak mengganggu adiknya, bukan mewakilinya menerima hukuman seperti yang akan dilakukan oleh putera Pendekar Lembah Naga ini. “Tiong-ko, engkau tidak boleh mewakili hukumanku!” Teriakan ini mengejutkan semua orang dan tahu-tahu mereka melihat seorang pemuda gagah berdiri di ambang pintu ruangan itu, di belakangnya berdiri pula seorang gadis cantik yang bersikap angker. Han Tiong terkejut melihat munculnya Thian Sin dan Kim Hong, akan tetapi juga wajahnya segera berseri gembira karena dia mengira bahwa tentu Thian Sin dan Kim Hong sudah sadar dan datang untuk menyerahkan diri mempertangungjawabkan perbuatan mereka. Maka diapun berseru dengan girang sekali, “Ah, Sin-te dan Adik Hong, bagus sekali kalian datang. Jangan khawatir, para locianpwe ini adalah orang-orang bijaksana!” “Tidak, Tiong-ko! Aku tetap tidak merasa bersalah dan terserah mereka itu mau apa! Akan tetapi, hendaknya para pendekar yang mengaku perkasa dan yang hadir di sini semua mendengar baik-baik bahwa semua perbuatan Pendekar Sadis dan Toan Kim Hong adalah tanggung jawab kami berdua sendiri. Kakakku Cia Han Tiong sama sekali tidak tahu apa-apa dan karenanya tidak boleh hukuman untuk kami dijatuhkan kepadanya atau kepada Cin-ling-pai atau Lembah Naga. Kami berdua sendirilah yang bertanggung jawab. Akan tetapi kami tidak merasa bersalah, dan siapa yang hendak menghukum kami, boleh saja maju dan coba-coba!” Pendekar Sadis berdiri dengan gagah perkasa dan sikapnya menantang sekali. Juga Kim Hong berdiri sambil tersenyum mengejek kepada semua orang yang berada di ruangan tamu yang luas itu. Karena Kun-lun-pai sedang menyambut tamu-tamu agung, maka pintu gerbang dibuka dan tidak diadakan penjagaan seperti biasa sehingga mereka berdua, seperti juga Han Tiong tadi, dapat masuk ke tempat itu dengan mudah. Melihat lagak Pendekar Sadis yang menantang dan merasa tidak bersalah itu, para tamu menjadi marah. Pendekar budiman dari Po-hai, yaitu Lo Pa San, mengerutkan alisnya. Pendekar Sadis itu dianggapnya tidak tahu aturan dan berani bersikap demikian memandang rendah kepada orang-orang kang-ouw yang tingkatnya tinggi dan sudah tua pula. “Pendekar Sadis, ternyata engkau selain kejam juga sombong sekali!” teriaknya sambil mencabut keluar sebatang golok tipis dari ikat pinggangnya dan diapun sudah melompat ke depan. “Sudah lama aku mendengar nama Pendekar Sadis yang menodai nama baik para pendekar dengan perbuatannya yang sangat kejam. Engkau tidak mau mengaku salah dan menantang siapa yang hendak menangkapmu? Nah, aku, Hui-to-sian Lo Pa San yang hendak menangkapmu!” Thian Sin tersenyum mengejek. “Menangkap dengan senjata terhunus? Locianpwe, engkau ini memaki orang kejam, akan tetapi engkau sendiri, begitu berhadapan denganku mencabut golok, sikap seperti ini lalu apa namanya? Apakah ini yang disebut manis budi dan lunak tidak kejam?” Wajah Lo Pa San menjadi merah dan tahulah dia bahwa dia menghadapi seorang pemuda yang pandai bicara pula. Tentu saja dia merasa malu. Kalau tadi mencabut golok adalah karena dia sendiri sudah mendengar akan kelihaian Pendekar Sadis dan dia adalah seorang ahli bermain golok sehingga mendapat julukan Dewa Golok Terbang. Akan tetapi ejekan halus Thian Sin itu tentu saja membuat dia menjadi serba salah dan diapun segera menyimpan kembali goloknya. “Orang muda, kaukira aku tidak berani menghadapimu dengan tangan kosong? Kalau tadi aku mengeluarkan golok, adalah karena aku mengira engkaupun akan memegang senjata.” Thian Sin tersenyum lebar, “Ingat, locianpwe, kalau sampai terjadi bentrok antara kita, penyerangnya adalah engkau, bukan aku. Bagaimana aku tiba-tiba saja mencabut senjata? Tidak, engkaulah pencari gara-gara kalau sampai kita berkelahi, bukan aku.” “Sombong! Lihat serangan!” Lo Pa San adalah seorang pendekar yang telah memiliki tingkat kepandaian tinggi dan bukan sembarang pendekar. Jarang dia keluar dari rumah mencampuri perkara yang remeh-remeh. Akan tetapi ketika pantai Po-hai pernah dibikin tidak aman oleh merajalelanya bajak-bajak yang datang dari Korea dan Jepang, pendekar inilah yang dengan gagah beraninya menentang dan mengadakan pembersihan, memimpin para pendekar muda dan dia baru berhenti berjuang setelah para bajak laut ganas itu terbasmi semua dan sisanya melarikan diri ke lautan. Namanya menjadi terkenal sekali, terutama ilmu goloknya yang membuat dia memperoleh julukan yang menyeramkan itu, yaitu Dewa Golok Terbang. Tentu saja selain ilmu goloknya yang amat terkenal, pendekar ini juga memiliki ilmu silat tangan kosong yang tangguh dan memiliki tenaga sin-kang yang cukup kuat. Begitu menyerang, kedua tangannya yang jari-jarinya terbuka itu mengirim serangan cengkeraman bertubi-tubi seperti cakar garuda. Memang kakek berusia lima puluh tahun lebih itu mainkan ilmu silat tangan kosong yang hebat, yaitu yang disebut Sin-tiauw-kun (Silat Rajawali Sakti) yang telah mengalami banyak perubahan, dikombinasikan dengan ilmu gulat Mongol sehingga selain mencengkeram dengan kuat, juga jari-jari tangan itu dapat menangkap dan sekali lawan tertangkap dengan Ilmu Sin-tiauw-kun yang mengandung ilmu gulat Mongol itu, sukarlah lawan untuk melepaskan diri lagi. Agaknya Dewa Golok Terbang ini benar-benar hendak menangkap Thian Sin seperti yang dikatakannya tadi. Akan tetapi Thian Sin menyambut serangan-serangannya dengan sikap tenang saja. Pemuda ini memang memiliki sebatang pedang, yaitu Gin-hwa-kiam pemberian neneknya, juga ikat pinggangnya merupakan senjata sabuk seperti yang pernah dipelajarinya dari neneknya. Akan tetapi, dia memiliki ilmu silat tangan kosong yang amat hebat dan banyak macamnya, maka tanpa bantuan senjata sekalipun dia sudah merupakan seorang lawan yang amat tangguh. Menghadapi serangan dengan ilmu Sin-tiauw-kun itu, Thian Sin lalu mainkan Thai-kek Sin-kun yang amat kokoh kuat daya tahannya, dan selama beberapa belas jurus lawannya sama sekali tidak mampu mendesaknya dan semua cengkeraman lawan dapat ditangkis atau dielakkannya dengan mudah sekali. Melihat ini, Hui-to-sian terkejut dan juga marah. Dia mengeluarkan gerengan keras dan kini serangannya ditambah lagi dengan tendangan-tendangan kakinya yang dilakukan secara beruntun dan berantai. CEPAT sekali gerakan pendekar ini, kedua tangan mencengkeram bertubi-tubi dan kedua kaki menendang bergantian, dan setiap serangan mengandung tenaga sin-kang yang amat kuat! Diam-diam Thian Sin juga terkejut dan memuji. Pendekar ini benar-benar tangguh dan tidak boleh dipandang ringan. Kalau dia melanjutkan perlawanannya dengan Thai-kek Sin-kun, tentu dia akan terus terdesak dan tanpa mampu membalas. Gerakan lawannya aneh dan cepat sehingga dia harus mencurahkan seluruh perhatian dan gerakan ilmu silatnya untuk bertahan dan untuk melindungi dirinya saja. Maka ketika lawannya menghujani tendangan, dia lalu menggunakan tangannya untuk menangkap kaki lawan. Melihat ini, Huito-sian menarik kembali kakinya dan melihat betapa lawan muda itu membiarkan bagian atas tubuhnya terbuka, tangan kirinya secepat kilat mencengkeram dan tahu-tahu pundak Thian Sin kena dicengkeramnya. “Plak!” Thian Sin menangkis sambil mengerahkan Thi-khi-i-beng, akan tetapi ternyata tusukan dengan kedua jari tangan kanan itu dilakukan dengan tenaga kasar biasa saja dan kakek itupun sudah meloncat ke belakang setelah tangan kirinya terlepas dari sedotan pundak. Wajahnya agak pucat dan dia memandang dengan mata bersinar-sinar. “Celaka, ilmu pusaka Cin-ling-pai dipergunakan orang untuk menentang para pendekar!” katanya dan diapun sudah menyerang lagi dengan hebatnya. Mendengar ucapan lawan, Thian Sin tidak mau lagi mempergunakan Thi-khi-i-beng, bahkan dia merasa malu untuk mempergunakan ilmu dari Cin-ling-pai. Sekali ini, dia langsung mengeluarkan ilmu yang dipelajarinya dari peninggalan ayah kandungnya, yaitu Hok-liong Sin-ciang yang hanya delapan belas jurus, namun merupakan ilmu silat yang mujijat itu. “Haiiiiitt...!” Dia mulai membalas dengan menggunakan jurus dari ilmu silat ayahnya. Hui-to-sian terkejut bukan main ketika tiba-tiba saja angin menyambar dahsyat dan dia melihat lawannya itu menyerangnya dari bawah. Untuk mengelak dari serangan sehebat itu tidaklah mungkin lagi, maka diapun menanti serangan, mengerahkan tenaganya dan menangkis dengan kedua tangannya ketika dua langan pemuda yang mendorong itu tiba-tiba dekat. “Desss...!” Dua tangan itu bertemu dan akibatnya, tubuh Hui-to-sian terlempar dan terdorong ke belakang sampai tujuh langkah dan hampir saja dia terjengkang kalau saja dia tidak cepat membuka kedua kakinya dan mengerahkan tenaga sin-kang pada kedua kakinya yang dipentang lalu memasang kuda-kuda. Akan tetapi tubuhnya terguncang hebat dan keringat dingin membasahi lehernya. Untung bahwa dia tidak terluka, akan tetapi maklumlah pendekar ini bahwa dia telah kalah! Semua pendekar yang berada di situ juga maklum akan hal ini, maka kini Liang Sim Cinjin segera bangkit dari tempat duduknya dan melangkah ke depan. “Siancai...! Kiranya nama besar Pendekar Sadis bukanlah nama kosong belaka. Biarlah aku yang tua mencoba kelihaiannya!” Sambil berkata demikian, kakek ini sudah menanggalkan capingnya, yaitu topi yang bentuknya bundar, terbuat daripada bambu akan tetapi sebetulnya di balik anyaman bambu itu tersembunyi baja-baja runcing yang membuat topi itu selain dapat dipergunakan sebagai pelindung kepala dari panas dan hujan, juga dapat dipakai sebagai senjata yang amat berbahaya. Akan tetapi sebelum Thian Sin melayani lawan baru ini, tiba-tiba Kim Hong melangkah maju dan gadis ini berkata, “Bukankah yang maju ini adalah Locianpwe Liang Sim Cinjin yang terkenal sebagai bun-bu-coan-jai dan memiliki kepandaian yang amat tinggi, baik dalam ilmu silat maupun ilmu surat itu? Nah, bagus sekali kalau begitu, tentu seorang sastrawan mengerti tentang kepantasan dan keadilan. Apakah kalian ini orang-orang tua yang katanya gagah perkasa hendak melakukan pengeroyokan?” Liong Sim Cinjin adalah seorang tokoh besar yang sudah bertahun-tahun selalu bertapa di atas gunung di daerah Kang-lam. Dia hanya mendengar saja nama Pendekar Sadis, dan kalau dia sekarang maju hanya karena dia merasa tidak enak terhadap Kun-lun-pai sebagai tuan rumah. Sebagai seorang tamu yang melihat tuan rumah kedatangan musuh, apalagi Pendekar Sadis yang dianggap menyeleweng dan menodai nama para pendekar. Melihat betapa Lo Pa San yang menjadi sahabatnya telah kalah oleh Pendekar Sadis, dia segera maju, bukan hanya terdorong karena merasa tidak enak kalau diam saja, akan tetapi juga timbul gairahnya sebagai seorang ahli silat tinggi untuk mencoba kepandaian orang muda itu. Maka, melihat gadis teman Pendekar Sadis itu yang maju dan menyerangnya dengan kata-kata, kakek yang usianya sudah enam puluh lima tahun ini menjadi terperanjat dan bingung juga. Maklumlah, blarpun dia seorang Pendekar, akan tetapi dia jugc seorang sasterawan, maka menghadapi wanita tentu saja dia merasa kikuk. “Eh, nona... siapa yang mengeroyok! Biarpun aku orang tua yang bodoh, selama hidupku aku belum pernah melakukan pengeroyokan. Bukankah aku maju seorang diri untuk melawannya?” katanya membantah. “Majunya memang seorang diri, akan tetapi kalau Thian Sin dilawan secara bergiliran, bukankah itu sama saja dengan pengeroyokan? Mana dia kuat menghadapi lawan begini banyak yang maju satu demi satu? Tenaga manusia ade batasnya. Apa artinya locianpwe menang kalau menangnya itu karena dia sudah kelelahan melawan orang-orang yang pertama maju lebih dulu?” Liang Sim Cinjin tidak mempunyai kebencian atau permusuhan pribadi dengan Pendekar Sadis, dan kekejaman-kekejaman Pendekar Sadis hanya diketahuinya dari berita saja. Melihat sikap dan wajah pemuda itu, dia sama sekali tidak mempunyai hati membenci, karena sikap Thian Sin cukup sopan dan jujur, bukan sombong, dan wajahnya juga patut menjadi seorang pendekar muda yang gagah perkasa. Maka, mendapat teguran seperti itu, wajahnya menjadi merah, dan dia merasa serba salah. “Kalau begitu, biarlah dia mengaso dulu... aku tidak mau memperoleh kemenangan karena kelelahan lawan...” Kim Hong tersenyum. “Tidak perlu sungkan, locianpwe. Saya kira locianpwe tidak memiliki permusuhan pribadi dengan Pendekar Sadis, melainkan karena sebagai tamu di Kun-lun-pai maka locianpwe hendak melakukan kewajiban sebagai seorang tamu dan sahabat baik Kun-lun-pai untuk melawannya, bukan? Dan locianpwe juga menganggap bahwa peristiwa di Kun-lun-pai yang menyebabkan kematian Jit Goat Tosu disebabkan oleh kesalahan Pendekar Sadis, maka untuk itu pula kini locianpwe hendak melawannya, bukan?” Tentu saja kakek itu merasa enak dituntun seperti itu, dicarikan alasan yang demikian tepat dan kuat, maka diapun mengangguk dan berkata, “Benar... benar sekali, nona.” Dia tidak tahu bahwa dia dituntun ke dalam perangkap oleh gadis yang pandai itu. Setelah kakek itu menjawab demikian, Kim Hong tertawa, menutupi mulut dengan tangan kirinya. “Nah, ketahuilah, locianpwe, yang bertanggung jawab atas peristiwa yang terjadi di Kun-lun-pai itu adalah akul Jit Goat Tosu adalah supekku, juga musuhku dan karena akulah maka dia membunuh diri. Pendekar Sadis hanya menemaniku saja memasuki Kun-lun-pai. Oleh karena itu, kalau engkau hendak maju, bukan Pendekar Sadis lawanmu melainkan aku! Nah, aku sudah siap, locianpwe, majulah dan mari kita main-main sebentar!” Tentu saja Liang Sim Cinjin menjadi terkejut. Dia memang sudah tahu akan hal itu, akan tetapi sama sekali tidak pernah dibayangkannya bahwa dia harus bertanding melawan gadis muda ini. Kalau dia tahu bahwa dia harus melayani gadis ini, tentu dia akan berpikir dua kali untuk maju. Bukan takut kalah, melainkan baru maju saja sudah harus malu. Masa seorang tokoh besar seperti dia, seorang kakek yang menduduki tempat tinggi di dunia kaum pendekar, kini harus menandingi seorang gadis remaja? Dia tidak tahu sama sekali bahwa yang dihadapinya itu bukanlah sembarang gadis remaja, melainkan orang yang pernah menjadi Lam-sin dan yang telah menggegerkan dunia persilatan dengan sepak terjangnya sebagai datuk kaum sesat di dunia selatan! “Kecuali kalau locianpwe merasa takut untuk melawanku, boleh saja locianpwe mundur, biar diganti oleh siapa saja yang lebih berani!” Memang pandai sekali Kim Hong. Setelah memojokkan kakek itu sehingga kakek itu tidak mungkin memaksa Thian Sin untuk melawannya, kini dia memaksa pula kakek itu agar tidak mundur kembali. Gadis ini tidak ingin melihat Thian Sin seorang diri saja menghadapi mereka semua itu, kalau sampai terjadi perkelahian satu lawan satu secara bergiliran. Bagaimanapun juga, ialah yang menyebabkan Thian Sin dihadapi oleh para pendekar untuk diadili! “Nona muda, kesombonganmu tidak kalah oleh Pendekar Sadis agaknya. Kalau aku tidak mau melayanimu, tentu semua orang akan mentertawakan dan menganggap aku benar-benar takut. Nah, majulah dan ingin kulihat apakah benar penuturan para pimpinan Kun-lun-pai bahwa engkaupun memiliki ilmu kepandaian yang amat lihai.” “Locianpwe ingat bahwa kami datang bukan untuk mencari permusuhan, melainkan kalian semua di sinilah yang sengaja mengajak berkelahi. Kalau locianpwe dan semua orang di sini tidak menantang, kamipun akan pergi dengan aman. Kalau sebaliknya locianpwe mengajak mengadu ilmu, majulah dan tidak perlu sungkan-sungkan lagi, aku sudah siap!” Bocah ini sungguh tekebur, pikir Liang Sim Cinjin, akan tetapi pandai bicara dan sikapnya seolah-olah seorang yang memiliki kedudukan tinggi menghadapi lawan yang seimbang atau setidaknya lebih tinggi daripada tingkatnya. Pantasnya bukan sikap seorang gadis remaja, melainkan seorang locianpwe. Dia tidak tahu bahwa sikap itu adalah sikap Lam-sin, datuk kaum sesat bagian selatan! “Nona muda, jagalah seranganku ini!” bentaknya halus dan diapun mulai melangkahkan kakinya maju dan mengirim pukulan dengan telapak tangan kiri, menampar ke arah pundak. Pukulan yang kelihatannya sederhana dan sembarangan saja, akan tetapi begitu tangan itu bergerak, terdengar suara bercuitan yang nyaring dan tentu saja Kim Hong segera mengenal ilmu pukulan ampuh yang mengandung tenaga sin-kang yang amat kuat. Maka cepat iapun mengelak. Akan tetapi gerakan kakek itu ternyata cepat dan otomatis karena begitu dielakkan pukulan pertama itu Kim Hong merasakan adanya sambaran angin keras sekali dari arah kirinya dan ternyata kakek itu sudah menggerakkan topi capingnya yang bundar itu. Angin berdesir diikuti suara berdesing ketika caping itu menyambar ke arah leher Kim Hong. Kembali Kim Hong mengelak, mempergunakan gin-kangnya yang memang istimewa itu sehingga sekali tubuhnya berkelebat sambaran caping itupun tidak mengenai sasaran dan kini Kim Hong cepat pula membalas dengan tamparan jari tangannya. “Plak-plak-plak!” Tiga kali berturut-turut ia menampar dan tiga kali pula kakek itu dapat menangkis. Liang Sim Cinjin terkejut ketika merasa betapa tangan lawan itu lunak sekali, akan tetapi kelunakan yang membuat tenaga sin-kangnya sendiri seolah-olah besi bertemu dengan kapas, tenaganya seperti tenggelam dan tidak menimbulkan bekas apa-apa. Tahulah dia bahwa lawannya itu pandai mempergunakan Ilmu Bian-kun, semacam ilmu silat yang menggunakan tenaga lemas yang dinamakan Tangan Kapas, namun sesungguhnya merupakan sin-kang tingkat tinggi yang selain dapat dipergunakan untuk melawan sin-kang yang sifatnya keras, juga bahkan berani dipakai menyambut senjata lawan. Maka kakek ini berlaku hati-hati, akan tetapi diapun cepat mengirim serangen bertubi-tubi dengan tangan kirinya, dengan capingnya, juga dengan kedua kakinya yang mengirim tendangantendangan berantai. Kakek ini terkenal sekali dengan langkah-langkah Cap-sha-seng-pouw (Tiga Belas Bintang) dan ke manapun lawan menyerang tubuhnya dan menghindarkan dengan menggunakan langkah-langkah ajaib itu. Dan hebatnya, dengan langkah-langkah itu, bukan hanya dia pandai menghindarkan serangan, bahkan juga dapat langsung dan secara kontan keras membalas setiap serangan lawan hanya dengan langkah-langkah ajaib itu. Setelah lawan mempergunakan langkah-langkah ajaib, terutama sekali dengan adanya serangan-serangan hebat dengan senjata caping, Kim Hong menjadi repot juga. Belum pernah ia menghadapi senjata seperti itu, yang kadang-kadang dapat berputar dengan cepatnya dan mengeluarkan suara mengiang-ngiang dan berdesing-desing dan juga harus diakuinya bahwa langkah-langkah ajaib kakek itu benar-benar luar biasa sekali. Bahkan keunggulannya dalam hal gin-kang tidak banyak menolong. Gerakannya memang lebih cepat, akan tetapi dengan langkah-langkah aneh, tahu-tahu kakek itu sudah berada di belakangnya dan sudah menghujaninya dengan serangan-serangan dahsyat! Beberapa kali hampir saja ia menjadi korban serangan tiba-tiba yang tidak tersangka-sangka datangnya itu. Biarpun ia sudah membalas dengan serangan-serangan dahsyat juga, namun tetap saja perpaduan antara senjata caping dan langkah-langkah ajaib itu membuatnya benar-benar kewalahan. “Srattt...” tiba-tiba nampaklah sepasang sinar hitam berkelebat dan ternyata Kim Hong telah mencabut keluar Hok-mo Siang-kiam, sepasang pedang hitamnya. Dua batang pedang hitam itu segera digerakkan dengan kecepatan kilat, lenyap bentuk pedangnya dan yang nampak hanyalah gulungan sinar hitam yang menyambar-nyambar, yang segulung menahan gerakan caping setiap kali menyambar ke arahnya dan yang ke dua membalas dengan serangan balasan yang dahsyat pula. Akan tetapi, tentu saja Kim Hong juga menjaga perasaan Thian Sin dan ia tidak mau kalau sampai pedangnya melukai apalagi membunuh lawan. Oleh karena itu, begitu ia sudah berhasil memecahkan desakan lawan dan berbalik ia kini mendesak dengan ilmu Pedang Hok-mo Kiam-sut yang lihai, tiba-tiba ia melihat bayangan caping menyambar ke arah kepalanya. Ia tidak menangkis, melainkan cepat menundukkan kepala dan gerakan kepalanya yang mengelak ini dilakukan dengan keras-keras. Lawannya hanya mengira bahwa gadis itu mengelak dengan menggerakkan kepala, tidak tahu bahwa dengan gerakan kepala itu, tiba-tiba sanggul rambut Kim Hong terlepas, dan gumpalan rambut itu mengirim totokan ke arah pergelangan tangan lawan! “Tukkk! Ahhhhh...!” Liang Sim Cinjin sama sekali tidak pernah mengira akan serangan hebat ini dan tahu-tahu pergelangan tangannya sudah tertotok, membuat jari-jari tangannya yang memegang caping menjadi lumpuh dan tentu saja caping itu terlepas dari pegangannya. Ketika dia hendak menyambar caping itu dengan tangan, dua sinar pedang menghalangnya. Terpaksa dia meloncat mundur dan caping itu menggelinding di atas tanah. Kakek itu menarik napas panjang dan berkata, “Sungguh luar biasa sekali kepandaian nona. Aku yang sudah tua dan tidak berguna ini mengakui keunggulanmu!” Kim Hong menyimpan sepasang pedangnya dan menjura sambil tersenyum. “Terima kasih, locianpwe telah mengalah, dan akupun tidak ingin bermusuh dengan siapapun juga kecuali orang-orang yang berbuat jahat. Aku tidak berani mengangkat diri sebagai pendekar, akan tetapi saat ini tidak ada sedikitpun niat jahat dalam hatiku.” Dan iapun mundur. Thian Sin meloncat maju ke depan. “Kuharap cu-wi sekalian dapat menginsyafi keadaan kami berdua. Kami tidak sengaja memusuhi Kun-lun-pai, dan tentang sikap kami terhadap para penjahat, hal itu tidak ada sangkut-pautnya dengan orang lain. Akan tetapi, kami telah datang ke sini untuk mempertanggungjawabkan semuanya, bukan untuk membiarkan diri ditangkap karena kami tidak merasa bersalah. Maka, kalau masih ada yang penasaran dan hendak memberi hukuman kepadaku, silakan maju, selagi aku berada di sini!” Kata-kata ini cukup keras dan wajah kedua orang pemimpin Kun-lun-pai sudah berubah merah karena penasaran dan marah melihat betapa dua orang di antara tamu-tamu mereka telah dikalahkan oleh dua orang muda pengacau itu. Kesalahan-kesalahan lama dari Pendekar Sadis belum diadili, kini telah dibuatnya kesalahan-kesalahan baru dengan menandingi dan mengalahkan tamu-tamu terhormat dari Kun-lun-pai yang berarti menghina Kun-lun-pai pula! Mereka sudah bangkit dan hendak maju, akan tetapi pada saat itu, Han Tiong sudah meloncat ke depan. Wajah pemuda ini agak pucat ketika dia menghadapi Thian Sin. “Bagus sekali, Ceng Thian Sin! Engkau memang gagah perkasa! Nah, coba kauperlihatkan bagaimana engkau akan membunuh aku!” Setelah berkata demikian, Han Tiong sudah maju menyerang dengan totokan It-sin-ci (Totokan Satu Jari), tujuh kali berturut-turut. “Tiong-ko... jangan...!” Thian Sin mengelak ke sana-sini dan karena dia tidak mau melawan, tentu dia akan terkena totokan-totokan maut itu kalau saja tidak tiba-tiba Kim Hong menarik lengannya dari belakang. “Tiong-ko... jangan mengangkat tangan terhadap diriku...” Thian Sin meratap, suaranya terdengar penuh kepiluan. “Agaknya hanya kalau aku menyerahkan nyawa kepadamu maka engkau akan puas!” kata Han Tiong dan dia sudah menerjang lagi. “Dukkk...!” Kim Hong yang menangkis. “Bagus, kalian berdua boleh maju dan membunuhku, lebih baik begitu!” kata Han Tiong kepada kedua orang itu. Keadaan menjadi tegang sekali dan saat itu dipergunakan oleh Kui Yang Tosu untuk berseru dengan lantang. “Saudara-saudara sekalian, ketahuilah bahwa Nona Toan Kim Hong ini bukan lain adalah Lam-sin, datuk kaum sesat dari dunia selatan itu! Nah, kalau sahabatnya adalah Lam-sin, mudah kita ketahui manusia macam apa adanya Pendekar Sadis.” Sebelum Thian Sin menjawab, Kim Hong sudah mendahuluinya, bukan jawaban langsung kepada Kui Yang Tosu, melainkan ditujukan kepada semua orang yang hadir di tempat itu, suaranya lantang, sikapnya menantang, “Benar sekali! Memang aku pernah menjadi Lam-sin! Akan tetapi, kini Lam-sin telah tidak ada, yang ada hanyalah Toan Kim Hong! Semenjak aku berjumpa dengan Pendekar Sadis, telah kuenyahkan Lam-sin dan Bu-tek Kai-pang telah kububarkan. Pendekar Sadis yang telah membuat aku sadar dan meninggalkan dunia hitam!” Thian Sin yang melihat kakaknya sudah maju, kini tidak mau banyak ribut lagi. Dia menarik tangan Kim Hong sambil berkata, “Sudahlah, Kim Hong. Mari kita tinggalkan orang-orang yang baik-baik ini, kita orang-orang yang jahat tidak ada harganya untuk berbincang-bincang dengan orang-orang yang baik-baik dan bersih ini. Tiong-ko, maafkan aku, sungguh tak kusangka akan begini jadinya di antara kita. Maafkan, Tiong-ko...” Suaranya mengadung isak dan dia sudah menarik tangan Kim Hong, diajaknya pergi dengan cepat dari tempat itu. Kui Yang Tosu yang sudah marah itu lalu berseru, “Kejar mereka!” “Tahan...!” Tiba-tiba Han Tiong berteriak dan diapun sudah melompat ke depan dan menghadang Kui Yang Tosu dan yang lain-lain. Semua orang memandang kepadanya dan Kui Yang Tosu mengerutkan alisnya. “Cia-taihiap, apakah sekarang engkau berbalik hendak melindunginya?” Han Tiong menggelengkan kepalanya. “Tidak, akan tetapi lupakah totiang bahwa totiang mengundang kami untuk rapat besok pagi di mana akan dibicarakan tentang Pendekar Sadis? Mereka yang berkepentingan belum datang, rapat belum diadakan, keputusan belum diambil, apakah totiang kini sudah hendak melakukan tindakan tanpa adanya keputusan rapat terlebih dahulu? Apakah totiang atau Kun-lun-pai hendak membelakangi Cin-ling-pai dan Lembah Naga?” Semua orang terkejut dan Kui Im Tosu berseru, “Siancai... siancai... siancai...! Sute, kesabaran harus diutamakan, hati boleh panas akan tetapi kepala harus dingin. Ucapan Cia-taihiap memang tepat. Kita harus menanti sampai rapat besok.” Kui Yang Tosu merangkap kedua tangan depan dada sambil berkata, “Siancai... pinto mohon maaf...” Sambil menanti datangnya esok hari, Han Tiong menyendiri di dalam markas Kun-lun-pai itu. Dia merasa berduka sekali dan juga bingung memikirkan Thian Sin. Dia membutuhkan nasihat orang-orang tua dan dia mengharapkan kedatangan ayahnya dan juga ketua Cin-ling-pai. Dia sendiri kini tidak mungkin dapat mempertanggungjawabkan perbuatan Thian Sin setelah adiknya itu datang sendiri tadi. *** Pada keesokan harinya, makin banyak pendekar datang memenuhi undangan Kun-lun-pai sehingga ruangan tamu itu dihadiri oleh kurang lebih lima puluh orang tokoh-tokoh utama dari dunia persilatan golongan bersih atau para pendekar. Kedatangan Cia Sin Liong bersama isterinya disambut dengan hormat oleh para pendekar, dan tentu saja Han Tiong girang sekali melihat datangnya ayah ibunya. Segera dia menghadap dan menceritakan semua yang telah dialaminya dalam pertemuannya dengan adiknya itu. Mendengar penuturan puteranya itu, Cia Sin Liong menarik napas panjang berkali-kali. Dia teringat kepada kakak angkatnya, Pangeran Ceng Han Houw dan dia beberapa kali bertukar pandang dengan isterinya ketika mendengar cerita putera mereka. Kemudian dia berkata, “Ahh, dia mewarisi jiwa pemberontak dan pendendam seperti ayah kandungnya. Agaknya sifat itu terpendam dalam-dalam di sanubarinya sehingga gemblengan pamannya Hong San Hwesio dan pendidikan dariku kepadanya hanya menutupi sementara saja.” Isteri Pendekar Lembah Naga, yaitu Bhe Bi Cu tertarik sekali mendengar tentang wanita yang menjadi kekasih dan calon isteri Thian Sin. “Lam-sin? Aih, bagaimana Thian Sin memperoleh jodoh datuk kaum sesat?” “Akan tetapi menurut penuturan Tiong-ji, Lam-sin telah berubah menjadi seorang gadis, Toan Kim Hong keturunan seorang pangeran yang amat lihai ilmunya. Asalkan ia benar-benar sudah sadar dan mengubah jalan hidupnya, tidak ada halangannya,” kata Cia Sin Liong. “Bukan main!” kata pula Bhe Bi Cu. “Siapa kira bahwa nenek yang telah menyelamatkan Lian Hong kemudian menjadi gurunya itu, yang terkenal sebagai datuk kaum sesat yang menyeramkan, ternyata adalah penyamaran seorang gadis muda!” “Dan gadis itu telah memiliki kepandaian tinggi, sungguh merupakan pasangan yang cocok bagi Thian Sin.” kata suaminya. Han Tiong mengerutkan alisnya, “Ayah dan ibu, memang kulihat bahwa mereka itu saling mencinta, sama keras hatinya dan Nona Toan itupun cantik jelita. Agaknya segalanya memang tidak mengecewakan jika ia menjadi jodoh Sin-te, hanya saja... ah, kalau mereka menjadi suami isteri lalu keduanya kembali lagi ke jalan sesat, agaknya akan sukarlah untuk mengatasi mereka kalau mereka bergabung. Ilmu kepandaian Sin-te sudah maju pesat sekali, ayah, dia sudah mewarisi ilmu peninggalan ayah kandungnya, dan agaknya tingkat kepandaian calon isterinya itupun tidak kalah olehnya. Pasangan itu akan merupakan pasangan yang mungkin sukar dicari bandingnya, seperti pasangan ketua Cin-ling-pai saja.” Selagi pemuda itu bercakap-cakap dengan ayah bundanya, datanglah seorang kakek dan seorang nenek yang disambut dengan penuh penghormatan. Kakek itu usianya sudah hampir delapan puluh tahun dan nenek itupun sebaya dengannya, akan tetapi mereka berdua masih nampak sehat dan masih nampak bekas-bekas ketampanan dan kecantikan wajah mereka. Kakek itu bukan lain adalah Yap Kun Liong dan nenek itu adalah Cia Giok Keng, suami isteri yang melalui masa tuanya di tempat sunyi dan damai, yaitu di puncak Gunung Bwe-hoa-san. Setelah mereka disambut girang dengan hormat oleh pihak Kun-lun-pai dan para tamu, dan disambut girang oleh Cia Sin Liong sekeluarga, baru diketahui bahwa kakek dan nenek itu mempunyai kesempatan untuk mengadakan pertemuan sendiri bersama Cia Sin Liong sekeluarga. “Paman dan bibi, kenapa ayah tidak dapat datang?” Sin Liong bertanya kepada kedua orang kakek dan nenek itu. Tadinya Sin Liong mengira bahwa tentu ketua Cin-ling-pai, yaitu ayahnya, Cia Bun Houw, akan datang sendiri. Akan tetapi ternyata kini diwakilkan kepada nenek itu yang menjadi kakak dari ayahnya, dan kakek yang menjadi suami ke dua dari nenek itu setelah ia kematian suaminya yang pertama. “Pertama, ada terjadi sesuatu yang tidak enak sehingga ayahmu tidak datang sendiri untuk bicara tentang Ceng Thian Sin. Dan kedua kalinya, Thian Sin adalah anak Ciauw Si, jadi dia itu adalah cucuku sendiri, maka menurut ayahmu, lebih tepat kalau aku yang datang,” demikian jawab Nenek Cia Giok Keng. “Dan memang kami anggap pendapat ayahmu itu benar. Aku yakin akan dapat bicara kepada Thian Sin kalau dapat bertemu dengan dia. Ah, anak itu nakal sekali!” “Telah terjadi hal apakah yang membuat tidak enak?” Han Tiong bertanya sambil memandang kepada kakek dan nenek itu penuh kekhawatiran karena tentu telah terjadi sesuatu yang menyangkut Thian Sin sehingga kakeknya, ketua Cin-ling-pai tidak mau datang sendiri untuk bicara tentang adik angkatnya itu. Yap Kun Liong menarik napas panjang. “Mungkin kalian dari Lembah Naga belum pernah mendengar bahwa Cia Kong Liang telah melangsungkan pertunangan atau ikatan jodoh dengan puteri tunggal dari Tung-hai-sian...” “Ahh, sungguh memalukan...!” Cia Giok Keng menyambung dan menghela napas. Tentu saja ia merasa menyesal bahwa keponakannya itu, putera tunggal dari adiknya, Cia Bun Houw ketua Cin-ling-pai, berjodoh dengan puteri seorang datuk sesat pula! Akan tetapi Han Tiong kelihatan tenang-tenang saja, bahkan dia lalu tersenyum. Dia tidak merasa heran karena dia telah melihat tanda-tanda bahwa pamannya itu menaruh hati terhadap Nona Bin Biauw, puteri dari Tung-hai-sian Bin Mo To yang memang cantik dan memiliki kepandaian lumayan itu. Dan hatinya terasa nyaman ketika dia teringat bahwa adik angkatnya, Thian Sin, juga bertunangan dengan seorang datuk sesat! Benar pula kata ayahnya, biarpun tadinya menjadi orang sesat, asalkan telah insyaf dan sadar, kembali ke jalan benar, apa salahnya? Dan diapun melihat bahwa Kim Hong tidak bersikap jahat. Sebaliknya malah. Bukankah bekas datuk Lam-sin itu membantu adik angkatnya untuk menghadapi datuk-datuk lain seperti See-thian-ong, Pak-san-kui dan lain-lain? “Aku telah melihat nona puteri Tung-hai-sian itu, dan dia memang cantik, berwatak gagah dan tinggi pula ilmu silatnya. Memang ia cocok sekali kalau menjadi jodoh Paman Cia Kong Liang,” katanya dan ayahnya memandang kepadanya, lalu tersenyum. Pendekar Lembah Naga ini mengenal betul watak puteranya dan diam-diam dia merasa bangga karena puteranya itu memiliki watak yang jauh lebih bijaksana daripada wataknya ketika dia seusia puteranya. Dia tahu pula betapa mendalam kasih sayang puteranya terhadap Thian Sin, maka dia mengerti apa yang menyebabkan puteranya nampak lega mendengar bahwa Cia Kong Liang bertunangan dengan puteri seorang datuk kaum sesat! “Akan tetapi, sikap Tung-hai-sian Bin Mo To memang patut dipuji. Dalam kesempatan merayakan ikatan jodoh itu, dia mengumumkan bahwa dia telah mencuci tangan dan keluar dari kalangan hitam, bahkan dia telah membuang julukannya, yaitu Tung-hai-sian, dan hanya menjadi seorang saudagar biasa bernama Bin Mo To.” Kemudian Yap Kun Liong menceritakan, seperti yang didengarnya dari adik iparnya itu, betapa dalam pesta itu muncul Thian Sin dan Kim Hong yang menantang Bin Mo To. “Ah, agaknya Sin-te memang hendak memusuhi semua datuk kaum sesat.” kata Han Tiong. “Agaknya demikian, akan tetapi sikap Bin Mo To memang baik sekali. Dia mematahkan pedang samurainya dan menolak tantangan Thian Sin.” “Bagus!” Cia Sin Liong berseru. “Sikap itu tentu merupakan tamparan bagi Thian Sin.” “Mereka mengejek Bin Mo To dan mula-mula Cia Kong Liang maju, ditandingi oleh Toan Kim Hong dan Kong Liang dikalahkah gadis itu...” “Tentu saja!” kata Cia Sin Liong lagi memotong kata-kata pamannya. “Lam-sin itu memiliki kepandaian hebat, tidak aneh kalau Kong Liang kalah olehnya.” “Kemudian, ayah ibumu maju dan ibumu memaki-maki Thian Sin yang minta ampun dan mengajak pergi Kim Hong. Nah, itulah peristiwanya yang terjadi di dalam pesta pertunangan itu, dan itu pula sebabnya mengapa ayahmu tidak mau datang menghadiri rapat untuk membicarakan urusan Thian Sin.” Yap Kun Liong mengakhiri ceritanya yang didengarkan oleh keluarga Cia bertiga itu. Mereka bercakap-cakap dan saling menuturkan keadaan mereka selama mereka tidak berjumpa sampai akhirnya terdengar pengumuman dari pihak tuan rumah bahwa rapat para pendekar dimulai di ruangan tamu yang luas. Semua tamu sudah dipersiapkan. Agaknya karena urusan yang hendak dibicarakan menyangkut diri Pendekar Sadis yang masih merupakan keluarga Cin-ling-pai dan Lembah Naga, maka pendekar tua Yap Kun Liong bersama isterinya dan keluarga Lembah Naga memperoleh tempat duduk kehormatan, di dekat tempat pihak tuan rumah, yaitu kedua ketua Kun-lun-pai, Kui Im Tosu dan Kui Yang Tosu. Setelah mengucapkan selamat datang dan berterima kasih, Kui Yang Tosu yang mewakili pihak tuan rumah lalu langsung membicarakan pokok persoalan. Diceritakannya tentang berita-berita tentang sepak terjang Pendekar Sadis, tentang cara-cara pembunuhan yang amat kejam ketika pendekar itu membasmi penjahat-penjahat, tentang pembunuhan yang dilakukannya terhadap Toan Ong, dan kemudian sekali tentang perbuatan Pendekar Sadis dan Lam-sin atau Toan Kim Hong yang mendatangi Kun-lun-pai dan yang menyebabkan kematian Jit Goat Tosu. Dari cara menceritakannya saja sudah dapat dirasakan oleh semua orang betapa tosu ini merasa marah dan sakit hati terhadap Pendekar Sadis, dan ceritanya mengandung harapan agar rapat itu mengutuk dan menghukum Pendekar Sadis. Sebagai penutup penuturannya yang makan waktu satu jam lebih itu, Kui Yang Tosu berkata, “Oleh karena itulah kami dari Kun-lun-pai, hari ini mengundang cu-wi untuk berkumpul dan membicarakan urusan Pendekar Sadis, mengambil keputusan apa yang sepatutnya kita lakukan terhadap perbuatan sewenang-wenang darinya itu. Dan mengingat bahwa Pendekar Sadis adalah Ceng Thian Sin, putera dari mendiang Pangeran Ceng Han Houw yang telah menjadi putera angkat Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong Taihiap, dan juga masih ada hubungan keluarga dengan Cin-ling-pai, maka kami sengaja mengundang saudara-saudara dari Cin-ling-pai dan juga dari Lembah Naga untuk kami mintakan pertanggungan jawabannya dan pertimbangannya.” Tosu itu lalu memberi hormat kepada semua tamu dan duduk kembali di samping suhengnya, Kui Im Tosu. Suasana menjadi berisik ketika tosu itu menghentikan pidatonya dan semua tamu saling bicara sendiri. Biarpun mereka bicara perlahan-lahan setelah berbisik, akan tetapi karena yang bicara itu banyak orang, maka suasana menjadi berisik sekali, seperti dalam pasar saja. Hanya keluarga Cin-ling-pai dan Lembah Naga yang nampak duduk dengan tenang dan diam-diam saja, agaknya menanti keadaan dan tidak merasa perlu untuk banyak bicara. Tiba-tiba seorang yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam bangkit dari tempat duduknya dan dengan suara lantang dia berkata, “Pendekar Sadis harus dibasmi! Dosanya telah bertumpuk-tumpuk!” Tentu saja semua orang memandang kepada si tinggi besar muka hitam ini dan diapun mengangkat dada, wajahnya nampak bangga. Memang, dalam suatu pertemuan, di mana terdapat banyak orang, kita selalu mempunyai kecondongan hati untuk menonjolkan diri dengan cara apapun juga. Si tinggi besar bermuka hitam ini adalah seorang pendekar ahli gwa-kang (tenaga luar), mempunyai otot-otot yang kuat dan tenaganya seperti seekor gajah, julukannya juga Ban-kin Hek-jio (Gajah Hitam Selaksa Kati) bernama Ciong Sam, namanya terkenal di daerah Hok-kian dan mahir ilmu silat campuran antara ilmu silat Siauw-lim-pai dan ilmu silat dari Kang-lam. Hadir di antara para tokoh pendekar besar itu, Si Gajah Hitam ini tentu saja merasa dirinya menjadi besar dan diapun yang pertama kali berteriak mengutuk Pendekar Sadis itu. Bukan sekali-kali karena dia memang membenci Pendekar Sadis melainkan sepenuhnya terdorong untuk menonjolkan diri itu saja! Dan banggalah hatinya ketika semua orang memperhatikan dirinya. Betapapun juga, ucapannya itu memancing persetujuan banyak pendekar yang hadir di situ. Banyak di antara mereka yang berseru mengutuk Pendekar Sadis, setidaknya menyatakan ketidaksenangan hati mereka. Keadaan menjadi berisik sekali. “Pendekar yang bersahabat dengan datuk seperti Lam-sin bukan pendekar lagi, melainkan penjahat! Harus diberantas!” “Mari kita datangi mereka berdua dan menumpas mereka!” “Bunuh Pendekar Sadis dan Lam-sin!” “Pendekar Sadis memalukan kita sebagai pendekar-pendekar!” Dan teriakan-teriakan semacam itu terdengar di sana-sini. Kui Im Tosu yang melihat ini lalu memandang ke arah tamu kehormatan di sebelahnya, yaitu lima orang dari Cin-ling-pai dan Lembah Naga dan ketua pertama dari Kun-lun-pai ini merasa tidak enak dan bangkit berdiri, mengangkat kedua tangannya ke atas dan suara berisik para tamu perlahan-lahan menjadi berhenti dan keadaan menjadi tenang kembali. “Cu-wi yang terhormat harap suka tenang dan sebaiknya kalau dalam urusan yang menyangkut diri Pendekar Sadis ini, kita mendengarkan pendapat dan pertimbangan dari para pendekar Cin-ling-pai dan Lembah Naga yang terhormat.” Setelah berkata demikian, Kui Im Tosu yang biasanya tidak banyak bicara itu lalu duduk kembali. Mendengar ucapan ini, Cia Sin Liong lalu berbisik kepada Yap Kun Liong. “Paman, kalau Paman mempunyai pendapat sesuatu, silakan.” “Bukan aku, Sin Liong, melainkan engkaulah sebagai ayah angkatnya yang lebih tepat untuk bicara.” “Benar, Sin Liong, engkaulah yang harus menyatakan pendapatmu,” sambung Cia Giok Keng kepada keponakannya itu. Sementara itu, melihat para tamu terhormat itu saling berbisik, Kui Yang Tosu lalu bangkit dan berkata dengan suara lantang, “Harap para pendekar yang terhormat dari Cin-ling-pai dan Lembah Naga suka menyatakan pertimbangan mereka mengenai urusan Pendekar Sadis! Silakan!” Semua orang kini memandang ke arah rombongan tamu kehormatan itu dan melihat Cia Sin Liong, Pendekar Lembah Naga bangkit dari tempat duduknya, semua mata diarahkan kepadanya dan menanti apa yang akan dikatakan oleh pendekar besar yang menjadi ayah angkat dari Pendekar Sadis. Suara Pendekar Lembah Naga terdengar tenang akan tetapi cukup lantang dan suara itu mengandung gema yang menggetar karena kekuatan khi-kang yang mendorong suara itu seolah-olah keluar dari dalam perutnya. “Para locianpwe dan para saudara yang gagah perkasa dan budiman! Tidak perlu disangkal lagi, Ceng Thian Sin putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw yang kini disebut orang Pendekar Sadis itu adalah anak angkat saya dan sejak kecil telah berada dalam perawatan dan pendidikan saya. Maka sudah sepatutnya kalau saya sebagai ayah angkatnya dimintai pendapat dan pertimbangan saya. Kami dari Cin-ling-pai dan Lemhah Naga datang memenuhi undangan Kun-lun-pai untuk memberi pendapat, pertimbangan dan juga tanggung jawab. Kami bukan bermaksud membela anak angkat kami, melainkan ingin mengajak anda sekalian yang budiman untuk bicara dengan hati terbuka dan dengan kejujuran.” Semua orang menjadi semakin tegang. Ucapan Pendekar Lembah Naga itu sungguh mantap dan mengandung wibawa yang kuat. Kui Yang Tosu sebagai wakil pembicara Kun-lun-pai dapat merasakan juga kekuatan ini, maka diapun berkata untuk menyelingi ucapan Pendekar Lembah Naga yang berhenti sejenak itu. “Siancai! Kata-kata Cia-taihiap dari Lembah Naga memang amat mengagumkan dan patut untuk diperhatikan. Silakan taihiap melanjutkan.” “Cu-wi adalah pendekar-pendekar penentang kejahatan. Dan cu-wi semua tentu tahu bahwa di dunia ini banyak terdapat penjahat-penjahat yang tersebut sebagai golongan hitam, di mana terdapat para tokoh dan datuknya. Akan tetapi, mengapa baru sekarang cu-wi berkumpul dan serentak bangkit hendak menentang dan membasmi Pendekar Sadis? Mengapa sebelum ini, bahkan sampai sekarangpun, cu-wi tidak pernah menentang para tokoh dan datuk kaum sesat? Mengapa justeru Pendekar Sadis yang hendak cu-wi tentang? Mari kita bicarakan dengan hati terbuka dan jujur dan suka memberi jawaban kepada saya. Mengapa cu-wi memusuhi Pendekar Sadis?” Sejenak semua tamu hanya saling pandang dan tidak mampu menjawab, akan tetapi kembali mereka didahului oleh Ban-kin Hek-jio yang berteriak, “Karena Pendekar Sadis amat kejam dalam menyiksa musuh-musuhnya sehingga merugikan nama baik para pendekar! Itulah sebab yang utama!” Teriakan ini disusul pula oleh teriakan-teriakan lain. “Karena dia membunuh Toan-ong-ya yang menjadi sahabat baik para pendekar!” “Karena dia bersekutu dengan Lam-sin!” “Karena dia mengacau Kun-lun-pai dan menentang para pendekar!” Cia Sin Liong mendengarkan dengan sangat teliti dan dia memperoleh kenyataan bahwa jawaban-jawaban yang bersimpang siur itu hanya berkisar sekitar tiga pokok ini. Maka diapun mengangkat tangan meredakan suasana, lalu melanjutkan kata-katanya, suaranya lantang dan mantap. “Menurut pendengaran saya, hanya ada tiga sebab yang membuat cu-wi mengambil keputusan untuk menentang dan membasmi atau membunuhnya. Mari kita bahas satu demi satu sebab itu. Dan jangan mengira bahwa saya hendak membela atau melindungi anak angkat saya itu, sama sekali tidak. Hanya kita yang mengaku pendekar-pendekar harus dapat membuka mata melihat kenyataan dan tidak bertindak menurutkan nafsu hati belaka. Pertama ingin saya singgung tentang hubungan Pendekar Sadis dengan Lam-sin. Mengapa cu-wi menganggapnya sebagai dosa?” Orang yang tadi berteriak-teriak menyinggung hubungan Pendekar Sadis dengan Lam-sin, tidak ada yang berani membuka mulut. Agaknya mereka gentar terhadap pendekar yang suaranya mengandung getaran penuh wibawa itu, atau memang mereka tidak mampu menjawab. Melihat ini, Kui Yang Tosu, cepat menjawab dengan suara lantang pula. “Lam-sin adalah satu di antara datuk-datuk kaum sesat dan orang yang bersekutu dengan seorang datuk sesat tentu bukan orang baik-baik!” Cia Sin Liong menahan senyumnya mendengar ini, dan dia memandang ke arah para tamu. “Cu-wi yang mulia, benarkah demikian alasannya maka cu-wi mengutuk persekutuan antara Pendekar Sadis dan Lam-sin?” “Benar! Benar!” Banyak orang yang tadinya mengajukan alasan itu berteriak membenarkan jawaban wakil ketua Kun-lun-pai. “Baiklah, mari kita perbincangkan. Kita semua tahu bahwa bukan Pendekar Sadis yang ikut dengan Lam-sin, melainkan sebaliknya, Lam-sin yang ikut dengan Pendekar Sadis. Kalau seorang pendekar mengikuti jejak seorang datuk sesat dan membantu datuk itu melakukan kejahatan, jelas bahwa dia telah menyeleweng dari jalan kebenaran. Akan tetapi, kalau seorang datuk meninggalkan kedudukannya, meninggalkan kejahatannya dan mengikuti jejak seorang pendekar, apakah hal itu salah? Lam-sin telah meninggalkan kedudukan dan namanya, membubarkan perkumpulan Bu-tek Kai-pang, dan ia ikut bersama Pendekar Sadis bukan sebagai Lam-sin lagi melainkan sebagai Nona Toan Kim Hong puteri dari mendiang Pangeran Toan Su Ong yang terkenal sebagai pendekar sakti yang memberontak terhadap kelaliman kaisar. Ia malah membantu Pendekar Sadis untuk membasmi datuk-datuk jahat seperti See-thian-ong dan Pak-san-kui! Cu-wi yang terkenal sebagai pendekar-pendekar budiman, pernahkah mencoba untuk menantang datuk-datuk itu? Dan siapa di antara cu-wi yang merasa bahwa sejak dilahirkan sampai sekarang belum pernah melakukan penyelewengan? Kalau Lam-sin yang pernah menjadi datuk itu kini berbalik karena insyaf dan kini menjadi penentang kejahatan, bukankah hal itu baik sekali? Tung-hai-sian datuk sesat dari timur juga telah menanggalkan kedudukan dan julukannya, meninggalkan kejahatan dan bahkan berbesan dengan ketua Cin-ling-pai, apakah hal itu tidak patut disambut dengan syukur?” Pendekar Lembah Naga bicara dengan semangat berapi-api, bukan hanya karena dia ingin membela anak angkatnya, melainkan karena dia melihat kemunafikan yang banyak mencengkeram hati mereka yang menyebut dirinya pendekar dan orang-orang baik. “Siancai...! Cia-taihiap terlalu bernafsu karena hendak membela putera angkatnya!” “Maaf, totiang. Bukan membela, melainkan saya menyatakan hal yang sebenarnya. Saya sendiri tidak setuju dengan cara-cara kejam yang dilakukan oleh Ceng Thian Sin dan saya akan menegurnya, bahkan akan memaksanya berjanji bahwa dia tidak akan melakukan hal itu lagi. Akan tetapi kekejamannya terhadap para penjahat yang dimusuhinya itupun ada sebabnya. Sebabnya adalah dendam dan sakit hati. Sejak kecil, dia kehilangan ayah bundanya yang mati dikeroyok dan di antara pengeroyoknya terdapat banyak orang-orang dari golongan sesat. Kemudian, berturut-turut ia mengalami gangguan-gangguan dari orang jahat sehingga dendamnya bertumpuk dan akhirnya, setelah dia berhasil mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi, dendam itu meledak dalam keganasan-keganasan terhadap musuh-musuhnya. Nah, sekarang mari kita perbincangkan alasan ke dua yang cu-wi ajukan. Yaitu tentang Pendekar Sadis membunuh Toan-ong-ya yang merupakan sahabat baik para pendekar. Bukankah di antara cu-wi banyak yang merasa penasaran bahwa Pendekar Sadis telah membunuh pangeran itu?” Banyak suara menyatakan betul demikian. “Dan, cu-wi tidak tahu apa sebabnya? Apakah tidak ada yang menceritakan kepada cu-wi mengapa dia membunuh pangeran itu, Pangeran Toan Ong yang masih terhitung paman sendiri dari Nona Toan Kim Hong yang pernah menjadi Lam-sin? Mengapa nona itu tidak sakit hati atas terbunuhnya pamannya, sedangkan cu-wi yang bukan apa-apa merasa sakit hati?” “Karena Lam-sin memang jahat dan durhaka!” terdengar jawaban orang. “Toan Ong adalah seorang yang amat berbudi terhadap para pendekar, kenyataan ini siapa dapat menyangkalnya?” kata yang lain. Sin Liong tersenyum tenang menghadapi serangan kata-kata ini. “TIdak ada yang menyangkal Toan Ong adalah seorang yang berbudi baik terhadap para pendekar dan tidaklah aneh kalau kematiannya mendatangkan kedukaan dan penyeselan. Akan tetapi saya kira tidak tepat kalau Lam-sin tidak sakit hati atas peristiwa itu karena ia masih jahat dan durhaka. Sama sekali tidak demikian. Melainkan karena ia bijaksana dan menyadari sebab kematian pamannya itu, suatu sebab yang agaknya tidak mau diterima oleh para pendekar yang budiman. Pendekar Sadis membunuh Toan Ong bukan sebagai orang yang membunuh seorang yang baik, melainkan dia membunuhnya karena dia mengira bahwa Toan Ong adalah seorang laki-laki yang jahat, keji dan semua pikiran ini disebabkan oleh fitnah yang dilakukan oleh seorang wanita. Saya kira, di antara para locianpwe yang hadir di sini sudah tahu akan hal itu, bahkan sudah melihat sendiri betapa Pendekar Sadis, setelah menyadari bahwa dia kena diakali oleh fitnah wanita itu, lalu memberi hukuman kepada wanita itu dengan sadis sekali. Bukankah demikian adanya, Kui Yang Totiang?” Kini Sin Liong memandang ke arah wakil ketua Kun-lun-pai dengan sinar mata tajam penuh selidik. Kui Yang Tosu juga memandang kepadanya dan wajah tosu itu berubah merah, akan tetapi dengan lantang dia berkata, mengakui, “Memang tidak salah, demikianlah kenyataannya. Akan tetapi apakah kalau Pendekar Sadis sudah menghukum wanita yang menjatuhkan fitnah itu, pembunuhan yang dilakukannya terhadap Pangeran Toan lalu habis begitu saja dan boleh dimaafkan?” “Ingat, totiang. Saya datang bukan sebagai pembela Pendekar Sadis, melainkan mengemukakan kenyataan-kenyataan yang patut untuk kita pertimbangan. Saya hanya ingin agar cu-wi semua tahu bahwa Pendekar Sadis membunuh Toan Ong karena menganggap dan percaya bahwa pangeran itu adalah seorang penjahat yang harus dibasminya. Memang dia ceroboh dalam hal itu, kurang teliti sehingga mudah dibohongi dan ditipu wanita jahat itu. Dan tentu saya sendiri akan menegurnya agar lain hari tidak seceroboh itu. Akan tetapi, perbuatannya itu sama sekali bukan jahat, bahkan pada saat dia menentang kejahatan pangeran itu dipercayanya sebagai orang jahat. Sekarang tentang alasan ke tiga.” “Siancai...! Cia-taihiap memang pandai sekali. Coba, pinto ingin mendengar pembelaan bagaimana yang akan taihiap ajukan untuk perbuatannya di Kun-lun-pai!” kata Kui Yang Tosu yang merasa agak mendongkol karena semua kata-kata pendekar sakti itu benar-benar mengangkat Pendekar Sadis dan memperlemah kesalahannya. “Sebelum kita mempertimbangkan urusan Pendekar Sadis dengan Kun-lun-pai, baiknya kita mendengar lebih dulu persoalannya. Mungkin cu-wi sekalian sudah mendengar akan peristiwa itu, akan tetapi agar lebih jelas dan tidak simpang-siur dan terkena hasutan cerita-cerita yang tidak betul, maka biarlah anak kami Cia Han Tiong menceritakan peristiwa yang terjadi itu seperti yang didengarnya sendiri dari mereka berdua. Han Tiong, kauceritakanlah!” Han Tiong bangkit berdiri dan Pendekar Lembah Naga duduk kembali. Pemuda ini lebih tinggi sedikit daripada ayahnya, sikapnya juga tenang seperti ayahnya dan sepasang matanya tajam sekali namun penuh dengan kelembutan. Biarpun dibandingkan dengan ayahnya dia masih kalah wibawa, namun dia tidak kalah gagahnya. Setelah menjura kepada para tamu pemuda inipun dengan lantang mulai bercerita. Mula-mula dia menceritakan riwayat Toan Su Ong yang menjadi buruan karena tidak berani melawan suhengnya yang bernama Gouw Gwat Leng karena suhengnya itu memegang bendera pusaka perguruan yang berarti bahwa suhengnya menjadi pengganti suhu mereka. Kemudian tentang kematian Toan Su Ong dan isterinya di pulau kosong, meninggalkan Toan Kim Hong yang akhirnya menjadi Lam-sin untuk beberapa tahun lamanya, sampai gadis itu berjumpa dengan Pendekar Sadis dan meninggalkan dunia sesat. “Toan Kim Hong mencari supeknya yang dianggap sebagai penyebab ayahnya menderita hidup sengsara selamanya sebagai orang buruan. Akhirnya ia mendengar bahwa supeknya telah menjadi Jit Goat Tosu dan bertapa di daerah Kun-lun-pai. Ia lalu mengajak Pendekar Sadis untuk mendatangi Jit Goat Tosu. Jadi, dalam hal ini, Pendekar Sadis hanya menemani saja Nona Toan itu yang hendak menuntut balas atas kesengsaraan mendiang ayahnya kepada supeknya sendiri. Mereka minta dengan hormat kepada pimpinan Kun-lun-pai untuk diperbolehkan bertemu dengan Jit Goat Tosu untuk urusan pribadi, urusan antara keluarga perguruan mereka sendiri. Akan tetapi oleh Kun-lun-pai nona itu diuji dan akhirnya lulus dan diperbolehkan bertemu, diantar oleh Pendekar Sadis. Dan mereka berduapun bertemulah dengan Jit Goat Tosu. Jit Goat Tosu bertempur melawan mereka dan mereka berdua tidak mampu mengalahkannya. Akan tetapi, karena memang merasa menyesal telah membuat sengsara sutenya yang amat dicintanya, Jit Goat Tosu mengalah, bahkan lalu membunuh dirinya sendiri sampai tewas! Nah, itulah yang terjadi. Kun-lun-pai marah dan hendak menangkap mereka dan mereka melarikan diri dari kepungan tanpa membunuh seorangpun anggauta Kun-lun-pai. Nah, demikianlah cerita yang saya dengar dari penuturan Ceng Thian Sin dan Toan Kim Hong.” Han Tiong lalu duduk kembali ke atas kursinya. Cia Sin Liong kemball bangkit berdiri. “Benarkah peristiwanya yang terjadi demikian, totiang?” tanyanya kepada Kui Yang Tosu. “Siancai... tidak ada yang mau berbohong dan memang benar demikianlah. Akan tetapi peristiwa itu terjadi di wilayah kami, bukankah itu berarti bahwa mereka telah melanggar wilayah kami dan pelanggaran itu sudah merupakan kejahatan dan tidak memandang kepada Kun-lun-pai?” “Maaf, totiang,” jawab Sin Liong. “Bukankah mereka itu bukan masuk seperti pencuri, melainkan dengan berterang, bahkan telah minta persetujuan Kun-lun-pai untuk menemui Jit Goat Tosu?” “Memang benar. Akan tetapi mereka berdua mendesak Jit Goat Tosu sehingga saudara tua kami itu melakukan bunuh diri! Nona itu adalah seorang murid yang murtad dan jahat, memaksa supeknya sendiri membunuh diri, tidak mengindahkan atau menghormati bendera pusakanya sendiri. Dan Pendekar Sadis membantunya mendesak Jit Goat Tosu. Bukankah itu jahat sekali dan perlu dihukum?” “Setiap orang memang mempunyai pendapat masing-masing mengenai benar atau salahnya orang lain. Akan tetapi, jelaslah bahwa urusan antara Nona Toan Kim Hong dan supeknya adalah urusan dalam suatu perguruan dan kita semua tidak berhak untuk mencampurinya! Jit Goat Tosu tewas karena kehendaknya sendiri, bukan dibunuh. Bahkan andaikata sampai mati di tangan murid keponakannya sekalipun, hal itu adalah urusan dalam perguruan mereka sendiri.” Kui Im Tosu kini bangkit berdiri dan dengan suaranya yang halus dia berkata, “Kami Kun-lun-pai mengumpulkan cu-wi sekalian memang untuk diajak bertukar pikiran dalam hal ini. Sekarang menurut pendapat Cia-taihiap sebagai ayah angkat Pendekar Sadis, bagaimana sikap yang harus kita ambil terhadapnya?” Sikap Sin Liong tetap tenang dan tegas. “Terserah kepada siapapun mau bertindak apapun terhadap Pendekar Sadis. Akan tetapi kalau dengan alasan-alasan yang telah kita bicarakan tadi, jelas bahwa kalau sampai terjadi bentrokan, Pendekar Sadis berada di pihak yang diserang lebih dulu. Dia tidak pernah mengganggu cu-wi, akan tetapi sekarang cu-wi hendak mengganggunya. Saya mengerti bahwa kematian Jit Goat Tosu membuat Kun-lun-pai merasa berduka dan juga malu. Maka kalau Kun-lun-pai hendak bertindak sendiri terhadap Pendekar Sadis, silakan. Hanya satu hal yang hendak kami kemukakan bahwa kami dari Cin-ling-pai dan Lembah Naga, akan mencarinya dan akan menasihatinya agar dia mengubah semua sikap yang kejam terhadap para penjahat, walaupun sudah sepatutnya kalau dia sebagai pendekar menentang kejahatan. Dan hendaknya cu-wi tidak mempunyai alasan yang kuat. Cu-wi tidak pernah menentang para datuk. Pendekar Sadis malah membasmi para datuk. Akan tetapi kini cu-wi hendak menentangnya dengan alasan-alasan yang amat lemah. Silakan dan kami rasa sudah cukup kami bicara!” Setelah berkata demikian, Cia Sin Liong berpamit dan pergi meninggalkan Kun-lun-pai bersama Bhe Bi Cu, Cia Han Tiong, Yap Kun Liong, dan Cia Giok Keng. Tidak ada seorangpun di antara para pendekar yang berani membantah atau mencegahnya. Pihak Kun-lun-pai maklum bahwa Pendekar Lembah Naga itu diam-diam merasa marah. Pertemuan itu dilanjutkan tanpa adanya wakil dari Cin-ling-pai dan Lembah Naga, akan tetapi mereka tidak dapat mengambil keputusan bulat setelah terpengaruh oleh semua kata-kata Pendekar Lembah Naga tadi. Dan akhirnya hanya tinggal kemengkalan hati terhadap Pendekar Sadis yang ada, tanpa adanya keputusan untuk bersama-sama menentangnya. Bagaimanapun juga mereka maklum akan kelihaiannya, apalagi dengan adanya Lam-sin di sampingnya, siapa berani mencoba-coba dan main-main dengan mereka berdua? Belum diingat lagi bahwa menentang Pendekar Sadis mungkin saja akan melibatkan Cin-ling-pai dan Lembah Naga, apalagi setelah Pendekar Lembah Naga menyatakan pendapatnya seperti itu dan bahkan sudah menyatakan akan mencari dan menasihati Pendekar Sadis agar menghentikan sikapnya yang sadis dan kejam itu. Maka akhirnya, rapat itu hanya memutuskan untuk melihat perkembangannya saja bagaimana, apakah benar-benar Pendekar Sadis akan berubah menjadi pendekar yang tidak kejam, tidak lagi melakukan penyiksaan di luar batas perikemanusiaan seperti yang sudah-sudah. Tentu saja ada kekecualiannya di antara para pendekar itu, ada yang diam-diam merasa penasaran dan diam-diam mereka itu mengambil keputusan untuk sewaktu-waktu, kalau ada kesempatan, menghadapi Pendekar Sadis dan menentangnya, ingin melihat sampai di mana kehebatan ilmu kepandaian Pendekar Sadis yang disohorkan itu. “Sudahlah Thian Sin, kenapa engkau membiarkan diri terbenam dalam kedukaan? Kalau engkau merasa penasaran, mengapa kita tidak sekarang saja mendatangi tempat pertemuan itu, tidak peduli apa jadinya nanti?” kata Kim Hong melihat kekasihnya itu duduk di atas batu sambil bertopang dagu, wajahnya nampak berduka dan pucat, sinar matanya layu dan muram. Mereka tidak lari jauh dari Kun-lun-pai, melainkan duduk di kaki pegunungan itu setelah semalam mereka bermalam di dalam hutan, melihat para tamu yang berdatangan ke puncak Kun-lun-pai, termasuk juga Kakek Yap Kun Liong bersama Nenek Cia Giok Keng, kemudian Cia Sin Liong bersama isterinya. Melihat neneknya, hampir saja Thian Sin keluar dari persembunyiannya, akan tetapi dia menahan diri dan ketika dia melihat ayah angkatnya lewat, tak tertahankan lagi dua tetes air mata membasahi pipinya. Pagi ini, dia termenung dan bertopang dagu, bahkan sejak semalam tadi, semalam suntuk dia tidak tidur, membuat Kim Hong menjadi khawatir sekali akan keadaan kekasihnya itu. Thian Sin menarik napas panjang. “Bagaimana aku tidak akan berduka, Kim Hong? Sejak aku kecil, aku selalu dirundung kemalangan, ditimbun kedukaan. Ayah bunda dibunuh orang, dan menjelang dewasa, banyak sekali peristiwa yang menyakiti hatiku, yang disebabkan oleh orang-orang jahat. Aku menimbun dendam dalam hati, dan setelah aku berhasil melampiaskan dendam, kembali aku menjadi serba salah, bahkan kini aku menyeret Cin-ling-pai dan Lembah Naga! Mereka akan dicela orang karena perbuatanku! Ah, kenapa aku selalu bernasib malang, bahkan membawa kemalangan bagi orang lain?” Pemuda itu menutupi mukanya dengan kedua tangan dan menarik napas panjang berulang-ulang. Kim Hong merasa terharu, mendekati dan merangkul pemuda itu. “Jangan berduka, Thian Sin. Ada aku di sini yang mencintamu dan akan membelamu sepenuh hatiku!” Thian Sin balas merangkul. Cinta kasihnya terhadap gadis ini makin mendalam. Di dunia ini, hanya Kim Hong seoranglah yang membela dan tidak menyalahkannya. Bahkan kakaknya yang dicintanya, Cia Han Tiong, kini menyalahkan dia! Hanya Kim Hong yang tidak menyalahkan, yang masih membela dan mencintanya. Hanya Kim Hong yang menghibur kemurungan hatinya. Diciumnya gadis itu dengan hati terharu. “Kalau tidak ada engkau, Kim Hong, entah apa jadinya denganku, entah apa yang akan kulakukan menghadapi semua ini. Rasanya aku ingin mengamuk Kun-lun-pai dan menentang semua orang yang membenciku!” Kemurungan pasti sekali waktu hinggap di dalam perasaan hati kita. Agaknya di dunia ini, semenjak jaman dahulu sampai sekarang tidak ada manusia yang dapat bebas daripada kemurungan atau kedukaan atau kekecewaan hati. Selalu saja ada persoalan yang mendatangkan kedukaan, kekecewaan dan kesengsaraan, dan kalau sudah datang perasaan duka ini, kita merasa sengsara, kita merasa prihatin, kita menderita batin, seolah-olah hati kita berdarah. Dan tidak jarang kita lalu melarikan diri dari semua derita ini, menghibur diri dengan bermacam kesenangan, atau melarikan diri sama sekali dengan membunuh diri. Atau membunuh diri secara batiniah, yaitu dengan jalan bertapa dan meninggalkan semua keramaian dunia yang sama saja artinya dengan hidup akan tetapi sudah mati. Semua ini hanyalah bentuk-bentuk pelarian belaka. Kekecewaan, kemurungan atau kedukaan timbul karena batin menginginkan yang lain daripada kenyataan, batin selalu ingin senang sehingga kalau kesenangan yang diinginkan itu tidak terjadi, hati menjadi kecewa dan berduka. Kita tidak tahu bahwa justeru KEINGINAN UNTUK SENANG inilah pencipta kekecewaan dan kedukaan. Kita menginginkan agar hidup ini manis selalu baginya. Kita membutakan mata terhadap kenyataan bahwa sekali ada manis, sudah pasti ada pahit, getir, masam, asin dan sebagainya lagi. Itulah romantika hidup. Manis, pahit, getir, masam dan lain-lain, itu merupakan suatu kumpulan yang tak terpisahkan dan yang membentuk apa yang kita namakan kehidupan ini. Karena kita selalu menginginkan yang manis, maka yang pahit dan getir terasa tidak enak, mengecewakan dan menyiksa. Padahal, belum tentu yang manis itu selalu bermanfaat, dan belum tentu kalau yang pahit itu tidak berguna! Di dalam setiap kenyataan, baik itu diterima sebagai manis atau pahit, tersembunyi sesuatu, suatu rahasia yang maha ajaib, dan yang hanya akan nampak oleh dia yang tidak terpengaruh oleh rasanya, baik manis maupun pahit, yang melihat kenyataan sebagai apa adanya, tanpa menilainya sebagai baik atau buruk, manis atau pahit. Bukankah yang manis-manis itu sering kali malah mengganggu kesehatan dan yang pahit-pahit itu biasanya malah baik bagi kesehatan? Namun, bagaimana juga, kita selalu mengejar-ngejar yang manis-manis! Seseorang yang kita cinta merupakan hiburan yang amat kuat di kala kita dirundung duka nestapa. Hal ini terasa benar oleh Thian Sin. Sekiranya tidak ada Kim Hong di dekatnya, entah apa yang akan dilakukannya. Mungkin saja dia akan menjadi nekad dan melakukan hal-hal yang lebih mengerikan lagi. “Sekarang apa kehendakmu, Thian Sin? Apakah demi Cin-ling-pai dan Lembah Naga, engkau hendak menyerahkan diri kepada para tosu Kun-lun-pai?” Kim Hong bertanya untuk mengetahui isi kekasihnya. Thian Sin mengepal tinju. “Tidak! Sampai matipun aku tidak sudi menyerahkan diri kepada para tosu Kun-lun-pai. Boleh saja mereka menyebut diri mereka sebagai partai beiar, gudang pendekar-pendekar budiman, akan tetapi jelaslah bahwa sikap mereka terhadap kita didasarkan atas dendam karena kita telah dianggap menyebabkan kematian Jit Goat Tosu.” “BENAR, memang tidak semestinya kita menyerahkan diri kepada Kun-lun-pai karena kita tidak bersalah apa-apa terhadap mereka. Dan jangan kaukira mereka itu hanya mendendam karena kematian supekku saja, melainkan ada hal yang lebih dari itu bagi mereka.” Thian Sin mengangkat muka memandang wajah kekasihnya dengan heran. “Ada hal apalagi kecuali kematian supekmu itu?” “Kehormatan mereka! Kita mencari dan menyerang supek di dalam wilayah Kun-lun-pai, dan mereka merasa malu, seolah-olah mereka tidak dapat melindungi orang yang telah menjadi saudara mereka dan telah berada di antara mereka. Selain itu, juga kurasa mereka merasa sayang sekali telah kehilangan sumber ilmu-ilmu silat yang tinggi.” “Maksudmu?” “Lupakah engkau betapa lihainya supek? Bahkan kita berdua bergabungpun tidak mampu mengalahkan dia! Padahal dia sudah nampak begitu tua dan lemah, telah bertahun-tahun bertapa dan kurang makan. Bayangkan saja betapa hebatnya ilmu kepandaian supek sehingga tidaklah mengherankan kalau mendiang ayahku takut kepadanya. Dan agaknya para tosu itu mengincar ilmu-ilmu dari supek yang mereka warisi. Kurasa itulah sebabnya mengapa para tosu itu mengejar-ngejarmu, mengejar-ngejar kita!” Thian Sin mengangguk-angguk. “Mungkin benar sekali pendapatmu itu. Maka, bagaimanapun juga, aku tidak akan mau menyerahkan diri kepada mereka dan kalau mereka bersama orang-orang yang menyebut diri mereka pendekar-pendekar itu mengejarku, aku akan menghadapi mereka sebagai orang-orang jahat yang hendak mengganggu diriku. Akan tetapi...” Dia tidak melanjutkan kata-katanya dan wajahnya nampak muram. Kim Hong maklum kata-kata apa yang tak terucapkan itu, maka iapun mendesak dengan terus terang, “Bagaimana kalau Cin-ling-pai dan Lembah Naga yang datang menghadapimu, Thian Sin?” Pemuda itu menarik napas panjang, wajahnya agak pucat. “Itulah... aku tidak mungkin berani melawan mereka. Mereka bukanlah orang-orang sombong seperti tosu-tosu Kun-lun-pai dan orang-orang yang menamakan diri pendekar-pendekar itu. Mereka adalah pendekar-pendekar sejati. Engkau sudah mendengar sendiri kata-kata Tiong-ko. Mereka adalah orang-orang benar yang patut kuhormati dan kutaati. Tidak, aku tidak berani menentang nwreka. Aku akan menyerahkan diri kepada mereka, asalkan bukan untuk dibawa kepada orang-orang Kun-lun-pai untuk dipersalahkan.” “Kalau begitu, sebaiknya kalau engkau menemui mereka sekarang juga. Nanti setelah selesai pertemuan di puncak itu, tentu mereka akan turun gunung. Nah, itulah saatnya bagimu untuk menemui mereka.” “Ahhh...!” Wajah pemuda itu nampak gemetar. Ngeri dia membayangkan untuk berhadapan dengan ayah dan ibu angkatnya, dengan neneknya yang galak dan kakeknya yang berwatak lembut itu. Juga kakaknya! “Thian Sin, di mana kegagahanmu? Tidak baik kalau rasa keragu-raguan itu dipendam dan dibawa pergi ke mana-mana. Seorang gagah harus berani menghadapi kenyataan, betapapun pahitnya kenyataan itu. Kalau bisa dibereskan sekarang juga, mengapa mengulur-ulur waktu dan sementara itu membawa-bawa kekhawatiran di dalam hati? Temui mereka sekarang juga kalau mereka turun gunung dan kita lihat bagaimana pendapat mereka tentang dirimu. Jangan khawatir, aku selalu berada di sampingmu kalau perlu... andaikata engkau harus mati oleh mereka, akupun harus mati di tangan mereka!” “Kim Hong...!” Thian Sin menjadi terharu sekali dan diapun merangkul. Mereka berangkulan, berciuman dan mata mereka menjadi basah, bukan hanya oleh keharuan dan kedukaan membayangkan kemungkinan itu, akan tetapi juga rasa babagia di dalamnya, bahwa mereka itu saling mencinta sedemikian dalamnya sehingga tidak ragu-ragu untuk kalau perlu mengorbankan nyawa demi kekasihnya. Tak lama kemudian mereka melihat lima orang pertama yang turun dari puncak di mana terdapat markas Kun-lun-pai dan dapat dibayangkan betapa kaget dan tegang rasa hati Thian Sin dan Kim Hong ketika melihat bahwa mereka itu adalah orang-orang yang mereka tunggu-tunggu, yaitu Kakek Yap Kun Liong, Nenek Cia Giok Keng, Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong dan isterinya, juga puteranya! Melihat wajah kekasihnya menjadi pucat, Kim Hong memegang tangannya dan berkata halus, “Marilah, Thian Sin. Mari kita menyambut dan menghadap mereka!” Dan iapun menarik pemuda itu keluar dari dalam hutan di mana mereka bersembunyi dan langsung mereka berdua menyongsong kedatangan lima orang itu. Seperti kita ketahui, dengan perasaan marah, Pendekar Lembah Naga sekeluarga dan kakek nenek yang mewakili Cin-ling-pai meninggalkan pertemuan rapat para pendekar di ruangan tamu Kun-lun-pai. “Kita harus dapat bertemu dengan Thian Sin. Ingin aku bicara dengan dia dan dia harus mendengarkan kata-kataku sekali ini!” kata Pendekar Lembah Naga dengan muka agak merah. Dia telah membela nama Thian Sin sebagai Pendekar Sadis, bukan hanya karena Thian Sin itu anak angkatnya, akan tetapi juga karena menjaga nama baik Cin-ling-pai dan Lembah Naga, dan juga karena pada hakekatnya, dia tidak menganggap Thian Sin jahat, hanya terlalu kejam terhadap musuh-musuhnya. “Kurasa dia tidak akan jauh dari tempat ini, ayah,” kata Han Tiong. “Aku mengenal betul watak Sin-te, dia tidak akan melarikan diri kalau didesak.” Ucapan Han Tiong ini terbukti ketika mereka tiba di lereng dekat puncak dan mencapai hutan pertama, tiba-tiba dia melihat munculnya Thian Sin dan Kim Hong dari dalam hutan itu dan melihat keduanya sengaja menyongsong mereka. Begitu berhadapan, Cia Sin Liong sudah memandang kepada anak angkatnya itu dan berkata dengan suara lantang mengandung teguran, “Thian Sin, bagus sekali perbuatanmu, ya? Begitukah engkau membalas budi kepada Cin-ling-pai dan Lembah Naga, menyeret nama mereka ke pecomberan dan menjadi bahan celaan dunia kang-ouw?” Mendengar suara ayah angkatnya yang biasanya halus penuh kasih sayang kepadanya itu kini terdengar penuh kemarahan dan juga kekecewaan dan kesedihan, hati Thian Sin seperti ditusuk rasanya dan diapun segera menjatuhkan diri berlutut di depan ayah angkatnya itu dan tak dapat ditahannya lagi diapun menangis! Untuk kedua kalinya selama ia mengenal Thian Sin, Kim Hong melihat kekasihnya menangis sedemikian sedihnya. Kim Hong merasa terharu dan kasihan sekali, dan iapun lalu ikut berlutut. “Locianpwe, urusan di Kun-lun-pai adalah urusan saya, dan sayalah yang bertanggung jawab. Thian Sin tidak bersalah, melainkan hanya ikut menemani saya, oleh karena itu, kalau locianpwe hendak marah, sayalah orangnya yang harus dimarahi, bukan dia,” kata Kim Hong sambil menundukkan mukanya, sedangkan Thian Sin di sebelahnya masih menitikkan air mata. “Lam-sin!” terdengar pula Cia Sin Liong berkata, suaranya berwibawa sekali. “Engkau adalah datuk kaum sesat di selatan, apakah engkau hendak menyeret anak angkatku untuk mengikutimu masuk ke dalam dunia hitam dam melakukan perbuatan sesat?” “Locianpwe, semenjak saya bertemu dengan Thian Sin, Lam-sin telah kubunuh dan saya telah membubarkan semua pengikut, saya telah menanggalkan semua kedudukan dam julukan, saya telah meninggalkan dunia sesat dam sayalah yang ikut bersama Thian Sin, bukan dia yang ikut saya. Saya membantunya menghadapi datuk-datuk sesat lainnya, adapun ketika dia membantu saya menghadapi supek saya, hal itu adalah urusan pribadi saya, sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan Kun-lun-pai atau orang lain. Karena itu, harap locianpwe jangan persalahkan Thian Sin, sayalah yang bersalah.” “Ayah, saya mengaku salah, saya telah mencemarkan nama baik Lembah Naga dengan perbuatan saya. Oleh karena itu, terserah kepada ayah, hendak menjatuhkan hukuman apapun juga, akan saya terima dengan rela.” “Tidak boleh!” Kim Hong berteriak. “Kalau locianpwe menjatuhkan hukuman kepadanya, harus menghukum saya juga. Mau membunuh kami berdua, silakan, kami rela mati berdua untuk menebus dosa kalau memang locianpwe menghendaki demikian!” Ucapan Kim Hong ini mengharukan hati Bhe Bi Cu dan juga Cia Giok Keng lalu berkata dengan suara serak dan mata merah. “Sin Liong, kauampunkanlah anakmu! Cucuku Ceng Thian Sin itu...” Memang pada lubuk hatinya, sedikitpun tidak ada niat untuk menghukum anak angkatnya itu, akan tetapi Sin Liong berpikir bahwa amatlah perlu untuk menegur Thian Sin pada saat seperti itu. “Thian Sin, kenapa hatimu demikian kejamnya, demikian keji dan sadis engkau menyiksa orang-orang yang menjadi musuhmu? Jawablah dan jelaskan kepada kami, mengapa engkau menjadi demikian kejam melebihi iblis sendiri?” “Saya mengakui semua itu, Ayah. Saya hampir gila oleh dendam, sehingga saya lupa diri, hendak memuaskan rasa dendam dan sakit hati itu dengan menyiksa musuh-musuh saya. Saya... terus terang saja, ayah... saya merasa... senang dan nikmat sekali dalam pemuasan dendam dan sakit hati itu dengan menyiksa mereka dan... dan pada saat itu saya lupa segala-galanya, yang teringat hanya ingin menyiksa orang yang pernah menyiksa hati saya...” Semua orang yang mendengar kata-kata ini bergidik, bukan hanya karena membayangkan kesadisan, Thian Sin dalam menyiksa musuh-musuhnya seperti yang pernah mereka dengar dibicarakan orang dengan ketakutan, melainkan terutama sekali melihat kenyataan akan adanya sifat sadis dalam diri masing-masing. Memang, kalau kita mau membuka mata mengenal diri sendiri, di dalam batin kita terdapat sifat sadis itu. Kita akan merasa senang sekali melihat orang yang kita anggap jahat menerima siksaan! Kita akan merasa puas kalau mendengar musuh atau orang yang kita benci menderita malapetaka dan kesengsaraan. Kita ini masing-masing mempunyai watak pendendam, pemarah dan ingin membalas kepada siapa saja yang membuat kita tidak senang, baik yang mengganggu kita itu manusia maupun setan. Setidaknya, kita akan mengumpat cacinya, dan mengutuknya, dan tentu saja kita akan merasa senang dan puas melihat dia tersiksa seperti yang digambarkan oleh benak kita yang penuh dengan kebencian dan racun dendam. Siapakah yang dapat menyangkal bahwa terdapat persamaan dalam batin kita dengan watak Pendekar Sadis yang suka menyiksa orang-orang yang dibencinya? Andaikata kita diberi kekuatan seperti dia, diberi kekuasaan seperti dia, bukan tidak mungkin kitapun suka menyiksa musuh-musuh yang kita benci. Pengenalan diri sendiri ini dapat kita lakukan dengan jelas apabila kita melihat sesuatu, baik melalui bacaan maupun tontonan, yang sifatnya membalas dendam. Kita membenci tokoh yang kita anggap jahat dan kita bersorak penuh kepuasan kalau kita melihat “Si Jahat” itu tertimpa malapetaka dan tersiksa. Namun, betapa sukarnya untuk mengenal diri sendiri! “Thian Sin, aku mengerti perasaan itu. Akan tetapi, lupakah engkau akan ajaran yang pernah kau terima dari pamanmu Hong San Hwesio dan dariku sendiri selama itu? Lalu apa artinya semua latihan yang kuberikan untuk bersamadhi dan mengenal sifat-sifat buruk diri sendiri? Orang yang melakukan perbuatan kejam dinamakan penjahat, lalu apa artinya orang dianggap pendekar kalau hatinyapun kejam terhadap orang lain? Apakah bedanya antara penjahat kejam dan pendekar kejam? Mungkin saja si penjahat berbuat kejam untuk keuntungan harta atau pemuasan hatinya, akan tetapi kalau seorang pendekar berbuat kejam terhadap penjahat, tentu juga demi untuk memuaskan hatinya yang mendendam. Jadi pada hakekatnya sama saja, yaitu untuk menyenangkan atau memuaskan diri sendiri. Hati yang kejam itu didasarkan oleh kebencian, dan apapun yang dilakukan seseorang, baik dia dinamakan pendekar maupun penjahat, kalau didasari dengan kebencian, maka perbuatannya itu adalah jahat! Seorang pendekar menentang kejahatan, akan tetapi bukan berdasarkan kebencian terhadap sesama manusia, walaupun manusia itu dinamakan penjahat sekalipun. Seorang pendekar menentang kejahatan, karena ingin menyelamatkan orang yang dapat menjadi korban kejahatan, karena ingin menyadarkan orang yang melakukan kejahatan, karena ingin menenteramkan kehidupan manusla di dunia, karena ingin menegakkan kebenaran dan keadilan. Semua itu bebas dari landasan hati yang diracuni kebencian. Akan tetapi, apa yang kaulakukan itu semata-mata adalah karena hatimu penuh dengan dendam sakit hati dan kebencian. Lalu apa bedanya semua kesadisanmu itu dqngan perbuatan para penjahat di dunia ini?” Cia Sin Liong berhenti bicara dan Thian Sin makin menundukkan kepalanya. Biarpun kadang-kadang dia menyadari akan hal itu, akan tetapi baru sekali inilah hal itu seperti ditusukkan ke dalam perasaannya, membuat matanya terbuka dan dapat melihat dengan jelas akan semua kesalahan yang pernah dilakukannya selama ini. Memang dia telah menjadi buta oleh dendam dan kebencian. “Saya mengaku salah...” katanya lirih. “Pengakuan salah tanpa penghayatan dalam hidup tidak ada artinya sama sekali! Penyesalan di mulut dan di hati tidak ada gungnya. Yang penting adalah membuka mata melihat bahwa setiap kita melakukan sesuatu yang jahat, dalam arti kata merugikan orang lain lahir maupun batin, maka pada saat itu kita tidak memiliki kewaspadaan, kesadaran kita menjadi buta oleh nafsu. Oleh karena itu, kita harus waspada setiap saat, terutama sekali waspada terhadap diri sendiri lahir batin. Hanya dengan kewaspadaan dan kesadaran terhadap diri sendiri lahir batin sajalah kita tidak akan bertindak membabi-buta menurutkan nafsu-nafsu kita. Kebencian terhadap orang lain merupakan pangkal segala permusuhan dan kekacauan di dunia ini. Kita harus dapat menghalau kebencian ini jauh-jauh dari batin kita, baik terhadap orang yang kite anggap jahat maupun tidak. Selama masih ada kebencian di dalam batin, bukan kebencian terhadap seseorang tertentu, melainkan kebencian terhadap siapapun juga, maka tak mungkin dia dapat menjadi seorang pendekar dalam arti yang seluas-luasnya!” Thian Sin dan Kim Hong mengangguk-angguk, diam-diam merasa betapa tidak mudahnya menjadi seorang manusia yang pantas dinamakan pendekar. “Kalian orang-orang muda perlu sekali memperhatikan apa yang telah dikatakan oleh Sin Liong,” kata Kakek Yap Kun Liong dengan suara halus dan tenang. “Memang demikianlah sesungguhnya, selama masih ada kebencian di dalam batin, tidak mungkin orang itu mengenal cinta kasih. Dan seorang pendekar adalah seorang yang penuh cinta kasih, yang hanya satu keinginannya, yaitu membangun, bukan merusak. Memang mungkin saja, untuk membangun orang harus membongkar, akan tetapi bukan berarti merusak. Mungkin seorang pendekar harus bertindak keras terhadap seorang sesat, namun bukan berarti keras karena kebencian atau hendak merusak, melainkan keras yang sifatnya membongkar untuk kemudian dibangun. Atau yang sifatnya mendidik, menuntut agar yang menyeleweng kembali ke jalan benar.” “Terima kasih atas semua petuah dan peringatan dari ayah dan kakek yang amat berguna itu,” kata Thian Sin. “Terima kasih kepada locianpwe yang mulia,” kata pula Kim Hong. Hati wanita ini benar-benar tergetar dan membuatnya tunduk benar terhadap para pendekar sakti ini dan dara inipun dapat melihat betapa dahulu ia telah melakukan penyelewengan besar sekali. “Dan saya mohon petunjuk kepada ayah, apa yang harus saya lakukan selanjutnya? Apakah saya harus menyerahkan diri kepada Kun-lun-pai untuk diadili? Kalau demikian halnya, lebih baik ayah membunuh saya sekarang juga, karena saya tidak merasa bersalah terhadap Kun-lun-pai dan mereka itu hanya ingin membalas dendam karena membenci saya.” Cia Sin Liong mengangguk-angguk. “Memang tidak sepatutnya kalian menyerahkan diri begitu saja. Kalau kalian mau, marilah ikut bersama kami ke Lembah Naga. Kakakmu akan merayakan pernikahannya dan kalian seharusnya hadir pula. Sudah terlalu lama engkau meninggalkan rumah, Thian Sin. Pulanglah dan kami akan merasa berbahagia sekali.” “Benar, cucuku. Selain itu, akupun ingin melihat engkau menikah sebelum aku mati,” kata Nenek Cia Giok Keng. “Dan akupun senang sekali dengan pilihanmu. Nona Toan ini memang cocok untuk menjadi jodohmu.” Dengan hati terharu Thian Sin menghaturkan terima kasih kepada neneknya itu dan dia bertanya kepada ayahnya, “Ayah, kapankah Tiong-ko hendak melangsungkan pernikahannya?” “Kami sudah memperhitungkan, nanti pada tanggal sepuluh bulan delapan, jadi kurang tiga bulan lagi,” jawab Cia Sin Liong. “Kalau begitu, biarlah pada waktunya kami akan datang ke Lembah Naga, ayah. Kami hendak pergi ke suatu tempat yang akan kami jadikan tempat tinggal kami...” “Di manakah itu, Sin-te? Di mana kalian hendak tinggal?” tanya Han Tiong, hatinya merasa kecewa mendengar adiknya itu tidak akan tinggal bersama mereka di Lembah Naga. “Di Pulau Teratai Merah, Tiong-ko,” tiba-tiba Kim Hong yang menjawab. “Kami berdua telah bersepakat untuk tinggal di bekas tempat tinggal mendiang ayah dan ibu ketika ayah menjadi buronan. Kami masih mempunyai rumah di sana.” “Tapi... tapi kapankah kalian akan menikah?” tanya Nenek Cia Giok Keng. “Bukankah baik sekali kalau engkau menikahkan kedua puteramu itu secara berbareng saja, Sin Liong?” “Terserah kepada Thian Sin dan tunangannya,” jawab pendekar itu yang dengan bijaksana menyerahkan urusan perjodohan orang-orang muda itu kepada yang berkepentingan sendiri. “Bagaimana, Thian Sin, cucuku?” tanya nenek itu kepada Thian Sin. Thian Sin dan Kim Hong saling pandang, lalu keduanya menundukkan muka yang tiba-tiba menjadi merah. Sungguh mengherankan hati mereka sendiri mengapa setelah keluarga yang mereka hormati ini bicara tentang perjodohan mereka, mereka menjadi tersipu-sipu malu. “Maaf, nenek, kami masih belum berpikir tentang pernikahan,” akhirnya Thian Sin menjawab dan Nenek Cia Giok Keng hanya dapat menghela napas panjang. Iapun mengerti bahwa urusan pernikahan adalah urusan kedua orang itu sendiri, dan mencampurinya hanya akan mendatangkan kekacauan belaka. Hal ini ia sendiri sudah mengalaminya, maka dengan bijaksana iapun diam saja, tidak membantah lagi. Akhirnya merekapun berpisah. Sambil berlutut, Thian Sin berkata kepada mereka semua, “Harap ayah dan ibu, juga Tiong-ko, kakek dan nenek yang saya hormati dan saya cinta, suka menjadi saksi. Mulai saat ini, Pendekar Sadis hanya tinggal sebutannya saja, akan tetapi kekejaman dan kesadisan akan saya enyahkan jauh-jauh dari dalam batin saya. Semoga saya selalu akan sadar dan dengan kerja sama dan bantuan Kim Hong, mudah-mudahan saya tidak akan melanggar janji saya ini. Saya akan mengikuti jejak ayah sekalian, menjadi pendekar dalam arti yang sesungguhnya!” Setelah berpamit dalam suasana mengharukan, terutama sekali Han Tiong yang merasa berat untuk berpisah dari adiknya, akhirnya Thian Sin dan Kim Hong berpisah dari mereka dan dua orang muda ini melakukan perjalanan ke selatan untuk pergi ke Pulau Teratai Merah. Di sepanjang perjalanan mereka selalu menghindarkan diri dari bentrokan-bentrokan, mengambil jalan yang sunyi dan melakukan perjalanan cepat. Kim Hong merasa girang sekali bahwa kekasihnya suka memenuhi keinginannya untuk kembali ke pulau kosong itu dan sebagai rasa terima kasihnya, sikapnya menjadi semakin mesra terhadap Thian Sin. *** Kalau orang berdiri di pantai muara Sungai Huai yang menuangkan airnya ke dalam Lautan Kuning akan nampaklah banyak pulau-pulau kecil. Sebagian besar dari pulau-pulau ini adalah pulau-pulau karang yang kering-kerontang, akan tetapi ada pula beberapa buah di antaranya yang nampak kehijauan karena pulau itu mengandung tanah sehingga tetumbuhan dapat hidup di situ. Pulau Teratai Merah adalah satu di antara pulau-pulau itu yang letaknya agak jauh dan tidak dapat dilihat dari pantai muara Sungai Huai itu, kecuali kalau lautan sedang amat tenangnya dan cuaca amat cerahnya. Pulau Teratai Merah adalah sebuah pulau kecil saja, akan tetapi mempunyai tanah yang subur sehingga dapat ditanami. Sebelum Toan Su Ong dan isterinya, yaitu Ouwyang Ci tinggal di pulau itu, pulau itu tidak pernah ditinggali manusia, kecuali hanya menjadi tempat singgahan para nelayan saja. Tentu saja orang enggan tinggal di situ, karena letaknya yang jauh dari pantai daratan, juga jauh dari tetangga manusia lain, dan pula, lautan di sekitar pulau itu terkenal amat buas dan banyak dihuni ikan-ikan hiu yang ganas pula. Karena banyaknya hiu inilah maka daerah kepulauan itu bukan merupakan daerah nelayan yang baik. Pangeran Toan Su Ong tentu saja berbeda dengan para pelayan itu. Dia adalah seorang buronan yang memang mencari tempat persembunyian yang baik dan pulau kosong itu amat tepat untuknya. Tempatnya terpencil, sukar dikunjungi, bahkan tidak aman karena pulau-pulau itu sering dijadikan tempat persembunyian para bajak laut. Toan Su Ong dan isterinya yang berkepandaian tinggi itu tentu saja tidak takut terhadap para bajak laut. Dan mereka dapat bercocok tanam di tempat itu, bahkan akhirnya mereka dapat membangun sebuah rumah yang cukup besar di pulau kosong itu. Thian Sin ikut dengan Kim Hong menuju ke pulau itu. Mereka berperahu, sebuah perahu layar kecil yang mereka beli di pantai daratan. Pendekar muda itu mendapat kenyataan bahwa di samping bermacam-macam ilmu kepandaiannya, ternyata Kim Hong pandai pula mengemudikan perahu layar. Dengan keahlian yang mengagumkan, gadis ini mengemudikan perahu yang layarnya mengembung ditiup angin itu, meluncur dengan lincah di permukaan air lautan, menempuh gelombang-gelombang kecil yang membuat perahu itu naik turun mengerikan bagi Thian Sin yang tidak bisa berperahu. Akan tetapi dia ingin belajar dan biarpun pada jam-jam pertama dia merasa pening kepala, akhirnya dia dapat juga membantu Kim Hong mengemudikan perahu. Berlayar dari pantai daratan menuju ke Pulau Teratai Merah itu memakan waktu setengah hari. Itupun kalau lautan sedang tenang dan arah angin baik. Menurut keterangan Kim Hong, kalau kurang angin pelayaran akan memakan waktu lebih lama, kadang-kadang sehari. Akan tetapi ketika mereka tiba di pulau ini, mereka melihat sebuah perahu besar telah berlabuh di situ! Kim Hong mengerutkan alisnya dan berkata, “Ah, baru beberapa tahun saja kutinggalkan tempat ini, sudah ada yang berani menempatinya! Biasanya hanya para bajak laut saja yang singgah di pulau-pulau kosong. Aku khawatir kalau-kalau mereka merusak bangunan rumah kami!” Thian Sin bergidik melihat betapa perahu mereka itu dikelilingi ikan-ikan hiu besar. Nampak sirip mereka mcluncur di permukaan air sekitar perahu. Dia pernah mendengar cerita tentang ikan-ikan hiu itu, yang dianggap sebagai harimaunya lautan. “Hiu di sini ganas, berani menyerang perahu!” kata Kim Hong. “Akan tetapi jangan khawatir, mereka tidak akan berani mengganggu kita.” Berkata demikian, Kim Hong menabur-naburkan bubuk kuning di sekeliling perahunya dan benar saja, tak lama kemudian sirip-sirip ikan hiu itu menjauh dan akhirnya lenyap. Bubuk kuning itu adalah semacam obat yang merupakan racun yang menakutkan bagi ikan-ikan hiu itu, ciptaan mendiang Pangeran Toan Su Ong. Selamatlah mereka mendarat di pulau itu, dan Kim Hong sengaja melakukan pendaratan dari samping, agak jauh dari perahu hitam besar karena ia hendak menyelidiki secara diam-diam siapa orangnya yang kini berada di pulau itu. Setelah menyembunyikan perahunya di balik semak-semak, Kim Hong lalu mengajak Thian Sin pergi ke sebuah pohon tua di pantai pulau itu dan gadis itu lalu mendorong sebuah batu besar di belakang pohon. Terbukalah sebuah lubang yahg tertutup semak-semak dan batu besar tadi dan ia mengajak memasuki lubang yang ternyata merupakan sebuah terowongan gelap. Batu besar itu mereka geser lagi dari bawah, menutupi lubang yang diperkuat dengan besi-besi itu, tanda bahwa terowongan itu adalah buatan manusia. Dan memanglah, selama berada di pulau ini, Toan Su Ong telah memasang banyak jalan rahasia yang dipersiapkannya kalau-kalau dia dikejar sampai ke situ oleh pasukan pemerintah. Setelah melalui terowongan dengan jalan berindap-indap sampai seperempat jam lamanya, melalui jalan terowongan berliku-liku dan naik turun, akhirnya mereka keluar dari terowongan dan telah berada di belakang sebuah bangunan. Inilah bangunan rumah yang didirikan oleh Toan Su Ong di pulau itu, sebuah rumah yang cukup besar dan kuat. Jalan rahasia yang mereka lalui tadi berakhir di taman rumah itu, pintunya juga merupakan pintu besi rahasia yang gelap dan tertutup batu besar pula. Hari telah menjelang sore ketika Kim Kong dan Thian Sin keluar dari dalam gua kecil dan gadis itu mengerutkan alisnya ketika melihat betapa rumah gedung milik keluarganya itu telah banyak dirusak orang. Temboknya dibobol di sana-sini, dan taman itupun sudah rusak tak terawat dan nampak ada bekas-bekas galian di beberapa tempat, seolah-olah tempat itu menjadi tempat orang mencari-cari sesuatu dengan membongkar dinding dan menggali taman. Dan iapun mengajak Thian Sin menyelinap dan menyelidik. Nampak ada belasan orang sedang beristirahat di samping rumah. Agaknya mereka itu sudah bekerja berat siang tadi. Ada yang membawa cangkul, ada yang membawa alat-alat untuk membongkar dinding. Mereka mengobrol sambil minum arak, dan melihat sikap mereka itu, Kim Hong mengerti bahwa mereka adalah bajak-bajak laut yang kasar dan ganas. Akan tetapi ia memberi isyarat kepada Thian Sin untuk mengikutinya menyelinap masuk melalui jendela samping yang terbuka. Bagaikan dua ekor burung mereka meloncat ke dalam ruangan besar di sebelah dalam bangunan itu di mana terdapat beberapa orang sedang bercakap-cakap menghadapi daging panggang dan arak di atas meja. Lidah selatan mereka terdengar lucu bagi Thian Sin, membuat dia agak sukar menangkap pembicaraan mereka. Akan tetapi agaknya Kim Hong sudah biasa dengan dialek selatan ini, dan gadis ini mendengarkan penuh perhatian, mendekati pintu yang menembus ke ruangan itu. Karena tidak dapat mengerti dengan baik, Thian Sin mengintai dan memperhatikan orang-orangnya. Ada lima orang duduk mengelilingi meja, dan yang membuat mereka terheran-heran adalah kenyataan bahwa seorang di antara mereka berpakaian seperti seorang tosu. Tubuh tosu ini kurus dan agak bongkok, mukanya pucat dan meruncing seperti muka tikus. Empat orang lainnya bertubuh tinggi besar dan bersikap kasar, cara duduknya juga nongkrong seperti cara duduk orang-orang yang biasa hidup di alam liar dan tidak mengenal tata cara kesopanan. Mereka kelihatan kuat dan ganas, wajah mereka membayangkan kekerasan dan kekejaman. Akan tetapi Kim Hong lebih memperhatikan percakapan itu sendiri. “Kita sudah membuang-buang waktu seminggu lamanya di sini!” Terdengar seorang diantara empat orang kasar itu mengomel dengan mulut dijejali daging setengah matang. “Kalau kita mencari rejeki di lautan, mungkin sudah ada satu dua kapal yang dapat kita serbu!” kata orang ke dua. “Pangeran itu tentu telah membawa pusakanya ikut bersamanya ke neraka, kalau memang dia pernah mempunyai pusaka itu!” kata orang ke tiga. “Hei, Tikus Laut,” kata orang ke empat kepada tosu bermuka tikus yang ternyata berjuluk Tikus Laut itu, “agaknya setelah menjadi tosu engkau kehilangan ketajaman hidungmu sehingga salah duga! Awas kau kalau mempermainkan kami!” Si Tosu itu meludah karena ada pecahan tulang tergigit olehnya, lalu dia mengomel, “Kalian ini seperti bukan sahabat-sahabat baikku saja, seperti tidak pernah mendengar akan kelihaianku dalam menyelidiki saja. Sejak dahulu aku tahu bahwa isteri pangeran itu berhasil menguasai pusaka peninggalan Menteri The Hoo dan pasti disimpannya di sini.” “Tapi kau sendiri bilang bahwa puteri mereka telah menjadi orang yang lihai sekali...” “Jangan khawatir, ia dan Pendekar Sadis sudah dikejar-kejar, dan tentu para tosu Kun-lun-pai takkan mau melepaskan mereka setelah kena kubakar sampai berkobar-kobar kemarahan mereka ha-ha-ha!” kata tosu itu. “Tikus Laut, sungguh mengherankan sekali mengapa engkau memusuhi mereka. Bukankah engkau telah menjadi orang suci?” ejek seorang di antara bajak-bajak itu. “Kalau mereka tidak muncul mungkin aku terlanjur menjadi orang suci, dan dengan ilmu yang kudapat dari Jit Goat Tosu, aku dapat menjagoi dan menjadi tokoh Kun-lun-pai. Akan tetapi mereka muncul dan dendamku terhadap Pangeran Toan Su Ong yang tadinya sudah hampir terlupa menjadi bangkit kembali. Dan teringat akan pusaka Menteri The Hoo... selagi mereka dikejar-kejar, dan dengan alasan mencari mereka, aku mengajak kalian bersama-sama mencari pusaka. Eh, kiranya kalian masih ragu-ragu dan kurang percaya padaku...” Di dalam tempat pengintaiannya, Kim Hong saling bertukar pandang dengan Thian Sin. Kini mereka teringat. Tosu ini adalah seorang di antara para tosu pimpinan di Kun-lun-pai, biarpun tadinya mereka kurang memperhatikan karena agaknya kedudukan tosu ini tidak menonjol. Akan tetapi, punggung yang bongkok itu tiada keduanya di antara para tosu Kun-lun-pai. Pada saat itu terdengar bentakan keras dari arah belakang mereka. “Heii, siapa kalian! Awas, ada mata-mata mengintai!” Thian Sin dan Kim Hong menengok dan ternyata ada dua orang di antara para anak bajak laut yang kebetulan lewat dan melihat mereka dari belakang. “Mereka ini patut dihajar!” kata Kim Hong sambil melangkah masuk ke dalam ruangan di mana lima orang itu sedang bercakap-cakap. Lima orang itupun terkejut mendengar teriakan anak buah mereka dan sudah berloncatan sambil mencabut senjata mereka. Akan tetapi ketika empat orang pimpinan bajak itu melihat bahwa yang muncul hanya seorang pemuda dan seorang gadis cantik yang kelihatan lemah, mereka menyeringai dengan hati lega dan seorang di antara mereka berkata sambil tertawa. “Ha-ha-ha, kiranya dua orang yang sedang berpacaran tersesat memasuki pulau!” “Wah, gadis itu manis sekali. Sudah seminggu lebih aku tidak mencium bau keringat wanita, ha-ha, biarlah gadis itu untukku saja!” “Enak saja kau bicara, apa kaukira akupun tidak membutuhkannya?” Akan tetapi, kalau empat orang kepala bajak itu bicara dengan cara jorok dan kurang ajar terhadap Kim Hong, sebaliknya tosu bongkok yang berjuluk Tikus Laut itu memandang dengan wajah pucat dan mata terbelalak. “Celaka...!” katanya, suaranya gemetar. “Inilah mereka... Pendekar Sadis dan Lam-sin...!” Para bajak laut itu mempunyai daerah di lautan, maka tentu saja mereka tidak begitu mengenal nama Pendekar Sadis dan Lam-sin yang merupakan tokoh-tokoh daratan, sehingga mereka tidak begitu gentar menghadapi dua orang muda ini, walaupun mereka sudah mendengar dari Tikus Laut akan kelihaian mereka. Kini, belasan orang anak buah yang tadinya berada di luar sudah berserabutan masuk dengan senjata di tangan. Melihat ini, Si Kumis Lebat, seorang di antara empat pimpinan perampok yang menjadi kepala mereka, tertawa. “Ha-ha-ha, kepung dan tangkap mereka! Boleh bunuh yang laki-laki, akan tetapi tangkap yang perempuan untukku, ha-ha-ha!” dan dia sendiri menyimpan kembali goloknya lalu maju dengan tangan kosong hendak menangkap Kim Hong sedangkan tiga orang yang lainnya memimpin anak buah mereka mengurung, dibantu pula oleh tosu bongkok yang sudah mencabut keluar sebatang pedangnya. Melihat wajah kekasihnya, Thian Sin maklum bahwa nyawa orang-orang ini tidak akan dapat tertolong lagi, dan terbayanglah kembali wajah orang-orang yang dihormatinya, terutama wajah ayah angkatnya dan kakaknya. “Kim Hong... jangan bunuh orang... jangan kita ulangi kembali, kita robohkan saja tanpa membunuhnya.” Kim Hong mengerling kepada kekasihnya dan tersenyum, senyum yang mengandung ketenangan sehingga lega hati Thian Sin. “Jangan khawatir, terutama sekali Si Muka Tikus itu harus dapat kutangkap hidup-hidup untuk menceritakan semua latang belakang ini!” Mereka tidak mempupyai banyak kesempatan untuk bicara lagi karena pihak lawan sudah menyerbu. Si Kumis Tebal bersama tiga orang lain dengan muka menyeringai mengepung dan menubruk untuk menangkap Kim Hong. Mereka seperti hendak berlumba dalam menangkap atau menyentuh tubuh gadis cantik itu. Sedangkan yang lain-lain, yaitu tiga orang pimpinan bajak, Si Tosu, dan dua belas orang lain dengan senjata terhunus sudah mengepung dan mengeroyok Thian Sin, seolah-olah mereka hendak menghancurlumatkan tubuh pemuda ini! Akan tetapi begitu dua orang muda itu menggerakkan tubuh mereka, terdengarlah teriakan-teriakan berturut-turut disusul robohnya para pengeroyok itu! Mula-mula, menghadapi empat orang pengeroyoknya yang seolah-olah berlumba hendak memeluknya itu, Kim Hong yang merasa muak dan marah itu telah menggerakkan tubuhnya mengelak dari serbuan mereka, menyelinap di antara banyak lengan dengan tangan terbuka seperti cakar harimau hendak menerkam domba itu. Kemudian, setelah terlepas dari serbuan mereka dan melihat mereka dengan lebih garang lagi membalik dan hendak menerjangnya, wanita ini sudah menggerakkan kepalanya. Kuncir rambutnya itu terlepas dari sanggulnya, seperti seekor ular cobra hitam terlepas dari kurungan dan menyambar-nyambar ganas. Akibatnya, empat orang anak buah bajak terpelanting dan tak dapat bangkit kembali karena ujung rambut itu telah menotok jalan darah membuat mereka lumpuh dan pingsan! Kini tinggal kepala bajak yang berkumis tebal melintang di bawah hidung itu yang terbelalak keheranan melihat betapa empat orang anak buahnya tiba?tiba roboh berpelantingan dan tidak mampu bangkit kembali. Dia sendiri tidak tahu bagaimana hal itu dapat terjadi, akan tetapi dia makin silau oleh kecantikan Kim Hong yang makin menyolok setelah sanggul rambutnya terlepas itu. Kecantikan ini membuat si kepala bajak menjadi makin ganas dan otaknya menjadi keruh, dia menggereng dan menubruk lagi, kedua lengannya dibuka dan diapun menerkam ke arah Kim Hong. Gadis ini kembali menggerakkan kepalanya, rambutnya menyambar ke depan. “Dukk!” Tubuh tinggi besar itu menjadi kaku dan dua kali kaki Kim Hong bergerak. “Krek! Krek!” Orang tinggi besar itu menjerit roboh, mengaduh-aduh dan menggunakan kedua tangan untuk memegangi kedua kakinya yang patah tulang di bagian pergelangan kaki. Sementara itu, dengan mudah Thian Sin juga sudah merobohkan lima enam orang tanpa membuat mereka menderita luka berat. Dia hanya membagi-bagi tamparan, membuat lawan roboh dengan kepala pening, atau kaki tangan salah urat, atau menotoknya sehingga lawan roboh tak mampu berkutik karena lumpuh. Apalagi setelah Kim Hong menyerbu membantunya, mereka dengan mudah merobohkan semua pengeroyok kecuali si Tikus Laut ini sungguh-sungguh hebat luar biasa! Gerakan-gerakan Tikus Laut ini mengingatkan mereka kepada kepandaian mendiang Jit Goat Tosu! Gerakan-gerakan aneh membuat Thiah Sin dan Kim Hong berhati-hati sekali, akan tetapi ketika Thian Sin mempergunakan Thi-khi-i-beng, tosu itu tak mampu menarik kembali tangannya yang menempel di tengkuk Thian Sin dan tenaga sin-kangnya yang tidak sekuat dua orang muda itu tersedot, membuat dia berteriak-teriak seperti seekor babi disembelih! Ketika Thian Sin melepaskan tenaga sedotan Thi-khi-i-beng, tosu itu jatuh terkulai dengan tubuh lemas. Dia seperti sebuah balon kempes. Akan tetapi mengingat kehebatan ilmu silatnya tadi, Kim Hong lalu menotoknya, membuat dia tidak berkutik lagi. “Tosu palsu! Hayo ceritakan apa hubunganmu dengan Jit Goat Tosu dan mengapa engkau memusuhi kami, dan apa pula yang kaulakukan di Kun-lun-pai sehingga engkau membakar hati para pimpinan Kun-lun-pai!” Kim Hong membentak dengan suara nyaring sekali dan Thian Sin hanya pura-pura tak mengerti mengapa gadis itu membentak demikian nyaringnya. Tentu saja dia tahu bahwa seperti juga dia, kekasihnya itu tentu sudah pula melihat adanya bayangan beberapa orang tosu berkelebatan di sebelah luar rumah. Dan seperti juga dia, tentu kekasihnya itu sudah mengenal bahwa tosu itu adalah tosu-tosu Kun-lun-pai dan beberapa orang lain, dan di antara mereka nampak adanya Kui Yang Tosu! “Lam-sin datuk sesat! Pinto sudah kalah, kalau engkau mau bunuh, bunuhlah. Siapa takut mati?” “Totiang,” kata Thian Sin sambil mengedipkan matanya kepada kekasihnya dan suaranya juga lantang. “kami mengenalmu sebagai seorang di antara para tosu Kun-lun-pai, bagaimana engkau dapat bersekutu dengan gerombolan bajak laut dan mencari-cari pusaka peninggalan Menteri The Hoo yang dimiliki keluarga Pangeran Toan Su Ong? Lebih baik engkau mengaku terus terang, totiang. Kami tidak akan membunuhmu asalkan engkau mengaku.” “Pendekar Sadis! Biar engkau tukang siksa orang, jangan kira pinto takut kepadamu!” Tosu bermuka tikus itu berteriak marah. Thian Sin kembali memberi isyarat dengan pandangan matanya kepada Kim Hong, lalu diapun mengangkat tubuh tosu itu dengan leher bajunya. “Begitukah? Mari kita sama lihat, apakah Tikus Laut ini berani melawan hiu atau macan laut!” Dia lalu membawa tubuh tosu itu melangkah lebar keluar dari rumah itu diikuti oleh Kim Hong. Mereka berdua berjalan terus, pura-pura tidak melihat adanya beberapa pasang mata yang mengikuti gerak-gerik mereka dari tempat persembunyian, kemudian pemilik beberapa pasang mata inipun membayangi mereka menuju ke pantai pulau. Kim Hong yang menjadi penunjuk jalan dan tanpa bicara kedua orang ini sudah tahu akan isi hati masing-masing. Mereka membawa Si Muka Tikus itu ke perahu besar yang berlabuh di situ dan ketika mereka menaiki perahu itu kosong sama sekali. Ternyata beberapa orang bajak yang tadi berjaga di situ telah ikut pula menyerbu ketika mereka mendengar teriakan-teriakan dari atas pulau. Tosu itu masih diam saja, akan tetapi Thian Sin yang mencengkeram leher baju tosu itu dapat merasakan ketika lengannya menempel di dadanya betapa jantung tosu itu berdebar kencang. Dia tersenyum. Inilah yang dikehendakinya. Membuat takut tosu itu. Sejenak timbul perasaan dalam hatinya perasaan senang, nafsu untuk menyiksa dan membunuh orang ini yang dia tahu memusuhi Kim Hong. Akan tetapi, wajah kakaknya terbayang di depan mata dan membuatnya tersadar dan nafsu sadis itupun lenyap seperti ditiup angin. Setelah tiba di atas perahu besar, Thian Sin lalu melepaskan sabuknya yang juga merupakan satu di antara senjatanya, mengikatkan ujung sabuknya pada pinggang tosu itu. “Kaulihat itu, kenalkah engkau apa itu?” tanyanya sambil menunjuk ke arah sirip ikan-ikan hiu yang berseliweran di sekitar perahu. Wajah tosu itu menjadi semakin pucat. “Apa... apa yang hendak kaulakukan...?” tanyanya, suaranya masih angkuh akan tetapi sudah agak gemetar. Thian Sin tersenyum memandang kepada Kim Hong, “Ha-ha, Kim Hong, dia tanya apa yang hendak kita lakukan! Ha-ha!” Gadis itupun tertawa dan menjawab dengan suara yang nyaring, “Kita hanya ingin melihat bagaimana ramainya tikus laut berhadapan dengan macan laut.” Dan Thian Sin mulai menurunkan tubuh orang yang sudah diikat pinggangnya itu ke pinggir perahu besar. Karena dia tadi sudah membebaskan totokannya, maka tosu itu dapat meronta-ronta. “Jangan... jangan...!” teriaknya akan tetapi tubuhnya sudah terjatuh ke air. “Byuuurrr...!” Jatuhnya tubuh tosu itu membuat ikan-ikan hiu terkejut dan berenang menjauh, akan tetapi ketika mereka melihat gerakan-gerakan di permukaan air karena Si Tikus Laut itu menahan tubuhnya agar tidak tenggelam, beberapa ekor hiu sudah cepat berenang datang. Melihat sirip dua ekor ikan hiu dari depan, tosu itu terbelalak. Thian Sin yang memegang ujung sabuk itu, sengaja mengendurkan sabuk, seolah-olah tidak peduli, akan tetapi sesungguhnya dia sudah siap untuk menarik sabuk itu kalau memang benar-benar keadaan tosu itu terancam. Akan tetapi, tosu yang berjuluk Si Tikus Laut itu tiba-tiba menggerakkan tubuh menyelam ketika dua ekor ikan hiu itu sudah mendekat dan begitu kedua tangannya menyambar, dia telah mendorong dua ekor ikan itu dari bawah. Dua ekor binatang buas yang kena dihantam belakang kepalanya itu meronta akan tetapi agaknya kesakitan dan terkejut karena mereka segera berenang menjauhi. Thian Sin memandang kagum, melihat betapa lawannya itu tidak percuma mempunyai julukan Tikus Laut karena ternyata memang memiliki keahlian bermain di dalam air sehingga dengan satu serangan saja mampu mengusir dua ekor ikan hiu ganas! Akan tetapi daerah lautan sekitar Pulau Teratai Merah itu memang menjadi kedung ikan hiu. Begitu dua ekor yang kena dihantam itu melarikan diri, muncul enam ekor hiu yang lebih besar dan datang dari segala penjuru! Melihat ini, tosu yang sudah muncul ke permukaan air itu menjadi ketakutan. Sirip-sirip ikan itu meluncur dari sana-sini, dari kanan kiri dan depan dan melihat sirip-sirip itu saja dapat diketahui bahwa beberapa ekor di antaranya adalah hiu-hiu yang besarnya sama dengan kerbau! “Tolong... ! Tarik aku... tolong...!” teriaknya tanpa malu-malu lagi karena takutnya. “Asal engkau mengaku terus terang!” kata Thian Sin mempermainkan. Hiu-hiu itu makin mendekat dan kini mereka berputaran di sekeliling perahu, dalam jarak kurang lebih hanya tiga meter dari tempat tosu itu terapung. “Tolong...!” “Katakan dulu engkau mau mengaku terus-terang!” kata Kim Hong dengan nyaring. Tosu itu tidak mau menjawab, aganya merasa enggan untuk berkata terus-terang mengakui perbuatannya. Sementara itu, hiu pertama sudah datang menyerang dengan cepat. Tosu itu mengelak dan menggunakan kakinya menendang dari samping, membuat ikan itu terlempar. “Bagus! Tikus Laut memang lumayan juga!” Thian Sin memuji sambil tertawa. Akan tetapi dua ekor hiu datang lagi menyerang dari kanan kiri. Tosu itu mengelak ke kanan dan menghantam hiu yang berada di kanan, akan tetapi pada saat itu hiu ke tiga menyambar. “Celaka...! Tolong... aku akan mengaku...!” Pada saat hiu itu sudah hampir mencaplok pundak si tosu. Thian Sin menarik dengan sentakan keras, sehingga tubuh tosu itu terhindar dari moncong ikan. Dia sudah merasakan angin sambaran ikan hiu itu yang mengejar sambil meloncat ke permukaan air dan sudah mencium bau amis. Tubuh tosu itu gemetaran ketika dia dilempar ke atas dek perahu oleh Thian Sin, akan tetapi pemuda ini masih belum melepaskan ikatan sabuk pada pinggangnya. “Nah, ceritakantah semuanya!” katanya. “Sekali ini tidak mau mengasku, akan kami lemparkan kamu ke bawah agar menjadi rebutan ikan!” Kim Hong juga mengancam. Tosu itu masih gemetaran dan menarik napas panjang. “Baikiah... baiklah...! Tanyakan apa yang kalian ingin ketahui...” “Engkau ini seorang tosu Kun-lun-pai kenapa berjuluk Tikus Lautan dan berkawan dengan para bajak laut?” Kim Hong mulai dengan pertanyaannya. “Dahulunya aku seorang bajak laut yang bosan akan kehidupan bajak dan aku tertarik akan soal-soal kebatinan, terutama Agama To, maka aku lalu pergi ke Kun-lun-pai dan berhasil diterima sebagai tosu. Memang tadinya aku ingin bertobat, akan tetapi ternyata gagal...” “Apa bubunganmu dengan mendiang Jit Goat Tosu? Hayo terangkan semuanya!” bentak Kim Hong lagi. “Aku mendapat tugas melayaninya selama dia di Kun-lun-pai dan karena jasa-jasaku itu dia mulai mengajarkan satu dua macam ilmu pukulan kepadaku, tapi sialan... kalian muncul dan dia meninggal...” “Jadi itukah sebabnya maka engkau memusuhi kami?” tanya Thian Sin. “Kalian merusak rencanaku, siapa tiaak akan membenci kalian!” “Dan apa yang kaulakukan untuk membakar hati para pimpinan Kun-lun-pai?” desak lagi Thian Sin. “Kukatakan kepada mereka bahwa sebelum meninggal, sering kali Jit Goat Tosu bercerita kepadaku tentang kejahatan sutenya sehingga kematiannya karena serbuan kalian itu menimbulkan penasaran besar, dan kuhasut mereka untuk menuntut balas mengingat akan kebaikan Jit Goat Tosu yang sudah menurunkan pula beberapa macam ilmu kepada pimpinan Kun-lun-pai...” “Hemm, dan apa artinya kedatanganmu ke pulau kcluargaku bersama para bajak ini?” tanya Kim Hong. “Setelah berhasil memanaskan hati para pimpinan Kun-lun-pai sehingga mengejar-ngejar kalian, aku lalu pergi ke sini mengumpulkan bekas rekan-rekanku. Sudah sejak dahulu ketika aku menjadi bajak laut, aku tahu akan ditemukannya pusaka oleh ayah dan ibumu, dan aku sudah beberapa kali berusaha untuk merampasnya, akan tetapi selalu gagal... ahhh, ayah bundamu terlalu lihai, dan juga kegagalan-kegagalan itu, bahkan yang terakhir hampir merenggut nyawaku, yang membuat aku kecewa lalu menjadi tosu. Siapa kira, aku bertemu dengan suheng ayahmu, maka aku mengambil hatinya dengan maksud mempelajari ilmu-ilmunya untuk merajai Kun-lun-pai dan kemudian akan kucari pusaka peninggalan Menteri The Hoo. Akan tetapi kematian Jit Goat Tesu menggagalkan semuanya...” “Ah, kiranya engkau pernah gagal membajak mendiang ayahku maka engkau menaruh dendam kepadaku? Bagus sekali!” Kim Hong menghampiri dengan sikap mengancam. “Cukup Kim Hong. Kita sudah berjanji akan membebaskannya. Nah, muka Tikus Lautan, engkau boleh pergi sekarang!” kata Thian Sin sambil memberi isyarat dengan pandang matanya kepada Kim Hong. “Terima kasih... terima kasih...!” kata tosu itu yang sama sekali tidak pernah mimpi bahwa dia akan terbebas dari kematian mengerikan di tangan Pendekar Sadis! Maka, seperti seekor tikus yang baru saja disiram air, dengan pakaian basah kuyup tosu itu lalu bangkit dan hendak lari dari perahu itu, akan tetapi tiba-tiba wajahnya menjadi pucat sekali dan dia menjatuhkan dirinya berlutut. “Suhu... tolonglah teecu... hampir saja teecu dibunuh Pendekar Sadis yang telah menyiksa teecu...” katanya dengan suara gemetar. Thian Sin dan Kim Hong membalikkan tubuh mereka dan pura-pura bersikap kaget dan heran melihat munculnya Kui Yang Tosu dan lima orang tosu Kun-lun-pai lainnya, juga nampak Liang Sim Cinjin pertapa Kang-lam itu, dan dua orang Bu-tong-pai wakil dari Thian Heng Losu, juga nampak Lo Pa San, pendekar dari Po-hai itu dan beberapa orang lain yang pernah hadir dalam pertemuan para pendekar di Kun-lun-san! Melihat mereka itu, yang memang sudah diketahuinya sejak tadi oleh Thian Sin dan Kim Hong, kedua orang muda ini lalu meloneat meninggalkan perahu dan berdiri berdampingan di pantai, siap menghadapi segala kemungkinan. Mereka merasa lebih aman berada di atas pulau daripada di atas perahu, apalagi dengan adanya ahli-ahli silat dalam air seperti Tikus Laut yang lihai itu. Thian Sin sendiri cukup mengerti bahwa melawan Tikus Laut seorang saja, kalau bertanding di air, mungkin sekali dia akan celaka. Dan berada di atas perahu berbahaya sekali, siapa tahu mereka akan menggulingkan perahu! Akan tetapi, para tosu Kun-lun-pai dan teman-temannya itu agaknya tidak menghiraukan mereka dan Kui Yang Tosu kini melangkah maju mendekati Tikus Laut. Wajah kakek yang merupakan tokoh ke dua dari Kun-lun-pai ini masih nampak berkilat penuh api kemarahan. Suaranya juga masih halus ketika dia bertanya kepada Muka Tikus Laut itu, “Bagaimana engkau bisa berada di tempat ini?” “Suhu, teecu pernah mendengar tentang pulau ini dan teecu membantu suhu untuk menyelidiki Pendekar Sadis dan Lam-sin yang teecu duga tentu melarikan diri ke sini. Dan benar saja... akan tetapi teecu ketahuan dan ditangkap dan disiksa, nyaris dibunuh secara keji, dijadikan umpan ikan-ikan hiu...” “Dan siapakah bajak-bajak laut itu dan milik siapa pula perahu ini?” Suara Kui Yang Tosu makin lantang dan pendang matanya semakin berapi-api. Akan tetapi agaknya tosu bekas bajak itu tidak sadar akan tanda-tanda ini atau memang dia sudah terlanjur melangkah dan tidak mungkin mundur kembali. “Bajak-bajak itu adalah kaki tangan Pendekar Sadis...” Akan tetapi tosu itu tidak melanjutkan kata-katanya karena dengan langkah lebar Kui Yang Tosu menghampirinya, mukanya merah dan matanya melotot, dadanya naik turun menahan kemarahan. “Penipu! Pembohong! Pengkhianat kau manusia busukP' Dan kaki wakil ketua Kun-lun-pai itu bergerak menendang. “Desss...!” Dan tubuh tosu bermuka tikus itu terlempar keluar dari perahu itu, jatuh ke dalam air! Ketika semua orang memandang, wajah mereka berubah dan mata mereka terbelalak melihat puluhan ekor ikan hiu menyerbu ke arah tubuh yang baru saja terjatuh ke air itu. Terdengar jeritan-jeritan mengerikan yang berhenti tiba-tiba ketika tubuh itu terseret ke bawah permukaan air. Air bergelombang dan mulai berubah warnanya menjadi merah di tempat di mana tosu tadi jatuh. “Siancai...!” Kui Yang Tosu memejamkan kedua matanya, alisnya berkerut dan kedua tangannya dirangkap ke depan dada. Sampai lama dia tidak bergerak, wajahnya berkerut-kerut dan akhirnya, setelah beberapa kali dia menarik napas panjang, diapun membuka matanya, lalu dengan tubuh nampak lemas dan lesu dia menuruni perahu itu menghampiri Thian Sin dan Kim Hong yang masih berdiri melihat semua itu dengan sikap tenang waspada. Kui Yang Tosu menjura kepada mereka. Suaranya terdengar lirih, “Ceng-taihiap, Toan-lihiap, maafkan pinto yang tak dapat mengendalikan perasaan...” Thian Sin dan Kim Hong membalas penghormatan itu dan Thian Sin berkata, “Saya sudah sering kali mengalami perasaan itu, locianpwe, membuat mata gelap dan menimbulkan tindakan pembalasan yang membuat saya dinamakan Pendekar Sadis. Saya mengerti dan locianpwe tidak bersalah, wajarlah sebagai manusia biasa kadang-kadang dikuasai oleh amarah.” Kui Yang Tosu kembali menarik napas panjang penuh penyesalan betapa karena marahnya dia telah membunuh Si Tikus tadi, bahkan dengan cara yang mengerikan, tanpa disengaja dia memberikan tosu itu kepada ikan-ikan hiu! “Tidak pinto kira bahwa dia yang telah kami percaya itu akan melakukan fitnah seperti itu demi kepentingan dirinya dan pemuasan nafsunya,” kata pula Kui Yang Tosu. Thian Sin tersenyum dan mengangguk, “Locianpwe, saya sendiripun pernah mengalami penipuan seperti itu dan menjadi korban fitnah sehingga melakukan hal yang amat buruk. Tentu locianpwe ingat akan kematian Pangeran Toan Ong? Nah, ketika itupun saya mendengar fitnah orang yang saya percaya.” Kui Yang Tosu mengangguk-angguk. “Siancai...! Betapa lemahnya kita manusia ini. Kita perlu banyak belajar, Ceng-taihiap...” “Benar, locianpwe, kita harus tetap belajar selama masih hidup.” “Maafkan pinto, kini Kun-lun-pai baru mengerti dan mulai saat ini kami tidak lagi memusuhimu, taihiap.” “Terima kasih, locianpwe, dan sayapun akan belajar agar tidak mudah membiarkan diri dikuasai nafsu dendam dan kekejaman terhadap musuh.” Kui Yang Tosu lalu berpamit kepada Thian Sin dan Kim Hong, kembali ke tempat di mana perahu mereka tersembunyi, diikuti oleh para pendekar lain yang juga berpamit dengan sikap bersahabat. Thian Sin dan Kim Hong memandang kepada mereka sampai perahu mereka tidak nampak lagi dan tiba-tiba Kim Hong merangkul Thian Sin dengan hati penuh kegirangan dan kebahagiaan. Thian Sin maklum apa yang dirasakan oleh kekasihnya karena diapun merasakan sesuatu kebahagiaan besar menyelubungi hatinya, maka diapun tidak berkata apa-apa kecuali balas merangkul gadis itu. Sampai lama mereka saling rangkul dan tidak mengeluarkan kata-kata. Kata-kata tidak ada artinya lagi dalam keadaan seperti saat itu. Mereka merasa seolah-olah ada batu besar yang selama ini menindih hati mereka berdua telah terangkat dan mereka merasakan suatu kebebasan yang amat nikmat dalam hati mereka. Dan bagi Thian Sin terutama sekali, teringatlah kembali semua kata-kata kakaknya. Kekerasan hanya akan mengakibatkan kekerasan pula. Akibat tidak akan pernah terlepas daripada sebab, akibat hanyalah lanjutan daripada sebab. Dan sebab adalah cara dalam tindakan kita sendiri. Cara yang buruk takkan mungkin mendatangkan akibat yang baik, seperti juga benih buruk takkan mungkinlah menumbuhkan pohon yang baik. Tak mungkinlah mengharapkan bunga indah tumbuh menjadi buah lewat dari tanaman beracun. Siapa menanam, dia sendiri yang akan memetik buah daripada hasil tanamannya. Sayang seribu kali sayang, kita hanya selalu mengingat-ingat akan panen buah lezat saja, tak pernah kita memperhatikan penanamannya yang benar dan pemeliharaannya yang benar. Mata kita selalu tertuju jauh ke depan, kepada tujuan-tujuan dan harapan-harapan baik dan menyenangkan untuk kita, sama sekali tidak mau melihat perbuatan-perbuatan kita setiap saat sekarang inilah yang menjadi pohon penghasil buah di masa mendatang. Bukan buahnya yang penting, melainkan pohonnya, pemeliharaan pohonnya. Buah yang baik, hanyalah menjadi lanjutan dari pohon yang baik. Kita selalu mau enaknya saja. Thian Sin dan Kim Hong lalu melakukan pemeriksaan ke seluruh bagian pulau itu dan mulailah mereka membangun kembali rumah yang banyak rusak itu. Untuk pekerjaan ini mereka mendatangkan pembantu-pembantu bayaran dan dalam waktu beberapa bulan saja Pulau Teratai Merah kembali menjadi sebuah pulau kecil yang indah. Mereka berdua menghadiri perayaan pernikahan dari Cia Kong Liang di Cin-ling-pai dan bertemu dengan keluarga Cin-ling-pai dan Lembah Naga, juga bertemu dengan semua sahabat dan kenalan. Kemudian, tak lama sesudah itu, Thian Sin dan Kim Hong juga menghadiri upacara perayaan pernikahan antara Cia Han Tiong dan Ciu Lian Hong yang diadakan secara sederhana di Lembah Naga. Di tempat ini, Thian Sin dan Kim Hong tinggal sampai satu bulan lebih. Kim Hong telah diterima sebagai keluarga oleh keluarga di Lembah Naga. Akan tetapi kalau Cia Sin Liong dan isterinya menyinggung tentang pernikahan antara mereka, Thian Sin dan Kim Hong hanya saling pandang dan tersenyum. “Ayah dan ibu, harap maafkan... akan tetapi kami sejak pertemuan pertama telah saling bersepakat untuk tidak mengikat diri masing-masing dengan pernikahan. Betapapun juga, kami saling mencinta...” Mendengar ucapan itu, Cia Sin Liong dan isterinya hanya saling pandang dan menggeleng-geleng kepala mereka. Orang-orang muda memang makin lama makin aneh. Dunia berubah, atau lebih tepat lagi, manusia telah makin berubah. Kerinduan akan kebebasan membuat orang-orang muda makin lama makin cenderung untuk meninggalkan ikatan-ikatan dan hukum-hukum yang mungkin mereka anggap sebagai penghalang daripada kebebasan yang mereka dambakan. Mereka itu, orang-orang muda itu, sama sekali tidak tahu bahwa kebebasan adalah urusan batin, bukan sekedar soal-soal lahir saja. Orang yang bebas hatinya takkan merasa terganggu walaupun diikat oleh seribu macam hukum. Sebaliknya, biarpun meninggalkan semua hukum, orang akan tetap terbelenggu batinnya dan sama sekali tidak bebas. Sampai di sini pengarang mengakhiri cerita ini dengan harapan semoga cerita ini selain dapat menghibur hati pembaca, juga mengandung manfaat sekedarnya bagi perjuangan kita mendayung biduk masing-masing menempuh gelombang-gelombang di samudera kehidupan yang luas ini. Marilah kita melihat kenyataan bahwa biarpun tidak semua dapat disebut sadis, karena kekejaman turun temurun telah mengalir dalam diri kita, telah mendarah daging. Kita ini sadis! Kita ingin melihat orang-orang yang kita benci menderita kesengsaraan yang hebat! Kita akan senang melihat orang yang kita benci tersiksa. Benar atau tidakkah demikian? Hanya kita masing-masing yang dapat menjawab dengan menjenguk ke dalam batin sendiri! Lalu bagaimana dengan Pendekar Sadis? Apa jadinya dengan Thian Sin dan Kim Hong di Pulau Teratai Merah? Apakah riwayat mereka habis sampai sekian saja? Harap para pembaca jangan khawatir. Cerita tentang mereka belum tamat. Dan pengarang sedang menyusun cerita selanjutnya tentang mereka berdua. Anda akan bertemu dengan sepasang orang muda perkasa ini dalam cerita serial Pendekar Sadis, di mana Pendekar Sadis dan Lam-sin yang kini hanyalah seorang pemuda perkasa bernama Ceng Thian Sin dan seorang gadis yang gagah bernama Toan Kim Hong, sambil bergandeng tangan bahu membahu menghadapi dan bersama-sama memecahkan persoalan-persoalan yang rumit-rumit penuh bahaya. Petualangan mereka akan dapat anda ikuti dalam serial Pendekar Sadis. Nah, sampai jumpa di lain karangan! - T A M A T - Dapatkan koleksi ebook lain di: http://jowo.jw.lt