Siluman Gua Tengkorak Kho Ping Hoo mjbookmaker by: http://jowo.jw.lt Pesta pernikahan yang dirayakan orang di dusun biasanya jauh lebih meriah dari pada pesta pernikahan yang dirayakan orang di kota itu. Meriah di sini bukan berarti mewahnya perayaan itu, melainkan kemeriahan yang terasa benar di dalam hati mereka yang hadir, tercermin dari wajah mereka yang berseri-seri. Pesta pernikahan di kota besar hanya merupakan pesta makan minum yang mewah dan berlebihan, kegembiraan yang timbul karena pengaruh arak yang terlalu banyak memenuhi perut sehingga arak itu menguap memenuhi benak membuat orang menjadi lupa diri. Pesta di kota hanya merupakan perlombaan memamerkan kekayaan. Akan tetapi di dusun lebih terasa keakraban dan kegotongroyongan, sehinga para tamu itu seolah-olah merasa sebagai keluarga dan sebagai orang yang ikut ambil bagian dalam perayaan itu, bahkan seperti keluarga yang merayakan, bukan sekedar tamu yang datang untuk makan minum. Pesta pernikahan antara Thio Siang Ci dan The Si Kun di dusun Ban-ceng itu sungguh amat meriah. Seluruh penghuni dusun Ban-ceng ikut merayakannya. Hal ini tidak mengherankan karena keluarga yang dikenal sebagai keluarga ramah dan baik, bahkan Thio Siang Ci dikenal sebagai kembangnya para gadis cantik di dusun itu. Bahkan banyak pemuda luar dusun, sampai di kota Tai-goan, mengenal dan mendengar akan kecantikan Siang Ci. Akan tetapi yang beruntung dan berhasil memetik kembang cantik ini adalah The Si Kun, putera seorang saudagar ikan yang cukup kaya di kota Tai-goan. Seperti telah menjadi kebiasaan para penduduk Ban-ceng yang berdasarkan ketahyulan dan perhitungan, pertemuan pengantin juga dilakukan dengan dasar perhitungan dan menurut perhitungan para keluarga yang tua, pertemuan pada hari itu jatuh pada jam enam sore! Sore itu, rumah keluarga Thio sudah penuh dengan tamu dan suasana menjadi makin meriah dan gembira ketika sepasang mempelai dipertemukan di mana diadakan upacara sembahyang di depan meja leluhur. Biarpun wajah pengantin perempuan tidak dapat dilihat jelas karena tertutup oleh rumbai-rumbai atau hiasan kepala yang berjuntaian ke depan muka, namun masih dapat dilihat bentuk tubuhnya yang langsing dan padat, sebagian dari kulit leher dan kulit tangannya yang putih halus. Pengantin laki-laki juga kelihatan ganteng, wajahnya yang muda dan tampan itu nampak berseri-seri, mulutnya mengulum senyum malu-malu karena banyak sahabatnya yang mengeluarkan suara atau membuat gerakan-gerakan yang menggodanya. Sepasang mempelai itu memang merupakan pasangan yang cocok dan manis sekali. Thio Siang Ci adalah seorang gadis berusia tujuh belas tahun yang cantik jelita, bagaikan bunga sedang mekar. Adapun The Si Kun adalah seorang pemuda yang usianya dua puluh tahun, tampan dan sehat dan pandai berdagang karena sejak kecil telah membantu ayahnya. Keluarganya adalah pedagang ikan, membeli ikan dari para nelayan di Sungai Fen-ho, mengumpulkan ikan-ikan itu, sebagian menjualnya ke kota Tai-goan dan sebagian pula dibuat meniadi ikan asin. Setelah sepasang mempelai selesai melakukan upacara sembahyang lalu mohon doa restu dari para anggota keluarga yang lebih tua, kemudian sekali setelah lelah menjalankan semua upacara itu mereka baru diperbolehkan duduk bersanding di tempat yang sudah dipersiapkan, para tamu mulai dengan perjamuan makan. Hari telah mulai gelap dan para pelayan mulai menyalakan lilin dan lampu-lampu yang diatur indah dan nyeni untuk menambah meriahnya suasana pesta pernikahan itu. Api lilin yang bergerak-gerak tertiup angin semilir sungguh seperti penari-penari yang sedang bergembira menari-nari. Suasana gembira ini menjadi agak bising karena para tamu kini bicara sendiri dan bermacam-macamlah yang mereka bicarakan, dari membicarakan cantik dan tampannya sepasang mempelai sampai ke urusan yang sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan pesta pernikahan itu. Tiba-tiba terdengar teriakan kaget dan seorang pelayan yang sedang memasang lilin di bagian luar melepaskan tempat lilin sambil berteriak tadi. Semua orang menengok dan Thio Ki, ayah mempelai wanita cepat berlari keluar. “Ada apa?” tanyanya kepada pelayannya dengan alis berkerut karena kecerobohan pelayan itu. Akan tetapi pelayan itu nampak tubuhnya menggigil dan hanya menunjuk ke arah dinding di depannya. Tuan rumah lalu mengambil sebuah tempat lilin dan mengangkat benda itu ke atas sambil mendekati dinding dan tiba-tiba mukanyapun berubah pucat ketika dia melihat sebuah gambar tengkorak merah dan agaknya, benda cair yang dipakai menggambar tengkorak itu adalah darah yang masih basah, tanda bahwa gambaran itu baru saja dibuat orang! Agaknya, pelayan tadi menyalakan lilin dekat dinding dan melihat lukisan itu, maka dia berseru kaget dan menjatuhkan tempat lilin. Thio Ki sendiripun terkejut. “Aihh...!” Para tamu berlari mendekat dan kini banyak orang mengerumuni tempat itu dan semua memandang kepada gambar tengkorak dari darah itu de-ngan muka pucat. Sudah ada tiga kali peristiwa seperti itu, ialah gambar-gambar tengkorak darah pada rumah-rumah orang, di pintu atau dinding depan dan akibatnya, pada malam harinya ada tiga orang gadis terculik! Dan sekarang, justru pada saat gadis tuan rumah merayakan hari pernikahan-nya, terdapat gambar pada dinding rumah itu! “Siluman Guha Tengkorak...!” Terdengar bi-sikan seorang tamu dan semua orang menggigil ketakutan. Nama ini, biarpun baru muncul bebe-rapa kali, telah menjadi semacam momok yang menakutkan di daerah Tai-goan dan sekitarnya. Pengantin pria, The Si Kun yang juga tertarik dan sudah mendekati dinding itu, mengepal tinjunya. Dia bukan seorang pemuda yang penakut dan lemah. Sejak semula dia sudah menduga bahwa yang membuat gambar-gambar tengkorak dan menculik gadis-gadis itu adalah segerombolan penjahat. Dan dia tidak takut karena para nelayan yang menjadi anak buahnya adalah orang-orang yang sudah biasa menghadapi kekerasan-kekerasan para penjahat dan para bajak sungai. “Biarkan dia datang! Kami akan melawannya! Bukankah begitu, kawan-kawan?” teriaknya. Belasan orang nelayan muda yang bertubuh tegap-tegap dan yang menjadi kawan-kawan pengantin pria, segera mengangkat kepalan tangan ke atas dan berteriak, “Benar, kita akan lawan dia dan akan tangkap jahanam itu!” Betapapun juga, para tamu sudah merasa ketakutan dan perjamuan itu dilanjutkan dalam suasana tegang. Para tamu lalu berpamit dan seorang demi seorang bangkit dari tempat duduk, lalu berbondong-bondong minta diri dan meninggalkan ru-mah keluarga Thio. Suasana menjadi sunyi setelah tempat itu tadinya bising dengan para tamu. Yang masih tinggal di situ hanya dua belas orang nelayan muda yang menjadi sahabat pengantin pria. Mereka ini masih tetap makan minum dengan gembira di tempat pesta yang sudah kosong itu. Sementara itu, sepasang mempelai telah meninggalkan ruangan dan mendapat kesempatan untuk mengaso dalam kamar mereka karena para tamu sudah tidak bernafsu lagi untuk menggoda sepasang mem-pelai di malam pertama itu. Seluruh keluarga Thio yang sudah memasuki kamar masing-masing tak dapat memejamkan mata karena hati mereka semua merasa tegang dan khawatir. Atas permintaan pihak tuan rumah, duabelas orang nelayan muda, teman-teman dari The Si Kun itu kini pindah ke ruangan yang berada di luar kamar pengantin. Mereka tetap dijamu di tempat itu, tempat yang ber-dekatan dengan kamar pengantin untuk menjaga kalau-kalau ada penjahat yang datang mengganggu. Setelah melihat dua belas orang laki-laki muda yang bertubuh kekar itu berada di depan kamar pengan-tin, barulah hati Thio Ki merasa lega dan diapun pergi ke dalam kamamya untuk mengaso. Namun, di dalam kamar inipun dia dan isterinya rebah de-ngan hati gelisah dan tidak dapat pulas sama sekali. Malam semakin larut dan amat sunyi. Terdengar suara anjing menggonggong dari kejauhan, suara gonggongan yang menyedihkan yang kemudian berobah menjadi suara menyeramkan. Lolong anjing berkepanjangan ini biasanya dilakukan anjing-anjing sambil mengangkat muka tinggi-tinggi ke atas memandang bulan dan orang menjadi ketakutan karena katanya saat seperti itu adalah saatnya para iblis gentayangan di permukaan bumi! Dua belas orang nelayan muda itu sudah tidak lagi makan minum, melainkan duduk di ruangan depan pengantin dengan sikap siap siaga. Pengantin pria juga tidak dapat menikmati malam pengantinnya, bahkan terpaksa dia tadi meninggalkan isterinya untuk ikut berjaga bersama kawan-kawannya. Baru setelah kawan-kawannya mendesaknya dengan sikap setengah menggoda agar dia tidak membiarkan isterinya kedinginan seorang diri dalam kamar, pengantin pria memasuki kamarnya lagi. “Aku mengandalkan penjagaan kalian di luar, sedangkan aku sendiri akan berjaga di dalam kamar,” katanya. Sebagian untuk menutupi rasa malunya kepada kawan-kawannya yang tentu sudah menggodanya pada malam pertama itu. “Hayaaaa... kami mengerti, Si Kun!” kata seorang temannya. “Sudahlah, nikmati malam pengantinmu, biar kami yang berjaga di sini dan menangkap siluman itu kalau benar dia berani muncul.” “Hushh!” cela seorang kawan lain. “Jangan bicara sembarangan di malam seperti ini. Dan masuklah Si Kun, engkau akan merasa aman dalam pelukan istrimu, ha-ha!” Dua belas orang itu tersenyum. “Aihh, kalian ini bisa saja menggoda orang. Siapa dapat bersenang dalam keadaan seperti ini?” The Si Kun lalu membuka pintu kamar dan masuk ke dalam, menutupkan kembali kamarnya. Isterinya juga tidak tidur, melainkan duduk di tepi pembaringan sambil menundukkan muka karena malu. Muka yang cantik memang, dan kini setelah tidak tertutup kerudung, nampak betapa sepasang pipi itu halus kemerahan. Biarpun tadinya dia merasa tegang dan khawatir, kini melihat kecantikan istrinya, Si Kun tak dapat menahan hatinya dan duduklah dia disamping isterinya, tangannya me-rangkul dan dengan lembut dia menarik muka itu untuk diciumnya. Tiba-tiba lilin yang berada di atas meja kamar itu padam. Hal ini diketahui oleh para penjaga di luar kamar, maka merekapun tertawa-tawa karena padamnya lilin dalam kamar itu membuat mereka mengira bahwa sepasang pengantin baru itu tentu merasa malu, memadamkan penerangan agar dapat mencurahkan perasaan hati mereka berdua dengan leluasa. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa terkejut rasa hati dua belas orang itu ketika tiba-tiba terdengar teriakan The Si Kun disusul suara gedobrakan di dalam kamar dan tak lama kemudian terdengar jeritan pengantin wanita, akan tetapi jeritan itu terdengar jauh dari situ! Dua belas orang itu segera menghampiri pintu kamar dan mendobraknya karena tidak ada jawaban dari dalam ketika mereka memanggil-manggil. Thio Ki dan isterinya dan seluruh penghuni rumah yang tadinya memang sudah gelisah itu keluar semua dari kamar masingmasing dan berlarian menuju ke kamar pengantin. Pintu kamar didobrak jebol dan mereka berebut masuk. Dari penerangan lampu yang dibawa oleh mereka yang masuk, nampak pemandangan yang mengerikan. The Si Kun, pengantin pria itu, dengan tubuh bagian atas telanjang, hanya menggunakan celana saja, rebah di lantai dengan leher hampir putus. Darah merah masih mengalir dari lehernya dan membasahi lantai. Pemuda ini sudah tewas, dan pengantin wanitanya tidak nampak bayangannya. Langit-langit kamar itu terbuka dan berlubang. Maka tahulah semua orang bahwa penjahat telah masuk dari atas genteng dengan membobol langit-langit kamar. Para wanita menjerit-jerit dan riuh rendah suara orang menangis. Siluman Guha Teng-korak benar-benar telah datang, menculik pengantin wanita dan membunuh pengantin pria! Gegerlah dusun Ban-ceng! Mengapakah penjahat yang selama beberapa minggu ini mengacau di daerah Tai-goan dan sekitarnya dijuluki orang Siluman Guha Tengkorak? Pertama-tama adalah karena gambar itu. Setiap kali hendak melakukan kejahatan, terutama sekali mencuri perhiasan-perhiasan yang serba mahal dan menculik gadis-gadis cantik, penjahat itu pada siang atau sore harinya selalu tentu memberi tanda gambar tengkorak darah pada pintu atau dinding rumah yang akan didatangi! Inilah yang mula-mula membuat dia dinamakan Tengkorak. Kemudian, pernah dia dikejar-kejar dan penjahat itu dapat berlari cepat seperti iblis, dan larinya menuju daerah pegunungan yang gundul, dimana terdapat penuh batu-batu besar dan guha-guha. Tempat ini dikenal dengan sebutan Guha Tengkorak, karena memang di situ terdapat banyak sekali guhaguha besar dan diantaranya memang ada guha-guha yang bentuknya seperti tengkorak. Karena inilah, maka penjahat yang telah menggegerkan daerah Tai-goan itu dinamakan Siluman Guha Tengkorak. Pemerintah daerah yang dibantu oleh para pendekar setempat telah berusaha untuk mencari dan menangkap penjahat itu, namun hasilnya sia-sia. Guha-guha itu telah diperiksa, namun tidak nampak sesuatu yang mencurigakan. Tempat itu memang berbahaya dan tandus, terdapat jurang-jurang dalam dan jalannya amat licin sehingga tidak ada orang yang pernah datang ke tempat yang tidak ada gunanya itu. Pembunuhan The Si Kun yang menjadi pengantin itu dan penculikan isterinya, yaitu Thio Siang Ci, merupakan kejahatan yang ke empat selama hampir dua bulan penjahat itu muncul. Biarpun orang belum pernah dapat melihat wajahnya karena penjahat itu pandai bergerak cepat seperti menghilang saja, namun orang-orang tahu bahwa pen-culikan-penculikan wanita dan pencurian itu dilakukan oleh orang yamg sama, yang mereka ju-luki Siluman Guha Tengkorak karena caracaranya yang sama, yaitu sebelum datang, telah memberi tanda gambar tengkorak darah dan caranya bekerja juga sama, amat cepat sehingga jarang dapat dilihat orang. Seperti terjadinya penculikan atas diri Thio Sang Ci, sungguh amat mengherankan dan menakutkan orang. Di luar kamar pengantin itu terdapat dua belas orang nelayan muda yang kuat-kuat dan yang masih berjaga, sama sekali tidak ada yang tidur. Namun, penjahat itu dapat memasuki kamar pengantin tanpa ada yang mengetahuinya-, membunuh pengantin pria yang mungkin melawan dan menculik pengantin wanita. Peristiwa itu terjadi sedemikian cepatnya sehingga yang terdengar hanya teriakan pengantin pria dan ketika kamar didobrak, penjahatnya telah lenyap bersama pengantin wanita yang diculiknya. Daerah Guha Tengkorak terletak di luar kota Tai-goan, di sebelah selatan, di lereng Pegunungan Lu-liang-san di lembah Sungai Fen-ho. Guha-guha ini selain sukar dikunjungi dan tidak pernah didatangi manusia, juga angker dan menurut penduduk yang masih percaya akan cerita tahyul, kabarnya tempat itu menjadi sarang para iblis dan arwah-arwah yang penasaran. Ada yang mengabarkan dengan sumpah betapa mereka mendengar suara-suara aneh dan menyaksikan penglihatan-penglihatan menyeramkan di daerah itu di waktu malam. Tentu saja cerita-cerita ini membuat tempat itu menjadi angker dan membuat orang semakin tidak berani mendekati. Para pendekar dan juga para komandan penjaga keamanan tahu belaka bahwa tempat itupun menjadi tempat pelarian para buronan. Bagi para penjahat yang menjadi buronan pemerintah, memang daerah itu amat baik untuk menyembunyikan diri. Guha-guha itu mempunyai banyak terowonganterowongan di bawah gunung yang sambung-menyambung sehingga sekali sang buronan lari memasuki guha yang ada terowongannya, amat sukar untuk dapat ditemukan. Juga amat berbahaya bagi si pengejar karena tempat itu memang berbahaya sekali. Daerah Guha Siluman ini hanya indah dilihat dari jauh, dari kaki bbukit, dan dapat pula dilihat dari Sungai Fen-ho kalau orang naik perahu lewat di kaki bukit itu. Dari jauh nampaklah dinding bukit yang berbatu-batu dan berlubang-lubang dengan lubang-lubang berbentuk tengkorak, seolaholah dari jauh kelihatan tengkorak-tengkorak yang dipasang berderet-deret di dinding batu karang itu. Akan tetapi, keindahan ini mengandung sesuatu yang menyeramkan, seolah-olah ada sesuatu yang mengancam mereka yang teralu lama memandang ke arah tempat itu. Para nelayan menganggap tempat ini sebagai tempat keramat dan mereka selalu menundukkan muka kalau melewati tempat ini dan tidak berani memandang langsung terlalu lama ke arah Guha-guha Tengkorak itu. Nama Siluman Guha Tengkorak menggegerkan kota Tai-goan dan daerahnya selama kurang lebih dua bulan ini karena sepak terjangnya yang amat mengerikan itu. Letak daerah Guha Tengkorak hanya tiga puluh li dari Tai-goan. Tentu saja para pendekar di kota Tai-goan merasa penasaran dan marah melihat betapa kota mereka dilanda malapetaka dengan munculnya seorang penjahat yang begitu beraninya. Perbuatan penjahat itu seolah-olah merupakan tamparan bagi mereka. Mereka, bersama pasukan penjaga keamanan kota, telah berusaha untuk mencari dan menangkap penjahat itu. Namun, penjahat itu benar-benar seperti siluman, kalau nampak bayangannya, sukar disusul dan ketika dicari di daerah Guha Tengkorak, tidak dapat ditemukan jejaknya. Sudah ada dua orang gadis cantik di kota Tai-goan diculiknya, dan beberapa orang hartawan telah dicuri barang-barang berharga berupa perhiasan-perhiasan mahal yang disimpan di dalam tempat-tempat rahasia. Di antara para pendekar yang merasa penasaran terhadap Siluman Guha Tengkorak, terdapat seorang laki-laki bernama Cia Kok Heng. Dia bekerja sebagai ahli bangunan bagian pertulangan kayu dan nama Cia Kok Heng ini cukup terkenal di kota Tai-goan sebagai seorang ahli silat, bahkan seorang pendekar karena dia adalah seorang murid lulusan perguruan Hong-kiam-pai (Perkumpulan Pedang Angin) di Tai-goan. Hong-kiam-pai ini adalah sebuah perkumpulan silat pedang yang menjadi cabang dari persilatan besar Kun-lun-pai. Ilmu Pedang Hong-kiam-hoat (Ilmu Pedang Angin) adalah ilmu pedang dari Kun-lun-pai dan karena perguruan itu khusus mengajarkan ilmu pedang ini, maka tidak memakai nama Kun-lun-pai, melainkan Hong-kiam-pai. Yang menjadi anggota atau murid dari Hong-kiam-pai hanyalah orang-orang yang sudah memiliki dasar ilmu silat yang mahir dan boleh saja memiliki dasar ilmu silat dari partai lain asalkan tingkatnya sudah cukup untuk mempelajari Ilmu Pedang Hong-kiam-sut. Akan tetapi, Cia Kok Heng memang seorang murid Kun-lun-pai aseli sehingga dia memiliki dasar-dasar ilmu silat Kunlun-pai. Dengan adanya perkumpulan Hong-kiam-pai ini maka para pendekar dari semua aliran dapat bersatu dan menjadi murid atau anggota dan karena dia sendiri anggota Hong-kiam-pai, maka tentu saja Cia Kok Heng mengenal banyak pendekar yang juga menjadi anggauta perkumpulan itu. Kok Heng hidup rukun bersama isterinya dan dua orang anaknya. Dia sendiri berusia tiga puluh tahun dan isterinya berusia dua puluh tujuh tahun. Isterinya adalah seorang wanita yang amat cantik jelita dan biarpun kini telah mempunyai dua orang anak, namun kecantikannya tidak berkurang. Anak mereka, yang pertama laki-laki berusia sembilan tahun dan yang kedua perempuan berusia tujuh tahun. Hidup mereka tidak dapat dikatakan kaya, namun penghasilan Kok Heng sebagai tukang kayu yang ahli cukup untuk hidup pantas bagi keluarga itu. Cia Kok Heng bukanlah seorang ahli silat biasa saja di kota Tai-goan. Dia adalah seorang di antara Tujuh Pendekar Tai-goan! Dan biarpun di antara mereka bertujuh dia termasuk yang paling muda, namun bukan berarti bahwa kepandaiannya yang paling rendah. Biarpun tujuh orang pendekar itu belum pernah bentrok sendiri dengan siluman yang mengacau kota mereka namun mereka menaruh perhatian dan sudah sering mereka bertujuh itu berkumpul untuk membicarakan penjahat itu. Bahkan mereka saling berdebat, ada yang percaya akan desasdesus bahwa penjahat itu lihai seperti siluman dan pandai ilmu menghilang, ada pula yang tidak percaya. Percaya dan tidak percaya mempunyai dasar yang sama. Dasarnya adalah ketidaktahuan. Hanya orang yang tidak mengerti atau tidak tahu sendirilah yang bisa menjadi orang yang percaya atau yang tidak percaya. Oleh karena itu, orang yang percaya dan yang tidak percaya sesungguhnya tidak berhak membicarakan sesuatu yang mereka percaya atau tidak percaya itu, karena keduanya sama-sama tidak mengerti atau tidak tahu. Kalau sudah tahu, maka tidak mungkin timbul percaya atau tidak percaya lagi. Sebelum manusia mendarat di bulan, gambaran tentang bulan tentu menimbulkan percaya atau tidak percaya, tergantung dari siapa yang menceritakan dan siapa yang mendengarkan. Akan tetapi sekarang, hal itu tidak lagi membutuhkan percaya atau tidak percaya. Bagaimanapun juga, anehnya, orang-orang yang percaya atau yang tidak percaya inilah, di dalam ketidaktahuan merupakan orang-orang yang paling suka untuk membicarakannya dan memperdebatkannya. Pagi hari itu, Kok Heng berangkat ke tempat pekerjaannya, di pusat kota di mana sedang diadakan pembangunan oleh kepala daerah, dengan hati agak kesal. Malam tadi isterinya berbelanja ke pasar, isterinya bertemu dengan Phang-kongcu, putera seorang pembesar yang kaya raya dan pemuda itu bersikap kurang ajar. Dengan lagak memikat, Phang-kongcu mengeluarkan kata-kata memuji kecantikannya dan mengatakan sayang bahwa wanita secantik itu hidup miskin. Demikian kata isterinya dan biarpun Kok Heng menganggap kekurangajaran mulut pemuda bangsawan dan hartawan itu merupakan pnyakit umum dan tidak begitu aneh, tetap saja hatinya diliputi rasa cemburu dan penasaran. Namun, se-bagai seorang pendekar dia mampu menenangkan batinnya dan berangkat kerja dengan wajah- agak muram. Siang hari itu dia pulang lebih pagi dari pada biasanya. Di depan rumah, dia melihat dua orang anaknya, Cia Liong dan Cia Ling, main-main dengan anak-anak tetangga. Akan tetapi, timbul keheranannya ketika melihat anak-anak itu berdiri berkerumun di depan dinding dekat pintu, memandang ke arah dinding dan menunjuk--nunjuk, nampak keheranan. Diapun cepat melangkah, mendekat dan tiba-tiba saja wajah pendekar- ini berubah merah lalu pucat, dan merah lagi. Matanya terbelalak memandang ke arah dinding yang dirubung anak-anak itu. Di atas dinding putih itu nampak jelas gambar tengkorak dan dilukis dengan darah yang masih mengkilat basah! “Ayah, apakah itu?” tanya Cia Ling. Kok Heng menggandeng tangan kedua orang anaknya, membawa mereka masuk rumah setelah dia menyuruh anak-anak lain pulang ke rumah masing-masing. Jantungnya tergetar penuh ketegangan dan hatinya lega ketika dia melihat isterinya menyongsong kedatangannya dari dalam dapur. “Eh, ada apakah? Engkau kelihatan...” Isteri-nya bertanya khawatir melihat wajah suaminya. “Tidak apa, tenanglah. Mari kita bicarakan dalam kamar, ajak anak-anak,” kata suaminya. Biarpun sikap suaminya tenang, namun istri pendekar itu dapat menduga bahwa tentu telah terjadi sesuatu. Mereka memasuki kamar dan Kok Heng lalu menceritakan gambar tengkorak yang dilihatnya di dinding rumah mereka. “Siluman Guha Tengkorak...? Isterinya ber-bisik, bibirnya gemetar mukanya pucat. “Jangan khawatir. Siapapun adanya badut atau penjahat itu, dia akan ketemu batunya sekarang. Aku akan mempersiapkan saudara-saudaraku untuk menghadapinya. Sudah tiba saatnya Tujuh Pendekar Tai-goan bergerak dan membasmi siluman itu,” kata Kok Heng dengan penuh semangat. Sikap dan ucapan suaminya ini membuat hati isterinya agak tenang, biarpun nyonya muda itu masih saja merasa khawatir. Kok Heng lalu menulis sepucuk surat dan minta kepada seorang tetangganya untuk mengantarkan surat itu ke alamatnya. Keluarga Cia lalu makan siang dan sikap tenang pendekar itu mempengaruhi isterinya yang juga merasa tenang. Mereka melarang anak-anak mereka bermain-main di luar rumah dan karena kesal tidak boleh bermain di luar rumah Cia Liong dan Cia Ling yang mentaati kedua orang tuanya itu lalu tidur di kamar mereka pada siang hari itu. Kok Heng bercakap-cakap dengan isterinya di ruangan dalam, dan baru sekarang mereka memperoleh kesempatan untuk membicarakan ancaman itu setelah kedua orang anak mereka tertidur. Kok Heng mengambil pedangnya dan mengeluarkan pedang itu dari sarungnya untuk memeriksanya. Dia sudah bersiap dan kini dia meggantungkan pedangnya di punggung, siap setiap saat menghadapi siluman yang mengancam keluarganya itu. “Akan tetapi mengapa kita...?” isterinya bertanya dengan wajah yang agak pucat. Kok Heng memegang lengan isterinya. “Tenanglah, mukamu begini pucat. Percayalah, kami bertujuh akan dapat menghadapinya, bahkan mungkin menangkap atau membunuh siluman itu.” “Tapi... mengapa kita yang diancamnya? Kita bukan orang kaya...” “Engkau tahu, isteriku. Siluman itu bukan hanya suka mencuri barang-barang berharga, bahkan suka pula menculik wanita...” Muka yang pucat itu berubah merah. “Tapi... yang diculiknya selama ini adalah gadis-gadis cantik...” Kok Heng menatap wajah isterinya dan tersenyum bangga. “Dan engkau adalah wanita yang amat cantik, yang tercantik di antara mereka.” “Ah, jangan bergurau, suamiku. Aku adalah seorang wanita yang sudah mempunyai dua orang anak...” “Aku tidak bergurau. Biarpun engkau sudah menjadi ibu dari dua orang anak, akan tetapi engkau masih kelihatan amat muda dan cantik jelita. Ingat saja kekurangajaran pemuda bangsawan itu...” Tiba-tiba pendekar itu mengerutkan alisnya dan memandang wajah isterinya dengan aneh. Wajah itu menjadi semakin merah. “Si keparat itu... ah, mengapa engkau memandangku seperti itu...?” “Pemuda she Phang itu... kemarin dia meng-godamu dan hari ini siluman itu memberi tanda-nya! Hem... ada hubungan apakah di antara kedua peristiwa ini...?” “Hubungan bagaimana maksudmu?” tanya isterinya bingung. “Pemuda itu adalah putera seorang pembesar, sedangkan siluman itu... bukankah katamu dia itu seorang penjahat besar? Mana ada hubungannya...?” “Akupun merasa heran, kenapa begini kebetulan ? Ah, biarlah akan kubicarakan dengan saudara-saudaraku.” Jauh lewat tengah hari, menjelang sore, datanglah enam orang di rumah Cia Kok Heng. Disambut oleh tuan rumah dengan hati gembira sekali dan juga penuh perasaan lega. Bahkan nyonya rumah juga kini dapat tersenyum dan wajahnya tidak pucat lagi. Bagaimanapun juga, dengan berkumpulnya Tujuh Pendekar Tai-goan, apa yang perlu ditakuti? Tujuh orang yang terkenal dengan sebutan Tujuh Pendekar Tai-goan itu memang bukan orangorang sembarangan. Pertama adalah Cia Kok Heng sendiri yang menjadi orang termuda namun bukan-lah yang paling rendah ilmunya. Orang kedua adalah yang dikirimi surat oleh Kok Heng dan dimintai tolong untuk mengumpulkan semua saudara mereka dan datang ke tempat pendekar she Cia itu. Orang ini bernama Kwee Siu berusia empat puluh lima tahun dan dia adalah murid per-guruan Siauw-lim-pai yang lihai, dan kemudian belajar ilmu pedang pula dari Hong-kiam-pai sehingga dia masih terhitung saudara seperkumpulan dengan Cia Kok Heng. Walaupun dalam hal ilmu pedang dia masih kalah lihai dari Kok Heng ka-rena Kok Heng memang murid Kun-lun-pai, akan tetapi Kwee Siu ini memiliki kelebihan lain, yaitu ilmu-ilmu silat dari Siauw-lim-pai. Orang ke tiga adalah Louw Ciang Su, berusia empat puluh tahun, murid Butong-pai yang lihai sekali dengan senjata rantai bajanya. Orang ke empat dan ke lima adalah kakak beradik she Ciok, yaitu Ciok Lun yang berusia lima puluh tahun dan Ciok Khim berusia empat puluh lima tahun, keduanya tokoh-tokoh dari Tiat-ciang-pai (Perkumpulan Tangan Besi) yang disegani dari kota raja. Tentu saja keduanya memiliki tangan yang amnat kuat dan terlatih sehingga mahir dalam ilmu tangan besi, ha-nya bedanya kalau Ciok Lun biasa mempergunakan senjata toya, adiknya, Ciok Khim mempergunakan senjata golok. Orong ke enam adalah Siok Bu Ham, berusia empat puluh tabun, tidak berpartai dan murid seorang tosu perantau yang mahir mempergunakan senjata sepasang tombak pendek. Orang ke tujuh adalah Liu Ji, berusia empat puluh lima tahun, seorang tokoh Thian-kiam-pang, seorang ahli piauw dan pedang. Pendeknya, untuk Tai-goan dan sekitarnya, nama tujuh pendekar ini sudah terkenal sebagai orang-orang gagah yang menentang kejahatan dan seringkali membantu pmerintah untuk menghadapi penjahat lihai. Begitu enam orang saudaranya itu datang, Kok Heng lalu mengajak mereka ke depan dan mereka bertujuh memeriksa gambar tengkorak darah itu dengan teliti. Ciok Lun meraba lukisan itu dan mengerahkan sin-kangnya. Tangannya yang memiliki Ilmu Tiat-ciang (Tangan Besi) itu tergetar dan menjadi panas, lalu tercium bau amis. “Hem, darah tulen...!” gumamnya. “Mungkin bukan darah manusia,” kata Kok Heng. “Setiap kali mengancam, siluman itu menggunakan lukisan tengkorak darah, dan agaknya dia menggunakan darah binatang.” Louw Ciang Su, murid Bu-tong-pai, menggeleng kepala dan mengerutkan alisnya. “Belum tentu. Aku pernah mendengar dahulu tentang seorang penjahat yang mempelajari ilmu hitam dan sering kali mempergunakan darah dalam surat ancamannya dan darah itu ternyata darah manusia. Entah dari mana diambilnya karena memang orang-orang macam itu sudah sedemikian jahat dan kejamnya seperti iblis.” Para pendekar itu berdiam diri dan merasa ngeri juga. Yang mereka hadapi adalah seorang penjahat yang menurut kabar angin memiliki kepandaian seperti siluman, maka merekapun harus bersikap hati-hati. Mereka lalu dijamu oleh nyonya rumah dan ketika Kok Heng menceritakan tentang pemuda bangsawan Phang yang menggoda isterinya kemarin, enam orang pendekar itu mengerutkan alisnya. Lalu terdengar Liu Ji berkata, “Tidak mungkin dia! Aku mengenal pemuda Phang itu. Memang, dia seorang pemuda mata keranjang, terkenal di dunia pelacuran dan tidak segansegan untuk mempergunakan kedudukan dan hartanya untuk bisa mendapatkan dan menguasai setiap wanita yang disukainya. Akan tetapi dia belum pernah menggunakan kekerasan, apa lagi olehnya sendiri karena dia tidak becus apa-apa, bahkan tubuhnya lemah karena terlalu banyak mengobral nafsunya.” Cia Kong Heng mengangguk-angguk. “Akupun mencurigai dia karena kalau dia itu lihai tentu kita sudah mengetahuinya. Akan tetapi karena kemarin dia menggoda isteriku dan hari ini siluman itu muncul maka sungguh kebetulan sekali dan mau tidak mau, menimbulkan kecurigaan.” Tiba-tiba Kwee Siu, murid Siauw-lim-pai, yang juga menjadi murid Hong-kiam-pai itu mengepal tinju dan memukul meja. “Bruk!” Semua orang memandang dan orang tinggi besar ini melotot dengan muka merah. “Siapaapun adanya iblis itu, harus kita hadapi dan malam ini kalau dia berani datang, kita akan menangkap atau membunuhnya!” Aku bersumpah, kalau dia berani menjamah sehelai rambut saja isteri Heng-te, aku akan mematahkan tangannya!” Ciok Lun, orang tertua diantara mereka, menarik napas panjang. “Menghadapi seorang penjahat yang dikenal licin seperti siluman itu, yang pernah diserbu oleh pasukan dan para pendekar namun tetap dapat meloloskan diri, kita harus bersikap tenang. Bagaimana juga, seperti kebiasaannya yang sudah-sudah, dia selalu memberi peringatan atau mengancam calon korban di waktu siang atau sore, kemudian baru dia turun tangan pada malam harinya. Maka, kita masih memiliki waktu untuk bersiap siaga. Kita harus mengatur penjagaan, membagi-bagi tugas namun harus di-atur agar kita dapat saling membantu.” Setelah malam tiba, Tujuh Pendekar Tai-goan itu telah mengatur siasat. Cia Kok Heng sendiri berjaga di dalam kamar, menjaga isteri dan dua orang anaknya dengan pedang tak pernah terpisah dari badannya. Kwee Siu yang tinggi besar dengan pedang di tangan menjaga di dalam ruangan di luar kamar, ditemani oleh Louw Ciang Su yang dililitkan di pinggang. Siok Bu Ham dengan sepasang tombak pendeknya menjaga di belakang rumah. Liu Ji tokoh Thian-kiam-pang itu menjaga di luar, di depan rumah sambil meronda. Adapun kedua saudara Ciok Lun dan Ciok Khim telah berada di atas. Rumah dan kamar keluarga Cia itu telah dijaga ketat, dikepung oleh para pendekar dan agaknya iblis sendiripun tidak akan mampu memasuki kamar itu tanpa diketahui dan mendapat rintangan yang amat ketat dan berat. Malam semakin larut dan suasana semakin sunyi menegangkan. Seluruh penghuni rumah itu, kecuali dua orang anak kecil yang sudah pulas, tidak seorangpun yang dapat memejamkan mata barang sejenak. Semua merasa tegang. Yang ada di dalam rumah itu hanyalah Cia Kok Heng bersama isteri dan dua anaknya, dan enam orang rekannya. Dua orang pelayan telah disuruh mengungsi sore tadi. Menjelang tengah malam, suasana sunyi itu menjadi makin lengang. Rumah keluarga Cia ini terletak agak di pinggir kota, perumahan di situ semua memiliki pekarangan dan kebun yang luas sehingga agak jauh dari tetangga. Tidak ada bulan di langit, dan cahaya laksaan bintang yang lemah mendatangkan cuaca yang remang-remang menyeramkan. Kesunyian yang mencekam itu kadang-kadang dipecahkan oleh bunyi burung malam yang mendatangkan suasana lebih menyeramkan, dan kadang-kadang terdengar bunyi lemah kelepak burung malam terbang lalu. Gonggong anjing di kejauhan menambah dalamnya kesunyian yang mencekam di hati, mengingatkan orang akan sesuatu yang tidak mereka lihat dan tidak mereka ketahui, menimbulkan dugaan-dugaan yang mendatangkan rasa gelisah dan takut. Telah beberapa kali para pendekar itu saling mengunjungi tempat penjagaan masing-masing dan juga memeriksa keluarga Cia yang masih berada di kamar. Hati mereka terasa lega dan diamdiam hati yang tegang itu mengharapkan siluman itu menjadi jerih dan tidak berani muncul melihat persiapan Tujuh Pendekar Tai-goan. Akan tetapi ketika waktu menunjukkan tepat tengah malam, terdengar bunyi burung malam dan kelepak sayapnya seolah-olah rumah keluarga Cia itu didatangi oleh burung-burung malam. Dan para pendekar mulai merasa seolah-olah mereka atau tempat itu terkepung. Terdengar suara Siok Bu Ham yang berjaga di belakang rumah batuk-batuk, batuk buatan yang biasa dilakukan orang untuk mengusir rasa serem di hati. Suara batuk-batuk ini dibalas oleh Ciok Khim yang menjaga di atas wuwungan bersama kakaknya, Ciok Lun. Mendengar suara dua orang rekannya batuk-batuk itu, hati para pendekar yang lain menjadi agak lega. Namun mereka tetap waspada karena naluri mereka yang membuat mereka peka terhadap ancaman lawan tergetar oleh sesuatu yang membuat mereka lebih waspada dan siap siaga. Tiba-tiba... “ngeonggg...!” terdengar suara nyaring disusul geraman-geraman dan gedobrakan di atas genteng rumah tetangga. Jantung mereka yang sedang tegang itu seperti copot rasanya, akan tetapi mereka segera mengenal suara itu dan di dalam batin menyumpah-nyumpah karena itu ada-lah suara dua ekor kucing yang sedang berkelahi atau sedang bercanda! Karena kebisingan dua ekor kucing yang sedang bermain cinta ini amat mmgejutkan dan tiba-tiba, perhatian para pendekar itu sejenak tertumpah kepada suara itu dan ketika perhatian dua saudara Ciok kembali kepada pen-jagaan mereka, dengan kaget mereka melihat sesosok bayangan orang tahu-tahu telah berdiri di atas wuwungan rumah keluarga Cia, hanya beberapa tombak jaraknya dari mereka! Tentu saja dua orang saudara Ciok itu terkejut dan sejenak mereka memandang bengong. Kini mereka dapat melihat jelas. Orang itu memakai pakaian dan jubah serba putih dari sutera mengkilap dan di bagian dadanya terdapat gambar tengkorak darah, yaitu lu-kisan tengkorak dari darah merah yang menetes-netes. “Iblis keparat!” Ciok Khim sudah membentak dan pendekar ini meloncat ke depan, dan menyerang orang itu dengan goloknya. Gerakannya ce-pat dan kuat, dan biarpun yang diinjaknya hanya wuwungan yang lebarnya tidak lebih dari satu kaki saja, namun Ciok Khim dapat meloncat dengan sigap dan menyerang dengan dahsyat. Akan tetapi, orang itu dengan tenang saja menggerakkan tangan menyambut ke depan. “Tringgg...!” Dan mata golok yang tajam itu telah ditangkis begitu saja oleh jari-jari tangan-ya yang memakai cincin. Ciok Khim merasa betapa tangan kanannya yang memegang golok tergetar hebat, tanda betapa kuatnya tangkisan itu. Orang itupun sudah meloncat ke kanan, ke atas wuwungan melintang dengan cepat. “Siluman jahat!” Ciok Lun sudah menerjang dengan toyanya. Mula-mula toyanya menyambar ke arah kepala lawan. Ketika dengan gerakan ri-ngan dan mudah toya itu dielakkan oleh lawan dan menyambar lewat, secepat kilat toya itu sudah dilanjutkannya dengan tusukan ke arah dada, tepat ke arah tengkorak merah itu. Akan tetapi, hebat-nya, lawan itu sama sekali tidak menangkis, bah-kan seperti memasang dadanya untuk ditusuk toya yang digerakkan dengan amat kuat. “Dukk!” Toya itu tepat mengenai dada dan ternyata tusukan ini bahkan dipergunakan oleh lawan untuk meminjam tangannya dan kini tubuh itu terjengkang jauh ke belakang, membuat gerakan jungkir balik beberapa kali ketika melayang ke bawah. Sungguh gerakan yang indah, dan terutama sekali, menerima serangan tusukan toya dengan dada begitu saja menunjukkan bahwa orang itu benar-benar memiliki kekebalan yang amat kuat! “Keparat, mau lari ke mana kau?” Dua orang saudara Ciok ini mengejar dan melayang turun. Di bawah, lawan mereka itu sekali lagi berkelebat sudah lenyap! Selagi mereka kebingungan dan mencari dengan pandang matanya, mereka melihat lawan tadi sudah berada di belakang mereka, berdiri sambil bertolak pinggang! Diam-diam mereka terkejut. Lawan ini sungguh dapat bergerak seperti setan saja cepatnya. Dan kini, di bawah sinar penerangan lampu, mereka dapat melihat wajah lawan. Ternyata orang itu memakai kedok siluman tengkorak! Mereka berdua segera berteriak keras dan menyerang. Teriakan itu mereka lakukan untuk memberi tahu temanteman mereka. Akan tetapi pada saat itu, teman-teman merekapun sedang sibuk! Siok Bu Ham yang sedang berjaga di bagian belakang rumah, ketika mendengar suara kucing tadipun terkejut sekali dan tentu saja perhatiannya juga tertuju ke genteng tetangga dari mana suara hiruk-pikuk itu datang. Dan ketika dia mengembalikan perhatiannya kepada tempat di sekelilingnya, tahu-tahu di belakangnya telah berdiri seorang yang memakai topeng tengkorak, berpakaian sutera putih dan di dadanya terdapat gambar tengkorak darah! “Siluman jahanam, berani engkau datang?” bentak Siok Bu Ham dan pendekar ini segera menerjang dengan sepasang siang-kek yang sejak tadi sudah dipersiapkan. Nampak dua sinar menyambar ketika sepasang tombak pendek itu meluncur dan membuat gerakan menggunting, menyerang dari kanan kiri. Akan tetapi, yang diserangnnya dengan ringan meloncat ke belakang dan serangan berganda itupun mengenai tempat kosong. Sebelum Siok Bu Ham menyerang lagi, orang itu sudah meloncat ke depan. “Bangsat, jangan lari kau!” Siok Bu Ham membentak sambil mengejar menuju ke depan rumah. Akan tetapi bayangan itu menghilang dan ketika dia tiba di depan rumah, dia melihat Liu Ji sudah bertanding dengan seorang yang serupa dengan orang yang dikejarnya tadi. Orang bertopeng tengkorak, bertangan kosong akan tetapi lihai bukan main sehingga Liu Ji yang bersenjatakan pedang itupun terdesak hebat. Pada saat Siok Bu Ham datang, Liu Ji yang terdesak itu terkena tamparan pada pundaknya dan pendekar itu jatuh, terus menggulingkan tubuhnya dan tangan kirinya bergerak. Tahulah Siok Bu Ham bahwa rekannya itu tentu mempergunakan senjata rahasianya, yaitu piauw yang memang menjadi keahliannya. Tiga sinar menyambar ke arah perut, dada dan leher orang berkedok tengkorak itu. Akan tetapi orang itu tidak mengelak dan terdengar suara nyaring ketika tiga batang piauw itu mengenai sasaran, akan tetapi tiga batang piauw itu runtuh tanpa melukai siluman tengkorak itu. Melihat ini, Siok Bu Ham maklum bahwa orang itu memang kebal. Ketika melihat orang itu hendak mendesak Liu Ji yang belum sempat meloncat bangun, diapun membentak marah sambil menggerakkan sepasang tombaknya. “Siluman keparat, rasakan tombakku!” Dan diapun sudah menerjang dengan dahsyat. Siluman itu mengeluarkan suara dari hidungnya dan cepat mengelak. Kesempatan ini dipergunakan oleh Liu Ji untuk meloncat bangun dan menerjang lagi dengan pedangnya, membantu Siok Bu Ham mengeroyok siluman yang lihai ini. Pundak kanannya tergores kuku dan bajunya robek, terluka sedikit akan tetapi rasanya panas dan perih sekali. Baru mengeroyok sebentar saja, dua orang pende-kar ini maklum bahwa lawan mereka sungguh amat lihai, maka mereka berduapun bersuit-suit memberi tanda kepada para teman mereka. Akan tetapi tidak ada seorangpun yang muncul. Mereka tidak tahu bahwa pada saat itu, Ciok Khim dan Ciok Lun juga sedang mengeroyok seorang siluman, dan bagaimana dengan Kwee Siu dan Siu Louw Ciang Su yang berjaga di ruangan dalam, di depan kamar keluarga Cia? Sama saja! Kedua orang ini tadi juga mendengar suara bising kucing di luar rumah itu, dan tiba-tiba muncul seorang bertopeng tengkorak berjubah putih yang bagian dadanya digambari tengkorak darah. Karena orang ini berdiri di bawah lampu, mereka berdua dapat melihat jelas. Tentu saja mereka berdua kaget sekali karena munculnya siluman ini sungguh secara tiba-tiba, berbareng dengan suara ribut kucing tadi, seperti setan yang pandai menghilang saja. Akan tetapi karena mereka maklum bahwa inilah musuh yang ditunggu-tunggu, keduanya lalu menerjang ke depan dengan marah. Kwee Siu menggunakan pedangaya sedangkan Louw Ciang Su menggerakkan sabuk atau rantai baja yang dipakai sebagai ikat pinggang. Segera terjadi pertempuran seru ketika dua orang ini mengeroyok siluman itu. “Cia-hiante, hati-hati...!” Kwee Siu berseru untuk memperingatkan Cia Kok Heng. Akan tetapi Kok Heng sudah mendengar keributan di luar kamar. Diapun tidak mungkin tinggal diam saja. Dibukanya pintu kamar dan melihat betapa dua orang rekannya mengeroyok seorang bertopeng tengkorak yang gerakannya amat lihai, diapun menyuruh isterinya menjaga kedua anak mereka dan dia sendiri lalu melompat keluar dengan pedang di tangan. “Siluman keparat, engkau mengantar nyawa!” bentaknya dan diapun membantu kedua orang rekannya mengeroyok. Karena marah melihat musuh yang mengancam isterinya ini berani muncul di depannya, Cia Kok Heng segera menerjang dan menggunakan jurus paling ampuh dari Hongkiam-hoat, yaitu jurus Hui-hong-bu-liu (Angin Meniup Pohon Cemara). Jurus ini dilakukan dengan tu-sukan pada pinggang lawan, akan tetapi itu hanya merupakan gertakan betaka karena jurus itu dilanjutkan dengan sambaran pedang secara berputar mengarah kaki dan naik terus sampai ke leher. Dapat dibayangkan betapa dahsyatnya. Akan tetapi, betapa kaget hati Kok Heng melihat lawan itu mengeluarkan suara mendengus dan agaknya tidak memperdulikan tusukan gertakan itu dan ketika pedang menyambar dengan gerakan memutar, orang itu telah meloncat tinggi di udara sehingga jurus itupun tidak ada gunanya sama sekali. Orang itu seolah-olah telah mengenal baik jurus itu dan menggunakan kesempatan selagi meloncat, bukan hanya untuk memunahkan jurus Hui-hong-bu-liu, melainkan loncatan itu langaung disambung dengan gerakon pok-sai (salto) jungkir balik dan tahu-tahu tubuh yang jangkung itu telah meluncur dan melayang ke dalam kamar melalui pintunya yang terbuka. Tentu saja hal ini sama sekali tak pernah diduga oleh tiga orang pendekar itu yang sejenak memandang dengan mata terbelalak. Akan tetapi Cia Kok Heng sudah mengejar sambil membentak marah, “Siluman curang, mari hadapi pedangku!” Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika tiba di dalam kamar, dia melihat isterinya telah dipanggul dalam keadaan lemas oleh siluman itu dan dua orang anaknya juga dicengkeram, kemudian siluman itu sambil tertawa mengejek meloncat keluar melalui jendela belakang! “Lepaskan isteri dan anak-anakku!” Kok Heng membentak dan mengejar, dan dua orang rekannya, Kwee Siu dan Louw Ciang Su juga membentak dan mengejar. Siluman itu tidak menemui perlawanan di belakang, karena Siok Bu Ham yang tadinya berjaga di belakang itu kini telah terlibat dalam perkelahian membantu Liu Ji di pekarangan depan rumah. Siluman itu masih menodong tubuh isteri Kok Heng dan mengempit dua tubuh anak itu ketika dia melompat naik ke atas wuwungan rumah “Lepaskan mereka!” Kok Heng yang merasa gelisah dan marah itu mengejar secepatnya. “Jahanam curang! Jangan lari!” Kwee Siu juga berteriak mengejar. “Kalau jantan lawanlah kami!” Louw Ciang Su membentak sambil meloncat pula mengejar ke atas genteng. “Kejar...!” Kok Heng berteriak lagi. “Ha-ha-ha!” Suara ketawa dari balik topeng itu terdengar menyeramkan sekali dan tiba-tiba siluman itu menggerakkan tangan kirinya yang men-cengkeram baju dua orang anak itu. Tubuh dua orang anak itu melayang ke arah Kwee Siu dan Louw Ciang Su! Tentu saja dua orang pendekar amat terkejut bukan main, juga Kok Heng lalu berteriak dengan gelisah. “Sambut anak-anakku itu...!” Untung bahwa dua orang pendekar itu benar-benar memiliki gerakan lincah. Melihat tubuh dua orang anak itu melayang ke bawah, mereka cepat- melempar senjata mereka dan membalik dan nyaris anak-anak itu terbanting remuk di atas tanah kalau tidak kedua orang pendekar itu berhasil menangkap tubuh mereka! Terdengar suara ketawa dan kini siluman itu sudah mengelak dari sambaran pedang di tangan Kok Heng yang membabat ke arah kedua kakinya. Dia meloncat ke atas, terus saja melompat jauh ke depan, turun dari atas wuwungan ke pekarangan belakang rumah tetang-ga. Tentu saja Kok Heng melakukan pengejaran sambil membentak nyaring, “Lepaskan isteriku!” -Kwee Siu agak terpincang karena ketika dia tadi menangkap tubuh Cia Liong, putera Kok Heng, terpaksa dia harus mendahului anak itu, menangkapnya dan membiarkan dirinya lebih dulu menimpa tanah. Karena ini, kakinya agaknya salah urat. Melihat ini Louw Ciang Su berkata, “Kwee-twako, sebaiknya engkau menyelamatkan kedua orang anak ini dan aku akan membantu Cia-te mengejar siluman itu!” Louw Ciang Su sudah mengambil senjata rantai bajanya lagi yang tadi terpaksa dilepaskannya ketika dia menyelamatkan Cia Ling, anak perempuan itu. “Baik!” kata Kwee Siu yang sudah merangkul dua orang anak kecil yang masih menggigil dan menahan isak tangis itu. Louw Chang Su melompat ke atas genteng dan melakukan pengejaran ke arah larinya siluman yang menculik nyonya Cia. Sambil menggandeng dua orang anak itu, Kwee Siu mengambil lagi pedangnya yang tadi dilepaskannya dan dia merasa heran mengapa empat orang rekannya yang lain tidak muncul. Hatinya terasa tidak enak dan sambil menggandeng dua orang anak itu, dia menuju ke samping rumah. Hampir saja dia berteriak keras ketika dia melihat betapa dua orang rekannya, Siok Bu Ham dan Liu Ji telah menggeletak di situ dengan badan mandi darah. Ketika dia mendekat dan memeriksa, ternyata kedua orang rekannya ini telah tewas! Sebatang tombak pendek, senjata dari Siok Bu Ham sendiri, nampak menembus dadanya, sedangkan Liu Ji tewas dengan leher hampir putus oleh pedangnya sendiri yang terletak di dekatnya! Dengan kedua kaki menggigil dan menahan tangisnya, Kwee Siu membawa Cia Liong dan Cia Ling keluar dan kembali dia mengalami guncangan batin hebat ketika melihat dua orang rekannya lagi, yaitu kakak beradik Ciok Lun dan Ciok Khim juga sudah menggeletak menjadi mayat di pekarangan depan. Dan seperti juga keadaan dua orang rekannya yang tewas di samping rumah dua orang saudara Ciok inipun tewas oleh senjata mereka sendiri. Agaknya lawan mereka yang kuat dan bertangan kosong itu telah merobohkan mereka dengan merampas senjata mereka dan mempergunakan senjata itu untuk membunuh tuannya sendiri. Melihat betapa empat orang rekan atau sahabat yang seolah-olah telah menjadi saudaranya sendiri itu tewas dalam keadaan yang demikian menyedihkan, hati Kwee Siu penuh dengan kedukaan dan kemarahan. Apa lagi dia mengingat bahwa masih ada dua orang rekannya lagi yang kini melakukan pengejaran terhadap siluman itu. Dia harus membantu mereka! Maka, dia lalu membawa dua orang anak itu kepada seorang tetangga yang menjadi panik mendengar bahwa di rumah keluarga Cia terjadi pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan oleh Siluman Guha Tengkorak dan tetangga ini memberitahukan kepada semua penghuni rumah di sekitar tempat itu. Sebentar saja gegerlah keadaan di perkampungan itu. Akan tetapi setelah menitipkan dua orang anak she Cia itu, Kwee Siu sendiri sudah berloncatan untuk menyusul ke arah perginya siluman yang tadi dikejar oleh Cia Kok Heng dan Louw Ciang Su. Hatinya penuh dengan kekhawatiran dan juga dendam terhadap siluman yang telah membunuh empat orang saudaranya. Akan tetapi Kwee Siu tidak perlu menyusul terlalu jauh. Di dekat tembok kota dia melihat bayangan berlari terhuyung-huyung,dan ketika dia mendekati, ternyata bayangan itu adalah Cia Kok Heng yang berlari sambil terhuyung dan kedua mendekap lehernya karena dari situ bercucuran darah segar dari sebuah luka yang menganga! “Cia-hiante...! Kau kenapa...?” Kwee Siu meloncat dan menubruk sahabatnya, juga saudara seperguruan di Hong-kiam-pai. Dapat dibayangkan betapa kaget dan ngeri hatinya melihat luka di le-her pendekar she Cia itu sungguh hebat sekali dan amat mengherankan kalau Cia Kok Heng masih dapat berlari. Dan begitu melihat Kwee Siu, Cia Kok Heng sudah roboh terguling dan tubuhnya di-sambar dan dipeluk oleh Kwee Siu. “Anak-anakku... anak-anakku...” Cia Kok Heng berbisik dalam rangkulan sahabatnya itu. “Mereka sudah kuselamatkan di tetangga...” kata Kwee Siu. “Mana Louw-te...?” “Louw-twako... su... dah tewas... ahhh... Kwee-twako, bawa anak-anakku kepada suhu... cepat... ahhh...” Cia Kok Heng berbisik-bisik akan tetapi dari leherya terdengar suara mengorok. “Apa katamu, hiante? Kau bilang apa...?” Kwee Siu yang hatinya menjadi hancur itu mendekatkan telinganya ke mulut itu yang masih bergerak-gerak dan berbisik lemah sekali. Kwee Siu mendengarkan dan tiba-tiba mukanya menjadi pucat sekali, sepucat muka Cia Kok Heng yang tiba-tiba terkulai dan tewas pula! Kwee Siu tidak dapat menahan lagi tangisnya. Air matanya menetes-netes ketika dia memandang tubuh rekannya ini dan sambil menangis diapun lalu memondong tubuh yang telah menjadi mayat itu dan berlari kembali ke rumah keluarga Cia yang telah dipenuhi orang, yaitu para tetangga yang datang melayat. Mereka semua yang sudah merasa ngeri menyaksikan empat mayat di dalam rumah itu, menjadi semakin ngeri dan ketakutan katika melihat Kwee Siu datang membawa mayat Cia Kok Heng! Suasana menjadi semakin geger dan menyedihkan. Sebelum malam terganti pagi, telah tersebarlah berita yang mengejutkan itu, bahwa enam orang di antara Tujuh Pendekar Tai-goan telah tewas oleh Siluman Guha Tengkorak dan isteri pendekar Cia Kok Heng telah diculik oleh siluman itu! Tentu saja berita ini menggegerkan bukan hanya seluruh Tai-goan, akan tetapi bahkan jauh di luar Tai-goan dan sebentar saja menjadi berita yang menggegerkan di dunia kang-ouw. *** Kereta yang ditarik oleh dua ekor kuda itu dilarikan cepat menembus kabut di pagi hari. Akan tetapi setelah kereta itu memasuki hutan di sebelah barat daya, di sepanjang lembah Sungai Fen-ho, terpaksa larinya diperlambat karena jalannya buruk dan becek. Kwee Siu yang duduk di tempat kusir memegang cambuk dan mukanya masih pucat dan diliputi kedukaan. Di dalam kerata itu terdapat Cia Liong dan Cia Ling, dua orang anak keluarga Cia yang hancur oleh perbuatan Siluman Guha Tengkorak itu. Dua orang anak ini tidak diberi kemsempatan untuk berkabung, bahkan tidak diberi kesempatan untuk mengantar jenazah ayah mereka yang penguburannya akan diurus oleh para tetangga. Setelah terjadi peristiwa mengerikan semalam, pada keesokan harinya pagi-pagi buta Kwee Siu membawa mereka pergi dengan kereta ini. “Paman Kwee, kita hendak pergi ke mana?” tanya Cia Liong yang matanya masih merah sam-bil merangkul adiknya ketika mereka dibangunkan dari tidur di pagi buta dan diajak pergi oleh Kwee siu. Dua orang anak ini sudah tahu bahwa ayah mereka tewas dan ibu mereka dilarikan penjahat-. Tentu saja mereka berdua menangis dan selain merasa berduka juga merasa ketakutan. Akan te-tapi kedukaan hati seorang anak berbeda dengan kedukaan hati seorang tua. Anak-anak tidak me-nyimpan dendam yang berlarut-larut, tidak me-nyimpan duka sampai menembus batin. Batin kanak-kanak masih bersih dan wajar, masih kuat seperti puncak cemara sehingga biarpun digerakkkan angin ribut ke arah manapun juga, setelah angin lewat akan tegak kembali, tidak mudah patah. Tangis bagi anak-anak merupakan obat penenang yang mengusir kedukaan dari dalam batin, sebaliknya orang tua bahkan menggunakan tangis untuk memperhebat luka di hati dengan rasa iba diri yang berlebihan. “Kita pergi ke tempat kakek gurumu, ke Kuil Thian-hong-bio. Ayahmu berpesan agar aku mengantar kalian ke sana dan untuk sementara kalian tinggal di sana bersama sukong kalian...” “Aku tidak mau...” Tiba-tiba Cia Ling berkata merengek. “Aku mau tinggal di rumah bersama ibu!” Kwee Siu merangkul anak perempuan berusia tujuh tahun itu, menghiburnya. “Tentu saja, kalau ibumu sudah pulang, engkau akan tinggal di rumah bersama ibumu. Sementara kami mencari ibumu, engkau tinggal dulu bersama kakek gurumu. Ayahmu berpasan demikian, kalian harus menurut pesan ayah kalian.” Akhirya dua orang itu dapat dibujuk dan dengan membawa pakaian dan barang berharga yang terdapat dalam rumah itu, Kwe Siu lalu mengantar dua orang anak itu pagi-pagi buta berangkat meninggalkan Tai-goan menuju ke kuil yang letaknya di luar kota, kira-kira tiga puluh li dari kota Tai-goan. Setelah meninggalkan kota sejauh kurang lebih sepuluh li, terpaksa Kwee Siu memperlambat jalannya kereta karena jalan itu mulai memasuki hutan dan menjadi buruk, tidak rata dan becek. Pagi itu sunyi sekali, dalam arti kata tidak ada seorangpun manusia nampak di sekeliling tempat itu. Akan tetapi suara burung-burung hutan menyambut pagi mengusir kesunyian dan mendatangkan suasana yang cerah gembira, walaupun kegembiraan itu sama sekali tidak dapat menyentuh hati Kwee Siu yang sedang dirundung kedukaan dan juga dendam membara. Diapun seorang murid Hong-kiam-pai, oleh karena itu, malapetaka yang menimpa diri Cia Kok Heng itu sungguh terasa olehnya sebagai dendam pribadi. Apalagi, seluruh saudaranya, enam orang di antara Tujuh Pendekar Tai-goan, telah tewas dalam keadaan mengenaskan. Jenazah Louw Ciang Supun telah ditemukan dan dibawa dari tepi jalan itu ke rumahnya. Jenazah enam orang pendekar itu kini telah berada di dalam peti, di rumah masing-masing dan ditangisi keluarga masing-masing, kecuali jenazah Cia Kok Heng karena isteri dan anak-anaknya tidak ada di dekat peti mati. “Aku harus membalas dendam ini!” Kwee Siu memegang cambuknya erat-erat dan sinar matanya berkilat. Dia akan mohon bantuan gurunya, ketua Hong-kiam-pai. Kalau para tokoh Hong-kiam-pai mendengar akan hal ini, tentu mereka takkan tinggal diam saja. Tiba-tiba Kwee Siu mengerutkan alisnya. Teringat dia akan bisikan-bisikan yang didengarnya sebagai pesan terakhir Cia Kok Heng dan hatinya menjadi bimbang dan bingung. Jalan itu makin buruk dan masuk ke bagian hutan yang makin lebat, makin gelap karena sinar matahari pagi tidak dapat menembus sepenuhnya. Tiba-tiba dua ekor kuda itu meringkik-ringkik dan nampak panik. Kwee Siu memegang kendali kuda erat-erat untuk menguasainya Kuda, seperti juga binatang-binatang lain memiliki naluri yang amat kuat. Kepekaan ini terdapat dalam diri semua makhluk hidup, sebagai pelengkap bawaan untuk memiliki kepekaan ini, namun sayang, oleh nafsu-nafsu mengejar kesenangan, oleh kesenangan-kesenangan itu sendiri yang tak pernah memuaskan hati dan selalu kurang, manusia telah merusak kepekaan diri sendiri lahir batin. Kesenangan-kesenangan untuk memenuhi nafsu keinginan sebagian besar merusak kepekaan diri lahir batin dan hal ini tidak diperdulikan manusia. Makanan-makanan yang tidak baik bagi kesehatan badanpun dimakan saja karena enak. Kebiasaan-kebiasaan yang sebenarnya merusak diri dilakukan saja karena enak dan menyenangkan. Hukum-hukum kesehatan lahir batin dilanggar demi memperoleh kepuasan nafsu keinginan. Tidak mengherankan apabila manusia kehilangan kepekaan nalurinya. Badan dan batin menjadi bebal dan dungu, hanya menjadi alat pemuas nafsu belaka. Kwee Siu masih belum curiga, hanya mengira bahwa hutan itu mungkin menakutkan dua ekor kudanya dan mungkin saja kudanya mencium bau binatang buas. Tentu saja dia tidak merasa takut dan dengan hati-hati dia mengendarai kereta itu dan menahan kendali untuk menguasai dua ekor kudanya. Tiba-tiba kedua ekor kuda itu meringkik lagi bahkan mereka mencoba mengangkat kaki depan. Kwee Siu menarik kendali kuda dan tiba-tiba seekor di antara kuda itu mengeluarkan suara memekik dan roboh. Di lehernya menancap sebatang tombak sampai menembus dan kedua kuda itu tewas seketika, berkelojotan sebentar saja. Barulah Kwee Siu terkejut dan dengan cekatan diapun meloncat turun sambil mencabut pedangnya. Matanya menatap ke depan dan bulu tengkuknya meremang ketika dia melihat sesosok tubuh melangkah perlahan-lahan menghampirinya dari depan. Seorang laki-laki jangkung yang berpakaian jubah putih dengan gambar tengkorak darah di dadanya, juga mukanya tertutup topeng tengkorak! Siluman Guha Tengkorak! Rasa takutnya lenyap ketika dia membayangkan kematian enam orang saudaranya. Dengan suara penuh dendam Kwee Siu melangkah maju menyambut siluman itu sambil memutar pedangnya. “Siluman keparat, sekarang aku akan mengadu nyawa denganmu!” Dan Kwee Siu lalu menerjang ke depan, menyerang dengan pedangnya. Siluman itu mengeluarkan suara ketawa panjang dan segera menyambut serangan itu dengan gerakan- gerakannya yang lincah dan aneh. Namun, Kwe Siu yang dikuasai dendam dan kemarahan, menerjang dengan dahsyat dan mati-matian. Sementara itu, Cia Liong dan Cia Ling, yang berada di dalam kereta, terkejut ketika kereta berhenti dan kuda meringkik-ringkik. Mereka membuka tirai dan melihat ke depan. Melihat Kwee Siu berkelahi dengan seorang berjubah putih yang mukanya menakutkan, Cia Ling menangis. Akan tetapi Cia Liong merangkulnya dan mendekap mulut adiknya. “Diam... jangan menangis, kita harus pergi dari sini...” bisik anak laki-laki itu dan mereka berdua lalu diam-diam keluar dari dalam kereta itu, berindap-indap mereka menyelinap ke belakang sambil memandang ke arah Kwee Siu yang masih berkelahi didesak hebat oleh orang bertopeng tengkorak. Kwee Siu melawan mati-matian, namun siluman itu sungguh amat lihai, terlalu lihai baginya. Apa lagi karena semua serangannya agaknya telah dikenal baik oleh lawan sehingga lawan dapat menghindarkan semua serangannya itu dengan amat mudahnya dan balasan serangan lawan itu membuat Kwee Siu terdesak dan kewalahan. Bagaimanapun juga, pendekar yang merasa dendam, marah dan penasaran ini mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya untuk melawan dengan tekad bulat melawan sampai mati. Sementara itu, di lain bagian dari hutan itu, hanya dua tiga li dari tempat itu, terdapat dua orang yang sedang berburu kelinci dengan naik kuda. Mereka berdua itu nampak gembira sekali, berburu kelinci sambil bersendau gurau dengan si-kap amat mesra. Mereka adalah seorang pemuda dan seorang gadis, dan melihat sikap mereka, se-nyum mereka, pandang mata dan kata-kata diketahui bahwa mereka adalah sepasang orang muda yang saling mencinta. Dan mereka merupakan pasangan yang amat setimpal, yang pria masih muda, antara dua puluh satu atau dua puluh dua tahun, berwajah tampan sekali, ganteng dan gagah, pakaiannya rapi, indah mewah walaupun dia bukan seorang pesolek tanpa merias muka, akan tetapi mukanya terawat baik-baik, sisiran rambutnya rapi, gelung rambutnya dihias dengan hiasan rambut terbuat dari batu kemala, pakaiannya terbuat dari pada sutera halus, sepatunya masih baru. Pendeknya, dia seorang pemuda yang amat ganteng dan gagah, pantasnya seorang pemuda terpelajar yang kaya, dan melihat cara dia menunggang kuda mengejar kelinci, dapat pula diketahui bahwa dia adalah- seorang ahli menunggang kuda. Seorang pemuda yang akan membuat setiap orang gadis yang bersua dengannya menengok sampai beberapa kali dengan pandang mata kagum! Akan tetapi, temannya yang gadis, juga merupakan seorang wanita pilihan. Usianya sebaya dengan pemuda itu, wajahnya sungguh amat cantik jelita dan gagah perkasa dengan raut muka sempurna, dengan kulit halus kemerahan tanda sehat, dengan mata yang indah berkilauan seperti mata burung hong keramat, senyumnya yang semanis madu dan suaranya yang bening merdu. Juga gadis ini memakai pakaian sutera halus yang indah, gerakannya ketika mengejar kelinci juga amat cekatan dan gagah. Seorang gadis yang cantik jelita dan gagah pula! Sungguh merupakan pasangan yang amat setimpal dan seimbang. Kalau orang mengenal siapa kedua orang muda ini, dia tentu takkan heran melihat kegagahan mereka dan mungkin orang itu akan memandang kagum atau juga mungkin lari menyembunyikan diri. Pemuda yang bertubuh tegap sedang dan berwajah tampan ini bukan lain adalah seorang pendekar yang namanya pernah menggemparkan kota raja, bahkan pernah menggegerkan seluruh dunia persilatan. Dia adalah Pendekar Sadis! Dia adalah seorang pemuda berdarah bangsawan, karena ayah kandungnya adalah seorang pangeran. Pendekar Sadis ini bernama Ceng Thian Sin, putera dari mendiang Pangeran Ceng Han Houw. Ayahnya itu adalah putera kandung dari mendiang Kaisar Ceng Tung dan ibunya ada-1ah Puteri Khamila isteri Raja Sabutai. Ayahnya itu, selain pangeran, juga terkenal sebagai seorang ahli silat yang pernah menggegerkan dunia persi-latan dengan usahanya untuk menjadi Jagoan No-mor Satu Di Dunia. Yang sudah mengenal Pendekar Sadis tentu te-lah mengetahui bahwa dalam hal ilmu silat Ceng Thian Sin si Pendekar Sadis ini tidak kalah lihai dibandingkan mendiang ayahnya. Semenjak kecil dia telah digembleng oleh ayah kandungnya sendiri, bahkan kemudian dia digembleng oleh ketua Cin-ling-pai, mewarisi ilmu silat yang hebat dan Cin-ling-pai. Bukan hanya itu, dia malah mewarisi pula ilmu-ilmu mujijat dari pendekar-pendekar sakti yang masih keluarga dari Cin-ling-pai, yaitu dari pendekar sakti Yap Kun Liong dan isterinya, yaitu Cia Giok Keng. Kakek dan nenek ini menurunkan ilmu mereka kepadanya. Juga Pendekar Lem-bah Naga berkenan menurunkan ilmu-ilmu mujijat kepadanya. Di samping itu, dia masih mewarisi ilmu-ilmu peninggalan ayahnya, ilmu-ilmu aneh pe-ninggalan Bu Beng Hud-couw. Pendeknya, Ceng Thian Sin merupakan seorang pemuda gemblengan yang sukar dicari tandingannya untuk masa itu. Temannya itu, dara yang cantik jelita dan ga-gah itu, bukan pula seorang wanita sembarangan. Jauh daripada itu! Ia bahkan memiliki tingkat yang tidak jauh bedanya dengan Pendekar Sadis Ceng Thian Sin. Wanita ini bernama Toan Kim Hong, juga berdarah bangsawan karena ia adalah puteri kandung dari mendiang Pangeran Toan Su Ong, seorang pangeran pemberontak yang memiliki ilmu silat yang tinggi, dan ibunya adalah seorang wanita yang telah mewarisi ilmu peninggalan Menteri Sakti The Hoo, yang bernama Ouwyang Ci. Dengan ilmu kepandaian warisan ayah bundanya yang tinggi, Toan Kim Hong pernah menjagoi dunia selatan, bahkan gadis ini menyamar sebagai seorang nenek tua, menaklukkan semua tokoh kang-ouw dan lioklim, kemudian ia sebagai seorang nenek tua diangkat dan diakuin oleh semua tokoh dunia persilatan sebagai seorang datuk selatan yang disebut Lam-sin (Malaikat Selatan). Ilmu silatnya amat hebat dan ketika ia untuk pertama kalinya bertemu dengan Pendekar Sadis, mereka mengadu ilmu dan terjadi pertandingan yang luar biasa hebatnya. Hanya dengan amat susah payah sajalah Pendekar Sadis mampu mengalahkan “nenek” itu yang kemudian menanggalkan penyamarannya, berubah menjadi seorang dara yang amat cantik jelita. Karena sumpahnya bahwa ia akan menyerahkan dirinya kepada pria yang dapat mengalahkannya, juga karena merasa saling tertarik, Kim Hong menyerahkan diri kepada Thian Sin. Keduanya semenjak itu lalu hidup bersama, merantau ke mana-mana, hidup sebagai suami istri tanpa pernikahan yang sah. Keduanya memang tidak mau saling mengikat, namun di dalam hati mereka itu terdapat ikatan cinta kasih yang amat mendalam. Dua orang ini pernah ditentang oleh para pendekar, bahkan oleh keluarga Cin-ling-pai karena sepak terjang Thian Sin yang terkenal sebagai Pendekar Sadis. Sepak terjangnya dianggap terlalu kejam dan para pendekar menentangnya. Karena berhadapan dengan keluarga Cin-lingpai, terutama sekali dengan ayah angkatnya, yaitu Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong, maka Thian Sin mengalah dan tidak berani melawan. Akhirnya dia dan kekasihnya diampuni dan diapun berjanji akan membuang jauh-jauh sifatnya yang kejam terhadap para penjahat itu dan mereka berdua lalu pergi ke tempat yang terasing, yaitu di Pulau Teratai Merah. Tempat ini adalah tempat di mana dahulu mendiang Pangeran Toan Su Ong, ayah kandung Kim Hong, hidup bersama anak isterinya ketika dia menjadi buronan pemerintah karena sikapnya yang suka memberontak dan menentang kaisar. Demikianlah perkenalan kita secara singkat dengan sepasang muda-mudi yang hebat ini. Pada waktu-waktu tertentu kedua orang ini sering kali meninggalkan pulau mereka dan melakukan perjalanan di daratan besar, merantau dan melakukan petualangan bersama-sama, menikmati hidup dan bersama-sama menghadapi segala peristiwa dengan sikap sebagai sepasang pendekar yang menentang kejahatan. Pada hari itu, kebetulan sekali mereka yang hendak melakukan pejalanan pesiar ke kota Taigoan, pada waktu melewati hutan itu, timbul kegembiraan mereka untuk menangkap kelinci ketika mereka melihat beberapa ekor kelinci yang gemuk dan sehat. “Lihat kelinci di sana itu!” Mula-mula Kim Hong berseru sambil menunjuk ke depan dan mereka melihat seekor kelinci putih yang muda dan gemuk muncul dari semak-semak. “Gemuknya! Ihh, basah mulutku membayangkan dagingnya dipanggang. Tentu lezat dan sedaaappp!” Thian Sin tertawa. Mendengar suara ketawa yang tidak wajar itu, Kim Hong yang sudah menghentikan kudanya menengok dan menatap wajah kekasihnya dengan sinar mata menyelidik dan menuntut. “Kenapa kau ketawa seperti itu? Menertawakan aku?” Thian Sin tertawa makin geli. “Kim Hong, membayangkan dagingnya yang putih mulus dipanggang, menimbulkan selera seperti kalau membayangkan tubuhmu... aih, seperti ada persamaannya membayangkan antara kalian berdua...” “Tarrr...!” Pecut kuda di tangan Kim Hong meledak di dekat kepala kuda yang ditunggangi Thian Sin, membuat kuda itu meringkik kaget dan mengangkat kedua kaki depan tinggi-tinggi. Kalau bukan Pendekar Sadis yang berada di punggungnya, tentu gerakan tiba-tiba ini akan membuat penunggangnya terlempar dari atas punggung kuda! “Porno kau! Cabul kau!” Kim Hong memaki akan tetapi Tian Sin hanya tertawa. Mereka lalu berlumba untuk berburu kelinci. “Yang dapat lebih dulu bagian makan, yang lain bagian membersihkan dan memanggang dagingnya!” kata Kim Hong akan tetapi sambil berkata demikian, kudanya sudah meloncat ke depan dan ia sudah mengejar seekor kelinci putih yang berlari-larian ketakutan setengah mati dikejar kuda besar. Thian Sin tertawa dan tidak mau kalah. Lalu diapun membedal kudanya mengejar kelinci. Mereka berdua adalah orang-orang yang memiliki kepandaian silat tinggi, bahkan dapat dinamakan orang-orang sakti, akan tetapi pada waktu-waktu tertentu mereka kadang-kadang bersikap seperti kanak-kanak dan juga mereka bersikap jujur sekali. Kalau mereka menghendaki, dengan sekali gerakan tangan saja, tentu mereka akan merobohkan seekor kelinci. Akan tetapi, pikiran ini sama sekali jauh meninggalkan benak mereka yang sedang bergembira dan begurau itu dan mereka kini sungguh-sungguh mempergunakan kelincahan kuda mereka untuk berburu kelinci dan berlomba secara wajar dan jujur, sama sekali tidak berniat untuk mempergunakan ilmu kepandaian mereka. Justru di sinilah letak kegembiraannya. Mempergunakan kelincahan kuda saja berburu kelinci tanpa mengandalkan senjata atau kepandaian, sungguh bukan merupakan hal yang mudah. Kelinci- kelinci itu terlampau gesit untuk kuda yang bertubuh besar dan beberapa kali kelinci-kelinci itu menyelinap dan lenyap di dalam semak-semak atau lenyap di dalam lubang. Mereka tertawa-tawa, berebut hendak menangkap kelinci sampai mereka tidak tahu kemana kuda mereka menuju. Tiba-tiba mereka mendengar suara anak menahan tangis. Keduanya terkejut, menghentikan kuda mereka dan melihat ke depan. Di situ, seorang anak laki-laki sedang merangkul seorang anak perempuan dan berusaha mendekap mulut anak perempuan itu agar jangan menjerit atau terisak. Akan tetapi, dua pasang mata mereka itu menatap kepada dua orang penunggang kuda dengan terbelalak dan penuh rasa takut. Mereka itu adalah Cia Liong dan Cia Ling, dua orang anak yang melarikan diri dari dalam kereta yang dihadang oleh siluman itu. Ketika mereka tiba di situ dan mendengar suara dua orang penunggang kuda yang tertawa-tawa dan mengejar- ngejar kelinci, kemudian melihat mereka muncul, dua orang anak itu menjadi ketakutan, mengira bahwa yang muncul itu tentulah orang-orang jahat pula. Cia Ling sudah hampir menjerit dan menangis, akan tetapi mulutnya didekap oleh kakaknya dan kini mereka berdiri terbelalak memandang kepada dua orang penunggang kuda itu dengan ketakutan. Melihat dua orang anak kecil yang ketakutan di dalam hutan ini, sekali melompat Kim Hong sudah berada di depan mereka. Loncatannya itu memang luar biasa dan akan membuat seorang ahli silat dan seorang ahli gin-kang melongo dan kagum disertai ketakjuban. Tidak mudah meloncat dari atas punggung kuda seperti itu, tanpa mem-buat kuda itu terkejut, dan di udara membuat pok-sai (salto) sampai dua kali dan tahu-tahu meluncur turun di dekat dua orang anak itu. Seperti seekor burung terbang saja. Dan ini memang merupakan satu di antara keistimewaan gadis itu, yakni gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang amat hebat. Kim Hong sudah berjongkok di depan dua orang anak itu, tersenyum dan memandang manis agar mereka tidak menjadi ketakutan. “Eh, siapakah kalian adik-adik kecil ini? Dan kenapa berdua saja di dalam hutan dan kelihatan ketakutan? Jangan takut kepadaku, aku akan menolong kalian!” Dalam keadaan seperti itu, batin anak-anak kecil lebih peka dari pada orang tua. Cia Ling memandang wajah yang cantik kemudian tiba-tiba merangkul dan menangis di atas pundak Kim Hong yang lalu memondongnya, “Ceritakan, apa yang telah terjadi? Kami akan menolongmu,” kata Thian Sin yang juga sudah turun dari atas kudanya dan menghampiri dua orang anak itu. Agaknya Cia Liong juga sudah dapat mempercayai kedua orang ini yang sama sekali tidak kelihatan seperti orang-orang jahat, “Ayah kami dibunuh siluman...” “Apa...?” Thian Sin terkejut sekali dan berseru keras, membuat Cia Liong terkejut. Kim Hong mengerutkan alisnya dan merengut. “Kasarmu ini!” celanya dan iapun mendekati anak laki-laki itu, “Kenapa ayahmu dibunuh siluman dan di mana? Ceritakan, jangan takut. Kami akan melawan siluman itu!” katanya. “Ayah kami dibunuh malam tadi... dan ibu kami diculik siluman...” “Ahh...!” Kim Hong juga terkejut “Dan bagaimana kalian bisa berada di sini?” “Kami dibawa lari oleh paman Kwee Siu, naik kereta akan tetapi di jalan... di jalan... siluman itu menghadang dan sekarang berkelahi dengan paman Kwee Siu... dan kami melarikan diri...” “Di mana pamanmu itu sekarang?” Thian Sin bertanya. “Di sana...” Cia Liong menuding ke belakang. “Kim Hong, bawa mereka, aku akan ke sana!” Belum habis kata-katanya, orangnya sudah lenyap ketika Thian Sin melompat dan tubuhnya berkelebat lenyap. Kim Hong menuntun dua ekor kuda dan mendudukkan dua orang anak itu di atas punggung kuda, dan iapun menyusul ke arah larinya Thian Sin. Ketika Kim Hong tiba di tempat perkelahian itu, ia melihat Thian Sin sedang berjongkok di de-kat sesosok tubuh yang nampaknya sudah menjadi mayat. Thian Sin sedang berusaha membuat orang yang belum tewas benar itu memperoleh kekuatan dengan jalan menotok sana-sini. Iapun menurun-kan dua orang anak itu dan cepat menghampiri. “Paman Kwee...” Dua orang anak itu menangis dan mengertilah Thian Sin dan Kim Hong bahwa korban ini adalah paman yang melarikan dua orang anak itu, agaknya hendak menyelamatkan mereka dan melarikan dari bahaya, namun tetap saja bahaya maut itu datang menjemput. Akhirnya usaha Thian Sin berhasil. Orang yang dadanya luka oleh tusukan pedangnya sendiri dan pelipisnya retak karena pukulan itu menggerakkan mata dan bibirnya, kemudian dia mengeluh panjang, lalu terdengar suaranya berbisik lemah, “Si... siluman... guha... tengkorak... ahhhh... tewas semua... su... susiok...” Kwee Siu tak mampu melanjutkan kata-katanya karena lehernya terkulai dan nyawanya melayang. “Paman...!” Dua orang anak itu yang dapat menduga apa yang telah terjadi, menangis. Akan tetapi Kim Hong dapat membujuk dan menghibur mereka, membawa mereka ke dalam kereta. Ke-mudian wanita perkasa ini membantu Thian Sin untuk mengubur jenazah Kwee Siu di dalam hutan itu. Mereka berdua maklum bahwa di balik semua ini tentu terdapat rahasia, dan mereka dapat me-rasakan bahaya maut mengancam dua orang anak itu. Oleh karena itulah maka mereka tidak mau ribut-ribut, melainkan diam-diam mengubur jenazah Kwee Siu dan mengambil keputusan untuk menye-lidiki urusan ini dan selain menghukum penjahat--penjahatnya, juga berusaha menolong ibu anak--anak itu yang katanya diculik “siluman”. Apa lagi mereka mendengar pesan terakhir paman dua orang anak itu tentang Siluman Guha Tengkorak! Mereka belum pernah mendengar nama ini namun mudah diduga bahwa penjahat-penjahat itu tentulah yang memakai nama Siluman Guha Tengkorak. Setelah selesai mengubur jenazah itu secara sederhana, mereka lalu menghampiri Cia Liong dan Cia Ling yang masih terisak-isak dan nampak bingung. “Anak-anak, jangan kalian khawatir. Kami akan mencari ibu kalian kami akan melindungi kalian. Sebaiknya sekarang ceritakan semuanya agar kami tahu ke mana kami harus mencari ibumu itu,” kata Kim Hong dengan suara membujuk. “Sebaiknya katakan dulu, siapakah nama kalian dan siapa ayah kalian?” Thian Sin ikut bertanya sambil mengelus rambut kepala Cia Ling. Cia Liong mengusap air matanya dengan punggung tangannya. “Nama saya Cia Liong dan adik saya ini Cia Ling, ayah kami bernama Cia Kok Heng...” “She Cia...?” Thian Sin membelalak dan di dalam hatinya timbul perasaan mesra terhadap mereka. Hal ini tidaklah mengherankan. Nama keturunan Cia merupakan nama keturunan yang amat dekat di hatinya. Orang-orang she Cia dari keluarga Cia, yaitu keluarga Cia Sin Liong Pendekar Lembah Naga merupakan orang-orang yang paling dicintainya di dalam dunia semenjak dia masih kecil. Oleh karena itu, begitu mendengar bahwa dua orang anak inipun she Cia, timbul perasaan mesra terhadap mereka, walaupun dia tahu bahwa belum tentu persamaan she itu menunjukkan bahwa mereka berdua itu masih keluarga dekat dengan Pendekar Lembah Naga. Apa yang dirasakan oleh Pendekar Sadis Ceng Thian Sin ini juga dirasakan oleh kebanyakan dari kita. Timbulnya karena pengembangan dari si aku. Pementingan diri atau perhatian yang dipusatkan kepada si aku inilah yang menimbulkan rasa suka tidak suka. Si aku tidak hanya terbatas kepada pribadi belaka, melainkan dapat berkembang dan meluas menjadi keluargaku, milikku, sahabatku, golonganku, bangsaku, agamaku dan sebagainya. Jadi, sesungguhnya, si akulah yang dipentingkan atau apapun juga yang menguntungkan atau merugikan aku. Kedua orang anak kecil itupun sudah mempunyai arti yang lain bagi Thian Sin begitu dia mengetahui bahwa mereka itu bermarga Cia! Tentu sikap dan perlakuannya akan jauh berbeda andaikata mereka itu tidak bermarga Cia. Di sini sudah timbul penilaian yang membedakan, timbul pilih kasih, timbul ketidakadilan. Dan segala seuatu yang bersumber kepada pementingan si aku, baik aku sebagai diri pribadi maupun si aku yang telah berkembang, sudah pasti menimbulkan konflik dengan akunya orang lain pula. Biarpun dia sendiri tidak mengetahui dengan jelas duduk persoalannya, namun Cia Liong dapat menceritakan dengan cukup jelas. Bahwa ayahnya menerima ancaman gambar dari Siluman Guha Tengkorak di dinding luar rumah mereka, kemudian ayahnya dan lima orang sahabat ayahnya tewas oleh penyerbuan siluman itu. Kemudian bahwa mereka dibawa lari oleh Kwee Siu akan tetapi di dalam hutan itu dihadang oleh siluman. “Jadi ibumu diculik penjahat malam tadi?” tanya Kim Hong sambil mengerutkan alisnya. Sayang, anak ini tidak tahu mengapa penjahat yang dise-but Siluman Guha Tengkorak itu melakukan perbuatan yang demikian kejamnya. Ia tidak tahu apakah ia menghadapi peristiwa kejahatan biasa ataukah ada sebab-sebab permusuhan di antara si penjahat dan orang tua anak-anak ini. “Ibu dan kami dibawa terbang oleh siluman ke atas genteng, dan kami berdua lalu dilempar ke bawah, untung ada paman-paman yang menyelamat-kan kami. Akan tetapi ibu dilarikan entah ke mana,” kata Cia Liong. Anak inipun menceritakan bahwa ayahnya dan enam orang paman itu adalah Tujuh Pendekar Tai-goan. “Kim Hong, kita membagi tugas sekarang. Kau bawalah mereka ini pergi dari sini, sebaiknya kautitipkan kepada keluarga yang boleh dipercaya di luar kota Tai-goan saja. Aku sendiri akan mencoba untuk mencari jejak penjahat itu, siapa tahu dia belum pergi jauh.” Kim Hong mengangguk. “Baik, aku akan memakai kereta ini. Dan di mana kita akan bertemu dan kapan?” “Lewat tengah hari di tempat ini. Kita saling menanti sampai sore.” Kim Hong mengangguk. Dua orang yang tadi-nya bersendau-gurau seperti kanak-kanak itu kini sama sekali telah merubah sikap. Mereka bicara singkat, bersungguh-sungguh dan agaknya hanya dengan gerak-gerik dan pandang mata saja, mereka telah mampu untuk saling mengerti. Memang, ke-dua orang yang saling mencinta ini selain perasaan cinta kasih yang mendalam satu sama lain, juga memiliki pengertian yang mendalam pula, yang membuat mereka dapat bekerja sama dengan baik dan kadang-kadang bahkan mereka merasa seolah--olah mereka terdiri dari dua badan namun satu perasaan. Kim Hong lalu mengikat kudanya di belakang kereta, kemudian membawa dua orang anak itu pergi meninggalkan hutan, menuju ke kota Tai-goan dengan maksud untuk mencari dusun di luar kota untuk memilih keluarga yang hendak dititipi dua orang anak itu untuk sementara. Sedangkan Thian Sin juga lalu meloncat ke atas pungung kudanya dan mencari-cari jejak di sekeliling tempat itu. Kadang-kadang dia meloncat dari atas kudanya, memeriksa tanah dan rumput dan akhirnya dia menemukan jejak kaki, yaitu ujung sepatu yang menginjak tanah meningalkan bekas atau jejak yang ringan sekali. Dia tahu bahwa pemakai sepatu itu adalah seorang yang memiliki gin-kang yang amat tinggi, walaupun tidak sehebat gin-kang yang dikuasai Kim Hong, namun cukup jelas menyatakan bahwa orang ini merupakan lawan yang tangguh. Maka diapun berhati-hati dan mulai mengikuti jejak itu. Sementara itu, Kim Hong telah menemukan keluarga yang dianggapnya cukup dapat dipercaya untuk dititipi dua orang anak itu. Keluarga petani itu sendiri mempunyai seorang anak kecil berusia lima tahun dan di dusun itu dia dianggap sebagai orang yang dihormati karena dia cukup pandai menulis dan terkenal sebagai orang yang jujur. Kim Hong memberinya uang, bahkan menyerahkan kereta berikut kudanya kepada petani itu dan menitipkan dua orang anak she Cia untuk selama beberapa pekan lamanya. “Jaga mereka baik-baik dan jangan biarkan mereka bermain terlalu jauh, sebaiknya bermain di dalam rumah saja. Setelah urusanku selesai, aku akan datang menjemput mereka,” katanya dan kepada dua orang anak itu, Kim Hong berpesan agar mereka itu menutup mulut dan jangan menceritakan kepada siapa juga tentang urusan mereka. “Aku akan mencari ibu kalian sampai dapat.” demikian ia menjanjikan. Tentu saja dua orang anak itu merasa girang dan terhibur. *** Menanti merupakan pekerjaan yang paling me-ngesalkan hati dan juga melelahkan. Waktu rasanya berhenti berjalan atau berjalan juga dengan mera-yap perlahan seperti gerak maju seekor siput. Apalagi kalau di balik penantian itu terdapat urusan yang menggelisahkan hati seperti halnya Kim Hong ketika ia menanti datangnya Thian Sin di dalam hutan, di tempat yang telah dijanjikan tadi. Kim Hong membiarkan kudanya makan rumput dan ia sendiri duduk di atas batu besar di tepi jalan. Kadang-kadang matanya ditujukan ke arah gundukan tanah yang menjdi kuburan Kwee Siu, seorang di antara Tujuh Pendekar Tai-goan. Berada seorang diri di dekat kuburan baru itu menimbulkan rasa kesepian yang mencekam, menimbulkan bayangan pikiran yang bukan-bukan. Orang yang dikubur itu adalah seorang pendekar, yang agaknya tewas dalam tugasnya sebagai seorang pendekar, dalam usahanya menyelamatkan dua orang anak itu. Begitukah saat terakhir seorang pendekar? Tewas di tempat sunyi, tanpa ada yang mengetahui, bahkan mungkin orang she Kwee ini meninggalkan keluarga yang masih belum tahu akan kematiannya. Betapa menyedihkan! Akan seperti itu jugakah nasibnya? Nasib Thian Sin? Betapa menyedihkan. Tiba-tiba gadis itu menepuk mati seekor semut yang merayap dan menggigit punggung tangannya. Ah, kenapa ia tiba-tiba menjadi selemah itu? Kalau perlu, mati seperti yang dialami oleh orang she Kwee itu boleh saja! Kematian takkan mungkin dapat dihindarkan oleh siapapun juga, soal kapan waktunya merupakan rahasia yang tak terpecahkan dari manusia. Dan mati seperti yang dialami oleh orang she Kwe ini cukup terhormat! Sebagai seorang pendekar yang sedang melaksanakan tugasnya sebagai pendekar, yaitu menolong orang lain, melindungi yang lemah tertindas dan menentang yang kuat menindas. Kalah atau menang dengan akibat mati atau hidup hanyalah akibat dari pada perjuangan dan bukankah hidup ini perjuangan juga? Bukankah kematian mengelilingi kita setiap saat? Bukan kematian yang penting untuk direnungkan, melainkan cara dari kematian itu. Mati dalam kebenaran, mati sebagai seorang pendekar perkasa penentang kejahatan seperti orang she Kwee itu adalah kematian yang patut dibang-gakan dan dikagumi orang. Kematian itu sendiri bukan soal, melainkan suatu kewajaran. Akan tetapi dalam keadaan bagaimana seseorang mati, itulah yang penting. Andai kata yang menanti datangnya Thian Sin di tempat seperti itu bukan seorang wanita seperti Kim Hong, tentu hati wanita itu sudah menjadi kesal bukan main dan tentu akan marah-marah kepada orang yang dinanti-nantinya. Akan tetapi Kim Hong bukanlah seorang wanita cengeng. Sama sekali bukan, bahkan sebaliknya dari pada itu ia seorang pendekar wanita yang gagah perkasa yang biasa mempergunakan akal budinya dan sama sekali tidak menuruti perasaannya dalam menghadapi urusan penting dan gawat. Maka, biarpun ia telah menanti sampai matahari condong ke barat dan Thian Sin belum muncul, ia sama sekali tidak pernah mempunyai perasaan menyalahkan pemuda itu. Kepercayaannya terhadap Thian Sin sudah penuh dan tidak dapat diragukan lagi seperti juga kepercayaan pemuda itu terhadap dirinya. Ia merasa yakin bahwa kalu Thian Sin belum muncul, hal itu hanya berarti bahwa pemuda itu memang belum sempat dapat datang, dan ini berarti bahwa kekasihnya itu telah menemukan sesuatu dalam penyelidikannya! Dan, biarpun kecil sekali kemungkinannya karena ia tahu dan mengenal benar orang macam apa adanya Thian Sin, bisa saja terjadi bahwa kekasihnya itu mendapatkan halangan! Hal inilah yang dipikirkan dan setelah hari mulai gelap, kekhawatiran mulai menyelubungi hatinya. Satu-satunya jalan baginya hanya menyelidiki dan menyusul! Akan tetapi, menyelidiki jejak kaki kuda yang ditunggangi Thian Sin tidak mungkin dilakukan di malam hari, maka tidak ada jalan baginya kecuali menanti sampai terlewatnya malam itu. Malam yang tidak menyedapkan hati! Malam sunyi sepi, di dekat kuburan baru, menanti datangnya orang yang tak kunjung muncul. Untung masih ada kudanya, setidaknya merupakan makhluk yang membuktikan adanya kehidupan yang dapat bergerak, Kim Hong membuat api unggun, mencoba untuk tidur akan tetapi bayangan tentang Thian Sin tertimpa bencana menggoda pikirannya sehingga harapan satu-satunya hanyalah agar malam itu cepat berlalu dan ia dapat segera mulai menyusul kekasihnya. Malam seperti itu tentu menjadi malam yang menyeramkan dan menakutkan bagi orang lain, apalagi bagi seorang wanita yang berada di tempat sunyi seorang diri saja. Orang mudah dihinggapi rasa takut di tempat sunyi, apalagi di malam hari yang amat gelap seperti itu, lebihlebih pula kalau di situ terdapat sebuah kuburan yang baru siang tadi diisi jenazah yang mandi darah, pula kalau diketahui bahwa ada musuh yang amat tangguh dan berbahaya yang mungkin saja mengancam diri. Namun, seorang pendekar seperti Toan Kim Hong sudah dapat mengatasi rasa takut ini. Seperti para pendekar lainnya, dara ini sudah maklum apa yang menimbulkan rasa takut, maka iapun dapat meniadakan sebab timbulnya rasa takut ini. Setiap orang biar yang tidak memiliki ilmu silat seperti Kim Hong, tidak memiliki andalan untuk melindungi diri sebaiknya, dapat saja menjadi orang yang memiliki ketabahan dan ketenangan hati seperti Kim Hong! Yang perlu diselidiki adalah rasa takut itu sendiri. Apakah rasa takut itu? Dan dari mana timbulnya? Rasa takut tidak terpisah dari pada batin, karena rasa takut adalah keadaan batin itu sendiri pada saat itu. Rasa takut timbul karena ingatan membayangkan sesuatu yang akan amat tidak menyenangkan diri. Rasa takut tidak pernah terpisah dari bayangan yang diciptakan oleh pikiran yang mengingat-ingat hal-hal yang lalu dan bayangkan hal-hal yang mungkin terjadi di masa depan. Rasa takut sudah pasti merupakan pengintaian atau penjengukan masa depan yang dibayangkan itu, atau rasa takut itu tentu takut akan sesuatu yang tidak ada atau belum ada! Yang takut akan setan belum melihat setan itu sendiri, takutnya timbul karena pikiran membayangkan kemungkinan munculnya setan. Demikian pula yang takut akan bencana tentu belum tertimpa bencana itu, takut akan kematian tentu karena hal yang ditakutkan itu belum ada maka timbullah bayangan-bayangan yang mengerikan. Orang yang tidak membayangkan setan tak mungkin takut akan setan, yang tidak membayangkan kematian tak mungkin takut kematian dan sebagainya. Hal ini merupakan kenyatan yang dapat kita selidiki sendiri. Jadi jelaslah bahwa rasa takut adalah bayangan pikiran yang dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu, baik pengalaman sendiri maupun pengalaman orang lain, kemudian pikiran menciptakan kemungkinan-kemungkinan yang tidak menguntungkan diri. Timbullah rasa takut. Dan rasa takut ini sama sekali tidak ada manfaatnya bagi hidup. Bahkan rasa takut ini membuat kita kehilangan kewaspadaan, segala tindakan kita terpengaruh olehnya. Biasanya kita menghadapi rasa takut sebagai sesuatu yang terpisah dari pada batin kita. Kita ingin menghindari rasa takut, maka muncullah hiburan-hiburan untuk melupakan hal-hal yang mendatangkan rasa takut itu. Akan tetapi hal ini hanya merupakan pelarian yang sia-sia belaka. Rasa takut akan setan umpamanya, tidak mungkin lenyap hanya dengan melarikan diri dari rasa takut, dengan jalan menghiburnya, mencari teman, pergi ke tempat ramai dan sebagainya. Lain saat rasa takut itu akan muncul lagi setiap kali pikiran kita membayangkan tentang kengeriankengerian bertemu setan. Mengapa tidak kita hadapi saja rasa takut itu? Kita amati saja kalau rasa takut itu sewaktu-waktu muncul dan ini merupakan sesuatu yang teramat menarik dan teramat berharga untuk diselami dan dihayati sendiri. Kalau rasa takut muncul, baik rasa takut akan setan, rasa takut akan bencana, malapetaka, maupun rasa takut akan kematian, mengapa tidak kita hadapi saja rasa takut itu tanpa ingin melarikan diri darinya? Hadapi saja, amati saja penuh perhatian sehingga kita dapat melihat dengan sepenuhnya, dapat mengerti sepenuhnya, apa sesungguhnya rasa takut itu sehingga bukan kita yang menghindarkan diri dari rasa takut melainkan rasa takut itu sendiri yang lenyap dari lubuk hati kita? Mengapa kita tidak membebaskan diri saja dari rasa takut yang dapat menimbulkan berbagai macam akibat dalam sikap dan tindakan dalam hidup kita? Semalam suntuk Kim Hong hanya duduk bersila di dekat api unggun, tak pernah bergerak seperti patung. Hanya kadang-kadang saja kalau harus menambah kayu bakar, ia bergerak sebentar kemudian duduk lagi. Suara api membakar kayu menimbulkan suara dan menarik perhatiannya sehingga tidak mendengar suara lain dan tidak tahu bahwa ada sosok tubuh orang menyelinap di antara pohon-pohon di sekelilingnya dan ada sepasang mata mengintainya sejak tadi. Ketika itu, malam telah hampir habis dan fajar telah menyingsing di ufuk timur. Akan tetapi karena nyamuk masih belum meninggalkan tempat yang masih gelap itu, Kim Hong masih terus menyalakan api unggun dan duduk dengan tenangnya, hatinya mulai gembira melihat bahwa di sebelah timur telah mulai nampak sinar kemerahan. Ringkik kudanya yang mula-mula membuatnya waspada. Cepat ia mencurahkan perhatiannya ke sekeliling dan pandang matanya yang tajam itu menangkap berkelebatnya bayangan di balik pohon di sebelah kirinya. Kudanya mendengus-dengus dan Kim Hong mengambil sikap tenang, pura-pura tidak tahu bahwa waktu itu ada orang yang mengintainya. Mengapa orang itu mengintai saja dan tidak turun tangan sejak tadi, pikirnya. Apa-kah munculnya orang ini ada hubungannya dengan penjahat yang menculik ibu dua orang anak itu? Ataukah ada hubungannya dengan menghilangnya Thian Sin? Kalau orang itu adalah si penjahat yang suka menculik wanita, mungkin sekali dia mengintaiku untuk kemudian turun tangan menangkap dan menculikku. Akan tetapi kalau ada hubungannya dengan menghilangnya Thian Sin, kalau orang itu sudah tahu akan kelihaian Thian Sin, mungkin sekali diapun berhati-hati kepadanya. Sungguh tidak enak menanti dan menduga-duga seperti ini. Lebih baik memberi kesempatan dan memancing agar orang itu bergerak turun tangan. Api unggun mulai padam, sengaja dibiarkan saja oleh Kim Hong dan dalam duduknya, dara itu kelihatan melenggut. Kemudian ia membiarkan dirinya, diserang hawa dingin pagi, menggigil sedi-kit lalu menguap, menutupkan punggung tangan depan mulut, lalu merebahkan dirinya bersandar pada batang pohon dan tidur. Sikap dan gerakannya demikian wajar sehingga siapapun juga tentu akan menduga bahwa gadis ini merasa kedinginan dan mengantuk dan dengan mudahnya jatuh pulas ketika merebahkan diri dan bersandar pada batang pohon itu. Dan agaknya, orang yang mengintainya dari balik batang pohon itupun menduga demikian. Dia membiarkan sampai gadis itu tertidur selama setengah jam, barulah dengan gerakan kaki yang amat ringan dia keluar dari balik pohon dan menghampiri. Sejenak dia berdiri memandang wajah dan tubuh yang terlentang di depannya itu dan sepasang mata itu mengeluarkan sinar kagum. Memang, melihat Kim Hong rebah terlen-tang setengah duduk bersandar batang pohon di pagi hari itu merupakan pemandangan yang indah menarik. Hati siapa takkan tergerak melihat tubuh yang padat dan matang itu setengah terlentang, dan melihat wajah yang luar biasa cantiknya itu, sedikit tertutup uraian rambut, dengan mata terpejam dilindungi bulu mata yang lentik, bibirnya kemerahan mengulum senyum, lehernya yang panjang itu nampak terbuka sehingga kulit leher putih mulus itu menantang pandang mata? Adapun Kim Hong sejak tadi sudah melihat orang dan jantungnya berdebar tegang. Orang itu adalah seorang laki-laki yang memakai sutera putih dan di dadanya terdapat lukisan tengkorak dari tinta merah atau darah, dan muka orang itu memakai topeng tengkorak pula! Sungguh mengerikan dan tentu akan menakutkan orang melihat siluman ini muncul di pagi hari buta dan di tempat sunyi seperti itu. Akan tetapi, di dalam hatinya, Kim Hong memasa geli, akan tetapi juga marah. Inikah orangnya yang telah membunuh Tujuh Pendekar Tai-goan, dan sudah menculik ibu dua orang anak itu? Apakah dia ini berhasil menghindarkan diri dari pencarian Thian Sin, kemudian malah datang ke sini untuk menculiknya? Orang bertopeng itu agaknya puas memandang Kim Hong dan diapun mengangguk-angguk, lalu mengeluarkan sebuah bungkusan kertas dari dalam saku bajunya. Dia melangkah dekat, lalu kertas dari dalam itu dibukanya dan begitu dia mengebutkan kertas itu, bubukan berwarna merah berhamburan ke arah muka Kim Hong! Akan tetapi, pada saat itu, Kim Hong sudah bergerak dengan amat cepatnya, meloncat dan menggunakan kakinya untuk menendang. “Wuuuttt...! Dukkk!” Tubuh orang bertopeng itu terpelanting dan terlempar ke belakang. Tentu saja siluman itu terkejut setengah mati. Sama sekali tidak pernah diduganya bahwa dara yabg cantik jelita itu, yang nampak tidur pulas, tahu-tahu dapat mengirim tendangan yang demikian cepat dan hebatnya. Dia tadi masih mampu menangkis, akan tetapi karena kurang cepat dan kurang mengerahkan tenaga, tendangan yang luar biasa kuatnya itu membuat tubuhnya terpelanting bahkan terlempar ke belakang. Akan tetapi, begitu tubuhnya terbanting, cepat orang itu sudah mampu meloncat bangun kembali! Dan dia menjadi semakin heran melihat betapa gadis itu tidak terpengaruh oleh bubuk obat biusnya! Padahal bubuk obat bius merah itu amat kuat dan sukar dilawan oleh orang yang pandai sekalipun. Dia tadi tidak melihat betapa dengan sehelai saputangan, Kim Houg mengebut bubuk merah itu dengan pengerahan sin-kang sehingga bubuk merah itu tertiup pergi dan tidak ada yang mengenai mukanya. Karena kecelik, siluman itu agaknya merasa penasaran sekali. Dia mengeluarkan gerengan marah dan tiba-tiba tubuhnya meluncur ke depan dan diapun sudah menyerang Kim Hong dengan dahsyat. Tangan kananya meraih ke arah leher seperti hendak mencengkeram, sedangkan jari tangan kirinya meluncur dan menotok ke arah jalan darah di pundak. Totokan ke arah pundak inilah yang bahaya karena selain “tertutup” oleh cengkeraman tangan kanan, juga yang diarah itu jalan darah yang penting dan yang akan membuat orang yang kena ditotoknya menjadi lemas takkan mampu bergerak lagi! Akan tetapi, tentu saja serangan mnacam itu bukan apa-apa bagi Kim Hong. Gadis ini sudah dapat mengukur dalam tendangannya tadi bahwa walaupun siluman ini memiliki kepandaian lumayan dan lebih dari pada penjahat-penjahat biasa, yang memiliki tubuh yang kuat, namun bukan merupakan lawan yang terlalu tangguh baginya. Oleh karena itu, Kim Hong menjadi marah dan ingin mempermainkan lawan, ingin menghajarnya, baru kemudian ia akan melucuti kedoknya dan akan memaksanya mengaku tentang peran Siluman Guha Tengkorak dan ibu anak-anak yang telah diculiknya itu. Maka, begitu serangan itu datang, ia menyambutnya dengan mudah sekali tanpa mengerahkan banyak tenaga dan kecepatan, ia telah dapat menghindarkan diri dari dua serangan itu. Ia sengaja tidak mau membalas dan membiarkan siluman itu menyerangnya secara bertubi-tubi untuk mengukur sampai di mana tingkat kepandaian lawan. Setelah ia membiarkan lawannya menyerangnya sampai belasan jurus, iapun mengerti bahwa lawan ini memiliki dasar ilmu silat campuran dan tidak dapat digolongkan sebagai seorang ahli yang sudah matang. Maka, iapun ingin menghentikan perkelahian itu dan ketika orang itu menyerangnya lagi dengan tangan kanan mencengkeram ke arah dada, serangan yang sungguh tak tahu malu dari seorang lawan pria terhadap seorang wanita, Kim Hong sudah menyelinap ke samping dan begitu kakinya melayang, ia telah menendang perut orang itu dengan keras. “Desss...!” Tubuh orang itu melayang untuk kedua kalinya, sekali ini melayang jauh dan terbanting jatuh dekat dengan kuda tunggangan Kim Hong yang menjadi kaget dan meringkik. Tendangan tadi amat keras dan biarpun Kim Hong tidak bermaksud membunuhnya, atau belum lagi, namun tendangan itu cukup hebat untuk membuat orang itu memuntahkan darah segar dari mulutnya. Akan tetapi, memang orang itu memiliki tubuh yang kuat dan tahan uji, karena begitu terbanting jatuh, dengan mulut mengeluarkan darah, dia sudah meloncat dan tahu-tahu dia sudah berada di atas punggung kuda tunggangan Kim Hong. Kuda itu-pun dibedalkannya dengan cepat sekali meninggalkan tempat itu. “Hei, badut keparat! Hendak lari ke mana engkau?” Kim Hong terkejut dan marah sekali, lalu menggerakkan kedua kakinya mengejar. Dara ini seorang ahli gin-kang dan gerakannya luar biasa cepatnya, larinya tidak kalah oleh larinya kuda. Akan tetapi karena siluman itu nampaknya jerih sekali dan tidak mau tersusul, kuda itu dibalapkannya dan dipukulinya dengan tangan terbuka sehingga kuda itu berlari amat cepat. Kim Hong terus mengejar, bukan saja hendak menangkap si penjahat melainkan juga untuk mendapatkan kembali kudanya. Kini kuda itu meninggalkan jalan dan memasuki hutan. Kim Hong tetap mengejarnya sampai si penunggang kuda itu tiba di tepi jurang, jurang yang menganga lebar dan dalam, selebar kurang lebih empat tombak. Dan Kim Hong melihat siluman itu terus saja membedalkan kudanya, bahkan membawa kudanya meloncati jurang! “Heii, jangan...!” Kim Hong berteriak karena dari jauh saja ia sudah melihat bahwa perbuatan itu merupakan tindakan nekat dan mempertaruh-kan nyawa dengan sia-sia. Jurang itu terlalu lebar untuk dapat diloncati oleh kudanya. Kuda itu kini “terbang” di atas jurang dan dengan mata terbelalak Kim Hong berhenti dan memandang, melihat betapa kaki depan kuda itu memang telah menca-pai tepi jurang di seberang, akan tetapi karena sebagian besar badannya yang belakang belum sampai, maka kuda itu terjengkang dan bersa-ma dengan penunggangnya meluncur jatuh ke da-lam jurang yang amat dalam itu! Kim Hong me-ngepal tinju dan lari ke tepi jurang, menjenguk ke bawah dan ia melihat betapa kuda dan penunggangnya terbanting-banting ke lereng bukit yang berbatu-batu, kemudian berhenti dan tidak bergerak--gerak lagi. “Keparat!” Kim Hong mendesis dan ia merasa kecewa sekali dan menyesal mengapa tidak dari tadi ia merobohkan saja orang itu agar dapat dikorek keterangan darinya. Sekarang, bukan saja penjahat itu telah mati dan tidak ada gunanya lagi, juga kudanya ikut mati. Terpaksa ia kembali ke tempat tadi dan mulailah ia mencari jejak kuda yang ditunggangi Thian Sin kemarin siang. Tidak mudah mencari jejak kuda yang sudah lewat sehari semalam. Rumput yang diinjak kuda sudah berdiri lagi dan menutupi jejak pada tanah. Untung baginya, tanah di hutan itu lembab dan hal ini membuat jejak kaki kuda itu agak tahan lama. Dengan hati-hati ia mencari, menemukan jejak kaki kuda itu dan mengikutinya dengan jalan kaki. Ia harus menemukan Thian Sin. Ia tidak percaya bahwa riwayat Siluman Guha Tongkorak akan habis begitu saja bersama jatuhnya orang tadi dengan kudanya ke dalam jurang. Kalau siluman atau penjahat itu hanya seorang seperti itu kepandaiannya, tidak mungkin orang-orang yang sudah dijuluki Tujuh Pendekar Tai-goan begitu mudah dibunuhnya. Apa lagi, tidak mungkin kalau Thian Sin sampai tidak mampu menemukannya setelah pemuda itu mencari selama sehari semalam. Tentu ada apa-apa di balik semua ini, ada kekuatan yang jauh lebih hebat dari pada sekedar penjahat bertopeng tengkorak tadi. Tanpa setahu Kim Hong, jejak kuda yang ditunggangi Thian Sin itu membawanya kepada daerah Guha Tongkorak! Ia tidak menyadari hal ini karena memang ia tidak mengenal daerah itu. Tidak ada kesempatan baginya dan juga bagi Thian Sin untuk menyelidiki keadaan Siluman Guha Tengkorak yang baru pertama kali mereka dengar dari mulut Kwee Siu ketika pendekar itu dalam keadaan sekarat. Peristiwa demi peristiwa terjadi susul menyusul demikian cepatnya. Mula-mula pertemuan mereka dengan dua orang anak-anak yang mengatakan bahwa ayah dan pamanpaman mereka terbunuh siluman dan bahwa ibu mereka terculik. Kemudian pertemuan mereka dengan Kwee Siu yang menghadapi maut. Lalu menghilangnya Thian Sin yang mengikuti jejak siluman dan tak kunjung kembali ke dalam hutan seperti yang telah mereka janjikan. Dan munculnya siluman yang mencoba untuk membiusnya, kemudian berakhir dengan kematian mengerikan bagi siluman itu sebelum Kim Hong sempat membuka rahasianya. Semua itu terjadi dalam waktu semalam saja dan kini ia telah mengikuti jejak kekasihnya. Melihat keadaan yang liar dan sunyi dari tempat ke mana jejak itu membawanya, Kim Hong mulai merasa khawatir. Agaknya ia dibawa ke tempat yang berbahaya, karena makin lama tempat itu semakin sunyi. Tak nampak ada seorangpun manusia dan ketika jejak itu tiba di tepi Sungai Fen-ho yang berbatubatu karang, jejak itupun lenyap. Tentu Thian Sin melanjutkannya dengan jalan kaki, pikirnya. Jalan itu mendaki tebing dan amat sukar dilalui manusia, apalagi kuda. Kim Hong tidak melanjutkan perjalanannya. Ia meragu, karena tidak tahu ke mana ia harus melanjutkan perjalanan. Yang berada di depannya itu merupakan jalan pendakian ke sebuah tebing yang curam dan ia tidak tahu ada apa di balik tebing atau di sebelah atas itu. Ia tidak tahu ke mana Thian Sin melanjutkan perjalanannya dan tidak dapat menduga apa yang telah terjadi setelah kekasihnya itu tiba di tempat ini. Tiba-tiba ketika ia memeriksa keadaan sekeliling dan melihat-lihat, di atas bukit kecil di sebelah kiri terdapat sebuah bangunan kuil kecil kuno yang berdiri terpencil. Agaknya sebuah kuil yang tidak dipergunakan lagi, dan mungkin saja untuk tempat tinggal seorang pertapa atau bukan tidak mungkin tempat terpencil itu menjadi tempat persembunyian penjahat! Timbul semangatnya karena ia berpendapat bahwa kalau Thian Sin tiba di sini dan melihat kuil itu tentu kekasihnya itupun akan mengunjungi dan memeriksa tempat itu sebagai langkah pertama dalam penyelidikan mengenai Siluman Guha Tengkorak itu. Kim Hong lalu mulai mendaki tebing yang amat sukar itu. Akan tetapi karena ia memiliki gin-kang yang amat hebat, ia dapat mendaki tempat itu dengan cepat dan tak lama kemudian, tanpa banyak kesukaran ia telah tiba di pekarangan kuil kuno. Akan tetapi, pekarangan itu ada bersih ada bekas sapuan di situ. Hal ini menandakan bahwa tempat itu berpenghuni! Siapa tahu penghuninya adalah penjahat yang dicari-carinya. Pikiran ini membuat Kim Hong bersikap hatihati dan iapun menyelinap dan menghampiri kuil kuno itu dari belakang. Ketika ia melihat seekor kuda ditambatkan di bagian belakang dari kuil itu, jantungnya berdebar tegang dan girang. Ia mengenal kuda itu, kuda tunggangan Thian Sin! Dihampirinya kuda itu dan ditepuk-tepuk punggungnya. Kuda itupun mengenal Kim Hong dan membelai tangan dara itu dengan mukanya. Ah, kalau saja kuda ini mampu bicara, tentu banyak yang diceritakannya dan ia tidak perlu bingung-bingung mencari tahu apa yang telah terjadi dengan Thian Sin sehingga pemuda itu tidak kembali ke hutan. “Hei, siapa yang berani mencoba mencuri kuda?” Kim Hong terkejut dan cepat membalikkan tu-buhnya. Kiranya yang menegurnya itu adalah seorang laki-laki berusia enam puluhan tahun, berpakaian seperti seorang tosu, tubuhnya kurus dan kedua pipinya cekung sehingga tanpa kedok tengkorak sekalipun muka itu sudah hampir mendekati bentuk tengkorak. Tapi kakek itu jelas orang tosu, bukan orang penjahat yang memakai jubah putih bergambar tengkorak, tidak pula memakai kedok. Akan tetapi Kim Hong bermaksud mengejutkan hati pendeta itu dengan pertanyaan yang tiba-tiba datangnya. “Totiang, ke mana perginya pemilik kuda ini?” Tosu itu berjalan menghampiri dan sejenak memandang Kim Hong penuh perhatian. “Pemilik kuda ini? Ahh, apakah nona yang menjadi sahabatnya dan yang malam tadi menunggunya di dalam hutan?” Kim Hong mengangguk dan memandang tajam. “Totiang, ke mana perginya sahabatku itu? Mengapa dia tidak kembali ke hutan?” “Ah, ah, pinto telah menanti-nantimu, nona. Pinto merasa khawatir sekali akan nasib kongcu itu...” “Ada apakah, totiang? Harap suka cepat ceritakan!” Kim Hong tertarik sekali dan juga merasa khawatir. “Kemarin siang kongcu yang menjadi sahabatmu itu datang ke sini dan menitipkan kudanya ini. Kemarin dia menanyakan jalan menuju ke Guha Tengkorak.” Dia berhenti sebentar dan memandang jauh ke depan dengan sinar mata kosong akan tetapi mengandung rasa takut. “Lanjutkanlah, totiang.” Kim Hong mendesak tak sabar. “Pinto sudah memperingatkan bahwa tempat itu bukan merupakan tempat pesiar melainkan tempat berbahaya sekali yang tidak pernah dikunjungi orang. Akan tetapi dia membujuk pinto dan akhirnya pinto mengantarnya ke daerah itu. Ketika kami tiba di sana, pinto sudah mengajaknya untuk segera pulang saja, akan tetapi kongcu itu memaksa hendak memasuki sebuah guha besar di sana. Pinto memperingatkan dan mencegahnya, akan tetapi kongcu itu nekat memaksa, bahkan meninggalkan pesan kepada pinto bahwa dia mempunyai seorang teman wanita yang menanti di dalam hutan, dan kalau pinto bertemu dengan nona agar pinto memberitahukan semuanya. Nah, pinto tidak berhasil membujuknya dan diapun memasuki guha. Pinto menunggu di luar guha sampai malam dan dia belum juga keluar. Terpaksa pinto pulang sendirian...” Kim Hong mengerutkan alisnya. “Apakah totiang tidak menyusul dan memanggilnya?” Tosu itu nampak terkejut. “Ah, nona belum tahu rupanya. Tempat itu amat keramat dan juga berbahaya. Kalau pinto tahu bahwa kongcu itu hendak memasuki guha, tentu pinto tidak berani dan tidak mau mengantarnya. Guha-guha itu merupakan guha-guha keramat yang tak pernah di datangi manusia dan kabarnya siapa yang berani masuk guha takkan dapat keluar kembali. Mana pinto tidak berani memasukinya untuk menyusul kongcu.” “Hemm, apakah totiang pernah mendengar tentang Siluman Guha Tengkorak? Di situkah sarangnya?” Tosu itu menggeleng kepala. “Pinto hanya tahu bahwa tempat seperti itu sudah pasti menjadi sarang para siluman dan iblis. Ah, pinto khawatir kalau-kalau kongcu telah mengalami hal-hal yang tidak baik dan tertimpa malapetaka di dalam guha itu...” “Totiang, kalau begitu tolong antar saya ke tempat itu!” Kim Hong yang merasa khawatir sekali itu mendesaknya. “Apa...? Nona... nona hendak menyusul ke sana?” “Benar, akan saya susul dia ke dalam guha! Habis, kalau tidak ada yang berani memasuki guha menyusulnya, bagaimana dapat menemukannya?” “Tapi itu berbahaya sekali, nona! Pinto tidak berani!” “Totiang tidak usah masuk, biar aku sendiri yang masuk!” kata Kim Hong agak jengkel melihat pendeta itu ketakutan, padahal dari gerak-gerik pendeta ini dapat menduga bahwa pendeta ini bukanlah orang sembarangan, bukan orang yang lemah. “Tapi itupun berbahaya sekali, nona. Lihat, kongcu masuk ke dalam guha dan tidak keluar lagi. Kalau sekarang nona juga masuk ke sana dan terjadi apa-apa, bukankah pinto yang menerima dosanya? Sebaiknya kalau nona minta bantuan susiok...” “Susiok? Siapa dia?”. “Pinto mempunyai seorang susiok (paman guru) yang pandai melihat hal-hal jauh, pandai melihat hal-hal yang telah lampau. Susiok tentu akan dapat membantu kita memberi tahu bagaimana keadaan kongcu sekarang dan di mana dia berada.” Kim Hong tidak mau mempercaya segala macam ketahyulan dan segala macam ilmu ramalan ini. Yang penting ia harus turun tangan mencari dan kalau perlu menolong Thian Sin. Tentu telah terjadi sesuatu dengan pemuda itu. “Tidak, totiang, aku mau mencarinya sendiri. Mari totiang tunjukkan di mana tempatnya. Totiang tidak usah mencampuri, aku akan mencarinya sendiri.” Kakek itu menarik napas panjang dan setelah menggeleng-geleng kepalanya diapun berkata, “Siancai... orang-orang muda sekarang sungguh mem-punyai hati yang keras dan berani. Selama ini pinto hidup tenteram di sini, akan tetapi sekarang pinto melihat orang-orang muda seperti kongcu dan nona berani menempuh bahaya. Sungguh membuat hati pinto berduka dan penasaran. Marilah, nona, pinto antarkan ke daerah Guha Tengkorak.” Berangkatlah mereka dan ternyata jalan yang mereka lalui sekarang jauh lebih sukar dari pada jalan menuju ke kuil kuno yang dilalui Kim Hong seorang diri tadi. Dan di sini dara perkasa itu mendapatkan kenyataan bahwa dugaannya memang benar, tosu itu bukan seorang lemah karena dapat berjalan melalui jalan yang sukar, terjal dan licin, dan untuk dapat melalui jalan seperti ini membutuhkan gin-kang yang lumayan. Maka, di tengah perjalanan mendaki tebing iapun tidak dapat menahan keinginan tahunya. “Kulihat totiang bukan seorang lemah dan juga memiliki ilmu kepandaian, kenapa totiang begitu ketakutan terhadap Guha Tengkorak? Ada apanya sih di sana?” Pendeta itu berhenti dan berpegang pada batu karang yang menonjol. “Aih, apa, sih artinya kepandaian manusia kalau harus berhadapan dengan para siluman?” Lalu dia berjalan lagi dan sekali ini dia bergerak lebih cepat, agaknya hendak meninggalkan Kim Hong atau menurut persangkaan dara itu, si tosu sengaja memperlihatkan kepandaian atau sengaja hendak mencoba dan mengujinya. Kim Hong tentu saja menganggap perjalanan itu mudah saja dan kalau ia mau, ia dapat bergerak cepat, jauh lebih cepat dari pada si tosu. Akan tetapi ia tidak mau memamerkan kepandaian dan iapun bergerak mengikuti tosu itu saja. Akhirnya, tibalah mereka di daerah berbatu-batu, di depan mereka terbentang dinding batu karang yang tinggi dan penuh dengan guha-guha yang bentuknya menyeramkan, karena banyak di antara guha guha itu yang bentuknya seperti tengkorak manusia. “Inikah Guha Tengkorak...?” Kim Hong ber-tanya, seperti kepada diri sendiri ketika melihat kakek itu berhenti bergerak dan memandang ke arah dinding karang yang tinggi dan panjang itu. Memang tempat itu amat sunyi dan kering kerontang, tempat yang terpencil dan sukar sekali didatangi. Tempat yang patut menjadi tempat sembunyi sebangsa siluman atau setidaknya para penjahat besar yang hendak menghindarkan diri dari pengejaran. “Lalu di guha yang manakah temanku itu masuk?- “Di guha yang sana itu, nona. Tapi... tapi nona jangan masuk... ah, berbahaya sekali, nona.” “Bagaimana totiang tahu bahwa masuk ke sana berbahaya?” Kim Hong bertanya secara tiba-tiba dan menatap tajam wajah kakek itu. “Bukankah kongcu masuk ke sana dan tidak keluar lagi? Bagaimana kalau nona juga tidak keluar lagi?” “Sudahlah, lebih baik totiang kembali saja dan biarkan aku sendiri mencari temanku. Jadi, di guha itu masuknya?” “Benar, nona. Dan pinto akan menanti di sini...” Kim Hong sudah berloncatan menuju ke guha yang ditunjukkan oleh kakek itu. Sebuah guha yang bentuknya seperti tengkorak dan keli-hatan hitam gelap karena sinar matahari tidak dapat memasukinya. Ia bersikap waspada, mengerahkan sin-kangnya dan memasuki guha itu dengan seluruh urat syaraf tubuhnya siap siaga mengha-dapi segala kemungkinan. Di tempat seperti ini mungkin saja dipasangi alat-alat rahasia dan jebakan-jebakan, pikirnya. Akan tetapi kkhawatirannya itu tidak terbukti. Di dalam guha itu ti-dak ditemukan apa-apa. Guha yang lebar dan dalam, akan tetapi kosong dan penyelidikannya terbentur pada dinding-dinding batu guha itu. Tidak terdapat terowangan atau pintu rahasia, tidak terdapat jebakan-jebakan dan di situ ia tidak menemukan jejak Thian Sin. Dengan kecewa iapun keluar lagi dan ternyata tosu itu masih menanti di tempat yang tadi. Melihat ia muncul kembali, tosu itu cepat menghampiri. Siancai... siancai... sungguh gembira sekali hati pinto melihat nona keluar dalam keadaan selamat!” “Totiang, benarkah temanku itu masuk ke dalam guha ini?” “Benar, nona.” “Tapi, tidak kutemukan apa-apa di dalamnya. Guha biasa dan tidak ada jalan tembusan. Bagaimana mungkin temanku itu lenyap begitu saja di dalamnya?” “Aih, nona, di tempat seperti ini... apakah yang tidak mungkin? Siapa tahu akan rahasianya. Yang dapat membantu dan menerangkan nona pinto rasa hanyalah susiok pinto itu seorang. Kalau nona mau, mari pinto antarkan nona ke sana menjumpainya.” Hati Kim Hong mulai tertarik. Kalau ia sendiri harus mencari tanpa adanya jejak sama sekali, mana mungkin? Tempat ini penuh dengan guha-guha dan daerah ini berbatu-batu, tidak nampak sedikitpun jejak Thian Sin. Pemuda itu lenyap secara aneh di dalam guha yang biasa saja. Ataukah kakek ini yang berbohong kepadanya? Dan kakek ini menjanjikan bantuan melalui seorang susioknya yang pandai ilmu sihir. Hemm, sungguh mencurigakan, dan menarik. Ada dua kemungkinan yang menguntungkan baginya, pertama, siapa tahu kalau-kalau paman guru dari pendeta ini benar--benar sakti dan dapat memberitahu di mana ada-nya Thian Sin, ke dua, andaikata pendeta ini ber-bohong, tentu ada sebabnya dan tentu ada hubung-annya dengan lenyapnya Thin Sin. Inilah agaknya jejak satu-satunya yang harus ditelusurinya dan di-hadapinya, walaupun bukan tidak mungkin ia akan menghadapi bahaya. Untuk menolong Thian Sin, ia sanggup manghadapi bahaya yang bagaimana-pun juga besarnya. “Baiklah, totiang. Tentu saja aku mau memperoleh bantuan untuk dapat menemukan sahabatku itu. Akan tetapi aku belum mengenal totiang dan susiok dari totiang itu...” “Nama pinto Siok Cin Cu dan sudah bertahun-tahun pinto bertapa di kuil itu, hidup tenteram sampai munculnya kongcu dan nona. Adapun susiok pinto itu adalah seorang pertapa tua yang tidak lagi mau dikenal namanya, akan tetapi tentu saja nona boleh mencoba untuk bertanya kepada beliau kalau berhadapan sendiri. Beliau tidak lagi mau berurusan dengan orang luar, akan tetapi kalau pinto yang membawa nona menghadap, tentu beliau akan mau menolong nona. Hanya susiok sajalah yang akan dapat mengetahui di mana adanya teman nona itu. Marilah, nona.” Kim Hong mengikutinya dan diam-diam ia berpikir. Mengapa tosu ini tidak pernah menanyakan namanya atau nama Thian Sin? Sikap ini menunjukkan sikap tidak perduli, akan tetapi di lain pihak, kakek ini mau bersusah payah mengantar mereka ke guha dan juga kini berusaha untuk menolong dengan membawanya kepada susioknya. Ini menunjukkan sikap yang sangat perduli. Dan bilamana ada sikap yang amat bertentangan ini, tentu ada apa-apanya! Atau tosu ini memang orang aneh sekali atau memang bermain sandiwara. Dan sebaiknya kalau iapun ikut saja bermain sandiwara agar dapat melihat apa yang sedang terjadi di balik layar. *** Gubuk kecil itu berada di atas bukit di balik dinding batu karang. Letaknya mengingatkan Kim Hong pada kuil tempat tinggal Siok Cin Cu, yaitu di puncak bukit dari mana dapat nampak pemandangan di bawah, sampai ke permukaan Sungai Fen-ho dengan jelasnya. Sebuah tempat penjagaan yang amat baik, seperti juga di kuil itu, pikir Kim Hong. Mereka tiba di depan gubuk kecil panjang itu menjelang sore. “Harap nona menanti sebentar di luar, pinto hendak menghadap dan membujuk susiok agar suka menerima nona. Kim Hong mengangguk, akan tetapi ketika tosu itu memasuki pintu depan pondok, ia cepat mempergunakan gin-kangnya untuk menyelinap mendekati pondok dan memasukinya dari belakang. Pondok itu kecil akan tetapi panjang dan ketika ia mendengar suara orang bercakapcakap dari ruangan dalam, ia cepat mengintai dari balik jendela. Ia melihat sebuah ruangan panjang yang gelap, dan Siok Cin Cu telah berada di situ, berlutut di atas lantai di depan seorang pendeta lain yang duduk di tempat yang gelap, hanya nampak bentuk tubuhnya saja yang jangkung dan sepasang matanya yang seperti mencorong di dalam gelap. Pendeta itu, yang dapat dikenal dari pakaiannya yang seperti jubah kebesaran, duduk bersila di atas bantalan bundar, tidak bergerak seperti arca yang menyeramkan karena matanya seperti mata harimau, atau seperti mata setan. “Susiok, harap susiok memaafkan teecu yang lancang datang menghadap. Teecu mengantar seorang nona yang sedang menghadapi kegelisahan besar karena ia kehilangan seorang sahabatnya. Teecu mohon kerelaan hati susiok untuk memberi petunjuk kepadanya.” “Siancai... siancai... siancai...! Orang-orang muda yang ceroboh, terlalu mengandalkan kepandaian sendiri untuk mencampuri urusan orang lain. Sungguh berani sekali mereka itu menentang si-luman-siluman Guha Tengkorak... siancai...! Akan tetapi karena engkau telah mengajak nona itu ke sini, Siok Cin Cu, biarlah akan kucoba menolongnya. Suruh ia masuk.” Setelah melibat dan mendengar ini, cepat Kim Hong meloncat keluar lagi dan jantungnya berdebar heran. Bagaimana kakek itu dapat mengetahui bahwa ia dan Thian Sin menentang siluman-siluman Guha Tengkorak? Melihat sikap Siok Cin Cu ketika menghadap tadi, keraguannya bahwa pendeta itu menipunya mulai berkurang dan mulailah ia percaya bahwa susiok dari pendeta itu boleh jadi memang memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa. Ketika tosu itu muncul, Kim Hong berlagak se-perti sedang melihat-lihat keadaan di bawah bukit. Ia mendapat kenyataan bahwa dari bukit itu, seperti juga dari kuil si tosu, bagian bawah dari daerah Guha Siluman dapat nampak sehingga setiap ada orang yang mendaki menuju ke tempat itu, tentu dapat terlihat dari kedua tempat ini. “Nona, sungguh beruntung sekali. Susiok mau menerimamu. Mari, nona, silakan masuk.” Kim Hong mengangguk dan mengikuti tosu itu masuk ke dalam pintu depan dan begitu masuk, ia melihat betapa rumah itu di sebelah dalamnya gelap karena semua jendela tertutup. Hanya ada sedikit sinar yang menerobos masuk melalui celah-celah dinding, membuat cuaca di dalam ruangan dalam rumah itu remang-remang. “Silahkan, nona,” bisik Siok Cin Cu yang memberi isyarat kepada dara itu untuk maju ketika mereka tiba di ruangan yang tadi diintai oleh Kim Hong, Kim Hong masih bersikap waspada. Seorang pendekar harus tidak pernah meninggalkan kecurigaan dan kewaspadaannya, demikianlah pelajaran yang ditekankan di dalam hatinnya sejak dahulu oleh orang tuanya. Maka, biarpun ia mulai percaya kepada Siok Cin Cu yang dianggapnya tidak mempunyai iktikad buruk, tetap saja dara perkasa ini bersikap waspada dan selalu siap menghadapi bahaya dari manapun juga datangnya. Ia memandang kepada sosok tubuh yang duduk bersila di sudut ruangan, lalu menjura kepada sosok tubuh itu. “Ah, selamat datang, nona. Silahkan duduk dan maafkan, di sini pinto tidak mempunyai kursi dan meja, terpaksa duduk diatas lantai saja. Silahkan.” Sosok tubuh itu berkata tanpa bergerak. “Terima kasih, locianpwe,” jawab Kim Hong yang duduk duduk bersimpuh di atas lantai dan mempergunakan tangannnya menekan lantai sambil mengerahkan sin-kangnya untuk melihat apakah lantai itu aseli ataukah ada rahasianya dan merupakan perangkap. Akan tetapi hatinya merasa lega ketika mendapatkan kenyataan bahwa lantai itu merupakan lantai batu yang tidak mongandung sesuatu yang mencurigakan. “Sekarang katakan, apakah yang dapat pinto lakukan untuk membantumu, nona?” Diam-diam Kim Hong memuji kakek itu. Biarpun ia tidak akan melihat dengan jelas, ia dapat menduga bahwa orang itu tentulah seorang pria yang sudah tua, apa lagi bukankah pria ini merupakan paman guru dari tosu Siok Cin Cu? Bagaimanapun juga, kakek ini tidak sombong, biarpun sudah jelas tahu apa yang menjadi kesulitannya, namun kakek itu masih bertanya dan tidak mendahuluinya menyombongkan pengetahuannya. “Locianpwe, saya mencari seorang sahabat saya yang hilang ketika dia memasuki sebuah guha dan saya tidak lagi menemukan jejaknya. Mohon pertolongan locianpwe untuk memberi petunjuk di mana adanya sahabat saya itu.” Hening sejenak dan Kim Hong mencurahkan perhatiannya untuk mendengarkan jawaban dari sosok tubuh yang masih bersila tanpa tergerak itu. Akhirnya, setelah menanti agak lama, kakek itu menjawab. “Hemm, bukankah sahabatmu itu seorang pemuda perkasa dan berdarah bangsawan tinggi, she-nya Ceng?” Diam-diam Kim Hong terkejut. Ternyata orang ini benar-benar hebat! “Dan engkau sendiri juga berdarah bangsawan tinggi she Toan, bukan?” Kim Hong makin terkejut dan makin tertarik. “Benar, locianpwe,” jawabnya dan kini ia mulai percaya bahwa ia memang berhadapan dengan seorang tua yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Bahkan ia mulai memelihara harapan bahwa kakek ini benar-benar akan dapat menolongnya dan dapat memberitahukan di mana adanya Thian Sin. “Kalau begitu, engkau pandanglah ke sini, nona. Lihatlah baik-baik dan apa yang dapat nampak olehmu?” Kim Hong mengangkat mukanya memandang. Matanya terbelalak melihat sebuah wajah yang remang-remang, akan tetapi di atas kepala itu nampak sebuah sinar seperti lampu yang amat terang dan menyilaukan mata. “Engkau merasa silau, nona? Kalau silau, pejamkan matamu sejenak. Nah... begiulah, pejamkan mata dan terasa enak bukan? Enak untuk tidur. Engkau mulai mengantuk, maka tidurlah, nona. Di sini aman, aku akan melindungimu, tidurlah, nona, tidurlah dengan nyenyak.” Kim Hong tadinya tidak tahu bahwa ia telah terseret oleh kekuatan yang luar biasa dan begitu ia menuruti permintaan suara itu tadi untuk memandang dan menjadi silau melihat sinar menyilaukan, ia seakan-akan telah membiarkan semangatnya dikuasai orang yang memiliki ilmu sihir! Ketika suara itu dengan lembutnya menyuruhnya memejamkan mata, otomatis iapun memejamkan matanya dan mendengar suara menyuruhnya tidur, ia seperti tidak dapat lagi menahah rasa kantuknya yang membuat matanya berat dan tak dapat dibukanya lagi. Ia ingin tidur, sungguh ingin sekali untuk tidur dan betapa nikmatnya kalau dapat tidur pulas pada saat itu! Akan tetapi, Kim Hong bukanlah seorang dara biasa. Selain memiliki ilmu silat yang amat tinggi dan tenaga sin-kang amat kuat, juga ia telah hidup berdua bersama Ceng Thian Sin selama beberapa tahun ini sehingga dalam percakapan mereka kadang-kadang Ceng Thian Sin membuka rahasia tentang kekuatan sihir. Biarpun ia tidak mempelajari ilmu itu, akan tetapi ia sudah mulai mengerti akan seluk-beluknya. Oleh karena itu, ketika kekuatan sihir dari kakek itu mulai mempengaruhinya dan membelenggunya, ia terkejut dan teringat lalu mengerahkan sinkangnya untuk memberontak! Kim Hong berhasil meronta, bahkan lalu meloncat berdiri. Akan tetapi, saat ia masih sedang bersitegang melepas diri dari keadaan tidak sadar itu, tiba-tiba saja ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu kedua pundak Kim Hong telah ditotok orang. Dara perkasa ini baru dalam keadaan setengah sadar, masih terpengaruh oleh kekuatan sihir, maka biarpun nalurinya yang amat kuat itu membuat ia berusaha mengelak, namun tetap saja totokan pada pundak kirinya mengenai sasaran dan tubuhnya yang sebelah kiri seketika menjadi kehilangan tenaga seperti lumpuh. Pada saat itu, ia sudah diringkus dan dibelenggu kaki tangannya, kemudian jari tangan yang kuat menekan pundak kanannya dan habislah kekuatannya. Ia tertotok dan tidak mampu bergerak lagi! “Bagus!” katanya menekan kemarahannya. “Ternyata engkau adalah Siluman Guha Tengkorak!” Akan tetapi yang menjawabnya hanya suara ketawa saja dan tanpa dapat melawannya, Kim Hong melihat dirinya dimasukkan ke dalam sebuah karung hitam dan kemudian ia dipondong orang dan dibawa pergi dari situ. Ia tahu bahwa yang memondongnya bukan Siok Cin Cu, karena orang ini memiliki gin-kang yang jauh lebih lihai dari pada tosu itu. Kim Hong tidak tahu ke mana ia dibawa. Dari dalam karung hitam itu ia tidak dapat melihat sesuatu dan ia hanya merasa dibawa naik turun dengan cepat. Setelah lewat waktu cukup lama, akhirnya ia dikeluarkan dari dalam karung dan dilemparkan ke dalam sebuah kamar, di atas dipan, dalam keadaan tertotok dan terbelenggu kaki tangannya! Ternyata kamar itu hanya sebuah kamar yang tidak begitu besar, dari tembok tebal dan pintunya dari besi, ada lubanglubang angin di bawah dan di atas. Sebuah kamar tahanan yang amat kuat. Pintu itu sudah dikunci, akan tetapi dari jeruji yang terdapat di bagian atas pintu besi, ia dapat melihat ada orang di luar pintu. Seorang laki-laki yang berjubah sutera putih, dengan gambar tengkorak darah di dadanya dan mukanya tertutup topeng tengkorak! Tentu saja Kim Hong merasa ngeri. Bukankah siluman itu telah tewas bersama kudanya di dasar jurang? Akan tetapi, ia dapat menenangkan dirinya dan mengertilah ia bahwa Siluman Guha Tengkorak bukan hanya terdiri dari seorang penjahat saja. Hari telah menjadi malam dan kamar itu ha-nya menerima cahaya lampu yang berada di luar kamar, melalui lubang-lubang angin dan jeruji pin-tu besi. Kim Hong mengumpulkan kekuatannya dan menjelang tengah hari ia berhasil membebaskan diri dari pengaruh totokan. Setelah pengaruh totokan itu punah, dengan pengerahan sin-kang ia dapat mematahkan belenggu kaki tangannya. Akan tetapi, baru saja ia bangkit dan hendak mencari jalan keluar, terdengarlah suara mendesis-desis dan ia melihat asap putih menyembur-nyembur masuk dari lubang-lubang angin. Begitu mencium asap ini tahulah ia bahwa asap itu adalah asap yang me-ngandung racun bius! Maka iapun cepat bertiarap di atas lantai, akan tetapi tindakan ini hanya mem-perpanjang sedikit waktu saja karena akhirnya ia terpaksa menyedot asap itu dan jatuh pingsan. Malam telah larut ketika ia siuman kembali. Kamar telah bersih dari asap dan ia merasakan kepalanya agak pening, dan kaki tangannya sudah terbelenggu lagi, bahkan kini tubuhnya sudah diletakkan orang di atas dipan. Ada suara di pintu dan ketika ia menengok, ia melihat orang bertopeng tengkorak di luar pintu. “Nona, sekali lagi engkau melepaskan belenggu dan mencoba lari, hukumannya tentu berat. Asap bius itu tak mungkin nona lawan. Sebaiknya nona menyerah saja dan kami akan memperlakukan nona dengan baik-baik.” Setelah berkata demikian, orang itu meninggalkan pintu. Kim Hong maklum bahwa ia terjatuh ke dalam tangan gerombolan yang lihai sekali dan iapun tahu bahwa pada saat itu ia tidak berdaya dan tidak mungkin meloloskan diri dengan kekerasan. Asap bius yang sewaktu-waktu dapat masuk melalui lubang-lubang angin itu memang tak mungkin dapat dilawan dan dihindarkan, dan biarpun tidak nampak adanya penjaga, ia tahu bahwa ada penjaga-penjaga bersembunyi dan selalu mengamati gerak-geriknya. Celaka, pikirnya. Tentu Thian Sin juga sudah tertawan oleh mereka. Tenang, ia mencela diri sendiri. Tenang! Hanya ketenangan batin sajalah satu-satunya hal yang mungkin akan dapat menolongnya dan juga menolong Thian Sin. Maka iapun lalu memejamkan mata untuk tidur agar kekuatannya dapat pulih kembali. *** Ke manakah perginya Ceng Thian Sin? Apa yang dikhawatirkan oleh Kim Hong memang benar. Pemuda itu sudah pasti akan kembali ke dalam hutan seperti yang telah dijanjikannya kepada Kim Hong kalau tidak ada hal yang membuatnya tidak mungkin melakukan hal itu. Seperti telah kita ketahui, setelah bertemu dengan Cia Liong dan Cia Ling kemudian mendengar pesan terakhir dari Kwee Siu, setelah mengubur jenazah pendekar itu, Thian Sin lalu membagi tugas dengan kekasihnya. Dia menyuruh Kim Hong menyelamatkan dua orang anak itu dan menitipkannya kepada orang di tempat aman, kemudian dia sendiri lalu mencari jejak siluman yang telah membunuh Kwee Sin. Jejak itu membawanya ke daerah Guha Tengkorak. Akan tetapi setelah tiba di kaki bukit di mana terdapat tebing Guha Tengkorak, seperti juga Kim Hong, dia melihat kuil kuno itu dan hatinya tentu saja tertarik sekali. Dia sendiri belum tahu di mana adanya Guha Tengkorak, tidak tahu bahwa daerah guha itu terdapat di atas tebing, maka diapun lalu turun dari atas punggung kudanya dan menuntun kuda itu mendaki bukit menuju ke kuil yang berdiri di puncak bukit. Ketika dia tiba di depan kuil, dia melihat seorang tosu sedang menyapu pelataran depan kuil itu. Tosu itu berhenti menyapu dan menyambut kedatangan pemuda itu dengan pandang mata heran. “Maaf totiang kalau saya mengganggu ketenteraman tempat ini,” kata Thian Sin sambil menjura dengan hormat. Tosu itu membalas dengan anggukan dan kedua tangan dirangkap di depan dada. “Siancai...! Sungguh merupakan hal yang amat mengherankan melihat tempat ini kedatangan tamu seperti kongcu!” jawab tosu itu yang bukan lain adalah tosu yang kemudian mengaku bernama Siok Cin Cu kepada Kim Hong. “Bagaimanakah kongcu dapat tiba di tempat yang terasing ini dan ap-akah gerangan keperluan kongcu bersusah payah mendaki tempat ini?” “Maaf, totiang. Saya mohon petunjuk totiang tentang tempat yang dinamakan Guha Tengkorak. Saya mencari tempat itu.” Tosu itu tidak memperhatikan perobahan pada wajahnya, namun pandang matanya bersinar dan tentu saja sedikit hal ini tidak terlewat dari ketajaman pandang mata Thian Sin. “Guha Tengkorak...?” “Benar, apakah totiang mengetahui tempat itu?” Kakek itu mengangguk lalu memandang kepada wajah pemuda itu dengan ragu-ragu. “Tapi... ada keperluan apakah kongcu datang ke tempat seperti itu?” “Tempat seperti itu? Apa yang totiang maksudkan? Ada apakah dengan tempat itu?” Thian Sin balas bertanya. Tosu itu nampak bingung oleh serangan kata-kata Thian Sin ini, lalu menggeleng kepala. “Tidak apa-apa, hanya... selama bertahun-tahun ini belum pernah pinto melihat ada orang mencari tempat itu, maka pinto merasa terkejut dan heran ketika tiba-tiba kongcu muncul dan mencari tempat itu.” Jawaban yang teratur sekali, pikir Thian Sin. Menghadapi tosu yang pintar ini tidak ada gunanya berputar lidah, maka diapun lalu berkata, “Sesungguhnya saya hendak menyelidiki Guha Tengkorak dan hendak mencari Siluman Guha Tengkorak, totiang.” Kini tosu itu nampak terkejut dan agaknya dia tidak menyembunyikan rasa kagetnya mendengar disebutnya Siluman Guha Tengkorak. Akan tetapi dia menentang pandang mata Thian Sin yang tajam penuh selidik itu, lalu menarik napas panjang. “Siancai... jangan-jangan kongcu menyangka bahwa pintolah orangnya yang terkenal dengan sebutan Siluman Guha Tengkorak!” Thian Sin diam-diam kagum akan kecerdikan orang ini dan dia semakin waspada. Dia tersenyum ramah dan berkata, “Baru saja aku mendengar nama itu, totiang, tentu saja aku tidak berani menuduh dan menduga sembarangan. Dan karena totiang juga mengenal nama itu, maka aku mohon petunjuk totiang di mana kiranya aku bisa menemukan siluman itu. Di mana dia tinggal? Apakah di Guha Tengkorak dan di mana letak guha itu?” Kakek itu kembali menghela napas. “Siapa yang tidak mendengar namanya, kongcu? Akan tetapi siapa pula yang tahu di mana tempat tinggalnya? Baru kurang lebih sebulan lamanya, pasukan kea-manan bersama banyak pendekar telah datang ke sini dan mereka mencari di daerah tebing Gu-ha Tengkorak akan tetapi tidak berhasil menemu-kan apa-apa.” Thian Sin mengangguk-angguk. “Ah, jadi nama itu sudah terkenal sekali dan dicari oleh pasukan keamanan dan para pendekar, totiang?” Kakek itu mengangguk-angguk. “Mungkin begitu. Pinto sendiri yang selamanya bertapa di sini tidak tahu menahu akan hal itu. Baru setelah pasukan itu mencari di daerah ini pinto tahu bahwa semenjak dua tiga bulan ini nama itu dikenal orang. Akan tetapi apakah benar dia berada di sini, tidak seorangpun tahu. Maka, pinto rasa akan percuma saja kalau kongcu mencarinya, dan pula, amat berbahaya, kongcu.” Thian Sin memandang tajam. “Kenapa berba-haya, totiang?” “Pinto sudah mendengar berita dari pasukan itu bahwa orang ini amat lihai, ilmu kepandaiannya seperti dewa... dan guha-guha itu merupakan tem-pat berbahaya, kabarnya keramat dan siapa berani memasukinya takkan dapat keluar lagi.” “Aku tidak takut, totiang. Harap totiang suka menunjukkan di mana tempatnya dan kalau memang benar Siluman Guha Tengkorak berada di situ, totiang tidak usah ikut campur, biarlah aku sendiri yang akan menghadapinya.” Kakek itu memandang kepada Thian Sin dari kepala sampai ke kaki, kemudian menganggukangguk. “Ah, kiranya kongcu adalah seorang pendekar muda yang gagah berani. Baiklah kalau begitu, mari pinto antar sampai di tempatnya. Akan tetapi tak mungkin membawa kuda mendaki tempat itu dan setelah tiba di sana, pinto akan segera kembali.” “Terima kasih, totiang,” Thian Sin berkata girang dan tosu itu menyuruh dia menambatkan kuda di belakang kuil. Berangkatlah mereka mendaki tebing yang curam itu dan akhirya Thian Sin berdiri memandang dinding batu karang yang penuh dengan guha yang menyeramkan, guha-guha yang sebagian besar berbentuk tengkorak manusia. Tempat yang amat sunyi dan tidak ada tanda-tanda bahwa di tempat itu ada manusianya. “Guha-guha itu telah diperiksa oleh pasukan akan tetapi tidak ada hasilnya,” kata tosu itu dengan suara datar dan terdengar dingin. “Lalu kenapa mereka mengejar dan mencari ke tempat ini, totiang?” “Itulah, mungkin karena desas-desus bahwa orang yang mereka cari-cari itu kelihatan memasuki gua itu,” kakek itu menudingkan telunjuknya ke arah sebuah guha, nomor tiga dari kiri yang juga mirip tengkorak bentuknya. “Nomor tiga dari kiri itu?” “Betul. Nah, sudahlah, pinto terpaksa harus meninggalkan kongcu seorang diri di sini. Ataukah kongcu sudah berbalik pikir dan hendak ikut turun kembali bersama pinto?” Thian Sin memaksa tersenyum. “Kalau totiang mengira bahwa aku menjadi jerih atau takut setelah mendengar cerita totiang atau setelah melihat tempat ini, totiang salah duga. Tidak, aku akan mencari Siluman Guha Tengkorak dan aku yakin pasti akan dapat menemukan dia di sini kalau memang benar di sini tempat tinggalnya.” Pemuda perkasa itu melihat betapa pandang tosu itu sinar seperti orang tersinggung, akan tetapi tosu itu segera menundukkan mukanya. “Siancai, semoga kongcu tidak menemui halangan apapun.” Dan tosu itupun lalu membalikkan tubuhnya dan turun kembali dari atas tebing. Setelah tosu itu lenyap di tikungan tebing yang curam itu, Thian Sin lalu berloncatan cepat sekali menghampiri guha-guha di sebelah kiri. Dia memeriksa guha-guha itu, dari guha pertama sampai lima buah guha banyaknya dan mendapatkan kenyataan bahwa guha ke tiga itu memang yang terbesar dan dalam. Dia lalu memasuki guha ke tiga ini, sebuah guha yang dalamnya tidak kurang dari duapuluh meter dan lebarnya ada empat meter. Guha ini merupakan ruangan yang cukup luas akan tetapi tentu saja tidak enak untuk dijadikan tempat tinggal karena lantainya terdiri dari batu-batu yang tidak rata dan bahkan makin mendalam makin menurun, merupakan lereng dan juga tajam-tajam seperti batu karang di lautan. Dengan amat waspada dan hati-hati sekali, Thian Sin memeriksa guha ini. Dipandang sepintas lalu saja, tidak mungkin ada yang bersembunyi di sini, karena walaupun guha itu merupakan tempat yang terasing akan tetapi sungguh amat tidak enak untuk dijadikan tempat tinggal. Akan tetapi Thian Sin memeriksa ruangan yang gelap itu dan tiba-tiba dia menemukan sebuah terowongan di sudut kanan, tempat yang paling gelap. Kalau tidak mendekat dan meraba, sukar untuk menemukan terowongan ini. Dia tidak segera masuk, melainkan memeriksa dengap seksama. Kalau memang tempat ini pernah diperiksa pasukan, tidak mungkin kalau pa-sukan tidak menemukan terowongan ini. Ketika dia memeriksa dengan meraba-raba di bagian ambang pintu terowongan jantungnya berdebar meraba papan besi di balik batu yang agaknya tadinya menutup terowongan itu. Jelaslah bahwa te-rowongan ini merupakan pintu rahasia yang belum lama dibuka orang. Kalau pintu itu dikembalikan di tempatnya, maka akan lenyap dan dinding di sudut itu akan lenyap dan dinding di balik batu itu ada terowongannya. Dan tentu saja, sedikitpun tidak orang yang nampaknya menjadi satu dengan dinding guha. Penemuan yang kebetulan saja? Ataukah umpan jebakan? Apapun juga, inikah jalan satusatunya, pikir Thian Sin dan aku akan mencari siluman itu sampai dapat! Setelah mengambil keputusan ini, dengan tabah Thian Sin lalu memasuki terowongan yang gelap itu. Terowongan itu cukup besar walaupun dia harus memasukinya dengan tubuh agak membungkuk. Akan tetapi ternyata lantainya lebih rata dari pada lantai di ruangan depan guha itu. Hal ini mendatangkan dugaan bahwa tempat ini memang sengaja dibuat orang. Ketika dia me-langkah maju dengan hati-hati di tempat yang re-mang-remang dan semakin gelap itu, kurang lebih duapuluh langkah, tiba-tiba terdengar suara keras di belakangnya! Thian Sin cepat membalikkan tubuhnya dan siap siaga menghadapi serangan, akan tetapi tidak terjadi sesuatu kepada dirinya. Suara keras itu diikuti kegelapan yang menelan dirinya dan tahulah Thian Sin bahwa ada alat rahasia menggerakkan batu yang kini menutup lubang terowongan! Dia menahan senyum dan tidak mau memperlihatkan kepanikan dengan kembali ke mulut terowongan mencoba membuka pintu itu. Tidak, biarpun dia telah terjebak, dia harus terus ke dalam dan menghadapi bahaya apapun juga! Maka Thian Sin dengan sikap tenang sekali melanjutkan perjalanannya, melalui jalan terowongan yang gelap itu, melaju terus dan mencurahkan seluruh panca inderanya untuk menghadapi kalau-kalau ada bahaya serangan dari sekelilingnya. Lantai terowongan itu tetap rata, bahkan kalau turun ada anak tangganya yang rapi. Terowongan itu berbelak-belok dan menurut perhitungan Thian Sin, jarak yang ditempuhnya semenjak dia memasuki terowongan tidak kurang dari satu li! Akan tetapi diapun maklum bahwa tempat itu masih berada di dalam daerah Guha Tengkorak, karena biarpun jauh, terowongan itu berlika-liku. Dengan merentangkan kedua lengahnya, dia dapat mengukur lebar sempitnya terowongan itu, juga tinggi rendahnya langitlangit karena dia harus selalu menjaga agar jangan sampai kepalanya terbentur batu karang yang bergantungan dari langit-langit. Ketika dia tiba di sebuah ruangan persegi empat, dia berhenti, meraba-raba dengan kedua tangannya karena dia merasa bahwa dia tiba di tempat yang lebih lebar dan luas. Dan tiba-tiba terdengar suara seperti besi bertemu dengan batu. Karena keadaan tetap gelap, Thian Sin tidak berani sembarangan bergerak, melainkan berdiri dan siap siaga untuk melindungi tubuhnya. Akan tetapi tidak terjadi sesuatu pada dirinya, tidak ada serangan yang datang walaupun tadi dia merasakan ada sambaran angin dari benda-benda yang bergerak cepat dan kuat. Dan suara hiruk-pikuk tadipun sudah berhenti lagi. Thian Sin menduga bahwa tentu terjadi pergerakan yang merupakan jebakan seperti ketika pintu batu terowongan tadi menutup. Dengan hati-hati kakinya meraba-raba ke depan, demikian pula jari tangan kirinya sedangkan tangan kanannya siap siaga untuk menangkis atau menyerang. Dan kaki serta tangan kirinya itu menemukan kenyataan bahwa kini dirinya telah terkurung! Kanan dan kirinya adalah dinding batu yang dingin dan dan keras, sedangkan di sebelah depannya adalah dinding besi atau baja yang setebal lengan manusia. Dia telah terkurung! Mendadak tempat itu menjadi terang sekali dan ternyata ada bagian dinding di luar jeruji besi itu yang terbuka. Sebuah pintu besi tiba-tiba saja muncul dan terbuka dan dari situlah datangnya cahaya terang itu. Agaknya sinar matahari dapat memasuki tempat yang diduganya tentu berada di bawah tanah ini. Agak silau juga mata Thian Sin sehingga terpaksa memejamkan kedua matanya tanpa mengurangi kewaspadaannya dan kini dia menjaga diri dengan mengandalkan ketajaman pendengaran telinganya. Biarpun dia memejamkan kedua matanya, namun dia mengetahui dari pengaruh bahwa di luar jeruji besi itu terdapat sedikitnya sepuluh orang yang kesemuanya memiliki ilmu silat yang cukup tinggi, terbukti dari gerakan kaki mereka yang gesit dan ringan ketika mereka itu datang mendekat. Ketika dia membuka kedua matanya, dia melihat bahwa di luar jeruji itu berdiri dua belas orang. Semua orang itu memakai jubah sutera putih dengan gambar tengkorak merah di dada mereka dan muka mereka semua memakai topeng tengkorak! Dengan sekilas pandang saja tahulah pemuda perkasa itu bahwa keadaannya sungguh terjepit dan tidak ada harapan baginya untuk dapat meloloskan diri mempergunakan kekerasan. Dia benar-benar berada di dalam bahaya, terjebak di dalam terowongan bawah tanah dan menghadapi banyak musuh yang agaknya tangguh juga. Akan tetapi, bukan watak Pendekar Sadis Ceng Thian Sin untuk berkecil hati dalam keadaan bagaimanapun juga. Dia berdiri di tengah ruangan itu, menghadapi dua belas orang siluman sambil tersenyum lebar. “Ha-ha, kiranya Siluman Guha Tongkorak yang disohorkan orang itu tiada lain, hanyalah sekumpulan tikus gunung yang hebatnya cuma mengandalkan lubang-lubang tikus jebakan dan pengeroyokan belaka!” Belasan pasang mata di balik topeng-topeng tengkorak itu mengeluarkan sinar berkilat tanda bahwa mereka marah mendengar ucapan ini yang amat merendahkan dan menghina mereka. Seorang dari mereka yang berdiri di pinggir, berkata, suaranya halus namun penuh mengandung ancaman. “Orang muda, engkau sudah tertawan dan nya-wamu berada di telapak tangan kami, akan tetapi masih berani bersikap berani dan menghina. Engkau sungguh seorang muda yang gagah perkasa akan tetapi juga bodoh dan bosan hidup. Siapapun orangnya yang berani lancang memasuki daerah kami tanpa ijin, tentu mati. Akan tetapi karena Sian-su (Guru Dewa) ingin bertemu dan bicara denganmu, maka engkau selamat. Sekarang menyerahlah untuk kami bawa menghadap Sian-su, siapa tahu engkau akan diampuni. Akan tetapi kalau engkau melawan, tentu nanti akan dibunuh. “Orang itu memberi isyarat dengan tangannya dan sepuluh orang temannya tiba-tiba mengeluarkan busur dan anak panah, menodongkan anak panah ke arah Thian Sin. Lain orang di antara mereka melangkah maju, dan jeruji besi itu tiba-tiba saja tertarik ke atas, tentu digerakkan oleh alat rahasia yang tersembunyi. Orang yang bicara itu sendiri sudah mengeluarkan sebatang pedang, agaknya mereka bersiap-siap menyerang kalau Thian Sin menggunakan kekerasan. Thian Sin tidak berpikir panjang untuk mengambil keputusan. Kalau dia menghendaki, kiranya dia akan mampu merobohkan dua belas orang ini dan lolos dari dalam kurungan pada saat kurungan itu dibuka. Akan tetapi dia tahu bahwa perbuatan ini tidaklah bijaksana. Mereka ini hanyalah anak buah saja dan dia perlu bertemu dan berhadapan muka dengan pemimpinnya, yang disebut Sian-su oleh orang yang bicara tadi. Diapun dapat menduga bahwa yang bicara itu adalah tosu yang mengantarnya ke tempat itu. Hal ini dapat dikenalnya dari kedudukan kepala orang itu yang agak miring ke kiri. Kepala yang agak miring ke kiri itu dicatatnya sebagai tanda atau ciri dari tosu yang mengantarnya dan orang bertopeng inipun kepalanya agak miring ke kiri! Dan andaikata dia bisa lolos dari sini, belum tentu dia akan dapat lolos dari terowongan ini. Mungkin banyak dipasang alat-alat jebakan yang berbahaya, dan dia sendiri belum tahu berapa banyaknya anak buah mereka dan sampai di mana kelihaian Sian-su mereka itu. Pula, dia ingin mengetahui sampai sedalamnya dan ingin menolong pula ibu dari dua orang anak. Kalau sekarang dia mengamuk, mungkin saja dia akan menggagalkan semua usahanya. “Kepala kalian ingin bicara denganku? Baiklah, akupun ingin bicara dengan dia!” katanya dan dia membiarkan saja orang bertopeng yang masuk ke dalam ruangan tahanan itu membelenggu kedua pergelangan tangannya ke belakang. Belenggu itu berupa rantai baja yang cukup kuat. Orang yang bertugas membelenggunya itu agaknya tahu akan tugasnya. Setelah membelenggu kedua pergelangan tangannya, dia lalu menggerakkan tangannya, menggunakan jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya untuk monotok jalan darah tiong-cu-hiat di tengkuk Thian Sin. Pendekar Sadis melihat dia tahu akan hal ini, akan tetapi dia tidak bergerak dan pura-pura tidak tahu saja. “Tukk!” Dua jari tangan itu dengan tepat menotok bagian di mana terdapat jalan darah tiong-cuhiat dan biasanya, totokan di tempat ini akan membuat orang yang ditotoknya roboh pingsan. Akan tetapi, orang bertopeng itu mengeluarkan seruan kaget ketika dua jari tangannya bertemu dengan kulit yang membungkus daging lunak, agaknya tanpa urat darah di situ, lunak sekali membuat totokannya itu meleset seperti menotok agar-agar saja! Dan orang yang ditotoknya itu, sama sekali tidak memperlihatkan tanda-tanda hendak pingsan, apa lagi pingsan, bahkan mengedipkan matapun tidak, seolah-olah totokannya tadi seperti seekor lalat yang hinggap saja! Tentu saja orang bertopeng itu bukan hanya terkejut, melainkan juga malu dan penasaran sekali. Kalau dia tidak memakai topeng, tentu akan nampak betapa wajahnya berobah merah bukan main. Karena merasa betapa kulit daging tawanan itu tadi melunak lembek sekali, dia menduga bahwa orang ini mungkin tidak memiliki kepandaian apa-apa, atau memiliki ilmu melembekkan daging sehingga jalan darah yang ditotok itu dapat meleset ke sana-sini kalau ditotok. Cepat dia menggerakkan lagi tangan kanannya dan kini dua jari tangannya itu menotok dengan pengerahan tenaga keras pulauntuk melawan tenaga lembek lawan. Sekali ini, dia memilih jalan darah di belakang pundak, yaitu jalan darah hong-hu-hiat. “Tukkk...!” Sekali ini, orang bertopeng itu tak dapat menahan teriakannya, teriakan kesakitan karena dua buah jari tangannya itu seperti akan patah-patah tulangnya. Totokannya dengan pengerahan tenaga tadi bertemu dengan kulit yang sedemikian kerasnya, seperti kulit baja tulen saja sehingga dua jari tangannya terasa nyeri bukan main. Kini orang kedua yang bertubuh tinggi besar itu menghampiri Thian Sin. Tiba-tiba dia mengeluarkan teriakan nyaring dan tangan kirinya sudah bergerak ke depan dan jari-jari tangannya sudah menotok ke arah dada Thian Sin. Gerakannya mantap dan kuat. Melihat gerakan ini, tahulah Thian Sin bahwa orang tinggi besar ini menggunakan Ilmu Totok Tiam-hwe-louw, yaitu ilmu totok dari perguruan Siauw-lim-pai! Seperti juga tadi, dia pura-pura tidak tahu akan tetapi diam-diam mengerahklan sin-kang ke arah dada yang ditotok. “Dukk!” Dan orang tinggi besar itupun meloncat ke belakang sambil menahan teriakannya karena jari tangannya bertemu dengan benda keras yang panas sekali! Beberapa orang lain maju dan menotok tubuh Thian Sin, mempergunakan bermacam cara, namun semuanya gagal. Dan Thian Sin sendiri menjadi terkejut. Orang-orang ini ternyata terdiri dari berbagai aliran perguruan silat, dan beberapa orang di antaranya adalah murid dari partai-partai bersih seperti Siauw-lim-pai dan Thian-san-pai. Tentu saja hal ini membuat dia merasa heran bukan main. “Hemm, orang muda, agaknya engkau memiliki Ilmu I-kiong-hoan-hiat (Memindahkan Jalan Darah). Akan tetapi di depan kami tiada gunanya engkau berlagak,” kata orang pertama atau orang yang diduga oleh Thian Sin tentu tosu itu. Kini orang ini menggerakkan tangan menotok dengan cara aneh, yaitu tanpa memilih jalan darah. Thiant Sin tahu bahwa ini adalah Ilmu Totok Coat-meh-hoat dari Bu-tong-pai! Sekali ini Thian Sin ingin memperlihatkan kelihaiannya, juga ingin memberi pelajaran kepada orang yang memandang rendah kapadanya ini, maka begitu totokan tiba, dia sengaja melontarkan tenaga sin-kang dari tempat yang ditotok, “Dukkk!” Orang yang menotok itu mengaduh dan melangkah mundur, memegangi tangannya yang tadi menotok karena buku- buku tulang jari tangannya terasa remuk dan salah urat! Semnua orang bertopeng yang berada di situ siap dengan anak panah mereka. Thian Sin melihat hal ini dan diapun berkata, “Aku sudah membiarkan diriku dibelenggu, kenapa kalian masih menghinaku? Kalau aku tidak ingin bertemu dengan pimpinan kalian, apakah semudah ini kalian dapat membelengguku? Nah, tidak perlu main-main dengan totokan lagi, mari bawa aku kepada pimpinan kalian!” Sepasang mata di balik topeng itu memandang ragu dan agaknya kini mereka semua baru tahu bahwa tawanan muda itu sesungguhnya adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan bahwa sejak tadi telah mempermainkan mereka dengan membiarkan mereka menotoknya berganti-ganti! Pemimpin kelompok itu lalu memberi isyarat dan tanpa banyak cakap lagi Thian Sin lalu diiringkan keluar dari tempat itu. Seorang anggauta sebagai petunjuk jalan berjalan di depan, diikuti oleh Thian Sin yang dibelenggu kedua tangannya. Di belakang Thian Sin berjalan si pemimpin yang menodongkan pedangnya di tengkuk tawanan itu dan di belakangnya berbaris sepuluh orang anak buah yang menodongkan anak panah. Sementara itu, dari lampu-lampu yang dipa-sang di sepanjang lorong terowongan, maklumlah Thian Sin bahwa hari telah berganti malam. Jalan terowongan itu makin menaik dan dia melihat banyak sekali kamar-kamar di kanan kiri, ada yang kosong akan tetapi ada pula yang isi karena dia mendengar suara orang-orang, laki-laki dan wanita, dari dalam kamar-kamar itu. Akhirnya dia tiba di sebuah ruangan yang luas sekali dan melihat dindingnya yang dari batu dan langitlangitnya yang juga dari batu, dia menduga bahwa tentu dia masih berada di bawah tanah, biarpun tanah pegunungan kerena dia tentu telah mendaki cukup tinggi sekarang. Ruangan itu diterangi cahaya banyak lampu, dan di situ telah berkumpul banyak orang. Dengan pandang matanya, Thian Sin menyapu ruangan itu dan diam-diam dia merasa heran. Di situ berkumpul sedikitnya dua puluh lima orang, akan tetapi orang-orang biasa dan ra-ta-rata mereka berpakaian sebagai orang-orang hartawan, bahkan ada yang sikapnya seperti orang berpangkat, dan ada beberapa orang pula yang sikapnya seperti seorang ahli silat atau pendekar! Mereka semua memandang kepadanya dengan sinar mata orang memandang seorang penjahat atau seorang pengacau! Ada pula belasan orang lagi yang berpakaian seperti siluman tengkorak, berdiri dan berjaga di sekitar tempat itu. Di bela-kang ruangan itu terdapat anak tangga menuju ke atas, lebar dan lantainya ditutup permadani merah. Akan tetapi kini yang menjadi perhatian Thian Sin adalah seorang laki-laki yang memakai jubah sutera putih dengan gambar tengkorak darah di dadanya. Jubah yang serupa dengan yang dipakai oleh para anggautanya, akan tetapi ada perbedaan potongannya, karena yang dipakai orang ini agak longgar seperti jubah pendeta dengan lengan baju yang panjang dan lebar, dan kalau para anggauta itu mengenakan ikat pinggang putih, orang ini memiliki ikat pinggang yang keemasan. Topeng yang menutupi mukanya juga topeng tengkorak, akan tetapi kalau para anggauta itu topengnya nampak jelas, orang ini seolah-olah tidak bertopeng, melainkan mukanya memang muka tengkorak, kulit membungkus tulang belaka! Dan sepasang matanya mencorong menakutkan. Thian Sin dapat menduga bahwa orang ini menggunakan topeng dari kulit tipis, akan tetapi dia harus mengaku dalam hati bahwa orang ini merupakan lawan yang tidak boleh dipandang ringan karena dari pandang matanya itu berpancar kekuatan yang dia tahu kekuatan ilmu hitam atau sihir! Mereka yang mengiringkan Thian Sin kini berhenti dan Thian Sin dibiarkan berdiri di tengah ruangan. Pemuda ini berdiri tegak dengan kedua tangan dibelenggu ke belakang. Suasana dalam ruangan itu seperti sedang pesta atau menjamu tamu-tamu, dan agaknya perjamuan itu baru akan dimulai. Dia merasa betapa dia telah mengganggu sebuah perjamuan, karena dia melihat kemarahan dan kejengkelan pada wajah orang-orang yang hadir di situ. Tiba-tiba yang memakai jubah dan topeng siluman itu bangkit dari tempat duduknya dan ternyata tubuhnya cukup jangkung. “Ahh, kita telah kedatangan seorang tamu kehormatan! Cu-wi yang hadir hendaknya melihat baik-baik, bukankah benar bahwa tamu kita ini adalah Pendekar Sadis atau Sang Pangeran Ceng Thian Sin?” Thian Sin terkejut bukan main. Dia mengerling ke arah para hadirin dan melihat beberapa orang di antara mereka mengangguk-angguk membenarkan. Dia telah dikenal orang! Tentu mereka itu adalah orang-orang penting dan setelah kini dia memperhatikan mereka, dia melihat bahwa di antara mereka itu terdapat pembesar-pembesar yang pernah dilihatnya di kota raja! Diapun menanti dengan hati tegang, tidak dapat menduga dengan siapa dia sebenarnya berhadapan dan dengan perkumpulan macam apa pula. Siluman itu kini berkata langsung kepadanya, “Orang muda yang gagah, tidak kelirukah dugaan kami bahwa engkau adalah Pendekar Sadis Ceng Thian Sin?” Thian Sin merasa tidak perlu untuk menyembunyikan diri lagi maka diapun mengangguk. Kini terdengar para hadirin saling berbisik dan suasana menjadi tegang. Agaknya kenyataan yang telah diakui oleh orangnya bahwa tempat itu kedatangan Pendekar Sadis, merupakan hal yang mengejutkan mereka. Akan tetapi, siluman itu melangkah maju dan menjura. “Ah, selamat datang, Ceng-taihiap. Selamat datang! Hayo cepat lepaskan belenggunya dan kalian minta maaf!” katanya kepada dua belas orang yang tadi mengawal Thian Sin. “Tidak perlu repot-repot!” Thian Sin berkata dan sekali dia menggerakkan kedua lengannya yang terbelenggu di belakang tubuhnya, terdengar suara “krekk! krekkk!” dan belenggu rantai besi pada kedua tangan itu patah-patah dan runtuh ke atas lantai. Karena semua orang memandang dengan hati tegang dan suasana amat sunyinya, maka ketika belenggu itu jatuh ke atas lantai batu, terdengar suara nyaring berdenting. Siluman Tengkorak itu tertawa, suaranya terdengar lebih nyaring dari pada denting rantai belenggu. “Hebat, Ceng-taihiap memang hebat. Silahkan duduk!” “Terima kasih!” kata Thian Sin dan dia menerima bangku yang disodorkan oleh seorang di antara para anggauta Siluman Tengkorak, lalu duduk menghadapi ketua siluman yang sudah duduk pula itu. “Ingin sekali saya mendengar apa artinya semua ini. Mengapa penyambutan terhadap saya seperti ini?” Thian Sin mulai membuka kartunya, tentu saja dengan maksud untuk memancing pembukaan kartu lawan dan untuk melihat apa yang tersembunyi dalam hati pihak lawan. Siluman itu tersenyum dan wajahnya nampak menyeramkan. Kini Thin Sin merasa yakin bahwa orang itu memakai topeng terbuat dari pada kain atau karet tipis, tidak sehalus topeng yang pernah dipakai oleh Kim Hong ketika menyamar sebagai nenek Lam-sin, akan tetapi juga tidak sekasar yang dipakai para anak buah Siluman Tengkorak itu. “Pertanyaan itu sebenarnya harus dikembalikan kepadamu taihiap. Seingat kami, kami tidak pernah bersimpang jalan dengan Pendekar Sadis, akan tetapi taihiap telah mendatangi tempat kami dan melakukan penyelidikan. Dari pengamatan kami, kami hanya baru menduga saja bahwa taihiap adalah Pendekar Sadis, oleh karena itu karena taihiap telah memasuki daerah terlarang kami, terpaksa teman-teman kami telah menangkapmu. Setelah berada di sini dan kami yakin siapa adanya diri taihiap, tentu saja kami tidak berani mengambil sikap sebagai musuh. Nah, harap taihiap suka jelaskan, mengapa taihiap memasuki daerah kami? Mengapa taihiap mencampuri urusan kami?” Thian Sin mengangguk-angguk. “Sebelum saya memberi penjelasan dan menjawab pertanyaanpertanyaan itu, lebih dulu saya ingin mengetahui, dengan siapakah sebenarnya saya bicara?” “Perlukah hal itu taihiap tanyakan lagi? Kalau taihiap sudah datang menyelidiki tempat kami kiranya taihiap sudah dapat menduga siapa adanya saya.” “Saya mendengar tentang nama Siluman Guha Tengkorak, akan tetapi juga mendengar anak buah Siluman Tengkorak menyebut Sian-su.” “Siancai... siancai...! Apa yang taihiap dengar itu sudah cukup, dan terserah kepada taihiap.” “Baiklah, sayapun akan menyebut Sian-su kepadamu. Terus terang saja, selama ini belum pernah saya mendengar tentang Siluman Guha Tengkorak dan hanya secara kebetulan saya melihat seorang bernama Kwee Siu tewas oleh seorang yang memakai pakaian dan topeng sebagai anggauta Siluman Guha Tengkorak. Saya belum pernah bertindak tanpa sebab. Saya mendengar dari mendiang Kwee Siu bahwa Siluman Guha Tengkorak telah membunuh Tujuh Pendekar Tai-goan. Karena itulah saya datang ke sini hendak bertemu dengan Siluman Guha Tengkorak dan bertanya mengapa tujuh orang pendekar itu dibunuh tanpa dosa?” “Ha-ha, sungguh pertanyaan ini terdengar lucu kalau keluar dari mulut Pendekar Sadis! Taihiap sendiri dinamakan Pendekar Sadis karena tindakan taihiap terhadap musuh-musuh taihiap jadi semua tindakan tentu ada sebabnya, bukan? Nah, demikian pula dengan tujuh orang itu. Mereka telah berani menentang kami, maka anehkah kalau mereka itu roboh dan tewas di tangan kami? Kami hanya membela diri, dan dalam perkelahian, wajarlah kalau kematian bagi yang kalah.” “Memang, sebab melahirkan akibat dan akibat menjadi sebab lagi. Kalau Tujuh Pendekar Taigoan menentang dan melawan Sian-su dan para anggautanya, hal itu tentu ada sebabnya pula.” “Dan sebabnya itu apa, taihiap?” “Ada seorang ibu muda keluarga Cia yang diculik orang dan suaminya, seorang di antara Tujuh Pendekar Tai-goan, dibunuh. Apakah itu bukan merupakan suatu sebab yang cukup berat?” “Siancai... siancai! Cu-wi yang hadir tentu sudah mendengar fitnah-fitnah itu. Ceng-taihiap rupanya juga terkena pengaruh fitnah keji yang dilontarkan kepada kami. Taihiap, lihatlah orang-- orang terhormat yang hadir di sini! Kalau me-mang kami demikian jahatnya, apakah mereka itu akan sudi hadir di sini dan menjadi pengikut dan saudara sekepercayaan kami? Ketahuilah bahwa kami mengajak semua orang untuk menikmati hi-dup dan menjadi anggauta agama baru kami. Dan tentang ibu muda keluarga Cia itu... ah, sebaiknya taihiap menyaksikan sendiri. Kebetulan sekali kami sedang mengadakan pesta dan upacara peng-angkatan seorang anggauta wanita baru. Lebih baik taihiap menyaksikan sendiri dari pada mendengar fitnah dari mulut lain orang.” Thian Sin tidak dapat membantah lagi. Siluman itu lalu mempersilahkan dengan suara lantang agar semua orang suka mengikutinya ke apa yang dinamakannya sebagai “Panggung Puncak Bahagia” dan semua orangpun berdiri dengan wajah gembira. “Saatnya telah hampir tiba, mari kita bersiap-siap menyambut turunnya Dewi Cinta dan mempersiapkan upacaranya.” Demikian dia berkata dan menghampiri Thian Sin yang masih duduk. “Ceng-taihiap, engkau menjadi tamu kehormatan, silahkan mengikuti kami ke tempat upacara.”- Thian Sin hanya mengangguk, lalu bangkit berdiri dan berjalan mengikuti siluman itu yang diiringkan pula oleh semua yang hadir. Para anggauta siluman menjaga di kanan kiri dan ada pula yang berada di depan dan belakang. Mereka itu rata-rata memiliki kepandaian tinggi dan gerakan kaki mereka hampir tidak menimbulkan suara. Semua orang kini mendaki anak tangga menuju ke atas yang bertilam permadani merah dan diam-diam Thian Sin memperhatikan kanan kiri. Dindingnya masih terbuat dari pada batu, akan tetapi kini dihias dengan kain-kain sutera, bahkan ada lukisan-lukisan kuno yang indah. Anak tangga itu memutar beberapa kali, seperti anak tangga yang menuju ke menara sebuah istana kuno. Akan tetapi setelah tiba di bagian teratas, Thian Sin terbelalak penuh kagum. Kalau tadi di kanan kiri anak tangga itu dihias dan diterangi dengan lampu-lampu beraneka warna, kini langit-langit terbuka dan yang menghias langit-langit adalah bintang-bintang yang sinarnya suram karena kalah oleh sinar bulan yang sudah naik tinggi! Bulan sepotong, akan tetapi karena langit bersih, maka cuaca cukup terang. Kiranya tempat upacara itu berada di atas puncak bukit yang dikelilingi puncak-puncak lain sehingga tidak akan nampak dari jauh, dan puncak itu merupakan tempat datar yang cukup luas, yang dikurung jurang-jurang amat dalamnya sehingga orang tidak akan mungkin menuruni atau naik puncak lewat jurang-jurang itu, kecuali lewat jalan rahasia terowongan! Luas puncak bukit datar itu tidak kurang dari dua puluh lima kaki tombak persegi, kurang lebih seribu lima ratus meter persegi dan karena terbuka, maka sinar bulan bintang atau matahari dari angkasa dapat menerangi seluruh tempat itu tanpa terhalang sesuatu. Tempat itu dihiasi pohon, akan tetapi di sekitar tepinya terdapat tanaman bunga-bunga indah, kemudian rumput-rumput hijau seperti permadani, dan di bagian tengahnya diberi rantai tembok yang halus mengkilap. Kursi-kursi berjajar di sebelah kiri dan ke tempat inilah Siluman Tengkorak membawa para tamu. Semua orang dipersilahkan duduk dan Thian Sin sendiri memperoleh tempat duduk kehormatan di sebelah kiri sang ketua atau mungkin juga sang pendeta karena sebutannya Sian-su. Thian Sin memperhatikan sekeliling. Sungguh merupakan tempat yang tersembunyi dan indah sekali. Tidak nampak dari dunia luar, terlindung dan tersembunyi. Di dekat tempat duduk sang pemimpin terdapat sebuah meja sembahyang. Di samping kiri terdapat sekelompok pemain musik yang pada saat itu memainkan alat musik mereka dengan lembut sehingga membuat suasana menjadi romantis dan syahdu. Di depan mereka terdapat lantai tembok yang halus itu dan di sana-sini, bahkan sampai ke lapangan-lapangan rumput, terdapat kasur-kasur kecil yang beraneka warna dengan selubung bersulam. Di tempat-tempat yang dipasang secara nyeni terdapat lampu-lampu dengan penutup warna-warni dan di sana-sini mengepul asap dupa wangi yang mendatangkan rasa nyaman dan menyenangkan. Di sebelah kanan, di tepi tempat itu, terdapat bangunan-bangunan kecil yang agaknya belum selesai dibangun, dan Thian Sin dapat menduga bahwa bangunan-bangunan kecil itu merupakan bangunan yang diperuntukkan para “dewa” seperti biasa dipergunakan untuk tempat arca atau patung yang dipuja orang dalam kuil-kuil. Akan tetapi yang hebat bukan main adalah kenyataan bahwa pondok-pondok itu kecil seperti pondok boneka itu terbuat dari pada emas terukir indah. Sukar dibayangkan betapa mahalnya membuat pondok-pondok pemujaan dewa-dewa seperti itu. Tiba-tiba suara musik yang tadinya lembut itu mulai berobah. Sang pemimpin mengangkat tangan kiri ke atas dan suara musik itu berobah menjadi makin keras dan penuh semangat. Dan bersama dengan perobahan suara musik ini, dari sebuah anak tangga kiri, agaknya menembus ke tempat yang lain lagi dari pada ruangan di mana Thian Sin diterima oleh siluman tadi, berlarilarian naik belasan orang wanita. Mereka, itu semua terdiri dari wanita-wanita yang muda dan cantik-cantik dan mereka memakai gaun panjang tipis yang membuat tubuh mereka nampak terbayang. Gaun dari kain sutera putih yang tembus pandang itu tertimpa sinar bulan dan lampulampu, menciptakan lekuk lengkung tubuh ditimpa bayangan-bayangan yang mengairahkan. Karena mereka adalah wanita-wanita muda, tentu saja tubuh mereka itu padat dan indah. Kaki mereka yang tidak bersepatu itu berlari-larian dan membuat gerakan berjungkit dalam langkahlangkah tarian. Rambut mereka yang hitam panjang terurai lepas ke belakang punggung dan kedua pundak, dihias bunga-bunga putih. Kedua tangan mereka menyangga baki-baki yang agaknya terbuat dari pada emas pula! Dengan gerakan lemah gemulai dan menggairahkan, lima belas orang penari wanita ini menari dan membuat gerakan berlarian kecil berputaran secara teratur menurut irama musik dan sambil menari mereka itu menggerak-gerakkan tubuh mereka dengan cara-cara yang menimbulkan pesona dan gairah, gerak-an pinggul yang memikat dan penuh nafsu, makin lama makin liar ketika musik itu makin nyaring dibunyikan para penabuhnya. Sejenak Thian Sin sendiri tertarik dan terpesona. Memang indah sekali. Suasananya demikian romantis, sinar bulan dan cahaya lampu-lampu beraneka warna itu, di udara terbuka yang demikian sejuk, dengan harumnya kembang-kembang beercampur wanginya dupa. Dan gadisgadis itu menjadi semakin cantik menarik karena tertimpa cahaya warna-warni yang redup, dan lekuk lengkung tubuh gempal di balik pakaian yang tembus pandang, suara musik yang merangsang! Akan tetapi pemuda ini segera dapat menguasai perasaannya dan diam-diam diapun mengerling ke arah para tamu. Dia tidak merasa heran melihat betapa para tamu pria itu semakin terangsang, pandang mata mereka itu berseri-seri penuh nafsu berahi, wajah mereka itu kemerahan, hidung kembang-kempis dan mulut tersenyum-senyum penuh gairah. Dari samping, nampak betapa sering kalamenjing mereka naik turun ketika mereka menelan ludah. Bahkan ada pula yang memandang dengan mata melotot, seolah-olah hendak menelan bulat-bulat dengan pandang matanya tubuh yang menggairahkan itu. Ada pula yang berpakaian sebagai ahli silat, nampak tenang saja, akan tetapi tangannya mengepal keras, tanda bahwa diapun terpesona dan berusaha untuk menekan perasaannya. Semua ini nampak oleh Thian Sin dan dia menemukan sebab yang merupakan daya tarik bagi mereka itu, ialah pemuasan berahi dan rangsangan yang agaknya disengaja disajikan kepada mereka oleh wanita-wanita cantik itu. Dan ketika dia mengerling ke arah siluman yang dipanggil Sian-su itu, dia melihat orang bertopeng inipun seperti dia, sedikit juga tidak memperhatikan lagi kepada para penari, melainkan memandang ke kanan kiri, memperhatikan wajah para tamu dengan senyum puas membayang pada topeng tengkoraknya. Setelah menari-nari beberapa kali putaran dan setiap berputar di dekat tempat duduk para tamu tercium bau harum winyak wangi dari tubuh mereka, Sian-su mengangkat tangan kirinya lagi dan inipun merupakan isyarat karena suara musik tiba-tiba menurun. Para wanita yang menari itupun memperhalus tarian mereka dan akhirnya mereka berkumpul menjadi suatu kelompok dan bersama-sama menjatuhkan diri berlutut di hadapan Sian-su! Siluman ini mengangguk-angguk dan tangannya bergerak seperti menebarkan sesuatu di udara dan... kelopak-kelopak bunga beterbangan dan melayang turun ke atas kepala lima belas orang penari yang ditundukkan dalam penghormatan mereka itu. Kelopak-kelopak bunga itu hinggap di atas rambut-rambut hitam itu, indah seperti kupu-kupu yang hinggap di atas bunga-bunga mekar. Thian Sin mengerutkan alisnya dan diam-diam dia tahu bahwa orang itu sungguh lihai, bukan saja ahli ilmu silat tinggi seperti yang telah diduganya, akan tetapi juga pandai mempergunakan kekuatan aihir untuk bermain sulap! Diapun cepat membuat tanggapan dengan sinar mata penuh kagum dan heran seperti yang diperlihatkan oleh wajah semua orang yang hadir. Kebetulan sekali siluman itu memandang kepadanya dan Thian Sin melihat dengan jelas betapa muka tengkorak itu tersenyum simpul, jelas kelihatan girang dan bangga sekali akan kepandaiannya, terutama sekali karena ilmu sihirnya dikagumi oleh seorang pendekar seperti Pendekar Sadis! Sekarang, lima belas orang penari itu bangkit berdiri, dengan gerakan lemah gemulai dan memikat merekapun berjalan menghampiri para tamu dengan baki di kedua tangan. Si Muka Tengkorak itu berkata sambil tersenyum kepada Thian Sin, “Maaf, taihiap, bukan kami mata duitan, akan tetapi karena kebutuhan untuk pembangunan perkumpulan agama kami membutuhkan banyak biaya dan para anggauta dan pengikut kami bermurah hati, maka acara sekarang ini adalah acara pemberian sumbangan suka rela yang dipungut oleh para gadis penari. Akan tetapi taihiap sebagai tamu kehormatan tentu saja tidak diharapkan untuk menyumbang...” “Ah, jangan sungkan, Sian-su. Akupun bersedia menyumbang, jangan khawatir!” Thian Sin lalu merogoh saku dalam bajunya dan mengeluarkan sebongkah kecil emas dan ketika seorang penari lewat di depannya, dia menaruh bongkahan emas yang sekepal besarnya itu di atas baki. Tentu saja penari itu terkejut bukan main, terbelalak melihat emas yang berat itu dan melempar senyum manis dan kerling mata penuh daya memikat. Semua tamu juga memandang heran dan mereka maklum betapa besarnya harga sumbangan yang diberikan oleh Pendekar Sadis. Akan tetapi, tentu saja mereka tidak tahu bahwa Pendekar Sadis adalah seorang yang kaya raya dan sebongkah emas itu tidak ada artinya sama sekali baginya! Melihat ini, siluman itu tertawa. “Siancai... taihiap sungguh dermawan. Terima kasih, taihiap. Abwee, simpan kerlingmu itu, jangan khawatir, engkau boleh melayani Ceng-kongcu malam nanti!” Gadis penari yang disebut A-bwee itu menahan senyum lalu berlari-lari ke arah tamu lain. Thian Sin memperhatikan ke sekelilingnya dan dia melihat betapa royalnya para tamu itu ketika menyerahkan sumbangan kepada para gadis penari, meletakkan sumbangan mereka di atas baki-baki yang disodorkan oleh para gadis itu. Diantara mereka bahkan ada yang mengajak para gadis itu bersendau-gurau dan berbisik-bisik lirih. Setelah selesai upacara sumbangan itu, para gadis itu lalu mengundurkan diri sambil berlari-larian menuju anak tangga yang letaknya di belakang, yaitu tem-pat dari mana mereka tadi naik. Musik masih di-mainkan dengan lembut, dan tak lama kemudian, nampak para gadis manis itu sudah kembali lagi dan kini baki-baki itu telah berganti isi, yaitu cawan-cawan dan guci-guci arak dan ada pula- yang membawa piring-piring terisi makanan. Sambil tersenyum-senyum para gadis itu menghidangkan arak dan makanan di atas meja para tamu, kemudian dengan sikap lemah gemulai dan tersenyum--senyum ramah mereka lalu menuangkan arak dari guci ke dalam cawan para tamu. Begitu arak di-tuangkan ke dalam cawan, tercium bau sedap arak yang baik dan tua. Kini bukan hanya lima belas orang gadis penari tadi yang menjadi pelayan, melainkan ditambah lagi oleh beberapa orang lain yang sama muda dan cantiknya sehingga jumlah mereka ada dua puluh lima orang. Setelah melihat betapa semua tamu menerima suguhan arak dan cawan mereka telah dipenuhi arak harum, Siluman Tengkorak yang juga sudah menerima suguhan secawan arak, lalu mengangkat cawan araknya ke atas dan berkata dengan suara ramah, “Cu-wi, silahkan minum untuk persahabatan kita yang kekal!” Semua orang mengangkat cawan arak masing-masing dan Thian Sin juga mengangkat cawan araknya, tetapi tidak memperlihatkan sikap curiga walaupun dia menduga bahwa tentu ada apa-apanya di dalam suguhan arak ini. Akan tetapi dia mengandalkan kekuatan sin-kangnya untuk melindungi tubuhnya apabila arak itu dicampuri racun. Pula, dia melihat sendiri bahwa arak untuknya itu dari satu guci dengan arak untuk para tamu lain, maka dia ikut minum tanpa curiga sama sekali. Begitu arak itu melalui mulut dan kerongkongannya, Thian Sin merasa bahwa arak itu memang lezat sekali dan ada sesuatu yang merupakan obat keras namun halus. Dia merasa yakin bahwa itu bukanlah racun, walaupun dia tahu bahwa tentu arak itu dicampuri semacam obat yang cukup keras. Beberapa lama kemudian setelah arak memasuki perutnya, barulah Thian Sin tahu bahwa arak itu mengandung obat perangsang yang membuat tubuhnya hangat dan pikirannya gembira. Setelah merasa yakin bahwa arak itu tidak mengandung racun, Thian Sin berani minum dengan hati tenang-. Dia melihat betapa para tamu itu sudah mulai ter-pengaruh arak, mereka tertawa-tawa gembira. Hidanganpun dikeluarkan dan musik kini mengiringi gadis-gadis yang datang dan menari-nari. Pakaian mereka merupakan gaun-gaun tipis warna-warni sehingga selain indah, juga amat menggairahkan karena pakaian-pakaian itu tembus pandang gerakan-gerakan mereka yang erotis membuat suasana menjadi semakin panas, ditambah pula pengaruh arak sehingga para tamu itu sudah ada yang mulai nakal dengan kata-kata dan tangan mereka, menggoda dan menowel para pelayan wanita yang muda dan cantik. Thian Sin melihat bahwa pelayan-pelayan itu agaknya juga sudah terpengaruh oleh sesuatu yang membuat mereka itu bersikap genit-genit dan berani, padahal sikap mereka itu gadis-gadis dari golongan baik-baik. Makin larut malam, suasana menjadi semakin panas. Thian Sin melihat betapa ada sudah beberapa orang di antara para tamu itu yang berani menarik lengan seorang pelayan dan mendudukkannya di atas pangkuan dan menciuminya begitu saja di depan orang hanyak! Agaknya siluman yang jadi ketua perkumpulan itu dapat melihat pula hal ini, maka diapun memberi isyarat dengan tangan diacungkan ke atas dan seorang di antara para anggaran siluman itu lalu membunyikan canang bertalu-talu. Mendengar ini, gadis-gadis pelayan itu melepaskan diri dan mundur, bahkan lalu menghilang bersama-sama para gadis penari. Siluman Tengkorak itu bangkit berdiri dan suaranya terdengar lantang namun lembut dan ramah. “Cu-wi yang terhormat, setelah diketahui malam hari yang suci ini akan dilakukan upacara pengangkatan seorang anggauta baru. Oleh karena itu, sebelum acara tarian bebas gembira untuk memuja dewa, terlebih dahulu akan dilakukan upacara pengangkatan murid atau anggauta baru itu. Harap cu-wi suka menjadi saksi.” Semua tamu yang sudah makan kenyang itu kini duduk tenang dan Thian Sin sendiripun mengikuti perkembangan selanjutnya dengan penuh perhatian. Dia belum tahu di mana adanya ibu dari dua orang anak itu, akan tetapi dia sabar menanti sampai semua upacara selesai, baru dia akan mendesak siluman itu. Dia harus berhati-hati karena tempat ini sungguh amat berbahaya. Jumlah anak buah siluman ini kiranya tidak kurang dari dua puluh lima orang, belum dihitung gadis-gadis itu dan siapa tahu bahwa di antara para tamu itu terdapat orang-orang pandai yang agaknya tentu akan membantu siluman itu pula. Semua ini di tambah lagi dengan kenyataan bahwa dia berada di dalam sarang musuh yang berbahaya sekali dan yang agaknya penuh dengan perangkap-perangkap rahasia sehingga andaikata dia akan mampu meng-hadapi keroyokan begitu banyaknya orang, belum tentu dia mampu mengatasi semua alat--alat jebakan di tempat itu. Biarlah bersabar sambil mencari kesempatan baik untuk turun tangan sambil mengukur sampai dimana kekuatan pihak lawan. Siluman Tengkorak itu kemudian mengangkat tangan memberi isyarat dan musikpun dimainkan lagi dengan lagu yang lembut akan tetapi juga mengandung kekerasan di dalamnya, seperti dalam lagu puja-puji. Asap dupapun mengepul makin tinggi, semerbak baunya dan lampu--lampu diganti dengan lampu yang warnanya hijau sehingga cuaca menjadi redup. Kini nampak tujuh orang gadis naik ke tepat itu, bertelanjang kaki dan mengenakah pakaian yang begitu tipisnya sehingga pakaian itu seperti kabut saja yang menu-tupi tubuh mereka, membuat tubuh di balik pa-kaian itu nampak membayang. Mereka berjalan perlahan, penuh khidmat, dan mereka membawa bermacam-macam benda. Ada yang membawa se-ekor kelinci putih yang gemuk, ada yang memba-wa sebuah bokor emas, ada yang membawa guci arak dan ada pula yang membawa sebatang pedang kecil. Hebatnya, bokor, guci dan bahkan pedang kecil itu semua terbuat dari pada emas tulen! Tujuh orang gadis ini melangkah perlahan, dengan kepala tunduk, ke arah tempat duduk Siluman Tengkorak, lalu mereka berlutut dengan sikap menanti. Siluman itu lalu bangkit berdiri, melangkah maju dan gadis-gadis itu berlutut di sekelilingnya. Siluman itu lalu menagangkat kedua tangannya ke atas kepala dengan lengan dikembangkan, muka tengkorak itu tengadah lalu terdengar suaranya lantang dan mengandung getaran yang amat kuat sehingga diam-diam Thian Sin terkejut bukan main. Itulah tenaga khi-khang yang kuat bercampur dengan kekuatan mujijat ilmu sihir! “Yang Mulia Dewa Kematian, silahkan menjelma agar hamba sekalian dapat mengesahkan pengangkatan seorang pemuja baru untuk paduka...!” Suara itu bergema dan semua hadirin memandang dengan sikap hormat dan juga dengan hati tegang. Biarpun mereka yang hadir itu sudah beberapa kali menyaksikan peristiwa ini, namun selalu mereka merasakan ketegangan luar biasa karena pada saat itu mereka merasakan getaran aneh yang seolah-olah mengguncang jantung. Bahkan para pendekar yang hadir diamdiam harus mengakui bahwa sin-kang yang mereka kerahkan untuk menekan getaran itu jauh kalah kuat, membuat mereka merasa semakin kagum terhadap Sian-su! Thian Sin bersikap tenang, namun dengan mengerahkan tenaga dalam dan juga kekuatan sihirnya, dia mampu memandang lebih terang dan tahulah dia bahwa dengan kekuatan sihir yang kuat, orang itu telah mempengaruhi semua orang dengan halus tanpa mereka sadar bahwa mereka telah disihir melalui suara itu. Tiba-tiba terdengar suara ledakan keras dan nampak asap putih kebiruan mengepul tebal di tempat Siluman Tengkorak itu berdiri. Siluman itu lenyap terbungkus asap tebal dan musik masih dimainkan dengan lagu yang aneh tadi. Selagi asap masih mengepul tebal, nampaklah dua puluh orang lebih penari yang tadi, kini sudah berganti pakaian gaun tipis berwarna-warni. Me-reka berlari-lari ringan dan menari-nari, membuat lingkaran mengelilingi Sian-su yang masih terbungkus asap di tengah-tengah lingkaran tujuh orang gadis yang masih berlutut. Perlahan-lahan asap itu membuyar dan mulai nampak lagi tubuh orang itu, dan kini semua orang memandang dengan hormat, bahkan ada di antara para hadirin yang menjatuhkan diri ber-lutut memberi hormat. Thian Sin memandang ta-jam dan diapun terkejut melihat betapa wajah tengkorak itu kini mengeluarkan cahaya cemerlang! Orangnya masih yang tadi, tidak ada perobahan, yang berobah hanya wajah tengkorak itu yang mengeluarkan cahaya, sedangkan sepasang mata itupun kini bersinar-sinar mencorong lebih terang dari pada tadi. Thian Sin maklum bahwa ledakan dan asap tadi hanya merupakan hasil dari pada bahan ledakan saja, dan bahwa orang itu telah mempengaruhi pikiran dan semangat para hadirin dengan getaran suaranya. Akan tetapi, dia sendiri tidak tahu apa yang membuat wajah tengkorak atau topeng tipis itu menjadi cemerlang seperti itu. Dia tahu pula bahwa tentu semua yang hadir percaya bahwa kini Dewa Kematian telah menjelma dan memasuki tubuh Sian-su! Tentu saja kepercayaan seperti ini membuat mereka itu semua tunduk dan kagum. Seorang anggauta siluman mendekati Thian Sin dan dari kepalanya yang miring ke kiri itu Thian Sin dapat menduga bahwa orang ini tentulah tosu yang pertama kali memancingnya masuk ke tempat ini. “Taihiap, saya bertugas untuk memberi keterangan kepadamu sekiranya taihiap ingin mengetaui sesuatu.” Thia Sin tersenyum dan merasa bahwa pertunjukan ini, selain untuk mempengaruhi para hadirin dan menarik kepercayaan mereka, juga sengaja diperlihatkan kepadanya! Maka diapun mengikuti permainan ini dan bertanya dengan suara dibuat bernada penuh keheranan, “Aku ingin tahu mengapa wajah Sian-su menjadi bercahaya seperti itu?” Dengan suara yang serius dan penuh hormat, siluman itu berbisik, “Taihiap, yang berdiri itu hanyalah tubuh Sian-su, akan tetapi sesungguhnya adalah Dewa Kematian yang memasuki dirinya.” “Ahhh...!” Thian Sin pura-pura heran dan mengangguk-angguk. Kini dia melihat dua orang anggauta siluman naik dan menghampiri Sian-su. Siluman Tengkorak ini menggerakkan tangan kiri ke udara dan tahu-tahu dia telah memegang secawan arak! Lalu dipercikkan arak dari cawan itu kepada dua orang anggauta yang sudah belutut, mengenai kepala dan sebagian lehernya. Percikan cawan ini seolah-olah menjadi isyarat bagi mereka berdua dan mereka sudah mencabut sebatang pe-dang pendek dari pinggang, kemudian mulai menggurat leher dan pipinya dengan pedang itu. Darahpun muncrat dari luka-luka itu, akan tetapi kedua orang ini seperti tidak merasakan sesuatu, lalu menari-nari dengan aneh diiringi suara musik dan ditanggapi oleh para penari yang mengelilingi tempat itu dengan gerakan-gerakan pinggul yang memutar-mutar erotis. Dua orang itu lalu sibuk menuliskan huruf-huruf dengan darah mereka di atas potongan-potongan kain putih. Anggauta siluman yang duduk di dekat Thian Sin menerangkan tanpa diminta, “Itu adalah hui-hu yang ditulis dengan darah mereka dan menjadi jimat penolak iblis yang akan dibagi-bagikan kepada para tamu. Sekarang akan diadakan upacara injak bara api dan mandi minyak mendidih.” Ternyata persiapannya untuk itu telah dikerjakan dengan amat cepatnya oleh para anggauta siluman dan sebentar saja telah terhampar bara api dari arang yang membara sepanjang tiga meter, dan tak jauh dari situ terdapat kuali besar penuh minyak yang dipanaskan sampai mendidih. Semua tamu yang duduknya cukup jauh dari tempat itu masih merasakan panasnya bara api itu. Setelah persiapannya selesai dan semua kain putih sudah ditulisi darah, dua orang anggauta perkumpulan siluman itu bangkit, menari-nari, masih menggores-goreskan pisau atau pedang kecil itu pada dada mereka yang telanjang, kemudian mereka menghampiri bara api dan berjalan dengan kaki telanjang di atas arang membara! Dua kali mereka jalan melintasi arang membara itu, kemudian keduanya menghampiri kuali yang penuh minyak mendidih dan mengoles-oleskan minyak mendidih itu pada tubuh mereka. Sungguh luar biasa sekali. Asap mengepul dari tubuh mereka, akan tetapi kulit mereka sama sekali tidak melepuh atau terbakar, bahkan luka-luka goresan yang tadinya berdarah itu menjadi sembuh dan pulih kembali, bahkan bekas goresan luka saja tidak ada lagi! Tontonan seperti ini bukanlah tontonan baru bagi orang-orang yang hadir, juga bagi Thian Sin, akan tetapi selalu masih amat menarik perhatian dan mendatangkan kengerian, membuat kepercayaan orang akan hal-hal yang aneh dan tidak mereka mengerti menjadi semakin tebal menyelinap ke dalam hati, dan membuat mereka lebih condong menerima ketahyulan dan membiarkan diri terpengaruh. Thian Sin pernah nonton beberapa kali pertunjukan dari para tangsin seperti itu, yang dilakukan di kuil-kuil sewaktu ada upacara atau pesta. Maka, dia tidak merasa heran walaupun dia tahu bahwa peristiwa itu sama sekali bukan hasil main sulap, melainkan akibat dari penyihiran diri sendiri melalui kepercayaan yang mutlak. Sudah menjadi kelemahan kita manusia pada umumnya untuk merasa tertarik kepada hal-hal yang aneh-aneh, peristiwa-peristiwa yang tak masuk akal dan penuh rahasia, keajaibankeajaiban dan kemujijatan-kemujijatan. Kita selalu merasa haus akan hal-hal yang baru, yang aneh, yang tidak kita mengerti. Kita begitu mendambakan hal-hal baru sehingga kita sudah melupakan hal-hal lain yang terjadi di sekeliling kita, yang kita anggap lapuk dan lama, tidak menarik lagi. Padahal segala macam keajaiban dan kemujijatan terjadi di sekitar kita, bahkan di dalam diri kita sendiri. Tumbuhnya setiap helai rambut di kepala dan bulu di kulit kita merupakan keajaiban dan kemujijatan yang besar, detik jantung kita yang mengatur peredaran darah di seluruh tubuh kita, kembang-kempisnya paru-paru kita yang menghidupkan, bekerjanya seluruh anggauta tubuh kita, panca indera kita, be-kerjanya otak kita yang membuat kita dapat bicara, mendengar, melihat dan berpikir. Bukankah semua itu merupakan sesuatu yang amat indah, sesuatu yang amat ajaib dan mujijat, di mana sepenuhnya terdapat suatu kekuatan gaib yang sungguh maha kuasa? Kemudian, segala yang nampak di luar diri kita. Gunung-gunung raksasa, tumbuh-tumbuhan dengan aneka warna, bunga, dan aneka rasa buahnya, segala mahluk hidup yang bergerak dengan segala macam bentuk, corak dan sifatnya, lalu awan berarak di angkasa, menciptakan hujan, hawa udara yang menghidupkan, sinar matahari, air, bumi, langit dan segala isi alam ini. Bukankah semua itu merupakan keajaiban yang amat hebat? Namun kita sudah tidak menghargai semua itu lagi, kita sudah buta akan keajaiban itu, kita menggapnya biasa saja sehingga melihat orang menginjak bara api saja kita kagum setengah mati! Padahal, apa sih anehnya menginjak bara api itu kalau dibandingkan dengan tumbuhnya sehelai rambut kepala atau kuku jari kita? Keajaiban atau sesuatu yang kita anggap aneh adalah karena kita belum mengerti. Karena tidak mengerti, tidak tahu bagaimana proses terjadinya, maka kita lalu menganggapnya aneh, ajaib dan menimbulkan khayal yang bukan-bukan. Akan tetapi, sekali orang sudah mengerti, hal yang tadinya dianggap ajaib itupun menjadi biasa dan terlupakan, tidak menarik lagi, seperti tidak menariknya melihat segala keajaiban yang terjadi sehari-hari di sekeliling kita. Kita memandang selalu jauh ke depan, mencari-cari yang baru. Kita ini mahkluk pembosan. Tertarik akan hal-hal baru memang merupakan suatu sifat yang baik, seperti kanak-kanak yang selalu ingin tahu. Akan tetapi sifat ini harus merupakan dorongan untuk menyelidiki sesuatu bukan menerima segala sesuatu begitu saja sehingga men-ciptakan watak tahyul. Ketahyulan adalah suatu kebodohan, menerima sesuatu dengan keyakinan padahal kita tidak mengerti, dan hal ini terjadi karena kita suka akan sensasi. Menerima sesuatu dengan kata “percaya” maupun dengan kata “tidak percaya” adalah perbuatan bodoh dan tidak bijak-sana, karena menerima sesuatu dengan kata seperti itu berarti bahwa kita belum atau tidak mengerti. Sebaiknya kalau kita menghadapi sesuatu yang tidak kita mengerti itu dengan waspada, membuka mata dan telinga, dan menyelami sendiri, menyelidiki sendiri sehingga kita mengerti. Karena kalau kita sudah mengerti, tidak ada lagi istilah percaya atau tidak percaya. “Taihiap, sekarang akan dimulai upacara pengangkatan murid wanita yang baru,” kata pula anggauta siluman itu kepada Thian Sin ketika pertunjukan itu selesai dan tempat itu sudah dibersihkan kembali. Tiba-tiba musik berbunyi lebih nyaring dan nampaklah seorang wanita berjalan perlahan-lahan menaiki panggung atau puncak datar itu. Thian Sin memandang dan dia melihat bahwa wanita itu cantik dan biarpun mukanya agak pucat, namun muka itu sungguh mempunyai daya tarik yang kuat. Wajah dan tubuhnya menakjubkan bahwa wanita ini sudah masak, usianya tentu ada dua puluh tujuh tahun, rambutnya yang hitam terurai lepas itu amat tebal dan panjangnya sampai ke pinggul, kedua kakinya yang kecil telanjang dan ia memakai gaun yang sama tipisnya dengan gadis-gadis penari, gaun panjang menutupi kaki dan terseret ke atas lantai, warnanya putih bersih. Dipandang sepintas lalu wanita ini seperti seorang mempelai yang akan dipertemukan. Wanita itu berjalan perlahan, kemudian berhenti di depan Sian-su yang masih berdiri tegak dengan wajah bercahaya, dan wanita itu sejenak memandang wajah itu lalu mengeluh lirih dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Sian-su! “Itukah anggauta baru?” Thian Sin bertanya.- “Benar, taihiap, dan ia itulah wanita yang kau sebut-sebut ketika taihiap menghadap Sian-su.” Thian Sin benar-benar terkejut sekali. “Apa? Kaumaksudkan ia ibu muda dari kedua orang anak itu? Ibu dari keluarga Cia yang terculik?” Thian Sin bangkit berdiri. “Jadi benarkah bahwa kalian telah menculiknya dan membawanya ke sini?” “Sabar dan tenanglah, taihiap,” kata orang itu dan dengan sudut matanya, Thian Sin dapat melihat betapa para anggauta perkumpulan itu agaknya selalu memperhatikannya dan mereka telah siap untuk turun tangan apa bila nampak gejala bahwa dia akan memberontak. “Jangan menuduh yang bukan-bukan. Nanti setelah diadakan upacara sembahyang, selalu para tamu diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan sendiri kepada calon anggauta atau murid baru.” “Hemm, jadi akupun boleh mengajukan pertanyaan langsung kepada wanita itu?” “Tentu saja boleh, akan tetapi nanti setelah upacara sembahyang.” Thian Sin menahan dorongan hatinya yang membuatnya penasaran. Jadi benar, wanita itu, ibu dari dua orang bocah she Cia itu, telah berada di sini! Dan memakai gaun yang begitu tidak sopan sama sekali, gaun tipis tembus pandang tanpa ada sehelai kain penutup tubuh di balik itu! Padahal, suami wanita ini terbunuh, demikian pula enam orang pendekar lain. Ada apakah di balik semua ini? Tentu wanita itu berada dalam pengaruh sihir, pikirnya. Akan tetapi, ada peristiwa seperti itu yang amat keji dan jahat kalau dugaannya memang benar, mengapa para tamu yang terdiri dari orang-orang berpangkat dan para pendekar itu suka menjadi pengikut atau peminat? Apakah me-reka itupan tersihir oleh Sian-su itu? Dia harus menyelidikinya dan kalau benar seperti apa yang diduganya itu, dia harus menentang dan membas-minya! Akan tetapi, diapun bukan tidak tahu bahwa pihak lawan ini amat berbahaya dan kuat, maka dia harus bersikap hati-hati sekali. Kini Sian-su mengulur tangannya ke arah wanita itu yang segera menyambut uluran tangan itu dan wanita itupun bangkit berdiri, kemudian digandeng tangannya oleh Sian-su, berjalan menuju ke tepi dataran itu di mana terdapat pondok kecil untuk pemujaan dewa. Sian-su atau siluman itu lalu menerima sebongkok hio yang sudah dinyalakan dari seorang anggauta perkumpulan yang bertugas di situ. Dia lalu mengacungkan hio ke empat penjuru, dan membagi-bagi hio itu menjadi tujuh. Kini wanita itu lalu bersembahyang di depan tujuh pondok kecil, setiap kali selesai sembahyang sambil berlutut lalu menaruh hio di depan pondok, di tempat abu hio. Setelah selesai, ia dituntun oleh Sian-su dan setelah dilepaskan, wanita itu kembali menjatuhkan diri berlutut di depan Sian-su yang berdiri di depannya. Tujuh orang gadis yang tadi membawa kelinci dan bermacam barang itu selalu mengikuti mereka dari belakang dan kini mereka bertujuh juga berlutut mengelilingi Sian-su. Orang itu lalu mengangkat kedua tangan ke atas kepala dan mengeluarkan suara aneh, suara melengking dalam seperti bukan suara manusia dan ketika tangan kanannya melambai, tahu-tahu tangan itu telah memegang sebatang bunga yang diberikannya kepada wanita itu. Wanita itu menerima bunga, mencium bunga dengan khidmat, lalu menancapkan bunga itu di rambutnya yang tebal. Kemudian, kembali Sian-su mengangkat kedua tangan ke atas dan mengembangkan kedua lengannya. Terdengar suara ledakan disusul asap seperti tadi. Seperti juga tadi, asap itu menyelulubungi dirinya dan juga wanita itu sehingga tidak nampak, kemudian setelah asap membuyar, Sian-su masih berdiri seperti tadi, hanya kini cahaya pada wajahnya tidak lenyap. “Sang Dewa Kematian telah kembali ke asalnya,” demikianlah si muka tengkorak yang menemani Thian Sin menerangkan hal yang memang telah dapat diduga oleh Thian Sin. Siluman Tengkorak atau Sian-su itu kini meng-hadapi para tamunya dan berkata dengan suara biasa, “Cu-wi yang mulia, seperti biasa, kalau ada yang ingin tahu, silahkan mengajukan pertanyaan kepada murid baru ini.” Mendapatkan kesempatan ini, Thian Sin tidak dapat menahan kesabaran hatinya lagi. Dia lalu bangkit berdiri dan menghampiri Sian-su yang menyambutnya dengan sikap ramah. “Ah, Cengtaihiap suka memberi kehormatan kepada murid baru kami untuk mengajukan pertanyaan? Silahkan, silahkan, taihiap!” Thian Sin mengangguk dan semua tamu memandang dengan hati tertarik. Mereka semua adalah pengikut-pengikut yang setia dan penuh kepercayaan, maka kini mendengar bahwa Pendekar Sadis hendak mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tentu saja maksudnya menguji, mereka merasa tertarik. Mereka sendiripun tadinya ragu-ragu ter-hadap perkumpulan agama pemuja Dewa Kematian ini, akan tetapi setelah mereka menguji dan melihat hasil-hasil baiknya, mereka menaruh kepercayaan sepenuhnya. Siapa yang tidak suka menjadi pengikut? Selagi hidup dapat menikmati kesenangan yang amat luar biasa di tempat ini, dan selain itu, mereka semua telah menjadi pemuja Dewa Kematian sehingga telah menjadi “sahabat” baik dewa itu. Dengan demikian, mereka akan terjamin kelak kalau terpaksa harus menghadapi kematian karena dewanya telah menjadi sahabat baik mereka dan akan menurut wejangan Sian-su, karena menjadi sahabat baik, maka Dewa Kematian akan berlaku murah terhadap mereka dan akan dapat “memperpanjang” kehidupan mereka dan tidak cepat-cepat mencabut nyawa mereka. Janji-janji muluk yang selalu dipamerkan memang merupakan umpan yang amat menarik bagi manusia pada umumnya yang selalu mengejar kesenangan dan keenakan, di manapun dan kapanpun juga. Bahkan untuk mendapatkan janji-janji muluk ini, manusia tidak segan-segan untuk melakukan apa saja, bahkan kalau perlu menyiksa diri. Betapa banyaknya orang menyiksa diri dengan berpuasa dan betapa di tempat sunyi, penyiksaan diri karena di sana terdapat harapan atau janji bahwa mereka akan memperoleh ganjaran batin yang tentu saja menyenangkan? Bahkan untuk keadaan mereka sesudah mati sekalipun, selagi masih hidup manusia sudah hendak mengaturnya, se-mua itu demi memperoleh kepastian bahwa keadaannya kelak “di sana” akan enak, keenakan yang diukur dengan keadaan di waktu masih hidup. Wanita itu masih berlutut dan Thian Sin terpaksa juga berjongkok ketika menghampirinya dan hendak mengajukan pertanyaan. “Nyonya, bolehkah saya mengetahui namamu?” Wanita itu mengangkat muka memandang kepada Thian Sin dan diam-diam Thian Sin harus mengakui bahwa isteri Cia Kok Heng ini adalah seorang wanita yang cantik menarik dan manis sekali. Ketika dia memandang matanya, dia mendapatkan kenyataan bahwa memang benar wanita itu berada dalam keadaan tersihir atau setidaknya dalam keadaan tidak begitu sadar! Tentu saja dia menjadi marah. “Namaku Lu Sui Hwa...” jawab wanita denga sikap ramah dan senyum manis menghias bibirnya. Thian Sin lalu mengerahkan tenaga saktinya dan menggunakan kekuatan sihir untuk menyadarkan wanita itu sambil berkata, “Lu Sui Hwa, sadarlah engkau dan mulai saat ini pergunakan pikiranmu sendiri!” Dengan gerakan tangan, Thian Sin membuat gerakan jari tangan kiri di depan wajah wanita itu. Wanita itu segera terbelalak dan mengeluarkan seruan tertahan. “Ihhh...!” “Sui Hwa, tenanglah dan jawab semua pertanyaan Pendekar Sadis. Ingat, engkau berada dalam keadaan aman!” Tiba-tiba terdengar suara Sian-su yang lemah lembut. Ucapan itu membuat sepasang mata yang terbelalak itu menjadi suram dan wanita itu memandang kepada Thian Sin dengan penuh kecurigaan! Akan tetapi, Thian Sin melihat bahwa usahanya berhasil dan wanita itu kini benar-benar telah sadar. “Nyonya, kenalkah engkau kepada orang yang bernama Cia Kok Heng?” tanyanya dengan lantang. Akan tetapi, betapa heran hatinya ketika wanita itu menjawab dengan wajar, “Dia adalah suamiku.” “Dan dua orang anak kecil, seorang anak laki-laki dan seorang wanita bernama Cia Liong dan Cia Ling?” Wajah itu menjadi pucat sekali, akan tetapi suaranya masih terdengar tenang dan lantang ketika menjawab, “Mereka adalah anak-anakku!” Thian Sin lalu bangkit berdiri dan suaranya lantang dan penuh wibawa ketika dia berkata lagi, “Nyonya Cia, engkau yang mempunyai suami dan dua orang anak, kenapa bisa berada di sini?” Suasana menjadi tegang. Semua tamu maklum bahwa Pendekar Sadis ini mencari-cari permusuhan, dan semua telinga ditujukan kepada wanita itu, menanti jawabannya. Thian Sin sudah bersiap siaga karena dia merasa yakin bahwa wanita ini tentu akan membuka rahasia Siluman Guha Tengkorak, bahwa ia telah diculik oleh mereka. “Aku memang meninggalkan mereka untuk menjadi pengikut Sian-su!” Jawaban ini tentu saja tidak disangka sama sekali oleh Thian Sin dan mukanya menjadi merah ketika dia mendengar suara ketawa tertahan di sana-sini. Dia menggunakan kekuatan sihirnya untuk “mencuci” wanita yang masih berlutut itu dari hawa atau pengaruh sihir yang mempengaruhi, akan tetapi mendapat kenyataan bahwa wanita itu tidak lagi dalam pengaruh sihir, melainkan menjawab dalam keadaan sadar! “Engkau sebagai seorang nyonya terhormat rela merendahkan diri, mengenakan pakaian seperti ini dan meninggalkan suami dan anak-anakmu?” Suara Thian Sin mengandung penasaran dan dia tahu bahwa pertanyaannya itu tentu akan menikam perasaan seorang ibu dan isteri yang terhormat. “Taihiap, pertanyaanmu itu sudah menyimpang dan merupakan penghinaan!” Terdengar Sian-su berkata halus dan Thian Sin menoleh. Dia melihat betapa pandang mata para tamu ditujukan kepadanya dengan penuh penasaran, dan wanita itupun menunduk dan menangis! “Sui Hwa, jawablah, apakah ada yang memaksamu menjadi pengikut kami dan menjadi pemuja Dewa Kematian?” tanya Sian-su dengan suara lantang. “Tidak ada, aku masuk atas kehendakku sendiri,” jawab nyonya itu. “Dan engkau rela mengikuti semua upacara dan peraturan seperti yang sudah berlaku di sini?” “Aku rela.” Sian-su berpaling kepada Thian Sin. “Ceng-taihiap sudah mendengar cukup, maka harap silahkan duduk dan menyaksikan upacara selanjutnya. Boleh saja orang luar merasa tidak setuju dengan cara-cara kami, akan tetapi jelas bahwa orang luar tidak berhak mencampuri.” “Aku tidak ingin mencampuri, hanya ingin tahu keadaan yang sebenarnya,” bantah Thian Sin. Akan tetapi, para anggauta perkumpulan itu sudah datang mengurung dan para tamu juga memandang marah. Melihat ini, Thian Sin menggerakkan pundaknya dan kembali ke tempat duduknya, mulai meragukan kebenaran tindakannya memasuki sarang berbahaya ini. Bagaimana kalau memang wanita itu adalah wanita tak bermalu yang rela meninggalkan suami dan anak-anak untuk menjadi pengikut perkumpulan yang cabul ini? Mungkin saja suaminya tidak rela melepaskan dan bersama kawan-kawannya yang merupakan Tujuh Pendekar Tai-goan mereka memusuhi perkumpulan ini akan tetapi mereka dikalahkan sehingga semua jatuh tewas. Kalau benar demikian keadaannya, maka persoalannya tentu saja menjadi lain sama sekali! Dengan termangu-mangu Thian Sin menyaksikan upacara yang mulai dilakukan oleh Sian-su. Siluman atau pendeta siluman ini mengambil ke-linci putih dari tangan seorang di antara tujuh orang gadis, lalu mengambil pedang emas. Dia mengangkat kelinci itu di depannya, tepat di atas kepala Lu Sui Hwa atau nyonya Cia Kok Heng, kemudian pisau atau pedang kecil dari emas itu dihunjamkan ke leher kelinci putih! Darah me-ngucucur keluar dari luka leher itu ketika pisau dicabut nampak jelas sekali menodai bulu putih bersih, kemudian darah itu mengucur jatuh ke atas kepala nyonya muda itu! Dari atas kepala, darah kelinci itu mengalir dan membasahi mukanya. Wa-nita itu tengadah dan nampak tersenyum bahagia sambil memejamkan matanya dan dari jauh Thian Sin dapat melihat bahwa wanita itu kembali telah berada dalam cengkeraman sihir. Akan tetapi karena tadi malam dalam keadaan sadar wanita itu telah mengaku bahwa ia melakukan semua itu atas kehendak hatinya sendiri dan secara suka rela, apa yang dapat dilakukannya? Dia hanya dapat memandang. Kini pendeta siluman itu membiarkan darah kelinci memasuki bokor emas yang dipegang oleh salah seorang gadis, sampai darah itu tidak menetes lagi dari leher kelinci. Tentu saja kelinci itu mati kehabisan darah. Akan tetapi, ketika pendeta siluman itu dengan bentakan nyaring melemparkan kelinci ke bawah, kelinci yang mandi darah itu menggerakkan tubuhnya dan lari cepat ke tebing dan menghilang di balik jurang! Thian Sin mengangguk-angguk. Memang pendeta ini seorang lawan yang tangguh, juga dalam ilmu sihirnya! Sang pendeta lalu menuangkan arak atau anggur dari dalam guci-guci emas ke dalam bokor, mencampur arak itu dengan darah kelinci. Kemudian musikpun dipukul dengan gencar penuh semangat, makin lama makin panas ketika pendeta itu, diwakili oleh tujuh orang penari, membagibagikan isi bokor ke dalam cawan arak para ta-mu! Thian Sin yang hendak diberi, menolak keras dengan menggeleng kepala dan mukanya menyatakan jijik. Kini semua penari, berikut tujuh orang gadis yang jumlahnya tidak kurang dari tigapuluh orang, menari semua, menurutkan irama musik yang makin lama semakin panas merangsang. Dan perla-han-lahan, Lu Sui Hwa juga menggerak-gerakkan tubuhnya dan bangkit berdiri sambil menari. Agaknya ia tidak pernah belajar menari, akan tetapi ia hanya menggerak-gerakkan kedua lengan dan pinggulnya, dan karena ia seorang wanita cantik yang memiliki bentuk tubuh yang indah, biarpun begitu tetap saja ia nampak amat menarik! Seorang pemuda yang tadinya duduk di bagian tamu, nam-paknya sudah mabok atau terseret oleh keadaan itu. Sambil tersenyum lebar dia maju menghampiri Sian-su yang memegang tangannya dan menariknya mendekati Sui Hwa. Mereka agaknya berkenalan dan Sui Hwa menyambutnya dengan senyum manis, kemudian pemuda yang kelihatan sudah mabok itu lalu merangkul dan menjilati darah yang menodai wajah Sui Hwa, dan keduanya menari-nari dan berpelukan! Para tamu mulai gembira, bersorak dan bertepuk tangan mengikuti irama musik. Agaknya setelah minum anggur bercampur darah tadi, mereka semua menjadi mabok berahi! Serentak mereka berdiri dan menari-nari, masing-masing memilih pasangan sendiri-sendiri di antara para penari dan terjadilah pemandangan yang hampir tidak dapat dipercaya oleh Thian Sin kalau dia tidak menyaksikannya sendiri! Orang-orang itu mungkin telah menjadi gila, pikirnya. Mereka menari ber-pasangpasangan, saling rangkul, saling belai dan saling cium, sedikitpun tidak merasa malu dan musikpun semakin riuh rendah, keranjingan dan mereka semua seperti telah kerasukan iblis! Pendeta siluman itu sendiri sudah meraih pinggang seorang wanita muda sekali, yang cantik manis dan yang agaknya memang menjadi kekasihnya. Thian Sin tahu bahwa wanita muda ini adalah Thio Siang Ci, mempelai wanita di dusun Ban-ceng yang telah diculik pada malam pengantin! Diculik karena pendeta siluman itu sendiri yang tertarik dan tergila-gila kepada kembang dusun Ban-ceng ini. Juga Pendekar Sadis tidak tahu bahwa orang muda yang kini sudah bergumul sambil menari-nari itu adalah seorang pemuda bangsawan she Phang dari Taigoan yang telah lama tergila-gila kepada isteri Cia Kok Heng yang kini telah berada dalam pelukannya dan melayani hasrat hatinya dengan nafsu berahi bernyala-nyala itu. Sebetulnya, perkumpulan yang menamakan diri-nya perkumpulan agama Jit-sian-kauw ini secara diam-diam sudah lama bersarang di tempat itu. Perkumpulan ini dipimpin oleh orang yang hanya dikenal dengan sebutan Sian-su dan secara diam-diam pula telah diakui oleh banyak anggauta yang terdiri dari orang-orang penting di sekitar Tai-goan, bahkan ada pula yang dari kota raja. Secara resmi, agama ini mengadakan pelajaran-pelajaran agama yang diambil dari Agama Buddha Hinayana dan Agama To, dicampur dengan unsur dari agama kuno seperti Im-yangkauw dan lain-lain yang menjurus kepada pelajaran kebatinan yang mengejar hal-hal gaib. Di antara tujuh dewa yang dipuja oleh Jit-sian-kauw (Agama Tujuh Dewa) itu yang terutama sekali dan menjadi pusat dari pemujaan mereka adalah Dewa Kematian. Di bawah pimpinan Sian-su, para anggauta dituntun untuk memuja dewa ini yang dianggap dapat memberi usia panjang dan dapat mengatur nasib mereka kelak setelah mereka mati. Pemimpin yang disebut Sian-su itu adalah seorang yang selalu bersembunyi di balik topeng tengkorak sehingga belum pernah ada yang melihat atau mengenal wajah aselinya. Akan tetapi semua anggauta dan pengikut amat hormat dan taat kepadanya karena memang orang ini memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, bukan hanya dalam ilmu silat akan tetapi juga ilmu gaib. Sian-su ini dikabarkan memiliki kepandaian seperti dewa, dapat menghilang, dapat mendatangkan tujuh dewa yang dipuja-puja itu. Bukan itu saja, bahkan dalam upacara-upacara diadakan pesta yang oleh Sian-su dinamakan pesta pembebasan nafsu badaniah! Di dalam pesta seperti ini, mereka membiarkan diri hanyut dalam seretan gelombang nafsu berahi yang melanda mereka di mana mereka boleh melampiaskan nafsu berahi mereka sepuasnya dengan siapapun juga asal tidak ada unsur pemaksaan. Menurut ajaran Sian-su itu, nafsu itu akan meliar dan kalau diberi penyaluran sewajarnya tanpa ada perbuatan paksa, akhirnya nafsu itu akan habis sendiri kekuatannya dan tidak lagi mencengkeram jasmani kita sehingga jasmani kita cukup memenuhi syarat untuk menjadi jasmani yang bersih dan dihuni oleh jiwa yang bersih pula dan yang kelak akan diterima menjadi kesayangan Dewa Kematian. Tentu saja pelajaran yang diberikan ini merupakan pelajaran palsu yang amat berbahaya dan sama sekali tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Yang jelas dapat dinyatakan adalah bahwa nafsu keinginan dalam bentuk apapun juga timbul dari pada si aku yang ingin senang, dan nafsu ini bersifat seperti api yang apabila diberi hati, apabila dituruti akan seperti api yang diberi bahan bakar. Makin banyak diberi bahan bakar, makin bernyala dan makin menjadi, makin membesar dan tidak akan padam lagi. Mengendalikan nafsupun tidak akan ada gunanya. Mematikan nafsu dengan kekerasan kemauanpun percuma karena yang mematikan dengan kekerasan itu adalah kemauan si aku pula yang ingin senang, yang menganggap bahwa kalau dapat mematikan nafsu itu akan lebih senang dari pada kalau dikuasai nafsu. Sering kali terjadi konflik dalam batin sendiri. Di satu pihak keinginan atau nafsu itu timbul, di lain pihak keinginan untuk mematikanpun timbul. Konflik ini merupakan api dalam sekam yang nampaknya saja padam, namun sesungguhnya masih membara dan sewaktu-waktu akan dapat berkobar lagi kalau penutupnya kurang kuat atau terbuka. Nafsu itu sendiri merupakan enersi yang hebat. Nafsu itu sendiri amat penting bagi kehidupan. Hanya cara penggunaannya yang menentukan apakah ia merusak ataukah mendatangkan manfaat. Dan cara yang baik dan benar ini timbul dengan sendiri melalui kewaspadaan dan kesadaran dari pengamatan diri pribadi. Pengamatan diri pribadi akan menimbulkan kebijaksanaan dan dengan sendirinya timbul ketertiban yang tidak diatur lagi oleh si aku yang ingin senang. Pengamatan diri pibadi ini dapat terjadi setiap saat, yang berarti ada perhatian dan waspada sepenuhnya terhadap gerak-gerik kita, baik gerak-gerik hati, pikiran, kata-kata maupun perbuatan. Bukan mengamati sambil menilai karena penilaian itu juga merupakan hasil pekerjaan si aku! Jadi, kita harus sungguh-sungguh waspada akan segala kepalsuan yang terjadi setiap saat, bukan hanya kepalsuan yang terjadi di luar diri, melainkan terutama sekali kepalsuankepalsuan yang terjadi di dalam batin kita sendiri. Dengan umpan kesenangan dalam pemuasan nafsu berahi ini, Sian-su berhasil menarik minat banyak orang untuk menjadi pengikut perkumpulan agamanya. Tentu saja diapun memilih-milih orang, terutama sekali dipilih orang-orang yang berkedudukan, yaitu para bangsawan, hartawan, dan juga orang-orang yang memiliki ilmu silat atau yang menamakan diri mereka pendekarpendekar. Dan kerena sifat dari pesta-pesta agama ini, para pengikut itu sendiri merahasiakannya dari orang luar karena bagaimanapun juga, setiap orang manusia itu mempunyai naluri akan penyelewengannya sendiri dan merasa malu kalau penyelewengannya diketahui orang. Demi kesenangan yang telah mencandu, mereka itu dengan sendirinya memerangi perasaan salah ini dengan berbagai alasan pelajaran keagamaan seperti yang diajarkan oleh Sian-su. Hanya pada hari-hari tertentu saja mereka berdatangan ke tempat itu, dan hanya para anggauta inilah yang tahu jalannya, malalui jalan rahasia yang hanya terbuka untuk mereka, yaitu tempat pemujaan di tengah-tengah pegunungan yang tidak nampak dari luar dan hanya dapat dicapai malalui jalan terowongan rahasia itu. Sudah lebih dari dua tahun perkumpulan agama itu bersarang di situ, akan tetapi tidak ada yang mengetahuinya kecuali para anggauta atau pengikut. Para pengikut ini telah banyak menyerahkan uang sumbangan kepada perkumpulan, akan tetapi mereka tahu pula bahwa uang itu dipergunakan untuk memajukan perkumpulan dan terutama sekali untuk menyenangkan mereka. Pesta-pesta itu, dengan hidangan-hidangan yang lezat, membutuhkan uang. Juga untuk memelihara para anggauta atau murid-murid wanita yang cantik-cantik, muda dan pandai menari itupun membutuhkan uang. Apa lagi untuk membangun “istana” mereka yang berada di puncak bukit tersembunyi itu, membuat pondok-pondok untuk tujuh dewa, semua membutuhkan uang yang amat banyak. Karena itu mereka tidak merasa sayang untuk menyumbangkan harta benda. Tentu saja mereka yang sudah percaya penuh kepada kebjaksanaan Sian-su itu sama sekali tidak mau percaya akan desas-desus bahwa perkumpulan mereka itu melakukan kejahatankejahatan akhir-akhir- ini. Mereka menganggapnya sebagai kabar bohong dan fitnah belaka. Mereka tidak tahu bah-wa nafsu ketamakan orang yang mereka sebut Sian-su itu makin lama semakin menjadi dan untuk membuat pondok-pondok dan benda-benda dari emas tulen itu membutuhkan banyak sekali uang. Dan untuk memenuhinya, orang itu telah mempergunakan kepandaiannya sendiri dan kepandaian anak buahnya untuk melakukan pencurian-pencurian. Juga untuk memperlengkapi persediaan mereka akan wanita-wanita cantik, maka perkumpulan ini mulai pula melakukan penculikan-penculikan atas diri wanita-wanita muda dan cantik. Bahkan, tin-dakan Sian-su sudah sedemikian berani untuk memenuhi “pesanan” dari pemujanya, dan pada ma-lam hari itu dia telah memenuhi pesanan dari pemuda bangsawan Phang yang tergilagila kepada nyonya Cia Kok Heng! Akan tetapi, yang tahu akan hal ini hanyalah pemuda Phang itu dan Sian-su sendiri dan tentu saja untuk jasa ini pemuda Phang yang kaya raya itu tidak sayang untuk memberi hadiah sumbangan yang amat besar! Perkumpulan agama ini mempunyai anak buah yang tidak terlalu banyak, hanya kurang lebih empat puluh orang, terdiri dari berbagai golongan, akan tetapi rata-rata mereka memiliki ilmu silat yang lumayan. Mereka ini adalah anak buah dan juga murid-murid Sian-su yang memiliki dasar ilmu silat berbagai aliran. Tidak semua dari me-reka dari golongan penjahat, bahkan banyak pula yang terdiri dari orang baik-baik yang tertarik akan agama itu dan kemudian menjadi pengikut lalu diangkat menjadi murid dan anak buah. Se-perti juga Sian-su, setelah menjadi anak buah perkumpulan agama itu dalam melaksanakan tugas mereka semua menggunakan pakaian seragam dan juga topeng tengkorak. Mengapa mereka mempergunakan pakaian dan topeng tengkorak? Hal ini adalah untuk menyata-kan pujaan mereka terhadap Dewa Kematian. Tengkorak merupakan lambang kematian, dan kebetulan sekali mereka mendapatkan sarang di Guha Tengkorak yang sungguh merupakan tempat yang amat cocok untuk perkumpulan agama mereka. Anak buah perkumpulan itu telah disumpah setia terhadap Sian-su dan disamping sumpah ini yang diperkuat oleh kepercayaan mereka terhadap Dewa Kematian, juga mereka takut sekali terhadap Sian--su yang mereka tahu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Maka, mereka tahu bahwa berkhianat atau melanggar pantangan berarti kematian yang mengerikan bagi mereka, baik di tangan Sian-su ataupun juga di tangan Dewa Kematian yang tentu akan menyiksa mereka di alam baka! Sian-su yang berilmu tinggi itu dapat mencengkeram dan menguasai semua anak buah atau muridnya, juga menguasai semua wanita pelayan dan penari, menguasai para pengikut dengan menggunakan ilmu sihirnya dan ramu-ramuan obat pembius dan perangsang yang dicampurkannya dalam minuman. Perlahan-lahan namun pasti, pengaruhnya meluas dan anggautanya bertambah, para pengikutnya juga bertambah. Melihat betapa pesta itu berobah menjadi tempat pemuasan nafsu tanpa mengenal batas kesopanan lagi, bahkan di antara pasangan-pasangan yang menari-nari dan berpelukan sambil berciuman itu ada yang sambil tertawa-tawa sudah bergandengan tangan menuju ke sudut-sudut di mana terdapat kasur-kasur kecil dengan pakaian si wa-nita sudah tidak karuan lagi, Thian Sin menjadi muak. Dia sendiri adalah seorang pemuda yang romantis. Namun dia memandang hubungan antara pria dan wanita sebagai sesuatu yang indah, sesuatu yang merupakan pencurahan dari pada kasih yang bukan hanya merupakan pemuasan nafsu berahi belaka. Apa lagi kalau dilakukan secara demikian kasar, di depan orang banyak, tanpa sedikitpun memperdulikan kesusilaan dan sopan san-tun, tentu saja perasaannya tersingung dan dia menjadi tidak senang. “Taihiap, marilah... apakah taihiap tidak ingin bersenang-senang? Mari kulayani, taihiap... aku sengaja mengelak dari siapapun juga untuk melayanimu... “Tiba-tiba ada lengan kecil berkulit halus merangkulnya dan hidungnya mencium bau semerbak harum. Thian Sin menengok dan melihat bahwa yang merangkulnya adalah gadis yang tadi menerima sumbangannya. Pada saat itu hati Thian Sin sedang kesal dan murung, marah yang ditahan-tahan. Maka, sikap gadis ini membuatnya marah, apa lagi ketika gadis itu tanpa malu-malu lagi lalu menciumnya dan menarik--narik lengannya. “Pergilah!” bentaknya dan sekali dorong, gadis itu terpelanting dan jatuh sampai beberapa meter jauhnya. Diapun melihat betapa para anggauta perkumpulan itu, yang sejak tadi tidak ikut pesta melainkan berdiri dan berjaga, memandang kepadanya penuh perhatian dan begitu dia mendorong jatuh gadis itu, lima orang di antara me-reka segera berloncatan dan sudah mengurungnya. Thian Sin berdiri tegak dan bersikap tenang, mak-lum bahwa bagaimanapun juga akhirnya dia tidak akan dapat lolos dari pertempuran. “Ceng-taihiap, sebagai tamu, taihiap telah melangqar peraturan dan melakukan penghinaan terhadap murid-murid kami yang terkasih,” terde-ngar suara Sian-su yang ternyata sudah berada pula di situ. Tangannya menunjuk ke arah gadis yang tadi jatuh, yang kini sudah berdiri dan memegangi siku tangan kirinya yang berdarah, kemudian gadis itu melangkah pergi dengan kepala menunduk. “Sian-su, aku memang muak melihat semua ini dan aku telah menolakya, habis kalian mau apa?” tanyanya sambil memandang kepada lima orang yang mengurungnya dan mengambil sikap menyerangnya itu. Dia melihat bahwa di antara lima orang ini terdapat tosu penghuni kuil itu yang dikenalnya dari kebiasaannya memiringkan kepala. “Siancai... agaknya taihiap hendak mengandalkan kepandaian menentang kami. Ataukah taihiap hendak meramaikan pesta ini dengan pertunjukan ilmu silat?” “Terserah apa yang hendak diartikan, akan tetapi yang jelas, aku akan pergi dari tempat kotor ini!” kata Thian Sin. Dia sudah membalikkan tubuhnya hendak pergi melalui anak tangga dari mana dia datang tadi, akan tetapi lima orang itu dengan sekali loncatan telah menghadang di depannya. “Ah nanti dulu, taihiap. Tidak semudah itu untuk pergi meninggalkan tempat ini tanpa seijin kami. Kalau taihiap hendak memperlihatkan ilmu silat, baiklah. Biar aku melihat sendiri sampai mana kehebatan ilmu Pendekar Sadis yang terkenal itu.” Lalu dia memberi isyarat kepada lima orang itu dan berkata, “Tangkap dia!” Lima orang itu adalah lima orang pembantu utama dari Sian-su merupakan murid-murid kepala yang paling lihai di antara semua anggauta atau murid dan di antara lima orang ini memang terdapat tosu penghuni kuil yang tentu saja bukan bertapa di kuil itu melainkan bertugas sebagai penjaga dan pengintai. Biarpun ketua mereka memberi perintah lisan agar menangkap Pendekar Sadis, akan tetapi dari isyarat dengan tangan itu mereka maklum bahwa mereka disuruh membunuh musuh yang berbahaya ini. Maka, begitu tangan mereka bergerak, lima orang bertopeng siluman tengkorak itu sudah mencabut pedang mereka dari balik jubah di mana senjata mereka itu disembunyikan. Melihat ini, Thian Sin tersenyum. “Majulah, kalau kalian menghendaki demikian!” Dia masih berdiri tegak, tidak mau mengeluarkan pedang Gin-hwa-kiam yang tersembunyi di balik bajunya. Lima orang bertopeng tengkorak itu tiba-tiba menggerakkan pedang mereka dan mulailah mereka menyerang bergantian secara bertubi-tubi dan teratur. Pedang mereka berkelebatan menyilaukan mata tertimpa sinar lampu-lampu di sekeliling tempat itu dan setiap gerakan mereka itu selain cepat juga kuat sekali. Hal ini tentu saja diketahui Thian Sin dan pemuda inipun bersikap waspada, mempergunakan kecepatan tubuhnya untuk mengelak dan kadang-kadang dia menggunakan tangannya untuk menangkis. “Plak! Plakk!” Ketika tangan kirinya dengan gerakan cepat menangkis dua batang pedang, si pemegang pedang terhuyung mundur dan mereka terkejut sekali. Dengan tangan telanjang pemuda itu mampu menangkis pedang dengan kekuatan sedemikian dahsyat, maka hal ini saja sudah membuktikan betapa lihainya Pendekar Sadis. Sedangkan Sian-su sejak tadi nonton di pinggiran sambil merangkul pinggang ramping gadis yang tadi melayaninya. Beberapa kali dia mengangguk-angguk dan pandang matanya menjadi semakin kagum. Dari beberapa jurus saja tahulah dia bahwa Pendekar Sadis ini benar-benar amat lihai sekali. Alangkah baiknya dan betapa menguntungkan kalau dia bisa menariknya sebagai pembantu utamanya! Kini, yang menjadi pembantu utamanya adalah lima orang murid kepala ini, akan tetapi agaknya mereka ini tidak akan menang melawan Pendekar Sadis, walaupun mereka semua memegang pedang dan Pendekar Sadis hanya bertangan kosong saja. Pertandingan itu menarik perhatian mereka yang sedang berpesta. Akan tetapi, mereka yang tidak mengenal ilmu silat, para bangsawan dan hartawan yang sedang mabok berahi, tidak memperdulikan pertandingan itu dan melanjutkan kesenangan mereka, berpasang-pasangan dan melanjutkan permainan mereka di sudut-sudut ruangan yang luas itu menyendiri berduaan saja. Mereka yang mengenal ilmu silat, terutama para pengikut yang berasal dari golongan pendekar, menjadi tertarik dan biarpun mereka masih merangkul pinggang pasangan masing-masing, mereka mendekat dan menonton dengan penuh perhatian. Para anak buah perkumpulan itupun sudah mengurung tempat itu dan bersiap-siaga, bahkan ada sepuluh orang yang berderet dengan busur dan anak panah siap diluncurkan. Semua ini tidak terlepas dari pandang mata Thian Sin. Dia maklum bahwa dia akan mengha-dapi pengeroyokan dan karena dia belum tahu sampai di mana kelihaian Sian-su, juga para pendekar yang mabok berahi itu, maka keadaannya cukup berbahaya. Apa lagi dia berada di pusat tempat rahasia itu yang banyak mengandung perangkap-perangkap. Maka diapun tidak mau menjatuhkan tangan maut. Tepat seperti yang diduga oleh Sian-su, kini Thian Sin memperlihatkan ke-pandaiannya dan lima orang itu, walaupun semua-nya bersenjata, terdesak hebat. Setiap tangkisan itu membuat mereka terhuyung dan semua serangan mereka tidak ada gunanya sama sekali, kalau tidak terpental oleh tangan pemuda itu, tentu hanya mengenai tempat kosong saja, se-baliknya setiap tamparan tangan pemuda itu, baru angin pukulannya saja membuat mereka kewalahan. Tiba-tiba Thian Sin berteriak, “Pergilah kalian!” Dan kaki tangannya bergerak cepat sekali. Terdenqar suara berkerontangan dan nampak lima ba-tang pedang terlempar ke sana-sini sedangkan lima orang itupun terjengkang dan terpelanting ke kanan kiri! Mereka tidak terluka parah, akan tetapi senjata mereka terlepas dari tangan dan tubuh mereka terpelanting, ini sudah merupakan bukti cukup bahwa mereka telah kalah! Sian-su, pendeta siluman itu, kini melepaskan rangkulan dari pinggang ramping kekasihnya, dan sekali melompat dia sudah berhadapan dengan Thian Sin. “Siancai, siancai...! Pendekar Sadis memang benar tangguh, cukup pantas untuk menjadi lawan-ku! Mari kita main-main sebentar, taihiap!” Thian Sin melihat perobahan pada sikap para pengikut agama yang datang mendekat. Melihat betapa Sian-su sendiri yang maju, agaknya mereka-pun merasa penasaran dan di antara mereka bah-kan ada yang sudah melepaskan rangkulan mereka kepada gadis pasangan mereka masing-masing dan mereka bersikap mengancam. Akan tetapi pada saat itu, pendeta siluman itu sudah menerjangnya dengan pukulan yang cukup dahsyat. Sebelum tangannya tiba, sudah ada angin pukulan yang dahsyat menyambar dan ini saja menunjukkan bahwa pendeta siluman itu memiliki tenaga sin-kang yang kuat sekali. Thian Sin juga tidak mau main-main lagi dan dia sudah mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang untuk menangkis. Thian-te Sin-ciang (Tangan Sakti Langit Bumi) ini adalah penghimpunan sin-kang yang luar biasa kuatn-ya, yang membuat kedua tangan pemuda itu mampu menangkis senjata tajam tanpa terluka, me-rupakan satu di antara sekian banyak ilmu luar biasa yang dikuasainya. Kini, menghadapi lawan yang diketahuinya amat tangguh, Thian Sin tidak ragu-ragu lagi untuk mengeluarkan ilmunya ini untuk menandingi tenaga dalam lawannya. “Dukk!” Pertemuan dua tenaga sakti yang amat hebat itu terasa oleh semua orang yang menjadi penonton. Ada getaran hebat menyambar ke sekeliling tempat itu. Thian Sin sendiri merasa betapa tubuhnya terguncang yang memaksa dia melangkah mundur dua tindak, akan tetapi Siansu itu sendiri juga terhuyung ke belakang. “Hebat...!” Sian-su memuji, bukan pujian kosong karena dia benar-benar merasa kagum dan semakin besar keinginannya untuk dapat menarik pemuda sehebat ini sebagai sekutunya atau pembantunya. Tentu kedudukannya akan menjadi ma-kin kuat kalau dia dapat menarik pemuda ini menjadi sekutunya. Kini dia menyerang lagi dan dia mengerahkan gin-kangnya. Diam-diam Thian Sin terkejut bukan main. Kiranya siluman ini adalah seorang ahli gin-kang yang hebat! Kim Hong tentu tertarik sekali melihat ini, karena Kim Hong sendiri adalah orang ahli gin-kang yang sukar di-cari bandingnya. Dan agaknya, pendeta siluman ini benar-benar hebat sekali ilmunya meringankan tubuh sehingga tubuhnya berkelebatan sepert terbang saja. Thian Sin harus mengakui bahwa biarpun belum tentu siluman ini dapat menandingi Kim Hong dalam hal ilmu meringankan tubuh, namun dia sendiri masih kalah setingkat oleh pendeta siluman ini! Maka diapun lalu mainkan Ilmu Thai-kek Sin-kun, ilmu yang memiliki dasar amat kuat sehingga biarpun diserang dari jurusan manapun dengan kecepatan yang bagaimanapun, dengan ilmu ini dia dapat menjaga diri dan bahkan balas menyerang dengan tidak kalah hebatnya. Dengan ilmu silat ini, maka boleh dibilang kemenangan pendeta siluman itu dalam hal kecepatan dapat dipunahkan. Setelah lewat lima puluh jurus, agaknya pendeta siluman itu sudah puas dan kagum sekali. Dalam lima puluh jurus dia tidak mampu mengalahkan pemuda ini bahkan kalau dilanjutkan, belum tentu dia akan menang. Maka tiba-tiba dia mengeluarkan bentakan nyaring dan tangannya menampar ke arah kepala Thian Sin. Pemuda itu menangkisnya. “Plakk! Brettt...!” Ujung lengan baju Thian Sin terobek karena begitu tertangkis, pendeta si-luman itu merobah tangannya menjadi cengkeraman yang bergerak ke bawah mencengkeram pergelangan tangan Thian Sin, akan tetapi berkat tenaga Sin-ciang, cengkeraman itu meleset dan hanya merobek ujung lengan baju. “Ha-ha-ha, lengan bajumu robek, taihiap!” Sian-su berkata sambil mengangkat robekan itu ke atas dan memandang penuh rasa puas karena robekan lengan baju itu dapat dijadikan bukti bahwa dia telah menang setingkat. Akan tetapi, pandang mata Thian Sin ke arah jubahnya membuat dia menunduk dan melihat ke arah dadanya dan terkejutlah dia melihat betapa kain jubah di bagian dadanya berlubang dan kini robekan kain putih itu berada di tangan Thian Sin! Kalau saja tidak ada topeng tengkorak yang menutupi, tentu akan nampak wajah itu merah sekali. Saking merasa malu, pendeta siluman itu menjadi marah dan diapun sudah menyerang lagi dengan ganas. Thian Sin menyambutnya dengan tenang dan untuk kedua kalinya, ketika lengan mereka beradu, pendeta siluman itu terhuyung ke belakang sedangkan Thian Sin hanya terdorong mundur dua langkah saja. Hal ini membuat pendeta siluman itu mengambil keputusan untuk mempergunakan ilmu sihirnya. Dia berdiri tegak dan menggerakkan kedua tangan ke atas kepala, bertepuk tangan di atas kepalanya. Ketika kedua telapak tangan itu bertemu, terdengar suara seperti ledakan nyaring dan nampak asap mengepul dari kedua tangan itu. “Ceng Thian Sin, berani engkau melawanku? Lihat, siapakah sebenarnya aku? Aku adalah Thian-liong-ong (Raja Naga Langit)yang menjelma!” Memang hebat kekuatan sihir pendeta siluman itu. Biarpun sihirnya ditunjukkan kepada Thian Sin, akan tetapi semua orang yang berada di situ melihat betapa bentuk Sian-su kini telah berobah. Tubuhnya menjadi tinggi besar dan pakaiannya seperti pakaian raja, yang hebat adalah kepalanya karena kepala yang biasanya memakai topeng tengkorak itu kini berobah menjadi kepala naga! Benar-benar seperti gambar atau patung. Raja Naga Langit! Di antara mereka yang melihat ini segera menjatuhkan diri berlutut saking takutnya. Akan tetapi, Thian sin yang tadi merasa ada-nya kekuatan mujijat yang menyerang panca inderanya, cepat mengerahkan batin dan mempegunakan tenaga batin untuk melawan dan tentu saja dia sebagai orang yang pernah mempelajari ilmu sihir di Himalaya tidak terpengaruh setelah dia mengerahkan tenaga batinnya, dan bagi pandang matanya, pendeta siluman itu tetap sama saja dengan tadi! Ingin dia mentertawakan lawan dan menghinanya, mengatakan bahwa ilmu main sulap itu hanya dapat mengelabui kanak-kanak saja. Akan tetapi Thian Sin adalah seorang yang cerdik sekali. Dia tahu bahwa banyak orang yang tidak berdosa d tempat ini, yang menurut semua kehen-dak pendeta siluman ini karena kekuatan sihir atau mungkin juga obat dalam minuman. Mereka ini tidak berdosa dan sepatutnya kalau dibebaskan dari pengaruh pendeta siluman ini. Akan tetapi, kalau dia mempergunakan kekerasan, mungkin dia akan gagal. Dia sudah mengukur ilmu silat lawan itu yang benar-benar tangguh. Dia yakin tidak akan kalah terhadap Sian-su, akan tetapi kalau para pembantunya maju mengeroyok, juga kalau para pendekar yang menjadi pengikut agama itu ikut pula turun tangan, mungkin sekali dia akan celaka. Apa lagi kalau diingat bahwa dia belum berhasil membebaskan orang-orang yang tidak berdosa, juga bahwa dia masih berada di pusat sarang musuh yang berbahaya, maka kekerasan bukanlah jalan untuk mencapai kemenangan. Thian Sin lalu menunduk dan menjura seolah-olah memberi hormat kepada “dewa” itu, lalu berkata dengan suara membela diri, “Terpaksa saya harus melawan menghadapi siapapun juga kalau keselamatan dan nyawa saya terancam.” “Ceng Thian Sin, siapa bilang bahwa nyawamu terancam? Sian-su bermaksud baik denganmu, berniat untuk mengajakmu bekerja sama!” berkata “Raja Naga Langit” itu dan bagi pendengaran semua orang kecuali Thian Sin, suara itupun berbeda dengan suara Sian-su. Kembali Thian Sin menjura dengan hormat. “Kalau benar demikian, tentu saja saya bersedia untuk berdamai dan bicara.” “Bagus! Bagus sekali!” Manusia berkepala naga itu lalu bertepuk tangan, terdengar ledakan keras disusul asap mengepul dan ketika asap menghilang, di situ telah berdiri Sian-su dengan sikapnya yang tenang. “Ceng-taihiap, kami telah mendengar ucapanmu tadi dan kami merasa gembira sekali. Mari, silahkan duduk dan mari kita bicara dengan baik-baik.” Dia mempersilahkan dan mengajak Thian Sin duduk kembali. Pesta dilanjutkan dan melihat betapa pemuda itu tidak suka menyaksikan adegan-adegan cabul di situ, Sian-su lalu mengajaknya menuruni anak tangga dan bicara di sebuah ruangan lain. Belasan orang anak buah Sian-su ikut pula mengawal, tentu dengan maksud untuk mengeroyok apa bila pemuda itu memberontak. Setelah mereka duduk, Sian-su lalu memberi “kuliah” kepada Thian Sin tentang pelajaran di dalam agamanya yang baru, yang bendak membebaskan manusia dari pada rasa takut akan kematian, dan menjanjikannya kesenangan setelah mati nanti, juga menceritakan bahwa semua kecabulan yang dilihat pemuda itu adalah suatu cara untuk menundukkan nafsu dengan jalan membiarkan nafsu-nafsu itu menggelora dan kemudian mati sendiri. Thian Sin mendengarkan dengan setengah hati saja, akan tetapi dia pura-pura tertarik sekali dan menanggapinya sambil mengangguk-angguk. “Kami memberikan kesenangan dunia akhirat kepada para pengikut kami,” demikian pemimpin agama itu mengakhiri kuliah dan penjelasannya tentang agamanya. “Dan imbalan apakah yang harus diberikan oleh para pengikut?” -Thian Sin bertanya dengan sikap seolah-olah dia tertarik sekali untuk menjadi pengikut pula. “Siancai...! Untuk pekerjaan suci, kami tidak memiliki pamrih untuk kepentingan diri- sendiri. Kami tidak menuntut imbalan, kecuali kesetiaan. Kalu para pengikut hendak menyumbang demi kemajuan agama kita, dan untuk membuat pembangunan-pembangunan, hal itu adalah suka rela. Akan tetapi, walaupun kami tahu bahwa Ceng-taihiap adalah seorang yang kaya raya, buktinya melihat sumbanganmu tadi, namun kami bukan mengharapkan bantuan harta darimu.” “Habis, bantuan apa?” “Bantuan kerja sama dalam bentuk tenaga dan kepandaian silat taihiap. Hendaknya taihiap ketahui bahwa usaha kami ini banyak mendapat tentangan dari agama-agama lain dan sudah sering kali kami mereka cari dan mereka bermaksud membasmi kami. Oleh karena itu, taihiap bukan kami anggap sebagai pengikut biasa, melainkan sekutu kami, sebagai seorang di antara kami dan kalau taihiap dapat memenuhi harapan kami ini, percayalah bahwa dengan segala kemampuanku, taihiap akan menjadi orang pertama sesudah aku untuk berkenalan secara langsung dengan Dewa Kematian.” “Ahhh...!” Thian Sin pura-pura merasa girang sekali. “Aku akan girang sekali!” “Akan tetapi, untuk itu kami harus benar-benar dapat dipercaya kepadamu, dan ini ada syaratnya.” “Syaratnya?” “Menurut pelaporan anak buah kita, ada lima orang pendekar dari agama lain yang sedang menyelidiki tempat kita ini. Mereka merupakan bahaya bagi kita, maka aku minta kepadamu untuk menghadapi mereka dan membasmi mereka. Sanggupkah engkau, Ceng-taihiap?” Thian Sin mengangkat muka dan memandang tajam, bertemu dengan pandang mata lawan yang penuh selidik. Dia berhadapan dengan orang yang cerdik pula. “Sian-su, aku masih dalam taraf percobaan, bagaimana engkau sudah begitu percaya kepadaku? Apakah engkau tidak khawatir kalau aku berkhianat setelah aku tiba di luar tempat ini?” Wajah di balik topeng tengkorak itu tertawa. “Apa boleh buat kami harus menghadapi resiko itu! Kalau taihiap benar-benar mau bekerja sama dengan kami, kami merasa beruntung sekali. Sebaliknya, andaikata taihiap berbalik pikir, kamipun tidak bisa berbuat apa-apa. Akan tetapi belum tentu taihiap akan mampu menemukan kembali tempat rahasia kami, dan di sini banyak terdapat perangkap-perangkap rahasia yang akan mampu membendung serbuan ratusan orang. Selain itu, andaikata mereka mampu menyerbu masuk, kamipun dapat saja setiap waktu meloloskan diri, pin-dah mencari tempat lain, membawa semua barang suci dan berharga, dan terpaksa kami harus meninggalkan para wanita itu dalam keadaan sempurna.” Karena ada penekanan kata-kata aneh dalam kalimat terakhir, Thian Sin curiga. “Dalam keadaan sempurna bagaimana maksudmu?” Pendeta siluman itu menggerakkan pundak. “Yaahh, menyerahkan mereka kepada Dewa Kematian sebagai korban, apa lagi? Kami terpaksa, karena membawa mereka yang lemah untuk melarikan diri tidaklah mungkin, dan membiarkan mereka hidup-hidup tertawan musuh juga amat berbahaya bagi kami.” “Engkau akan membunuh puluhan orang gadis itu?” Hampir Thian Sin berteriak. “Ahhhh, nanti dulu, taihiap. Bukan membunuh, melainkan mengorbankan mereka kepada Dewa Kematian. Mereka akan mendapatkan kesenangan di sana, dan Dewa Kematian akan berterima kasih sekali kepada kami...” Thian Sin tidak bertanya lagi. Dia maklum apa artinya itu. Wanita-wanita itu merupakan sandera! Dengan lain kata-kata pendeta siluman ini hendak menyatakan kepadanya bahwa apa bila dia berbalik pikir dan kelak mengakibatkan perkumpulan agama itu diserbu, wanita-wanita itu akan dibunuhnya. Tentu saja ini merupakan ancaman kepadanya agar dia tidak mengkhianati Sian-su, dan dia tahu bahwa ancaman itu bukan hanya ancaman kosong belaka! “Baiklah, Sian-su, aku akan membuktikan bahwa aku memang ingin bekerja sama karena aku mulai tertarik oleh agama baru ini.” Thian Sin menjadi tamu terhormat di sarang perkumpulan agama Jit-sian-kauw itu, mendapat sebuah kamar yang indah dan mewah. Dia menolak ketika ditawari gadis untuk menemaninya, dan malam itu dia tidur nyenyak untuk melepaskan lelah dan mengumpulkan tenaga. Dia tahu bahwa semua gerak-geriknya diamati dan diintai, maka diapun tidak mau melakukan sesuatu yang mencurigakan. Pada keesokan harinya, diapun sama kali tidak tahu bahwa Kim Hong telah menyusulnya dan mencarinya, bahkan kemudian gadis itu terjebak dan tertawan di dalam sarang rahasia Jit-sian-kauw itu. Pada sore harinya dia diberi tahu oleh Sian-su bahwa lima orang yang memusuhi Jit-sian-kauw itu telah tiba di dekat puncak bukit. Mereka itu tidak menyelidiki dari bagian depan tebing Guha Tengkorak, melainkan dari belakang dan karena sarang Jit-sian-kauw itu terkurung jurang yang dalam, maka lima orang pendekar itu tidak tahu bahwa tempat yang mereka cari-cari itu sebetulnya sudah amat dekat, hanya terhalang jurang, yaitu di puncak yang dikelilingi jurang itu. Tidak mungkin menyeberangi jurang itu, dan tidak mungkin pula menuruni jurang yang demikian dalam dan curamnya. Mereka berkeliaran di daerah itu, memeriksa dan mencari-cari. Thian Sin melakukan pengintaian. Dia sendirian saja dan dia kini telah mengenakan pakaian dan topeng dari anggauta Jit-sian-kauw! Biarpun dia sendirian saja, namun dia mengerti bahwa Siansu dan kaki tangannya tentu membayanginya dan mungkin kini sedang mengintai pula dari tempat-tempat tersembunyi untuk mengikuti sepak terjangaya yang bertugas mengusir lima orang musuh perkumpulan ini. Akan tetapi jantung dalam dada Thian Sin berdebar tegang ketika dia mengenal siapa adanya tosu tua yang memimpin rombongan itu. Tosu berusia kurang lebih enam puluh tahun yang bertubuh tinggi kurus dan berpakaian jubah kuning, dengan pedang di punggung, wajahnya putih itu, bukan lain adalah Liang Hi Tojin, seorang tokoh tingkat dua dari partai persilatan Bu-tong-pai! Liang Hi Tojin ini adalah orang ke dua dari Bu-tong-pai, terkenal sebagai seorang pendekar yang sejak mudanya menjadi pembela keadilan dan kebenaran, seorang ahli pedang yang amat lihai. Dan agaknya, empat orang lainnya itu, yang nampakaya gagah perkasa, tentulah murid-murid keponakannya. Tentu rombongan dari Bu-tong-pai yang datang menyelidiki Jit-sian-kauw ini, bukan semata-mata karena perbedaan paham keagamaan, melainkan tentu karena orang-orang Bu-tong-pai itu mendengar akan kejahatan yang dilakukan Siluman Guha Tengkorak dan kini didorong oleh jiwa kependekaran mereka datang untuk menentang Jit-sian-kauw. Tentu saja Thian Sin merasa serba salah. Bagaimana mungkin dia memusuhi Liang Hi Tojin, seorang pendekar tua Bu-tong-pai yang telah dikenalnya dengan baik? Akan tetapi, kalau dia mengkhianati Sian-su, lalu bagaimana nasib kurang lebih tiga puluh orang wanita yang berada di dalam cengkeraman siluman-siluman itu di di luar kehendak mereka, karena mereka telah dikuasai oleh sihir dan obat bius? Kalau dia memperkenalkan diri mengajak lima orang pendekar Bu- tong-pai ini membalik dan memberontak, apakah dia akan mampu? Memasuki terowongan itu saja sudah merupakan bahaya yang besar dan sebelum mereka berhasil, siluman-siluman itu dapat melarikan diri dari jalan rahasia tersendiri dan meninggalkan puluhan wanita itu dalam keadaan tewas. Tidak, dia harus bersandiwara, menuruti kehendak Sian-su dan menanti saatnya yang baik dan tepat untuk memberi pukulan besar-besaran. Tosu tua tinggi kurus itu memang Liang Hi Tojin dari Bu-tong-pai, dan empat orang pria yang berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun, yang nampak gagah perkasa itu adalah murid keponakannya, yaitu murid Bu-tong-pai yang termasuk sebagai murid-murid kepala. Biarpun tingkat kepandaian mereka masih dua tingkat di bawah tingkat Liang Hi Tojin, namun mereka itu sudah dapat digolongkan pendekar-pendekar yang lihai pada masa itu. Mereka itu turun gunung untuk mengunjungi Louw Ciang Su di Tai-goan, akan tetapi mereka hanya melihat peti matinya saja! Tentu saja para tokoh Bu-tong-pai ini menjadi terkejut dan marah ketika mendengar bahwa Louw Ciang Su, sebagai seorang di antara Tujuh Pendekar Tai-goan, telah tewas oleh Siluman Guha Tengkorak. Itulah sebabnya, mereka langsung melakukan penyelidikan ke daerah Guha Tengkorak dan karena mereka sudah mendengear bahwa pasukan keamanan dari Tai-goan dan para pendekar telah gagal ketika mencari siluman itu dari depan tebing Guha Tengkorak, mereka lalu melakukan penyelidikan dan pencarian dari belakang tebing. “Bagaimana mungkin ada manusia dapat bersembunyi di tempat seperti ini?” terdengar Liang Hi Tojin berkata kepada empat orang murid keponakannya setelah mereka melihat keadaan di belakang tebing Guha Tengkorak itu. “Bukit di depan itu merupakan puncak yang dikelilingi jurang yang tidak mungkin didatangi manusia.” “Akan tetapi, susiok, teecu kira justeru karena sulitnya dicapai orang inilah maka merupakan tempat yang amat baik bagi penjahat untuk menyem-bunyikan diri,” kata seorang murid keponakannya. “Tentu ada suatu rahasia yang dapat membawa orang menyeberang ke puncak bukit itu,” kata murid kedua. “Siancai, siancai, siancai...! Kalau memang ada, tentu tidak akan mudah mencarinya di tempat se-luas ini.” Thian Sin memuji ketelitian mereka. Memang tidak akan mudah. Dia sendiri tiba di belakang tebing ini melalui jalan rahasia yang rumit, yang merupakan “lubang tikus” dan menembus di lereng jurang, tertutup pohon-pohon dan semak-semak, di dekat tepi jurang. Dia tadi merayap di lereng jurang itu melalui akar-akar pohon dan kini mengintai di balik pohon besar. Karena merasa sudah waktunya untuk turun tangan dan agar jangan sampai menimbulkan kecurigaan pada Sian-su yang dia tahu tentu sedang mengamatinya, dia lalu keluar dari tempat sembunyinya dan berlompatan ke depan lima orang itu! Dapat dibayangkan betapa kagetnya lima orang gagah dari Bu-tong-pai ketika mereka melihat munculnya seorang berjubah putih dengan gambar tengkorak merah darah di dada dan memakai topeng tengkorak yang menyeramkan. “Siancai...! Inikah Siluman Guha Tengkorak yang telah membunuh Tujuh Pendekar Tai-goan itu?” Liang Hi Tojin bertanya dan empat orang murid Bu-tong-pai itu telah mencabut pedang masing-masing dari punggung mereka dengan gerakan yang cepat dan indah. Thian Sin tidak mengeluarkan suara. Apa yang dapat diucapkannya? Tugasnya hanyalah menge-nyahkan mereka, maka diapun lalu menerjang ke depan dan menyerang tosu tua itu dengan pukulan dari samping mengarah pelipisnya. Melihat pukulan yang mendatangkan angin pukulan dahsyat itu, tahulah tokoh Bu-tong-pai ini bahwa siluman itu memang lihai sekali. “Siancai sungguh siluman jahat sekali!” Dan diapun cepat meloncat mundur untuk mengelak sambil mencabut pedangnya. Empat orang muridnya sudah menerjang dengan pedangnya masing-masing dan Thian Sin segera dikurung dan dikeroyok. Permainan pedang Bu-tong Kiam-sut memang hebat dan berbahaya sekali. Sinar pedang bergulung-gulung dan menyambar-nyambar dari pelbagai jurusan, menggulungnya dan kalau Thian Sin tidak memiliki gin-kang yang hebat dan langkah-langkah ajaib dari Thai-kek Sin-kun, tentu dia akan terancam bahaya dikeroyok oleh mereka. Terutama sekali pedang di tangan Liang Hi Tojin amat lihainya. Pedang itu mengeluarkan suara berdesing-desing dan sinarnya berkilauan menyambar-nyambar. Thian Sin tidak berani mencabut Gin-hwa-kiamnya karena mungkin pedang itu akan dikenal oleh Liang Hi Tojin. Maka terpaksa diapun mengerahkan Thian-te Sin-ciang untuk kadang-kadang menangkis kalau elakan-elakannya kurang cukup untuk dapat menyelamatkan diri dari sambaran lima batang pedang itu. Liang Hi Tojin dan empat orang muridnya terkejut bukan main melihat betapa siluman itu menangkis pedang mereka dengan tangan kosong saja! Padahal, pedang mereka adalah pedang pilihan, terbuat dari baja yang amat keras dan baik. Tahulah mereka bahwa siluman ini benar-benar amat lihai sekali dan merekapun tidak merasa heran sekarang bahwa Tujuh Pendekar Tai-goan tewas di tangan siluman ini. Liang Hi Tojin menyerang makin hebat karena marah dan karena dia beranggapan bahwa siluman selihai dan sejahat ini harus dilenyapkan dari permukaan bumi agar rakyat terbebas dari pada ancaman malapetaka yang ganas dan jahat. Thian Sin merasa kewalahan juga. Kalau dia mengeluarkan ilmu-ilmu simpanannya seperti Thikhi-i-beng misalnya, sin-kang yang dapat menyedot tenaga lawan, atau Thian-te Sin-ciang atau Thai-kek Sin-kun, tentu kakek Bu-tong-pai itu akan mengenal ilmu-ilmu dari Lembah Naga dan Cin-ling-pai itu. Kalau dia menggunakan ilmu peninggalan mendiang ayah kandungnya, yaitu ilmu-ilmu pukulan yang dahsyat Hok-liang Sin-ciang atau Hok-te Sin-kun, akibatnya bisa berbahaya sekali dan belum tentu lima orang itu akan mampu menahannya. Padahal, tentu saja dia tidak ingin membunuh lima orang tokoh Bu-tong-pai ini. Maka dia hanya mempergunakan Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun, ilmu yang dipelajarinya dari kakek sakti Yap Kun Liong dan mengerahkan tenaga Thian--te Sin-ciang untuk menangkisi pedang-pedang itu. Dia menanti saat yang baik dan tepat untuk me-lakukan serangan terakhir seperti yang sudah di-rencanakannya ketika dia mengintai mereka tadi. Perlahan-lahan dia mundur ke belakang menuju ke bawah sebatang pohon yang daunnya lebar, sele-bar tangan dengan ujung runcing dan daun itu kaku pula, cukup baik dijadikan senjata. Tiba-tiba dia meloncat, mencabut beberapa helai daun dari ranting yang terendah dan begitu tubuhnya turun, dia menyambitkan daun-daun itu ke depan sambil membentak dengan suara nyaring, “Pergilah!” Berturut-turut tangannya bergerak, dengan pengerahan sin-kang yang amat kuat, lima helai daun itu seperti anak panah saja meluncur secepat kilat menuju ke arah lima orang lawannya. Terdengar teriakan-teriakan kesakitan dan empat orang murid Bu-tong-pai itu melepaskan pedang mereka ketika sebatang daun menyambar dan menancap di pergelangan tangan kanan mereka sepert anak panah atau senjata piauw (pisau terbang) dengan kecepatan yang tak dapat dielakkan lagi. Sedangkan Liang Hi Tojin masih dapat menggunakan lengan kirinya menangkap daun yang menyambar pergelangan tangan kanannya itu, dan berbeda dengan empat daun yang lain, daun yang menyambar ke arah pergelangan tangan Liang Hi Tojin itu tidaklah begitu cepat dan kuat sehingga dengan mudah dapat ditangkap oleh tosu ini. Liang Hi Tojin memandang sekilas kepada daun di tangannya kemudian dia berkata, “Ambil pedang, mari kita pergi!” Empat orang murid itu cepat mengambil pedang masing-masing dengan tangan kiri, kemudian bersama tosu itu mereka berloncatan meninggalkan tempat itu. Thian Sin tertawa dan memandang sampai mereka lenyap di balik semak-semak. “Bagus, taihiap. Sungguh senang hatiku melihat engkau menghajar mereka, sayang tidak membunuh saja mereka itu agar kelak tidak mendatangkan penyakit.” Thian Sin menoleh dan melihat pendeta siluman ketua Jit-sian-kauw telah berada di situ. Tentu saja dia tadi mendengar gerakannya, ketika orang ini muncul dengan ringan sekali akan tetapi dia pura-pura tidak tahu membiarkan orang itu merasa bangga bahwa gin-kangnya sedemikian hebatnya, terlalu hebat bagi Pendekar Sadis untuk dapat mengetahui kedatangannya. Kemudian dia menarik napas panjang dan berkata, “Sian-su, kalau mereka itu memusuhi kita, sudah cukup kalau kita hajar dan mereka akan jera untuk mengganggu kita lagi. Membunuh mereka, berarti hanya akan memperdalam permusuhan belaka, membuat kita semakin repot menghadapi usaha mereka untak balas dendam kelak.” “Ha-ha-ha, engkau benar, taihiap. Ah, sungguh beruntung mempunyai seorang sahabat seperti engkau untuk bekerja sama,” kata pula Sian-su dengan girang. Mereka lalu kembali ke sarang Jit-sian-kauw. Thian Sin merasa girang sekali bahwa dia dapat mengelabuhi pendeta siluman itu. Dia tadi telah melakukan siasatnya dengan baik sekali. Dia tahu bahwa biarpun di sana terdapat sekutunya yang paling baik, yaitu Kim Hong, akan tetapi belum tahu Kim Hong dapat mencari tempat rahasia- ini. Maka dia membutuhkan bantuan dan melihat lima orang Bu-tong-pai itu, dia melihat bantuan yang amat baik dan cukup kuat. Maka ketika dia mengintai tadi, diam-diam dia menggunakan sehelai daun untuk digurat-gurat dengan duri, membuat beberapa buah huruf di atas daun. Daun itu disimpannya dalam saku jubahnya dan ketika dia menyerang lima orang itu, daun yang ada huruf-hurufnya itu dia sambitkan ke arah Liang Hi Tojin dengan pengerahan tenaga yang sedikit saja. Untung bahwa tokoh Bu-tong-pai itu cukup cerdik untuk dapat melihat kejanggalan ini- dan menerima daun itu lalu mengajak empat orang murid keponakannya yang telah terluka pergelangan tangannya. Tulisan di atas daun itu berbunyi demikian : SIAP MENYERBU BERSAMA, TUNGGU BERITA. ANG LIAN TO (PULAU TERATAI MERAH). Dia sengaja memakai nama Ang-lian-to yang tentu akan dikenal oleh Liang Hi Tojin yang sudah mengenalnya dan tahu bahwa dia dan Kim Hong tinggal di sebuah pulau kosong yang bernama Ang-lian-to (Pulau Teratai Merah). Dan agaknya tosu itu memang mengenalnya, buktinya tosu itu mengajak empat orang muridnya untuk mundur. Padahal, sesuai dengan watak pendekarnya, sebelum dia sendiri roboh, tidak mungkin tosu itu akan melarikan diri dari pertempuran. Thian Sin merasa lega dan gembira, merasa bahwa dia telah berhasil mengelabui ketua Jit-sian-kauw. Akan tetapi, pendekar ini sama sekali tidak tahu bahwa di balik topeng tengkorak itu, Sian-su tersenyum-senyum dan mentertawakannya. Dia tidak tahu bahwa ada kejutan yang amat tidak menyenangkan baginya. iarpun dia melihat sendiri betapa Pendekar Sadis telah mengusir lima orang musuh itu dan melukai empat orang murid Bu-tong-pai dengan cara yang amat mengagumkan dan menggiriskan hatinya, yaitu hanya dengan mempergunakan daun, namun ketua Jit-sian-kauw itu belum yakin begitu saja. Dia masih belum mau percaya begitu saja. Dia masih belum yakin benar akan kesetiaan Thian Sin. Oleh karena itu, dia masih mempersiapkan suatu ujian yang amat berat bagi pemuda itu. Malam hari itu, ketika Thian Sin sudah merebahkan diri dan mencari akal untuk melihat kesempatan, tiba-tiba dia terbangun dengan kaget. Ada suara di telinganya, dekat sekali di telinganya, yang berbisik dengan suara dengan suara mengandung kekuatan mujijat. “Ceng Thian Sin, engkau telah berada dalam kekuasaan Sian-su. Engkau harus mentaati semua kehendaknya agar hatimu dapat merasa senang dan tenteram! Nah kau rebahlah, kau tidurlah, tidur yang nyenyak...!” Thian Sin yang sudah bangkit duduk itu perlahan-lahan merebahkan diri kembali, dan memejamkan matanya, lalu dia mengatur pernapasannya seperti orang tertidur. Tak lama kemudian, suara itu terdengar lagi, “Ceng Thian Sin, bangkitlah dan turunlah dari tempat tidurmu.” Bagaikan patung hidup, Thian Sin lalu turun dari pembaringan. “Pergilah ke pintu kamar, bukakan daun pintu dan biarkan seorang sahabat masuk!” Thian Sin berjalan ke pintu dan membuka daun pintu. Di depan pintu itu telah berdiri seorang yang bertopeng tengkorak dan berjubah putih pakaian seragam para anggauta Jit-sian-kauw yang membawa sebuah baki terisi cawan arak. Thian Sin tidak tahu apakah orang ini sang ketua sendiri ataukah orang lain, akan tetapi dia percaya bahwa ketua itu tidak begitu ceroboh untuk membiarkan dirinya dekat dengan dia tanpa terlindung. Tentu ini hanya seorang anggauta biasa saja. “Taihiap, harap suka minum arak dalam cawan ini,” kata orang itu sambil menyerahkan cawan arak. Thian Sin hendak menolaknya, akan tetapi dia segera teringat bahwa dia sedang berada da-lam keadaan “tersihir”, maka diapun diam saja, hanya memandang dengan mata kosong dan ber-diri seperti patung. Suara itu lalu terdengar lagi, kini nadanya mengandung kelegaan hati, “Ceng Thian Sin, ambil cawan itu dan minum araknya sampai habis!” Kini Thian Sin mengambil cawan itu dan menempelkannya ke bibirnya. Dari baunya saja dia maklum bahwa arak itu dicampuri obat bius, akan tetapi tanpa ragu-ragu lagi dia lalu menuangkan araknya ke dalam mulut sampai habis. Akan tetapi lebih dulu dia menggunakan kekuatan sihir dalam pandang matanya kepada sepasang mata di balik topeng itu dan melihat mata itu sejenak tercengang lalu melembut, tanda bahwa dia telah berhasil menguasai orang itu yang ternyata hanyalah seorang anggauta biasa saja. Dengan kekuatan sihirnya dia membisikkan bahwa orang itu telah melihat dia minum arak itu sampai habis ditelannya. Padahal arak itu hanya disimpan di mulutnya saja. “Sekarang kembalilah ke tempat tidur dan rebahkan dirimu,” bisik suara di dekat telinganya yang dia tahu adalah suara Sian-su yang menggunakan ilmu mengirim suara dari jauh menggunakan tenaga khi-kang yang amat kuat. Angauta itupun lalu membawa pergi cawan kosong dan menutupkan pintu kamar, sedangkan Thian Sin merebahkan dirinya di atas pembaringan, diamdiam membuang arak di mulutnya yang dimuntahkan di dalam tangannya dan dibuang di atas lantai di belakang pembarirngan. Hal ini dilakukannya dengan cepat lalu dia merasa yakin bahwa tidak ada mata orang lain yang mengikuti gerak-geriknya. “Ceng Thian Sin, mulai saat ini engkau akan selalu percaya sepenuhnya taat, hormat dan tunduk kepadaku, kepada Sian-su, ketua dari Jit-sian-kauw yang akan mendatangkan kesenangan dunia akhirat bagimu! Camkan ini, harus selalu setia dan taat kepada Sian-su!” Kalimat terakhir itu diulangi sampai belasan kali dengan kekuatan yang amat hebat sehingga Thian Sin harus mengerahkan tenaga sin-kang pula untuk melawannya agar jangan sampai terpengaruh.- Tentu saja pengalaman itu membuat Thian Sin tidak dapat tidur pulas. Dia harus bertindak cepat karena kalau terlalu lama, keadaannya bisa semakin berbahaya. Dia tidak tahu bahwa malam itu, Sian-su telah mempersiapkan percobaan terakhir kepadanya, percobaan yang teramat berat dan di sini Sian-su hendak mengambil kepastian apakah pendekar itu akan dianggap kawan ataukah lawan. Setelah merasa yakin bahwa dia tidak diamati, Thian Sin lalu turun dari pembaringannya dan dengan langkah seperti langkah kucing, sama sekali tidak menimbulkan suara, dia mendekati jendela lalu pintu kamarnya untuk mengintai keluar. Ada dua orang penjaga di luar, seorang di luar jendela dan seorang lagi di luar pintu. Dengan hati-hati dia membuka daun pintu. Anggauta Jit-sian-kauw itu memandang dan Thian Sin menggapai, berkata lirih, “Twako, ke sinilah, aku mau bicara penting...” Karena ketika memandang dan menggapai, juga ketika mengeluarkan kata-kata Thian Sin sudah mempergunakan kekuatan sihir melalui mata, gerakan tangan dan suaranya, penjaga itu biarpun ragu-ragu, tidak dapat menahan kakinya melangkah dan memasuki kamar. Secepat kilat tangan kanan Thian Sin bergerak dan tanpa mampu mengeluarkan suara atau melawan, penjaga itu terkulai lemas karena dia telah pingsan tertotok. Dengan hati--hati Thian Sin merebahkan orang itu di atas lantai kamarnya, kemudian dengan berindap-indap dia keluar dari pintu kamar, memutar dan meyergap penjaga yang duduk di luar jendela. “Apa... uhhh...!” Penjaga itu tadinya terkejut dan hendak melawan, namun dalam ke-adaan seperti itu Thian Sin telah menggunakan kepandaiannya, maka mana mungkin penjaga itu mampu melawannya. Diapun roboh pingsan sebe-lum sempat berteriak dan Thian Sin sudah memondong tubuhnya dan membawanya masuk ke dalam kamar, melepaskannya di atas lantai bersama penjaga pertama. Kemudian, dengan cepat Thian Sin menelikung kedua orang itu, diikatnya dengan tali ikat pinggang mereka sendiri, dijadikan satu dan mulut merekapun disumbat dengan kain baju mereka sendiri. Karena dia tahu bahwa dua orang itu memiliki kepandaian yang lumayan, maka dia mengikat kaki tangan mereka kuatkuat, juga menyumbat mulut mereka dan menalikan kain sumbatan itu melilit kepala, dan menambahkan totokan pada beberapa bagian tubuh mereka. Dia merasa yakin bahwa sebelum pagi hari, mereka tidak akan siuman dan andaikata sudah siuman sekalipun, mereka takkan mampu bergerak dan tidak dapat mengeluarkan suara. Setelah melakukan ini, dia lalu mendorong tubuh yang sudah menjadi satu itu ke bawah pembaringannya sehingga tidak nampak dari luar. Kemudian dia bersiap-siap untuk melakukan penyelidikan sendiri dan dengan gesit dia menyelinap keluar dari dalam kamarnya, menutupkan daun pintu kamar dan keluar. Dia sudah tahu di mana adanya kamar-kamar para wanita penari. Dia bermaksud mencari isteri mendiang Cia Kok Heng dan hendak menyelidiki keadaan wanita itu karena dia merasa yakin bahwa ada sesuatu yang memaksa wanita itu berbohong kepadanya ketika ditanyainya. Dan dia akan menggunakan kekuatan sihirnya membuyarkan kekuatan sihir yang mencengkeram para wanita penari dan mengorek rahasia kejahatan Siluman Guha Tengkorak dari mereka. Akan tetapi, baru saja dia keluar dari kamarnya, terdengar suara canang bertalu-talu dan disusul suara hiruk-pikuk kaki orang-orang berlarian. Than Sin terkejut dan cepat dia kembali ke dalam kamarnya, menyangka bahwa tentu perbuatannya ketahuan dan dia harus bersiap siaga menghadapi pengeroyokan kalau perlu. Dia mengintai dari balik jendela dan melihat para anggauta perkumpulan itu berlari-lari dari segala jurusan menuju ke bangunan besar yang menjadi tempat tinggal Sian-su. Tak lama kemudian, suara canang itupun berhenti dan nampaklah Sian-su bersama serombongan anggautanya melangkah lebar menuju ke kamarnya! Thian Sin menanti dengan jantung berdebar. Jelaslah bahwa perbuatannya telah ketahuan! Akan tetapi dia pura-pura tidur miring di atas pembaringannya, dengan seluruh urat ayaraf menegang, siap menerjang keluar, menghadap ke pintu dan menutupi mukanya dengan lengan tangan, mengintai dari bawah lengan. Dapat dibayangkan betapa tegangnya hati pendekar itu ketika pintu kamarnya perlahanlahan terbuka dari luar! Dia sampai merasa seolah-olah jantungnya hendak meloncat keluar dan suara detak jantungnya seperti suara tambur. Akan tetapi, suara Sian-su tidak terdengar marah, bahkan ramah sekali ketika berkata, “Cengtaihiap, bangunlah!” Thian Sin sudah merasakan perobahan dalam suara itu, suara yang sifatnya memerintah. Akan tetapi dia pura-pura tidak merasakan hal ini, dan diapun menurunkan lengannya, dan membuka mata. Dilihatnya bahwa mata itu tidak memancarkan kekuatan sihir, maka diapun mengerti bahwa sekali ini Sian-su hendak menghadapi dia dalam keadaan sadar. Bukankah semalam suara Sian-su telah menanamkan pesan kepadanya bahwa dia harus setia dan taat? Baiklah, dia akan bersikap taat. “Ah, Sian-su, malam-malam begini ada apakah? Aku mendengar suara canang dan mendengar suara kaki berlari-lari, setelah suara canang berhenti akupun tidur lagi.” “Canang itu dipukul untuk mengumpulkan anggauta karena ada laporan dari pengamat di luar bahwa ada serombongan orang yang menyerbu tempat kita.” Reaksi Thian Sin cepat dan wajar, kewajaran sikap seorang yang setia! Dia sudah meloncat turun dari pembaringan dan mengepal tinju. “Kita harus basmi mereka!” Dilihatnya betapa sepasang mata di balik topeng itu memancarkan sinar puas dan gembira melihat sikapnya ini, dan Sian-su berkata, “Tidak perlu tergesa-gesa. Mereka itu tidak akan mampu menemukan tempat kita, taihiap.” “Siapakah mereka?” “Ha-ha, mereka itu adalah orang-orang dari Hong-kiam-pai yang dipimpin oleh Im Yang Tosu.” Diam-diam Thian Sin terkejut. Dia mengenal Im Yang Tosu, tokoh dari Kun-lun-pai yang berkepandaian tinggi. “Apakah taihiap belum mengenal Hong-kiam-pang?” Thian Sin menggeleng kepalanya. “Hong-kiam-pang atau Hong-kiam-pai adalah perkumpulan silat yang mengutamakan ilmu pedang mereka, berpusat di kuil Thian-hong-bio di lembah Fen-ho di luar kota Tai-goan. Mereka dipimpin oleh Im Yang Tosu dan Bu Beng Tojin. Ha-ha, mereka berani memusuhi kita, akan tetapi biarlah, tak mungkin mereka dapat menemukan tempat kita ini. Cukup dengan beberapa orang pengamat saja untuk mengamati gerak-gerik mereka di luar tebing Guha Tengkorak, sedangkan kita akan melanjutkan pesta pengangkatan seorang anggauta atau murid baru.” Thian Sin merasa tidak senang, akan tetapi tidak diperlihatkannya pada wajahnya yag tetap tenang. Sinar matanya ketika memandang kepada Sian-su penuh dengan kekaguman, kehormatan dan kesetiaan, sesuai seperti apa yang dikehendaki oleh pendeta siluman itu. “Murid baru wanita?” Pendeta siluman itu tertawa. “Benar, seorang murid baru yang istimewa, taihiap dan terus terang saja, belum pernah kita mempunyai anggauta wanita seperti ini.” Thian Sin merasa agak heran dan juga timbul kecurigaannya, ada perasaan tidak enak menyelinap dalam hatinya. Dia mencoba untuk menduga-duga, akan tetapi tidak berhasil memecahkan teka-teki ini. Siapakah wanita yang dimaksudkan oleh pendeta siluman ini? Hampir dia menduga bahwa jangan-jangan yang dimaksudkan adalah Kim Hong. Akan tetapi dia membantah sendiri dugaannya ini. Kim Hong terlampau cantik untuk dapat terjebak. Memang besar kemungkinan Kim Hong menyelidiki dan memasuki sarang ini untuk mencari dan menolongnya, akan tetapi Kim Hong tentu maklum akan besarnya bahaya kalau membiarkan dirinya terjebak. Tidak, Kim Hong tidak mungkin membiarkan dirinya dijebak seperti dirinya. “Marilah, taihiap, mari kita menemani mereka yang sudah sejak tadi mulai dengan pesta malam ini. Ada seorang pengikut baru, seorang pembesar yang memiliki kedudukan penting di kota raja. Dari dialah kita dapat mengharapkan sumbangan yang besar untuk menyelesaikan bangunan pondok suci untuk tujuh dewa yang mulia. Untuk menghormati kehadirannya dan untuk meresmikan pengangkatan anggauta baru yang juga akan menjadi pilihanku sebagai murid terbaik dan tersayang, taihiap.” Thian Sin mengikuti pendeta siluman itu naik ke dataran puncak bukit di mana telah berkumpul para pengikut yang kemarin malam pernah dilihat oleh Thian Sin. Dan di antara mereka kini terdapat seorang pria berpakaian mewah yang bermuka merah, usianya sudah enam puluh tahun akan tetapi sikapnya masih genit. Ada tiga orang pelayan wanita yang bergaun tipis melayani orang ini dan Thian Sin dapat menduga bahwa orang inilah yang disebut oleh Sian-su tadi sebagai pengikut baru yang terhormat, seorang bangsawan tinggi dari kota raja. Seperti juga kemarin malam, para penari wanita melakukan upacara dan Lu Sui Hwa atau isteri Cia Kok Heng kini ikut pula di antara para penari, nampak cantik dan agung, paling menarik di antara mereka walaupun mukanya agak pucat dan matanya sayu. Thian Sin masih menghadapi semua ini dengan tenang. Akan tetapi ketika tiba giliran anggauta atau murid baru itu mendaki anak tangga menuju ke dataran itu, tiba-tiba Thian Sin mengepal tinjunya dan wajahnya berobah pucat. Dia mengenal Kim Hong yang kini menghampiri Sian-su, Kim Hong yang mengenakan pakaian gaun tipis putih! Dengan mata terbelalak Thian Sin melihat betapa Kim Hong melangkah seperti boneka berjalan menghampiri Sian-su. Dia masih meragukan apakah Kim Hong tidak bersandiwara? Akan tetapi kemudian dia teringat bahwa biarpun Kim Hong memiliki kepandaian ilmu silat yang tidak mungkin kalah dibandingkan dengan pendeta siluman itu, namun kalau pendeta siluman itu mempergunakan ilmu sihir, tentu Kim Hong akan celaka. Dan agaknya kini gadis itu sudah berada di bawah pengaruh sihir. Agaknya untuk upacara ini, ketua Jit-sian-kauw itu menggunakan cara lain. Mungkin saja karena tadi sudah mengatakan untuk mengangkat anggauta baru itu menjadi pilihannya sebagai murid tersayang, maka kini upacaranyapun berbeda dengan yang sudah-sudah. Setelah Kim Hong menjatuhkan diri berlutut di depan ketua agama itu, Sian-su lalu memberkahi gadis itu dengan kedua tangannya di atas kepala Kim Hong, kemudian dengan gerakan halus membangunkan gadis itu, memegang tangannya dan menuntunnya ke dekat pondok-pondok emas kecil. Akan tetapi di situ sekarang telah dihamparkan sebuah kasur dan kini Sian-su membimbingnya dan menyuruhnya terlentang di atas kasur. Kim Hong melakukannya tanpa ragu sedikitpun dan tubuh yang menggairahkan itu, dengan terbungkus gaun yang tipis sekali, kini telah terlentang di atas kasur dengan kedua kaki lurus dan kedua lengan disilangkan di depan perut. Tujuh orang wanita yang membawa kelinci, pisau dan lain-lain telah maju berlutut dan Sian-su kini dengan gerakan perlahan seolah-olah hendak memperlihatkan pertunjukan yang amat menarik, mulai membukai kancing depan gaun itu! Dan memang pertunjukan itu amat menarik karena para tamu yang hadir menghentikan minum dan memandang dengan mata melotot dan pandang mata penuh nafsu! Kalau pada murid biasa, darah kelinci hanya dikucurkan di atas kepala, maka pada murid pilihan ini, darah kelinci akan dikucurkan di atas badan yang telanjang! Ketika kancing bagian atas membuka gaun dan memperlihatkan dada kekasihnya, Thian Sin sudah tidak dapat menahan dirinya lagi. Dengan teriakan melengking panjang dia meloncat ke tempat itu, lalu mengeluarkan bentakan yang penuh dengan kekuatan sihir untuk membuyarkan pengaruh sihir atas diri Kim Hong, “Kim Hong sadarlah! Engkau berada di tangan musuh-musuh kita!” Teriakan ini memang hebat bukan main dan seketika Kim Hong terbelalak dan sadar. Akan tetapi ia masih bingung dan kepalanya terasa pening sehingga ketika pada saat itu Sian-su menggerakkan tangan menotoknya dari jarak yang dekat, ia tidak mampu mengelak dan Kim Hong yang sudah bangkit duduk itu roboh kembali dalam keadaan tertotok. Sementara itu, para anak buah Jit-sian-kauw sudah menerjang Thian Sin. Memang semua perlakuan terhadap Kim Hong tadi disengaja oleh Sian-su dalam usahanya unuk menguji kesetiaan Thian Sin. Ujian terakkir yang tentu saja amat berat bagi Thain Sin dan pendeta siluman yang amat cerdik itu tahu bahwa andaikata Pendekar Sadis berpura-pura, maka kepurapuraannya itu tentu akan terbongkar kalau menghadapi kekasihnya terancam. Bagaimanapun juga, ketua Jit-sian-kauw ini masih sangsi dan merasa ragu-ragu apakah benar Pendekar Sadis dapat ditundukkannya dengan kekuatan sihir karena diapun sudah mendengar bahwa selain memiliki kepandaian silat yang amat tangguh, juga pendekar itu kabarnya memiliki kepandaian ilmu sihir pula. Kalau pendekar itu tetap taat dan setia kepadanya ketika melihat keadaan Kim Hong, maka dia dapat merasa yakin bahwa dia telah benar-benar dapat menguasai Thian Sin dan dapat menarik pendekar itu menjadi pembantunya yang amat menguntungkan. Dan kalau pendekar itu hanya pura-pura, maka tentu rahasianya akan tebongkar, dan untuk itu dia sudah mempersiapkan anak buahnya yang telah berjaga di situ sejak tadi, mengamati gerak-gerik Pendekar Sadis. Itulah sebabnya, ketika Thian Sin mengeluarkan suara melengking dan membentak, belasan anak buah Jit-sian-kauw telah menghadang dan mengoroyoknya, didahului oleh sambaran beberapa batang anak panah dari samping. Lima batang anak panah yang dilepas oleh pasukan anak panah dari samping itu disusul pula oleh lima batang yang lain. Akan tetapi, lima batang anak panah pertama itu runtuh semua ketika Thian Sin menggerakkan tangan kiri dengan mengerahkan sin-kang sehingga ada hawa pukulan menyambar dan meruntuhkan lima batang anak panah itu sebelum senjata itu menyentuh tubuhnya, kemudian, sambil meloncat ke depan, dia memapaki lima batang yang lain dan kedua tangannya menangkapi lima batang anak panah ini dan langsung melontarkannya ke arah lima orang anggauta pasukan panah itu. Terdengar teriakan-teriakan kasakitan ketika tiga orang di antara mereka itu roboh dengan dada tertusuk anak panah mereka sendiri, sedangkan dua orang yang lain mampu menghindarkan diri dengan elakan. Akan tetapi, belum sempat Thian Sin menerjang ke arah Sian-su, dia telah dikepung dan dikeroyok oleh belasan orang anak buah Jit-sian-kauw yang bertopeng tengkorak. Mereka semua telah mengeluarkan bermacam senjata dan menyerang dari semua jurusan dengan maksud membunuh karena Sian-su telah memberi isyarat untuk membunuh lawan yang amat tangguh ini, yang ternyata sama sekali tidak pernah terpengaruh oleh sihirnya dan yang ternyata hanya purapura saja menyerah itu. Kini Thian Sin benar-benar mengamuk! Melihat kekasihnya terancam penghinaan seperti itu, kemarahannya memuncak dan Pendekar Sadis mem-perlihatkan kelihaiannya. Dia tidak mau mengeluar-kan pedangnya, melainkan menyambut hujan senjata itu dengan kedua tangan kosong saja. Akan tetapi tangan kosong yang bagaimana! Seperti sepasang naga mengamuk saja kedua tangan Thian Sin itu ketika dia menghadapi pengeroyokan anak buah Jit-sian-kauw. Dia mengeluarkan semua ilmu yang dikuasainya untuk menghajar para anggauta Jit-sian-kauw itu. Biarpun mereka itu terdiri dari orang-orang yang berkepandaian tinggi, namun di tangan Pendekar Sadis mereka itu tiada bedanya seperti segerombolan anak-anak kecil saja. Seorang anggauta yang agaknya memiliki dasar ilmu silat Siauw-lim-pai, menggunakan sebatang toya. Ilmu toya Siauw-lim-pai terkenal kuat sekali, didasari dengan gerakan yang mengandung tenaga lwee-kang sehingga ujung toya itu tergetar dan kelihatan menjadi banyak. Dengan gerakan mantap dan penuh tenaga, sambil membentak nyaring, pemegang toya ini menusukkan toyanya ke arah dada Thian Sin. Akan tetapi karena ujung toya itu ter-getar sukarlah untuk diduga apakah benar dada yang diserang itu, ataukah tenggorokan atau pusar, atau juga lambung kanan kiri. Ada semua kemungkinan itu dan inilah lihainya permainan toya itu. Namun, Thian Sin menghadapinya dengan tenang saja, bahkan menanti sampai toya itu mencium tubuhnya dan ternyata ujung toya itu mendarat pada lambungnya yang kiri. Begitu ujung toya mencium bajunya di lambung, Thian Sin menggerakkan tangan kirinya yang dimiringkan dan yang mengandung tenaga Thian-te Sin-ciang sepenuhnya itu, membacok ke bawah ke arah toya. “Krakkk!” Dan toya itu patah-patah menjadi tiga potong, kemudian sebelum pemegang toya yang merasa betapa telapak tangannya berdarah dan terkupas kulitnya itu sempat menguasai keadaannya, kaki Thian Sin sudah menendang orang dan orang itupun terlempar dan terbanting roboh, tidak mampu bangkit kembali. Thian Sin masih ingat bahwa besar sekali kemungkinannya para anggauta Jit-sian-kauw ini bergerak di bawah pengaruh sihir atau setidaknya juga kepercayaan yang membuta terha-dap Sian-su sehingga mereka itu tidak sadar bahwa mereka telah membantu seorang yang amat jahat. Mungkin sekali para anggauta ini adalah orang baikbaik yang telah terseret karena pandainya Sian-su mengambil hati dan menundukkan mereka. Karena itu, maka Pendekar Sadis ini masih merasa kasihan untuk membunuh mereka dan tendangannya tadipun terarah dan terkendalikan sehingga biarpun orang itu tidak mampu bangkit lagi, namun tidak menderita luka yang dapat merenggut nyawaya, hanya patah tulang dan salah urat saja. Anggauta yang memegang toya itu terkenal di antara kawan-kawannya sebagai satu di antara lima murid utama dari Sian-su, maka melihat dia dalam segebrakan saja roboh, para pengeroyok itu menjadi gentar. Akan tetapi merekapun menyerbu dengan berbareng, tidak lagi berani maju satu- satu. Thian Sin mengerling dengan ujung matanya dan melihat betapa Sian-su masih berdiri, dan hanya nonton pertempuran itu, sedangkan Kim Hong sudah rebah miring tak bergerak, dalam keadaan tertotok. Hatinya menjadi gelisah. Ingin dia cepat-cepat menyerang Sian-su dan menyelamatkan Kim Hong, apapun juga yang terjadi. Hal ini membuat dia menjadi semakin marah kepada para anggauta yang mengepungnya. Ketika dia melihat tosu penghuni kuil, yang dikenalnya dari kebiasaannya memiringkan muka, kemarahannya memuncak. Dia tidak memperhatikan serangan yang datang bagaikan hujan itu, melainkan memutar tubuhnya dan melesat ke arah tosu itu sambil membentak, “Tosu palsu keparat!” Tubuhnya disambut oleh banyak senjata, akan tetapi gerakan tangannya yang mendorong dengan ilmu mujijat Hok-liong Sin-ciang itu sedemikian hebatnya sehingga lima orang yang senjatanya langsung bertemu dengannya itu terjengkang seperti dilanda angin ribut, tosu yang memakai topeng setan itu sudah menusukkan pedangnya ke arah dada Thian Sin. Akan tetapi sebelum ujung pedangnya mengenai dada lawan, angin pukulan dari Hok-liong Sin-ciang sudah lebih dulu menyambutnya dan tosu ini mengeluarkan pekik mengerikan ketika tubuhnya terjengkang dan terbanting sedemikian kerasnya sehingga diapun tak berkutik, pingsan dan hampir mati kalau saja tadi Thian Sin tidak menahan tenaganya! Gegerlah keadaan di ruangan atas itu. Beberapa orang tamu yang memiliki kepandaian silat sudah melangkah maju hendak membantu pihak tuan rumah, akan tetapi Sian-su memberi isyarat dan mereka itu hanya berkumpul di belakang Sian-su, dengan senjata di tangan. Sikap mereka sudah jelas hendak melindungi dan membantu Sian-su kalau Pendekar Sadis berusaha menyerang ketua agama ini! Mereka itu rata-rata telah berjanji setia kepada Sian-su, tentu saja dengan keyakinan sepenuhnya bahwa mereka akan menikmati kesenangan dunia akhirat! Pengeroyokan semakin ketat, akan tetapi Thian Sin kini sudah menjadi marah betul dia ingin segera menyerang Sian-su dan membebaskan Kim Hong, dan ulah para anggauta Jit-sian-kauw ini dengan menghalanginya, maka tiba-tiba dia mengeluarkan pekik nyaring dan membiarkan dirinya menjadi sasaran banyak senjata. Akan tetapi, bukan dia yang terluka atau berteriak kesakitan, sebaliknya malah belasan orang itu kini terbelalak dan berteriak-teriak minta dilepaskan. “Lepaskan aku...! Lepaskan aku...!” “Lepaskan... aaahhh...!” Belasan orang itu membetot-betot senjata mereka yang menempel pada tubuh Pendekar Sadis, akan tetapi makin kuat mereka membetot, semakin kuat pula senjata itu melekat! Thian Sin telah mempergunakan ilmu mujijat Thi-khi-i-beng, yaitu ilmu sin-kang yang sudah sampai di puncak keku-atannya sehingga dapat menyedot tenaga sin-kang lawan melalui senjata atau tangan yang menempel di tubuhnya. Tenaga dalam mereka itu membanjir keluar melalui gagang senjata masing-masing dan terasa tersedot oleh kekuatan yang luar biasa besarnya! Melihat keanehan ini, Sian-su dan para pengikutnya memandang dengan mata terbelalak dan pendeta siluman itu merasa tengkuknya meremang. Belum pernah selama hidupnya dia berhadapan dengan seorang yang seperti itu lihainya-. Dia pernah mendengar tentang ilmu menyedot te-naga lawan ini, akan tetapi menganggapnya ilmu itu hanya dibesar-besarkan saja dan semacam do-ngeng. Akan tetapi sekarang, walaupun tidak meng-alaminya sendiri, dia telah menyaksikan betapa anak buahnya menjadi korban ilmu mujijat itu. Dia sendiri mengerti bagaimana sebaiknya meng-hadapi ilmu menyedot yang berbahaya itu, akan tetapi dia melihat keadaan yang lebih baik dari pada harus mati-matian mencoba untuk menunduk-kan Pendekar Sadis dengan kekerasan. “Hyaaaattt...!” Tiba-tiba Pendekar Sadis me-mekik dan belasan orang yang tadinya tersedot olehnya dan yang mulai pucat mukanya dan lemah gerakan mereka untuk meronta terlempar ke kanan kiri dan jatuh terbanting di atas lantai, mengeluh dan tidak kuat untuk berdiri lagi. Mereka ini harus mengumpulkan tenaga dan hawa murni untuk memulihkan kekuatan. Dengan mata mencorong seperti mata seekor naga sakti, Thian Sin kini melangkah mnaju perlahan-lahan. Para anggauta Jit-sian-kauw yang belum roboh masih mengepungnya dan ikut bergerak melangkah, akan tetapi tidak berani terlalu dekat, muka mereka pucat dan jelas terbayang wajah mereka betapa hati mereka jerih menghadapi pendekar yang luar biasa ini. “Berhenti, Ceng Thian Sin!” Tiba-tiba Sian-su membentak. Thian Sin tersenyum mengejek. “Tidak perlu menggertakku dengan ilmu sihir-mu yang tidak manjur, siluman!” “Berhenti atau pedangku akan menembus jantungnya!” Tiba-tiba Sian-su menggerakkan sebatang pedang dengan ujung pedang itu sudah menempel pada kulit putih di dada Kim Hong yang terbuka, tepat di antara dua bukit dadanya. Melihat ini, seketika Thian Sin menghentikan langkahnya dan matanya mengeluarkan kilat. Topeng tengkorak itu tersenyum lebar, penuh ejekan. “Hemm, kau lihat, aku masih menguasaimu, Pendekar Sadis. Memang engkau hebat dan gagah perkasa, akan tetapi belum tentu aku kalah olehmu.” “Pendeta jahanam! Kalau memang engkau laki-laki sejati dan jantan tulen, jangan mengancam orang yang sudah tidak berdaya karena kecurang-anmu! Hayo lawan aku sebagai laki-laki, atau kaubebaskan Kim Hong lalu melawannya tanpa kecurangan!” “Ha-ha-ha, menggunakan tenaga sedikit mungkin untuk mencapai kemenangan, itu adalah sikap cerdik dan bijaksana. Kalau engkau berkeras, aku akan bunuh wanita ini lebih dulu, berarti aku sudah menang separuh. Kecuali kalau engkau menyerah...” “Hemm, engkau hendak memaksaku untuk mengancam nyawa Kim Hong. Baik, kalau aku menyerah lalu apa yang hendak kaulakukan? Tidak urung engkau akan membunuh kami berdua juga!” Thian Sin mengepal tinjunya. “Dari pada melakukan kebodohan itu, menyerahkan diri untuk akhirnya kaubunuh juga bersama Kim Hong, lebih baik aku membiarkan kau membunuh Kim Hong lalu engkau... hemm.. Pendekar Sadis akan hidup lagi, akan menjadi paling sadis antara semua kesadisannya yang pernah dilakukannya untuk menyiksamu!” Tanpa disadarinya, pendeta siluman itu merasa betapa tengkuknya meremang dan jantungnya berdebar. Sungguh mengerikan mendengarkan ucapan dari pemuda tampan itu dan dia dapat merasakan bahwa ucapan itu bukanlah ancaman belaka. Orang ini harus dienyahkan, harus dibasmi. Kalau tidak, selama hidupnya akan terancam. “Aku bukan orang bodoh, Pendekar Sadis. Aku -berjanji, kalau engkau menyerahkan diri tanpa melawan, aku tidak akan membunuh kalian.” “Katakan, apa yang hendak kaulakukan terha-dap kami kalau aku tidak melawanmu dengan kekerasan!” “Apa yang akan kami lakukan adalah urusan kami. Akan tetapi kalau engkau menyerah tanpa - kekerasan, aku atas nama Jit-sian-kauw, atas nama Dewa Kematian, aku bersumpah untuk tidak membunuh Toan Kim Hong dan Ceng Thian Sin!” Diam-diam Thian Sin mengerti bahwa kalau dia menyerah, berarti dia mempertaruhkan nyawanya dan nyawa Kim Hong. Akan tetapi, dia per-caya bahwa pendeta siluman itu tidak mungkin- akan berani melanggar sumpahnya setelah bersum-pah demi nama Jit-sian-kauw dan Dewa Kematian, apa lagi disaksikan oleh semua pengikutnya. “Sumpahmu disaksikan oleh para tamu yang hadir saat ini!” kata Thian Sin menekan. “Benar, disaksikan oleh para tamu terhormat. Kami bukan golongan pengecut yang suka melanggar janji!” kata Sian-su dengan suara dibikin gagah. “Baik, aku menyerah.” Thian Sin berpendapat bahwa yang paling penting untuk saat itu adalah keselamatan dan keamanan mereka berdua. Soal nanti selanjutnya, biarlah, tentu akan ada jalan lain. “Akan tetapi, engkau harus menyingkirkan dulu Kim Hong dari sini dan biarkan ia mengaso dan jangan mengganggunya selama sehari semalam! Kalau engkau tidak mau berjanji seperti itu, sam-pai mati aku tidak mau menyerah dan kita lihat saja, siapa yang akan binasa dalam pertempuran di antara kita!” Ketua Jit-sian-kauw itu mengerti bahwa kalau pemuda itu mau menyerah, semata-mata adalah karena pemuda itu tidak ingin melihat Kim Hong mati. Dan dia sendiripun tidak berniat untuk membunuh Kim Hong. Sama sekali tidak. Dia mempunyai rencana sendiri terhadap diri Kim Hong. Dia sudah mendengar bahwa dara itu memiliki ilmu silat yang tidak kalah lihainya dibandingkan dengan Pendekar Sadis. Oleh karena itu, biarlah dia kehilangan Pendekar Sadis sebagai pembantu, asal berhasil membuat gadis lihai itu sebagai pembantunya, juga kekasihnya yang baru. Kecantikan Kim Hong sudah menarik hatinya dan diapun da-pat menguasai gadis itu dengan ilmu sihir, tidak seperti Pendekar Sadis yang kebal ilmu sihir. “Baiklah, Pendekar Sadis. Aku berjanji bahwa selain aku tidak akan membunuh kalian berdua, juga nona Toan Kim Hong akan dirawat baik--baik, dibiarkan beristirahat dan tidak akan mengganggunya selama sehari semalam. Nah, aku berjanji, disaksikan semua tamu terhormat!” Thian Sin melihat betapa Kim Hong yang masih lemas tertotok itu diangkut pergi oleh empat orang penari wanita setelah pendeta siluman itu memberikan perintahnya. Diapun lalu melemaskan tubuhnya. “Aku menyerah.” “Kami masih sangsi akan ketulusanmu, maka kami terpaksa akan membelenggu kaki tanganmu.” kata Sian-su. Thian Sin mengangguk dan diapun tidak memberontak dan mandah saja ketika dua orang anggauta Jit-sian-kauw mendekatinya dan membelenggu kedua tangannya ke belakang, juga kedua kakinya. Tiba-tiba, sehelai saputangan ditutupkan mukanya. Thian Sin mencium bau keras dan diapun tak sadarkan diri oleh obat bius yang amat kuat. *** Orang-orang Hong-kiam-pang merasa marah dan sakit hati sekali ketika mendengar bahwa dua orang murid mereka yang terkenal, yaitu Cia Kok Heng dan Kwee Siu, tewas di dalam langan Siluman Gaha Tengkorak. Mereka lalu mengadakan rapat darurat, memanggil semua tokoh murid mereka dan rapat itu dipimpin oleh dua orang pemimpinnya yaitu Im Yang Tosu yang menjadi ketuanya dan Bu Beng Tojin yang menjadi pembantu utama atau wakil ketuanya. Im Yang Tosu adalah seorang tosu berusia hampir tujuh puluh tahun, tubuhnya kurus dan pendek, akan tetapi wajahnya masih nampak segar dan gerakannya juga masih lincah. Tosu ini adalah tokoh Kun-lun-pai, maka tentu saja berhak untuk menjadi ketua Hong-kiam-pang yang menjadi cabang dari Kun-lun-pai. Ilmu kepandaiannya tinggi dan wataknya keras walaupun telah berpuluh tahun dia menjadi pendeta Agama To. Wakilnya yang berjuluk Bu Beng Tojin adalah seorang pendeta yang bertubuh tinggi kurus, bermata tajam dan bersikap lemah lembut dan pendiam. Akan tetapi dia merupakan seorang pembantu yang baik sekali, bahkan hampir semua urusan luar dari Hong-kiam-pang berada dalam pengawasannya. Seperti juga Im Yang Tosu, tentu saja Bu Beng Tojin ini mahir Ilmu Pedang Hong-kiam-sut, akan tetapi berbeda dari Im Yang Tosu yang mang menjadi murid yang pandai dari Kun-lun-pai, sebaliknya Ba Beng Tojin ini bukan murid Kun-lun-pai, melainkan ahli dalam pelbagai cabang ilmu silat berbagai aliran. Akan tetapi, setelah diuji oleh Im Yang Tosu sendiri, ternyata kepandaian Bu Beng Tojin ini cukup lihai, bahkan hanya sedikit di bawah tingkat Im Yang Tosu, oleh karena itu maka dia dipercaya dan diangkat sebagai pembantu utama atau boleh dibilang juga wakil ketua. Dalam banyak urusan, usul-usulnya selalu baik dan dapat diterima. Dalam menghadapi Siluman Guha Teng-korak sekalipun, Im Yang Tosu menyerahkan ke-pada wakilnya itu untuk mengatur bagaimana baiknya untuk membalas kematian dua orang murid mereka. “Sesungguhnya memang serba susah.” kata Bu Beng Tojin dalam rapat itu ketika ditanyai pendapatnya. “Perkumpulan kita selalu berusaha menjauhkan diri permusuhan. Akan tetapi dua orang murid kita tewas dan tentu saja kita tidak dapat membiarkan kematian itu lewat tanpa terbalas. Cuma ada satu hal yang harus diselidiki dengan teliti, apakah benar kedua orang murid kita itu tewas di tangan orang yang berjuluk Siliman Guha Tengkorak itu.” Suhengnya, Im Yang Tosu, menarik napas panjang. “Siancai...! Pinto sendiri tidak menghendaki adanya permusuhan antara Hong-kiam-pang dengan pihak manapun juga dan di dunia ini banyak terdapat orang jahat yang memenuhi pemukaan bumi. Tidak mungkin kalau Hong-kiampang lalu harus memusuhi dan berusaha membasmi semua penjahat itu. Maka kitapun tidak pernah mencampuri urusan Siluman Guha Tengkorak selama dia tidak mengganggu kita. Akan tetapi, Tujuh Pendekar Tai-goan adalah murid-murid kita, dan terutama sekali Cia Kok Heng dan Kwee Siu yang langsung adalah murid-murid pinto sendiri. Tak dapat disangkal lagi bahwa tentu Siluman Guha Tengkorak yang membunuh mereka. Bukankah isteri Kok Heng juga telah diculiknya?” Bu Beng Tojin juga menarik napas panjang. “Tidak ada akibat tanpa sebab, dan itulah hukum alam! Mungkin isteri Kok Heng terlalu cantik maka ia terculik, dan dua orang murid kita itu tewas karena mereka menggunakan kekerasan. Lalu sekarang apa yang suheng kehendaki dalam menghadapi umsan ini?” “Bukan hanya demi nafsu mendendam, sute, akan tetapi juga untuk membersihkan nama kita dan membersihkan dunia ini dari gangguan siluman itu. Kita harus serbu Guha Tengkorak dan membasmi siluman itu. Untuk ini, pinto serahkan siasatnya kepadamu.” Bu Beng Tojin mengangguk-angguk. “Jangan khawatir, suheng. Aku akan membawa anak murid kita dan menyelidiki keadaan Guha Tengkorak. Suheng tenang-tenang sajalah di sini menanti berita dari kami.” Demikianlah, pada malam hari bulan purnama itu, Bu Beng Tojin membawa para anak murid Hong-kiam-pang yang terkumpul sebanyak dua puluh lima orang menuju ke daerah Guha Tengkorak dan melakukan penyelidikan. Semua guha dimasuki dan diobrak-abrik. Akan tetapi mereka tidak menemukan sesuatu kecuali guha-guha kosong yang sunyi dan menyeramkan. “Kalian semua menjaga di depan guha, dan sebagian melakukan penyelidikan sambil meronda. Pinto sendiri diam-diam akan menyelinap ke belakang bukit, siapa tahu siluman itu akan melarikan diri dari jalan rahasia di belakang bukit. Kalian tidak boleh meninggalkan tempat ini sebelum pinto datang.” Demikian Bu Beng Tojin berpesan kepada para murid Hong-kiam-pang, agaknya hendak menggunakan siasat menggeprak dari depan membiarkan musuh lari lewat pintu belakang dan dia sudah menanti di sana untuk menyergapnya! Para murid Hong-kiam-pang itu dengan pedang telanjang di tangan, berjaga-jaga dengan penuh kewaspadaan. Mereka percaya akan kelihaian ji-suhu mereka, akan tetapi bagaimanapun juga, mereka merasa ngeri juga di tempat yang sunyi menyeramkan ini. Apa lagi kalau mereka ingat betapa Tai-goan Ji-hiap, Tujuh Pendekar Tai-goan yang kesemuanya amat lihai itu tewas di tangan siluman ini! Dan ji-suhu mereka itu pergi begitu lamanya. Sampai lewat tengah malam belum juga kakek itu kembali dan mereka tidak berani meninggalkan tempat itu seperti yang dipesan oleh ji-suhu mereka. Padahal, selagi berjaga, mereka mendengar suara-suara aneh, seperti dengung suara musik suling, yang-kim dan canang dipukul, dari tempat jauh sekali, kadang-kadang seperti terdengar keluar dari jurang-jurang terbawa angin. Padahal mereka tahu bahwa di sekitar tempat itu tidak ada dusun, dan suara musik itu juga bukan musik dusun, melainkan musik halus yang biasanya hanya terdapat di kota besar. Tentu saja hal ini membuat mereka semakin ngeri karena suara itu agaknya datang dari alam lain yang didatangkan oleh siluman-siluman! Tentu saja para anak murid Hong-kiam-pang ini tidak pernah menduga sama sekali bahwa suara musik itu memang keluar dari jurang karena jurang-jurang itu merupakan “jendela” dari tempat rahasia yang berada di balik bukit guha-guha itu, di dalam bukit yang bertebing tinggi itu. Mereka tidak pernah menyangka bahwa di balik guha-guha itu sedang dilangsungkan pesta gila-gilaan, pesta yang penuh kecabulan di mana nafsu berahi diumbar dan dilampiaskan begitu seja dengan liar tanpa mengenal malu-malu lagi. Juga pada malam hari itulah Thian Sin terpaksa menyerahkan diri karena ingin menyelamatkan Kim Hong. Akan tetapi dia lengah dan tidak memperhitungkan kecerdikan ketua Jit-sian-kauw itu. Ketika dia membiarkan dirinya dibelenggu, yakin bahwa tidak ada belenggu yang akan mampu menahannya, dan selagi dia mencurahkan perhatiannya kepada para pembelenggunya, tanpa disangkanya dia telah diserang oleh Sian-su dengan menggunakan saputangan yang mengandung obat bius yang amat kuat sehingga dia pingsan. Malam itu semakin larut dan suasana menjadi makin sunyi. Di luar daerah Guha Tengkorak itu makin sunyi melengang, sedangkan di dalam tempat rabasia dari perkumpulan Jit-sian-kauw itupun sudah mulai sunyi karena para tamunya sudah mulai membawa pasangan mereka, masing-masing ke tempat monyendiri untuk dapat berasyik-masyuk tanpa terganggu. Lampulampu sudah dipadamkan dan diganti dengan lampu-lampu yang terbungkus kain berwarnawarni sehingga suasana menjadi amat romantis dan coook untuk para pasangan itu melampiaskan nafsu berahi masing-masing sesuka hati mereka. Ganti-berganti pasanganpun terjadilah dan pesta gila itu akan berlangsung sampai matahari terbit pada keesokan harinya, setelah tubuh mereka tidak mengijinkan lagi untuk melanjutkan pesta-pora pelampiasan nafsu itu. Teriakan yang amat mengejutkan para murid Hong-kiam-pang itu terjadi lewat tengah malam. Mereka mengenal suara ji-suhu mereka di balik bukit, “Anak-anak... ke sinilah dan cepat bantu pinto!” Demikian ji-suhu mereka itu berteriak-teriak dan mereka mendengar suara desir angin pukulan, tanda bahwa ji-suhu mereka itu sedang berkelahi. Dan kalau sampai ji-suhu mereka itu berteriak minta bantuan, itu tentu berarti bahwa lawannya sunguh seorang yang luar biasa lihainya. Berbondong-bondong dua puluh lima orang itu berlari ke arah tempat itu dan di bawah sinar bulan purnama yang sudah mulai condong ke bawat itu mereka melihat ji-suhu mereka benar-benar sedang bertanding melawan seorang laki-laki yang memakai topeng tengkorak dan berpakaian serba putih dengan bagian dada ada lukisannya tengkorak darah. Siluman Guha Tengkorak! Dan mereka melihat betapa ji-suhu mereka kini sedang mengadu tenaga sin-kang dengan siluman itu, dua pasang tangan mereka itu saling lekat dan saling dorong! Para murid itu berhenti dan memandang dengan bingung. Mereka semula maklum bahwa kalau ji-suhu mereka sedang mengadu sin-kang seperti itu, mereka tidak boleh mengganggu. Selain tenaga sin-kang mereka masih belum mencapai tingkat setinggi tingkat suhunya, juga campur tangan mereka dapat membahayakan keselamatan ji-suhu mereka sendiri. Maka mereka hanya mendekat dan mengepung saja, siap dengan pedang di tangan untuk membantu kalau keadaan mengijinkan. Tiba-tiba terdengar Bu Beng Tojin mengeluarkan bentakan nyaring. Dia mendorong dan... lawannya itu roboh terpental dan terpelanting. Melihat ini, para murid Hong-kiam-pang cepat menubruk ke depan dan hendak menggerakkan pedang mereka untuk menyerang tubuh orang bertopeng yang sudah roboh itu. “Tahan! Biarkan pinto menangkapnya!” teriak Bu Beng Tojin mencegah para murid itu dan kakok ini lalu menubruk ke depan, monotok beberapa jalan darah lawannya yang seketika menjadi lemas dan lumpuh. “Keluarkan belenggu dan belenggu kaki tangannya. Jangan sakiti atau bunuh dia, biar kita membawanya menghadap suheng!” Bukan main girangnya hati para murid Hong-kiam-pang melihat betapa orang bertopeng tengkorak itu telah roboh pingsan. Mereka membelenggu dan menelikungnya seperti seekor babi hendak disembelih dan beramai-ramai mereka menggotong orang tawanan ini turun dari tebing. Bu Beng Tojin melarang mereka membuka topeng yang menutupi muka orang itu. “Inikah yang dinamakan Siluman Guha Tengkorak, ji-suhu?” tanya mereka kepada Bu Beng Tojin ketika mereka beramai pulang dengan hati gmbira karena kemenangan itu. “Siapa lagi kalau bukan dia? Dia lihai sekali, hampir pinto kewalahan menghadapinya. Untung pada saat terakhir kalian muncul sehingga perhatiannya tertarik dan sedikit banyak dia merasa terkejut dan khawatir sehingga hal itu mengurangi tenaga sin-kangnya, memungkinkan pinto untuk mengalahkannya. Pantas dia mampu merajalela dan mengacau karena memang ilmu kepandaiannya luar biasa lihainya.” “Susiok, kenapa kita tidak bunuh saja iblis ini agar arwah toa-suheng dan ji-suheng dapat menjadi tenang?” seorang pemuda berkata dengan sikap penasaran. Pemuda ini adalah murid Im Yang Tosu ketua Hong-kiam-pang. Ketua ini mempunyai lima orang murid, dan murid pertama dan ke dua adalah mendiang Cia Kok Heng dan Kwee Siu. Pemuda itu adalah murid ke tiga, maka dia menyebut susiok kepada Bu Beng Tojin. “Bersabarlah, kita tunggu saja keputusan dari gurumu.” jawab Bu Beng Tojin. Malam sudah hampir terganti pagi ketika mereka tiba di kuil mereka, disambut oleh para murid lain yang menjadi tegang dan gembira, juga ingin tahu sekali ketika mendengar bahwa Bu Beng Tojin telah berhasil menawan Siluman Guha Tengkorak! Bu Beng Tojin melemparkan tubuh siluman itu ke atas lantai ruangan depan. Para murid Hongkiam-pang mengepung tempat itu dan sebagian lagi melapor ke dalam. Karena Im Yang Tosu sedang samadhi, maka mereka tidak berani mengganggu dan menanti sampai tosu tua itu selesai samadhinya, sementara itu mereka mendengarkan Bu Beng Tojin menceritakan pengalamannya. “Memang menggelisahkan sekali menanti malam tadi, sendirian di balik bukit itu. Akan tetapt pinto yakin bahwa penjahat itu tentu akan keluar juga. Kita telah mempergunakan siasat mengancam di depan pintu dan membiarkan harimau lolos dari belakang. Kalau pinto membawa semua murid ke belakang, tentu dia tidak akan berani keluar. Pinto sendiri barsembunyi dan membiarkan dia mengira bahwa semua orang menyerbu dari depan. Akhirnya, diapun berkelebat keluar dari balik semak--semak yang pinto kira tentu merupakan jalan rahasianya. Nah, pinto lalu menyergapnya dan pinto sama sekali tidak mengira bahwa dia memang lihai bukan main sehingga pinto tidak segera memangil kalian. Akan tetapi, masih untung bahwa akhirnya pinto berhasil...” Tiba-tiba Bu Beng Tojin menghentikan kata-katanya dan menoleh ke luar dengan sikap kaget sekali. Semua orang cepat menoleh dan juga terkejut karena tiba-tiba saja seperti munculnya setan, di pekarangan itu telah berdiri seorang yang berpakaian putih-putib dengan sulaman tengkorak darah di dadanya, dan mukanya juga mengenakan topeng tongkorak! Keadaan orang itu persis dengan siluman yang telah ditelikung dan kini rebah miring di atas lantai, hanya orang yang baru datang ini tubuhnya agak lebih kecil. Tiba-tiba siluman yang baru datang ini dengan kecepatan kilat, sama sekali tidak tersangkasangka, menyambitkan sesuatu ke arah siluman yang terbelenggu. “Tak! Tak!” Dua buah benda hitam menyambar dan mengenai punggung dan leher siluman yang terbelenggu itu. Siluman ini nampak berkelojot sedikit lalu diam dan dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Bu Beng Tojin dan para murid Hong-kiam-pang ketika melihat bahwa siluman tawanan itu agaknya telah tewas karena mukanya pucat sekali dan napasnyapun terhenti! Bu Beng Tojin marah bukan main. “Keparat jahanam engkau!” Dan tosu yang bertubuh tinggi kurus ini sekali bergerak sudah meloncat ke depan, dan langsung menyerang siluman yang bertubuh kecil itu. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika siluman itu berkelebat dan sejenak lenyap dari pandang matanya, lalu tiba-tiba siluman itu yang telah berada di sebelah kirinya mengirim tamparan ke arah lehernya. “Plakkk!” Bu Beng Tojin menangkis dan dia lebih kaget lagi. Tubuhnya terdorong mundur oleh tangkisan itu dan kembali siluman itu telah menyerang dengan tendangan kilat yang memaksa tosu itu untuk meloncat mundur. Kini para murid Hong-kiam-pang sudah berloncatan datang, dan mereka serentak menggunakan pedang untuk menyerang. Tadinya mereka memang bingung dan termangu-mangu melihat munculnya seorang siluman lain lagi itu, akan tetapi kini mereka sadar bahwa yang disebut Siluman Guha Tengkorak tentu merupakan gerombolan yang mempunyai banyak anggauta dan semuanya mengenakan pakaian dan topeng seperti itu. Maka merekapun sudah menerjang dengan marah. Akan tetapi, siluman itu memang lincah bukan main dan memiliki gin-kang yang luar biasa. Tubuhnya berkelebat ke sana-sini seolah-olah dapat menyelinap di antara sambaran pedang-pedang itu. Ia sama sekali tidak gugup biarpun dikeroyok banyak orang, bahkan ketika Bu Beng Tojin sendiri juga sudah terjun dan menyerangnya. “Siancai... ternyata siluman ini berani mengacau di tempat pinto!” Terdengar bentakan halus dan disusul suara mencicit seperti tikus terjepit, ada sinar menyambar amat dahsyatnya. “Eh...!” Siluman itu mengeluarkan seruan kaget, akan tetapi biarpun pedang yang digerakkan oleh Im Yang Tosu itu amat hebat, ia masih semmpat melempar tubuhnya ke belakang dan dengan cara membuat poksai (salto) sampai lima kali, ia barhasil menghindarkan diri dari serangan sinar pedang yang bertubi-tubi itu. Akan tetapi, kakek tua itu sungguh lihai bukan main permainan pedangnya karena sinar pedang itu bergulung-gulung dan dapat mengirim serangan secara terus-menerus dan sambung-menyambung. Diam-diam ketua Hong-kiam-pang itupun terkejut setengah mati. Baru sekarang ini permainan pedangnya gagal selalu biarpun dia sudah mengeluarkan jurus-jurus pilihan. Siluman itu gesit bukan main dan gerakannya lebih cepat daripada sambaran sinar pedangnya! Sementara itu, Bu Beng Tojin sudah meloncat mendekati siluman yang terbelenggu dan sekali renggut dia telah melepaskan topeng tengkorak yang dipakai oleh siluman itu. Nampaklah wajah yang tampan dari Ceng Thian Sin! “Pendekar Sadis...!” teriak Bu Beng Tojin dengah suara terkejut dan heran. “Dia adalah Ceng Thian Sin, Pendekar Sadis...!” Berkata demikian, dia meloncat ke belakang. Semua orang terkejut. Para anak buah Hong-kiam-pang sudah mendengar tentang Pendekar Sadis dan tentu saja mereka terkejut sekali mendengar bahwa orang yang menyamar sebagai Siluman Guha Tengkorak itu adalah Pendekar Sadis! Bahkan Im Yang Tosu sendiri terkejut bukan main mendengar seruan pembantunya itu sehingga serangannya terhadap siluman kedua yang tadinya gencar menjadi berkurang. Kesempatan ini digunakan oleh siluman ke dua itu untuk meloncat ke samping, menjauh dan terdengar seruannya nyaring. “Thian Sin, mari pergi!” Para anak buah Hong-kiam-pang yang ingin sekali menyaksikan sendiri wajah siluman yang oleh Bu Beng Tojin dikatakan sebagai Pendekar Sadis itu, mendekati dan merubung Thian Sin yang sudah mulai menggerakkan kedua matanya. Sambitan dua buah kerikil hitam yang mengenai jalan darahnya tadi sudah membebaskannya dari totokan, akan tetapi karena pengaruh obat bius masih membuatnya nanar, maka baru sekarang dia mulai sadar benar-benar. Begitu mendengar suara yang amat dikenalnya itu, yang mengajaknya pergi, dia merasa seolah-olah kepalanya disiram air dingin dan seketika dia menjadi sadar sepenuhnya. Dalam sedetik saja tahulah dia bahwa dia dalam bahaya, bahwa kedua kaki tangannya terbelenggu. Cepat dia mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang ke dalam kedua kaki tangan dan sekali dia mengerahkan tenaga itu dan menggerakkan kaki tangan, terdengar suara keras dan semua belenggu itupun patah-patah! Para anak buah Hong-kiam-pang terkejut dan merekapun tadi ragu-ragu apa yang harus mereka lakukan setelah melihat kenyataan bahwa yang menjadi Silumah Guha Tengkorak adalah Pendekar Sadis! “Siancai...! Pendekar Sadis menjadi Siluman Guha Tengkorak dan membunuhi murid Hong-kiampang? Pinto harus membuat perhitungan!” Im Yang Tosu berseru marah dan kakek ini sudah menerjang lagi ke arah siluman ke dua dengan dahsyat, dibantu oleh murid-muridnya, sedangkan Bu Beng Tojin juga sudah mencabut pedangnya dan menyerang Thian Sin. “Totiang, telah terjadi kesalahpahaman besar...” Thian Sin yang sudah meloncat bangun dan cepat mengelak ketika pedang di tangan Bu Beng Tojin menyambar, mencoba untuk membantab dan menjelaskan. “Siluman busuk, tutup mulut!” bentak Bu Beng Tojin yang juga sudah marah dan dia mempercepat permainan pedangnya, dibantu pula oleh para murid Hong-kiam-pang. “Thian Sin, tidak perlu berbantahan. Lari...!” Siluman ke dua itu kembali berteriak dan dengan gerakan kilat dia sudah merobohkan seorang pengeroyok dengan tendangannya, kemudian dia meloncat dan pergi meninggalkan tempat itu, diikuti oleh Thian Sin. “Kejar! Tangkap...!” Bu Beng Tojin berteriak dan semua orang Hong-kiam-pang yang merasa marah dan penasaran itu melakukan pengejaran. Namun, mereka tidak mampu menyusul Thian Sin dan temannya yang sudah mengerahkan gin-kang mereka dan melarikan diri secepatnya. Setelah para pengejar tidak nampak lagi, barulah mereka berdua berhenti dan siluman tengkorak yang bertubuh ramping itu membuka topengya-. “Kim Hong...!” “Thian Sin...!” Mereka berdua saling rangkul dan saling cium dengan hati penuh kerinduan dan juga kegembiraan melihat bahwa keduanya akhirnya dapat bertemu dalam keadaan selamat. Setelah puas melampiaskan rasa rindu dan gembira hati masing-masing, Thian Sin menggandeng tangan Kim Hong dan mengajaknya duduk di atas batu besar. “Nah, sekarang ceritakan bagaimana engkau tiba-tiba dapat muncul di sini dan menyamar sebagai Siluman Guha Tengkorak pula,” kata Thian Sin sambil mengelus punggung tangan kekasihnya. Kim Hong lalu menceritakan semua pengalamannya semenjak ia pergi mencari jejak dan menyusul Thian Sin ke daerah Guha Tengkorak sampai ia terjebak dan tertawan karena terpengaruh oleh kekuatan sihir dari Sian-su atau ketua dari perkumpulan Jit-sian-kauw atau Siluman Guha Tengkorak. Seperti kita ketahui, dara ini berada dalam keadaan tidak sadar ketika ia tersihir dan hendak dijadikan auggauta baru dalam upacara pengangkatan angauta baru, bahkan ia terpilih sebagai calon jodoh dari Sian-su sendiri! Ketika ia bertemu dengan Thian Sin di dalam sarang Siluman Guha Tengkorak, ia sama sekali tidak dapat mengenal Thian Sin karena ia berada di dalam keadaan tersihir, bahkan ketika Thian Sin mengamuk, iapun tidak tahu dan hanya memandang dengan bingung saja. Akan tetapi, ketika ia hendak dibawa pergi, diam-diam Thian Sin mengerahkan segala kekuatan batinnya, menggunakan kepandaian sihirnya untuk membebaskan dara itu dari pengaruh sihir dan biarpun perlahan-lahan, ketika ia dibawa pergi, Kim Hong mulai sadar! “Aku tidak tahu apa yang terjadi dan ketika aku sadar, aku telah berada di dalam sebuah kamar yang indah, dilayani oleh tiga orang gadis cantik sebagai dayang. Ketika aku teringat bahwa aku telah terjebak dan tertawan, aku bangkit dan melihat bahwa di luar kamar itu terdapat beberapa orang pria yang memakai pakaian dan topeng Siluman Guha Tengkorak. Aku hendak mengamuk, akan tetapi pada saat itu pintu kamar terbuka dan di luar kamar nampak laki-laki tinggi yang agaknya menjadi kepala gerombolan itu...” “Itulah ketua Jit-sian-kauw atau yang disebut dengan sebutan Sian-su!” kata Thian Sin. “Iblis itu menunjuk kepadamu yang kulihat pingsan, sambil menodongkan pedangnya di lehermu. Dia mengancam bahwa kalau aku memberontak, dia lebib dulu membunuhmu, dan diapun katanya sudah mengancammu kalau engkau memberontak, dia akan lebih dulu membunuhku. Karena engkau tidak berdaya dan dia berjanji bahwa dia tidak akan membunuh kita berdua, aku bersabar diri dan engkaupun dibawa pergi. Aku menjaga kesehatanku dengan makan setelah yakin bahwa makanan itu tidak dicampuri obat bius. Aku mulai percaya bahwa agaknya Sian-su itu tidak berniat buruk dan benar-benar hendak bersahabat dengan kita.” “Hemm, dia menipumu. Dia menghendaki engkau menjadi isteri dan pembantunya.” Kata Thian Sin gemas. “Akupun mendengar akan hal itu malam tadi. Seorang wanita berlari-lari masuk ke kamarku sambil menangis. Beberapa orang penjaga bertopeng tengkorak yang berada di luar kamar hendak menangkapnya, akan tetapi aku meloncat dan menghardiknya. Agaknya mereka itu takut dan membiarkan wanita itu berlutut di depan kakiku.” Cerita Kini Hong makin menarik hati Thian Sin yang tidak dapat menahan keinginan tahunya lalu bertanya, “Apakah ia itu isteri mendiang Cia Kok Heng?” Kim Hong mengangguk membenarkan lalu gadis ini melanjutkan ceritanya. Wanita cantik yang usianya dua puluh tujuh tahun itu mula-mula menangis mengguguk sambil merangkul kedua kaki Kim Hong. Kim Hong mula-mula merasa heran dan menyangka bahwa ini tentu akal bulus dari parkumpulan gerombolan iblis itu untuk menjebak atau menipunya. “Enci, siapakah engkau dan kenapa engkau menangis?” akhirnya Kim Hong bertanya, memegang kedua pundak wanita itu dan menariknya bangkit duduk. Disengaja olehnya menekan pundak itu dan ia mendapat kenyataan bahwa wanita itu tidak pandai ilmu silat, dan hal ini membuat hatinya lega karena setidaknya ia yakin bahwa wanita ini tidak akan mampu menyerangnya secara menggelap. Wanita itu menyusut air matanya dun menahan isak tangisnya. “Lihiap... aku adalah seorang wanita yang paling sengsara di dunia ini...” Kembali ia menangis. Kim Hong mengerutkan alisnya. “Enci, bagaimana engkau tiba-tiba saja menyebutku lihiap? Bagaimana engkau tahu bahwa aku adalah seorang ahli silat, seorang pendekar wanita?” Wanita itu memandang keluar, ke arah orang-orang bertopeng tengkorak itu dan ia berbisik. “Mereka itu bercerita tentang Pendekar Sadis yang tertawan, juga tentang dirimu yang katanya merupakan sahabat pendekar itu dan lihai sekali, maka aku sengaja nekat lari ke sini... aku ingin memberitahukan hal penting sekali...” “Nanti dulu, enci. Siapakah engkau dan bagaimana engkau bisa sampai ke tempat seperti ini?” “Aku adalah satu di antara wanita-wanita yang berada di sini, seperti mereka ini.” Ia menunjuk ke arah gadis-gadis cantik yang menjadi dayang dan yang memandang heran dan tidak mengerti. “Namaku Lu Sui Hwa den seperti juga mereka, aku adalah wanita yang diculik. Ada yang datang ke sini karena bujukan, karena dibeli, karena diculik dan aku telah diculik. Mereka semua ini terbius dan tersihir, tidak tahu lagi apa yang mereka lakukan. Akan tetapi aku tidak dibius lagi, tidak disihir lagi setelah aku dibebaskan dari pengaruh sihir oleh Pendekar Sadis, tapi... tapi akupun terpaksa mentaati kehendak mereka, melayani mereka... diperkosa, dipermainkah... ahh...” Wanita itu mendekap mukanya dan air mata mengalir dari celah-celah jari tangannya. “Tapi, kalau engkau sadar dan tidak terbius, mengapa engkau mau menurut saja, enci?” Kim, Hong menegur dan mengerutkan alisnya. “Apa dayaku? Suamiku telah mereka bunuh, dan mereka telah menculik dua orang anak-anakku. Mereka mengancam bahwa selama aku menurut, anak-anakku tidak akan dibunuh... maka aku... demi kedua anakku, aku terpaksa menyerah... hu-hu-huhhh...” “Apakah engkau nyonya Cia Kok Heng, ibu kandung Cia Liong dan Cia Ling?” Tiba-tiba Kim Hong bertanya dan wanita itu menurunkan kedua tangannya, memandang kepada pendekar itu dengan muka pucat dan mata terbelalak. Mulutnya ternganga dan sejenak ia tidak mampu menjawab, hanya memandang dengan sinar mata penuh harapan. Akhirnya ia dapat juga membuka mulut dan bicara. “Benar... benar... mana mereka? Bagaimana mereka...?” “Tenangkan hatimu. Aku menyelamatkan mereka dari tangan iblis-iblis itu, kini mereka berada di tangan yang aman.” Tiba-tiba wanita itu berlutut dan mencium kaki Kim Hong. “Terima kasih... ah, terima kasih kepada Thian... terima kasih, lihiap...” Empat orang anggauta Siluman Guha Tengkorak kini berloncatan masuk ke dalam kamar itu dan hendak menyeret pergi Lu Sui Hwa atau nyonya Cia Kok Heng. “Pergi engkau dari sini, perempuan bandel!” Akan tetapi, kini Kim Hong tidak dapat menahan kesabarannya lagi. Tubuhnya berkelebat dan kaki tangannya bergerak. Hanya terdengar suara orang mengaduh berturut-turut diikuti tubuh empat orang itu terlempar ke kanan kiri dan mereka roboh tanpa dapat bangkit kembali karena mereka sudah tewas oleh pukulan dan tendangan Kim Hong yang dilakukan dengan kemarahan meluap tadi. “Enci, ceritakan apa yang ingin kaukatakan tadi? Pemberitahuan penting apa?” Kim Hong mendesak cepat. “Pendekar Sadis... dia dibawa oleh mereka... menurut pembicaraan mereka yang dapat kudengar, Pendekar Sadis yang pingsan itu diberi pakaian dan topeng Siluman Tengkorak kemudian hendak diserahkan kepada Hong-kiam-pang agar diadili dan dibunuh oleh perkumpulan yang mendendam kepada Siluman Guha Tengkorak... aku dapat mendengar segalanya karena aku tidak dibius dan mereka percaya aku tidak akan berani membocorkan rahasia...” “Perempuan keparat!” Terdengar bentakan-bentakan dan lima orang bertopeng masuk. Akan tetapi Kim Hong menyambut mereka dan melayani serbuan lima orang yang menggunakan senjata tajam itu. Kini Kim Hong tidak lagi ragu-ragu karena tahu bahwa Thian Sin tidak berada di situ dan bahwa janji Siluman Guha Tengkorak sama sekali tidak dapat dipercaya. Begitu kaki tangannya bergerak, gadis cantik yang pernah menjadi datuk kaum sesat di selatan dengan julukan nenek Lam-sin ini, dalam belasan jurus saja telah membunuh empat orang lawan dan ia sudah menotok seorang anggauta gerombolan yang tubuhnya kecil, kemu-dian ia melompat keluar kamar sambil membawa tawanannya. “Enci, aku akan pergi menolong Thian Sin...” Akan tetapi pada saat itu ia mendengar suara keras disusul jeritan mengerikan. Cepat ia monengok dan terkejutlah ia. Kiranya Lu Sui Hwa atau nyonya Cia Kok Heng, ibu dari kedua orang anak itu, telah roboh dengan kepala pecah di dekat tembok. Ternyata ibu muda yang putus asa karena selain suaminya terbunuh juga dirinya telah ternoda itu membunuh diri. Kim Hong memandang dan menggigit bibirnya. “Enci, pergilah dengan tenang. Aku akan meng-hancurkan gerombolan iblis ini dan akan menyela-matkan anak-anakmu.” Ia berbisik, kemudian menerjang keluar. Belasan orang anak buah perkumpulan itu mencoba untuk menghadangnya, akat tetapi dengan tamparan tangan dan tendangan ka-kinya, Kim Hong dapat membuat mereka semua cerai-berai dan membawa tawanannya meloncat ke atas genteng. “Hayo tunjukkan jalan keluar kalau engkau tidak ingin kucokel keluar matamu!” desis Kim Hong sambil meraba mata orang dengan telunjuknya. “Baik... jangan... lihiap... akan kutunjukkan...” Tawanannya itu mengeluh dengan suara gemetar dan tubuh menggigil ketika merasa betapa biji matanya diraba-raba jari! “Harap turun ke dekat menara itu, di sana ada jalan rahasia...” Kim Hong membawa tawanannya meloncat turun ke dekat menara. Dua orang anggauta gerombolan yang berjaga di situ menyerangnya dengar golok dan pedang, akan tetapi hanya dalam dua gebrakan saja Kim Hong telah membuat mereka terpelanting dan roboh pingsan. Atas petunjuk tawanan itu, ia berhasil memasuki terowongan rahasia dan akhirnya ia dapat keluar dari jalan rahasia itu sampai di balik tebing. Jalan ini adalah jalan yang diambil oleh Thian Sin ketika dia sebagai “utusan” Sian-su mengusir lima orang Bu-tong-pai. “Tunjukkan di mana adanya tempat orang-orang Hong-kiam-pang!” kembali Kim Hong membentak dan orang itu kelihatan semakin ketakutan. “Tidak... saya... tidak berani...” “Engkau lebih berani membangkang terhadap perintahku?” Kim Hong membentak dan sekali jari tangannya menotok orang itu lalu bergulingan di atas tanah sambil mengaduh-aduh. Dalam kegelisahannya akan nasib Thian Sin dan kemarahannya terhadap gerombolan itu, apa lagi setelah melihat Lu Sui Hwa membunuh diri, Kim Hong pada saat itu seperti telah berobah menjadi nenek Lam-sin lagi. Jalan darah yang ditotoknya itu adalah jalan darah yang membuat orang menderita rasa nyeri yang amat hebat sehingga seolah-olah seluruh tubuhnya bagian dalam dikeroyok ribuan semut api yang menggerogoti dagingnya! “Ampun... ampunkan saya...!” Orang itu terengah-engah dan bergulingan. “Kautunjukkan tempat itu?” Dengan suara dingin Kim Hong bertanya. Orang itu menangis saking nyerinya dan mengangguk-angguk. Barulah Kim Hong membebaskannya dari totokan yang menyiksa itu kemudian berkata, “Hayo cepat tunjukkan!” Dengan terpaksa orang itu menunjukkan kuil yang menjadi markas perkumpulan Hong-kiampang dan Kim Hong yang menyeret tubuh orang itu berlari seperti terbang cepatnya karena ia tidak ingin terlambat. Ketika ia tiba di luar pekarangan kuil ia merasa lega melihat Thian Sin masih dalam keadaan selamat dan banyak anggauta Hong-kiam-pang berkumpul di ruangan depan. Cepat ia lalu melucuti pakaian luar dan topeng orang itu dan tergesa-gesa memakai pakaian itu dan juga mengenakan topeng Siluman Tengkorak. “Demikianlah, Thian Sin,” Kim Hong mengakhiri ceritanya. “Aku berhasil membuat mereka terkejut dan membebaskan totokanmu dengan dua sambitan batu kerikil yang sudah kupersiapkan. Sekarang ceritakan pengalamanmu.” “Terima kasih, Kim Hong. Engkau telah menyelamatkan lagi nyawaku,” kata Thian Sin sambil menciumnya. “Tentang pengalamanku, sebaiknya kuceritakan dalam perjalanan saja. Sekarang yang perlu kita harus cepat-cepat menyerbu Guha Tengkorak untuk membasmi mereka sebelum mereka sempat melarikan diri atau membunuh wanita itu.” Kim Hong menyetujui dan sepasang pendekar sakti ini lalu mengerahkan gin-kang mereka untuk lari menuju ke Guha Tengkorak. Di sepanjang perjalanan, Thian Sin menceritakan pengalamannya dengan singkat. “Sian-su keparat itu memang benar hendak memegang janjinya, yaitu tidak akan membunuh kita berdua, akan tetapi dia hendak meminjam tangan orang-orang Hong-kiam-pang untuk membunuhku, kemudian dengan ilmu sihir dan obat bius-nya dia tentu akan berusaha untuk menguasai dirimu agar engkau suka membantu pekerjaannya yang terkutuk itu!” kata Thian Sin mengakhiri penuturannya. “Akan tetapi bagaimana engkau bisa berada di tangan orang-orang Hong-kiam-pang yang haus darah itu?” “Hushh, jangan kausebut haus darah. Mereka telah kehilangan tujuh orang murid, tidak aneh kalau mereka mendendam kepada Siluman Guha Tengkorak. Apa lagi kalau mereka ketahui bahwa gerombolan Siluman Guha Tengkorak memang sangat jahat dan keji, tentu sebagai pendekar-pendekar mereka itu akan menentang mati-matian. Dan aku yang berpakaian dan bertopeng seperti ini, tentu takkan mereka ampuni.” “Akan tetapi bagaimana engkau sampai terjatuh ke tangan mereka?” “Sudah kukatakan tadi, aku dalam keadaan pingsan oleh obat bius. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan diriku dan tahu-tahu aku telah berada di sana sampai kau datang. Tentu ini sia-sat Sian-su yang menyerahkan aku kepada Hiong-kiam-pang sebagai seorang Siluman Guha Tengkorak, dengan maksud agar orang-orang Hong-kiam-pang membunuhku.” “Sian-su keparat itu sungguh licik, curang, keji dan amat jahat. Kalau bertemu dengannya, aku pasti tidak akan memberi ampun padanya!” Kim Hong berkata dengan nada suara marah. “Akan tetapi engkau harus berhati-hati, karena dia memiliki ilmu sihir yang cukup kuat. Jangan lengah dan pergunakan semua ilmu penolak sihir seperti yang pernah kuajarkan kepadamu kalau dia mempergunakannya,” pesan Thian Sin dan Kim Hong mengangguk. Ia memang telah mempelajari cara-cara penolakan sihir dari kekasihnya itu dan kalau ia sampai pernah jatuh dalam pengaruh sihir dari ketua Siluman Guha Tengkorak, adalah ka-rena ia tidak menyangka sama sekali, tertipu oleh tosu kuil itu dan juga karena memang siluman itu memiliki kekuatan sihir yang amat kuat. *** Di dalam tempat rahasia ini perkumpulan Jit-sian-kauw itu, Sian-su mengumpulkan semua anak buah dan juga para tamunya. Sepasang mata di balik topeng itu nampak gelisah. “Para anggauta dan juga para saudara sekepercayaan semua yang mulia! Tempat pemujaan kita terancam bahaya besar! Pendekar Sadis dan pembantunya telah berkhianat dan tentu mereka itu akan datang mengacau di sini. Oleh karena itu, aku perintahkan kepada semua anggauta untuk bersikap waspada, menjaga semua jalan masuk dan memasang semua jebakan-jebakan. Dan kepada para saudara sekepercayaan, saya ha-rap sukalah mengeluarkan sedikit tenaga membantu mempertahankan tempat pemujaan kita yang keramat.” Dengan cekatan Sian-su lalu membagi-bagi tugas di antara anak buahnya yang tinggal tiga puluh orang lebih banyaknya itu, memerintahkan para gadis itu bersembunyi di ruangan dalam dan tidak memperbolehkan mereka keluar. Tosu Siok Cin Cu yang menjadi pembantu utamanya, dengan pakaian Siluman Tengkorak, mewakilinya untuk mengatur para anak buah dalam melakukan penjagaan. Kemudian Sian-su membujuk para tamunya yang ber-kepandaian untuk ikut melakukan penjagaan. Dinatara para tamunya itu terdapat sepuluh orang yang memiliki kepandaian silat tinggi dan mereka ini yang merasa betapa pusat kepercayaan mereka terancam oleh musuh, dengan senang hati mau membantu Sian-su. Kepercayaan yang membuta sering kali menyesatkan orang dan membuat manusia lupa bahwa segala macam agama atau kepercayaan diciptakan untuk manusia. Agama atau kepercayaan lain diadakan untuk menuntun manusia ke jalan yang dianggap benar dan baik. Jelaslah bahwa manusia-nya yang penting dan kepercayaan itu merupakan pelengkap dalam kehidupan, sebagai alat pene-rangan dan penuntun. Namun, betapa banyaknya kepercayaan yang membuta membuat para pemeluknya lupa bahwa manusianya yang penting dan mereka itu bahkan lebih mementingkan agama atau kepercayaannya, dan manusianya sendiri lalu menjadi alat belaka yang mudah saja dikorbankan demi kepercayaan atau agama itu. Dan yang memegang peran dalam hal ini adalah para pemimpinnya, para pendetanya yang mempergunakan nama agama untuk memenuhi ambisi pribadinya. Para pemeluk itu mau saja diseret ke dalam kancah permusuhan dan kebencian, bunuh-membunuh, rela berkorban untuk membunuh atau terbunuh, semua dilakukan demi nama mempertahankan agama atau kepercayaan seperti yang digembargemborkan oleh para pemimpinnya. Terjadilah keadaan yang sama sekali terbalik. Bukan lagi agama untuk manusia melainkan manusia untuk agama, bukan lagi agama sebagai alat manusia melainkan manusia menjadi alat agama. Demikian pula dengan para tamu dari ketua Jit-sian-kauw ini. Merekapun menyerahkan kepercayaan secara membuta dan di dalam penyerahan kepercayaan ini memang selalu terdapat hal-hal yang dianggap menguntungkan atau menyenangkan sebagai pendorong. Mereka, para pemeluk agama Jit-sin-kauw ini, telah menikmati ke-senangan jasmani berupa pesta-pora pemuasan nafsu--nafsu berahi, akan tetapi juga kesenangan batiniah yang berupa harapan bahwa kalau sudah mati kelak mereka akan memperoleh kesenangan karena sudah disediakan suatu tempat yang baik untuk mereka oleh Dewa Kematian yang telah mereka pujapuja dan beri korban. Kini, mereka rela untuk membela kepercayaan mereka, bahkan rela un-tuk mati kalau perlu, dengan keyakinan bahwa kematian itu akan berakhir dengan kesenangan bagi mereka. Para tamu ini sama sekali tidak tahu bahwa ketika mereka ikut berjaga dengan sibuk untuk mempertahankan “tempat pemujaan keramat” itu, di sebelah dalam kamar rahasianya, Sian-su yang dibantu oleh orang kepercayaannya, yaitu Siok Cin Cu, sedang sibuk sendiri membenahi barang-barang berharga yang amat berharga, semua dimasukkan ke dalam dua buah peti sampai penuh! “Siok Cin Cu, kita harus dapat menyelamat-kan dua peti ini lebih dulu. Pendekar Sadis dan wanita itu tidak boleh dipandang ringan. Engkau tahu ke mana harus menyembunyikan peti-peti ini kalau keadaan memaksa.” “Baik, Sian-su, jangan khawatir. Akan tetapi sudah demikian berbahayakah keadaannya sehingga Sian-su perlu berkemas dan berkhawatir?” tanya tosu Siok Cin Cu itu di balik topengnya. “Berbahaya sekali sih belum, akan tetapi kita perlu waspada. Para anak buah dan para tamu dengan bantuan jebakan-jebakan mungkin akan dapat menahan Pendekar Sadis dan temannya. Akan tetapi aku khawatir bahwa Hong-kiam-pang tidak akan mau sudah dan mereka akan berusaha untuk menemukan tempat kita. Im Yang Tosu agaknya berkeras hati benar untuk menggempur kita.” Siok Cin Cu menarik napas panjang. “Agaknya kita telah salah tangan membunuh Tujuh Pendekar Tai-goan itu, Sian-su, sehingga menjadi berlarut-larut memancing permusuhan dengan Hong-kiam-pang.” “Tidak salah tangan sama sekali. Pertama, mereka itu menentang kita. Ke dua, ada gejala-gejala bahwa di antara mereka itu megetahui rahasiaku. Mereka memang perlu dibinasakan untuk mencegah datangnya bahaya yang lebih besar.” Percakapan mereka terhenti ketika terdengar suara hiruk pikuk di luar. Mereka saling pandang dan dua pasang mata di balik topeng itu tampak gelisah. Akan tetapi Sian-su menenangkan diri dan berkata, “Siok Cin Cu, engkau membawa peti ini sebuah dan aku sebuah. Engkau mengambil jalan kiri dan aku ke kanan. Engkau tahu di mana kita dapat bertemu di luar tempat ini.” “Sian-su... hendak meninggalkan tempat ini? Apakah tidak menahan musuh dulu?” “Sstt, diamlah. Yang penting menyelamatkan dua peti ini baru kita pikirkan untuk menghantam musuh yang berani masuk ke sini. Mari, cepat!” kata Sian-su menyerahkan sebuah di antara dua peti hitam itu kepada Siok Cin Cu. Tosu ini menerima peti, mengangguk dan segera meloncat pergi dari kamar rahasia itu, bersimpang jalan dengan ketuanya. Memang telah terjadi pertempuran semenjak di terowongan. Seperti kita ketahui, Thian Sin dan Kim Hong menuju ke balik tebing untuk menyerbu sarang Jit-sian-kauw itu dari belakang, melalui jalan rahasia, yang telah mereka berdua ketahui. Akan tetapi sebelum menuju ke situ, Thian Sin mengajak Kim Hong untuk lebih dulu memasuki sebuah hutan kecil tak jauh dari situ. “Eh, kita ke mana?” tanya Kim Hong yang seperti juga kekasihnya telah menanggalkan pakaian dan topeng tengkorak. “Sudah kuceritakan kepadamu bahwa aku pernah terpaksa mengusir lima owang tokoh Bu-tongpai dan aku berhasil memberi tahu mereka tentang keadaanku dan minta kepada mereka untuk menanti di hutan ini. Nah, itu mereka!” kata Thian Sin ketika melihat Liang Hi Tojin keluar dari sebuah gubuk kecil bersama empat orang murid Bu-tong-pai. Cepat Thian Sin dan Kim Hong menghampiri mereka. “Siancai, siancai... sungguh tidak sabar kami menanti-nanti berita darimu, Ceng-taihiap,” kata Liang Hi Tojin sambil menjura ke arah dua pendekar itu. “Dan Toan-lihiap juga sudah datang, sungguh membesarkan hati!” Thian Sin dan Kim Hong yang sudah mengenal tokoh ke dua dari Bu-tong-pai ini segera membalas penghormatan mereka berlima. “Saya menanti saat baik dan kesempatan, totiang. Dan sekaranglah saat baik itu tiba.” “Kita menyerbu Guha Tengkorak? Tapi... kami tidak pernah menemui jalan masuk.” “Jangan khawatir, kami sudah tahu jalannya.” kata Kim Hong. “Mari ngo-wi (kalian berlima) ikuti kami.” Berbondong-bondong merekapun berangkat dengan penuh semangat. Orang-orang Bu-tong-pai ini bukan hanya ingin membalas kematian Louw Ciang Su murid Bu-tong-pai, seorang di antara Tujuh Pendekar Tai-goan, akan tetapi juga mereka merasa bertugas untuk membasmi gerombolan Siluman Guha Tengkorak yang telah melakukan pengacauan dan kejahatankejahatan kejam itu. Setelah menemukan jalan masuk rahasia melalui terowongan itu, Thian Sin masuk lebih dulu, diikuti oleh Kim Hong. Barulah, di belakang dua orang pendekar ini, Liang Hi Tojin dan empat orang murid keponakannya berjalan masuk dengan pedang siap di tangan mereka. Sebagai seorang yang pernah dipertaya oleh Sian-su, Thian Sin pernah melalui terowongan ini dan rahasia jebakan terowongan ini tidak disembunyikan darinya, maka sedikit banyak dia tahu di mana adanya jebakan-jebakan itu. Sebaliknya, ketika melarikan diri dari tempat itu, Kim Hong membawa seorang tawanan yang telah memberi tahu kepadanya adanya jebakan-jebakan sehingga ia bersikap hati-hati dan juga dalam keributan itu, terowongan tidak terjaga dan tidak ada anggauta gerombolan yang menggerakkan alat rahasia jebakan. Ketika tiba di sebuah tikungan terowongan, tiba-tiba Thian Sin berseru, “Awas anak panah!” Dan hampir berbareng dengan ucapannya, dari depan dan belakang menyambar puluhan batang anak panah ke arah mereka! Akan tetapi, orang-orang Bu-tong-pai itu sudah siap dengan pedang mereka dan dengan memutar pedang, anak panah yang menyambar mereka runtuh ke atas tanah. Kim Hong dan Thian Sin menggunakan gerakan tangan mereka menangkis, dan dua batang anak dapat ditangkap oleh Thian Sin yang cepat menggerakkan tangan. Dua batang anak panah itu meluncur ke atas dan terdengarlah jeritan orang disusul jatuhnya sesosok tubuh yang tadinya bersembunyi di bagian atas dan menggerakkan alat-alat yang meluncurkan anak-anak panah itu. Orang itu tewas dengan leher dan dada tertembus dua batang anak panah yang dilemparkan oleh Thian Sin tadi. Mereka melanjutkan perjalanan dengan hati-hati tanpa memperdulikan orang yang sudah tewas itu. Mereka melangkahi mayat itu dan dengan hati-hati Thian Sin terus melangkah maju, diikuti oleh yang lain. Terowongan itu tidak begitu gelap, agak remang-remang karena ada cahaya matahari yang masuk melalui beberapa celah-celah yang berada di langit-langit torowongan. “Berhenti...!” Tiba-tiba Thian Sin berbisik dan semua orang berhenti. Tidak nampak sesuatu yang mencurigakan di situ, akan tetapi mereka melihat Pendekar Sadis memberi isyarat agar mereka berhenti, sedangkan dia sendiri melangkah ke depan sambil melirik ke sana-sini dengan penuh kewaspadan. Tiba-tiba terdengar bunyi berderit dan lantai yang diinjaknya itu terbuka, sedangkan di dalam sumur di bawah itu nampak batu-batu meruncing menanti di bawah! Akan tetapi, Thian Sin sudah mengeluarkan suara melengking dan tubuhnya mencelat ke kanan, ke arah batu karang besar dan sekali tangannya menyambar, dia telah menangkap seorang laki-laki bertopeng tengkorak dan tubuh orang itupun dilemparkannya ke dalam sumur, sedangkan dia sendiri sudah meloncat lagi ke tempat semula di mana teman-temannya berdiri memandang dengan mata terbelalak ke dalam sumur. Orang yang terlempar itu mengeluarkan suara pekik mengerikan dan tubuhnya disambut oleh batu-batu karang yang seperti golok itu dan tewas seketika. Lantai itu masih terbuka dan terpaksa mereka bertujuh lalu melompati sumur itu dan melanjutkan perjalanan lagi ke depan. Tidak ada lagi jebakan yang menghadang perjalanan mereka, akan tetapi begitu mereka keluar dari pintu rahasia, mereka sudah diserbu oleh para anak buah Siluman Guha Tengkorak yang dibantu oleh sepuluh orang tamu pemeluk kepercayaan baru itu sehingga terjadilah perkelahian yang amat seru. Liang Hi Tojin mengamuk dan empat orang murid keponakannya juga mempermainkan pedang mereka, dikeroyok oleh para anggauta gerombolan Jit-sian-kauw yang dibantu oleh sepuluh orang tamu. Melihat betapa sepak terjang Liang Hi Tojin dan empat orang murid Bu-tong-pai itu cukup tangkas dan kuat, Thian Sin dan Kim Hong lalu sama-sama meloncat ke arah dalam. “Engkau dari kiri, aku dari kanan!” kata Thian Sin dan nona itu mengangguk mengerti apa yang dikehejndaki kekasihnya. Mereka berdua sudah tahu di mana adanya kamar Sian-su, dan memang ada dua jalan yang menuju ke kamar itu, sebuah kamar yang mewah dan di mana hampir setiap malam terjadi kecabulan. Pada saat itu, seorang yang berpakaian dan bertopeng Siluman Tengkorak sedang bergegas melarikan diri keluar dari lorong sambil membawa sebuah peti hitam. Orang ini bukan lain adalah Siok Cin Cu, tosu pembahtu utama Sian-su yang bertugas menyelamatkan sebuah peti berisi barang perhiasan itu. Diam-diam tosu ini merasa heran, mengapa Sian-su tidak lebih dulu menyambut dan menahan serbuan lawan melainkan lebih mementingkan untuk menyelamatkan barang-barang berharga itu. Akan tetapi karena dia sendiri maklum betapa lihainya Pendekar Sadis, tugas ini tentu saja menggembirakan hatinya. Dia tidak perlu menghadapi lawan yang mengerikan itu dan lebih enak menyelamatkan diri membawa peti perhiasan yang dia tahu amat berharga ini. Andaikata Sian-su gagal, dia sendiri masih mempunyai sebuah peti yang akan cukup untuk dimakan selama tujuh turunan dalam keadaan mewah! Ketika dia belari melalui lorong itu, tiba-tiba dia melihat seorang wanita cantik berdiri di depan. Dia mengira bahwa tentu seorang di antara para gadis dayang dan penari yang keluar dari tempat mereka dikurung. Melihat wanita cantik ini, Siok Cin Cu tersenyum di balik topengnya. Bagaimana kalau dia membawa wanita cantik itu bersamanya? Selain untuk teman di perjalanan juga untuk menghibur hatinya! “Hei, berani engkau keluar dari ruangan itu? Hayo kau ke sini dan ikut bersamaku....!“ Akan tetapi tiba-tiba Siok Cin Cu menghentikan kata-katanya setelah dia datang dekat dan mengenal wanita ini yang bukan lain adalah Toan Kim Hong! Kim Hong berdiri dengan senyum manis dikulum. Ucapan yang keluar dari balik topeng itu dikenalnya dengan baik dan senyumnya makin melebar menghias bibirnya yang merah basah dan manis ini. Ia lalu bertolak pinggang menghadang di tengah lorong. “Aihh, kiranya si pertapa Siok Cin Cu yang suci itupun mempunyai jubah dan topeng tengkorak? Totiong, tentu engkau tidak lupa kepadaku, bukan? Aku tidak pernah dapat melupakanmu dan budi totiang ketika membawaku ke susiok totiang itu sampai sekarang belum juga sempat kubalas!” Kim Hong berkata dengan nada manis dan ramah, akan tetapi sepasang matanya yang mencorong itu mengeluarkan sinar dingin yang membuat Siok Cin Cu merasa bulu tengkuknya meremang. Akan tetapi dia bukan seorang lemah. Dia adalah pembantu utama dari Sian-su dan dia telah memiliki ilmu kepandaiin tinggi. Karena maklum bahwa bicara banyak tiada gunanya dan bahwa wanita ini adalah teman dari Pendekar Sadis, maka sebelum pendekar itu sendiri muncul dia harus dapat merobohkan wanita ini. Maka dia lalu mengeluarkan bentakan nyaring dan dia sudah menggerakkan tangan kanannya untuk mencabut senjatanya, yaitu sebatang pedang dari pinggangnya, lalu dia menubruk ke depan dengan serangan kilatnya! Tangan kirinya masih memeluk peti hitam di dekat dadanya. “Singgg...! Wuuuutt...!” Tusukan pedang itu luput ketika Kim Hong dengan seenaknya mengelak akan tetapi tusukan itu dilanjutkan dengan sabetan sebagai serangan selanjutnya. Gerakan tosu ini memang cukup cepat. Namun, tentu saja dia hanya merupakan lawan yang lunak dari Kim Hong yang pernah menjadi datuk berjuluk nenek Lam-sin ini. Sambil tersenyum mengejek, Kim Hong kembali mengelak. Ia tidak cepat turun tangan terhadap tosu ini karena perhatiannya tertarik kepada peti hitam yang dipeluk si kakek. Tentu terisi benda penting maka hendak dilarikan oleh tosu ini, pikirnya. Oleh karena itu, timbul niat di hatinya merampas peti ini dan memeriksa apa isinya, baru ia akan menghajar tosu palsu ini. “Hyaaaatt...!” Kembali Siok Cin Cu menyerang dengan gerakan pedangnya yang berkelebat seperti kilat menyambar itu. Kim Hong cepat mengelak ke kiri dan ketika pedang itu menusuk ke arah matanya, ia miringkan kepala dan menggunakan tangan kiri untuk menjepit ujung pedang itu dengan ibu jari, telunjuk dan jari tengah, sedangkan kaki kanannya menendang ke arah muka lawan dengan gerakan kilat. “Brettt!” Tosu itu berteriak kaget, bukan hanya karena pedangnya seperti terjepit baja dan topeng tengkoraknya robek terkena ujung sepatu gadis itu, akan tetapi terutama sekali karena pada saat itu tangan kanan gadis itu sudah bergerak dan merampas peti hitamnya! Setelah berhasil merobek topeng sehingga nampak wajah Siok Cin Cu yang agak pucat dan berhasil pula merampas peti hitam, Kim Hong tertawa dan dengan tubuh membuat jungkir balik tiga kali, ia meloncat ke belakang lalu duduk sembarangan di atas lantai, membuka peti hitam itu. Wajahnya berseri, matanya terbelalak dan mulutnya tersenyum girang ketika ia melihat isi peti yang berkilauan, terdiri dari perhiasan-perhiasan emas perak penuh batu permata yang mahal-mahal itu. Dengan wajah pucat Siok Cin Cu memandang. Dia tahu bahwa nona itu lihai bukan main dan kalau berkelahi secara berhadapan, belum tentu dia akan menang. Maka, melihat betapa gadis itu kini terpesona oleh perhiasan di dalam peti seperti seorang anak kecil tertarik oleh mainan yang bagus, diam-diam dia lalu mengambil jalan memutar, mengitari gadis dalam ruangan itu dengan pedang siap di tangan. Setelah tiba di belakang Kim Hong, tiba-tiba dia meloncat, menubruk dan menggerakkan pedangnya untuk melakukan serangan maut yang kiranya tak akan mungkin dihindarkan oleh gadis yang sedang duduk di lantai dan tertarik oleh perhiasanperhiasan itu. Akan tetapi, tanpa menoleh Kim Hong menggerakkan tangan yang sedang memegang tusuk konde kumala tadi ke belakang dan gerakan tosu itu terhenti di tengah udara! Tubuh yang sedang mengangkat pedang hendak membacok itu tiba-tiba terhenti, seperti tertahan oleh kekuatan dahsyat, pedangnya terhenti di atas kepala lalu terlepas dan jatuh ke atas lantai, kedua lututnya terkulai dan tertekuk lalu tubuhnya jatuh berlutut, kedua tangan mendekap dada di mana tusuk konde itu amblas dan memasuki dadanya tepat menusuk jantung. Diapun roboh dan hamya berkelojotan sebentar. Tewaslah Siok Cin Cu tanpa dapat bersambat lagi, matanya terbuka memandang kosong ke arah peti hitam yang terbuka di depan Kim Hong. Kim Hong meloncat bangun dan menutupkan kembali peti hitam, lalu membawa peti itu dan berloncatan menuju ke kamar pusat di mana ia mengharapkan akan dapat bertemu dengan orang yang amat dibencinya, yaitu Sian-su atau Siluman Guha Tengkorak, ketua dari Jit-siankauw. Akan tetapi ia telah kalah dulu oleh Thian Sin. Seperti juga halnya tosu Siok Cin Cu, Sian-su atau Siluman Guha Tengkorak itu melarikan diri membawa sebuah peti hitam yang dipeluknya. Akan tetapi baru saja dia meninggalkan kamarnya dan tiba di ruangan sembahyang, tiba-tiba dia berhenti berlari dan memandang ke depan dengan mata terbelalak. Pendekar Sadis telah berdiri di situ sambil bertolak pinggang dan menentang pandang mata dengan senyum mengejek dan mata mencorong penuh kemarahan! Dapat dibayangkan betapa kaget hati Siluman Guha Tengkorak melihat pendekar ini. “Ah, Ceng-taihiap...!” katanya dengan suara yang ramah sekali, suara yang mengandung kekuatan sihir untuk menundukkan hati lawan. “Aku selalu memegang janji, tidak membunuh engkau atau Toan-lihiap...” “Basus, memang engkau tidak melanggar janji. Dan akupun tidak akan membunuhmu, hanya ingin menangkapmu dan menyerahkanmu kepada para tosu Hong-kiam-pang dan Bu-tong-pai.” “Pengkhianat kau!” bentak Sian-su dan diapun sudah menerjang den memukulkan tangan kanannya ke arah kepala Thian Sin. “Darrr...!” Thian Sin terkejut juga melihat sinar terang dan bunyi ledakan ketika ada benda menghantam dinding di belakangnya. Pukulan Sian-su tadi dielakkannya dan ternyata Sian-su itu tidak hanya memukul, melainkan juga melepaskan sesuatu dari kepalan tangannya ke arah kepalanya yang membentur dinding dan meledak, membuat dinding itu berlubang sebesar kepala orang. Kalau benda itu mengenai kepalanya dan meledak, tentu kepalanya yang akan pecah! Sian-su sudah menerjang lagi dengan penuh kemarahan dan karena tangan kirinya masih memeluk peti hitam, dia menggunakan pukulan tangan kanan secara beruntun dua kali dibantu oleh tendangan kakinya satu kali. “Dukk! Dukk! Desss...!” Thian Sin sengaja menangkis dua kali pukulan dan satu kali tendangan itu sambil mengerahkan tenaga keras lawan keras. Tubuhnya tergetar oleh pertemuan tenaga itu, akan tetapi juga Sian-su terdorong ke belakang sampai dua langkah dan terhuyung. Thian Sin tersenyum mengejek. “Ha-ha-ha, Siluman Guha Tengkorak! Sekarang keluarkanlah semua kepandaianmu. Mari kita lihat siapa di antara kita yang lebih kuat!” Siluman itu hanya menggeram dan kini dia sudah menerjang lagi karena Thian Sin menghalang di depannya. Tangan kanannya bukan memukul melainkan mencengkemm dan melihat betapa gerakan tangan itu berputar disertai bunyi suara mencicit nyaring, tahulah Thian Sin bahwa lawannya menggunakan ilmu pukulan yang amat keji, dan mungkin merupakan tok-ciang (tangan beracun). Akan tetapi, tentu saja Pendekar Sadis tidak takut, bahkan gentar sedikitpun tidak menghadapi cengkeraman ini. Diam-diam dia sudah merasa heran mengapa lawannya tetap memeluk peti hitam itu, padahal dalam pertemuan tenaga tadi saja siluman itu tentu sudah maklum bahwa tenaga siluman itu kalah kuat. Kalau bukan peti yang isinya amat berharga tentu siluman itu akan melepaskannya agar dapat menyerang dengan leluasa dan memper-gunakan seluruh kepandaiannya. “Wuttt... plakk...!” Tangan yang mencengkeram ke arah ubun-ubun itu dielakkan oleh Thian Sin, akan tetapi dibiarkan mengenai pundaknya dan dia telah menyambutnya dengan pengerahan tenaga Thi-khi-i-beng! “Aihhhh...!” Sian-su memekik terkejut bukan main ketika cengkeramannya yang mengenai pundak itu mengakibatkan tenaganya membanjir keluar, tersedot oleh kekuatan yang amat dahsyat dan pada saat itu, petinya telah terampas oleh Thian Sin. “Thi-khi-i-beng...!” serunya dan tiba-tiba tenaga cengkeramannya itu menghilang dan pada saat itu, dua jari tangan kirinya mencuat ke depan, ke arah kedua mata Thian Sin. Memang hebat juga ketua Jit-sian-kauw ini. Agaknya dia telah mengenal baik Thi-khi-i-beng dan tahu bagaimana caranya untuk menghadapinya. Dia telah menghentikan aliran tenaga sin-kangnya sehingga tidak sampai tersedot lagi`dan jari tangan kirinya yang menusuk ke arah sepasang mata lawan itu tentu saja tidak dapat dihadapi dengan Thi-khi-i-beng, karena sin-kang yang bagaimana hebatpun tidak mungkin dapat disalurkan melalui biji mata! Thian Sin maklum akan berbahayanya serangan lawan itu, maka diapun sudah meloncat ke belakang sambil membawa peti hitam. Akan tetapi, gerakannya itu memberi kesempatan kepada lawannya untuk meloncat ke kiri dan tiba-tiba saja siluman itu lenyap di balik sebuah tiang besar. “Siluman keparat hendak lari ke mana engkau?” Thian Sin membentak dan mengejar, akan tetapi di belakang tiang ini tidak ada apa-apanya dan si-luman itu lenyap tanpa meninggalkan jejak. Thian Sin menjadi penasaran sekali. Dia merasa yakin bahwa siluiman itu tidak meninggalkan tempat itu melalui lain jalan. Tadi hanya nampak meloncat ke belakang tiang ini dan lenyap. Maka diapun lalu menggerakkan tangan kanannya menampar ke arah tiang sambil mengerahkan tenaga. “Brakkkkk...!” Tiang yang tebal sekali itu, dua kali ukaran manusia tebalnya, pecah berantakan dan kiranya sebelah dalam tiang itu ber-lubang dan tiang itu adalah tiang palsu, bukan balok kayu melainkan papan yang dibentuk seperti tiang dan di dalamnya berlubang. Setelah pecah berantakan, nampak labang itu ke bawah. Thian Sin maklum bahwa itulah jalan rahasia yang dilalui oleh lawannya, maka tanpa ragu-ragu lagi sambil masih mengempit peti hitam, diapun meloncat ke dalam lubang yang ternyata tidak berapa dalam itu. Dia tiba di sebuah ruangan bawah dan terus meloncat ke arah pintu yang membawanya ke sebuah ruangan lain yang penuh dengan cermin. Cemin-cermin kecil yang bersambung-sambung itu mencerminkan dirinya menjadi banyak sekali. Tiap kali dia bergerak, Thian Sin melihat semua bayangannya itu ikut bergerak sehingga dia merasa seperti dikepung oleh banyak sekali orang, ada tiga puluh banyaknya, semua merupakan bayangannya sendiri. Akan tetapi sebagai seorang ahli silat, tentu saja gerakan-gerakan itu membuatnya terkejut dan waspada. Setelah yakin bahwa semua bayangan itu adalah bayangannya, barulah dia berani melanjutkan langkahnya, meneliti dan memeriksa cermin-cermin yang merupakan pintu-pintu tanpa kunci itu. Tentu saja, gerakannya memeriksa cermin-cermin itu, diikuti terus oleh semua bayangannya. Tiba-tiba Thian Sin meloncat ke kiri dan tujuh buah pisau terbang menyambar lewat, yang sebuah sempat menyerempet bahunya, merobek baju dan melukai kulitnya. Dia cepat menengok dan mencaricari dengan matanya, akan tetapi yang ikut bergerak-gerak hanya bayangan-bayangannya saja. Tidak ada bayangan orang lain. Dia berhenti dan matanya saja yang melirik ke sana kemarim, ke dalam cermin-cermin itu. Namun, yang nampak hanya dirinya sendiri. Tadi dia merasa sukar menangkap gerakan orang yang menyambitkan hui-to (pisau terbang) karena pandang matanya terpengaruh oleh semua gerakan bayangannya sendiri sehingga kalau ada bayangan orang lain, tentu gerakan orang itu dapat menyelinap dan tersembunyi oleh gerakan semua bayangannya sendiri itu. Thian Sin menjadi penasaran dan marah. Peti hitam itu ditaruhnya ke depan, menghantam ke arah pintu bercermin di depannya sambil mengerahkan tenaga. “Brakkk...!” Cermin itu hancur berkeping-keping dan di balik cermin terdapat dinding bata yang kuat. Akan tetapi pada saat dia memukul tadi, dia melihat sinar berkelebatan dari arah kanannya dan cepat dia menggulingkan tubuhnya. Kembali tujuh batang hui-to lewat dan karena dia tahu bahwa yang menyerangnya secara menggelap itu dari kanan datangnya, diapun lalu menubruk ke kanan ke arah cermin. “Brakkk...!” Cermin-cermin inipun hancur akan tetapi di belakangnya tidak terdapat siapasiapapun, kecuali dinding batu. Kini Thian Sin mengerti. Kalau dia diam saja dan semua bayangannya ikut diam, lawan tidak bergerak, akan tetapi kalau tubuhnya bergerak dan semua bayangannya tentu saja juga bergerak, kesempatan ini dipergunakan oleh lawannya untuk turun tangan karena gerakannya tentu akan kabur dengan gerakan semua bayangan itu. Kini dia pura-pura bergerak lagi dan diam-diam dia memperhatikan sekelilingnya. Benar saja, kini dia melihat bayangan lain, bukan bayangannya sendiri dari arah kirinya. Begitu melihat bayangan yang lain dari pada bayangannya sendiri, Thian Sin memekik dan tubuhnya mencelat ke kiri, kedua kakinya menendang dengan dahsyatnya ke arah cermin di mana tadi dia melihat gerakan yang bukan bayangannya. “Bresss...!” Terdengar suara orang mengaduh dan daun pintu di balik cermin itu pecah berantakan. Thian Sin melihat berkelebatnya orang yang meloncat ke depan dan melarikan diri. Cepat dia menyambar peti hitam dan melakukan pengejaran, akan tetapi Sian-su, orang itu yang biarpun terkena tendangannya akan tetapi ternyata masih terlalu kuat untuk roboh itu, telah lenyap lagi melalui jalan rahasia yang tidak diketahuinya. Karena merasa tidak sanggup mengejar lawan yang menggunakan jalan rahasia itu, dan mengkhawatirkan keadaan orang-orang Bu-tong-pai yang menghadapi keroyokan banyak orang Thian Sin dengan hati kecewa lalu berjalan kembali ke tempat semula. “Thian Sin...!” Ternyata Kim Hong yang memanggilnya itu dan gadis inipun membawa sebuah peti hitam yang serupa benar dengan peti yang dibawanya. “Apa yang kaubawa itu?” Thian Sin bertanya. “Kurampas dari Siok Cin Cu, tosu keparat pembantu ketua siluman. Dia telah kubunuh dan peti ini terisi harta yang agaknya hendak dilarikannya. Dan peti di tanganmu itu?” “Kurampas dari Sian-su, tosu kepara pembantu ketua siluman. Dia telah kubunuh dan peti itu terisi harta yang agaknya hendak dilarikannya. Dan peti di tanganmu itu?” “Kurampas dari Sian-su, sayang dia dapat melarikan diri melalui jalan rahasia yang tidak kukenal. Entah apa isinya...” Thian Sin menurunkan peti itu dan membuka tutupnya. Mereka memandang silau. “Hemm, isinya sama dengan isi peti ini,” kata Kim Hong. “Agaknya siluman itu bersama pembantunya sudah bersiap-siap hendak melarikan diri membawa harta benda hasil kejahatan mereka, seorang membawa sebuah peti penuh perhiasan.” “Sudahlah, mari kita bantu orang-orang Bu-tong-pai menghadapi para anak buah siluman...” “Kaubantulah mereka. Aku sendiri akan membebaskan para gadis yang tertawan sebelum terjadi sesuatu yang buruk terhadap mereka.” “Baik, dan sebaiknya engkau bawa dua peti ini bersamamu. Engkau tentu masih ingat bagaimana untuk membebaskan orang dari pengaruh sihir dan bius?” Gadis itu mengangguk. “Menotok dua belas Keng-siang-meh dan mengurut tujuh Ki-keng-meh, lalu mengguyur mereka dengan air dingin.” Thian Sin mengangguk dan mengelus dagu kekasihnya. “Bagus, engkau memang hebat. Nah, aku pergi.” Diapun lalu lari meninggalkan tempat itu untuk keluar membantu lima orang tokoh Butong-pai yang dikeroyok oleh banyak anak buah Silumah Guha Tengkorak dan para tamunya itu. Kim Hong juga meninggalkan tempat itu, membawa dua buah peti hitam yang diikatnya menjadi satu menggunakan tirai sutera yang terdapat di ruangan itu dan pergilah ia ke ruangan dalam untuk mencari gadis-gadis yang ia duga tentu dikumpulkan di suatu tempat. Dugaannya memang tepat. Ia menemukan hampir empat puluh orang wanita yang rata-rata masih muda dan cantik-cantik, dengan wajah yang pucat dan pandang mata kosong, duduk berkumpul di sebuah ruangan besar. Ada empat orang bertopeng menjaga di depan ruangan, membawa golok dan memandang beringas ketika ia datang membawa dua buah peti hitam itu. Empat orang penjaga ini segera mengenalnya sebagai gadis tawanan yang memberontak dan melarikan diri, maka tanpa banyak cakap lagi mereka sudah menerjang maju. Melihat berkelebatnya empat batang golok itu, Kim Hong menggerakkan tangan yang memegang sutera pengikat dua peti hitam. Sinar hitam yang lebar melayang, menyambut empat batang golok itu dan gerakan ini diikuti oleh kedua kaki Kim Hong yang menendang empat kali beruntun. Akibatnya, empat batang golok yang bertemu dengan peti-peti hitam itu terlempar, disusul tubuh empat orang itu yang terlempar pula, membentur dinding dan terbanting roboh, tak dapat bangun kembali karena ketika menendang tadi, Kim Hong mengerahkan tenaga pada kedua kakinya dan sekali tendang saja remuklah isi perut empat orang itu. Kim Hong mendorong daun pintu ruangan itu terbuka dan puluhan orang gadis itu memandang kepadanya dengan sinar mata ketakutan. Beberapa orang di antara mereka bahkan maju dengan sikap menantang. “Siapa kamu? Tidak boleh ada yang masuk ke sini kecuali ada ijin dari Sian-su!” kata seorang di antara mereka. Kim Hong mengangkat muka memandang dan ia tahu bahwa gadis yang usianya baru tujuh belas tahun lebih ini dan yang berwajah amat cantik adalah kekasih Sian-su atau setidaknya merupakan gadis yang paling disuka oleh ketua siluman itu. Akan tetapi, di balik sikapnya yang genit dan binal, juga pandang mata gadis itu kosong dan sayu tanda bahwa gadis ini penuh oleh hawa jahat atau sihir yang mempengaruhi dan wajahnya yang pucat itupun menandakan bahwa ia telah banyak terkena obat bius. Semua gerakannya itu tidak wajar dan gadis inipun telah kehilangan kepribadiannya. “Siapakah engkau?” Kim Hong bertanya dengan suara mengandung wibawa. Akan tetapi gadis itu tidak nampak takut, bahkan melangkah maju dan mengangkt dagunya dengan sikap tinggi hati. “Aku bernama Thio Siang Ci dan aku adalah murid terkasih dari Sian-su. Pergilah sebelum aku memanggil pengawal dan menangkapmu!” Kim Hong tersenyum dan menurunkan dua buah peti yang dibawanya, lalu tiba-tiba saja tubuhnya bergerak ke depan. Akan tetapi ia kecelik kalau menyangka bahwa gadis itu sebagai murid dan kekasih Sian-su tentu lihai ilmu silatnya. Ternyata gadis itu sama sekali tidak pandai ilmu silat, dan sama sekali tidak dapat menangkis atau mengelak ketika ia menotoknya menjadi lumpuh seketika. Terdengar jeritan-jeritan kaget dan marah dari para wanita itu. Akan tetapi Kim Hong tidak perduli dan cepat digerakkan jari-jari tangannya menotok jalan darah di tempattempat tertentu pada tubuh Thio Siang Ci itu dan mengurut jalan darah Ki-keng-meh. Gadis itu nampak tertidur pulas dan Kim Hong lalu meloncat dan mengambil sepanci air yang berada di sudut ruangan, lalu menyiramkan air itu pada kepala Thio Siang Ci. Gadis itu adalah pengantin yang telah diculik oleh Silumah Guha Tengkorak, yaitu puteri dari Thio Ki, kembang dusun Ban-ceng. Pada malam ia menjadi pengantin bersama The Si Kun, muncul siluman itu membunuh suaminya dan menculiknya. Siluman itu, atau Sian-su, tertarik oleh kecantikannya dan semenjak malam itu, di bawah pengaruh sihir dan bius, Thio Siang Ci menjadi kekasihnya. Begitu kepala dan mukanya terguyur air dingin, Thio Siang Ci gelagapan, terbangun dan seperti baru sadar dari mimpi buruk, ia bangkit dan memandang ke sekelilingnya. Matanya yang sudah tidak kosong lagi pandangannya itu terbelalak, mukanya pucat ketakutan melihat ke arah banyak gadis yang kini sudah serentak bangkit dengan marah itu. “Di mana aku...? Apa... apa yang terjadi...?” Dan agaknya ia teringat, karena tiba-tiba saja ia mendekap mukanya dengan kedua tangan dan menangis mengguguk, memanggil-manggil ayahnya. Sementara itu, gadis-gadis yang hampir empat puluh orang banyaknya itu sudah bangkit berdiri dan sebagian dari mereka yang berwatak pemberani, terdorong oleh kesetiaan mereka yang tidak wajar terhadap Sian-su, sudah maju hendak menyerang Kim Hong dengan cakaran dan gebukan. Kim Hong maklum bahwa mereka itu adalah wanita-wanita tak berdosa yang kehilangan kepribadiannya, maka iapun cepat bergerak berkelebatan di antara mereka dan robohlah mereka itu satu demi satu karena telah tertotok oleh pendekar wanita sakti ini. Yang lain-lain, yang ketakutan, kini berlutut dan tidak berani melawan. Kim Hong lalu bekerja dengan sibuk dan cepat, menotoki wanita-wanita itu dan mengurut jalan darah mereka. Kemudian ia mengguyur kepala mereka dengan air yang diambilnya dari kamar mandi sehingga ruangan itu menjadi becek dan basah. Akan tetapi kini keadaan dan suasana menjadi berobah sama sekali. Wanita-wanita yang sudah sadar akan dirinya itu lalu menangis sehingga suasana menjadi riuhrendah dengan tangis mereka seolah-olah di tempat itu terdapat perkabungan. Kim Hong adalah seorang pendekar wanita yang memiliki kekerasan hati seperti pria dan tidak lagi mengenal kecengengan. Melihat wanita-wanita menangis dengan cengeng ini, hatinya terasa mengkal dan iapun sudah bangkit bediri dan berkata dengan suara nyaring, “Kalian semua diamlah jangan menangis! Apa lagi yang perlu ditangisi? Kalian telah terseret ke tempat neraka ini, baik melalui bujukan beracun maupun diculik, dan kalian hidup dalam cengkeraman pengaruh ilmu sihir dan obat bius. Akan tetapi, hari ini aku Toan Kim Hong dan sahabatku Ceng Thian Sin datang untuk membasmi gerombolan siluman ini dan membebaskan kalian. Berkemaslah dan bawa barang-barang kalian masing-masing, kita akan keluar dari neraka ini dan kalian akan kembali ke keluarga kalian masing-masing!” Mendengar ini, bermacam-macam sambutan para wanita itu. Ada yang menangis mengguguk ada yang tersenyum-senyum gembira, ada pula yang ketakutan karena meragukan apakah keluarga mereka akan sudi menerima mereka kembali. Sebagian besar adalah mereka yang menangis ketakukan dengan penuh keraguan dan kegelisahan ini. Kim Hong agaknya maklum pula akan hal ini, maka iapun lalu berkata lagi. “Jangan khawatir, kami akan menjelaskan kepada keluarga kalian! Dan andaikata keluarga kalian begitu kejam untuk tidak menerima kembali kalian, kalianpun akan dapat hidup sendiri karena kami akan membagi-bagi semua harta peninggalan Siluman Guha Tengkorak ini di antara kalian sehingga kehidupan kalian akan terjamin!” Ucapan ini tentu saja merupakan hiburan dan dengan dipimpin oleh Thio Siang Ci, mereka semua menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Kim Hong sambil menghaturkan terima kasih sehingga bersimpang-siurlah ucapan terima kasih mereka. “Sudah... sudahlah, aku tidak mempunyai waktu untuk segala macam upacara ini!” Kim Hong menggerak-gerakkan tangan dengan sikap hilang sabar. “Di luar masih tedadi pertempuran dan aku harus membantu untuk membasmi para siluman itu. Marilah, cepat, kita harus keluar dari sini!” Para wanita itu kini sibuk berkemas dan merekapun berbondong-bondong keluar meninggalkan ruangan itu, mengikuti Kim Hong yang mengajak mereka keluar ke tempat di mana terjadi pertempuran. Bahkan dengan bantuan wanita-wanita ini, Kim Hong dapat menghindari jebakanjebakan rahasia. Para wanita ini biarpun tadinya hidup dalam keadaan tersihir dan terbius, mereka tidak kehilangan ingatan mereka dan mereka tadinya hanya hidup seperti dalam alam mimpi, kehilangan kepribadian dan mereka itu diberi minuman-minuman yang selain melumpuhkan kemauan sendiri, juga merangsang nafsu-nafsu mereka sehingga mereka hidup seolah-olah menjadi hamba nafsu yang harus melayani kebutuhan Sian-su, para anak buahnya dan para tamu dan semua itu dilakukan dengan rela sebagai bakti mereka terhadap para dewa, terutama Dewa Kematian yang mereka puja. Sementara itu, di luar daerah Guha Tengkorak terjadi pula kesibukan lain. Serombongan orang yang memegang pedang, dengan muka marah sekali berbondong-bondong menuju ke balik tebing Guha Tengkorak. Jumlah mereka ada tiga puluh orang, kesemuanya merupakan orangorang yang bersikap gagah dan dipimpin oleh dua orang tosu. Mereka adalah orang-orang Hongkiam-pang yang dipimpin sendiri oleh Im Yang Tosu dan Bu Beng Tojin, ketua dan pembantu utamanya. Seperti kita ketahui, para murid Hong-kiam-pang dan pemimpinnya ini marah sekali ketika mendapat kenyataan bahwa Siluman Guha Tengkorak yang telah membunuh tujuh orang anggauta atau murid mereka itu adalah Pendekar Sadis Ceng Thian Sin. Kemarahan mereka makin memuncak ketika Pendekar Sadis ditolong oleh seorang bertopeng tengkorak lainnya dan bersama siluman itu melarikan diri. Ten-tu saja mereka melakukan pengejaran dan mereka itu berpencar. Akan tetapi mereka kehilangan jejak Pendekar Sadis dan temannya di luar daerah Guha Tengkorak. Karena dua orang pemimpin mereka dapat berlari lebih cepat dan dalam pengejaran itu meninggalkan mereka, maka mereka kehilangan dua orang pimpinan dan mereka termangu-mangu menanti di depan deretan Guha Tengkorak, tidak tahu harus berbuat apa karena mereka tidak da-pat menemukan jalan masuk dari guha-guha itu. Setelah matahari naik tinggi dan mereka menanti dengan kesabaran yang hampir habis, tiba-tiba muncullah Bu Beng Tojin memanggul tubuh Im Yang Tosu yang terluka! Tentu saja para murid Hong-kiam-pang menjadi terkejut sekali. Akan tetapi hati mereka lega ketika melihat bahwa luka yang diderita oleh Im Yang Tosu itu tidaklah hebat, hanya luka kulit daging saja karena pundak kanannya tertusuk sebuah pisau. Bu Beng Tojin tadi memanggulnya karena ketua Hong-kiampang ini jatuh pingsan! “Pinto mencari-cari sampai ke belakang tebing, akan tetapi pinto kehilangan jejak silumansiluman itu,” kata Bu Beng Tojin menceritakan kepada murid-murid Hong-kiam-pang. “Agaknya subeng juga mencari sampai di sana dan entah apa yang terjadi, tahu-tahu aku mendapatkan suheng sudah menggeletak pingsan dengan sebuah pisau tertancap di pundaknya. Maka pinto lalu cepat-cepat membawanya ke sini untuk merawatnya.” Bu Beng Tojin sendiri yang merawat luka Im Yang Tosu dan akhirnya ketua Hong-kiam-pang ini siuman. Dia mengeluh dan bangkit duduk, lalu teringat akan apa yang terjadi dan menarik napas panjang. “Sungguh berbahaya sekali Pendekar Sadis yang menyamar sebagai siluman itu...” katanya. “Apa yang telah terjadi, suheng? Aku menemukan suheng dalam keadaan pingsan di sana, lalu suheng kubawa ke sini untuk dirawat.” Im Yang Tosu memandang kepada pembantunya itu. “Untung sute datang, dan agaknya musuh lari dan tidak sempat membunuhku melihat sute datang. Aku mengejar sampai di belakang tebing dan melihat bayangan memasuki semak-semak belukar lalu lenyap. Aku sudah memeriksa dan mencari akan tetapi tidak berhasil menemukan sesuatu. Ketika aku mulai menjadi bosan mencari dan hendak pergi, aku mendengar suara dari balik batu karang. Cepat aku mendekati dan ternyata ada rumpun alang-alang yang terkuak dan di balik rumpun alang-alang ini terdapat sebuah lubang. Pada saat itu, berkelebat bayangan di sebelah dalam lubang yang gelap dan tiba-tiba saja ada pisau menyambar. Aku kurang cepat mengelak dan pisau itu mengenai pundakku. Karena lukanya hanya luka daging, tak mungkin aku roboh karena itu, akan tetapi tiba-tiba aku mencium bau keras dam akupun tidak ingat apa-apa lagi. Agaknya iblis itu manggunakan racun atau obat bius...!” Bu Beng Tojin bangkit berdiri dam mengepal tinju mendengar penuturan suhengnya ini. Mukanya merah padam, dan dia nampak marah sekali. “Sungguh keterlaluan Pendekar Sadis itu! Kita harus membuat perhitungan, sekarang juga! Akupun melihat lubang itu, suheng dan agaknya itulah jalan yang menuju ke sarang mereka! Mari kita serbu sekarang juga!” “Tapi, susiok, bukankah suhu sedang terluka dan perlu beristirahat?” bantah seorang murid. “Aku tidak apa-apa, luka ini tidak ada artinya. Mari kita serbu dam basmi iblis kejam itu!” Im Yang Tosu juga berkata marah, bangkit semagatnya oleh sikap pembantunya. Demikianlah, mereka berdua lalu memimpin tiga puluh orang murid Hong-kiam-pang itu, berbondong-bondong pergi menuju ke balik tebing Guha Tengkorak. Karena dua orang pimpinan Hong-kiam-pang itu kini sudah menemukan jalan tembusan rahasia, yang merupakan terowongan membawa mereka ke sarang Jit-sian-kauw, maka mereka dapat memasuki terowougan itu dengan sikap hati-hati sekali. “Bagaimanapun juga, kita harus berhati-hati,” kata Bu Beng Tojin ketika mereka mulai memasuki terowongan dan dia berjalan paling depan. “Orang yang telah mampu melukai suheng, biarpun secara menggelap, amatlah berbahaya.” Di sepanjang jalan terowongan, mereka menemukan jebakan-jebakan yang sudah tidak bekerja dan rusak dan beberapa kali Bu Beng Tojin mengeluarkan seruan marah, “Keparat, sungguh jebakan yang kejam sekali!” terdengar dia berkata. Mereka melanjutkan perjalanan dan akhirnya tibalah mereka di pusat sarang gerombolan itu dan begitu mereka berloncatan keluar dari mulut terowongan, mereka tercengang memandang ruangan itu. Pendekar Sadis berdiri di tengahtengah ruangan bersama lima orang gagah dari Bu-tong-pai, dan di sekeliling ruangan yang luas itu nampak berserakan tubuh orang-orang yang memakai jubah dan topeng tengkorak! Ada pula yang berpakaian biasa, yaitu para tamu yang membantu gerombolan itu menghadapi orangorang Bu-tong-pai yang dibantu oleh Thian Sin! Ketika Thian Sin meninggalkan Kim Hong dan lari keluar, dia melihat betapa lima orang Bu-tongpai itu masih mengamuk. Akan tetapi mereka terkurung rapat dan mulai terdesak. Untung ada Liang Hi Tojin di situ, tokoh ke dua dari Bu-tong--pai yang hebat sekali permainan pedangnya sehing-ga untuk sementara, berkat kelihaian Liang Hi Tojin, kepungan itu dapat dibendung dan belum ada orang Bu-tong-pai yang terluka walaupun mereka telah lelah sekali dan sibuk mempertahankan diri. Pada saat Thian Sin hendak maju, ada orang yang merangkul kakinya. Thian Sin memandang ke bawah. Orang itu adalah seorang pemuda yang berpakaian mewah. Agaknya dia tidak ikut berkelahi akan tetapi keserempet senjata tajam karena pahanya terluka dan dia kelihatan ketakutan setengah mati. “Maafkan aku... ampunkan aku... ah, taihiap, ampunkan aku dan kelak aku akan memberimu uang sebanyak yang kauminta. Emas, perak, apa saja... asal taihiap suka membawa aku keluar dari tempat ini...” Dan orang itu menangis ketakutan. Thian Sin mengenal orang ini sebagai seorang di antara para tamu, yaita pemuda mewah yang dia lihat menerima janda Cia Kok Heng ketika janda muda itu diangkat menjadi anggauta baru, kemudian janda itu oleh Sian-su diberikan kepada pemuda mewah ini yang menggaulinya secara tak tahu malu. Kini dia dapat menduga bahwa tentu ada apa-apa antara pemuda kaya ini dengah Sian-su dan bukan tidak mungkin janda itu diculik oleh gerombolan Siluman Guha Tongkorak atas pesanan pemuda ini. “Ampun sih mudah! Akan tetapi akuilah apakah benar engkau yang memesan janda Kok Heng itu untuk kauperkosa?” Pemuda itu memang pemuda bangsawan dan hartawan she Phang dari Tai-goan. Pada saat itu dia berada dalam ketakutan yang luar biasa, maka mendengar ucapan itu, tanpa pikir panjang lagi diapun mengaku saja. Pokoknya, apapun yang per-nah dilakukannya akan diakui tanpa malu-malu lagi asal dia dibebaskan dan tidak dibunuh. Hati-nya sudah ketakutan melihat betapa orang-orang Bu-tong-pai itu mengamuk dan membunuhi banyak orang berkedok tengkorak dan begitu Thian Sin muncul, diapun mengenalnya sebagai pemuda yang diperkenalkan sebagai Pendekar Sadis, maka biarpun dengan merangkak-rangkak, dia menghampiri dan minta ampun. “Benar, taihiap... tapi ampunkan saya...” “Desss...!” Tendangan yang dilakukan oleh Thian Sin mengenai dagu pemuda she Phang itu. Tulang rahangnya patah-patah dan pemuda itu menangis, melolong-lolong. Thian Sin sudah menghampiri dengan langkah lebar dan sekali dia menurunkan kaki kanannya, dia telah menginjak pecah kepala orang she Phang itu seperti orang menginjak kepala ular saja. kemudian Thian Sin terjun ke dalam arena perkelahian dan begitu dia terjun, tentu saja keadaan menjadi berobah sama sekali. Setiap gerakan kaki tangannya disusul oleh teriakan mengerikan dan seorang pengeroyok terjengkang dan tewas. Dalam beberapa gebrakan saja dia telah merobohkan enam orang pengeroyok dan hal ini tentu saja membuat para anak buah gerombolan itu menjadi gentar sekali dan sebaliknya membuat lima orang Bu-tong-pai bertambah semangat. Demikianlah, ketika rombongan orang-orang Hong-kiam-pang tiba di tempat itu, mereka hanya melihat Pendekar Sadis dan lima orang Bu-tong-pai, sedangkan semua anggauta gerombolan Siluman Guha Tengkorak berikut para tamu yang ikut membantu mereka telah rebah malang melintang ada yang tewas dan ada pula yang luka-luka. “Pendekar Sadis, iblis jahat, kau harus menebus kematian murid-murid kami!” Im Yang Tosu yang memandang kepada pendekar itu dengan marah meloncat ke depan. Akan tetapi Thian Sin meloncat ke belakang dan berkata dengan suara nyaring. “Im Yang Tosu, sabarlah dan dengarlah dulu penjelasanku!” Akan tetapi tiba-tiba Bu Beng Tojin sudah menggerakkan pedangnya dan menyerang Thian Sin dengan dahsyat sambil berteriak, “Tak usah banyak cerewet lagi, dosamu sudah bertumpuk!” Serangan itu dahsyat, akan tetapi Thian Sin dapat mengelak dengan sigapnya tanpa membalas melainkan berseru, “Tahanlah, totiang...!” “Ceng Thian Sin, dosamu sudah bertumpuk, mau bicara apa lagi? Pinto sendiri yang menangkapmu sebagai Siluman Guha Tengkorak, dan dalam tawanan kami engkaupun ditolong oleh seorang auggauta gorombolon Siluman Guha Tengkorak! Sekarang engkau mau pura-pura lagi ?” Berkata demikian, Bu Beng Tojin dengan kemarahan meluap-luap sudah menerjang lagi dengan pedangnya, mengirim serangan maut yang amat berbahaya. Agaknya kakek pendeta ini sakit hati benar karena kematian tujuh orang muridnya, maka kini dia menyerang seperti orang yang mata gelap. Kembali Thian Sin mengelak cepat sehingga pedang itu bercuit lewat di atas kepalanya. “Tahan dan biarkan aku bicara, totiang!” Thian Sin berseru. “Sute, biarlah kita dengar apa yang hendak dikatakan Pendekar Sadis alias Siluman Guha Tengkorak ini!” kata Im Yang Tosu. “Perlu apa mendengarkan ucapannya yang palsu, suheng? Bukankah baru saja dia telah melukai dan nyaris membunuh suheng?” bentak Bu Beng Tojin yang tak dapat menahan kemarahannya, sepasang matanya berapi-api dan mukanya merah sekali. “Susiok, suhu minta kita mendengarkan dia bicara dulu. Untuk menyerangnya nanti juga masih belum terlambat,” kata seorang murid Im Yang Tosu dan saudara-saudaranya telah mengurung Pendekar Sadis dengan pedang terhunus. “Tidak perlu bicara lagi dengan iblis kejam ini!” bentak Bu Beng Tojin yang kembali menerjang dan menyerang Thian Sin. Pendekar ini mendongkol bukan main, akan tetapi karena dia teringat bahwa kemarahan tokoh ke dua dari Hong-kiam-pang ini adalah karena sakit hati mengingat muridnya tewas di tangan Siluman Guha Tengkorak, maka diapun menahan kedongkolan hatinya den mengelak ke kiri dengan cepat. Akan tetapi, tiba-tiba ada angin bercuitan dan sinar terang menyambar dari kiri. “Siancai, dosamu memang terlalu banyak, Pen-dekar Sadis!” itulah suara Im Yang Tosu yang sudah menyerangnya, terbangun semangatnya oleh kemarahan sutenya. Dan murid Hong-kiampang juga mulai bergerak menyerang Thian Sin. Tentu saja pendekar ini terkejut sekali dan cepat dia melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik menghindarkan sambaran pedang Im Yang Tosu yang amat lihai. “Trang-trang-trang...!” Ketika Bu Beng Tojin menyerang lagi, tiba-tiba pedangnya bertemu dengan pedang di tangan Liang Hi Tojin, tokoh ke dua dari Bu-tong-pai. Keduanya merasa betapa tangan mereka tergetar dan Bu Beng Tojin terkejut lalu melompat ke belakang, memeriksa pedangnya yang ternyata tidak rusak lalu dia menudingkan pedangnya kepada Liang Hi Tojin. “Bagus! Apakah pendeta Bu-tong-pai sekarang berpihak kepada gerombolan penjahat?” bentaknya. “Siancai! Bu Beng toyu dari Hong-kiam-pang, hendaknya bersikap tenang dan sabar. Setiap persoalan dapat dibicarakan dan siapa yang bersalah wajib dihukum. Akan tetapi pinto sendiri sangat ingin tahu mengapa justeru Ceng-taihiap yang dituduh sebagai Siluman Guha Tengkorak, padahal dia yang telah membasmi gerombolan ini?” “Toyu harap jangan mudah tertipu oleh kelicikannya!” Bu Beng Tojin berseru marah. “Sejak dahulu siapa yang tidak mendengar nama Pendekar Sadis yang amat kejam? Dan sekarang, pinto sendiri yang menangkap basah, ketika dia berpakaian dan bortopeng sebagai Siluman Guha Tengkorak. Agaknya dengan licik dia telah bersandiwara, menipu toyu dan kawan-kawan dari Bu-tong-pai, berpura-pura memusuhi Siluman Guha Tengkorak. Lebih baik toyu bantu kami untuk menangkapnya!” Berkata demikian, Bu Beng Tojin sudah hendak menyerang lagi. Suasana menjadi tegang karena para murid- Hong-kiam-pang kembali terpengaruh oleh ucapan susiok mereka, bahkan Im Yang Tosu juga memandang kepada Liang Hi Tojin dengan mata bersinar marah. “Betapapun juga, kami dari Hong-kiam-pang semua menyaksikan bahwa memang benar Pendekar Sadis pernah kami tangkap sebagai Siluman Guha Tengkorak dan dibebaskan oleh seorang anggauta gerombolan penjahat ini!” katanya. Pada saat itu, tiba-tiba pintu sebelah dalam terbuka dan muncullah Kim Hong yang membawa dua buah peti hitam diikuti oleh empat puluh orang gadis-sadis muda cantik yang masih kelihatan berduka itu. Gadis ini cepat meloncat ke depan ketika melihat Thian Sin dikurung oleh orangorang Hong-kiam-pang dan ia sempat mendengar ucapan Im Yang Tosu tadi. “Tahan...!” serunya dengan nyaring sehingga semua orang menengok dan memandang kepadanya. “Memang akulah orangnya yang telah menolongnya dari tangan orang-orang Hongkiam-pang yang haus darah dan yang ceroboh sekali dalam tindakan mereka! Memang kami telah menyamar sebagai anggauta gerombolan Siluman Guha Tengkorak, akan tetapi hal itu kami lakukan untuk dapat membasmi gerombolan ini seperti yang telah kami lakukan hari ini!” “Bohong!” Tiba-tiba Bu Beng Tojin berseru marah. “Gadis ini adalah teman baik Pendekar Sadis, tentu saja hendak membelanya! Kalau toh mereka berdua menentang gerombolan ini, agaknya untuk merampas harta kekayaannya. Buktinya, benda apakah yang dibawa oleh nona ini?” Bu Beng Tojin menunjuk dengan pedangnya ke arah dua peti hitam yang dibawa oleh Kim Hong itu. Gadis itu tersenyum. “Totiang, agaknya engkau terlalu curiga dan memandang bahwa orangorang lain kecuali para pendeta adalah orang-orang yang jahat. Tanyakan saja kepada gadisgadis ini, siapa yang membebaskan mereka dari cengkeraman Siluman Guha Tengkorak kalau bukan kami? Dan tentang dua peti ini, memang isinya adalah harta benda yang amat banyak!” Berkata demikian, Kim Hong sengaja membuka dua peti hitam itu dan semua orang terbelalak memandang kepada dua peti yang isinya penuh dengan benda-benda yang berkilauan, emas perak dan batu-batu permata yang sukar dinilai harganya. Melihat ini, Liang Hi Tojin mengerutkan alisnya dan memandang kepada Pendekar Sadis. “Taihiap, pinto sendiri tidak mengerti apa artinya peti berisi harta itu?” Sebelum Thian Sin menjawab dan memang pendekar ini masih bingun dan belum siap menjawab pertanyaan ini, Kim Hong telah berkata nyaring. “Totiang, harta kami ada puluhan kali lebih banyak daripada isi kedua peti ini. Apa artinya harta ini bagi kami berdua? Kami sengaja merampasnya dari tangan Siluman Guha Tengkorak dan pembantunya yang agaknya hendak melarikan dua buah peti harta ini keluar sarang. Dan kami sudah mengambil keputusan mengenai harta ini. Gadis-gadis ini telah banyak menderita, mereka diculik dan dibujuk oleh gerombolan jahat. Kini, mereka akan kami pulangkan ke keluarga masing-masing dan harta ini akan kami bagi-bagi untuk mereka, juga untuk keluarga Tujun Pendekar Tai-goan yang telah tewas. Bagaimana pendapatmu, Liang Hi Tojin?” “Siancai... sungguh merupakan pikiran yang baik sekali!” Liang Hi Tojin memuji. “Ceng-taihiap, harap maafkan keraguan pinto tadi.” Tokoh Bu-tong-pai ini menjura kepada Thian Sin yang hanya tersenyum dan memandang ke arah kekasihnya dengan kagum dan terima kasih. “Dan bagaimana dengan pendapat para pimpinan Hong-kiam-pang?” Kini Thian Sin bertanya kepada Im Yang Tosu dan Bu Beng Tojin. “Kalau memang benar seperti apa yang pinto dengar tadi, memang tepat sekali kalau harta itu dibagi-bagi kepada bekas para korban,” jawab Im Yang Tosu. “Dan bagaimana pendapatmu, Bu Beng totiang?” Thian Sin bertanya kepada Bu Beng Tojin yang masih kelihatan marah dan penasaran itu. Pendeta ini mengerutkan alisnya. “Kami adalah orang-orang yang mengutamakan kebenaran dan selalu akan menentang kejahatan. Kalau memang benar Pendekar Sadis bukan Siluman Guha Tengkorak, tentu saja kamipun setuju. Akan tetapi kami masih tidak mengerti bagaimana Pendekar Sadis sebagai orang yang menentang Siluman Guha Tengkorak, memakai pakaian anggauta gerombolan itu dan menyerang kami, bahkan tadi telah melukai suheng!” Sepasang mata pendeta ini memandang dengan penuh tantangan dan rasa penasaran. Thian Sin tersenyum. “Tidak aneh, totiang. Ketika itu, aku telah tertawan dan terbius oleh Siluman Guha Tengkorak dan agaknya aku sengaja diberi pakaian dan topeng anggauta gerombolan mereka, kemudian sengaja aku diserahkan kepada Hong-kiam-pang yang mendendam kepada Siluman Guha Tengkorak atas kematian tujuh orang muridnya.” “Tapi kenapa engkau menyerang pinto?” Bu Beng Tojin bertanya, mendesak penasaran. “Dan pinto sendiri yang menawanmu, disaksikan oleh semua anak murid Hong-kiam-pang!” “Huh, kalau dia dalam keadaan sadar mana mungkin engkau dapat menawannya?” Tiba-tiba Kim Hong berkata dengan suara galak dan dingin. Akan tetapi Thian Sin mengangkat tangan memberi isyarat agar kekasihnya itu menahan kemarahannya. “Bu Beng totiang, sudah kukatakan bahwa aku dalam keadaan tidak sadar dan terbius. Kalau aku kelihatan menyerangmu, hal itu tentu hanya akal dari Siluman Guha Tengkorak saja untuk mengelabui mata orang-orang Hong-kiam-pang. Ingat, siluman itu adalah seorang yang mahir menggunakan ilmu sihir! Dan tetang orang yang melukai Im Yang totiang, aku sama sekali tidak melakukannya karena aku dan Kim Hong sibuk menyerbu ke dalam sarang gerombolan ini. Agaknya tentu siluman itu pula yang melakukannya, mungkin ketika hendak melarikan diri, ketahuan oleh Im Yang totiang dan menyerangnya.” Im Yang Tosu mengangguk-angguk. “Sute, agaknya keterangan dari Ceng-taihiap itu benar semua. Sayang bahwa siluman itu tidak dapat berhadapan dengan pinto sendiri.” Dia menoleh ke kanan kiri melihat semua orang bertopeng tengkorak itu malang melintang. “Apakah taihian telah berhasil merobohkan siluman itu yang menjadi kepala gerombolan?” “Sayang, dia berhasil meloloskan diri, totiang. Akan tetapi aku bertekad untuk mencarinya terus dan baru berhenti kalau sudah dapat membekuknya.” Kim Hong dan Thian Sin, dengan disaksikan oleh Liang Hi Tojin, Im Yang Tosu dan Bu Beng Tojin, membagi-bagi harta benda itu kepada para gadis bekas korban gerombolan. Juga bagian untuk Cia Liong dan Cia Ling, diserahkan kepada Im Yang Tosu untuk mengurus dan menyerahkannya. Juga pada gadis itu lalu diantar oleh para anggauta Hong-kiam-pang untuk dikembalikan ke tempat tinggal masing-masing. Sebelum mereka meninggalkan tempat itu, mereka semua berlutut dan menangis, menghaturkan terima kasih kepada Thian Sin dan Kim Hong. “Im Yang totiang,” kata Thian Sin. “Mengingat bahwa mendiang saudara Cia Kong Heng adalah seorang murid Kun-lun-pai sebelum menjadi anggauta Hong-kiam-pang, maka aku harap totiang sudi menaruh kasihan kepada putera dan puterinya dan dapat menyuruh orang mengantar mereka ke Kun-lun-pai agar menjadi murid di sana. Harta bagian mereka dapat dipergunakan untuk perawatan mereka dan untuk bekal mereka setelah dewasa karena mereka sudah kehilangan ayah bunda.” Im Yang Tosu mengangguk-angguk dan mereka semua lalu meninggalkan tempat itu. Thian Sin lalu membakar sarang itu dan menghancurkan semua benda, termasuk tempat pemujaan yang juga menjadi tempat maksiat atau pesta-pesta cabul itu. *** Sampai hampir sebulan lamanya Thian Sin dan Kim Hong melakukan penyelidikan dan mencari jejak kaburnya Siluman Guha Tengkorak, ketua dari Jit-sian-kauw. Perkumpulan itu sendiri, yang merupakan gerombolan penjahat kejam, telah dapat dibasmi. Akan tetapi kalau kepalanya itu masih berkeliaran, maka dunia terancam bahaya besar. Di balik topeng tengkorak itu tersembunyi seorang manusia yang benar-benar berhati iblis, yang loba akan harta benda dan kedudukan, yang haus akan kesenangan cabul, dan terutama sekali amat berbahaya karena selain ilmu silatnya tinggi, juga pandai ilmu sihir. Maka, sudah bulat tekad dalam hati Thian Sin dan Kim Hong untuk mencari sampai ketemu dan membasmi Siluman Guha Tengkorak itu. Akan tetapi, siluman itu seperti telah menghilang ditelan bumi, sama sekali tidak meninggalkan jejak! Dan setelah menanti sebulan sambil menyelidiki dengan teliti, siluman itu tidak pernah terdengar beraksi. Namun, Pendekar Sadis dan kekasihnya itu adalah dua orang pendekar yang biarpun masih muda, telah memiliki pengalaman yang luas di dunia kang-ouw, terkenal pandai dan cerdik sekali sehingga tentu saja mereka tidak tinggal diam dan telah melakukan penyelidikan yang amat teliti, mengambil kesimpulan-kesimpulan dan pertimbangan-pertimbangan yang matang. Sementara itu, Im Yang Tosu telah menyuruh seorang muridnya untuk mengantarkan Cia Liong dan Cia Ling ke Kun-lun-pai dan bersama mereka, dibawakan pula bagian harta mereka untuk bekal kelak kalau mereka sudah dewasa. Dan pada suatu hari, kurang lebih sebulan semenjak gerombolan Siluman Guha Tengkorak ditumpas, Hong-kiam-pang mengadakan pesta. Karena Pendekar Sadis dan kekasihnya masih tinggal di sebuah hotel di Tai-goan, mereka berduapun menerima undangan. Pesta yang diadakan oleh Hong-kiam-pang itu selain untuk merayakan hari ulang tahun ketua Im Yang Tosu yang sudah genap berusia tujuh puluh tahun, juga untuk mengadakan sedikit perobahan dalam susunan pengurus perkumpulan itu. Im Yang Tosu sudah merasa terlalu tua untuk menjadi ketua Hong-kiam-pang dan kedudukannya sebagai ketua akan diserahkan kepada Bu Beng Tojin. Hal ini sebetulnya adalah wajar saja karena bukankan selama ini Bu Beng Tojin telah menjadi pembantu utama dari ketua itu? Akan tetapi, menurut desas-desus orang luaran, tentu akan terjadi perdebatan karena Hong-kiam-pang dianggap sebagai cabang dari Kun-lunpai, sedangkan Bu Beng Tojin sama sekali bukanlah murid Kun-lun-pai, walaupun hal ini bukan berarti bahwa dia asing akan ilmu silat dari Kun-lun-pai. Tokoh ini memang seorang ahli dalam berbagai macam ilmu silat, termasuk Kun-lun-pai dan karena inilah maka Im Yang Tosu percaya dan kagum kepadanya. Karena Hong-kiam-pang merupakan sebuah perkumpulan silat yang cukup ternama di daerah Tai-goan, maka dalam kesempatan itu, banyak juga jago-jago silat dan tokoh-tokoh kang-ouw yang datang berkunjung untuk menghaturkan selamat kepada Im Yang Tosu yang berulang tahun dan kepada Bu Beng Tojin yang diangkat menjadi ketua Hong-kiam-pang baru. Sejak pagi, berbondong-bondong para tamu mendatangi kuil Hong-kiam-pang itu dan mereka dipersilahkan duduk di pekarangan samping yang luas dari rumah perkumpulan yang ada kuilnya itu. Sebuah panggung yang tingginya hampir dua meter dan cukup luas dibangun, dan dua orang pimpinan Hong-kiam-pang sudah nampak duduk di atas kursi di panggung itu. Para anak buah Hong-kiam-pang yang gagah-gagah dan berpakaian serba baru menyambut para tamu, ada pula yang bertugas mengeluarkan arak dan melayani para tamu dengan sikap ramah, gagah dan cekatan. Thian Sin nampak datang sendirian dan dia disambut oleh murid kepala dan dibawa naik ke panggung melalui anak tangga, menghadap dua orang pimpinan Hong-kiam-pang. Pendekar ini memberi hormat dan memberi selamat kepada Im Yang Tosu dan berkata, “Semoga Im Yang totian diberkahi usia panjang oleh Thian dan selalu sehat lahir batin.” Im Yang Tosu mengucapkan terima kasih dan Bu Beng Tojin mengerutkan alisnya karena pendekar itu sama sekali tidak memberi selamat kepadanya. Walaupun secara resmi dia belum diangkat dan pengangkatan itu akan dilakukan nanti, namun tentu pendekar ini, seperti para tamu lain sudah mendengar akan pengangkatannya dan banyak yang sudah memberi selamat. Maka diapun diam saja hanya memandang kepada pendekar ini dengan alis berkerut. Thian Sin maklum pula akan sikap ini dan dia hanya tersenyum melihat tosu yang keras hati ini dan yang agaknya tak pernah dapat melenyapkan kebenciannya kepada dirinya. Dia lalu dipersilahkan duduk di bagian kursi kehormatan, yaitu belasan buah kursi yang berderet di tepi panggung. Di kursi kehormatan ini terdapat pula Thian To Sianjin, tokoh Kun-lun-pai yang mewakili perkumpulan itu menghadiri pesta yang diadakan oleh Hong-kiam-pang. Thian To Sianjin ini adalah seorang tosu Kun-lun-pai tingkat tiga dan usianya sudah enam puluh tahun lebih, sikapnya tenang dan ramah. Dia sudah mengenal baik kepada Thian Sin, maka begitu pemuda ini duduk di dekatnya, dia sudah menegur ketika pendekar itu memberi hormat. “Selamat bertemu, Ceng-taihiap. Kenapa taihiap hanya datang sendirian saja, dan mana Toanlihiap?” Hanya orang yang sudah kenal baik dan akrab sajalah yang berani menanyakan isteri atau kekasih seperti yang diucapkan oleh tokoh Kun-lun-pai kepada Thian Sin itu, Thian Sin tersenyum dan menjawab lirih. “Ia nanti tentu datang, locianpwe. Mungkin ada urusan sedikit yang membuatnya datang terlambat.” Thian Sin memang seorang pendekar yang berwatak halus dan pandai membawa diri sebagai seorang yang terpelajar. Terhadap para tokoh tua, dia tidak segan-segan untuk menyebutnya dengan sebutan locianpwe untuk mengangkat dan menghormati tokoh itu dan merendahkan diri sendiri, walaupun tingkat kepandaiannya tidak kalah oleh tokoh ini. Setelah waktu yang ditentukan tiba dan para tamu sudah memenuhi tempat itu, Im Yang Tosu lalu bangkit berdiri. Tosu tua ini masih memiliki suara yang nyaring ketika dia menghaturkan selamat datang dan terima kasih kepada para tamu yang telah memenuhi undangan Hong-kiampang dan mengucapkan selamat kepadanya yang telah berusia tujuh puluh tahun. Kemudian dia melanjutkan dengan pengumumannya yang ditunggu-tunggu oleh beberapa orang dengan hati berdebar. “Cu-wi yang terhormat, pinto telah berusia tujuh puluh tahun dan sudah tiba saatnya bagi pinto untuk mengundurkan diri dan hanya tekun bersamadhi. Akan tetapi Hong-kiam-pang yang dapat dibilang masih muda, harus hidup terus. Akan tetapi sebuah perkumpulan tak mungkin hidup tanpa pimpinan dan setelah pinto mengundurkan diri, maka pinto akan menyerahkan pimpinan Hong-kiam-pang kepada sute pinto, yaitu Bu Beng Tojin.” Tiba-tiba nampak kegelisahan di antara para murid Hong-kiam-pang. “Suhu...!” Im Yang Tosu menoleh dengan alis berkerut. Seorang laki-laki berusia empat puluh tahun yang bersikap gagah telah naik ke atas panggung, lalu memberi hormat kepada Im Yang Tosu. “Suhu, bukan sekali-kali teecu bermaksud kurang sopan dan membantah keputusan suhu. Akan tetapi teecu mewakili para murid suhu yang juga menjadi murid Kun-lun-pai, menyatakan suara hati kami.” Im Yang Tosu kelihatan tidak senang dan dia membentak, “Sui Lok, apa maksudmu mengganggu pernyataanku?” “Suhu, perkumpulan kita adalah cabang dari Kun-lun-pai dan suhu sendiri adalah seorang tokoh Kun-lun-pai sebagai pendiri Hong-kiam-pang. Kami tahu bahwa susiok Bu Beng Tojin memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan menjadi pembantu dan kepercayaan suhu. Akan tetapi, mengingat bahwa susiok Bu Beng Tojin bukanlah murid Kun-lun-pai, maka kami merasa berat untuk menerima beliau sebagai ketua...” “Sui Lok, apakah engkau menganggap bahwa kedudukan ketua itu sebaiknya dioperkan kepadamu saja?” Tiba-tiba Bu Beng Tojin yang sudah bangkit dan mendekati suhengnya dan memandang kepada murid keponakan itu dengan sinar mata marah. “Biarpun suheng merupakan tokoh Kun-lun-pai, akan tetapi Hong-kiam-pang adalah sebuah perkumpulan yang bebas dan terlepas dari induk perkumpulan manapun. Katakanlah bahwa Ilmu Hong-kiam-sut memiliki sumber dari Kun-lun-pai, akan tetapi ilmu itu terus diperkembangkan dan sama sekali bukan cabang dari Kun-lun-pai. Suheng telah memilihku, dan aku sendiri sudah bertahun-tahun mengurus Hong-kiam-pang. Seorang ketua haruslah anggauta perkumpulan dan hendak kulihat, siapakah di antara para anggauta Hong-kiam-pang yang lebih mahir Ilmu Pedang Hong-kiam-sut dari pada aku. Yang merasa lebih pandai, silakan maju!” “Tapi susiok...” Sui Lok yang mewakili saudara-saudara seperguruannya itu hendak membantah, akan tetapi Im Yang Tosu segera menengahi. “Sui Lok dan semua murid-muridku, hendaknya tidak ada yang membantah apa yang telah menjadi keputusanku. Ketahuilah bahwa dalam hal memperkembangkan ilmu pedang kita, sute Bu Beng Tojin telah banyak membantu dan memberi saran. Pinto sendiri, sebagai pencipta dan pendiri Hong-kiam-pang, belum tentu mampu menandinginya dalam hal ilmu pedang perkumpulan kita. Nah, siapa lagi yang lebih pantas memimpin Hong-kiam-pang kecuali dia? Tentang Kun-lun-pai, agaknya... memang benar pendapat sute. Tadinya kita menganggap perkumpulan kita sebagai cabang Kun-lun-pai hanya karena mengingat bahwa pinto adalah seorang murid Kun-lun-pai. Akan tetapi, mengingat betapa para anggauta dan murid Hong-kiampang terdiri dari bermacam aliran, maka tidak tepatlah kalau dikatakan bahwa Hong-kiam-pang adalah cabang Kun-lun-pai.” Mendengar betapa pendiri Hong-kiam-pang sendiri agaknya berkeras membela Bu Beng Tojin, para murid Hong-kiam-pang menjadi gelisah dan bingung, sedangkan Sui Lok sendiri lalu menoleh ke arah Thian Sin yang duduk di dekat Thian To Sinjin dan dia melihat pendekar itu masih tersenyum-senyum tenang saja. “Suhu, karena di sini terdapat supek Thian To Sinjin sebagai wakil Kun-lun-pai, biarlah teecu mohon petunjuk beliau saja!” akhirnya Sui Lok berkata dengan suara nyaring. Para tamu yang mendengar perbantahan itu tidak ada yang berani mencampuri, akan tetapi diam-diam mereka merasa tegang dan gembira karena dapat menduga bahwa di dalam pengangkatan ketua baru ini agaknya terdapat suatu kericuhan atau mungkin juga perebutan kekuasaan. Karena Sui Lok menyebut namanya, kini semua mata ditujukan kepada tokoh Kun-lun-pai itu. “Siancai...! Kami sebagai tamu sebetulnya tidak seharusnya mencampuri urusan dalam. Akan tetapi karena nama kami disebut, biarlah kami mengemukakan pendapat kami sebagai wakil Kun-lun-pai.” Kakek itu berkata lantang dengan sikap yang gagah. “Sebuah perkumpulan tentu saja ditentukan oleh pendirinya, dan karena Hong-kiam-pang didirikan oleh sute Im Yang Tosu, maka terserah kepadanya kalau hendak memisahkan perkumpulan ini dari Kun-lun-pai. Hanya kami peringatkan bahwa kalau tidak mau disebut sebagai cabang Kun-lun-pai, selanjutnya sama sekali tidak boleh menyebut-nyebut nama Kun-lun-pai dan segala sepak terjang para murid Hong-kiam-pang bukan lagi menjadi tanggung jawab Kun-lun-pai. Hanya itulah yang perlu pinto jelaskan.” Kakek itu lalu duduk kembali. Bu Beng Tojin dengan muka merah lalu berkata, suaranya lantang, “Baik sekali! Memang sejak dahulu tidak ada hubungan apa-apa antara Hong-kiam-pang dan Kun-lun-pai. Kami mempunyai anggaran dasar dan peraturan sendiri. Kami menerima murid-murid dari berbagai aliran, bukan hanya dari aliran Kun-lun-pai. Nah, sebagai seorang ketua baru, sejak detik ini pinto menyatakan bahwa Hong-kiam-pang bukan cabang Kun-lun-pai dan segala sepak terjang Hong-kiam-pang tidak ada sangkut pautnya dengan Kun-lun-pai!” “Bu Beng Tojin, perlahan dulu!” Tiba-tiba terdengar suara yang lebih nyaring lagi, membuat semua orang memandang dan ternyata Thian Sin telah berdiri di depan Bu Beng Tojin dan Im Yang Tosu, di atas panggung. Melihat majunya pendekar ini, Sui Lok lalu cepat mengundurkan diri dan bercampur dengan saudara-saudaranya. Semua orang menjadi semakin tegang dan gembira. Urusan menjadi makin terbelit dan banyak pihak yang tersangkut, apalagi mereka yang mengenal pemuda gagah itu sebagai Pendekar Sadis, menjadi bertanya-tanya di dalam hati apa hubungan Pendekar Sadis dengan pengangkatan ketua Hong-kiam-pang itu. “Pendekar Sadis! Engkau yang banyak dibenci karena kekejaman dan sepak terjangmu, ada urusan apa engkau sebagai orang luar hendak mencampuri urusan dalam Hong-kiam-pang kami?” Bu Beng Tojin membentak dengan mata melotot marah. “Memang banyak yang membenciku, Bu Beng Tojin, akan tetapi yang membenciku adalah para penjahat karena aku selalu menentang kejahatan. Dan apa urusanku, kaudengarkan saja.” Thian Sin lalu menghadapi Im Yang Tosu, sepasang matanya mencorong dan suaranya mengandung getaran kuat sekali. “Im Yang totiang, sadarlah dan ingatlah baik-baik, sudah sepenuh hatimukah maka totiang mengangkat Bu Beng Tojin sebagai penggantimu, menjadi ketua baru Hong-kiampang? Ingat baik-baik dan sadarlah!” Semua orang terkejut melihat kekasaran Thian Sin dan melihat betapa kakek tua itu terbelalak dan mukanya berobah pucat. “Apa...? Pengangkatan ketua baru? Ah, tentu saja... hal it tergantung kepada pemilihan para anggauta...” “Suheng! Bukankah suheng telah mengangkatku sebagai ketua baru? Aku, Bu Beng Tojin, yang suheng tetapkan untuk menjadi ketua baru menggantikan suheng!” Juga dalam suara Bu Beng Tojin ini terkandung kekuatan yang hebat. Wajah Im Yang Tosu nampak semakin pucat dan napasnya terengah-engah. “Ah, ya... itu benar, sute Bu Beng Tojin yang akan menjadi ketua... tapi... tapi tergantung kepada para anggauta...” Kakek itu menjadi bimbang ragu. “Suheng...!” bentak Bu Beng Tojin. “Im Yang totiang!” Thian Sin juga berseru. Im Yang Tosu kelihatan semakin bingung dan pucat, bahkan tubuhnya terguncang dan tergetar, seperti orang yang terserang demam. Pada saat itu nampak Thian To Sinjin dari Kun-lun-pai bangkit dari kursinya, menghampiri ketua Hong-kiam-pang itu dan menuntun tangannya. “Sute, engkau lelah, sebaiknya mengaso dulu.” Dan diapun menarik sutenya itu kembali ke tempat duduknya. Anehnya, Im Yang Tosu kelihatan menurut saja seperti seorang anak kecil! Tidak ada yang tahu bahwa tadi ketua Hong-kiam-pang ini tertarik ke sana-sini di antara dua orang yang menggunakan kekuatan sihir, yang seorang hendak mempengaruhinya dan yang seorang hendak membebaskannya. Hanya Thian To Sinjin saja yang agaknya dapat menduga akan hal itu maka dia cepat menariknya kembali untuk duduk dan beristirahat. “Ha-ha-ha, sebaiknya begitu. Beristirahatlah dengan tenang, Im Yang totiang dan biarkan aku membereskan persoalan ini!” kata Thian Sin. “Pendekar Sadis! Engkau sebagai orang luar, sungguh tidak patut sekali mencampuri urusan dalam dari Hong-kiam-pang! Engkau telah melanggar aturan sopan santun di dunia persilatan!” Bu Beng Tojin berteriak marah. “Bu Beng Tojin, aku memang bukan anggauta Hong-kiam-pang, akan tetapi aku adalah sahabat baik Hong-kiam-pang yang tidak rela melihat Hong-kiam-pang diselewengkan.” “Mulut busuk! Apa maksudmu?” bentak Bu Beng Tojin. Akan tetapi Thian Sin tidak menjawab bentakan ini melainkan menghadapi para tamu dan juga pihak tuan rumah. “Cu-wi yang mulia, para anggauta Hong-kiam-pang yang tercinta! Kita semua tahu bahwa Hong-kiam-pang adalah perkumpulan orang-orang gagah, para pendekar yang menentang kejahatan. Oleh karena itu, tidak sepatutnya kalau sebuah perkumpulan orang gagah diketuai oleh seorang penjahat besar seperti Bu Beng Tojin ini!” Ucapan ini sungguh hebat bukan main. Bukan hanya semua tamu yang terbelalak, bahkan para anggauta Hong-kiam-pang menjadi pucat wajahnya dan juga Im Yang Tosu sendiri yang pada saat itu telah tenang kembali, bangkit dari tempat duduknya. “Ceng-taihiap, apa maksudmu dengan ucapan itu?” tanyanya nyaring, agaknya penasaran mendengar pembantunya disebut penjahat besar! Melihat sikap suhengnya, pada murid Hong-kiam-pang dan para tamu yang agaknya berpihak kepadanya, walaupun dia sendiri menjadi pucat, Bu Beng Tojin lalu tertawa, “Ha-ha, sudah nampak belangnya Pendekar Sadis sekarang, menuduh dan memfitnah membuta tuli. Siapa bilang bahwa aku Bu Beng Tojin yang selama ini dengan jujur memimpin Hong-kiam-pang menjadi penjahat besar?” Akan tetapi, Thian Sin tidak terpengaruh oleh ucapan itu dan dia masih memandang kepada semua yang hadir. “Cu-wi yang mulia, juga Im Yang totiang yang terhormat, biarlah aku memperkenalkan.” Dia lalu menudingkan telunjuknya ke arah muka Bu Beng Tojin. “Inilah dia orang yang menyebut dirinya Sian-su, inilah dia Siluman Guha Tengkorak yang telah memimpin gerombolan penjahat kejam yang kita telah basmi!” Ucapan ini lebih mengejutkan lagi. “Ceng-taihiap, harap jangan menuduh sembarangan saja!” Im Yang Tosu bahkan berteriak marah. Bu Beng Tojin sendiri tadi menjadi pucat sekali wajahnya, akan tetapi dia mengambil sikap tenang, bahkan tersenyum lebar. “Ah, sungguh tuduhan yang menggelikan sekali! Pinto sendiri yang membantu pembasmian gerombolan itu, bagaimana engkau dapat menuduh demikian, apakah engkau sudah menjadi gila?” “Ceng-taihiap, buktikan kebenaran tuduhanmu itu!” Im Yang Tosu yang sudah bangkit berdiri itupun menuntut. Tuduhan itu amat hebat baginya. Kalau tuduhan itu tidak benar, berarti Pendekar Sadis sudah menghina Hong-kiam-pang. Dan kalau benar, hal itu tentu merupakan tamparan yang memalukan sekali bagi Hong-kiam-pang! “Baik, akan kucoba kubuktikan walaupun hal itu tidak mudah karena Siluman Guha Tengkorak memang seorang penjahat yang amat keji, licik, curang, lihai ilmu silatnya dan juga lihai ilmu sihirnya. Cu-wi yang mulia, ketika pertama kali aku berkenalan dengan kejahatan siluman ini, aku melihat mendiang saudara Kwee Siu sekarat oleh luka-lukanya ketika bertanding melawan siluman ini. Dan ucapan terakhir yang keluar dari mulutnya adalah sebutan “susiok”. Tadinya aku tidak mengerti apa dan siapa yang dimaksudkan sampai akhirnya aku mendapat kenyataan bahwa dia hanya mempunyai seorang saja susiok di dunia ini dan susioknya adalah Bu Beng Tojin. Tentu dia mengenal orang bertopeng tengkorak yang membunuhnya, mengenal gerakan silatnya maka dia meninggalkan sebutan susiok itu yang sayang pada waktu itu belum kuketahui artinya.” “Huh, tuduhan kosong! Bisa jadi Kwee Siu menyebut namaku karena hendak minta tolong dan ingat kepadaku!” Bu Beng Tojin mencela dan semua orang juga menganggap bahwa alasan itu terlalu lemah untuk menjadi bukti kebenaran tuduhannya bahwa Bu Beng Tojin adalah Siluman Guha Tengkorak. “Masih ada bukti lain,” kata pula Thian Sin. “Ketika aku tertawan oleh Siluman Guha Tengkorak dalam keadaan pingsan terbius, tahu-tahu aku tertawan oleh orang-orang Hong-kiam-pang dan menurut keterangannya, yang menangkap aku dalam pakaian siluman itu adalah Bu Beng Tojin. Hal ini jelas menunjukkan bahwa dia adalah Siluman Guha Tengkorak itu sendiri karena kalau aku berada dalam keadaan pingsan, bagaimana dari tangan siluman itu aku dapat pindah ke tangan Bu Beng Tojin? Sebaliknya, kalau aku sadar seperti yang dikatakannya kepada muridmurid Hong-kiam-pang, agaknya tidak akan begitu mudah baginya untuk dapat menawanku! Hal itu dapat dibuktikan sendiri!” “Huh, alasan dan bukti apa itu? Pendekar Sadis, semua anggauta Hong-kiam-pang sudah menyaksikan bahwa engkau memakai jubah dan topeng tengkorak. Tentu engkaulah Siluman Guha Tengkorak itu, dan setelah rahasiamu ketahuan, engkau lalu berpura-pura dan membalik untuk membersihkan diri. Cih, sungguh tak tahu malu!” Bu Beng Tojin sudah mencabut pedangnya dan hendak menyerang Thian Sin, akan tetapi pada saat itu, Im Yang Tosu melangkah maju dan mencegahnya. “Sabar dulu, sute.” Lalu kakek ini menghadapi Thian Sin. “Ceng-taihiap, sungguh pinto bingung dan tidak mengerti permainan apa yang taihiap mainkan saat ini. Akan tetapi harus pinto akui bahwa semua alasan yang taihiap ajukan tadi tidak cukup kuat untuk membuktikan kebenaran tuduhan taihiap yang amat berat itu. Tidak mungkin kami menerima begitu saja keterangan sepihak tanpa bukti yang mutlak atau tanpa adanya saksi yang membenarkan keterangan taihiap tadi.” “Saksi-saksi? Ah, totiang benar juga. Memang ada saksi yang kuat!” Thian Sin berkata. “Inilah saksi-saksinya!” Tiba-tiba terdengar suara merdu melengking dan semua orang menengok. Kiranya di sudut panggung itu telah berdiri seorang gadis yang cantik jelita dan gagah. Kim Hong tersenyum manis kepada Bu Beng Tojin. Tosu ini mendengus. “Huh, saksi macam apa ini? Perempuan ini adalah Toan Kim Hong, kekasih dari Pendekar Sadis, tentu saja omongannya akan senada dengan pacarnya. Siapa bisa percaya saksi macam ini?” Suaranya penuh tantangan dan sikapnya mencemooh. “Siluman Guha Tengkorak, jangan tekebur dulu. Lihat siapa mereka ini!” Kim Hong menggapai ke belakangnya dan dari anak tangga di belakang panggung muncullah tiga orang gadis yang cantik dan yang memandang ke arah Bu Beng Tojin dengan mata penuh kebencian. Melihat Thio Siang Ci, bekas kekasihnya, pengantin yang diculiknya dan dipaksanya menjadi kekasihnya itu, bersama dua orang gadis lain yang juga termasuk dayang-dayang yang disukainya, wajah Bu Beng Tojin menjadi pucat. Akan tetapi dia masih sempat mengejek dan mencemooh. “Siapa perempuan-perempuan itu? Pinto tidak mengenal segala macam pelacur!” “Siang Ci, Siok Lan dan Kim Tui, coba katakan, siapa pendeta itu?” Kim Hong bertanya kepada tiga orang gadis itu dengan suara halus. Thio Siang Ci yang lebih dulu menjawab, telunjuk tangan kirinya yang gemetar menuding ke arah Bu Beng Tojin dan terdengar suaranya agak gemetar akan tetapi mantep. “Dialah Sian-su yang menculikku itu!” “Benar, dia itu Sian-su ketua Jit-sian-kauw!” kata Siok Lan, gadis ke dua. “Aku berani sumpah, dialah Sian-su!” kata Kim Tui pula. “Bohong! Fitnah gila! Apa buktinya?” Bu Beng Tojin berteriak marah. “Apakah kalian bertiga dapat mengatakan buktinya dan tandanya bahwa dia itu Sian-su?” Kim Hong bertanya pula. “Di dadanya terdapat daging tumbuh sebesar telur ayam yang berambut panjang!” kata Siang Ci lalu menundukkan muka dan air matanya mengalir karena ia merasa malu sekali. “Ada ukiran ular melingkari pinggangnya,” kata pula Siok Lan yang juga menunduk malu. “Di kedua pahanya ada gambar tengkorak,” Kim Tui menyambung. “Fitnah keji! Bohong! Pelacur-pelacur yang harus mampus!” Tiba-tiba Bu Beng Tojin menggerakkan kedua tangannya dan ada empat sinar terang menyambar ke arah Kim Hong dan tiga orang gadis itu. Akan tetapi dengan gerakan lincah dan tenang, Kim Hong dapat menyambut empat buah hui-to (pisau terbang) itu dengan kedua tangannya, memandang ke arah pisau-pisau itu sambil tersenyum lalu melemparkan sebatang kepada Im Yang Tosu. “Totiang, bukankah pisau terbang yang pernah melukai totiang itu seperti ini dan begitu pula cara melemparnya?” tanya Kim Hong manis. “Kalau fitnah keji, mengapa mencak-mencak? Tunjukkan saja bahwa semua keterangan itu bohong dengan memperlihatkan bagian tubuhmu yang disebut-sebut tadi, Sian-su!” kata Thian Sin mengejek. Im Yang Tosu menerima pisau yang dilemparkan oleh Kim Hong, memandangnya sejenak, kemudian dengan alis berkerut dan muka pucat dia membanting pisau itu ke atas lantai sampai pisau itu amblas lenyap menembus papan lantai panggung. Lalu dia menghampiri Bu Beng Tojin, memandang dengan muka pucat. “Sute, pinto tahu bahwa engkau pandai menggunakan segala senjata, juga pisau itu. Pinto sendiri masih belum percaya akan semua tuduhan itu. Karena itu, sute, buktikanlah bahwa tuduhan semua itu palsu dan bohong. Buka bajumu dan perlihatkan dada dan pinggangmu!” “Gila! Suheng, apakah suheng membiarkan orang menghinaku sampai seperti ini?” “Sute, baru namanya penghinaan kalau tuduhan itu tidak terbukti dan percayalah, pinto tidak akan tinggal diam melihat engkau dihina orang. Maka, bukalah bajumu.” “Tidak, suheng. Aku tidak sudi dihina! Orang-orang harus percaya kepadaku!” “Sute, kalau engkau tidak mau, terpaksa aku sendiri yang akan membukakan bajumu.” Dengan halus ketua Hong-kiam-pang itu lalu melangkah maju dan meraba kancing baju sutenya untuk dibuka. Dia memang masih belum percaya akan semua tuduhan tadi, bahkan mengharapkan sutenya bersih agar nama Hong-kiam-pang juga ikut bersih. Bayangkan saja kalau tuduhan itu benar, berarti selama bertahun-tahun ini dia mempercaya seorang penjahat, dan namanya, juga nama Hong-kiam-pang, akan berlumur lumpur kehinaan. “Awas, totiang...!” Thian Sin memperingatkan, akan tetapi sudah terlambat. Pada saat Im Yang Tosu menggunakan kedua tangannya untuk membuka kancing baju sutenya, tiba-tiba Bu Beng Tojin menggerakkan tangannya menghantam ke arah leher suhengnya itu. Im Yang Tosu hanya dapat miringkan tubuhnya. “Desss...!” Pukulan itu mengenai pundak kiri dan tubuh kakek itu terjengkang, mulutnya menyemburkan darah segar dan tubuhnya terkulai. “Hemmm, siluman jahat!” bentak Thian To Sinjin tokoh Kun-lun-pai yang cepat meloncat ke depan menyerang Bu Beng Tojin. Sementara itu, para murid Hong-kiam-pang cepat mengangkat tubuh suhu mereka yang pingsan ke belakang panggung. Terjadilah perkelahian yang seru antara Thian To Sinjin dan Bu Beng Tojin. Pukulan mereka mengandung angin yang amat kuat sehingga terdengar suara bercuitan dan angin menyambarnyambar sedangkan panggung di mana mereka bertanding itu berderak-derak dan terguncang. Semua tamu menjadi panik, akan tetapi karena mereka itu sebagian besar adalah ahli-ahli silat, mereka masih tetap di tempat sambil menonton perkelahian hebat di atas panggung itu. Bu Beng Tojin ternyata memang hebat sekali. Tokoh tingkat tiga dari Kun-lun-pai itu adalah orang yang berilmu tinggi, akan tetapi menghadapi Bu Beng Tojin, dia mulai terdesak. Setiap kali lengan mereka bertemu, Bu Beng Tojin membentak dan bentakan ini menambah tenaga pada lengannnya. Thian To Sinjin merasa lengannya tergetar dan juga jantungnya terguncang oleh bentakan lawan. Hanya dengan ilmu silat sakti dari Kun-lun-pai dia dapat bertahan sampai tiga puluh jurus, akan tetapi karena dia terus terdesak, tiba-tiba kakek ini menyambar tongkatnya yang tadi dia tancapkan di atas lantai. Dengan tongkat itu Thian To Sinjin menghadapi Bu Beng Tojin! Akan tetapi, Bu Beng Tojin mencabut pedangnya dan perkelahian dilanjutkan dengan lebih seru lagi karena keduanya mempergunakan senjata dan setiap serangan merupakan serangan maut yang dahsyat. Akan tetapi, kembali Thian To Sinjin terdesak dan kini para murid Hongkiam-pang yang menjadi marah melihat suhu mereka terpukul, sudah naik ke atas panggung dan melakukan pengeroyokan. Mereka belum yakin benar bahwa susiok mereka itu adalah Siluman Guha Tengkorak, akan tetapi melihat susiok mereka memukul suhu mereka secara keji, mereka menjadi marah dan mengeroyok. Akan tetapi, Bu Beng Tojin mengamuk dan tendangan kakinya merobohkan empat orang murid keponakan. Melihat ini, tiba-tiba Thian Sin meloncat ke depan. “Saudara-saudara sekalian, locianpwe Thian To Sinjin, silahkan mundur. Dia ini adalah makananku!” Thian To Sinjin maklum bahwa dia tidak akan mudah menang melawan tosu siluman itu, dan dia tahu akan kelihaian Pendekar Sadis, maka diapun meloncat mundur diikuti oleh para murid Hong-kiam-pang. Kini Thian Sin berdiri berhadapan dengan Bu Beng Tojin yang memegang pedang. Tosu itu memandang dengan mata beringas sedangkan Thian Sin tersenyum-senyum saja. “Nah, Sian-su, sekarang Pendekar Sadis berhadapan satu lawan satu dengan Siluman Guha Tengkorak! Betapapun, aku akan membalas budimu kemarin dulu, yaitu aku tidak akan membunuhmu, hanya akan melucuti kedokmu dan menyerahkanmu kepada Hong-kiam-pang!” “Keparat jahanam engkau!” bentak tosu itu dan pedangnya sudah membabat dahsyat. Namun dengan cekatan sekali Thian Sin mengelak sambil balas memukul dengan tangan kiri yang juga dapat dielakkan oleh lawannya yang tangguh. Terjadilah perkelahian yang amat hebat, pedang melawan tangan kosong dan gerakan mereka sedemikian cepatnya sehingga dua bayangan tubuh itu seperti saling libat menjadi satu, sukar diikuti pandang mata. Para penonton memandang kagum dan juga pandang mata mereka menjadi kabur. Gulungan sinar pedang di tangan Bu Beng Tojin telah menggulung tubuh keduanya dan hanya kadang-kadang nampak pedang, kepalan tangan atau ujung sepatu mencuat dengan dahsyatnya. Semua orang, kecuali Kim Hong, menonton dengan jantung berdebar tegang. Kim Hong berdiri dan bertolak pinggang dengan sikap tenang, bahkan bibirnya tersenyum karena ia tahu pula bahwa kekasihnya itu tidak akan kalah. Terdengar lagi bentakan-bentakan aneh dari Bu Beng Tojin yang menggetarkan jantung mereka yang mendengarnya, akan tetapi Thian Sin tidak terpengaruh sama sekali, bahkan terdengar dia mengejek, “Ha-ha, keluarkan semua ilmu silumanmu, Sian-su!” Ada lima puluh jurus mereka berdua lenyap terbungkus sinar pedang dan tiba-tiba terdengar Thian Sin mengeluarkan suara bentakan yang melengking nyaring dan membuat semua orang memandang pucat karena bentakan Pendekar Sadis itu sungguh kuat sekali seperti membetot jantung. Teriakan ini disusul dengan teriakan Bu Beng Tojin, teriakan kaget dan pedangnya terlempar ke atas lantai menjadi dua potong! Kiranya pedang itu telah dihantam oleh tangan miring Thian Sin yang mengandung penuh tenaga Thian-te Sin-ciang! Akan tetapi, Bu Beng Tojin masih terus mengamuk dengan tangan kosong dan memang kakek ini memiliki kepandaian yang tangguh. Bagaimanapun juga, setelah dia bertangan kosong, nampak bahwa dia bukan lawan yang terlalu berat bagi Pendekar Sadis. Dia seperti dipermainkan saja, kadang-kadang pendekar itu mendorongnya dari samping sampai dia terhuyung, lalu menjegal kakinya sehingga dia hampir jatuh dibarengi suara ketawa-ketawa Thian Sin yang mengejeknya. “Brettt...!” Tiba-tiba jubah Bu Beng Tojin terkoyak lebar dan robekannya berada dalam cengkeraman tangan Thian Sin. “Sian-su, perlihatkan kutil di dadamu!” Thian Sin mengejek dan semua orang memandang dengan mata terbelalak, ingin sekali melihat apakah benar ada tanda-tanda seperti yang disebut oleh tiga orang gadis tadi pada tubuh yang masih tertutup baju dalam itu. Tentu saja Bu Beng Tojin menjadi marah. Matanya menjadi merah dan melotot dan gerakannya semakin liar. “Brettt...!” Kini baju dalamnya terobek dan terdengar semua orang mengeluarkan seruan tertahan melihat bahwa di dada kakek itu, di antara kedua buah dadanya, terdapat tonjolan daging sebesar telur ayam dan di tempat itu ditumbuhi belasan helai rambut! Dan di seputar pinggangnya yang agak gendut itu terdapat lukisan seekor ular yang melilit pinggangnya, dengan kepala di perut. Dengan wajah beringas tosu siluman itu melihat ke arah dada dan perutnya dan wajahnya berobah pucat. Terdengar suara ketawa di sana-sini dan semua murid Hong-kiampang memandang dengan mata melotot “Celaka... celaka...!” Im Yang Tosu yang sudah siuman dan juga melihat kenyataan ini menjadi pucat pula dan terkulai, pingsan! “Ha-ha-ha, kiranya memang benar engkau adalah Siluman Guha Tengkorak! Nah, aku berani bertaruh potong leher bahwa di kedua pahamu tentu ada gambar tengkoraknya!” kata Thian Sin. Bu Beng Tojin atau Siluman Guha Tengkorak itu tidak melihat jalan lain, seperti seekor harimau yang tersudut, diapun menubruk lagi sambil menggeram, persis seekor harimau marah. “Desss...!” Tubuhnya disambut tamparan Thian Sin yang mengenai lehernya. Kakek itu terpelanting dan kepalanya terasa pening, akan tetapi dia tidak tewas karena memang Pendekar Sadis tidak ingin membunuhnya, melainkan hendak menyerahkannya kepada Hong-kiam-pang. Tosu siluman itu bangkit dan menerjang lagi. “Bresss...!” Kini sepatu kaki Thian Sin menyambutnya dan kembali dia terjengkang dan ketika dia bangkit, mulutnya berdarah dan bibirnya pecah. “Thian Sin, jangan habiskan sendiri, beri aku sedikit!” Tiba-tiba Kim Hong berseru dan tubuhnya berkelebat, tahu-tahu gadis manis itu telah berada di samping Thian Sin. Thian Sin tersenyum dan menggelengkan kepala, akan tetapi Kim Hong mendorong dadanya sehingga pemuda itu terpaksa terlompat ke belakang, hampir jatuh dari panggung. Hal ini memang disengaja dan para tamu tertawa gembira menyaksikan kelakar dua orang itu. Melihat majunya Kim Hong, Bu Beng Tojinn menjadi nekat. Ada sedikit harapan dalam benaknya. Tadi menghadapi Pendekar Sadis, dia tidak berdaya. Akan tetapi dia mempunyai harapan untuk mengalahkan gadis ini, kalau tidak dengan ilmu silat, dengan ilmu sihir. Kalau dia dapat menundukkan, dia akan selamat, pikirnya. Dia akan menggunakan gadis ini sebagai tawanan, sebagai sandera agar dia dapat melarikan diri! Maka be-gitu pening kepalanya hilang, dia sudah menubruk ke depan, menggunakan kedua lengannya yang panjang untuk merangkul. Semua orang terkejut me-lihat ini, apa lagi karena Kim Hong bersikap tenang saja. Akan tetapi, sebelum tangan itu menyentuhnya, tanpa menggerakkan tubuh, gadis itu menggerakkan kepalanya dan sinar hitam menyam-bar ke depan ketika gelungnya terlepas dan ram-butnya yang panjang menyambar bagaikan cambuk baja. “Plakkk!” Rambut panjang harum itu bagaikan cambuk baja melecut muka Bu Beng Tojin. “Aduhhh...!” Tosu itu mengeluh dan matanya terpejam, pipinya berdarah seperti digaris dengan ujung pedang saja. Akan tetapi, Kim Hong tidak mau memberi kesempatan lagi padanya. Gadis ini sudah melangkah maju dan kembali rambutnya menyambar-nyambar, melecut-lecut muka, leher dan tubuh atas yang telanjang itu sampai semua kulit itu nampak pecah-pecah dan merahmerah mengeluarkan darah. Sungguh hebat dan mengerikan sekali rambut yang dipergunakan sebagai senjata ini, seperti pedang saja. Bu Beng Tojin menutupi mukanya dari ancaman rambut, dan tubuhnya menjadi bulan-bulanan kedua kaki Kim Hong. Akhirnya, kakek itu terhuyunghuyung dan tidak kuat berdiri lagi. “Kim Hong, jangan bunuh dia! Serahkan kepada Hong-kiam-pang!” teriak Thian Sin. Kim Hong tersenym lalu untuk akhir kalinya kaki kirinya menendang dan tubuh tosu siluman itu terlempar dan jatuh berdebuk di atas lantai di depan kedua kaki Im Yang Tosu yang duduk di atas kursinya dengan muka pucat. Melihat orang yang pernah menjadi sutenya dan pembantunya ini rebah terlentang di depannya dengan tubuh berdarah-darah dan napat empas-empis, Im Yang Tosu lalu membungkuk, tangan kanan kakek itu mencengkeram ke arah celana sutenya. “Breettt...!” Celana itu terobek dan nampaklah gambar dua tengkorak pada kedua paha itu. “Keparat, engkau Siluman Guha Tengkorak...!” teriak Im Yang Tosu dengan suara parau, tangannya menyambar pedang dan sekali pedang bergerak, dia telah menusukkan pedang itu dengan pengerah-an tonaganya ke dalam dada Bu Beng Tojin. Tubuh itu berkelojot, akan tetapi Im Yang Tosu juga roboh terguling dan ternyata kakek ini juga telah menghembuskan napas terakhir. Dia tadi menderita luka pukulan yang hebat dan pengerahan tenaganya ketika menusuk tadi membuat dia tidak kuat bertahan dan nyawanyapun melayang, hal yang sesungguhnya meringankan penderitaan batin-nya karena kakek ini tentu akan merasa malu dan menyesal sekali kalau dia dalam keadaan hidup melihat kenyataan pahit bahwa pembantunya adalah seorang penjahat keji. Para murid Hong-kiam-pang yang sudah marah itu demikian berduka melihat suhu mereka tewas dan puluhan batang pedang mencacah hancur tubuh Bu Beng Tojin! Sementara itu, Thian Sin mendekati Kim Hong dan mereka berdua saling pandang dan saling tersenyum puas. Berhasil baiklah usaha mereka menentang Siluman Guha Tengkorak, sungguhpun dalam usaha itu berkali-kali mereka nyaris celaka, bahkan nyaris tewas. Mereka lalu menghadap ke arah semua orang di situ dan membungkuk. Thian Sin berkata lantang, “Cu-wi yang terhormat, kami mohon diri karena kami telah menyelesaikan tugas kami!” Mereka bergandeng tangan dengan mesra, lalu bersama-sama meninggalkan tempat itu, diikuti pandang mata kagum oleh semua orang. Sampai di sini, pengarangpun mohon diri dari para pembaca dengan harapan semoga dapat segera berjumpa kembali dalam cerita serial Pendekar Sadis atau dalam cerita-cerita karangan lain. TAMAT Lereng Lawu, tengah Desember 1977 Dapatkan koleksi ebook-ebook lain yang tak kalah menariknya di EBOOK CENTER - AQUASIMSITE - http://jowo.jw.lt