"Hei, pelayan, tambah lagi buburnya. Tolong cepat sedikit! Bawa saja dua mangkok agar tidak tertunda makanku!" Kakek gendut itu berseru dan Hui Song terkejut. Semangkok besar bubur tadi saja sudah cukup untuk dua orang, akan tetapi agaknya kakek gendut ini hanya menuangkannya sekaligus ke dalam perutnya. Bergegas dia menerima dua mangkok lagi dari Wu-yi Lo-jin dan mengantarnya kepada tamu aneh. Akan tetapi, sebentar saja dua mangkok inipun disikat habis dalam waktu singkat dan si kakek gendut sudah berteriak-teriak minta tambah lagi. Sibuklah Hui Song berlari hilir-mudik, sibuk pula Wu-yi Lo-jin yang harus melayani permintaan tamu aneh itu. Biarpun tamu mereka hanya seorang saja, akan tetapi karena cara makan tamu itu amat cepat dan terus minta tambah, mereka menjadi sibuk seolah-olah melayani banyak tamu.   Setelah menghabiskan belasan mang-kok bubur dan kakek gendut masih minta tambah lagi, mulailah Wu-yi Lo-jin mengerutkan alisnya. Juga Hut Song dan Sui Cin melirik dengan alis berkerut dan hati tidak senang. Akan tetapi, yang dilirik oleh tiga orang itu enak-enak saja duduk sambil tersenyum ramah, mengulurkan tangan kiri memperlihatkan mangkok kosong sambil minta tambah lagi.   "Masih ada buburnya? Bung pela-yan, tambah lagi buburnya lima mangkok, juga mi goreng dua kati, masak daging sekati campur sayuran yang masih segar. Dan araknya seguci!"   Tentu saja mendengar pesanan ini, tiga orang itu menjadi terkejut dan makin heran. Si gendut itu makannya melebihi seekor kerbau! "Hati-hati, tanyakan apa dia membawa uang," bisik Wu-yi Lo-jin kepada Hui Song ketika pemuda ini ma-suk ke dapur. "Kalau dia tidak bayar, bi-sa bangkrut kita!"   Akan tetapi Hui Song yang semakin merasa yakin bahwa kakek gendut ini tentu bukan orang sembarangan, merasa sungkan untuk menanyakan hal itu. Tidak demikian dengan Sui Cin. Gadis ini setuju dengan pendapat Wu-yi Lo-jin, maka dari tempat duduknya ia bertanya, "Kakek yang baik, pesananmu makanan begitu banyak, harap suka bayar lebih dulu!"   Ucapan Sui Cin itu wajar dan tidak mengandung penghinaan melainkan jujur dan terbuka, maka kakek gendut itupun tidak merasa tersinggung, melainkan tertawa, "Hah-hah-ha! Nona, apakah aku kelihatan seperti orang yang biasanya menyikat makanan tanpa membayar?"   "Aku tidak menuduh demikian, akan tetapi, karena pesananmu amat banyak sedangkan warung kami kecil saja..."   "Ya-ya, warung kecil di kaki gunung, pemiliknya seorang gadis cantik jelita, penjaganya seorang pemuda, ganteng perkasa, tukang masaknya kakek aneh luar biasa! Ha-ha, inilah uangku, apa masih kurang?" Berkata demikian, kakek gendut itu mengeluarkan sepotong emas yang beratnya tentu tidak kurang dari satu tail. Tentu saja sepotong emas ini sudah lebih dari cukup untuk membayar makan-an, berapapun banyaknya.   Karena kehabisah air jernih, Hui Song lalu membawa tong air untuk mengambil air dari sumber di belakang warung. Ke-tika dia memikul air memasuki warung itu dan lewat dekat si gendut, tiba-tiba kakek gendut itu menggerak-gerrakkan dan mengembang-kempiskan hidungnya seperti tadi, seperti seekor anjing men-cium sesuatu. Dia menghentikan makan-nya, matanya mengikuti Hui Song yang kini menuangkan air ke dalam tong air besar yang berdiri di sudut dapur. Tiba-tiba kakek gendut itu menggerakkan tangannya dan nampak dua sinar putih ber-kelebat memasuki dapur.   "Prokk! Prak!" dua batang sumpit besar yang tadi dipakai makan si gendut itu kini tahu-tahu sudah menancap dan membikin retak tong-tong air itu. Airnya tentu saja tumpah den mengucur keluar melalui lubang-lubang retakan tong yang disambar sumpit. Melihat ini, tiga orang itu terkejut dan memandang dengan mata terbelalak.   "Apa artinya ini? Mengapa engkau melakukan ini?" Sui Cin menegur dengan marah.   Kakek gendut itu kini sudah meng-hampiri mereka di dalam dapur dan ber-diri tegak sambil memegang tongkat kipasnya dan memandang ke air yang me-menuhi lantai dapur. Kemudian dia me-mandang kepada Wu-yi Lo-jin dan tiba-tiba menudingkan kipasnya ke arah guci arak milik kakek katai itu sambil berka-ta, "Bukankah guci itu guci emas dari Wu-yi-san? Coba kau kakek katai, pergu-nakan gucimu untuk menguji apakah air ini beracun seperti yang kusangka atau tidak!"   Wu-yi Lo-jin terlalu kaget mendengar bahwa air itu beracun sehingga dia tidak memperhatikan betapa si gendut itu me-ngenal gucinya. Dia membuka tutup gu-cinya, akan tetapi nampak ragu-ragu. "Wah, arakku masih setengah guci..."   Kakek gendut menyodorkan sebuah panci kosong dan Wu-yi Lo-jin tanpa banyak cakap lagi lalu memangkan arak dari gucinya ke dalam panci itu. Tercium bau harum dan setelah guci itu kosong, Wu-yi Lo-jin segera menampung air yang tumpah itu ke dalam gucinya. Benar sa-ja, air itu berobah menghitam, tanda bahwa air itu memang benar beracun!   "Ihh, air ini beracun!" katanya sambil membuang air itu dari gucinya. Dia mambalik untuk mengembalikan araknya, akan tetapi panci itu telah kosong, dan araknya telah habis.   "Loh, siapa minum arakku, hah?" Dia tidak perlu terlalu sibuk menyelidiki ka-rena kakek gendut itu masih kelihatan meng-usap bibirnya yang berlepotan arak itu dengan ujung lengan bajunya.   "Heh-heh, arak baik... arak baik...!"   "Kurang ajar si gendut laknat, kau mengbabiskan arakku, ya?" Wu-yi Lo-jin marah sekali dan mengambil sikap me-nyerang. Si gendut juga sudah melangkah mundur setindak dan bersikap hendak melawan.   Melihat kedua orang kakek itu hendak bersitegang hanya karena hilangnya arak, Sui Cin berkata, "Air beracun itu tentu ada yang membuat!"   "Benar!" kata Hui Song. "Tentu ada yang menaruh racun. Wah, tadi banyak orang mengambil air! Mari kita peringatkan mereka, jangan sampai ada yang menjadi korban!"   Dua orang muda itu berlari keluar dan dua orang kakek itupun agaknya sadar lalu mengikuti dari belakang. Akan tetapi, ketika mereka tiba di luar warung, mereka mendengar teriakan-teriakan, jeritan-jeritan dan tangis memenuhi dusun itu. Dan nampaklah penglihatan yang mengerikan. Di sana-sini menggeletak orang-orang yang berkelojotan sambil memegangi perutnya, bahkan ada di antara mereka yang sudah tewas tak mampu bergerak lagi.   Hui Song cepat meloncat ke depan dan suaranya lantang ketika dia berteriak keras, "Saudara-saudara sekalian dengarlah baik-baik! Air sumber itu mengandung racun! Karena itu sebaiknya jangan minum dulu sebelum diperiksa teliti apakah air itu beracun atau tidak. Ingat, jangan ada yang minum dulu, air apapun jangan diminum dulu!"   Suaranya yang lantang ini menolong banyak orang. Mereka yang sedang mengangkat cangkir untuk minum, tiba-tiba saja mengurungkan niatnya. Akan tetapi ketika diperiksa, yang sudah menjadi korban dan roboh keracunan tidak kurang dari tiga puluh orang banyaknya!   Gegerlah dusun itu. Dan tanpa dicegah lagi, para penghuni dusun itu segera mengungsi meninggalkan dusun yang dilanda malapetaka hebat itu. Hanya tinggal beberapa orang saja yang tinggal dan bersama belasan orang ini, Hui Song, Sui Cin, dan dua orang kakek itu segera mengurus jenazah puluhan orang itu. Ternyata racun yang dicampurkan di air itu amat jahat sehingga biarpun kedua orang kakek itu mencoba untuk mengobati mereka yang tadinya belum tewas, percuma saja.   "Huh, ini seperti bekas tangan Setan Selaksa Racun," kata kakek gendut setelah memeriksa seorang korban.   "Siapakah Ban-tok-kwi (Setan Selaksa Racun) itu?" tanya Sui Cin.   "Seorang di antara Cap-sha-kui (Tiga Belas Setan)," jawab si kakek gundul.   "Kalau begitu mereka sudah muncul?" Wu-yi Lo-jin berseru. "Celaka, kita mengintai malah kebobolan."   "Heh-heh, tua bangka katai dari Wu-yi-san memang selalu ceroboh!" kata si kakek gendut.   Kini Wu-yi Lo-jin memandang dengan alisnya yang panjang berkerut kepada ka-kek gendut, wajahnya membayangkan ke-marahan. "Heh, gendut! Engkau licik! Engkau agaknya sudah mengenalku, sudah mengenal guci wasiatku, akan tetapi engkau sendiri menyembunyikan nama. Siapa sih sebetulnya tua bangka gembul gendut ini dan bagaimana kau bisa me-ngenalku, dan apa kehendakmu datang ke tempat ini?"   "Ha-ha-ha-ha, setan pendek, apa be-nar engkau tidak dapat mengenalku lagi hanya karena tubuhku sekarang sudah gendut? Hei, Ciu-sian (Dewa Arak), lupakah engkau kepada kipasku?"   Wu-yi Lo-jin terbelalak, lalu menggunakan tangannya ke depan mukanya dan matanya kini mengincar ke arah wajah si gendut. Dari balik tangannya, dia tidak lagi dapat melihat tubuh si gendut dari leher ke bawah, hanya nampak kepalanya saja dan diapun terkekeh.   "Heh-heh-heh-heh, kiranya San-sian (Dewa Kipas) benar-benar! Siapa bisa mengenalmu kalau kini tubuhmu rusak seperti itu? Dahulu engkau paling gagah dan tampan di antara Pat-sian (Delapan Dewa), akan tetapi sekarang engkau men-jadi seperti kerbau bengkak hamil! Ha-ha--ha-ha!"   Si Dewa kipas juga tertawa bergelak. "Dan engkau semakin pendek saja, apakah selama ini engkau tidak tumbuh tinggi melainkan bahkan mengeriput dan mengecil?"   "Mari kita bicara dalam warung," kata kakek katai. "Dan biarkan semua o-rang pergi saja dari tempat ini. Tempat ini menjadi terlalu berbahaya bagi orang-orang biasa." Mereka lalu menasihatkan kepada belasan orang yang tinggal di situ untuk pergi mengungsi pula, karena mungkin sekali akan muncul banyak datuk-datuk sesat yang amat jahat dan ke-jam. Agaknya tempat itu memang sudah diincar oleh para datuk untuk menjadi tempat mereka berkumpul, maka sengaja melepas racun untuk mengusir semua penghuni dusun.   Empat orang itu lalu memasuki wa-rung dan atas perintah Wu-yi Lo-jin, Hui Song dan Sui Cin menutup semua pintu dan jendela. "Sui Cin, engkau mengintai dari belakang dan engkau Hui Song, eng-kau mengintai dari depan. Kalau nampak orang, beritahu kami."   Dua orang muda itu menuju ke pos masing-masing. Sui Cin berdiri mengintai dari balik jendela belakang, sedangkan Hui Song berdiri mengintai dari balik pintu depan yang direnggangkan sedikit. Dusun itu kini sunyi sama sekali. Tidak ada seekor anjing atau ayampun yang nampak berkeliaran karena binatang-bina-tang itu sudah mati semua, yang masih hidup dibawa mengungsi oleh para pendu-duk. Sementara itu, hari telah menjadi siang dan dusun yang kosong itu ditimpa sinar matahari yang cukup hangat. Akan tetapi, penglihatan yang nampak oleh Sui Cin dan Hui Song di luar warung itu a-mat menyeramkan. Sunyi sekali, tidak a-da sesuatu yang hidup. Karena itu, bergeraknya daun-daun yang tertiup angin saja sudah amat menarik perhatian. Du-sun yang ramai itu kini berobah menjadi sunyi seperti tanah kuburan.   Dua orang kakek itu bercakap-cakap dan biarpun biasanya mereka bersikap kocak bahkan ugal-ugalan, kini mereka terlibat dalam percakapan yang serius dan anehnya, kedua orang kakek itu yang sudah jelas memiliki kesaktian, kini ke-lihatan seperti orang-orang ketakutan!   "San-sian, kalau aku tidak keliru sangka, engkau yang selama ini juga bersem-bunyi dan bertapa, kini keluar tentu de-ngan alasan yang sama dengan aku, bu-kan?"   Si gendut mengangguk dan mengang-kat kedua jari kirinya, telunjuk dan jari tengah ke atas.   "Benar, mereka telah turun ke dunia, atau katakanlah keluar dari neraka dan tentu dunia akan menjadi rusak binasa. Apakah engkau juga mendengar apa yang kudengar di luaran bahwa para datuk sesat akan berkumpul menghadap mereka?"   Kembali si gendut mengangguk. "Karena itulah aku tiba di dusun ini," katanya. "Ketika aku memasuki warung, aku sudah curiga, akan tetapi begitu melihatmu, aku tahu bahwa aku memperoleh teman. Aku makan mempermainkan kalian, akan tetapi ketika pemuda itu membawa air, aku mencium hal yang tidak wajar."   "Wah, hidung anjingmu kiranya semakin tajam saja," kata si kakek katai.   "Apakah selama ini engkau tetap tinggal di Wu-yi-san dan tidak pernah keluar dari tempat pertapaanmu?" kakek gendut bertanya.   Kakek katai mengangguk. "Mau apa keluar? Hanya akan menderita penghinaan saja. Setelah secara kebetulan aku keluar dan mendengar desas-desus bahwa mereka juga keluar dari tempat persembunyian mereka, aku merasa panas hatiku dan akupun nekat keluar. Dan engkau sendiri? Kabarnya tinggal di Lembah Sungai Harum?"   "Benar, aku tinggal di lembah Siang-kiang, tempat yang tersembunyi. Akan tetapi aku tidak betah untuk menyendiri di tempat sunyi terus. Aku mulai suka keluar dan merantau, dan untung perutku menjadi gendut sehingga tidak mudah dikenal, apalagi kipasku juga sudah berubah bentuk. Akupun memakai nama Siang-kiang Lo-jin..."   "Heh-heh-heh, kenapa bisa sama? Aku tinggal di Wu-yi-san dan menggunakan nama Wu-yi Lo-jin, engkaupun menggunakan nama Lo-jin pula. Apakah enam tua bangka yang lain juga menggunakan nama itu? Bagaimana dengan mereka?"   Si gendut yang memakai nama Siang-kiang Lo-jin (Kakek Sungai Harum) itu menggeleng kepala. "Aku tidak pernah lagi mendengar tentang mereka. Akan tetapi aku mendengar betapa Si Iblis Buta memimpin beberapa orang Cap-sha-kui membantu pembesar korup yang kabarnya kini sudah terbasmi. Akan tetapi dengan munculnya mereka berdua itu, kalau sampai para datuk sesat dikuasai mereka berdua, tentu akan rusak binasa keamanan rakyat."   "Karena itu, kita harus menyelidiki apa yang akan mereka lakukan. Dan ternyata mereka telah meninggalkan jejak, walaupun mereka telah membunuh puluh-an orang di dusun ini."   "Kakek, apa sih maksud mereka membunuhi orang-orang dusun dengan penye-baran racun dalam air minum?" Sui Cin ikut bertanya sambil melanjutkan penjagannya karena hatinya ingin sekali ta-hu. "Dan siapakah kiranya yang melaku-kan perbuatan keji itu?"   "Siapa lagi kalau bukan mereka? Ah, perbuatan mereka sekali ini belum bera-pa hebat. Mereka itu dapat melakukan apa saja, bahkan yang jauh lebih kejam daripada ini. Dan mereka membunuhi o-rang-orang dusun itu tentu ada maksudnya."   "Yang jelas tentu saja untuk membu-nuh kalian bertiga yang agaknya sudah mereka curigai," sambung kakek gendut Siang-kiang Lo-jin.   "Belum tentu!" kata kakek katai de-ngan muka berubah gelisah. "Kalau mereka menghendaki kami, kenapa yang mereka racuni adalah sumber air? Tidak, tentu mereka itu hendak membikin panik dan takut kepada penduduk sehingga se-mua penghuni dusun melarikan diri. Ke-adaan seperti sekarang inilah yang mere-ka kehendaki, untuk membuat keadaan sekeliling sini menjadi sunyi agar mereka dapat melakukan pertemuan dengan aman dan tidak diketahui orang lain."   "Hayaaa, tua bangka Ciu-sian ternyata masih cerdik. Agaknya hawa arak te-lah mempertajam otakmu. Benar sekali dugaanmu itu. Akan tetapi, tahulah eng-kau bagaimana kita akan mencari jejak mereka?"   "Aku tahu. Melalui air."   "Bagus! Akupun berpikir demikian. Mari kita selidiki."   "Sssttt...!" Tiba-tiba Sui Cin memberi isyarat tanpa menoleh, matanya ditujukan keluar pondok warung. "Aku melihat berkelebatnya bayangan orang, lima atau enam orang, cepat sekali, di ujung dusun sebelah timur."   "Aku juga melihat bayangan tiga orang di ujung barat, menuju ke utara," bisik Hui Song.   "Benar," kata Sui Cin pula. "Bayangan-bayangan itu menuju ke utara."   Dua orang kakek itu bergerak cepat, mendekati tempat pengintaian dua orang muda itu, akan tetapi bayangan-bayangan yang bergerak cepat itu telah lenyap. Sampai lama mereka menanti, dan kini dua orang kakek itu ikut mengintai, akan tetapi dusun yang sudah kosong itu sunyi sekali, tidak nampak lagi adanya bayang-an lewat di situ. Dan kini senja telah mendatang.   "Kita harus memberanikan diri men-cari jejak mereka sekarang juga sebelum gelap. Siang tadi mereka telah beraksi, membunuh banyak orang, maka kurasa malam inilah penentuan waktu mereka berkumpul." Wu-yi Lo-jin yang bersikap sebagai pemimpin rombongan empat o-rang itu berkata dengan nada mengambil keputusan.   Agaknya Siang-kiang Lo-jin juga tidak berkeberatan membiarkan rekannya mengambil sikap memimpin. Dia mengangguk dan mereka berempat lalu berloncatan keluar dengan hati-hati sekali. Setelah mereka berempat mengadakan pemeriksaan dan merasa yakin bahwa di dusun itu memang tidak ada orang lain kecuali mereka berempat, mulailah dua orang kakek sakti itu mengadakan pemeriksaan. Semua saluran air mereka periksa dan ternyata di antara banyak saluran air, hanya satu saluran air yang tidak mengandung racun, yaitu yang mengalir ke utara!   "Hemm, kalau begitu tepatlah seperti yang dilihat dua orang pembantu muda kita ini, mereka menuju ke utara dan air yang menuju ke sana saja yang bersih dari racun." Dengan penuh semangat akan tetapi amat hati-hati, dipimpin oleh Wu-yi Lo-jin mereka lalu bergerak menuju ke utara, menurutkan jalannya saluran air jernih itu.   Saluran air itu berlika-liku dan akhirnya terjun ke dalam Sungai Huai yang baru saja meninggalkan sumbernya, jadi masih kecil dan jernih. Dan berhentilah mereka di lembah sungai yang datar, yang merupakan padang rumput yang luas, mereka melihat adanya sebatang bambu tinggi yang puncaknya dipasangi sehelai bendera. Itulah bendera yang amat dikenal oleh Wu-yi Lo-jin. Sebuah bendera yang melukiskan dua buah tengkorak disilang tulang-tulang yang menjadi gagang sepasang pedang. Wu-yi Lo-jin dan Siang-kiang Lo-jin nampak pucat dan gelisah. Tentu saja Hui Song dan Sui Cin yang tidak mengenal bendera itu merasa heran, akan tetapi ketika mereka hendak bertanya, dua orang kakek sakti itu sudah menaruh telunjuk di depan mulut, tanda bahwa kedua orang kakek sakti itu amat gelisah, tidak berani sembarangan bergerak, bahkan pernapasan merekapun agaknya ditahan dan tidak sampai terdengar, tanda bahwa mereka berdua itu sungguh tidak ingin ketahuan orang! Tentu saja hal ini membuat dua orang muda itu selain merasa heran, juga merasa ngeri. Kalau sampai dua orang kakek seperti mereka itu ketakutan, tentu ada hal yang amat gawat dan agaknya pemilik bendera itu benar-benar memiliki kesaktian seperti iblis sendiri!   Malam itu bulan bersinar terang, tidak dihalangi awan. Di angkasa memang ada gumpalan-gumpalan awan hitam, akan tetapi gumpalan-gumpalan awan itu terpisah-pisah dan hanya lewat sebentar saja, sejenak menutupi sinar bulan lalu pergi lagi, membentuk berbagai macam rupa yang menyeramkan. Lapangan rumput itupun nampak terang oleh sinar bulan yang lembut dan penuh rahasia. Akan tetapi, yang nampak hanyalah tiang bendera dari bambu itu saja, dan bendera bergambar sepasang tengkorak yang kadang-kadang saja berkibar lembut tertiup angin malam yang halus.   Empat orang yang mengintai itupun berpencar, dengan hati-hati bersembunyi karena kedua orang kakek itu tadi sudah memesan kepada Hui Song dan Sui Cin agar berhati-hati dan jangan sekali-kali sampai memperlihatkan diri.   "Mereka itu amat berbahaya, apalagi kalau sedang berkumpul dalam jumlah banyak. Kita datang hanya untuk menye-lidiki keadaan dan rencana mereka, bu-kan untuk melakukan penyerbuan." Demikianlah dua orang kakek itu berpesan kepada dua orang muda yang tentu saja dapat memaklumi pesanan itu dan tidak berani sembarangan bergerak.   Tiba-tiba, setelah lebih satu jam mereka menanti, terdengar suara jerit tangis seorang anak kecil! Dalam sunyi menegangkan itu, tentu saja suara ini membuat suasana menjadi semakin menyeramkan. Suara anak menangis itu mengaduh-aduh ketakutan, membuat wajah Sui Cin menjadi pucat dan iapun tak dapat menahan lagi perasaan hatinya. Ia bergerak dan biarpun terdengar suara Hui Song "Sshhhh...!" mencegahnya, namun Sui Cin tidak mau diam lagi. Tangis anak itu seperti menusuk-nusuk jantungnya. Mana mungkin ia tinggal diam saja kalau ada seorang anak begitu ketakutan dan agaknya terancam bahaya maut? Bagaimanapun juga, ia harus menyelidikinya dan kalau perlu turun tangan menolongnya, apapun yang akan menjadi resikonya. Maka, dengan hati-hati sekali iapun menyelinap di antara pohon-pohon dan batu-batu besar, bergerak cepat menuju ke arah suara tangis anak itu. Melihat ini, Hui Song merasa khawatir sekali dan iapun terpaksa bergerak mengejar. Ketika dia dapat menyusul, dia menangkap lengan gadis itu.   "Hati-hati, Cin-moi..." bisiknya.   "Aku harus menolongnya, apapun yang terjadi," bisik Sui Cin kembali.   "Hati-hati, siapa tahu ini jebakan mereka..."   Akan tetapi Sui Cin melanjutkan usahanya mencari karena kini hanya terdengar tangis ketakutan lemah saja dari suara anak tadi. Dan ternyata suara itu membawa mereka menjauhi padang rumput dan tiba di luar sebuah hutan. Tiba-tiba, tiba-tiba sekali sehingga amat mengejutkan hati Sui Cin dan Hui Song, terdengar jerit yang menyayat hati kemudian diam! Dua orang pendekar itu saling berpegang tangan dan saling pandang di bawah sinar bulan, keduanya terbelalak dan muka mereka pucat. Jeritan tadi jelas merupakan jeritan maut seorang anak yang berada dalam puncak ketakutan atau kesakitan. Sui Cin kini bergeges lari menyusup di antara semak-semak, diikuti oleh Hui Song dan tak lama kemudian mereka tiba di depan sebuah guha, mengintai dari balik batu, pohon dan semak-semak. Dan apa yang mereka lihat hampir membuat Sui Cin muntah, bahkan Hui Song sampai terbelalak tak mampu bergerak seperti telah berubah menjadi patung. Mereka berdua merasa ngeri, jijik, dan juga marah bukan main.   Penglihatan di depan guha itu sungguh membuat bulu kuduk berdiri. Amat mengerikan! Seorang laki-laki yang seperti raksasa sedang memangku tubuh seorang anak kecil telanjang yang menelungkup dan bagian bawah tubuh anak itu mandi darah yang juga membasahi paha laki-laki raksasa itu. Melihat tubuh kecil telanjang yang tertelungkup di atas pangkuan dalam keadaan mandi darah dan tidak bergerak lagi itu mudah diduga bahwa anak itu tentu sudah mati dan agaknya baru saja tewas. Yang amat menjijikkan adalah betapa raksasa itu memegang sebuah kaki kecil yang agaknya kaki anak itu yang direnggut lepas begitu saja dari tubunya. Raksasa itu memegang kaki seperti memegang paha ayam atau paha kelinci, lalu mengganyangnya mentah-mentah. Daging paha kaki yang masih berdarah itu dilahapnya seperti seekor harimau sedang melahap paha domba.   Sui Cin menutupi mulutnya untuk mencegah muntah atau berteriak. Memang amat mengerikan penglihatan itu. Kakek itu sukar ditaksir berapa usianya. Akan tetapi tubuhnya telanjang hanya mengenakan untaian daun-daun yang melingkar di pinggangnya. Tubuh kakek itu besar sekali dan nampak kuat. Di pundah dan lengannya tumbuh rambut panjang seperti monyet. Di bawah tengkuknya terdapat punuh atau daging jadi. Sebuah gelang akar kayu hitam menghias lengan kirinya. Kepala dan muka orang ini sungguh menyeramkan. Di dahinya juga tumbuh daging jadi dan hanya bagian belakang kepalanya saja yang ditumbuhi rambut pendek kaku. Mukanya tidak berjenggot atau berkumis, muka yang kasar dengan mata besar, hidung pesek dan mulut lebar dengan gigi-gigi menonjol. Di belakang raksasa ini terdapat tulang-tulang dan tengkorak manusia, agaknya raksasa ini sudah biasa makan daging manusia mentah-mentah.   Melihat kekejian yang tiada taranya ini, Sui Cin tak dapat menahan kemarahannya dan iapun sudah bergerak siap menerjang keluar. Akan tetapi tiba-tiba pundaknya ditekan orang dan tubuhnya menjadi lemas. Ketika ia menengok, ternyata yang menekan jalan darah di pundaknya itu adalah Wu-yi Lo-jin sendiri yang agaknya sudah berada di belakangnya bersama Siang-kiang Lo-jin! Sui Cin mengerutkan alisnya, akan tetapi Wu-yi Lo-jin menggeleng kepala dan memberi isyarat kepada dua orang muda itu untuk mengikutinya pergi meninggalkan tempat mengerikan itu. Setelah jauh dari raksasa itu, Wu-yi Lo-jin berkata, "Sui Cin, hampir saja engkau menggagalkan semua usaha kita."   "Tapi, kek, bagaimana mungkin kita mendiamkan saja kekejian seperti yang dilakukan oleh iblis raksasa itu?"   Wu-yi Lo-jin tidak bergurau seperti biasa, melainkan memandang dengan wajah serius. "Sui Cin, kekejian seperti itu saja masih belum apa-apa dibandingkan dengan kejahatan yang dapat dilakukan oleh orang-orang dunia sesat. Anak itu telah tewas, jadi tidak dapat ditolong lagi. Dan belum waktunya bagimu untuk turun tangan menentang iblis itu, karena kalau hal itu kaulakukan tadi, akan bermunculan mereka semua dan kita tidak mungkin dapat menyelamatkan diri lagi."   Sebelum Sui Cin dapat membantah, tiba-tiba terdengar suara teriakan-teriak-an dan hiruk-pikuk di sebelah kiri, dari arah sebuah dusun yang berada di luar hutan. Mendengar ini, empat orang itu, dipimpin oleh Wu-yi Lo-jin, segera meng-gunakan ilmu kepandaian mereka untuk berlari ke arah itu.   Apakah yang terjadi di dusun kecil itu? Seorang kakek lain yang juga seperti raksasa, bertubuh tinggi besar dengan perut gendut, membawa sebuah tongkat panjang, mengamuk den membunuhi para penduduk. Seorang ayah yang melindungi anak isterinya, mencoba melawan dengan golok di tangan. Akan tetapi dia bukan lawan kakek raksasa yang seperti iblis itu. Sekali dorong saja petani itu roboh dan ujung tongkat menembus dadanya, sedangkan isterinya telah tewas di am-bang pintu. Anaknya yang tunggal, seo-rang anak laki-laki berusia sepuluh tahun, menangis dan tak mampu bergerak ketika lengan kanannya dicengkeram oleh jari-jari tangan kiri yang besar dan panjang itu. Melihat betapa ayahnya dibunuh, anak itu menjadi nekat. Sambil menjerit-jerit dia lalu menggigit punggung tangan kakek yang mencengkeram lengannya.   Huh! Keparat!" Kakek itu menghardik dan sekali tangan kirinya bergerak, kepala anak itupun pecah dan tubuhnya terpelanting ke dekat mayat ayahnya dalam keadaan tewas seketika. Melihat betapa kakek ini mengamuk, para penduduk dusun melarikan diri ketakutan, meninggalkan belasan orang kawan yang sudah roboh dan tewas terlebih dahulu. Ketika Wu-yi Lo-jin, Siang-kiang Lo-jin, Hui Song dan Sui Cin tiba di situ dan mengintai, semua penduduk yang masih hidup telah lari mengungsi dan yang ada hanya kakek raksasa itu yang tertawa bergelak memegangi tongkatnya, di tengah-tengah dusun dan di sana-sini nampak mayat-mayat berserakan.   Kembali Wu-yi Lo-jin harus menahan Sui Cin yang sudah merah mukanya karena marah dan sudah gatal-gatal tangannya untuk keluar dan menyerang iblis itu.   "Sabarlah. Mereka itu memang sengaja membuat pembersihan agar semua dusun di sekitar tempat ini ditinggalkan kosong dan pertemuan mereka tidak terganggu. Dan perbuatan mereka itu, selain berusaha mengusir semua penghuni penduduk, juga agaknya hendak memancing keluarnya golongan musuh yang mungkin datang mengintai seperti yang kita lakukan. Jangan kita mudah terpancing keluar dan mati konyol. Mari kita bersembunyi dan mengintai lagi di padang rumput itu. Di sana adanya bendera itu, maka tentu di sana pula mereka akan datang berkumpul."   Empat orang itu berindap-indap dan menyusup-nyusup melalui belakang semak-semak dan batu-batu besar, kembali ke tempat tadi. Masih sunyi di situ dan bendera itupun masih berkibar di ujung tiang bendera dari bambu. Akan tetapi, dengan gerakan tangan Wu-yi Lo-jin menudingkan telunjuknya dan memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk memperhatikan ke atas. Sui Cin dan Hui Song memandang ke arah yang ditunjuk dan mereka terbelalak. Di sana, di atas puncak tiang bambu seperti ada dua ekor burung raksasa bermain-main. Yang seekor hinggap di atas puncak tiang bambu dan yang seekor lagi berjungkir balik di atas. Ketika yang berjungkir balik tadi melayang turun, yang hinggap di ujung bambu mencelat ke atas, berjungkir balik dan tempatnya kini dipakai oleh burung kedua. Akan tetapi setelah dipandang dengan teliti, nampak oleh Sui Cin dan Hui Song bahwa dua bayangan yang bermain-main di puncak tiang bambu itu sama sekali bukan burung melainkan manusia! Dua orang manusia yang keduanya berambut panjang riap-riapan, berpakaian longgar dan dari jarak sejauh itu sukar dikenal wajahnya. Akan tetapi melihat bentuk tubuh yang seorang ramping, mudah diduga bahwa mereka itu adalah seorang pria dan seorang wanita. Akan tetapi yang amat mengagumkan adalah gerakan mereka. Sui Cin sendiri seorang ahli gin-kang yang telah mewarisi ilmu gin-kang ibunya yang juga hebat. Akan tetapi melihat cara dua orang itu main-main di puncak tiang bambu yang lentur seperti dua ekor burung saja, diam-diam ia terkejut dan kagum bukan main. Tahulah ia bahwa kedua orang itu memiliki ilmu gin-kang yang amat tinggi dan ia, seperti juga Hui Song, menduga-duga siapa adanya kedua orang lihai itu. Ketika Sui Cin menoleh dan memandang kepada Wu-yi Lo-jin dan Siang-kiang Lo-jin, ia melihat betapa Dewa Arak dan Dewa Kipas itu nampak pucat, terbelalak dan seperti orang ketakutan. Bahkan ketika Si Dewa Arak Wu-yi Lo-jin menoleh kepada Sui Cin dan melihat gadis ini seperti hendak membuka mulut, dia cepat memberi isyarat agar gadis itu tidak mengeluarkan suara.   Kini nampak oleh empat orang pengintai itu betapa yang pria hinggap di atas ujung bambu dan yang wanita melayang ke atas, berjungkir balik beberapa kali kemudian turun, melayang ke arah pria yang berdiri dengan satu kaki di atas puncak bambu. Akan tetapi, pria itu tidak meninggalken tempatnya dan si wanita dengan lunaknya dapat hinggap di atas kepala pria itu dengan kepalanya pula! Mereka beradu kepala dan si wanita kini berdiri jungkir balik, kepalanya menempel pada kepala pria yang masih berdiri tegak. Sungguh pertunjukan yang amat mengagumkan dan kalau saja tidak ada tiga orang lain yang memperingatkannya, tentu Sui Cin akan bertepuk tangan dan bersorak memuji. Gin-kang seperti yang diperlihatkan dua orang yang agaknya sedang berlath itu sungguh membuat hatinya kagum bukan main. Akan tetapi, Wu-yi Lo-jin yang juga merupakan seorang ahli gin-kang yang hebat, memandang khawatir. Dia tahu bahwa menghadapi sepasang iblis itu, hanya dalam gin-kang saja dia masih mampu mengungguli mereka, akan tetapi kini, melihat cara kedua orang itu berlatih, dia merasa sangsi apakah ilmu gin-kangnya akan mampu menandingi mereka sekarang!   Melihat kekhawatiran di wajah kedua orang kakek sakti, Sui Cin lalu menyentuh lengan Wu-yi Lo-jin, kemudian de-ngan isyarat ia mengangkat dua jari ta-ngan, telunjuk dan jari tengah ke atas. Melihat isyarat ini, Wu-yi Lo-jin mengangguk dan tahulah Sui Cin bahwa kedua orang yang sedang berlatih itu benar ada-lah Raja Iblis dan Ratu Iblis seperti yang pernah diceritakan Dewa Arak yang ka-tai itu kepadanya. Maka tentu saja iapun menjadi gelisah dan tertarik, memandang dengan penuh perhatian.   Tiba-tiba para pengintai melihat berkelebatnya bayangan orang. Agaknya mereka yang sedang berlatih di puncak bambu juga melihatnya karena mereke berdua tiba-tiba melayang turun dan gerakan mereka ketika melayang sambil mengembangkan kedua lengan dan jubah mereka yang lebar berkibar benar-benar membuat mereka nampak seperti dua ekor burung besar. Tanpa mengeluarkan sedikitpun suara, kedua orang itu turun hinggap di atas dua buah batu besar yang agaknya seperti juga tiang bendera itu, sudah sengaja dipersiapkan lebih dahulu di tempat itu. Dengan berdiri di atas batu yang besar setinggi manusia ini, maka kedua orang itu nampak nyata dari jarak jauh.   Sui Cin memandang penuh perhatian. Laki-laki itu bertubuh jangkung dan berperawakan sedang. Wajahnya sama sekali bukan seperti wajah iblis atau wajah tokoh-tokoh sesat lain yang biasanya menyeramkan. Orang-orang Cap-sha-kui juga berwajah menyeramkan, juga dua orang raksasa yang dilihatnya tadi jelas membayangkan bahwa mereka adalah orang-orang sesat yang kejam sekali. Akan tetapi kalau pria ini dinamekan Raja Iblis yang yang ditakuti sekali oleh dua orang kakek sakti yang berada di dekatnya, sungguh membuat hatinya penasaran. Laki-laki itu sukar ditaksir berapa usianya karena walaupun wajahnya masih nampak muda dan tidak keriputan, akan tetapi rambutnya yang panjang riap-riapan itu sudah putih semua. Kumis dan jenggotnya dipotong pendek. Tidak nampak sesuatu yang aneh atau menakutkan pada diri pria ini kecuali barangkali matanya. Sepasang matanya itu mencorong dan nampak kehijauan! Sungguh bukan seperti mata manusia biasa. Orang kedua, seorang wanita yang bertubuh langsing, juga tidak kelihatan aneh atau menakutkan. Tubuhnya masih langsing padat seperti tubuh seorang wanita muda, dan wajahnya juga belum berkeriput. Akan tetapi rambutnya yang riap-riapan itupun sudah putih semua dan seperti juga pria itu, ia meiliki sepasang mata yang mencorong bersinar kehijauan. Selain mata mereka yang mencorong kehijauan, juga sikap kedua orang ini amat dingin, wajah mereka seperti topeng saja, seperti kulit mati dan hanya mata mereka yang hidup. Wajah itu tidak membayangkan perasaan apa-apa kecuali dingin dan mati, dengan kerut dekat mata dan mulut yang menunjukkan kemarahan atau ejekan atau tidak perdulian. Pakaian mereka hanya dari dua macam warna, putih dan kuning, dan polos. Potongannya sederhana sekali, kebesaran dan longgar, akan tetapi kain-nya terbuat dari sutera halus dan nam-pak bersih.   Bagaikan setan-setan yang berkeliar-an, bayangan-bayangan berkelebat dan kini di tempat itu telah berkumpul ba-nyak orang. Tidak kurang dari tiga puluh orang berdatangan dari segala penjuru.   Sui Cin yang mengintai, diam-diam bergidik melihat betapa puluhan orang ini, sebagian besar memiliki bentuk wajah, tubuh atau pakaian yang aneh-aneh dan menyeramkan. Dua orang kakek raksasa yang dilihatnya tadipun berada di situ. Anehnya, di antara tiga puluh orang lebih itu, sebagian berlutut menghadap kepada dua orang yang berdiri tegak di atas batu besar, akan tetapi sebagian lagi, kurang lebih setengahnya tetap berdiri dan menghadap dua orang itu dengan sikap yang jelas menyatakan bahwa mereka yang berdiri ini tidak tunduk! Dan dua orang kakek raksasa tadi termasuk di antara mereka yang berdiri dengan sikap angkuh. Puluhan orang itu rata-rata sudah tua, di antara empat puluh tahun sampat ada yang sukar ditaksir berapa usianya. Dan Sui Cin melihat betapa hidung kakek gendut Dewa Kipas berkem-bang kempis tanda bahwa dia mencium sesuatu. Ia sendiripun lapat-lapat dapat mencium bau yang bermacam-macam. Ada bau yang amis sekali, ada bau harum yang aneh, dan iapun tahu bahwa di an-tara orang-orang yang berkumpul di situ tentu terdapat banyak datuk-datuk sesat yang selalu bergelimang dengan racun yang berbahaya. Kalau ia membayangkan betapa di situ terdapat orang yang mele-pas racun dalam air sehingga membunuh puluhan orang, sungguh ia merasa ngeri dan bergidik. Agaknya mereka semua itu bukan manusia lagi, melainkan iblis-iblis jahat yang berhati kejam bukan main.   Pria dan wanita yang berdiri di atas batu besar itu kini memandang ke ba-wah. Wajah mereka yang tertimpa sinar bulan itu nampak kehijauan, akan tetapi mereka tidak memperlihatan perasaan apapun wajah mereka ketika melihat betapa sebagian dari mereka yang mun-cul itu tidak berlutut.   Wanita berambut riap-riapan putih itu kini mengangkat tangan kanan ke atas dan terdengar suaranya, suara yang lan-tang dan melengking halus, menusuk anak telinya. "Kawan-kawan yang sudah memperlihatkan penghormatan kepada kami, kami menerimanya dan silakan kalian duduk dan berkumpul di sebelah kanan!" Jarinya menuding ke kanan dan mereka yang berlutut itu, berjumlah belasan o-rang, lalu bangkit dan berkumpul di se-belah kanan, di mana mereka lalu duduk dengan santainya di atas rumput. Akan tetapi, dasar orang-orang kasar yang ti-dak mengindahkan kesopanan dan aturan, mereka duduk seenaknya, ada yang jong-kok, ada yang mekangkang, ada yang se-tengah tiduran.   Tinggal belasan orang yang merupakan kelompok yang sejak tadi berdiri saja, tidak mau berlutut seperti yang lain. Dan di tengah-tengah mereka, kini bahkan berada paling depan, berdiri seorang kakek yang sudah dikenal oleh Sui Cin, yaitu kakek buta yang terkenal dengan julukan Iblis Buta! Itulah Siangkoan Lo-jin, kakek yang berpakaian petani hitam sederhana, yang matanya buta hanya nampak putihnya saja dan melek terus, kakek yang menjadi datuk sesat dan yang pernah memimpin sebagian dari anggauta Cap-sha-kui. Siangkoan Lo-jin atau Iblis Buta itu kini berdiri tegak dengan tong-kat kayu cendana hitam di tangannya. Sikapnya tegak dan angkuh berwibawa dan agaknya inilah yang membuat belas-an orang datuk lain, termasuk mereka dari Cap-sha-kui, berani untuk berdiri di belakangnya menentang suami isteri yang merupakan raja dan ratu baru di kalang-an sesat, akan tetapi yang belum pernah mereka rasakan sendiri kehebatan mereka itu. Mereka semua kaum sesat yang pernah mendengar nama Raja Iblis dan Ratu Iblis dari Guha Tengkorak, akan tetapi karena selama puluhan tahun suami isteri ini tidak pernah muncul, maka mereka-pun tidak pernah bertemu dengan mereka dan kini mereka sangsi apakah benar suami isteri itu hebat dan lebih tangguh daripada Si Iblis Buta!   Wanita itu kembali menghadapi mereka yang berdiri di bawah dan suara-nya masih terdengar melengking nyaring dan tidak ada bedanya dengan tadi, tidak menunjukkan kemarahan, hanya terdengar lebih dingin. "Dan kalian yang berani me-nentang kami dengan pandang mata dan sikap, kami masih memberi kesempatan untuk bicara dan mengemukakan alasan mengapa kalian tidak mau tunduk kepada kami, Raja dan Ratu kalian!"   Belasan orang yang berdiri tegak dan tidak mau tunduk itu nampak ragu-ragu. Sikap wanita itu biarpun nampak halus namun sungguh mengandung suatu wibawa yang amat menyeramkan, dan lebih-lebih lagi sikap pria yang berdiri tegak di atas batu besar tanpa mengeluarkan sepatah kata itu, yang hanya memandang dengan matanya yang mengeluarkan si-nar hijau seperti mata iblis. Agaknya, Raja Iblis ini memang jarang bicara dan isterinya, Ratu iblis itu yang menjadi ju-ru bicara untuknya.   Nama seseorang memang mempunyai pengaruh besar. Biarpun belum pernah melihat kelihaian Raja dan Ratu Iblis i-tu, namun tiga belas orang Cap-sha-kui yang kini berkumpul semua, bersama be-berapa orang datuk sesat lainnya, dan di-pelopori oleh Iblis Buta, sudah pernah mendengar kesaktian suami isteri bang-sawan yang kini menjadi manusia iblis itu. Maka, bagaimanapun juga, ada pera-saan gentar di dalam lubuk hati mereka. Hanya karena di situ terdapat Siangkoan Lo-jin Si Iblis Buta yang menjadi pelopor, maka mereka masih berbesar hati karena mereka semua sudah melihat sendiri ke-saktian Iblis Buta ini yang telah mereka akui sebagai pemimpin, atau setidaknya beberapa orang di antara Cap-sha-kui telah mengakuinya. Kini, mendengar perta-nyaan dan ucapan Ratu Iblis, belasan o-rang itu memandang ke arah Siangkoan Lo-jin, mengharapken tokoh pemimpin ini yang akan menjawab.   Siangkoan Lo-jin yang buta itu mak-lum malalui pendengaran dan perasaan hatinya bahwa rekan-rekannya mengharapkan dirinya sebagai pemimpin untuk menghadapi suami isteri yang begitu muncul telah menentukan dan mengangkat diri sendiri sebagai raja dan ratu para datuk. Dia menjadi marah.   "Tukk! Tukk! Tukk!" Tiga kali ujung tongkat kayu cendana yang berada di tangannya itu menotok, ke atas sebongkah batu yang berada di depan kakinya. Totokan-totokan itu nampaknya perlahan saja, akan tetapi sebongkah batu itu retak-retak dan ketika tongkat kakek buta mendorong, batu itu pecah menjadi empat potong! Betapa hebat tenaga sin-kang kakek buta ini yang disalurkan melalui tongkatnya!   "Seorang pemimpin dinilai dari perbuatannya, bukan dari namanya atau omongannya! Kalian datang-datang mengangkat diri menjadi raja dan ratu dan minta agar kami tunduk dan taat. Kami bukan anak kecil yang dapat kalian takut-takuti begitu saja. Aku Siangkoan Lo-jin, minta bukti apakah kalian memang sudah pantas untuk memimpin kami!"   Melihat betapa pemimpin ini sudah berani maju menentang, tiba-tiba suami isteri dari Kui-kok-pang, yaitu Kui-kok Lo-mo dan Kui-kok Lo-bp juga berloncatan ke depan dengan sikap menantang.   "Kami juga penasaran!" kata Kui-kok Lo-bo dengan suara melengking. "Melihat keadaan kalian, tidak lebih hebat daripada aku dan suamiku. Mana mungkin kami berdua mau tunduk dan taat kepada kalian kalau kami belum tahu sampai di mana kesaktian kalian?" Kui-kok Lo-bo memandang dengan mata terbolalak. Nenek ini sesungguhnya tidak kalah angkernya dibandingkan dengan nenek yang berdiri di atas batu besar. Ia dan suaminya memang merasa penasaran sekali. Mereka merupakan suami isteri yang terkenal sebagai sepasang iblis, ketua Kui-kok-pang (Perkumpulan Lembah Iblis) dan merupakan tokoh-tokoh Cap-sha-kui yang ditakuti. Kini muncul suami isteri yang seolah-olah hendak menyaingi mereka, dan melihat betapa suami isteri yang baru muncul dan mengangkat diri sendiri menjadi Raja Iblis dan Ratu Iblis, tentu saja Kui-kok Lo-bo merasa penasaran. Kakek nenek di atas batu itu merupakan orang-orang biasa saja. Dan memang keadaan suami isteri Kui-san-kok ini lebih menyeramkan dibandingkan dengan Raja dan Ratu Iblis itu. Suami isteri ini berpakaian putih-putih dan muka merekapun putih pucat, seperti muka mayat. Mata mereka mencorong mengerikan dan kekejaman mereka sudah terkettal di seluruh dunia kang-ouw. Jauh lebih mengesankan daripada suami isteri biasa sederhana yang kini berdiri di atas batu besar itu.   Sejenak nenek berambut putih itu memandang kepada suami isteri yang berdiri bertolak pinggang menentangnya di bawah batu itu tanpa perubahan air muka, hanya sepasang matanya berkedip-kedip dan sinar pandang matanya menyambar ganas. Dengan suara tetap halus akan tetapi nadanya semakin dingin saja, akhirnya ia bertanya sambil memandang ke arah sekelompok orang yang berdiri di sebelah belakang Iblis Buta dan sepasang Iblis Kui-kok-pang itu, "Masih ada lagikah yang merasa penasaran dan yang hendak menentang kami selain tiga ekor monyet ini?"   Biarpun di situ berkumpul datuk-datuk sesat yang amat kejam deperti sakumpulan Cap-sha-kui, namun ternyata selain tiga orang itu, tidak ada lagi yang berani menentang secara terang-terangan. Mereka merasa lebih aman untuk menunggu dan melihat bagaimana kelanjutan dari sikap Iblis Buta dan suami isteri Kui-kok-pang itu.   Sementara itu, mendengar dirinya di-sebut "tiga ekor monyet", tentu saja Iblis Buta dan suami isteri Kui-kok-pang menjadi marah. Itulah penghinaan yang hebat! Akan tetapi, merasa betapa derajat-nya lebih tinggi, yaitu sebagai pemimpin sebagian tokoh Cap-sha-kui termasuk suami isteri Kui-kok-pang itu, Iblis Buta diam saja, membiarkan bawahannya untuk bertindak lebih dahulu. Pula, dia sendiri belum mengenal kelihaian lawan, maka kalau lawan sudah bergebrak melawan suami isteri Kui-kok-pang, dia dapat mempergumkan pendengarannya yang tajam untuk mengikuti gerakan mereka dan mengukur sampai di mana kelihaian dua orang itu.   "Kawan-kawan semua yang telah datang memenuhi undangan kami, kani berdua mengucapkan selamat datang dan terima kasih atas perhatian kalian. Percayalah, kami berdua Raja dan Ratu kalian akan mendatangkan suasana baru bagi kita semua, dan sudah waktunya bagi kita untuk menguasai dunia! Sekarang, kalau ada yang tidak setuju bahwa kami berdua yang menjadi Raja dan Ratu, dan kalau ada yang hendak menentang, kami persilakan naik ke atas batu ini. Kalau kami sampai dapat digusur turun dari atas batu ini, biarlah kami tidak akan banyak bicara lagi dan kembali ke tempat pertapaan kami dan tinggal di sana sampai mati. Nah, hayo, siapa hendak naik? Tiga ekor monyet ini?"   Sikap dan ucapan nenek berambut putih itu sungguh menyakitkan hati Kui-kok Lo-mo dan Kui-kok Lo-bo. Mereka melihat bahwa batu besar itu cukup luas, tidak kurang dari lima meter persegi luasnya. Memang kurang luas untuk menjadi tempat perkelahian, akan tetapi, mereka maju bersama dan mereka berdua sudah memiliki ilmu gabungan yang dapat dimainkan oleh mereke berdua. Tempat yang sempit itu bahkan menguntungkan kalau mereka maju bersama.   "Perempuan sombong, biarkan kami yang mencoba untuk menyeret kalian turun!" Bentak Kui-kok Lo-bo yang berwatak keras dan galak. Ia mendahului suaminya meloncat dan nampaklah dua bayangan berkelebat cepat ketika suami isteri ini melayang naik ke atas batu dan dalam waktu sekejap saja mereka kini telah berdiri berdampingan, menghadapi nenek berambut putih yang menyambut mereka dengan sikap dingin dan mata mencorong penuh selidik. Adapun suaminya, kakek berambut putih riap-riapan itu, agaknya tidak memperdulikan, bahkan kini dia mengundurkan diri dan duduk bersila di sudut permukaan batu, bahkan lalu memejamkan kedua matanya seperti orang bersamadhi.   "Agaknya kalian yang disebut Sepasang Iblis Kui-kok-pang, dua orang di antara Cap-sha-kui. Sayang, mulai sekarang, Cap-sha-kui harus merasa puas dengan sebutan Cap-it-kui (Sebelas Iblis) saja," kata nenek berambut putih.   Suami isteri Kui-kok-pang itu mendelik. Penghinaan ini lebih hebat daripada makian monyet tadi, karena ucapan itu amat meremehkan mereka, memastikan bahwa mereka berdua tentu akan tewas sehingga Cap-sha-kui (Tiga Belas Iblis) hanya akan tinggal sebelas orang lagi saja.   "Perempuan sombong, engkaulah yang akan mampus di tangan kami!" bentak Kui-kok Lo-bo yang sudah menubruk ke depan. Kedua lengannya tadinya terkembang, kemudian menubruk dengan sepuluh jari tangan membentuk cakar setan. Gerakannya demikian kuatnya dan mengandung sin-kang amat kuat sehingga mengeluarkan bunyi angin bersiutan!   "Plak! Plakk!" Dua kali tangan nenek berambut putih menangkis dan tubuh Kui-kok Lo-bo terdorong dan hampir terjengkang. Tentu saja ia terkejut, bukan main ketika merasa betapa dorongan tangan lawan itu lunak dan lembut, akan tetapi di balik kelembutan itu terkandung tenaga dahsyat yang tenang seperti air telaga sehingga tenaga sin-kangnya sendiri yang bersifat keras itu seperti tenggelam ke dalamnya! Itulah semacam tenaga halus yang amat hebat, yang membuat telapak tangan wanita itu seperti kapas halusnya akan tetapi mengandung tenaga dahsyat yang sewaktu-waktu dapat dikeluarkan untuk mengirim serangan maut dari balik kelembutan.   Pada saat isterinya terdorong mundur, Kui-kok Lo-mo yang terkejut melihat cara lawan menangkis isterinya dan membuat isterinya terhuyung, sudah mengeluarkan teriakan nyaring dan diapun menerjang maju mengirim pukulan dengan targan kanan terbuka ke arah dada lawan. Kali ini, angin yang berhembus lebih kuat daripada gerakan Kui-kok Lo-bo dan tangan maut itu menyambar dahsyat, mengeluarkan suara berdesing.   Nenek rambut putih mengenal pukulan dahsyat, maka iapun mengelak, dengan gerakan yang gesit, tubuhnya menyelinap ke samping akan tetapi bukan hanya se-kedar mengelak karena sambil mengelak kakinya melayang ke arah selangkang lawan.   "Wuuuttt...!" Kui-kok Lo-mo cepat meloncat ke belakang sehingga tendangan yang amat berbahaya itu lewat di depan tubuhnya. Menggunakan kesempatan ini, Kui-kok Lo-bo sudah menerjang lagi dari belakang, mencengkeram ke arah tengkuk lawan, sedangkan tangan yang lain menusuk dengan jari-jari tangan ditegakkan ke arah lambung. Sungguh merupakan serangan maut yang amat berbahaya, dilakukan dari belakang tubuh lawan pula! Akan tetapi nenek rambut putih itu sama sekali tidak kelihatan terkejut atau gugup menghadapi serangan dari belakang ini. Ia menarik tubuh atas ke belakang sambil memutar tubuh, menangkis tusukan ke arah lambungnya itu sedangkan cengkeraman ke arah tengkuknya luput, dan secepat kilat ia menggerakkan kepala dan rambutnya yang putih dan riap-riapan itu tiba-tiba saja berubah kaku seperti kawat-kawat baja menyambar ke depan.   Bukan main hebatnya serangan ini! Di dunia persilatan ada ilmu memperguna-kan rambut sebagai senjata. Akan tetapi biasanya rambut itu dikuncir sehingga kalau kepala digerakkan, kuncir yang te-bal itu depat menghantam seperti ujung toya. Ilmu mempergunakan rambut nenek ini lain lagi. Rambutnya tidak dikuncir melainkan riap-riapan dan menurut nalar, rambut yang riap-riapan ini tentu saja tidak mempunyai daya kekuatan. Akan tetapi hebatnya, begitu nenek ini meng-gerakkan kepalanya, rambut putih yang riap-riapan dan beribu-ribu banyaknya itu menjadi tegeng seperti kawat-kawat baja halus menyambar ke arah lawan. Kui-kok Lo-bo terkejut bukan main ketika tubuh-nya dari dada sampai kepala diserang o-leh rambut-rambut putih yang menjadi kaku itu. Ia cepat melempar tubuh ke belakang, akan tetapi masih saja ada rambut yang menyentuh kulit lehernya dan dan kulit leher itupun terluka berlubang-lubang seperti ditusuki jarum-jarum halus! Memang tidak terlalu nyeri bagi wanita iblis ini, akan tetapi cukup mengejutkan karena ternyata kekebalan kulitnya tidak dapat bertahan terhadap rambut-rambut putih halus itu.   Sementara itu, Kui-kok Lo-mo sudah menyerang lagi dengan pukulan-pukulan dahsyat. Juga Lo-bo cepat membantu suaminya dan sebentar saja nenek rambut putih itu sudah dikeroyok dua oleh sepasang iblis dari Kui-kok-pang. Perlu diketahui bahwa suami isteri Kui-kok-pang itu melatih diri bersama, mempelajari berbagai ilmu pukulan yang ampuh-ampuh sehingga mereka berdua merupakan pasangan yang dapat bekerja sama dengan baik. Akan tetapi, nenek yang tidak mengesankan keadaannya itu ternyata lincah bukan main dan ia seperti mempermainkan kedua orang pengeroyoknya! Gerakannya begitu mantap dan cepat sehingga ke manapun kedua orang lawannya menyerang, ia sudah siap untuk mengelak atau menangkis, bahkan hampir selalu secara langsung ia membalas setiap serangan dengan tidak kalah dahsyatnya. Hebatnya, makin dahsyat serangan lawan, makin dahsyat pula ia membalas, seolah-olah kedahsyatan serangannya tergantung kepada serangan lawan.   Hui Song dan Sui Cin yang nonton dari tempat persembunyian mereka, terbelalak kagum. Mereka berdua sudah maklum akan kesaktian suami isteri Kui-kok-pang itu. Akan tetapi melihat betapa nenek rambut putih itu mampu mempermainkan pengeroyokan mereka, sungguh hal ini amat mengejutkan dan mengagumkan. Kini mengertilah mereka mengapa dua orang kakek sakti seperti Dewa Arak dan Dewa Kipas itu nampak jerih terhadap Raja dan Ratu Iblis!   Perkelahian di atas batu itu menjadi semakin seru. Bagaimanapun juga, harus diakui bahwa Kui-kok Lo-mo dan Kui-kok Lo-bo adalah dua orang datuk sesat yang sudah memiliki kedudukan tinggi dan mengalahkan pengeroyokan dua orang ini bukan merupakan hal mudah, biarpun bagi nenek berambut putih itu sekalipun. Memang benar bahwa nenek itu menang segala-galanya, baik kekuatan sin-kang maupun kepandaian silat dan ketinggian gin-kang, akan tetapi berkat kerja sama yang amat kompak suami isteri iblis dari Kui-san-kok itu dapat bertahan dan menjaga diri. Mereka berdua terdesak hebat dan kini bahkan sukar untuk membalas serangan nenek itu yang dibantu oleh rambutnya itu. Bagaikan gelombang samudera, nenek itu mengirim serangannya susul-menyusul, dengan kedua tangan, kedua kaki dan diseling dengan gerakan rambutnya yang amat berbahaya.   Karena merasa kewalahan, suami isteri dari Kui-kok-pang itu menjadi penasaran dan marah. Biarpun mereka bertangan kosong dan nenek rambut putih itu juga bertangan kosong, akan tetapi penggunaan rambut nenek itu bahkan lebih merepotkan daripada kalau lawan menggunakan senjata. Maka merekapun mengeluarkan bentakan nyaring dan nampaklah sinar berkelebat di bawah bayangan cahaya bulan yang kini bersinar terang. Tahu-tahu Kui-kok Lo-mo telah memegang sebatang pedang panjang lemas yang tadinya dipakai sebagai ikat pinggang, sedangkan isterinya telah memegang dua buah pisau belati yang tajam mengkilat. Dengan senjata di tangan, mereka lalu mengamuk dan menyerang kalang kabut.   "Plak! Plak! Plak!" Sui Cin hampir berseru saking kagumnya. Nenek rambut putih itu tidak hanya pandai mengelak, bahkan berani menangkis pedang dan pisau yang amat tajam itu dengan kedua lengannya! Kulit lengan menjadi lunak sekali sehingga ketika bertemu dengan senjata tajam, sama sekali tidak terluka karena tenaga bacokan senjata-senjata itu lenyap disedot oleh kulit pembungkus daging yang lunak dan ulet seperti kapas di udara yang tidak akan rusak terbacok senjata tajam.   Betapapun juga, nenek itu belum berani menerima senjata-senjata yang digerakkan oleh tangan-tangan yang memiliki tenage sin-kang amat kuat itu dengan tubuhnya. Yang berani beradu dengan senjata-senjata tajam itu hanyalah kedua lengannya saja yang agaknya sudah terlatih dengan amat baiknya.   "Tringgg... crakkk... tranggg...!" Bunga api berpijar ketika ujung pedang mencium permukaan batu, membuat debu batu bertaburan. Diserang kedua kakinya dengan babatan pedang sedangkan Kui-kok Lo-bo menggerakkan sepasang belatinya mengarah jalan-jalan darah yang berbahaya, nenek itu harus memperlipatgandakan kecepatannya. Setelah suami isteri itu mempergunakan senjata, perkelahian menjadi semakin seru menegangkan. Semua orang yang hadir di situ, baik yang sekelompok dan duduk di sebelah kanan maupun mereka yang masih berdiri di belakang Iblis Buta, nonton dengan hati tegang. Bagi mereka, yang berkelahi itu seolah-olah mewakili golongan masing-masing, yaitu golongan yang tunduk kepada Raja dan Ratu Iblis dan golongan yang menentang.   Biarpun ia harus mengakui bahwa nenek berambut putih itu memang lihai sekali sehingga dikeroyok suami isteri iblis dari Kui-kok-pang itu yang keduanya bersenjata tajam tidak sampai kalah, namun ia masih merasa ragu-ragu apakah orang-orang seperti Dewa Arak atau Dewa Kipas harus takut menghadapinya. Menurut penilaiannya, tingkat kepandaian dua orang kakek itu belum tentu kalah oleh nenek berambut putih itu, akan tetapi mengapa mereka berdua nampak sedemikian takutnya menghadapi Raja dan Ratu Iblis? Ia menaksir bahwa kalau hanya dapat mengimbangi kepandaian kedua orang suami isteri Kui-kok-pang itu saja, ayahnya atau ibunya belum tentu akan kalah!   Akan tetapi tiba-tiba kakek katai menyentuh lengannya dan menudingkan telunjuknya ke arah batu di mana perkelahian masih berlangsung dengan serunya. Dan Sui Cin yang tadinya termenung itu kini terbelalak. Dua orang suami isteri Kui-kok-pang itu kini kelihatan terhuyung-huyung! Yang membuat Sui Cin terheran-heran dan merasa ngeri adalah ketika ia melihat betapa kedua tangan suami isteri itu kini berubah menjadi hijau, juga muka mereka yang tadinya pucat seperti muka mayat itu ber-ubah menjadi kehijauan! Dan ia, sebagai puteri suami isteri pendekar sakti, dapat menduga apa artinya itu. Suami isteri Kui-kok-pang itu ternyata telah keracunan secara hebat sekali. Inilah sebabnya mengapa gerakan mereka menjadi kacau dan lemah. Padahal, nenek berambut putih itu sama sekali tidak pernah kelihatan menggunakan racun! Dari mana datangnya racun yang menguasai suami isteri itu? Dan kedua suami isteri Iblis Kui-kok-san itupun merupakan datuk-datuk sesat yang tidak asing dengan segala macam racun, bagaimana mungkin mereka dapat keracunan semudah itu?   Tiba-tiba nenek berambut panjang itu mengeluarkan suara bentakan melengking, tubuhnya bergerak cepat dan tahu-tahu sepasang pisau dan pedang itu terbang dari tangan para penyerangnya. Suami isteri itu nampak terkejut, akan tetapi mereka menggunakan tangan kosong untuk melawan terus. Bahkan kini mereka mengamuk dengan nekat, melihat betapa tubuh mereka telah dipengaruhi hawa racun hijau yang tidak menimbulkan rasa nyeri, akan tetapi membuat tubuh mereka makin lama semakin lemas.   "Hyaaattt!" tiba-tiba Kui-kok Lo-bo menubruk dengan kedua tangan membentuk cakar setan. Nenek ini sudah nekat karena betapa sebetulnya ia dan suaminya dipermainkan, dan agaknya kalau dikehendaki, sejak tadi ia dan suaminya sudah dapat dikalahkan. Ia tadi sudah mencoba menggunakan pel anti racun untuk menyembuhkan keracunan itu dengan menelannya, akan tetapi tidak ada hasilnya sama sekali. Maka, ia berlaku nekat, kalau perlu hendak mengadu nyawa dengan lawan. Maka serangannya itu amat hebat, tidak lagi memperdulikan daya pertahanan lagi, melainkan mengerahkan seluruh tenaga dan perhatian untuk mencengkeram tubuh lawan. Tentu saja ia menyerang sambil mengerahkan tenaga sin-kang yang membuat kedua tangannya berubah hitam dan mengandung hawa beracun yang amat berbahaya. Akan tetapi karena racun hijau itu mulai menguasai dirinya, gerakannya menjadi kurang cepat dan lawannya dengan mudah saja dapat mengelak, bahkan kini lawannya berhasil menangkap kedua pergelangan tangan Kui-kok Lo-bo. Sebelum Lo-bo dapat mencegahnya, tahu-tahu sinar putih berkelebat dan rambut-rambut putih yang riap-riapan itu sudah bergerak menyerang mukanya! Terdengar jerit mengerikan ketika rambut-rambut halus yang berobah menjadi kaku meruncing menerkam muka dan leher Kui-kok Lo-bo. Ketika nenek berambut putih itu melepaskan pegangan sambil mendorong, tubuh Kui-kok Lo-bo terjengkang dan terlempar jauh dari atas batu, terbanting ke atas tanah dan di situ tubuhnya berkelojotan. Muka dan lehernya mandi darah, juga kedua matanya rusak dan hancur karena tusukan-tusukan rambut-rambut itu!   Melihat isterinya roboh, Kui-kok Lo-mo menjadi marah dan mata gelap. Dia lupa bahwa sudah jelas dia bukan lawan nenek rambut putih, akan tetapi dia sudah nekat dan sambil berseru keras dia memukul dengan tangan kanannya ke arah kepala nenek berambut putih, sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah perut. Serangan kedua tangan ini hebat bukan main. Biarpun kakek ini juga sudah keracunan dan tenaganya banyak berkurang, namun pengerahan sinkang dalam keadaan marah ini memperlipatgandakan kekuatannya dan dua serangan itu sungguh dahsyat dan berbahaya sekali.   Nenek rambut putih itu cepat menyambut cengkeraman itu dengan pukulan kedua tangan miring ke bawah, sedangkan tangan yang menghantam ke arah kepalanya itu ia sambut dengan rambutnya. Akan tetapi, sekali ini rambut di kepalanya tidak bergerak sendiri-sendiri, melainkan menjadi bergumpal sebesar lengan dengan kekuatan dahsyat menyambut pukulan tangan kanan Kui-kok Lo-mo dengan tangkisan dari atas ke bawah pula, seperti sebuah lengan atau sebatang toya baja menangkis.   "Krakk!! Krekkk...!!"   Kui-kok Lo-mo meloncat ke belakang dan mukanya yang pucat agak kehijauan itu menjadi semakin pucat. Kedua lengannya tergantung lemas dan tak berdaya lagi karena tulang-tulang kedua lengannya patah-patah oleh tangkisan gumpalan tambut dan kedua tangan nenek itu! Dalam satu jurus saja, kedua lengannya menjadi tak beedaya dan tidak dapat dipergunakan untuk menyerang lagi.   "Haiiiittt...!" Biarpun kedua lengannya sudah lumpuh, Kui-kok Lo-mo masih tidak mau mundur. Sudah kepalang baginya. Isterinya sudah tewas dan bagaimanapun juga, tidak mungkin dia mundur menelan penghinaan dan kekalahan begitu saja di depan banyak orang. Akan dikemanakan mukanya? Namanya akan hancur dan menjadi buah tertawaan orang kalau dia mundur dan mengaku kalah. Sambil mengeluarkan pekik yang nyaring tadi, kedua kakinya bergerak dan tubuhnya melayang ke atas, kedua kaki melakukan tendangan dahsyat sekali.   "Plakkk! Brukkk...!" Tubuh Kui-kok Lo-mo terbanting keras ke atas batu ketika nenel itu mengelak ke samping sambil menangkis dengan lengannya. Akan tetapi Kui-kok Lo-mo bangkit lagi dengan loncatan karena kedua tangannya tidak dapat dipergunakan untuk menyangga tubuhnya, dan dengan nekat dia menendang lagi. Akan tetapi, sampai empat kali tubuhnya terbanting karena setiap tendangan dapat dielakkan dengan mudah oleh lawannya, bahkan tangkisan keras lawannya membuat tubuhnya terpelanting dan terbanting.   "Aaahhhh...!" Tiba-tiba Kui-kok Lo-mo mengambil posisi menunduk seperti seekor kerbau mengamuk dan hendak menggunakan tanduk menyerang. Akan tetapi karena Kui-kok Lo-mo tidak bertanduk, ketika dia lari menyeruduk ke depan, dia hanya menggunakan kepalanya yang menerjang dan menyeruduk ke arah perut nenek berambut putih itu. Jangan dipandang ringan serangan seperti ini! Bukan hanya kaki tangan kakek itu yang terlatih dan dapat disaluri tenaga sin-kang sehingga mampu menghancurkan batu karang. Akan tetapi kepalanya juga merupakan anggauta badan yang dapat dipakai untuk menyerang. Seruduken kepala itu amat berbahaya. Tembok tebal sekalipun akan jebol kalau diseruduk kepala yang penuh dengan tenaga sin-kang ini. Sui Cin dan Hui Song yang sejak tadi melihat semua peristiwa itu dengan mata jarang berkedip, kini memandang penuh perhatian. Mereka tahu bahwa nenek berambut putih itu tentu akan mengelak.   Akan tetapi, betapa kaget hati mereka melihat bahwa nenek itu sama sekali tidak mau mengelak, bahkan menerima kepala yang menyeruduk ke arah perutnya yang kecil itu.   "Ceppp...!" Terdengar suara nyaring ketika kepala itu membentur perut dan... kepala itu menancap ke dalam perut. Perut yang ramping itu seperti menjadi kosong dan kepala Kui-kok Lo-mo masuk ke dalam rongga perut, disedot den tidak dapat dikeluarkan lagi!   Kui-kok Lo-mo terkeJut bukan main. Dari hidungnya ke atas, kepalanya sudah terbenam ke dalam perut wanita itu. Dia hanya dapat bernapas melalui mulutnya dan dia merasa betapa kepalanya menjadi panas sekali, seperti dimasukkan ke dalam perapian! Dan ada gencatan amat kuat yang seolah-olah akan meledakkan kepalanya. Kedua lengannya sudah lumpuh, tidak dapat dipakai untuk menyerang, dan kedua kakinyapun tidak dapat melakukan tendangan karena terlalu dekat dengan lawan. Kini dia hanya dapat mengerahkan tenaga seadanya untuk meronta dan berusaha melepaskan diri dari sedotan perut itu. Akan tetapi semua usahanya sia-sia belaka dan kepalanya terasa semakin nyeri dan panas. Demikian hebat rasa nyeri yang dideritanya sehingga kedua kakinya meronta-ronta, kemudian terdengar mulutnya mengeluarkan pekik mengerikan ketika tubuhnya terlempar dari atas batu karena wanita berambut putih itu secara tiba-tiba menggerakkan perutnya dan tenaga dari perut itu menendang kepala Kui-kok Lo-mo sehingga tubuhnya terpental ke bawah batu, tepat di samping tubuh isterinya yang masih berkelojotan, dari mulut, hidung dan telinganya bercucuran darah dan mulutnya mengeluarkan suara ngorok seperti seekor babi disembelih.   Melihat tubuh kakek dan nenek itu berkelojotan dalam keadaan sekarat, Sui Cin merasa ngeri sekali. Betapa sadisnya nenek berambut putih itu, pikirnya. Biarpun ia ingat bahwa kakek dan nenek itu juga merupakan iblis-iblis berujud manusia, akan tetapi menyaksikan kekejaman sedemikian hebatnya terjadi di depan mata, hampir ia tidak dapat bertahan untuk meloncat keluar dan menyerang nenek iblis itu! Akan tetapi, Dewa Arak yang berada di dekatnya, agaknya tahu akan isi hati gadis ini, maka beberapa kali kakek itu menepuk pundak atau lengan Sui Cin untuk menyabarkannya.   Sementara itu, Siangkoan Lo-jin kini menggerakkan kedua kakinya dan tubuhnya mencelat ke atas batu besar, berhadapan dengan nenek berambut putih yang sudah bertolak pinggang menanti lawan itu. Biarpun buta, akan tetapi kakek berambut putih itu tadi dapat mengikuti jalannya perkelahian dengan baik, menggunakan pendengarannya saja. Bahkan lebih daripada mereka yang memiliki mata sehat, dia mampu meneliti dan mengenal gerakan-gerakan nenek berambut putih itu, dapat mengetahui di mana letak kekuatannya dan di mana pula letak kelemahannya. Kini, dengan tenang dia berhadapan dengan nenek itu, memegang tongkatnya dengan tangan kiri.   "Hemm, sobat. Kini agaknya tinggal aku seorang saja yang berani menentang kalian. Majulah dan mari kita selesaikan urusan ini dengan taruhan darah dan nyawa."   Melihat sikap kakek buta ini, nenek berambut putih nampak ragu-ragu. Biarpun buta, kakek ini tak boleh dibuat main-main, tidak boleh dipandang ringan karena iapun sudah mendengar bahwa Siangkoan Lo-jin atau Iblis Buta ini sudah berhasil menundukkan banyak tokoh sesat yang lihai, bahkan beberapa orang anggauta Cap-sha-kui, termasuk suami isteri yang telah dirobohkannya itu telah tunduk kepada Iblis Buta ini. Orang yang sudah dapat menundukkan mereka, apalagi dalam keadaan buta, tentu mengandalkan ilmu silat yang luar biasa dan ia harus berhati-hati.   Agaknya suaminya maklum akan keraguan isterinya, karena suaminya itu tiba-tiba saja bangkit berdiri dan melangkah maju. Tanpa bicara apapun, si isteri agaknya maklum bahwa kalau suaminya sudah maju sendiri, tidak ada alasan baginya untuk mencampurinya. Maka iapun mundur dan duduk bersila di sudut batu seperti yang dilakukan suaminya tadi. Kini kakek yang mukanya kehijauan itu berdiri berhadapan dengan Iblis Buta.   Siangkoan Lo-jin juga dapat mengikuti semua gerakan tadi dan tahu bahwa nenek itu mundur, digantikan dengan seorang yang langkah kakinya perlahan namun getarannya terasa mempengaruhi batu besar itu sehingga kakinya sendiripun dapat merasakan getaran itu! Diam-diam Siangkoan Lo-jin mengerutkan alisnya dan maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang lawan yang amat tangguh. Akan tetapi dia adalah pemimpin para datuk sesat, selama ini dia dianggap raja, maka tentu saja dia akan mempertahankan kedudukannya itu yang hendak dirampas oleh suami isteri yang menyebut diri Raja Iblis dan Ratu Iblis itu.   "Apakah aku berhadapan dengan pangeran yang dijuluki Raja Iblis?" Slangkoan Lo-jin bertanya, tongkatnya mengetuk-ngetuk permukaan batu besar untuk mengenal keadaan.   "Kami adalah Pangeran Toan Jit-ong," untuk pertama kalinya terdengar kakek berambut putih riap-riapan itu bicara, suaranya halus dan tenang berwibawa, seperti suara dan sikap seorang bangsawan tinggi. "Kamu tentu orang she Siangkoan itu. Menyerahlah dan kami akan mengampunimu, dan mengangkatmu menjadi pembantu kami!"   "Manusia sombong! Aku baru mau menyerah kalau kalah olehmu dan aku lebih baik mati kalau sampai kalah oleh orang lain!" Berkata demikian, si buta sudah menggerakkan tongkatnya.   "Wirrrr... siuuuuttt...!" Nampak sinar hitam bergulung-gulung lalu mencuat ke arah kakek rambut putih yang mengaku bernama Pangeran Toan Jit-ong itu. Serangan ini dahsyat sekali karena tong-kat kayu cendana itu digerakkan dengan tenaga sin-kang yang amat kuat.   Pangeran yang dijuluki Raja Iblis itu agaknya mengenal serangan ampuh, maka cepat dia menggerakkan tubuhnya. Yang mengagumkan adalah bahwa gerakannya itu seenaknya saja tidak tergesa-gesa dan hanya menarik kaki menggeser tubuh dan serangan tongkat itu luput dan lewat di samping tubuhnya. Akan tetapi, kakek buta itu lihai bukan main. Biarpun matanya buta, akan tetapi pendengarannya dapat mengikuti semua gerakan lawan dan biarpun tongkatnya luput dalam serangan pertama, akan tetapi tongkat itu seperti hidup dapat mengejar lawan dengan susulan serangan yang lebih dahsyat lagi, kini menghantam dari atas ke bawah!   "Wuuuttt... tarrr...!" Bunga api berpijar ketika tongkat itu menghantam batu dan debu berhamburan. Hebat bukan main tenaga pukulan ini. Batu besar itu tergetar dan dapat dibayangkan kalau hantaman seperti itu mengenai kepala atau anggauta badan lainnya.   Sampai lima kali pangeran yang kini menjadi datuk sesat itu mengelak, dengan gerakan seenaknya saja, kemudian tahu-tahu tubuhnya mencelat ke tempat tadi dalam keadaan duduk bersila. "Kamu orang buta masih tidak berharga menjadi lawan kami!" katanya dan diapun sudah memejamkan kedua matanya.   Agaknya sikap ini mudah dimengerti oleh isterinya. Nenek itu yang tadinya juga duduk bersila, sudah meloncat ke depan, menyambut si buta yang menjadi marah dan mengejar lawan yang meninggalkannya. Ketika dia mendengar suara nenek itu bergerak menyambutnya, dia menggerakkan tongkatnya menyapu dari samping. Wanita berambut putih itu mengelak dengan loncatan tinggi. Ketika tongkat lewat di bawah kakinya, nenek itu membalas serangan dengan tamparan tangan dari atas. Akan tetapi, Siangkoan Lo-jin sudah melanjutkan babatan tongkat tadi dengan membalikkan tongkatnya dan kini gagang tongkat yang berbentuk kepala ular atau naga itu menyambut serangan nenek itu dengan dorongan kuat!   Hampir saja Ratu Iblis itu celaka ketika gagang tongkat itu menyambut dadanya langsung dari depan. Namun ia lihai sekali, dalam keadaan meloncat tadi, selagi tubuhnya melayang di udara dan didorong tongkat, tiba-tiba rambutnya menyambar ke depan ketika ia menggerakkan kepala dan ribuan helai rambut membelit ujung tongkat. Tubuhnya terbawa oleh gerakan tongkat sehingga tubuh itu terpelanting, akan tetapi berkat rambutnya yang bertahan pada tongkat, ia tidak sampai terkena dorongan, juga tidak sampai terbanting ke atas batu. Siangkoan Lo-jin terkejut sekali ketika tubuh lawan menempel seperti lintah pada tongkatnya. Ia tidak dapat melihat, juga tidak dapat mengikuti gerakan rambut yang halus itu, hanya mengira bahwa lawannya tentu mempergunakan semacam senjata lemas untuk menangkap ujung atau gagang tongkatnya. Maka dia segera memutar tongkatnya agar tubuh itu ikut terputar dengan cepat.   Untung bagi Ratu Iblis bahwa ia dapat menduga maksud lawan. Kalau sampai ia terbawa berputar oleh tongkat pada rambutnya, ia dapat celaka, terbanting keras atau rambutnya tercabut dari kepala! Namun nenek ini cerdik sekali. Ia dapat menduga siasat lawan, maka cepat ia melepaskan rambutnya pada satu kali putaran, dan dengan berjungkir balik di udara sampai lima kali ia dapat mematahkan tenaga putaran itu dan melayang turun ke atas batu. Namun Iblis Buta sudah menyambutnya lagi dengan hantaman-hantaman dahsyat, membuat nenek itu terpaksa berloncatan ke sana-sini dengan sigapnya, seperti seekor lalat saja.   "Dinda, jangan main-main, cepat bereskan dia!" terdengar kakek yang duduk bersila itu berkata. Dan tiba-tiba saja terdengar suara getaran lembut, seperti suara nyamuk yang beterbangan di dekat telinga. Akan tetapi suara mendengung itu makin lama semakin kuat sehingga menusuk telinga.   Sui Cin terkejut sekali. Suara mendengung yang tadinya lembut seperti nyamuk itu, kini benar-benar merupakan suara yang amat menyiksa dan tahulah ia bahwa suara itu dikeluarkan oleh Raja Iblis, suara mengandung khi-kang yang amat kuat, semakin lama semakin kuat. Terpaksa ia harus mengerahkan sin-kang untuk bertahan, karena ia tahu bahwa kalau dibiarkan saja, kekuatan yang tersembunyi dalam suara itu akan merusak jantungnya, dan akan merusak telinganya. Ketika ia melirih ke arah Hui Song, iapun melihat betapa pemuda itu juga sedang mengerahkan tenaga sin-kang untuk melawan suara yang menyiksa itu. Juga dua orang kakek sakti. Maka tahulah Sui Cin bahwa memang suara mendengung itu amat kuat.   Dan kini terjadi perobahan pada perkelahian di atas batu besar. Kalau tadi Siangkoan Lo-jin menggerakkan tongkatnya dengan ganas sehingga Ratu Iblis sibuk mengandalkan gin-kangnya untuk mengelak terus-menerus, kini nampak seperti orang kebingungan. Jelas bahwa dia terserang suara itu dan hal ini sungguh membuat dia bingung. Biarpun dengan sin-kangnya yang kuat dia mampu bertahan dan suara mendengung itu tidak sampai melukainya, namun tetap saja pendengarannya terganggu. Padahal, untuk berkelahi, dia hanya mengandalkan pendengaran sepenuhnya. Kini pendengarannya terganggu suara berdengung yang semakin kuat itu menggetarkan anak telinga den dia tidak mungkin lagi dapet mengikuti gerakan Ratu Iblis dengan seksama. Maka, kini dia hanya memutar tongkatnya secara ngawur saja seperti sebuah perahu tanpa kemudi dan tanpa kompas. Sudah tentu saja menghadapi seorang lawan selihai Ratu Iblis, tidak mungkin dilawan dengan pemutaran tongkat secara ngawur.   "Plakk!" Sebuah tamparan yang amat keras dari tangan kiri Ratu Iblis mengenai telinga kanan Siangkoan Lo-jin. Tamparan itu masuk menyelinap melalui putaran tongkat dan sama sekali tidak mampu dielakkan atau ditangkis oleh Siangkoan Lo-jin yang kini benar-benar menjadi seperti buta-tuli itu.   "Ahhh...!" Tubuh kakek itu terpelanting. Tamparan itu amat keras, bukan hanya mengandung tenaga sin-kang akan tetapi juga mengandung hawa beracun. Seketika muka kakek buta itu yang sebelah kanan menjadi kehijauan dan telinga kanannya menjadi rusak. Darah segar mengalir keluar dari telinga itu!   Akan tetapi kakek buta itu memang hebat bukan main. Setua itu dia masih memiliki daya tahan yang mengagumkan. Padahal, kalau orang lain yang terkena pukulan seperti itu, tentu akan roboh dan tewas, atau setidaknya terluka parah dan tidak mampu melawan lagi. Kakek ini begitu terpelanting, mempergunakan tongkatnya melindungi tubuh agar tidak menerima serangan susulan, lalu sekali menggerakkan tubuh dia sudah meloncat bangkit lagi dan memutar tongkatnya. Kini begaikan orang gila dia mengamuk, memutar tongkatnya dan kakinya meraba-raba sambil melangkah ke kanan kiri dengan tegapnya! Darah yang bercucuran keluar dari telinga kanannya tidak mengurangi kegesitannya.   Akan tetapi, sekarang dia sungguh tidak berdaya, seperti seekor tikus menghadapi seekor kucing yang mempermainkan dirinya. Telinga kanannya sudah rusak, telinga kirinya seperti tuli saja karena dipenuhi suara mendengung-dengung yang keluar dari dalam kerongkongan Raja Iblis. Kini tahulah Sui Cin bahwa Raja Iblis itu secara lihai sekali menyerang dengan suara dan membuat Iblis Buta menjadi tidak berdaya sama sekali. Sungguh cerdik dan licik! Pantas saja dia tidak mau melawan Siangkoan Lo-jin yang dianggapnya terlalu rendah atau terlalu lemah. Kiranya sekali berhadapan, Raja Iblis itu telah tahu apa yang harus dilakukan untuk melumpuhkan lawan sehingga isterinya saja sudah lebih dari cukup untuk menghadapi lawan ini.   "Desss...!" Kembali Ratu Iblis memukul dan sekali ini pukulannya mengenai telinga kiri kakek buta itu. Darah kini mengucur keluar dari telinga kiri yang rusak dan tubuhnya terhuyung-huyung. Akan tetapi dia masih dapat bertahan dan tidak roboh! Kembali dia memutar tongkatnya.   Sut Cin mengerutkan alisnya. Ia melihat betapa nenek berambut putih itu tersenyum dingin, senyuni yang amat keji dan sinar mata yang mencorong itu kini berkilauan seperti mata seekor binaang buas yang haus darah. Penuh kesadisan! Tahulah ia bahwa nenek itu sengaja tidak mau merobohkan lawan, melainkan hendak mempermainkannya lebih dahulu. Tiba-tibe suara mendengung itu lenyap dan sungguh hal ini mendatangkan perasaan amat tidak enak dalam hati. Kalau tadi ada suara mendengung-dengung sehingga ia terpaksa harus mengerahkan tenaga sin-kang untuk melawan, kini tiba-tiba suara itu lenyap dan telinganya masih saja mendengar suara dengungan itu, seakan-akan selamanya tidak akan mau meninggalkan telinga. Dan perasaan tidak enak ini dapat nampak pada wajah semua orang yang berada di situ dan yang tadipun semua mengerahkan sin-kang melawan suara yang menyiksa itu. Sungguh hebat sekali serangan suara Raja Iblis.   Agaknya memang benar dugaan Sui Cin. Kini Ratu Iblis itu mempermainkan Siangkoan Lo-jin yang sudah tidak dapat menggunakan pendengarannya lagi. Wanita itu berloncatan ke sana-sini dan begitu tiba di belakang kakek yang mengamuk ke depan, ia mengirim tamparan. Tidak cukup keras untuk mematikan lawan, akan tetapi juga tidak terlalu perlahan karena setiap kali terkena tamparan, tubuh kakek itu terputar-putar dan terhuyung-huyung. Muka kakek itu sudah berlumuran darah. Derah bercucuran dari mulut, bidung, telinga, bahkan kedua matanya menjadi sasaran-sasaran pukulan ringan yang cukup membuat biji mata yang tak dapat melihat itu pecah-pecah dan berdarah. Namun kakek itu dengan semangat pantang mundur melawan terus dengan napas terengah-engah!   Yang mengerikan, di antara para tokoh yang berada di kelompok yang me-nakluk kepada Raja dan Ratu Ibils, terdengar sorak-sorai dan tepuk tangan. Mereka itu nampak beringas, seperti harimau-harimau mencium darah, dan semakin tersiksa Si Iblis Buta, semakin gem-bira suara mereka bersorak-sorak.   "Dinda, hentikan main-main itu. Bereskan dia!" Kembali terdengar Raja IbliS berkata.   "Dukkk...! Aughhhh...!" Tubuh Siangkoan Lo-jin terjengkang dan terbanting jatuh ke bawah batu. Di atas tanah, tubuh itu berkelojotan akan tetapi tongkat hitam kayu cendana masih saja dipegangnya erat-erat. Kakek itu tewas dengan dada pecah dan dengan senjata masih di tangan!   Sui Cin menahan napas menahan isak. Dia tahu bahwa kakek buta itu juga se-orang datuk sesat yang kejam seperti iblis. Akan tetapi melihat kakek ini ter-siksa seperti itu, hatinya menjadi panas dan dia membenci Raja dan Ratu Iblis itu. Akan tetapi ia masih ingat bahwa ia tidak boleh sembarangan menurut perasa-an hati terhadap dua orang yang benar-benar memiliki kepandaian amat hebat itu. Maka ia menahan diri, sejenak me-nundukkan muka dan mengumpulkan hawa murni untuk menenangkan batinnya yang terguncang. Ketika ia mengangkat muka lagi, ia melihat betapa kini para iblis Cap-sha-kui dan semua datuk yang tadinya berdiri dengan sikap menentang, di belakang Si Iblis Buta, telah menjatuhkan diri berlutut. Agaknya mereka maklum bahwa setelah suami isteri Kui-kok-pang dan Siangkoan Lo-jin sendiri tewas di tangan pangeran dan isterinya yang mengangkat diri menjadi Raja dan Ratu Iblis, tidak ada harapan lagi bagi mereka untuk dapat menang. Menentang suami isteri yang amat lihai itu berarti mencari kematian yang mengerikan.   Ratu Iblis tersenyum dingin melihat sebelas orang Cap-sha-kui dan dua orang tokoh sesat lainnya berlutut tanda menakluk. "Kalian tadi berani menentang kami, dan hal itu saja sudah cukup bagi kami untuk membunuh kalian! Akan tetapi karena kalian telah insyaf dan menyerah, kalian harus bersumpah untuk selamanya tidak akan menentang kami lagi. Bersediakah kalian disumpah?"   Cap-sha-kui kini tinggal sebelas orang lagi karena suami isteri Kui-kok-pang telah tewas. Mereka adalah datuk-datuk sesat yang amat lihai dan ditakuti, akan tetapi kini mereka maklum bahwa berhadapan dengan dua orang yang memiliki kepandaian amat tinggi. Dan mereka tahu pula bahwa nenek berambut putih itu tidak mengancam kosong belaka. Kalau mereka menolak untuk takluk dan bersumpah, tentu nenek itu tidak akan ragu-ragu turun tangan membunuh mereka semua!   "Kami bersedia!" Serentak mereka menjawab!   Nenek itu kini menghadap ke arah suaminya yang masih duduk bersila dan sambil menjura ia berkata, "Pangeran, silakan. Saya akan menyumpah mereka."   Pangeran Toan Jit-ong membuka matanya dan bangkit berdiri. Tubuhnya yang jangkung nampak semakin tinggi dan Sui Cin memandang penuh perhatian kepada kakek berambut putih ini. Tadi ia mendengar bahwa kakek ini bernama Pangeran Toan Jit-ong. Hal ini mengingatkan ia akan sesuatu yang membuat dara ini diam-diam merasa jantungnya berdebar dan ia bergidik. Ibunya, yang selama ini ia anggap sebagai seorang wanita gagah perkasa, seorang pendekar wanita yang hebat, kabarnya pernah menjadi seorang datuk sesat di selatan! Dan ibunya itupun she Toan! Kakeknya, yaitu ayah dari ibunya yang telah meninggal, bernama Pangeran Toan Su-ong! Jangan-jangan masih ada hubungan keluarga antara kakek-nya, Toan Su-ong itu dengan Raja Iblis yang mengaku bernama Pangeran Toan Jit-ong ini. Kalau benar demikian, berar-ti Raja Iblis masih kakeknya juga! Kakek paman! Mengerikan, pikirnya.   Dengan gerakan perlahan dan tenang, kakek berambut putih itu lalu mengeluarkan sebuah tongkat pendek hitam dari pinggangnya. Sebatang tongkat yang panjangnya hanya dua kaki dan dari jauh hanya nampak kehitaman. Kakek itu mengangkat tongkat ke atas kepalanya dengan sikap menghormat sekali. Dengan heran bukan main, Sui Cin melihat betapa Dewa Arak dan Dewa Kipas bersikap hormat pula dan menundukkan muka meng-hadap ke arah tongkat hitam itu!   "Kalian semua lihat baik-baik. Tong-kat di tangan Raja kalian itu adalah Tongkat Suci, tongkat keramat pegangan para kaisar jaman dahulu, yang sampai sekarangpun masih dianggap suci dan da-pat membuka semua pintu di istana kai-sar! Pemegang tongkat suci ini berhak menasihati dan menegur kaisar yang ma-napun juga. Tongkat suci inipun mengandung kekuasaan untuk menghukum siapapun yang bersalah, termasuk kaisar! Oleh karena itu, kalian harus menganggap tongkat ini sebagai tongkat suci dan disaksi-kan oleh tongkat suci ini kalian diminta bersumpah. Bersediakah kalian?"   "Kami bersedia!" Jawab belasan orang itu yang sudah terpengaruh oleh keterangan Ratu Iblis mengenai tongkat hitam i-tu.   "Nah, ikuti kata-kataku!" kata nenek itu, kemudian dengan suara lantang ia mengucapkan kata-kata sumpah sekalimat demi sekalimat yang ditirukan oleh belasan orang itu dengan serempak.   "Kami bersumpah, bahwa mulai saat ini kami mengangkat Pangeran Toan Jit-ong dan isterinya menjadi Raja dan Ratu kami. Kami bersumpah akan mentaati semua perintahnya, dan kami siap mengor-bankan nyawa untuk membela Tongkat Suci! Kami bersama seluruh murid dan keturunan kami akan selalu menjunjung Tongkat Sakti atau Tongkat Suci, dan akan taat kepada pemilik atau pemegangnya. Kalau kami melanggar, kami rela mati di ujung Tongkat Suci! Sumpah ka-mi disaksikan oleh tongkat suci dan ke-saktian tongkat suci akan menghukum kami, biarlah Bumi dan Langit akan mengutuk kami sampai tujuh turunan kalau kami melanggar sumpah!"   Sui Cin meleletkan lidahnya. Sungguh merupakan sumpah yang amat berat dan diam-diam ia memikirkan keadaan dua kakek sakti yang datang bersamanya ke tempat itu. Seperti itu pulakah sumpah dua orang sakti ini maka kini mereka begitu ketakutan? Kebetulan pada saat itu kakek katai memandang kepadanya dan agaknya kakek itu dapat menangkap pertanyaan di hati Sui Cin itu melalui pandang matanya, karena kakek itu se-akan-akan memberi jawaban dengan mengangguk-angguk!   Kini Raja Iblis itu menyimpan kembali tongkat hitamnya dan berdiri tegak menghadapi semua datuk sesat yang kini berlutut semua. Di sudut nampak mayat tiga orang yang tadi dikalahkan Ratu Iblis.   "Kawan-kawan semua, bangkitlah dan dengarkan baik-baik!" kata Ratu Iblis yang agaknya memang menjadi juru bicara suaminya yang mungkin marasa terlalu ting-gi untuk bicara sendiri kepada para da-tuk yang baru saja tunduk kepadanya itu.   "Toan Ong-ya sudah puluhan tahun meninggalkan istana, tetapi selama ini kaisar-kaisar yang memimpin kerajaan tidak ada yang becus, bahkan kaisar yang sekarang terlalu muda dan tolol, diper-mainkan oleh pembesar-pembesar korup. Oleh karena itu, Toan Ong-ya mengambil keputusan untuk pulang ke istana dan memimpin sendiri pemerintahan!"   "Pemberontakan...?" terdengar suara kasar dari tengah rombongan orang-orang yang berdiri itu.   "Bukan pemberontakan! Melainkan perbaikan. Dengan menggunakan Tongkat Su-ci, Toan Ong-ya akan mempergunakan kekuasaannya menyalahkan dan menurunkan kaisar dan mengangkat penggantinya yang cakap. Akan tetapi, karena mungkin akan timbul perlawanan dan pertentangan, kita perlu membina pasukan yang kuat. Untuk itulah kawan-kawan semua dikumpulkan malam ini. Kalian semua diwajibkan untuk menghimpun pasukan-pasukan dan membawa pasukan-pasukan itu untuk di-latih bersama oleh Ong-ya sendiri."   "Mengumpulkan pasukan-pasukan tentu diketahui pemerintah dan sebelum dapat dihimpun, tentu pemerintah akan mengi-rim balatentara untuk menghancurkan kita!" kata pula seorang datuk.   "Kita harus dapat bekerja secara rahasia. Pasukan itu dikirim serombongan demi serombongan kecil, menuju ke ben-teng yang sudah tersedia. Ong-ya memi-lih benteng di luar tembok besar, di u-tara. Kalian tentu dapat mencari benteng itu. Tempat itu dahulu merupakan mar-kas dari perkumpulan Jeng-hwa-pang..."   "Ah, aku tahu..."   "Aku tahu tempat itu!"   "Akan tetapi tempat itu telah terbakar dan orang-orang Jeng-hwa-pai telah terbasmi!"   Mendengar suara-suara itu, nenek be-rambut putih mengangkat tangan kanan ke atas dan suasana menjadi tenang kembali. "Kami tahu. Tempat itu kosong dan sunyi, bangunan-bangunannya sudah rusak. Akan tetapi tempat itu amat baik, berada di puncak bukit dan kalau kita membangun kembali benteng itu, akan menja-di markas yang amat baik. Tempatnya di luar tembok besar, jadi pemerintah tentu tidak akan mencampuri. Kita gembleng pasukan yang kita kumpulkan di situ dan pada waktu yang tepat, pasukan kita turunkan melalui tembok besar ke selatan, menuju ke kota raja, bertepatan dengan munculnya Toan Ong-ya di istana. Pasu-kan kita itu mungkin tak usah bergerak, hanya untuk memperkuat wibawa saja."   Nenek itu berhenti bicara dan semua tokoh sesat yang berada di bawah kem-bali bicara sendiri-sendiri sehingga keadaannya menjadi berisik seperti tawon di-ganggu dari sarangnya. Sementara itu, Sui Cin melihat betapa Dewa Arak den Dewa Kipas saling pandang dengan mata terbelalak den wajah mereka yang biasa-nya gembira itu nampak gelisah sekali.   "Kawan-kawan harap tenang! Apakah kalian sudah mengerti dan dapat mentaati perintah pertama tadi?"   "Akan tetapi, mengumpulkan pasukan membutuhkan waktu..."   "Kawan-kawan, dengar baik-baik! Toan Ong-ya sudah memikirkan hal itu pula. Maka, beliau memberi waktu selama tiga tahun. Tiga tahun lagi, tepat pada per-mulaan musim semi, pada hari Tahun Ba-ru, semua pasukan harus dikumpulkan di luar tembok besar, di benteng kita untuk segera memulai dengan pembangunan benteng dan melatih pasukan. Mengertikah kalian?"   Semua orang mengangguk dan menjawab bahwa mereka mengerti dan dapat menerima perintah itu. Kalau diberi wak-tu selama tiga tahun, tentu saja mereka akan sanggup mengumpulkan kawan-ka-wan. Bagaimanapun juga, mereka sudah bosan menjadi golongan hitam yang sela-lu dimusuhi para pendekar dan selalu di-kejar pasukan pemerintah. Kini, di bawah pimpinan suami isteri yang amat sakti i-tu, mereka ditawari kehidupan lain yang lebih mulia. Kalau sampai perjuangan Pangeran Twa Jit-ong itu berhasil, tentu mereka akan memperoleh kedudukan tinggi dan mereka dapat hidup mulia dan terhormat seperti para pembesar, bukan seperti sekarang ini. Dan mereka yakin bahwa pemimpin mereka sekarang ini tentu akan berhasil, tidak seperti Liu-thaikam yang hanya seorang pembesar korup saja. Kalau pemimpin sekarang ini berhasil me-rebut tahta kerajaan, tentu mereka semua akan menjadi pejabat tinggi!   Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara keras, "Tidak! Tidak boleh begitu! Pange-ran Toan tidak boleh memberontak ter-hadap kerajaan dan menimbulkan perang saudara, sehingga menghancurkan kehidupan rakyat!" berseru demikian adalah Siang-kiang Lo-jin atau San-sian Si Dewa Kipas. Agaknya kakek ini tidak dapat menahan dirinya lagi. Melihat dan mendengar semua yang terjadi di situ, dia merasa khawatir dan penasaran. Hal ini tidak aneh karena di waktu mudanya, kakek ini adalah seorang yang berjiwa patriot, yang selalu condong membela pemerintah dan dia paling anti pemberontakan. Oleh karena itu, walaupun dia sendiri tidak berani menentang Toan Jit-ong dan isterinya, namun rasa penasaran mendengar persekutuan yang hendak melaku-kan pemberontakan itu, dia segera me-lompat keluar dan menegur. Melihat ini, tahulah Wu-yi Lo-jin bahwa tempat per-sembunyian mereka tak dapat dipertahan-kan lagi, maka tidak ada lain jalan ba-ginya kecuali keluar dan mendukung pen-dapat temannya.   "Benar, Ong-ya. Tidak baik merencanakan pemberontakan karena akhirnya pem-berontakan hanya mendatangkan kehan-curan bagi diri sendiri dan perang amat menyengsarakan rakyat!"   Melihat munculnya dua orang ini, Pa-ngeran Toan Jit-ong memandang dengan mata mencorong marah. Juga Ratu Iblis menjadi marah sekali ketika mengenal dua orang itu. Ia tidak turun tangan sen-diri karena ingin menguji kesetiaan para anak buah baru yang baru saja mengucapkan sumpah. Maka ia menudingkan telun-juknya kepada dua orang kakek yang baru muncul itu sambil berteriak, "Kawan-kawan, tangkap dan bunuh dua orang tua bangka tak tahu diri ini!"   Kebetulan yang dekat dengan San-sian Si Dewa Kipas adalah raksasa pemakan anak kecil yang tadi mereka lihat. Raksasa ini ingin memperlihatkan kesetiaan-nya dan juga kelihaiannya, maka begitu membalik dia mengeluarkan suara mengggereng seperti seekor binatang buas, dan mulutnya mmyeringai, nampaklah giginya yang besar-besar dan ada taring di ujung mulutnya.   "Grrrrr... mampuslah!" Bentak raksasa itu dan dengan gerakan seperti seekor biruang dia sudah menubruk ke depan dan yang menjadi sasaran kedua tangan-nnya yang besar-besar berbulu adalah pe-rut gendut San-sian yang tidak tertutup baju itu. Agaknya si pemakan daging manusia ini sudah ngilar melihat gumpalan di perut San-sian yang putih halus itu, maka langsung saja dia menghantam de-ngan tangan kanan, lalu mencengkeram dengan tangan kiri ke arah perut itu! Semua orang memandang dengan mata terbelalak, maklum akan kehebatan raksasa ini. Akan tetapi, San-sian hanya menyeringai saja, tersenyum lebar dan sama sekali tidak mengelak atau membalas, bahkan menonjolkan perutnya sehingga perut itu mengembung seperti balon ditiup!   "Bukk! Bung...!" Suara yang terdengar itu nyaring sekali, keluar dari perut gendut itu seperti sebuah tambur besar ditahuhi. Akan tetapi hebatnya, raksasa pemakan daging manusia itu terpental ke belakang dan hampir saja terbanting! Tentu saja dia menjadi marah sekali. Kekuatannya amat besar dan jarang ada orang mampu menahan pukulan atau cengkeramannya. Akan tetapi, cengkeramannya tadi seperti mengenai bola baja saja, licin dan keras, sedangkan pukulannya membuat tubuhnya malah terpental, seperti orang memukul bola karet yang besar. Kembali dia mengeluarkan gerengan marah dan kini dia tahu bahwa lawannya lihai, maka dia sudah menerjang ke depan, tidak ngawur macam binatang buas seperti tadi, melainkan dengan gerakan-gerakan silat tinggi yang amat berbahaya!   Sementara itu, kakek raksasa kedua yang mereka lihat membunuhi orang-orang dusun dengan tongkat kepala harimau tadi, kinipun menerjang Ciu-sian dengan tongkatnya. Agaknya, tidak seperti raksasa pemakan daging manusia, kakek ini sudah dapat menduga bahwa lawannya lihai, maka begitu menyerang dia sudah menggunakan tongkatnya. Gerakannya mantap dan mengandung tenaga yang amat besar. Akan tetapi tiba-tiba dia melongo, karena kakek katai kecil yang dihantam tongkatnya itu mendadak hilang begitu saja! Selagi dia kebingungan, telinganya yang sebesar telinga gajah itu tahu-tahu disentil orang dari belakang, dibarengi suara orang terkekeh.   "Heh-heh-heh, aku di sini!"   Kakek raksasa itu membalik dan me-mutar tubuhnya, lalu menyerang lagi. Akan tetapi kembali Ciu-sian sudah le-nyap. Kakek katai ini mempermainkan lawan dengan menggunakan gin-kangnya yang memang luar biasa hebatnya itu. Kakek tinggi besar itu seperti seorang anak kecil yang berusaha memukul see-kor capung dengan tongkatnya saja, me-mukul ke sana ke mari akan tetapi tidak pernah mampu mengenai Ciu-sian. Jangankan mengenai tubuhnya, menyentuh ujung jubahnyapun tidak mampu. Demikian ce-pat gerakan kakek katai itu ketika mengelak.   "Wah, mulutmu bau darah dan mayat, bau bangkai, tidak kuat aku!" Berkali-kali San-sian mengeluh dan mengejek, mem-buat raksasa pemakan bangkai itu sema-kin marah. Dia adalah seorang di antara Cap-sha-kui, seorang yang tadinya me-miliki ilmu silat tinggi akan tetapi karena menjadi buronan lalu menyembunyikan diri di dalam hutan dan akhirnya dia berubah seperti seorang sinting atau seekor binatang buas yang suka makan daging mentah, termasuk daging manusia! Akan tetapi, biarpun dia sinting atau buas se-perti binatang, dia tidak melupakan ilmu silatnya dan karenanya, dia amat berbahaya.   Dengan lompatan tinggi, kini raksasa itu menerjang San-sian yang sejak tadi hanya mengelak atau membiarkan perut dan tubuhnya dipukuli. Kini, tiba-tiba saja dia membalikkan tongkat kipasnya, gagang tongkat itu dia sodokkan, menyambut tubuh lawan, menotok ke arah muka di antara alis. Itulah serangan yang amat hebat dan berbahaya sekali bagi lawan. Namun, raksasa buas itu menggunakan kedua tangannya, mencengkeram dan menangkis ke arah ujung tongkat, berusaha menangkapnya. Karena itu, terpaksa San-sian menarik kembali tongkatnya sambil mengelak karena tubuh lawan sudah menubruknya seperti seekor singa menubruk domba. Dan kini, pada saat lawannya membalik, dia juga membalikkan senjatanya dan kipas besar itu bergerak meniup ke arah muka si raksasa. Tiupan kipas ini hebat sekali. Datang angin seperti badai yang kekuatannya dipusatkan dan menyambar ke arah muka si raksasa. Tentu saja raksasa itu terkejut sekali, me-narik kepala ke belakang dan terpaksa memejamkan matanya karena angin yang menyambar itu amat dahsyat. Saat itu, tongkat membalik lagi dan ujungnya menotok ke arah dada.   "Dukk...!" Kakek raksasa mengeluarkan pekik menyeramkan, kedua tangannya mencengkeram ke arah dada sendiri, akan tetapi tiba-tiba dia muntah-muntah dan darah segar yang berbau busuk muncrat-muncrat dari mulutnya. Totokan pada ulu hatinya itu ternyata telah membuat jantungnya pecah. Biarpun dia berusaha untuk menyerang lagi, akan tetapi matanya terbelalak dan kini dia terpelanting roboh dan berkelojotan. Kakek raksasa yang suka membunuh dan makan daging anak- itu akhirnya tewas dalam keadaan yang amat mengerikan!   Sementara itu, raksasa kedua yang menyerang Ciu-sian juga mulai ter-engah karena sejak tadi dia mengerahkan seluruh tenaganya untuk menyerang seca-ra bertubi-tubi tanpa hasil sedikitpun ju-ga. Ketika Ciu-sian yang selalu memper-mainkan lawan itu melihat betapa teman-nya telah merobohkan musuh, diapun ce-pat menyemburkan arak dari mulutnya. Semburan arak itu menyerang muka si raksasa yang menjadi bingung menghindar, dan kesempatan itu dipergunakan oleh Ciu-sian untuk menendang ujung tongkat lawan ke samping, lalu menyusulkan pukulan dengan ciu-ouw (guci arak) yang besar itu.   "Krakk!" Robohlah raksasa yang men-jadi lawannya itu dengan kepala retak-retak.   Tentu saja peristiwa ini mengejutkan sembilan orang Cap-sha-kui yang lain. Tak mereka sangka bahwa dua orang rekan mereka akan roboh dalam waktu sesingkat itu, tidak sampai dua puluh jurus! Dan dalam waktu singkat mereka telah kehilangan empat orang rekan! Pertama-tama adalah suami isteri Kui-kok-pang yang tewas oleh Ratu Iblis sendiri, kemudian dua orang rekan ini tewas di tangan kedua orang kakek aneh yang agaknya menentang Toan Jit-ong! Kini, Cap-sha-kui (Tiga Belas Iblis) hanya tinggal menjadi Kiu-lo-kwi (Sembilan Iblis Tua) saja!   "Ciu-sian dan San-sian! Berani kalian membunuh para pembantu Toan Jit-ong ya?" Bentak Ratu Iblis dengan nada marah dan penasaran sekali.   "Maaf, aku melihat si pemakan bangkai ini tadi membunuh seorang anak kecil dan memakan dagingnya. Dia bukan manusia lagi, melainkan iblis busuk yang sudah selayaknya dienyahkan dari muka bumi!" kata Siang-kiang Lo-jin sambil mengipasi perutnya yang gendut dan berkeringat dengan kipasnya.   "Dan raksasa buas inipun bukan manusia karena tadi aku melihat dia mem-bunuhi banyak orang dusun yang sama sekali tidak berdosa, bahkan dia membu-nuh anak-anak dengan tongkatnya itu. Maka, ketika dia menyerangku dan aku teringat akan kekejiannya, terpaksa aku membunuhnya!"   "Tua bangka-tua bangka gila, berani kalian melawan Toan Ong-ya?" Ratu Iblis membentak lagi, menoleh kepada suami-nya yang kini berdiri tegak memandang kepada dua orang kakek itu dengan ma-ta mencorong seperti mengeluarkan api.   "Ha-ha, kami tidak pernah menentang siapa saja, melainkan menentag kejahatan. Seperti tidak tahu saja!" jawab Ciu-sian sambil menenggak arak dari gucinya, sikapnya acuh tak acuh walaupun Sui Cin dan Hui Song yang kini mengintai dengan khawatir itu maklum betapa sebetulnya dua orang kakek itu merasa ketakutan dan jerih terhadap suami isteri di atas batu itu.   Melihat sikap dua orang kakek yang jelas menentang itu, tiba-tiba Toan Jit-ong mengeluarkan tongkat hitamnya dan mengangkatnya ke atas kepala, lalu terdengar bentakannya halus namun berwi-bawa, "Berlututlah kalian semua meng-hormati Tongkat Suci!"   Para datuk yang tadinya mengambil sikap bermusuh dan siap menerima dua orang kakek itu, kini tiba-tiba menjatuh-kan diri berlutut menghadap ke arah Toan Jit-ong yang mengangkat tongkat itu. Hanya tinggal Ciu-sian dan San-sian yang masih berdiri, akan tetapi wajah kedua orang kakek ini berobah pucat dan sikap mereka bingung.   "Ciu-sian dan San-sian, apakah kalian berani menentang Tongkat Suci dan melanggar sumpah kalian sendiri?" terdengar Raja Iblis atau Pangeran Toan Jit-ong berkata kepada mereka.   Dua orang kakek itu saling pandang, kemudian menghadap ke arah tongkat dan kakek katai yang menjadi wakil -mereka itu berkata dengan lirih, "Kami tidak berani..."   Kini Sui Cin melihat betapa wajah yang dingin seperti topeng itu agak tersenyum, menambah seram. "Ciu-sian dan San-sian, kalian berdua telah berdosa, berani memperlihatkan sikap menentang kepada kami, bahkan telah membunuh dua orang pembantu kami. Kalian berdosa kepada Tongkat Suci, melanggar janji dan karena itu, kami menjatuhkan hukuman mati kepada kalian. Adinda, laksanakan hukuman itu sekarang juga!"   Ratu Iblis mengangguk dan nampak girang sekali. Sui Cin dan Hui Song melihat dengan mata terbelalak, apalagi melihat betapa dua orang kakek itu agaknya tidak akan melawan sama sekali, berlutut dengan muka tunduk, agaknya sudah pasrah! Sui Cin yang cerdik itu tadi sudah mencari sepotong kayu dan di dalam keremangan cuaca, kayu itu yang ukuran-nya sama dengan tongkat suci di tangan Toan Jit-ong, nampak kehitaman. Ia ber-bisik ke dekat telinga Hui Song.   "Kita harus bertindak menolong mereka. Biar kupergunakan akal untuk me-rampas tongkat iblis itu dari tangannya." Setelah membisikkan kata-kata ini, Sui Cin menyelipkan tongkatnya di balik ju-bah, lalu meloncat keluar, diikuti Hui Song.   "Tahan dulu...!" Dengan gerakan yang amat gesit karena memang gin-kang dara ini cukup hebat, tahu-tahu tubuh Sui Cin telah berada di atas batu besar, berhadapan dengan Raja dan Ratu Iblis. Hui Song juga meloncat dan tiba di belakang dara itu.   "Hemm, bocah-bocah bosan hidup! Siapa kalian berani mencampuri urusan kami?" bentak Ratu Iblis marah. Hui Song tidak dapat menjaWab. Dia tidak tahu apa yang menjadi siasat Sui Cin. Karena tindakan Sui Cin itu secara mendadak den dia tidak tahu apa yang akan dilakukan selanjutnya, maka dia diam saja, ha-nya bersikap waspada dan menyerahkan jawabannya kepada dara itu.   "Aku mau mengataken bahwa tongkat suci yang berada di tangan Pangejan Jit-ong ini palsu!"   Tentu saja semua orang terkejut bukan main mendengar ucapan ini dan semua muka diangkat, semua mata memandang ke arah gadis yang berani mengeluarkan tuduhan seperti itu. Bahkan Ciu-sian dan San-sian yang tadinya menunduk dan pasrah, kini mengangkat muka memandang dengan mata terbalalak. Apakah gadis itu telah menjadi gila karena gelisahnya?   Pangeran Toan Jit-ong tentu saja ma-rah bukan main. Dengan tongkat masih diangkat tinggi di atas kepalanya, dia melirik ke arah tongkatnya itu, lalu bar-kata, suaranya agak keras, tidak sehalus tadi, "Anak perempuan gila, apa yang kaukatakan itu? Siapakah kamu?"   "Ibuku adalah she Toan, ayah dari ibuku adalah Pangeran Toan Su-ong...!" Sui Cin memperkenalkan diri.   "Gadis itu puteri Pendekar Sadis! Dan pemuda itu putera ketua Cin-ling-pai! Bunuh mereka!" Kini orang-orang dari Cap-sha-kui mengenal Sui Cin dan Hui Song dan mereka berteriak-teriak.   "Tenang!" Tiba-tiba Pangeran Toan Jit-ong berseru sambil mengangkat tongkat di atas kepalanya. Suasana menjadi tenang dan pangeran itu memandang tajam kepada Sui Cin. "Mendiang Toan Su-ong adalah kakakku! Jadi engkau ini cucunya? Apa hubungannya kakekmu itu dengan tongkat suci ini?"   Sui Cin merasa mendapat hati dan ia-pun berkata dengan suara lantang. "Tongkat Suci adalah sebuah tongkat keramat hadiah yang amat mulia dari kaisar sendiri. Tongkat itu diberi nama Ceng-thian Hek-liong (Naga Hitam Naik ke Langit) dan menjadi semacam tek-pai atau tanda kekuasaan seseorang di istana. Yang me-nerima tongkat itu adalah mendiang kakekku, dan benda keramat itu diwariskan kepadaku. Maka, kalau kini muncul tong-kat yang lain, benda itu adalah palsu! Yang aseli berada bersamaku!"   Tentu saja ucapan Sui Cin ini semua ngawur saja, walaupun pada saat itu sempat membikin kaget dan bingung semua orang, termasuk Hui Song, Wu-yi Lo-jin dan Siang-kiang Lo-jin. Sikap gadis itu sedemikian meyakinkan sehingga Pargeran Toan Jit-ong sendiri mengerutkan alisnya dan matanya terbelalak. Demikian pula isterinya.   "Tongkat ini adalah Tongkat Suci yang aseli! Tongkat Sakti yang aseli dan selamanya berada di tanganku. Mana mungkin palsu?" kata pangeran itu sambil memandangi tongkatnya.   "Sebagai cucu tunggal mendiang kakek Pangeran Toan Su-ong, tentu saja aku dapat mengenal mana palsu mana aseli. Yang aseli berada di tanganku," katanya dengan lantang.   Pangeran Toan Jit-ong mengerutkan alisnya dan semua orang yang hadir saling pandang dengan bingung. "Bocah lancang, perlihatkan tongkatmu agar kuperiksa apakah omonganmu itu benar!" ben-taknya.   "Boleh, akan tetapi akupun ingin melihat tongkatmu apakah bukan palsu seperti kuduga! Tidak boleh orang mempergunakan tongkat palsu untuk me-ngelabuhi begini banyak orang!"   Tadinya pangeran tua iti ragu-ragu, akan tetapi lalu teringat bahwa seorang dara seperti Sui Cin ini akan dapat berbuat apakah terhadap dirinya? Sekali serang saja dara itu akan roboh tewas.   "Baik, mari kita saling memeriksa tongkat masing-masing!" katanya mengulurkan tongkat hitam itu. Sui Cin juga mencabut kayu dari pinggangnya. Sambil menerima sodoran tongkat pangeran itu dengan tangan kiri, ia menyerahkan tongkatnya sendiri. Dengan sikap pura-pura memeriksa lebih teliti tongkat hitam yang ternyata berat itu, mundur dua langkah, lalu tiba-tiba dara itu meloncat jauh!   "Hei, kembalikan tongkatku!" Pange-ran Toan Jit-ong terkejut sekaii dan ma-rah, tangannya bergerak hendak menge-jar. Akan tetapi kini Hui Song baru me-ngerti siasat apakah yank dipergunakan oleh temannya yang bengal itu dan langsung saja dia membantu. Melihat pange-ran itu hendak mengejar, dia lalu mem-bentak.   "Perlahan dulu!" Dan tannganya sudah menusuk ke arah perut orang itu. Bukan sembarang tusukan karena jari-jari ta-ngannya sudah terisi oleh tenaga Thian-te Sin-ciang sepenuhnya dan dia menusuk dengan jurus San-in Kun-hoat yang cepat dan halus.   Melihat serangan yang tenaga sin-kangnya dapat dia rasakan kehebatannya ini, Pangeran Toan Jit-ong menggerakkan tongkat yang diambilnya dari tangan Sui Cin tadi untuk menangkis.   "Krekkk...!" Tongkat yang sebetulnya hanya sepotong dahan yang diambil Sui Cin tentu saja tidak dapat bertahan ketika bertemu dengan tangan Hui Song. Tongkat pendek itu hancur berkeping-keping dan tahulah Pangeran Toan Jit-ong bahwa dia telah ditipu mentah-mentah oleh gadis yang agaknya memang hendak merampas tongkat suci itu.   "Plakk...!" Sebuah tamparan yang a-neh dan tiba-tiba datangnya mengenai pundak Hui Song. Untung pemuda ini masih dapat membuang tubuh ke belakang sehingga yang terkena tamparan hanya pundaknya. Akan tetapi ini cukup mem-buatnya terpelanting. Sementara itu, Ra-tu Iblis yang juga baru tahu bahwa suaminya diakali orang, kini mengejar Sui Cin dengan kemarahan memuncak.   "Berikan tongkat itu!" Teriaknya dan tangannya diulur ke depan, mencengkeram ke arah tengkuk Sui Cin.   "Hihhh...!" Sui Cin bergidik ketika merasa betapa tengkuknya diserang hawa dingin. Ia mempercepat gerakannya, berjungkir balik ke samping dan serangan itu luput. Sui Cin sudah meloncat ke atas cabang pohon dan mengangkat tongkat hitam itu tinggi di atas kepalanya.   "Berani kau melawan tongkat suci ini?" bentaknya kepada Ratu Iblis ketika wanita itu hendak menyerangnya lagi. Aneh, tiba-tiba saja nenek itu menjatuhkan diri berlutut menghadap ke arah Sui Cin yang berdiri di atas cabang pohon, tidak berani berkutik.   "Hayo kalian semua berlutut!" Bentak Sui Cin lagi. "Beri hormat kepada Tongkat Suci!"   Para datuk sesat itu mula-mula menjadi bingung. Akan tetapi mereka teringat akan sumpah mereka dan karena kini tongkat itu berada di tangan gadis itu, terpaksa mereka lalu menjatuhkan diri berlutut, walaupun hati mereka meragu dan bingung.   Sementara itu, Pangeran Toan Jit-ong masih hendak mengejar Sui Cin, akan tetapi Hui Song selalu menghalangi dan menyerangnya, membuat Raja Iblis itu semakin marah. Melihat ini Sui Cin berseru, "Hayo berlutut! Kau juga, Pangeran Toan Jit-ong...!"   Akan tetapi pangeran itu sama sekali tidak mau mentaatinya, bahkan kini sambil mendesak Hui Song, dia berkata, "Dinda, bangkit dan bantu aku menangkap bocan itu, merampas kembali tongkatku!"   Nenek itu mengeluarkan seruan nyaring dan tubuhnya mencelat ke arah Sui Cin. Kaget bukan main gadis itu.   "Krakkk...!" Batang yang tadi dijadikan tempat ia berdiri patah-patah, akan tetapi untung ia sudah meloncat turun lebih dulu sehingga terhindar dari bahaya maut. Kini ia harus berloncatan menjauh karena nenek itu mengejarnya dengan rambutnya yang putih itu riap-riapan seperti ular-ular hidup, amat mengerikan.   "Wu-yi Lo-jin dan Siang-kiang Lo-jin, apakah kalian akan berlutut sampai tua? Tongkat sudah berada di tanganku, kalian tidak perlu berlutut lagi kepada Toan Jit-ong! Bantulah aku dan Hui Song!"   Mendengar teriakan Sui Cin, baru kedua orang kakek itu tahu mengapa dara itu melakukan hal yang demikian berani dan aneh. Baru mereka sadar bahwa kini merek atidak berarti melanggar sumpah kalau melawan Raja dan Ratu Iblis, karena bukankah Tongkat Suci sudah pindah tangan? Akan tetapi mereka berdua maklum bahwa sampai kinipun, mereka bukanlah lawan Raja Iblis. Maka mereka segera meloncat dan San-sian sudah menerjang Raja Iblis membantu Hui Song yang kewalahan. Kipasnya mengebut dengan serangan dahsyat.   "Hemm...!" Pangeran Toan Jit-ong menghardik dan kedua tangannya mendorong. Dari kedua tangan itu keluar hawa pukulan yang dahsyat, bukan main, bahkan ketika kedua telapak tangan pangeran itu saling bersentuhan, nampak sinar berkilat seperti ada api bernyala! Akibatnya, Hui Song dan San-sian terdorong dan terpelanting! Bukan main kagetnya kakek gendut itu.   "Mari...!" serunya kepada Hui Song.   Sementara itu, Sui Cin menjerit ketika tiba-tiba lengan kirinya terlibat rambut putih yang panjang! Akan tetapi pada saat itu, Ciu-sian menyemburkan arak ke arah muka nenek berambut putih dan sekali tangannya mengebut selagi nenek itu mengelak, rambut-rambut itu putus dan lengan Sui Cin bebas.   "Lari...!" teriak pula Ciu-sian kepada Sui Cin.   Sui Cin dan Hui Song cepat meloncat dan melarikan diri, disusul oleh dua orang kakek yang menjaga di belakang dengan senjata masing-masing, yaitu tongkat kipas dan guci arak. Tentu saja Pangeran Toan Jit-ong dan isterinya tidak mau membiarkan mereka melarikan diri begitu saja dan mereka berdua mengejar!   Gerakan Toan Jit-ong dan isterinya sungguh amat cepat dan yang dapat mengimbangi kecepatan lari mereka hanya Sui Cin dan tentu saja kakek katai, maka Sui Cin lalu memegang tangan Hui Song untuk dibantunya agar larinya lebih cepat, sedangkan kakek katai memegang ujung tongkat kipas kakek gendut untuk ditariknya. Namun, biarpun kini mereka dapat berlari lebih cepat, tetap saja me-reka dapat disusul!   "Sui Cin, cepat buang tongkat itu ke dalam jurang di kiri sana!" Teriak Ciu--sian kepada Sui Cin. Gadis yang cerdik ini maklum akan maksud kakek itu, maka sambil mengangkat tongkat hitam itu tinggi-tinggi, dara itu berteriak ke belakang.   "Toan Jit-ong, lihat tongkatmu melayang ke jurang dan lenyap di sana!" Ia melemparkan tongkat itu tinggi-tinggi ke arah jurang. Tongkat itu melayang di bawah sinar bulan.   "Tongkatku...!" Kakek berambut putih itu menjerit dan diapun cepat meloncat ke arah jurang, agaknya hendak mencari tongkatnya. Melihat ini, Ratu Iblis tidak berani melakukan pengejaran sendirian saja. Dua orang kakek itu terlampau lihai, apalagi dibantu dua orang muda yang tak boleh dipandang ringan. Selain itu, iapun harus membantu suaminya mencari Tongkat Suci karena tongkat itu amat penting bagi mereka, untuk menundukkan dan menguasai semua datuk sesat. Maka, wanita itupun menghentikan pergejaran dan ikut turun ke dalam jurang.   Empat orang itu mempercepat lari mereka dan kini dipimpin oleh Wu-yi Lo-jin atau Ciu-sian yang sengaja mengam-bil jalan berlika-liku agar tidak dapat di-susul oleh musuh. Biarpun tidak kelihatan ada yang mengejar mereka, namun me-reka tidak berani berhenti sebelum pagi. Raja dan Ratu Iblis itu terlalu berbaha-ya, apalagi setelah mereka dibantu oleh para datuk sesat.   Setelah malam berganti pagi, barulah kakek katai itu berhenti di sebuah lereng bukit. Pagi itu hawanya dingin di lereng bukit, akan tetapi tetap saja San-sian si-buk mengipasi perutnya yang basah oleh peluh. Kakek gendut ini mengomel panjang pendek.   "Wah, wah, untung aku tidak mempunyai anak cucu. Kalau punya, malam ta-di sungguh merupakan bagian riwayat hi-dupku yang akan memalukan anak cucu. Lari terbirit-birit seperti anjing tua di-ancam cambuk. Ha-ha-ha!"   Ciu-sian juga tertawa. "Masih mending daripada mati konyol disiksa Ratu Iblis. Aku si tua bangka ini sudah tidak berdaya dan sudah pasrah menanti maut. Eh, gendut, apa kaukira kita masih akan dapat menikmati sinar matahari pagi mengusir kabut ini kalau dua orang muda ini tidak turun tangan menyelamatkan kita dengan akal mereka?"   "Ha-ha, memang mereka ini menga-gumkan sekali! Dan ilmu silat merekapun hebat. Aku ingin sekali mengambil mere-ka ini sebagai murid-muridku. Bagaimana pendapatmu, katai?"   "Enak saja kau ngomong! Aku yang terkena getahnya engkau yang mau menikmati hasilnya! Aku yang susah payah menemukan mereka dan kamu yang enak-enakan saja mengambil mereka sebagai murid? Mana ada aturan macam ini?"   Kakek gendut menghentikan senyum-nya, menyeringai dan alisnya berkerut. "Hai, katai! Kau berani menghalangi kehendakku?"   "Tentu saja, habis kau mau merampas muridku! Kau kemarin sudah mencuri a-rakku, itu bisa dimaafkan antara teman. Akan tetapi mencari murid? Nanti dulu, ya!"   "Wah, kalau aku mengambil mereka menjadi murid, lalu engkau mau apa?" bentak si kakek gendut, kini melotot.   "Boleh, asal engkau dapat mengalahkan aku lebih dulu!" Si kakek katai memban-tah, ngotot. Keduanya kini berdiri berha-dapan dengann mata sama-sama melotot, dengan pasangan kuda-kuda. Si gendut hendak membusungkan dada, akan tetapi apa daya perutnya yang terlalu gendut itu mendahului dada sehingga yang membusung bahkan perutnya. Sebaliknya, si katai yang hendak membusungkan dadapun tidak mungkin karena dadanya kerempeng, makin dibusungkan makin kempis! Keduanya seperti dua ekor ayam aduan berlagak, siap untuk saling serang. Melihat ini Sui Cin tersenyum geli, akan tetapi Hui Song mengerutkan alisnya karena pemuda ini khawatir kalau-kalau dua orang kakek itu saling gempur dan akibatnya bisa hebat. Hanya Sui Cin yang agaknya sudah dapat menangkap watak kedua orang kakek sakti itu, yang kelihatan ayem saja, bahkan gembira karena ia tahu bahwa ia hendak diberi suguhan tontonan yang hebat kalau sampai dua orang kakek sakti itu mengadu ilmu.   "Kau mau apa?" bentak si gendut.   "Kau mau apa?" bentak si katai.   "Heiii! Kalian punya apa? Aku sih apa-apa mau!" tiba-tiba Sui Cin berseru sambil maju menghampiri kedua orang kakek itu. Tentu saja ucapan dara ini membuat kedua orang kakek yang sudah saling tantang seperti dua orang anak kecil memperebutkan kembang gula itu menjadi bingung, saling pandang dan seperti lupa bahwa mereka tadi sudah saling tantang. "Punya apa? Kau mau apa?" kata kakek katai bingung.   "Aku tidak punya apa-apa!" kakek gendut juga menjawab ragu.   Sui Cin terkekeh menutupi mulutnya dengan punggung tangan. "Hi-hik, kalian ini kulihat seperti dua orang badut wayang sedang melawak!"   "Aku ingin mengambil kalian menjadi murid!" kata si gendut.   "Tidak bisa, aku yang lebih dulu!" kata si kakek katai.   "Aku dulu!"   "Aku dulu!" Kembali mereka melangkah maju, mulut dicemberutkan sampai meruncing, mata melotot, muka dijulurkan ke depan seolah-olah keduanya hendak berciuman dengan mulut.   "Eiit, eiit... harap ingat, ji-wi adalah dua orang sahabat. Kalau memang ingin adu ilmu, harus dilakukan tanpa emosi, tanpa kebencian agar tidak sampai saling bunuh!" kata Sui Cin.   "Eh, siapa yang mau saling bunuh?" kakek gendut bertanya heran.   "Heh-heh-heh! Sui Cin, kaukira kami ini orang-orang apa, mau saling bunuh? Kami hanya memperebutkan kebenaran. Nah, gendut, kau sudah mendengar nasihat nonamu. Kalau kau mampu menerima pukulan guci arakku sebanyak tiga kali, baru aku mau mengaku kalah."   "Baik! Dan kalau kau mampu menerima kebutan kipasku tiga kali, akupun mengaku kalah."   "Bagus! Nah, bersiaplah, aku akan memukulmu lebih dulu." kata Wu-yi Lo-jin.   "Enaknya! Tidak, aku yang mulai dulu dengan kebutan kipasku," bantah Siangkoan Lo-jin.   "Aku dulu!"   "Aku dulu!" Kembali mereka bersitegang seperti dua orang anak kecil, tidak mau saling mengalah. Diam-diam Sui Cin dan Hui Song merasa heran. Mereka itu adalah dua orang kakek yang memiliki kesaktian, akan tetapi mengapa kedang-kadang sikap mereka seperti anak kecil? Apakah benar kata orang bahwa yang sudah terlalu tua berubah seperti kanak-ka-nak? Dan ada pula yang bilang bahwa orang yang terlalu pintar itupun kadang-kadang sifatnya seperti kanak-kanak?   Betapapun juga, Sui Cin yang sudah mendapatkan janji kakek katai untuk be-lajar gin-kang diam-diam berpihak kepada kakek ini. Maka, melihat mereka bersi-tegang lagi, iapun maju lagi dan berkata, "Di dalam dunia ini, apa yang lebih baik daripada keadilan? Biarpun gagah perkasa, kalau tidak adil apa gunanya?"   "Benar sekali!" kata Ciu-sian.   "Tidak salah itu!" kata San-sian.   "Demi kebenaran dan keadilan, sudah sepantasnya kalau Wu-yi Lo-jin yang me-mulai lebih dulu dalam adu ilmu ini. Pertama, melihat bentuk tubuhnya, dia jauh lebih kecil ketimbang Siang-kiang Lo-jin, dan kedua, memang sebenarnya kami berdua lebih dulu kenal dengan Ciu-sian sebelum bertemu dengan San-sian. Nah, kalau kalian memang adil, tentu Ciu-sian yang memperoleh kesempatan lebih dulu. Kecuali kalau kalian memang tidak adil."   Wajah si gendut menjadi merah. "Hah, siapa tidak adil dan siapa takut? Katai, kaupukulilah dulu, nih, perutku sudah siap menerima pukulanmu yang kaubanggakan itu. Mulailah!" Berkata demikian, si gendut itu lalu berdiri memasang kuda-kuda, kaki kiri di belakang, kaki kanan di depan, tangan kiri memegang tongkatnya, tangan kanan dikepal di pinggang, perutnya dikembungkan ke depan!   "Bagus! Aku memang tahu bahwa engkau seorang gagah yang adil!" seru kakek katai dengan girang sekali sambil menu-runkan guci araknya. Dia membuka tutupnya, minum sisa arak yang tinggal se-dikit sampai kosong, menutup mulut guci lagi dan memegang leher guci yang kecil dengan kedua tangannya. "Nah, kau bersiaplah baik-baik, aku akan mulai menghantam!" katanya sambil memasang kuda-kuda dengan kedua kakinya yang kecil namun kokoh kuat. Kemudian, diayunkannya guci itu dari belakang ke de-pan, menghantam ke arah perut gendut itu.   "Bunggg...!" Guci menghantam perut dan terdengar seperti gentong dipukul. Tubuh gendut itu tidak bergeming dan guci arak itu terpental sediki seperti menghantam karet amat kuat.   "Bukkk...!" Hantaman kedua lebih kuat lagi, namun tetap saja tubuh kakek gendut tidak bergoyang dan kakek gendut itu selalu tersenyum lebar, mulutnya sedikit terbuka dan senyum itu membuat kedua matanya semakin sipit.   Kakek katai menjadi penasaran. Dua kali pukulan gucinya itu hebat sekali. Batu karang sekalipun akan ambrol dan pecah terkena pukulannya, akan tetapi pukulan guci araknya itu sungguh kehilangan daya kekuatannya ketika mengenai perut gendut yang terisi penuh hawa sin-kang itu. Diam-diam dia merasa kagum karena dua puluh tahun yang lalu. San-sian ini takkan mungkin kuat menerima hantamannya itu. Hal ini membuktikan bahwa selama ini si gendut memang telah memperoleh banyak kemajuan.   "Awas, sekali lagi!" Teriaknya dan dua orang muda yang berdiri di pinggir memandang dengan penuh perhatian dan kekaguman. Mereka berdua dapat mera-sakan kehebatan pukulan ciu-ouw itu. Dari tempat mereka berdiri saja mereka dapat merasakan getaran hawa pukulan yang amat dahsyat dari guci arak, dan ketika guci arak tadi bertemu dengan perut, terjadi getaran yang lebih hebat lagi, terasa benar oleh mereka.   "Siuuuttt... bunggg...!" Pukulan ketiga ini hebat bukan main, getarannya sampai membuat daun-daun pohon bergerak dan bumi yang diinjak Hui Song dan Sui Cin ikut tergetar. Akan tetapi, San-sian menerima pukulan ketiga itu sambil tersenyum lebar dan sedikitpun tubuhnya tidak tergoncang!   "Heh-heh-heh-ha-ha-ha!" Kakek gendut tertawa. Sui Cin dan Hui Song maklum bahwa kakek itu bukan sembarangan saja tertawa, melainkan mengeluarkan hawa yang tadi dipergunakan untuk melindungi isi perutnya. Ketika dia tertawa, hawa itu keluar dan nampak uap putih keluar dari mulutnya. "Tiga kali gucimu yang butut itu menghantamku dan aku tidak merasa apa-apa! Kau kalah, Ciu-sian!"   Ciu-sian mengerutkan alisnya dan mengamati gucinya, seolah-olah hendak menyalahkan gucinya dalam kegagalannya itu. Lalu dia mengikatkan guci di punggungnya lagi dan berkata, "Gendut! Engkau memang kuat. Akan tetapi sekarang cobalah kau menyerangku tiga kali dengan kipas lalatmu itu. Kalau aku tidak kuat bertahan, maka kekalahanku menjadi lengkap dan baru aku mengakui kekalahan."   "Ha-ha-ha, Ciu-sian, hati-hati kau dengan kebutan kipasku. Pohon besar itupun akan roboh dilanda kebutanku!" kata kakek gendut. "Apalagi tubuhmu yang kecil kerempeng ini!"   "Tak perlu memperlebar mulutmu yang sudah besar, San-sian. Mulailah!" Kakek katai itu memasang kuda-kuda, kedua kakinya terpentang lalu ditekuk, seperti orang menunggang kuda dan kedua lengan disilangkan, dipasang di depan dada.   "Sini, agak jauh dari pohon itu!" kata San-sian sambil melangkah mundur menjauhi pohon.   "Srrrttt...!" Kakek katai itu mengikuti maju, akan tetapi kedua kakinya sama sekali tidak melangkah. Tubuhnya maju dalam keadaan masih memasang kuda-kuda seperti tadi. Hal ini saja sudah membuktikan betapa hebatnya Kakek Dewa Arak ini. Diam-diam kakek gendut harus mengakuinya juga.   "Awas, Sui Cian, aku mulai! Jangan salahkan aku kalau kipasku mengebutmu sampai terlempar dan terbang ke langit!"   Setelah memasang kuda-kuda, kakek gendut menggerakkan tongkatnya, diputarnya ke atas kepala dan tiba-tiba kipas itu menyambar dari belakang tubuhnya, membawa angin besar mengebut ke arah kakek katai dengan kekuatan kebutan yang amat hebat.   Angin kebutan menyambar dahsyat, membuat jenggot panjang dan jubah kakek katai itu berkibar, bahkan Sui Cin dan Hui Song yang berada agak jauh merasakan kebutan angin yang membuat pakaian dan rambut mereka berkibar. Akan tetapi, tubuh kakek katai itu sendiri sama sekali tidak bergemin, seperti angin keras yang biarpun mampu menumbangkan pohon, sama sekali tidak berdaya terhadap sebongkah pilar baja yang kokoh kuat dan tertanam dalam-dalam di tanah!   San-sian menjadi penasaran dan kebutannya yang kedua kalinya lebih kuat lagi, sampai mengeluarkan angin yang suaranya bersiutan. Akan tetapi, seperti juga tadi kakek katai berdiri tegak dan tidak bergeming, hanya memejamkan mata karena angin keras membuat matanya perih. Kedua kakinya yang kecil seolah-olah sudah berakar dalam-dalam di tanah di mana dia berpijak.   "Heh-heh-heh, satu kali lagi dan awas, hati-hati kau!" bentak kakek gendut dan kini dia memutar tongkatnya, kemudian kipasnya membuat gerakan berputar yang aneh. Dan akibatnya hebat sekali. Debu beterbangan, bukan hanya debu, melainkan juga pasir dan batu kerikil yang beterbangan lalu berpusingan. Ternyata gerakan kipas itu mendatangkan angin berpusing yang kuat dan melanda tubuh kakek katai, seolah-olah angin puyuh yang hendak mencabut kakek katai itu dari atas tanah! Akan tetapi, kakek katai itu nampak mengerahkan kekuatannya, kedua kainya agak tergetar, akan tetapi kekuatan dahsyat yang timbul dari gerakan kebutan kipas itupun sekali ini tidak mampu mengangkat kedua kakinya!   "Wah, wah, Ciu-sian, engkau ini ternyata tua-tua keladi, makin tua makin jadi! Hebat dan kita masih belum ada yang kalah atau menang!"   "Jalan satu-satunya, San-sian, hanya mengadu ilmu silat," kata kakek katai sambil melepaskan guci araknya dari punggung.   "Boleh, boleh, memang aku ingin sekali melihat kemampuanmu!" kata San-sian sambil melintangkan tongkat kipasnya.   Melihat betapa dua orang kakek katai itu sudah siap untuk saling gebuk, Sui Cin cepat melangkah maju melerai. "Harap kalian bersabar dulu," katanya.   "Mana bisa bersabar kalau kehendakku ditentang?" kata kakek gendut.   "Mana bisa bersabar kalau muridku hendak dirampas?" bantah kakek katai.   Sui Cin tersenyum. "Ji-wi berdua, dan kamipun berdua, mengapa harus ribut-ribut dan diperebutkan? Bagi rata kan beres? Ciu-sian sudah berjanji akan mengajarkan gin-kang kepadaku, dan kalau kakek San-sian mengajarkan ilmunya kepada Song-twako, bukankah itu sudah tepat sekali?"   Dua orang kakek itu bingung, lalu keduanya menggeleng kepala. "Kenapa kita jadi tolol begini?" kata si gendut.   "Kenapa hal begini sepele saja kita tidak mampu pecahkan tadi?" gumam si katai.   "Nah, pemecahannya mudah, bukan? Mulai sekarang, Song-twako menjadi murid Siang-kiang Lo-jin dan..."   "Tidak ada murid! Tidak ada murid!" Dua orang kakek itu berkali-kali bicara, dan ketika dua orang muda itu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki mereka, keduanya membalikkan tubuhnya tidak mau menerima penghormatan murid terhadap guru itu.   "Eh, bukankah ji-wi tadi sampai mau berkelahi karena memperebutkan kami untuk menjadi murid? Kenapa sekarang malah menolak? Apa maksud ji-wi ini?" Hui Song mengerutkan alisnya dan bertanya. Tadi dia sudah merasa gembira sekali karena kalau dia dapat mempelajari ilmu dari kakek gendut itu, alangkah senang hatinya.   "Bangun dan duduk, mari bicara," kata Wu-yi Lo-jin. Dua orang itu lalu bangkit dari berlutut dan mereka duduk di atas batu-batu di bawah pohon. "Seperti pernah kuceritakan kepada kalian, kami sudah terikat oleh sumpah kami kepada tongkat laknat... eh, Tongkat Suci itu bahwa kami seketurunan termasuk murid-murid harus tunduk dan taat, tidak boleh melawan mereka yang memiliki tongkat itu. Kami tidak ingin kalian menjadi murid kami dan terseret ke dalam ikatan itu. Kalian sudah melihat sendiri betapa Pangeran Toan Jit-ong mempengaruhi dan mengikat mereka yang kalah dengan sumpah. Nah, kami yang pernah dijuluki Delapan Dewa juga telah diikat dengan sumpah."   "Akan tetapi, kek. Melihat ilmu kepandaian Ratu Iblis itu, agaknya kalian tidak akan kalah..."   Kakek katai menggeleng kepala dan menarik napas panjang. "Engkau tidak tahu... kepandaian mereka itu hebat sekali. Ketika Ratu Iblis itu mengalahkan lawan-lawannya, ia tidak mengeluarkan semua ilmunya, hanya mempermainkan saja. Dan pangeran itu sendiri, baru mengeluarkan suara saja sudah mampu menaklukkan Iblis Buta! Agaknya, aku sendiri hanya dapat mengimbanginya dalam hal gin-kang, sedangkan dalam ilmu-ilmu lain, jelas aku masih tidak mampu menandinginya."   "Benar Itu! Ilmu iblis itu hebat bukan main. Aku sendiripun mungkin hanya mampu menandingi dalam hal kekuatan, akan tetapi dalam ilmu silat, aku kalah jauh," sambung kakek gendut dengan sua-ra sungguh-sungguh.   "Karena kami sendiri tidak berdaya dan tidak mau melanggar atau mengkhianati sumpah sendiri, maka satu-satunya jalan bagi kami adalah menurunkan ilmu-ilmu kami kepada orang-orang muda yang berbakat dan berjiwa bersih. Mere-kalah yang kelak harus menghadapi dan membasmi Raja dan Ratu Iblis bersama para pembantunya."   "Orang muda, maukah engkau belajar ilmu dariku?" tanya San-sian sambil me-natap wajah pemuda yang ganteng dan gagah itu."   Hui Song mengangguk-angguk dan menjura dengan wajah girang. "Tentu saja aku mau, kek," katanya meniru Sui Cin karena kini dia tahu benar bahwa ka-kek inipun tidak mau dianggap guru o-lehnya.   "Akan tetapi, tidak mudah belajar da-riku. Selain harus tekun, juga harus tahan uji dan sekali bilang mau, harus be-lajar sampai berhasil. Latihan-latihannya berat sekali dan engkau tidak boleh me-ninggalkannya setengah jalan, karena kalau demikian, terpaksa aku akan membunuhmu daripada engkau membawa pergi ilmuku yang masih mentah."   Hui Song mengangguk-angguk. Dia putera ketua Cin-ling-pai, seorang yang se-jak kecil digembleng untuk menjadi pen-dekar tulen. Maka tentu saja dia siap menghadapi segala macam kesukaran da-lam belajar ilmu.   "Dan engkau ikutlah denganku, Sui Cin. Aku akan mengajarkan ilmu gin-kang, akan tetapi jangan dikira latihan-latihan dariku tidak berat! Kalau engkau kurang tekun dan sembarangan, nyawa taruhan-nya!" kata Ciu-sian.   Sui Cin tersenyum. "Kesukaran dan bahaya adalah makananku sejak kecil, kek, jangan khawatir aku akan mundur karenanya. Akan tetapi, berapa lamakah kiranya kami masing-masing harus bela-jar dari kalian?"   "Ilmu silat kalian sudah cukup tinggi, kalau dilatih sampai matang kiranya su-dah cukup untuk menghadapi lawan se-perti Raja Iblis sekalipun. Akan tetapi, iblis-ibils itu memiliki sin-kang dan gin--kang yang amat hebat. Kalian jauh kalah cepat dan kalah kuat, maka kami akan memperkuat kalian dalam hal itu, disamping mematangkan ilmu silat kalian. Karena kita diburu waktu, kalian sendiri sudah mendengar bahwa dalam waktu ti-ga tahun lagi mereka akan mempersiap-kan pemberontakan mereka, maka sebe-lum waktu itu kalian harus sudah selesai mematangkan ilmu kalian," kata Ciu-sian dan mendengar ini, San-sian mengangguk-angguk.   "Benar sekali. Orang muda, dengan bekal ilmu silatmu yang tinggi dan murni dari Cin-ling-pai itu, kalau dimatang-kan selama tiga tahun, tentu engkau akan cukup kuat untuk menentang mereka."   Hati kedua orang muda itu merasa girang sekali, akan tetapi wajah Hui Song menjadi muram dan hatinya berduka ketika dia mendengar bahwa kedua orang kakek itu akan berpisah sehingga terpak-sa diapun akan berpisah dari Sui Cin! Dan perpisahan itu untuk waktu tiga ta-hun!   "Cin-moi..." katanya ketika mereka diberi kesempatan untuk bicara empat mata karena dua orang kakek itupun sedang bercakap-cakap dan berunding berdua di bawah pohon, agaknya tidak memperdulikan dua orang muda itu.   "Bagaimana Song-twako? Tidak girangkah hatimu memperoleh guru yang demikian lihai?" Dara itu menatap wajah yang tampan itu, lalu menyambung cepat. "Mengapa wajahmu muram seperti orang berduka, twako?"   "Cin-moi, bagaimana hatiku tidak akan berduka? Kita akan saling berpisah!"   Dara itu tersenyum. "Aih, tentu saja! Bukankah kita masing-masing akan mengikuti pelatih kita ke tempat masing-masing? Tiga tahun lagi kita akan saling berjumpa, twako."   "Tiga tahun... alangkah lamanya. Aku akan merasa rindu sekali kepadamu, Cin-moi."   "Tentu saja, akupun akan merasa rindu kepadamu, twako," kata Sui Cin yang berhati polos dan jujur. Mendenger ini, sepasang mata Hui Song bersinar penuh harapan.   "Benarkah itu, Cin-moi? Engkau akan rindu kepadaku?"   Sui Cin memandang heran. Kenapa yang begitu saja Hui Song bertanya dan seperti tidak percaya? "Tentu saja! Kenapa tidak?"   "Ah, aku akan setiap malam mimpikan engkau, Cin-moi...!"   Sui Cin tertawa, "Ya, akupun akan mimpikan engkau, twako. Akan tetapi tidak saban malam. Wah, bisa capek kalau setiap malam mimpikan engkau saja."   Hui Song mengerutkan alisnya dan menatap tajam wajah yang cantik manis itu. "Cin-moi, jangan main-main, engkau... engkau tidak tahu apa artinya semua ini begiku... Aku akan menderita, Cin-moi... selama tiga tahun tidak melihatmu. Ah, rasanya belum tentu kuat aku menahan kerinduan hatiku..."   "Ah, apa-apaan sih engkau ini twako? Omonganmu tidak seperti biasa dan aku menjadi bingung."   "Cin-moi, benarkah engkau tidak tahu atau tidak dapat menduganya?, Baiklah, sebelum kita saling berpisah, aku harus memberi tahu kepadamu. Cin-moi, semenjak kita berjumpa, semenjak kita berkenalan, bahkan selagi aku mengenalmu sebagai pemuda, aku... aku telah jatuh cin-ta padamu! Nah, lega hati ini setelah mengaku. Aku cinta padamu, Cin-moi, a-ku cinta padamu!"   Sepasang pipi dara itu memang berubah merah, akan tetapi ia tidak menun-dukkan mukanya seperti lajimnya gadis yang menghadapi pengakuan cinta seo-rang pemuda dan menjadi malu. Tidak, Sui Cin tidak merasa malu, bahkan me-rasa geli dan ia tidak dapat menahan ke-tawanya. Ia tertawa bebas, seperti bia-sanya kalau ia tertawa di depan Hui Song, tanpa malu-malu dan tidak ditutup-tutupinya lagi mulutnya seperti kalau ia tertawa di depan orang lain.   "Eh, kenapa kau tertawa, Cin-moi?"   "Habis, engkau lucu sih!"   "Cin-moi, aku tidak main-main. Aku bicara sungguh-sungguh dan semua kata-kataku keluar langsung dari lubuk hatiku. Aku sungguh telah jatuh cinta padamu, Cin-moi!"   "Ih, twako, engkau ini aneh-aneh saja. Aku tidak tahu apa dan bagaimana cinta itu. Aku suka padamu, twako, suka bersahabat denganmu. Akan tetapi cinta? Entahlah, aku tidak tahu apakah aku mencintamu atau mencinta seseorang ataukah tidak?"   "Cin-moi, aku... aku ingin agar kelak kita menjadi jodoh, menjadi suami isteri..."   "Ihhh! Kau membikin aku bingung dan canggung, twako. Aku belum memikirkan yang tidak-tidak. Kita masih memiliki banyak tugas, pertama belajar yang te-kun dan kedua menghadapi persekutuan Raja Iblis itu, bukan? Pula, urusan perjo-dohan selayaknya dibicarakan orang tua, bukan kita."   Sui Cin teringat akan usul orang tua-nya yang ingin menjodohkan ia dengan Can Koan Ti, putera Pangeran Can Seng Ong yang menjadi gubernur Propinsi Ce--kiang di Ning-po itu. Tentu saja ia akan memilih Hui Song daripada Koan Ti, akan tetapi ia tidak tahu apakah ia ingin menjadi isteri Hui Song atau isteri siapa sa-ja.   "Memang benar, Cin-moi. Akan tetapi hatiku akan tenteram kalau mengetahui bahwa engkaupun setuju, bahwa engkau sudi menerima cintaku, bahwa engkaupun cinta padaku..."   Kembali Sui Cin tertawa dan kembali suara ketawa itu seperti ujung pedang menusuk hati Hui Song. "Eh, kenapa eng-kau tertawa lagi, Cin-moi?" tanyanya dengan -alis berkerut.   "Ucapanmu tadi mengingatkan aku akan pertunjukan wayang yang pernah kutonton... kalau tidak salah, ketika Pangeran Can Seng Ong gubernur di Ning-po, mengadakan pesta ulang tahunnya. Ada sandiwara wayang di situ dan dalam pertunjukan itu, ada seorang pemain pria mengucapkan kata-kata sama persis dengan ucapanmu tadi kepada seorang pemain wanita..."   "Cin-moi, agaknya ucapan pengakuan cinta di bagian dunia manapun saja. Ucapan itu suci dan mulia, Cin-moi, jangan ditertawai karena aku sungguh-sungguh cinta padamu. Sudikah engkau menerima cintaku Cin-moi?"   "Aih, sudahlah twako, jangan bicara tentang hal itu sekarang. Aku belum mau memikirkan hal itu dan aku tidak tahu!"   Itulah ucapan terakhir Sui Cin, karena Hui Song ticlak berani mendesak lagi. Dia cukup mengenal watak dara itu dan kalau dia mendesak, tentu Sui Cin akan marah. Dara itu baru berusia lima belas atau enam belas tahun, mungkin belum cukup dewasa untuk bicara tentang cin-ta. Dia harus bersabar. Betapapun juga, hatinya terasa berat, tertekan dan sedih ketika dia berpisah pada siang hari itu dari Sui Cin yang mengikuti kakek katai dengan wajah gembira. Dia sendiri meng-ikuti kakek gendut yang menjadi gurunya tanpa mau disebut guru.   ***   Teriakan-teriakan yang menyelingi desir angin pukulan itu tidak terdengar lagi dari luar air terjun, karena selain guha yang berada di belakang air terjun itu amat dalam, juga suara air terjun yang gemuruh itu menyeilmuti suara di sebelah dalam. Guha itu memang lebar dan dalam, luas sekali. Dasarnya berupa anak sungai yang mengalir jernih di antara batu-batu besar yang menonjol di sana-sini. Di tepi anak sungai itu terdapat lantai guha dari batu dan melihat betapa di sana-sini terdapat pilar-pilar batu, dapat diketahui bahwa guha ini, yang tercipta oleh alam, telah dibantu oleh manusia yang membuat pilar-pilar batu untuk menyangga. Sebuah tempat persembunyian yang amat luas dan enak. Inilah tempat pertapaan Siang-kiang Lo-jin. Sebuah guha di balik air terjun yang terdapat di lembah Sungai Siang-kiang.   Kalau orang memasuki guha itu, yang tidak nampak dari luar dan merupakan tempat tersembunyi, dia akan melihat bahwa teriakan-teriakan itu keluar dari mulut seorang pemuda yang sedang berlatih silat. Akan tetapi cara pemuda ini bermain silat akan membuat orang merasa heran dan kagum bukan main. Pemuda itu bertubuh sedang dan tegap, hanya memakai celana panjang saja tanpa baju. Nampak tubuh yang sedang itu penuh dengan otot-otot yang melingkar-lingkar, membuat tubuh itu nampak kokoh kuat penuh tenaga. Rambutnya a-gak awut-awutan, digelung ke atas dan sisanya berjuntai ke bawah, ikut berge-rak-gerak bersama kepalanya ketika dia bermain silat. Anehnya, pemuda itu me-makai beban besi yang besar pada kedua kaki dan tangannya. Beban di kakinya itu masing-masing tentu tidak kurang dari empat puluh kati dan di tangan masing-masing melingkari lengan, tentu ada dua puluh lima kati. Selain dibebani besi pa-da kedua kaki dan lengannya, juga pemu-da ini bersilat di atas batu-batu yang menonjol di permukaan anak sungai itu, batu-batu yang amat licin. Dapat diba-yangkan beratnya latihan ini. Namun, pe-muda yang usianya sekitar dua puluh em-pat tahun itu berlatih dengan tekun, mengatur napas dalam setiap gerakan, dan mengeluarkan bentakan-bentakan un-tuk setiap pukulan atau tangkisan. Orang biasa saja tentu sudah akan mereka tersiksa kalau harus bergerak dengan beban pada kaki tangan itu, apalagi harus ber-main silat, di atas batu-batu licin lagi! Namun, pemuda itu bersilat dengan gaya yang indah, dengan gerakan yang cepat dan amat keras. Setiap gerakannya menimbulkan desiran angin.   Di tepi anak sungai itu berdiri seorang kakek yang perutnya gendut sekali, berdiri sambil tersenyum lebar dan memegang sebatang tongkat yang ujungnya ada kipasnya. Dengan ramah dia memberi petunjuk-petunjuk dan mengangguk-angguk dengan wajah puas sekali.   Memang tidak ada alasan bagi Siang-kiang Lo-jin untuk tidak merasa puas dengan kemajuan yang dicapai oleh Hui Song, pemuda itu. Selama hampir tiga tahun, pemuda itu berlatih dengan amat tekunnya. Dia digembleng keras oleh kakek gendut itu, berlatih memperkuat sin-kang dengan bertapa di dalam air setinggi leher. Air dingin itu menyeilmuti tubuhnya, sampai tiga hari tiga malam dan dia hanya boleh meneguk air di depannya setiap kali kelaparan atau kehausan menyiksanya. Kemudian, latihan dengan beban-beban berat pada kaki dan lengannya. Mula-mula memang tidak berapa berat beban itu, akan tetapi lambat laun ditambah sampai akhirnya dia berlatih silat dengan beban seberat itu. Namun, hasilnya memang hebat bukan main. Tubuh pemuda itu menjadi kuat sekali, gerakannya lincah dan tenaganya besar. Kini Hui Song mampu mainkan semua ilmu silat Cin-ling-pai jauh lebih sempurna daripada tiga tahun yang lalu!   "Hentikan sebentar dan buka beban kaki tanganmu. Aku ingin melihat untuk yang terakhir kali apakah selama tiga tahun ini aku tidak mengajar secara sia-sia belaka!" Tiba-tiba kakek itu berkata.   "Terakhir kali? Apa maksud locianpwe?" tanya Hui Song sambil membuat gerakan melompat ke tepi. Gerakannya demikian sigapnya seolah-olah dia tidak dibebani besi yang berat itu. Sambil melepaskan beban kaki tangannya, pemuda itu memandang wajah kakek gendut dengan penuh perhatian.   "Tentu saja! Apakah engkau ingin selama hidupmu tinggal di sini?" tanya kakek gendut.   "Tapi, locianpwe, rasanya belum lama saya berada di sini..."   "Ha-ha-ha! Itu berkat ketekunanmu. Memang demikianlah rahasia waktu. Kalau tidak pernah kita pikirkan, ia berlalu amat cepatnya melebihi anak panah. Akan tetapi kalau diingat selalu, ia merayap seperti siput. Tak tahukah engkau bahwa kita berada di sini hampir tiga tahun lamanya? Nah, kau bersilatlah, kini tanpa beban itu."   Hui Song yang kini sudah melepaskan beban besi dari kaki dan lengannya, lalu meloncat lagi ke tengah sungai, di atas batu-batu licin itu dan dia bersilat dengan amat cepatnya. Berkali-kali dia berseru kaget karena tubuhnya bergerak luar biasa ringan dan cepatnya, lebih ringan dan lebih cepat daripada yang dikehendakinya. Hal ini adalah karena dia belum biasa terbebas dari beban-beban besi pada kaki tangannya itu. Selama bertahun-tahun dia dibebani pada kaki tangannya dan begitu dibuka, tentu saja dia merasa gerakarmya amat cepat dan ringan sehingga mengejutkan. Akan tetapi, begitu dia dapat menyesuaikan diri, gerakannya mulai teratur dan kini tubuhnya berkelebatan di atas batu-batu licin itu dengan amat mudahnya.   Kakek gendut itu mengangguk-angguk dan wajahnya berseri gembira. "Cukuplah, Hui Song, ke sinilah aku mau bicara."   Tubuh Hui Song mencelat ke tepi anak sungai itu dan dia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu. Baru sekarang dia dapat merasakan benar kemajuan yang diperolehnya selama tiga tahun digembleng kakek itu. "Saya menghaturkan terima kasih atas semua bimbingan locianpwe selama ini," katanya dengan hati terharu.   Kakek itu tertawa. "Ha-ha-ha, akulah yang bergembira, Hui Song.Engkau memenuhi harapanku. Siapa lagi kalau bukan orang-orang muda seperti engkau ini yang dapat menyelamatkan dunia dari bencana. Biarpun aku masih sangsi apakah engkau seorang diri saja akan mampu menentang mereka, akan tetapi setidaknya engkau akan dapat mengimbangi kelihaian Ratu Iblis. Mudah-mudahan saja temanmu itupun akan memperoleh kemajuan pesat di bawah pimpinan Wu-yi Lo-jin dan dapat bekerja sama denganmu, bersama para pendekar muda lainnya."   Mendergar ucapan ini, Hui Song merasa seperti diingatkan, dan terbayanglah wajah manis dari Sui Cin di depan matanya. Wajahnya berseri dan sinar matanya berkilat ketika dia teringat kepada gadis itu. Selama ini, dia memaksa batinnya untuk tidak selalu mengenangkan Sui Cin dan dia mencurahkan seluruh perhatian dan ketekunannya untuk mempelajari ilmu dari kakek gendut. Dia memperoleh kenyataan bahwa kakek itu memang lihai bukan main, memiliki kesaktian yang jauh melampaui tingkat ayah ibunya sendiri. Maka diapun belajar dengan giat dan mentaati semua petunjuk gurunya yang tidak mau disebut guru itu.   "Apakah ia juga sudah menamatkan pelajarannya dari Wu-yi Lo-jin, locianpwe?" tanyanya dengan penuh gairah.   Kakek itu tersenyum lebar dan mengangguk-angguk. "Kami berdua memang sudah bersepakat untuk menggembleng kalian berdua selama kurang lebih tiga tahun dan sebelum tiba waktunya pemberontakan terjadi, harus sudah selesai penggemblengan itu. Aku yakin temanmu itu sudah selesai belajar pula sekarang."   "Kalau begitu, locianpwe tahu di mana Wu-yi Lo-jin membawanya dan di mana saya dapat menjumpai Sui Cin?"   "Tentu saja dia membawa gadis itu ke Wu-yi-san, ke tempat pertapaannya. Kami hanya berjanji akan menggembleng kalian sampai tahun ini dan sebelum Tahun Baru, kami akan menyuruh kalian masing-masing pergi keluar Tembok Besar di utara, mencari bekas benteng Jeng-hwa-pang itu. Jadi, kalian bersiap-siap saja di sana dan kita semua akan bertemu di sana untuk bersama-sama menghadapi gerombolan pemberontak itu."   "Karena saya tidak pernah lagi mengikuti hari dan bulan, kapankah kiranya hari Tahun Baru itu, locianpwe? Masih berapa lamakah?"   "Sekarang pertengahan bulan sembilan. Masih ada tiga setengah bulan lagi bagimu untuk melakukan perjalanan sebelum Tahun Baru tiba."   Hui Song menjadi girang sekali. "Kalau begitu, masih banyak waktu bagi saya untuk singgah ke Cin-ling-san. Orang tua saya tentu merasa gelisah karena tiga tahun saya tidak pulang."   "Terserah, dan alangkah baiknya kalau Cin-ling-pai mau pula turun tangan membantu dalam usaha kita menentang ancaman malapetaka dari Pangeran Toan Jit-ong dan sekutunya."   "Baik, locianpwe, akan saya bicarakan hal itu dengan ayah dan ibu dan semua saudara pimpinan Cin-ling-pai."   Setelah menghaturkan terima kasih lagi dan menerima doa restu dari kakek gendut itu, Hui Song lalu meninggalkan guha di balik air terjun itu dan melakukan perjalanan dengan cepat ke utara. Hatinya gembira bukan main dan dia merasa seperti seekor burung yang bebas terbang ke udara. Betapa nikmatnya, betapa senangnya dapat melakukan perjalanan bebas seperti itu setelah hampir tiga tahun dapat dibilang selalu berada di dalam guha, atau paling jauh juga keluar dari situ dan mencari sayur-sayuran ke sekitar air terjun di lembah sungai itu. Yang amat menggembleakan hatinya lagi adalah bayangan Sui Cin yang segera akan dapat dijumpainya lagi. Juga membayangkan bahwa dia akan bertemu dengan ayah dan ibunya, amat menggembirakan hati pemuda ini. Tidak dia sadari sendiri, Hui Song kini jauh berbeda dengan keadaan dirinya tiga tahun yang lalu. Kini tubuhnya lebih tegap dan gerak-geriknya lebih gesit berisi, bahkan ketika dia melakukan perjalanan cepat sambil berlari, larinya jauh lebih ringan dan cepat dibandingkan dahulu sebelum dia digembleng oleh Siang-kiang Lo-jin atau Si Dewa Kipas.   Kita tinggalkan dulu Hui Song yang dengan hati gembira sekali melakukan perjalanan cepat menuju ke utara itu, dan mari kita mengikuti kakek Wu-yi Lo-jin menuju ke tempat pertapaan kakek itu di Wu-yi-san.   Dalam perjalanan hari pertama saja, kakek Wu-yi Lo-jin sudah mulai menguji ilmu gin-kang dara itu. "Mari kita ikuti lariku secepatnya!" katanya dan belum juga kata-katanya habis diucapkan, tubuhnya sudah berkelebat lenyap dari situ. Sui Cin maklum bahwa kakek itu hendak mengujinya, maka iapun cepat mengejar dan mengerahkan seluruh tenaganya dan ilmu gin-kangnya untuk menyusul kakek itu. Akan tetapi, kakek yang bertubuh kecil pendek itu sungguh luar biasa sekali. Betapapun ia mengerahkan seluruh ilmunya, tetap saja ia tertinggal dalam jarak belasan tombak. Dan hebatnya, kakek itu dari belakang kelihatan seperti tidak berjalan, melainkan seperti orang amelayang saja dan kelihatan seenaknya, berbeda dengan ia yang mengerahkan tenaga. Sampai ia terengah-engah, kakek itu masih terus berlari. Akhirnya, setelah napasnya hampir putus, Sui Cin berhenti dan berteriak memanggil.   "Berhenti, kek, aku tidak kuat lagi...!"   Mulai hari itu juga, Wu-yi Lo-jin memberi kuliah tentang teori-teori ilmu gin-kangnya yang oleh kakek itu dinamakan Bu-eng Hui-teng (Lari Terbang Tanpa Bayangan), semacam ilmu meringankan diri ciptaannya sendiri. Setelah tiba di Wu-yi-san, Sui Cin kagum melihat keadaan puncak di mana kakek itu mengasingkan diri selama pu-luhan tahun. Tidak sembarang orang da-pat mencapai puncak ini karena tidak a-da jalan umum dari bawah, jalan setapakpun tidak ada. Yang ada hanyalah jurang-jurang yang mengelilingi puncak dan me-reka harus mendaki puncak melalui jurang-jurang yang curam dan tebing-tebing yang terjal. Hanya orang-orang yang me-miliki gin-kang tinggi sajalah kiranya yang akan mampu mencapai puncak Wu-yi-san di bagian yang didiami kakek Wu-yi Lo-jin itu.   Semenjak hari itu, mulailah kakek Wu-yi Lo-jin menggembleng Sui Cin dengan tekun dan keras sekali. Dia melatih dara itu untuk bersamadhi dan melatih sin-kang dan khi-kang, dia mengajarkan ilmu silat yang seluruhnya digerakkan dengan tena-ga dalam dan dengan ilmu meringankan tubuh sehingga dalam melatih ilmu silat ini berarti juga melatih dan menyempurnakan gin-kang.   Kurang lebih tiga tahun kemudian, dengan latihan yang amat tekun di ba-wah bimbingan dan penggwasan Wu-yi Lo-jin yang ketat dan keras, Sui Cin te-lah memperoleh kemajuan hebat tanpa disadarinya sendiri. Pada suatu hari, ka-kek itu membawanya ke sebelah belakang puncak gunung itu dan mereka berdiri di tepi sebuah jurang yang amat curam. Ketika menjenguk ke bawah, Sui Cin bergidik. Jurang itu sungguh curam, sam-pai tidak nampak dasarnya! Di bawah nampak batu-batu gunung yang meruncing seperti pedang-pedang raksasa, atau seperti gigi naga yang ternganga lebar. Di sebelah depan, dipisahkan celah yang mengerikan itu, terdapat dataran yang merupakan tepi jurang di seberang.   Wu-yi Lo-jin mengeluarkan gulungan-gulungan besar tali yang terbuat dari otot dan kulit binatang yang sudah kering dari dalam kantong besar yang tadi dibawanya, kemudian dia mengeluarkan pula potongan-potongan baja sebesar kaki orang yang tadinya disembunyikan di balik sebuah batu besar. Potongan-potongan baja ini runcing dan panjangnya ada tiga kaki. Sui Cin melihat kesibukan kakek itu dengan heran, tidak tahu apa yang hendak dilakukan Wu-yi Lo-jin.   "Sui Cin, mulai hari ini, engkau akan kuberi latihan-latihan terakhir yang selain melatih silat dan gin-kang, juga melatih keberanian, kecermatan dan kekuatan batinmu. Nah, dapatkah engkau meloncat ke seberang sana?" Dia menuding ke tebing di depan yang tepinya agak lebih rendah daripada tepi tebing sebelah sini.   Sui Cin memandang terbelalak, lebih heran daripada takut. "Meloncat ke seberang sana? Ah, perlukah itu, kek? Melihat jaraknya, agaknya aku akan bisa meloncat ke sana, akan tetapi apa gunanya menentang bahaya maut padahal latihan meloncat jauh tidak perlu menggunakan tempat seperti ini?"   Kakek itu tertawa. "Heh-heh, engkau belum mengerti maksudku. Tempat ini memang merupakan tempat aku berlatih gin-kang. Sudahlah, engkau saja yang memasang tonggak-tonggak ini di sebelah sini, biar aku yang memasang di sebelah sana. Kaulihat lubang-lubang di tepi tebing ini? Ada sebelas lubang. Nah, pasanglah tonggak-tonggak besi ini dalam lubang, masukkan yang dalam dan kuat. Aku akan memasang tonggak-tonggak besi di sebelah sana." Kakek itu membagi tonggak-tonggak itu yang dibongkoknya menjadi satu, tubuhnya lalu meloncat ke depan, melalui jurang yang curam itu. Sui Cin memandang dan biarpun ia merasa yakin bahwa kakek itu akan mampu meloncati celah, namun tidak urung hatinya merasa ngeri dan ia menahan napas sampai kakek itu selamat tiba di seberang sana. Melihat kakek itu mulai menancap-nancapkan tonggak baja di tepi tebing di seberang, iapun lalu melakukan apa yang dipesankan kakek itu. Ternyata lubang-lubang dalam batu di tepi tebing itu besarnya tepat sekali dan tonggak-tonggak itu masuk dengan pas sampai hanuya satu kaki yang nampak di atas permukaan batu. Sebentar saja selesailah pekerjaan itu dan ketika ia mengangkat muka memandang, kakek itupun sudah menyelesaikan pekerjaannya.   "Sui Cin!" teriak kakek itu dari seberang. "Sekarang ambillah tali-tali itu. Ada sebelas helai banyaknya, ikatkan ujungnya pada tiap tonggak dan lemparkan ujung yang lain ke sini! Awas, yang kuat mengikatnya karena nyawamu tergantung pada tali-tall ini!"   Terkejutlah hati Sui Cin mendengar ucapan itu dan ia menduga-duga apa yang diajarkan kakek itu kepadanya. Akan tetapi, ia tidak berkata apa-apa dan mulai mengikatkan ujung tali-tali itu dengan amat kuatnya pada tonggak-tonggak itu dan melemparkan ujung yang lain ke seberang. Kakek itu menangkap ujung yang lain itu dan mulailah dia mengikatkan ujung itu pada tonggak-tonggak di depannya. Kini terbentanglah tali-tali itu, merupakan jembatan-jembatan istimewa yang berjumlah sebelas helai. Dan hebatnya, kakek itu menyetel kendur kuatnya tali-tali itu sehingga ketika dia menyentil-nyentilnya, terdengar bunyi nyaring yang berbeda-beda, seperti tali-tali yang-kim yang mengeluarkan nada-nada berbeda, makin ke kanan semakin tinggi nadanya. Setelah selesai, diapun berkata kepada Sui Cin dari seberang.   "Mulai hari ini, engkau harus berlatih di atas tali-tali ini. Kalau engkau sudah dapat memainkan semua ilmu silat yang kaukuasai di atas tali-tali ini, baru engkau lulus dan boleh meninggalkan tempat ini!"   Kakek itu lalu memberi petunjuk-petunjuk. Mula-mula memang ngeri rasa hati Sui Cin ketika ia harus berjalan, melangkah dan berlari-lari, berloncatan di atas tali-tali itu. Menjenguk ke bawah dari atas tali-tali itu membuat ia merasa seperti ia sedang melayang di langit dan setiap saat kalau tali yang diinjaknya putus, tubuhnya akan meluncur ke bawah, disambut ujung batu-batu runcing untuk kemudian terbanting hancur berkeping-keping di dasar jurang yang tidak nampak dari atas. Akan tetapi, setelah terbiasa, lenyaplah rasa ngeri atau takutnya. Ia berlatih dengan tekun setiap hari dari pagi sampai sore, kadang-kadang di malam hari dan kini kedua kakinya demikian trampilnya menginjak tali, berloncatan, berjungkir balik dan bermain-main seolah-olah ia berada di atas tanah datar saja.   Pada suatu pagi, Sui Cin sudah berlatih di atas tali-tali itu. Gerakannya lincah bukan main, seperti menari-nari ia bersilat di atas tali-tali itu. Dan tali-tali yang diinjaknya mengeluarkan bunyi dengan nada-nada berbeda dan terdengarlah irama nada yang teratur seperti bunyi yang-kim yang mendendangkan lagu merdu! Kendur kuatnya tali-tali itu, lembut dan kuatnya loncatan dan injakan kaki Sui Cin menciptakan getaran-getaran berbeda pada tali-tali itu.   Kakek Wu-yi Lo-jin berdiri tegak di tepi jurang, memandang dengan sepasang mata bersinar-sinar dan wajah berseri. Setelah data itu selesai bersilat dan meloncat ke tepi, kakek itu mengangguk-angguk.   "Heh-heh-heh, bagus! Bagus sekali! Tidak sia-sia jerih payah kita selama hampir tiga tahun ini. Engkau sudah memiliki gin-kang yang setingkat denganku, dan aku yakin engkau dapat menandingi Raja dan Ratu Iblis dalam hal kecepatan. Sekaranglah tiba waktunya bagimu untuk pergi dari sini, mempersiapkan dirimu untuk menentang persekutuan busuk dari Pangeran Toan Jit-ong itu, Sui Cin. Masih ada setengah tahun waktunya bagimu untuk pergi keluar tembok besar, ke sarang mereka itu, bekas benteng Jeng-hwa-pang. Kita semua akan berkumpul di sana."   "Engkau juga akan pergi ke sana, kek?" tanya Sui Cin yang selalu bersikap akrab dan bicara kepada kakek itu seperti terhadap keluarga sendiri, tanpa banyak peradatan. Wu-yi Lo-jin agaknya lebih senang dengan sikap ini, sesuai dengan wataknya yang memang suka akan kebebasan dan tidak mau terikat oleh segala macam peraturan.   "Tentu saja! Juga Siang-kiang Lo-jin dan temanmu itu, dan kalau memang masih hidup, enam orang rekan kami, para Dewa yang lain, tentu akan muncul di sana."   Ucapan ini mengingatkan Sui Cin kepada Hui Song yang sudah bertahun-tahun tidak pernah dijumpainya itu dan hatinya memang gembira. Juga jantungnya berdegup aneh karena begitu teringat kepada Hui Song, iapun segera teringat akan ucapan terakhir pemuda itu ketika mereka akan saling berpisah. Pengakuan cinta pemuda itu terhadap dirinya! Ia kini bukan kanak-kanak lagi. Usianya sudah hampir sembilan belas tahun! Masa akhil baliq sudah lewat dan ia kini sudah menjadi seorang wanita dewasa. Biarpun tidak mempunyai pengalaman tentang cinta, namun perasaan wanitanya membuat ia sadar akan hal itu dan mulailah ia mempertimbangkan tentang uluran cinta pemuda yang amat disukanya itu. Akan tetapi, tetap saja Sui Cin belum dapat menentukan apakah iapun mencinta pemuda itu ataukah sekedar suka saja karena watak pemuda itu cocok dengan wataknya.   "Kek, karena waktunya masih cukup, aku akan singgah dulu ke Pulau Teratai Merah. Sudah terlalu lama aku meninggalkan orang tuaku dan mereka tentu merasa gelisah sekali."   "Heh-heh, Pendekar Sadis dan Lam-sin, ya? Sui Cin, ayah bundamu itu adalah orang-orang hebat dan kalau mereka depat mengulurkan tangan membantu kita untuk menentang persekutuan pemberontak itu, alangkah baiknya!" "Akan kusampaikan kepada mereka kek, dan mudah-mudahan saja mereka dapat melihat pentingnya menentang Raja dan Ratu Iblis itu. Tentu mereka, terutama ibu, akan tertarik sekali kalau mendengar bahwa Pangeran Toan Jit-ong itu masih paman dari ibu."   Demikianlah, pada hari itu juga Sui Cin meninggalkan Wu-yi-san dan melakukan perjalanan cepat ke utara, menuju ke Ning-po untuk menyeberang ke Pulau Teretai Merah. Dara yang melakukan perjalanan turun Gunung Wu-yi-san ini sungguh jauh bedanya dengan dara remaja yang hampir tiga tahun lalu mendaki gunung itu bersama kakek katai. Kini Sui Cin bukan lagi seorang dara remaja, melainkan seorang gadis dewasa yang amat cantik dan manis. Ia memang masih lincah jenaka seperti biasa, masih nyentrik karena pakaiannya juga sembarangan saja asalkan bersih, akan tetapi pada sikapnya terdepat kematangan dan sepasang matanya juga mengeluarkan sinar mencorong yang biasanya hanya dimiliki oleh orang-orang yang sudah tinggi tingkat kepandaiannya.   Dengan kepandaiannya yang tinggi, Sui Cinmelakukan perjalanan cepat dan tanpa halangan sesuatu, tibalah ia di Pulau Teratai Merah. Akan tetapi, alangkah kecewa hatinya ketika ia melihat ayah bundanya tidak berada di pulau! Ia hanya disambut oleh para pelayan yang menjadi girang dan gembira bukan main melihat munculnya nona mereka itu. Bahkan di antara mereka yang sudah tua dan yang pernah mengasuh Sui Cin sejak gadis itu kecil, menangis saking terharu dan gembiranya.   "Aih, nona... terima kasih kepada Thian bahwa nona ternyata dalam keadaan selamat. Betapa nona telah membuat kami semua gelisah dan berduka. Bahkan ayah ibu nona selalu bingung dan entah sudah berapa kali meninggalkan pulau untuk mencari nona. Yang terakhir mereka berdua pergi shbulan yang lalu, entah kapan pulangnya."   Baru Sui Cin merasa betapa besar kesalahannya terhadap ayah ibunya. Mereka hanya mempunyai anak ia seorang dan ia telah pergi selama tiga tahun tanpa memberi tahu! Dan ayah ibunya kebingungan, mencari-carinya. Tentu saja ayah ibunya tidak dapat menemukannya karena ia bersembunyi di Wu-yi-san dan tidak pernah meninggalkan tempat pertapaan kakek katai. Dan sekarang ayah ibunya pergi, tentu mencarinya lagi, entah ke mana. Padahal iapun tidak dapat lama-lama menanti kambali mereka di Pulau Teratai Merah karena ia mempunyai tugas berat membantu para pendekar yang akan menentang persekutuan pemberontak di luar tembok besar. Maka iapun lalu membuat surat panjang lebar kepada ayah bundanya, menceritakan tentang semua pengalamannya, tentang pertemuannya dengan Wu-yi Lo-jin, tentang Raja dan Ratu Iblis yang menghimpun para datuk sesat untuk melakukan pemberontakan, kemudian dalam surat itu ia menceritakan ayah ibunya bahwa ia berangkat keluar Tembok Besar untuk menentang persekutuan pemberontak itu bersama para pendekar lain. Juga ia mengharapkan agar ayah ibunya suka pula membantu, mengingat betapa kuatnya para datuk sesat itu. Bahkan ia tidak lupa menulis dalam surat itu bahwa Raja Iblis itu bernama Pangeran Toan Jit-ong yang mengaku masih bersaudara dengan mendiang kakeknya, Pangeran Toan Su--ong!   Setelah meninggalkan surat itu di kamar ayah ibunya dan memesan kepada para pelayan agar menyerahkan surat itu kepada mereka, Sui Cin lalu meninggalkan lagi pulau itu dan mulailah ia melakukan perjalanan menuju ke utara. Perjalanan yang amat jauh, akan tetapi ia mempunyai banyak waktu dan iapun dapat mengandalkan ilmunya berlari cepat.   ***   Ruangan itu luas dan terhias indah, juga hiasannya membayangkan kegagahan. Pilar besar yang berada di ruangan itu diukir dengan gambar dua naga berebut mustika. Ukirannya kuat dan indah, dengan warna yang mengkilap dan hidup. Meja kursi yang berada di situ juga merupakan perabot-perabot yang kuno dan terawat baik. Pada dinding ruangan itu nampak lukisan-lukisan yang indah pula tergantung, lukisan keindahan alam dengan sajak-sajaknya yang berisi dan berbobot. Tulisan-tulisan indah menghias pula dinding ruangan itu. Sebuah ruangan yang menimbulkan kesan kagum dan hormat bagi orang luar. Akan tetapi pada sore hari itu, di dalam ruangan indah ini terjadi ketegangan. Tiga orang laki-laki gagah yang usianya sekitar tiga puluh tahun, nampak berlutut di atas lantai, menghadap seorang laki-laki dan seorang wanita yang duduk berdampingan. Sikap tiga orang yang berlutut itu tegang dan gelisah, bahkan takut-takut, terutama sekali laki-laki yang berlutut di tengah-tengah. Laki-laki ini membawa sebatang pedang di punggungnya, mukanya pucat dan membayangkan duka, kepalanya masih diikat kain putih tanda bahwa ia sedang berkabung!   Pria yang duduk di atas kursi itu usianya tentu sudah lima puluh tahun lebih. Akan tetapi rambutnya, yang dikuncir ke belakang itu masih lebat dan hitam, alisnya tebal dan jenggotnya yang pendek itupun masih hitam. Wajahnya tampan dan sikapnya gagah, akan tetapi pada pandang mata dan bibirnya membayangkan kekerasan hati yang penuh wibawa. Pakaiannya sederhana, terbuat dari kain tebal yang bersih. Duduknya tegap berwibawa dan sepasang matanya memandang dengan alis berkerut tanda bahwa pada saat itu hati pria ini sedang tidak senang. Wanita yang duduk di sebelah kanannya itu usianyapun sudah hampir lima puluh tahun, akan tetapi masih nampak cantik dengan mukanya yang putih halus belum dimakan keriput, tubuhanya agak pendek dan dandanannya menunjukkan bahwa ia adalah seorang keturunan Jepang.   Pria itu adalah ketua Cin-ling-pai, yaitu pendekar Cia Kong Liang dan wanita itu adalah isterinya yang bernama Bin Biauw, puteri dari seorang bekas datuk timur yang bernama Bin Mo To atau Minamoto dan berjuluk Tung-hai-sian (Dewa Lautan Timur). Pada siang hari itu, dia dan isterinya berada di ruangan dalam rumahnya yang besar, yang merupakan rumah perguruan Cin-ling-pai yang terkenal itu, dihadap tiga orang muridnya. Hawa Pegunungan Cin-ling-san yang memasuki ruangan itu melalui jendela-jendela yang terbuka lebar, tidak melenyapkan ketegangan yang terasa oleh mereka. Selain mereka berlima, masih ada lagi dua puluh orang lebih murid Cin-ling-pai yang berlutut di luar ruangan itu dan merekapun memandang dengan muka tegang karena mereka tahu bahwa ketua mereka sedang marah dan bahwa ada murid Cin-ling-pai yang bersalah dan sedang diadili. Ketua atau guru mereka itu terkenal dengan kekerasan hatinya yang tidak mengenal maaf dalam menghukum murid Cin-ling-pai yang bersalah.   "Su Kiat, engkau telah melanggar pantangan Cin-ling-pal, menodai nama baik Cin-ling-pai dengan perbuatanmu. Nah, ceritakan semuanya!" terdengar ketua Cin-ling-pai berkata, suaranya datar dan bengis, pandang matanya berkilat.   Laki-laki yang berada di tengah itu kini bangkit dalam keadaan masih berlutut. Mukanya muram, akan tetapi sepasang matanya penuh semangat. "Suhu, teecu telah melakukan pelanggaran dan bersedia menerima hukuman suhu."   "Hemm, Koan Tek, ceritakan bagaimana kalian dapat membawanya ke sini. Apakah dia melakukan perlawanan?" ketua itu bertanya kepada laki-laki yang berlutut di pinggir kanan.   "Ciang Su Kiat suheng tidak melakukan perlawanan, suhu. Teecu berdua dapat menemukan tempat dia bersembunyi dan membujuknya untuk memenuhi panggilin suhu. Dia hanya mengatakan bahwa dia siap menerima hukuman walaupun dia menganggap bahwa peraturan Cin-ling-pai tidak adil dan terlalu keras."   Wajah ketua Cin-ling-pai menjadi merah sekali. "Su Kiat, benarkah engkau mengatakan demikian?"   "Benar, suhu dan memang teecu tetap beranggapan bahwa teecu tidak bersalah walaupun teecu telah melakukan pelanggaran. Akan tetapi teecu siap menerima hukuman karena teecu adalah murid Cin-ling-pai yang setia dan taat."   "Ceritakan semua yang terjadi!"   "Harap suhu dan subo ketahui bahwa ayah teecu yang sudah tua bekerja sebagai tukang kebun di gedung Coan Ti-hu. Ayah teecu bekerja sejak dia masih muda dan dianggap sebagai seorang pembantu yang setia. Akan tetapi, Coan Ti-hu terkenal pelit dan tidak dapat menghargai jasa para pembantunya. Ketika ibu dan adik bungsu teecu sakit, ayah hamba minta bantuan majikannya, akan tetapi malah dihardik dan dihina. Karena terpaksa dan tidak berdaya lagi, ayah teecu melakukan penyelewengan, mencuri sebuah perhiasan emas yang dijualnya untuk biaya pengobatan ibu dan adik teecu. Perbuatan itu diketahui dan ayah lalu dihukum. Kalau hanya hukuman yang wajar saja, tentu teecu dapat menerimanya karena bagaimanapun juga alasannya, ayah teecu mencuri dan wajarlah kalau dipersalahkan dan dihukum yang pantas. Akan tetapi, ayah telah dihajar, disiksa sampai setengah mati, bahkan ketika pulang, dalam waktu tiga hari ayah meninggal dunia karena luka-lukanya!" Laki-laki itu berhenti sebentar dan menghapus dua titik air mata yang membasahi matanya.   "Aku mendengar bahwa ayahmu melawan dan mengeluarkan kata-kata makian kepada Coan-taijin," kata ketua Cin-ling-pai.   "Mungkin saja ayah menegur karena ayah sudah menghambakan diri sejak muda akan tetapi dalam keadaan terpepet ayah tidak dapat mengharapkan bantuan. Bagaimanapun juga, teecu menganggap perbuatan pembesar itu keterlaluan. Ayah dibunuh hanya untuk perbuatan mencuri yang dilakukan untuk mengobati isteri dan anaknya. Maka, dalam keadaan berkabung dan berduka, teecu lupa diri dan mengamuk di gedung Coan Ti-hu. Sayang teecu tidak berhasil membunuh pembesar sewenang-wenang itu."   "Dan engkau menjadi buronan peme-rintah! Su Kiat, perbuatanmu itu tidak hanya menyangkut dirimu sendiri, melainkan juga menyeret nama baik Cin-ling-pai. Coan Ti-hu menuntut kepada Cin-ling-pai, menyalahkan kami karena eng-kau adalah murid Cin-ling-pai. Kalau ka-mi tidak dapat menangkapmu, kami akan diadukan dan dianggap pemberontak ka-rena murid perguruan Cin-ling-pai telah berani menyerang seorang pembesar pe-merintah! Nah, apa yang hendak kaukatakan sekarang?"   "Suhu, bagaimanapun juga, teecu tidak merasa bersalah terhadap pembesar itu, bahkan dia masih berhutang nyawa kepa-da teecu. Akan tetapi teecu memang merasa telah melakukan pelanggaran terhadap Cin-ling-pai."   "Dan mengapa engkau berani menganggap bahwa peraturan Cin-ling-pai tidak adil dan terlalu keras?"   "Benar, memang teecu mengatakan demikian kepada kedua orang sute yang mencari dan menemukan tempat persembunyian teecu!" jawab Su Kiat dengan gagah. "Memang peraturan kita terlalu keras, menghukum murid tanpa kebijaksanaan, dan tidak adil karena tidak melihat lagi alasan-alasan perbuatan pelanggaran dilakukan. Akan tetapi bukan ber-arti bahwa teecu akan mengingkari sum-pah, teecu siap menerima hukuman."   "Kesalahanmu terhadap Cin-ling-pai sudah jelas. Engkau telah mencoreng nama baik Cin-ling-pai, bahkan menghadapkan Cin-ling-pai pada pemerintah sehingga perkumpulan kita terancam bahaya dianggap pemberontak. Nah, kesalahanmu jelas. Akan tetapi, Su Kiat, kami hanya ingin menangkapmu dan menyerahkanmu kepada Coan Ti-hu untuk membersihkan nama Cin-ling-pai."   "Tidak...! Teecu... teecu menerima hu-kuman Cin-ling-pai, akan tetapi teecu ti-dak mau diserahkan kepada pembesar laknat itu. Teecu dianggap menodai nama Cin-ling-pai, hal itu merupakan pelanggaran peraturan nomor tiga. Nah, biarlah teecu melakukan pelaksanaan hukuman itu!" Secepat kilat Su Kiat mencabut pedangnya dengan tangan kanan lalu membacok lengan kirinya sendiri.   "Crakkk...!" Lengan kiri Su Kiat terbabat buntung sebatas siku! Darah muncrat-muncrat dan dua orang sutenya yang berlutut di kanan kirinya memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Akan tetapi, Su Kiat sendiri melaksanakan hukuman itu dengan sikap gagah dan sedikitpun tidak mengeluh walaupun lengan kirinya buntung dan rasa nyeri menusuk jantung.   Wajah ketua Cin-ling-pai dan isterinya juga sedikitpun tidak membayangkan perasaan hati mereka. Bahkan pada wajah ketua Cin-ling-pai itu terbayang penyesalan dan dengan sikap dingin dia berkata, "Perbuatanmu itu adalah atas kehendakmu sendiri. Bagaimanapun juga, buntung atau tidak, engkau harus kuserahkan kepad Coan Ti-hu karena hal itu akan membersihkan nama Cin-ling-pai!"   "Tidak...! Suhu... suhu tidak... akan begitu kejam..." Si buntung itu terkejut memandang ketua Cin-ling-pai. Akan tetapi ketua Cin-ling-pai itu dengan wajah dingin mengangguk seperti hendak menegaskan pendiriannya.   "Kalau begitu... lebih baik teecu mati...!" Berkata demikian, Su Kiat mempergunakan pedang yang masih berlumuran darah itu, membacok ke arah leher sendiri.   "Wuuuttt, plakkk... trangggg...!" Gerakan ketua Cin-ling-pai itu cepat bukan main. Tubuhnya yang tadinya duduk itu meloncat ke depan, kakinya menendang dan tangan yang memegang pedang itu sudah terkena tendangan sehingga pedang yang mengancam leher itu terpental dan terjatuh ke atas lantai mengeluarkan suara nyaring. Su Kiat terbelalak memandang kepada gurunya yang sudah berdiri di depannya. Sejenak ketua Cin-ling-pai itu menatap wajah murid yang dianggap bersalah itu, lalu dia mundur lagi, duduk di atas kursinya dengan sikap tenang.   "Siapa bersalah dan melanggar peraturan, dia harus menerima hukuman, tidak perduli apapun alasannya!" kata ketua Cin-ling-pai itu dengan wajah dan sikap keras.   Wajah Su Kiat yang tadinya pucat itu kini berubah merah dan matanya melotot. "Mulai saat ini, saya Ciang Su Kiat bersumpah tidak menjadi murid Cin-ling-pai lagi, dan nyawa saya adalah milik saya pribadi, kalau saya mau membunuh diri, siapa yang akan dapat menghalangi sa-ya!" Berkata demikian, laki-laki yang su-dah putus asa dan marah ini lalu meng-gerakkan tubuhnya hendak membenturkan kepalanya ke atas lantai!   "Jangan...!" Tiba-tiba berbareng dengan seruan ini, nampak bayangan berkelebat cepat bukan main dan tahu-tahu tubuh Su Kiat terangkat ke udara dan di lain saat tubuhnya sudah turun lagi bersama seorang pemuda yang gagah. Kiranya pemuda inilah yang tadi menyambar tubuh Su Kiat pada saat yang tepat sehingga menyelamatkan nyawa orang buntung yang sudah mengambil keputusan tetap bendak membunuh diri itu.   "Hui Song...!" Teriak isteri ketua Cin-ling-pai, wajahnya cantik dan yang sejak tadi nampak dingin saja itu, tiba-tiba berseri gembira dan sepasang matanya mengeluarkan sinar. Ia bangkit dari tempat duduknya. Nyonya ini memang berada dalam kedukaan besar karena selama ini ia sudah meragukan apakah puteranya itu masih hidup.   Hui Song cepat memberi hormat kepada ayah ibunya. "Ayah dan ibu, maafkan, aku akan membereskan urusan dengan Ciang-suheng ini. Ciang suheng, bunuh diri bukanlah cara yang baik bagi seorang gagah untuk mengatasi persoalan. Bahkan bunuh diri merupakan suatu perbuatan yang rendah dan pengecut." Dia lalu menotok pundak dan pangkal lengan kiri yang buntung itu, dan menerima obat dari seorang saudara seperguruan, mengobati luka itu dan membalutnya.   "Ambillah lengan buntungmu itu dan mari kita bereskan urusan ini dengan pembesar Coan tanpa Cin-ling-pai. Seorang gagah, berani berbuat harus berani bertanggung jawab!" Berkata demikian, Hui Song lalu menyambar tubuh Su Kiat yang sudah memungut lengan buntungnya dan sekali berkelebat diapun lenyap dari tempat itu bersama suhengnya yang sudah buntung lengannya.   "Hui Song, apa yang hendak kaulakukan?" Ayahnya membentak dan meloncat untuk mengejar, akan tetapi pemuda itu sudah tiba jauh di luar rumah dan hanya terdengar suaranya yang lirih, akan tetapi seolah-olah diucapkan di dekat telinga ketua Cin-ling-pai itu.   "Ayah, aku akan membantunya menyelesaikan urusannya tanpa campur tangan Cin-ling-pai, karena dia sekarang bukan murid Cin-ling-pai lagi."   Ketua Cin-ling-pai itu terkejut. Puteranya telah memperoleh kemajuan hebat dalam ilmu kepandaiannya. Suara yang dikirim dari jauh itu saja sudah sedemikian hebat, terdengar lirih namun jelas sekali dekat telinganya, tanda bahwa kini Hui Song telah mampu mempergunakan ilmu mengirim suara dari jauh secara hebat sekali, lebih hebat daripada kalau dia sendiri yang melakukannya. Pula, diapun sadar bahwa dengan sumpahnya tadi, Su Kiat telah menyatakan dirinya bukan lagi murid Cin-ling-pai. Kalau memang Su Kiat hendak menyelesaikan sendiri urusannya dengan pembesar Coan dan meyakinkan pembesar itu bahwa dia bu-kan lagi murid Cin-ling-pai, maka semua sepak terjangnya bukan lagi menjadi tanggung jawah Cin-ling-pai. Bagaimanapun juga, Cin-ling-pai sudah melakukan tindakan dan telah menghukum murid yang bersalah.   Diam-diam diapun merasa kagum melihat ketegasan sikap puteranya, yang hendak membantu Su Kiat menyelesalkan urusannya. Hanya dia kecewa melihat puteranya yang baru saja tiba setelah bertahun-tahun pergi tanpa berita, telah meninggalkannya lagi. Dia lalu membubarkan pertemuan itu dan mengundurkan di-ri ke dalam kamar bersama isterinya, menanti dengan hati tak sabar kembalinya Hui Song yang sudah amat lama me-reka rindukan itu.   Sore telah berganti malam ketika Hui Song berkelebat di atas genteng gedung tempat tinggal Coan Ti-hu yang berada di tengah kota Han-cung yang terletak di kaki Pegunungan Cin-ling-san. Gedung itu dijaga ketat di sekelilingnya oleh pasukan penjaga, namum mereka tidak dapat melihat gerakan Hui Song yang amat ce-pat bagaikan burung malam beterbangan itu.   Suasana sunyi di gedung besar itu ti-ba-tiba menjadi ribut ketika terdengar teriakan suara nyaring dari atas genteng.   "Coan Ti-hu, buka telingamu dan de-ngar baik-baik. Ini aku Ciang Su Kiat yang datang!"   Tentu saja para pengawal segera datang berlarian dan mereka menjadi panik sendiri. Setelah ada yang melihat dua -bayangan yang berdiri tegak di atas wu-wungan rumah, mereka berteriak-teriak dan sebentar saja bangunan itu dikurung. Tentu aaja Coan Ti-hu sendiri juga men-dengar teriakan itu, akan tetapi dia ti-dak berani keluar, bahkan memerintahkan agar para pengawal pribadinya menjaganya di dalam kamar dan dia memerintah para penjaga untuk menangkap pemberontak itu.   "Diam di bawah!" Su Kiat berteriak pula. "Dan biarkan pembesar laknat itu mendengar kata-kataku! Coan Ti-hu, engkau telah bertindak sewenang-wenang membunuh ayahku. Aku sendiri yang hendak membalas dendam telah dihukum oleh Cin-ling-pai, kehilangan sebelah lenganku! Ketahuilah bahwa semua perbuatanmu ini adalah urusan sendiri, sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan Cin-ling-pai. Orang she Coan, sekarang aku tidak berdaya, akan tetapi tunggu saja, akan datang saatnya aku membalaskan kematian ayahku dan buntungnya lenganku karena perbuatanmu!" Setelah berkata demikian, Su Kiat melemparkan potongan lengannya itu ke bawah. Lengan itu jatuh ke dalam ruangan dan semua pengawal memandang dengan jijik dan ngeri.   "Serang dengan anak panah!" bentak seorang komandan pasukan keamman dan belasan orang perajurit penjaga segera menghujankan anak panah ke arah dua bayangan di atas wuwungan itu. Akan tetapi, Hui Song sudah menghadang di depan tubuh suhengnya dan dengan kebutan-kebutan kedua tangannya dia meruntuhkan semua anak panah yang menyambar tubuh suhengnya dan dilarikannya suhengnya keluar kota Han-cung.   Di persimpangan jalan di lereng Pegunungan Cin-ling-san, Hui Song berhenti dan melepaskan tubuh suhengnya. "Ciang suheng, di sini kita berpisah. Bawalah ini untuk bekal dan engkau mengerti bahwa sejak sekarang, engkau tidak seharusnya naik lagi ke Cin-ling-san, dan jangan memperlihatkan diri di kota Han-cung dan sekitarnya. Engkau tentu menjadi buronan pemerintah."   Dengan tangan kanannya Su Kiat memeluk pemuda itu dan menangislah dia. "Sute... ah, sute... kalau tidak ada engkau, aku akan mati penasaran. Dan ilmumu sekarang demikian hebatnya. Akupun sekarang mempunyai cita-cita, sute. Aku akan mempelajari ilmu sampai tinggi agar aku dapat membalaskan kematian ayah dan juga membalaskan semua yang menimpa diriku kepada pembesar laknat itu. Sute, sampaikan maafku kepada suhu dan subo. Mereka telah begitu baik kepadaku, akan tetapi apa balasku? Hanya menyeret Cin-ling-pai ke dalam kesukaran saja. selamat tinggal, sute...!" Dan orang buntung itupun pergilah berlari-lari meninggalkan tempat itu, diikuti pandang mata haru oleh Hui Song. Dia dapat mengenal seorang jantan yang gagah perkasa. Suhengnya itu, Ciang Su Kiat, dia takkan merasa heran kalau suhengnya itu kelak dapat berhasil memenuhi cita-citanya dan muncul sebagai seorang yang pandai.   "Kasihan Ciang-suheng...!" Tak terasa lagi kata-kata ini keluar dari mulutnya seperti keluhan dan Hui Song menggeleng-geleng kepala, menghela napas.   "Seorang murid murtad seperti itu tidak perlu dikasihani!"   Mendengar suara orang yang tiba-tiba menyambut ucapannya tadi, Hui Song membalik dan memandang bayangan yang muncul dari balik batang pohon.   "Sumoi...!" tegurnya, kaget dan juga girang mengenal bahwa bayangan itu adalah Tan Siang Wi, murid ayah ibunya yang amat disayang sekali oleh ibunya. Sebelum dia mengikuti Dewa Kipas Siangkoan Lo-jin untuk mempelajari ilmu selama tiga tahun, pernah dia bertemu dengan sumoinya itu dalam perantauannya, ialah ketika dia menghadiri pesta ulang tahun Ang-kauwsu. Di tempat itu Tan Siang Wi ikut pula membantunya ketika dia dan Sui Cin menyelamatkan Jenderal Ciang yang diserbu oleh para datuk sesat. Ternyata kini Siang Wi telah berada di depannya, memandang tajam kepadanya dan di bawah sinar bulan yang baru muncul, wajahnya nampak cantik manis dan matanya bersinar-sinar.   "Suheng, setelah bertahun-tahun pergi baru engkau kembali! Betapa rinduku kepadamu!" Gadis itu lari mendekat dan memegang kedua tangan Hui Song.   "Sumoi, bagaimana engkau bisa berada di sini?" Hui Song bertanya, membiarkan kedua tangannya dipegang sambil menekan perasaan hatinya yang berdebar ketika dia merasa betapa tangan gadis itu lunak hangat dan jari-jari tangannya menggetar.   "Suheng, aku sengaja membayangimu ketika engkau mengajak pergi Ciang-suheng tadi. Aku melihat semua sepak terjangmu di gedung pembesar itu dan ah... betapa hebat engkau, suheng, aku kagum sekali kepadamu. Kepandaianmu kini amat hebat."   Hui Song melepaskan kedua tangannya dengan halus, kemudian tersenyum. "Kau terlalu memuji, sumoi. Kau sendiri sudah dapat membayangi kami tanpa kami ketahui, hal ini membuktikan bahwa engkau kini bertambah lihai saja. Tak kusangka bahwa engkau masih tinggal bersama ibu di Cin-ling-san."   "Habis, di mana lagi kalau tidak di Cin-ling-san bersama subo dan suhu?" tanya Siang Wi heran.   Hui Song tertawa. "Tentu saja di rumah... suamimu! Aku mengira bahwa engkau tentu sudah menikah, seperi banyak para suheng lainnya."   Pemuda itu tidak dapat melihat di bawah sinar bulan remang-remang betapa wajah gadis itu menjadi merah sekali, bukan merah karena malu saja, terutama sekali karena kecewa, marah dan penasaran.   "Suheng! Kenapa kau bisa berkata begitu, menyangka aku seperti itu?"   Mendengar suara yang bernada keras itu, Hui Song terheran. "Aih, sumoi, kenapa marah? Apa anehnya kalau aku mengira bahwa engkau sudah menikah? Usiamu hanya lebih muda dua tahun dariku dan mengingat bahwa aku sudah berusia dua puluh empat, sudah sepatutnya kalau engkau sudah menikah, bukan?"   "Bukan itu, suheng! Tapi ah... masih pura-pura tidak tahukah engkau bahwa selama tiga tahun ini aku selalu menantimu dengan penuh rindu? Lupakah engkau akan janji-janji kita di waktu kita masih remaja dulu, suheng? Suhu dan subo juga sudah setuju mengenai kita dan aku... aku selalu menunggu dengan hati rindu..."   Hui Song terbelalak, terkejut dan mundur tiga langkah melihat sumoinya membuat gerakan seperti hendak memegang tangannya atau merangkulnya itu. Dia teringat akan masa remajanya bersama Siang Wi. Mereka masih kekanak-kanakan ketika itu dan karena Siang Wi merupakan murid istimewa kesayangan ibunya, hubungan antara mereka memang akrab sekali. Dan ketika mereka bermain-main, setengah bergurau mereka memang pernah berjanji bahwa kelak mereka akan menjadi suami isteri. Pada waktu itu tentu saja dia tidak pernah mimpi bahwa pernikahan adalah sebuah urusan besar yang mutlak bersyaratkan cinta kasih kedua pihak. Dan dia tidak pernah mencinta sumoinya ini, bahkan semakin dewasa dia merasa tidak cocok dengan sumoinya yang berwatak galak, angkuh dan serius ini.   "Tapi... janji kanak-kanak... hanya main-main saja, sumoi."   "Suheng...! Apa maksud kata-katamu itu? Salahkah keyakinan hatiku selama ini bahwa... bahwa engkau cinta padaku seperti aku mencintaimu? Suhu dan subo sudah yakin pula akan hal ini!"   Hui Song terkejut. Tak disangkanya sudah sejauh ituurusan yang tadinya dianggap permainan kanak-kanak itu. Sumoinya selam ini, mungkin sejak anak-anak, mencintanya dan merasa yakin bahwa diapun mencinta gadis ini, dan ayah ibunya juga yakin dan setuju pula menjodohkan dia dengan Siang Wi. Ini bukan urusan kecil dan main-main lagi!   "Sumoi, jangan kita bicarakan hal itu sekarang di tempat ini. Aku sendiri belum pernah berpikir tentang perjodohan. Mari kita pulang!" Dan tanpa menanti jawaban dia sudah meloncat dan lari dari situ. Siang Wi juga meloncat dan mengejar, akan tetapi ia tertinggal jauh. Gadis itu mengerahkan tenaga dan ilmu gin-kangnya, mencoba untuk menyusul, akan tetapi tetap saja pemuda itu lenyap dengan cepat. Terkejutlah ia dan baru ia tahu bahwa ketika ia tadi membayangi Hui Song, ia dapat mengejar dan menyusul karena pemuda itu tidak mengerahkan kepandaiannya, mungkin karena bersama Su Kiat. Kini pemuda itu berlari cepat sekali dan sebentar saja sudah lenyap, membuat ia menjadi semakin kagum.   Ketika tiba di rumahnya, Hui Song disambut oleh ayah ibunya yang ternyata masih menantinya dengan hati gembira bercampur gelisah. Gembira melihat putera tunggal mereka itu pulang setelah merantau selama bertahun-tahun, dan gelisah melihat Hui Song bersikap membela kepada Su Kiat.   "Apa yang kaulakukan bersama Su Kiat?" tanya ketua Cin-ling-pai kepada puteranya yang telah berlutut di depan dia dan isterinya.   "Aih, biarkan dia beristirahat dulu!" isterinya mencela, kemudian wanita itu merangkul Hui Song menyuruh puteranya bangun dan duduk di atas kursi di sebelahnya. Sambil memegang tangan puteranya dan kedua matanya yang basah oleh air mata menatap wajah tampan itu penuh kasih sayang, wanita itu melanjutkan, "Hui Song, anak nakal kau, membikin hati ibumu gelisah selama bertahun-tahun! Ke mana saja engkau pergi tanpa berita selama ini?"   "Maaf, ibu. Aku pergi merantau, kemudian bertemu seorang sakti dan mempelajari ilmu selama tiga tahun."   "Hui Song," potong ayahnya, "mengenai perantauanmu itu, kauceritakan besok saja. Sekarang ceritakan dulu apa yang telah kaulakukan bersama Su Kiat."   "Ayah, Ciang-suheng secara jantan mengakui dengan suara keras di atas gedung Coan Ti-hu bahwa perbuatannya tidak ada sangkut-pautnya dengan Cin-ling-pai, bahwa dia bukan murid Cin-ling-pai."   "Hemm, engkau mencampurinya dan ikut mengacau gedung pembesar itu?" tanya ayahnya dengan alis berkerut.   "Tidak, ayah. Aku hanya mengantar dan melindungi Ciang-suheng sampai di sana. Setelah dia melemparkan potongan lengannya den meneriakkan kata-katanya, kami segera pergi."   Pada seat itu masuklah Siang Wi. Ia baru saja dapat menyusul Hui Song dan ia dapat mendengar keterangan pemuda itu.   "Benar, suhu," katanya cepat. "Suheng hanya melindungi Ciang Su Kiat ketika dia dihujani anak panah. Suheng meruntuhkan semua anak panah hanya dengan kebutan kedua tangannya, dan ketika dia mengerahkan gin-kangnya, teecu sama sekali tidak mampu menyusulnya. Dia kini lihai bukan main, suhu!" Tentu saja Cia Kong Liang, ketua Cin-ling-pai itu den isterinya, merasa girang dan bangga sekali, akan tetapi Hui Song lalu digandeng ibunya yang berkata, "Sudahlah, kau harus beristirahat dulu, anakku. Mari lihat kamarmu, masih tidak berubah sejak dulu dan tiap hari kusuruh bersihkan."   Ketika rebah di atas pembaringannya, di dalam kamar yang amat dikenalnya itu, diam-diam Hui Song merasa terharu sekali. Orang tuanya, terutama ibunya, amat sayang kepadanya dan dia merasa begitu tenteram dan terlindung berada di kamarnya ini, merasa betah dan enak. Dia dapat tidur melepaskan lelahnya tanpa mimpi dan ketika pada keesokan harinya dia bangun, tubuhnya terasa segar sekali.   Hari itu, setelah makan pagi mereka semua, ketua Cin-ling-pai dengan isteri dan puteranya, dihadiri pula oleh Tan Siang Wi yang sudah dianggap sebagai keluarga sendiri, berkumpul di ruangan keluarga di belakang dan bercakap-cakap. Dalam kesempatan ini, Hui Song menceritakan semua pengalamannya yang dide-ngarkan dengan penuh perhatian oleh ayah bundanya dan sumoinya. Ketika dia bercerita tentang Sui Cin puteri Pende-kar Sadis yang menjadi temannya dalam menghadapi bermacam peristiwa hebat, Cia Kong Liang mengerutkan alisnya. Di dalam hatinya terasa tidak enak mende-ngar betapa puteranya bergaul dengan puteri Pendekar Sadis, bahkan dia dapat merasakan dalam kata-kata puteranya itu terkandung rasa kagum dan suka. Dia merasa tidak suka kepada Pendekar Sadis yang dianggapnya sebagai seorangpen pendekar berhati kejam sekali dan tidak menghendaki puteranya bergaul dengan keluar-ga itu. Memang ketua Cin-ling-pai dan isterinya itu sebelumnya sudah mendengar dari Siang Wi yang melaporkan bahwa Hui Song bergaul dengan puteri Pendekar Sa-dis dan mereka sudah merasa tidak senang, akan tetapi baru sekarang mereka mendengar pengakuan langsung dari Hui Song.   Ketika Hui Song bercerita tentang kakek sakti Dewa Kipas Siang-kiang Lo-jin, hati ayahnya tertarik sekali. Dia be-lum pernah mendengar nama itu, juga belum pernah mendengar kakek sakti yang berjuluk Dewa Arak Wu-yi Lo-jin. Dan mendengar bahwa puteranya mendapatkan gemblengan ilmu selama tiga ta-hun dari kakek sakti Dewa Kipas dia ikut merasa gembira. Akan tetapi ketika Hui Song bercerita tentang Raja dan Ra-tu Iblis yang menghimpun para datuk un-tuk melakukan pemberontakan kelak, mendengar betapa oleh gurunya itu Hui Song ditugaskan untuk membantu para pende-kar menentang gerakan para calon pemberontakan, ketua Cin-ling-pai mengerut-kan alisnya.   "Hui Song, aku tidak setuju kalau engkau mencampuri urusan pemerintah! Se-jak dulu Cin-ling-pai adalah perkumpulan para pendekar dan kita hanya bertindak sebagai seorang pendekar pembela kebenaran dan keadilan, bukan bertindak menjadi pembela kaisar atau sebaliknya! Biarkan urusan pemerintahan dibereskan oleh para pejabat, itu adalah kewajiban dan urusan mereka sendiri, kita tidak perlu mencampurinya."   "Akan tetapi, ayah! Mana mungkin kita berdiam diri kalau melihat ada komplotan busuk merencanakan pemberontakan terhadap kaisar?" Hui Song membantah.   "Hemm, mana kita tahu siapa sebetulnya yang busuk? Apakah engkau tidak mendengar betapa kaisar yang muda itu hanya mengutamakan kesenangan dan beliau dikelilingi pembantu-pembantu yang amat busuk dan korup? Sudahlah, tidak pernah kita mencampurinya dan serahkan saja kepada mereka, baik para pejabat maupun mereka yang tidak puas dan ingin memberontak. Kita tidak perlu mencampuri, dan aku tidak suka melihat engkau mencampuri urusan pemerintahan dan pemberontakan!"   "Akan tetapi, ayah, bukankah sudah menjadi tugas kewajiban para pendekar untuk menentang semua kejahatan yang akan mengacaukan kehidupan rakyat, menjaga agar masyarakat dapat hidup tente-ram?"   "Benar, karena itu kita tidak boleh mencampuri urusan pemberontakan dan urusan pemerintahan."   "Akan tetapi, mana mungkin ada ke-tenteraman kalau terjadi pemberontak-an?"   "Pemerintah sudah mempunyai pasu-kan yang kuat. Apa gunanya pemerintah mengeluarkan banyak biaya untuk membentuk bala tentara? Kalau terjadi pem-berontakan, pemerintah tentu akan me-numpasnya dengan kekuatan tentaranya."   "Justeru itulah, ayah. Sebelum terjadi perang yang hanya akan menyengsarakan kehidupan rakyat bukankah lebih baik ka-lau para pendekar turun tangan menen-tang komplotan yang hendak memberon-tak itu?"   "Hemm, bagaimana kalau kaisarnya yang tidak baik? Bagaimana kalau peme-rintahnya yang tidak baik?" Ketua Cin-ling-pai itu membantah. "Dengan campur tanganmu itu, bukankah berarti engkau akan membantu pihak yang tidak benar? Sudah, jangan mencampuri urusan peme-rintah, itu bukan tugas kita sebagai pen-dekar!"   "Ayahmu benar, Hui Song. Pemerintah belum tentu selamanya betul, dan kalau ada yang memberontak, itu tentu disebabkan karena pemerintah tidak benar. Ka-lau kita selalu membela pemerirtah, ber-arti kita tersesat kalau membantu pemerintah yang tidak benar," sambung ibunya.   "Ayah dan ibu, harap maafkan kalau aku terpaksa membantah. Pemerintah terdiri dari orang-orang juga, manusia-ma-nusia biasa yang tidak akan bebas dari-pada kesalahan-kesalahan. Akan tetapi, pemerintah tidak terlepas dari kita. Kita adalah warga negara yang membentuk masyarakat dan bangsa. Tanpa warga ne-gara, tidak akan ada pemerintah karena para pejabat juga warga negara yang terpilih untuk mengurus negara. Kalau pemerintahnya tidak baik, akibatnya rakyat pula yang menanggung, sebaliknya kalau pemerintah dipegang oleh orang-orang bi-jaksana dan berjalan dengan baik, rakyat pula yang akan makmur. Kalau pemerin-tahan tidak benar, dan orang-orang yang mengemudikannya menyeleweng, hal itu merupakan tugas para warga negara pula untuk mengawasinya, mengeritik dan memprotesnya. Tanpa pengawasan, tanpa kritik, mana mungkin orang-orang pemerintah akan menyadari kekeliruan-kekeliruannya? Kalau pemerintah bersalah, bukan cara yang baik untuk menimbulkan pem-berontakan dan merebut kekuasaan, ka-rena yang merebut kekuasaan itupun be-lum tentu benar, hanya kelihatannya saja benar karena kebetulan pemerintah yang dihadapinya dalam keadaan tidak benar! Jadi, baik atau buruk keadaan pemerin-tah, tetap saja kita, terutama para pen-dekar, mempunyai tugas untuk menjaga keamanan negara dari gangguan luar yang berupa pemberontakan."   Hui Song yang kini sudah banyak mendengar dari Dewa Kipas tentang kepatri-otan dan kependekaran, bicara penuh semangat. Akan tetapi ayahnya melambaikan targan dengan tidak sabar, seolah-olah mendengarkan ocehan seorang anak kecil saja-.   "Hayaaa, Hui Song. Perlu apa engkau memusingkan pikiran dan merepotkan diri sendiri? Aku juga sudah banyak mendengar tentang kaisar yang masib seperti kanak-kanak itu! Kabarnya dia hanya mabok kesenangan dan roda pemerintahan diserahkan kepada para thaikam yang lalim. Dengan demikian, para pembesar korup merajalela, memeras rakyat dan bertindak sewenang-wenang, hanya menggendutkan perut sendiri tanpa memperdulikan keadaan rakyat yang sengsara. Maka kalau ada yang hendak memberontak, hal itu sudah wajar saja. Tidak perlu kita membantu pemerintahan yang buruk seperti itu, karena hal itu berarti kita membantu tegaknya kelaliman yang menggencet rakyat!"   "Tidak ayah, aku tidak setuju! Peme-rintah dalam bahaya, diancam gerombolan penjahat yang hendak memberontak. Inilah yang terpenting. Aku harus membantu para pendekar menghalau bahaya ini lebih dahulu. Barulah kemudian kita bertindak mengoreksi kesalahan-kesalahan pemerintah. Bukankah aku sudah pula membantu sehingga pembesar korup Liu-thaikam terbongkar rahasianya dan tertangkap? Kalau pemerintah sudah aman dari ancaman pemberontakan, baru kita mengadakan perbaikan-perbaikan dengan menentang para pembeser korup. Apalagi kalau diingat bahwa pemberontakan kali ini dipimpin oleh Raja dan Ratu Iblis yang mengumpulkan para datuk sesat, sisa-sisa dari Cap-sha-kui dan para datuk sesat lainnya."   "Cukup! Aku tidak mau bicara lagi tentang pemberontakan dan..." Pada saat itu terdengar ketukan pintu dan ketua Cin-ling-pai itu menghentikan ucapannya dan menyuruh murid yang mengetuk pin-tu itu masuk. Seorang murid masuk memberi tahu bahwa di luar ada tamu.   "Bin-locianpwe datang berkunjung," katanya.   Mendengar bahwa ayahnya datang ber-kunjung, Bin Biauw isteri ketua Cin-ling-pai itu meloncat bangun dengan wajah gembira. Mereki semua menyongsong keluar dan dengan gembira kakek itu disambut dan dipersilakan duduk di ruangan dalam. Kembali keluarga ketua Cin-ling-pai itu, ditemani oleh Tan Siang Wi dan sekali ini ditambah lagi dengan ayah mertua sang ketua, berkumpul di dalam ruangan.   Kakek itu sudah tua sekali, usianya sudah delapan puluh tahun lebih, namun tubuhnya masih nampak sehat berisi. Bentuk tubuhnya pendek tegap, kepalanya botak dan hampir gundul. Sedikit rambut yang menghias di belakang kepalanya su-dah berwarna putih semua. Inilah dia to-koh persilatan yang pernah merajai laut-an timur dan berjuluk Tung-hai-sian (De-we Lautan Timur), seorang berbangsa Jepang yang tadinya bernama Minamoto kemudian berobah menjadi Bin Mo To. Kakek ini dahulu merupakan seorang datuk kaum sesat yang amat terkenal, menguasai wilayah timur di sepanjang pantai laulan. Akan tetapi setelah puterinya, Bin Biauw yang merupakan anak tunggalnya, berjodoh dengan keluarga Cia dari Cin-ling-pai, dia mencuci tangan dan meninggalkan julukannya, bahkan membubarkan perkumpulan Mo-kiam-pang yang dipimpinnya. Dia cukup kaya sehingga biarpun meninggalkan segala macam pe-kerjaan haram, dia masih dapat hidup berkecukupan, di kota Ceng-to di Propin-si Shan-tung.   Melihat Hui Song, kakek itu merang-kulnya, lalu memegang kedua pundak pe-muda itu, mendorongnya agar dia dapat melihat lebih jelas, lalu dia tertawa ber-gelak dengan gembira sekali.   "Ha-ha-ha, engkau cucuku Hui Song! Ahh, engkau sudah menjadi seorang laki-laki jantan yang amat gagah. Bagus, be-gus, aku bangga sekali. Berapa usiamu sekarang, Hui Song?"   "Dua puluh empat tahun, kek."   Kakek itu menggerakkan alisnya yang putih. "Apa? Dua puluh empat tahun dan engkau belum kawin?" Dia menoleh ke-pada Siang Wi, lalu menuding. "Apakah dia ini...?"   Wajah Hui Song menjadi merah. "Tidak, kek, aku belum menikah."   "Aih, bagaimana ini?" Kakek itu me-noleh kepada anaknya den mantunya. "Sudah dua puluh empat tahun dan belum menikah? Aku sudah ingin melihat cucu buyutku."   "Mana ada waktu untuk memikirkan pernikahan?" Bin Biauw mengomel. "Wak-tunya dihabiskan untuk merantau dan bertualang saja, ayah. Dia baru saja pulang kemarin dari perantauannya yang mema-kan waktu hampir empat tahun!"   "Ha-ha-ha, merantau den bertualang amat baik bagi seorang pemuda untuk menambah pengalaman dan meluaskan pengetahuan. Akan tetapi, menikah juga perlu sekali untuk menyambung keturun-an," kata kakek itu.   "Aku juga berpikir begitu, ayah, bah-kan muridku ini merupakan calon mantu yang amat baik."   Bin Mo To memandang wajah gadis yang manis itu, yang kini menunduk malu-malu dan dia mengangguk-angguk. "Engkau tentu lebih pandai memilih..." katanya.   "Aku belum memikirkan tentang pernikahan!" Hui Song berkata, nada suara-nya jengkel.   "Nah, itulah ayah, cucumu yang keras kepala. Kalau diajak bicara tentang pernikahan, nampak tidak senang, dan senangnya hanya bicara tentang pemberontakan dan petualangan saja," kata Bin Biauw.   "Pemberontakan? Apa yang dimaksudkan dengan pemberontakan? Siapa yang hendak memberontak?" Kakek itu bertanya dengan penuh perhatian, agaknya dia tertarik sekali.   "Entahlah, katanya para tokoh hitam ingin melakukan pemberontakan terhadap kerajaan dan dia berkeras hendak menen-tang komplotan itu."   Kakek itu menarik napas panjang. "Ahh... sungguh berbahaya sekali...!" kakek itu berkata, memandang kepada mantunya dengan mata penuh tanda tanya.   "Saya sudah melarangnya, ayah. Cin-ling-pai tidak pernah mencampuri urusan pemerintah," kata Cia Kong Liang.   Kakek itu mengangguk-angguk, lalu memandang kepada Hui Song yang diam saja. "Hui Song, benarkah bahwa engkau bermaksud membantu kaisar dan menen-tang mereka yang hendak memberontak terhadap kaisar?"   Pemuda itu mengangguk, mengharap bantuan kakeknya dalam hal ini untuk menghadapi kekakuan ayahnya. "Kong-kong, dalam perantauanku aku melihat dan mendengar sendiri adanya para datuk kaum sesat yang dipimpin oleh Raja dan Ratu Iblis, yang merencanakan pemberon-takan terhadap kaisar. Tidak benarkah kalau aku membantu pihak yang akan melindungi kerajaan dan menentang usaha pemberontakan itu?"   "Ha-ha-ha, tentu saja, cucuku. Engkau benar, dan searang pendekar memang se-patutnya kalau berjiwa pahlawan, mem-bela negara nusa dan bangsa. Akan teta-pi hal ini harus pula diperhitungkan dan dilihat kenyataan bagaimana sifat kaisar atau pemerintah yang dipimpinnya, bagaimana keadaan orang-orang yang meme-gang tampuk pimpinan itu! Kalau mereka itu lalim, kalau mereka itu menjadi pe-nindas rakyat, apakah kita sebagai pen-dekar dan pahlawan juga harus membela kelaliman?"   "Nah, dengarkan ucapan kong-kongmu itu Hui Song!" kata Cia Kong Liang. "Terdapat kebijaksanaan dalam kata-kata itu!"   "Akan tetapi, mereka yang hendak memberontak itu adalah datuk-datuk se-sat yang amat jahat, kong-kong!" Hui Song membantah.   Kakek itu tersenyum sabar. "Cucuku, engkau harus dapat membagi-bagi antara pejuangan para pahlawan dan perjuangan para pendekar. Pendekar adalah pembela kebenaran dan keadilan perorangan saja, karena itu dia memang harus memilih mana yang baik mana yang jahat, untuk membela yang baik dan menentang yang jahat. Akan tetapi dalam perjuangan pa-ra pahlawan berbeda lagi. Dalam per-juangan itu, untuk sementara sifat-sifat pribadi perorangan tidak masuk hitungan lagi, yang penting adalah membela nusa bangsa dan kepentingan rakyat banyak."   "Jadi... dengan kata lain, kong-kong membenarkan para datuk sesat yang hendak memberontak itu?"   Kakek itu tetap tersenyum ramah. "Sudah kukatakan tadi, dalam hal ini kita harus memejamkan mata untuk sementara terhadap sifat-sifat pribadi karena hal itu mengenai urusan negara. Yang penting kita melihat keadaan mereka yang memegang tampuk kekuasaan. Bagaimanakah keadaannya? Sepanjang pendengaranku, biarpun kini Liu-thaikam telah tertangkap dan tewas, namun keadaan kergjaan masih penuh dengan kotoran. Hanya beberapa orang menteri saja dan beberapa orang jenderal, yang merupakan pejabat-pejabat bersih. Lainnya bertangan kotor dan semua ini tidak terlepas dari tanggung jawab kaisar. Sri baginda kaisar masih terlalu muda dan terlalu membiarkan dirinya dimabok kesenangan, tidak memperdulikan pemerintahan. Kalau keadaan ini dibiarkan berlarut-larut, maka rakyatlah yang akan menderita. Oleh karena itu, kalau terjadl pemberontakan, hal itu kuanggap wajar, sebagai akibat dari tidak baiknya pemerintahan. Bukan berarti bahwa aku membenarkan para pemberontak, akan tetapi jelas bahwa pemerintahan seperti keadaannya sekarang tidak patut memperoleh bantuan para pendekar yang berjiwa patriot!"   "Akan tetapi, kong-kong, bukankah sejak jaman dahulu yang disebut orang gagah dan patriot itu adalah orang-orang yang setia kepada kerajaan dan membela pemerintah mati-matian? Bukankah orang orang seperti itu akan selalu menentang pemberontakan?"   "Hui Song, engkau belum mengerti!" bentak ayahnya. "Seorang patriot adalah seorang gagah yang membela rakyat, membela nusa bangsa! Kalau pemerintahannya baik dan mengangkat nasib rakyat jelata, maka patriot tentu akan membela pemerintah itu mati-matian karena berarti membela rakyat pula. Sebaliknya, kalau pemerintahnya lalim dan dia membantu pemerintah, berarti dia membantu kelaliman dan ikut pula menindas rakyat. Yang seperti ini namanya bukan pahlawan, bukan patriot, melainkan antek-an-tek pembesar lalim!"   "Akan tetapi, ayah. Yang namanya pemberontak itu, sejak dahulu, bukankah dikutuk dan dianggap pengkhianat dan jahat?"   "Belum tentu! Tidak semua pemberontak jahat. Kalau orang memberontak ter-hadap pemerintah yang baik, maka jelas bahwa dia jahat dan pamrihnya untuk mencari keuntungan. Akan tetapi kalau dia memberontak terhadap pemerintah yang lalim, dia tidak dapat dinamakan jahat."   "Tapi pemberontak mengobarkan api perang saudara dan mengorbankan banyak harta milik dan nyawa rakyat jelata!"   "Itu pengorbanan untuk mencapai sesuatu yang lebih baik!" Kakek Bin Mo To menjawab cepat. "Untuk dapat membangun sesuatu yang lebih baik, kita harus berani membongkar yang lama dan buruk dan hal ini selalu mendatangkan pengorbanan. Cucuku, ingat bahwa dalam setiap pergantian kekuasaan, calon kaisar yang setelah menjadi kaisar melakukan perbaikan-perbaikan dan bertindak bijaksana, ta-dinya adalah seorang pemberontak pula terhadap kekuasaan lama yang lalim."   Hui Song termenung. Kewalahan juga dia dikeroyok oleh ayah dan kong-kongnya, dan kini timbul keraguan dalam hatinya. Gerombolan yang hendak membe-rontak itu dipimpin oleh Raja dan Ratu Iblis, yang dia ketahui jahat hanya dari pendengaran saja. Akan tetapi Raja Iblis itu adalah seorang bekas pangeran, jadi, bukan tidak mungkin kalau pemberontak-annya itu didorong oleh jiwa patriot untuk menghalau kaisar dan antek-anteknya yang tidak memperdulikan nasib rakyat. Dia menjadi bingung, bimbang dan ragu, lalu mengundurkan diri dan menyendiri dalam kamarnya.   Pahlawan! Patriot! Dari manakah la-hirnya sebutan ini dan apakah sesungguh-nya arti sebutan itu? Pada umumnya, pe-ngertian kata pahlawan adalah orang yang berjasa terhadap nusa dan bangsa, namanya diagungkan dan dihormati, dicatat dalam sejarah bahkan kadang-kadang diperingati, walaupun hanya sekali setahun dan hanya makan waktu beberapa menit saja. Akan tetapi benarkah demikian? Benarkah bahwa seorang pahlawan itu dianggap pahlawan oleh seluruh lapisan masyarakat, oleh seluruh bangsa? Ataukah hanya oleh satu golongan saja, satu kelompok saja karena orang yang berjasa itu menguntungkan atau membantu golongannya, kelompoknya? Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa yang dipuja dan diagungkan sebagai pahlawan hanyalah mereka yang dianggap berjasa terhadap golongan yang pada saat itu kebetulan menjadi pemenang saja, kebetulan memegang kekuasaan saja. Bagaimana dengan mereka yang dahulu dianggap berjasa kepada nusa bangsa oleh golongan lain yang dikalahkan oleh golongan yang kini berkuasa? Mereka sama sekali tidak dinamakan pahlawan, bahkan sebaliknya, dicap sebagai "pengkhianat"! Inilah kenyataan pahit yang harus dapat kita hadapi dengan mata terbuka. Lihatlah keadaan di seluruh dunia. Bukankah demi-kian pula? Tokoh-tokoh yang tadinya di-anggap pahlawan dan patriot terbesar sekalipun, kalau sekali waktu yang meme-gang kekuasaan adalah pihak yang pernah menjadi lawannya, maka tokoh-tokoh ini lalu dicap pengkhianat, yang masih hidup lalu ditangkap dan kadang-kadang ada pula yang dibunuh, yang sudah mati akan diejek dan dihina namanya! Dan ini bu-kan terjadi antara bangsa, melainkan di dalam negeri, antara golongan satu bang-sa yang berlainan golongan, berlainan co-rak pendapat dan gagasannya. Yang ta-dinya oleh satu golongan diagungkan se-bagai pahlawan, oleh golongan lain yang menang dan berkuasa sebagai lawan go-longan pertama, dicap pengkhianat dan jahat. Sebaliknya, orang yang oleh golongan pertama tadinya dicap pengkhianat dan pemberontak, setelah golongan orang itu menang, dia akan dipuja sebagai pah-lawan, patriot dan sebagainya.   Jelaslah bahwa manusia telah menjadi boneka permainan gagasan mereka sendi-ri, saling bertentangan, bermusuhan, bu-nuh-membunuh. Dan seperti biasa, hanya beberapa gelintir orang saja yang duduk di atas mendalangi semua itu, mempergunakan nama rakyat, menyanjung dan memuji rakyat di waktu mereka sedang berjuang untuk merebut kekuasaan dari tangan pihak lawan yang berkuasa, demi memperoleh dukungan dan bantuan rakyat. Para pejuang dari golongan manapun, yang sedang berusaha menumbangkan kekuasaan yang dianggap lalim, selalu menggunakan nama rakyat sebagai perisai dan senjata untuk mencapai kemenangan. Demi rakyat, untuk rakyat, demikian semboyan usang yang diulang-ulang sepanjang sejarah. Dan rakyatpun terbujuk, terpukau, tergugah semangatnya mmbantu para "patriot yang berjuang demi keadilan dan kebenaran, demi rakyat" itu. Akan tetapi bagaimanakah kalau perjuangan itu sudah berhasil baik dan selesai? Lagu lama! Sekelompok orang yang berada di tingkat atas itulah, bersama para pembantunya, yang akan menikmati hasil kemenangan itu. Mereka akan berkuasa membagi-bagi kedudukan seperti orang membagi-bagi warisan di antara mereka. Dan rakyat? Rakyat yang paling menderita, berkorban menyerahkan harta milik dan darah dalam perjuangan merebut kekuasaan itu? Lagu lama pula! Rakyat hanya menerima janji-janji sedangkan yang mati akan diperingati setahun sekali untuk beberapa menit. Tapi, apa yang dapat dilakukan rakyat terhadap golongan yang berkuasa? Di mana-mana yang berkuasa itu sama saja. Tidak mau salah, tidak mau kalah, apa pula mengalah. Yang menentang, walaupun dia dahulu membantu dalam perjuangan, akan dicap pengacau dan pemberontak. Hal ini dapat dibuktikan dan dilihat dalam sejarah.   Rakyat tertekan lagi. Lalu muncul lagi golongan baru yang kembali mengulang sejarah usang. Mereka yang baru muncul ini, seperti dahulu, seperti mereka yang kini berkuasa, akan menggandeng rakyat untuk menentang mereka yang kini berkuasa, menuduh pemerintah lalim dan kembali semboyan usang demi rakyat, demi keadilan dan kebenaran, terulang lagi!   Berbahagialah rakyat kalau ada sekelompok pemimpin yang berjuang dengan dasar demi rakyat secara murni, bukan demi rakyat sebagai semboyan dan slogan kosong belaka. Kalau ada sekelompok pemimpin seperti itu, yang tidak mementingkan diri pribadi, tidak hanya mendahulukan kemuliaan, kekayaan dan kesenangan diri pribadi, melainkan para pemimpin yang benar-benar berjuang dan berusaha demi kepentingan rakyat, maka negara itu pasti akan makmur dan rakyat pasti akan hidup dengan tenteram dan makmur.   Malam itu Hui Song tak dapat tidur, gelisah dicekam keraguan dan kebingungan. Sebagai seorang muda, dia merasa penasaran dan ingin menyelidiki sendiri. Ingin dia melihat sendiri siapakah yang benar. Pendapat ayah ibu dan kakeknya, ataukah pendapat Dewa Kipas dan golongannya? Dia harus pergi, sekarang juga, untuk melakukan penyelidikan sendiri.   Pada keesokan harinya, ketua Cin-ling-pai dan isterinya hanya menemukan sesampul surat di dalam kamar Hui Song. Dalam surat itu Hui Song mohon maaf dari ayah ibunya dan bilang bahwa dia ingin melakukan penyelidikan tentang usaha pemberontakan yang dipimpin para datuk sesat itu. "Saya akan menyelidiki dengan seksama sebelum mengambil keputusan apa yang akan saya lakukan terhadap pemberontakan itu," demikian Hui Song mengakhiri suratnya.   "Anak bandel!" Cia Kong Liang mengepal tinju dengan marah, dan isterinya menangis. Anak tunggal yang baru saja tiba setelah pergi bertahun-tahun, hanya semalam saja tinggal di rumah lalu pergi lagi tanpa pamit, entah ke mana.   "Ah, sudahlah. Tidak aneh kalau putera kalian haus akan petualangan. Bukankah kematangan seorang pendekar juga hanya bisa didapat melalui pengalaman? Biarkan Hui Song memperdalam pengetahuannya dalam perantauan," kata Bin Mo To menghibur.   "Tapi, ayah. Aku ingin melihat dia menikah atau setidaknya bertunangan dulu dengan muridku Siang Wi. Eh, mana Siang Wi...?" Isteri ketua Cin-ling-pai itu memanggil-manggil muridnya, akan tetapi tidak nampak bayangan Siang Wi. Ketika para murid Cin-ling-pai ditanya, mereka mengatakan bahwa sejak pagi mereka tidak pernah melihat Hui Song maupun Siang Wi.   "Jangan-jangan muridmu itu pergi bersama puteramu," kata Bin Mo To.   "Entahlah... akan tetapi baik sekali kalau memang begitu. Aku senang sekali kalau mereka pergi berdua meluaskan pengalaman. Kuharap saja dugaanmu itu benar, ayah," kata Bin Biauw.   Selanjutnya, dalam percakapan di antara mereka, kakek Bin Mo To perlahan-lahan membujuk mantunya untuk mendukung setiap perjuangan menentang kaisar.   "Setiap usaha menentang pemerintahan yang buruk patut didukung oleh orang orang gagah. Dan perjuangan menentang kelaliman, siapapun juga yang memimpin perjuangan itu, adalah usaha yang benar dan baik," antara lain Bin Mo To berkata dengan nada suara serius.   Mendengar ucapan ayahnya dan melihat sikap ayahnya sejak kemarin jelas mendukung pemberontakan terhadap kaisar, Bin Biauw mengerutkan alisnya dan memandang ayahnya dengan heran.   "Ayah, ada apa pulakah ini? Bukankah sejak puluhan tahun, semenjak aku menikah, ayah telah meneuci tangan dan tidak ingin mencampuri lagi segala urusan dunia? Kenapa kini tiba-tiba saja ayah begitu menaruh perhatian terhadap usaha pemberontakan itu dan mendukungnya?"   Bin Mo To tersenyum. Anaknya ini memang cerdik sekali dan agaknya sudah amat mengenal gerak-geriknya. Memang tepat sekali apa yang diduga dan ditanyakan Bin Biauw tadi. Dia memang menaruh perhatian besar, bahkan mendukung gerakan itu. Kiranya, gerakan yang dipimpin Raja dan Ratu Iblis, setelah diadakan pertemuan antara para datuk sesat, telah mengguncangkan dunia kaum sesat. Berita itu disambut dengan ramai dan di daerah Ceng-tao juga terguncang oleh berita itu. Biarpun Bin Mo To sudah lama mengundurkan diri dari dunia kang-ouw, akan tetapi dia tetap saja dikenal dan disegani oleh para tokoh hitam di wilayah pantai timur. Bekas kawan-kawan kakek itu datang berkunjung dan urusan gerakan pemberontakan itu mereka bicarakan. Mendengar bahwa gerakan itu dipimpin Raja Iblis yang sesungguhnya juga seorang pangeran bernama Toan Jit-ong, dan memperoleh dukungan Cap-sha-kui dan sebagian besar para datuk dan tokoh sesat, Bin Mo To tertarik sekali. Dia sendiri sudah tua akan tetapi dia ingat akan mantunya. Dia sama sekali tidak ingin menentang kerajaan karena bujukan atau karena paksaan, melainkan ada suatu hal yang mendorongnya. Dia sudah muak akan kekayaan yang dirasakannya tidak mampu mendatangkan kabahagiaan. Kini dia ingin melihat mantunya, sebagai suami anaknya, dapat meraih kedudukan. Kalau orang seperti mantunya, ketua Cin-ling-pai, dapat ikut membantu perjuangan, dan kelak kalau pemberontakan itu berhasil, tentu mantunya akan memperoleh pangkat tinggi. Dan anaknya akan terangkat dalam kemuliaan, juga dia sebagai mertua akan ikut pula naik derajatnya! Inilah sebabnya mengapa Bin Mo To datang mengunjungi mantunya dan kebetulan sekali cucu dan mantunya bicara tentang pemberontakan. Kini dia memperoleh jalan untuk membujuk mantunya.   "Anakku, ayahmu ini sudah tua, mana ada tenaga lagi untuk ikut berjuang? Perjuangan adalah untuk yang muda-muda. Akan tetapi, aku hanya dapat mendukung dalam batin. Dan siapa yang tidak akan mendukung perjuangan menumbangkan kekuasaan lalim karena hal itu berarti membebaskan rakyat dari kelaliman pemerintah?" demikian dia menjawab pertanyaan-pertanyaan puterinya tadi.   "Akan tetapi, sepanjang pendengaran saya, Kaisar Ceng Tek bukan seorang kaisar lalim, hanya masih terlalu muda sehingga dia lemah dan mudah dipermainkan oleh para pejabat tinggi yang membantunya," kata Cia Kong Liang.   Kakek itu mengangguk-angguk. "Mungkin benar, akan tetapi kalau dia lemah dan membiarkan para pejabat merajalela dengan kelaliman mereka, apa bedanya? Tetap saja rakyat yang tertindas, dan hal itu berarti bahwa kaisar yang bersalah karena dia harus bertanggung jawab atas kelaliman para pembantunya." Bin Mo To terus membujuk mantunya, dan dibantu oleh Bin Biauw yang memihak ayahnya, akhirnya Cia Kong Liang tertarik juga dan berjanji akan memban-tu kelak kalau saatnya telah tiba.   ***   Hati Hui Song masih diliputi rasa pe-nasaran dan dia nampak termenung keti-ka dia berjalan seorang diri melalui ja-lan raya yang kasar dan sunyi itu. Hari itu amat panas dan perutnya terasa amat lapar. Tengah hari sudah lewat dan du-sun di depan sudah nampak genteng-gen-tengnya.   Sudah tiga hari dia meninggalkan Cin-ling-san dan kini Gunung Cin-ling-san sudah tertinggal jauh di belakang, hanya nampak puncaknya saja dari situ. Dia merasa penasaran dan gelisah. Benarkah ayahnya dan kakeknya dan salahkah gurunya Si Dewa Kipas, juga Dewa Arak yang menjadi guru Sui Cin? Benarkah ayah dan kakeknya bahwa pemerintah tidak baik dan sudah sepatutnya kalau ditumpas? Akan tetapi... membantu gerakan gerombolan seperti Cap-sha-kui itu? Ah, tidak mungkin dapat dia lakukan! Orang-orang seperti mereka itu amat jahat dan perjuangan murni bagaimanapun yang menjadi alasannya, dia tidak sudi bekerja sama dengan kaum sesat itu. Dan diapun yakin bahwa Sui Cin juga tidak mungkin sudi membantu para datuk hitam itu. Bagaimanapun juga, dia tidak boleh sembrono, tidak boleh secara membuta membenarkan satu pihak saja tanpa penyelidikan sendiri. Dia tahu bahwa kaisar memang dikelilingi pembesar lalim dan korupsi merajalela di seluruh negeri. Setiap orang pejabat disangsikan kejujurannya karena terlalu banyak pejabat yang mempergunakan hak dan kekuasaannya untuk menindas dan untuk mengeruk kekayaan bagi diri sendiri. Pada jaman itu, sukarlah ditemukan pejabat yang jujur dan benar-benar merupakan pelindung rakyat. Dan memang sudah menjadi kewajiban seorang pendekar untuk menentang kebobrokan ini, akan tetapi dia sangsi apakah tepat kalau dia membantu pem-berontakan para datuk sesat, walaupun pemberontakan itu berdalih mengenyahkan pemerintah lalim. Sukar dia memba-yangkan sebuah pemerintahan baru yang lebih baik kalau kekuasaan berada di ta-ngan para datuk sesat!   Dia sudah mendekati dusun di depan ketika terdengar derap kaki kuda dari a-rah belakangnya. Hui Song cepat minggir karena jalan itu sempit, memberi kesem-patan kepada si penunggang kuda untuk lewat lebih dulu. Dan ternyata kuda itu lewat dengan cepat di sampingnya, seekor kuda yang besar dan baik. Hui Song dapat mengenal kuda baik, akan tetapi begitu penunggang kuda lewat di sampingnya, hidungnya mencium bau yang harum sekali, membuat dia memperhatikan si penunggang kuda. Seorang wanita muda yang berwajah cantik, bertubuh ramping dengan pakaian yang sederhana potongan-nya namun bersih dan baru dan minyak wangi yang dipergunakan wanita itu sungguh harum. Wajah gadis ini mengingatkan Hui Song kepada Sui Cin karena memiliki ciri kecantikan yang sama. Rambutnya hitam panjang, berjuntai di punggung dan diikat pita merah. Bagian atasnya yang tidak tertutup menjadi kusut karena tiupan angin, namun kekusutan itu tidak mengurangi kecantikannya, bahkan me-nambah manis. Sebatang bunga putih menghias di atas telinga kirinya. Telinganya memakai anting-anting emas dan se-lain itu tidak ada perhiasan menempel di tubuhnya. Yang membuat gadis itu nam-pak lebih manis adalah sebuah tahi lalat hitam yang menghias di atas dagu sebe-lah kiri, agak di bawah mulut. Dan ke-tika gadis itu mengerling ketika lewat, Hui Song merasa jantungnya berdebar. Lirikan itu sungguh tajam dan mengan-dung banyak arti, lirikan yang dapat di-katakan genit memikat! Lirikan yang di-hiss senyum membayang pada bibir yang tipis merah membasah itu. Dan ketika kuda itu sudah lewat, dari belakang Hui Song dapat melihat betapa gadis itu me-miliki pinggang yang amat ramping dan pinggulnya menari-nari di atas punggung kudanya ketika kuda itu berlari congklang.   Agak sukar menduga orang macam apa adanya gadis itu. Usianya tentu tidak kurang dari dua puluh empat tahun. Melihat pakaiannya yang cukup sederhana, dengan baju luar berkembang, ia seperti seorang gadis dusun biasa saja. Akan te-tapi perawatan mukanya menunjukkan bahwa ia seorang gadis kota. Ia tidak membawa senjata, seperti seorang gadis lemah biasa saja, akan tetapi melihat cara ia menguasai kudanya, membayang-kan bahwa ia bukan seorang gadis yang begitu lemah, dan terutama sekali jelas bahwa ia menguasai ilmu menunggang kuda dengan cukup baik.   Kuda dan penunggangnya itu bersembunyi di balik debu yang ditimbulkan oleh kaki kuda dan akhirnya menghilang di balik pagar tembok dusun, melalui pintu gerbang yang terbuka lebar. Hui Song sudah melupakan gadis itu ketika dia memasuki dusun, sebuah dusun yang cukup besar dan hatinya girang melihat bahwa di dalam dusun Lok-cun itu terdapat ru-mah penginapan dan juga terdapat sebuah restoran yang cukup besar. Setelah memesan sebuah kamar dalam rumah penginapan sederhana itu, dia lalu keluar memasuki kedai makan yang cukup besar dan ramai dikunjungi tamu. Ada belasan meja di situ dan lebih dari setengahnya diduduki tamu yang makan sore. Mereka makan minum sambil bercakap-cakap dan melihat sikap mereka yang bebas mudah diduga bahwa mereke adalah langganan--langganan restoran itu. Akan tetapi di sudut yang terpisah Hui Song melihat dua orang kakek duduk berhadapan dan keadaan kakek itu menarik perhatiannya sehingga diapun memilih meja yang tidak berjauhan dengan dua orang tamu itu, hanya terpisah dua meja kosong.   Dua orang kakek itu berusia kurang lebih enam puluh tahun. Seorang di an-tara mereka bertubuh tinggi kurus dan tubuh itu nampak menjadi semakin jang-kung karena dia memakai sebuah topi hi-tam yang tinggi, topi seperti yang biasa dipakai oleh tosu atau kepala agama atau pertapa. Jubahnya juga lebar dan kedodoran menutupi semua tubuhnya dari leher sampai kaki yang mengenakan se-patu kulit setinggi betis. Rambutnya panjang dibiarkan terurai di depan dan bela-kang, mencapai dadanya. Tubuhnya yang kurus itu seperti tulang dibungkus kulit, seperti tengkorak berkulit, dengan sepa-sang mata kecil yang dalam. Kumis dan jenggotnya membentuk lingkaran hitam di sekeliling mulutnya. Adapun orang kedua tidak kalah anehnya. Orang ini tubuhnya besar dan perutnya gendut, dibiarkan perutnya itu nampak karena bajunya terbu-ka tanpa kancing, atau kancingnya agak-nya sudah putus semua karena besarnya perut, atau memang baju itu kurang le-bar untuk dapat menutupi perutnya. Pe-rut gendut dan dadanya terbuka. Jubah-nya juga lebar dan panjang di bagian be-lakang, sampai hampir menyentuh tanah. Sebuah guci arak tergantung di pinggang kanan. Kepalanya yang bundar itu dicu-kur gundul kecuali di tengah-tengah, di atas ubun-ubun terdapat segumpal ram-but yang diikat dengan tali kasa. Kakek ini seperti hwesio akan tetapi bukan hwesio sedangkan temannya itu seperti tosu akan tetapi bukan tosu. Pada jaman itu, banyak para pendeta dan pertapa yang meninggalkan pantangan makan daging dan berkeliaran memasuki rumah-rumah makan, maka kehadiran dua orang itupun tidak menimbulkan perhatian orang. Na-mun tidak demikian bagi Hui Song. Pe-muda ini amat tertarik dan menaruh perhatian karena sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi, dari sinar mata, gerak-gerik dan sikap dua orang kakek itu, dia dapat menduga bahwa mereka bukanlah orang-orang sembarangan.   Tiba-tiba percakapan di sebelah kiri-nya di antara empat orang muda yang sudah setengah mabok menarik perhatian Hui Song. Pesanan makanan sudah dihi-dangkan dan sambil makan diapun mema-sang telinga mendengarkan percakapan yang terdengar cukup lantang, dan jelas dapat dikenal suara orang setengah ma-bok.   "Huh, di jaman seperti sekarang ini, mana ada orang benar?" terdengar suara yang lantang seorang pemuda bermuka hitam. Dengan kepala bergoyang-goyang dan mulut menyeringai tanda kemabokannya, dia melanjutkan. "Sekarang ini jamannya pagar makan tanaman, mereka yang menjadi pelindung malah mengganyang yang dilindungi sendiri. Tidak ada orang dapat dipercaya sekarang ini!"   "Benar, benar! Jamannya sudah berubah, penjahat-penjahat kabarnya berjiwa patriot, sebaliknya orang-orang yang menjadi pendeta melakukan hal-hal memalukan. Lihat saja, di mana-mana terdapat pendeta-pendeta yang lahap makan daging dan mabok-mabokan minum arak, huh!"   Mudah saja diketahui bahwa orang kedua yang mukanya kekuningan ini dalam maboknya telah menyindir dua orang kakek yang berpakaian seperti tosu dan hwesio itu. Empat orang pemuda itupun melirik ke arah dua orang kakek itu penuh ejekan, sedangkan Hui Song juga mengamati dari sudut kerlingnya. Diam-diam Hui Song mencela empat orang pemuda mabok-mabokan ini yang tak tahu diri, tidak mengenal gelagat berani sekali menyinggung dua orang kakek yang sama sekali tidak pernah mengganggu mereka itu. Dan dia khawatir kalau-kalau dua orang kakek itu marah. Akan tetapi dari kerling matanya dia melihat bahwa dua orang kakek itu diam saja, seolah-olah tidak mendengar percakapan lantang itu dan melanjutkan makan minum tanpa memberi komentar, bahkan sedikitpun juga tidak menoleh ke arah meja empat orang yang menyindir mereka itu.   Agaknya mereka sudah selesai makan sekarang. Keduanya bangkit berdiri, membayar harga hidangan lalu melangkah keluar. Ketika mereka berjalan menuju keluar pintu, mereka melewati meja Hui Song. Tiba-tiba pemuda itu terkejut bukan main karena ketika dua orang itu lewat, dia merasa ada dua hawa yang amat berlainan. Si jangkung berjalan di depan dan ketika dia lewat, Hui Song meramkan hawa yang amat panas lewat pula, sebaliknya ketika si gendut yang lewat, ada hawa yang amat dingin. Akan tetapi Hui Song belum menduga buruk, dan kedua orang itu kini lewat di dekat meja empat orang muda yang masih bercakap-cakap dengan asyik dan melirik ke arah dua orang kakek itu dengan mulut me-nyeringai penuh ejekan. Tidak terjadi se-suatu dan dua orang kakek itupun tidak kelihatan bergerak melakukan serangan. Akan tetapi setelah tiba di ambang pin-tu, mereka menoleh dan tiba-tiba empat orang pemuda itu mengeluarkan teriakan-teriakan kesakitan dan merekapun tergu-ling roboh. Kursi-kursi mereka terbawa roboh dan semua tamu tentu saja memandang terbelalak melihat betapa em-pat orang muda itu berkelojotan dan ma-ta mereka mendelik, dari mata, hidung, mulut dan telinga keluar darah! Karena tidak menaruh curiga, tidak seorangpun di antara para tamu itu menoleh kepada dua orang kakek. Akan tetapi Hui Song memandang kepada mereka dan melihat betapa mereka itu melepas senyum keji lalu mereka membalik dan terus melang-kah lebar keluar dari rumah makan itu.   Hui Song cepat meninggalkan mejanya setelah meninggalkan harga makanan di atas meja. Sekali melewati empat orang yang kini sudah tidak bergerak lagi dan sudah tewas itu tahulah dia tanpa memeriksa bahwa empat orang itu tewas karena pukulan beracun atau senjata ge-lap beracun, maka diapun langsung saja mengejar keluar. Dia celingukan dan akhirnya dia melihat bayangan dua orang yang dicarinya itu, sudah jauh di depan, mendekati pintu gerbang dusun Lok-cun. Diapun cepat melakukan pengejaran.   Tepat seperti yang telah diduganya, dua orang kakek itu ternyata lihai. Be-gitu tiba di luar dusun, mereka berdua lalu berkelebat dan berlari cepat sekali, bagaikan terbang saja! Akan tetapi, Hui Song adalah seorang pendekar muda gemblengan yang telah mewarisi bermacam ilmu yang hebat-hebat. Apalagi selama tiga tahun dilatih Si Dewa Kipas, dia te-lah memperoleh kemajuan pesat dan latihan beban besi pada kedua kakinya kini membuat gin-kangnya juga memper-oleh kemajuan. Ketika dia meloncat dan berlari, tubuhnya amat ringan dan diapun dapat berlari amat cepatnya melakukan pengejaran.   Dua orang kakek itu agaknya maklum bahwa ada orang yang mengejar, karena mereka itu tiba-tiba membelok memasuki hutan dan gerakan lari mereka semakin cepat. Hui Song terus mengejar dan akhirnya, karena makin lama jarak di antara mereka semakin dekat, tiba-tiba dua o-rang yang merasa tidak akan dapat me-lepaskan diri dari pengejarannya, berhenti di sebuah tempat terbuka yang merupa-kan padang rumput kecil di antara hutan di lereng bukit itu. Mereka berdiri tegak dan mengambil sikap menantang, juga si-nar mata mereka membayangkan kema-rahan.   Begitu Hui Song tiba di depan mere-ka, kedua orang kakek itu memandang dengan penuh selidik, kemudian si jang-kung yang mukanya kelihatan kering dan galak itu menegur, "Orang muda, siapa-kah engkau dan kenapa engkau mengikuti dan mengejar kami?"   Hui Song maklum bahwa dia berha-dapan dengan dua orang pandai. Dia ti-dak mau bersikap sembrono sebelum mengenal mereka dan tahu mengapa mereka membunuh orang-orang sedemikian mudah dan kejinya, maka diapun menjura dengan hormat. "Harap ji-wi locianpwe suka me-maafkan kalau aku bersikap kurang hor-mat dan melakukan pengejaran. Secara kebetulan aku melihat ji-wi melakukan pembunuhan di dalam restoran terhadap empat orang itu..."   "Hemm, engkau yakin bahwa kami yang membunuh mereka?" tanya si gen-dut.   "Pembunuhan itu dilakukan dengan se-rangan beracun dan hanya ji-wi yaqg mampu melakukan serangan seperti itu. Mengapa ji-wi membunuh mereka?"   Dua orang kakek itu saling pandang, nampaknya terkejut melihat betapa pe-muda yang pandai berlari cepat ini ternyata bermata tajam. Si jangkung lalu menarik napas panjang dan berkata de-ngan nada suara menantang, "Baik, me-mang kami yang membunuh mereka. Ha-bis, kau mau apa? Siapa engkau?"   Hui Song mulai mengerutkan alisnya. Jawaban kedua orang ini sungguh meru-pakan tantangan dan sikap mereka bukan seperti sikap orang baik-baik. Akan tetapi dia masih tersenyum dan menjawab, "Namaku Cia Hui Song dan kalau benar ji-wi yang membunuh mereka, aku ingin sekali mengetahui mengapa ji-wi melaku-kan pembunuhan sedemikian keji. Apakah hanya karena ucapan yang mereka keluarkan di restoran itu?"   "Ha-ha, engkau sudah tahu akan teta-pi masih juga bertanya. Telingamu sen-diri tentu sudah menangkap penghinaan mereka yang ditujukan kepada kami," ka-ta si gendut dan perutnya bergerak aneh, seperti ada seekor kelinci besar yang hi-dup di dalam perutnya dan kini berlari ke sana-sini. Melihat ini, Hui Song ter-kejut. Si gendut ini memiliki sin-kang yang amat kuat, pikirnya.   "Kalau hanya ocehan orang-orang yang mabok saja membuat ji-wi demikian ri-ngan tangan membunuh orang, sekaligus empat nyawa, sungguh aku tidak dapat menerimanya begitu saja," katanya dan sinar matanya mencorong menyambar ke arah wajah kedua orang kakek itu yang kelihatan terkejut sekali. Baru sekarang mereka melihat betapa sepasang mata pemuda itu mencorong seperti itu, juga mereka berpikir-pikir mendengar nama keturunan Cia itu, diam-diam menduga-duga apakah pemuda ini ada hubungannya dengan keluarga Cin-ling-pai yang juga she Cia.   "Bagus, bagus! Engkau orang muda yang bernyali besar! Kami sudah membu-nuh empat orang lancang mulut dan ku-rang ajar itu. Nah, kalau engkau tidak dapat menerimanya, habis engkau mau a-pa?" tantang lagi si jangkung sambil ber-tolak pinggang di sebelah dalam jubahnya dengan cara menyisipkan tangannya ke dalam jubah. Hui Song yang bermata ta-jam melihat gerakan tak wajar ini dan dia sudah bersikap waspada dan siap sia-ga.   "Ji-wi sebagai pembunuh-pembunuh harus ikut bersamaku untuk menyerahkan diri kepada petugas keamanan. Kejahatan yang ji-wi lakukan harus diadili."   Dua orang itu saling pandang lalu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha!" Si gendut berkata. "Engkau ini seperti seekor burung yang baru turun dari sarang dan belajar terbang, tidak mengenal peraturan kang-ouw. Bagi kami, hukum berada di tangan kami sendiri. Siapa bersalah terhadap kami akan kami huRum sendiri dan tidak ada pengadilan yang boleh mengadili kami!"   Tentu saja Hui Song sudah mengenal kehidupan dunia kang-ouw yang tidak mengenal hukum pemerintah itu. "Karena itulah maka aku harus menenteng kejahatan yang tidak diadili. Ji-wi membunuh orang tak berdosa, tak mungkin dapat dilepaskan begitu saja tanpa hukuman..."   Tiba-tiba tangan kiri yang tadinya menyusup ke balik jubah itu bergerak dan Hui Song cepat meloncat ke samping, membiarkan tiga sinar menyambar lewat. Itulah pisau-pisau kecil yang menyambar cepat sekali dan bau amis yang tercium olehnya ketika pisau-pisau itu lewat, tahulah dia bahwa senjata-senjata rahasia itu beracun. Akan tetapi yang mencabut nyawa empat orang di dalam restoran itu bukanlah senjata seperti ini, melainkan lebih kecil lagi atau mungkin juga hanya pukulan jarak jauh yang mengandung racun.   "Kau bocah yang bosan hidup!" melihat pemuda itu dapat menghindarkan serangan gelap kawannya, si gendut membentak dan kedua tangannya bergerak ke depan, dengan jari-jari terbuka dia memukul dengan gerakan mendorong ke arah dada Hui Song. Angin pukulan dahsyat menyambar ke depan dan mengeluarkan hawa dingin! Hui Song mengenal pukulan ampuh yang mengandung sin-kang kuat, maka diapun mengerahkan tenaga dan menyambut dengan kedua tangan pula.   "Syuuuttt... dukkk...!" Dua tenaga dahsyat bertemu di udara dan biarpun tangan mereka belum bersentuhan, masih dalam jarak beberapa senti, namun benturan tenaga sin-kang dahsyat itu sudah memperlihatkan akibatnya. Tubuh si gendut terpental ke belakang dan Hui Song tetap tegak walaupun tubuhnya terguncang hebat.   Dua orang kakek itu mengeluarkan seruan kaget dan heran, lalu merekapun melompat dan melarikan diri! Hui Song tidak mengejar. Dia maklum bahwa dua orang kakek itu memiliki ilmu kepandaian tinggi dan amatlah berbahaya mengejar dua orang selihai itu padahal mereka sudah melarikan diri dan agaknya tidak menginginkan permusuhan dengan dirinya. Bagaimanapun juga, empat orang itu telah tewas dan dia bukan seorang petugas keamanan. Andaikata empat orang itu belum tewas dan berada dalam ancaman bahaya, sudah menjadi tugasnya untuk melindungi mereka. Akan tetapi, mereka telah tewas karena kelancangan mulut mereks sendiri.   Sambil menduga-duga siapa adanya dua orang kakek yang seperti pendeta akan tetapi mempunyai watak seperti iblis kejamnya itu, mudah membunuh orang hanya karena urusan amat kecil, dia lalu kembali memasuki dusun Lok-cun. Matahari sudah condong ke barat ketika dia memasuki dusun dan menuju ke rumah penginapan di mana dia sudah menyewa sebuah kamar.   Bagaimanapun juga, hati Hui Song tertarik sekali dengan keadaan dusun ini. Dusun yang kecil saja akan tetapi cukup ramai karena di sekitar bukit itu terdapat bukit yang menghasilkan banyak rempah-rempah sehingga penduduknya cukup makmur. Yang menarik hatinya adalah munculnya dua orang kakek itu di tempat kecil seperti ini. Setelah mandi dan makan malam, dia mencari keterangan kepada pelayan penginapan itu tentang keadaan dusun dan terutama sekali dia menyelidiki apakah di tempat itu terdapat kuilnya mengingat bahwa dua orang kakek itu berpakaian seperti pendeta.   "Dahulu memang terdapat sebuah kuil di pinggir dusun sebelah selatan," pelayan itu menerangkan, "akan tetapi semenjak empat lima tahun ini, kuil itu kosong, bahkan tidak ada orang berani mendekati, terutama sekali di waktu malam."   "Eh, kenapa?" Hui Song bertanya.   "Karena... tempat itu angker, ada setannya."   "Hemm, benarkah itu? Ada setannya bagaimana dan mengapa kuil itu ditinggalkan? Ke mana perginya para pendetanya?"   "Kuil itu dahulu adalah kuil Kwan Im Po-sat yang diurus oleh lima orang nikouw, yaitu seorang nikouw tua bersama empat orang muridnya yang usianya kira-kira tiga puluh tahun. Akan tetapi pada suatu malam, terdengar jeritan-jeritan dari kuil itu dan pada keesokan harinya, kami para penduduk melihat mereka berlima telah tewas dalam keadaan mengerikan!" Pelayan itu bergidik dan kelihatan ketakutan.   "Bagaimana? Terbunuhkah?"   "Mereka terbunuh... dan agaknya iblis-iblis saja yang dapat melakukan pembunuhan itu. Kepala mereka berobah hitam membengkak, dan empat orang nikouw muda itu kesemuanya telanjang bulat."   Hui Song mengerutkan alisnya. Bukan iblis, pikirnya, melainkan orang atau orang-orang yang amat kejam dan jahat, dan bukan tidak mungkin empat orang nikouw muda itu diperkosa penjahat sebelum mereka dibunuh.   "Dan semenjak peristiwa itu, kuil itu dibiarkan kosong dan sekarang, seperti keteranganmu tadi, ada setannya? Bagaimana pula itu?"   Pelayan itu mengangguk-angguk. "Para penduduk mengurus jenazah mereka dan sejak hari itu, kuil dibiarkan kosong dan tidak ada yang berani tinggal, bahkan mendekatipun tidak berani, apalagi di waktu malam. Sering terdengar suara-suara aneh dan nampak bayangan-bayangan setan di sekitar kuil. Bahkan beberapa orang pemberani yang mengumpulkan tenaga sebanyak sepuluh orang pernah tidur di sana untuk membuktikan dan mereka semua tertidur pulas atau pingsan dan tahu-tahu tubuh mereka digantung di atas pohon, dengan kaki di atas dan kepala di bawah!"   "Mati...?" tanya Hui Song kaget.   "Tidak, hanya pingsan. Akan tetapi tentu saja hal itu membuat kami semua makin takut dan sejak itu tidak ada orang berani mencoba-coba mendekati kuil di waktu malam, apalagi tidur di situ."   Mendengar keterangan ini, Hui Song makin tertarik. Hampir yakin hatinya bahwa tempat itu tentu saja menjadi tempat yang amat baik bagi orang-orang jahat untuk menyembunyikan diri mereka. Dan dia teringat akan dua orang kakek siang tadi. Bukan tidak mungkin kalau mereka itupun mempergunakan tempat yang ditakuti orang itu untuk bersembunyi atau setidaknya melewatkan malam.   Malam itu Hui Song keluar dari penginapan dan berjalan menuju ke selatan. Setelah tiba di depan kuil, dia melihat bahwa tempat itu memang terpencil dan sunyi. Gelap sekali di situ, dan kuil itu nampak sunyi kosong dan menyeramkan. Pohon-pohon besar yang tumbuh di depan dan kanan kiri kuil menambah keseraman. Batang-batang pohon itu nampak kehitaman dan cabang serta ranting-ranting yang belum lebat menutupi sebagian genteng kuil yang nampak masih kokoh namun kotor tidak terpelihara itu. Memang sebuah tempat yang amat sunyi, juga menyeramkan apalagi kalau mengandung cerita tentang setan-setan. Baru mengingat akan kematian lima orang nikouw itu saja sudah mendatangkan kengerian, apalagi sudah terjadi keanehan pada sepuluh orang pemberani yang berani tidur di situ. Di pohon-pohon itukah mereka kedapatan tergantung dengan kepala di bawah?