Hui Song mengayun tubuhnya, meloncat ke atas pohon dan mengintai. Sampai beberapa lama dia mengintai dengan sembunyi di atas cabang, di balik daun-daun lebat. Namun tidak nampak sesuatu dan tidak terdengar sesuatu dari dalam kuil. Ketika dia memandang dari atas ke arah empat penjuru, nampak kelap-kelip sinar lampu rumah-rumah agak jauh dari kuil, sedangkan di kuil dan sekelilingnya sunyi saja, sunyi dan gelap.   Malam makin larut dan kini nampak bulan sepotong tersembul naik dari awan awan gelap yang menutupinya. Awan-awan terakhir meninggalkannya sehingga kini cahaya bulan menerangi pohon dan genteng kuil, cukup terang bagi Hui Song schingga dia dapat melihat berkelebatnya bayangan orang! Bukan setan, melainkan orang! Tentu saja, kalau ada penduduk dusun yang kebetulan melihat bayangan itu, akan menyangka bahwa itu adalah bayangan setan karena memang bayangan itu berkelebat dengan amat cepatnya, akan sukar dlikuti oleh pandang mata orang biasa.   Hui Song melihat seorang gadis cantik berhenti di atas wuwungan kuil, setelah tadi gadis itu menjadi bayangan berkelebatan di bawah, kemudian dengan ringan sekali melayang naik. Dan diapun terkejut dan terheran. Dia mengenal gadis ini! Bukan lain adalah gadis penunggang kuda yang melewatinya di luar dusun, ketika dia akan memasuki dusun Lok-cun. Dan kini tidak menunggang kuda, melainkan berlompatan dengan gesit dan ringan. Akan tetapi pakaian yang dipakainya masih seperti tadi. Gadis yang sederhana akan tetapi manis sekali.   Karena kaget tadi, dan karena ingin memandang lebih jelas, Hui Song membuat gerakan sehingga ranting-ranting dari cabang yang diinjaknya bergoyang dan daun-daunnya ikut pula bergoyang. Sedikit saja, seperti goyangan angin, namun cukup bagi wanita itu yang memandang ke sekeliling untuk dapat melihat ketidakwajaran ini. Hanya ranting-ranting di cabang itu yang bergoyang, sedangkan angin tidak ada sedikitpun juga di malam itu.   "Wuuuttt... cit-cittt...!" Dua sinar putih menyambar ke arah Hui Song ketika gadis itu menggerakkan jari tangan kirinya. Kiranya ada dua batang jarum sulam yang meluncur bagaikan kilat menyambar ke arah tubuh pemuda itu.   "Aihh... galak amat...!" Hui Song melompat keluar dari balik rumpun daun dan berdiri di atas wuwungan, berhadapan dengan gadis itu sambil tersenyum. Dua batang jarum dia serahkan kepada gadis itu. "Sayang jarummu ini, nona, engkau akan kehilangan dan tidak dapat melanjutkan pekerjaanmu menyulam." Dia sudah melihat bahwa jarum itu tidak mengandung racun, maka diapun tidak menyangka buruk.   Dengan pandang mata kagum dan tangan cekatan, gadis itu mengambil kembali dua batang jarumnya dan menyimpannya di dalam saku di balik baju luar. "Siapa kau?"   "Nanti dulu, nona. Kita sudah saling bertemu di luar dusun dan kenapa engkau begitu mudah menyerangku dengan jarum-jarummu? Kalau aku tidak hati-hati dan jarummu itu menembus kepala atau dadaku, bukankah sekarang juga aku sudah tidak dapat menjawab pertanyaanmu tadi?"   Sejenak sepasang mata yang tajam dan jeli itu menatap wajah Hui Song penuh selidik dan kekerasan, yang tadi membayang di wajah manis itu mulai melembut. Wajah pemuda yang tampan, gagah dan juga penuh senyum itu amat menarik dan mengagumkan hatinya. Akan tetapi ia masih menaruh curiga.   "Engkau memata-matai dan menyelidiki tempatku!" bentaknya.   Hui Song tersenyum dan kembali pada sepasang mata tajam itu terbayang kekaguman. Sungguh ganteng pemuda ini, apalagi kalau tersenyum. "Nona, menurut cerita orang di dusun ini, kuil ini adalah tempat tinggal para setan. Bagaimana menjadi tempat tinggalmu? Aku yakin engkau bukan setan."   "Untuk sementara aku memilih tempat sunyi ini sebagai tempat berteduh, dan engkau malam-malam begini datang dan bersembunyi di dalam pohon, tentu bermaksud buruk. Agaknya engkau mengandalkan sedikit kepandaianmu menangkap jarum-jarumku. Nah, lihat serangan!" Gadis itu kembali menjadi galak dan tiba-tiba saja melakukan serangan yang cukup keras dan cepat.   "Dukk! Plakk!" Hui Song menangkis dua kali dan setiap kali ditangkis, tubuh gadis itu terdorong mundur. Hal ini amat mengejutkan hati gadis itu. Tak disangkanya bahwa pemuda ini benar-benar amat lihai, maka iapun lalu mengeluarkan suara melengking dan tubuhnya menyambar-nyambar, serangannya semakin hebat dan cepat. Jari-jari tangannya berubah kaku keras dan dia menyelingi pukulan-pukulan dengan cengkeraman atau totokan ke arah jalan-jalan darah yang berbahaya.   Akan tetapi, Hui Song menghadapi semua serangan itu dengan tenang saja. Ia mengelak ke sana-sini, kadang-kadang menangkis dan tidak pernah membalas. "Eiiit, perlahan dulu, nona. Kenapa galak amat? Kita tidak pernah bermusuhan, mengapa engkau menyerangku dengan pukulan-pukulan maut? Eiiit, sayang tak kena!"   Nona itu semakin penasaran dan tiba-tiba ia mengeluarkan sebuah saputangan sutera putih dari lengan bajunya. Saputangan itu dipergunakannya sebagai senjata dan biarpun saputangan itu hanya merupakan kain sutera tipis lemas, namun di tangannya berubah menjadi senjata ampuh, kadang-kadang merupakan cambuk yang melecut dan mengeluarkan suara ledakan, kadang-kadang menjadi kaku dan keras seperti besi baja!   Hui Song masih tetap tenang. Saputangan sutera itu boleh jadi berbahaya bagi lain orang, akan tetapi baginya tidak ada artinya. Pula, dia mendapat kenyataan bahwa saputangan itu tidak mengandung racun, seperti jarum-jarum tadi, maka hatinya semakin senang. Seorang gadis manis seperti ini tidak mau berlaku curang, tentu seorang gadis baik-baik, mungkin seorang gadis kang-ouw yang gagah perkasa, seorang pendekar wanita seperti Sui Cin. Dia mulai membanding-bandingkan. Gadis ini juga cantik manis, dan juga galak seperti Sui Cin, akan tetapi kalau dinilai dari kepandaian silatnya, Sui Cin tentu saja lebih lihai, apalagi sekarang setelah Sui Cin digembleng oleh Dewa Arak! Dia ingin sekali menguji sampai di mana kemajuan dan kelihalan Sui Cin sekarang.   Gadis itu semakin kagum saja, terbukti dari seruan-seruannya ketika setiap serangannya selalu dapat dihindarkan oleh lawan dengan amat baik. Dan diapun menyerang semakin nekat. Melihat ini, Hui Song mengerutkan alisnya. Nona ini bukan orang sembarangan, memiliki ilmu silat tinggi, tentu sudah tahu bahwa dia sengaja mengalah dan tidak pernah membalas. Akan tetapi mengapa nona ini nekat menyerang terus?   "Nona, hentikanlah seranganmu dan mari kita bicara. Di antara kita tidak ada permusuhan. Kalau engkau tidak mau berhenti, terpaksa aku akan membalas!" Terpaksa dia mengancam dan dia mengepal tinju kanan, siap untuk membalas se-rangan kalau lawannya tetap berkeras hati tidak mau menyudahi perkelahian itu.   Tiba-tiba saputangan sutera itu menyambar lagi ke arah muka Hui Song dan kini benda itu menjadi lemas. Karena yang diserang adalah mukanya dan karena dia sudah mengambil keputusan untuk membalas, Hui Song menarik tubuh atasnya ke belakang dan saputangan itu tidak mengenai muka, hanya lewat saja.   Akan tetapi tiba-tiba hidungnya mencium bau yang sangat wangi dan tiba-tiba saja kepalanya pening dan pandang matanya gelap.   "Celaka...!" teriaknya, sadar bahwa sekali ini, entah bagaimana caranya, saputangan itu mengandung bubuk beracun yang ketika dikebutkan telah menyambar dan masuk ke dalam hidungnya, membuat dia keracunan.   "Tukk!" Jari tangan gadis itu sudah menyambar dan menotok pinggang, membuat Hui Song yang sudah setengah pingsan itu seketika menjadi lemas. Dia masih mendengar suara gadis itu terkekeh disusul kata-katanya memuji, "Engkau gagah perkasa..." Dan diapun tidak ingat apa-apa lagi. Juga dia tidak sadar sama sekali ketika gadis itu memondongnya dan membawanya melompat turun dari atas genteng, lalu membawanya masuk ke dalam sebuah kamar dalam kuil itu.   Kalau saja Hui Song tahu siapa gadis ini, tentu dia tidak akan bersikap sembrono dan mengalah seperti tadi. Gadis yang berusia dua puluh empat tahun ini memang kelihatannya saja cantik manis dan lemah lembut, juga tidak nampak membawa senjata atau bersikap menyeramkan. Akan tetapi sesungguhnya ia merupakan seorang tokoh besar dunia hitam pada waktu itu, dan walaupun ia baru saja keluar dari tempat pertapaan bersama gurunya, ia boleh dibilang menduduki tempat tinggi di kalangan kaum hitam, terbawa oleh nama gurunya yang ditakuti semua orang di dunia kaum sesat. Siapakah gurunya? Bukan lain adalah Pangeran Toan Jit-ong atau Si Raja Iblis sendiri!   Tokoh sakti Toan Jit-ong yang dijuluki Raja Iblis dan isterinya yang berjuluk Ratu Iblis itu walaupun merupakan sepasang tokoh yang memiliki kesaktian luar biasa, hanya mempunyai seorang murid itulah. Oleh karena itu, dapat dibayangkan betapa sayangnya mereka kepada murid itu dan tentu saja murid itu digembleng dan diberi pelajaran ilmu-ilmu yang hebat. Murid itu bernama Gui Siang Hwa, seorang gadis yatim piatu yang dipelihara suami isteri itu semenjak berusia sepuluh tahun dan digembleng dengan ilmu-ilmu yang hebat. Selain ahli dalam bermacam ilmu silat, memiliki sin-kang kuat dan gin-kang yang hebat, juga gadis ini amat ahli dalam pengolahan dan penggunaan racun, terutama sekali racun yang berbau wangi. Karena pandainya bermain racun wangi, dan karena memang ia cantik manis, maka sebentar saja ia memperoleh julukan Siang-tok Sian-li (Dewi Racun Wangi). Siang Hwa sudah berusia dua puluh empat tahun, akan tetapi ia belum menikah. Biarpun kedua orang gurunya sudah membujuknya, namun ia belum mau menikah karena ia belum menemukan seorang pria yang dianggapnya pantas menjadi suaminya. Akan tetapi karena sejak kecil berada di lingkungan penjahat, wataknyapun menjadi binal dan seperti para penjahat lain, gadis inipun menjadi budak nafsunya sendiri. Di luarnya saja kelihaten halus dan sopan, juga alim dan lembut. Akan tetapi, seperti para rekannya, iapun dapat bertindak ke-jam sekali, penuh dengan akal dan mus-lihat busuk, dan terutama sekali, sejak mulai dewasa, ia sudah suka berhubungan dengan pria-pria tampan yang menarik hatinya. Bahkan ia termasuk seorang wa-nita mata keranjang yang akan memper-gunakan segala akal, kalau perlu mem-pergunakan ilmu kepandaian silatnya yang tinggi, untuk berhasil mendapatkan pria yang disukainya.   Seperti telah kita ketahui, Toan Jit-ong dan isterinya pada tiga tahun yang lalu telah mengumpulkan para datuk sesat untuk mengadakan pertemuan dan di dalam pertemuan ini Raja Iblis dan isterinya mengangkat diri mereka sendiri menjadi pimpinan para datuk untuk merencanakan pemberontakan. Pada waktu diadakan pertemuan itu, Siang Hwa berusia dua puluh satu tahun dan ia sendiri tidak memperlihatkan diri dalam perte-muan itu karena ia mempunyai tugas lain yang diberikan gurunya kepadanya. Ia ha-rus bersembunyi dan melakukan penjaga-an rahasia bersama belasan orang teman yang menjadi kaki tangan gurunya.   Setelah pertemuan para datuk itu selesai, Raja Iblis dan isterinya lalu menggembleng lagi murid mereka sambil mengatur persiapan untuk melakukan rencana pemberontakan mereka. Murid inilah yang mendapat tugas mewakili mereka mengadakan pertemuan-pertemuan dan persekutuan rahasia dengan para tokoh dan juga para pembesar penting. Berkat kecantikannya, kecerdikan dan juga kepandaiannya, Siang Hwa berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik sekali dan pada waktu itu, sudah banyaklah pembesar-pembesar yang mempunyai kekuatan pasukan telah diam-diam menjadi sekutu para pemberontak yang sudah siap siaga dan sewaktu-waktu mereka akan dapat mengerahkan pasukan untuk bersama-sama menggempur kota raja dan merampas kekuasaan dari Kaisar Ceng Tek! Selain membujuk para pembesar untuk berseku-tu, juga Siang Hwa bertugas membujuk orang-orang gagah dari dunia kang-ouw, yang biasanya bahkan menjadi lawan kaum sesat, untuk bekerja sama demi perjuangan membasmi kelaliman!   Dalam rangka tugas inilah Siang Hwa berada di dusun Lok-cun itu. Dara ini mempergunakan kuil sunyi yang ditakuti orang itu untuk tempat tinggal sementara sehingga ia dapat melakukan pertemuan-pertemuan rahasia dengan para pembantunya tanpa dilihat orang. Sungguh tidak disangkanya bahwa malam hari itu ia akan bertemu dengan seorang pemuda yang selain amat tampan dan ganteng, juga amat gagah perkasa sehingga ia sendiri tidak mampu mengalahkannya dengan ilmu silat. Munculnya pemuda seperti Hui Song ini sungguh di luar dugaan Siang Hwa dan begitu bertemu ia sudah jatuh cinta! Inilah pemuda yang selama ini diidam-idamkannya. Banyak sudah ia bertemu dengan pemuda tampan, bahkan sudah sering pula ia menyerahkan diri kepada pria-pria yang disukainya, akan tetapi belum pernah ia bertemu dengan seorang pemuda yang tampan dan disukainya, yang memiliki kepandaian lebih tinggi darinya. Akan tetapi para pria itu tidak masuk hitungan, hanya merupakan alat penghiburnya saja untuk melampiaskan nafsu. Ia hanya mau menjadi isteri seorang pemuda yang selain disukanya juga memiliki kepandaian lebih tinggi darinya, dan pemuda ini sungguh amat lihai. Maka, terpaksa ia harus mempergunakan akal dan saputangannya yang berbahaya itu, yang kalau tidak dikehendakinya merupakan saputangan biasa, akan tetapi pada saat ia terdesak, ia dapat menarik alat halus pada saputangan itu yang akan membuka tempat penyimpanan bubuk beracun wangi yang amat ampuh.   Selain tugas untuk menghubungi para orang gagah di dunia kang-ouw agar mau bekerja sama menentang kaisar, juga ada suatu tugas rahasia lain, yang pada waktu itu amat menganggu hati Siang Hwa. Gurunya menunjuk ia untuk memimpin teman-teman yang boleh dipercaya dan yang memiliki kepandaian tinggi, untuk menyelidiki dan mencari sebuah harta karun yang berada di sebuah tempat rahasia yang amat sulit dan sukar dikunjungi. Ia sudah berkali-kali mencoba dengan teman-temannya menyelidiki tempat itu, namun selalu gagal, bahkan beberapa orang temannya berkorban nyawa di tempat itu sedangkan tempat penyimpanan harta karun itu tetap saja belum dapat ia temukan. Gurunya berpesan bahwa kalau ia tidak mampu, barulah kedua orang gurunya akan turun tangan sendiri. Teman-temannya sudah menganjurkan dan menasihatkannya untuk melapor kepada Raja dan Ratu Iblis saja bahwa ia dan teman-temannya tidak sanggup lagi. Akan tetapi Siang Hwa adalah seorang gadis yang keras hati dan angkuh. Ia merasa malu kalau harus menghadap kedua orang gurunya dan melaporkan kegagalannya. Ini berarti mengakui kelemahan sendiri! Tidak, ia harus mencoba lagi dan untuk itu ia harus mendapatkan seorang kawan yang lihai, setidaknya memiliki tingkat kepandaian, terutama gin-kang yang setingkat dengannya!   Di antara para pembantunya, terdapat dua orang kakek yang menjadi orang-orang kepercayaan gurunya. Mereka itu adalah Hui-to Cin-jin (Manusia Sakti Pisau Terbang) dan Kang-thouw Lo-mo (Setan Tua Kepala Baja) yang siang hari tadi sudah pernah berjumpa dengan Hui Song. Mereka adalah dua orang kakek yang tadi membunuh empat orang pemuda mabok di dalam restoran. Dua orang kakek ini bukan orang sembarangan, bukanlah penjahat biasa. Mereka itu adalah dua di antara Cap-sha-kui yang tentu saja memiliki kepandaian hebat! Dan dari dua orang kakek inilah Siang Hwa mendengar bahwa di dusun itu muncul seorang pemuda yang amat lihai, seorang pemuda bernama Cia Hui Song yang bukan hanya mampu menghindarkan diri dari sambaran pissu-pisau maut yang dilempar oleh Hui-to Cin-jin, akan tetapi bahkan sanggup menahan pukulan Kang-thouw Lo-mo yang amat kuat itu. Mendengar ini, Siang Hwa merasa tertarik sekali, juga curiga. Jangan-jangan pemuda itu adalah mata-mata pihak musuh, pikirnya. Ia tahu bahwa gerakan gurunya mengumpulkan orang-orang kang-ouw dan niat hendak memberontak itu tentu sudah teedengar oleh dunia persilatan dan tidak merupakan hal aneh kalau ada pihak yang akan menentangnya.   ***   Ruangan yang meniadi tempat tidur itu tidak berapa luas dan keadaannya tidak dapat dibilang bagus, apalagi mewah. Namun, kalau orang melihat keadaan kuil yang sudah tidak dipakai dan rusak itu, dia akan heran melihat betapa di dalam kuil kosong yang rusak itu terdapat sebuah kamar di dalamnya, kamar yang cukup teratur dan terawat. Kamar itu bersih walaupun sederhana dan berbau harum. Di dalam kamar itu hanya terdapat sebuah dipan kayu dan sebuah meja kayu. Satu-satunya hiasan hanyalah sehelai tirai sutera yang juga dipergunakan sebagai penutup jendela yang sudah berlubang dan daun jendelanya rusak.   Inilah ruangan yang dipergunakan oleh Siang Hwa untuk menjadi kamar tidurnya, sementara ia bersembunyi di dalam kuil itu. Dan setelah berhasil membuat Hui Song pingsan dan tidak berdaya lalu menawannya, ia membawa pemuda itu ke dalam kamar dan setelah mendudukkan tubuh Hui Song ke atas pembaringan dan mengikat kedua tangan pemuda itu dengan erat, ia lalu menyandarkan Hui Song dengan usapan-usapan pada muka, terutama di depan hidungnya, menggunakan obat bubuk penawar racun yang membuat pemuda itu jatuh pingsan.   Tak lama kemudian, sadariah Hui Song. Dia menggerakkan cuping hidungnya karena yang pertama terasa olehnya adalah keharuman yang menusuk hidungnya. Lalu dia membuka mata dan terbelalak menatap wajah manis yang berada begitu dekat dengan mukanya. Wajah cantik manis yang berbau harum, dengan sepasang mata setengah terpejam, bibir setengah terbuka, menantang dengan tahi lalat keeil di atas dagu. Dia terkejut dan otomatis meronta, akan tetapi dia semakin kaget mendapat kenyataan bahwa kedua lengannya tak dtpat digerakkan, terbelenggu pada pergelangan tangannya.   Diapun teringat kini dan alisnya berkerut, matanya menatap tajam wajah cantik yang amat dekat itu. Siang Hwa juga merasa bahwa tawanannya sadar, maka ia membuka mata menatap sambil tersenyum dan semakin mendekat sehingga tangannya menyentuh dada Hui Song. Pemuda itu bergidik ketika jari-jari tangan halus itu menyentuh dadanya yang ternyata sudah telanjang karena baju di bagian dadanya terbuka. Jari-jari tangan itu bergerak halus seperti cecak merayap di sepanjang dadanya, membuat Hui Song merasa malu dan canggung, akan tetapi dia tidak mampu mengelak karena punggungnya bersandar pada kepala dipan dan kedua lengannya tidak mampu digerakkan, Dia hanya dapat menarik kepalanya ke belakang untuk menjauhi muka manis yang begitu dekat sehingga napas gadis itu menyapu pipinya.   "Ehh...? Kau... kau perempuan curang!" dia membentak, teringat bagaimana dia sampai tertawan oleh gadis ini.   "Kau... kau laki-laki yang gagah perkasa, seorang jantan perkasa yang mengagumkan hatiku..." Siang Hwa berbisik dan merangkul, mendekap dan membenamkan mukanya di dada yang bidang dan telanjang itu. Sejenak mereka diam saja dan gadis itu dapat merasakan dan mendengar degup jantung yang amat kuat di balik dada itu, sedangkan Hui Song memejamkan kedua matanya. Seluruh tubuhnya tergetar oleh dekapan yang penuh gairah dan nafsu ini. Terasa olehnya betapa dari seluruh tubuh wanita ini seperti keluar hawa panas yang membakarnya dan dia terpaksa harus mengerahkan sin-kang untuk melawan dorongan nafsu yang mulai timbul dalam benaknya. Pengerahan sin-kang ini menolongnya dan dia membuka mata. Pada saat itu, dia melihat berkelebatnya bayangan orang di luar jendela! Ada seorang wanita yang mengintai ke dalam! Penglihatan ini sungguh amat membantunya dan seketika kegelisahan dan kebimbangannya lenyap. Tidak, dia tidak boleh jatuh ke dalam rayuan gadis jalang ini!   "Pergilah kau, perempuan curang dan jalang!" dia membentak.   Siang Hwa tidak menjadi marah, me-lainkan memandang dengan sinar mata lembut dan sikap memikat. "Kalau aku menghendaki tetap tadi aku sudah mem-bunuhmu. Akan tetapi tidak, aku tidak ingin membunuhmu, karena itu aku harus menggunakan siasat untuk mengalahkan-mu tanpa melukaimu atau membunuh. Kau maafkanlah aku."   "Hemm, siapakah engkau dan mengapa engkau menawanku?"   "Aku... namaku Siang Hwa, Gui Siang Hwa, seorang yatim piatu yang hidup se-batangkara. Aku ingin sekali bersahabat denganmu, akan tetapi engkau begitu ga-gah perkasa, tanpa menggunakan akal a-ku tidak akan dapat merobohkanmu. Engkau... yang bernama Cia Hui Song, bukan?"   Diam-diam pemuda itu terkejut. Kira-nya wanita ini bukan saja lihai dan berbahaya, akan tetapi juga cerdik sekali. Dia sendiri belum mengenal gadis ini, bahkan mendugapun tidak dapat siapa gerangan gadis cantik ini, akan tetapi gadis ini sudah mengenal namanya.   "Engkau sudah mengenalku. Engkau bilang ingin bersahabat dengan aku, akan tetapi engkau menyerangku, kemudian merobohkan aku dengan bubuk beracun dan kini menawanku, siapa mau percaya omonganmu?"   "Cia-taihiap, aku... begitu melihatmu, kemudian melihat kepandaianmu, aku... suka sekali kepadamu, aku... jatuh cinta dan aku ingin sekali bersahabat dengan-mu. Akan tetapi karena aku takut eng-kau akan memberontak dan tidak percaya kepadaku, maka terpaksa aku merobohkanmu secara itu dan kalau sekarang engkau berjanji mau menerima uluran tangan dan hatiku, aku tentu akan segera melepaskan ikatan kedua tanganmu..."   "Hemm, apa yang kaumaksudkan dengan uluran tangan dan hati itu?" Hui Song sudah berusia dua puluh empat tahun, akan tetapi dia masih asing dengan istilah-istilah mengenai cinta dan dia be-lum berpengalaman tentang wanita.   Siang Hwa tersenyum, mendekat dan meraba lalu mengelus dada telanjang itu, dan ia mendekatkan mukanya, bibirnya bergerak hendak mencari dan mencium bibir pemuda itu. Hui Song terpaksa menarik kepalanya ke belakang dan terde-ngar gadis itu berbisik, "Taihiap, uluran tangan dan hatiku adalah penyerahan se-luruh jiwa ragaku kepadamu, aku cinta padamu, taihiap..." Dan Siang Hwa tiba-tiba mencium bibir Hui Song yang tidak dapat mengelak lagi.   "Perempuan hina tak tahu malu!" Tiba-tiba terdengar bentakan halus dari luar jendela dan mendengar ini, tiba-tiba Siang Hwa melepaskan rangkulannya dan sekali meloncat ia sudah keluar dari dalam ka-mar itu.   Begitu ia tiba di luar kamar, seorang gadis yang manis menyambutnya dengan serangan sepasang pedang mengeluarkan sinar berkilat. Siang Hwa terkejut bukan main. Sebagai seorang ahli silat pandai, ia mengenal gerakan pedang yang amat lihai, maka iapun cepat mengelak dengan loncatan ke belakang. Akan tetapi gadis itu mendesaknya dengan kilatan-kilatan sepasang pedang yang dimainkan dengan cepat, indah dan berbahaya.   "Siapa engkau?" Siang Hwa membentak sambil meloncat mundur lagi ke ruangan depan kamarnya yang luas.   "Perempuan hina, aku adalah algojomu untuk mengakhiri kecabulanmu!" Gadis itu berteriak semakin marah dan penasaran melihat betapa serangan-serangannya tidak pernah berhasil. Ia menerjang lagi ke depan dan sepasang pedang di kedua tangannya itu berkelebatan membentuk dua gulungan sinar yang berkilauan.   "Bagus! Ilmu pedangmu bagus juga!" Siang Hwa berseru dan begitu tangan kanannya meraba pinggang, ia telah mengeluarkan sebatang pedang yang kebiruan. Kiranya pedangnya itu terbuat dari baja yang tipis sekali, tipis dan lemas sehingga dapat disimpan di pinggang sebagai ikat pinggang! Dan begitu ia mengelebatkan pedangnya, nampak sinar kebiruan.   "Trang! Cringg...!"   Gadis itu mengeluarkan seruan kaget. Pedang kebiruan itu dengan gerakan aneh dan cepat, telah menangkis dan begitu membentur sepasang pedangnya, ia mera-sa betapa tangannya kesemutan. Cepat ia meloncat ke belakang sambil memutar sepasang pedangnya untuk melindungi di-rinya. Terdengar Siang Hwa terkekeh dan iapun kini membalas dengan serangan-se-rangan dahsyat yang membuat gadis pemegang siang-kiam (sepasang pedang) itu menjadi repot untuk menangkis dan menghindarkan diri dari sambaran sinar biru yang amat lihai itu.   Mendengar suara gadis di luar kamar itu, Hui Song segere mengenalnya. Itulah suara Tan Siang Wi, sumoinya! Tentu sa-ja dia merasa gelisah sekali karena dia tahu bahwa sumoinya bukanlah lawan Siang Hwa yang amat lihai itu. Dia ber-usaha melepaskan diri, akan tetapi pe-ngaruh obat bius masih melemaskannya dan tali yang mengikat kedua pergelang-an tangannya juga amat kuat. Dia harus menanti sampai tenaganya pulih kembali akan tetapi saat itu sumoinya berada da-lam bahaya maut. Dia sudah mendengar suara berdencingan senjata pedang yang saling beradu dan dengan pendengarannya diapun dapat mengenal gerakan sumoi-nya yang kini mulai kacau dan terdesak, lebih banyak menangkis daripada menye-rang.   "Gui Siang Hwa, jangan celakai sumoiku...!" Akhirnya kcrena khawatir sumoinya celaka, dia berteriak.   Terdengar suara ketawa merdu wanita itu disusul tangkisan-tangkisan yang me-nimbulkan suara berdenting. "Hi-hik, ki-ranya sumoimu sendiri? Tentu saja aku tidak akan membunuhnya kalau begitu!" Dan suara ini disusul keluhan Tan Siang Wi dan terdengar jatuhnya tubuh gadis Cin-ling-pai itu.   "Sumoi, awas bubuk beracun obat biusnya!" Kembali Hui Song berteriak dengan khawatir.   Akan tetapi sumoinya tidak menjawab dan suasana menjadi sunyi. Yang terde-ngar hanyalah suara ketawa Siang Hwa dan tak lama kemudian wanita itu masuk lagi ke dalam kamar sambil mengempit tubuh Siang Wi yang sudah pingsan! Kiranya suara terjatuh tadi adalah robohnya Siang Wi terkena obat bius seperti yang pernah dialaminya tadi.   Sambil tersenyum kepada Hui Song, Siang Hwa berkata, "Lihat, kalau tidak berat kepadamu, tentu ia telah menjadi mayat. Cia-taihiap, dengan perbuatanku tidak membunuh engkau dan sumoimu, bukankah sudah cukup bukti bahwa aku ingin bersahabat denganmu?"   Hui Song maklum bahwa pada saat itu, sebelum dia dapat membebaskan dirinya, keselamatan nyawanya dan nyawa sumoinya memang berada di tangan gadis lihai ini. "Baiklah, kalau memang benar engkau ingin bersahabat denganku, apa salahnya? Akan tetapi, engkau tidak boleh memaksakan kehendakmu mengenai... mengenai cinta. Hal seperti ini tidak boleh dipaksakan, sama sekali tidak boleh!"   Siang Hwa mengerutkan alisnya. Belum pernah atau jarang sekali ada pria menolak cintanya. Hampir semua pria yang disenanginya menyambut cintanya dengan kedua tangan terbuka, sebagian kecil saja karena takut kepadanya dan sebagian besar karena memang mereka tergila-gila oleh kecantikannya. Akan tetapi pemuda Cin-ling-pai ini, ia yakin benar bahwa tentu pemuda she Cia ini adalah pemuda Cin-ling-pai karena ia tadi mengenal beberapa macam gerakan dasar dari Cin-ling-pai, pemuda ini tidak tergila-gila kepadanya, juga sama sekali tidak takut walaupun sudah tertawan dan tidak berdaya! Belum pernah ia bertemu dengan seorang pemuda seperti ini. pemuda gagah perkasa seperti ini selain amat mengagumkan hatinya dan menjatuhkan hatinya seperti yang belum pernah dialaminya, juga dapet merupakan seorang sahabat dan sekutu yang amat baik. Gurunya tentu akan girang sekali kalau bisa mendapatkan pembantu seperti Cia Hui Song ini dan tentu akan memujinya sebagai seorang yang pandai menarik tenaga yang amat kuat sebagai sekutu.   Hatinya amat kecewa dan nafsu berahinya yang tadinya memuncak itu tiba-tiba saja menjadi menurun banyak. Baiklah, bagaimanapun juga, aku harus dapat memanfaatkan pertemuannya dengan pemuda istimewa ini. Kalau tidak dapat menariknya sebagai kekasih, setidaknya untuk saat ini, biarlah ia menariknya sebagai sahabat dan sekutu. Kalau sudah menjadi sahabat, perlahan-lahan ia akan dapat merayunya dan ia masih penuh kepercayaan akan kemampuan dirinya dalam hal ini, bahkan hampir merasa yakin bahwa akhirnya pemuda ini akan roboh ke dalam pelukannya juga.   "Cia-taihiap, kaukira aku ini orang macam apakah? Aku tidak biasa memak-sakan cinta, dan walaupun aku jatuh ha-ti kepadamu dan mencintamu sejak per-tama kali bertemu, akan tetapi aku ha-nya mengharapkan engkau akan dapat menerima uluran tangan dan hatiku, aku tidak akan memaksamu. Baiklah, apakah engkau mau berjanji untuk bersahabat denganku?"   Hui Song juga bukan orang bodoh. Dia tahu bahwa gadis ini lihai dan berbahaya sekali dan dalam keadaan seperti itu, dia tidak dapat memilih. Dia sendiri sudah merasa betapa tenaganya sudah pulih dan dia merasa yakin bahwa kalau dia meng-hendaki, pada saat itupun dia akan mam-pu mengerahkan tenaga dan membebas-kan diri dari belenggu. Akan tetapi, de-ngan adanya Siang Wi yang masih tak mampu bergerak, akan berbahaya sekali kalau dia melakukan hal itu. Dan wanita ini hanya minta kepadanya untuk bersa-habat. Apa salahnya?   "Baiklah, apa salahnya kalau kita ber-sahabat? Akan tetapi sikapmu tidak se-perti bersahabat. Engkau menawan aku dan sumoi..."   "Sabarlah, aku akan membebaskanmu. Dalam keadaan sekacau ini, bagaimana aku tahu bahwa kalian adalah orang baik-baik? Siapa tahu kalau-kalau kalian ini mata-mata dari pihak pemberontak? Ka-lau kau mau berjanji menjadi sahabatku dan membantuku dengan suatu urusan, a-ku tentu akan membebaskunmu dan juga sumoimu dan minta maaf."   Diam-diam Hui Song merasa heran. Wanita ini agaknya tahu pula akan rencana pemberontakan para datuk sesat. Akap tetapi hal inipun tidaklah berapa aneh. Bukankah berita itu telah tersiar di dunia kang-ouw dan melihat kepandai-annya, wanita inipun tentu seorang kang-o-ouw yang lihai dan sudah mendengar pula akan berita itu. Dan agaknya wanita ini menentang kaum pemberontak, akan tetapi dia harus yakin akan hal ini.   "Nona, seorang dengan kepandaian seperti engkau ini mana takut akan segala kekacauan? Dan pemberontakan apa yang nona maksudkan?"   "Hemmm, tidak tahukah engkau bahwa kini ada rencana pemberontakan yang di-atur oleh para datuk di dunia kang-ouw?"   Hui Song mengangguk. "Aku sudah mendengar. Bukan datuk kang-ouw, me-lainkan datuk kaum sesat, bahkan Cap-sha-kui bersatu dan bersekutu dengan pa-ra datuk jahat dan dipimpin oleh Raja dan Ratu Iblis!" Hui Song memandang ta-jam untuk melihat reaksi pada wajah ga-dis itu.   "Ihh...!" Siang Hwa menarik muka kaget dan ngeri. "Sampai sedemikian jauh dan hebat? Kalau begitu, kerajaan teran-cam bahaya!"   "Nona, engkau mempunyai kepandaian tinggi, lalu dengan adanya kenyataan ini apakah yang akan kaulakukan? Apa-kah engkau hendak bergabung dengan mereka yang akan memberontak itu?"   Muka Siang Hwa menjadi merah, se-betulnya mukanya merah karena malu dan tidak enak hati, akan tetapi Hui Song mengiranya merah karena marah sehingga diam-diam dia merasa girang dan menduga bahwa gadis ini bukan te-man para pemberontak.   "Hemm, Cia-taihiap, apakah engkau juga hendak membantu Cap-sha-kui dan para pemberontak itu?" Siang Hwa yang cerdik balas bertanya sambil menatap tajam.   Hui Song menggeleng kepala. "Aku bukan penjahat dan bukan pula pemberontak, dan aku lebih suka menentang Cap-sha-kui daripada menjadi sahabat mere-ka!"   "Bagus, kalau begitu kita sepaham!" Siang Hwa berkata dengan senyum lebar. "Tadinya aku meragukan apakah engkau dan sumoimu itu mata-mata pemberontak. Maafkan aku, kalau begitu aku harus membebaskanmu, taihiap." Berkata de-mikian, ia mendekat dan hendak melepaskan tali yang mengikat kedua pergelang-an tangan Hui Song. Akan tetapi ia berhenti dan menatap wajah itu. "Tapi... kau belum berjanji untuk membantuku."   "Setelah kita bersahabat, tentu saja aku akan membantumu, asal saja bukan untuk perkara kejahatan."   "Hemm, apakah kau belum percaya padaku, taihiap? Aku bukan penjahat. Berjanjilah baHwa engkau akan membantuku, dan aku akan membebaskan kau dan sumoimu. Akan tetapi, sumoimu tidak boleh ikut serta."   "Mengapa?"   "Urusan itu adalah rahasiaku sendiri, orang lain, kecuali engkau yang kuminta bantuan tidak boleh tahu."   Hui Song mengangguk, mengerti. Pula, diapun tidak senang kalau sumoinya mencampuri urusannya. Pertama, watak sumoinya itu angkuh dan keras sehingga di mana-mana mudah menimbulkan keri-butan dan permusuhan, kedua, tingkat il-mu kepandaian sumoinya, walaupun pada umumnya dapat dianggap cukup lihai, a-kan tetapi belum boleh diandalkan kalau bertemu dengan datuk-datuk sesat dan ke tiga, dia tahu betapa sumoinya mencinta-nya dan mengharapkan dia menjadi sua-minya dan hal ini membuat dia merasa canggung dan tidak enak untuk berha-dapan dengan gadis itu.   "Kalau begitu, aku akan membebaskanmu sekarang!" Siang Hwa mendekat tetapi Hui Song tersenyum.   "Tidak perlu lagi, nona. Kalau aku mau, sejak tadipun aku sudah bisa mem-bebaskan diri sendiri." Berkata demikian, dia mengerahkan tenaga sin-kang, disalur-kan kepada lengannya dan sekali kedua lengan itu bergerak merenggut, terdengar suara keras, dan belenggu itupun putus-putus.   "Ihhh...!" Siang Hwa terkejut dan melompat ke belakang, meraba pinggang dan matanya terbelalak.   Akan tetapi Hui Song tersenyum. "Ja-ngan kaget dan jangan khawatir, nona. Aku tadi hanya ingin melibat apakah be-nar-benar engkau berniat baik maka aku sengaja membiarkan diri terbelenggu."   "Aihh... engkau... sungguh hebat, taihiap," katanya kagum. "Dan sekarang aku akan membebaskan sumoimu," Iapun cepat menghampiri Siang Wi, menggunakan obat penawar racun bius tadi. Tak lama kemudian terdengar Siang Wi mengeluh dan membuka mata. Begitu melihat gadis yahg tadi merayu suhengnya itu duduk berjongkok di dekatnya, Siang Wi mengeluarkan teriakan marah dan langsung saja ia mengirim pukulan-pukulan bertubi ke arah tubuh lawan yang amat dibencinya karena cemburu itu.   Siang Hwa meloncat ke belakang dan mengelak sambil menangkis beberapa ka-li. Gerakannya amat diperhatikan Hui Song den pemudia ini diam-diam harus mengakui bahwa tingkat ilmu silat dari Gui Siang Hwa memang amat tinggi, ge-rakannya cekatan, cepat sekali dan juga indah walaupun aneh dan liar sifatnya. Mudah nampak olehnya bahwa gerakan gadis itu jauh lebih lihai daripada gerak-an sumoinya dan kalau dilanjutkan, tentu sumoinya akan kalah walaupun Siang Hwa tidak mempergunakan racun bius.   "Sumoi, hentikan seranganmu!" bentak Hui Song.   Mendengar bentakan ini, Siang Wi me-nahan serangannya dan membalik, me-mandang kepada Hui Song dengan mata terbelalak mengandung sinar marah penasaran. "Suheng, ia... ia... si wanita cabul ini, tak tahu malu dan patut dibunuh!"   "Sumoi, tenanglah. Nona Gui ini ada-lah segolongan, tadi hanya terjadi salah paham antara kami..."   "Tapi... tapi aku melihat dengan me-taku sendiri, mendengar dengan telingaku sendiri betapa ia telah menawanmu, dan merayumu secara tak tahu malu..."   "Sstt, sumoi. Sudahlah. Kukatakan ta-di hanya salah paham. Kini kami sudah bersahabat, dan kami akan melakukan kerja sama untuk suatu urusan yang tak boleh diketahui orang lain. Karena itu, kuminta agar engkau suka meninggalkan tempat ini sekarang juga. Kembalilah kau ke Cin-ling-san dan jangan aku lagi."   "Tapi... suheng..."   "Sudahlah, sumoi. Kau jangan banyak membantah. Ketahuilah bahwa kalau ti-dak berniat baik, kita berdua tadi sudah tewas di tangan nona Gui. Pergilah!"   Tan Siang Wi berdiri dengan muka pucat, kedua tangan dikepal dan kini ke-dua matanya mulai basah. Ia memandang kepada dua orang itu secara bergantian, tatapan matanya pada Siang Hwa penuh kebencian, sedangkan kalau ia memandan-g suhengnya sepasang matanya me-mancarkan permohonan dan kekecewaan. "Suheng... haruskah aku pergi... Engkau mengusir aku begitu saja?"   Hui Song mengangguk. Dia tidak ingin menyakiti hati sumoinya, akan tetapi mengingat akan watak sumoinya yang keras, dia harus bersikap tegas. Dia su-dah berjanji kepada Siang Hwa dan dia tidak boleh melanggar janji itu. Pula, diam-diam dia menaruh hati curiga kepada Siang Hwa dan ingin menyelidiki siapa sesungguhnya wanita ini dan peran apa yang dipegangnya. Dia merasa bahwa ada sesuatu di balik diri wanita ini, karena seorang wanita selihai Siang Hwa tidak mungkin secara kebetulan saja bertemu dengan dia, mengajak bersahabat dan minta bantuannya untuk mengurus sesua-tu yang rahasia.   "Sumoi, harap jangan banyak bicara lagi. Pergi dan kembalilah ke Cin-ling-san."   Kini beberapa tetes air mata jatuh menitik. "Suheng... engkau... selalu mengecewakan dan menyakiti hatiku..."   "Maafkan, sumoi..."   Akan tetapi Tan Siang Wi sudah me-nyambar sepasang pedangnya yang tadi jatuh ke atas lantai ketika ia roboh ping-san dan berloncatan pergi meninggalkan tempat itu. Sunyi keadaan di dalam ruangan itu setelah Siang Wi pergi dan akhirnya terdengar tarikan napas panjang dari Siang Hwa.   "Aihhh... agaknya dengan kegantengan dan kegagahanmu engkau ditakdirkan untuk menjatuhkan dan mengecewakan hati wanita, taihiap. Sudah dua orang wanita kulihat hari ini yang menjadi korbanmu. Pertama adalah diriku sendiri, dan kedua adalah sumoimu!"   Hui Song juga menarik napas panjang. Diam-diam dia merasa kasihan sekali kepada Siang Wi, sumoinya itu. Sejak kecil sumoinya mencintanya dan cinta kanak-kanak itu makin lama semakin kuat dan akhirnya menjadi cinta kasih seorang wanita terhadap seorang pria, cinta kasih yang mengharapkan untuk diikat dan dikukuhkan menjadi perjodohan suami isteri. Dan dia tahu benar bahwa hatinya tidak mencinta sumoinya, walaupun dia sayang kepada sumoinya itu yang dianggap sebagai adik sendiri. Akan tetapi gadis di depannya ini? Dia belum mengenalnya benar dan tidak tahu apakah benar gadis ini cinta kepadanya seperti yang diakuinya. Dia harus bersikap hati-hati terhadap wanita ini.   "Maafkan aku kalau memang demikian, nona. Akan tetapi semua itu terjadi tanpa kesengajaan dari pihakku, dan ingat, cinta tidak mungkin dapat dipaksakan."   Siang Hwa tersenyum pahit dan mengangguk-angguk, diam-diam dia semakin kagum dan membayangkan betapa akan nikmatnya kelak kalau sampai ia berhasil membujuk pria ini menjadi kekasihnya dan berada dalam dekapannya. "Aku tidak menyalahkanmu, Cia-taihiap, dan aku merasa kasihan kepada sumoimu itu yang agaknya mencintamu dengan amat mendalam."   "Nona, ingin sekali aku mengetahui bagaimana engkau dapat mengenal namaku?"   Mereka kini duduk berhadapan di atas dua buah bangku yang berada di dalam ruangan itu, terhalang sebuah meja kecil. Siang Hwa tersenyum. "Aku mendengar dari Ciang-tosu dan Ciong-hwesio yang menjadi teman-temanku dalam urusan yang kumintakan bantuanmu ini."   Hui Song teringat akan dua orang kakek itu dan diapun tersenyum mengejek. "Wah, jangan-jangan dua orang kakek berpakaian tosu dan hwesio yang kejam itu, yang membunuh empat orang muda di dalam restoran dan..."   "Benar mereka!" kata Siang Hwa dengan sikap sungguh-sungguh. "Dan harap taihiap jangan mentertawakan dan salah sangka terhadap mereka! Mereka itu adalah bekas-bekas tosu dan hwesio dan biarpun kini bukan lagi terikat agama, mereka sudah terbiasa memakai jubah seperti yang dahulu mereka pakai ketika masih menjadi pendeta. Kini mereka adalah pertapa-pertapa dan mereka juga turun di dunia ramai untuk menentang kaum pemberontak."   "Ahh...!" Hui Song terheran dan juga kagum. "Akan tetapi mengapa mereka begitu kejam, menyebar maut di restoran, membunuh empat orang muda yang tidak berdosa?"   Gadis itu tersenyum, manis sekali kalau tersenyum, terutama karena tahi lalat kecil di atas dagu itu. "Orang-orang muda yang tidak berdosa? Taihiap tidak tahu..."   "Mungkin mereka melakukan kesalahan, akan tetapi kesalahan itu hanyalah berupa ejekan terhadap mereka yang berpakaian pendeta, dan itupun dilakuken dalam keadaan mabok."   "Taihiap salah mengerti. Empat orang muda itu tidaklah sebersih itu, tidak seperti yang taihiap sangka. Mereka adalah mata-mata pemberontak yang menyamar, sebagai pemuda-pemuda pemabokan dan kalau Ciang-tosu dan Ciong-hwesio tidak mempergunakan pukulan beracun, mereka tentu tidak mudah dikalahkan dan tempat kami tentu sudah ketahuan dan kami diserbu oleh para pemberontak."   Hui Song terbelalak heran, juga terkejut karena sungguh hal itu tidak pernah disangkanya sama sekali.   "Aku merasa gembira sekali dapat bersahabat dengan taihiap, apalagi akan mendapatkan bantuanmu. Ketika kedua orang locianpwe itu memberi tahu kepadaku tentang diri taihiap, kami bertiga sudah mengambil kesimpulan bahwa tentu engkau adalah seorang tokoh Cin-ling-pai dan ternyata dugaan kami benar seperti yang taihiap nyatakan sendiri ketika taihiap bicara dengan sumoi taihiap itu dan menyebut-nyebut Cin-ling-san."   "Memang aku adalah putera ketua Cin-ling-pai," kata Hui Song yang merasa tidak ada gunanya lagi menyembunyikan keadaan dirinya.   "Ahh...!" Gadis itu bangkit dan menjura. "Kalau begitu aku telah berlaku kurang hormat dan maafkanlah kelancanganku, taihiap."   "Sudahlah, nona. Kedudukan dan nama tidak merubah keadaan seseorang. Sebaiknya nona ceritakan, urusab apakah itu yang membutuhkan bantuanku?"   "Urusan ini amat penting dan rahasia, taihiap. Ketahuilah bahwa kami yang mewakili beberapa orang-orang kang-ouw di wilayah selatan, mengutus aku dan dibantu oleh dua orang locianpwe itu untuk menyelidiki sebuah harta karun."   "Hemm..." Hui Song termenung. Tak disangkanya bahwa urusan itu hanyalah urusan menyelidiki dan mencari harta karun!   "Bukan sembarang harta karun, taihiap. Kalau engkau mengira bahwa kami adalah orang-orang yang haus akan harta karun, engkau keliru! Ketahuilah bahwa kami mencari harta karun itu justeru dalam usaha kami menentang usaha para pemberontak. Para pemberontak itu akan menjadi kuat sekali kalau harta karun itu tidak kita dahului dan kita ambil."   "Apa maksudmu? Aku tidak mengerti, nona."   "Begini, taihiap. Tempat di mana harta karun itu berada kini juga diintai oleh para pemberontak. Kabarnya malah Raja dan Ratu Iblis sendiri juga mencarinya. Akan tetapi, kami lebih beruntung karena kami sudah dapat menemukan tempat itu. Hanya saja... tempat itu sukar didatangi, bahkan aku telah kehilangan nyawa beberapa orang teman ketika mencoba untuk mencari harta karun di tempat itu."   "Ah, begitu berbahayakah? Apa yang menyebabkan bahaya itu?"   "Tempatnya amat sukar dilalui dan tempat itu terkenal dengan nama Guha Iblis Neraka! Agaknya tempat itu memang sengaja dibuat agar tidak ada orang yang berani memasuki. Kabarnya, dahulu dibuat oleh seorang tosu sakti, yang mencuri harta karun dari kaisar la-lim dan disimpan di tempat itu, dan di-sediakan untuk mereka yang akan menen-tang kaisar lalim di kemudian hari. Har-ta karun itu sudah hampir seribu tahun umurnya dan sampai kini belum juga ada yang berhasil menemukannya."   "Kalau demikian sukarnya, mengapa engkau minta bantuanku? Kalau orang seperti engkau dan teman-temanmu tidak sanggup, mana mungkin aku akan bisa membantumu?"   "Begini, taihiap. Di antara kami yang depat menyeberangi jembatan batu pedang, hanya aku seorang. Kedua locianpwe itupun hanya sanggup maju belasan meter saja. Dan aku sudah menyeberangi jembatan batu pedang itu, namun selanjutnya aku tidak sanggup menggerakkan batu penutup lubang di sebelah dalam. Aku membutuhkan bantuan orang yang memiliki gin-kang dan sin-kang yang melebihi aku dan ternyata engkau amat lihai, jauh melampaui tingkatku dan..."   "Dan dengan mudah aku yang lebih lihai ini tertawan olehmu!" Hui Song mengejek   Siang Hwa tertawa. "Aih, engkau sakit hati benarkah, taihiap? Sudahlah, biar aka mengaku bahwa aku telah bertindak curang dan maafkanlah aku. Nah, rahasia itu sudah kuceritakan dan kalau engkau membantu kami, hal itu berarti bahwa engkau sudah menentang para pemberon-tak. Kalau kita berhasil, berarti kita te-lah memukul para pemberontak dan me-lumpuhkan setengah dari kekuatan mereka!"   Tentu saja Hui Song tertarik sekali. Biarpun dua orang kakek itu dianggapnya kejam, dan ternyata tidak dapat dinama-kan kejam kalau empat orang muda itu adalah mata-mata pentberontak, dan biarpun gadis ini pernah bersikap tidak me-nyenangkan hatinya, akan tetapi mereka ini adalah orang-orang yung menentang pemberontak yang dipimpin Raja dan Ratu Iblis, berarti masih rekan sendiri da-lam usahanya menentang para pemberontak.   "Baik, kapan kita berangkat ke sana?"   "Sekarang juga, taihiap."   "Baik, mari kita berangkat, singgah di rumah penginapan karena aku akan mengambil buntalan pakaianku lebih dahulu."   Wanita itu tertawa, pergi ke sebelah kamar dan kembali membawa sebuah buntalan yang terisi semua pakaian Hui Song yang tadi ditinggalkan di dalam ka-mar rumah penginapan itu.   "Eh? Bagaimana... kapan..."   "Taihiap, ketika aku mendengar dari kedua locianpwe tentang dirimu, aku ter-tarik sekali dan aku lalu pergi ke rumah penginapan itu, diam-diam memasuki ka-marmu. Ternyata engkau tidak ada, maka aku lalu mengambil pakaianmu, kubawa ke sini karena aku bermaksud untuk mencarimu sampai dapat. Ketika kulihat engkau berada di balik pohon, aku menyim-pan pakaian ini, lalu aku pergi lagi un-tuk muncul berlarian di atas genteng a-gar nampak olehmu dan selanjutnya kita bertanding..." Ia terkekeh lirih dan menutupi mulut, gayanya manis sekali. Wajah Hui Song menjadi kemerahan.   "Sudahlah, mari kita pergi."   "Pakaianmu biar disimpan di sini dulu."   Berangkatlah mereka berdua, seperti dua sahabat lama, meninggalkan kuil tua itu setelah Siang Hwa memadamkan pe-nerangan dan menutupkan pintu kamar sederhana itu. Dari luar, kuil itu nampak sunyi dan menyeramkan.   Mereka melakukan perjalanan cepat keluar dusun menuju ke arah timur. Pada pagi harinya, setelah melakukan perjalanan beberapa jam lamanya, mereka tiba di kaki bukit dan di luar sebuah hutan telah menanti dua orang yang dari jauh sudah dikenal oleh Hui Song, yaitu dua orang kakek yang pernah bertanding dengan dia, si tosu tinggi kurus dan si hwesio gendut!   Dua orang itu nampak terkejut meli-hat Hui Song, akan tetapi Siang Hwa se-gera tersenyum dan memperkenalkan.   "Ji-wi locianpwe jangan khawatir. Cia-tai-hiap telah menjadi sahabat kita yang se-haluan dan sudah kujelaskan semua ten-tang ji-wi kepadanya. Cia-taihiap adalah putera ketua Cin-ling-pai dan agaknya dialah yang memiliki kemampuan untuk membuat usaha kita berhasil."   Dua orang itu kini sikapnya berbeda dengan ketika pertama kali bertemu dengan Hui Song. Mendengar ucapan Siang Hwa, mereka segera menjura kepada Hui Song dengan sikap hormat dan ramah.   "Cia-taihiap, maafkan kami yang te-lah bersikap tidak patut kepadamu," kata Ciang-tosu yang sebenarnya adalah Hui-to Cin-jin, seorang di antara Cap-sha-kui yang belum pernah dikenal Hui Song.   "Ha-ha-ha, ada peribahasa mengatakan bahwa Tidak Berkelahi Maka Tidak Kenal ternyata benar! Cia-taihiap, kita sudah saling bertanding, maka saling mengenal isi perut masing-masing! Ha-ha-ha!" Ciong hwesio yang sebenarnya adalah Kang-thouw Lo-mo juga berkata.   "Cia-taihiap, harap maafkan. Ciang-tosu memang selalu serius dan Ciong-hwesio sebaliknya suka bergurau!" Siang Hwa cepat berkata untuk memberi isya-rat kepada kedua orang temannya bahwa ia memperkenalkan mereka kepada Hui Song sebagai Ciang-tosu dan Ciong-hwe-sio.   "Siancai... memperoleh seorang pem-bantu seperti Cia-taihiap sungguh merupakan suatu kebahagiaan besar!" kata Ciang-tosu.   "Omitohud, sungguh pinceng yang ti-dak becus sehingga merepotkan saja ke-pada putera ketua Cin-ling-pai." kata pu-la Ciong-hwesio.   Berangkatlah empat orang itu melan-jutkan perjalanan menuju ke utara. Per-jalanan itu dilakukan dengan cepat dan setelah mereka melewati dan menyebe-rangi Sungai Ching-ho, tibalah mereka di kaki Pegunungan Lu-liang-san yang amat luas itu. Perjalanan sampai ke situ sudah makan waktu lima hari dan selama lima hari itu, Siang Hwa dan dua orang kakek itu selalu bersikap ramah dan sopan sehingga keraguan dan kecurigaan hati Hui Song semakin menipis. Gadis itu memang seorang pendekar wanita, pikirnya, hanya agaknya memiliki kelemahan terhadap pria yang menarik hatinya, ataukah me-mang gadis ini benar-benar jatuh cinta kepadanya. Di sepanjang perjalanan, Siang Hwa tidak memperlihatkan sikap genit. Bujuk rayu yang amat berani, yang dila-kukon ketika Hui Song tertawan itu, kini sama sekali tidak nampak lagi dan ia ha-nya kelihatan amat memperhatikan Hui Song dan selalu berusaha menyenangkan hatinya, seperti biasanya seorang wanita yang jatuh cinta.   Setelah melewatkan malam di kaki bukit, pada keesokan harinya pagi-pagi sekali mereka sudah berangkat lagi, sekali ini memasuki hutan dan melalui ja-lan yang amat sukar, naik turun bukit dan jurang, melalui jalan liar berbatu-batu yang runcing dan tajam. Jelas bahwa orang biasa akan sukar melalui jalan seperti itu, dan kalaupun ada orang pandai yang dapat, untuk apa mereka bersusah payah mendatangi tempat ini? Tanpa tujuan penting, kiranya tidak akan ada orang begitu gila untuk menyusahkan diri memasuki daerah yang liar dan su-kar dilalui ini.   Setelah matahari naik tinggi, di ba-wah pimpinan Ciang-tosu yang agaknya mengenal baik jalan liar itu, tibalah me-reka di daerah berbukit-bukit dan mereka berhenti di depan sebuah bukit yang di-kelilingi jurang. Hui Song terbelalak ka-gum. Bukit ini seperti sebuah rumah be-sar saja, dan pintunya adalah sebuah guha yang besar. Agaknya guha ini dahulu-nya ditutup dengan pintu batu yang amat besar. Akan tetapi pintu batu itu kini sudah terbuka miring dan pada pintu ba-tu yang amat tebal dan beratnya tentu ribuan kati itu terdapat ukiran tulisan tiga huruf yang berbunyi GUHA IBLIS NERAKA. Sungguh amat indah, megah dan juga menyeramkan. Siapakah orang-nya yang sudah dapat membuat pintu batu seperti itu dan siapa pula yang kuat membukanya? Kalau menggunakan tenaga manusia biasa, sedikitnya membutuhkan lima puluh orang yang menggabungkan tenaganya. Dan guha yang sudah terbuka itu nampak begitu luas, seolah-olah bu-kan guha melainkan sebuah pintu tem-busan menuju ke sebuah dunia yang lain lagi, dunia penuh dengan batu-batu rak-sasa yang aneh-aneh bentuknya, seperti diukir saja. Ataukah ini merupakan istana besar yang dihuni setan?   Empat orang itu begitu terpesona dan asyik memandang ke dalam, berdiri seperti patung-patung di depan guha yang pintunya terbuka itu sehingga mereka tidak tahu sama sekali bahwa sejak tadi, sebelum mereka tiba di tempat itu, jauh tinggi di atas pohon terdapat seorang gadis yang mendekam di atas dahan dan bersembunyi di balik daun-daun lebat, mengintai ke arah mereka! Seorang gadis manis yang cantik jelita, berusia kurang lebih sembilan belas tahun, berwajah periang dan bermata kocak, berpakaian sederhana.   Kalau saja Hui Song dapat melihat gadis itu, tentu dia akan berteriak kegirangen karena gadis itu adalah wanita yang selama ini selalu terbayang olehnya, dibawa ke dalam mimpi, dan tak pernah dilupakannya. Gadis itu adalah Ceng Sui Cin!   "Sebaiknya kita masuk sekarang sebelum gelap," kata Ciang-tosu atau Hui-to Cin-jin sambil menunjuk ke dalam dengan tangan kirinya.   "Mari, taihiap, kita masuk, biar aku yang menjadi penunjuk jalan karena aku yang sudah beberapa kali pernah masuk ke sini!" kata Siang Hwa.   Hui Song yang sudah tertarik sekali mengangguk. Mereka berempat lalu ma-auk ke dalam guha, Siang Hwa dan Hui Song di depan, diikuti oleh dua orang ka-kek itu. Setelah mereka berempat ma-suk, Sui Cin dari atas "mclayang" ke bawah. Ya, gerakannya itu seperti seekor burung melayang saja, demikian ringan dan cepatnya. Ternyata gadis ini jauh berbeda dengan Sui Cin tiga tahun yang lalu. Gerakannya sungguh luar biasa dan ia telah benar-benar menguasai ilmu Bu-eng Hui-teng (Lari Terbang Tanpa Ba-yangan) dengan baik. Dengan gerakan yang amat sigap, iapun menyelinap me-suk ke dalam guha di sebelah sana pintu dan ternyata di bagian dalam itu meru-pakan daerah yang luas dan berbatu-batu sehingga memudahkan gadis ini untuk me-nyelinap di antara batu-batu, bersembunyi dan membayangi empat orang yang berloncatan di sebelah depan.   Setelah melalui perjalanan berliku-liku di antara batu-batu besar, empat orang itu berhenti di depan terowongan dan memandang ke depan.   "Inilah jembatan batu pedang itu!" ka-ta Siang Hwa dan Hui Song memandang terbelalak ke depan. Hebat memang. Bu-kan jembatan, melainkan lorong yang pe-nuh dengan batu-batu meruncing seperti dibuat oleh tangan manusia sakti saja. Lorong itu demikian penuh dengan batu-batu meruncing ini sehingga untuk melewati lorong itu, satu-satunya jalan ha-ruslah berloncatan dari batu ke batu, di atas ujung-ujung batu runcing seperti pe-dang itu! Dan untuk mengerjakan ini bu-kanlah hal yang mudah, membutuhkan gin-kang yang sudah matang dan juga tenaga sin-kang yang kuat.   "Nah, di sinilah semua teman mogok. Ciang-tosu dan Ciong-hwesio sudah pernah mencoba, akan tetapi mereka hanya sampai beberapa meter saja. Aku sendiri sudah tiga kali melewati jembatan ini dengan hasil baik, akan tetapi selanjut-nya aku tidak sanggup lagi. Di sebelah depan sana terlalu berbahaya dan sukar," Siang Hwa menerangkan.   "Apakah kesukarannya?" Hui Song ber-tanya.   "Menuturkannya membuang-buang waktu saja dan tidak ada gunanya. Marilah kita melewati jembatan ini dulu, di de-pan engkau akan dapat melihatnya sen-diri, taihiap. Mulai dari sinilah aku membutuhkan bantuan seorang seperti engkau maka selanjutnya engkaulah yang memim-pin karena kepandaianmu jauh lebih lihai dan dapat dipercaya daripada aku sen-diri."   "Nanti dulu, nona. Selama beberapa hari aku mengikutimu dan membantumu tanpa banyak bertanya. Kini kita telah tiba di tempat ini dan kukira aku berhak mengetahui segala sesuatu tentang pe-kerjaan yang kita lakukan. Tempat apa-kah ini sebenarnya dan harta pusaka itu milik siapakah? Bagaimanapun juga, aku sungguh tidak akan mau membantu kalau terdapat kenyataan bahwa kita sedang melakukan pencurian atau perampasan."   Mendengar ini, Siang Hwa dan dua o-rang kakek itu saling pandang dan nampak keraguan pada pandang mata dua o-rang kakek itu. Akan tetapi Siang Hwa mengangguk dan berkata. "Memang sudah sepatutnya kalau taihiap mengetahuinya, dan orang yang lebih mengetahuinya mengenai harta pusaka itu adalah Ciang-to-su." Dan ia menoleh kepada kakek ber-pakaian tesu itu. "Ciang-locianpwe, Cia-taihiap adalah orang segolongan dan sehaluan, tiada salahnya kalau mendengar tentang harta pusaka ini. Harap locian-pwe suka menjelaskannya."   "Siancai, sesungguhnya cerita menge-nai harta pusaka ini merupakan rahasia besar, tadinya rahasia keluarga pinto, ki-ni menjadi rahasia kita yang menentang pemberontakan. Akan tetapi karena Cia-taihiap, biarlah pinto membuka rahasia dan menceritakannya."   Kakek yang berlagak seperti pendeta beragama To itu mulai bercerita. Kira-nya dia adalah keturunan Bangsa Mongol, bahkan nenek moyangnya pada hampir dua ratus tahun yang lalu merupakan pe-jabat tinggi atau ningrat dalam Kerajaan Goan yang berbangsa Mongol. Ketika itu pemerintahan Mongol yang memakai nama Dinasti Goan menguasai seluruh Tiongkok dan cerita tosu ini terjadi pada waktu pemerintahan dipegang oleh Kaisar Shun Ti (1333-1368). Pada waktu itu hasil tanah rampasan dari daerah-daerah yang tadinya masih belum mau mengakui kekuasaan Kerajaan Goan kemudian ditaklukkan, dibagi-bagi di antara para ningrat Mongol. Pembagian itu amat besar karena paling kecil tanah yang dibagikan kepada mereka itu mencapai luas seratus hektar! Terjadilah perampasan-perampasan karena para pejabat tinggi menjadi "mabok tanah" dan timbullah tuan-tuan tanah dalam arti yang sebenarnya karena mereka itu masing-masing memiliki tanah yang ratusan, bahkan ribuan hektar luasnya! Tentu saja orang yang menguasai tanah sampai sekian luasnya itu merupakan raja kecil dalam tanah yang dikuasainya. Tanah-tanah itu oleh para tuan tanah disewakan kepada buruh-buruh tani dengan memungut hasil tanah yang amat menekan, seolah-olah para petani itu diperas keringatnya dan dihisap sebagian besar hasil tenaga me-reka. Dan para petani itu tetap mau sa-ja diperas seperti itu karena mereka ha-nya bermodal tenaga, tidak memiliki tanah secuilpun. Tanpa adanya tanah, kepandaian dan tenaga mereka untuk ber-cocok tanam tidak ada artinya dan me-reka perlu makan setiap hari.   Dengan adanya kekuasaan mutlak yang dipergunakan dengan sewenang-wenang ini, maka banyak di antara para pejabat tinggi dan ningrat ini yang berhasil menumpuk harta kekayaan yang sukar diba-yangkan banyaknya. Dan di antara mere-ka itu terdapat nenek moyang Ciang-tosu atau yang sesungguhnya berjuluk Hui-to Cin-jin itu! Pembesar Mongol ini menum-puk harta kekayaan yang amat besar, kemudian menurunkan harta kekayaan itu kepada keturunannya sampai akhirnya pe-merintah Mongol ditumbangkan oleh rakyat yang memberontak pada tahun 1368 dan brakhirlah pemerintahan penjajah Mongol dan lahirlah Dinasti Beng-tiauw yang dipimpin oleh bangsa sendiri sampai saat Hui Song mendengar cerita itu dituturkan oleh Ciang-tosu.   Akan tetapi, seperti juga banyak pembesar tinggi pemerintah Mongol lainnya, nenek moyang Ciang-tosu berhasil melarikan sebagian besar harta kekayaannya dan menyembunyikannya ke dalam tempat rahasia yang dinamakan Guha Iblis Neraka itu. Dengan bantuan beberapa orang pandai, pembesar Mongol itu menyembunyikan harta kekayaan berupa emas dan batu-batu permata dan setelah berhasil menyembunyikannya, pembesar ini memerintahkan para pengawalnya untuk membunuh semua pembantu sehingga tempat itu menjadi rahasia yang hanya diketahuinya sendiri saja. Rahasia ini dibawanya lari ketika pemerintahan bangsanya jatuh dan hanya sedikit harta benda yang dapat dibawanya lari ke utara. Dan rahasia itu menjadi warisan bagi anak cucunya. Akan tetapi, tidak mudah bagi anak cucunya untuk dapat mengambil harta pusaka yang tersimpan di tempat yang rahasia dan berbahaya itu. Ketika menyimpan rahasia itu, orang-orang pandai yang membantunya menggunakan alat-alat rahasia sehingga ketika mereka keluar, alat-alat itu digerakkan dan betu-batu runtuh menimbun dan menghapus jejak sehingga amatlah sukar bagi orang untuk menemukan harka itu, biarpun dia sudah tahu di mana letaknya. Apalagi bagi orang luar. Dan jalan menuju ke harta karun itupun amatlah sulit dan berbahayanya. Inilah sebabnya, mengapa sampai hampir dua ratus tahun, tidak ada orang yang menemukan harta itu yang masih tersimpan dan tertimbun dengan aman di tempat yang menyeramkan itu.   "Keturunan pembesar penyimpan harta karun itu, yang terakhir adalah pinto sendiri. Akan tetapi, biarpun pinto juga mewarisi pengetahuan tentang harta itu dan memiliki peta yang menunjukkan tempatnya, untuk apakah harta itu bagi pinto yang sejak muda menjadi pendeta? Pula, kepandaian pinto terlalu rendah untuk dapat menggali dan menemukan harta pusaka itu, maka sampai kini pinto tinggal diam saja. Barulah setelah pinto mendengar bahwa rahasia harta karun ini sampai ke telinga para pemberontak dan mereka berusaha mencari dan menguasainya untuk dipakai biaya melakukan pem-berontakan, hati pinto tergerak dan ber-sama kawan-kawan sehaluan pinto ber-usaha mendapatkan harta karun itu men-dahului para pemberontak!"   "Jalan selanjutnya bukan terjun ke bawah, melainkan melompati sumur pa-sir itu dan berusaha mendarat di seberang," kata Siang Hwa.   "Menyeberang ke sana? Tapi, di depan itu hanya tebing..."   "Inilah mengapa aku mengatakan bah-wa tempat ini amat sukar, taihiap. Dan bagian ini bukanlah yang paling sukar. Aku sendiri sudah sampai ke sana. Kaulihat batu menonjol di tebing itu, yang berwarna agak kehitaman? Nah, tonjolan batu itu dapat dipakai tempat mendarat. Di sebelah atas tonjolan itu terdapat le-kukan yang cukup dalam dan lebar untuk tangan berpegangan dan bergantung, sedangkan di bawah tonjolan batu itu ter-dapat pula lekukan yang lebih besar lagi untuk tempat kaki berpijak. Kau dapat melihatnya, taihiap?"   Hui Song mengangguk-angguk dan dia merasa kagum kepada nona ini. Seorang diri, Siang Hwa dapat menemukan tem-pat mendarat yang luar biasa itu, sung-guh merupakan kecerdikan dan juga ke-beranian yang jarang terdapat. Dia sen-diri, kalau tidak diberi tahu, belum tentu akan dapat menemukan kemungkinan me-loncati sumur pasir dan mendarat di te-bing yang curam itu.   "Kalau ragu-ragu, biarlah aku yang melompat lebih dulu, taihiap," kata Siang Hwa. Mendengar ini, tersinggung rasa harga diri Hui Song. Kalau gadis itu berani meloncati, mengapa dia tidak? Dan pula, setelah melihat tonjolan batu dan lekukan-lekukan pada dinding itu, dia maklum bahwa meloncati dan hinggap di tebing itu bukan merupakan pekerjaan yang terlalu sukar baginya.   "Tidak, biarkan aku melompat lebih dulu."   Tanpa menanti jawaban, Hui Song mengerahkan tenaganya dan meloncat. Dengan mudah saja tubuhnya melayang ke depan dan di lain saat dia sudah hinggap di tebing itu, tangan kanannya mencengkeram lekukan di atas tonjolan batu dan kaki kirinya hinggap di lekukan bawah.   "Bagus, sekarang harap merayap ke kiri. Di balik batu itu terdapat batu datar, harap berputar di balik batu dan meninggalkan tempat mendarat itu untukku, taihiap."   Hui Song merayap ke kiri, berpegang kepada lekukan-lekukan di permukaan tebing yang tidak rata dan sebentar saja dia menemukan tempat yang dimaksud oleh gadis itu. Memang, di balik tebing terdapat batu datar dan diapun berputar dan berdiri di atas batu datar itu. Kiranya di balik tebing terdapat lereng yang batunya datar.   Dia memandang ketika gadis itu meloncat dan ternyata Siang Hwa mampu pula meloncati sumur pasir itu dengan mudah, hinggap di tempat dia mendarat tadi. Tak lama kemudian gadis itu telah berdiri di sampingnya, dan sebuah tangan yang hangat lunak memegang tangannya. Dia merasa betapa tangan gadis itu agak dingin gemetar.   "Kenapa?" tanyanya heran.   Jari-jari tangan itu mencengkeram dengan hangat, lalu melepaskan kembali pegangannya. "Maaf, taihiap. Aku selalu merasa tegang sekali kalau sudah meloncati sumur mengerikan itu, teringat kepada teman-teman yang telah ditelannya." Ia bergidik. Kemarahan Hui Song karena kemesraan yang lancang itu lenyap dan dia merasa kasihan.   "Engkau tidak sendirian, nona. Akupun merasa tegang dan ngeri. Tempat ini memang sungguh menyeramkan dan sukar dilalui. Akan tetapi aku berjanji akan membantu sampai engkau dapat menemukan tempat penyimpanan harta karun itu, terutams demi untuk menentang para penjahat yang hendak memberontak."   "Terima kasih, Cia-taihiap, mari kita lanjutkan perjalanan ini. Tidak jauh lagi, akan tetapi masih harus melalui dua tempat yang lebih sukar dan lebih berbahaya lagi. Nah, kaulihat, di depan itu terbentang rawa yang menghalang perjalanan menuju ke tempet penyimpanan harta karun itu. Perjalananku yang sudah-sudah, untuk pertama kalinya ketika aku melakukan perjalanan seorang diri menyelidik, hanya sampai di tepi rawa ini dan aku tidak mampu melanjutkan. Kemudian aku datang lagi dibantu oleh seorang yang cukup lihai dan kami berhasil menyeberang, akan tetapi pada rintangan terakhir kami gagal dan pulangnya, temanku itu celaka dan tewas di rawa itu."   Kalau saja Hui Song tahu akan kebohongan gadis ini, tentu dia akan bergidik ngeri. Memang benar gadis itu pernah berhasil menyeberangi rawa dengan ban-tuan seorang gagah, akan tetapi setelah gagal menemukan harta pusaka, khawatir karena rahasia harta karun itu telah di-ketahui orang luar, secara keji ia lalu membunuh orang gagah yang tadinya membantunya itu di tengah rawa!   Mendengar ini, Hui Song memandang rawa itu dengan penuh perhatian. Mereka kini sudah tiba di tepi rawa. Sebuah ra-wa yang kecil saja, akan tetapi sungguh tidak mungkin dilewati tanpa mempergu-nakan alat. Melompati rawa ini hanya mampu dilakukan oleh burung dan bina-tang bersayap lainnya saja. Rawa itu merupakan air lumpur yang ditumbuhi bermacam tumbuh-tumbuhan yang biasa hidup di atas lumpur dan tidak melihat perahu atau alat lain untuk menyeberang.   "Bagaimana cara menyeberangi rawa ini dan apa bahayanya, nona?" ta-nyanya.   Siang Hwa tersenyum. "Nampaknya aman dan tenang, bukan? Akan tetapi ketahuilah, taihiap, di bawah permukaan air berlumpur yang kelihatan tenang itu bersembunyi binatang-binatang iblis yang amat mengerikan dan liar sekali. Bina-tang yang siap mengintai dari bawah un-tuk menerkam dan menyerang siapa saja yang berani melintas di permukaan ra-wa."   "Binatang apakah itu?"   "Lihat, akan kupancing keluar mere-ka!" kata Siang Hwa, kemudian ia mengambil sebatang kayu dan menggunakan kayu itu untuk mengaduk-aduk dan menggerak-gerakkan permukaan air berlumpur di tepi rawa. Tak lama kemudian air berlumpur itu berguncang dan muncullah moncong beberapa ekor binatang seperti buaya dan mereka bergerak ganas, memukul-mukul dengan ekor mereka yang seperti gergaji ke arah kayu itu bahkan ada yang menggunakan moncongya untuk menyerang. Moncong itu mengerikan. Panjang dan ketika dibuka, amat lebarnya, penuh dengan gigi yang tajam meruncing seperti gigi gergaji pula! Dan gerakan ini memancing datangnya segerombolan binatang ini sehingga dalam waktu singkat saja di seluruh permukaan rawa itu nampak moncong atau ekor tersembul keluar! Mungkin ada ribuan ekor di seluruh rawa itu.   "Ah, sungguh berbahaya!" Hui Song bergidik ngeri. Bagaimana mungkin mereka akan dapat melawan sekian banyaknya binatang liar dan buas ini? "Lalu begaimana kita akan dapat menyeberang?"   Siang Hwa tersenyum, agaknya bangga akan pengetahuan dan kecerdikannya. "Kita tidak depat menggunakan perahu. Selain akan sukar meluncur, juga sekali terpukul ekor binatang itu, perahu kayu akan hancur berkeping-keping. Kita menggunakan bambu. Kalau kita berdiri di atas bambu den mendayung, tentu bambu akan meluncur laju dan kalau kita berdua, kita dapat berjaga di kedua ujung bambu. mengusir dan menghantam setiap ekor binatang yang berani mendekat dengan pentungan kayu yang dapat kita cari di sini. Seorang diri saja akan amat berbahaya karena kalau kita diserang dari depan belakang, selagi berdiri di atas bambu dan mengatur keseimbangan badan pula, akan sukarlah menyelamatkan diri."   Gadis itu lalu mengajak Hui Song pergi mengambil alat-alat itu yang disembunyikannya di balik bukit kecil tidak jauh dari situ. Mereka lalu menggotong sebatang bambu yang panjangnya kurang lebih tiga meter, kedua ujungnya meruncing. Bambu ini sudah tua dan kering, kuat den ulet sekali dan Siang Hwa juga sudah menyediakan dayung sebanyak dua batang dengan gagang panjang. Dayung ini terbuat dari kayu dilapis baja dan ujungnya bahkan seluruhnya terbuat dari besi, maka dayung ini dapat dipergunakan untuk mendayung perahu istimewa berupa sebatang bambu itu, juga dapat dipergunakan sebagai senjata ampuh untuk menghadapi binatang-binatang seperti buaya itu.   "Hemm, kiranya engkau sudah mem-persiapkan segalanya, nona," kate Hui Song kagum.   "Sudah kukatakan bahwa sudah beberapa kali aku datang ke tempat ini, taihiap. Namun sampai kini tanpa hasil dan sekaranglah timbul harapanku akan ber-hasil, dengan bantuanmu. Mari kita me-nyeberang. Biar aku menjaga di ujung depan dan engkau di ujung belakang, taihiap."   "Baiklah!" kata Hui Song yang merasa betapa jantungnya berdebar juga ketika batang bambu itu diturunkan di atas per-mukaan air berlumpur.   Siang Hwa meloncat ke atas bambu dan berjalan sampai ke ujung depan, diikuti oleh Hui Song. Jangan dikira mudah berdiri di atas batang bambu besar yang terapung di atas air berlumpur. Bambu itu bergoyang-goyang dan condong untuk berputar sehingga orang yang tidak me-miliki gin-kang yang tinggi dan pandai mengatur keseimbangan tubuh, tentu akan terbawa berputar dan terpelanting ke da-lam air berlumpur itu. Dan di kanan kiri bambu itu kini sudah nampak moncong-moncong mengerikan dan ekor-ekor yang panjang dan kuat!   "Jangan sembarangan memukul mere-ka, taihiap. Kalau ada yang mencoba menyerang, baru kita memukul, akan tetapi sekali pukul harus mengenai kepalanya dan harus menewaskannya, kalau ti-dak dia akan mengamuk dan berbahaya-lah kita. Sesudah seekor kita tewaskan, kita harus cepat mendayung bambu ini meluncur maju, karena bangkainya akan dijadikan rebutan kawan-kawannya sendiri sehingga air lumpur akan berguncang he-bat."   Hui Song mengangguk-angguk, mata-nya tidak berani berkedip memandang ke sekelilingnya dan diapun menggerakkan dayungnya membantu Siang Hwa yang sudah mulai mendayung. Bambu yang ujungnya runcing itu menggeleser lembut dan meluncur dengan cepatnya di atas permukaan air berlumpur itu, menyusup di antara alang-alang dan tumbuh-tumbuhan lain.   Baru belasan meter bambu mereka meluncur, setelah banyak pasang mata di belakang moncong-moncong itu memandang seperti terkejut dan terheran, mulailah datang serangan itu. Seekor binatang liar menerjang dari depan menyambut ujung bambu. Melihat behaya ini, Siang Hwa menggerakkan dayungnya, menyambut dengan hantaman keras.   "Prakkk!" Pecahlah kepala binatang itu dan dengan dayungnya Siang Hwa mencongkel dan melempar bangkai binatang itu agak jauh. Hui Song melihat betapa tempat di mana bangkai itu jatuh kini penuh dengan binatang yang mengeroyok dan memperebutkan bangkai yang sebentar saja sudah dirobek-robek dan ditelan habis. Air lumpur menjadi merah warnanya. Diam-diam dia bergidik juga membayangkan bagaimana kalau tubuh manusia yang dijadikan rebutan seperti itu!   "Cepat dayung!" Siang Hwa berteriak. "Mereka mendayung dan bambu meluncur ke depan, akan tetapi terpaksa Hui Song harus berhenti mendayung karena tiba-tiba seekor binatang yang amat besar berenang dengan cepat dan memukulkan ekornya ke arahnya. Dayungnya terlampau pendek untuk mencapai kepala buaya itu, maka dia hanya mempergunaken dayung untuk menangkis ekor. Buaya itu kesakitan dan marah, membalik dan dengan moncong dibuka lebar dia menyerang, hendak menggigit apa saja. Hui Song menggerakkan dayungnya dan pecahlah kepala binatang itu. Seperti yang dilakukan oleh Siang Hwa tadi, dengan dayungnya dia mendorong dan melemparkan bangkai itu agak jauh dari bambu. Bangkai itu segera menjadi rebutan seperti tadi.   Akan tetapi, agaknya binatang-binatang itu menganggap bahwa dua orang penunggang bambu itu mendatangkan rejeki dan memberi makanan kepada mereka, kini mereka semua bereng menghampiri dan nampak betapa moncong-moncong itu muncul banyak sekali di kanan kiri, depan dan belakang perahu.   Dayung cepat...!" Siang Hwa berteriak khawatir melihat begitu banyaknya binatang yang mendekati bambu. Kembali mereka mendayung sambil mengerahkan tenaga sin-kang dan karena tenaga Hui Song memang besar sekali, dayungnya membuat bembu itu meluncur dengan amat lajunya. Akan tetapi, baru sampai di tengah-tengah rawa, bambu itu sudah dikurung oleh ratusan ekor binatang buas itu yang kini agaknya menjadi marah karena tidak mendapatkan makanan lagi. Binatang ini agaknya mempunyai watak seperti ikan-ikan hiu di lautan. Mereka bekerja sama dengan rukun, akan tetapi sekali mencium darah, mereka tidak memperdulikan darah kawan atau lawan. Semua yang berdarah akan diserbu dan diganyang dengan lahapnya!   Melihat ancaman hebat ini, Siang Hwa berteriak, "Taihiap, cepat, kita berkumpul di tengah dan saling melindungi!"   "Ah, sungguh berbahaya!" Hui Song bergidik ngeri. Bagaimana mungkin mereka akan dapat melawan sekian banyaknya binatang liar dan buas ini? "Lalu begaimana kita akan dapat menyeberang?"   Siang Hwa tersenyum, agaknya bangga akan pengetahuan dan kecerdikannya. "Kita tidak depat menggunakan perahu. Selain akan sukar meluncur, juga sekali terpukul ekor binatang itu, perahu kayu akan hancur berkeping-keping. Kita menggunakan bambu. Kalau kita berdiri di atas bambu den mendayung, tentu bambu akan meluncur laju dan kalau kita berdua, kita dapat berjaga di kedua ujung bambu. mengusir dan menghantam setiap ekor binatang yang berani mendekat dengan pentungan kayu yang dapat kita cari di sini. Seorang diri saja akan amat berbahaya karena kalau kita diserang dari depan belakang, selagi berdiri di atas bambu dan mengatur keseimbangan badan pula, akan sukarlah menyelamatkan diri."   Gadis itu lalu mengajak Hui Song pergi mengambil alat-alat itu yang disembunyikannya di balik bukit kecil tidak jauh dari situ. Mereka lalu menggotong sebatang bambu yang panjangnya kurang lebih tiga meter, kedua ujungnya meruncing. Bambu ini sudah tua dan kering, kuat den ulet sekali dan Siang Hwa juga sudah menyediakan dayung sebanyak dua batang dengan gagang panjang. Dayung ini terbuat dari kayu dilapis baja dan ujungnya bahkan seluruhnya terbuat dari besi, maka dayung ini dapat dipergunakan untuk mendayung perahu istimewa berupa sebatang bambu itu, juga dapat dipergunakan sebagai senjata ampuh untuk menghadapi binatang-binatang seperti buaya itu.   "Hemm, kiranya engkau sudah mem-persiapkan segalanya, nona," kate Hui Song kagum.   "Sudah kukatakan bahwa sudah beberapa kali aku datang ke tempat ini, taihiap. Namun sampai kini tanpa hasil dan sekaranglah timbul harapanku akan ber-hasil, dengan bantuanmu. Mari kita me-nyeberang. Biar aku menjaga di ujung depan dan engkau di ujung belakang, taihiap."   "Baiklah!" kata Hui Song yang merasa betapa jantungnya berdebar juga ketika batang bambu itu diturunkan di atas per-mukaan air berlumpur.   Siang Hwa meloncat ke atas bambu dan berjalan sampai ke ujung depan, diikuti oleh Hui Song. Jangan dikira mudah berdiri di atas batang bambu besar yang terapung di atas air berlumpur. Bambu itu bergoyang-goyang dan condong untuk berputar sehingga orang yang tidak me-miliki gin-kang yang tinggi dan pandai mengatur keseimbangan tubuh, tentu akan terbawa berputar dan terpelanting ke da-lam air berlumpur itu. Dan di kanan kiri bambu itu kini sudah nampak moncong-moncong mengerikan dan ekor-ekor yang panjang dan kuat!   "Jangan sembarangan memukul mere-ka, taihiap. Kalau ada yang mencoba menyerang, baru kita memukul, akan tetapi sekali pukul harus mengenai kepalanya dan harus menewaskannya, kalau ti-dak dia akan mengamuk dan berbahaya-lah kita. Sesudah seekor kita tewaskan, kita harus cepat mendayung bambu ini meluncur maju, karena bangkainya akan dijadikan rebutan kawan-kawannya sendiri sehingga air lumpur akan berguncang he-bat."   Hui Song mengangguk-angguk, mata-nya tidak berani berkedip memandang ke sekelilingnya dan diapun menggerakkan dayungnya membantu Siang Hwa yang sudah mulai mendayung. Bambu yang ujungnya runcing itu menggeleser lembut dan meluncur dengan cepatnya di atas permukaan air berlumpur itu, menyusup di antara alang-alang dan tumbuh-tumbuhan lain.   Baru belasan meter bambu mereka meluncur, setelah banyak pasang mata di belakang moncong-moncong itu memandang seperti terkejut dan terheran, mulailah datang serangan itu. Seekor binatang liar menerjang dari depan menyambut ujung bambu. Melihat behaya ini, Siang Hwa menggerakkan dayungnya, menyambut dengan hantaman keras.   "Prakkk!" Pecahlah kepala binatang itu dan dengan dayungnya Siang Hwa mencongkel dan melempar bangkai binatang itu agak jauh. Hui Song melihat betapa tempat di mana bangkai itu jatuh kini penuh dengan binatang yang mengeroyok dan memperebutkan bangkai yang sebentar saja sudah dirobek-robek dan ditelan habis. Air lumpur menjadi merah warnanya. Diam-diam dia bergidik juga membayangkan bagaimana kalau tubuh manusia yang dijadikan rebutan seperti itu!   "Cepat dayung!" Siang Hwa berteriak. "Mereka mendayung dan bambu meluncur ke depan, akan tetapi terpaksa Hui Song harus berhenti mendayung karena tiba-tiba seekor binatang yang amat besar berenang dengan cepat dan memukulkan ekornya ke arahnya. Dayungnya terlampau pendek untuk mencapai kepala buaya itu, maka dia hanya mempergunaken dayung untuk menangkis ekor. Buaya itu kesakitan dan marah, membalik dan dengan moncong dibuka lebar dia menyerang, hendak menggigit apa saja. Hui Song menggerakkan dayungnya dan pecahlah kepala binatang itu. Seperti yang dilakukan oleh Siang Hwa tadi, dengan dayungnya dia mendorong dan melemparkan bangkai itu agak jauh dari bambu. Bangkai itu segera menjadi rebutan seperti tadi.   Akan tetapi, agaknya binatang-binatang itu menganggap bahwa dua orang penunggang bambu itu mendatangkan rejeki dan memberi makanan kepada mereka, kini mereka semua bereng menghampiri dan nampak betapa moncong-moncong itu muncul banyak sekali di kanan kiri, depan dan belakang perahu.   Dayung cepat...!" Siang Hwa berteriak khawatir melihat begitu banyaknya binatang yang mendekati bambu. Kembali mereka mendayung sambil mengerahkan tenaga sin-kang dan karena tenaga Hui Song memang besar sekali, dayungnya membuat bembu itu meluncur dengan amat lajunya. Akan tetapi, baru sampai di tengah-tengah rawa, bambu itu sudah dikurung oleh ratusan ekor binatang buas itu yang kini agaknya menjadi marah karena tidak mendapatkan makanan lagi. Binatang ini agaknya mempunyai watak seperti ikan-ikan hiu di lautan. Mereka bekerja sama dengan rukun, akan tetapi sekali mencium darah, mereka tidak memperdulikan darah kawan atau lawan. Semua yang berdarah akan diserbu dan diganyang dengan lahapnya!   Melihat ancaman hebat ini, Siang Hwa berteriak, "Taihiap, cepat, kita berkumpul di tengah dan saling melindungi!"   Mereka berdua melangkah ke tengah-tengah bambu dan beradu punggung, menghadapi penyerbuan binatang-binatang buas itu. "Bunuh sebanyaknya dan lemparkan bangkai mereka ke sana-sini, untuk mencerai-beraikan mereka!" Kembali gadis itu berkata dengan tenang, namun hanya sikapnya yang tenang, suaranya agak gemetar. Diam-diam Hui Song merasa kagum. Dia sendiri merasa ngeri dan dia tahu bahwa kalau hanya sendirian saja, akan lebih besarlah bahayanya, walaupun dia tentu akan memperoleh akal untuk menyelamatkan dirinya.   Kini, binatang-binatang liar itu menyerbu dari kanan kiri dan kedua orang muda itu menggerakkan dayung mereka untuk menyambut. Terdengar suara keras pecahnya kepala binatang itu berkali-kali disusul terlemparnya bangkai-bangkai mereka ke kanan kiri. Bangkai-bangkai itu menjadi rebutan, akan tetapi karena yang menyerbu amat banyaknya, biarpun sebagian ada yang memperebutkan bangkai kawan sendiri, yang menyerbu bambu itu tetap saja masih amat banyak.   Hui Song merasa tidak leluasa kalau menghadapi sekian banyaknya binatang itu hanya dengan berdiri di atas bambu dan menyambut setiap binatang yang berani menyerang paling dekat. Maka dia lalu meloncat dari atas bambu, menghantam seekor buaya, lalu kakinya hinggap di atas kepala seekor buaya lain, menghantam lagi dan dengan cara berloncatan dari kepala ke kepala, dia dapat membagi-bagi pukulan dengan lebih baik. Sebentar saja, belasan ekor buaya telah pecah kepalanya dan terjadilah perebutan bangkai yang hiruk-pikuk. Melihat sepak terjang pendekar itu, Siang Hwa terkejut dan juga amat kagum. Biarpun dia tahu bahwa pendekar itu lihai sekali, namun dia tidak pernah mengira bahwa Hui Song akan seberani dan sehebat itu.   "Mari, taihiap, kini ada kesempatan untuk melarikan diri!" katanya setelah kini para binatang itu sibuk sendiri saling serang dan memperebutkan bangkai-bangkai yang banyak itu.   Mereka lalu mendayung lagi setelah dengan sigapnya Hui Song meloncat kembali ke atas bambu. Bambu meluncur cepat dan biarpun ada beberapa ekor binatang yang memburu, namun mereka sudah dapat tiba di seberang dengan selamat. Mereka menarik bambu itu ke darat dan menyembunyikannya ke belakang serumpun semak-semak.   "Hayaaa... berbahaya juga...!" kata Hui Song sambil menyusuti peluh dari lehernya dengan saputangan.   Siang Hwa juga menyusuti keringatriya dan memandang kagum. "Akan tetapi engkau hebat, taihiap. Sungguh hebat den membuatku kagum sekali. Memang amat berbahaya tadi, den sekiranya bukan engkau yang mendampingiku, tentu tamatlah riwayat Gui Siang Hwa pada hari ini!"   "Ah, sudahlah jangan terlalu memuji, nona. Engkau sendiri juga mengagumkan sekali. Nah, sekarang apa pula yang akan kita hadapi?"   "Tinggal satu lagi, taihiap, akan tetapi satu yang paling sukar den biarpun sudah dibantu oleh teman lihai yang akhirnya tewas di rawa, tetap saja aku tidak mampu mengatasi kesukaran tera-khir ini. Mari kita lanjutkan perjalanan."   Akhirnya tibalah mereka di depan se-buah guha kecil yang tertutup batu bun-dar yang besar. "Nah, di belakang batu besar inilah tempat penyimpanan harta karun, yaitu menurut peta rahasia yang menjadi warisan Ciang-tosu. Akan tetapi, biarpun aku sudah berusaha mati-matian bersama teman itu, tetap saja kami ti-dak berhasil menggerakkan batu ini yang seolah-olah melekat pada guha di bela-kangnya."   Hui Song tertarik sekali dan meman-dang batu besar bulat itu. Batu itu me-mang besar, akan tetapi karena bentuk-nya bulat, rasanya kalau orang memiliki tenaga sin-kang yang sudah cukup kuat, tentu akan mampu mendorongnya sehing-ga menggelinding atau tergeser dari tempat semula. Gadis ini cukup lihai dan kuat, apalagi dibantu seorang teman yang juga lihai, bagaimana sampai tidak ber-hasil mendorong batu bulat ini ke sam-ping? Dia tidak boleh mempergunakan tenaga kasar saja. Kalau dua orang itu dengan tenaga digabung tidak berhasil menggeser batu ini, tentu ada rahasia-ya. Dia harus berhati-hati dan tidak boleh sembrono. Maka mulailah dia mene-liti dan mendekati batu itu meraba sana-sini dan memeriksa ke sekelilingnya. Akhirnya dia mengambil kesimpulan bahwa memang batu ini, biarpun tidak melekat dan menjadi satu dengan mulut guha, na-mun ditahan oleh sesuatu yang membuat batu itu sukar dilepaskan dari mulut gu-ha. Tentu ada alat rahasianya.   "Taihiap, mari kita mencoba untuk menyatukan sin-kang dan mendorong batu ini agar tergeser dan membuka pintu gu-ha," kata gadis itu.   Akan tetapi Hui Song menggeleng ke-palanya. "Nona, kurasa akan percuma sa-ja mempergunakan tenaga kasar memaksa batu ini tergeser. Batu ini besarnya membuat ia tidak mungkin dipecahkan dun biarpun garis tengahnya ada dua meter, mestinya dapat didorong dan digeser. Kalau tidak dapat digeser, itu berarti bah-wa di balik batu ini ada sesuatu yang mungkin sengaja dipasang untuk menahan batu ini agar tidak pindah dari tempatnya. Aku mempunyai akal yang akan lebih mudah kita laksanakan."   "Bagaimana, taihiap?" gadis itu memandang penuh harapan.   "Kekuatan manusia ada batasnya. Akan tetapi kekuatan yang timbul dari berat jenis batu ini sendiri akan sukar dapat ditahan oleh alat yang membuat batu itu tidak bergoyah dari tempatnya. Mari kita membuat batu itu melepaskan diri sendiri dengan berat jenisnya."   Mula-mula Siang Hwa tidak mengerti, akan tetapi melihat pemuda itu mulai menggali tanah di sebelah batu besar, ia mengerti dan cepat membantu penggalian itu. Karena mereka berdua adalah orang-orang pandai yang bertenaga besar, sebentar saja mereka sudah menggali cukup lebar dan dalam. Tiba-tiba Hui Song berteriak mendorong tubuh gadis itu ke samping. Batu itu bergerak! Tak lama kemudian batu itupun menggelinding masuk ke dalam lubang galian di sebelah kirinya dan terbukalah setengah pintu guha itu!   "Awas, jangan masuk dulu dengan sembrono!" Hui Song memperingatkan dan betapapun ingin hati Siang Hwa, ia cukup waspada dan mentaati peringatan ini. Terdengar suara keras dan tiba-tiba dari dalam lubang guha itu menyambar tujuh batang anak panah menghitam yang sudah berkarat disusul oleh debu yang mengepul keluar, debu yang jelas mengandung racun! Kedua orang muda itu menyingkir dan bergidik melihat anak panah itu meluncur lewat dan jatuh ke dalam jurang di belakang mereka.   "Aih, sungguh berbahaya sekali!" kata Siang Hwa.   Hui Song mempergunakan tenaga sin-kang untuk pukulan jarak jauh, mendorong dengan kedua telapak tangannya ke arah lubang guha mengusir sisa debu dan juga untuk menahan kalau-kalau dari dalam ada serangan mendadak.   Mereka berindap masuk dan ternyata bukan manusia menyerang mereka, melainkan alat rahasia yang agaknya dipasang orang untuk menyerang siapa saja yang berani membuka batu dan memasuki guha itu. Ternyata seperti dugaan Hui Song, di belakang batu itu terdapat sam-bungan besi yang terkait pada kaitan ba-ja yang ditanam di lantai dua. Pantas saja tenaga manusia tidak mampu men-dorong batu itu dari luar. Setelah batu itu bergantung pada lubang yang mereka gali, kaitan baja itu tidak kuat menahan berat batu yang patah. Akan tetapi be-gitu guha terbuka dan batu tergeser, berjalanlah alat-alat rahasia yang membuat tujuh anak panah itu meluncur keluar dan kantong terisi debu beracunpun jatuh pecah berhamburan. Semua itu digerak-kan dengan per yang bekerja setelah batu itu tergeser.   Setelah meniliti semua itu, Hui Song menggeleng kepala kagum. "Sungguh he-bat sekali kepandaian orang yang mema-sangkan alat rahasia ini." Akan tetapi Siang Hwa tidak begitu memperhatikan lagi semua alat rahasia itu.   "Taihiap, mari kita masuk. Menurut peta, harta karun tersimpan dalam jarak dua puluh satu langkah dari pintu dan tersembunyi di dalam dinding guha sebe-lah kiri. Biar kuukur jarak itu!" Dengan sikap gembira dan penuh ketegangan, Siang Hwa lalu melangkah sambil meng-hitung dari pintu guha. Setelah dua pu-luh satu langkah dia berhenti.   "Tentu di sini tempatnya," katanya sambil berjongkok den memeriksa dinding sebelah kiri. Hui Song mendekati, hatinya juga ikut merasa tegang.   "Ihh... apa ini...?" tiba-tiba gadis itu berteriak.   "Awas...!" Hui Song berseru dan cepat tangan kanannya mencengkeram pundak Siang Hwa untuk ditariknya ke belakang dan tangan kirinya menangkis ketika ada benda hitam tiba-tiba saja meluncur ke arah dada gadis itu.   "Trakkk!" Benda itu ternyata sebuah tombak kuno yang menghitam dan mudah diduga pula bahwa tombak ini, seperti juga anak panah tadi, mengandung racun. Akan tetapi bukan itu yang mengejutkan hati Hui Song dan Siang Hwa, melainkan jatuhnya pula sebuah kerangka manusia lengkap dari dinding itu. Tadi Siang Hwa meraba-raba dinding itu dan menemukan besi kaitan yang segera ditariknya dan begitu penutup dinding terbuka, kerangka itu terjatuh berikut tombak yang meluncur!   Hui Song menyingkirkan tombak itu, kemudian bersama Siang Hwa menyalakan lilin-lilin yang sudah mereka bawa seba-gai bekal tadi. Di bawah penerangan si-nar lilin-lilin yang lumayang terang, mereka melihat bahwa di balik pintu yang menutup dinding tadi terdapat sebuah pe-ti besar hitam.   "Itulah harta karunnya!" Siang Hwa berseru girang sekali dan melonjak se-perti anak kecil. Hui Song tersenym dan pemuda inipun dapat merasakan gejolak hatinya yang ikut bergembira. Usaha me-reka berhasil dan semua jerih payah tadi tidak sia-sia.   "Hati-hati, nona. Jangan-jangan ada jebakan lagi atau senjata rahasia. Mari kita turunkan peti itu perlahan-lahan."   Hui Song lebih dulu mencoba dengan mencokel-cokel peti itu menggunakan se-potong batu, bahkan Siang Hwa lalu menghunus pedang dan memukul-mukul di atas peti. Akan tetapi tidak terjadi sesuatu. Barulah mereka berani menarik dan menurunkan peti besar itu yang ukurannya lebih dari setengah meter persegi.   "Mengapa begini ringan?" Hui Song berkata.   "Kita buka saja, coba lihat isinya!" kata Siang Hwa tak sabar.   Peti itu dapat dibuka dengan mudah dan merekapun bersikap hati-hati ketika membuka tutup peti. Tidak terjadi sesua-tu, akan tetapi keduanya terbelalak memandang ke dalam peti karena peti itu ternyata kosong sama sekali! Bagaikan awan tipis ditiup angin, lenyaplah semua kegembiraan yang memenuhi hati, ter-ganti rasa kecewa yang amat menghimpit batin.   "Peti kosong...!" teriak Siang Hwa kemudian setelah ia dapat mengeluarkan suara.   "Mungkin bukan ini, mungkin di tem-pat lain," kata Hui Song membangkitkan harapan.   "Tidak, tidak!" Pasti ini. Tempatnya sudah tepat, dan memang beginilah gam-baran peti dalam peta Liang-tosu... Yang dimaksudkan seperti apa yang diceritakan suhunya. "Tapi... sudah kosong. Ah, inilah sebabnya mengapa ada kerangka manusia ini, dan pasti ada o-rang mendahului kita. Dalam peta tidak pernah disebutkan adanya kerangka manusia atau tombak!"   "Didahului orang? Akan tetapi siapa dapat mendahuluimu, nona? Bagaimana pula dia dapat masuk kalau tadi batu itu masih utuh dan kaitannya juga baru saja terlepas? Dan siapa pula kerangka manu-sia? Mari kita selidiki!" Hui Song dan Siang Hwa masing-masing membawa lilin karena bagian dalam guha itu sudah mu-lai remang-remang, melakukan pemerik-saan dengan hati kecewa dan tegang.   Hui Song ingin sekali membuktikan kebenaran dugaan Siang Hwa bahwa ada orang mendahului mereka. Kalau benar demikian, harus ada tanda-tandanya ba-gaimana orang itu dapat memasuki guha itu. Ataukah orang itu yang memasang semua alat rahasia di dalam guha itu? Akan tetapi, bukankah jebakan dan alat-alat rahasia itu sudah diketahui oleh Siang Hwa melalui peta, kecuali alat terakhir berupa tombak meluncur tadi? Tidak, ka-lau benar ada yang mendahului, tentu orang itu mengambil jalan lain yang ti-dak perlu merusak kaitan batu bundar penutup mulut guha!   Akhirnya usahanya berhasil. Dia me-nemukan sebuah lubang di lantai guha sebelah kanan, dan ketika dia menying-kirkan tanah yang menutupi lubang itu, lubang itu ternyata menuju ke bawah dan menembus keluar guha, melalui bawah batu! Mengertilah dia kini dan dia berseru kagum.   "Ah, orang itu memasuki guha dengan jalan membuat lubang terowongan di ba-wah batu. Sungguh cerdik sekali!" katanya.   "Dan kerangka ini adalah kerangka seorang Mongol dan pembunuhnya atau orang yang telah mengambil harta karun ini tentu ada hubungannya dengan per-kumpulan rahasia Harimau Terbang di Mongol!"   "Apa...? Begaimana engkau bisa tahu, nona?" Hui Song mendekati gadis itu yang sedang memeriksa sebuah lencana yang terbuat dari emas.   "Aku pernah mempelajari ciri-ciri khas dari tulang pipi dan dagu orang Mongol aseli dan tengkorak kerangka ini jelas adalah tengkorak seorang Mongol. Dan lencana ini kudapatkan genggamannya, agaknya sampai tewas, orang ini terus menggenggam sebuah lencana yang besar kemungkinannya dapat dirampasnya dari leher lawannya yang membunuhnya. Lencana ini adalah tanda anggauta Hari-mau Terbang, sebuah perkumpulan raha-sia di Mongol, yaitu menurut tulisan Mo-ngol yang diukir di atasnya."   Hui Song melihat lencana itu dan dia merasa semakin kagum terhadap Siang Hwa. Kiranya gadis ini selain lihai, juga mempunyai pengetahuan yang luas. "Jadi kalau begitu kesimpulannya..."   "Seorang atau lebih orang yang lihai dan cerdik sekali telah tahu akan rahasia harta karun ini, dan telah mendahului ki-ta, mungkin sudah belasan bulan melihat betapa mayat ini telah menjadi kerangka yang masih utuh. Dia atau mereka memasuki guha dengan jalan membuat lu-bang terowongan kecil itu. Kemudian a-gaknya terjadi perebutan di sini, dan o-rang ini tewas sedangkan dia hanya da-pat merampas lencana yang agaknya di-pakai oleh lawan sebagai kalung tanpa diketahui lawan itu. Orang itu, atau le-bih dari seorang, lalu mengambil seluruh isi peti harta karun, memasukkan mayat orang ini ke dalam lubang bersama peti, memasang sebuah tombak untuk menye-rang orang yang datang kemudian mem-buka tempat penyimpanan peti harta pusaka, Bagaimana pendapatmu, taihiap?"   Hui Song mengangguk-angguk. Perki-raan yang tepat sekali dan dia sendiripun tidak dapat menerka lain. "Dugaanmu a-gaknya tepat sekali, nona. Memang ha-nya seperti itulah kiranya yang dapat terjadi. Alat-alat rahasia di balik batu penutup guha itu dibuat oleh mereka atau dia yang menyimpan harta pusaka itu, sedangkan mayat dan tombak tadi me-mang ditaruh kemudian, dan pasti oleh si pencuri harta pusaka. Lalu sekarang ba-gaimana?"   Tiba-tiba Siang Hwa menangis! Hal ini amat mengejutkan hati Hui Song. Dia terkejut dan terheran, sama sekali tidak pernah dapat membayangkan seorang yang gagah dan lihai seperti Siang Hwp dapat menangis sesenggukan seperti anak kecil begitu, akan tetapi dia segera teringat bahwa bagaimanapun juga, Siang Hwa adalah seorang wanita, dan harus diakuinya bahwa mendapatkan peti harta pusaka yang telah kosong itu sungguh merupakan pukulan batin yang amat hebat! Dia sendiri yang sama sekali tidak mempunyai kepentingan dengan hatta itu, yang hanya terlibat secara kebetulan saja, merasa amat kecewa, menyesal dan tertekan batinnya. Apalagi Siang Hwa! Gadis ini sudah lama menyelidiki tempat ini, sudah berkali-kali gagal, bahkan sudah banyak temannya tewas dalam tugas penyelidikan. Kini, setelah berhasil menemukan tempat dan peti harta pusaka, setelah harapan sudah memuncak di ambang keberhasilan, tiba-tiba saja segala-galanya hancur dan gagal sama sekali! Dia merasa kasihan, lalu teringat bahwa harta pusaka itu diperebutkan hanya demi menentang pemberontakan, bukan untuk kepentingan diri pribadi.   "Sudahlah, nona. Kiranya tidak ada gunanya ditangisi lagi. Pula, kita mencari harta pusaka untuk menghalangi pusaka itu terjatuh ke tangan pemberontak. Dan sekarang seperti dugaanmu tadi, yang mengambilnya adalah orang Mongol, bukan para datuk sesat yang hendak memberontak. Yang penting adalah tidak terjatuh ke tangan pemberontak, jadi sama saja apakah pusaka itu terjatuh ke tangan kita ataukah orang lain asal jangan pemberontak, bukankah begitu?"   Siang Hwa memandang tajam dan sepasang matanya seperti berkilauan di bawah cahaya lilin. "Taihiap, engkau tentu akan suka membantu kami untuk melakukan pengejaran ke Mongol, membantu kami merampas kembali harta pusaka itu, bukan?"   Hui Song mengerutkan alisnya. "Untuk apa, nona? Aku... aku mempunyai urusan lain..." dia teringat akan tugasnya seperti yang dipesankan oleh gurunya. Tentu saja dia tidak berani berterus terang kepada Siang Hwa tentang usaha para pendekar menentang para datuk sesat yang merencanakan pemberontakan, wa-laupun dia menganggap Siang Hwa juga seorang di antara para orang gagah yang menetang pemberontakan.   Akan tetapi, ucapan gadis itu meye-kinkan hatinya dan memperkuat kepercayaannya. "Taihiap, bukankah kita sehaluan, yaitu hendak menentang para pem-berontak? Nah, usaha mendapatkan harta karun itu merupakan pukulan paling he-bat bagi mereka, selain mereka gagal memperoleh harta yang akan dapat me-reka pergunakan untuk membiayai pem-berontakan, juga kita dapat menggunakan harta itu untuk keperluan gerakan me-nentang mereka."   Timbul kepercayaan di hati Hui Song. Jangan-jangan gadis ini adalah seorang di antara pimpinan para patriot yang hen-dak membela negara! "Nona Gui, aku ha-rus pergi ke bekas benteng Jeng-hwa-pang..." Dia memancing sambil menatap tajam wajah gadis itu. Akan tetapi wajah Siang Hwa tidak menunjukkan sesua-tu, hanya sepasang mata itu yang berki-lat penuh penyelidikan mengamati wajah Hui Song.   "Cia-taihiap, sudah terlalu lama aku sibuk dengan tugasku mencari harta ka-run ini sehingga aku agak terlambat mengikuti perkembangan gerakan kawan-kawan kita di luar. Tentu di sana akan diadakan pertemuan rahasia antara kita, bukan?"   Hui Song mengangguk. "Para pendekar akan mengadakan pertemuan di sana, kalau aku harus membantumu, aku khawatir akan terlambat."   "Ah, kalau begitu aku tidak boleh mengganggumu! Apakah engkau akan da-tang sebagai wakil dan utusan Cin-ling-pai?"   Betapa inginnya hati Hui Song untuk mengaku demikian. Akan tetapi dia ter-ingat akan sikap ayahnya dan dia tidak berani berbohong, maka diapun tidak menjawab secara langsung melainkan hanya menggeleng kepala.   "Baiklah, kalau begitu terpaksa kami akan melanjutkan sendiri pencarian kami, dan sekarang kita harus keluar dari tem-pat ini sebelum malam tiba, taihiap."   Akan tetapi, melihat gadis itu mengangkat lilin tinggi di atas kepala dan te-rus berjalan menuju ke sebelah dalam guha, Hui Song bertanya, "Eh, jalan ke mana, nona?"   "Taihiap, menurut peta yang dimiliki Ciang-tosu, guha ini merupakan terowongan yang menuju ke belakang bukit. Se-perti yang kaulihat, di depan sana ada sinar terang, berarti di sana ada lubang mulut guha di belakang bukit ini. Mari kita mengambil jalan ke sana, dan meli-hat keadaannya. Siapa tahu kalau-kalau penjahat-penjahat yang mencuri harta itu menyembunyikan harta itu di sana, walaupun harapan ini tipis sekali. Akan tetapi setelah berhasil memasuki tempat yang luar biasa ini, tiada salahnya kalau kita melihat sebentar bagaimana macamnya tembusan guha ini, bukan?"   Hui Song mengangguk dan mengikuti gadis itu. Setelah maju belasan meter dan membelok, benar saja nampak mulut guha dan kini tidak perlu lagi mereka memakal lilin karena cahaya terang me-masuki guha dari pintu atau mulut guha itu. Matahari sudah condong ke barat, akan tetapi sinarnya masih nampak te-rang. Silau juga rasanya mata yang sudah lama berada di dalam guha gelap, hanya diterangi api lilin, kini tiba-tiba harus menghadapi cahaya matahari di luar guha itu. Dan pemandangan di depan guha itu sungguh indah, juga amat mengerikan. Depan guha itu merupakan batu datar yahg lebarnya dua meter dan panjangnya kurang lebih lima belas meter, akan te-tapi selanjutnya tidak ada apa-apa lagi, merupakan jurang yang amat curam! Me-ngerikan kalau memandang ke bawah, yang nampak hanya kabut. Tidak ada jalan keluar dari tempat itu, merupakan jalan mati yang berakhir dengan jurang yang amat dalam. Di depan nampak pun-cak bukit batu karang menonjol, jaraknya dari tepi jurang itu tidak terlampau jauh, hanya kurang lebih lima puluh meter, akan tetapi karena adanya jurang yang amat curam itu, nampak menganga mengerikan dan nampak lebih jauh dari kenyataannya.   "Ini merupakan jalan buntu dan mati, tidak ada jalan keluar dari sini. Tidak, nona, pencuri harta pusaka itu tidak mengambil jalan sini, melainkan kembali melalui terowongan kecil yang mereka buat di bawah batu," kata Hui Song sambil menjenguk ke bawah dari tebing ju-rang itu.   Tidak terdengar jawaban sampai lama. Hui Song menengok dan terbelalak sam-bil memutar tubuh, memandang dengan terheran-heran kepada tiga orang itu. Siang Hwa, Ciang-tosu dan Ciong-hwesio sudah berdiri menghadang di depan mulut guha dengan wajah beringas! Senyum mengejek menghias bibir Siang Hwa yang bia-sanya bersikap manis dan halus itu.   "Cia Hui Song, pencuri itu tidak keluar dari sini, akan tetapi sekarang engkau harus keluar dari sini!"   "Nona, apa artinya ini?" Hui Song bertanya, sikapnya masih tenang namun waspada karena dia maklum bahwa tiga orang ini telah membohonginya, buktinya kini dua orang kakek yang katanya tidak dapat melewati jembatan batu-batu pe-dang itu ternyata telah dapat menyusul ke sini.   "Arntinya, engkau harus mampus di si-ni untuk menebus dosa-dosamu. Pertama, engkau berani menghina dengan menolak perasaan hatiku kepadamu, dan kedua, engkau tidak bersedia membantu kami mencari harta karun itu ke Mongol, dan ketiga, engkau sebagai orang luar telah tahu akan harta karun itu, maka untuk menutup rahasia ini dan untuk menebus dosamu, engkau harus mati. Nah, terjun-lah ke dalam jurang itu."   Tapi... bukankah kita sehaluan...?" Hui Song bertanya, bukan karena takut melainkan karena penasaran dan heran.   "Ha-ha-ha-ha!" kakek gendut yang di-sebutnya Ciong-hwesio tertawa bergelak. "Sehaluan? Ha-ha-ha...!"   "Nona, apa artinya semua ini?" Hui Song membentak kepada Siang Hwa, me-rasa cukup dipermainkan dan menuntut penjelasan, namun matanya tiduk lepas dari sikap mereka itu karena dia cukup mengenal kelihaian dan kecurangen me-reka.   "Orang tampan yang berhati dingin, engkau ingin tahu dan masih belum dapat menerkanya? Baik, dengarlah sebelum engkau mati. Aku Gui Siang Hwa adalah murid Pangeran Tonn Jit-ong dan aku mewakili suhu mencari harta karun. Mereka ini adalah para pembantu suhu yang berjuluk Hui-to Cin-jin dan Kang-thouw Lo-mo..."   Mata Hui Song terbelalak dan ingin dia menampar muka sendiri karena me-rasa menyesal sekali atas kebodohannya. Dia seperti pernah mendengar nama ke-dua orang kakek itu, mengingat-ingat lagi mengangguk-angguk. "Kiranya dua orang dari Cap-sha-kui...? Bagus sekali kiranya kalian bertiga adalah komplotan busuk itu sendiri!"   "Cia Hui Song, lebih baik kau cepat meloncat ke bawah, atau engkau lebih suka kami yang memaksamu?" Siang Hwa menghunus pedang tipisnya. Hui-to Cin-jin juga sudah menghunus keluar sepasang pisau belati, sedangkan kakek gendut Kang-thouw Lo-mo melepaskan tali guci arak yang tadinya tergantung di pinggang. Ki-ranya guci arak kecil ini juga dapat dipergunakan sebagai senjata oleh si gendut ini!   Hui Song tersenyum mengejek, timbul kembali kegembiraan dun ketabahannya. Lebih baik menghadapi lawan secara ber-terang begini daripada menghadapi mere-ka yang disangkanya teman sehaluan yang dapat dipercaya. "Perempuan hina, jangan disangka bahwa aku takut menghadapi kalian bertiga. Dahulu, karena tidak me-ngira bahwa engkau adalah seorang iblis betina, aku terjebak. Jangan harap seka-rang akan dapat mengulangi lagi kecuranganmu itu!"   "Manusia sombong!" bentak Hui-to Cin-jin yang tadinya diberi nama Ciang-tosu itu dan tiba-tiba sinar kilat menyambar ketika kedua tangannya bergerak. Dua batang pisau itu telah menyambar ke arah tenggorokan dan perut Hui Song dengan kecepatan kilat! Memang inilah keistimewaan kakek itu, bahkan nama julukannya Hui-to (Pisau Terbang). Akan tetapi sekali ini Hui Song sudah siap siaga dengan penuh kewaspadaan, maklum bah-wa yang dihadapinya adalah lawan-lawan yang tangguh, berbahaya den juga curang sekali. Maka begitu melihat ada dua si-nar berkelebat, dengan tenang saja dia menggerakkan tangannya dan dengan sen-tilan jari tangannya, dua batang pisau itu runtuh ke atas tanah dan menancap sam-pai hanya nampak gagangnya saja! Tosu itu terkejut dan kedua tangannya sudah memegang dua batang pisau lainnya.   Siang Hwa yang sudah maklum akan kelihaian Hui Song, sudah menerjang ke depan dan pedangnya sudah berkelebat membentuk gulungan sinar yang menyam-bar-nyambar. Hui Song dengan tenang mengelak ke sana-sini, dan karena tem-pat itu memang sempit, diapun mengelak sambil membalas dengan tendangan kaki-nya yang hampir saja mengenai lutut la-wan. Gadis itu terpaksa meloncat ke be-lakang dan menyerang lagi, sekali ini di-bantu oleh dua orang kawannya yang masing-masing mempergunakan sebuah guci arak dan sepasang pisau belati. Hui Song melihat bahwa dua orang kakek itupun ternyata lihai sekali, maka diapun berge-rak dengan hati-hati. Namun, di belakangnya terdapat jurang yang amat curam dan dia didesak oleh tiga orang yang kepandaiannya tinggi dan bersenjata, maka betapapun lihainya, dia tersudut dan ter-ancam bahaya maut. Gerakannya kurang leluasa, terutama karena ada ancaman maut ternganga di belakangnya dan tiga orang lawan yang cerdik itu agaknya me-mang hendak mendesak dan memaksanya untuk terjun ke dalam jurang.   Tiba-tiba Siang Hwa mengeluarkan suara bentakan nyaring dan tangan kiri-nya sudah mengeluarkan saputangannya yang mengandung bubuk obat bius. Akan tetapi Hui Song sudah siap pula mengha-dapi ini. Mulutnya meniup dan bubuk o-bat bius itu buyar membalik, juga dia menahan napas dan baru berani menarik napas setelah racun itu lenyap. Pada sa-at itug kembali Hui-to Cin-jin menyerang dengan sepasang belatinya dan tiba-tiba, ketika pemuda itu mengelak, tosu itu melepaskan dua batang pisaunya menjadi sambitan dari jarak yang amat dekat! Hui Song tidak menjadi gugup dan berhasil menyampok dua batang pisau itu. Pada saat itu, Siang Hwa sudah menyerang dengan pedangnya menusuk ke arah pe-rut sedungkan si gendut menghantam da-ri samping ke arah kepalanya mengguna-kan guci arak itu!   Hui Song meloncat dan hendak me-nangkap hantuman guci arak, akan tetapi pedang Siang Hwa membalik dan tahu-tahu sudah menyerempet pahanya.   "Brettt...!" Ujung pedang itu merobek celana kakinya yang kanan, merobek celana itu dari paha ke bawah sampai betis, akan tetapi ujung pedang itu tidak mampu membuat luka dalam, hanya membuka sedikit kulit kaki yang biarpun mengeluarkan darah namun bukan merupakan luka yang berat, hanya lecet saja.   "Iblis-iblis busuk yang curang!" Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan da-ri dalam guha itu berkelebatan bayangan orang yang amat cepat dan ringan ge-rakannya. Begitu tiba di luar mulut gu-ha, bayangan ini sudah menendang ke arah perut gendut Kang-thouw Lo-mo dan tangan kirinya mencengkeram ke a-rah kepala Hui-to Cin-jin! Gerakannya demikian cepatnya sehingga hampir saja perut gendut itu tercium ujung sepatu. Si gendut cepat mundur, akan tetapi tetap saja pinggnnggnya terserempet tendangan yang membuat dia terbuyung. Hui-to Cin-jin juga terkejut akan tetapi mampu menghindarkan diri.   "Sui Cin...!" Hui Song berseru girang bukan main ketika mengenal wajah gadis yang baru datang itu. Tadinya ketika melihat bayangan berkelebat datang membantunya dan melihat bahwa bayangan itu adalah seorang gadis, dan masih belum mengenalnya, akan tetapi kini dia dapat melihat jelas dan kegembiraan yang amat besar menyelinap dalam hatinya ketika dia menyebut nama gadis itu.   Sui Cin meloncat dekat dan mereka saling melindungi. "Song-ko, jangan khawatir, aku membantumu. Mari kita hajar tiga ekor tikus ini... eh, mana mereka?"   Ternyata Siang Hwa dan dua orang kakek itu sudah lenyap dari depan mulut guha. Hui Song terkejut. "Mari kita kejar...!"   Akan tetapi tiba-tiba terdengar stara keras dan ada pintu besi yang bergerak menutup mulut guha itu, agaknya digerakkan oleh alat rahasia yang membuat daun pintu besi itu keluar dari dalam dinding. Ternyata Siang Hwa amat cerdiknya. Me-lihat datangnya seorang gadis yang amat lihai membantu Hui Song, ia merasa khawatir dan cepat ia mengajak dua orang pembantunya lari masuk ke dalam guha dan menggerakkan pintu rahasia yang memang sudah diketahuinya.   Hui Song dapat menduga kecurangan itu yang amat membahayakan keselamat-an dia dan Sui Cin, maka diapun mener-jang daun pintu itu.   "Brungggg...!" Daun pintu tergetar akan tetapi tidak pecah oleh terjangan kaki tangan Hui Song. Ternyata daun pintu itu terbuat dari baja yang tebal.   "Song-ko, kita dapat lari melalui te-bing di depan itu!" kata Sui Cin sambil menunjuk ke arah puncak bukit yang me-rupakan tebing di depan, di seberang jurang yang tak nampak dasarnya saking dalamnya itu. "Kita dapat meloncat ke sana."   Hui Song memandang dan menggeleng kepala. "Terlalu berbahaya..." Dia sendiri merasa sanggup meloncat ke sana, akan tetapi bagaimana dengan Sui Cin? Terlalu berbahaya bagi Sui Cin, bukan baginya dan meloncati jarak itu sambil menggendong tubuh Sui Cin jelas tidak mungkin.   Sui Cin sudah lama mengenal Hui Song dan mengerti apa yang berada dalam ba-tin pemuda itu. "Song-ko, jangan khawatir, aku dapat meloncat ke sana...!"   Pada saat itu terdengar suara ketawa Siang Hwa dari balik daun pinto baja. "Ha-ha-ha, orang she Cia. Lebih baik engkau ajak temanmu itu meloncat turun ke dalam jurang karena mau tidak mau ka-lian harus melakukannya!" Dan tiba-tiba pintu baja itu terbuka sedikit dan meluncurlah pisau-pisau terbang, jarum-jarum dan juga batu-batu yang dilemparkan o-leh tiga orang itu! Karena mereka ada-lah orang-orang yang lihai, tentu saja lemparan mereka itu amat kuat dan ber-bahaya, terutama pisau-pisau terbang yang menjadi kepandaian khas dari Hui-to Cin-jin. Sibuk juga Hui Song dan Sui Cin mengelak dan memukul runtuh senjata-senjata rahasia itu dan dalam gerakan Sui Cin, Hui Song melihat kecepatan yang amat luar biasa. Besarlah hatinya. Agak-nya selama tiga tahun ini Sui Cin yang digembleng oleh Dewa Arak Wu-yi Lo-jin telah memperoleh kemajuan pesat, ter-utama dalam ilmu gin-kang seperti dapat dilihatnya ketika gadis itu tadi menyerbu menolongnya dan kini ketika mengelak dari sambaran senjata-senjata rahasia. Dia dan Sui Cin meloncat ke arah pintu, akan tetapi pintu itu cepat sudah tertu-tup kembali dari dalam!   "Memang tidak ada jalan lain," kata Hui Song mengerutkan alisnya yang te-bal. "Kalau kita berdiam di sini, tentu mereka akan mencari akal untuk mence-lakakan kita. Kalau cuaca sudah gelap, sukarlah kita untuk menghindarkan diri dari serangan-serangan gelap mereka. Me-nerjang pintupun percuma saja. Akan tetapi, benarkah engkau sanggup meloncat ke sana, Cin-moi?"   "Tentu saja sanggup, biar aku melom-pat lebih dulu agar hatimu tiduk akan khawatir lagi."   "Jangan Cin-moi. Jangan, biar aku yang melompat lebih dulu sehingga eng-kau dapat memperoleh tempat pendarat-an yang aman di sana."   "Baiklah, Song-ko. Akan tetapi cepat, itu di sebelah kanan kulihat banyak le-kukan pada dinding batu, kau loncatlah ke sana, Song-ko."   "Baik, Cin-moi."   "Berhati-hatilah."   Hui Song mengambil ancang-ancang, lalu berlari dan meloncat sambil menge-rahkan gin-kangnya , menuju ke tempat pendaratan di tebing bukit di depan. Tu-buhnya meluncur seperti seckor burung saja dan tepat tiba pada dinding di ma-na terdapat banyak lekukan, agak ke ba-wah. Dengan cekatan tangannya men-cengkeram lekukan batu dan kedua kaki-nya hinggap pada lekukan batu pula. Dia telah mendarat dengan selamat! Dia menoleh dan tersenyum kepada Sui Cin, la-lu berseru, "Cin-moi, sekarang kau meloncatlah. Ke sebelah kenanku ini, banyak lekukan dan baik untuk mendarat. Aku akan menjagamu di sini!" Dia sudah siap dengan tangan kirinya untuk menolong kalau-kalau loncatan Sui Cin tidak men-capai sasaran. Bagaimanapun juga, dia belum tahu sampai di mana kemampuan gin-kang gadis itu.   "Baik, Song-ko, aku meloncat!"   Gadis itu meloncat dengan gerakan yang indah dan cekatan, akan tetapi pa-da saat itu, Hui Song melihat dua orang kakek itu keluar dari pintu mulut guha yang tiba-tiba terbuka dan melihat beta-pa kakek gendut itu melontarkan batu-batu yang sebesar kepala orang ke arah Sui Cin yang sedang meloncat.   "Cin-moi, awas...!" Teriaknya, akan tetapi terlambat. Gadis itu tentu saja sama sekali tidak pernah menduganya bahwa ia akan diserang dari belakang dan dalam keadaan melayang itu, sukar baginya untuk mengelak.   "Bukkk...!" Sebuah batu sebesar kepala tepat mengenai belakang kepalanya.   "Oughhh...!" Gadis itu mengeluh dan tubuhnya terkulai. Untung baginya bahwa loncatannya tadi amat kuat sehingga tubuhnya kini melayang ke arah Hui Song. Pemuda ini cepat menangkap lengan kiri Sui Cin dan gadis itu bergantung pada pegangannya dengan tubuh lemas. Gadis itu tidak pingsan, akan tetapi kelihatan lemas dan pandang matanya nanar dan agaknya timpukan yang mengenai belakang kepalanya itu membuatnya nanar dan pening.   "Jangan takut... tenang saja... aku menolongmu...!" Hui Song menghibur dengan kata-kata lembut sambil menguatkan hatinya yang dicekam kegelisahan. Pada saat itu, dia mendengar desir angin dari belakang dan tahulah dia bahwa ada beberapa batang pisau terbang menyambar ke arah tubuh belakangnya. Dia tidak mungkin dapat mengelak atau menangkis, maka Hui Song mengerahkan tenaga sin-kang, disalurkannya ke punggung.   Empat batang pisau mengenai tengkuk dan punggungnya, akan tetapi semua runtuh dan hanya merobek bajunya saja, sama sekali tidak mampu menembus kulit tubuhnya yang dilindungi tenaga sin-kang yang amat kuat. Dia lalu menarik tubuh Sui Cin ke dinding batu, kemudian memanjat dengan satu tangan saja dibantu pengerahan tenaga pada kedua kakinya dan akhirnya, dengan susah payah, berhasillah dia mencapai puncak yang tidak begitu jauh lagi dan memondong tubuh Sui Cin yang lemas, dibawa meloncat ke balik puncak sehingga terlepas dari sasaran senjata-senjata rahasia lawan.   Hui Song duduk di balik batu besar dan merebahkan tubuh Sui Cin. Gadis itu masih sadar, akan tetapi sepasang matanya yang terbuka itu nampak kosong dan tubuhnya lemas. Cepat Hui Song meraba kepala bagian belakang gadis itu. Hanya terluka sedikit saja akan tetapi banyak darah yang keluar. Dia menotok beberapa jalan darah untuk menghentikan aliran darah, kemudian mengurut tengkuk dara itu perlahan-lahan. Dia dapat menduga bahwa otak dalam kepala dara itu terguncang oleh hantaman batu sehingga membuat gadis itu nanar dan pening. Dia khawatir kalau-kalau ada kerusakan di dalam susunan syaraf otak. Dengan sin--kangnya yang disalurkan ke dalam tela-pak tangannya, dia membantu gadis itu untuk menyembuhkan luka di dalam ke-pala. Rasa hangat yang menyelinap ke dalam kepala itu agaknya terasa nyaman sekali karena tak lama kemudian, keluh-an-keluhan kecil dan rintihan yang tadi-nya keluar dari mulut Sui Cin terhenti dan tak lama kemudian gadis itupun ter-tidur pulas. Hui Song membebaskan jalan darah yang ditotoknya agar tidak meng-halangi darah yang mengalir ke otak dan dia menjaga tubuh yang lemah itu terti-dur pulas terlentang di depannya. Dia ti-dak berani membuat api unggun karena khawatir kelau-kalau para iblis itu melakukan pengejaran. Tiga orang musuh itu lihai dan curang, dan Sui Cin sedang da-lam keadaan terluka, maka berbahayalah kalau dia membuat api unggun dan tiga orang itu dapat mencarinya. Karena maklum bahwa dalam keadaan seperti itu Sui Cin tidak dapat mengerahkan sin-kang melawan hawa dingin, dia lalu menanggal-kan jubah dan bajunya, menyelimuti tu-buh Sui Cin dengan itu dan dia sendiri bertelanjang dada.   Malam itu udara cerah dan bulan bersinar terang. Hawanya dingin sekali akan tetapi dengan kekuatan sin-kangnya, Hui Song mampu bertahan terhadap ha-wa dingin itu. Dia duduk dekat Sui Cin dan tiada jemunya mengamati wajah ga-dis itu, wajah yang selama ini selalu terbayang olehnya terbawa dalam mimpi.   "Sui Cin... ah, Cin-moi... tak kusangka bahwa begitu berjumpa, engkau telah menyelamatkan nyawaku..." bisiknya dengan perasaan hati penuh haru. Dia tahu bahwa tadi, selagi dia diserang oleh tiga orang jahat yang curang itu di tepi tebing, kalau tidak muncul dara ini, besar sekali kemungkinannya dia akan terjengkang dan tewas! Masih bergidik dia membayangkan bahwa gadis cantik yang tadinya dianggap sahabat dan teman sehaluan, yang dianggap sebagai seorang pendekar yang sedang bergerak menentang pera datuk yang hendak memberontak, ternyata malah merupakan tokoh sesat itu sendiri, bukan sembarang orang me-lainkan murid Raja Iblis! Dan dua orang kakek yang berdandan seperti tosu dan hwesio itu ternyata adalah dua orang di antara Cap-sha-kui. Sungguh berbahaya sekali. Jelaslah bahwa memang Siang Hwa, gadis murid Raja Iblis itu, sedang mencari harta karun itu untuk membea-yai pemberontakan yang dipimpin oleh gurunya. Dan semua yang terjadi tadi memang merupakan perangkap baginya. Tenaganya hendak dipergunakan untuk mencari harta karun den setelah harta karun itu lenyap didahului orang, dianggap tidak berguna lagi dan tentu saja a-kan dibunuh.   Hui Song mengepal tinju dan terse-nyum dingin. "Bagaimanapun juga, bagus sekali bahwa aku telah mengetahui akan adanya harta pusaka itu dan akan kuperjuangkan agar harta pusaka itu jangan jatuh ke tangan para pemberontak!"   Untunglah bahwa pencuri harta pusaka itu meninggalkan jejak berupa tanda lencana perkumpulan Harimau Terbang di Mongol. Dia sendiripun harus pergi keluar Tembok Besar untuk menghadiri pertemuan antara para pendekar dan sebelum itu dia akan dapat menyelidiki tentang harta karun yang dicuri itu di Mongol. Akan tetapi sekarang ini, yang terpenting ada-lah menolong Sui Cin. Dia hanya mengharap dara ini tidak terluka terlalu pa-rah.   Pada keesokan harinya, setelah mata-hari terbit, Hui Song melihat Sui Cin menggeliat dan mengeluh halus. Dia yang tadinya duduk bersila di bawah pohon, cepat menghampiri sambil tersenyum, jantungnya berdebar girang karena kini dia akan dapat bercakap-cakap dengan gadis pujaan hatinya itu.   "Cin-moi...!" Panggilnya lirih sambil mendekat.   Sui Cin membuka mata, bangkit du-duk sambil menoleh. Begitu melihat Hui Song, ia mengeluarkan teriakan nyaring den tubuhnya mencelat ke depan, menye-rang dengan tendangan ke arah dada pe-muda itu. Gerakannya demikian ringan dan cepat. Andaikata Hui Song sudah tahu sebelumnya bahwa dia akan diserang, biarpun gerakan gadis itu amat cepat, agaknya dia masih akan mampu menghindar. Akan tetapi perbuatan Sui Cin itu sama sekali tidak pernah disangkanya, maka dia terkejut dan heran dan karena itu gerakannya mengelak kurang cepat sehingga ujung sepatu gadis itu masih saja menyambar pundaknya.   "Bukk...!" Tubuh Hui Song terpelanting dan Sui Cin sudah meloncat lagi datang dan mengirim serangan bertubi-tubi dengan tangan dan kakinya.   "Heiii...!" Hui Song terpaksa bergulingan untuk mengelak. Akan tetapi betapapun dia berteriak mencegah, gadis itu seperti kesetanan dan menyerang terus semakin hebat saja. Hui Song terpaksa mempergunakan kepandaiannya, meloncat ke sana-sini dan kadang-kadang harus menangkis karena serangan-serangan gadis itu cepat bukan main.   "Cin-moi, ingatlah... Cin-moi...!"   "Engkau jahat, kejam, curang...!" Sui Cin memaki-maki dan menyerang terus. Makin lama, Hui Song menjadi semakin bingung dan khawatir. Beberapa kali tubuhnya sudah terkena pukulan atau tendangan, walaupun tidak mengakibatkan luka parah karena dia sudah menjaga diri dengan kekuatan sin-kang, namun terasa nyeri dan beberapa kali dia jatuh bangun.   "Cin-moi, aku... aku Hui Song, lupakah kau padaku?" beberapa kali dia berseru karena kini dia mulai menduga bahwa agaknya gadis ini kehilangan ingatannya, padahal kemarin masih menolongnya, berarti masih ingat kepadanya. Tidak salah lagi, tentu hantaman batu yang mengenai belakang kepala gadis itulah yang menyebabkan kini Sui Cin seperti lupa kepadanya.   Akan tetapi Sui Cin agaknya tidak perduli dan menyerang terus lebih hebat lagi. Dia mendapat kenyataan betapa kini Sui Cin dapat bergerak amat cepatnya, kadang-kadang seperti berkelebat lenyap saja. Dia merasa kagum dan dapat menduga bahwa tentu kehebatan gadis ini adalah hasil dari bimbingan dari Wu-yi Lo-jin selama tiga tahun. Makin lama makin repotlah dia kalau harus bertahan saja. Gerakan gadis itu terlalu cepat dan ka-lau hanya dihadapi dengan elakan dan tangkisan, akhirnya dia tentu akan terkena pukulan telak yang akibatnya akan berbahaya sekali. Maka, terpaksa untuk menahan gelombang serangan Sui Cin, Hui Song mulai membalas. Gerakannya mantap dan pukulan atau sambaran ta-ngannya amat kuat sehingga ketika Sui Cin menangkis, gadis ini terhuyung.   "Sui Cin, ingatlah...!" Hui Song masih terus mencoba untuk menyadarkan. Akan tetapi, gadis itu menyerang lagi dan keduanya berkelahi dengan amat serunya. Kini Hui Song juga mengerahkan tenaga dan kepandaiannya. Dia yakin bahwa Sui Cin kehilangan ingatan dan percuma sajalah kalau dibujuk atau diingatkan dengan omongan. Ia harus dapat merobohkan gadis ini, membuatnya tidak berdaya, baru dia akan berusaha untuk mencarikan obat atau untuk mengingatkan kembali.   Dia membalas dan terjadilah pertandingan yang hebat. Sui Cin bergerak amat cepat berkat ilmu gin-kang bimbingan Wu--yi Lo-jin sedangkan Hui Song sendiri mempunyai gerakan yang juga cepat dan mengandung tenaga sin-kang yang mem-buat gadis itu agak kewalahan.   Tiba-tiba Sui Cin terhuyung ke bela-kang dan memegangi kepala dengan ta-ngan kiri. Hui Song menahan gerakannya. Gadis itu terhuyung bukan oleh serangannya dan kini kelihatan memejamkan ke-dua matanya dan mengeluh. "Aihh... kepalaku... pening...!"   "Cin-moi, engkau kenapakah...? Sudah ingat lagikah engkau...?" Hui Song menghampiri dan hendak memegang tangan gadis itu. Akan tetapi Sui Cin merenggutkan tangannya dan menampar. Untung Hui Song dapat cepat meloncat ke belakang sehingga tamparan yang amat berbahaya itu luput. Sui Cin memandang wajah pemuda itu dengan mata mengandung kemarahan, akan tetapi ia mengeluh lagi, memegang kepalanya, lalu ia meloncat jauh dan lari meninggalkan tempat itu.   "Cin-moi, tunggu...!" Hui Song berteriak memanggil dan melakukan pengejaran. Akan tetapi, biarpun berkali-kali memanggil, gadis itu sama sekali tidak menjawab atau menoleh, apalagi berhenti. Dan larinya cepat sekali, secepat kijang! Betapapun Hui Song telah mengerahkan seluruh kepandaiannya berlari cepat, tetap saja dia tidak mampu menyusul bahkan semakin jauh tertinggal. Dia sendiri telah memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu gin-kang, namun tentu saja kalau dibandingkan dengan Sui Cin yang telah menguasai Bu-eng Hui-teng dari Wu-yi Lo-jin, dalam hal berlomba lari, dia masih kalah jauh.   "Cin-moi...!" teriaknya penuh kekhawatiran ketika dia melihat betapa bayangan gadis yang jauh meninggalkannya itu kini lenyap ke dalam sebuah hutan lebat. Dia mengejar terus akan tetapi menjadi bingung karena di dalam hutan itu dia sudah kehilangan jejak dan bayangan Sui Cin. Berkali-kali dia memanggil sambil berlari ke sana-sini, namun hasilnya nihil dan akhirnya pemuda ini menjatuhkan diri duduk di bawah pohon sambil menghapus keringat yang membasahi leher dan mukanya.   "Sui Cin, ke mana kau pergi dan apa yang akan terjadi dengan dirimu?" Teringat kembali bahwa gadis itu agaknya sedang menderita kehilangan ingatan, dia lalu meloncat bangun dan kembali mencari-cari dengan penuh semangat. Mengenai keselamatan diri gadis itu dia tidak begitu mengkhawatirkan karena biarpun berada dalam keadaan lupa ingatan, ternyata gadis itu kini merupakan seorang wanita yang luar biasa lihainya. Dia sendiripun tadi sampai hampir kewalahan menghadapi Sui Cin. Tidak, tidak ada orang akan dapat sembarangan saja mencelakai gadis yang lihai itu. Akan tetapi dia khawatir bagaimana akan jadinya gadis yang kehilangan ingatan itu.   Akan tetapi dia bingung ke mana ha-rus mencarinya, sedangkan ada dua ma-cam tugas penting yang harus dilaksana-kannya. Pertama, memenuhi pesan Siang-kiang Lo-jin untuk mendatangi bekas benteng Jeng-hwa-pang di luar Tembok Be-sar. Kedua, dia harus menyelidiki tentang harta karun yang agaknya dilarikan orang ke Mongol. Urusan kedua ini tidak kalah pentingnya karena kalau sampai harta karun itu terjatuh ke tangan Raja Iblis, maka pemberontak-pemberontak itu akan semakin berbahaya, memiliki harta untuk membiayai pemberontakan mereka. Maka secara untung-untungan diapun melakukan pencarian ke arah utara, sambil mencari Sui Cin, sekalian menuju ke tempat yang harus didatanginya. Pemuda ini melakukan perjalanan cepat, di sepanjang perja-lanan bertanya-tanya den menyelidiki ka-lau-kalau ada orang melihat Sui Cin le-wat di situ.   ***   Bagaimana Sui Cin dapat muncul di depan Guha Iblis Neraka den membantu Hui Song yang terdesak tiga orang lawannya den berada dalam bahaya? Seperti telah kita ketahui, Sui Cin berpisah dari Hui Song tiga tahun yang lalu setelah ia bersama pemuda itu dan dua orang kakek sakti menyaksikan pertemuan para datuk bahkan sempat membuat kacau dalam pertemuan para datuk sesat itu, gadis ini lalu diajak pergi oleh Wu-yi Lo-jin atau Dewa Arak untuk mempelajari ilmu. Seperti juga halnya Hui Song yang dibawa pergi dan digembleng ilmu oleh Siang-kiang Lo-jin Si Dewa Kipas, Sui Cin juga diberi tahu oleh gurunya bahwa ia harus pergi ke utara, ke bekas benteng Jeng-hwa-pang untuk mengadakan pertemuan dengan para pendekar yang siap menentang para datuk sesat yang dipimpin oleh Raja dan Ratu Iblis dengan rencana pemberontakan mereka. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Sui Cin mampir ke Pulau Teratai Merah, akan tetapi ayah ibunya tidak berada di pulau itu. Mereka kabarnya pergi untuk mencarinya. Maka Sui Cin lalu meninggalkan surat dan pergi lagi menuju ke utara.   Secara kebetulan saja dalam perjalanannya itu ia tiba di dusun Lok-cun, beberapa hari sebelum Hui Song tiba di situ. Ketika ia lewat di depan kuil kosong, ia melihat dua orang penghuni dusun berlari-larian dengan muka pucat. Sebagai seorang pendekar wanita tentu saja ia menjadi tertarik. Waktu itu sudah senja dan matahari sudah mulai mengundurkan diri dari ufuk barat.   "Kalian mengapa berlari-lari ketakutan? Ada apakah?" tegurnya kepada dua orang dusun yang usianya sudah empat puluhan tahun itu. Dua orang itu berlari semakin cepat ketika tiba-tiba saja ada seorang wanita cantik berlari di belakang mereka tanpa mereka dengar sebelumnya. Akan tetapi Sui Cin sekali meloncat sudah berdiri menghadang mereka dan mengembangkan kedua lengannya.   "Nanti dulu, kalian harus memberi tahu mengapa kalian berlari ketakutan?"   Dua orang itu memandang kepada Sui Cin dengan mata terbelalak dan muka pucat, lalu seorang di antara mereka berkata, "Nona... kami... kami dikejar se-tan..."   Sui Cin memandang ke belakang mereka dan diam-diam ia merasa ngeri. Kalau hanya penjahat, tentu ia sama sekali tidak merasa takut. Akan tetapi setan? Ah, mana ada setan berani mengejar manusia, pikirnya.   "Mana setannya? Di mana?" tanyanya.   Di... di kuil, nona. Memang kuil itu terkenal berhantu, akan tetapi kami tidak memasuki kuil, hanya lewat. Tiba-tiba kami mendengar suara tangis disusul tawa seorang wanita, dan ada bayangan berkelebatan lenyap begitu saja di depan kami...!" dua orang itu masih menggigil, dan yang seorang segera menarik tangan kawannya lalu diajak lari dari tempat itu sambil mengomel.   "Hayo kita pergi, siapa tahu ia ini..." Keduanya lari tunggang langgang meninggalkan Sui Cin yang tersenyum seorang diri. Sialan, ia malah disangka setan!   Akan tetapi sikap dan keterangan dua orang dusun itu membuatnya penasaran. Benarkah ada setan? Bagaimanapun juga, ia harus membuktikan sendiri, tidak percaya omongan orang begitu saja tentang setan. Selama hidupnya in belum pernah melihat setan, dan kiranya semua orang pemberani juga belum pernah melihatnya. Yang pernah melihat setan biasanya hanya orang-orang yang sudah mempunyai rasa takut di dalam hatinya, dan sebagian besar setan hanya ada dalam dongengan dan cerita orang lain saja.   Bagaimanapun juga, ia merasa betapa jantung di dalam dadanya berdebar keras ketika ia menghampiri kuil tua itu. Cuaca sudah mulai gelap sehingga kuil kuno itu nampak menyeramkan.   Sui Cin bergerak dengan hati-hati. Mungkin tidak ada setan, akan tetapi kalau dua orang dusun itu melihat bayangan, berarti setidaknya tentu ada orang di sekitar atau di dalam kuil. Dan orang yang dapat berkelebat lenyap di depan dua orang dusun itu begitu saja, jelas bukan orang sembarangan, melainkan memiliki kepandaian tinggi. Ia harus hati-hati dan tidak sembrono. Andaikata ada orang pandai di situ, ia masih belum tahu siapa orang itu dan dari golongan apa. Dan ia merasa betapa tidak patut dan kurang ajar mendatangi tempat orang begitu saja.   Dengan hati-hati sekali, Sui Cin mempergunakan ilmu gin-kangnya yang hebat sehingga tubuhnya bagaikan seekor burung saja berkelebat dan melayang ke atas pohon-pohon, lalu melayang ke atas genteng kuil. Kedua kakinya tidak mengeluarkan bunyi apa-apa sehingga mereka yang berada di dalam kuil, biarpun memiliki kepandaian tinggi, tidak mendengar gerakannya dan tidak tahu akan ke-datangan pendekar wanita ini.   Sui Cin melakukan pemeriksaan dari atas genteng kuil dan akhirnya ia dapat melihat tiga orang sedang bercakap-ca-kap di dalam kuil itu! Ia tersenyum. Bu-kan setan bukan iblis, melainkan seorang gadis cantik dan dua orang kakek yang sedang bercakap-cakap dengan suara per-lahan di dalam ruangan kuil itu, ruangan yang buruk dan temboknya sudah banyak yang retak-retak.   "Dua orang dusun tadi tidak curiga?" tanya si gadis cantik.   "Ha-ha-ha, seperti biasa, orang-orang dusun itu tahyul. Mereka menyangka ka-mi setan dan lari tunggang langgang," jawab kakek gendut sambil tertawa.   "Bagus! Biarlah mereka menyebarkan berita bahwa tempat ini berhantu. Kita tidak ingin diganggu," kata pula si gadis cantik. "Aku lelah sekali malam ini, be-sok pagi-pagi kita harus mencoba lagi di Guha Iblis Neraka."   "Kurasa percuma saja," kata kakek kurus, "batu besar itu mana bisa kita buka? Sudah kita coba dengan bantuan banyak kawan tetap gagal. Apakah tidak lebih baik kalau kita melapor saja kepa-da Ong-ya?"   Gadis itu menggeleng kepala. "Tidak, suhu dan subo kini sedang sibuk dan su-kar mencari mereka. Pula, mereka sudah menugaskan ini kepadaku, mana bisa ku-tinggalkan begitu saja sebelum berha-sil? Kita harus mencoba lagi besok pa-gi-pagi, kalau gagal, biar aku akan men-cari bantuan lagi."   Agaknya dua orang kakek itu merupa-kan pembantu-pembantu si gadis cantik karena mereka kelihatan tunduk dan taat. Mereka berdua lalu duduk bersila di ruangan itu sedangkan si gadis cantik mema-suki sebuah kamar yang agaknya menjadi kamar tidurnya di dalam kuil itu.   Yang diintai oleh Sui Cin itu adalah Gui Siang Hwa, murid Raja Iblis yang berjuluk Siang-tok Sian-li dan dua orang pembantunya, yaitu Hui-to Cin-jin si ka-kek kurus dan Kang-thouw Lo-mo si ka-kek gendut, dua orang tokoh dari Cap-sha-kui. Ia tidak mengenal siapa adanya tiga orang itu, akan tetapi gadis ini da-pat menduga bahwa tiga orang yang ber-ada di dalam kuil itu tentulah orang-o-rang yang memiliki kepandaian tinggi. Percakapan mereka amat menarik perhatiannya, terutama sekali mengenai Guha Iblis Neraka itu. Ingin sekali ia tahu sia-pa adanya mereka dan tempat macam apakah guha itu. Karena ia ingin sekali tahu, maka malam itu ia kembali ke pe-nginapan dan pada keesokan harinya, pa-gi-pagi sekali ia sudah bersembunyi di balik pohon dekat kuil. Pagi-pagi sekali ia melihat tiga orang itu berkelebat ke-luar dan berlari cepat meninggalkan kuil. Ia semakin tertarik karena ternyata tiga orang itu memang benar memiliki kepandaian tinggi dan dapat berlari cepat se-kali. Akan tetapi dalam hal ilmu berlari cepat, ia adalah ahlinya dan tanpa kesu-karan sama sekali ia dapat membayangi tiga orang itu dari jauh tanpa mereka ketahui.   Ketika tiga orang yang dibayangi itu tiba di Guha Iblis Neraka, Sui Cin semakin tertarik sekali. Ia mengikuti kegiatan mereka, ikut pula menyeberangi jembatan batu pedang dan melihat betapa mereka gagal membuka batu beser yang menutupi guha di sebelah dalam. Dari percakapan mereka yang dapat ditangkapnya, akhirnya Sui Cin tahu bahwa mereka itu se-dang mencari harta karun yang terdapat di balik batu besar itu! Tentu saja hati-nya menjadi semakin tertarik dan ketika akhirnya dengan putus asa mereka gagal lagi, Sui Cin mendengar bahwa gadis cantik itu hendak meneari bantuan. Ke-tika mereka pergi, Sui Cin tinggal di si-tu dan ia sendiripun lalu melakukan penyelidikan. Akan tetapi iapun tidak mam-pu membuka batu besar penutup guha, dan karena ia tidak tahu rahasia harta itu, tidak tahu di mana letaknya yang tepat, iapun lalu menanti kembalinya ga-dis cantik yang akan membawa pemban-tu-pembantu itu. Ia mulai curiga mende-ngar dan melihat sikap dua orang kakek yang amat kasar, dan melihat sikap ga-dis yang genit. Biarpun belum merasa yakin benar karena belum ada buktinya, namun perasaannya mengatakan bahwa tiga orang itu bukanlah orang baik-baik dan tentu termasuk golongan sesat. Ia bersabar menunggu untuk melihat perkembangannya lebih jauh dan ia tinggal di dalam guha itu seorang diri sampai bebe-rapa hari lamanya.   Akhirnya, pada suatu hari ia melihat munculnya tiga orang itu, sekali ini dite-mani oleh seorang pemuda! Dan ketika dengan cepat ia bersembunyi di dalam pohon di atas guha dan melihat pemuda gagah itu, hampir ia berteriak saking gi-rang den kagetnya. Tentu saja ia menge-nal Hui Song! Akan tetapi karena ia me-sih menaruh hati curiga kepada tiga orang itu, ia menahan diri dan merasa heran sekali bagaimana Hui Song depot bergaul dengan mereka dalam keadaan yang demikian karib. Apalagi melihat si-kap gadis cantik itu yang demikian me-mikat den dalam sikap dan gerak-gerik-nya nampak sekali bahwa gadis itu mencinta Hui Song, mendatangkan perasaan tidak enak dalam hati Sui Cin. Ia mem-bayangi terus dan terheran-heran melihat betapa kini Hui Song dan gadis itu me-nyeberangi jembatan batu pedang sedang-kan dua orang kakek itu berhenti dan mengatakan bahwa mereka tidak sanggup maju lagi. Padahal, ia pernah melihat kedua orang kakek itu menyeberangi jembatan batu pedang ini bersama si ga-dis cantik, dan walaupun dengan agak sukar, kedua orang itu mampu menyebe-rangi. Mengapa kini berpura-pura tidak dapat menyeberang? Ia semakin curiga, apalagi ketika melihat betapa setelah menanti beberapa lama dan Hui Song su-dah lenyap bersama gadis itu, kedua o-rang kakek ini berindap-indap menyeberangi batu pedang! Mulailah Sui Cin mencium sesuatu yang tidak beres dan ia mengkhawatirkan keselamatan Hui Song di tangan tiga orang ini dan iapun cepat membayangi dua orang kakek itu masuk ke begian dalam.   Demikianlah, keinginan tahu Sui Cin menyelidiki tiga orang itu dan rahasia di dalam Guha Iblis Neraka telah menyelamatkan Hui Song. Ketika pemuda ini dikeroyok tiga, Sui Cin muncul membantu dan menyelamatkannya karena Hui Song memang amat terancam bahaya ketika itu. Akan tetapi, dalam usaha mereka berdua untuk melarikan diri, Sui Cin ter-kena lontaran batu Kang-thouw Lo-mo yang mengakibatkan dalam kapalanya terguncang dan ia kehilangan ingatannya!   Ketika ia siuman, ia lupa segala dan melihat Hui Song, ia lalu menyerangnya. Hal ini adalah karena yang masuk ke da-lam ingatannya pada saat terakhir ada-lah orang-orang jahat yang dilawannya. Maka begitu melihat Hui Song sebagai o-rang pertama pada saat ia siuman, iapun menganggap bahwa Hui Song adalah orang jahat dan diserangnya pemuda itu mati-matian. Akan tetapi pemuda itu ternyata merupakan lawan yang amat kuat dan ia merasa kepalanya pusing maka iapun me-larikan diri, mempergunakan ilmu lari cepat Bu-eng Hui-teng yang membuat pemuda itu tidak mampu mengejarnya.   Sui Cin sudah tidak ingat apa-apa lagi, yang diingatnya hanyalah bahwa ia bertemu dengan lawan, seorang pemuda jahat dan curang yang amat lihai, yang telah menyambitkan benda keras dan mengenal kepalanya karena kepala itu masih terasa sakit, dan yang tidak dapat ia kalahkan tadi. Ia hanya tahu bahwa lawan itu mengejarnya, dan karena kepa-lanya pening, apalagi ia tidak mampu mengalahkan, maka akan berbahayalah kalau sampai pria itu dapat mengejarnya. Maka, Sui Cin mengerahkan tenaganya dan berlari dengan cepat sekali. Sehari lamanya ia berlari terus, hanya kadang-kadang lambat dan mengaso kalau ia su-dah merasa lelah sekali. Setelah malam tiba, baru ia berhenti dan beristirahat di dalam sebuah hutan. Gadis ini sudah lupa sama sekali akan masa lalunya. Bahkan namanya sendiripun ia lupa! Iapun tidak mempunyai apa-apa lagi karena semua, pakaiannya tertinggal di tempat persem-bunyian di dekat Guha Iblis Neraka.   Malam itu ia menangkap seekor kelinci dan setelah memanggang dagingnya lalu makan daging panggang. Lalu ia duduk melamun di depan api unggun, mengerahkan pikiran untuk mengingat-ingat, akan tetapi tetap saja ia tidak tahu apa-apa. Yang diketahuinya hanyalah, bahwa ia dikejar-kejar seorang lawan tangguh, dan bahwa ia harus pergi ke utara, jauh melewati Tembok Besar. Entah bagaimana, mungkin karena urusan menghadapi pemberontakan para datuk sesat itu amat terkesan di dalam batinnya, maka inilah yang teringat olehnya, yaitu bahwa ia harus pergi ke utara, keluar Tembok Be-sar!   Biarpun sudah kehilangan ingatannya tentang masa lalu, namun Sui Cin tidak kehilangan semangat dan kelincahannya. Ia tetap nampak segar dan wajahnya selalu berseri-seri, melakukan perjalanan dengap cepat, terus menuju ke utara. Sama sekali tidak ada tanda-tandanya bahwa ia sedang menderita luka dan guncangan yang membuat ia kehilangan ingatannya. Hanya kalau sedang duduk seorang diri melamun den mencoba untuk mengingat-ingat keadaan dirinya, siapa dirinya dan bagaimana asal usulnya, ia nampak bengong dan bingung.   Karena ia tidak sadar betul ke mana ia harus pergi, setelah melewati Tembok Besar, Sui Cin memasuki daerah Mongol tanpa ia ketahui di mana ia berada dan ke mana ia harus pergi. Ia merasa gembira melihat daerah yang sama sekali asing baginya ini. Akan tetapi ia merasa bingung ketika bertemu dengan serombongan orang Mongol, ia sama sekali tidak mengerti bahasa mereka! Setelah rombongan itu pergi ia melamun. Untuk apa ia datang ke tempat asing ini? Ia hanya merasa betapa ada dorongan dalam hatinya bahwa ia harus pergi keluar Tembok Besar, akan tetapi di mana dan untuk apa ia tidak tahu! Ia mengambil keputusan untuk merantau selama beberapa hari. Kalau selama itu ia tidak juga dapat teringat untuk keperluan apa ia berada di tempat ini, ia akan kembali ke selatan, ke daerah di mana bahasa orang-orangnya ia dapat mengerti artinya.   Pada suatu hari, dalam keadaan kese-pian, ia melihat serombongan orang Mo-ngol lagi dan sekali ini di antara mere-ka terdapat beberapa orang wanita Mo-ngol yang memakai pakaian wanita Han. Sui Cin teringat akan pakaiannya sendiri. Pakaiannya sudah kotor dan banyak yang robek-robek. Hanya beberapa kali saja, di tempat sunyi di mana tidak terdapat orang lain, ia mencuci pakaiannya dan menjemur pakaian itu. Ia sendiri bertelanjang bulat, karena tidak mempunyai pakaian cadangan. Dan kini pakaiannya sudah kotor lagi, bahkan sudah robek-robek. Ia bukan seorang gadis pesolek, bahkan biasanya iapun memakai pakaian seadanya dan seenaknya saja, bahkan kadang-kadang nampak nyentrik. Walaupun Sui Cin seorang gadis puteri Pendekar Sadis yang kaya raya, namun sejak kecil ia lebih suka berpakaian sederhana. Dalam keadaan kehilangan ingatan inipun ia tidak berubah. Hanya ia sejak kecil memang suka akan kebersihan sehingga biarpun pakaiannya buruk dan lama, akan tetapi harus selalu bersih. Dan kini, dengan pakaian hanya satu-satunya sehingga tak dapat diganti dan sudah kotor, ia merasa tersiksa sekali. Karena itulah, melihat beberapa orang yang mengenakan pakaian bagus-bagus dan bersih itu, ia kepingin sekali. Akan tetapi, di saku bajunya sama sekali tidak ada apa-apanya, apalagi uang untuk membeli pakaian.   Dengan hati amat kepingin akan tetapi tidak berdaya membeli dan juga merasa malu untuk mencoba-coba minta, Sui Cin diam-diam mengikuti rombongan yang terdiri dari belasan orang itu. Mereka membawa dua buah kereta untuk wanita dan anak-anak, sedangkan para prianya berjalan sambil berjaga-jaga. Malam itu, ketika rombongan berhenti dan bermalam di sebuah dusun, Sui Cin beraksi dan pada keesokan harinya, keluarga itu ribut-ribut karena kehilangan dua stel pakaian wanita yang masih baru. Dua stel pakaian itu menghilang tanpa bekas!   Dan pada pagi hari itu, Sui Cin dengan pakaian baru tersenyum-senyum gembira. Ia telah berganti pakaian dan merasa dirinya segar sehabis mandi di luar dusun dan mengenakan pakaian baru dan bersih, bahkan kini masih ada satu stel yang dibuntalnya dengan pakaian lamanya.   Hanya satu hal yang masih membuatnya tidak senang, yaitu bahwa ia sama sekali tidak dapat berhubungan dengan orang-orang itu karena tidak mengerti bahasanya. Dan iapun tidak ingin pakaian yang dipakainya itu dikenal oleh rombongan semalam, maka iapun melanjutkan perjalanannya, kini membelok ke timur.   Pada keesokan harinya, selagi berjalan seorang diri menimbang-nimbang apakah tidak sebaiknya kulau ia kembali ke selatan, tiba-tiba ia melihat seorang nenek sedang menangis di tepi sebuah hutan. Nenek itu berjongkok dan menangisi seekor ular yang mati dan melingkar di atas tanah. Nenek itu jelek sekali. Mukanya penuh keriput dan buruk, tubuhnya kurus dan punggungnya bongkok melengkung, rambutnya yang putih riap-riapan. Pakaiannya jubah kedodoran dan ketika Sui Cin mendekat, ia mencium bau yang tidak enak. Akan tetapi, biarpun demikian, tetap saja hati gadis itu merasa gembira dan ia terus menghampiri. Yang membuatnya bergembira adalah karena ia dapat mengerti kata-kata tangisan atau keluhan nenek itu! Nenek itu mempergunakan bahasa Han dari selatan, walaupun agak kaku, namun ia dapat mengerti dengan jelas.   "Aduhhh, anakku yang baik... ah, kenapa engkau mati dan kenapa engkau tega sekali meninggalkan aku seorang diri... hu-hu-huhh... ke mana aku harus mencari pengganti sepertimu, yang setia, patuh dan tangguh? Hu-hu-huuhhh...!"   Dalam keadaan biasa, tentu Sui Cin akan merasa ngeri mendekati nenek itu. Wajahnya demikian buruk menakutkan, dan sikapnya itu seperti orang gila. Mana ada orang menangisi kematian seekor ular besar? Akan tetapi, karena sudah berhari-hari baru sekarang ia mendengar kata-kata yang dapat dimengertinya, hatinya gembira sekali dan ia merasa kasihan kepada nenek ini.   Memang bukan hanya gadis itu yang mempunyai perasaan demikian. Semua orangpun, kalau berada di tempat asing, atau lebih tepat lagi, kalau berada di negara asing, di antara bangsa asing yang berbahasa asing pula, akan merasa gembira sekali kalau berjumpa dengan orang sebangsa, atau setidaknya sebahasa! Seolah-olah bertemu dengan seorang saudara di antara orang-orang asing.   "Nenek yang baik, mengapa engkau begini bersedih? Engkau kematian binatang peliharaanmu? Mengapa ular ini bisa mati, nek?"   Nenek itu menghentikan tangisnya dengan tiba-tiba, lalu menoleh. Matanya yang melotot lebar itu amat mengerikan, akan tetapi Sui Cin tersenyum manis kepadanya, dengan sikap menghibur. Nenek ini seperti anak kecil saja, pikirnya, menangisi binatang peliharaannya yang mati. Kalau binatang peliharaan seperti kucing, anjing, kuda atau ternak lainnya, bahkan burung kesayangan, masih wajar. Akan tetapi yang ditangisi kematiannya ini adalah seekor ular besar yang mengerikan!   "Siapa kau...?" Nenek itu tiba-tiba bertanya, seolah-olah merasa heran ada orang menegurnya, apalagi dalam bahasa Han. Kemudian matanya terbelalak dan mengeluarkan sinar berkilat. "Eh, engkau... engkau gadis she Ceng itu...!" nenek itu berseru dan bangkit berdiri. Setelah ia berdiri, bongkoknya nampak sekali.   Sui Cin juga bangkit berdiri, memandang kepada nenek itu dengan wajah berseri. "Nenek yang baik, engkau mengenalku? Engkau tahu benar bahwa aku she Ceng? Sesungguhnya, nek, aku telah lupa segala tentang diriku, maka... tolonglah kauberitahu siapa diriku ini, nek?"   Nenek itu tertawa, suara ketawanya terkekeh lirih dan mata yang lebar itu berkilauan membayangkan kecerdikan dan kelicikan, juga kekejaman luar biasa. Kalau saja Sui Cin tidak kehilangan ingatannya, tentu ia akan terkejut setengah mati berjumpa dengan nenek ini, karena nenek ini adalah seorang musuh lamanya, yaitu Kiu-bwe Coa-li (Nenek Ular Ekor Sembilan), seorang di antara Cap-sha-kui yang kejam dan lihai! Dan agaknya nenek yang menjadi datuk kaum sesat ini tidak melupakan Sui Cin, maka ia nampak terkejut sekali. Akan tetapi begitu melihat sikap Sui Cin yang lupa akan keadaan dirinya, nenek itu terkekeh girang.   "Ah, bagaimana engkau bisa melupakan dirimu sendiri, nona?" tanyanya, si-kapnya kelihatan ramah dan wajahnya yang amat buruk itu tidak begitu mena-kutkan lagi.   "Entahlah, nek. Seingatku, ada yang menghantam kepalaku, mungkin batu yang dilontarkan seorang musuhku kepa-daku dan mengenai belakang kepalaku. Akan tetapi aku menjadi pening dan sampai sekarang aku lupa segalanya tentang diriku. Bahkan engkau yapg ternyata su-dah mengenal akupun sama sekali aku ti-dak ingat lagi. Siapakah aku ini, nek? Tolonglah bantu aku agar kembali ingatanku. Siapakah aku ini?"   "Anak baik, siapakah musuhmu yang menyerangmu dengan lontaran batu itu?"   Sui Cin menggeleng kepala. "Akupun tidak tahu, nek. Hanya setahuku, dia seorang pemuda yang lihai sekali ilmu silatnya, dan aku tidak akan melupakan wajahnya karena sekali waktu aku harus membalas perbuatannya itu!" Sui Cin mengepal tinju dengan gemas.   "Heh-heh-heh, anak baik, engkau bu-kan orang lain, masih terhitung cucu keponakanku sendiri."   Sui Cin terbelalak, terkejut, heran dan juga girang. "Aih, benarkah itu, nek? Siapakah engkau dan siapa pula namaku, siapa pula orang tuaku?"   "Engkau benar-benar tidak ingat kepadaku? Lihat ini, apakah engkau lupa kepada benda ini?" Kui-bwe Coa-li mengeluarkan senjatanya, yaitu cambuk ekor sembilan yang ampuh dan menyeramkan itu. Akan tetapi Sui Cin memandang bia-sa saja dan menggeleng kepalanya.   "Tidak, nek, aku tidak mengenal cambuk itu."   Legalah hati Kiu-bwe Coa-li. Agaknya gadis ini memang benar-benar kehilangan ingatannya dan tidak ingat lagi akan se-gala hal yang dikenalnya di masa lalu. Bagus, pikirnya, memudahkan ia untuk melumpuhkan gadis ini!   "Namamu... Bi Hwa, Ceng Bi Hwa, ayah ibumu sudah tidak ada, engkau yatim piatu dan pernah engkau ikut belajar silat kepadaku selama beberapa tahun dahulu. Mendiang ayahmu adalah keponakanku, jadi engkau adalah cucu keponakanku. Aku dijuluki orang sesuai dengan senjataku ini, ialah Kiu-bwe Coa-li." Nenek itu memegang cambuk ekor sembilan di tangan kanannya dan diam-diam ia mempersiapkan diri untuk menyerang, kalau gadis itu teringat kembali akan nama julukannya. Akan tetapi, Sui Cin sama sekali tidak ingat, hanya mengulang namanya dengan alis berkerut, "Bi... Ceng Bi Hwa... ah, aku sama sekali tidak ingat lagi namaku sendiri, nek, Harap maafkan aku..." Kemudian ia memberi hormat kepada nenek itu. "Terimalah hormatku, nek."   Kiu-bwe Coa-li mengangguk-angguk sambil terkekeh girang. "Bagus, bagus... jangan khawatir, cucuku. Setelah engkau bertemu dengan nenekmu ini, engkau tentu akan menemukan kembali ingatanmu, heh-heh."   "Aih, benarkah, nek? Benarkah engkau hendak mengobatiku? Ah, aku akan girang sekali kalau aku dapat mengingat semua keadaan diriku."   "Tentu saja! Bukankah engkau cucu keponakanku yang tersayang? Jangan khawatir, dengan mudah saja aku akan dapat menyembuhkanmu dan mengembalikan ingatanmu. Akan tetapi sebelum itu, aku ingin sekali menyelidiki bagaimana keadaan orang yang kehilangan ingatannya. Perlu bagiku untuk pengobatan. Bi Hwa, apakah engkau lupa pula dengan semua ilmu silatmu yang pernah kuajarkan kepadamu?"   Sui Cin mengerutkan alisnya dan menggeleng. "Aku lupa bahwa engkau yang mengajarkan ilmu silat kepadaku, nek, dan lupa lagi ilmu silat apa adanya itu. Akan tetapi gerakan ilmu silat itu sudah mendarah daging di tubuhku, menjadi ge-rakan otomatis kaki tanganku sehingga aku bergerak tanpa kuingat lagi. Agaknya... agaknya aku tidak melupakan ilmu silat itu, nek."   "Hemm... aneh, aneh. Akan tetapi sebaiknya kalau kucoba untuk membuktikan kebenaran omonganmu. Nah, kau bergeraklah menurut nalurimu, aku akan mencoba untuk menyerangmu dengan cambukku. Setelah ujian ini, baru nanti aku akan mengobatimu sampai sembuh, cucuku tersayang." Nenek itu menggerakkan cambuknya ke atas, terdengar bunyi meledak-ledak ketika sembilan ekor cambuknya itu seperti hidup sendiri-sendiri, bergerak-gerak bagaikan sembilan ekor ular hidup! Dan tiba-tiba cambuk itu menyambar ke arah Sui Cin.   "Tar-tar-tarr...!"   Sui Cin terkejut melihat gerakan cambuk yang hebat ini. Tak disangkanya nenek yang aneh seperti orang gila atau seperti anak kecil ini, yang menangisi kematian seekor ular, dan yang ternyata adalah bibi dari ayahnya seperti yang dikatakan nenek itu, kiranya memiliki kepandaian hebat dan serangan cambuk itu benar-benar amat berbahaya. Sembilan ekor ujung cambuk itu bergerak seperti ular-ular hidup dan masing-masing kini menyerang secara bertubi ke arah sembilan jalan darah di tubuhnya! Tentu saja iapun cepat menggerakkan tubuhnya dan tiba-tiba saja tubuh gadis di depannya itu berkelebat dan lenyap! Terkejutlah Kiu-bwe Coa-li. Seingatnya, gadis yang ia ketahui adalah puteri Pendekar Sadis ini, walaupun memang lihai, namun tidak sehebat ini kelihaiannya. Gadis yang ber-ada di depannya ini memiliki gin-kang yang mentakjubkan! Ia menjadi penasaran sekali, akan tetapi mulutnya terkekeh.   "Heh-heh, bagus, engkau masih memi-liki kegesitanmu. Nah, bersiaplah, aku akan menyerang sungguh-sungguh!" Dan cambuk itu diputar, mengeluarkan suara ledakan-ledakan kecil dan kini nenek itu menyerang dengan hebat sekali. Dahsyat dan buas serangannya, ujung cambuk yang sembilan itu mematuk-matuk dan meno-tok-notok, mencari jalan darah di tubuh Sui Cin. Gadis ini secara otomatis meng-gerakkan tubuhnya, dengan gin-kang yang baru-baru ini dipelajarinya dari Wu-yi Lo-jin, tubuhnya berkelebatan seperti ba-yang-bayang yang cepat sekali menyam-bar-nyambar di antara gulungan sinar-si-nar hitam dari cambuk nenek itu. Tentu saja ia tidak membalas kerena ia meng-anggap bahwa nenek itu hanya sekedar menguji apakah ia tidak melupakan ilmu silatnya yang menurut nenek itu diajarkan oleh nenek itu kepadanya!   Tentu saja niat yang terkandung di dalam hati Kiu-bwe Coa-li tidaklah de-mikian. Ia hanya ingin melihat sampai di mana kelihaian gadis ini. Kalau mungkin, tentu lebih mudah baginya membunuh ga-dis puteri Pendekar Sadis itu secara langsung saja dengan cambuknya ini. Akan tetapi, kalau ternyata gadis itu terlalu lihai, dalam keadaan hilang ingatan, ia akan dapat mempergunakan akal lain yang lebih halus untuk menjerat dan melumpuhkannya. Kini, melihat gerakan Sui Cin yang demikian hebatnya ketika berkele-batan mengelak dari sambaran cambuk-nya, nenek itu terkejut. Tak disangkanya gadis itu kini sedemikian hebatnya, memperoleh kemajuan yang demikian pesat, jauh lebih hebat dibandingkan dahulu. Maka, iapun maklum bahwa dengan cam-buknya, ia tidak akan mampu membunuh gadis ini, dan iapun lalu melompat ke belakang menghentikan serangannya.   "Bagus, bagus... heh-heh, engkau masih belum lupa akan ilmumu. Baiklah, sekarang aku akan memberi obat kepadamu agar engkau dapat pulih kembali, agar ingatanmu sehat kembali."   Hati Sui Cin merasa lega dan girang sekali. Tadi ia sudah merasa khawatir melihat betapa nenek itu menyerangnya secara dahsyat dan berbahaya. "Terima kasih, nek."   Nenek itu lalu duduk bersila di atas tanah, Sui Cin juga berjongkok di depan-nya, melihat nenek itu mengeluarkan se-guci arak, sebuah cawan dan sebuah bo-tol kecil dari balik jubah yang lebar itu. Ia menuangkan arak dari guci ke dalam cawan, hanya setengah cawan, kemudian menuangkan bubuk kehijauan dari botol kecil ke dalam cawan berisi arak setc-ngahnya itu. Sambil terkekeh ia mengo-cok arak itu sehingga bubukan hijau ber-campur ke dalam arak.   "Nah, ini obat mujarab sekali, cucuku. Sekali minum engkau akan merasa me-ngantuk, tertidur dan setelah engkau ba-ngun dari tidur, ingatanmu akan pulih kembali," katanya sambil menyodorkan minuman itu.   Sui Cin menerimanya dan langsung membawa cawan itu ke bibirnya. Akan tetapi begitu cawan itu menempel di bibirnya, ia tidak jadi minum dan meman-dang nenek itu dengan alis berkerut.   "Eh, ada apakah, cucuku? Hayo minum obat itu dan engkau akan sembuh."   "Tapi, nek. Aku tidak tahu apa isi o-bat ini, hanya perasaanku melarang aku untuk meminumnya karena mengandung bau amis beracun!"   "Heh-heh-heh-heh, tentu saja, memang obat itu mengandung racun dari ular sen-dok merah! Memang obat itu racun, ra-cun itu obat, asal kita tahu cara mempergunakannya saja. Eh, Bi Hwa, apakah engkau tidak percaya kepada nenekmu sendiri, kepada orang yang menimang-ni-mangmu di waktu engkau kecil, kepada orang yang telah mengajarkan semua il-mu itu kepadamu? Apa kaukira aku akan meracunimu? Pikiranmu telah jadi hilang ingatan, akan tetapi tentu belum begitu gila untuk mengira bahwa aku, nenekmu yang menyayangmu, akan meracunimu!"   Merah wajah Sui Cin. Tentu saja ia merasa tidak enak sekali. Ia tidak tahu pasti apakah minuman itu akan mencelakakannya, akan tetapi nenek ini mengenalnya, dan nenek ini tadi sudah mengujinya dan kini hendak menyembuhkannya. Mengapa ia ragu-ragu? Ia mendekatkan lagi cawan itu sambil memejamkan mata, iapun menuangkan arak itu ke dalam mulut dan terus ditelannya. Ia menahan diri untuk tidak muntah oleh bau amis itu! Begitu arak itu memasuki perutnya, ia merasa ada hawa panas berputaran di dalam perutnya. Itulah hawa gin-kang dari pusar yang otomatis memberontak dan hendak melawan ketika perut itu dimasuki benda berbahaya. Akan tetapi, racun itu sudah bekerja dan Sui Cin merasa betapa tubuhnya lemas dan matanya mengantuk.   "Heh-heh-heh, engkau sudah mulai mengantuk, bukan? Nah, tidurlah dan setelah bangun nanti engkau sudah akan sembuh sama sekali. Tidurlah, cucuku yang baik, tidurlah." Nenek itu sambil tersenyum melihat Sui Cin yang lemas itu merebah-kan tubuhnya di atas tanah, dan Sui Cin mendengar nenek itu bersenandung, se-perti sedang meninabobokkan cucunya!   Suara itu aneh sekali, dan tidak enak didengar, akan tetapi karena rasa kantuk tak tertahankan lagi, iapun tertidurlah.   Sui Cin tidak tahu berapa lama ia tertidur pulas, akan tetapi ketika it sadar kembali, matahari telah naik tinggi dan ia berada dalam keadaan terikat pada sebatang pohon! Tentu saja ia terkejut sekali dan otomatis ia mencoba untuk meronta. Akan tetapi, usahanya sia-sia belaka karena ia mendapat kenyataan yang amat mengejutkan, yaitu bahwa ka-ki tangannya lemas tidak bertenaga! Ia teringat akan nenek itu dan tahulah ia bahwa ia telah tertipu!   "Nenek iblis jahanam!" Ia memaki dan terdengar suara terkekeh di belakangnya. Lalu muncullah nenek itu, yang tadinya tertidur pula di atas rumput, agaknya menanti sampai korbannya terbangun. Ki-ni nenek itu menyeringai dan berdiri di depan Sui Cin, mengebut-ngebutkan ba-junya yang terkena tanah.   "Heh-heh-heh, nona yang tolol, heh-heh-heh!" Ia terkekeh-kekeh girang melihat korbannya. Nenek ini, sebagai seorang di antara Cap-sha-kui, memang memiliki hati yang kejam sekali dan kepuasan ha-tinya adalah kalau ia dapat menyiksa korbannya. Maka, kini dapat menawan nona yang menjadi musuhnya itu dalam keada-an tidak berdaya, tentu saja hatinya gi-rang bukan main.   "Nenek iblis, kiranya engkau telah menipuku! Hayo kalau memang engkau gagah, lepaskan aku dan kita bertanding sampai mati!" Sui Cin berteriak memaki.   "Heh-heh-heh, andaikata kulepaskan juga, engkau takkan mampu bertahan le-bih dari satu dua jurus. Dan aku tidak menipu, karena memang aku adalah Kiu-bwe Coa-li, musuh besarmu, ha-ha-ha!"   Diam-diam Sui Cin terkejut. Kiranya hilangnya ingatannya berakibat demikian hebat sampai musuh lamanya tidak ia kenal dan akibatnya ia mudah terjebak. "Jadi kalau begitu... namaku itu... bukan... bukan Ceng Bi Hwa..."   "Heh-heh-heh, namamu Ceng Sui Cin, engkau puteri Pendekar Sadis, heh-heh--heh, dan sekarang jatuh ke tanganku. Aku ingin menikmati kematianmu yang akan terjadi perlahan-lahan... ha-ha. Eh, nona manis, apa engkau suka dengan ular?"   "Ular...?" Sui Cin yang merasa bingung itu bertanya.   "Ya, ular... heh-heh, engkau tahu, aku adalah Kiu-bwe Coa-li, Ratu Ular!"   Dan nenek itu lalu membunyikan cambuknya berkali-kali. Terdengar suara meledak-ledak dan suara ledakan ini seperti bergema sampai jauh. Tidak lama kemudian, terbelalak mata Sui Cin melihat datangnya banyak ular dari empat penjuru, seperti tertarik oleh suara cambuk yang masih meledak-ledak itu, dan suara mendesis yang keluar dari mulut ompong Kiu-bwe Coa-li. Ular-ular itu menggeleser di atas tanah, membuat rumput-rumputan bergerak-gerak dan terdengerlah suara mereka mendesis-desis, lidah mereka itu keluar masuk dan kini mereka semua berkumpul mengelilingi tempat itu.   "Bagus, bagus, heh-heh-heh, anak-anakku, kalian sudah datang..."   Sui Cin bergidik. Teringat ia akan nenek itu yang menangisi kematian seekor ular yang juga disebut anaknya. Nenek ini gila atau lebih dari itu, jahat dan keji seperti iblis. Kini nenek itu membuat suara dengan mulutnya, suara mendesis dibarengi ledakan cambuknya dan beberapa ekor ular yang besar mengembangkan lehernya. Itulah ular-ular sendok yang amat berbahaya karena amat kuat. Sekali saja digigit oleh ular seperti ini, dalam waktu beberapa jam saja, kalau tidak memperoleh obat penawarnya yang ampuh, orang itu tentu akan mati!   Sui Cin yang kehilangan ingatannya itu tidak mengenal ular seperti itu, akan tetapi ia tahu bahwa ular-ular ini tentu berbahaya sekali. Tiga ekor ular sendok yang paling besar berjoget di depannya, dengan lidah merah menjilat-jilat keluar, mata yang tak berkedip itu memandang kepedanya, kepalanya lenggang-lenggok seperti menggoda dan hendak mempermainkan Sui Cin.   "Heh-heh-heh, mereka bertiga ini yang kupilih untuk menggerogoti dagingmu, sedikit demi sedikit, ha-ha-ha!" kata nenek itu dan makin gencar cambuknya berbunyi, makin lincah lagi tiga ekor ular itu menari-nari di depan Sui Cin, makin lama makin mendekati gadis yang terikat kaki tangan dan pinggangnya pada batang pohon itu. Sui Cin memandang tak berkedip kepada tiga ekor ular ini, menahan hatinya agar jangan sampai ia menjerit kengerian. Sementara itu, puluhan ekor ular lainnya yang mengurung tempat itu ikut pula bergerak-gerak seperti menari, akan tetapi mereka tidak berani mendekati tiga ekor ular sendok itu.   "Heh-heh-heh, Ceng Sui Cin, engkau baru tahu bahwa aku ini adalah ratu ular, ya? Aku dapat memerintah ular-ular ini menurut sekehendakku. Dan pertama-tama, aku akan memerintahkan mereka itu menyusup ke dalam pekaianmu, menelusuri seluruh tubuhmu sampai kau hampir mati karena geli dan ngeri. Kemudian, aku akan memerintahkan mereka itu merobek-robek semua pakaianmu sampai kau bertelanjang bulat. Nah, sesudah itu mulailah pesta untuk mereka. Gigit sana-sini, betis, paha, lengan dan bagian-bagian yang tidak berbahaya, menjilati darah dari luka-luka itu. Kemudian mukamu, pipimu yang halus itu, hidungmu yang mancung, bibirmu yang merah, akan digerogoti perlahan-perlahan. Engkau takkan mudah mati, akan kusiksa dulu sampai puas, sebagai hukuman ayahmu, Si Pendekar Sadis, ha-ha-ha!"   Cambuknya meledak-ledak dan tiga ekor ular itu mulai nampak beringas. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara suling yang ditiup dengan indah dan kuatnya, menyelinap suara itu di antara ledakan-ledakan cambuk dan akibatnya sungguh aneh. Ular-ular yang mengelilingi tempat itu nampak gelisah dan ketakutan, lalu perlahan-lahan mereka meninggalkan tempat itu! Kini hanya tinggal tiga ekor ular sendok itu saja yang masih bertahan, menari-nari di depan Sui Cin. Akan tetapi suara suling terdengar semakin kuat dan tiga ekor ular itu kelihatan ragu-ragu dan bingung, kacau oleh suara ledakan-ledekan cambuk yang kini bercampur suara suling yang agaknya lebih terasa dan lebih mempengeruhi mereka!   "Eh, keparat jahanam kurang ajar!" Nenek Kiu-bwe Coa-li memaki dan menoleh. Matanya terbelalak marah ketika ia melihat seorang pemuda datang sam-bil meniup suling, sikapnya tenang dan gagah. Sui Cin juga melihat datangnya pemuda ini dan iapun merasa girang karena ia mengerti bahwa suara suling pe-muda itu telah mengusir ular-ular yang tadinya mengurung tempat itu, dan kini suara suling itu membuat tiga ekor ular itu menjadi bimbang dan bingung, seperti kehilangan pegangan. Ia dapat menduga bahwa suara suling itu menghancurkan pengaruh nenek iblis terhadap ular-ularnya dan timbullah harapannya walaupun ia sendiri masih lemas dan tidak mampu meloloskan diri dari belenggu. Pemuda yang mampu menlup suling seperti itu tentu memiliki kepandaian tinggi, ia menduga.   Sementara itu, Kiu-bwe Coa-li yang menengok dan memandang pemuda itu, segera mengenalnya dan wajahnya agak berubah, kemarahannya memuncak. "Kau...! Keparat, kau putera ketua Pek-liong-pang di Lembah Naga itu?" Nenek itu menggerakkan cambuknya dan mengeluarkan suara mendesis. Karena semua ularnya sudah pergi terusir oleh suara suling tadi, kini tinggal tiga ekor ular sendok yang hendak dikerahkan untuk menyerang pemuda itu. Akan tetapi, dengan tenang pemuda itu melangkah maju ketika tiga ekor ular sendok menerjangnya dengan semburan-semburan uap hitam dari mulut mereka. Tiba-tiba pemuda yang bukan lain adalah Cia Sun itu, meniup sulingnya dengan kuat. Terdengar suara melengking yang membuat Sui Cin sendiri terpaksa harus berusaha mematikan rasa menulikan telinga karena suara melengking itu amat tinggi dan dahsyat, menusuk telinga menikam jantung. Akan tetapi agaknya suara itu memang sengaja ditujukan untuk menyerang atau menyambut tiga ekor ular itu. Tiga ekor ular yang sudah mengangkat kepala tinggi-tinggi itu, tiba-tiba mendengar suara ini lalu terkulai dan berkelojotan seperti dalam keadaan kesakitan hebat. Cia Sun melangkah maju dan tiga kali kakinya menginjak, pecahlah kepala tiga ekor ular itu. Tubuh mereka masih berkelojotan, akan tetapi karena kepala sudah hancur terinjak kaki yang kuat itu, mereka berkelojotan dalam keadaan sekarat!   Dapat dibayangkan betapa marahnya Kiu-bwe Coa-li melihat tiga ekor ular andalannya itu mati. Sambil mengeluarkan suara melengking ia menerjang ke depan, cambuknya meledak-ledak di atas kepalanya dan tangan kirinya yang berkuku panjang itupun dipergunakan untuk menyerang dengan cakaran-cakaran dan cengkeraman-cengkeraman maut karena kuku-kuku panjang tangan kiri itu mengandung racun.   Akan tetapi, dengan amat tenangnya, Cia Sun mengelak mundur dua langkah kemudian sekali tangan kirinya bergerak mendorong ke depan, angin pukulan dahsyat menyambar bagaikan hawa berapi, panas dan kuat. Kiu-bwe Coa-li menyambut dengan cambuk dan tangan kirinya dan akibatnya, ia terpental ke belakang!   "Ehhh...!" Nenek itu berseru kaget bukan main. Kalau tadi ia dikejutkan oleh kecepatan gerakan Sui Cin, kini ia dikejutkan pula oleh kekuatan sin-kang yang menyambar keluar dari tangan kiri pemuda ini. Ia pernah melawan pemuda ini, bahkan pernah ia hampir merobohkan Cia Sun dengan bantuan ular-ularnya beberapa tahun yang lalu. Akan tetapi, pada waktu itu, biarpun pemuda ini sudah amat lihai, tenaga sin-kangnya tidaklah sehebat sekarang ini.   Tentu saja nenek ini tidak tahu bahwa Cia Sun tiga tahun yang lalu tidak dapat disamakan dengan Cia Sun sekarang. Seperti kita ketahui, pemuda ini diajak pergi oleh seorang kakek sakti yang hanya memperkenalkan diri sebagai Go-bi San-jin dan di antara puncak-puncak Pegunungan, Go-bi-san yang sunyi, pemuda ini telah digembleng dengan hebat. Setelah oleh gurunya yang baru itu dia dinyatakan sudah cukup menerima ilmu, gurunya menyuruhnya pergi ke bekas benteng Jeng-hwa-pang di luar Tembok Besar, tidak begitu jauh dari Lembah Naga, untuk menghadiri pertemuan para pendekar.   "Dunia sudah berubah," demikian Go-bi San-jin yang gendut itu berkata, "para datuk sesat, seperti iblis-iblis, keluar dari neraka dan siap mengacau dunia. Sudah menjadi kewajiban kita untuk menentang mereka itu dan para pendekar sudah bersepakat untuk mengadakan pertemuan di tempat itu. Pergilah ke sana. Akan tetapi jangan lupa, engkau mempunyai semacam tugas lain. Jika engkau bertemu dengan seorang murid dari Ciu-sian Lo-kai, nah, dia itu lawanmu. Bukan musuh, melainkan lawan dan antara aku dan Ciu-sian Lo-kai sudah saling berjanji untuk mengadu murid kami masing-masing. Engkau tidak boleh kalah karena hal itu akan membuatku malu."   Tugas pertama diterima dengan gembira oleh Cia Sun, akan tetapi tugas kedua ini sebenarnya tidak berkenan di dalam hatinya. Bagaimana dia harus melawan dan berkelahi dengan seorang yang tidak dikenalnya, tanpa sebab, bahkan bukan musuh, melainkan hanya karena perjanjian antara guru mereka untuk saling mengadu murid-murid mereka? Seperti ayam aduan atau jengkerik saja. Akan tetapi, perintah guru tidak mungkin diabaikan dan diapun menyanggupi. Demi-kianlah, pemuda dari Lembah Naga ini meninggalkan gurunya dan dalam perjalanan menuju ke bekas benteng Jeng-hwa-pang, di daerah Mongol ini, secara kebetulan saja dia melihat seorang gadis yang akan dikorbankan kepada ular-ular berbisa oleh seorang nenek mengerikan. Cia Sun segera mengenal nenek itu seba-gai Kiu-bwe Coa-li, seorang di antara Cap-sha-kui, akan tetapi hampir dia ber-teriak ketika dia mengenal pula Sui Cin! Gadis yang dibelenggu dan menghadapi ancaman mengerikan dari ular-ular sen-dok itu adalah Sui Cin puteri Pendekar Sadis yang selama ini tidak pernah dia lupakan.   Akan tetapi, Cia Sun adalah seorang pemuda yang tenang. Melihat keadaan Sui Cin, din tidak tergesa-gesa bertindak sembrono untuk menyelematkannya de-ngan kekerasan begitu saja. Dia tahu be-tapa lihainya nenek itu dan tiga ekor u-lar sendok itu sudah siap mematuk, apa-lagi tempat itu dikelilingi oleh puluhan ekor ular. Maka, sambil bersembunyi dia lalu meniup sulingnya yang selalu diba-wanya, dan mengerahkan khi-kang untuk mengusir ular-ular itu. Barulah dia mun-cul dan dia masih terus menggunakan sulingnya untuk mengalihkan perhatian tiga ekor ular sendok itu dari Sui Cin kepada dirinya. Setelah ular-ular itu menyerang-nya, barulah dia turun tangan membunuh binatang-binatang itu.   Melihat betapa nenek iblis itu menye-rangnya dengan ganas, Cia Sun tidak tinggal diam menahan diri begitu saja. Nenek ini adalah seorang di antara Cap-sha-kui, datuk-datuk sesat yang amat ja-hat dan karenanya haruslah dibasmi. Du-lu, pernah dia hampir celaka diserang nenek ini bersama pengeroyokan ular-ularnya dan pada waktu itu untung muncul Sui Cin yang membantunya. Kini, Sui Cin yang menjadi korban kejahatan nenek itu, dan untung dia yang tanpa disengaja tiba di tempat itu sehingga dapat menyelamatkan Sui Cin. Yang membuat dia terheran-heran adalah melihat Sui Cin kelihatan begitu lemah, tidak mampu membebaskan diri dari belenggu yang tidak begitu kuat itu. Apa yang telah terjadi dengan gadis itu? Dan mengapa Sui Cin memandang-nya dengan sinar mata keheranan seperti itu, sama sekali tidak kelihatan bahwa gadis itu mengenalnya? Apakah Sui Cin sudah pangling kepadanya?   Setelah mengelak dari sambaran cam-buk ekor sembilan, Cia Sun membalas dengan serangan tamparan tangan kirinya, disusul totokan suling yang tadi dipergu-nakannya untuk mengusir ular. Nenek itu mengelak dan menggerakkan lagi cambuknya yang mengeluarkan suara meledak-le-dak. Terjadilah perkelahian yang seru, serang-menyerang dengan dahsyatnya. A-kan tetapi, segera nenek itu mendapat-kan kenyataan pahit bahwa lawannya ini luar biasa kuatnya, terlalu tangguh bagi-nya. Semua serangannya gagal, bukan ha-nya gagal, akan tetapi setiap kali bentur-an tenaga, ia tentu terdorong dan terhu-yung. Hatinya mulai merasa jerih. Akan tetapi Cia Sun yang mengambil keputus-an untuk membunuh nenek jahat ini, mendesak terus dengan pukulan-pukulannya yang ampuh.   Pada suatu saat nenek itu terdesak dan terhuyung ke belakang. Dengan ge-rakan aneh tangan kanan Cia Sun menyambar ke arah ubun-ubun kepala nenek itu dengan cengkeraman maut yang dah-syat. Nenek itu terkejut, cepat mengge-rakkan cambuknya menangkis dan lang-sung melibat lengan kanan lawan, kemudian kepalanya bergerak dan rambutnya yang riap-riapan itu menyambar ke arah leher Cia Sun untuk menotok jalan darah maut. Pemuda itu tidak menjadi gugup, tangan kirinya menyambar dan menang-kap bulu-bulu cambuk, kemudian kaki ki-ri Cia Sun melayang ke depan mengirim tendangan yang mengarah leher lawan. Hebat sekali tendangan ini dan dilakukan selagi kedua tangan mereka tidak bebas. Kiu-bwe Coa-li terkejut dan cepat meng-elak dengan miringkan kepala, akan te-tapi tetap saja ujung sepatu kaki Cia Sun mengenai pundaknya.   "Dukkk...!" Tubuh nenek itu terpelanting dan ujung bulu cambuknya rontok karena sebagian putus oleh cengkeraman tangan Cia Sun, sedangkan rambut kepalanya juga banyak yang jebol. Ia menggulingkan tubuh untuk menghindarkan se-rangah susulan, akan tetapi pemuda itu tidak mau mendesak lawan yang sudah roboh, hanya bersiap-siap melanjutkan perkelahian itu. Kiu-bwe Coa-li tidak terluka berat, akan tetapi ia maklum bah-wa kalau dilanjutkan, tentu akhirnya ia akan kalah karena pemuda itu sungguh lihai bukan main. Ia khawatir bahwa ka-lau ia melarikan diri, pemuda itu tentu akan mengejarnya, maka iapun memper-gunakan akal. Sambil menudingkan cam-buknya yang sudah bodol itu ke arah Sui Cin yang masih terbelenggu, ia berkata, "Kau membelanya? Biarlah ia mampus sekarang juga!" Dari tengah gagang cam-bukhya meluncur jarum-jarum halus yang digerakkan oleh alat di gagang cambuk.   Cia Sun terkejut bukan main. Tangannya cepat membuat gerakan memukul ke arah depan gadis itu dan jarum-jarum halus beracun itupun runtuh semua! Kiu-bwe Coa-li semakin kaget. Pemuda ini benar-benar hebat, pikirnya dan hatinya menjadi semakin gentar. Kini cambuknya menuding ke arah pemuda itu dan kem-bali ada belasan batang jarum halus menyambar ke arah Cia Sun.   "Nenek iblis jahat!" Cia Sun membentak dan begitu ia mengebutkan lengan bajunya, jarum-jarum itu bukan hanya runtuh, melainkan membalik ke arah nenek itu! Kiu-bwe Coa-li mengebutkan cambuknya dan jarum-jarum itupun runtuh.   "Heh-heh-heh, orang muda, kau boleh juga. Akan tetapi temanmu itu jangan harap akan dapat hidup lagi, ia telah keracunan. Lihat, wajahnya sudah mulai kehilangan cahayanya!"   Cia Sun terkejut dan menoleh. Kesempatan ini dipergunakan oleh Kiu-bwe Coa-li untuk meloncat dan melarikan diri. Cia Sun tiduk mau mengejar karena dia mengkhawatirkan keadaan Sui Cin. Dia tahu bahwa nenek itu tidak membohong. Keadaan Sui Cin memang tidak wajar. Gadis yang dahulu dia kenal sebagai se-orang pendekar wanita yang hebat, puteri tunggal Pendekar Sadis, kini demikian lemah dan tidak berdaya sehingga terbelenggu seperti itupun tidak mampu mem-bebaskan diri. Tentu gadis itu telah ter-luka, atau keracunan seperti yang dikata-kan nenek itu. Diapun cepat meloncat dekat dan melepaskan ikatan kaki tangan dan pinggang gadis itu.   Sejak tadi Sui Cin menjadi saksi per-kelahian itu dan iapun merasa kagum ke-pada pemuda berpakaian serba putih se-derhana yang lihai itu. Setelah semua belenggu yang mengikat kaki tangannya putus dan ia menjadi bebas, ia segera merangkap kedua tangan depan dada memberi hormat dan berkata, "Terima kasih, engkau telah menyelamatkan aku dari tangan nenek iblis itu."   Cia Sun membalas penghormatan itu sambil tersenyum. "Adik Sui Cin, kenapa engkau begini sungkan? Di antara kita mana ada sebutan pertolongan?"   Sui Cin memandang dengan mata ter-belalak dan jelas nampak oleh Cia Sun betapa gadis ini sekarang menjadi sema-kin cantik menarik. "Saudara yang gagah perkasa, apa maksudmu...?"   Kini Cia Sun yang melongo. "Cin-moi... lupakah engkau kepadaku? Aku Cia Sun..."   Akan tetapi gadis itu memandang bingung. "Cia Sun...? Aku... aku tidak mengenal nama itu..."   "Ehh...? Bagaimana ini? Bukankah engkau... adik Ceng Sui Cin?"   Sui Cin menggeleng kepala dan mengerutkan alisnya. "Aku tidak tahu... aku ti-dak tahu..."   Cia Sun merasa khawatir sekali dan memandang tajam. "Apa maksudmu? Apakah engkau hendak mengatakan bahwa engkau bukan adik Ceng Sui Cin?"   "Aku tidak tahu apakah namaku Ceng Sui Cin ataukah Ceng Bi Hwa..."   "Apa pula ini? Bagaimana engkau ti-dak yakin akan nama sendiri?"   "Aku tidak tahu, aku sudah lupa segalanya... dan nama Ceng Sui Cin atau Ceng Bi Hwa itupun kudengar dari nenek itu..."   "Engkau adalah adik Ceng Sui Cin, tak salah lagi! Coba ingat-ingat baik-baik, aku adalah Cia Sun, dari Lembah Naga. Lupakah engkau kepada nama itu? Antara ayahmu dan ayahku terdapat hubungan yang amat erat... bukankah ayahmu adalah paman Ceng Thian Sin yang berjuluk Pendekar Sadis?"   Dengan sedih Sui Cin menggeleng kepala. "Aku lupa semua, aku tidak tahu apa-apa, aku lupa siapa sebenarnya diriku. Aku hanya ingat bahwa aku terkena lemparan batu pada kepalaku, dan aku dikejar-kejar seorang musuh lihai. Kemudian aku bertemu dengan nenek itu dan ia telah menipuku, memberi minum yang katanya obat mengembalikan ingatanku. Akan tetapi ternyata obat itu adalah racun, aku menjadi lemas dan dibelenggunya seperti tadi... dan ia mengaku bernama Kiu-bwe Coa-li, katanya ia adalah musuh besarku..."   "Tentu saja! Ia adalah seorang di antara Cap-sha-kui yang jahat. Lupakah engkau?"   "Aku tidak ingat lagi siapa itu Cap-sha-kui..."   "Aih, Cin-moi. Aku pernah hampir celaka di tangan nenek ini beberapa tahun yang lalu, dan engkaulah yang muncul menolongku. Apakah engkau tidak ingat?"   Sui Cin menggeleng kepalanya. "Aku lupa segala... kepalaku pening, ahh... batu itu menghantam kepalaku amat kerasnyna..." Gadis itu duduk kembali dan memejamkan mata untuk berusaha mengumpulkan tenaganya, akan tetapi ia mengeluh. Tenaganya hilang. "Aku lemas sekali, seluruh tenagaku lenyap... ini tentu karena racun yang diberikan nenek iblis itu kepadaku..."   "Cin-moi, kalau begitu aku mengerti sekarang. Engkau tentu telah kehilangan ingatanmu, entah mengapa, mungkin seperti yang kauingat itu, terkena lemparan batu sehingga otokmu terguncang dan ingatanmu hilang atau kabur. Kemudian, dalam keadaan hilang ingatan itu engkau bertemu dengan Kiu-bwe Coa-li dan nenek iblis yang curang itu telah menipumu, menggunakan keadaan dirimu yang lupa ingatan, kemudian meracunimu. Engkau keracunan, Cin-moi. Dan inilah yang harus lebih dahulu disembuhkan. Mari kubantu engkau..." Cia Sun lalu duduk bersila di belakang Sui Cin, akan tetapi gadis itu meloncat bangun dan memandang dengan sinar mata meragu.   "Adikku yang baik, apakah engkau tidak percaya kepadaku?"   "Aku tidak kenal denganmu..."   "Cin-moi, dalam keadaan hilang ingatan, aku tidak merasa heran kalau engkau tidak lagi mengenal aku, bahkan namamu sendiripun engkau lupa, juga siapa orang tuamu. Akan tetapi, biarpun aku sekarang menjadi seorang kenalan baru, apakah engkau tetap tidak percaya kepadaku setelah tadi melihat betapa aku mati-matian membantumu dari ancaman nenek iblis itu?"   Sui Cin boleh jadi kehilangan ingatannya tentang mesa lalu, akan tetapi ia tidak kehilangen kegagahan dan keadilannya. Ia mengangguk. "Baiklah, aku yang salah. Lalu, apa yang hendak kaulakukan dalam usahamu mengobatiku?"   "Aku tidak tahu racun apa yang diminumkan nenek itu kepadamu, Cin-moi, karena itu tentu saja akupun tidak tahu apa obat penawarnya. Akan tetapi setidaknya, dengan pengerahan sin-kang, barangkali aku akan dapat memulihkan tenagamu, atau setidaknya aku akan dapat mencegah racun itu menjalar dan membahayakan keselamatan nyawamu."   Kembali Sui Cin mengangguk. "Baiklah, saudara..."   "Cin-moi, dahulu engkau selalu menyebut twako kepadaku, dan namaku Cia Sun..." pemuda itu berkata halus.   "Baik, Sun-twako, silakan dan sebelumnya aku menghaturkan terima kesih." Gadis itu duduk bersila kembali. Cia Sun duduk di belakangnya dan menempelkan kedua telapak tangannya di punggung gadis itu. Segera Sui Cin merasa betapa ada hawa panas menjalar ke dalam tubuhnya melalui telapak kedua tangan itu yang menempel punggung dan ia bergidik. Ia tahu bahwa pemuda itu sungguh lihai, akan tetapi mengerti juga bahwa nyawanya seolah-olah berada di telapak tangan pemuda itu. Ia menyerah dengan ikhlas dan memejamkan kedua matanya.   ***   Kiu-bwe Coa-li lari sambil memaki-maki. "Keparat! Anjing monyet tikus sia-lan!" Ia merasa betapa nasibnya amatlah buruknya. Sudah baik-baik bertemu de-ngan puteri Pendekar Sadis, malah sudah berhasil ia meringkus tanpa banyak susah dan selagi ia menikmati kepuasan hatinya menyiksa gadis itu sebelum membunuh-nya, tahu-tahu muncul pemuda lihai itu, putera ketua Pek-liong-pang dari Lembah Naga! Dan nyaris ia celaka, mungkin te-was di tangan pemuda itu! Hanya dengan susah payah dan berkat kecerdikannya ia mampu lolos dari ancaman maut, walau-pun cambuk ekor sembilan dan rambut-nya rontok dan bodol!   "Sialan...!" gerutunya. Mungkin ia kurang perhitungan ketika melakukan perjalanan, keliru memilih hari baik!   Memang menggelikan sekali ulah ne-nek iblis itu. Akan tetapi, kalau kita mau membuka mata melihat kenyataan hidup ini, akan nampaklah oleh kita bah-wa kenyataan hidup sehari-hari di antara kita tidaklah banyak bedanya dengan si-kap nenek Kiu-bwe Coa-li itu. Kitapun sudah terbiasa sejak kecil untuk meng-gantungkan diri pada nasib! Dan setiap ada peristiwa merugikan menimpa diri kita, kita lalu menyalahkan kepada nasib. Nasib buruk, sial, bintang gelap, dan se-bagainya kita lontarkan sebagai ungkapan kekecewaan hati. Mari kita sama mem-buka mata dan mengamati kenyataan ini. Tidak demikianlah kebiasaan kita sehari-hari? Kita selalu mencari kambing hitam keluar, menimpakan semua kesalahan ke-luar diri kita dan mencari-cari alasan dari luar, lalu kalau tidak menemukan lain orang atau barang sebagai penyebab datangnya kegagalan atau kerugian, kita masih melontarkan sebabnya kepada nasib!   Seorang yang gagal dalam ujian akan mencari-cari alasan keluar, menyalahkan gurunya yang dikatakan tidak adil, me-nyalahkan sistim pelajarannya, menyalah-kan teman-teman dan kalau tiada alasan menimpakan kesalahan kepada orang lain lalu melontarkannya kepada nasib. Nasib buruk katanya! Seorang yang gagal dan kalah dalam pertandingan olah raga dan lain-lain akan mencari-cari alasan di luar dirinya, menyalahkan lapangannya yang dikatakan buruk, licin dan sebagainya, me-nyalahkan alat permainan yang dikatakannya tidak memenuhi syarat dan sebagai-nya, atau ada pula yang menyalahkan keadaan kesehatannya atau juga melontarkannya kepada nasib! Seorang yang da-gangannya tidak laku dan gagal dalam u-sahanya akan selalu mencari kesalahan pada tempatnya, para pembelinya, atau juga kepada nasib. Seorang pengarang yang hasil karangannya tidak mendapat sambutan, tidak dibaca orang akan menyalahkan para pembaca yang dikatakan-nya tolol dan bodoh tidak mengenal ka-rangan yang bermutu dan yang baik, atau juga melontarkannya kepada nasib.   Bukankah semua ini merupakan suatu sikap yang amat buruk, suatu kelucuan yang konyol dan tidak lucu? Bukankah si-kap seperti itu merupakan suatu kebodohan dan menjadi penghalang besar daripa-da kemajuan diri pribadi? Kalau saja mereka itu mau menyelidiki dan mencari alasan-alasan kegagalan itu dalam diri sendiri, pasti akan mereka temukan sebab-sebab kegagalan semua itu. Sebabnya terletak dalam diri sendiri! Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini berputar pada suatu sumber yang berada di dalam diri sendiri. Dan sikap mencari segala se-bab pada diri sendiri merupakan suatu kebijaksanaan yang amat besar dan amat berguna bagi kehidupan manusia, karena dengan cara demikian, kita masing-masing akan dapat melihat dan menemukan kesalahan-kesalahan dan kekurangan-kekurangan pada diri sendiri dan hanya kalau kita sudah menemukan kesalahan-kesalahan kepada diri sendiri inilah maka akan dapat terjadi perbaikan-perbaikan dan pembetulan-pembetulan. Nasib ber-ada di dalam telapak tangan kita sendiri karena segala sebab dan semua akibat berada di telapak tangan kita sendiri.   Bukan hanya kegagalan, bahkan segala peristiwa, seyogianya ditelusur dari dalam diri sendiri. Kalau ada orang membenci kita, biasanya kita menjadi marah, kita membiarkan pikiran berceloteh, mengagungkan diri sendiri sedemikian tingginya. "Mengapa dia benci kepadaku? Kurang bagaimanakah aku? Aku selalu baik, selalu ramah, selalu memberi, akan tetapi mengapa dia benci kepadaku? Dasar dia orang dengki, iri, jahat...!" Demikianlah celoteh pikiran yang selalu mengangkat dan mengagung-agungkan diri sendiri.   Dengan cara membiarkan pikiran berceloteh macam itu, kita akan mandeg, bahkan mundur, dan kita tidak akan mampu melihat kenyataan, melihat kesalahan sendiri dan kita hanya akan menambah kebencian di antara manusia. Akan tetapi, kalau kita selalu waspada terhadap diri sendiri, mengamati diri sendiri tanpa menilai, tanpa mencela atau memuji, akan nampaklah segalanya itu, akan jelaslah bagi kita mengapa ada orang membenci kita dan sebagainya. Dan kewaspadaan ini, pengamatan ini sekaligus menimbulkan kesadaran yang melahirkan tindakan nyata pula, mendatangkan keberanian untuk merobah kesalahan sondiri.   Kiu-bwe Coa-li bersungut-sungut dan marah-marah, menyalahkan nasibnya. Padahal semua kegagalan yang menimpa dirinya bukan lain merupakan buah yang dipetik dari pohon yang ditanamnya sendiri! Ia bersungut-sungut dan karena ia berjalan cepat sambil melamun, hampir saja ia menabrak seorang yang sedang berjalan perlahan dari depan. Orang itu menyerongkan langkah, memiringkan tubuh sehingga tabrakan terhindar. Kiu-bwe Coa-li hanya merasakan angin berseliwer halus ketika orang itu lewat di sampingnya dan barulah ia sadar bahwa hampir saja ia bertubrukan dengan orang lain. Hatinya yang sedang murung itu menjadi panas dan marah, apalagi ketika ia mengangkat muka dan melihat bahwa yang hampir bertubrukan dengannya itu juga seorang nenek yang pakaiannya indah dan bersih. Nenek inipun sudah tua, tentu sudah tujuh puluh tahun lebih, malah lebih tua dari nenek Kiu-bwe Coa-li. Akan tetapi jelas nampak perbedaan antara kedua orang nenek itu. Kalau Kiu-bwe Coa-li berwajah buruk sekali, sebaliknya nenek ini menunjukkan bahwa di waktu mudanya ia tentu seorang wanita yang amat cantik. Akan tetapi bukan kecantikan seorang wanita Han, melainkan kecantikan asing, dengan matanya yang lebar, hidungnya yang terlalu mancung dan dagunya yang panjang meruncing itu. Juga dandanannya jauh berbeda dengan wanita Han, bahkan juga berbeda dengan pakaian wanita-wanita Mongol pada umumnya. Rambutnya yang sudah putih itu dikuncir dua, bukan dikuncir melainkan dibagi dua dan diikat dengan kain lebar. Telinganya yang lebar itu memakai anting-anting gelang yang besar pula. Lehernya memakai kalung dari untaian batu-batu putih bundar seperti tasbeh. Jubahnya berwarna putih bersih, dengan rangkapan berwarna biru dan kuning yang indah. Tangannya memegang sebatang kebutan yang juga berbulu putih seperti rambutnya. Nenek ini nampak agung dan berwibawa, juga gerak-geriknya halus seperti wanita bangsawan. Mulutnya tersenyum membayangkan kebesaran hati ketika ia memandang kepada Kiu-bwe Coa-li.   Sejenak Kiu-bwe Coa-li mempergunakan sepasang matanya yang agak juling itu untuk memandang dan hatinya menja-di semakin panas. Nenek itu dianggapnya terlalu sombong dan genit! Sudah tua masih berdandan begitu rapinya, memakai kalung dan anting-anting pula, dan pakaiannya bagus-bagus!   "Perempuan tak tahu malu!" bentaknya sambil menggoyang-goyang cambuk-nya. "Di mana kautaruh matamu maka engkau berani hampir menubruk aku?"   Nenek berjubah putih-putih itu tersenyum. "Sobat, jangan marah-marah dulu dan ingatlah baik-baik, siapa yang bendak menubruk tadi? Engkau berjalan setengah berlari sambil melamun sehingga tidak melihat ke depan dan kalau aku kurang cepat menyingkir tentu telah kautabruk." Suaranya halus dan dari suara dan kata-katanya jelas bahwa ia adalah seorang wanita Mongol yang pandai berbahasa Han. Kata-katanya menunjukkan bahwa ia terpelajar, karena ia menggunakan baha-sa yang halus, lebih halus daripada kata-kata yang keluar dari mulut Kiu-bwe Coa-li, seorang nenek berbangsa Han aseli.   Ucapan yang halus dan sikap yang te-nang itu menambah kemarahan Kiu-bwe Coa-li, karena ia merasa seolah-olah di-ejek. Ia menudingkan cambuknya ke arah muka nenek itu sambil membentak, "Pe-rempuan tua bangka Mongol yang bosan hidup! Buka mata dan telingamu baik-ba-ik. Engkau berhadapan dengan Kiu-bwe Coa-li dan kalau engkau tidak lekas ber-lutut minta ampun, cambukku akan men-cabut nyawamu!"   "Ck-ck-ck..." Nenek itu menggeleng kepala perlahan sehingga anting-antingnya yang seperti gelang itu bergoyang-goyang, akan tetapi mulutnya masih tersenyum. "Kiranya Kiu-bwe Coa-li, seorang dari Cap-sha-kui yang namanya menggelapkan angkasa di selatan? Wah, hebat sekali. Kiu-bwe Coa-li, aku sudah tua, nyawa ini tidak akan dapat kupertahankan selamanya dan sekali hendak pergi meninggalkan badan, siapa yang mampu menangguhkannya? Akan tetapi jangan harap dapat memaksaku berlutut karena aku tidak mempunyai kesalahan apapun kepadamu."   "Keparat! Berani engkau membantah dan menantangku? Apakah kau bosan hidup?"   Pada saat itu terdengar auman yang keras dan menggetarkan bumi. Kiu-bwe Coa-li terkejut bukan main ketika tiba-tiba seekor harimau yang amat besar muncul dan berlari menghampiri nenek berjubah putih itu. Harimau itu juga memandang kepadanya dan menggereng marah, matanya mencorong dan bibir atasnya mendesis-desis, meringis memperlihatkan gigi dan taring yang amat kuat. Diam-diam Kiu-bwe Coa-li merasa ngeri dan jerih juga. Biarpun ia lihai, akan tetapi menghadapi seekor harimau yang demikian besarnya, ia maklum betapa besar bahayanya melawan binatang seperti ini.   "Houw-cu... diamlah dan jangan ribut," kata nenek itu dengan suara membujuk dan harimau itu lalu mendekam di samping si nenek berjubah putih.   "Huh, biarpun engkau mempunyai peliharaan kucing itu, jangan dikira aku takut!" Kiu-bwe Coa-li menantang.   Nenek itu tetap tersenyum, akan tetapi sepasang matanya yang lebar itu mengeluarkan sinar mencorong, seperti mata binatang pelibaraannya. "Kiu-bwe Coa-li, sungguh mengherankan sekali bahwa orang dengan watak seperti engkau ini dapat hidup sampai usia tua. Aku bukan orang yang suka mempergunakan kekerasan, tidak suka berkelahi, akan tetapi juga bukan orang yang takut akan ancaman-ancaman dan gertak-gertak kosong belaka!"   "Akan tetapi yang suka mengandalkan perlindungan binatang buas!" ejek Kiu-bwe Coa-li yang masih merasa ragu-ragu untuk turun tangan mengingat adanya harimau yang nampaknya buas sekali itu. Kalau hanya harimau biasa saja, ia tidak akan gentar. Akan tetapi harimau ini sungguh luar biasa besarnya dan nampaknya kuat bukan main.   "Begitukah? Aku tidak minta perlindungan Houw-cu, dia hanya marah karena hidungnya dapat mencium bau busuk. Eh, Houw-cu, pergilah bersembunyi sebentar agar perempuan kejam ini tidak menjadi ketakutan."   Seperti seekor binatang jinak yang mengenal perintah majikannya, harimau itu pergi setelah beberapa kali menoleh ke arah Kiu-bwe Coa-li sambil mengge-reng seperti merasa curiga dan marah. Kemudian dia menghilang di balik pohon-pohonan dan tidak terdengar lagi suara-nya.   "Nah, dia sudah pergi, Kiu-bwe Coa-li. Sekarang engkau mau apa?"   "Mau membunuhmu!" bentak Kiu-bwe Coa-li marah dan nenek ini sudah mela-kukan serangan dengan cambuknya. Cambuk itu mengeluarkan suara ledakan-ledakan dan biarpun sudah ada dua ekornya yang putus ketika ia menghadapi Cia Sun tadi, akan tetapi masih ada sisa tujuh e-kor yang kini menyambar dan melakukan totokan-totokan yqng dahsyat.   "Hemmm...!" Nenek berjubah putih itu berseru kaget menyaksikan kehebatan gerakan serangan Kiu-bwe Coa-li dan ia melompat ke belakang sambil mengebutkan kebutan putih di tangannya.   "Pratt-pratt-prattt!" Cambuk itu bertemu dengan kebutan beberapa kali dan nenek berjubah putih itu terhuyung ke belakang.   "Heh-heh-heh, kematian sudah di depan mata, bersiaplah engkau, tua bangka!" Kiu-bwe Coa-li mengejek dan terus me-nyerang lagi. Ia sama sekali tidak me-mandang sebelah mata kepada nenek itu sehingga bertanya namapun tidak. Demi-kian watak orang-orang Cap-sha-kui yang rata-rata sombong dan kejam itu. Dan itulah kesalahannya. Andaikata ia tadi bertanya dan ia tahu dengan siapa dia berhadapan, tentu ia akan bersikap hati-hati dan mungkin ia akan pergi tanpa berani mengganggu nenek berjubah putih itu. Akan tetapi ia terlalu sombong dan pada saat itu hatinya sedang marah karena kekalahannya terhadap Cia Sun.   Didesak oleh serangan-serangan yang dahsyat itu, nenek jubah putih mengelak sambil berloncatan dan anehnya, ia sama sekali tidak pernah membalas. Akan tetapi iapun terkejut memperolch kenyataan betapa hebat dan berbahayanya serangan-serangan yang dilakukan oleh Kiu-bwe Coa-li itu, maka begitu melompat ke belakang ia menudingkan kebutannya sam-bil berkata halus, "Kiu-bwe Coa-li, mem-benci orang lain beranti membenci diri sendiri. Engkau menyerang orang lain sa-ma saja dengan menyerang diri sendiri!"   Kiu-bwe Coa-li tidak perduli walaupun ucapan nenek itu seperti menembus ke dalam dadanya. Dengan ganas ia menu-bruk dengan cambuknya. "Tar-tar-tarrr...!" Cambuk meledak-ledak lalu menerjang ke arah nenek itu. Akan tetapi, en-tah kekuatan apa yang terdapat dalam kebutan berbulu putih, tiba-tiba saja cambuk itu membalik dan memukul muka Kiu-bwe Coa-li sendiri!   "Ihhh...!" Kiu-bwe Coa-li berteriak keras dan berusaha mengelak, akan tetapi tetap saja tiga ekor cambuk itu mengenai muka dan lehernya dan nampaklah jalur-jalur merah berdarah di muka dan lehernya. Ia terbelalak, akan tetapi tidak menjadi takut, bahkan makin marah.   "Kubunuh kau... kau harus mampus!" Ia berteriak marah sekali dan kembali ia meloncat ke depan. Nenek itu mengacungkan kebutannya ke atas, lalu membanting kebutan itu ke bawah. Aneh sekali, tiba-tiba saja tubuh Kiu-bwe Coa-li yang se-dang meloncat itu tiba-tiba saja terban-ting ke bawah oleh tenaga yang tidak nampak.   "Brukkk...!" Kiu-uwe Coa-li terbelalak dan menjadi semakin marah karena bantingan itu tidak melukainya, walaupun membuat napasnya agak sesak dan jalannya menjadi pincang. Ketika ia mengangkat mukanya, nenek itu sudah berjalan pergi sambil membawa kebutannya, seolah-olah tidak lagi mau memperdulikannya! Kemarahannya memuncak. Dilihatnya nenek itu menuruni sebuah lereng yang curam.   "Tunggu, ke mana engkau hendak la-ri, keparat?" Ia mengejar dan menuruni lereng yang diapit-apit jurang yang curam itu.   Nenek itu menengok. "Kiu-bwe Coa-li, aku melihat awan hitam mempengaruhimu. Mundurlah sebelum terlambat!" Ucapannya itu halus dan bernada serius. Akan tetapi orang macam Kiu-bwe Coa-li mana mau mengalah dan mundur sebelum kalah?   Setelah mengejar sampai jarak empat meter, tiba-tiba Kiu-bwe Coa-li mengge-rakkan cambuknya dan meluncurlah belasan jarum halus menyerang ke arah tubuh belakang nenek itu. Akan tetapi, nenek itu membalikkan tubuhnya dan kembali mengacungkan kebutannya dan belasan batang jarum halus yang sedang meluncur itu, tiba-tiba saja membalik ke arah Kiu-bwe Coa-li sendiri! Nenek buruk itu terbelalak, terkejut bukan main karena kembalinya belasan batang jarumnya itu amat cepatnya, lebih cepat daripada ketika ia pakai menyerang. Ia tidak mau kalau senjatanya makan tuan. Untuk menangkis tidak sempat lagi saking cepatnya jarum-jarum itu meluncur, maka iapun meloncat ke kiri untuk mengelak dan... terdengarlah jeritan menyayat hati ketika tubuhnya meluncur ke bawah, ke dalam jurang yang amat curam! Nenek ini dalam kemarahannya telah menjadi lengah dan kehilangan kewaspadaan sehingga lupa bahwa di kanan kiri tempat itu terdapat jurang-jurang yang curam sehingga ketika ia mengelak dan melompat ke kiri, ia telah melompat ke dalam jurang.   Jeritan itu berhenti dan nenek berju-bah putih menjenguk dari tepi jurang, memandang ke bawah. Masih nampak o-lehnya tubuh Kiu-bwe Coa-li yang dari atas nampak kecil seperti boneka meng-gelinding ke bawah, terlempar-lempar ke-tika menimpa batu-batu dan akhirnya terbanting ke dasar jurang den diam tak bergerak lagi.   "Ck-ck-ckk...!" Nenek itu menggeleng-geleng kepalanya lalu bertepuk tangan. Tepukan tangan itu terdengar nyaring se-kali dan agaknya merupakan isyarat bagi harimau peliharaannya karena kini muncullah harimau besar itu, berlari-lari men-datangi. Nenek itu lalu naik ke punggung harimau, menggerakkan kebutannya dan harimau itupun berlari ke arah dari mana Kiu-bwe Coa-li tadi datang.   Tak lama kemudian tibalah nenek dan harimaunya itu di tempat di mana Cia Sun sedang berusaha untuk mengobati Sui Cin. Dari jauh nenek itu sudah melihat mereka dan iapun menyuruh harimaunya berhenti. Ia mengintai dan sampai lama ia mengamati dua orang muda itu. Berulang kali ia menarik napas panjang dan menggumam seorang diri. "Ah, agaknya akan perempuan itu keracunan dan tentu perbuatan Kiu-bwe Coa-li itu. Kasihan, aku melihat cahaya gelap menyelubungi wajahnya."   Nenek ini bukan orang sembarangan. Kalau tadi Kiu-bwe Coa-li tidak begitu sombong dan mau bertanya nama, agaknya ia belum tentu akan tewas, mati konyol karena terjatuh ke dalam jurang karena nama nenek itu tentu akan membuatnya merasa jerih dan membuatnya tidak berani sembarangan menyerang. Nenek itu terkenal sekali di daerah utara, di luar Tembok Besar dan bahkan seluruh penduduk Mongol dan Mancu amat takut kepadanya. Di Mongol, ia dikenal sebagai seorang dukun wanita yang terkenal sakti dan ampuh. Apalagi, di samping menjadi dukun yang diakui mempunyai banyak macam ilmu yang aneh-aneh, juga ia merupakan keturunan dari Yelu Ce-tai, seorang arif bijaksana yang dahulu menjadi penasihat Raja Jenghis Khan! Biarpun sudah lama Kerajaan Goan, yaitu penjajah Mongol, terjatuh dan sisa-sisa orang Mongol kembali ke utara di luar Tembok Besar, namun nama keluarga Yelu Ce-tai masih dikenal orang, bahkan ratusan tahun kemudian, nenek itu sebagai keturunan keluarga Yelu, masih dihormati orang-orang Mongol, apalagi karena ia memang seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, terutama sekali ilmu sihirnya. Bahkan para kepala suku yang banyak terdapat di daerah itu semua menghormatinya. Ia menjadi tempat bertanya nasihat para pimpinan suku dan bahkan pertikaian-pertikaian yang timbul di antara mereka seringkali baru dapat didamaikan kalau Yelu Kim demikian nama nenek itu, sudah turun tangan melerai. Di kalangan orang Mongol yang masih percaya akan hal-hal mujijat dan ketahyulan, nenek itu dikabarkan sakti seperti dewa, dapat menghidupkan orang mati dan mematikan orang hidup!   Sebetulnya, Yelu Ce-tai dahulu adalah seorang bangsawan Khitan akan tetapi ahli dalam kebudayaan bangsa pribumi Han sehingga dia dianggap sebagai seorang berbangsa pribumi. Keturunannya banyak yang menikah campuran sehingga darah Yelu Kim sekarang adalah darah campuran, bahkan ada pula darah Bangsa India di barat. Itulah sebabnya mengapa wajahnya memiliki kecantikan yang asing dan aneh. Namanya terkenal sekali, bahkan tokoh-tokoh besar di pedalaman yang sering menjelajah ke utara, sudah mendengar akan kehebatan nama ini. Maka sayanglah bahwa Kiu-bwe Coa-li tidak menanyakan namanya sehingga nenek iblis itu tewas tanpa mengetahui bahwa lawannya adalah orang yang paling terkenal di Mongol.   Sebagai seorang yang dihormati, Yelu Kim yang berdarah bangsawan itu bersikap agung dan ramah, akan tetapi di balik kehalusan sikapnya itu tersembunyi kekuatan yang menakutkan dan memang nenek ini kadang-kadang mempunyai sikap yang aneh dan mengejutkan orang, kadang-kadang ia murah hati sekali dan mudah mengampuni, akan tetapi ada kalanya ia bersikap amat keras hati dan amat kejam. Padahal, pada dasarnya Yelu Kim bukanlah seorang kejam, melainkan seorang yang bijaksana dan adil, dan pandangannya sedemikian jauh sehingga banyak orang tidak mengerti dan menganggap ia kejam. Nenek yang sudah beberapa kali menikah ini tidak pernah mengecap kebahagiaan hidup keluarganya, dan ia tidak pernah mempunyai anak sehingga kini hidup kesepian dalam usia tua. Dan sebagai seorang janda tua yang hidup kesepan, ia suka akan binatang peliharaannya. Akan tetapi kalau para janda itu suka memelihara kueing atau anjing, nenek ini memelihara seekor harimau yang amat besar dan menakutkan. Dan harimau ini bukan hanya menjadi binatang peliharaan dan kesayangan, bahkan juga dapat menjadi binatang tunggangan dan binatang yang menjaga dan melindungi keselamatannya. Melihat binatang ini saja membuat orang yang tadinya berniat buruk terhadap Yelu Kim harus berpikir panjang lebih dulu karena harimau itu nampaknya amat menyayang dan setia kepada majikannya.   Demikianlah sedikit tentang nenek aneh itu yang kini mengintai Cia Sun dan Sui Cin yahg sedang duduk bersila. Sui Cin yang merasa betapa hawa yang panas menjalar ke dalam tubuhnya merasa nyaman sekali dan hampir tertidur. Sebaliknya Cia Sun dengan pengerahan sin-kang berusaha untuk membangkitkan kembali tenaga gadis itu yang seakan-akan menjadi lumpuh. Namun, dia tidak pernah menemui perlawanan sehingga hal ini menandakan bahwa Sui Cin belum juga menemukan kembali kekuatannya. Sin-kang atau hawa sakti dalam tubuh gadis itu belum bangkit.   Telah lewat tiga jam lamanya sejak Cia Sun mencoba untuk mengobati gadis itu dan terpaksa dia berhenti dulu untuk menyimpan tenaganya sendiri. Dia melepaskan kedua tangannya dan Sui Cin sadar dari keadaan seperti tidur itu. Mereka lalu duduk beristirahat, berhadapan di atas rumput tebal, saling memandang. Melihat betapa sepasang mata gadis itu memandang kepadanya penuh pertanyaan, Cia Sun menarik napas panjang.   "Cin-moi, kita harus mengaso dulu. Sungguh heran, aku belum menemui perlawanan, agaknya sin-kang di dalam tubuhmu sama sekali tidak bangkit. Entah pengaruh racun apa yang dipergunakan Kiu-bwe Coa-li sehingga bisa melumpuhkan kekuatan dalam tubuhmu seperti ini."   Gadis itu memandang wajah yang gagah dan nampaknya sedih itu, dan hatinya terharu. Ia tidak mengenal pemuda ini, atau lebih tepat lagi, ia sudah lupa lagi siapa adanya pemuda ini, namun menurut penuturan pemuda ini, di antara mereka terdapat hubungan dekat dan bahwa pemuda itu adalah putera ketua Pek-liong-pang di Lembah Naga, seorang pendekar! Dan melihat sepak terjangnya tadi, memang pemuda ini seorang pendekar yang mengagumkan, bukan hanya telah menyelamatkannya dari ancaman maut di tangan nenek iblis Kiu-bwe Coa-li, akan tetapi juga bersikap sopan dan mengagumkan ketika berusaha mengobatinya dengan pengerahan sin-kang. Seorang pe-muda yang hebat, dan sinar mata pemu-da itu kalau ditujukan kepadanya mem-buat jantungnya tergetar karena jelas te-rasa dan nampak olehnya betapa pemuda ini jatuh cinta kepadanya, atau mungkin juga sudah sejak dahulu mencintanya.   "Sudahlah, Sun-twako, biarkan saja. Tidak perlu engkau menghambur-hambur-kan tenagamu untuk mencoba mengobatiku. Aku tidak menderita rasa nyeri, ha-nya lemas dan tidak mampu membangkitkan tenaga sin-kangku..."   "Akan tetapi, engkau tentu menderita. Engkau sakit, mukamu pucat dan ma-tamu layu, Cin-moi, bagaimanapun juga, aku harus berusaha mengobatimu sampai sembuh. Setidaknya aku akan mencarikan obat, mencarikan ahli untukmu."   Pada saat itu, Cia Sun meloncat berdiri dan memandang ke arah pohon-pohon di mana kini sudah berdiri seorang nenek yang memegang sebuah kebutan putih. Karena baru saja dia berkelahi melawan seorang nenek iblis, maka munculnya ne-nek ini tentu saja mendatangkan kecurigaan besar dan mengingat bahwa Sui Cin masih tidak berdaya, diapun cepat lari menghampiri nenek itu dengan pandang mata penuh curiga.   Nenek itu adalah Yelu Kim dan kini tiba-tiba saja sikap nenek ini berubah sama sekali. Pandang matanya nampak jahat dan kejam, senyumnya penuh ejekan. "Orang muda, kaukah yang tadi bertanding dengan Kiu-bwe Coa-li?"   Cia Sun mengerutkan alisnya dan me-mandang tajam. "Benar sekali, dan sete-lah nenek iblis itu melarikan diri seka-rang muncul engkau. Siapakah kau ini, nek, dan ada hubungan apa engkau de-ngan Kiu-bwe Coa-li?"   Senyum mengejek di mulut nenek itu melebar dan pandang matanya nampak heran dan tidak percaya. "Engkau yang semuda ini mampu mengalahkan Kiu-bwe Coa-li?"   "Kalau nenek iblis itu tidak melarikan diri, tentu ia sekarang sudah tewas di tanganku. Seorang manusia berwatak iblis seperti ia memang sudah sepatutnya di-basmi dari permukaan bumi. Dan engkau, siapakah engkau, dan apa maksudmu muncul di sini?"   "Aku tidak percaya bahwa engkau mampu mengalahkan Kiu-bwe Coa-li, dan aku datang untuk mencoba apakah kepandaianmu benar-benar sehebat itu." Berkata demikian, nenek itu langsung saja menubruk ke depan dan mengelebatkan kebutannya. Ujung kebutan yang menjadi kaku meluncur dan menotok ke arah tiga jalan darah di dada, leher dan pundak Cia Sun secara bertubi-tubi.   "Hemm, kiranya engkau sebangsa nenek iblis itu!" bentak Cia Sun yang cepat mengelak dan diapun membalas dengan tamparan-tamparan tangannya yang ampuh. Melihat tamparan ini yang mengandung hawa pukulan amat dahsyat, nenek Yelu Kim terkejut bukan main dan tahulah ia bahwa memang pemuda ini lihai sekali. Tidaklah mengherankan kalau Kiu-bwe Coa-li sampai melarikan diri dalam keadaan marah-marah sehingga hampir menubruknya. Iapun menggunakan kelincahan gerakan tubuhnya untuk berloncatan dan mengelak ke sana-sini sambil membalas dengan cambuknya.   Beberapa kali nenek itu mengelebatkan kebutannya dan setiap kali Cia Sun kehilangan lawannya. Pemuda ini terkejut sekali, apalagi ketika melihat nenek itu sudah berada dalam jarak empat lima tombak di sebelah depan. Dia mengejar dan berkelahi lagi, akan tetapi nenek itu seringkali berkelebatan lenyap dan tanpa diketahuinya, Cia Sun sudah terpancing meninggalkan tempat di mana Sui Cin duduk bengong tadi. Gadis ini merasa gelisah karena ia tidak dapat membantu Cia Sun menghadapi nenek yang nampaknya juga lihai sekali itu.   Makin gelisah rasa hati Sui Cin melihat betapa kini Cia Sun yang masih berkelahi melawan nenek aneh itu, telah lenyap di sebuah tikungan, terhalang oleh pohon-pohon. Iapun melangkahkan kaki untuk mengejar karena walaupun ia sendiri tidak berdaya, tidak mampu membantu karena tenaganya belum pulih, kaki tangannya masih lemas, akan tetapi ia harus menyaksikan bagaimana kelanjutan perkelahian itu.   Tiba-tiba terdengar suara gerengan dan tahu-tahu muncullah seekor harimau yang amat besar, yang melompat keluar dari balik semak-semak belukar. Harimau itu demikian besar dan nampak garang sekali sehingga Sui Cin berdiri terpukau dengan mata terbelalak dan muka pucat. Kalau ia berada dalam keadaan biasa, tentu ia akan mampu melawan binatang ini mengandalkan kepandaiannya. Akan tetapi dalam keadaan kehilangan tenaga itu, mana mungkin ia mampu menyelamatkan diri? Ia mencoba untuk membalikkan tubuh dan lari, akan tetapi tiba-tiba harimau itu menubruk dan tahu-tahu sudah menghadang di depannya. Sui Cin menjadi panik. Rasa ngeri mencekam hatinya dan ia berusaha untuk memanjat sebatang pohon yang berada di samping kirinya. Ia berhasil naik dahan pohon, akan tetapi harimau itu mengaum dan menubruk pohon. Pohon yang batangnya sebeser paha manusia itu roboh, membawa Sui Cin bersama roboh ke bawah!   "Ahhhh...!" Demikian ngeri rasa hati gadis yang biasanya amat gagah perkasa ini dan iapun jatuh pingsan.   Sementara itu, nenek pemegang kebutan ketika mendengar auman-auman harimau itu, tersenyum dan berkata, "Orang muda, cukuplah kita bermain-main. Ilmu silatmu hebat sekali, membuat aku kagum bukan main. Nah, selamat tinggal!" Ia menggerakken kebutannya dan tiba-tiba saja tubuhnya lenyap dari depan Cia Sun. Pemuda ini tercengang, mencari dengan pandang matanya ke sana-sini, akan tetapi sia-sia belaka, ia tidak dapat melihat kembali nenek itu. Maka iapun cepat kembali ke tempat tadi karena iapun mendengar suara auman-auman harimau tadi dan mengkhawatirkan keselamatan Sui Cin.   Ketika tiba di tempat tadi, di mana dia meninggalkan Sui Cin untuk melawan nenek itu, dia terkejut bukan main. Sui Cin tidak ada lagi di situ.   "Cin-moi...!" Dia berseru memanggil mengharap kalau-kalau gadis itu bersembunyi ketika mendengar suara auman harimau. Akan tetapi, panggilannya yang dilakukan dengan pengerahan khi-kang itu hanya bergema dari jauh, tidak ada jawaban same sekali. "Cin-moi, di mana kau...?" Dia berteriak lagi dan mulai mencari ke sana sini dengan hati khawatir. Akan tetapi dia tidak dapat menemukan bayangan ataupun jejak gadis itu. Akhirnya dia menghentikan usahanya mencari dan duduk termenung di atas sebongkah batu besar, alisnya berkerut. Timbul kecurigaannya kepada nenek tadi. Nenek tadi adalah seorang yang amat pandai dan biarpun ilmu silatnya tidak begitu hebat, juga tenaganya tidak terlalu kuat baginya, namun nenek itu memiliki ilmu yang luar biasa, yaitu pandai menghilang. Ataukah itu hanya semacam ilmu sihir saja? Dan nenek itu seperti sengaja memancingnya menjauhi Sui Cin. Kemudian setelah terdengar auman harimau, nenek itupun menghilang! Kini dia teringat bahwa agaknya nenek itu memang sengaja memancingnya untuk menjauhi Sui Cin. Jelas bahwa ada hubungan antara hilangnya gadis itu dengan si nenek aneh.   Cia Sun mengepal tinju dan bangkit berdiri. Sinar matanya tajam dan keras. "Nenek siluman, sampai di manapun juga, aku akan mengejarmu!" Dan diapun pergi meninggalkan tempat itu, memulai tugasnya untuk menyelidiki dan mencari Sui Cin dengan jalan mencari menek itu karena dia merasa yakin bahwa Sui Cin tentu diculik oleh nenek itu, mungkin dilakukan oleh pembantu-pembantunya.   ***   Daerah pegunungan itu penuh dengan batu-batu karang yang besar-besar, seperti barisan bukit-bukit kecil atau jajaran bangunan-bangunan kuno yang aneh-aneh bentuknya. Dan di daerah ini banyak terdapat guha-guha alam yang besar-besar dan juga aneh-aneh bentuknya. Di atas sebuah di antara bukit-bukit batu itu, terdapat sebuah guha yang amat besar. Pintu guha ini luas, besar dan tinggi, juga amat bersih, tanda bahwa guha itu dirawat dengan baik. Lantainya amat rata dan halus, dan dari luar guha sudah nampak bahwa di sebelah dalam guha itu memang dijadikan tempat tinggal manusia, nampak tirai-tirai kain di balik pintu.   Nenek itu duduk bersila di atas sebuah tikar yang terbentang di ruangan depan guha. Ia adalah nenek Yelu Kim. Pakaiannya tetap bersih dan rapi dan wajahnya berseri. Tangan kaanannya membawa kebutan bulu putih dan di depannya terdapat sebuah guci yang mengkilap dan indah, entah terisi apa karena tertutup.   Terdengar auman harimau dari depan guha. Untuk mencapai guha itu orang harus mendaki dari bawah. Nenek itu memandang ke bawah dan mengucapkan kata-kata dalam Bahasa Mongol untuk menyuruh harimau peliharannya itu mendaki naik membawa gadis yang diseretnya itu.   Harimau besar itu mendaki naik, menyeret tubuh Sui Cin dengan menggigit punggung baju gadis itu. Gadis itu masih dalam keadaan pingsan dan agaknya tidaklah sukar bagi harimau itu untuk menyeret tubuh Sui Cin menaiki anak tangga menuju ke mulut guha di mana nenek itu menanti dengan wajah berseri.   "Letakkan ia di sini, Houw-cu," kata nenek itu sambil menudingkan kebutannya. Harimau itu membawa Sui Cin ke depan si nenek dan melepaskannya di atas lantai. Tubuh Sui Cin rebah terlentang. "Nah, kau boleh pergi mengaso, Houw-cu," kata pula nenek Yelu Kim dan harimau itu mengeluarkan suara mengaum panjang lalu berlari pergi menuruni anak tangga.   Nenek itu lalu membuka baju atas Sui Cin dan melakukan pemeriksaan, meraba sana-sini, mengetuk sana-sini dan akhirnya ia menutupkan lagi baju gadis itu dan mengangguk-angguk.   "Sungguh keji sekali Kiu-bwe Coa-li, meracuni seorang anak perempuan dengan racun ular bunga kuning, racun yang melumpuhkan kaki tangannya."   Kemudian, dengan gerakan ringan nenek itu mengangkat tubuh Sui Cin, dipondongnya tubuh itu dan dibawanya masuk ke dalam guha. Ternyata guha itu amat lebar dan di sebelah dalamnya terdapat sebuah kamar tidur dan sebuah ruangan yang luas. Nenek itu merebahkan tubuh Sui Cin di atas pembaringan kayu yang berada di sudut ruangan luas itu. Kemudian ia membuat api di tungku dan memasak obat.   Sebelum obat itu siap, Sui Cin sadar dari pingsannya. Ia mengeluh dan seketika teringat akan harimau itu, maka iapun bangkit duduk dan matanya terbelalak memandang ke kanan kiri. Tidak dilihatnya ada harimau di situ sehingga melegakan hatinya. Akan tetapi ketika ia melihat nenek yang sedang memasak obat, ia cepat turun dari pembaringan dan alisnya berkerut. Tentu saja ia mengenal nenek yang tadi berkelahi melawan Cia Sun itu.   "Nenek iblis! Apa yang telah kaulakukan terhadap Sun-twako?" bentaknya marah, akan tetapi perasaannya menjadi gentar ketika ia mencoba mengerahkan tenaga, masih saja tidak dapat membangkitkan tenaganya.   Yelu Kim masih duduk berjongkok di depan tungku api, menoleh dan tersenyum. "Ah, engkau sudah sadar, nona? Aku dan Houw-cu sudah banyak mengejutkan hatimu, bukan? Lupakanlah itu, karena aku berniat baik terhadap dirimu."   "Hemmm, siapa mau percaya omongan seorang nenek iblis sepertimu? Di mana Sun-twako dan mau apa engkau membawaku ke tempat ini?"   Nenek itu tersenyum dan sebelum menjawab, ia mengambil tempat obat dari atas api dan menuangkan air obat yang berwarna coklat itu dan yang me-ngebulkan uap panas ke dalam sebuah mangkok. Bau sedap harum mencapai hi-dung Sui Cin, bau masakan obat.   "Aku tidak menyalahkan engkau kalau terjadi salah pengertian. Dengarlah, no-na, aku Yelu Kim jangan kausamakan dengan Kiu-bwe Coa-li."   "Kalau tidak sama, mengapa engkau menyerang Sun-twako?"   "Memang kusengaja memancing dia meninggalkanmu agar mudah bagi Houw-cu untuk membawamu ke sini."   Mata Sui Cin terbelalak. "Apa? Hari-mau itu peliharaanmu dan dia kausuruh datang menculikku?"   Nenek itu masih tersenyum dan mengangguk. "Aku tidak berniat jahat, anakku yang baik."   Sui Cin mendengus marah. "Tidak berniat jahat akan tetapi menyuruh harimaumu mengejutkan hatiku dan menculikku, dan engkau sendiri menyerang dan me-mancing Sun-twako meninggalkan aku? Bagus, kaukira ada orang mau percaya o-monganmu ini?"   "Terserah kepadamu, nona. Akan te-tapi, kalau aku berniat buruk, apakah kaukira kau masih hidup sekarang ini, dan juga temanmu itu masih hidup?"   "Di mana Sun-toako?"   "Aku meninggalkan dia. Dia terlalu kuat dan aku tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Setelah engkau dibawa hari-mauku, akupun meninggalkannya."   "Tapi... tapi apa artinya semua ini dan apa kehendakmu melakukan hal itu terhadap kami?"   "Sabarlah dan dengarkan kata-kataku dengan baik. Terserah kepadamu apakah engkau akan percaya kepadaku atau ti-dak, akan tetapi sesungguhnya aku tidak mempunyai niat buruk terhadap dirimu atau terhadap temanmu yang gagah per-kasa itu. Namaku Yelu Kim dan di dae-rah Mongol ini aku dihormati orang, bah-kan dianggap sebagai orang tua yang pa-tut dimintai nasihat oleh para kepala su-ku." Nenek itu mulai bercerita dan ia merasa heran melihat betapa gadis ini sama sekali tidak kaget mendengar namanya. Timbul keinginan hatinya mengenal siapa adanya gadis ini dan apakah ia salah pilih, mengira gadis ini adalah seo-rang yang memiliki kepandaian silat tinggi dan boleh diandalkan kelak.   "Nona, engkau sendiri siapakah, siapa namamu dan siapa pula gurumu, mengapa engkau sampai berada di daerah ini dan keracunan?"   Melihat sikap orang yang begitu ra-mah dan halus, berkuranglah kecurigaan Sui Cin. Bagaimanapun juga, dari sikap dan bicaranya, sukarlah menyamakan ne-nek ini dengan nenek iblis Kiu-bwe Coa-li. Ia menarik napas panjang. Bagaimana-pun juga, dalam keadaan kehilangan te-naga ini iapun tidak akan mampu menjaga diri dan keselamatannya berada di ta-ngan nenek ini, maka sebaiknyalah kalau ia bersikap halus mengimbangi sikap ne-nek itu.   "Ah, aku menjadi bingung kalau dita-nya begitu, nek. Ketahuilah, aku telah lupa sama sekali akan keadaan diriku atau riwayatku. Karena aku kehilangan ingatan inilah maka Kiu-bwe Coa-li dapat meni-puku, memberiku minum racun itu yang melumpuhkan kaki tanganku. Aku sampai sekarang tidak ingut lagi siapa adanya diriku, apalagi nama orang tua atau guruku, bahkan aku sendiri tidak tahu untuk apa aku berada di daerah ini..."   Mendengar ucapan itu dan melihat si-kap yang sedih dari Sui Cin, nenek itu terkejut dan tertarik sekali. Ia meman-dang tajam penuh selidik. "Apa? Engkau kehilangan ingatanmu? Bagaimana bisa terjadi demikian dan kapan terjadinya?"   "Bagaimana aku tahu, nek? Yang ku-ingat hanyalah bahwa kepalaku terpukul batu yang dilontarkan seorang musuh yang lihai. Aku lupa segala dan ada dorongan dalam hatiku untuk pergi keluar Tembok Besar dan di sinilah aku. Aku bertemu dengan Kiu-bwe Coa-li yang sejak dahulu menjadi musuh besarku. Akan tetapi aku tidak mengenalnya dan baru aku tahu setelah ia memberi minum racun dan aku terjatuh ke dalam tangannya, aku ditawan dan ia mengaku bahwa ia adalah musuh besarku. Hampir aku tewas olehnya, akan tetapi untung muncul Cia Sun yang menolongku. Menurut Sun-twako, antara aku dan dia masih ada hubungan dekat, akan tetapi akupun sudah tidak ingat lagi siapa dia. Dia berusaha mengobatiku dari pengaruh racun yang melumpuhkan, dan engkau muncul..."   Nenek itu tertarik sekali dan mengangguk-angguk. "Ah, kalau begitu, selain menyembuhkan engkau dari keracunan, akupun harus berusaha membangkitkan kembali ingatanmu itu, nona."   Sui Cin memandang tajam. "Mengapa, nek? Mengapa engkau hendak menolongku dengan cara seperti itu? Memisahkan aku dari Sun-twako dan menyuruh harimau peliharaanmu itu untuk membawaku ke sini?"   "Nona, di tengah jalan aku bertemu dengan Kiu-bwe Coa-li dan iblis itu tan-pa sebab menyerangku. Akan tetapi akhirnya ia tewas oleh ulahnya sendiri, terja-tuh ke dalam jurang. Lalu ketika aku melanjutkan perjalanan, aku melihat engkau sedang diobati oleh pemuda itu. Aku da-pat menduga bahwa engkau tentu terluka oleh Kiu-bwe Coa-li. Aku merasa kasihan kepadamu dan ingin mengobatimu, akan tetapi juga aku dapat menduga bahwa engkau tentu memiliki ilmu silat tinggi, dan agaknya hanya engkaulah yang akan mampu membantuku menyelesaikan se-buah persoalan. Akan tetapi aku tidak mau kalau pemuda itu mencampurinya, maka aku lalu menggunakan akal untuk memancingnya meninggalkanmu dan aku menyuruh Houw-cu untuk membawamu ke sini."   Sui Cin mengerutkan alisnya. Tahulah ia kini bahwa nenek ini hendak menolongnya, akan tetapi juga hendak minta ban-tuannya. Pertolongan yang bersyarat, pi-kirnya. "Nenek yang baik, hendaknya eng-kau ketahui lebih dahulu bahwa kalau minta bantuanku untuk melakukan kejahatan, aku tidak sudi dan biarlah aku tidak me-nerima pengobatanmu!"   Nenek itu tertawa. "Nona, sekali lagi kukatakan bahwa jangan engkau menyamakan aku dengan mendiang Kiu-bwe Coa-li."   "Sungguh aneh sekali. Engkau yang mampu mengalahkan bahkan membunuh seorang iblis seperti Kiu-bwe Coa-li, masih mengharapkan bantuanku. Apakah yang dapat kulakukan untuk seorang sak-ti seperti engkau?"   "Sudahlah, tidak perlu engkau mem-buang banyak tenaga. Mari kuobati eng-kau lebih dulu, baru nanti kuceritakan a-pa yang harus kaulakukan untukku. Mari, kauminumlah obat ini dan racun ular itu akan menjadi tawar dan kelumpuhanmu akan lenyap, tenagamu akan pulih kem-bali."   "Tapi... tapi engkau belum menceritakan syaratmu..." Sui Cin meragu.   "Tidak usah. Biar kusembuhkan dulu engkau, baru kemudian kuceritakan dan andaikata engkau menganggap syarat itu terlalu berat atau tidak berkenan di hati-mu, engkau boleh tidak usah melakukan-nya. Nah, kau tahu sekarang bahwa aku tidak berniat buruk. Minumlah dan engkau akan sembuh."   Sui Cin yang tahu bahwa kalau ia ti-dak minum obat, keselamatannya tentu terancam maut, maka iapun lalu nekat. Memang benar ucapan nenek ini, kalau nenek ini bermaksud buruk dan hendak membunuhnya, apa sukarnya? Apa perlu-nya nenek ini susah-susah membawanya ke sini dan memberinya obat kalau mak-sudnya buruk? Ia lalu menerima mangkok itu dan minum isinya. Cairan berwarna coklat itu rasanya tidaklah seburuk rupa-nya. Baunya sedap dan rasabya agak ma-nis, maka tanpa ragu-ragu lagi diminumnya obat itu sampai habis.   Tiba-tiba ia merasa betapa dalam pe-rutnya bergerak-gerak dan terdengar sua-ra berkeruyukan seperti perut yang lapar sekali. Ia terkejut dan memandang nenek itu dengan tajam. Akan tetapi nenek Ye-lu Kim tersenyum.   "Nona, kau duduklah bersila dan cobalah perlahan-lahan menghimpun tenagamu. Jangan tergesa-gesa, kalau pintu pusar sumber tian-tian sudah terbuka, salurkan tenagamu perlahan-lahan agar tidak me-rusak jaringan syaraf yang penting. Nah, mulailah. Lebih baik pejamkan matamu."   Sui Cin menurut dan iapun bersila. Makin lama makin keras gerakan dalam perutnya dan perlahan-lahan ia merasa betapa hawa panas bangkit dari pusarnya dan ada kekuatan yang naik. Ia lalu me-nguasai tenaga itu dan perlahan-lahan menyalurkannya ke seluruh tubuh, perlahan-lahan dan hati-hati sampai ia merasa biasa kembali dengan tenaga sakti yang ta-di seperti tenggelam itu. Tak lama ke-mudian ia merasa segar dan sehat kem-bali dan dibukanya kedua matanya. Ne-nek Yelu Kim berdiri memandang kepa-danya dengan senyum ramah. Kini lenyaplah keraguan dari hati Sui Cin dan iapun cepat bangkit dan memberi hormat kepa-da wanita itu, malu kepada diri sendiri mengingat betapa ia tadi bersikap kasar dalam keraguannya.   "Harap locianpwe sudi memaafkan ke-kasaranku tadi dan terima kasih atas per-tolongan locianpwe."   Nenek itu tersenyum. "Nantl dulu, aku ingin melihat apakah aku tidak salah menilai orang. Nona, sambutlah seranganku ini!" Dan kebutan di tangannya bergerak menyambar, ujung kebutan melakukan totokan kilat ke arah pundak Sui Cin. Gadis ini terkejut, namun otomatis ia bergerak mengelak dan setelah ia mengerti bahwa nenek itu hendak mengujinya, maka iapun bergerak lincah menghadapi serangan kebutan bertubi-tubi itu, bahkan berani menangkis menggunakan tenaga sin-kangnya.   "Plakk!" Tangkisannya itu membuat Yelu Kim terhuyung ke belakang dan ne-nek ini menjadi semakin girang. Ia mempercepat gerakan kebutannya, akan tetapi segera ia merasa pusing setelah Sui Cin menggunakan gin-kangnya yang istimewa. Nenek ini dapat menghilang dengan ban-tuan sihirnya, akan tetapi sekarang ia menghadapi kecepaten Sui Cin, ia men-jadi bingung karena kadang-kadang bayangan gadis itu seperti lenyap dan ta-hu-tahu telah berada di samping atau be-lakangnya. Ia melompat mundur dan memandang kagum.   "Cukup, cukup! Aih, girang hatiku ka-rena aku sama sekali tidak kecewa. Eng-kau bahkan melampaui semua harapan dan dugaanku, nona."   "Ah, locianpwe terlalu memuji. Seka-rang harap locianpwe ceritakan, bantuan apakah yang dapat kulakukan untukmu!"   Nenek itu kembali tersenyum. "Nanti dulu, nona, jangan tergesa-gesa. Urusan itu penting sekali dan aku tidak mau bantuan orang untuk mewakiliku tanpa kuke-nal benar siapa adanya orang itu. Karena itu, biarlah aku akan mencoba untuk me-nyembuhkan dulu luka di dalam kepala-mu yang membuatmu kehilantan ingatan itu."   Sepasang mata Sui Cin terbelalak dan wajahnya berseri saking girangnya. "Lo-cianpwe dapat menyembuhkan aku dan mengembalikan ingatanku yang hilang?" tanyanya penuh harapan.   Nenek itu mengangguk. "Mudah-mudahan demikian agar tidak percuma sebutan semua rakyat Mongol yang menyebut aku Dewi Penyelamat. Marilah masuk ke da-lam kamarku dan aku akan mulai dengan pengobatan itu, nona. Akan tetapi engkau harus percaya penuh kepadaku dan ber-sabar karena mengobati bagian kepala harus sangat hati-hati dan teliti."