Sui Cin terkejut. Betapa pandainya nenek ini, sehingga urusan di selatan tentang gerakan para datuk sesat yang hen-dak memberontakpun diketahuinya! "Apa-kah yang subo ketahui tentang hal itu?"   Nenek itu tersenyum bangga. "Tentu saja aku tahu semuanya! Ha, jangan dikira bahwa kami orang-orang Mongol sudah melupakan kekalahan kami! Orang-orang kasar itu mungkin sudah menerima kekalahan mereka dan sudah putus asa. Akan tetapi aku tidak! Aku selalu memperhatikan perobahan dan pergolakan di selatan. Aku tahu bahwa seorang pangeran she Toan yang kini menjadi datuk sesat dengan julukan Raja Iblis, dibantu oleh Cap-sha-kui dan para datuk sesat lainnya, sedang berusaba untuk memberontak. Bahkan mereka sudah berhasil mengadakan persekutuan dengan panglima San-hai-koan dan merampas benteng itu!"   "Selain itu?" Sui Cin mendessk.   "Tidak cukupkah itu? Kami melihat kesempatan yang baik sekali untuk bergerak selagi keadaan pemerintah Beng-tiauw kacau. Saatnya tiba bagi kami untuk bergerak ke selatan, menegakkan kembali kekuasaan utara atas daerah selatan. Akan tetapi orang-orang kasar itu, orang-orang liar itu, mereka bahkan saling berebut, saling bertentangan sendiri memperebutkan kedudukan pimpinan seperti anjing memperebutkan bungkusan kosong! Sungguh memuakkan!"   Nenek itu mengepal tinju dan kelihatan marah sekali. Sui Cin menduga bahwa nenek itu agaknya belum tahu akan gerakan para pendekar yang hendak mengadakan pertemuan di bekas benteng Jeng-hwa-pang.   "Lalu apa hubungannya semua itu de-ngan bantuan yang subo harapkan dariku?"   "Orang-orang gila itu makin menjadi-jadi dalam nafsu mereka untuk memperebutkan kedudukan sebagai pemimpin gerakan kami. Bahkan setiap kelompok mengajukan usul agar masing-masing mengeluarkan jagoan dan diadakan pertandingan-pertandingan. Siapa yang jagonya menang berarti berhak menjadi pemimpin gerakan ke selatan. Dan aku ingin engkau membantuku, mewakili aku maju sebagai penghukum yang menaklukkan semua jagoan itu, atau menundukkan jagoan yang paling kuat dan yang keluar sebagai pemenang."   "Ahh...!" Sui Cin terkejut. "Mengingat betapa kepandaian subo sendiri sudah amat tinggi, tentu di antara kelompok itu terdapat orang-orang pandai. Bagaimana aku akan dapat mengalahkan jagoan yang paling pandai? Jangan-jangan subo akan menyesal dan kecelik, aku malah yang akan kalah oleh jagoan itu sehingga nama dan wibawa subo menjadi turun."   "Tidak, tidak mungkin! Mereka itu hanya orang-orang kasar yang hanya menggunakan kekuatan dan kelincahan menunggang kuda disertai keberanian. Mana mungkin ada yang mampu mengalahkanmu? Sui Cin, aku sudah tahu akan keli-haianmu. Dalam ilmu berkelahi, aku sendiri tidak menang melawanmu. Pula, ka-lau engkau maju sambil menunggang Houw-cu, siapa yang akan mampu mengalahkan? Di samping itu, masih ada yang membantumu dari belakang dengan kekuatan sihir. Kami pasti menang dan kemenanganmu akan membuat semua orang tunduk akan keputusanku!"   "Aih, jadi subo bercita-cita untuk memperebutkan kedudukan pemimpin i-tu"   "Jangan salah sangka! Seorang nenek setua aku ini tidak butuh lagi kedudukan dan kemuliaan, akan tetapi aku ingin melihat bangsaku memperoleh kembali ke-kuasaannya sebelum aku mati, apalagi kalau kekuasaan itu diperoleh karena ban-tuan dan jasaku! Aku ingin kelak kalau mati, dapat menghadap nenek moyang Yelu Ce-tai dengan hati bangga. Biar semua orang melihat bahwa sampai kini Yelu Kim tetap menjadi orang yang menurunkan keluarga yang bahkan lebih besar daripada keturunan Jenghis Khan sendiri! Aku harus memimpin kelompok-kelompok liar itu agar berhasil menyerbu ke selatan. Kemudian, untuk pemilihan kaisar, harus dilakukan dengan bijaksana dan adil, di bawah bimbinganku pula!"   Sui Cin merasa heran dan diam-diam merasa khawatir kalau-kalau orang yang menjadi gurunya ini bukan hanya seorang yang mempunyai cita-cita besar, akan tetapi juga merupakan orang yang miring otaknya!   "Kalau aku sudah melakukan tugasku mengalahkan jagoan itu, lalu bagaimana dengan aku, subo?"   "Janjimu itu hanya terikat oleh bantuanmu memenangkan sayembara itu. Selanjutnya aku serahkan kepadamu. Kalau engkau mau membantu kami dalam perjuangan kami, tentu saja aku akan merasa gembira dan bersyukur sekali. Andaikata tidak dan engkau ingin meninggalkan aku, silakan."   Tentu saja, setelah kini semua ingatannya pulih, diam-diam Sui Cin merasa tidak setuju dengan rencana nenek yang telah menjadi gurunva ini. Nenek ini bersama bangsa dan kelompoknya merenca-nakan pemberontakan! Padahal, sudah menjadi tugasnya untuk menentang pemberontakan, untuk membela negara dan mencegah terjadinya perang agar rakyat tidak akan menderita. Bahkan ia kini teringat bahwa ia berada di utara adalah karena ditugaskan oleh gurunya, Wu-yi Lo-jin, untuk menghadiri pertemuan para pendekar yang hendak menentang Raja dan Ratu Iblis yang hendak mengerahkan kaum sesat untuk memberontak. Mana mungkin kini ia harus membantu pembe-rontakan nenek ini terhadap pemerintah? Akan tetapi iapun tahu bahwa nenek ini bukan orang jahat, bahkan telah menye-lamatkannya dan menolongnya dari keadaan yang amat menyedihkan, yaitu kehi-langan ingatannya. Bagi nenek ini tentu saja gerakan memberontak itu merupakan suatu perjuangan untuk memulihkan kem-bali kekuasaan bangsanya, Bangsa Mongol yang pernah menjajah Tiongkok.   "Subo, apakah subo kira mudah saja melakukan pemberontakan? Mana mung-kin kelompok-kelompok suku di sini akan mampu nmnandingi kekuatan balatentara kerajaan? Sebelum dapat berbuat banyak, tentu subo dan teman-teman subo sudah akan dihancurkan oleh kekuatan balaten-tara kerajaan yang amat bamyak jumlah-nya dan kuat."   Nenek itu tersenyum. "Ucapanmu memang benar. Akan tetapi seperti sudah kukatakan tadi, kini tiba saatnya yang amat baik, terbuka kesempatan besar ka-rena kaum sesat telah bergerak. Biarlah mereka yang akan menandingi balatenta-ra pemerintah dan kami akan memukul mereka dari belakang dan merampas semua kota yang sudah mereka duduki. Dengan menghadapi perlawanan pasukan pemerintah dari depan, tentu mereka akan lemah dan tidak akan mampu bertahan kalau kami pukul dari belakang. Mereka itulah yang akan menjadi pelopor kami dan kami tinggal merampas hasil-hasil mereka dari belakang saja."   Diam-diam Sui Cin terkejut juga. Nenek ini sungguh cerdik dan kalau berhasil semua siasat nenek itu, sungguh berbaha-ya keadaannya bagi pemerintah. Berarti pemerintah akan menghadapi dua gelom-bang serangan musuh, dan menurut seja-rah yang pernah dibacanya, suku Bangsa Mongol di utara merupakan orang-orang yang amat gagah perkasa, berani mati dan tangkas dalam pertempuran.   "Akan tetapi, subo. Hal itu akan me-nyalakan api peperangan besar dan untuk menggerakkan banyak orang bertempur, membutuhkan biaya yang amat besar. Kalau subo tidak mempunyai harta benda yang banyak untuk itu..."   "Jangan khawatir. Aku selalu membiasakan diri berpikir sampai matang dan membuat persiapan selengkapnya sebelum bergerak. Kalau aku tidak memiliki harta pusaka yang amat besar jumlahnya, mana berani aku merencanakan gerakan perjuangan?"   Tiba-tiba terdengar suara mengaum dan harimau besar itu mendekati Sui Cin dan mengelus-elus punggung gadis itu de-ngan kepalanya. Itulah tandanya bahwa si harimau itu mengajaknya bermain-main.   "Houw-cu, bersabarlah, nanti kita main-main," katanya dan tiba-tiba melihat harimau ini, Sui Cin teringat akan sesuatu. Terbayanglah semua peristiwa di dalam guha. Guha Iblis Neraka! Ketika ia menyelidiki guha itu, sebelum muncul Hui Song bersama Siang Hwa dan dua orang kakek, ia melihat bayangan lima orang yang dengan amat cepatnya berkelebatan memasuki guha. Kemudian ia melihat mereka keluar lagi sambil memikul sebuah peti yang nampaknya berat. Ia teringat akan harta pusaka di dalam guha itu. Agaknya Hui Song bersama wanita cantik dan dua orang kakek itu memasuki guha untuk mencari harta pusaka, akan tetapi kedahuluan oleh lima bayangan itu. Dan kini teringatlah ia bahwa pada dada mereka itu nampak gambar harimau, tersulam pada baju mereka.   "Subo, aku pernah mendengar tentang pusaka di Guha Iblis Neraka..." Ia memancing.   Nenek itu membelalakkan matanya. "Aha! Engkaupun tahu akan hal itu? Tak perlu kusembunyikan lagi. Kami telah mendapatkan harta pusaka itu. Untung, karena harta pusaka itu telah diincar oleh Raja dan Ratu Iblis!"   "Kalau begitu, subo mempunyai banyak anak buah? Kukira, tadinya subo hanya bertiga dengan aku dan Houw-cu ini..."   "Jangan bodoh. Mana mungkin kalau hanya sendirian saja aku dapat mempertahankan kedudukanku? Pernahkah engkau mendengar tentang Perkumpulan Harimau Terbang?"   Sui Cin menggeleng kepala, hanya diam-diam menduga bahwa tentu lima orang yang memakai baju bersulam gambar harimau itu merupakan anggauta-anggauta Perkumpulan Harimau Terbang.   "Harimau Terbang adalah nama perkumpulan rahasia yang kudirikan di daerah Mongol ini. Sebetulnya pendirinya adalah nenek moyangku, sejak Yelu Ce-tai dan merupakan perkumpulan yang anggautanya terdiri dari orang-orang pandai. Dengan bantuan para anggauta perkumpulan itu, aku dapat menguasai para kepala kelompok dan kepala suku sehingga sampai kini persatuan di antara mereka dapat kupertahankan."   Diam-diam Sui Cin merasa semakin kagum kepada nenek ini. Seorang nenek yang selain memiliki kepandaian tinggi, pandai sihir, juga cerdik bukan main, bahkan menjadi kepala dari sebuah perkumpulan rahasia yang agaknya bergerak secara rahasia pula dan disegani oleh semua kepala suku dan kepala kelompok yang liar di daerah Mongol dan Mancu. Iapun melihat betapa para pendekar akan sukar untuk dapat menentang Raja dan Ratu Iblis yang ternyata bukan hanya dibantu oleh kaum sesat, akan tetapi bahkan telah bersekutu dengan pasukan pemberontak yang besar jumlahnya dan kini bahkan telah berhasil merampas dan menduduki benteng pertama San-hai-koan. Kalau begini, untuk menghadapi mereka dibutuhkan pasukan yang kuat pula, bukan hanya sekedar beberapa puluh orang pendekar saja. Maka, iapun mengambil keputusan untuk menentang pemberontakan yang dipimpin Raja dan Ratu Ibils itu dengan cara membantu orang-orang Mongol ini. Bukan membantu untuk membe-rontak, melainkan membantu mereka untuk menentang pasukan pemberontak Ra-ja Iblis.   "Subo sudah mempunyai banyak anggauta Perkumpulan Harimau Terbang yang terdiri dari orang-orang berilmu tinggi, kenapa subo masih membutuhkan bantuanku untuk menghadapi jagoan dari para kelompok itu?"   "Tidak, Sui Cin. Mereka itu lihai akan tetapi kelihaian mereka dalam hal ilmu silat jauh di bawah tingkatmu. Mereka itu hanya menguasai ilmu yang mereka pelajari dariku saja, jadi tidak dapat ter-lalu diandalkan untuk menghadapi jagoan yang tentu memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi kalau engkau dengan ilmu silatmu yang tinggi maju, dibantu oleh Houw-ji yang menjadi binatang tunggang-anmu, kubantu pula dari belakang dengan kekuatan sihirku, aku yakin engkau pasti akan menang dan kemenanganmu akan membuat mereka semua tunduk padaku."   "Baiklah, subo. Aku akan membantu subo, bahkan aku akan membantu pula kalau subo menentang pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Raja Iblis. Akan tetapi aku tidak mungkin dapat membantu kalau subo melawan pemerintah. Tentu subo tahu bahwa tidak mungkin aku menjadi pemberontak."   Nenek itu mengangguk-angguk. "Aku mengerti, Sui Cin. Kita sama-sama me-rupakan orang yang setia kepada negara dan bangsa, hanya sayang sekali kita terlahir sebagai bangsa yang berlainan."   Demikianlah, Sui Cin lalu diberi pe-tunjuk oleh Yelu Kim untuk dapat ber-tanding sambil menunggang harimau besar itu dan karena gadis ini memang me-miliki gin-kang dan ilmu silat yang hebat, ditambah lagi bahwa ia telah akrab de-ngan harimau itu, sebentar saja ia sudah mahir menunggang harimau itu sambil menggerakkan sebatang tongkat baja se-bagai pengganti senjata payungnya.   Yelu Kim juga sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi sayembara meng-adu jagoan untuk memilih pimpinan per-juangan itu. Anak buahnya, yaitu para anggauta Perkumpulan Harimau Terbang, yang jumlahnya ada seratus orang telah dipersiapkan, akan tetapi seperti biasa, mereka ini tidak muncul di depan umum melainkan bergerak secara rahasia, me-nyelinap di antara para anggauta kelom-pok berbagai suku bangsa itu, menutupi baju sulaman gambar harimau dengan ju-bah masing-masing kelompok.   Sejak pagi mereka sudah berkumpul di padang tandus itu. Sebuah tanah datar luas yang kering. Puluhan kelompok suku bangsa yang bermacam-macam, akan te-tapi berasal dari tiga suku bangsa, yaitu Mongol, Mancu, dan Khin, telah berkum-pul di situ. Mereka masing-masing mendirikan tenda besar dan dari dandanan pakaian dan bendera masing-masing dapat dibedakan antara mereka walaupun ben-tuk tubuh dan wajah mereka tidak ba-nyak berbeda, bahkan banyak sekali yang serupa. Mereka adalah tukang-tukang berkelahi, orang-orang yang sudah terbiasa sejak kecil hidup di alam liar dan selalu menghadapi tantangan hidup yang keras dan sukar. Kepala kelompok atau kepala suku mengenakan pakaian yang bermacam-macam, akan tetapi semuanya serba indah dan gagah. Ada pula yang mengena-kan pakaian seragam panglima, mungkin peninggalan nenek moyang mereka ketika masih menjajah Tiongkok. Ada pula yang berkepala gundul berjubah pendeta, me-nunjukkan bahwa kepala kelompok ini se-orang pendeta Buddha. Para kepala ke-lompok yang jumlahnya sampai tiga pu-luh orang lebih karena banyak di antara mereka mempunyai wakil, berkumpul di tengah lapangan luas itu untuk berunding tentang pelaksanaan adu jago di antara mereka. Nampak Yelu Kim hadir pula dan kedudukan nenek ini jelas nampak karena kalau para kepala kelompok itu du-duk bersila di atas tanah yang memben-tuk sebuah lingkaran, adalah nenek Yelu Kim sendiri yang duduk di atas sebuah tandu. Ia tidak memimpin perundingan itu, namun bertindak sebagai penasihat dan selalu nenek inilah yang memecahkan persoalan yang mereka hadapi dan meru-pakan jalan buntu.   Setelah mengadakan perundingan yang ramai dan kadang-kadang diselingi pembantahan yang nyaris menjadi perkelahian kalau tidak dilerai oleh Yelu Kim, akhir-nya diambil keputusan bahwa masing-ma-sing kelompok yang hadir hanya diperbo-lehkan mengajukan seorang jagoan saja. Masing-masing jagoan hanya dipertandingkan dalam pertandingan satu kali, secara bebas, boleh naik kuda atau tidak, boleh menggunakan senjata apa saja. Jagoan dianggap kalah kalau dia menyatakan tak berani melawan lagi atau kalau dia roboh tak mampu bangun lagi. Kematian atau luka parah yang terjadi dalam pertandingan ini dianggap wajar dan tidak akan dijadikan alasan untuk menaruh dendam atau membalas. Untuk menentukan siapa yang maju lebih dahulu, diadakan undian dan jagoan yang menang satu kali diper-kenankan beristirahat, tidak diharuskan menghadapi lawan secara beruntun. Per-aturan pertandingan diadakan sedemikian adilnya sehingga Sui Cin yang diam-diam menyaksikan perundingan itu sebagai pengawal nenek Yelu Kim merasa kagum dan merasakan benar betapa orang-orang yang kasar ini sesungguhnya memiliki kegagahan dan sama sekali tidak mau memper-gunakan kecurangan dalam memperebut-kan kedudukan itu. Tidak seorangpun memperdulikannya karena ia dianggap se-bagai pengawal atau pembantu Yelu Kim dan Sui Cin merasa aman bersembunyi di balik punggung nenek Yelu Kim. Betapa-pun juga, ia merasa ngeri juga. Pertan-dingan itu, walaupun dilaksanakan di an-tara sahabat-gahabat seperjuangan, namun jelaslah bahwa jagoan masing-masing ti-dak akan mau saling mengalah. Dan melihat sikap dan watak mereka, agaknya dapat dibayangkan bahwa setiap orang jagoan agaknya akan mempertahankan nama dan kehormatan sampai saat ter-akhir! Pertandingan yang keras dan ke-jam dan sudah dapat ia bayangkan bahwa tempat itu nanti tentu akan menjadi merah oleh darah!   Tak lama kemudian, perundingan itu-pun berakhir dan masing-masing kepala kelompok mengajukan jagoan masing-ma-sing. Bahkan ada kepala kelompok yang maju sendiri karena dia tidak puas de-ngan wakil seorang yang dianggapnya kurang tangguh. Nenek Yelu Kim lalu memberi tanda kepada empat orang pemikul tandu untuk mengundurkan diri, diikuti oleh Sui Cin dan nonton dari satu pinggiran yang terpisah. Ternyata, ti-dak semua kelompok mengajukan jagoan. Agaknya ada pula di antara mereka yang tidak berhasil menemukan jago yang mereka anggap cukup tangguh, maka mereka hanya menjadi tontonan saja. Mereka ini kebanyakan terdiri dari kelompok-kelompok yang kecil. Karena itu, setelah semua jagoan maju, dari dua puluh orang lebih kelompok itu yang muncul hanya sembilan orang jagoan saja. Di antara sembilan orang jagoan ini hanya ada tiga orang yang tidak menunggang kuda, sedangkan enam orang yang lain menunggang seekor kuda yang besar dan tangkas. Memang satu di antara keahlian orang-orang utara ini adalah menunggang kuda.   Sui Cin hampir mengeluarkan seruan kaget dan heran ketika dia mengenal seorang di antara sembilan jagoan itu. Seorang pemuda tinggi tegap yang amat gagah, dengah memakai jubah kulit harimau, menunggang seekor kuda putih dan bersenjata sebatang tombak kongce yang bercabang dan bergagang panjang. Pemuda ini nampak pendiam dan tidak bersikap sombong seperti para jagoan lain yang membusungkan dada dan tersenyum-senyum bangga. Pemuda ini hanya menundukkan muka dan bersikap acuh tak acuh. Tentu saja Sui Cin merasa terkejut dan heran karena pemuda ini bukan lain adalah Siangkoan Ci Kang! Mau apa putera Si Iblis Buta ini berada di situ, bahkan menjadi jagoan dari satu di antara kelompok suku dari utara? Biairpun Sui Cin tahu bahwa Ci Kang adalah seorang pemuda gagah perkasa yang tak dapat dikatakan jahat, akan tetapi bagaimanapun juga dia adalah putera seorang datuk sesat yang ditakuti seperti iblis! Mengapa pemuda ini tidak berada bersama sekutu Raja Iblis dan berada di situ? Sungguh merupakan hal yang amat mengherankan dan juga mencurigakan. Sui Con lupa bahwa kehadirannya sendiri di tempat itupun merupakan hal yang amat aneh, mungkin lebih aneh daripada kehadiran Ci Kang sendiri. Ia adalah dari golongan pendekar dan kini ia berada di situ sebagai pengawal atau murid Yelu Kim, orang yang paling tinggi kedudukannya di antara kepala suku yang sedang memilih pimpinan untuk memberontak!   Sui Cin tidak tahu bahwa kehadirannya di situ yang agaknya tidak terlihat oleh Ci Kang, membuat seorang yang menyelinap di antara kelompok Suku Bangsa Mancu Timur hampir saja berteriak pula. Orang ini juga seorang pemuda yang mengenakan pakaian seperti teman-temannya, pakaian orang Mancu Timur yang kehidupannya sebagai pemburu dan nelayan di pantai timur. Dia seorang pemuda tampan yang berwajah gembira. Ketika pemuda ini melihat Sui Cin, matanya terbelalak dan hampir saja mulutnya berteriak. Akan tetapi dia menahan diri dan alisnya berkerut. Dia merasa heran bukan main melihat Sui Cin berada di situ, apalagi setelah dia memperoleh keterangan dari teman-teman di kanan kirinya yang menceritakan siapa adanya nenek itu! Dan orang ini bukan lain adalah Hui Song!   Dapat dibayangkan betapa besar rasa girang, kaget dan heran bercampur aduk di dalam hati Hui Song ketika tiba-tiba dia melihat Sui Cin di antara orang-orang liar dari utara ini. Dan diapun merasa curiga apalagi mendengar bahwa nenek itu adalah Yelu Kim yang merupakan orang paling ditakuti di antara para kepala suku! Dan Sui Cin, menurut keterangan orang-orang di kanan kirinya, adalah pengawal nenek itu! Sui Cin menjadi pengawal tokoh dari suku-suku bangsa yang hendak mengadakan pemberontakan?   Memang merupakan suatu kebetulan yang amat mengherankan melihat tiga orang muda itu berada di situ, di antara suku-suku bangsa utara. Kita sudah mengetahui mengapa Sui Cin dapat hadir di situ, akan tetapi bagaimana dengan Ci Kang dan Hui Song dapat pula berada di situ dalam keadaan terpisah-pisah, bahkan Ci Kang menjadi seorang di antara jagoan yang terpilih?   Seperti kita ketahui, Ci Kang telah terhindar dari malapetaka bersama Cia Sun ketika mereka berdua terjebak oleh Ciang Hwa ke dalam guha bawah tanah. Akan tetapi akhirnya mereka berhasil ke luar atas pertolongan Toan Hui Cu, puteri Raja dan Ratu Iblis. Setelah kedua orang muda ini saling berpisah, Ci Kang tidak mau lagi menuju ke Jeng-hwa-pang di mana dia pernah disambut dengan serangan oleh para pendekar dan diapun melakukan perjalanan di sekitar daerah itu dengan hati murung. Dia akan berusaha mencari gurunya di antara para pendekar, karena hanya dengan perantaraan gurunya dia akan dapat diterima sebagai rekan oleh para pendekar.   Pada suatu hari dia tiba di sebuah hutan dan dari jauh dia sudah mendengar suara ribut-ribut di dalam hutan itu, teriakan-teriakan manusia dan kadang-kadang suara gerengan yang seolah-olah menggetarkan seluruh hutan. Ci Kang yang masih bertelanjang dada itu cepat berlari memasuki hutan dan segera dia melihat keadaan yang mengerikan. Seorang anak laki-laki berusia kurang lebih sepuluh tahun berada dalam cengkeraman seekor biruang hitam yang besar sekali dan belasan orang laki-laki Suku Bangsa Khin mengurung binatang itu dan berte-riak-teriak dalam usaha mereka menye-rang biruang itu dan menyelamatkan a-nak laki-laki itu. Akan tetapi biruang itu sungguh kuat. Dengan kaki depan kiri yang bergerak seperti lengan binatang itu merangkul dan mencengkeram tubuh anak kecil tadi, sedangkan tangan kanannya mencengkeram dan menangkis semua se-rangan tombak atau pedang yang ditusukkan kepadanya. Karena anak itu masih dicengkeram dan dipeluknya, maka para pembantu itupun berhati-hati sekali da-lam penyerangan mereka, khawatir kalau kalau senjata mereka mengenai anak itu sendiri. Dan mereka sama sekali tidak berani mempergunakan anak panah.   Melihat keadaan anak yang berada dalam ancaman maut itu, dengan pundak yang sudah robek terluka, Ci Kang tidak sempat menyelidiki lagi siapa adanya orang-orang itu dan siapa pula anak itu. Dia sudah marah sekali melihat keganasan biruang itu dan melihat pula sudah ada dua orang yang terluka parah, mungkin terkena cengkeraman kuku kaki depan kanan biruang itu. Ci Kang mengeluarkan suara melengking nyaring, mengejutkan para pemburu bangsa Khin itu dan dapat dibayangkan, betapa heran dan kagum rasa hati mereka ketika melihat pemuda yang bertelanjang dada dan mengeluarkan bunyi melengking seperti binatang buas itu meloncat dan tahu-tahu sudah menusukkan jari tangannya menotok pundak kiri biruang itu. Binatang itu mengeluarkan auman marah dan kesakitan, akan tetapi totokan yang mengenai urat besar di pundaknya itu sejenak melumpuhkan lengan kirinya sehingga ketika Ci Kang menyambar tubuh anak itu, dia tidak mampu mempertahankan.   Ci Kang cepat melemparkan tubuh anak itu kepada seorang di antara para pemburu, dan dia sendiri cepat menghadapi biruang yang kini menjadi semakin marah. Biruang itu sudah menerjang dan menubruk ke depan, kedua kaki depan itu bergerak seperti lengan yang amat kuat, dengan kuku-kuku jari yang meruncing panjang, menerkam dari kanan kiri ke arah tubuh Ci Kang. Akan tetapi, Ci Kang sudah siap siaga. Dengan gerak-an yang amat gesit tubuhnya menyelinap ke bawah kaki yang menerkam itu, dan begitu dia terhindar, dia membalik dan tangan kanannya menyambar.   "Dukkk...!" Betapapun kuatnya kepala biruang itu, begitu terkena tamparan tangan Ci Kang yang amat kuatnya, biruang itu mengeluarkan suara pekik he-bat dan tubuhnya terpelanting dan terbanting keras sampai bergulingan. Akan tetapi, binatang itu memang kuat sekali. Kulitnya yang tebal melindungi kepalanya sehingga tidak sampai pecah terpukul dan biarpun binatang itu menjadi pening ka-rena guncangan hebat pada kepalanya, ia masih dapat meloncat bangun dan me-nerkam lagi, kini gerakannya ngawur ka-rena matanya masih berkunang.   Ci Kang meloncat ke samping, kemudian dari samping dia memukul. Kini dia mengerahkan tenaga pada telapak tangan kanannya itu menghantam ke arah dada kiri biruang.   "Krakkk!" Jelas sekali terdengar tulang-tulang patah ketika tangan yang ampuh itu menghantam tulang-tulang iga di balik kulit tebal. Biruang itu mengaum dan terjengkang. Ci Kang meloncat de-kat dan sekali tangannya bergerak memukul, kini terkepal, terdengar lagi pecahnya tulang dan kepala biruang itupun retak. Binatang itupun tewas dengan mata, hidung, mulut dan telinga mengeluar-kan darah!   Terdengar sorak-sorai memuji dan bahkan ada yang bertepuk tangan, dan ada pula yang menari-nari mengelilingi bangkai biruang itu. Seorang di antara mereka yang agaknya menjadi pemimpin rombongan, memegang lengan Ci Kang dan mengguncang-guncangkan lalu memeluk Ci Kang dengan sikap ramah bersahabat.   "Orang muda, engkau telah menyela-matkan putera kepala suku kami," kata orang itu dalam bahasa Han yang cukup lancer. Kiranya orang ini adalah seorang bangsa Khin yang sudah sering berhubungan dengan orang-orang Han di perbatasan untuk menjual kulit-kulit harimau hasil buruan rombongannya.   Ci Kang melihat bahwa luka di pun-dak anak itu sudah dibalut dan bahwa anak itu tidak terancam bahaya. Dia mengangguk. "Aku tidak perduli dia anak siapa, akan tetapi aku girang kalau dia selamat," jawabnya sederhana. Jawaban ini agaknya membuat semua orang ber-gembira dan kagum dan satu demi satu mereka menyalami Ci Kang. Orang-orang ini sudah hagitu biasa dengan sikap ga-gah dan jujur, sehingga pernyataan Ci Kang itu menambah rasa kagum di hati mereka. Biasanya orang-orang Han selalu merupakan penjilat-penjilat kepada atasan dan penindas-penindas kepada bawahan, pikir mereka.   "Orang muda, mari ikut bersama ka-mi pergi menemui kepala suku kami," kala si brewok yang menjadi pimpinan rombongan itu.   Ci Kang memandang orang itu dan mengerutkan alisnya. "Aku tidak butuh hadiah!" setelah berkata demikian, dia membalikkan tubuhnya hendak pergi dari situ. Akan tetapi, dengan langkah lebar si brewok itu mengejarnya dan mendahu-luinya lalu menghadang di depannya.   "Kau mau apa?" bentak Ci Kang sambil mengepal tinju. Hatinya yang sedang kesal membuatnya murung dan mudah marah.   Tiba-tiba orang brewok itu menjatuhkan diri berlutut, "Orang muda, aku hanya minta agar engkau suka menyelamatkan nyawaku."   Tentu saja Ci Kang menjadi heran dan terkejut. "Apa maksudmu?"   "Orang muda, anak yang kauselamat-kan tadi adalah putera kepala suku kami. Kalau engkau tidak mau ikut bersama kami menemuinya, bukan untuk minta pahala melainkan untuk menjadi saksi, tentu aku dianggap mempunyai dua kesalahan dan akan dihukum mati. Pertama, aku membiarkan puteranya sampai terlu-ka dan kedua, aku membiarkan penolongnya tanpa memperkenalkannya ke-pada kepala kami."   Ci Kang mengerutkan alisnya. Dia percaya bahwa orang-orang yang kasar ini, orang-orang yang mempunyai pekerjaan yang sama dengannya, yaitu pemburu-pemburu binatang, tidak pernah membo-hong, dan kebiasaan yang kasar dan ke-ras dari kapala suku itu mungkin benar. Dan apa salahnya kalau dia berkenalan dengan orang-orang ini? Berada di antara orang-orang kasar jujur pekerjaannya memburu binatang ini dia merasa tidak asing.   "Jauhkah tempat kepala suku itu?"   "Tidak, orang muda, tidak sampai seperempat hari perjalanan. Siang nanti kita sudah akan tiba di sana."   "Baiklah. Mari kita berangkat."   Dan orang brewok itu memang tidak berbohong. Setelah matahari naik tinggi, tibalah mereka di perkampungan Suku Bangsa Khin itu dan andaikata Ci Kang tidak ikut datang, tentu si brewok ini mengalami hukuman berat. Kepala suku itu orangnya tinggi besar dan kasar, sepasang matanya yang lebar itu keras dan terbuka. Dia mendengarkan penuturan si brewok dengan alis berkerut. Akan tetapi setelah memeriksa pundak puteranya yang terluka dan mendapat kenyataan bahwa keadaan puteranya tidak berbahaya, apelagi mendengar bahwa pemuda yang tak berbaju ini telah membunuh biruang hitam besar hanya dengan pukulan tangan kosong, dia lupa akan kemarahannya. Sejenak dia memandang Ci Kang dengan sepasang mata penuh selidik dan agaknya dia tidak percaya ketika mendengar penuturan si brewok dan kawan-kawannya bahwa Ci Kang telah membunuh biruang itu hanya dengan tiga kali pukulan saja!   Kepala suku itu menggeleng kepala dan dia memandang kepada kedua lengannya yang berotot dan besar. "Mana mungkin membunuh biruang hitam dewasa de-ngan tiga kali pukulan saja? Kedua ta-ngan inipun tidak sanggup menandingi kekuatan biruang hitam. Mungkin dalam perkelahian mati-matian akhirnya aku akan dapat membunuhnya, akan tetapi dengan tiga kali pukulan? Tak mungkin! Orang muda, benarkah engkau tadi telah membunuh seekor biruang hitam dewasa dengan tiga kali pukulan?"   Ci Kang sudah menyukai sikap terbuka itu. Orang-orang ini mengagumkan, pikirnya dan cocok sekali dengan wataknya. Dia sejak kecil suka sekali berburu binatang dan walaupun ayahnya dan rekan-rekan ayahnya suka mencemoohkannya, namun dia menganggap berburu binatang untuk dimakan dagingnya dan dimanfaatkan kulitnya merupakan pekerjaan yang gagah. Mencari makan dengan cara yang perkasa!   "Benar, dan kalau aku mau, aku dapat membunuh binatang itu dengan satu kali pukulan saja!" Ucapan Ci Kang ini timbul dari hati yang sejujurnya, bukan untuk menyombongkan diri.   Kepala suku itu mengerutkan alisnya dan menganggap ucapan ini sebagai tanda ketinggian hati. "Orang muda, kalau engkau tidak dapat membuktikan ucapanmu itu, terus terang saja engkau mengecewakan hatiku dan aku menjadi tidak suka kepadamu walaupun engkau telah menolong puteraku."   "Aku tidak berbohong dan perlu apa aku membuktikan omonganku? Andaikata engkau mempunyai seekor biruang hitam di sini, akupun tidak mau membunuhnya tanpa sebab, hanya untuk membuktikan omonganku."   "Orang muda, kekuatanku lima kali seekor biruang hitam. Kalau engkau mampu mengalahkan seekor biruang dengan satu kali pukulan saja, berarti bahwa engkau akan mampu mengalahkan aku dengan lima kali pukulan. Betapa tidak masuk di akal! Nah, aku akan melihat buktinya. Kalau engkau dapat mengalahkan aku dalam sepuluh jurus, berarti omonganmu memang benar."   "Kalau tidak dapat?"   "Berarti engkau bohong dan perkenalan kita hanya sampai di sini saja. Nah, bersiaplah engkau, kecuali kalau engkau takut!"   Harga diri Ci Kang tersentuh dengan ucapan itu. "Aku tidak butuh membuktikan kemampuanku, akan tetapi kalau engkau memaksaku, jangan dikira aku takut!"   Sepasang mata yang lebar itu berseri. "Bagus, nah, mari kita mulai, orang muda!" Dia lalu mengajak Ci Kang keluar dari dalam rumahnya dan mereka sudah saling berhadapan di depan rumah itu, di halaman yang luas di mana tumbuh rum-put hijau yang subur. Orang-orang Khin ini selain merupakan pemburu-pemburu yang ulung, juga beternak domba dan mereka menanam semacam rumput yang amat gemuk dan baik sekali untuk makanan ternak mereka. Kini dua orang laki--laki itu berdiri berhadapan dan banyak sekali orang Khin yang mendengar akan kedatangan pemuda yang gagah perkasa penolong putera kepala suku mereka, su-dah berada di situ dan kini dengan wajah berseri mereka melihat betapa kepala suku mereka akan menguji pemuda itu! Melihat Ci Kang bertelanjang dada, ke-tua itupun menanggalkan baju atasnya dan Ci Kang melihat tubuh seorang laki-laki yang jantan dan amat tegap, kokoh dan kuat. Akan tetapi dia dapat menduga bahwa kepala suku itu hanya memiliki tenaga otot yang amat besar saja, dan dia tidak merasa gentar. Akan tetapi diapun tidak memandang rendah dan mengambil keputusan untuk mengalahkan rak-sasa ini kurang dari sepuluh jurus karena diapun tidak ingin kehilangan persahabat-an dengan orang-orang yang menyenang-kan hatinya. Bahkan orang-orang wanitanya yang berada di situ kelihatan gagah-gagah, sama sekali berbeda dengan wani-ta-wanita Han yang kebanyakan lemah. Tentu saja ada kecualinya, pikirnya, ter-utama sekali gadis-gadis seperti Sui Cin dan Hui Cu, puteri Ratu Iblis itu!   "Aku sudah siap!" katanya ketika melihat ketua itu melangkah maju dengan kedua lengan panjang itu tergantung ke sisi, dengan jari-jari tangan terbuka dan agak melengkung. Sikap ini mirip sikap biruang hitam tadi, pikir Ci Kang dan diapun bersikap waspada, dapat menduga bahwa orang ini tentu ahli dalam ilmu gulat dan karenanya amat berbahaya kalau sampai kedua lengan panjang de-ngan jari-jari tangan kuat itu sampai da-pat menangkapnya.   Akan tetapi ketika kepala suku itu menerjang dengan amat cepatnya, dia su-dah mengambil keputusan untuk memperlihatkan kepandaiannya dan menundukkan raksasa ini secepat mungkin. Ci Kang mempergunakan perhitungan yang matang dan berani. Ketika dua tangan yang besar itu menyambar dari kanan kiri, dia sengaja berlaku lengah atau lambat, akan tetapi untuk menjaga kecepatan gerak tangannya, dia tidak membiarkan pundak atau lengannya tersentuh, apalagi tertangkap. Dengan mengembangkan kedua lengannya, dia membiarkan batang leher dan pangkal lengan kirinya kena dicengkeram, sedangkan secepat kilat, begitu merasa kedua tangan lawan menyentuhnya, jari tangan kanannya bergerak dua kali menotok ke arah jalan darah di kedua pundak lawan. Saking cepatnya, gerakan ini sampai tidak nampak oleh kepala suku itu sendiri yang tiba-tiba merasa betapa dua buah lengannya kehilangan tenaga sama sekali dan menjadi seperti lumpuh. Biarpun kelumpuhan itu hanya terjadi untuk beberapa detik saja lamanya, namun cukup bagi Ci Kang untuk menggerakkan kakinya dan ujung sepatunya menyentuh kedua lutut lawan. Kedua kaki yang besar dan kuat itu se-ketika kehilangan tenaga dan tubuh itu-pun terkulai dan roboh miring!   Kepala suku itu merasa kaget, heran dan penasaran sekali ketika mendapat kenyataan betapa dalam segebrakan saja dia sudah roboh dan kini kedua lengannya dicengkeram oleh lawan yang sudah berlutut di belakangnya. Dia mengerahkan tenaga raksasanya, akan tetapi tiba-tibe dia mengeluh dan tubuhnya mengejang, tenaganya hilang. Tiap kali dia mengerahkan tenaga, rasa nyeri yang amat hebat naik ke dalam dadanya dari kedua lengan yang dicengkeram Ci Kang. Belum pernah selama hidupnya kepala suku itu mengalami hal seperti ini. Cengkeraman rahasia dari lawan itu membuat dia menderita nyeri hebat setiap kali dia menge-rahkan tenaga!   Melihat betapa kepala suku itu kini sama sekali tidak meronta lagi, Ci Kang melepaskan cengkeraman kedua lengannya dan melompat bangun, berdiri dengan si-kap tenang. Semua orang yang menonton pertandingan itu melongo, tak dapat percaya betapa kepala suku itu tak berdaya dan dikalahkan hanya dalam satu gebrakan saja! Hal seperti ini mereka ang-gap sama sekali tidak mungkin! Kepala suku mereka itu mempunyai kekuatan le-bih dari sepuluh orang biasa!   Akan tetapi kepala suku bangsa Khin itu sendiri adulah seorang gagah yang tentu saja cerdik. Kalau tidak demikian, tak mungkin dia bisa menjadi kepala suku bangsa yang kasar dan gagah berani, juga sukar diatur. Dia tahu apabila dia kalah dan menghadapi orang-orang yang jauh lebih kuat darinya. Oleh karena itu, diapun bangkit, memijit-mijit kedua lengannya bergantian, memandang kepada Ci Kang dengan wajah berseri, lalu mengulurkan kedua tangannya dan merangkul Ci Kang! Pemuda ini sudah siap membela diri kalau kepala suku itu akan bertindak curang, akan tetapi ternyata rangkulan itu adalah pelukan persahabatan biasa saja.   "Orang muda, sungguh engkau hebat dan aku sendiri akan memukul orang yang tidak percaya bahwa dengan satu pukulan, engkau akan mampu merobohkan seekor biruang hitam dewasa! Engkau hebat dan aku, Moghu Khali, mengaku kalah!" Ke-pala suku itu tertawa gembira dan sikap ini makin mengagumkan hati Ci Kang.   "EngkKau memiliki tenaga yang amat kuat!" Dia memuji dengan sejujurnya. "Kalau hanya mempergunakan tenaga badan saja melawanmu, aku tentu akan kalah."   Kedudukan Moghu Khali yang tinggi di antara suku bangsanya itu sama sekali tidak membuat kepala suku ini sombong atau tinggi hati. Dia tertawa dan girang sekali mendengar ucapan yang jujur itu. "Orang muda, siapakah namamu?"   "Siangkoan Ci Kang."   "Saudara Siangkoan, kita sudah saling mengenal nama dan saling mengenal tenaga dan kepandaian. Ilmu kepandaianmu dalam perkelahian memang hebat dan kalau engkau suka mengajarku tentang cengkeraman rahasia yang membuat aku tidak mampu mengerahkan tenaga tadi, sung-guh aku akan merasa gembira sekali."   Ci Kang memang merasa kagum dan suka kepada kepala suku ini, maka diapun mengangguk. "Baiklah, saudara Moghu, akan kuajarkan cara mencengkeram seperti tadi."   Moghu Khali girang sekali dan sambil menggandeng tangan Ci Kang, dia lalu mengajak pemuda itu masuk ke dalam rumah. Sejak saat itu Ci Kang menjadi seorang tamu yang amat dihormat dan disuka. Karena sikap ini, Ci Kang menjadi semakin akrab dengan mereka. Melihat betapa kepala suku itu mempunyai banyak bulu binatang liar yang bagus, diapun lalu minta dibuatkan sebuah jubah bulu harimau yang menjadi kesukaannya. Kemudian, dalam percakapan mereka, dia mendengar bahwa di antara kepala suku akan diadakan pemilihan ketua atau pimpinan.   "Di selatan terjadi pergolakan dan pemberontakan," demikian antara lain Moghu Khali berkata. "Kota benteng San-hai-koan telah diduduki pemberontak yang kabarnya didukung oleh orang-orang pandai. Kami, bangsa Mongol, Khin dan Mancu harus bersatu untuk menghadapi pemberontak itu dan rencana kami adalah merampas kota-kota yang telah mereka duduki untuk dijadikan benteng-benteng kami di perbatasan. Dan untuk itu, kami akan mengadakan pemilihan pimpinan dan kalau engkau sudi membantu, dan suka menjadi jago kami, aku yakin bahwa tentu aku yang akan terpilih menjadi pimpinan."   "Menjadi jago? Apa yang kaumaksudkan, saudara Moghu Khali?" tanya Ci Kang, di dalam hatinya terkejut mendengar betapa para pemberontak yang dipimpin oleh Raja Iblis itu ternyata telah merampas dan menduduki benteng kota San-hai-koan.   Moghu Khali lalu menceritakan kepada pemuda itu tentang rencana para suku bangsa untuk mengadakan pemilihan pimpinan melalui adu jago, seperti yang diusulkan oleh nenek Yelu Kim dan diterima oleh mereka semua.   Biarpun kepala suku itu tidak membuka semua rencana para suku bangsa utara, Ci Kang sudah dapat menduga bahwa tentu para suku bangsa itu tidak memusuhi para pemberontak karena setia kawan kepada pemerintah Kerajaan Beng, melainkan karena mereka itu juga ingin membangun kembali kekuatan mereka yang telah hancur berantakan akibat jatuhnya Kerajaan Mongol. Akan tetapi baginya, yang penting sekarang adalah menghadapi para pemberontak, dan kalau Raja Iblis sudah bersekutu dengan pasukan, bahkan telah merampas kota benteng San-hai-koan, sebaiknya kalau dia mempergunakan suku bangsa Khin ini untuk menentang para pemberontak.   "Baik, saudara Moghu, aku akan membantumu dan suka menjadi jagoanmu untuk mengalahkan para jagoan lain. Tentu saja aku tidak yakin akan menang karena suku-suku bangsa itu tentu akan mengajukan jago-jago yang tangguh."   "Ha-ha-ha! Kesanggupanmu sudah merupakan kemenangan, saudara Siangkoan. Andaikata nasib tidak mempertemukan aku dan engkau, tentu aku sendiri yang maju. Akan tetapi walaupun tidak ada kulihat jagoan di utara yang dapat mudah mengalahkan aku, namun aku masih ragu-ragu karena memang banyak orang-orang kuat yang memiliki tenaga besar dan ilmu gulat yang hebat di daerah ini. Akan tetapi, tak mungkin ada di antara mereka yang akan dapat mengalahkanmu. Ha-ha-ha, aku sendiri kalah dalam segebrakan, siapa mampu mengalahkan seorang seperti engkau? Terima kasih, saudaraku. Kita harus mengadakan persiapan sekarang."   Demikiahlah, ketika sayembera adu jago untuk menentukan pemenang bagi calon pemimpin suku-suku di utara, Ci Kang muncul dengan gagahnya, mewakili Bangsa Khin, menunggang seekor kuda putih dan memegang sebatang tombak kong-ce.   Akan tetapi bagaimana Hui Song tiba-tiba dapat menyelinap di antara banyak orang, dan berpakaian sebagai seorang anggauta romborgan Mancu Timur? Untuk mengetahui jawabannya, mari kita mengikuti perjalanan Hui Song, pemuda jenaka yang biasa bergembira dan yang kini telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi berkat gemblengan selama kurang lebih tiga tahun oleh Siang-kiang Lo-jin Si Dewa Kipas.   Seperti telah kita ketahui, Cia Hui Song hanya berhasil menyelamatkan Kok Hui Lian, anak perempuan berusia sepuluh tahun, puteri gubernur San-hai-koan yang telah tewas bersama semua keluar-ganya itu. Ketika melarikan anak perem-puan itu, dia bertemu dengan sebagian dari Cap-sha-kui dan dikeroyok. Untung ketika anak perempuan itu terancam, muncul Ciang Su Kiat murid Cin-ling-pai yang buntung lengan kirinya itu dan o-rang ini melarikan Hui Lian.   Karena San-hai-koan telah jatuh ke dalam tangan pemberontak dan dia tidak mampu melakukan suatu untuk menentang para pemberontak, Hui Song lalu pergi ke bekas benteng Jeng-hwa-pang untuk menghadiri pertemuan para pende-kar. Pertemuan itu menjadi semakin pen-ting saja setelah kini Raja Iblis dan ka-wan-kawannya sudah membuktikan pelak-sanaan rencana mereka untuk memberontak dengan direbutnya San-hai-koan. Di tempat ini dia bertemu dengan beberapa orang pendekar yang sudah datang terlebih dahulu. Akan tetapi karena memang hari yang ditentukan belum tiba, dia bersama para pendekar menanti di sekitar tempat itu. Tak disangkanya Siangkoan Ci Kang yang dianggap sebagai seorang tokoh muda kaum sesat yang amat berbahaya itu muncul di situ. Tentu saja Hui Song menjadi curiga. Dia tahu benar sia-pa adanya pemuda ini dan betapapun ga-gah pemuda itu, kenyataan bahwa dia adalah putera tunggal Si Iblis Buta tentu saja menimbulkan kecurigaan bahwa Ci Kang tentu datang untuk menjadi mata-mata kaum hitam. Itulah sebabnya tanpa ragu-ragu lagi Hui Song menyerangnya dan para pendekar juga menjadi marah kepada Siangkoan Ci Kang.   Pada hari itu juga girang Hui Song melihat kedatangan gurunya, yaitu Si Dewa Kipas. Murid dan guru ini segera bercakap-cakap dan ternyata kakek gendut itupun sudah mendengar tentang jatuhnya San-hai-koan ke tangan para pemberon-tak.   "Mereka telah benar-benar bergerak," kata kakek itu sambil menarik napas panjang. "Kini tidak mungkin lagi kita mela-wan mereka begitu saja. Raja dan Ratu Iblis bersama para datuk kaum sesat, be-tapapun sakti mereka itu, dapat kita ha-dapi bersama. Kalau para pendekar bersatu, agaknya fihak kita tidak akan ka-lah kuat. Akan tetapi setelah mereka itu mempunyai pasukan besar sebagai sekutu, tentu saja tak mungkin bagi kita mela-wan pasukan yang beribu-ribu banyaknya. Jalan satu-satunya bagi kita hanyalah berpencar dan membantu pasukan pemerin-tah kalau bertempur dengan mereka, di manapun juga."   Hui Song lalu bercerita tentang putera Si Iblis Buta yang baru pagi tadi datang ke tempat itu dan melarikan diri setelah mereka serang. "Dia itu tentu mata-mata musuh, suhu. Sayang kami tidak dapat menangkapnya. Dia sungguh lihai."   Kakek gendut itu mengerutkan alis-nya. Kakek yang biasanya tertawa-tawa gembira itu kini kehilangan kegembiraan-nya melihat betapa kaum pemberontak telah bergerak sebelum mereka mampu mencegahnya. "Aku tidak dapat menduga bagaimana sesungguhnya mereka itu. Aku tidak yakin apakah putera Iblis Buta itu juga bekerja untuk mereka."   "Tentu saja, suhu. Bagaimana tidak? Sejak dahulu dia itu merupakan tokoh ja-hat yang berbahaya sekali."   "Akan tetapi engkau harus ingat bah-wa ayahnya dibunuh oleh Raja Iblis," bantah kakek gendut itu.   "Sekali jahat tetap jahat!" Hui Song berkata lagi. "Putera seorang datuk se-perti Iblis Buta itu, tentu menjadi seo-rang tokoh sesat yang luar biasa. Biarpun ayahnya terbunuh oleh Raja dan Ratu I-blis, mana mungkin dia lalu berubah menjadi orang baik-baik, bahkan hendak mendekati kaum pendekar? Dia tentu mata-mata, suhu."   Kakek itu mengangguk-angguk. "Mungkin ada perebutan kekuasaan di antara mereka, Hui Song. Akan tetapi ada yang lebih penting lagi. Biarlah aku yang menghadiri pertemuan dan engkau kuberi tu-gas baru yang amat penting."   Girang rasa hati Hui Song. Dia gelisah memikirkan Sui Cin dan duduk menganggur sambil menanti hari pertemuan itu di bekas benteng Jeng-hwa-pang sungguh tidak menyenangkan hatinya. "Tugas apakah itu, suhu?"   "Setelah kini Raja Iblis bersekutu dengan pasukan pemberontak, bagi kita hanya dapat membantu pasukan-pasukan pemerintah untuk menumpas mereka. Akan tetapi ada kekuatan lain yang mungkin dapat kita manfaatkan. Kekuatan itu adalah para suku bangsa di daerah ini. Kalau mereka itu mau bergerak membantu dan menentang pemberontak, tentu akan mudah lagi menghancurkan para pemberontak berikut Raja Iblis dan kaki tangannya. Karena itu, aku menguasakan kepadamu untuk melakukan penyelidikan terhadap suku-suku liar itu, Hui Song. Kalau ada kemungkinan mengajak mereka itu untuk menentang pemberontak, sungguh merupakan bantuan besar sekali kepada pemerintah."   "Akan tetapi, bukankah suhu pernah mengatakan bahwa kita tidak akan mencampuri urusan pemerintah dan hanya semata-mata bangkit untuk menentang Ra-ja Iblis dan para datuk sesat yang hen-dak mengacaukan negara."   "Benar, akan tetapi setelah mereka itu bergabung dengan pasukan pemberon-tak, tidak ada jalan bagi kita untuk membantu pemerintah menumpas mereka."   "Baiklah, suhu, akan kuselidiki keada-an para suku bangsa di daerah ini."   Hui Song lalu meninggalkan bekas benteng Jeng-hwa-pang dan menuju ke uta-ra, mendaki bukit dan melintasi gurun pasir. Tanpa disadarinya, ia tersesat ja-lan menuju ke timur dan pada suatu ha-ri tibalah dia di sebuah dusun kecil. Ha-ri telah menjelang senja ketika dia me-masuki pintu gerbang sederhana dusun i-tu, akan tetapi yang membuat dia mera-sa heran adalah karena dusun itu sunyi senyap, tidak nampak seorang manusia, bahkan tidak terdengar sesuatu. Sebuah dusun kosong? Bukan, pikirnya. Masih ada asap mengepul dari sebuah rumah di an-tara rumah-rumah kecil yang agaknya di-bangun secara darurat di dusun itu. Akan tetapi ke manakah perginya semua orang? Agaknya mereka bersembunyi, pikirnya. Bagaimanapun juga pendengarannya yang terlatih dan amat tajam dapat menang-kap gerakan-gerakan dan dia merasa ya-kin bahwa dia telah dikurung secara sembunyi-sembunyi oleh banyak orang!   Karena dia merasa sebagai seorang tamu yang tidak diundang di dusun itu, maka Hui Song merasa tidak enak sekali dan diapun berdiri di tengah-tengah la-pangan di antara rumah-rumah itu, di mana ia melihat bekas api unggun yang agaknya baru saja dipadamkan secara tergesa-gesa. Di sini dia berdiri tegak, me-mandang ke empat penjuru, ke arah ru-mah-rumah yang sunyi itu, dan diapun berkata dengan dengan suara lantang. "Saya Cia Hui Song, seorang kelana yang kemalaman di jalan, mohon kebaikan hati para penghuni dusun untuk mengijinkan saya melewatkan malam di dusun ini!"   Tidak ada jawaban. Sampai tiga kali dia mengulang kata-katanya akan tetapi hanya dijawab oleh ringkik kuda di kejauhan saja. Akan tetapi Hui Song dapat merasakan bahwa pengurungan tempat itu makin rapat sehingga dia bersikap waspada. Tiba-tiba saja, seperti yang sudah diduganya, terdengar teriakan-teriakan dalam bahasa yang tidak dimengertinya dan tahu-tahu puluhan batang anak panah menyerbu dan menyerangnya dari semua penjuru!   "Aku bukan penjahat...!" Teriak Hui Song akan tetapi percuma saja karena anak panah yang amat banyak itu sudah mcluncur ke arah dirinya. Hui Song terpaksa menanggalkan jubahnya dan memutar jubahnya itu untuk melindungi tubuhnya. Semua anak panah runtuh dan tidak ada sebatangpun yang mengenai dirinya, akan tetapi jubahnya robek-robek, juga bajunya ada yang robek, terkena anak panah.   Begitu anak panah itu dapat diruntuh-kannya semua, tiba-tiba nampak sinar hi-tam meluncur dan dia melihat bahwa itu adalah tali-tali hitam panjang yang ber-bentuk laso pada ujungnya. Dia tersenyum dan berdiri tegak tidak mengelak. Dan laso-laso itu ternyata dengan amat cepatnya telah mengalungi lehernya, bahkan kedua tangannya juga kena dibelenggu. Harus diakuinya bahwa pelempar-pelempar laso itu amat mahir dan agaknya para penghuni dusun ini adalah peternak-peternak lembu karena hanya peternak- peternak lembu saja yang pandai menggunakan laso untuk menangkap lembu-lembu mereka yang binal atau kabur. Setelah tubuhnya terbelit-belit laso, terdengar sorak kegirangan dan kini muncul puluhan orang, laki-laki dan wanita, yang kesemuanya berpakaian indah, berwajah cantik-cantik dan tampan-tampan, akan tetapi yang pada saat itu memandang kepadanya dengan penuh kemarahan! Mereka muncul sambil mengacungkan senjata mereka yang berupa tombak-tombak, golok dan juga anak panah, semua dia-cungkan dan diangkat tinggi-tinggi. Agaknya mereka itu siap untuk mengeroyok dan menghancurkan tubuhnya. Akan tetapi terdengar bentakan nyaring dan mereka semua itu berhenti, lalu muncul seorang laki-laki muda yang tampan. Usia laki-laki ini tiga puluh tahun lebih, wajahnya tampan dan pakaiannya paling indah, dengan jubah dari bulu tebal. Laki-laki ini maju dan dia diiringkan oleh belasan orang wanita yang kesemuanya muda-muda dan cantik-cantik, usia mereka dari lima belas sampai dua puluh lima tahun! Laki-laki bermantel bulu dan bartopi lebar ini melangkah maju dan semua orang yang mengepung Hui Song hanya memandang, namun siap untuk mengeroyok Hui Song andaikata pemuda yang sudah terbelenggu banyak tali laso itu memberontak.   Kini laki-laki bertopi itu berdiri di depan Hui Song yang masih berpura-pura tidak berdaya dalam lilitan laso. Kalau dia mau, tentu saja sekali meronta semua tali laso akan putus dan dia dapat bergerak bebas. Akan tetapi dia hendak melihat dahulu perkembangannya, ingin tahu mengapa orang-orang yang tidak dikenalnya ini memusuhinya. Kemunculan mereka saja sudah menarik perhatiannya karena mereka itu tidak nampak seperti orang-orang liar yang kasar, bahkan gerak-gerik mereka halus, pakaian mereka indah dan tubuh mereka terpelihara rapi dan bersih. Laki-laki bertopi inipun nam-pak tampan dan bersih, dan wanita-wani-ta yang datang bersamanya juga cantik-cantik dan berpakaian rapi.   "Aha, kiranya engkau tampan juga!" kata laki-laki bertopi itu. "Dengan ketampanan dan kemudaanmu, apa sukarnya bagimu untuk menjatuhkan hati wanita-wanita cantik. Kenapa engkau harus mencari wanita dengan cara menculik dan memperkosanya?"   Tentu saja Hui Song melongo mendengar tuduhan-tuduhan ini. Seorang di an-tara para wanita itu, yang termuda dan paling manis tiba-tiba melangkah maju menghampirinya. Mata wanita ini merah oleh tangis.   "Kembalikan adikku...!" bentaknya dan tiba-tiba tangan yang kecil halus itu bergerak menampar.   "Plak! Plak!" Dua kali pipi Hui Song ditamparnya dan laki-laki bertopi itu cepat menangkap lengannya dan melarang-nya memukul lagi. Wanita itupun mundur sambil terisak.   "Ia adalah kakak gadis yang kauculik semalam. Nah, tidak tergerakkah hatimu menyusahkan hati seorang gadis semanis ia? Padahal, kalau engkau menjadi orang baik-baik, banyak kiranya gadis yang a-kan jatuh hati kepadamu, yang menyerahkan jiwa raga kepadamu tanpa kaupaksa atau perkosa...!"   Biarpun pria itu bicara dengan halus, dengan bahasa yang teratur dan tidak kaku, bahkan halus dan sopan seperti ba-hasa orang terpelajar, namun Hui Song merasa tersinggung dan bingung. Tampar-an tadi tidak begitu dirasakannya, akan tetapi tuduhan bahwa ia menculik dan memperkosa wanita, sungguh keterlaluan. Tahulah dia mengapa dia dimusuhi. Kira-nya dia disangka penculik wanita yang agaknya sudah beberapa kali menculik wanita-wanita dari suku ini dan malam ini sengaja mereka berusaha menjebak dan menangkap si pencuri anak perawan!   "Aku bukan pencuri perawan! Untuk apa aku mencuri wanita...?" Dia berseru beberapa kali. Akan tetapi agaknya yang mengerti bahasanya hanyalah pria berto-pi, gadis-gadis pengikutnya dan beberapa orang saja. Yang tidak mengerti lalu bertanya-tanya dan keadaan menjadi be-risik.   Tiba-tiba saja terdengar jerit wanita melengking nyaring. Semua orang terke-jut. Jerit itu keluar dari rumah terbesar yang berada di tengah dusun.   "Adikku perempuan...!" Laki-laki bertopi itu berteriak gelisah.   Hui Song segera dapat mcngerti apa yang telah terjadi. Agaknya, selagi dia ditawan dan dituduh sebagai pencuri anak perawan, si pencuri yang aseli sedang bekerja dan agaknya sekali ini yang di-curinya bukan perawan kepalang tang-gung, melainkan adik dari orang bertopi yang agaknya menjadi pemimpin mereka itu! Dan inilah kesempatan baik baginya untuk membuktikan bahwa dia bukanlah penculik perawan, dan kesempatan baik baginya untuk mencegah terjadinya perbuatan terkutuk dan juga membasmi penjahat pemetik bunga itu. Maka diapun bergerak dan sekali meronta, terdengar suara keras dan semua tali laso itupun putus. Orang-orang berteriak kaget dan Hui Song meloncat dengan gerakan seper-ti seekor burung terbang saja.   "Aku akan menangkap penjahat itu!" serunya kepada si kepala dusun dan tan-pa memperdulikan lagi teriakan-teriakan atau halangan-halangan dari mereka, dia berlompatan menuju ke arah suara jerit-an wanita tadi.   Gerakannya yang memang lincah se-kali itu tidak terlambat. Dia melihat ba-yangan berkelebat keluar dari rumah itu, memanggul tubuh seorang wanita yang kelihatan pingsan atau mungkin juga ter-totok.   "Perlahan dulu, sobat!" Hui Song ber-kata dan dia sudah menerjang ke depan, jari tengan kirinya menotok ke arah pun-dak. Orang itu nampak terkejut dan ge-rakannya ternyata juga amat cepat dan ringan. Dengan mudahnya dia menggerak-kan pundak, mengelak dan melonjutkan larinya.   Akan tetapi, dapat dibayangkan beta-pa kaget hatinya ketika tahu-tahu tangan yang tadi luput menotok itu dilanjutkan dengan totokan ke arah lambungnya sedangkan tangan lain menyambar ke atas, mencengkeram ke arah kepalanya. Dan dua gerakan ini mengandung hawa yang amat kuat! Agaknya orang itu sama sekali tidak pernah menyangka akan bertemu dengan orang sepandai ini di daerah liar itu, maka dia mengeluarkan ke arah kepalanya.   "Dukk...!" dan orang yang tidak mengerahkan semua tenaganya itu terhuyung!   "Eh, siapa kau...?" bentaknya dan dari suaranya Hui Song tahu jelas bahwa orang ini adalah seorang Han. Dan setelah orang itu kini melempar korbannya ke atas tanah dan menghadapinya, dia melihat di dalam keremangan senja bahwa dia adalah seorang laki-laki muda yang berwajah tampan bertubuh tegap dan berpakaian pesolek. Dia teringat akan putera Siangkoan Lo-jin Si Iblis Buta. Bukan, pemuda ini bukan putera datuk sesat itu, melainkan seorang pemuda tampan pesolek yang gerak-geriknya halus. Kalau di tempat seperti ini ada seorang penjahat bangsa Han, jelaslah bahwa penjahat itu tentu anggauta dari para datuk sesat a-nak buah Raja Iblis!   "Aku adalah pembasmimu, jai-hwa-cat terkutuk!" Hui Song membentak dan dia sudah menerjang lagi dengan tamparan-tamparan yang amat kuat karena dia mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang menghadapi penjahat yang dia dapat menduga juga lihai ini.   Tamparan-tamparan itu hebat sekali dan si penjahat agaknya mengenal pukul-an lihai, maka dia menggerakkan tangan, sekali ini mengerahkan seluruh tenaganya untuk menangkis.   "Plakk! Dukkk...!" Sekali ini, dua tenaga raksasa bertemu dan akibatnya, keduanya terdorong mundur dan seluruh tubuh mereka tergetar. Hui Song terkejut dan marah, akan tetapi pada saat itu, orang-orang dusun sudah datang dengan senjata di tangan. Mereka berteriak-teriak dan hendak maju mengeroyok, sebagian lagi, dipimpin pemuda bertopi, menolong gadis yang tadi dilemparkan ke atas tanah. Melihat keadaan tidak menguntungkan, penjahat pemetik bunga itu lalu mengeluarkan seruan panjang dan melon-cat jauh, terus lari menghilang dalam cuaca yang sudah mulai gelap. Hui Song tidak mengejar karena penjahat itu sudah melepas korbannya. Mengejar seorang musuh selihai itu di dalam gelap amat-lah berbahaya, dan pula, tugasnya adalah menyelidiki suku-suku bangsa ini, bukan mengejar-ngejar jai-hwa-cat.   Si pria bertopi kini menghampiri dan merangkulnya. "Engkau telah menyelamatkan adikku. Maafkan kecurigaan kami ta-di. Kami mengira engkau penjahat itu, siapa tahu engkau malah penolong kami."   "Sudahlah, kesalahpahaman itu dapat kumengerti dan dapat kumaafkan. Beta-papun juga, penjahat itu telah menolong-ku."   "Menolongmu?" Pria bertopi itu ber-seru heran.   "Kalau tidak dia muncul mencuri adikmu, tentu aku masih terus didakwa pen-curi anak perawan." Hui Song tertawa dan orang itupun tertawa, juga belasan orang wanita cantik yang mengerti omongannya tertawa. Suasana berobah gembira sekali.   "Ha-ha, ternyata engkau selain tampan dan lihai, juga periang seperti kami. Saudara yang baik, siapakah namamu tadi? Engkau tadi pernah memperkenalkan nama ketika muncul untuk pertama kali, akan tetapi sayang aku tidak begitu memperhatikan karena kemarahan menyangka engkau penjahat."   "Namaku Cia Hui Song."   "Bagus sekali, Cia-taihiap. Namaku adalah Lam-nong dan aku kepala suku bangsaku, bangsa Mancu Timur yang terpencil dan tidak besar jumlahnya. Kami hidup sebagai nelayan dan juga kadang-kadang memburu atau beternak, akan tetapi kami masih suka merantau seperti kebiasaan nenek moyang kami. Betapapun juga, kami hidup bahagia. Lihat, kami selalu bergembira, bukan? Saudaraku yang baik dan gagah, engkau menjadi tamu kehormatan kami. Malam ini kami akan berpesta untuk menyatakan kegembiraan kami." Dengan suara lantang kepala suku bernama Lam-nong itu lalu memerintahkan pembantu-pembantunya untuk menyembelih domba dan lembu dan mempersiapkan pesta untuk menghormati Cia Hui Song.   Hui Song menerima dengan gembira dan sambil bergandeng tangan dengan Lam-nong yang diiringkan belasan orang wanita cantik, Hui Song diajak memasuki bangunan terbesar di dalam dusun itu.   "Dusun ini hanya menjadi tempat peristirahatan selama beberapa pekan saja, maka kami membangun pondok-pondok darurat." Lam-nong menerangkan ketika mereka sudah mengambil tempat duduk di atas lantai bertilamkan kulit domba. "Taihiap, orang seperti engkau ini tentulah seorang pendekar seperti yang pernah kudengar diceritakan orang tentang dunia persilatan. Akan tetapi bagaimana seorang pendekar seperti engkau sampai tersesat ke sini?"   Hui Song tidak ingin bicara tentang pertemuan para pendekar dan diapun teringat kepada Sui Cin. Tadipun dia sudah cemas membayangkan Sui Cin yang kehilangan ingatan itu bertemu dengan jai-hwa-cat yang jahat seperti orang tadi.   "Aku... aku sedang mencari seorang teman..." Dia teringat betapa tadi dituduh pencuri anak perawan, maka dia menahan lidahnya yang hendak bercerita tentang Sui Cin, seorang teman perempuan! Dia tidak mau kalau nanti disangka seorang mencari wanita lagi. "Aku ingin mencari keterangan tentang Harimau Terbang..."   "Ah! Maksudmu perkumpulan rahasia Harimau Terbang?"   "Ya, benar!" Hui Song bertanya gembira. Dia memang sedang melakukan penyelidikan tentang Perkumpulan Harimau Terbang yang lencananya tertinggal di dalam Guha Iblis Neraka yang menunjukkan bahwa mereka itulah pencuri harta pusaka di dalam guha itu. "Apakah di daerah ini terdapat perkumpulan bernama Harimau Terbang?"   Mendengar pertanyaan ini, wajah Lam-nong yang tadinya gembira dan tersenyum-senyum itu berobah agak pucat dan alisnya berkerut, bahkan dia menengok ke kanan kiri seolah-olah tidak ingin percakapan itu didengar orang lain. Melihat sikap ini, berdebar rasa hati Hui Song. Agaknya penyelidikannya tentang pencuri harta pusaka itu akan mendapatkan jejak. "Harap jangan takut, saudara Lam-nong, kalau ada ancaman datang dari mereka, akulah yang akan menghadapinya!" katanya dengan suara tegas dan meyakinkan. Agaknya jaminan ini melegakan hati Lam-nong dan wajahnya berseri kembali, bibirnya tersenyum lagi.   "Cia-taihiap, bukannya kami takut, melainkan kami tidak suka berurusan dengan nenek iblis itu."   "Nenek iblis siapa yang kaumaksudkan?"   "Namanya Yelu Kim, menurut pengakuannya. Ia adalah keturnan dari Menteri Yelu Ce-tai penasihat agung dari Jenghis Khan. Kini ia menjadi tokoh sesat di daerah utara dan dianggap sebagai penasihat para kepala suku."   "Dan apa hubungannya dengan Perkumpulan Harimau Terbang?"   "Hemm, biarpun ia tidak pernah mengaku dan tidak pernah terbukti karena perkumpulan itu merupakan rahasia yang bergerak secara rahasia pula, akan tetapi semua orang di sini tahu belaka bahwa nenek itulah pemimpin Perkumpulan Harimau Terbang."   "Di manakah sarang mereka? Di mana aku bisa bertemu dengan nenek Yelu Kim itu?" Cia Hui Song bertanya dengan penuh semangat.   "Tinggallah bersama kami dan engkau akan dapat bertemu dengannya, Cia-taihiap. Besok lusa kami akan berangkat menuju ke padang pasir di mana para ketua suku mengadakan pertemuan dan pemilihan calon pemimpin. Aku yakin bahwa nenek Yelu Kim pasti akan hadir pula di sana."   "Para suku bangsa di utara ini hendak melakukan pemilihan pemimpin? Untuk apa dan apakah yang terjadi?" Hui Song bertanya girang. Tak disangka-sangkanya bahwa selain berita yang baik sekali mengenai Harimau Terbang yang diselidikinya, juga dia mendengar berita tentang kepala-kepala suku. Justeru inilah tugas yang diberikan gurunya kepadanya.   "Di perbatasan terjadi pergolakan yang mengguncangkan kehidupan tenteram para suku kami. Menurut berita, golongan hitam di selatan telah bersekutu dengan para pemberontak, dan mereka bahkan telah merampas dan menduduki benteng San-hai-koan, dan kabarnya akan terus bergerak melebarkan wilayah mereka sebelum mereka menyerang ke selatan. Kami terancam, dan... menurut rekan-rekan yang berambisi, inilah saatnya terbaik bagi kami untuk bergerak, menegakkan kembali kekuasaan Mongol di selatan. Sebetulnya aku sendiri pribadi tidak menyukai ambisi itu, akan tetapi kalau memang ketenteraman kami terancam oleh para pemberontak dan diadakan persatuan untuk menghadapi mereka, tentu aku setuju. Nah, kini para kepala suku akan mengadakan pemilihan pimpinan dan lusa kami akan berangkat."   Bukan main girangnya rasa hati Hui Song. Sambil tersenyum dan dengan wajah berseri dia segera menyatakan setuju untuk menemani Lam-nong dan anak buahnya yang akan berangkat ke tempat pertemuan itu   Malam itu, dengan penuh kegembiraan Lam-nong mengadakan pasta untuk menghormati Hui Song. Seperti telah menjadi kebiasaan mereka, pesta itu dilakukan di luar rumah, di sebuah lapangan rumput di mana dibangun tenda besar dan dinyalakan api unggun. Hui Song diberi pakaian orang Mancu dan mereka duduk di atas rumput. Daging-daging domba dan lembu dipanggang dengan bumbu-bumbu sedap sehingga asap dan uapnya memenuhi tempat itu, mengundang selera.   Lam-nong duduk di samping Hui Song, diapit-apit belasan orang wanita cantik yang ternyata adalah selir-selirnya! Hui Song sampai melongo ketika Lam-nong memperkenalkan mereka sebagai isteri-isterinya! Seorang dengan isteri demikian banyak, kesemuanya muda-muda dan cantik-cantik!   "Kenapa engkau kelihatan heran, Cia-taihiap? Aku hanya mempunyai empat belas orang isteri, itu masih sangat sedi-kit sekali kalau dibandingkan dengan yang dipunyai kepala-kepala para suku bangsa lainnya. Ada seorang kawanku mempunyai empat puluh empat orang isteri, ha-ha-ha!" Lam-nong tertawa bergelak melihat keheranan di wajah Hui Song.   Hui Song yang disuguhi arak istimewa buatan suku bangsa itu, arak yang amat harum dan keras, tertawa lepas. Memang wataknya bebas gembira, maka kini de-ngan hawa arak di benaknya, dia menja-di semakin gembira. "Ha-ha, saudara Lam-nong. Aku pernah melihat seekor a-yam jantan dengan puluhan ekor ayam betina, hal itu masih dapat kupercaya dan kumengerti. Akan tetapi manusia? Seorang harus... dengan demikian banyak...?"   "Ha-ha-ha-ha!" Lam-nong tertawa dan para selirnya yang rata-rata mengerti bahasa Han itupun tersenyum dan tersi-pu-sipu, menutupi mulut mereka dengan saputangan atau punggung tangan. "Kalau perlu aku bisa lebih kuat daripada seekor ayam jantan, ha-ha-ha! Cia-taihiap, memang manusia berbeda dengan ayam, ka-rena itu dalam hal itupun berbeda, tidak sembarang saat seperti ayam."   Merekapun tertawa-tawa dan suasana menjadi meriah ketika para selir yang memiliki suara merdu itu bernyanyi-nyanyi diiringi suara gendang, tambur dan suling. Dan mulailah selir termuda dari Lam-nong, yang manis sekali dengan kedua pipi kemerahan bukan oleh pemerah muka melainkan merah karena sehat saking halusnya kulit pipi, bangkit dan atas isyarat Lam-nong, selir itupun mulai menari. Dan Hui Song memandang dengan terpesona. Sellr ini pandai sekali manari, tubuhnya demikian lembut dan lemas meliuk-liuk di depannya, seolah-olah tubuh seekor ular saja. Suara gendang dan tambur menambah kuat gerakan pinggul dan leher itu.   "Sekarang permainan yang kami na-makan Bulan Jatuh. Siapa kejatuhan bu-lan harus bangkit dan menari, siapapun tidak boleh menolak karena menolak bulan yang jatuh ke pangkuannya berarti mengundang malapetaka dan tidak menghormati orang lain." Lam-nong berkata kepada Hui Song. Tentu saja pemuda ini tidak mengerti apa artinya kata-kata itu dan dia tidak pernah mendengar tentang permainan ini.   Sambil tertawa gembira Lam-nong menerangkan. Permainan itu seperti permainan kanak-kanak yang dikenal oleh Hui Song di selatan, akan tetapi kini dimainkan oleh orang-orang dewasa! Selir yang menari tadi membuka permainan. Kedua matanya ditutup dengan sehelai saputangan diikatkan ke belakang kepalanya, kemudian oleh dua rekannya ia diputar-putar, hal ini dimaksudkan agar selir yang tertutup matanya itu akan lupa di mana dan siapa yang duduk di sekitarnya. Setelah itu dilepas dan mulailah ia meraba-raba. Kalau ia berhasil menangkap seorang yang duduk berkeliling, ia akan meraba-raba muka orang itu dan mengatakan siapa dia. Kalau dugaannya keliru, yang ternyata setelah ia diperkenankan membuka penutup mata, maka ia harus menari lagi, kemudian setelah habis satu lagu, ia akan mencari sasaran lagi. Bagaikan bulan meluncur di antara awan-awan, penari itu akan meraba-raba dan kalau bulan itu "jatuh" kepada seseorang dan orang itu dapat ditebak siapa adanya, maka ia kejatuhan bulan dan ialah yang harus menggantikan permainan itu dan menari. Demikian selanjutnya. Tentu saja dengan adanya Hui Song di situ, permainan itu menjadi lucu dan selain menegangkan hati Hui Song, juga membuatnya merasa malu-malu dan sungkan sekali.   Selir muda yang cantik itu sudah diputar-putar dan dilepas. Kini dengan mata tertutup selir itu melangkah ke depan perlahan-lahan, kedua tangannya diluruskan ke depan meraba-raba.   Hui Song merasa betapa jantungnya berdebar tegang, apalagi ketika kedua kaki yang kecil itu agaknya hendak maju ke arah tempat dia duduk! Akan tetapi kedua kaki itu meragu, dan membelok ke kiri, kemudian maju terus dan akhirnya berhenti karena kaki itu terantuk kaki seseorang yang duduk di situ. Selir itu terkekeh, lalu berjongkok dan kedua tangannya meraba-raba kepala dan muka orang itu.   "Ihhh...!" jeritnya kecil ketika ia me-raba topi orang itu dan tahulah ia bahwa ia telah menangkap atau "jatuh" kepada seorang pemukul tambur atau gendang. Terdengar suara ketawa dari para selir dan selir yang menjadi bulan itu membuka penutup matanya, cemberut secara main-main mencela kesialan dirinya. Kalau kebetulan menangkap seorang pemain musik, maka hal itu dianggap sial karena itu berarti bahwa ia harus main lagi. Pemain musik tidak masuk hitungan karena kalau dia harus main, lalu siapa yang memukul gendang? Kembali selir itu ditutup mukanya dengan saputangan dan diputar-putar. Akan tetapi selir tadi sudah melirik ke arah Hui Song dan tersenyum. Ketika ia dilepas, iapun berjalan perlahan-lahan, berkeliling dan kedua kaki kecil tertutup sepatu baru itulah yang yang kini meraba-raba dan ketika kakinya menginjak bagian yang agak menonjol, iapun berhenti lalu membalik dan kini kedua kakinya itu bergerak perlahan menuju ke arah Hui Song duduk! Selir ini memang menjatuhkan pilihannya kepada Hui Song dan sebagai orang yang sudah biasa melakukan permainan Bulan Jatuh ini, tentu saja ia mengerti akan akal-akal yang dipergunakan orang dalam permainan ini. Tadi ketika ia membuka penutup matanya, ia telah memperhatikan dan mempelajari tanah di depan Hui Song dan ia melihat ada tanah menonjol di depan pemuda itu dan inilah yang dapat menuntunnya kepada Hui Song. Maka tadi ia berjalan keliling sampai kakinya mengijak tanah menonjol, baru ia menujukan langkahnya kepada Hui Song. Ia hendak memilih pemuda yang telah menolong adik suaminya ini untuk penghormatan dan bukan hanya selir ini, juga selir-selir yang lain dan mereka yang hadir di situ ingin sekali melihat Hui Song menjadi bulan dan menari-nari.   Dengan jantung berdebar penuh ketegangan Hui Song melihat betapa selir itu menggerakkan dua buah kaki kecilnya menghampirinya. Dia tidak mungkin dapat lari, dan hanya tersenyum tegang. Diapun tidak dapat mengelak ketika kaki kecil itu menumbuk kakinya dan ketika selir muda itu terkekeh kecil dan berjongkok di depannya, Hui Song memejamkan mata karena hidungnya mencium bau yang amat harum dan melihat kulit muka yang demikian halusnya. Dia tetap memejamkan mata ketika wanita itu meraba-raba kepalanya, lalu mukanya, meraba-raba telinganya, hidungnya, bibir dan dagunya. Hui Song merasa betapa jari-jari tangan yang berkulit halus dan hangat itu merayap di mukanya dan dia merasa betapa semua bulu di tubuhnya meremang.   "Haii... ini... ini... Cia-taihiap...!" kata selir itu dan tebakannya disambut tepuk sorak memuji. Selir itu cepat membuka penutup matanya dan sambil tersenyum manis ia menjura dan mempersilakan.   "Silakan, taihiap, kami mohon taihiap menjadl bulan," katanya merdu.   "Ha-ha-ha, nasibmu baik, Cia-taihiap. Kami ingin sekali menyaksikan keindahan tarianmu!" kata Lam-nong gembira. Suling, tambur dan gendang dipukul gencar dan Hui Song yang mukanya menjadi merah itu terpaksa bangkit berdiri. Dia merue tubuh dan kepalanya ringan karena pengaruh arak. Hal ini membuat dia tidak malu-malu lagi dan karena dia tidak pandai menari, maka diapun mencoba untuk menirukan gerakan selir tadi. Maka nampaklah pemandangan yang amat lucu ketika Hui Song melenggang-lenggok menggoyang pinggul mengikuti irama musik, berjoget dang-dut! Karena dia memang ahli silat yang amat pandai, biarpun gerakannya lucu, namun juga lemas dan kadang-kadang bahkan diisi dnegan gerak-gerak silat. Para selir tertawa-tawa dan bertepuk-tepuk tangan memuji, membuat Hui Song bertambah gembira dan tariannyapun menjadi semakin panas.   Ketika tiba giliran Hui Song untuk ditutup kedua matanya dengan saputangan, dengan mudah saja, mengandalkan ketajaman pendengarannya, dia menjatuhkan pilihannya kepada Lam-nong! Biarpun Hui Song seorang pemuda romantia dan lincah jenaka dan gembira, namun dia belum cukup berani untuk menjatuhkan pilihannya kepada para selir itu, merasa tidak berani kalau harus meraba-raba muka seorang di antara mereka. Hal ini mengecewakan hati para selir karena mereka ingin sekali kejatuhan bulan! Mereka merasa suka kepada pemuda yang lincah ini dan ingin mempererat persahabatan.   Lam-nong adalah seorang kepala suku. Tentu saja diapun tahu bagaimana caranya untuk menjatuhkan pilihannya kepada Hui Song sehingga terjadilah hal lucu, yaitu hanya dua orang itu saja yang silih berganti menari! Akhirnya Lam-nong menyuruh para selirnya menari bersama-sama dan suasana menjadi semakin gembira dan suara ketawa mereka riuh rendah ketika mereka menari bersama-sama. Hui Song merasa suka sekali kepada keluarga kepala suku ini dan mereka makan minum dan bernyanyi-nyanyi, menari-nari sampai hampir pagi.   Demikianlah, bersama rombongan ini, Hui Song ikut pula hadir ketika diadakan pertandingan jagoan di antara kepala-kepala suku. Lam-nong sendiri tidak mengajukan jagoan. Dia bersama para pangikutnya datang hanya untuk menyaksikan saja siapa pimpinan yang terpilih. Dan Hui Song yang hendak melakukan penyelidikan tentang Perkumpulan Harimau Terbang, bersembunyi di antara orang-orang Mancu Timur itu dan dapat dibayakngkan betapa besar rasa girang, kaget dan herannya melihat Sui Cin bersama seorang nenek yang menurut keterangan Lam-nong adalah nenek Yelu Kim, kepala dari Perkumpulan Harimau Terbang yang dicari-carinya itu! Dia merasa curiga dan heran, lalu diam-diam dia memperhatikan sambil menyelinap di antara anak buah Lam-nong.   ***   Demikianlah, tanpa disengaja, tiga orang muda itu ikut menghadiri pertemuan antara para suku di utara yang sedang mengadakan pertandingan untuk menentukan siapa di antara mereka yang hendak menjadi pimpinan para suku untuk memulai dengan gerakan mereka menegakkan kembali kekuasaan Mongol yang sudah runtuh. Dan mereka bertiga terpisah-pisah dalam kelompok suku yang berlainan, dengan alasan yang berlainan pula. Sui Cin berada di situ karena ia telah ditolong oleh nenek Yelu Kim yang menjadi gurunya dan kini ia membantu Yelu Kim sebagai balas budi. Siangkoan Ci Kang berada bersama suku Khin untuk membantu Moghu Khali, ketua suku Khin yang telah menjadi sahabatnya, bahkan dia mau dianggap menjadi jagoan suku itu. Adapun Hui Song berada di tempat- itu karena dia hendak menyelidiki Perkumpulan Harimau Terbang, juga untuk menyelidiki keadaan para suku bangsa di u-tara ini sesuai dengan tugas yang dibe-bankan kepadanya oleh gurunya, yaitu Siang-kiang Lo-jin atau Si Dewa Kipas.   Kini pertandingan telah dimulai dan seperti sudah diduga semula oleh setiap pengikut, jagoan-jagoan itu memang ma-sing-masing memiliki ketangguhan yang mengagumkan. Suku Mongol yang meru-pakan suku kedua terbesar sesudah suku Mancuria, mengajukan jagoan seorang ahli gulat yang bertubuh raksasa dan ja-goan ini tidak menunggang kuda, juga tidak memegang senjata apapun. Akan tetapi, ketika dia sudah maju karena menurut undian dia harus maju lebih dahulu, dia menghadapi lawan yang menunggang kuda secara mengagumkan dan mengerikan. Lawannya itu menggunakan sebatang golok dan menunggang seekor kuda. Ketika lawan itu menerjangnya dengan golok diputar dan kaki depan kuda itu mengancam hendak menumbuknya, raksasa Mongol ini tertawa, menangkap dua kaki depan kuda itu dan sekali putar, kuda itu terpelanting dan kedua tulang kaki depan itu patah membuat kuda itu tidak ammpu bangkit kembali. Lawannya cukup tangguh, ketika kuda terpelanting, dia melompat turun dan kini dia menerjang si raksasa dengan goloknya.   "Plakkk!" Raksasa Mongol itu tidak mengelak, bahkan menerima golok itu dengan tangan kosong begitu saja. Akan tetapi, bukan tangannya yang terluka, melainkan golok itu sendiri yang terlempar dan di lain saat, raksasa itu sudah menangkap pergelangan tangan lawan dan sekali mengerahkan tenaga, tubuh lawan itu sudah terlempar jauh sekali dan terbanting dengan keras ke atas tanah se-hingga jatuh pingsan dengan tulang re-muk!   Sorak sorai yang riuh rendah menyam-but kemenangan raksasa Mongol ini dan diapun memperoleh waktu beristirahat menurut peraturan walaupun si raksana Mongol itu masih menantang-nantang de-ngan congkaknya.   Menurut hasil undian, kini tiba giliran jagoan Mancu. Seperti juga jagoan Mo-ngol, maka jago dari Mancu inipun ber-tubuh tinggi besar dan terutama sekali sepasang kakinya amat panjang dan ber-otot kekar sekali. Kaki itu memakai se-patu panjang sampai ke lutut dan solnya dilapisi besi dan diapun tidak menung-gang kuda dan tidak memegang senjata. Setelah dia melawan seorang jagoan lain, Hui Song yang nonton dari dalam kelom-poknya melihat bahwa raksasa Mancu ini tidak kalah hebatnya dibandingkan dengan raksasa Mongol tadi. Kalau raksasa Mo-ngol tadi kebal dan kuat sekali, juga ahli dalam ilmu gulat, maka raksasa Mancu yang lebih tinggi ini selain ahli dalam ilmu gulan campur silat, juga tangguh sekali dengan kedua kakinya!   Dalam satu gebrakdn saja, lawannya yang menunggang kuda dan memegang tombak, dihadapi dengan tendangan kakinya yang panjang dan kuat itupun terpe-lanting jauh! Lawannya berhasil melom-pat dan menyerangnya dengan tombak. Akan tetapi, kembali kakinya bergerak dan tombak itu dihantam tangan yang amat kut, membuat tombak itu patah menjadi tiga potong! Lawannya masih penasaran dan menyerang dengan pukulan-pukulan, akan tetapi setiap pukulan ini ditangkis oleh tendangan secara sedemikian cepat dan tepatnya seolah-olah ke-dua kaki itu merupakan sepasang tangan yang lengannya panjang sekali, dan sebelum lawan itu mampu mengelak, tiba-ti-ba sebuah kaki melayang dan menghan-tam kepalanya dari samping. Orang itu terjengkang dan roboh pingsan, atau mungkin juga mati karena ketika digotong o-leh kawan-kawannya, dia sama sekali tidak bergerak dan terkulai lemas!   Ketika Ci Kang menerima gillrannya, Hui Song memandang dengan alis berkerut. Sejak tadi dia sudah melihat pemuda ini dan dia merasa heran, bertanya-tanya dalam hati mengapa putera Si Iblis Buta itu berada di sini, bahkan menjadi seorang di antara jagoan suku utara! Akan tetapi karena pertandingan itu bukan urusannya diapun diam saja dan hanya nonton. Dengan tombaknya, Ci Kang dengan mudah mengalahkan lawan, akan tetapi berbeda dengan pemenang-pemenang terdahulu, lawannya dirobohkannya tanpa menderita luka apapun, kecuall senjatanya runtuh dan lawan itu ditodong ujung tombak pada lehernya sehingga tidak mampu bergerak dan terpaksa mengaku kalah. Dan hal inipun dilakukan setelah dia membiarkan lawan menyerangnya sampai belasan jurus sehingga lawannya yang kalih itu tidak sampai terlalu kehilangan muka seperti yang diderita mereka yang tadi kalah dalam satu gebrakan saja!   Setelah semua jagoan dipertandingkan, akhirnya hanya tinggal satu orang yang belum kalah, yaitu raksasa Mongol, raksasa Mancu dan Ci Kang. Dua orang raksasa itu telah memenangkan tiga kali pertandingan yang mereka selesaikan hanya dalam beberapa jurus saja, sedangkan Ci Kang memenangkan dua pertandingan. Dan kini, menurut undian, dua orang raksasa itulah yang akan saling berhadapan. Tentu saja para penonton menjadi tertarik sekali karena sudah depat dibayangkan betapa akan hebatnya kalau dua orang raksasa yang sama tangguhnya itu maju dan saling melawan!   Mereka berdua sudah melangkah maju, kakinya melangkah seperti king-kong, dengan kedua lengan tegak terpentang, kedua kaki agak membungkuk, kepala ditundukkan dan mata mereka mengintai dari bawah alis mata yang tebal, mulut mennyeringai seperti mulut orang hutan marah. Langkah mereka seperti menggetarkan bumi dan ketegangan semakin memuncak setelah akhirnya mereka saling berhadapan dalam jarak dua meter. Agaknya mereka saling menilai dan menimbang keadaan lawan dengan pandang mata mereka. Keduanya berdiri seperti arca yang menyeramkan, sedikitpun tidak bergerak. Tiba-tiba terdengar gerengan nyaring dan kaki bersepatu itu meluncur dengan kecepatan kilat ke arah dada si raksasa Mongol. Demikian cepatnya kaki itu menyerang sehingga tidak sempat dielakkan oleh raksasa Mongol yang lamban itu, namun raksasa itu memasang dadanya dan mengerahkan tenaga sampai perutnya mengembung besar dan otot-otot menonjol di dadanya.   "Blukkk...!" Hebat sekali benturan antara kaki dan dada itu dan akibatnya, tubuh raksasa Mongol terdorong mundur tiga langkah, akan tetapi tubuh si penendang itupun terlempar ke belakang dalam jarak yang hampir sama! Keduanya kini berdiri saling pandang dan tahulah mereka bahwa tenaga mereka seimbang dan si raksasa Mancu juga tahu bahwa lawannya sungguh kebal, walaupun dia dapat menduga bahwa kekebalan itu hanya sebatas kulit saja dan tendangannya tadi setidaknya mengguncangkan isi dada lawan. Hal ini memang benar karena si raksasa Mongol merasa betapa tendangan tadi menyesakkan napasnya, maka diapun bersikap hati-hati sekali.   Ketika mereka maju kembali, si raksasa Mancu melancarkan serangan tendangan lagi. Akan tetapi kini lawannya menangkis bertubi-tubi dengan kedua lengan sehingga semua tendangannya gagal dan pada suatu saat, kaki kirinya dapat dicengkeram oleh tangan kanan jagoan Mongol. Dengan tenaga yang besar, raksasa Mongol itu mengangkat tubuh lawan ke atas dan diputar-putar dengan maksud akan dilemparkan atau dibantingkan. Akan tetapi, jagoan Mancu itu dengan kaki kanannya berhasil menendang pundak kanan lawan, sehingga cengkeramannya mengendur dan pada saat hampir dibanting, jagoan Mancu depat melepaskan dirinya. Dia terbanting akan tetapt tidak terlalu keras sedangkan lawannya yang tertendang pundaknya juga terhuyung ke belakang. Keduanya kini terengah-engah dan berdiri saling pandang bagaikan dua ekor gajah yang sedang berlaga.   Kemudian keduanya mengeluarkan teriakan-teriakan keras dan mereka saling menerjang ke depan dengan cepat. "Bress...!" Keduanya bertumbukan, mempergunakan kedua tangan dan kaki, juga dada untuk mengadu kekuatan dengan lawan. Kembali keduanya terjengkang! Mereka merangkak bangun dan melanjutkan pertandingan yang kini semakin seru bahkan mati-matian. Jagoan Mancu masih mengandalkan tendangan-tendangan-, yang disambut lawan dengan kekebalan dan kelincahan sehingga tiap kali kena dicengkeram, dia selalu dapat melepaskan diri, bahkan beberapa kali dia terbanting, akan tetapi dapat bangun kembali. Juga raksasa Mongol beberapa kali kena terjangan kedua kaki yang melakukan tendangan terbang, sampai terjengkang akan tetapi juga dapat bangkit kembali. Sorak sorai dan tepuk tangan riuh rendah menyambut pertandingan yang hebat ini.   Pertandingan itu memang ramai sekali. Dua orang raksasa itu pukul-memukul, tendang-menendang, saling mencengkeram dan berusaha merobohkan lawan mengandalkan kekuatan otot-otot tubuh yang melingkar-lingkar dan melindungi diri masing-masing dengan kekebalan tubuh. Mereka seperti dua ekor ayam jantan yang tidak mengenal artinya menyerah. Dan agaknya mereka itu akan berkelahi terus sampai mati. Para penonton menjadi seperti binatang-binatang haus darah, ingin sekali melihat seorang di antara mereka roboh dan tewas!   Akan tetapi tiba-tiba kepala suku Mongol dan kepala suku Mancu memasuki arena pertandingan dan masing-masing menyerukan kepada jagoan-jagoan itu un-tuk menghentikan perkelahian mereka. Dua orang reksasa itu mentaati dan me-reka mundur, berdiri terengah-engah dan tubuh mereka yang kokoh itu basah oleh keringat.   "Kami sudah melihat cukup!" kata ke-pala suku Mongol. "Kedua orang jagoan ini sama kuat dan kalau dilanjutkan, mungkin keduanya akan tewas. Hal ini tidak adil karena masih ada seorang jago lagi yang akan memperoleh kemenangan tanpa berkelahi kalau mereka berdua ini keduanya tewas."   "Benar!" sambung kepala suku Mancu. "Biarlah jagoan ketiga maju dulu melawan seorang di antara mereka menurut undian, baru kemudian perkelahian antara dua jagoan ini dilanjutkan!" Agaknya kedua kepala suku itu merasa yakin bahwa jagoan ketiga itu tentu akan dapat dikalahkan dengan mudah.   Mendengar itu, Ci Kang sudah mem-bisiki sahabatnya, Moghu Khali kepala suku Khin itu. Moghu Khali bangkit berdiri dan berkata dengan suara lantang, "Memang benar. yang tinggal hanya tiga orang jago. Agar adil, maka biarlah tiga orang jago itu maju bersama, saling se-rang sampai seorang di antara mereka tinggal sebagai pemenang dan yang dua orang lagi roboh."   Usul kepala suku Khin ini disetujui oleh semua orang. Tentu saja para penonton menjadi semakin gembira. Orang muda berjubah kulit hartmau itupun tadi mereka lihat cukup tangguh sehingga ka-lau tiga orang jagoan tangguh itu maju bersama dan saling serang, tentu mereka dapat menonton perkelahian yang sungguh menarik, seru dan mati-matian.   Kini tiga orang jagoan itu sudah ma-ju ke tengah arena pertandingan. Ci Kang yang maklum akan kekuatan lawan dan juga kekebalan tubuh mereka, maju sam-bil menunggang kuda putihnya dan memegang tombak kong-ce yang bergagang panjang itu. Sikapnya tenang saja. Dia sebetulnya tidak gentar kalau harus mengha-dapi mereka dengan jalan kaki dan ber-tangan kosong, akan tetapi dia tidak mau membiarkan dirinya terancam bahaya terlalu besar karena menghadapi dua orang itu dengan tangan kosong amatlah berba-haya, kecuali kalau dia menggunakan il-munya untuk membunuh mereka dengan pukulan-pukulan ampuh. Justeru dia sama sekali tidak ingin membunuh orang, apa-lagi dalam suatu pertandingan adu ke-pandaian ini di mana dia hanya menjadi wakil kepala suku Khin yang menjadi sa-habatnya.   Sementara itu, dua orang raksasa Mongol dan Mancu itu tadi telah menerima bisikan kepala suku masing-masing. Mereka memang cerdik. Mereka berdua itu maklum bahwa antara mereka terdapat tingkat kekuatan yang seimbang dan biarpun masing-masing belum dapat menen-tukan kemenangan, akan tetapi setidak-nya kesempatan mereka untuk menang adalah setengah bagian. Akan tetapi, ka-lau seorang di antara mereka sampai dibantu oleh pemuda berbaju kulit harimau itu yang dikeroyok akan celaka Maka, jalan satu-satunya bagi mereka adalah maju bersama mengeroyok pemuda berkuda itu dan setelah pemuda itu roboh, hal yang mereka yakin akan dapat mereka lakukan dengan cepat kalau mereka maju berdua, barulah mereka berdua akan dapat bertanding kembali untuk menentukan siapa yang lebih unggul.   Ci Kang sama sekali tidak menyangka bahwa dia akan dikeroyok dan barulah dia tahu akan hal ini ketika dua orang raksasa itu maju menghampirinya dari kanan kiri dengan sikap mengancam dan wajah beringas. Ci Kang sama sekali ti-dak merasa gentar, akan tetapi, diam-diam dia mengkhawatirkan kudanya, maka diapun meloloskan kedua kakinya dari injakan agar kedua kakinya bebas. Ge-rengan dari kanan kiri menandakan bahwa dua orang raksasa itu sudah mulai menyerangnya. Raksasa Mongol itu me-nyerang dari kiri dengan kedua tangan menubruk seperti seekor harimau sedangkan raksasa Mancu yang mengandalkan kekuatan kakiya telah mengirim tendangan ke arah perut Ci Kang. Pemuda ini sudah siap siaga, menyambut tubrukan raksasa Mongol dengan tombaknya. Dia bukan menusuk tubuh melainkan menggu-nakan ujung tombak yang dibalik, yaitu menggunakan gagang tombak, menusuk ke arah mata! Inipun hanya gertakan saja, atau siasat untuk mencegah raksasa itu melanjutkan serangannya. Sementara itu, tendangan kaki raksaaa Mancu ke arah perutnya itu dia sambut dengan kaki kanannya.   "Dukkk...!"   Terdengar dua orang raksasa itu me-ngeluarkan seruan kaget bukan main. Raksasa Mongol terkejut karena tiba-tiba saja ada ujung gagang tombak menyam-bar cepat ke arah matanya. Dia boleh mengandalkan kekebalannya, akan tetaipi kalau matanya dicolok dengan gagang tombak, tentu akibatnya celaka baginya. Maka tidak ada jalan lain baginya kecuali membuang diri ke belakang dan bergu-lingan setelah mengeluarkan seruan ka-get. Sedangkan raksasa Mancu yang mengandalkan kekuatan kakinya itu, begitu kakinya bertemu dengan kaki pemuda itu, tubuhnya terjengkang dan diapun bergu-lingan sambil menahan rasa nyeri yang membuat tulang kering kakinya berde-nyut-denyut panas! Dua orang raksasa itu meloncat bangun lagi dan suasana menja-di sunyi senyap karena semua penonton melongo ketika melihat betapa dalam ge-rakan pertama saja pemuda itu sudah berhasil membuat dua orang raksasa yang mereka jagoi itu jatuh bergulingan! Bahkan orang-orang Khin sendiri yang mengajukan Ci Kang sebagai jagoan mereka, nampak sunyi dan melongo, terlalu heran dan kaget sehingga lupa untuk bersorak. Bukan hanya karena ini saja, akan tetapi juga karena suku itu diam-diam merasa takut dan segan kepada suku Mongol dan Mancu yang merupakan suku-suku terbe-sar dan terkuat, maka melihat kepala su-ku mereka diam saja merekapun tidak berani untuk bersorak sorai.   Sementara itu Ci Kang maklum bah-wa kalau dia menunggang kuda mengha-dapi dua orang lawan yang ingin dia ja-tuhkan tanpa membunuh, maka kudanya tentu akan terancam bahaya, dan agak sukarlah baginya untuk melindungi kuda itu. Maka begitu kedua orang itu melom-pat bangun, dia sudah meloncat dari atas kudanya. Ci Kang sengaja meloncat dengan gaya lompatan ke atas, tinggi dan kemudian tubuhnya berjungkir balik beberapa kali di udara sebelum meluncur -turun, didahului oleh tombaknya yang menancap di atas tanah dan Ci Kang berdiri tegak di atas tombak itu dengan se-belah kaki. Sedikitpun tubuhnya tidak bergoyang! Tentu saja hal ini amat me-ngagumkan para penonton dan orang-o-rang Khin tidak dapat lagi menahan ke-banggaan dan kegembiraan hati mereka. Ketika kepala suku mereka bertepuk tangan memuji, merekapun bersorak gembira sehingga suasana menjadi riuh kembali.   Nenek Yelu Kim terkejut sekali dan ia mendekati Sui Cin, berbisik, "Pemuda itu hebat sekali, apakah engkau sanggup menandinginya?"   Sui Cin juga melihat semua itu dan diam-diam kagum akan kelihaian Ci Kang. Akan tetapi kalau hanya gin-kang seperti yang dipertontonkan Ci Kang itu, dia masih sanggup menandinginya, bahkan mengatasinya.   "Harap subo jangan khawatir," bisiknya kembali.   Sementara itu, Hui Song yang juga melihat Ci Kang bergaya, diam-diam merasa panas hatinya walaupun dia harus pula akui bahwa pemuda putera Iblis Buta itu agaknya telah memperoleh kemajuan dan kini mungkin lebih lihai daripada dahulu, hal yang sudah diduganya ketika Ci Kang muncul di bekas benteng Jeng-hwa-pang. Ada timbul keinginan untuk mencoba kepandaian pemuda itu. Akan tetapi hal itu tidak mungkin dilakukan di sini karena tentu akan mengacaukan pemilihan pimpinan itu dan dia tidak mau menyusahkan rombongan Lam-nong. Maka diapun diam saja dan hanya menonton, sambil diam-diam seringkali melirik ke arah rombongan nenek Yelu Kim dan Sui Cin.   Dua orang raksasa itu sudah menjadi marah sekali karena dalam gebrakan pertama tadi mereka telah dibikin malu. Walaupun mereka tidak terluka, akan tetapi mereka telah dipaksa roboh bergulingan. Maka kini, biarpun mereka juga kaget melihat betapa pemuda itu memperlihatkan keringanan tubuh yang istimewa, mereka berlari menerjang dengan marah.   Akan tetapi betapa kaget dan heran mereka ketika tiba-tiba saja pemuda itu lenyap bersama tombaknya dan mereka hanya menubruk tempat kosong, bahkan hampir saling pukul sendiri. Kalau saja mereka berdua itu tidak mempunyai siasat untuk lebih dahulu merobohkan Ci Kang, tentu mereka sudah saling hantam karena mereka kini saling berhadapan dekat sekali. Akan tetapi keduanya sama sekali tidak melakukan hal ini, melainkan cepat membalik dan mencari Ci Kang. Ketika melihat pemuda itu berdiri tak jauh di belakang mereka sambil melintangkan tombaknya, merekapun menyerbu lagi. Kini semua penonton maklum bahwa dua orang raksaka yang tadi saling banting-membanting itu tiba-tiba saja sudah bersatu untuk menghadapi dan mengeroyok pemuda berbaju kulit hatimau itu!   "Curang...!" Moghu Khali, kepala suku Khin itu mengomel akan tetapi tidak berani bicara keras. Bagaimanapun juga, setelah memasuki arena pertandingan, tiga orang itu bebas berkelahi dengan cara bagaimanapun juga. Dia hanya mengkhawatirkan keselamatan jagoannya karena menghadapi pengeroyokan dua orang raksasa itu sungguh amat berbahaya sekali. Juga Sui Cin dan Hui Song menonton dengan hati tegang. Mereka juga dapat merasakan betapa berbahayanya keadaan Ci Kang sekarang.   Akan tetapi Ci Kang menghadapi mereka dengan sikap tenang-tenang saja. Diapun bukan orang bodoh dan majunya ke tempat itu hanya untuk membantu Moghu Khali yang menjadi sahabatnya. Kalau dia mengerahkan tenaga dan kepandaiannya, kiranya akan mudah baginya melawan dan menewaskan dua orang raksasa ini. Akan tetapi dia tahu bahwa dengan melakukan hal ini, tentu akan timbul iri dan penasaran dalam hati para kepala suku Mongol dan Mancu yang merupakan suku yang terbesar dan kuat. Dan hal itu tentu akan membuat keadaan Moghu Khali tidak menguntungkan dan mungkin dimusuhi. Oleh karena itu, dia mengambil keputusan untuk mencapai kemenangan setelah memberi muka kepada dua orang raksasa ini, yang berarti memberi muka kepada kepala suku masing-masing.   Oleh karena itu, ketika dua orang raksasa itu datang menyerbu lagi, dia hanya mengelak dan menangkis, mampergunakan kegesitannya untuk menghindarkan diri. Terjadilah perkelahian yang kelihatannya saja seru dan menegangkan, akan tetapi bagi orang-orang pandai seperti Sui Cin dan Hui Song, nampak jelas bahwa Ci Kang sengaja mengalah dan belum pernah membalas. Dan mereka berdua inipun setelah mengamati gerak-gerik kedua orang raksasa itu mendapat kenyataan bahwa dua jagoan tinggi besar itu hanya memiliki tenaga besar saja namun dalam hal ilmu berkelahi masih jauh kalah kalau dibandingkan dengan tingkat ilmu silat Ci Kang.   Setelah membiarkan dirinya dihujani serangan sampai tiga puluh jurus lebih, tiba-tiba Ci Kang memutar-mutar tombaknya dan tombak itu lenyap berubah menjadi gulungan sinar putih yang membungkus tubuhnya. Tubuh Ci Kang sendiri lenyap, hanya nampak kedua kakinya saja kadang-kadang menginjak tanah. Melihat ini, dua orang raksasa itu menjadi terkejut dan tentu saja merasa ragu-ragu karena mereka gentar untuk menerjang dinding yang terbuat dari gulungan sinar putih itu.   Ci Kang tidak bermaksud membunuh lawan. Dia memutar tombak itu hanya untuk menciptakan dinding sinar yang menutup tubuhnya, dan memang menjadi maksudnya agar kedua orang lawan itu menghentikan serangan mereka. Pada saat kedua orang raksaaa itu berdiri bimbang, tiba-tiba Ci Kang meloncat ke depan, menggunakan tombak yang dibalik untuk menotok kedua lutut raksasa Mancu yang ahli tendang itu dan berbareng tangan kirinya menampar ke arah tengkuk raksasa Mongol sambil mengerahkan tenaga sin-kang.   Dua serangan yang dilakukukan Ci Kang ini sudah memakai perhitungan dan pemusatan tenaga, maka mengenai suarannya secara tepat sekali. Dua orang raksasa itu terpelanting dan tidak mampu bangkit kembali! Raksasa Mancu tertotok kedua lututnya dan kedua kakinya menjadi lumpuh, sedangkan raksasa Mongol yang kena dihantam tengkuknya dengan tangan yang dimiringkan itu roboh pingsan. Ternyata kekebalannya tidak mampu melindungi tengkuknya dari hantaman yang mengandung tenaga sin-kang amat kuat itu.   Suasana kembali menjadi sunyi, karena semua orang untuk ke sekian kalinya tertegun dan melongo, hampir tidak percaya bahwa pemuda itu akan mampu mengalahkan dua orang jagoan raksasa yang mengeroyoknya itu sedemikian mudahnya! Ketika tadi Ci Kang memperlihatkan kepandaiannya, tak pernah dapat dirobohkan oleh kedua orang penyerangnya, orang-orang mulai menjadi tegang dan mengira bahwa tentu akan terjadi perkelahian mati-matian. Akan tetapi siapa kira pemuda itu akan mampu mengakhiri pertandingan itu sedemikian mudah dan cepat. Akan tetapi Ci Kang tidak perduli dan dia sudah meloncat lagi ke atas punggung kuda putihnya sambil melintangkan tombaknya. Dengan gagahnya, Ci Kang menjalankan kudanya berputaran di lapangan itu, tidak bersikap sombong, melainkan menanti kalau-kalau masih ada jagoan lain yang akan maju menandinginya, sementara itu dua orang raksasa yang roboh telah digotong pergi oleh teman-temannya.   Setelah Moghu Khali mengangkat tangan bersorak, berulah anak buahnya berani bertepuk tangan dan bersorak kegirangan melihat betapa jagoan mereka mendapat kemenangan, dan tak lama kemudian hampir semua orang yang hadir bersorak menyambut kemenangan ini. Bagaimanapun juga, mereka itu adalah suku-suku bangsa yang menghargai kegagahan dan melihat kehebatan Ci Kang, mereka merasa kagum sekali. Melihat sikap semua orang ini, Moghu Khali berbesar hati untuk menuntut haknya, yaitu menjadi pimpinan karena jagoannya telah keluar sebagai pemenang. Dia melangkah maju dan mengangkat kedua tangan ke atas dan berseru dengan suara lantang.   "Seperti saudara sekalian menyaksikannya, jagoan yang kami ajukan telah menjadi juara dan mengalahkan semua jagoan lainnya, oleh karena itu..."   "Tunggu dulu...!" Suara nenek Yelu Kim melengking dan mengatasi semua suara sehingga semua orang menengok kepadanya. Nenek ini sudah bangkit berdiri pula dan mengebut-ngebutkan hud--tim di tangannya. Karena nenek ini dikenal sebagai seorang yang disegani bahkan ditakuti, dan nasihat-nasihatnya selalu ditaati oleh para suku bangsa di utara karena nasihat-nasihat itu memang amat baik dan tepat, maka kini semua orang memandang dan menanti apa yang aken dikatakan oleh nenek itu.   "Saudara sekalian harap tenang dulu. Aku sendiri masih mempunyai seorang jago, dan aku berhak mengajukan jagoku, setidaknya untuk menguji sampai di mana kemampuan jago dari saudara-saudara suku Khin itu!"   Tiba-tiba terdengar suara auman harimau yang menggetarkan jantung dan dari belakang rombongan nenek Yelu Kim melompotlah keluar seekor harimau besar yang ditunggangi oleh seorang bertubuh kecil ramping yang muka dan kepalanya ditutupi kain hitam sebagai kedok. Hanya sepasang matanya yang mencorong itu saja yang nampak dari lubang pada kain hitam itu. Orang ini menunggang harimau seperti menunggang kuda saja, tanpa sela, dan tangan kanannya memegang sebatang tongkat yang panjangnya hanya dua kaki lebih.   "Harimau Terbang...!" Terdengar orang berbisik-bisik dengan mata terbelalak, dan mereka memandang dengan gentar. Hui Song yang sejak tadi memandang ke arah rombongan nenek Yelu Kim di mana terdapat pula Sui Cin, kini ikut terbelalak karena tadi dia hanya melihat gadis itu menyelinap lenyap di antara rombongan nenek itu, kini muncul orang menunggang harimau dan Sui Cin tidak nampak pula. Biarpun orang itu menyembunyikan kepala dan mukanya di balik kedok kain sutera hitam, akan tetapi dia mengenal perawakannya dan juga tadi Sui Cin memakai pakaian seperti yang kini dipakai penunggang harimau itu. Saking herannya Hui Song hanya memandang saja. Apa artinya semua ini, pikirnya. Sui Cin maju sebagai jagoan nenek Yelu Kim pemimpin perkumpulan rahasia Harimau Terbang, bahkan kini Sui Cin memakai kedok dan menunggang harimau!   Ci Kang juga terkejut sekali melihat munculnya orang menunggang harimau itu. Dari Moghu Khali, dalam percakapan mereka, dia sudah mendengar akan nenek Yelu Kim yang disegani itu, juga bahwa nenek itu memimpin sebuah perkumpulan rahasia yang bernama Harimau Terbang dan nenek itu bertindak sebagai penasihat dan pengawas para suku di utara. Kini, melihat munculnya penunggang harimau itu, dia bersikap tenang tetapi waspada. Dia tahu bahwa penunggang harimau itu seorang wanita, dan kalau seorang wanita sudah mampu menunggang harimau dengan gerakan seperti itu, tentulah wanita itu lihai sekali.   Akan tetapi calon lawannya itu agaknya tidak memberi banyak waktu baginya untuk berpikir dan melamun. Dengan lompatan-lompatan jauh, harimau itu sudah datang mendekat dan Ci Kang sudah siap siaga dengan tombaknya.   "Lihat serangan!" Tiba-tiba penunggang harimau itu membentak dan harimau itu sudah melompat, menerkam ke arah Ci Kang dan kudanya, sedangkan penunggangnya juga menggerakkan tongkatnya menusuk ke arah mata Ci Kang!   Sungguh hebat bukan main serangan itu dan melihat kenyataan betapa orang ini memberi peringatan sebelum menyerang, dalam bahasa Han yang tidak kaku, Ci Kang dapat menduga bahwa orang di balik kedok sutera hitam itu tentulah seorang pendekar wanita dari selatan! Menghadapi serangan maut itu, yang amat berbahaya bagi dirinya dan juga kuda yang ditungganginya, Ci Kang bergerak cepat. Tangan kirinya diangkat ke atas menangkis tusukan tongkat.   "Dukkk...!" Tangan kirinya yang kuat itu bertemu dengan tongkat dan tongkat itu terpental, akan tetapi Ci Kang juga merasa betape lengan kirinya tergetar. Pada saat itu diapun harus menyelamatkan kudanya, maka dia menggerakkan tombaknya menangkis dua kaki depan harimau yang menerkam itu.   "Bresss...!" Dua kaki harimau itu tertangkis dan tombaknya dilanjutkan menusuk dada harimau yang masih melompat itu.   "Dukkk...!" Kini ujung tombaknya ditangkis oleh tendangan wanita penunggang harimau! Ci Kang terkejut sekali. Sungguh hebat gerakan wanita itu dan kini harimau itu sudah menyerang lagi dengan cepat setelah tadi meloncat turun, membalik dan mengaum.   Ci Kang terpaksa memutar tombaknya untuk melindungi dirinya sendiri dan juga kudanya. Dan binatang tunggangannya itu menjadi panik, mengangkat kaki depan ke atas dan meringkik-ringkik ketakutan, juga meronta-ronta. Hal ini sungguh membahayakan dirinya dan hampir saja pundaknya terkena pukulan tongkat. Kalau dilanjutken begini, menunggang seekor kuda yang ketakutan, dia akhirnya akan celaka, pikirnya. Maka Ci Kang lalu meloncat turun dari atas kudanya dan begitu kuda itu merasa terbebas dari kendali, diapun meringkik dan melarikan diri ketakutan! Kini Ci Kang berdiri di atas tanah, siap dengan tombaknya. Dia merasa penasaran dan marah, apalagi mendengar wanita itu tertawa lirih di balik kedoknya. Engkau curang, pikirnya, mengandalkan harimau itu untuk membikin takut kuda. Maka, melihat harimau itu kembali menubruk, diapun memapakinya dengan tusukan tombaknya yang panjang.   "Tranggg...!" Ujung tombak tertangkis tongkat baja den keduanya merasa betapa masing-masing memiliki tenaga sin-kang yang sama kuat. Akan tetapi Ci Kang tidak mau memberi hati dan diapun memutar tombaknya, mendesak dan ujung tombaknya melakukan serangan bertubi-tubi ke arah tubuh harimau! Maka repotlah penunggang harimau itu yang harus melindungi tubuh harimaunya dengan tangkisan-tangkisan, yang membuat tubuhya kadang-kadang membungkuk ke sana-sini. Karena senjata di tangan Ci Kang jauh lebih panjang, maka mudah bagi pemuda itu untuk menghujankan serangan. Kalau dia menujukan serangannya kepada penunggang harimau itu, tentu lebih mudah bagi lawannya untuk melindungi dirinya dan harimau itu akan merupakan bahaya baginya. Akan tetapi karena dia menujukan serangan-sarangannya kepada tubuh harimau, sebaliknya si penunggang harimau itu yang repot bukan main harus menyelamatkan binatang tunggangannya dari tusukan tombak.   Wanita penunggang harimau itu tentu saja Sui Cin orangnya. Seperti kita ketahui, ia telah dipilih oleh Yelu Kint untuk menjadi murid dan pembantunya. Sui Cin merasa hutang budi kepada nenek itu yang telah menyembuhkannya, bukan saja dari pengaruh racun yang diberikan oleh Kiu-bwe Coa-li kepadanya, melainkan juga nenek Yelu Kim itu telah monyembuhkannya dari penyakit hilang ingatan. Dan kini, atas perintah Yelu Kim, ia maju menghadapi Ci Kang sambil menunggang harimau.   Memang benar bahwa harimau itu telah merepotkan Ci Kang dan membuat pemuda itu terpaksa turun dari kudanya yang ketakutan. Akan tetapi setelah kini pemuda itu tidak lagi menunggang kuda dan menghadapinya di atas tanah dengan tombaknya, kini keadaannya menjadi terbalik. Sui Cin kini menjadi kerepotan sekali, harus melindungi harimaunya. Ia merasa penasaran dan marah, lalu tiba-tiba ia mengeluarkan suara melengking tinggi dan tubuhnya mencelat ke atas, berjungkir balik beberapa kali lalu meluncur turun menyerang Ci Kang dari udara. Tongkat baja di tangannya diputar dan menhantam ke arah kepala pemuda itu.   Ci Kang terkejut dan cepat menangkis sambil mengerahkan tenaganya. Tongkat bertemu dengan tombak, nampak bunga api berpijar dan keduanya terdorong ke belakang. Sui Cin berjungkir balik lagi dan turun ke atas tanah.   "Houw-ji, mundurlah!" Ia berkata kepada harimau itu yang mengeluarkan suara menggereng, meringis memperlihatkan taringnya, akan tetapi agaknya binatang ini sudah mengenal dan mentaati suara Sui Cin. Diapun mundur mendekat nenek Yelu Kim yang mengelus kepalanya.   Kini Ci Kang berhadapan dengan Sui Cin, keduanya berdiri tegak tidak menunggang apa-apa lagi.   "Hemm, kini engkau tidak dapat mengandalkan kegalakan macan itu!" Ci Kang mengejek, diam-diam merasa kagum dan menduga-duga siapa adanya wanita perkasa bangsa Han yang menjadi kaki tangan nenek Yelu Kim ini.   "Lihat serangan!" Sui Cin membentak marah dan tidak melayani ejekan Ci Kang, tongkat di tangan menyambar ganas. Akan tetapi sambil tersenyum Ci Kang menggerakkan tombaknya menangkis dengan mudah, lalu balas menyerang, menyapukan tombaknya ke arah kaki lawannya. Akan tetapi sapuan tombak itupun dapat dielakkan dengan amat mudahnya oleh Sui Cin, dengan cara meloncat ke atas. Melihat gerakan loncatan ke atas lalu tongkat di tangan itu langsung menusuk dari atas, diam-diam Ci Kang merasa kagum juga. Bukan main wanita ini, pikirnya, memiliki gin-kang yang amat hebat dan dia harus berhati-hati karena gin-kang sehebat ini dapat mendatangkan kesukaran baginya. Maka diapun menggerakkan tombaknya melindungi dirinya dengan amat kuat, memutar tombak itu sehingga membentuk lingkaran dari gulungan sinar.   Sui Cin yang mengenal Ci Kang dan mengetahui pula bahwa putera datuk sesat Si Iblis Buta ini memang lihai sekali, tidak merasa gentar dan diapun mengandalkan gin-kangnya untuk mengimbangi kecepatan gerakan tombak. Terjadilah se-rang-menyerang dan pertandingan yang seru ini membuat semua penonton men-jadi gembira. Bagaimanapun juga, jago yang diajukan oleh suku Khin itu adalah orang Han, dan merekapun tidak tahu siapa adanya jago Harimau Terbang yang diajukan oleh nenek Yelu Kim, maka merekapun sukar menentukan siapa yang mereka dukung. Akan tetapi melihat be-tapa kedua orang itu berkelahi dengan amat cepat, perkelahian dengan ilmu si-lat yang belum pernah mereka saksikan sebelumnya, membuat mereka kagum se-kali, juga bergembira.   Akan tetapi, setelah Ci Kang menge-rahkan tenaga sin-kangnya dan mengeluar-kan semua ilmu silatnya, Sui Cin terke-jut sekali. Tadinya ia merasa yakin akan mampu mengatasi pemuda itu mengingat bahwa selama tiga tahun ini ia digembleng oleh Wu-yi Lo-jin. Akan tetapi siapa kira agaknya pemuda itupun selama ini telah memperoleh kemajuan pesat sekali sehingga kini ia sama sekali tidak mampu mendesaknya, apalagi mengatasinya. Bahkan ia mulai terdesak karena kalah kuat tenaganya walaupun dalam hal ke-cepatan ia masih lebih unggul. Akan te-tapi keunggulan dalam gin-kang inipun di-tutup oleh Ci Kang dengan gerakan tom-baknya yang luar biasa cepatnya. Tentu saja Sui Cin tidak tahu bahwa seperti juga ia sendiri, pemuda itu menerima gemblengan hebat selama tiga tahun oleh Cui-sian Lo-kai!   Nenek Yelu Kim juga melihat betapa murid atau pembantunya itu sama sekali tidak mampu mendesak pemuda baju ku-lit harimau yang amat lihai itu, walau-pun muridnya tidak dapat dibilang kalah karena keduanya agaknya memiliki kepandaian yang seimbang. Akan tetapi ia me-rasa khawatir kalau-kalau Sui Cin kalah. Ia tidak boleh kalah. Kekalahan muridnya itu berarti akan menghancurkan nama besar Harimau Terbang dan akan meruntuhkan namanya pula sebagai orang yang paling disegani di antara suku-suku di u-tara. Terutama sekali, kekalahan Sui Cin berarti kegagalannya untuk memegang tampul pimpinan di antara para suku yang hendak berjuang menegakkan kembali kekuasaan utara atas daerah selatan! Maka, diam-diam nenek ini duduk bersila dan mengerahkan semua tenaga batinnya, mulutnya kemak-kemik dan ia mulai mengerahkan kekuatan sihirnya untuk membantu Sui Cin.   Tiba-tiba terjadilah perubahan dalam perkelahian itu. Beberapa kali Ci Kang terhuyung dan kelihatan betapa dia keheranan dan kebingungan, kadang-kadang menggunakan tombaknya untuk menangkis ke kanan, kiri atau belakang, padahal dari tiga jurusan itu tidak ada sesuatu yang menyerangnya. Memang dia merasa seperti ada angin-angin pukulan menyambar dari jurusan-jurusan ini sehingga dia cepat menangkis, akan tetapi selalu hanya menangkis angin kosong saja. Karena itu, tentu saja Sui Cin memperoleh kesempatan untuk mendesaknya. Gadis ini merasa seolah-olah lawannya menghadapi pengeroyokan. Sejenak ia sendiripun heran melihat perobahan pada lawannya. Akan tetapi iapun lalu teringat kepada nenek Yelu Kim yang pandai sihir dan dapat menduga bahwa tentu nenek itu yang membantunya dengan kekuatan sihir. Hal ini malah membuat ia merasa jengkel dan marah. Ia belum kalah dan tidak akan kalah, dan sungguh memalukan kalau harus menghadapi Ci Kang dengan pengeroyokan.   Kemarahan ini yang membuat Sui Cin bertindak sambrono. Karena marah, ia menumpahkan kemarahannya kepada lawan di depannya. Tiba-tiba ia mengeluarkan suara melengking keras dan tangan kirinya bergerak ke depan. Nampak sinar merah disusul teriakan Ci Kang yang kaget dan kesakitan dan tubuh pemuda itupun terjengkang keras, roboh dan tidak bergerak lagi karena dia telah pingsan! Kiranya dalam kemarahannya, Sui Cin telah mempergunakan senjata rahasianya yang ampuh, yang diajarkan ibunya kepadanya. Senjata rahasia itu berupa jarum-jarum halus berwarna merah harum dan beracun! Inilah senjata rahasia yang biasa dipergunakan oleh golongan hitam dan hal ini tidak mengherankan mengingat bahwa ibu gadis itu, Toan Kim Hong, dahulunya pernah bertahun-tahun terkenal sebagai Lam-sin, seorang datuk sesat dari selatan!   Baru setelah melihat lawannya menggeletak dengan muka pucat dan pingsan, Sui Cin memandang dengan mata terbelalak, merasa menyesal mengapa ia mempergunakan senjata rahasia yang bahkan oleh ibunya sendiri ia sudah dilarang untuk sembarangan mempergunakannya. Dan dalam penyesalannya, Sui Cin sampai berdiri terbelalak dan seperti orang kehilangan akal, diam saja ketika melihat beberapa orang Khin cepat maju den menggotong tubuh Ci Kang yang masih pingsan. Sorak-sorai gegap gempita menyambut kemenangan Sui Cin dan kini terdengar suara nenek Yelu Kim yang melengking tinggi mengatasi semua suara sehingga orang orang menjadi tenang mendengarkan.   "Saudara-saudara sekalian yang tercinta. Para dewata telah menunjuk kami sebagai pemenang den pimpinan. Para jagoan tadi merupakan tenaga-tenaga yang amat baik untuk membantu perjuangan kita, juga pemuda baju kulit harimau itu agar dirawat sebaiknya. Sekarang kita beristirahat dan mempersiapkan diri untuk malam nanti mengadakan pertemuan rapat besar. Jagoku telah menang, berarti kami berhak menjadi pimpinan kalian yang akan membimbing kalian melakukan perjuangan dengan berhasil. Apakah ada yang tidak setuju dan ada yang masih hendak mengajukan jago baru?"   Semua orang menyatakan setuju. Kalau masih ada yang merasa penasaran, merekapun tidak berani bicara terus terang, karena mereka semum merasa segan dan takut kepada nenek Yelu Kim. Apalagi kini nenek itu mempunyai seorang jago yang sedemikian lihainya, sehingga melawanpun tidak akan menang. Akan tetapi, di antara para kepala suku, ada pula beberapa yang diam-diam merasa tidak setuju kalau perjuangan mereka itu dipimpin oleh seorang wanita, sudah nenek-nenek pula. Sejak dahulu, perjuangan bangsa mereka itu dipimpin oleh orang laki-laki yang gagah perkasa, bukan oleh seorang nenek tua renta. Hal ini sungguh menyinggung rasa harga diri dan kejantanan mereka. Akan tetapi, sedikit kepala suku itu, termasuk Lam-nong kepala suku Mancu Timur, tidak berani berterus terang, hanya mereka sudah kehilangan gairah untuk melanjutkan perjuangan menyerbu ke selatan kalau dipimpin oleh seorang nenek tua. Dan diam-diam kelompok-kelompok yang tidak setuju inipun meninggalkan tempat itu, tidak ingin menghadiri rapat yang dipimpin nenek itu. Juga Lam-nong mengajak rombongannya untuk kembali ke timur dan tidak mencampuri pemberontakan.   Sui Cin baru sadar ketika lengannya dipegang nenek Yelu Kim yang mengajaknya mengundurkan diri. Melihat wajah muridnya yang nampak agak pucat dan penuh penyesalan, nenek itu berbisik, "Engkau kenapakah, Sui Cin? Engkau telah menang, dan aku amat berterima kasih kepadamu. Lawanmu itu sungguh lihai sekali. Akan tetapi kenapa engkau tidak kelihatan senang, sebaliknya kelihatan muram? Apakah kemenanganmu itu tidak menggembirakan hatimu?"   Sui Cin menggeleng kepala. "Tidak, sama sekali tidak menggembirakan hatiku."   Mendengar ini, nenek Yelu Kim terkejut dan iapun menggandeng tangan muridnya dan diajaknya muridnya itu me-masuki tendanya yang sunyi menyendiri dan di sini ia bicara dengan wajah serius dengan gadis itu.   "Nah, anak yang baik, sekarang ceri-takan mengapa engkau begini muram dan mengapa kemenangan itu tidak menggembirakan hatimu."   "Subo, aku telah kesalahan tangan kepada Siangkoan Ci Kang..."   "Siangkoan Ci Kang? Siapakah itu?"   "Jagoan suku Khin tadi."   "Ah, jadi engkau sudah mengenalnya? Dia... sahabatmu?"   Sui Cin menggeleng kepala. "Bukan, bahkan dapat dibilang musuh karena dia pernah menjadi tokoh golongan hitam. Akan tetapi, subo, dia pernah menolongku, aku berhutang budi kepadanya dan tadi, karena aku merasa penasaran, aku... aku telah merobohkannya dengan jarum merah beracun yang amat berbahaya..."   Nenek itu mengangguk-angguk dan matanya yang mencorong itu menatap wa-jah muridnya penuh selidik, dan tiba-tiba ia memegang lengan gadis itu. "Sui Cin, apakah engkau... cinta padanya?"   Tiba-tiba saja wajah gadis itu berobah merah sekali dan ia memandang nenek i-tu dengan mata terbelalak. "Tidak, subo, kenapa subo bertanya dan menduga de-mikian?"   Nenek itu menarik napas panjang dan diapun menundukkan mukanya. "Karena orang hidup harus ada cinta di hatinya, anak baik. Tiadanya cinta dalam hati berarti orang hidup dalam neraka, dalam kesengsaraan, dalam kesepian, seperti aku ini..."   Sui Cin semakin heran dan kini ia bengong memandang nenek itu yang tiba-tiba saja menangis! Tangisnya sungguh -menyedihkan, kedua pundaknya tergun-cang-guncang, mukanya disembunyikan di balik jari-jari tangan itu, dan suara ta-ngisnya sampai sesenggukan. Sui Cin hampir tidak percaya melihat semua ini. Ne-nek Yelu Kim yang biasanya demikian penuh wibawa dan semangat, yang biasanya demikian tabah dan tegas, kini menangis seperti anak kecil! Sebagai seorang wanita yang biasanya amat peka menghadapi kesedihan dan tangis wanita lain, Sui Cin menahan air matanya dari kedua mata yang sudah terasa panas itu dan iapun memegang kedua lengan nenek itu.   "Subo, ada apakah? Kenapa subo menangis?"   Sampai lama nenek itu tidak dapat menjawab, hanya terisak-isak dan kadang-kadang mengusap air mata yang bercucuran. Akhirnya dapat juga ia menguasai dirinya dan tangisnya terhenti, hanya tinggal isak yang kadang-kadang saja. Ia mengeringkan semua bekas air mata dengan sehelai saputangan, lalu memandang wajah gadis itu dengan mata yang merah bekas tangis.   "Maafkan aku, Sui Cin, baru sekarang aku memperoleh kesempatan menumpahkan semua rasa duka di hatiku di depan seseorang. Ini merupakan yang pertama dan terakhir, walaupun kalau sedang sendirian, terutama sekali sebelum tidur, aku lebih sering menangis daripada tidak."   "Akan tetapi, kenapa subo? Subo adalah seorang yang sakti, yang berwibawa dan berpengaruh, bahkan kini berhasil menjadi pimpinan para suku untuk melakukan gerakan perjuangan, akan tetapi kenapa subo berduka?"   "Karena aku takut!"   Jawaban ini makin mengherankan hati Sui Cin. "Takut? Subo...? Ah, bagaimana mungkin subo mengenal takut? Takut apakah?"   "Aku takut, Sui Cin. Sungguh, aku menggigil dan jantungku berdebar hampir copot kalau aku membayangkan. Aku takut... takut akan kematian..."   "Eh? Takut akan kematian?"   "Aku takut, Sui Cin. Bagaimana nanti kalau aku sudah mati? Usiaku sudah amat tua dan hari kematianku tentu tidak lama lagi. Aku tahu bahwa kematian tidak dapat dihindarkan, bahwa semua manusia hidup pada suatu ketika pasti mati. Akan tetapi aku takut, karena begaimana mungkin aku tidak hidup lagi? Lalu bagaimana dengan aku? Bagaimana dengan kedudukanku? Ah, kalau saja aku dapat melihat apa yang terjadi setelah mati! Sudah banyak ilmu kupelajari, banyak tempat kujelajahi, namun aku belum berhasil mem-peroleh ilmu untuk menjenguk keadaan sesudah mati. Aku takut, Sui Cin... aku takut..."   Sui Cin duduk diam termenung, alis-nya berkerut. Ia sendiri belum pernah berpikir tentang kematian, bahkan sampai saat inipun ia tidak pernah perduli akan hal itu. Akan tetapi ia tidak pernah me-rasa takut walaupun ia sendiripun tidak tahu apa yang akan terjadi dengan dirinya sesudah mati. Akan tetapi ia tidak takut!   Rasa takut akan kematian ini bukan hanya dirasakan oleh nenek Yelu Kim, melainkan oleh kebanyakan dari kita, ti-dak perduli tua ataupun muda, kaya ataupun miskin, tinggi ataupun rendahnya ke-dudukan. Bahkan rasa takut ini lebih ba-nyak hinggap dalam batin mereka yang berkedudukan tinggi, yang kaya raya, yang terkenal dan dipuja. Sesungguhnya, meng-apa timbul rasa takut akan kematian ini? Benarkah seperti yang dikatakan oleh Yelu Kim bahwa rasa takut ini akan hi-lang kalau kita dapat menjenguk keadaan sesudah mati? Agaknya ini hanya merupakan pendapat kosong belaka. Bagaimana kita dapat takut akan sesuatu yang tidak kita mengerti? Kita hanya takut akan sesuatu yang kita mengerti, yaitu kesengsaraan, kehilangan, takut kalau-kalau hal semacam itu akan terjadi. Kita hanya takut akan hal-hal yang belum terjadi, karena rasa takut sesungguhnya merupakan akibat permainan pikiran yang mengkhayalkan hal-hal buruk yang belum ter-jadi, pikiran yang mengada-ada. Rasa ta-kut timbul karena kita tidak mau kehi-langan hal-hal yang menyenangkan kita, hal-hal yahg telah mengikat batin kita, seperti kcluarga, kedudukan, kekayaan, nama besar dan sebagainya. Kita takut kehilangan semua ini kalau kita mati, ki-ta takut akan merasa kesepian karena ti-dak adanya semua yang kita cinta itu, cinta mengandung kesenangan, cinta yang timbul karena ingin disenangkan.   Jelaslah bahwa rasa takut akan kematian timbul dari ikatan-ikatan itu, ikatan yang kita adakan karena kesenangan, karena kita ingin selalu memiliki kesenangan itu. Kita terikat kepada harta benda kita, maka kita takut kalau kehilangan harta benda itu, terikat kepada keluarga, isteri, suami, anak-anak, terikat kepada kedudukan, kemuliaan, kepada nama besar, dan kita takut kalau kehilangan itu semua. Andaikata semua yang kita anggap menyenangkan itu dapat ikut bersama kita mati, kiranya rasa takut akan kematian itupun tidak akan pernah ada!   Karena itu, dapatkah kita bebas daripada ikatan? Sehingga dengan bebas dari ikatan kita tidak akan tercekam rasa takut, bahkan tidak lagi terpengaruh oleh perpisahan dan kehilangan, sehingga tidak akan menderita kesengsaraan, kekecewaan dan kedukaan sewaktu masih hidup?   Kita semua tahu bahwa kematian tak dapat dihindarkan. Berarti bahwa perpisahan dengan apa dan siapapun juga tidak mungkin dapat pula dielakkan. Sekali waktu pasti terjadi perpisahan itu, entah kita yang ditinggalkan ataukah kita yang meninggalkan. Karena sudah pasti terjadi perpisahan ini, maka sebelum terjadi perpisahan jalan satu-satunya untuk menghindarkan duka dan rasa takut adalah kebebasan. Bebas dari ikatan. Kalau sesuatu telah mengikat kita, maka sesuatu itu akan berakar dalam hati dan kalau tiba saatnya perpisahan, sesuatu itu dicabut, sudah tentu hati kita akan terluka, akar itu akan jebol dan hati kita akan pecah berdarah.   Bebas dari ikatan bukan berarti lalu meninggalkan semua itu selagi masih hidup atau lalu acuh tak acuh, atau meninggalkan keluarga dan harta milik, meninggalkan dunia ramai dan lari ke puncak gunung atau ke tepi laut yang sunyi untuk hidup menyendiri dan bertapa. Ikatan yang dimaksudkan adalah ikatan batin. Melarikan diri hanya melepaskan ikatan lahir saja. Apa gunanya menyingkir di puncak gunung kalau hati masih terikat? Hanya sengsara yang akan dirasakan!   Bebas dari ikatan berarti tidak memiliki apa-apa secara batiniah. Secara lahiriah memang kita memiliki isteri, suami, anak-anak, keluarga, harta benda, kedudukan, nama dan sebagainya lagi, akan tetapi secara batiniah kita berdiri sendiri, tidak terikat oleh apapun juga. Bukan berarti acuh tidak acuh, bukan berarti tidak mencinta. Justeru cinta kasih sama sekali bukan ikatan! Ikatan ini hanyalah nafsu ingin senang, kesenangan untuk diri sendirt tentunya. Karena ingin senang, maka segala yang menyenangkan diri sendiri ingin dimiliki selamanya, den timbullah ikatan.   Bebas dari ikatan ini berarti mati dalam hidup. Dan kalau selagi hidup sudah bebas dari ikatan, maka kematian bukan apa-apa. Karena tidak memiliki apa-apa maka tidak akan kehilangan apapun. Orang yang berduka karena kehilangan adalah orang yang merasa memiliki yang hilang itu, terbelenggu oleh ikatan batin yang erat. Padahal, di dalam kehidupan ini tiada apapun yang langgeng, segala sesuatu yang kita punyai hanyalah untuk sementara saja, atau seperti juga berang titipan yang sewaktu-waktu akan diambil kembali oleh Sang Pemilik Abadi.   Yang bebas dari ikatan ini, yang tidak memiliki apa-apa ini, tidak membutuhkan apapun, karena segalanya sudah ada padanya, bagaikan sebuah guci yang sudah penuh, dapat menikmati kehidupan ini, dapat menikmati segala seuatu tanpa keinginan memilikinya. Karena tidak memiliki apa-apa maka dunia ini sudah menjdadi miliknya. Dan hanya yang bebas dari ikatan ini yang mengenal apa itu sesungguhnya yang dinamakan cinta kasih.   Tidak semua orang dapat bebas dari ikatan. Bahkan banyak orang-orang yang dianggap dan merasa dirinya pandai, maju dan sebagainya, masih terbelenggu oleh ikatan-ikatan. Seperti juga nenek Yelu Kim, biarpun ia pandai dan berkedudukan tinggi, namun ia belum mampu membebaskan diri dari ikatan sehingga timbul rasa takut akan kematian yang pada hakekatnya takut kehilangan segala yang mengikatnya itu.   Sui Cin memandang wajah nenek itu yang kini menjadi ag&k pucat dan wajah itu membayangkan kedukaan. "Subo, aku sendiri tidak takut terhadap kematian. Aku tidak mengerti tentang kematian, perlu apa takut? Biarlah kuserahkan hidup dan matiku kepada Thian yang Maha Kuasa."   Nenek itu kini dapat tersenyum dan mengangguk. "Akupun sudah berusaha berbuat demikian, akan tetapi hatiku selalu masih meragu, Sui Cin. Sudahlah, hatiku sudah mulai tenang, dan aku teringat kepada pemuda perkasa itu. Sui Cin, apakah engkau merasa menyesal setelah melukainya dan apa yang akan kaulakukan sekarang?"   "Aku bingung, subo. Jarum-jarum merah itu beracun dan berbahaya sekali, padahal, aku telah kehilangan bekal obat penawarnya. Kalau dia tidak cepat mendapatkan obat yang tepat, dan sampai tewas oleh jarum-jarumku, sungguh aku merasa menyesal bukan main. Di antara kami tidak ada permusuhan, bahkan aku berhutang nyawa kepadanya..." Sui Cin tidak mau menceritakan bahwa pemuda itu menolongnya dari ancaman bahaya yang lebih hebat daripada nyawa, yaitu ketika ia hampir diperkosa oleh Sim Thian Bu, jai-hwa-cat yang menjadi saudara seperguruan sendiri dari Ci Kang.   Nenek itu tersenyum. "Jangan khawatir, muridku. Tidak percuma engkau menjadi murid Yelu Kim! Coba keluarkan jarum merahmu, setelah mengenal macam racunnya, kiranya aku akan dapat memberikan obat penawarnya."   Giranglah hati Sui Cin dan ia cepat mengeluarkan beberapa batang jarum merah halus kepada nenek itu. Yelu Kini menerima jarum-jarum itu dan membawanya masuk ke dalam kamarnya untuk mempelajari racunnya tanpa gangguan. Tak lama kemudian, nenek itu sudah keluar membawa obat penawarnya! "Campur bubukan ini dengan secawan arak, minumkan padanya dan dia pasti akan sembuh. Kalau dia masih lemah, masak akar ini dengan nasi lalu beri dia makan, tentu kesehatannya akan pulih sama sekali."   Dengan hati kagum terhadap kelihaian nenek itu dan juga dengan girang Sui Cin menerima bungkusan dua macam obat itu. Akan tetapi ia mengerutkan alisnya dan bertanya, "Subo, bagaimana aku dapat memberikan obat-obat ini kepadanya?"   Yelu Kim tersenyum lebar. "Anak bo-doh, apa sukarnya itu? Ingat, aku ini menjadi pemimpin mereka. Apa sukarnya bagimu untuk mengunjungi pemuda itu di perkemahan orang-orang Khin? Nah, kau-bawa ini dan perlihatkan kalau ada yang menghalangi kunjunganmu,. Katakan bah-wa aku yang mengutusmu untuk mengo-bati pemuda itu."   Sui Cin menerima sebuah lambang berupa seekor harimau terhang dari ne-nek itu. Ia memandang kagum. Ia sudah tahu bahwa gurunya adalah pemimpin Perkumpulan Heriman Terbang yang ditakuti oleh para suku utara, akan tetapi baru sekarang ia melihat lambang perkumpulan itu. Ia mengantongi obat-obat dan lam-bang itu, lalu memberi hormat kepada Yelu Kim.   "Terima kasih atas bantuan subo se-hingga aku mendapatkan kesempatan un-tuk membalas budi Siangkoan Ci Kang dan menebus kesalahanku telah malukainya."   "Berangkatlah sekarang. Perkemahan orang-orang Khin berada di ujung barat dan malam ini semua kepala suku berkumpul untuk mengadakan rapat seperti yang kuperintahkan tadi. Engkau mempunyai banyak waktu dan kesempatan untuk mengobati dan merawatnya tanpa banyak gangguan."   Tepat seperti yang dikatakan nenek itu, ketika Sui Cin berkunjung ke perke-mahan suku Khin, begitu ia dikenal seba-gai murid nenek Yelu Kim yang dapat menunjukkan lambang Harimau Terbang, ia di diterima dengan gembira den penuh hormat. Apalagi ketika ia menyatakan maksud kunjungannya adalah untuk meng-obati Siangkoan Ci Kang, Moghu Khali sendiri menyambutnya dan mengantarkan-nya ke dalam kamar Ci Kang.   Keadaan Ci Kang amat menyedihkan. Pemuda itu rebah terlentang di atas se-buah pembaringan, hanya memakai sepa-tu dan celananya saja. Tubuh atasnya te-lanjang, tertutup selimut sampai ke dada dan wajahnya agak pucat, kedua matanya terpejam dan dia masih pingsan.   "Kami telah mencabuti beberapa batang jarum halus merah dari dadanya, akan tetapi ahli pengobatan kami tidak sanggup menyadarkannya. Agaknya jarum-jarum itu mengandung racun yang jahat. Bagaimana nona akan dapat menyembuhkannya?" tanya kepala suku itu dengan khawatir.   Sui Cin tersenyum. "Jangan khawatir, aku mempunyai obat penawarnya."   Kepala Suku Khin itu memandang tajam, kemudian dia bertanya dengan ragu-ragu. "Jadi... nona ini... adalah penunggang harimau yang telah mengalahkannya tadi?"   Sui Cin mengangguk, hanya tersenyum dan mengangguk.   "Ahhh...!" Seru Moghu Khali dengan takjub. Dia seorang yang amat menghargai kegagahan dan sama sekali ia tidak mengira bahwa penunggang harimau yang telah mengalahkan jagoannya itu adalah gadis cantik jelita yang kelihatan lemah ini. "Sungguh beruntung aku dapat berhadapan dengan seorang yang berkepandaian tinggi seperti nona," katanya sambil memberi hormat.   Sui Cin merasa suka kepada kepala suku yang tinggi besar dan nampak kuat sekali akan tetapi yang bersikap jujur dan ramah ini.   "Sekarang harap aku diberi kebebasan untuk mengobatinya."   "Baiklah, silakan nona," Moghu Khali lalu memanggil seorang pelayan wanita untuk membantu Sui Cin. Kemudian dia meninggalkan kamar itu. Kepada pelayan yang biarpun tidak lancar dapat pula berbahasa Han itu Sui Cin minta disediakan arak yang baik, juga minta disediakan alat memasak obat di dalam kamar itu. Setelah semua ini tersedia, iapun menyuruh pelayan wanita meninggalkannya dengan Ci Kang berdua saja. Ia lalu menutupkan daun pintu kamar, dan membuka jendela kamar lebar-lebar agar hawa di dalam kamaar menjadi segar.   Ia memeriksa luka-luka kecil di dada Ci Kang. Jantungnya berdebar dan mukanya menjadi merah tanpa disadarinya ia melihat dan meraba dada yang bidang dan kokoh kuat itu. Belum pernah ia berada sedekat ini dengan pria, apalagi meraba dada yang tak berbaju. Ia melihat bekas-bekas tusukan jarumnya, kemerahan dan agak menghitam. Dikeluarkannya obat bubuk pemberian nenek Yelu Kim, dicampurnya obat itu dengan secawan arak. Dengan hati-hati ia lalu menggunakan tangan kanan untuk membuka rahang pemuda itu dan setelah mulut terbuka, ia menuangkan arak obat itu perlahan-lahan, ke dalam mulut. Untung baginya bahwa pemuda itu agaknya hanya setengah pingsan saja, karena buktinya dia dapat menelan arak yang memasuki kerongkongannya.   Setelah semua arak obat dalam cawan pindah ke dalam perut Ci Kang, Sui Cin lalu menyingkap selimut yang menutupi dada, dan menempelkan kedua telapak tangannya ke atas luka-luka kecil merah itu dan mengerahkan sin-kang untuk menyedot racun. Lambat laun ia merasa betapa kulit dada itu panas sekali, makin lama semakin panas sehingga ia hampir tidak tahan. Akan tetapi Sui Cin bertahan terus mengerahkan sin-kangya sampai akhirnya ia merasa betapa telapak tangannya yang menempel pada dada Ci Kang itu menjadi basah dan ketika ia melihatnya, ternyata telapak tangannya berdarah. Kiranya darah telah dapat disedot dari luka-luka kecil itu dan ia tahu bahwa ini bukan hanya karena tenaga sin-kangnya, melainkan terutama sekali karena manjurnya obat penawar racun yang mulai bekerja dengan cepatnya.   "Uhhh...!" Ci Kang mengeluh dan menggerakkan bibirnya. Bulu matanya bergerak- gerak dan dia mulai sadar. Sui Cin hanya memandang tanpa melepaskan kedua telapak tangannya dari dada pemuda itu.   Sepasang mata itu kini perlahan-lahan- terbuka dan Ci Kang memandang nanar ke atas. Akan tetapi kesadarannya pulih kembali dan ketika pandang matanya bertemu dengan wajah cantik yang berada tidak jauh dari mukanya, dia terbelalak, mengejap-mengejapkan matanya seperti ingin memastikan apakah dia tidak sedang bermimpi. Apalagi ketika dia teringat akan wajah cantik itu. Inilah puteri Pendekar Sadis itu, yang pernah ditolongnya, juga pernah menolongnya, dan pernah pula mereka berdua saling bertanding karena memang keduanya berdiri di dua pihak yang saling bertentangan. Gadis gagah perkasa yang amat menarik hatinya itu! Dan kini gadis itu meletakkan kedua tangan ke atas dadanya, dan dari getaran yang keluar dari telapak tangan itu diapun maklum bahwa gadis ini sedang berusaha untuk menyembuhkannya! Dan diapun teringat bahwa dia roboh karena menjadi korban serangan jarum halus yang harum dan merah.   "Kau... kau nona Ceng... kau... mengobati aku...?" tanyanya dengan suara berbisik dan dia merasa betapa tubuhnya lemah sekali. "Diamlah, jangan bergerak dulu. Lihat, racun itu sudah tersedot keluar dari tubuhmu!" Sui Cin melepaskan kedua tangannya dan Ci Kang melihat betapa ada darah merah kehitaman pada kedua tepalak tangan yang tadi menempel di tubuhnya, yang dia rasakan amat halus dan hangat. Sui Cin mencuci kedua tangannya. Obat dari nenek itu telah bekerja dan ia maklum bahwa obat itu memang mujarab sekali.   "Tapi... mengapa... bagaimana engkau dapat berada di sini, nona? Dan mengapa engkau bersusah payah mengobati orang macam aku?" Ada rasa haru menyelinap di dalam hati Ci Kang. Sama sekali ia tidak pernah dia mimpi bahwa seorang nona seperti Ceng Sui Cin ini mau mengobatinya seperti itu.   "Ci Kang, apa salahnya kalau aku mengobatimu? Bukankah engkau pernah pula menolongku dahulu? Sudah sewajarnya kalau sekarang aku mencoba untuk menyembuhkan dan aku gembira sekali telah berhasil. Racun jarum itu berbahaya sekali dan tanpa obat penawar yang tepat, bisa berbahaya bagi keselamatan nyawamu."   "Engkau sungguh lihai, nona, di samping ilmu silat yang tinggi, juga masih memiliki keahlian mengobati luka beracun."   "Ah, tak perlu memuji," kata Sui Cin sambil duduk kembali di tepi pembaringan dan menggunakan kain bersih untuk membersihkan darah dari dada Ci Kang. "Aku dapat mengobati karena tentu saja aku mengenal bekerjanya jarum-jarumku sendiri."   Pemuda itu terkejut. "Kau...? Jadi engkaukah penunggang harimau itu, nona? Ahh, sungguh tak kusangka. Akan tetapi, bagaimana engkau dapat berada di sini, bahkan menjadi jagoan nenek Yelu Kim? Sungguh membingungkan!"   "Aku sendiripun bingung melihat engkau menjadi jagoan suku Khin. Aku pernah diselamatkan nenek Yelu Kim dan aku membalas budinya dengan membantunya di dalam perebutan kedudukan pimpinan itu. Ketika melihat engkau juga menjadi jagoon, aku terheran-heran. Kemudian engkau keluar sebagai pemenang seperti yang sudah kuduga dan aku terpaksa mentaati permintaan nenek Yelu Kim untuk maju dan menghadapimu."   "Dan aku roboh. Engkau sungguh lihai sekali, nona."   "Sudahlah, pujianmu membuat aku malu. Kalau tidak mengandalkan jarum-jarum itu sebagai senjata yang curang, tentu aku sudah kalah. Engkaulah yang lihai sekali, Ci Kang. Akan tetapi bagaimana engkau tiba-tiba saja menjadi jagoan yang diajukan oleh orang-orang Khin? Amat lucu dan aneh keadaan kita berdua ini, tiba-tiba saja berada di antara suku-suku bangsa liar di utara dan menjadi jagoan-jagoan mereka."   Ci Kang menarik napas panjang, agaknya tidak merasa lucu seperti Sui Cin melainkan merasa berduka. "Ah, semua ini adalah gara-gara ayahku. Kalau tidak karena ayahku, tidak mungkin aku sampai terlibat dalam urusan para suku utara ini, bahkan tidak mungkin aku bisa berkeliaran sampai ke utara ini." Suara Ci Kang mengandung penuh penyesalan.   "Ah, kenapa engkau menyalahkan ayahmu?" Sui Cin bertanya heran.   Kembali pemuda itu menarik napas panjang, diam-diam merasa heran mengapa tubuhnya menjadi semakin lemas saja. "Ayahku dikenal sebagai Siangkoan Lo-jin, lebih celaka lagi dikenal sebagai Iblis Buta. Ayahku dikenal pula sebagai seorang datuk sesat. Sejak dahulu aku tidak setuju dengan cara hidup ayah dan selalu menentangnya. Akan tetapi hal itu malah membuat ayah marah dan menyebabkan aku terpaksa melarikan diri dari ayah. Aku mencoba untuk mencuci nama ayahku dengan bergabung kepada para pendekar, menentang kejahatan. Akan tetapi, karena nama ayah sudah begitu tersohor busuk, aku malah dimusuhi ketika tiba di bekas benteng Jeng-hwa-pang untuk menghadiri pertemuan para pendekar. Dengan rasa malu dan duka, aku berkeliaran sampai di sini dan bersahabat dengan kepala suku Khin sehingga akhirnya aku menjadi jagoannya. Bukankah menyedihkan sekali keadaanku? Sayang jarum-jarummu masih terhalang oleh baju kulit harimauku sehingga tidak masuk lebih dalam. Kalau kuingat keadaanku, lebih baik kalau jarum-jarum itu menewaskanku saja. Mati di tanganmu adalah mati terhormat karena engkau adalah seorang pendekar wanita gagah perkasa, puteri Pendekar Sadis...!"   "Sudahlah, Ci Kang. Tak perlu menye-sali diri dan tidak ada baiknya pula mencela ayah kandung sendiri yang sudah tidak ada, apalagi bagaimanapun juga ayahmu meninggal dengan gagah perkasa, be-rani menentang Raja dan Ratu Iblis. Sayang bahwa dia meninggal karena kecurangan Raja Iblis..."   "Apa...?" Sepasang mata Ci Kang terbelalak. "Kematian ayah karena kecurangan Raja Iblis? Apa maksudmu?"   Baru Sui Cin mengerti bahwa pemuda ini belum tahu bagaimana ayahnya me-ninggal. Ia memandang dengan hati kasihan. Walaupun pemuda ini putera datuk sesat, akan tetapi telah meninggalkan kesan baik dalam hatinya dalam pertemuan- yang pertama, ketika pemuda ini menyelamatkannya dari bencana perkosaan. Dan apa yang diceritakan Ci Kang tadi bahwa dia selalu menentang ayahnya sampai di-musuhi, membuat hatinya merasa semakin kasihan dan suka.   "Aku melihat sendiri peristiwa itu, Ci Kang. Dalam pertemuan para datuk sesat itu, Raja dan Ratu Iblis hendak menguasai mereka, menjadi pimpinan dan hendak mengajak para datuk untuk memberontak. Akan tetapi ayahmu menentang dan dia lalu diserang oleh Ratu Iblis. Mereka berkelahi dengan hebat dan nyaris Ratu Iblis tidak mampu menandingi ayahmu, akan tetapi diam-diam ia dibantu Raja Iblis yang curang dan ayahmu tewas."   "Ayah!" Ci Kang bangkit duduk, wajahnya berseri, tangannya dikepal. "Akhirnya! Akhirnya engkau juga menentang mereka dan bahkan mengorbankan nyawa dalam menentang mereka. Aku bangga, ayah, aku bangga...!" Pemuda itu tiba-tiba memejamkan kedua matanya dan terjengkang ke belakang, terjatuh rebah lagi dan mukanya kini menjadi pucat sekali, kedua tangannya menekan-nekan pelipis kepala.   "Eh, Ci Kang, engkau kenapakah...?"   Sui Cin bertanya kaget setelah tadi terheran-heran melihat sikap Ci Kang bergembira mendengar ayahnya tewas oleh kecurangan Raja Iblis. Ia memegang tangan pemuda itu dengan khawatir karena wajah pemuda yang tadinya sudah nampak segar itu kini menjadi layu kembali.   "Tidak tahu... tubuhku lemas sekali... tenagaku hilang dan kepalaku... pusing..."   Tiba-tiba Sui Cin teringat akan pesan nenek Yelu Kim yang sudah memberinya obat berupa akar-akaran yang harus dimasak dengan nasi untuk menyembuhkan Ci Kang kalau tubuhnya terasa lemah den lemas. Tentu akibatnya atau pengaruh obat penawar tadi, pikirnya.   "Jangan khawatir, Ci Kang. Kau rebah saja yang enak, aku akan membuatkan obat untuk menyembuhkanmu dan memulihkan tenagamu." Ia memasang bantal di punggung dan kepala Ci Kang sehingga pemuda itu dapat duduk setengah rebahan dengan enak. Lalu sibuklah gadis itu memasak akar dicampur nasi dan masakan yang sudah disediakan oleh pelayan tadi. Sebentar saja selesailah pekerjaannya dan ia membawa mangkok nasi berikut akar dan sayuran itu ke pembaringan. Dengan sepasang sumpit, diaduknya nasi itu agar agak dingin. Ci Kang masih rebah dengan kedua mata terpejam itu.   "Ci Kang, obatnya sudah masak. Mari kau makan ini, tentu engkau akan sembuh sama sekali." katanya.   Ci Kang membuka mata, nampak lemas sekali dan ketika dia mengulur tangan menerima mangkok itu, hampir saja mangkok itu terlepas dan tumpah karena tangannya juga gemetar. Melihat ini, Sui Cin cepat mengambil kembali mangkok itu.   "Ah, engkau benar-benar kehilangan tenagamu. Biarlah kubantu kau, Ci Kang." Sui Cin lalu menggunakan sumpit untuk menyuapkan makanan ke mulut pemuda itu.   "Sungguh engkau membuat aku merasa malu, nona. Perawatanmu seperti ini... aku... aku berterima kasih sekali..." kata Ci Kang yang merasa sungkan.   "Aihhh, engkau sedang sakit, sudahlah jangan banyak memikirkan hal-hal yang tidak perlu. Makanlah ini." kata Sui Cin dan mulai menyuapkan nasi berikut obat dan sayur-mayur itu ke mulut Ci Kang yang menerimanya dengan hati penuh rasa terima kasih.   Ci Kang sedang menderita sakit sedangkan Sui Cin sedang mencurahkan seluruh perhatiannya kepada pemuda itu, maka mereka berdua yang berilmu tinggi dan biasanya amat waspada itu tidak mendengar sama sekali bahwa di luar jendela terdapat sesosok bayangan orang yang baru tiba dan kini bayangan itu mengintai dari balik jendela. Bayangan orang itu adalah Cia Hui Song dan setelah melihat keadaan di dalam kamar itu, Hui Song mengerutkan alisnya dan matanya mengeluarkan sinar marah! Hati siapa yang tidak akan marah melihat gadis yang sudah lama menjatuhkan hatinya itu, gadis pujaan hati yang diam-diam amat dicintanya, kini duduk di tepi pembaringan dan menyuapkan makanan kepada Ci Kang! Begitu mesra nampaknya. Hui Song bukan seorang pemuda yang sembrono dan singkat pandangan. Dia tahu bahwa Ci Kang tadi roboh terluka dan agaknya pemuda itu kini menderita sakit cukup berat, maka kalau dia disuapi makanan, hal itu tidak membuatnya heran atau ribut-ribut. Akan tetapi, justeru yang menyuapkan makanan adalah Sui Cin! Apa artinya ini! Bukankah tadi yang merobohkan Ci Kang adalah wanita penunggang harimau yang dia yakin adalah Sui Cin juga. Mending kalau Sui Cin merawat orang lain, akan tetapi yang dirawat ini adalah Ci Kang, tokoh sesat muda yang lihai dan berbahaya lagi jahat itu! Hati siapa tidak akan panas?   Hati Sui Cin merasa lega dan girang ketika melihat perubahan pada wajah Ci Kang. Kini warna pucat itu berangsur-angsur hilang dari wajah yang ganteng itu, terganti warna kemerahan. Akan tetapi, makin banyak pemuda itu menelan nasi den obat, mukanya menjadi semakin merah dan pandang matanya yang juga kemerahan itu kini menatap wajah Sui Cin dengan aneh sekali, seolah-olah beru sekarang dia mengenal gadis itu!   Sui Cin masih terus menyuapkan makanan, diam-diam merasa heran dan juga agak khawatir. Agaknya kesehatan pdmuda ini mulai pulih, pikirnya, akan tetapi kenapa mukanya menjadi begitu merah, bahkan kedua matanya juga agak kemerahan dan kini napas pemuda itu mulai terengah-engah? Dan yang amat menggelisahkan hatinya adalah pandang mata Ci Kang itu. Pandang mata itu se-perti merayap-rayap dan seolah-olah te-rasa olehnya betapa pandang mata itu menyentuh dan meraba-raba di seluruh mukanya, matanya, telinganya, pipinya, bibirnya bahkan lehernya. Diam-diam ia bergidik dan jantungnya berdebar keras dan tegang.   Hui Song yang mengintai dari luar jendela harus menekan perasaannya agar kemarahannya tidak sampai membuat dia berbuat sesuatu. Dia tiba di tempat ini bukan hanya kebetulan saja. Rombongan suku bangsa Mancu Timur yang dipimpin oleh Lam-nong telah diam-diam pergi meninggalkan para suku lain, bersama suku-suku lain yang juga tidak setuju kalau pimpinan dipegang oleh Yelu Kim akan tetapi tidak berani menentang dengan terang-terangan. Lam-nong mengajak Hui Song pergi, akan tetapi Hui Song tidak mau dan mereka saling berpisah pada hari itu juga. Hui Song masih mempunyai tugas lain, yaitu pertama menyelidiki Yelu Kim sehubungan dengan Perkumpulan Harimau Terbang yang diduganya telah mencuri dan melarikan harta pusaka di Guha Iblis Neraka. Di samping tugas ini, juga dia ingin berjumpa dengan Sui Cin. Dia harus bersikap hati-hati dan sebelum dia bertindak terhadap nenek Yelu Kim, dia harus lebih dahulu menemui Sui Cin dan mendapatkan keterangan mengapa gadis itu membantu nenek Yelu Kim. Akan tetapi, dia tidak berhasil menemukan Sui Cin ketika pada malam hari itu dia melakukan penyelidikan. Akhirnya dia melakukan penyelidikan di perkemahan suku bangsa Khin untuk mencari keterang-an tentang Siangkoan Ci Kang dan bagaimana putera datuk sesat ini dapat men-jadi jagoan orang-orang Khin. Hal ini se-hubungan dengan tugas yang diberikan o-leh gurunya kepadanya, yaitu menyelidiki keadaan para suku bangsa yang agaknya hendak bergerak pula melakukan pemberontakan ke selatan.   Dan tanpa disengaja dia menjenguk ke dalam kamar itu dan melihat Sui Cin sedang merawat Ci Kang yang sakit, se-dang menyuapkan makanan kepada putera Iblis Buta itu dengan sikap demikian me-sra yang membuat perutnya terasa panas.   Sementara itu, keadaan Ci Kang semakin aneh. Pemuda ini merasa gelisah bukan main dan napasnya semakin memburu, matanya melotot menatap wajah Sui Cin tanpa berkedip. Melihat ini, Sui Cin menjadi gelisah sekali. Nasi itu su-dah hampir habis dan ia meletakkan mangkok di atas pembaringan. Lalu dira-banya dahi Ci Kang dengan telapak ta-ngan kirinya. Terkejutlah ia merasa be-tapa dahi itu panas sekali dan kulit tu-buh pemuda itu dari kepala sampai ke dada nampak merah!   Ci Kang sendiri sejak tadi gelisah bu-kan main. Setelah perutnya terisi nasi dan obat, tenaganya pulih kembali de-ngan cepat, akan tetapi bersama kemba-linya tenaganya, datang pula suatu pera-saan yang amat aneh. Tubuhnya terasa panas dan jantungnya berdegup seperti akan pecah, dan timbul gairah rangsangan yang amat kuat, makin lama makin kuat, yang membuat Sui Cin nampak semakin jelita menggairahkan, yang mendatangkan dorongan hasrat dalam hatinya untuk merangkul dan bemesraan dengan Sui Cin. Namun, dengan kekuatan batinnya Ci Kang mempertahankan diri, tidak mau tunduk terhadap rangsangan gairah yang mendorongnya itu, rangsangan berahi yang tiba-tiba saja menyerangnya secara hebat.   Ketika Sui Cin meraba dahinya, gadis itu seolah-olah merupakan minyak bakar disiramkan kepada nafsu berahi yang sedang bernyala sehingga menjadi semakin berkobar. Dan Ci Kang yang sejak tadi mempertahankan diri, kini tidak kuat lagi.   "Nona...!" Serunya dan tiba-tiba saja kedua lengannya bergerak merangkul, gadis itu sudah dipeluknya dengan ketat dan dia sudah menciumi muka Sui Cin dengan penuh nafsu berahi. Karena dirinya dipengaruhi nafsu maka belaian dan ciuman Ci Kang kasar sekali. Sejenak Sui Cin terbelalak dan tak mampu bergerak saking kagetnya, akan tetapi ciuman-ciuman yang panas pada pipinya, bibirnya, le-hernya, membuat ia tiba-tiba menjerit dan meronta untuk melepaskan dirinya. Akan tetapi pelukan Ci Kang itu kuat sekali dan terjadilah pergulatan. Karena keduanya menggunakan tenaga terdengar suara "brettt..." dan kain baju bagian leher dan sebagian dada yang menutupi tubuh Sui Cin terobek! Melihat kulit leher dan dada bagian atas ini, Ci Kang seperti menjadi buas dan dia menciumi bagian itu seperti orang gila.   "Lepaskan...! Ah, lepaskan...!" Sui Cin meronta sekuat tenaga dan pada saat itu terdengar suara keras disusul jebolnya tirai dan papan di atas jendela ketika Hui Song menerjang masuk. Sui Cin telah berhasil melepaskan dirinya dari pelukan Ci Kang dan ia meloncat turun dari pembaringan dan menjauhi pemuda itu. Ci Kang sendiri terkejut mendengar suara gaduh itu dan diapun meloncat turun dan berdiri dalam keadaan siap siaga. Pada saat itu, Hui Song meloncat dan menyerbu ke arah Ci Kang, menggerakkan sebatang tongkat kayu yang disambarnya dari luar tadi, menyerang Ci Kang. Tongkat kayu itu menghantam ke arah kepala Ci Kang dan terdengar suara Hui Song memaki.   "Jahanam busuk, kuhancurkcn kepalamu!"   Melihat datangnya serangan potongan kayu sebesar lengan yang menyambar kepalanya dengan dahsyat itu, Ci Kang cepat melemparkan selimut yang masih menempel di tubuhnya, kemudian dia mengelak sambil melompat ke belakang.   Hui Song yang sudah marah sekali terus menerjang lagi dengan hebatnya. Ke-tika dia melihat Sui Cin merawat Ci Kang yang sakit, biarpun hatinya terasa panas, namun dia masih mampu mengendalikan dirinya. Ketika dia melihat Ci Kang tiba-tiba bangkit duduk dan merangkul Sui Cin, menciumi gadis itu dan melihat Sui Cin meronta-ronta, darah dalam tubuh Hui Song mendidih. Dia menyam-bar sepotong kayu dari dekatnya dan me-nerjang ke dalam kamar, langsung saja menyerang Ci Kang tanpa bertanya-tanya lagi. Apalagi yang perlu ditanyakan kalau sudah jelas betapa Ci Kang berbuata kurang ajar terhadap Sui Cin dan gadis itu meronta dan menolak? Agaknya Ci Kang hendak memperkosa Sui Cin dan untuk perbuatan itu, Ci Kang harus dibunuhnya!   "Hyaattt...!" Kembali tongkat itu meluncur dan menyambar ke arah kepala Ci Kang yang masih berdiri kaget dan bingung. Pemuda ini masih bingung karena semua peristiwa yang terjadi ini sungguh berada di luar kemampuannya untuk menguasainya. Tadipun ketika dia merangkul dan menciumi Sui Cin, hal itu dilakukan dalam keadaan perang di dalam batinnya, sepihak didorong oleh nafsu berahi yang berkobar, di pihak lain batinnya menentang keras. Ketika Hui Song muncul, dia merasa terkejut, malu dan bingung, tidak tahu harus berkata atau berbuat apa. Betapapun juga, tenaganya sudah pulih kembali dan melihat sambaran tongkat, maklumlah dia bahwa Hui Song yang marah itu menyerangnya dengan sungguh-sungguh, dengan pengerahan tenaga sin-kang dan dia tahu betapa bahayanya kalau sampai kepalanya terkena hantaman kayu yang menpndung tenaga sin-kang amat kuatnya itu.   "Ihhh...!" Ci Kang terpaksa menggerakkan lengan kanannya untuk menengkis, karena mengelak dari sambaran tongkat seperti itu di ruangan yang sempit ini sungguh berbahaya sekali.   "Dukkk...!" Keras sekali pertemuan antara tongkat dan lengan tangan itu. Ci Kang merasa betapa lengannya tergetar hebat, akan tetapi tongkat kayu itupun pecah berantakan! Hui Song membuang sisa tongkat itu yang tadi hanya dipergu-nakan karena dia sudah hampir lupa diri saking marahnya. Padahal, menggunakan kedua tangannya bahkan lebih dahsyat dan lebih berbahaya daripada tongkat yang mati itu.   Ci Kang yang merasa bahwa telah melakukan hal yang amat memalukan, merasa bahwa dia bersalah, tidek berniat melawan, dan dia bahkan merasa malu sekali kepada Sui Cin. Dilihatnya Sui Cin berdiri di sudut kamar itu dengan mata dan muka pucat, kedua tangan berusaha menyatukan lagi baju yang terobek. Ci Kang merasa jantung seperti ditusuk me-lihat baju yang robek itu, suatu bukti bahwa hal tadi memang telah terjadi, bahwa dia tadi telah melakukan sesuatu yang amat memalukan. Bahkan sekarangpun, darahnya tersirap dan mukanya te-rasa panas melihat kecantikan Sui Cin. Dia tahu bahwa tidak ada gunanya me-nerangkan segalanya, tidak ada gunanya membela diri.   "Nona, maafkan aku...!" katanya de-ngan suara gemetar dan tubuhnya mela-yang keluar dari dalam kamar itu.   "Jahanam busuk, hendak lari ke mana kau? Dosamu harus kautebus dengan nya-wa!" Hui Song membentak dan melakukan pengejaran dengan loncatan jauh keluar dari dalam kamar itu.   Sui Cin yang sejak tadi tercengang dan masih terpengaruh oleh peristiwa yang amat mengejutkan dan membingungkan hatinya itu, kini baru tersadar dan iapun turut pula meloncat dan melakukan pengejaran, tangan kirinya memegang dan merapatkan bagian baju yang terobek tadi.   Akan tetapi ternyata oleh mereka ketika mereka tiba di luar, Ci Kang sudah tidak lagi nampak bayangannya. Pemuda itu masih dalam keadaan bingung dan menyadari kesalahannya itu, agaknya tidak mau melayani mereka, bahkan merasa malu untuk bertemu muka dengan Sui Cin, maka dengan cepat sekali dia telah melarikan diri menghilang ke dalam kegelapan malam yang mulai menyelimut tempat itu.   "Jahanam, jangan lari kau!" Hui Song membentak dan mencari-cari, akan tetapi dia tidak tahu ke jurusan mana Ci Kang melarikan diri dan pada saat itu, terdengar suara ribut-ribut karena suara gaduh mereka tadi telah menarik perhatian para penjaga dan kini banyak pengawal Bangsa Khin mulai berdatangan.   "Song-ko, mari kita pergi dari sini!" Sui Cin berkata. Ia telah mengikat baju yang robek dengan saputangan. "Tak perlu dicari lagi!"   Suara Sui Cin ini membuat jantung Hui Song berdebar keras saking girangnya. Sui Cin telah mengenalnya! Ini berarti bahwa gadis itu telah memperoleh kembali ingatannya! Akan tetapi di samping rasa girangnya, dia masih merasa terbakar oleh kemarahan.   "Tidak, aku harus mencarinya sampai dapat dan membunuhnya!" bentaknya marah.   Sui Cin mengerutkan alisnya. Dia sendiri tidak marah kepada Ci Kang, hanya merasa heran. Tidak biasanya Ci Kang bersikap seperti tadi. Dia tidak memperlihatkan sikarp kurang ajar, apalagi berani melakukan hal seperti tadi. Bukankah dahulu Ci Kang bahkan telah menentang Sim Thian Bu mati-matian ketika saudara seperguruannya itu hendak memperkosanya? Akan tetapi, kenapa secara tiba-tiba Ci Kang melakukan hal itu? Dan sikap itu timbul setelah pemuda itu makan nasi dengan akar obat, mula-mula mukanya menjadi merah, juga matanya, dan tubuhnya panas sekali. Apakah tidak ada apa-apa di balik itu? Kini, melihat Hui Song marah-marah dan hendak membunuh Ci Kang tanpa dipertimbangkan lebih dahulu persoalannya, ia merasa tidak senang.   "Kalau begitu carilah sendiri!" Dan Sui Cin lalu membalikkan tubuhnya dan melompat pergi.   "Cin-moi...!" Hui Song gelagapan melihat gadis itu melarikan diri dan dia cepat mengejar, takut kehilangan bayangan Sui Cin dalam kegelapan malam itu. Sui Cin tidak menjawab dan terus melarikan diri. Mereka berkejaran dan meninggalkan perkemahan itu, melalui padang pasir yang halus dan sunyi. Bintang-bintang bertaburan di langit, mcrupakan kumpulan titik-titik terang yang membuat cuaca remang-remang, sejuk dan indah.   Akhirnya, di sebuah lapangan yang penuh batu-batu gunung, Sui Cin berhenti den duduk. Hui Song menyusulnya dan pemuda ini berdiri di depan gadis itu. Mereka saling berpandangan sampai lama tanpa berkata-kata, masing-masing meng-atur pernapasan yang agak memburu ka-rena berlari cepat tadi.   "Cin-moi... ah, engkau telah sembuh dan mendapatkan ingatanmu kembali? Girang sekali hatiku. Dan jahanam itu! Siangkoan Ci Kang, sekali waktu aku akan membunuhnya! Akan tetapi mengapa engkau merawatnya, padahal, bukankah siang tadi engkau pula yang merobohkannya? Engkau maju sebagai penunggang harimau itu, bukan? Cin-moi, mengapa engkau berada di daerah ini, bahkan lebih aneh lagi, mengapa engkau menjadi jagoan yang membantu nenek iblis itu?"   Dihujani pertanyaan bertubi-tubi itu, Sui Cin diam saja. Setelah Hui Song selesai dengan pertanyaan-pertanyaannya, barulah ia menjawab, "Song-ko, ceritaku panjang sekali. Kuharap engktu yang lebih dulu bercerita kepadaku sejak kita berpisah dan mengapa pula engkau dapat berkeliaran di tempat ini?" Sui Cin masih terguncang batinnya oleh peristiwa dengan Ci Kang tadi, maka ia belum sempat memperoleh kembali kegembiraannya dan bersikap serius. Hal inipun dipengaruhi oleh sikap Hui Song yang agaknya amat membenci Ci Kang, padahal ia sendiri, walaupun sikap Ci Kang tadi amat mengejutkan dan membuatnya amat marah, masih belum merasa bahwa ia membenci pemuda putera datuk sesat itu.   Melihat sikap serius gadis itu, Hui Song juga bersikap tenang dan diapun mencari tempat duduk di depan Sui Cin. Sejenak mereka saling berpandangan kembali dan keduanya merasa seolah-olah mereka tidak pernah berpisah, apalagi saling berpisah sampai tiga tahun lebih.   "Aaihh, betapa cepatnya waktu berkelebat," akhirnya Hui Song berkata. "Ingatkah kau bahwa kita telah saling berpisah selama tiga tahun lebih? Akan tetapi, berhadapan denganmu seperti sekarang ini, aku merasa seolah-olah kita tidak pernah saling berpisah, atau baru kemarin saja."   Sui Cin mengangguk karena memang demikian pula perasaan hatinya. "Song-ko, ceritakanlah segala pengalamanmu. Aku ingin sekali tahu mengapa engkau dapat bekerja sama dengan murid Raja Iblis di Guha Iblis Neraka itu, dan bagaimana pula sekarang engkau tiba-tiba berada di daerah ini."   "Ceritaku juga panjang, akan tetapi baiklah akan kusingkat saja. Tiga tahun lebih yang lalu, kita saling berpisah. Engkau diajak pergi oleh locianpwe Wu-yi Lo-jin, sedengkan aku pergi mengikuti Siang-kiang Lo-jin untuk mempelajari ilmu. Nah, selama tiga tahun aku belajar ilmu dari suhu Siang-kiang Lo-jin. Setelah tiga tahun, suhu menyuruh aku untuk menghadiri pertemuan para pendekar di bekas benteng Jeng-hwa-pang sehubungan dengan tekad para pendekar untuk menentang gerakan yang dipimpin oleh Raja Iblis. Dalam perjalanan itu aku bertemu dengan iblis betina itu. Ia menipuku, mengaku sebagai pejuang yang menentang Raja Iblis, karena itu aku membantunya mencari harta karun yang tersembunyi di dalam Guha Iblis Neraka itu. Akan tetapi, harta itu telah diambil orang lain lebih dulu yang meninggalkan lencana Harimau Terbang di daerah utara. Dan aku terjebak, tentu telah tewas kalau tidak ada engkau muncul menolongku. Akan tetapi, engkau sendiri malah tertimpa bencana ketika menolongku, terluka kepalamu oleh pukulan batu musuh sehingga engkau kehilangan ingatan, dan bahkan menyerangku. Nah, pertemuan yang hanya sebentar itu berakhir dan kita saling berpisah lagi. Aku lalu menyelidiki ke utara dan aku sempat terlibat dalam pemberontakan yang terjadi di San-hai-koan." Hui Song lalu menceritakan pengalamannya dt kota benteng itu.   "Nah, karena tidak mungkin lagi menyelamatkan San-hai-koan, aku pergi ke bekas benteng Jeng-hwa-pang, bertemu dengan suhu yang menyuruhku melakukan penyelidikan kepada para suku bangsa di sini. Aku bertemu dan berkenalan dengan Lam-nong, kepala suku Mancu Timur dan ikut dengan rombongannya ke tempat pertemuan para suku untuk memilih pimpinan. Aku ingin menyelidiki Yelu Kim yang kabarnya adalah ketua Harimau Terbang, menyelidiki tentang harta karun dan juga tentang pergerakan para suku di sini dan aku melihat engkau! Melihat pula Ci Kang, jahanam busuk itu..."   "Sekarang dengarkan pengalamanku." Sui Cin memotong cepat ketika mendengar Hui Song mulai hendak memaki-maki Ci Kang lagi. "Seperti juga engkau, aku mengikuti suhu Wu-yi Lo-jin selama tiga tahun untuk menerima gemblengan ilmu. Dan akupun disuruh oleh suhu untuk pergi ke bekas benteng Jeng-hwa-pang. Di tengah jalan aku melihat kuil tempat tinggal murid Raja Iblis itu dan kaki tangannya. Aku merasa curiga dan menyelidiki mereka. Aku mendengar percakapan mereka tentang harta pusaka di Guha Iblis Neraka, maka aku melakukan penyelidikan ke sana. Aku lalu melihat engkau bersama iblis-iblis itu dan selanjutnya engkau tahu. Aku terluka, kehilangan ingatan. Dalam keadaan seperti itu, aku hampir celaka oleh Kiu-bwe Coa-li. Untung ada saudara Cia Sun yang menolongku. Akan tetapi, pada saat itu juga muncul nenek Yelu Kim yang mengobati aku sampai sembuh sama sekali dari racun yang diberikan oleh Kiu-bwe Coa-li, juga sembuh sama sekali dari kehilangan ingatan. Karena budinya ini, aku lalu diangkat menjadi muridnya dan menjadi pembantunya. Aku berjanji membantunya memperoleh kedudukan pimpinan dalam pemilihan jago dan aku berhasil."   "Akan tetapi, kenapa setelah engkau merobohkan Ci Kang, engkau lalu..."   Sui Cin menggerakkan tangan dengan kesal. "Dengarkanlah dulu! Engkau tahu bahwa Ci Kang pernah menyelamatkan aku dan pertandingan antara kami itu bukan urusan pribadi. Dan aku telah merobohkannya dengan menggunakan jarum merah beracun. Aku merasa menyesal karena kalau tidak kuobati, dia mungkin akan celaka. Aku akan merasa menyesal bukan main kalau sampai dia mati dalam pertandingan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan pribadi kami itu. Maka, aku lalu mengobatinya. Sungguh tidak kusangka sama sekali dia... dia akan melakukan hal itu..."   "Dasar orang jahat, anak seorang datuk sesat seperti Iblis Buta, mana bisa baik?"   "Aku tidak yakin, Song-ko, perbuatannya itu seperti tidak sewajarnya..."   "Ah, dia itu putera datuk sesat, tentu seorang yang jiwanya sudah kotor. Kalau dahulu dia menolongmu, bukan karena kebaikan hatinya, melainkan karena dia tidak ingin engkau diganggu orang lain itulah!"   "Sudahlah, Song-ko, aku tidak mau bicara lagi soal itu. Anehnya, aku sendiri tidak mendendam atas peristiwa itu dan masih ragu-ragu, akan tetapi kenapa engkau malah ribut-ribut?"   "Kenapa tidak, Cin-moi? Melihat engkau hendak dipaksa, hatiku sudah terbakar dan aku tentu sudah menghancurkan kepalanya kalau saja dia tidak lari. Siapa tidak cemburu melihat itu...?"   "Cemburu...?"   "Cin-moi, masih haruskah kujelaskan lagi? Perlukah kuulangi lagi? Sui Cin, sejak dahulu sampai sekarang aku tetap mencintamu dan sampai saat inipun engkau belum pernah memberi jawaban yang pasti. Sui Cin, aku cinta padamu dengan sepenuh jiwa ragaku dan aku hampir merasa yakin bahwa cintaku tidak bertepuk tangan sebelah, bahwa engkaupun cinta padaku. Cin-moi, jawablah..." Kini sikap Hui Song yang biasanya gembira jenaka itupun berobah menjadi serius, bahkan di dalam suaranya terdengar nada memelas dan memohon.   Sampai lama Sui Cin menatap wajah pemuda itu. Hatinya diliputi kebimbangan yang membuatnya bingung dan sejenak tidak mampu menjawab. Harus diakuinya bahwa ia merasa amat suka, mungkin mencinta kepada pemuda ini. Hui Song adalah seorang pemuda yang gagah perkasa, budiman, dan berwatak cocok dengannya, riang jenaka dan gembira. Akan tetapi, iapun tahu bahwa ayah ibunya tidak suka kepada orang tua pemuda ini, dan iapun belum tahu apakah orang tua pemuda ini, ketua Cin-ling-pai, suka pula kepada ayah bundanya. Dan baik ia sendiri maupun Hui Song adalah anak-anak tunggal!   "Cin-moi..."   "Song-ko, maafkan aku. Bagaimana mungkin kita bicara tentang hal itu kalau kita berdua masih sibuk dengan urusan perjuangan yang amat penting? Raja Iblis dan sekutunya telah menduduki kota San-hai-koan, dan kekuatan mereka semakin membahayakan keselamatan negara. Lebih baik kita selesaikan tugas kita lebih dahulu. Setelah urusan ini selesai, barulah kita sempat berpikir tentang urusan pribadi. Kalau saatnya tiba, sudah sepatutnya kalau orang-orang tua kita yang saling berunding tentang hal itu, bukan kita sendiri. Bukankah begitu, Song-ko?"   Wajah Hui Song berobah merah. Dia seperti menerima teguran dan merasa tidak enak sendiri. Orang-orang gagah sedunia sedang sibuk bersiap-siap menanggulangi para datuk yang hendak memberontak, dan dia sendiri ribut-ribut bicara tentang cinta!   "Ah, maafkan aku, Cin-moi. Bukan maksudku melupakan perjuangan, hanya aku ingin sekali tahu dan merasa pasti tentang cinta kita... ah, sudahlah. Engkau benar. Biar nasib kita saja yang menentukan kelak. Kalau sudah selesai perjuangan, kita bicara lagi dan aku tentu akan minta orang tuaku pergi kepada orang tuamu untuk meminang. Nah, sekarang mari kita bicara tentang perjuangan. Bagaimana pendapatmu tentang usaha kita untuk menentang Raja Iblis dan kaki tangannya?"   "Aku tidak tahu, Song-ko. Aku menjadi bingung setelah mendengar bahwa Raja Ibils dan para datuk telah bergabung dengan pasukan pemberontak di San-hai-koan dan bahkan sudah menduduki kota benteng itu. Dengan demikian tentu tidak mungkin bagi kita untuk menentang pasukan besar secara begitu saja. Kurasa, lebih besar hasilnya kalau aku melanjutkan perjuangan di sini, membantu nenek Yelu Kim yang akan menggerakkan para suku utara untuk menghantam pasukan pemberontak. Dengan demikian berarti akupun secara tidak langsung menentang kekuasaan Raja Iblis, melawan pasukan pemberontak dengan mengandalkan pasukan suku utara."   "Akan tetapi, para kepala suku itupun bermaksud memberontak dan menyerang ke selatan!" Hui Song berseru.   "Itu adalah soal nanti. Kini yang penting adalah menentang para pemberontak, bukan? Kalau pemberontak sudah dapat dihancurkan dan kalau para suku utara hendak melanjutkan gerakan mereka menyerang ke selatan, masih belum terlambat bagiku untuk meninggalkan mereka. Dengan adanya gerakan dari para suku utara yang menyerang mereka, dan pasukan pemerintah yang menyerang dari selatan, berarti Raja Iblis dan sekutunya akan tergencet dari utara dan selatan."   Hui Song mengangguk-angguk. "Aku dapat melihat kebenaran pendapatmu, Cin-moi. Baikiah, aku akan pergi menghadiri pertemuan para pendekar untuk melihat apa yang akan dibicarakan dan keputusan apa yang akan diambil."   "Song-ko, kalau bertemu dengan suhu, ceritakan keadaanku dan rencenaku menghadapi para pemberontak."   Mereka lalu berpisah. Sui Cin kembali ke perkemahan nenek Yelu Kim sedangkan Hui Song pergi menuju ke bekas benteng Jeng-hwa-pang. Betapapun gembira hatinya telah dapat bertemu kembali dengan Sui Cin dan melihat gadis itu telah sehat kembali, namun ada sedikit kekecewaan dalam hati Hui Song mendengar jawaban Sui Cin tentang cintanya, jawaban yang masih belum meyakinkan hatinya bahwa gadis itupun mencintanya.   Cinta asmara memang lebih banyak mendatangkan rasa kekecewaan dan sengsara dalam hati. Asmara selalu menuntut balasan! Asmara selalu mengandung cemburu, dan asmara yang tidak dibalas merupakan sumber kekecewaan dan kedukaan. Asmara adalah nafsu berahi yang menciptakan ikatan. Namun, asmara amat mengasyikkan, membuai batin setiap orang manusia sehingga manusia seperti dengan rela menentang semua kesengsaraan itu demi mencicipi madu asmara, walau sedikitpun. Hal ini adalah manusiawi, karena nafsu berahi terbawa oleh badan sejak lahir. Yang penting adalah menyadarinya, mengenalnya sebagai satu di antara sifat-sifat badan sehingga kita tidak sampai terseret dan menjadi hambanya, terikat kuat sehingga akhirnya menjadi permainan nafsu.   ***   Pemuda itu menangis seorang diri! Lucu nampaknya, akan tetapi juga mengharukan melihat seorang pemuda bertubuh tinggi beser, yang gagah perkasa seperti Siangkoan Ci Kang itu menangis! Akan tetapi, tangis tak terlepas daripada kehidupan setiap orang manusia, karena hidup ini memang merupakan tempat bagi tawa dan tangis untuk bersilih ganti mengisi batin manusia. Tangis merupakan alat pelepas semua ganjalan dalam batin, pelepas semua kedukaan dan kekecewaan. Orang yang tidak dapat menangis, yang tidak memiliki tangis sebagai pelepasan duka, tentu akan terganggu kesehatannya.   Siangkoan Ci Kang adalah seorang pemuda yang sejak kecil hidup dalam lingkungan yang keras dan boleh dibilang tidak pernah mengenal tangis. Sejak kecil hampir tidak pernah dia menangis. Segala derita batin diterima dengan gigitan bibir. Namun, hal itu bukan berarti dia tidak pernah menangis dalam batinnya. Hanya karena kerasnya hati maka tangis tidak sampai tersalur keluar dari mulut. Akan tetapi sekarang, menghadapi pengalaman yang bertubi-tubi yang amat menyakitkan hatinya, setelah berada seorang diri di tempat sunyi itu, Ci Kang tidak kuasa lagi membendung air matanya dan diapun menangis tersedu-sedu sembil ber-lutut di atas tanah dan menutupi muka dengan kedua tangannya! Dan begitu air matanya mengucur, bagaikan air yang sudah lama terbendung dan sudah terlalu penuh, tangisnyapun menjadi-jadi. Terbayanglah segala pengalaman yang menyedihkan dan mengecewakan hatinya dan diapun membiarkan semua rasa duka itu mengalir keluar melalui air matanya.   Tangis timbul dari perasaan-perasaan hati yang dilanda iba diri. Dan, iba diri ini timbul dari kekecewaan dan kedukaan. Semua ini muncul dari pikiran yang mengenangkan masa lalu, mengenangkan semua pengalaman pahit, semua pengalaman yang mengecewakan dan tidak menyenangkan hati. Pikiran mengunyah-ngunyah kembali semua hal busuk yang mengecewakan diri, dan hal ini menimbulkan rasa iba diri. Pikiran yang mengenang-ngenang hal-hal yang mengecewakan dan tidak menyenangkan itu seolah-olah berobah menjadi tangan yang mencengkeram dan meremas-remas hati sendiri sehingga air matapun bercucuran keluar. Kalau sudah begitu, kesadaran akan kenyataanpun menjadi kabur dan pikiran yang menguasai perasaan itupun membayangkan bahwa dirinya merupakan orang yang paling sengsara, paling menderita di dalam dunia ini.   Dengan demikian nampaklah dengan jelas bahwa duka timbul karena pikiran yang mengunyah-ngunyah semua pengalaman yang dianggap tidak menyenangkan. Andaikata pikiran tidak mengenang-ngenang kembali semua yang telah terjadi itu, adakah duka? Hal ini hanya dapat kita ketahui dengan mempelajari diri sendiri dan mengamati diri sendiri. Tidak akan ada duka kalau pikiran tidak mengunyah-ngunyah masa lalu, tidak akan ada rasa takut kalau pikiran tidak bermain-main dengan masa lalu dan masa depan.   Segala peristiwa yang terjadi di dunia ini, tentu bersebab. Akan tetapi, pikiran kita yang dipenuhi oleh kesibukan memikirkan masa lalu dan masa depan, membuat kita seringkali tidak dapat melihat bahwa segala macam sebab daripada peristiwa yang menimpa diri kita dapat dipisahkan dari sikap dan perbuatan kita sendiri sebelum peristiwa itu terjadi. Mungkinkah bagi kita manusia-manusia lemah ini, membiarkan segala macam peristiwa yang menimpa kita lewat begitu saja tanpa meninggalkan bekas sehingga pikiran kita tidak akan mengenang dan mengunyah-ngunyahnya kembali sebagai sesuatu yang menimbulkan duka dalam hati? Dapatkah seluruh perhatian kita tertuju kepada saat ini, saat demi saat, tanpa harus berpaling ke belakang, kepada masa lalu atau menjenguk ke depan, kepada masa yang akan datang? Terikat kepada masa lalu adalah duka, terikat kepada masa depan menimbulkan takut. Hidup adalah saat ini sepenuhnya! Alangkah indahnya, alangkah bahagianya! Bukan berarti tidak perduli, bukan berarti masa bodohm melainkan justeru waspada karna bukankah hidup adalah SEKARANG INI? Sekarang ini, saat demi saat, adalah hidup. Masa lalu telah lewat, telah mati. Masa depan hanya khayal, belum ada.   Ketika menangis amat sedihnya itu, pikiran Ci Kang penuh dengan kenangan-kenangan yang mengecewakan hatinya. Teringat dia akan semua nasibnya, sejak dia dimusuhi ayahnya sendiri sehingga hampir dia dibunuh oleh ayahnya. Betapa dia senang menentang kejahatan, yang dilakukan oleh ayahnya dan kawan-kawan ayahnya akan tetapi hal ini membuat dia dibenci oleh golongan sesat. Kemudian, dalam usahanya menjadi orang baik, menggabungkan diri dalam golongan pendekar, dia tidak dipercaya, bahkan dimusuhi oleh para pendekar, dianggap sebagai putera datuk sesat yang tentu jahat pula. Dan berita tentang kematian ayahnya di tangan Raja Iblis. Walaupun dia merasa bangga bahwa pada saat terakhir hidupnya, ayahnya menentang raja datuk sesat itu, bahkan mengorbankan nyawa, akan tetapi tetap saja kenangan akan ayah kandungnya yang tidak pernah akrab dengannya itu menghancurkan perasaannya pula. Kemudian sekali, pengalaman yang baru-baru ini dia alami bersama Sui Cin! Dia tahu benar bahwa semenjak pertemuannya pertama dengan gadis pendekar itu, ketika dia menolong Sui Cin dari ancaman tangan kotor Sim Thian Bu, dia sudah merasa kagum dan tertarik sekali, bahkan dalam pertemuannya tadi, ketika dia diobati gadis itu, dia merasakan benar betapa dia telah jatuh cinta sejak dahulu kepada nona itu!   Dan teringatlah dia akan ulahnya kepada Sui Cin. Gadis itu mengobatinya, merawatnya, menyuapkan nasi ke mulutnya! Bukan main kenyataan ini! Akan tetapi apa yang dilakukannya tadi? Dia telah membalas kebaikan hati gadis itu dengan perbuatan yang tidak senonoh! Dia telah menghina gadis itu! Makin dibayangkan perbuatannya tadi, makin hancurlah hatinya dan dia merintih-rintih.   "Ya Tuhan... apa yang telah kulakukan tadi...?" Dia mengeluh dan menjatuhkan dirinya di atas tanah, rebah menelungkup sambil menangis!   Batin yang kemasukan satu di antara perasaan girang, susah, takut dan sebagainya akan kehilangan kepekaannya dan biarpun Ci Kang seorang pemuda terlatih yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, namun dalam keadaan menangis dan tenggelam dalam lautan kedukaan itu dia menjadi lengah. Sama sekali dia tidak tahu ketika ada bayangan orang berkelebat dengan gerakan yang amat cepat dan ringan. Bayangan itu tahu-tahu telah berada dekat sekali dengan Ci Kang dan sekali tangan kanannya bergerak, tubuh Ci Kang mengejang lalu lemas dan tidak mampu bergerak lagi, karena jalan darahnya telah tertotok secara amat lihai!   "Hi-hi-hik, akhirnya engkau jatuh juga ke tanganku, orang sombong!" Bayangan yang ternyata seorang wanita itu tertawa mengejek dan menggunakan kaki kirinya untuk membalikkan tubuh Ci Kang yang sudah lemas itu sehingga terlentang. Ci Kang yang tiba-tibe saja merasa tubuhnya lemas dan lumpuh melihat wanita itu. Seorang wanita cantik, bajunya kembang-kembang, perawakannya ramping, pakaiannya sederhana dengan hiasan rambut setangkai kembang. Akan tetapi alis Ci Kang berkerut melihat wanita muda yang cantik ini karena dia mengenalnya sebagai seorang iblis betina yang amat lihai dan berbahaya, juga amat kejam. Gadis ini bukan lain adalah Gui Siang Hwa yang berjuluk Siang-tok Sian-li (Dewi Racun Wangi), murid Raja Iblis!   Tahulah Ci Kang bahwa dia berada dalam ancaman bahaya maut. Iblis ini tentu tidak akan mau melepaskannya, dan dia merasa heran mengapa totokan tadi bukan merupakan serangan maut, karena kalau hal itu dilakukan, tentu kini dia sudah tewas. Kemudian teringat olehnya akan watak cabul wanita ini yang pernah membujuk rayu padanya. Teringat akan ini, dia maklum bahwa tentu sekarangpun, sebelum membunuhnya, wanita cabul ini akan mengulangi lagi usaha dan bujuk rayunya. Dia merasa sebal dan merasa lebih baik mati, apalagi hatinya sedang berduka seperti itu. Memang kematian lebih baik baginya, sebagai hukuman atas perbuatannya terhadap Sui Cin tadi.   "Iblis betina, engkau telah merobohkan aku dengan curang seperti seorang pengecut. Nah, tidak perlu lagi engkau mengulangi perbuatanmu yang hina dan tak tahu malu, tak perlu lagi engkau merayuku. Kalau engkau memang gagah, bebaskan aku dan kita bertanding sampai mati, atau kalau memang engkau seorang pengecut hina seperti yang kuduga, bunuh saja aku!" katanya sambil memandang dengan mata melotot penuh tantangan.   Akan tetapi, Siang Hwa yang dimaki-maki itu hanya tersenyum mengejek, sama sekali tidak memperlihatkan sikap marah. Dengan lagak genit ia menggunakan telunjuk tangen kirinya mengelus dagu Ci Kang. "Ehm, tampan! Jangan dikira bahwa hanya engkau saja laki-laki tampan di dunia ini. Kalau engkau menolak melayaniku, masih ratusan orang pria tampan yang siap untuk menyenangkan hatiku. Dan tentang membunuhmu, tentu saja aku akan membunuhmu, akan tetapi jangan mengira engkau akan mati dengan nyaman. Hi-hik, tidak, tampan, karena engkau menyakitkan hatiku dengan penolakanmu, engkau akan mati perlahan-lahan dan dengan sengsara sekali. Aku akan menyayat-nyayat seluruh kulit badanmu sampai penuh darah, dan kutinggalkan engkau di sini dalam keadaan seperti itu biar engkau dikeroyok semut dan dipatuk burung-burung sampai engkau mati dengan siksaan hebat. Nah, menarik sekali, bukan?"   Akan tetapi, sebaliknya Ci Kang juga tidak nampak gentar. Dia sudah bertekad untuk menghadapi kematian dengan tabah. "Perempuan iblis busuk, pengecut jahanam, tak perlu banyak mengeluarkan omongan busuk lagi, bunuhlah kalau mau bunuh, dengan cara apapun juga, aku tidak takut mati!" Dan Ci Kang lalu memejamkan mata seperti orang yang merasa muak dan hendak tidur, tidak lagi mau memperdulikan gadis itu. Sebetulnya perbuatan ini dilakukan untuk menyembunyikan rasa sesal dan malunya. Dia memaki-maki wanita iblis ini sebagai wanita yang hina dan busuk, wanita yang cabul. Akan tetapi bagaimana dengan dia sendiri? Apa yang telah dilakukannya terhadap Sui Cin hampir tidak ada bedanya dengan kecabulan yang dilakukan wanita ini. Memaksakan hasrat dan gejolak berahi kepada orang lain.   Gui Siang Hwa sudah mengenal watak seorang pendekar muda seperti Ci Kang yang amat keras hati ini. Ia tahu bahwa percuma saja membujuk pemuda ini, baik untuk menjadi kekasihnya atau menjadi pembantu gurunya. Dan orang yang tidak mau bekerja sama berarti musuh, apalagi orang yang memiliki kelihaian seperti pemuda ini. Sungguh bisa berbahaya sekali. Maka, jalan terbaik adalah membunuhnya! Ia mencabut pedangnya dan siap untuk melaksanakan ancamannya tadi, yaitu merobek-robek kulit tubuh pemuda itu dan membiarkannya tergolek di situ dalam keadaan lumpuh dan penuh luka agar dia mati perlahan-lahan kehabisan darah dan dikeroyok binatang-binatang kecil yang tentu akan tertarik oleh bau darah.   "Hi-hik, lebih dulu aku akan membikin putus otot-otot kaki tanganmu agar setelah bebas dari totokan engkau tidak akan mampu bergerak!" kata Gui Siang Hwa. Pedangnya diangkat ke atas, lalu berkelebat ke arah lutut kiri Ci Kang.   Akan tetapi, tiba-tiba pedang itu berhenti di udara, tertahan oleh sesuatu yang amat kuat. Siang Hwa terkejut sekali dan cepat membalikkan tubuhnya. Ia melihat bahwa pedangnya itu telah terlibat oleh bulu-bulu panjang sebuah kebutan berwarna putih yang gagangnya dipegang oleh seorang gadis remaja yang berdiri sambil memandang kepadanya dengan sepasang mata berapi penuh teguran! Gadis ini paling banyak delapan belas tahun usianya. Pakaiannya amat sederhana, rambutnyapun dibiarkan riap-riapan ke belakang dan mukanya agak pucat, akan tetapi sepasang mata yang jeli itu mengeluarkan smar mencorong!   "Engkau orang jahat!" Gedis ini menegur Siang Hwa dengan suara halus. "Akan membunuh orang begitu saja, orang yang sudah tidak mampu melawan sama sekali. Sungguh jahat!"   Akan tetapi Siang Hwa marah bukan main. Gadis muda ini cukup cantik dan mengingat bahwa Ci Kang selalu menolaknya, kemudian muncul gadis ini yang membela Ci Kang, mudah diduga bahwa tentu gadis ini merupakan kekasih Ci Kang. Ia merasa betapa libatan bulu kebutan itu mengendur, maka iapun lalu menarik pedangnya dan menghadapi gadis itu dengan senyum mengejek. Tentu saja ia memandang rendah gadis bertampang pucat seperti orang berpenyakitan ini. "Hi-hik, engkau hendak menemaninya mampus? Baik, akan kukirim engkau lebih dulu ke neraka!" Berkata demikian, pedangnya menyambar ganas ke arah leher gadis itu. Akan tetapi, Siang Hwa kecelik kalau mengira bahwa pedangnya akan mudah merobohkan lawan dengan sekali serang saja. Ia tadi mengeluarkan jurus yang penuh tipuan, pedangnya meluncur menusuk ke arah tenggorokan, akan tetapi sebetulnya pedang itu hanya menggertak saja karena secara tiba-tiba pedang yang meluncur itu berobah arah dan membacok ke bawah, ke arah perut!   Hebatnya, gadis bermuka pucat itu agaknya mengenal gerak serangan ini, karena ia sama sekali tidak melindungi lehernya, melainkan menangkis ke depan dada dengan gagang kebutannya sehingga secara tepat sekali ia menggagalkan serangannya ke arah perut.   "Trangg...!" Dan Siang Hwa mundur dua langkah dengan kaget karena tangkisan gagang kebutan itu membuat lengannya tergetar, juga gerakan menangkis tadi amat dikenalnya.   Dengan penasaran Siang Hwa lalu menyerang lagi sambil memutar pedangnya dengan amat cepat. Ia menerima pelajaran ilmu pedang dari Raja dan Ratu Iblis, tentu saja ilmu pedangnya amat ganas dan berbahaya. Pedangnya lenyap berobah menjadi gulungan sinar yang menyambar-nyambar ganas ke arah lawan.   Akan tetapi, keheranan hati Siang Hwa menjadi-jadi ketika lawannya itu mampu mengelak atau menangkis, menghindarkan semua serangannya dengan amat mudah dan seolah-olah semua gerakan serangannya itu telah diduga lebih dulu. Ia terkejut bukan main ketika lawannya membalas dengan serangan ujung kebutan dan terpaksa Siang Hwa harus mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaiannya untuk mempertahankan diri karena serangan balasan lawannya itu benar-benar amat hebat. Ujung kebutan itu menyambar-nyambar dan setiap helai bulu kebutan seperti hidup, kadang-kadang berobah kaku seperti kawat-kawat baja dan kadang-kadang lemas sekali dan dapat menyerang ke arah jalan darah.   Ci Kang tidak merasa heran melihat betapa gadis muda yang baru datang ini mampu menandingi Siang Hwa. Begitu membuka matanya memandang, dia segera mengenal gadis itu yang bukan lain adalah Toan Hui Cu, puteri Raja dan Ratu Iblis yang tinggal di dalam guha bewah tanah itu. Munculnya gadis muda yang membelanya ini menimbulkan harapan baginya bahwa dia akan tertolong dari ancaman maut, walaupun hal ini tidak mendatangkan kegirangan besar dalam hatinya. Bagi Ci Kang pada saat itu, mati dan hidup tiada bedanya, bahkan dia tidak akan menyesal kalau tewas karena hal ini hanya akan membebaskan dirinya daripada kedukaan dan penyesalan.   Perkelahian itu berlangsung dengan serunya dan lima puluh jurus telah lewat. Kini tiada keraguan lagi dalam hati Siang Hwa bahwa lawannya telah mengenal semua gerakan silatnya, dan iapun mengenal gerakan yang serupa dengan ilmu silat yang diajarkan kepadanya oleh suhu dan subonya. Malang baginya, gerakan kebutan itu asing baginya sehingga baberapa kali ia kebobolan dan hampir celaka ketika ujung kebutan menyambar. Untung ia amat gesit sehingga hanya keserempet saja dan belum terkena serangan yang telak. Bagaimanapun juga, hal ini mengecutkan hatinya dan Siang Hwa mulai terdesak hebat oleh Hui Cu. Untung bagi Siang Hwa, sejak kecil Hui Cu hidup menyendiri di dalam guha di bawah tanah sehingga ia berwatak bersih, belum terseret ke dalam lembah kekejaman dan kejahatan oleh kehidupan orang tuanya. Oleh karena itu, walaupun ia telah mempelajari ilmu-ilmu silat dari ibunya, bahkan menguasai ilmu kebutan yang merupakan ilmu rahasia dan yang hanya dipelajari olehnya sendiri, namun tiada sedikitpun keinginan di hatinya untuk mencelakakan orang lain. Perasaan inilah yang membuat ia menentang mati-matian ketika ibunya pernah hendak membunuh Cia Sun dan Ci Kang dan kini ia menentang Siang Hwa yang hendak membunuh Ci Kang.   "Hyaaaattt...!" Tiba-tiba Hui Cu mengeluarkan bentakan aneh seperti sering dilatihnya ketika ia berlatih silat di dalam guha bawah tanah dan ujung kebutannya membuat gulungan sinar yang membuat pandang mata Siang Hwa kabur. Sebelum Siang Hwa dapat menghindarkan dirinya baik-baik, pundak kirinya telah disambar ujung kebutan dan ia berteriak kesakitan lalu meloncat ke belakang. Pundaknya terasa nyeri bukan main dan kalau saja ia tidak melindungi dirinya dengan tenaga sin-kang, tentu ia sudah roboh.   Dengan muka agak pucat Siang Hwa memandang gadis itu lalu telunjuknya menuding ke arah muka yang putih agak pucat itu. "Kau... dari mana engkau mencuri ilmu perguruan kami...!"   Yang ditanya tersenyum dan wajahnya tidak lagi nampak menyeramkan karena kepucatan wajahnya setelah tersenyum karena wajah itu menjadi manis sekali. "Aihh, agaknya engkaulah murid ibuku. Engkau lihai dengan pedangmu, sayang engkau jahat, mau membunuh orang! Ibu pernah bercerita tentang seorang muridnya bernama Gui Siang Hwa. Engkaukah itu?"   Siang Hwa menjadi semakin terkejut. Puteri subonya? Belum pernah ia mendengar subonya mempunyai seorang puteri. Memang, subonya pernah melahirkan seorang anak perempuan akan tetapi anak itu telah mati!   "Kau... kau... puteri subo...?" Ia memandang terbelalak seperti melihat setan. Mungkinkah anak yang mati dapat hidup kembali?   Tiba-tiba Hui Cu teringat akan pesan ibunya agar tidak memperkenalkan diri kepada siapapun juga, maka iapun berkata dengan tak sabar lagi, "Sudahlah, engkau cepat pergi dari sini dan jangan mengganggu orang lain. Pergilah!" Ia melangkah maju dan mengancam dengan kebutannya untuk mengusir Siang Hwa.   Pada saat itu ada angin menyambar kuat dan tiba-tiba muncullah seorang nenek berpakaian putih dengan rambut putih riap-riapan dan wajah pucat kchijauan. Ci Kang mengenal nenek ini sebagai Ratu Iblis dan diam-diam diapun merasa menyesal mengapa dia masih dalam keadaan tertotok. Kalau tidak, ingin dia melawan Ratu Iblis ini dengan muridnya yang jahat.   "Hui Cu, apa yang kaulakukan ini?" bentak nenek itu kepada puterinya dan ketika ia melihat Siang Hwa, wajah nenek itu berobah, alisnya berkerut dan sinar matanya mencorong. "Siang Hwa, apa yang kaukerjakan di sini?" Nenek ini sejenak bingung dan terkejut melihat betapa anaknya yang kehadirannya dirahasiakan itu ternyata telah bentrok dengan muridnya dan kalau sampai hal ini ketahuan oleh suaminya tentu akan terjadi geger. Suaminya tentu akan menuntut agar Hui Cu dibunuh mati atau diberikan kepadanya untuk menjadi selirnya!   "Subo, teecu berhasil merobohkan Siangkoan Ci Kang dan akan membunuhnya, akan tetapi lalu muncul... eh, adik ini yang menentang teecu," kata Siang Hwa membela diri karena ia tahu bahwa subonya sedang marah.   Nenek itu membalikkan tubuhnya memandang kepada tubuh Ci Kang, lalu kepada puterinya dengan sikap marah. Sebelum ia mengeluarkan kata-kata, Hui Cu sudah meloncat dan sekali berkelebat, tubuhnya sudah tiba dekat Ci Kang dan ia bersikap melindungi. "Ibu, kenapa engkau dan juga muridmu itu berkeras hendak membunuh orang yang tidak bersalah?"   "Hui Cu, pergilah dan biarkan Siang Hwa membunuhnya!" bentak Ratu Iblis.   "Tidak! Siapapun tidak boleh membunuhnya! Aku akan menentang siapa saja yang hendak membunuhnya!" berkata Hui Cu dengan sikap gagah dan ia melintangkan kebutannya di depan dada. "Siang Hwa, kalau engkau berkeras hendak membunuhnya, aku yang akan lebih dulu merobohkanmu. Kalau engkau jahat, akupun terpaksa akan tega melukaimu!"   Tentu saja Siang Hwa tidak berani sembarang bergerak. Ia sudah tahu akan kelihaian gadis itu, apalagi setelah kini tahu bahwa gadis itu puteri subonya. Mana ia berani menyerang atau menentangnya?   "Kalau aku yang membunuhnya?" bentak pula nenek itu.   "Aku tetap akan melindunginya dan agaknya ibu harus membunuh aku lebih dulu sebelum dapat membunuhnya!"   Nenek itu nampak terkejut dan sepasang matanya yang mencorong itu terbelalak. "Apa? Kau... kau cinta pemuda itu?"   "Aku tidak tahu apa maksudmu, ibu. Aku tidak tahu apa artinya cinta, akan tetapi aku suka kepadanya karena dia orang baik dan aku tidak suka melihat dia dibunuh, aku akan menentang setiap pembunuhan tanpa sebab."   Melihat kenekatan puterinya, nenek itu sejenak nampak bingung dan kehabisan akal. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Akan tetapi baginya, mati hidupnya seorang pemuda seperti Siangkoan Ci Kang tidaklah begitu penting. Yang merupakan urusan besar adalah pertemuan antara anaknya dengan Siang Hwa. Maka ia menoleh kepada Siang Hwa dan berkata dengan suara penuh mengandung ancaman, "Siang Hwa, berjanjilah untuk menutup mulutmu dan tidak bicara kepada siapapun juga tentang Hui Cu, terutama kepada suhumu. Kalau hal ini sampai bocor, engkaulah satu-satunya orang yang tahu dan engkau akan kubunuh!"   Mendengar suara subonya dan melihat sikap yang mengancam itu, Siang Hwa menjadi pucat dan iapun mengangguk sambil berkata lirih, "Baik subo... teecu berjanji tidak akan bicara dengan siapa juga mengenai... sumoi."   "Nah, Hui Cu, Siang Hwa, mari kita pergi!" kata pula nenek itu.   Hui Cu memandang kepada Ci Kang dan kemudian kepada ibunya dengan ragu-ragu. "Ibu... dan... suci sungguh tidak akan membunuh dia?"   "Tidak, mari kita pergi," kata pula nenek itu mendesak.   "Pergilah dulu, ibu dan suci, nanti aku menyusul," kata pula Hui Cu yang masih belum percaya benar bahwa ibunya dan sucinya itu benar-benar akan membebaskan Ci Kang dan tidak mengganggunya.   "Mau apa kau?" ibunya membentak.   "Aku mau bercakap-cakap dulu sebentar dengan dia," jawab gadis itu menunjuk kepada Ci Kang.   Nenek itu mendengus marah akan tetapi segera meninggalkan tempat itu. Siang Hwa tersenyum mengejek. "Sumoi yang manis, agaknya engkau tergila-gila kepada pemuda ini, ya? Memang dia tampan dan gagah, akan tetapi hati-hati, dia jahat dan curang tak dapat dipercaya. Jangan-jangan engkau akan celaka olehnya. Kalau engkau ingin agar dia dapat melayanimu sepuas hatimu, engkau berilah dia minum ini." Wanita itu mengeluarkan sebungkus bubukan merah dan memberikannya kepada Hui Cu.   Akan tetapi Hui Cu menolak, menggeleng kepala dengan alis berkerut. "Aku tidak tahu apa yang kaumaksudkan, akan tetapi dia tidak jahat dan curang seperti engkau. Pergilah cepat!" bentaknya marah.   Gui Siang Hwa hendak menjawab, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara melengking lirih dan ini adalah panggilan subonya, maka sambil tersenyum mengejek Siang Hwa mengangkat pundak dan pergi meninggalkan sumoinya.   Hui Cu berjongkok dan melihat betapa pemuda itu tak mampu bergerak karena totokan, ia lalu menepuk dan mengurut punggung dan kedua pundak Ci Kang. Akhirnya berhasillah dia membebaskan pemuda itu dari pengaruh totokan dan Ci Kang lalu bangkit duduk sambil mengatur pernapasan.   "Aku sungguh tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh suci tadi." Hui Cu mengomel sambil duduk di depan Ci Kang. Pemuda ini menatap wajah yang manis itu dan merasa kagum. Gadis ini sungguh masih bersih dan polos, batinnya belum tercemar kekotoran yang mengelilingi keluarganya.   "Sucimu itu jahat sekali, Hui Cu. Dan kalau tadi aku tidak tertotok, tentu akan kuserang dan kurobohkan sucimu."   Gadis itu memandang dengan alis berkerut, agaknya bingung dan tidak mengerti. "Kenapa akan kaulakukan itu?"   "Karena ia jahat dan berbahaya bagi orang lain dan ibumu juga."   "Engkau akan menyerang dan membunuh ibuku pula?"   "Kalau mungkin, walaupun ibumu lihai sekali. Mereka itu jahat bukan main, mereka adalah datuk-datuk sesat, bahkan ibumu dijuluki Ratu Iblis. Mereka itu hanya menyebarkan perbuatan jahat dan kejam dan merupakan ancaman bagi keselamatan orang-orang lain yang tidak berdosa dan mengotorkan bumi."   "Engkau... benci kepada mereka?"   Mendengar pertanyaan ini, Ci Kang termenung dan mengamati batinnya sendiri. Tidak, dia tidak benci siapapun. Apa yang diajarkan oleh Ciu-sian Lo-kai tentang cinta dan benci dan dendam sudah mendalam di dalam batinnya dan dia tidak merasa membenci siapapun juga. Akan tetapi dia merasa harus menentang orang-orang seperti Ratu Iblis dan Siang Hwa karena mereka itu jahat dan berbahaya bagi manusia pada umumnya, seperti juga dia menentang ayahnya sendiri yang sama sekali tidak dibencinya.   "Tidak, Hui Cu. Aku tidak membenci mereka, akan tetapi yang kutentang adalah kejahatan mereka demi menyelamatkan orang-orang dari ancaman kejahatan mereka."   Gadis itu menggeleng-geleng kepala. "Aku menjadi bingung dan tidak mengerti, Ci Kang. Akan tetapi, tadi aku melihat engkau seorang diri menangis demikian sedihnya. Kemudian muncul suci yang menotokmu dengan curang. Ci Kang, kenapa engkau menangis begitu menyedihkan? Apakah yang menyusahkan hatimu?"   Ci Kang merasa terharu sekali. Terhadap seorang gadis sejujur dan sebersih ini, dia merasa mendapatkan seorang sahabat dan tak perlu dia merasa malu atau menyembunyikan rahasia hatinya. Bahkan Hui Cu dapat merupakan satu-satunya orang kepada siapa dia boleh mencurahkan semua kepedihan hatinya saat itu.   "Hui Cu, aku memang berduka sekali karena aku mencinta seorang gadis dan tidak ada harapan bagiku untuk berjodoh dengannya."   Gadis itu mengerutkan alisnya seperti hendak mengerahkan otaknya untuk menangkap arti ucapan Ci Kang. "Engkau cinta padanya? Apakah cinta itu?"   Ci Kang tersenyum. Tidak mengherankan kalau gadis ini demikian hijau, karena sejak kecil selalu berada seorang diri saja di dalam guha bawah tanah. "Cinta adalah perasaan seorang pria terhadap wanita, Hui Cu, dan orang yang mencinta mengharapkan untuk dapat hidup bersama dengan wanita yang dicintanya. Aku jatuh cinta kepada seorang gadis akan tetapi tidak ada harapan bagiku untuk dapat berjodoh dan hidup bersamanya."   "Kenapa, Ci Kang? Engkau seorang pemuda yang gagah perkasa dan baik. Apakah ia tidak suka kepadamu?"   "Aku tidak tahu..." Dia teringat betapa Sui Cin menyuapkan makanan ke mulutnya, betapa gadis itu mengobati dan merawatnya. "Mungkin ia suka padaku... akan tetapi aku telah melakukan kesalahan besar terhadap dirinya... dan pula ia adalah puteri seorang pendekar besar, sedangkan aku..."   "Engkau kenapa?"   "Aku sebaliknya adalah anak seorang datuk sesat yang amat jahat!" kata Ci Kang dengan gemas dan suaranya mengandung penuh penyesalan.   Ucapan ini amat menarik hati Hui Cu. Gadis itu memegang lengan Ci Kang dan memandang tajam wajah pemuda itu. "Apa? Orang tuamu itu jahat? Sejahat... orang tuaku?"   Ci Kang mengangguk. "Ayah dan ibumu berjuluk Raja dan Ratu Iblis dan kini menjadi raja para datuk sesat. Sebelum itu, yang menjadi raja datuk sesat adalah ayahku yang berjuluk Iblis Buta."   "Ahh... kenapa mereka itu jahat? Dan aku tidak suka perbuatan jahat, engkaupun tidak suka. Kenapa mereka begitu, Ci Kang?"   Pertanyaan yang sederhana ini tidak mampu terjawab oleh Ci Kang. "Aku tidak tahu, Hui Cu. Akan tetapi aku girang bahwa engkau tidak suka kejahatan seperti mereka. Kita senasib, sama-sama menjadi anak orang-orang jahat. Dan ayahku kini telah tiada..."   "Akan tetapi kalau dia buta, berarti tidak dapat melihat, kenapa jahat? Dan dia tentu lihai sekali, karena engkaupun lihai."   "Dia lihai, akan tetapi masih kalah oleh ayah ibumu. Ayahku tewas di tangan ibumu."   "Ihhh...! Dan kau... kau puteranya, karena itu engkau membenci ibu dan hendak membalas..."   "Tidak! Engkau keliru, Hui Cu. Kalau aku menentang ibumu, itu hanya karena ibumu jahat. Ayahku mati karena akibat ulahnya sendiri, akibat kejahatannya sendiri. Aku tidak mendendam kepada siapapun juga."   Gadis itu terdiam. "Aku bingung dan tidak mengerti tentang semua ini, Ci Kang. Akan tetapi, mendengar bahwa engkaupun anak seorang datuk sesat seperti aku, aku makin suka padamu. Eh, Ci Kang, di manakah kawanmu itu?"   "Kawanku? Kaumaksudkan Cia Sun?"   "Benar! Cia Sun, yang bersamamu masuk ke dalam guha bawah tanah itu. Di manakah dia sekarang dan kenapa tidak bersamamu? Aku ingin sekali bertemu dan bicara dengan dia."   Mendengar kegairahan dalam suara gadis itu, Ci Kang menatap wajahnya dengan penuh selidik. Akan tetapi, wajah dan pandang mata yang berseri itu tidak berobah dan tetap polos terbuka.   "Hui Cu, kau... kau cinta pada Cia Sun?"   "Cinta? Ah, kau tadi bilang bahwa cinta berarti ingin hidup bersama orang yang dicinta selamanya. Aku tidak tahu, apakah aku ingin hidup selamanya dengan Cia Sun, akan tetapi, aku suka sekali padanya dan semenjak bertemu dengannya, aku selalu teringat kepadanya."   "Hemm, kalau tidur engkau seringkali mimpi bertemu dengannya?"   "Benar..."   "Dan kalau engkau sedang duduk seorang diri, wajahnya terbayang olehmu, suaranya seperti kaudengar kembali, setiap gerak-geriknya amat menyenangkan hatimu?"   "Wah, benar! Benar sekali! Eh, bagaimana engkau bisa tahu?"   Ci Kang tersenyum pahit. Tentu saja dia tahu karena seperti itulah keadaan dan perasaannya selama ini terhadap Sui Cin! Puteri Raja dan Ratu Iblis ini telah jatuh cinta kepada Cia Sun! Kenyataan ini membuat hatinya semakin pedih. Dia, putera datuk sesat jatuh cinta kepada puteri Pendekar Sadis yang terkenal. Dan kini, puteri Raja Iblis yang amat jahat itu jatuh cinta kepada putera ketua Pek-liong-pang dari Lembah Naga yang juga terkenal sebagai seorang pendekar sakti yang dihormati orang! Mana mungkin terjadi?   "Ci Kang, kenapa engkau bengong saja? Engkau belum menjawab pertanyaanku, bagaimana engkau dapat mengetahui apa yang kualami selama ini, dan di mana pula adanya Cia Sun?"   "Hui Cu, aku tahu apa yang kaualami karena aku sendiripun mengalami hal yang sama terhadap bayangan gadis yang kucinta. Dan Cia Sun... ah, engkau belum tahu siapa dia. Dia bukan orang sembarangan saja, dia adalah putera dari pendekar besar Cia Han Tiong, ketua Pek-liong-pang di Lembah Naga."   "Lembah Naga? Aku pernah mendengar nama tempat itu dari ibu, tidak begitu jauh dari sini! Jadi dia berada di sana?"   "Entahlah, kukira begitu."   "Kalau begitu, aku akan pergi mencerinya! Aku akan mencari Cia Sun, aku tidak senang tinggal bersama ibuku!" Gadis itu bangkit berdiri.   "Nanti dulu, Hui Cu!" Ci Kang juga melompat dan memegang lengan gadis itu.   "Kenapa kau menahanku? Ada apa?"   Ci Kang merasa kasihan kepada gadis ini dan tidak ingin melihat gadis ini mengalami patah hati dan penghinaan di Lembah Naga. "Dengarkan dulu baik-baik. Ingat bahwa engkau adalah puteri Raja dan Ratu Iblis, sedangkan Cia Sun adalah putera pendekar..." Dia tidak melanjutkan kata-katanya karena pada saat itu menyambar angin dahsyat sekali dan tahu-tahu di situ muncul seorang kakek yang rambutnya riap-riapan putih, pakaiannya juga serba putih dan sepasang matanya mencorong mengerikan, sedangkan mukanya pucat kehijauan. Melihat kakek ini, terkejutlah Ci Kang karena dia mengenal kakek ini sebagai Raja Iblis sendiri!   "Aku mendengar tadi ada puteri Raja dan Ratu Iblis. Siapa puteri itu?" terdengar suara kakek aneh itu, suaranya seperti terdengar dari lain tempat yang jauh, dan bibirnya tidak nampak bergerak.   Hui Cu yang juga kaget melihat munculnya seorang kakek aneh, kini memandang kakek itu dengan mata terbelalak. "Engkau kakek aneh dan lucu, bicara tanpa menggerakkan bibir! Akulah puteri Raja dan Ratu Iblis!"   Ci Kang terkejut dan tidak sempat menahan gadis itu mengeluarkan kata-kata yang demikian beraninya. Berhadapan dengan iblis ini tidak perlu banyak cakap, pikirnya, karena tidak mungkin iblis itu akan mau melepasnya seperti yang dilakukan Ratu Iblis karena bujukan puterinya tadi. Maka diapun tanpa banyak cakap lagi lalu menerjang maju dengan pukulan tangannya yang ampuh. Karena dia maklum bahwa lawannya ini amat sakti, maka begitu menerjang dia sudah mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya dan mengirim pukulan yang mengandung tenaga dahsyat.   "Wuuuttt... dukk...!" Tubuh Ci Kang terjengkang ke belakang dan dia tentu akan terbanting keras kalau saja dia tidak cepat berjungkir balik dan berloncatan ke belakang. Dia dapat berdiri lagi dengan tegak dan merasa betapa lengan kanannya yang tertangkis oleh lengan kakek itu terasa nyeri dan panas.   "Jangan pukul kawanku!" Hui Cu membentak dan iapun sudah menyerang kakek itu dengan kebutannya. Ia marah melihat betapa Ci Kang terjengkang dan hampir roboh.   Kakek itu mengeluarkan suara menggereng aneh dan begitu jari-jari tangannya bergerak, bulu kebutan itu berhenti dan menempel pada telapak tangannya, sedangkan tangan kirinya diulur untuk mencengkeram ubun-ubun kepala Hui Cu. Jelas bahwa dia bermaksud membunuh puterinya itu dengan sekali serangan.   "Iblis keji! Kau hendak membunuh anakmu sendiri?" Ci Kanig membentak dan dengan nekat dia menerjang dari samping, memukul ke arah tengkuk kakek itu dan tangan kirinya menangkis tangan kakek yang mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Hui Cu.   "Dukk! Dukkk!" Kembali lengan mereka beradu dan Ci Kang terjengkang, akan tetapi Hui Cu selamat dan dapat menarik kembali kebutannya. Gadis ini memandang kakek itu dengan mata terbelalak ketika ia mendengar bentakan Ci Kang tadi.   "Apa? Dia... dia ini ayahku?" teriaknya.   "Benar, dialah Raja Iblis atau Pangeran Toan Jit-ong, ayah kandungmu. Pangeran Toan Jit-ong, gadis ini adalah Toan Hui Cu, puterimu sendiri. Jangan ganggu ia, akulah lawanmu dan mari kita bertanding sampai mati!" Ci Kang menantang dengan sikap gagah dan dia sudah memasang kuda-kuda dan siap untuk berkelahi mati-matian melawan raja kaum sesat ini.   Akan tetapi kakek itu tidak menjawab, bahkan tidak memperhatikan dia. Sepasang mata yang mencorong itu ditujukan kepada Hui Cu, mengamatinya dari pucuk rambut sampai ke kaki. "Ia harus mati, tapi sayang, ia gagah dan cantik. Engkau harus melahirkan anak laki-laki dariku!" Dan tiba-tiba kakek itu mengeluarkan suara melengking nyaring dan tangannya sudah meluncur ke depan. Lengan itu dapat mulur panjang dan tangan itu hendak menangkap pinggang Hui Cu. Gadis ini terkejut dan menjerit, kebutannya digerakkan menotok ke arah pergelangan tangan lawan.   "Tukk!" Raja Iblis itu bagaimanapun saktinya, terkejut karena pergelangan tangan yang tertotok ujung kebutan itu seperti dipatuk ular dan terasa kesemutan. Mengertilah dia bahwa isterinya telah melatih anak ini dan mungkin anak ini telah mewarisi ilmu kebutan rahasia dari mendiang gurunya yang belum sempat dipelajarinya, dan ilmu kebutan ini lebih lihai daripada ilmu menggunakan rambut dari isterinya. Terpaksa dia menarik kembali lengannya.   "Iblis keji!" Ci Kang menyerangnya dari samping dengan totokan ke arah lambung kiri Raja Iblis. Totokan ini hebat sekali dan saking cepatnya, tidak dapat ditangkis lagi maka terpaksa pula Raja Iblis itu menggerakkan tubuh ke belakang untuk mengelak. Diam-diam dia terkejut. Pemuda ini cukup lihai, mungkin lebih lihai daripada semua pembantunya. Dan anak perempuan itupun memiliki ilmu kebutan yang hebat. Tiba-tiba dia melompat ke belakang dan mengangkat kedua tangan. Kakek ini memang memiliki wibawa yang kuat karena dua orang muda itu berhenti dan memandang.   "Siapa namamu?" tanyanya kepada Ci Kang.   "Aku Siangkoan Ci Kang," jawab pemuda itu dengan tabah.   "Bagus! Kau putera Siangkoan Lo-jin?"   "Benar!"   "Hemm, kau datang untuk membalas kematian ayahmu?"   "Tidak, aku datang untuk menentang kejahatanmu!"   "Siangkoan Ci Kang, apakah engkau cinta puteriku ini? Jadilah suaminya dan kalian menjadi pembantu-pembantuku yang setia. Bagaimana?"   Sungguh luar biasa sekali watak iblis ini! Baru saja menyerang dan hendak membunuh, sekarang tiba-tiba menawarkan hal yang sebaliknya. Ini menunjukkan betapa cerdiknya Raja Iblis. Dia segera dapat mengubah pendirian begitu melihat segi keuntungannya.   "Persetan dengan engkau!" bentak Ci Kang. Usul Raja Iblis itu tentang perjodohannya dengan Hui Cu tentu saja bukan merupakan hal yang buruk, akan tetapi menjadi pembantu iblis itu sungguh merupakan tawaran yang dianggapnya amat menghina. "Lebih baik mati daripada menjadi antekmu!" Dan pemuda itu sudah menyerang lagi. Raja Iblis mengelak dengan mudah dan balas menendang dengan keeepatan kilat. Akan tetapi Ci Kang juga dapat menghindarkan diri dan menyerang langsung dengan bertubi-tubi.   "Kalau begitu engkau akan mampus dan ia menjadi isteriku!" Raja Iblis berloncatan sambil berkata demikian, kemudian membalas. Terjadilah serang-menyerang dengan hebat dan lewat beberapa jurus, kembali tangannya yang ampuh itu ketika ditangkis Ci Kang membuat pemuda itu terhuyung ke belakang.   "Mampuslah!" Raja Iblis meloncat dan mengirim pukulan susulan terhadap pemuda yang sedang terhuyung itu. Akan tetapi Hui Cu menerjang dari samping dengan kebutannya yang menyambar dan beruntun mematuk ke arah jalan darah di pelipis, leher dan pundak! Terpaksa Raja Iblis mengurungkan pukulannya terhadap Ci Kang dan mengelak dari sambaran ujung kebutan yang cukup lihai itu. Kesempatan ini dipergunakan oleh Ci Kang untuk memperbaiki kedudukannya, lalu diapun membantu Hui Cu menyerang lagi.   Raja Iblis menjadi marah sekali. Hampir tidak pernah ada orang yang berani menentangnya, dan kini, seorang pemuda, hanya putera mendiang Iblis Buta, berani menentangnya. Dan yang lebih menggemaskan lagi anak perempuan itu, anakaya sendiri, membantu si pemuda! Dia mengeluarkan suara lengkingan nyaring berkali-kali dan kedua tangannya kini bergerak dengan dorongan-dorongan yang mengeluarkan hawa panas dan mengeluarkan angin kuat. Nampak uap putih setiap kali dia mendorongkan kedua tangannya. Dan dua orang muda itupun terdesak hebat. Hanya dengan pengerahkan sin-kang sekuatnya saja keduanya tidak sampai terlempar oleh hawa dorongan yang demikian kuatnya. Biarpun demikian, Ci Kang maklum bahwa tidak lama lagi dia dan Hui Cu tentu akan roboh. Raja Iblis ini sungguh memiliki ilmu kepandaian yang amat dahsyat.   Karena merasa bahwa tenaga sin-kangnya masih kalah jauh dibandingkan kakek itu, Ci Kang teringat akan ilmu yang diajarkan oleh Ciu-sian Lo-kai kepadanya, yaitu ilmu silat menggunakan tongkat atau benda apa saja yang berbentuk tongkat. Dia melompat ke kiri dan menyambar patah sebatang cabang pohon yang besarnya selengan, kemudian diapun menggunakan senjata ini. Ilmu tongkat bambu merupakan satu di antara ilmu-ilmu yang ampuh dari Ciu-sian Lo-kai, maka begitu Ci Kang mainkan tongkat ini, dia dapat menggempur desakan-desakan lawan dan dibantu oleh Hui Cu, kini dia mampu membalas, bekerja sama dengan kebutan gadis itu yang juga ampuh.   Menghadapi keadaan yang berbalik ini, Raja Iblis semakin marah dan diapun tiba-tiba mengeluarkan gerengan keras dan ketika kedua tangannya bergerak menyilang menyambut tongkat di tangan Ci Kang, terdengar suara keras. Tongkat itu hancur dan tubuh Ci Kang terjengkang! Dengan mengeluarkan suara gerengan seperti tertawa, kakek itu menubruk ke arah Ci Kang yang masih terlentang. Pemuda ini menyambutnya dengan tendangan, akan tetapi kakek itu dapat menangkis tendangan dan terus menjatuhkan diri berlutut, kedua tangannya dihunjamkan dengan jari-jari terbuka ke arah kepala Ci Kang. Pemuda ini merasa betapa ada hawa pukulan dahsyat menyambar dan maklumlah dia bahwa dia terancam maut karena sekali jari-jari tangan itu mengenai kepalanya, tentu kepalanya akan hancur berantakan. Jalan satu-satunya baginya hanya menangkis. Dia mengangkat kedua tangannya dan berhasil menangkap dua lengan tangan lawan. Terjadilah adu tenaga yang mengerikan. Kakek itu berusaha melanjutkan terkaman kedua tangannya, sedangkan Ci Kang yang berada di bawah itu mempertahankan. Mereka bersitegang dan kedua lengan Ci Kang mulai menggigil, mukanya pucat dan penuh keringat, tanda bahwa dia sudah mengerahkan seluruh tenaga dan berada di tepi maut. Agaknya sebentar lagi dia tidak akan kuat bertahan dan kakek itu dapat melanjutkan pukulan mautnya. Melihat keadaan Ci Kang terancam maut seperti itu, tiba-tiba Hui Cu mengeluarkan teriakan keras dan diapun menggerakkan kebutannya. Ujung kebutannya berubah menjadi dua gumpal yang ujungnya meruncing seperti pedang dan dua batang pedang dari bulu-bulu halus yang kini menjadi kaku keras itu menusuk ke arah sepasang mata Raja Iblis! Tusukan ini cepat den hebat sekali dan agaknya gadis itu sudah lupa bahwa ia bisa menewaskan atau setidaknya membutakan mata ayah kandungnya.   Menghadapi serangan mendadak yang amat berbahaya ini, Raja Iblis terkejut dan terpaksa dia menarik kembali kedua tangan yang tadi menekan ke bawah, dan kaki kanannya menyambar ke depan menyambut serangan gadis itu.   "Desss...!" Tubuh Hui Cu terpental dan biarpun ia telah melindungi dirinya dengan sin-kang, tidak urung tubuhnya terlempar sampai beberapa meter jauhnya dan terbanting ke atas tanah sampai bergulingan. Akan tetapi, perbuatannya itu menyelamatkan Ci Kang yang cepat meloncat bangun dan menjauhkan diri karena dia harus mengumpulkan hawa murni untuk memulihkan tenaganya. Hui Cu juga sudah melompat bangun den kedua orang muda itu sudah bersiap lagi, kini wajah mereka pucat dan kedua kaki agak gemetar karena kecapaian.   Raja Iblis tersenyum mengejek. Dua orang itu tentu akan dapat dirobohkannya dalam serangan berikutnya. Dia menggerak-gerakkan kedua tangannya, saling bersilang dan setiap kali kedua lengan itu bergesekan, tentu nampak uap putih mengepul. Memang hebat sekali ilmu kakek ini kalau dia sudah mengeluarkan tenaga sakti seperti itu. Ci Kang memandang khawatir. Dia tidak mengkhawatirkan diri sendiri. Memang tadi dia sudah menghadapi kematian dengan tenang. Akan tetapi dia mengkhawatirkan Hui Cu. Gadis itu tadi telah menyelamatkan nyawanya. Dia tahu bahwa tanpa bantuan Hui Cu tadi, dia sudah tewas. Dan kini, dia merasa tidak kuat untuk dapat melindungi gadis itu dari ayah kandungnya yang jahat seperti iblis itu. Betapapun juga, dia akan melawan den melindungi Hui Cu sampai napas terakhir. Karena niat melindungi ini perlahan-lahan Ci Kang menghampiri Hui Cu sambil terus memandang ke arah Raja Iblis yang berdiri dalam jarak lima meter dari mereka. Setelah dekat, dia menyentuh lengan gadis itu.   "Jangan takut, Hui Cu, aku akan membelamu sampai mati."   Hui Cu tersenyum duka. "Kita akan mati, Ci Kang. Akan tetapi aku gembira dapat mati bersama seorang sahabat sepertimu. Mari kita lawan dia."   "Yang berat adalah tenaga dorongannya, mari kita satukan tenaga untuk menyambutnya." bisik Ci Kang. Gadis itu mengangguk dan menyelipkan kebutan pada pinggangnya, kemudian bersama Ci Kang dia melangkah maju berdampingan.   Melihat dua orang muda itu nekat maju bersama, Raja Iblis kembali tersenyum mengejek. Dia tahu akan siasat pemuda itu untuk menyatukan tenaga. Akan tetapi dia tadi sudah mengukur sampai di mana tenaga mereka dan dia tidak menjadi gentar. Bahkan sengaja dia maju lagi menyerang dengan kedua tangannya didorongkon ke depan, kedua telapak tangannya menghadap kepada dua orang lawan itu. Begitu kedua tangannya mendorong, nampak uap putih dan angin menyambar dahsyat. Ci Kang dan Hui Cu yang sudah maklum akan kehebatan tenaga dorongan itu, cepat menyambut dengan kedua tangan didorongkan pula. Kini mereka bergerak dengan berbareng, menyatukan tenaga sin-kang menyambut dengan kuatnya.   "Desss...!" Hebat bukan main ketika tiga pasang tangan itu bertemu dan akibatnya tubuh Raja Iblis undur dua langkah, akan tetapi tubuh Ci Kang dan Hui Cu terjengkang dan roboh terbanting! Mereka kalah tenaga dan kini mereka berdua merasa betapa napas mereka menjadi sesak. Terpaksa mereka cepat mengatur pernapasan dan menyalurkan hawa murni untuk mencegah dada yang terguncang hebat itu jangan sampai terluka. Kesempatan baik terbuka bagi Raja Iblis dan sambil tersenyum lebar dia melangkah maju, siap untuk mengirim pukulan maut!   "Sungguh tak tahu malu tua bangka menghina orang-orang muda!" Tiba-tiba terdengar suara halus dan suatu hawa tenaga yang amat kuat mendorong dan menyambut Raja Iblis. Kakek ini terkejut dan mengerahkan tenaga, menggunakan tangannya mengibas dan dua tenaga sakti saling bentur membuat keduanya terkejut karena masing-masing mendapat kenyataan betapa kuatnya lawan yang dihadapi!   Raja Iblis cepat memandang dan alisnya berkerut. Yang muncul di depannya adalah seorang laki-laki yang usianya paling banyak lima puluh tahun. Perawakannya gagah dan wajahnya masih nampak tampan menarik, pakaiannya serba indah dan membuat dia nampak semakin anggun. Wajah itu tersenyum ramah akan tetapi sepasang matanya mencorong penuh kekuatan. Di samping pria ini berdiri seorang wanita yang usianya sebaya, cantik sekali, dengan pakaian yang juga mewah, bersih dan baru, rambutnya dihias batu permata. Namun wanita cantik ini nampak anggun dan angkuh, serius dan sepasang matanya menatap wajah Raja Iblis seperti hendak menegur.   Raja Iblis tidak pernah mengenal mereka, akan tetapi dia dapat menduga bahwa kedua orang ini tentulah dua orang dari golongan pendekar yang memiliki kepandaian tinggi, maka dia tidak memandang rendah dan bersikap waspada dan hati-hati. Biasanya, kalau ada Ratu Iblis di sampingnya, dia tidak pernah mau bicara sendiri dan bahkan jarang dia turun tangan sendiri. Kini, karena dia seorang diri saja, dia terpaksa bicara dan bertindak sendiri. Dia teringat bahwa di antara para datuk di dunia persilatan, banyak yang sudah pernah ditaklukkannya, bahkan mereka bersumpah tidak akan melawannya kalau dia memegang Tongkat Suci Sakti. Kini berhadapan dengan dua orang itu, bahkan dia sudah mengukur tenaga pria itu yang ternyata amat kuat, dia ingin mengambil cara yang lebih mudah. Kalau dua orang ini mempunyai hubungan dengan para tokoh yang pernah ditundukkannya, tentu mereka tidak akan berani pula menentang dia yang memegang Tongkat Suci Sakti. Cepat dia mengeluarkan sebatang tongkat dari balik jubahnya dan sambil mengangkat tongkat itu ke atas kepala, dia berkata, suaranya bergema seperti datang dari jauh dan amat berwibawa.   "Lihat Tongkat Suci Sakti dan berlututlah kalian sebelum aku menyatakan kalian berdosa dan menerima hukumanku!"   Pria dan wanita itu memandang dengan heran, lalu saling pandang dan pria itu tertawa.   "Ha-ha-ha! Yang suci dan sakti bagi orang jahat belum tentu suci bagi kami! Aku she Ceng belum pernah melihat tongkat butut itu!"   "Tua bangka, jangan membadut di depan kami. Pergilah dan jangan ganggu dua orang muda ini sebelum aku turun tangan menghajarmu!" kata si wanita dengan suara galak den sepasang matanya medeorong penuh ancaman.   Raja iblis menjadi marah sekali. Tongkat Suci Sakti itu mereka hina! Padahal, melihat tongkat itu saja banyak tokoh persilatan gemetar dan berlutut.   "Bagus, kalau begitu kalian adalah calon-calon bangkai!" Raja Iblis menyerbu ke depan, menggunakan tongkat itu dan secepat kilat tongkat itu sudah melakukan dua kali pukulan ke arah pria dan wanita itu secara bertubi, bahkan diikuti oleh cengkeraman tangan kirinya yang tidak kalah berbahaya.   Pria dan wanita itupun bukan orang sembarangan. Sekali gerakan saja mereka sudah maklum akan kelihaian kakek yang mukanya seperti kedok mayat itu, dan mereka tahu akan bahayanya tongkat yang dinamakan Tongkat Suci Sakti itu. Maka keduanya cepat mengelak dengan gerakan yang indah dan cepat sehingga semua serangan kakek itu mengenai tempat kosong.   Wanita itu meloncat untuk menghindar dan ketika ia membalikkan tubuhnya, kedua tangannya sudah memegang sepasang pedang berwarna hitam dan ketika dicabut, nampak dua sinar hitam berguung-gulung.   "Awas, tongkatnya itu beracun!" kata si wanita kepada pria yang hanya tersenyum saja.   "Orangnya busuk, bagaimana tongkatnya tidak akan beracun?" Pria itu malah mengejek.   Raja Iblis semakin marah. Tongkatnya menyambar ganas ke arah kepala wanita itu. Wanita setengah tua cantik itu bersikap tenang. Sepasang pedang hitamnya membuat gerakan menangkis dan menggunting, menyambut tongkat.   "Trakk!" Tongkat itu terjepit sepasang pedang hitam. Pada saat itu, tangan kiri Raja Iblis melayang, menampar kepala lawan.   "Singgg...!" Pedang kanan melesat dari tongkat menyambut tangan! Raja Iblis kaget, tak mengira wanita itu memiliki gerakan sedemikian cepat dan lihainya. Dia tidak berani mengadu lengannya dengan pedang hitam, menarik tangan dan langsung tangan itu mendorong ke depan. Serangkum hawa panas dan kuat sekali menyambar.   "Ihhh!" Wanita itu berseru kaget dan cepat meloncat ke belakang. Ketika Raja Iblis hendak mendesak, suami wanita itu sudah menghadapinya dan menghalanginya mendesak isterinya.   "Hemm, engkau lihai juga," kata pria itu. Orang yang mampu mengejutkan isterinya dalam segebrakan saja sungguh jarang terdapat. "Siapakah engkau?"   Akan tetapi Raja Iblis tidak menjawab melainkan menubruk dengan serangan tongkatnya yang menyambar dengan totokan ke arah dahi di antara mata lawan. Pria itu cepat mengelak dengan kepala ditundukkan dan ketika tongkat itu melanjutkan gerakannya menyambar ke arah tengkuknya, dia mengangkat tangan kiri menangkis sambil mengerahkan tenaga sin-kang untuk melindungi kulit lengannya kalau-kalau tongkat itu benar mengandung racun seperti yang tadi diperingatkan oleh isterinya. Dalam hal racun, isterinya memang jauh lebih ahli daripada dia. Akan tetapi dia tidak takut terhadap racun.   "Plakkk!" Dan kembali keduanya terkejut. Pria itu merasa betapa lengannya tergetar dan dia tahu pula bahwa tongkat itu memang dilumuri atau direndam racun. Sebaliknya Raja Iblis merasa tengannya yang memegang tongkat bertemu dengan tenaga yang dahsyat sekali. Jarang dia bertemu tanding sehebat ini tenaganya. Apalagi melihat betapa lawan itu sama sekali tidak terpengaruh oleh racun pada tongkatnya. Sejak tongkatnya terampas oleh kelicikan Sui Cin dahulu itu, dia merendam tongkat saktinya dengan racun yang amat jahat agar siapapun yang akan merampas tongkatnya menjadi keracunan, dan juga setelah direndam racun, tongkat itu selain merupakan benda pusaka untuk menundukkan tokoh-tokoh dunia persilatan, juga dapat menjadi sebuah senjata yang ampuh. Akan tetapi lawan ini sedemikian lihainya sehingga sin-kangnya mampu menolak hawa beracun yang amat kuat dari tongkatnya.   Maklum akan kehebatan lawan, begitu tongkat tertangkis, Raja Iblis secara tiba-tiba dan cepat sekali menggerakkan tangan kirinya dan sebelum pria itu mengelak atau menangkis, tangan kirinya telah menghantam punggung lawan. Hebat dan cepat sekali tamparan telapak tangan kiri Raja Iblis ini, sama sekali tidak tersangka-sangka dan agaknya pria itupun tidak sempat pula mengelak.   "Plakk...!" Tiba-tiba sepasang mata Raja iblis terbelalak dan nampak dia menarik kembali tangan kirinya, akan tetapi tangannya itu telah melekat pada punggung lawan. Baru dia tahu bahwa lawannya memang sengaja tidak mengelak dan memang menerima tamparannya tadi.   "Thi-khi-i-beng...!" Raja Iblis berseru dan secepat kilat tongkatnya menyambar ke arah mata lawan. Pria itu terpaksa mundur dan Raja Iblis menyimpan tenaga saktinya. Agaknya dia tahu pula bagaimana cara menghadapi Ilmu Thi-khi-i-beng. Setelah Raja Iblis menyimpan tenaga saktinya, tangannya yang tadi melekat pada punggung lawan terlepas dengan mudah dan diapun meloncat jauh ke belakang.   "Kau... Pendekar Sadis?" tanyanya, lalu menoleh ke arah wanita cantik.   "Dan kau... yang dulu berjuluk Lam-sin, kau puteri Pangeran Toan Su Ong?"   Kini tahulah pria dan wanita itu dengan siapa mereka berhadapan dan keduanya nampak terkejut bukan main.   "Aha! Kiranya engkau yang terkenal dengan julukan Raja Iblis yang tersohor itu?" kata Ceng Thian Sin Si Pendekar Sadis.   Isterinya, Toan Kim Hong, berkata, "Inikah Pangeran Toan Jit Ong yang kabarnya memberontak terhadap pemerintah itu?"   "Hemm, kalau engkau puteri Toan Su Ong, berarti engkau adalah keponakanku sendiri! Keponakan dan mantu keponakan. Tidak lekas memberi hormat kepada pamanmu?"   "Biar paman, biar siapapun, kalau jahat adalah musuh kami!" kata Toan Kim Hong dengan suara garang.   Raja Iblis Toan Jit Ong adalah seorang yang amat cerdik. Dia tidak takut menghadapi dan melawan Pendekar Sadis dan isterinya, akan tetapi diapun tahu bahwa tidak akan mudah baginya untuk mengalahkan suami isteri perkasa ini. Apalagi ada Siangkoan Ci Kang di situ dan pemuda inipun tidak dapat dipandang ringan. Belum lagi puterinya sendiri yang malah membantu musuh! Kalau dia nekat melawan mereka berempat dan kalah atau mati sekalipun tidak takut, akan tetapi namanya akan jatuh dan pula, bagaimana dengan rencana besarnya?   Raja Iblis menarik napas panjang. "Sudahlah, mengingat hubungan darah, biar aku memandang arwah kakanda Toan Su Ong untuk mengampuni kalian berdua. Inilah anakku. Kemarilah, nak. Mereka ini adalah encimu sendiri dan kakak iparmu." Dengan lagak kebapakan dia menghampiri Hui Cu seperti hendak memperkenalkan mereka. Hui Cu yang masih hijau itu tentu saja menjadi lengah melihat sikap kakek yang menjadi ayah kandungnya itu. Dengan mudah sekali Raja Iblis dapat menangkap lengan kanan anaknya dan tiba-tiba kakek itu sudah menotoknya dan memanggulnya lalu meloncat jauh, melarikan diri.   Melihat ini, Ci Kang meloncat dan hendak mengejar. "Lepaskan ia!" bentaknya marah. Akan tetapi, suami isteri pendekar dari Pulau Teratai Merah itu tahu-tahu telah menghadangnya.   "Mengejar dia sama dengan bunuh diri!" kata Pendekar Sadis.   "Gadis itu dibawa pergi ayah kandungnya sendiri, mencampurinya adalah suatu kebodohan!" kata pula Toan Kim Hong.   Ci Kang maklum bahwa suami isteri ini mencegahnya untuk melakukan pengejaran dengan maksud menghindarkannya dari bahaya maut dan diapun sadar akan kebodohannya. Pula, Raja Iblis itu telah cepat menghilang dan dia sendiri tidak begitu mengenal daerah ini maka melakukan pengejaran selain tak mungkin, juga benar-benar sama dengan membunuh diri. Baru menghadapi Raja Iblis seorang diri saja dia sudah kalah, apalagi kalau raja sesat itu muncul bersama kaki tangannya. Akan tetapi, bagaimanapun juga, tidak mungkin dia dapat mendiamkan saja Hui Cu dibawa ayahnya. Gadis itu seperti berada dalam cengkeraman harimau. Lebih celaka lagi, seperti berada dalam cengkeraman iblis. Harimau takkan membunuh anaknya sendiri, akan tetapi Raja Iblis itu hendak memaksa Hui Cu menjadi isterinya, atau akan dibunuhnya.   Kini setelah Raja Iblis pergi, Ci Kang dapat mencurahkan perhatiannya kepada suami isteri itu. Dia memandang kepada mereka dan merasa jantungnya berdebar penuh ketegangan. Jadi inikah yang terkenal dengan julukan Pendekar Sadis itu? Ayah dan ibu Sui Cin, gadis yang dicintanya. Dan mereka ini demikian gagah perkasa, demikian anggun dan berpakaian indah. Sepasang pendekar yang berilmu tinggi, yang dapat membuat datuk sesat seperti Raja Iblis melarikan diri. Sepasang pendekar perkasa yang agaknya kaya raya pula. Sedangkan dia? Dia hanya seorang yatim piatu, dan lebih lagi, anak seorang datuk sesat yang buta. Dibandingkan dengan Sui Cin dan keluarganya, dia tidak lebih pantas menjadi seorang pelayan atau pegawai mereka saja. Akan tetapi dia teringat bahwa kemunculan dua orang ini tadi telah menyelamatkan nyawanya dari ancaman maut. Kalau tidak ada mereka ini, tentu dia sudah tewas di tangan Raja Iblis, maka diapun cepat menjura dengan sikap menghormat.