PENDEKAR MATA KERANJANG mjbookmaker by: http://jowo.jw.lt HUJAN turun sejak sore tadi dan malam ini hujan masih turun rintik-rintik. Walaupun tidak sederas sore tadi, namun hujan itu masih membuat orang enggan keluar rumah. Apalagi malam itu dingin sekali. Lebih enak berada di dalam rumah, menghangatkan diri di dekat perapian atau di atas pembaringan menyusup ke bawah selimut daripada di luar rumah. Kota Nan-king yang biasanya amat ramai dengan kehidupan malamnya itu kini nampak sunyi sepi seperti kota mati. Hanya satu dua orang saja nampak melangkah di atas jalan raya yang basah dan sunyi lagi gelap itu, orang-orang yang mempunyai urusan penting sekali. Mereka itu melindungi tubuh dengan jubah dan mantel, juga memegang payung. Di sebuah rumah besar dan kuno yang terletak di tepi jembatan di ujung timur kota itu, suasananya juga amat sunyi. Rumah itu milik keluarga Siangkoan Leng yang terkenal sebagai keluarga jagoan, memiliki ilmu silat yang tinggi dan juga dihormati orang karena mereka itu berdagang obat-obatan dan terkenal pula pandai mengobati orang sakit. Karena pandai mengobati orang, maka Siangkoan Leng sendiri oleh penduduk kota Nan-king disebut Siangkoan Sinshe yang pandai mengobati orang dengan tusuk jarum. Perdagangan obatnya laris dan keluarga itu memiliki penghasilan cukup besar. Akan tetapi keluarga ini pun, yang terdiri dari ayah ibu dan seorang anak,dibantu oleh empat orang pelayan, sejak sore sudah berada di kamar masing-masing, segan keluar kamar di malam yang sunyi dan dingin itu.Siangkoan Leng dan isterinya adalah sepasang suami isteri yang memiliki ilmu silat tinggi. Tiada orang di Nan-king yang pernah mengira, apalagi mengetahui, bahwa suami isteri itu, sebelum tinggal di Nan-king tujuh tahun yang lalu, pernah dikenal sebagai penjahat-penjahat besar di sepanjang pantai selatan! Selama belasan tahun mereka merajalela di daerah selatan, merampok, membajak, membunuh dan tidak ada kejahatan yang mereka pantang. Akan tetapi ketika isteri Siangkoan Leng yang bernama Ma Kim Li itu mengandung dalam usia hampir empat puluh tahun, peristiwa ini seperti menyadarkan mereka dan mereka berdua mengambil keputusan untuk memulai hidup baru dengan anak yang akan dilahirkan. Mereka lalu merantau ke utara dan akhirnya menetap di Nan-king meninggalkan pekerjaan jahat dan mencari uang secara halal. Mereka telah tinggal di situ selama tujuh tahun dan anak yang terlahir laki-laki mereka beri nama Siangkoan Hay dan kini telah berusia tujuh tahun. Sejak anak ini masih kecil, suami isteri itu telah menggembleng tubuh anak mereka dengan ramuan obat-obatan dan mendidiknya dengan ilmu silat. Sebagai suami isteri yang pernah malang melintang sebagai tokoh sesat di dunia selatan, tentu saja Siangkoan Leng dan Ma Kim Li telah menanam bibit permusuhan dengan banyak golongan atau perorangan. Ketika mereka masih malang-melintang di selatan, mereka selalu hidup dalam keadaan siap siaga karena setiap waktu bisa saja ada musuh datang menyerang karena setiap saat ada saja yang mengintai untuk mencelakai mereka sebagai pembalasan dendam. Karena cara hidup yang tidak aman inilah maka suami isteri itu mengambil keputusan melarikan diri dan meninggalkan dunia hitam. Mereka tidak ingin anak mereka terlahir dalam keluarga yang selalu terancam keselamatannya. Dan sejak tinggal di Nan-king, mereka hidup dengan tenang dan tenteram, tidak pernah lagi merasa khawatir karena tidak ada yang mengenal mereka dan mereka merasa tidak punya musuh. Biarpun demikian, karena sejak muda suami isteri itu adalah orang-orang yang selalu berkecimpung di dunia persilatan, apalagi kini mereka bermaksud menggembleng putera tunggal mereka menjadi seorang yang akan mewarisi ilmu-ilmu mereka, maka keduanya tak pernah lalai berlatih, bahkan berusaha untuk memperdalam ilmu mereka. Malam itu pun mereka tidak tidur seperti diperkirakan orang melainkan duduk bersamadhi di dalam kamar mereka, bersila di atas tempat tidur dan melatih ilmu baru yang sedang mereka ciptakan bersama untuk diturunkan kepada putera mereka. Dan bagaimana dengan Siangkoan Hay? Dasar anak tunggal dari suami isteri jagoan, anak ini pun suka sekali dengan ilmu silat dan malam itu pun dia duduk bersila untuk melatih diri menghimpun hawa murni dalam tubuhnya, sendirian di dalam kamarnya. Akan tetapi, empat orang elayan, dua laki-laki dan dua wanita, yang tidur di kamar-kamar belakang sejak tadi sudah tidur keenakan dalam udara dingin yang menerobos masuk ke dalam kamar mereka.Tak seorang pun dari tujuh penghuni rumah besar itu yang tahu bahwa ada dua sosok tubuh orang yang berjalan sambil berlindung di bawah sebatang payung, berhimpitan dan keduanya mengenakan mantel yang lebar, kini berhenti di depan rumah, menoleh ke kanan kiri. Sepi di sekitar tempat itu dan dua orang itu lalu memasuki pekarangan rumah keluarga Siangkoan. Di bawah sinar lampu yang tergantung di luar, di pojok rumah, nampak sekelebatan wajah dua orang laki-laki dan perempuan, yang laki-laki bertubuh jangkung kurus dan yang perempuan bertubuh sedang. Hanya sekelebatan saja wajah mereka nampak karena keduanya segera menyelinap ke dalam bayangan gelap dan hanya dua pasang mata mereka yang mencorong dalam kegelapan malam. Dengan tenang mereka lalu menutup payung, membuka mantel, membungkus payung dalam mantel dan mengikat mantel-mantel itu di atas punggung. Kini mereka berpakaian ringkas, pakaian berwarna hitam yang membuat bayangan mereka sukar dapat dilihat. Dengan gerakan yang amat cekatan, setelah saling berbisik, keduanya lalu meloncat ke atas tembok pagar dan terus berloncatan ke atas genteng rumah besar itu. Gerakan mereka demikian ringan dan cepat, seperti dua ekor kucing saja ketika kaki mereka menginjak genteng tanpa menimbulkan suara sama sekali, dan bagaikan dua ekor burung saja ketika mereka meloncat. Di ruangan belakang rumah itu, dua orang itu berloncatan turun. Dengan tenang mereka lalu menghampiri dua buah kamar di mana empat orang pelayan itu tidur. Masing-masing menghampiri sebuah kamar, yang laki-laki menghampiri pintu kamar pertama dan yang perempuan menghampiri pintu kamar ke dua, mereka berdua menggunakan tangan kanan mendorong daun pintu. "Krekkk!" Daun pintu yang terkunci dari dalam itu jebol dan terbuka. Di dalam kamar pertama tidur dua orang pelayan pria dan laki-laki jangkung itu lalu menggerakkan tangan kirinya. Sinar hitam menyambar ke arah pembaringan dan dua tubuh pelayan laki-laki yang sedang tidur pulas itu berkelojotan dan tewas tak lama kemudian tanpa sempat membuka mata atau mengeluarkan suara. Akan tetapi dua orang pelayan wanita yang berada di dalam kamar ke dua, ternyata belum pulas benar. Suara jebolnya daun pintu mengejutkan mereka. Keduanya bangkit duduk dan terbelalak memandang ke arah daun pintu yang sudah jebol. Ketika mereka melihat munculnya seorang wanita yang bermuka pucat dingin di tengah ambang pintu mereka terkejut dan ketakutan. Akan tetapi wanita itu pun sudah menggerakkan tangan kirinya dan sinar hitam menyambar ke arah dua orang pelayan wanita. Seorang di antara mereka sempat menjerit kecil sebelum ia roboh ke atas pembaringan kembali seperti temannya dan tubuh mereka berkelojotan lalu terdiam, mati. Sinar lampu di ruangan luar kamar itu kini menyinari dua muka pembunuh itu. Wajah seorang laki-laki yang kurus akan tetapi cukup tampan, kumisnya kecil panjang berjuntai ke bawah, bersatu dengan jenggotnya yang pendek dan sudah berwarna dua. Usianya sekitar lima puluh tahun. Wajah wanita itu pucat akan tetapi cantik, dengan hidung dan mulut yang membayangkan keangkuhan. Kini mereka saling pandang dan tersenyum, akan tetapi senyum mereka itu bagi orang lain tentu mengerikan karena seperti senyum iblis yang mengandung kekejaman. Kini dua ekor anjing yang berlari dari belakang, datang sambil menggonggong dan hendak menyerang dua orang itu. Akan tetapi, dua orang itu menggerakkan tangan seperti orang menampar ke arah dua ekor anjing itu dan suara anjing itu pun terhenti seketika dan mereka pun terpelanting dan tewas dengan mulut, hidung dan telinga mengeluarkan darah. Dua orang itu lalu berkelebatan di belakang rumah. Beberapa kali terdengar suara ayam berkeyok dan jerit pendek babi-babi yang berada di kandang belakang. Kalau saja air hujan rintik-rintik tidak membuat suara gaduh di atas genteng, agaknya dua orang suami isteri yang sedang bersamadhi itu akan dapat mengetahui akan datangnya dua orang penyebar maut itu. Betapapun tinggi ilmu ginkang (meringankan tubuh) yang dimiliki tamu-tamu gelap itu, agaknya pendengaran suami isteri yang sedang bersamadhi itu akan mampu menangkapnya, karena pendengaran mereka amat tajam dan terlatih dengan baik. Suara gaduh yang ditimbulkan air hujan yang merintik di atas genteng menutupi semua suara lain. Akan tetapi jerit pelayan wanita tadi masih dapat menembus celah-celah dan memasuki kamar. "Suara apa itu?" Ma Kim Li bertanya, sadar dari samadhinya. Suaminya juga sudah membuka mata dan memandangnya, menggeleng kepala. Akan tetapi karena tidak terdengar suara apa-apa lagi yang mencurigakan, mereka pun merasa lega. "Mungkin mereka mengigau dalam tidur ," kata Siangkoan Leng, sama sekali tidak menduga buruk karena selama bertahun-tahun ini tidak pernah terjadi sesuatu menimpa keluarganya. Akan tetapi kelegaan hati mereka itu tidak berlangsung lama. Kecurigaan hati mereka kembali diusik ketika terdengar gonggong kedua ekor anjing peliharaan mereka, apalagi ketika suara menggonggong kedua ekor anjing itu tiba-tiba saja terhenti. Hal ini tidak wajar, pikir mereka. dari pandang mata saja kedua suami isteri itu sudah saling sepakat untuk melakukan penyelidikan. Berbareng mereka meloncat turun dari pembaringan, mengenakan sepatu dan keluar dari dalam kamar. Pertama-tama.mereka membuka daun pintu putera mereka dan melihat betapa putera mereka masih duduk bersila, akan tetapi agaknya juga terganggu oleh suara gonggongan anjing-anjing itu. "Anjing-anjing itu kenapa, Ibu?" tanya Siangkoan Hay yang sangat menyayang anjing peliharaan mereka. "Kau di sinilah, kami akan melihat ke belakang." kata ibunya. Mereka lalu keluar dari kamar itu, menutupkan kembali daun pintunya dan dengan langkah ringan namun cepat, suami isteri itu lalu berlari ke belakangDan apa yang dilihatnya pertama-tama membuat mereka terbelalak dan wajah mereka berubah. Dua ekor anjing peliharaan mereka yang setia itu telah menggeletak mati dengan mulut, hidung dan telinga mengeluarkan darah! Siangkoan Leng cepat menghampiri dan sebagai seorang ahli pengobatan, begitu meraba, tahulah dia bahwa dua ekor anjing itu tewas karena pukulan yang amat ampuh, pukulan yang tidak membekas pada kulit anjing akan tetapi yang merusak bagian dalam sehingga dua ekor binatang itu tewas dengan mulut, hidung dan telinga mengeluarkan darah. Jeritan tertahan isterinya membuat Siangkoan Leng cepat meloncat dan menghampiri dua kamar itu. Dia menahan napas melihat betapa empat orang pelayan itu pun sudah tewas dan ketika mereka berdua melakukan pemeriksaan, mereka semakin terkejut akan tetapi juga marah sekali karena empat orang itu tewas dengan leher menghitam dan membengkak, tanda bahwa mereka telah dibunuh dengan menggunakan senjata rahasia jarum yang mengandung racun jahat! Mereka saling pandang dengan mata terbelalak. "Perbuatan siapa ini….?" Bisik isterinya. Suaminya menggeleng kepala, akan tetapi kelihatan marah. "Mari kita mencarinya!" Mereka berlompatan ke belakang dan ketika melakukan pemeriksaan mereka menemukan semua binatang peliharaan mereka, babi, ayam, bahkan seekor kucing, telah mati semua! Tidak ada seekor pun binatang peliharaan mereka yang masih hidup! "Cepat, ana kita….!” Ma Kim Li setengah menjerit ketika teringat anaknya dan seperti berlumba saja kedua orang suami isteri itu berlari kembali ke dalam ruangan besar dan segera menuju ke kamar anak mereka. Daun pintu masih tertutup dan dengan hati penuh ketegangan Ma Kim Li yang datang lebih dulu dari suaminya itu cepat mendorong daun pintu. Legalah hatinya melihat betapa puteranya masih duduk bersila seperti tadi! "Eh, ada apakah Ibu?” tanya Siangkoan Hay, terkejut melihat cara masuknya ibu dan ayahnya itu dan melihat wajah mereka pucat, dibayangi ketegangan dan kegelisahan. Tanpa mengeluarkan kata-kata Ma Kim Li merangkul puteranya. "Tidak ada apa-apa, hanya ada orang jahat memasuki rumah kita," bisiknya. "Wah, kalau begitu mari kita tangkap dan hajar dia, Ibu!" Siangkoan Hay berkata penuh semangat dan dia sudah meloncat turun dan tentu akan berlari keluar kalau tidak dipegang ibunya. "Ssttt..." kata ibunya. Pada saat itu terdengar suara ketawa bergelak dari luar. "Ha-ha-ha, jelas nampak betapa orang tuanya pengecut akan tetapi anaknya gagah berani! Hari ini kami membunuhi semua pelayan dan binatang peliharaan, seminggu kemudian kami datang mengambil kembali anak kami dan sebulan kemudian kami datang untuk mengambil nyawa suami isteri Siangkoan!" "Keparat!" Siangkoan Leng meloncat keluar melalui jendela sedangkan isterinya sudah melompat keluar melalui pintu setelah memesan agar puteranya tinggal saja dalam kamar. Suami isteri itu muncul di pekarangan depan rumah mereka dari dua jurusan pada waktu yang sama dan di tengah pekarangan itu, di bawah sinar lampu yang suram karena walaupun hujan tinggal sedikit sekali namun cuaca masih amat gelap, berdiri dua orang yang berpakaian serba hitam dan menggendong buntalan hitam. Yang seorang bertubuh jangkung kurus, seorang lagi bertubuh kecil ramping. Siangkoan Leng dan Ma Kim Li mendekati dua orang itu dengan hati-hati dan memandang penuh perhatian. Setelah mengenal wajah dua orang itu, suami isteri ini menjadi marah bukan main. Kiranya kalian... suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan?" Laki-laki jangkung kurus berusia kurang lebih lima puluh tahun itu tertawabergelak dan isterinya yang cantik dan hanya beberapa tahun lebih muda, tersenyum, akan tetapi baik suara ketawa maupun senyum itu mengerikan, mengandung ejekan dan kekejaman luar biasa. Sekilas terbayanglah pengalaman kurang lebih sepuluh tahun ketika suami isteri Siangkoan masih merajalela di selatan. Di antara banyak sekali musuh dan saingan dalam rimba raya persilatan dan dunia hitam, suami isteri dari Guha Iblis Pantai Selatan ini merupakan musuh besar mereka. Tentu saja sebabnya hanya memperebutkan kekuasaan dan wilayah kekuasaan. Beberapa kali dua pasang suami isteri ini saling bentrok, akan tetapi di dalam perkelahian-perkelahian yang seimbang dan seru, selalu Siangkoan Leng dan Ma Kim Li selalu menang dan suami isteri Guha Iblis itu selalu melarikan diri dengan luka-luka. Melihat bahwa musuh yang datang hanya suami isteri yang beberapa kali pernah kalah oleh mereka, tentu saja Siangkoan Leng dan Ma Kim Li memandang rendah dan mereka menjadi marah sekali. "Kalian datang mengantar nyawa!" bentak Siangkoan Leng. "Ha-ha, yang jelas kami datang mencabut nyawa para pelayan dan semua binatang peliharaanmu. Seminggu kemudian kami akan datang mengambil kembali anak kami, dan sebulan kemudian baru kami akan mengambil nyawa kalian." "Jahanam busuk!" Ma Kim Li memaki wanita yang menjadi musuhnya itu. "Lancang sekali kau mengatakan bahwa putera kami adalah anak kalian!" "Tentu saja anak kami!" jawab wanita berpakaian hitam itu. "Kalian telah merampasnya dari tangan kami, mendahului kami yang memang merencanakan untuk mengambil anak itu. Dia anak kami, dan seminggu lagi kami akan mengambilnya." "Mulut besar, kami akan membunuh kalian untuk perbuatan kalian malam ini!" bentak Siangkoan Leng dan tanpa banyak cakap lagi dia pun mengeluarkan suara melengking nyaring yang disusul oleh isterinya dan kedua suami isteri ini lalu menubruk ke depan. Kedua lengan mereka dikembangkan, jari-jari tangan dibuka membentuk cakar dan bukan main dahsyatnya serangan itu karena mereka yang marah sekali telah mengeluarkan ilmu baru yang sedang mereka ciptakan agar cepat-cepat dapat membunuh dua orang musuh besar itu. Dua orang tokoh Guha Iblis Pantai Selatan itu mengeluarkan suara ketawa mengejek dan tiba-tiba mereka bertiarap ke atas tanah, kemudian mencelat ke atas memapaki serangan lawan. Sungguh aneh sekali gerakan mereka itu, akan tetapi ternyata mereka mampu menyambut serangan lawan dengan dorongan telapak tangan terbuka yang amat kuat. "Desss! Dessss! !" Empat tangan itu saling bertemu di udara dan terjadi benturan tenaga sinkang yang amat dahsyat sehingga keadaan sekeliling tempat itu seperti tergetar. Siangkoan Leng dan Ma Kim Li terdorong dan terhuyung ke belakang, muka mereka menjadi pucat. Sedangkan dua orang berpakaian hitam itu berdiri tegak sambil tertawa-tawa. "Siangkoan Leng, kami tidak ingin membunuh kalian sekarang. Seminggu lagi kami datang untuk mengambil anak itu, dan sebulan kemudian baru kami akan membunuh kalian. Ha-ha-ha, selamat tinggal!" Dua orang itu tertawa-tawa dan sekali berkelebat keduanya lenyap dari depan suami isteri yang masih tertegun itu. Ma Kim Li teringat akan puteranya dan cepat ia lari memasuki rumah lagi, diikuti oleh suaminya yang juga merasa khawatir sekali. Ketika mereka membuka daun pintu, dapat dibayangkan betapa kaget dan gelisah rasa hati mereka melihat bahwa kamar putera mereka itu telah kosong dan tidak nampak bayangan Siangkoan Hay! "Hay Hay !" Ma Kim Li menjerit dan cepat keluar lagi, berlari ke sana-sini mencari-cari puteranya. Juga Siangkoan Leng mencari-cari dan memanggil-manggil nama anaknya. Akan tetapi mereka tidak dapat menemukan Siangkoan Hay yang seolah- olah lenyap ditelan bumi, tidak meninggalkan bekas! Mereka mencari-cari sampai jauh ke tuar rumah, bahkan mengejar ke sana-sini di seluruh kota dan sampai pagi, tetap saja mereka tidak dapat menemukan putera mereka. Dapat dibayangkan betapa gelisah rasa hati orang tua itu setelah mencari-cari semalam suntuk tanpa hasil dan pada pagi harinya berjatan pulang dengan tubuh lemmas. Biarpun tidak sampai mengeluarkan air mata karena wanita seperti Ma Kim Li itu tidak dapat menangis lagi, akan tetapi wajahnya menjadi amat pucat. Juga wajah Siangkoan Leng pucat dan keduanya setelah tiba di rumah, kembali mencari anak mereka tanpa hasil. Mereka melakukan penyelidikan di kamar Siangkoan Hay namun tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan atau sesuatu yang dapat memberi petunjuk ke mana perginya anak itu. "Jangan-jangan mereka telah membawanya!" kata Ma Kim Li. "Kalau mereka yang menculik Hay Hay, berarti mereka tentu mempunyai pembantu. Mereka sendiri tidak mungkin karena mereka bentrok dengan kita dan ketika mereka pergi kita langsung pergi ke kamar Hay Hay. Akan tetapi kurasa bukan mereka penculiknya. Bukankah mereka sudah mengatakan akan mengambil Hay Hay seminggu lagi?" "Iblis-iblis macam mereka itu mana bisa dipercaya?" "Jangan kau memandang rendah mereka! Kukira mereka itu tidak boleh disamakan dengan keadaan mereka sepuluh tahun yang lalu. Sepuluh tahun yang lalu, kepandaian mereka hanya berada sedikit di bawah tingkat kita, akan tetapi engkau tentu merasakan ketika kita beradu tenaga dengan mereka tadi. Kita mempergunakan ilmu kita yang baru, dengan pengerahan seluruh tenaga, akan tetapi tangkisan mereka membuat kita hampir jatuh! Itu saja membuktikan bahwa mereka kini telah memiliki tingkat kepandaian yang berada di atas tingkat kita!" "Aku tidak takut!" “Aku pun tidak takut, akan tetapi aku hanya mengatakan keadaan sebenarnya. Dengan kepandaian setinggi itu, mereka tentu bukan hanya menggertak saja. Mereka bahkan sengaja menentukan waktu-waktunya untuk bertindak agar kita dapat membuat persiapan lebih dulu. Kesombongan seperti itu tentu hanya mereka lakukan karena mereka yakin benar akan kepandaian mereka. Mereka seolah-olah memberi kesempatan kepada kita untuk melarikan diri, atau minta bantuan orang lain, dan agaknya mereka sudah siap akan semua kemungkinan itu." "Kalau bukan mereka, siapa yang mengambil anak kita?" " Aku tidak tahu... ah, begitu banyak musuh kita di selatan, mana kita bisa menduga siapa yang menculiknya?" "Sudah tujuh tahun tidak ada seorang pun di antara mereka yang datang mengganggu….” "Buktinya malam tadi sepasang suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan datang, siapa tahu ada pula yang lain-lain datang untuk mengganggu kita." "Kalau begitu, bagaimana baiknya ?" Ma Kim Li nampak bingung dan putus asa. Wajahnya yang biasanya cerah dan masih nampak cantik itu kini menjadi muram dan sepasang matanya yang biasanya bersinar-sinar penuh keramahan yang berseri-seri, kini nampak layu dan membayangkan ketajaman yang penuh kekejaman dan kemarahan. Kedua tangannya sebentar terbuka sebentar tertutup seperti hendak mencengkeram sesuatu dan sepuluh batang jari-jari tangannya itu dimasuki tenaga dahsyat sehingga kadang-kadang mengeluarkan bunyi berkerotokan, mengerikan sekali. "Sudahlah, lebih baik kita sekarang mengurus mayat empat orang pelayan kita itu dan jangan sampai ada orang lain yang tahu. Kita kubur mereka diam-diam di kebun kita dan semenjak hari ini kita tutup toko kita. Setelah itu baru kita akan mencari akal bagaimana untuk menghadapi mereka dan juga ke mana kita harus mencari anak kita." "Akan tetapi Hay Hay... bagaimana kalau anak kita itu dibunuh…..?" "Bodoh! Kalau mereka memang ingin membunuhnya, mengapa harus susah-susah menculiknya? Kalau sudah dapat menculiknya, apa susahnya membunuhnya di sini juga? Jangan bodoh, penculik itu tidak membunuhnya, hanya menculiknya untuk membikin kita tersiksa." "Seperti juga dua iblis itu yang sengaja memberi waktu kepada kita agar kita gelisah dan tersiksa sebelum mereka turun tangan." "Benar, dan mari kita bekerja membereskan mayat-mayat itu." Suami isteri itu menutup pintu rapat-rapat dan diam-diam lalu bekeria keras. membuat lubang yang cukup besar di dalam kebun belakang mereka untuk mengubur empat mayat pelayan mereka menjadi satu. Juga bangkai-bangkai babi, anjing dan ayam itu mereka kuburkan ke dalam satu lubang yang lain! Sebetulnya, Siangkoan Leng dan Ma Kim Li bukanlah orang biasa. Ketika mereka masih merajalela di selatan, mereka merupakan sepasang manusia iblis yang tidak pantang melakukan perbuatan jahat apa pun. Di samping kekejaman mereka, suami isteri ini pun amat lihai. Jarang ada orang yang mampu menandingi mereka. Nama besar Lam-hai Siang-mo (Sepasang Iblis Laut Selatan) sebagai julukan yang diberikan oleh dunia kang-ouw kepada mereka amat terkenal dan ditakuti orang. Entah sudah berapa banyak orang terbunuh atau kalah oleh mereka berdua sehingga tidak mengherankan apabila banyak orang menaruh dendam kepada mereka. Semenjak mereka pindah ke Nan-king, mereka "mencuci tangan" dan tidak pernah melakukan kejahatan lagi, memelihara dan mendidik anak tunggal mereka dan bekerja dengan halal. Mereka tidak tahu bahwa semua perbuatan mereka yang lalu itu tidak habis begitu saja, mengandung akibat-akibat yang agaknya baru sekarang timbul dan mengganggu kehidupan mereka yang tadinya tenteram. Sambil bekerja mengubur mayat-mayat dan bangkai-bangkai, pekerjaan yang bagi mereka biasa saja karena menghadapi kematian sudah tidak aneh lagi bagi mereka, kedua orang suami isteri itu bercakap-cakap dan menduga-duga siapa kiranya musuh-musuh lain yang berani mengganggu mereka dan menculik Siangkoan Hay. "Sungguh aneh sekali, apa maksudnya tikus-tikus dari Guha Iblis itu mengaku Siangkoan Hay sebagai anak mereka?" antara lain Ma Kim Li bertanya. "Aku juga sudah memikirkan hal itu sejak tadi," jawab suaminya. "Dan aku mengambil kesimpulan bahwa agaknya mereka sudah tahu akan rahasia kita dan agaknya pula pada waktu itu mereka pun berniat untuk menculik anak itu. Hanya bedanya, kalau mereka ingin menculik, sebaliknya kita menukarnya dengan anak yang mati. Anehnya, bagaimana mereka bisa tahu? Bukankah dua orang saksi telah kita bunuh semua?" Setelah pekerjaan mengubur itu selesai, Siangkoan Leng dan isterinya masuk ke dalam rumah dan keduanya termenung. Mereka membayangkan peristiwa tujuh tahun yang lalu. Ketika Ma Kim Li mulai mengandung, ia dan suaminya mendengar akan adanya suami isteri pendekar yang baru tiba di selatan dari pelariannya keluar dari Tibet. Suami isteri itu terkenal sebagai pendekar-pendekar budiman dan ketika mereka merantau ke Tibet Si isteri mengandung, ada petunjuk kepada para pendeta Lama bahwa anak yang dikandungnya oleh isteri pendekar itu adalah penitisan (reinkarnasi) dari Dalai Lama dan bahwa anak itu kelak akan menjadi Dalai Lama atau seorang yang suci. Karena itu, suami isteri pendekar itu menjadi ketakutan. Berita itu berarti bahwa mereka harus melepaskan anak mereka kalau sudah terlahir, untuk dirawat dalam biara oleh para pendeta Lama. Dengan ilmu kepandaian mereka, suami isteri itu akhirnya berhasil lolos dari kepungan para pendeta Lama dan melarikan diri sampai ke pantai selatan. Akan tetapi berita itu ramai dibicarakan orang dan terdengar pula oleh Lam-hai Siang-mo. Ramai orang membicarakan bahwa anak yang akan terlahir dari isteri pendekar itu tentu seorang anak yang disebut Sin-tong (Anak Ajaib). Kebetulan sekali, kandungan dalam perut Ma Kim Li sama tua dengan kandungan isteri pendekar itu. Ketika Ma Kim Li melahirkan, ternyata bayi laki-laki itu memiliki tubuh yang lemah sekali. Suami isteri itu berusaha mengobatinya, namun sia-sia bahkan pertumbuhan anak itu setelah dua bulan tidak berjalan normal dan amat terbelakang. Tentu saja Siangkoan Leng dan Ma Kim Li menjadi kecewa bukan main. Akan tetapi mereka adalah orang-orang yang tidak pernah mau mengalah terhadap nasib dan dengan cara apa pun juga mereka ingin mengubah nasib diri mereka. Mereka mendengar bahwa suami isteri pendekar itu yang untuk sementara kini mondok dalam sebuah kuil para nikouw (pendeta wanita) yang terpencil di luar kota, juga sudah dikaruniai seorang anak laki-laki yang lahirnya hanya selisih satu dua hari dengan kelahiran anak mereka yang diberi nama Siangkoan Hay itu. Pada suatu malam, pergilah suami isteri ini membawa anak mereka yang baru berusia dua bulan, memasuki kuil dari kebun belakang. Siangkoan Leng menyuruh isterinya bersembunyi di balik rumpun bunga dan mendekap mulut anak mereka agar jangan mengeluarkan suara, sedangkan dia sendiri cepat menyelinap untuk menyelidiki keadaan di dalam kuil itu. Dia merasa terheran-heran melihat betapa kuil itu sunyi senyap dan terdengar suara orang-orang tidur mendengkur di dalam kamar-kamar kuil itu, tanda bahwa para penghuninya sudah tidur lelap. Cepat dia memberi isyarat kepada isterinya dan mereka lalu mengadakan pemeriksaan dan mengintai ke dalam setiap kamar. Akhirnya mereka melihat seorang wanita yang berpakaian seperti pengasuh anak-anak, bersama seorang nikouw, yaitu seorang pendeta wanita yang berkepala gundul, berada di dalam sebuah kamar dan anehnya, mereka pun agaknya tidur nyenyak. Seorang anak laki-laki berusia kurang lebih dua bulan juga tertidur di atas pembaringan. "Cepat…..!" Bisik Siangkoan Leng kepada isterinya. Mereka berloncatan tanpa mengeluarkan suara ke dalam kamar itu. Ma Kim Li lalu menaruh anaknya sendiri di atas pembaringan dan menyambar anak laki-laki yang sedang tidur nyenyak itu, seorang anak laki-laki yang bertubuh montok dan berkulit putih bersih. Akan tetapi anaknya sendiri menangis dan tanpa banyak cakap lagi Siangkoan Leng lalu menggerakkan tangan menampar dan anak itu pun terdiam dan tewas dengan muka yang tak dapat dikenal lagi karena sudah remuk! Sementara itu, Ma Kim Li juga mempergunakan tangannya yang bergerak menyambitkan jarum-jarum hitam. Jarum-jarum itu berubah menjadi sinar hitam menyambar ke arah leher dua orang wanita itu yang tak sempat berteriak lagi dan langsung saja tewas dengan jarum-jarum itu terbenam dalam-dalam di leher mereka! Setelah itu, suami isteri itu berloncatan ke luar. Pekerjaan terkutuk itu mereka lakukan dengan tenang-tenang saja. Membunuh anak sendiri dan dua orang wanita tidur itu bagi mereka bukan apa-apa, karena membunuh anak sendiri dan merusak mukanya agar tidak dikenal itu memang sudah termasuk dalam rencana mereka. Setelah menukarkan anak mereka yang lemah dan tidak normal itu dengan putera suami isteri pendekar, anak yang dihebohkan sebagai Sin-tong, anak yang sejak dalam kandungan sudah ditunjuk oleh para pendeta Lama di Tibet sebagai calon orang besar, Siangkoan Leng dan Ma Kim Li merasa girang sekali. Akan tetapi mereka pun maklum bahwa orang-orang tidak akan tinggal diam saja, maka mereka pun seperti memperoleh dorongan lebih kuat lagi untuk segera meninggalkan daerah selatan. Memang sejak Ma Kim Li mengandung, mereka ingin meninggalkan pekerjaan sebagai penjahat demi anak mereka. Kini, mereka setengah terpaksa meninggalkan daerah selatan pada malam hari itu juga dan setelah merantau berbulan-bulan lamanya, menghilangkan jejak mereka agar tidak dapat disusul oleh mereka yang mungkin melakukan pengejaran, akhirnya mereka tinggal di Nan-king sebagai pedagang dan ahli obat. Suami isteri mengenangkan semua peristiwa itu dan kini menduga-duga siapakah yang membocorkan rahasia mereka sehingga diketahui oleh suami isteri Guha Iblis itu? Dan mengapa yang mencari mereka, yang ingin merampas anak itu adalah dua orang dari Guha Iblis itu, dan bukan orang tua anak itu, apakah sepasang pendekar yang menjadi orang tua aseli dari anak yang kini bernama Siangkoan Hay dan menjadi anak mereka selama tujuh tahun? Dan siapa pula yang sebenarnya telah menculik anak mereka? "Apa yang harus kita lakukan sekarang?" berkali-kali Ma Kim Li bertanya, kepada suaminya dan kepada diri sendiri karena ia merasa bingung sekali. Biarpun bukan Siangkoan Hay anak yang dikandungnya dan dilahirkannya, akan tetapi karena ia telah memelihara dan mendidik anak itu sejak berusia dua bulan, ia sudah merasa amat mencinta anak itu dan dianggapnya seperti anak kandungnya sendiri saja. "Kita menghadapi dua hal yang amat gawat," kata suaminya setelah lama berpikir-pikir mencari akal. "Pertama, dua orang itu tentu tidak mau melepaskan kita begitu saja. Mereka memberi waktu, dan selama itu tentu mereka akan selalu mengamati gerak-gerik kita sehingga andaikata kita melarikan diri pun mereka akan tahu dan membayangi kita. Ilmu kepandaian mereka amat tinggi dan kita harus mencari daya upaya untuk melawan mereka dan menang. Ke dua, kita pun harus cepat-cepat mencari anak kita yang diculik orang. Mencari anak kita dalam keadaan kita selalu dibayangi, sungguh akan tidak leluasa sekali, dan menghadapi mereka secara begitu saja, juga amat berbahaya. Ilmu kita yang paling baru saja tidak mampu merobohkan mereka!" "Habis, bagaimana?" tanya isterinya yang diam-diam merasa jerih juga walaupun ia tidak menyatakan dengan mulut. Ia pun merasa ketika menyerang wanita yang menjadi lawannya malam itu, ia telah mengeluarkan ilmunya yang terbaru dan mengerahkan tenaga. Akan tetapi lawan itu dengan gerakan bertiarap lalu meloncat bangun, sanggup menahan pukulannya, bahkan membuat ia terdorong ke belakang dan terhuyung hampir roboh! Padahal dahulu, wanita itu yang bernama Tong Ci Ki berjuluk Si Jarum Sakti, pernah dikalahkannya dalam perkelahian sampai beberapa kali. Juga suami wanita itu, yang bernama Kwee Siong berjuluk Si Tangan Maut, beberapa kali kalah oleh suaminya. Kiranya mereka telah mempero1eh kemajuan yang amat hebat selama sepuluh tahun ini. "Kita harus menggunakan akal sehingga untuk sementara kita dapat lolos dari ancaman mereka dan di lain pihak kita pun dapat bebas melakukan pengintaian kepada mereka apakah mereka itu menculik anak kita atau tidak." "Bagaimana akalnya?" isterinya bertanya khawatir . "Yang terpenting kita harus dapat meloloskan diri dari pengamatan mereka agar kita dapat leluasa bergerak dan dapat berbalik membayangi mereka, dan satu-satunya akal kita adalah begini." Suami itu mendekati isterinya dan berbisik-bisik di dekat telinganya, karena khawatir kalau-kalau pihak musuh mengadakan pengintaian dan akan dapat mendengarkan siasatnya. Isterinya mengangguk-angguk setuju. *** Berita kematian Siangkoan Sinshe dan isterinya amat menggemparkan seluruh penduduk Nan-king. Banyak sekali orang datang untuk melayat. Menurut penuturan empat orang pelayan laki-laki yang baru beberapa hari bekerja di situ karena kabarnya pelayan-pelayan lama keluar dan pulang kampung, mereka mendapatkan majikan mereka itu kedua-duanya telah mati di dalam kamar tidur mereka. Memang agak aneh. Apalagi ketika para tetangga itu mendapatkan bahwa dua mayat Siangkoan Leng dan isterinya itu telah dimasukkan ke dalam dua buah peti yang sudah tertutup. Akan tetapi tidak ada yang meributkan soal ini. Tidak ada jalan lain bagi mereka kecuali melayat dan ikut berkabung karena bagaimanapun juga, suami isteri itu dikenal sebagai pedagang obat yang pandai mengobati orang sakit dan sudah banyak orang sakit sembuh oleh pengobatan mereka. Kepala daerah yang sudah mengenal baik Siangkoan Leng dan isterinya, datang pula melayat begitu mendengar berita itu dan dia pun merasa curiga, maka dia memaksa empat orang pelayan itu, dibantu oleh orang-orang kepala daerah itu sendiri, membuka sedikit peti-peti mati itu agar dia dapat melihat wajah suami isteri yang dikabarkan mati mendadak itu. Dua buah peti mati itu lalu dibuka sedikit dan digeser penutupnya. Nampaklah wajah dua orang suami isteri itu, wajah yang pucat tak mengandung darah lagi, wajah jenazah yang sudah tidak bernyawa lagi! Si Kepala Daerah baru percaya dan peti itu pun ditutup lagi dan dipaku. Dan para tetangga juga kini percaya bahwa suami isteri itu sudah benar-benar mati. Hanya, tidak ada yang tahu bagaimana dua orang yang tadinya sehat-sehat itu tiba-tiba saja meninggal dunia. Selama dua hari banyak tamu berdatangan dan bersembahyang di depan dua buah peti mati itu. Asap hio mengepul dan bau dupa wangi yang dibakar memenuhi ruangan. Pada hari ke tiga, anak tunggal suami isteri yang mati itu, yang selama beberapa hari itu menjadi pertanyaan para tetangga dan kenalan Siangkoan Leng sekeluarga, tiba-tiba saja muncul, dan berlari-lari sambil menangis dan memanggil ayah ibunya! Keadaan menjadi gempar dan mengharukan ketika Siangkoan Hay, yang menjadi buah bibir dan pertanyaan para tetangga karena tidak nampak, apalagi karena empat orang baru itu mengatakan bahwa mereka belum pernah melihat putera majikan mereka itu karena semenjak mereka dipekerjakan, tuan muda itu sudah tidak berada di rumah, menangis tersedu-sedu di depan dua peti mati itu. "Ayah..., Ibu... kenapa kalian mati? Kenapa... ? Apa yang telah terjadi….?" Dia menangis dan bertanya, akan tetapi tak seorang pun mampu menjawabnya. Dari luar terdengar suara ketawa. Tentu saja semua tamu menjadi terkejut dan menengok dan pandang mata mereka membayangkan kemarahan. Sungguh tidak sopan sekali di dalam ruangan berkabung itu ada orang tertawa! Akan tetapi pandang mata mereka yang tadinya mengandung kemarahan segera berubah menjadi ketakutan dan kengerian ketika mereka melihat siapa yang tertawa tadi. Mereka adalah seorang laki-laki dan seorang wanita. Yang laki-laki bertubuh jangkung kurus, wajahnya tampan akan tetapi mengerikan, dingin dan kaku seperti kedok saja, hanya sepasang matanya yang hidup dan mencorong menakutkan. Yang wanita bertubuh kecil ramping, mukanya berbentuk bagus dan cantik, akan tetapi muka itu pucat sekali seperti muka mayat dan bibir yang pucat membiru itu tersenyum, akan tetapi senyum yang mengandung kekejaman, sedangkan sepasang matanya juga mencorong seperti mata laki-laki jangkung di sampingnya. Kiranya yang mengeluarkan suara ketawa tadi adalah wanita itu dan kini mereka melangkah memasuki ruangan di mana terdapat dua buah peti mati yang berjajar. Sejenak kedua orang itu memandang ke sekeliling, ke arah para tamu yang nampak terkejut dan bengong memandang kedua orang yang baru datang itu. Tidak ada seorang pun di antara para tamu itu yang mengenal suami isteri ini. Akan tetapi di selatan, di sepanjang pantai selatan, semua orang di dunia kang-ouw, terutama di dunia hitam, mengenal sepasang suami isteri Guha Iblis Pantai selatan. Laki-laki yang usianya sudah lima puluh tahun lebih itu bernama Kwee siong akan tetapi lebih terkenal dengan julukan Si Tangan Maut. Adapun wanita yang sedikit lebih muda daripada dia itu adalah isterinya bernama Tong Ci Ki yang terkenal dengan julukannya Si Jarum sakti. Mereka merupakan pasangan suami isteri yang terkenal ganas, kejam dan lihai seperti sepasang iblis, penghuni Guha Iblis di pantai selatan, ditakuti oleh semua orang. Kini suami isteri yang sikapnya amat dingin mengerikan itu memandang ke arah anak laki-laki yang menangis di antara dua buah peti mati. Si Jarum Sakti Tong Ci Ki menghampiri anak ini dan, bibirnya yang pucat kebiruan itu bergerak-gerak. "Apakah engkau anak dari Siangkoan Leng dan Ma Kim Li?" Anak itu memang Siangkoan Hay dan sambil mengusap air matanya, dia kini memandang kepada dua orang itu. Dia tidak mengenal mereka, akan tetapi ketika mereka menyebut nama ayah ibunya, dia mengangguk. "Benar, aku adalah anak mereka, namaku Siangkoan Hay." "Sin-tong...!" kata Tong Ci Ki dan ia pun melangkah maju mendekati Siangkoan Hay sambil mengulurkan tangannya. "Apa... ?" Hay Hay bertanya heran, akan tetapi pada saat itu, tubuhnya seperti ditarik oleh kekuatan yang luar biasa dan tahu-tahu pergelangan tangannya telah ditangkap oleh tangan wanita itu yang berkulit halus namun dingin. Hay Hay menggigil kedinginan dan hendak menarik kembali tangannya, akan tetapi tiba-tiba saja tangan yang lain dari wanita itu mengelus kepalanya dan dia pun tidak mampu menggerakkan tangannya itu, bahkan ketika hendak mengeluarkan suara, tidak ada suara keluar dari tenggorokannya. Hay Hay terkejut sekali dan hanya berdiri bengong, tak mampu bersuara atau bergerak, dan masih bergantungan pada tangan wanita itu yang memegang pergelangan tangannya. Sementara itu Si Tangan Maut Kwee Siong, dengan senyum yang lebih pantas dinamakan senyum iblis karena hanya menyeringai dengan mulut saja akan tetapi bagian lain dari mukanya sama sekali tidak bergerak, menghampiri dua buah peti mati itu. "Heii! Siapa kalian dan mau apa?" seorang di antara para tamu, yang merasa tidak senang melihat sikap suami isteri itu, menegur. Si Tangan Maut menoleh kepada orang itu, menyeringai. "Kami adalah sahabat-sahabat baik dari Siangkoan Leng dan Ma Kim Li, sungguh tak disangka hari ini kami melihat mereka telah berada di dalam peti mati." Mendengar ini, semua orang tertegun. Alangkah anehnya dua orang yang berpakaian serba hitam itu, pikir mereka. Sementara itu, Si Tangan Maut Kwee Siong sudah menghampiri kedua peti mati itu dan kedua tangannya menekan dan menepuk-nepuk kedua peti itu seperti orang menepuk-nepuk bahu sahabat baiknya "Siangkoan Leng dan Ma Kim Li, biarlah kalian dapat senang di alam baka." Setelah menepuk beberapa kali, dia pun mundur dan menoleh kepada isterinya. “Apakah kau tidak ingin membekali sesuatu kepada mereka melalui lubang-lubang kecil di samping peti itu?" Wanita itu pun tersenyum. Andaikata mukanya tidak seperti mayat, tentu wajahnya yang belum kelihatan keriputan itu akan nampak cantik. Ia masih menggandeng tangan Siangkoan Hay dan kini ia menggerakkan sebelah tangannya ke arah peti. Sinar hitam lembut menyambar ke arah kedua peti itu dan tepat sekali sinar-sinar kecil itu memasuki lubang-lubang di samping peti. Memang aneh peti mati itu ada lubang-lubang kecilnya di kanan kiri peti, seolah-olah peti-peti mati itu diberi lubang hawa! Hal ini tidak nampak oleh para tamu lainnya karena tertutup bunga -bunga, akan tetapi ternyata kelihatan oleh suami isteri luar biasa itu. Semua orang tidak mengerti akan sikap mereka dan tidak tahu apa yang mereka lakukan tadi. Akan tetapi tiba-tiba semua orang yang berada dekat kedua peti itu mengeluarkan seruan kaget. Dengan mata terbelalak mereka menuding ke arah bawah peti karena kini dari dua peti itu keluar darah menetes-netes dan tergenang di bawah peti! Melihat ini, Si Tangan Maut Kwee Siong dan isterinya, Si Jarum Sakti Tong Ci Ki, tertawa bergelak dan mereka lalu pergi dari ruangan itu sambil membawa Siangkoan Hay yang masih digandeng oleh Tong Ci Ki. "Hai, apa yang telah kalian lakukan?" "Tunggu dulu……!" Beberapa orang tamu, orang-orang yang ahli ilmu silat, mulai curiga dan menduga bahwa tentu telah terjadi peristiwa mengerikan sekali dan dua orang laki-laki dan wanita pakaian hitam ini tentu bukan sahabat baik keluarga Siangkoan, apalagi melihat mereka hendak pergi membawa Siangkoan Hay, sudah menghadang mereka. Akan tetapi suami isteri iblis itu dengan tenang melanjutkan langkahnya dan ketika tiba di dekat mereka yang berani menghadang, dua orang suami isteri itu hanya berseru, "Minggir kalian!" lalu keduanya menggerakkan tangan seperti orang mengusir lalat saja akan tetapi akibatnya, empat orang itu terpelanting ke kanan kiri seperti diamuk gajah! Padahal, empat orang itu termasuk orang-orang yang memiliki ilmu silat cukup tangguh dan merupakan jagoan-jagoan di Nan-king! Melihat betapa empat orang lihai itu demikian mudah dirobohkan oleh suami isteri berpakaian hitam, semua orang menjadi jerih dan tidak ada lagi yang berani menghalangi mereka. Apalagi ketika semua orang melihat betapa pria jangkung bermuka seperti topeng itu tiba-tiba menarik tangan Siangkoan Hay sehingga tubuh anak itu terpental ke atas lalu dipondongnya dan bersama wanita muka mayat itu kini mereka lari dengan kecepatan yang membuat mereka terbelalak, tak seorang pun berani melakukan pengejaran. Dalam sekejap mata saja dua orang itu telah lenyap dan barulah semua orang menjadi panik dan bising. Mereka lari mendekati dua peti mati dan dapat dibayangkan betapa kaget dan ngeri hati mereka ketika melihat bahwa selain dua buah peti itu masih menetes-netes darah melalui lubang-Iubang kecil tersembunyi itu, juga empat orang pelayan laki-Iaki yang tadi duduk di belakang peti-peti itu kini sudah terkapar dan tak bernyawa lagi, dengan muka berubah kehitaman! Padahal, mereka tidak melihat dua orang tamu aneh tadi turun tangan terhadap empat orang pelayan itu dan tidak salah lagi, mereka berempat itu tewas ketika terjadi ribut-ribut penghadangan terhadap dua orang tamu yang melarikan Siangkoan Hay. Tak seorang pun melihat bagaimana empat orang pelayan itu tewas dan siapa yang membunuhnya. Gegerlah tempat itu! Apalagi kepala daerah Nan-king yang pernah diobati oleh suami isteri Siangkoan, yang tadinya memang sudah menaruh curiga dan pernah menyuruh membuka tutup peti mati di hari pertama, menjadi marah sekali mendengar berita itu. Dia bersama orang-orangnya segera datang ke situ dan memerintahkan para pengawalnya untuk membuka tutup peti dengan paksa. Kembali dua buah peti itu dibuka tutupnya dan semua orang terbelalak, ada yang mengeluarkan pekik keheranan dan kengerian. Kiranya yang berada di dalam peti itu bukan Siangkoan Leng dan Ma Kim Li, bukan suami isteri pedagang obat itu, melainkan dua orang laki-laki dan perempuan lain lagi, yang usianya sekitar empat puluh tahun dan melihat pakaian mereka, mudah diduga bahwa mereka adalah petani-petani sederhana! Ke mana perginya Siangkoan Leng dan Ma Kim Li, atau lebih tepat lagi, ke mana hilahgnya jenazah-jenazah mereka yang tadinya sudah berada dalam peti mati? Kenapa tubuh dua orang petani itu tahu-tahu sudah berada di dalam peti dan agaknya mereka belum mati ketika berada dalam peti? Jelas bahwa mereka mati karena serangan gelap dua orang tamu aneh itu karena di sebelah dalam peti nampak bekas jari-jari tangan dan juga di lambung mereka nampak luka-luka menghitam yang kecil-kecil dan ketika dibedah, ternyata di dalamnya terdapat jarum-jarum hitam kecil. Dan siapa pula yang membunuh empat orang pelayan itu? Semua itu terjadi karena ulah suami isteri Siangkoan sediri! Seperti kita ketahui, suami isteri itu mengatur siasat untuk meloloskan diri dari pengamatan dua orang musuh mereka yang amat lihai agar mereka dapat leluasa bergerak dan berbalik melakukan pengintaian dan pengamatan. Diam-diam mereka lalu minta bantuan empat orang yang pernah belajar silat kepada Siangkoan Leng untuk menjadi pengganti pelayan, dan memberitahu kepada mereka bahwa para pelayan di rumah itu telah pulang ke kampung karena takut dengan ancaman musuh. Kemudian, dibantu oleh empat orang pelayan yang juga murid mereka itu, suami isteri ini lalu menggali lubang terowongan yang menembus ke luar pagar tembok sehingga suami isteri itu dapat keluar dengan leluasa di waktu malam. Hal ini mereka lakukan agar tidak sampai ketahuan pihak musuh yang tentu selalu melakukan pengintaian. Setelah melakukan perundingan dengan empat orang pelayan itu bahwa mereka akan melakukan siasat untuk mengelabuhi musuh, Siangkoan Leng dan Ma Kim Li pura-pura mati bunuh diri dengan minum racun. Ketika kepala daerah melakukan pemeriksaan, tubuh mereka memang berada dalam peti dan dengan ilmu kepandaian mereka yang tinggi, suami isteri itu dapat menghentikan pernapasan mereka, bahkan jalan darah mereka menjadi sedemikian lemahnya sehingga tidak dapat dilihat orang begitu saja, dan wajah mereka menjadi pucat seperti mayat, juga mereka sanggup menahan napas sampai beberapa lamanya. Dengan kepandaian itu, mereka dapat mengelabuhi kepala daerah dan orang-orangnya. Untuk keperluan pernapasan ketika peti itu tertutup, rnereka sengaja membuat lubang-lubang kecil di kanan kiri peti yang agak tersembunyi di antara bunga hiasan peti. Malam hari sebelum terjadi kunjungan dua orang suami isteri iblis itu, diam-diam Siangkoan Leng dan Ma Kim Li keluar dari peti mati dan melalui jalan terowongan di bawah tanah, mereka pergi ke dusun di luar kota. Tidak sukar bagi mereka untuk menemukan sebuah rumah terpencil di pinggir dusun. Setelah melakukan pengintaian, mereka merasa girang sekali menemukan suami isteri yang mereka cari-cari, yaitu sepasang suami isteri berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun dan yang lebih cocok lagi dengan siasat mereka adalah bahwa mereka itu hanya tinggal berdua saja di rumah kecil miskin yang sunyi terpencil itu. Suami isteri petani itu belum tidur dan tentu saja mereka merasa terkejut melihat munculnya Siangkoan Leng dan isterinya yang begitu saja mendorong daun pintu dari luar sampai jebol. "Eh….apa... siapa….?” teriak petani itu, akan tetapi Siangkoan Leng telah menotoknya sehingga dia tidak lagi mampu bergerak ataupun berteriak, sedangkan Ma Kim Li melakukan hal yang sama terhadap isteri petani. "Itu ada pakaian anak-anak." bisik Ma Kim Li kepada suaminya. Mereka mencari dan menggeledah rumah kecil itu, akan tetapi tidak menemukan orang lain. Biarpun mereka adalah orang-orang yang biasa melakukan perbuatan jahat akan tetapi kali ini mereka bekerja secara rahasia dan bersembunyi dari pengintaian musuh, maka keduanya tidak berani mencari lebih jauh dan cepat memanggul tubuh suami isteri petani yang sudah lemas itu, kembaIi ke kota Nan-king. MelaIui jalan terowongan itu mereka mehyeret dua tubuh petani memasuki rumah mereka dan cepat memasukkan tubuh suami isteri petani itu ke dalam peti-peti mati menggantikan tubuh mereka. Sebelum itu, mereka menggunakan obat bius untuk membuat suami isteri petani itu pingsan selama sehari semalam. Setelah melakukan perbuatan itu yang hanya disaksikan oleh empat orang pembantu mereka, Siangkoan Leng dan Ma Kim Li lalu keluar dari pekarangan rumah mereka melalui jalan rahasia dan mulailah mereka melakukan pengintaian dari tempat tersembunyi di luar pekarangan. Kini mereka melakukan pengintaian terhadap rumah mereka sendiri! Mereka melihat kesibukan yang terjadi di pekarangan dan juga di ruangan pendapa di mana dua buah peti mati diletakkan, melihat orang-orang datang berlayat dan bersembahyang untuk memberi penghormatan terakhir kepada "jenazah" mereka. Tentu saja mereka terkejut bukan main melihat seorang anak laki-laki berpakaian kotor dan berambut kusut memasuki pekarangan itu, anak yang bukan lain adalah Siangkoan Hay yang mereka cari-cari. Hampir saja Ma Kim Li berteriak melihat puteranya, akan tetapi suaminya sudah memegang lengannya dan cepat memberi isyarat agar jangan mengeluarkan suara atau bergerak. Sekali mereka keluar dan kelihatan orang, berarti terbukalah semua rahasia mereka! Boleh jadi Siangkoan Leng dan Ma Kim Li merupakan dua orang yang sudah kehilangan peri kemanusiaan, perasaan mereka sudah membeku terhadap kehalusan, keadaan hidup mereka yang lalu sebagai dua orang sesat yang berkecimpung dalam dunia hitam dan bergelimang dengan kejahatan membuat hati mereka mengeras dan tidak mengenal keharuan, namun ketika melihat Siangkoan Hay menangis di antara dua buah peti itu, menangis sambil memanggil-manggil ayah ibunya, dua orang ini nampak bengong dan termenung. Bahkan Ma Kim Li sampai mengusap kedua matanya dan Siangkoan Leng beberapa kali menelan ludah. Bagaimanapun juga, mereka berdua itu menganggap Hay Hay sebagai anak kandung sendiri. Walaupun anak itu bukan anak kandung, akan tetapi mereka memeliharanya, membesarkan dan mendidiknya sejak bayi berusia dua bulan, sampai anak itu kini berusia tujuh tahun. Dan anak itu cerdas, tabah dan lincah, selalu bergembira dan merupakan cahaya terang dalam kehidupan mereka. Karena watak yang baik dari Siangkoan Hay itulah yang banyak mendorong kepada suami isteri ini untuk memaksa diri melalui jalan benar, tidak pernah lagi mengulangi perbuatan jahat mereka. Demi untuk kehidupan anak mereka itu di kemudian hari maka mereka memaksa diri untuk menjadi “orang baik-baik". Karena paksaan dan bukan sewajarnya, maka kebaikan-kebaikan yang mereka pertahankan itu pun mudah luntur dan begitu ada ancaman bahaya kepada mereka, timbul kembali watak jahat mereka! Hidup baik atau kebaikan tidak mungkin dapat dilatih! Kebaikan bukanlah suatu hasil usaha atau hasil latihan, tidak mungkin juga dilakukan karena ketaatan atau karena ingin memperoleh balas jasa. Bukanlah suatu kebaikan kalau dilakukan dengan kesengajaan untuk menjadi baik, bukan pula kebaikan kalau dilakukan dengan pamrih apapun juga, bahkan bukan suatu kebaikan namanya kalau pelakunya menyadari bahwa yang dilakukan itu adalah suatu "kebaikan"! Kesadaran melakukan kebaikan ini pun jelas menyembunyikan pamrih, betapapun halus pamrih itu, sedikitnya tentu merupakan kesadaran akan kebaikan dirinya yang akan membentuk suatu gambar tentang diri sendiri yang penuh dengan kebaikan! Suatu kesombongan terselubung, dan pamrihnya ingin mengulang suatu nikmat yang timbul dalam hati karena telah "berbuat baik"! Kebaikan adalah suatu keadaan seseorang yang batinnya penuh dengan sinar cinta kasih. Perbuatan yang didasari cinta kasih pasti benar dan baik, bukan "kebaikan" lagi namanya, melainkan suatu perbuatan wajar penuh perikemanusiaan yang berlandaskan cinta kasih. Adapun kebaikan yang dilakukan orang tanpa dasar cinta kasih, melainkan kebaikan yang dilakukan karena kesadaran bahwa dia "harus" berbuat baik, maka perbuatan seperti itu, betapapun baik nampaknya, tiada lain hanyalah kemunafikan, kepalsuan yang menyembunyikan pamrih untuk diri sendiri, betapa halus pun pamrih itu. Dan kebaikan seperti ini akan mudah luntur. Sekali pamrihnya tidak terdapat, maka perbuatan baiknya pun akan berhenti. Kebaikan yang dilakukan dengan kesadaran seperti itu hanyalah merupakan suatu jalan atau cara untuk memperoleh suatu tujuan tertentu, dan kebaikan seperti itu tidak ada artinya, baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain. Tidak anehlah kalau orang-orang seperti Siangkoan Leng dah Ma Kim Li, setelah selama tujuh tahun menjadi "orang-orang baik" lalu tiba-tiba saja dapat kembali menjadi kejam. Kekejaman dalam batin mereka belum lenyap, hanya ditekan-tekan saja selama itu, "demi sesuatu" yang mereka harapkan dalam hal ini, mungkin demi anak mereka! Kebaikan itu seperti harum bunga. Bunganya adalah cinta kasih dan keharuman itulah kebaikan. Cinta kasih selalu akan menyebarkan kebaikan, tanpa disengaja, karena cinta kasih itu kebaikan, keduanya tak terpisahkan, seperti matahari dengan cahayanya. Keharuan yang menyentuh hati Siangkoan Leng dan Ma Kim Li segera buyar ketika mereka melihat munculnya Si Tangan Maut Kwee Siong dan Si Jarum Sakti Tong Ci Ki, dua musuh yang ditunggu-tunggu itu! Kembali Ma Kim Li hendak bergerak ketika melihat betapa anaknya ditotok dan ditangkap oleh Tong Ci Ki. Akan tetapi suaminya memegang tangannya dan berbisik. "Jangan bergerak….." "Tapi... bagaimana kalau mereka mencelakakan Hay Hay…..?" "Tidak. Mereka hendak merampas Hay Hay, bukan hendak membunuhnya! Kalau kita muncul dan rahasia kita terbuka, tentu lebih repot lagi bagi kita. Biarkan saja mereka, kita dapat membayangi dan setiap waktu dapat berusaha menyelamatkan anak itu." Mereka berdua terus mengintai dan ngeri juga rasa hati mereka ketika melihat betapa dengan kekuatan sinkangnya yang dahsyat, iblis dari Guha Iblis Pantai Selatan itu menyerang ke dalam peti, sedangkan isterinya menyerang pula dengan jarum melalui lubang-lubang angin. Andaikata tubuh mereka yang berada di dalam peti, agaknya sukar bagi mereka untuk dapat menyelamatkan diri. Ketika keadaan menjadi kacau karena suami isteri iblis itu membawa Hay Hay keluar dan merobohkan orang-orang yang berani menghadang mereka, Siangkoan Leng dan Ma Kim Li cepat menggerakkan tangan menyerang empat orang pembantu yang juga pernah menjadi murid mereka dari jarak jauh. Tentu saja empat orang itu tidak mampu menghindarkan diri dari sambaran jarum-jarum maut Ma Kim Li yang dalam hal penggunaan senjata rahasia beracun ini tidak kalah oleh Si Jarum Sakti Tong Ci Ki. Empat orang itu roboh dan tewas seketika dan peristiwa pembunuhan ini tidak nampak oleh orang lain karena suasana sedang kacau dan bising. Tentu saja para tamu yang berlayat di rumah keluarga Siangkoan itu menjadi geger ketika mendapat kenyataan bahwa mayat-mayat di dalam dua buah peti mati itu bukanlah Siangkoan Leng dan isterinya dan betapa empat orang pelayan itu tiba-tiba saja mati seperti tanpa sebab. Ada yang bisik-bisik dengan muka pucat bahwa semua ini tentulah perbuatan setan. Siangkoan Leng dan Ma Kim Li tidak mau peduli lagi akan keributan yang terjadi di rumah mereka, dan mereka pun sudah cepat membayangi dua orang musuh mereka yang kini membawa pergi Hay Hay dengan melakukan perjalanan cepat sekali keluar dari kota Nan-king. AKAN tetapi, suami isteri iblis ini sama sekali tidak mengira bahwa jauh di belakang mereka ada sepasang suami isteri yang tidak kalah kejamnya melakukan pengejaran dan selalu membayangi mereka sejak mereka melarikan diri dari Nan-king membawa anak laki-laki itu. Mereka ini adalah Siangkoan Leng dan Ma Kim Li. Setelah tiba di atas bukit kecil itu, K wee Siong dan Tong Ci Ki menghentikan lari mereka dan membawa Hay Hay menuju ke bawah sebatang pohon besar yang berada di puncak bukit. Di bawah pohon itu nampak bersih dan agaknya mereka sudah pernah di tempat itu, dan tempat itu memang menjadi tempat mengaso bagi mereka yang berani melalui daerah rawan ini. Tempat itu yang paling tinggi, bersih terlindung oleh pohon besar dan rumput yang tebal itu masih bertilamkan daun-daun kering yang lunak, enak untuk duduk maupun untuk tidur. Kwee Siong menurunkan tubuh Hay Hay yang sejak tadi dipondongnya, dan cara dia menurunkan tubuh itu, dengan hati-hati dan lembut, menunjukkan bahwa dia tidak bersikap keras terhadap anak itu. Hal ini pun dirasakan oleh Hay Hay, apalagi ketika tiba-tiba laki-laki jangkung kurus itu mengusap tengkuknya dan dia pun seketika dapat bergerak maupun mengeluarkan suara kembali, maka Hay Hay menjadi berani dan dia pun segera bangkit berdiri dari keadaan rebah miring. Semenjak dia diculik dari dekat peti-peti jenazah itu, dia merasa terkejut dan juga diam-diam marah sekali. Apalagi ketika dia melihat betapa dua buah peti mati itu setelah diraba oleh Si Jangkung lalu mengeluarkan darah. Dia merasa ngeri dan tidak mengerti. Kalau ayah ibunya memang sudah mati, kenapa dari kedua petinya keluar darah menetes-netes? Ketika dia dilarikan dalam keadaan tidak mampu bergerak maupun bersuara. Hay Hay membayangkan semua peristiwa yang dialaminya, sejak malam yang mengerikan itu. Ketika ayah ibunya menjenguknya malam-malam itu, dia merasa curiga dan menduga bahwa melihat wajah ayah bundanya yang tegang, tentu telah terjadi sesuatu yang luar biasa. Dia seorang anak pemberani. Maka, ketika ayah ibunya keluar lagi, diam-diam dia pun lalu cepat meninggalkan kamarnya dan berindap-indap menuju ke belakang rumah. Dan dia pun melihat apa yang telah ditemukan ayah ibunya, bangkai-bangkai binatang dan mayat-mayat bergelimpangan di dalam rumah keluarganya! Dia lalu lari pula mencari-cari dan akhirnya dia melihat ayah ibunya berhadapan dengan laki-laki dan perempuan yang keadaannya mengerikan, seperti dua sosok mayat hidup. Akan tetapi yang amat menarik perhatiannya adalah percakapan yang terjadi antara ayah ibunya dan dua orang aneh itu. Dua orang itu agaknya memperebutkan dia! Dan biarpun dia tidak dapat mengerti sepenuhnya akan maksud perbantahan empat orang itu, namun dia mendengar betapa laki-laki dan perempuan berpakaian serba hitam itu mengaku dia sebagai anak mereka! Seminggu lagi mereka akan datang untuk mengambilnya dan sebulan kemudian akan membunuh ayah ibunya! Melihat bangkai-bangkai dan mayat-mayat tadi sudah mengguncang perasaan Hay Hay! kini mendengar perbantahan itu, dia menjadi semakin bingung. Benarkah dia bukan anak kandung ayah ibunya, melainkan anak kandung sepasang manusia seperti mayat hidup ini? Dia merasa semakin ngeri dan bingung. Mereka datang untuk mengambilnya! Ingatan ini saja yang mengejarnya dan anak ini pun lari meninggalkan rumahnya. Sebagai seorang anak laki-laki yang lincah dan suka berkeliaran. Hay Hay mengenal tempat-tempat yang amat tersembunyi dan ketika ayah ibunya mencari-carinya, dia pun bersembunyi di bawah jembatan kecil. Dia seringkali datang ke sini untuk memancing ikan dan mencari belut. Tempatnya amat tersembunyi dan kalau tidak merangkak ke tepi sungai kecil itu, orang takkan dapat memasukinya, bahkan tidak nampak sama sekali dari luar karena tertutup oleh semak-semak. Tidak mengherankan apabila orang-orang lihai seperti Siangkoan Leng dan Ma Kim Li tidak berhasil menemukan putera mereka itu. Siapa yang menyangka anak itu akan bersembunyi di bawah jembatan itu, yang pantasnya hanya ditempati katak dan belut-belut? Pula, Siangkoan Leng dan isterinya menduga bahwa anak mereka diculik orang, bukan melarikan diri. Hay Hay tinggal di bawah jembatan sampai tiga hari. Hanya kalau perutnya merasa amat lapar saja dia keluar di waktu malam gelap dan mendatangi kawan-kawannya, minta makanan dan teman-teman itu pun, seperti biasanya anak-anak kecil yang suka akan petualangan, merahasiakan tempat sembunyinya dan setia kawan padanya. Pada hari ke empat, ketika dia masih tidur nyenyak, seorang kawannya datang menjenguknya dan mengguncang-guncang tubuhnya, membangunkannya dengan berita, bahwa ayah ibunya telah meninggal dunia dan telah dilayat orang! Mendengar berita hebat itu, Hay Hay lupa akan segala kengerian dan dia pun berlari pulang. Dapat dibayangkan betapa sedih dan bingungnya ketika dia melihat dua buah peti mati di ruangan depan. Apalagi ketika ada seorang tetangga yang mengenalnya ketika dia baru memasuki pekarangan. Tetangga itu merangkulnya dan mengeluh. "Kasihan kau, Hay Hay. Masih begini kecil ditinggal mati ayah ibu secara mendadak….." Hay Hay tanpa ragu-ragu lagi. Ayah ibunya telah mati dan telah dimasukkan peti mati! Dia lalu menghampiri, berlutut di depan kedua peti dan menangislah dia dengan hati sedih dan bingung. Diam-diam dia merasa menyesal sekali mengapa dia telah melarikan diri sehingga dia tidak tahu mengapa ayah ibunya mati dan apa yang menyebabkan kematian mereka. Kemudian muncul dua orang yang membuatnya merasa serem itu dan dia pun dibuat tidak dapat bergerak maupun bersuara sehingga ketika dia dipondong dan dibawa pergi, dia tidak mampu melawan sama sekali. Sehari semalam dia dibawa pergi dan mereka hanya berhenti untuk makan minum. Akan tetapi Hay Hay tidak pernah mau makan dan minum. Tiap kali dibebaskan dari totokan, dia segera bertanya apa yang telah terjadi dengan ayah ibunya kepada orang-orang itu. Akan tetapi mereka tidak pernah mau bicara dan memaksa kalau dia tidak mau makan. Dia hanya ditotok lagi dan dibawa pergi lagi. Bagaimanapun juga, suami isteri yang seperti mayat hidup atau iblis itu tidak pernah bertindak kasar terhadap dirinya. Sebaliknya malah, mereka mencoba membujuknya dengan kata-kata manis agar dia mau makan atau minum. Namun selalu ditolaknya. Ketika pagi hari itu mereka berhenti di puncak bukit dan dia diturunkan lalu dibebaskan dari totokan, Hay Hay langsung bangkit berdiri dan memandang kepada suami isteri itu dengan mata terbelalak penuh penasaran, kemarahan dan keberanian. "Sebetulnya, apakah yang telah kalian lakukan? Di mana ayah ibuku, dan apa yang telah terjadi dengan mereka?" Dua orang itu saling pandang dan agaknya dalam bertukar pandang itu mereka juga bertukar pikiran karena Kwee Siong mengangguk dan membiarkan isterinya yang bicara dengan anak itu. "Sin-tong….." "Namaku bukan Sin-tong, namaku Siangkoan Hay dan biasa disebut Hay Hay!" kata Hay Hay dengan sikap angkuh karena hatinya penuh kemengkalan terhadap mereka. Wanita itu tersenyum. Memang manis sekali wajahnya kalau tersenyum walaupun usianya sudah mendekati setengah abad, akan tetapi karena muka itu pucat seperti mayat dan hanya kedua matanya saja yang nampak hidup dan indah, maka kemanisan wajah itu mengandung keseraman. "Anak baik, namamu sekarang ini adalah palsu. Engkau disebut Sin-tong (Anak Ajaib) dan belum diberi nama, karena itu kusebut Sin-tong padamu. Ketahuilah bahwa yang bernama Siangkoan Leng itu bukan ayahmu, dan Ma Kim Li itu bukan ibumu!" Hal ini sudah didengarnya malam itu ketika dua orang ini berbantahan dengan ayah ibunya. Tentu saja dia tidak mau percaya begitu mudah. Dia seorang anak cerdik yang biasanya berwatak lincah jenaka, dan walaupun saat itu dia merasa berduka dan bingung, namun dia tidak kehi1angan kecerdikan dan keberaniannya yang memang luar biasa. "Bukan anak kandung mereka akan tetapi anak kalian, begitukah? Hemm, jangan harap aku dapat mempercayai keterangan itu. Kalau aku bukan anak mereka, bagaimana sejak bayi aku berada bersama mereka?" "Karena engkau memang diculik oleh mereka sejak engkau berusia dua bulan, mereka datang membawa bayi mereka yang berpenyakitan, menukarkan bayi mereka dengan engkau, membunuh dua orang, tiga dengan bayi mereka sendiri dan melarikan engkau ke utara, ke Nan-king." Hay Hay mengerutkan alisnya. "Membunuh bayi mereka sendiri dan menukarnya bayi itu dengan aku? Tidak mungkin Ayah dan Ibu melakukan perbuatan seperti itu!" "Anak baik, tentu engkau tidak mengenal benar siapa adanya orang-orang yang kauanggap sebagai ayah dan ibu kandungmu itu "Tentu saja aku mengenal mereka! Ayahku bernama Siangkoan Leng dan ibuku bernama Ma Kim Li. Mereka adalah ahli-ahli pengobatan dan berdagang obat-obatan, mereka orang-orang yang baik dan suka menolong orang, mengobati orang, kalau perlu mengobati otang-orang miskin tanpa bayar." "Ha-ha-ha-ha!" Si Tangan Maut Kwee Siong tertawa dan Hay Hay memandang kepada wajah orang itu dengan mata terbelalak dan hati merasa ngeri. Orang itu benar-benar memiliki muka seperti kedok. Ketika tertawa, hanya mulutnya saja ternganga dan mengeluarkan suara bergelak itu, akan tetapi bagian lain dari muka itu sama sekali tidak ikut tertawa. "Sin-tong, ketahuilah bahwa ayah dan ibumu itu bukanlah orang tua kandungmu dan mereka adalah tokoh-tokoh yang terkenal dengan julukan Lam-hai Siang-mo (Sepasang Iblis Laut Selatan)! Setelah pada tujuh tahun yang lalu menukarkan anak kandung mereka yang berpenyakitan denganmu, membunuh dua orang yang mengasuhmu dan juga membunuh anak mereka sendiri untuk menghilangkan jejak mereka lalu membawamu lari ke Nan-king dan untuk menyembunyikan diri, mereka pura-pura berdagang obat. Akan tetapi kami akhirnya dapat menemukan mereka dan telah menghukum mereka. Mereka kini telah tewas, ha-ha-ha!" Diam-diam anak itu terkejut dan masih ragu-ragu, sukar untuk dapat mempercaya keterangan dua orang yang seperti mayat hidup itu, akan tetapi juga mulai meragukan keaslian ayah ibunya. "Kalau benar aku ini anak kalian, kenapa kalian membiarkan aku diculik orang?" "Kami sedang pergi dan engkau hanya berada dengan seorang pengasuh yang ditemani seorang nikouw ketika mereka datang membawamu dan..." Tiba-tiba saja Kwee Siong berhenti bicara dan telah meloncat berdiri diikuti isterinya. Juga Hay Hay terkejut bukan main ketika secara tiba-tiba saja datang angin besar yang membuat daun-daun kering yang berserakan di bawah pohon itu beterbangan! Dan tiba-tiba saja, ketika daun-daun yang tadinya beterbangan dan menutupi pandangan mata itu turun kembali ke atas tanah bersama debu yang tadi mengepul tinggi, terdengar suara ketawa dan tahu-tahu di situ, hanya beberapa meter dari mereka, telah berdiri seorang kakek berkepala botak! Kakek itu tubuhnya bundar seperti bola karet, kepalanya bundar, perutnya bundar bahkan kaki dan tangannya itu seperti bundar-bundar saking gemuknya. Matanya, hidungnya, mulutnya, telinganya, semua berbentuk bundar. Karena gemuk dan berkulit kuning, dia seperti seekor babi raksasa yang berdiri di atas kedua kaki belakangnya dan memakai pakalan! Pakaiannya kedodoran, celana yang lebar dan jubah yang terbuka bagian depannya, sehingga nampak dada dan perut yang penuh daging, kulit yang kuning mulus tanpa rambut seperti tubuh seorang bayi. Sukar menaksir berapa usia kakek ini, dan melihat mukanya yang selalu menyeringai dan matanya yang lebar itu selalu bercahaya, mukanya selalu berseri, orang akan menduga bahwa kakek ini seorang yang peramah dan baik hati "Heh-heh-heh-heh, ada orang-orang yang tidak tahu diri, berani sekali mengotori tempat ini." Kakek itu memandang kepada Kwee Siong, Tong Ci Ki dan Hay Hay bergantian, lalu melanjutkan. "Hayo kalian bersihkan tempat ini, sapu bersih daun-daun ini setelah itu cepat pergi tinggalkan tempat ini!" Semua ini diucapkan dengan wajah masih berseri dan ramah sehingga amat berlawanan. Mukanya saja nampak tersenyum mecnyeringai dan ramah, akan tetapi isi kata-katanya memerintah dan bahkan mengandung nada mengancam. Suami ister i penghuni Guha Iblis Pantai Selatan itu adalah dua orang tokoh hitam yang amat terkenal di daerah pantai selatan. Mereka adalah orang-orang yang sudah biasa mempergunakan kekerasan dan sudah biasa pula dihormati dan ditakuti orang. Hal ini mendatangkan suatu watak sombong dan memandang rendah orang lain. Oleh karena itu, biar pun kemunculan kakek bulat itu tadi mengejutkan hati mereka, setelah melihat bahwa kakek itu nampaknya tidak mengesankan dan tidak menakutkan, apalagi mendengar ucapannya yang mereka anggap sebagai penghinaan, suami isteri itu menjadi marah sekali. "Tua bangka bermulut tancang! Engkau sudah bosan hidup rupanya!" Si Jarum Sakti Tong Ci Ki membentak marah dan sekali tangan kirinya bergerak, sinar hitam menyambar ke arah dada dan perut yang tidak terlindung itu. Kakek gendut itu agaknya tidak tahu akan serangan itu, atau memang tidak sempat mengelak atau menangkis. Selain sambitan jarum itu amat cepat dan jarak mereka tidak terlalu jauh, juga kakek gendut itu tentu saja amat lamban gerakannya, mengingat tubuhnya yang gendut. Jelas nampak betapa belasan batang jarum halus berwarna hitam itu menyambar dan mengenai leher, dada dan perut yang tak terlindung baju itu. Nampak jelas betapa jarum-jarum hitam itu menancap di kulit leher, dada dan perut, akan tetapi kakek botak gendut yang sedang tersenyum itu seperti tidak pernah merasakan dan senyumnya tidak pernah putus, bahkan berkedip pun tidak! Tentu saja Tong Ci Ki terbelalak dan mulutnya ternganga, tidak percaya akan penglihatannya sendiri. Jarum-jarum hitamnya itu adalah senjata rahasia yang ampuh, mengandung racun yang dapat mencabut nyawa lawan yang terkena jarum itu seketika. Akan tetapi, kini jarum-jarumnya menancap di tubuh itu seperti menancap batang pohon saja! Kwee Siong yang juga marah sekali, menyusul serangan isterinya itu dengan terjangan dahsyat. Dia juga terkejut melihat betapa jarum-jarum yang dilepas isterinya itu tepat mengenai tubuh lawan akan tetapi kakek gendut itu tidak roboh, maka dia pun mempercepat serangannya dan tangannya yang kanan menyambar ke arah kepala kakek botak itu. Kembali kakek itu tidak mengelak atau menangkis, hanya memandang dengan mulut tersenyum menyeringai saja, bahkan matanya berkedip-kedip lucu. Akan tetapi, ketika tangan yang menampar itu, tangan yang mengandung tenaga sinkang amat kuatnya, menyambar dekat, tinggal beberapa senti lagi dari kepala botak itu, tiba-tiba saja tangan itu menyeleweng seperti terpeleset oleh sesuatu yang licin dan sama sekali tidak mengenai kepala itu, hanya menyerong ke samping dan lewat beberapa senti jauhnya dari kepala itu. Suami isteri penghuni Guha Iblis Pantai Selatan itu selain terkejult dan heran, juga merasa penasaran dan marah sekali. Orang-orang seperti mereka ini selalu memandang diri sendiri terlalu tinggi dan tidak menghargai orang lain, maka setiap kali mereka gagal, tentu hal ini dianggap sebagai sesuatu yang menimbulkan rasa penasaran dan kemarahan. Mereka lalu tiba-tiba saja menjatuhkan diri bertiarap di atas tanah, bergulingan dari dua jurusan menuju ke arah kakek gendut dan setelah dekat, keduanya menggerakkan tubuh serentak menyerang dari bawah dengan pukulan yang luar biasa dahsyatnya. Pukulan mereka itu datang dari kanan kiri dan menghantam ke arah tubuh gendut kakek itu yang masih saja tersenyum-senyum seperti seorang dewasa menghadapi kenakalan dua orang anak kecil. Suami isteri yang tadinya bergulingan dan bertiarap itu, ketika memukul tubuh mereka mendadak meloncat ke atas dan tenaga pukulan yang bertolak dari tanah itu amatlah kuatnya. "Desss! Desss!!" Dua pukulan itu seperti berlumba mengenai tubuh kakek gendut dari kanan kiri. Seperti juga tadi, kaKek itu sama sekali tidak mengelak, hanya berdiri tegak dengan kedua kakinya terpentang lebar dan agaknya membiarkan dua pukulan dari kanan kiri itu mengenai tubuhnya. Hanya ketika pukulan itu tiba, dia mengembangkan kedua lengannya, kemudian setelah pukulan mengenai tubuhnya, dia mengibaskan kedua tangannya yang jari-jarinya juga bulat-bulat itu ke bawah, seperti orang mengusir dua ekor lalat yang mengganggu saja layaknya. Dan akibatnya, tubuh yang menerima pukulan itu tidak bergoyang sedikit pun, sebaliknya, dua tubuh yang sedang meloncat sambil memukul dari bawah tadi, kini terpelanting dan berguling-guling di atas tanah. Suami isteri itu merasa tubuh mereka panas seperti disambar petir . Ketika mereka dapat menguasai tubuh dan hendak meloncat bangun, kakek gendut itu menggerakkan tangannya dan angin yang kuat menyambar, membuat dua orang suami isteri itu roboh kembali setiap kali mereka mau bangkit! Tentu saja dua orang itu terkejut setengah mati. Setelah mengerahkan seluruh tenaga dan mencoba untuk bangkit dengan segala cara dan akal namun selalu dirobohkan kembali oleh pukulan jarak jauh dari kakek itu, akhirnya keduanya baru yakin benar bahwa sesungguhnya mereka berdua itu berhadapan dengan seorang yang memiliki kesaktian luar biasa, yang tingkat kepandaiannya beberapa kali lebih tinggi daripada tingkat mereka. Maklumlah mereka bahwa bagaimanapun juga, mereka tidak akan mampu menandingi kakek itu dan kalau kakek itu menghendaki, agaknya dengan mudah kakek itu akan mampu membunuh mereka. Oleh karena ini, Si Tangan Maut Kwee Siong lalu berlutut dan memberi hormat kepada kakek itu, diturut oleh isterinya walaupun dengan segan. "Kami berdua seperti buta, tidak mengenal Locianpwe yang sakti sehingga berbuat kurang ajar, harap Locianpwe sudi memaafkan kami." demikian Kwee Siong berkata, tanpa malu-malu lagi karena selain di situ tidak ada orang yang menyaksikan kekalahan mereka kecuali Hay Hay yang hanya berdiri dan menonton dengan mata terbelalak kagum, juga mereka harus mengubah sikap untuk mencari keselamatan diri. Kakek itu hanya tertawa dan pada saat itu, kembali suami isteri dari Guha Iblis Pantai Selatan itu terkejut karena tiba-tiba saja ada angin yang menyambar kuat. Nampak bayangan orang berkelebat lalu bayangan itu membuat gerakan berputar, dan timbullah angin berpusing, angin puyuh yang menerbangkan daun-daun pohon dan makin lama angin itu berpusing makin cepat dan makin banyak pula daun-daun beterbangan ikut dalam pusingan yang kuat itu. Setelah angin puyuh itu mereda dan daun-daun sudah turun kembali, nampak di situ seorang kakek tinggi besar yang berkulit hitam. Kakek itu sukar ditaksir berapa usianya, akan tetapi tubuhnya tinggi besar dan kokoh kekar, nampak makin kuat karena kulit muka, leher dan tangannya yang hitam kasar. Wajahnya penuh dengan alis tebal, kumis dan jenggot lebat hitam dan muka itu membayangkan kegalakan dan kekejaman yang amat keras. Pakaiannya sederhana namun kuat dan ringkas, sepatunya dari kulit tebal dan berlapis besi di bawahnya, sungguh keadaan kakek ini menjadi kebalikan keadaan kakek gendut yang nampaknya halus dan ramah itu. Tiba-tiba kakek hitam itu melangkah lebar ke arah semak-semak belukar yang agak jauh dari situ. Tentu saja Siangkoan Leng dan Ma Kim Li suami isteri yang yang sejak tadi melakukan pengintaian dan menanti kesempatan baik untuk merampas kembali anak mereka, menjadi terkejut ketika melihat kakek tinggi besar itu melangkah lebar dan tahu-tahu berada di depan mereka yang sedang bersembunyi. Celaka, pikir mereka. Sepasang suami isteri Guha Iblis itu saja tadi seperti anak-anak kecil yang tidak berdaya terhadap kakek gendut, dan kini muncul lagi kakek tinggi besar yang aneh ini. Agaknya, dengan adanya mereka, merampas kembali anak mereka merupakan hal yang kecil sekali kemungkinannya. Paling perlu menyelamatkan diri lebih dulu, pikir mereka dan tanpa banyak cakap, Siangkoan Leng memegang tangan isterinya untuk diajak meloncat pergi dari tempat berbahaya itu. Akan tetapi, begitu meloncat, keduanya terpelanting dan roboh terbanting. Seolah-olah ada tenaga tidak nampak yang menarik mereka dari samping dan ketika terjatuh, Siangkoan Leng melihat bahwa kakek tinggi besar itu hanya menggerakkan tangan kiri saja, dari mana tenaga yang membuat mereka terpelanting tadi. Karena panik, Siangkoan Leng menjadi nekat. Dia membuat gerakan meloncat sambil melengking, diikuti oleh isterinya. Itulah ilmu yang mereka andalkan dan karena mereka melakukan penyerangan berbareng, maka hebat bukan main daya serang mereka berdua. Dari atas, kanan kiri, mereka menerkam ke arah kakek hitatn dengan kedua tangan terbuka dan membentuk cakar, dari mana keluar tenaga yang amat kuat. Kakek tinggi besar hitam tidak mengeluarkan suara apa-apa, berdiri tegak dan tiba-tiba dia menggerakkan kedua tangan menyambut. Hanya mengibas saja kedua tangan yang besar itu ke arah dua orang lawannya dan tubuh dua orang suami isteri itu pun terjengkang lalu terbanting keras ke atas tanah! Sebelum Sjangkoan Leng dan Ma Kim Li sempat bergerak, tahu-tahu kakek tinggi besar itu sudah tiba di dekat mereka, dua tangan yang besar itu menyambar tengkuk dan bagaikan dua ekor kelenci saja, dua orang itu sudah diangkat oleh Si Kakek Hitam yang melangkah lebar mendekati kakek gendut lalu melemparkan Siangkoan Leng dan Ma Kim-Li ke atas tanah! "Pak-kwi-ong, kau dimata-matai orang sampai tidak tahu. Sungguh ceroboh!" Si Tinggi Besar muka hitam mengomel. Kakek gendut yang disebut Pak-kwi-ong (Raja Setan Utara) itu sejak tadi tersenyum menyeringai saja dan kini dia tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, Setan Hitam, kedatanganmu pun aku sudah tahu sebelumnya, apalagi dua ekor tikus itu!" Sementara itu, Ma Kim Li yang merasa sudah terlanjur memasuki tempat berbahaya itu, segera menghampiri Hay Hay dan berkata. "Hay Hay, Anakku...! Mari ikut Ibu, Nak." Akan tetapi, Hay Hay yang sedang mengalami pukulan-pukulan batin dan kebingungan itu mendadak saja merasa asing terhadap ibunya sendiri dan ketika ibunya memanggilnya, dia malah mundur sambil memandang dengan muka agak pucat. Melihat ini, Ma Kim Li menghampirinya. Akan tetapi tiba-tiba Tong Ci Ki yang tadinya berlutut di depan kakek gendut, bangkit berdiri dan menerjang ke arah Ma Kim Li sambi1 membentak, "Jangan ambi1 lagi anak itu'" Ma Kim Li marah dan menyambut dengan serangan. Pukulannya meluncur ke arah dada Tong Ci Ki. Wanita baju hitam ini mengelak dan membalas dengan tendangan kakinya yang dapat dielakkan pula oleh lawan. Melihat isteri mereka berkelahi, Siangkoan Leng dan Kwee Siong tidak tinggal diam. Mereka menyerbu dan keduanya juga sudah berkelahi dengan sengit. Melihat empat orang itu berkelahi, dua orang kakek itu saling pandang. Si Kakek Hitam hanya mengerutkan alisnya, akan tetapi Si Kakek Gendut tertawa-tawa. "Wah, bocah-bocah kurang ajar ini memang terlalu sekali! Di depan kakek-kakek buyut mereka masih berani berkelahi tanpa minta ijin lebih dulu." Dia mengomel, kemudian dia mengeluarkan suara memerintah, "Hayo kalian berempat berlutut semua!" Dan kedua tangannya bergerak-gerak seperti orang menggapai dan akibatnya luar biasa. Empat orang yang sedang berkelahi itu tiba-tiba saja roboh terguling. Mereka terkejut bukan main. Mereka itu, baik suami isteri penghuni Guha Iblis Pantai Selatan, maupun Lam-hai Siang-mo, keempatnya telah diberi julukan "iblis" yang menunjukkan bahwa mereka sudah berada di tingkat puncak dari dunia hitam, menjadi datuk-datuk golongan sesat yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi kenapa sekarang mereka seperti anak-anak kecil yang tidak bisa apa-apa dan amat lemah saja? Dan yang lebih mengejutkan lagi, kakek gendut itu tak pernah menyentuh mereka, hanya dengan hawa pukulan saja mampu merobohkan mereka! Karena maklum bahwa mereka semua sama sekali tidak akan mampu menandingi dua orang kakek itu, maka mereka lalu menjatuhkan dirinya berlutut. Mereka memiliki jalan pikiran yang sama. Kini mereka berhadapan dengan orang-orang yang jauh lebih tinggi tingkatnya, maka sebaiknya tidak melawan dan bahkan minta pertimbangan mereka! "Harap Locianpwe maafkan kami..." Demikian terdengar suara lirih dari mulut mereka. Melihat betapa dua orang yang tadinya dianggap ayah bundanya, juga musuh mereka, yaitu suami isteri yang menculiknya, kini nampak tak berdaya sama sekali, seperti orang-orang yang lemah saja, kehilangan kegalakan mereka, terhadap dua orang kakek aneh ini, tiba-tiba saja Hay Hay memperoleh pikiran untuk mengorek rahasia tentang dirinya dari mereka berempat. Kalau saja dua orang kakek itu mau membantunya! Maka dia pun cepat berlari menghampiri dua orang kakek itu yang kini sudah duduk bersila di atas batu-batu di puncak itu, berdampingan, dan dia berkata dengan suara lantang "Ji-wi Locianpwe yang baik. Karena aku masih kecil dan tidak mampu bertindak sendiri, maka aku mengharap Ji-wi suka membantuku untuk mencari rahasia tentang diriku. Akan tetapi kalau Ji-wi menolak, berarti aku salah menilai orang." Kedua orang kakek itu kembati saling pandang dan kakek hitam memancarkan sinar mata berkilat tanda marah kepada anak kecil itu, sedangkan kakek gendut masih tersenyum lebar, akan tetapi alisnya berkerut juga ketika dia mendengar ucapan anak itu. "Salah menilai bagaimana ?" tanya kakek gendut. "Aku menilai bahwa Ji-wi tentu merupakan datuk-datuk persilatan yang sudah berkedudukan tinggi sekali, penuh wibawa dan adil, maka tentu Ji-wi akan mau membantuku. Kalau tidak berarti penilaianku salah dan ternyata Ji-wi juga hanya dua orang kakek usil dan suka mengandalkan kepandaian yang tidak seberapa itu untuk mengganggu orang yang lebih lemah saja." Hay Hay memang pandai bicara, lincah dan cerdik. Akan tetapi sikap dan ucapannya sekarang ini bahkan membuat suami isteri yang selama ini mengaku orang tuanya menjadi khawatir bukan main. "Kepandaian yang tidak seberapa katamu!" bentak kakek hitam tinggi besar. Selama hidupnya belum pernah ada orang berani memandang rendah kepadanya, dan kini seorang anak kecil berusia tujuh tahun berani mengatakan dia dan Pak-kwi-ong sebagai orang-orang yang memiliki kepandaian yang tidak seberapa "Ya, tidak seberapa. Coba Ji-wi lihat. Sebatang pohon yang tidak mampu bergerak dapat menghasilkan daun hijau, bunga indah dan buah. Apakah Ji-wi mampu membuat semua itu? Kalau tidak dapat berarti Ji-wi kalah oleh sebatang pohon saja. Dan lihat kupu-kupu itu. Apa Ji-wi dapat terbang seperti mereka? Berarti Ji-wi kalah oleh kupu-kupu kecil saja.Apakah semua ini bukan membuktikan bahwa kepandaian Ji-wi tidak seberapa? Kalau dipakai menolongku masih ada gunanya, sebaliknya kalau hanya untuk main sombong-sombongan, apa gunanya?” Dua orang kakek itu bangkit berdiri dan memandang kepada anak kecil itu dengan mata terbelalak. Mereka seolah-olah mendengar suara seorang yang lebih tinggi kedudukannya dan kepandaiannya daripada mereka! "Kau siapa!" bentak kakek hitam. Hay Hay menggeleng kepalanya. "Aku sendiri pun bingung, Locianpwe. Menurut dua orang yang memeliharaku sejak kecil ini, yang mengaku sebagai ayah ibuku, aku bernama Siangkoan Hay, anak mereka. Akan tetapi menurut mereka berdua itu, yang menculik aku, katanya aku bukan anak mereka dan namaku itu palsu, bahwa aku adalah Sin-tong…… " "Sin-tong... ? Ha-ha, sungguh menarik!" Kakek gendut terkekeh dan memandang dengan penuh perhatian kepada Hay Hay. Akan tetapi kakek hitam yang berjuluk Tung-hek-kwi (Setan Hitam Timur) itu tidak banyak bicara lagi. Dengan matanya yang mencorong aneh itu dia memandang suami isteri penghuni Guha Iblis Pantai Selatan. "Coba ceritakan tentang anak ini. Kalau membohong tebusannya nyawa kalian!" Biarpun merasa terhina dan rendah sekali diperlakukan seperti itu, namun suami isteri ini mengenal orang yang jauh melebihi mereka, maka sikap yang menghina itu pun mereka telan saja. Bahkan mereka mengharapkan untuk mendapat bantuan dan dukungan kakek sakti itu untuk dapat mempertahankan Hay Hay yang telah mereka rampas dari tangan Siangkoan Leng dan isterinya. "Heh-heh, kalian juga harus menceritakan yang sebenarnya tentang anak ini!" kata pula Pak-kwi-ong kepada Lam-hai Siang-mo. "Anak itu adalah anak tunggal kami, Locianpwe, dan namanya Siangkoan Hay ..." kata Siangkoan Leng. "Bohong! Dia berbohong, Locianpwe!" bantah Kwee Siong. "Tidak perlu cekcok, kauceritakan lebih dulu yang sebenarnya." kini kakek hitam Tung-hek-kwi berkata keren. "Yang lain diam saja!" Si Tangan Maut Kwee Siong lalu bercerita dan merasa dirinya remeh sekali terhadap dua orang kakek sakti itu. "Tujuh tahun yang lalu, suami isteri pendekar Pek melarikan diri dari Tibet ketika isteri pendekar itu mengandung tua. Mereka terpaksa melarikan diri karena ramalan diantara para pimpinan Lama menyatakan bahwa anak yang dikandung itu adalah calon Dalai Lamat calon seorang suci dan setelah terlahir tentu akan diambil dan dibawa ke dalam kuil untuk dididik……" "Nanti dulu!" bentak Tung-hek-kwi. "Kaumaksudkan pendekar Pek yang mana? Apakah pendiri dari Pek-sim-pang (Perkumpulan Hati Putih) di barat?" "Kalau tidak keliru, muridnya atau puteranya, Locianpwe. Mungkin puteranya karena dia terkenal dengan nama warga Pek." Teruskan!" "Berita, itu segera tersiar luas dan terkenallah bahwa ada Sin-tong yang akan terlahir. Hal ini tentu saja amat menarik perhatian. Dan pada suatu malam, ketika suami isteri pendekar itu menyembunyikan diri dalam kuil setelah anak mereka terlahir , baru berusia dua bulan, datanglah Lam-hai Siang-mo ini dan mereka pun mempunyai seorang anak yang sebaya. Anak mereka itu berpenyakitan dan agaknya, mendengar berita tentang Sin-tong, mereka lalu membunuh seorang nikouw dan pengasuh anak itu, kemudian menculik Sin-tong dan meninggalkan anak mereka sendiri sebagai gantinya setelah mereka membunuh anak itu dan merusak mukanya agar tidak dikenal orang dan disangka Sin-tong yang terbunuh. Kami tiba di tempat kejadian itu dan setelah memeriksa luka dan jarum-jarum yang berada di tubuh para korban, kami dapat menduga bahwa pembunuhnya tentulah Lam-hai Siang-mo. Kami lalu melakukan pencarian dan setelah tujuh tahun, baru kami berhasil menemukan mereka. Kami lalu merampas kembali Sin-tong dan kami bawa lari sampai di sini dengan maksud untuk mengembalikannya kepada orang tuanya yang sesungguhnya….." "Benarkah cerita itu?" bentak Tung-hek-kwi bengis kepada Lam-hai Siang-mo. Suami isteri ini tidak berani menyangkal lagi karena memang cerita itu benar. "Memang benar, akan tetapi mereka itu membohong kalau mengatakan bahwa mereka akan membawa Hay Hay kepada pendekar Pek. Mereka bohong! Yang jelas, mereka tentu akan membawa Hay Hay kepada para pendeta Lama untuk memperoleh ganjaran!" Ma Kim Li berhenti sebentar sambil memandang kepada Tong Ci Ki dan suaminya penuh geram. "Mereka adalah penghuni-penghuni Guha Iblis Pantai Selatan, mana mungkin mau membantu pendekar Pek?" Mendengar percakapan mereka itu, sejak tadi Hay Hay memandang kepada orang tuanya dengan mata terbelalak dan tanpa disadarinya lagi, kedua matanya itu basah. Akan tetapi dia tidak menangis. Tidak, dia malah mengepal kedua. tinjunya, menekan perasaannya yang terguncang. Kiranya benar bahwa dia bukan anak Siangkoan Leng dan Ma Kim Li! Dia bukan she (nama ke-turunan) Siangkoan, melainkan she Pek! Putera pendekar Pek! Dengan tabah dia lalu melangkah maju menghadapi suami isteri yang tadinya dianggap ayah bundanya. Mereka itu tidak pernah memperlihatkan sikap mereka kepadanya, akan tetapi harus diakuinya bahwa mereka pun tidak pernah bersikap kasar. Mereka itu menyayangnya dengan cara mereka sendiri! "Benarkah bahwa aku bukan anak kandung kalian dan bukan she Siangkoan, melainkan she Pek?" Dia bertanya kepada suami isteri itu tanpa menyebut ayah atau ibu. Ma Kim Li mengangguk. "Benar, Hay Hay, akan tetapi kami menyayangmu seperti anak kandung kami sendiri. Hal ini tentu kau tahu." Hay Hay adalah seorang anak yang selain cerdik, juga amat keras hati sehingga dia bukan anak cengeng dan tidak mudah dikuasai perasaannya. Kini dia memandang kepada wanita yang biasa dipanggil ibu itu dengan sinar mata dingin. "Anak kandung sendiri kalian bunuh dan rusak mukanya untuk ditukarkan dengan aku, anak orang lain. Apa sebabnya kalian sampai hati melakukan hal itu?" Lam-hai Siang-mo tidak menjawab. "Apa sebabnya?” Anak itu mendesak. Dua orang itu tetap tidak mengeluarkan suara jawaban. Dengan tiga langkah lebar saja Tung-hek-kwi sudah menghampiri mereka dan kedua tangannya menyambar Suami isteri yang berjuluk Lam-hai Siang-mo (Sepasang Iblis Laut Selatan) itu berusaha mengelak atau menangkis, akan tetapi entah bagaimana, tahu-tahu mereka kehilangan tenaga dan tengkuk mereka sudah dicengkeram, tubuh mereka diangkat dan kakek tinggi besar hitam itu membanting. "Bresss...!" Tubuh suami isteri itu terbanting keras sampai mereka terguling-guling. "Masih juga tidak mau menjawab pertanyaan Sin-tong?" bentak kakek itu. Siangkoan Leng dan isterinya terkejut sekali dan kesakitan, mereka mengangguk-angguk dan cepat Ma Kim Li berkata kepada anak yang biasanya dianggap anak sendiri yang disayangnya. "Anak kandung kami.….berpenyakitan dan kami ingin menukarkan dia dengan anak yang sehat, kami bunuh dua orang itu agar tidak membuka rahasia kami dan kami rusak muka anak kandung kami agar tidak dikenal lagi." "Bohong!" Tiba-tiba terdengar Tong Ci Ki berseru "Kalau hanya ingin memperoleh anak sehat, kenapa justru dipilihnya Sin-tong, putera keluarga pendekar Pek yang banyak dibicarakan orang itu? Mereka tentu mempunyai keinginan yang sama dengan kami, yaitu ingin memperoleh pahala dengan menyerahkan anak itu kepada para pendeta Lama di Tibet." Mendengar ini, Hay Hay kembali mendesak wanita yang pernah menjadi ibunya. "Benarkah begitu?" Sambi1 melirik ke arah kakek tinggi besar yang galak dan sakti itu, Ma Kim Li menjawab. "Benar, Hay Hay. Pada mulanya memang kami ingin menukarkan engkau dengan para pimpinan pendeta Lama di Tibet yang memiliki banyak benda-benda indah tak ternilai harganya, akan tetapi kami lalu merasa suka kepadamu dan menganggap engkau sebagai anak kandung kami sendiri." Kini Hay Hay memandang kepada empat orang itu bergantian dan di dalam hatinya dia merasa heran dan juga ngeri membayangkan betapa empat orang ini merupakan orang-orang yang amat jahat. Tak disangkanya ada orang-orang demikian jahatnya, terutama sekali dua di antara mereka adalah orang-orang yang selama ini dianggap sebagai ayah ibunya! Diam-djam ia merasa lega dan bersyukur bahwa dua orang yang demikian jahatnya itu bukan ayah dan ibu kandungnya. "Kalian adalah orang-orang yang amat jahat!" Akhirnya dia berkata. "Kalian yang menjadi penghuni Guha Iblis Pantai Selatan telah membunuh empat orang pelayan keluarga Siangkoan, juga semua binatang peliharaan, kemudian kalian membunuh pula dua orang di dalam peti mati yang menggantikan mereka ini!" Berkata demikian, dia menuding ke arah Kwee Siong dan Tong Ci Ki penuh teguran. Suami isteri itu hanya menundukkan muka saja tidak berani menjawab, takut kalau harus berurusan dengan kakek hitam tinggi besar atau kakek gendut yang luar biasa lihainya itu. Kini Hay Hay memandang kepada suami isteri yang pernah menjadi orang tuanya. "Dan kalian tidak kalah jahatnya, pantas berjuluk Lam-hai Siang-mo. Kalian telah membunuh dua orang wanita yang tak berdosa, bahkan membunuh ahak kandung sendiri! Betapa kejinya itu. Dan tentu kalian yang memasukkan tubuh dua orang tidak berdosa ke dalam peti mati itu menggantikan tubuh kalian, sehingga mereka yang tewas menggantikan kalian." Siangkoan Leng sudah sejak tadi kehilangan rasa sayangnya kepada Hay Hay yang bersikap memusuhinya itu. Dia tersenyum sinis dan menjawab, "Memang benar, bahkan kami juga membunuh empat orang murid kami yang bertugas menjaga peti. Semua itu kami lakukan agar tidak membuka rahasia kami. Hay Hay, itu bukan kejam atau jahat, melainkan cerdik sekali!" "Kalian berempat ini orang-orang jahat dan kalau sekiranya aku memiliki ilmu kepandaian tinggi, tentu kalian sudah kubasmi habis!" kembali Hay Hay berkata dengan nada suara gemas. "Heh-heh-heh-heh, Sin-tong. Apakah engkau ingin agar empat orang ini dibunuh? Aku akan melakukannya untukmu dengan mudah saja! Empat ekor tikus ini memang sudah se ..,……………..patutnya kalau dibunuh!" Kakek gendut yang berjuluk Pak-kwi-ong itu berkata sambil tertawa-tawa. Empat orang itu bukanlah orang-orang lemah. Mereka adalah datuk-datuk kaum sesat di daerah pantai selatan. Mereka belum pernah bertemu dengan orang-orang seperti dua orang kakek ajaib itu, dan mereka sudah maklum akan kehebatan dua orang kakek itu yang tidak akan dapat mereka tandingi. Akan tetapi dibunuh begitu saja? Mereka tentu akan melawan sekuat tenaga dan akan melindungi nyawa sendiri selama mereka masih hidup! Dan agaknya mereka berempat memang memiliki kecerdikan atau kelicikan yang sama, karena kini begitu mereka mendengar ucapan kakek gendut, mereka bangkit berdiri dan seperti dikomando saja, empat orang itu sudah menyerbu ke arah Hay Hay untuk menangkap anak itu! Ditubruk oleh empat orang yang lihai itu dari semua jurusan, tentu saja Hay Hay tidak mampu menghindarkan diri. Bahkan dua orang kakek sakti itupun sama sekali tidak menyangka bahwa empat orang itu melakukan hal itu, maka anak itu sudah dapat ditangkap oleh Kwee Siong dan Siangkoan Leng. Dan anehnya, dalam sekejap mata saja, empat orang yang tadi yang bermusuhan karena memperebutkan Hay Hay itu, kini dalam keadaan terancam oleh pihak yang lebih kuat, mereka mendadak dapat bersatu! "Heh-heh-heh, tikus-tikus pecomberan! Berani kalian melakukan itu? Hayo lepaskan atau harus kuhancurkan dulu kepala kalian yang tidak berharga itu?" bentak si gendut Pak-kwi-ong, masih dengan senyum, akan tetapi sinar matanya mencorong penuh ancaman maut. "Ji-wi Locianpwe, jangan bergerak! Sekali bergerak atau melakukan hal-hal yang mencurigakan, kami akan lebih dulu membunuh anak ini sebelum membela diri dan melawan mati-matian sebelum kami semua mati!" bentak Siangkoan Leng yang sudah menaruh telapak tangannya menempel di ubun-ubun kepala Hay Hay. Hay Hay sama sekali tidak merasa takut, hanya marah dan juga semakin heran melihat betapa orang yang selama ini dianggap ayahnya itu kini mengancam untuk membunuhnya! Timbul rasa penasaran di dalam hatinya dan dia pun berteriak, tidak peduli bahwa dia telah dicengkeram dan diancam oleh empat orang lihai itu. "Ji-wi Locianpwe, jangan dengarkan gertak sambal mereka! Biar mereka membunuhku, aku tidak takut. Akan tetapi Ji-wi hajarlah mereka sampai mereka itu lenyap dari permukaan bumi. Mereka ini orang-orang jahat yang perlu dibasmi!" Akan tetapi dua orang kakek itu kini nampak ragu-ragu dan saling pandang. Tung-hek-kwi yang memandang kakek gendut itu bertanya. "Kau.… tidak turun tangan?" Si Kakek Gendut masih menyeringai, akan tetapi dia menggeleng kepala. "Mana bisa? Dia.… dia itu Sin-tong, sayang kalau terbunuh." Lalu dia memandang kepada empat orang yang masih siap siaga sambil mengancam Hay Hay itu. "Eh, sebenarnya apa kehendak kalian?" "Kami ingin pergi membawa anak ini dan sedikit saja Ji-wi membuat gerakan mencurigakan, kami akan bunuh anak ini lebih dulu." kata Kwee Siong dan mereka berempat itu tanpa menanti jawaban sudah mulai menggiring dan menyeret Hay Hay meninggalkan puncak bukit itu. Dua orang kakek itu, yang rnemiliki kesaktian jauh lebih tinggi dibandingkan empat orang itu, hanya saling pandang dan tidak mampu berbuat sesuatu. Tentu saja mereka itu akan dapat dengan sekali gerakan tangan membunuh empat orang itu, akan tetapi mereka maklum bahwa tak mungkin mereka dapat mencegah empat orang itu lebih dahulu membunuh Hay Hay, dan karena inilah keduanya menjadi ragu-ragu, bahkan tak berdaya melakukan sesuatu ketika empat orang itu hendak meninggalkan tempat itu. Akan tetapi, baru saja empat orang itu pergi beberapa langkah jauhnya, tiba-tiba terdengar suara melengking yang mengandung getaran amat kuat sehingga seolah-olah menusuk telinga dan menggetarkan jantung. Hay Hay yang mula-mula roboh tak sadarkan diri, sedangkan empat orang yang mengepungnya itu pun tiba-tiba menjadi pucat dan mereka berempat itu maklum bahwa suara itu merupakan serangan melalui tenaga khikang yang amat dahsyat. Mereka cepat menahan napas dan mengerahkan sinkang mereka untuk melindungi diri mereka. Karena serangan tiba-tiba melalui suara itu, sejenak keempat orang ini lupa akan pengamatan mereka terhadap Hay Hay. Dan pada beberapa detik itu, mendadak nampak sesosok bayangan seperti seekor burung raksasa menyambar ke arah mereka. Empat orang itu, tadi hanya melakukan pengamatan terhadap gerak-gerik Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi saja, dan mereka sedang mengalami kekagetan karena datangnya serangan suara yang bukan datang dari dua orang kakek sakti itu. oleh karena itu, begitu ada bayangan seperti burung raksasa ini menyambar ke arah mereka, empat orang itu terkejut bukan main. Mereka sedang melawan pengaruh suara melengking, dan kini disambar oleh burung raksasa, yang mendatangkan angin sambaran amat dahsyat, Tentu saja mereka terkejut dan berusaha untuk membela diri. Akan tetapi, sambaran angin dari sayap "burung raksasa" itu sedemikian kuatnya sehingga mereka itu terdorong ke belakang dan pada saat itu, mahluk itu sudah menyambar turun dan tahu-tahu tubuh Hay Hay telah dipondongnya dan dibawa melompat agak jauh dari situ. Ketika empat orang yang hendak melarikan Hay Hay itu kini terbebas dari pengaruh suara melengking yang tiba-tiba sudah terhenti dan mereka memandang, ternyata di situ telah muncul dua orang aneh lainnya. Seorang kakek berpakaian pengemis dengan baju kembang-kembang dan bertambal-tambal akan tetapi bersih, tubuhnya kurus dan tingginya sedang saja, kakinya memakai sepatu butut, rambutnya kusut dan awut-awutan, demikian pula kumis dan jenggotnya, akan tetapi sepasang matanya tajam bukan main. Di punggungnya nampak sebuah ciu-ouw (guci arak) yang berpinggang, dan di tangannya nampak sebatang suling yang panjangnya ada tiga kaki, terbuat dari kayu hitam. Kakek ini muncul seperti dari dalam bumi saja, dan begitu muncul dia tersenyum menyeringai, dan wajahnya selalu berseri gembira seperti orang yang selalu merasa geli akan keadaan sekelilingnya. Dan tak jauh dari situ, telah muncul pula seorang kakek tinggi besar yang berkepala gundul. Kakek inilah yang tadi disangka burung raksasa oleh Siangkoan leng dan Kwee Siong bersama isteri mereka. Kakek yang memakai jubah seorang pendeta lama, jubahnya lebar berkotak-kotak merah dan kuning dan tadi ketika kakek itu meloncat seperti terbang, jubahnya ini berkembang seperti sepasang sayap. Kakek pendeta lama ini berwajah alim, alisnya tebal dan pandang matanya lembut, mukanya bulat dan kedua telinganya amat panjang. Kini tangan kirinya menggandeng tangan Hay Hay sedangkan tangan kanannya memegang seuntai tasbeh, mulutnya berkemak-kemik seperti orang membaca doa. Tentu saja Siangkoan leng, Ma Ki li, Kwee Siong dan Tong Ci Ki terkejut dan merasa gentar bukan main. Baru saja mereka bertemu dengan dua orang kakek yang luar biasa lihainya, yaitu Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi, dan sekarang muncul pula dua orang kakek yang juga memiliki ilmu kepandaian amat tinggi, jauh lebih tinggi daripada tingkat kepandaian mereka sendiri. Kakek berpakaian pengemis itu dengan suara sulingnya telah membuat mereka kerepotan dan mereka maklum betapa saktinya kakek yang dapat mengeluarkan suara yang memiliki daya serang sedemikian kuatnya. Juga pendeta raksasa itu jelas memiliki kepandaian luar biasa, karena sekali gebrakan saja sudah dapat merampas Hay Hay dari tangan mereka. Kini anak itu yang sudah terbebas pula dari pengaruh suara suling, telah berdiri digandeng kakek pendeta Lama itu, memandang kagum kepada penolongnya. Karena maklum bahwa berdiam di tempat itu lebih lama merupakan bahaya besar bagi mereka, sepasang suami isteri Guha Iblis dan sepasang suami isteri Laut Selatan segera menggerakkan tubuh mereka berlompatan dan melarikan diri turun dari atas puncak itu. Empat orang kakek aneh yang berkumpul di puncak bukit itu, agaknya sudah tidak mempedulikan lagi kepada mereka yang melarikan diri. Biarpun Siangkoan Leng dan K wee Siong bersama isteri mereka itu merupakan tokoh-tokoh besar di antara kaum sesat, namun agaknya bagi empat kakek sakti itu mereka tidak lebih hanyalah penjahat-penjahat kecil yang tidak ada artinya dan karena itu, begitu mereka melarikan diri, mereka pun tidak mempedulikan sama sekali, bahkan sudah melupakan mereka karena mereka lebih tertarik akan pertemuan antara mereka berempat itu. Sungguh aneh sekali. Siangkoan Leng bersama isterinya dan Kwee Siong bersama isterinya, empat orang yang tadinya saling bermusuhan itu, kini melarikan diri bersama-sama turun dari bukit secepatnya seperti orang-orang yang dikejar setan saja. Dan ketika mereka sudah berada jauh dari bukit itu, mereka berhenti di sebuah hutan dan lenyaplah semua perrnusuhan yang tadinya berada di dalam batin mereka. Agaknya, peristiwa di puncak bukit tadi, bertemu dengan orang-orang yang jauh lebih lihai, membuka mata mereka bahwa mereka itu sebenarnya bukan apa-apa. Apalagi karena Hay Hay yang menjadi perebutan di antara mereka itu kini terjatuh ke tangan orang yang jauh lebih lihai, maka mereka kini sudah melupakan semua permusuhan di antara mereka agaknya! "Bukan main... sungguh gila mereka itu! Belum pernah aku bertemu dengan orang-orang selihai mereka !" kata Kwee Siong sambil mengusap keringat dari leher dan mukanya, menggunakan sehelai saputangan hitam. Wajah isterinya yang biasanya memang sudah amat pucat seperti mayat itu, kini nampak kehijauan. "Mereka itu bukan manusia lagi..." kata pula isterinya yang masih merasa tegang dan gentar. Siangkoan Leng menarik napas panjang. "Ah, setelah bertemu dengan mereka, baru aku tahu bahwa apa yang kita miliki ini tidak ada artinya sama sekali. Kita masih harus belajar banyak! Dan kita saling gempur sendiri….hemm, betapa bodohnya….." "Engkau benar, Siangkoan Leng. Kini tidak ada artinya lagi bagi kita untuk saling bermusuhan. Bahkan bersatu pun kita masih tidak mampu menandingi mereka, apalagi kalau kita saling bermusuhan sendiri. Lalu apa yang dapat kita lakukan untuk bisa merampas kembali Sin-tong?" Siangkoan Leng menggerakkan pundaknya. "Apa lagi yang dapat kita lakukan? Kita tidak mengenal mereka, kecuali dua orang kakek pertama yang berjuluk Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi. Entah siapa jembel tua yang amat lihai dengan suara sulingnya itu. Dan aku pun tidak mengenal siapa adanya pendeta yang merampas Hay Hay itu." “pendeta itu jelas seorang pendeta Lama dari Tibet. Entah dia mewakili para pimpinan Dalai Lama atau tidak, kita tidak tahu. Dan pengemis Jembel itu .....hemm, jangan-jangan dia itulah yang dikenal seperti tokoh dongeng dari Pulau Hiu!" kata Kwee Siong. "Apa? Majikan Pulau Hiu yang berjuluk Ciu-sian Sin-kai (Pengemis Sakti Dewa Arak)? Benarkah tokoh dongeng itu masih hidup?” kata Ma Kim Li dengan mata terbelalak. "Wah, kalau benar dia, berarti tokoh-tokoh dongeng yang kabarnya memiliki kepandaian seperti dewa itu, kini bermunculan di dunia ramai!" kata Tong Ci Ki. "Bukankah Pengemis Sakti itu termasuk kelompok tokoh yang dinamakan Pat Sian (Delapan Dewa)?" "Kabarnya begitu." jawab suaminya. "Akan tetapi karena mereka itu disebut sebagai tokoh dongeng karena tidak pernah keluar sejak puluhan tahun, tidak ada yang memperhatikan lagi. Dan sekarang agaknya seorang di antara mereka muncul, dan mungkin yang tiga orang itu pun termasuk kelompok Delapan Dewa. Kalau benar demikian, benar-benar kita berempat ini mengalami kesialan luar biasa. Ah, semua gagal. Apa yang dapat kita lakukan sekarang?" "Satu-satunya jalan bagi kita untuk membalas semua penghinaan ini adalah mengadu domba di antara mereka. Sebaiknya kita kabarkan kepada para pimpinan Dalai Lama di Tibet akan Hay Hay... maksudku Sin-tong. Mereka tentu tidak akan tinggal diam kalau menemukan jejak Sin-tong. Juga kita kabarkan kepada keluarga pendekar Pek. Mereka pun tentu tidak akan tinggal diam. Dan harus kita ketahul bahwa keluarga Pek yang menjadi pendiri dan pimpinan Pek-sim-pang (Perkumpulan Hati Putih) tidak boleh dibuat main-main. Kita adu dombakan mereka." kata Siangkoan Leng. "Baik sekali itu. Mari kita membagi-bagi tugas." kata Kwee Siong dan mereka pun lalu berunding seperti empat orang sahabat baik. Sungguh lucu dan aneh sekali. Baru beberapa saat yang lalu, mereka akan dengan segaja senang hati saling serang dan saling bunuh, dengan kebencian luar biasa. Akan tetapi sekarang, mereka berunding seperti empat orang sahabat baik. Memang demikianlah watak kita manusia pada umumnya. Dalam keadaan biasa, masing-masing hanya memikirkan kepentingan diri sendiri, masing-masing mengejar kesenangan bagi diri sendiri, sehingga dalam pengejaran kesenangan itu, siapa pun yang dianggap sebagai penghalang akan diterjang dan disingkirkan dan dalam pengejaran kesenangan ini, selalu tentu akan terdapat halangan-halangan yang menimbulkan permusuhan. Sebaliknya, dalam keadaan sengsara, dalam keadaan terancam, orang akan condong untuk menghindarkan diri, untuk mencari kawan, mencari bantuan dari orang lain. Kecondongan inilah yang mendorong kita untuk berbaik dengan orang lain, terutama dengan orang yang senasib sependeritaan seperti yang terjadi pada empat orang yang biasanya dianggap jahat dan kejam seperti iblis itu. * Matahari memandikan permukaan puncak bukit itu dengan cahaya yang keemasan. Masih nampak sisa-sisa embun pada ujung-ujung daun, pada kelopak-kelopak bunga, pada puncak-puncak rumput, dan masih terasa kesejukan pagi yang amat menyegarkan. Bau rumput bermandikan embun bercampur dengan bau daun-daun kering membusuk, mendatangkan bau khas. Suara desir angin pagi di antara daun-daun pohon, diseling kicau burung. Matahari sudah naik agak tinggi, namun kesegaran pagi masih belum terbakar siang, sinar matahari masih lembut hangat dan ramah. Di bawah puncak, nampak segala pohon-pohon dan tumbuh-tumbuhan sudah bangun dari tidur semalam, bergoyang-goyang dan melambai-lambai tertiup angin pagi. Di angkasa hampak awan yang tenang dalam segala macam bentuk yang aneh-aneh, dilatarbelakangi langit biru yang makin lama semakin menjadi muda warnanya menuju keputihan. Keindahan terdapat di mana-mana, akan tetapi hanya dapat dinikmati hanya dapat dilihat oleh batin yang tidak disibukkan dan dipenuhi kebisingan pikiran yang resah. Di dalam batin yang bebas dari kesibukan pikiran, pintu-pintu hati terbuka sehingga dapat menampung sinar cinta kasih, seperti kamar yang dibuka daun pintu dan jendelanya, dapat menampung cahaya matahari sehingga menjadi terang. Hanya batin yang bebas saja yang disinari cahaya cinta kasih dan dapat menikmati keindahan yang nampak di manapun juga! Keindahan nampak jelas, terdapat di setiap ujung daun dan bunga, keindahan terletak pada kewajaran, di mana hati tidak dicampuri dengan segala kecondongan dan seleranya, keindahan terdapat pada sehelai daun kering yang melayang turun dari pohonnya, yang menari-nari lepas dengan lenggang-lenggok bebas, terdapat dalam kicau burung yang mengeluarkan bunyi yang tak terikat oleh nada dan irama tertentu, bunyi yang bebas dan wajar, tidak dibuat-buat. Sayang sekali bahwa keindahan jarang nampak oleh kita. Kepekaan batin kita sudah menjadi tumpul karena setiap saat dibebani masalah-masalah kehidupan yang diciptakan oleh pikiran kita sendiri. Sumber keindahan terdapat pada keadaan batin kita. Batin yang bebas dan penuh cinta kasih, akan melihat keindahan. keindahan itu yang berada di manapun juga. Sebaliknya batin yang penuh ikatan, batin yang penuh dengan segala masalah, penuh dengan emosi, kebencian, kekecewaan, batin seperti itu membuat mata, telinga, hidung dan semua panca indra, buta dan tumpul akan segala keindahan, bahkan yang nampak hanyalah yang kita anggap tidak menyenangkan saja. Segala sesuatu akan nampak buruk dan tidak menyenangkan bagi batin seperti ini. Tidak ada cara yang tertentu untuk membebaskan batin. Latihan-latihan hanya akan menciptakan ikatan-ikatan baru saja, dan menjadi beban baru bagi batin. Akan tetapi kita dapat mengurangi beban batin dengan menghabiskan segala sesuatu yang menimpa diri kita pada saat itu juga! Menyelesaikan persoalan yang timbul pada saat itu juga, tanpa menampungnya ke dalam batin. Hal ini mengurangi beban batin, walaupun tak dapat dikata bahwa dengan demikian batin sudah menjadi bebas. Menghadapi segala sesuatu yang terjadi pada kita sebagaimana adanya, sebagai sesuatu kewajaran, tanpa keluhan, dengan penuh perhatian dan penuh pengamatan, lalu menghabiskannya pada waktu itu juga, tanpa menyimpan. Mungkinkah kita melakukan ini setiap saat, selama hidup kita? Orang yang berada di atas puncak bukit itu, andaikata dia sendirian dan tidak menghadapi persoalan, sedikit banyak tentu ikan terbawa oleh suasana yang hening dan penuh damai. Akan tetapi sayang, mereka yang kini berada di puncak itu, tidak dapat menikmati segala keindahan itu karena mereka saling berhadapan, bahkan dengan sinar mata saling menentang. "Heh-heh-heh, Tung-hek-kwi, apakah engkau yang mengundang jembel tua ini untuk datang ke sini menjadi saksi, ataukah untuk membantumu?" terdengar Pak-kwi-ong berkata dengan nada suara mengejek kepada Si Raksasa Hitam ketika Siangkoan Leng dan isterinya, bersama Kwee Siong dan isterinya, sudah melarikan diri meninggalkan puncak bukit itu. "Huh, siapa mengundang jembel tua yang usilan ini? Aku tidak butuh bantuannya untuk menandingimu, Pak-kwi-ong! Sebaliknya, engkau malah mengajak pendeta Lama gundul ini ke sini untuk membantumu!" jawab Tung-hek-kwi. "Siapa sudi mengekor kepada seorang pendeta palsu?" Pak-kwi-ong mengejek. "Ha-ha-ha-ha, See-thian Lama, lihat dua orang ini. Kiranya mereka ini yang berjuluk Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi, dua orang di antara Setan Empat Penjuru Dunia! Dan memang mereka ini kurang ajar, berani mati, dan sombong seperti nama mereka. Kiranya masih ada sisa mereka, tadinya kukira bahwa Empat Setan itu sudah kembali ke neraka semua, ha-ha-ha!" Pendeta Lama tinggi besar itu, lebih tinggi besar dibandingkan Tung-hek-kwi, menarik napas panjang dan jari-jari tangan kanannya memutar-mutar biji tasbeh, sedangkan tangan kiri mengelus kepala Hay Hay. "Omitohud...! Tak pernah pinceng mengira bahwa masih ada mereka ini, seperti juga tidak pernah pinceng mimpi akan bertemu denganmu di sini, Ciu-sian Sin-kai!" Kini dua orang datuk sesat itulah yang terkejut bukan main. Namun mereka itu sama sekali tidak kelihatan kaget. walaupun jantung mereka mengalami guncangan. Pak-kwi-ong malah terkekeh gembira. "Heh-heh-heh-heh! Mimpikah aku?" Dia mencubit lengannya sendiri. "Hayaa, bukan mimpi akan tetapi lebih aneh daripada mimpi! Tung-hek-kwi, kita berdua berjanji akan mengadakan pertemuan di sini dan siapa tahu, di sini kita bertemu Sin-tong, dan juga bertemu dengan dua orang dari Delapan Dewa! Heh-heh-heh, tak tahu aku apakah ini merupakan suatu keberuntungan ataukah kesialan." “Omitohud... semoga diberkahi seluruh umat di dunia!" See-thian Lama berkata dengan kaget dan gembira. "Ji-wi tadi bicara tentang Sin-tong? Siancai... apakah anak ini Sin-tong, putera pendekar Pek?" "Wah? Sin-tong yang pernah diributkan dan pernah menggegerkan para Lama di Tibet itu? Pernah aku mendengar tentang itu beberapa tahun yang lalu!" kata pula Ciu-sian Sin-kai. Pak-kwi-ong terkekeh. “Menurut keterangan empat ekor tikus tadi begitulah. Akan tetapi benar tidaknya, mana aku tahu? Kalian adalah dua di antara Delapan Dewa, dan kabarnya menurut dongeng, para dewa itu tahu segala, kenapa tanya aku?" Tentu saja maksud kakek gendut ini untuk berkelakar seperti memang telah menjadi wataknya yang suka berkelakar, akan tetapi juga untuk mengejek, memperlihatkan sikap tidak takut dan tidak tunduk walaupun dia pernah mendengar bahwa ilmu kepandaian Delapan Dewa amatlah hebatnya. "Omitohud, tidak ada yang lebih tahu daripada anak ini sendiri. Anak baik." katanya sambil mengelus kepala Hay Hay, “benarkah engkau ini anak pendekar Pek yang pernah melarikan diri dari Tibet ketika engkau masih dalam kandungan ibumu?” Hay Hay mengerutkan alisnya. Baru saja dia terlepas dari tangan empat orang jahat yang memperebutkannya, dan sekarang agaknya dia kembali terjatuh ke tangan orang-orang yang lebih sakti lagi, akan tetapi yang juga agaknya tertarik oleh keturunannya dan hendak menyelidiki asal-usulnya. Hal ini membuatnya merasa sebal. "Tak tahulah, Lo-suhu. Aku ini entah anak pendekar Pek ataukah anak setan. Yang jelas, aku mengenal namaku sebagai Hay Hay dan sejak kecil aku ikut Siangkoan Leng, dan isterinya yang ternyata adalah Lam-hai Siang-mo. Menurut keterangan empat orang yang memperebutkan diriku tadi, memang katanya aku ini anak pendekar Pek, akan tetapi aku sendiri mana tahu?" Kembali pendeta Lama itu mengelus-elus kepala Hay Hay dan sekarang Hay Hay tahu bahwa kakek itu bukan mengelus sembarangan saja, melainkan meraba-raba kepalanya seperti ingin mengukur atau melihat bentuk kepala itu. "Pinceng dapat menentukan apakah engkau memang Sin-tong atau bukan." Tiba-tiba saja Hay Hay merasa betapa seluruh pakaiannya terlepas dari tubuhnya. Dia tidak melihat bagaimana pendeta itu melakukannya, akan tetapi tiba-tiba saja, dengan cepat sekali sehingga tidak ada waktu baginya untuk menolak atau menegur, semua pakaiannya itu terlepas dari tubuhnya dan kini dia berdiri dengan tubuh telanjang bulat di tengah-tengah sedangkan empat orang kakek itu berdiri di sekelilingnya. Mereka itu mengamati seluruh tubuhnya, menaksir-naksir seperti empat orang pedagang sapi sedang menaksir seekor sapi sebelum menentukan harganya. "OMITOHUD, pinceng tidak melihat tanda merah di punggungnya yang telah ditentukan oleh ramalan di Tibet bahwa Sin-tong itu ada tanda merah di bagian punggungnya. Anak ini bukan Sin-tong!" Akhirnya See-thian Lama berkata dan tiga orang sakti itu mengangguk-angguk percaya. Nama See-thian Lama sebagai seorang di antara Delapan Dewa tentu saja menjadi jaminan akan kebenaran keterangannya itu. "Biarpun demikian, aku melihat bakat yang baik bersinar dari matanya! See-thian Lama, berikan saja dia kepadaku untuk menjadi muridku. Sudah lama aku mencari seorang anak yang cocok untuk kuberikan peninggalan semua ilmuku, heh-heh!" kata Ciu-sian Sin-kai dengan girang. "Omitohud, penglihatanmu masih awas sekali, Sin-kai!" See-thian Lama memuji. "Akan tetapi sebelum engkau melihatnya, sejak tadi pinceng sudah mengetahui bakat terpendam anak ini dari bentuk kepalanya dan sejak tadi pinceng sudah mengambil keputusan bahwa kalau anak ini bukan Sin-tong yang harus diserahkan kepada para Dalai Lama, pinceng akan mengambilnya sebagai murid pinceng."' "Wah-wah-wah, engkau Isudah menjadi pendeta harus mau mengalah kepadaku, See-thian Lama. Apa engkau tidak merasa kasihan kepadaku kalau aku membawa mati ilmuku tanpa kusalurkan kepada murid yang berbakat?" "Heii, nanti dulu!" Tiba-tiba Tunghek-kwi membentak marah. "Kalian ini enak saja bicara tentang anak itu seolah-olah kami tidak mempunyai hak. Sebelum kalian datang, kami yang berhak atas diri anak ini dan bicara tentang murid, kami juga belum punya murid dan merasa bahwa kami yang memiliki hak pertama untuk menjadi gurunya." Sebetulnya Tung-hek-kwi ataupun Pak-kwi-ong tidak ingin mengambil murid Hay Hay, hanya karena merasa dikesampingkan, maka Tung-hek-kwi menegur dan merasa penasaran. "Benar! Sejak dahulu kami sudah mendengar nama Delapan Dewa sebagai orang-orang yang tinggi hati dan tidak memandang sebelah mata kepada golongan lain." sambung Pak-kwi-ong. " Aku pun ingin mengambil anak ini sebagai murid!" "Wah-wah-wah, berabe sekarang!" Ciu-sian Sin-kai berkata sambil tertawa gembira. Baginya keadaan yang berabe itu malah menggelikan dan menggembirakan. "See-thian Lama, bagaimana sekarang? Dua orang dari Empat Setan ini pun menghendaki anak itu. Bagaimana pikiranmu? Apakah engkau rela menyerahkan anak ini agar kelak menjadi calon datuk sesat yang hanya akan mengeruhkan dunia? Dosamu besar sekali kalau kauberikan dia kepada mereka, ha-ha-ha!" "Omitohud, segala bentuk kekerasan tidak ada gunanya dan hanya merusak. Memaksa anak ini menjadi muridku pun akan merusaknya. Karena anak ini yang akan menjadi murid, dan begini banyaknya orang yang ingin mengambilnya sebagai murid, maka biarlah pinceng serahkan kepada anak itu sendiri, siapa yang akan diangkat menjadi gurunya. Anak baik, kautentukanlah pilihanmu.” Sejak tadi Hay Hay sudah mendengarkan semua ucapan mereka itu dan diam-diam dia pun merasa girang sekali. Agaknya empat orang ini, yang dia tahu merupakan orang-orang yang luar biasa, mempunyai niat yang berbeda dibandingkan dengan dua pasang suami isteri tadi. Mereka ini agaknya memperebutkan dia untuk diambil murid! Ketika tadi melihat sepak terjang Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi, dia merasa kagum bukan main karena mendapat kenyataan bahwa mereka itu jauh lebih lihai dibandingkan dengan dua pasang suami isteri iblis itu. Akan tetapi kemudian muncul pengemis itu dan pendeta yang luar biasa ini, maka tentu saja hatinya menjadi bimbang. "Biarkan aku mengenakan pakaianku dulu." katanya dan pendeta Lama itu tersenyum ramah, menyerahkan pakaiannya, bahkan membantunya memakai bajunya. Setelah selesai berpakaian, Hay Hay lalu menuju ke tengah lapangan itu, memandang empat orang itu satu demi satu. Masih sukar dia menentukan dan memandang ragu-ragu. Dia suka menjadi murid seorang di antara mereka, mempelajari ilmu yang tinggi agar kelak dia dapat melakukan penyelidikan sendiri mengenai dirinya. Dia harus mencari ayah bundanya yang aseli, dan dia yang akan memberi hajaran kepada orang-orang seperti dua pasang suami isteri tadi. Dia harus mendapatkan guru yang paling pandai. Paling pandai! Itulah ukurannya untuk memilih! "Aku ingin berguru kepada orang yang paling pandai di antara Locianpwe berempat. Silakan para Locianpwe mengadu kepandaian dan siapa yang paling tinggi kepandaiannya dan menang dalam pertandingan ini, nah, dialah guruku." "Anak setan...!!" Tung-hek-kwi menyumpah. "Omitohud...!" Se-thian Lama berseru. Dua orang kakek lain, yaitu Pak-kwi-ong dan Ciu-sian Sin-kai tertawa bergelak mendengar kata-kata Hay Hay itu. "Ha-ha-ha, anak baik, ketahuilah bahwa di antara Delapan Dewa tidak ada yang saling bertanding. Aku suka mengalah kepada See-thian Lama dan dia pun suka mengalah kepadaku. Akan tetapi entah dengan dua orang dari Empat Setan ini. Bagaimana Pak-kwi-ong? Engkau hanya tertawa saja. Apakah engkau ingin memasuki.…. ha-ha, sayembara ini?" Kata Ciu-sian Sin-kai sambil tertawa geli. "Heh-heh, aku sungguh tidak tahu diri kalau berani menandingi Pat Sian! Akan tetapi, kini muncul kesempatan bagiku untuk menguji satu jurus pukulanku yang paling akhir. Begini saja, Ciu-sian Sin-kai, karena di antara Pat Sian hanya engkau yang paling cocok dengan aku, kita sama-sama suka bergembira, bagaimana kalau engkau membantu aku dan menguji jurusku itu?' Satu jurus saja dan aku akan mengerti sudah apakah aku harus melangkah terus ataukah mundur .Ciu-sian Sin-kai mengangguk-angguk dan tersenyum. Dia menyukai ketegasan sikap seorang di antara Empat Setan yang memang paling suka berkelakar ini walaupun hatinya amat kejam. "Boleh, boleh, hanya aku khawatir tulang-tulangku yang sudah tua ini akan menjadi remuk nanti dan berarti dalam usia setua ini engkau akan menjadi pembunuh lagi. Ha-ha-ha, itu namanya menambah dosa saja!" "Heh-heh, usia kita sebaya, Sin-kai, kalau sampai engkau mati berarti aku tidak keterlaluan dan tidak menjadi buah tertawaan orang sedunia. Nah, mari kita bersiap." "Anak baik, kau minggir dulu." Kata Sin-kai sambil mendorong pundak Hay Hay dengan lembut sehingga anak ini melangkah minggir untuk memberi tempat kepada dua orang kakek yang hendak mengadu ilmu. Diam-diam anak ini merasa gembira bukan main. Kalau dia berhasil menjadi murid orang terpandai di antara mereka ini, sungguh hal itu amat menyenangkan. " “Pak-kwi-ong, aku telah siap." kata Ciu-sian Sin-kai. Kakek ini sama sekali tidak berani memandang rendah kepada lawannya. Dia tahu siapa adanya Empat Setan yang sudah amat terkenal di dunia persilatan kalangan atas, beberapa puluh tahun yang lalu. Orang seperti Empat Setan, apalagi yang sikapnya gembira seperti Pak-kwi-ong, harus dihadapi dengan penuh kewaspadaan. Oleh karena itu, biarpun nampaknya dia berdiri santai saja, namun tubuh tua itu berada dalam keadaan siap siaga, seluruh tubuhnya dialiri hawa sinkang yang sukar dapat diukur kekuatannya. Bahkan tangan kanannya sudah memegang senjata yang juga menjadi alat musiknya, yaitu suling yang terbuat dari kayu berwarna hitam. Pak-kwi-ong juga tidak mau membuang waktu lagi. Dia bersikap cerdik ketika minta diuji sejurus ilmunya oleh Ciu-sian Sin-kai. Kalau dia menantang berkelahi, dia meragukan apakah dia akan mampu keluar dengan nyawa masih menempel di tubuhnya. Ujian hanya satu jurus ini, andaikata dia gagal dan kalah sekalipun, dia akan dapat keluar dengan selamat dan satu jurus saja sudah cukup baginya untuk menguji. Jurus yang akan dikeluarkan adalah jurus terampuh dan kalau jurus ini tidak mampu mengalahkan Sin-kai, maka jurus-jurus lainnya tidak akan ada artinya lagi. Dengan kedua kakinya yang nampak pendek karena bulat dia melangkah maju sambil menggosok-gosok kedua telapak tangannya. Tak lama kemudian, tampak uap tebal mengepul dari telapak tangannya. Dapat dibayangkan kehebatan tenaga sinkang kakek ini. Ketika muncul di situ, tenaga saktinya telah datang menerpa seperti badai yang membuat daun-daun kering beterbangan dan kini dia mengumpulkan seluruh kekuatannya pada kedua telapak tangannya, maka dapat dibayangkan betapa berbahaya kedua telapak tangan yang telah diisi tenaga sakti itu. "Sin-kai, terimalah seranganku ini!" Kakek gendut botak itu berseru dengan suara nyaring seperti bentakan. Kakek ini adalah seorang datuk sesat yang kejam, akan tetapi juga cerdik sekali. Selain mengerahkan seluruh kekuatan dan menggunakan jurus terampuh dalam serangan yang hanya satu kali ini, juga dia memakai sopan-santun memberi peringatan terlebih dulu. Hal ini dilakukan karena dia belum yakin benar akan dapat mengalahkan lawan ini dalam satu serangan itu. Andaikata yang diserangnya itu orang yang dianggap tingkatnya lebih rendah dan dia yakin akan mampu merobohkannya, tentu dia akan turun tangan tanpa banyak aturan lagi. “Wuuuuttt...!" Angin dari hawa pukulan itu menyambar dahsyat ketika Pak-kwi-ong menerjang ke arah Ciu-sian Sin-kai. Ternyata jurus pukulannya itu hanya sederhana saja, tangan kiri menampar dari atas ke arah kepala sedangkan tangan kanan menghantam lurus dari depan ke arah dada. Biarpun sederhana, jangan harap pukulan ini akan dapat dihindarkan oleh ahli-ahli silat kebanyakan saja karena di kedua lengan itu terkandung kekuatan yang amat dahsyat. Dan hebatnya, biarpun nampaknya tidak begitu cepat, namun Ciu-sian Sin-kai, seorang di antara Delapan Dewa, melihat bahwa pukulan Si Gendut itu tak mungkin dapat dielakkan karena hawa pukulan itu telah membuat semua jalan keluar tertutup. Kalau orang memaksa diri mengelak, tentu akan terkena pukulan, betapa cepatnya dia mengelak. Satu-satunya jalan untuk menghadapi pukulan kedua tangan itu hanyalah menyambutnya dengan tangkisan. Dan inilah yang dikehendaki oleh Pak-kwi-ong. Dia hendak memaksa lawan menggunakan tenaga menyambutnya untuk mengadu tenaga! Dan karena ini pula maka dia mengerahkan seluruh tenaganya pada kedua tangan. Akan tetapi, Ciu-sian Sin-kai tidak merasa gentar, juga sebagai seorang datuk persilatan yang sudah memiliki tingkat tinggi sekali, dia tidak kekurangan akal. Dengan tenang saja dia lalu menyalurkan tenaga sinkang dari pusarnya ke arah kedua tangan, lebih banyak ke tangan kiri daripada tangan kanan. Tangan kanan yang memegang suling hitam itu lalu bergerak, menggunakan sulingnya untuk menyambut dan menotok ke arah telapak tangan kiri Pak-kwi-ong yang menampar dari atas ke arah kepalanya. Karena dia menyambut tamparan itu dengan totokan, bukan tangkisan, maka dia tidak perlu mengerahkan terlalu banyak tenaga. Ujung tongkatnya menyambar ke arah jalan darah yang menjadi pusat, yaitu di antara pangkal telunjuk dan ibu jari. Adapun tangan kirinya, dengan jari-jari terbuka, menyambut hantaman lawan dari depan. Dia menerima tantangan adu tenaga itu. Melihat sambaran ujung suling, Pak-kwi-ong maklum bahwa besar kemungkinan tangan kirinya akan tertotok dan hal itu dapat mengakibatkan kelumpuhan. Oleh karena itu, terpaksa dia miringkan sedikit tangan kirinya yang menampar agar ujung suling itu mengenai bagian lain dari telapak tangannya, dan dengan nekat dia pun mengadu tenaga dengan tangan kanannya yang terbuka, menghantam ke arah telapak tangan kiri lawan yang berani menyambutnya. "Pak…!Dessss…..!!” Hebat bukan main pertemuan tenaga dua kali itu, terutama yang terakhir ketika tangan kanan Pak-kwi-ong bertemu dengan tangan kiri Ciu-sian Sin-kai. Hay Hay sampai terpelanting dan para tokoh lain dapat merasakan getaran yang hebat ketika dua tenaga dahsyat itu bertemu. Tubuh Ciu-sian Sin-kai yang kurus itu masih berdiri tegak dengan mulutnya tetap tersenyum, akan tetapi tubuh Pak-kwi-ong yang gendut itu terdorong mundur sampai lima langkah! Jelaslah bahwa Pak-kwi-ong kalah dalam adu tenaga itu dan dia pun terkejut bukan main, merasa untung bahwa dia tadi hanya menantang untuk satu kali atau satu jurus serangan saja. Jurus itu pun tidak dilanjutkan karena lengkapnya masih ada susulan tendangan. Dari pertemuan tenaga tadi saja dia maklum betapa hebatnya tokoh dari Delapan Dewa ini. Bukan nama kosong belaka. Isi dadanya sampai terguncang dan dia pun cepat menahan napas untuk menghimpun hawa murni. Kemudian, sambil tersenyum menyeringai dia pun mengangkat kedua tangan di depan dada Hebat memang kepandaian Ciu-sian Sin-kai. Aku tidak merasa malu untuk mengakui kekalahanku." Berbeda dengan dua orang kakek dari Empat Setan itu, para tokoh Delapan Dewa adalah datuk-datuk persilatan yang berwatak gagah perkasa. Biarpun mereka juga tidak pernah mengaku sebagai golongan putih atau golongan pendekar, dan tidak langsung memusuhi golongan hitam seperti kaum pendekar, namun mereka itu tidak pernah melakukan perbuatan jahat dan terkenal sebagai tokoh-tokoh aneh yang selalu bersikap adil dan gagah perkasa. Melihat betapa Pak-kwi-ong, seorang tokoh besar yang tingkatnya sudah tinggi sekali, kini mau mengakui kekalahannya begitu saja, Ciu-sian Sin-kai merasa kasihan. Suling hitamnya yang terbuat dari kayu cendana itu tadi ketika bertemu dengan telapak tangan kiri Pak-kwi-ong, mengalami keretakan. Hal ini dia tahu dan rasakan benar. Suling itu sudah rusak dan tidak ada gunanya dipakai lagi, maka kini melihat lawannya mengaku kalah, dia pun tertawa. "Heh-heh-heh, Pak-kwi-ong, kau ini merendahkan diri ataukah mengejek orang? Lihat, dalam adu tenaga tadi engkau telah merusak sulingku." Dia melemparkan suling itu ke atas tanah dan ternyata benda itu telah patah menjadi dua potong. Tadinya memang retak akan tetapi dengan bantuan tenaga sin-kang Ciu-sian Sin-kai, kini suling itu patah menjadi dua tanpa ada yang melihatnya. Pak-kwi-ong bukan orang bodoh. Biarpun, andaikata benar, dia berhasil merusak suling lawan, namun bagaimanapun juga kalau perkelahian dilanjutkan, dia akan kalah. Maka dia pun tertawa, "Sudahlah, aku memang kalah. Mudah-mudahan lain kali aku akan dapat membalas kekalahanku. Selamat tinggal!" Berkata demikian, kakek gendut itu lalu melompat dan tubuhnya seperti menggelundung saja dari puncak bukit itu, dan sebentar saja dia sudah menghilang. "Omitohud... Pak-kwi-ong sungguh tahu diri, semoga dia memperoleh kebahagiaan dan kedamaian hidup " kata Seng-thian Lama, merasa lega bahwa seorang di antara Empat Setan itu tidak membuat onar selanjutnya dan mau mengalah. "Dan bagaimana dengan engkau, Tung-hek-kwi?" Sejak tadi Tung-hek-kwi sudah memutar otak. Dia seorang yang pendiam, akan tetapi juga cerdik. Melihat betapa Pak-kwi-ong tidak mampu mengalahkan Ciu-sian Sin-kai, dia mengerti bahwa dia pun tidak akan menang menghadapi dua orang dari Delapan Dewa itu. Hatinya merasa mengkal sekali. Dia pun tidak terlalu ingin mengambil anak itu sebagai muridnya, akan tetapi melihat ada orang datang dan mengambil alih begitu saja anak yang tadinya berada dalam lindungannya, dia merasa dipandang rendah sekali. Apalagi anak itu telah mengadakan semacam sayembara, yang berarti mengadu domba dan kalau dituruti berarti dia akan membuktikan kekurangan dan kekalahannya terhadap dua orang kakek Delapan Dewa itu. Maka timbullah kemarahan dan kemendongkolan hatinya terhadap Hay Hay. "Daripada diperebutkan, biarlah tak seorang di antara kita memperolehnya!" bentaknya. "Omitohud...!" See-thian Lama berseru dan tiba-tiba saja tubuhnya lenyap. Ternyata tubuh yang tinggi besar itu telah melayang ke atas seperti seekor burung garuda terbang saja dan demikian cepat gerakan pendeta Lama ini sehingga dia mampu menghadang di depan Hay Hay ketika Tung-hek-kwi datang menghantam anak itu. See-thian Lama menyambut pukulan itu dengan tangkisan tangannya selagi tubuhnya masih menyambar turun. "Dessss…..!!" Demikian hebatnya tangkisan itu dan tidak terduga-duga oleh Tung-hek-kwi sehingga tubuh kakek hitam yang tinggi besar itu pun terjengkang dan bergulingan di atas tanah! Melihat betapa kakek hitam itu nyaris membunuh anak kecil itu, kakek pendeta ini sudah mengerahkan seluruh tenaganya dan mana mungkin Tung-hek-kwi mampu menahannya? Tubuhnya yang terjengkang dan bergulingan itu membuktikan betapa dahsyatnya tenaga tangkisan See-thian Lama! Tung-hek-kwi meloncat bangun dan mukanya berubah pucat, matanya mengeluarkan sinar berapi. Akan tetapi kini Ciu-sian Sin-kai juga sudah berdiri menghadang di depan anak itu. "Ha-ha-ha, Tung-hek-kwi, kalau engkau mau bermain curang dan hendak mengganggu anak ini, terpaksa aku akan menghajarmu!" Tung-hek-kwi adalah seorang yang berwatak keras. Akan tetapi dia pun bukan orang bodoh dan dia maklum bahwa menghadapi dua orang kakek itu sama sekali dia tidak akan dapat menandinginya. Baru melawan seorang di antara mereka saja dia akan sukar menang, apalagi mereka berdua kini melindungi anak itu. "Huh!" dengusnya. "Tidak sekarang, kelak dia akan mampus di tanganku!" Setelah berkata demikian, dia pun membalikkan tubuhnya dan sekali meloncat, dia pun lenyap dari situ. Ciu-sian Sin-kai hanya tertawa dan See-thian Lama berkata, "Omitohud...mereka berdua itu kelak akan menjadi ancaman bagi anak ini." "Siangkoan Hay….. " "Locianpwe, aku tidak mau lagi memakai nama keluarga Siangkoan. Akan tetapi karena nama Hay Hay adalah namaku sejak kecil, biarlah aku menggunakan nama Hay Hay saja." Hay Hay memotong ucapan Ciu-sian Sin-kai. Kakek berpakaian pengemis itu terkekeh, "Heh-heh-heh, baiklah. Akan tetapi karena engkau dari keluarga Pek, namamu menjadi Pek Hay." "Omi tohud, pinceng sangsikan apakah dia ini benar-benar putera pendekar Pek. Menurut perhitungan dan ramalan para pimpinan Dalai Lama, putera pendekar Pek itu adalah Sin-tong dan dipunggungnya terdapat tanda merah. Akan tetapi di punggung anak ini tidak ada tandanya, berarti dia bukan Sin-tong dan bukan pula anak pendekar Pek." "Pendapatmu benar, See-thian Lama, akan tetapi kita hanya tahu bahwa Lam-hai Siang-mo menculiknya dari keluarga Pek, oleh karena itu, sebelum ada keterangan lebih lanjut dari keluarga Pek, biarlah dia bernama Pek Hay. Bagaimana Hay Hay, maukah engkau memakai nama keluarga Pek? Tidak baik orang tidak memiliki nama keluarga sama sekali." Hay Hay menarik napas panjang. Dia sendiri bingung dengan keadaannya, akan tetapi dia tidak peduli akan segala macam nama keturunan atau nama keluarga, maka dia pun hanya mengangguk saja. "Nah, sekarang, kepada siapakah engkau hendak berguru? Kepadaku atau kepada See-thian Lama? Ingat, antara kami berdua terdapat ikatan persaudaraan dan kami tidak mungkin mau mengadu ilmu untuk memperebutkan dirimu. Kalau engkau ikut dengan aku, engkau akan menjadi murid seorang pengemis jembel yang kadang-kadang makan sisa makanan dan tidur di emper toko atau di kuil rusak, tak tentu tempat tinggalnya, tak tentu makan dan pakainya. Kalau engkau ikut dengan See-thian Lama, engkau akan hidup sebagai seorang murid pendeta dan menjadi penghuni kuil. Nah, engkau pilih yang mana?" Anak itu memandang kepada dua orang kakek itu bergantian, menimbang-nimbang. Dia telah kehilangan segala-galanya dan kini hidupnya tergantung kepada dua orang kakek ini. Dia belum mengenal mereka dan tidak tahu pula siapa di antara mereka yang paling baik, paling pandai dan paling dapat diharapkan. "Aku memilih... keduanya!" Dan dia pun menjatuhkan diri berlutut di depan dua orang kakek itu. "Harap Ji-wi Locianpwe sudi menerimaku sebagai murid dan aku berjanji akan mentaati segala perintah Ji-wi." Dua orang kakek itu saling pandang dan kemudian mereka berdua pun tertawa. "Omitohud, anak ini memang lihai sekali. Ciu-sian Sin-kai, pinceng merasa kasihan kalau melihat anak yang masih kecil ini kau ajak berkeliaran dan hidup terlantar. Biarlah selama lima tahun dia ikut bersama pinceng, kemudian setelah lima tahun, engkau boleh menjemputnya dan mengajaknya pergi. Bagaimana?" "Ha-ha-ha, aku mengerti maksudmu, See-thian Lama. Engkau takut anak ini menjadi tersesat seperti aku, maka engkau hendak menanamkan dasar-dasar semua ilmu kepadanya, mengajarkan ilmu membaca menulis dan keagamaan. Baiklah, aku setuju saja. Nah kalau tidak ada sesuatu, lima tahun kemudian aku mengunjungimu untuk menjemput Hay Hay. Dan kau, Hay Hay, engkaulah satu di antara jutaan anak-anak di dunia ini yang paling beruntung, dapat menjadi murid See-thian Lama. Belajarlah baik-baik." Setelah berkata demikian, Ciu-sian Sin-kai berkelebat dan lenyap dari tempat itu. Biarpun hatinya agak kecewa ditinggalkan oleh kakek jembel yang ramah dan lucu itu, karena dia sudah berjanji akan mentaati kedua orang itu, Hay Hay diam saja dan masih berlutut di depan See-thian Lama. "Bangkitlah, Hay Hay, dan mari ikut dengan pinceng. " Setelah berkata demikian, kakek itu tanpa menanti Hay Hay bangkit, lalu turun dari puncak bukit itu. Hay Hay cepat bangkit berdiri dan mengikuti pendeta itu dari belakang. Karena pendeta itu berjalan perlahan-lahan, maka Hay Hay dapat mengimbangi kecepatannya. Mulailah Hay Hay memasuki suatu keadaan hidup yang baru, yang sama sekali berbeda dengan keadaan hidupnya sebagai putera Siangkoan Leng di Nan-king. Memang kehidupan ini mudah sekali berubah. Peristiwa-peristiwa yang kebetulan, yang tidak terduga-duga, dapat merubah keadaan hidup seseorang. Apa yang terjadi pada diri Hay Hay juga kebetulan saja. Kwee Siong dan Tong Ci Ki, suami isteri dari Guha Iblis Pantai Selatan itu, selain ingin membalas dendam atas kekalahan-kekalahan mereka terhadap Siangkoan Leng, juga mempunyai niat untuk menculik Hay Hay demi keuntungan mereka sendiri. Tanpa mereka sengaja, suami isteri ini membawa Hay Hay ke puncak bukit itu, dibayangi dan diintai oleh Siangkoan Leng dan isterinya. Akan tetapi, sungguh terjadi hal yang tidak sengaja dan kebetulan sekali bahwa di puncak bukit itu muncul Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi, dua orang datuk sesat, tokoh-tokoh Empat Setan yang sakti! Di antara Empat Setan, memang tinggal dua orang tokoh ini yang masih hidup, dan puncak bukit itu memang merupakan tempat pertemuan antara mereka selama puluhan tahun. Kebetulan sekali, pada pagi hari itu adalah tepat merupakan pertemuan antara dua orang datuk ini. Munculnya dua orang datuk ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan Hay Hay, hanya kebetulan saja, akan tetapi telah merubah semua jalan kehidupan Hay Hay. Andaikata mereka tidak muncul dan Hay Hay dibawa pergi oleh suami isteri Guha Iblis atau mungkin terampas kembali oleh Lam-hai Siang-mo, tentu keadaan hidupnya akan menjadi berlainan sama sekali. Di dalam peristiwa yang kebetulan itu, terjadi lagi peristiwa kebetulan lain yang menimpa dirinya, yaitu kemunculan Ciu-sian Sin-kai dan See-thian Lama. Dua orang kakek yang jarang sekali muncul di dunia ramai ini adalah dua di antara Pat-sian atau Delapan Dewa, julukan yang diberikan kepada delapan orang tokoh besar dunia persilatan. Kemunculan mereka di situ pun hanya kebetulan saja. Ciu-sian Sin-kai dalam perantauannya sebagai seorang pengemis yang selalu memilih jalan sunyi dan tempat-tempat rawan dan gawat, jarang mau menemui orang lain. Adapun See-thian Lama, seorang tokoh besar di daerah Pegunungan Himalaya, biarpun dia penganut Agama Buddha seperti para Lama di Tibet, namun dia tidak tergabung dalam golongan Lama di Tibet, juga sedang merantau ke timur dengan dua maksud. Pertama, untuk ikut pula menyelidiki tentang hilangnya Sin-tong yang menghebohkan para pendeta itu, dan ke dua, untuk mencari murid karena dia merasa sudah tua dan ingin menurunkan ilmu-ilmunya kepada seorang murid yang baik. Dan sungguh dia memperoleh berkah, mungkin dari cara hidupnya yang bersih sehingga terjadi hal yang begitu kebetulan. Dia menemukan anak yang diributkan sebagai Sin-tong, bahkan sekaligus menemukan seorang murid yang baik. Segala peristiwa yang terjadi di dunia ini, adalah fakta-fakta yang tak dapat diubah lagi oleh apa dan siapapun juga. Peristiwa yang terjadi adalah suatu hal yang sudah nyata, wajar, dan tidak baik maupun buruk. Yang terjadi pun terjadilah! Kitalah yang menempelkan sebutan baik atau buruk pada peristiwa yang terjadi, sesuai dengan penilaian kita yang didasari oleh kepentingan diri pribadi. Dan sekali kita menilai, sekali kita memberi sebutan baik atau buruk, maka muncullah sebutan baik buruk, kita senang kalau peristiwa itu baik (menguntungkan) dan kita kecewa kalau peristiwa itu buruk (merugikan). Kecewa, marah, duka dan sebagainya itu berada di dalam CARA MENERIMA KENYATAAN yang berupa peristiwa itu, bukan terletak pada kenyataan itu sendiri. Dan oleh karena penilaian kita didasari kepentingan diri, maka apa yang kita anggap baik hari ini, belum tentu kita anggap baik pada keesokan harinya, dan sebaliknya. Apa yang kita tangisi hari ini, mungkin besok akan kita tertawakan, dan apa yang mendatangkan tawa hari ini kepada kita, mungkin akan mendatangkan tangis pada keesokan harinya. Semua itu tergantung dari keadaan hati kita ketika menghadapi kenyataan itu. Kalau kita mau menghadapi segala macam peristiwa dalam hidup ini sebagai suatu kenyataan, suatu fakta yang wajar, maka kita akan menerimanya dengan hati lapang, dengan penuh kewaspadaan tanpa menilai baik buruknya. Dengan demikian, batin kita akan tetap tenang dan jernih, dan tindakan kita sebagai tanggapan terhadap peristiwa itu bukan lagi dikuasai oleh emosi, oleh nafsu, melainkan didasari kecerdasan dan akal budi yang sehat. Dan kewaspadaanlah yang akan membuka mata kita bahwa sesungguhnya, segala peristiwa yang terjadi hanyalah suatu akibat dari suatu sebab. Sebab-sebab itu dapat berantai panjang, namun pusatnya atau sebab utama dan pertamanya, akan selalu kita dapatkan di dalam diri sendiri! Kalau sudah begini, tidak mungkin akan ada lagi keluhan, apa pun yang terjadi menimpa diri. Jangankan hanya urusan yang tidak langsung mengenai diri, bahkan datangnya penyakit dan kematian sekalipun merupakan suatu kewajaran yang tidak dinilai sebagai baik ataupun buruk. Dan kalau sudah begini, apakah masih ada masalah dalam kehidupan? Kalau batin sudah bebas dari ikatan apapun juga, kematian pun hanya merupakan suatu kewajaran yang tidak mendatangkan perasaan was-was atau takut sama sekali. * Kita tinggalkan dulu Hay Hay yang mengikuti See-thian Lama menuju kebarat, ke Pegunungan Himalaya dan mari kita menengok keadaan keluarga lain yang dekat hubungannya dengan Hay Hay. Di kota Nam-co, di daerah Tibet, sebelah utara kota Lha-sa yang menjadi ibu kota Tibet di mana para Dalai Lama menjadi penguasa-penguasa mutlak, terdapat banyak pendatang dari timur, bukan penduduk aseli Tibet. Mereka ini sebagian besar menjadi pedagang, membuka toko dan melakukan perdagangan dengan mendatangkan barang-barang dari Propinsi-propinsi Yu-nan, Secuan, ateu Cing-hai. Karena banyak pula keluarga bangsa Han (Cina) yang berada di Tibet, maka terdapat pula kelompok-kelompok atau golongan-golongan di kota Nam-cao. Akan tetapi yang paling terkenal adalah perkumpulan Pek-sim-pang (Perkumpulan Hati Putih). Perkumpulan ini adalah perkumpulan silat, merupakan sebuah perguruan akan tetapi juga perkumpulan social yang suka bertindak membantu masyarakat yang tertimpa malapetaka atau ketidakadilan. Para penjahat di daerah Tibet merasa gentar menghadapi perkumpulan Pek-sim-pang, karena keluarga Pek, yaitu pendiri dari Pek-sim-pang, adalah ahli-ahli silat yang amat lihai. Semenjak berdiri kurang lebih empat puluh tahun yang lalu, Pek-sim-pang memperoleh kemajuan besar. Banyak orang muda yang gagah perkasa menjadi murid dan anggauta perkumpulan itu. Karena sepak terjang mereka itu gagah perkasa dan seperti pendekar-pendekar sejati, maka nama Pek-sim-pang semakin terkenal dan anggautanya semakin banyak sampai berjumlah kurang lebih seratus orang. Dan selama bertahun-tahun keadaan perkumpulan itu jaya dan tenteram, bahkan nama besar Pek-sim-pang membuat kota Nam-co menjadi tenteram pula. Hal ini diakui oleh para pendeta Lama di Lha-sa sehingga mereka pun menghargai Pek-sim-pang yang mereka anggap sebagai perkumpulan sahabat yang dikagumi. Apalagi mengingat bahwa pendirinya pada empat puluh tahun yang lalu adalah seorang pendekar besar, murid dari Siauw-lim-pai. Para guru besar Siauw-lim-pai masih mempunyai hubungan baik, bahkan hubungan persaudaraan dalam perguruan dengan para pimpinan Lama di Tibet, maka tentu saja keluarga Pek diterima sebagai keluarga seperguruan pula. Akan tetapi, tidak ada sesuatu yang abadi dan tidak berubah di dunia ini. Ketenteraman Pek-sim-pang, dan keluarga Pek pada khususnya, mengalami perubahan hebat pada tujuh tahun yang lalu. Pada waktu itu, Pek Khun, pendiri Pek-sim-pang yang telah berusia enam puluh tahun, telah mengundurkan diri dan pergi bertapa ke sebuah puncak di Pegunungan Kun-lun-san. Yang menggantikannya menjadi ketua Pek-sim-pang adalah Pek Ki Bu, puteranya yang pada waktu itu sudah berusia empat puluh lima tahun. Pek Ki Bu telah mewarisi ilmu-ilmu silat ayahnya dan dia pun amat lihai dalam ilmu silat Siauw-lim-pai yang banyak ragamnya itu. Pek Ki Bu hanya mempunyai seorang putera yang bernama Pek Kong. Melalui diri Pek Kong inilah peristiwa yang menimbulkan perubahan hebat pada Pek-sim-pang itu terjadi. Baru setahun Pek Kong menikah dengan seorang gadis puteri seorang pedagang obat di Nam-co, dan ketika isterinya mengandung tua, tiba-tiba saja datang utusan dari Lha-sa, dari para pendeta Dalai Lama yang menyatakan bahwa anak dalam kandungan isteri Pek Kong itu adalah calon Dalai Lama! Sebagai cirinya, di punggung anak itu akan nampak tanda merah selebar telapak tangan dan karena anak itu merupakan calon orang suci atau guru besar, maka diminta kerelaan orang tuanya untuk menyerahkan anak itu apabila terlahir kelak! Keluarga Pek merupakan keluarga yang sudah dua keturunan tinggal di daerah Tibet sehingga mereka maklum apa artinya itu. Anak itu kelak akan menjadi seorang calon Dalai Lama dan sama sekali terputus hubungannya dengan keluarga Pek! Tentu saja keluarga itu tidak rela dengan bayangan ini. Pek Kong merupakan keturunan terakhir dan tunggal dari keluarga Pek. Kalau kelak anak itu terlahir laki-laki, maka anak itulah yang merupakan keturunan terakhir. Bagaimana mungkin mereka dapat menyerahkan keturunan terakhir itu untuk menjadi calon Dalai Lama dan terputus hubungannya dengan keluarga mereka? Bagaimana kalau Pek Kong, seperti kakeknya dan juga ayahnya, hanya mempunyai seorang saja anak laki-laki? Bukankah dengan demikian akan berarti putus dan lenyap keturunan keluarga mereka? Bagi bangsa Han di seluruh negeri, keturunan laki-laki yang menyambung nama keluarga mereka merupakan hal yang teramat penting. Dalam kebingungan itu, keluarga Pek tentu saja tidak berani menolak permintaan para pendeta Lama yang amat berpengaruh di Tibet. Pek Ki Bu sebagai ketua Pek-sim-pang menjadi bingung dan cepat dia pergi menghadap ayahnya yang bertapa di Kun-lun-san untuk minta nasehat. "Aihhh, kenapa ada urusan yang sulit itu menimpa keluarga kita?" Kakek Pek Khun menarik napas panjang dan mengelus jenggotnya yang panjang. "Biarpun andaikata ada aku sendiri di sana dan semua puncak pimpinan para Lama menjadi sahabat-sahabat baikku yang amat menghormatiku, namun urusan pemilihan calon Lama itu sungguh merupakan urusan yang tak boleh dipandang ringan. Para Lama itu percaya akan ramalan, dan menganggap hal itu seperti perintah dari Sang Buddha sendiri. Biar sahabat baik, kalau menentang tentu akan dimusuhi! Sebaiknya begini saja. Sebelum anak itu terlahir, Pek Kong dan isterinya harus mengungsi jauh ke timur. Dan kelak, kalau anaknya terlahir, kita harus menukar anaknya itu dengan anak lain, kalau memang ternyata di punggungnya ada tanda merah, dan anak itu, cucu buyutku, biarlah aku yang akan membawa dan menyembunyikannya." Demikianlah, keluarga Pek mentaati kakek Pek Khun itu dan diam-diam Pek Kong bersama isterinya melarikan diri ke timur, memasuki Propinsi Yu-nan kemudian mereka terus melanjutkan perjalanan sampai ke pantai selatan di daerah Propinsi Kuangsi. Setelah merasa cukup jauh dan kandungan isterinya sudah hampir tiba saatnya melahirkan, suami isteri Pek ini lalu menyembunyikan diri dan mondok di sebuah kuil. Tanpa mereka ketahui, diam-diam mereka dibayangi oleh seorang kakek yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, yaitu kakek mereka sendiri, pertapa Pek Khun yang diam-diam melindungi pelarian cucunya itu. Setelah mereka memperoleh tempat pondokan di kuil itu, barulah Pek Khun menemui mereka sehingga girang dan legalah hati Pek Kong bersama isterinya. Saat yang dinanti-nantikan telah tiba dan isteri Pek Kong melahirkan seorang bayi laki-laki yang sehat. Dapat dibayangkan betapa kaget dan gelisah rasa hati Pek Kong dan isterinya ketika melihat bahwa pada punggung anak mereka memang terdapat tanda merah sebesar telapak tangan! Kulit di bagian itu seperti bekas terbakar atau ada kelainan sehingga warnanya kemerahan. Kalau tidak ada kakek Pek Khun di situ, tentu suami isteri yang masih amat muda itu, baru berusia dua puluh tahun lebih, menjadi panik dan khawatir. Kakek Pek Khun yang membuat mereka tenang. Mula-mula, kakek pertapa ini mencoba untuk menggunakan. ilmu kepandaiannya, agar tanda kemerahan pada punggung itu dapat lenyap. Namun, semua usahanya sia-sia belaka dan akhirnya dia harus mengambil jalan terakhir seperti yang direncanakannya. "Cucuku, agaknya Thian memang sudah menghendaki bahwa anak ini terlahir dengan tanda ini yang tidak dapat dihilangkan dengan obat. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan keturunan kita ini adalah menyembunyikan dan menukarnya dengan seorang anak lain yang tidak mempunyai tanda merah di punggungnya. Dengan demikian, anak kalian itu dapat kita ajak pulang dan kalau para pendeta Lama tidak melihat tanda merah di punggungnya, tentu mereka tidak akan mengganggunya." Pek Kong dan isterinya yang merasa bingung dan tidak tahu bagaimana caranya untuk dapat menyelamatkan putera mereka tanpa menjadi keluarga pelarian, menyetujui saja siasat yang akan diatur oleh kakek Pek Khun itu. Mulailah kakek yang sakti itu melakukan penyelidikan di sepanjang pantai selatan, ke dusun-dusun yang sunyi. Namun, dia tidak menemukan anak yang dianggap cocok sekali keadaannya dengan cucu buyutnya. Dia harus menemukan keluarga yang mempunyai anak bayi yang sebaya, dan keluarga itu harus mau menerima penukaran anak dan bersedia merawat cucu buyutnya dan mencari keluarga seperti ini tentu saja tidak mudah. Pada hari ke tiga, selagi dia berjalan menyusuri pantai yang sunyi, pandang matanya tertarik oleh sesosok tubuh yang berdiri di atas tebing yang curam. Biarpun waktu itu sudah menjelang senja dan cuaca sudah remang-remang, namun penglihatan kakek yang masih tajam ini dapat melihat bahwa tubuh yang berdiri di tepi tebing itu adalah seorang perempuan yang agaknya memondong sesuatu. Dia merasa khawatir melihat wanita itu berdiri demikian dekat di bibir tebing yang demikian curam. Ingin dia berteriak memperingatkan wanita itu, akan tetapi dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia melihat wanita itu tiba-tiba malah meloncat ke bawah, ke air laut yang bergelombang ! Dan lebih ngeri lagi rasa hatinya ketika dia melihat bahwa benda yang dipondong oleh wanita itu adalah seorang anak kecil yang terdengar menangis ketika wanita itu meloncat kebawah. Tanpa berpikir panjang lagi, kakek Pek Khun lalu cepat lari ke tepi pantai itu dengan meloncat ke air bergelombang ketika wanita dan anak kecil itu sudah terbanting ke air. Hati kakek itu tergerak melihat tubuh kecil bayi itu diombang-ambingkan ombak dan masih terdengar tangisnya. Maka dia pun cepat berenang ke arah anak itu dan akhirnya berhasil menyambar tubub kecil itu. Dengan cepat diikatnya tubuh anak itu di atas punggungnya, menggunakan robekan bajunya yang lebar, kemudian barulah dia berenang lagi menolong wanita tadi yang sudah tenggelam timbul. Kalau dia tidak bergerak dengan cepat, tentu wanita itu akan dihempaskan ombak ke batu karang di bawah tebing. Untung bahwa kakek Pek Khun sejak muda memang ahli renang yang terlatih dan dia dapat bergerak dengan cepat dan lincahnya di dalam air, walaupun air laut itu bergelombang dengan amat kuatnya. Setelah berhasil mencengkeram rambut wanita itu yang terlepas dari, sanggulnya yang terurai panjang, dia lalu berenang ke tepi, memanggul anak kecil di punggungnya yang masih terus menangis dan menyeret wanita yang sudah pingsan itu. Berhasillah kakek yang gagah perkasa ini membawa tubuh wanita itu ke darat, menjauhi jangkauan air. Anak itu ternyata seorang bayi laki-laki yang bertubuh sehat dan montok dan tangisnya amat nyaring. Tangis inilah yang agaknya menolong bayi itu. Dengan hati-hati kakek Pek Khun merebahkan bayi itu di atas pasir dan dia pun cepat menolong wanita itu, mengeluarkan air dari dalam perutnya. Akan tetapi, wanita itu ternyata telah terluka parah pada dahinya. Agaknya ketika meloncat ke bawah dan dipermainkan ombak, kepalanya sempat terbentur pada batu karang. Napasnya sudah empas-empis dan darah banyak keluar dari luka di dahi. Melihat keadaan dahi itu, kakek Pek Khun mengerutkan alisnya. Dia adalah seorang ahli silat yang juga pandai ilmu pengobatan, terutama mengobati luka-luka. Melihat luka di dahi yang demikian dalam, dia tidak melihat harapan untuk dapat bertahan hidup pada wanita itu. Setelah ditotok sana-sini untuk menghentikan darah keluar, mengurangi rasa nyeri dan menyadarkannya, wanita itu membuka matanya. Ia menengok ke kanan kiri dengan lemah, lalu bertanya. “Mana... mana anakku…..?” Anak itu sudah berhenti menangis dan kakek itu berkata, "Jangan khawatir, anakmu selamat." Dia menunjuk ke arah anak itu yang kini rebah dan diam saja. Melihat anaknya, wanita itu menitikkan air mata yang bercampur dengan air laut yang menetes-netes dari rambutnya membasahi mukanya. " Anakku... ah, dia tidak berdosa... biarlah dia mati bersamaku…." Kakek itu mengerutkan alisnya. Betapa menyedihkan melihat seorang manusia mengalami penderitaan batin sehingga putus asa dan memilih jalan membunuh diri seperti yang dilakukan oleh perempuan ini, pikirnya. Seorang perempuan yang masih amat muda, belum dua puluh tahun agaknya, dan memiliki wajah yang cantik dan tubuh yang sehat. Dan dia tahu bahwa perempuan muda ini sekarang menghadapi maut yang agaknya sukar untuk dapat dielakkan lagi. "Anak baik, kenapa kau melakukan ini? Kenapa engkau berusaha membunuh diri bersama anakmu yang masih bayi itu?" Mendengar pertanyaan ini, wanita itu memandang wajah kakek Pek Khun, mengamat-amatinya penuh perhatian dan air matanya bercucuran semakin banyak. Kemudian ia pun mulai bercerita, tersendat-sendat suaranya, kadang-kadang hanya berbisik-bisik lemah, dan napasnya semakin empas-empis. Namun agaknya ia memiliki semangat terakhir untuk menceritakan keadaan dirinya, cerita yang mengandung penuh penasaran baginya. Wanita muda itu puteri guru silat Coa-kauwsu, seorang guru silat yang tinggal di dusun dekat pantai. Kurang lebih setahun yang lalu, di dusun itu datang seorang pengacau, seorang jai-hoa-cat (penjahat pemetik bunga) yang mengganggu wanita-wanita muda di dusun itu, bahkan telah melakukan penculikan-penculikan dan pemerkosaan-pemerkasaan. Hal ini membuat keluarga Coa yang menjadi jagoan-jagoan di dusun itu merasa penasaran dan marah. Coa-kauwsu bersama puterinya, satu-satunya murid yang paling pandai dan boleh diandalkan, melakukan penyelidikan dan pengintaian di waktu malam secara berpencar. Akan tetapi, malang bagi Coa Si, anak guru silat itu, ia bertemu dengan penjahat itu, berkelahi dan ia kalah. Ia yang tadinya ingin menangkap penjahat, sebaliknya malah tertawan dan kemudian diperkosa! Anehnya, ia malah jatuh cinta kepada jai-hoa-cat yang selain tampan dan lihai, juga pandai merayu itu sehingga ia merahasiakan peristiwa itu dari orang tuanya. Ia malah kemudian menjadi pacar Sang Penjahat, berkali-kali mengadakan pertemuan dan setiap kali jai-hoa-cat itu lewat di dusun itu, tentu mereka mengadakan pertemuan secara sembunyi-sembunyi untuk memadu cinta. Dan Sang Jai-hoa-cat juga membebaskan dusun itu dari gangguannya setelah Coa Si menjadi kekasihnya. Akan tetapi, ketika Coa Si mengandung, jai-hoa-cat itu pun tak pernah mau singgah lagi ke dusun itu! Orang tua Coa Si marah bukan main melihat keadaan puteri mereka yang mengandung dan kemarahan itu semakin memuncak ketika Coa-kauwsu mendengar pengakuan puteri mereka bahwa ayah dari anak yang di kandungnya adalah Sang Jai-hoa-cat! Hampir saja Coa-kauwsu membunuh puterinya. Akan tetapi isterinya, yang amat menyayang anak tunggal itu, berhasil meredakan kemarahannya sehingga Coa Si tidak dibunuh melainkan diusir dari rumah keluarga Coa! Mulailah Coa Si hidup terlunta-lunta, hidup terasing di tepi laut. Akan tetapi, ia masih terus mengharapkan kedatangan kekasihnya. Ia tidak dapat mencari kekasihnya itu karena memang tidak tahu di mana tempat tinggal jai-hoa-cat yang merupakan seorang petualang dan perantau itu. Dan akhirnya, ia pun melahirkan seorang anak laki-laki, hanya dibantu oleh seorang bidan yang dikirim oleh ibunya yang diam-diam masih suka membantu anaknya. Kakek Pek Khun mendengarkan cerita itu dengan sabar, cerita yang di tuturkan dengan suara lirih dan tersendat-sendat. "... begitulah... ketika anakku terlahir…..Ayahnya datang... tapi melihat aku melahirkan anak... dia malah marah-marah dan pergi lagi. Aku... putus asa... lebih baik anakku kubawa mati... ohhh….." Wanita itu terkulai. Kakek Pek Khun cepat menekan pundak wanita muda itu. "Katakan siapa ayah anak ini, dan siapa pula nama anak ini….” Wanita muda itu membuka mata, kini mulutnya membentuk senyum lemah. "Aku... titip anakku... belum kuberi nama ...ayahnya... ayahnya... Tang... Tang " Wanita itu meraba ke balik bajunya dan mencabut sebuah benda yang tadinya menempel di bajunya dengan bantuan peniti, menyerahkan benda itu kepada kakek Pek Khun, sambil berbisik. "...ini...ini dari Ayahnya " Dan ia pun terkulai dan napasnya terhenti. Kakek Pek Khun berusaha untuk menahan kematiannya, namun tidak berhasil. Pada saat itu, terdengar suara anak kecil itu menangis, seolah-olah dia merasa bahwa saat itu ibu kandungnya telah meninggalkannya untuk selamanya. Kakek Pek Khun menarik napas panjang, merebahkan tubuh wanita yang tadi diangkat kepalanya dan dia pun segera memondong anak bayi itu dan diayun-ayunnya sampai anak itu terdiam kembali. lalu kakek Pek Khun cepat membuat lubang yang cukup dalam dan menguburkan jenazah ibu muda yang malang itu. Niatnya untuk memberitahukan kepada keluarga wanita itu ke dusun diurungkannya. Malah dia tergesa-gesa mengubur jenazah itu, kemudian membawa pergi bayi laki-laki itu dengan cepat, pulang ke kuil di mana Pek Kong dan isterinya menanti dengan hati penuh ketegangan. Demikianlah, anak kandung Coa Si itu lalu diserahkan kepada Pek Kong dan isterinya sebagai pengganti anak kandung mereka yang akan dibawa pergi oleh kakek Pek Khun. Semua ini terjadi tanpa ada yang mengetahui kecuali mereka bertiga. "Ibu anak ini sudah meninggal dunia, namanya Coa Si, dan ayahnya She Tang. Ibunya hanya menyerahkan benda ini kepadaku. Nah, simpanlah benda ini dan rawat anak ini baik-baik." Pek Kong dan isterinya menerima anak laki-laki yang sehat itu bersama sebuah benda yang ternyata merupakan sebuah perhiasan terbuat dari logam dan batu permata berwarna merah berbentuk seekor tawon. Seekor tawon merah! "Kong-kong, ke manakah Kong-kong hendak membawa anakku….?" Isteri Pek Kong bertanya sambil mencucurkan air mata, memandang kepada anak kandungnya yang kini sudah dipondong oleh kakek suaminya. "Aku akan membawanya bersembunyi di Pegunungan Kun-lun di mana aku bertapa. Jangan khawatir, kelak kalau sudah tidak ada bahaya atau ancaman dari para pendeta Lama, tentu akan kukembalikan anak kalian kepada kalian. Aku akan menjaganya baik-baik dan akan mendidiknya." Kakek Pek Khun lalu pergi pada malam hari itu juga, membawa cucu buyutnya yang dipondongnya dan dibawanya berlari cepat. Sementara itu, Pek Kong sibuk merangkul dan menghibur isterinya yang menangis dengan sedih. Biarpun ia tahu bahwa anaknya berada di tangan yang akan melindunginya, dan biarpun ia sudah memperoleh penggantinya, seorang anak laki-laki yang bertubuh sehat dan montok, akan tetapi hati ibu muda ini tetap saja berduka karena harus berpisah dari anak kandungnya yang baru berusia dua bulan itu. Hanya dengan setengah hati ia suka menyusui anak yang dibawa oleh kakek Pek Khun, Melihat keadaan isterinya itu, Pek Kong lalu minta bantuan seorang wanita pengasuh dan seorang nikouw untuk menjaga anaknya, setiap isterinya rewel dan minta diajak berlayar untuk menghibur hatinya. Mereka sering naik perahu layar dan mencari ikan, suatu kesibukan yang kadang-kadang bisa mendatangkan kegembiraan di hati isteri Pek Kong dan membuat ia melupakan kedukaannya. Ketika Lam-hai Siang-mo, yaitu Siangkoan Leng dan isterinya, Ma Kim Li, datang ke kuil itu dan menculik anak mereka, membunuh pengasuh dan nikouw, dan meninggalkan mayat anak yang rusak mukanya, Pek Kong dan isterinya juga sedang mencari ikan di tengah lautan, gembira karena pada waktu itu musim udang sehingga jala mereka menghasilkan banyak udang besar. Tentu saja mereka terkejut bukan main ketika kembali ke kuil dan melihat betapa dua orang pengasuh anak itu telah tewas dan anak mereka telah ditukar dengan seorang anak sebaya yang sudah tewas pula dengan muka rusak! Hal ini sungguh mengejutkan hati mereka dan baru mereka yakin benar bahwa memang anak mereka itu selalu diincar orang. Untuk memperkuat peristiwa itu, demi keselamatan anak mereka, suami isteri ini lalu menyebar-luaskan berita tentang pembunuhan anak mereka! Dan benar saja. Begitu terdengar berita bahwa anak mereka yang diluaran terkenal sebagai Sin-tong itu terbunuh, banyak orang aneh bermunculan dengan alasan melayat, akan tetapi yang sesungguhnya ingin membuktikan dan menyelidiki. Bahkan tiga orang pendeta Lama dari Tibet tiba-tiba muncul di ambang pintu dan mereka ini sengaja datang untuk memeriksa dan membuktikan sendiri mayat anak kecil itu! Selain tiga orang pendeta Lama, di antara para tamu yang datang melayat, terdapat pula suami isteri penghuni Guha Iblis Pantai Selatan. Sepasang iblis ini datang terlambat dan jenazah pengasuh nikouw dan anak kecil itu sudah dikubur. Akan tetapi, pada malam harinya, mereka membongkar tiga kuburan itu dan memeriksa keadaan mayat yang sudah hampir membusuk itu! Dari pemeriksaan inilah mereka menemukan jarum-jarum yang dipergunakan oleh Ma Kim Li untuk membunuh nikouw dan pengasuh dan mereka pun dapat menduga siapa yang telah melakukan pembunuhan itu. Mereka adalah orang-orang cerdik dan mereka tidak percaya bahwa anak kecil yang tubuhnya berpenyakitan dan mukanya rusak itulah yang dikabarkan sebagai Sin-tong, anak kandung suami isteri pendekar Pek! Suami isteri yang bertubuh sehat dan hidup bersih itu tidak mungkin mempunyai anak berpenyakitan seperti itu. Tentu Lam-hai Siang-mo mencuri anak ajaib itu dan menukarnya dengan anak kecil yang mereka bunuh pula. Dan memang sudah lama suami isteri penghuni Guha Iblis Pantai Selatan bermusuhan dengan Lam-hai Siang-mo, juga mereka ingin sekali menemukan Sin-tong untuk dibawa kembali ke Tibet dan diserahkan kepada para pendeta Lama agar mereka memperoleh hadiah benda-benda mujijat. Karena itu, mereka lalu mulai melakukan pencarian sambil memperdalam ilmu silat mereka karena mereka maklum bahwa musuh besar mereka itu, Lam-hai Siang-mo, merupakan lawan yang tangguh. Ketika itu Pek Kong dan isterinya merasa bahwa anak kandung mereka sudah aman dan mereka boleh kembali lagi ke Nam-co. Bukankah setelah kini tersiar berita bahwa anak kandung mereka yang disebut Sin-tong dan diinginkan oleh para pendeta Lama itu tewas, mereka tidak akan mengalami gangguan lagi? Maka, mereka pun lalu melakukan perjalanan kembali ke barat, menuju ke Nam-co. Akan tetapi, di tengah perjalanan mereka bertemu dengan orang tua mereka dan para anggauta Pek-sim-pang yang berbondong-bondong menuju ke timur meninggalkan Nam-co! Tentu saja pertemuan itu amat mengejutkan dan apakah yang telah terjadi di Nam-co? Kiranya urusan Sin-tong menimbulkan banyak peristiwa yang menyedihkan. Ketika mendengar bahwa Pek Kong dan isterinya melarikan diri dari Nam-co, para pendeta Lama menjadi marah sekali. Mereka lalu pergi mengunjungi perkumpulan Pek-sim-pang di Nam-co. Yang datang adalah lima orang pendeta Lama yang menjadi utusan para pimpinan Dalai Lama di Lha-sa. Pek Ki Bu sudah menduga bahwa para pendeta Lama tentu tidak akan tinggal diam saja, maka dia pun sudah siap dan menyambut kedatangan lima orang pendeta Lama itu dengan sikap ramah dan hormat. Para pendeta itu dipersilakan duduk, akan tetapi mereka tidak mau duduk dan sambil berdiri dengan sikap kaku mereka memandang Pek Ki Bu dengan alis berkerut. Seorang di antara mereka yang menjadi pimpinan lalu bertanya dengan suara lantang. "Pek-pangcu, kami datang diutus oleh para pimpinan kami untuk menanyakan kesehatan putera pangcu dan terutama keadaan kandungan anak mantu pangcu." Pek Ki Bu dapat menduga bahwa tentu para pendeta itu sudah mendengar bahwa anaknya bersama mantunya telah melarikan diri. Hal itu telah lewat lima hari, maka dia merasa aman dan dengan sikap ramah dia menjawab. "Terima kasih banyak atas perhatian para suhu di Lha-sa. Keadaan mereka baik-baik saja berkat doa restu para suhu yang mulia." "Siancai... kalau begitu bagus sekali! Harap Pangcu suka mempersilakan mantu Pangcu untuk keluar karena kami ingin menyaksikan sendiri keadaan kandungannya." Pek Ki Bu tidak bermain sandiwara lagi. "Harap Ngo-wi Suhu ketahui bahwa Pek Kong dan isterinya tidak berada di rumah. Mereka sedang melakukan perlawatan ke timur untuk pulang ke kampung halaman karena mantu saya ingin melahirkan di sana, dekat dengan keluarga orang tuanya." "Omitohud……!" Pendeta Lama itu membelalakkan mata, hal yang dibuat-buat karena sesungguhnya dia pun sudah mendengar akan kepergian mereka itu. "Bagaimana Pangcu memperbolehkan mereka pergi tanpa Setahu dan seijin pimpinan kami?" Inilah pertanyaan yang ditunggu-tunggu oleh ketua Pek-sim-pang. Dia mengerutkan alisnya. Memang harus diakuinya bahwa sejak dahulu, sejak ayahnya mendirikan Pek-sim-pang, keluarga Pek menjadi sahabat-sahabat baik dari para pimpinan pendeta Lama di Lha-sa. Akan tetapi sekali ini, dia menganggap bahwa pihak pendeta Lama terlalu mencampuri urusan dalam keluarganya. "Ngo-wi Suhu harap suka mengingat bahwa Pek Kong adalah anakku dan isterinya adalah mantu kami. Kalau mereka pergi mengunjungi keluarga di kampung halaman, jauh di timur, mereka cukup memperoleh ijin dari kami sebagai orang tuanya. Kenapa harus setahu dan seijin pimpinan para suhu di Lha-sa?" "Omitohud...! Apakah Pangcu tidak tahu apakah pura-pura tidak tahu? Mantumu adalah wanita yang dipilih oleh Sang Buddha untuk melahirkan calon Guru Suci, calon Dalai Lama! Tentu saja selama mengandung, ia harus berada di bawah pengawasan kami dan ia tidak boleh pergi begitu saja tanpa ijin kami. Bagaimana kalau sampai terjadi apa-apa dengan Sin-tong?” Hati Pek Ki Bu merasa mendongkol sekali, akan tetapi dia menahannya karena dia pun tidak ingin bermusuhan dengan para pendeta Lama. "Harap Ngowi jangan khawatir, mereka akan selamat. Dan pula, belum tentu mantuku akan melahirkan Anak Ajaib yang kelak akan menjadi Dalai Lama." "Sudah pasti! Ramalan kami tidak akan meleset. Yang dikandungnya adalah Sin-tong yang kelak akan menjadi pimpinan kami!" "Ngo-wi harap jangan lupa bahwa bagaimanapun juga, yang dikandung itu adalah anak dari Pek Kong dan calon cucuku!" kata Pek Ki Bu dengan suara agak keras karena dia mulai marah. "Omitohud, sungguh dangkal pertimbangan akal Pangcu. Keluarga Pek dalam hal ini hanyalah dipinjam saja! Anak yang akan terlahir itu adalah untuk kami, untuk dunia, bukan untuk keluarga Pangcu pribadi. Sudahlah, harap Pangcu beri tahu ke mana mereka pergi, agar kami dapat cepat menyusul dan mengajak mereka kembali ke sini atau langsung saja ke Lha-sa karena kandungannya sudah tua dan ia harus memperoleh perawatan dan pengamatan langsung dari kami." Marahlah Pek Ki Bu. "Para suhu sungguh keterlaluan dan tidak memandang lagi persahabatan! Apa pun pendapat para suhu di Lha-sa tentang anak yang akan terlahir itu dia tetap calon cucuku dan keluarga kami, dan kami yang paling berhak untuk menentukan tentang dirinya!" "Siancai, sesungguhnya Pek-pangcu yang tidak memandang persahabatan. Tentu Pangcu sudah memaklumi bahwa seluruh wilayah di Tibet tunduk kepada pimpinan kami di Lha-sa dan pimpinan kami yang merupakan kekuasaan mutlak yang harus ditaati oleh semua orang yang tinggal di Tibet. Keluarga Pek telah dipinjam dan dipilih untuk melahirkan seorang calon Dalai Lama, Pangcu sekeluarga tidak bersyukur atas karunia itu, malah hendak memberontak dan hendak mengubah nasib yang sudah ditentukan oleh Yang Maha Kuasa. Sekali lagi, harap Pangcu cepat memberi tahu di mana kami bisa menemukan kembali anak dan mantu Pangcu." Wajah Ketua Pek-sim-pang berubah merah dan para muridnya sudah siap siaga dan mereka semua memandang kepada lima orang pendeta Lama itu dengan sinar mata tajam. Mereka tahu bahwa ketua mereka sudah marah terhadap bekas kawan-kawan baik itu. "Dan sekali lagi kami tegaskan bahwa kami tidak akan memberitahukan kepada siapapun juga!" jawab Pek Ki Bu. "Siancai...! Berarti Pek-pangcu hendak menentang kami?" bentak seorang di antara para pendeta Lama itu. "Terserah penilaian Ngo-wi Suhu, akan tetapi kalau kebebasan pribadi keluarga kami ditekan, kami tentu akan melawan mati-matian!" "Bagus, agaknya Pek-sim-pang memang sudah siap untuk memberontak terhadap kami. Pek-pangcu, terpaksa kami harus menangkapmu dan menghadapkan Pangcu kepada pimpinan kami!" Akan tetapi belum juga lima orang pendeta Lama itu bergerak melaksanakan ancamannya, anak buah Pek-sim-pang sudah bergerak mengurung dan menyerang mereka. Karena pertentangan itu hanya bersifat pertentangan pendapat dan didasari panasnya perasaan, bukan permusuhan, maka para murid Pek-sim-pang itu tidak ada yang berani menggunakan senjata. Mereka menyerang dengan kepalan tangan dan tendangan kaki. "Omitohud... kalian mencari penyakit!" kata para pendeta Lama itu dan mereka pun bergerak berpencaran. Gerakan mereka kuat sekali dan jubah mereka yang berwarna kuning dan lebar itu berkibar ketika mereka bergerak menyambut serangan para murid Pek-sim-pang. Akan tetapi, agaknya para anggauta rendahan itu sama sekali bukan tandingan yang setimpal dari para pendeta Lama itu. Begitu bentrok, lima orang murid Pek-sim-pang terbanting roboh! Hal ini mengejutkan para murid kepala Pek-sim-pang. Biarpun hanya anggauta rendahan, namun para murid itu rata-rata sudah memiliki ilmu silat yang cukup tangguh, tidak mudah dirobohkan demikian saja. Akan tetapi, serangan mereka terhadap lima orang pendeta itu ternyata Sekali gebrakan saja membuat mereka sendiri terbanting keras dan tidak mampu melanjutkan perkelahian! . Karena maklum bahwa para pendeta Lama ini lihai sekali, serentak sepuluh orang murid kepala Pek-sim-pang menerjang maju. Mereka disambut dengan tenang oleh lima orang pendeta itu dan setelah berkelahi selama sepuluh jurus, kembali ada lima orang murid Pek-sim-pang yang roboh. "PARA pendeta yang suka mencampuri urusan keluarga orang!" bentak Pek Ki Bu marah dan dia pun menerjang maju. Terjangan Pek Ki Bu disambut oleh seorang pendeta Lama yang melompat ke depan dan menangkis serangan ketua Pek-sim-pang itu. “Dukk...!" Dua tenaga raksasa melalui saluran kedua lengan itu bertumbuk di udara dan akibatnya, Pek Ki Bu tertahan langkahnya, akan tetapi pendeta Lama itu pun terdorong mundur dua langkah! Hal ini membuktikan bahwa tenaga Ketua Pek-sim-pang itu masih lebih besar daripada lawannya. "Omitohud, Pangcu sungguh kuat sekali!" Pendeta Lama itu berseru dan dia pun menerjang maju lagi dengan dahsyatnya. Pek Ki Bu mengelak dan balas menyerang dari samping yang juga dapat ditangkis oleh lawannya. Akan tetapi, begitu Pek Ki Bu memainkan ilmu silat Pek-sim-kun (Ilmu Silat Hati Putih) yang merupakan ilmu keturunan dari keluarga Pek dan menjadi dasar dari ilmu-ilmu silat yang dilatih oleh para anggauta Pek-sim-pang, pendeta itu terdesak hebat, dan selalu main tangkis dan mundur. Ilmu ini dasarnya adalah dari ilmu silat Siauw-lim-pai. Akan tetapi telah disesuaikan dengan ilmu-ilmu silat lain yang digabung dan menjadi semacam ilmu silat khas dari keluarga Pek. Melihat ini, dua orang pendeta Lama menerjang maju dan membantu kawannya. Kini Pek Ki Bu dikeroyok tiga orang pendeta yang amat lihai dan perkelahian itu menjadi berimbang, bahkan berbalik keadaannya karena Ketua Pek-sim-pang itu kini mulai terdesak. Sedangkan dua orang pendeta Lama yang lain, menghajar semua murid Pek-sim-pang yang berani melawan. Puluhan orang murid Pek-sim-pang sudah roboh terkena pukuran atau tendangan dan yang lain-lain mengeroyok dari kejauhan karena mulai merasa gentar menghadapi para pendeta Lama yang lihai itu. Keadaan pihak Pek-sim-pang sungguh gawat. Ketuanya sendiri sudah terdesak terus dan sebentar lagi tentu akan roboh oleh tiga orang lawannya yang terlalu kuat baginya itu. Dan para anak muridnya juga sudah banyak yang roboh. Tiba-tiba terdengar bentakan halus, "Omitohud...! Tak pantas sekali antara sahabat sendiri menggunakan kekerasan seperti ini!" Dan semua orang merasa betapa ada angin keras bertiup dan nampak bayangan merah kuning yang melayang turun dari atas seperti seekor burung garuda raksasa. Lima orang pendeta Lama itu merasa seperti terdorong oleh kekuatan yang luar biasa dahsyatnya membuat mereka terpaksa mundur dan juga pihak Pek-sim-pang terhuyung oleh kekuatan angin besar yang menarik mereka. Ketika semua orang memandang, ternyata di situ telah berdiri seorang kakek bertubuh tinggi besar seperti raksasa, berkepala gundul dan jubahnya yang lebar itu bergaris kotak-kotak merah kuning, tangan kirinya memegang seuntai tasbeh. Begitu melihat pendeta Lama yang tinggi besar dan berwajah lembut ini,ma orang pendeta Lama yang tadi berkelahi, terbelalak kaget dan cepat-cepat mereka itu menjura dengan sikap hormat. ! "Mohon Kakek Guru sudi memaafkan, teecu sekalian yang berkelahi bukan karena terdorong nafsu ingin menggunakan kekerasan, melainkan karena berselisih pendapat dengan pihak Pek-sim-pang. Teecu oleh para pimpinan Dalai Lama di Lha-sa diutus untuk mencari kembali ayah dan ibu calon Sin-tong yang telah melarikan diri dengan diam-diam." Demikianlah seorang di antara mereka melapor. Tentu saja mereka itu terkejut dan takut karena pendeta Lama raksasa ini masih terhitung kakek guru mereka. Para pimpinan di Lha-sa masih terhitung murid-murid keponakannya dan pendeta ini adalah See-thian Lama, seorang di antara Pat Sian (Delapan Dewa)! Karena pendeta ini selama puluhan tahun tidak pernah keluar dan sama sekali dikenal orang luar, maka Pek Ki Bu sendiri pun tidak mengenalnya. Akan tetapi, melihat betapa hwesio Lama yang amat sakti itu disebut guru oleh pendeta Lama yang amat lihai itu, dia tahu bahwa pendeta Lama ini tentu memiliki kedudukan tinggi dan juga memiliki kesaktian yang luar biasa. Maka dia pun cepat memberi hormat. "Harap Lo-suhu sudi mengampuni kami. Sejak Ayah kami mendirikan Pek-sim-pang, kami selalu menjadi sahabat-sahabat baik dari para pendeta Lama di Lha-sa dan kami tidak pernah melakukan pelanggaran. Akan tetapi sekali ini, para pendeta Lama hendak menekan kami dalam urusan keluarga kami. Anak kami Pek Kong dan isterinya yang mengandung tua, telah pergi untuk berkunjung kepada keluarga mereka di kampung halaman dan isterinya ingin melahirkan di antara keluarganya di timur. Akan tetapi, para Lo-suhu di Lha-sa menghendaki agar mereka itu kembali dan bahkan hendak memaksa mereka kembali. Bukankah hal itu berarti bahwa para pendeta Lama di Lha-sa hendak memperkosa hak kebebasan keluarga kami? Mohon pertimbangan Lo-suhu yang seadil-adilnya." See-thian Lama tersenyum lebar dan mengangguk-angguk. "Pek-pangcu, pinceng kira tidak per lu pinceng jelaskan lagi bahwa setiap orang manusia yang hidup di dunia ramai tidak akan dapat terbebas daripada peraturan-peraturan yang diadakan oleh para penguasa setempat. Sudah menjadi peraturan dan kebiasaan di Tibet tentang pemilihan Sin-tong, anak ajaib yang telah ditunjuk untuk menjadi Dalai Lama kelak. Dan kebetulan sekali. Yang terpilih adalah calon cucu Pangcu. Karena keluarga Pek bertempat tinggal di daerah Tibet, tentu saja Pangcu juga tidak terbebas daripada peraturan itu. Nah, tentu saja para pimpinan DalaiLama tidak dapat dianggap sewenang-wenang kalau mereka itu ingin melindungi mantu Pangcu yang akan melahirkan Sin-tong, karena itu adalah menjadi hak dan kewajiban mereka. Kalau Pangcu menentang, berarti Pangcu menentang peraturan dan kepercayaan dan kebiasaan yang sudah berjalan sejak ratusan tahun yang lalu." Pek Ki Bu dapat mengerti akan pendapat pendeta Lama yang tua ini dan dia pun tidak dapat membantah. Diam-diam dia mencari akal dan dia pun tahu bahwa ayahnya sudah mengatur rencana jangka panjang untuk menyelamatkan cucunya. Pendapat Lo-suhu memang tepat dan benar, dapat kami mengerti. Akan tetapi, anak dan mantu kami itu tidak bermaksud melarikan diri, melainkan hendak melahirkan anak di lingkungan keluarga di timur. Kami memang belum percaya benar bahwa mantuku akan melahirkan seorang Sin-tong yang memiliki tanda merah di punggungnya. Bagaimana kalau kelak ia melahirkan anak yang tidak mempunyai tanda itu?" "Tidak mungkin...!" kata seorang di antara lima pendeta Lama itu penuh semangat. "Biasanya, perhitungan dan ramalan para pimpinan Dalai Lama tidak akan keliru, Pangcu. Akan tetapi kalau benar anak itu terlahir tanpa tanda itu, berarti ada kekeliruan dalam perhitungan itu dan tentu saja anak itu bukan Sin-tong." "Bagus, kalau begitu kami berjanji. Kalau anak itu keluar dengan tanda merah di punggungnya, kami akan mengantarkannya ke Lha-sa. Akan tetapi kalau tidak ada tandanya, kami minta agar cucuku itu dibebaskan." "Biar kami yang menyaksikan apakah dia terlahir dengan tanda itu atau tidak. Kami harus mengetahui di mana mantumu itu agar kami dapat mengamatinya dan melindunginya." seorang pendeta Lama berkeras. "Kalau begitu, biar kami semua dibunuh, kami tidak akan mau memberi tahu di mana adanya anak dan mantuku!" Pek Ki Bu berkeras. Kedua pihak sudah saling melotot lagi dan tentu akan terjadi perkelahian kelanjutan yang lebih mati-matian, akan tetapi See-thian Lama mengangkat tangan ke atas dan semua orang pun terdiam. Memang kepada Pendeta Lama raksasa inilah kedua pihak agaknya minta pertimbangan dan keputusan. "Omitohud.…kekerasan takkan pernah dapat menciptakan perdamaian. Kalau urusan Sin-tong dicemari oleh kekerasan, perkelahian apa lagi sampai bunuh-membunuh, maka kesucian yang diciptakan dengan lahirnya seorang Sin-tong akan ternoda. Ada peraturan di Lha-sa bahwa pimpinan Dalai Lama berhak untuk menentukan segala sesuatu yang berkenaan dengan penduduk di Tibet. Kalau seorang Sin-tong akan terlahir di dalam wilayah Tibet, maka para pimpinan Dalai Lama boleh mengambil tindakan apa saja untuk mengambil anak itu. Akan tetapi kalau kebetulan Sin-tong akan dilahirkan di luar wilayah Tibet, suatu hal yang sering pula terjadi, maka para Dalai Lama tidak berhak memaksa keluarga yang bersangkutan karena bukan warga negaranya, walaupun tentu saja mereka juga akan berusaha sedapatnya untuk menarik Sin-tong ke dalam biara. Nah, Pek-pangcu, kalau keluargamu dan seluruh Pek-sim-pang tidak menjadi penghuni di Tibet lagi, maka tentu saja para pimpinan Lama di Lha-sa tidak akan memaksamu. Dengan kepindahan kalian dari sini, berarti kalian tidak harus tunduk akan peraturan, dan semua pertikaian mengenai anak itu akan habis sampai di sini saja." Andaikata yang mengeluarkan pendapat ini bukan See-thian Lama, orang yang amat dihormati oleh para pendeta Lama, tentu mungkin sekali menimbulkan kemarahan di pihak para pendeta karena nadanya seperti melindungi dan menasehati keluarga Pek dan anak buahnya. Sebaliknya, mungkin saja pihak Pek-sim-pang dapat merasa terhina atau seperti diusir. Akan tetapi, para pendeta Lama itu diam saja dan hanya memandang kepada Pek Ki Bu dan anak buahnya. Pek Ki Bu bukanlah seorang yang berpikiran pendek atau keras kepala. Dia pun maklum bahwa dengan adanya urusan cucunya itu, kalau dia sekeluarga dan Pek-sim-pang tidak pergi dari Nam-co, tentu selalu akan dimusuhi oleh para pendeta Lama. Hal ini sama saja dengan dimusuhi oleh penguasa setempat dan tentu saja kehidupan mereka menjadi tidak aman lagi. Demikianlah, tanpa banyak membantah lagi, Pek Ki Bu lalu membawa keluarga dan perkumpulannya untuk boyongan dan meninggalkan kota Nam-co, menuju ke timur. Memang ada beberapa orang murid yang tidak ikut karena mereka lebih suka tetap tinggal di Nam-co bersama keluarga mereka. Karena kini Pek-sim-pang sudah tidak berada lagi di Nam-co dan para murid itu tidak mempunyai hubungan secara langsung dengan pertikaian yang disebabkan oleh Sin-tong, maka murid-murid yang masih tinggal di Nam-co itu tidak merasa khawatir akan mengalami gangguan. Dan di tengah perjalanan, di luar batas Propinsi Tibet, rombongan keluarga Pek ini bertemu dengan Pek Kong dan isterinya. Tentu saja pertemuan itu menggembirakan akan tetapi juga menyedihkan dan mengharukan. Masing-masing menceritakan pengalaman mereka. Ketika mendengar bahwa secara rahasia cucunya telah dibawa pergi oleh ayahnya sendiri, Pek Ki Bu merasa lega. Dia pun merasa ngeri mendengar akan peristiwa maut yang menewaskan pengasuh, nikouw dan seorang anak kecil yang ditukarkan. "Kong-ji (Anak Kong)," kata Pek Ki Bu. "Kita tidak boleh melupakan anak laki-laki yang diculik penjahat itu. Bagaimanapun juga, anak itu telah menyelamatkan cucuku dan kasihanlah dia, masih begitu kecil sudah kehilangan ibunya, tidak pernah dipedulikan ayah kandungnya, dan kini berpindah tangan lagi diculik penjahat. Kelak engkau harus mencari anak itu dan menyelamatkannya." Pek Kong mengangguk. "Kong-kong sudah meninggalkan sebuah benda perhiasan yang menurut Kong-kong adalah milik ayah kandung anak itu yang mempunyai nama keturunan. Tang." Dia lalu menceritakan apa yang didengarnya dari kakek Pek Khun. Kemudian rombongan itu lalu melanjutkan perjalanan menuju ke daerah Kong-goan, sebuah kota besar di Propinsi Se-cuan darimana keluarga Pek berasal. Anak laki-laki yang dilahirkan oleh isteti Pek Kong dan kemudian dibawa pergi oleh kakek buyutnya itu diberi nama Pek Han Siong, sebuah nama yang dipilih oleh Pek Kong dan isterinya untuk putera mereka. Dapat dibayangkan betapa sukarnya bagi seorang kakek tua seperti Pek Khun, membawa seorang bayi yang baru berusia beberapa hari, melakukan perjalanan yang jauh dan sukar! Akan tetapi, kakek Pek Khun adalah seorang kakek yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, juga dia adalah seorang ahli pengobatan sehingga dia dapat merawat anak itu di sepanjang perjalanan, tidak malu-malu atau segan-segan untuk minta tolong kepada ibu-ibu yang masih menyusui untuk membantu sedikit air susu untuk bayi Han Siong, di setiap dusun yang dilaluinya. Dengan demikian, akhirnya dia dapat membawa bayi itu ke Pegunungan Kun-Iun dengan selamat. Mula-mula dia tinggal di sebuah dusun di kaki Pegunungan Kun-Iun sambil membayar seorang ibu muda untuk menyusui Han Siong. Setengah tahun kemudian, dia membawa anak itu naik ke tempat pertapaannya yang tersembunyi dan merawat sendiri anak itu dengan susu binatang keledai. Sejak bayi, anak itu digembleng oleh kakek Pek Khun, dan setelah anak itu berusia empat tahun, dia mulai membimbingnya untuk melatih langkah-langkah dasar ilmu silat, menggembleng tubuh itu dengan ramuan obat-obatan untuk menguatkannya, juga setelah anak itu berusia lima tahun, dia mengajarkan ilmu membaca dan menulis. Akan tetapi, kakek itu mulai merasa kasihan kepada cucu buyutnya. Tidak baik kalau anak itu dibiarkan tumbuh dewasa di tempat terpencil itu. Han Siong kurang sekali bergaul dengan anak lain. Hanya sebulan sekali dia mengajak anak itu untuk turun dari puncak, mengunjungi dusun-dusun di lereng puncak dan bertemu dengan manusia-manusia lain. Dia khawatir kalau-kalau kekurangan pergaulan ini akan membuat anak itu kelak menjadi manusia canggung, pemalu dan mempunyai kelainan-kelainan jiwa. Pula, dia sendiri sudah menjadi semakin tua untuk dapat melindungi diri anak itu. Bagaimana kalau sewaktu-waktu muncul pendeta-pendeta Lama yang lihai dan merampas anak itu dari tangannya? Belum tentu dia akan mampu mempertahankan dan melindungi anak itu. Maka dia mulai mencari akal bagaimana untuk bertindak agar cucu buyutnya itu terbebas daripada ancaman bahaya dari Tibet. Akhirnya Kakek Pek Khun mengambil keputusan untuk membawa saja cucu buyutnya itu ke kuil Siauw-lim-si dan menjadikan anak itu seorang calon hwesio! Dengan demikian, akan selamatlah Han Siong! Pada suatu hari, ketika Han Siong sudah berusia tujuh tahun, kakek Pek Khun membawa cucu buyut itu turun dari pegununganKun-Iun. Bukan main girang rasa hati Han Siong ketika kakeknya menyatakan bahwa dia akan dibawa ke timur, untuk belajar ilmu di dalam kuil Siauw-lim-si. Sudah sering kakek buyutnya bercerita tentang kuil Siauw-lim-si di mana tinggal banyak hwesio yang suci dan juga sakti, memiliki ilmu yang luar biasa tingginya. Bukan hanya karena akan mempelajari ilmu silat saja yang menggirangkan hati Han Siong, terutama sekali karena dia akan meninggalkan puncak yang amat dingin dan amat sunyi itu. Dia butuh pergaulan dengan manusia lain! Dan dia dapat membayangkan bahwa hidup di dalam biara Siauw-Iim-si itu berarti hidup bersama banyak orang lain, yaitu para hwesio yang menjadi penghuni biara! Alangkah akan senangnya! Kakek Pek Khun sendiri adalah seorang murid Siauw-lim-pai, oleh karena itu, kunjungannya ke kuil Siauw-lim-si yang terletak di luar kota Yu-nan di Propinsi Cing-hai, diterima baik oleh ketua kuil itu bersama para hwesio pimpinan lainnya, setelah Pek Khun memperkenalkan dirinya. Kuil itu cukup besar, dan terletak di sebuah tempat yang indah, ditepi Sungai Cin-sha yang mengalir ke selatan, di antara Pegunungan Heng-tuan-san. Biarpun terletak di tepi sungai besar dan di daerah pegunungan yang sunyi dan nyaman, namun kuil itu tidak terlalu terpencil. Kota Yu-shu tidak begitu jauh dari kuil itu, hanya beberapa li jauhnya, dalam perjalanan satu jam orang akan sampai ke kota itu. Dan kuil itu pun banyak dikunjungi para penduduk kota Yu-shu dan dusun di sekitarnya untuk bersembahyang. Ketua kuil itu berjuluk Ceng Hok Hwesio dan setelah mereka bercakap-cakap, tahulah mereka bahwa antara Ceng Hok Hwesio dan kakek Pek Khun masih ada hubungan seperguruan, dan kakek Pek Khun memiliki satu tingkat lebih tinggi dari ketua kuil itu yang segera menyebut Susiok (Paman Guru) kepada Pek Khun. "Sungguh menyenangkan kenyataan ini." kata Pek Khun. "Anak ini adalah cucu buyutku, berarti juga cucumu sendiri. Namanya Pek Han Siong. Karena sejak kecil dia turut aku, dan aku merasa sudah terlalu tua untuk mendidiknya, juga dia harus memperluas pergaulannya, maka aku mohon dengan sangat dapatlah dia diterima di kuil ini sebagai murid dan calon hwesio." Mendengar permintaan yang dianggap agak aneh ini, Ceng Hok Hwesio mengerutkan alisnya. "Omitohud..., Susiok tentu maklum bahwa Siauw-lim-si selalu membuka tangan untuk menolong siapa saja, apalagi terhadap Pek-susiok yang masih seorang murid Siauw-lim-pai pula. Berarti kita adalah sekeluarga sendiri. Akan tetapi, Pek-susiok tentu maklum pula bahwa Siauw-lim-pai memiliki peraturan yang ketat dan keras. Tidak mungkin menerima murid begitu saja, harus diketahui mengapa anak ini dimasukkan ke biara kami untuk menjadi murid, dan bagaimana pula pendapat Ayah dan Ibu anak ini. Maaf, hal ini bukan berarti kami tidak percaya kepada Pek-susiok, melainkan karena aneh sekali kalau Susiok mengajak cucu buyut Susiok ke sini. Bukankah kalau Susiok sudah terlalu tua untuk mendidiknya, masih ada Kakeknya dan Ayahnya?" Kakek Pek Khun mengangguk-angguk, maklum akan isi hati Ketua Siauw-lim-si itu. Dia menoleh kepada Han Siong. "Han Siong, engkau keluar dan bermain-mainlah di kebun itu, biarkan aku bicara dengan Suhu ini." "Baik, aku memang ingin sekali bermain-main di kebun yang penuh bunga indah itu!" kata Han Siong yang menjadi girang sekali. Tadi dia merasa canggung dan tidak betah harus duduk bersama kakeknya di ruangan itu mendengarkan percakapan yang tidak begitu dimengerti olehnya dan dia sudah ingin sekali memasuki kebun indah yang nampak dari jendela ruangan itu. Setelah Han Siong meninggalkan ruangan itu dan dari jendela nampak anak itu berjalan-jalan di antara rumpun bunga-bunga, kakek Pek Khun lalu menarik napas panjang dan berkata. "Sesungguhnya keluarga kami memang sengaja hendak menyembunyikan anak itu dari pengejaran para pendeta Dalai Lama di Tibet." "'Omitohud……" Ceng Hok Hwesio membelalakkan matanya. "Ada urusan apakah maka para saudara Dalai Lama di Tibet mengejarnya?" "Han Siong ini sejak dari dalam kandungan telah diramalkan menjadi calon Dalai Lama….." "Sin-tong? Omitohud….!" Ceng Hok Hwesio menyembah dengan kedua tangan di depan dadanya. "Ini rahasia di antara kita saja. Ceng Hok Hwesio." kata kakek Pek Khun. "Jangan dibocorkan rahasia ini. Bukan hanya para Dalai Lama yang mencarinya, akan tetapi juga tokoh-tokoh di dunia kang-ouw. Ada tokoh-tokoh kaum sesat yang mati-matian mencarinya, mungkin untuk dijadikan murid atau semacam jimat atau juga untuk diserahkan kepada para Dalai Lama dengan mengharapkan pahala. Kami sekeluarga menentang keras. Kami tidak percaya akan segala ketahyulan para Dalai Lama dan kami tidak ingin anak itu dijadikan patung hidup seperti kehidupan Dalai Lama. Karena itu sejak bayi sudah kubawa pergi dan kusembunyikan. Sekarang, aku harap kuil ini suka menerimanya sebagai murid dan calon hwesio. Biarlah dia menjadi hwesio yang baik untuk mengabdi kepada agama dan rakyat daripada harus menjadi Dalai Lama di Tibet." "siancai, siancai, siancai…..! Pendapat Susiok memang tepat sekali. Dan pinceng merasa girang sekali untuk mendidik dan membimbing Pek Han Siong, semoga Sang Buddha akan memberi petunjuk kepada pinceng." "Rahasia ini perlu disimpan rapat-rapat, karena kalau hal itu sampai tersiar ke luar kuil, tentu akan mendatangkan bahaya, baik bagi Han Siong sendiri maupun bagi Siauw-lim-pai. Ada tanda merah di punggung anak itu yang dijadikan pegangan bagi para Dalai Lama dan antek-anteknya. Tanda merah itu harus disembunyikan pula." "Omitohud... kalau begitu, anak itu memang luar biasa sekali. Sejak lahir sudah diberi tanda, benar-benar seorang Sin-tong (anak ajaib)." kata Ceng Hok Hwesio. "Aahhh, semua itu omong kosong dan tahyul belaka." cela kakek Pek Khun. "Setiap orang anak itu sama saja, merupakan kitab bersih dan kosong. Baik buruknya kitab itu kelak ditentukan oleh para pengisinya, yaitu para pendidiknya. Karena itulah maka hatiku merasa lega sekali kalau dia dapat diterima sebagai murid di sini." "Pinceng merasa terhormat sekali untuk mendidiknya, Pek-susiok. Pek Khun lalu memanggil Han Siong. Ketika dia menjenguk dari jendela, dilihatnya Han Siong sedang bercakap-cakap dengan empat orang anak lain, anak-anak yang gundul kepalanya, calon-calon hwesio yang menjadi murid dan juga pembantu-pembantu pekerja di kuil itu. Ketika dia memanggilnya, Han Siong cepat bangkit berdiri dan berlari memasuki ruangan. Kakek Pek Khun girang sekali karena kehidupan di kuil ini akan merobah cara hidup Han Siong yang tentu tidak akan kesepian lagi. Di situ terdapat pula banyak calon hwesio yang sejak kecil digembleng untuk menjadi manusia-manusia yang baik. Setelah Han Siong datang menghadap, kakek Pek Khun berkata, "Han Siong, seperti sudah kuberitahukan kepadamu, mulai hari ini engkau akan menjadi murid di kuil ini. Ceng Hok Hwesio ini adalah ketua kuil ini dan menurut tingkat, dia masih kakek gurumu sendiri. Akan tetapi karena mulai hari ini engkau akan menjadi muridnya, maka engkau harus memberi hormat kepadanya sebagai gurumu." Han Siong memandang kepada Ceng Hok Hwesio, kemudian memandang kepada kakek buyutnya. "Apakah Kakek hendak meninggalkan aku di sini?" "Benar, aku sudah terlalu tua untuk mendidikmu dan engkau perlu mendapatkan pengalaman hidup yang lain, pergaulan yang tepat. Di sini terdapat bahyak anak-anak yang menjadi murid, maka engkau dapat bergaul dengan mereka." "Baik, Kek." kata Han Siong dan dia pun cepat menjatuhkan diri berlutut di depan Ceng Hok Hwesio, memberi hormat delapan kali, sambil menyebut “Suhu!" Dengan wajah berseri Ceng Hok Hwesio menyentuh pundak anak itu. "Bangkitlah, Han Siong dan mulai sekarang, engkau harus mentaati segala peraturan di kuil ini. Untuk sementara, engkau menjadi murid dalam ilmu silat, mempelajari agama akan tetapi belum menjadi calon hwesio karena untuk hal itu diperlukan bakat dan pinceng ingin melihat dulu apakah engkau berbakat untuk menjadi calon hwesio." "Baik, Suhu. Teecu hanya mentaati perintah Suhu." kata Han Siong dan diam-diam hwesio itu kagum sekali. Anak ini baru berusia tujuh tahun, sejak kecil hidup di dalam pertapaan bersama kakek buyutnya, namun anak ini sudah pandai membawa diri. "Han Siong, engkau harus ingat bahwa engkau keturunan keluarga Pek yang turun-temurun menjadi pimpinan dari perkumpulan Pek-sim-pang. Nama perkumpulan ini berarti Hati Putih dan hati putih adalah hati yang bersih, tidak ternoda oleh perbuatan-perbuatan yang sesat dan jahat. Karena itu, aku hanya mengharapkan agar kelak engkau akan dapat melanjutkan pimpinan Pek-sim-pang dengan baik, dan untuk itu, terimalah kitab ini. Kitab ini adalah tulisanku sendiri, merupakan inti dari ilmu silat Pek-sim-kun, sudah kusaring dan kupadatkan menjadi tiga belas jurus saja. Untuk dapat mempelajari ini, engkau harus sudah mencapai tingkat ilmu silat yang cukup tinggi, karena itu rajin-rajinlah belajar di Siauw-lim-si." Kakek itu menyerahkan sebuah kitab yang diterima dengan sikap hormat oleh Han Siong. "Pesan Kakek akan kuperhatikan baik-baik dan akan kulaksanakan dengan patuh.” jawabnya. Setelah meninggalkan pesan-pesan kepada cucu buyutnya, pada hari itu juga kakek Pek Khun meninggalkan kuil Siauw-lim-si itu untuk kembali ke Kun-lun-san di mana dia akan bertapa sampai akhir hayatnya. Demikianlah, mulai hari itu, Han Siong tinggal di kuil Siauw-lim-si dan menjadi murid yang setiap hari membantu pekerjaan para hwesio tua muda di kuil itu. Setelah dia dapat menyesuaikan diri, barulah Ceng Hok Hwesio mulai memberi pelajaran ilmu silat, juga ilmu baca tulis dan membaca kitab-kitab agama. Ternyata anak itu cerdik sekali sehingga segala macam mata pelajaran yang diajarkan kepadanya, dengan cepat dapat diresapi dan dimengerti. Di Siauw-lim-si ini, dia menerima gemblengan dasar-dasar ilmu silat sehingga dia memiliki dasar yang kuat dan aseli dari Siauw-lim-pai. Berbeda dengan kakek Pek Khun yang biarpun tokoh Siauw-lim-pai namun tidak mempunyai cukup waktu untuk menggembleng seperti yang dilakukan di perguruan Siauw-lim-si, di kuil ini Han Siong benar-benar mengulang kembali dan belajar dari tingkat terendah. Untuk memperkuat dan menyempurnakan kuda-kuda kedua kakinya saja, setiap hari dia harus berlatih memikul air melalui jalan tanjakan yang licin dan berliku-liku, dan harus terus berlatih selama dua tahun! Setelah itu, dia harus melatih kaki tangannya untuk memperkuat otot-ototnya dengan menggantungi kaki tangan dengan gantungan besi yang cukup berat. Belajar pula menghimpun tenaga untuk dasar ilmu meringankan tubuh. Setelah lima tahun digembleng, walaupun belum pernah diajar ilmu silat yang berarti, tubuh Han Siong yang berusia dua belas tahun itu menjadi kuat sekali, otot-ototnya kuat dan lentur, dia dapat bergerak dengan gesit seperti tubuh seekor kijang, kuat seperti seekor harimau. Bukan hanya otot-otot tubuhnya yang terlatih dan menjadi kuat, juga panca inderanya dilatih sehingga memiliki pandangan yang tajam, pendengaran dan penciuman yang peka pula. Pendeknya, selama lima tahun dia digembleng sehingga memiliki dasar-dasar bagi seorang calon ahli silat yang lihai. Di antara tugas-tugas pekerjaannya, Han Siong setiap pagi dan sore menyapu lantai, baik pekarangan depan maupun pekarangan belakang. Setelah lima tahun tinggal di dalam kuil, kadang-kadang dia merasa kesepian dan rindu kepada kakek buyutnya. Sejak kecil dia biasa hidup di alam terbuka, dan di Pegunungan Kun-lun-san dia setiap hari menjelajah hutan-hutan dan alam bebas. Akan tetapi kini dia tidak boleh keluar dari dalam kuil dan dia mulai merasa terkurung dan tidak leluasa. Di bagian belakang bangunan kuil itu terdapat dua buah bangunan kecil, di ujung kanan dan di ujung kiri, dekat kebun yang luas. Dari para hwesio kecil lainnya, dia mendengar bahwa dua bangunan kecil ini merupakan tempat-tempat hukuman. Yang sebelah kanan terdapat seorang hwesio yang menjalani hukuman kurungan, sedangkan yang sebelah kiri terdapat seorang nikouw (pendeta perempuan) yang menjalani hukuman yang sama. Setelah lima tahun berada di situ, kini Han Siong juga telah menjadi seorang calon hwesio. Kepalanya sudah digundul dan dia mengenakan pakaian seperti hwesio. Dia sudah pandai membaca kitab-kitab agama, pandai berliam-keng (berdoa) dan selain berlatih ilmu silat, kesukaannya adalah membaca kitab-kitab suci sampai jauh malam. Malam itu sunyi sekali. Semua hwesio sudah tidur. Bahkan hwesio yang membaca liam-keng dengan suara yang parau sudah berhenti dan suasananya menjadi semakin sunyi. Namun, seperti biasa, Han Siong yang suka menyendiri itu belum memasuki kamarnya. Dia masih duduk melamun di sudut pekarangan belakang, di tepi kebun sambil menikmati langit yang amat indah, penuh dengan bintang-bintang cemerlang. Semenjak kecil di Pegunungan Kun-lun-san, Han Siong suka sekali menerawang ke langit mengagumi kebesaran alam. Karena sudah menjadi kebiasaannya, maka dia banyak mengenal bintang-bintang di langit. Dari kakek buyutnya, dia banyak mendengar keterangan tentang perbintangan sehingga niatnya untuk mempelajari menjadi semakin besar. Setelah kini dia menjadi calon hwesio di kuil Siauw-lim-si dan memperdalam ilmu membaca kitab agama, dia menemukan kitab tentang perbintangan di perpustakaan. Dibacanya kitab itu dan kini dia dapat menikmati bintang-bintang di langit lebih tertarik karena dia sudah mulai mengenal peredaran dan pergerakan bintang-bintang itu. Tiba-tiba Han Siong terkejut dan cepat dia menyelinap di belakang batang pohon di sebelah kirinya untuk bersembunyi. Dia melihat berkelebatnya orang yang meloncat turun dari luar pagar tembok kebun! Lalu ada bayangan ke dua yang juga berkelebat cepat sekali. Dua bayangan itu bagaikan terbang saja lalu berlari menuju kedua pondok belakang di sudut kanan kiri kebun dan lenyap di situ. Han Siong merasa jantungnya berdebar. Demikian cepatnya gerakan dua orang itu sehingga dia tidak mampu melihat muka mereka dengan jelas. Selagi dia menduga-duga, tiba-tiba berkelebat bayangan ke tiga dari luar. Bayangan ini berbeda dengan dua bayangan terdahulu karena bayangan ini begitu meloncat turun, lalu celingukan seperti orang menyelidik. Ketika orang itu agak berdongak, mukanya tertimpa sinar bintang dan terkejutlah Han Siong ketika dia mengenal muka itu sebagai muka seorang hwesio tua yang bekerja sebagai tukang sapu di dalam kuil, seorang hwesio tua yang tuli dan gagu. Dia ditemukan kelaparan dan hampir mati di pekarangan depan kuil, maka oleh Ceng Hok Hwesio lalu ditolong, dirawat dan diberi pekerjaan sebagai tukang sapu di situ. Setelah celingukan dan sepasang matanya seperti mencorong ditujukan ke arah kedua pondok di mana dua bayangan pertama tadi menghilang, hwesio tua ini pun meloncat dan menghilang di bagian belakang bangunan di mana terdapat kamar hwesio tua tuli gagu itu. Han Siong mengerutkan alisnya, berpikir dengan hati tegang. Biarpun tidak jelas, dia dapat menduga bahwa dua bayangan pertama tadi tentulah dua orang terhukum itu. Hal ini saja sudah amat aneh. Akan tetapi lebih aneh lagi adalah hwesio tua tuli dan gagu itu. Jelaslah bahwa melihat gerakannya, hwesio tua ini lihai bukan main. Sudah lama dia mempunyai perasaan curiga terhadap hwesio gagu ini. Seringkali dia melihat betapa kalau dia sedang tidak diperhatikan orang, hwesio tua itu mempunyai sinar mata yang mencorong dan berkilat, penuh kekerasan. Akan tetapi di depan para hwesio, sinar matanya dapat berubah menjadi demikian lembut dan mendatangkan rasa iba. Selain ini, yang membuat Han Siong semakin curiga adalah ketika beberapa kali, dalam perjalanannya keliling kalau sedang bergadang, dia lewat di depan kamar hwesio tua ini dan mendengar suara hwesio tua ini mengigau! Hal ini tentu saja amat mengejutkan hatinya karena mana mungkin seorang gagu dapat mengigau dan bicara, walaupun dalam tidur! Dia semakin curiga akan tetapi masih menyembunyikan hal itu sebagai rahasianya sendiri. Dan malam ini, secara kebetulan dia memergoki hwesio tua itu yang agaknya tadi membayangi dua orang hukuman yang berkeliaran keluar dari kuil, dan mendapat kenyataan bahwa hwesio tua gagu ini adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Pada keesokan harinya, Han Siong masih menyembunyikan rahasia yang dilihatnya itu. Jantungnya kadang-kadang berdebar tegang dan bagi pemuda remaja seperti dia, mengetahui sebuah rahasia untuk dirinya sendiri seolah-olah menggenggam sebutir mutiara yang belum diketahui orang lain. Menimbulkan ketegangan yang menggembirakan sekali! Selagi Han Siong pada pagi hari itu menyapu lantai pekarangan dengan sinar mata berseri karena kegembiraan menyimpan rahasia semalam, tiba-tiba terdengar suara Ceng Hok Hwesio memanggilnya dari ruangan depan. "Han Siong... ke sinilah sebentar!"