Tiba-tiba tali pancingnya bergerak, seekor ikan yang agaknya berat dan lebih besar daripada empat ekor yang sudah ditangkapnya, bergantung di mata kailnya. Dengan gerakan cepat Hay Hay menarik tangkai pancingnya sehingga mata kailnya mengail mulut ikan dan dia meneruskannya dengan gerakan kuat sehingga terlemparlah seekor ikan yang benar saja lebih besar daripada tadi, ke atas. Hay Hay sengaja melepaskan ranting yang menjadi tangkai pancing sambil berteriak, "Ohh, terlepas …..!" Ikan berikut tali dan tangkai pancing itu meluncur ke arah semak-semak di mana wanita itu bersembunyi! Tiba-tiba sebuah tangan yang keci1 halus namun cekatan, menyambut dan menangkap tangkai pancing dan nampaklah seorang wanita muncul di balik semak-semak, memegang setangkai pancing di ujung mana nampak seekor ikan besar menggelepar-gelepar. Sambil tersenyum penuh daya daya pikat, wanita itu kini menghampiri Hay Hay, membawa ikan di ujung pancing itu. "Ikan yang besar, gemuk dan mulus, tentu enak sekali!" Wanita itu berkata, senyumnya melebar membuat mulutnya merekah dan nampak rongga mulut yang merah sekali, dengan deretan gigi yang berki1auan dan putih rapi. Hay Hay memandang dengan bengong. Dia seperti terpesona oleh kecantikan wanita yang kini sudah berdiri di depannya. Sejenak pandang matanya menjelajahi wanita itu dari ujung kaki sampai ke ujung rambut, kadang-kadang berhenti agak lama di bagian-bagian tertentu yang menarik, dan akhirnya dia menarik napas panjang. "Ya ampun Dewi …..! Paduka ini Dewi Air ataukah Dewi Hutan yang sengaja turun dari kahyangan hendak memberi anugerah ikan gemuk kepada hamba?" Tentu saja Hay Hay hanya main-main dan berkelakar karena dia sudah tahu bahwa wanita ini sejak tadi mengintainya, akan tetapi dia jujur dengan pandang matanya yang penuh kagum karena memang wanita ini cantik manis dan menggairahkan, penuh daya tarik kewanitaan seperti sekuntum bunga yang selain indah juga harum semerbak. Mula-mula sepasang mata yang lebar itu terbelalak heran mendengar ucapan itu, kemudian menjadi kemerahan, bukan karena marah melainkan karena bangga dan girang bukan main. Wanita itu terkekeh sambil memasang aksi, menutupi mulutnya dengan punggung tangan kiri. "Kenapa engkau menganggap aku Dewi Air atau Dewi Hutan yang baru turun dari kahyangan?" tanyanya, suaranya merdu sekali seperti suara rebab digesek. Dengan terbuka Hay Hay mengagumi mata, hidung dan mulut itu. Anak rambut membentuk sinom di sepanjang pelipis, di atas dahi dan di belakang telinga itu pun manis sekali, melingkar-lingkar seperti dilukis saja, nampak hitam indah dilatar-belakangi kulit yang putih kuning mulus. "Karena rasanya tidak mungkin ada seorang gadis secantik Paduka. Hanya bidadari dan para dewi kahyangan sajalah kiranya yang dapat memiliki kecantikan seperti ini." Hay Hay memang pandai sekali merayu, bukan rayuan kosong, melainkan kata-kata manis dan pujian yang muncul dari lubuk hatinya. Dalam pandang matanya, wanita itu seperti bunga. Mana ada bunga yang buruk? Semua bunga, setiap kuntum bunga pasti indah, walaupun keindahannya berbeda-beda. Demikian pula wanita. Tidak ada yang buruk, walaupun kemanisannya pun berbeda-beda. Ada yang terletak pada matanya, pada hidungnya, pada mulutnya, atau rambutnya, kulitnya. Akan tetapi wanita di depannya ini memiliki keindahan di banyak bagian! Wajah yang manis itu semakin gembira berseri, dan matanya menjadi semakin ta jam bersinar-sinar. “Aihh, orang muda, engkau sungguh terlalu memujiku. Aku seorang manusia biasa seperti engkau. Kebetulan saja aku dapat menangkap pancing dan ikanmu yang terlempar tadi. Nah, terimalah kembali pancingmu." Wanita itu menyerahkan pancing dengan ikan yang menggelepar-gelepar itu, diterima dengan gembira oleh Hay Hay yang tersenyum ramah. "Terima kasih Nona. Ya Tuhan, hampir aku tidak percaya bahwa Nona seorang manusia. Kemunculanmu demikian tiba-tiba dan kecantikanmu... hemmm, sukar untuk dipercaya!" Wanita itu sudah seringkali mengha dapi laki-laki yang kurang ajar dan tidak sopan, yang memuji kecantikannya untuk merayu dan menarik perhatian. Akan tetapi baru sekarang dia bertemu dengan pemuda yang memuji kecantikannya sedemikian jujur terbuka, dengan mata yang sama sekali tidak membayangkan kekurangajaran, seperti mata setiap laki-laki yang selalu menyembunyikan tantangan, ajakan dan uluran tangan! Maka ia menjadi semakin gembira walaupun mulutnya pura-pura cemberut ketika ia berkata. "Ihhh, orang muda, jangan terlampau memuji, membuat aku merasa rikuh saja.” "Aku tidak memuji kosong, Nona. Dan kuharap Nona tidak menyebut aku orang muda. Aihhh, seolah-olah Nona lebih tua saja dariku. Padahal, paling-paling usia kita sebaya." Tentu saja Hay Hay dapat menduga bahwa wanita itu agak lebih tua darinya, namun ia tahu bahwa paling tidak enak bagi wanita kalau diingatkan tentang usianya yang sudah lebih tua. Pula, wanita di depannya ini memang masih nampak muda sekali dan memang pantas kalau dikatakan sebaya dengannya. Wanita itu tersenyum, manis sekali. "Pemuda yang tampan dan ganteng, berapakah usiamu sekarang?" Jantung di dalam dada Hay Hay berdebar dan dia merasa aneh. Betapa beraninya wanita ini. Memujinya sebagai tampan dan ganteng, juga menanyakan usianya! Wah, sungguh seorang wanita yang tidak malu-malu lagi, seorang yang agaknya sudah berpengalaman! "Berapa menurut dugaanmu, Nona yang cantik jelita?" "Hemm, kiranya tidak akan lebih dari sembilan belas atau delapan belas tahun." “Ha, dugaanmu keliru dan aku lebih tua dari itu, Nona. Usiaku sudah dua puluh tahun!" Hay Hay tertawa dan balas bertanya. “Dan berapakah usiamu, Nona?” "Berapa menurut dugaanmu, pemuda yang tampan menarik?" tanya wanita itu menirukan kata-kata dan gaya Hay Hay tadi. Kembali pandang mata Hay Hay menjelajahi seluruh tubuh wanita itu, kemudian dia mengangguk-angguk. "Paling banyak dua puluh tahun, Nona." Wanita itu tersenyum semakin manis. Agaknya penaksiran itu menyenangkan hatinya. "Lebih berapa tahun lagi. Aku lebih tua darimu." "Aku tidak percaya!" Hay Hay berseru penasaran. Karena dia menggerakkan tangkai pancing, ikan itu meronta-ronta dan agaknya baru dia teringat akan ikan itu. "Hi-hik, mau diapakan sih ikan itu?" Si Wanita bertanya menggoda. "Wah, aku sampai lupa. Oh, ya, karena engkau baik sekali, Nona, dan sudah membantuku menangkap ikan yang terlepas ini, biarlah kuundang engkau untuk makan bersamaku. Daging ikan-ikan ini tentu enak sekali." Wanita itu memandang dengan mata bersinar-sinar. "Bagaimana engkau hendak memasaknya?" . Hay Hay mengangkat dada dan menepuk dadanya. "Jangan khawatir. Aku ahli masak! Tunggu sebentar dan bantulah aku menghabiskan daging ikan-ikan ini sebagai teman roti kering dan anggur. Pasti lezat sekali!" Wanita itu menelan ludah, nampak berselera sekali. "Tentu saja lezat." "Kau tunggu sebentar, Nona." Hay Hay yang sudah menjadi gembira bukan main menemukan seorang kawan baik, seorang wanita cantik untuk teman bercakap-cakap di tempat yang sunyi indah itu, segera bekerja. Selama beberapa tahun menjadi murid See-thian Lama, dia hidup berdua saja dengan gurunya itu dan dialah yang melayani suhunya, dia yang masak setiap hari sehingga dia memang dapat dikata ahli masak. Apalagi ketika dia mengikuti gurunya yang ke dua, Ciu-sian Sin-kai, kakek berpakaian jembel yang sesungguhnya merupakan to-cu (majikan pulau) dari Pulau Hiu dan hidup serba cukup, dia pun mempelajari masak dari juru-juru masak suhunya itu. Ketika tinggal di Pulau Hiu, tentu saja dia sering ikut menangkap ikan dan memasak ikan, maka dia tahu banyak cara memasak ikan. Setiap macam ikan memerlukan cara memasak yang khusus baru akan le zat dan cocok sekali. Dan di dalam perantauannya, dia tidak melupakan bekal bumbu-bumbu yang diperlukan. Dia memang suka akan segala yang indah, segala yang enak, dapat menikmati kehidupan ini biarpun berada dalam keadaan yang bagaimanapun juga. Wanita itu lalu melepaskan buntalan panjang dari punggungnya, meletakkannya di tepi sungai dan ia pun duduk di atas akar pohon sambil mengikuti gerakan-gerakan Hay Hay dengan sepasang mata yang bersinar-sinar dan wajah berseri. Pandang matanya penuh kekaguman ketika ia melihat betapa pemuda itu dengan cekatan membersihkan lima ekor ikan itu, menggunakan sebatang pisau yang dikeluarkan dari buntalan pakaiannya, kemudian menaburi ikan-ikan itu dengan bumbu dan garam, dan memanggangnya di atas bara api. Segera bau yang amat sedap menyerang hidungnya dan wanita itu tiba-tiba saja merasa betapa perutnya sudah lapar sekali! Mulutnya terasa basah oleh ludah karena ia sudah mengilar ingin merasakan bagaimana lezatnya ikan panggang itu. Sambil kadang-kadang memandang kepada wanita itu dengan senyum, sekali dua kali dia mengedipkan matanya memberi tanda agar wanita itu bersabar, Hay Hay mempersiapkan makan untuk mereka. Roti kering dan anggur dikeluarkan dan ikan panggang ditaruh di dalam sebuah piring, dikeluarkannya pula bumbu dan saus yang selalu berada dalam perbekalannya. "Mari silakan, Nona. Kita makan seadanya." Hay Hay mempersilakan dengan sikap ramah. Wanita itu tersenyum, bangkit dengan gerakan lemah gemulai dan setengah menggeliat sehingga nampaklah tonjolan-tonjolan tubuhnya hendak menembus bajunya yang ketat dari sutera tipis. Hay Hay tidak pura-pura, dia memandangi itu semua dengan penuh kagum. "Eh, sobat, apa yang kau pandang?" tiba-tiba wanita itu bertanya, pura-pura marah padahal hatinya senang bukan main. "Apa yang kupandang?" Hay Hay sama sekali tidak merasa gugup. "Apa lagi kalau bukan keindahan tubuhmu, Nona? Engkau seorang gadis yang beruntung sekali, dianugerahi wajah cantik manis dan tubuh yang indah. Sungguh lengkap. Eh, mari, mari kita makan, selagi daging ikannya masih panas." Tanpa ragu-ragu atau malu-malu lagi wanita itu pun duduk di atas rumput, berhadapan dengan Hay Hay terhalang makanan yang diletakkan di atas rumput pula. Gadis itu menerima pemberian roti kering dan memilih panggang ikan yang nampak menimbulkan selera. Mereka makan dan minum bersama, tanpa kata-kata. Wanita itu hanya mengeluarkan kata pujian karena memang daging ikan itu enak sekali. Belum pernah rasanya ia makan seenak ini! Padahal hanya roti kering dan panggang ikan saja, akan tetapi demikian nikmat, terasa lezatnya di setiap kunyahan. Lima ekor ikan itu pun habis mereka makan, ditambah empat potong roti kering besar dan beberapa cawan anggur yang manis. Setelah selesai makan-makan, keduanya membersihkan tangan dan mulut di sungai itu, dengan air sungai yang jernih. Kemudian keduanya duduk di tepi sungai, berhadapan dan mulailah mereka bercakap-cakap. "Hi-hik, alangkah lucunya!" Tiba-tiba gadis itu berkata, menutup mulut dengan punggung tangan kiri ketika ia tertawa. Hay Hay mengangkat muka dan memandang. " Apanya yang lucu, Nona ?" “Kita sudah makan bersama." "Apa salahnya dengan itu?" "Kita sudah saling mengetahui usia masing-masing." "Wajar dalam perkenalan, akan tetapi aku belum mengetahui dengan pasti berapa usiamu……” "Itu tidak penting. Akan tetapi anehnya, kita belum saling mengenal nama." Hay Hay tertawa. Dia memang sengaja tadi. Bagaimanapun juga, keadaan wanita ini mencurigakan. Wanita itu ketika mengintainya, dapat bergerak dengan cepat dan amat ringan, itu saja menunjukkan bahwa wanita ini tentu memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dan dia belum tahu siapa wanita ini, dari golongan mana, dan berdiri di pihak mana, kawan ataukah lawan. Karena itu, dia harus berhati-hati dan biarlah wanita ini yang lebih dahulu memperkenalkan diri. Maka dia pun tidak pernah memperkenalkan diri dan sekarang dia tertawa seperti baru melihat kelucuan keadaan mereka. "Ah, benar juga! Aku merasa seolah-olah kita sudah menjadi sahabat baik selama puluhan tahun! Ha-ha, Nona yang baik, siapakah Anda? Di mana tempat tinggal, datang dari mana dan hendak ke mana?" Gadis itu tertawa pula dan kini ia tidak lagi bersusah payah menutupi mulutnya dan Hay Hay melihat betapa manis dan menggairahkan mulut itu kalau tertawa. "Hi-hi-hik, pertanyaanmu menyerangku seperti ombak samudera saja. Sebaiknya kita saling mengenal nama lebih dulu. Namaku Sun Bi she Ji." "Ji Sun Bi... hemmm, nama yang indah dan cantik, secantik orangnya." Hay Hay memuji sambil mengangguk-angguk. "Sekarang giliranmu. Siapakah namamu?" Wanita yang bernama Ji Sun Bi itu bertanya. "Namaku? Namaku Hay" "Hay siapa??" "Yah, Hay saja." "Shemu apa?" Hay Hay menggeleng kepalanya. “Aku sendiri pun tidak tahu, Sun Bi." kata Hay Hay, menyebut nama gadis itu begitu saja seolah-olah mereka telah menjadi kenalan lama, dan hal ini membuat Ji Sun Bi merasa senang sekali. Kalau pemuda itu menyebutnya Enci (Kakak) misalnya, ia akan merasa tidak enak, seolah-olah diingatkan bahwa ia lebih tua. "Ah, mustahil orang tidak mengetahui shenya sendiri! Siapa nama ayahmu?" Hay Hay menggeleng kepala, mengangkat pundak dan mengembangkan kedua lengannya. "Aku sungguh tidak tahu. Aku tidak pernah mengenal Ayah Ibuku, sejak bayi aku dibawa orang lain dan sekarang aku sedang mencari orang tuaku. Aku tidak tahu she apa. Namaku hanya Hay saja, begitulah." "Lalu aku harus menyebutmu bagaimana?" "Ya, sebut saja Hay, atau biasa orang memanggil aku Hay Hay." "Hay Hay... hemm, enak juga kedengarannya. Baiklah, Hay Hay. Sekarang kita telah benar-benar saling berkenalan dan menjadi sahabat. Secara kebetulan saja kita saling berjumpa di sini dan menjadi sahabat baik. Engkau datang dari mana dan hendak pergi ke manakah?" "Aku tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, Sun Bi. Sudah kukatakan bahwa aku sedang mencari orang tuaku, setelah selama dua puluh tahun ini aku selalu ikut orang lain. Aku belum tahu di mana adanya orang tuaku, apakah mereka masih hidup. Aku hidup sebatang kara di dunia ini, tidak punya keluarga tidak punya tempat tinggal. Ah, tidak menarik. bukan? Lebih baik kita bicara tentang dirimu, tentu lebih menarik." “Aihh, kasihan sekali engkau, Hay Hay." Sun Bi berkata dengan suara halus dan nampak terharu, lalu tangannya diulur dan menyentuh lenganHay Hay. Terasa hangat dan halus tangan itu, dan Hay Hay pun diam saja, hanya memandang tangan yang memiliki jari-jari yang kecil mungil. Ingin dia tahu sampai di mana besarnya kekuatan yang tersembunyi di dalam jari-jari tangan kecil mungil ini. "Tidak perlu dikasihani. Aku hidup cukup bahagia, setiap hari aku hidup di alam bebas, bergembira melihat segala keindahan, burung-burung di udara binatang-binatang di hutan, kembang-kembang, air sungai yang jernih, gadis yang manis seperti engkau. Bukankah semua itu menyenangkan? Sekarang ceritakanlah, dari mana engkau datang dan hendak ke mana Sun Bi?" Ditanya demikian, tiba-tiba wajah yang tadinya berseri itu menjadi murung dan gadis itu kini menundukkan mukanya dan perlahan-lahan dua titik air mata menuruni kedua ptpinya. Dua butir air mata itu dihapusnya dengan sehelai sapu tangan sutera, dan terdengar Wanlta itu berkata dengan suara yang penuh duka. "Aihhh... Hay Hay, aku adalah se orang wanita yang paling sengsara di dunia ….” Hay Hay mengerutkan alisnya dan berusaha untuk menatap wajah itu penuh selidik. Akan tetapi wajah itu menunduk terus. "Sun Bi, apakah yang telah terjadi? Mengapa engkau merasa sengsara?" Dengan suara sedih dan kadang-kadang mengusap air matanya, Sun Bi lalu berkata. "Aku adalah wanita yang paling sengsara, Hay Hay. Baru menikah beberapa bulan saja, suamiku terserang penyakit berat dan meninggal dunia. Orang tuaku dan mertuaku menganggap aku seorang yang membawa kesialan dan aku lalu diusir pergi. Demikianlah, aku merantau seorang diri, sebatang kara, seperti juga engkau... hanya aku membawa kepedihan hati sebagai seorang janda muda tanpa ada yang melindungi... tanpa ada yang menghibur kedukaanku ….." Sun Bi lalu menangis lagi, sekali ini tangisnya sesenggukan dan menyedihkan sekali. Kedua tangannya dipergunakan untuk menutupi kedua matanya dan air mata bercucuran melalui kedua tanganhya. Hay Hay merasa kasihan, juga penasaran sekali. "Hemm, suamimu meninggal dunia karena sakit berat, kenapa engkau yang dipersalahkan?" Mendengar ucapan Hay Hay yang penuh perasaan itu, tiba-tiba Sun Bi terisak semakin keras. Hay Hay mendekat dan menyentuh pundaknya. "Sudahlah, Sun Bi. Mati hidup seseorang berada di tangan Tuhan, diratap-tangisi pun tidak ada gunanya lagi." Sentuhan tangan Hay Hay pada pundaknya membuat wanita itu seolah-olah menjadi semakin sedih dan ia pun tiba-tiba mengguguk dan menjatuhkan kepalanya bersandar pada dada Hay Hay. "Hay Hay... ah, Hay Hay ….!" Wanita itu menangis sejadi-jadinya. Hay Hay merasa terharu dan merangkul pundak itu, menggunakan tangannya untuk mengelus rambut yang hitam halus dan berbau harum itu. "Sudahlah, Sun Bi, sudahlah, hentikan tangismu, tak perlu berduka lagi ……" hiburnya. Setelah tangisnya mereda, dengan kepala masih bersandar pada pundak dan dada Hay Hay, terdengar Sun Bi terisak berkata, "Selama ini... dalam perantauan, semua laki-laki menghinaku... aku dipandang sebagai seorang janda muda yang boleh dipermainkan sesuka mereka... mereka bersikap kurang ajar mereka menghina, akan tetapi engkau... ah, Hay Hay, baru sekarang aku bertemu dengan seorang laki-laki yang benar-benar baik... yang menaruh kasihan kepada diriku ….." Hay Hay tersenyum senang, akan tetapi juga terharu. Dia tahu bahwa seorang janda muda mudah merasa tersinggung, dan tentu saja membutuhkan pelindung, membutuhkan orang yang dapat menghiburnya, menyayangnya. Maka dia pun makin mesra mengelus rambut itu. "Karena engkau cantik manis, Sun Bi, maka semua laki-laki ingin menggodamu dan memiliki dirimu. Asal engkau pandai menjaga diri, semua itu akan berlalu.” Dengan lembut Sun Bi mengangkat kepalanya, terlepas dari dada Hay Hay dan ia memandang. Dua muka itu berdekatan sehingga Hay Hay dapat mencium bau bedak harum bercampur bau air mata, juga terasa olehnya pernapasan yang hangat menyapu leher dan pipinya. "Dan engkau... engkau tidak ingin menggoda dan... dan memiliki diriku, Hay Hay?" Sejenak mereka saling berpandangan, dan Hay Hay mengerutkan alisnya. Darah mudanya sudah berdesir keras naik ke mukanya. Tubuh itu demikian dekatnya, bahkan terasa kehangatannya ketika menempel di tubuhnya dan dalam pandang mata itu dia melihat kemesraan dan pemasrahan diri, juga tantangan. Dia tersenyum dan berkata lirih. "Sun Bi, engkau cantik manis dan aku adalah seorang yang suka sekali akan segala yang indah. Aku suka padamu, Sun Bi, akan tetapi rasa sukaku dan kecantikanmu bukan berarti bahwa aku harus menggodamu dan menghinamu atau ingin memiliki dirimu seperti mereka itu. Hubungan antara seorang pria dan seorang wanita harus didasari rasa cinta, Sun Bi, dan setiap pemerkosaan dalam bentuk apapun juga merupakan suatu kejahatan.” Sun Bi yang sejak tadi memandang wajah pemuda itu, menarik napas panjang dan kembali menyandarkan kepalanya di dada Hay Hay. Ia mengeluh panjang lalu berbisik. "Ah, Hay Hay... engkau seperti mendiang suamiku... engkau lembut, baik hati, dan engkau tampan... Hay Hay, apakah engkau cinta padaku?" Hampir saja Hay Hay mendorong tubuh itu dari atas dadanya karena dia benar terkejut mendengar pertanyaan itu. Namun, dia masih dapat menguasai hatinya dan tersenyum menjawab. "Aku suka padamu, Sun Bi, aku suka dan kasihan, akan tetapi cinta? Aku tidak tahu bagaimana cinta itu, dan pula kita baru saja bertemu, bagaimana mungkin aku tahu tentang cinta?" "Akan tetapi aku yakin, Hay Hay. Aku yakin bahwa aku... aku cinta padamu! Aku yakin, karena suara hatiku yang membisikkan padaku, dan kau mirip suamiku, bukan hanya wajahnya, juga sikapnya dan segalanya, ohhh…. " Dan wanita itu makin merapatkan tubuhnya. Hay Hay mulai merasa bingung dan khawatir, juga lehernya mulai berkeringat, bukan hanya oleh kehangatan yang keluar dari tubuh wanita yang bersandar padanya. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Ingin dia melepaskan diri, agar dapat bicara dengan baik, agar jantungnya tidak berdebar kencang karena kehangatan dan kelembutan tubuh itu demikian mengguncang perasaannya, akan tetapi dia pun tidak ingin menyinggung perasaan wanita yang sedang haus akan perlindungan dan hiburan ini. "Hay Hay, maafkan aku, akan tetapi engkau... engkau belum menikah, bukan?" Di dalam suara itu terkandung kekhawatiran dan Hay Hay seperti dapat merasakan betapa tubuh di pangkuannya itu agak menegang Untuk melawan perasaannya sendiri Hay Hay tertawa dan memang ketika dia tertawa, lenyap ketegangan karena dekatnya tubuh wanita itu. "Ha-ha-ha, mana ada kesempatan bagiku untuk menikah? Dan pula, wanita mana yang mau bersuamikan aku, seorang yang menjadi gelandangan seperti ini, tanpa tempat tinggal tanpa keluarga?” "Jangan kau merendahkah diri, Hay Hay. Banyak wanita akan berebutan untuk memilikimu. Aku sendiri... ahhh, engkau seolah-olah menjadi pengganti suamiku yang telah tiada. Maafkan aku, aku... aku sudah bertahun-tahun merindukan suamiku, rindu akan pelukannya. Ah, Hay Hay, maukah engkau memelukku? Peluklah, Hay Hay, peluklah aku seperti dulu suamiku memelukku... ahhhhh ……." Suara itu demikian memelas dan penuh permohonan sehingga Hay Hay merasa tidak tega. Apa salahnya memenuhi keinginan itu? Dia lalu merangkulkan kedua lengannya dan memeluk tubuh Sun Bi. Wanita itu mengerang dan makin merapatkan dirinya, kini bahkan duduk di atas pangkuan Hay Hay sambil merangkul pinggang pemuda itu dan membiarkan diri tenggelam dalam rangkulan Hay Hay. Pemuda itu sebaliknya merasa kepanasan dan mulai bingung. Degup jantungnya terdengar jelas di telinganya sendiri dan dia merasa malu kalau-kalau Sun Bi akan mendengarnya pula. Tentu saja Sun Bi mendengarnya! Telinga wanita itu menempel di dadanya, dan diam-diam wanita itu tersenyum puas. Suara degup jantung pemuda ganteng itu seolah-olah menjadi sorak kemenangan baginya, atau sorak pertanda bahwa kemenangan sudah berada di ambang pintu! Ia harus pandai bersikap untuk menuntun pemuda ini memenuhi segala kehendaknya, memuaskan segala gairah dan hasratnya yang timbul. Hay Hay yang betapa lihai pun hanyalah seorang pemuda yang masih hijau dalam hal hubungan dengan wanita, walaupun dia terkenal mata keranjang dan perayu wanita, kini berhadapan dengan seorang wanita yang sudah matang, tentu saja dia tidak tahu bahwa dialah yang kini menjadi permainan. Wanita itu bukan sembarang orang. Selain cantik manis, ia pun memiliki ilmu silat yang amat hebat dan merupakan seorang tokoh besar dalam dunia golongan hitam, terkenal pula sebagai seorang wanita cabul yang menjadi hamba nafsu berahi yang berkobar-kobar dan tak pernah mengenal puas. Entah sudah berapa banyak pria yang menjadi korbannya, menjadi korban permainannya atau pun menjadi mayat karena dibunuhnya karena pria itu tidak memuaskan hatinya atau berani menolaknya! Demikian jahat dan palsunya sampai ia diberi julukan Tok-sim Mo-li (lblis Betina Berhati Racun). Namanya memang Ji Sun Bi dan usianya sudah tiga puluh tahun. Karena pandainya merawat diri dan bersolek, maka ia selalu nampak jauh lebih muda daripada usia yang sebenarnya. Ketika ia menceritakan riwayatnya kepada Hay Hay, memang ada beberapa hal yang benar. Ia memang seorang janda dan suaminya memang telah mati. Akan tetapi suaminya itu mati karena dibunuhnya! Juga kedua mertuanya dibunuhnya! Padahal, baru tiga bulan saja ia menikah dengan suaminya itu. Tok-sim Mo-li Ji Sun Bi ini adalah murid tunggal dari Min-san Mo-ko (Iblis Gunung Min-san) yang usianya kini sudah enam puluh tahun. sejak masih kecil Ji Sun Bi yang sudah yatim piatu menjadi murid Min-san Mo-ko dan setelah ia menjadi dewasa, ia pun menjadi kekasih Min-san Mo-ko! Akan tetapi, guru yang mengambil murid menjadi kekasih ini memberi kebebasan kepada Sun Bi untuk bermain cinta dengan pria yang disukainya, di mana saja dan kapan saja! Bahkan gurunya ini mempunyai kesukaan yang aneh dan tidak patut. Dia suka mengintai kalau murid yang juga menjadi kekasihnya ini bermain cinta dengan orang lain! Dan Sun Bi tahu bahwa gurunya mengintai, akan tetapi ia pun malah senang kalau ditonton gurunya. Demikian bejat sudah ahlak kedua orang guru dan murid yang sebenarnya tak pernah berpisah ini sehingga mereka berdua terkenal sebagai sepasang iblis yang ditakuti, terutama di sepanjang sungai Min-kiang di Pegunungan Min-san. Ketika Sun Bi menikah dengan pria yang membuatnya tergila-gila, Min-san Mo-ko tidak keberatan, bahkan dia yang bertindak sebagai "wali". Akan tetapi, hubungan di antara mereka masih saja dilanjutkan. Pada suatu hari, setelah menikah tiga bulan, suaminya menangkap basah hubungan antara isterinya dengan kakek itu. suaminya marah, akan tetapi Sun Bi yang sudah mulai bosan dengan suaminya, lalu turun tangan membunuhnya. Juga ayah dan ibu mertuanya dibunuhnya, kemudian ia melanjutkan permainan cintanya dengan Min-san Mo-ko di dalam ruangan di mana menggeletak mayat-mayat suaminya dan kedua mertuanya! Pada suatu hari, kebetulan saja Sun Bi melihat Hay Hay yang sedang memancing ikan. Segera ia tertarik sekali karena Hay Hay memang memiliki banyak daya tarik yang kuat bagi wanita. Maka ia lalu mendekati Hay Hay, menggunakan kepandaiannya untuk bermain sandiwara. Hay Hay yang masih hijau itu tentu saja tidak menduga akan hal itu dan dia pun terkecoh, melayani wanita yang sebenarnya kehausan dan tak pernah puas dengan pria itu. "Betapa rinduku selama bertahun-tahun ini kepada suamiku yang telah tiada..., siang malam aku merindukan pelukannya dan kini engkau mau memelukku seperti yang dilakukan suamiku dahulu …… ah, terima kasih, Hay Hay, terima kasih ….” Hay Hay merasa terharu sekali akan tetapi juga girang bahwa sedikitnya dia dapat menghibur wanita yang sengsara ini. Dan dia pun bukan asing dalam pergaulan dengan wanita. Bahkan sudah seringkali dia berdekatan dengan wanita, berpacaran. Walaupun belum pernah dia melakukan hubungan yang lebih mendalam. Karena itu, merangkul dan memeluk tubuh wanita yang hangat itu pun tidak membuat dia kehilangan keseimbangannya. Akan tetapi, seperti tidak disengaja, kedua tangannya yang merangkul itu ditangkap oleh kedua tangan Sun Bi dan wanita itu mengeluh. "Hay Hay... peluklah aku, belailah aku seperti dahulu suamiku membelaiku... ciumlah aku ….." Sun Bi seperti menuntun Hay Hay yang nemenuhi semua permintaannya. Hay Hay membelai dan menciumnya. Ketika mendapat kenyataan bahwa pemuda ini agak canggung menurut ukuran ia yang sudah berpengalaman, Sun Bi lalu balas mencium, dan mengajarnya cara bermain asmara yang amat asing bagi Hay Hay, yang dianggap terlampau berani! Kalau tadinya Ji Sun Bi berusaha menggoda dan membangkitkan gairah pada pemuda itu, akibatnya malah ia sendiri yang kebakaran! Wanita itu sendiri yang kini dicengkeram berahi sampai ke puncaknya dan tubuhnya sudah panas dingin, gemetaran ketika ia berbisik. "Hay Hay... belum... belum pernahkah engkau dengan wanita ….?" Menghadapi permainan asmara yang amat berani dan merangsang dari Sun Bi, betapapun juga. Hay Hay merasa betapa seluruh tubuhnya panas dan gemetar. Dia memandang wanita itu dan menggeleng kepala, tidak menjawab karena dia tahu bahwa suaranya tentu terdengar aneh dan menggetar. Melihat ini, nafsu berahi semakin kuat mencengkeram pikiran Ji Sun Bi. Bagaikan seekor kuda binal yang lepas kendali, ia menarik tangan Hay Hay untuk rebah di atas rumput. Akan tetapi tiba-tiba Hay Hay melepaskan diri dari pelukan dan melangkah mundur setelah dia tadi bangkit. Dia hanya menggeleng kepala sambil mengerutkan alis. Sun Bi yang sudah kebakaran itu cepat meloncat berdiri dan menyambar tangan Hay Hay. "Hay Hay, kenapa? Marilah... aku... aku cinta padamu, Hay Hay, aku membutuhkan dirimu, aku...” “Tidak, Sun Bi. Semua ada batasnya dan aku tidak mau melanggar batas itu. Aku belum siap untuk yang satu itu dan aku tidak mau melakukannya." "Hay Hay...!" Sun Bi yang sudah mata gelap itu menarik, akan tetapi Hay Hay mempertahankan, bahkan lalu merenggutkan tangannya terlepas dari pegangan Sun Bi. "Hay Hay, kasihanilah aku... aku kesepian …. aku …..” "Tidak, Sun Bi. sadarlah, tenanglah! Engkau harus dapat menguasai dirimu. Aku mau menghiburmu, akan tetapi untuk yang satu itu, maaf, aku tidak mau melakukannya!" katanya tegas. Dia memang suka kepada wanita, suka berdekatan, suka bercumbuan, dan harus diakuinya bahwa bangkit pula gairahnya yang amat besar. Namun, dia tahu bahwa harus ada batasnya dan dia tidak boleh melanggar batas itu sembarangan saja. Dia hanya akan mau melakukan hal itu dengan wanita yang dicintanya, tidak dengan sembarang wanita, apalagi Ji Sun Bi yang janda muda dan baru saja dikenalnya. Tiba-tiba terjadi perubahan pada wajah Ji Sun Bi. Wajah yang tadinya agak pucat dan pandang matanya sayu merayu itu, kini berubah kemerahan dan pandang matanya berubah sama sekali, menjadi berkilat. Mata yang tadinya memandang kepadanya dengan setengah terpejam, basah dan sayu, kini mencorong dan melotot. Mulut yang tadinya tersenyum manis, agak terengah dan menciuminya, juga diciuminya, kini ditarik keras dan terdengar suaranya membentak keras, "Hay Hay, sekali lagi. Benar engkau tidak memenuhi kehendak hatiku, memuaskan hasrat cintaku?" Hay Hay terkejut melihat perubahan itu dan baru sekarang dia melihat kekejaman membayang pada sinar mata dan mulut itu. Dia hanya menggeleng kepala, merasa heran terkejut dan juga penasaran. Belum pernah dia bertemu dengan wanita senekat ini. "Keparat jahanam! Apakah engkau lebih senang mampus?" Wanita itu, dengan mulutnya yang manis, hangat dan bergairah, kini memaki dengan kata-kata yang penuh kebencian. "Sun Bi, ingatlah. Kita bersahabat, bukan? Kita baru saja bertemu, dan kita telah menjadi teman " "Cukup! Untuk yang terakhir, mau tidak engkau melayani aku?" Hay Hay mengerti apa yang dimaksudkan dan dengan sikap tegas dia menggeleng kepala. "Mampuslah!” Tiba-tiba saja wanita itu sudah menerjang dengan pukulan tangan miring ke arah lehernya. Pukulan maut! Wanita ini jelas bermaksud membunuhnya sebagai pelampiasan kemarahan dan kekecewaan hatinya. Keganasan dan kekejamannya ini mengejutkan Hay Hay, walaupun serangan itu sendiri tidak mengejutkannya karena dia memang sudah bersikap waspada sejak tadi. Dengan mudah saja dia mengelak ke kiri, membiarkan pukulan itu lewat tanpa membalas. Kini Jin Sun Bi yang merasa terkejut sendiri. Ia tadi sudah merasa yakin bahwa dengan sekali pukulan saja, pria yang mengecewakan hatinya itu tentu akan roboh dan tewas. Pukulannya tadi selain keras bertenaga, juga dilakukan dengan kecepatan kilat. Akan tetapi, siapa kira bahwa pemuda yang kelihatannya lemah ini mampu mengelak dan menghindarkan diri dari pukulan pertamanya. Ia masih merasa penasaran dan mengira bahwa hal itu hanya kebetulan saja. "Heiiiittt …..!" Serangan berikutnya menyusul dan sekali ini, kedua tangannya mencengkeram dari kanan kiri, disusul tendangan kakinya. "Wuuuttt... dukkk!" Tubuh Ji Sun Bi hampir terpelanting ketika tendangannya ditangkis Hay Hay setelah kedua cengkeramannya mengenai angin saja. Barulah wanita itu sadar bahwa pemuda itu ternyata tidaklah selemah yang disangkanya. "Keparat, kiranya engkau dapat bersilat? Nah, kausambutlah ini!" Dan kini Ji Sun Bi menyerang seperti datangnya gelombang lautan yang ganas sekali, menghujankan serangan bertubi-tubi dengan gencar sekali dan setiap pukulan mengandung tenaga sin-kang yang akan dapat menewaskan seorang lawan tangguh! Hay Hay maklum bahwa dia tidak boleh main-main lagi. Bagaimanapun juga, wanita ini ternyata memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada yang diduganya semula. Hal ini dapat diukurnya dari pertemuan tangan ketika dia menangkis tadi, juga dari kecepatan gerakannya. Maka, dia pun tidak mungkin tinggal diam dan hanya mengandalkan elakan dan tangkisan. Kalau hal ini terus dilakukan, dia dapat terancam bahaya. Apalagi karena dia maklum bahwa wanita ini jahat sekali, tentu inilah golongan wanita sesat yang pernah dia dengar diceritakan oleh Ciu-sian Sin-kai, gurunya yang ke dua. Menurut gurunya, dia harus berhati-hati menghadapi wanita-wanita cantik yang berwatak cabul, karena selain mereka itu lihai, juga licik dan pandai merayu. "Hati-hati," demikian antara lain gurunya berpesan, "engkau memiliki kelemahan terhadap wanita, dan rayuan wanita cantik jauh lebih berbahaya dan sukar dielakkan daripada serangan yang bagaimanapun dahsyatnya." Ketika terdengar suara itu,dan merasakan angin semilir meniup mukanya, tiba-tiba Hay Hay merasa kesadarannya pulih kembali, kedua tangannya menurut perintahnya dan berhenti dengan kegiatan mereka yang sama sekali tidak dikehendakinya. Ketika dia memandang, dia bergidik melihat betapa baju atasnya telah tanggal, sedangkan kedua tangannya tadi mulai membuka celananya. Terlambat sedikit saja tentu dia sudah bertelanjang bulat! Cepat dia mengenakan kembali bajunya dan meloncat berdiri, memandang kepada seorang kakek berambut putih yang tiba-tiba muncul di situ. "Keparat"' Min-san Mo-ko membentak marah dengan mata melotot. "Berani kau mencampuri urusanku? Aku akan membunuhmu!" Berkata demikian, Min-san Mo-ko mengangkat pedangnya dan menerjang ke depan. Akan tetapi tiba-tiba tubuhnya tersentak ke belakang, seperti tertolak oleh kekuatan yang hebat, dan betapapun dia berusaha untuk maju, kedua kakinya tetap saja tertumbuk sesuatu dan tidak dapat maju, tidak dapat mendekati kakek yang rambut dan jenggotnya sudah putih semua itu. "Setan, lihat kekuatanku"' Min-san Mo-ko berseru dan dia menghentakkan kakinya di atas tanah beberapa kali, mulutnya berkemak-kemik. Hay Hay hanya menonton saja karena merasa tidak mampu menghadapi ilmu-i1mu sihir yang aneh itu. Tiba-tiba Min-san Mo-ko menggerakkan tangannya dan angin yang keras sekali menyambar ke arahnya, ke arah kakek berambut putih. Rambut dan pakaian kakek itu sampai melambai-lambai dan angin itu mengeluarkan suara menderu-deru. Akan tetapi di tengah badai yang mengamuk itu, terdengar suara yang lunak dan lembut seperti tadi, "Min-san Mo-ko, perbuatan jahat hanya akan menimpa diri sendiri, bukan orang lain." Aneh sekali, angin itu kini berputaran di sekeliling kakek berambut putih, dan setelah berputaran beberapa kali, angin itu membalik dan menerjang Min-san Mo-ko dengan kekuatan yang berlipat ganda. Hay Hay melihat betapa Min-san Mo-ko terjengkang dan bergulingan, sedangkan Ji Sun Bi berlindung di balik batu besar dan sedang memakai kembali pakaiannya karena perempuan ini tadi sudah hampir telanjang sama sekali. Min-san Mo-ko berteriak-teriak dengan suaranya yang melengking, lalu meloncat bangkit lagi. Kini dia mendorong dengan kedua telapak ta~gannya dan dari kedua telapak tangan itu kini mencuat sinar yang kemerahan, seperti api yang menyambar perlahan-lahan menuju ke arah kakek berambut putih. "Siancai-siancai-siancai ……!” Kakek itu berkata halus, dan dia pun menjulurkan kedua tangan dengan telapak tangan menghadap keluar. Dari kedua telapak tangannya kini keluar sinar terang yang perlahan-lahan meluncur ke depan, menyambut sinar kemerahan yang keluar dari telapak tangan Min-san -Mo -ko. Dua gulung sinar itu bertemu di antara mereka dan bertaut, akan tetapi Hay Hay melihat betapa perlahan akan tetapi pasti, sinar kemerahan dari Min-san Mo-ko terdorong mundur, terus mundur oleh sinar terang. Akan tetapi Hay Hay juga melihat betapa tubuh Ji Sun Bi berkelebat dan dengan sepasang pedangnya, wanita itu berindap-indap menghampiri kakek berambut putih dari belakang, siap untuk menusuk dari belakang dan agaknya kakek rambut putih itu tidak melihatnya. Melihat hal ini, Hay Hay meloncat dan membentak. "Manusia curang!" Dan kakinya sudah menendang. "Desss …….!" Tubuh Ji Sun Bi terlempar dan terbanting keras. Akan tetapi sekali ini pun Hay Hay membatasi tenaganya sehingga wanita itu hanya terbanting saja dengan keras, tidak sampai menderita luka parah. Sementara itu, sinar merah telah kembali ke telapak tangan Min-san Mo-ko dan sinar terang pun kembali ke ta ngan kakek berambut putih. "Pergilah kalian!" Kakek berambut putih itu berseru perlahan dan tangan kirinya melambai seperti menyuruh mereka pergi dan guru bersama muridnya itu seperti mentaati perintah ini dan mereka berdua pun mengambil langkah seribu, melarikan diri dari tempat itu! Setelah kedua orang itu pergi dan tidak nampak lagi, tiba-tiba kakek berambut putih itu mengeluh dan tubuhnya terhuyung, lalu dia jatuh terduduk dan bersila di atas rumput. Hay Hay terkejut bukan main, cepat dia menghampiri dan berlutut di dekat kakek itu. "Locianpwe kenapakah ?" tanyanya, khawatir melihat betapa wajah kakek ini pucat sekali. Kakek itu membuka matanya, memandang kepada Hay Hay dan tersenyum, wajahnya ramah dan nampak kesabaran luar biasa membayang di seluruh bagian wajahnya. "Orang muda yang gagah, jangan menyebut Locianpwe padaku, karena aku hanyalah seorang pertapa yang lemah. Bahkan kalau tidak ada engkau, tadi aku tentu sudah tewas di ujung pedang wanita itu." "Akan tetapi... Locianpwe telah menyelamatkan saya dari... dari ….." Tiba-tiba wajah Hay Hay berubah merah karena dia teringat akan peristiwa yang amat memalukan tadi. Kakek itu mengangguk-angguk. "Aku tahu, engkau akan mengalami penghinaan, kemudian mungkin sekali kematian. Guru dan murid itu memang jahat sekali dan mereka seperti bukan manusia lagi, tidak mengenal tata susila dan kesopanan lagi. Akan tetapi, aku hanya dapat mengusir mereka dengan kekuatan sihir. Kalau mereka menyerangku dengan ilmu silat, hemmm, aku sama sekali tidak pandai ilmu silat dan... ahhhhhh!” Kakek itu memejamkan kedua matanya dan menggigit bibir, nampaknya menahan rasa nyeri yang hebat. "Locianpwe... apakah Locianpwe terluka …..?" Hay Hay bertanya khawatir, masih belum dapat menerima bahwa kakek yang telah menyelamatkannya ini seorang pertapa lemah yang tidak pandai silat, hanya pandai dengan ilmu sihir saja. Kakek itu mengangguk. " Aku memang sedang menderita sakit, akan tetapi bukan karena pertandingan tadi. Penggunaan sihir memaksa aku mengerahkan tenaga dan membuat penyakitku menjadi bertambah berat. Aahhh, orang muda, kalau tidak mendapatkan obatnya, agaknya paling lama dua puluh empat jam lagi aku akan terpaksa meninggalkan dunia yang keruh ini …." Tentu saja Hay Hay menjadi prihatin sekali. Bagaimanapun juga, kakek ini adalah penolongnya! "Locianpwe, apakah obat itu? Di mana mencarinya? Biarlah saya yang akan mencarikan untukmu." Sepasang mata yang sayu itu kini menjadi terang dan wajah kakek itu berseri, jelas nampak harapan timbul dalam hatinya ketika dia memandang Hay Hay. "Benarkah engkau mau menolongku, orang muda yang gagah?" "Harap Locianpwe tidak meragukan kesanggupan saya. Apa artinya saya mempelajari ilmu kalau tidak untuk, menolong siapa saja yang terancam bahaya? Apalagi Locianpwe baru saja menyelamatkan saya. Katakanlah di mana saya dapat menemukan obat itu dan apakah macamnya obat itu." "Ah, kalau saja kekuatan sihirku dapat menundukkan harimau seperti menundukkan manusia, tentu sudah lama dapat aku mencari sendiri obat itu. Obat yang akan dapat menyembuhkan penyakitku adalah otak seekor harimau dan di di hutan yang nampak dari sini itu terdapat banyak harimau hitam yang kumaksudkan." "Otak seekor harimau hitam? Di hutan itu? Baiklah, harap Locianpwe menunggu di sini sebentar, saya akan mencarikannya!" Setelah berkata demikian, Hay Hay meloncat dan berlari cepat. Kakek itu tertegun melihat betapa sekali berkelebat saja pemuda itu telah lenyap dari depannya. Seorang pemuda yang gagah perkasa dan memiliki ilmu silat tinggi, pikirnya. Sayang dia tidak mahir ilmu sihir sehingga tadi hampir saja menjadi korban kekuatan sihir Min-sah Mo-ko! Kakek ini pun mengangguk- angguk karena dia tahu dengan cara apa dia akan membalas kalau pemuda itu benar-benar dapat mencarikan obat dan dapat menyembuhkan penyakit yang dideritanya selama ini. Dengan ilmu berlari cepat, sebentar saja Hay Hay tiba di tempat tujuan, memasuki hutan yang agak gelap karena di situ tumbuh pohon-pohon yang besar sekali, usianya sudah ratusan tahun dan amat lebat dan liar. Dia segera mencari binatang yang dikehendaki kakek itu dan akhirnya, jauh di tengah hutan, dia melihat dua ekor harimau hitam yang sedang mendekam di bawah pohon besar. Harimau-harimau itu sebesar anak lembu, nampaknya tangkas dan cekatan, liar dengan mata kehijauan yang bersinar-sinar. Belum pernah Hay Hay berkelahi dengan harimau, maka berdebar juga jantungnya karena tegang ketika dia menghampiri dua ekor binatang buas itu. Dua ekor harimau itu segera dapat mencium bau manusia yang datang mendekat. Mereka bangkit dan menoleh. Ketika melihat Hay Hay muncul, mereka hanya mengeluarkan suara menggereng, memperlihatkan taring-taring yang runcing, akan tetapi tidak membuat gerakan menyerang. Hay Hay menenangkan hatinya dan dia pun mendekat, sikapnya hati-hati dan penuh kewaspadaan. Dia dapat menduga bahwa dua ekor harimau itu tentu jantan dan betina, dan tahu bahwa kedua ekor binatang itu tentu akan menyerangnya berbareng Dia belum tahu sampai di mana kekuatan atau kecepatan dua ekor harimau itu, namun maklum bahwa mereka tentu berbahaya sekali. Maka dia pun waspada, dan sudah mempersiapkan suling kayu hitamnya. Dia harus dapat membunuh keduanya, karena melarikan diri dari seekor harimau tentu saja amat berbahaya. Dia pun berindap-indap mendekat, dan melihat betapa dua ekor harimau itu hanya mengikuti semua gerakannya dengan pandang mata mereka yang mencorong, Hay Hay mengerti bahwa dua ekor binatang itu berbahaya sekali dan agaknya cukup cerdik dan seperti juga dia, dua ekor harimau itu agaknya hendak mengukur kekuatannya dan mencari kesempatan baik. "Hemmmmm …..!" Hay Hay menggereng dan kini dua ekor harimau itu memutar tubuh menghadapinya, menggereng-gereng dan makin lebar menyeringai dan memperlihatkan gigi mereka. Melihat betapa mereka masih belum mau bergerak menyerang, hanya mengambil ancang-ancang dan agaknya mereka mengatur jarak karena kalau dia mendekat mereka mundur dan kalau dia mundur mereka maju, Hay Hay lalu menggunakan kakinya menendang sebatang kayu kering ke arah mereka untuk mengusik mereka. Pancingannya berhasil. Dua ekor harimau itu nampak marah, merendahkan tubuhnya, mencengkeram tanah dan tiba-tiba seekor di antara mereka mendahului penyerangan, menubruk dengan loncatan yang amat kuat dan cepat. Hay Hay yang sudah siap siaga, melihat tubrukan yang demikian kuat dan cepatnya, segera menghindarkan diri dengan meloncat ke kiri, akan tetapi tidak lupa untuk menyambut dengan tendangan kaki kanan ketika tubuh harimau itu meluncur lewat di sampingnya. "Bukkk!!" Tendangan itu cukup keras, membuat tubuh harimau itu terpelanting dan terbanting. Binatang itu mengaum keras dengan marahnya dan kini harimau ke dua sudah menerjang dengan dahsyatnya, tidak menubruk seperti tadi, melainkan menerjang dengan penyerangan dua buah kaki depannya, tubuhnya berdiri di atas kedua kaki belakang. Akan tetapi Hay Hay sudah cepat meloncat lagi dengan elakan yang cepat. Pada saat itu, harimau jantan sebagai penyerang pertama, sudah meloncat dan menubruknya lagi dari belakang! Hay Hay maklum betapa hebatnya bahaya mengancam. Tak mungkin cengkeraman kuku-kuku sekuat baja dari kaki yang amat kokoh kuat itu dihadapi dengan kekebalan sinkang. Dia pun mengelak lagi. Ketika dia mengelak, kaki kiri depan binatang itu masih mencakar ke samping. Hay Hay mengayun suling kayu hitamnya, menangkis. "Dukk!" Kembali tubuh harimau itu terpelanting. Hay Hay tidak menyiakan kesempatan ini, cepat dia menerjang dengan tendangannya pula yang mengenai tubuh belakang harimau itu. "Desss …..!" Harimau itu terlempar dan terbanting jatuh sampai bergulingan. Hal ini membuat harimau betina marah. Sambil mengeluarkan suara mengaum dahsyat, ia pun sudah menubruk dari samping. Pada saat itu, Hay Hay yang baru saja melakukan tendangan berada dalam posisi yang kurang baik, maka tidak sempat lagi baginya untuk mengelak. Terpaksa dia menyambut tubrukan itu dengan ayunan suling kayunya yang menusuk dari samping ke arah leher harimau, disusul tangan kirinya yang diayun dan melakukan pukulan ke arah kepala harimau itu. Tentu saja dia mengerahkan tenaga ketika memukul. --121— Kakek yang duduk di depannya ini telah menjadi gurunya yang ke tiga, Hay Hay tidak mau merahasiakan keadaannya lagi. "Sejak kecil teecu dirawat dan dididik oleh dua orang Suhu, yaitu See-thian Lama dan Suhu Ciu-si,an Sin-kai …” "Ya Tuhan ……!" Kakek itu terbelalak memandang kepada pemuda itu seperti tidak percaya akan pendengarannya sendiri. "See-thian Lama dan Ciu-sian Sin-kai…… ? Bukankah mereka itu... dari Delapan Dewa….? Hay Hay mengangguk. "Benar, Suhu. Mereka adalah dua dari Delapan Dewa yang masih hidup." "Hebat hebat...! Engkau bahagia sekali dapat menjadi murid mereka dan aku bangga bukan main dapat membimbing seorang murid dari See-thian Lama dan Ciu-sian Sin-kai. Ohhh, kini aku akan dapat mati dengan tenang." "Suhu, bolehkan teecu mengetahui nama dan julukan Suhu?" Kini kakek itu menghela napas panjang. " Aku sendiri sudah lupa siapa namaku, karena selama puluhan tahun aku bertapa dan tidak berhubungan dengan manusia lain sehingga namaku pun tak pernah disebut-sebut lagi. Akan tetapi, tentu saja untukmu aku harus mempunyai nama. Nah, sebut saja namaku Pek Mau San-jin (Pertapa Gunung Berambut Putih), cocok dengan keadaanku, bukan?" Hay Hay tidak mendesak lagi dan mulai hari itu, dia pun mengikuti Pek Mau San-jin, pergi ke puncak Pegunungan Min-san, ke dalam guha-guha yang paling sunyi untuk belajar ilmu sihir yang banyak membutuhkan latihan samadhi di tempat yang amat hening. Kakek itu dengan tekun melatih muridnya dengan dasar-dasar latihan kekuatan batin sebagai dasar pelajaran ilmu sihir. Akan tetapi sebelum memulai dengan pelajaran ilmu sihir, kakek itu dengan tegas memperingatkan muridnya. "Hay Hay, ingat baik-baik. Biarpun segala macam ilmu kalau dipergunakan dengan sesat akhirnya akan menjadi kutuk bagi sendiri, namun ilmu sihir ini mendatangkan akibat yang langsung. Sejak ribuan tahun turun-temurun, yang mempelajari ilmu sihir seperti yang akan kuajarkan kepadamu, tidak terlepas daripada syarat batin yang tak dapat dihindarkan lagi. Yaitu, ilmu ini harus dipergunakan untuk kebaikan saja, dan dilarang keras untuk dipergunakan secara sesat. Tidak boleh dipergunakan untuk melakukan kejahatan atau merugikan orang lain, lahir maupun batin. Kalau sampai larangan ini dilanggar, maka akibatnya akan menghantam diri sendiri. Ilmu itu sendiri yang akan menghancurkannya, sedikitnya mendatangkan penyakit seperti yang kualami, besar kecilnya hukuman itu sesuai dengan besar kecilnya pelanggaran. Bahkan ilmu itu sendiri akan dapat membunuh kalau sampai melakukan kejahatan yang besar. Karena itu, ingatlah selalu, muridku, bahwa ilmu ini tidak sekali-kali boleh dipergunakan untuk kejahatan, karena engkau tidak akan bebas daripada hukumannya." Hay Hay mengangguk-angguk, sedikit pun tidak merasa khawatir. "Akan teecu ingat selalu, Suhu." Demikianlah, mulai hari itu Hay Hay belajar dengan tekun. Akan tetapi, dia hanya sempat belajar satu tahun saja pada Pek Mau San-jin, karena setelah kurang lebih setahun mempelajari ilmu sihir dari kakek itu, Pek Mau San-jin meninggal dunia karena usia tua. Hay Hay mengubur jenazah kakek yang menjadi gurunya itu seperti pesannya ketika masih hidup, di bawah sebatang pohon di dekat guha tempat gurunya bertapa, meletakkan sebuah batu besar sebagai tanda makam. Setelah melakukan sembahyang untuk memberi hormat terakhir kepada gurunya, Hay Hay lalu pergi meninggalkan tempat itu. Kini dibekali sebuah ilmu baru, yaitu ilmu sihir yang walaupun belum dipelajari sampai tamat karena gurunya keburu meninggal dunia, namun kiranya cukup untuk memperlengkap bekal ilmu pembela dan pelindung diri. Sungai Yalong merupakan sebatang sungai yang amat panjang, mengalir dari utara jauh melampaui tapal batas Propinsi Secuan, merupakan satu di antara anak Sungai Yang-ce yang amat panjang. Sungai Yalong mengalir dari Cing-hai, masuk ke Propinsi Secuan sebelah utara, mengalir sepanjang Propinsi Secuan ke selatan, sampai dekat kota Takou di ujung selatan Propinsi Secuan, Sungai Yalong bertemu dengan Sungai Jin-sha, membelok ke timur dan menjadi Sungai Yang-ce yang amat terkenal itu. Sungai Yalong mengalir melalui Pe gunungan Jin-ping-san dan di pegunungan inilah, di sepanjang Sungai Yalong, terdapat sebuah perkampungan yang menjadi pusat dari perkumpulan Pek-sim-pang. Keluarga Pek yang belasan tahun yang lalu meninggalkan Tibet karena dimusuhi para pendeta Lama yang menghendaki keturunan mereka yang dianggap Sin-tong, membawa anak buah Pek-sim-pang yang setia kepada keluarga itu, mengungsi masuk Propinsi Secuan yang menjadi tempat asal keluarga Pek. Akhirnya keluarga itu, bersama para anggauta Pek-sim-pang yang juga menjadi murid-murid mereka, rombongan itu menetap di tepi Sungai Yalong itu. Tempat itu amat indahnya, merupakan daerah perbukitan yang menjadi lereng Pegunungan Jin-ping-san. Daerah itu memiliki tanah yang subur dan hutan-hutan lebat yang dihuni banyak binatang-binatang buruan. Karena air cukup, tanah subur dan hutan-hutan lebar, keluarga besar Pek-sim-pang tinggal di tempat itu dengan senang, bertani, berburu dan dari sungai itu sendiri mereka dapat memperoleh ikan. Juga dari dalam hutan rnereka bisa rnendapatkan kayu-kayu besar untuk membangun rumah-rumah mereka. Kini, keluarga itu terkenal sebagai pedagang hasil bumi dan rempa-rempa, disamping terkenal pula sebagai perkumpulan orang-orang gagah yang disegani dan ditakuti oleh para penjahat. Semenjak Pek-sim-pang bermarkas di tempat itu, daerah itu sampai berpuluh li luasnya, menjadi aman. Para penjahat terpaksa pergi mengungsi, dan hanya berani melakukan kejahatan jauh di luar jangkauan kekuasaan dan pengaruh keluarga besar Pek-sim-pang. Setelah tinggal di daerah itu selama belasan tahun, Pek-sim-pang menjadi semakin terkenal. Anggauta atau murid Pek-sim-pang yang jumlahnya kurang lebih seratus orang itu kini bertambah karena di antara mereka ada yang sudah berkeluarga dan tinggal di dalam perkampungan yang merupakan markas atau benteng perkumpulan Pek-sim-pang itu. Perkampungan itu kini memiliki hampir dua ratus orang penghuni tetap. Setelah banyak di antara murid Pek-sim-pang bekerja menjadi pengawal-pengawal perjalanan, penjaga-penjaga. keamanan dan sebagainya, maka pengaruh Pek-sim-pang menjadi semakin meluas, sampai meliputi banyak kota besar di Propinsi Secuan. Perkampungan itu cukup luas, berada di lereng sebuah bukit. Dari jauh sudah nampak tembok putih tinggi yang menjadi pagar perkampungan itu. Dua pintu gerbang depan dan belakang dibuka lebar-lebar di waktu siang hari, dan untuk menjaga keamanan karena sebagai perkumpulan orang gagah tentu ada saja pihak penjahat yang menaruh dendam, setiap hari, siang malam, pintu-pintu gerbang itu dijaga secara bergilir. Rumah keluarga Pek berada di tengah perkampungan, dikelilingi rumah-rumah para anggauta. Rumah keluarga Pek itu cukup besar, terbuat dari tembok dan kayu-kayu besar. Pekarangan depannya luas, ditanami pohon-pohon buah, dan di belakang rumah terdapat kebun sayur yang cukup luas, sebuah taman bunga mungil berada di sebelah timur rumah. Pada waktu itu, yang menjadi ketua Pek-sim-pang adalah Pek Kong yang telah berusia empat puluh satu tahun. Para ketua Pek-sim-pang memang keturunan keluarga Pek, turun temurun. Pek Kong beristerikan Souw Bwee yang sudah berusia tiga puluh delapan tahun, seorang wanita yang juga memiliki ilmu silat bersumber kepada ilmu silat Siauw-lim-pai. Walaupun kepandaian silatnya tidak setinggi suaminya, namun wanita itu termasuk seorang wanita perkasa. Ayah dari Pek Kong yang bernama Pek Ki Bu, bekas Ketua Pek-sim-pang pula, telah mengundurkan diri dan kini hanya menjadi penasehat saja dari puteranya yang menggantikannya menjadi ketua. Dalam usianya yang enam puluh tahun, Pek Ki Bu telah menjadi seorang duda karena isterinya telah meninggal dunia karena penyakit. Hidupnya terasa sunyi dan untung bahwa dia mempunyai seorang cucu perempuan yang menjadi penghibur hatinya. Seperti diketahui, Pek Kong mempunyai seorang putera yang menjadi sebab keributan sehingga keluarga Pek terpaksa melarikan diri dari Tibet, dianggap sebagai Sin-tong (Anak Ajaib) calon Dalai Lama! Dan semenjak puteranya itu dibawa pergi oleh kakek buyutnya, yaitu Pek Khun, pendiri dari Pek-sim-pang, untuk diselamatkan dan disembunyikan dari pengejaran para pendeta Lama dan para tokoh sesat di dunia hitam yang memperebutkannya, kehidupan keluarga Pek menjadi muram dan sunyi. Akan tetapi empat tahun kemudian sejak anak yang menghebohkan itu terlahir, Souw Bwee atau Nyonya Pek Kong telah melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Pek Eng. Anak inilah yang kemudian menjadi hiburan bagi Kakek Pek Ki Bu yang ditinggal mati isterinya. Dia mendidik cucunya itu penuh kasih sayang. Kini Pek Eng telah menjadi seorang gadis berusia enam belas tahun yang berwajah manis sekali. Ia lincah gembira, jenaka dan nakal suka menggoda orang, juga galak dan manja karena sejak kecil dimanjakan oleh kakeknya. Tentu saja ia mewarisi ilmu silat yang diajarkan sendiri oleh kakeknya dan karena ia seorang anak yang cerdas dan berbakat maka dalam usia enam ibelas tahun, ia telah menjadi seorang gadis yang gagah perkasa dan kiranya tidak ada di antara murid Pek-sim-pang yang dapat menandinginya. Pek Eng seorang gadis remaja yang bertubuh tinggi ramping, dengan sepasang kaki yang panjang, pinggang yang kecil, namun dalam usia enam belas tahun, bagaikan setangkai bunga yang mulai mekar semerbak harum, tubuhnya sudah nampak padat berisi dengan lekuk-lekung yang sempurna. Kecepatan dewasanya ini adalah karena ia hidup di alam bebas, suka berburu binatang dan sudah biasa terpanggang terik matahari, tertiup angin badai, tertimpa hujan lebat, pendeknya ia sudah biasa menghadapi keadaan yang keras dan sulit. Katena di daerah Secuan bagian selatan banyak terdapat orang-orang dari suku bangsa Yi, maka sedikit banyak kehidupan Pek Eng terpengaruh pula oleh kebiasaan suku bangsa Yi. Apalagi karena kakeknya, setelah kini mengundurkan diri, tertarik oleh kehidupan rohani yang menjadi tradisi suku bangsa Yi, yaitu mendasarkan kehidupan agama mereka dari kitab-kitab suci, kitab-kitab kuno yang bersumber kepada Agama Hindu kuno. Kakek Pek Ki Bu kini tekun membaca kitab-kitab kuno itu dan membiarkan cucunya banyak bergaul dengan suku bangsa Yi. Pakaian dari suku bangsa ini amat indah, juga gagah, sesuai dengan watak suku bangsa Yi yang terkenal sejak jaman dahulu sebagai peraiurit-perajurit yang gagah perkasa. Selain terkenal sebagai perajurit-perajurit yang gagah perkasa, juga suku bangsa Yi terkenal sebagai orang-orang yang mempertahankan kebudayaan dan tradisi mereka, hidup sebagai keluarga dan masyarakat golongan tinggi dan menganggap kelompok mereka lebih tinggi derajatnya dengan suku-suku lain. Tidaklah mengherankan kalau hampir setiap keluarga Yi, walaupun yang tergolong kurang mampu, memiliki budak belian atau hamba sahaya yang terdiri dari orang-orang yang pernah mereka talukkan, dari suku-suku lain yang dianggap lebih rendah martabat dan derajat mereka. Suku bangsa Yi suka mengenakan pakaian yang berwarna hitam sebagai dasar, dengan beraneka ragam dan warna hiasan. Juga mereka biasa menghias dan menutupi kepala mereka dengan kain sorban yang dihias dengan bulu burung, atau yang bagian ujung sorbannya dibentuk mencuat ke atas sebagai pengganti bulu burung. Pek Eng juga sering kali mengenakan pakaian suku bangsa Yi, walaupun adakalanya dia mengenakan pakaian biasa sebagai seorang gadis bersuku bangsa Han, yaitu suku bangsa terbesar di seluruh Tiongkok. Dan tentu saja Pek Eng pandai berbahasa Yi. Pandai pula ia menunggang kuda, mempergunakan anak panah dan suling, di samping tentu saja pandai bermain silat tangan kosong dan pedang dari ilmu silat keluarganya. Keluarga Ketua Pek-sim-pang itu sudah lama prihatin kalau mereka memikirkan tentang keturunan mereka, yaitu Pek Han Siong. Ketika Kakek Pek Khun yang sudah tua sekali itu meninggal dunia, dia tidak meninggalkan pesan apa pun mengenai putera Pek Kong itu, yang memang dirahasiakan oleh kakek tua itu sejak dahulu. Sebelum kakek itu mati, kalau ada keluarga Pek yang bertanya tentang Pek Han Siong, selalu dijawab bahwa anak yang diperebutkan itu berada dalam tangan yang dapat dipercaya, keadaannya selamat, sehat dan aman. Dan selalu mengatakan bahwa kalau anak itu sudah dewasa kelak, tentu akan datang sendiri mencari keluarganya di Secuan! Pada suatu sore, ketika Pek Ki Bu datang ke ruangan menengok keluarga puteranya, kakek ini sekarang berdiam di sebuah rumah kecil yang menyendiri di sudut perkampungan agar dapat bersamadhi dan mempelajari kitab dengan tenteram, Souw Bwee isteri Pek Kong kembali teringat akan puteranya dan nyonya ini pun menangis dengan sedihnya. Suaminya, juga puterinya, berada di situ menghiburnya. "Sudahlah, disusahkan dan ditangisi apa gunanya?" demikian Kakek Pek Ki Bu berkata untuk menghibur mantunya. "Persoalan apa pun yang timbul dalam kehidupan merupakan tantangan hidup yang harus dihadapi dan diatasi dengan usaha yang didasari akal budi kita. Dan tangis tidak ada gunanya sama sekali untuk dijadikan dasar usaha mengatasi persoalan itu karena tangis bahkan akan menumpulkan akal budi." Mendengar ucapan ayah mertuanya, Souw Bwee menghapus air matanya dan setelah tangisnya terhenti ia pun berkata, "Harap Ayah memaafkan saya. Akan tetapi saya merasa heran sekali, mengapa mendiang Kakek menyembunyikan keadaan Han Siong dari kita?" “Tentu mendiang Ayah mempunyai alasan yang kuat untuk itu. Mungkin saja dia melihat bahwa rahasia tentang keadaan Han Siong perlu dipegang kuat-kuat karena masih terdapat banyak ancaman. Pula, bukankah mendiang Kakek kalian itu sudah berpesan bahwa kelak, kalau sudah dewasa, Han Siong tentu akan mencari sendiri keluarganya di sini?" Pek Kong mengerutkan alisnya. Dia merasa kasihan kepada isterinya yang sudah menderita bertahun-tahun, selalu berduka kalau teringat akan putera mereka. "Ayah, memang tidak seharusnya membenamkan diri dalam duka dan tangis. Akan tetapi, menurut perhitungan saya, kini Han Siong sudah berusia dua puluh tahun lebih, sudah cukup dewasa. Kenapa belum juga dia pulang? Tentu kami merasa khawatir sekali, Ayah, karena bagaimanapun juga, dia adalah putera kami satu-satunya, dialah penyambung satu-satunya keturunan keluarga Pek!" Mendengar puteranya menyinggung tentang keturunan keluarga Pek, Kakek Pek Ki Bu terdiam dan dia pun mengerutkan alisnya dengan khawatir. Kekhawatiran timbul karena andaikata cucunya itu benar-benar telah tidak ada, bukankah hal itu berarti bahwa keluarga Pek akan terputus keturunannya? Dan hal ini tentu saja akan merupakan hal yang amat menyedihkan. Sejak tadi Pek Eng mendengarkan dengan alis berkerut. Ia duduk bersimpuh merangkul ibunya untuk menghiburnya ketika ibunya menangis, sementara ia mendengarkan percakapan mereka. Ketika ayahnya menyinggung soal keturunan keluarga Pek, kerut alisnya makin mendalam dan sepasang matanya yang agak sipit itu mengeluarkan sinar penasaran, mukanya yang manis itu menjadi merah gelap. Hatinya tak pernah mau menerima sikap orang-orang tua bangsanya yang selalu mementingkan anak laki-laki daripada anak perempuan. Keturunan! Hanya nama keturunan, hanya she. Ia tahu bahwa ia tidak akan melahirkan keturunan Pek, melainkan keturunan marga orang yang akan menjadi suaminya. Dan hal ini menyakitkan hatinya sekali! Ia merasa seolah-olah didorong ke samping sehingga berdiri di luar kalangan atau lingkaran keluarga Pek! Tiba-tiba ia melepaskan rangkulan dari pundak ibunya dan bangkit berdiri. Sikapnya gagah ketika ia berkata. "Kakek, Ayah dan Ibu, biarkan aku berangkat pergi mencari Koko Pek Han Siong yang menimbulkan kedukaan dalam keluarga Pek!" Tiga orang tua itu terkejut, seolah-olah baru ingat akan adanya Pek Eng di situ. "Eng-ji (Anak Eng), engkau seorang anak perempuan ……!" Seru ibunya. Seruan ibunya membuat rasa penasaran dan marah di hati Pek Eng semakin bergelora. "Apa salahnya seorang anak perempuan, Ibu? Aku tidak kalah oleh seorang anak laki-laki. Aku tidak pernah menyusahkan hati Ibu, tidak seperti Koko! Daripada Ibu susah-susah selalu, biarlah aku akan pergi mencari Kpko sampai dapat!" "Eng-ji, jangan bicara tidak karuan!" bentak ayahnya. "Kami saja tidak tahu di mana Han Siong berada, apalagi engkau. Ke mana engkau hendak mencarinya?" "Ke mana saja, Ayah. Kalau memang Koko masih hidup, pasti akan dapat kucari dan kutemukan. Aku akan mulai dengan daerah Kun-lun-san di mana kakek buyut bertapa dan mencari keterangan di sana." “Jangan, Eng-ji, engkau jangan pergi!" Ibunya berseru penuh kekhawatiran. "Pek Eng, apakah engkau akan menjadi seorang anak yang durhaka? Ibumu sedang berduka memikirkan kakakmu yang belum juga pulang dan sekarang engkau malah hendak, pergi meninggalkannya?" Terdengar Pek Ki Bu berkata halus menegur cucunya yang amat disayangnya. Pek Eng cemberut memandang kakeknya. Anak ini paling manja terhadap kakeknya, dan setiap kali ditegur, ia merasa kecewa dan marah. "Kong-kong, aku hendak mencari Koko justeru agar Ibu tidak selalu berduka. Hemmm, mentang-mentang aku ini anak perempuan, apa pun yang kulakukan serba tidak kebetulan saja. Huh!" Gadis itu membanting kakinya lalu meninggalkan ruangan itu. Dengan uring-uringan Pek Eng keluar dari rumahnya, lalu berjalan-jalan menuju ke pintu gerbang di depan perkampungan mereka. Hatinya masih terasa jengkel dan kesal. Diam-diam ia merasa tak suka kepada kakaknya, rasa tidak suka yang timbul pada saat itu karena ia merasa iri hati. Biasanya ia sendiri merasa rindu kepada kakak yang selama hidup belum pernah dilihatnya itu. Sudah seringkali ibu dan ayahnya bicara tentang kakak yang sejak bayi dibawa pergi kakek buyutnya. Ia ingin sekali melihat bagaimana wajah kakak kandungnya itu. Seperti ayahnyakah? Atau seperti ibunya? Orang bilang ia sendiri mirip ibunya dan ia merasa bangga karena ibunya amat cantik. Setelah tiba di pintu gerbang, ia hanya menjawab sambil lalu saja ketika para penjaga pintu gerbang menyapanya. Semua anggauta Pek-sim-pang yang sebetulnya masih terhitung saudara-saudara seperguruannya, karena mereka adalah murid-murid ayahnya atau kakeknya, menyebutnya Pek-siocia (Nona Pek), panggilan menghormat karena biarpun saudara seperguruan, gadis remaja ini adalah puteri ketua mereka. "Pek-siocia, senja telah mendatang, engkau hendak ke manakah? Sebentar lagi pintu gerbang akan ditutup." Kata seorang di antara mereka. Semua penjaga memandang gadis itu dengan sinar mata penuh kagum. karena siapakah yang tidak tertarik dan kagum kepada gadis yang amat manis itu? Biasanya Pek Eng bersikap manis kepada semua anggauta Pek-sim-pang. Ia memang seorang gadis yang lincah jenaka dan gembira. Akan tetapi saat itu hatinya sedang murung, maka pertanyaan orang itu diterimanya sebagai suatu gangguan. "Aku mau pergi jalan-jalan. Biar sudah kaututup, apa disangka aku tidak dapat masuk?" Berkata demikian, ia lalu meloncat dan berlari cepat sekali sehingga sebentar saja bayangannya sudah menghilang. Para penjaga itu hanya menggeleng kepala, kagum akan kelihaian gadis itu. Tentu saja mereka akan selalu berjaga di situ, walaupun pintu gerbang sudah ditutup nanti, besiap-siap untuk cepat membuka pintu gerbang kalau gadis itu pulang. Tentu saja mereka maklum bahwa walaupun pintu gerbang ditutup, tanpa dibuka sekalipun, dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi, gadis itu akan mampu meloncat dah masuk melalui atas pagar tembok. Dengan hati masih kesal Pek Eng lalu berlari menuju ke kaki bukit di mana ia tahu merupakan tempat tinggal sekelompok suku bangsa Yi yang menjadi sahabatnya. Dusun suku Yi itu sudah nampak dari situ dan ia mempunyai banyak kawan baik di sana. Senang mendengar cerita orang-orang tua suku bangsa Yi menceritakan pengalaman mereka yang menegangkan ketika terjadi perang, menceritakan kegagahan nenek moyang mereka. Akan tetapi ketika ia tiba di pintu gerbang dusun Yi, ia melihat belasan orang Yi mengepung seorang pemuda yang menggendong buntalan, dan seorang gadis Yi nampak duduk bersimpuh di atas tanah sambil menangis, seorang pemuda Yi marah-marah sedangkan orang-orang Yi lainnya mendengarkan, tangan memegang gagang senjata dan semua mata ditujukan kepada pemuda itu. Karena tidak ingin mengganggu dan ingin sekali tahu apa yang terjadi, Pek Eng lalu menyelinap dan mengintai sambil mendengarkan. Juga ia memperhatikan pemuda itu yang kelihatannya tenang-tenang saja dikepung oleh orang-orang Yi yang kelihatannya marah-marah. Seorang pemuda yang bertubuh sedang namuntegap, dengan dada bidang. Yang menarik adalah wajahnya yang berseri dan sikapnya yang tenang, matanya bersinar-sinar, mulutnya tersenyum-senyum, seolah-olah dia menghadapi sekumpulan sahabat baik yang menyambutnya, bukan sekumpulan orang Yi yang sedang marah kepadanya. Pemuda itu bukan lain adalah Hay Hay! Seperti kita ketahui, Hay Hay berguru kepada Pek Mau San-jin selama satu tahun dan setelah gurunya itu meninggal dunia dan dikuburnya sebagaimana mestinya, Hay Hay lalu melanjutkan perjalanannya, yaitu mencari keluarga Pek di Secuan. Sore hari itu, tibalah dia di sebuah hutan, tak jauh dari dusun Yi itu. Karena hari telah sore, dia bergegas hendak menuju ke dusun yang sudah dilihatnya dari jauh tadi, agar dia dapat melewatkan malam di dusun itu. Akan tetapi tiba-tiba dia mendengar suara wanita menjerit. Cepat dia lari ke arah datangnya suara dan betapa marahnya melihat seorang gadis suku Yi sedang dipeganggi dua orang laki-laki suku Miau yang agaknya hendak menyeretnya dan menculiknya. Dia mengenal mereka dari pakaian-pakaian mereka dan memang dia sudah mendengar dalam perjalanannya bahwa ada permusuhan antara kedua suku bangsa itu. Tidak salah lagi, dua orang suku Miau itu tentu hendak menculik gadis Yi yang cukup cantik itu. "Lepaskan gadis itu!" Hay Hay membentak dalam bahasa Han karena dia tidak dapat berbahasa Yi ataupun Miau. Dua orang laki-laki itu terkejut dan ketika mereka melihat bahwa yang membentak itu adalah seorang pemuda Han yang kelihatan biasa saja, keduanya menjadi marah. Seorang di antara mereka mencabut parang, sedangkan orang ke dua masih memegangi kedua lengan gadis yang meronta-ronta itu. Si pemegang Parang yang tinggi besar itu segera menerjang Hay Hay dengan parangnya, menyerang dengan dahsyat. Namun Hay Hay melihat bahwa orang ini hanya memiliki tenaga besar saja, maka dengan mudah dia mengelak dan sekali kakinya bergerak, lutut kanan orang itu telah tercium ujung sepatu Hay Hay dan dia pun terpelanting. Melihat ini, orang ke dua melepaskan gadis Yi dan ikut mengeroyok. Namun, dengan kedua kakinya saja, tanpa menggunakan tangan, Hay Hay menghajar mereka, menendangi mereka sampai akhirnya mereka lari tunggang-langgang meninggalkan gadis yang masih menangis terisak-isak. Hay Hay tidak mengejar, hanya tersenyum dan dia menghampiri gadis itu. Gadis itu mengangkat muka memandang, kemudian sambil menangis menubruk dan merangkul Hay Hay, menangis di dada pemuda itu. Tentu saja Hay Hay merasa senang sekali karena gadis itu memang manis. Otomatis tangannya mengusap-usap rambut itu, dibelainya rambut itu dan dia pun balas merangkul. Sampai beberapa lamanya gadis itu berada dalam pelukannya. "Nona manis, di manakah rumahmu? Hari sudah hampir malam, sebaiknya kalau engkau pulang saja." akhirnya Hay Hay berkata setelah bajunya menjadi basah di bagian dada oleh air mata gadis Yi itu. Gadis itu melepaskan diri dan bicara dalam bahasa Yi, akan tetapi karena Hay Hay tidak mengerti gadis itu lalu menuding-nuding ke arah letak dusunnya. Hay Hay mengangguk, lalu menggandeng tangan gadis itu, diajaknya pulang ke dusunnya. Mereka berjalan sambil bergandeng tangan dan biarpun mereka tak dapat saling bicara, namun setiap kali gadis itu menoleh dan memandang wajahnya, Hay Hay dapat menangkap sinar mata penuh rasa syukur dan terima kasih terpancar dari sinar mata yang bening itu. Seorang gadis yang manis, pikirnya senang bahwa dia sudah secara kebetulan dapat menyelamatkan gadis ini dari tangan dua orang penculiknya. Dia membayangkan betapa malam ini dia akan diterima sebagai tamu agung oleh keluarga gadis itu, dijamu dan memperoleh kamar yang enak di mana dia dapat membiar kan tubuhnya yarig penat itu beristirahat! Karena berpikir demikian, wajah Hay Hay cerah, berseri dan mulutnya tersenyum ketika dia dan gadis itu tiba di luar pintu gerbang dusun tempat tinggal suku bangsa Yi itu dan melihat beberapa orang keluar dari pintu gerbang dan bicara dengan hiruk-pikuk sambil menuding-nuding ke arah dia dan gadis itu. Gadis itu melepaskan tangannya yang digandeng Hay Hay, lalu berlari menghampiri kelompok orang itu, bicara kepada mereka sambil tangannya menuding ke arah Hay Hay, agaknya menceritakan apa yang telah terjadi. Akan tetapi seorang di antara mereka, seorang pemuda yang bertubuh jangkung mengeluarkan suara keras dan menampar gadis itu. Gadis itu menjerit, lalu menjatuhkan diri bersimpuh dan menangis. Melihat ini, Hay Hay terkejut sekali dan cepat dia berlari menghampiri mereka. Orang-orang itu mengurungnya dengan sikap mengancam. Demikianlah keadaan di situ ketika Pek Eng tiba dan gadis ini mengintai untuk melihat dan mendengar apa yang telah terjadi. Ia melihat sikap pemuda Han itu yang tenang dan tersenyum-senyum. Seorang di antara para pengepung itu yang agaknya merupakan satu-satunya di antara mereka yang pandai berbahasa Han, melangkah maju dan menudingkan telunjuknya dengan marah kepada Hay Hay. "Engkau telah menodai nama baik keluarga Hamani!" Hay Hay mengerutkan alisnya. "Aku? Menodai nama baik keluarga orang? Hemm, apa kesalahanku? Dan siapa itu Hamani ?" Tiba-tiba gadis itu bangkit berdiri, menghampiri Hay Hay dan dengan muka ketakutan ia bicara dalam bahasa Yi dan menepuk dada sendiri sambil berkata, "Hamani." Mengertilah Hay Hay bahwa gadis yang ditolongnya itu berkata Hamani dan agaknya dimarahi orang banyak dan agaknya membutuhkan perlindungannya pula. Maka dengan sikap melindungi, dia merangkul pinggang gadis itu. "Jangan takut, Hamani, aku akan melindungimu." bisiknya. Melihat ini, orang-orang itu makin ribut dan menuding-nuding. "Orang asing, engkau telah menggandeng dan merangkul Hamam. Tidak seorang pun laki-laki boleh memeluk seorang gadis kecuali dia menjadi tunangannya atau suaminya." Hay Hay terkejut dan otomatis rangku1annya pada plnggang ramping itu pun dilepaskan. " Akan tetapi aku... aku hanya menolongnya dari ancaman orang-orang jahat, dan aku hanya ingin melindungi...!" Dia memprotes keras. "Apalagi engkau seorang asing, telah berani menghina seorang gadis kami. Oleh karena itu, engkau harus ikut bersama kami untuk melangsungkan pernikahan!" Kalau pada saat itu ada kilat menyambarnya, belum tentu Hay Hay akan sekaget seperti ketika mendengar ucapan orang itu. Sepasang matanya terbelalak dan dia undur dua langkah, menjauhi Hamani. Menikah? Apaapaan ini? Dia menggelengkan kepalanya. "Tidak, aku tidak mau menikah " katanya. Pek Eng mendengarkan semua itu dan merasa geli hatinya. Ia tahu akan peraturan dan kebiasaan suku bangsa Yi. Kalau seorang gadis sudah mau digandeng, apalagi dipeluk oleh seorang pemuda, maka berarti bahwa gadis dan pemuda itu sating mencinta. Dan bagi keluarga gadis itu, tentu akan merasa ternoda dan terhina kalau si pemuda tidak mau kawin dengan gadis yang telah "dinodainya" itu, dalam arti kata, diperlakukan dengan mesra di depan umum. Mendengar penolakan Hay Hay, orang itu menterjemahkannya dalam bahasa Yi dan marahlah orang-orang itu. "Dia menghina kita!" "Dia hendak mempermainkan gadis kita!" "Orang asing. ini harus dibunuh sebagai musuh kalau tidak mau mengawini Hamani!" Ucapan terakhir ini dikeluarkan oleh pemuda yang tadi menampar Hamani karena dia adalah kakak kandung gadis itu. Mendengar betapa pemuda yang menolongnya itu menolak untuk menjadi suaminya, Hamani sendiri terkejut dan ia pun lari menghampiri Hay Hay dengan muka pucat dan mata terbelalak. Dalam bahasa Yi ia berteriak-teriak. "Engkau telah menyelamatkan aku, dan aku telah menyerahkan diri, dan engkau menerimaku, memelukku, menggandengku, memandang dengan mesra, kita telah sama-sama tersenyum dan sepakat dalam pandang mata kita, dan kau... kau sekarang menolak untuk menikah dengan aku? Aihhh, engkau merayuku dan hendak meninggalkan? Engkau jahat... jahat sekali…!" Dan kini Hamani menggunakan kedua tangannya untuk memukul dan mencakar muka Hay Hay. Hay Hay tidak mengerti akan semua itu, akan tetapi melihat sikap Hamani, dia terkejut dan cepat dia mengelak ke belakang. Akan tetapi pada saat itu, semua orang telah maju dengan sikap mengancam untuk menyerangnya. Hay Hay merasa bingung sekali. Tak disangkanya sama sekali bahwa dia akan menerima penyambutan seperti ini! Tidak ada gunanya untuk membela diri dengan kata-kata karena agaknya di antara mereka hanya seorang saja yang dapat mengerti bahasanya. Dan tidak ada gunanya melayani mereka yang marah-marah itu, maka dia pun cepat membalikkan tubuhnya dan melarikan diri dari tempat itu! "Kejar …..!" "Tangkap ….!" "Hajar dia …..!" Orang-orang itu mengejarnya, akan tetapi Hay Hay telah berlari cepat memasuki hutan yang mulai gelap. Pek Eng yang melihat semua ini, diam-diam merasa geli hatinya. Biarlah, pemuda itu memang perlu dihajar, pikirnya. Tentu pemuda itu telah mempergunakan ketampanan wajahnya yang selalu cerah tersenyum-senyum itu untuk memikat hati Hamani, akan tetapi dia tidak berani bertanggung jawab dan menolak ketika disuruh mengawini gadis itu. Bukan urusannya. Ia pun lalu meninggalkan tempat itu untuk kembali ke perkampungannya sendiri. Dibatalkan niatnya untuk berkunjung ke dusun orang-orang Yi itu. Ia merasa tidak enak karena pemuda itu adalah bangsa Han, bangsanya. Tentu kalau ia berkunjung, percakapan akan mengenai pemuda Han itu dan bagaimanapun juga, ia akan merasa tersinggung. Hemm, pemuda mata keranjang tukang perayu, rasakan kau sekarang, pikirnya sambil tersenyum geli, akan tetapi juga jengkel terhadap pemuda itu. Hamani adalah kembang dusun itu dan ia mengenalnya sebagai seorang gadis yang baik. Bagaimanapun juga, sedikit ketegangan karena persitiwa di dusun suku Yi tadi telah banyak mengurangi perasaan kesal dan dongkolnya yang dibawa dari rumah tadi, dan begitu tiba di pintu gerbang, ternyata para penjaga masih berada di situ menunggunya dan membukakan pintu. Hal ini membuat ia semakin tenang dan ia pun kembali ke rumah keluarganya, langsung masuk ke kamar dan tidur. ** Dengan sikap uring-uringan Hay Hay merebahkan diri di antara cabang-cabang pohon yang tinggi itu. Sialan, dia mengomel. Membayangkan sambutan yang meriah dan ramah ternyata yang diterima adalah caci maki bahkan serangan dan ancaman! Membayangkan tidur nyenyak dengan perut kenyang di dalam kamar yang bersih di atas tempat tidur beralaskan kasur dqn bantal, ternyata kini dia rebah tak enak sekali di atas cabang pohon, di antara ranting dan daun, kotor dan basah, dengan perut lapar pula! Sialan! Sialan gadis itu, pikirnya penasaran. Ditolong malah mencelakakan! Itu namanya dia memberi air susu dibalas air tuba! Tapi gadis itu manis, dan pinggangnya ramping sekali, dia membayangkan dan senyumnya muncul kembali. Bagaimanapun juga, dia sudah merangkulnya, merasakan kehangatan tubuhnya, kelembutan kulitnya, dan jalan bersama sambil bergandeng tangan! Kawin? Sialan! Siapa yang ingin kawin? Dengan keadaan gelisah akhirnya Hay Hay dapat tidur nyenyak di antara ranting dan daun pohon, jauh tinggi di atas, aman dari pengejaran orang-orang Yi yang sama sekali tidak menyangka bahwa orang buruan mereka itu berada di atas pohon yang tinggi, yang beberapa kali mereka lewati. Baru setelah matahari menembuskan sinarnya di antara celah-celah daun dan menimpa mukanya, Hay Hay terbangun pada keesokan harinya. Sinar keemasan matahari pagi nampak indah, seperti jalur-jalur benang emas di antara daun-daun. Hay Hay bangkit duduk, lalu berdiri di atas cabang yang paling tinggi, memandang ke kanan kiri untuk melihat apakah masih ada orang-orang Yi yang mencarinya di tempat itu. Sunyi saja di sekeliling pohon itu, akan tetapi dia melihat sesuatu yang menarik. Tidak jauh dari situ, di lereng bukit, dia melihat tembok perkampungan dan jantungnya berdebar tegang. Dia mengenal bentuk pagar tembok orang-orang Han. Perkampungan itu tentulah perkampungan orang Han dan agaknya dia akan dapat mencari keterangan tentang keluarga Pek yang kabarnya tinggal di sekitar pegunungan ini. Dia lalu meloncat turun setelah mengikatkan buntalan pakaian yang tadi dipakai sebagai bantal itu di punggungnya. Hay Hay segera keluar dari hutan itu dan menuiu ke arah bukit di mana dia tadi melihat ada pagar tembok sebuah perkampungan. Tak lama kemudian dia sudah berdiri di depan pintu gerbang perkampungan Pek-sim-pang! Hatinya girang bukan main ketika dia melihat papan dengan huruf-huruf besar PEK SIM PANG terpasang di depan pintu gerbang itu. Tidak salah, inilah perkampungan Pek-sim-pang, tempat tinggal keluarga Pek yang merupakan satu-satunya keluarga di dunia ini yang dapat menceritakan siapa dirinya yang sesungguhnya, siapa pula orang tuanya! Jantungnya berdebar penuh ketegangan, juga keharuan. Pagi itu suasana di situ masih sunyi, pintu gerbang agaknya baru saja dibuka dan masih nampak kesibukan di sebelah dalam perkampungan itu, akan tetapi tidak nampak orang keluar masuk Tiba-tiba saja, muncul seorang gadis yang membuat Hay Hay membelalakkan matanya. Seorang gadis yang baru saja berangkat dewasa berusia antara enam belas atau tujuh belas tahun. Mata itu, bibir itu! Mempesonakan! Dengan wajah penuh senyum cerah Hay Hay melangkah maju menghampiri gadis yang baru keluar dari pintu gerbang itu. Gadis itu adalah Pek Eng. Begitu ia melihat Hay Hay, alisnya berkerut. Tentu saja ia segera mengenal pemuda yang menjadi orang buruan suku Yi semalam. Kiranya dia dapat melarikan diri, pikirnya. Melihat pemuda itu menghampirinya dengan wajah berseri, pandang mata bersinar dan mulut tersenyum-senyurn, Pek Eng menghardiknya. "Mau apa kau cengar-cengir di sini? Hayo pergi atau aku akan menyeretmu ke dusun orang-orang Yi agar engkau dihukum!" Hay Hay membelalakkan matanya. “Ehh? Bagaimana Nona tahu? Pernahkah kita saling bertemu? Rasanya belum pernah walaupun aku akan merasa berbahagia sekali dapat bertemu dengan Nona, biarpun hanya dalam mimpi." Selama hidupnya belum pernah Pek Eng menghadapi seorang laki-laki yang bicara seperti ini, maka ia tertegun, hatinya tertarik untuk mengetahui dan bertanya, "Kenapa merasa berbahagia kalau dapat bertemu denganku?" Pemuda ini memang tampan dan memiliki wajah yang ramah menyenangkan dan menarik hati, pikirnya sambil menatap wajah Hay Hay. Kini Hay Hay juga memandang dengan penuh kagum. Setelah tadi membuka mulut dan bicara, nampak jelas bahwa gadis ia memang manis bukan main, ketika menggerakkan mulutnya, muncullah lesung pipit di pipi sebelah kiri. Dan sinar mata gadis itu pun demikian penuh gairah hidup, wajahnya membayangkan kelincahan dan kejenekaan. Seorang gadis pilihan di antara seribu! "Kenapa, Nona? Siapa yang takkan berbahagia bertemu dengan seorang gadis yang cantik jelita dan manis sepertimu ini?” Pek Eng adalah seorang gadis yang lincah jenaka, pandai berdebat. Akan tetapi dia sudah melihat pemuda ini hampir dikeroyok orang kemarin sore, karena berani bermain-main dengan seorang gadis Yi. Kiranya seorang pemuda yang pandai merayu wanita, dengan kata-kata manis. "Hemm, engkau memang mata keranjang dan perayu. Akan tetepi jangan harap akan dapat memikat aku dengan rayuan gombalmu itu, ya? Hayo lekas pergi dari sini, kalau tidak, terpaksa aku akan menghajarmu!" Hay Hay membuka mata lebar-lebar dan mulutnya mengomel. “Hayaaa... agaknya daerah ini ditinggali oleh orang-orang yang ringan mulut ringan tangan, mudah menghajar orang yang tidak bersalah. Nona yang baik, aku jauh-jauh datang untuk bertemu dengan Ketua Pek-sim-pang, maka ijinkanlah aku masuk dan menghadap Pek-sim Pangcu (Ketua)." Pek Eng mengerutkan alisnya. Orang ini benar tidak tahu diri. Mau apa minta bertemu dengan Ketua Pek-sim-pang? Ia tidak percaya bahwa ayahnya mengenal seorang pemuda seperti ini... tiba-tiba wajahnya berubah pucat dan ia bertanya dengan suara agak gemetar. "Kau... kau... siapakah namamu …..?" Hay Hay merasa terkejut juga melihat perubahan pada wajah dara cantik ini. Kalau tadi nampak galak dan lincah, kini nampaknya pucat dan suaranya gemetar. Dia merasa tidak tega untuk bermain-main, maka dengan suara sungguh-sungguh dia pun menjawab. "Namaku Hay, biasa dipanggil Hay Hay ……" Wajah itu nampak lega akan tetapi masih ragu-ragu. "Benarkah? Namamu bukan... Han Siong …..?" Hay Hay tersenyum lebar. "Aih, kalau namaku Han Siong, kenapa aku mengaku Hay Hay? Aku tidak mempermainkanmu, Nona, aku tidak berani. Namaku Hay Hay, dan aku ingin sekali bertemu dengan Ketua Pek-sim-pang…." "Apakah engkau mengenal Ayahku?" Kini Hay Hay terkejut bukan main. "Eh, jadi Nona... engkau adalah puteri Pek-sim-pang?” "Benar, sekarang jawab, apakah engkau mengenal Ayahku?" Hay Hay menggeleng kepala. "Kalau begitu pergilah dan jangan ganggu kami lagi. Pergilah sebelum ada orang Yi datang ke sini dan mengenalmu. Engkau tentu akan diseret!" "Tidak, Nona, aku harus menghadap Pangcu lebih dulu. Aku mempunyai keperluan yang teramat penting ….." Hay Hay mendesak. Pada saat itu, tujuh orang penjaga pintu gerbang murid-murid Pek-sim-pang, sudah keluar karena mereka tertarik oleh keributan antara nona mereka dengan seorang pemuda asing. "Pek-siocia, apakah yang terjadi?" "Siapakah dia ini?" Pek Eng menoleh kepada para penjaga itu. "Dia seorang pendatang yang kemarin telah membuat keributan di perkampungan orang Yi, dan sekarang minta bertemu dengan Ayah. Suruh dia pergi dan jangan mengganggu lebih lanjut." kata Pek Eng dan ia pun masuk ke dalam gardu penjagaan di pintu gerbang dengan sikap tidak peduli lagi. "Eh, sobat. Kalau engkau datang untuk minta pekerjaan, di sini tidak ada pekerjaan." kata komandan jaga kepada Hay Hay. Aku datang bukan ingin minta pekerjaan atau minta apa pun, aku datang untuk bertemu dengan Pek-sim Pangcu karena ada suatu hal yang amat penting bagiku untuk kutanyakan kepada Pangcu. Harap kalian suka menyampajkan hal ini kepada Pangcu agar aku dapat diterima menghadap." Karena tadi Pek Eng sudah memberi perintah agar pemuda ini diusir, maka para anggauta Pek-sim-pang itu bersikap keras. "Tidak bisa, Pangcu tidak boleh diganggu dan Siocia tadi sudah minta agar engkau pergi. Pergilah dan jangan ganggu kami." kata komandan jaga. Hay Hay mengerutkan alisnya dan melirik ke arah Pek Eng yang sudah duduk di bangku tempat jaga dengan sikap acuh. Dia menarik napas panjang lalu berkata seperti kepada diri sendlri. "Ribuan li jauhnya aku melakukan perjalanan dan mendengar bahwa Pek-sim-pang adalah perkumpulan orang-orang gagah. Akan tetapi melihat kenyataannya, lebih tepat kalau huruf Pek (Putih) di diganti dengan Hek (Hitam) saja!" "Ee-eeeh-eeehhh!" Tiba-tiba saja tubuh Pek Eng meluncur dari dalam gardu itu, bagaikan seekor burung terbang saja kini melayang dan tiba di depan Hay Hay, bertolak pinggang dan matanya terbelalak walaupun masih agak sipit mencorong penuh kemarahan, dan ia berdiri tegak, dada dibusungkan, kepala ditegakkan dan kedua tangannya bertolak pinggang, lalu tangan kirinya bergerak, telunjuknya yang agak melengkung bentuknya itu, kecil mungil, menunjuk ke arah hidung Hay Hay. "Apa kamu bilang tadi? Menghina kami, ya? Apa maksudmu mengatakan bahwa Pek-sim-pang harus diganti menjadi Hek-sim-pang (Perkumpulan Hati Hitam)?" Hay Hay juga sudah marah karena dia ditolak menghadap Ketua Pek-sim-pang. "Sikap kalian yang menyebabkan aku bermulut lancang, Nona. Nama perkumpulannya Pek-sim-pang, sepatutnya para anggautanya juga berhati putih. Hati putih berarti hatinya baik, akan tetapi melihat sikap kalian menerima kunjunganku sungguh jauh daripada baik dan lebih pantas kalau kalian menjadi anggauta Perkumpulan Hati Hitam saja." "Keparat bermulut kotor! Kau muncul dan merayu gadis orang, kemudian melarikan diri ketika akan dikawinkan, sudah terlalu bagus perbuatanmu itu, ya? Kamu sendiri jahat, hatimu lebih hitam daripada arang, masih berani memaki kami?" "Pukul saja mulut lancang itu, Pek-siocia!" kata komandan jaga yang marah sekali mendengar perkumpulannya dihina orang. Para murid Pek-sim-pang sudah menghampiri Hay Hay dengan sikap mengancam. Pada saat ini terdengar suara yang berat, "Omitohud... orang-orang Pek-sim-pang sekarang hanya menjadi tukang-tukang pukul yang suka mengeroyok orang!" Pek Eng dan para murid Pek-sim-pang terkejut dan cepat menengok. Kiranya di situ telah berdiri tiga orang pendeta Lama. Usia mereka antara enam puluh sampai enam puluh lima tahun, memakai jubah panjang berwarna kuning dengan garis-garis merah. Pek Eng dan para murid Pek-sim-pang sudah mendengar belaka akan riwayat perkumpulan mereka yang terpaksa lari mengungsi dari Tibet karena ulah para pendeta Lama ini. Apalagi Pek Eng. Sejak kecil ia mendengar tentang peristiwa yang menimpa keluarganya, gara-gara para pendeta Lama ingin merampas kakaknya yang mereka namakan Sin-tong. Maka, sejak kecil sudah tertanam perasaan tidak suka kepada para pendeta Lama. Kini di situ muncul tiga orang pendeta Lama, maka seketika ia dan para murid Pek-sim-pang tidak lagi memperhatikan Hay Hay yang dianggap tidak penting. "Apakah kalian bertiga ini pendeta-pendeta Lama dari Tibet?" tanya Pek Eng dengan sikap yang sama sekali tidak menghormat. Bukan wataknya demikian. Ia cukup terdidik baik dan biasanya ia bersikap sopan dan halus terhadap orang-orang tua, apalagi terhadap pendeta. Akan tetapi, karena memang ia sudah merasa sakit hati kepada pendeta-pendeta Lama, maka kini ia bersikap kasar ketika menduga bahwa tiga orang ini tentulah pendeta-pendeta Lama dari Tibet. "Omitohud, tidak keliru dugaanmu, Nona. Kami adalah tiga orang pendeta Lama dari Tibet. Kami ingin bertemu dengan Pek Kong atau ayahnya, Pek Ki Bu." kata seorang di antara mereka yang mukanya penuh bopeng dan matanya melotot lebar. "Aku adalah Pek Eng, puteri Ketua Pek-sim-pang. Tidak perlu bicara dengan Ayahku, kalau ada keperluan, cukup kalian bicara saja dengan aku. Mau apakah kalian datang ke tempat kami ini?" Hatinya makin kesal membayangkan betapa keluarganya bersama para anggauta Pek-sim-pang terpaksa melarikan diri karena ulah orang-orang ini. Tiga orang pendeta itu saling pandang, kemudian Si Muka Bopeng yang agaknya menjadi wakil pembicara mereka, berseru. "Omitohud...! Kiranya Nona adalah puteri Pek Kong? Jadi Nona adalah Adik Sin-tong... hemmm, baiklah, kami akan bicara denganmu, Nona. Sampaikan kepada Ayahmu bahwa kami datang untuk menagih hutang. Sudah dua puluh tahun kami menanti dengan sabar, kini Sin-tong telah menjadi dewasa, maka keluarga Pek harus menyerahkan Sin-tong kepada kami!" Tentu saja hati Pek Eng yang sudah sakit dan marah terhadap para pendeta Lama, kini menjadi semakin panas mendengar ucapan pendeta muka bopeng itu. Ia pun melangkah maju, membusungkan dadanya dan suaranya nyaring dan keras penuh kemarahan ketika ia membentak. "Kalian iblis-iblis neraka yang menyamar menjadi pendeta-pendeta, seperti harimau-harimau berkerudung bulu domba! KalIan inIlah manusia-manusia terkutuk yang telah membuat kakak kandungku semenjak lahir berpisah dengan keluarga kami. Masih belum puas kalian yang jahat ini mengacau keluarga kami sampai dua puluh tahun, kini datang lagi. Sungguh, manusia-manusia terkutuk macam kalian ini harus dibasmi!" Kini ada dua belas orang anak murid Pek-sim-pang yang berkumpul di situ dan mendengar kata-kata keras nona mereka, empat orang yang berada paling depan sudah menerjang pendeta Lama muka bopeng itu. "Pergilah!" pendeta Lama itu membentak sambil mengebutkan lengan bajunya ke depan, menyambut serangan empat orang itu. Empat orang itu seperti daun-daun kering dilanda angin keras, tubuh mereka terpelanting dan terbanting keras sampai bergulingan di atas tanah. Melihat ini, delapan orang murid Pek-sim-pang lainnya cepat mengikuti gerakan Pek Eng yang mengepung tiga orang pendeta Lama itu. Pek Eng sudah mencabut sebatang pedang, juga delapan orang itu mengambil senjata masing-masing. Empat orang murid yang tadi roboh ternyata tidak terluka berat dan mereka pun kini ikut mengepung. "Omitohud, kiranya Pek-sim-pang kini hanya menjadi Perkumpulan tukang pukul yang beraninya hanya main keroyokan saja!" kembali kakek pendeta bermuka bopeng itu berseru mengejek. Mendengar ini, Pek Eng lalu membentak para murid itu. "Kalian mundurlah dan jangan mengeroyok! Biarkan aku menghadapi anjing gundul muka bopeng ini!" Kemarahan Pek Eng sudah memuncak sehingga ia tidak ingat akan sopan santun lagi, kini terang-terangan ia memaki pendeta Lama itu sebagai anjing! Pendeta Lama termuda di antara mereka lalu maju, dan dengan bahasa Han yang lucu dan patah-patah dia berkata, "Omitohud, biarlah pinceng yang melayani Nona ini, Suheng." Kiranya pendeta ini sute dari Si Muka Bopeng. Dia seorang pendeta yang tubuhnya kurus sekali, seperti tulang-tulang dibungkus kulit saja, mukanya seperti tengkorak hidup, sepasang mata yang cekung itu nampak kehitaman, mengerikan sekali wajah pendeta Lama ini. Dia melangkah maju sambil mengebutkan jubah kuningnya. Si Muka Bopeng mengangguk dan mundur, berdiri di samping pendeta lainnya yang sejak tadi diam saja. "Huh, engkau ini anjing kurus kurang makan mau banyak menjual lagak? Menggelindinglah dari sini!" bentak Pek Eng yang marah dan gadis ini sudah melangkah maju dan mengirim tendangan yang cepat dan kuat dengan kaki kanannya. Tendangan itu cepat datangnya, mengarah pusar lawan, gerakannya seperti terputar dan ini merupakan tendangan khas dari ilmu silat keluarga Pek, yaitu ilmu silat yang mereka namakan Pek-sim-kun. "Hemm, gadis manis yang ganas!" terdengar pendeta kurus kering itu berseru perlahan, namun dengan miringkan tubuhnya, dia dapat mengelak dari sambaran kaki Pek Eng; tangannya menyambar untuk menangkap kaki yang menendang itu. Melihat ini, Hay Hay mengerutkan alisnya. Orang ini, biarpun memakai pakaian jubah pendeta, akan tetapi, mempunyai hati yang condong ke arah kecabulan dan kekurangajaran, pikirnya. Dia sendiri tidak akan tega, bahkan malu sendiri kalau menyerang dengan cara menangkap kaki lawan yang merupakan seorang gadis remaja! Akan tetapi, pedang di tangan Pek Eng berkelebat menyambut tangan pendeta Lama itu! Sang Pendeta menarik kembali tangannya, membuat langkah memutar sehingga tubuhnya berputar dan keetika membalik, dia sudah membalas dengan cengkeraman tangannya ke arah kepala Pek Eng. Sungguh merupakan serangan yang amat ganas dan juga berbahaya sekali! Begitu melihat gerakan-gerakan mereka, Hay Hay sudah maklum bahwa agaknya lawan gadis itu lebih unggul dan lebih berbahaya, maka diam-diam dia sudah siap siaga untuk membantu dan menyelamatkan kalau sampai gadis itu terancam bahaya. Tentu saja dia menaruh perhatian besar atas peristiwa ini, peristiwa yang dekat sekali hubungannya dengan dirinya. Masih teringat dia betapa ketika masih kecil dia menjadi rebutan orang-orang sakti, karena dia disangka Sin-tong. Kiranya sampai sekarang, para pendeta Lama di Tibet itu masih saja meributkan urusan Sin-tong dan masih merasa penasaran, berani datang menyerbu Pek-sim-pang untuk menuntut agar Sin-tong yang kini lelah dewasa itu diserahkan kepada mereka! Pek Eng dapat bergerak lincah. Ketika rnetihat sambaran tangan dengan lengan baju lebar itu ke arah kepalanya, ia cepat melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik, lalu memutar pedangnya dan membuat serangan lagi. Pedangnya yang diputaar-putar itu mendahului gerakan kakinya ke depan dan tiba-tiba pedang meluncur menjadi serangan tusukan ke arah dada pendeta Lama yang kurus kering. "Trakkk …..!” Pedang di tangan Pek Eng terpukul miring dan gadis itu harus mempertahankan pedangnya yang hampir saja terlepas dari tangannya saking keras dan kuat tangkisan pendeta itu. Dan kesempatan ini dipergunakan oleh Sang Pendeta untuk mencengkeram pundak Pek Eng dari samping. Namun, gadis itu memiliki gerakan lincah dan gesit sekali. Dalam keadaan berbahaya itu ia masih sempat melempar tubuh ke atas tanah, bergutingan menjauh dan melompat bangun lagi setelah terbebas dari ancaman lawan. Bukan main marahnya hati Pek Eng. Ia mengeluarkan suara melengking nyaring dan menyerang lagi. Hay Hay kini siap siaga. Gadis itu sudah nekat dan ini tandanya ia terancam bahaya. Ilmu silat gadis itu memang cukup baik, apalagi ia memiliki ginkang yang lumayan, yang membuat tubuhnya dapat bergerak dengan gesit sekali, akan tetapi dalam hal ilmu kepandaian silat, jelas ia masih kalah jauh dibandingkan pendeta kurus kering itu. Kalau ia nekat menyerang, ia dapat celaka. Terjangan Pek Eng disambut dengan senyum dingin oleh pendeta kurus kering. Beberapa kali ia mengelak dan mengebutkan lengan baju, melindungi diri sambil mencari kesempatan. Ketika tangkisan kebutan lengan bajunya kembali membuat tubuh gadis itu miring, kakinya menendang cepat. Pek Eng berusaha menarik kakinya dan miringkan tubuh namun tetap saja pahanya tersentuh ujung sepatu lawan dan ia pun terpelanting, lalu cepat bergulingan menjauhi. Ketika ia meloncat bangun, mukanya agak pucat, pakaiannya kotor dan kakinya agak terpincang. Akan tetapi agaknya ia tidak menjadi kapok bahkan kini ia memutar pedang di atas kepala untuk melakukan serangan lebih nekat lagi. Pada saat itu muncullah beberapa orang keluar dari pintu gerbang. "Eng-ji, tahan senjata '" terdengar bentakan orang dan Pek Eng terpaksa menghentikan gerakan pedangnya ketika mendengar suara ayahnya. Dengan muka merah saking marah dan penasaran, ia lalu berdiri dengan pedang masih di tangan. Pek Kong dan Pek Ki Bu telah berdiri di situ bersama Souw Bwee dan be-berapa murid Pek-sim-pang yang lebih tua. Melihat betapa Pek Eng berkelahi melawan seorang pendeta Lama, Ketua Pek-sim-pang dan ayahnya memandang kepada tiga orang pendeta Lama itu dengan alis berkerut. Mereka berdua mengenal tiga orang pendeta Lama itu sebagai tokoh-tokoh para Lama di Tibet, tokoh tingkat tiga yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Jangankan Pek Eng, walaupun Pek Kong sendiri bukan lawan mereka, dan Pek Ki Bu sendiri pun meragukan apakah dia akan mampu melawan seorang di antara mereka. "Omitohud... selamat bertemu, Pek-sim-pangcu!" kata pendeta Lama muka bopeng sambil menjura kepada Pek Ki Bu diturut oleh dua orang temannya. Pek Ki Bu balas menjura dan berkata, "Sam-wi keliru, bukan saya yang menjadi ketua sekarang, melainkan anak saya Pek Kong." "Aih, maaf... maaf... kiranya Pek-taihiap telah memperoleh banyak kemajuan dan menjadi Ketua Pek-sim-pang." kata pula pendeta muka bopeng. Pek Kong mengerutkan alisnya dan menjura ke arah tiga orang pendeta itu. "Harap maafkan kalau puteri kami yang masih terlalu muda itu berlancang tangan dan mulut terhadap Sam-wi Losuhu. Akan tetapi, kami Pek-sim-pang agaknya sudah tidak mempunyai urusan lagi dengan Cu-wi di Tibet, maka, apa maksud Sam-wi datang berkunjung ke tempat kami?" Kata-kata itu sopan dan merendah, namun mengandung teguran. Sejak tadi Hay Hay memandang penuh perhatian dan dia merasa kagum kepada keluarga Pek itu. Mereka adalah orang-orang gagah, pikirnya. "Perlukah Pangcu bertanya lagi? Sudah dua puluh tahun lebih kami bersabar dan kini terpaksa kami harus datang untuk menjemput Sin-tong yang kini tentu telah menjadi dewasa, untuk mengangkatnya dengan upacara kebesaran menjadi seorang pendeta Lama, calon Dalai Lama." Pek Kong mengerutkan alisnya dan dia mendongkol bukan main. "Pihak para Lama di Tibet sungguh terlalu mendesak orang!" dia berkata, nada suaranya jelas menunjukkan kemarahannya. "Sejak kecil putera kami itu hilang entah ke mana, hal ini semua orang juga mengetahui. Bahkan kami sebagai orang tuanya, merasa prihatin dan berduka karena kami tidak tahu dia berada di mana. Bagaimana sekarang Sam-wi datang-datang menuntut kami menyerahkan putera kami? Kami sedang berduka akan tetapi Sam-wi bahkan hendak menekan, sungguh suatu perbuatan yang tidak layak dan tidak mulia sama sekali." "Omitohud, semoga Sang Buddha mengampuni kita sekalian!" pendeta muka bopeng berseru, lalu dia tersenyum menyeringai. "Pangcu dapat saja membohongi orang lain, akan tetapi tidak mungkin membohongi para Dalai Lama yang arif bijaksana dan mengetahui segala sesuatu yang terjadi di permukaan bumi ini. Menurut ramalan dan penglihatan tajam beliau, kini Sin-tong telah menjadi dewasa. Selama ini, anak itu diberi nama Pek Han Siong, bukan? Dan dia mempelajan ilmu-ilmu dan kini telah menjadi seorang pemuda dewasa yang perkasa. Nah, kalau dia belum pulang ke sini, katakan saja dimana dia dan kami akan segera menjemputnya, Pangcu." . "Kami tidak tahu!" Tiba-tiba Souw Bwee, isteri Pek Kong menjawab dengan suara mengandung isak. "Andaikata kami tahu sekalipun, tidak akan kami beritahukan kepada kalian, pendeta-pendeta keparat!" Sakit sekali rasa hati ibu yang dipisahkan dari puteranya ini, merasa sakit hati yang dipendam selama ini sekarang meledak setelah melihat betapa tiga orang pendeta Lama itu mendesak. "Omitohud..., Toanio, tidak baik memaki kami para pendeta. Toanio akan dikutuk dan akan hidup dalam kesengsaraan ……" Pendeta muka bopeng menegur. “Tidak peduli!" Wanita yang sudah marah itu membentak. "Selama ini aku sudah hidup sengsara dlpisahkan dari puteraku oleh kalian pendeta-pendeta busuk. Sekarang aku malah ingin membunuh kalian!" Berkata demikian, nyonya itu sudah bergerak maju menyerang Si Muka Bopeng. Suaminya terkejut sekali, akan tetapi tidak keburu mencegah. “Plakk!" Si Muka Bopeng menggerakkan tangan dan lengan bajunya yang panjang lebar itu menyambar. Tubuh nyonya itu terhuyung ke belakang. "Ibu …..!" Pek Eng menubruk dan merangkul ibunya yang mukanya menjadi pucat. Pipi kanan ibunya membiru dan darah mengalir dari mulutnya. Ternyata ujung lengan baju itu menampar muka dan biarpun tidak mengakibatkan luka berbahaya, namun pipi wanita itu bengkak dan membiru. Melihat ini, Pek Kong tak dapat menahan kesabarannya lagi, demikian pula Pek Ki Bu. "Kalian sungguh tak tahu diri!" kata Pek Ki Bu sambil menerjang ke depan. "Tamu-tamu tak tahu aturan!" Pek Kong juga menerjang maju. Pek Kong disambut oleh pendeta muka bopeng, sedangkan Pek Ki Bu disambut oleh pendeta tinggi besar muka hitam yang agaknya merupakan pendeta tertua dan terlihai di antara mereka. Dess….!" Pukulan tangan Pek Ki Bu ditangkis dan disambut oleh pendeta muka hitam, mengakibatkan Pek Ki Bu terdorong ke belakang tiga langkah, sedangkan lawannya hanya mundur selangkah. "Dukkk!" Pukulan Pek Kong juga tertangkis oleh Si Muka Bopeng dan tangkisan ini membuat tubuh Pek Kong terhuyung. Dalam pertemuan segebrakan ini saja dapat dilihat bahwa baik Pek Kong maupun Pek Ki Bu, bukanlah lawan para pendeta yang amat lihai dan kokoh kuat itu. Akan tetapi kini anak buah Pek-sim-pang sudah keluar semua, jumlah mereka berpuluh-puluh dan mereka sudah memegang senjata semua, siap untuk mengepung dan mengeroyok. Pada saat itu, Hay Hay yang sejak tadi hanya menjadi penonton, merasa perlu untuk turun tangan. Bagaimanapun juga, dirinya terlibat secara langsung dalam urusan Sin-tong ini, maka dia pun melangkah lebar ke depan tiga orang pendeta itu dan dengan suara lantang dia berkata, "Sam-wi Losuhu jauh-jauh datang dari Tibet, apakah untuk menjemput Sin-tong? Nah, setelah Sin-tong berada di depan kalian, mengapa kalian tidak lekas menyambut dan memberi hormat?" Berkata demikian, dia berdiri tegak dengan dada terangkat dan sikapnya angkuh dan agung sekali. Semua orang terkejut. Pek Eng juga terkejut akan tetapi dara ini pun mendongkol bukan main, segera membisiki ayahnya yang berdiri di dekatnya, "Ayah, dia itu pemuda mata keranjang yang kurang ajar." Akan tetapi Pek Kong dan Pek Ki Bu memandang tajam penuh perhatian, bahkan Pek Kong mengangkat tangan memberi isyarat kepada anak buah atau murid-murid Pek-sim-pang agar tidak bergerak dan tidak menyerang sebelum ada aba-aba darinya. Semua orang kini memandang kepada Hay Hay dan tiga orang pendeta itu dengan hati tegang, apalagi mereka tadi mendengar pengakuan pemuda itu bahwa dia adalah Sin-tong, putera ketua mereka yang selalu ditunggu-tunggu kedatangannya. Juga tiga orang pendeta Lama itu terbelalak, mengamati Hay Hay dengan penuh perhatian, penuh selidik memandang pemuda itu dari kepala sampai ke kaki. Sementara itu, Pek Kong dan isterinya, Siauw Bwee, terbelalak menatap wajah Hay Hay, mengingat-ingat, apakah benar pemuda tampan yang kini berdiri dengan mulut tersenyum itu adalah Pek Han Siong, putera mereka. Demikian pula Pek K i Bu memandang dengan penuh keheranan, juga penuh harapan karena dia pun tidak dapat menentukan apakah benar pemuda ini adalah cucunya atau bukan. Hanya Pek Eng yang mendongkol, ingin dara ini memaki pemuda itu karena ialah yang tahu bahwa pemuda itu bukan Pek Han Siong, bukan kakaknya, melainkan seorang pemuda mata keranjang. Akan tetapi karena kemunculan pemuda ini agaknya hendak membantu dan berpihak kepada keluarganya, maka ia pun diam saja dan hanya memandang dengan heran mengapa pemuda itu berani menentang tiga orang pendeta Lama yang demikian lihainya. Bahkan mulai timbul keraguan. Siapa tahu pemuda itu memang benar kakaknya, Pek Han Siong, dan tadi tidak mau mengaku kepadanya hanya untuk mempermainkannya saja. Siapa tahu!. Tiga orang pendeta Lama itu kini berdiri bingung, kadang-kadang saling pandang dan pada wajah mereka terbayang ketegangan, harapan akan tetapi juga keraguan. Selama ini Sin-tong dilarikan keluarganya, disembunyikan dari para pendeta Lama. Mungkinkah kini Sin-tong muncul dan memperkenalkan diri begitu saja? Mereka adalah tokoh-tokoh Tibet, termasuk pimpinan para pendeta Lama tingkat tiga. Tentu saja selain memiliki ilmu kepandaian tinggi, juga tiga orang Pendeta Lama ini adalah orang-orang yang cerdik, tidak akan mudah menipu mereka. "Orang muda, jangan engkau main-main dengan kami! Kalau kau hendak menipu kami, dosamu besar sehingga kematian pun belum akan membebaskanmu daripada hukuman!" kata pendeta yang kurus pucat. "Omitohud ……!" Hay Hay berseru, menirukan lagak seorang pendeta. "Menipu adalah perbuatan yang tidak benar, aku sebagai Sin-tong mana mau melakukannya? Sejak terlahir aku disebut Sin-tong, diperebutkan sebagai Sin-tong, setelah kini menjadi dewasa dan mengaku bahwa akulah Sin-tong, Sam-wi Losuhu dari Tibet malah tidak percaya kepadaku! Sam-wi mengingkari Sin-tong, bukankah itu merupakan dosa yang amat besar pula?" Tiga orang pendeta Lama itu sating pandang dan kini sikap mereka menjadi agak berbeda, pandang mata mereka mulai menghormat walaupun masih ada keraguan. Nampaknya mereka mulai percaya bahwa pemuda di depan mereka itu mungkin sekali Sin-tong yang mereka cari-cari. "Dia bukan Sin-tong! Dia bukan putera kami!" tiba-tiba Souw Bwee berseru. Tentu saja seruan ini mengejutkan dan mengherankan hati Pek Kong dan Pek Ki Bu. Bagaimana wanita itu dapat memastikan bahwa pemuda itu bukan Pek Han Siong? "Memang Ibu benar! Dia bukan Kakak Pek Han Siong, dia seorang pemuda mata keranjang yang tidak tahu malu, berani memalsukan Kakakku!" teriak pula Pek Eng yang mengira ibunya mengenal betul bahwa pemuda itu bukan Pek Han Siong. Padahal teriakan Souw Bwee tadi sama sekali bukan karena ia tahu bahwa pemuda itu bukan puteranya. Ia sendiri ragu-ragu dan tentu saja tidak tahu benar, karena puteranya itu dipisahkan dari sampingnya semenjak masih bayi. Kalau ia tadi berteriak menyangkal justru terdorong oleh rasa khawatirnya. Kalau benar pemuda ini puteranya dan hal ini diketahui oleh tiga orang pendeta Lama yang lihai itu, tentu puteranya itu akan mereka bawa! Dan ia tidak mau kehilangan lagi puteranya yang baru saja pulang. Inilah sebabnya ia berteriak menyangkal agar tiga orang pendeta Lama itu percaya kepadanya dan tidak akan membawa pergi puteranya. Dan Pek Eng yang salah mengerti, kini bahkan membantunya dengan sangkalannya bahwa pemuda itu bukan kakaknya yang dicari-cari. Pek Kong dan Pek Ki Bu memandang dengan bingung, akan tetapi begitu bertemu pandang dengan isterinya, Pek Kong melihat betapa sinar mata isterinya itu mengandung kegelisahan dan ketakutan dan tahulah dia bahwa penyangkalan isterinya tadi hanya merupakan usaha untuk menyelamatkan pemuda itu! Maka dia sendiri pun merasa bingung dan tidak berkata apa-pa, hanya menanti untuk melihat perkembangan selanjutnya. Sementara itu, Hay Hay juga terkejut mendengar teriakan nyonya dan puterinya itu. Tak disangkanya mereka berteriak menyangkalnya. Dla berpura-pura menjadi Sin-tong untuk mengalihkan perhatian tiga orang pendeta yang lihai agar tidak lagi mendesak keluarga Pek, akan tetapi ternyata nyonya rumah bahkan menyangkalnya! Apakah mereka itu tidak tahu bahwa dia sengaja hendak membantu mereka? Ataukah keluarga Pek itu demikian tinggi hati sehingga tidak sudi menerima pertolongannya, walaupun jelas bahwa mereka terancam bahaya? Ataukah nyonya itu tidak ingin orang lain celaka karena keluarga mereka? Banyak sekali kemungkinan untuk menjawab dan mencari sebab ulah ibu dan anak itu, akan tetapi dia harus dapat meyakinkan tiga orang pendeta Lama itu bahwa dia benar-benar Sin-tong! Hemm, Sam-wi Losuhu adalah tokoh-tokoh pandai dari Tibet, mana mungkin dapat dibohongi? Mereka menyangkal diriku, tentu saja, karena tentu saja mereka tidak ingin melihat aku kalian bawa pergi dari sini!" Ucapan Hay Hay ini memang tepat sekali sehingga Nyonya Souw Bwee menahan jeritnya, mukanya menjadi pucat dan matanya terbelalak memandang kepada pemuda itu. Tiga orang pendeta Lama yang tadinya sudah merasa ragu-ragu mendengar teriakan Nyonya Souw Bwee dan Pek Eng yang menyangkal pemuda itu sebagai Sin-tong, kini saling pandang dan harapan baru memancar lagi dari wajah mereka ketika mereka memandang Hay Hay. Memang tepat sekali ucapan pemuda itu, pikir mereka. Kalau benar pemuda ini Sin-tong, tentu ibunya dan adiknya berusaha menyelamatkannya dan satu-satunya cara adalah menyangkalnya! "Omitohud ……!" Pendeta Lama bermuka bopeng berseru lalu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, kami bukanlah orang-orang bodoh yang mudah dipermainkan dan ditipu. Orang muda, kautanggalkanlah bajumu!" Keluarga Pek menjadi pucat. Mereka tahu bahwa Pek Han Siong yang dianggap Sin-tong oleh para pendeta Lama itu memang memiliki tanda tahi lalat merah di punggungnya sehingga kalau pemuda ini tidak memillki tanda itu, biar mengaku bagaimanapun juga akan nampak bohongnya. Akan tetapi di samping kekhawatirannya ini, juga mereka merasa tegang karena mereka pun ingin melihat siapa sebenarnya pemuda ini, Pek Han Siong ataukah bukan. Hay Hay tersenyum. Sebelum tuntutan ini diajukan, dia memang sudah menduganya. Sambil tersenyum dia berkata kepada Pek Eng. "Adik yang baik, jangan menuduh aku kurang ajar kalau aku melepas bajuku di depanmu, karena aku dipaksa oleh ketiga Locianpwe ini." Berkata demikian, Hay Hay lalu menanggalkan bajunya, membiarkan tubuhnya bagian atas telanjang. Nampak dadanya yang bidang dan tubuh,bagian atas yang tegap, dengan otot-otot yang menonjol kuat dan kulit yang putih halus, dada seorang pemuda yang sedang mekar dan kokoh kuat. Dia lalu membalikkan tubuhnya, membiarkan punggungnya nampak oleh mereka. Keluarga Pek dan tiga orang pendeta Lama ini memandang ke arah punggung dan dengan mudah menemukan tahi lalat merah yang cukup besar dl punggung itu! "Anakku……!" terlak Souw Bwee. "Koko ……!" Pek Eng juga berseru, akan tetapi ketika mereka hendak maju, keduanya dicegah oleh Pek Kong dan Pek Ki Bu. Keluarga itu lalu menonton saja, ingin tahu dengan hati tegang apa yang selanjutnya akan terjadi. Kiranya pemuda itu benar Pek Han Siong, piikir mereka dengan jantung berdebar. Tentu saja dugaan mereka itu keliru. Pemuda itu adalah Hay Hay, bukan Pek Han Siong. Tanda merah di punggungnya ltu hanyalah hasil muslihat Hay Hay saja. Sebelum tadi turun tangan, pemuda ini sudah berpikir panjang dan teringat bahwa satu-satunya tanda dari Sin-tong yang tak pernah muncul sejak bayi, hanyalah tahi lalat tanda merah di punggungnya, maka tadi diam-diam sebelum turun gelanggang, dia telah lebih dulu menutul kulit punggungnya dengan tinta merah. Dengan kecerdikannya, menggunakan kesempatan selagi orang ribut-ribut mengepung tiga orang pendeta Lama, dia menyelinap masuk ke dalam rumah dan berhasil mendapatkan tinta merah yang dicarinya. Maka, ketika dIa terjun ke dalam lapangan itu, di balik bajunya, di atas kulit punggungnya, telah terdapat tanda merah yang sengaja dibuatnya itu! "Sin-tong ……!” Tiga orang pendeta Lama itu terkecoh dan mereka bertiga cepat merangkapkan kedua tangan di depan dada dan memberi hormat kepada "Anak Ajaib" itu! "Pinceng bertiga mendapat kehormatan untuk menjemput Paduka dan mengiringkan Paduka menuju ke istana Paduka di Tibet." kata pendeta Lama bermuka bopeng dengan sikap hormat sekali, seperti sikap seorang menteri terhadap rajanya. Hampir saja Hay Hay tertawa karena gelinya. Sikap tiga orang Lama itu menggelitik hatinya. Demikian lucu seolah-olah dia sedang main sandiwara di atas panggung saja. Biarlah, dia akan bermain sandiwara sepuasnya, pikirnya. Bagaimanapun juga, dia telah berhasil memindahkan perhatian tiga orang pendeta Lama yang lihai itu dari keluarga Pek kepada dirinya. Tentu kini yang terpenting baglimereka hanyalah dirinya yang sudah dipercaya dan diterima sebagai Sin-tong! “Hemm, begini sajakah penerimaan para pendeta Lama terhadap diriku? Tahukah kalian siapa yang menjelma menjadi diriku sekarang ini?” tanyanya dengan sikap agung berwibawa. "Pinceng tahu... Paduka adalah calon Dalai Lama, penjelmaan Sang Buddha, omitohud ……!" kata pendeta Lama bermuka bopeng. "Nah, kalau kau sudah tahu, kenapa yang menyambutku hanya tiga orang pendeta Lama tingkat rendahan saja?" "Kami bertiga yang rendah adalah anggauta pimpinan tingkat tiga…..” kata pendeta Lama kurus pucat untuk memberi tahu bahwa tingkat mereka sudah terhitung tinggi. "Hemm, seharusnya Dalai Lama sendiri, atau setidaknya harus utusan yang berilmu tinggi. Akan tetapi karena kalian bertiga sudah tiba di sini, baiklah. Aku akan ikut kalian kalau saja kuanggap ilmu kepandalan kalian tinggi sehingga aku akan merasa cukup terhormat. Nah, kalian majulah. Ingin kulihat sampai di mana kelihaian kalian, apakah patut untuk menjadi orang-orang yang ditugaskan menjemput diriku." Tiga orang pendeta Lama itu saling pandang dan mereka kelihatan terkejut dan juga terheran-heran, lalu menjadi bingung sendiri. Selama mereka menjadi pendeta Lama, baru sekali inilah ada Sin-tong yang ketika dijemput hendak menguji dulu kepandaian para penjemputnya! Biasanya, yang sudah-sudah, seorang Sin-tong hanya pandai menghafal isi kitab-kitab suci, merupakan seorang setengah dewa yang lemah-lembut dan sama sekali tidak pernah mempergunakan kekerasan. Akan tetapi, Sin-tong yang ini menantang mereka untuk menguji kepandalan silat! Padahal tingkat mereka dalam ilmu silat sudah amat tinggi. Keluarga Pek yang merupakan orang-orang gagah terkenal dari Pek-sim-pang saja bukan tandingan mereka, apalagi pemuda ini yang kelihatan begitu lemah! "Hayo mulai, kenapa kalian diam saja?" Hay Hay mendesak. Keluarga Pek dan juga para anggauta Pek-sim-pang memandang dengan muka pucat dan jantung berdebar. Betapa beraninya pemuda itu, menantang tiga orang pendeta Lama yang demikian lihainya sehingga Ketua Pek-sim-pang dan ayahnya saja bukan tandingan mereka! "Kami... mana kami berani?" Akhirnya pendeta bermuka bopeng mewakili dua orang temannya menjawab. Hay Hay mengerutkan alisnya, pura-pura marah. “Kalau katian tidak memenuhi permintaanku, berarti kalian memandang rendah kepadaku dan selain aku tidak akan sudi ikut ke Tibet, juga kelak aku akan melapor kepada Dalai Lama bahwa kalian bertiga telah menghina diriku!" Terkejutlah tiga orang pendeta Lama itu. Mereka saling pandang, lalu berbisik-bisik dan mengadakan perundingan di antara mereka sendiri dalam bahasa Tibet. Akhirnya, Si Pendeta Kurus Pucat yang melangkah maju dan menjura dengan hormat kepada Hay Hay. "Biarlah pinceng mewakili teman-teman untuk menerima perintah Sin-tong dan siap untuk diuji kepandaian pinceng." katanya dengan sikap hormat. Melihat ini. diam-diam Hay Hay tersenyum. Tiga orang pendeta Lama ini ternyata memandang rendah kepadanya. Dari gerakan-gerakan mereka tadi ketika berkelahi dalam beberapa gebrakan melawan orang-orang Pek-sim-pang, dia dapat menilai bahwa di antara mereka bertiga, Si Kurus Pucat ini yang paling rendah ilmunya, sedangkan yang tinggi besar muka hitam itu yang paling lihai. "Baik, majulah. Akan tetapi kalau engkau kalah, dua yang lain harus kuuji pula kepandaiannya. Kalau aku tidak mampu mengalahkanmu, berarti tingkat kepandaian kalian bertiga sudah cukup tinggi." kata Hay Hay dan dengan sikap sembarangan saja dia lalu membuat kuda-kuda. Melihat betapa pemuda itu membuat kuda-kuda dengan kedua kaki berdiri tegak, lututnya bengkak-bengkok seperti orang yang tidak bertenaga, pinggangnya juga menggeliat-geliat ke sana-sini seperti orang habis bangun tidur, matanya melirik-lirik ke sana-sini, terutama ke arah Pek Eng, kedua tangannya juga tergantung agak ke belakang, sungguh sikap ini sama sekali tidak meyakinkan! Bukan sikap atau kuda-kuda seorang ahli silat yang tangguh. Diam-diam keluarga Pek merasa kecewa dan gelisah, sedangkan pendeta kurus pucat itu bersama kawan-kawannya merasa geli. Sin-tong yang ini tidak becus ilmu silat akan tetapi hendak menyombongkan diri, pikir mereka. Akan tetapi karena pemuda itu Sin-tong, tentu saja mereka tidak berani mentertawakan, juga Si Kurus Pucat tidak akan berani menjatuhkan tangan besi melukai, apalagi membunuh Sin-tong! Hanya saja, melihat gaya Sin-tong yang lemah ini, hatinya merasa lega. Dari Dalai Lama dia mendengar bahwa Sin-tong telah menjadi seorang pemuda dewasa yang berilmu tinggi, akan tetapi melihat sikap tidak meyakinkan itu, dia tahu bahwa dengan mudah dIa akan mampu mengalahkan pemuda ini. Dia hanya akan mengelak dan menangkis sajaa, membuat pemuda itu kehabisan tenaga dan napas agar menyerah dengan sendirinya, tanpa membalas serangan dan tanpa memukul atau menendang! "Hayo seranglah!" kata Hay Hay. “Pinceng tidak berani, harap Paduka Yang Mulia menyerang." jawab kakek pendeta kurus pucat itu. “Rewel benar kau! Kalau tidak mau menyerang, mana aku tahu sampai di mana kelihaianmu?” Pek Eng memandang dengan alis berkerut. Benarkah pemuda tolol ini kakak kandungnya? Kenapa begitu tolol, apakah tidak melihat bahwa pendeta kurus pucat itu lihai bukan main? Sungguh mencari penyakit saja, pikirnya tak puas. Hatinya kecewa, tidak puas memiliki seorang kakak kandung seperti itu, sombong dan brengsek! “Baiklah, pinceng menyerang, harap disambut!” kata pendeta kurus pucat dan dia pun menyerang. Akan tetapi itu sama sekali tidak dapat dinamakan serangan, karena tangan kirinya bergerak perlahan, seperti hendak mengusap pundak kanan Hay Hay saja. Gerakannya juga lambat dan tidak mengandung tenaga. Hay Hay dengan gerakan kaku mundur untuk mengelak, mulutnya mengomel panjang pendek. "Wah, kalau pukulanmu hanya seperti itu, untuk memukul tahu pun tidak akan pecah. Mana bisa dibilang lihai?" Pendeta Lama itu maklum bahwa gerakannya terlalu lambat dan lemah, maka agar tidak kentara bahwa dia mengalah, dia maju lagi dan menyerang lagi, kini agak lebih cepat dan lebih kuat, maksudnya pun hanya mengelus ke arah pundak kiri pemuda itu, sambil menanti pemuda itu membalas serangannya. Akan tetapi kembali dengan gerakan kaku Hay Hay mengelak, kini mengelak ke samping dan masih mengomel. "Hanya sebegini? Tidak ada mutunya sama sekali. Ilmu silat apa sih ini?" Dia mengejek dan mencela. Muka yang pucat itu kini berubah agak merah, apalagi ketika pendeta itu mendengar suara ketawa di sana-sini, suara ketawa para anggauta Pek-sim-pang yang merasa betapa lucunya pertunjukan itu. "Pinceng akan menyerang lagi lebih cepat, harap siap siaga!” Dia membentak lalu kini menubruk dengan lebih cepat dan bertenaga. Maksudnya untuk menangkap dan memeluk Sin-tong agar tidak dapat bergerak meronta lagi dan langsung membawanya lari ke Tibet. "Wuuuttt... brukkk …….!" Hampir saja pendeta itu berteriak kaget karena yang ditubruknya hanya angin belaka! Tubrukannya luput! Betapa mungkin ini? Dia tadi menggunakan kecepatan dan tenaga sinkang, akan tetapi tanpa diketahuinya bagaimana caranya, tahu-tahu tubrukannya mengenai tempat kosong dan pemuda itu entah pergi ke mana. "Heii, muka pucat. Engkau sedang apa-apaan di situ? Jangan main-main, aku minta engkau menggunakan ilmu silat mengalahkan aku, bukan untuk main-main seperti orang mencari kodok saja. Apakah engkau biasa menangkap dan makan daging kodok?" Kini lebih banyak lagi terdengar suara ketawa dan keluarga Pek memandang dengan terheran-heran. Tadinya mereka merasa kecewa dan tidak puas melihat sikap ketololan dari pemuda yang mereka sangka Pek Han Siong itu. Mereka tahu bahwa pendeta kurus pucat itu mengalah dan tidak berani menggunakan kekerasan. Pemuda itu yang mereka anggap tidak tahu diri. Akan tetapi tubrukan tadi cukup cepat, dan mereka melihat betapa pemuda itu hanya memutar kakinya seperti gasing dan tahu-tahu sudah berada di luar tubrukan dan tubrukan itu pun mengenai tempat kosong sedangkan pemuda itu tahu-tahu dengan terhuyung-huyung, telah berada di belakang Si Pendeta dan menegurnya dengan kata-kata mengejek. Seperti juga pendeta kurus pucat itu, para keluarga Pek juga mengira bahwa keberhasilan pemuda itu menghindarkan diri dari tubrukan hanyalah kebetulan saja. "Hayo pukullah aku, seranglah dan jangan main.main. Apa engkau ingin aku menjadi marah dan memukulmu sampai babak belur?' Mendengar ucapan keras pemuda ini, kembali memancing suara ketawa geli di sana-sini. Pemuda yang agaknya sama sekali tidak pandai ilmu silat itu kini malah mengancam hendak memukul si pendeta lihai sampai babak belur! "Baik, dan Paduka sambutlah!" kata Si Pendeta Kurus Pucat. Kini dia harus berhasil, pikirnya. Dia mengerahkan sinkang dan dengan cepat sekali pukulan tangannya yang dikepal sudah meluncur ke arah perut Hay Hay. Semua orang terkejut. Pukulan itu cepat dan dahsyat, kalau mengenai perut pemuda yang tidak pandai silat itu tentu akan mengakibatkan isi perutnya berantakan dan Sin-tong pasti tewas! Wajah Pek Kong, Souw Bwee, Pek Ki Bu dan Pek Eng sudah menjadi pucat sekali, bahkan Souw Bwee memejamkan mata, tidak tega melihat puteranya terpukul mati. Dan semua orang melihat betapa pemuda yang tidak pandai silat itu agaknya tidak tahu akan datangnya pukulan, buktinya dia masih menyeringai dan tidak bergerak untuk mengelak atau menangkis! Pendeta kurus pucat itu memang sudah menduga bahwa Sin-tong pasti tidak akan mampu mengelak, maka dengan kepandaiannya yang tinggi dia sudah dapat menguasai gerakannya sepenuhnya, maka begitu kepalan tangannya mendekati perut lawan, dia sudah dapat menahan dan mengeremnya sehingga kepalan itu hanya menyentuh kulit perut perlahan saja, tanpa ada angin pukulan tenaga sinkang. “Plekk!” kepalan itu hanya menempel lirih saja, lembut dan tidak mendatangkan rasa nyeri sama sekali. Hay Hay tersenyum mengejek. "Ha-ha, begitu saja pukulanmu! Wah, lebih lunak daripada tahu! Mana bisa dibilang lihai kalau pukulannya hanya seperti ini?” "Sin-tong, pinceng tidak berani memukul sungguh-sungguh. Paduka tidak akan kuat menerima pukulan pinceng!” kata Si Kurus Pucat yang menjadi mendongkol juga karena semua orang tersenyum, ada pula yang tertawa mendengar ejekan Hay Hay tadi. Mereka semua tidak suka kepada para Lama yang menyebabkan Pek-sim-pang harus pergi mengungsi, apalagi kini tiga orang Lama datang untuk membawa pergi putera ketua mereka. Maka, melihat betapa pendeta Lama yang kurus pucat itu dipermainkan, mereka merasa gembira juga "Apa ……..? Aku tidak tahan menerima pukulanmu? Ha-ha-ha, jangan bergurau! Pukulanmu tidak akan menghancurkan sepotong tahu, apalagi perutku!" Hay Hay tidak, menyombong. Tadi pun sudah melindungi perutnya dengan sin-kang yang terkuat, untuk menjaga diri Andalkata tadi Si Pendeta Lama memukulnya benar-benar, tetap saja dia tidak akan terluka! "Sebaiknya kalau Paduka saja yang memukul pinceng dan pinceng akan menjaga diri. Kalau sampai pinceng dapat terpukul roboh satu kali saja, biarlah pinceng mengaku kalah." kata pula hwesio kurus pucat dengan sikap serba salah. Diam-diam dia mendongkol bukan main karena ucapan-ucapan yang mengejek itu, yang membuat dia menjadi bahan tertawaan orang banyak. Memukul sungguh-sungguh, tentu saja dia tidak berani melukai Sin-tong, tidak sungguh-sungguh, dia dijadikan bahan ejekan dan tertawaan. "Benarkah? Saudara-saudara semua mendengar sendiri bahwa kalau aku mampu memukul dia roboh satu kali saja, dia akan mengaku kalah. Harap Saudara seka1ian menjadi saksi!" kata Hay Hay sambil memutar tubuh ke empat penjuru. Para anggauta Pek-sim-pang sudah menjadi semakin gembira. "Kami menjadi saksi!" terdengar; teriakan di sana-sini. "Nah, puluhan orang menjadi saksi agar engkau nanti tidak melanggar janjimu sendiri. Bersiaplah, aku akan segera menyerang!" kata Hay Hay. Kini pendeta itu bersiap siaga, memasang kuda-kuda yang kokoh kuat, sedangkan para keluarga Pek menonton dengan hati tegang dan penuh perhatian. Kini mereka ingin melihat bagaimana sebenarnya kepandaian pemuda itu karena sejak tadi, pemuda itu belum pernah memperlihatkan satu kali pun gerakan ilmu silat. Sekarang, karena dia hendak menyerang, tentu dia akan menggunakan jurus-jurus silat dan mereka ingin mengenal aliran silat apa yang dimiliki pemuda itu. “Pinceng sudah siap!" kata hwesio Lama yang kurus pucat itu. "Awas, aku menyerang, sambutlah!" Hay Hay membentak, suaranya nyaring dan semua orang menduga akan terjadi serangan yang dahsyat. Akan tetapi mereka semua kecewa. Pemuda itu menyerang dengan gerakan liar dan semrangan saja, bukan seperti orang bersilat, melainkan seperti anak kecil berkelahi di tepi jalan, asal memukul saja tanpa pememilih sasaran. Kepalan kedua tangannya diayun dan dipukulkan bergantian ke arah tubuh pendeta Lama itu. Melihat datangnya pukulan yang lamban dan tanpa tenaga sinkang ini, pendeta Lama itu tersenyum dan dengan mudahnya mengelak ke belakang. "Mau lari ke mana kau?” Hay Hay berseru, lagaknya seperti orang yang mendesak lawannya, mengejar dengan pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan ngawur. Setiap kali pukulan atau tendangan dielakkan oleh pendeta lama itu, tubuh pemuda itu terhuyung, bahkan hampir saja jatuh tertelungkup ke depan. Semua orang kecewa, terutama sekali Pek Eng. "Tolol yang tak tahu malu!” gadis itu membentak, cukup keras karena hatinya kecewa, bahkan marah sekali melihat pemuda yang mengaku sebagai Sin-tong ini. Memalukan sekali mempunyai seorang kakak kandung seperti itu, pikirnya gemas. Hay Hay mendengar celaan ini, dan tiba-tiba dia menghentikan serangannya, menoleh kepada Pek Eng sambil menyeringai. "Memang dia ini tolol sekali, bukan, Adik yang manis? Seorang pendeta Lama yang tolol memang, engkau benar sekali dan karena ketololannya, dia akan kubikin roboh sekarang!" Kalau saja tidak ingat bahwa pemuda itu kemungkinan besar adalah kakak kandungnya, dan karena di situ terdapat banyak orang, tentu Pek Eng akan memaki dan mencela terang-terangan pemuda itu. Ia mendongkol bukan main, dan terpaksa menelan kegemasan hatinya ketika pemuda itu sudah membalik lagi danmenghadapi pendeta Lama yang kurus itu. "Nah, sekarang kau robohlah!" Hay Hay membentak dan bentakannya yang penuh keyakinan ini memancing suara ketawa dari banyak orang. Kini Hay Hay yang menjadi bahan tertawaan karena pemuda itu tampak demikian tolol. Jelas bahwa pemuda itu tidak becus apa-apa, bersilat sejurus pun tidak becus, akan tetapi lagaknya demikian hebat, memastikan bahwa pendeta Lama yang lihai itu roboh! Diiringi suara ketawa riuh rendah, kini Hay Hay meloncat. Gerakannya bukan gerakan silat, melainkan gerakan katak melompat ke depan, ke arah lawannya, dengan kedua kaki dan tangan bergerak-gerak di udara ketika meloncat, seperti seorang anak kecil mencoba untuk melompati sebuah got. Kedua tangannya dengan jari-jari terbuka menusuk ke arah muka pendeta itu, dan kedua kakinya bergerak ke depan dengan liar dan ngawur. Semua orang semakin geli melihat loncatan katak itu dan suara ketawa makin riuh. Tiba-tiba saja suara ketawa itu terhenti dan tubuh pendeta Lama itu jatuh berlutut! Seperti seekor jengkerik mengerik kini terpijak, suara ketawa itu seperti dicekik dan semua orang memandang dengan mata terbelalak, tidak percaya akan apa yang disaksikannya. Lebih terkejut dan terheran lagi adalah pendeta lama kurus pucat itu. Tadi ketika pemuda itu membuat loncatan katak, tentu saja dia menjadi geli dan memandang rendah. Ketika kedua tangan pemuda itu menusuk dengan jari-jarinya ke arah kedua matanya, barulah dia agak terkejut dan cepat dia miringkan kepala untuk menghindarkan diri dari tusukan jari-jari tangan yang meluncur dengan cepat sekali itu. Saking cepatnya tusukan jari-jari itu ke arah matanya, pendeta Lama ini terkejut dan hanya memperhatikan serangan ke arah matanya itu. Tiba-tiba, kedua lututnya dicium ujung sepatu kedua kaki Hay Hay dan karena yang tertotok ujung sepatu itu adalah sambungan lutut, maka seketika tubuh pendeta itu tak dapat bertahan untuk berdiri lagi. Kedua lututnya seketika lemas dan lumpuh dan dia pun jatuh berlutut! "Nah, engkau sudah roboh, berarti engkau sudah kalah!" Hay Hay berkata sambil tersenyum-senyum memandang ke empat penjuru. Barulah kini suara sorak sorai dan tepuk tangan meledak. Semua orang bergembira melihat betapa tanpa disangka-sangka, pemuda itu telah berhasil mengalahkan seorang di antara tiga pendeta Lama yang lihai itu. Walaupun mereka sendiri tidak tahu bagaimana mungkin pendeta itu roboh berlutut, dan walaupun sebagian besar di antara mereka, juga keluarga Pek, menyangka bahwa kejadian itu hanyalah kebetulan saja, namun mereka semua gembira bahwa seorang di antara para Lama itu telah roboh dan kalah! Kalau saja yang dihadapinya bukan Sin-tong, pendeta Lama itu tentu akan marah dan mengamuk, menyerang pemuda itu. Akan tetapi yang dihadapinya adalah Sin-tong, dan peristiwa tadi kalau diingat membuat bulu tengkuknya meremang. Tentu para dewa melindungi Sin-tong, pikirnya. Kalau tidak begitu, bagaimana mungkin dia sendiri roboh hanya oleh tendangan-tendangan yang tidak berarti, yang secara kebetulan sekali mengenai sambungan kedua lututnya? Para Dewa yang agaknya menuntun gerakan-gerakan kacau dan ngawur itu dan menghadapi kekuasaan para dewa, tentu saja dia kalah! Maka dia pun bangkit berdiri, merangkap kedua tangan depan dada dan berkata dengan suara merendah. "Pinceng mengaku kalah dan terima kasih atas petunjuk Sin-tong." "Ha-ha, bagus, engkau tahu diri juga. Nah, siapa orang kedua yang akan mencoba ilmu silatnya!" kata Hay Hay sengaja berlagak dan senyumnya melebar ketika dia mengerling dan melihat betapa Pek Eng merengut dan mengerutkan alisnya. Kemenangannya tadi agaknya membuat gadis itu tidak merasa puas dan hal ini menambah kegembiraan di hati Hay Hay. Memang dia ingin mempermainkan tiga orang pendeta Lama ini, juga ingin menggoda semua orang, terutama gadis manis berlesung pipit yang amat menarik hatinya itu. Diam-diam dua orang pendeta Lama lainnya mengerutkan alis dan menyesal atas kesembronoan teman mereka. Mereka berdua merasa yakin bahwa tidak mungkin teman mereka itu kalah dan dirobohkankan oleh Sin-tong, melihat betapa Sin-tong tidak pandai ilmu silat. Walaupun tendangan mengenai kedua lutut itu luar biasa dan aneh sekali, akan tetapi mereka yakin bahwa hal itu tentu terjadi hanya karena suatu kebetulan yang sial belaka. Kini pendeta bermuka bopeng yang melangkah maju dan menjura kepada Hay Hay. "Biarlah pinceng yang mohon petunjuk Sin-tong. Pinceng akan mengeluarkan semua kebodohan pinceng untuk menyerang Paduka dan mencoba untuk merobohkan Paduka seperti yang Paduka lakukan terhadap teman pinceng tadi." Diam-diam Hay Hay memandang tajam penuh perhatian. Pendeta bermuka buruk ini kelihatan cerdik sekali, dan dia tahu bahwa tentu kata-katanya bukan sekedar basa-basi, melainkan merupakan ancaman yang akan dipenuhi. Tentu pendeta ini akan benar-benar berusaha untuk merobohkan dia tanpa mendatangkan luka berat, dan hal itu tidaklah sukar bagi seorang yang memlliki ilmu kepandaian tinggi. Maka dia harus berlaku hati-hati terhadap orang ini, pikirnya. "Ha-ha, bagus sekali engkau mengakui kebodohanmu sehingga nanti kalau engkau gagal merobohkan aku, kebodohanmu tidak akan bertambah. Biar sampai seratus jurus, aku yakin engkau tidak akan mampu merobohkan aku." Pek Eng dan ayah ibunya, juga kakeknya, mengerutkan alisnya. Pemuda itu sungguh luar biasa beraninya. Menentang dan mengadu kepandaian dengan pendeta-pendeta lihai itu saja sudah amat berat dan sudah berani sekali. Akan tetapi pemuda ini masih demikian beraninya untuk membual bahwa dia sanggup melayani sampai seratus jurus! Hal ini pun terasa oleh pendeta muka bopeng. Hemm, pikirnya dengan gemas, belum sepuluh jurus saja tentu engkau akan roboh. Apalagi kalau dia menghadapi pemuda ini sebagai musuh, bukan sebagai Sin-tong, mungkin sejurus saja dia akan mampu merobohkan dan membunuhnya! "Mungkin saja Paduka jauh lebih pandai daripada pinceng. Nah, harap Paduka siap. Pinceng mulai menyerang!" Berkata demikian, pendeta bermuka buruk itu sudah mengembangkan kedua lengannya, kemudian menggerakkan kaki tangannya menyerang ke arah Hay Hay. Serangannya itu merupakan tamparan dari kanan kiri susul-menyusul, dan ketika tangan pendeta itu menyambar, terdengar suara bersiutan dan terasa oleh Hay Hay ada hawa panas sekali menyambar ke arah tubuhnya! Dia terkejut. Kiranya pendeta ini mengeluarkan kepandaiannya dan rnenyerang sungguh-sungguh dengan pengerahan tenaga sinkang! Memang inilah maksud pendeta itu, merobohkan Hay Hay, kalau mungkin melalui angin, dan hawa pukulan saja, mengandalkan sin-kangnya! "Siuuuuttt…. Siuutttt……!” Dua tamparan dengan kedua tangan menyambar dari kanan kiri, atas bawah. "Haiiittt…… ouuuuttt…… lupuuutttt…..!” Hay Hay sudah mengelak ke belakang, gerakannya kaku dan lucu, namun kenyataannya, dua tamparan itu memang tidak mengenai sasaran! Biarpun kaku, namun tubuh pemuda itu nampak sedemikian ringannya, seolah-olah tubuh itu berubah menjadi kapas yang dapat menjauh dan mengelak sendiri tertiup angin pukulan! Akan tetapi kakek pendeta itu mendesak terus dengan tamparan-tamparan yang lebih cepat, lebih kuat dan lebih panas lagi hawanya. Menghadapi desakan ini, tiba-tiba Hay Hay nampak terhuyung-huyung, kakinya bergeser ke sanasini dan mulutnya nyerocos, "Hooshhhh... heshhhh... luput lagi ….!" Dan memang benar, pukulan atau tamparan beruntun itu tidak mengenai sasaran, selalu lewat saja di kanan kiri tubuh Hay Hay, seolah-olah kakek itu yang pikun dan bodoh, tidak mampu memukul sasaran dan selalu pukulannya menyeleweng ke samping! Namun kakek pendeta itu terus mendesak dengan pukulan-pukulan,. tamparan, totokan bahkan mulai melakukan tendangan-tendangan. Memang hebat sekali ilmu silat pendeta ini, tubuhnya bahkan mulai sukar diikuti pandang mata saking cepatnya dia bergerak. Mula-mula maslh terdengar suara ketawa disana-sini karena memang lucu sekali gerakan Hay Hay yang megal-megol, loncat sana-sini, kadang-kadang membungkuk, kadang-kadang hampir rebah, menungging, berjongkok, dan lain gerakan aneh dan lucu lagi. Akan tetapi kini semua orang mulai merasa tegang dan kagum. Betapa pun aneh gerakan pemuda itu kenyataannya, semua serangan pendeta itu luput! "Manusla tolol …..!" Pek Eng mencela, akan tetapi tiba-tiba tangannya dipegang oleh ayahnya yang berdiri di sampingnya. "Anak bodoh, 1ihat baik-baik …..!" bisik ayahnya dan ketua Pek-sim-pang ini, seperti juga Kakek Pek Ki Bu, menonton dengan wajah tegang dan pandang mata penuh kagum. Penglihatan di situ memang aneh. Seorang pendeta Lama, dengan jubah dan mantel lebar berkibar-kibar, gerakannya cepat sehingga sukar mengikuti bentuk tubuhnya dengan mata, menghujankan serangan-serangan yang mendatangkan angin pukulan dahsyat, sedangkan pemuda yang diserangnya itu selalu dapat mengelak dengan gerakan yang aneh bukan main. Namun karena kini diserang dan didesak hebat, terpaksa Hay Hay tak berani main-main lagi. Biarpun gerakan-gerakannya masih dibuat-buat sehingga nampak aneh dan konyol, namun kedua kakinya kini mulai melakukan gerakan ilmu kesaktian yang dipelajarinya dari See-thian Lama yang dahulu berjuluk Go-bi San-jin, seorang di antara Delapan Dewa. Gerakan ini adalah Jiauw- pouw- poan- soan, yaitu langkah-langkah berputaran yang amat aneh karena langkah-langkah ini dapat menghindarkan dirinya dari serangan-serangan berbahaya. Tubuhnya juga mulai sukar diikuti gerakannya saking cepatnya dan mulailah para penonton memandang kagum, dan dapat menduga bahwa bukan karena nasib baik atau kebetulan saja pemuda itu tadi mempermainkan Lama pertama dan merobohkannya, melainkan karena memang pemuda itu lihai sekali! Pendeta Lama bermuka bopeng juga terkejut ketika melihat gerakan langkah-langkah ajaib itu. Biarpun dia sendiri tidak menguasai ilmu itu, namun pernah dia mendengar tentang langkah-langkah ajaib yang mengandung garis-garis pat-kwa yang amat luar biasa. Akan tetapi hanya tokoh-tokoh besar yang memiliki tingkat tinggi saja yang kabarnya mampu menguasai langkah-langkah ajaib seperti itu. Mungkinkah seorang pemuda seperti ini sudah mampu menguasainya? Dia teringat bahwa pemuda ini adalah Sin-tong, bukan pemuda sembarangan. Tentu saja mungkin bagi Sin-tong untuk menguasai ilmu apa saja! “Hesshhh... hosshhh... tidak kena! Heii, sudah berapa ratus jurus seranganmu ini? Wahhh, panasnya... gerah sekali, dan keringatrnu mengeluarkan bau amat busuk! Tak tahan aku ….!” kata Hay Hay dan tiba-tiba saja tubuhnya sudah menjauh. Karena sejak tadi dia memainkan ilmu langkah ajaib Jiauw-pouw-poan-soan sedangkan lawannya menyerangnya dengan cepat, maka dia pun telah mengeluarkan banyak tenaga dan tubuh bagian atas yang tidak berbaju itu kini basah oleh keringat. Tiba-tiba terdengar teriakan pendeta Lama yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam, orang terlihai di antara tiga pendeta itu, “Lihat, dia bukan Sin-tong! Tanda merah itu luntur oleh keringatnya!” Semua orang kjnj dapat melihat dengan jelas, “tahi lalat” merah yang berada di punggung Hay Hay itu kini luntur karena keringatnya membasahi tanda yang dibuat dari tinta merah itu! Melihat ini, pendeta kurus pucat menjadi marah sekali. Dia kini tahu bahwa pemuda itu bukan Sin-tong, melainkan seorang pemuda yang memalsukan nama Sin-tong dan tadi telah mempermainkannya. "Manusia jahat!" bentakan ini disusul oleh serangannya yang hebat. Pendeta lama ini agaknya sudah marah sekali dan serangannya merupakan serangan maut. Dia menyerang dengan kedua ujung lengan bajunya yang menyambar bagaikan sepasang senjata yang ampuh melakukan totokan-totokan ke arah jalan darah di bagian depan. Bertubi-tubi kedua ujung lengan baju itu menotok ke arah tujuh titik jalan darah yang dapat mendatangkan maut apabila tepat mengenai sasaran! "Celaka ….!" Pek Ki Bu berseru kaget karena melihat betapa hebatnya serangan pendeta lama yang kurus pucat itu. Sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi dia mengenal serangan maut yang amat ampuh dan berbahaya sekali. Namun, dengan gerakan lincah sekali Hay Hay sudah mengelak ke sana-sini dan masih mempergunakan langkah-langkah ajaibnya. Kini dia pun tidak mau main-main lagi, menghadapi serangan yang sungguh-sungguh itu dia pun lalu mengeluarkan kepandaiannya. Dengan sebuah jurus pilihan dari nmu Silat Ciu-sian Cap-pik-ciang (Delapan Belas Pukulan Dewa Arak) dia membalas, tangan kanan mencengkeram ke depan dan ketika lawan mengelak ke kiri, tangan kirinya memapaki dengan tamparan. “Plakkk……. !” Tubuh kakek Lama yang kurus itu terpelanting! Masih untung bahwa pemuda itu tidak mempergunakan tenaga sepenuhnya sehingga ketika pundaknya kena ditampar, tulangnya tidak sampai patah-patah, hanya tubuhnya yang terpelanting dan terbanting ke atas tanah! Semua orang terkejut dan Pek Eng memandang dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. Gerakan pemuda itu kini nampak demikian indah dan gagah, tidak ketolol-tololan seperti tadi. Dan dalam segebrakan saja pemuda itu mampu merobohkan pendeta Lama muka pucat yang demikian lihainya! Hati Pek Eng menjadi kagum sekali dan mukanya berubah merah ketika ia teringat betapa tadi ia memandang rendah kepada pe-muda itu. Akan tetapi pemuda itu bukan kakak kandungnya dan kembali ia merasa menyesal! Kalau saja pemuda itu kakak kandungnya, tentu ia sudah bersorak karena senang dan bangganya mempunyai seorang kakak yang demikian lihainya. Akan tetapi pemuda itu jelas bukan Pek Han Siong, karena bukankah tanda merah di punggungnya itu palsu belaka? Sementara itu orang-orang Pek-sim-pang menjadi gembira bukan main dan mereka bertepuk tangan memuji, senang bahwa pendeta Lama yang mereka benci itu telah ada yang menandingi. Pendeta Lama bermuka bopeng menjadi terkejut akan tetapi juga marah melihat temannya roboh. Dan dia pun mengeluarkan suara menggereng dahsyat dan tubuhnya sudah menerjang maju dengan cepat dan kedua tangannya mengeluarkan uap putih ketika dia melancarkan pukulan-pukulan maut yang mengandung angin pukulan dahsyat sampai debu mengepul di sekitarnya. Hay Hay kembali mengeluarkan kelihaiannya. Dengan gerakan yang gagah dan lincah, tubuhnya mengelak dan tangannya menangkis dari atas ke bawah. Dua buah lengan yang mengandung tenaga sinkang bertemu dengan kerasnya. "Dukk!!" Akibatnya, tubuh pendeta Lama itu tergetar dan terhuyung, sedangkan Hay Hay masih berdiri tegak. Pendeta Lama bermuka bopeng itu maklum bahwa pemuda ini ternyata kuat bukan main. ! "Orang muda, siapakah engkau? Kenapa engkau mencampuri urusan kami dengan Pek-sim-pang?" dia bertanya karena hatinya menjadi ragu mendapat kenyataan bahwa pemuda yang sakti ini bukanlah Sin-tong dan tidak baik untuk menanam permusuhan dengan golongan lain. Juga dia perlu mengenal lawan yang tangguh ini agar urusan menjadi jelas. Hay Hay tersenyum dan dengan tenang sekali dan kini mengenakan kembali bajunya yang tadi dilepas, sikapnya seperti tidak sedang menghadapi ancaman tiga orang pendeta Lama yang lihai. "Sam-wi Losuhu adalah tiga orang tokoh dari Tibet, ingin mengenal namaku? Aku bernama Hay Hay dan aku akan mencampuri urusan siapa saja kalau kulihat di situ orang menggunakan kepandaian untuk memaksa para orang gagah di sini, tentu saja aku tidak dapat tinggal diam saja. Keluarga Pek yang gagah perkasa ini dengan jujur mengatakan bahwa mereka tidak tahu tentang putera mereka, akan tetapi kenapa Sam-wi hendak memaksa dan menggunakan kepandaian untuk menekan?" "Bocah sombong, engkau hendak menentang kami? Siapakah gurumu?" bentak pula pendeta Lama bermuka bopeng. Melihat sikap ini, Hay Hay mengerutkan alisnya, akan tetapi dia masih tersenyum. "Locianpwe, aku tidak perlu membawa nama suhu-suhuku yang mulia dalam urusan ini. Pergilah saja pulang ke Tibet dan jangan mengotorkan nama besar para pendeta Lama dengan perbuatan kekerasan yang tidak patut dilakukan pendeta-pendeta yang suci." "Keparat sombong!" Tiba-tiba pendeta Lama yang bertubuh tinggi besar sudah menerjang ke depan. Tubuhnya menyerang bagaikan seekor gajah marah. Angin besar terasa oleh orang banyak ketika tubuh yang tinggi besar itu menerjang maju dan bertubi-tubi kedua lengan panjang dan kaki panjang itu menyerang dengan pukulan dan tendangan ke arah Hay Hay. Kembali semua orang menonton dengan hati tegang, terutama sekali Pek Ki Bu dan Pek Kong yang memiliki ilmu silat lebih tinggi daripada orang-orang Pek-sim-pang dan mereka berdua dapat mengikuti perkelahian itu lebih teliti lagi. Mereka maklum betapa lihainya tiga orang pendeta itu, maka tentu saja mereka mengkhawatirkan keselamatan pemuda yang berpihak kepada mereka itu. Akan tetapi sekali ini, Hay Hay tidak berani main-main lagi. Dia pun tahu bahwa biarpun ilmu silatnya masih lebih tinggi daripada mereka bertiga, namun dia kalah pengalaman dan tiga orang pendeta itu merupakan lawan yang sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Dia pun cepat menggerakkan kakinya, mengelak ke sana-sini dengan cepat bukan main. Dia masih tetap menggunakan Jiauw-pouw-poan-soan untuk menghindarkan terjangan dahsyat dari pendeta Lama tinggi besar itu. Dengan lincahnya, tubuhnya berloncatan ke sana-sini, kadang-kadang tubuhnya melejit-lejit, kedua kakinya digeser secara aneh dan ke mana pun tangan dan kaki pendeta tinggi besar itu menyambar, tubuh Hay Hay selalu dapat mengelak dengan indah dan tepat sekali. Melihat betapa pendeta tinggi besar itu tidak mampu mengenai tubuh lawan dengan semua serangannya, dua orang pendeta Lama lainnya cepat maju dan kini Hay Hay dikeroyok oleh mereka bertiga! Tentu saja Hay Hay menjadi repot sekali! Tiga orang pendeta itu adalah tokoh-tokoh tingkat tiga dari Tibet, kini maju bersama. Tentu saja gabungan tiga tenaga itu amat kuatnya. Namun Hay Hay masih mampu mengelak, menangkis, bahkan membalas dengan serangan-serangan yang membuat tiga orang lawannya kadang-kadang terhuyung ke belakang. Tepuk sorak semakin riuh menyambut kehebatan Hay Hay menghadapi pengeroyokan tiga orang pendeta itu. Keluarga Pek kini melongo. Biarpun mereka sudah tahu bahwa pemuda yang mengaku Sin-tong itu amat lihai, namun tak pernah mereka dapat membayangkan bahwa pemuda itu mampu menghadapi pengeroyokan tiga orang pendeta Lama yang demikian lihainya. "Anak itu luar biasa sekali ……!" Pek Ki Bu sampai berseru saking kagumnya. Pek Eng memandang dengan muka merah. Pemuda yang demikian lihainya, jauh lebih lihai dari ayahnya, bahkan dari kakeknya sendiri, dan ia tadi telah menantang pemuda itu! Kalau pemuda itu menghendaki, agaknya dalam segebrakan saja ia tentu sudah roboh! Perkelahian itu berlangsung dengan amat cepatnya. Tiga orang pendeta Lama itu memang tangguh, apalagi mereka kini maju bersama. Bahkan kini pendeta kurus pucat mempergunakan kedua ujung lengan bajunya, pendeta muka bopeng mengeluarkan sebuah kipas sebagai senjata sedangkan pendeta tinggi besar mengeluarkan seuntai tasbeh yang dipergunakan sebagai senjata. Hay Hay yang mengandalkan ilmu langkah ajaibnya menjadi kewalahan dan terpaksa dia pun menggunakan Ilmu Yan-cu Coan-in sehingga dia dapat mengerahkan ginkang (ilmu meringankan tubuh) sepenuhnya. Tubuhnya kadang-kadang lenyap saking cepatnya dia bergerak, menyelinap di antara gulungan sinar senjata yang menyambar-nyambar dan mengepungnya. Para penonton menjadi kabur pandangan mereka, dan tidak mampu lagi mengikuti gerakan empat orang itu dengan jelas. Hay Hay tidak mau melukai tiga orang pendeta Lama itu, apalagi membunuh mereka. Inilah yang membuat dia semakin kewalahan. Tiga orang lawan itu menyerangnya dengan sungguh-sungguh, dengan serangan maut, sedangkan dia hanya mempertahankan diri saja, dan serangan balasannya bukan ditujukan untuk merobohkan lawan, melainkan untuk membendung banjir serangan itu. Tentu saja keadaan seperti itu tidak menguntungkan dan dia pun kini terdesak dan tertekan, berada dalam ancaman bahaya. Maklum bahwa kalau dia terus melayani tiga orang lawan itu akhirnya dia tentu akan terpaksa melukai mereka karena kalau tidak dia sendiri yang akan celaka, Hay Hay lalu mengambil keputusan untuk mencoba ilmu barunya yang belum lama ini dipelajarinya dari Pek Mau San-jin selama setahun. Diam-diam dia mengerahkan tenaga batinnya dan mulutnya berkemak-kemik membaca mantera, kemudian, dia meloncat jauh ke belakang sampai kurang lebih enam meter. Ketika tiga orang lawannya mengejar, dia berseru dan suaranya lembut namun mengandung getaran yang amat kuat. "Heii, tiga orang pendeta Lama dari Tibet, buka mata kalian dan lihat baik-baik siapa aku. Aku adalah Sin-tong yang siap untuk ikut dengan kalian ke Tibet, menghadap Dalai Lama!" Semua orang terkejut karena ucapan itu seperti memaksa mereka untuk percaya bahwa pemuda itu benar-benar Sin-tong. Bahkan Souw Bwee sudah berseru dengan hati terharu. "Anakku Pek Han Siong !" Akan tetapi tangannya keburu dipegang oleh Pek Kong yang tidak ingin melihat isterinya lari kepada pemuda itu. Bagaimanapun juga, pengaruh suara Hay Hay itu tidak begitu hebat terhadap mereka karena ditujukan kepada tiga orang pendeta Lama. Tiga orang pendeta itulah yang langsung menerima serangan ilmu sihir dari Hay Hay dan tiba-tiba mereka bertiga mengubah sikap mereka, menyimpan senjata masing-masing, lalu mereka menjura dengan hormat kepada Hay Hay! Bahkan pendeta muka bopeng yang agaknya menjadi juru bicara mereka, segera berkata dengan sikap hormat sekali. "Marilah, Sin-tong, pinceng bertiga datang untuk menjemput dan mengantar Paduka ke Lasha di Tibet." Hay Hay masih memandang dengn sinar mata mencorong, kemudian dia berkata. "Aku lelah sekali, aku mau ke Tibet asal digendong." "Pinceng yang siap menggendong Paduka!" kata pendeta Lama yang bertubuh tinggi besar, siap untuk menggendong Hay Hay. Hay Hay lalu mengambil sebongkah batu besar yang berada tak jauh dari situ kemudian meletakkan batu itu di depannya. Kembali suaranya mengandung getaran kuat sekali ketika dia berkata, "Sin-tong telah siap, angkat dan pondonglah ke Tibet!" Suara itu mengandung kekuatan yang luar biasa, dan kini kakek pendeta Lama yang tinggi besar itu menghampiri batu dan segera mengangkat dan memondongnya, dipandang oleh dua orang rekannya. Kemudian, mereka bertiga lalu membalikkan tubuh dan berjalan hendak pergi meninggalkan tempat itu, Si Pendeta Tinggi Besar masih memondong batu besar tadi. Tentu saja peristiwa itu membuat semua orang terheran-heran. Mereka merasa seperti sedang menonton pertunjukan sandiwara di panggung saja, atau pertunjukan pelawak. Melihat betapa pendeta tinggi besar itu menggendong batu besar seperti menggendong tubuh Sin-tong seperti yang diucapkan oleh pemuda itu, beberapa orang tak dapat menahan ketawanya, mereka tertawa karena merasa heran dan juga lucu. Suara ketawa amat mudah menular sehingga tak lama kemudian meledaklah suara ketawa. Suara ini memiliki kekuatan dan membuyarkan pengaruh sihir atas diri tiga orang pendeta itu. Tiba-tiba Si Pendeta Tinggi Besar berteriak kaget dan memandang batu dalam pondongannya, juga dua orang temannya terbelalak. "Omitohud... Si Keparat!" teriak pendeta tinggi besar dan dia pun membalik, kemudian dia melontarkan batu besar itu ke arah Hay Hay! Lontaran ini mengandung tenaga yang amat kuat, membuat batu besar itu meluncur cepat seperti sebuah peluru meriam yang amat besar menuju ke arah tubuh Hay Hay. Pemuda ini terkejut, kalau dia mengelak, batu itu tentu akan menyerang murid-murid Pek-sim-pang yang berada di belakangnya. Kalau menerimanya, dia khawatir tenaganya tidak mampu menahan lajunya lontaran itu. Jalan satu-satunya hanyalah menyambut batu itu dengan pukulan. Hay Hay mengerahkan tenaga sin-kangnya dan begitu batu menyambar sampai di depannya, dia pun memukul batu itu dengan tangan miring, menggunakan tangan kirinya yang mengandung tenaga sepenuhnya itu. "Darrr ...!" Batu besar itu pecah berhamburan, pecahannya yang kecil-kecil melesat ke mana-mana, akan tetapi tidak berbahaya lagi andaikata mengenai orang-orang yang berada di sekitar tempat itu. Kembali semua orang memuji dengan sorak dan tepuk tangan! Kini tiga orang pendeta Lama itu sudah maju lagi menghampiri Hay Hay dengan pandang mata penuh kemarahan dan dendam. Akan tetapi begitu tiba di depan pemuda itu, Hay Hay membentak, "Kalian bertiga mau apa? Lihat baik-baki, aku adalah Dalai Lama!" Dan tiga orang pendeta itu tiba-tiba saja menjatuhkan diri berlutut di depan Hay Hay sambil memberi hormat. Tentu saja semua murid Pek-sim- pang terkejut dan terheran-heran, akan tetapi mereka kini mulai mengerti bahwa pemuda yang luar biasa itu tentu telah mempergunakan ilmu sihir! Karena mereka dapat menduga bahwa tiga orang pendeta itu kini tentu melihat pemuda itu berubah menjadi Dalai Lama, tentu saja mereka merasa geli dan kembali mereka tertawa-tawa. Suara ketawa ini kembali membuyarkan kekuatan sihir. Suara orang banyak memang mengandung kekuatan yang luar biasa. Tiga orang pendeta itu sadar. Pendeta kurus pucat meloncat dan menerjang, akan tetapi disambut tamparan oleh Hay Hay yang membuat dia terpelanting jatuh. Orang kedua, yang bermuka bopeng, maju dan disambut tendangan yang membuatnya terjungkal pula. Pendeta tinggi besar menerkam Hay Hay, dan dia pun terpelanting oleh pukulan tangan kiri Hay Hay yang menyambutnya. Tiga orang pendeta itu tidak terluka, dan mereka sudah bangkit lagi, siap untuk mengeroyok, sementara para murid Pek-sim-pang memandang kagum metihat betapa pemuda itu merobohkan tiga orang Lama itu satu demi satu. "Hemm, katian ini tiga orang pendeta Lama, sungguh tidak tahu malu, berdiri di sini dengan telanjang bulat! Tak tahu malu!" Kini para murid Pek-sim-pang yang mulai mengerti bahwa suara ketawa mereka membuyarkan kekuatan sihir pemuda itu, tidak mau tertawa, bahkan dengan suara bulat mereka pun mengejek. "Tak tahu malu!" Tiga orang pendeta Lama itu memandang kepada tubuh sendiri dan saling pandang dengan mata terbelalak. Suara orang banyak itu memperkuat pengaruh sihir yang dilancarkan Hay Hay sehingga mereka bertiga metihat betapa mereka benar-benar telah telanjang bulat. Dengan malu bukan main, ketiganya lalu menggunakan kedua tangan, sedapat mungkin menutupi tubuh di bawah pusar, dan seperti tiga ekor anjing yang ketakutan, mereka pun lari meninggalkan tempat itu. Pemandangan yang amat lucu ini tentu saja membuat semua orang tertawa, tak dapat ditahan lagi mereka tertawa. Dan sekali ini, biarpun suara ketawa itu membuyarkan pengaruh sihir dan tiga orang pendeta Lama itu melihat bahwa sesungguhnya mereka tidak telanjang, namun mereka maklum bahwa mereka takkan menang menghadapi pemuda luar biasa itu. Mereka pun sudah agak jauh, maka daripada menderita malu lebih parah lagi, ketiganya lalu melarikan diri tanpa menoleh lagi, diiringi suara ketawa banyak orang. Kini Pek Ki Bu sudah menghampiri pemuda itu, memandang penuh perhatian lalu bertanya, suaranya sungguh-sungguh, "Orang muda, sebenarnya siapakah engkau? Benarkah engkau Sin-tong?" Hay Hay cepat memberi hormat. Teringat dia akan nasibnya di waktu kecil, oleh keluarga ini dia diambil dan dibiarkan menjadi Sin-tong dalam pandangan banyak orang sehingga dia diperebutkan. Maka dia pun tidak membohong ketika dia mengangguk dan menjawab. "Benar, Locianpwe. Saya adalah Sin-tong….” Semua orang yang tadi melihat tanda merah di punggung itu luntur, kemudian melihat betapa pemuda ini pandai ilmu sihir, mengira bahwa lunturnya tanda merah itu pun hanya karena pengaruh sihir saja, maka muncul kembali harapan dan dugaan bahwa pemuda ini memang benar Pek Han Siong. Maka, jawaban Hay Hay yang membenarkan bahwa dia adalah Sin-tong, membuat Pek Eng berteriak dengan girang dan bangga sekali. "Koko …..! Ah, kiranya engkau kakakku Pek Han Siong! Koko ….!" Dan saking girang dan bangganya, Pek Eng lari menghampiri, merangkul leher pemuda itu dan mencium pipinya! Ketika merasa betapa pipinya dingok oleh gadis manis itu, dengan girang Hay Hay membalas pula dengan dua kali ngok pada kedua pipi Pek Eng! "Anakku …..!" Souw Bwee juga lari dan merangkul leher Hay Hay, mencium dahi pemuda itu. Hay Hay hanya menyeringai saja dirangkul dua orang wanita itu. Kalau Pek Eng yang merangkul dan menciuminya, biar sehari pun dia tidak akan merasa keberatan dan akan membiarkannya saja, akan tetapi melihat nyonya itu pun menyangka bahwa dia Pek Han Siong, hati Hay Hay merasa tidak enak. Tidak baik mempermainkan seorang nyonya yang sedang kehilangan puteranya, pikirnya. Maka dia pun dengan halus melepaskan diri dari rangkulan nyonya itu tanpa melepaskan rangkulan Pek Eng pada pundaknya dan rangkulan lengannya sendiri pada pinggang ramping itu, kemudian dia berkata halus. "Maaf, menyesal sekali saya harus mengecewakan Cu-wi (Anda Sekalian) karena sesungguhnyalah saya bukanlah Pek Han Siong. Nama saya Hay Hay " "Aihhh ……!" Souw Bwee mundur tiga langkah, mukanya berubah pucat, dan Pek Eng juga cepat melepaskan rangkulannya dan melangkah mundur dengan muka berubah merah sekali. "Tapi kau …. kau ……!” teriaknya "Ya, aku kenapakah, adik yang baik?" "Kalau engkau bukan kakakku, aku pun bukan adikmu! Kalau engkau bukan Kakak Pek Han Siong, lalu kenapa kau... kau .. kau …. tadi menciumku …..” Hay Hay memandang wajah yang manis itu sambil tersenyum. Bukan main indahnya mata dan mulut itu, pikirnya. Wajah yang manis sekali, biarpun kulitnya agak gelap seperti terlalu banyak terbakar sinar matahari, namun bahkan menambah manisnya dan kulit itu pun halus dan betapa hangatnya ketika kedua lengan itu tadi merangkul lehernya, ketika hidung dan bibir itu tadi menyentuh pipinya. Sepasang mata yang agak sipit itu indah sekali bentuknya, dengan kedua ujung di kanan kiri meruncing seperti dilukis, bulu matanya panjang melengkung, alisnya hitam panjang. Manisnya hidung itu, kecil dan ujungnya agak naik seperti menantang, membuat wajah itu nampak mungil dan lucu penuh kelincahan. Bibir yang merah basah itu nampak segar tanda kesehatan yang sempurna, dan dipermanis lagi oleh sebuah lesung pipit di pipi kiri. Gadis yang lincah jenaka, galak dan manja, dan memiliki daya tarik amat kuatnya. "Heeiii! Jawab pertanyaanku, jangan longang-longong seperti kerbau tolol!" Pek Eng memaki karena ia merasa kecelik, marah dan malu telah berciuman dengan pemuda itu di depan orang banyak lagi! "Nona, aku tidak pernah mengaku sebagai kakakmu, sejak semula aku memperkenalkan namaku, yaitu Hay Hay, bukan Pek Han Siong. Dan tentang ciuman itu... eh, siapakah yang memulai lebih dulu, Nona?" Wajah itu menjadi semakin merah saking malunya, karena harus diakuinya bahwa ialah yang tadi memeluk dan mencium dengan hati penuh keyakinan bahwa pemuda ini adalah kakak kandungnya. "Kau... kau... memang laki-laki kurang ajar, laki-laki mata keranjang …!" Ia memaki dan kedua tangannya sudah dikepal karena saking malu dan marahnya ia hendak menyerang pemuda itu. "Eng-ji, jangan!" bentak Pek Kong kepada puterinya. "Mundurlah!" Biarpun hatinya masih panas sekali, Pek Eng mundur juga dibentak ayahnya. Pek Kong lalu melangkah maju menghadapi pemuda itu. Sejenak dia memandang penuh perhatian dan penuh selidik, kemudian dia bertanya, "Orang muda, kalau engkau bukan puteraku Pek Han Siong, bagaimana engkau dapat mengaku bahwa engkau adalah Sin-tong?" Jantung Hay Hay berdebar tegang ketika dia memandang laki-laki gagah di depannya itu. Seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih, bertubuh tegap dan berwajah tampan dan gagah, pembawaannya penuh wibawa dan matanya bersinar tajam. Dia tahu bahwa laki-laki inilah yang pernah menjadi ayahnya, ayah angkat mungkin, dan bahwa laki-laki ini sajalah yang tahu tentang riwayat dirinya! Cepat dia memberi hormat. "Apakah saya berhadapan dengan Pek-pangcu, Ketua Pek-sim-pang?" tanyanya. "Benar, aku adalah Ketua Pek-sim-pang bernama Pek Kong." "Ah, Pangcu. Justru pertanyaan tadi itulah yang mendorong saya untuk berkunjung ke sini, karena hanya Pangcu yang akan dapat menjawabnya." "Maksudmu?" tanya Pek Kong terbelalak. Pada saat itu, Pek Ki Bu yang tidak menghendaki percakapan itu dilakukan di tempat terbuka dan terdengar oleh semua murid Pek-sim-pang, cepat melangkah maju dan berkata. "Sebaiknya kita bicara saja di dalam. Bagaimanapun juga, orang muda ini telah menyelamatkan kita dari keadaan yang tidak enak sekali tadi. Marilah, orang muda, marr kita masuk dan bicara di dalam." Hay Hay mengangguk, akan tetapi kakinya ragu-ragu melangkah karena ketika dia menoleh kepada Pek Eng, dia melihat gadis itu berdiri melotot kepadanya dan seolah-olah gadis itu tidak rela menerimanya sebagai tamu di rumahnya. Melihat pemuda itu ragu-ragu, kemudian mengikuti pandang mata pemuda itu dan melihat sikap puterinya, Nyonya Souw Bwee lalu menggandeng tangan puterinya. "Eng-ji, mari kita masuk dulu dan mempersiapkan hidangan untuk menyambut tamu!" Pek Eng tidak dapat membantah dan ditarik ibunya masuk lebih dulu. Hay Hay melempar senyum kepadanya dan gadis itu membuang muka, membuat senyum Hay Hay menjadi semakin lebar. Kini mereka duduk berhadapan mengelilingi sebuah meja besar di ruangan belakang. Nyonya Souw Bwee, setelah memerintahkan pelayan mempersiapkan hidangan, ikut pula duduk karena ia ingin sekali mendengar penuturan pemuda itu. Juga Pek Eng ikut duduk, akan tetapi ia duduk agak di belakang, tidak mau berdeKatan dengan pemuda itu. "Nah, sekarang ceritakan kepada kami tentang dirimu dan tentang pengakuanmu sebagai Sin-tong tadi, orang muda." Kata Pek Kong. Sejenak Hay Hay memandang kepada wajah mereka, seorang demi seorang. Mula-mula dipandangnya wajah Pek Kong, kemudian Souw Bwee, kemudian wajah Kakek Pek Ki Bu, dan kepada Pek Eng yang duduk di belakang orang tuanya, dia melirik. Setelah itu dia pun berkata, "Saya sendiri tidak tahu siapa saya ini sebenarnya. Setahu saya, saya bernama Hay Hay dan saya dianggap Sin-tong, diperebutkan banyak orang. Saya tahu bahwa jawabannya terletak dalam rahasia keluarga Pek, karena semenjak bayi saya dianggap sebagai putera keluarga Pek. Kemudian ketika masih bayi, saya diculik orang dari tangan keluarga Pek, ditukar dengan bayi mati dan ……" "Ahhhh ……!!" Pek Kong dan isterinya, berteriak kaget sehingga Hay Hay menghentikan ceritanya dan memandang kepada dua orang suami isteri itu dengan sinar mata penuh harap dan permohonan. "Karena itulah, Pangcu. Saya sengaja datang mencari Pek-sim-pang untuk bertanya tentang rahasia diri saya ini kepada Pek-pangcu. Siapakah sebenarnya saya ini, dan mengapa menjadi putera keluarga Pek lalu diculik orang?" “Ah, kiranya engkau anak yang malang itu …..!" Tiba-tiba Pek Ki Bu berseru dan dia menggeleng-geleng kepala saking takjubnya. Anak itu kini muncul dan menuntut agar diceritakan asal-usulnya. "Baiklah, kami akan ceritakan semua kepadamu. Sudah menjadi hakmu untuk mengetahui segalanya tentang dirimu, anak yang malang." kata Pek Kong. Dengan jantung berdebar dan muka agak pucat karena saat inilah yang dinanti-nantikan selama bertahun-tahun ini, Hay Hay memandang kepada Ketua Pek-sim-pang itu, siap mendengarkan semua cerita yang akan keluar dari mulut Pek Kong. Pek Kong lalu menceritakan peristiwa yang terjadi kurang lebih dua puluh satu tahun yang lalu, ketika isterinya, Souw Bwee mengandung dan pada waktu itu Pek-sim-pang masih berada di Nam-co, di daerah Tibet. Kandungan isterinya itu menimbulkan masalah karena para Lama di Tibet meramalkan bahwa anak yang dikandung adalah Sin-tong dan kelak harus diserahkan kepada para pendeta Lama untuk dirawat dan dididik, karena Sin-tong setelah dewasa akan menjadi Dalai Lama. Pek Kong dan isterinya lalu melarikan diri mengungsi ke timur. "Pada saat kelahiran putera kami itulah engkau muncul." Pek Kong melanjutkan ceritanya yang didengarkan penuh perhatian oleh Hay Hay. “Ketika itu kakekku, yaitu Kakek Pek Khun, melihat seorang ibu muda bunuh diri di laut bersama puteranya. Kakek Pek Khun berhasil menyelamatkan anak laki-laki itu, akan tetapi ibu muda itu meninggal dunia setelah meninggalkan sedikit pesan. Bayi laki-laki yang diselamatkan oleh Kakek Pek Khun itu ….." Sayalah bayi itu!” kata Hay Hay, wajahnya agak pucat dan suaranya gemetar. "Benar sekali! Engkaulah bayi laki-laki itu. Karena putera kami terancam dan dicari para Lama, maka putera kami itu dibawa pergi dan disembunyikan oleh Kakek Pek Khun, sedangkan engkau kami pelihara sebagai gantinya. Akan tetapi, tak lama kemudian engkau diculik orang dan sebagai gantinya, di tempat tidurmu diletakkan seorang bayi lain yang sudah mati. Dua orang penjagamu juga dibunuh oleh penculik itu." "Hemmm, Lam-hai Siang-mo …..!" kata Hay Hay. "Apa maksudmu?" tanya Pek Kong. "Yang menculik saya di waktu bayi itu adalah suami isteri Lam-hai Siang-mo." "Ah kiranya Siangkoan Leng dan Ma Kim Li?" kata Pek Ki Bu mengepal tinju. "Kalau aku tahu tentu kucari mereka. Mereka begitu kejam, membunuh anak sendiri untuk ditukar denganmu, dan membunuh dua orang penjaga." "Mereka memang orang-orang kejam dan jahat. Mereka lalu merawat saya dan sejak kecil saya menganggap bahwa mereka adalah ayah dan ibu saya. Akan tetapi ketika saya berusia tujuh tahun, muncul suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan ….." "Kwee Siong Si Tangan Maut dan Tong Ci Ki Si Jarum Sakti?” tanya Kakek Pek Ki Bu yang agaknya mengenal tokoh-tokoh persilatan di selatan. "Benar," kata Hay Hay. “Mereka merampas saya dan mulailah saya dijadikan perebutan dan baru saya mendengar bahwa saya bukanlah anak kandung Lam-hai Siang-mo, melainkan anak kandung keluarga Pek. Akan tetapi, setelah kemudian orang tahu bahwa tidak ada tanda merah di punggung saya, saya pun mengerti bahwa sesungguhnya saya bukanlah putera kandung keluarga Pek, dan bahwa rahasia tentang diri saya berada di sini, di antara keluarga Pek. Oleh karena itu, saya mohon kepada Cu-wi untuk dapat membuka rahasia itu. Siapakah saya? Siapakah ibu saya itu yang membunuh diri di lautan dan siapa pula ayah saya?" Pek Ki Bu saling pandang dengan putera dan mantunya. Pek Kong mengangguk lalu dia berkata, "Tunggulah sebentar, saya ingin mengambil sesuatu dari dalam kamar ." Dia pun pergi dan tak lama kemudian kembali lagi ke ruangan itu. "Ketahuilah, orang muda. Sebelum wanita muda yang membunuh diri itu tewas, ia sempat meninggalkan pesan kepada Kakek Pek Khun. Ia sempat bercerita di saat terakhir itu bahwa ia membunuh diri karena ingin melarikan diri dari aib." "Ahhh …..y Hay menahan napas dan Souw Bwee memandang kepadanya dengan sinar mata penuh rasa iba. Sedangkan Pek Eng yang juga belum pernah mendengar cerita ,itu, ikut mendengarkan dengan hati tertarik. "Menurut pengakuannya, ibu muda itu adalan seorang gadis yang diperkosa dan dipaksa oleh seorang... laki-laki ……” Pek Kong tidak tega mengatakan bahwa pemerkosa itu seorang jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa wanita), "dan ketika wanita itu mengandung dan melahirkan anak karena hubungan itu, ia tidak kuat menghadapi aib itu dan mencoba membunuh diri bersama anaknya itu. Laki-laki yang menjadi... ayah kandungmu itu adalah she (bernama keturunan) Tang ……." "Hemmm, jadi saya she Tang? Tang Hay ……?" kata Hay Hay seperti kepada diri sendiri dengan hati amat tidak enak rasanya. Ibunya diperkosa orang sampai mengandung dan melahirkan dia. Dia seorang anak haram! Anak yang lahir dari perkosaan. Jadi ayahnya adalah seorang yang amat jahat, she Tang! "Dan di manakah adanya Ayah saya yang she Tang itu?" Pek Kong menggeleng kepala sambil merogoh saku jubahnya. “Kami juga tidak tahu, hanya Ibumu dalam pesan terakhir itu menyerahkan benda ini kepada Kakek Pek Khun. Katanya benda ini adalah milik ayahmu, orang she Tang itu. dan Ibumu berpesan agar engkau mencarinya….” Pek Kong menyerahkan benda itu kepada Hay Hay. Hay Hay menerima benda itu, mengamatinya, dan tiba-tiba dia mengeluarkan teriakan keras dan jatuh terguling dari kursi yang didudukinya. Pingsan! Tentu saja semua orang terkejut dan Pek Kong segera memondongnya ke atas dipan dan mengurut beberapa jalan darah untuk membuatnya siuman kembali. Tidak mengherankan kalau Hay Hay menjadi pingsan saking kagetnya ketika dia menerima benda itu dan mengenalnya. Benda itu adalah sebuah tawon merah terbuat dari emas dan permata persis dengan benda yang ditinggalkan oleh jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) yang telah membunuh seorang gadis dusun yang hitam manis dan kemudian memperkosa Siauw Lan, gadis dusun yang lain sehingga dialah yang dituduh sebagai pembunuh dan pemerkosa. Kiranya yang melakukan itu adalah jai-hwa-cat yang berjuluk Ang Hong, Cu, Si Tawon Merah, yang meninggalkan perhiasan berbentuk tawon merah itu. Dan Ang Hong Cu bukan lain adalah ayah kandungnya! Jai-hwa-cat itu telah memperkosa gadis yang kemudian mengandung dan melahirkan dia. Dia anak seorang jai-hwa-cat, lahir dari hasil perkosaan. Anak haram! Darah penjahat keji! Maka, tidaklah mengherankan ketika melihat benda itu dan menyadari siapa dirinya, Hay Hay langsung roboh pingsan. Setelah siuman kembali, dia mengeluh dan cepat bangkit duduk, lalu bangkit pula berdiri memberi hormat kepada Pek Ki Bu, Pek Kong dan Souw Bwee. "Harap Cu-wi memaafkan saya. sekarang setelah saya mendengar dari Cu-wi tentang rahalsia diri saya, maka saya mohon pamit. Terima kasih atas pertolongan yang diberikan oleh Locianpwe Pek Khun kepada mendiang Ibu saya dan kepada saya sendiri karena kalau tidak ditolong, tentu saya sudah mati bersama Ibu dan... tidak akan mendengar kenyataan yang amat pahit ini. Dan maafkanlah bahwa saya telah membikin repot keluarga Pek yang budiman." Hati tiga orang itu merasa kasihan, bahkan Pek Eng memandang dengan terharu, walaupun di dalam hatinya ia pun memandang rendah. Anak seorang jai-hwa-cat yang lahir dari hubungan perkosaan! "Jangan berkata demikian... Tang-taihiap " kata Pek Ki Bu. "Bagaimanapun juga, keluarga kami berhutang budi kepadamu dan pernah melakukan kesalahan kepada dirimu ketika engkau masih bayi. Engkau telah menyelamatkan Pek Han Siong dari pengejaran orang, dan kami bahkan telah menggantikan tempatnya dengan engkau sehingga engkau menjadi perebutan orang-orang kang-ouw. Maafkanlah kami." "Tidak, tidak ….! Dan harap Locianpwe jangan menyebut Taihiap (Pendekar Besar) kepada saya. Saya hanya... hanya anak jai-hwa-cat ….." Hay Hay memberi hormat lagi dan hendak pergi ketika pada saat itu seorang pelayan masuk ke ruangan dan melaporkan bahwa ada tamu-tamu dari Cin-an, yaitu keluarga Song, datang berkunjung. Mendengar ini, wajah Pek Ki Bu dan Pek Kong berseri-seri. "Aih, kiranya mereka yang datang! Tang-taihiap, kuharap engkau tidak tergesa-gesa pergi karena kami masih ingin berbincang-bincang denganmu mengenai masa lampau. Marilah kami perkenalkan dengan tamu-tamu terhormat, yaitu keluarga Song yang gagah perkasa dari Cin-an, keluarga para pimpinan Kang-jiu-pang (Perkumpulan Tangan Baja) yang amat terkenal sebagai pejuang-pejuang dan pendekar-pendekar yang budimar." Hay Hay yang baru saja menemukan dirinya dan masih berada dalam keadaan nelangsa, sebenarnya ingin sekali pergi. Akan tetapi karena pihak tuan rumah meminta dengan sangat, dan dia pun tertarik mendengar datangnya keluarga pendekar yang terkenal dan ingin melihat mereka, dia pun menerima tanpa banyak cakap dan bersama rombongan tuan rumah dia pun ikut keluar menyambut tamu. Rombongan tamu itu terdiri dari tiga orang. Orang pertama adalah seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun, jangkung kurus dan muka keras dan mata membayangkan kejujuran dan kekuatan. Orang ini adalah ketua perkumpulan Kang-jiu-pang dan bernama Song Un Tek. Orang ke dua adalah adiknya yang berusia empat puluh lima tahun yang bertubuh pendek gendut seperti bola dan yang memiliki muka bulat yang selalu tersenyum mengejek. Orang ini bernama Song Un Sui, tidak kalah terkenalnya dibandingkan kakaknya yang menjadi pangcu dari Kang-jiu-pang karena ilmu silatnya yang tinggi dan jiwanya yang patriotik. Hanya sedikit sayang bahwa si gendut Song Un Sui ini agak tinggi hati, terlalu mengandalkan kepandaian sendiri dan suka memandang rendah orang lain. Adapun orang ke tiga merupakan seorang pemuda berusia dua puluh dua tahun yang bertubuh tinggi besar, gagah sekali nampaknya dengan pakaian seperti seorang pendekar dan di pinggangnya tergantung sebatang pedang, yang berada dalam sarung pedang terukir indah dan terhias ronce merah di bagian gagangnya. Pemuda ini adalah putera Ketua Kang-jiu-pang bernama Song Bu Hok, dan dia telah digembleng oleh ayahnya dan pamannya, mewarisi ilmu kepandaian mereka dan juga jiwa kepahlawanan mereka. Akan tetapi, Bu Hok ini pun agaknya mewarisi ketinggian hati pamannya, hal ini nampak pada pandangan matanya dan tarikan dagunya yang gagah. Perkumpulan Kang-jiu-pang belum tua benar umurnya. Didirikan oleh mendiang ayah dari kedua orang pimpinan Kang-jiu-pang itu, yaitu Song Pak Lun, seorang bekas perwira tinggi di Pao-teng yang berjiwa pahlawan. Karena merasa tidak setuju dengan sepak terjang Kaisar Ceng Tek, yaitu kaisar yang lalu sebelum Kaisar Cia Ceng yang sekarang, karena Kaisar Ceng Tek terlalu percaya kepada para pembesar Thaikam (Orang Kebiri) sehingga kekuasaan hampir dicengkeram oleh para thaikam, maka Song Pak Lun lalu mendirikan perkumpulan Kang-jiu-pang. Perkumpulan ini terdiri dari orang-orang gagah yang menentang kekuasaan para thaikam demi menyelamatkan rakyat daripada penekanan dan penindasan, dan berpusat di dekat kota Cin-an di Lembah Sungai Huang-ho. Setelah Kakek Song Pak Lun meninggal dunia, Kang-jiu-pang diketuai oleh puteranya, yaitu Song Un Tek yang dibantu oleh adiknya, Song Un Sui itu. Dua orang kakak beradik inilah yang menjadi pimpinan Kang-jiu-pang, akan tetapi karena kini tidak terdapat lagi thaikam yang ditentang seperti ketika jaman ayah mereka, setelah thaikam yang lalim ditangkap dan dihukum, maka perkumpulan itu lebih menyerupai perkumpulan orang gagah. Murid-murid Kang-jiu-pang, seperti para murid perkumpulan orang gagah lainnya, bertindak seperti para pendekar yang menentang dunia hitam atau kaum sesat di dunia kang-ouw. Nama Kang-jiu-pang menjulang tinggi karena sepak terjang anak buahnya yang rata-rata merupakan pendekar yang gagah perkasa. Telah lama terjalin persahabatan antara pimpinan Kang-jiu-pang dan pimpinan Pek-sim-pang, maka dapat dibayangkan betapa gembira pihak Pek-sim-pang menerima kunjungan para sahabat mereka itu. Karena sudah menjadi sahabat yang akrab dan lama, maka Souw Bwee dan Pek Eng tidak ketinggalan menyambut para tamu, walaupun tamu itu hanya tiga orang laki-laki belaka. Pek Eng juga sudah mengenal Song Bu Hok, bahkan sudah berteman dengan pemuda tinggi besar itu. Ketika pihak tuan rumah yang diikuti oleh Hay Hay keluar dari dalam, tiga orang tamu yang tadinya duduk di ruangan tunggu itu bangkit berdiri dan memberi hormat. "Aihh, angin apakah yang membawa Sam-wi melayang-layang ke sini dari Cin-an?" kata Pek Kong dengan gemblra. "Kami harap Pangcu sekeluarga dalam sehat dan Kang-jiu-pang menjadi semakin besar dan jaya." kata pula Pek Ki Bu dengan wajah gembira. Dia pun telah menjadi sahabat Song Pak Lun ketika kakek itu masih hidup dan menjadi Ketua Kang-jiu-pang. "Kami baik-baik saja, terima kasih dan mudah-mudahan Pek-sim-pang semakin maju dan para keluarga Pek juga dalam sehat bahagia." jawab Song Un Tek dan Song Un Sui dengan ramah. Akan tetapi Song Bu Hok yang tadinya memandang kepada Pek Eng dengan wajah berseri, kini mengerutkan alisnya melihat munculnya seorang pemuda tampan yang tak dikenalnya di belakang gadis itu. Dia menatap tajam dan lupa untuk memberi salam. "Bu Hok, kenapa engkau diam saja?” ayahnya menegur dan menoleh, kemudian dia pun melihat ke arah yang dipandang puteranya dan dia melihat pula pemuda di belakang Pek Eng itu. "Pek-locianpwe dan Paman Pek Kong, terimalah hormat saya. Bibi, terimalah hormat saya." kata Bu Hok. Akan tetapi kini Song Un Tek yang menatap tajam ke arah Hay Hay, lalu berseru. " Aha! Kalau tidak keliru dugaanku, pemuda yang gagah ini tentu putera kalian, Pek Han Siong alias Sin-tong itu yang sudah pulang! Benarkah?" Mendengar seruan ayahnya, pandang mata yang tadinya keruh dan penuh curiga dari Bu Hok segera terganti cerah dan berseri. "Aih, Eng-moi, inikah kakakmu yang amat terkenal sebagai Sin-tong?" tanyanya kepada Pek Eng. "Jangan sembarang sangka, Song-toako!" kata Pek Eng cemberut. Tak senang hatinya mendengar sangkaan orang bahwa ia adalah adik Hay Hay, pemuda mata keranjang keturunan jai-hwa-cat itu! "Kalian salah sangka." Pek Kong menerangkan dengan ramah. "Pemuda ini adalah seorang tarnu kami yang baru saja datang, namanya adalah... Tang Hay. Mari silakan duduk di dalam." Berbondong-bondong mereka memasuki rumah dan tak lama kemudian mereka sudah duduk di ruangan dalam yang luas. Hay Hay yang juga dipersilakan duduk, mengambil tempat duduk di sudut, agak jauh dari rombongan tamu dan tuan rumah yang sedang bercakap-cakap dengan meriah dan gembiranya itu. Bahkan dia melihat betapa Pek Eng bercakap-cakap dengan ramah pula bersama pemuda tinggi besar yang gagah itu. Akan tetapi dia melihat pula pemuda tinggi besar itu berkali-kali melempar kerling ke arahnya, dengan sinar mata yang tidak ramah, akan tetapi dia pura-pura tidak melihatnya. "Song-pangcu, bagaimana kabarnya di kota raja? Engkau baru saja datang dari sana, dekat kota raja, tentu banyak mendengar tentang keadaan di sana. Jangan-jangan kalian ini datang membawa kabar buruk yang akan membangkitkan kembali Kang-jiu-pang menjadi pejuang-pejuang yang gagah dan mengobarkan perang!” kata Pek Kong. "Ah, untung tidak demikian, Pek-pangcu. Keadaan kota raja kini tenteram saja semenjak Kaisar Cia Ceng meme-gang tahta kerajaan. Semua ini berkat kebijaksanaan dua orang Tiong-sin (Menteri Setia) di istana …." "Kaumaksudkan dua orang Menteri Yang Ting Hoo dan Cang Ku Ceng?" Pek Ki Bu menyela. "Benar sekali, Paman." kata Song Un Tek. Kakek Pek Ki Bu menarik napas panjang. "Benar kata para cerdik pandai di jaman dahulu bahwa kalau negara merupakan sebatang pohon besar, maka kaisar dan para pejabat tinggi yang membantunya merupakan batang dan akar-akarnya. Kalau batang dan akar-akarnya sehat dan subur, maka semua cabang, ranting, daun dan bunga serta buahnya tentu akan sehat dan subur pula. Sebaliknya, kalau kaisar dan para pembesar yang membantunya busuk, tentu negara akan menjadi rapuh dan kehidupan rakyat menjadi sengsara." "Benar sekali, Paman." kata pula ketua Kang-jiu-pang. "Memang besar sekali jasa dua orang menteri bijaksana itu, sehingga para Kan-sin (Menteri Durna) menjadi keder dan kehilangan pengaruh, bahkan banyak yang mengundurkan diri. Mudah-mudahan saja Sribaginda Kaisar Cia Ceng ini akan dapat membuat Kerajaan Beng menjadi benar-benar Beng (Terang) dan rakyat dapat hidup sejahtera." "Sayang sekali bahwa para pimpinan itu tidak seperti akar dan batang pohon yang hanya bekerja demi kehidupan pohon seutuhnya, juga kepentingan daun-daunnya, cabang ranting kembang dan buahnya. Para pimpinan itu biasanya hanya memikirkan kepentingan dan kesenangan diri sendiri belaka. Di waktu perjuangan, mereka membujuk rakyat, menggandeng rakyat untuk memperoleh kekuatan, dengan segala macam slogan dan kata-kata indah patriotik, akan tetapi setelah berhasil memperoleh kemenangan dan mereka itu berkuasa, mereka lupa sama sekali kepada rakyat jelata. Mereka lupa bahwa tanpa dukungan rakyat, tanpa bantuan rakyat, mereka tidak mungkin dapat memperoleh kemenangan dan memperoleh kedudukan mereka yang sekarang." kata Kakek Pek Ki Bu. Song Un Tek, ketua Kang-jiu-pang tersenyum lebar dan mengangguk-angguk. "Kiranya hal itu tidak mengherankan, Paman, karena bagaimanapun juga, para pimpinan itu hanyalah manusia-manusia biasa dan manusia memang lemah, mudah mabok kekuasaan. Akan tetapi, ada pula pemimpin yang benar-benar memperhatikan kepentingan rakyat jelata, ada yang agak memperhatikan, dan ada pula yang sama sekali tidak. Yang sama sekali tidak memperhatikan ini, yang hanya mengejar kesenangan pribadi berlandaskan kekuasaan yang didapatnya dengan bantuan rakyat, adalah pembesar lalim dan orang seperti itu pasti lambat laun akan digilas oleh roda perputaran dunia yang adil." Kedua pimpinan perkumpulan orang-orang gagah itu bercakap-cakap tentang perjuangan, tentang kepahlawanan, didengarkan oleh Hay Hay yang dlam-diam merasa kagum kepada mereka. Dia sendiri tidak tertarik oleh urusan itu, namun dia dapat merasakan bahwa kedua pihak yang sedang bercakap-cakap itu memang orang-orang gagah perkasa yang patut dihormati. Kalau dia teringat betapa orang-orang muda seperti Pek Eng dan Song Bu Hok ini adalah keturunan orang-orang tua yang gagah perkasa dan terhormat, sedangkan dia sendiri adalah anakseorang jai-hwa-cat, hatinya terasa seperti ditusuk-tusuk dan dia pun menundukkan mukanya, merasa betapa dirinya rendah dan hina. Akan tetapi hanya sebentar saja dia berhal demikian. Wataknya yang periang dan tidak pernah mau terbenam di dalam perasaannya, membuat wajahnya menjadi cerah. "Song-pangcu, selain ingin bertemu karena rindu, agaknya Pangcu mempunyai urusan penting yang dibawa dari rumah. Benarkah dugaanku itu dan kalau memang ada urusan penting, harap segera disampaikan kepada kami." Pek Kong berkata kepada temannya. Song Un Tek tertawa dan mengangguk-angguk, mengelus jenggotnya yang pendek dan lebat. “Tidak salah dugaanmu, Pek-pangcu. Aku teringat akan permufakatan kita pada awal perkenalan kita dahulu dan ingin sekali menegaskan kepada keluarga Pek. Akan tetapi karena yang akan dibicarakan ini urusan orang-orang tua, dapatkah kita bicara sendiri?" Dia mengerling ke arah Pek Eng dan Hay Hay. Pek Kong dan isterinya tersenyum, kemudian Pek Kong berkata kepada puterinya, "Eng-ji, kauajaklah Song Bu Hok dan Tang Hay berjalan-jalan di taman bunga. Biar kami orang-orang tua bicara sendiri dan kalian orang-orang muda bersenang-senang di taman." Sebetulnya Pek Eng ingin mendengarkan terus percakapan mereka, maka hatinya merasa kecewa dan tidak senang mendengar perintah ayahnya. Akan tetapi ia juga tidak berani membantah, maka ia memandang dengan alis berkerut dan merasa malas untuk bangkit berdiri. "Eng-moi, marilah!" Tiba-tiba Song Bu Hok yang bangkit lebih dulu dan berkata dengan wajah berseri. "Mari kita pergi ke taman, aku ingin sekali melihat betapa hebatnya kemajuan ilmu silatmu sejak dua tahun yang lalu." Ajakan ini membuat Pek Eng bangkit berdiri dan timbul kegembiraannya. Memang gadis ini paling suka kalau bicara tentang ilmu silat, apalagi untuk saling menguji kepandaian. Dua tahun yang lalu pernah ayahnya mengajak ia merantau dan singgah di perkampungan Kang-jiu-pang di mana ia berkenalan dengan Song Bu Hok, bahkan berkesempatan untuk saling menguji kepandaian masing-masing. Akan tetapi pada waktu itu, usianya baru empat belas tahun lebih sedangkan Song Bu Hok sudah berusia dua puluh tahun sehingga tentu saja ia masih kalah matang dalam latihan. Kini, ia telah lebih matang dan ia ingin sekali melihat apakah kini ia dapat mengatasi kepandaian putea Ketua Kang-jiu-pang itu. "Mari...!” katanya sambil bangkit berdiri dan melangkah pergi bersama putera Ketua Kang-jiu-pang itu. "Eng-ji, ajak dia!" kata Ibunya sambil menunjuk ke arah Hay Hay yang masih duduk karena tidak diajak pergi. Barulah Pek Eng teringat akan tetapi alisnya berkerut ketika ia menoleh kepada Hay Hay. "Mari ikut dengan kami." ajakya, suaranya agak kaku. Akan tetapi Hay Hay tersenyum ramah. Dia bangkit berdiri dan berkata. "Terima kasih, Nona, engkau baik sekali!" Melihat sikap dan mendengar ucapan ini, Bu Hok mengerutkan alisnya dan memandang tajam. Pemuda itu tampan dan pandai menarik hati, pikirnya, dan dia merasa adanya seorang saingan yang berbahaya. Dari mana sih munculnya pemuda ini, pikirnya. Ayah dan pamannya mengajaknya berkunjung ke sini untuk mengajukan pinangan terhadap Pek Eng, untuk menjadi jodohnya, seperti pernah disetujui bersama oleh kedua orang tua mereka ketika mereka masih kecil. Dia sendiri memang telah tergila-gila dan amat tertarik sejak dua tahun yang lalu dia, bermain dengan Pek Eng yang ketika itu baru berusia empat belas tahun lebih namun sudah amat lincah menarik. Kini, dua tahun kemudian, ternyata Pek Engtelah menjadi seorang gadis dewasa yang lebih memikat lagi. Manis bukan main sehingga begitu tadi melihatnya, langsung saja Bu Hok yang memang sudah tertarik sekali itu menjadi jatuh cinta! Akan tetapi di situ terdapat seorang pemuda yang sikapnya demikian manis terhadap Pek Eng! Bu Hok bersikap acuh saja terhadap Hay Hay ketika dia berjalan di samping Pek Eng menuju ke taman di belakang rumah besar keluarga Pek. Hay Hay berjalan di belakang mereka, tersenyum-senyum dan ingin sekali tahu apa yang akan dilakukan dua orang itu terhadap dirinya yang agaknya tidak diinginkan kehadirannya. Dari belakang, dia melihat betapa pinggul Pek Eng yang padat itu menari-nari ketika gadis itu berjalan dengan lenggang yang santai dan lemah gemulai. Pinggangnya yang ceking seperti pinggang lebah kemit itu seperti mau jatuh ke kanan kiri, kedua kaki ketika melangkah itu merapat sehingga lututnya saling bersentuhan. Sungguh seorang dara yang mulai mekar dewasa dengan tubuh yang menggiurkan! Mereka memasuki taman dan ternyata di tengah-tengah taman itu terdapat sebuah taman rumput yang cukup luas dan tempat ini memang biasa dipergunakan Pek Eng untuk berlatih ilmu silat. Enak sekali berolah raga di taman itu, di atas petak rumput dikelilingi bunga-bunga yang indah dan pohon-pohon yang menimbulkan hawa segar. Apalagi berolah raga pi waktu pagi-pagi sekali, amat sejuk dan menyegarkan tubuh. "Eng-moi, aku percaya bahwa engkau sekarang tentu telah memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu silatmu. Maukah engkau memainkan ilmu silat keluargamu agar aku dapat mengaguminya?" kata Bu Hok. Kalau saja di situ tidak ada Hay Hay, tentu Pek Eng akan suka sekali memamerkan ilmu silat keluarganya. Akan tetapi di situ terdapat Hay Hay dan ia tahu betapa lihainya pemuda ini, jauh lebih lihai dari dirinya, bahkan lebih lihai dari ayahnya dan kakeknya. Bagaimana mungkin ia dapat memamerkan ilmu silatnya di depan seorang yang lihai seperti Tang Hay itu? Ia tentu hanya akan menjadi buah tertawaan saja. Maka sambil melirik ke arah Hay Hay yang berdiri di tepi petak rumput itu, agak menjauh dari mereka, ia pun menggeleng kepala. "Tidak, Song-toako. Aku sedang lelah sekali karena baru saja tadi di sini datang tiga orang pendeta Lama yang mengacau. Kami semua turun tangan berkelahi dan aku lelah sekali." "Ahhhh ……!!" Bu Hok berseru kaget. "Tiga orang pendeta Lama membikin kacau di sini? Mana mereka itu sekarang? Biar kuhajar mereka dengan pedangku!" katanya dengan sikap angkuh seolah-olah dengan mudah dia akan mampu membasmi mereka yang berani mengacau keluarga gadis itu. "Mereka sudah pergi. Belum ada satu jam mereka pergi dan engkau bersama Ayah dan pamanmu datang." "Akan tetapi mengapa ada pendeta-pendeta mengacau? Apakah mereka itu masih terus mendesak dan mencari Kakak kandungmu yang disebut Sin-tong itu?" Pemuda ini memang sudah mendengar tentang peristiwa yang menimpa keluarga Pek dengan lahirnya kakak Pek Eng yang dianggap Sin-tong dan diminta oleh para pendeta Lama di Tibet. Gadis itu mengangguk. "Mereka masih terus mencari kakakku yang belum juga pulang. Ah, sudahlah, Toako. Sekarang aku lelah sekali dan kuharap engkau tidak pelit untuk memperlihatkan ilmumu. Tentu Ilmu Silat Tangan Baja darimu kini sudah maju pesat dan engkau tentu sudah menjadi lihai sekali." Bu Hok adalah seorang yang amat mengagulkan kepandaiannya sendiri. Harus diakui bahwa dia telah mewarisi ilmu kepandaian ayahnya dan pamannya, dan dia dapat dikatakan murid terpandai di Kang-jiu-pang dan tingkatnya hanyalah sedikit di bawah tingkat ayahnya dan pamannya! “Ilmu silat tangan kosong dari Kang-jiu-pang telah kukuasai semua, Eng-moi, dan latihanku telah matang dan mencapai puncaknya. Kiranya hanya Ayah dan Paman saja yang dapat mengimbangi aku. Akan tetapi itu masih belum dapat dinamakan maju pesat. Dengan bantuan Ayah dan Paman, aku telah dapat merangkai semacam ilmu pedang yang bersumber dari gerakan Ilmu Silat Tangan Baja, dan karena itu, kuberi nama Ilmu Pedang Tangan Baja (Kang-jiu-kiam). Ilmu pedang ini sedang kulatih terus dan kuperbaiki dengan petunjuk-petunjuk Ayah dan Paman, dan aku baru akan puas kalau dapat menciptakan ilmu pedang itu sebagai ilmu pedang terkuat di dunia persilatan." Pek Eng memandang kagum. Pemuda Kang-jiu-pang ini memang selalu mengagumkan hatinya, seorang pemuda yang gagah dan selalu bersikap ramah dan manis kepadanya sebagai seorang sahabat baik atau seorang kakak yang bersikap melindungi. Akan tetapi kini kekagumannya terhadap Bu Hok ternoda oleh kenyataan bahwa kiranya tidak mungkin Bu Hok lebih pandai dari pemuda anak jai-hwa-cat yang berdiri di sudut petak rumput itu! Hay Hay seperti merusak semua kegembiraannya, membuat segalanya meniadi tawar. Akan tetapi juga kini sikap Bu Hok dan sikap Hay Hay membuat Pek Eng melihat kenyataan lain yang menggugah hatinya. Dia telah melihat sendiri kelihaian Hay Hay yang mampu mengusir tiga orang pendeta Lama yang berilmu tinggi tadi, akan tetapi sikap Hay Hay demikian merendah, bahkan kelihatan seperti seorang pemuda lemah dan tolol, sedikit pun tidak menonjolkan kepandaiannya. SebaliKnya, kini dalam pandang matanya, Bu Hok kelihatan terlalu mengagulkan dirinya! Maka, timbullah keinginan hatinya untuk mengadu kedua orang pemuda ini! "Song-toako, perlihatkanlah ilmu silatmu agar aku dan... Saudara Tang Hay di sana itu dapat mengaguminya." Bu Hok menoleh ke arah Hay Hay, agaknya baru sekarang dia teringat bahwa Hay Hay berada di situ bersama mereka. "Baik, aku akan berdemonstrasi untukmu, Eng-moi. Akan tetapi apakah dia itu akan dapat menilai dan menghargai ilmu silatku? Seorang laki-laki yang tidak pandai ilmu silat adalah seperti seekor harimau yang kehilangan taring dan kukunya, tidak ada harganya lagi." "Aih, Song-toako, jangan pandang rendah kepada dia itu. Ilmu silatnya lihai sekali dan kita berdua bukanlah tandingannya!" Pek Eng berkata sungguh-sungguh akan tetapi juga bermaksud membakar hati Bu Hok. Mendengar ucapan ini, Bu Hok memandang kepada Hay Hay dengan sinar mata tajam penuh selidik, alisnya berkerut dan hatinya sama sekali tidak percaya. Dia lalu menghampiri Hay Hay dan dengan sikap hormat namun angkuh dia bertanya. "Saudara Tang Hay, benarkah engkau lihai sekali dalam ilmu silat?” Hay Hay sejak tadi tersenyum saja dan kini menghadapi pertanyaan putera Ketua Kang-jiu-pang, dia tersenyum makin lebar. Dari sikap pemuda itu, dia tahu bahwa pemuda tinggi besar itu agaknya tertarik atau bahkan jatuh cinta kepada Pek Eng dan dalam gerak-gerik dan kata-katanya, juga pandang mata dan ucapannya, jelas bahwa pemuda tinggi besar itu sedang berusaha untuk memamerkan diri dan memancing kekaguman dari gadis itu. Hal ini dianggapnya wajar dan dia tidak merasa heran kalau pemuda itu agak angkuh dan sombong nampaknya, memang demikian sikap orang yang ingin menonjolkan diri untuk menarik perhatian seorang gadis. "Ah, tidak, Song-kongcu (Tuan Muda Song), aku hanya mempelajari sedikit saja gerakan untuk membela diri." katanya merendah karena dia tidak ingin mengurangi nilai pribadi yang sedang dipupuk oleh pemuda Kang-jiu-pang itu. Akan tetapi Song Bu Hok masih belum merasa puas. Gadis tadi mengatakan bahwa ia berdua dengan dirinya tidak akan mampu menandingi pemuda yang senyum-senyum tolol ini! “Saudara Tang, engkau dari perguruan manakah?" tanyanya pula, agak lega bahwa setidaknya pemuda tni menyebut "kongcu” kepadanya, tanda bahwa pemuda ini menghormat dan menghargainya, dan tahu bahwa derajatnya lebih tinggi daripada pemuda itu. Kembali Hay Hay menjawab sambil tersenyum, "Ah, aku hanya belajar begitu saja, tidak dari perguruan mana pun." Tentu saja Bu Hok tidak percaya. Kalau bukan dari perguruan yang terkenal, tak mungkin Pek Eng memujinya, dan lebih tidak mungkin lagi pemuda ini dapat berkenalan dengan keluarga Pek dan agaknya diterima oleh keluarga itu dengan baik dan hormat. "Kalau begitu, bagaimana engkau dapat berada di sini sebagai tamu keluarga Pek yang terhormat?" Dia menuntut, dan matanya memandang penuh selidik, alisnya berkerut dan wajahnya membayangkan ketidaksenangan dan keraguan. Diam-diam Hay Hay merasa mendongkol juga. Pemuda ini boleh saja tidak menganggapnya sederajat, boleh saja tidak memperhatikannya, akan tetapi kenapa Pek Eng juga mengacuhkannya? Bukankah gadis itu tadi sudah mendengar semua penuturan tentang dirinya? Hemm, agaknya gadis ini merasa malu untuk menerimanya sebagai seorang sahabat dan tamu. "Begini, Song-kongcu. Keluarga Pek sudah sedemikian baik dan ramahnya terhadap diriku sehingga ketika untuk pertama kali tadi aku tiba di sini, aku disambut rangkulan dan ciuman, tidakkah begitu, Nona Pek Eng?" Tiba-tiba wajah Pek Eng menjadi merah sekali. "Ihhh …..!" Ia mengeluarkan seruan kaget akan tetapi tidak dapat menjawab, hanya memandang wajah Hay Hay dengan muka merah dan mata terbelalak. "Eng-moi, apa. artinya itu? Kalau dia bermaksud menghina ….." Bu Hok mengepal tinjunya, sinar matanya mengandung ancaman. "Dia datang tiba-tiba dan kami sekeluarga menyangka bahwa dia kakakku Pek Han Siong, karena itu aku dan Ibu yang mengira dia kakakku, menyambutnya dengan gembira dan... dan menciumnya. Dia tidak berhak untuk mengingat-ingat hal itu dan membicarakannya!" Pek Eng berterus terang dan memandang kepada Hay Hay dengan marah. "Aku tidak mengingat-ingat, akan tetapi peristiwa itu takkan terlupakan selama hidupku, Nona." "Dasar engkau laki-laki …… mata keranjang!" Pek Eng berseru marah. "Buah takkan jatuh terlalu jauh dari pohonnya!" Dengan ucapan ini Pek Eng mengingatkan bahwa Hay Hay tidak akan banyak berbeda dengan ayahnya yang jai-hwa-cat itu. Mendengar ini, wajah Hay Hay menjadi merah dan matanya yang tadinya bersinar-sinar kini menjadi sayu dan muram, akan tetapi dia tidak berkata apa-apa. Sebaliknya, mendengar seruan gadis itu, Bu Hok tertarik dan dia segera mendesak. "Eng-moi, dia putera siapakah?" Dia mengharapkan keterangan gadis itu dan menduga bahwa tentu pemuda itu putera seorang datuk sesat. Akan tetapi Pek Eng sudah merasa menyesal bahwa ia telah mengumbar kemarahannya. Ia menggeleng kepala dan menjawab dengan sikap acuh. "Sudahlah, tak perlu mengurus keadaan orang lain, Toako. Perlihatkanlah ilmu silatmu dan dia sebagai tamu kami boleh saja kalau mau menonton." Bu Hok tidak mendesak, akan tetapi merasa penasaran bahwa pemuda itu telah disambut oleh Pek Eng dengan ciuman! Dia membayangkan betapa mesranya mereka itu saling berciuman, dan makin dibayangkan, makin panaslah hatinya, panas oleh cemburu dan iri! "Saudara Tang Hay, mendengar bahwa Saudara lihai sekali, marilah kita main-main sebentar untuk menggembirakan Nona rumah kita. Bagaimana?" "Ah, tidak, Song-kongcu, aku... aku tidak bisa ….." "Hemm, kenapa pura-pura? Kalau hanya untuk sekedar pi-bu (pertandingan silat) secara persahabatan, apa salahnya?" Pek Eng berkata. "Tidak, aku tidak berani main-main dengan Song-kongcu. Silakan Kongcu bersilat sendiri, biar aku menonton saja untuk menambah pengetahuanku." Song Bu Hok membusungkan dadanya, merasa bangga. Orang ini tidak berani! Dia tersenyum mengejek, mengangguk dan berkata kepada Pek Eng. "Kalau dia tidak berani, aku pun tidak perlu memaksanya. Lihat aku akan bermain pedang, Eng-moi, dan coba engkau menilainya, apakah permainan pedangku cukup baik." Berkata demikian, pemuda itu menggerakkan tangannya dan nampaklah sinar terang berkelebat ketika pedang itu telah tercabut dari sarungnya. Sebatang pedang yang bagus, berkilauan saking tajamnya, terbuat dari baja yang pilihan. Song Bu Hok memang bertubuh gagah dan kini dia beraksi dengan pedangnya, memasang kuda-kuda dengan kedua kaki terpentang lebar, pedangnya menunjuk ke atas di depan dahinya, tangan kiri menyembah di dada, memang hebat sekali. Tiba-tiba dia mengeluarkan seruan nyaring dan pedangnya berkelebat, lalu nampaklah gulungan sinar terang berkelebatan ketika pedangnya digerakkan dengan cepat dan kuat. Diam-diam Hay Hay memperhatikan gerakan pemuda itu. Memang indah dan cukup cepat dan kuat, namun gerakan pemuda itu masih belum masak dan tenaga yang dikandung gerakan itu pun tidak cukup kokoh. Hal ini nampak jelas olehnya, akan tetapi harus diakui bahwa pemuda itu memang gagah sekali dan kalau saja tidak angkuh dan mau belajar dengan tekun, tentu ilmu pedangnya itu akan menjadi ilmu yang ampuh. Karena ingin memamerkan kepandaiannya, Bu Hok bersilat dengan cepat, setiap kali menusuk atau membabat, dibarengi bentakannya yang nyaring. Kemudian dia mengeluarkdn suara melengking dan pedangnya berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang mendekati sebuah pohon di taman itu. Pohon yang tingginya seorang akan tetapi daunnya lebat. Gulungan sinar pedang itu kini menyambar di sekeliling pohon, cepat sekali dan tubuh Bu Hok sendiri tertutup sinar pedang, hanya nampak kedua kakinya berloncatan mengitari pohon kembang itu. Nampaklah daun pohon itu berhamburan dan ketika akhirnya dia menghentikan gerakannya dan berdiri tegak dengan pedang di belakang lengan, pohon itu telah berubah. Kini daun-daun yang tumbuh pada pohon itu terbabat rata dan seperti dicukur bulat dan rapi! "Kiam-hoat (ilmu pedang) yang bagus!" Hay Hay memuji, sekedar untuk mengisi kekosongan. Akan tetapi Pek Eng mengerutkan alisnya. Hatinya tidak senang. Pohon bunga itu merupakan satu di antara pohon kesayangannya dan pada waktu itu sudah dekat masanya pohon itu berbunga. Kini dibabat oleh pedang Bu Hok. Alangkah lancangnya orang ini, pikirnya. Kenapa menggunakan pohon itu sebagai sasaran tanpa lebih dulu minta perkenan pemiliknya? Maka, mendengar pujian yang keluar dari mulut Hay Hay, untuk melampiaskan kedongkolan hatinya terhadap Bu Hok yang merusak pohonnya, ia pun berkata ditujukan kepada Hay Hay. "Ah, tidak perlu pura-pura memuji!" Kemudian dia menoleh kepada Bu Hok, "Song-toako, dia memuji dengan mulutnya akan tetapi hatinya tentu mengejek karena aku tahu benar bahwa betapa pun indah dan kuatnya ilmu pedangmu, kalau dipakai melawan dia, tidak ada artiya sama sekali!" "Nona Pek Eng …!" Hay Hay berseru kaget. Wajah Song Bu Hok berubah merah saking marahnya dan dengan langkah lebar dia menghampiri Hay Hay. "Kalau begitu, Saudara Tang, mari beri aku sedikit pelajaran dan hadapilah ilmu pedangku yang jelek!" "Tidak, Song-kongcu, aku ….." "Apakah harus kukatakan bahwa engkau adalah seorang pengecut yang tidak berani terang-terangan menyatakan dengan mulut, melainkan melontarkan celaan dalam hati saja? Benarkah engkau seorang pengecut?" "Song Bu Hok ….!" Hay Hay menjadi marah. "Engkau tidak layak memaki aku sebagai pengecut!" "Kalau bukan pengecut, hayo hadapi pedangku!" teriak Song Bu Hok marah sekali mendengar betapa tadi Pek Eng memuji-muji Hay Hay dan mencelanya. "Aku tidak ingin berkelahi, sungguhpun aku tidak takut menghadapi pedangmu sama sekali!” kata Hay Hay. Ucapan ini merupakan minyak yang menambah berkobarnya api dalam dada Bu Hok. Ucapan bahwa Hay Hay tidak takut menghadapi ilmu pedangnya dianggap sebagai tantangan. "Kalau begitu, sambutlah pedangku!" Song Bu Hok berteriak dan teriakan ini diikuti serangannya. Dengan pedangnya dia menusuk ke arah dada, tusukannya cepat dan kuat. Hay Hay mengelak dengan mudah. "Song-toako, aku berani bertaruh bahwa sampai seratus jurus sekalipun engkau takkan mungkin dapat mengenai tubuhnya dengan pedangmu!" Ucapan Pek Eng ini bukan sekedar memanaskan hati, rnelainkan karena ia sudah melihat tadi betapa dengan langkah-langkah ajaib, pemuda itu mampu mengelak dari semua serangan pendeta-pendeta Lama yang jauh lebih lihai daripada Bu Hok! Akan tetapi, teriakan ini membuat hati Bu Hok menjadi semakin panas dan penasaran. "Hendak kulihat sampai di mana hebatnya pengecut ini!" bentaknya marah dan dia memperhebat serangannya. Tadinya Hay Hay ingin rneloncat keluar dan tidak melayani putera Ketua Kang-jiu-pang itu, akan tetapi mendengar betapa dia dimaki pengecut lagi, hatinya menjadi panas juga. Pemuda ini terlalu tinggi hati dan perlu diberi pelajaran, pikirnya, maka dia pun lalu menggerakkan kedua kakinya, rnenggunakan langkah-langkah ajaib untuk menghindarkan diri dari serangkaian serangan yang bertubi-tubl itu. Dengan mudah saja dia mengelak dan berloncatan ke sana-sini, menggeser kaki ke kanan kiri, depan dan belakang, akan tetapi senjata pedang di tangan Bu Hok sama sekali tak pernah dapat menyentuh tubuhnya! Ketika Bu Hok menyerang dengan cepat sehingga pedangnya nampak berubah menjadi gulungan sinar, tubuh Hay Hay juga menyelinap di antara gulungan sinar itu dan selalu saja serangan Bu Hok mengenai angin kosong! Bu Hok yang berwatak keras dan angkuh itu tidak menyadari kebenaran kata-kata Pek Eng tadi tentang kelihaian Hay Hay. Dia tidak sadar bahwa ilmu kepandaian lawan itu jauh lebih tinggi daripada tingkatnya, bahkan dia merasa penasaran sekali. Diperhebat serangannya sampai akhirnya dia terengah-engah dan tubuhnya basah oleh keringat, sedangkan Hay Hay masih enak-enak saja melangkah dan menggeser kaki ke sana-sini. "Bu Hok, apa yang kaulakukan itu? Hentikan!" tiba-tiba terdengar bentakan suara Song Un Tek. Kiranya Song Un Tek dan adiknya, Song Un Sui, bersama pihak tuan rumah, telah keluar dari rumah memasuki taman dan melihat betapa puteranya menyerang Hay Hay kalang kabut dengan pedangnya, Ketua Kang-jiu-pang itu terkejut dan cepat membentak menyuruh puteranya menghentikan serangan. Namun Bu Hok yang sudah mabok karena penasaran dan marah, masih mengirim beberapa tusukan dan sabetan pedang. Hay Hay menggunakan jari tangannya menyentil ke arah pedang di dekat gagang. Terdengar suara nyaring dan Bu Hok merasa betapa tangan kanan yang memegang pedang seperti lumpuh. Hampir saja dia melepaskan pedangnya yang tergetar hebat. Dia tidak melihat apa yang terjadi, tidak tahu bahwa pedangnya telah disentil jari tangan lawan. Akan tetapi Hay Hay melompat keluar petak rumput, menjura ke arah Song Bu Hok dan meraba baju di bagian dadanya yang tetobek, agaknya terkena ujung pedang. Akan tetapi hanya robek saja dan kulitnya tidak terluka. "Kian-hoatmu hebat, Song-kongcu, aku mengaku kalah.” Kalau tadinya dia terkejut dan heran, kini Song Bu Hok membusungkan dadanya. Bagaimanapun juga, pedangnya mampu merobek baju di bagian dada lawan, bahkan Tang Hay mengakui keunggulannya! Dia menoleh kepada Pek Eng dan berkata. "Eng-moi, biarpun dia boleh juga, akan tetapi tidak dapat menghindarkan kehebatan pedangku." Berkata demikian, dia hendak menyarungkan pedangnya kembali, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara berdetak dan pedangnya patah dekat gagangnya, dan jatuh keluar dari sarung. "Eehhhhh ……!!" Song Bu Hok memandang gagang pedang yang masih dipegangnya dengan mata terbelalak dan muka pucat, lalu memandang kepada pedang yang sudah buntung dan kini menggeletak di dekat kakinya. "Pedang... pusakaku ?" Melihat betapa pedang pusaka itu patah, sekali loncat Song Un Sui yang berperut gendut itu telah berada di dekat keponakannya. Mengagumkan sekali gerakan Si Gendut ini karena melihat perutnya yang gendut dan tubuhnya yang gemuk bulat, agaknya tak mungkin dia dapat bergerak seringan dan secepat itu. Dia sudah membungkuk dan mengambil pedang yang buntung, lalu memeriksa bagian dekat gagang yang patah. Nampak jelas betapa pedang itu memang patah, agaknya terpukul benda yang amat kuat, lebih kuat daripada pedang itu sendiri. Padahal dia tahu benar bahwa pedang itu bukan pedang murahan, melainkan sebuah pedang pusaka terbuat dari baja pilihan. Dia tadi juga melihat keponakannya menyerang pemuda sederhana yang bertangan kosong itu, bagaimana kini tahu-tahu pedang itu dapat menjadi patah? Tadi ketika bercakap-cakap bersama kakaknya dan pihak tuan rumah di sebelah dalam, selain pembicaraan mengenai kematangan ikatan jodoh antara Song Bu Hok dan Pek Eng, juga pihak tuan rumah menceritakan tentang kedatangan tiga orang pendeta Lama yang mengungkit kembali persoalan Sin-tong, juga menceritakan bahwa pemuda bernama Tang Hay itu muncul membantu keluarga Pek dan bahwa pemuda itu memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi, Song Un Sui ini memiliki watak yang tinggi hati dan mengagulkan kepandaian sendiri, watak yang di tiru oleh keponakannya. Biarpun kini dia melihat bahwa pedang keponakannya patah dan menduga bahwa tentu pemuda she Tang itu yang mematahkan, dia menjadi marah. Dia tidak mau melihat kenyataan bahwa patahnya pedang itu membuktikan kebenaran cerita keluarga Pek bahwa pemuda she Tang itu benar-benar memiliki ilmu kepandaian yang hebat. "Bocah she Tang, berani engkau mematahkan pedang pusaka keponakanku?" bentaknya dan sikapnya ini terdorong pula oleh pengetahuan bahwa pemuda itu bukan keluarga dari Pek-sim-pang, bukan murid dan bukan keluarga, hanya tamu, maka dia pun berani menentangnya. "Aku hanya membela diri …." Hay Hay menjawab. "Bocah sombong, engkau hendak memamerkan kepandaian dengan menghina kami? sambutlah seranganku!" Si Gendut itu kini sudah menerjang ke depan dengan pukulan tangan terbuka ke arah dada Hay Hay. Melihat serangan yang hebat, dengan tenaga yang lebih kuat daripada tenaga Bu Hok tadi, Hay Hay cepat mengelak. Lawannya mendesaknya dengan serangan bertubi-tubi, namun Hay Hay segera mainkan langkah-langkah ajaib dan dengan mudah menghindarkan diri dari semua serangan. Melihat pamannya sudah maju menyerang, tanpa berkata apa-apa lagi Bu Hok yang merasa penasaran juga meloncat dan membantu pamannya menyerang Hay Hay. Namun, Hay Hay masih terus mengelak, dengan Jiauw-pouw-poan-soan dan serangan kedua orang itu selalu mengenai tempat kosong. Secara aneh tubuhnya selalu dapat menghindar, dan nampaknya dia hanya bergerak dengan tenang dan lembat saja! Keluarga Pek merasa bingung sekali melihat perkelahian ini, Mereka menjadi serba salah. Mau melerai, Pek Kong khawatir kalau dia disangka memihak Hay Hay, tidak dilerai, dia khawatir sekali karena dia maklum bahwa tiga orang Kang-jiu-pang ini pun tidak akan menang melawan Hay Hay yang bukan saja memiliki ilmu silat tinggi, akan tetapi juga pandai ilmu sihir. Para murid Pek-sim-pang yang tertarik oleh keributan itu dan sudah berkumpul nonton di situ, diam-diam berpihak kepada Hay Hay yang mereka kagumi, pemuda yang tadi sudah mengusir musuh-musuh mereka, yaitu para pendeta Lama. Apalagi para murid muda dari Pek-sim-pang. Mereka mendengar bahwa kunjungan keluarga Song itu untuk meminang Pek Eng, maka timbullah rasa iri hati, apalagi melihat sikap Song Bu Hok yang tinggi hati, mereka merasa tidak senang. Kini mereka nonton perkelahian dan mengharap, agar Hay Hay mau menghajar keluarga Song itu! Akan tetapi Hay Hay juga merasa serba salah. Dia tidak mau membikin malu keluarga Song yang menjadi tamu terhormat dan sahabat baik keluarga Pek. Kalau tadi dia sengaja mematahkan pedang dengan sentilan jarinya adalah karena dia mendongkol melihat sikap sombong Bu Hok dan ingin memberi pelajaran kepadanya. Tak disangkanya bahwa perbuatannya itu menimbulkan kemarahan laki-laki perut gendut yang menjadi paman Bu Hok. Kini dia memainkan Jiauw-pouw-poan-soan untuk menghindarkan diri dari serangan dua orang lawannya. Melihat tingkat kepandaian dua orang penyerangnya ini, dia merasa yakin bahwa biarpun dia menghadapi mereka tanpa membalas, mereka tidak akan mampu memukulnya. Maka dia pun hanya mengelak ke sana-sini dengan gerakan lincah dan indah, tidak seperti ketika dia menghadapi para pendeta Lama di mana dia membuat gerakan kaku dan lucu untuk mempermainkan mereka. Diam-dlam kini dla merasa menyesal mengapa tadi dia menuruti emosi hatinya dan mematahkan pedang Bu Hok. Sementara itu, Ketua Pek-sim-pang, yaitu Pek Kong dan Pek Ki Bu kini dapat mengikuti dengan baik gerakan Hay Hay yang tidak dibuat-buat dan diam-diam mereka terkejut sekali ketika mengenal bahwa langkah-langkah ajaib yang dimainkan Hay Hay itu mirip dengan langkah-langkah ajaib Jiauw-pouw-poan-soan yang pernah mereka lihat, ilmu kesaktian yang dimiliki oleh seorang tokoh besar di Tibet! Song Un Tek, Ketua Kang-jiu-pang tidak tinggi hati seperti adiknya dan puteranya. Dia tadi sudah mendengar betapa Hay Hay merupakan seorang tamu terhormat dari keluarga Pek, bahkan pemuda itu telah membantu keluarga Pek mengusir para pendeta Lama yang datang mengacau. Biarpun patahnya pedang puteranya merupakan hal yang memalukan, namun dia harus mendengar dulu perkaranya, apa yang telah terjadi antara dua orang muda itu sebelum turun tangan seperti adiknya. Maka dia pun lalu melangkah maju dan berseru kepada adiknya dan puteranya untuk menghentikan serangan mereka. "Tidak baik urusan kecil dibikin besar." katanya setelah adiknya dan anaknya mundur mendengar perintah Song Un Tek. "Kalau ada urusan, sebaiknya dibicarakan dengan baik. Bu Hok, apa yang telah terjadi? Kenapa tadi engkau berkelahi dengan Saudara Tang Hay?" Bu Hok adalah seorang pemuda yang tinggi hati dan mengagulkan diri sendiri, akan tetapi dia juga seorang pemuda yang gagah dan jujur. Mendengar pertanyaan ayahnya, mukanya berubah merah. Tak perlu dia berbohong, dan di situ terdapat pula Pek Eng yang tadi menjadi saksi. "Aku hanya ingin mencoba kepandaiannya, Ayah." katanya. Song Un Tek mengerutkan alisnya dan menegur adiknya. "Sui-te, engkau mendengar sendiri. Keponakanmu itu mencari gara-gara dengan mencoba kepandaian Saudara Tang, kenapa engkau tanpa penyelidikan lebih dulu sudah lancang turun tangan menyerang orang yang tidak bersalah?" Song Un Sui menundukkan mukanya, tak disangkanya bahwa keponakannya itu hanya menguji kepandaian saja. "Aku melihat pedang itu patah, maka ….." "Nah, lain kali harap suka bersabar." tegur kakaknya, kemudian dia memandang lagi kepada puteranya, "Bu Hok, sungguh sikapmu itu memalukan. Engkau menguji kepandaian orang secara persahabat, hal itu biasa saja. Akan tetapi engkau menggunakan pedang, menyerang Saudara Tang yang bertangan kosong. Apakah perbuatan itu patut? Masih untung bagimu bahwa pedangmu yang dipatahkan, bukan kaki, tangan atau lehermu. Hayo kau sadari kesalahanmu dan minta maaf." Dengan muka merah Bu Hok lalu menghadapi Hay Hay dan menjura. Suaranya terdengar lantang dan jujur ketika dia berkata, "Saudara Tang Hay, harap kau suka memaafkan kebodohanku tadi." Song Un Sui juga buru-buru berkata, "Dan aku pun minta maaf atas kecerobohanku, Saudara Tang." "Aku sendiri mintakan maaf atas kelancangan mereka, Saudara Tang yang gagah perkasa," kata Ketua Kang-jiu-pang. Melihat sikap dan mendengar ucapan tiga orang ini, Hay Hay merasa kagum bukan main dan sekaligus perasaannya terhadap mereka menjadi lain. Dengan cepat dia pun menjura dan memberi hormat kepada mereka. "Harap Sam-wi tidak berkata demikian! Sayalah yang mohon maaf, dan sikap Sam-wi ini membuktikan bahwa Kang-jiu-pang dipimpin oleh keluarga yang amat gagah perkasa, patut menjadi tauladan orang-orang yang mengaku dirinya gagah! Saya merasa kagum sekali!" Tentu saja dengan adanya kata-kata ini, lenyap semua sikap bermusuhan tadi, bahkan diam-diam Song Bu Hok kagum sekali kepada Hay Hay. Dia mendekat dan memegang lengan Hay Hay dengan sikap yang bersahabat dan akrab. "Saudara Tang Hay, sungguh aku kagum bukan main. Ilmu kepandaianmu memang hebat, dan sekarang aku tidak merasa ragu atau heran lagi untuk mempercaya kebenaran keterangan Eng-moi tadi bahwa engkau memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada kami." "Ah, jangan memuji terlalu tinggi, Song-kongcu ….." "Sudahlah, siapa mau disebut kongcu? Namaku Song Bu Hok, sebut saja namaku, dan aku menyebut namamu. Bukankah kita sudah menjadi sahabat? Malah sahabat akrab, karena sudah saling beradu lengan memuji ilmu. Bagaimana, Hay Hay? Maukah engkau menjadi sahabatku?" Bukan main girang rasa hati Hay Hay. Tak disangkanya bahwa pemuda yang tadi kelihatan demikian sombong itu ternyata adalah seorang laki-laki yang jujur dan gagah perkasa, seorang sahabat yang menyenangkan. "Baiklah, Bu Hok." Melihat kerukunan itu semua orang menjadi girang dan tiba-tiba Pek Ki Bu berkata kepada Hay Hay, "Tang –taihiap…” "Ya Tuhan …… Pek-locianpwe, harap jangan menyebut Tai-hiap (Pendekar Besar) kepada saya! Pek-locianpwe, bukankah saya pernah berada di antara keluarga Pek ketika masih bayi? Apakah Cu-wi (Anda Sekalian) tidak sudi menerima saya sebagai Hay Hay saja, tanpa sebutan sungkan-sungkan seperti itu?" Pek Ki Bu, Pek Kong dan Souw Bwee saling pandang, kemudian Pek Ki Bu tertawa. "Ha-ha-ha, baiklah, Hay Hay. Bagaimanapun juga,engkau sebaya dengan cucuku dan engkau pun pantas menjadi cucuku. Nah, sekarang aku ingin bertanya. Bukankah engkau tadi memainkan ilmu langkah ajaib ketika engkau menghindarkan serangan, dan kalau aku tidak salah ilmu itu adalah ilmu sakti Jiauw-pouw-poan-soan?" Hay Hay terkejut dan cepat memberi hormat. "Pek-locianpwe sungguh bermata tajam sekali. Memang benar, saya tadi mainkan Jiauw-pouw-poan-soan." "Kalau begitu, apakah hubunganmu dengan See-thian Lama? Bukankah ilmu itu miliknya?" "See-thian Lama adalah guru saya."