“Ah, Kui Hong menjadi seorang anak yang terlalu manja. Menghadapi urusan begitu saja ia marah-marah dan turun tangan. Sungguh tidak baik sekali,” katanya sambil menarik napas duka. Kalau saja disitu ada suaminya, tentu suaminya itu dapat mengambil tindakan yang tepat. Toan Kim Hong merangkul puterinya. “Tidak mengapa, tak perlu khawatir. Ia memang agak keras hati dan gadis remaja seperti Kui Hong itu memang biasanya agak angkuh dalam soal cinta, dan biasanya mengambil sikap jual mahal. Akan tetapi, Ki Liong juga terlalu lancang sehingga mengejutkan Kui Hong, membuatnya merasa malu dan canggung sehingga bangkitlah kemarahannya karena ia merasa dihina dengan pernyataan cinta itu. Aih, engkau tentu tahu akan gilanya orang-orang muda dengan cinta mereka.” “Yang membuat aku merasa bingung dan heran adalah Ki Liong,” kata Ceng Thian Sin. “Biasanya dia hampir tidak pernah bergaul terlalu dekat dengan wanita, dan dia terkenal sebagai seorang pemuda yang alim. Akan tetapi kenapa begitu bertemu Kui Hong, wataknya tiba-tiba saja berubah?” “Seperti kukatakan tadi, orang muda dengan cinta mereka memang suka melakukan tingkah yang aneh-aneh. Akan tetapi, sudahlah. Tidak baik kalau kita terlalu menyalahkan dan mendesaknya. Kesalahannya tidaklah terlalu besar untuk dilebih-lebihkan. Dia jatuh cinta dan mengaku cintanya kepada Kui Hong. Apakah hal itu merupakan dosa tak berampun? Kalau terlalu ditekan, dia akan menjadi rendah dan pemalu.” Mendengar ucapan ibunya, Sui Cin membenarkan. “Biarlah kita lupakan saja urusan itu dan aku akan menasihati Kui Hong agar ia melupakan urusan itu.” Diam-diam kakek dan nenek itu merasa sayang karena melihat usia mereka, memang sebetulnya Ki Liong dapat menjadi calon jodoh Kui Hong yang baik sekali! Kalau saja kedua orang muda itu saling mencinta dan setuju, mereka akan merasa gembira sekali kalau keduanya dapat berjodoh. Tentang hubungan perguruan, hal itu tidak menjadi halangan. Akan tetapi tentu saja mereka tidak berani menyatakan hal ini kepada Sui Cin. Mereka semua kembali ke kamar masing-masing dan karena urusan yang timbul tadi memang tdiak berapa peting, mereka pun dapat tidur nyenak. Dapat dibayangkan kaget hati Ceng Thian Sin dan Toan Kim Hong ketika keesokan harinya, mereka mendapat kenyataan bahwa Ciang Ki Liong telah pergi dari pulau itu tanpa pamit! Pemuda itu pergi, mungkin malam tadi atau menjelang pagi, menggunakan perahu kecil dan tak seorang pun penghuni pulau itu yang melihat dia keluar dari pulau. Dan yang lebih mengejutkan hati suami isteri itu adalah ketika mereka mendapat kenyataan bahwa beberapa buah benda berharga berikut pedang pusaka Gin-hwa-kiam milik Pendekar Sadis lenyap pula dari gudang pusaka! Siapa lagi yang mengambilnya kalau bukan Ki Liong? Tidak ada orang lain kecuali mereka bertiga yang dapat memasuki gudang pusaka itu!”Ah, apa artinya ini? Apakah dalam waktu semalam saja telah terjadi perubahan yang demikian besar atas diri Ciang Ki Liong? Apakah setan telah memasuki batinnya sehingga berturut-turut dia melakukan hal-hal yang demikian buruk?” kata Ceng Thian Sin sambil mengepal tinju. “Aku akan mengejar dan menghajarnya kalau memang ada tanda-tanda bahwa dia melakukan penyelewengan dan menjadi sesat!” “Sabarlah,” kata Toan Kim Hong. “Mungkin urusannya dengan Kui Hong semalam telah membuat dia merasa malu sehingga dia tidak berani lagi berhadapan dengan kita sekeluarga. Karena itu, boleh jadi dia lalu mengambil keputusan untuk minggat dari sini tanpa pamit. Adapun benda-benda itu, mungkin sebagai orang yang belum pernah meninggalkan pulau, belum berpengalaman, dia merasa khawatir maka dia mengambil benda itu untuk menjaga diri dan bekal dalam perjalanan. Kita tunggu saja, siapa tahu dia akan merasa menyesal dan kembali. Dan andaikata tidak, kita dengarkan saja bagaimana sepak terjangnya. Kalau benar dia melakukan penyelewengan dan kejahatan sehingga menodai nama kita, kita akan keluar pulau mencarinya dan memberi hukuman yang setimpal.” Pendekar Sadis Ceng Thian Sin menarik napas panjang dan menekan perasaan marahnya. Dia tahu betapa besar rasa cinta isterinya kepada muridnya yang dianggap sebagai putera sendiri itu. dan walaupun murid itu telah meninggalkan pulau tanpa pamit, bahkan membawa benda-benda berharga dari gudang pusaka, bahkan juga Gin-hwa-kiam yang merupakan senjata pusakanya, namun belum ada bukti bahwa murid itu telah menjadi orang jahat dan siapa tahu dugaan isterinya benar. “Aahh, sudahlah, kita lihat saja nanti. Hanya sungguh aku khawatir sekali kalau sampai dia berubah watak dan menyeleweng, karena pada saat ini dia telah memiliki ilmu silat yang cukup tinggi. Dia berbakat baik sekali dan mungkin sekarang tingkatnya sudah sular ditundukkan lawan.” Mendengar ini, Sui Cin mengerutkan alisnya. “Benarkah dia demikian hebat, Ayah? Ketika tadi melawan Kui Hong …..” “Ah, engkau tidak tahu, Sui Cin!” kata Toan Kim Hong. “Anak itu, seperti dikatakan Ayahmu tadi, memiliki bakat yang amat besar, bahkan lebih besar daripada bakat yang ada padamu! Apalagi Kui Hong, bahkan engkau sendiri pada waktu ini mungkin sudah kalah olehnya, Sui Cin.” Sui Cin terkejut bukan main. Ia tahu bahwa ibunya itu selalu bersikap jujur maka ia pun tidak merasa sakit hati mendengar bahwa ia kalah oleh sutenya yang masih muda itu. “Ah, kalau begitu, sungguh berbahaya kalau dia sampai melakukan penyelewengan dan menjadi penjahat,” katanya lirih. “Akan tetapi kulihat Kui Hong juga memiliki bakat yang baik. Biarlah selama berada disini kami berdua akan menggemblengnya dan mengajarkan kunci-kunci pemunah ilmu-ilmu berbahaya yang dikuasai Ki Liong. Dengan demikian, kelak ia akan mampu menandinginya.” Mendengar ini, Sui Cin menjadi girang sekali dan mulai hari itu, kakek dan nenek penghuni Pulau Teratai Merah itu menggembleng cucu perempuan mereka dengan penuh ketekunan dan Kui Hong yang memang suka belajar ilmu silat, tentu saja berlatih dengan giat. Kakek dan neneknya mengajarkan ilmu-ilmu simpanan mereka, bahkan Pendekar Sadis Ceng Thian Sin mengajarkan ilmu-ilmu Bu-bed Hud-couw, yaitu Hok-liang Sin-ciang yang hanya delapan jurus, Hok-te Sin-kun yang merupakan permainan silat yang selalu mendekati tanah, dan juga cara bersamadhi berjungkir balik untuk menghimpun tenaga sakti yang kuat dan aneh. Dari latihan samadhi secara ini, Kui Hong memperoleh kekuatan batin yang dapat dipergunakan untuk menolak serangan ilmu sihir dan sebagainya. Diam-diam Kui Hong marah kepada Ki Liong. Walaupun pemudaitu tampan dan pandai, bahkan masih terhitung paman gurunya sendiri, namun ia gemas kalau mengingat betapa pemuda itu berniat kurang ajar kepadanya. Apaagi mendengar bata[a pemuda itu minggat dari Pulau Teratai Merah sambil mencuri benda-benda pusaka kakek dan neneknya, diam-diam ia semakin merasa gemas dan marah. Kalau sudah tamat belajar, kelak ia akan pergi mencari pemuda itu, selain merampas kembali benda-benda pusaka yang dilarikannya, juga akan menghajar murid murtad itu! selain pemuda itu, yang menjadi keinginannya terbesar adalah Cin-ling-pai. Ia ingin mengunjungi Cin-ling-pai dan membalas sakit hati ibunya! Dengan adanya cita-cita ini, Kui Hong belajar semakin giat dan rajin sekali, hampir tidak ada waktu lowong yang tidak diisinya dengan berlatih silat sehingga melihat ini, kakek dan neneknya menjadi semakin gembira melatihnya. ** Pemuda itu berpakaian sederhana. Wajahnya tampan, dengan muka yang berbentuk bulat dn berkulit putih, sepasang alisnya hitam lebat dan nampak bagus sekali pada kulit muka yang putih itu. Sepasang matanya agak sipit, mengandung ketenangan dan penuh pengertian, namun kadang-kadang juga dapat mengeluarkan sinar mencorong yang aneh dan amat kuat wibawanya. Gerak-geriknya halus dan tenang seperti air telaga yang dalam. Pemuda yang berjalan seorang diri dengan langkah-langkah tenang ini tiba diluar perkampungan Pek-sim-pang di daerah Kong-goan Dia adalah Pek Han Siong, Si Bocah Ajaib atau Sin-tong yang kini telah menjadi seorang pemuda dewasa berusia dua puluh satu tahun. Seperti kita ketahui, Pek Han Siong beruntung sekali bertemu dengan suami isteri pendekar yang mewarisi ilmu-ilmu luar biasa dari dua orang di antara Delapan Dewa. Mereka adalah Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu yang menjalani hukuman di dalam kuil Siauw-lim-pai. Setelah meninggalkan kuil, di dalam perjalanannya pemuda ini bertemu dengan Ban Hok Lo-jin, seorang di antara Delapan Dewa yang masih hidup walaupun sudah tua renta. Kakek ini, ketika melihat bahwa Han Siong adalah Sin-tong, segera mengangkatnya menjadi murid dan mengajaknya ke dalam guha untuk dilatih ilmu dengan tekun, terutama sekali ilmu sihir karena Ban Hok Lo-jin melihat betapa ilmu silat pemuda itu sudah cukup hebat. Setahun lamanya Han Siong tekun mempelajari ilmu dari Ban Hok Lo-jin dan setelah dia dinyatakan berhasil oleh gurunya yang baru yang menyatakan bahwa sudah tiba waktunya bagi mereka untuk berpisah, Han Siong meninggalkan tempat itu setelah berlutut dan menghaturkan terima kasih kepada kakek itu dengan hati terharu. "Di mana teecu dapat mencari Suhu kalau teecu merasa rindu?” Han Siong bertanya. Kakek itu terkekeh-kekeh lalu bergelak-gelak. "Hoa-ha-ha-ha! Kenapa mesti rindu, Han Siong? Kalau engkau merasa rindu, buang jauh-jauh perasaan itu, karena perasaan itu hanya memperkuat ikatan belaka! Engkau takkan dapat mencariku lagi. Usiaku sudah terlalu tua dan tak lama lagi aku harus kembali setelah beberapa lamanya memegang peranku di dunia ini. Demikian pula dengan engkau, dan semua orang yang pernah hidup. Masing-masing harus memegang dan menjalankan peran masing-masing yang sudah ditentukan sejak lahir. Apa pun yang dipegang, peran itu harus dilaksanakan sebaik mungkin. Bukannya peran yang penting melainkan pelaksanaannya, seperti orang bermain sandiwara, bukan tokoh yang diperankan yang penting, melainkan bagaimana melaksanakannya sebaik mungkin. Nah, pergilah, muridku." Han Siong meninggalkan gurunya yang duduk bersila di depan guha setelah memberi penghormatan terakhir dan setelah melakukan perjalanan yang cukup jauh, akhirnya pada senja hari itu tibalah dia di luar perkampungan Pek-sim-pang, tempat tinggal orang tuanya! Berdebar jantung Han Siong, penuh kegembiraan, ketegangan dan harapan. Dia mencoba untuk mengingat-ingat bagaimana wajah ayah dan ibunya seperti yang pernah diceritakan kakeknya. Akan tetapi bagaimana dapat menggambarkan wajah orang tuanya hanya melalui penuturan kakeknya? Bahkan wajah kakeknya pun dia sudah lupa lagi. Kakek buyutnya itu, Kakek Pek Khun, telah tua sekali ketika menitipkan dia ke kuil Siauw-lim-pai dan pada waktu itu dia baru berusia tujuh tahun. Semenjak masih bayi, dia dibawa pergi kakek buyutnya dan belum pernah bertemu dengan ayah ibunya. Dan kini dia akan berhadapan dengan ayah kandungnya. Dengan ibu kandungnya! Dan mereka berada di belakang tembok yang mengelilingi perkampungan di depan itu! Betapa dekatnya mereka. Ayah dan ibu kandung. Namun betapa jauhnya selama ini, karena dia belum pernah melihat mereka dan tidak akan mengenal wajah mereka. Sungguh aneh. Dan semua gara-gara dia dianggap sebagai Sin-tong, anak ajaib yang dijadikan perebutan. Demikian menurut penuturan Ceng Hok Hwesio Ketua Siauw-lim-pai itu. Karena dia akan dirampas oleh para pendeta Lama Tibet yang hendak menjadikan dia calon Dalai Lama di Tibet, maka oleh keluarga Pek dia disingkirkan dan akhirnya disembunyikan di kuil Siauw-lim-si itu. Sungguh terlalu para pendeta Lama itu pikirnya. Akan tetapi, menurut hwesio tua itu, bukan hanya para pendeta Lama yang memperebutkannya, juga banyak datuk sesat di dunia persilatan. Ada yang ingin memilikinya untuk dijadikan murid, ada pula yang ingin memilikinya untuk diserahkan kepada para pendeta Lama di Tibet dengan uang tebusan besar. Dia mengepal tinju. Mereka itu orang-orang jahat. Orang tuanya menjadi menderita karena mereka itu yang ingin memperebutkan dia. Dapat dibayangkan betapa susah hati orang tuanya, terutama ibunya, yang harus berpisah dari anaknya yang masih bayi dan selama dua puluh satu tahun belum pernah bertemu dengan puteranya itu. Dia akan segera bertemu dengan ibu kandungnya! Teringat akan ini, membayangkan betapa ibunya akan merangkulnya sambil menangis, kedua mata Han Siong menjadi basah dan dia mengebut-ngebutkan pakaiannya agar bersih dari debu. Tiba-tiba dia mendengar angin berdesir dan bayangan-bayangan orang berkelebat. Ketika dia yang tadi menunduk untuk melihat pakaiannya itu kini mengangkat muka, ternyata di depannya telah berdiri menghadang lima orang pendeta yang berjubah panjang, jubah kuning dan merah dan kepalanya mengenakan topi pendeta. Mereka bukan seperti pendeta-pendeta dalam kuil Siauw-lim-si, pakaian mereka berbeda karena jubah mereka itu ada warna merahnya, juga model topi mereka berbeda. Bahkan wajah mereka pun nampak asing. Terkejutlah dia ketika teringat bahwa mungkin mereka ini adalah para pendeta Lama dari Tibet! Namun, segera Han Siong dapat menguasai diri dan dengan sikap tenang dia menghadapi lima orang pendeta itu. Mereka itu rata-rata berusia enam puluh tahun, tiga orang di antaranya memegang tongkat dari kayu hitam, yang dua orang lagi tidak memegang tongkat, akan tetapi tangan mereka memegang dan memainkan butir-butir tasbeh merah yang panjang. Han Siong dapat menduga bahwa tasbeh itu bukan sekedar alat pembantu melakukan sembahyang, melainkan juga dapat dipergunakan sebagai senjata karena banyak pula hwesio Siauw-lim-si yang pandai menggunakan alat ini sebagai senjata ampuh. Melihat betapa lima orang pendeta itu memenuhi jalan di depannya, seperti orang menghadang, dia lalu memberi hormat dan bersoja, mengangkat kedua tangan yang dirangkap di depan dada. "Maaf Cu-wi Losuhu (Bapak Pendeta Sekalian), harap sudi membuka jalan agar saya dapat lewat," katanya penuh hormat. Lima orang pendeta Lama itu mengerutkan alis dan memandang kepadanya dengan pandang mata penuh selidik. Kemudian, seorang di antara mereka yang matanya lebar sebelah, yang sebelah kiri jauh lebih kecil daripada yang sebelah kanan dan biji-biji tasbeh di tangannya itu lebih besar daripada orang ke dua yang memegang tasbeh, tubuhnya tinggi kurus dengan kedua pipi cekung seperti tengkorak hidup, berkata, suaranya jelas membuktikan bahwa dia berlidah asing. "Apakah engkau hendak pergi ke perkampungan Pek-sim-pang, orang muda?" Suaranya parau dan datar. "Benar, Lo-suhu. Saya hendak pergi ke dalam perkampungan Pek-slm-pang." "Hemm, ada keperluan apakah?” Biarpun wajahnya tetap senyum dan hormat, namun di dalam hatinya Pek Han Siong mencela sikap para pendeta ini. Siapakah mereka itu yang seolah-olah hendak mencampuri urusan orang lain, seolah-olah mereka itu berkuua di situ dan berhak mengurus orang-orang yang berkunjung kepada perkumpulan Pek-sim-pang? Namun dengan sikap tenang dia menjawab. "Saya hendak pergi menghadap keluarga Pek di sana, Losuhu.” "Hemm, siapakah namamu, orang muda?" Han Siong sudah menduga bahwa mereka ini tentulah pendeta-pendeta Lama dari Tibet yang kabarnya mencari dia sebagai Sin-tong. Akan tetapi dia tidak merasa takut dan tidak mau menyembunyikan dirinya. "Nama saya Pek Han Siong, Losuhu." Benar saja dugaannya, lima orang itu nampak terkejut, bahkan mereka saling pandang dengan wajah pucat akan tetapi juga kelihatan girang sekali. Seorang di antara mereka, yang tubuhnya gendut bundar seperti bola, menggelinding ke belakangnya. "Perlihatkan punggungmu!” bentak pendeta gendut itu dan Han Siong merasa betapa ada tangan menyambar ke arah punggungnya. Dalam waktu sedetik itu dia pun maklum bahwa mereka ingin melihat tanda merah di punggungnya, maka dia pun tidak mengelak, hanya diam-diam mengerahkan tenaga melindungi tubuh belakang agar tidak terkena pukulan gelap. “Brettt …..!” Punggung baju Han Siong kena dicengkeram robek dan nampaklah kulit punggung yang putih bersih, dengan tanda merah jelas nampak di tengah punggung itu! “Omltohud ……! Benar dia... Sin-tong...!” Teriak Si Gendut yang segera menjatuhka diri berlutut di depan kaki Han Siong. Empat orang pendeta yang lain, dengan gerakan yang cepat dan ringan, telah berlompatan ke belakang Han Siong dan begitu melihat tanda merah itu, mereka pun seperti Si Gendut tadi, menjatuhkan diri berlutut dengan sebelah kaki di depan Han Siong. "Ampunkan saya ……. yang telah berani bersikap kurang hormat kepada Sin-tong ……!" kata pendeta gendut yang tadi merobek baju Han Siong di bagian punggung. Han Siong berdiri dengan kikuk sekali, akan tetapi juga geli rasa hatinya melihat betapa lima orang pendeta yang usianya enam puluh tahun kini berlutut memberi hormat kepadanya. Apakah mereka ini sudah menjadi gila, pikirnya. "Cu-wi Lo-suhu, harap jangan begini. Silakan bangkit dan bicaralah yang jelas, karena aku sungguh tidak mengerti apa artinya ini semua." katanya. Pendeta yang tinggi kurus dan matanya sipit sebelah itu, yang agaknya menjadi pemimpin mereka, berkata dengan sikap hormat, dengan sebelah kaki masih berlutut dan kedua tangan menyembah di depan dada. "Sin-tong yang mulia, pinceng mohon maaf karena tidak mengenal sebelumnya, pinceng berlima bersikap kurang hormat. Hendaknya diketahui bahwa kami berlima adalah para pendeta Lama dari Tibet yang bertugas di sini menanti kedatangan Anda." Han Siong pura-pura tidak mengerti. "Menanti kedatanganku? Untuk apakah? Aku tidak pernah mengenal Cu-wi dan aku bukanlah Sin-tong, melainkan Pek Han Siong." "Aih, Sin-tong. Dua puluh tahun lebih kami bersusah payah mencari Anda, bahkan sudah beberapa kali berganti orang, membuang banyak tenaga. Kami merupakan tenaga yang terakhir, yang baru hampir satu tahun menanti kembalimu ke perkampungan ini." "Hemm, aku tidak mengerti. Aku tidak mempunyai urusan dengan kalian. Sekarang, setelah bertemu, katakanlah apa kehendak kalian terhadap dlriku." "Sin-tong, pimpinan kami sudah menanti-nanti kedatangan Anda. Marilah ikut bersama kami, menghadap para pimpinan kami yang akan memberitahukan selanjutnya kepada Anda apa yang harus dilakukan." "Apa? Kalian mengajak aku pergi ke Tibet?" "Benart Sin-tong." "Tldak, aku datang untuk menghadap orang tuaku, menghadap Ayah dan Ibu kandungku." "Keluarga Pek bukanlah keluarga Anda, hanya kebetulan saja mereka dipakai untuk menjadi perantara Anda turun ke bumi. Anda telah ditakdirkan turun ke bumi melalui keluarga Pek untuk membimbing kami para Lama dan seluruh umat di dunia. Marilah, Sin-tong." "Tidakt aku harus bertemu dengan orang tuaku.” "Boleh bertemu sebentar dengan keluarga Pek, akan tetapi setelah itu harus ikut bersama kami ke Tibet.” "Harus? Kalian memaksaku?” “Ah, mana pinceng berani kurang ajar terhadap Sin-tong. Akan tetapi, kami telah menerima tugas sebagai utusan para pimpinan kami di Tibet. Bagaimanapun juga, kami harus pulang membawa Sln-tong karena kalau tidak, dosa kami akan besar sekali." "Kalau aku tidak mau?" "Apa boleh buat, bukan kami lancang dan berani kurang ajar melainkan kami harus mentaati perintah pimpinan kami.” kata pimpinan Lama ini dan tiba-tiba sepasang mata yang besar sebelah itu mengeluarkan sinar mencorong, bibirnya berkemak-kemik dan terdengarlah seruan dari mulutnya, suaranya lantang dan menggetar penuh wibawa yang kuat, "Engkau harus mentaati kami!" Pek Han Siong sudah menduga bahwa para pendeta Lama ini tentu memiliki ilmu sihir untuk menguasai kemauan orang lain, maka sebelumnya, dia sudah bersiap siaga sehingga ketika ada getaran suara yang amat kuat itu mencoba untuk menekannya, dia tersenyum saja. Baik, pikirnya, kalau kalian mengajak bermain-main dengan ilmu sihir, aku memperoleh kesempatan untuk menguji kemampuanku setelah dilatih ilmu sihir oleh Ban Hok Lojin. "Cu-wi Lo-suhu, harap jangan main-main dan hendak memaksakan kehendak kepadaku. Aku tidak mempunyai urusan dengan para Lama di Tibet, dan aku berada di tempat sendiri, tidak pernah mengganggu kalian. Bagaimana kalian orang-orang beribadat hendak memaksa seseorang? Bukankah itu merupakan dosa besar? Aku tidak mau ikut dan hendak kulihat apa yang akan kalian lakukan." Lima orang pendeta itu saling pandang dengan heran. Pimpinan mereka tadi sudah mengerahkan tenaga menggunakan ilmu menguasai kemauan orang, akan tetapi agaknya pemuda ini sama sekali tidak terpengaruh, bahkan tidak merasa sama sekali! Masih enak-enak saja bicara seolah-olah tak pernah terjadi sesuatu! Akan tetapi keheranan mereka segera hilang ketika mereka teringat bahwa yang mereka hadapi adalah Sin-tong. Sebagai Anak Ajaib dan calon Dalai Lama, tentu saja pemuda ini memiliki kelebihan daripada orang biasa, pikir mereka, belum sadar bahwa yang mereka hadapi bukan hanya Sin-tong, melainkan seorang pemuda yang baru saja tamat belajar ilmu sihir yang amat kuat dari seorang di antara Delapan Dewa, yaitu Ban Hok Lo-jin! Tiba-tiba pimpinan Lama itu kembali membentak, kini dengan suara yang lebih nyaring melengking dan bergelombang kuat. “Pek Han Siong, demi Yang Mulia Dalai Lama di Tibet, engkau harus taat dan ikut bersama kami ke Tibet!” Han Siong merasa betapa dahsyatnya pengaruh suara itu, namun dia tetap tersenyum karena kalau diumpamakan suara itu seperti deburan ombak yang kuat, dia adalah seperti batu karang yang lebih kokoh lagi, yang tidak tergoyahkan oleh gelombang besar! "Engkau harus ikut!" Lama ke dua menghentakkan tongkatnya ke atas tanah sambil membentak keras. "Engkau harus taat!" "Harus ikut!" "Harus taat!" Bergantian lima orang pendeta Lama itu membentak dan mengerahkan kekuatan sihirnya untuk mempengaruhi Han Siong. Akan tetap pemuda itu berdiri biasa saja, mulutnya tersenyum dan sikapnya masih hormat, sedikit pun tidak bergoyang, sama sekali tidak nampak bahwa dia terpengaruh oleh serangan kelima orang pendeta Lama itu. Kembali para pendeta Lama itu saling pandang dan kini mereka terbelalak, baru terkejut dan dapat menduga bahwa pemuda itu tentu memiliki kekuatan gaib yang hebat sehingga serangan mereka tadi, yang di lakukan susul-menyusul sampai tenaga mereka bergabung, sedikit pun tidak berbekas! "Sudahlah, Cu-wi Losuhu, jangan memaksaku. Segala sesuatu di dunia ini kalau dipaksakan, akan berakibat buruk. Harap Cu-wi pergi dan jangan mengganggu aku lagi." "Baik, pinceng pergi.... " kata pendeta kurus yang menjadi pimpinan. "Kami pergi ....." "Kami pergi ....." Lima orang itu tiba-tiba saja menundukkan kepala dan membalikkan tubuh, hendak pergi meninggalkan Han Siong. Akan tetapi baru beberapa langkah, mereka sadar bahwa mereka telah kehilangan kemauan dan tanpa mereka kehendak mulut mereka tadi mengeluarkan kata-kata itu dan kini mereka hendak membawa mereka pergi. "Omitahud .....!" Mereka berseru dan kembali membalikkan tubuh, kini menghadapi Han Siong dengan mata terbelalak penasaran dan alis berkerut. Tahulah mereka bahwa ketika berkata-kata tadi, Pek Han Siong telah mempergunakan kekuatan sihir pula yang membuat mereka berlima terpengaruh! "Pek Han Siong!" kata pendeta kurus yang menjadi pimpinan, "biarpun engkau Sin-tong dan kami berlima tidak akan berani kurang ajar kepadamu, akan tetapi saat ini engkau adalah searang yang di haruskan oleh pimpinan kami untuk ikut ke Tibet. Oleh karena itu, terpaksa kami akan menggunakan kekerasan membawa mu ke Tibet!" Berkata demikian, tiba-tiba seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa, menubruk Han Siang dari belakang. Han Siong tidak mengelak dan dua buah lengan yang besar dan panjang telah memeluknya dari belakang dalam tangkapan yang amat kuat seperti dua ekor ular melibat tubuhnya, membuat Han Siong tldak mampu bergerak lagi. Pimpinan para Lama itu melangkgh maju dan sekali menotok dengan jari tangannya ke arah pundak, tubuh Han Siong menjadi lumpuh dan tidak dapat berkutik lagi. Lima orang pendeta Lama itu merasa girang dan lega, tertawa senang karena mereka tidak menyangka bahwa pemuda itu dapat ditangkap semudah itu. Kiranya pemuda itu hanya pandai ilmu sihir sajat agaknya sama sekali tidak pandai ilmu silat! "Bagus, mari kita bawa dia!" kata kakek tinggi kurus yang memimpin rombongan itu. Si Raksasa lalu memanggul tubuh yang sudah tak berdaya itu dan mereka pun berlari cepat meninggalkan tempat itu, khawatir kalau sampai diketahui orang-orang Pek-sim-pang sehingga akan timbul keributan. Akan tetapi, baru dua ratus langkah mereka lari, tiba-tiba pimpinan pendeta itu bertanya heran. “Eh, mana Lung Ti Lama?” mendengar ini teman-temannya berhenti dan menengok ke kanan kiri. Memang Si Pendek Lung Ti Lama, seorang diantara mereka, tidak nampak dan mereka kini hanya berempat! Berlima dengan tawanan mereka,. Pendeta kurus yang menjadi pimpinan itu memandang ke arah tawanan yang masih dipanggul oleh temannya yang tinggi besar dan seketika wajahnya menjadi pucat. “Celaka, yang kaupanggul itu adalah Lung Ti Lama!” teriaknya. Si Tinggi Besar terkejut dan menurunkan tubuh yang dipanggulnya dan benar saja, kiranya yang ditawan dan ditotok tadi adalah seorang teman mereka sendiri, pendeta Lama bertubuh pendek itu! Tentu saja empat orang pendeta itu terkejut bukan main dan pimpnan Lama segera membebaskan totoka adri tubuh Si Pendek Lung Ti Lama mengeluh dan mengusap-usap pundaknya yang terasa kaku sambil mengomel panjang pendek. “Bagaimana engkau yang menjadi tawanan? Padahal tadi kami menangkap Sin-tong!” tegur pendeta tinggi itu. “Sin-tong apa?” Si Pendek mengomel. “Kalian malah mengeroyok aku dan menangkap aku.” Semua pendeta maklum bahwa kembali Sin-tong menggunakan sihir yang amat kuat sehingga mereka berlima dipermainkan. Ketika mereka menengok, mereka melihat pemuda itu sudah melangkah lagi hendak melanjutlan perjalanan memasuki perkampungan. “Tangkap dia!” bentak pimpinan Pendeta Lama dan mereka pun berloncatan dan mengepung Han Siong yang masih bersikap tenang. “Kalian adalah pendeta-pendeta yang tidak tahu diri.” Han Siong menegur. “Mengganggu orang yang tidak bersalah sama sekali.” Akan tetapi, lima orang pendeta itu tidak memberi kesempatan lagi kepada Han Siong untuk banyak cakap dan mereka pun sudah menerjang dan menyerang. Tiga orang mempergunakan tongkat hitam dan dua orang lagi menggunakan tasbeh yang menyambar dengan dahsyat. Melihat permainan senjata mereka yang demikian kuat, maklumlah Han Siong bahwa dalam hal ilmu silat, lima oang pendeta Tibet itu sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Maka dia pun cepat mengerahkan tenaga dan menggunakan ginkangnya mengelak ke sana-sini dengan loncatan-loncatan pendek dan kadang-kadang menangkis dengan lengannya yang tidak kalah kerasnya dibandingkan tongkat lawan. Han Siong tidak ingin melukai lima orang pendeta itu karena dia tidak bermusuhan dengan mereka. Dia tahu pula bahwa mereka itu hanyalah petugas-petugas yang melaksanakan tugas dan tidak berani melanggar perintah atasan. Dan ia pun tidak ingin memperlihatkan ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari suhu dan subonya, maka dalam menghadapi pengeroyokan itu, dia hanya memainkan ilmu-ilmu silat dari Siauw-lim-pai yang dipelajari di kuil Siauw-lim-si. Biarpun demikian, karena dia telah memiliki sinkang yang kuat dan ginkang yang membuat gerakannya ringan dan cepat, maka dia selalu dapat menghindarkan diri dari hujan senjata itu. Han Siong melihat banyak orang berlarian keluar dari dalam pintu gerbang perkampungan dan jantungnya berdebar tegang. Apalagi ketika dia mendengar suara orang laki-laki, cukup keras sehingga terdengar olehnya. “Benarkah dia itu? Tidak kelirukah ini? Pek Han Siong telah kembali …..?” Dia tidak tahu siapa yang bicara itu, akan tetapi dia tahu bahwa tentu keluarga Pek telah berada di situ dan nonton perkelahian. Tiba-tiba dia merobah gerakannya dan dia memainkan tiga belas jurus pilihan dari Pek-sim-kun seperti yang dilatihnya dari kitab peninggalan kakek buyutnya. Kakek buyutnya itu, Pek Khun, telah menyaring ilmu silat Pek-sim-kun menjadi tiga belas jurus saja yang ampuh, yang mencakup bagian-bagian paling lihai dari ilmu silat itu, kemudian menuliskannya menjadi sebuah kitab pelajaran ilmu silat yang cukup sukar. Setelah dia digembleng oleh suhu dan subonya, barulah Pek Han Siong memperoleh dasar yang cukup kuat untuk mempelajari tiga belas jurus Pek-sim-kun ini sampai mahir benar. Kini melihat keluarga Pek keluar dan menonton, dia pun mulai memainkan ilmu silat itu menghadapi lima orang pengeroyoknya. Terdengar seruan-seruan heran, kaget dan kagum dari rombongan yang keluar dari perkampungan itu. “Mirip Pek-sim-kun!” “Dasar gerakan kakinya sama!” “Tapi demikian aneh dan cepat!” Bermacam-macam komentar para penonton dan dengan hati bangga Han Siong lalu mempercepat dan memperkuat gerakannya. Terdengar bunyi tongkat patah dan disusul teriakan kaget lima orang pendeta Lama yang mengeroyoknya. Tiga batang tongkat yang amat kuat itu telah patah dan dua untai tasbeh juga putus talinya! Lima orang pendeta itu maklum bahwa mereka sama sekali bukan lawan pemuda yang amat lihai ilmu sihir dan ilmu silatnya itu, dan mereka pun maklum bahwa Sin-tong sejak tadi mengalah dan tidak ingin melukai mereka. Sebagai orang-orang pandai, tentu saja mereka tahu bahwa kalau dikehendakinya, sejak tadi mereka berlima sudah roboh mungkin tewas di tangan pmuda tangguh itu. “Mari kita pergi!” kata pendeta tinggi kurus dan dia pun meloncat pergi diikuti empat orang kawannya. Yang keluar dari dalam pintu gerbang perkampungan itu memang keluarga Pek bersama murid-murid mereka. Mereka itu sudah tahu bahwa telah berbulan lamanya, bahkan mungkin sejak kemunculan Hay Hay yang menimbulkan keributan dengan para pendeta Lama, diluar perkampungan mereka selalu terdapat pendeta-pendeta Lama berkeliaran. Mereka dapat menduga pula bahwa tentu para pendeta itu menanti munculnya Pek Han Siong untuk mereka tangkap. Karena mereka itu berada di luar dusun dan tidak pernah mengganggu perkampungan Pek-sim-pang, maka orang-orang Pek-sim-pang tidak dapat melarang mereka. Maka, ketika mendengar bahwa ada seorang pemuda berkelahi melawan lima orang pendeta Lama, mereka pun berbondong keluar dan mereka masih sempat menyaksikan betapa pemuda gagah itu dengan ilmu mirip Pek-sim-kun, telah mengusir lima orang pendeta Lama yang mengeroyoknya tadi. Pek Kong dan Souw Bwee, isterinya, melangkah maju mendekati Han Siong. Sepasang suami isteri ini mengamati wajah Han Siong akan tetapi tentu saja mereka berdua ragu-ragu. Sejak bayi mereka berpisah dari anak mereka, maka kini tentu saja mereka tidak mengenal pemuda yang berdiri dengan tegap, gagah dan tampan di depan mereka. Mereka takut kalau-kalau mereka kecelik lagi, seperti ketika di situ muncul Hay Hay yang mereka sangka anak mereka. "Apakah engkau Pek Han Siong?" tanya Pek Kong, suaranya gemetar, penuh ketegangan dan harapan. Han Siong memandang suami isteri itu. Seorang laki-laki yang kelihatan gagah, berusia kurang lebih empat puluh satu tahun, dan seorang wanita yang usianya beberapa tahun lebih muda, wanita cantik dan lembut akan tetapi di wajahnya nampak guratan-guratan kehidupan yang membayangkan penderitaan batin. Ketika ditanya oleh pria itu, Han Siong merasa jantungnya berdebar tegang. Dia dapat menduga bahwa kedua orang inilah agaknya yang menjadi ayah dan ibu kandungnya, akan tetapi dia ingin memperoleh kepastian, maka dengan suara lembut dan hormat dia pun bertanya. "Bolehkah saya mengetahui, siapakah Ji-wi yang mulia?" Dengan suara gemetar Pek Kong berkata, "Aku bernama Pek Kong dan ini isteriku ....." "Ayah! Ibu ...!" Pek Han Siong tak dapat menahan dirinya lagi, langsung saja menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki ayah kandungnya, "saya adalah Pek Han Siong...." "Han Siong ....!" Souw Bwee menubruk dan jatuh pingsan di dalam rangkulan puteranya! Dengan sikap tenang dan sudah menguasai diri sepenuhnya, Han Siong memondong tubuh ibunya dan berkata kepada ayahnya, "Ayah, marilah kita masuk ke dalam karena Ibu perlu dirawat. Ia telah menderita guncangan batin." Pek Kong memandang puteranya dengan sinar mata kagum. Puteranya telah dewasa dan sikapnya demikian tenang, juga tadi dia telah menyaksikan kehebatan ilmu kepandaiannya sehingga demikian mudahnya mengalahkan lima orang pendeta Lama yang berilmu tinggi. Kini, menghadapi ibunya yang pingsan,dia bersikap dewasa dan tenang sekali. "Baik," katanya dan mereka semua memasuki perkampungan. Setelah merebahkan Ibunya di atas pembaringan, kemudian mengurut beberapa jalan darah sehingga ibunya siuman kembali, Han Siong duduk di tepi pembaringan. "Ibu, tenanglah. Anakmu telah kembali, Ibu." "Han Siong ….. ah, Han Siong …..!" Wanita itu menangis. "Engkau telah datang, Anakku... eh, mana Eng-ji? Eng-ji, pulanglah, kakakmu telah datang, Eng-ji! Pulanglah, .Nak ….." Melihat ibunya berduka, Han Siong mengelus dahi Ibunya sambil mengerahkan tenaga batinnya dan tak lama kemudlan ibunya tertidur pulas! Han Siong bangkit dan menghampiri ayahnya yang sejak tadi melihat kesemuanya itu dengan hati terharu. “Ayah, siapakah Eng-ji yang disebut-sebut Ibu tadi?" “Mari kita bicara di luar kamar, Anakku. Engkau perlu mengenal semua anggauta keluarga kita." kata Pek Kong mengajak puteranya keluar dan memasuki ruangan dalam di mana telah berkumpul Pek Ki Bu juga para murid kepala Pek-sim-pang. "Anakku, ini adalah kakekmu yang bernama Pek Ki Bu." kata Pek Kong memperkenalkan. "Ah, Kong-kong! Kakek Buyut Pek Khun sering menyebut nama Kong-kong, juga Ayah.” Han Siong lalu menjatuhkan diri berlutut, memberi hormat kepada Pek Ki Bu, kakek yang usianya enam puluh tahun lebih itu. Pek Ki Bu menyentuh pundak cucunya dan mengangguk-angguk dengan wajah berseri. "Aku merasa berbahagia sekali melihat engkau pulang sebagai seorang gagah yang berilmu tinggi. Semoga engkau dapat mengangkat kembali nama besar Pek-sim-pang." Han Siong lalu dlperkenalkan kepada murid-murid kepala Pek-sim-pang dan mereka bercakap-cakap dengan penuh kegembiraan. "Eng-ji adalah adik kandungmu. Han Siong,” Ayahnya menerangkan. "Engkau mempunyai adik kandung bernama Pek Eng yang usianya telah tujuh belas tahun." "Ah! Kakek buyut tidak pernah bercerita tentang ini! Di manakah Adikku itu, Ayah?" Wajah ketua Pek-sim-pang itu menjadi agak muram. "Itulah yang menyebabkan Ibumu menjadi berduka. Sudah beberapa bulan lamanya ia pergi meninggalkan rumah tanpa pamit, hanya meninggalkan surat ini," katanya sambil mengeluarkan selembar kertas dari saku bajunya dan memberikannya kepada Han Siong. Pemuda ini mengerutkan alisnya, hatinya kecewa mendengar adiknya, seorang perempuan remaja, minggat dari rumah tanpa pamit! Gadis macam apa yang menjadi adiknya itu, pikirnya. Dia menerima surat itu dan membacanya. Hanya beberapa baris kata-kata saja. “Ayah dan Ibu tercinta. Aku tidak mau menikah dengan siapa pun. Aku mau pergi mencari Kakak Pek Han Siong. Ampunkan anakmu.” "Ditlnggalkannya surat itu di atas meja dalam kamarnya." kata Pek Kong. Kini, rasa kecewa yang tadi menyelinap di dalam hatinya terhadap adik perempuannya, terganti perasaan geli. Adiknya itu seorang gadis yang penuh semangat dan agaknya keras hati bukan main. "Maaf, Ayah. Apakah ia dipaksa untuk kawin?" dia bertanya, menatap wajah ayahnya yang masih nampak tampan gagah itu. Ayahnya menarik napas panjang. "Ia dipinang oleh keluarga Song, ketua Kang-jiu-pang di Cin-an yang telah bertahun-tahun menjadi sahabat baik keluarga kita, untuk putera ketua Kang-jiu-pang bernama Song Bu Hok yang gagah perkasa dan pantas menjadi suaminya. Kami dengan senang hati menerima pinangan itu, dan ketika kami memberitahukan kepada Eng-ji, ia menangis. Dan pada keesokan harinya, ia telah pergi meninggalkan surat ini." Han Siong mengangguk -angguk, "Hemm, alangkah keras hatinya. Biarlah aku akan mencarinya, Ayah. Setelah lbu sehat kembali, aku akan pergi mencari Adik Eng." "Kami merasa curiga dengan kehadiran Hay Hay itu, karena kepergiannya justru ketika Hay Hay tiba di sini," kata Pek Ki Bu dan Pek Kong menganggu-angguk. Memang dia dan isterinya pun merasa curiga. Bukankah Hay Hay dikabarkan sebagai seorang pemuda mata keranjang yang pandai silat dan sihir, dan bukankah terdapat hubungan intim antara Pek Eng dan Hay Hay? "Siapakah Hay Hay itu, Ayah?" "Dia adalah bayi yang dulu menjadi penggantimu," kata ayahnya. Han Siong mengerutkan alisnya dan memandang heran. "Apa maksud Ayah?" “Aih, engkau perlu mendengar tentang keadaan dirimu, tentang hal-hal aneh yang terjadi karena engkau terlahir sebagai Sin-tong." Pek Kong dan Pek Ki Bu lalu menceritakan segala riwayat Han Siong semenjak dia dalam kandungan sudah diramalkan sebagai Sin-tong oleh para pendeta Lama. Han Siong sendiri hanya tahu dari kakek buyutnya dan dari Ceng Hok Hwesio ketua Siauw-lim-si bahwa dia dianggap Sin-tong dan dicari-cari oleh para pendeta Lama dan diperebutkan pula oleh para datuk sesat. Baru sekarang dia mendengar dengan jelas apa yang terjadi dengan dirinya dan segala akibatnya. Betapa sejak bayi dia dilarikan dan disembunyikan oleh kakek buyutnya, dan sebagai gantinya, bayi yang ditemukan kakek buyutnya ditinggalkan kepada ayah ibunya, betapa bayi yang menjadi penggantinya itu diculik orang dan diganti pula oleh bayi yang telah mati! Betapa kemudian, bayi yang pernah menggantikannya itu, yang kini telah menjadi dewasa dan menurut keluarga Pek, bernama Hay Hay dan amat lihai pula, muncul di perkampungan keluarga Pek dan membikin gempar. Hay Hay itu telah pula mengalahkan pendeta-pendeta Lama! Dan betapa Hay Hay disangka dirinya dan betapa adiknya Pek Eng, minggat pada hari itu pula setelah Hay Hay muncul di perkampungan keluarga Pek. "Nah, demikianlah, Han Siong. Kami tidak menuduh Hay Hay yang bukan-bukan, karena dia seorang pemuda gagah perkasa pula. Akan tetapi, mengingat bahwa dia adalah anak haram dari seorang jai-hwa-cat berjuluk Ang-hong-cu, betapa sikapnya amat menarik bagi wanita, berwatak mata keranjang menurut keterangan adikmu, maka kami hanya curiga. Ataukah mungkin hanya kebetulan saja." Han Siong masih tertegun mendengar cerita tadi. Demikian banyak hal aneh dan mengerikan terjadi sebagai akibat dia dianggap Sin-tong, sampai melibatkan bayi lain. "Ayah, aku akan pergi mencari Adik Eng, dan akan kuingat baik-baik tentang diri Hay Hay itu, walaupun aku masih sangsi bahwa dia mempunyai hubungan dengan kepergian Adik Eng. Kurasa Adik Eng pergi karena tidak setuju akan perjodohan itulah." Han Siong merawat ibunya sampai sehat betul, barulah dia berani meninggalkan perkampungan Pek-sim-pang. Ibunya setuju mendengar bahwa dia hendak pergi mencari Pek Eng, karena ibu ini tentu saja merasa gelisah sekali memikirkan puterinya. Kalau puteranya pergi, dia tidak merasa khawatir, apa lagi puteranya telah menjadi seorang yang amat lihai. Barpun Pek Eng juga bukan gadis sembarangan, namun bagaimana juga ia hanya seorang wanita remaja yang tentu akan menghadapi banyak gangguan. Kepergin Pek Eng sudah kurang lebih lima enam bulan, maka tidaklah mudah bagi Han Siong untuk mengikuti jejaknya. Dia pergi secara untung-untungan saja dan karena kepergian Pek Eng memakai alasan untuk mencarinya, maka dia pun menuju ke Pegunungan Heng-tuan-san, ke arah kuil Siauw-lim-si. Tentu adiknya pergi ke sana. Diurungkan niatnya mengunjungi kakek buyutnya, karena dari ayah dan kakeknya, dia mendengar bahwa kakek buyutnya itu telah meninggal dunia karena usia tua. ** Hay Hay berjalan seorang diri di padang rumput yang cukup luas itu. Wajahnya yang tampan dengan sepasang mata yang bersinar-sinar, mulut yang selalu dihiasi senyum, hidung yang mancung. Jalannya seenaknya, dengan lenggang lepas, dadanya yang bidang itu tegak dan tubuhnya yang tegap dan sedang besarnya itu seperti tubuh seekor harimau kalau sedang berjalan. Pakaiannya sederhana, berwarna biru dengan garis-garis tepi berwarna kuning, dua warna kesukaannya. Dipunggungnya nampak sebuah buntalan pakaian. Sepasang matanya yang tajam menangkap segala sesuatu yang terbentang di depan matanya, barisan rumput hijau segar yang bergerak-gerak tertiup angin, nampak seperti air berombak-ombak, daun-daun pohon yang melambai-lambai. Bukit kecil di depannya nampak demikian tenang, tidak terikat waktu, tenang dan indah hening. Hanya keheningan yang mengandung keindahan, karena sekali keheningan terganggu kesibukan maka keindahan pun membuyar lenyap. Ketika berjalan seperti itu, melahap segala yang nampak dengan kedua matanya, ketika pikirannya tidak diganggu sesuatu, batinnya menjadi hening dan keindahan pun menyentuh seluruh pribadinya. Matahari sudah condong jauh ke barat, sudah tertutup bukit. Hay Hay cepat mendaki bukit itu. Dari puncak bukit itu, pasti indah pemandangannya, keindahan matahari terbenam di kaki langit sebelah barat. Ketika dia sudah melewati padang rumput, pikirannya teringat akan keadaan dirinya. Dia anak jai-hwa-cat, anak seorang penjahat yang digolongkan sebagai penjahat yang paling rendah dan hina, bahkan dipandang hina oleh para penjahat lainnya. Seorang berwatak keji, tukang memperkosa wanita! Dan dia adalah anaknya, anak haram lagi! Biasanya, kalau sudah teringat akan hal ini, bermacam perasaan mengaduk hatinya dan keheningan pun lenyap. Keindahan pun tidak nampak lagi. Yang ada hanya rasa penasaran, kekecewaan dan kemarahan. Kemarahan datang dari pikiran. Pikiran yang membesar-besarkan akunya, pikiran yang melihat betapa aku nya direndahkan sebagai anak penjahat, anak haram, maka aku pun menjadi marah dan penasaran! Padahal baru saja, sebelum pikiran mengunyah-ngunyah ingatan itu, tidak ada sedikit pun rasa sesal atau marah mengganggu Hay Hay. Kemarahan tidak muncul dengan sendirinya. Kemarahan hanyalah akibat dari ulah sang pikiran sendiri. Semua ini nampak oleh mereka yang mau mengamati pikiran sendiri, mengamati saja penuh dengan kewaspadaan, dan dari pengamatan ini akan timbul suatu perubahan pada pikiran tu sendiri, seperti ombak samudera yang tadinya membadai menjadi tenang dengan sendirinya. Pengamatan bukan berarti terseret ke dalam arus pikiran, melainkan mengamati tanpa ada yang mengamati. Yang ada hanyalah pengamatan, perhatian, kewaspadaan. Kalau ada yang mengamati berarti sang pikiran itu sendiri yang mengamati, dan hal ini merupakan suatu kesibukan lain dari pikiran saja! Gelombang yang lain lagi, namun masih sama, hasilnya mengeruhkan batin. Kinl Hay Hay telah tiba di puncak bukit dan seperti awan tipis disapu angin, semua kesibukan pikiran yang tadi pun lenyap. Indah sekali di puncak bukit itu. Ada sebidang padang rumput yang rata, di sana-sini nampak pohon tua yang sudah mulai mengundurkan diri ke dalam keremangan yang penuh rahasia, seperti raksasa-raksasa, dan nun di sana, di barat, matahari nampak besar kemerahan membakar langit di atas dan kanan kirinya, menciptakan warna pelangi dan keperakan yang teramat indah! Pena siapakah yang mampu melukis keindahan matahari terbenam seperti itu? Pena siapa yang mampu mencatat semua keindahan itu? Dia akan kehabisan warna, ruang dan bentuk untuk menggambarkannya dan dia akan kekurangan kata untuk menceritakannya. Dengan hati terasa lega, seolah-olah segala beban batin pada saat itu diangkat terlepas dari menindih hatinya, Hay Hay menjatuhkan diri duduk di atas rumput yang lunak, menurunkan buntalan pakaiannya dan termangu-mangu memandangi awan yang sedang terbakar sinar kemerahan yang teramat indah itu. Dia lupa akan diri sendiri, merasa seolah-olah melayang di antara awan nun dibalik warna merah, awan yang menciptakan beribu macam bentuk yang indah-indah, aneh-aneh, malang-melintang, coret-moret tidak karuan namun ajaibnya, kesemuanya itu merupakan satu kesatuan yang amat harmonis! Lihat rumput-rumput itu. Malang-melintang, ada yang condong ke kanan, ke kiri, ada yang rebah, ada yang besar ada yang kecil, panjang pendek, tua muda, ada yang kerlng layu, akan tetapi tidak ada pertentangan sedikit pun di antara mereka. Bahkan kesemuanya itu pun merupakan suatu kesatuan yang amat harmonis, dan membentuk suatu keindahan yang lengkap. Timbullah semacam pemikiran dan perbandingan di antara benak Hay Hay, dan agaknya terbawa oleh suasana dan keadaan, terlontarlah pemikiran ini melalui kata-kata dari mulutnya. “Matahari timbul di waktu pagi cemerlang menjadi raja sehari kemudian menyuram di kala senja tenggelam dan lenyap, gelap gulita! Timbul tenggelam, terang gelap silih berganti yang pernah hidup berakhir mati apa artinya duka nestapa kalau memang sudah demikian keadaannya ? Selagi hidup kenapa layu dan mati? lebih baik bergembira hari ini!” Hay Hay tersenyum kemudian tertawa, mentertawakan diri sendiri. Tangannya menyentuh sesuatu di saku bajunya.Dikeluarkan benda itu dan ternyata itu adalah sebuah perhiasan berbentuk tawon merah yang buatannya cukup indah, terbuat dari emas muda dan permata merah. Ang-hong-cu, Si Tawon Merah! Julukan jai-hwa-cat yang menjadi ayah kandungnya! Akan tetapi kini Hay Hay memandang dan mengamati benda itu dengan mulut tersenyum. Kebetulan saja orang itu menjadi ayahnya, menjadi jembatan bagi dia muncul ke permukaan dunla ini. Boleh jadi Si Jai-hwa-cat itu atau orang lain, akan tetapi yang jelas, dia dan orang yang menjadi ayah kandungnya itu sama sekali tidak ada sangkut-pautnya, memiliki nyawa sendiri-sendlri, pikiran sendiri-sendiri. Mereka berdua merupakan dua orang manusia yang sama-sama utuh, tidak ada sangkutannya kecuali suatu kebetulan saja bahwa dia menjadi anaknya dan orang itu menjadi ayahnya! Ayah yang bagaimana! Tidak, dia tidak akan menganggapnya sebagai ayah. Bukankah menurut cerita keluarga Pek yang disampaikan kepadanya, jai-hwa-cat yang berjuluk Ang-hong-cu dan bernama keturunan Tang itu, meninggalkan wanlta yang mengandungnya begitu saja? Wanita yang menjadi ibu kandungnya itu kemudian membunuh diri bersama dia, akan tetapi kalau lautan menerima Ibunya yang kemudian menjadi tewas, agaknya lautan menolaknya sehingga dia tidak menjadi mati bersama ibunya! Tidak, tak mungkin dia menerima laki-laki yang demiklan kejam terhadap wanita yang menjadi ibunya itu sebagai ayahnya! Masih lebih baik orang-orang seperti Siangkoan Leng dan Ma Kim Li itu, suami isteri yang berjuluk Lam-hai Siang-mo, yang bagaimanapun juga pernah menunjukkan rasa kasih sayang sebagai orang tua terhadap dirinya, daripada jai-hwa-cat she Tang itu. Dan dia pun tidak sudi menggunakan keturunan Tang. Lebih baik tak bernama keturunan, tanpa marga, tanpa she. Biarlah, namanya Hay Hay begitu saja, titik. Tentu saja dia pun tidak mau menggunakan she Siangkoan. "Hemmm...., Ang-hong-cu....." bisiknya sambil memutar-mutar benda kecil itu di antara jari-jari tangannya. Matahari makin dalam tenggelam sehingga tidak nampak lagi kecuali cahayanya yang kemerahan. Cuaca menjadi remang-remang. Tawon merah itu tidak kelihatan lagi merahnya, kelihatan hitam. Tawon Merah! Orang yang membunuh dan memperkosa dua orang gadis dusun itu, yang seorang dibunuh karena melawan, yang seorang lagi diperkosa. Gadis-gadis yang demikian manis, demikian polos dan bersih! Terkutuk! Teringat akan gadis-gadis manis itu dan nasib mereka yang tertimpa malapetaka dengan kemunculan jai-hwa-cat Ang-hong-cu tanpa disadarinya, sambil mempermainkan benda perhiasan itu diantara jari-jari tangannya, dia pun bersajak. “Gadis yang cantik jelita manis menarik dan manja bagaikan bunga sekuntum indah semerbak mengharum setiap pria ingin menyuntingnya untuk menyemarakkan hidupnya. Namun kumbang merah datang menyerbu menghisap habis sari madu meninggalkan bunga terkulai layu sunggub keji, sungguh gila …..!” Hay Hay mengepal tinju dan baris terakhir dari sajaknya itu keluar dari mulutnya seperti makian. Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dari belakangnya. "Ang-hong-cu memang penjahat keji dan gila, dan harus mampus!" Bentakan itu ditutup dengan datangnya serangan yang hebat sekali. Anginnya menyambar dahsyat ke arah tengkuk Hay Hay, disusul dengan sambaran angin yang tidak kalah hebatnya yang datang dari kanan kiri. Dia telah diserang tiga orang sekaligus yang agaknya diam-diam telah menghampirinya dari arah belakang. Karena angin menerpa dari depan, dan dia sedang melamun dan tenggelam dalam keheningan senja, maka Hay Hay tadi tidak tahu bahwa ada tiga orang datang menghampirinya. Apalagi karena gerakan mereka memang amat ringan, tanda bahwa mereka adalah tiga orang yang berilmu tinggi. Ketika merasa betapa ada angin pukulan dahsyat datang menyambarnya dari tiga arah, Hay Hay cepat berjungkir balik ke depan, menggelundung di atas rumput di depannya dan baru meloncat bangkit berdiri setelah tidak merasakan lagi adanya angin serangan. Begitu cepat gerakan yang dilakukan Hay Hay itu sehingga para penyerangnya terkejut karena pukulan-pukulan mereka sama sekali tidak menyentuh sasaran dan tahu-tahu kini pemuda yang mereka serang itu telah meloncat berdiri di depan mereka! Hay Hay yang merasa terheran-heran dan penasaran, mengamati tiga orang penyerangnya itu dan menjadi semakin heran dan penasaran. Dia tidak merasa pernah berjumpa apalagi berkenalan dengan tiga orang ini! Mereka bertiga itu berusia kurang lebih empat puluh tahun dan biarpun cuaca mulai remang-remang, masih dapat dilihat wajah mereka yang membayangkan kemarahan, wajah-wajah yang tampan dan gagah, dengan pakaian sederhana ringkas seperti pakaian para pendekar. Di punggung mereka nampak gagang pedang beronce merah dan melihat sikap mereka, Hay Hay menduga bahwa dia berhadapan dengan orang-orang gagah, bukan dengan penjahat atau peranpok. Maka diapun mendahului mereka, bersoja dengan kedua tangan di rangkap di depan dada, sikapnya hormat dan bersungguh-sungguh, walaupun wajahnya masih berseri ramah dan mulutnya terhias tersenyum. “Harap Sam-wi (Anda Bertiga) suka memaafkan aku, akan tetapi sungguh aku merasa penasaran sekali. Apa gerangan dosaku kepada Sam-wi yang sama sekali belum kukenal, maka Sam-wi tiba-tiba saja menyerangku mati-matian?” Tiga orang itu nampak marah dan seorang diantara mereka, yang bermuka penuh brewok yang terelihara rapi sehingga dia nampak gagah seperti tokoh Thio Hwi dalam dongeng Sam Kok, melangkah maju mendekat. Dengan telunjuk kiri menuding ke arah muka Hay Hay, dia pun memaki. “Jai-hwa-cat laknat! Biarpun kami bertiga belum pernah bertemu denganmu, akan tetapi kami mengenal namamu. Engkau adalah jai-hwa-cat yang paling kejam di seluruh dunia ini dan engkau layak mampus karena orang macam engkau ini bagaikan iblis yang hanya mengancam keselamatan para wanita dan harus dibasmi dari permukaan bumi!" " Akan tetapi aku... aku bukan jai-hwa-cat ….!" "Hemm, sudah jahat pengecut pula!" teriak orang ke dua yang tinggi besar dan mukanya kemerahan. "Suheng, tak perlu banyak cakap kiranya. Iblis keji ini pandai bicara, tidak perlu dilayani. Hantam saja!" teriak orang ke tiga yang kurus dan mukanya kuning. "Sungguh mati, aku bukanlah penjahat, aku tidak pernah memperkosa wanita!" kata Hay Hay penasaran. Kembali Si Brewok yang bicara. "Menjadi penjahat pemerkosa sudah rendah, akan tetapi menyangkalnya secara pengecut lebih hina lagi. Engkau sungguh seorang yang berahlak rendah dan hina. Ang-hong-cu, tak perlu lagi menyangkal, mari hadapi kami dengan senjatamu, bukankah kabarnya selain jahat engkau juga lihai sekali?" "Sungguh, aku bukan jai-hwa-cat, aku bukanlah Ang-hong-cu seperti yang kalian kira….” "Hemm, percuma saja engkau menyangkal. Kami telah melihat benda yang berada di tanganmu tadi. Bukankah benda itu merupakan tanda dari Ang-hong-cu?" "Benar, akan tetapi aku bukanlah Ang-hong-cu. Harap kalian tidak ngawur! Apakah kalian tidak pernah mendengar bagaimana macamnya orang yang berjuluk Ang-hong-cu itu? Usianya? Bentuk wajah dan tubuhnya?" "Hemm, tak perlu menyangkal lagi. Kami mendengar bahwa dia seorang pria yang tampan, dan tak seorang pun tahu berapa usianya. Bentuk tubuhnya tegap dan sedang. Engkau pun tampan bertubuh tegap, membawa tanda Ang-hong-cu. Siapa lagi kalau bukan engkau?" "Bukan, aku bukan Ang-hong-cu." Tiga orang itu saling pandang. Agaknya mereka bersikap hati-hati. Kemudian seorang di antara merekat yang bermuka merah dan bertubuh tinggi besar itu, berkata, "Ketahullah bahwa kami adalah tiga orang murid Bu-tong-pai yang bertugas untuk mencari dan membunuh Ang-hong-cu Si Keparat Jahanam!" "Kenapa sih engkau hendak membunuhnya?" tanya Hay Hay dengan sikap tenang, padahal tentu saja ingin dia mendengar tentang orang yang kebetulan menjadi ayah kandungnya itu. "Dia telah memperkosa seorang murid Bu-tong-pai sehingga sumoi kami itumembunuh diri di depan Suhu! Jangan pura-pura tidak tahut karena engkaulah orangnya yang melakukan perbuatan keji itu! Engkaulah Ang-hong-cu mengaku saja!" "Aku bukan Ang-hong-cu bagaimana harus mengaku sebagai dia?" "Kalau bukan, bagaimana engkau dapat memiliki lambang hiasan tawon merah itu? Darimana kaudapatkan itu? Dan apa hubunganmu dengan Ang-hong-cu?" Hay Hay tidak dapat menjawab. Tentu saja dla tidak mau menceritakan bahwa dia putera Ang-hong-cu! "Itu... itu urusanku sendiri, tidak perlu kuberitahukan kepada kalian. Yang jelas, aku bukan Ang-hong-cu. Tidak percayakah engkau?" "Tidak, aku tidak percaya!" Kini yang bermuka kuning dan bertubuh kurus membentak. "Engkau bohong, engkau pengecut! Tadi pun engkau bersajak memuji-muji kecantikan wanita sambil bermain-main dengan tanda tawon merah. Engkau Ang-hong-cu!" "Apakah engkau juga butuh kepalaku? Nah, ambillah!" Murid Bu-tong-pai yang tinggi besar itu seperti orang bingung. Dia hanya bengong memandang ke arah kepala pemuda itu yang masih menempel di tubuhnya, lalu menoleh dan memandang ke arah kepala yang tergantung di tangan kiri suhengnya. Dia bergidik, akan tetapi dia lalu mengeluarkan lengking panjang dan dia melompat ke depan, menggerakkan pedang di tangan kanan sekuat tenaga membacok ke arah leher yang disodorkan itu. "Crattt!" Kembali pedang itu menabas buntung leher Itu dan kepalanya sudah disambar oleh Si Muka Merah. Akan tetapi, biarpun jelas bahwa kepala yang berada di tangan kirinya dengan dijambak rambutnya itu adalah kepala Ang-hong-cu, akan tetapi kini pemuda yang duduk di dekat api unggun itu masih mempunyai kepala yang utuh menempel di lehernya. Bahkan kini pemuda itu menyodorkan lagi kepalanya dan melirik ke arah Si Muka Kuning. "Engkau juga mau kepalaku? Nah, amblllah agar kalian bertiga dapat pulang membawa masing-masing sebuah kepala!" Seperti juga kedua orang temannya, Si Muka Kuning itu bengong, dengan mata terbelalak dan mulut celangap, menoleh ke arah pemuda itu, kemudian memandang kepada dua buah kepala yang dijambak rambutnya oleh dua orang temannya. Dia pun jelas nampak jerih dan ketakutan, bahkan bergidik dan kedua pundaknya menggigil seperti orang kedinginan. Akan tetapi, melihat betapa kedua orang suhengnya telah memegang sebuah kepala, dia pun mengatupkan giginya, lalu berteriak. "Biarpun engkau siluman atau ib1is, Ang-hong-cu, aku akan memenggal kepalamu!” Dan dia pun meloncat sambil mengayun pedangnya, mengerahkan tenaganya ketika pedang itu mengeluarkan sinar kilat menyambar ke arah leher itu. "Crattt"" Untuk ke tiga kalinya, leher itu terbabat dan sebuah kepala disambar tangan kiri Si Muka Kuning. Ketiganya kini memandang dan ternyata pemuda itu masih duduk tenang di dekat api dengan kepala masih utuh. Tiga kali kepalanya dipenggal, dan tiga buah kepala kini berada di tangan kiri tiga orang murid Bu-tong-pai itu dan mereka berloncatan menjauh. Ketika mereka melihat lebih seksama, ke arah muka dari kepala yang dijambak rambutnya, ketiganya menjerit penuh kengerian karena muka dari kepala yang dipenggal dan berada di tangan mereka itu kini berubah menjadi muka mereka sendiri! Bagaikan memegang ular berbisa mereka cepat melepaskan kepala itu yang terjatuh ke atas tanah dan lenyap begitu saja! Tiga orang jagoan Bu-tong-pai itu kini terbelalak pucat dan jelas nampak betapa tubuh mereka menggigil, tangan yang memegang pedang juga gemetar. Mereka memandang ke arah pemuda yang masih duduk bersila di dekat api unggun. Biarpun dia takut setengah mati, namun Si Brewok mengumpulkan nyalinya dan berteriak lantang. "Ang-hong-cu, biarpun engkau memiliki ilmu siluman, kami bertekad untuk membasmimu dan kami tidak takut kehilangan nyawa untuk membasmi kejahatan!" Setelah berkata demikian, sambil mengeluarkan lengking nyaring, Si Brewok sudah berlari menerjang ke arah Hay Hay, diikuti oleh kedua orang sutenya yang juga sudah menjadi nekat. Melihat kenekatan mereka, Hay Hay bangkit menyambar buntalan pakaiannya. “Sialan, mengganggu orang saja!” katanya dan sekali berkelebat dia pun lenyap dari depan tiga orang itu yangmenjadi bengong terlongong. Mereka tidak tahu harus mengejar kemana. Pula, mereka kini yakin bahwa Ang-hong-cu atau bukan, orang muda itu sungguh memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat, bukan hanya pandai ilmu sihir yang berkali-kali membuat mereka kecelik, akan tetapi juga memiliki ilmu silat tinggi. Buktinya, gerakan pemuda itu sedemikian cepatnya seperti pandai menghilang saja. Mereka terpaksa pergi meninggalkan bukit itu dan di sepanjang perjalanan, mereka tak pernah berhenti membicarakan orang muda luar biasa itu dan ada kesangsian di dalan hati mereka apakah benar pemuda itu Ang-hong-cu, karena kalau benar si penjahat cabul, tentu mereka tidak akan dibiarkan hidup. Melihat pembawaan dan sikap pemuda itu, agaknya tidak patut disebut orang jahat, walaupun pemuda itu tampan dan membawa hiasan tawon merah. Sementara itu, dengan bersungut-sungut dengan hati yang mengkal sekali, Hay Hay terpaksa meninggalkan bukit indah itu dan karena dari tempat tinggi itu dia tidak melihat adanya dusun dekat situ, terpaksa dia memasuki sebuah hutan lebat yang nampak gelap sekali. Lebih baik ditempat tersembunyi itu agar tidak terganggu lagi, pikirnya. Malam ini dia ingin tidur nyenyak. Dia memanjat sebatang pohon besar dan tak lama kemudian Hay Hay telah tidur nyenyak, terjepit diantara tiga cabang pohon yang saling melintang. ** Suara suling itu naik turun dengan merdunya, kadang-kadang melayang tinggi di angkasa, bermain-main dengan awan yang bergerak menuju ke timur, kemudian di lain saat menukik turun bermain-main di permukaan anak sungai, berdendang bersama riak air yang berkejaran di antara batu-batu hitam mengkilat, bahkan kemudian menyelam dan menjadi satu dengan suara yang dalam dan aneh dari perut bumi, untuk di lain saat muncul kembali berdendang mengiringi angin yang bersilir sejuk di antara daun-daun, gemerisik suara daun-daun, kemudian menyatu dengan kicau burung yang menyambut pagi. Sementara Hay Hay melayang-layang hanyut oleh suara suling itu. dia ikut melayang diantara awan-awan, kemudian naik cahaya matahari pagi turun sampai ke permukaan sungai, ikut berkejaran bersama suara suling dengan riak air di antara batu-batuan, ikut pula menyelam sampai dalam tak terukur lagi. Tiba-tiba suara suling itu terhenti dan Hay Hay tersentak kaget, lalu membuka mata dan bangkit duduk. Baru teringat bahwa dia berada di antara tuga batang pohon besar. Sinar matahari telah menyusup di antara celah-celah cabang, ranting dan daun pohon, menciptakan cahaya yang kecil tajam menyilaukan mata, mengusir kabut yang mulai membubung naik dari atas tanag da ndari daun-daun pohon di mana semalam mereka berkumpul. Burung-burung berkicau dan beterbangan dari dahan ke dahan, suasananya cerah dan riang bukan main seolah-olah semua mahluk hidup, baik yang bergerak maupun yang tidak, menyambut datangnya pagi itu dengan penuh keriangan. Cahaya pagi memang merupakan sesuatu yang baru, yang mengakhiri cuaca gelap yang emmbuat semua mahluk mengundurkan diri, dan cahay apgi seolah-oleh menghidupkan kembali segala sesuatu yang mati untuk semalam. Hay Hay terseret oleh arus kegembiraan yang menyelimuti seluruh permukaan alam disekitarnya. Dia lupa lagi akan suara suling yang di dengarnya tadi, dan dianggapnya bahwa dia tadi bermimpi, mimpi yang indah bukan main. Buntalan yang semalam dipergunakan sebagai bantal, kini diikatkan kembali ke punggungnya, dan dia pun merayap turun perlahan-lahan. Dia tidak mau meloncat karena melihat betapa beberapa ekor kelinci berloncatan saling kejar di antara semak-semak di bawah pohon dan dia tidak ingin mengejutkan dan membuat takut mereka. Kegembiraan di sekelilingnya menular kepada Hay Hay. Dia merasa gembira, hatinya ringan, pikirannya bebas tanpa beban, dan hal ini membuat sekuruh anggauta tubuhnya bekerja dengan sempurna dan akibatnya dia merasa amat lapar! Hal ini sudah wajar kalau diingat bahwa sejak kemarin siang, dia tidak pernah makan sedikit pun. Kini terdengar suara berkeruyuk di dalam perutnya. Dia harus mencari makanan, pikirnya. Kelinci-kelinci itu! Agaknya banyak terdapat kelinci di dalam hutan ini dan daging kelinci yang lunak dan cukup sedang untuk mengisi perutnya. Daging kelinci dipanggang, di beri garam dan bumb yang terdapat di dalam buntalan pakaiannya, hemmm, sedap bukan main. Mengingat akan ini, perut Hay Hay makin meronta dan menjerit. Dia memungut dua buah batu sebesar empat jari kaki. Cukup untuk mrnjatuhkan seekor atau dua ekor kelinci gemuk! Dengan dua buah batu ditangannya, Hay-Hay lalu mencari kelinci. Tak lama kemudian, dia melihat empat ekor kelinci di balik semak-semak, berkerjaran dan mereka itu nampak bergembira. Agaknya satu keluarga, piker Hay-Hay. Dua ekor yang besar dan dua ekr yang kecil. Sayang masih terlampau kecil, pikirnya. Maka dia lalu memilih diantara dua ekor besar. Cukup besar dan gemuk, seekor pun akan cukup untuk mengenyangkan perut. Di pilihnya yang putih bersih bulunya dan di lain saat, begitu dia menggerakkan tangan, sebuah batu melayang dengan amat cepatnya ke arah leher kelinci itu. “Takk” batu itu runtuh di tengah jalan! Hay Hay terbelalak, merasa enasaran dan batu kedua melayang, lebih cepat dan kuat ke arah kepala kelinci putih itu. menurut perhitungannya, kalau batu pertama tadi hanya akan membuat kelinci itu jatuh pingsan, batu kedua ini akan membunuhnya. “Takk!” kembali batu itu runtuh seolah-olah menabrak dinding yang tidak nampak. Akan tetapi pandang mata yang tajam dari Hay Hay melihat meluncurnya sinar hitam kecil dari samping dan sinar itulah yang menahan batu-batunya. Dia tidak tahu sinar apa itu, akan tetapi dia pun tidak sempat melakukan penyelidikan karena dia harus cepat menangkap kelinci sebelum empat ekor binatang itu melarikan diri ke dalam semak belukar penuh duri. Maka, dia pun cepat meloncat ke balik semak-semak, bagaikan seekor harimau dia menerkam ke arah kelinci putih dengan tangan di ulur untuk menangkapnya Wuuutttt …..!” tiba-tiba saja empat ekor kelinci itu seperti ditiup angin, lenyap demikian cepatnya sehingga dia hanya menangkap angin saja! Ketika dia mengangkat muka memandang ke arah berkelebatnya binatang-binatang itu, dia melihat betapa empat ekor kelinci itu, dengan tubuh gemetar, berada di atas pangkuan seorang kakek yang duduk bersila di bawah pohon, tadi tidak nampak karena tertutup semak belukar. Dan Hay Hay terbelalak penuh kekagetan dan keheranan, mengamati kakek itu penuh perhatian karena selama hdiupnya belum pernah dia melihat seorang kakek seaneh ini. Dua orang gurunya, yaitu Ciu-sian Sin-kai dan See-thian Lama atau Go-bi San-jin, juga merupakan dua orang kakek aneh, bahkan gurunya ketiga, Pek Mau San-jin pertapa di Min-san, lebih aneh lagi. Akan tetapi mereka bertiga itu masih menyerupai manusia yang hidup terikat oleh peraturan umum, baik sikap, pakaian dan bicaranya. Akan tetapi kakek ini, baru melihat keadaannya saja sudah tidak lumrah manusia. Kakek ini sukar di taksir berapa usianya, mungkin sudah tua sekali melihat mukanya yang penuh keriput dan garis-garis malang melintang itu. Kepalanya besar, tidak normal, bagian belakangnya seperti membengkak dan kepala itu gundul bukan karena dicukur, melainkan botak dan tidak ditumbuhi rambut. Akan tetapi, kumis dan jenggotnya tumbuh lebat dan masih hitam, membuat muka yang sempit itu nampak seperti monyet atau manusia hutan yang liar, lebih mendekati monyet daripada manusia. Tubuhnya nampak kecil pendek, bukan memang karena ukurannya, melainkan karena tubuh itu bongkok dan punggungnya melengkung seperti tubuh udang. Sepasang mata itu kecil bundar seperti mata monyet, dikelilingi kerut merut, akan tetapi Hay Hay merasa silau bertemu pandang dengan mata itu, karena sepasang mata kecil itu bagaikan dua titik api membara! Hidungnya juga pesek seperti hidung monyet, mulutnya kecil dan tersenyum mengejek. Yang lebih mengherankan adalah tubuh kakek itu yang tidak tertutup pakaian! Hanya ada semacam cawat tergantung di pinggang, terbuat dari kulit pohon. Kakinya telanjang tanpa alas kaki. Sungguh merupakan seorang manusia hutan yang agaknya tak pernag mengenal peradaban! Akan tetapi ketika Hay Hay mendengar suaranya, ia tertegun! Bukan manusia liar, bukan setengah binatang, melainkan seorang manusia yang dapat mengeluarkan kata-kata penuh kasih sayang terhadap empat ekor kelinci di atas pangkuannya itu! Hanya sebentar saja kakek itu membalas pandang mata Hay Hay karena dia lalu sibuk mengelus-elus tubuh empat ekor kelinci itu bergantian, kemudian mulutnya bicara dengan kata-kata yang penuh kasih sayang. “Jangan takut, sayang, jangan khawatir. Selama ada Kakek Song di sini, tidak ada seorang pun manusia jahat mampu mengganggumu. Tenanglah dan pergilah sana bermain-main. Akan tetapi, hati-hati selalu kalau melihat ada manusia, bersembunyilah karena manusia lebih jahat dari ular, lebih keji dari iblis. Pergilah, sayang ….!” Kakek itu mengelus punggung empat ekor kelinci dan mendorong mereka masuk ke dalam semak-semak. Binatang-binatang itu nampak jinak sekali terhadap Si Kakek. Melihat sikap dan mendengar kata-kata kakek itu, Hay Hay merasa tidak enak sekali. Dengan sikap hormat dia pun melangkah maju menghampiri kakek itu lalu menjura. “Maafkan aku, Kek. Apakah kelinci-kelinci itu peliharaanmu?” Kakek itu bangkit dan nampak tubuhnya semakin bongkok, matanya mengeluarkan sinar menyambar ke arah muka Hay Hay, lalu dia menudinkan sebatang telunjuk yang bengkok. “Manusia jahat, masih muda sudah jahat kau, tahunya hanya menangkap binatang untuk dipelihara atau dimakan dagingnya. Keji, sungguh kejam dan jahat! Semua binatang di dunia ini adalah sahabatku, aku tidak mengenal apa ittu peliharaan. Dan awas kau, kalau kauganggu seekor pun binatang terkecil, akan kubunuh kau!” “Tapi, Kek ….” “Huh, tidak ada tapi! Lihat, pagi begini indah, alam begini elok dan suasana begini suci dan penuh bahagia …..” Tina-tiba Hay Hay melihat betapa wajah itu membayangkan kelembutan dan suaranya berubah halus, kata-katanya indah seperti sajak. “Dan engkau manusia jahat datang, tidak mempedulikan semua keindahan itu, dengan hati penuh kebencian, penuh nafsu membunuh!” “Tapi, Kakek yang baik, hatiku tidak penuh kebencian, tidak penuh nafsu membunuh. Yang benar, perutku yang penuh keluh kesah dan jerit karena lapar!” “Gila kau! Masa perut lapar hendak membunuh kelinci?” bentak kakek itu. “Kau lebih jahat daripada segala mahluk. Binatang jauh lebih baik daripada manusia macam kau!” Hay Hay merasa penasaran sekali. Dia melihat ke atas dan nampak seekor burung sedang makan ulat. “Kakek yang baik, jangan sembarangan memaki orang. Lihat binatang-binatang pun sesama mahluk hidup kalau mereka lapar. Burung itu makan ulat, juga cacing dan serangga. Kucing makan tikur dan cecak. Harimau dan singa makan kijang, kambing dan kelinci!” “Tentu saja, tolol! Karena memang makanannya! Harimau tidak suka makan rumput, kalau tidak ada kijang atau kambing atau binatang kecil lainnya, dia akan mampus kelaparan. Sebaliknya, kerbau tidak suka makan daging, makanannya adalah rumput, kalau tidak ada rumput dia mampus kelaparan! Akan tetapi engkau, manusia, apa saja yang tidak kamu makan? Kamu makan daging bukan karena lapar, melainkan karena mencari enak! Tidak boleh disamakan dengan harimau!” Kakek itu mencak-mencak dan nampak marah. “Kakek yang baik, sekarang ini perutku lapar bukan main. Kalau aku tidak boleh menangkap binatang untuk kumakan dagingnya, aku pun tentu akan mati kelaparan.” “Bohong, begini banyaknya makanan di sekelilingmu. Daun-daunan, buah-buahan, bahkan rumput dapat kaumakan.” Hay Hay tertegun. “Apakah engkau sendiri juga tidak pernah makan daging, Kek? Hanya makan rumput, daun dan buah?” “Tentu saja! Aku bukan manusia jahat pelahap macam engkau! Aku penyayang binatang karena mereka itu jauh lebih suci daripada manusia yang berhatu palsu, curang, kejam dan munafik, ha-ha-ha!” Tiba-tiba kakek itu berjingkrak dan tertawa. Hay Hay merasa betapa bulu tengkuknya meremang. Kakek ini bukan hanya aneh, akan tetapi juga agaknya sudah miring otaknya, sudah gila! Suara ketawanya itu tidak wajar dan muka yang dapat berubah-ubah itu, menunjukkan bahwa kakek itu memang tidak waras. Agaknya untuk membuktikan kata-katanya, kakek itu lalu mencabut rumput hijau muda dan memakannya. Nampak enak seperti seperti seekor sapi makan rumput, kemudian memetik pupus daun pohon dan memakannya pula. Melihat ini Hay Hay tersenyum. “Kakek yang bai, apa kaukira karena makan rumput dan daun saja, engkau tidak membunuh? Rumput dan daun itu pun telah kaubunuh ketika engkau memakannya, belum lagi terhitung kutu-kutu dan binatang-binatang kecil yang tidak nampak oleh mata, yang berada di daun dan rumput itu, ikut pula kaukunyah dan kautelan. Entah berapa ratus ekor binatang kecil sekali yang kaumakan bersama rumput dan daun itu!” Kakek itu memandang dengan sepasang mata mencorong, dan mulutnya yang tadi sedang mengunya daun itu menghentikan gerakannya, kemudian kalamenjing itu bergerak menelan makanan rumput dan daun, agak sukar nampaknya. Setelah semua sayur itu habis di telannya, baru dia dapat berkata marah, “Engkau gila! Sudah, aku tidak sudi bicara dengan orang gila, aku tidak mau naik darah dan membunuh orang gila! Akan tetapi awas, sekali saja kau ganggu seekor binatang, kubunuh kau, manusia jahat!” Sebelum Hay Hay menjawab, sekali berkelebat kakek itu pun lenyap. Hay Hay tertegun. Tak disangkanya bahwa kakek itu memiliki gerakan sedemikian cepatnya, seperti menghilang saja. Maklumlah dia bahwa kakek itu bukan orang sembarangan. Tadi ketika menangkis sambitan batunya sampai dua kali, kemudian menghindarkan kelinci-dari tubrukannya, sudah membuktikan bahwa kakek itu memiliki kepandaian yang amat tinggi. Siapakah kakek itu pikirnya. Tingkahnya seperti orang yang miring otaknya, seperti orang gila, akan tetapi kakek itu memaki dia sebagai orang gila. Kakek itu menyayang binatang, hal ini jelas, dan menganggap orang yang makan daging binatang amatlah biadab. Siapakah yang gila, kakek itu ataukah dia? Dia tahu bahwa banyak sekali binatang kecil yang tak dapat dilihat oleh mata saking kecilnya, hidup di dalam dan di luar daun-daun dan sayur-sayuran sehingga makan sayur mentah pun tanpa disengaja membunuh banyak binatang tanpa disengaja! Ah, disinilah letak perbedaannya, pikir Hay Hay. Kakek itu pantang membunuh, walaupun tadi mengancamnya akan membunuh kalau dia berani mengganggu binatang. Kakek itu pantang membunuh, apalagi membunuh untuk makan! Membunuh sengaja dan tanpa sengaja jelas berbeda. Membunuh binatang untuk makan dagingnya memupuk kekejaman dan memperbesar nafsu mengejar kesenangan melalui makanan. Agaknya inilah inti pelajaran yang tersembunyi di balik tiingkah yang aneh dari kakek tadi. Ah, peduli amat, perutnya lapar! Hay Hay menengok ke kanan kiri dan tidak nampak bayangan kakek tadi, juga tidak terdengar suara, maka dia merasa yakin bahwa kakek itu tentu telah jauh dari situ. Dia pun mulai lagi mencari binatang buruan untuk dijadikan calon korbannya, calon mangsanya. Tiba-tiba matanya tertarik oleh gerakan di atas pohon. Dia berhenti bergerak dan melihat adanya seekor ular yang merayap turun dari atas pohon melalui sebatang cabang yang menjulur ke bawah. Gerakan ular itu lambat sekali, tidak mengeluarkan suara, bahkan seperti tidak nampak bergerak namun tubuhnya semakin maju dan lidahnya bergerak keluar masuk monconganya dengan amat cepat seperti tusukan pedang di tangan seorang ahli. Ketika Hay Hay memperhatikan ke bawah, dia melihat seekor tikus besar sedang makan bangkai ayam hutan. Demikian asyiknya tikus hitam itu makan daging bangkai ayam sehingga ia agaknya lupa akan segala. Biarpun matanya selalu bergerak ke kanan kiri dengan waspada, namun ia tidak melihat benda bergerak yang hidup dan mengancam di atas kepalanya itu. Seekor ular sedang mengintai dan merunduk calon korban dan mangsanya, pikir Hay Hay. Hatinya tertarik sekali dan dia pun tidak berani bergerak, takut kalau akan mengejutkan pemburu di atas pohon dan buruannya yang berada di dekat semak di bawah cabang pohon itu. sebagai seorang ahli silat, perasaannya peka sekali terhadap setiap gerakan dan dia seolah-olah dapat merasakan ketegangan dan kegembiraan penuh harapan dari ular itu, kegembiraan seorang pemburu mengintai dan mengejar calon korban! Diam-diam Hay Hay yang mengikuti gerakan ular itu, ikut pula merasakan kegembiraan itu dan dia bahkan membuat ancang-ancang, seolah-olah dia yang hendak menerkam tikus itu. Dan ternyata perhitungannya tepat sekali. Ketika dia sudah merasakan bahwa saatnya tiba untuk menerkam melihat posisi ular yang sudah tiba di dekat ujung cabang yang mulai melengkung karena bobot ular, binatang itu pun menjatuhkan diri ke bawah! Karena cabang pohon itu kehilangan beban berat, maka melenting ke atas dan daunnya mengeluarkan bunyi. Hal ini cukup membuat tikus yang berada di bawah menjadi ketakutan dan meloncat karena perasaan nalurinya membisikkan ancaman bahaya. Akan tetapi, tubuh panjang ular itu memungkinkannya untuk menyambar dengan moncong terbuka ke arah meloncatnya tikus itu sehingga loncatan itu terhenti di udara karena tubuhnya sudah tertahan oleh gigitan ular yang tepat mengenai lehernya. Tikus itu meronta-ronta, mencakar dan mengeluarkan suara bercuitan menyedihkan. Hay Hay memejamkan mata sejenak sampai suara itu terhenti. Ketika dia membuka mata lagi, nampak betapa ular itu mulai menelan tubuh tikus yang tak bernyawa lagi itu perlahan-lahan, sedikit demi sedikit karena perut tikus yang gendut itu lebih besar daripada lebar mulutnya. Sepasang mata ular itu meram melek dan kelihatan betapa menikmati santapannya! Hay Hay menarik napas panjang. Betapa mengerikan, betapa kejamnya. Sejenak timbul keinginannya untuk membunuh ular itu. Akan tetapi dia teringat bahwa memang demikianlah cara ular mempertahankan hidupnya, yaitu membunuh dan memakan binatang lain yang lebih kecil atau juga lebih besar namun kalah kuat. Ular takkan dapat hidup dari makan rumput, daun atau buah. Makananya adalah bangkai binatang lain! Tikus itu pun tadi sedang makan bangkai ayam hutan yang mulai membusuk! Dia mulai melihat kebenaran tingkah dan sikap kakek gila tadi. Tidak, ular itu tidak kejam, tidak buas. Ular membunuh untuk mempertahankan hidupnya. Akan tetapi manusia? Tiba-tiba terdengar suara lengkingan bening. Hay Hay segera meloncat ke arah darimana datangnya suara itu. Suara rusa betina! Dia mengenal suara itu. Daging rusa amat enak, lebih lezat dan gurih daripada daging domba! Masa bodoh dengan peringatan kakek gila itu dan filsafatnya, masa bodoh dengan ular itu, yang penting dia lapar dan dia membutuhkan daging rusa yang enak! Dengan ilmu lari cepat, sebentar saja Hay Hay melihat rusa betina yang mengeluarkan lengking tadi. Dia mengintai dari balik semak-semak. Di depan, di dekat sebuah rawa kecil, nampak seekor rusa betina bersama seekor anaknya dan rusa betina itu nampak marah, bersikap melindungi anaknya dan siap menyerang seekor rusa jantan yang mendekatinya. Sejenak mereka berdua itu mendengus-dengus, si jantan hendak mendekati, si betina marah dan menolak. Akhirnya rusa jantan itu kecewa, menggerakkan kepala ke atas lalu memutar tubuhnya, membalik dan berlari pergi. Rusa betina itu agak kurus, maklum karena menyusui, dan anaknya masih terlalu kecil untuk di makan dagingnya. Hay Hay sudah siap untuk meloncat dan menangkap rusa betina itu. Biarpun rusa itu gesit dan berlari cepat, dia yakin akan mampu menangkapnya. Apalagi rusa betina itu sedang menjaga anaknya, tentu tidak akan mau meninggalkan anaknya, melainkan mengajaknya melarikan diri dan rusa kecil itu belum begitu kuat untuk berlari secepat induknya. Akan tetapi tiba-tiba timbul keraguan di hati Hay Hay. Apakah dia akan sama dengan ular tadi? Kalau dia membunuh induk rusa itu, lalu bagaimana dengan anaknya? Tentu akan mati karena tidak ada yang menyusuinya! Dan bagaimana pula kalau diketahui oleh kakek tadi? Berarti dia mencari musuh. Sekaligus dia akan menukar beberapa potong daging rusa yang belum tentu enak melihat rusa itu kurus dengan tiga kerugian. Pertama, dia akan membayangkan bahwa dia tidak ada bedanya dengan ular tadi, ke dua dia akan selalu teringat sebagai seorang yang kejam yang membunuh induk rusa dan membiarkan anak rusa mati kelaparan, dan ke tiga, mungkin dia akan di benci dan dimusuhi kakek gila yang sakti tadi. Selagi dia hendak meninggalkan tempat itu karena nafsunya untuk makan daging kijang lenyap sama sekali, terdengar auman nyaring dan suara itu bergema di seluruh hutan, menggetarkan bumi. Hay Hay melihat munculnya seekor harimau di balik semak-semak, tak jauh dari tepi rawa di mana induk rusa tadi berada. Anak rusa cepat mendekati induknya dan rusa betina menggigil, keempat kakinya gemetar, akan tetapi dengan gagah ia melindungi anaknya dan memasang kepalanya ke bawah, matanya melirik ke arah harimau itu, siap melindungi anaknya sampai saat terakhir! Melihat ini, Hay Hay lupa segala. Dorongan batinnya untuk menolong yang lemah terancam membuat dia melompat bersama dengan lompatan harimau yang menerkam rusa. Dua tubuh itu bertemu di udara dan Hay Hay sudah menggerakkan tangan terbuka menghantam ke arah kepala harimau itu. “Dukkk!” Pukulan tangan miring itu amat kerasnya, mengenai belakang telinga kiri harimau. Tubuh harimau itu terbanting keras, mengaum tiga kali akan tetapi lalu berkelojotan lalu mati. Dari mulut, hidung dan telinganya mengalir darah. Induk dan anak rusa itu sudah berloncatan pergi entah kemana, entah muncul darimana pula, ditempat rusa itu telah berdiri kakek yang gila dan aneh tadi. Tentu saja Hay Hay menjadi terkejut sekali. Cara kakek itu muncul dan kini berdiri memandangnya dengan mata lebar melotot, membuat dia mengerti bahwa kakek itu telah melihat segalanya dan kini marah karena dia telah membunuh harimau itu. Maka dia pun cepat melangkah maju dan menjura dengan sikap hormat. “Locianpwe (Orang Tua Gagah), harap maafkan. Bukan aku sengaja membunuh dan mengganggu binatang, akan tetapi ketika melihat betapa harimau itu hendal membunuh induk rusa, aku merasa kasihan kepada induk rusa dan anaknya, maka aku lupa diri dan membela mereka.” “Huh! Kasihan kepada rusa dan anaknya, akan tetapi tidak kasihan kepada harimau itu! Entah sudah berapa hari dia kelaparan dan pada saat dia mendapatlan calon penyambung hidupnya, ada saja orang yang usil bahkan membunuhnya dalam keadaan kelaparan!” Hay Hay terkejut. Tak disangkanya akan demikian jalan pikiran kakek aneh itu. Otomatis dia memandang ke arah bangkai harimau dan melihat binatang itu menggeletak mati dengan mulut, hidung dan telinga berdarah, dengan perut yang kempis, tiba-tiba saja dia merasa kasihan juga. “Maaf, Locianpwe. Aku tidak pernah berpikir sampai sejauh itu. Yang kulakukan hanya apa yang timbul dalam perasaanku pada saat itu. Melihat rusa dan anaknya itu terancam ….” “Perlukah harus membunuh harimau itu? Dengan kepandaianmu, mudah saja kalau engkau mengusir tanpa membunuh. Engkau membunuhnya untuk mendapatkan dagingnya sebagai ganti daging rusa itu bukan? Kejam, sungguh kejam!” “Maaf, Locianpwe,” kata pula Hay Hay, khawatir kalau-kalau peristiwa itu akan menimbulkan kebencian dalam hati kakek itu terhadap dirinya sehingga mereka akan bermusuhan, hanya oleh sebab yang amat sepele itu. “Huh, kalau aku tidak melihat engkau membunuhnya untuk melindungi rusa, apa kaukira aku akan tinggal diam saja? Engkau terlalu mengandalkan ilmu kepandaian, nah, sekarang aku ingin mencoba sampai dimana kelihaianmu itu. Bersiaplah!” tanpa memberi kesempatan kepada Hay Hay untuk membantah lagi, kakek itu sudah menerjang kalang kabut kepada pemuda itu! Hay Hay terkejut bukan main. Kakek itu menyerang dengan gerakan yang aneh dan seperti ngawur saja, ada sipat gerakan segala macam binatang terkandung di dalam semua serangannya, akan tetapi ternyata serangan-serangan itu dahsyat dan berbahaya bukan main. Gerakan itu agaknya sepenuhnya berdasarkan naluri dan tidak terkendali oleh pikiran, sepeti yang dilakukan binatang kalau sedang berkelahi. Akan tetapi, kalau binatang memiliki kekuatan terbatas sesuai dengan sifat dan keadaan tubuh mereka, kakek ini memiliki tenaga terlatih yang tumbuh berkat latihan, dan memiliki tenaga sinkang yang luar biasa kuatnya. Karena repot kalau harus mengelak terus ke sana-sini dan kemana pun tubuhnya mengelak selalu di bayangi kedua tangan kakek itu yang bergerak otomatis melanjutkan serangan yang gagal, terpaksa Hay Hay menggunakan lengan tangannya menangkis. “Dukkk!!” Keduanya terpental ke belakang. Hay Hay merasa betapa tubuhnya tergetar, sebaliknya kakek itu mengeluarkan suara menggereng karena dia pun merasa betapa pertemuan tenaga itu membuat isi perutnya terguncang hebat. “Eh, kau boleh juga!” kata kakek itu memuji dan kini dia menyerang lagi, lebih hebat dari tadi dan lebih aneh karena kini dia menyerang dengan jalan menyeruduk dengan kepala di depan seperti tingkah seekor binatang buas yang bertanduk kalau melakukan penyerangan. Akan tetapi kakek itu tidak bertanduk, dan mempergunakan kepalanya yang gundul botak dan membendol besar dan karena memang tubuhnya agak bongkok melengkung, maka ketika dia menyeruduk seperti itu, tiada ubahnya seperti seekor kerbau yang menyerang lawan. Akan tetapi kalau binatang bertanduk hanya mengandalkan tanduknya dalam serangan, kakek ini selain menggunakan kepalanya, juga di bantu oleh kedua tangan yang menyerang dari kanan kiri, bahkan kakinya siap untuk melakukan tendangan! Hay Hay menjadi sibuk mengalak ke sana-sini, akan tetapi karena serangan kakek itu memang aneh bukan main, sukar di duga kemana perkembangan gerakan serangan itu, dan mengandung tenaga yang bukan main kuatnya, juga amat cepat, tetap saja Hay Hay terdorong oleh angin pukulan tangan kanan yang membuatnya terpelanting! Namun pemuda yang sudah memiliki ilmu yang hebat itu cepat meloncat lagi begitu tubuhnya menyentuh tanah, dan dia pun muali menjadi marah. Kakek ini, gila ataupun tidak, sungguh keterlaluan, mendesaknya sedemikian rupa. Maka dia pun mulai membalas! Melihat ini, kakek itu mengelak sambil mengibaskan lengan menangkis dan terkekeh. “Heh-heh-heh, bagus, engkau mulai mempunyai nyali untuk menyerangku. Nah, orang muda kejam, jangan kira engkau akan dapat merobohkan aku seperti engkau merobohkan harimau tadi. Hayo keluarkan semua kepandaianmu!” katanya sambil berdiri tegak. Setegak-tegaknya kaki itu berdiri terpentang, tetap saja dia seperti seekor monyet besar berdiri karena punggungnya yang bongkok. Matanya mencorong dan seperti ada api membara di dalamnya, mulutnya yang tersenyum menyeringai itu malah nampak seperti orang cemberut atau mengejek. Aneh sekali, timbul perasaan iba di dalam Hay Hay melihat kakek ini. Kakek yang tua sekali, tidak seperti manusia lumrah, demikian buruk rupanya seperti monyet saja, terlantar tanpa baju tanpa sepatu, hanya bercawat, padahal memiliki ilmu kepandaian yang demikian tingginya! Timbul perasaan tidak tega untuk menyerang kakek ini, maka diam-diam dia mengerahkan tenaga batinnya, hendak menggunakan sihir untuk menundukkan kakek ini, dan membuat dia tidak marah dan tidak menyerangnya lagi. “Kakek yang baik, lihat padaku! Aku bukan musuhmu, aku adalah sahabat baikmu! Lihatlah, kita adalah sahabat baik, bukan? Aku sahabatmu dan kita tidak seharusnya berkelahi atau bermusuhan!” Di dalam kata-katanya itu terkandung kekuatan sihir yang amat kuat. Kakek itu nampak tertegun, lalu mendengus seperti seekor lembu marah, dan membentak, “Aku tidak mempunyai sahabat macam engkau!” Hay Hay terkejut. Kekuatan sihir yang dipergunakannya tadi amat kuat karena dia mengerahkan tenaga batin. Andaikata kakek ini memiliki pertahanan batin yang bagaimana kuat pun, tentu akan dapat ditembus! Akan tetapi, kakek itu kelihatan tidak apa-apa dan enak saja membantah kata-katanya! “Locianpwe, lihat baik-baik, siapakah aku ini?” “Engkau seorang manusia yang kejam melebihi ular dan harimau!” “Engkau keliru, aku adalah cucumu sendiri!” “Bohong, aku tidak punya Cucu!” “Aku adalah puteramu!” “Omong kosong, aku tidak punya anak!” Celaka, pikir Hay Hay. Dia yakin bahwa siapa saja kalau dihadapinya dengan sihir ini, tentu takluk dan membenarkan semua kata-katanya. Akan tetapi kakek gila ini menyangkal semua ucapannya dan ini hanya berarti bahwa kakek itu sama sekali tidak terpengaruh oleh kekuatan sihirnya. Demikian kuatkah kakek ini, ataukah kekuatan sihirnya sendiri yang sudah melempem? Dia teringat bahwa kakek ini agaknya pembenci manusia dan pencinta binatang, maka kini dia menambah kekuatan pada pandang mata dan suaranya, lalu berseru dengan suara menggetar penuh kekuatan sihir. “Locianpwe, lihat baik-baik, aku adalah seekor kelinci!” Dia teringat betapa kakek itu melindungi kelinci-kelinci dan nampak amat sayang kepada binatang itu. “Ha-ha-ha, engkau yang buruk ini mana bisa dibandingkan dengan kelinci yang bersih, manis dan mungil? Jangan mengacau!” “Kakek aku adalah seekor harimau, lihat baik-baik!” “Ho-ho, tak perlu membadut. Engkau yang lemah ini mana patut menjadi harimau yang gagah perkasa?” Sialan, pikir Hay Hay. Kakek ini kebal terhadap serangan sihir, atau memang kekuatan sihirnya yang sudah melempem. Tidak ada jalan lain kecuali lari secepat mungkin meninggalkan kakek gila itu, atau kalau tidak agaknya dia harus merkelahi mati-matian melawan kakek yang benar sakti luar biasa ini. Dia memilih yang pertama dan cepat dia meloncat ke belakang, berjungkir balik sambil mengerahkan ilmu sihirnyanya. Dimata orang lain, tentu dia akan lenyap menjadi asap, dan dia pun tidak peduli lagi apa pengaruh sihirnya terhadap kakek gila, melainkan cepat mengerahkan tenaga saktinya dan mempergunakan ilmu berlari cepat untuk meninggalkan tempat itu. Pada waktu itu, Hay Hay telah memiliki ilmu berlari cepat yang amat hebat. Dia telah mewarisi ilmu-ilmu dari tiga orang sakti yang menggemblengnya penuh ketekunan disamping bakatnya sendiri memang besar sekali. Jarang ada orang akan mampu mengejarnya, maka setelah berlari cepat kurang lebih seperempat jam dia telah berada jauh sekali, mendaki bukit yang dipenuhi hutan. Karena sejak tadi mengerahkan tenaga, Hay Hay merasa lelah dan tubuhnya berkeringat, maka ketika melihat sebuah batu hitam menggeletak di bawah sebatang pohon besar yang rindang dan teduh, dia pun menghampiri batu itu dan duduk menjatuhkan diri. “Aaaahhhh ……!!” Dia menarik napas panjang dan lega. Enak sekali rasanya beristirahat di tempat teduh itu setelah berlari-lari seperti dikejar setan tadi. Akan tetapi, betapa kagetnya ketika tiba-tiba batu yang diduduki itu bergerak dan terdengar suara dari batu itu, “Hemm, engkau baru datang. Sampai mengantuk aku menunggu kedatanganmu. Mari kita lanjutkan perkelahian kita!” Hay Hay meloncat sampai lima meter jauhnya dari batu itu dan ketika dia memandang, ternyata batu itu bukan lain adalah kakek gila tadi yang duduk bersila di situ! Tengkuknya meremang! Sukar di percaya bahwa dia bertemu dengan seorang manusia begini sakti! Dia mengerti sekarang bahwa dalam hal ilmu sihir dan ilmu berlari cepat, dia kalah jauh. Bukan saja kakek itu telah dapat mendahuluinya, bahkan kakek itu dapat mengubah diri menjadi batu sehingga dia dapat dikelabuhi. Ini juga merupakan semacam sihir atau sulap yang aneh sekali sehingga orang seperti dia, yang telah mempelajari ilmu sihir dari Pek Mau San-jin dapat tertipu! “Locianpwe, maafkan aku. Aku tidak ingin berkelahi dengan Locianpwe,” katanya merendah sambil menjura. “Heh-heh, aku tidak peduli engkau ingin atau tidak. akan tetapi engkau telah memperlihatkan kepandaian membunuh harimau yang tidak berdosa kepadaku, maka sebagai hukumannya, engkau harus melawanku, hendak kulihat sampai dimana hebatnya kepandaianmu. Nah, bersiaplah engkau!” Kembali kakek itu menerjang seperti tadi, dengan gerakan ngawur dan tidak menurut aturan ilmu silat ini maka amat sukar bagi Hay Hay untuk mengenal atau menduga gerkan-gerakannya. Kembali Hay Hay segera terdesak hebat dan diam-diam dia merasa penasaran sekali. Betapapun lihainya, kakek ini hanyalah seorang manusia biasa dan dia sendiri sudah memiliki ilmu silat tinggi. Maka dia harus membela diri dan membalas serangan kakek ini dengan ilmu-ilmu tinggi yang pernah dipelajarinya. “Baiklah, kalau engkau memaksa, aku harus membela diri!” teriaknya dan dia pun segera membalas serangan kakek itu dengan serangan kilat, kakinya bergerak dengan Jiau-pou-poun-soan, ilmu langkah ajaib yang dipelajarinya dari See-thian Lama dan kedua tangannya mengirim serangan bertubi-tubi, tamparan yang amat dahsyat, totokan-totokan yang menggunakan satu jari, dua jari, bahkan tiga jari, mengancam jalah darah terpenting dari seluruh tubuh lawan!! Hebat bukan main serangkaian serangannya itu sehingga berkali-kali kakek itu berloncatan mengelak sambil memuji-muji. “Wah, hebat kau! Heii, bukankah ini Jiau-poa-poan-soan? Wah, agaknya engkau mewarisi ilmu dari See-thian Lama, manusia dari Go-bi-san itu, ya? Ha-ha-ha, keluarkan semua!” Hay Hay makin heran dan terkejut, yakin bahwa tentu kakek ini seorang yang memiliki kedudukan tinggi walaupun nampaknya terlantar dan gila, buktinya mengenal ilmu dari suhunya yang kedudukannya sudah tinggi sebagai seorang di antara Delapan Dewa. Setelah lebih dari tiga puluh jurus semua serangannya gagal karena agaknya lawan mengenal ilmu silatnya, Hay Hay merobah gerakannya dan kini dia memainkan Ciu-sian Cap-pek-ciang yang amat dahsyat, ciptaan Ciu-sian Sin-kai yang khusus untuk dirinya. Begitu dia mainkan ilmu silat yang membuat daun-daun pohon disekeliling tempat itu banyak yang rontok oleh sambaran angin pukulannya, kakek itu kembali berseru kaget berkali-kali sambil terus mengelak dan kadang-kadang menangkis. “Wah-wah, engkau Si Jembel Ciu-sian Sin-kai kalau begini! Bocah ini sungguh beruntung, mewarisi pula ilmu dari Si Jembel dari Delapan Dewa itu!” Akan tetapi, seperti tadi, dia dapat menghindarkan semua serangan Hay Hay. Diam-diam pemuda ini makin kagum dan terpaksa dia mencabut sulingnya, sebatang suling dari kayu seperti milik Ciu-sian Sin-kai. Suling ini hanya tiga kaki panjangnya, dapat dipakai sebagai alat musik dan dapat pula dimainkan seperti pedang. Dengan senjata ini, kembali dia menyerang sambil mengerahkan seluruh kepandaiannya. Kakek itu kembali menghadapi semua serangan Hay Hay dengan elakan-elakan dan tangkisan, sambil memuji-muji dan tiba-tiba membentak, “Cukup!” Tiba-tiba tubuh Hay Hay terpental seperti terbawa angin badai yang amat kuat dan biarpun dia telah mengerahkan tenaga untuk mempertahankan diri, tidak urung dia terhuyung, akan tetapi tidak sampai jatuh. “Bagus, engkau kuat pula menahan bentakan kilat itu!” kakek itu memuji dan kini sikapnya tidaklah seperti tadi, bukan sikap orang yang gendeng melainkan penuh wibawa. Akan tetapi sikap seperti itu hanya sebentar saja karena begitu Hay Hay menjatuhkan diri berlutut di depannya, dia sudah tertawa-tawa lagi dengan suara ketawa menyeramkan tidak normal! “Heh-heh-ha-ha-ha, engkau orang muda kejam telah mempelajari banyak ilmu hebat, akan tetapi masih mentah! Dan orang mentah seperti engaku berani memamerkan kepandaian di depan Song Lojin (Kakek Song)? Ha-ha-ha!” Hay Hay mengingat-ingat, akan tetapi belum pernah dia mendengar akan nama Song Lojin di antara tokoh-tokoh persilatan, bahkan ketiga orang gurunya belum pernah ada yang bercerita tentang seorang tokoh tua bernama Kakek Song. Dia merasa yakin bahwa tingkat kakek ini tidak di sebelah bawah tingkat kedua orang gurunya yang merupakan dua orang tokoh Delapan Dewa, maka dia pun cepat memberi hormat sambil berlutut dan berkata, “Locianpwe, saya yang bodoh bernama Hay Hay mohon petunjuk dari Locianpwe yang mulia.” “Siapa yang mulia? Ha-ha, perangkap kehormatan dan rayuan tidak akan menjebakku karena aku tidak pernah membutuhkannya.” Dia terkekeh. “Akan tetapi aku suka melihat bakatmu, engkau berbakat dan semuda ini sudah memiliki ilmu silat dan sihir yang jarang dimiliki orang lain. Eh, namamu Hay Hay, siapa shemu?” “Maaf, Locianpwe, saya membenci ayah saya yang amat jahat, maka saya tidak mau mempergunakan nama keturunannya. Nama saya Hay Hay titik, tanpa she.” “Wah-wah .... ha-ha-ha, engkau pun tidak mau terikat, akan tetapi itu timbul karena benci. Nah, Hay Hay, bagaimana kalau engkau mematangkan ilmu-ilmu yang kaumiliki?” Tentu saja Hay Hay nerasa girang bukan main dan kembali dia memberi hormat sampai dahinya menyentuh tanah. “Kalau Suhu berkenan menurunkan ilmu, teecu akan berterima kasih dan selamanya takkan melupakan budi Suhu.” “Wah-wah, aku tidak butuh diingat, tidak mau menghutangkan budi. Akan tetapi engkau harus mentaati semua perintahku. Berani?” “Teecu berani.” “Selama berada di dekatku, engkau tidak boleh makan bangkai!” “Teecu selamanya tidak pernah makan bangkai!” kata Hay Hay memprotes. “Huh, siapa bilang? Kalau engkau makan daging bukankah bangkai yang kaumakan itu? Daging binatang yang sudah matu, apakah itu bukan bangkai?” Hay Hay tertegun dan tidak mau membantah. “Baik, teecu akan mentaati semua perintah itu.” “Latihan-latihannya berat sekali, kalau engkau tidak kuat dapat menjadi gila atau bahkan mati, dan engkau harus mentaati perintahku menjalankan latihan apa saja tanpa membantah. Sekali engkau membangkang, terpaksa aku akan membunuhmu karena engkau akan menjadi mahluk berbahaya. Sanggup?” Hay Hay merasa ngeri. Jangan-jangan kakek ini menjadi gila karena latihan-latihan yang entah bagaimana. Akan tetapi dia adalah seorang laki-laki yang jantan dan gagah, tidak sudi menjilat ludah yang sudah dikeluarkan dari mulut. “Teecu sanggup.” “Engkau tidak boleh meninggalkan sebelum kusuruh, dan kalau aku sudah menyuruh engkau pergi, engkau tidak boleh membantah, dimana saja dan kapan saja. Sanggup?” “Sanggup, Suhu.” “Nah, sekarang engkau harus melakukan latihan pertama. Ingat baik-baik kalimat ini dan hafalkan: Ada datang dari Tiada, maka segala yang Ada akan kembali ke Tiada. Nah, coba hahafalkan!” Hay Hay menahan ketawanya. Tentu saja baginya amat mudah menghafal kalimat itu, apalagi karena dari See-thian Lama dia sudah banyak diajar tentang Agama Budha, sedangkan dari Ciu-sian Sin-kai dia banyak mendengar tentang filsafat Agama To. “Baik, Suhu. Ada datang dari Tiada, maka segala yang Ada akan kembali ke Tiada.” “Bagus, engkau pintar,” kata kakek itu memuji karena memang Hay Hay membaca kalimat itu dengan suara indah setengah dinyanyikan, sudah banyak dia membaca sajak dan pandai berdeklamasi. “Sekarang berikan bungkusanmu kepadaku, juga tanggalkan semua pakaianmu dan mari ikut bersamaku.” Hay Hay tertegun, memandang kepada gurunya dengan bengong. Dia disuruh telanjang dan pakaiannya dibawa oleh kakek ini? Akan tetapi teringat akan janjinya, dan mengingat bahwa di tempat itu sunyi dan tidak ada orang lain kecuali mereka berdua, Hay Hay tidak membantah. Ditinggalkannya semua pakaiannya, lalu pakaian itu dimasukkan dalam buntalan pakaiannya, diserahkan kepada kakek itu yang memandang sambil menyeringai. “Kau tidak khawatir kalu aku melarikan diri membawa semua pakaianmu?” Hay Hay menggeleng kepala. “Tidak mungkin, karena Suhu tidak suka berpakaian.” “Nah, mari ikuti aku!” Kakek itu berlari cepat. Hay Hay mengikutinya dan pemuda ini harus mengerahkan Ilmu Yang-cu Coan-in (Burung Walet Membungkus Awan) untuk dapat mengimbangi cepatnya langkah kedua kaki kakek itu. Ternyata kakek ini membawanya kembali ke hutan pertama dimana dia untuk pertama kalinya bertemu kakek yang mengaku bernama Kakek Song ini. Setibanya di tepi sebuah anak sungai, diantara pohon-pohon yang besar, kakek itu berhenti. “Nah, sekarang engkau masuklah ke dalam air dan berendam sampai setinggi leher sambil duduk bersila. Apa pun yang terjadi, jangan engkau tinggalkan tempat ini sampai aku datang menyuruhmu keluar.” Hay Hay bergidik ngeri. Berendam di dalam air anak sungai itu? Sampai kapan? Dan perutnya amat lapar, hawa amat dingin. Akan tetapi dia tidak berani membantah, hanya bertanya. “Bagaimana kalau perut saya lapar, Suhu?” dan dia memancing, “Bolehkah saya menangkap ikan yang berenang dekat dan memakannya kalau perut saya sudah lapar sekali?” Pancingannya berhasil. Kakek itu mencak-mencak dan matanya melotot, bahkan menjadi kemerahan. “Apa kaubilang? Mau menangkap ikan yang tak berdosa dan makan bangkai ikan? Akan kubenamkan kepalamu ke dalam air sampai putus napasmu kalau begitu!” Habis, bagaimana kalau saya lapar?” “Apakah engkau akan mampus kelaparan kalau tidak makan bangkai? Lihat di sekelilingmu, begitu banyak makanan lezat dan segar, lihat ke atasmu. Akan tetapi awas, sebelum engkau kusuruh keluar, engkau tidak boleh meninggalkan tempat latihan itu, dan seluruh perhatianmu harus kaucurahkan kepada kalimat yang kauhafal tadi. Mengerti?” “Mengerti, Suhu.” “Kalau begitu, lekas kaulaukan!” Hay Hay tidak mengerti apa manfaat latihan gila ini, akan tetapi karena sudah berjanji dan karena dia yakin akan kesaktian kakek itu, dia pun menurut saja, memasuki air yang amat dingin, lalu memilih tempat di tengah, di mana dia dapat duduk di atas batu yang bundar dan rata ketika dia duduk bersila, ternyata air sampai di atas dadanya dekat leher. “Bagus, dan ingat, jangan mengira setelah aku pergi, engkau dapat meninggalkan tempat bertapa itu tanpa kuketahui. Kalau engkau melanggar, berarti pelajaran gagal dan engkau boleh pergi sebelum aku datang membunuhmu!” Setelah berkata demikian, kakek itu berkelebat dan lenyap bersama buntalan pakaian Hay Hay. Pemuda itu celingukan memandang ke kanan kiri, merasa seperti telah menjadi seekor kura-kura di tengah sungai, kesepian dan ditinggalkan, merasa seperti menjadi bulan-bulan permainan dan olok-olok. Mengapa dia menurut saja? Apa yang dilakukan dengan bertelanjang bulat di tengah sungai seperti ini? Tidak boleh meninggalkan tempat itu, padahal perutnya lapar? Dia memandang ke atas dan mengertilah dia akan maksud gurunya yang baru itu. Kiranya tempat itu penuh dengan pohon-pohon yang mengandung buah-buah yang lezat dan segar. Bahkan di kanan kiri anak sungai itu nampak bergantuung buah appel merah dan besar-besar! Akan tetapi bagaimana dia dapat mengambilnya? Dia tidak boleh meninggalkan tempat itu! Perut yang lapar membuat dia memutar otak mencari akal. Lalu diambilnya batu-batu kecil dari dasar sungai. Disambitnya appel yang bergantung di depannya. Dua buah butir appel runtuh ke atas air dan terbawa arus sungai itu menghampirinya karena dia diharuskan duduk melawan atau menghadapi arus air. Dengan gembira dimakannya buah itu dan ternyata rasanya manis dan segar bukan main. Setelah menghabiska ntujuh butir appel besar, perutnya menjadi tenang dan mulailah dia memperhatikan latihan yang diberikan oleh gurunya yang aneh itu. Dia duduk dengan tenang, dan karena dia bersamadhi, mudah saja baginya untuk mengheningkan cipta, dan yang teringat hanyalah kalimay itu saja yang dibacanya berulang-ulang di dalam hatinya. Kadang-kadang bibirnya ikut bergerak dan seluruh perhatiannya dicurahkan kepada kalimat itu. Kesadarannya bekerja bersama pengamatannya karena dia mengamati isi atau arti dari kalimat itu. Agama To pernah mengajarkan bahwa sebelum ada sesuatu, yang ada hanyalah Kosong, adan kosong sama dengan Tiada. Disebut Tiada atau Kosong karena keadaan itu tidak dapat diselami oleh pikiran manusia yang berisi, isi yang terbentuk dari ingatan-ingatan tentang pengalaman masa lalu, yang hanya dapat dicatat oleh pikiran berupa ingatan. Akan tetapi, jauh sebelum itu, otak tak mampu mencatatnya. Segala sesuatu yang ada, segala sesuatu yang terjadi, sudah pasti mempunyai sebab. Segala sesuatu hanya merupakan akibat belaka dari sebab-sebab tertentu. Dan selama ingatan masih mampu mencatat, selama pikiran masih mampu meraba, orang dapat mnelihat sebab-sebabnya. Akan tetapi sebab dan akibat itu berkait-kaitan, tiada putusnya dan ingatan tidak mungkin dapat menelusuri sampai pada bagian yang tanpa batas. Dan kalau sudah begini, maka manusia tidak tahu lagi dan tidak dapat melihat sebab-sebab yang tidak dilihatnya, tidak dimengertinya. Karena itulah, otak yang kehilangan akal dan kehilangan ukuran lalu melahirkan kata Nasib, menyerahkan Kehendak Tuhan, atau bahkan tidak mau tahu karena tidak melihat sebabnya, hanya mementingkan akibatnya dan mencari kesalahan kepada siapa saja secara membabi-buta! Ketika malam tiba, hawanya dingin bukan main, rasanya sampai menusuk tulang. Terpaksa Hay Hay harus mengerahkan tenaga sinkangnya untuk melawan hawa dingin ini. Semalam suntuk dia berjuang seperti melawan musuh yang tidak nampak, musuh yang berupa hawa dingin dan yang lebih daripada itu, perasaan ngeri. Gerakan air yang menggoyang tubuhnya, suara air, penglihatan remang-remang, mendatangkan bayang-bayang yang mengerikan dan menyeramkan, mengingatkan dia akan segala macam dongeng tentang setan dan iblis. Juga dia harus berjuag melawan rasa kantuk. Tidak mungkin membiarkan diri terseret hanyut oleh tidur dalam keadaan bersila di dalam air yang tingginya hanya dibawah dagu itu! Semalam suntuk Hay Hay merasa tersiksa, namun dengan gagah dia melawan semua itu sampai matahari pagi menimbulkan kabut dipermukaan air anak sungai itu, dan burung-burung berkicau menyambut sinar pertama matahari pagi. Akan tetapi, sampai matahari naik tinggi, kakek itu belum juga muncul! Padahal Hay Hay mengharapkan pagi ini kakek itu akan menghentikan siksaan atas dirinya. Makin siang, makin kecewa hatinya dan diam-diam ketika dia merenung kembali kalimat yang harus selalu diingatnya itu, dia memperoleh kenyataan baru dalam hidup, sehubungan dengan kesibukan pikirannya. Dia mendapat kenyataan bahwa kekecewaan timbul karena adanya harapan. Mengharapkan untuk memperoleh sesuatu menjadi biang kekecewaan, yaitu kalau harapan itu tidak terpenuhi seperti yang dilakukannya sejak semalam. Dia mengharapkan kakek itu akan mengakhiri penderitannya pada keesokan harinya, dan kini dia merasa kecewa bukan mainkarena kenyataannya kakek itu tidak muncul! Andaikata dia tidak mengharapkan, agaknya tidak akan muncul rasa kecewa itu. Ketika perasaan kecewa itu hampir membuat dia tidak kuat menahan lagi, mendorongnya untuk meloncat kedarat, dia cepat memejamkan kedua matanya dan seluruh perhatiannya dicurahkan kepada kalimat itu, bahkan bibirnya ikut bergerak seperti membaca mantera. “Ada datang dari Tiada, maka segala yang Ada akan kembali ke dalam Tiada.” Demikian berkali-kali dia membaca kalimat itu. Memang segalanya akan kembali ke Tiada. Juga dirinya. Setelah matahari condong ke barat, perutnya menagih lagi. Kembali dia meruntuhkan buah-buahan yang berada di depannya, dan buah-buahan itu terbawa hanyut oleh air menghampirinya. Dia makan buah-buahan itu sampai kenyang, lalu duduk tepekur pula. Hatinya tenang setelah dia mengulang kalimat itu dan setelah perutnya kenyang sehingga dia tidak lagi memikirkan hal yang bukan-bukan, tidak lagi ada rasa kecewa setelahnya hening dan kosong. Dia kini tenggelam ke dalam keheningan dan terus memasuki keheningan itu dalam keadaan sadar sepenuhnya, namun tidak merasakan apa-apa lagi, tidak mendengarkan apa-apa lagi, tidak melihat apa-apa lagi. Yang hidup hanyalah kesadarannya yang masuk kedalam dirinya sendiri, tidak terpengaruh oleh keadaan di luar dirinya. Dan rasanya seperti melayang-layang kedalam dunia yang amat luas, dengan beraneka macam warna, beraneka macam suara dan penglihatan yang tembus pandang namun tidak dapat diingat lagi bagaimana bentuk yang sesungguhnya. Sudah matikah dia? Tidak, dia masih hidup, hal ini diketahuinya benar melalui kesadarannya. Namun, dia merasa seperti berada di dunia lain! Tiba-tiba terdengar suara menggeelegar yang amat keras dibarengi cahaya yang menyilaukan mata. Hay Hay terseret ke dalam alam kenyataan dan dia pun membuka mata, terbelalak heran karena ternyata telah turun hujan dan suara menggelegar dibarengi cahaya tadi adalah suara kilat menyambar. Hujan sudah turun agakk lama kiranya melihat dari rambut kepalanya yang sudah basah kuyup. Dan cuaca remang-remang, agaknya sudah senja atau karena sinar matahari terhalang mendung dan hujan. Tak disangkanya akan turun hujan karena seingatnya sebelum dia tenggelam ke dalam alam samadhi tadi, hari amat ceah. Dia lalu merenungkan kembali kalimat yang harus diingatnya selalu, matanya memandang permukaan air sungai yang selama ini tak pernah berhenti bergerak, dan kini ditambah pula rintik air hujan yang menetes-netes tiada hentinya, membuat permukaan air seperti tertimpa ribuan batu-batu kecil. Hidup seperti air sungai mengalir, renungnya. Dan setiap gerakan air, setiap tetes air bergerak karena ada sebabnya, ada pendorong dibelakangnya. Juga air hujan yang berjatuhan dari angkasa itu pun ada penyebabnya. Juga guntur dan kilat itu. Hidup bagaikan air sungai mengalir, tak pernah berhenti dan tidak pernah sama, selalu berubah. Biarpun nampaknya sama, namun setiap detik ada perubahan pada permukaan air sungai, tak pernah sama keadaannya karena bukan benda mati. Karena itu, mempelajari hidup harus membiarkan diri hanyut oleh hidup itu sendiri, detik demi detik. Tak mungkin mempelajari hidup sambil tiduran, karena kehidupan akan lewat dan jauh meninggalkan si pelajar. Malam pun tiba dan malam itu gelap sekali. Hujan sudah berhenti, dan air naik tinggi. Hay Hay terus mengambil batu lagi untuk mengganjal pantatnya, sehingga dia dapat duduk lebih tinggi dan tidak sampai tenggelam. Timbul kekhawatiran di dalam hatinya. Bagaimana kalau muncul ular air, atau buaya atau binatang lain? Akan tetapi dia dapat melenyapkan rasa takut. Dia sudah pasrah dan bertekad untuk terus melakukan tapa itu sampai Kakek Song datang menyuruhnya keluar. Apapun yang akan terjadi akan dihadapinya dengan tabah. Hay Hay pernah mempelajari tentang perbintangan dan setelah menjelang tengah malam, angkasa penuh dengan bintang sejuta. Indah bukan main. Kalimat yang harus diingatnya itu membuatnya sadar bahwa segala bintang diangkasa itu pun terjadi dan etrcipta bukan tanpa sebab. Alangkah banyaknya rahasia di alam mayapada ini, dan betapa besar kekuasaan Sang Pencipta. Penuh rahasia gaib yang tak mungkin di buka oleh pikiran manusia yang sesungguhnya amatlah dangkal, rapuh, dan penuh sesak sehingga membuatnya menjadi kotor. Ketika dia melihat jutaan bintang itu, nampak olehnya keindahan yang selama ini belum pernah dilihatnya, merasakan kebahagiaan yang belum pernah menyentuh batinnya. Betapa indahnya malam ini, dan betapa bahagianya manusia dapat melihat, mendengar, mencium, meraba dan merasakan semua keindahan yang seolah-olah dilimpahkan untuk manusia. Keindahan tinggal membuka mata memandang, menikmati keharuman tinggal membuka hidung mencium, menikmati kemerduan tinggal membuka telinga mendengar. Betapa bahagianya hidup ini. Hidup ini adalah kebahagiaan itu sendiri karena hidup adalah anugerah, hidup adalah cinta kasih. Namun, mengapa kita tidak dapat melihatnya? Mengapa kita tidak mau menikmatinya? Mengapa pikiran kita sibuk terus dan demikian ruwet, penuh sesak dan tiada hentinya dikuasai keinginan mengejar kesenangan-kesenangan yang sesungguhnya hanya merupakan gelembung-gelembung kosong yang mudah pecah belaka? Jutaan bintang mendatangkan cahaya remang-remang, namun cukup terang bagi mata Hay Hay yang terlatih. Tiba-tiba dia terkejut. Ada benda hitam besar bergerak-gerak di depan, hanya kurang lebih sepuluh meter di depan sana. Dan benda hitam panjang itu bergerak menuju ke arahnya. Berenang menghampirinya, meluncur dengan berat dan perlahan-lahan, lambat namun tentu menuju ke arah dirinya. Buaya! Apalagi kalau bukan buaya? Dan memang nampak sekarang garis bentuh tubuh buaya itu, dari moncong yang panjang sampai ekor yang kokoh kuat bergigi-gigi itu. Celaka, pikirnya. Kalau dia berada di darat, dia tidak perlu takut menghadapi buaya, selain mudah menghindar, juga dia dapat menyerang dan mungkin membunuh binatang air yang buas itu. Akan tetapi dia berada di tengah sungai! Dan dia tidak sehebat kalau berada di atas tanah, walaupun selama berada di Pulau Hiu, ikut gurunya yang kedua, Ciu-sian Sin-kai, dia sudah biasa dengan air laut dan pandai pula berenang. Akan tetapi berkelahi melawan buaya di air? Wah, dia tidak berani! Dengan jantung berdebar saking tegang dan takut, Hay Hay memandang benda hitam yang bergerak mendekatinya itu. Teringatlah dia bahwa apapun yang terjadi, dia harus tenang dan sama sekali tidak boleh meninggalkan tempat itu. Kini ada dua pilihan. Mampus dimakan buaya akan tetapi mentaati perintah kakek gila itu, atau meloncat kedarat dan menyelamatkan diri akan tetapi melanggar janjinya dan dia harus melarikan diri dalam keadaan telanjang bulat kalau tidak mau dibunuh kakek itu! Dan dia memilih yang pertama. Kalau memang buaya itu akan menyerangku, sampai bagaimanapun juga akan kulawan, akan tetapi aku tidak akan melanggar janji, tidak akan meninggalkan tempat ini, demikian tekadnya dan kembali dia membaca kalimat yang harus diingatnya selalu. “Ada datang dari Tiada, maka segala yang Ada akan kembali ke dalam Tiada. Ada datang dari Tiada!” Dia mengulangnya terus sambil memandang kepada benda hitam itu penuh kewaspadaan. Ada datang dari Tiada! Dan ..... setelah benda itu berada dekat, hanya dalam jarak satu meter sehingga dia dapat memandang lebih jelas, hampir dia tertawa bergelak mentertawakan diri sendiri. Jantungnya masih berdebar dan keringat masih membasahi dahinya, padahal hawanya sangat dingin. Kiranya benda yang disangkanya buaya tadi memang berbentuk buaya dan berenang menghampirinya, ternyata kini bahwa benda itu hanyalah sepotong kayu hitam panjang! Potongan batang pohon yang hanyut disungai itu! Bukan hanya “buaya” itu yang nampak malam itu oleh Hay Hay. Berturut-turut muncullah ular-ular, ikan-ikan aneh dan lintah-lintah besar yang merubung dan mengancamnya, akan tetapi semua itu ternyata hanyalah daun-daun dan ranting-ranting. Tahulah dia bahwa semua itu timbul dari khayalannya sendiri yang dihantui rasa khawatir dan takut. Senja tadi dia membayangkan semua binatang itu sehingga kini bermunculan menggodanya! Menjelang pagi, tiba-tiba nampak bayangan orang dan tahu-tahu seorang kakek telah berdiri di atas batu tak jauh dari tempat dia berendam diri. Batu itu menonjol ke atas permukaan air dan kakek itu sudah berada disitu, mengulurkan tangan kepadanya, seperti hendak menolongnya keluar dari sungai itu, Hay Hay menggeleng kepalanya dengan keras dan ketika dia berkedip, bayangan kakek itu pun lenyap. Anehnya, kini dia tidak merasa dingin lagi. Agaknya tubuhnya sudah dapat menyesuaikan diri dengan hawa dingin di dalam air itu, bahkan dia merasa betapa hawa yang hangat menjalari seluruh tubuh. Diapun menampung hawa ini di pusarnya dan setelah berkumpul, dia membiarkan hawa panas itu berputar-putar di seluruh tubuhnya, mendatangkan rasa nyaman sekali dan hampir saja membuat dia pulas! Untung dia masih sadar dan kesadaran ini, disertai kewaspadaan pencurahan perhatian pada kalimat yang harus dihafalnya, membuat kantuk pun lenyap. Pada keesokan harinya, muncullah Kakek Song. “Bagus, engkau dapat menyelesaikan dengan baik. Sekarang meningkat pada latihan selanjutnya. Keluarlah dari situ dan kenakan pakaianmu.” Bukan main lega rasa hati Hay Hay. Selama berguru kepada tiga orang sakti, yaitu See-thian Lama, Ciu-sian Sin-kai dan Pek Mau San-jin, belum pernah dia memperoleh latihan seaneh ini. Akan tetapi latihan pertama yang berlangsung dua malam itu telah mendatangkan pengalaman yang takkan terlupakan olehnya. Mengerikan, menakutkan juga menegangkan, dimana orang harus berjuang melawan perasaan, khayal dan penderitaan yang dibuat oleh pikirannya sendiri, juga siksaan karena adanya kemungkinan ancaman bahaya-bahaya. “Terima kasih, Suhu!” katanya dan ketika dia menggerakkan tubuhnya meloncat, diam-diam dia merasa heran mengapa tubuhnya tidak merasa kaku setelah selama dua malam bersila di atas batu dalam air itu, bahkan terasa segar dan ringan sekali walaupun perutnya kembali terasa lapar. Dengan cepat Hay Hay lalu mengenakan pakaian dari buntalan yang sudah dibawa ke situ oleh Kakek Song. “Nah, sekarang engkau boleh makan sampai kenyang, akan tetapi ingat, jangan makan bangkai! Mulai sore nanti, engkau harus melakukan latihan kedua tang lebih berat. Datang saja ke dalam guha di mana aku tinggal, di tengah hutan ini, tak jauh dari rawa yang kemarin dulu itu. Nah, sampai sore nanti!” Kembali kakek itu berkelebat dan lenyap. Hay Hay tidak mau mengejar walaupun dia ingin sekali bertanya-tanya. Dia maklum akan keanehan watak kakek itu dan mengejar pun percuma saja. Maka dia pun lalu memilih buah-buah yang paling enak, makan sampai kenyang, lalu beristirahat dan tertidur di atas pohon besar. Dia tidak berani tidur di bawah, karena tahu bahwa dalam keadaan kurang tidur, dia akan nyenyak sekali dan ada bahaya diserang binatang buas. Sebelum tidur, dia menanam dalam ingatannya bahwa sebelum matahari terbenam, dia harus sudah bangun Hay Hay tidur pulas sekali. Terbayarlah sudah semua hutang kepada matanya. Dan menjelang senja, dia pun terbangun. Cepat digendongnya buntalan pakaiannya yang tadi dipakai sebagai bantal, dan dia meloncat turun lalu mencari guha itu, di dinding bukit tak jauh dari rawa di mana kemarin dulu dia bertemu suhunya. Kakek itu nampak duduk bersila di mulut guha. Guha itu sendiri bermulut kecil, hanya satu meter, akan tetapi di dalamnya cukup luas. "Engkau sudah siap? Tinggalkan buntalan pakaianmu dalam guha dan seperti kemarin dulu, tanggalkan semua pakaianmu dan ikuti aku!" Hay Hay mengerutkan alisnya. Celaka, agaknya kakek gila ini memang suka mempermainkan orang. Kalau kemarin dulu dia disuruh bertapa dalam air, maka bertelanjang pun tidak mengherankan. Akan tetapi sekarang? Apakah dia disuruh berendam di dalam air lagi? Dia tidak berani membantah dan sambil menarik napas panjang, dia menanggalkan semua pakaiannya dan dalam keadaan telanjang bulat dia mengikuti kakek itu yang juga hampir telanjang karena pakaiannya hanyalah sebuah cawat kecil! Karena ini, Hay Hay tak merasa canggung. Kakek ini membawanya ke lereng bukit yang gundul penuh dengan pasir dan batu-batu. Bagian itu tandus sekali, tidak ditumbuhi pohon. "Nah, sekarang engkau harus menghafalkan kalimat lain. Dengarkan baik-baik: Yang merasa dirinya pintar adalah tolol, dan yang merasa dirinya bodoh adalah waspada. Tirukan!" Kembali Hay Hay merasakan keanehan kalimat ini. Mudah dimengerti dan amat sederhana, apalagi kalimat sependek itu, tentu saja sekali dengar dia sudah hafal, mengapa harus diuji dulu? Akan tetapi dia tidak membantah dan mengulang dengan lantang, "Yang merasa dirinya pintar adalah tolol, dan yang merasa dirinya bodoh adalah waspada!" "Bagus, sekarang kaugalilah lubang di dalam pasir kemudian duduk bersila di dalam lubang dan kubur tubuhmu dengan pasir sampai sebatas leher. Ingat, yang nampak hanya kepalanya saja, dan sekali ini engkau tidak boleh makan minum, bertapa dan berpuasa sampai aku datang menyuruhmu keluar!" Tanpa memberi kesempatan pemuda itu bicara, kakek itu sudah berkelebat dan lenyap pula. Hay Hay berdiri tertegun, memandang ke sekeliling yang gundul dan sunyi, lalu menarik napas panjang. Kenapa dia harus mentaati saja semua perintah gila dan aneh ini? Apa manfaatnya mengubur diri dalam pasir? Apakah dia sudah menjadi gila? Biarpun pikirannya kacau, tetap saja dia menggali lubang menggunakan jari-jari tangannya, kemudian masuk ke dalam lubang, bersila dan menguruk tubuhnya dengan pasir sampai tubuhnya yang bersila itu terpendam pasir sebatas leher. Mula-mula terasa hangat dan nyaman sehingga dia mampu berkonsentrasi mengulang kalimat itu sambil mengheningkan cipta dengan tenang dan anteng. Akan tetapi, tak lama kemudian mulailah dia merasa gatal-gatal ketika pasir bergerak, bahkan menjadi geli seperti digelitik. Dia mengerahkan sinkang mengusir perasaan tidak enak itu dan berhasil. Makin lama, setelah mengulang kalimat itu ratusan kali, timbul pendalaman mengenai kalimat itu dan dia pun mulai menyelidiki dengan mengamati diri sendiri. "Yang merasa dirinya pintar adalah tolol!" Tentu saja, karena perasaan demikian itu sesungguhnya hanya merupakan suatu kecongkakan belaka, merajalelanya si aku yang ingin mengangkat diri setinggi-tingginya, sebesar-besarnya, yang paling besar, yang tak dapat lenyap, yang abadi dan banyak macam "yang ter" lagi. Perasaan ini hanya timbul dari pikiran yang bukan lain adalah si aku sendiri. Orang yang merasa dirinya pintar adalah orang-orang bodoh yang mudah bersikap sombong, congkak, tinggi hati, merasa benar sendiri, menang sendiri, meremehkan orang lain. Tentu saja orang macam itu adalah tolol sekali. Kemudian kalimat lanjutannya yang menjadi kebalikan, "yang merasa dirinya bodoh adalah waspada." Bukan pintar, melainkan waspada. Memang sesungguhnya, kalau orang mengamati diri sendiri dan merasa betapa dirinya, seperti semua manusia lain, sebenarnya hanyalah mahluk-mahluk yang banyak sekali kekurangan dan kelemahannya, maka dia adalah seorang waspada. Kewaspadaan itu sendiri yang akan mengadakan perobahan pada dirinya, menghilangkan segala macam kebodohan dalam bentuk keangkuhan, ketinggian hati dan sebagainya dan kewaspadaan ini yang melenyapkan kebodohannya. Bukan berarti lalu menjadi pintar, karena kalau dia merasa pintar, berarti dia terjeblos kedalam kebodohan yang ak~n membuatnya tolol! "Merasa" dalam hal ini berbeda dengan "mengaku". Mengaku diri bodoh saja tidak ada artinya. Pengakuan itu bahkan berselubung untuk menyembunyikan pamrih yang sesungguhnya, yaitu agar dianggap orang yang "waspada", agar dianggap orang yang tahu akan kebodohannya dan karena itu waspada dan berisi. Bukan pengakuan yang ditujukan kepada orang lain, melainkan perasaan yang merupakan pengakuan terhadap diri sendiri, bukan sekedar mengaku, melainkan yakin karena melihat sendiri kebodohannya. Itu adalah batiniahnya, sedangkan secara lahiriah, orang yang merasa pintar tentu akan mengabaikan segala macam pendapat dan pengertian orang lain, sehingga orang seperti ini tidak akan mampu menambah pengertiannya sehingga seperti katak dalam tempurung dan tenggelam ke dalam kebodohannya. Sebaliknya, orang yang merasa dirinya bodoh, tentu akan selalu haus akan pelajaran, selalu ingin tahu dan ingin menambah pengetahuannya, mendengarkan pendapat dan buah pikiran orang lain sehingga muncul kewaspadaannya dan tentu dia tidak bodoh kalau sudah mau belajar setiap saat! Hay Hay menyelami isi kalimat itu dan tahu-tahu malam telah larut. Tiba-tiba dia mendengar sesuatu, gerakan yang ringan dan halus. Karena telinganya berada dekat dengan permukaan pasir, maka dia menjadi lebih peka lagi. Dicobanya untuk menembus kegelapan dengan pandang matanya, akan tetapi tidak berhasil. Gelap pekat malam itu. Bintang-bintang tertutup mendung. Kemudian, suara itu semakin jelas dan tiba-tiba dia melihat ada tiga ekor tikus besar berada di dekat kepalanya! Celaka! Kedua tangannya berada di bawah pasir. Hanya kepalanya saja yang tersembul keluar dan bagaimana kalau tikus-tikus ini menggigitnya? Kalau hidungnya atau daun telinganya digigit, tentu dia tidak akan mampu melindungi anggauta badan itu! Tikus-tikus itu mendekat dan mulai mencium-cium mukanya. Terasa geli sekali dan bau apak menyerang hidungnya. Kumis-kumis panjang tiga ekor tikus itu menyapu-nyapu, geli dan jijik rasanya Phuhhhhh …!" Hay Hay menggunakan sinkangnya dan meniup ke arah tiga ekor tikus itu. Tiupannya kuat sekali, pasir-pasir berhamburan menyerang tiga ekor tikus itu yang segera lari mencicit ketakutan. "Amaaaann ….!" Hay Hay bernapas lega. Tidak ada lagi tikus yang datang, akan tetapi tiba-tiba dia merasa ada benda bergerak yang rnenyentuh-nyentuh tubuhnya yang telanjang. Celaka! Tikus-tikus itu, atau binatang-binatang kecil lain, mungkin cacing atau serangga bawah tanah yang mulai mengganggunya dari bawah! Dan dia tidak mampu bergerak untuk mengusir binatang-binatang itu. Bagaimana kalau anggauta tubuhnya yang terpendam digerogoti? Ihh, dia merasa ngeri dan kalau menurutkan perasaan takut dan ngeri, mau rasanya sekali melompat keluar dari pendaman pasir itu. Akan tetapi tidak, dia harus dapat mempertahankan diri. Memang ini merupakan ujian, pikirnya. Kini dia tahu bahwa selain dilatih untuk siulian (samadhi) dan mengamati diri sendiri, juga kakek aneh itu memang sengaja menguji dirinya, batinnya, badannya, merupakan suatu gemblengan lahir batin yang semakin berat! Dan dia harus mampu mempertahankan diri dan mengatasi semua godaan itu, betapa pun berat derita dan siksa yang dirasakannya. Maka, dia lalu mengerahkan sinkangnya dan setiap kali ada gelitik atau gigitan kecil pada tubuhnya, dia mengerahkan sinkang dan membuat tubuhnya menjadi panas. Ini menolong. Biarpun masih ada gigitan-gigitan, karena tubuhnya sudah dilindungi sinkang panas dan kekebalan, yang terluka hanyalah kulitnya saja yang menimbulkan rasa perih. Akan tetapi karena tubuh itu berada di dalam pasir yang panas, maka perasaan nyeri itu tidaklah terasa benar. Menjelang pagi, terdengar lolong anjing. Hay Hay terbelalak. Celaka, kalau yang datang itu anjing liar atau srigala! Dan cuaca yang remang-remang membuat dia dapat melihat bayangan lima ekor anjing yang besar-besar! Benar saja, lima ekor anjing liar datang ke tempat itu! Jantungnya berdebar tegang. Tak mungkin dia mempergunakan tiupannya untuk mengusir anjing-anjing itu seperti yang dilakukannya terhadap gangguan tiga ekor tikus semalam. Kalau lima ekor anjing liar itu menggigitnya, dia tidak akan mampu mengelak atau menangkis. Sungguh mengerikan! Lima ekor arijing itu berhenti, mengepungnya sambil menyalak-nyalak, memperlihatkan gigi mereka yang besar dan runcing. Hay Hay menenangkan hatinya. Dalam keadaan panik, dia bisa benar-benar celaka, pikirnya. Dia memang tidak boleh mengeluarkan tangan dan yang nampak hanyalah kepalanya. Akan tetapi, mengapa dia tidak mau mempergunakan akal? Sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi bukan hanya kaki dan tangannya saja yang terlatih, akan tetapi kepalanya juga. Bahkan bagian kepalanya yang di depan, belakang, kanan dan kiri merupakan bagian-bagian yang keras dan kuat. Kalau terpaksa, dia akan mampu membela diri dengan kepalanya! Lima ekor anjingitu agaknya merasa ragu-ragu dan agak takut melihat sebuah kepala manusia hidup tersembul di atas pasir. Setelah menggonggong dan menyalak cukup lama tanpa ada reaksi dari kepala itu, mereka mulai mendekat dan mencium-cium dengan alat penciuman mereka yang amat peka. Makin dekat mereka mencium, makin kuat saja bau mereka menusuk hidung Hay Hay. Bau apak, amis dan busuk. Namun dia tidak memperhatikan itu semua karena seluruh perhatiannya dicurahkan mengikuti gerak-gerik mereka, siap untuk melawan apabila anjing-anjing itu menyerang. .Dan lima ekor anjing itu amat cerdik karena tiba-tiba saja seekor di antara mereka menyerang lebih dulu, menubruk dari belakang dengan moncong lebar menggigit ke arah tengkuk Hay Hay! Empat ekor yang lain menyalak-nyalak di dekat muka Hay Hay, agaknya untuk membikin panik korban mereka itu. Biarpun kepalanya tidak mampu menengok dan di belakang kepala itu tidak ada matanya, namun Hay Hay dapat mendengar gerakan serangan anjing pertama yang menerkam dan menggigit dari belakangnya itu. Sambil mengerahkan tenaga sinkang, Hay Hay menyambut terkaman itu dengan gerakan kepala yang memukul ke belakang. "Cukkk!" Belakang kepala Hay Hay bertemu dengan moncong binatang itu dengan keras sekali. Annjing itu menguik keras dan terpelanting, lalu berteriak kesakitan. Ujung hidungnya pecah berdarah. Pada saat itu, anjing ke dua menerkam dari depan, disambut oleh dahi Hay Hay dengan cepat dan kuatnya. “Desss ….!" Anjing ini pun menguik keras dan terpelanting dengan hidung dan ujung moncong berdarah dan pada saat itu, Hay Hay sudah menggerakkan kepalanya ke kanan kiri untuk menyambut terkaman dua anjing lainnya. Dua ekor anjing ini pun melolong kesakitan, diikuti anjing terakhir yang kembali bertemu dengan bagian belakang kepala Hay Hay yang keras. Lima ekor anjing yang kesakitan itu menjadi ketakutan dan mereka pun lari tunggang-langgang sambil menguik-nguik, diikuti pandang mata Hay Hay yang berseri penuh kelegaan dan juga kegelian hatinya. Pengalaman ini sungguh menegangkan dan lebih berbahaya daripada latihan pertama di dalam air itu. Pada keesokan harinya, tidak terdapat gangguan binatang, akan tetapi rasa panas seperti membakar dirinya. Matahari membakar pasir dan dari bawah juga membubung hawa panas yang membuat kepala yang tersembul di atas pasir itu basah oleh keringat. Namun, Hay Hay mampu bertahan dan dia bahkan tak pernah lagi menghentikan renungannya atas kalimat yang harus dlhafalnya. Malam itu pun hanya ada seekor harimau yang menghampirinya dan mencium-ciumnya, membuat Hay Hay hampir kehabisan nyali. Akan tetapi sungguh aneh, harimau itu tidak mengganggunya dan pergi lagi tanpa menyerangnya! Dan pada keesokan harinya, setelah dua malam dia bertapa di dalam pasir, Kakek Song muncul di depannya. "Bagus, engkau berhasil. Keluarlah untuk mengikuti latihan-latihan selanjutnya." Dengan semangat lebih besar dari kemarin dulu walaupun dengan perut lebih lapar lagi, Hay Hay keluar dari dalam pendaman pasir itu dan kembali dia terkejut dan girang. Begitu suhunya memanggil dan dia mempunyai niat untuk keluar dari situ, tiba-tiba timbul tenaga yang amat besar dan tubuhnya seperti dijebol dari dalam. Sekali bergerak saja dia sudah keluar dari pendaman itu dengan tubuh terasa segar dan semangat berkobar! Dia pun cepat menjatuhkan diri berlutut dalam keadaan telanjang bulat itu di depan suhunya. "Bagus, engkau berhasil. Sudah, tak perlu segala upacara ini. Hayo bangun dan ikuti aku, taati semua petunjukku." Dengan penuh semangat Hay Hay mengikuti gurunya ke guha dan mengenakan pakaiannya, kemudian mencari buah-buah untuk dia dan gurunya. Dia masih harus mengikuti cara berlatih yang aneh-aneh, berpuasa dan bertapa dengan cara yang sesungguhnya amat berat dan berbahaya. Namun semua dia taati dan dia lakukan penuh semangat dan pantang mundur. Tiga hari tiga malam tanpa makan dia harus bertapa dengan cara bergantung di cabang pohon yang tinggi, dengan kedua kaki terikat dan bergantung dan kepala di bawah! Latihan ini berat bukan main, dan hanya orang yang sudah memiliki sinkang yang amat kuat saja dapat bertahan. Karena peredaran darah tidak seperti biasanya, banyak darah mengalir dalam kepala, maka pada hari pertama terasa amat berat dan mendatangkan pemandangan-pemandangan khayal yang menakutkan. Namun Hay Hay amat teguh dan berhasil melewati waktu tiga hari dengan baik sambil menghafal kalimat yang diberikan kakek itu, begini bunyinya : "Langit di bawah kaki, Bumi di atas kepala, atas bawah baik buruk hanya pendapat, bukan kebenaran nyata!" Ada pula latihan berpuasa tujuh hari tujuh malam sambil bersamadhi di dalam kegelapan. Di dalam guha terdapat terowongan yang pada ujungnya terdapat sebuah ruangan di bawah tanah yang amat gelap. Tidak ada sedikit pun cahaya masuk, siang malam sama saja gelap pekat hitam legam. Di tempat inilah Hay Hay harus duduk bersamadhi dan bertapa dalam keadaan telanjang bulat, dengan kalimat yang harus diingatnya, kalimat yang paling aneh di antara kalimat yang pernah diajarkan kepadanya. "Tiada cahaya, tiada bentuk tiada warna tidak ada apa-apa, kosong hampa hening …!" Dan ternyata latihan ini terasa paling berat bagi Hay Hay. Dia tidak lagi mengenal waktu, tidak lagi melihat apa-apa, tidak mendengar apa-apa, tidak mencium apa-apa, tidak meraba apa-apa. Seluruh anggauta tubuhnya seperti mati, tidak melakukan kegiatan apa pun. Namun anehnya, pikirannya menjadi makin liar dalam keadaan tanpa gerak itu, bagaikan seekor naga yang terikat dan meronta, meliar, memberontak hendak keluar. Ketika dia dapat menenangkannya, muncul bermacam-macam gambaran yang membuat dia merasa seperti telah menjadi gila! Segala ingatan datang pergi dengan cepatnya, teringat dia akan pengalamannya di waktu kanak-kanak, dan bahkan terbayang olehnya seorang laki-laki menyerupai dirinya, Si Tawon Merah yang menjadi ayah kandungnya. Terasa olehnya seolah-olah laki-laki yang menjadi ayah kandungnya itu menyusup ke dalam dirinya, dan membawa pula rangsangan-rangsangan berahi ke dalam tubuhnya, membuat dia gelisah dan hampir tidak kuat bertahan. Terbayang segala yang indah dan cantik menarik dari para wanita, membuat nafsu berahi dalam dirinya berkobar dan menyesakkan napas, menuntut pelepasan. Kemudian, yang paling hebat dan berat dari segala godaan, di dalam kehitaman itu tiba-tiba muncul seorang wanita yang luar biasa cantiknya. Segala kecantikan wanita yang dapat digambarkan otaknya dimillki wanita ini! Dengan suara merayu-rayu, membawa keharuman khas wanita. Ia menghampiri Hay Hay, membelai dan merayunya, merangkul dan menciuminya, dan hampir saja Hay Hay tidak kuat lagi bertahan. Napasnya telah terengah memburu, seluruh tubuhnya sudah menggigil dan di dalam hatinya terjadi perang yang amat seru antara keinginan untuk merangkul mendekap wanita itu dan menahan diri. "Kosong hampa hening... kosong hampa hening ….!" hanya tiga kata ini yang dapat teringat olehnya, akan tetapi diucapkannya tiga kata yang teringat itu keras-keras, dengan seluruh kekuatan batinnya dengan seluruh perhatiannya dan tiba-tiba lenyaplah wanita yang membelai seluruh tubuhnya itu. Hay Hay merasa betapa seluruh tubuhnya basah oleh keringatnya sendiri dan betapa napasnya terengah-engah, tubuhnya lemas seolah-olah baru saja dia mempergunakan tenaga yang amat besar. Dia bergidik kalau teringat betapa hampir saja dia kalah oleh godaan yang timbul dari pikirannya sendiri, karena sekali dia terpeleset dan jatuh, kalah oleh godaan itu, mungkin latihannya akan berakhir dengan munculnya seorang laki-laki yang gila. Dia tentu akan menjadi gila kalau tadi dia kalah. Cepat dia berkemak-kemik membaca kalimat yang diajarkan suhunya, "Tiada cahaya, tiada bentuk tiada warna tidak ada apa-apa, kosong hampa hening ….!” Memang, kini dapat dirasakannya sendiri, bahwa segala sesuatu adalah hasil darl pada pendapat pikiran sendiri, disesuaikan dengan pengalaman, dengan keadaan diri sendiri, dengan kebutuhan badan dan keinginan batin untuk menyenangkan diri sendiri. Sesungguhnya tidak ada apa-apa, kalaupun ada maka kita sendirilah yang mengadakan. Susah, senang, buruk, baik, duka, suka, dan semua keadaan dengan kebalikan-kebalikannya itu hanya ada karena kita adakan oleh pikiran, kalau pikiran kosong, hampa dan hening, maka sesungguhnya tidak ada apa-apa. Semua itu hanyalah permainan pikiran yang merasakan adanya suatu keadaan. Kalau pikiran tidak mengada-ada, maka yang ada hanyalah kosong, hampa dan hening seperti keadaan seseorang yang tidur pulas tanpa mimpi! Sampai kurang lebih satu bulan Hay Hay melaksanakan perintah Kakek Song dan melakukan bermacam latihan dan tapa yang aneh-aneh dan macam-macam. Namun semua itu, bahkan yang terberat sekalipun, yaitu bertapa di tempat gelap selama tujuh hari tujuh malam, dapat dilewatinya dengan baik. Setelah bertapa di tempat gelap, dia pun dipanggil oleh Kakek Song. Dia keluar dari terowongan, mengenakan pakaian dan menjatuhkan diri berlutut didepan kaki orang itu. Tidak seperti biasanya, kini kakek itu hanya memandang Hay Hay dan mengangguk-angguk. "Bagaimana, Hay Hay? Apakah kini engkau masih memandang aku sebagai seorang yang gila?" akhirnya dia bertanya dengan suaranya yang aneh, karena suara itu kadang-kadang parau, kadang-kadang halus lembut penuh wibawa. Hay Hay mengangkat mukanya memandang kakek itu. Dia terkejut karena tak pernah mengira bahwa kakek ini tahu bahwa dia pernah memandangnya sebagai seorang yang berotak miring. Kini, sejak beberapa hari yang lalu, dia sudah tidak lagi beranggapan demikian. Sebaliknya malah dia tahu bahwa kakek ini adalah seorang yang amat tinggi ilmunya, amat bijaksana dan waspada, seorang manusia yang sudah bersatu dengan alam tidak lagi menghiraukan segala kesibukan lahiriah dan bersikap wajar. Justru kewajarannya itu bagi manusia pada umumnya akan nampak aneh dan gila. "Teecu telah menerima petunjuk-petunjuk dari Suhu, teecu merasa gembira dan beruntung sekali. Teecu hanya menanti apa petunjuk Suhu selanjutnya agar teecu dapat mentaatinya dengan baik untuk menambah pengertian teecu tentang hidup dan diri sendiri." "Heh-heh-heh, latihan-latihan selama sebulan ini merupakan gemblengan yang jauh lebih berhasil daripada gemblengan bertahun-tahun dari gurumu." "Teecu menyadari hal itu, Suhu, dan mengharapkan petunjuk selanjutnya." "Ha-ha-ha, tiada sesuatu tanpa akhir di dunia ini kecuali cinta kasih, Hay Hay. Hubungan lahiriah lebih rapuh lagi, dan kita harus berpisah hari ini. Lanjutkan perjalananmu dan jangan kauingat lagi kepadaku." "Betapa mungkin teecu dapat melupakan Suhu yang telah melimpahkan kasih sayang kepada teecu?" "Ha-ha-ha, aku tidak memberi sesuatu dan engkau pun hanya menerima hasil dari pada jerih payahmu sendiri. Boleh engkau ingat kepada manusia lain bernama Kakek Song, aku tidak peduli, akan tetapi aku tidak akan ingat lagi kepadamu. Aku hanya akan ingat kepada seorang pemuda nakal bersama Hay Hay yang tekun dan tahan uji. Nah, selanjutnya, tentukanlah langkahmu sendiri. Hanya ada satu pesanku kepadamu. Kalau engkau mendaki gunung yang kelihatan biru di sana itu, engkau akan mendapatkan sebuah air terjun yang besar. Di balik air terjun itu terdapat sebuah guha. Belasan tahun aku pernah bertapa di sana. Kalau engkau mau bertapa di bawah air terjun, membiarkan air terjun menyiram kepala dan tubuhmu selama tiga hari tiga malam, engkau akan memperoleh kematangan yang amat menguntungkan badanmu. Nah, aku pergi sekarang, Hay Hay!" Seperti biasa, kakek itu tanpa ragu lagi berkelebat dan lenyap. Hay Hay maklum akan keanehan gurunya, tidak berani mengejar, hanya tetap berlutut memberi hormat ke bekas tempat duduk suhunya. Tak lama kemudian dia pun bangkit dan meninggalkan bukit itu, menuju ke gunung yang nampak biru, di sebelah selatan bukit itu. Ada sesuatu di dalam langkahnya yang membedakan Hay Hay dari keadaannya sebulan yang lalu. Langkah satu-satu yang membawa dirinya maju itu demikian mantap, tanpa ragu-ragu, dan senyum di mulutnya itu kini nampak penuh pengertian, sepasang mata yang mencorong mengandung kelembutan. Benarkah bahwa gemblengan yang satu bulan itu lebih berhasil daripada gemblengan bertahun-tahun yang pernah didapatkannya. Dia tidak diberi pelajaran ilmu silat atau ilmu apapun juga oleh Kakek Song, namun gemblengan sebulan lamanya itu membuat ilmu-ilmu yang pernah dipelajarinya menjadi lebih matang dan sempurna. ** Sebelum kita mengikuti perjalanan Hay Hay, marilah kita menengok ke belakang beberapa tahun yang lalu untuk mengikuti perjalanan Kok Hui Lian dan Ciang Su Kiat. Seperti pernah diceritakan di bagian depan kisah ini, Ciang Su Kiat adalah bekas murid Cin-ling-pai yang buntung lengan kirinya sebatas siku, bertubuh tinggi besar dan berwatak jujur dan keras. Telah diceritakan betapa dia menyelamatkan seorang anak perempuan bernama Kok Hui Lian yang kemudian menjadi murid, bahkan dianggap sebagai anak sendiri olehnya. Kok Hui Lian adalah puteri mendiang Kok-taijin, seorang gubernur dari San-hai-koan. Kemudian, di dalam perjalanan mereka, ketika Ciang Su Kiat berusia tiga puluh empat tahun dan Hui Lian berusia belasan tahun, mereka bertemu dengan Lam-hai Giam-lo yang amat jahat. Lam-hai Giam-lo menangkap Hui Lian dengan niat keji, akan tetapi Ciang Su Kiat menyerangnya sehingga terjadi perkelahian yang mengakibatkan Ciang Su Kiat terjatuh ke dalam jurang dan Hui Lian ikut meloncat ke dalam jurang yang amat curam itu. Akan tetapi, keduanya tidak binasa, bahkan menemukan kitab-kitab rahasia peninggalan dua orang sakti dari Delapan Dewa, yaitu mendiang In Liong Nio-nio dan mendiang Sian-eng-cu The Kok. Dua orang itu dapat hidup di tebing jurang, di dalam sebuah guha dan mereka mempelajari ilmu kesaktian dari dua kitab ilmu peninggalan dua orang sakti itu. Juga mereka terpaksa hanya makan daging burung, telur, dan jamur-jamur kecil, akan tetapi makanan ini bahkan membuat mereka menjadi kuat, bahkan karena makanan aneh selama sepuluh tahun ini, tubuh Hui Lian mengeluarkan bau yang harum seperti bunga! Setelah memperoleh ilmu yang amat tinggi, ditambah makanan aneh selama sepuluh tahun, Su Kiat dan Hui Lian berhasil keluar dari tempat terasing itu, mendaki tebing jurang yang amat curam. Mereka telah meninggalkan dunia ramai selama sepuluh tahun dan ketika mereka berhasil keluar dari situ, Ciang Su Kiat telah berusia empat puluh empat tahun sedangkan Kok Hui Lian telah menjadi seorang gadis dewasa berusia dua puluh dua tahun! Seorang gadis yang cantik dan keras, dengan keringat berbau harum. Tentu saja mereka merasa sakit hati terhadap Lam-hai Giam-lo dan mulailah mereka mencari tokoh sesat itu untuk membalas dendam. Mereka berhasil dan berkali-kali mereka menyerang Lam-hai Giam-lo, bahkan hampir berhasil membunuhnya, kalau iblis itu tidak cepat melarikan diri. Lam-hai Giam-Io ketakutan menghadapi dua orang yang haus akan darahnya itu sehingga dia mencukur gundul rambut kepalanya dan menyamar menjadi hwesio kuil Siauw-lim-pai. Demikianlah kisah yang sudah kita ketahui di bagian depan cerita ini, dan kedua orang itu kehilangan musuhnya. Setelah mencari-cari tanpa hasil, keduanya lalu menghentikan pencarian mereka. "Sudahlah, kita tidak perlu mencari lebih jauh." kata Su Kiat kepada Hui Lian. "Dia tentu bersembunyi dan selama dia tidak keluar di dunia ramai, tak mungkin kita dapat menemukannya. Kita tunggu saja sampai dia kembali muncul di dunia ramai. Kita tentu akan dapat mendengar akan sepak terjangnya dan belum terlambat kalau kelak kita mendengar namanya disebut orang." "Baiklah, Suheng. Lalu kita akan pergi ke mana sekarang?" tanya Hui Lian. Semenjak sama-sama mempelajari kitab-kitab yang mereka temukan di dalam guha di tebing yang curam itu, Su Kiat minta kepada Hui Lian agar gadis ini tidak lagi menganggapnya sebagai guru. Mereka berdua secara kebetulan telah menerima peninggalan warisan ilmu dari dua orang sakti, sehingga mereka berdua menjadi murid-murid kedua orang sakti itu dan dengan sendirinya mereka menjadi suheng dan sumoi. Mula-mula Hui Lian tidak setuju karena ia merasa betapa Su Kiat adalah penolongnya, juga gurunya dan selama ini Su Kiat menganggapnya sebagai murid dan anak angkat. Akan tetapi atas desakan Su Kiat, Hui Lian yang ketika itu baru berusia dua belas tahun, menurut dan demikianlah, mereka belajar bersama dan menjadi seperti kakak dan adik seperguruan. Memang ada keanehan dalam hubungan antara mereka. Walaupun di tempat terasing itu Hui Lian tumbuh menjadi gadis dewasa yang amat cantik menarik, namun Su Kiat selalu dapat menguasai dirinya dan tidak sampai mempunyai keinginan yang bukan-bukan terhadap gadis itu. Biarpun kini mereka saling panggil seperti kakak dan adik seperguruan, namun Su Kiat memandang gadis itu sebagai anaknya sendiri, dan di dalam hatinya hanya terdapat kasih sayang dan iba seperti perasaan seorang ayah terhadap anaknya. Pandangan ini yang menjauhkan nafsu berahinya, walaupun gadis yang hidup di sampingnya itu memiliki daya tarik dan daya pikat yang amat kuat. Ketika Hui Lian bertanya ke mana mereka akan pergi, Su Kiat menjadi bingung juga. Dia memang hidup sebatang kara. Ketika dia masih menjadi murid Cin-ling-pai, dia sudah hidup sebatang kara, tanpa keluarga. Juga gadis yang menjadi sumoinya itu hidup sebatang kara. Seluruh keluarganya, keluarga Kok yang pernah menjadi keluarga bangsawan terhormat, telah terbasmi habis ketika terjadi pemberontakan. Gubernur Kok dan keluarganya telah habis. Mungkin masih ada sisanya, akan tetapi dia tidak ingin membawa Hui Lian kembali kepada keluarga Kok di San-hai-koan, karena dia tidak mau kehilangan gadis itu. Akan tetapi, dia pun tidak boleh membiarkan Hui Lian hidup menjadi gelandangan tanpa tempat tinggal yang patut. Hui Lian telah menjadi seorang gadis yang cukup dewasa, yang sudah sepantasnya kalau dijodohkan! Dan untuk dapat menjodohkannya dia harus mencari tempat tinggal yang tetap dan hidup sebagai keluarga terhormat. "Sumoi, kita harus memilih dusun yang cocok untuk menjadi tempat tinggal kita. Kita harus hidup sebagai keluarga yang pantas, mempunyai rumah dan sawah yang memadai ….” “Akan tetapi, kita akan bekerja apa kalau tinggal di dusun, Suheng? Tidakkah sebaiknya kalau kita tinggal di sebuah kota di mana kita dapat bekerja, misalnya membuka perguruan silat?" Su Kiat mengangguk-angguk. Memang tidak keliru pendapat sumoinya itu. Bagaimana dia dapat bercita-cita menjadi petani kalau lengannya hanya sebelah? Dia tidak memiliki modal, dan tidak memiliki keahlian lain kecuali ilmu silat. Karena itu, untuk dapat mencari uang guna membeli rumah dan sebagainya, satu-satunya kemungkinan hanyalah menjual kepandaian itu dengan membuka perguruan silat. Akhirnya mereka memilih sebuah dusun yang berada di tepi Sungai Cia-ling, di luar kota Kong-goan, untuk menjadi tempat tinggal. Dusun itu tidak besar, hanya merupakan dusun nelayan yang hidupnya dari menyewakan perahu untuk pengangkutan rempa-rempa dan mencari ikan di Sungai Cia-ling, dan semua penghuni dusun mencari nafkah ke kota Kong-goan yang besar. Mereka membeli sebidang tanah dengan harga murah, agak terpencil di ujung dusun, membangun sebuah pondok sederhana. Setelah mempunyai rumah tinggal, barulah Su Kiat dan Hui Lian bicara tentang mencari pekerjaan. . "Suheng, apakah tidak ada pikiran padamu untuk pergi mengunjungi Cin-ling-pai?" Sepasang mata yang bening tajam itu menatap wajah suhengnya. "Bukankah Cin-ling-san dekat dari sini, di sebelah utara itu?" Su Kiat menarik napas panjang. Pertanyaan sumoinya itu mengingatkan dia akan masa mudanya di Cin-ling-pai dan tanpa disengaja dia melirik ke arah lengan kirinya yang buntung. Tidak, dia tidak mendendam kepada Cin-ling-pai! Dia sendiri yang membuntungi lengan kirinya, walaupun dia didesak oleh Ketua Cin-ling-pai yang berhati keras seperti baja itu. Dia sudah keluar dari Cin-ling-pai dan tidak ada sangkut-paut lagi. Untuk apa pergi ke sana? Dia tahu bahwa sumoinya merasa penasaran dan sakit hati terhadap Cin-ling-pai setelah mendengar ceritanya tentang sebab buntungnya lengan kirinya. Sungguh kejam ketua Cin-ling-pai itu, demikian sumoinya membentak, tidak patut menjadi ketua perkumpulan orang yang mengaku pendekar gagah perkasa! Dia menggeleng kepala dan memandang wajah sumoinya. "Tidak, Sumoi. Sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi antara aku dan Cin-ling-pai. Untuk apa aku berkunjung ke sana? Hanya akan menggali kenangan-kenangan pahit belaka." Pada suatu hari, pergilah mereka berdua memasuki kota Kong-goan yang besar dan ramai. Kota Kong-goan terletak di dekat perbatasan antara Propinsi Secuan dan Shen-si, di sebelah timur Sungai Cia-ling. Karena Sungai Cia-ling datang mengalir dari utara, jauh dari dalam Propinsi Kan-su, kemudian mengalir ke selatan memasuki sungai besar Yang-ce-kiang, maka adanya sungai itu di dekat kota Kong-goan membuat kota ini menjadi semakin ramai karena dilewati jalur perdagangan melalui sungai itu. Karena belum mempunyai kenalan di kota itu sehingga sukar bagi mereka untuk memperkenalkan diri sebagai ahli silat yang hendak membuka perguruan silat, Su Kiat mengajak sumoinya untuk langsung saja pergi ke pusat kota yang ramai. Di luar sebuah pasar di tepi jembatan, dia lalu memilih tempat di sudut di mana terdapat petak rumput dan mengeluarkan kain yang sudah ditulisi dan digulung. Dipasangnya kain itu dengan tali yang diikatkan pada batang pohon dan dinding pagar pasar. Kain putih itu telah ditulis dari rumah tadi, dengan huruf-huruf besar. KAMI MEMBUKA PERGURUAN SILAt DI DUSUN HEK-BUN, DENGAN BIAYA PANtAS DAN ANDA DAPAt BELAJAR ILMU BELA DIRI YANG BERMUTU DARI KAMI SILAKAN MENDAFTARKAN DI SINI. CIA-LING BU-KOAN. Sebentar saja banyak orang datang merubung tempat itu. Mereka itu terdiri dari pria-pria yang tertarik, bukan hanya oleh tulisan itu, terutama sekali oleh kecantikan Hui Lian! "Eh, apakah gurunya berlengan buntung itu?" "Wah, mana mungkin melatih silat dengan baik?" "Kalau Si Cantik itu yang menjadi guru, aku membayar berapa mahal pun!" "Cia-ling-bu-koan (Perguruan Silat Sungai Cia-ling), aliran manakah?" Bermacam-macam pendapat dan dugaan orang sehingga tempat itu menjadi berisik. Melihat banyaknya orang yang tertarik dan kini merubung tempat itu, Su Kiat lalu berdiri dan menghadap ke empat penjuru sambil mengangkat sebelah tangannya ke depan dada. "Cu-wi yang terhormat. Ketahuilah bahwa kami suheng dan sumoi, merupakan penduduk baru dari dusun Hek-bun di luar kota ini di tepi Sungai Cia-ling. Karena kami ingin bekerja mencari nafkah dan keahlian kami hanyalah ilmu silat, maka kami memberanikan diri untuk membuka sebuah perguruan silat. Kami mengambil nama Cia-ling Bu-koan karena dusun kami berada di tepi Sungai Cia-ling. Kalau di antara Cu-wi ada yang ingin belajar silat yang baik, dan mau menolong kami mencari nafkah secara halal, silakan mendaftarkan dl sini!" "Akan tetapi bagaimana kami tahu bahwa Anda pandai ilmu silat?" terdengar teriakan seorang di antara para penonton dan pertanyaan ini mendapat sambutan banyak orang. Su Kiat tersenyum dan mengagguk. "Sudah pantas pertanyaan itu. Wajarlah kalau Cu-wi kurang percaya kepada kami karena memang kita belum berkenalan. Baru satu bulan kami tinggal di dalam dusun itu. Sumoi, mari kita main-main sebentar untuk memperkenalkan diri kepada mereka!" Hui Lian mengangguk dan meloncat ke tengah lapangan rumput. Para penonton mundur dan memberi ruangan untuk mereka berdua. Gembira hati mereka karena hendak disuguhi tontonan yang paling mengasyikkan bagi mereka, yaitu demonstrasi silat, apalagi kalau dilakukan oleh seorang gadis demikian cantik manis melawan seorang laki-laki yang buntung lengan kirinya. Mereka menduga bahwa ilmu silat kedua orang itu tentu hanya begitu-begitu saja, dan tentu saja mereka tidak begitu bodoh untuk belajar ilmu silat kepada orang yang bukan ahli benar. Di kota Kong-goan terdapat banyak perguruan silat yang besar dan kuat, dan biarpun harus mengeluarkan biaya besar, lebih baik belajar dari guru-guru silat yang pandai dan terkenal di kota itu. Akan tetapi ada pula di antara mereka yang sudah mengambil keputusan untuk mengeluarkan sedikit biaya agar selalu dapat berdekatan dengan gadis cantik itu, apalagi dilatih silat oleh gadis itu, berkesempatan untuk dipegang-pegang! "Haiiiittt …..!" Hui Lian mengeluarkan teriakan untuk memberi tanda kepada suhengnya bahwa ia mulai menyerang. Serangannya cepat sekali, kedua tangannya bergerak, yang kanan mencengkeram ke arah kepala, yang kiri menusuk ke arah dada dengan jari tangan terbuka. Akan tetapi, dengan gerakan ringan sekali Su Kiat dapat menghindar, memutar tubuh dan langsung membalas dengan tendangan kilat. Tendangan menyambar lewat, dekat sekali dengan tubuh gadis itu sehingga para penonton mulai terkejut. Kini, dua orang itu saling serang dan para penonton mulai terbelalak. Suheng dan sumoi itu saling serang dengan sungguh-sungguh! Mereka sudah sering melihat demonstrasi silat berpasangan dan dalam demonstrasi itu, pukulan dan serangan selalu dilakukan dengan diatur lebih dahulu oleh kedua pesilat. Akan tetapi kedua orang ini sama sekali tidak. Serangan mereka dilakukan dengan demikian cepat dan kuatnya, dan setiap serangan nyaris mengenai tubuh lawan. Dan Si Buntung itu, biarpun lengannya hanya sebelah, ternyata lihai sekali. Bahkan lengan baju kiri yang kosong mampu dia pergunakan untuk menangkis serangan bahkan menotok! Demonstrasi itu seperti sungguh-sungguh dan tidak dapat disangkal lagi bahwa keduanya memang memlliki gerakan yang cepat, dan ilmu silat mereka pun aneh. Tidak seorang pun di antara para penonton, baik yang sudah pernah belajar silat sekalipun, dapat mengenal aliran ilmu silat yang dimainkan mereka. "Hyaatt!" Tiba-tiba tubuh Su Kiat mencelat ke atas dan dia pun menghujankan serangan kepada lawannya. Ujung lengan baju kiri yang tidak berisi itu menyambar dengan totokan-totokan ke arah jalan darah di leher dan pundak, tangan kanannya mencengkeram ke arah ubun-ubun dan kedua kakinya bergantian mengirim tendangan bertubi-tubi. Gadis itu melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik dan harus terus-menerus berjungkir balik untuk mengelak dan menghindarkan dirinya dari hujan serangan itu. Gerakan mengelak ini sedemikian ringan dan indahnya sehingga tertariklah hati semua penonton. Mereka bersorak dan bertepuk tangan memuji. "Berhenti …..!!!" Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. Hul Lian dan Su Kiat cepat menghentikan gerakan mereka. Para penonton melihat munculnya serombongan orang dan mereka pun nampak jerih, lalu mundur menjauh. Mereka menonton dari jarak yang cukup jauh dan semua orang merasa khawatir akan keselamatan suheng dan sumoi itu, karena mereka mengenal siapa adanya rombongan orang yang baru tiba, dan siapa pula raksasa muka hitam yang tadi membentak. Su Kiat dan Hui Lian berdiri memandang. Rombongan itu terdiri dari delapan orang. Melihat betapa di dada baju delapan orang itu terdapat sulaman gambar harimau hitam, Su Kiat dan Hui Lian menduga bahwa mereka adalah orang-orang dari satu golongan tertentu. Dan dugaan mereka memang benar. Para penonton sudah mengenal jagoan-jagoan dari Hek-houw Bu-koan (Perguruan Silat Harimau Hitam) itu, sebuah perguruan silat terbesar di Kong-goan dan yang paling berpengaruh. Semua perguruan silat lainnya tunduk dan takut kepada Hek-houw Bu-koan dan perguruan ini dianggap sebagai perguruan yang paling tinggi dan mahal. Bahkan perguruan lain, setiap bulan mengirim hadiah tanda penghormatan kepada Hek-houw Bu-koan yang dianggap sebagai rekan paling tua dan paling lihai. Tentu saja tidak mudah menjadi murid Hek-houw Bu-koan, harus dapat membayar mahal dan karena anak-anak para bangsawan dan pejabat kebanyakan berguru di situ, tentu saja kedudukan Hek-houw Bu-koan menjadi semakin kuat. Murid-muridnya ditakuti dan disegani orang, apalagi murid dari golongan yang sudah tinggi tingkatnya, seperti delapan orang murid ini yang sudah memakai gambar harimau hitam di dada mereka! Kini delapan orang itu menghadapi Su Kiat dan Hui Lian yang berdiri dengan sikap tenang walaupun dari sikap para penonton mereka dapat menduga bahwa delapan orang ini tentulah bukan orang-orang yang disukai rakyat, dan berarti merupakan orang-orang yang suka bertindak sewenang-wenang. "Toako, Si Buntung ini kurang ajar sekali, berani tidak memandang kepada kita!" kata seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi kurus. "Toako, Nona ini sungguh mulus!” kata orang ke dua yang berperut gendut dan mukanya menyeringai kurang ajar. Raksasa muka hitam yang disebut Toako itu melangkah maju, melotot kepada Su Kiat. Betapa pun marahnya, dia tidak mampu memperlihatkan sikap marah kepada seorang gadis secantik Hui Lian, maka yang menerima kemarahannya adalah Su Kiat seorang. "Heh, buntung! Siapa kau dan dari mana kau datang?" tanyanya dengan suara keras dan memandang rendah. Wajah Hui Lian berubah merah dan kalau saja suhengnya tidak berkedip kepadanya, tentu ia sudah menerjang raksasa muka hitam yang berani menghina suhengnya itu. Akan tetapi Su Kiat maklum bahwa kalau dia dan sumoinya ingin mencari nafkah di kota itu, tidak menguntungkan kalau di hari pertama sudah harus bermusuhan dengan orang lain. Maka dia pun melangkah maju menghadapi raksasa muka hitam itu, dan dengan muka cerah dan ramah dia menjawab pertanyaan yang dilontarkan kepadanya Namaku Ciang Su Kiat dan ia adalah sumoiku bernama Kok Hui Lian. Kami baru kurang lebih sebulan tinggal di dusun Hek-bun di luar kota Kong-goan ini di tepi Sungai Cia-ling." Dan dia pun balas bertanya, "Siapakah Si-cu dan mengapa Si-cu menghentikan demonstrasi kami?" "Orang she Ciang yang sombong! Siapa memberi ijin kepadamu untuk membuka perguruan silat? Engkau sungguh tak tahu diri dan melanggar peraturan!" "Eh? Maaf, peraturan apakah yang kulanggar? Apa kesalahanku dengan rencana membuka perguruan silat?" . "Engkau melakukan dua pelanggaran besar. Pertama, engkau menghina kami karena membuka perguruan silat tanpa sepengetahuan kami! Ketahuilah bahwa di Kong-goan ini, perguruan silat kami Hek-houw Bu-koan mempunyai wewenang sepenuhnya dan semua perguruan silat harus mendapatkan restu kami. Akan tetapi engkau berani membuka tanpa minta persetujuan kami. Dan ke dua, engkau telah berani melakukan penipuan di kota kami!" "Penipuan? Untuk yang pertama, kami minta maaf karena kami tidak tahu adanya peraturan seperti itu. Dan hal itu mudah saja dibereskan. Aku akan pergi menghadap pimpinan Hek-houw Bu-koan untuk minta persetujuan. Akan tetapi penipuan? Aku tidak merasa menipu siapapun juga." “Sombong! Engkau ini berlengan buntung, mana mungkin akan dapat mengajar silat dengan baik? Bukankah itu artinya kalian mengelabuhi dan menipu para peminat, hendak mengeduk uang mereka dengan alasan mengajar silat akan tetapi sesungguhnya engkau tidak mampu bersilat dengan baik?" "Toako, hajar saja orang ini dan kita tahan gadis itu sebagai sandera!" kata laki-laki berperut gendut dan dia pun melangkah maju, kakinya menendang meja kecil yang disediakan oleh Hui Lian. Di atas meja itu tersedia kertas dan alat tulis untuk mendaftar mereka yang berminat. Kini tinta dan kertas terlempar dan berserakan, meja itu pun ringsek. Delapan orang itu tertawa. Bukan main marahnya Hui Lian. Ia tidak mampu menahan dirinya lagi dan iapun cepat meloncat di depan suhengnya. "Suheng, aku tidak sudi dihina orang seperti ini. Biar aku mewakili Suheng menghadapi tikus-tikus busuk ini!" Dan sebelum Su Kiat dapat menahannya, Hui Lian telah melangkah maju menghadapi raksasa muka hitam, tangannya menuding ke arati muka yang hitam itu. "Kamu ini manusia ataukah iblis? Menjadi harimau hitam pun tidak patut karena harimau pun tidak sejahat kamu! Kamu menghina orang seenak perutmu sendiri. Apa kesalahan kami? Untuk membuka perguruan silat, tidak perlu minta persetujuan binatang macam kamu, dan kalau kami melanjutkan usaha kami, kamu mau apa? Majulah kalau ingin mengenal kelihaian nonamu!" Si Perut Gendut sudah melangkah maju. "Toako, tahan kemarahanmu. Serahkan kuda betina liar ini kepadaku saja. Aku akan menangkapnya, barulah engkau menghajar Si Buntung itu!" Tanpa menanti jawaban raksasa muka hitam yang mendelik marah karena dimaki-maki oleh Hui Lian, Si Gendut itu sudah menerjang ke arah Hui Lian dan begitu dia menyerang, dia menggunakan, kedua tangannya untuk mencengkeram ke arah dada gadis itu! Serangan yang amat tidak sopan dan memandang rendah kepada Hui Lian. "Sumoi, jangan membunuh orang!" Su Kiat memperingatkan, diam-diam juga marah melihat serangan yang kurang ajar itu. "Plak! Plak!" Kedua tangan Hui Lian menyambut dua tangan Si Perut Gendut itu, yang tentu saja menjadi girang dan segera dia mencengkeram kedua tangan gadis itu. Jari-jari tangan mereka saling remas seperti sepasang kekasih sedang bermain-main saja. Teman-teman Si Gendut sudah mentertawakan. "Wah, untung besar Si Gendut kali ini!” “Wah, main remas jari tangan!" “Halusnya!” “Hangatnya, heh-heh!" Si Perut Gendut yang mencengkeram tangan Hui Llan, berusaha menarik gadis itu untuk mencium mukanya. Akan tetapi tiba-tiba dia mengeluarkan pekik kesakitan, matanya terbelalak seperti hendak meloncat keluar, mukanya menjadi pucat sekali dan seluruh tubuhnya menggigil saking menahan rasa nyerinya. Kiranya, jari-jari tangannya itu bertemu dengan jari-jari tangan yang keras seperti baja dan panas seperti api membara! Biarpun jari-jari tangannya lebih panjang dan besar, namun jari-jari tangannya itu seperti tahu dicacah saja, tahu bertemu pisau! Jari tangan Hui Lian yang mencengkeram dan terdengar suara berkeretakan ketika tulang-tulang dan buku jari tangan Si Gendut itu patah-patah dan remuk! "Aduhh... aduhhhh... ampunnn... amm... punnnn... augghhh …..!" Si Gendut mnenjerit-jerit dan menangis seperti babi disembelih, dan saking nyerinya, dia berjongkok dan kedua lengannya bergantung. Hui Lian mendengus jijik dan kakinya menendang sambil membentak. "Anjing buduk, pergilah!" "Bukk!" Kaki itu menendang perut yang gendut dan ia melepaskan cengkeramannya. Tubuh Si Gendut itu terjengkang dan bergulingan, dan kini dia merintih deng.an bingung, menggunakan kedua ,tangan yang remuk tulang-tulang jarinya itu untuk meraba-raba perutnya yang mendadak menjadi mulas dan nyeri sekali. Agaknya usus buntunya yang kena tendangan yang cukup keras itu Gegerlah semua orang melihat peristiwa yang sama sekali tak mereka sangka-sangka itu. Para penonton yang berada di jarak aman, terbelalak dan wajah mereka berseri. Walaupun mereka bergembira, terkejut heran dan kagum bukan main, namun mereka tidak berani bersorak, hanya bersorak di dalam hati dan saling pandang dengan senyum dikulum. Sebaliknya, tujuh orang teman, Si Gendut terkejut bukan main dan mereka menjadi marah, terutama Si Raksasa muka hitam yang menjadi saudara tertua di antara mereka dan merupakan pimpinan kelompok itu karena dialah yang paling lihai dan paling kuat. "Perempuan jahat, berani engkau memukul orang?” bentak Si Raksasa muka hitam. "Huh, matamu kamu taruh di mana? Jelas dia yang memukul orang, bukan aku. Kalau kamu ingin memukulku juga, boleh. Majulah!" “Perempuan sombong, engkau belum merasakan tangan besi jagoan Hek-houw Bu-koan? Nah, sambutlah!" Teriak Si Muka Hitam dan dia pun mengirim pukulan dengan tamparan tangannya ke arah pundak Hui Lian. Tangan raksasa muka hitam itu besar dan lengannya panjang, ketika menampar mendatangkan angin yang cukup kuat. Melihat Si Raksasa ini tidak menyerang dengan ganas, hanya menampar pundak, tidak kurang ajar seperti Si Perut Gendut, Hui Lian juga tidak bertindak kejam. Ia mengelak dengan mudah saja, kakinya menotok ke depan dan tubuh Si Raksasa itu pun terjungkal karena kedua kakinya tiba-tiba saja menjadi lumpuh ketika ujung sepatu kecil itu dua kali mencium kedua lututnya! Kembali suasana menjadi geger. Gadis itu telah merobohkan toako mereka dalam segebrakan saja! Dan para penonton juga gempar, dan sekali ini biarpun tidak bersorak, namun ada terdengar suara ketawa di sana-sini menyambut kemenangan mudah gadis itu. Enam orang murid Hek-houw Bu-koan menjadi marah sekali. Pemimpin mereka dirobohkan seorang gadis sedemikian mudahnya, hal ini merupakan penghinaan bagi mereka. "Bunuh siluman betina itu!" teriak mereka dan enam orang itu sudah menerjang ke depan dengan golok tipis di tangan. Melihat berkelebatnya senjata tajam, para penonton menjadi panik. Hanya Su Kiat yang masih berdiri di pinggir dengan tenang. Tingkat kepandaian enam orang itu tidak ada artinya bagi sumoinya, maka dia hanya diam menonton saja. Dan memang benarlah. Begitu melihat enam orang itu menerjangnya dalam kepungan, mempergunakan golok, Hui Lian tersenyum mengejek. "Kalian memang tikus-tikus pengecut yang beraninya main keroyok!" Dan tiba-tiba saja, enam orang yang sudah menyerang dengan golok, menjadi terkejut dan bingung karena tubuh gadis yang dikepung mereka itu lenyap, berubah menjadi bayangan yang berkelebatan ke sana-sini dan mereka pun satu demi satu mengeluarkan teriakan dan roboh. Golok di tangan mereka beterbangan ke sana-sini! Mereka sendiri tidak tahu bagaimana mereka dapat roboh, hanya merasa ada bagian tubuh yang kena tendangan atau tamparan tanpa melihat lawan yang melakukannya! Hui Lian berdiri tegak, bertolak pinggang memandangi delapan orang yang kini saling bantu dan merangkak bangun sambil mengerang kesakitan itu. "Nonamu masih mengampuni nyawa anjing kalian! Hayo lekas pergi dari sini dan jangan berani mengganggu orang lagi.” Si Raksasa muka hitam hanya dapat mendelik, lalu bersama tujuh orang kawannya dia pergi dari situ, terpincang-pincang, diikuti senyum lebar para penonton yang masih juga belum berani bersorak. Setelah delapan orang itu pergi, para penonton berduyun datang mengelilingi Su Kiat dab Hui Lian. Seorang diantara mereka, yang usianya sudah lima puluh tahun lebih mendekati Su Kiat. “Sebaiknya kalau Ji-wi cepat pergi meninggalkan tempat ini, bahkan meninggalkan kota ini. Ji-wi tidak tahu, Hek-houw Bu-koan merupakan perguruan silat paling besar dan berkuasa di sini. Banyak putera bangsawan dan hartawan menjadi muridnya, dan Hek-houw Bu-koan mempunyai banyak sekali tukang-tukang pukul! Ji-wi telah menghajar delapan orang murid rendahan saja, kalau sampai murid-murid utama atau bahkan pimpnan mereka datang ke sini, Ji-wi bisa celaka!” Su Kiat memandang kepada orang itu dan tersenyum tenang. “Terima kasih atas peringatan itu, Saudara yang baik. Akan tetapi kita tinggal di dunia yang sopan dan ada hukumnya, bukan di rimba raya di mana kekuatan dan kekerasan merajalela. Kami berdua tidak bersalah, dan siapa saja yang mengganggu kami, akan kami hadapi. Nah, Saudara sekalian siapa yang hendak mendaftarkan diri menjadi murid perguruan silat Cia-ling?” Hui Lian sudah memungut lagi kertas dan alat tulis yang tadi berserakan, siap untuk mencatat nama-nama dari mereka yang ingin belajar silat. Beberapa orang pemuda maju mendaftarkan diri sambil membayar uang pangkal. Ada pula yang bertanya. “Apakah kalau sudah menjadi murid Cia-ling Bu-koan, kami pun akan mendapatkan kepandaian sehebat Nona ini yang dapat mengalahkan orang-orang Hek-houw Bu-koan?” Cu Kiat tersenyum dan mengangkat tangan minta perhatian semua orang. Suasana menjadi hening sehingga terdengarlah suara Su Kiat dengan jelas. “Harap Anda sekalian mengetahui bahwa ilmu silat bukanlah alat untuk berkelahi atau bermusuhan. Ilmu silat adalah suatu olahraga yang menyehatkan lahir batin, juga merupakan seni tari yang indah dan menyehatkan, selain itu merupakan pula ilmu bela diri, semacam perisai untuk melindungi diri kita dari ancaman marabahaya. Cu-wi tadi melihatnya. Sumoi bukan menggunakan ilmu silat untuk bermusuhan atau berkelahi, melainkan untuk membela diri dari ancaman orang-orang kasar tadi. Kalau sumoi mempergunakan untuk bermusuhan, tentu delapan orang tadi tidak akan dapat bangun kembali.” Semua orang mengangguk dan merasa kagum sekali. Makin banyaklah yang mendaftarkan diri. Untuk tahap pertama, karena pertama kali membuka perguruan silat, tentu saja Su Kiat dan Hui Lian tidak mungkin dapat mengadakan pemilihan atau ujian, melainkan menerima saja mereka semua. Tentu saja kelak, kalau keadaan mereka sudah baik, tidak mungkin menerima segala orang untuk menjadi murid. Harus lebih dulu diuji mentalnya, dinilai wataknya, dan dilihat pula bakatnya dan kesehatan tubuhnya. “Semua orang harap mundur dan biarkan kami bicara dengan guru silat liar itu!” Tiba-tiba terdengar suara nyaring dan semua orang cepat menengok. Orang yang tadi memberi peringatan kepada Su Kiat, ketika melihat munculnya dua orang itu, segera berbisik kepada Su Kiat. “Celaka, dua orang pelatih merkea datang sendiri! Mereka adalah orang-orang kedua dalam perguruan itu, wakil dari ketuanya yang bertugas melatih ilmu silat. Kepandaiannya tinggi sekali!” Setelah berkata demikian, seperti juga dengan orang-orang lain, dia pun cepat menjauhkan diri. Kini Su Kiat dan Hui Lian berdiri memandang dua orang laki-laki yang melangkah menghampiri mereka dengan langkah lambat-lambat, sedangkan pandang mata mereka ditujukan kepada Hui Lian dengan tajam dan alis berkerut, mulut mereka cemberut, sikap yang tidak ramah atau bersahabat sama sekali. Diam-diam Su Kiat memperhatikan mereka. Dua orang itu adalah laki-laki yang berusia empat puluh tahun dan gerak-gerik mereka saja mudah diketahui bahwa mereka adalah orang-orang yang bertubuh kuat dan pandai ilmu silat. Keduanya bertubuh tegap dan kokoh kuat seperti batu karang. Yang seorang memelihara kumis dan jenggot pendek, kulit mukanya menghitam sedangkan orang ke dua bermuka bersih tanpa kumis dan jenggot, juga kulit mukanya kuning. Namun keduanya nampak marah sekali. Su Kiat dan Hui Lian bersikap tenang saja menghadapi mereka dengan senyum mengejek. Dan orang itu agak tertegun melihat seorang gadis cantik manis menghadapi mereka dengan sikap demikian berani. Padahal, biasanya orang merasa takut dan sungkan kepada mereka yang terkenal sebagai jagoan di Kong-goan. Karena tidak ingin berurusan dengan seorang gadis muda, Si Jenggot muka hitam lalu memandang kepada Ciang Su Kiat dan membentak dengan suaranya yang parau dan bengis. “Engkaukah guru silat baru yang tidak tahu aturan dan telah berani memukul murid-murid kami dari Hek-houw Bu-koan itu?” tanya yang bermuka hitam dan yang bernama Cu Kat. Orang ke dua itu bernama Cu Hoat, adiknya. Kedua orang kakak beradik ini terkenal di Kong-goan sebagai Kong-goan Siang-houw (Sepasang Harimau Kong-goan) dan ditakuti orang karena mereka adalah murid-murid kepala dan pelatih para murid perguruan silat Harimau Hitam itu. Sebelum Su Kiat menjawab, Hui Lian sudah mendahuluinya. “Memang Suheng Ciang Su Kiat dan aku Kok Hui Lian yang hendak membuka perguruan silat Cia-ling Bu-koan di dusun Hek-bun! Yang menghajar delapan orang kurang ajar tadi aku, bukan Suheng. Kalian mau apa? Apakah kalian hendak membela murid-murid kalian yang tidak tahu aturan dan kurang ajar tadi?” Sepasnag Harimau Kong-goan itu saling pandang, agak terkejut dan hampir tak dapat percaya bahwa delapan orang murid mereka tadi di kalahkan oleh seorang gadis muda seperti ini. Dan gadis ini bersama suhengnya hanyalah orang-orang yang hendak membuka perguruan silat di dusun Hek-bun, dusun kecil itu! Padahal orang sedusun itu sudah mengenal belaka akan nama mereka berdua, apalagi nama perguruan silat Harimau Hitam. “Nona, bukan murid-murid kami yang kurang ajar, melainkan kalian yang tidak tahu aturan. Setiap orang yang membuka perguruan silat di daerah Kong-goan ini, setidaknya harus melapor dulu kepada perguruan kami yang merupakan perguruan paling besar di Kong-goan. Tanpa memberitahu kami, berarti memandang rendah dan menghina kami!” kata pula Si Muka Hitam. “Kami hendak membuka perguruan silat, apa hubungannya dengan kalian? Dan kami tidak memandang rendah, apalagi menghina, siapa juga. Bagaimana kami dapat menghina kalian yang tak pernah kami kenal? Kami hanya ingin mencari sesuap nasi secara halal, mengapa kalian dari Hel-houw Bu-koan hendak menggangu dan menghalangi?” Hui Lian membantah dengan suara yang marah dan penasaran. “Bukan menghalangi, melainkan segala sesuatu harus menurut peraturan, dan kalian sudah melanggar peraturan dan sopan santun!” kini Si Muka Kuning berkata. Bagaimanapun juga, mereka berdua adalah murid-murid kepala bahkan pelatih, maka mereka tidak bersikap ugal-ugalan dan main keras seperti murid-murid mereka tadi. “Boleh saja kalian menganggap demikian, habis kalian mau apa sekarang?” tanya Hui Lian dengan sikap menantang. Su Kiat membiarkan saja karena dia pun merasa penasaran melihat sikap orang-orang itu. Dia sendiri sudah lama berkecimpung di dunia kang-ouw, dan tahu-akan aturan-aturan di dunia kang-ouw ketika ketika dia masih menjadi murid Cin-ling-pai dahulu, akan tetapi orang-orang Hek-Houw Bu-koan ini sungguh congkak. Mudah dibayangkan bagaimana sikap mereka terhadap rakyat yang lemah. “Hemm, kalian adalah dua orang baru yang sombong!” kata Si Muka Hitam. “Baiklah, kalau kalian hendak menggunakan aturan sendiri, lebih dahulu kalian harus berani menentang kami dan mengalahkan kami berdua dan guru kami!” Hui Lian menjebikan bibirnya yang merah dan memandang tajam. “Aku sama sekali tidak takut kepada kalian, akan tetapi aku pun datang ke kota ini untuk bekerja, bukan untuk bermusuhan dengan kalian. Asal saja kalian tidak mengganggu, kami juga tidak akan peduli dengan kalian!” “Kami tantang kalian sekarang juga datang ke perguruan kami, agar Suhu kami melihat apakah kalian cukup berharga untuk menjadi guru penduduk Kong-goan dan wilayahnya,” kata pula Si Muka Hitam dengan hati-hati. Dia bukan seorang yang ceroboh. Melihat betapa gadis semuda ini dapat mengalahkan pengeroyokan delapan orang muridnya, dia dapat menduga bahwa gadis ini lihai sekali. Kalau gadis ini sudah lihai, apalagi suhengnya. Dia sudah memperoleh ilmu silat yang cukup matang untuk tidak memandang rendah kepada seorang yang buntung sebelah lengannya. Gurunya yang bernama Bouw Kwa Teng, pendiri perguruan silat Harimau Hitam, pernah memperingatkan dia agar berhati-hati kalau menghadapi lawan yang kelihatan lemah, seperti orang cacat, wanita, orang tua, pendeta dan orang-orang yang nampaknya saja lemah. Orang lemah yang sudah berani menghadapi lawan, tentu memiliki sesuatu yang diandalkannya dan orang seperti itu dapat menjadi lawan yang amat berbahaya. Hui Lian hendak menolak dan membentak, akan tetapi Su Kiat yang merasa tidak enak kalau menolak terus, apalagi dia memang tahu akan peraturan seperti itu di dunia kang-ouw, lalu melangkah maju. “Baiklah, sobat. Kami akan datang menemui guru kalian dan pemimpin Hek-houw Bu-koan sekarang juga.” “Suheng …!” “Biarlah, Sumoi. Biar cepat selesai urusan ini sehingga tidak mengganggu pekerjaan kita.” Hui Lan tidak membantah lagi dan mereka lalu mengikuti dua orang jagoan itu menuju ke Hek-houw Bu-koan yang ternyata merupakan bangunan besar dengan kebun yang luas untuk dipakai sebagai tempat berlatih silat. Ketika mereka memasuki pintu gerbang, Su Kiat dan Hui Lian melihat papan nama Hek-houw Bu-koan dengan tulisan yang besar dan gagah. Kemudian, begitu memasuki pekarangan depan, mereka melihat sedikitnya tiga puluh orang laki-laki sedang berlatih silat dengan gerakan yarlg berbareng, dipimpin oleh seorang laki-laki kurus yang memberi aba-aba. Melihat sepintas saja, Sui Kiat mengenal dasar ilmu silat Siauw-lim-pai, akan tetapi gerakan tangan itu mirip dengan ilmu silat Bu-tong-pai. Memang tidak keliru pandangannya yang tajam, karena sesungguhnya pemimpin Bu-koan (Perguruan Silat) itu, Bouw Kwa Teng adalah seorang ahli silat yang ilmu silatnya bersumber pada dua aliran silat, yaitu Siauw-lim-pai dan Bu-tong-pai. Pengetahuannya dalam kedua ilmu silat ini digabung dan muncullah ilmu silat yang diajarkan di Hek-houw Bu-koan. Kong-goan Siang-houw dua orang jagoan itu, diam-diam merasa kagum dan makin tidak berani memandang rendah pria buntung dan gadis muda itu. Kalau mereka sudah berani memenuhi undangannya, memasuki Hek-houw Bu-koan dengan sikap demikian tenangnya, jelas bahwa mereka berdua itu pasti memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sehingga demikian percaya kepada diri sendiri. Sementara itu, ketika para murid Hek-houw Bu-koan melihat masuknya dua orang tamu ini bersama dua orang toa-suheng mereka, seketika latihan itu pun menjadi kacau dan terhenti. Semua orang sudah mendengar belaka akan jatuhnya delapan orang murid Hek-houw Bu-koan oleh guru silat baru yang terdiri dari seorang pria berlengan sebelah dan seorang gadis muda yang cantik manis. Akan tetapi, dengan muka bengis Cu Kat menghardik. "Lanjutkan latihan kalian!" Sutenya yang kurus, yang tadi memimpin latihan, menjadi ketakutan dan cepat meneriakkan aba-aba lagi dan latihan itu pun dilanjutkan. Pukulan-pukulan dan tangkisan-tangkisan yang mantap, gerakan kaki yang kokoh, dan peluh membasahi tubuh-tubuh bagian atas yang telanjang dan rata-rata tegap berotot itu. Kong-goan Siang-houw membawa dua orang tamunya memasuki ruangan tamu. Cu Kat lalu masuk ke dalam untuk mengundang gurunya sedangkan Cu Hoat menemani dua orang tamu-tamu itu. Ruangan tamu itu merupakaan ruangan yang cukup luas, dan di sudut nampak rak penuh senjata tajam, delapan belas macam. Di dinding terdapat tulisan-tulisan indah yang mengagungkan kegagahan. Tak lama kemudian, terdengar bunyi langkah kaki dan muncullah Cu Kat bersama seorang laki-laki yang membuat suheng dan sumoi itu memandang dengan terbelalak kagum. Laki-laki itu usianya sekitar enam puluh tahun, namun tubuhnya masih kokoh kuat, berdirinya tegak dan yang membuat dua orang tamu itu terbelalak adalah melihat betapa muka tuan rumah ini, hitam seperti arang! Bukan mukanya saja yang hitam, agaknya seluruh kulit tubuhnya, karena kulit kedua tangannya, juga kulit lehernya, lsemua menghitam! Hitam arang mengkilap dan sepasang matanya demikian lebar dan tajam. Pantaslah perguruan itu dinamakan perguruan silat Harimau Hitam, karena kakek ini memang mengingatkan mereka akan seekor harimau hitam yang gagah dan galak! Sejenak mereka saling pandang. Kakek itu sendiri memandang dengan sinar mata penuh keheranan. Tak disangkanya bahwa dua orang guru silat yang oleh kedua orang muridnya diceritakan kepadanya telah mengalahkan delapan orang muridnya, ternyata hanyalah seorang laki-laki berlengan sebelah dan seorang gadis muda! Su Kiat cepat menjura, diturut oleh Hui Lian yang juga kagum melihat kakek itu. "Apakah kami mendapat kehormatan berhadapan dengan pemimpin Hek-houw Bu-koan?" tanyanya dengan sikap hormat. Hemm, sama sekali bukan seorang congkak seperti yang diceritakan muridnya, pikir Bouw Kwa Teng. Sebenarnya, ahli silat ini adalah seorang yang berwatak gagah dan baik, akan tetapi sayang sekali, nama besar membuat dia menjadi agak tinggi hati, dan biarpun dia seorang guru silat yang pandai, namun ternyata dia tidak mampu mendidik moral murid-muridnya sehingga dia tidak tahu betapa para murid perguruannya itu bersikap kasar, congkak dan bahkan sewenang-wenang terhadap rakyat yang lemah. Dia pun membalas penghormatan Su Kiat dan Hui Lian. "Benar, aku adalah pemimpin Hek-houw Bu-koan bernama Bouw Kwa Teng. Siapakah Ji-wi (AndaBerdua)?" "Nama saya Ciang Su Kiat dan ini adalah Sumoi saya bernama Kok Hui Lian, kami datang dari dusun Hek-bun di luar kota Kong-goan." Kakek berkulit hitam arang itu mengangguk-angguk dan sinar matanya menyambar tajam mengamati dua orang di depannya itu. "Ji-wi yang hendak membuka perguruan silat dan telah merobohkan delapan orang murid Hek-houw Bu-koan?" "Maaf, Bouw-kauwsu (Guru Silat Bouw), sesungguhnya bukan niat kami untuk berkelahi, akan tetapi ketika kami sedang mencari calon murid di tempat ramai di kota ini, muncul delapan orang itu yang melarang dan menyerang kami." Kembali guru silat itu mengangguk-angguk. Sukar melihat perasaan hatinya melalui muka yang hitam itu, yang agaknya tidak pernah berubah. "Ji-wi memandang rendah kepada kami sampai dua kali. Pertama, Ji-wi membuka perguruan silat tanpa memberitahukan kepada kami sebagai rekan, dan ke dua, andaikata ada murid kami yang keliru, sepatutnya Ji-wi melaporkan kepada kami. Aku masih sanggup menegur dan menghukum murid-murid kami, tidak semestinya Ji-wi turun tangan menghajar mereka." "Maaf, karena sungguh tidak tahu siapa mereka dan dari perguruan mana, kami telah lancang tangan, harap Bouw-kauwsu suka memaafkan." kata pula Su Kiat, sementara itu, Hui Lian yang sejak tadi diam saja hanya memandang dengan alis berkerut. Diam-diam ia merasa tidak setuju dan tidak puas melihat betapa suhengnya demikian mengalah, padahal mereka sama sekali tidak salah. Baiklah, akan tetapi ketahuilah oleh Ji-wi, bahwa di Kong-goan ini terdapat peraturan di antara para pemimpin perguruan silat, yaitu bahwa hanya orang yang memiliki kepandaian sampai tingkat tertentu saja yang dibenarkan membuka bu-koan. Hal ini adalah untuk mencegah munculnya orang-orang yang melakukan penipuan kepada para muda di Kong-goan dengan membuka perguruan silat dan mengumpulkan uang, padahal mereka itu tidak memiliki kepandaian atau tingkat mereka terlampau rendah untuk menjadi guru silat." "Bagus!" Hui Lian tak dapat lagi menahan kemarahannya. "Kalau ada peraturan semacam itu, lalu siapa yang menentukan tinggi rendahnya dan tingkat kepandaian mereka yang hendak membuka perguruan silat baru?" Tantangan berselubung ini disambut oleh Bouw-kauwsu tanpa gugup. "Biasanya kami tentukan bahwa mereka yang memiliki tingkat seperti tingkat seorang di antara dua murid kepala dari perguruan kami, dibenarkan untuk menjadi guru silat. Yang dapat menandingi seorang di antara Kong-goan Siang-houw ini, dua orang murid kepala yang kini menjadi pelatih di Hek-houw Bu-koan, selama lima puluh jurus tanpa jatuh, dianggap berhak menjadi guru silat." "Bagus! Sudah kuduga demikian!" kata pula Hui Lian dan Su Kiat membiarkan saja sumoinya marah-marah karena dia sendiri pun sudah merasa panas. "Kiranya Hek-houw Bu-koan hendak merajai persilatan di daerah ini. Nah, akulah calon guru silat baru, dan aku akan memasuki ujian yang ditentukan itu! Akan tetapi, jangan hanya seorang yang maju. Biar kedua Kong-goan Siang-houw maju bersama, aku ingin metihat sampai di mana kehebatan Sepasang Harimau Kong-goan ini, apakah benar hebat ataukah hanya macan ompong belaka!" berkata demikian, Hui Lian sudah meloncat ke tengah ruangan yang luas itu, yang agaknya selain dipakai sebagai ruangan tamu, juga dipergunakan sebagai tempat berlatih silat, metihat adanya rak senjata di sudut itu. Kakek muka hitam arang itu nampak tertegun, bahkan Cu Kat dan Cu Hoat sali1ng pandang dengan bingung. Tentu saja sebagai dua orang terkuat di Kong-goan yang amat disegani, mereka merasa sungkan dan malu kalau harus maju bersama mengeroyok seorang gadis cantik manis ini! Akan tetapi mereka telah ditantang dan mereka kini hanya dapat memandang kepada suhu mereka untuk minta keputusan. Bouw Kwa Teng tentu saja merasa penasaran dan tidak setuju kalau kedua orang murid kepala yang kini menjadi pembantunya dan pelatih para murid lain, yang sudah mewarisi tiga perempat dari seluruh ilmunya, maju bersama mengeroyok seorang gadis muda. "Di sini muridku ada dua orang yang menjadi penguji, dan kalian juga dua orang, maka sebaiknya dua lawan dua, barulah adil." katanya. "Harap Ji-wi suka maju melayani Cu Kat dan Cu Hoat, selama lima puluh jurus!" "Tidak perlu Suheng maju sendiri!" kembali Hui Lian berseru penuh tantangan. "Biarlah kalian maju berdua, atau boleh juga dengan guru kalian. Kalian boleh maju bertiga dan akan kulawan sendiri!" "Sumoi ….!" Su Kiat terkejut dan menegur sumoinya yang dianggapnya terlalu lancang dan tekebur. "Biarlah, Suheng. Orang telah menghina dan mengganggu kita, hendak kulihat sampai di mana kelihaian Hek-houw Bu-koan!" Kong-goan Siang-houw bukan hanya terkejut mendengar tantangan Hui Lian, akan tetapi juga marah. Mereka sudah meloncat dan menghadapi Hui Lian dengan muka merah. Mereka merasa marah karena menganggap bahwa tantangan gadis yang ditujukan kepada mereka dan guru mereka itu merupakan penghinaan terhadap guru mereka. "Bocah sombong!" bentak Cu Kat sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka Hui Lian. "Baru mengalahkan delapan orang murid rendahan saja engkau sudah bersikap sombong! Guru kami terlalu terhormat untuk menandingi seorang bocah seperti engkau. Benarkah engkau menantang kami maju bersama? Jangan-jangan engkau akan mati konyol dan menjadi setan penasaran!" "Huh!" Hui Lian mendengus dengan sikap mengejek. "Kalau kalian mampu mengalahkan aku dalam lima puluh jurus, biarlah aku berlutut dan menjadi murid Hek-houw Bu-koan!" "Bagus!" kata Cu Hoat girang membayangkan betapa nona cantik ini akan menjadi muridnya. Dia sendiri yang akan turun tangan melatihnya kalau begitu. "Suhu, perkenankan teecu berdua menyambut tantangan Nona ini!" Sebetulnya masih berat rasa hati Bouw Kwa Teng membiarkan dua orang murid kepala mengeroyok sevrang gadis muda, akan tetapi dia pun menjadi penasaran sekali mendengar tantangan gadis itu yang bukan hanya ditujukan kepada dua orang murid kepala itu, melainkan juga kepada dirinya sendiri. Gadis itu sombong sekali dan perlu diberi pelajaran agar tidak memandang rendah kepada Hek-houw Bu-koan, pikirnya. Biarlah kedua orang muridnya menghajar gadis Itu dan nanti dia sendiri yang akan menghajar orang yang sebelah lengannya buntung. Maka, mendengar perrnintaan CuHoat, dia mengangguk. Melihat suhu mereka memberi persetujuan, Kong-goan Siang-houw lalu menghadapi Hui Lian dari kanan kiri. Hui Lian berdiri tegak, sama sekali tidak memasang kuda-kuda, dan hanya mengikuti gerakan kedua orang lawan itu dengan pandang matanya. "Sumoi, kendalikan diri dan jangan sampai melukai orang!" tiba-tiba Su Kiat berkata memperingatkan. Dia tidak menghendaki kalau baru saja tinggal di daerah Kong-goan sudah harus menanam bibit permusuhan dengan perguruan silat yang paling berkuasa di kota itu. Hal ini sama saja dengan mencari penyakit! Hui Lian yang biarpun berhati keras, namun ia juga seorang gadis yang tidak bodoh. Ia dapat mengerti apa maksud suhengnya, maka ia pun mengangguk sambil tersenyum. Sebagai penguji, Kong-goan Siang-houw itu tidak merasa sungkan untuk menyerang lebih dahulu, maka Cu Kat segera berseru, "Nona Kok, bersiaplah kami segera menyerang!" "Majulah. kalian!" Hui Lian berseru menantang tanpa memasang kuda-kuda seperti kedua orang lawan yang sudah memasang kuda-kuda dengan gagahnya. Melihat sepasang lengan mereka yang bersilang di depan dada membentuk cakar harimau, tahulah Hui Lian bahwa kedua orang lawannya mempergunakan ilmu silat harimau yang tangguh, karena ilmu silat yang sumbernya dari. Siauw-lim-pai ini mengandalkan gerak cepat dan tenaga kuat seperti seekor harimau, dan kedua lengan itu amat kuatnya, dengan jari-jari yang membentuk cakar mampu merobek kulit daging lawan, bahkan mampu mencengkeram remuk tulang! Memang kedua orang itu tidak mau main-main, begitu menyerang langsung saja mempergunakan Houw-kun (Silat Harimau) yang menjadi andalan mereka dan yang membuat mereka dijuluki Sepasang Harimau. Keduanya mengeluarkan suara gerengan seperti harimau dan ini pun termasuk bagian ilmu itu yang mempergunakan auman harimau untuk melemahkan semangat lawan. Auman itu dikeluarkan dengan pengerahan tenaga khikang sehingga terdengar menggetarkan jantung. Namun, gadis muda itu sama sekali tidak terpengaruh, bahkan ia tersenyum manis. "Hemm, aumannya boleh juga, cukup nyaring!" Ia bahkan berkata yang tentu saja merupakan ejekan karena ucapan itu seperti ingin melihat apakah ilmu silatnya juga sehebat aumannya! Dan lebih menantang lagi, gadis itu sama sekali tidaki memasang kuda-kuda, melainkan berdiri tegak, bahkan kini bertolak pinggang dengan kedua tangannya. Sesungguhnya, bertolak pinggang dengan kedua tangan ini juga merupakan semacam kuda-kuda, karena kedua tangan itu sudah siap, baik untuk menangkis maupun untuk menyerang. Dan kedua kaki yang berdiri tegak itu kokoh kuat, namun mengandung kelenturan sehingga akan mudah dipergunakan untuk menendang, maupun untuk melompat dan bergeser. "Haiiittt!!" Tiba-tiba Cu Kat membentak dengan nyaring, kedua tangannya bagaikan cakar harimau sudah menyerang dengan cengkeraman bertubi ke arah kepala dan pundak kiri Hui Lian. Pada saat yang hampir berbareng, Cu Hoat juga membentak dan menyerang dengan cengkeraman ke arah pundak kanan dan dada. Serangan itu cepat dan kuat bukan main, namun Hui Lian menyambutnya dengan tenang saja. Ia menggeser kakinya mundur dan kedua tangannya bergerak ke atas dan ke bawah secara berlawanan dan angin besar menyambar dan menyambut cengkeraman kedua orang itu. "Plakk! Plakk!!" Tubuh Cu Kat dan Cu Hoat terdorong mundur oleh kekuatan dahsyat dari tangkisan Hui Lian yang sudah menghindarkan diri sambil mundur tadi. Hui Lian tidak mau tinggal diam. Begitu kedua lawan itu terdorong mundur, ia pun cepat menggeser kakinya maju lagi dan mengirim tamparan dengan kedua tangannya, satu dari atas dan satu lagi dari bawah, menyambar ke arah kepala Cu Kat dan perut Cu Hoat. Kembali ada angin keras menyambar yang mengejutkan kedua orang pengeroyok itu sehingga mereka harus melompat ke samping menghindarkan sambaran tangan gadis itu. "Aih, bukankah itu Thian-te Sin-ciang?" Tiba-tiba Bouw Kwa Teng berseru kaget. "Apakah Ji-wi murid Cin-ling-pai? Kalau benar demikian, maafkan kami yang tidak tahu diri …..!" Su Kiat tersenyum. Kiranya Cin-ling-pai masih mempunyai nama besar sehingga membikin gentar ketua perguruan silat Harimau Hitam ini. Memang tadi Hui Lian mempergunakan Thian-te Sin-ciang. Seperti diketahui, Ciang Su Kiat adalah bekas murid Cin-ling-pai yang tingkatnya sudah cukup lumayan sehingga dia sudah pernah dilatih Thian-te Sin-ciang, satu di antara ilmu silat Cin-ling-pai yang banyak ragamnya. Karena Hui Lian tadinya menjadi muridnya, maka dia pun mengajarkan Ilmu Silat Thian-te Sin-ciang itu kepada Hui Lian. Agaknya kini melihat lawan tidak berapa kuat, Hui Lian memainkan ilmu silat itu, tidak mempergunakan ilmu silat tinggi yang mereka pelajari bersama di dalam guha di tebing jurang. "Bouw-kauwsu, di antara kami berdua dan Cin-ling-pai tidak ada hubungan apa pun." Kemudian dia berseru kepada sumoinya, "Sumoi, harap kau jangan main-main!" Hui Lian tersenyum. "Baik, Suheng. Nah, kalian majulah lagi, sekali ini aku tidak akan main-main!" Dua orang kakak beradik itu saling lirik dan diam-diam mereka terkejut sekali. Dalam dua gebrakan tadi saja, gadis itu telah memperlihatkan kehebatannya dan itu baru main-main saja? Mereka tahu bahwa lawan mereka ini ternyata memang hebat dan mereka tidak merasa heran lagi mengapa delapan orang murid mereka jatuh dalam segebrakan saja menghadapi gadis ini! Kembali keduanya menerkam dari kanan kiri dan kini mereka tidak rnengendalikan atau membatasi tenaga dan kecepatan mereka seperti tadi. Mereka menyerang dengan sungguh-sungguh. Akan tetapi, tiba-tiba saja tubuh Hui Lian seperti lenyap begitu saja dari pandang mata mereka dan tahu-tahu, tubuh itu menyambar dari atas seperti seekor burung garuda! Keduanya terkejut dan cepat menjatuhkan diri dan bergulingan agar tidak menjadi korban kedua kaki Hui Lian yang menendang dan menotok dari atas! Kong-goan Siang-houw sudah meloncat bangun lagi dan begitu Hui Lian turun ke atas lantai, mereka sudah menyerangnya lagi dengan kedua tangan yang membentuk cakar itu mencengkeram dengan gerakan kuat dan cepat. Namun, kembali Hui Lian mengelak dan tahu-tahu tubuhnya hanya berkelebat dan lenyaplah tubuh itu, yang nampak oleh dua orang pengeroyoknya hanyalah bayangan putih yang cepat sekali, seperti burung terbang dan selagi dua orang pengeroyok itu kebingungan, kembali tubuh itu sudah menyambar-nyambar lagi dari atas, kini dengan kepala di bawah dan kedua tangannya mengirim tamparan-tamparan yang cepat. Kedua orang harimau Kong-goan ini selama hidupnya belum pernah mendapat lawan yang seperti pandai menghilang dan terbang seperti itu. Mereka sudah berusaha untuk menangkis dan mengelak, namun tetap saja kalah cepat karena tubuh itu sudah menyambar-nyambar lagi dan tiba-tiba keduanya merasa betapa tubuh mereka lemas dan robohlah mereka seperti sehelai kain, Kiranya, dengan kecepatan yang tak terhindarkan mereka, gadis itu telah menotok pundak mereka yang membuat tubuh mereka lumpuh untuk beberapa detik lamanya namun cukup membuat mereka roboh. Biarpun begitu roboh mereka sudah pulih kembali dan dapat berloncatan bangun, namun mereka maklum bahwa mereka telah kalah. Biarpun hati mereka masih merasa penasaran, namun mereka tidak membantah ketika guru mereka menyuruh mereka berhenti. "Cukup, jangan serang lagi. Nona Kok ini ternyata lihai bukan main, lebih dari cukup untuk menjadi seorang guru silat di Kong-goan. Akan tetapi, aku belum melihat kelihaian Ciang-sicu, maka harap suka memberi sedikit petunjuk kepada kami!" Berkata demikian, Bouw Kwa Teng sudah meloncat ke tengah ruangan itu. Melihat ini, Hui Lian berkata kepada suhengnya. "Suheng, biarkan aku mewakilimu meghadapi Bouw-kauwsu!" Akan tetapi Su Kiat cepat melangkah maju. "Sumoi, harap kau suka mundur. Engkau sudah lulus ujian, kini Bouw-kauwsu hendak mengujiku, biarlah aku yang bodoh menambah pengalaman sedikit." Mendengar ini, Hui Lian mundur. Legalah hati Bouw Kwa Teng. Dia tadi sudah melihat gerakan Hui Lian dan terkejut juga kagum bukan main. Gadis itu memiliki keringanan tubuh yang belum pernah dilihatnya sebelumnya. Belum pernah dia melihat orang yang memiliki gerakan sedemikian cepatnya seperti gadis itu, seolah-olah pandai terbang atau tubuhnya memiliki keringanan seperti kapas saja. Dia mengakui bahwa dia sendiri pun belum tentu dapat menang dari gadis yang dalam waktu kurang dari sepuluh jurus telah merobohkan dua orang murid andalannya. Padahal, dia sendiri belum tentu menang dengan mudah kalau menghadapi pengeroyokan dua orang murid itu! Biarpun Ciang Su! Kiat suheng dari gadis itu, yang mungkin saja lebih lihai daripada gadis itu. Inilah sebabnya dia memilih Su Kiat, dan pula, andaikata dia kalah, tidaklah begitu memalukan seperti kalau sampai kalah oleh seorang gadis muda! "Ciang-sicu, aku sudah tua, tenagaku sudah banyak berkurang, maka marilah kita bermain-main dengan senjata sebentar, dan tidak hanya mengandalkan tenaga dan kekerasn tulang dari tubuhku yang sudah rapuh," Berkata demikian, kakek berkulit hitam itu mengeluarkan sebatang pedang pendek dari balik jubahnya dan begitu pedang tercabut dan digerakkan, nampaklah gulungan sinar kehijauan, tanda bahwa pedang itu bukan pedang biasa, melainkan sebatang senjata pusaka yang ampuh. Namun, Su Kiat bersikap tenang saja dan dia pun menjawab, suaranya tenang dan tidak mengejek seperti sikap Hui Lian tadi. "Bouw-kauwsu, di antara kita tidak ada permusuhan, dan aku pun tidak pernah menggunakan senjata tajam, maka biarlah aku menghadapimu dengan tangan kosong saja." Bouw Kwa Teng mengira telah bertindak cerdik. Karena dapat menduga bahwa dia tentu akan kalah cepat dibandingkan lawannya, suheng dari gadis yang memiliki kecepatan jauh melebihinya itu, dan mungkin juga kalah tenaga mengingat pula akan hebatnya tenaga gadis itu, dia memilih menggunakan senjata pedangnya yang diandalkan. Dengan senjatanya ini, dia akan dapat menghadapi kecepatan dan tenaga lawan. Akan tetapi tak disangkanya bahwa laki-laki berlengan buntung sebelah itu menolak mempergunakan senjata. Tentu saja dia merasa serba salah. Menggunakan tangan kosong, dia jerih. Menggunakan senjata, apakah tidak memalukan, dia yang menjadi pimpinan Hek-houw Bu-koan, dan biarpun jauh lebih tua namun tubuhnya masih lengkap, kini melawan seorang penderita cacat yang bertangan kosong dengan mempergunakan pedang? Selagi dia meragu, Su Kiat yang dapat melihat sikap orang dan hal ini saja sudah membuat dia merasa suka kepada ketua ini, berkata dengan suara halus. "Pakailah pedangmu, Bouw-kauwsu. Ketahuilah bahwa senjataku adalah sebuah tangan, dua buah kaki, dan ujung lengan kiriku ini." "Sebetulnya aku merasa sungkan, akan tetapi karena engkau berkata demikian, Ciang-sicu, baiklah aku menerima alasanmu. Nah, mari kita main-main sebentar!" Berkata demikian, Ketua Hek-houw Bu-koan ini sudah memutar pedang pendeknya dan pedang itu pun lenyap bentuknya, berubah menjadi gulungan sinar hijau yang menyilaukan mata. Tak mungkin dia dapat menandingi kecepatan pedangku, pikirnya dan dengan bentakan nyaring sebagai tanda dia membuka serangan, dia menubruk ke depan dengan sinar pedangnya menyambar dari kanan ke kiri, membabat ke arah pinggang lawan. Su Kiat dapat mengetahui apa yang dipikirkan lawan. Tentu saja dia tidak merasa gentar karena seperti juga Hui Lian, pria yang buntung lengan kirinya ini yakin benar akan kemampuannya bergerak cepat. Gerakan cepat dengan ginkang yang luar biasa darinya itu bukan semata-mata karena latihan ilmu yang ampuh, melainkan terutama sekali mereka berdua mendapatkannya karena selama bertahun-tahun tubuh mereka kemasukan makanan yang luar biasa, bukan makanan lumrah manusia. Makanan berupa jamur dan sarang burung, juga daging burung yang mereka makan selama bertahun-tahun karena terpaksa oleh keadaan itu, ternyata membuat tubuh mereka memiliki tenaga ginkang yang istimewa, dan ditambah dengan latihan ilmu yang mereka dapatkan di dalam guha rahasia, maka kini mereka memiliki kecepatan gerakan yang sukar dilawan oleh siapapun juga di dunia persilatan. Dan Su Kiat kini menghadapi lawan yang berpedang itu dengan mengandalkan kehebatan gin-kangnya. Seperti juga yang dilakukan Hui Lian tadi, berkali-kali tubuhnya berkelebat cepat dan menghilang dari depan mata lawan. Hal ini membuat Bouw Kwa Teng terkejut dan bingung, namun guru silat ini yang sejak tadi sudah menduga akan kehebatan ginkang lawan, cepat memutar pedangnya, selain melindungi seluruh tubuhnya, juga menyerang lawan secara ngawur, terutama sekali ditujukannya ke atas. Tadi, ketika Hui Lian dikeroyok oleh Kong-goan Siang-houw, tubuh gadis itu dapat melesat ke udara dengan cepat, lalu menyerang dari atas yang membuat kedua orang muridnya itu kerepotan. Kini dia pun menduga bahwa tubuh yang lenyap dari Su Kiat tentu karena meloncat ke atas. Dugaannya memang mendekati kenyataan. Baik Hui Lian maupun Su Kiat telah melakukan Ilmu Silat Sian-eng Sin-kun, satu di antara ilmu yang mereka dapatkan di dalam guha, peninggalan dari Sian-eng-cu The Kok, seorang di antara delapan dewa yang mati di guha itu. Sesuai dengan nama ilmu itu, ialah Sian-eng Sin-kun (Silat Sakti Bayangan Dewa), maka ilmu silat ini mengandalkan gin-kang yang hebat sekali dan banyak melakukan penyerangan dari udara. Akan tetapi karena semua serangannya banyak ngawur, maka sejak tadi pedangnya tidak pernah mampu menyentuh ujung baju lawan, apalagi tubuhnya. Di luar dugaannya, ternyata lawan itu mampu mengatasi serangan pedangnya hanya dengan menggunakan kecepatan gerakan tubuhnya. Bukan main! Sampai tiga puluh jurus pedangnya menyerang menggunakan jurus-jurus pilihan darinya, namun tak pernah berhasil. "Ciang-sicu, balaslah seranganku!" Dia membentak dengan penasaran sekali, karena dia merasa seperti dipermainkan. Lawan hanya main kucing-kucingan, mengelak terus tanpa balas menyerang. "Baiklah, Bouw-kauwsu!" bayangan yang tidak jelas mukanya bergerak cepat itu menjawab dan tiba-tiba ada benda yang menangkis pedang di tangannya. "Trakkk!" Dan pedang di tangannya terdorong ke belakang. Bouw Kwa Teng mengeluarkan seruan kaget karena dia melihat bahwa yang menangkis pedangnya itu adalah ujung lengan baju kosong dari lengan kiri yang buntung itu. Tahulah dia kini bahwa lawannya tadi tidak membual ketika mengatakan bahwa ujung lengan bajunya yang kiri merupakan senjatanya. Senjata yang istimewa karena kain lengan baju itu ternyata mampu menggetarkan tangannya yang memegang pedang ketika menangkis. "Sambutlah seranganku, Bouw-kauwsu!" terdengar Su Kiat berkata lagi dan tiba-tiba saja pandang mata guru silat itu menjadi berkunang dan kabur karena dia melihat banyak sekali ujung lengan baju yang menyambar-nyambar ke arah seluruh tubuhnya, menusuk, menotok, membacok, seolah-olah dia berhadapan dengan puluhan orang yang menyerangnya dengan ujung lengan baju itu. Inilah Ilmu Pedang In-liong Kiam-sut, ilmu peninggalan In Liong Nio-nio, seorang di antara Delapan Dewa. Kalau Hui Lian mewarisi ilmu ini berikut pedangnya, yaitu pedang Kiok-hwa-kiam, maka Su Kiat dapat mempergunakan ujung lengan baju sebelah kiri menjadi seperti sebatang pedang yang luar biasa ampuhnya pula! Bouw Kwa Teng berusaha memutar pedangnya melindungi dirinya, namun dia merasa ada sesuatu menyentuh leher dan dadanya, dan lenyaplah bayangan puluhan ujung lengan baju itu karena Su Kiat telah meloncat jauh ke belakang dan menjura sambil berkata, "Maafkan aku dan terima kasih atas petunjuk Bouw-kauwsu!" Dari ujung lengan baju kiri yang kini tergantung ke bawah itu, jatuhlah dua buah kancing tulang. Bouw Kwa Teng cepat memandang ke arah dadanya dan meraba ke arah lehernya. Seketika mukanya yang berkulit hitam itu menjadi agak berkurang hitamnya dan dia pun menarik napas panjang. "Aih, aku mempunyai mata akan tetapi telah menjadi buta saja!" katanya seperti mencela diri sendiri ketika mendapat kenyataan betapa kancing bajunya di leher dan dada telah lenyap. Dia maklum bahwa kalau lawan menghendaki, betapa mudahnya lawan membunuhnya atau setidaknya melukai dengan berat. "Ciang-taihiap, maafkan kami dan tentu saja seorang dengan tingkat kepandaian seperti yang dimiliki oleh Taihiapi dan Lihiap, berhak membuka perguruan silat di manapun juga." Melihat sikap guru mereka, dan mendengar guru mereka menyebut Taihiap (Pendekar Besar) dan Lihiap (Pendekar Wanita) kepada suheng dan sumoi itu, juga mendengar ucapan suhu mereka, dua orang murid kepala itu menjadi bengong. Akan tetapi mereka melihat dua buah kancing yang tanggal dari baju guru mereka, maka sebagai orang yang sudah memiliki kepandaian cukup, mereka pun maklum betapa lihainya pria yang berlengan satu ini. Ciang Su Kiat dan Kok Hui Lian keluar dari perguruan Hek-houw Bu-koan dengan diantar oleh mereka bertiga, dan sikap mereka amat menghormat sehingga para murid lain pun menjadi heran dan mengerti bahwa dua orang itu telah diterima oleh guru mereka. Demikianlah, berita bahwa suheng dan sumoi yang aneh itu telah keluar dari perguruan Hek-houw Bu-koan dengan selamat, bahkan dihormati oleh pimpinan Bu-koan terbesar itu, banyak orang muda mendaftarkan diri sebagai calon murid Cia-ling Bu-koan di dusun Hek-bun dan ramailah perguruan itu. Suheng dan sumoi itu mulai bekerja dan tentu saja mereka berdua hanya mengajarkan dasar-dasar ilmu silat dan beberapa jenis pukulan yang kiranya cukup untuk menjadi bekal membela diri. ** "Sumoi, percayalah bahwa aku bermaksud baik. Usiamu sudah dua puluh tiga tahun dan masih menanti apa lagi? Ingatlah, Sumoi, bahwa harga diri setiap orang wanita dalam kehidupan ini adalah kalau ia sudah berumah tangga, menjadi isteri dan kemudian menjadi ibu." Pada suatu senja, ketika mereka berdua duduk di serambi depan tanpa ada orang lain karena para murid dan pelayan berada di bagian belakahg rumah mereka yang kini menjadi besar karena ditambah bangunan, Su Kiat berkata kepada sumoinya dengan sikap serius. Hui Lian yang duduk berhadapan dengan suhengnya, menunduk, dengan muka kemerahan. Percakapan mengenai perjodohannya membuat jantungnya berdebar dan ia merasa malu dan canggung sekali. Betapapun juga, urusan perjodohan itu merupakan hal yang asing baginya. Ia pun mengerti bahwa pada jamannya itu, setiap orang gadis menikah dalam usia belasan tahun, bahkan gadis-gadis kang-ouw pun menikah dalam usia paling banyak dua puluh tahun. Dan ia sudah berusia dua puluh tiga tahun, maka sewajarnyalah kalau suhengnya, yang juga menjadi pengganti guru dan orang tuanya, mendesak dan menganjurkannya untuk segera memilih seorang di antara banyak pemuda yang telah berdatangan meminangnya. Setiap kali ada pemuda meminangnya, ia selalu menolak dengan halus. "Tapi, Suheng, aku sama sekali belum mempunyai keinginan untuk menikah dan mengikatkan diri selamanya kepada seorang suami." "Aku mengerti perasaanmu, Sumoi. Akan tetapi pendirian seperti itu tidak benar. Jangan meniru aku, karena aku adalah seorang laki-laki dan tidak ada celanya bagi seorang pria kalau dia tidak berumah tangga, berbeda dengan seorang wanita. Aku adalah Suhengmu, dan karena engkau hidup sebatang kara, maka aku adalah pengganti orang tuamu. Kakakmu dan akulah yang akan dicela orang kalau mendiamkan saja engkau hidup seorang diri seperti ini. Demi nama baikmu, dan nama baikku. Kuharap engkau tidak berkeras Sumoi. Sampai bosan aku menolak pinangan demikian banyaknya orang muda yang baik-baik, dari dusun ini mau pun yang datang dari kota Kong-goan. Jatuhkanlah pilihanmu, Sumoi. Rasanya tidak enak juga kalau harus menolak terus pinangan yang membanjir itu, seolah-olah aku yang tidak setuju kalau engkau berumah tangga Mendengar suara suhengnya yang bersungguh-sungguh, dan sikapnya yang serius itu, Hui Lian mengusap dua tetes air mata yang keluar dari sepasang matanya. Melihat ini, Su Kiat cepat menghiburnya. "Sumoi, mengapa engkau berduka? Urusan ini adalah urusan yang menggembirakan. Ketahuilah bahwa selama hidup ini, hanya ada tiga kali peristiwa kita alami, tiga peristiwa terpenting dalam kehldupan. Pertama adalah peristiwa kelahiran, ke dua peristiwa pernikahan dan ke tiga peristiwa kematian. Bagi kaum wanita masih ditambah satu lagi yang amat penting, yaitu peristiwa melahirkan. Engkau menghadapi peristiwa pernikahan, rnengapa harus berduka? Apalagi kalau pernikahan ini bukan rnerupakan pernaksaan, dan engkau berhak memilih sendiri calon suamimu." "Tidak, Suheng, aku tidak dapat memilih. Terserah saja kepadamu, karena aku yakin bahwa pilihanmu adalah yang terbaik." Wajah Su Kiat berseri. "Ah, jadi engkau sudah setuju, Sumoi? Banyak pemuda yang baik yang telah meminangmu, akan tetapi, bagiku yang paling baik adalah Tee Sun, putera kepala dusun Hek-bun itu. Usianya sudah dua puluh lima tahun, wajahnya cukup tampan dan wataknya baik sekali, halus dan sopan. Juga dia telah lulus ujian di kota raja, seorang terpelajar. Aku yakin engkau tentu akan berbahagia menjadi isterinya. Bagaimana pendapatmu, Sumoi?" " Di lubuk hatinya, Hui Lian agak kecewa karena pemuda yang dlmaksudkan itu tidak pandai ilmu silat, seorang pemuda yang lemah walaupun harus diakuinya bahwa pemuda itu memang tampan, terpelajar dan sopan, tidak seperti kebanyakan pemuda yang ceriwis dan genit. Juga, sebagaI putera kepala dusun keadaannya cukup mampu. "Terserah kepadamu, Suheng, aku hanya menurut saja kalau memang hal Itu kaukehendaki." "Akan tetapi ini bukan paksaan dariku, Sumoi." "Aku mengerti, Suheng. Engkau aturlah saja, dan aku akan mentaati karena kuyakin bahwa segala yang kaukehendaki itu memang benar dan tepat." Setelah berkata demikian, Hui Lian meninggalkan suhengnya, kemudian memasuki kamarnya untuk menyembunyikan tangisnya. Su Kiat mengikuti kepergian sumolnya dengan wajah berseri, mengira bahwa sumoinya sebagai seorang gadis, tentu malu membicarakan urusan perjodohan itu. Demikianlah, tanpa ragu-ragu lagi Su Kiat lalu membicarakan urusan perjodohan itu dengan keluarga Tee, yaitu keluarga kepala dusun Hek-bun yang menyambutnya dengan penuh kegembiraan. Hui Lian merupakan gadis yang dikagumi, karena bukan saja ia dikenal sebagai seorang yang memiliki ilmu silat amat tinggi, akan tetapi juga karena sikapnya ramah dan halus, dan juga gagah perkasa sehingga selama suheng dan sumoi itu tinggal di Hek-bun, tidak pernah lagi terjadi kejahatan. Orang-orang jahat menjauhkan diri dari perguruan silat Cia-ling Bu-koan itu. Dua bulan kemudlan setelah Su Kiat membicarakan urusan perjodohan, dilangsungkanlah pernikahan yang sederhana namun cukup meriah di dusun Hek-bun, antara Kok Hui Lian yang berusia dua puluh tiga tahun dengan Tee Sun, putera lurah yang berusia dua puluh lima tahun. Pernikahan itu cukup rukun dan Hui Lian berusaha untuk mencinta suaminya, walaupun ia menjadi isteri tanpa cinta kasih suaminya yang pernah lulus di kota raja itu suka bertani dan sering kali Hui Lian mengirim makan minum kepada suaminya yang bekerja di sawah ladang. Kehidupan mereka nampak rukun dan bahagia, walaupun sampai tiga tahun lamanya Hui Lian juga belum dikaruniai keturunan. Akan tetapi, apa yang nampak indah dari luar, belum tentu demikian keadaan di sebelah dalamnya. Terdapat perbedaan cara dan selera kehidupan antara Hui Lian dan Tee Sun. Sebagai seorang gadis yang sejak kecil ikut Su Kiat dan mempelajari ilmu silat Hui Lian sudah terbiasa oleh kekerasan dan kehidupan yang penuh tantangan, sebaliknya Tee Sun suka akan kehidupan yang tenang dan amman. Perbedaan selera hidup inilah yang mulai menjauhkan kedua suami isteri itu, menimbulkan celah atau jarak antara keduanya. Sebagai seorang wanita yang gagah perkasa dan suka akan tantangan hidup penuh kekerasan, Hui Lian sering kali ikut pergi berburu bintang buas di hutan-hutan bersama para pemburu. Memburu binatang buas di hutan penuh tantangan, penuh kesukaran dan kekerasan dan kadang-kadang Hui Lian rindu akan keadaan hidup seperti ini. Makin sering ia ikut pergi berburu, makin tak senanglah rasa hati Tee Sun. Pada dasamya, Tee Sun memang penuh dengan cemburu terhadap isterinya. Dia merasa bahwa isterinya itu sesungguhnya tidak mencintanya, tidak ada kemesraan mendalam dirasainya dari isterinya. Isterinya demikian cantik jelita, tubuhnya mengeluarkan keringat yang berbau harum, dan dia tahu betapa banyaknya pria di dusun Hek-bun maupun di kota Kong-goan yang jatuh cinta kepada Hul Lian. Rasa cemburu ini sekarang memperoleh jalan keluar. Dia semakin cemburu ketika melihat betapa seorang di antara para pemburu, seorang laki-laki yang usianya sekitar tiga puluh tahun, jelas memperlihatkan sikap mencinta isterinya! Pemburu muda ini bertubuh tinggi dan gagah, juga wajahnya ganteng walaupun agak kurus dan jalannya agak pincang sedikit karena pernah kakinya terluka oleh terkaman harimau buas. Pemburu tinggi kurus yang pincang ini bernama Su Ta Touw, dan memang dia telah tergila-gila kepada Hui Lian. Dia sendiri seorang pemburu yang gagah berani, namun melihat kelihaian Hui Lian, juga kegagahan dan kecantikannya, dia telah jatuh cinta. Tanpa mempedulikan bahwa Kok Hui Lian telah bersuami, Su Ta Touw mulai merayu wanita itu. Dia memang pandai merayu dan Hui Lian adalah seorang wanita yang sama sekali belum berpengalaman. Ia menikah dengan Tee Sun tanpa cinta, dan kini, ia melihat seorang pria yang merayunya dengan kata-kata manis, dengan sumpah, bahkan dengan air mata! Su Ta Touw yang tinggi kurus itu tidak segan-segan untuk mengeluarkan air mata dan menangis ketika memperoleh kesempatan menyatakan cintanya kepada Hui Lian! Tentu saja mula-mula Hui Lian menolak, bahkan marah-marah dan menegur teman seperburuan itu, mengingatkannya bahwa ia telah mempunyai suami. Akan tetapi Su Ta Touw yang belum mempunyai isteri itu membujuk rayu terus, tidak mengenal malu, tidak takut ditegur dan dimarahi sehingga lama-kelamaan Hui Lian merasa kasihan kepadanya. Wanita ini mengira bahwa Su Ta Touw benar-benar cinta kepadanya, cinta yang mati-matian, cinta yang tulus ikhlas dan sepenuhnya, bukan seperti cinta suaminya yang dianggapnya tidak mendalam benar. Namun ia tetap menjaga diri dan tidak melayani rayuan Su Ta Touw. Akan tetapi berita tentang usaha Su Ta Touw merayu isterinya itu akhirnya sampai juga ke telinga Tee Sun dan marahlah suami ini. "Begitukah kelakuanmu ketika engkau jauh dariku, dan ikut bersama para pemburu kasar itu? Engkau telah berpacaran dengan pemburu yang kurus tinggi dan pincang itu!" Hui Lian memandang suaminya dengan alis berkerut dan mata bersinar. Kalau ia tidak ingat bahwa penuduhnya itu suaminya dan suaminya itu bertubuh lemah, tentu sudah ditamparnya Tee Sun. "Laki-laki bodoh dan buta! Engkau menuduh orang secara membabi-buta! Dialah yang merayuku, bukan aku yang tergila-gila. Kalau engkau memang laki-laki jantan, datangi dia dan hajar dia yang berani merayu isterimu!” Hui Lian berkata ketus sambil pergi meninggalkan suaminya. Akan tetapi, tentu saja Tee Sun tidak berani kalau harus menegur apalagi menghajar Su Ta Touw, pemburu yang tentu saia lebih kuat dari padanya itu. Akan tetapi sikapnya terhadap Hui Lian menjadi semakin hambar dan uring-uringan, bahkan dia lalu pergi ke rumah Su Kiat di perguruan Cia-ling Bu-koan, mengadukan isterinya kepada Su Kiat! Ciang Su Kiat mendengarkan dengan alis berkerut. Dia tidak percaya bahwa sumoinya dapat melakukan perbuatan serendah itu. Berjina dengan pria lain! "Tee Sun, apakah ada buktinya bahwa Sumoi berjina dengan orang lain?" dia bertanya sambil menatap waiah tampan suami dari sumoinya itu. Tee Sun menarik napas paniang, wajahnya penuh dengan kekesalan dan kemarahan. "Memang belum ada buktinya, akan tetapi banyak pemburu yang menceritakan betapa orang she Su itu selalu merayunya dan betapa akrab hubungan antara mereka. Orang she Su itu terang-terangan mengatakan kepada siapa saja bahwa dia tergila-gila dan jatuh cinta kepada Hui Lian! Bukankah itu sudah merupakan bukti cukup kuat? Tidak, aku tidak percaya lagi dan aku akan ceraikan ia!" "Bagus!" Tiba-tiba muncul Hui Lian yang agaknya sejak tadi sudah mengikuti dan mendengarkan ketika suaminya mengadu kepada suhengnya. "Engkau hendak menceraikan aku? Baik, sekarang juga! Kaukira aku kesenangan menjadi isteri seorang pencemburu macam kau? Ceraikan aku. Sekarang juga!" "Bolehl Aku pun tidak tahan lagi!" Tee Sun juga berteriak. Su Kiat berusaha melerai dan mendamaikan, namun sia-sia saja. Keduanya sudah merasa panas dan percekcokan itu pun berakhir dengan perceraian. Atas desakan sumoinya, terpaksa Su Kiat pergi mengunjungi keluarga Tee untuk membicarakan urusan perceraian itu. "Sumoi, apakah tidak ada jalan lain?" Su Kiat masih membujuknya. "Tidak, Suheng. Apakah engkau ingin aku hidup dalam kesengsaraan, di samping suami pencemburu yang setiap saat marah-marah dan menduga yang bukan-bukan? Dilanjutkan hanya akan menjadi siksaan saja bagiku, juga bagi dia, maka perceraianlah jalan terbaik." Akhirnya bercerailah Hui Lian dari Tee Sun. Hui Lian kembali tinggal bersama suhengnya, membantu suhengnya melatih murid-murid Cia-ling Bu-koan. Sementara itu, melihat betapa Hui Lian kini telah menjanda, Su Ta Touw menjadi semakin berani, mendapat hati dan dengan nekat dia pun melakukan pendekatan dan melimpahkan rayuan-rayuan mautnya. Hui Lian yang masih hijau itu semakin terharu dan hanyut. Ia tidak cinta kepada Su Ta Touw, seperti juga ia tidak pernah mencinta Tee Sun, akan tetapi ia merasa iba sekali melihat laki-laki itu seakan-akan menyembah-nyembahnya, berlutut dan menangis mohon agar cintanya diterima. Ia mengira bahwa sekali ini benar-benar ia bertemu dengan pria yang mencintanya dengan tulus ikhlas, dengan murni. Maka, ia pun menerima ketika Su Ta Touw meminangnya! Ketika ia minta persetujuan suhengnya, Su Kiat memandang kepada sumoinya dengan alis berkerut. "Dia? Ah, Sumoi, sudah kaupikir baik-baikkah kalau engkau menerima pinangan Su Ta Touw? Ingatlah bahwa dia yang menjadi gara-gara sehingga rusak rumah tanggamu, sehingga engkau bercerai dari suamimu! Apakah kelak engkau tidak akan menyesal? Kulihat Su Ta Touw tidaklah lebih baik daripada Tee Sun, karena dia demikian kasar dan terlalu pandai bermanis muka." "Tidak, Suheng. Justru karena aku bercerai karena dia, maka sebaiknya kalau kini aku menjadi isterinya. Tidak kepalang tanggung. .Dulu, aku tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan Su Ta Touw, kecuali teman berburu, akan tetapi aku disangka berpacaran dengan dia. Karena itu, melihat kesungguhan hatinya, biarlah aku menerima pinangannya untuk menghentikan desas-desus orang, dan pula sekali ini aku percaya bahwa dia sungguh-sungguh mencintaku, Suheng." Su Kiat hanya menggeleng-geleng kepala dan menarik napas panjang. “Aih, engkau tahu apa tentang cinta, Sumoi?" Akan tetapi dia tidak membantah atau mencegah sumoinya menikah lagi, sekali ini dengan Su Ta Touw. Karena suaminya yang baru ini tinggal di sebuah dusun di sebelah selatan Kong-goan, kurang lebih tiga puluh li jauhnya dari Hek-bun, maka Hui Lian mengikuti suaminya dan kini tempat tinggalnya agak jauh dari tempat tinggal suhengnya. Pada bulan-bulan pertama, Hui Lian merasa berbahagia karena suaminya yang baru ini selalu berusaha menyenangkan hatinya dan agaknya memang benar mencintanya. Akan tetapi setelah setahun mereka menjadi suami isteri, nampaklah perubahan pada sikap Su Ta Touw! Baru nampak belangnya sekarang. Kiranya Su Ta Touw termasuk seorang hamba nafsu dan kalau dia dahulu begitu merendahkan diri, menangis dan merayu, adalah karena tergoda oleh nafsu berahi yang membadai. Kini, setelah Hui Lian menjadi isterin.ya, maka muncullah kembali sifatnya yang aseli, yaitu pembosan! Laki-laki macam ini tak pernah dapat sungguh-sungguh mencinta wanita. Nampaknya saja mencinta mati-matian kalau belum terdapat, akan tetapi mudah merasa bosan. Mulailah berubah sikap Su Ta Touw dan mulailah nampak oleh Hui Lian betapa suaminya ini seorang laki-Iaki hidung belang yang selalu mengejar wanita muda dan cantik. Hui Lian merasa hatinya seperti disayat-sayat. Ia mempertahankan kedudukannya karena merasa malu kalau harus bercerai lagi. Terutama sekali malu terhadap suhengnya. Betapa tepat peringatan suhengnya dahulu. Akan tetapi, segalanya telah terlanjur. Ia berusaha memperbaiki rumah tangganya, memperingatkan Su Ta Touw. Namun Su Ta Touw hanya nampak menurut dan jinak kalau berada di dekatnya, karena takut. Kalau sudah berada di luar rumah, suaminya itu berubah menjadi binal dan bermain-main dengan wanita lain, tak terhitung banyaknya Hui Lian mempertahankan rumah tangganya sampai setahun lagi. Sudah dua tahun ia menjadi isteri Su Ta Touw dan ketika ia mendengar bahwa suaminya itu main gila dengan seorang wanita tetangganya lagi, dan wanita yang sudah mempunyai tiga orang anak! Ketegangan memuncak ketika ia mendengar keributan antara suami isteri tetangga itu, di mana sang suaminya marah-marah, menuduh bahwa isterinya yang sedang mengandung lagi itu telah berjina dengan Su Ta Touw, karena suaminya sudah berbulan-bulan tidak mendekatinya. Suami itu menuduh bahwa isterinya mengandung sebagai hasil perjinaannya dengan Su Ta Touw! "Benarkah semua keributan di sebelah itu." Ia bertanya kepada suaminya. Su Ta Touw bersumpah-sumpah menyangkal. Seperti juga dahulu ketika merayunya, dia bersumpah-sumpah. "Biar selama hidupku aku menderita susah dan sukar mencari makan, biar aku, mampus disambar geledek kalau aku melakukan hal itu!" katanya. Karena suaminya bersumpah seberat itu, Hui Lian diam saja. Akan tetapi diam-diam ia memperhatikan gerak-gerik suaminya, bahkan membayangi di luar tahu suaminya. Pada suatu malam, di waktu hujan, ia membayangi suaminya yang pergi berkunjung ke tetangga sebelah, memasuki kamar nyonya tetangga itu melalui jendela yang dibuka dari dalam! Hampir meledak rasa hati Hui Lian saking panasnya melihat kelakuan suaminya itu. Ia membiarkan sampai beberapa lama, kemudian secara tiba-tiba ia membuka daun jendela dari luar dan melompat ke dalam kamar. "Jahanam busuk!" bentaknya dan bergidik ia menyaksikan perbuatan suaminya dan nyonya tetangga itu. Su Ta Touw terkejut dan ketakutan, mengenakan pakaian dengan tergesa-gesa kemudian hendak berlari keluar. Akan tetapi sekali menggerakkan kakinya, Hui Lian sudah menendangnya, sedemikian keras tendangan itu sehingga tubuh suaminya terlempar keluar jendela! Hui Lian mengejar keluar, dan menyeret rambut suaminya, ditariknya kembali ke rumah mereka, tidak peduli akan hujan yang turun mengguyur tubuh mereka. " Ampun…. ampunkan aku... ah, ampunkann……" Su Ta Touw menggigil ketakutan ketika isterinya melempar tubuhnya ke atas tanah di pekarangan depan rumah mereka. "Bangunlah dan pertahankan dirimu, karena kalau tidak, demi Tuhan, aku akan membunuhmu begitu saja!" "Tidak... tidak... ah, ampunkan aku ….." Su Ta Touw yang ditantang isterinya itu berlutut dan menyembah-nyembah sambil menangis. Tentu saja dia tidak berani melawan Hui Uan, maklum bahwa tingkat kepandaian silatnya masih jauh sekali di bawah sehingga dalam segebrakan saja isterinya akan mampu merobohkannya, bahkan membunuhnya. "Desss!" Kembali sebuah tendangan membuat tubuh Su Ta Touw terjengkang dan bergulingan. Dia mengaduh-aduh, bangkit dan berlutut lagi. Mulutnya berdarah dan seluruh tubuhnya basah oleh lumpur. " Ampunkan aku... aku Dersumpan tidak akan berani lagi... aku bersumpah... ah, ampunkan aku." "Jahanam keparat! Sumpah yang keluar dari mulutmu hina dan busuk!" Kembali kaki Hui Lian menendang dan tubuh itu pun terpelanting keras. Ia menendang untuk melampiaskan kemarahannya, hanya mempergunakan tenaga otot biasa. Kalau ia menendang dengan pengerahan sinkang, satu kali saja tentu akan putus nyawa laki-laki itu. “Tidak, sekali ini aku taubat benar-benar, aku bersumpah ….. demi nenek moyangku, demi …. nama dan kehormatanku …. aku ….” “Cukup!” Hui Lian membentak marah. “Bangkitlah dan lawan aku sebagai seorang laki-laki! Pertahankanlah nyawamu!” Melihat kemarahan isterinya yang amat ditakuti itu, Su Ta Touw menjadi semaki ketakutan dan dia menangis tanpa bangkit dari atas tanah di mana dia merlutut! Melihat ini, Hui Lian menjadi semakin marah, “Kalau begitu, bersiaplah untuk mampus!” bentaknya dan ia sudah melangkah maju untuk mengirim tendangan maut. “Sumoi, tahan …..!” Tiba-tiba terdengar suara orang. Hui Lian terkejut, membalikkan tubuhnya dan melihat bahwa seorang laki-laki yang buntung lengan kirinya sudah berdiri disitu. “Sumoi, apalagi yang kaulakukan ini?” kembali laki-laki menegurnya dengan suara keras penuh teguran. “Suheng ….!” Hui Lian berlari menghampiri dan menubruk laki-laki itu, menangis sejadi-jadinya di pundak Su Kiat, Su Kiat menarik napas panjang dan mendengarkan dengan sabar ketika Hui Lian menceritakan dengan suara terisak-isak akan semua perbuatan suaminya yang sudah semenjak setahun yang lalu berubah sikapnya, menjadi laki-laki hidung belang. Kemudian diceritakannya pula peristiwa perjinaan suaminya dengan nyonya tetangga yang sudah bersuami dan beranak tiga, bahkan perjinaan itu kini menumbuhkan kandungan dalam perut nyonya itu. Su Kiat menggeleng-gelengkan kepala, memandang kepada Su Ta Touw yang masih berlutut di atas tanah yang becek. Bagaimana seorang laki-laki dapat terperosok sedemikian dalamnya, melakukan hal yang amat memalukan hanya karena terdorong nafsu berahi? “Suheng, sebelum engkau datang, aku tadinya hendak membunuhnya sebelum aku bunuh diri. Malu aku hidup di dunia ramai ini…..” Su Kiat terkejut. Dia maklum akan kekerasan hati sumoinya, dan dia khawatir kalau-kalau sumoinya akan benar-benar membunuh diri. “Sumoi, pikiranmu itu keliru. Agaknya memang sudah menjadi nasibmu, dua kali menikah dengan laki-laki yang tidak benar. Akan tetapi, membunuhnya lalu membunuh diri bukan merupakan jalan keluar yang baik. Bunuh diri hanya dapat dilakukan oleh pengecut yang sudah tidak berani menghadapi kenyataan hidup. Mari kita selesaikan urusan ini sebaiknya, Sumoi. Engkau bercerai saja lagi dari keparat ini, kemudian mari kembali membantuku, membina Cia-ling Bu-koan kita. Bukankah sebelum semua ini terjadi, kita hidup cukup bahagia?” Diam-diam Hui Lian menyalahkan suhengnya yang dulu membujuknya agar menikah, akan tetapi tidak ada suara keluar dari mulutnya. Suhengnya demikian baik, dan siapa lagi orang di dunia ini kecuali suhengnya yang dapat ditangisinya di waktu ia menghadapi masalah yang demikian menyedihkan hatinya? “Mari kita pulang ke Hek-bun, dan besok aku yang akan membereskan urusan perceraianmu dengan jahanam ini, menemui orang tuanya.” Tanpa pamit lagi, Hui Lian dan Su Kiat mempergunakan ilmu lari cepat meninggalkan tempat itu setelah Hui Lian membawa pakaian dan barang-barangnya yang dianggap perli. Pada keesokan harinya, Su Kiat menjumpai Su Ta Touw dan orang tuanya. Su Ta Touw tidak berani banyak cakap lagi karena dia memang merasa bersalah. Juga ayah ibunya tidak berani banyak cakap, maklum akan watak putera mereka yang gila perempuan dan tidak bertanggung jawab itu. Demikianlah, untuk kedua kalinya, dalam waktu lima tahun, Hui Lian kembali menjadi janda. Ia merasa malu sekali tinggal di Hek-bun. Seluruh penduduk Hek-bun tahu belaka bahwa ia adalah wanita yang dalam waktu beberapa tahun saja sudah menjanda sampai dua kali! Karena itu, biarpun tidak ada orang berani mengejeknya atau bicara tentang dirinya, Hui Lian merasa malu sendiri dan ia pun berpamit kepada suhengnya. “Suheng, perkenankanlah aku pergi dari dusun ini,” katanya pada suatu senja. Su Kiat terkejut bukan main mendengar ucapan ini dan melihat betapa sumoinya telah mengenakan pakaian pria yang agaknya sudah lama dipersiapkannya. Juga sumoinya itu mengatur rambutnya seperti seorang pria, menyamar sebagai pria. Sudah berbulan-bulan sumoinya tinggal lagi di situ bersama dia setelah bercerai dari Su Ta Touw dan baru terasa olehnya perubahan yang terjadi dalam kehidupannya. Sebelum sumoinya menikah untuk pertama kali, dia merasa hidupnya berbahagia bersama sumoinya. Ketika sumoinya menikah dengan Tee Sun dan pindah, dia merasa kesepian, bahkan berduka. Namun, perasaan ini di lawannnya dengan keyakinan bahwa sumoinya pergi untuk menempuh hidup baru yang berbahagia dan sepatutnya kalau dia merasa ikut berbahagia pula. Kemudian, sumoinya bercerai dan menikah lagi. Kini, setelah sumoinya bercerai untuk kedua kalinya dan tinggal lagi bersamanya dalam satu rumah, membantunya, baik untuk melatih para murid maupun untuk urusan rumah tangga, dia merasa seolah-olah matahari bertambah cerah dan kicau burung bertambah merdu. Kehidupan menjadi amat berbahagia baginya, seolah-oleh dia menemukan kembali dirinya dan kebahagiaan yang tadinya sedikit demi sedikit menghialng bersama dengan perginya Hui Lian dari sampingnya. Karena itu, mendengar sumoinya berpamit, dia terkejut bukan main sampai berubah air mukanya. “Kau …. kau hendak pergi kemanakah, Sumoi?” tanyanya gagap. “Aku … aku hendak pergi merantau, ke mana saja, Suheng.” “Ah, apa artinya ini, Sumoi? Kenapa engkau sekarang tidak suka tinggal bersamaku, membantuku? Apakah kita …. tidak dapat kembali hidup seperti dulu, Sumoi, dimana kita mengalami segala hal berdua, pahit maupun manis? Kenapa engkau tiba-tiba hendak meninggalkan aku? Dam aku khawatir sekali karena engkau pergi tanpa tujuan.” “Aku mau mencari pengalaman, Suheng, dan aku …. aku berusaha melupakan segala yang pernah terjadi denganku di sini, juga agar semua orang melupakan semua itu … aku mungkin akan mencari keluarga orang tuaku di San-hai-koan.” “Bukankah aku pengganti keluargamu, Sumoi?” “Benar, benar sekali, Suheng!” Hui Lian memegang tangan suhengnya yang terletak di atas meja. “Engkau keluargaku, engkau pengganti orang tua dan Kakakku juga Guruku dan sahabatku. Ahh …. betapa aku telah bersikap tak mengenal budi, akan tetapi … aku ingin pergi, Suheng. Aku ingin menghirup udara bebas setelah bertahun-tahun mengalami penderitaan batin yang tak mungkin dapat kuceritakan kepadamu. Perkenankanlah aku pergi, Suheng. Untuk setahun, dua tahun …. Tanpa ijinmu aku tidak berani pergi. Tapi, kasihanilah aku, Suheng ….” Su Kiat memejamkan kedua matanya. Aih, sumoi, tidakkah seharusnya engkau yang mengasihani diriku, bisik hatinya. Akan tetapi dia menahan gejolak hatinya dan membuka mata, memandang wajah sumoinya penuh haru, penuh rasa sayang. “Baiklah, Sumoi. Aku tidak mungkin dapat mencegah kehendakmu. Aku hanya mendoakan semoga engkau akan menemukan kebahagiaan ….” “Aih, Suheng! Engkau seperti dapat menjenguk dan membaca isi hatiku! Benar sekali, aku rindu akan kebahagiaan, Suheng! Selama ini hanya kebahagiaan palsu yang kuraih, dan aku rindu sekali. Aku akan pergi untuk mencari kebahagiaan, Suheng.” Su Kiat tidak menjawab dan dia masih duduk termenung setelah lama sekali Hui Lian meninggalkan tempat itu, meninggalkannya. Ingin dia pun pergi mencari kebahagiaan, akan tetapi hal itu tidaklah mungkin. Bagaimana mungkin dia mencari kebahagiaan kalau baru saja kebahagiaan sendiri meninggalkannya? Dia sekarang tahu benar. Hui Lianlah sumber kebahagiaannya! Dan kini Hui Lian telah pergi, membawa kebahagiaan menjauhi hatinya yang menjadi penuh dengan kesepian, penuh kekosongan dan kerinduan. Betapa banyaknya keinginan itu terlontar dari lubuk hati manusia, baik melalui mulut ataupun hanya dipendam saja. Keinginan untuk mencari kebahagiaan! Mencari kebahagiaan! Semua orang rindu akan kebahagiaan. Semua orang ingin mencari kebahagiaan, seolah-oleh kebahagiaan adalah sesuatu yang dapat di cari, dapat ditemukan dan digenggam agar tidak pergi lagi! Su Kiat mengira bahwa baginya, kebahagiaan adalah diri Hui Lian, kehadiran Hui Lian karena ia MEMBUTUHKAN kehadiran Hui Lian YANG MENYENANGKAN hatinya. Orang lain mungkin bukan itu, melainkan harta bendalah sumber kebahagiaannya karena dia membutuhkannya, karena hanya harta benda yang dapat menyenangkan hatinya. Ada pula yang mengejar kebahagiaan melalui kedudukan, atau nama besar, atau benda atau keadaan bagaimanapun juga, semata-mata karena dia membutuhkannya, karena dianggapnya bahwa itulah yang akan menyenangkan dirinya, hatinya, selamanya! Akan tetapi, apakah kebahagiaan itu sama dengan kesenangan? Apakah orang yang senang hatinya itu berbahagia? Apakah kesenangan itu dapat dinikmati selamanya? Hal ini dapat kita pelajari dengan mengamati diri sendiri, mengamati kesenangan-kesenangan kita, yang kita cari dan kejar-kejar itu. Betapa banyaknya macam kesenangan atau benda atau keadaan yang mendatangkan kesenangan. Namun, betapa rapuhnya kesenangan itu sendiri, seperti gelembung-gelembung sabun yang indah beraneka warna, mempesona kanak-kanak yang mengejar-ngejarnya, namun setelah terpegang, gelembung itu pun meletus dan lenyap, terganti kekecewaan. Betapa benda atau orang ataupun keadaan, yang tadinya kita kejar-kejar, kita anggap sebagai sumber kesenangan, bahkan mendatangkan kekecewaan, kebosanan, bahkan kejengkelan! Adakah kesenangan yang abadi? Jelas bukan! Yang kita sebut kebahagiaan jelas bukanlah kesenangan! Kesenangan dapat kita gambarkan, dapat kita cari dan perebutkan, namun kesenangan memiliki muka yang banyak sekali, seperti sepotong dadu yang mempunyai banyak permukaan, dan permukaan yang lain itu sama sekali tidak menyenangkan! Kita semua mengejar kebahagiaan secara membuta, mengira bahwa kebahagiaan terletak disini, di sana, dan kita mengejar tanpa mengetahui apa sebenarnya kebahagiaan itu! Mungkinkah orang mencari sesuatu yang tidak dikenalnya, sesuatu yang tidak diketahuinya? Kebahagiaan tidak mungkin dikenal, karena kebahagiaan adalah sesuatu yang hidup, sedangkan pengenalan hanyalah melalui sesuatu penggambaran yang mati. Kesenangan adalah penggambaran yang mati, sesuatu yang telah kita kenal, melalui pengalaman, maka dapat kita kejar. Kebahagiaan yang terasa lalu dikenal melalui pengalaman, bukanlah kebahagiaan lagi, melainkan menjadi kesenangan dan seperti biasa kita ingin mengulang kesenangan. Kita tidak dapat mengenal kebahagiaan, tidak dapat menggenggam kebahagiaan. Akan tetapi kita mengenal dan mengerti akan ketidak-bahagiaan karena kita semua mengalaminya, merasakannya. Justeru karena tidak bahagia inilah maka kita mengejar kebahagiaan. Kita ingin lari dari ketidak-kebahagiaan dan mencari kebahagiaan. Mengapa kita tidak menghadapi saja ketidak-bahagiaan ini, bukan hanya merasakan lalu mencoba lari, melainkan menyelaminya, mengamatinya dengan seksama dan teliti sehingga akan nampak benar oleh kita bahwa kita tidak berbeda, tidak terpisah dari ketidak-bahagiaan itu sendiri. Ketidak-bahagiaan itu adalah kita sendiri, pikiran kita yang selalu mencari senang menjauhi susah, selalu mengejar keuntungan menghindarkan kerugian, selalu ingin, ingin dan ingin lagi! Hanya pengamatan terhadap diri sendiri inilah, yang akan membuat kita waspada dan mengerti, yang akan menghentikan ketidak-bahagiaan itu sendiri merajalela di dalam batin. Dan kalau sudah tidak ada lagi ketidak-bahagiaan ini di dalam diri kita, apakah kita masih mengejar kebahagiaan? Kiranya tidak, karena tanpa adanya ketidak-bahagiaan, maka kita tidak butuh kebahagiaan lagi, justeru karena kebahagiaan sudah ada pada kita, menyinar sepenuhnya tidak terhalang oleh awan ketidak-bahagiaan, seperti matahari yang terbebas daripada halangan awan yang menggelapkan. Tuhan Maha Kasih! Kita dilahirkan dalam keadaan lengkap selengkap-lengkapnya. Bukan hanya kelengkapan pada diri kita lahir batin yang lengkap, bahkan yang berada di luar diri kita, yang berada di alam mayapada ini, yang nampak maupun yang tidak nampak, semua itu melengkapi hidup kita, seolah-olah diciptakan untuk memenuhi kebutuhan hidup kita. Matahari, bulan, bintang, angin, air tanah dan segenap tumbuh-tumbuhannya, bahkan segala logam dan minyak di dalam tanah, semua itu bermanfaat bagi kehidupan kita, bukan hanya bermanfaat, bahkan menghidupkan! Kasih Tuhan inilah kebahagiaan, bagi mereka yang mampu menerimanya, dan mau menerimanya. Akan tetapi kebahagiaan akan sirna seperti sinar matahari tertutup mendung kalau muncul ketidak-bahagiaan di dalam batin kita, yang sesungguhnya muncul karena sang aku yang ingin ini dan itu tiada hentinya, diantaranya ingin bahagia pula!