Di bawah bimbingan suhu dan subonya yang sakti. Pek Han Siong memperoleh kepandaian yang hebat bukan main. Ilmu-ilmu silat tinggi telah dikuasainya, dan diapun menerima pedang pusaka Kwan-im Po-kiam dari kedua orang gurunya. Bukan hanya itu, akan tetapi kedua orang gurunya itu menjodohkan murid tunggal mereka itu dengan puteri mereka yang lenyap diculik orang ketika masih kecil! Hubungan kedua orang sakti ini menghasilkan seorang anak perempuan yang diberi nama Siangkoan Bi Lian! Maka,murid yang kini telah menjadi seorang pemuda yang tangguh itu diberi tugas untuk mencari puteri mereka sampai dapat, dan mengajaknya ke kuil Siauw-lim-si untuk menghadap mereka. Puteri mereka itu, Siangkoan Bi Lian, sejak masih bayi mereka titipkan kepada sebuah keluarga Cu di dusun yang berada di kaki gunung, tak jauh dari kuil itu. Akan tetapi dua orang suami isteri sakti itu tidak memperkenalkan diri sebagai ayah ibu kepada Bi Lian, melainkan kadang-kadang mereka datang berkunjung sebagai guru karena mereka mulai mendidik Bi Lian dengan dasar-dasar ilmu silat. Pada suatu hari, ketika Bi Lian berusia enam tahun, di dusun itu terjadi keributan. Pertempuran hebat antara datuk-datuk sesat membuat dusun menjadi geger, banyak orang dusun tewas, termasuk keluarga Cu yang dititipi Bi Lian. Akan tetapi Bi Lian lenyap dan Siangkoan Ci Kang bersama Toan Hui Cu tidak berhasil menemukan anak mereka yang lenyap tanpa bekas itu. Demikianlah, setelah Han Siong tamat belajar dari mereka, Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu bersepakat untuk menarik pemuda murid mereka ini menjadi calon mantu mereka, dan memberi tugas kepada Han Siong untuk mencari puteri mereka yang hilang itu sampai dapat dan mengajaknya menghadap mereka di kuil Siauw-lim-si. Pada waktu itu, Han Siong berusia dua puluh tahun dan sudah belasan tahun Bi Lian lenyap dari dusun. Oleh karena itu, tentu saja bukan merupakan tugas yang ringan bagi Han Siong untuk dapat menemukan gadis itu karena tidak ada sedikitpun petunjuk kemana perginya gadis itu dan siapa pula yang membawanya pergi. Dua tahun lamanya Han Siong merantau, mengalami banyak sekali peristiwa yang hebat dan menarik dan dalam perantauannya inilah secara kebetulan sekali dia bertemu dengan Bi Lian yang masih mempergunakan nama keluarga Cu! Semua pengalaman Han Siong semenjak lahir sampai pertemuannya dengan Cu Bi Lian diceritakan dalam kisah Pendekar Mata Keranjang bagian pertama. Kini, tiba-tiba saja dia muncul kembali, bersama seorang gadis. Gadis itu berusia kurang lebih dua puluh tahun, raut wajahnya manis sekali. Tubuh gadis itu ramping, kulitnya putih mulus, rambutnya yang hitam panjang digelung keatas, dihias tusuk konde perak. Sepasang matanya tajam bersinar-sinar, hidungnya mancung dan kecil, mulutnya berbentuk menggairahkan dengan bibir yang selalu merah membasah, mukanya berbentuk bulat telur dan terdapat sebuah tahi lalat di dagunya. Siapakah gadis manis ini? Ia bukan lain adalah Cu Bi Lian, atau yang sebetulnya she Siangkoan! Ia berhasil ditemukan Han Siong dan diajak berkunjung ke kuil itu, berkunjung kepada suami isteri sakti yang dikenalnya sebagai gurunya di waktu ia masih kecil, sama sekali ia tidak pernah mimpi bahwa kedua orang gurunya itu sebetulnya adalah ayah dan ibu kandungnya sendiri! Apa yang telah terjadi kepada diri gadis ini ketika ia berusia enam tahun di dusun itu? Ternyata ia telah terjatuh ke dalam tangan dua orang datuk sesat yang pada waktu itu amat ditakuti di dunia kang-ouw, yaitu yang berjuluk Pak-kwi-ong (Raja Setan Utara) dan Tung-hek-kwi (Setan Hitam Timur), dua di antara Empat Setan yang namanya menggetarkan kolong langit karena kelihaian mereka dan juga tindakan mereka yang aneh-aneh, kadang-kadang tanpa mengenal perikemanusiaan sama sekali. Dua orangdatuk sesat inilah yang mengamuk di dusun itu, membunuh banyak tokoh kang-ouw dan banyak orang dusun termasuk keluarga Cu yang oleh Bi Lian dianggap sebagai keluarganya yang sesungguhnya. Bi Lian menarik perhatian dua orang datuk sesat itu dan iapun diambil sebagai murid. Dua orang datuk itu mewariskan seluruh ilmu-ilmunya yang hebat kepada gadis ini dan Bi Lian menjadi seorang gadis dewasa yang selain tinggi ilmu silatnya, juga berwatak aneh, berani, galak, dan tidak mengenal ampun kepada musuh-musuhnya. Karena itu, di dunia kang-ouw namanya segera menonjol dan ia dijuluki Thiat-sim Sian-li (Dewi Berhati Besi) saking keras wataknya. Di dalam kisah Mata Keranjang bagian pertama diceritakan tentang pengalaman gadis yang lihai ini sampai akhirnya kehilangan kedua gurunya yang tewas saling bunuh dalam perkelahian karena berbeda pendapat mengenai diri murid mereka yang tersayang itu. Yang seorang ingin menjodohkan Bi Lian dengan seorang tokoh pemberontak, akan tetapi Bi Lian tidak mau dan guru ke dua membelanya. Akhirnya keduanya tewas setelah mereka saling serang dengan hebatnya. Bi Lian merasa sakit hati terhadap para pemberontak itu dan dalam usaha menentang para pemberontak inilah ia bertemu dengan Pek Han Siong, bekerja sama menghancurkan pemberontak bersama pendekar lainnya, dan berkenalan. Pek Han Siong segera dapat menduga bahwa inilah puteri dari kedua orang gurunya, gadis yang telah dijodohkan dengan dia! Dia lalu memperkenalkan diri sebagai murid dari Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu yang oleh Bi Lian dianggap sebagai dua orang gurunya ketika ia masih kecil sehingga merekapun seakan-akan masih terhitung suheng dan sumoi! Dan setelah pemberontak itu dapat ditindas, Han Siong berhasil mengajak Bi Lian untuk berkunjung ke kuil Siauw-lim-si diluar kota Yu-shu itu untuk menghadap suhu dan subonya itu. Demikianlah, pada malam hari itu, dua bayangan itu berkelebat dengan amat cepatnya dan kini mereka berdiri di luar pagar tembok kuil Siauw-lim-si. "Suheng, hari sudah malam begini, apakah baik untuk mengunjungi suhu dan subo?" tanya Bi Lian ketika mereka berhenti di luar pagar tembok kuil Siauw-lim-si. "Kita lihat saja nanti, kalau suhu dan subo bersedia menerima kita malam ini juga, kita langsung menghadap, kalau andaikata mereka tidur, kita akan menanti di dalam kuil untuk menghadap besok pagi." " Akan tetapi, mengapa kita harus masuk lewat pagar tembok? Bukankah lebih baik masuk melalui pintu gerbang dan mengetuknya kalau sudah ditutup, suheng?" "Ah, aku belum bercerita padamu, sumoi. Suhu dan subo adalah orang-orang…… hukuman yang berada dalam kurungan di kuil ini." "Ahhh …….?" Gadis itu terrcengang, "Orang hukuman? Bagaimana…..? Apa kesalahpn mereka? Dan bagaimana pula mereka dahulu dapat mengunjungi aku dan melatih ilmu silat?" "Sumoi, sebaiknya kalau hal itu engkau dengar sendiri dari suhu dan subo karena aku….. aku tidak berhak untuk menceritakannya. Marilah, aku sudah dua tahun meninggalkan mereka dan aku sudah rindu sekali untuk bertemu dengan mereka." Berkata demikian, Han Siong lalu menggerakkan kedua kakinya, tubuhnya meloncat ke atas pagar tembok, diikuti oleh Bi Lian yang gerakannya lebih lincah lagi. Memang ia seorang gadis yang lincah sekali, sebaliknya Han Siong pendiam dan tenang, padahal kalau diadakan perbandingan dalam hal ginkang (ilmu meringankan tubuh) tentu saja Han Siong yang menerima gemblengan dari subonya seorang ahli ginkang yang hebat, jauh lebih pandai daripada Bi Lian. Gerakan mereka sedemikian cepatnya sehingga walaupun pagar tembok itu terjaga oleh para hwesio, tidak ada seorangpun di antara para penjaga itu melihat berkelebatnya dua bayangan yang memasuki kuil lewat pagar tembok belakang. Han Siong yang bertahun-tahun tinggal di kuil itu tentu saja sudah hafal sekali akan keadaan di dalam kuil. Dia menjadi penunjuk jalan berada di depan, dan Bi Lian mengikuti di belakangnya. Dengan mudah saja Han Siong mengambil jalan yang tersembunyi sehingga tidak pernah kepergok oleh seorangpun hwesio dan mereka kini tiba di luar sebuah kamar yang tertutup jendela dan daun pintunya. Inilah kamar kurungan di mana biasanya subonya berada, tempat hukuman bagi subonya! Dengan hati-hati Han Siong mengetuk daun pintu kamar itu, kemudian daun jendela, namun tidak ada jawaban dari dalam. Ketika dia mengintai, kamar itu gelap dan sunyi. Bahkan ketika dia menempelkan telinganya pada papan daun jendela, dia tidak mendengar bunyi pernapasan manusia di dalamnya. Kamar itu kosong! "Bagaimana, suheng?" tanya Bi Lian yang mengikuti gerak-gerik pemuda itu. “Ini kamar subo, akan tetapi kamar ini sekarang kosong. Jangan-jangan subo sedang keluar. Mari kita ke kamar tahanan suhu saja.” Mereka lalu pegi ke bagian lain dari kuil itu, jauh ke ujung kiri dan tak lama kemudian Han Siong sudah berada di luar sebelah kamar lain yang juga tertutup daub jendela dan pintunya. Akan tetapi ada sedikit cahaya yang menerobos keluar dari celah-celah daun jendela, tanda bahwa di dalam kamar itu ada lilin bernyala. Gembira rasa hati Han Siong karena hal ini menandakan bahwa suhunya berada di dalam kamar itu. Diketuknya daun pintu itu perlahan. Tidak ada jawaban dari dalam. Diketuknya lagi dan diapun berseru lirih, "Suhu ……! Suhu, ini teecu yang datang mohon menghadap suhu!" Kini. terdengar suara gerakan di dalam kamar itu, kemudian terdengar suara teguran dari dalam yang amat mengejutkan hati Han Siong. "Omitohud! Siapa berani mengganggu pinceng di tengah malam buta begini?" Tentu saja Han Siong terkejut karena dia mengenal suara yang berat dari Ceng Hok Hwesio, ketua Siauw-lim-si yang amat galak itu. Ketua inilah yang telah memberi hukuman kepada suhu dan subonya! Biarpun Ceng Hok Hwesio selalu bersikap baik kepadanya, bahkan hwesio tua ini pula yang mendorongnya untuk mempelajari kesusasteraan melalui kitab-kitab agama yang kuno, namun Han Siong selalu merasa hormat dan segan kepada hwesio tua yang amat keras menjaga peraturan ini. Dia merasa serba salah. Dia sudah terlanjur mengeluarkan suara dan hwesio tua itu sudah tahu bahwa di luar ada orang, maka tidak mungkin lagi dia mundur. Apakah hwesio tua itu sedang mengadakan kunjungan kepada suhunya? Di malam buta begini? Sungguh aneh. Akan tetapi dia harus cepat menjawab karena hwesio tua itu sedang menanti dengan tidak sabar. “Losuhu, maafkan saya. Saya adalah Pek Han Siong ……," jawabnya. Hening sejenak dalam kamar itu. Kemudian terdengar suara yang berat itu, "Pek Han Siong ……? Ah, engkau telah kembali? Apakah engkau mencari suhumu, Siangkoan Ci Kang?” Girang rasa hati Han Siong mendengar suara yang berat itu tidak mengandung kemarahan. "Benar sekali, Lo-suhu! Bolehkah saya menghadap suhu?" Kembali hening sejenak. "Baiklah, akan tetapi pinceng mendengar gerakan dua orang. Siapa kawanmu?" Han Siong sating pandang dengan Bi Lian. Kakek yang berada di dalam itu ternyata memiliki pendengaran yang amat tajam, "Saya datang bersama seorang murid suhu dan subo yang lain, losuhu. Ia bernama…… Cu Bi Lian, juga ingin menghadap suhu dan subo." “Seorang wanita?” Suara itu seperti terkejut, kemudian disambungnya cepat-cepat, “Siancay…… biarlah, kalian masuklah, pintu kamar ini tidak terkunci.” Han Siong memberi isyarat kepada Bi Lian dan keduanya membuka daun pintu lalu masuk ke dalam kamar itu. Bi Lian memandang penuh perhatian sedangkan Han Siong menutupkan kembali daun pintu dari dalam. Seorang hwesio tua sekali duduk bersila di tengah ruangan kamar itu, kamar yang kosong dan di sudut kamar terdapat sebuah meja di mana berdiri sebatang lilin yang bernyala. Beberapa batang lilin lain yang tidak bernyala menggeletak di atas meja.   Han Siong mengajak Bi Lian menjatuhkan diri berlutut di depan hwesio yang duduk bersila di atas lantai itu, lantai dingin tanpa tilam! Dan Han Siong merasa teharu. Baru dua tahun terlewat, akan tetapi ketua kuil itu kelihatan sudah sangat tua sekarang, tua keripuatan dan mukanya yang kehitaman itu, yang biasanya nampak segar, kini nampak layu dan lesu. Sinar matanya bahkan diliputi kedukaan. "Losuhu, saya dan sumoi mohon maaf kalau mengganggu losuhu. Akan tetapi, dimanakah adanya suhu? Juga subo tadi tidak ada di dalam kamar tahanannya. Dimanakah mereka?" Sejenak sepasang mata yang nampak sayu, kini kehilangan kegalakannya dan kekerasannya yang dahulu, yang ada hanya tinggal sinar kejujurannya, mengamati Han Siong dan Bi Lian. "Han Siong, coba nyalakan dua batang lilin lagi, biar agak terang. Mata pinceng sudah tidak begitu awas lagi....." katanya lirih. Hati pemuda itu terharu dan diapun cepat menyalakan dua batang lilin di atas meja. Kini kakek itu mengamati mereka dan diam-diam merasa terkejut sekali melihat wajah gadis yang datang bcrsama Han Siong. Betapa miripnya wajah itu dengan wajah Toan Hui Cu! Teringat akan Toan Hui Cu, hatinya seperti diremas dan diapun memejamkan kedua matanya, merangkapkan kedua tangan di depan dada dan berkata lirih, "Omituhud…. semoga diampuni semua dosa pinceng." “Losuhu, sudilah kiranya losuhu menceritakan di mana adanya suhu dan subo sekarang." kata pula Han Siong, merasa tidak enak melihat kedukaan yang membayang di wajah kakek itu. Kakek itu membuka matanya dan menarik napas panjang. "Kalian duduklah yang enak. Kebetulan sekali kalian datang selagi pinceng bingung mencari siapa yang kiranya patut untuk menerima pencurahan penyesalah hati pincehg yang selama ini pinceng sembunyikan. Kalian berdualah yang paling tepat menerima dan mendengarkannya. Benar, terutama engkau, Han Siong. Dengarkan baik-baik pengakuan pjnceng, pengakuan seorang yang berdosa besar!" "Losuhu …….!" Han Siong membantah dengan terkejut sekali, akan tetapi kakek itu mengangkat tangan kirinya ke atas. "Diamlah, Han Siong, dan kaudengarkan saja pengakuan pinceng ini." Han Siong yang duduk bersila menutup mulut dan menundukkan mukanya, sedangkan Bi Lian mengamati kakek itu dengan hati tertarik. Tentu ia akan mendengarkan cerita yang amat menarik, pikirnya. Kakek ini sungguh aneh, akan tetapi melihat mukanya yang tua itu, sepasang mata yang redup dan sayu, akan tetapi mengandung sinar kejujuuran dan juga kekerasan itu membuat ia merasa suka kepada kakek tua renta itu. "Kurang lebih dua puluh satu tahun yang lalu, sepasang orang muda datang ke kuil ini menghadap pinceng. Usia mereka seperti kalian berdua, masih muda, yang pria tampan dan yang wanita cantik. Mereka itu adalah Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu. Mereka membuat pengakuan yang mengejutkan hati pinceng. Siangkoan Ci Kang mengaku sebagai putera tunggal mendiang Siangkoan Lojin yang berjuluk Si Iblis Buta, seorang datuk sesat. Adapun Toah Hui Cu bahkan mengaku sebagai puteri mendiang Raja dan Ratu Iblis, sepasang raja datuk sesat yang menggemparkan dunia kang-ouw itu. Mereka sengaja menghadap pinceng untuk minta diterima menjadi hwesio dan nikouw, karena mereka berdua merasa telah berbuat dosa dan untuk mencuci darah keturutan mereka yang amat jahat. Pinceng menerima karena melihat betapa mereka itu mempunyai niat yang tulus ikhlas." Sampai di sini kakek itu berdiam sejenak. Han Siong merasa kagum sekali kepada suhu dan subonya. Biarpun keduanya keturunan datuk-datuk sesat yang seperti iblis, namun keduanya agaknya menyadari kekeliruan orang tua mereka bahkan hendak menebus dosa dengan masuk menjadi pendeta! Diam-diam Bi Lian yang hanya samar-samar saja ingat kepada kedua orang gurunya itu, juga merasa kagum dan bersimpati. Ia sendiripun sejak kecil menjadi murid dua orang datuk sesat, namun ia sama sekali tidak sudi mengikuti jejak mereka sebagai orang jahat. Sama sekali tidak! Ia benci kepada perbuatan jahat dan menentang mereka yang suka bertindak sewenang-wenang dan jahat. "Ketika itu, pinceng yang sudah puluhan tahun tidak pernah membayangkan wanita, tiba-tiba saja menjadi lemah dan seperti kemasukan iblis dalam diri pinceng. Pinceng...... tergila-gila kepada Toan Hui Cu!" Terkejut sekali hati Han Siong mendengar ini. Kalau saja kakek itu tidak membuat pengakuan sendiri, pasti dia tidak akan percaya! Bi Lian menatap wajah kakek itu, sepasang matanya memandang tajam penuh selidik. Ceng Hok Hwesio menghela napas panjang. "Batin pinceng masih lemah, mudah dimasuki kotoran. Pinceng tertarik oleh kecantikan Toan Hui Cu dan pinceng menyatakan perasaan ini. Ia menolak pinceng! Kemudian..... kiranya ketika masuk menjadi nikouw, di luar pengetahuannya, Toan Hui Cu telah mengandung akibat hubungan cintanya dengan Siangkoan Ci Kang. Hubungan di luar nikah! Kesempatan ini pinceng pergunakan untuk membalas dendam kepada Toan Hui Cu karena telah tnengecewakan pinceng dan menolak perasaan hati pinceng yang sesungguhnya hanyalah gejolak nafsu binatang belaka. Dan membalas dendam kepada Siangkoan Ci Kang karena iri hati dan cemburu yang juga merupakan hafsu pementingan diri sendiri yang merasa dikecewakan. Maka, pinceng lalu menjatuhkan hukuman kepada mereka, hukuman kurung selama dua puluh tahun dalam kamar kurungan terpisah!" "Aih, betapa kejinya!" tiba-tiba Bi Liar berseru. marah, matanya berapi-api memandang kepada hwesio tua itu. "Losuhu sebagai seorang hwesio tua sungguh tidak pantas sekali melakukan perbuatan, yang demikian kejamnya terhadap mereka! Mula-mula tergila-gila kepada seorang wanita muda, kemudian karena tidak mendapat tanggapan lalu membalas dendam dan menghukum meteka sampai dua puluh tahun! Tidak malukah losuhu kepada diri sendiri?" "Sumoi.....!!" Han Siong berseru kaget sekali mendengar ucapan yang nadanya amat mencela dan merendahkan ketua kuil itu! Akan tetapi kakek itu tersenyum, lalu merangkap kedua tangan di depan dada, memejamkan kedua matanya dan berkata, "Omitohud....., terima kasih, nona. Makian dan celaan sungguh terasa sebagai obat pelunak rasa perih karena penyesalan pinceng. Pinceng memang layak dimaki, bahkan dipukul atau dibunuh kalau perlu. Pinceng akan menerimanya dengan senang hati sekali......" Mendengar ini, Bi Lian menutup mulutnya dan memandang heran, juga bingung. Ia menoleh kepada Han Siong yang mengedipkan mata dan memberi isyarat kepadanya agar suka menahan diri. Karena Han Siong ingin sekali tahu ke mana perginya suhu dan subonya, maka diapun mendesak dengan hati-hati kepada kakek yang masih memejamkan kedua matanya itu. "Lalu bagaimana kelanjutannya, losuhu?" Kakek itu membuka matanya, masih tersenyum ketika memandang kepada Bi Lian, dan pandang matanya juga lembut, sama sekali tidak membayangkan kemarahan biarpun tadi dimaki dan ditegur dengan keras oleh gadis itu. "Ketika engkau pergi meninggalkan kuil, hukuman mereka itu tinggal dua tiga tahun lagi, Han Siong. Akan tetapi pada suatu hari pinceng menyadari dan menginsafi dosa yang pinceng lakukan. Sayang kesadaran itu timbul setelah pinceng begini tua. Pinceng lalu memanggil mereka, membebaskan mereka dari sisa hukuman itu, dan di depan mereka pinceng mengakui semua dosa pinceng, dan menyatakan bahwa pinceng menjatuhi hukuman pada diri pinceng sendiri dengan hukuman kurungan di kamar ini sampai mati" "Ahhh..... !" Han Siong berseru dan tercengang, akan tetapi Bi Lian bersungut-sungut. "Hemm, masih terlalu ringan! Mereka yang tidak berdosa harus menjalani hukuman selama hampirduapuluh tahun! Kalau losuhu, melihat usia losuhu yang sudah tua sekali, tentu hanya tinggal beberapa tahun saja....." "Sumoi....!" kembali Hong Siong menegur gadis itu. Kembali kakek itu tersenyum dan mengangkat tangannya. "Biarkan saja, Han Siong! Pinceng malah girang karena gadis ini mewakili mereka untuk mengutuk pinceng. Sungguh pinceng selama ini merasa menyesal sekali, apalagi ketika dikeluarkan dari sini, mereka berdua itu sama sekali tidak mengutuk pinceng. Biarlah nona ini mewakili mereka untuk mengutuk pinceng....! Mereka memang tidak berdosa. Setelah pinceng mendengar akan pengalaman mereka. Mereka memang saling mencinta, sama-sama menderita dengan nasib yang hampir sama. Apakah dosa hubungan antara dua orang yang saling mencinta? Pinceng yang didorong nafsu iblis, nafsu binatang. Bahkan bukan mereka saja yang menderita, anak mereka yang tidak bersalah apapun, ikut pula menderita akibat perbuatan pinceng yang kotor......" "Anak mereka......! Ah, suhu dan subo mempunyai anak dan bagaimana dengan anak mereka itu?" Kini Bi Lian bertanya sambil menatap tajam wajah Ceng Hok Hwesio yang masih tersenyum. Mendengar ini, berdebar rasa hati Han Siong. Bi Lian bertanya tentang anak itu, tentang dirinya sendiri! Dan hwesio tua itupun sama sekali tidak pernah mimpi bahwa yang bertanya itu adalah anak itu sendiri, anak dari dua orang hukuman itu! Han Siong merasa serba salah. Tentu saja dia tidak mungkin mencegah kakek itu bercerita atau melarang Bi Lian bertanya. Pertanyaan sudah diajukan dan dengan jantung berdebar penuh ketegangan Han Siong hanya dapat memandang dan mendengarkan, menanti jawaban Ceng Hok Hwesio. "Anak mereka itu? Ah, anak yang malang itu ikut pula menjadi korban dosa yang pinceng lakukan terhadap kedua orang tuanya. Anak itu perempuan dan karena mereka tidak ingin membiarkan anak mereka hidup dalam kurungan pula, mereka lalu menitipkan anak itu ke dusun di kaki gunung. Akan tetapi...... Omitohud..... semoga dosa pinceng dapat diampuni ....... anak itu kabarnya dilarikan penjahat setelah keluarga yang mereka titipi itu dibunuh pehjahat....." Bi Lian meloncat bangun berdiri dan wajahnya pucat, matanya terbelalak ketika ia membentak Ceng Hok Hwesio dengan pertanyaan yang mengejutkan hati kakek tua itu. "Katakan! Siapa nama anak perempuan mereka itu? Hayo katakan atau....... demi Tuhan, kubunuh kau!" "Sumoi......!" Han Siong juga bangkit berdiri, siap mencegah kalau sampai gadis itu benar-benar hendak membunuh ketua Siauw-lim-si itu. Akan tetapi, Ceng Hok Hwesio masih saja bersikap tenang dan tersenyum, seolah-olah dia memang mengharapkan ada orang membunuhnya untuk menghukum dosanya yang membuat dia terbenam dalam penderitaan karena penyesalan. "Sungguh pinceng tidak tahu siapa namanya. Kalau engkau hendak membunuh pinceng, silakan, nona, pinceng tidak akan menghdarkan diri....., silakan.....!" "Sumoi......!" Han Siong kembali menegur. Bi Lian yang masih pucat itu kini menoleh dan berhadapan dengan Han Siong. "Suheng engkau..... engkau tentu tahu.....anak.... anak itu..... ia.....?" Sinar matanya penuh pertanyaan dan bibirnya gemetar, tidak mampu lagi mengeluarkan suara. Tanpa suarapun, Han Siong maklum apa yang menjadi dugaan hati gadis itu. Diapun mengangguk. "Benar, sumoi. Engkaulah anak itu..... engkau adalah puteri suhu, dan subo yang dititipkan kepada keluarga Cu itu….. " Bi Lian terbelalak, mengeluarkan jeritan melengking tinggi dan tubuhnya sudah bergerak, didahului tangannya yang menyambar ke depan, menghantam kea- rah ubun-ubun kepala Ceng Hok Hwesio yang masih duduk bersila dan tersenyum, memandang tanpa berkedip. Akan tetapi, pukulan itu bertemu dengan tangan Han Siong yang lunak, yang sudah menangkis pukulan itu mendorong tubuh Bi Lian mundur. "Sumoi, tenanglah. Kalau engkau membunuhnya, berarti engkau mengoper dosanya.....! Jangan, sumoi, demi Tuhan, jangan lakukan itu....!" Bi Lian mencoba untuk meronta, akan tetapi Han Siong memegangi kedua lengannya. "Lepaskan! Suheng, dia telah mencelakakan kedua orang tuaku, menyiksa ayah dan ibuku! Aku harus membunuhnya!" "Omitohud.... jadi nona ini adalah puteri mereka? Ya Tuhan, Han Siong lepaskan dia, biar ia membunuh pinceng. Omitohud...... akhirnya........ akhirnya hukuman yang adil datang. Lepaskan biar ia membunuhnya. Anak baik, kau bunuhlah pinceng...... kaubunuhlah pinceng...... " Hwesio itu kini menangis terisak-isak dan berbisik-bisik minta dibunuh. Han Siong tetap mencegah Bi Lian, "Ingat, sumoi, suhu dan subo, yaitu ayah dan ibumu, tentu akan marah dan berduka sekali kalau mendengar engkau membunuh losuhu ini. Mereka saja yang menerima hukuman itu, tidak pernah mencela, tidak pernah mengutuk. Setidaknya engkau harus bertanya dulu kepada mereka. Mari, sumoi, mari kita temui mereka ayah ibumu...... ” "Ayah? Ibu? Di mana.... di mana.... mereka...... ?" Gadis itu tergagap-gagap, matanya terbelalak, mukanya pucat sekali. "Losuhu, tolong beritahu, di mana adanya suhu dan subo kini?" Dengan kepala tunduk, masih menangis, Ceng Hok Hwesio berkata, "Mereka...... mereka..... di Kim-ke-kok (Lembah Ayam Emas), di puncak Heng-tuan-san ujung timur..... tapi, tapi..... biarkan dulu ia membunuhku, Han Siong..... aku mohon padamu, bjarkan ia membunuh pinceng...." Akan tetapi Han Siong tidak memperdulikan kakek itu, menarik tangan Bi Lian dan membawanya keluar dari kamar itu. Masih terdengar keluh kesah dari kakek itu yang minta dibunuh di antara tangisnya, akan tetapi Han Siong terus mengajak sumoinya keluar. Di luar kamar, mereka bertemu dengan banyak hwesio yang tadi terkejut mendengar jerit Bi Lian. .Ketika mereka tiba di depan kamar, mereka mendengar tangis Ceng Hok Hwesio dan tentu saja para hwesio ini menjadi terkejut dan terheran,akan tetapi tidak berani memasuki kamar yang dijadikan tempat hukuman atau pertapaan oleh ketua mereka itu. Ketika para hwesio itu melihat seorang pemuda dan seorang gadis keluar dari kamar itu, tentu saja mereka segera menghadang, dan bersikap penuh curiga. Akan tetapi Han Siong segera memperkenalkan diri. "Para suhu dan suheng apakah lupa kepadaku? Aku adalah Pek Han Siong......" "Ah, Han Siong...... " "Sute....." Para hwesio itu kini mengenalnya akan tetapi Han Siong tidak ingin banyak bicara dengah mereka. Dia menggandeng tangan sumoinya dan berbisik, "Mari kita pergi, sumoi..... !" Dan diapun mengajak sumoinya untuk meloncat dan beberapa kali berkelebat saja, mereka telah menghilang di kegelapan malam. Para hwesio hanya dapat memandang dengan mata terbelalak penuh kagum. Mereka melanjutkan perjalanan didalam kegelapan malam, hanya diterangi sejuta bintang di langit. Karena perjalanan mendaki Pegunungan Heng-tuan-san merupakan perjalanan yang sukar dan berbahaya, maka mereka hanya berjalan perlahan-lahan. Tiba-tiba Bi Lian Berhenti. "Marilah, sumoi....." Akan tetapi Bi Lian tidak bergerak dan mencoba untuk menatap tajam wajah pemuda itu melalui kegelapan. "Suheng....." Dari suaranya dapat di ketahui bahwa gadis itu menahan tangisnya. Memang sejak keluar dari kuil tadi, hanya dengan kekerasan hatinya saja Bi Lian tidak tersedu-sedu atau terisak-isak walaupun kedua matanya sudah basah dan kadang-kadang ada air mata menetes keatas pipinya. Pikirannya menjadi kacau tidak karuan. Ia membayangkan mereka yang pernah dianggapnya sebagai ayah dan ibu kandungnya, yaitu suami isteri Cu Pak Sun yang terbunuh oleh mendiang kedua orang gurunya yaitu Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi. Lalu ia membayangkan dan mencoba untuk mengingat-ingat wajah kedua orang yang menjadi gurunya, yang datang di waktu malam dan memberi bimbingan ilmu silat kepadanya. Seorang pria yang gagah perkasa, akan tetapi buntung lengan kirinya sebatas siku dan seorang wanita yang cantik jeilta akan tetapi selalu wajahnya pucat. Mereka begitu baik kepadanya, bahkan wanita yang menjadi subonya itu setiap kali datang dan pergi selalu mencium kedua pipinya dan pria berlengan buntung sebelah yang menjadi suhunya itu selalu mengelus-elus kepalanya penuh kasih sayang! Jadi mereka itu adalah ayah dan ibu kandungnya! "Ya? Kenapa, sumoi?" tanya Han Siong, hatinya tidak enak karena tadi dia berkeras melarang sumoinya membunuh Ceng Hok Hwesio. "Suheng, katakan terus terang, apakah selama ini, sejak pertemuan pertama antara kita, engkau sudah tahu siapa diriku?" Han Siong mengangguk, akan tetapi lalu teringat bahwa cuaca gelap dan belum tentu anggukannya kelihatan oleh gadis itu. "Aku tahu, sumoi. Suhu dan subo sudah memberi tahu kepadaku siap namamu, yaitu Bi Lian dan mempergunakan nama keluarga Cu. Ketahuilah, sumoi. Aku memang diutus oleh suhu dan subo untuk mencarimu. Selama dua tahun aku mengembara, tidak tahu harus mencari ke mana sampai pada suatu hari itu kita kebetulan saling berjumpa dan begitu melihat, aku….. aku sudah merasa tegang karena wajahmu mirip sekali dengan wajah subo. Ketika mendengar namamu, maka aku menjadi yakin." "Tapi, kenapa kau diam saja, suheng? Kenapa kau tidak memberitahu kepadaku bahwa sebenarnya aku adalah anak kandung mereka?" "Aku khawatir engkau tidak percaya, sumoi. Maksudku, membawamu menghadap mereka dan biarlah engkau mendengar, dari mereka sendiri. Tidak kusangka, kita bertemu dengan losuhu Ceng Hok Hwesio sehingga rahasia itu kauketahui…… " Mereka- melanjutkan perjalanan dan karena Kim -ke -kok ( Lembah Ayam Emas) itu berada di puncak paling ujung, dan perjalanan dilakukan lambat, baru setelah terang tanah mereka dapat melanjutkan perjalanan dengan cepat, maka pada keesokan harinya, setelah matahari naik tinggi, barulah mereka tiba di lembah itu. Tidak sukar mencari suami isteri itu setelah mereka berdua tiba di lembah, karena baru saja mereka memasuki lembah yang subur itu, mereka melihat dua titik hitam dari atas depan yang makin lama menjadi makin besar dan akhirnya nampak dua sosok tubuh manusia berlari cepat menyongsong meraka. Tanpa disadari, tangan Bi Lian mencari dan memegang lengan kanan Han Siong dan pemuda ini merasa betapa jari tangan gadis itu dingin gemetar . Seperti yang diduganya, dua sosok tubuh itu setelah tiba di depannya bukan lain adalah Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu! Mereka menyongsong sambil tersenyum gembira dan dari jauh Siangkoan Ci Kang sudah berseru, "Heiiii….., bukankah itu engkau, Han Siong……..?" Ketika mereka sudah berhadapan, Toan Hui Cu tersenyum. "Kami sudah menduga bilhwa yang datang tentu engkau…… " Tiba-tiba ia berhenti dan matanya terbelalak mengamati wajah Bi Lian. Juga Siangkoan Ci Kang tiba-tiba memandang dengan mata terbelalak dan wajahnya berubah pucat, suaranya gemetar ketika dia berkata, "Han Siong, ini..... ia ini……" Toan Hui Cu seperti besi terbetot besi sembrani, melangkah maju menghampiri, ".. ..kau…… kau……. " Ia tidak mampu melanjutkan karena takut kalau-kalau ia salah kira. Akan tetapi suaminya berteriak, "Pasti ia! Wajahhnya itu….. ah, serupa benar denganmu, Hui Cu. Ia Bi Lian…… !!" "Kau…. kau Bi Lian….?” Dengan suaraa bercampur isak Toan Hui Cu berkata, kedua lengannya dikembangkan. Sejak tadi Bi Lian sudah memandang kedua orang itu dengan air mata bercucuran dan kini ia tidak dapat menahan dirinya lagi, ia lari menubruk Toan Hui Cu dan dirangkulnya wanita itu. "Ibuuuuu ………., engkau ibuku………. !" "Bi Lian anakku………. ah, Bi Lian……… !" Kedua ibu dan anak itu berangkulan dan Hui Cu mendekap puterinya sambil tersedu-sedu. "Bi Lian…… ya Tuhan, syukurlah engkau selamat dan dapat bertemu kembali dengan kami, anakku ………" Bi Lian melepaskan rangkulan ibunya, lalu lari menubruk kaki ayahnya. "Ayah………. !” " Anakku……… !" Dengan tangan kanannya Siangkoan Ci Kang membelai kepala gadis itu, pria yang sakti dan gagah perkasa ini tidak mampu menahan basahnya kedua matanya. Hui Cu merangkul lagi puterinya dan mereka bertiga saling berangkulan dalam suasana yang penuh keharuan dan kebahagiaan. Kemudian Siangkoan Ci Kang menghampiri Han Siong yang sejak tadi juga sudah menjatuhkan diri berlutut di depan suhu dan subonya dan hanya memandang pertemuan itu dengan mulut tersenyum menahan keharuan hatinya yang merasa ikut berbahagia. Siangkoan Ci Kang yang buntung lengan kirinya itu menyentuh kepala muridnya dengan penuh perasaan syukur dan berterima kasih. “syukur bahwa engkau berhasil menemukan anak kami, Han Siong." Toan Hui Cu kini bangkit berdiri sambil merangkul pinggang puterinya yang ramping. "Kami amat berterima kasih kepadamu, Han Siong. Tidak percuma kami mendidik dengan susah payah padamu selama ini, ternyata engkau berhasil membawa pulang Bi Lian." "Pertemuan antara teecu dan sumoi hanya kebetulan saja, suhu dan subo. Kami berdua sama-sama menentang gerakan yang dipimpin oleh Lam-hai Giam-lo." "Ahh ! Jadi iblis itu malah mengusahakan pemberontakan?" Suami isteri itu bertanya. Tentu saja mereka berdua mengenal Lam-hai Giam-lo, pemimpin pemberontak itu karena Lam-hai Giam-lo pernah melarikan diri dari para musuhnya yang amat lihai, menyamar sebagai hwesio dan bersembunyi di dalam kuil Siauw-lim-si pimpinan Ceng Hok Hwesio di mana mereka menjadi dua orang hukuman. Lam-hai Giam-lo menyamar sebagai seorang tukang sapu yang gagu dan berkat suami isteri yang sakti ini pula iblis itu dapat diusir dari kuil. "Ibu……, dan ayah ……. kenapa ibu dan ayah begitu ……nakal terhadap diriku? Ayah dan ibu memberikan aku kepada keluarga Cu! Apakah ayah dan ibu malu mengakui diriku sebagai anak?" Dengan merengut manja gadis itu bertanya sambil merangkul ibunya. Suami isteri itu saling pandang lalu tersenyum lebar . "Haiiii, Han Siong! Bagaimana Bi Lian begitu berjumpa dengan kami segera tahu bahwa ia adalah puteri kami? Apakah engkau sudah menceritakan kepadanya?" Ibu gadis itu berbalik mengajukan pertanyaan ini kepada Han Siong sebelum mampu menjawab pertanyaan puterinya. Siangkoan Ci Kang tertawa, "Ha-ha-ha, hujan pertanyaan yang menuntut jawaban! Marilah kita pulang dan kita bicara sejelasnya di dalam pondok. Kita masing-masing akan diharuskan menceritakan segalanya secara panjang lebar agar tidak ada lagi rasa penasaran menyelinap di dalam hati. Sabarlah, anakku, engkau akan mendengar semua jawaban pertanyaanmu."   Gadis itu digandeng ayah ibunya, berjalan di tengah, dan Han Siong mengikuti mereka dari belakang, diam-diam hatinya merasa tegang karena masih ada sebuah hal yang belum terpecahkan dan yang masih menggoda perasaan hatinya. Dia meraba gagang pedang Kwan-im-kiam yang tergantung di pinggangnya. Pedang pusaka itu pemberian kedua orang gurunya, bukan hanya sebagai hadiah guru kepada murid, melainkan terutama sekali sebagai tanda bahwa dia telah dijodohkan kepada Bi Lian. Dahulu, hatinya merasa ragu-ragu mengenai ikatan jodoh ini, akan tetapi dia tidak berani menolak karena dia merasa hutang budi besar sekali kepada kedua orang gurunya. Akan tetapi sekarang, setelah dia berjumpa dengan gadis itu, tidak perlu ditanya untuk kedua kalinya, hatinya sudah seratus prosen menerima dan setuju untuk menjadi calon suami Bi Lian! Begitu bertemu, dia sudah langsung jatuh hati. Yang membuat hatinya merasa tidak enak, tegang dan bimbang adalah karena dia belum dapat menduga bagajmana nanti tanggapan atau pendapat gadis itu kalau mendengar bahwa ia dijodohkan dengan suhengnya! Dan selama bergaul dengan Bi Lian, dia sungguh harus mengakui bahwa dia bingung dan tidak dapat menduga apa perasaan gadis itu terhadap dirinya. Gadis itu berwatak demikian terbuka, polos di samping galak dan keras, akan tetapi baginya juga penuh rahasia. Kadang-kadang gadis itu bersikap manis sekali, kadang-kadang seperti acuh. Bagaimana kalau nanti Bi Lian menolak? Bagaimana kalau diam-diam gadis ini telah mempunyai seorang pemuda pilihan, hatinya sendiri? Hal mi membuat dia diam-diam gelisah ketika dia mengjkuti gadis dan ayah ibunya itu dari belakang. Diam-diam dia merasa iri melihat betapa tangan dan lengan suhu dan subonya melingkar dipinggang yang ramping itu. Kalau saja tangan dan lengannya yang berada di situ! Gadis itu bicara dengan sikap manja sambil menoleh ke kanan kiri, kepada ayahnya dan ibunya. Kalau saja gadis itu bicara seperti itu kepadanya! Mereka memasuki sebuah pondok sederhana yang berdiri di tepi sebuah anak sungai yang airnya jernih dan yang mengalir riang berdendang di antara batu-batu sungai. Pondok atau rumah tunggal di lembah itu, tidak mempunyai tetangga. Rumah orang Jaln berada didusun yang berada di kaki gunung. Setelah berada di dalam pondok, duduk di atas lantai bertilamkan rumput kering yang lunak dan bersih, mereka berempat bercakap-cakap. Mula-mula, untuk menghilangkan rasa penasaran di hati Bi Lian, Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu menceritakan keadaan mereka sebagai keturunan para datuk sesat yang telah yatim piatu saling mencinta dalam keadaan sengsara. Betapa kemudian mereka ingin menebus dosa orang tua mereka, dan masuk ke dalam kuill Siauw-lim-si untuk menjadi hwesio dan nikouw. "Namun, agaknya Tuhan juga melarang kami menjadi pendeta. Buktinya, aku mengandung, Bi Lian. Engkaupun terlahir dan kami dihukum oleh losuhu Ceng Hok Hwesio," kata Toan Hui Cu. "Kenapa ayah dan ibu dihukum? Bagaimana hukumannya? Sambil menahan kemarahannya terhadap ketua kuil itu, Lian bertanya. Siangkoan Ci Kang yang menjawab pertanyaan puterinya. "Kami dihukum agar bertobat dan bertapa di dalam kamar tahanan selama masing-masing dua puluh tahun….” "Dua puluh tahun?" Bi Lian pura-pura terkejut. "Mengapa losuhu itu menghukum seperti itu?" "Karena menurut losuhu, kami dianggap telah melanggar dosa. Dan kami harus menebus dosa dengan bertapa dandmenyesali perbuatan kami itu," jawab ibunya. "Dan ayah ibu menerima hukuman itu dengan rela? Ayah ibu menganggap hukuman itu sudah pantas?" Bi Lian mendesak. Suami isteri itu saling lirik dan Siangkoan Ci Kiang menjawab, "Ya, kami menerimanya dan kami menganggalpnyaa sudah pantas." "Tidak! Tidaaaaaakkk! Sama sekali tidak pantas! Hwesio tua itu hanya membalas dendam. Dia tergila-gila kepada ibu, kakek yang tak tahu malu itu! Ibu tidak mau melayaninya dan dia membalas dendam, menghukum ayah dan ibu untuk memuaskan dendamnya!" "Sumoi…… !" Kembali Han Siong berseru menegur. Suami isteri itu saling pandang, lalu memandang Han Siong, dan Siangkoan Ci Kang menarik napas panjang sebelum bertanya, "Aha, kiranya kalian sudah tahu pula hal itu? Dari siapa kalian tahu?" "Dia sendiri yang mengaku kepada kami!" jawab Bi Lian. "Ayah dan ibu, kami tadinya masuk ke dalam kamar tahanan ayah dan ibu, akan tetapi kami hanya bertemu dengan losuhu itu dan dia membuat pengakuan. Hampir saja aku membunuhnya!" "Bi Lian…… !" Toan Hui Cu merangkul puterinya. Kini Han Siong ikut bicara. "Suhu dan subo, sebelum bertemu dengan losuhu Ceng Hok Hwesio, sumoi belum tahu bahwa ia adalah puteri suhu dan subo, karena teecu hanya mengajak ia untuk menghadap suhu dan subo yang ia ingat sebagai guru-gurunya ketika ia masih kecil. Akan tetapi, ketika teecu mencari suhu dan subo di kuil, kami bertemu dengan Ceng Hok Hwesio dan dialah yang mengakui segalanya kepada kami sehingga sumoi mengetahui bahwa ia adalah puteri suhu dan subo dan dia mengakui segala hal yang telah dilakukannya." "Aku heran sekali menapa ayah dan ibu membiarkan saja orang berbuat sekejam itu kepada ayah dan ibu?" Bi Lian menyambung dengan suara mengandung penasaran. Ayahnya tersenyum. "Engkau tidak tahu, anakku. Engkau tidak tahu betapa ayah dan ibumu menderita tekanan batin mengingat dosa-dosa yang ditumpuk oleh para kakek nenekmu dahulu. Kami menerima hukuman itu yang kami anggap memang tepat bagi kami untuk menebus dosa-dosa turunan. Biarpun kemudian, setelah hampir duapulh tahun losuhu itu membuat pengakuan, kai tidak merasa penasaran, karena dalam pelaksanaan hukuman itu kami mendapatkan hikmat dan anugerah yang amat berharga dari Tuhan. Melalui pelaksanaan hukuman itu, kami mendapatkan ilmu-ilmu tinggi, dan kemudian bahkan kami bertemu dengan suhengmu ini yang menjadi murid kami. Tidak, anakku, kami tidak merasa penasaran kepada Ceng Hok Hwesio." "Bahkan kami merasa kasihan kepadanya, Bi Lian," kata ibunya. "Dia merasa menyesal dan penyesalan merupakan hukuman yang lebih berat lagi. Kini dia yang sudah begitu tua menderita kesengsaraan batin yang berat, bahkan dia akan menghukum diri sendiri di kamar itu sampai mati." Bi Lian mengangguk-angguk. "Mungkin benar juga pendapat ayah dan ibu. Dia menyiksa diri bahkan minta agar kubunuh, akan tetapi suheng mencegah aku. Akan tetapi, mengapa ibu menyerahkan aku kepada keluarga Cu, bahkan menyuruh mereka mengakui aku sebagai anaknya?" "Begini, Bi Lian," jawab ayahnya. "Ibu dan aku sudah merundingkan hal itu baik-baik. Kami akan hidup selama dua puluh tahun di dalam kurungan, sebagai orang-orang hukuman. Kalau kami membiarkan engkau hidup bersama dengan kami dalam hukuman, bagaimana jadinya dengan dirimu? Kami harus memikirkan masa depanmu. Karena itulah maka setelah berpikir masak-masak, kami menitipkan engkau kepada keluarga Cu yang kami tahu merupakan keluarga baik-baik. Dan kami mengunjungimu untuk menjenguk keadaanmu sejak engkau masih bayi sampai engkau besar dan kami beri latihan dasar ilmu silat." "Nah, itulah sesungguhnya yang mendorong kami menitipkan engkau kepada keluarga Cu di dusun itu, Bi Lian. Bukan sekali-kali karena kami tidak suka kepadamu! Engkau tahu, sampai berbulan-bulan setiap malam aku menangis kalau ingat kepadamu, dan hanya demi kebahagiaanmu di masa depan sajalah aku dapat menahan penderitaan batin yang berat itu……” Bi Lian merangkul ibunya. "Aku percaya, ibu. Akupun merasakan kasih sayang ibu dan ayah ketika sering datang mengajarku di dusun itu." "Nah, sekarang giliranmu untuk menceritakan pengalamanmu!" kata Siangkoan Ci Kang kepada puterinya. "Nanti dulu, ayah dan ibu," kata Bi Lian dengan sikap manja dan "jual mahal". "Aku ingin mendengar cerita suheng lebih dulu, tentang riwayatnya sampai dia bertemu dengan aku ketika menentang gerombolan Lam-hai Giam-lo itu." Toan Hui Cu tersenyum dan mengangguk kepada muridnya. "Kamipun ingin sekali mendengar, terutama tentang keberhasilanmu menemukan anakku. Berceritalah, Han Siong." "Sumoi, aku pernah menceritakan keadaan keluargaku kepadamu. Ayahku adalah ketua dari Pek-sim-pang di Kong-goan. Ketika aku bayi, terpaksa aku disembunyikan karena hendak diculik oleh para pendeta Lama di Tibet. Aku disembunyikan di kuil Siauw-lim-si itu sehingga bertemu dengan suhu dan subo dan menjadi muridnya." "Ya, aku sudah tahu akan hal itu, dan aku tahu pula bahwa adik Pek Eng adalah adik kandungmu. Ceritakan saja sejak engkau meninggalkan ayah dan ibu," kata Bi Lian. Kini Han Siong menujukan ceritanya kepada kedua orang gurunya. "Ketika suhu dan subo memberi tugas kepada teecu untuk mencari sumoi, sesungguhnya teecu merasa bingung sekali karena selain selamanya teecu belum pernah bertemu dengan sumoi, juga teecu tidak tahu harus mencari ke arah mana. Akan tetapi teecu mengambi1 keputusan tidak akan kemba1i menghadap suhu dan subo sebe1um berhasil menemukan sumoi. Teecu berangkat dibekali doa restu suhu dan subo, dan juga kenekatan. Da1am perjalanan itu, teecu bertemu dengan seorang locianpwe yang berjuluk Ban Hok Lojin dan teecu diambll murid selama satu tahunl." "Ban Hok Lojin?" Siangkoan Ci Kang berseru kaget. "Bukankah dia seorang di antara Delapan Dewa?" "Suhu benar. Suhu Ban Hok Lojin adalah seorang di antara Pat-sian (Delapan Dewa) dan selama satu tahun teecu diberi ilmu Pek-hong Sin-ciang dan juga ilmu sihir….." "Wah, ayah dan ibu! Suheng ini pandai main sulap, pandai main sihir!" “Hemm, coba kauperlihatkan sedikit sihirmu agar kami melihatnya, Han Siong," kata Toan Hui Cu, subonya. “Bagaimana teecu berani bersombong dan kurang ajar terhadap suhu dan subo?” kata Han Siong. "Tidak, Han Siong. Jangan mengira bahwa kami tidak senang mendengar engkau menjadi murid Ban Hok Lojin. Kami hanya ingin melihat sendiri kekuatan sihir yang kaupelajari itu," kata suhunya. "Suhu, menurut keterangan suhu Ban Hok Lojin, ada dua macam ilmu sihir, yaitu yang disebut ilmu hitam dan ilmu putih. Ilmu hitam adalah sihir yang dipergunakan orang untuk melakukan kejahatan, sedangkan yang diajarkan suhu Ban Hok Lojin hanyalahuntuk melindungi diri dari serangan musuh, terutama untuk menghadapi serangan sihir hitam." "Kalau begitu bagus sekali, Han Siong. Nah, perlihatkan sedikit kepada kami agar kami menjadi yakin." "Aih, suheng! Kenapa pelit amat? Hayo perlihatkan kepandaianmu, akupun ingin sekali melihatnya," kata Bi Lian. Han Siong tersenyum dan diam-diam dia mulai mengerahkan kekuatan batinnya untuk melakukan demonstrasi sihirnya. "Suhu, subo dan sumoi, andaikata teecu kewalahan menghadapi pengeroyokan atau menghadapi lawan tangguh, teecu dapat membuat lawan bingung untuk menyelamatkan diri dengan memperbanyak diri teecu!" "Memperbanyak diri?" Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui ClI bertanya hampir berbareng. "Apa maksudmu, suheng?" Bi Lian juga ingin tahu sekali. "Suhu, teecu dapat memperbanyak diri, misalnya menjadi dua seperti ini!" Suara Han Siong berwibawa sekali, menggetar dan tiba-tiba saja ayah, ibu dan anak itu terbelalak melihat betapa tubuh Han Siong benar-benar berubah menjadi dua orang! "Atau menjadi tiga seperti ini ! " terdengar lagi suara Han Siong dan kini muncul pula seorang Pek Han Siong yang lain dan berdirilah tiga orang pemuda yang kembar di depan mereka. Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu, dua orang tokoh kang-ouw yang sudah banyak pengalaman dan memiliki kepandaian tinggi itu, cepat mengerahkan tenaga khikang mereka dan memusatkannya kepada pandang mata dan kini lenyaplah dua orang bayangan Han Siong yang lain, tinggal yang seorang saja, yang asli. Akan tetapi Bi Lian tidak tahu bagaimana caranya membuyarkan penglihatan aneh itu dan iapun berseru sambil tertawa. "Wah-wah-wah…… ! Kalau aku menjadi lawanmu, aku benar-benar akan kebingungan sekali, suheng! Yang mana sih engkau yang sesungguhnya?" Han Siong tersenyum, diapun segera melenyapkan dua bayangannya. Lalu dia menjatuhkan diri berlutut di depan suhu dan subonya yang dia tahu dapat menguasai penglihatan mereka tadi. "Harap suhu dan subo suka memaafkan teecu." Suami isteri itu saling pandang dan Siangkoan Ci Kang menarik napas panjang. "Memang hebat ilmu sihir itu, Han Siong. Kami sendiri seketika terpengaruh dan memang merupakan alat pembela diri yang amat ampuh. Kami ikut merasa girang bahwa engkau dilatih oleh seorang sakti seperti locianpwe itu. Sekarang lanjutkan ceritamu, Han Siong." "Teecu lalu pergi berkunjung ke Pek-sim-pang. Di sana teecu bertemu dengan lima orang pendeta Lama yang hendak memaksa teecu pergi ke Tibet. Teecu berhasil mengusir mereka dan teecu ber temu dengan ayah, ibu dan keluarga Pek." "Ah, sukurlah, Han Siong. Aku ikut merasa gembira bahwa engkau dapat bertemu dengan orang tuamu dan keluargamu di sana," kata Toan Hui Cu. "Akan tetapi dari keluarga Pek, teecu mendengar bahwa adik kandung teecu yang bernama Pek Eng telah pergi meninggaltkan rumah, katanya untuk mencari teecu, kakaknya yang selama hidupnya belum pernah dilihatnya." "Ah, kasihan sekali adik Pek Eng……. " kata Bi Lian. "Karena itu, teecu merasa khawatir dan teecu juga tidak lama tinggal di asrama Pek-sim-pang. Teecu berangkat untuk mencari adik Pek Eng dan juga sumoi, teecu mencari dua orang gadis!" "Dua orang yang selamanya belum pernah suheng lihat. Hik-hik, betapa sukarnya itu…… !" Bi Lian tertawa. "Akhirnya, teecu menemukan jejak adik Pek Eng yang ditangkap oleh gerombolan pemberontak Lam-hai Giam-lo yang bersarang di Yunan Lembah Yang-ce, maka teecu menyusul ke sana dan ternyata teecu menemukan dua-duanya di sana!" Kembali Bi Lian tertawa. "Orang-orang yang dicarinya itu telah berkumpul di Yunan, bahkan sebelum suheng bertemu dengan aku atau dengan adik Eng, aku dan adik Eng telah menjadi sahabat baik!" "Pemberontakan Lam-hai Giam-lo dapat dihancurkan oleh para pendekar, kemudian teecu berhasil membujuk sumoi untuk menghadap suhu dan subo di kuil Siauw-lim-si itu." Han Siong mengakhiri ceritanya. "Kami sungguh bersukur sekali, Han Siong. Engkau bukan saja dapat melaksanakan tugasmu dan memenuhi permintaan kami sehingga berhasil baik, akan tetapi juga dapat menemukan adik kandungmu dan dapat membantu para pendekar untuk menghancurkan persekutuan pemberontak Lam-hai Giam-lo." kata Siangkoan Ci Kang. "Nah, sekarang giliranmu untuk bercerita, Bi Lian." Bi Lian lalu menceritakan pengalamannya, sejak ia diambil murid oleh mendiang Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi, dua di antara Empat Setan yang menjadi datuk-datuk sesat di empat penjuru itu. Kedua orang datuk itu senang sekali melihat Bi Lian yang ketika itu berusia enam tahun, seorang anak perempuan yang mungil, manis lincah dan memiliki keberanian luar biasa sekali. Tentu saja anak kecil yang pemberani itu tadinya mendendam kepada dua orang iblis ini yang dianggap pembunuh keluarga Cu, keluarganya! Akan tetapi dua orang itu menyalahkan dua pasang suami isteri iblis yang memusuhi mereka. Dua pasang suami isteri iblis itulah yang membujuk rakyat dusun mengeroyok mereka sehingga banyak penduduk dusun tewas termasuk keluarga Cu. Bi Lian dapat menerima alasan ini dan iapun mengalihkan dendamnya kepada dua pasang suami isteri iblis, yaitu Lam-hai Siang-mo dan Sepasang Suami Isteri Guha Iblis Pantai Selatan. "Pelajaran apa saja yang kauperoleh dari Dua Setan itu?" Toan Hui Cu bertanya. Bi Lian memandang kepada ayah ibunya. Ia melihat sinar mata khawatir berpancar keluar dari pandang mata kedua orang tuanya. Memang, tak dapat disangkal lagi bahwa Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu merasa khawatir sekali membayangkan bahwa anak kandung mereka menjadi murid dua manusia iblis seperti Tung-hek-kwi dan Pek-kwi-ong yang sudah terkenal sekali di dunia kang-ouw sebagai dua orang yang tidak segan melakukan perbuatan jahat dan kejam yang bagaimanapun iuga, Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu tahu diri. Mereka merasa bahwa mereka adalah keturunan datuk-datuk jahat sekali, maka mendengar betapa puteri mereka menjadi murid dua di antara Empat Setan, tentu saja mereka merasa khawatir kalau-kalau darah nenek moyang puterinya itu akan menurun pada batin puterinya. Bi Lian tersenyum. "Ayah dan ibu tak perlu khawatir. Memang aku mempelajari berbagai ilmu silat tinggi dari mendiang suhu Pek-kwi-ong dan Tung-hek-kwi, akan tetapi aku tidak sudi mempelajari dan meniru perbuatan mereka yang kuanggap jahat! Bagaimanapun juga, bimbingan keluarga Cu yang baik, juga bimbingan ayah dan ibu yang ketika itu kuanggap guru, masih meninggalkan kesan di hatiku dan aku tidak terpengaruh oleh watak jahat mereka." "Sumoi berkata benar,” Han Siong cepat menyambung. "Semenjak bertemu dengan sumoi. Yang teecu lihat, sumoi mempunyai jiwa pendekar seratus prosen, dan bahkan ia telah mendapat julukan Thiat-sim Sian-li sebagai tanda kekerasan hatinya menghadapi orang-orang jahat.” “Aih, suheng ini memuji-mujiku di depan ayah dan ibu, mau merayu, ya?” Bi Lian bertanya dengan pandang mata nakal menggoda. Wajah Han Siong seketika berubah merah. Kalau saja gadis itu tahu bahwa mereka telah dijodohkan, tentu tidak akan mengeluarkan kata-kata seperti itu! Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu memandang sambil tersenyum. Mereka tahu bahwa puteri mereka itu berwatak keras, pemberani, dan polos sehingga ucapan yang dikeluarkan tadi hanya untuk menggoda Han Siong, tidak mempunyai makna lain. “Ah, aku hanya bicara jujur sumoi.Kalau engkau bukan berjiwa pendekar tentu tidak akan menentang gerombolan Lam-hai Giam-lo. Bahkan engkau berjasa besar sekali karena di tanganmulah Lam-hai Giam-lo tewas!" "Ah, benarkah?" Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu terkejut mendengar ini karena mereka berdua maklum akan kelihaian Lam-hai Giam-lo. Kalau puteri mereka mampu membunuh iblis itu, tentu puteri mereka itu telah memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa hebatnya! "Wah, memang suheng tukang memuji. Hemm, jangan-jangan suheng sudah ketularan watak putera Si Tawon Merah itu!" Tiba-tiba Bi Lian termenung karena ia teringat kepada seorang pemuda yang amat pandai merayu hati wanita, bahkan ia sendiri pernah terpikat oleh puji-pujian dan rayuan yang keluar dari mulut pemuda itu. Pemuda itu bernama Tang Hay seorang pendekar yang memiliki ilmu kepandaian hebat bukan main, bahkan pandai pula bermain sihir, seorang pemuda pendekar yang gagah perrkasa. Akan tetapi kemudian ketahuan bahwa pemuda perkasa itu adalah putera Ang-hong-cu atau Si Kumbang Merah y-ng terkenal sebagai penghisap kembang atau seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) perusak dan pemerkosa wanita yang amat keji! "Sumoi, aku tidak memuji, melainkan bicara secara jujur,” kata Pek Han Siong yang merasa tidak enak mendengar disebutnya nama putera Ang-hong-cu itu. "Akan tetapi, benarkah engkau telah berhasil membunuh Lam-hai Giam-lo, Bi Lian?" tanya Toan Hui Cu heran. "Aah, ibu. Suheng ini bisa saja. Memang aku membunuhnya, akan tetapi bukan sendirian, melainkan mengeroyoknya bersama dua orang pendekar yang sakti. Kalau aku sendiri, kiranya tidak akan mampu mengalahkan dia." "Lanjutkan ceritamu," kata Siangkoan Ci Kang. "Selama belajar ilmu silat dari kedua orang suhu itu, aku diajak merantau dan aku tidak pernah mencampuri urusan suhu. Akan tetapi aku sendiri mempergunakan kepandalanku untuk menentang kejahatan di mana-mana sehingga orang-orang kang-ouw menjulJukl aku Thiat-sim Sian-li. Kemudian, kedua orang suhu merantau ke daerah Yunan di mana aku menemukan jejak dua pasang suami isteri yang kuanggap sebagai musuh besarrku karena merekalah yang menyebabkan terbasminya keluarga Cu yang kukira keluargaku sendiri. Dan dalam pengejaran terhadap dua pasang suami isteri itulah kami bertiga bertemu dengan gerombolan Lam-hai Giam-lo! Suhu Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi terbujuk oleh mereka dan biarpun aku tak senang, mereka tetap saja menjadi tamu kehormatan gerombolan pemberontak itu. Bahkan, kemudlan suhu Pak-kwi-ong hendak memaksa aku menerima pinangan Kulana, seorang di antara pimplnan pemberontak berasal dari Birma yang berilmu tinggi dan kaya raya. Aku tidak sudi, dan ketika suhu Pak-kwi-ong memaksa, suhu Tung-hek-kwi membelaku. Mereka kemudian saling serang dan keduanya tewas! Pada waktu itulah bermunculan para pendekar dan aku lalu bergabung dengan mereka untuk membasmi gerombolan pemberontak yang dipimpin oleh Lam-hai Giam-lo, Kulana dan banyak lagi tokoh sesat itu.” Gadis dan ayah bundanya itu melepaskan kerinduan masing-masing dan selama beberapa hari, mereka hanya bercakap-cakap saja, saling menceritakan pengalaman mereka lebih terperinci. Beberapa hari kemudian, sehabis makan siang, mereka bertiga, ditemani oleh Han Siong, duduk di atas rumput tebal diluar pondok, di bawah pohon yang rindang. Mereka memang Jebih suka bercakap-cakap sambil duduk di atas rumput ini dari pada di dalam pondok. Tiba-tiba Toan Hui Cu bertanya kepada Han Siong, "Han Siong, sudahkah engkau menceritakan kepada sumoimu tentang pedang pusaka Kwan-im-pokiam Itu?" Tiba-tiba wajah Han Siong berubah merah dan dia tidak mampu menjawab, hanya meraba gagang pedang di pinggangnya. Melihat ini, Bi Lian yang menjawab sambil tersenyum. "Suheng pernah menceritakan bahwa dia selain menerima ilmu-ilmu yang hebat dari ayah dan ibu, juga menerima pemberian pedang pusaka Kwan-im-pokiam, ibu!" "Bukan hanya sebagai pemberian, Bi Lian," kata Hui Cu dan ia menoleh kepapa suaminya. Siangkoan Ci Kang mengangguk, agaknya setuju kalau isterinya menyinggung urusan itu. "Bukan hanya sebagai pemberian, lalu sebagai apa, ibu? Hadiah karena suheng seorang murid yang baik?" Bi Lian bertanya, mengerling kepada suhengnya untuk menggodanya. "Sebagai………. ikatan, Bi Lian. Ikatan jodoh!" Bi Lian terbelalak memandang kepada ibunya, lalu kepada ayahnya. "Ikatan jodoh? Apa yang ibu maksudkan?" Sementara itu, Han Siong menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali. "Bi Lian, ayahmu dan aku telah mengambil keputusan, jauh sebelum engkau pulang, yaitu dua tahun lebih yang lalu, ketika suhengmu pergi berangkat untuk pergi mencarimu. Keputusan kami itu adalah bahwa kami menjodohkan engkau dengan Pek Han Siong, dan pedang pusaka Kwan-im-pokiam itu kami berikan ke padanya sebagai tanda ikatan jodoh………”   Toan Hui Cu menghentikan kata-katanya dan memandang kepada puterinya dengan wajah khawatir. Ia melihat perubahan pada wajah puterinya yang tadinya cerah dan riang itu. Wajah itu menjadi keras, sepasang matanya mencorong dan Bi Lian memandang ayah ibunya bergantian, kemudian menoleh dan memandang kepada Han Siong yang masih menundukkan mukanya yang merah. Suasana menjadi amat sunyi, kesunyian yang menegangkan hati, terutama bagi Han Siong. "Kami harap engkau akan menerimanya dengan hati terbuka, anakku," kata Siangkoan Ci Kang. "Kami melihat Han Siong sebagai seorang pemuda yang amat baik, keturunan pendekar, dan engkau sendiri tentu sudah mengenalnya selama ini dan dapat menilainya sendiri……. " "Justeru itulah, ayah! Aku selama ini menganggapnya sebagai seorang suheng, seorang kakak! Suheng, mengapa selama ini engkau diam saja tidak pernah memberitahu kepadaku tentang jodoh ini?" Dalam pertanyaan itu terkandung penyesalan dan teguran. Han Siong mengangkat mukanya, sikapnya tetap tenang walaupun dia merasa gugup sekali. Setelah menelan ludah beberapa kali untuk menenangkan batinnya yang terguncang, diapun menjawab, "Maafkan aku, sumoi. Aku tidak tega, tidak ingin membuat engkau menjadi sungkan dan malu, maka aku diam saja, biar suhu dan subo sendiri yang memberitahu akan hal itu." "Tidak….., tidak…….! Bagaimana mungkin terjadi ikatan jodoh yang tiba-tiba ini? Aku sudah menganggapnya sebagai kakakku sendiri! Ayah dan ibu, sungguh aku tidak dapat menerima keputusan yang begini tiba-tiba!" Mendengar ini, wajah Han Siong berubah pucat dan seperti tadi, diapun hanya menundukkan mukanya. "Bi Lian, engkau tidak boleh menolak mentah-mentah hanya dengan alas an bahwa engkau menganggapnya seperti kakak sendiri! Memang benar dia kakak seperguruanmu, akan tetapi tidak ada hubungan darah sedikitpun antara keluarga kita dan keluarga Pek," kata Siangkoan Ci Kang sambil mengerutkan alisnya karena kecewa melihat sikap puterinya yang menolak ikatan jodoh itu. "Tapi, ayah! Bagaimana mungkin orang berjodoh secara begitu saja? Selama ini aku memandang suheng sebagai seorang kakak seperguruan, bagaimana tiba-tiba saja aku memandangnya sebagai tunangan, sebagai calon suami? Orang berjodoh harus ada perasaan cinta kasih!" bantah Bi Lian dengan polos, sesuai dengan wataknya yang bagaimanapun juga mewarisi sikap kedua orang gurunya, polos dan berandalan. Toan Hui Cu juga merasa penasaran, lalu ia mengambil keputusan dalam menghadapi puterinya yang bicara secara terbuka ini dengan cara yang lebih jujur, maka iapun berkata kepada Han Siong, "Han Siong, sekarang lebih baik engkaupun bicara terus terang saja! Bagaimana perasaan hatimu ketika kami menyatakan bahwa engkau kami jodohkan dengan puteri kami yang pada waktu itu belum kaulihat? Engkau memang telah menerimanya dengan patuh, akan tetapi bagaimana perasaanmu pada saat itu?" Mendengar pertanyaan ibunya, wajah Bi Lian menjadi berseri. Ia memang lebih suka urusan secara terbuka begini daripada harus menyimpan di dalam hati. "Suheng, jawablah sejujurnya. Percayalah, aku tidak akan menyesal atau marah, bahkan kalau engkau tidak bicara jujur, aku merasa penasaran dan marah!" katanya kepada Han Siong. Pemuda ini merasa terhimpit sekali. Sejak kecil ia hidup di dalam kuil dan mempelajari segala macam kebudayaan dan sopan santun, kesusilaan, peraturan untuk menghormati orang tua, guru, wanita dan orang pandai. Kini dia diharuskan bicara secara terbuka tanpa tenggang rasa lagi, apa adanya! Biarpun ia tidak merasa berkeberatan dengan cara seperti ini, membicarakan rahasia hati di depan orang lain secara terbuka, namun tentu saja dia harus berkorban perasaan. Setelah menghela napas panjang beberapa kali, diapun memandang kepada suhu dan subonya, lalu memberi hormat sambil berlutut. "Suhu dan subo, teecu telah menerima budi besar dari ji-wi yang tak dapat teecu bayar dengan nyawa sekalipun dan teecu sama sekali tidak menghendaki untuk menyinggung perasaan atau menyakiti hati suhu dan subo. Akan tetapi karena suhu, subo dan juga sumoi menghendaki jawaban yang sejujurnya dan terbuka, maka apa yang akan teecu katakana adalah suara hati teecu dan sama sekali tidak lagi ditutupi oleh perasaan sungkan." "Bagus, suheng! Begitulah. Seharusnya sikap orang gagah!" kata Bi Lian dan kini wajahnya berseri gembira lagi.   "Ketika suhu dan subo memberikan Kwan-im-pokiam ini kepada teecu dan mengatakan bahwa ji-wi menjodohkan teecu dengan puteri ji-wi, sesungguhnya teecu juga merasa terkejut. Tentu saja teecu tidak mungkin dapat menyatakan suka atau tidak suka kalau teecu belum pernah melihat sumoi. Akan tetapi, ketika itu teecu menerima, sepenuhnya hanya karena terdorong keinginan teecu membalas budi ji-wi dan menyenangkan hati ji-wi. Teecu merasa yakin bahwa ji.-wi tentu sudah memperhitungkannya dengan masak dan tidak akan keliru mengambil keputusan. Karena itulah teecu menerima dan mulai mencari sumoi." Suami isteri itu mengangguk-angguk, dapat menerima keterangan ini, juga Bi Lian mengerti bahwa alasan suhengnya itu memang tepat, akan tetapi tidak urung dia mencela, "Suheng telah bersikap tidak wajar. Menerima secara membuta seperti itu sungguh bukan merupakan kebaktian yang benar. Siapapun yang menyuruh kita, haruslah kita pertimbangkan macam tugas yang diperintahkan. Biar guru sendiri, biar orang tua sendiri, kalau menyuruh kita melakukan hal yang berlawanan dengan suara hati, sudah sewajarnya kalau ditolak. Mentaati karena ingin rnembalas budi itu namanya ketaatan yang ngawur dan nekat, dan yang akibatnya dapat membuat diri sendiri menyesal!" Kembali suami isteri itu saling pandang. Puteri mereka itu ternyata telah dewasa benar, dan telah memiliki kematangan pandangan, walaupun terlalu polos, terlalu jujur tanpa ditutup-tutupi sehingga mudah menyinggung perasaan orang dan terdengar kasar. "Sekarang katakan, Han Siong. Setelah engkau bertemu dengan sumoimu, setelah engkau melihatnya, bicara bahkan bergaul dengannya,bagaimana pendapatmu? Mengaku saja terus terang, adakah cinta kasih di dalam hatimu terhadap anak kita Siangkoan Bi Lian?" Mendengar pertanyaan ini, kembali wajah pemuda itu menjadi merah sekali. Sambil berlutut dia memberi hormat dan berkata lirih, "Duhai suhu dan subo……. , bagaimana teecu berani menjawab pertanyaan itu….. .?” “Han Siong, tenangkan hatimu. Sumoimu menuntut agar kita semua bicara secara terbuka. Memang kalau kupikir, sikap ini benar. Segala macam persoalan dapat dipecahkan dengan cepat kalau kita bersikap terbuka. Jawablah sejujurnya, Han Siong." "Suheng, apakah engkau bukan laki-laki yang jantan? Kita harus jujur, kepada diri sendiri, kepada orang lain! Manusia yang tidak memiliki kejujuran, yang tidak berani mengakui apa yang berada didalam hatinya, dia itu hanya seorang pengecut! Dan aku yakin, suhengku yang gagah ini sama sekali bukan pengecut!" Bukan main ucapan gadis itu. Lidahnya seperti pecut yang mencambuk-cambuk dengan tajamnya! "Baiklah, sumoi. Suhu dan subo, teecu mengaku terus terang, begitu teecu bertemu dengan sumoi, melihat wajahhya, bicara dengannya, melihat sikapnya dan segalanya, teecu langsung jatuh cinta padanya!" Suami isteri itu saling pandang dan tersenyum, akan. tetapi Bi Lian terbelalak keheranan memandang suhengnya. "Waahhh! Benarkah itu, suheng? Ataukah engkau hanya terikat oleh janji dan balas budi? Bagaimana mungkin begitu mendadak kau jatuh cinta, dan…….. aku sama sekali tidak melihat sikapmu yang mencinta itu, tak pernah engkau mengatakan kepadaku bahwa engkau cinta padaku!" "Mana aku berani, sumoi?" “Ah. mengapa tidak berani? Dalam cinta mencinta, pertama-tama yang dibutuhkan adalah kejujuran pula!" "Sudahlah, Bi Lian, sekarang suhengmu sudah mengaku sejujurnya bahwa dia mencintamu. Sekarang, bagaimana dengan engkau? Setelah engkau bertemu dan bergaul dengan suhengmu, bagaimana pendapatmu? Tidaklah dia pantas menjadi calon suamjmu? Katakanlah, apakah engkau dapat membalas cinta kasihnya?" “Wah, aku masih bingung, ibu. Aku memang suka sekali kepada suheng, suka dan kagum, dan terus terang saja, aku bangga mempunyai seorang suheng seperti dia. Jarang pula ada pemuda sebaik suheng! Akan tetapi cinta? Sama sekali tidak pernah kupikirkan hal itu. Andaikata dia tidak memperkenalkan diri sebagai suhengku, mungkin saja hal itu kupikirkan karena selama ini belurn pernah aku bergaul dengan seorang kawan pria seakrab dengan suheng. Aku menganggap dia sebagai kakak, dan aku tidak tahu apakah aku dapat mencintanya seperti seorang calon suami. Dan akupun tidak yakin akan cintanya yang begitu tiba-tiba, apalagi dilatarbelakangi ketaatan dan hutang budi kepada ayah dan ibu!” "Lalu bagaimana keputusanmu, Bi Lian? Maukah engkau menerima ikatan jodoh dengan suhengmu'?" tanya Siangkoan Ci Kang. "Tidak, ayah. Aku sama sekali belum memikirkan soal perjodonan." "Bi Lian," kata ibunya. "Tahukah engkau berapa usiamu sekarang?" "Kalau tidak salah dua puluh tuhun, ibu. Apa hubungannya usia dengan perjodohan?" "Aih, Bi lian, usia dua puluh sudah terlalu lambat bagi seorang gadis untuk berjodoh," kata ibunya. Gadis itu tersenyum lebar. "Tidak, ibu. Bagiku, usia tidak ada hubungannya dengan perjodohan. Yang ada hubungannya hanyalah cinta kasih. Dan terus terang saja, aku suka dan kagum kepada suheng, akan tetapi aku……. tidak…….. atau belum mencintanya seperti seorang calon suami." "Jadi jelasnya, engkau menolak, Bi Lian?" kata Siangkoan Ci Kang. "Sebaiknya, ikatan jodoh itu dibatalkan saja dulu, ayah. Jangan ada pengikatan. Kelak, kalau aku yakin bahwa aku cinta pada suheng dan dia cinta padaku, mudah saja dilakukan ikatan kembali!" "Bi Lian! Engkau mengecewakan hati ayah ibumu!" kata Siangkoan Ci Kang. "Maafkan, ayah dan ibu. Apakah ayah dan ibu hendak memaksaku dan membikin hidupku selanjutnya kecewa dan merana? Senangkah ayah dan ibu kalau aku menurut hanya untuk berbakti? Itu hanya akan menjadi pernikahan paksaan, ayah dan ibu. Suheng menikah karena ingin membalas budi, dan aku menikah hanya untuk berbakti. Pernikahan macam apa itu? Maukah ayah dan ibu begitu?" Suami isteri itu saling pandang dan menghela napas panjang. Terus terang saja, mereka tidak menghendaki pernikahan anaknya seperti itu. "Lalu apa yang menjadi kehendakmu sekarang, Bi Lian? Apakah engkau telah memiliki seorang calon jodoh pilihan hatimu sendiri? Kalau benar demikian, katakanlah terus terang. Kami sudah ingin melihat engkau berumah tangga, mengingat usiamu sudah cukup dewasa," kata ibu gadis itu. Sementara itu, sejak tadi Han Siong hanya menundukkan mukanya. Hatinya terasa perih dan perasaannya terpukul hebat oleh penolakan sumoinya. Dia dipaksa untuk berterus terang di depan suhu dan subonya,dan setelah dia berterus terang menyatakan cinta kasihnya dengan menekan rasa malunya, kini dengan terus terang pula Bi Lian menolak cintanya! Padahal, dia sudah di tunangkan dengan sumoinya itu. Bagaimanapun juga, dia adalah seorang kali-laki dan tentu saja dia merasa terbanting keras harga dirinya. Maaf, suhu, subo dan sumoi. Teecu harap agar suhu dan subo tidak terlalu menekan sumoi dan agar urusan perjodohan itu dihabiskan sampai disini saja. Sumoi memang benar. Perjodohan hanya dapat dilakukan kalau ada cinta kasih kedua pihak. Teecu yang tidak tahu diri, berani lancang mencinta sumoi. Oleh karena itu, suhu dan subo, maafkan teecu dan sebaiknya kalau Kwan-im Po-kiam ini teecu kembalikan kepada suhu dan subo, sebagai tanda bahwa tidak ada lagi ikatan perjodohan antara sumoi dan teecu." Dengan kedua tangannya, pemuda itu menyerahkan pedang pusaka itu kepada kedua orang gurunya. Siangkoan Ci Kang terpaksa menerima pedang itu dengan kedua tangan pula, menarik napas panjang lalu berkata kepada muridnya. "Han Siong, engkaulah yang harus dapat memaafkan kami berdua. Kami terlalu terburu-buru mengikatkan tali perjodohan antara anak kami dan engkau, sama sekali tidak menyangka bahwa akan timbul penolakan dari pihak puteri kami. Engkau benar, memang sebaiknya kalau ikatan jodoh itu diputuskan. Kalau memang Tuhan menghendaki kalian berjodoh, kelak tentu kalian akan dapat saling mencinta. Andaikata tidak, itu berarti bahwa memang Tuhan tidak menghendaki kalian menjadi suami isteri." "Han Siong, keputusanmu ini bijaksana sekali dan engkau kembali telah memperlihatkan kebaktianmu terhadap kami. Dengan kebijaksanaanmu ini engkau telah membebaskan guru-gurumu dari keadaan yang tidak enak. Terima kasih, Han Siong." kata subonya sambil tersenyum dengan hati terharu. Nyonya ini melihat betapa muridnya amat budiman dan alangkah akan bahagia rasa hatinya kalau puterinya mau menjadi isteri Han Siong! Bi Lian bertepuk tangan, wajahnya penuh senyum dan berseri gembira, kemudian, dengan sikap manja dan lincah, iapun menghadapi Han Siong dan memberi hormat dengan merangkapkan kedua tangan di dadanya. "Bagus, bagus! Akupun berterima kasih sekali kepadamu, suheng! Nah, kaulihat, keputusanmu, ini membuat engkau menjadi pahlawan dalam keluarga kami! Ayah dan ibu terbebas dari perasaan tidak enak, akupun merasa bebas dari ikatan kebaktian yang kulanggar, dan aku dapat menghadapi dan memandangmu dengan wajar sebagai seorang sumoi terhadap suhengnya yang baik hati! Terima kasih, suheng." Biarpun wajah pemuda itu tidak memperlihatkan sesuatu, namun sesungguhnya hatinya seperti diremas-remas. Dia tidak menyalahkan suhu dan subonya, tidak menyalahkan sumoinya, melainkan menyesali diri sendiri. Memang nasib dirinya yang buruk dan sial, sejak ia dilahirkan. Betapapun juga, dalam hal ini dia merasa bahwa dia yang bersalah karena lemah. Kenapa dia begitu mudah jatuh cinta? Andaikata dia tidak jatuh cinta kepada Bi Lian, maka pembatalan ikatan jodoh ini tentu tjdak menyakitkan hatinya benar. Cinta kita bergelimang nafsu. Karena itu selalu mendatangkan suka duka, puas kecewa, nikmat sengsara. Cinta kita menumbuhkan ikatan, mencjptakan belenggu. Cinta kita seperti jual beli di pasar. Kita membeli dengan pengorbanan diri, kesetiaan, penyerahan, untuk mendapatkan yang lebih menguntungkan, lebih menyenangkan, yaitu kesetiaannya, pengorbanannya, penyerahan dirinya, kesenangan-kesenangan yang kita nikmati darinya. Kalau semua itu tidak terdapat oleh kita sebagai "imbalan", maka cinta kitapun menguap ke udara dan tidak berbekas lagi, bahkan kadang kala berubah menjadi benci. Cinta kita selalu menyembunyikan pamrih demi kesenangan diri sendiri. Adakah cinta tanpa pamrih? Adakah cinta yang tidak mengandung pengajaran kepentingan diri sendiri? Adakah cinta yang tidak menimbulkan ikatan, yang memberi kebebasan? Dapatkah kita manusia memiliki cinta kasih seperti jtu? Han Siong menderita akibat dari pada cinta seperti itu. Dia mencinta, tent saja dengan pamrih agar yang dicintanya itupun membalas cintanya, menjadi miliknya. Ketika ternyata bahwa gadis yang dicintanya itu tidak membalas cintanya, tidak mau menjadi miliknya, maka hatinya pun kecewa, malu dan timbullah duka. "Sumoi, harap jangan terlalu memujiku. Aku telah membuat suhu, subo, dan sumoi rmerasa tidak enak saja. Salahku sendiri karena sesungguhnya akulah yang tidak tahu diri." "Han Siong, jangan menyalahkan dirimu sendiri. Engkau hanya mentaati permintaan kami saja, dan kami yang sesungguhnya bersalah." kata Siangkoan Ci Kang. "Jangan putus asa, Han Siong. Bagaitmanapun juga, Bi Lian hanya terkejut karena berita yang mendadak itu. Biarlah ia berpikir dan mempertimbangkan, mungkin kalau memang kalian berjodoh, kelak tentu ikatan ini akan dapat disambung kembali," kata Toan Hui Cu yang juga merasa kasihan sekali kepada murid tersayang itu. "Sudahlah, ayah dan ibu, jangan mengulurkan harapan baru bagi suheng agar kelak ia tidak akan menderita kekecewaan lagi. Suheng, kurasa sekarang ini belum waktunya bagi kita berdua untuk memikirkan soal perjodohan! Masih banyak tugas menanti di depan. Lupakah suheng akan nasib adik kandung suheng itu? Apakah suheng akan membiarkan saja si jahanam Ang-hong-cu itu?" . Mendengar ini, Han Siong mengerutkan alisnya, wajahnya berubah merah dan dia termenung. Terbayang segala peristiwa yang terjadi ketika dia bersama para pendekar lainnya menentang persekutuan Lam-hai Giam-lo. Di dalam perjuangan para pendekar menghadapi para pemberontak yang dipimpin persekutuan itu, muncul seorang tokoh yang juga membantu gerakan para pendekar, akan tetapi tokoh itu ternyata adalah seorang tokoh hitam yang namanya amat terkenal, yaituAng-hong-cu, si Kumbang Merah yang suka menghisap kembang. Seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) yang terkenal suka memperkosa dan merayu banyak sekali wanita. Celakanya,di antara para wanita yang diperkosanya itu terdapat pula Pek Eng, adik kandungnya! Pek Eng diperkosa orang dan tadinya, semua tuduhan ditimpakan kepada Tang Hay,seorang pendekar muda yang selain sakti, pandai ilmu silat, juga amat kuat ilmu sihirnya. Bahkan terjadi bentrok antara dia dan Tang Hay dan kesalahpahaman ini tentu akan berlarut-larut kalau saja kemudian tidak diketahui bahwa pemerkosa Pek Eng sama sekali bukanlah Tang Hay, melainkan Ang-hong-cu, penjahat cabul yang namanya sudah amat terkenal di dunia kang-ouw itu. Dan dia tidak segera mencari penjahat itu untuk mernbalaskan penghinaan yang menimpa diri adik kandung, melainkan menyibukkan diri untuk mengantarkan sumoinya kepada suhu dan subonya, tentu saja dengan pamrih tersembunyi bahwa dia akan dijodohkan dengan gadis yang menarik hatinya itu. Wajahnya seketika berseri ketika dia diingatkan oleh sumoinya tentang hal itu, dan dadanya penuh dengan getaran semangat.   "Engkau benar sekali, sumoi! Aku harus mencari manusia jahat itu agar dia tidak merajalela dan mendatangkan bencana bagi banyak orang yang tidak berdosa." Dia lalu berlutut memberi hormat kepada suhu dan subonya. ”Suhu dan subo, setelah teecu berhasil membawa pulang sumoi dan mengantarnya kepada suhu dan subo, maka selesailah tugas teecu dan teecu mohon diperkenankan untuk pergi, melaksanakan tugas lain, tugas keluarga teecu sendiri." Suami isteri itu merasa tidak enak sekali kepada murid mereka, dan kepergian murid mereka itu hanya akan menghilangkan rasa tidak enak itu, maka keduanya memberi persetujuan tanpa banyak cakap lagi. Pemuda itu berpamit, memberi hormat dan pergi meninggalkan kedua gurunya, dan juga sumoinya, gadis yang dicintanya. Setelah penluda itu pergi, Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu mendengar lebih banyak dari puteri mereka tentang Ang-hong-cu Si Kumbang Merah, dan tentang adik kandung Han Siong yang menjadi satu di antara para wanita yang menjadi korban kejahatan jai-hwa-cat itu. ** * Kota Shu-lu tidak begitu besar namun cukup ramai dan di situ bahkan terdapat sebuah rumah penginapan Hok-lai-koan yang memiliki kamar cukup banyak, dengan sebuah rumah makan. Karena rumah penginapan ini mempunyai rumah makan sendiri, maka banyak orang luar kota kalau terpaksa menginap di kota Shu-lu lebih senang bermalam di sini dari pada di rumah penginapan lain. Kalau di Hok-lai-kodn sudah penuh barulah pengunjung kota itu terpaksa mencari rumah penginapan lain. Hampir setiap hari rumah penginapan itu penuh tamu, dan dengan sendirinya rllmah makan itupun selalu ramai karena semua tamu yang bermalam di situ makan di rumah makan itu. Pemilik rumah makan itu bernama Gui Lok, seorang laki-laki berusia empat puluh lima tahun yang perutnya gendut dan orangnya ramah. Gui Lok ini ahli masak, dan pandai bergaul, pandak menjilat dan mata duitan. Isterinya yang pertama telah meninggal dunia, meninggalkan seorang anak perempuan yang usianya kini sudah tujuh belas tahun, cantik manis dan ramah walaupun agak pendiam. Gui Lok telah menikah lagi, dengan seorang janda muda yang usianya baru dua puluh lima tahun, cantik dan genit. Tiga orang ini semua turun tangan mengurus rumah pernginapan dan rumah makan mereka. Biarpun di kedua tempat itu sudah terdapat pegawai-pegawai yang bertugas, namun ayah ibu dan anak itu selalu saja membantu, kadang-kadang dirumah penginapan, akan tetapi lebih sering di rumah makan. Gui Lok sering membantu di dapur memberi petunjuk kepada para tukang masak, sedangkan isterinya dan puterinya membantu diluar. Hal ini menambah semaraknya rumah makan itu karena keduanya merupakan dua orang wanita yang cantik manis. Isteri Gui Lok dengan kecantikan yang genit memikat, sedangkan Gui Ai Ling degan kecantikan seorang gadis yang sedang mekar bagaikan setangkai bunga segar. Pagi itu, para tamu dari rumah penginapan sudah berada di rumah makan itu untuk sarapan pagi. Ada yang memesan bubur ayam, ada yang makan bakmi atau makan bakpao, bahkan mereka yang gembul pagi-pagi sudah memesan nasi dengan lauk pauknya! Di antara para tamu itu, nampak seorang pemuda duduk sendirian di sudut luar rumah makan. Dia seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh dua tahun, memiliki tubuh yang sedang namun tegap dengan dadanya yang bidang. Matanya bersinar-sinar menncorong, mulutnya tersenyum-senyum dan memang pemuda ini berwajah cerah dan manis. Hidungnya mancung dan pakaiannya sederhana, berwarna biru dengan garis-garis kuning. Agaknya pemuda yang menjadi tamu rumah penginapan itu, sehabis sarapan hendak segera pergi ke luar kota karena di atas meja terdapat sebuah caping lebar pelindung panas dan hujan. Nampaknya saja dia seorang pemuda sederhana biasa saja. Terdapat ribuan orang pemuda seperti dia dan kehadirannya di situ sama sekali tidak menarik perhatian orang, kecuali isteri dan puteri Gui Lok karena pemuda itu memang dapat dibilang tampan dan sikapnya menarik. Akan tetapi orang kalau sudah mengenal pemuda ini, dia akan terkejut melihat kehadirannya karena pemuda ini sesungguhnya sama sekali bukan orang muda biasa saja, melainkan seorang pemuda gemblengan, murid dari dua orang di antara Delapan Dewa, kemudian digembleng dalam hal ilmu sihir oleh mendiang Pek Mau San-jin dan masih beruntung pula menjadi murid kakek Song Lo-jin yang aneh dan sakti. Pemuda ini bernama Tang Hay, atau lebih dikenal dengan sebutan Hay Hay saja. Seperti juga halnya pendekar Pek Han Siong, kehidupan Hay Hay ini sejak kecil diliputi penuh rahasia, menjadi rebutan dan terancam bahaya maut. Bahkan kehidupannya di masa dia masih bayi erat hubungannya dengan Pek Han Siong. Ibunya telah tewas sejak dia masih bayi dan dia bahkan tidak tahu siapa nama ibunya. Ibunya adalah seorang gadis yang menjadi korban jai-hwa-cat yang berjuluk Ang-hong-cu, dan Si Kumbang Merah itu meninggalkan ibunya setelah mengandung. Ibunya membunuh diri di laut bersamanya, akan tetapi dia sendiri diselamatkan oleh mendiang kakek Pek Khun, yaitu kakek buyut dari Pek Han Siong, kemudian dia diaku anak oleh Pek Kong, ayah Pek Han Siong. Dia dijadikan pengganti Pek Han Siong yang diam-diam dilarikan karena anak itu dianggap Sin-tong dan diperebutkan oleh para pendeta Lama di Tibet karena dianggap sebagai calon guru besar di Tibet! Dan ketika dia masih bayi dan menjadi anak keluarga Pek, pengganti Pek Han Siong, dia diculik oleh suanli isteri Lam-hai Siang-mo! Dia diambil anak oleh sepasang iblis itu dan namanya menjadi Siangkoan Hay, karena Lam-hai Siang-mo itu terdiri dari suami Siangkoan Leng dan isteri Ma Kim Li, dua orang datuk sesat yang amat jahat. Dalam usia tujuh tahun, dia yang masih dianggap sebagai sin-tong, diperebutkan lagi di antara orang-orang dunia kang-ouw sampai akhirnya dia mendengar bahwa dirinya bukanlah putera kandung Lam-hai Siang-mo! Dia lalu melarikan diri, dikejar-kejar oleh para kang-ouw dan akhirnya diselamatkan oleh See-thian Lama atau Gobi San-jin, seorang di antara Delapan Dewa, menjadi muridnya. Kemudian dia menjadi murid Ciu-sian Sin-kai, juga seorang di antara Delapan Dewa. Demikianlah, berturut-turut dia menjadi murid orang-orang sakti sehingga Hay Hay kini menjadi seorang pemuda gemblengan yang memiliki kesaktian. Bukan saja ilmu silatnya tinggi, akan tetapi juga dia memiliki ilmu sihir yang cukup hebat!   Pemuda ini memiliki watak periang. Suka bergembira dan menggoda orang, dan dia pandai sekali merayu wanita dengan omongan manis sehingga para wanita mudah sekali jatuh cinta atau setidaknya tertarik kepadanya. Akan tetapi, biarpun hal ini agaknya diwarisinya dari ayahnya yang tak pernah dijumpainya, namun dia bukan seorang perusak wanita, bukan seorang pria cabul yang suka memperkosa atau mempermainkan wanita. Biarpun karena ulahnya itu dia dijuluki Pendekar Mata Keranjang, namun sifat mata keranjangnya itu hanya di kulit saja, hanya di luar dan dia selalu menjaga agar jangan sampai dia mengganggu atau berjina dengan wanita. Ketika para pendekar menentang pemberontakan yang dipimpin oleh persekutuan Lam-hai Giam-lo, Hay Hay juga ikut membantu para pendekar, bahkan ia terlibat secara langsung. Dia berjasa banyak dalam perjuangan itu, akan tetapi karena sifatnya yang mata keranjang, ketika ada beberapa orang gadis menjadi korban perkosaan Ang-hong-cu, dialah yang dituduh! Dan ditempat itu pula baru Hay Hay mendapat kenyataan bahwa Ang-hong-cu, penjahat keji perusak wanita itu, bukan lain adalah ayah kandungnya sendiri! Dia lalu mengambil keputusan untuk menebus dosa ayahnya itu, bukanhanya dengan perbuatan-perbuatan baik sebagai seorang pendekar, namun terutama sekali dia harus dapat menangkap ayah kandungnya sendiri agar orang itu mempertanggungjawabkan semua dosanya. Dia harus menangkap Si Kumbang Merah! Demikianlah riwayat singkat dari Tang Hay atau Hay Hay yang dikenal sebagai Pendekar Mata Keranjang! Padahal, sampai dia berusia dua puluh dua tahun itu, dia masih seorang perjaka tulen! Dan pada pagi hari itu dia duduk di dalam rumah makan karena malam tadi dia bermalam di rumah penginapan Hok-lai-koan. Hay Hay enak-enak duduk seorang diri, menunggu datangnya pesanannya, yaitu bubur ayam dan air teh panas. Dia tidak tahu betapa sejak dia datang, dia telah menarik perhatian dua orang wanita cantik, ibu dan anak tiri pemilik rumah makan itu. Selagi dia melamun, dia mendengar suara langkah kaki halus menghampirinya. Tentu saja suara ini amat halus dan lirih, tidak terdengar di antara kebising dan para tamu, akan tetapi cukup jelas bagi telinga Hay Hay yang terlatih. Dia mengira pesanannya yang datang, maka dia menoleh dan seketika wajahnya berseri dan matanya bersinar-sinar. Seorang gadis berusia tujuh belas tahun yang berwajah manis telah berdiri di dekat mejanya, memandang kepadanya dengan senyum yang mengalahkan madu manisnya! Dengan ramah sekali gadis itu bertanya tanpa malu-malu kepadanya, "Apakah kongcu (tuan muda) belum dilayani? Apakah sudah memesan makanan dan minuman?" Hay Hay tertegun. Sukar baginya untuk menduga bahwa gadis manis ini seorang di antara para pelayan rumah makan itu. Gadis semanis ini? Dia mengangguk sambil tersenyum, "Sudah, aku sudah pesan kepada seorang pelayan tadi. Bubur dan air teh." "Kalau begitu, harap tunggu sebentar, kongcu. Maafkanlah kalau pelayanannya kurang cepat karena banyaknya tamu.” "Tidak mengapa, nona. Biar harus menunggu setahun di sini, kalau ada nona yang menemani bicara, sungguh merupakan suatu kebahagiaan besar bagiku. Aduh, betapa sayangnya………… !" Gadis i tu memandang dengan kedua pipi berubah merah. Biarpun pemuda ganteng ini memujinya, akan tetapi pujian itu tidak kasar dan kurang ajar, berbeda dengan para tamu pria lainnya yang biasanya suka mengeluarkan kata-kata kotor, tidak bersusila dan bahkan kurang ajar kepadanya. "Kongcu, apanya yang sayang?" tanyanya, ingin tahu apa yang dimaksudkan pemuda ini. "Ketika tadi aku melihat engkau berdiri seanggun itu, aku mengira sedang bermimpi bertemu bidadari! Ketika nona bicara, kusangka seorang puteri bangsawan yang menjadi tamu restoran ini. Sungguh sayang gadis secantik jelita nona ini, yang anggun, manis dan elok, ternyata seorang pelayan. Di sini tempat umum dan nona tentu akan selalu digoda orang, kenapa nona secantik ini tidak tinggal saja dirumah dan melakukan pekerjaan lain?" Wajah itu berubah semakin merah, akan tetapi bukan karena marah. Kecantikannnya dipuji setinggi langit, disamakan bidadari, disangka puteri bangsawan! Hati gadis mana tidak akan berdebar pebuh rasa bangga kalau dipuji-puji seperti ini oleh seorang pria yang ganteng? Apalagi pujian itu sama sekali tidak kurang ajar, bahkan mengandung nasihat. "Aih, kongcu ini bisa saja memuji orang!" katanya sambil menggigit bibirnya dan matanya mengerling malu-malu akan tetapi hatinya senang. "Sebetulnya, aku bukanlah pelayan rumah makan ini, kongcu. Ayahku pemilik rumah penginapan dan rumah makan ini, aku ikut membantu para pekerja di sini." "Ah, kalau begitu aku bersikap kurang hormat dan telah lancang bicara!" Hay Hay segera bangkit berdiri dan memberi hormat kepada gadis itu. "Silakan duduk, nona. Sungguh aku merasa beruntung sekali dapat bertemu dan berkenalan denganmu. Namaku Hay Hay, dan nona…..?" "Ai Ling……….. ! Mari sini, ada tamu datang sambutlah!" Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita lain. "Hemm, namamu Ai Ling, nona? Nama yang amat manis, semanis orangnya." kata Hay Hay. Akan tetapi gadis itu sudah menjauhinya sambil berseru. “Baik, ibu!1! Dan iapun pergi menuju ke pintu masuk untuk menyambut tamu-tanlu yang baru datang. Sementara itu, kembali Hay Hay menjadi bengong ketika melihat siapa yang datang membawa baki terisi bubur dan minuman teh yang dipesannya, yaitu wanita yang tadi menegur Ai Ling, dan yang disebut ibu oleh gadis itu. Ibu gadis itu? Mana mungkin? Wanita yang datang dengan lenggang yang aduhai ini paling banyak berusia dua puluh lima tahun! Seorang wanita yang sudah matang, dengan tubuh denok montok, penuh lekuk lengkung menggairahkan, wajahnya putih dan cantik manis, hanya sayang agak terlalu tebal bedak dan gincu yang dipakainya, dengan pakaian yang indah dan mahal, rambut digelung rapi dengan hiasan menarik. Wanita ini dengan lenggang yang lemah gemelai seperti penari ahli, datang menghampirinya dan tersenyum manis kepada Hay Hay.   Maaf kalau agak lambat, kongcu. Inilah pesananmu. Bubur ayam dan minuman air teh, bukan?” katanya sambil meletakkan hidangan itu di atas meja. Ia berdiri dekat sekali dengan Hay Hay sehingga pemuda ini dapat mencium keharuman semerbak keluar dari pakaian wanita ini. Dia masih bengong mengamati wanita ini, akhirnya dia menarik napas panjang dan berkata, "Terima kasih, akan tetapi……. tidak salahkah pendengaranku? Tadi Ai Ling menyebut ibu……., tidak kelirukah aku?" Wanita itu adalah isteri Gui Lok, bernama Kim Hwa. Dengan sikap genit ia mengerling kepada pemuda ganteng yang sejak tadi memang amat menarik perhatiannya itu, lalu tersenyum cerah, sehingga nampak kilatan giginya yang putih. "Engkau tidak keliru, kongcu. Aku Kim Hwa, ibu tiri dari Ai Ling. Kenapa kongcu meragukan?" Hay Hay menarik napas panjang lagi. "Aihh, siapa yang tidak ragu-ragu? Engkau masih begini muda, cantik jelita lagi, pantasnya nlenjadi kakak dari Ai Ling, kalau kalian enci adik barulah pantas. Kiranya engkau ibu tirinya? Sungguh, kalian adalah dua orang wanita yang sama cantik manisnya, pantas saja rumah makan ini selalu penuh. Kalian bagaikan dua tangkai bunga mawar indah yang menghias tempat ini sehingga banyak kumbang beterbangan dan berkeliaran di sini…….. !" Senyum di wajah yang cantik genit itu makin cerah dan sepasang mata yang menantang itu makin berseri, "Ihh, kongcu. Rayuanmu maut! Engkau sendiri seorang pemuda yang amat menarik hati. Siapakah namamu, orang muda yang tampan?" , "Namaku Hay Hay…… " “Hay Hay, di kamar nomor berapa?" "Kamar bagian belakang, nomor tujuh." "Kongcu malam nanti lewat jam dua belas, kalau babi itu sudah pulas, aku ingin berkunjung ke kamarmu ………….." berkata demikian, wanita itu pergi meninggalkan mejanya sambil membawa baki kosong, melempar senyum dan kerling tajam yang membuat Hay Hay bengong di atas bangkunya! Bukan main, pikirnya. Nyonya muda itu begitu saja menjanjikan permainan kotor dengannya! Tidak salah lagi, tentu yang dimaksudkan babi itu tentu suaminya, atau ayah Ai Ling! Justeru pada saat itu, dari pintu belakang yang menembus ke dapur, muncul seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh lima tahun, seorang pria bertubuh gendut sekali, dan yang melihat sikapnya tentu dia adalah majikan rumah makan itu! Benar saja, pria gendut itu menggapai kepada Kim Hwa dan wanita genit itu segera menghampirinya dan mereka bicara bisik-bisik, keduanya memandang ke arah tamu baru yang datang dan disambut oleh Ai Ling. Melihat ini, Hay Hay juga menoleh dan memandang ke arah gadis manis yang menyambut tamu baru itu. Tamu itu seorang laki-laki berusia lima puluh tahun, tinggi besar seperti raksasa, dengan pakaian mewah, seorang hartawan besar, akan tetapi wajahnya menyeramkan dan menakutkan karena kulit muka yang hitam itu penuh dengan bopeng, yaitu cacat bekas penyakit cacar yang membuat kulit mukanya kasar dan kelihatan kotor. Matanya agak besar sebelah, hidungnya besar sekali dan mulutnya juga lebar. Akan tetapi lagaknya jelas menunjukkan bahwa dia kaya dan royal, lagak khas seorang hartawan yang yakin akan "harga dirinya" yang diukur dengan kepadatan kantungnya. Di belakang hartawan raksasa ini ketihatan tiga orang yang juga tidak menyembunyikan lagak mereka sebagai tukang-tukang pukul atau pengawal dari si hartawan tinggi besar. Dengan lengan baju disingsingkan, pinggang dihias golok, dada dibusungkan dan kepala ditegakkan, langkah satu-satu seperti harimau, tiga orang itu seolah-olah memasang kedudukan mereka di atas dada agar semua orang tahu. Dengan sikap manis, seperti kalau menerima tamu rumah makan itu, Ai Ling menyambut empat orang tamu ini, akan tetapi sekali ini senyum yang menghias wajah yang manis itu agak dibuat-buat. Di dalam hatinya, gadis ini tidak suka kepada tamu hartawan itu karena hartawan Coa ini sudah terkenal sekali sebagai seorang mata keranjang yang suka mempergunakan harta kekayaannya untuk memaksakan kehendaknya. Selain sebagai seorang hartawan juga Coa Wan-gwe ini seorang yang dianggap sebagai majikan dari para penjahat di sekitar kota Shu-lu. Dengan hartanya dan dengan kekuasaannya karena dia pandai mendekati para pejabat, dan dengan banyaknya tukang pukul yang menjadi pengawalnya, maka dia ditakuti oleh semua orang. Bahkan dia menguasai pula semua tempat pelesir di kota Shu-lu dan kota-kota lain yang berdekatan dengan kota raja. Di samping banyaknya orang yang merasa takut dan diam-diam membencinya, banyak pula orang-orang yang ingin memperoleh keuntungan dari hartawan ini, dan orang-orang seperti ini tidak segan-segan untuk menjilat dan mencari muka. Kalau Gui Lok sendiri dan puterinya, Ai Ling, diam-diam merasa tidak suka bahkan membenci dan takut kepada Coa Wan-gwe, sebaliknya Kim Hwa selalu bersikap manis kepada hartawan itu. Ia maklum akan kekuasaan dan kekayaan hartawan ini, bahkan tahu pula bahwa jika keluarga suaminya tidak membikin senang hati hartawan ini, maka perusahaan suaminya terancam kebangkrutan. Kalau hartawan itu memusuhi mereka, tidak sukar baginya untuk memaksa suaminya menutup rumah penginapan dan rumah makannya, dengan menggunakan kekerasan dan siapakah yang akan berani membela suaminya? Semua pembesar di Shu-lu, dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi, semua telah berada dalam genggaman tangan Coa Wan-gwe, seperti boneka-boneka yang dapat menari menurut kehendak hartawan itu. Tiga hari yang lalu, ketika makan di rumah makan mereka, hartawan itu ketika dilayani Kim Hwa telah membisikkan hasrat hatinya untuk "memetik" bunga rumah makan itu, yaitu Ai Ling! Mendengar ini, tentu saja hati Kim Hwa diliputi rasa takut. Akan tetapi diam-diam ia juga merasa girang karena sebetulnya semenjak menjadi isteri Gui Lok, ia membenci Ai Ling. Maka ia lalu membujuk suaminya untuk menyerahkan Ai Ling kepada Coa Wan-gwe, untuk menjadi selir yang entah ke berapa kalinya. Gui Lok tidak setuju dan marah-marah kepada isterinya, akan tetapi diapun merasa khawatir sekali, tidak berani menentang kehendak Coa Wan-gwe karena dia tahu betapa bahayanya menentang kehendak orang itu. Ketika pada pagi hari itu sang hartawan muncul bersama tiga orang tukang pukulnya, Gui Lok tidak berani keluar dari dapur. Isterinya cepat menyuruh Ai Ling menyambut tamu baru itu, kemudian iapun cepat memasuki dapur dan setengah menyeret suaminya keluar.   "Lihat, betapa besar rasa cinta Coa Wan-gwe kepada anak kita," bisik Kim Hwa kepada suaminya yang memandang dengan muka agak pucat. "Lihat, sinar matanya kepada Ai Ling. Aih, kalau engkau mempunyai menantu dia, kedudukanmu tentu akan meningkat tinggi dan tidak ada seorangpun di Shu-lu ini berani kepadamu." Sementara itu, dengan sikap manis dibuat-buat, Ai Ling menyambut tamu-tamu itu, "Selamat pagi, lo-ya (tuan besar), dan silakan duduk di sudut sana. Masih ada meja Kosong untuk lo-ya sekalian." kata Ai Ling. dengan senyum buatan. Coa Wan-gwe bengong memandang gadis yang manis itu. Seperti setangkai bunga yang sedang mekar semerbak, pikirnya. Dia mengangguk-angguk, lalu berkata, "Ai Ling, engkau sediakan bakmi dan panggang babi, juga arak yang cukup untuk kami, dan engkau sendiri harus melayani aku pagi ini. Jangan khawatir, akan kuberi hadiah yang banyak, Ai Ling, manis……. !" Tiga orang tukang pukulnya tertawa-tawa dan Ai Ling tersipu. "Maaf, lo-ya, saya masih mempunyai banyak pekerjaan. Akan tetapi, akan saya sampaikan pesannya lo-ya. Silakan duduk!" Gadis itu lalu setengah berlari masuk ke dalam. Sejak tadi Hay Hay menyaksikan semua yang terjadi itu. Telinganya yang terlatih itu dapat menangkap bisikan hartawan tinggi besar muka bopeng ketika mengajak Ai Ling untuk melayaninya dan diam-diam dia merasa tidak senang kepada orang tinggi besar itu. Sikapnya begitu pongah dan congkak, seperti biasa memerintah, dan sinar matanya begitu penuh nafsu seolah-olah menggerayangi tubuh Ai Ling dari atas ke bawah. Orang ini berbahaya sekali, pikirnya dan dia mengkhawatirkan keselamatan Ai Ling. Dia melihat betapa Ai Ling kelihatan ribut-ribut mulut dengan ayah dan ibu tirinya, walaupun mereka hanya berbisik-bisik. Nampak olehnya di balik pintu ke dapur itu betapa Ai Ling menggeleng kepala keras-keras seperti menolak, sedangkan Kim Hwa memegang pundaknya dan seperti membujuk-bujuk. Gui Lok yang gendut seperti babi itu hanya menggeleng-geleng kepala dengan bingung dan khawatir . Kini nampak Kim Hwa yang mengantar seorang pelayan membawakan pesanan makanan dan minuman untuk hartawan itu. Setelah mengatur hidangan di atas meja, dan pelayan itu pergi, Kim Hwa berbisik kepada hartawan itu, suaranya manis dibuat-buat. "Harap Coa tai-ya sudi memaafkan Ai Ling. Dasar anak pemalu, dan ia banyak pekerjaan di dalam, maka tidak dapat melayani tai-ya. Biarlah saya yang melayani di sini." Dengan sikap manis seka1i ia lalu menuangkan arak ke dalam cawan untuk hartawan itu, sedangkan tiga orang tukang pukul itu memandang nyonya muda itu dengan senyum-senyum senang. Akan tetapi hartawan itu cemberut. "Hemm, apakah engkau belum menyampaikan hasrat hatiku kepadanya dan kepada suamimu?" "Sudah, tai-ya." "Dan suamimu tidak setuju?" Sepasang mata hartawan itu memandang penuh ancaman. "Ah, tidak, tidak! Mana ia berani? Dia hanya menyerahkan kepada saya, dan kepada puterinya. Percayalah, tai-ya tentu akan mendapatkan apa yang dikehendakinya." kata Kim Hwa dengan sikap manis. Sejak tadi, Hay Hay terus mendengarkan. Kebetulan meja yang dihadapi rombongan hartawan itu tidak begitu jauh dari tempat duduknya sehingga pendengarannya yang tajam dapat menangkap semua percakapan itu walaupun dilakukan dengan berbisik-bisik dan lirih. "Hemm, nyonya Gui, dengar baik-baik. Aku sudah tidak sabar lagi. Malam ini aku akan bermalam di rumah penginapan suamimu. Sediakan kamar terbaik, dan malam nanti aku sungguh mengharapkan ia berada di dalam kamarku! Kalau perintahku sekali ini tidak ditaati, jangan menyesal kelak kalau keluarga dan perusahaan suamimu menjadi berantakan!" . Wajah wanita itu nampak ketakutan, "Baik, tai-ya, jangan khawatir……,” lalu suaranya menjadi semakin lirih, "Bagaimanapun juga, saya akan mengusahakan agar dapat mendorongnya ke kamar tai-ya. Akan tetapi karena ia pemalu, harap tai-ya menunggu sampai lewat tengah malam, kalau perlu saya akan memaksanya " Hartawan tinggi besar itu tersenyum lebar dan menjilati bibirnya, lalu mengeluarkan sebuah bungkusan dari dalam saku bajunya. "Tidak perlu dengan paksaan, kaugunakan ini. Campurkan dalam makanan atau minumannya dan ia akan menjadi mabok dan tidak akan melawan lagi." Kim Hwa menerima bungkusan itu, lalu melayani hartawan Coa dan tiga orang tukang pukulnya makan minum sam-pai mereka .menjadi setengah mabok. Sementara itu, Hay Hay sudah meninggalkan rumah makan. Hatinya panas sekali. Hartawan mata keranjang, pikirnya, perusak gadis-gadis orang. Dan wanita genit tak tahu malu itu merupakan seorang ibu tiri yang kejam dan jahat, ingin menjebloskan puteri tirinya ke dalam lembah kehinaan dan menghidangkan puteri itu, seorang gadis manis, menjadi santapan si bandot tua Coa! Dia harus mencegah hal ini terjadi, pikirnya. Akan tetapi karena peristiwa yang direncanakan orang-orang jahat itu baru akan di1aksanakan malam nanti, maka Hay Hay melanjutkan acaranya hari itu, ialah melakukan penyelidikan dan mencari jejak Ang-hong-cu, Si Kumbang Merah, atau ayah kandungnya sendiri, untuk dibekuknya dan dipaksanya mempertanggungjawabkan semua dosanya, apalagi mempertanggungjawabkan perbuatan hinanya, memperkosa dua orang gadis yang amat dikaguminya, yaitu perbuatan yang dilakukannya ketika para pendekar sedang menentang persekutuan Lam-hai Giam-lo. Dua orang gadis pendekar itu yang pertama adalah Pek Eng, adik kandung Pek Han Siong, puteri dari ketua Pek-sim-pang di Kong-goan. Yang kedua adalah Ling Ling atau Cia Ling, puteri dari pendekar besar Cia Sun, masih keluarga dari Cin-ling-pai, yang tinggal di dusun Ciang-si-bun dekat kota raja. Peristiwa aib yang menimpa dua orang gadis perkasa itu telah mencemarkan namanya, karena dialah yang mula-mula dituduh sebagai pelakunya! Oleh karena itu, dia harus dapat membekuk batang leher Ang-hong-cu, ayahnya sendiri, dan menyeretnya kepada dua orang pendekar wanita itu untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, untuk mencuci bersih namanya sendiri yang hampir saja tercemar dan menjadi busuk! .   Mencari seorang datuk sesat haruslah menghubungi dunia penjahat, pikir Hay Hay. Maka diapun tidak ragu-ragu lagi memasuki sebuah rumah judi terbesar dikota Shu-lu. Rumah judi ini bercat merah dan cukup luas. Ada beberapa belas meja perjudian. Ada permainan dadu, permainan kartu dan ma-ciok. Akan tetapi yang paling ramai dipenuhi orang adalah meja dadu terbesar di tengah ruangan. Banyak sekali tamu yang datang mengadu untung di tempat perjudian itu. Ketika Hay Hay masuk dengan memakai topinya yang lebar, segera ada dua orang tukang pukul menghampirinya. Karena dia tidak dikenal, dan pakaiannya sederhana, juga mengenakan topi caping yang lebar, maka tentu saja dia dicurigai. "Hei, kawan. Di sini tidak boleh memakai caping lebar, seperti di sawah saja!" tegur seorang di antara mereka. "Ke sinikan, kautitipkan dulu capingmu kepada kami. Nanti kalau kau hendak pulang, boleh kau ambil dari kami!" kata yang ke dua.   Hay Hay menoleh dan melihat dua orung laki-laki tinggi besar dan nampak kokoh kuat, berdiri dengan sikap bengis dan mengancam. Hay Hay tersenyum dan menanggalkan topi capingnya, lalu menyerahkan kepada mereka. "Harap jaga baik-baik capingku, karena di sini tidak ada orang yang menjual caping lebar model selatan ini," katanya sambil tersenyum. Seorang tukang pukul menerima caping itu, dan orang ke dua memandang Hay Hay dengan sinar mata tajam penuh selidik. "Sobat, apakah engkau datang hendak berjudi?" Hay Hay tersenyum. "Sobat, kalau orang memasuki rumah judi lalu tidak hendak berjudi, lalu mau apa?" "Hemm, siapa tahu? Ada saja manusia tolol yang mencoba-coba untuk merampok di po-koan (rumah judi) kami, ha-ha-ha!" "Ha-ha-ha, dan mereka itu dihajar habis-habisan, bahkan ada yang mampus! Mereka tidak tahu siapa kami!" kata orang ke dua. Hay Hay ikut tertawa. "Sungguh tidak tahu diri! Merampok sebuah po-koan? Itu namanya tidak mengenal kawan sendiri. Nah, aku tidak setolol itu, kawan. Aku datang untuk mengadu untung!" Dia menuding ke arah meja dadu yang penuh orang. "Nanti dulu sobat, kalau engkau hendak berjudi, engkau harus mempunyai modal. Nah, perlihatkan dulu modalmu. Maklumlah, engkau orang baru dan kami harus berhati-hati!" Hay Hay tersenyum. Memang ada dia membawa uang, akan tetapi tidak cukup banyak. Dia bukanlah seorang kaya yang banyak uang. Dia mengeluarkan beberapa uang logam tembaga yang tidak berapa banyak, hanya segenggam dan harganya tentu saja tidak seberapa, akan tetapi pandang matanya mencorong ketika memandang kepada dua orang itu dan dia berkata sambil tertawa. "Lihat, cukuplah modalku ini?" Dua orang itu melihat Hay Hay membuka tangannya dan…… mereka terbelalak melihat segenggam uang emas berkilauan di atas tangan pemuda itu. Segera sikap mereka berubah dan mereka berdua membungkuk-bungkuk. "Nah, lebih dari cukup, kongcu. Silakan……, silakan……!" kata mereka sambil mengundurkan diri dan menyimpan caping Hay Hay di tempat yang sudah disediakan untuk orang menaruh segala barang bawaan yang tidak diperlukan di situ seperti topi, payung, jubah dan lain-lain. Dengan langkah seenaknya Hay Hay lalu menuju ke meja dadu. Dia melihat betapa tempat judi itu dilayani oleh banyak wanita muda cantik yang bersikap genit. Akan tetapi, yang menjadi Bandar tentu pria yang kelihatannya lihai sekali dalam mempermainkan dadu. Dia mendesak diantara banyak orang dan dapat melihat apa yang terjadi di atas meja judi putar dadu itu. Semua orang sudah memasang taruhan mereka di atas meja, di mana terdapat gambar dan nomor-nomor yang dipasangi orang. Nomor dua sampai dengan dua belas yang bergambar di atas meja. Adapun dadu yang diputar ada dua buah, masing-masing dadu mempunyai enam permukaan yang digambar totol-totol merah, dari satu sampai dengan enam. Tidak ada yang memasang taruhan pada nomor-nomor dua, tiga dan dua belas. Biarpun dia bukan seorang penjudi, namun1 Hay Hay yang cerdik segera memperhitungkan rnengapa tidak ada orang memasangkan taruhannya pada tiga nomor itu. Tentu saja, karena kemungkinan keluar tiga nomor itu hanya masing-masing satu kali saja. Untuk nomor dua hanya kalau keluar satu tambah satu, nomor tiga kalau keluar satu tambah dua, dan nomor dua belas kalau keluar enam dan enam. Demikian pula nomor sebelas tidak ada yang memasang, karena nomor sebelas hanya keluar satu kemungkinan, yaitu enam dan lima. Akan tetapi nomor-nomor lain, dari empat sampai sepuluh, mempunyai dua kemungkinan keluar. Maka, mereka itu semua hanya memasangkan uang mereka pada nomor empat sampai dengan sepuluh. Dan yang menang mendapatkan tiga kali lipat dari uang taruhannya! Kelihatannya saja menguntungkan sekali, akan tetapi Hay Hay dapat memperhitungkan bahwa kemungkinan menang bagi para penjudi itu sedikit sekali, dan kernungkinan menang itu sudah diborong oleh bandarnya! Bayangkan saja! Kemungkinan keluar dari dua buah dadu itu sebanyak delapan belas nomor sehingga kesempatan menang dari setiap pemasang adalah dua lawan delapan belas, atau satu lawan sembi1n. Dan imbalannya kalau menang hanya satu mendapat tiga! Setelah semua orang meletakkan taruhannya, bandar, seorang laki-laki pendek gendut yang selalu menyeringai, memutar dadu-dadu itu, dua buah banyaknya, kedalam mangkok, kemudian dengan cekatan sekali dia menelungkupkan mangkokitu di atas meja, dengan dua buah dadunya di bawah mangkok.   "Hayo tambah lagi taruhan, masih ada kesempatan!" tantang bandar itu, dan empat orang pembantu wanita yang cantik-cantik, dengan gaya masing-masing, membujuk penjudi yang banyak uang untuk menambah taruhan mereka. Memang pasaran taruhan menjadi semakin ramai kalau mangkok itu sudah ditelungkupkan, tinggal dibuka saja. Meja itu penuh dengan uang taruhan yang ditumpuk-tumpuk. "Awaaaassss, mangkok akan dibuka! Perhatikan baik-baik! Satu….. dua…….. tiga……… !" Dengan cekatan, tangan si pendek gendut membuka mangkok dan dua buah dadu itu jelas memperlihatkan angka di permukaan mereka, yaitu angka satu dan dua! "Tigaaaaa ……….!” Teriak Bandar dadu dengan alat pengeruknya, dan tentu saja dia mengeruk semua uang yang bertumpuk di atas meja karena tidak ada seorangpun yang memasang nomor tiga. Para pelayan wanita sibuk pula membantunya dan beberapa orang pembantu lagi mengatur uang kemenangan itu dalam tumpukan-tumpukan yang rapi, memisah-misahkan mata uang itu dan menghitung-hitung. "Silakan pasang lagi! Pasang lagi……… ! Siapa tahu kali ini pasangan anda tepat mengenai sasaran! Pasang seratus mendapatkan tiga ratus, pasang seribu mendapatkan tiga ribu!" teriak beberapa orang gadis cantik pelayan meja dadu itu. Sebuah tangan yang halus menyentuh lengan Hay Hay. Pemuda ini menengok dan dia terpesona. Gadis ini cantik bukan main. Bedak di mukanya tidak setebal gadis-gadis yang lain dan agaknya dara ini baru saja tiba karena tadi dia tidak melihatnya di antara para gadis pelayan. Juga pakaiannya agak berbeda, gadis ini lebih mewah dengan hiasan rambut dari emas permata. Matanya sungguh indah, seperti mata burung Hong! Usianya tentu tidak lebih dari dua puluh tahun. "Kongcu, kenapa tidak ikut bertaruh? Kulihat engkau orang baru, biasanya orang baru akan selalu menang." Hay Hay tersenyum. Gadis ini ramah sekali dan wajahnya amat menyenangkan, juga bau semerbak harum yang keluar dari pakaian dan rambutnya amat sedap, tidak menyolok. "Aku sedang berpikir-pikir nomor berapa yang harus kupasangi." katanya. Gadis itu tersenyum. "Kongcu, aku bekerja di sini dan tidak semestinya aku membantu para penjudi. Akan tetapi percayalah, malam tadi aku bermimpi indah sekali dan kalau aku menjadi kongcu, akan kupasangi nomor dua belas!" Diam-diam Hay Hay tertawa. Gadis ini bekerja di situ sebagai pelayan, tentu saja, tugasnya selain membujuk para tamu agar berjudi, juga tentu berusaha supaya tamunya kalah, maka menganjurkan dia memasang nomor dua belas, nomor sial yang hanya mempunyai kemungkinan keluar satu kali saja! Akan tetapi, dia tersenyum dan mengeluarkan semua sisa uang yang ada di sakunya, hanya setumpuk uang tembaga dan dua potong uang perak, hanya kurang lebih dua tail perak saja harganya! "Nah, inilah semua uangku, boleh kau pasangkan sesukamu, nona." Gadis itu memandang dengan alis berkerut. "Kongcu, apakah semua uangmu hanya inikah?" Hay Hay mengerling ke kiri dan melihat betapa dua orang penjaga atau tukang pukul yang tadi menyambutnya, sedang berbisik-bisik dan memandang ke arahnya. Diapun tersenyum dan dapat menduga bahwa tentu dua orang itu yang melapor ke dalam dan dari dalam lalu mengutus gadis ini untuk melayaninya setelah mendengar laporan bahwa dia memiliki banyak uang emas! "Semua uang kecilku hanya itu," katanya sambil tersenyum, "uang emasku masih banyak. Kaudengarlah ini!" Dia menepuk saku bajunya dan gadis itu mendengar suara gemerincing nyaring. Gadis itu tersenyum manis sekali dan iapun mendesak maju ke meja. "Kongcu mempertaruhkan semua uang kecil ini atas nomor dua belas!" Semua orang memandang heran. Bagaimanapun juga, tumpukan uang itu cukup banyak. Mana ada orang mempertaruhkan uangnya pada nomor duabelas? Bandar itu memandang sambil tersenyum menyeringai lebar, memperlihatkan deretan gigi yang kuning menghitam karena rusak. Lalu dia memutar-mutar dua buah dadu di dalam mangkuk, dan cepat menelungkupkan mangkuk itu di atas meja. Orang-orang diberi kesempatan untuk menambah taruhan mereka, dan tidak seorangpun kecuali- Hay Hay mempertaruhkan uangnya pada nomor dua belas. Mangkuk dibuka dan....... "Dua belaaaasss....... !" teriak bandar. Dua buah dadu itu jelas memperlihatkan nomor enam dan enam! Semua orang berteriak heran dan gadis manis itu sambil tersenyum-senyum membantu Hay Hay menghitung uang taruhannya. Hay Hay menerima tiga kali uang taruhannya sehingga di atas meja, di depannya, kini ia menghadapi uangnya yang menjadi bertumpuk-tumpuk! Dia mendapatkan sebuah bangku dan gadis cantik itupun duduk di dekatnya, memberi isarat kepada seorang pelayan lain untuk mengambilkan minuman anggur untuk "kongcu". "Wah, engkau memang sedang mujur sekali nona......?" "Siok Bi, namaku Siok Bi, kongcu......?" "Hay Hay namaku!" "Hay Kongcu, bukan aku yang mujur melainkan engkau!" katanya sambil menyentuh lengan dengan mesra sekali. Sentuhan itu membuat, Hay Hay merasa betapa bulu tengkuknya meremang. Begitu lembut, begitu hangat dan mesra. Jantungnya berdebar kencang dan mukanya menjadi merah. "Siok Bi, coba kautukarkan semua uang ini dengan uang perak agar lebih mudah kita bertaruh." katanya. Gadis itu membantu dengan penuh gairah, dan dengan bantuannya, maka sebentar saja tumpukan uang di depan Hay Hay berubah meniadi uang perak setumpuk yang jumlahnya ada sepuluh tail!   "Silakan pasang lagi…….. !" bandar sudah berteriak, agaknya sama sekali tidak kecewa melihat betapa uangnya ditarik demikian banyaknya oleh tamu baruitu. "Siok Bi, nomor berapakah sebaiknya kini?" tanya Hay Hay kepada gadis di sampingnya yang bersikap demikian mesra, seolah-olah mereka sudah lama berpacaran. "Aih, mimpiku hanya satu kali, kongcu. Sebaiknya kalau engkau memilih sendiri agar tidak keliru.” "Baiklah, kubertaruh atas nomor dua!" Hay Hay rmendorong separuh dari semua uangnya ke atas nomor dua. Semua orang memandang dengan mata terbelalak. Gilakah pemuda itu? Setelah menang secara kebetulan sekali atas nomor dua belas, kini bertaruh atas nomor dua, nomor sial yang sukar keluarnya lagi. “Kenapa nomor dua, kongcu? Nomor itu jarang sekali keluar, hanya mempunyai satu kemungkinan." bisik gadis di sisinya, mendekatkan mukanya dengan muka Hay Hay sehingga ketika bicara, dia dapat merasakan napas gadis itu hangat bertiup di pipinya. Hay Hay tersenyum. "Biarlah, bukankah tadi nomor dua belas juga keluar?" Karena tertarik oleh keberuntungan pemuda itu, ada dua orang penjudi lain ikut-ikutan memasang pada nomor dua, akan tetapi hanya iseng-iseng saja dan jumlah uangnya tidak banyak. Dadu dikocok dalam mangkuk, lalu ditelungkupkan. Ketika dibuka, ternyata jatuh pada nomor lima! Beberapa orang penjudi yang memegang nomor lima memperoleh uang hadiahnya, akan tetapi jumlahnya tidak banyak dan bandar masih menang cukup banyak. "Aih, kongcu tidak percaya kepadaku sih!" Siok Bi mengeluh. "Sekarang pasang coba-coba saja dulu, kongcu, jangan banyak. Sepotong perak saja untuk memancing nasib." "Baiklah, aku menurut usulmu," kata Hay Hay Sambil tertawa dan dengan sembarangan saja dia melempar sepotong perak yang jatuh ke angka tiga! Kembali angka sial! Dan kini tidak ada seorangpun yang mau ikut-ikutan memasang nomor tiga. Akan tetapi ketika mangkuk dibuka dua dadu menunjukkan angka satu dan dua! "Tigaaaa …..!” Bandar berteriak dan menggaruk semua uang, kecuali taruhan Hay Hay yang menang lagi sehingga menerima hadiah tiga potong perak. Siok Bi dengan genitnya mencubit paha Hay Hay di bawah meja, lalu merapatkan tubuhnya sambil tertawa girang. Hay Hay juga tertawa-tawa untuk menenteramkan jantungnya yang berdebar. Ketika para penjudi dipersilakan bertaruh lagi, Hay Hay mendorong semua uang di depannya ke atas nomor sebelas. Lagi-lagi nomor sial! Akan tetapi sekali ini, empat orang ikut-ikutan memasang nomor sebelas sehingga kalau sekali ini keluar nomor sebelas, bandarnya akan rugi cukup canyak! Siok Bi hanya terse.nyum, maklum bahwa tamunya mulai panas dan mulai dipengaruhi setan judi sehingga sebentar lagi tentu akan mengeluarkan uang emas dari dalam kantongnya! Dadu dikocok, lalu mangkuk ditelungkupkan! "Silakan menambah uang taruhan!" teriak bandar . "Siok Bi, keluarkan semua uangmu, kupinjam dulu untuk taruhan!" kata Hay Hay. Gadis itu terkejut, akan tetapi mengeluarkan uangnya dan ternyata ada lima tail. "Bagaimana kalau kalah, kongcu?" "Jangan khawatir, akan kuganti dengan uang emas!" Siok Bi girang sekali. Kalau tidak terdapat banyak orang, tentu sudah diciumnya pemuda yang ganteng dan menarik ini. Pemuda ini, tidak seperti para tamu lain, tidak pernah jail, tidak mengganggunya, menyentuhnyapun tidak, apa lagi kurang ajar. Akan tetapi selalu ramah dan pandang matanya itu membuat birahinya bangkit sejak tadi! Hay Hay menambahkan uang Siok Bi ke atas taruhannya. Mangkuk di buka dan……… sepasang mata bundar itu melotot keheranan ketika dua buah dadu itu menunjukkan angka enam dan lima! "Se……. sebelas…….. !" serunya dan si gendut ini kelihatan bingung sekali. Juga Siok Bi terbelalak heran, menatap tajam wajah bandar gendut, akan tetapi ia dengan cepat dapat menguasai keheranannya, lalu memegang lengan Hay Hay. "Kita menang, Hay Kongcu…..!” serunya gembira, bersama seruan mereka yang ikut memasang nomor sebesas. Bandar dengan muka agak pucat menghitung semua uang dan membayar kemenangan mereka yang bertaruh pada nomor sebelas. Setelah tiga kali putaran lagi Hay Hay tetap menang dan semua penjudi di meja itu kini semua memasang nomor yang sama dengan Hay Hay, bandar judi yang bertugas di meja itu menjadi pucat sekali. Tubuhnya gemetar dan dia menghapus keringat yang membasahi seluruh tubuhnya. Setiap kali membuka mangkuk, tangannya gemetar dan matanya terbelalak kalau dia melihat betapa sepasang dadu itu selalu menunjuk angka yang tepat seperti yang dipasangi pemuda itu! Orang-orang bersorak gembira dan uang di meja bandar itu telah dikuras habis, bahkan sang bandar terpaksa menyuruh pembantunya mengambil uang dari dalam! Kini, bandar judi yang gendut pendek itu menyeka keringatnya dan menggoyang-goyang kepalanya. "Aku…… aku…… lelah sekali…… biarlah aku berhenti dulu dan…… minta diganti rekan lain…… " Dengan terhuyung-huyung dia meninggalkan meja itu menuju ke dalam dan tak lama kemudian, muncullah lima orang laki-laki dari dalam, mengawal seorang kakek berusia enam puluh tahun yang bermluka hitam dan bertubuh jangkung. Mata kakek ini tajam seperti mata elang dan melihat mereka itu, diam-diam Hay Hay tersenyum, maklum bahwa kini tentu muncul jagoan nomor satu dalam permainan judi itu, diikawal oleh lima orang pengawal jagoan yang pilihan pula. Namun, dia pura-pura tidak tahu dan sibuk menyerahkan setumpuk uang yang banyak sekali kepada Siok Bi.   ---65—   "Sobat, kocok dulu dadunya. Kalau sudah kautelungkupkan mangkuk itu, baru aku akan memasang taruhanku. Akan tetapi, aku juga sudah lelah maka aku ingin berjudi satu kali lagi saja. Akan kupertaruhkan semua uang emasku ini untuk satu nomor!" Semua orang menahan napas. Semua dipertaruhkan? Lima belas tail emas, berarti tumpukan emas di depan Bandar itu akan tersedot hampir habis kalau pemuda itu menang! Si bandar harus membayar empat puluh lima tail emas! Mendengar tantangan yang amat berani itu, si bandar muka hitam terbelalak sedikit, akan tetapi dengan tenang diapun mengangguk. "Baik, kuterima! Bagaimana yang lain?" “Akupun mempertaruhkan semua uangku ini!" "Aku juga!" " Aku juga!" Semua penjudi berteriak ingjn mempertaruhkan semua uang mereka. Kini wajah bandar judi itu agak pucat. Bayangkan saja! Semua orang yang berjudi di situ mempertaruhkan seluruh uang mereka. Akan bangkrutlah kalau dia kalah dan bagaimana dia akan mempertanggungjawabkan kepada pemimpin? Dia tahu bahwa semua penjudi tentu akan mempertaruhkan uang mereka seperti pemuda itu, dengan nomor yang sama! Akan tetapi dia yakin akan kemampuannya, maka dia menekan perasaannya dan mengangguk-angguk. "Baik! Kawan-kawan, hitung uang mereka semua agar lebih mudah nanti pembayarannya!" Dia pura-pura tenang saja, seperti telah siap kalau sampai kalah untuk membayar semua kekalahannya! Kini meja itu penuh dengan tumpukan uang, di antaranya tumpukan uang emas lima belas tail dari Hay Hay. Hebatnya, semua penjudi menaruh seluruh uang mereka di atas meja, tidak menyisakan sedikitpun di saku baju mereka. Kalau sampai kalah, mereka semua akan pulang dengan kantong kosong sama sekali! Sebaliknya kalau bandar yang kalah, maka tumpukan uang emas, perak dan tembaga yang berada di situ semua akan amblas! Setelah selesai menghitung uang taruhan dan mencatat, si jangkung muka hitam lalu berseru keras, "Dadu dikocok…….!" Dan cara dia mengocok dadu memang aneh, lain dari kocokan si gendut tadi. Dia memutar-mutar mangkuk yang lebih besar dari pada mangkuk yang dipergunakan rekannya tadi, memutar cepat sekali di atas kepala dan terdengar bunyi berkerotokan ketika dadu-dadu itu berputaran di dalam mangkuk, lalu dia menurunkan mangkuk itu, tangan kiri menarik tutupnya. "Brukkk!” Mangkok jatuh menelungkup di atas meja dan meja itupun tergetar. Diam-diam Hay Hay memperhatikan dan maklumlah dia bahwa si jangkung ini memiliki tenaga sin-kang yang kuat! Dia maklum pula bahwa si jangkung ini, seperti juga rekannya tadi, tentu mempergunakan tipu muslihat dan mungkin dibantu dengan tenaga sin-kangnya untuk mengatur keluarnya nomor dadu, maka diapun sudah bersiap siaga, mengerahkan kekuatan sihirnya karena dia belum tahu akal apa yang akan dipergunakan orang. Tentu saja kedua telapak tangannya juga ditempelkan di meja itu untuk mengetahui melalui getaran di meja apa yang terjadi. "Silakan memasang nomor!" teriak pula bandar itu, tangan kanannya masih di atas mangkuk yang telungkup di depannya. Tanpa ragu-ragu lagi Hay Hay mendorong lima belas tail emasnya ke atas nomor tiga! Kembali semua orang tertegun. Sungguh nomor-nomor yang sial dan jarang keluar saja yang selalu dipilih oleh pemuda itu. Namun, tanpa ragu-ragu mereka semua lalu mendorong uang masing-masing ke atas nomor tiga, mengelilingi tumpukan uang emas. Hay Hay! Semula uang yang bertumpuk-tumpuk di atas meja itu dipertaruhkan kepada nomor tiga! Hay Hay tidak melihat ada perubahan pada muka si jangkung itu, akan tetapi biarpun hanya sedetik dia melihat betapa sepasang mata itu terbelalak atau mengeluarkan sinar kaget, kemudian, kedua tangannya yang diletakkan di atas meja itu dapat merasakan getaran yang datangnya dari dalam mangkuk besar itu. Pendengarannya yang terlatih itupun mendengar suara bunyi kretek-kretek dua kali. Hay Hay dapat menduga bahwa itulah alat rahasia di dalam mangkuk. Agaknya, pasangannya pada nomor tiga itu tepat mengenai sasaran dan dua buah dadu di bawah mangkuk itu benar-benar menunjukkan angka tiga, akan tetapi kini alat rahasia di dalam mangkuk telah bekerja dan tentu dua buah dadu itu akan membalik dan menjadi angka lain. Hal ini dapat dibacanya dari muka hitam itu, yang kini bibirnya mengandung senyum mengejek dan sepasang matanya bersinar penuh keyakinan menang. Suasana menjadi sunyi, tegang mencekam hati para penjudi. Ada yang mukanya pucat, ada yang merah, ada yang peluhnya bercucuran. Semua orang dicengkeram oleh harapan kemenangan dan dicekam rasa takut akan kekalahan. "Sobat-sobat, lihat baik-baik, mangkuk ini akan kubuka. Satu, dua…… tiga…….!" Semua mata memandang dan penglihatan Hay Hay yang paling tajam itu sudah melihat bahwa sebuah dadu menunjuk angka satu, akan tetapi dadu kedua menunjuk angka enam! Jadi yang keluar adalah tujuh! Dia kalah! Akan tetapi, dengan getaran kedua telapak tangannya, tiba-tiba saja, secepat kilat sehingga tidak tampak oleh mata biasa, dadu yang menunjuk angka enam itu bergulir dan kini menunjuk angka dua! "Satu dan dua……!" "Tiga…..! Kitaa menang!” "Kita menang! Hayo bayar taruhanku!" Suasana menjadi riuh rendah, akan tetapi Hay Hay hanya menatap dengan pandang mata tajam kepada wajah si jangkung. Muka yang hitam itu menjadi pucat, matanya terbelalak memandang kepada dua buah dadu itu, kemudian dia berteriak parau. . "Sobat-sobat, kalian keliru! Lihat yang betul, bukan angka tiga yang keluar!" Tiba-tiba, dengan menekan meja, dia menggetarkan sin-kang dan biji dadu yang tadinya menunjuk angka dua, kini kembali berguling ke angka enam! Akan tetapi, hanya sebentar karena sudah berguling ke angka dua! Semua penjudi memandang dengan bengong dan mata terbelalak heran. Kini scmua orang melihat betapa dadu yang satu ini dapat bergulir-gulir, suatu saat bergulir ke angka enam, lalu bergulir lagi ke angka dua! Terjadi "perang" antara dua kekuatan sin-kang yang digetarkan melalui telapak tangan si jangkung muka hitam itu dan Hay Hay. Akan tetapi, ketika untuk kesekian kalinya dadu itu bergulir ke angka enam dan Hay Hay menggulirkannya lagi ke angka dua, dia mengerahkan tenaga dan menahan sehingga betapapun si jangkung berusaha dengan sin-kangnya, tetap saja dia tidak mampu .menggulirkan dadu itu yang tetap menunjuk angka dua. Satu dan dua!   "Tigaaaa……….. !" Semua penjudi berseru setelah melihat betapa dadu itu kini tidak bergerak lagi dan keduanya tetap menunjuk angka satu dan dua! Kembali orang-orang bersorak, akan tetapi tiba-tiba si jangkung muka hitam bangkit berdiri dan berseru, "Tidak! Ada kesalahan di sini! Kalian tadi melihat betapa dadu yang satu itu bergulir-gulir. Ini tidak benar! Pengocokan dadu harus diulang dan sekarang semua orang harus menjauhi mejal" Tentu saja ucapan ini membuat para penjudi terkejut dan marah sekali. "Wah, itu tidak adil!" "Curang sekali!" "Kami sudah menang, bayar kemenangan kami!" Tiba-tiba dengan gerakan yang cekatan sekali, si jangkung muka hitam meloncat ke atas meja dan bertolak pinggang. Wajahnya keren dan bengis sekali, sementara itu, belasan tukang pukul sudah siap siaga di belakangnya sambil meraba gagang senjata. "Siapa bilang kami curang? Pernahkah rumah judi kami tidak membayar para pemenang? Kami hanya ingin mengulang pengocokan dadu karena tadi tidak wajar. Hayo, mundur! dan tidak boleh menyentuh meja! Kami sudah mengambil keputusan dan siapa akan menentang?" Para pengawal di belakang si muka hitam ini memandang beringas, siap menyerang siapa saja yang berani menentang keputusan itu. Para penjudi masih bersungut-sungut penasaran dan tidak puas, akan tetapi tidak ada yang berani rnenentang dan semua orang mundur menjauhi meja. Kini mereka semua memandang kepada Hay Hay karena pemuda inilah yang rnereka harapkan, dan pemuda itu, tanpa pemungutan suara lagi, telah mereka anggap sebagai pemimpin mereka! Hay Hay tersenyum dan diapun menurut saja ketika lengannya ditarik oleh Siok Bi menjauhi meja. Gadis itu masih tetap merangkul pinggangnya ketika Hay Hay berkata, "Saudara sekalian, biarlah kita terima saja keputusan itu! Biarpun diulang-kocok, kalau memang sudah nasib kita untuk menang, kita tetap akan menang!" Mendengar ucapan ini, semua orang menjadi lega kcmbali. Si muka hitam memandang penuh curiga. Tadi dia tahu bahwa ada orang yang main-main dan melawan sin-kangnya dan dalam pertarungan adu kekuatan itu dia telah kalah! Akan tetapi karena banyak sekali tangan berada di atas meja, tentu saja dia tidak tahu tangan siapa itu yang telah menyalurkan sin-kang. Agaknya tidak mungkin tangan pemuda aneh yang digandeng Siok Bi itu karena selain pemuda itu kelihatan biasa saja, juga Siok Bi selalu menggandeng dan merangkulnya sehingga tentu gadis itu yang juga merupakan pembantu dari pimpinan rumah judi dan memiliki kepandaian lumayan pula, akan mengetahuinya. Si jangkung muka hitan sudah meloncat turun kembali dan setelah mengamati dua buah dadu itu, diapun memutar atau mengocok sepasang dadu itu ke dalam mangkuk. Seperti tadi, dia menelungkupkan mangkuk di atas meja dan berteriak, "Apakah nomor pasangan tidak dirubah?” "Tidak, tetap nomor tiga!" kata Hay Hay. "Kami juga nomor tiga!" "Nomor tiga………!” Semua orang serempak berteriak, walaupun hati mereka khawatir sekali. Bagaimana mungkin dua kali berturut akan keluar nomor sial itu? "Jangan gelisah, saudara-saudara! Yang keluar pasti nomor tiga. Nomor tiga......!" seru Hay Hay dan seruan ini mengandung kekuatan sihir yang besar dan seketika semua orang di ruangan itu terpengaruh tanpa mereka sadari. "Satu...... dua...... tiga...... !!" teriak si jangkung muka hitam dan begitu membuka mangkuk, kembali dia terbelalak dan mukanya berubah pucat karena benar saja seperti dikatakan oleh pemuda itu, dadu-dadu itu menunjuk angka satu dan dua. "Tigaaa......! Nomor tiga, kita menang!" teriak orang-orang itu dengan gembira. "Nanti dulu, kalian salah lihat! Lihat baik-baik!" teriak si muka hitam dan kini dia menekan meja. Hanya kedua tangannya saja yang menekan meja, tidak ada tangap lain maka dia merasa yakin akan mampu menggulirkan dadu tanpa ada yang menghalanginya. Benar saja, begitu dia menggetarkan telapak tangannya, sebuah dadu yang nomor satu bergulir ke angka tiga. Akan tetapi, betapa heran, terkejut dan bingungnya ketika dadu itu bergulir, bukan angka tiga yang nampak, melainkan angka satu pula! Jadi tetap satu dan dua! Kembali dia mengerahkan sin-kang dan dadu itu bergulir-gulir, akan tetapi ke permukaan manapun dadu itu ber-gulir, tetap angka satu seolah-olah ke enam permukaannya semua berangka satu! Si muka hitam terheran dan meneliti dadu itu dari samping. Angka-angkanya masih tetap biasa, dari satu sampai enam! Akan tetapi mengapa kalau berguIir, yang nampak angka satu Iagi? Sementara itu, para penjudi bersorak-sorak gembira. Merekapun melihat dadu itu bergulir-gulir, namun tetap angka satu sehingga tetap saja angka itu menjadi satu dan dua. Kini si muka hitam terbelalak dan mukanya penuh dengan keringat. Celaka, pikiranya. Dia telah membikin bangkrut rumah judi dan tentu dia harus bertang-gung jawab terhadap pemimpinnya. Dia merasa ngeri dan tiba-tiba saja dia, seperti tadi telah meloncat ke atas meja dan tangannya sudah memegang sebatang pedang telanjang! "Tidak ada yang atau kalah!" bentaknya. "Ada orang membikin kacau di sini! Rumah judi ditutup dan kalian boleh membawa pulang uang masing-masing!" "Tapi kami menang! Harus dibayar dulu....!" "Dibayar dengan ini?" Si muka hitam mengacungkan pedangnya. "Kami tidak mau membayar karena permainan judi tadi tidak wajar dan ada kecurangan! Hayo kalian semua keluar, atau kami akan menggunakan kekerasan!" Ketika semua orang memandang, belasan orang tukang pukul itu kini sudah menghunus senjata tajam semua dan sikap mereka mengancam.   Tiba-tiba terdengar suara ketawa nyaring dan ketika semua orang memandang, ternyata yang tertawa itu adalah Hay Hay. "Ha-ha-ha-ha, maling teriak maling, orang curang teriak orang lain curang, betapa palsunya hidup kalian sebagai penyelenggara perjudian. Saudara sekalian, mundurlah, biar aku yang menghadapi manusia-manusia jahat ini!" Semua tamu mundur dan mepet pada dinding, dan Hay Hay dengan lembut mendorong Siok Bi untuk melepaskan gandengannya. Siok Bi bukanlah wanita sembarangan dan ia memiliki ilmu silat yang cukup hebat sehingga dipercaya sebagai kepala para pelayan wanita. Akan tetapi ketika ia didorong, ia merasa betapa ada kekuatan yang amat dahsyat sehingga betapapun ia sudah mempertahankan, tetap saja ia terdorong dan terhuyung sehingga terpaksa iapun mundur sampai ke dinding. Hay Hay menjulurkan tangannya dan menyambar mangkuk besar di atas meja dadu. "Saudara sekalian lihatlah betapa curang mereka ini!" Dia menelentangkan mangkuk itu dan nampaklah oleh semua orang betapa di sebelah atas mangkuk itu terpasang alat rahasia dan nampak ada sepasang dadu di sana, agaknya kalau sepasang dadu di atas meja itu hendak diganti sehingga nomornya keluar menurut kehendak bandar, maka alat di dalam mangkuk itu menukar dadu di atas meja dengan dadu yang berada di dalam mangkuk. Kalau alat rahasia ini gagal, masih ada kekuatan sin-kang bandarnya yang dapat membuat dadu bergulir. Namun, semua itu, alat dan kekuatan sin-kang si bandar, sekali ini tidak berhasil karena di halangi oleh Hay Hay yang menggunakan kekuatan sin-kang kemudian menggunakan sihir. Melihat ini, tentu saja para penjudi itu menjadi terkejut dan marah sekali. "Nah, lihat betapa bodohnya berjudi di rumah judi. Hampir semua rumah judi tentu mempergunakan tipu muslihat dan mana mungkin kalian menang? Biasanya yang sengaja diberi kemenangan untuk menarik para tamu adalah anak buah mereka sendiri. Hendaknya kenyataan ini membuka mata saudara sekalian sehingga tidak lagi mau menjadi korban perjudian, menghentikan kebiasaan berjudi yang buruk!" Mendengar ucapan Hay Hay itu, dipimpin oleh si muka hitam, belasan orang pengawal itu sudah mengepung Hay Hay. Bahkan dari dalam muncul pula bandar pendek gendut itu dan beberapa orang lain sehingga jumlah mereka kini ada dua puluh orang! Semua orang memegang senjata tajam dan sikap mereka amat bengis. Semua tamu memandang dengan hati tegang dan penuh kekhawatiran. Tiba-tiba nampak Siok Bi, wanita cantik yang tadi menemani Hay Hay, menyelinap masuk ke dalam lingkaran dan meloncat ke dekat Hay Hay. Wajahnya agak pucat dan matanya bersinar-sinar. "Tidak! Kalian tidak boleh menyakiti Hay-kongcu! Dia tidak bersalah, dan dia melakukan perjudian juga hanya iseng-iseng saja! Kongcu, kuharap engkau suka menyudahi urusan ini dan membawa pergi uangmu dari tempat ini. Tidak ada gunanya bagimu, tidak ada untungnya untuk memusuhi rumah perjudian ini, apa lagi mengingat bahwa kongcu bukanlah orang Shu-lu. Sekali lagi kuanjurkan agar kong-cu pergi dari sini dengan aman. Aku yang menanggung bahwa kongcu dapat pergi dengan aman dan tidak diganggu!" Aneh sekali. Dua puluh orang laki-laki bengis itu agaknya tidak ada yang berani menentang ucapan Siok Bi, hanya memandang kepada Hay Hay seolah hendak melihat bagaimana tanggapan Hay Hay terhadap nasihat Siok Bi itu. Hay Hay tersenyum dan menjulurkan tangannya, membelai daguyang halus itu. "Siok Bi, engkau manis sekali. Terima kasih atas usahamu mengamankan aku. Akan tetapi, tidak. Mereka itu curang dan mereka harus membayar kekalahan mereka kepada semua penjudi di sini!" "Ah, kau..... kau berani...... menentang mereka semua itu?" tanya Siok Bi, membelalakkan mata, tidak percaya. Ia dapat menduga bahwa pemuda yang amat menarik hatinya ini tentu memliki kepandaian. Akan tetapi betapapun lihainya, kalau harus melawan duapuluh orang bersenjata yang marah itu, apalagi ia tahu betapa lihainya si muka hitam dan si pendek gendut, tentu pemuda ini akan celaka. Hay Hay tertawa. "Kenapa tidak berani? Mereka itu hanya sekawanan tikus yang tidak tahu mana kawan mana lawan!" "Eh? Maksudmu, kongcu?" "Kaulihat sendiri nanti. Minggirlah, Siok Bi yang manis, dan terima kasih atas kebaikanmu." Mendengar percakapan itu, dua puluh orang yang mengepung Hay Hay menjadi marah. Mereka dianggap sebagai sekawanan tikus oleh pemuda itu! Begitu Siok Bi yang menggeleng kepala dengan penuh kekhawatiran itu minggir dan kembali ke dinding, si muka hitam lalu berteriak, "Hajar dan bunuh manusia sombong ini!" Dia sendiri sudah menyerang dengan pedangnya, mengirim tusukan ke arah dada Hay Hay. Pemuda ini dengan tenang saja miringkan tubuhnya dan pada saat itu, bandar ke dua yang bertubuh pendek gendut sudah menyerangnya pula dari belokang, membacokkan goloknya ke arah leher. Hay Hay juga mengelak dengan lompatan ke depan, kemudian dia membalik dan kedua tangannya menyambar dengan kecepatan kilat. Si jangkung muka hitam dan si gendut pendek yang merupakan dua orang paling lihai di antara dua puluh orang itu, tidak tahu apa yang terjadi atas diri mereka akan tetapi tiba-tiba saja kepala mereka seperti disambar petir dan merekapun terpelanting roboh. Kiranya petir itu adalah dua buah tangan Hay Hay yang menyambar cepat tadi dan menampar mereka. Ketika dua orang itu dapat bangkit kembali, Hay Hay sudah meloncat ke atas meja dadu yang lebar itu dan bertolak pinggang. Dia tersenyum dan sepasang matanya mengeluarkan sinar mehcorong! "Kalian ini sekumpulan tikus! Musuhmu berada di sekeliling, tidak saling serang mau tunggu apa lagi? Hayo kalian cepat serang musuh kalian di sekeliling kalian!" Dia menggerak-gerakkan kedua lengannya ke arah mereka dan terjadilah peristiwa yang amat luar biasa. Si jangkung muka hitam dan si gendut pendek kini sudah menggerakkan senjata masing-masing dan saling serang! Dan semua anak buah mereka juga saling serang sehingga terjadilah pertempuran yang kacau-balau, seperti segerombolan tikus yang tiba-tiba menjadi gila semua dan saling serang, tidak lagi mengenal mana kawan dan mana lawan!   Tentu saja para tamu memandang terbelalak penuh keheranan. Pemuda yang mereka anggap sebagai pemimpin itu enak-enak saja berdiri di atas meja judi, bertolak pinggang dan tersenyum-senyum, sedangkan dua puluh orang tukang pukul sudah saling serang tidak karuan. Karena mereka semua menggunakan senjata, maka sebentar saja sudah ada beberapa orang yang roboh mandi darah terkena bacokan. Siok Bi juga terbelalak penuh keheranan. Akan tetapi, melihat betapa sudah ada beberapa orang roboh mandi darah, ia lalu meloncat ke atas meja di mana Hay Hay berdiri. Semua orang terkejut dan kagum. Meja itu agak jauh dan ia harus melompat di antara orang-orang yang sedang berkelahi dengan senjata tajam, namun Siok Bi dapat meloncat ke atas meja dan tiba di depan Hay Hay tanpa mengguncangkan meja itu! Hay Hay yang sudah menduga bahwa Siok Bi memiliki kepandaian, tidak merasa heran dan menyambutnya dengan senyum. "Kau mau membantu mereka?" tanyanya. Siok Bi memegang lengan pemuda itu, "Tidak, kongcu, tidak sama sekali! Aku aku bahkan gembira bahwa engkau yang mampu mempernlainkan dan menghajar orang-orang kejam itu. Akan tetapi, hentikanlah. Aku tidak ingin melihat mereka tewas dan akupun mempunyai tanggung jawab di sini. Hentikanlah, kasihanilah aku karena aku tentu akan mendapat marah dari pimpinan kalau diam saja……” Hay Hay mengangguk, lalu menghadapi mereka yang sedang berkelahi, dan dia bertepuk tangan! Tepukan tangannya nyaring, disusul teriakannya yang berpengaruh. "Heiii, berhenti semua! Apakah kalian sudah gila, saling serang sendiri! Hayo berhenti berkelahi kataku!" Tiba-tiba saja perkelahian berhenti dan semua orang itu terheran-heran melihat betapa mereka tadi telah saling serang di antara kawan sendiri! Ada delapan orang yang terluka karena bacokan senjata kawan sendiri, bahkan si muka hitarn terpincang-pincang dengan paha luka, dan si gendut pendek juga meringis karena bahunya robek oleh sabetan pedang. Kini mereka semua memandang kepada Hay Hay yang berdiri di atas meja, sedangkan Siok Bi sudah cepat meloncat turun. "Nah, bagaimana sekarang? Apakah kalian masih hendak berkelahi dengan aku? Ataukah kalian mau memenuhi kewajiban kalian, membayar semua kemenangan kami?" Siok Bi menghampiri si muka hitam dan si gendut pendek, berbisik. "Sebaiknya kita penuhi permintaannya. Kalian bukanlah lawan dia, kalau dilanjutkan, kita semua akan celaka!" Agaknya kini semua anak buah rumah judi itu sudah merasa gentar dan dengan pimpinan si muka hitam, mereka lalu membayar semua kemenangan para penjudi yang menerima uang kemenangan mereka dengan muka gembira dan mereka segera meninggalkan tempat itu dan berjanji di dalam hati sendiri untuk tidak kembali lagi. Para anak buah rumah judi itu memandang dengan penuh rasa gentar ketika Hay Hay membungkud semua uang emasnya yang kini berjumlah enam puluh tail emas itu dengan kain yang lebar, kemudian memanggul emas itu seperti benda yang biasa saja di atas punduknya. Padahal, buntalan itu merupakan harta yang cukup besar. Siok Bi memandang dengan sinar mata penuh kagum. Belum pernah selamanya ia berjumpa dengan seorang pemuda seperti itu. Memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, bahkan sakti, tampan gagah dan pandai sekali mengeluarkan kata-kata indah yang menyenangkan hati, merayu tanpa bersikap kurang ajar! Siok Bi merasa betapa baru pertama kali ia benar-benar tertarik kepada seorang pria, bahkan diam-diam ia mengaku telah jatuh cinta! Sebelum meninggalkan tempat itu, Hay Hay menoleh kepada rnereka, dan memandang kepada Siok Bi sambil tersenyum. "Siok Bi, sekali lagi terima kasih kepadamu dan tolong beritahukan kepada semua orang bahwa aku sedang mencari seorang tokoh kang-ouw yang berjuluk Ang-hong-cu. Lihat, semua emas di pundakku ini akan kuberikan kepada siapa saja yang mampu menunjukkan di mana adanya Ang-hong-cu itu. Nah, kutunggu beritamu sampai besok siang di kamarku. Aku menginap di rumah penginapan Hok-lai-koan." Setelah berkata demikian, dia segera melangkah pergi. Setelah dia pergi, barulah para anak buah rumah judi itu menjadi gernpar. Mereka mengobati teman-teman yang terluka dan mereka semua bingung bagaimana harus menghadapi pemimpin mereka yang tentu akan menjadi marah sekali. "Nona Siok Bi, sebaiknya engkaulah yang menyampaikan berita ini kepada Coa Wan-gwe!" kata si muka hitam dengan muka membayangkan perasaan takut. "Tenanglah, aku melihat sendiri bahwa kalian tidak mampu berbuat apa-apa, tidak berdaya menghadapi Hay Kongcu yang sakti itu. Akan kuceritakan kepadanya, akan tetapi tidak sekarang. Sekarang ini dia tidak boleh diganggu, karena dia sedang beristirahat, kabarnya malah hendak bermalam di luar rumah. Biar kuselidiki………. eh, kalian mendengar sendiri tadi. Pemuda itu mencari Ang-hong-cu. Adakah di antara kalian yang mengenal tokoh kang-ouw yang berjuluk Ang-hong-cu itu?" Semua orang mengerutkan alis, mengingat-ingat. Kemudian, si jangkung muka hitam berkata, "Nama itu sudah lama kudengar, akan tetapi belum pernah aku melihat orangnya. Bahkan sepanjang yang kudengar, tidak ada orang kang-ouw pernah melihatnya. Juga namanya sudah lama tidak lagi terdengar di dunia kang-ouw, melainkan puluhan tahun yang lalu. Tapi, nona, siapakah sebetulnya pemuda itu? Kepandaiannya demikian hebat…… dan…….. hiihhh, bagaimana tadi kami dapat saling serang sendiri? Ilmu apakah yang dia gunakan itu?" Si muka hitam itu bergidik, juga teman-temannya semua merasa jerih dan takut. Siok Bi menggeleng kepala. "Jelas bahwa ilmu silatnya tinggi, akan tetapi aku sendiri tidak mengerti mengapa tadi kalian menurut saja ketika dia menyuruh kalian saling serang sendiri." "Tentu dia mempergunakan ilmu sihir!" kata si pendek gendut. "Aih, kalau disuruh melawan orang yang pandai sihir, lebih baik aku angkat tangan saja !" Tiada hentinya para anak buah itu membicarakan pemuda yang telah mendatangkan kekacauan dan yang membuat mereka terpaksa menutup rumah judi karena bangkrut! Akan tetapi, hati mereka agak lega setelah Siok Bi, gadis kepala pelayan yang menjadi orangkepercayaan majikan atau pemimpin mereka, menyang gupi untuk melaporkan peristiwa itu kepada majikan mereka. ** *   Biarpun peristiwa di po-koan (rumah judi) itu segera diketahui oleh seluruh penduduk kota Shu-lu karena para penjudi itu ramai membicarakannya, namun tidak ada yang tahu bahwa pendekar muda yang memiliki kesaktian i tu tinggal di rumah penginapan Hok-lai-koan. Hay Hay hanya memberi tahu kepada Siok Bi dan para tukang pukul yang kini sudah kehilangan lagak, bahkan tidakberani keluar dari rumah itu, takut kalau dijadikan buah tertawaan orang-orang. Dengan seenaknya, Hay Hay kembali ke rumah penginapan membawa buntalan emas yang banyak itu. Malam hari itu, kurang lebih jam delapan malam, seorang gadis cantik memasuki rumah penginapan itu. Para petugas yang berjaga di rumah penginapan itu, agaknya mengenal baik gadis ini dan tidak ada yang berani bersikap kurang ajar, bahkan mereka menyambutnya dengan sikap hormat dan bertanya apa keperluan gadis itu malam-malam berkunjung ke hotel Hok-lai-koan. Semua petugas di situ mengenal gadis ini sebagai orang kepercayaan Coa Wan-gwe, bahkan tahu bahwa gadis ini pandai ilmu silat! "Apakah nona datang ada hubungannya dengan pesanan kamar Coa Wan-gwe? Beliau belum datang…….. " "Tidak, aku hendak berkunjung kepada seorang tamu. Sudahlah, kalian tidak perlu tahu urusanku!" katanya dan iapun terus masuk ke dalam. Para petugas itu tidak berani mengikutinya dan Siok Bi, gadis itu, terus menuju ke ruangan belakang. Orang-orangnya sudah melakukan penyelidikan dania tahu di mana kamar yang disewa Hay Hay, yaitu kamar nomor tujuh di belakang. Siok Bi membawa sebuah buntalan yang sejak tadi dipegangnya dengan tangan kiri dan kini ia mengetuk daun pintu kamar nomor tujuh. "Tuk-tuk-tuk!" Sunyi sejenak, lalu terdengar suara Hay Hay dari dalam. “Ya, siapa di luar?" Mendengar suara yang ramah gembira ini, Siok Bi tersenyum girang. Ia rnenyentuh rambutnya dengan tangan kanan, untuk melihat apakah letak rambutnya beres, mengebutkan ujung bajunya, lalu menjawab, suaranya merdu. "Hay Kongcu, aku Siok Bi yang datang berkunjung." Daun pintu terbuka dan Hay Hay berdiri di ambang pintu, memandang gadis itu dengan senyum dan pandang mata kagum. " Aih, engkau semakin tambah manis dan jelita saja, Siok Bi!” Wajah yang lembut itu menjadi kemerahan dan iapun melangkah masuk kamar tanpa rikuh lagi. "Hemm, engkau murah sekali dengan pujianmu, kongcu. Wanita bisa mabok oleh rayuanmu!" Hay Hay juga masuk kamar tanpa menutup daun pintu. Hal ini nampak benar oleh Siok Bi dan kembali ia semakin kagum. Pemuda ini benar-benar berbeda dengan para pria lain yang tentu akan cepat-cepat menutupkan daun pintu seperti seekor harimau yang melihat seekor kambing memasuki kandangnya! "Siapa memuji dan merayu? Aku bicara sebenarnya saja, Siok Bi. Kalau engkau tidak percaya bahwa engkau jelita dan manis, coba kau bercermin!" Siok Bi tersenyum manis. "Tidak usah kausuruh, sebagai seorang wanita normal, setiap hari aku sudah bercermin, kongcu, sedikitnya dua tiga kali atau lebih akan tetapi tak pernah aku melihat diriku seperti yang kaupuji-puji. Sungguh engkau baik sekali, kongcu, dan selama hidupku belum pernah aku bertemu seorang pemuda sehebat kongcu…… " "Wah-wah, siapa kini yang memuji-muji? Siok Bi, sebenarnya apa maksud kunjunganmu ini? Apakah ada hubungannya dengan berita tentang Ang-hong-cu?" Siok Bi menoleh ke arah pintu. "Kongcu, tidakkah sebaiknya kalau daun pintu kamar itu ditutup dulu?" "Eh? Engkau tidak khawatir, Siok Bi?” "Apa yang harus kukhawatirkan?" "Kalau-kalau aku melakukan hal-hal yang tidak baik, atau kalau sampai ada orang lain melihat engkau berada di sini dan…….." "Aku tidak perduli dengan pendapat orang lain, kongcu. Dan tentang kemungkinan engkau melakukan hal-hal yang kau maksudkan itu, aku…… aku akan merasa berbahagia sekali kalau kau sudi……. " Mendengar ini, jantung di dalam dada Hay Hay berdebar keras. Dia tersenyum dan menutupkan daun pintu, akan tetapi berkali-kali mengingatkan diri sendiri bahwa dia tidak boleh jatuh dalam rayuan gadis ini, seorang gadis pelayan rumah judi yang agaknya memiliki kedudukan cukup terpandang di perkumpulan itu.Tentu bukan seorang perawan yang masih hijau, pikirnya, walaupun mungkin juga bukan seorang wanita penghibur atau wanita pelacur, melihat sikapnya yang lembut walaupun cukup berani. Akan tetapi baru saja dia mau menutup daun pintu dan membalik, tiba-tibasaja dua buah lengan yang lembut itu telah merangkulnya dan gadis itu telah menciumnya dengan penuh rasa kagum dan mesra sampai Hay Hay gelagapan. Akan tetapi, kemesraan itupun membakar hatinya dan diapun membalas dengan penuh perasaan. Ketika api gairah itu terasa membakar, Hay Hay cepat melepaskan rangkulannya. "Cukup, Siok Bi. Duduklah dan cetitakan apa maksudmu berkunjung ini!" Kalau tadi Siok Bi hampir terlena dalam rangkulan itu, tenggelam ke dalam kemesraan karena baru sekali inilah ia berangkulan dan berciuman dengan seorang laki-laki dengan suka rela, dengan sepenuh perasaan cinta dari hatinya, kini iapun sadar dan terkejut mendengar suara yang penuh wibawa itu. Dengan kedua kaki agak gemetar dan tubuh masih panas dingin, Siok Bi menjatuhkan dirinya di atas pembaringan, napasnya agak terengah. "Aih, Hay Kongcu……. Belum……. belum pernah selama hidupku aku bertemu dengan seorang pria seperti kongcu yang sungguh seorang jantan sejati! Kedatanganku ini membawa banyak urusan, kongcu. Pertama, aku hendak mengembalikan ini.” Ia membuka buntalan dan ternyata itu adalah caping mi1ik Hay Hay yang tadi tertinggal di rumah judi. Hay Hay menerima caping itu sambil tertawa. "Ha-ha, terima kasih. Ini sahabatku yang setia dalam perjalanan selama ini.” Dia menerima caping dan menyimpannya di atas meja. “Urusan ke dua, kongcu, adalah mengenai pesanmu agar aku menyelidiki tentang Ang-hong-cu itu. Sudah kutanyakan kepada semua orang. Memang ada juga yang pernah mendengar akan nama Ang-hong-cu, akan tetapi tokoh itu terkenal beberapa puluh tahun yang lalu, setidaknya belasan tahun yang lalu dan selama ini tidak lagi terdengar namanya. Bahkan belum pernah ada orang yang melihat wajahnya. Akan tetapi, dari seorang pembantu yang baru saja pulang dari kota raja, aku mendengar bahwa di kota raja ada seorang yang membual bahwa dia adalah seorang keturunan Ang-hong-cu." "Ahhh……! Sapakah orang itu? Siapa namanya dan di mana tinggalnya?" "Akupun sudah bertanya akan hal itu. Kebetulan sekali pembantu baru itu mengetahuinya. Namanya dia tidak tahu, hanya mengenalnya sebagai Tang-ciangkun (perwira Tang), seorang perwira yang bekerja di pasukan pengawal istana " "She Tang ?" Hay Hay bertanya dan jantungnya berdebar kencang. "Benar, kongcu. Akan tetapi orang itu hanya mendengar bahwa Tang-ciangkun suka membual di luaran bahwa dia adalah keturunan Ang-hong-cut itu saja. Benar atau tidak, tak ada yang mengetahuinya." "Bagus, itu sudah cukup, Siok Bi. Besok aku akan segera pergi ke kota raja dan menyelidiki orang she Tang yang menjadi perwira pasukan pengawal di istana itu. Beritamu ini sungguh cukup penting dan amat berharga bagiku. Dan masihkah ada urusan lain lagi?" "Ada, kongcu. Mengenai dirimu…….. " dan tiba-tiba saja Siok Bi menangis. Hay Hay memandang tajam dan dia mendapat kenyataan bahwa tangis ini bukan dibuat-buat, bukan sandiwara, melainkan tangis karena duka. "Siok Bi, tenanglah. Apakah yang kau susahkan? Sejak pertemuan pertama, aku sudah diam-diam merasa heran mengapa seorang gadis seperti engkau sampai terperosok menjadi seorang pelayan rumah judi……" Mendengar ucapan itu, Siok Bi menangis semakin sedih, bahkan menjatuhkan diri menelungkup di atas pembaringan dan terisak-isak. Hay Hay merasa kasihan sekali. Dia duduk di tepi pembaringan dan menekan pundak gadis itu, mengelus rambutnya. "Tenangkan hatimu dan bicaralah, aku akan menolongmu sedapatku kalau memang engkau membutuhkan pertolongan." Gadis itu bangkit dan dengan muka basah air mata ia memandang kepada Hay Hay. "Be……. benarkah, kongcu……? Benarkah engkau sudi menolongku….... ? Sudi mengangkat aku dari lumpur kehinaan ini……?” Hay Hay tersenyum dan menggunakan jari-jari tangannya mengusap air mata dari pipi yang kini ditinggalkan bedak akan tetapi ternyata kulitnya memang putih mulus dan halus itu. Dia mengangguk. "Tentu saja, Siok Bi." "Ah, kongcu……. !" Siok Bi menubruk, merangkul dan menangis di dada Hay Hay. Jantung di dalam dada itu kembali berdebar keras, tangannya balas mendekap akan tetapi Hay Hay dapat bertahan untuk tidak tergelincir ke dalam jurang birahi. "Tenanglah, nah, duduklah yang baik dan berceritalah." katanya dan diapun bangkit berdiri, lalu pindah duduk di atas kursi, baju di bagian dadanya basah oleh air mata ketika gadis itu tadi menangis di dadanya. Siok Bi menyusuti air matanya dengan sehelai saputangan yang sudah menjadi basah. Ia menenangkan dirinya, dengan memejamkan mata dan Hay Hay kembali mendapat kenyataan bahwa gadis ini memang pernah mempelajari ilmu silat, bahkan cara untuk bersamadhi dan memperkuat batin. Dia hanya memandang sambil tersenyum. Tak lama kemudian Siok Bi membuka matanya dan kini pandang matanya terang, tidak layu seperti tadi. Ia menarik napas panjang, "Maafkan kelakuanku tadi, kongcu. Bagi kongcu, tentu sikapku tadi bukan sikap seorang gadis yang sopan dan bersusila. Memang aku telah menjadi seorang gadis yang tak tahu tnalu, kongcu, terseret oleh keadaan diriku," Siok Bi lalu menceritakan riwayatnya dengan singkat. Ketika ia berusia tiga belas tahun, ayahnya yang sudah menduda gila judi dan habis-habisan sehingga akhirnya dia dijual oleh ayahnya kepada Hartawan Coa yang merupakan orang terkaya di Shu-lu, juga menjadi kepala dari golongan hitarn di daerah itu. Ternyata Hartawan Coa suka kepadanya, karena Siok Bi selain cantik juga amat cerdas. Gadis remaja ini diperlakukan dengan baik, bahkan dilatih segala macam kepandaian, termasuk ilmu silat tinggi. Ketika ia sudah dewasa, ia terpaksa melayani Hartawan Coa yang mengambilnya sebagai seorang di antara selirnya yang amat banyak. Mulai saat itu, Siok Bi selain menjadi selir, juga menjadi orang kepercayaan, dan menjadi kepala para pelayan yang berada di rumah judi itu. "Nah, demikianlah riwayatku, kongcu. Aku hidup bergelimang kehinaan, dan hatiku selalu merana semenjak aku dijual oleh ayah kepada Coa Wan-gwe. Dan ayahpun menderita, menyesal dan dia meninggal dunia karena penyesalannya ketika aku dipaksa menjadi selir Coa Wan-gwe.” Hay Hay mengangguk-angguk. Betapa banyaknya nasib gadis-gadis keluarga miskin, terutama yang berwajah cantik manis seperti Siok Bi ini. Banyak penggoda datang, berupa hartawan-hartawan yang haus akan bunga cantik yang baru mekar, menggunakan uang mereka untuk membeli gadis-gadis itu. Masih baik nasib gadis cantik miskin yang mempunyai orang tua yang mempunyai harga diri, akan tetapi kalau orang tuanya mata duitan, sungguh celaka. Gadis itu akan menjadi semacam barang dagangan, dijual kepada hartawan untuk menjadi alat memuaskan nafsunya. Terlalu banyak keluarga yang tidak menghargai anak perempuan, dianggapnya anak perempuan hanya menjadi beban orang tua saja. Pikiran yang sungguh jahat! "Lalu apa yang dapat kulakukan untukmu, Siok Bi? Biarpun aku merasa kasihan mendengar nasibmu, akan tetapi apa yang dapat kulakukan?" , "Tolonglah aku, kongcu. Tolonglah aku agar aku dapat bebas dari cengkeraman Coa Wan-gwe…… " Gadis itu memohon. "Hemm, kalau engkau memang tidak suka lagi menjadi selir dan pembantu hartawan Coa itu, kenapai engkau tidak melarikan diri saja? Engkau bukan seorang wanita lemah, Siok Bi dan kulihat engkau mendapat kebebasan bergerak. Dengan mudah sekali engkau akan dapat melarikan diri meninggalkan kota Shu-lu ini ke tempat jauh!" Gadis itu menggeleng kepala. "Tidak mungkin, kongcu. Ah, engkau tidak tahu akan kekuasaannya. Dia memiliki banyak tukang pukul dan aku tentu dapat ditangkapnya dengan cepat dan menerima hukuman yang amat kejam. Tidak, kongcu. Melarikan diri bukanlah jalan yang baik." "Kalau begitu, katakan saja terus terus terang bahwa engkau ingin bebas dan hidup sendiri." Gais ini menundukkan mukanya dan menarik napas panjang. "Pernah kukatakan hal itu kepadanya dan apa akibatnya? Aku dihukum cambuk sepuluh kali dan dia mengatakan bahwa aku telah menjadi miliknya karena sudah dibeli dari mendiang ayahku. Kalau aku ingin bebas, aku harus menebus diriku yang katanya kini harganya sudah menjadi lima puluh tail emas!" "Wah, kenapa demikian banyak? Apakah dulu ayahmu menjualmu dengan harga seperti itu?" Siok Bi menggeleng. "Hanya beberapa tail emas, akan tetapi dia memperhitungkan bunganya yang tinggi selama lima tahun ini…….” Hay Hay mengerutkan alisnya dan melirik ke arah buntalan uang emasnya. Lebih dari cukup untuk menebus diri Siok Bi! “Siok Bi, kalau engkau sudah berhasil bebas dari Hartawan Coa, lalu ke mana engkau hendak pergi? Bukankah ayahmu telah meninggal dunia? Apakah engkau mempunyai keluarga lain?" Siok Bi kembali menggeleng kepalanya. "Hanya seorang paman di kota raja, akan tetapi dia tentu tidak sudi menerima aku yang sudah bergelimang lumpur. Akan tetapi……. ada seorang pemuda…..” gadis itu berhenti dan matanya memandang kepada Hay Hay dengan penuh duka. Hay Hay tersenyum. "Aha! Kiranya engkau sudah mempunyai pillhan seorang kekasih? Bagus seka1i kalau begitu!" Siok Bi nampak tersipu. "Bukan begitu, kongcu. Sesungguhnya, ada seorang pemuda yang dahulu suka berjudi. Dia sebetulnya seorang pemuda yang baik dan dia……. dia amat mencintaku. Ketika aku memberi nasihat agar dia berhenti berjudi, diapun menurut, berhenti tak pernah berjudi lagi dan kini dia bekerja, dagang kecil-kecilan. Dia amat mencintaku dan dia tentu akan menerimaku sebagai calon isterinya dengan hati bahagia……" "Dan engkau tentu juga mencintanya, bukal?" . "Sayang…….. sayang dia bukan engkau, kongcu…….! Ah, kenapa aku harus mengharapkan yang bukan-bukan? Aku kasihan dan suka padanya, akan tetapi terus terang saja, tidak mencintanya. Bagaimanapun juga, hidupku akan lebih terhormat dan terjamin kalau dapat menjadi isterinya." Mendengar pengakuan yang jujur itu, Hay Hay merasa terharu. Gadis ini jatuh cinta padanya! Gadis ini tersesat ke jalan hitam bukan atsa kehendaknya, melainkan terpaksa, dan ia berusaha untuk kembali ke jalan yang bersih. Agaknya, hanya dialah yang mampu menolongnya, menebusnya. “Baiklah, Siok Bi. Kemenangkanku di meja judi itu cukup untuk menebus dirimu. Aku akan menemui Coa Wan-gwe dan aku akan menebus dirimu dengan lima puluh tail emas!" "Hay Kongcu…….. !” Siok Bi menjerit kecil dan menubruk pemuda itu dengan hati penuh kebahagiaan sehingga keduanya berguling ke atas pembaringan. Siok Bi merangkul dan mencium, penuh perasaan terima kasih dan penuh kepasrahan diri. "Kongcu…….” bisiknya di antara ciumannya, "sampai mati aku tidak akan mampu membalas budimu….. maka ...hanya tubuhku inilah yang kumiliki, kuserahkan padamu untuk membalas budi dengan segala keiklasan….. ! Hay Kongcu……… aku kagum padamu, aku cinta padamu……. "Gadis itu merintih ketika Hay Hay dengan halus mendorongnya lalu pemuda itu bangkit duduk. Tadinya diapun terseret gelombang nafsu dan membalas ciuman dan belaian gadis itu, namun kesadarannya membuat dia melihat betapa buruknya kalau dia lanjutkan. Seolah-olah dia menolong dengan pamrih imbalan yang demikian rendah! Dia bukan hendak membeli tubuh Siok Bi, melainkan kebebasannya! "Siok Bi, sadarlah! Aku kagum dan suka pula padamu, akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa aku lalu ingin memperoleh imbalan darimu. Ingat, engkau sudah bersiap-siap menempuh jalan bersih bersama pemuda yang mencintamu. Maka, sejak saat ini, engkau harus menahan semua perasaanmu dan harus pula menjadi seorang calon isteri yang setia! Kalau begitu, baru engkau dapat mengharapkan akan membentuk rumah tangga bahagia dengan pemuda itu."   Wajah gadis itu menjadi merah dan ia segera meloncat turun dari atas pembaringan, membereskan pakaiannya, kemudian menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Hay Hay. "Kongcu, aku menghaturkan banyak terima kasih dan juga mohon maaf atas kelancanganku tadi." Gadis itu semakin kagum, akan tetapi juga jerih karena kini ia merasa bahwa pemuda ini bukanlah manusia biasa! Tidak mungkin ada pria, apa lagi masih muda, yang mampu bertahan seperti itu, padahal keduanya sudah saling peluk dan saling berciuman di atas pembaringan dalam sebuah kamar! Padahal ia sudah siap menyerahkan diri dengan suka rela! Dan pemuda itu demikian pandai merayu, demikian pandai bercumbuan! Selama hidupnya, belum pernah Siok Bi mengalami hal seperti itu. Hay Hay menyentuh kedua pundaknya dan menariknya berdiri, Hay Hay memandang wajah yang manis itu, tersenyum, kemudian memberi ciuman mesra pada dahi yang halus itu. "Siok Bi, tidak perlu berterima kasih dan tidak perlu minta maaf. Uang itu hanyalah uang rumah judi, bukan uangku. Dan tentang maaf, terus terang saja, akupun amat suka kepadamu, dan alangkah akan mudahnya dan senangnya kalau aku menuruti bisikan nafsu. Akan tetapi, orang harus lebih dahulu sadar, waspada dan memperhitungkan segala perbuatan, bukan membuta karena nafsu. Kalau kita menuruti nafsu sekarang, nanti kita berdua akan merasa menyesal sekali. Terutama engkau, Siok Bi. Di sudut hatimu tentu akan timbul penyesalan karena engkau telah berkhianat terhadap cinta pemuda itu. Nah, katakan ke mana aku harus menyerahkan uang itu kepada Hartawan Coa. Aku ingin urusan selesai sekarang juga."' "Ah, jangan sekarang, kongcu. Besok pagi saja, karena malam ini Hartawan Coa tidak berada di rumah. Dia bermalam di rumah penginapan ini!" "Ehhh? Di sini? Kenapa……. ?" Hay Hay bertanya heran. Gadis itu mengerutkan alisnya. "Aku sendiri tidak tahu. Akan tetapi dia sudah seringkali begitu, bermalam di mana saja dan itu tandanya bahwa dia memperoleh seorang korban baru, seorang gadis yang baru saja di dapatnya!” Tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar dan terdengar suara seorang laki-laki, suara yang parau dan dalam, “Di mana kamar untukku? Harus yang paling baik!” “Tentu saja, tentu saja…… tai-ya. Di sana, di kamar paling kiri, sudah kami persiapkan……” Siok Bi menaruh telunjuk ke depan mulutnya. "Sttt, itu dia…….!" bisiknya. Hay Hay lalu membuka daun pintu dan keluar dengan tenang. Dia sempat me1ihat seorang laki-lakl tinggi besar bermuka hitam bopeng! Dia terbelalak. Kiranya pemilik rumah judi, pemimpin dan kepala dari para bandar curang itu, bukan lain adalah hartawan yang sudah ada janji rahasia dengan isteri Gui Lok, pemilik rumah penginapan dan rumah makan Hok-lai-koanl Dia me1ihat pria tinggi besar itu memasuki kamar terbesar di sebelah kiri, dan dua orang tukang pukul atau jagoan yang bertubuh kokoh kekar berjaga di luar kamar itu! Isteri Gui Lok itu, yang bernama Kim Hwa, si cantik genit, berjanji akan mengantarkan puteri tirinya setelah lewat jam duabelas malam ke kamar itu! Mempergunakan obat bius pula! Dia harus mencegah terjadinya peristiwa terkutuk itu. Kasihan Ai Ling, gadis pendiam yang bagaikan bunga baru mekar itu harus dipetik secara paksa, direnggut oleh Hartawan Coa yang rakus ini! Diapun cepat masuk lagi ke dalam kamarnya. "Kiranya si tinggi besar muka bopeng itukah Hartawan Coa?" katanya kepada Siok Bi. Pantas saja gadis jelita ini merasa menderita. Wanita muda mana yang suka menjadi selir seorang laki-laki seperti itu yang kelihatannya kasar dan bengis? Siok Bi mengangguk. "Siok Bi, engkau pulanglah. Besok akan kubereskan persoalanmu. Aku akan menemui dia di rumahnya dan menebus dirimu, kemudian kuantar engkau ke rumah calon suamimu." Siok Bi merasa gembira sekali. "Terima kasih , Hay Kongcu, terima kasih……..!” Ia menghampiri dan merangkul lagi, akan tetapi tiba-tiba dia menahan diri dan menatap wajah pemuda itu. Dua pasang mata saling bertaut. "Bolehkah aku……. , kongcu…….. ?" Hay Hay tersenyum, mengangguk dan menerima ciuman hangat gadis itu, sebuah ciuman yang tidak lagi dicekam nafsu birahi, melainkan ciuman yang mengandung rasa haru, sukur dan terima kasih yang amat besar. Kemudian gadis itu melepaskan rangkulannya disertai isak tertahan, lalu keluar dari dalam kamar itu. Akan tetapi Hay Hay menangkap lengannya. “Jangan, jangan lewat situ, lebih baik jangan terlihat bahwa engkau berada di sini." katanya dan dia membuka jendela, lalu membantu Siok Bi meninggalkan kamarnya lewat jendela yang menembus ke dalam kebun yang gelap. Setelah Siok Bi, Hay Hay menutup daun jendela dari luar karena dlapun meninggalkan kamarnya untuk melakukan pengintaian dalam usahanya menyelamatkan Al Ling dari ancaman bahaya yang lebih mengerikan dari pada maut! Dl dalam sebuah kamar di rumah yang letaknya tepat di belakang rumah penginapan, bahkan bergandeng dengan penginapan itu. Hay Hay menemukan orang yang dicarinya, yaitu Ai Ling. Kamar gadis itu cukup rapi dan bersih dan ketika Hay Hay tiba di luar kamar, ternyata Kim Hwa, ibu tiri gadis itu telah berada di dalam kamar! Kalau Ai Ling berpakaian sederhana saja, pakaian tidur yang longgar, sebaliknya Kim Hwa mengenakan pakaian yang indah seolah-olah ia hendak bepergian. Mukanya juga dirias dengan pesolek sekali. Hay Hay teringat akan janji wanita genit itu untuk berkunjung ke kamarnya lewat tengah malam, dan mukanya menjadi merah. Agaknya wanita genit itu memang bersolek untuk berkunjung ke kamarnya dengan maksud yang tidak sukar untuk ditebak. Sungguh kasihan sekali ayah kandung Ai Ling mengawini seorang wanita seperti Kim Hwa. Bukan saja selalu siap untuk melakukan penyelewengan dan berjina dengan laki-Iaki lain, akan tetapi bahkan tidak ragu-ragu untuk menjebloskan puteri tirinya ke dalam lembah kehinaan, menjadikannya korban dan mangsa srigala berwajah manusia seperti Hartawan Coa!   "Ai Ling, kenapa engkau tidak mau makan? Makanlah, agar jangan masuk angin. Engkau tahu, kita mempunyai banyak pekerjaan dan kalau engkau jatuh sakit, kami akan sibuk bukan main." "Aku tidak nafsu makan dan kepalaku agak pening," Ai Ling mengeluh, "biaraku akan tidur saja, tentu besok juga sudah sembuh." "Mana bisa tidur dengan perut kosong? Kalau begitu, biar kau minum saja obat masuk angin. Manjur sekali obatku, pemberian Sinshe Tung. Biar kuambilkan sebentar"' Kim Hwa lalu keluar dari dalam kamar itu dengan menyeret sandalnya. Ai Ling menarik napas panjang dan duduk di tepi pembaringan. Tiba-tiba muncul seorang pemuda di dalam kamar itu. Ai Ling yang sedang melamun, terkejut bukan main ketika melihat bahwa yang muncul seperti setan itu adalah pemuda yang tadi pagi sarapan di rumah makan dan dilayaninya, pemuda tampan yang amat ramah dan menyenangkan hatinya. Saking kagetnya, hampir ia menjerit, akan tetapi Hay Hay cepat menaruh telunjuknya di depan mulut. "Sssttt, tenanglah nona dan jangan berisik. Aku datang untuk membebaskanmu dari ancaman bahaya!" "Apa….. apa maksudmu, kongcu ...? Aku tidak mengerti….. " Gadis itu masih takut-takut dan bingung. "Sstt, dengarlah baik-baik. Ibu tirimu bermaksud mengorbankan engkau kepada Hartawan Coa, dan obat yang ia berikan itu adalah obat bius. Karena itu, ingat baik-baik, kalau ia datang memberikan obat, katakan saja bahwa engkau tidak suka dan agar ia sendiri yang minum obat itu. Mengerti?" Gadis itu mengangguk dan masih bingung. " Akan tetapi…… " "Ikuti saja petunjukku kalau engkau mau selamat." bisik Hay Hay dan pada saat itu terdengar bunyi sandal diseret. Sekali berkelebat, tubuh Hay Hay sudah lenyap karena dengan cepat dia sudah, menyelinap ke balik pembaringan itu, tertutup kelambu dan lemari pakaian. Daun pintu kamar terbuka dari luar dan masuklah Kim Hwa dengan langkahnya yang gemulai. Ia membawa sebuah cawan terisi cairan merah yang berbau harum. "Nah, ini obat masuk angin. Minumlah, Ai Ling sayang, agar tubuhmu terasa segar dan besok kau dapat bekerja dengan rajin. Minumlahl.” Ia menyerahkan cawan itu dan Ai Ling memandang cawan itu dengan alis berkerut. Ia masih merasa heran akan kemunculan Hay Hay dan semua ucapan pemuda itu. Akan tetapi, apa yang ia dengar dari pemuda itu bukan hal yang tidak boleh jadi! Ia tahu bahwa diam-diam ibu tirinya ini tidak suka kepadanya, apalagi ketika pada suatu hari ia pernah menegur ibu tirinya yang suka bercanda secara keterlaluan dan berlebihan dengan pegawai-pegawai pria. Ia bahkan berani menduga bahwa ibu tirinya itu tentu mempunyai hubungan gelap dengan beberapa orang pegawai. Maka, tidak akan mengherankan kalau ibu tirinya mempunyai tipu muslihat busuk dan menjerumuskannya ke pelukan Hartawan Coa. Ia bergidik dan melihat betapa cawan itu seperti mengandung racun! "Tidak, aku tidak mau minum. Aku mau tidur saja, harap kau suka minum saja sendiri obat itu!" katanya, teringat akan pesan Hay Hay. Kim Hwa terbelalak. Sungguh ia merasa aneh sekali mengapa ucapan puterinya itu mempunyai kekuatan mendorongnya sehingga timbul suatu keinginan aneh dalam dirinya, yaitu untuk minum "obat" dalam cawan itu! Tentu saja cawan itu berisi obat pemberian Hartawan Coa yang ia campur dengan anggur merah. "Apa? Kuminum sendiri………..?" ia berkata penuh keraguan, setengah berbisik. Melihat sikap ibu tirinya ini, Ai Ling juga merasa heran dan teringat akan pesan pemuda aneh ltu, iapun menjawab. "Benar, lebih baik kaumlnum sendiri obat itu!" Dan kini terjadi keanehan dalam sikap Kim Hwa. "Baik, kuminum saja sendiri, kuminum sendiri…….. " dan sepertl dalam mimpi, iapun lalu minum obat dalam cawan itu sampal habis! Setelah minum obat itu, Kim Hwa melepaskan cawan kosong yang jatuh berkerontang di atas lantai, ia berdiri dengan tubuh bergoyang-goyang dan kedua matanya dipejamkan. Ai Ling memandang khawatir. Obat itu adalah obat yang mengandung bius, membuat orang kehilangan kemauan, juga mengandung obat perangsang sehingga orang yang minum obat ini dalam keadaan tidak sadar akan menjadi hamba nafsu birahinya sendiri. Kim Hwa mengeluh, lalu tanpa pamit ia keluar dari kamar itu, diikuti pandang mata Ai Ling yang masih bingung dan khawatir. Hay Hay muncul lagi, dipandang oleh Ai Ling yang masih menaruh curiga kepadanya. Akan tetapi pemuda itu tidak rnelakukan sesuatu yang tidak pantas, bahkan Hay Hay cepat berkata kepadanya, “Ai Ling, cepat kauberitahukan kepada ayahmu bahwa ibu tirimu mengadakan pertemuan dengan Hartawan Coa di dalam kamar terbesar di rumah penginapan Hok-lai-koan. Suruh ayahmu pergi sendiri menangkap basah isterinya yang menyeleweng itu dan jangan takut! Aku akan melindunginya. Kim Hwa itu harus dihukum, Ai Ling, demi keselamatan ayahmu dan engkau sendiri. Cepat!" Dan kembali Hay Hay berkelebat lenyap dari dalam kamar. Sejenak Ai Ling bengong dan bulu tengkuknya meremang. Apakah pemuda itu bukan manusia melainkan setan yang pandai menghilang? Ataukah dewa yang hendak menolong ia dan ayahnya? Ia tidak merasa heran mendengar betapa ibu tirinya menyeleweng, mengadakan pertemuan dalam kamar hotel dengan Hartawan Coa. Akhirnya ia turun dan pergi kekamar ayahnya. Bagaikan seorang yang kehilangan ingatannya, Kim Hwa melalui pintu tembusan menuju ke ruangan rumah penginapan Hok-lai-koan. Yang dlingatnya hanya dua hal. Pertama mengantarkan Ai ling ke kamar Hartawan Coa, dan kedua pergi mengunjungi pemuda ganteng yang menarik hati, yang menginap di kamar nomor tujuh belakang. Akan tetapi, tubuhnya terasa demikian ringan dan ia tidak ingat lagi mengapa ia menjadi begitu, kepalanya juga ringan dan kosong!   Ketika tiba-tiba Hay Hay muncul, ia tidak terkejut dan tersenyum genit. Apalagi ketika Hay Hay berbisik, "Manis, aku sengaja menjemputmu! Mari kita pergi ke kamarku sayang !" Kim Hwa tertawa kecil dengan sikap genit lalu membiarkan dirinya digandeng oleh pemuda yang menarik hatinya itu dani a malah menyandar dan mereka berdua berjalan sambil bergandeng tangan. Hay Hay tidak membawa wanita itu ke kamarnya melainkan diajaknya menghampiri kamar besar di mana terdapat dua orang jagoan yang berjaga. Malam sudah larut, menjelang tengah malam dan suasana sunyi. Dua orang jagoan itu duduk di atas kursi, agak melenggut. Mereka tenang saja karena siapa yang akan berani mati mengganggu majikan mereka? "Mari Ai Ling, marilah sayang……..” Suara ini mengejutkan dua orang jagoan itu. Akan tetapi ketika mereka mengangkat muka, mereka melihat sekelebatan seorang pemuda bergandeng tangan dengan seorang wanita cantik. Anehnya, begitu mereka memandang, pemuda itu lenyap dan yang nampak adalah dua orang wanita muda yang sedang menghampiri mereka sambil saling bergandeng tangan. Ketika lampu gantung menerangi wajah mereka, dua orang jagoan ini cepat berdiri dan menyeringai senang. Mereka sudah tahu bahwa majikan mereka menanti datangnya isteri pemilik rumah penginapan itu yang akan mengantarkan puterinya, dan ternyata kini mereka benar-benar muncul! Melihat betapa gadis manis itu seperti orang mabok, tahulah mereka bahwa gadis itu telah minum obat bius, dan isteri pemilik rumah penginapan yang cantik genit itu senyum-senyum kepada mereka. Kedua orang “wanita” ini menghampiri pintu dan mengetuk tiga kali. Dua orang jagoan itu tidak menghalangi mereka, hanya saling pandang dan tersenyum-senyum penuh arti. "Siapa mengetuk pintu?" terdengar suara yang parau dan dalam, suara Hartawan Coa yang memang sejak tadi belum tidur dan dengan tidak sabar menanti datangnya Kim Hwa yang berjanji akan mengantar Gui Ai Ling, si perawan jelita. "Saya Kim Hwa, tai-ya, saya mengantarkan Ai Ling. Harap buka pintunya!" Mendengar suara ini, tentu saja Hartawan Coa menjadi girang dan dia cepat membuka daun pintu. Mula-mula ia terkejut melihat bahwa yang berdiri di depan pintu adalah seorang pemuda yang tidak dikenalnya dan Kim Hwa, isteri pemilik rumah penginapan yang genit itu, akan tetapi ketika dia berkedip dan mendengar suara Kim Hwa, "Saya Kim Hwa dan Ai Ling datang seperti yang saya janjikan, tai-ya," dan dia membuka mata, ternyata yang berdiri di depannya adalah Kim Hwa dan Ai Ling, gadis yang membuatnya selalu menelan air liur itu! "Ahhh, engkau sudah datang, manis!"katanya sambil menggandeng tangan Ai Ling. "Mari masuk, manis!" Ai Ling menurut saja digandeng masuk, dan Kim Hwa tersenyum. "Bersenang-senanglah tai-ya dengan Ai Ling, saya harap tai-ya tidak lupa kepada saya." - Hartawan Coa yang sudah tidak sabaran itu, hanya mengangguk dan menutup kembali daun pintu tanpa menguncinya karena bukankah di luar sudah ada dua orang pengawalnya, jagoan-jagoan yang dapat dipercaya menjaga di situ semalam suntuk? Kim Hwa lalu melenggang pergi. "Eih, nyonya muda. Hendak ke mana? Apakah tidak mau menemani kami di sini sebentar menghilangkan dingin dan kantuk?" seorang di antara dua penjaga itu menegur dan menggoda. Kim Hwa hanya tersenyum. "Lain kali saja, aku mempunyai keperluan lain." Dan iapun mempercepat langkahnya. Setelah tiba di tempat gelap, ternyata bahwa "Kim Hwa" ini bukan lain adalah Hay Hay yang tadi mempergunakan kekuatan sihirnya untuk membuat mata dua orang jagoan dan juga mata Hartawan Coa melihatnya seperti Kim Hwa, sedangkan Kim Hwa sendiri yang sudah berada di bawah pengaruh obat bius itu mereka lihat sebagai Gui Ai Ling! Hay Hay mengintai tak jauh dari situ. Tidak lama dia mengintai karena segera dia melihat seorang. laki-laki gendut berlari-lari melalui pintu tembusan dari rumah Gui Lok, menuju ke rumah penginapan itu. Dia bukan lain adalah Gui Lok, pemilik rumah penginapan dan rumah makan Hok-lai-koan. Agak jauh di belakangnya dia melihat pula Ai Ling berjalan dengan muka khawatir. Gui Lok yang menerima pelaporan puterinya bahwa isterinya mengadakan pertemuan gelap dengan laki-laki di dalam kamar hotelnya, tentu saja menjadi marah sekali dan dia langsung menuju kekamar besar, kamar istimewa termahal di rumah penginapannya itu. Ketika tiba di depan kamar, dua orang tukang pukul mencoba untuk menghadangnya, akan tetapi si gendut Gui Lok berteriak lantang. "Ini rumah penginapanku sendiri! Siapa berhak melarang?" Dua orang tukang pukul itu tentu saja tahu bahwa Gui Lok pemilik rumah penginapan i tu, maka merekapun merasa sungkan, juga mereka terbelalak heran bukan main melihat Ai Ling berada di belakang si gendut itu! Bukankah tadi mereka melihat sendiri betapa gadis itu diantar oleh ibu tirinya memasuki kamar majikan mereka dan kini sedang dalam pelukan majikan mereka ? Bagaimana kini tahu-tahu gadis itu berada di luar kamar tanpa pengetahuan mereka? Apakah tadi mereka bermimpi? Padahal mereka tidak pernah tidur. Bagaimanapun juga, melihat adanya gadis itu, hati mereka tidak khawatir. Kalau gadis itu tidak berada di dalam kamar majikan mereka, apa yang mereka khwatirkan? Biarkan si gendut itu membikin ribut, kalau majikan mereka yang kini tentu sendirian saja keluar, tentu si gendut itu yang akan mendapat kemarahan! Kiranya majikan mereka sedang tidur sendirian di kamar itu! Melihat dua orang penjaga itu tidak menghalanginya lagi, Gui Lok lalu menghampiri daun pintu kamar itu dan menggedor-gedor dengan keras. "Buka pintu! Kim Hwa, engkau tidak perlu sembunyi! Aku sudah tahu bahwa engkau berada di dalam bersama laki-laki lain! Engkau perempuan busuk, pelacur hina, isteri yang menyeleweng tak tahu malu!" Karena Gui Lok dilanda kemarahan hebat, maka dia berteriak-teriak seperti orang gila. Tentu saja teriakannya yang keras itu membangunkan semua tamu dan sebentar saja, semua kamar di rumah penginapan itu terbuka dan para tamu sudah keluar dari dalam kamar untuk menonton pertunjukan menarik itu. HayHay juga keluar dari kamarnya, bersama para tamu ikut pula menonton. Ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata Ai Ling yang nampak khawatir, dia berkedip dan menganggukkan kepala, seolah memberi jaminan kepada gadis itu agar tidak usah takut karena ada dia yang akan melindunginya. Dan anehnya, melihat pemuda itu, hati Ai Ling menjadi agak tenteram, tidak lagi ketakutan seperti tadi. "Hayo buka, kau perempuan laknat, pelacur hina tak tahu malu! Dorr-dorr-dorr!!" Cui Lok terus menggedor pintu dengan kemarahan meluap, apa lagi melihat munculnya banyak tamu. Semua orang melihat dan mengetahui betapa isterinya telah menyeleweng. Betapa malunya dia kalau tidak dapat membikin perhitungan dengan isterinya itu! Dapat dibayangkan betapa kagetnya mereka yang sedang bermesraan di dalam kamar itu. Baru saja Hartawan Coa dan Kim Hwa mendapatkan kenyataan yang mengejutkan hati mereka berdua, Kim Hwa mulai ditinggalkan pengaruh obat bius dan ketika ia sadar lalu mendapatkan dirinya dalam pelukan Hartawan Coa, hampir saja ia menjerit. Bukankah seharusnya ia berada dalam pelukan pemuda tampan yang pandai merayu itu? Kenapa kini ia berada dalam rangkulan Hartawan Coa yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa, penuh bulu kasar, mukanya hitam dan bopeng? Bukankah seharusnya Ai Ling yang berada di pelukan hartawan ini? Akan tetapi ia seorang wanita yang cerdik. Walaupun ia tidak mengerti mengapa bisa begini, namun ia pandai bersandiwara dan dengan manja ia lalu mempererat rangkulannya dan mengeluarkan suara rintihan manja. Sementara itu, Hartawan Coa juga sudah tidak lagi terpengaruhi kekuatan sihir yang dilepaskan Hay Hay tadi, dan kini dia melihat bahwa yang dipeluk dan digumulinya sejak tadi bukanlah gadis yang dirindukannya itu, melainkdn isteri Gui Lok, nyonya muda yang cantik dan genit itu! Diapun terkejut mengapa bisa terjadi perubahan ini! Padahal tadi, jelas dia melihat bahwa yang dibimbingnya masuk adalah Ai Ling dan gadis itu tadi menurut saja tanpa melawan karena berada dalam pengaruh obat bius. Akan tetapi, mengapa kini mendadak berganti orang? Bagaimanapun juga, hartawan ini memang cocok dengan Kim Hwa dan biarpun dia terheran, dia tidak begitu perduli lagi setelah merasakan kehangatan tubuh dan kepandaian Kim Hwa merayu dan melayaninya. Diapun mendekap semakin kuat dan keduanya tenggelam ke daam gelombang nafsu yang tak pernah mengenal puas. . Mereka berdua sedang terlena di ambang kepulasan karena lelah ketika tiba-tiba mereka dikejutkan oleh geduran pada daun pintu kamar itu! Mendengar teriakan suaminya, tentu saja Kim Hwa terkejut setengah mati dan iapun cepat melepaskan diri dari rangkulan Hartawan Coa dan tergesa-gesa mengenakan pakaiannya. Ia lari ke jendela, hendak membuka jendela kamar itu, akan tetapi betapa heran dan khawatirnya ketika ternyata daun jendela itu macet, sama sekali tidak dapat dibukanya. Tentu saja ia menjadi panik. Melihat ini, Coa Wan-gwe lalu menghampiri jendela dan diapun mencoba untuk membukanya. Sia-sia belaka. Biarpun hartawan ini memilik tenaga yang besar, namun daun jendela itu sama sekali tidak dapat dibukanya, macet. Hal ini tidaklah aneh karena macetnya daun jendela itu bukan sewajarnya, melainkan karena perbuatan Hay Hay. "Sudahlah, tidak perlu gelisah. Biar aku yang bertanggung jawab!" kata hartawan itu, teringat akan kedudukan dan kekuasaannya. Apa artinya seorang Gui Lok baginya? "Tapi……… tapi suamiku di depan kamar! Dia akan marah…….. " "Huh, coba saja apa yang dapat dia lakukan kepadaku! Coba dia marah kepadaku kalau berani kusuruh hajar dia sampai mampus! Hartawan itu makin besar hatinya karena bukankah di depan pintu itu selalu ada dua orang pengawal yang menjaga keselamatannya? Mendengar ucapan hartawan itu, hati Kim Hwa tidak menjadi lega, bahkan semakin khawatir. Diraihnya lengan hartawan itu dan ditahannya ketika ia hendak keluar dari kamar. "Kau akan dapat menyelamatkan diri dengan mudah, dia tidak berani mengganggumu, akan tetapi bagaimana dengan aku? Harap jangan tinggalkan aku di sini……….!" Coa Wan-gwe mengerutkan alisnya dan mengibaskan lengannya sehingga wanita itu terpelanting ke atas pembaringan. "Huh, jangan banyak tingkah kamu! Salahmu sendiri! Bukankah engkau berjanji akan mengantarkan Ai Ling kepadaku di kamar ini? Akan tetapi, engkau sendiri yang datang menggantikan anakmu. Perempuan tak tahu malu!" Kim Hwa terkejut dan tidak berani bicara lagi, hanya memandang dengan mata terbelalak ketika hartawan itu membuka daun pintu kamar itu dan melangkah keluar dengan mengangkat dada. Gui Lok yang berada di depan kamar itu, sudah siap untuk marah-marah, akan tetapi begitu melihat Hartawan Coa, nyalinya menjadi kecil dan dia hanya memandang bengong seperti berubah menjadi arca. "Hemm, Gui Lok! Mau apa engkau lancang menggedor pintu kamarku? Bukankah kamar ini sudah kusewa? Kautahu, rumah penginapan ini dapat kubeli, juga kepalamu dapat kubeli. Mengerti?" Mendengar bentakan hartawan ini, seketika keberanian dan kemarahan Gui Lok menguncup dan kakinya gemetar. "Maaf, tai-ya, tapi…….. tapi isteriku………." "Peduli apa dengan isterimu! Aku tidak memanggilnya ke sini! Tanyakan saja kepada isterimu sendiri! Tapi kau…….. yang sudah berani menggangguku, menggedor pintu kamarku secara kurang ajar, tidak dapat kumaafkan begitu saja. Kau perlu dihajar!" Tangan yang besar dari hartawan itu menyambar dan sebuah pukulan mengenai kepala Gui Lok. "Plakk!" Si perut gendut itu terpelanting dan jatuh. Hartawan Coa melangkah maju, siap menendangi kepala Gui Lok yang dianggapnya telah kurang ajar dan membikin malu kepadanya di depan begitu banyak orang. Maka, di depan para tamu yang sudah jadi penonton, dia hendak menghajar Gui Lok agar namanya kembali terang dan disegani orang. Kaki yang besar dan dilindungi sepatu kulit yang tebal dan keras itu menyambar ke arah kepala Gui Lok. "Dukkk!" Akibatnya, bukan kepala itu yang tertendang dan Gui Lok mengeluh kesakitan, sebaliknya malah Hartawan Coa memekik kesakitan, mengangkat kaki yang menendang, memeganginya dan kaki yang sebelah lagi jingkrak-jingkrak. Serasa patah-patah tulang kakinya ketika tadi dia menendang, kakinya itu bertemu dengan sebuah kaki lain, yaitu kaki Hay Hay. Melihat ada seorang pemuda sederhana yang tadi menyambut tendangannya dengan tangkisan kaki, yang menyebabkan kakinya terasa nyeri setengah mati, Hartawan Coa menjadi marah bukan main. "Hajar dia! Bunuh dia!" teriaknya kepada dua orang pengawal yang sejak tadi hanya menjadi penonton. Ketika mereka melihat majikan mereka menghajar Gui Lok, mereka diam saja. Sama sekali tidak mereka sangka bahwa akan ada orang yang berani melindungi Gui Lok dan bahkan membuat kaki majikan mereka kesakitan. "Pemuda lancang, berani kau menentang majikan kami?" Dua orang tukang pukul itu meloncat ke depan, menghadapi Hay Hay yang berdiri tegak sambil tersenyum tenang. "Ha-ha, kalian ini dua ekor anjing yang setia kepada majikan, sungguh pandai mengonggong! Nah, lanjutkan gonggonganmu agar semua orang melihat kalian!" Kini semua orang yang telah keluar dari kamar masing-masing dan menonton keributan itu, terbelalak heran ketika melihat betapa dua orang tukang pukul yang tadi bersikap galak, kini tiba-tiba saja mereka menjatuhkan diri berdiri di atas kaki dan tangan seperti binatang berkaki empat, dan mereka berdua segera menggonggong seperti dua ekor anjing yang sedang marah! Tentu saja gonggongan mereka tidak seperti anjing, dan mereka yang menonton, tadinya terbelalak keheranan dan mengira dua orang itu main-main atau mendadak menjadi gila. Akan tetapi keadaan yang lucu itu membuat mereka tidak dapat menahan ketawa mereka. Bahkan Hartawan Coa sendiripun lupa akan kenyerian kakinya dan diapun berdiri bengong memandang kepada anak buahnya. Apakah kedua orang pengawalnya itu mendadak menjadi gila? Sementara itu, Gui Lok yang tadi terhindar dari hajaran yang lebih hebat, sudah bangkit berdiri dan diapun melihat peristiwa aneh itu sehingga sejenak lupa kepada isterinya yang menjadi biang keladi keributan itu. Hay Hay tersenyum dan menghampiri dua orang tukang pukul yang masih merangkak-rangkak itu, kemudian kaki kirinya bergerak dua kali dan dua orang tukang pukul itu sudah kena ditendang, terlempar dan terbanting jatuh. Agaknya setelah jatuh, baru mereka sadar akan keadaan diri mereka. Cepat mereka meloncat dan sudah mencabut golok dari pinggang. Lalu dengan kemarahan meluap karena mereka merasa dibikin malu di depan banyak orang, mereka lalu menerjang dan menyerang Hay Hay dengan bacokan golok dari atas ke bawah, ke arah kepala pemuda itu. Semua orang melihat dengan hati ngeri betapa dua batang golok itu dengan tepat mengenai kepala pemuda itu dan dengan mudahnya, seperti agar-agar saja, kepala itu terbelah menjadi tiga potong oleh dua bacokan itu. Akan tetapi, tidak ada darah keluar ketika tubuh yang terbelah menjadi tiga buah itu terkulai jatuh, mengeluarkan suara bising. Akan tetapi ketika mereka semua memandang, termasuk dua orang tukang pukul itu, terdengar seruan heran melihat bahwa yang terbabat buntung mejadi tiga potong itu sama sekali bukan tubuh orang melainkan sebuah bangku panjang yang kini menjadi tiga potong! Pantas saja mengeluarkan suara bising! Ke mana larinya pemuda aneh itu tadi? Kiranya, pemuda itu telah berdiri di belakang dua orang tukang pukul itu. Kini, tiba-tiba kedua tangannya menjambak rambut dua orang tukang pukul itu dari belakang dan sekali dia menggerakkan kedua tangan mengadu dua buah kepala itu, dua orang pengawal itu mengeluh, goloknya terlepas dan ketika Hay Hay melepaskan kedua tangannya, mereka terkulai lemas seperti karung basah dan jatuh pingsan! Melihat ini, semua orang kagum dan juga terheran-heran. Hartawan Coa yang tadinya memandang bengis, kini menjadi pucat sekai. Apalagi ketika pemuda itu menghampirinya. "Coa Wan-gwe, engkau pulanglah dan bawa dua ekor anjingmu ini. Sebentar nanti aku akan datang berkunjung ke rumahmu, ada urusan penting yang hendak kubicarakan denganmu." Sekali ini Hartawan Coa tidak banyak cakap lagi. Dia maklum bahwa menghadapi pemuda ini, dia tidak berdaya. Dia harus mengerahkan semua pengawalnya kalau mau menghadapi dan menentang pemuda aneh ini. Dia lalu menendang-nendang dua orang pengawalnya. Mereka siuman dan terheran-heran, akan tetapi segera teringat akan keadaan mereka, maka ketika majikan mereka memberi isarat, merekapun seperti dua ekor anjing ketakutan, lalu mengikuti Hartawan Coa meninggalkan rumah penginapan, bahkan melupakan golok mereka. Sementara itu, begitu hartawan itu pergi, Gui Lok menyerbu ke dalam kamar. Dia melihat isterinya masih duduk ketakutan di atas pembaringan. “Perempuan lacur! Tak tahu malu!" bentaknya dan diapun menjambak rambut isterinya. Rambut itu terurai dan diseretnya tubuh wanita itu keluar kamar. "Lihat semua! Lihat baik-baik perempuan ini. Ia bernama Kim Hwa dan dari pecomberan kuangkat ia menjadi isteriku, akan tetapi kini ia melakukan penyelewengan dengan laki-laki lain! Ia tiada bedanya dengan seekor babi betina, biar dibersihkan dan ditempatkan di manapun, diberi tempat yang bersih dan baik, tetap saja babi betina ini memilih pecomberan. Nah, mulai saat ini, ia bukan isteriku lagi dan kuusir ia. Pergilah kamu, perempuan laknat! Ketika kaukupungut, engkau tidak mempunyai apa-apa, sekarang engkau pergilah dan boleh kaumiliki pakaian dan perhiasan yang menempel ditubuhmu!" Kalau saja mereka hanya berduaan, tentu Kim Hwa akan minta-minta ampun dan mempergunakan segala daya kecantikannya, segala ilmunya merayu untuk melemahkan hati suaminya dan agar dirinya diampuni. Akan tetapi apa hendak dikata, peristiwa itu terjadi didepan puluhan pasang mata yang menjadi penonton dan disana sini ia mendengar cemoohan dan celaan kepada dirinya, maka sambil menutupi mukanya dan menangis, iapun lari keluar dari rumah penginapan yang tadinya menjadi miliknya itu. Beberapa bulan kemudian orang sudah mendapatkan dirinya menjadi kembang dari sebuah rumah pelacuran dari sebuah kota besar dekat kota raja!   Sebelum Gui Lok dah puterinya, Gui Ai Ling, sempat menghaturkan terima kasih kepadanya, Hay Hay sudah cepat menghilang dari kamar itu pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, sambil membawa buntalan uang emasnya. Dan pagi-pagi sekali itu, dia sudah berada di depan pintu gerbang pekarangan gedung Hartawan Coa! Ternyata pekarangan itu telah penuh dengan pasukan pengawal yang jumlahnya tidak kurang dari dua lusin orang bersenjata lengkap! Mereka itu telah diperingatkan oleh Hartawan Coa agar berjaga dengan ketat dan terutama sekali menjaga kalau ada muncul seorang pemuda berpakaian sederhana yang memakai caping lebar. Hartawan Coa yang semalam mengalami kekagetan itu, setibanya di rumah mengumpulkan para pembantunya dan dia menjadi semakin terkejut dan khawatir ketika menerima laporan bahwa pemuda yang bercaping lebar, pemuda yang itu-itu juga, telah pula mengacau rumah judi, bahkan telah menggondol puluhan tail emas yang dimenangkan dalam permainan dadu di mana pemuda itu menggunakan ilmu yang aneh seperti sihir. Dan diapun teringat betapa dua orang pengawalnya juga disihir sehingga menggonggong seperti anjing, kemudian betapa tubuh pemuda itu kelihatan terpotong-potong,akan tetapi ternyata yang terpotong itu hanya bangku panjang! Jelas, pemuda yang itu-itu juga, pikirnya. Maka diapun mengerahkan seluruh pasukan pengawal untuk melakukan penjagaan di pekarangan, di sekeliling rumah gedungnya, bahkan ada yang berjaga di dalam gedung dan di atas atap! Barulah dia merasa aman dan dapat tidur pulas. Ketika Hay Hay muncul pagi-pagi sekali, hartawan itu masih belum bangun. Ketika para penjaga itu melihat munculnya seorang pemuda yang memakai caping lebar, berdiri di depan pintu gerbang, segera mereka menjadi panik. Tentu saja mereka itu gentar sekali karena mereka sudah mendengar cerita kawan-kawan mereka tentang sepak terjang pemuda itu di rumah judi, juga cerita dua orang tukang pukul yang menderita pengalaman pahit di rumah penginapan. Betapapun juga, karena kini di pekarangan itu dan di dalam rumah terdapat kepala-kepala pengawal yang merupakan orang-orang berkepandaian silat tinggi, mereka tidak menuruti hati yang gentar. Dengan memberanikan hati, mereka lalu mengikuti pimpinan mereka menyambut kedatangan pemuda itu. Kepala pengawal yang kini berjaga dirumah gedung Hartawan Coa ada tiga orang. Yang pertama adalah seorang jagoan dari kota raja bernama Thio Kang berjuluk Tiat-ci (Si Jari Besi), terkenal sebagai seorang yang memiliki tangan seperti besi, dapat menusuk papan tebal dan batu sampai tembus dan selain itu, pandai pula bermain sepasang pedang. Tiat-ci Thio Kang ini adalah seorang jagoan yang berasal dari kota raja, bahkan pernah menjadi jagoan di istana kaisar! Kini menjadi jagoan nomor satu dari Coa Wan-gwe, bergajih besar. Jagoan ini berusia kurang lebih lima puluh lima tahun, bertubuh jangkung kurus kering, sikapnya tinggi hati, sikap seorang yang percaya akan kemampuan diri sendiri dan memandang rendah orang lain. Jagoan ke dua berjuluk Hek-houw (Harimau Hitam) bernama Ji Sun. Hek-houw Ji Sun ini, sesuai dengan julukannya, berperawakan kokoh, tinggi besar berkulit hitam dan dia memiliki ilmu silat harimau yang menubruk dan mencengkeram, tangkas sekali, di samping ahli bermain golok dan perisai. Usia jagoan nomor dua ini sekitar empat puluh lima tahun. Adapun jagoan nomor tiga bernama Phang Su, ju!ukannya Kang-thouw-cu (Si Kepala Baja) dan tubuhnya pendek gemuk bundar. Kepalanya yang besar dan bundar itu terkenal sekali amat kuat, kebal dan dapat membobolkan tembok, sesuai dengan julukannya. Selain keahlian mempergunakan kepala sebagai senjata, juga Kang-thouw-cu Phang Su pandai memainkan sebatang rantai besi yang berat. Tiga orang kepala pengawal ini tentu saja sudah mendengar akan sepak terjang seorang pemuda bercaping lebar yang mengacau di rumah judi dan di rumah penginapan bahkan telah mengganggu majikan mereka. Akan tetapi, mereka adalah jagoan-jagoan besar, terutama sekali Tiat-ci Thio Kang, tentu saja memandang rendah kepada pengacau yang katanya mau datang berkunjung ke gedung majikannya itu. Apa yang perlu ditakutkan? Dia mengandalkan kepandaian sendiri yang sukar dicari tandingnya, hampir belum pernah kalah. Selain itu, masih ada dua orang pembantunya yang juga amat lihai, dan ada pula hampir lima puluh orang pengawal di rumah itu! Setanpun takkan mampu masuk ke dalam rumah itu tanpa ketahuan penjaga yang sudah ditempatkan di seluruh lingkungan rumah itu. Dan kalau pemuda itu benar-benar berani datang, dia tentu akan menghadapi kehancuran di sini! ! Akan tetapi, tidak urung jantungnya berdetak tegang ketika mendengar laporan anak buahnya bahwa pagi-pagi itu, pemuda bercaping lebar telah datang dan berada di luar pintu gerbang! "Tahan dia di luar pintu gerbang, aku akan menemuinya sendiri!" kata Tiat-ci Thio Kang dan dia lalu mempersiapkan diri, memasang siang-kiam pedang pasangan di punggung, kemudian mengajak dua orang pembantunya untuk keluar menemui pemuda itu. Hek-houw Ji Sun dan Kang-thouw-cu Phang Su juga sudah siap siaga dengan senjata masing-masing. Mereka bertiga, diikuti puluhan orang pengawal, bersenjata lengkap seolah-olah mereka itu bukan hendak menyambut seorang pemuda, melainkan seperti hendak maju perang melawan banyak musuh! Hay Hay yang mengintai dari balik caping lebarnya, diam-diam tersenyum melihat munculnya tiga orang yang nampaknya gagah, diiringkan oleh puluhan orang pengawal yang kesemuanya bersenjata lengkap! Dia tidak merasa heran karena tentu Hartawan Coa sudah siap siaga menanti kedatangannya dan dia dapat menduga bahwa dia akan menghadapi kekerasan dari pihak Hartawan Coa yang tentu saja merasa penasaran dan marah atas terjadinya dua peristiwa yang merugikan uangnya dan namanya, yaitu dirumah judi dan di rumah penginapan. Dengan sikap angkuh Tiat-ci Thio Kang memberi isarat kepada Hek-houw Ji Sun sebagai wakil pembicara, untuk menegur pemuda itu. Si Harimau Hitam ini selain pandai bicara, juga orangnya tinggi besar dan suaranya lantang berwibawa. Hek-houw Ji Sun mengerti dan diapun maju dua langkah mendekati Hay Hay. "Orang muda, siapakah engkau dan apa maksumu pagi -pagi begini da tang kesini?" Hay Hay mendorong caping bagian depan ke belakang. Caping itu merosot turun dari kepalanya dan tergantung di pungguungnya, menutupi buntalan yang berada di punggung. Kini wajahnya nampak jelas, wajah yang periang, mulut yang selalu tersenyum nakal, hidung yang mancung, mata bersinar-sinar dan kadang-kadang mencorong aneh. Hay Hay tersenyum, lalu memandang ke arah orang-orang itu mencari-cari, lalu dia menggeleng kepala.   "Hemm, tidak kulihat dia berada di sini! Aku mencari Hartawan Coa. Harap kalian sampaikan kepada majikan kalian itu bahwa aku bernama Hay Hay ingin bertemu dengan Hartawan Coa karena ada urusan penting sekali hendak kubicarakan dengan dia." "Hemm, orang muda, Tidak mudah bertemu dengan majikan kami. Tidak sembarang orang boleh bertemu dengan beliau, dan karena majikan kami masih tidur, maka sampaikan saja urusanmu itu kepada kami. Kami akan melaporkan dan kalau memang majikan kami berkenan menerimamu, tentu engkau dapat menghadap." Hay Hay tertawa. "Wah, seperti hendak menghadap seorang kaisar saja! Majikan kalian itu bukan raja, bukan pula orang berpangkat tinggi. Dia hanyalah hartawan yang memiliki rumah-rumah judi, dan kulihat dia semalam tidak begitu tinggi hati, bahkan mau bermalam di rumah penginapan umum dan tidur bersama isteri pemilik rumah penginapan! Mengapa sekarang tiba-tiba saja dia tidak mau menerimaku? Ingat, kedatanganku ini akan memberi untung kepadanya, akan menyerahkan uang lima puluh tail emas!" Mendengar ucapan itll, tiga orang jagoan itu saling pandang. Betapa beraninya pemuda ini! Setelah memenangkan perjudian sebanyak lima puluh tail emas lebih, agaknya kini dia membawa harta itu ke sini! Mata mereka segera ditujukan ke arah punggung pemuda itu di mana terdapat buntalan yang nampaknya berat. "Serahkan saja lima puluh tail emas itu kepada kami! Memang sudah sepatutnya engkau mengembalikan uang yang kaurampas dari rumah judi itu, dan mohon maaf kepada majikan kami!" kata pula Hek-houw Ji Sun. Hay Hay tersenyum. "Serahkan kepada kalian? Wah, mana bisa? Kalian adalah orang-orang yang paling tidak dapat dipercaya di dunia ini! Sudahlah, tidak ada gunanya membuang banyak waktu bicara dengan orang-orang seperti kalian ini. Bangunkan saja Hartawan Coa kalau dia masih tidur, dan katakan bahwa aku datang untuk bicara dengan dia dan aku akan menyerahkan uang lima puluh tail emas." Tiat-ci Thio Kang memberi isarat kepada pembantunya yang ke dua, yaitu Kang-thouw-cu Phang Su. Si gundul yang pendek berperut gendut ini lalu melangkah maju. "Bocah sombong, serahkan saja lima puluh tail emas itu kepada kami, dan engkau berlututlah, menyerah!" bentaknya dan tangannya menyambar. Kedua lengan yang pendek itu menyambar dari kanan kiri, mengirim pukulan dan totokan susul menyusul. Gerakannya yang cepat dan mengandung angin pukulan yang kuat itu menunjukkan betapa si pendek gendut ini memang bertenaga besar dan memiliki ilmu kepandaian yang sudah tinggi. Namun sekali ini dia bertemu dengan Hay Hay! Kelihatan pemuda ini tidak bergerak sama sekali, akan tetapi serangan kedua tangan Si Kepala Baja itu tidak mengenai sasaran, demikian halus dan cepatnya gerakan Hay Hay ketika kakinya membuat geseran dan tubuhnya hanya miring sedikit dan mundur selangkah. Aneh bagi mereka yang nonton, karena nampaknya si gundul pendek yang menyerang dan luput, akan tetapi mengapa si gundul itu berteriak kesakitan dan kedua lengannya seperti mendadak menjadi lumpuh? Kang-thouw-cu Phang Su memang terkejut dan merasa kesakitan karena kedua sikunya seperti disengat kalajengking dan kedua lengan itu tergantung lumpuh selama beberapa detik. Dia tidak tahu mengapa begitu, akan tetapi Tiat-ci Thio Kang, seorang ahli totok yang pandai, dapat mengerti bahwa pemuda itu telah menotok kedua siku pembantunya itu. "Ih, engkau kenapa sih? Datang-datang menyerang orang, lalu menjerit-jerit sendiri seperti babi disembelih?" Hay Hay sengaja mengejeknya sehingga Kang-thouw-cu Phang Su menjadi merah mukanya dan kemarahannya memuncak. Dia kini merendahkan tubuhnya, kepalanya dipasang di depan dan sikapnya seperti se- ekor kerbau yang siap mempergunakan tanduknya dan bahkan kedua kakinya menggaruk-garuk tanah di depannya. Sungguh sikap ini. lucu sekali dan agaknya si gundul pendek ini memang mendapatkan ilmunya dari gerakan seekor kerbau marah! Hidungnya mengeluarkan suara mendengus, akan tetapi yang menarik perhatian Hay Hay adalah kepala yang gundul licin itu. Dia melihat betapa kepala itu kini mengkilap, seperti diminyaki dan digosok, dan agak kemerahan! Tahulah dia bahwa orang ini tidak boleh dipandang ringan dan agaknya memiliki ilmu serangan dengan kepalanya yang sudan terlatih baik dan kepala itu tentu mengandung tenaga yang amat dahsyat! Benar saja dugaannya. Tiba-tiba si gundul pendek gendut itu mengeluarkan gerengan aneh dan tubuhnya lalu menerjang ke depan, dengan kepala lebih dulu, seperti terjangan seekor kerbau! Hay Hay tidak mau menyambut kepala itu dengan tangan atau badannya, karena dia tidak ingin membunuh orang. Pertemuan tubuhnya dengan kepala itu membahayakan nyawa lawan karena kalau sampai kepala itu terluka sedikit saja di bagian dalamnya, maka si pendek itu akan tewas! Maka, diapun lalu cepat mengelak sambil melompat ke kanan belakang. Akan tetapi, kembali Kang-thouw-cu Phang Su sudah membalikkan tubuh dan menerjangnya lagi. Sungguh seperti sikap seekor kerbau. Hay Hay melompat lagi, kini dia tiba di dekat sebatang pohon sebesar pinggangnya. Sengaja dia membelakangi pohon itu dan kini kembali lawannya sudah menerjang dari depan, lebih hebat dari pada tadi. Dia menanti sampai kepala itu dekat sekali, lalu tiba-tiba tubuhnya melayang ke atas melewati kepala lawan. "Brakkkkk!" 'Kepala itu menghantam batang pohon dan seketika pohon itu tumbang, batangnya patah dan remuk terkena terjangan kepala yang gundul itu! Hay Hay memandang kagum. Memang seperti yang telah dia duga. Lawannya memiliki kepala di mana terkumpul tenaga yang dahsyat. Tentu saja dia akan mampu menerima terjangan kepala itu dengan perut atau dada atau tangannya, akan tetapi akibatnya akan terlalu hebat kemungkinan besar kematian bagi orang yang sama sekali tidak dikenalnya dan tidak pernah bermusuhan dengan dia itu. Kembali Kang-thouw-cu Phang Su sudah menerjang ke depan, sepasang matanya melirik juling, persis kerbau marah atau kerbau gila. Kembali Hay Hay sengaja bergerak lambat. Begitu kepala itu menyeruduk, Hay Hay miringkan tubuhnya dan kepala itu lewat dekat sekali dengan perutnya, hanya dua sentimeter saja jaraknya dan secepat kilat menyambar, tangan Hay Hay bergerak. "Plakkk!" Tangan itu menghantam tengkuk, tidak terlalu keras akan tetapi cukup membuat Kang-thouw-cu Phang Su terjungkal dan bergulingan sambil mengaduh-aduh, kedua tangan sibuk menjangkau tengkuk yang terkena tamparan tadi. Kalau Hay Hay menambah sedikit lagi saja tenaganya, tentu si gundul pendek itu tidak akan mampu mengeluh lagi.   Kang-thouw-cu Phang Su biasanya amat mengandalkan diri sendiri. Maka, biarpun lehernya terasa seperti akan patah-patah dan kepalanya berkunang, dia masih cepat melompat bangkit lagi dan memandang kepada Hay Hay yang tersenyum lebar itu dengan pandang mata merah. Seperti hendak ditelannya bulat-bulat pemuda di depannya yang sudah membuat dia malu itu. "Wuuuttt!" Tangan kanannya sudah memegang rantai baja yang tadi dilibatkan di pinggangnya. Rantai ini terbuat dari baja, panjangnya satu setengah meter dan cukup berat sehingga ketika diputar-putar, terdengar suara angin bersiutan. Tanpa banyak cakap lagi, dia sudah menerjang ke depan dengan serangan rantainya ke arah kepala Hay Hay. Dengan mudah saja Hay Hay merendahkan tubuh dan rantai itu lewat di atas kepala. Akan tetapi, sekali putaran rantai itu sudah menyambar lagi ke arah kakinya, dan Hay Hay kembali mengelak dengan loncatan sehingga rantai itu menyambar ke bawah kaki. Kini rantai berputar dan menyerang ke arah pinggangnya! Melihat datangnya rantai yang menyambar ke arah pinggangnya, Hay Hay tidak mengelak lagi, melainkan melindungi pinggang dengan sin-kang. Rantai itu datang melibat pinggangnya, cepat dan kuat sekali sehingga pinggangnya sudah dilibat dua kali. Kini, dengan wajah giI:ang membayangkan kemenangan di depan mata, untuk menebus beberapa kali kekalahannya tadi, Kang-thouw-cu Phang Su mengerahkan seluruh tenaga yang ada dan menarik! Dia ingjn membuat pemuda itu tersungkur dj depan kakinya. Akan tetapi, dia merasa seolah-olah tangannya menarik sebuah karang yang amat besar dan berat. Sedikitpun tubuh Hay Hay tidak terbetot, apa lagj sampaj roboh tersungkur! Kang-thouw-cu merasa penasaran sekali. Kembali dia menarik dan menarik, makin lama semakin kuat, menahan napas yang membocor sana-sini sampaj terdengar suaranya ah-ah-uh-uhh! “Brooottt!" Saking penasaran dan kuatnya dia menarik dan menahan napas, ada angin membocor dari bawah! Beberapa orang sempat tertawa karena geli dan wajah Kang-thouw-cu menjadi semakin merah. "Wah, tak tahu malu…….. !" Hay Hay menggunakan jari tangan kanan untuk menjepit hidungnya. "Bau……. bau……. ! Pergilah!" Kakinya menendang. "Desss……. !" Perut gendut itu kena ditendang dan tubuh itupun terlempar, terbanting dan bergulingan. Si gendut merasa mulas sekali dan diapun tidak mampu bangkit kembali, hanya menekan-nekan perut yang terasa mulas dalam keadaan setengah pingsan! Melihat rekannya tak mampu melawan lagi, Hek-houw Ji Sun marah bukan main. Kekalahan rekannya ini berarti merupakan sesuatu yang memalukan dirmya juga. Dia masih belum percaya bahwa rekannya itu kalah melawan pemuda mi. Akan tetapi kenyataan itu tidak membuat dia jerih. "Bagus! Pemuda sombong, kiranya engkau memiliki juga sedikit kepandaian! Pantas engkau berani membuat kekacauan di kota Shu-lu mi!" Dia meloncat ke depan, berhadapan dengan Hay Hay. "Kalau engkau mampu menandingi Hek-houw Ji Sun, barulah aku mengakui kehebatanmu!" "Sungguh di sini banyak harimaunya! Ada harimau gundul, ada harimau hitam, dan entah harimau apa lagi. Akan tetapi sayang, harimau-harimau di sini agaknya udah ompong dan kehilangan kukunya, sehingga hanya pantas untuk menakut-nakuti kanak-kanak saja. Hek-houw Ji Sun, aku tidak mencari permusuhan deIgan kalian atau dengan siapapun juga. Aku hanya ingin bertemu dengan Hartawan Coa, mengapa kalian menghalangi dan mencari keributan dengan aku?" Hek-houw Ji Sun mendelik dan dia lal mengeluarkan suara gerengan yang mengejutkan hati Hay Hay juga. Banyak anak buah para jagoan itu sendiri sampai terkulai seperti mendadak kaki mereka lumpuh ketika gerengan yang merupakan auman itu menggetarkan jantung mereka. Tahulah Hay Hay bahwa orang ini mahir sekali mempergunakan suara untuk menyerang lawan. Semacam ilmu khi-kang yang disalurkan lewat suara untuk menyerang! Pantas dia menjadi juru bicara teman-temannya. Hay Hay tidak pernah memandang rendah lawannya. Akan tetapi, serangan melalui auman harimau itu lewat tanpa mempengaruhinya. Kalau hanya serangan seperti itu saja tidak ada artinya bagi Hay Hay. Kalau dia mau, dia dapat membalas dengan serangan melalui suara yang seketika akan melumpuhkan lawan! Seperti kebanyakan para jagoan tukang pukul yang biasa mengandalkan kekerasan dalam hidup mereka, juga Hek-houw Ji Sun ini terlalu mengandalkan kepandaian sendiri, memandang remeh orang lain. Biarpun dia tadi melihat betapa rekannya kalah oleh Hay Hay dengan mudah, namun dia masih belum mau mengakui kehebatan lawan dan kini dia menyerang dengan tangan kosong, mengandalkan keampuhan ilmu silatnya yang dia beri nama Hek-houw sin-kun (silat sakti Harimau Hitam). Begitu gerengannya lenyap dan tinggal gemanya saja, dia sudah menyerang. Tubuhnya melompat seperti seekor harimau menubruk, kedua lengannya dikembangkan dan jari-jari tangan itu membentuk cakar, mencengkeram ke arah leher dan ubun-ubun kepala lawan! Hay Hay sudah waspada. Dia cepat mengelak dan membiarkan tubuh lawan lewat. Kalau dia mau, alangkah mudahnya untuk menyambut serangan itu dengan serangan balasan, akan tetapi dia tidak ingin menghilangkan muka lawan ini. Memang ilmu silat dari Hek-houw Ji Sun itu hebat sekali. Cepat dan juga mengeluarkan angin pukulan yang kuat, dan jari-jari tangan itu sanggup merobek benda yang kuat dan keras, apalagi hanya kulit dan daging tubuh manusia! Namun, semua serangannya selalu dapat dielakkan oleh Hay Hay. Beberapa kali dia menubruk dan selalu gagal. Karena itu, dia lalu menyerang dari jarak dekat. Kedua tangannya, seperti cakar harimau, menyambar-nyambar dengan kuat sekali. Hay Hay terpaksa menangkis ketika tangan kiri lawan dengan cepat bukan main mencengkeram ke arah lambung kanannya. Tangan kanannya menangkis lengan lawan, akan tetapi tangan yang tertangkis itu cepat membalik dan kini mencengkeram lengan kanan Hay Hay dekat siku. Lengan itu kena dicengkeram dan Hek-houw Ji Sun sudah merasa girang sekali karena tentu lengan itu akan dapat dia cengkeram sampai patah dan buntung! Akan tetapi, alangkah terkejutnya ketika jari-jari tangannya merasa betapa lengan yang dicengkeramnya itu licin sekali, seperti batangan baja yang diminyaki sehingga cengkeramannya meleset dan hanya merobek lengan baju!   Breettt!" Tangan Hay Hay cepat sekali meraih baju orang dan sekali renggut, baju di bagian perut dan dada dari Hek-houw Ji Sun terobek lebar sehingga nampak perut dan dadanya yang berkulit hitam! "Salahmu sendiri, engkau merobek lengan bajuku, maka akupun harus merobek bajumu baru lunas!" kata Hay Hay. Diam-diam Hek-houw Ji Sun terkejut. Kalau dia tadi merobek lengan baju, hal ini tidak disengajanya karena dia gagal mencengkeram patah lengan pemuda itu. Sebaliknya, pemuda itu sengaja merobek bajunya. Kalau pemuda itu menghendaki, tentu bukan bajunya yang dirobek, melainkan perut dan dadanya! Baru dia tahu benar bahwa ilmu silat dan gerakan pemuda ini memang hebat bukan main, maka dia tidak mau mengalami seperti rekannya tadi dan cepat dia sudah melompat ke samping, menyambar golok dan tameng (perisai) yang sudah dipersiapkan sebelumnya. "Orang muda, keluarkan senjatamu! Mari kita bertanding senjata!" tantangnya dengan garang. Hay Hay tersenyum. Dia melihat betapa lengan bajunya yang kanan sudah robek, maka dia menggunakan tangan kiri untuk merenggut putus robekan itu. Kini ada robekan kain dari lengan bajunya, hanya sehelai kain yang panjangnya sete ngah meter. "Baik, Hek-houw Ji Sun, inilah senjataku!" Semua orang terbelalak, dan wajah Ji Sun yang hitam menjadi semakin hitam karena darah naik banyak ke kepalanya. Dia telah dipandang rendah, dihina bah kan oleh musuhnya yang masih muda itu Bagaimana mungkin ada orang berani menghadapi golok dan perisainya yang sudah terkenal kehebatannya itu hanya dengan sepotong kain yang pendek? Pemuda ini mencari mampus! Juga semua orang memandang dengan heran, tidak percaya bahwa pemuda itu akan berani menghadapi sepasang senjata itu dengan sepotong kain! "Orang muda, aku bukan seorang yang suka mempergunakan kellCikan untuk mencari kemenangan. Keluarkan senjatamu agar engkau tidak mati konyol dan orang akan mentertawakan aku!" "Aih, engkau menantang berkelahi dengan senjata dan ini adalah senjataku! Engkau tidak percaya? Hemm, dengan senjataku yang istimewa ini aku sanggup mengalahkan sepuluh ekor harimau, apa lagi baru seekor! Majulah, Hek-houw Ji Sun dan hati-hatilah agar jangan sampai engkau kalah dalam waktu kurang dari sepuluh jurus!" Sepasang mata Ji Sun terbelalak, mendelik saking marahnya, "Bagus. Bocah sombong! Kalau aku kalah olehmu kurang dari sepuluh jurus, aku akan berlutut dan menyembahmu!" "Begitukah? Baik!" Belum juga Hay Hay menutup mulut, sudah ada sinar golok menyambar dengan kecepatan kilat. Hay Hay cepat mengelak sambil mundur dan diam-diam harus mengakui bahwa gerakan Hek-houw Ji Sun ini lebih hebat dibandingkan gerakan Kang-thouw-cu Phang Su dengan rantai bajanya tadi. Memang hebat permainan golok dan perisai itu. Golok itu berkelebatan menyambar-nyambar, sedangkan tubuh Hek-houw Ji Sun praktis bersembunyi di balik perisai! Sukar sekali bagi lawan untuk menyerang tubuhnya, sedangkan dia dengan enaknya dapat mengincar lawan dan melakukan serangannya dari bawah atau samping perisai yang terbuat dari baja tebal dan kuat! Akan tetapi, kini dia menghadapi seorang lawan yang jauh lebih tinggi tingkat kepandaiannya, bahkan gurunya sendiri sekalipun belum tentu akan dapat menandingi pemuda ini! Dengan mudah sekali Hay Hay dapat menghindarkan diri dari setiap sambaran golok, padahal dia seolah-olah tidak pernah mengelak lagi. Tahu-tahu sambaran golok itu luput. Hal ini karena dia telah mempergunakan ilmu langkah-langkah sakti Jiauw-pou-poan-san. Akan tetapi, biarpun sambaran goloknya selalu tidak pernah menyentuh lawan, Hek-houw Ji Sun menyerang terus bertubi-tubi dan dia tetap bersembunyi di balik perisainya. Diam-diam Hay Hay maklum betapa lihai dan cerdiknya lawan ini. Agaknya, Hek-houw Ji Sun kini mengetahui benar akan kelihaian lawan, maka dia teringat akan janimya dan andaikata dia harus kalah sekalipun, dia harus dapat mempertahankan diri sampai sepuluh jurus! Dan ini hanya dapat dia lakukan dengan serangan bertubi-tubi sambil bersembunyi di balik perisainya! Dan kini dia sudah menyerang selama tujuh jurus! Tinggal tiga jurus lagi dan dia dapat bertahan sampai sepuluh jurus! "Wirrr……… !" Golok itu kembali menyambar. Sekali ini tubuh Hek-houw Ji Sun hampir mendekam di atas tanah, ditutupi perisai dan golok itu menyambar di atas kakmya yang nampak terjulur di bawah perisai, golok menyambar ke arah kaki Hay Hay. Kembali hal ini menunjukkan kecerdikan Ji Sun. Dia agaknya tahu bahwa kelihaian pemuda itu yang selalu dapat menghindarkan diri dari sambaran goloknya terletak pada geseran-geseran dan langkah-langkah kaki. Oleh karena itu, kini dia menyerang kaki pemuda itu, sambil bersembunyi di balik perisainya sehingga dia sudah berani memastikan dalam hatinya bahwa tentu dia akan mampu mempertahankan sampai lebih dari sepuluh jurus! Katakanlah dia tidak akan menang melawan pemuda ini, akan tetapi kalau dia sudah mampu mempertahankan diri selama lebih dari sepuluh jurus, berarti dia sudah dapat membersihkan mukanya karena pemuda itu seperti kalah bertaruh! Sama sekali Hek-houw Ju-sin tidak tahu bahwa Hay Hay memang sengaja mengalah. Kalau pemuda itu menghendaki, dengan dasar tingkat ilmu kepandaiannya yang jauh lebih tinggi, dalam dua tiga jurus saja agaknya dia sudah akan mampu melumpuhkan semua perlawanan Hek-houw Ju-sin! Hay Hay memang sengaja membiarkan lawannya menyerangnya secara bertubi-tubi sambil memperhatikan permainan golok dan perisai itu, mencari titik kelemahan. Kalau dia mau mengerahkan sin-kangnya, dengan tangan kosong saja agaknya dia akan mampu memukul pecah perisai itu, atau kalau dia mau mempergunakan kekuatan sihirnya, juga mudah baginya untuk menundukkan lawan. Akan tetapi dia tidak mau melakukan hal itu, menanti sampai Ji Sun menyerangnya selama delapan jurus. Kemudian, meliha tbetapa kaki kiri lawan itu terjulur keluar dari lindungan perisai, secepat kilat buntungan lengan baju itu menyambar ke arah pergelangan kaki itu, seperti seekor ular kain itu membelit kaki. Hek-houw Sun terkejut bukan main, menggerakkan goloknya untuk membacok putus kain itu, akan tetapi pada saat itu, Hay Hay telah menarik kain itu dengan tiba-tiba sambil mengerahkan tenaganya dan…… tubuh Hek-houw Ji Sun yang tinggi besar itu terlempar ke atas. Biarpun tubuhnya sudah melambung ke atas, kaki kirinya masih saja terlibat kain, dan sekali sentakan kebawah, tubuhnya meluncur lagi ke bawah, dan sebelum menghantam tanah, kembali Hay Hay menggerakkan tangan dan demikianlah, tubuh itu diputar-putar oleh Hay Hay, makih lama semakin cepat sepertl kitiran dan akhirnya, Hay Hay melepaskan kain dan tubuh itupun meluncur sampai jauh dan terbanting ke atas tanah. Hek-houw Ji Sun sudah kehilangan golok dan perisainya yang terlepas ketika diputar-putar tadi, dan begitu tubuhnya terbanting ke atas tanah, diapun cepat meloncat bangun. Semua orang sudah merasa kagum melihat betapa si tinggi besar hitam yang sudah dipurat-putar seperti itu dan terbanting jatuh, begitu jatuh sudah dapat bangkit kembali. Juga Hay Hay memandang terbelalak. Betapa kebal tubuh orang itu, pikirnya. Akan tetapi dia lalu tersenyum melihat betapa tubuh itu terhuyung-huyung, lalu jatuh terkulai dan tidak bergerak lagi karena pingsan. Kiranya, Hek-houw Ji Sun hanya bangkit sebentar saja. Kepalanya terasa pening, pandang matanya berputar-putar dan dia roboh pingsan. Karena penglihatan ini memang menggelikan, di antara para anak buah yang berada disitu, banyak yang menahan senyum geli melihat tingkah jagoan kedua ini.   "Keparat......!" Tiat-ci Thio Kang membentak keras dan dia sudah menghadapi Hay Hay, mengamati wajah dan seluruh tubuh pemuda itu. Seorang pemuda yang biasa saja, pikirnya, namun mampu merobohkan Hek-houw Ji Sun dalam sembilan jurus! "Orang muda, sebenarnya siapakah engkau, darimana dan apa maksudmu datang membikin kacau di sini?" Lagaknya tinggi, dan memang Tiat-ci Thio Kang terkenal seorang yang tinggi hati. Dia adalah jagoan yang datang dari kota raja, suka memandang rendah orang lain. Hay Hay tersenyum. "Sudah kukatakan bahwa namaku Hay Hay, aku seorang perantau dan aku datang bukan untuk membikin kacau, melainkan untuk bertemu dan bicara dengan Hartawan Coa. Kenapa engkau dan kawan-kawanmu menghalangiku? Kalian yang membikin kacau, bukan aku!" "Hemm, lagakmu sombong, Hay Hay. Kalau engkau mampu mengalahkan sepasang pedangku dan jari tanganku, barulah engkau boleh menghadap majikan kami.Nah, rasakan kelihaian Tiat-ci Thio Kang!" Berkata demikian, dia menggerakkan tangan dan nampak kilatan sinar sepasang pedang yang sudah dicabutnya dari punggung dan kini dia sudah memasang kuda-kuda sambil melintangkan kedua pedang di atas kepala, membentuk sebuah gunting. Hay Hay mengangguk-angguk. "Memang kalian ini orang-orang yang tinggi hati dan biasa mengandalkan kepandaian silat untuk menggunakan kekerasan memaksakan kehendak." "Tidak usah cerewet! Kalau engkau tidak berani, berlututlah dan menyerahkan kembali emas yang limapuluh tail itu kepadaku!" Hay Hay sudah kehabisan kesabaran. Dia tidak mau melayani orang-orang sombong ini, maka diam-diam dia mengerahkan kekuatan sihirnya dan berkata lantang. "Tiat-ci Thio Kang, engkau membawa-bawa dua ekor ular berbisa di tanganmu itu untuk apakah?" Tiat-ci Thio Kang terkejut. "Hah? Ular berbisa……..?" Dia menurunkan kedua tangannya dan melihat sepasang pedangnya. Matanya terbelalak dan mulutnya mengeluarkan bentakan aneh, lalu dia membuang jauh-jauh dua ekor ular cobra yang dipegangnya! Dua ekor ular itu sudah mengembangkan lehernya dan agaknya siap hendak mematuknya! Untung dia cepat membuangnya, kalau tidak, sekali patuk saja dia akan tewas! Semua orang yang melihat betapa Tiat-ci Thio Kang tiba-tiba membuang sepasang pedangnya, menjadi heran sekali. Hay Hay mengambil sepasang pedang itu dan dengan kedua tangannya, dia menekuk dua batang pedang itu. Terdengar suara "krekk! krekk!"dan dua patang pedang itu patah-patah. Pemuda itu seolah mematahkan dua batang ranting kecil yang lemah saja! Dibuangnya patahan dua batang pedang itu ke atas tanah.. Tiat-ci Thio Kang terbelalak. Ketika dia membuang dua ekor ular itu, dia meJihat betapa dua ekor ular itu terjatuh ke atas tanah lalu berubah menjadi dua batang pedangnya sendiri! Dan dia melihat pula betapa dua batang pedangnya itu dipatah-patahkan oleh pemuda yang luar biasa itu! "Bagaimana, Tiat-ci Thio Kang, apakah engkau belum juga mau mengundang majikanmu untuk keluar menemui aku?" tanya Hay Hay yang mengharapkan agar perkelahian terhenti sampai sekian saja. Akan tetapi, watak Tiat-ci Thio Kang amat tinggi hati. Biarpun dia melihat kenyataan yang aneh ketika sepasang pedangnya berubah menjadi ular berbisa, kemudian sepasang pedang itu dipatah-patahkan lawan, hal yang membuktikan betapa lihainya lawan, dia masih belum mau menyerah kalah dan masih penasaran. Dia tidak percaya bahwa seorang pemuda sederhana seperti itu akan dapat mengalahkannya, dan mampu menandingi jari-jari tangannya! "Pemuda iblis! Kalau engkau tidak mempergunakan sihir dan ilmu setan, mari kita mengadu kekuatan sebagai laki-laki!" "Maksudmu, mengadu kekuatan bagaimana?" Hay Hay bertanya. "Lihat jari-jari tanganku ini!" Thiat-ci Thio Kang mengangkat kedua tangannya ke depan, memperlihatkan jari-jari tangannya yang warna kulitnya berbeda dengan warna kulit bagian tubuh lain. Kulit jari tangan itu agak membiru dan mengkilat. "Sudah kulihat. Jari-jari tanganmu itu seperti tahu!" kata Hay Hay sambil tersenyum mengejek. Thio Kang marah sekali. Akan tetapi dia menahan diri dan berkata, "Bagus! Mari kita mengadu kekuatan. Jari tanganku yang seperti tahu ini boleh di adu dengan dadamu yang seperti agar-agar itu! Kalau sekali tusuk dengan kedua jari telunjukku ini aku tidak mampu menembus dadamu, aku mengaku kalah!" "Bagus, bagus! Pertandingan yang menarik. Jari tahu melawan dada agar-agar! Baik, Thiat-ci Thio Kang, aku menerima tantanganmu.tapi harus kubuka bajuku agar tidak sampai kotor oleh jari tanganmu." Berkata demikian, Hay Hay melepaskan kancing bajunya dan ketika dia membuka bajunya, nampak kulit dadanya yang putih. Diam-diam Tiat-ci Thio Kang sudah mengerahkan sin-kangnya, menggunakan Ilmu Jari Besi sehingga jari-jari tangannya menjadi keras, terutama sekali kedua jari telunjuknya di mana dia memusatkan tenaga dalamnya. Mereka sudah saling berhadapan. Hay Hay berdiri tegak dan santai, sedangkan Tiat-ci Thio Kang berdiri dengan kaku, memasang kuda-kuda. "Aku sudah siap!" kata Hay Hay dan begitu dia bicara, Tiat-ci Thio Kang sudah mengeluarkan suara bentakan nyaring dan tiba-tiba saja kedua lengannya meluncur ke depan, kedua jari telunjuknya menusuk ke arah dada kanan kiri! Cepat dan kuat sekali tusukannya itudan semua orang yang sudah pernah melihat jagoan ini menggunakan dua jari tangannya menusuk batu sampai berlubang dan papan sampai tembus, membayangkan betapa dada pemuda itu akan berlubang dan mengucurkan darah. "Krekkkk!" Dua jari telunjuk itu dalam saat yang sama bertemu dengan dada yang terbuka itu dan akibatnya, tiba-tiba Tiat-ci Thio Kang menekuk pinggangnya, membungkuk dan menggenggam jari telunjuk di kedua tangan, mukanya pucat dan mulutnya merintih-rintih, mukanya penuh dengan keringat dingin. Rasa nyeri yang menusuk-nusuk jantung datang dari kedua jari telunjuknya yang tulangnya patah-patah! Dia mencoba untuk mempertahankan, namun akhirnya dia terkulai dan roboh pingsan!   Hek-houw Ji Sun dan Kang-thouw-cu Phang Su sudah dapat memulihkan diri. Melihat jagoan pertama itu roboh pingsan, mereka lalu memberi aba-aba kepada puluhan orang pengawal untuk mengeroyok Hay Hay. "Tangkap dia!" "Bunuh dia!" Para pengawal itu bergerak lambat. Mereka ragu-ragu dan merasa agak jerih melihat betapa tiga orang jagoan itu semua sudah roboh oleh pemuda sederhana ini, roboh dengan mudahnya! Pada saat itu, terdengar bentakan seorang wanita. "Tahan semua senjata! Semua orang mundur!' Mendengar suara yang mereka kenal ini dan melihat munculnya Siok Bi. Gadis cantik manis yang selain menjadi pengawal pribadi Hartawan Coa, juga menjadi seorang kekasihnya itu, para pengawal menahan gerakan mereka. Tentu saja mereka mentaati gadis itu yang biarpun ilmu kepandaiannya tidak setinggi tiga orang jagoan yang telah kalah, namun memiliki kekuasaan yang lebih tinggi dari mereka. "Kalian mundur dan tidak boleh mengeroyok tamu ini! Selain kalian tidak akan menang, juga majikan kita berkenan hendak menerimanya. Dia memang datang untuk bertemu dengan majikan kita dan diterima sebagai tamu!" Siok Bi memberi isarat kepada Hay Hay, akan tetapi ia menjura dan berkata, "Tai-hiap dipersilakan masuk." Hay Hay juga memberi hormat dan menjawab, "Terima kasih, nona." Mereka berdua berjalan memasuki gedung itu, diikuti pandang mata semua pengawal yang kini memandang jerih dan kagum. Tak mereka sangka bahwa pemuda bercaping lebar yang sederhana itu memiliki ilmu kepandaian yang demikian hebatnya. Bukan hanya ilmu silat yang aneh dan tinggi, akan tetapi juga kekebalan tubuh dan ilmu sihir! Diam-diam, tiga orang jagoan itu, kini Thio Kang telah siuman, bergidik membayangkan apa akan jadinya dengan mereka andaikata pemuda itu bersungguh-sungguh hendak mencelakakan mereka. Tentu sekarang mereka bertiga telah menjadi mayat. Sementara itu, Siok Bi mendampingi Hay Hay memasuki gedung yang besar sekali itu. Para pengawal menjaga di setiap tikungan dengan tombak di tangan. Akan tetapi mereka berdiri tegak tak bergerak karena melihat bahwa pemuda asing itu ditemani oleh Siok Bi yang mereka kenal dan percaya. "Aku girang sekali engkau memenuhi janji, tai-hiap…….” Siok Bi berbisik ketika mereka lewat di bagian yang jauh dari penjaga. Hay Hay tersenyum. "Aku tidak pernah melanggar janji, apa lagi terhadap seorang gadis cantik jelita seperti engkau, nona Siok Bi!" Gadis itu menahan senyum dan merasa terharu sekali. Pemuda ini memang hebat. Setiap kalimat yang keluar dari mulutnya selalu menyenangkan hati! Aih, kalau saja ia dapat hidup di samping pria ini untuk selamanya! Biar dikurangi sepuluh tahun usianya, ia rela! Mereka berhenti di depan pintu yang tertutup, pintu sebuah kamar yang besar. Siok Bi mengetuk pintu dengan ketukan lirih tiga kali. "Ah, engkaukah itu, Siok Bi? Bagaimana, apakah dia sudah datang?" terdengar suara dari dalam kamar, suara besar Hartawan Coa. "Sudah, tai-ya, bahkan dia kini sudah berada di sini bersama saya. Bolehkah dia masuk menghadap?" Hening sejenak, kemudian terdengar suara Hartawan Coa. "Suruh dia masuk!" Daun pintu didorong terbuka oleh Siok Bi. Hay Hay melihat sebuah kamar yang mewah sekali. Kamar yang luas dan penuh dengan prabot yang serba mahal, indah dan mewah. Hartawan Coa sedang menghadapi meja penuh hidangan yang masih mengepulkan uap panas! Itukah sarapan pagi? Bukan main! Hidangan untuk sarapan pagi saja mengalahkan sebuah pesta orang biasa! Hartawail itu agaknya sedang sarapan, dilayani oleh tujuh orang gadis yang rata-rata berwajah cantik, bertubuh langsing dan bersikap genit. Di sebelah dalam agak ke sudut, terdapat sebuah pembaringan yang besar, yang cukup untuk tidur sepuluh orang. Agaknya hartawan itu sudah selesai sarapan, karena pada saat itu, para gadis sedang menyingkirkan hidangan-hidangan yang masih panas itu. Ketika Hartawan Coa melihat Siok Bi masuk bersama seorang pemuda yang capingnya lebar dan tergantung di punggung, menutupi buntalan yang cukup besar, dia memandang penuh perhatian. Inilah pemudayang semalam melindungi Gui Lok, mengalahkan dua orang pengawalnya dan membikin malu padanya di depan umum! Dan kini pemuda ini berani muncul, bahkan menurut laporan Siok Bi tadi, pemuda ini mengalahkan semua jagoannya dan tentu akan merobohkan puluhan orang pengawal kalau tidak segera diundang masuk. Siok Bi mengatakan bahwa pemuda tu datang bukan untuk membikin kacau, melainkan untuk menyerahkan uang seanyak lima puluh tail emas! Dan diapun sudah mendengar bahwa pemuda ini pula yang telah mengeduk lima puluh tail emas dari rumah judi, mengalahkan semua bandar judi yang tangguh. Biarpun hatinya diliputi keraguan dan juga perasaan takut, terpaksa dia menyetujui ketika Siok Bi menyatakan hendak mengundang saja pemuda itu masuk agar dapat bicara baik-baik. Menghadapi seorang pemuda yang selihai itu memang lebih baik degan cara damai. Bahkan, akan amat menguntungkan kalau pemuda selihai itu mau menjadi kaki tangannya! "Duduklah, orang muda yang gagah perkasaa" kata Hartawan Coa. Para pelayan wanita segera mengundurkan diri kamar itu hanya tinggal Hartawan Coa, Hay Hay dan Siok Bi bertiga saja. Para pengawal kini menggerombol di luar kamar itu, siap melindungi majikan mereka kalau diperlukan. "Terima kasih, Coa Wan-gwe,” kata Hay Hay sederhana dan diapun menurunkan buntalannya dari atas punggung, meletakkannya di atas meja dan dia sendiri lalu duduk di atas bangku dekat meja. Siok Bi juga duduk di antara mereka, dengan wajah berseri dan kedua pipi merah, matanya yang indah itu bersinar-sinar karena ia tahu bahwa pemuda itu menepati janji, membawa lima puluh tail emas itu untuk membeli kebebasannya! Semalam ia sudah memberi kabar kepada pemuda yang mencintainya itu, agar pagi ini siap menantinya di depan gedung, siap pergi bersamanya untuk menjadi suami isteri, memulai hidup baru yang cerah!   "Orang muda, semalam engkau berkata kepadaku untuk datang berkunjung. Dan sekarang, pagi-pagi engkau benar datang berkunjung dan mengatakan kepada para pengawal bahwa engkau datang membawa lima puluh tail emas untuk diberikan kepadaku. Benarkah itu dan apakah maksudmu? Apakah engkau hendak mengembalikan lima puluh tail emas yang kaubawa dari rumah judi itu?" Melihat sikap hartawan jtu, Hay Hay tersenyum. Tentu saja hartawan ini bersikap angkuh karena pada saat itu, dia menjadi tuan rumah dan selain itu, juga di luar kamar ini terdapat puluhan orang pengawal. Selain itu, juga di dekatnya terdapat Siok Bi yang tentu dianggapnya sebagai seorang pengawal yang setia. Dan memang sesungguhnya Siok Bi seorang pengawal yang setia, kalau saja ia tidak merasa begitu sengsara menjadi kekasih hartawan yang tidak dicintanya itu. "Coa Wan-gwe, rumah judi itu milikmu, bukan? Dan pernahkah engkau mengembalikan uang kekalahan dari para penjudi selama ini? Beberapa ratus ribu tail saja yang dimenangkan rumah judi itu dari para penjudi?" Hartawan itu tersenyum. "Dalam perjudian, menang dan kalah merupakan hal yang biasa, bukan?" "Benar begitu. Karena itu, kemenanganku di rumah judimu juga bukan hal aneh, kenapa sekarang kau mengharapkan aku mengembalikan uang kemenanganku dari rumah judi itu?" Hartawan yang tinggi besar dengan muka hitam bopeng itu tertawa. "Ha-ha-ha, akupun tidak mengharapkan, hanya aku mendengar engkau hendak memberikan lima puluh tail emas kepadaku. Benarkah itu, dan apa maksudmu dengan itu?" "Aku hendak menebus kebebasan nona Siok Bi!" Wajah yang tadinya tertawa itu tiba-tiba menjadi kaku, dan matanya terbelalak ketika dia menoleh dan memandang kepada Siok Bi. Gadis ini mehundukkan mukanya yang berubah merah, akan tetapi lalu diangkatnya mukanya itu dan dia menentang pandang mata Coa Wan-gwe dengan berani. "Dulu tai-ya membeliku dari mendiang ayah, kalau sekarang ada yang hendak menebusku kembali, anehkah itu?" Siok Bi berkata dengan suara yang tegas. "Tapi…… tapi……….. uang tebusan itu banyak sekali sekarang!" kata Coa Wan-gwe yang merasa sayang kepada Siok Bi untuk dua hal. Pertama, sebagai seorang di antara kekasihnya Siok Bi tetap merupakan seorang kekasih istimewa, tidak genit seperti para wanita lain sehingga kadang menjemukan, dan ke dua gadis ini memiliki ilmu silat yang cukup lihai sehingga dapat menjadi pengawal pribadi yang boleh diandalkan. Rumah judi itu maju pesat setelah Siok Bi menjadi pengurusnya. "Aku tahu, tai-ya. Pernah tai-ya mengatakan bahwa harga diriku sudah mencapai lima puluh tail emas, bukan?" kata Siok Bi!" kata Hay Hay sambil mendorong "Nah, untuk itulah aku datang, Coa Wan-gwe. Ini adalah lima puluh tail emas itu, untuk menebus kebebasan diri nona Siok Bi!" kata Hay Hay sambil mendorongkan buntalan emas itu ke arah tuan rumah. Sepasang alis yang tebal itu berkerut dan Hartawan Coa menoleh kepada Siok Bi. Teringatlah dia betapa selama sudah hampir sebulan ini Siok Bi selalu menjauhkan diri darinya, dengan dalih tidak enak badan dan sebagainya! "Ah, kiranya engkau jatuh cinta kepada pemuda ini dan hendak menikah dengan dia?" tanyanya. "Jangan salah mengerti, Wan-gwe." kata Hay Hay cepat, sedangkan Siok Bi menggelengkan kepalanya. "Aku hanya ingin menolongnya agar dia bebas dari sini dan dapat memilih jodohnya sendiri.Engkau tidak perlu tahu siapa yang dipilihnya, yang jelas bukan aku. Nah, bagaimana jawabanmu, Coa Wan-gwe?” Hartawan itu merasa serba salah. Uang lima puluh tail emas memang banyak, bagi kebanyakan orang. Bagi dia, tidak ada artinya. Dia tidak ingin uang sebanyak itu, karena uangnya sudah jauh lebih banyak lagi. Dia juga sayang kepada Sjok Bi. Terutama sekali, dia tidak rela harus mengalah kepada pemuda yang pernah membuat dia malu ini. Akan tetapi tnenentang kehendak pemuda lihai ini? Diapun ragu-ragu! Tiba-tiba dia tersenyum, memperoleh pendapat yang dianggapnya baik dan menguntungkan. Banyak wanita di dunia ini, yang lebih cantik menarik dari pada Siok Bi dan yang mudah dia dapatkan kalau dia menghendaki. "Aku tidak berkeberatan kalau Siok Bi hendak menikah dengan seorang pria pilihan hatinya. Akan tetapi aku tidak rela kehilangan seorang pembantu yang cakap. Begini saja, orang muda. Bagaimana kalau engkau menggantikan kedudukannya? Bukan hanya kedudukannya sebagai pemimpin rumah judi, bahkan kuserahkan kepadamu semua pimpinan para pasukan keamanan dan pengawal! Kuangkat engkau menjadi pembantu utama dan berapa saja gajih yang kau kehendaki, akan kupenuhi! Bagaimana?" Wajah pemuda itu berubah merah. Kurang ajar, pikirnya. Dia hendak dijadikan antek hartawan ini! "Coa Wan-gwe, urusan itu adalah urusan antara kita berdua dan boleh kita bicarakan nanti. Sekarang, beri dulu keputusan mengenai kebebasan nona Siok Bi!" Tidak ada pilihan lain bagi Hartawan Coa untuk mempertimbangkannya lagi kecuali menyetujui. Dia tahu betapa bahayanya menentang pemuda ini, apa lagi setelah kini Siok Bi berpihak kepadanya! Kalau terjadi keributan, dapat dipastikan bahwa Siok Bi yang akan dibebaskan oleh pemuda itu tentu akan membantunya. Dia menarik napas panjang dan menyentuh buntalan uang emas. "Baiklah, aku menerima lima puluh tail emas ini untuk penebus kebebasan Siok Bi. Mulai saat ini engkau bebas, Siok Bi." Mendengar ini, Siok Bi mengeluarkan seruan lirih dan ia sudah menjatuhkan diri berlutut di depan Hay Hay dan merangkul kaki pemuda itu. "Ah, tai-hiap, terima kasih…… terima kasih atas budimu yang takkan kulupakan selama hidupku……. " Suaranya mengandung isak. Hay Hay tersenyum dan sekali tarik, dia sudah memaksa gadis itu bangkit berdiri lalu merangkulnya. Dengan lembut sekali, diciumnya dahi gadis itu, lalu kedua pipinya sehingga ada air mata yang memasuki mulut melalui hisapan bibirnya. "Siok Bi, engkau memang pantas menemukan kebahagiaan. Nah, semoga engkau hidup berbahagia bersama suamimu dan ini aku tidak dapat memberi apa-apa kecuali bekal ini, agar engkau dan suamimu dapat memulai hidup baru dan memiliki modal."   Hay Hay mengambil sebuah guci arak, menaruhnya di atas meja di depan Coa Wan- gwe di dekat buntalan emas, lalu dia meraih buntalan emas lima puluh tail itu dan menyerahkannya kepada Siok Bi. Cadis itu terbelalak. "Tapi…….. tapi……..” Ia memandang ke arah Hartawan Coa yang agaknya telah berubah menjadi arca atau tidak melihat atau tidak peduli bahwa buntalan emas itu diambil oleh Hay Hay dan sebagai gantinya, di depanya kini berdiri sebuah guci arak itu, telah kosong pula. "Bawalah, Siok Bi, disertai doaku. Ini milikmu! Ingat, bukankah engkau yang telah berhasil menyelidiki tentang Ang-hong-cu itu? Nah, bawalah dan cepat kau pergi dari sini!" Cadis itu menahan isak, lalu merangkul Hay Hay dan tanpa memperdulikan Coa Wan-gwe yang berada di situ dan duduk seperti arca, Siok Bi mencium bibir pemuda itu dengan sepenuh perasaan hatinya, penuh kemesraan, kehangatan, keharuan dan rasa sukur yang tak terukur dalamnya. Kemudian, sambil menahan isak iapun menerima buntalan emas itu dari tangan Hay Hay, berbisik, "selamat tinggal, sampai jumpa pula, tai-hiap." Ia lalu keluar dari kamar dengan langkah yang cepat. "Selamat jalan, sampai jumpa pula, Siok Bi," Hay Hay berkata lirih sambil tersenyum. Masih terasa kehangatan dan kelembutan bibir gadis itu akan tetapi dia segera mengusir lenyap kenangan indah itu. "Coa Wan-gwe, sebaiknya kita bungkus dulu emas ini dan suruh orangmu menyimpannya, baru kita bicara." katanya kepada hartawan yang tadi duduk seperti arca itu. Dia kini seperti baru sadar dari tidur. "Ah, benar sekali, sebaiknya kusuruh simpan dulu." katanya sementara itu Hay Hay mengambil kain tilam meja yang lebar dan membungkus guci itu. Coa Wan-gwe bertepuk tangan dan muncullah dua orang gadis pelayan yang cantik genit. Tepukan tangan tadi adalah tepukan khas untuk memanggil dua orang selir terkasih ini. "Simpan buntalan emas ini di dalam almari dulu, dan jangan bilang kepada siapapun bahwa di situ disimpan emas lima puluh tail." katanya. Dua orang gadis itu lalu mengambil buntalan guci dari atas meja, membawanya ke almari di sudut dan menyimpannya. Mereka lalu meninggalkan kamar lagi ketika mendapat isarat dari majikan mereka. Biarpun mereka itu selir, akah tetapi kedudukan mereka tidak lebih sebagai pelayan yang melayani majikan mereka, bukan sebagai isteri. "Nah, sekarang kita berada berdua saja dalam kamar ini, Coa Wan-gwe. Terus terang saja, kalau aku menjadi pembantumu, dalam waktu beberapa bulan saja tentu engkau akan jatuh bangkrut dan seluruh harta bendamu akan habis!" "Mengapa begitu?" tanya hartawan itu terkejut. "Pertama, karena aku tidak suka melihat orang menjadi korban perjudian. Kedua, karena aku selalu menentang perbuatan jahat dan kejam yang dilakukan orang-orangmu atas perintahmu. Ke tiga, karena aku tidak suka melihat orang bersikap sewenang-wenang, memaksa wanita muda untuk menjadi miliknya. Dan ke empat, aku tidak dapat tinggal diam saja melihat orang-orang hidup melarat dan tidak dapat makan, dan hartamu tentu akan kubagi-bagikan kepada mereka!" Sepasang mata hartawan itu terbelalak. "Wah, wah, kalau begitu, tidak jadi saja! Aku tidak mau mempunyai pembantu seperti itu!" Hartawan Coa menjadi marah, lalu bangkit berdiri. "Orang muda, segera kau pergi tinggalkan rumahku jni dan jangan lagi mengganggu aku!" "Kalau aku tetap mengganggumu, kau mau apa?" Hartawan itu masih belum mau menyerah dan tiba-tiba dia menyambar sebuah tali yang tersembunyi di antara kain-kain sutera yang menghias kamar itu. Terdengar suara kelenengan di luar dan daun pintu kamar itu terbuka. Tiga orang gadis pelayan cantik yang bertubuh kuat mncul, bersama tiga orang jagoan yang tadi sudah dirobohkannya! Tiga orang jagoan itu nanlpak gentar sekali walaupun mereka cepat datang mendengar kelenengan yang berarti tanda bahaya bagi majikan mereka itu. Di luar pintu masih berdiri puluhan orang pengawal, siap dengan senjata di tangan. "Nah, engkau masih berani menggangguku?" bentak hartawan itu. Hay Hay tersenyum. Hartawan Coa ini harus diberi hajaran yang cukup keras untuk melunakkan hatinya yang keras. "Hemm, kau mengandalkan para pengawalmu? Engkau tidak tahu bahwa setiap waktu, para tukang pukul dan pengawalmu itu dapat saja berbalik memusuhimu, dan mungkin engkau akan dibunuh oleh mereka." "Tidak mungkin! Mereka adalah para pembantuku yang setia!" "Setia? Karena terpaksa dan karena uang, seperti halnya nona Siok Bi tadi. Kau……. !” Hay Hay menggapai seorang di antara tiga gadis itu. "Kau ke sinilah dan beri satu kali tamparan pada pipi Hartawan Coa!" Semua orang terkejut, juga Hartawan Coa. Akan tetapi sungguh aneh. Gadis itu yang tadinya terbelalak kaget mendengar perintah itu, kini melangkah maju menghampiri Hartawan Coa. "Plakk!" Tangannya menampar dan pipi hartawan itu telah ditamparnya! Tidak begitu nyeri, akan tetapi Hartawan Coa menjadi terkejut dan marah bukan main. Sebentar pucat dan sebentar merah mukanya. "Tangkap perempuan kurang ajar ini!" Hay Hay melangkah maju. "Siapa berani menangkapnya? Kalau aku tidak memberi perintah, tak seorangpun boleh mengganggunya!" Dan aneh, mendengar teriakan Hay Hay ini, tak seorangpun berani maju, biarpun Hartawan Coa berkali-kali memberi perintah.   "Kau! Majulah dan tampar pipi hartawan ini agar dia tidak berteriak-teriak Jagi!" kata Hay Hay pada gadis ke dua. Gadis itupun tadinya terbelalak, akan tetapi ia melangkah maju dan tangannya menampar. Hartawan itu hendak menangkis, namun kalah cepat. "Plakk!" Untuk kedua kalinya pipinya kena ditampar oleh gadis kesayangannya yang biasanya amat patuh kepadanya. "Tiat-ci Thjo Kang, jarimu sudah patah, maka pergunakan kakimu menendang pantat Hartawan Coa! Hayo cepat, jangan keras-keras, biar dia tahu rasa saja!" Tentu saja mendengar ini, Tiat-ci Thio Kang mempertahankan diri sekuatnya untuk menentang perintah yang berlawanan dengan kemauan hatinya itu. Akan tetapi, entah apa yang mendorongnya untuk melangkah maju dan kakinya terayun. "Bukk!” Hartawan Coa jatuh tersungkur dan bangkit sambil meringis dan menggosok pinggulnya yang tertendang. Kini mukanya pucat dan matanya terbelalak ketakutan memandang kepada Hay Hay. "Bagaimana? Haruskah aku lanjutkan? Kalau aku memerintahkan mereka itu menyembelihmu, sekarang juga akan mereka laksanakan, Wan-gwe!" "Tidak……. Tidak……..! Hentikan permainan setan ini !" katanya meratap ketakutan “Kalau begitu, perintahkan mereka itu mundur." "Mundur! Kalian semua mundur, terkutuk kalian!" Hartawan Coa membentak dan mereka semua segera keluar dari dalam kamar, menutupkan daun pintu kamar dengan khawatir melihat betapa majikan mereka marah-marah. "Nah, Wan-gwe. Begjtulah kalau engkau memelihara harimau-harimau liar. Sekali waktu mereka akan membalik dan mencelakai dirimu sendiri. Sekarang, aku minta agar engkau tidak lagi menggunakan kekayaan dan kekuasaanmu untuk berbuat sewenang-wenang. Kalau aku mendengar engkau masih melanjutkan perbuatanmu yang jahat, aku akan segera kembali ke kota ini dan akan kuperintahkan anak buahmu membunuhmu, atau mungkin juga keluargamu sendiri akan kuperintahkan mereka membunuh dan menyiksamu lebih dulu!" "Aku…… aku tidak berani lagi…….. " "Engkau tidak akan mengganggu lagi Gui Lok dan puterjnya, Gui Ai Ling yang kau inginkan itu?" "Tidak, tidak..... tidak lagi." "Dan engkau tidak akan menyuruh orang-orangmu mencaru Siok Bi untuk kauganggu ?" . "Tidak, aku tidak berani." "Bagus, akan tetapu jangan mencoba-coba untuk membohongi dan menipuku. Kalau perlu, aku dapat menyuruh siapa saja atau apa saja untuk menghukum dan membunuhmu. Lihat tombak dan pedang di sudut kamar itu. Aku dapat memerintahkan mereka itu untuk membunuhmu!" Sekali ini, dalam pandang mata yang tadinya ketakutan dari hartawan itu, berkilat sinar tidak percaya, walaupun mulutnya tidak berani mengatakan hal itu. "Engkau tidak percaya, Coa Wan-gwe? Nah, lihat baik-baik! Pedang dan tombakmu itu sendiri akan menyerangmu!" Tiba-tiba mata hartawan itu terbelalak dan mukanya yang hitam itu menjadi berkurang hitamnya karena pucat sekali. Dia melihat betapa pedang yang berada dalam sarungnya dan tergantung di tembok, kini meninggalkan sarung dan melayang-layang, bersama dengan tombak yang juga meninggalkan rak senjata. Kedua senjata itu melayang-layang ke atas lalu keduanya meluncur ke arah dirinya! Dia terkejut ketakutan dan melompat, menjauhi, akan tetapi ke manapun dia mundur, dua batang senjata itu terus mengejarnya, tombak itu seperti hendak menusuk-nusuk perutnya dan pedang yang tajam itu mengancam untuk membacok lehernya! Tentu saja dia mandi keringat dingin. "Tidak……..! Tidak……..! Jangan………. ah, ampunkan aku……… ampunkan……….. " dia jatuh berlutut dan tidak berani mengangkat lagi mukanya, tidak berani melihat dua senjata yang seperti hidup dan mengancamnya itu. "Mereka sudah kuperintahkan kembali ke tempat masing-masing, Wan-gwe." Hartawan Coa mengangkat mukanya dan benar saja. Dua buah senjata itu sudah berada di tempat masing-masing, tidak bergerak dan mati seperti biasanya. Dia mengeluh dan menghapus keringat dengan ujung lengan bajunya. "Nah, kaulihat sendiri, Wan-gwe. Sedangkan benda mati saja dapat berkhianat padamu, apa lagi manusia hidup. Sekali waktu, bisa saja pelayanmu sendiri meracunimu atau membunuhmu selagi engkau tidur. Karena itu, bertobatlah dan tinggalkan semua perbuatan jahat, baru Tuhan akan mengampunimu." Hartawan itu masih berlutut dan dia mengangguk-angguk. "Baik, baik…… aku minta ampun, aku bertobat…….. tidak berani lagi…..” Ketika dia mengangkat muka, ternyata pemuda itu telah lenyap dari situ! Ketika para pelayan dan pengawal memasuki kamar, mereka menemukan hartawan itu masih berlutut dalam keadaan seperti tidak bersemangat lagi! Hay Hay sama sekali tidak tahu bahwa sepeninggalnya, dia tidak hanya membuat hartawan itu menjadi bertobat, bahkan lebih dari itu dan sangat menyedihkan. Hartawan Coa menjadi seperti orang gila yang selalu ketakutan, takut terhadap isterinya, anak-anaknya, pelayan, bahkan takut kepada benda-benda dalam kamarnya. Dia selalu berteriak-teriak bahwa mereka semua hendak membunuhnya. Akhirnya, karena dia selalu marah-marah dan minta agar semua benda disingkirkan dari kamarnya, maka kamar itu menjadi gundul dan kosong. Bahkan dia tidur begitu saja di atas lantai karena takut kalau segala macam ranjang, kelambu, meja kursi, bantal guling, di tengah malam akan membunuhnya! Hartawan Coa menjadi seperti orang gila. Akan tetapi, kota itu menjadi tenang dan para penduduknya bernapas lega karena setidaknya, seorang yang tadinya amat ditakuti dan mengganggu ketenangan hidup mereka telah mati kutu. ***   Malam yang gelap karena malam itu gelap bulan. Langit hanya dihiasi laksaan bintang, atau jutaan atau bahkan lebih. Tak terhitung! Biarpun tidak ada bulan, namun sinar lemah dari bintang-bintang itu bergabung dan mampu pula mengurangi kepekatan malam, bukan menjadi gelap gulita lagi melainkan remang-remang. Akan tetapi, kompleks bangunan dalam lingkungan istana sama sekali tidak pernah gelap! Banyak sekali lampu-lampu gantung besar kecil, beraneka warna dan bentuk, menerangi bagian dalam dan luar istana. Bahkan di taman-taman bunga yang teratur indah terdapat lampu penerangan. Malam itu sunyi karena hawa malam itu amat dinginnya. Musim semi telah mulai, akan tetapi sisa musim salju masih meninggalkan hawa dingin yang menyengat tulang. Karena dinginnya, maka biar di lingkungan istana sendiri, malam itu sunyi. Para penghuninya, yaitu kaisar dan semua keluarganya, juga para dayang, para selir, para pelayan dan bahkan para pengawal, lebih suka berada di dalam bangunan dari pada di luar! Di udara terbuka, sungguh hawa dingin tak tertahankan. Para pengawal luar yang melakukan penjagaan di luar kompleks bangunan, lebih suka berkelompok di dalam gardu-gardu penjagaan di mana mereka dapat menghangatkan tubuh di dekat arang membara, atau perapian yang mereka buat untuk sekedar menghangatkan badan melawan hawa dingin. Para penjaga menjadi malas untuk meronda, karena meronda berarti meninggalkan gardu, memasuki tempat terbuka di mana mereka akan disambut oleh dekapan hawa yang amat dingin. Pula, siapakah yang akan berani mengganggu ketentraman istana? Berarti mencari mati konyol! Maling? Sebelum mendapatkan sesuatu, dia sudah akan mati kedinginan! Malam itu, malam yang dingin sunyi para penjaga menjadi lengah. Namun, bagi seseorang yang sedang dimabok cinta dan dendam birahi, yang sedang menderita rindu, pekerjaan berkencan dengan seorang kekasih yang dirindukan merupakan kewajiban yang dilakukan dengan sepenuh hati, dengan nekat dan kalau perlu mengorbankan diri! Apa lagi hanya hawa dingin di malam sunyi itu, biar harus menghadapi rintangan yang lebih berat sekalipun, seorang yang sedang merindukan pertemuan dengan kekasihnya takkan mundur selangkahpun! Demikian pula bagi pria yang kini sedang menanti di dalam taman bunga sebelah barat istana itu. Dia bersembunyi di balik rumpun bunga yang tumbuh lebat di sebelah kiri depan pondok indah itu. Pondok yang bercat merah dan diberi nama "Sarang Madu" di depannya, nama itu tertulis indah di papan yang tergantung di depan pondok. Nama ini diberikan kaisar karena dia merasa seolah-olah berada di sarang madu kala sedang bersenang-senang dengan para selir dan dayang yang muda-muda dan cantik jelita di pondok merah itu. Nama Sarang Madu itu ada riwayatnya. Ketika itu, pondok merah ini baru saja selesai dibangun dan belum ada namanya. Ketika kaisar dan para selir tercinta sedang bersenang-senang di situ, kaisar melihat sebuah sarang lebah tergantung di dahan pohon dekat pondok. Sarang lebah itu sudah penuh madu, nampak ada madu menetes-netes turun. Kaisar segera menyuruh pengawal untuk mengusir lebah-lebahnya dan menurunkan sarang lebah itu. Ternyata penuh dengan madu! Tentu saja kaisar menjadi gembira sekali, bersama para selir dan dayang minum madu yang manis. Karena peristiwa itulah maka pondok itu diberi nama Sarang Madu. Bukan hanya karena madu itu memang manis. Akan tetapi berpesta pora dengan para dayang dan seli yang cantik-cantik itu memang amatlah manisnya! Dan bagi pria yang kini bersembunyi di dekat pohon Sarang Madu itu, memang pondok itu merupakan sarang madu yang amat manis baginya. Semua kenangan manis, indah dan menggembirakan berada di dalam pondok itu sejak dia bertemu dan berhubungan dengan Hwee Lan! Pria itu kini menyelinap dekat tembok pondok yang lebih melindungi dirinya dari hembusan angin lembut dan kini sinar lampu gantung yang halus menyentuhnya. Dia seorang laki-laki muda berusia kurang lebih duapuluh lima tahun, berpakaian sebagai seorang perwira dan dia nampak gagah sekali dalam pakaian yang cemerlang ini. Sebuah pedang tergantung di pinggangnya, dan topi bulunya nampak bersih. Bulu itu kelihatan putih sekali di atas rambutnya yang hitam panjang. Wajahnya tampan menarik, dan jantan. Wajah yang disuka oleh kaum wanita. Tubuhnya jangkung dengan pinggang ramping, tubuh yang juga menjadi idaman wanita. Pendeknya, pemuda berusia dua puluh lima tahun ini amat menarik bagi wanita. Seorang yahg tampan, gagah dan memiliki kedudukan baik. Seorang perwira pengawal! Dan dari pangkatnya ini saja, perwira pengawal dalam istana, mudah diduga bahwa dia bukan seorang pemuda lemah, melainkan seorang pemuda gemblengan yang memiliki kegagahan dan ilmu silat tinggi. Perwira muda ini bernama Tang Gun. Baru dua tahun dia menjadi perwira di dalam istana, dipilih oleh kaisar sendiri karena dia telah berjasa, membantu pasukan pengawal membasmi perampok yang berani memberontak dan mengganggu ketenangan kaisar ketika kaisar berburu binatang di hutan. Pemuda yang gagah perkasa dan yang pekerjaannya sebagai seorang pemburu itu berhasil membantu para pengawal, bahkan dialah yang berhasil membunuh kepala perampok. Mendengar tentang kegagahan pemuda ini, kaisar memanggilnya dan karena gembiranya kaisar lalu menganugerahkan pangkat perwira pengawal kepadanya. Bukan pengawal luar, melainkan pengawal dalam istana, pangkat yang hanya diberikan kepada orang-orang yang benar-benar dipercaya oleh kaisar! Tang Gun tadinya hidup berdua saja dengan ibunya yang sudah berusia empat puluh tiga tahun. Hidup berdua dalam keadaan miskin karena ibunya adalah seorang janda dan kehidupan mereka hanya mengandalkan hasil buruannya. Kalau dia berhasil membunuh seekor dua ekor kijang atau beberapa ekor kelinci, dagingnya lalu dibuat daging kering oleh ibunya, kulit dan daging kering itu dijual dan di tukar dengan beras, terigu dan bumbu-bumbu masak, juga untuk membeli pakaian. Mereka hidup di tempat terpencil, di dekat hutan. Sejak kecil, Tang Gun memang suka mempelajari ilmu silat. Dari kawan-kawannya, para pemburu, dia belajar silat dan mencari guru-guru silat yang pandai. Karena tekunnya dan tidak mengenal lelah, juga rajin mencari guru yang pandai. Akhirnya dia menjadi seorang pemuda gemblengan yang pandai silat dan menjadi jago di antara para pemburu. Ibunya selalu mengatakan bahwa sejak dia masih kecil sekali, ayah kandungnya telah meninggalkan mereka. Menurut ibunya, ayah kandungnya itu she Tang dan ibunya menyerahkan sebuah benda yang berbentuk ukiran seekor kumbang dari emas dan batu mirah. Si Kumbang Merah atau Ang-hong-cu, demikianlah julukan ayah kandungnya. Demikian menurut ibunya. Dia tidak pernah mengenal ayahnya, hanya tahu bahwa ayahnya she Tang dan berjuluk Ang-hong-cu, menurut ibunya seorang yang amat sakti dan kalau dia kelak melihat seorang pria yang mempunyai tanda mainan seperti yang dimilikinya, maka itulah ayahnya!   Tang Gun sudah mencari keterangan di dunia kang-ouw tentang Ang-hong-cu. Akan tetapi, dengan kecewa dia mendengar bahwa sudah bertahun-tahun dunia kang-ouw tidak lagi mendengar nama Ang-hong-cu. Seolah-olah Si Kumbang Merah itu telah lenyap atau mungkin juga sudah mati! Maka, Tang Gun menjadi putus asa dan tidak mencari lagi. Ketika dia masih menjadi seorang pemburu biasa, kenyataan bahwa dia tidak berayah lagi, bahkan dia tidak tahu dimana ayahnya, sudah mati atau belum, tidak merupakan hal yang perlu dirisaukan benar. Dia hanya seorang pemburu miskin. Siapa yang akan memperhatikan dirinya dan siapa yang ingin mengetahui siapa ayahnya? Akan tetapi, setelah dia menjadi seorang perwira pengawal di istana, hal itu menjadi amat penting! Dia kini seorang yang berkedudukan dihormati dan disegani, bahkan dekat dengan keluarga kaisar! Maka, untuk mengangkat dirinya, terutama di kalangan pasukan dan juga di dunia persilatan mulailah dia mengaku bahwa dia adalah putera dari Ang-hong-cu yang dikabarkan memiliki kesaktian hebat itu! Berita yang dibangga-banggakan inilah yang akhirnya sampai ke telinga Hay Hay lewat Siok Bi.