Sejak remaja, karena dia memiliki wajah tampan menarik, tubuh yang kokoh kuat sehingga dia nampak gagah dan jantan, Tang Gun disukai banyak wanita. Dan diapun sadar akan ketampanannya, sadar bahwa banyak wanita menyukainya. Oleh karena itu, biarpun ibunya yang menjanda itu mendesaknya untuk segera menikah, Tang Gun selalu menolak. Dia merasa rugi kalau harus menikah. Pertama, untuk menikah dia harus memiliki uang dan dia seorang yang miskin. Setelah menikah, berarti tanggungannya bertambah, tadinya hanya dua orang menjadi tiga orang, belum lagi kalau isterinya melahirkan anak. Ke dua, setelah dia beristeri, tentu akan berkurang rasa suka para wanita terhadap dirinya. Jauh lebih senang kalau dia masih bebas, dia dapat berpacaran dengan wanita manapun yang suka padanya dan disukainya. Maka, mulailah Tang Gun dikenal sebagai seorang pemuda yang mata keranjang, selalu diburu wanita dan dia berganti-ganti pacar! Betapapun juga, dia tidak pernah melakukan pelanggaran. Tidak pernah dia memperkosa wanita, tidak pernah pula dia mempermainkan isteri orang. Dia hanya menyambut uluran cinta seorang gadis atau seorang janda muda. Setelah berusia dua puluh tiga tahun dan diangkat menjadi perwira pengawal dalam istana, nafsu berahi yang selama ini memperhamba batin dan badannya terkekang dan tidak mudah dapat disalurkan. Dia kini telah menjadi seorang perwira pengawal dalam istana. Tentu saja dia tidak boleh sembarangan mengumbar nafsu seperti ketika dia masih tinggal di dusun. Dia harus menjaga namanya dan kini dia tinggal di kompleks perumahan para perwira yang berada di lingkungan istana, walaupun di bagian luar, namun masih berada di belakang tembok yang mengelilingi istana. Dia tinggal bersama ibunya, dalam sebuah rumah yang cukup indah walaupun sedang saja. Ada pula dua orang pelayan, laki-laki dan wanita, yang menjadi pelayan rumah mereka. Dia hanya dapat mencari hiburan dan bersenang-senang kalau dia sedang memperoleh giliran cuti dan dia pergi ke rumah pelesir yang jauh berada di sudut kota, menyamar sebagai seorang pemuda biasa. Akan tetapi kalau dia sedang bertugas, dan berada di rumah, dia tidak dapat berkutik. Sebagai seorang perwira pengawal, apa lagi pengawal di dalam istana, dia harus selalu sopan dan menjaga kesusilaan. Sebagian besar para perwira pengawal, juga para prajurit pengawal, yang mengawal sebelah dalam istana, apa lagi yang mengawal bagian keluarga puteri kaisar, adalah para thai-kam (laki-laki kebiri). Dia sendiri tidak diharuskan menjadi thai-kam karena kaisar percaya kepadanya. Karena tugasnya menjadi komandan pengawal dalam istana, maka seringkali Tang Gun memimpin rombongan pengawal melakukan perondaan di waktu malam. Bahkan sering pula dia mendapat giliran berjaga di dalam taman yang berhubungan dengan tempat para puteri. Maka, sering pula dia melihat kaisar kalau Sribaginda ini sedang berjalan-jalan di dalam taman atau sedang bersenang-senang dengan para selir dan dayang di pondok-pondok indah. Tentu saja dia selalu bersikap hormat, berlutut dan menundukkan mukanya, tidak berani mengangkat muka memandang Sribaginda dan para wanita cantik itu. Akan tetapi, karena dia mata keranjang, ketika matanya tidak dapat melihat namun hidungnya dapat mencium keharuman yang keluar dari pakaian para wanita, telinganya dapat menangkap suara tawa merdu sekali, sepatah dua patah kata yang keluar dengan halus lembut seperti nyanyian merdu, jantungnya terguncang hebat. Dan lambat laun, setelah hampir dua tahun dia terbiasa dengan kesempatan seperti itu, mulailah dia berani bermain mata. Biarpun kepalanya ditundukkan, namun matanya mengerling ke atas. Makin kagumlah dia ketika meiihat wanita-wanita cantik jelita dalam pakaian yang serba indah itu. Tadinya, dia hanya mampu melihat bagian tubuh di bawah saja. Dari kaki-kaki mungil sampai ke lutut yang tertutup suteta beraneka warna. Kini dia dapat melihat wajah para pemilik kaki mungil itu. Dan ternyata dia tidak menemukan wanita yang angkuh dan tinggi seperti dalam dongeng tentang puteri-puteri dan keluarga kaisar. Melainkan wajah-wajah cantik jelita dan manis yang memandang kepadanya dengan penuh gairah! Mata yang jeli itu, mulut yang segar kemerahan itu, menunjukkan dengan jelas sekali betapa mereka itu kehausan! Tang Gun yang sudah banyak bergaul dengan wanita, dapat melihattanda-tanda yang menunjukkan bahwa kebanyakan dari para wanita muda itu, para selir dan dayang dari Kaisar, memandang kepadanya dengan penuh birahi! Memang demikianlah keadaan para wanita muda dan cantik itu. Mereka melihat seorang perwira pengawal yang muda, tampan, ganteng, gagah dan jantan. Apa lagi mereka mendengar dari para thai-kam yang selalu bermuka-muka terhadap mereka bahwa Tang-ciangkun (Perwira Tang) ini, yang pernah menyelamatkan kaisar, adalah seorang perwira yang benar-benar jantan dan laki-laki tulen, bukan thai-kam! Tentu saja hal ini membuat mereka tertarik dan mereka selalu timbul birahi dan gairah setiap kali melihat perwira itu. Memang seperti itulah keadaan para wanita muda yang menjadi penghuni istana raja di manapun juga. Seorang kaisar sudah lajim mempunyai banyak sekali selir dan dayang, sampai puluhan orang banyaknya. Hal ini tentu saja merupakan keadaan yang tidak seimbang. Puluhan orang selir dan dayang itu adalah wanita-wanita yang masih muda, bagaikan bunga-bunga di taman yang sedang segar-segarnya, sedang mekar indah dan membutuhkan banyak sekali siraman dan curahan kasih sayang dan kemanjaan pria. Sebaliknya, kaisar yang sudah setengah tua itu tentu saja tidak mungkin dapat memenuhi kebutuhan badan dan batin mereka. Kaisar hanya mampu memberikan kedudukan dan kemewahan saja. Para wanita itu mendambakan perhatian, pencurahan kasih sayang yang lebih sering dan lebih banyak. Mereka itu rata-rata merasa kesepian, seperti burung-burung dalam kurungan. Maka, tidaklah mengherankan dan bukan semata karena watak mereka yang genit kalau mereka itu segera tertarik kepada Tang Gun yang muda, tampan, gagah dan memiliki kerling mata tajam dan senyuman menggairahkan hati mereka itu.   Akan tetapi bagi Tang Gun, yang paling membuatnya tergila-gila adalah seorang selir kaisar yang bernama Hwee Lan. Mula-mula, pertemuannya dengan Hwee Lan merupakan hal yang kebetulan saja dan tidak disengaja. Pada suatu malam, bebarapa bulan yang lalu, malam terang bulan yang amat indah. Tang Gun yang kebetulan dinas jaga, memimpin para pengawal dalam istana dan membagi-bagi tugas jaga, merasa iseng dan diapun memasuki tarman istana bagian barat yang indah. Sambil meronda, diapun sekalian menikmati malam yang amat indah itu. Malam yang hawanya tidak begitu dingin, terang bulan pula dan karena ketika itu bunga-bunga di taman sedang mekar, maka keadaan taman itu sungguh amat indah, romantis dan penuh dengan keharuman bunga. Tiba-tiba dia dikejutkan oleh gerakan dan suara orang di belakang pondok Sarang Madu yang merah itu. Menduga terjadi sesuatu yang mencurigakan, diapun menyelinap di antara semak-semak dalam taman dan mengintai dari balik batang pohon. Kiranya yang berada di antara bunga mawar yang ditaman di bagian belakang pondok itu adalah seorang diantara para selir yang paling jellta! Selir itu memang amat menarik dan mempesona hati Tang Gun setiap kali melihatnya, dengan kulit muka yang bukan hanya putih mulus seperti para selir lain, melainkan putih bercampur warna merah segar, seperti kulit bayi yang montok. Dan selir yang usianya paling banyak delapan belas tahun itu ditemani seorang dayang pelayan yang juga usianya masih muda, paling banyak dua puluh satu tahun, cantik pula. Namun, dibandingkan dengan selir itu, kecantikan dayang ini tidak ada artinya lagi. “A Sui, malam begini indah, taman penuh bunga, udara begini sejuk dan harum. Aih, betapa indahnya malam ini………." Tang Gun yang mengintai, merasa jantungnya berdebar penuh kagum. Suara itu, demikian merdu, dan kata-kata itu demikian halus dan indah. Dayang itu tersenyum. "Aduh, kata-kata nona Hwee Lan selalu amat indah, seperti nyanyian, seperti sajak…. " dayang itu memuji. "Memang aku suka bersajak, A Sui, apa lagi dalam suasana yang begini indah….. " selir cantik itu mengangkat muka memandang ke arah bulan purnama. Wajah itu sepenuhnya tertimpa sinar bulan, nampak putih kemerahan, seperti disepuh emas sehingga Tang Gun yang mengintai terpesona. Belum pernah selama hidupnya dia melihat wanita secantik selir itu. Dan namanya Hwee Lan! Dayang itu bertepuk tangan memuji. "Kalau begitu, mengapa nona tidak membuat sajak tentang malam yang indah ini? Saya akan berbahagia sekali mendengarkannya, nona." Sikap dayang itu amat bersahabat, karena walaupun kedudukannya sebagai dayang yang melayani selir itu, sebagai pelayan pribadi, namun dayang inipun termasuk seorang di antara para dayang cantik yang menerima "kehormatan" dari kaisar, yaitu pernah dan sewaktu-waktu menemani dan melayani kaisar di kamar tidurnya. Oleh karena itu, walaupun kedudukan mereka berbeda, namun keduanya merasa senasib dan seperti madu saja. Hwee Lan kembali merenung memandang bulan, lalu beberapa kali dia menarik napas panjang. "A Sui, di malam terang bulan seperti ini selalu mengingatkan aku akan masa remaja ketika aku belum dibawa ke dalam istana, bergembira ria bersama teman-teman di kampung. Dan malam sepertl ini selalu mengingatkan aku akan keadaanku sekarang. Aku akan mencoba bersajak, akan tetapi hanya untuk telinga kita berdua saja, A Sui." Suasana menjadi hening. A Sui, juga Tang Gun yang bersembunyi, menanti dengan penuh pesona. Bahkan kembang-kembang di taman itu seperti menanti pula, dari semilir angin lembut mendadak berhenti, seperti memberi kesempatan kepada si jelita untuk mengalunkan suaranya yang merdu. Hwee Lan masih berdiri, demikian lembut seperti sebatang pohon yang-liu muda, memandang bulan, kemudian terdengarlah suaranya, lirih dan lembut seperti desahan bayu di antara daun pohon cemara. "Malam syahdu penuh pesona Mencipta sajak memuja asmara Bulan gemilang bayu berdendang Taman mengharum mengapa hati bimbang? Mawar merah cantik jelita , Tiada belaian, sepi menderita Siapa perduJi mawar sengsara Apa guna segala ratap hampa Mawar jndah menangis sendirj Akhirnya layu........ kering...... mati ...!" Sajak itu diakhiri dengan isak tangis tertahan. A Sui segera bangkit berdiri, merangkul Hwee Lan dan ikut pula menangis, akan tetapi disertai kata-kata menghibur. "Sudahlah, nona, Tidak perlu membiarkan duka berlarut-larut menggerogoti hati. Memang beginilah nasib wanita-wanita seperti kita......... "   "Wahai Mawar Merah nan suci ada taman sepotong hati dengan pupuk kesetiaan sejati dan siraman air cinta murni bersedia menampung jika sudi!" Dua orang wanita itu terkejut dan menengok ke arah pohon besar di belakang pondok. Ketika melihat munculnya Tang Gun, Hwee Lan tidak menjadi ketakutan. Wajahnya berubah kemerahan dan kedua kakinya gemetar ketika perwira yang tampan itu menghampiri. Mereka berdiri dan saling pandang, sedangkan A Sui sambil menahan senyumnya mundur ke belakang nonanya. Dua orang wanita ini sudah sering kali membicarakan ketampanan dan kegagahan Tang Gun. "Kiranya Tang-ciangkun………. !" kata Hwee Lan, suaranya merdu dan lirih, agak gemetar karena jantungnya berdebar penuh ketegangan. “SeJamat malam, Tuan Puteri dan maafkan kalau hamba mengganggu. Hamba tadi meronda lalu mendengar……….. "   "Sudahlah, ciangkun. Engkaukah yang menjawab sajakku tadi?" Betapa beraninya wanita ini, piker Tang Gun, betapa hausnya! "Benar, Tuan Puteri, dan ampunkan hamba……. " "Benarkah apa yang kaukatakan dalam sajak tadi? Engkau bersedia menampung mawar layu, bersedia menyirami dan menyegarkannya kembali?" "Hamba bersedia, dengan sungguh hati dan dengan segala kebahagiaan dan kehormatan, Tuan Puteri……… " Kini seluruh tubuh Hwee Lan gemetar dan ia menoleh ke sekelilihg. Setelah merasa yakin bahwa tidak ada orang lain di situ, ia melangkah maju, memegang tangan perwira itu dan berkata lirih, "Mari kita bicara di dalam pondok, ciangkun. Tidak baik kalau diketahui orang. A Sui, engkau menjaga di luar." A Sui tersenyum gembira dan mengangguk, membayangkan bahwa iapun sudah pasti akan mendapat bagian karena bukankah rahasia mereka berdua berada di telapak tangannya? Tang Gun menjadi berani dan diapun menggenggam tangan yang kecil hangat dan lunak itu dan mereka bergandeng tangan memasuki pondok Sarang Madu. Mudah dibayangkan apa yang terjadi malam itu di pondok Sarang Madu. Dua orang muda yang dilanda dan dicengkeram nafsu birahi itu sepenuhnya menyerah dan menjadi permainan nafsu mereka sendiri yang tak pernah mengenal puas. Dan keduanya terkulai dan menyerah. Bagi Hwee Lan yang sejak perawan dibawa ke dalam istana, selama ini hanya mengenat kaisar yang setengah tua sebagai satu-satunya pria yang menggaulinya, kini bertemu dengan Tang Gun yang muda, gagah, tampan dan jantan, tidaktah mengherankan kalau ia tergila-gila. Sebaliknya, biarpun Tang Gun sudah banyak bergaul aengan wanita, namun selama ini diapun belum pernah bertemu dengan wanita secantik dan sepanas Hwee Lan, maka diapun tergila-gila dan keduanya saling melekat dan merasa bahwa mereka tak mungkin dapat saling kehilangan atau saling berpisah! Tang Gun yang cerdik maklum bahwa keselamatan dia dan kekasihnya berada di tangan A Sui. Kalau dibiarkan hal itu lewat begitu saja, tentu dia dan kekasihnya akan menjadi permainan dayang itu dan dapat diperas habis-habisan. Oleh karena itu, atas persetujuan Hwee Lan yang juga melihat ancaman bahaya ini, Tang Gun mempergunakan ketampanannya untuk merayu A Sui. Dan dayang inipun hanya seorang gadis yang tidak jauh bedanya dengan Hwee Lan, haus akan belaian dan kasih sayang pria, apa lagi kalau prianya setampan dan segagah Tang Gun. Iapun menyerah dalam dekapan Tang Gun. Maka amanlah hubungan mereka karena kesemuahya terlibat. Nafsu tak pernah merasa puas. Bahkan makin dituruti, nafsu menjadi semakin ganas, semakin kelaparan dan selalu .menghendaki lebih! Maka, pertemuan antara Tang Gun dan Hwee Lan yang ditemani A Sui yang berakhir dengan permainan cinta gelap sepanjang malam itu tidak berhenti sampai di situ saja. Pertemuan demi pertemuan diatur dan diadakan antara mereka, makin lama semakin sering seperti orang kecanduan! Dua bulan telah lewat dan pada malam yang amat dingin itu, Tang Gun tidak undur oleh dinginnya hawa udara dan dia sudah menanti kekasihnya di dekat pondok Sarang Madu. Malam itu adalah malam yang penting sekali bagi mereka bertiga, karena malam itu mereka sudah mengambil keputusan untuk melarikan diri dari dalam istana! Atau lebih tepat, Hwee Lan akan dibantu kekasihnya melarikan diri keluar istana. Sejak sore tadi Tang Gun yang menjadi komandan pengawal telah mengatur sedemikian rupa sehingga ada jalan terbuka yang tidak dijaga. Dan agaknya hawa udara yang dingin membantu mereka para pengawal lebih suka bersembunyi di dalam gardu penjagaan menghangatkan diri. Karena ia sendiri juga terlibat, maka tentu saja A Sui juga ikut pula melarikan diri. Tang Gun bukan seorang bodoh. Dia tidak berani melarikan dua orang wanita yang sudah menjadi kekasihnya itu ke rumahnya yang maslh berada di dalam lingkungan istana. Tidak, dia tidak setolol itu. Dengan bantuan keuangan dari Hwee Lan, menjual barang-barang perhiasan yang mahal, Tang Gun telah membeli sebuah rumah di kota Yu-sian, jauh di sebelah barat kota raja. Rencana mereka, kalau dua orang wanita itu sudah dilarikan ke Yu-sian, kemudian setelah keributan karena pelarian mereka itu mereda, Tang Gun akan melepaskan jabatannya dan mnyusul ke Yu-sian di mana mereka akan hidup baru, dengan berdagang menggunakan modal yang sudah mereka kumpulkan. Tak lama kemudian, muncullah dua orang wanita muda itu, membawa buntalan. Tang Gun menyambut mereka dengan rangkulan, mereka berciuman mesra, lalu ketiganya menyelinap diantara pohon-pohon dan rumpun bunga di taman, melarikan diri melalui jalan yang sudah di atur oleh Tang Gun. Sesuai rencana, mereka dapat keluar dari lingkungan istana tanpa diketahui orang. Seorang paman, sanak ibunya, telah menanti di luar tembok istana dengan sebuah kereta. Dua orang wanita itupun naik ke dalam kereta. Setelah mereka berangkulan sejenak dengan Tang Gun di dalam kereta untuk mengambil selamat berpisah, kereta lalu di1arikan dan Tang Gun menyelinap kembali ke dalam tembok istana, kembali ke gardu penjagaan seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu. Pada keesokan harinya, barulah para selir dan dayang menjadi ribut karena mereka tidak melihat adanya Hwee Lan dan A Sui. Setelah melapor kepada Tang-ciangkun dan komandan ini mengerahkan semua anak buahnya mencari-cari di dalam konlpleks istana tanpa hasil, barulah laporan disampaikan kepada kaisar tentang menghilangnya selir dan dayang itu. Bagi kaisar, kehilangan seorang selir dan seorang dayang tidak ada artinya karena dalam sehari saja dia mampu mendapatkan sepuluh orang penggantinya yang lebih muda dan cantik. Akan tetapi yang membuat kaisar marah adalah karena peristiwa itu merupakan tamparan dan merupakan hal yang memalukan. Seolah-olah larinya mereka itu memberi kesan bahwa para selir dan dayang merasa tidak beruntung hidup di dalam istana. Karena itu, kaisar memanggil Tang Gun dan mernarahinya.   "Tang Gun! Engkaulah yang menjadi komandan jaga, komandan pengawal di bagian dalam istana. Bagaimana sampai engkau dan pasukanmu kebobolan dan tidak tahu adanya dua orang wanita yang meloloskan diri dari istana?" Tang Gun berlutut dan memberi hormat sampai dahinya menyentuh lantai. "Mohon seribu ampun, Sribaginda. Hamba telah mengerahkan seluruh pasukan pada malam tadi untuk berjaga-jaga, bahkan hamba sendiri melakukan ronda. Akan tetapi, malam tadi hawa udara demikian dinginnya sehingga para pengawal banyak yang berlindung di dalam gardu, Bahkan para pengawal di bagian luar istanapun banyak yang berada di dalam gardu sehingga tidak ada seorangpun yang melihat dua orang wanita itu keluar dari dalam istana. Hamba menerima salah, dan hamba siap menerima hukuman dari paduka, bahkan hamba akan menerima andaikata hamba dihukum mati, buang atau dihentikan dari jabatan hamba sekalipun." Ucapan terakhir itu bukan hanya untuk pemanis bibir atau untuk pengakuan salah belaka. Tang Gun akan bersukur sekali kalau memang dia dihentikan dari jabatannya karena dia akan dapat segera menyusul kekasihnya, ke kota Yu-sian. Akan tetapi, kaisar mengampuninya karena kaisar masih teringat akan jasa perwira muda itu. Kaisar lalu memerintahkan Tang Gun untuk menghubungi para komandan pasukan pengawal di dalam dan di luar istana untuk melakukan penyelidikan dan mencari dua orang wanita yang lolos dari istana itu. Untuk merangsang mereka, kaisar menjanjikan kenaikan pangkat dan hadiah besar kepada siapa yang dapat berhasil membawa kembali dua orang wanita itu ke istana. Semua ini dilakukan kaisar bukan karena dia sayang kepada dua orang wanita itu, melainkan karena dia ingin menghapus kesan buruk dan akan menghukum mereka. Tentu saja usaha ini sia-sia. Tidak mudah mencari dua orang wanita yang sudah pergi jauh itu, apa lagi ada Tang Gun yang selalu mengelabuhi dan menyesatkan arah penyelidikan dan pengejaran. *** Malam itu kembali Tang Gun berdinas jaga. Dia duduk termenung di dalam gardu jaga. sebulan telah lewat semenjak kekasihnya pergi melarikan diri. Selama itu, baru satu kali dia sempat menengok ke kota Yu-sian, dengan dalih mencari jejak mereka yang melarikan diri, sekalian cuti. Hatinya lega bahwa Hwee Lan dan A Sui telah tiba di tempat tujuan dengan selamat. Kedatangan mereka sebagai penduduk baru, dengan pamannya sebagai tuan rumah, tidak menimbulkan kecurigaan. Akan tetapi, hanya sehari semalam saja dia dapat melepaskan rindunya kepada Hwee Lan dan A Sui. Dia harus cepat mengundurkan diri dari jabatannya, pikirnya. Akan tetapi tidak sekarang, karena sekarang akibat pelarian itu masih menjadi buah bibir, juga kaisar masih belum melupakan peristiwa itu dan seringkali menanyakan berita pencarian dua orang wanita itu. Tang Gun merasa gelisah. Dua orang kekasihnya di Yu-sian itu terlalu cantik. Mereka masih muda dan mereka sampai nekat melarikan diri dari istana adalah karena mereka merasa kesepian dan ingin menikmati hidup bersama dia. Sekarang, kembali mereka kesepian di Yu-sian dan hal itu amat berbahaya kalau dibiarkan berlarut-larut. Siapa tahu akan muncul. penggoda di sana, seorang pemuda yang ganteng! Hatinya dipenuhi rasa cemburu dan dia semakin gelisah. Dia bangkit dan memesan kepada anak buah yang berada di pintu agar waspada. Dia sendiri lalu meninggalkan gardu, memasuki taman. Dia ingin mencari angin dan hawa sejuk untuk menenangkan hatinya. yang gelisah. Tanpa disengaja, langkah-langkah kakinya membawanya menuju taman barat dan tibalah di depan pondok Sarang Madu. Dia berhenti sejenak dan membayangkan semua pengalaman yang amat menyenangkan di pondok itu bersama Hwee Lan dan A Sui. Terkenanglah dia kepada mereka dan timbul perasaan rindu. "Tang-ciangkun……. " Suara merdu seorang wanita yang memanggilnya itu membuat Tang Gun tersentak kaget. Hampir dia berseru memanggil nama A Sui ketika melihat munculnya seorang gadis berpakaian dayang dari balik semak-semak. Teringat bahwa A Sui telah pergi bersama Hwee Lan, dia menahan suaranya dan memandang penuh perhatian. Kiranya wanita itu adalah A Cui, seorang dayang lain, pelayan dari selir ke lima kaisar. Karena banyaknya dayang di istana, tentu saja Tang Gun tidak mengenal mereka semua dan biarpun dia tahu bahwa wanita yang manis inipun seorang dayang, dia tidak tahu siapa namanya. "Ada apakah? Siapakah engkau dan mengapa memanggilku di sini?" tanyanya, pura-pura alim. Kalau saja tidak pernah terjadi peristiwa larinya Hwee Lan dan A Sui, tentu sikapnya berbeda dan dia akan lebih ramah dan manis terhadap dayang ini. "S'ttt, Ciangkun, aku A Cui dan aku akan membicarakan urusan penting denganmu. Mari kita masuk ke dalam pondok dan bicara di dalam " kata wanita itu sambil melepas kerling tajam disertai senyum manis menentang. Pada saat itu, Tang Gun sedang berusaha sekuat tenaga untuk menjauhkan setiap kecurigaan tentang menghilangnya selir kaisar dan dayangnya itu dari dirinya, maka biarpun dengan hati menyesal, terpaksa dia tidak berani melayani tantangan yang menggairahkan itu. "Aih, nona A Cui. Jangan main-main. Mana aku berani?" katanya menolak. "Tang-ciangkun, tak usah berpura-pura. Aku mau bicara tentang rahasia pondok Sarang Madu. Hayolah!" Ia melangkah menuju ke pintu depan pondok. Tang Gun mengerutkan alisnya. "Rahasia pondok Sarang Madu'?" jantungnya berdebar tegang. " Apa maksudmu?" "Maksudku …….. hemm, apa lagi kalau tidak mengenai Hwee Lan dan A Sui? Nah, maukah engkau ikut masuk? Atau engkau lebih suka kalau aku membicarakan urusan itu dengan orang lain?" Seketika pucat wajah Tang Gun mendengar ucapan itu.Tak perlu di jelaskan lagi,sudah cukup jelas,sudah terlalu jelas bahwa dayang ini mengetahui semua rahasia pelarian Hwee Lan A Sui! Maka,tanpa banyak cakap lagi,dia lalu melangkah masuk mengiringkan wanita itu kedalam pondok Sarang Madu.   Setelah mereka tiba di dalam pondok Tang Gun segera bertanya lirih,”A Cui, apakah sebetulnya yang kau inginkan?” A Cui membalik dan mendekati Tang Gun,matanya mengerling tajam dan mulutnya tersenyum. “Perlukah engkau bertanya lagi,orang muda yang tampan? Aku tidak membutuhkan apa-apa kecuali apa yang di butuhkan Hwee Lan dan A Sui dan aku tidak menginginkan apa-apa darimu kecuali apa yang telah kauberikan kepada mereka.” Wanita itu lalu melingkarkan kedua lenganya ke leher Tang Gun.Dua buah lengan itu melingkari leher sekuat dua ekor ular dan yang terdengar kemudian hanya dengus dan rintih,disusul napas tersendat-sendat dalam kegelapan di pondok Sarang Madu itu. Baik A Cui maupun Tang Gun tidak tahu betapa sejak tadi ada sepasang mata tajam mencorong yang mengntai perbuatan mereka, sejak mereka saling jumpa di luar pondok. Pemilik mata ini adalah seorang laki-laki setengah tua, berusia sekitar lima puluh lima tahun, bertubuh sedang masih tegap, pakaiannya istana, tentu saia Tang Gun tidak mengenal mereka semua dan biarpun dia tahu bahwa wanita yang manis inipun karena ia adalah Tang Bun An, atau yang berjuluk Ang-hong-cu Si Kurnbang Merah! Seperti telah kita ketahui, Tang Bun An pergi ke kota raja untuk memulai hidup baru karena dia merasa sudah tua dan bosan dengan kehidupan petualangan seperti yang selama ini dialaminya. Dia terlalu banyak musuh, bahkan akhir-akhir ini dia dikejar-kejar orang-orang pandai sekali, termasuk puteranya sendiri yang bernama Tang Hay. Dia mengambil keputusan untuk pergi ke kota raja dan mencari kedudukan, untuk dapat mengembalikan kedudukan dan kemuliaan yang pernah dimiliki ayah kandungnya dahulu, yaitu mendiang Tang Siok yang menjadi pejabat tinggi di kota raja. Dia harus mampu meraih suatu kedudukan yang lebih tinggi dari pada yang pernah dimiliki ayahnya dan satu-satunya jalan untuk dapat memperoleh kedudukan tinggi itu hanyalah membuat jasa, kalau mungkin langsung terhadap Kaisar! Biarpun dia pandai ilmu silat dan mengerti juga ilmu sastra, namun tanpa memlliki hubungan yang baik dengan para pejabat tinggi, akan sukarlah memperoleh kedudukan. Apa lagi bagi seorang setua dia. Ketika berada di kota raja, Tang Bun An segera mendengar berita yang amat menarik hatinya, yaitu tentang adanya seorang perwira pengawal muda yang menyebar berita bahwa perwira itu adalah putera dari Ang-hong-cu! Hal ini dirasakannya amat aneh. Bukankah selama ini namanya dianggap jahat dan buruk, dibenci oleh para pendekar dan ditakuti di dunia kang-ouw? Bahkan andaikata dia mempunyai anak kandung, seperti halnya Tang Hay, maka anak itu tentu akan malu mengaku sebagai putera Ang-hong-cu. Akan tetapi kenapa orang ini, seorang perwira pengawal pula, menyebarkan berita bahwa dia putera Ang-hong-cu. Seolah-olah hal itu membanggakan hatinya? Tadinya dia hanya tersenyum saja mendengar berita itu, dan dianggapnya perwira itu seorang pemuda yang tolol dan suka membanggakan diri meminjam ketenaran orang lain. Akan tetapi setelah dia mendengar bahwa perwira muda itu bernama Tang Gun, dia terkejut! She Tang? Dunia kang-ouw sudah mengenal nama julukan Ang-hong-cu, akan tetapi tidak ada atau amat jarang sekali orang mengetahui bahwa Ang-hong-cu memiliki she (nama keturunan) Tang! Berita itu amat menarik hati Tang Bun An. Apa lagi ketika dia mendengar bahwa perwira bernama Tang Gun itu bekerja sebagai seorang komandan pengawal dalam istana, sebuah kedudukan yang diterimanya sebagai hadiah dari kaisar karena Tang Gun pernah menolong rombongan kaisar dari gangguan pemberontak dua tiga tahun yang lalu! Ah, siapa tahu, dari orang yang mengaku puteranya inilah datang kesempatan baginya untuk meraih kedudukan! Dan memang dia harus dapat mendekati istana, tempat tinggal kaisar kalau dia ingin memperoleh pangkat yang tinggi. Demikialah, setelah melakukan penyelidikan tentang keadaan istana, Tang Bun An lalu mempergunakan ilmu kepandaiannya dan dengan tidak betapa sukar dia berhasil melewati pagar tembok dan masuk ke dalam taman bunga di bagian barat, dan kebetulan sekali dia dapat melihat dan mendengar pertemuan antara perwira Tang Gun dan seorang dayang. Dia belum sempat menyelidiki perwira yang mengaku puteranya itu, maka tadinya dia tiak tahu siapa perwira yang mengadakan pertemuan dengan seorang dayang istana itu. Akan tetapi setelah mendengar dayang itu menyebut "Tang-ciangkun" dia terkejut dan juga merasa gembira sekali. Tak salah lagi, pikirnya. Inilah perwira yang mengaku sebagai putera Ang-hong-cu itu! Dan dari penerangan yang tidak begitu cerah, cukup baginya untuk bernapas lega. Setidaknya orang muda itu tidak mengecewakan untuk menjadi puteranya. Jangkung, tegap, tampan dan gagah. Apa lagi setelah dia mendengar percakapan antara mereka, hatinya bangga. Pemuda yang mengaku puteranya ini ternyata seorang pria yang disukai wanita! Buktinya, dayang itu juga memikat cintanya, dan mempergunakan semacam rahasia pondok Sarang Madu sebagai alat untuk memeras agar perwira muda itu suka memuaskan nafsu birahinya! Diam-diam Tang Bun An tersenyum bangga, dan melihat pemuda itu mengikuti si dayang memasuki pondok, diapun cepat meloncat ke atas genteng untuk melakukan pengintaian. Di dalam kamar pondok itu hanya diterangi dua buah lilin, namun cukup bagi mata Tang Bun An yang tajam dan terlatih baik. Mula-mula dia hendak melihat apakah orang yang mengaku puteranya itupun cukup jantan melayani wanita dalam bercinta. Akan tetapi, ketika dia mengintai dari atas dan mula-mula hanya terdengar bunyi dengus napas dan rintihan disusul pernapasan yang tersendat-sendat, dia terbelalak! Perwira muda yang mengaku puteranya itu, sama sekali tidak mencumbu rayu, tidak membelai mesra, melainkan mencekik leher gadis itu menggunakan ikat pinggang dayang itu sendiri! Betapa gilanya! Sayang kalau gadis muda semanis itu dibunuh begitu saja! Kalau perwira muda itu telah menikmatinya, mau di bunuh atau tidak dia tidak akan perduli. Akan tetapi jelas bahwa mereka itu baru saja saling bertemu, mengapa perwira itu membunuhnya tanpa membelai atau mencumbu sedikitpun? Akan tetapi dia menahan diri, tidak mau mencampuri karena ia ingin sekali tahu perkembangan selanjutnya. Keadaan perwira muda yang mengaku puteranya itu tentu saja baginya jauh lebih menarik dan lebih penting daripada nyawa seorang gadis dayang istana! Melihat cara perwira itu membunuh dayang, yang memakan waktu cepat sekali, Tang Bun An dapat menduga bahwa perwira muda itu sedikit banyak memiliki tenaga yang lumayan juga.   Kini Tang Gun melepaskan ikat ping gang dayang itu, mengikat ujung ikat pinggang ke atas tihang dan menggantung mayat dayang itu pada lehernya, mengatur sedemikian rupa sehingga sekali lihat saja orang akan menduga bahwa dayang itu mati membunuh diri dengan cara menggantung. Dia membalikkan sebuah bangku di bawah mayat. Dengan cermat dia mengukur dan memperhitungkan. Kalau gadis itu membunuh diri, tentu mempergunakan bangku itu untuk berdiri dan mengikat ujung ikat pinggang ke tihang, mengikatkan ujung yang lain di lehernya kemudian menendang bangku itu sehingga tubuhnya tergantung dan mati tercekik. Tepat sekali. Setelah merasa puas, dia lalu menup padam api lilin dan keluar dari dalam pondok, menutupkan daun pintu pondok itu. Kemudian, dengan tenang diapun kembali ke pos penjagaan seperti tidak pernah terjadi sesuatu. Pada keesokan harinya, kembali istana kaisar menjadi gempar ketika mayat A Cui ditemukan dalam keadaan menyedihkan. Ia mati tergantung dalam Pondok Sarang Madu, lidahnya terjulur panjang, matanya melotot dan tubuhnya kaku! Akan tetapi karena keadaannya jelas menunjukkan bahwa ia telah menggantung diri sampai mati, maka tidak ada persoalan lain kecuali mengurus mayatnya dan selanjutnya tidak ada apa-apa lagi. Biarpun dia telah berhasil membunuh A Cui yang mengetahui rahasianya tanpa meninggalkan jejak, tetap saja hati Tang Gun merasa tidak tenteram. Dia dapat menduga bahwa kalau sampai A Cui mengetahui rahasia itu, berarti A Sui, dayang yang menjadi pelayan Hwee Lan itulah yang bermulut panjang dan membocorkan rahasia. Mungkin hanya untuk pamer dan membanggakan diri bahwa ia telah berhasil menjadi kekasih perwira Tang yang banyak dikagumi para puteri itu! Yang membuat dia gelisah, siapa saja yang sudah mengetahui akan rahasia itu? Apakah hanya kepada A Cui saja A Sui bercerita? Ataukah celotehnya didengar lebih banyak dayang lagi? Celakalah kalau begitu! Dia harus cepat pergi ke kota Yu-sian untuk minta keterangan A Sui, dan dayang yang panjang mulut itu perlu ditegur, atau bahkan dihajar agar lain kali tidak berani lagi berlancang mulut menyebarkan rahasia yang seharusnya dipegang teguh karena amat berbahaya kalau sampai terdengar oleh istana. Pada keesokan harinya, Tang Gun mohon diri dari kaisar untuk keluar dari istana dalam usahanya menyelidiki sendiri kehilangan selir Hwee Lan dan pelayannya, A Sui. Untuk itu, dia minta cuti selama sebulan. Tentu saja permohonannya dikabulkan karena kaisar juga masih merasa amat penasaran dengan menghilangnya selir dan dayangnya itu, dan memang merupakan tanggung jawab Tang Gun sepenuhnya sebagai perwira pengawal dalam istana untuk dapat menangkap selir yang melarikan diri itu. *** Kedatangan Tang Gun di kota Yu-sian dilakukan secara diam-diam. Bagaimanapun juga, dia tidak berani secara terang-terangan memperlihatkan diri kepada umum ketika dia mengunjungi ke kasihnya, yaitu Hwee Lan dan A Sui yang kini sudah membuka sebuah toko kain di kota itu. Dia datang pada malam hari, melalui genteng rumah seperti seorang pencuri! Akan tetapi kedatangannya itu disambut dengan mesra dan manis oleh Hwee Lan dan A Sui yang sudah merasa rindu sekali kepada pria ini. Akan tetapi, kemesraan itu diliputi mendung. Tang Gun juga merasa rindu kepada mereka, nampak diam dan murung. Tentu saja hal ini membikin dua orang wanita itu menjadi khawatir. "Koko, apakah yang menyebabkan engkau nampak murung dan tidak senang?" Hwee Lan merangkul dan duduk di atas pangkuan kekasihnya. Tang Gun menghela napas. " Aku telah membunuh dayang A Cui ..." "A Cui....... ?" A Sui terkejut sekali mendengar bahwa kekasih majikannya, juga kekasihnya sendiri itu, telah membunuh A Cui, seorang dayang istana yang menjadi sahabat baiknya. "Membunuh A Cui? Kenapa......?" Hwee Lan juga berseru kaget dan ia turun dari atas pangkuan kekasihnya, akan tetapi masih merangkulnya dan mengamati wajah yang tampan itu dengan khawatir . "Ia telah mengetahui rahasia kita, dan ia memerasku untuk melayaninya. Karena itu, aku lalu membunuhnya." Diceritakannya peristiwa dalam taman itu kepada dua orang wanita yang mendengarkan dengan wajah berubah pucat. "Dan kalau sampai A Cui mengetahui rahasia kita itu, sudah pasti bahwa seorang di antara kalian yang telah membocorkannya dan menceritakannya kepada A Cui. Hayo, siapa yang telah bicara dengan A Cui? Mengaku saja!" Hwee Lan memandang kekasihnya yang sudah bangkit berdiri itu dengan mata terbelalak, lalu ia menggeleng kepalanya. "Tidak, aku sama sekali tidak pernah bicara tentang hubungan kita kepada siapapun juga. Aku cukup mengetahui betapa berbahayanya kalau hal itu kulakukan. Akan tetapi A Sui.......! Engkau........., tentu engkau yang telah bicara dengan A Cui, bukan? Aku tahu bahwa engkau adalah sahabat karib A Cui!" Bekas selir kaisar yang cantik jelita itu kini memandang kepada pelayannya. A Sui menjadi semakin pucat. Ia menundukkan mukanya, kemudian ia berlutut di atas lantai dan menangis. "Ampun.... saya kira........ hal itu tidak ada bahayanya, karena ia...... ia adalah seorang sahabat baik yang biasanya setia..... dan........" "Goblok! Engkau lancang mulut!" Tang Gun dengan marah lalu menggerakkan kakinya menendang. "Bukk!" Tubuh selir yang mungil itu terlempar dan menabrak dinding lalu terbanting jatuh. Ia menangis dan pipinya yang tertabrak dinding membiru, mulutnya berdarah. "Kau...... kau akan membikin celaka kita semua!" Tang Gun membentak lagi dan kemarahannya masih berkobar. "Ampun....... ampunkan saya........."   Bekas dayang itu merintih ketakutan. Sebelum Tang Gun turun tangan lagi menghajar atau mungkin membunuh bekas dayang yang menjadi kekasihnya itu, tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dibarengi suara seorang laki-laki, "Tang Gun, apakah engkau hendak membunuh pula wanita ini seperti engkau membunuh dayang A Cui?" Tentu saja tiga orang itu terkejut, terutama sekali Tang Gun. Dia membalikkan tubuhnya dan ternyata di ruangan itu telah berdiri seorang laki-laki yang tidak dikenalnya sama sekali. Seorang pria yang usianya sudah lima puluh lima tahun, pakaiannya rapi, tubuhnya sedang dan setua itu masih nampak tampan menarik. Melihat bahwa pria itu hanya orang biasa saja, tidak membawa senjata, Tang Gun bersikap garang. Sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka pria itu, ia membentak lantang, "Heh, siapakah engkau yang datang memasuki rumah kami tanpa diundang?" Biarpun suara dan sikapnya garang, namun hatinya berdebar tegang mendengar betapa pria ini telah tahu akan rahasianya yang ke dua, yaitu membunuh A Cui! Pria setengah tua itu tersenyum me mengejek dan sepasang matanya mengeluarkan sinar tajam. "Aku adalah utusan kaisar yang datang untuk menangkap kalian bertiga dan membawa kalian kembali ke istana!" Wajah Tang Gun seketika pucat mendengar ucapan ini. Akan tetapi melihat betapa orang itu hanya seorang diri saja dan tidak bersenjata, diapun menjadi nekat. Dia harus membunuh orang ini kalau ingin selamat. Secepat kilat dia sudah mencabut pedangnya dan tanpa banyak cakap lagi dia sudah menerjang dengan tusukan pedangnya ke arah dada orang itu. "Singgg....!" Pedang berdesing saking cepat gerakannya, namun hanya meluncur lewat karena orang itu sudah dapat mengelak dengan amat mudahnya. Akan tetapi begitu dia dengan lompatan ke kanan, Tang Gun sudah cepat membalikkan tubuh dan pedangnya menyambar ganas, kini membacok ke arah leher, dan gerakan pedang ini di susul tendangan kaki kirinya ke arah bawah pusar lawan. Hebat serangan ini karena Tang Gun telah memainkan jurus Li-kong-sia-ciok (Li Kong Memanah Batu), gerakannya selain cepat juga mengandung tenaga yang dahsyat. Namun, ternyata lawannya adalah seorang yang lihai sekali. Dia tidak pernah mimpi bahwa lawannya itu adalah orang yang sejak dia kecil dia cari-cari, yaitu ayah kandungnya sendiri yang berjuluk Ang-hong-cu! Ang-hong-cu Tang Bun An menghadapi serangan dahsyat itu dengan amat tenang. Dia melangkah mundur sehingga bacokan tidak mengenai lehernya, dan ketika tendangan itu menyambar lewat, tangannya cepat bergerak menyentuh bawah kaki dan sekali dia menggerakkan tenaga ke arah tumit itu, tubuh Tang Gun terlempar dan terjengkang ke belakang! "Brukkk!" Tubuh Tang Gun terbanting, akan tetapi orang muda inl sudah cepat meloncat bangun lagi dan menyerang lebih ganas. Dia kini dapat mengerti bahwa lawannya amat pandai, maka dia menjadi nekat. Dia harus dapat mengalahkan orang itu, atau dia akan celaka! Pedangnya menyambar-nyambar, berubah menjadi sinar yang bergulung-gulung, yang menyambar-nyambar bagaikan maut kelaparan mencari nyawa. Namun, tingkat ilmu kepandaian silat yang dikuasai Tang Gun jauh berada di bawah tingkat Ang-hong-cu yang selain ilmunya tjnggi, juga sudah memiliki pengalaman luas, maka semua sambaran pedangnya tidak pernah mengenai sasaran. Bahkan kalau Si Kumbang Merah itu menghendaki, dalam beberapa jurus saja. Tang Gun tentu sudah roboh dan dikalahkan. Agaknya, mengingat bahwa perwira muda ini adalah puteranya sendiri, seperti yang diakui oleh Tang Gun dan yang dipercayanya pula, agaknya Si Kumbang Merah ingin menguji sampai di mana ketangguhan orang yang mengaku anaknya itu. Setelah puas mempermainkan Tang Gun dengan elakan-elakan yang membuat tubuhnya berubah menjadi bayangan yang berkelebatah di antara sinar pedang, tiba-tiba Si Kumbang Merah mengeluarkan seruan nyaring. "Heiiiittt!" Kedua tangannya bergerak, yang kiri menotok ke arah siku kanan lawan, yang kanan mencengkeram pundak dan di lain saat, tubuh Tang Gun telah menjadi lemas dan pedangnya dengan mudah berpindah tangan! Si Kumbang Merah menyusul dengan totokan ke arah jalan darah thian-hu-hiat dan tubuh perwira itupun terkulai lemas, tidak mampu bergerak lagi! Dua orang wanita itu menjadi ketakutan sampai hampir terkencing-kencing. Namun, Si Kumbang Merah tersenyum ramah dan berkata kepada mereka,"Hayo kalian berdua ikut bersamaku. Kereta sudah menanti di luar. Jangan sampai aku harus mempergunakan kekerasan terhadap kalian dua orang nona manis!" Hwee Lan dan A Sui tidak berani membantah puJa waJaupun mereka ketakutan dan maklum bahwa malapetaka menanti mereka. Ang-hong-cu menarik tubuh Tang Gun bangun. Lalu memapahnya keluar, menggiring dua orang wanita itu yang berjalan dengan tubuh menggigil ketakutan. Ternyata di luar sudah tersedia sebuah kereta yang ditarik dua ekor kuda! Ang-hong-cu yang membayangi Tang Gun dan mengetahui tempat persembunyian perwira dengan dua orang kekasihnya itu, sudah mempersiapkan kereta untuk memboyong para tawanan itu kembali ke kota raja! Setelah tiga orang itu berada di dalam kereta, Tang Gun tertotok lemas dan dua orang wanita itu menangis lirih, Ang-hong-cu lalu melarikan keretanya menuju ke kota raja. Penangkapan terhadap tiga orang itu merupakan peristiwa yang aneh karena tidak ada orang lain yang mengetahuinya! Dua orang wanita itupun merasa tidak berdaya, hanya mampu menangis ketakutan karena mereka dapat membayangkan bahwa mereka tentu akan menerima hukuman. Orang yang mereka percaya kini telah duduk setengah rebah didalam kereta, tidak mampu bergerak lagi dan hanya mampu memandang kepada mereka dengan sinar mata putus asa dan ketakutan. ***   Cepat laksanakan penangkapan itu kalau benar engkau mampu melakukannya! Selama ini, seluruh pasukan pengawal tidak mampu menangkap dua orang perempuan itu. Maka, Tang Bun An, kalau engkau melanggar janji kesanggupanmu dan mengecewakan kami, kalau engkau gagal melakukan penangkapan, kami akan memberikan hukuman berat! Sebaliknya, kalau engkau memenuhi janji, yaitu dalam waktu sehari akan mampu menghadapkan dua orang wanita itu dan biangkeladinya yang membuat mereka minggat dari istana, kami akan mengangkat kamu menjadi kepala seluruh pasukan pengawal, baik yang di dalam maupun yang di luar istana!" Demikianlah kata kaisar ketika Tang Bun An diperkenankan menghadapnya. Tang Bun An menyatakan kesediaannya untuk menangkap dan menyeret dua orang wanita, yaitu selir Hwet. Lan dan dayang A Sui, kembali ke istana dalam waktu satu hari saja. Bahkan juga dia bersedia menangkap orang yang telah melarikan dua orang wanita itu dari dalam istana. Mendengar ini, tentu saja semua pengawal menjadi terkejut dan heran. Bagaimana mungkin orang setengah tua ini akan mampu menangkap buronan itu dalam waktu sehari saja, pada hal para pengawal yang pandai telah gagal sama sekali? Tentu saja hal itu tidaklah terlalu mengherankan kalau saja mereka ketahui bahwa ketika Tang Bun An menghadap kaisar, tiga orang jtu telah menjadj tawanannya dan dia sembunyikan dalam sebuah kuil tua di dalam hutan sebelah utara kota raja! Dengan sikap hormat dan gagah Tang Bun An menolak ketika kaisar menawarkan bantuan pasukan pengawal. Diapun berangkat dan tepat pada keesokan harinya, pagi-pagi dia sudah kembali ke istana membawa tiga orang tawanan itu yang telah dibelenggu kedua tangan mereka, dan dirantai kaki mereka.. Semua orang tentu saja menjadi bengong dan terkejut bukan main melihat bahwa komandan pengawal muda itu menjadi tawanan, apa lagi ketika mereka mendengar bahwa yang melarikan Hwee Lan dan A Sui adalah Tang Gun, perwira pengawal yang amat dipercaya kaisar itu. Gegerlah seluruh penghuni istana mendengar bahwa Tang Gun tidak hanya melarikan selir dan dayangnya itu, akan tetapi juga dia yang telah membunuh A Cui yang disangka mati membunuh diri di Pondok Sarang Madu. Kaisar sendiri tentu saja menjadi marah bukan main. Dengan muka merah dan mata melotot dia mendengarkan pengakuan tiga orang tawanan itu, kemudian dengan suara lantang kaisar menjatuhkan hukumannya. Hwee Lan dan A Sui dijatuhi hukuman menjadi nikouw (pendeta wanita), mencukur gundul rambut mereka dan selanjutnya mereka diharuskan menjadi nikouw, hidup di kuil untuk menebus dosa selama hidup mereka. Adapun Tang Gun, mengingat akan jasanya yang pernah dilakukannya terhadap kaisar, perwira pengawal ini dihukum buang setelah menerima cambukan sebanyak lima puluh kali! Tentu saja Tang Bun An menerima hadiah seperti yang dijanjikan kaisar. Dia diangkat menjadi komandan seluruh pasukan pengawal! Suatu kedudukan yang tinggi! Akan tetapi tentu saja kedudukan itu tidak diterimanya dengan begitu mulus dan mudah. Seorang di antara para menteri, yaitu menteri bagian keamanan, memperingatkan kaisar bahwa menerima seseorang untuk menjadi komandan pasukan pengawal istana, tidak semestinya dilakukan semudah itu. "Ampun, Sribaginda," demikian antara lain menteri itu mengemukakan pendapatnya. "Memang sudah terdapat bukti akan kesetiaan dan jasa dari Tang Bun An dan sudah sepantasnya kalau dia menerima anugerah dari paduka. Akan tetapi, akan lebih bijaksana kiranya kalau dia diuji lebih dulu. Bagaimanapun juga, tingkat kepandaian seorang komandan haruslah lebih tinggi dari pada tingkat semua perwira pasukan itu sehingga tidak akan menimbulkan perasaan iri di antara para prajurit maupun perwira! Juga hal ini akan mempertebal ketaatan para anak buah terhadap komandannya." Kaisar dapat menerima pendapat ini dan demikianlah, sebelum menerima pengangkatannya sebagai seorang panglima, kepala seluruh pasukan pengawal istana, Tang Bun An diharuskan melewati ujian. Pengujinya adalah seorang yang amat disegani di seluruh pasukan pengawal, yaitu Coa-ciangkun (Perwira Coa) yang tadinya menjabat kepala pasukan pengawal dan kini harus menjadi orang ke dua setelah Tang Bun An! Coa Ciangkun ini terkenal memiJiki tenaga gajah dan juga ilmu silatnya tinggi, maka boleh dibilang dia merupakan jagoan istana nomor satu yang selama ini sukar dicari tandingannya! Dia baru berusia empat puluh tahun dan tubuhnya tinggi besar menyeramkan. Kaisar sendiri tertarik ketika melihat sikap Tang Bun An yang sedikitpun tidak menyatakan ketakutan ketika dikabarkan bahwa dia akan diuji oleh Coa Ciangkun yang terkenal itu. Maka, kaisar berkenan hendak menyaksikan sendiri ujian atau adu kepandaian itu. Mendengar bahwa kaisar sendiri hendak menyaksikan, legalah hati Tang Bun An. Kalau junjungan itu sendiri menyaksikan, sudah pasti perwira Coa itu tidak akan berani melakukan kecurangan dan tentu adu kepandaian itu akan berlangsung dengan jujur dan adil. Hal ini melegakan hatinya yang tadinya merasa ragu-ragu dan khawatir kalau-kalau dia akan dicurangi. oleh para pembesar istana yang tentu akan merasa iri hati kepadanya. Dan diapun maklum betapa lihainya para jago istana sehingga kalau sampai dia dikeroyok, hal itu akan berbahaya juga baginya. Pada hari dan waktu yang sudah ditentukan, sebuah lian-bu-thia (ruang berlatih silat) telah dipersiapkan dan kaisar sudah hadir bersama beberapa orang selir dan dayang yang suka akan ilmu silat. Juga para pembesar militer hadir untuk menilai hasil ujian itu. Setelah memberi hormat dengan berlutut di depan kaisar, Tang Bun An dan lawannya menuju ke tengah ruangan. Tang Bun An memandang kepada calon lawan itu dengan penuh perhatian. Seorang raksasa berusia empat puluh tahun dan biarpun tubuhnya tinggi besar, namun gerak-geriknya nampak gesit. Seorang lawan yang tangguh, pikirnya, akan tetapi sedikitpun dia tidak merasa gentar. Dia percaya kepada kemampuan dirinya. Sekelebatan saja dia tahu bahwa menghadapi lawan seperti itu, amat bodoh kalau dia harus mengadu tenaga. Jelas bahwa orang itu memiliki tenaga yang amat kuat, baik tenaga otot maupun tenaga dalam. Maka, satu-satunya cara untuk menghadapinya hanyalah mengandalkan kecepatan dan dia merasa yakin akan dapat mengatasi lawannya dalam hal kecepatan. Memang dia terkenal sekali sebagai seorang ahli gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang hebat dan karena mengandalkan gin-kang inilah maka selama puluhan tahun ini, tidak ada yang mampu menangkap Ang-hong-cu!   Pertandingan ujian itu segera dimulai dan mentaati perintah kaisar yang mengkhawatirkan kalau dua orang yang amat berguna baginya itu mengalami cidera, pertandingan dilakukan dengan tangan kosong. Begitu mereka bergebrak saling serang, tahulah Si Kumbang Merah bahwa lawannya memang amat tangguh, dan memiliki ilmu silat yang pada dasarnya adalah aliran silat Siauw-lim-pai. Akan tetapi, gerakannya bercampur dengan silat dari utara dan barat, dan yang amat merepotkannya adalah kekuatan yang dahsyat dari lawan itu. Biarpun dia sendiri memiliki sin-kang yang kuat, namun setelah beberapa kali mencoba tenaga lawan dan mengadu tenaga, lengannya terasa agak nyeri karena dia kalah muda, dan tulang-nya kalah kuat! Maka, mulailah Si Kumbang Merah Tang Bun An mempergunakan kecerdikannya. Tubuhnya berkelebatan amat cepatnya dan benar seperti dugaannya.biar si raksasa itupun memiliki gerakan yang cepat, namun jauh kalah cepat dibandingkan dia. Coa Ciangkun mulai merasa pening karena lawannya lenyap, berubah menjadi bayangan yang berkelebatan di sekeliling dirinya! Lawannya itu bagaikan seekor kumbang yang beterbangan mengitarinya, membuat Coa Ciangkun kini terdesak dan repot sekali. Setelah lewat lima puluh jurus dan membuat lawan benar-benar pening, dengan kecepatan kilat ketika tubuhnya berkelebat di belakang lawan, tang Bun An mempergunakan ujung kakinya meendang cepat mengarah tekukan lutut kedua kaki Coa-ciangkun. Tidak keras tendangan itu, namun karena yang ditendang adalah bagian yang lemah, maka tanpa dapat dipertahankan lagi, kedua kaki perwira raksasa itupun tertekuk dan dia berlutut! Tang Bun An yang cerdik tidak ingin mendapatkan musuh, maka cepat dia menjura kepada perwira itu sambil berkata, "Ciangkun, engkau sungguh hebat, maafkan aku." Perwira Coa bangkit berdiri dan balas menjura. Hatinya kagum. Orang ini amat lihai, pikirnya, akan tetapi pandai pula merendahkan diri. Biarpun dia tadi kalah, namun lawannya sengaja tidak membikin malu padanya. Dia tahu bahwa kalau lawan yang amat lihai itu menghendaki, dia dapat dikalahkan dalam cara yang lebih keras lagi. Kaisar merasa puas dan para pembesar militer juga menyatakan kekaguman mereka. Semua orang tahu belaka bahwa pria setengah tua yang ganteng dan simpatik itu. memang memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan boleh diharapkan menjadi komandan pengawal yang boleh dipercaya. Mulai hari ini, resmilah Tang Bun An menjadi Tang-ciangkun, dan kedudukannya bahkan jauh lebih tinggi dari pada Tang Gun. Lalu bagaimana dengan nasib Tang Gun? Bagi dua orang kekasihnya sudah jelas. Hari itu juga mereka digunduli dan diserahkan kepada para nikouw pengurus kuil, dan dua orang wanita muda itu dipaksa menjadi nikouw, setiap hari kerjanya hanya berdoa dan mempelajari kitab-kitab agama untuk menebus dosa mereka! Sedangkan Tang Gun sendiri, dengan punggung yang masih penuh babak belur dan terasa perih, lehernya dikalungi papan berlubang, dan dia dikawal oleh dua orang petugas penjara, dibawa keluar dari kota raja dalam perjalanannya ke tempat pembuangan, jauh ke utara,di mana terdapat tempat pembuangan dan di sana para terhukum itu dijadikan pekerja rodi, memperbaiki tembok dari Tembok Besar yang rusak, melayani pasukan penjaga dan lain-lain pekerjaan kasar, sampai mereka itu mati atau habis masa hukumannya. Pada malam harinya setelah Tang Gun dikawal dua orang petugas penjara keluar dari kota raja, Tang Bun An gelisah di dalam kamarnya. Dia terkenang kepada Tang Gun, terkenang akan percakapan antara Tang Gun dan Hwee Lan di dalam kuil, sebelum mereka dia serahkan kepada kaisar. Dua orang itu bertangisan dan dalam keluh kesahnya itulah dia mendengar Tang Gun berkata dengan suara penuh duka. "Aih, aku telah melupakan pesan ibuku, dan seperti juga ibuku, aku menjadi korban nafsu. Ibuku pernah bercerita bahwa karena terbuai oleh nafsu, ibuku telah menyerahkan diri kepada seorang pria. Ibuku mengandung dan pria itu pergi begitu saja. Ibu melahirkan aku dan hidup merana dan itu semua. adalah korban nafsu yang hanya beberapa waktu saja! Aku lupa akan pengalaman ibu, dan akupun tergoda oleh nafsu sehingga kita melakukan hubungan dan kini akibatnya sungguh pahit, sama sekali tidak sepadan dengan kesenangan sejenak yang kita nikmati.......” “Akan tetapi, koko. Kita saling mencinta...... ," bantah Hwee Lan. "Hemm, benarkah itu? Kalau kita saling mencinta, tentu kita tidak akan melakukan hubungan yang akibatnya hanya mencelakakan kita sendiri. Kita saling mencelakakan. Yang mendorong hubungan kita bukanlah cinta, melainkan nafsu birahi! Sungguh tepat peringatan ibu. Kita harus senantiasa waspada terhadap nafsu kita sendiri karena nafsu kita yang akan menyeret kita ke lembah kesengsaraan. Kalau kita lengah, nafsu menerkam kita. Untuk kenikmatan yang hanya beberapa saat kita rasakan, mungkin akan menyeret kita ke lembah kesengsaraan selama hidup!" Pemuda itu menangis dan merintih-rintih memanggil ibunya! Itulah yang selalu mengiang di dalam telinga Si Kumbang Merah pada malam hari itu. Dia sendiri tidak tahu siapa ibu pemuda itu, namun dia percaya bahwa Tang Gun adalah puteranya. Sudah terlalu banyak wanita dia permainkan sehingga dia tidak ingat lagi, wanita yang mana yang menjadi ibu pemuda itu! Dan diapun tidak mempunyai hasrat untuk mengetahuinya. Bagaimanapun juga, Tang Gun adalah anak kandungnya! Dia tidak memiliki rasa cinta kepada pemuda itu, akan tetapi, mengingat bahwa Tang Gun tidak bersalah kepadanya, dan juga tidak mengecewakan menjadi puteranya, pandai menjatuhkan hati wanita, maka hatinya merasa tidak tega. Demikianlah, pada keesokan harinya ketika Tang Gun dan dua orang pengawalnya tiba di jalan sunyi di lereng sebuah bukit, tiba-tiba muncul seorang yang berpakaian serba hitam dan memakai kedok hitam pula. Tanpa banyak cakap, si kedok hitam ini menyerang dua orang pengawal itu. Mereka mencabut golok melakukan perlawanan. Namun percuma saja, hanya dalam beberapa jurus keduanya sudah terjungkal tewas dan si kedok hitam menendangi mayat mereka sampai terlempar ke dalam jurang yang amat dalam. Setelah itu, masih tanpa bicara, si kedok hitam membikin pecah "kang" (alat papan berlubang mengalungi leher), mematahkan semua rantai, kemudian menyerahkan sebuah buntalan kain kuning kepada Tang Gun. Buntalan kain itu ternyata berisi uang emas! Tang Gun terheran-heran dan si kedok hitam meloncat pergi. Pemuda itu hanya dapat berteriak, "Kedok hitam, aku Tang Gun tidak akan melupakan pertolonganmu ini selama hidupku!" Si Kedok Hitam itu tentu saja bukan lain adalah Si Kumbang Merah Tang Bun An. setelah menolong dan membebaskan putera kandungnya dan memberi emas yang cukup untuk bekal hidup pemuda itu, dia lalu kembali ke kota raja dan hatinya merasa lega dan puas. Tang Gun seorang anak keturunannya yang patut dibanggakan! Hanya sayang ilmu silatnya tidak begitu tinggi, tidak seperti Hay Hay atau Tang Hay itu. Teringat akan Tang Hay, diam-diam Si Kumbang Merah bergidik. Anak itu luar biasa sekali. Amat lihai dan memiliki ilmu sihir yang mengerikan pula. Dan timbul kekhawatiran di dalam hatinya bahwa anak kandungnya yang satu itu sekali waktu akan dapat menemukannya! Akan mampukah dia menandingi anaknya itu? Akan mampukah dia menyelamatkan dirinya? "Aku tidak perlu takut!" Akhirnya dia mengeluh. Bukankah tidak seorangpun di antara mereka, juga Tang Hay sendiri tidak, mengetahui bahwa dia kini telah menjadi seorang panglima di istana? Panglima, komandan seluruh pasukan pengawal yang amat kuat! Apa artinya musuh-musuh dari golongan para pendekar itu? Dalam kedudukannya sekarang, mereka takkan mampu berbuat sesuatu! Dan mulailah Si Kumbang Merah Tang Bun An menikmati kehidupannya yang baru. Seorang panglima yang ditakuti dan disegani, yang memiliki kekuasaan di istana, luar dan dalam. Dialah pengatur semua penjagaan, dialah yang bertanggung jawab akan keamanan dan keselamatan istana, akan keamanan dan keselamatan kaisar sekeluarganya! Dia berkedudukan.tinggi dan terhormat, juga hidup dalam kemewahan. Sebentar saja dalam gedungnya yang megah dimeriahkan dengan adanya belasan orang pelayan wanita yang muda-muda, yang cantik-cantik. Bahkan karena pengalamannya dalam urusan wanita, Si Kumbang Merah memilih gadis-gadis yang cantik dan dengan segala macam sifat dan pembawaan, ada sesuatu yang khas dan menjadi daya tarik bagi setiap para pelayan itu. Dipilihnya dengan teliti sehingga sebentar saja para pejabat tinggi di kota raja mendengar atau melihat sendiri bahwa panglima baru ini mempunyai gadis-gadis pelayan yang hebat, yang tidak kalah dibandingkan dengan para dayang di istana kaisar! *** Sudahkah Si Kumbang Merah Tang Bun An merasakan bahagia dalam hidupnya? Apakah dia kinj sudah puas dengan keadaan hidupnya yang baru, di mana dia bergelimang dengan kehormatan, kekayaan dan kemuliaan? Orang-orang menghormatinya, rumahnya besar dan djlayanj pelayan-pelayan wanita yang muda-muda lagi cantik, dijaga pasukan pengawal dan hidup sebagai seorang pembesar yang otomatis menjadi bangsawan yang kaya raya. Bahagiakah hidupnya? Senang memang. Namun, kesenangan bukanlah kebahagiaan. Kesenangan hanya merupakan keadaan sepintas saja, selewat saja, bahkan ada kesenangan yang umurnya amat pendek. Setelah saat senang itu lewat, maka muncullah kebosanan dan kekecewaan. Kesenangan hanya sekedar pemuasan nafsu kejnginan. Setelah tercapai, maka kepuasan itupun hanya sekelumit dan ! baru terasa bahwa apa yang dicapainya itu, kesenangan yang diidamkannya itu, tidaklah sebesar ketika dikejarnya. Kesenangan hanyalah muka yang lain dari kesusahan, ada suka tentu ada duka, ada puas tentu ada kecewa. Kesenangan hanya merupakan permainan perasaan yang dikuasai nafsu. Adapun kebahagiaan bukanlah keadaan badan, melainkan keadaan jiwa! Keadaan jiwa yang bebas dari pada cengkraman nafsu. Jiwa yang tidak lagi terbungkus dan tertutup nafsu, jiwa yang sudah terbuka, sudah bersatu dengan Tuhan! Dan hanya kekuasaan Tuhan saja lah yang akan mampu membersihkan jiwa dari kurungan nafsu! lkhtiar manusia melalui pikiran dan akal budi tidak mungkin menundukkan nafsu, karena pikiran dan akal budipun sudah bergelimang nafsu. Tidak mungkin nafsu menundukkan nafsu. Hanya kekuasaan Tuhan yang akan mampu membersihkan jjwa yang bergelimang nafsu, atau jiwa yang tertutup oleh kekuasaan gelap, kekuasaan nafsu yang memikat manusia dengan segala macam bentuk kesenangan badani atau kesenangan pikiran dan hati. Panca indera, pikiran, hati dan akal budi hanyalah alat pelengkap hidupnya jiwa dalam badan. Namun sungguh sayang, karena badan diperalat nafsu dan daya rendah, maka jiwa seperti tertutup dan terbungkus. Bagaimana mungkin kita membersihkan jiwa kita, betapa mungkin kita menundukkan nafsu kalau "kita" ini sudah bergelimang dengan nafsu? Hanya kekuasaan Tuhan yang akan mampu membersihkan jiwa kita, dan satu-satunya ikhtiar yang dapat kita lakukan hanyalah menyerah kepada Tuhan Yang Maha Kasih! Penyerahan yang berarti keimanan yang mutlak, penyerahan total, dengan penuh kesabaran, keikhlasan dan ketawakalan. Orang seperti Si Kumbang Merah Tang Bun An adalah manusia yang tidak mau mengenal Tuhan, tidak mau mengakui bahwa ada Yang Maha Kuasa di alam semesta ini. Dia mengira bahwa dirinya adalah sang penentu bagi dirinya sendiri, baik buruk berada di telapak tangannya. Orang seperti inilah yang akhirnya akar terpeleset, tersesat ke dalam lembah ke-jahatan, tanpa merasa bahwa dia tersesat. Baru kalau sudah tertimpa malapetaka sebagai akibat dari perbuatannya sendiri, orang seperti ini mengeluh, mencari-cari sasaran untuk dijadikan biang keladi malapetaka itu, untuk dijadikan kambing hitam melempar kesalahannya. Orang yang tidak mau mengakui kekuasaan Tuhan, selalu menyombongkan diri sendiri kalau berhasil, dan melemparkan kesalahan kepada pihak lain kalau gagal. Sebaliknya, orang yang percaya kepada kekuasaan Tuhan, dalam keadaan berhasil dengan rendah hati dia berterima kasih atas berkah Tuhan, dalam keadaan gagal dia mohon pengampunan atas segala kesalahannya kepada Tuhan. Si Kumbang Merah Tang Bun An hanya sebentar saja merayakan kemenangan dan keberhasilannya, seolah-olah mabok dalam keberhasilannya. Namun, segala kesenangan yang diraihnya melalui nafsu yang dilampiaskan tanpa batas lagi, hanya sebentar saja terasa nikmat olehnya. Dalam waktu beberapa bulan saja dia sudah mulai merasa bosan! Belasan orang pembantu wanita, gadis-gadis cantik jelita dan manis itu sudah kehilangan daya tarik baginya, bagaikan sekumpulan bunga yang sudah tidak menarik lagi bagi seekor kumbang yang sudah menghisap madu bunga-bunga itu sampai sepuasnya. Mulailah matanya menjadi jalang mencari-cari bunga lain! Si kumbang Merah yang tadinya merasa bosan dengan cara hidupnya yang liar, dan merindukan kekuasaan dan kedudukan yang akan mendatangkan kemuliaan dan kemewahan, kini setelah memperoleh semua itu, bahkan rindu akan cara hidupnya yang lalu! Dan sekali ini, dia tidak perlu lagi mencari-ca:ri ke kota-kota atau dusun-dusun seperti dahulu lagi. Kini wanita-wanita cantik seolah-olah berserakan di depan hidungnya! Betapa tidak? Dia adalah panglima yang mengepalai pasukan pengawal istana, baik di dalam maupun di luar istana. Oleh karena itu, para thai-kam pengawal yang selalu berjaga di sebelah dalam istana, di bagian para puteri, juga menjadi anak buahnya. Dan di dalam istana bagian para puteri itu terdapat banyak wanita pilihan, wanita-wanita tercantik di seluruh negeri! dan mulailah si kumbang merah beraksi. Tang Bun An, biarpun usianya sudah lima puluh lima tahun, namun dia menjadi seperti muda kembali, menjadi seekor kumbang merah yang beterbangan di antara bunga-bungan yang sedang mekar dengan indahnya di taman istana, hinggap dari satu ke lain kmbang untuk menghisap madu manis sepuas hatinya! Dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi, tentu saja dengan mudah Si Kumbang Merah menyelinap ke dalam kamar seorang selir atau dayang tanpa di ketahui orang lain. baginya, tidak peduli wanita itu selir kaisar, atau bahkan puteri kaisar, atau dayang, asal muda dan cantik, tentu akan di rayunya. dia memang pandai merayu wanita, rayuan maut yang membuat setiap orang wanita menjadi lemas dan bertekuk lutut, menyerahkan diri tanpa melawan lagi, bahkan dengan suka rela, dengan kehausan seorang wanita yang menjadi isteri atau selir kaisar dengan puluhan orang saingan! Dalam waktu beberapa bulan saja, hampir seluruh selir dan dayang telah membiarkan diri dihisap oleh Si kumbang Merah. Bahkan banyak pula gadis puteri kaisar yang menyerah! Namun, Si Kumbang Merah Tang Bun An adalah seorang pria yang berpengalaman dan cerdik sekali. Dia tidak lagi berani melakukan paksaan atau pemerkosaan terhadap wanita di dalam istana seperti dahulu seringkali dia lakukan ketika dia masih liar sebagai Ang-hong-cu yang ditakuti orang. Tidak, dia tidak ingin mengorbankan kedudukannya. Dia berlaku hati-hati dan hanya merangkul wanita yang menanggapi rayuannya sehingga selalu terjadi hubungan yang suka sama suka. Dia kini dapat menjaga pula agar jangan sampai ada puteri kaisar yang masih gadis menjadi hamil karena perjinaan mereka. Dan diapun tidak mau jatuh cinta seperti Tang Gun yang dianggapnya bodoh. Hubungannya dengan para wanita itu hanyalah hubungan nafsu semata, saling meminta dan memberi, setelah itu, habis sudah, tidak ada kaitan dalam hati. Tidak lama kemudian, para selir dan dayang yang menjadi kekasihnya telah rnenjadi sekutunya. Mereka itu beramai-ramai selalu melindungi dan menyembunyikan rahasia Si Kumbang Merah. Bagi mereka, Tang-ciangkun yang satu ini sungguh merupakan seorang pria yang amat menyenangkan! Dan, mereka semua tahu bahwa sekali rahasia itu terbuka, bukan hanya panglima jantan itu yang , celaka, akan tetapi mereka semuapun akan menjadi korban. Mereka masih teringat akan nasib selir Hwee Lan ,dan dayang A Sui, dan mereka tidak ingin menjadi nikouw! Karena hampir semua selir dan dayang terlibat, maka Si Kumbang Merah merasa aman. Bunga-bunga harum itu bukan hanya menyerahkan madu manis kepadanya, bahkan melindunginya pula. Betapapun juga, masih ada juga satu hal yang kadang mengkhawatirkan hati Si Kumbang Merah, yaitu permaisuri! War,...it berusia empat puluh tahun lebih yang masih nampak cantik dan amat berwibawa ini merupakan ganjalan dan juga merupakan ancaman bahaya bagi dia dan semua kekasihnya di dalam harem kaisar itu. Permaisuri ini anggun dan juga angkuh. Sebagai seorang pria yang berpengalaman dia maklum bahwa tidak mungkin merayu dan menundukkan hati seorang wanita seperti permaisuri itu. Kalau saja tarikan mulutnya tidak sekeras itu, atau pandang matanya tidak setajam dan sedingin itu, mau rasanya dia mencoba merayu sang permaisuri. Walaupun usianya sudah empat puluh tahun lebih, namun ia juga merupakan seorang wanita yang amat menarik, setangkai bunga yang sama sekali belum layu. Namun, Ang-hong-cu Tang Bun An tidak berani mencoba hal ini karena sekali gagal, dia akan celaka. Walaupun dia mampu melarikan diri andaikata terjadi sesuatu, yang jelas dia akan kehilangan kedudukannya dan akan menjadi seorang buruan pemerintah. Berat! Kekhawatiran Ang-hong-cu memang tidak meleset. Diam-diam, permaisuri yang juga memiliki kecerdikan itu telah dapat "mencium" bau rahasia ketidakberesan yang terjadi di dalam istana bagian puteri itu. Biarpun para selir dan dayang, juga para thai-kam (pria kebiri) pengawal yang bertugas di sana semua membantu Ang-hong-cu, namun ada beberapa orang thai-kam yang menjadi orang-orang kepercayaan sang permaisuri! Mereka inilah yang membocorkan rahasia itu kepada permaisuri! Ketika permaisuri mendengar bahwa banyak selir dan dayang yang telah “mengotori" istana dengan perbuatan jina mereka dengan Panglima Tang, diam-diam permaisuri marah bukan main. "Hemm, pelacur-pelacur itu ....!” ia mengepal tangannya. "Awas, akan kubongkar semuanya!" Sang permaisuri tidak berani melapor begitu saja kepada suaminya, yaitu kaisar , tanpa adanya bukti yang nyata. Kaisar harus dapat menangkap basah mereka itu, dan hal itu tentu saja dapat diatur , dengan bantuan para thai-kam pengawal yang menjadi para pembantunya yang setia! Demikianlah, diam-diam permaisuri yang cerdik ini telah mengatur siasat bersama para pembantunya yang setia. Dan bagaikan seekor laba-laba betina, ia telah menenun sarang yang penuh jebakan dan perangkap. Hal ini dilakukan penuh rahasia sehingga sama sekali tidak mencurigakan Si Kumbang Merah dan para wanita yang menjadi kekasih Ang-hong-cu itu. Pada suatu malam, seperti biasa Si Kumbang Merah berada di kamar seorang selir kaisar. Selir itu masih muda, tidak lebih dari tiga puluh tahun usianya, cantik jelita dan amat menarik, juga merupakan seorang di antara para selir yang tersayang oleh kaisar. Seperti biasa pula, dayang selir itu yang juga sudah menjadi kekasih Si Kumbang Merah, melayani mereka berdua yang berpesta pora di dalam kamar. Ang-hong-cu Tang Bun An demikian mabok kesenangan sehingga setelah lewat tengah malam, diapun sudah tertidur nyenyak dalam kamar itu, dalam pelukan kekasih-kekasihnya. Sama sekali dia tidak tahu bahwa gerak-geriknya sejak memasuki bagian puteri itu telah diamati oleh para thai-kam pengawal yang menjadi mata-mata permaisuri. Untunglah bahwa selama ini Ang-hong-cu bersikap baik dan royal sekali kepada para pengawal. Para thai-kam pengawal yang tidak menjadi mata-mata permaisuri, masih setia kepada Ang-hong-cu. Panglima Tang ini merupakan seorang atasan yang royal dengan hadiah, bahkan suka pula mengajarkan satu dua jurus ilmu silat tinggi kepada mereka. Maka, sebelum jerat yang dipasang sang permaisuri mengena, pintu kamar selir itu telah digedor dari luar oleh beberapa orang pengawal yang setia kepada Ang-hong-cu. "Ciangkun........, caingkun.......cepat buka pintu !" kata mereka. Tentu saja Si Kumbang Merah terkejut, apa lagi ketika dia membuka pintu dan mendengar laporan seorang anak buahnya yang setia. "Ciangkun, celaka sekali. Entah apa yang terjadi, tahu-tahu Sribaginda datang berkunjung, dan anehnya, semua jalan keluar telah dijaga oleh para pengawal kepercayaan Sang Permaisuri! Agaknya rahasia ciangkun telah ada yang membocorkan. Cepat, mereka akan menuju ke sini!" Setetah berkata demikian, para pengawal itu cepat mengundurkan diri karena tentu saja mereka tidak ingin terlibat. Mendengar laporan itu, selir dan dayangnya sudah menangis dengan wajah pucat dan tubuh gemetar ketakutan. Akan tetapi Si Kumbang Merah tenang saja, lalu menutupkan pintu kamar itu, dan merangkul selir itu, berbisik. "Kau pura-pura sakit, berselimut!” Dan kepada dayang itu, diapun berkata, "Engkau merawat majikanmu, memijat-mijat kakinya dan laporkan bahwa sejak sore tadi, majikanmu merasa pening dan badannya lesu. Kalian berdua bersikap tenang saja, dan pura-pura kaget kalau ada yang menggedor pintu. Mengerti?" Setelah berkata demikian, Si Kumbang Merah mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dari saku bajunya dan mulailah dia berhias muka. Sebentar saja, mukanya telah berubah menjadi muka seorang wanita setengah tua! Dayang itu membantunya dengan pakaian yang lusuh dan tua, dan kini diapun telah menjadi seorang wanita tua yang berwajah lembut! Dan sekali berkelebat, dia sudah keluar dari jendela kamar itu. Daun jendela ditutup kembali oleh sang dayang. Tak lama kemudian, benar saja pintu kamar itu digedor dari luar, keras sekali. "Cepat buka pintu! Perintah Sribaginda!" terdengar teriakan itu. Karena perasaan takut, selir itu menggigil ketakutan, mukanya pucat dan keringat dingin membasahi tubuhnya. la bersembunyi ke dalam selimut, dan dayangnya segera membuka daun pintu itu, dengan perasaan takut yang ditahan-tahan pula. Setelah daun pintu dibuka dan ia melihat Sribaginda Kaisar di ambang pintu, dayang itu lalu menjatuhkan diri berlutut. Kaisar tidak memperhatikan dayang itu, melainkan memandang ke seluruh kamar dengan sinar mata penuh selidik, lalu bertanya, "Apa yang dilakukan majikanmu?" "Ampun..... , nyonya...... nyonya sedang sakit, sejak sore tadi terus tiduran ......, hamba mrawatnya......... " Mendengar ini, kaisar cepat melangkah mendekati pembaringan, lalu menyingkap kelambu. Dia melihat selir terkasih itu rebah terlentang, mukanya pucat, tubuhnya menggigil. "Engkau sakit..... ?" Kaisar meraba dahi dan lehernya dan mendapat kenyataan betapa tubuh itu panas dingin dan basah oleh keringat. "Ah, engkau benar sedang sakit. Tidurlah, besok biar diberi obat oleh tabib istana," Kaisar menutup kembali kejambu dan keluar dari kamar itu dengan wajah bersungut-sungut. Permaisuri tadi menyindirkan bahwa mungkin kini terulang kembali peristiwa Hwee Lan, dan kaisar dipersilakan untuk berkunjung ke kamar selir itu lewat tengah malam. "Kalau tidak ada pria di sana, tentu pria itu telah melarikan diri dan harus dicari sampai dapat, Jangan sampai nama baik paduka menjadi ternoda aib oleh peristiwa tak tahu malu seperti itu." Demikian sang permaisuri berkata. Dengan hati dipenuhi perasaan cemburu, kaisar lalu melakukan pemeriksaan lewat tengah malam, membawa pasukan pengawal yang dipilih oleh permaisuri. Akan tetapi, ternyata kamar itu kosong dan selir terkasih yang dituduh menyimpan .kekasih itu malah rebah dalam keadaan sakit! "Geledah seluruh kamar di sini, cari dan tangkap kalau sampai terdapat seorang asing!" Demikian perintah kaisar yang merasa penasaran, lalu dia sendiri hendak mencari permaisuri di dalam kamarnya, untuk menegur permaisurinya itu kalau memang ternyata tidak ditemukan sesuatu. Untuk itu, dia telah membuang waktu dan tidak tidur, semua untuk percuma saja! Akan tetapi, di kamar permaisuri terjadi hal yang amat aneh. Ketika permaisuri sedang rebah sambiltersenyum-senyum penuh kemenangan, membayangkan betapa selir itu tentu ditangkap dan dijatuhi hukuman, dan dayangnya terkasih sedang memijati kakinya sambil mengantuk, tiba-tiba saja nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu di kamar itu telah berdiri seorang wanita setengah tua. Dayang itu hendak berteriak, akan tetapi wanita itu telah meraba tengkuknya dan iapun menjadi lemas tak mampu berteriak atau bergerak lagi. "wanita itu lalu merenggut gelang yang dipakai oleh dayang itu, memasukkannya ke dalam saku bajunya. Kemudian dia menghampiri permaisuri yang juga sudah bangkit duduk dan memandang dengan mata terbelalak. Melihat permaisuri itu hendak menjerit pula, nenek yang bukan lain adalah Si Kumbang Merah cepat berbisik, "Harap jangan berteriak kalau paduka sayang akan nyawa paduka! Dengar baik-baik, hamba adalah seorang laki-Iaki..... sstt, paduka tidak perlu takut. Hamba tidak akan mengganggu paduka, dan malam ini paduka harus rnelindungi hamba. Hamba akan berada di sini, dan paduka katakan kepada sribaginda bahwa hamba adalah seorang ahli pijat yang sengaja paduka panggil ke sini. Ingat, kalau paduka membuka rahasia, hamba ketahuan kalau hamba laki-Iaki, hamba akan membuat pengakuan bahwa hamba adalah kekasih paduka." Sepasang mata itu terbelalak, apa lagi pada saat itu tangan Si Kumbang Merah bergerak cepat dan tahu-tahu kalung yang berada di lehernya telah dirampas oleh “nenek" itu. "Kalung ini, seperti juga gelang dayang ini, akan menjadi bukti bahwa hamba telah menjadi kekasih paduka yang paduka selundupkan ke dalam kamar ini." "Kau..... kau tak tahu malu, hendak melempar fitnah kepadaku! Siapakah engkau sesungguhnya?" "Tidak perlu paduka tahu, hamba hanya minta agar malam ini dilindungi dan besok diperbolehkan keluar dengan aman atau...... nama baik paduka akan ternoda. Semua orang akan percaya kepada hamba, dan semua selir akan suka bersumpah bahwa hamba adalah kekasih paduka!" "Ihhh..... ! Kau.... kau.... jahanam yang menodai istana, berjina dengan para selir dan dayang itu! Engkau Tang-ciangkun!" Wanita bangsawan itu tiba-tiba menjadi pucat. "Kau jangan kau berani menggangguku! Aku akan menjerit, aku akan bunuh diri, aku.... " "Jangan khawatir. Hamba tidak akan mengganggu paduka. Hambapun tidak pernah mengganggu para selir dan dayang. Bahkan hamba menolong mereka yang kehausan ......” "Tutup mulutmu yang kotor!" "Sekali lagi, kalau paduka membuka rahasia hamba, maka hamba pasti akan bersumpah menjadi kekasih paduka. Mungkin hamba akan dihukum mati, akan tetapi nama paduka akan menjadi cemar sampai tujuh turunan!" Pada saat itu terdengar suara di luar dan Si Kumbang Merah cepat membebaskan totokan pada dayang itu dan berbisik, “Engkau sudah mendengar semuanya. Hayo kau tidur di sudut sana, dan kau akui bahwa aku adalah seorang ahli pijat yang dipanggil oleh majikanmu!" Dayang itu hanya mampu mengangguk-angguk dan cepat dia merebahkan diri di sudut kamar itu dan pura-pura tidur. Ia takut bukan main, akan tetapi iapun tahu bahwa seperti juga majikannya, ia telah berada dalam cengkeraman pria yang menyamar sebagai wanita itu, pria yang ia tahu adalah Tang Ciangkun! Gelangnya telah dirampas dan kalau pria itu tertangkap lalu membuat pengakuan bahwa dia telah menerima gelang itu sebagai hadiah dari kekasih, tentu ia akan celaka, akan di gunduli dan di paksa menjadi ni-kouw! Ketika kaisar memasuki kamar permaisurinya dengan wajah muram dan bersungut-sungut karena hatinya tidak senang, dia merasa heran melihat seorang wanita setengah tua memijati pinggul permaisurinya. Dapat di bayangkan betapa marah rasa hati permaisuri itu ketika “nenek” itu memijati pinggulnya dengan tekanan-tekanan kedua tangannya, hangat dan mesra. akan tetapi terpaksa ia menekan kemarahannya, dan harus diakuinya bahwa tekanan-tekanan itu memang pijitan seornag ahli dan otot-otot pinggul dan punggungnya terasa nyaman! Wanita setengah tua itu cepat berlutut ketika kaisar memasuki kamar dan mendekati pembaringan. “Hemm, siapakah wanita ini?” Kaisar bertanya kepada permaisurinya yang sudah bangkit dan memberi hormat pula kepadanya. Si Kumbang Merah yang masih berlutut itu sudah bersiap-siap untuk meloncat dan melarikan diri kalau permaisuri itu membuka rahasianya. Akan tetapi, hatinya lega ketika permaisuri itu menjawab dengan suara sambil lalu. "Ah, ia adalah seorang ahli pijat dari luar istana yang kabarnya amat pandai. Karena hamba merasa lelah dan tidak enak badan, maka hamba memanggilnya ke sini dan memang ia pandai sekali."Permaisuri lalu menggandeng tangan kaisar, dibawanya duduk di atas kursi kesukaan Sribaginda, di dekat meja. Dengan lembut ia lalu bertanya, "Bagaimanakah dengan penyelidikan paduka?" "Hemm, tidak kutemukan siapa-siapa di kamarnya. Malah ia rebah dalam keadaan sakit! Engkau agaknya hanya menduga yang bukan-bukan saja!" Permaisuri itu lalu memberi hormat dan berkata dengan suara lembut. "Kalau begitu, ampunkan hamba. Sesungguhnya hamba selalu merasa khawatir kalau sampai terulang kembali peristiwa seperti yang dilakukan oleh Hwee Lan. Hamba khawatir, kalau sampai nama besar paduka ternoda." "Hemm, jangan bicara dulu kalau belum ada bukti yang nyata. Engkau hanya mengganggu pikiranku saja, dan aku menjadi lelah karena kurang tidur. Ah, benarkah ia pandai memijit? Biar kau suruh ia memijati tubuhku yang lelah sekali," kata Kaisar sambil menuding ke arah wanita setengah tua yang masih berlutut di atas lantai. Tentu saja permaisuri merasa khawatir sekali, akan tetapi iapun tidak berani membantah karena khawatir kalau rahasia nenek itu ketahuan. Maka, terpaksa ia lalu membereskan pembaringan dan setelah membantu kaisar rebah di atas pembaringan, ia lalu menyuruh nenek itu memijati tubuh kaisar . Akan tetapi, Si Kumbang Merah sama sekali tidak merasa khawatir. Dia adalah seorang ahli silat tinggi, pandai ilmu menotok jalan darah dan sudah hafal akan kedudukan otot-otot dan urat-urat, tahu benar cara pengobatan dengan urut dan pijit. Maka, tanpa ragu-ragu iapun lalu memijati tubuh kaisar, dimulai dari kedua kaki, terus naik ke pinggul, punggung, kedua lengan dan leher. Lega rasa hati permaisuri ketika mendengar Sribaginda mengeluarkan kata-kata memuji dan merasa keenakan, bahkan tak lama kemudian Sang Kaisar telah tertidur amat nyenyaknya! Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, permaisuri menyuruh Si Kumbang Merah menghentikan pijitannya. "Engkau boleh pergi sekarang, biar diantar keluar oleh pengawal kepercayaanku," katanya. Si Kumbang Merah tersenyum, memberi isarat berkedip kepada permaisuri dan dayangnya, lalu memberi hormat dan mengikuti dua orang thai-kam pengawal yang telah diberi perintah oleh permaisuri itu. Dengan aman, karena dikawal oleh dua orang thai-kam pengawal kepercayaan permaisuri, dia telah keluar dari daerah terlarang itu. Sejak terjadinya peristiwa itu, Si Kumbang Merah semakin leluasa mengaduk-aduk daerah terlarang itu, bagaikan seekor kumbang yang dengan bebasnya beterbangan di antara bunga-bunga pilihan di taman istana, menghisap madu dari satu ke lain kembang sesuka hatinya! Permaisuri sama sekali tidak berdaya, bahkan permaisuri itu sudah merasa berterima kasih bahwa Si Kumbang Merah tidak memaksa ia untuk rnenjadi kekasihnya pula! Akan tetapi dayangnya tidak terlepas dari sengatan kumbang rnerah yang nakal itu. Kini bahkan para thai-kam pengawal yang tadinya setia kepada permaisuri, semua telah tunduk di bawah kekuasaan Si Kumbang Merah dan tentu saja hal inipun terjadi melalui sang permaisuri yang tidak berdaya di bawah ancaman Si Kumbang Merah yang telah rnenguasainya dengan menyimpan kalung dan beberapa barang perhiasan lainnya. Benda-benda ini merupakan senjata ampuh, mernbuat sang permaisuri bertekuk lutut tidak berdaya karena sekali saja Si Kumbang Merah memperlihatkannya kepada orang lain dan mengatakan bahwa dia menerima dari sang permaisuri sebagai hadiah tentu istana, bahkan seluruh negeri akan geger! Tentu nama permaisuri itu akan terseret ke dalam lumpur sebagai seorang permaisuri yang menyimpan seorang kekasih gelap! * * * Kita tinggalkan dulu Si Kumbang Merah Tang Bun An yang sedang mabok kesenangan dan menjadi seperti ayam jantan tunggal di antara ayam ayam betina di harem kaisar! Dia telah kembali kepada kehidupannya yang dulu lagi, walaupun terdapat banyak perbedaan. Dahulu, dia suka merusak wanita, memperkosa, membunuh, meninggalkannya setelah wanita itu mengandung, di dalam hati dia mentertawakan wanita yang pada dasarnya menimbulkan rasa dendam kebencian kepadanya. Kini, dia agaknya hanya menuruti nafsu, mencari senang tanpa rasa benci kepada wanita-wanita itu. Kita tinggalkan dulu tokoh itu dan mengikuti perjalanan seorang di antara puteranya, yaitu Tang Cun Sek. Pemuda yang usianya sudah tiga puluh tahun itu setelah melarikan diri dari Cin-ling-san, lalu mengembara. Dia seorang pemuda yang tinggi besar dan gagah, wajahnya yang berkulit putih itu nampak tampan. Sepasang matanya tajam mencorong, sikapnya halus dan dia seorang yang pendiam. Seperti kita ketahui, Tang Cun Sek juga mengalami nasib yang sama dengan para keturunan Si Kumbang Merah. Ibunya menyerahkan diri karena rayuan jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) itu. Setelah ibunya mengandung, maka Si Kumbang Merah meninggalkan ibunya, dan tidak pernah muncul lagi. Ibunya menikah lagi dengan seorang hartawan Thio, menjadi selirnya. Sebagai anak tiri hartawan Thio, Cun Sek hidup cukup baik, menerima pendidikan dan tidak sampai ter lantar . Namun, dasar dia memiliki watak yang kotor, ketika dia berusia enam belas tahun dia bergaul dengan para pemuda yang tidak karuan dan dia berani berjina dengan dua orang selir ayah tirinya sendiri. Dia tertangkap basah dan diusir . Tang Cun Sek pergi setelah berhasil mencuri banyak emas dari gudang harta ayah tirinya. Akan tetapi, dia amat cerdik sehingga akhirnya, dia berhasil menyelundup ke Cin-ling-pai dan menjadi murid dan anggota perkumpulan para pendekar itu. Bahkan bukan itu saja, dia mampu merayu dan menundukkan hati kakek Cia Kong Liang sehingga dia disayang dan dari kakek itu dia menerima banyak ilmu silat tinggi dari Cin-ling-pai. Demikian pandainya dia mengambil hati orang tertua dari Cin-ling-pai itu sehingga dia bukan saja disayang, akan tetapi juga oleh kakek itu dicalonkan sebagai ketua Cin-ling-pai yang baru. Namun, usahanya menguasai kedudukan ini digagalkan oleh Cia Kui Hong, gadis lihai dan cerdik itu. sehingga dia bukan saja tidak dapat terpilih menjadi ketua baru Cin-ling-pai, bahkan menderita malu. Maka, diapun minggat meninggalkan Cin-ling-pai sambil membawa pergi pedang pusaka Hong-cu-kiam, yaitu pedang pusaka dari Cin-ling-pai. Demikianlah, Cun Sek tidak berani berhenti berlari cepat. Selama berbulan-bulan dia terus menjauhi Cin-ling-san karena dia maklum bahwa mungkin sekali pihak Cin-ling-pai akan melakukan pengejaran karena dia melarikan pedang pusaka. Hampir empat bulan telah lewat sejak dia melarikan diri dari Cin-ling-pai dan pada suatu pagi dia tiba di sebuah kota. Kota Tian-cu-an merupakan sebuah kota yang cukup besar. Musim panas telah tiba dan hawa udara lumayan panasnya biarpun matahari belum naik terlalu tinggi. Tang Cun Sek yang semalam tinggal di sebuah kuil To-kauw (Agama To) yang berada di luar kota, memasuki kota dengan sikap tenang. Dia memiliki banyak uang, sisa dari emas yang dahulu dicurinya dari rumah ayah tirinya, maka dia bersikap tenang, dapat membeli pakaian dalam perjalanan itu dan kini dia memasuki kota Tian-cu-an sebagai seorang pria muda yang berpakaian rapi dan bersih, membawa buntalan kain kuning dan sikapnya seperti seorang terpelajar. Pedang Hong-cu-kiam yang tadinya merupakan pedang pusaka Cin-ling-pai dan menjadi milik Cia Hui Song, ketua Cin-ling-pai, kini tersimpan di dalam buntalan pakaian itu. Pedang pusaka Hong-cu-kiam adalah sebatang pedang yang dapat digulung saking tipis dan lenturnya. Ketika hidungnya mencium bau masakkan sedap yang keluar dari sebuah rumah makan, Cun Sek merasa perutnya lapar sekali. Dia lalu memasuki rumah makan yang masih belum banyak pengunjungnya itu, dan memesan bubur ayam kepada seorang pelayan. Ketika dia sedang makan bubur ayam yang sedap dan panas, pendengarannya yang tajam mendengar percakapan yang dilakukan oleh tiga orang laki-laki yang duduk di meja sebelah belakang. Mereka bercakap-cakap dengan suara lirih, namun cukup jelas bagi pendengaran Cun Sek yang tajam. "Kita harus berhati-hati sekali. Iblis betina itu lihai bukan main." "Tentu saja lihai, kalau tidak mana mungkin sute (adik seperguruan) sampai tewas di tangannya." "Hemm, biarpun begitu, kalau kita bertiga maju, mustahil kita tidak akan dapat membinasakan iblis betina itu," kata orang ke tiga dengan suara penasaran. "Sstttt !" Kawannya agaknya memberi isarat sambil memandang ke arah Cun Sek dan tiga orang itu tidak melanjutkan percakapan mereka dan pada saat itu, pelayan datang membawa pesanan mereka. Cun Sek melanjutkan makan bubur seolah-olah tidak pernah mendengar percakapan bisik-bisik tadi. Akan tetapi diam-diam dia memperhatikan. Tiga orang itu berpakaian seperti orang-orang dari dunia persilatan. Usia mereka antara tiga puluh sampai empat puluh tahun dan dari gerak gerik mereka mudah diduga bahwa mereka adalah orang-orang yang ahli dalam ilmu silat. Tubuh mereka nampak kokoh dan gerak gerik merekapun sigap, pandang mata mereka tajam. Bahkan di balik jubah mereka nampak gagang pedang. Kalau saja mereka tadi tidak menyebut iblis betina, tentu Cun Sek tidak tertarik dan tidak mau perduli, karena diapun tidak ingin mencampuri urusan orang lain. Akan tetapi disebutnya iblis betina membuat dia tertarik. Siapakah yang mereka maksudkan dengan iblis betina itu dan mengapa seorang wanita disebut iblis? Karena dia memang tidak mempunyai tujuan tertentu dan banyak waktu terluang, maka karena hatinya tertarik, dia mengambil keputusan untuk membayangi tiga orang itu dan melihat sendiri siapa sebenarnya iblis betina itu dan wanita macam apa sampai dijuluki iblis betina. Demikianlah, ketika tiga orang itu meninggalkan rumah makan, tanpa mereka ketahui, mereka dibayangi oleh Cun Sek. Tiga orang itu keluar dari kota melalui pintu gerbang selatan. Begitu keluar dari pintu gerbang, mereka lalu mempergunakan ilmu berlari cepat menuju ke sebuah bukit yang tidak jauh dari kota Tian-cu-an, sebuah bukit yang nampak subur penuh hutan lebat. Ketika tiga orang itu tiba di luar sebuah hutan di lereng bukit itu, mereka berhenti dan seorang di antara mereka bersuit nyaring. Segera terdengar jawaban, yaitu suitan-suitan yang sama dari berbagai penjuru dan tak lama kemudian dari balik semak belukar, balik pohon-pohon, bahkan ada yang melayang turun dari atas pohon, bermunculan banyak sekali orang yang kesemuanya mengenakan seragam hitam.Diam-diam Tang Cun Sek terkejut. tiga orang laki-laki tadi biarpun mungkin lihai, namun belum merupakan lawan yang terlalu tangguh. Akan tetapi dengan munculnya dua puluh orang lebih ini yang kesemuanya berpakaian hitam-hitam dan sikap mereka bengis dan kejam, sungguh mereka ini merupakan pasukan kecil yang berbahaya. Makin tertarik hatinya. Demikian banyaknya orang laki-laki hendak mengeroyok seorang wanita? Kalau begitu, wanita yang di sebut iblis betina itu tentu luar biasa lihainya. Dengan kepandaiannya yang tinggi, Cun Sek melayang naik ke atas pohon besar yang amat lebat daunnya, tepat di atas sekumpulan orang itu dan dia dapat mendengarkan dan melihat dengan jelas. Ada dua puluh empat orang berpakaian seragam hitam, dipimpin oleh seorang pria berusia empat puluh tahun yang mukanya penuh dengan cambang, kumis dan jenggot. Matanya melotot bengis dan mendengar bahwa orang-orang menyebutnya pangcu (ketua), maka mudah diduga bahwa si brewok itu adalah ketua dari gerombolan orang berseragam hitam itu. Dan melihat sikap ketua gerombolan seragam hitam itu terhadap tiga orang yang datang dari kota Tian-cu-an tadi, dapat diduga bahwa mereka merupakan sekutu. Antara ketua dan tiga orang itu nampak hubungan yang saling menghargai, berbeda dengan sikap para anggauta kelompok seragam hitam yang bersikap amat hormat kepada ketua mereka dan juga kepada tiga orang itu. Karena sejak muda berada di Cin-Iing-pai dan sudah lama tidak berkecimpung di dunia kang-ouw, maka Tang Cun Sek sama sekali tidak tahu bahwa dia telah bertemu de-ngan tokoh-tokoh kangouw yang Kenamaan! Gerombolan seragam hitam yang pada saat itu berkumpul disitu adalah para anggauta pilihan dari perkumpulan Hek-tok-pang (Perkumpulan Racun Hitam)! Dari nama perkumpulan ini saja mudah diduga bahwa mereka adalah orang-orang yang ahli dalam penggunaan racun berbahaya di samping mereka memiliki pula ilmu silat kaum sesat yang amat berbahaya. Nama Hek-tok-pang mendatangkan perasaan takut pada semua orang yang suka melakukan pelayaran di sepanjang Sungai Kuning, karena mereka itu yang tinggal dilembah Huang ho, merupakan perkumpulan yang mengangkat diri sendiri sebagai penguasa di sepanjang Huang-ho. Mereka suka menuntut pajak atau sumbangan dari para pedagang yang menggunakan perahu, dan mereka tidak segan-segan untuk membunuh siapa saja yang berani menentang mereka. Ketua mereka, yaitu pria yang tinggi besar dan brewok itu bernama Cu Bhok dan terkenal memiliki ilmu silat golok yang amat dahsyat. Adapun tiga orang yang oleh Cun Sel dibayangi dari kota Tian-cu-an itu pun bukanlah orang-orang sembarangan. Mereka bertiga itu tadinya berempat dan terkenal dengan julukan mereka Kwi-san su-kiam-mo (Empat setan Pedang dari Kwi-san). Orang pertama bernama Giam Sun, lalu yang ke dua adik kandungnya bernama Giam Kun. Orang ke tiga bernama Thio Su It, dan yang keempat bernama Yauw Kwan. Akan tetapi, karena yang termuda telah tewas di tangan "iblis betina", maka kini mereka hanya tinggal tiga orang saja. Cun sek yang mengintai dari atas pohon melihat mereka itu mengadakan perundingan di bawah pohon. Ketua Hek-tok-pang itu bersama tiga orang pria yang dibayanginya tadi bercakap-cakap di bawah pohon sedangkan dua puluh empat orang anggauta Hek-tok-pang lalu menyebarkan diri di sekitar tempat itu, siap untuk melakukan perlindungan dan penjagaan agar jangan sampai ada orang luar mendengarkan percakapan ketua mereka dengan tiga orang tokoh sekutu mereka itu. sungguh tak seorangpun di antara mereka yang pernah menduga bahwa sejak tadi sudah ada seorang yang nongkrong di atas pohon dan melihat semua kegiatan mereka, bahkan mendengar semua percakapan yang berlangsung di bawah pohon itu. "Pangcu," kata seorang di antara tiga orang Kwi-san Su-kiam-mo, yaitu orang pertama yang bernama Giam Sun itu, "Sebelum kita menyerbu ke Bukit Teratai Emas itu, lebih dulu kita harus mengetahui jelas akan kedudukan kita dan sifat kerja sama kita. Pangcu maklum bahwa kita bersama menentang iblis betina itu dengan berbagai alasan, yaitu kami karena terbunuhnya seorang sute kami, dan pangcu karena iblis betina itu pernah merugikan Hek-tok-pang. Akan tetapi kami kira bukan itu yang menjadi alasan terpenting." "Benar sekali ucapanmu, kawan'.' kata ketua Hek-tok-pang itu dengan suaranya yang berat. "Selama ini di antara kita tidak pernah ada persekutuan walaupun juga tidak pernah kita saling bertentangan. Kita mengambil jalan masing-masing dan tidak saling mengganggu. Akan tetapi iblis betina itu muncul dan jelas bahwa ia hendak menjagoi, tidak memandang mata kepada pihak lain. Betapapun lihainya, ia hanya seorang perempuan dan kami tentu saja tidak sudi tunduk kepada seorang wanita! Kalau ia tidak dibasmi, tentu hanya akan merendahkan nama besar kita sebagai laki-laki yang gagah perkasa." Tiga orang itu mengangguk-angguk setuju. "Akan tetapi, kita harus berhati-hati. Kalau tidak salah perhitungan kami, ia mempunyai banyak pembantu yang pandai. Kalau nanti kita berhasil memancing mereka keluar dari sarang mereka di Kim-lian-san (Bukit Teratai Emas). Harap pangcu dan para saudara Hek-tok-pang menghadapi para pembantunya. Adapun kami sendiri akan menghadapi iblis betina itu." Setelah mengadakan perundingan, empat orang ini diikuti oleh dua puluh empat anggauta Hek-tok-pang lalu menuruni lereng dan kini mereka menuju ke sebuah bukit lain yang bersambung dengan bukit itu. Sebuah bukit yang lebih besar dan lebih liar karena penuh dengan hutan-hutan lebat, di mana nampak bagian-bagian yang berbatu, akan tetapi ada pula bagian yang ditumbuhi pohon-pohon raksasa dan semak belukar penuh duri yang amat liar dan tempat itu tidak pernah didatangi manusia. Bahkan para pemburu binatang hutanpun agak segan untuk berburu binatang di Bukit Teratai Emas, karena hutan itu memang amat berbahaya. Apa lagi sejak kurang lebih setahun yang lalu ada desas desus bahwa bukit itu dihuni segerombolan iblis yang amat lihai dan jahat! Bahkan kini penduduk dusun yang tadinya mencoba memperbaiki nasib dengan membangun dusun di situ dan bertani, beramai-ramai meninggalkan dusun mereka dan pindah ke tempat lain yang lebih aman setelah berkali-kali mereka diganggu oleh iblis-iblis yang amat jahat! Dengan hati semakin tertarik, Cun Sek membayangi serombongan orang itu dari jauh. Dia merasa semakin penasaran. Jelaslah bahwa serombongan orang itu adalah orang-orang kang-ouw yang hendak menentang orang yang mereka sebut iblis betina. Tentu seorang wanita yang lihai, yang agaknya juga memi1iki anak buah dan mungkin wanita itu dan anak buahnya bersarang di bukit yang bernama Bukit Teratai Emas itu. Tentu akan ramai, pikirnya, dan tanpa ada keinginan mencampuri urusan itu, dia hanya membayangi untuk menjadi penonton. Semenjak meninggalkan Cin-ling-pai, dia memang tidak mempunyai tujuan tertentu. Satu-satunya tujuan perjalanannya hanyalah mencari ayah kandungnya, yaitu seorang tokoh yang menurut ibunya amat lihai dan berjuluk Ang-hong-cu. Selama ini dia sudah bertanya-tanya, namun biar ada pula orang-orang kang-ouw yang pernah mendengar nama Si Kumbang Merah, namun tak seorangpun mengetahui di mana adanya tokoh yang telah lama tidak pernah muncul di dunia kang-ouw itu. Akhirnya, menjelang tengah hari, rombongqn itu tiba di lereng Bukit Teratai Emas. Mereka tadi mendaki dengan amat hati-hati, dan setelah tiba di lereng yang terjal, tak begitu jauh lagi dengan puncak .yang nampak tertutup pohon-pohon raksasa, mereka berhenti. Cun Sek menyelinap dekat dan mengintai dari balik semak belukar. Dia melihat betapa kini para anggauta Hek-tok-pang jtu menyebar bubuk hitam di antara semak-semak kanan kiri jalan setapak. Selain bubuk hitam yang disebarkan pada daun dan durj semak-semak, juga ketua mereka menebarkan benda-benda kecil runcing seperti paku berwarna hitam di atas tanah. Bukan sembarang paku, melajnkan benda bulat kecil yang mempunyai banyak duri seperti ujung paku pada permukaannya sehingga ketika disebar di atas tanah, maka ada saja duri runcing yang mencuat ke atas sehingga siapa saja yang lewat di jalan setapak itu tentu akan menginjak benda itu dan karena benda itu runcing sekali, maka mungkin saja dapat menembus sepatu dan melukai kulit telapak kaki! Dan tahulah Cun Sek bahwa benda runcing itu tentu mengadung racun berbahaya, juga bubuk hitam yang ditaburkan itu tentu racun yang amat jahat! Hatinya menjadi tegang, dan diam-diam harus diakuinya bahwa orang-orang ini merupakan lawan yang amat curang dan berbahaya sekali. Setelah menebarkan bubuk hitam pada semak-semak dan benda-benda runcing pada jalan setapak, mereka semua lalu menuruni lereng dan kini di sebelah bawah, tak jauh dari tempat yang ditebari racun itu, mereka mengumpulkan ranting dan daun kering, lalu membakar setumpuk daun dan ranting kering! Dan mereka semua bersembunyi di kanan kiri, dekat api yang mereka buat itu, setiap orang siap dengan senjata di tangan! Cun. Sek mengangguk-angguk. Orang-orang ini sungguh licik. Agaknya mereka tidak berani menyerbu naik, maka mempergunakan siasat ini. Mereka membakar tempat itu untuk memancing pihak musuh menuruni puncak, dan sebelum tiba di tempat yang mereka bakar, tentu pihak musuh akan melalui jalan setapak yang telah penuh dengan benda dan bubuk beracun. Celakalah kiranya pihak musuh yang berada di puncak itu, pikirnya. Akan tetapi dia tidak ingin mencampuri. Bukan urusannya. Dia hanya ingin menjadi penonton dan ada kenikmatan tersendiri di dalam hatinya menonton peristiwa yang menegangkan hati ini. Tepat seperti yang di duga oleh Cun Sek, tak lama kemudian dari tempat sembunyinya dia melihat lima orang laki-laki berlarian dari atas, turun dari puncak menuju ke tempat kebakaran. Mreka adalah lima orang laki-laki yang mempunyai ilmu meringankan tubuh yang lumayan, terbukti dari cara mereka berlari cukup cepat walaupun melalui jalan setapak yang cukup sukar dengan adanya batu-batu yang berserakan. Kalau tidak hati-hati maka kaki mereka terpeleset dan kalau sampai terjatuh di atas jalan setapak berbatu-batu itu, akan membuat kulit mereka babak belur. Makin dekat lima orang itu datang ke jalan setapak yang di pasangi racun, makin kencang debar jantung Cun Sek karena tegang. Sedikitpun dia tidak ingin memperingatkan lima orang itu. Dia tidak ingin berpihak, karena dia tidak mengenal kedua pihak itu. Apakah lima orang itu akan mampu menghindarkan diri dari ancaman malapetaka? Sementara itu, lima orang yang datang dari puncak itu, setelah mereka tiba dekat api yang nampak dari atas, tentu saja mempercepat larinya dan kini mereka memasuki jalan setapak yang telah ditaburi benda berduri tadi. Dan berturut-turut terdengar mereka itu berteriak kaget, akan tetapi agaknya benda runcing yang menembus sepatu mereka dan melukai telapak kaki, mengandung racun yang amat hebat sehingga sekali berteriak, tubuh mereka terguling dan tentu saja mereka jatuh menimpa benda-benda runcing beracun itu. Dan begitu terjatuh, mereka tidak dapat bergerak lagi, merintih pun tidak mampu dan nampak beberapa bagian tubuh mereka menjadi hitam! Dari tempat persembunyiannya, Cun Sek bergidik. Luar biasa ampuhnya racun hitam itu! Lima orang itu begitu terjatuh, seketika tewas dan mayat mereka malang melintang menutup jalan setapak. Pada saat itu, Cun Sek melihat lima bayangan orang berlari cepat menuruni puncak. Sebentar saja lima sosok bayangan itu telah tiba di situ dan dia melihat bahwa mereka adalah lima orang wanita yang usianya antara tiga puluh sampai empat puluh tahun, rata-rata memiliki wajah cantik dan, tubuh yang ramping padat. Diapun diam saja, hanya memandang penuh perhatian karena dari gerakan mereka itu, dia dapat menduga bahwa mereka lebih lihai dari pada lima orang pertama yang menjadi korban racun. Apakah mereka akan mampu meloncati tempat yang menjadi perangkap maut itu? Lima orang itu menghentikan lari mereka dan mereka terbelalak memandang ke arah lima orang yang telah tewas dan malang melintang di jalan setapak itu. Mereka mengamati ke arah tanah dan saling berbisik. agaknya mereka maklum bahwa lima orang pria itu menjadi korban benda-benda kecil beracun yang bertebaran di atas jalan setapak. "Ikut aku!" kata seorang di antara mereka dengan nada memimpin. la lalu mencabut pedang, menggunakan pedangnya untuk membacok putus dua batang ranting pohon. Teman-temannya meniru perbuatannya dan kini masing-masing memegang dua buah kayu ranting yang besarnya selengan tangan mereka, kemudian, didahului oleh pemimpin mereka, lima orang wanita itu menggunakan dua batang kayu untuk menyeberangi jalan setapak yang penuh dengan benda-benda runcing beracun itu tanpa menyentuhkan kaki ke atas tanah. Akan tetapi begitu mereka melewati jalan setapak itu, melangkahi lima sosok mayat yang malang melintang dan mereka tiba di seberang jalan berbahaya itu, mereka mengaduh-aduh dan lima orang wanita itupun terpelanting jatuh dari atas dua batang tongkat yang tadi mereka pergunakan untuk menyeberang sebagai pengganti kaki. Cun Sek tidak merasa heran. Lima orang wanita itu ternyata memang dapat menghindarkan kaki mereka tertusuk benda runcing dan keracunan, namun mereka tidak tahu bahwa semak-semak di kanan kiri jalan itu telah disebari bubuk hitam beracun. Ketika mereka lewat, tangan mereka terkena daun-daun yang sudah mengandung racun, maka ketika tiba di seberang, mereka merasa betapa kedua tangan mereka gatal dan panas. Rasa gatal dan panas itu menjalar ke seluruh tubuh dan lima orang wanita itu bergulingan, menggunakan kedua tangan untuk mencakari tubuh sendiri sehingga pakaian mereka koyak-koyak dan mereka berlima itu sampai telanjang bulat, namun tidak berhenti menggaruk dan tubuh mereka segera penuh dengan guratan merah dan hitam. Mereka itu tewas dalam keadaan tersiksa sekali, tidak seperti lima orang pria tadi yang tewas seketika. Lima orang wanita itu sebelum tewas menderita siksaan rasa gatal dan panas yang menjalar dari tangan mereka yang terkena bubuk racun sampai ke seluruh tubuh! Kembali Cun Sek bergidik ngeri. Sungguh hebat sekali! Sungguh bukan main kejamnya orang-orang Hek-tok-pang itu! Akan tetapi dia tetap hanya menjadi penonton dan tinggal tidak berpihak. Akan tetapi kini dia semakin tertarik. Agaknya yang menjadi korban racun itu, lima orang pria dan lima orang wanita, hanyalah anak buah saja. Agaknya rombongan yang masih bersembunyi itu menunggu musuh mereka yang tadi mereka sebut-sebut, yaitu iblis betina! Dan Cun Sek sendiripun ingin sekali, tahu bagaimana macamnya iblis betina itu dan bagaimana lihainya sehingga dua puluh delapan orang itu bersembunyi dengan senjata di tangan, agaknya siap untuk mengeroyok musuh yang ditunggu-tunggu itu. Ketika Cun Sek memperhatikan tiga orang yang dibayanginya dari kota tadi, tiba-tiba dia melihat mereka itu menuding ke arah puncak bukit dan sikap mereka tegang. Diapun cepat memandang ke arah puncak dan nampaklah sesosok bayangan seperti terbang cepatnya lari menuju ke tempat itu. Dia merasa betapa hatinya tegang sekali. Agaknya itulah orang yang mereka nanti-nanti, yang disebut iblis betina! Tentu orangnya menakutkan, seperti iblis, mungkin sudah nenek-nenek, yang lihainya bukan main. Akan tetapi, semakin dekat sosok tubuh itu, semakin terbelalak lebar mata Cun Sek! Apalagi setelah wanita itu tiba di dekat jalan setapak yang beracun, dan memandangi mayat lima orang pria dan lima orang wanita di seberang jalan, Cun Sek melongo. Ia seorang wanita yang usianya sekitar tigapuluh tahun. Pakaiannya serba indah dan mewah sehingga nampak ganjil sekali seorang wanita berpakaian seindah itu berada di dalam hutan! Dan cantiknya! Bentuk tubuhnya! Seorang wanita yang sudah matang dan penuh daya tarik, menggairahkan! Kalau saja tidak nampak gagang sepasang pedang di balik pundaknya, tentu tidak akan ada orang dapat menduga bahwa wanita cantik yang lemah-gemulai ini adalah seorang ahli silat yang amat pandai! Wajah itu bulat dan kulitnya putih kemerahan masih ditambah cantik oleh bedak dan pemerah pipi dan bibir. Pandang matanya amat tajam, dan kerlingnya demikian memikat sehingga akan sukar ditemukan pria yang akan mampu bertahan kalau disambar kerling mata seperti itu. Begitu melihat wanita itu, seketika timbul rasa sayang dan suka dalam hati Cun Sek dan tanpa ditanya lagi, otomatis hatinya sepenuhnya berpihak kepadanya! Oleh karena itu, melihat wanita itu agaknya ragu-ragu dan hendak menyeberang melalui jalan setapak yang mengandung ancaman maut itu, tanpa disadarinya sendiri dia lalu berseru, "Hati-hati, nona! Jangan lewat jalan itu, tanah dan semak-semaknya telah ditaburi racun jahat!" Tiba-tiba wanita itu meloncat ke samping, tinggi sekali dan bagaikan seekor burung terbang, tubuhnya sudah melayang dan hinggap di atas cabang pohon, terus diayunnya tubuhnya itu sehingga melayang ke atas lagi, hinggap lagi di cabang lain dan demikian seterusnya sehingga dalam waktu beberapa detik saja ia telah hinggap di atas cabang pohon di depan Cun Sek! Cun Sek memandang terbelalak kagum bukan main. Wanita itu ternyata bukan saja cantik manis, akan tetapi juga memiliki ginkang yang demikian hebatnya sehingga nampaknya seperti seekor burung yang amat indah, yang kini berdiri di atas cabang sambil memandang kepadanya dengan sinar matanya yang jeli indah dan mulutnya yang tersenyum manis. "Siapakah engkau dan mengapa engkau memperingatkan aku tentang bahaya racun itu?" Wah, bukan hanya wajahnya cantik tubuhnya menggairahkan, sinar mata dan senyumnya memikat, juga suaranya amat merdu. Tanpa menyembunyikan kekaguman dari pandang matanya, Cun Sek menjawab sambil tersenyum. "Tadinya aku memang hanya menjadi penonton, tidak akan mencampuri urusan orang lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan aku. Akan tetapi, melihat engkau yang begini cantik jelita terancam bahaya maut yang demikian mengerikan, aku merasa tidak tega dan tanpa kusadari aku telah berteriak memberi peringatan." Di dalam hatinya dia masih merasa heran mengapa yang muncul seorang wanita yang demikian cantiknya. Bukankah yang dinanti oleh orang-orang di bawah itu adalah seorang iblis betina? Kini, dua puluh delapan orang itu sudah bermunculan dari tempat persembunyian mereka dan kini mereka sudah siap dengan senjata di tangan. Terdengar raksasa brewok tadi berteriak sambil mengacungkan golok besarnya ke arah pohon. "Iblis betina, turunlah! Mari kita membuat perhitungan!" "Tok-sim Mo-li (Iblis Betina Berhati Racun), bersiaplah engkau untuk menebus nyawa sute Yauw Kwan!" orang pertama dari Kwi-san Su-kiam-mo juga berteriak sambil menudingkan pedangnya ke arah wanita yang masih di atas cabang pohon itu. Kini Cun Sek semakin kaget. Kiranya benar wanita ini yang disebut Iblis Betina. Wah, bagi dia, wanita ini lebih pantas disebut bidadari kahyangan! Semua penilaian melahirkan pendapat yang palsu, karena penilaian selalu didasari perhitungan untung rugi si penilai. Kalau yang dinilai itu menguntungkan, berarti menyenangkan, tentu dinilainya baik, sebaliknya kalau merugikan atau tidak menyenangkan dinilainya buruk. Para anggota Hek-tok-pang telah dirugikan oleh Tok-sim Mo-li, banyak anggauta yang tewas di tangan wanita itu, tentu saja menganggap wanita itu jahat sekali, bahkan kecantikan wanita itu tidak lagi menarik karena telah timbul kebencian dan dendam dalam hati mereka. Seperti itu pula perasaan tiga orang di antara Kwi-san Su-kiam-mo yang menaruh dendam karena sute mereka tewas di tangan wanita itu. Akan tetapi sebaliknya, Cun Sek sama sekali tidak pernah merasa dirugikan oleh wanita itu, dan melihat kecantikan wanita itu, dia menilainya sebagai seorang wanita yang menarik dan patut dibela! Orang seperti Cun Sek ini tentu saja hanya menilai seseorang dari kulitnya. Dia lupa bahwa kecantikan hanya setipis kulitnya, hanya merupakan pembungkus belaka, pembungkus tengkorak dan rangka yang sama pada setiap orang manusia. Dan sungguh sayang sekali. Kita pada umumnya lebih suka memperhatikan dan memperindah badan dari pada batin kita. Kita mencuci badan kita setiap hari, dua tiga kali, akan tetapi ingatkah kita untuk mencuci batin kita? Mencuci batin berarti ingat kepada Tuhan dan menyerah dengan seluruh pemasrahan, karena hanya kekuasaan Tuhan saja yang akan mampu membersihkan batin kita yang dipenuhi kekotoran. Tentu saja Cun Sek tidak tahu siapa sebenarnya wanita cantik itu. Kalau dia sudah mengenalnya benar, tentu dia akan semakin terkejut. Wanita ini bernama Ji Sun Bi, yang di dunia kang-ouw terkenal dengan julukan Tok-sim Mo-li. Dari julukan ini saja sudah diketahui bahwa ia adalah seorang wanita yang hatinya beracun, berarti memiliki watak yang amat jahat. Ia pernah menjadi murid, juga kekasih, dari mendiang Min-sa Mo-ko, seorang datuk sesat yang pernah menjadi tokoh Pek-lian-kauw. Tok-sim Mo-li ji Sun Bi ini mewarisi ilmu-ilmu yang dahsyat dari gurunya, dan selain lihai dan cantik manis, juga ia memiliki suatu penyakit, yaitu gila laki-laki! Ia seorang penjahat cabul yang selalu timbul birahinya melihat seorang pria muda yang tampan dan ganteng. Oleh karena itu, begitu melihat Cun Sek yang tinggi tegap dan tampan, tentu saja hatinya seketika tertarik sekali. Apalagi ketika pemuda itu begitu berjumpa sudah berpihak kepadanya, dan berusaha menyelamatkannya dari ancaman bahaya! Kurang lebih setahun yang lalu, Ji Sun Bi bersama mendiang gurunya, Min-san Mo-ko, membantu gerakan pemberontakan yang dipimpin oleh mendiang Lam hai Giam-lo dan seorang bangsawan Birma bernama Kulana. Akan tetapi pemberontakan itu dapat dihancurkan oleh pasukan Menteri Cang Ku Ceng, yang dibantu oleh para pendekar gagah perkasa.Hampir semua tokoh pemberontak tewas. Hanya ada beberapa orang saja yang berhasil menyelamatkan diri, di antaranya termasuk Tok-sim Mo-li li Sun Bi. Ketika terjadi pertempuran, Ji Sun Bi bertanding melawan Cia Kui Hong, puteri ketua Cin-1ing-pai yang sudah digembleng oleh Pendekar Sadis dan isterinya, yaitu kakek dan neneknya sendiri. Ji Sun Bi terdesak hebat dan pada saat terakhir, ia dapat membuang dirinya ke bawah tebing. Kui Hong mengira bahwa Ji Sun Bi yang jahat tentu tewas karena tebing itu amat curam. Akan tetapi ternyata tidak! Ji Sun Bi sudah memperhitungkan ketika ia melempar diri ke bawah tebing itu. Ia maklum benar bahwa di bawah tebing, tepat di bawah ia melempar tubuh, terdapat sebuah danau kecil yang dalam. Maka, ketika ia tiba di bawah, bukan batu atau tanah yang menerima tubuhnya, melainkan air! Dan biarpun ia hampir pingsan ketika terbanting ke air danau, namun ia dapat menyelamatkan dirinya dan tidak tewas! Tok-sim Mo-1i Ji Sun Bi segera melarikan diri dan bersembunyi sampai berbulan-bu1an, takut ka1au ada pengejaran dari para pendekar. Dan di dalam perantauannya sambil sembunyi-sembunyi ini Ji Sun Bi bertemu dengan seorang pria muda yang membuatnya gembira bukan main. Siapakah pria muda itu? Dia bukan lain adalah Sim Ki Liong, seorang di antara para pembantu utama dalam pemberontakan yang dipimpin Lam-hai Giam-lo itu! Pemuda itu adalah seorang di antara mereka yangberhasil menye1amatkan diri dan pemuda itu amat lihainya, bahkan tingkat kepandaiannya lebih lihai dari Ji Sun Bi sendiri, dan yang 1ebih dari segalanya, pemuda itu adalah bekas kekasih atau seorang di antara para kekasih wanita cabul itu! Ketika dua orang bekas rekan dan kekasih itu berjumpa, tentu saja mereka merasa gembira bukan main. Bukan saja gembira dalam melepas kerinduan masing-masing, akan tetapi terutama sekali gembira karena mereka kini merasa kuat. Dengan kerja sama di antara mereka tentu saja mereka merasa kuat dan mampu melakukan hal-hal besar! Sim Ki Liong adalah seorang pemuda berusia dua puluh dua tahun yang tampan dan sikapnya halus lagi sopan. Dia sesungguhnya putera dari mendiang Sim Thian Bu, seorang seorang tokoh sesat yang tewas di tangan suhengnya sendiri, yaitu Siangkoan Ci Kang. Sim Ki Liong yang cerdik itu kemudian berhasil menyusup ke Pulau Teratai Merah dan karena dia memang pandai mengambil sikap, dia berhasil menarik perhatian Pendekar Sadis dan isterinya yang berkenan mengambil dia sebagai murid! Sebagai murid terkasih dari Pendekar Sadis dan isterinya, tentu saja Sim Ki Liong menjadi lihai bukan main! Akan tetapi, ketika Cia Kui Hong berkunjung ke rumah kakek dan neneknya di Pulau Teratai Merah. Sim Ki Liong yang tergila-gila kepada Kui Hong itu seperti membuka kedok sendiri. Dan diapun lalu melarikan diri, minggat dari Pulau Teratai Merah sambil membawa pedang pusaka pulau itu, yaitu pedang pusaka Gin-hwa-kiam! Kemudian, Sim Ki Liong ikut bergabung dengan gerakan pemberontakan Lam-hai Giam-lo, menjadi seorang di antara para pembantu yang dipercaya di samping Ji Sun Bi. Ketika gerombolan pemberontak itu diserbu oleh para pendekar dan pasukan pemerintah, seperti juga Ji Sun Bi, Sim Ki Liong yang ternyata amat cerdik itu berhasil pula menyelamatkan diri. Demikianlah, setelah Ji Sun Bi berjumpa dengan Sim Ki Liong, tentu saja keduanya merasa girang bukan main. Keduanya lalu memilih Kim-lian-san (Bukit Terati Emas) itu sebagai tempat tinggal dan dengan kerja sama mereka, sebentar saja mereka berdua sudah mampu membangun tempat itu sebagai sarang dari perkumpulan yang mereka bangun bersama, yang mereka beri nama Kim-lian-pai (Perkumpulan Teratai Emas)! Tentu saja ketuanya adalah Sim Ki Liong dan Ji Sun Bi menjadi wakil ketua. Mereka berdua lalu menundukkan tokoh-tokoh sesat di sekitar daerah itu, memaksa mereka untuk mengakui kekuasaan Kim-Iian-pai. Kalau ada tokoh atau golongan yang tidak mau mengakui, maka Ji Sun Bi lalu turun tangan mengalahkan tokoh itu atau mengobrak-abrik gerombolan yang melawan. Dalam waktu beberapa bulan saja, hampir seluruh tokoh kang-ouw dan gerombolan penjahat sudah dapat ditundukkan! Mereka berdua lalu memilih pemuda-pemuda atau para pria yang memiliki kepandaian, juga wanita-wanita yang tangkas, untuk menjadi anggota Kim-Iian-pai. Mereka berdua melatih mereka sehingga tak lama kemudian, Kim-lian-pai telah menjadi sebuah perkumpulan yang anggotanya berjumlah lebih dari seratus orang dan rata-rata mereka memiliki kepandaian silat yang cukup tangguh. Nama besar Kim-Iian-pai mulai dikenal dunia kang-ouw. Kelompok-kelompok yang mengakui kekuasaan Kim-lian-pai tentu saja mulai menyumbangkan hasil kekayaan atau kejahatan mereka kepada perkumpulan baru itu. Baik Sim Ki Liong maupun Ji Suri Bi tidak mempunyai niat untuk mengulangi apa yang dilakukan oleh gerombolan yang dipimpin Lam-hai Giam-lo. Tidak, mereka sudah cukup berpengalaman dan cerdik. Melawan pemerintah merupakan perbuatan yang tolol. Kekuatan pemerintah tidak mungkin dapat dilawan. Mereka hanya ingin mendirikan perkumpulan yang kuat dan berkuasa karena dari dunia kang-ouw, mereka dapat mengharapkan sumbangan yang akan membuat perkumpulan mereka cukup kuat untuk hidup mewah. Selain itu, juga kalau mereka kuat, para pendekar tidak akan berani mengganggu mereka. Di samping itu semua, juga Sim Ki Liong yang menjadi ketua Kim-lian-pai mempunyai suatu cita-cita, yaitu membalaskan dendam sakit hatinya kepada pendekar Siangkoan Ci Kang yang telah membunuh ayahnya. Dengan adanya perkumpulan kuat yang dipimpinnya, tentu tidak akan sukar baginya untuk mencari di mana adanya musuh besar itu. Di samping memupuk kekuatan untuk perkumpulannya, Sim Ki Liong dan Ji Sun Bi tidak menghentikan kesenangan mereka. Dua orang ini memang cocok sekali, memiliki kesukaan yang sama, yaitu kalau Sim Ki Liong tiada bosannya mencari gadis-gadis cantik untuk menemaninya, juga Ji Sun Bi tak pernah merasa puas dengan pria-pria tampan yang hampir setiap hari berganti-ganti melayaninya! Hampir semua anggota Kim-lian-pai yang bertubuh kekar dan berwajah tampan, pernah dikeram dalam kamar wakil ketua yang cantik itu. Namun, watak Ji Sun Bi memang pembosan. Biar di puncak itu sudah ada Sim Ki Liong dan banyak anggota perkumpulan yang pria, namun ia masih suka berkeliaran turun dari bukit untuk melampiaskan nafsunya dengan pria-pria baru! Demikianlah, perbuatannya itu yang mendatangkan keributan pada hari itu. Ia bertemu dengan Yauw Kwan, pemuda berusia dua puluh lima tahun yang merupakan anggota termuda dari Kwi-san Su-kiam-mo, empat orang tokoh kang-ouw yang kenamaan. Bertemu dengan pemuda yang gagah dan tampan ini, Ji Sun Bi segera merayunya. Yauw Kwan dengan mudah jatuh ke dalam pelukan wanita cabul itu. Akan tetapi celakanya, Yauw Kwan yang belum banyak pengalaman itu benar-benar jatuh cinta kepada Ji Sun Bi dan tidak ingin berpisah lagi. Bahkan dia membujuk Ji Sun Bi agar suka menjadi isterinya. Seperti biasa, setelah bermesraan dengan Yauw Kwan selama beberapa hari lamanya, Ji Sun Bi mulai bosan dan sikap Yauw Kwan yang rewel, yang hendak memaksanya agar suka menjadi isteri pemuda itu, membuat Ji Sun Bi menjadi marah. Ia menganggap pemuda itu banyak rewel dan akan merepotkan saja, maka ia memaki-maki dan mengusir Yauw Kwan. Pemuda itu terkejut, marah dan tahu bahwa wanita itu hanya mempermainkannya. Terjadi perkelahian dan Yauw Kwan melarikan diri membawa luka parah. Akhirnya dia tewas dalam rangkulan tiga orang suhengnya setelah menceritakan tentang Tok-sim Mo-li Ji Sun Bi yang menjadi wakil ketua Kim-lian-pai di puncak Kim-lian-san. Bukan hanya dengan Kwi-san Su-kiam-mo saja Ji Sun Bi membuat permusuhan. Juga dengan Hek-tok-pang. Perkumpulan Hek-tok-pang ini adalah perkumpulan para nelayan. Mereka itu ahli racun dan dengan kepandaian mereka itu, mereka menangkap ikan, menggunakan bubuk racun yang tidak begitu keras. Akan tetapi selain mencari ikan, juga mereka dikenal sebagai penguasa di sepanjang sungai Huang-ho dan dengan kekerasan menuntut sumbangan dari para saudagar yang perahunya lewat. Juga bajak-bajak sungai tunduk kepada mereka dan suka memberi bagian hasil kejahatan mereka.   Mendengar akan perkumpulan ini, Ji Sun Bi mewakili Kim-lian-pai untuk menundukkan perkumpulan itu. Akan tetapi, ketuanya, Hek-tok pangcu Cui Bhok, tidak sudi tunduk kepada seorang wanita yang mewakili sebuah perkumpulan baru. Dia membuat perlawanan dan mengerahkan anak buahnya. Dihadapi puluhan orang anggota Hek-tok-pang, tentu saja Ji Sun Bi kewalahan, akan tetapi ketika terjadi perkelahian, ia sempat menyebar maut di antara para anggota Hek-tok-pang. Tidak kurang dari tujuh orang tewas, dan banyak yang terluka. Inilah yang membuat Hek-tok Pangcu Cui Bhok merasa sakit hati. Maka dengan dibantu oleh dua puluh empat anggotanya yang pilihan, dia bergabung dengan tiga orang dari Kwi-san Su-kiam-mo dan pada hari itu melakukan penyerbuan ke Kim-lian-san. Ketika dua puluh delapan orang itu mengepung pohon bcsar di mana ia danCun Sek berada, Ji Sun Bi tersenyum dan matanya mengerling ke arah pemuda gagah perkasa yang kini juga sudah berdiri di atas cabang pohon itu. Diam-diam ia mengagumi tubuh yang kokoh kekar itu dan Ji Sun Bi menelan ludah seperti seekor harimau kelaparan melihat segumpal daging yang segar.   "Sobat yang gagah perkasa, siapakah namamu?" tanya Ji Sun Bi dengan suara merdu. Cun Sek semakin kagum. Wanita ini memang hebat. Di bawah itu ada dua puluh delapan orang yang lihai menanti. dan menantangnya, akan tetapi ia masih bersikap demikian tenang dan enak-enakan saja seolah-olah tidak ada ancaman apapun. Diapun mengimbangi dan bersikap santai dan tenang. Sambil mengamati wajah cantik manis itu, diapun menjawab sambil tersenyum ramah. "Namaku Tang Cun Sek, dan siapakah engkau, nona? Mengapa pula mereka itu memusuhimu?" "Namaku Ji Sun Bi," jawab wanita itu sambil memperlebar senyumnya sehingga kini nampak deretan giginya yang putih bersih. "Mereka di bawah itu adalah orang-orang tolol. Aku menjadi wakil ketua Kim-lian-pai yang berada di puncak Kim-lian-san ini, dan kami ingin agar mereka itu tunduk dan membantu kami. Eh, mereka malah melawanku! Saudara Tang Cun Sek, kalau menurut pendapatmu, bagaimana? Apakah aku harus membunuh mereka semua?" Cun Sek semakin kagum. Wanita ini bukan khawatir bahkan mengatakan dapat membunuh mereka semua, seolah-olah dua puluh delapan orang di bawah itu tidak ada artinya baginya. Akan tetapi, dia memikirkan pertanyaan itu dengan serius. "Kalau engkau ingin menundukkan mereka, apa gunanya kalau mereka dibunuh semua? Kalahkan saja pemimpin mereka, dan yang lain-lain akan menakluk dengan sendirinya." Dia mengerutkan alis dan memandang ke bawah. "Alangkah baiknya kalau engkau mampu menarik mereka menjadi pembantu. Mereka itu pandai sekali mempergunakan racun. Lihat, sepuluh orang yang menjadi korban itu, sungguh mengerikan. Siapakah mereka?" "Mereka adalah para anggota perkumpulan kami." "Wah, kalau begitu lebih penting lagi untuk menundukkan mereka agar mereka mau membantumu sehingga kerugianmu kehilangan sepuluh orang anggota itu dapat ditebus." Ji Sun Bi mengangguk-angguk. Memang tepat pendapat pemuda ini. Kim-lian-pai merupakan perkumpulan baru yang sedang menyusun kekuatan. Kalau Hek-tok-pang dapat ditundukkan dan membantu, berarti Kim-lian-pai akan menjadi semakin kuat. Kalau mereka semua dibunuh, tidak ada untungnya bagi Kim-lian-pai. "Saudara Tang Cun Sek, tadi engkau sudah menolongku, memperingatkan aku tentang racun. Maukah sekarang engkau membantuku menghadapi mereka? Atau kelirukah penilaianku bahwa engkau seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi?" Cun Sek tersenyum. "Terus terang saja pernah aku mempelajari ilmu silat, akan tetapi dibandingkan denganmu, tentu saja aku masih kalah jauh!" "Hi-hik, aku tahu bahwa orang yang merendahkan diri itu justeru merupakan lawan yang berbahaya. Tong kosong nyaring bunyinya sebaliknya tong yang penuh tidak berbunyi!" "Aih, jadi engkau hanya menganggap aku ini sebagai sebuah tong saja?" "Apa salahnya menjadi tong?" "Kalau tong beras atau tong anggur memang cukup berguna, akan tetapi tong sampah?" kelakar Cun Sek yang timbul kegembiraannya melihat sikap wanita yang lincah jenaka dan genit. "Tong sampah juga berguna sekali.Akan tetapi siapa menyamakan engkau dengan tong? Engkau seorang pemuda yang begini gagah perkasa dan ganteng. Hanya aku ingin melihat apakah engkau mampu menghadapi seorang di antara mereka." Cun Sek merasa ditantang kejantanannya. Kalau tadi dia tidak perduli dan tidak ingin mencampuri urusan orang lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya, kini dengan mudah saja dia berpihak. Tentu saja dia memilih pihak wanita yang cantik menarik ini! "Iblis betina! Kalau engkau tidak mau turun, terpaksa kami memaksamu turun bersama antekmu itu!" terdengar lagi suara dari bawah dan tiba-tiba dari bawah nampak sinar berkelebat ketika dua batang hui-to (pisau terbang) meluncur ke arah Cun Sek dan Ji Sun Bi. Pisau-pisau terbang itu dilempar oleh Thio Su It, orang ke tiga dari Kwi-san Su-kiam-mo yang memiliki keahlian menggunakan pisau ini sebagai senjata rahasia. Sebelum Ji Sun Bi menggerakkan tubuhnya, Cun Sek lebih dulu menggerakkan kedua lengannya, kedua tangannya menyambar ke bawah dan ternyata dia telah menyambut dua batang pisau itu! Kalau saja yang melemparkan pisau itu orang Hek-tok-pang, tentu dia tidak akan berani menyambut dengan tangan begitu saja karena ada bahaya keracunan. Akan tetapi yang menyambitkan pisau adalah seorang di antara tiga orang yang dibayangi dari kota tadi, maka dia berani menyambutnya. Tanpa berkata apapun, Cuk Sek memandang ke bawah dan melihat seorang anggota Hek-tok-pang mengacung-acungkan goloknya, diikuti oleh seorang anggota lain dan mereka berdua mendekati batang pohon di mana dia dan Ji Sun Bi berada. Dia lalu melemparkan dua batang pisau terbang tadi ke bawah, akan tetapi membidik ke arah pundak kedua orang itu. Dua sinar menyambar turun, dibarengi suara mencuit nyaring dan dua orang anggota Hek-tok-pang itupun roboh sambil berteriak kesakitan. Pundak mereka telah tertusuk pisau terbang tanpa mereka mampu mengelak saking cepatnya pisau-pisau itu menyambar. Melihat ini, Ji Sun Bi merasa girang bukan main. Dengan mesra dan lembut dia memegang tangan Cun Sek dan berbisik dengan suara merdu.   "Bagus sekali! Kiranya engkau seorang yang amat lihai. Saudara Tan Cun Sek yang gagah, mari kaubantu aku menundukkan mereka dan selanjutnya aku akan menjadi sahabatmu yang manis sekali. Engkau akan kuhadapkan pangcu kami dan engkau akan dapat menjadi pembantu kami yang utama. Coba kauperlihatkan kepandaianmu dan kaukalahkan ketua Hek-tok-pang itu!" Cun Sek tersenyum. Memang lebih enak memihak wanita cantik ini daripada mereka yang berada di bawah. Pula, dia sendiri perlu memperoleh kedudukan yang kuat untuk memulai hidup baru. Dan agaknya, kalau dia bersekutu dengan wanita yang lihai ini, bukan saja kedudukannya kuat, akan tetapi Juga dia memperoleh kehangatan dan kemesraan yang tentu akan amat menyenangkan. Dia memandang ke bawah. Ketua Hek-tok-pang itu memang kelihatan menyeramkan. Seorang raksasa brewok yang kasar dan dia tahu juga amat lihai, apa lagi dengan racun-racun berbahaya. Namun, tentu saja dia tidak merasa takut, dan diapun mengangguk. "Baiklah, aku memang ingin sekali mencobanya. Mari kita turun dan kita hadapi mereka!" Berkata demikian, Cun Sek lalu melayang turun dari atas pohon itu seperti seekor burung garuda besar menyambar. Dengan senyum girang Ji Sun Bi memandang dan dari cara pemuda itu melayang turun saja dengan mudah ia dapat menduga bahwa memang pemuda itu bukan orang biasa, melainkan memiliki ilmu kepandaian tinggi. Tak disangkanya, dalam menghadapi musuh yang telah menewaskan sepuluh orang anak buahnya ini ia akan bertemu dengan seorang pemuda yang tampan, gagah perkasa dan suka membantunya! Iapun segera melayang turun untuk mendampingi pemuda itu menghadapi musuh-musuhnya. Tiga orang dari Kwi-san Su-kiam-mo dan Hek-tok Pangcu juga terkejut melihat cara dua orang itu melayang turun. Mereka tidak tahu bahwa Cun sek, adalah orang luar yang kebetulan saja bertemu dengan iblis betina itu dan mengira bahwa Cun sek tentu rekan dari Tok-sim Mo-li yang pandai. sebelum mereka mengerahkan anak buah untuk mengeroyok, lebih dahulu Tok-sim Mo-Ji Ji Sun Bi berkata dengan nada suara mengejek. Tentu saja ia tahu mengapa orang-orang itu datang menyerbu Kim-lian-san, akan tetapi, ia sengaja ingin agar Cun sek mendengarkan percakapan mereka agar pemuda itu tahu akan duduknya perkara dan bagaimana selanjutnya sikap Cun sek, apakah tetap ingin membantu padanya atau tidak, ingin sekali ia mengetahuinya. "Haii, kalian ini apakah orang-orang gila yang tiada hujan tiada angin berani menyerbu Kim-lian-san dan telah membunuh sepuluh orang anggota Kim-lian-pai kami?" Mendengar pertanyaan itu gerombolan orang yang tadinya sudah siap mengeroyok, menunda gerakan mereka. Hek-tok Pangcu Cui Bhok yang kasar itu menggereng seperti seekor singa terluka, matanya melotot merah dan dia lalu berteriak lantang. "Tok-sim Mo-li, tidak perlu engkau berpura-pura dan bertanya lagi. Engkau pernah menyerbu tempat tinggal kami di lembah Huang-ho dan menewaskan banyak anak buah kami, dan sekarang engkau masih bertanya lagi mengapa kami datang menyerbu. Tentu saja untuk membalas dendam dan membunuhmu!" Wanita itu tersenyum lebar, manis sekali. "Hek-tok Pangcu, aku datang ke tempatmu untuk memperkenalkan Kim-lian-pai kami dan minta kepadamu agar mengakui kekuasaan kami, akan tetapi engkau malah mengerahkan orang-orangmu sehingga terpaksa aku turun tangan memberi hajaran. Kalau aku menghendaki, pada waktu itu juga aku dapat membunuh kalian semua. Akan tetapi kami Kim-lian-pai bukan bermaksud memusuhi golongan lain, akan tetapi hendak mengajak kerja sama. Engkau dan orang-orangmu secara curang telah membunuh sepuluh orang anggota kami, biarlah hal itu sebagai imbangan kematian anak buahmu di tanganku tempo hari. sekarang, kalau engkau suka menyerah dan suka membantu kami" "Tidak sudi! Aku tidak akan menyerah sebelum orang mengalahkan aku!" bentak ketua Hek-tok-pang itu. "Baiklah. Ada sahabatku ini. Tang Cun sek, yang akan mengalahkanmu. Dan kalian ini, bukankah tiga orang dari Kwi-san su-kiam-mo? Ada apakah kalian juga ikut-ikutan datang menyerbu ke tempat tinggal kami?" Giam Sun, orang tertua dari mereka, melangkah maju, mukanya merah padam dan matanya melotot. "Iblis betina, kami datang untuk minta tebusan nyawa sute kami, Yauw Kwan! Masihkah engkau pura-pura bertanya lagi?" "Aih, Yauw Kwan? Pemuda bodoh yang tak tahu diuntung itu? Dia hendak memaksaku untuk menikah! Tentu saja aku tidak mau terikat dengan pernikahan tolol itu. Kami bertengkar, lalu berkelahi. Dalam perkelahian itu dia kalah dan roboh, tewas. Apa pula yang harus diributkan? Dia tewas dalam perkelahian yang adil dan tidak penasaran. Dan sekarang kalian bertjga datang hendak mengeroyokku? Lebih baik kalian insaf dan menyadari kesalahan sute kalian, dan bekerja sama dengan kami dari Kim-lian-pai…. " Tak perlu banyak cakap! Engkau atau kami yang harus mampus!" bentak Giam Sun marah. "Aha, begitukah ? Kalian hendak main keroyok? Ataukah sebaliknya kalau kita bertanding seperti orang-orang gagah? Kalau begitu biar sahabatku Tang Cun sek ini yang lebih dulu menghadapi ketua Hek-tok-pang." Hek-tok Pangcu Cui Bhok memang sudah tidak sabar mendengar percakapan antara Ji Sun Bi dan Giam Sun tadi. sejak tadi dia sudah memandang kepada Cun Sek dengan mata merah. Pemuda itu memang bertubuh tinggi tegap, akan tetapi selanjutnya tidak mendatangkan kesan apa-apa maka diapun memandang rendah. Biarpun calon lawan itu tinggi tegap, namun nampak kecil ringkih dibandingkan tubuhnya yang tinggi besar seperti raksasa. Agaknya, sekali tangkap saja dia akan mampu mematahkan tulang punggung pemuda itu. Kini, mendengar ucapan si iblis betina, tanpa banyak cakap lagi diapun menerjang dan menyerang Cun Sek dengan goloknya yang lebar dan panjang!   “Singgg……!”Golok itu menyambar lewat dekat kepala Cun Sek ketika pemuda ini mengelak dengan lincah sekali. Gerakan ketua Hek-tok-pang itu memang cepat sekali dan hal ini saja membuktikan betapa besar tenaganya sehingga dia mampu memainkan golok yang amat berat itu bagaikan sebatang senjata yang amat ringan saja. Namun, kecepatan itu bagi Cun Sek masih nampak lambat. Pemuda yang pernah memperajari banyak macam ilmu silat, bahkan dengan beruntung telah dapat menguasai pula ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai ini memiliki tingkat yang jauh lebih tinggi dari tingkat lawan. Oleh karena itu, bacokan golok yang pertama tadi dapat dielakkannya dengan amat mudahnya. Bahkan ketika dia mengelak ke samping, dia masih sempat mengirim pukulan ke arah lambung lawan. "Wutttt !" Ketua Hek-tok-pang itu terkejut bukan main. Dia yang menyerang dengan goloknya, malah kini dia yang terancam bahaya. Pukulan itu mendatangkan angin yang amat kuatnya sehingga terpaksa dia melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik dan hampir terpelanting jatuh! Terdengar orang bertepuk tangan. Kiranya Ji Sun Bi yang bertepuk tangan memuji. "Hebat, engkau hebat, saudara Tang Cun Sek!" Wanita itu memuji dengan kagum dan juga girang bukan main. Tak disangkanya bahwa pemuda itu memiliki ilmu kepandaian sehebat itu sehingga dalam segebrakan saja hampir dapat membuat ketua Hek-tok-pang itu roboh! Akan tetapi, hal itu terjadi karena Hek-tok Pangcu memandang rendah lawannya sehingga dia sama sekali tidak memperhatikan pertahanan diri. Kini dia marah bukan main. Akan tetapi di samping marah, juga dia penasaran dan lebih waspada karena dia mulai dapat menduga bahwa lawannya ini ternyata jauh lebih lihai daripada nampaknya. Tiba-tiba Hek-tok Pangcu Cui Bhok mengeluarkan gerengan yang amat dahsyat. Itulah ilmu khi-kang yang disalurkan melalui suara dan lawan yang tidak memiliki tenaga sakti yang kuat, akan dapat dilumpuhkan oleh serangan suara ini yang disebut Sai-cu Ho-kang (Auman Singa). Seperti yang suka dilakukan binatang buas seperti beruang, singa, harimau dan lain-lain. Seekor singa dapat melumpuhkan calon korban hanya dengan auman yang menggetarkan jantung calon korbannya atau lawannya, bahkan banyak sudah manusia yang menjadi korban binatang buas, belum apa-apa sudah lumpuh dan tidak mampu melarikan diri begitu mendengar auman binatang buas itu. Kini, Hek-tok Pangcu itu agaknyapun mempergunakan ilmu semacam itu. Suara aumannya menggetarkan jantung. Akan tetapi yang dihadapinya adalah seorang pemuda gemblengan yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Cun Sek juga merasa betapa auman itu menggetarkan jantungnya, namun dengan pengerahan sin-kangnya, dia mampu menolak pengaruh itu dan hanya tersenyum mengejek. Pada saat auman berhenti, golok besar itu telah menyambar-nyambar dan berubah menjadi gulungan sinar yang menyilaukan mata. Agaknya raksasa brewok itu telah menggunakan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk melakukan serangan. Tiba-tiba, tangan kirinya bergerak dan nampak uap hitam menyambar ke arah Cun Sek!   Inilah yang dinanti-nanti oleh Cun Sek. Dia tahu bahwa Hek-tok-pang merupakan perkumpulan ahli racun dan tentu saja ketuanya pandai sekali memainkan senjata beracun. Maka, begitu tangan itu bergerak dan nampak uap hitam, tahulah dia bahwa lawannya sudah menyebar bubuk racun yang amat berbahaya dan yang sudah rnenewaskan lima orang wanita anggota Kim-lian-pai tadi. Diapun cepat mengumpulkan pernapasannya, lalu dia meniup ke arah asap atau uap hitam Itu. Uap hitam itu membuyar dan bahkan tiga orang Kwi-san Sun-kiam-mo berloncatan menyingkir agar jangan terkena uap hitam yang menyebar. Demikian pula Ji Sun Bi meloncat mundur ke belakang. "Hek-tok Pangcu bukan seorang laki-laki jantan, belum apa-apa sudah mengandalkan uap beracun!" Cun Sek mengejek. Kini uap itu sudah menjauhi dirinya, terpukul dan terdorong oleh tiupan mulutnya tadi. Raksasa brewok itu marah sekali. Goloknya mengeluarkan suara berciutan dan berubah menjadi segulung sinar yang menerjang dengan dahsyatnya ke arah Cun Sek. Pemuda ini maklum betapa berbahayanya serangan itu, maka diapun cepat meraba bawah jubahnya. Tiba-tiba saja nampak sinar emas yang mencorong dan tahu-tahu di tangannya sudah nampak sebatang pedang yang mengeluarkan sinar emas. Itulah Hong-cu-kiam, pedang pusaka Cin-ling-pai yang bersinar emas dan yang amat tipis sehingga dapat digulung dan disembunyikan di bawah jubah, bahkan dapat dipakai sebagai sabuk! Ketika dia mengintai di atas pohon, dia mengambil pedang itu dari buntalannya dan memakainya sebagai sabuk, sedangkan kini buntalan pakaiannya itu dia gantungkan di pohon. Melihat ini, Ji Sun Bi terkejut dan kagum akan tetapi alisnya berkerut karena ia teringat bahwa pedang itu mirip benar dengan pedang Hong-cu-kiam, pedang pusaka dari Cin-ling-pai! Apalagi ketika Cun Sek memainkan pedangnya untuk menyambut serangan golok besar dari lawannya maka Ji Sun Bi yang tadinya kagum, kini terkejut dan matanya terbelalak! la adalah seorang tokoh sesat yang sudah banyak pengalaman, dan ia mengenal ilmu gaya Cin-ling-pai itu! Pemuda itu adalah murid Cin-ling-pai! Padahal, orang-orang Cin-ling-pai adalah para pendekar yang memusuhi golongannya. Akan tetapi, Ji Sun Bi kini hanya bersikap waspada saja dan diam-diam ia memutar otak untuk mencari siasat apa yang akan ia lakukan nanti untuk menghadapi Tang Cun Sek yang mungkin sekali adalah seorang tokoh Cin-ling-pai yang termasuk musuh besarnya itu! Masih teringat benar ia ketika terjadi perang antara gerombolan pemberontak pimpinan Lam-hai Giam-lo di mana ia menjadi seorang pembantu utamanya, iaberhadapan dengan Cia Kui Hong, puteri ketua Cin-ling-pai dan hampir saja ia tewas di tangan gadis itu! Cin-ling-pai adalah musuh besarnya! Akan tetapi sebelum ia menghadapi Cun sek sebagai musuh, ia akan mempergunakannya lebih dahulu sebagai pembantu menghadapi pihak musuh yang menyerbu Kim-lian-san ini. Memang, tidak sukar baginya untuk mengirim tanda ke puncak, minta bala bantuan. Akan tetapi ia merasa malu kepada sim Ki Liong, ketua Kim-lian-pai kalau untuk menghadapi pengacau-pengacau itu ia harus minta bantuan sang ketua!   Tepat seperti yang diduga dan diharapkan oleh Ji Sun Bi, pedang Hong-cu-kiam di tangan Cun sek membuat raksasa brewok itu menjadi kalang kabut dan terdesak hebat! setelah lewat tiga puluh jurus saja, Hek-tok Pangcu Cui Bhok hanya mampu menangkis saja, tidak mampu lagi menggunakan goloknya untuk balas menyerang. Bahkan diapun tidak sempat mempergunakan tangan kiri untuk melakukan serangan dengan senjata rahasianya. Demikian hebatnya gulungan sinar emas itu mendesaknya! Akan tetapi, Cun Sek memang tidak ingin membunuh ketua Hek-tok-pang ini. Dia sudah mengambil keputusan untuk bekerja sama dengan Tok-sim Mo-li, dan dia tahu bahwa orang seperti ketua Hek-tok-pang ini bersama anak buahnya akan merupakan pembantu yang amat berguna. "Haiiittt…. !" Tiba-tiba Cun Sek merobah ilmu pedangnya dan dia mengeluarkan sebuah jurus dari Siang-bhok-kiamsut, ilmu pedang yang amat hebat dan langka dari Cin-ling-pai! Ilmu ini sebenarnya merupakan ilmu simpanan, dan untung bagi Cun Sek dia sempat mempelajari beberapa jurus pilihan ilmu pedang itu dari kakek Cia Kong Liang yang menjanjikan bahwa kalau dia sampai dapat menjadi ketua Cin-ling-pai, barulah dia berhak mempelajari seluruh ilmu pedang ini. Namun, jurus yang dikeluarkan itu sudah lebih dari cukup. Terdengar suara nyaring ketika golok besar itu terlepas dari tangan ketua Hek-tok-pang. Cui Bhok, ketua itu mengeluarkan seruan kaget dan tangan kirinya memegang tangan kanan yang luka berdarah tergores ujung pedang lawan merupakan guratan memanjang sampai ke siku, dan lengan bajunya juga robek. Pada saat itu, Cun Sek sudah menodongkan pedangnya ke dadanya, membuatnya tidak berdaya sama sekali! "Nah, pangcu, kuharap engkau mengerti bahwa di antara kita tidak ada permusuhan. Kim-lian-pai bermaksud baik. Beberapa orang anggotamu telah tewas di tangan toa-nio (nyonya) ini, akan tetapi engkau sudah membalas dengan membunuh sepuluh anggota Kim-lian-pai. Berarti engkau tidak kehilangan muka dan sudah tidak ada perhitungan lagi, bukan? Sekarang, kalau engkau mau menyatakan tunduk kepada Kim-lian-pai, aku akan menganggap engkau sebagai sahabat dan tidak akan membunuhmu." Cui Bhok biarpun kasar, namun dia bukan seorang yang tolol. "Baik, aku maklum bahwa aku berhadapan dengan orang-orang yang jauh lebih pandai. Kalau Kim-lian-pai mempunyai banyak pembantu selihai engkau, sudah sepatutnya kalau Hek-tok-pang berlindung di bawah pengaruh dan kekuasaannya. Aku menyerah! Hayo, kalian lepaskan senjata kalian dan berlutut!" Dua puluh empat orang anggota Hek-tok-pang itu melepaskan golok mereka dan semua berlutut tanda menyerah. Melihat ini, tiga orang dari Kwi-san Su-kiam-mo menjadi marah sekali. "Bagus kiranya Hek-tok Pangcu Cui Bhok hanyalah seorang pangecut besar!" teriak Giam Sun dan bersama dua orang sutenya, dia sudah mencabut senjatanya dan mereka bertiga berloncatan ke depan. " Akan tetapi kami bertiga menuntut balas atas kematian sute kami! Tok-sim Mo-li, majulah engkau untuk menerima kematian di tangan kami!" Tok-sim Mo-li- Ji Sun Bi mengerling ke arah Cun Sek, dan dengan sikap manja dan suara merdu ia berkata, "Saudara Tang Cun Sek, relakah engkau melihat aku mati di tangan tiga orang yang hendak mengeroyokku ini?" Cun Sek tersenyum dan melintangkan pedang Hong-cu-kiam di depan dadanya. "Jangan khawatir, nona. Aku tidak membiarkan mereka main keroyokan dan aku yakin bahwa Hek-tok Pangcu juga akan membuktikan kebenaran tekadnya untuk bekerja sama dengan Kim-lian-pai!" Mendengar ini, Hek-tok Pangcu Cui Bhok melihat kesempatan untuk membuat jasa pertama. Dia seorang yang cerdik dan tahu bahwa yang paling menguntungkan adalah kalau berpihak kepada golongan yang lebih kuat. Maka,tanpa memperdulikan luka guratan bekas pedang Cun Sek pada tangan kanannya, dia sudah menggerakkan golok besarnya yang tadi sudah dipungutnya. "Kwi-san Su-kiam-mo terlalu sombong! Biar aku Cui Bhok mencoba sampai di mana kelihaian pedang mereka yang begitu disombongkan!" Kwi-san Su-kiam-mo yang kini tinggal tiga orang itu maklum bahwa mereka menghadapi lawan tangguh dan mereka harus mengadu nyawa. Mereka adalah orang-orang yang sudah terlanjur memandang diri mereka sebagai orang-orang gagah dan menganggap bahwa ilmu pedang mereka selama ini tidak ada tandingannya. Maka, kematian sute mereka membuat mereka marah dan sakit hati sekali, karena terutama sekali hal ini menghancurkan bayangan mereka tentang ketangguhan diri mereka berempat. Giam Sun mengeluarkan teriakan melengking dan bersama adiknya diapun sudah menggerakkan pedang menerjang ke depan. Giam Sun menyerang Tok-sim Mo-li Ji Sun Bi, dan adiknya, Giam Kun menyerang Cun Sek, sedangkan orang ketiga, yaitu Thio Su It, menyerang ketua Hek-tok-pang. Serangan mereka disambut dan terjadilah perkelahian yang hebat, seru dan mati-matian. Sementara itu, dua puluh empat orang anggota Hek-tok-pang menjadi penonton. Tanpa perintah ketua, mereka tidak berani ikut-ikutan turun tangan, walaupun mereka memusatkan perhatian kepada perkelahian antara ketua mereka dan Thio Su It, dan merekapun siap dengan golok di tangan untuk membantu ketua mereka apabila mereka diperintah atau apabila mereka melihat ketua mereka terdesak dan terancam bahaya. Sambil melayani Giam Kun yang menyerangnya dengan sengit, diam-diam Cun Sek memperhatikan Ji Sun Bi yang diserang oleh orang pertama dari tiga orang jagoan itu. Diapun memandang kagum. Wanita itu selain cantik manis, juga amat lihai dan kini wanita itu telah memainkan sepasang pedang secara amat indah. Bagaikan menari saja ia melayani lawan yang menggunakan pedang. Sepasang pedang di tangan wanita itu menyambar-nyambar, cepat sekali sehingga membentuk dua gulungan sinar yang melingkar-Iingkar dan menutup semua jalan penyerangan lawan! Indah akan tetapi juga cepat dan mengandung tenaga yang amat kuat. Legalah hati Cun Sek karena melihat sepintas lalu saja diapun merasa yakin bahwa wanita itu tidak akan kalah menghadapai lawannya. Maka diapun lalu mencurahkan seluruh perhatiannya kepada lawan yang mendesaknya dengan serangan-serangan ampuh. Harus diakuinya bahwa lawannya memang memiliki ilmu pedang yang lihai dan berbahaya. Tidak mengherankan kalau orang-orang ini memakai julukan kiam-mo (setan pedang) karena memang ilmu pedang mereka amat berbahaya.   Namun, tingkat kepandaian Giam Kun masih jauh sekali dibandingkan tingkatkepandaian Tang Cun Sek. Setelah menghadapi belasan jurus serangan lawan,Tang Cun Sek sudah dapat mengukur sampai di mana ketangguhan Giam Kun dan mulailah dia memutar pedang Hong-cu-kiam untuk membalas. Dan begitu dia memainkan pedangnya dengan cepat, Giam Kun terkejut dan dia merasa repot sekali menghadapi serangan yang bertubi-tubi datangnya itu. Dia tidak lagi mampu membalas, hanya memutar pedang sekuat tenaga untuk melindungi tubuhnya. Ketika Cun Sek melirik untuk melihat keadaan Ji Sun Bi, ternyata wanita itupun sudah mendesak lawannya yang terhuyung-huyung! Cun Sek tersenyum dan diapun tidak mau kalah. Dia harus dapat memperlihatkan kepandaiannya dan jangan sampai dikalahkan oleh wanita yang menarik hatinya itu. Diapun mempercepat gerakan pedangnya. Terdengar teriakan beruntun dan Cun Sek secepat kilat mencabut pedangnya yang tadi menancap di dada lawan, hampir berbareng dengan gerakan pedang Ji Sun Bi yang juga mencabut pedangnya dari leher lawannya. Mereka itu secara berbareng saling memutar badan dan saling pandang, keduanya tersenyum melihat bahwa perlumbaan itu ternyata berakhir dengan,tiada yang lebih cepat atau lebih lambat. Mereka merobohkan lawan dalam detik yang sama. Kini tinggallah Thio Su It yang masih bertanding melawan ketua Hek-tok-pang. Ternyata tingkat kepandaian mereka seimbang walaupun Hek-tok Pangcu Cui Bhok mulai mendesaknya. Melihat betapa kedua orang suhengnya telah roboh, tentu saja Thio Su It menjadi terkejut, berduka akan tetapi juga gentar sekali. Dia maklum bahwa dia tidak mungkin dapat menyelamatkan dirinya, maka dengan nekat dia lalu melawan terus. Kenekatannya inilah yang membuat dia menjadi lawan yang tangguh. Melihat betapa Hek-tok Pangcu bersungguh-sungguh melawan Thio Su It, hati Ji Sun Bi sudah merasa girang bukan main. Orang ini boleh dipercaya dan boleh diharapkan untuk menghadapi tokoh Cin-ling-pai itu, pikirnya. Tiba-tibaia menggerakan tangan kirinya dan sinarhalus yang hitam menyambar ke arah dua orang yang sedang berkelahi itu. Thio Su It mengeluarkan seruan lirih dan dia terhuyung. Pada saat itu, ujung golok di tangan Cui Bhok mengenai pundaknya dan diapun roboh dan dalam waktu beberapa detik saja tubuhnya berubah hitam dan diapun tewas seketika. Golok besar itu mengandung racun yang amat hebat! Kini tiba-tiba Ji Sun Bi merobah sikapnya yang tadi tersenyum-senyum kepada Cun Sek. "Pangcu, bantu aku menangkap mata-mata ini. Dia seorang pendekar tokoh Cin-ling-pai, musuh golongan kita!" Mendengar ini, Hek-tok Pangcu Cui Bhok terkejut sekali, akan tetapi dia segera meloncat ke dekat Cun Sek sambil menodongkan golok besarnya sambil memberi isyarat kepada dua puluh empat orang anak buahnya. Mereka itu segera mengepung Cun Sek, sedangkan Ji Sun Bi sendiri berdiri di samping Cui Bhok, sepasang pedangnya di tangan dan ia memandang kepada Cun Sek yang terheran-heran itu dengan senyum mengejek. "Wah, saudara Tang Cun Sek, tidak perlu lagi engkau berpura-pura. Engkau seorang tokoh Cin-ling-pai, katakan apa maksudmu datang ke tempat kami ini. Apakah engkau datang sebagai mata-mata, sebagai musuh? Katakan terus terang sebelum kami turun tangan karena aku tidak akan segan membunuhmu sebagai seorang murid Cin-ling-pai yang selama ini menjadi musuh besar kami." Tentu saja Tang Cun Sek terkejut bukan main melihat perubahan ini. Namun, dia amat cerdik dan sebentar saja otaknya yang bekerja cepat, itu sudah dapat memaklumi keadaan, dan dia dapat menduga apa yang menyebabkan wanita cantik itu kini berbalik memusuhinya. Tentu Tok-sim Mo-li Ji Sun Bi ini pernah bermusuhan dengan pihak Cin-ling-pai dan tadi, ketika dia mengeluarkan pedang Hong-cu-kiam dan memainkan ilmu silat. Cin-ling-pai, wanita cantik itu mengenalnya dan tidak mengherankan kalau wanita itu menaruh curiga kepadanya. Tang Cun Sek tertawa. "Ha-ha-ha-ha, kiranya Tok-sim Mo-li Ji Sun Bi yang cantik jelita dan lihai, tidak mampu mengenal sahabat dan juga masih belum terlalu cerdik sehingga tidak mampu membedakan mana kawan mana lawan, ha-ha-ha!" Ji Sun Bi mengerutkan alisnya dan sepasang matanya yang jeli itu berkilat, akan tetapi ia masih belum tersenyum. "Tang Cun Sek, apa alasannya engkau menganggap aku tidak mengenal sahabat dan tidak cerdik?" "Pertama, sesudah aku membantu menarik Hek-tok-pang menjadi sekutu dan membunuh tiga orang musuh yang hendak membunuhmu ini, engkau masih mencurigaiku. Ini namanya tidak mampu mengenal sahabat! Dan ke dua, kalau benar aku ini mata-mata Cin-ling-pai dan hendak memusuhimu, bukankah kesempatanku amat baik tadi dengan membantu mereka mengeroyokmu? Apa kaukira akan mampu menandingi kami kalau aku tadi membantu mereka? Nah, bukankah itu menunjukkan bahwa engkau kurang cerdik dan salah menilai orang?" Kini Ji Sun Bi tersenyum dan mengangguk-angguk. la lalu menoleh kepada Hek-tok Pangcu Cui Bhok dan berkata lembut, "Pangcu, mundurlah dan kita harus dapat percaya keterangannya itu." KetuaHek-tok-pang itupun mengangguk-angguk dan memberi isarat kepada dua puluh empat orang anak buahnya untuk mundur. Ji Sun Bi lalu menghampiri Cun Sek. Sejenak mereka saling pandang dan keduanya saling kagum. "Tang Cun Sek, keteranganmu tadi memang dapat kami terima, akan tetapi untuk lebih meyakinkan hati kami sebelum engkau kami hadapkan kepada Pangcu kami, ceritakanlah mengapa engkau yang memiliki ilmu silat Cin-ling-pai dan memegang pedang pusaka Cin-ling-pai, tiba-tiba saja kini berpihak kepada kami!" Sebetulnya Cun Sek segan menceritakan riwayatnya, akan tetapi dia maklum bahwa kerja sama dengan orang-orang seperti mereka itu merupakan suatu keuntungan baginya, terutama sekali akan memudahkan dia untuk mencari dan menemukan ayah kandungnya, yaitu Ang-hong-cu! Apalagi yang berada di situ hanyalah Ji Sun Bidan Cui Bhok,sedangkan para anak buah Hek-tok-pang sudah disuruh menjauhkan diri. Dengan singkat namun jeJas dia lalu menceritakan betapa sejak kecil dia sudah mempelajari ilmu silat dan setelah dewasa, dia ingin menambah pengetahuannya itu dengan masuk menjadi anggota Cin-ling-pai.   "Hanya beberapa tahun aku menjadi anggota Cin-ling-pai, namun aku beruntung dapat mempelajari ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai dari ketua lama. Akan tetapi, aku gagal menjadi ketua baru dan aku melarikan diri dari Cin-ling-pai sambil membawa Hong-cu-kiam yang dihadiahkan ketua lama Cia Kong Liang kepadaku." Tentu saja bagian terakhir ceritanya itu dia berbohong karena pedang pusaka itu bukan hadiah pemberian melainkan hasil pencurian! Ji Sun Bi minta kepada ketua Hek-tok-pang untuk memerintahkan anak buahnya mengubur jenasah sepuluh orang anggota Kim-lian-pang yang tewas keracunan, dan membersihkan kembali tempat yang mereka taburi racun. Setelah itu, maka Ji Sun Bi menjadi petunjuk jalan dan merekapun naik ke puncak Kim-lian-san. Dalam perjalanan ini, barulah orang-orang Hek-tok-pang melihat betapa besar bahayanya kalau mereka menyerbu ke atas. Perjalanan itu mengandung banyak sekali tempat rahasia, jebakan-jebakan yang mengerikan. Tanpa petunjuk jalan, sebelum tiba di puncak, mereka semua tentu akan menjadi korban perangkap yang banyak dipasang di sepanjang jalan menuju ke puncak. Bahkan Hek-tok Pang-cu Cui Bhok sendiri bergidik dan diam-diam dia girang bahwa dia telah dikalahkan oleh Tang Cun Sek sehingga dia menaluk. Apa lagi ketika banyak anggota kim-lian-pang mulai menyambut, berJaJar di sepanjang jalan, laki-laki dan wanita-wanita yang kesemuanya berwajah tampan dan cantik, bersikap gagah dan jumlah mereka tidak kurang dari lima puluh orang. Baru kemudian dia tahu bahwa jumlah anggota Kim-lian-pang berjumlah seratus orang lebih, sebagian ada yang bertugas di bawah gunung dan tersebar ke kota-kota dan dusun-dusun sekitar daerah itu bertugas sebagai mata-mata. Baik Cui Bhok maupun Tang Cun Sek merasa heran dan kagum sekali ketika mereka diajak Ji Sun Bi menghadap orang yang disebut pangcu atau ketua dari perkumpulan Kim-lian-pang. Sama sekali mereka tidak pernah membayangkan bahwa pangcu itu hanyalah seorang pemuda yang masih amat muda, tidak akan lebih dari dua puluh tiga atau dua puluh empat tahun saja usianya! Cun Sek memperhatikan orang yang menerima kedatangan mereka dengan berdiri dari tempat duduknya dan yang mengamati mereka dengan pandang mata tajam menyelidik itu. Dia seorang pria muda yang bertubuh sedang, gerak-geriknya halus dan sopan, pakaiannya seperti seorang terpelajar, wajahnya tampan dan sepasang matanya mencorong penuh wibawa! Ji Sun Bi segera memperkenalkan dua orang tamu itu setelah dia, memberi bisikan kepada Cui Bhok agar memerintahkan anak buahnya yang ikut memasuki ruangan luas itu berlutut semua. Sambil tersenyum Ji Sun Bi mendekati ketua Kim-lian-pang yang menjadi rekan, kekasih, juga ketuanya itu dan ia sendiri menjabat wakil ketua. "Pangcu, dia itulah Hek-tok Pangcu Cui Bhok yang sudah menaluk kepada kita dan membawa dua puluh empat orang anak buahnya menaluk dan siap untuk bekerja sama dengan kita." Orang muda tampan itu memandang kepada Cui Bhok dengan sinar mata penuh selidik, alisnya berkerut dan dia berkata dengan halus, "Hemm….. , aku mendengar bahwa sepuluh orang anak buah kita tewas karena racun yang disebarkan mereka?" Diam-diam Tang Cun Sek merasa kagum. Kiranya peristiwa di lereng tadi telah diketahui oleh ketua ini, tentu ada mata-mata yang melapor lebih dahulu keatas sebelum mereka tiba di situ. "Benar, mereka tewas karena kurang waspada," jawab Ji Sun Bi. Biarpun bagi Cui Bhok, keadaan ketua Kim-lian-pang itu kurang menyakinkan, hanya seorang muda yang nampaknya tidak begitu hebat, namun mengingat bahwa pemuda itu adalah ketua Kim-lian-pang dan Tok-sim Mo-li yang demikian lihainya hanya menjadi pembantunya, diapun tidak berani memandang rendah. "Saya Hek-tok Pangcu Cui Bhok menghadap pangcu dari Kim-lian-pang dan saya bersedia untuk bekerja sama dengan Kim-lian-pang!" katanya sambil memberi hormat. "Hemm….. " Kim-lian Pangcu Sim Ki Liong tersenyum dingin, namun suaranya terdengar halus ketika dia berkata kepada Cui Bhok yang bertubuh tinggi besar dan wajahnya brewok menyeramkan itu. "Hek-tok Pangcu, penyerahan diri dan kerja sama membutuhkan kesetiaan dan kesetiaan haruslah di buktikan. Anak buahmu telah membunuh sepuluh orang anak buah Kim-lian-pang, pada hal enci Ji Sun Bi hanya membunuh tujuh orang anak buah Hek-to-pang. Dengan demikian, Hek-to-pang masih berhutang tiga nyawa kepada Kim-lian-pang. Nah, apa yang akan kaulakukan untuk membuktikan kesetiaanmu?” Mendengar pertanyaan ini, wajah yang kasar penuh brewok itu berubah menjadi pucat, lalu merah padam dan matanya terbelalak. Cui Bhok tahu apa yang di maksudkan ketua Kim-lian-pang yang masih sangat muda itu dan dia merasa penasaran. Bagaimanapun juga, kalau ketuanya hanya seorang pemuda ingusan seperti ini, dia harus melihat bukti dulu bahwa ketua yang amat muda ini pantas untuk menjadi atasannya sebelum dia melaksanakan segala perintahnya. Diapun tertawa bergelak. Ha-ha-ha, sungguh tuntutan yang wajar dari seorang ketua besar sebuah perkumpulan yang besar pula! Akan tetapi, Pangcu, bagaimanapun juga, saya juga harus melihat bukti bahwa Pangcu adalah seorang yang pantas untuk saya taati. Mohon petunjuk!" katanya dan pria tinggi besar ini segera memasang kuda-kuda, tidak mencabut senjata karena dia maklum bahwa dia berada di sarang harimau dan kedudukannya amat berbahaya. Dia hanya ingin menguji kelihaian ketua yang amat muda itu, lain tidak. Dia sama sekali tidak ingin menentang, karena dia sudah takluk kepada orang muda yang membantu Tok-sim Mo-li tadi. Mendengar ucapan ketua Hek-tok-pang itu, Sim Ki Liong tersenyum dan wajahnya yang tampan itu nampak cerdik dan licik sekali. Tang Cun Sek memandang dengan hati tegang akan tetapi juga gembira. Ketua yang masih muda itu tadi hanya memandang acuh saja kepadanya, dan kini ketua itu ditantang atau diuji oleh Cui Bhok. Suatu kesempatan baik baginya untuk melihat sendiri sampai di mana kelihaian ketua ini. Dia sudah mengukur kepandaian Cui Bhok, dan dari perlawanan ketua itu terhadap Cui Bhok, dia akan dapat mengukur sampai di mana kelihaiannya. Kalau melihat betapa Tok-sim Mo-li, yang tadi dia lihat pula kehebatannya, hanya menjadi pembantu ketua Kim-lian-pang, maka dapat diduga bahwa kepandaian ketua yang masih amat muda ini tentu hebat bukan main.   Sim Ki Liong tersenyum bangkit dari kursinya melihat Cui Bhok sudah siap siaga di tengah ruangan yang luas itu. Para anak buah Hek-tok-pang yang masih berlutut juga semua memandang dengan hati tegang. Mereka setuju dengan sikap ketua mereka. Kalau hendak menaluk kepada seseorang, maka mereka harus melihat sendiri bagaimana lihainya orang itu! "Cui-pangcu, permintaanmu wajar pula. Aku akan membuktikan bahwa aku memang patut kautaati. Nah, mulailah!" katanya dan dia berdiri seenaknya saja di depan Cui Bhok yang bertubuh kokoh kekar itu, berbeda dengan tubuh Sim Ki Liong yang sedang saja sehingga nampak kecil lemah di depan raksasa itu. Cui Bhok tidak membuang waktu lagi, lalu tiba-tiba dia mengeluarkan suara mengaum seperti singa, disusul bentakannya, "Kim-lian Pangcu, lihat seranganku!" Tubuhnya menerjang dengan dahsyatnya, kedua tangannya membentuk cakar singa, kuku jari-jari tangannya nampak menghitam tanda bahwa kuku itu mengandung racun yang amat berbahaya. Sekali terkena goretan kuku hitam itu akan mengakibatkan luka melepuh yang sukar disembuhkan kalau tidak memakai obat pemunah racun buatan ketua Hek-tok-pang itu!   Namun, serangan bertubi yang berupa cakaran-cakaran dan cengkeraman itu dengan mudah dapat dihindarkan oleh Sim Ki Liong, hanya dengan gerakan kedua kakinya saja, kemudian dia membalas dengan tamparan lembut namun mengandung tenaga yang dahsyat sehingga hampir saja pundak ketua Hek-tok-pang terkena tamparan. Biarpun luput, hanya menyerempet sedikit saja, namun cukup membuat Cui Bhok terhuyung. Tentu saja raksasa ini terkejut dan mulai merasa kagum karena hanya dalam beberapa jurus saja, bahkan baru satu kali pemuda itu menyerang, dia sudah hampir dirobohkan. Namun dia masih kurang puas, kurang yakin dan kembali dia menyerang, lebih ganas dari yang tadi. Sementara itu, Cun Sek terbelalak! Dia melihat dengan jelas betapa serangan balasan itu, tamparan yang lembut itu, dan gerakan kaki itu, adalah ilmu silat San-in Kun-hoat (Silat Awan Gunung), sebuah ilmu pilihan dari Cin-ling-pai! Menghadapi serangan yang ganas dari ketua Hek-tok-pang, Sim Ki Liong lalu mengeluarkan bentakan nyaring, kedua tangannya bergerak dari kanan kiri, menangkis sekaligus menyerang. Begitu kedua tangan Hek-tok Pangcu Cui Bhok bertemu dengan kedua tangannya itu, dia berteriak kaget, kedua tangannya itu terdorong keras ke belakang dan sebelum dia sempat menghindarkan diri, ada angin pukulan dari kanan kiri menyambar kearah kedua pundaknya dan diapun roboh terguling, kedua pundaknya terasa nyeri seolah-olah tulangnya retak-retak! Dia terkejut, akan tetapi juga kagum dan taluk. Dia bangkit berdiri lalu menjura dengan sikap hormat karena dia mendapat bukti betapa lihainya ketua Kim-lian-pang yang masih amat muda itu. "Thian-te Sin-ciang (Tangan Sakti Langit Bumi)…. !" Tak terasa lagi mulut Cun Sek berseru ketika dia melihat gerakan kedua tangan Sim Ki Liong tadi. Mendengar ini, Ki Liong cepat membalik dan sepasang matanya mencorong, memandang ke arah Cun Sek. Akan tetapi pada saat itu Cui Bhok sudah berkata dengan suara kagum. !. "Biarpun masih amat muda, ternyata Kim-lian Pangcu sungguh memiliki kepandaian yang amat hebat. Saya mengaku kalah dan taluk, dan saya akan memperlihatkan kesetiaan saya kepada pangcu!" Berkata demikian, tiba-tiba raksasa ini bergerak cepat sekali ke arah para anggotanya yang masih berlutut. Terdengar teriakan berturut-turut dan empat orang anak buahnya roboh dan tewas dengan muka menghitam. Mereka telah diserang dengan cakaran maut oleh ketua mereka sendiri. Yang menjadi korban adalah dua orang yang tadi terluka oleh Cun Sek, dan dua orang lain yang tingkatannya paling rendah dalam Hek-tok-pang. Semua anak buah Hek-tok-pang terkejut dan ketakutan, akan tetapi hati mereka lega ketika ketua mereka tidak menyerang lagi. Cui Bhok lalu mengangkat kedua tangan ke depan dada sambil menghadap Sim Ki Liong. "Nah, pangcu. Itulah bukti kesetiaan kami. Dengan tewasnya empat orang anak buah saya, maka kini kami yang rugi seorang dibandingkan dengan Kim-lian-pang." Sim Ki Liong tersenyum dan mengangguk-angguk. "Bagus, engkau memang pantas untuk kami terima sebagai sekutu dan pembantu, Cui Pangcu!" Dia lalu bertepuk tangan menyuruh pengawal atau anak buahnya untuk menyingkirkan empat mayat itu, dan menyuruh anak buahnya untuk menjamu para anggota Hek-tok-pang yang kini tinggal dua puluh orang itu. Kemudian ia menyuruh para pelayan untuk menambah arak dan mengeluarkan hidangan untuk menyambut Cui Bhok pada saat itulah dia memandang kepada Cun Sek dan bertanya kepada Ji Sun Bi. "Siapakah dia ini yang mengenal Thian-te Sin-ciang?" Ji Sun Bi tersenyum. "Tadi belum sempat aku memperkenalkan dia. Tentu saja dia mengenal ilmu silatmu yang berasal dari Cin-ling-pai, pangcu, karena dia adalah seorang tokoh Cin-ling-pai!" "Ehhh……?"Sim Ki Long terkejut sekali, akan tetapi dengan sikap gagah dia tidak memperlihatkan kekagetannya, melainkan matanya saja yang memandang tajam kepada Cun Sek, kini mengandung kecurigaan. "Mau apa seorang tokoh Cin-ling-pai datang ke sini?" Pertanyaan ini mengandung terguran kepada Ji Sun Bi. Sebelum Ji Sun Bi menjawab, Cun Sek mendahuluinya. "Maaf, pangcu. Aku tidak sengaja datang ke sini melainkan diajak oleh Tok-sim Mo-li untuk diperkenalkan kepada pangcu." Mendengar ini Ji Sun Bi tersenyum, dan cepat dia menjelaskan. "Pangcu, ketahuilah bahwa ketika aku turun dari puncak untuk menghadapi Hek-tok-pang, aku diperingatkan akan lorong beracun yang dibuat Hek-tok-pang oleh saudara Tang Cun Sek ini. Bukan itu saja, bahkan dialah yang menundukkan dan menaklukkan Hek-tok Pangcu, dan dia membantu pula ketika aku dikeroyok oleh tiga orang dari Kwi-san Su-kiam-mo. Melihat kelihaiannya dan mengenal gerakan silatnya dan pedangnya yang jelas dari Cin-ling-pai, tadinya akupun curiga dan terkejut. Akan tetapi setelah dia menceritakan keadaannya, kupikir sebaiknya kalau dia kuajak ke sini agar berkenalan dengan pangcu.   Bagaimanapun juga, kepandaian pangcu dan dia datang dari satu sumber, bukan?" Sim Ki Liong mulai tertarik dan dia kini memandang kepada Cun Sek penuh perhatian, namun kecurigaannya sudah menipis. "Saudara Tang Cun Sek, terus terang saja, Cin-ling-pai kami anggap sebagai musuh kami. Maka, harap kaujelaskan mengapa engkau tidak memusuhi kami, bahkan ingin berkenalan denganku." Cun Sek menarik napas panjang, "Tidak kusangkal bahwa aku adalah seorang murid Cin-ling-pai, bahkan aku mewarisi ilmu-ilmu Cin-ling-pai dari ketua lama Cia Kong Liang sendiri. Akan tetapi, ketika aku gagal untuk menjadi ketua Cin-ling-pai yang baru, maka kuanggap Cin-ling-pai sebagai musuh. Aku melarikan diri dari sana dan biarpun banyak ilmu dari sana kukuasai, namun aku tidak menganggap diriku sebagai seorang Cin-ling-pai," Cun Sek mengepalkan tinju, masih mendongkol kalau mengingat kekalahannya di Cin-ling-pai. "Demikianlah keadaanku, pangcu. Oleh karena itu, pangcu tidak perlu khawatir, aku bukan seorang anggota Cin-ling-pai lagi, bahkan akupun membenci Cin-ling-pai! Aku melarikan diri dari Cin-ling-pai, dan dalam perjalanan untuk mencari jejak ayahku yang sejak dalam kandungan belum pernah kumelihatnya. Kebetulan aku lewat di bawah bukit dan melihat rombongan orang Hek-tok-pang, lalu aku membayangi mereka dan kubantu Tok-sim Mo-li." Sim Ki Liong mengangguk-angguk."Kalau engkau gagal menjadi ketua Cin-ling-pai, lalu siapa yang menjadi ketuanya yang baru?" Dengan suara gemas Cun Sek menjawab, "Gadis liar itu, Cia Kui Hong!" Mendengar ini, Sim Ki Liong terbelalak memandang, kemudian dia tertawa bergelak. Lenyaplah sikap lembut dan sopan ketika dia tertawa dengan mulut terbuka, lalu mulut itu ditutup sehingga suara ketawanya hanya sampai di tenggorokan. "Ha-ha-ha, he-he-hek, Cia Kui Hong? Ia menjadi ketua Cin-ling-pai?" dia tertawa lagi. "Dara itu yang telah menggagalkanmu?" "Hemm, Cja Kui Hong! Lagi-lagi gadis setan itu yang menjadi penghalang. Ia musuh kita bersama!" kata pula Ji Sun Bi dengan gemas. Kini Tang Cun Sek yang memandang dengan sinar mata heran kepada dua orang itu. Tentu saja dia tidak tahu betapa Sim Kj Liong juga sampai terlempar keluar dari Pulau Teratai Merah tempat tinggal gurunya, yaitu Pendekar Sadis Ceng Thian Sin, gara-gara kedatangan Cia Kui Hong, cucu luar pendekar sakti itu. Sedangkan Ji Sun Bi tentu saja tidak pernah dapat melupakan pengalaman pahitnya ketika ia membantu gerakan mendiang Lam-hai Giam-lo dan ketika gerombolan pemberontak itu diserbu para pendekar, ia sendiri bertanding melawan Cia Kui Hong dan hampir saja ia tewas ketika ia terjatuh ke dalam tebing! "Pangcu, apakah engkau sudah mengenal Cia Kui Hong?" tanya Cun Sek. Ki Liong masih tertawa dan Ji Sun Bi yang menjawab. "Tentu saja kenal baik! Cia Kui Hong itu masih terhitung murid keponakannya!" Cun Sek terbelalak bingung. Pemuda ini? Usianya masih begitu muda dan menjadi paman guru Kui Hong? Paman guru dari mana? Tak mungkin pemuda ini murid kakek Cia Kong Liang pula. Melihat kebingungan tamu itu, kini Ki Liong yang melanjutkan keterangan Sun Bi. "Ketahuilah, Tang-toako, aku adalah murid Pendekar Sadis Ceng Thian Sin di Pulau Teratai Merah!" "Ahhh…. ! Sungguh hal ini sama sekali tidak pernah disangka oleh Cun Sek. Tentu saja dia tahu siapa itu Pendekar Sadis! Dan diapun mengerti sekarang. Memang, Kui Hong adalah cucu pendekar Sadis, cucu luar, maka kalau pemuda ini murid Pendekar Sadis, memang Kui Hong dapat dianggap sebagai murid keponakannya. Akan tetapi….., kalau begitu………bagaimana pula pangcu menganggap Kui Hong sebagai musuh?" "Ia yang menjadi gara-gara sehingga aku terpaksa pergi meninggalkan Pulau Teratai Merah untuk selamanya, tidak perlu kujelaskan persoalannya," kata ketua itu yang tentu saja merasa tidak enak mengingat akan pengalamannya di Pulau Teratai Merah itu. Ketika Kui Hong berkunjung ke Pulau Teratai Merah, tempat tinggal kakek luarnya, seketika Ki Liong jatuh jatuh cinta dan tergila-gila kepada gadis itu. Dia berusaha merayu, namun bukan saja ditolak oleh Kui Hong, bahkan gadis itu marah-marah dan menyerangnya. Peristiwa itu diketahui suhu dan subonya, maka dia merasa malu dan malam itu juga dia melarikan diri meninggalkan Pulau Teratai Merah, sambil membawa benda-benda berharga, bahkan juga pedang pusaka Gin-hwa-kiam dia bawa lari! Dia bermaksud untuk mencari musuh besar pembunuh ayahnya, yaitu Siangkoan Ci Kang, akan tetapi sampai sekarang usahanya itu belum juga berhasil. "Dan bagaimana dengan engkau, Tok-sim Mo-li? Bagaimana engkau juga mengenal Cia Kui Hong dan memusuhinya?" tanya Tang Cun Sek, merasa girang mendengar keterangan ketua itu yang ternyata murid Pendekar Sadis sehingga dia tidak merasa heran kalau ketua itu memiliki ilmu kepandaian yang demikian hebat. Ketua itu dan dia memiliki dasar ilmu silat yang sama, yaitu dari Cin-ling-pai walaupun mereka berdua masing-masing memiliki pula ilmu-ilmu lain. Ji Sun Bi menghela napas panjang dan Ki Liong yang menjawab, "la pernah bertanding dan dikalahkan oleh Cia Kui Hong, bahkan hampir saja ia tewas ketika terjatuh ke dalam jurang tebing yang curam." Ji Sun Bi cemberut dan mukanya berubah merah, sepasang matanya berkilat. "Lain kali akan kubunuh gadis setan itu!" Pertemuan itu dilanjutkan dengan pesta makan minum untuk menghormati persekutuan baru itu Cun Sek diterima dengan tangan terbuka oleh Ki Liong dan semenjak hari itu, Cun Sek merupakan pembantu utama dari pasangan Ki Liong dan Sun Bi, bahkan diapun mulai hari itu menjadi seorang kekasih baru dari Ji Sun Bi yang tak pernah merasa puas dengan laki-laki itu. Tentu saja Kim-lian Pangcu maklum akan hal ini, akan tetapi dia memang tidak pernah merasa cemburu dan memberi kebebasan sepenuhnya kepada Ji Sun Bi untuk berhubungan dengan pria manapun juga, seperti juga Ji Sun Bi tidak perduli dengan wanita mana ketua itu berhubungan! Maka terdapatlah hubungan segi tiga yang amat akrab dan aneh antara Ji Sun Bi, Sim Ki Liong, dan Tang Cun Sek. Namun, tiga sekawan ini merupakan kesatuan yang amat berbahaya karena ketiganya memiliki ilmu kepandaian tinggi! Apalagi setelah kini Hek-tok-pang menjadi sekutu mereka pula. Perkumpulan Teratai Emas itu menjadi semakin kuat dan semakin terkenal. Mereka melebarkan sayap kekuasaan mereka ke kota-kota lain, tidak bergerak sebagai pemberontak, bahkan sebaliknya. Mereka menyusup ke dalam gedung-gedung para pejabat dan mendekati para pejabat dengan sogokan-sogokan. Mereka menalukkan tokoh-tokoh dunia persilatan dengan mengalahkan para pemimpinnya, bukan menanam permusuhan dan kebencian karena setelah berhasil mengalahkan, mereka lalu mendekati dan menarik bekas lawan itu menjadi sekutu mereka. Maka, makin kuatlah Kim lian-pang di bawah pimpinan Sim Ki Liong yang dibantu dengan setia oleh Ji Sun Bi dan Tang Cun Sek itu. Mulailah mereka menyebar anak buah Kim-lian-pang yang semakin banyak jumlahnya itu, selain untuk menyebar pengaruh, juga untuk mulai melakukan penyelidikan tentang dua orang tokoh persilatan, yaitu Siangkoan Ci Kang dan Si Kumbang Merah Ang-hong-cu. Yang pertama untuk sang ketua, dan yang ke dua untuk Tang Cun Sek. * * * Pek Han Siong melangkah lesu. Pemandangan alam di sekitar pegunungan itu sebetulnya amat indahnya pada pagi hari yang cerah itu. Namun, tiada keindahan di luar diri bagi seseorang yang menanggung derita di dalam dirinya. Keindahan bukan terletak di luar, melainkan di dalam diri. Kalau batin sedang terlanda duka, apapun yang dilihat oleh mata akan nampak tidak indah lagi. Dan pada saat itu, Pek Han Siong sedang dilanda duka. Cintanya terhadap Siangkoan Bi Lian ditolak! Gadis itu fHenolak cintanya. Dia dapat menghargai kejujuran dan keterusterangan Bi Lian, namun kenyataan itu sungguh membuat hatinya seperti ditusuk. Pedih perih karena kecewa. Apalagi, penolakan cinta gadis itu dinyatakan di depan suhu dan subonya. Dia tahu betapa mereka amat menyayangnya, maka diapun ditarik sebagai calon mantu. Akan tetapi, apa hendak dikata, Bi Lian yang terlibat langsung dalam urusan perjodohan itu menolak! Diapun tidak dapat menyalahkan Bi Lian.. Bagaimana dapat menyalahkan seorang gadis karena tidak mencintanya? HanSiong menjatuhkan diri duduk di atas akar pohon. Tubuhnya terasa penat. Semalam suntuk dia tidak pernah berhenti, berjalan saja walaupun lambat, tak tentu arah tujuan sampai pada pagj hari itu dia tiba di pegunungan itu yang tidak dia ketahuinya namanya. Tubuhnya lemas karena sudah dua hari dia tidak makan, hanya minum air, itupun kalau kebetulan dia melewati sebuah sumber air bersih. Membiarkan tubuhnya duduk mengaso tetap saja tidak dapat menghilangkan kedukaanya, bahkan kini pikirannya melayang-layang, mengenangkan keadaan dirinya, semua peristiwa yang terjadi dan hatinya terasa semakin tertekan. Sejak kecil dia tidak pernah merasakan bahagia, kecuali mungkin ketika dia tinggal di kuil Siauw-lim-si dan menjadi murid suami isteri sakti yang menjadi guru-gurunya, yaitu Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu. Duka timbul dari pikiran yang penuh dengan perasaan iba diri. Pikiran mengenang masa lalu yang penuh dengan kegagalan, membayangkan masa depan yang penuh kesuraman, maka pikiran atau si aku merasa iba kepada diri sendiri, merasa nelangsa dan sengsara. Maka datanglah rasa duka, duka menghilangkan kewaspadaan, melenyapkan arti hidup. Hidup bukanlah sekedar membiarkan diri diseret ke dalam lamunan, membiarkan diri dipermainkan pikiran! Hidup adalah kenyataan apa yang ada, tidak perduli kenyataan itu menyenangkan atau menyusahkan. Yang senang , atau yang susah itu adalah pikiran, si-aku yang selalu menghendaki keenakan dan menghindarkan ketidak enakan. Kenyataan hidup adalah seperti apa adanya, dan menerima kenyataan apa adanya inilah seni paling indah, paling agung dan paling murni dari kehidupan. Menerima kenyataan seperti apa adanya, tanpa menilai! Tanpa mengeluh Melainkan menyerahkan kepada Tuhan! Tuhan Maha Kuasa, Maha Bijaksana, Maha Kasih! Hanya Tuhan yang akan mampu membimbing kita, lahir maupun batin. Kewajiban kita dalam hidup hanyalah untuk mempergunakan segala alat yang ada pada tubuh ini sebagaimana mestinya. Panca-indera untuk bekerja seperti yang telah ditentukan dalam tugas masing-masing, termasuk pikiran yang sesungguhnya merupakan alat untuk berpikir, untuk bekerja, untuk dapat melakukan sesuatu yang bermanfaat, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Pikiran bukan alat untuk menyeret kita ke dalam lamunan kosong tentang suka duka. Kita tidak mungkin dapat membersihkan pikiran yang bergelimang dengan daya-daya rendah, pikiran yang penuh nafsu, pikiran yang penuh dengan keinginan untuk mengejar enak sendiri. Tak mungkin, karena "kita" yang ingin membersihkan ini juga pikiran itu sendiri! Dan selalu keinginan pikiran hanya bersumber pada satu pamrih, yaitu mengejar keenakan untuk diri sendiri. Dapat saja pikiran menciptakan akal bermacam-macam seperti sebutan muluk-muluk, bertapa, mengasingkan diri, mengheningkan cipta dan segala macam cara lagi untuk membersihkan batin. Namun, semua itu adalah pekerjaan pikiran, pekerjaan si-aku, usaha dari nafsu pula karena pikiran itu sendiri bergelimang nafsu, dikemudikan nafsu. Di balik semua usaha itu terdapat satu pamrih, yaitu sifat dari nafsu, ialah untuk mengejar keenakan bagi diri sendiri! Karena itu, tidak mungkin kita membersihkan pikiran, tidak mungkin nafsu mengendalikan atau mengalahkan nafsu. Semua ini hanya akal-akalan saja, akalnya si akal-pikir! Satu-satunya kenyataan adalah bahwa yang dapat merubah segalanya itu, yang dapat membersihkan jiwa dari cengkeraman nafsu, yang dapat menempatkan semua alat tubuh luar dalam kepada kedudukan dan tugas mereka masing-masing secara utuh dan benar, hanyalah KEKUASAAN TUHAN! Dan kekuasaan Tuhan akan bekerja kalau si -aku, yaitu hati dan akal pikiran kita tidak bekerja! Dan kekuasaan Tuhan akan bekerja kalau kita menyerah kepadaNya, menyerah dengan penuh ketawakalan, kepasrahan dan keiklasan, menyerah dengan kesabaran. Kehendak Tuhanpun jadilah! Itu satu-satunya kenyataan yang mutlak. Dalam kepasrahan lahir batin ini, kita akan menerima semua kenyataan hidup sebagai kehendak Tuhan, dan karenanya kita menghadapinya tanpa keluhan, tanpa celaan. Bukan berarti kita lalu acuh dan mandeg. Sama sekali tidak! Kita pergunakan semua alat tubuh luar dalam untuk berusaha! Tuhan yang akan memberi bimbingan dan tuntunan. Kalau sudah begini, apapun yang terjadi, tidak menimbulkan penasaran atau keluhan, apa lagi duka. Selain ingat dan waspada. Ingat kepada Tuhan dan kekuasaanNya yang mutlak, menyerah, dan waspada terhadap setiap gerak langkah kita dalam hidup, waspada terhadap pikiran kita, terhadap ucapan kita, terhadap perbuatan kita, seperti kewaspadaan seorang yang memegang kemudi kendaraan. Dan Tuhan Maha Kasih! "Muridku, Han Siong. Engkau akan terjun ke dunia ramai.dan akan menghadapi segala macam pengalaman hidup. Ingatlah selalu bahwa hidup tidaklah seperti yang kita kehendaki. Hidup adalah hidup, merupakan kesatuan dari segala macam peristiwa. Diumpamakan rasa, maka hidup itu terdiri dari semua rasa, manis, ya pahit, masam, gurih, asin, pedas dan sebagainya lagi. Jangan engkau lalu menghendaki agar hidup ini manis lalu. Bagaimana mungkin engkau dapat menikmati rasa manis kalau belum merasakan pahit, getir, asin, pedas dan lain-lainnya itu? Karena itu bersiaplah engkau. Jangan terkulai hanya oleh suatu peristiwa atau keadaan, karena apa yang terjadi, itu hanya sebagian kecil saja dari hidupmu! Bangkitlah dan senyumlah, terimalah segala peristiwa dengan tabah, jadikanlah segala pengalaman sebagai guru. Tuhan besertamu kalau engkau tabah dan selalu pasrah kepada kekuasaanNya!" Entah mengapa. Ketika dia sedang merasa tertekan itu, merasa betapa dirinya, seolah-olah semakin tenggelam ke dalam! lautan duka, tiba-tiba saja bayangan gurunya yang terakhir, yaitu Ban Hok Lojin, seorang diantara Delapan Dewa, seperti tampak di depannya. Kakek yang bertelanjang dada itu, gendut seperti arca Jilaihud, dengan wajah yang selalu terseyum lebar, dan ucapan gurunya itu bergema di telinganya. Seketika bangkitlah semangat dan batin Han Siong. Dia merasa seperti disiram air dingin. Betapa bodohnya, membiarkan diri tenggelam ke dalam kedukaan yang hanya dibikinnya sendiri. Pikirannya berubah menjadi tangan kejam yang mencengkeram dan meremas-remas hati dan perasaannya sendiri. Dia bangkit. Wajahnya tersenyum, matanya yang tadinya sayu itu kini berkilat dan mencorong, dan pada saat itu, dia mendengar betapa perutnya berkeruyuk dengan nyaring! "Ha-ha-ha!" Dia tertawa, tertawa bebas lepas seperti orang gila. "Ha-ha-ha, engkau tolol! Ha-ha, engkau tolol! Terima kasih, suhu, terima kasih!" Dia lalu menepuk-nepuk perutnya yang kempis. "Maafkan aku, perut. Aku sampai lupa kepadamu. Baiklah, mari kita mencari makanan untukmu!" Han Siong melompat dan menuruni bukit itu. Akan tetapi tiba-tiba dia harus berhenti karena di depannya muncul lima orang dengan senjata pedang di tangan dan sikap mereka mengancam! "Keparat, bersiaplah untuk menerima pembalasan kami!" bentak seorang di antara mereka. Tentu saja Han siong menjadi terbelalak kaget dan heran. Dia memandang penuh perhatian kepada mereka. Seorang pria setengah tua, yang bicara itu, berusia kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh tinggi tegap, gagah dan wajahnya membayangkan kegagahan namun diliputi duka dan kemarahan. Pakaiannya sederhana, akan tetapi serba putih, demikian pula pakaian empat orang lainnya, pakaian berkabung! Orang kedua amat menarik perhatian. Ia seorang gadis yang usianya kurang lebih delapan belas tahun, wajahnya yang putih halus itu berbentuk bundar, cantik dan bersih, matanya jeli dan bibirnya tipis, rambutnya panjang dibiarkan berjuntai ke belakang dalam bentuk dua buah kuncir hitam tebal dan panjang sampai ke pinggul Gadis inipun memegang sebatang pedang. Tiga orang lainnya adalah pria berusia kurang lebih tiga puluh tahun, ketiganya bersikap garang dan gagah, juga seperti orang pertama dan gadis itu, mereka berpakaian serba putih dan wajah mereka diliputi kedukaan dan kemarahan. "Heii, nanti dulu!" teriaknya ketika mereka itu serentak sudah menyerangnya tanpa peringatan lebih dulu. Hal ini hanya menunjukkan bahwa mereka itu benar-benar sudah marah sekali kepadanya dan amat membencinya. Dan gerakan pedang merekapun ganas dan cepat, mengandung tenaga yang cukup kuat. Ilmu pedang yang sumbernya dari selatan, dikombinasikan dengan tendangan-tendangan menyusul tusukan atau sabetan pedang. Teriakannya tidak mendapat tanggapan dari mereka, bahkan lima orang itu menyerang dengan hebatnya. Terpaksa Han Siong menggerakkan tubuhnya, berloncatan ke sana sini dan melihat mereka terus mendesak, dia lalu memainkan Kwan Im Sin-kun (Silat Sakti Kwan Im) yang lemah lembut namun tubuhnya bagaikan sehelai kapas saja yang sukar untuk dibabat pedang karena selalu babatan atau tusukan itu luput. Tubuhnya menjadi demikian ringan, akan tetapi juga cepat sehingga sampai belasan jurus, serangan lima orang itu tak pernah mengenai sasaran. "Heii, nanti dulu! Mari kita bicara dulu!" teriak Han Siong penasaran. Karena dia tidak mengenal mereka, tentu saja dia tidak mau membalas, khawatir dia akan melukai mereka dan hal ini tentu akan menambah kebencian mereka yang belum diketahui sebabnya. Ingin dia menggunakan ilmu sihir untuk menundukkan mereka, akan tetapi diapun khawatir kalau-kalau mereka akan merasa terhina dan tersinggung sehingga kembali hal itu akan menambah kebencian mereka kepadanya. Dia akan menggunakan lain usaha, yaitu memperkenalkan diri karena dia menduga bahwa tentu mereka itu keliru mengenal orang. Mereka bukan perampok, dan tidak nampak seperti orang-orang jahat. Begitu mendapat kesempatan, tubuhnya tiba-tiba melayang naik ke atas pohon, mengejutkan lima orang pengeroyok itu yang tiba-tiba kehilangan lawan dan mereka semua kini memandang ke atas, ke arah pemuda itu yang telah berdiri di atas cabang pohon. Pandang mata mereka kagum akan tetapi juga penuh kebencian. "Heii, apakah ngo-wi (kalian berlima) terlalu banyak minum arak dan mabok? Aku Pek Han Siong selama hidupku baru sekali ini melihat ngo-wi, apalagi bermusuhan. Mengapa tiada hujan tiada angin ngo-wi menyerang aku demikian ganas dan kejam?" Mendengar ini, lima orang itu saling pandang, dan pria setengah tua tadi berseru lantang, "Sobat, coba sekali lagi katakan. Siapa namamu?" Han Siong tersenyum. Tahulah dia kini bahwa memang mereka itu keliru menyangka orang, atau keliru mengenal orang. "Namaku Pek Han Siong, dan selama hidupku, belum pernah aku bertemu dengan ngo-wi." "Engkau , bukankah engkau Kim-lian Pangcu? Wajah dan bentuk tubuhmu mirip sekali!" kata orang tua itu lagi. "Ayah, kita baru melihatnya satu kali, itupun tidak jelas benar. Agaknya kita telah salah mengenal orang!” kata gadis itu. Han Siong kini tertawa. "Ha, ha, ha, paman yang baik. Orang macam aku ini mana bisa menjadi pangcu (ketua)? Apa lagi ketua perkumpulan Teratai Emas, bahkan Teratai Tembagapun tidak! Aku seorang perantau, tidak memiliki kedudukan apapun." "Wahh…… kalau begitu maafkan kami, orang muda. Ih, kalian berempat ini mengapa tidak memberitahu? Aku sudah tua, mungkin pandanganku sudah kurang awas, akan tetapi kalian……. " omelnya kepada puterinya dan tiga orang itu. Han Siong sudah melompat turun dan gayanya melompat membuat lima orang itu berseru kagum. Mereka seperti melihat seekor naga atau seekor garuda melayang turun dari atas pohon itu dan ketika kedua kakinya tiba di atas tanah, sama sekali tidak terdengar suara! Kini lima orang itu, diawali oleh pria setengah tua, menyambut Han Siong dengan kedua tangan diangkat ke depan dada sebagai tanda penghormatan. Han Siong cepat membalas penghormatan mereka. Karena mereka kini tidak lagi memusuhinya, diapun tidak berani bicara main-main. "Paman, seperti kukatakan tadi, aku Pek Han Siong sebelum saat ini belum pernah bertemu dengan ngo-wi. Apa sebabnya ngo-wi tiba-tiba menyerangku? Mohon penjelasan, paman, agar hatiku tidak tegang dan penasaran lagi." Pria itu menengok ke kanan kiri, lalu berkata,"Disini daerah kekuasaan musuh, taihiap. Terlalu lama di sini kita bisa dikepung musuh. Marilah ikut dengan kami ke tempat tinggal kami, taihiap, dan di sana kami akan menceritakan semua dengan jelas." Biarpun dia tersenyum dan merasa tidak enak disebut taihiap (pendekar besar), akan tetapi Han Siong yang merasa penasaran dan ingin tahu itu mengangguk dan mengikuti mereka menyusup ke dalam hutan. Dia tertarik melihat ada tanda gambar seekor burung rajawali putih di atas baju mereka berlima, di dada kiri. Tentu mereka ini dari sebuah perkumpulan, pikirnya. Akan tetapi kalau tadinya dia mengira akan diajak pergi ke sebuah rumah perkumpulan besar di sebuah kota terdekat, dia kecelik. Dia bukan di ajak ke kota, melainkan ke sebuah bukit dan mereka mengajaknya masuk ke dalam sebuah guha besar yang tersembunyi! Biarpun demi kesopanan dia diam saja, namun dalam hatinya timbul pertanyaan. Siapakah mereka ini dan perkumpulan apa yang memiliki tempat di sebuah guha tersembunyi? Mereka ini seperti orang-orang buruan saja, seperti pelarian! Ternyata di dalam guha itu terdapat tikar bersih yang terhampar di atas lantai guha. Guha itupun cukup besar, cukup untuk menampung puluhan orang! Akan tetapi, sunyi saja di situ, tidak ada orang lain kecuali mereka berenam. "Silakan duduk, taihiap. Maafkan tidak ada bangku atau kursi, terpaksa duduk di atas lantai." "Tidak mengapa, paman…. " kata Han Siong dengan tenang, walaupun hati nya semakin tertarik karena keadaan mereka itu jelas tidak sewajarnya. Setelah mereka duduk bersiJa di atas tikar, mulailah pria setengah tua itu bercerita. Dia bernama Ouw Lok Khi, ketua dari perkumpulan Pek-tiauw-pang (Perkumpulan Rajawali Putih). Dia sudah menduda, dan mempunyai seorang anak perempuan yaitu Ouw Ci Goat, gadis berusia delapan belas tahun yang wajahnya bulat putih dan manis itu. Perkumpulan Rajawali Putih mempunyal anak buah yang cukup banyak, ada empat puluh orang lebih dan perkumpulan ini selain mempelajari ilmu silat, juga membuka usaha pengawalan. Nama mereka cukup dikenal sebagai orang-orang yang menentang kejahatan dan mencari nafkah secara halal. Akan tetapi pada suatu hari, Ouw Lok Khi didatangi oleh seorang utusan dari Kim-lian-pang yang menuntut agar perkumpulan Pek-tiauw-pang mengakui kekuasaan Kim-lian-pang dan suka bekerja sama, membagi “rejeki”, yaitu membagi sebagian dari usaha perkumpulan itu kepada Kim-lian-pang sebagai semacam upeti atau pengakuan kekuasaan. Tentu saja Pek-tiauw Pangcu Ouw Lok Khi menolak dan menganggap permintaan itu keterlaluan. Perkumpulannya sudah berdiri selama belasan tahun, bagaimana mungkin sekarang harus mengakui kekuasaan sebuah perkumpulan yang baru saja muncul dan yang didirikan di Bukit Kim-lian-san, agak jauh dari kotanya, yaitu di Hok-lam? Akibat penolakan itu, muncullah seorang pemuda yang mewakili ketua Kim-lian-pang menantang untuk mengadu kepandaian. Karena marah, Ouw Ci Goat menandingi pemuda dari Kim-lian-pang itu. Namun Ci Goat kalah jauh, bahkan ketika Ouw Lok Khi sendiri maju, diapun hanya mampu bertahan belasan jurus saja lalu roboh dan kalah. Setelah mengalahkan mereka ayah dan anak, utusan Kim-lian-pang itu kembali membujuk agar Ouw Pangcu suka taluk dan menyerah. Akan tetapi, ketua Pek-tiauw-pang ini tidak sudi menyerah. Juga puterinya dan semua anak buah Pek-tiauw-pang tidak sudi menyerah dan tidak sudi membagikan hasil kerja mereka kepada perkumpulan itu.   “Karena kami tetap menolak, beberapa kali Kim-lian-pang mengirim jago-jagonya untuk menyerang kami. Dan memang mereka memiliki banyak orang pandai, terutama sekali dua orang pembantu ketua, pemuda dan wanita iblis itu! Kami tetap melakukan perlawanan dan kami tidak mau menyerah biarpun mereka mengancam akan membunuh kami semua. Akhirnya, tujuh hari yang lalu, benar saja serombongan orang dari Hek-tok-pang, yaitu perkumpulan jahat yang sudah menjadi anak buah mereka, menyerbu asrama kami di tepi kota Hok-lam. Kami mengadakan perlawanan mati-matian, akan tetapi mereka mempergunakan racun dan habis binasalah anak buah Pek-tiauw-pang! Tinggal kami berlima yang hidup….. " Ketua Pek-tiauw-pang itu tidak menangis, akan tetapi jelas nampak betapa wajahnya penuh kedukaan dan penasaran. Juga Ci Goat tidak menangis, akan tetapi ia mengepal tinju. "Kami akan melawan terus sampai mati!" kata gadis itu penuh semangat. "Akan tetapi, mengapa tadi paman sekalian mengeroyok aku?" Han Siong bertanya. "Ketika orang-orang Hek-tok-pang itu menyerbu, kami sempat melihat tiga orang pimpinan Kim-lian-pang. Mereka tidak ikut turun tangan, akan tetapi sempat ketuanya menawarkan perdamaian dengan kami. Akan tetapi kami untuk terakhir kalinya menolak dan diapun lalu mengerahkan orang-orang Hek-tok-pang itu. Ketuanya itulah yang mirip dengan taihiap. Kami memang sedang mengintai dan menanti saat baik kalau ada pemimpin mereka keluar, kami akan menyergap dan membunuhnya. Ketika taihiap muncul, kami mengira taihiap adalah ketua Kim-lian-pang yang bernama Sim Ki Liong itu." “Siapa ….??', Han Siong bertanya, kaget mendengar nama itu. "Namanya Sim Ki Liong!" "Orangnya masih muda, sekitar dua puluh dua tahun?" "Benar sekali, apakah….. taihiap sahabatnya…. ?" tanya Ci Goat dengan suara mengandung kekhawatiran. Han Siong menoleh dan dua pasang mata bertemu, bertaut dan gadis itu menundukkan mukanya. Jelas nampak kedua pipi yang putih halus itu kemerahan. "Sama sekali tidak bersahabat, nona, bahkan pernah kami saling bermusuhan! Dia pernah membantu pemberontakan seorang datuk sesat terhadap pemerintah. Dia memang lihai sekali dan sayang bahwa ketika gerombolan itu diserbu, dia sempat melarikan diri. Dan siapakah dua orang pembantunya yang lihai itu?" "Seorang pemuda yang amat lihai pula bernama Tang Cun Sek," kata Pek-tiauw Pangcu Ouw Lok Khi. Han Siong mengerutkan alis dan menggeleng kepala, tidak mengenal nama itu. "Dan seorang wanita iblis, yaitu Tok-sim Mo-li Ji Sun Bi…. " kata Ci Goat. "Aih, kiranya siluman betina itu?" kembali Han Siong terkejut. "la dulu juga membantu gerombolan pemberontak, kiranya berhasil menyelamatkan diri. Ah, kalau mereka yang memimpin, tentu Kim-lian-pang merupakan perkumpulan yang kuat dan juga jahat!" Mendengar bahwa pemuda perkasa ini pernah bermusuhan melawan dua orang di antara para pimpinan Kim-lian-pang, hati lima orang sisa anggota Pek-tiauw-pang yang sudah terbasmi hampir habis itu menjadi girang dan timbul kembali harapan mereka untuk dapat membalas dendam. Ouw Lok Khi langsung saja berlutut dan menghadap pemuda itu sambil berkata, "Pek Taihiap, mohon taihiap sudi menolong kami….” Terkejut juga Han Siong melihat orang tua itu berlutut. Cepat dia memegang kedua pundaknya dan mengangkatnya duduk kembali. “Pangcu, harap jangan begitu. Tanpa kauminta sekalipun, kalau aku melihat dua orang jahat itu merajalela, pasti aku akan menentang mereka." "Aih, kalau taihiap sudi turun tangan, sudah pasti mereka akan dapat kita hancurkan. Mari kita menyerbu sarang mereka di puncak Kim-lian-san, Pek-taihiap!" kata pula ketua Pek-tiauw-pang itu penuh semangat, sedangkan puterinya dan tiga orang pembantunya juga mengangguk dan penuh semangat. Mereka berlima sudah siap untuk membalas dendam dengan taruhan nyawa mereka. Akan tetapi Han Siong tetap tenang dan menggerakkan tangan menyatakan tidak setuju. “Pangcu, sungguh tidak bijaksana kalau kita menuruti hati yang mendendam saja. Dendam, kebencian menghilangkan kewaspadaan dan akhirnya bahkan menyeret kita ke dalam kehancuran. Seperti yang kauceritakan tadi, Kim-lian-pang kuat sekali, selain dipimpin tiga orang yang lihai, juga dibantu Hek-tok-pang dan memiliki pula anak buah yang banyak. Kita hanya enam orang ini mana mungkin mampu menandingi begitu banyak lawan? Belum lagi diingat bahwa sarang perkumpulan sejahat itu tentu penuh dengan jebakan dan perangkap rahasia." "Aku tidak takut!" tiba-tiba Ci Goat berseru sambil mengepal tinju.   Han Siong tersenyum dan memandang kagum kepada gadis itu. "Kegagahanmu mengagumkan dan kuhargai, nona. Akan tetapi, dalam menghadapi lawan yang kuat dan besar jumlahnya, kita tidak mungkin hanya mengandalkan keberanian saja. Keberanian karena dendam membuat kita nekat dan tanpa perhitungan dan aku tidak ingin membiarkan kita semua mati konyol." Ouw Lok Khi mengangguk-angguk dan menarik napas panjang. “Sekarang baru aku melihat kebenaran ucapanmu, taihiap. Memang kami sudah menjadi gila oleh dendam sehingga kami tidak memperhitungkan bahaya dan kemungkinan kalah. Karena engkau berada di pihak kami, maka kami menyerahkan semua cara menghadapi musuh kepadamu." Han Siong mengangguk dan menerima penyerahan pimpinan ini tanpa sungkan lagi karena dia tahu bahwa orang-orang yang sedang diamuk dendam kebencian itu bukan merupakan pimpinan yang baik. "Kalau kita hendak menentang gerombolan jahat yang lihai itu, setidaknya kita harus mempunyai jumlah pembantu yang cukup berani dan gagah, dan yang jumlahnya seimbang dengan jumlah mereka." Halitumudah, taihiap. Banyak perkumpulan yang merasa sakit hati terhadap Kim-lian-pang, namun mereka itu tidak berani bergerak karena merasa tidak kuat menghadapi kekuatan Kim-lian-pang. Aku akan menghubungi mereka, di antaranya banyak terdapat sahabat baikku, dan akan kubujuk mereka agar suka bekerja sama. Beberapa buah perkumpulan persilatan tentu mau membantu. Menurut perkiraanku, jumlah anak buah Kim-lian-pang tidak melebihi seratus lima puluh orang dan kita akandapat mengumpulkan lebih banyak lagi.” Han Siong mengerutkan alisnya. Banyak juga anak buah yang sudah dikumpulkan Sim Ki Liong, pikirnya. "Apakah tidak mungkin kita minta bantuan pasukan keamanan pemerintah?" "Ah, itu sama saja dengan bunuh diri!" kata Ouw Lok Khi dengan muka muram. "Kalau kita melapor, kita malah akan ditangkap lebih dulu! Ketahuilah, taihiap, gerombolan Kim-lian-pang itu cerdik dan licik sekali. Mereka mendekati para pimpinan pemerintahan daerah dengan jalan menyuap dan menyogok, mengambil hati mereka, bahkan Kim-lian-pang menunjukkan jasanya dengan membasmi gerombolan penjahat. Kim-lian-pang sendiri tidak pernah melakukan kejahatan. Mereka hanya menundukkan semua perkumpulan dan memaksa para pimpinan perkumpulan untuk taluk dan membagi hasil rejeki. Mereka memungut pajak dari manapun yang menghasilkan banyak uang, dengan dalih menjaga keamanan mereka. Toko besar, perusahaan dan bahkan rumah-rumah penginapan. Tidak, kita tidak mungkin dapat mengharapkan bantuan pasukan keamanan yang tentu akan berpihak kepada mereka." Han Siong mengerutkan alisnya. Kiranya Sim Ki Liong kini cerdik sekali, tidak mau mengulang kesalahan mendiang Lam-hai Giam-lo yang memberontak terhadap pemerintah. Kini Sim Ki Liong malah mendekati pemerintah atau mendekati pejabat korup yang suka disogoknya agar mereka berpihak kepadanya! Memang jalan satu-satunya untuk mengumpulkan tenagaatau pasukan adalah seperti yang diusulkan Ouw Pangcu tadi, yaitu mengumpulkan orang-orang yang mendendam kepada Kim-lian-pang. "Baiklah, Ouw Pangcu. Engkau kumpulkan orang-orang yang mau kita ajak menyerbu Kim-lian-pang. Sesudah mereka siap, kita kepung puncak itu dan kauajukantantangan kepada Sim Ki Liong untuk mengadu kepandaian di lereng. Aku akan menghadapinya dan pada saat aku bertanding dengan para pimpinan itu maka kaukerahkan pasukan kita untuk menyerbu ke atas. Akan tetapi harus berhati-hati terhadap jebakan dan perangkap." "Sebaiknya kita pergunakan api untuk memaksa mereka semua keluar sehingga kita tidak perlu harus menerjang jebakan dan perangkap berbahaya." kata Ouw Lok Khi yang kini sudah tenang, tidak lagi didesak dendam yang membuatnya nekat. Han Siong mengangguk girang. "Tepat sekali siasatmu itu, pangcu. Nah, mari kita mulai bekerja. Aku akan mempersiapkan diri, karena engkau membutuhkan waktu untuk mengumpulkan tenaga bantuan, sebaliknya kalau aku menanti dalam rumah penginapan di kota terdekat." Han Siong bangkit berdiri. Ketua Pek-tiauw-pang itupun cepat bangkit. "Taihiap, sebaiknya kalau taihiap tinggal bersama kami. Biarpun asrama kami di Hok-lam telah dihancurkan oleh Kim-lian-pang, namun kami dapat tinggal di rumah seorang murid kami ini." Dia menunjuk kepada seorang di antara tiga orang anggota Pek-tiauw-pang itu. "Dia memiliki rumah besar dan kita semua dapat tinggal untuk sementara di sana." "Benar sekali, Pek-taihiap," kata pria berusia tiga puluh tahun itu. "Rumah kami cukup besar dan kami dapat menyediakan sebuah kamar untuk taihiap." orang itu bernama Thio Ki dan sikapnya ramah. Karena merasa bahwa memang lebih baik kalau dia tidak berpisah dari lima orang itu, Han Siong menyetujui dan berangkatlah mereka meninggalkan gua dalam hutan itu, pergi ke kota Hok-lam. Akan tetapi mereka bersepakat bahwa gua yang tersembunyi itu akan dijadikan markas baru untuk kegiatan mereka melakukan penyerbuan terhadap Kim-lian-pang karena tempat itu baik sekali, merupakan gua dalam hutan di bukit yang tidak berjauhan dari Kim-lian-san. *** Beberapa hari saja setelah dia tinggal di rumah Thio Ki, Han Siong merasa benar bahwa dia amat dihormati dan diperhatikan. Terutama sekali Ouw Ci Goat. Gadis itu sendiri yang melayaninya, mencucikan pakaiannya, membersihkan kamarnya. Perhatian gadis itu terhadap dirinya sungguh membuat dia merasa sungkandan malu. Berkali-kali dia melarang gadis itu mencucikan pakaiannya, namun Ci Goat memaksanya.   "Taihiap adalah tamu agung kami, bagaimana harus mencuci pakaian sendiri? Pula, aku seorang wanita, sudah selayaknya kalau mencucikan pakaian taihiap. Harap jangan sungkan, taihiap, bukankah kita telah bersahabat dan taihiap merupakan penolong kami?" Bukan hanya perhatian dengan cara melayaninya saja, akan tetapi beberapa kali dia memergoki gadis itu memandangnya dengan pandang mata yang aneh, pandang mata yang sayu dan seperti orang terpesona, dan kalau tanpa djsengaja dia menengok sehingga mereka bertemu pandang, gadis itu tersipu dan menundukkan mukanya dengan cepat, akan tetapi dia masih sempat melihat sepasang pipi yang tadinya putih halus itu berubah kemerahan. Sungguh aneh sekali! Dua hari kemudian, mereka hanya berdua saja di rumah itu. Ouw Lok Khi dan tiga orang muridnya juga anak buahnya, pergi untuk melanjutkan usahanya mengumpulkan baja bantuan. Thio Ki memang tinggal seorang diri di rumah itu. Ayah ibunya dan juga isterinya telah dia ungsikan ke dusunsemenjak dia terlibat permusuhan dengan Kim-lian-pang, dan semua pelayan disuruh pulang. Hanya Ci Goat yang ditinggal di rumah untuk melayani keperluan Han Siong yang mereka hormati. "Taihiap, silakan makan pagi." Kata Ci Goat setelah ia mempersiapkan makan pagi di meja ruangan makan. "Ayah dan tiga orang suheng sejak pagi sekali tadi telah pergi berkunjung ke Ki-lam untuk mengumpulkan teman. Silakan taihiap makan sendiri." "Ah, mari kita makan bersama, nona. Engkaupun belum makan pagi bukan?” "Harap jangan sebut aku nona, tidak enak rasanya….seolah kita ini saling merasa asing…..” "Tapi engkaupun menyebut taihiap padaku, nona." "Engkau memang seorang pendekar sakti, pantas disebut taihiap. Akan tetapi aku…. ah, sebut saja namaku. Namaku Ci Goat." “Aku mau menyebutmu adik Ci Goat kalau engkau juga mau merubah sebutan kepadaku. Panggil saja aku toako (kakak)." Gadis itu tersenyum dan kembali kedua pipinya berubah merah. "Baiklah….., toako." katanya sambil menunduk. "Silakan makan pagi, toako." "Kita hanya berdua saja di rumah ini, apa salahnya kalau kita makan bersama, Goat-moi (adik Goat)? Hayolah, bukankah engkau sendiri bilang bahwa kita ini bukan orang asing?" Biarpun masih tersipu, akhirnya Ci Goat mau juga diajak makan bersama. Setelah duduk berhadapan dekat, hanya terhalang meja makan, barulah Han Siong mendapat kenyataan bahwa gadis ini biarpun sederhana sekali, wajahnya tanpa bedak dan gincu, namun wajah itu sungguh bersih dan manis. Juga sikapnya amat sederhana, tidak banyak cakap, jarang tertawa, bahkan wajahnya diliputi awan duka. Akan tetapi mulut itu selalu membayangkan senyum ramah, senyum di kulum yang membuat wajahnya nampak manis selalu. Juga ketika ia bicara dan Han Siong memperhatikannya, gadis itu memiliki gigi yang berderet rapi dan putih bersih. "Goat-moi, setelah kita sekarang menjadi sahabat yang akrab, kiranya sudah sepantasnya kalau aku mendengar lebih banyak tentang dirimu dan ayahmu. Maukah engkau menceritakan riwayat dan keadaanmu sampai engkau kehilangan tempat tinggal seperti sekarang ini?" tanya Han Siong ketika mereka sudah selesai makan dan dia membantu gadis itu membersihkan meja, menyingkirkan sisa makanan dan mencuci mangkok. Gadis itu menarik napas panjang. "Tidak banyak yang dapat kuceritakan, twako, dan yang dapat diceritakan hanya Soal-soal yang menyedihkan saja.Aku kehilangan ibuku ketika berusia kurang dari sepuluh tahun. Sejak itu aku hidup berdua dengan ayah dan para suheng, dan aku dididik oleh ayah, mempelajari ilmu silat dan ilmu baca tulis sekedarnya. Setelah remaja, aku membantu pekerjaan ayah, kadang-kadang aku membantu pengawalan kiriman barang bersama para suheng. Semua terjadinya malapetaka yang disebabkan oleh Kim-Iian-pang itu. Hampir semua anggota perkumpulan kami binasa, hanya tinggal kami berlima. Juga dalam perkelahian itu aku telah kehilangan….. calon suamiku…. " Ahhh…. ! Sungguh menyedihkan! Kasihan sekali engkau, Goat-moi!" kata Han Siong, terkejut dan juga ikut bersedih. Gadis itu menarik napas panjang. "Jangan engkau salah duga, twako. Kematiannya bagiku tiada bedanya dengan kesedihan melihat para suheng lain yang juga tewas. Tunanganku itu juga seorang suhengku, murid dari ayah. Terus terang saja, perjodohan itu atas kehendak ayah dan bagiku, dia itu seperti para suheng yang lain. Aku bahkan selalu termenung dan sukar membayangkan dia menjadi suamiku kelak. Sudahlah,dia sudah tidak ada dan semoga dia mendapatkan tempat yang penuh damai." Han Siong tidak berani banyak bicara lagi, takut kalau mengusik kenangan yang menyedihkan. Akan tetapi dia maklum bahwa gadis ini tidak mencinta tunangannya yang tewas itu, dan kalau ia mau dijodohkan dengannya, hal itu hanya karena ia mentaati perintah ayahnya saja. Diam-diam dia menaruh hati iba kepada gadis yang manis ini, yang telah begitu percaya kepadanya sehingga menceritakan semua tentang dirinya. "Toako, sekarang tiba giliranmu. Akupun ingin sekali mendengar riwayatmu, tentu hebat. Maukah engkau menceritakan kepadaku, toako?" tanya gadis itu dan mereka kini duduk di belakang rumah, di atas bangku dalam taman yang bermandikan cahaya matahari pagi.   "Tidak ada yang menarik, Goat-moi. Ayahku juga seorang pangcu, ketua dari Pek-sim-pang di daerah Kong-goan, amat jauh dari sini, jauh di barat sana. Sejak kecil aku mempelajari ilmu silat, dan sekarang ini aku sedang melakukan perjalanan untuk meluaskan pengalaman dan memperbanyak pengetahllan. Kebetulan saja aku lewat di sini dan bertemu dengan kalian berlima." Han Siong memang tidak suka banyak bercerita tentang dirinya, dan agaknya hal ini terasa pula oleh Ci Goat, maka gadis itupun tidak mendesak. Hanya ada satu hal yang agaknya sejak tadi mengganjal di hati Ci Goat, dan kini dengan memberanikan diri, dengan kedua pipi berubah kemerahan ketika ia menatap wajah pemuda itu, ia berkata, "Toako, kurasa usiamu jauh lebih tua daripada aku yang berusia delapan belas tahun." Jelas bahwa ucapan ini memancing keinginan tahunya tentang usia pemuda itu. Han Siong tersenyum. "Tentu saja aku jauh lebih tua, adik Goat. Aku sudah berusia dua puluh dua, hampir dua puluh tiga tahun." "Ah, kalau begitu tentu engkau sudah berkeluarga, taako." kata gadis itu, cepat dan sambil lalu, seolah acuh. Mendengar pertanyaan ini, Han Siang merasa betapa hatinya tertusuk karena dia teringat kepada Siangkaan Bi Lian, gadis yang dicintanya dan yang telah menolaknya! Ci Goat, telah, berterus terang kepadanya, diapun sudah sepantasnya berterus terang, sekalian memperoleh kesempatan untuk menyalurkan rasa penasaran dan kekecewaannya. "Seperti juga engkau, tadinya aku sudah ditunangkan oleh guru-guruku, akan tetapi pertunangan itu gagal………” Gadis itu terbelalak, memandang dengan matanya yang jeli, dan bayangan senyum menghilang dari ujung bibirnya. “ Ia….ia Juga…. Mati….?” Han Siang menggeleng kepala dan menghela napas. "Ia menolak untuk berjodoh denganku." "Ahhh…. !" Gadis itu mengeluarkan suara keluhan lirih, "tak mungkin ...tak mungkin…..” Han Siong mengangkat muka, memandang dengan sinar mata heran. "Apanya yang tidak mungkin, Goat-moi?" "Bagaimana mungkin seorang gadis menolak engkau untuk menjadi jodohnya…. !" Tiba-tiba gadis itu berhenti bicara dan menundukkan mukanya yang kemerahan, karena ia merasa betapa ia telah kelepasan bicara, begitu saja mengeluarkan suara hati melalui mulutnya. Han Siong tersenyum pahit, lalu diapun meninggalkan gadis itu, menuju ke kamarnya. Malam itu Han Siong tak dapat tidur, gelisah. Percakapan dengan Ci Goat tadi membongkar kenangan lama, membuat wajah Bi Lian selalu terbayang di depan mata, mendatangkan rasa rindu yang hebat. Ketika Ci Goat menawarkan makan malam, dia mengatakan bahwa dia tidak lapar dan minta kepada gadis itu untuk makan malam sendiri. "Taruh saja di atas meja, nanti kalau aku lapar, aku akan mengambilnya sendiri, Goat-moi." katanya dengan lesu. Agaknya Ci Goat juga melihat sikap pemuda yang lesu itu, maka iapun tidak berani lagi mengganggunya. Tadi ketika makan siangpun pemuda itu hanya makan sedikit dan tidak banyak bicara. Malam telah larut. Han Siong masih rebah termenung, tidak dapat pulas. Tiba-tiba pendengarannya yang tajam menangkap suara di belakang rumah. Dia menjadi curiga dan cepat dia turun dari pembaringan, mengenakan sepatunya dan berindap keluar dari kamarnya, cepat menuju ke belakang rumah. Kiranya yang menimbulkan suara itu adalah Ci Goat! Gadis itu keluar dari rumah menuju kekebun di belakang, membawa buntalan. Han Siong menahan diri tidak menegur, hanya membayangi dengan perasaan heran Apa yang akan dilakukan gadis itu pada malam hari begini? Ci Goat berhenti di dekat bangku panjang di mana pagi tadi mereka duduk bercakap-cakap, lalu ia meletakkan buntalan di atas bangku dan membukanya. Kiranya buntalan itu terisi alat-alat untuk bersembahyang, seperti hio-swa (dupa biting) dan lain-lain. Dan gadis itu lalu meletakkan semua persiapan sembahyang ke atas bangku, menyalakan hio dan bersembahyang! Dan gadis itu mengucapkan kata-kata permohonan dengan suara bisik-bisik, merasa yakin bahwa tidak mungkin ada orang yang akan mendengar suaranya yang lirih. Kebun itu sunyi dan kosong, dan andaikata ada orang didekatnyapun tidak akan dapat menangkap kata-kata doa yang diucapkan sambil berbisik. Ia salah perhitungan! Orang biasa mungkin tidak dapat menangkap kata-kata bisikan itu, namun pendengaran Han Siong lain daripada orang biasa. Biarpun jarak antara dia yang berada di balik batang pohon tidak terlalu dekat dengan gadis itu, namun di tempat yang sunyi itu, dia mampu menangkap kata-kata doa gadis itu dengan jelas! Dan gadis itu berdoa untuk dia! Gadis Itu bersembahyang untuk dia. Antara lain yang didengarnya adalah kata-kata yang membuatnya terharu sekali. " …..ya Tuhan, Tuhan dari Bumi dan Langit, dengarlah permohonan saya ini. Kalau sampai terjadi perkelahian dengan Kim-lian-pang, lindungilah toako Pek Han Siong, berilah kemenangan padanya atau andaikata dia kalahpun, lindungilah dia. Jangan sampai aku kehilangan dia pula, ya Tuhan, karena dialah satu-satunya orang yang menjadi tumpuan harapanku, dialah satu-satunya orang yang kucinta dengan seluruh jiwa ragaku….. " Han Siong tidak dapat mendengarkan terus. Dia sudah berkelebat pergi, jantungnya berdebar dan mukanya terasa panas. Gadis itu jatuh cinta padanya! Sampai di dalam kamarnya, kembali dia termenung. Sekali ini bukan membayangkan wajah Bi Lian. Yang terbayang adalah wajah Ci Goat, gadis yang bersembahyang untuk keselamatannya, gadis yang takut kehilangan dia, yang mencintanya dengan jiwa raganya!   Pada keesokan harinya, dia bersikap biasa, akan tetapi sekarang baru dia mengerti akan pandang mata gadis itu yang tadinya dianggap aneh. Pandang mata gadis itu ternyata penuh dengan sinar kagum dan cinta! Hal ini membuat dia merasa rikuh sekali, akan tetapi dia pura-pura tidak tahu dan merasa semakin kasihan kepada gadis itu. Kalau saja Ci Goat tahu bahwa hatinya telah melekat kepada bayangan Bi Lian dan bahwa tidak mungkin ada gadis lain di dunia ini dapat menjatuhkan cinta hatinya! Dia hanya mencinta Bi Lian seorang, dan andaikata dia dapat mencinta gadis lain, tentu tidak seperti cintanya kepada Bi Lian. Dalam waktu sepekan, siaplah sudah pasukan yang dikumpulkan oleh Ouw Pangcu. Mereka itu adalah orang-orang gagah dari beberapa perkumpulan silat yang pernah menerima penghinaan dari Kim-lian-pang. Jumlah mereka tidak kurang dari dua ratus orang! Dan tentu saja mereka yang bersedia membantu adalah para anggota perkumpulan silat yang rata-rata memiliki ilmu silat yang lumayan, dipimpin oleh ketua atau guru masing-masing. Tentu saja para pimpinan inipun lihai, setingkat dengan ilmu kepandaian Ouw Pangcu dan jumlah mereka ada enam orang. Enam orang ini dipertemukan dengan Han Siong dan mereka semua merasa kagum kepada pemuda itu ketika mereka mendengar betapa Han Siong adalah seorang diantara para pendekar yang pernah membasmi gerombolan pemberontak yang dipimpin mendiang Lam-hai Giam-lo. Mereka mengadakan perundingan dan menyusun siasat. Pada hari yang ditentukan, Pek-tiauw Pangcu Ouw Lok Khi berdiri di lereng Bukit Kim-Jian-san dekat puncak, dan beberapa orang anak buahnya melepas anak panah berapi ke arah puncak, setelah beberapa kali melepas panah berapi yang diantaranya ada yang membakar daun-daun kering dekat puncak, Pek-tiauw Pangcu Ouw Lok Khi lalu mengeluarkan teriakan nyaring sambil mengerahkan tenaga khikang. "Haiii, para pimpinan Klm-Jian-pang! Kalau kalian memang gagah perkasa, turunlah dari puncak dan mari kita bertanding sampai seribu jurus!" Sampai tiga kali dia mengulang teriak annya itu, kemudian dia bersama semua pasukan yang telah siap di tempat itu, bersembunyi. Hanya Han Siong seorang yang menanti di lapangan rumput di lereng bukit itu, dengan sikap waspada dan hati-hati. Tak lama kemudian, nampak bayangan orang berkelebat dari atas dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang pria muda yang tampan dan gagah. Tadinya Han Siong mengira bahwa ketua Kim-lian-pang, yaitu Sim Ki Liong yang muncul sendiri. Akan tetapi setelah dia memperhatikan, yang muncul itu adalah seorang pria muda berusia kira-kira tiga puluh tahun yang tidak dikenalnya. Pria ini tinggi besar, wajahnya berkulit putih dan tampan gagah, matanya mencorong aneh. Pria ini bertangan kosong, namun sikapnya yang tenang itu, tanpa senjata, dan pemunculannya yang tiba-tiba bagaikan setan, sudah menunjukkan bahwa dia seorang lawan yang tangguh. Pria itu bukan lain adalah Tang Cun Sek. Para pimpinan Kim-lian-pang marah bukan main melihat serangan anak panah berapi itu. Walaupun anak panah yang diluncurkan itu tidak sampai mencapai puncak dan tidak mengenai perumahan Kim-lian-pang, namun cukup mengejutkan, apalagi ada beberapa batang anak panah berapi yang sempat mengakibatkan kebakaran ketika mengenai daun-daun kering di atas tanah. Anak buah Kim-lian-pang terpaksa harus cepat-cepat memadamkan kebakaran itu sebelum menjalar dan membakar hutan di dekat puncak. Ketika mereka mendengar tantangan yang diteriakkan Pek-tiauw Pangcu Ouw Lok Khi, Tang Cun Sek segera berkata kepada Sim Ki Liong dan Ji Sun Bi bahwa dia akan menghadapi ketua Pek-tiauw-pang itu. "Hemm, aku yakin dia tidak datang sendirian. Tentu banyak kawannya, dan tentu dia membentuk pasukan yang kuat. Kalau tidak, mana dia berani bersikap seperti itu?" kata Ji Sun Bi yang berhati-hati. "Akupun menduga demikian,” kata Sim Ki Liong. "Tang-toako, engkau keluarlah dan sambut tantangan itu, kami mengikuti dari belakang dan aku akan mempersiapkan anak buah lebih dulu untuk bertahan kalau-kalau mereka berani menyerang ke atas dan kita harus dapat membasmi mereka." Tan Cun Sek menyanggupi lalu diapun berlari turun dari puncak. Ketika dia melihat seorang pemuda berdiri seorang diri di lapangan rumput itu, diapun cepat menghampiri dan mereka kini sudah berdiri saling berhadapan dan saling pandang dalam jarak kurang lebih empat meter saja. Bagaikan dua ekor ayam aduan, mereka itu saling pandang dengan sinar mata penuh selidik, seperti hendak menyelidiki keadaan lawan masing-masing. Watak Cun Sek yang tinggi hati membuat dia belum apa-apa sudah memandang rendah kepada calon lawan itu. "Mana dia ketua Pek-tiauw-pang yang berteriak menantang tadi?" tanyanya. "Kenapa dia bersembunyi dan siapakah engkau?" Han Siong tersenyum. "Memang akulah yang mewakilinya untuk menghadapi para pimpinan Kim-lian-pang. Di mana adanya ketua Kim-lian-pang? Biarkan dia turun sendiri untuk menandingiku." "Keparat, engkau hanya datang mengantar nyawa. Tidak perlu Kim-lian Pangcu yang maju sendiri, sudah cukup aku untuk menghajarmu, kalau perlu membunuhmu!" kata Tang Cun Sek sambil melangkah maju. "Sayang, sungguh sayang, seorang muda yang gagah seperti engkau, ternyata hanya menjadi kaki tangan iblis-iblis seperti Sim Ki Liong dan J i Sun Bi. Engkau tentu yang bernama Tang Cun Sek, bukan? Hemm, apa saja yang kau dapat dari mereka? Janji muluk, harta dan juga kecabulan Tok-sim Mo-li Ji Sun Bi itu, bukan?"   Mendengar ucapan ini, seketika wajah Cun Sek menjadi merah sekali. Ucapan itu memang tepat menelanjanginya, maka dapat dibayangkan betapa rasa malu membuat dia marah bukan main. "Tutup mulutmu, keparat busuk!" Bentaknya dan dia sudah menerjang dengan dahsyat. Kedua tangannya bergerak cepat dan kuat sekali, mendatangkan tenaga yang amat hebat karena dia sudah mengerahkan tenaga dan mainkan ilmu silat Thian-te Sin-ciang yang merupakan satu di antara ilmu-ilmu yang ampuh dari Cjn-ling-pai. Menghadapl serangan yang dahsyat jni, tentu saja Han Sjong tidak berani memandang ringan. Dari angin pukulan itu saja diapun maklum bahwa benar seperti telah diduganya, lawan ini bukan lawan yang ringan. Diapun cepat mengelak. Akan tetapi, gerakan Cun Sek memang cepat sekali, karena begitu pukulannya luput, tubuhnya sudah membalik dan kembali dia sudah melakukan serangan yang sambung menyambung. Han Siong berloncatan ke sana-sini untuk menghindarkan serangan-serangan itu sambil memperhatikan gerakan lawan. Diam-djam diapun terkejut dan heran. Jelas bahwa pemuda ini menjadi pembantu dua orang muda yang amat jahat, dan sepantasnyalah kalau pemuda ini juga seorang tokoh sesat. Akan tetapi mengapa gerakan silatnya demikian bersih? Bahkan ilmu silatnya sendiri jauh kalah bersih dibandingkan ilmu silat yang dimainkan penyerangnya itu. Dia menerima ilmu-ilmunya dari suhu dan subonya, dan memang kedua orang gurunya itu pernah membuat pengakuan bahwa mereka adalah keturunan datuk-datuk sesat sehingga ilmu merekapun tidak bersih. "Betapapun juga, yang menentukan bersih kotornya suatu ilmu adalah pemikainya," demikian suhunya pernah berkata. "Sudah menjadi kewajibanmu untuk membuat ilmu-ilmu silat kita menjadi ilmu yang bersih, dengan menghilangkan sifat-sifat yang curang dan licik, menghilangkan penggunaan hawa beracun, dan terutama sekali, mempergunakannya untuk menentang kejahatan dan membela keadilan dan kebenaran!" dan selama ini, dia mentaati pesan gurunya itu, bahkan setelah dia menerima gemblengan dari Ban Hok Lojin, maka ilmu-ilmu dari guru nya dapat disempurnakan dan dibersihkan. Setelah mempelajari gerakan lawan sampai belasan jurus, barulah Han Siong membalas dan mengingat akan kelihaian lawan, diapun langsung saja memainkan ilmu silat Pek-hong Sin-ciang yang didapatkannya dari Ban Hok Lojin. Begitu dia memainkan ilmu silat ini, maka terkejutlah Cun Sek. Angin menyambar-nyambar bagaikan badai, dan ketika lengannya bertemu dengan lengan lawan, dia terdorong sampai terhuyung ke belakang! Karena terkejut, setelah berdiri tegak. kembali, dia tidak segera menyerang lagi, melainkan memandang dengan mata mendelik, penuh rasa penasaran dan marah karena malu. “Singgg…..!” Ketika tangan kanannya meraba pinggang, tiba-tiba berkelebat sinar emas dan pedang pusaka Hong-cu-ciam telah berada di tangan kanannya. “Keparat!” Dia membentak sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah Han siong. "sebelum kubunuh engkau, katakanlah siapa namamu agar jangan engkau mati tanpa nama!" Han siong tersenyum. Pemuda bernama Tang Cun sek ini bukanlah orang yang dicarinya. Yang ingin dilawannya adalah sim Ki Liong, akan tetapi bagaimanapun juga, pemuda di depannya ini merupakan seorang pembantu yang amat lihai dari sim Ki Liong. Bahkan mungkin tidak kalah dibandingkan dengan Ji Sun Bi. Maka harus ditundukkan, apalagi pedang yang berada di tangannya itu jelas bukan pedang biasa, melainkan sebatang pedang pusaka yang ampuh. Dari sinarnya saja dia sudah tahu bahwa pedang tipis yang tadi menjadi sabuk itu amat berbahaya. Padahal, dia sendiri sudah tidak memiliki pedang, karena pedang pusaka Kwan-im Po-kiam pemberian gurunya yang juga menjadi tanda ikatan jodoh telah dia kembalikan kepada suhu dan subonya. Biarlah, dia ingin menguji dulu sampai di mana kelihaian lawannya itu. “Hemm, namaku Pek Han Siong, kawan. Lebih ku sayangkan lagi bahwa pedang pusaka sebaik itu akan kaupergunakan untuk kejahatan!” Cun Sek belum pernah nama Pek Han Siong, maka nama itu tidak ada artinya apapun baginya. Juga dia melihat lawannya itu masih belum mengeluarkan senjata. Sebagai seorang yang amat menghargai diri sendiri, Cun Sek merasa penasaran sekali. Dia tentu saja tidak mau di anggap pengecut menyerang orang tanpa senjata dengan pedang pusakanya, maka dia menantang. "Pek Han Siong, tidak perlu banyak cakap. Keluarkan senjatamu!" Han Siong menggeleng kepalanya. "Aku tidak memegang senjata, dan kalau engkau mengira aku takut menghadapi pedangmu, engkau keliru. Aku akan melawan pedangmu dengan tangan kosong." "Manusia sombong, jangan salahkan aku kalau tubuhmu akan terbabat menjadi beberapa potong. Lihat pedang!" Terdengar suara berdesing dan nampak sinar emas menyambar ke arah lehernya. Han Siong kagum sekali. Pedang itu merupakan pusaka ampuh, akan tetapi juga digerakkan oleh tangan ahli. Dia cepat mempergunakan ginkangnya untuk meloncat dan mengelak. Namun, pedang itu bergerak terus dengan amat cepatnya sehingga Han Siong terpaksa harus berloncatan ke sana-sini. Dia semakin kagum. Tentu saja ilmu pedang lawan itu hebat karena Cun Sek memainkan ilmu pedang dari Cin-ling-pai yang mengandung unsur iimu pedang Siang-bhok-kiamsut yang amat tinggi tingkatnya.. Walaupun dia tidak menguasai sepenuhnya Siang-bhok-kiamsut, namun cukuplah untuk membuat dia menjadi seorang ahli pedang yang amat lihai. Namun, sekali ini Cun Sek berhadapan dengan seorang lawan yang memiliki tingkat lebih tinggi dalam ilmu silat. Han Siong masih lebih pandai, baik dalam ilmu silat maupun lebih kuat dalam ilmu sin-kang dan gin-kang. Maka, biarpun Cun Sek menyerangnya bertubi-tubi, tubuh Han Siong berkelebatan dan selalu terhindar dari sambaran pedang, bahkan kini Han Siong mulai membalas dengan serangan , yang tidak kalah ampuhnya, walau hanya mempergunakan tangan dan kaki. Dengan Pek-hong Sin-ciang, Han Siong bahkan beberapa kali membuat Cun Sek terdesak dan terhuyung. Bahkan pernah pedang pusaka Hong-cu-kiam di tangannya hampir terlepas ketika lengan kanannya terkena tendangan kaki Han Siong. Kini Cun Sek mulai terdesak.   "Haiiitttt...... !" Cun Sek yang menjadi penasaran sekali, dengan nekat memutar tubuh setelah tadi menghindarkan diri dari tendangan kaki kiri Han Siong, lalu sambil berputar, pedangnya menusuk ke arah perut lawan. "Hemmm..... huhhh!!" Han Siong membentak dan tangan kirinya mendorong dari samping. Dengan tangan kosong, dengan telapak tangannya, Han Siong mendorong pedang yang luar biasa tajamnya itu. "Plak!" Pedang itu terpukul menyerong dan pada saat itu, tangan kanan Han Siong sudah menampar ke arah kepala lawan. Cun Sek terkejut bukan main. Telapak tangan lawan itu mampu menangkis pedangnya, dan kini tiba-tiba ada angin menyambar ke arah kepalanya. Dia miringkan tubuh dan menarik kepalanya ke belakang. ! "Plakk!" Pundaknya terkena srempetan telapak tangan Han Siong dan Cun Sek terpelanting. Dia terkejut, lalu bergulingan menjauh sambil memutar pedang melindungi tubuhnya. Ketika dia meloncat bangun, ternyata lawannya tidak mengejar, melainkan berdiri tegak sambil memandang kepadanya dengan senyum. Mulailah Cun Sek merasa jerih karena dia maklum bahwa dia menghadapi lawan yang memiliki ilmu kesaktian. Pada saat itu nampak bayangan berkelebat dan ternyata Sim Ki Liong sudah berdiri di situ. Sim Ki Liong dan Pek Han Siong berdiri saling pandang dengan sinar mata mencorong. Mereka memang sebaya dan bentuk tubuh mereka juga sama. Keduanya sama tampan, hanya sikap Ki Liong lebih halus, kehalusan yang menyembunyikan keliaran yang terkendali, dan mata Ki Liong kadang-kadang mencorong aneh dan kejam, sedangkan Han Siong sebaliknya selalu bersikap tenang sekali. Ki Liong segera mengenal Han Siong dan diapun mengangguk-angguk. "Hemm, kiranya engkau yang datang membikin ribut. Pek Han Siong, ternyata sekarang engkau telah menjadi jagoan yang mewakili Pek-tiauw-pang. Berapakah dia membayarmu? Apakah dibayar dengan puterinya yang cantik itu?" Kalau orang lain yang menerima ejekan dan penghinaan ini, tentu akan menjadi marah. Namun, Han Siong adalah Seorang pemuda gemblengan. Dia hanya tersenyum dan menjawab dengan halus pula. "Sim Ki Liong, engkau tahu siapa engkau dan siapa aku. Setelah gagal membantu pemberontakan mendiang Lam-hai Giam-lo dan engkau beruntung dapat melo1oskan diri, kini engkau melakukan kejahatan baru dengan menguasai semua perkumpulan yang kauperas, mempengaruhi para pejabat daerah dan bersekutu dengan orang-orang jahat. Engkau melakukan pembunuhan semena-mena. Dan engkau tahu bahwa aku selalu, sejak menentang Lam-hai Giam-lo sampai sekarang, selalu akan menentang segala macam bentuk kejahatan! Aku bukan sekedar wakil Pek-tiauw-pang, melainkan wakil seluruh masyarakat yang menderita karena kejahatanmu. Aku sudah mendengar bahwa engkau bersekutu dengan Tok-sim Mo-li. Di mana ia sekarang? Mengapa tidak keluar sekalian?" Berkata demikian, Han Siong menendang sebuah batu sebesar kepalan tangan yang berada di depan kakinya. Batu itu meluncur ke arah semak-semak dan tiba-tiba saja batu itu tertangkis dan runtuh. Dari balik semak-semak muncullah Tok-sim Mo-li Ji Sun bi, diikuti oleh tiga orang pria berusia lima puluh tahun lebih yang kesemuanya berjubah pendeta, dengan rambut panjang digelung ke atas seperti tosu (pendeta Agama To). Melihat munculnya wanita cantik ini, senyum di bibir Han Siong melebar. "Nah, sekarang baru lengkap, semua biang keladi kekacauan telah berkumpul di sini!" Ucapan ini dikeluarkan agak keras karena memang merupakan isarat bagi Ouw Pangcu dan kawan-kawannya untuk mulai dengan penyerbuan mereka ke puncak Kim-lian-san. "Pek Han Siong, selamat berjumpa dan selamat jalan ke neraka!" kata Ji Sun Bi sambil mencabut sepasang pedangnya. "Sekaranglah saatnya kami membalas dendam atas kekalahan kami dahulu!" Sim Ki Liong yang sudah maklum akan kelihaian Pek Han Siong, tidak malu-malu lagi untuk mencabut pula senjatanya, yaitu Gin-hwa-kiam yang berkilauan seperti perak. Melihat betapa tiga orang muda yang jahat dan lihai itu sudah mencabut senjata masing-masing, dan dia tahu bahwa seperti juga Cun Sek, Ki Liong memegang sebatang pedang pusaka ampuh, Han Siong lalu mengerahkan tenaga saktinya sepasang matanya memancarkan cahaya aneh dan suaranya terdengar melengking tinggi penuh wibawa ketika dia berkata “Kalian bertiga hendak mengeroyokku? Baik, akupun siap untuk melayani kalian satu lawan satu. Lihat, aku telah menjadi tiga orang seperti kalian!" Tiga orang muda itu terbelalak, terkejut bukan main melihat betapa tubuh Han Siong itu terpecah menjadi tiga dan kini di depan mereka berdiri tiga orang Pek Han Siong! Ji Slin Bi maklum akan kekuatan sihir yang dipergunakan Han Siong dan memang ia sudah siap untuk menghadapi kemungkinan itu, maka ia cepat berseru sambil menoleh ke belakang. "Sam-wi Su-siok (Paman Guru Bertiga), tolong bantulah kami!" Ji Sun Bi adalah murid mendiang Min-san Mo-ko, seorang bekas tokoh Pek-lian-kauw yang selain pandai ilmu silat, juga pandai ilmu sihir. Ji Sun Bi sendiri tidak mempelajari ilmu sihir selengkapnya, hanya ilmu guna-guna untuk menjatuhkan hati pria saja. Akan tetapi, karena gurunya, ia mempunyai hubungan dengan Pek-lian-kauw. Ketika Ki Liong menjadi ketua Kim-lian-pang dan ia menjadi pembantu utama dan wakil ketua, maka dalam usaha mereka untuk memperkuat Kim-lian-pang, Ji Sun Bi menemui beberapa orang tokoh Pek-lian-kauw dan berhasil membujuk tiga orang pendeta Pek-lian-kauw yang terhitung sute (adik seperguruan) mendiang Min-san Mo-ko, untuk membantu Kim-lian-pang. Tiga orang tosu Pek-lian-kauw itu menyanggupi dan mereka berada di sana untuk membantu gerakan gerakan Kim-lian-pang yang mendatangkan untung besar itu. ketika Han Siong muncul, kebetulan mereka berada di puncak sehingga mereka dapat ikut pula turun menghadapi lawan. “Jangan khawatir!” terdengar seorang diantara mereka berseru ketika Ji Sun Bi minta bantuan. Mereka pun tadi melihat betapa pemuda itu mempergunakan sihir yang amat kuat sehingga mereka sendiripun terpengaruh dan mereka melihat betapa tubuh pemuda Itu berobah menjadi tiga.   Mereka bertiga itu maklum bahwa kekuatan sihir pemuda itu memang hebat. Tanpa menggabungkan kekuatan, mereka tidak akan mampu menandinginya, maka mereka lalu duduk bersila, bergandeng tangan dan mengerahkan kekuatan mereka. Seorang di antara mereka, yang berada di sudut kki, segera mengeluarkan kata-kata yang juga melengking tinggi berwibawa. "Pemuda itu hanya seorang! Yang dua hanya bayangan dan kami perintahkan agar dua bayangan itu lenyap!" Mereka lalu mengeluarkan suara mengaung-ngaung seperti suara anjing meratapi bulan ditengah malam, suara yang menyeramkan dan mengeluarkan getaran kuat. Ki Liong, Cun Sek dan Sun Bi memandang kepada Han Siong dan benar saja, dua di antara tubuh Han Siong itu perlahan-lahan lenyap, tinggal seorang lagi saja. Akan tetapi, mendadak menjadi tiga lagi, lalu yang dua lenyap lagi. Tahulah mereka bahwa telah terjadi pertempuran kekuatan sihir antara Han Siong dan tiga orang tosu Pek-lian-kauw. Han Siong sendiri sebetulnya mampu menandingi kekuatan sihir tiga orang Pek-lian-kauw itu. Akan tetapi, suara mereka sungguh amat mengganggunya dan kalau dilanjutkan, dalam keadaan adu tenaga sihir itu lalu dia dikeroyok tiga, keadaannya berbahaya juga. Oleh karena itu, ketika tiga orang itu mulai menggerakkan pedang, diapun menyimpan kekuatan sihirnya dan dirinya berubah menjadi satu lagi. Ki Liong sudah menggerakkan pedang Gin-hwa-kiam dan sinar perak menyambar ke arah Han Siong. Pemuda ini cepat mengelak dengan loncatan ke kiri. Dia disambut oleh Ji Sun Bi dengan sepasang pedangnya, sedangkan di belakangnya Cun Sek juga sudah menggerakkan pedang Hong-Cu-kiam untuk mengeroyok. Han Siong melihat gerakan mereka dan tahu bahwa sekali ini, dia menghadapi bahaya. Tiga orang itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, dan ketiganya memegang senjata. Kalau dia Ingin menyelamatkan diri, mudah saja baginya untuk melarikan diri dari tempat itu. Akan tetapi, dia harus dapat menahan mereka ini agar Ouw Pangcu dan kawan-kawannya dapat menyerbu sarang Kim-lian-pang di puncak. Kalau dia melarikan diri, tentu tiga orang ini akan mengamuk dan mungkin Ouw Pangcu dan semua kawannya akan terbasmi dan dibantai! Tiba-tiba dia mengeluarkan bertakan nyaring dan tubuhnya sudah melayang ke arah ji Sun Bi. Wanita ini terkejut melihat tubuh Han Siong bagaikan seekor burung garuda menyambar dari atas. Ia menyambutnya dengan bacokan sepasang pedangnya yang membuat gerakan menggunting dari kanan kiri! Berbahaya sekali gerakan Ji Sun Bi ini terhadap tubuh Han Siong yang sedang melayang dan menyambar turun. Namun, hal ini sudah di perhitungkan oleh Han Siong. Melihat wanita itu menggerakkan sepasang pedangnya, diapun lalu membuat gerakan dengan tubuhnya sehingga tubuh yang meluncur turun itu tiba-tiba terlempar ke atas membuat poksai (salto) dengan amat cepatnya. Tentu saja serangan Ji Sun Bi luput dan kini tubuh Han Siong telah turun di belakang wanita itu. Ji Sun Bi adalah seorang ahli silat yang lihai. Dengan cepat ia memutar tubuhnya, pedangnya juga ikut berputar, yang kanan membabat leher lawan sedangkan yang kiri menyusul dengan tusukan ke arah perut! Han Siong sudah siap menghadapi ini.Dia merendahkan tubuh sehingga pedang yang menyambar leher itu lewat dl atas kepala, lalu dia menggeser kaki kedepan, tangan kanannya membuat gerakan mendorong dengan pengerahan tenaga sinkang ke arah tangan Sun Bi yang menusukkan pedang sambil miringkan tubuh menghindarkan tusukan. "Lepaskan!" bentaknya dan bentakan inipun mengandung wibawa memerintah yang amat kuat. Tanpa dapat dicegah lagi, pedang itu terlepas dari tangan Sun Bi dan sudah pindah ke tangan, kanan Han Siong. Sun Bi terkejut dan cepat ia melempar tubuh ke belakang lalu bergulingan menjauh. Akan tetapi ternyata Han Siong tidak menyusulkan serangan melainkan bermaksud merampas sebatang pedang saja. Kini Cun Sek dan Ki Liang sudah menyerang lagi dari kanan kiri. Han Siong mengelak dan membalas dengan pedang rampasan, juga dengan tamparan tangan kiri. Dia tidak berani menggunakan pedang itu untuk menangkis. Biarpun pedang rampasan dari Sun Bi tadi bukan pedang biasa, melainkan sebatang pedang yang baik sekali walaupun terlalu ringan baginya, namun kalau di pergunakan untuk menangkis pedang sinar emas dan pedang sinar perak dari dua orang muda itu, besar sekali kemungkinan akan patah. Ji Sun Bi yang marah sekali karena sebatang pedangnya terampas, kini sudah maju pula menyerang. Segera Han Siong merasa terdesak bukan main. Dia terpaksa mengeluarkan seluruh ilmu gin-kangnya untuk mengelak ke sana-sini dan hampir tidak lagi mendapatkan kesempatan untuk membalas serangan. Bahkan ketika terpaksa dia menangkis Hong-cu-kiam yang menyambar dahsyat dari belakang, ujung pedang rampasan itu patah, seperti telah di khawatirkannya. Sementara itu, tiga orang tosu itu masih duduk bersila dan kini mereka pun membantu pengeroyokan dengan serangan suara mereka! Mereka itu membuat suara yang seperti tadi, seperti anjing-anjing melolong, mengerikan dan menyanyat hati. Tentu saja hanya Han Siong yang merasakan gangguan ini, karena memang di tujukan kepadanya. Kalau saja dia tidak sedang dikeroyok tiga lawan tangguh ini sehingga seluruh perhatiannya harus dicurahkah untuk menyelamatkan diri menghadapi serangan mautt itu, tentu dia akan mampu melawan suara yang amat mengganggu itu. Karena serangan suara ini, makin repotlah Han Siong. Akan tetapi, sorak sorai dibarengi api dan asap mengepul dari puncak membuat hatinya lega. Kiranya Ouw Pangcu sudah berhasil menyerang dengan anak panah berapi yang membakar sarang itu, siasat yang dipergunakan untuk memancing keluar seluruh anak buah Kim-lian-pang dan Hek-tok-pang. Tiga orang pengeroyok itu terkejut melihat kepulan asap dari puncak. Akan tetapi, meninggalkan Han Siong yang sudah terdesak itu mereka enggan karena kalau pemuda lihai ini tidak dirobohkan lebih dulu, tetap saja keadaan mereka terancam.   "Mari kita habiskan dia dulu sebelum menyerang yang lain!" kata Sim Ki Liong dan diapun mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Murid Pendekar Sadis ini memang lihai bukan main dan di bandingkan Han Siong, selisihnya hanya sedikit saja. Maka, desakannya yang diikuti dua orang lawannya membuat Han Siong kembali terhuyung. Terpaksa Han Siong menggerakkan pedang buntungnya menangkis sinar perak yang menyambar ke arah kepalanya. “Trakkk!” Pedangnya kembali patah dan kini hanya tinggal sedikit sisanya. Dia membuang gagang pedang itu dan pada saat itu, ujung sepatu kaki kanan Ki Liong sempat menyambar ke arah pahanya dan diapun terpelanting! Namun, dengan amat cekatan, ketika sinar perak dan sinar emas menyambar, dia sudah melesat lagi ke samping sehingga terhindar dari bahaya maut. Tangannya kini sudah memegang sebatang ranting pohon yang dipatahkannya ketika dia meloncat menghindarkan diri tadi Sebatang ranting lebih berguna daripada pedang rampasan tadi yang kaku. Ranting yang lentur itu, mudah sekali menerima penyaluran tenaga sinkang dan tidak mudah dipatahkan pedang pusaka. Mulailah Han Siong melawan lagi mati-matian. Dia belum mau melarikan diri, hendak memberi kesempatan kepada Ouw Pangcu sampai bcrhasil menumpas perkumpulan jahat itu. Tendangan yang mengenai pahanya tadi tidak menimbulkan luka karena dia tadi sudah melindungi pahanya dengan kekebalan sin-kang, dan kini akibatnya hanya mendatangkan rasa nyeri sedikit. Biarpun demikian, tetap saja gerakannya menjadi agak canggung dan dia semakin terdesak! tetutama sekali suara melolong-lolong dari tiga orang tosu itu sungguh membuat dia semakin bingung.