Setahu mereka hanya bahwa Mayang seorang gadis penggembala ternak yang cetakan dan pandai sekali, ahli menggiring ratusan ternak dari satu ke tempat lain yang jauh tanpa ada seekorpun yang tercecer, bahkan mampu melindungi mereka dari gangguan binatang buas! Kalau mereka melihat gadis itu meledak-ledakkan pecutnya sambil menggiring ratusan ekor ternak, tidak ada seorangpun yang tahu bahwa cambuk di tangannya itu mampu merobohkan pengeroyokkan banyak orang jahat yang berani mengganggunya! Bukan hanya Mayang yang diberi pelajaran ilmu silat oleh Kim Mo Siankouw, bahkan juga ibu Mayang dilatih ilmu silat agar tubuhnya menjadi kuat. Akan tetapi ibu dan anak ini tak pernah mendengar akan riwayat pertapa itu, seorang wanita yang usianya kurang lebih enam puluh tahun akan tetapi masih nampak anggun bahkan cantik, dengan wajah yang berkulit halus tanpa keriput, bentuk muka yang agung seperti seorang puteri, dengan sepasang mata yang masih jeli dan mencorong, dan mulut yang selalu tersenyum penuh kelembutan, akan tetapi sinar matanya yang mencorong itu kadang-kadang dapat bersinar keras. Ibu dan anak itu mengenalnya sebagai seorang wanita yang lembut hati, ramah dan budiman, akan tetapi juga sebagai seorang wanita yang kalau sudah marah, dengan mudah saja membunuh orang yang dianggap jahat! Ketika Mayang baru berusia sepuluh tahun dan ketika menggembala ternak di padang rumput, ternaknya diganggu oleh sekawanan perampok yang terdiri dari empat belas orang, Kim Mo Siankouw muncul dan dengan lembut ia menegur empat belas orang itu dan mengusir mereka. Akan tetapi empat belas orang itu memandang rendah kepadanya dan bahkan mengeluarkan kata-kata yang kasar dan cabul. Dan terjadilah hal yang mengerikan itu. Kim Mo Siankouw menghajar mereka dan ketika mereka melawan dengan menggunakan golok, ia merampas sebatang golok lalu membunuh empat belas orang itu dengan golok. Dalam waktu sebentar saja empat belas orang gerombolan penjahat itu roboh malang melintang dengan kepala terpisah dari tubuh! Dengan sikap amat tenang, Kim Mo Siankouw menyuruh para pelayannya untuk menggali lubang besar dan menguburkan jenazah mereka itu. Peristiwa ini membuat daerah itu menjadi aman. Tak ada seorangpun penjahat berani melakukan kejahatan sehingga para penduduk dusun di daerah itu amat berterima kasih kepada Kim Mo Siankouw. Apa lagi karena pertapa itu amat dermawan, siap menolong siapa saja yang membutuhkan bantuan, baik bantuan itu berupa uang, ternak, pengobatan maupun hanya nasihat. "Sekali lagi, hati-hatilah engkau, Hay Hay. Kalau berhadapan dengan subo, jangan sekali-kali engkau pecengisan, jangan main-main dan jangan merayu. Kalau sampai engkau membuat subo marah dan ia turun tangan membunuhmu, jangan katakan bahwa aku belum memberi peringatan kepadamu." bisik gadis itu dan diam-diam Hay Hay tahu bahwa gadis ini memang bersikap serius dan tidak main-main. Baru sikapnya saja sudah begitu jerih, bicarapun tidak berani keras-keras, tentu takut kalau sampai terdengar oleh subonya. Dan ketakutan seperti inipun sudah menunjukkan bahwa tentu guru gadis ini memiliki kesaktian yang hebat sehingga mampu mendengarkan percakapan dari tempat jauh. Diapun mengangguk dan tidak tega untuk membuat Mayang menjadi semakin ketakutan. Ketika tiba di puncak, Hay Hay melihat bahwa puncak itu ternyata datar, merupakan dataran yang cukup luas dan di tengah-tengah puncak itu terdapat sebuah bangunan yang besar, dengan tembok berwarna putih dan genteng berwarna merah coklat. Daun pintu dan jendela dicat kuning dan rumah itu dihias pohon-pohon di sekelilingnya sehingga nampak teduh dan nyaman. Di sebelah kiri dan belakang rumah terdapat taman bunga yang dipagari kuat, tentu untuk mencegah masuknya hewan ternak yang banyak terdapat di situ. Sebagian besar puncak itu terdiri dari padang rumput yang luas dan subur dan Hay Hay melihat hewan ternak seperti kambing dan lembu, juga kuda bahkan nampak ayam berkeliaran di puncak. Hewan ternak itu gemuk-gemuk, dan jauh di ujung puncak terdapat bangunan-bangunan dari bambu sederhana yang merupakan kandang ternak. Beberapa orang gadis sibuk bekerja, ada yang menggembala ternak, ada yang memikul air, ada yang membelah kayu. Mereka semua berhenti bekerja dan mengangkat muka memandang, dan alis mereka berkerut ketika mereka melihat munculnya Mayang bersama seorang pemuda tampan. Agaknya, tamu pria jarang sekali muncu1 di puncak ini, kecuali mereka yang mempunyai urusan pekerjaan dengan keluarga Siankouw, jual beli ternak, mengirim bahan makanan, kayu, dan lain-lain. Akan tetapi, pemuda yang datang bersama Mayang ini tidak membawa apa-apa dan datangnya bersama gadis. itu, tentu seorang tamu. Akan tetapi, mereka membalas salam Mayang dengan sopan dan sikap hormat. "Mari kita terus saja ke rumah." Kata Mayang dan mereka menghampiri rumah besar itu. Setelah tiba di ruangan depan, Mayang berkata lirih. "Engkau duduklah dulu menanti di ruangan tamu ini, aku akan memberitahu kepada subo. Sekali lagi, bersikaplah sopan." Gadis itu lalu memasuki pintu tembusan ke dalam. Hay Hay duduk melamun, lalu memutar tubuh memandang keluar. Pekarangan itur luas dan amat bersih, tidak berdebu karena ditaburi semacam pasir lembut yang warnanya agak gelap sehingga tidak menyilaukan mata kalau matahari bersinar, dan hangat kalau udara dingin. Tempat ini memang indah dan nyaman, pikirnya. Dan penghuninya tentulah orang-orang yang suka akan kebersihan dan keindahan. Guru Mayang itu tentu lihai sekali ilmu silatnya, dan lebih lihai lagi ilmu sihirnya. Sungguh merupakan pribadi yang amat menarik. Kalau wanita sakti itu mau membantunya, tentu dia akan dapat membebaskan Han Siong dan juga berhasil menyelidiki keadaan para pendeta Lama itu, dan dapat membuka rahasia mereka mengapa mereka itu menculik Han Siong! Tiga orang pendeta Lama yang lihai itu mengaku sebagai utusan Dalai Lama, akan tetapi dia mendengar dari Mayang bahwa mereka itu adalah pemimpin para pendeta Lama yang pernah dibasmi sebagai pemberontak oleh Dalai Lama!   Langkah-langkah kaki yang ringan terdengar di belakangnya ketika dia mulai merasa betapa lamanya Mayang meninggalkannya di situ. Dia sudah mulai khawatir bahwa gadis itu memperoleh kesukaran, bahwa subo gadis itu tidak mau menemuinya bahkan memarahi Mayang. Maka, ketika mendengar langkah kaki yang ringan lembut, dia cepat bangkit berdiri dan membalik. Dia melihat Mayang akan tetapi gadis itu kini sudah mengenakan pakaian bersih dan nampak segar. Agaknya Mayang telah mandi dulu sebelum keluar lagi. Pantas demikian lamanya, akan tetapi harus diakui bahwa kemunculan gadis ini mendatangkan kesegaran baginya. Mayang tetap sederhana, bahkan rambutnya tidak disisir rapi, agak awut-awutan akan tetapi bahkan menjadi semakin manis! Kemanisan yang wajar seorang gadis, bukan kecantikan karena riasan. Dan di samping gadis itu terdapat seorang wanita lain yang sepantasnya menjadi kakak Mayang karena ada persamaan pada wajah mereka. Kalau Mayang bagaikan kuncup mulai mekar, wanita itu adalah bunga yang sudah mekar sepenuhnya. Keduanya sama menariknya! Hay Hay memandang mereka, dari yang satu kepada yang lain. Inikah subo dari Mayang? Inikah wanita pertapa yang berjuluk Kim Mo Siankouw itu? Seorang wanita yang cantik dan anggun memang, akan tetapi dia tidak melihat alasan mengapa wanita berjuluk Kim Mo Siankouw (Dewi Berambut Emas). Rambutnya hitam seperti rambut Mayang, hanya tersisir rapi, tidak awut-awutan seperti rambut gadis itu. "Lo-cian-pwe yang mulia, saya Tang Hay datang menghaturkan hormat, mohon Siankouw sudi memaafkan kelancangan saya..... " kata Hay Hay dengan penuh hormat seperti penghormatan yang diberikan kepada seorang permaisuri atau raja. Akan tetapi dia terbelalak dan bengong memandang kepada Mayang karena gadis itu tiba-tiba tertawa terkekeh-kekeh, tangan kiri menutup mulut, tangan kanan meraba perut karena merasa geli. "Eh, Mayang, kenapakah? Apakah .....apakah aku kurang sopan dan kurang hormat ?” tanya Hay Hay, benar-benar tidak mengerti mengapa gadis itu tertawa-tawa geli seperti itu. Gadis itu yang tadi tertawa agak membungkuk, mengangkat mukanya memandang dan melihat pemuda itu bengong dan mendengar pertanyaan itu, tawanya meledak kembali, sampai terkekeh-kekeh dan ada air mata keluar dari kedua matanya yang bersinar-sinar. Akhirnya, ketawanya mereda ketika wanita disampingnya menegur halus. "Mayang, tidak sepantasnya engkau tertawa seperti itu." Mayang memandang Hay Hay, wajahnya masih penuh tawa. "Hay Hay, ini bukan subo, ini adalah ibuku, hi-hi-hik!” Gadis itu menahan ketawanya. Kini wajah Hay Hay seketika menjadi merah dan dia mengangkat muka memandang lagi kepada wanita itu, mengamatinya dengan penuh perhatian lalu dia berkata setelah menarik napas panjang. "Ah, pantas... sungguh pantas, akan tetapi juga tidak patut sekali.... " Mendengar ucapan yang tidak karuan maknanya ini, Mayang berbalik menjadi bengong. "Apa maksudmu, Hay Hay? Ucapanmu tidak karuan. Kau bilang pantas akan tetapi juga tidak patut! Bagaimana pula itu?" "Memang pantas menjadi ibumu, dan pantas engkau demikian cantik manis, Mayang, karena ibumu juga begini cantik jelita. Dan tidak patut menjadi ibumu karena ia masih terlalu muda, patutnya menjadi kakakmu!" Mayang tidak merasa heran mendengar pemuda mata keranjang ini memuji kecantikan ibunya, akan tetapi wanita itu terbelalak, mukanya berubah merah sekali. "Mayang! Siapakah dia ini? Orang macam apa yang kaubawa berkunjung ini? Apakah dia waras, tidak gila?" Mendengar pertanyaan ibunya, sambil menatap wajah Hay Hay, gadis itu kembali tertawa geli. "Hati-hati, ibu, jangan-jangan engkau akan jatuh ke dalam rayuan mautnya. Memang Hay Hay ini seorang perayu maut yang amat berbahaya bagi setiap orang wanita." Hay Hay teringat akan keadaan dirinya berada di tempat orang, tempat berbahaya pula karena penghuninya adalah seorang pertapa wanita sakti. Cepat dia memberi hormat kepada ibu Mayang dengan sikap sopan, lalu berkata, "Harap bibi sudi memaafkan saya yang selalu suka terus terang sehingga mungkin terdengar kurang ajar. Bukan maksud saya untuk merayu, melainkan untuk berterus terang. Maafkan, saya Tang Hay dan......” "She Tang.... ?” Tiba-tiba wanita itu membelalakkan matanya dan menatap wajah Hay Hay, lalu ia mengeluarkan jerit kecil tertahan, “Kau.... kau.... matamu dan hidungmu itu..... ihh, dan engkau she Tang pula..... Orang muda, cepat katakan, siapakah ayahmu?" Hay Hay terkejut. Dia mengambil keputusan untuk tidak memperkenalkan siapa ayahnya kalau tidak amat perlu, maka diapun menarik napas panjang. "Saya tidak tahu siapa ayah saya, bibi, karena ayah telah pergi sejak saya berada dalam kandungan dan mungkin dia sudah mati"" "Ibu, kenapa ibu kaget mendengar she dari Hay Hay? Dan ibu menyinggung mata dan hidungnya! Ada apakah, ibu.......?" Mayang kini juga bersikap sungguh-sungguh karena iapun terkejut dan heran melihat sikap ibunya" Wanita itu telah dapat menguasai dirinya. "Ahhh, tidak apa-apa" Aku hanya merasa seperti pernah melihat pemuda ini. Akan tetapi, Mayang, bagaimana engkau dapat berkenalan dengan pemuda yang ..... eh, mata keranjang ini? Mau apa dia kaubawa ke sini? Siankouw bisa marah kalau....” “Orang muda kurang ajar ini harus pergi sekarang juga!" Tiba-tiba terdengar bentakan halus dari sebelah dalam. Mendengar suara ini, ibu Mayang cepat membungkuk dan merangkap kedua tangan, memberi hormat. Juga Mayang segera menjatuhkan diri berlutut di dekat ibunya, sikapnya amat hormat"     Hay Hay mengangkat muka memandang. Yang rnuncul di ambang pintu itu memang mentakjubkan. Seperti bukan manusia ketika tiba-tiba muncul di situ, dengan sikap yang lembut dan anggun sekali. Sukar dapat dipercaya bahwa seorang wanita berusia enam puluh tahun masih seperti itu! Rambutrlya yang bercampur uban itu berwarna keemasan! Kulit mukanya lembut tanpa keriput, matanya mencorong dan bibirnya masih kemerahan dan terhias senyum aneh. Tubuh, wajah dan sikap wanita ini sepantasnya terdapat pada sebuah patung, seperti arca Kwan im Pouwsat saja! Tanpa dibuat-buat, timbul perasaan hormat di dalam hati Hay Hay terhadap wanita ini, maka diapun cepat memberi hormat dengan merangkap kedua tangan depan dada, dan berkata dengan suara lantang. "Mohon maaf sebesarnya dari Siankouw akan kelancagan saya yang telah berani datang menghadap Siankouw tanpa diundang. Saya memberanikan diri datang menghadap Siankouw untuk mohon pertolongan, karena saya mendengar bahwa Siankouw adalah seorang manusia berbudi luhur, seorang pertapa yang ,mencari penerangan dan tentu akan selalu menjulurkan tangan untuk menolong yang membutuhkan bantuan. Atas pertolongan Siankouw yang sakti dan suci, sebelumnya saya Tang Hay menghaturkan banyak terima kasih dan akan selalu berdoa semoga semua budi kebaikan Siankouw akan tercatat oleh Malaikat dan Tuhan yang akan berkenan membalas semua amal perbuatan Sjankouw yang berbudi sehingga kalau dalam kehjdupan yang sekarang saya tidak mampu membalas segala kebaikan Siankouw, semoga dalam kehidupan mendatang saya akan dapat menebusnya dan......”   “Sudah, cukup..... cukup..... !” Kim Mo Siankouw berkata sambil menahan ketawanya mendengar kata-kata yang berderet-deret tiada putusnya itu. "Engkau laki-laki perayu, dengan kata-katamu yang indah, suaramu yang merdu, ucapanmu yang manis, sungguh engkau palsu dan berbahaya sekali bagi kaum wanita. Engkau harus pergi dari sini!" Berkata demikian, seperti orang yang merasa jengkel, wanita itu menggerakkan tangannya ke arah kepala Hay Hay. Pemuda ini mendengar angin berdesir dan dia terkejut bukan main. Biarpun kelihatan hanya mengebutkan tangan, namun sesungguhnya gerakan itu merupakan serangan yang amat dahsyat dan berbahaya bukan main! Maka, agar jangan kentara bahwa dia mengelak, pada saat itu diapun menjatuhkan diri berlutut menghadap ke arah wanita berambut merah itu sambil mengangguk-angguk memberi hormat. “Siankouw yang sakti, Siankouw yang budiman, Siankouw yang agung, tolonglah saya, tolonglah sahabat saya....” Kim Mo Siankouw agak terbelalak dan ia menoleh kepada Mayang. “Mayang, dari mana engkau memperoleh pemuda perayu ini dan apa kehendakmu membawa orang semacam ini kepadaku? Hayo jawab yang sejujurnya!" Ucapannya halus namun mengandung teguran dan perintah. Sambil berlutut Mayang lalu menjawab, "Harap subo sudi memaafkan teecu (murid). Subo (ibu guru) tentu maklum bahwa teecu tidak akan berani berlancang hati untuk membawa seorang tamu pria datang menghadap subo. Akan tetapi telah terjadi peristiwa yang cukup hebat, yang teecu anggap cukup penting bagi subo untuk mengetahuinya. Pertama –tama, agar subo ketahui bahwa tadi teecu telah bentrok dengan tiga orang pendeta Lama yang memimpin para pendeta Lama di puncak Bukit Bangau." Kim ,Mo Siankouw terkejut walaupun hal ini hanya nampak pada pandang matanya dan kerut alisnya. "Hemm, sudah kukatakah bahwa engkau tidak boleh berurusan dengan mereka. Urusan pemberontakan terhadap Dalai Lama bukanlah urusan kita dan kita tidak perlu mencampuri." "Maaf, subo. Bukan niat teecu untuk mencampuri, akan tetapi secara kebetulan saja teecu bertemu dengan mereka bertiga itu di kedai makan dusun Wangkan dalam perjalanan teecu pulang mengantar ternak ke kota Cauw-ti. Mereka makan di sana bersama seorang pemuda. Ketika mereka melihat teecu, seorang di antara mereka menghampiri teecu, pura-pura minta derma, akan tetapi teecu merasakan betapa dia menggunakan kekuatan sihir untuk menguasai pikiran teecu. Malam tadi, teecu datang ke gubuk di luar dusun di mana mereka menanti dan dengan sihir pendeta Lama itu menarik teecu datang. Karena teecu menganggap mereka itu jahat sekali, sebagai pendeta Lama tidak patut melakukan kekejian seperti itu terhadap teecu, maka teecu datang dan ingin menghajar mereka!" “Aih, engkau lancang, Mayang. Mereka itu adalah tiga orang pendeta Lama yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Yang mana di antara mereka itu yang menyihirmu?" "Ketika teecu berada dalam rumah makan, yang menyihir teecu adalah pendeta yang mukanya kekanak-kanakan, tubuhnya tinggi bongkok.... " “Hemm, siapa lagi kalau bukan Pat Hoa Lama si pendeta cabul? Huh, berani dia menghina muridku! Lalu bagaimana? Agaknya tidak mungkin engkau dapat lolos dari tangan mereka bertiga!" Setelah berkata demikian, Kim Mo Siankouw mengerling kepada Hay Hay yang masih menanti dengan hati tegang. Dia merasa betapa wanita itu memang hebat, dan agaknya telah mengenal dan mengetahui keadaan para pendeta Lama yang menculik Han Siong. "Mereka bertiga menghadapi teecu dan mencoba untuk menguasai teecu dengan sihir. Akan tetapi.... hemmm, mereka tidak tahu bahwa teecu adalah murid subo. Segala permainan kanak-kanak itu..... " "Jangan menyombongkan diri!" Kim Mo Siankouw memotong dengan suara tegas sehingga mengejutkan Mayang sendiri karena tidak biasanya gurunya menghardiknya. Sementara itu, Hay Hay diam-diam tersenyum melihat sikap Mayang. "Setelah sihir mereka itu gagal, lalu seorang di antara mereka yang memegang tongkat menyerang teecu. Teecu melawan dengan cambuk. Kami berdua saling Serang dan teecu sudah mengambil keputusan untuk menghajar mereka bertiga. Akan tetapi tiba-tiba teecu dikejutkan oleh terbakarnya gubuk itu dan teecu lalu pergi meninggalkan mereka. Teecu bertemu dengan Hay Hay ini dan dia menceritakan bahwa pemuda yang bersama tiga orang pendeta Lama itu adalah seorang sahabatnya yang diculik mereka untuk dijadikan pelayan. Karena teecu menduga bahwa temannya itudilarikan ke Bukit Bangau, maka Hay Hay minta kepada teecu untuk menghadap subo dan mohon pertolongan subo untuk dapat menolong dan membebaskan sahabatnya itu."   Kim Mo Siankouw menahan senyumnya, memandang kepada muridnya itu dan menggeleng kepalanya. "Mayang, kaukira aku tidak tahu sjapa tiga orang pendeta Lama itu? Yang menyihirmu adalah Pat Hoa Lama, dan orang yang menyerangmu dengan tongkat itu bukankah bertubuh tinggi besar, dan tongkatnya itu memakai kelenengan? Lalu orang ke tiga itu tinggi kurus, matanya seperti selalu terpejam?" “Benar sekali, subo." "Mereka itu adalah tokoh-tokoh di Tibet. Yang menyerangmu bernama Gunga Lama dan yang matanya terpejam itu Janghau Lama. Mereka bertiga itu adalah orang-orang sakti dan menghadapi Gunga Lama seorang saja belum tentu engkau dapat menang. Kalau tidak ada orang membakar itu, agaknya belum tentu engkau akan dapat meloloskan diri dari tangan mereka. Siapa yang membakar gubuk itu?" Hay Hay cepat mengacungkan telunjuk kanannya ke atas, "Saya, Siankouw! Utung ada saya........” Pada saat itu, terdengar ribut-ribut di luar. Mereka segera memandang keluar dan nampaklah lima orang Lama sedang ribut mulut dengan para pelayan wanita yang bekerja dj pekarangan depan. Agaknya para pelayan itu berkeras melarang mereka memasuki pekarangan, dan lima orang pendeta Lama itu berkeras pula akan memasuki pekarangan sehingga terjadi ketegangan. Melihat ini, Mayang melompat bangun, juga ibunya sudah melangkah keluar bersama puterinya. Kim Mo Siankouw sendiri dengan sikap tenang bangkit berdiri akan tetapi ia pun melangkah keluar. Hay Hay yang ditinggal seorang diri dalam keadaan masih berlutut itupun segera bangkit dan keluar. "Heiii, apa yang telah terjadi di sini!” bentak Mayang yang bersama ibunya telah berada di pintu pagar di mana lima orang pendeta Lama itu bersitegang dengan para pelayan yang melarang mereka memasuki pekarangan. Lima orang pendeta Lama itu berusia kurang lebih antara empat puluh tahun. Mendengar bentakan ini, mereka mengangkat muka memandang dan melihat Mayang, mereka memandang dengan wajah berseri. Seorang di antara mereka, yang mulutnya lebar, segera melangkah maju. "Apakah engkau yang bernama nona Mayang?” "Kalau benar aku, mengapa?" tantang Mayang yang sudah marah melihat mereka karena ia menduga bahwa tentu mereka ini anak buah tiga orang pendeta Lama yang mereka bicarakan tadi. Lima orang pendeta itu saling pandang dan merekapun menyeringai kurang ajar. Si mulut besar tertawa. "Ha-ha-ha, pantas saja suhu berpesan agar kita membawanya hidup-hidup dan jangan melukainya. Kiranya memang manis sekali dan sayang kalau sampai terluka." katanya kepada kawan-kawannya, kemudian menghadapi Mayang. "Nona Mayang, kami diutus oleh para guru kami untuk mengundang nona ke tempat kami, menghadap tiga orang suhu kami karena ada urusan penting yang hendak dibicarakan denganmu." "Aku tidak sudi!” Mayang membentak. "Nona Mayang, kami datang dengan maksud baik dan tidak ingin menggunakan kekerasan, akan tetapi kamipun tidak berani pulang kalau tidak bersamamu. Maka, marilah engkau ikut dengan kami agar tidak perlu kami menggunakan kekerasan untuk memaksamu." Mayang melompat dan membanting kakinya dengan marah. “Kalian ini lima ekor anjing gundul berani mengancam aku? Majulah dan aku akan membikin remuk gundul-gundulmu itu!” "Mayang, mundur kau!" Tiba-tiba terdengar Kim Mo Siankouw berkata lembut. Mayang terkejut dan ia pun tidak berani membantah, walaupun ia masih ragu-ragu. "Mayang, taati Siankouw!" kata pula ibunya yang lebih mengerti mengapa Kim Mo Siankouw menyuruh Mayang mundur. Ia dapat menduga bahwa kalau tiga orang pendeta Lama itu mengirim utusan lima orang ini, tentu mereka sudah memperhitungkan bahwa lima orang pendeta utusan ini akan mampu menandingi bahkan mengalahkan Mayang. Kini Kim Mo Siankouw memandang kepada Hay Hay dan tersenyum, senyum dingin mengejek. "Orang muda, pi-ni (aku) akan mempertimbangkan permintaanmu tadi kalau engkau dapat mewakili kami menghadapi lima orang pendeta Lama ini." "Subo, apakah subo hendak mencelakakan Hay Hay? Dia tidak bisa apa-apa, seorang pemuda yang lemah, bagaimana harus.....” "Mayang, jangan membantah kehendak Siankouw!" kembali ibu gadis itu menegur dan Mayang tidak melanjutkan kata-katanya, hanya memandang terbelalak kepada Hay Hay, merasa kasihan karena bagaimana pemuda lemah itu akan mampu menandingi lima orang pendeta Lama itu? Melawan seorang dari merekapun tidak akan mampu. Tentu dia akan tewas, tiba-tiba ia merasa khawatir dan gelisah sekali. Tidak, pikirnya, pemuda itu tidak boleh mati. konyol. la tidak berani lagi membantah subonya, akan tetapi diam-diam ia akan berjaga-jaga dan akan melindungi Hay Hay! Sementara itu, diam-diam Hay Hay kagum bukan main kepada guru Mayang. Wanita tua yang masih cantik dan lembut itu sungguh memiliki penglihatan yang amat tajam. Tentu ia telah tahu bahwa dia memiliki kepandaian, kalau tidak demikian, tidak mungkin ia menyuruh dia melawan lima orang pendeta Lama ini! Maka diapun tersenyum, dan masih berpura-pura tolol karena melihat sikap Mayang. "Aihh, syaratnya berat amat! Akan tetapi, baiklah, Siankouw. Demi menolong sahabatku, saya akan berusaha sekuat tenaga untuk melawan lima ekor anjing gundul ini. Melihat sikap Hay Hay, Mayang merasa girang dan bangga. Biarpun jelas bahwa pemuda itu bukan lawan lima orang pendeta Lama yang ia duga tentu lihai, namun pemuda itu sudah memperlihatkan sikap yang gagah! Berani memaki mereka sebagai lima ekor anjing gundul, meniru makiannya tadi.   "Benar, Hay Hay. Hantam kepala lima ekor anjing gundul itu. Jangan takut, kalau mereka akan menggigitmu, akan kuketok kepala mereka yang gundul itu!" teriaknya penuh semangat. Gurunya dan ibunya hanya melirik saja dan tersenyum karena biarpun berteriak, gadis itu tidak turun tangan, mentaati perintah subonya tadi. Hay Hay melirik kepada Mayang dan masih tersenyum, lalu dengan langkah gontai seperti orang yang tidak bertenaga dia maju menghampiri lima orang pendeta Lama itu. Lima orang pendeta Lama itu adalah tokoh-tokoh di Tibet, dan merupakan tangan kanan dari tiga orang pendeta Lama yang bersarang di Bukit Bangau. Mereka sudah marah ketika tadi mendengar penghinaan Mayang, gadis manis yang berani memaki mereka sebagai lima ekor anjing gundul. Dan kini, kembali mereka dimaki dan yang memaki adalah pemuda yang kelihatan lemah ini, bahkan tadi gadis itu hendak mencegah pemuda ini maju karena dikatakan bahwa pemuda ini lemah. Dalam kemarahan itu, lima orang pendeta Lama bermaksud untuk mempermainkan dan menghina Hay Hay. Seorang di antara mereka yang kurus kering berkata dengan suaranya yang parau besar, tidak sesuai dengan tubuhnya. "Saudara-saudara sekalian, monyet cilik ini hendak melawan kita? Ha-ha, mari kita membikin dia menari-nari!" Ucapan ini merupakan isarat kepada kawan-kawannya agar mereka mempergunakan kekuatan sihir saja untuk mempermainkan dan menghina Hay Hay, yaitu menyihirnya agar dia bersikap seperti seekor monyet! Mereka berlima mengerahkan kekuatan sihir mereka, menatap wajah Hay Hay dengan tajam, kemudian si kurus tadi membentak lagi, kini kekuatan sihirnya disatukan dengan kekuatan empat orang kawannya. "Orang muda, engkau adalah seekor monyet yang baru keluar dari dalam hutan! Ingatlah baik-baik, engkau seekor monyet! Monyet! Monyet! Monyet! Hayo monyet, engkau menari-narilah!" Mayang merasa benar akan gelombang kekuatan sihir itu. Bagi dirinya sendiri yang sudah kebal, gelombang kekuatan itu hanya lewat saja tanpa membekas, akan tetapi ia khawatir sekali melihat Hay Hay karena bagaimana mungkin pemuda yang tidak mengenal sihir itu akan mampu bertahan menghadapi serangan ilmu sihir sekuat itu? Ia melihat Hay Hay tersenyum lebar, lalu memandang seperti orang bingung dan heran. "Monyet? Aku disuruh menjadi monyet? Ha-ha, baiklah, aku akan menari seperti monyet. Akan tetapi pertunjukan monyet harus dilengkapi dengan segerombolan anjing! Dan kalian yang menjadi lima ekor anjingnya! Anjing gundul, ha-ha! Kalian lima ekor anjing gundul, hayo kalian menggonggong, biar aku jadi monyet menari-nari!” Kini Mayang terbelalak. Apa yang telah dilihatnya? Lima orang pendeta Lama itu tiba-tiba saja merangkak-rangkak dan menggonggong seperti anjing, menyalak-nyalak dan meringis-ringis! Tadinya ia mengira bahwa mungkin subonya yang telah membantu Hay Hay sehingga ia merasa girang sekali. Akan tetapi ketika ia menoleh kepada subonya, ia melihat betapa subonya juga terbelalak dan terheran-heran, maka ia cepat memandang lagi ke arah Hay Hay dan lima orang pendeta Lama itu. Lima orang pendeta itu masih merangkak-rangkak, berloncatan ke sana-sini sambil menyalak-nyalak dan Hay Hay kini meloncat ke atas punggung pendeta kurus kering. Sambil menari-nari dan menggaruk-garuk tubuh seperti seekor monyet, Hay Hay berloncatan dari satu punggung ke lain punggung, presis seekor monyet yang bermain-main dengan lima ekor anjing. Riuh rendah suara lima orang pendeta itu menggonggong dan menyalak-nyalak dengan galak. Mayang hampir tidak dapat percaya akan pandang matanya sendiri. Sudah jelas bahwa Hay Hay agaknya berada di bawah pengaruh sihir dan bersikap seper ti seekor monyet, akan tetapi mengapa lima orang pendeta yang menyihir Hay Hay itu seperti terkena sihir pula? Bahkan lebih parah dari Hay Hay? Kalau Hay Hay hanya bersikap seperti monyet, menggaruk-garuk dan menari-nari namun masih bisa bercakap-cakap, lima orang pendeta Lama itu benar-benar bersikap dan bersuara seperti anjing! Akan tetapi ketika kembali Mayang menoleh kepada subonya, ia melihat subonya kini tidak terheran-heran lagi. Subonya tersenyum-senyum! Kini ia melihat Hay Hay meloncat turun dari punggung para pendeta Lama itu, masih berjingkrak-jingkrak dan menggaruk-garuk dada dan punggung seperti monyet, sambil tertawa-tawa. "Ha-ha-ha, bagus, bagus! Anjjng-anjing gundul, kalian sekarang boleh saling serang, lima ekor anjing berebut tulang dan aku monyetnya yang memberi tulang!" Hay Hay, dengan gerakan mirip monyet, mengambil sepotong kayu dan melemparkan kayu ke arah lima orang pendeta yang masih merangkak-rangkak dan berloncat-loncatan , itu dan terjadilah suatu penglihatan yang membuat Mayang kini tertawa terkekeh-kekeh! Lima orang pendeta itu bagaikan lima ekor anjing tulen, kini menyerbu dan saling memperebutkan "tulang" yang bukan lain hanya sepotong kayu itu! Mereka saling terkam dan saling gigit di antara gonggongan yang riuh rendah! Ada yang kena gigit telinganya sampai robek, kena gigit hidungnya sampai berdarah dan melihat semua ini, Mayang tertawa terpingkal-pingkal sampai memegangi perut yang terguncang-guncang dan menjadi keras. Tiba-tiba terdengar suara Hay Hay, "Sudah...... sudah ,cukup! Kalian ini lima orang pendeta Lama, kenapa bermain-main seperti anak-anak kecil?" Tiba-tiba saja lima orang pendeta itu berloncatan berdiri dan saling pandang. Wajah mereka tiba-,tiba menjadi pucat, lalu menjadi merah sekali. Mereka menyusut darah dari muka dan kini mereka memandang kepada Hay Hay dengan mata melotot penuh kemarahan. "Srat! Srat! Singg.... !" Nampak sinar berkilauan dan lima orang pendeta Lama itu telah mencabut golok dari sarung golok yang menempel di punggung mereka. Mereka ini mengepung Hay Hay dengan golok di tangan, sikap mereka beringas dan penuh ancaman sehingga Mayang memandang dengan muka berubah agak pucat. "Heii, kalian ini berpakaian pendeta, kenapa memegang golok? Apakah pekerjaan kalian menjagal babi?" Hay Hay agaknya tidak sadar akan bahaya maut yang mengancam maka masih sempat berkelakar. “Kami memang jagal, sekali ini hendak menjagal kamu monyet busuk!" bentak seorang di antara mereka yang hidungnya pecah berdarah karena digigit kawannya sendiri. "Hemm, kalian tadi memperebutkan tulang, sekarang tulangnya ditinggal begitu saja!" kata Hay Hay dan diapun mengambil sepotong kayu tadi, yang besarnya selengan dan panjangnya tiga kaki. "Orang muda sombong, bersiaplah untuk mampus!" bentak lima orang pendeta itu yang sudah mengepungnya. "Hay Hay, mundurlah! Mereka itu lihai dan engkau tidak pandai silat.... !" Tiba-tiba Mayang berteriak karena gadis ini merasa khawatir sekali. Hay Hay menoleh kepadanya dan tersenyum!   "Biarlah, Mayang. Justeru karena mereka itu lihai, maka hendak kuhadapi dengan gerakan yang bukan silat. Aku menjadi monyet, aku akan bergerak seperti monyet." "Jangan, Hay Hay! Engkau akan celaka…… !" Mayang sudah siap untuk meloncat ke depan, untuk menggantikan Hay Hay, atau setidaknya untuk melindunginya, akan tetapi subonya menegurnya. "Mayang, jangan mencampuri!" Mayang terkejut dan cepat ia menghampiri subonya, lalu menjatuhkan diri duduk di atas tanah dekat subonya yang juga sudah duduk di atas sebuah bangku yang tadi disediakan oleh seorang pelayan wanita. Ibu gadis itu juga duduk di atas bangku di sebelah kiri Kim Mo Siankouw. "Subo, bagaimana ini? Jangan biarkan Hay Hay tewas, subo. Dia akan mati konyol……” "Husshhh….. , Mayang, kau pergunakanlah matamu baik-baik. Sejak bertemu tadi aku sudah melihat bahwa pemuda itu sama sekali bukan orang lemah. Kau lihat saja!" Gadis itu terkejut dan merasa heran. Hay Hay bukan orang lemah? Dengan bingung ia memandang dan melihat betapa kini lima orang pendeta Lama itu sudah mulai menyerang dengan golok mereka. Gulungan sinar golok menyambar-nyambar ganas dan hampir Mayang memejamkan mata karena ngeri membayangkan tubuh pemuda itu akan tersayat-sayat. Akan tetapi aneh! Ia melihat tubuh pemuda itu bergerak seperti monyet, ber lonca tan ke sana-sini, tangan kanan memegang tongkat dan tangan kiri menggaruk-nggaruk sana-sini di tubuhnya, dan 1ima batang golok itu tidak pernah mampu menyentuhnya! Mula-mula Mayang terbelalak, terheran-heran, akan tetapi segera ia tersenyum dan akhirnya ia berteriak-teriak saking gembiranya. Hay Hay tentu saja bukan lawan lima orang pendeta Lama itu. Dengan mudah saja pendekar ini menggunakan i1mu Ji-auw-pouw-poan-san, yaitu gerak langkah kaki ajaib yang membuat tubuhnya selalu dapat mengelak dari sambaran lima batang golok. Hanya gerakannya itu dicampurnya dengan gerakan dan loncatan mirip monyet sehingga nampak lucu sekali. Dan tongkat di tangannya itu membantunya, setiap kali ada golok yang terlalu berbahaya menyambarnya, tongkat bergerak dan ujungnya mendorong golok lawan sehingga menyerong. Lima orang pendeta Lama itu terkejut, akan tetapj juga penasaran dan marah sekali. Tadi mereka telah dihina secara luar biasa, yaitu mereka seolah-olah menjadi seperti anjing yang saling serang sendiri. Sekarang, golok mereka sama sekali tidak mampu menyentuh tubuh pemuda itu, pada hal pemuda itu tidak pandai silat katanya, dan juga kini hanya bergerak seperti monyet. Namun golok mereka selalu membacok dan menusuk udara kosong! "Bocah keparat! Kalau berani, hadapilah kami dan mari kita mengadu kepandaian, bukan terus mengelak seperti itu!" bentak si kurus kering. "Singgg…. !" Goloknya menyambar ke arah leher Hay Hay dari kanan ke kiri. Hay Hay merendahkan tubuhnya dan golok itu menyambar lewat di atas kepalanya. "Nih tulang, makanlah!" kata Hay Hay dan tiba-tiba, tanpa dapat dihindarkan lagi oleh si tinggi kurus, ujung tongkat itu telah menusuk ke arah mulutnya, dan terdengar bunyi berkerotokan! "Auhhhh…….!" Si tinggi kurus terjengkang dan dia menutupi mulutnya yang berdarah-darah karena sebagian besar giginya bagian depan telah rontok dan tanggal karena mulut itu dijejali ujung tongkat! Empat orang pendeta lainnya menjadi terkejut, akan tetapi juga marah sekali. Golok mereka menyambar-nyambar semakin ganas. Namun, Hay Hay tidak ingin membuang banyak waktu lagi. Diapun kmi membalas dan nampak sinar hijau bergulung-gulung ketika tongkatnya berkelebatan. Terdengar suara tak-tuk-tak-tuk disusul teriakan kesakitan empat orang itu. Empat batang golok terlempar dan empat orang pendeta itu menghentikan serangan mereka dan kini mereka itu mengelus-elus kepala gundul mereka yang ternyata telah benjol-benjol karena tadi dihajar tongkat. Lima orang pendeta itu maklum kini bahwa mereka berhadapan dengan lawan yang amat pandai, maka tanpa banyak cakap lagi, tanpa memungut golok mereka, lima orang pendeta Lama itu lari tunggang langgang tanpa pamit! Mayang hampir tidak berkedip sejak tadi. Kini ia meloncat berdiri dan menghampiri Hay Hay, kini pandang dari sepasang mata yang jeli indah itu berubah. Penuh kagum, akan tetapi juga penuh dengan perasaan penasaran. “Kau…. kau….. telah berpura-pura bodoh, ya?" bentaknya penuh teguran karena ia merasa dipermainkan pemuda ini. Hay Hay hanya tersenyum dan dia segera menghadap Kim Mo Siankouw dengan sikap hormat. Wanita itu kini bersikap angkuh ketika berkata dan bangkit berdiri. "Orang muda, kita bicara di dalam!" Hay Hay mengangguk dan mengikuti wanita itu yang memasuki rumah bersama ibu Mayang. Gadis itu sendiri mengikuti dari belakang, hatinya masih merasa mendongkol terhadap Hay Hay karena ia merasa dibodohi, merasa dipermainkan pemuda itu dalam pertemuan pertama. Wajahnya berubah kemerahan kalau ia membayangkan semua peristiwa yang telah terjadi semenjak ia bertemu dengan Hay Hay yang membakar gubuk dan pura-pura sebagai seorang pemuda yang lemah! Tidak tahunya, pemuda ini memiliki ilmu silat yang hebat, yang dengan amat mudahnya mengalahkan lima orang pendeta Lama itu dan yang lebih hebat lagi, pemuda ini agaknya juga seorang ahli sihir! Mereka kini duduk di dalam ruangan sebelah belakang. Hanya empat orang di antara mereka. Kim Mo Siankouw duduk di atas kursi yang ditilami sutera merah. Ibu Mayang duduk di sebelah kirinya, dan Mayang sendiri berlutut di atas lantai sebelah kanannya, Hay Hay duduk pula di bangku berhadapan dengan mereka. Sejenak, mereka hanya saling pandang saja. Ibu Mayang memandang dengan alis berkerut dan sinar mata penuh selidik. Kim Mo Siankouw memandang dengan mata menyelidik pula dan seperti hendak mengukur dan menjenguk isi hati pemuda itu. Sedangkan Mayang sendiri memandang dengan wajah berubah-ubah, kadang -kadang penuh kagum, lalu penuh perasaan dongkol. Hay Hay sendiri bersikap tenang saja. Walaupun dengan jelas dia dapat melihat keadaan hati mereka melalui wajah mereka, namun dia berpura-pura tidak tahu dan bersikap tenang, tersenyum.   Tiba-tiba Hay Hay terkejut karena merasakan suatu getaran yang amat kuat datang dari wanita tua itu. Ketika dia mengangkat muka, dia, melihat betapa sepasang mata Kim Mo Siankouw mencorong, seperti dua buah bintang yang memiliki sinar amat kuatnya. Tahulah dia bahwa wanita itu memandang kepadanya dengan pengerahan kekuatan batin untuk mengukur dirinya, karena sinar yang keluar dari mata wanita tua itu bukan menyerang, melainkan berusaha untuk membuka isi hatinya melaJui pikiran, seolah-olah hendak memaksa dirinya mengaku. Diapun mengerahkan tenaga batinnya dan menyambut sinar mata itu dengan sinar matanya sendiri sehingga terjadilah bentrokan antara dua kekuatan batin yang amat kuat. Sejenak mereka itu saling tatap, kemudian, ketika merasakan betapa sinar mata Kim Mo Siankouw melembut, Hay Hay juga menarik kembali tenaganya dan diapun menundukkan pandang matanya. "Orang muda yang gagah, sekarang katakan terus terang kepadaku, siapakah yang mengajarkan ilmu sihir kepadamu?" pertanyaan itu lembut namun tegas. Hay Hay membutuhkan bantuan wanita sakti ini maka diapun tidak ragu untuk membuat pengakuan. "Yang mengajarkan kepada saya adalah mendiang suhu Pek Mau Sanjin dan Song Lojin." Kim Mo Siankouw mengangguk-angguk, tidak lagi merasa penasaran melihat kehebatan orang muda itu dalam ilmu sihir setelah mendengar siapa gurunya. "Dan siapa pula gurumu dalam ilmu silat?" Pertanyaan ini saja membuktikan bahwa Kim Mo Siankouw memang sudah mengenal keadaan mendiang Pek Mau Sanjin, seorang pertapa sakti yang amat kuat dengan ilmu sihirnya, namun yang tidak pernah mempelajari ilmu silat. "Kedua suhu saya adalah See-hian Lama dan Ciu-sian Sin-kai." "Siancai…… !" Kini wanita tua itu nampak terkejut. "Kiranya engkau adalah murid dari dua di antara Delapan Dewa…..! Ah, Mayang, sungguh engkau beruntung sekali dapat bertemu dan bersahabat dengan pendekar muda ini!" Akan tetapi Mayang cemberut. Biarpun ia merasa semakin kagum, namun juga semakin dongkol karena kebodohannya sehingga mudah saja ia dipermainkan Hay Hay, mengira bahwa Hay Hay adalah seorang pemuda yang hanya memiliki kepandaian merayu saja, seorang pemuda yang menyenangkan namun lemah. "Orang muda yang gagah, melihat deretan nama para gurumu, engkau telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, dan kiranya engkau tidak perlu gentar menghadapi para pendeta Lama yang murtad dan sesat itu. Kenapa engkau masih ingin minta bantuanku?” Hay Hay menarik napas panjang. Kini dia tidak boleh berpura-pura lagi, harus menceritakan segata hal dengan sejujurnya. "Locianpwe, sesungguhnya saya tidak maju sendiri menghadapi para pendeta Lama, melainkan berdua dengan sahabat baik saya itu, dan diapun seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, baik ilmu silat maupun ilmu sihir. Namun, tetap saja kami merasa khawatir karena kami berada di Tibet, bukan daerah kami. Apa lagi kalau diingat bahwa daerah ini berada dalam kekuasaan Dalai Lama yang agaknya terpaksa kami hadapi sebagai lawan." Kim Mo Siankouw rnengerutkan alisnya dan nampak terkejut. "Memusuhi Dalai Lama? Hemm, orang muda, sungguh mengejutkan sekali ucapanmu itu. Kenapa engkau dan sahabatmu memusuhi Dalai Lama?" "Bukan kami yang memusuhi, melainkah Dalai Lama sendiri yang sejak lahirnya sahabat saya itu, selalu mengganggu dan hendak menculik sahabat saya. Ketahuilah, locianpwe, sahabat saya itu bernama Pek Han Siong dan sejak lahir dia selalu dicari dan hendak diculik para pendeta Lama atas perintah Dalai Lama. Sahabatku itu dahulu dlsebut Sin-tong (Anak AJaib) yang menurut pendapat para pendeta Lama adalah seorang calon Dalai Lama!" "Hemm, kiranya Sin-tong? Putera dari ketua Pek-sim-pang di Nam-co itu? Kami sudah mendengar akan peristiwa itu! Jadi, sahabatmu itukah Sin-tong? Teruskan ceritamu, orang muda. Sungguh ceritamu mulai menarik hatiku." Kim Mo Siankouw kini benar-benar tertarik. Ia sudah mendengar akan Sin-tong yang pernah dicari oleh para pendeta Lama. Ia sendiri merupakan sahabat Dalai Lama dan ia sendiri tahu bahwa Dalai Lama mencari Sin-tong bukan dengan niat buruk. "Keluarga Pek tidak merelakan putera mereka diambil oleh para pendeta Lima." Hay Hay bercerita, "Sampai dewasa, Han Siong bersembunyi dan dia menjadi seorang yang berilmu tinggi. Akan tetapi para pendeta Lama itu agaknya sampai kini masih terus mengejarnya. Akhir-akhir ini, muncul tiga orang pendeta Lama di kota Hok-lam dan secara jujur mereka mengatakan bahwa mereka diutus oleh Dalai Lama untuk mengundang Pek Han Siong. Karena tidak ingin dia diganggu terus, Han Siong dan saya bekerja sama. Dia pura-pura terpengaruh oleh sihir tiga orang pendeta Lama itu dan menurut saja dibawa ke daerah ini. Saya diam-diam membayanginya. Maka terjadilah pertemuan antara saya dengan adik Mayang. Mendengar akan kesaktian locianpwe, juga melihat kehebatan adik Mayang yang tidak mempan sihir para Pendeta Lama. maka saya memberanikan diri untuk mohon bantuan lo-cian-pwe untuk menghadapi para pendeta, terutama untuk membujuk Dalai Lama agar tidak lagi mengejar-ngejar sahabat saya Pek Han Siong itu." Kim Mo Siankouw menarik napas panjang. "Sungguh aneh. Ketahuilah orang muda, bahwa Gunga Lama, Janghau Lama dan Pat Hoa Lama itu adalah tiga orang pendeta Lama tokoh-tokoh besar di Tibet yang memberontak terhadap Dalai Lama. Mereka telah dihadapi para pengikut Dalai Lama, gerombolan mereka sudah dihancurkan dan mereka melarikan diri. Sungguh aneh sekali kalau sekarang mereka itu mengaku utusan Dalai Lama untuk mengundang Pek Han Siong. Hemm. tentu ada maksud tertentu yang tidak sehat. Dan sahabatmu itu sekarang seorang diri berada di antara mereka, tentu dibawa ke puncak Bukit Bangau dan hal ini berbahaya sekali. Baiklah, karena tertarik oleh peristiwa ini, juga karena aku adalah sahabat baik Dalai Lama yang agaknya nama besarnya akan di cemarkan, aku akan membantumu. Memang, ketika Dalai Lama mendapatkan ilham bahwa calon Dalai Lama yang baru telah terlahir sebagai Sin-tong, tentu saja dia berusaha menarik Sin-tong untuk dididik sebagai calon Dalai Lama. Akan tetapi hal itu terjadi dengan suka rela, dengan cara damai, tidak ada pemaksaan sama sekali. Kalau ada pemaksaan terhadap Pek Han Siong, hal itu tidak sesuai dengan sikap Dalai Lama dan merupakan hal yang tidak wajar. Nanti kalau matahari telah naik tinggi, aku akan menemanimu naik ke Bukit Bangau. Sekarang, engkau boleh beristirahat dulu, orang muda. Mayang, engkau persiapkan sebuah kamar untuk tamu kita."   Tentu saja Hay Hay menjadi girang sekali dan menghaturkan terima kasih, lalu mengikuti Mayang meninggalkan ruangan itu menuju ke sebelah dalam bangunan besar itu. "Nah, ini kamarmu, engkau boleh beristirahat sekarang," kata Mayang ketika mereka tiba di sebuah kamar tamu yang sudah bersih karena memang di situ terdapat kamar-kamar tamu yang siap pakai. Melihat sikap Mayang, Hay Hay tersenyum dan mengerutkan alisnya. "Mayang, aku berterima kasih kepadamu. Gurumu suka membantu kami, semua ini berkat engkau, Mayang. Kalau tidak bertemu denganmu, bagaimana mungkin aku bertemu dengan subomu." Akan tetapi, dengan cemberut, gadis itu berkata singkat, "Tidak usah berterima kasih kepada aku seorang gadis yang bodoh!" katanya dan iapun membalikkan tubuhnya dan lari meninggalkan Hay Hay. Pemuda ini terbelalak, lalu cepat mengejar. Mayang memasuki taman bunga yang indah, lalu duduk di atas bangku di dekat kolam ikan emas. Mendengar ada suara di belakangnya, ia membalik dan ternyata Hay Hay telah berdiri di belakangnya. "Mau apa engkau ke sini? Engkau disuruh beristirahat!" kata Mayang, suaranya mengandung keheranan, akan tetapi juga masih ketus dan terutama sekali pandang matanya tidak menyamankan rasa hati Hay Hay. "Wah, bagaimana aku dapat beristirahat kalau engkau seperti ini, Mayang? Suaramu yang ketus akan terus meledakledak dalam telingaku, wajahmu yang cemberut akan terus menghantuiku, dan pandang matamu seperti hendak mencekik leherku. Amboi, dewi yang jelita, apakah gerangan dosa hambamu ini maka paduka marah-marah kepada hamba?” Akan tetapi sekali ini Mayang tidak tertawa melihat ulah Hay Hay, bahkan kerut di keningnya makin mendalam dan mulutnya yang cemberut menjadi semakin meruncing. Dengan gerakan marah ia membuat dua kuncir tebal yang tadinya bergantung di depan dada, melayang dan berpindah ke punggungnya. Mata yang sipit itu basah, hidung yang agak besar itu cupingnya bergerak lembut, mulut yang kecil kemerahan itu membentuk bundaran runcing, kedua pipi yang putih mulus dan biasanya kemerahan itu kini menjadi merah padam. Akan tetapi bagi Hay Hay nampak semakin cantik manis saja! "Tidak perlu menjual rayuan! Aku juga tahu bahwa aku seorang gadis bodoh dan tolol, tidak sehebat engkau ini pendekar jagoan yang serba bisa!" "Astaga! Marah benar-benar ini namanya! Mayang sayang, siapa sih yang mengatakan bahwa engkau gadis. bodoh dan tolol? Biar kugampar mulutnya dia yang berani memakimu seperti itu!" Gadis itu tadinya memutar tubuh membelakangi Hay Hay yang hanya dapat mengagumi pinggulnya yang bulat besar membusung. Tiba-tiba ia membalik dan sepasang kuncirnya ikut pula melayang ke depan lagi. Secepat gerakan pecutnya, suaranyapun meledak dalam serangan yang mendadak dan mengejutkan. "Engkau yang menghina dan memaki aku!" Hay Hay memandang bengong. "Aku? Ya ampun dewiku! Aku menghina dan memakimu? Akan kupukuli kepala ini kalau berani! Engkau telah menolongku, engkau telah bersikap ramah dan baik, engkau begini manis dan jelita, engkau sahabat baikku. Bagaimana mungkin aku menghina dan memakimu?” "Engkau masih berani menyangkal? Bukankah, ketika engkau bertemu dengan aku, engkau berlagak bodoh? Engkau berlagak seperti seorang pemuda yang lemah? Bukankah itu berarti bahwa engkau telah mempermainkan aku, bahwa engkau telah menganggap aku bodoh dan karenanya menghinaku? Hayo katakan! Hayo katakan bahwa engkau tidak menganggapku bodoh! Engkau telah mempermainkan aku, membikin aku merasa bodoh dan malu bukan main! Ihhhh…… ingin aku menghajarmu!" Baru Hay Hay mengerti dan diam-diam diapun menyesal. Dia bukan bermaksud mempermainkan gadis ini, sama sekali tidak. Kalau dia berpura-pura, hal itu adalah karena dia memang ingin menyembunyikan kepandaiannya, tidak ingin diketahui bahwa dia memiliki ilmu kepandaian. Hal ini penting baginya karena bukankah dia sedang membayangi para pendeta itu, dan bukankah dia sedang bertugas untuk menyelidiki rahasia para pendeta Lama? Tadipun di depan Kim Mo Siankouw, karena terpaksa saja dia harus mengeluarkan ilmunya, karena dia tidak mungkin dapat mengelak lagi setelah menghadapi pengeroyokan lima orang pendeta Lama yang lihai. Apa lagi karena agaknya mata Kim Mo Siankouw tajam sekali, dapat menduga bahwa dia seorang yang memiliki kepandaian. Dan diapun kini maklum bahwa tentu saja Mayang merasa dipermainkan. "Aduh, Mayang, maafkanlah aku. Sungguh mati, demi Langit dan Bumi aku bersumpah, bukan maksudku mempermainkan engkau, sayang. Memang terus terang saja, tadinya aku ingin menyembunyikan kepandaianku, bukan hanya darimu, akan tetapi juga dari subomu dan dari semua orang. Ingat bahwa aku mempunyai tugas penting bersama Han Siong, menyelidiki keadaan para pendeta Lama. Kalau aku memperlihatkan kepandaian, tentu akan menghadapi banyak kesulitan. Sungguh mati, Mayang, aku tidak bermaksud menghinamu. Kalau engkau merasa begitu, maukah engkau mengampuni aku, sayang? Lihat, aku jujur, aku mau minta ampun, kalau perlu aku akan berlutut di depan kakimu untuk minta ampun. Mayang, ampunkan aku." Dan Hay Hay benar benar menjatuhkan diri berlutut di depan gadis itu. Tentu saja Mayang menjadi terkejut sekali dan cepat dia membalikkan tubuhnya sehingga Hay Hay berlutut di belakang sepasang bukit pinggul yang besar itu. “Tai-hiap, engkau….. engkau bangkitlah, jangan berlutut!" katanya, suaranya tidak begitu ketus lagi biarpun masih kering. “Ampun! Engkau menyebut aku tai-hiap lagil Ya ampun, Mayang, kalau engkau tidak mau menyebut namaku dan mengatakan bahwa engkau mengampuni aku, sampai mati aku tidak akan bangkit dan akan berlutut terus sampai dunia kiamat!"   Mau tidak mau Mayang tersenyum sendiri mendengar ini. "Aku tidak percayar Mana kedua lututmu kuat bertahan kalau menanti sampai dunia kiamat!" Legalah hati Hay Hay mendengar ucapan yang nadanya sudah mengajak berkelakar itu. “Tentu akan kuat, asal engkau juga terus berdiri di depanku. Kita sama-sama lihat saja siapa yang kuat dan siapa yang tidak. Hayo, Mayang, katakan bahwa engkau suka mengampuni aku. Aku berjanji bahwa selama hidupku, aku tidak akan berpura-pura bodoh lagi kepadamu!" Senyum di bibir gadis itu makin melebar walaupun ia belum memutar tubuh. "Huh, siapa mau makan akalmu? Berpura-pura bodohpun tidak ada gunanya karena aku sudah tahu!" "Sudah tahu bahwa aku bodoh?" "Sudah tahu bahwa engkau pan……dir!" Hay Hay cemberut. Disangkanya gadis itu akan berkata "pandai", tidak tahunya berubah menjadi "pandir". "Nah, engkau sudah membalas memaki aku. Sudah satu lawan satu, kan? Mayang, hayolah, katakan bahwa engkau mengampuni aku. Kedua lututku sudah mulai nyeri dan lelah nih!" Mayang tidak dapat menahan ketawanya lagi. Ia membalik dan tersenyum. "Baiklah, Hay Hay, aku memaafkanmu. Sejak tadipun aku sudah memaafkanmu, kalau tidak begitu, tentu aku tidak akan sudi bicara denganmu." Hay Hay bangkit berdiri dan mereka saling pandang dengan wajah berseri. "Akupun sudah menduga bahwa engkau tentu akan suka memaafkan aku, Mayang. Seorang gadis yang manis dan jelita seperti engkau ini sudah pasti memiliki watak yang baik.” "Huh, merayu lagi! Sekali diberi kesempatan, engkau tentu akan merayu. Hay Hay, aku masih merasa penasaran. Engkau begini baik kepadaku, akan tetapi mengapa engkau tega mempermainkan aku? Bahkan ketika kita berjalan melalui tebing itu, engkau pura-pura ketakutan sehingga terpaksa harus kugandeng tanganmu. Mengapa engkau begitu kejam mempermainkan aku?" Hay Hay tersenyum. "Bukan mempermainkanmu, Mayang. Pertama-tama aku hanya ingin menyembunyikan keadaan diriku demi keamanan dan kepentingan penyelidikanku. Akan tetapi, melihat engkau semanis ini, aku berpura-pura dan ,ketika engkau menggandeng tanganku, hemmm…… tanganmu begitu lembut, lunak dan hangat sehingga aku tidak ingin melepaskannya " "Ihhh! Engkau memang mata keranjang tak ketulungan lagi!" Mayang berkata, akan tetapi mukanya berubah merah sekali dan untuk menutupi perasaannya yang terguncang, agar jangan sampai salah tingkah, iapun tertawa. Dan sejak detik itu, hati Mayang telah jatuh cinta kepada pemuda yang demikian pandai merayu dan menyenangkan hatinya. Ia memang sudah merasa suka ketika bertemu dengan Hay Hay, dan rasa suka itu kini ditambah rasa kagum melihat betapa Hay Hay memiliki ilmu kepandaian yang demikian tinggi, maka timbullah perasaan. "Sudahlah, Hay Hay. Engkau tadi disuruh beristirahat. Engkau menghadapi tugas beristirahat. Engkau menghadapi tugas berat dan berbahaya. Beristirahatlah agar aku jangan sampai ditegur subo kalau melihat kita bercakap-cakap di sini." Hay Hay maklum bahwa seorang seperti Kim Mo Siankouw tentu memiliki watak aneh dan tidak mengherankan kalau ia bersikap kadang-kadang keras luar biasa. Dia tidak ingin menyusahkan Mayang, maka diapun lalu meninggalkan gadis itu, menuju ke kamar yang sudah disediakan untuknya. *** Tiga orang pendeta Lama yang membawa Han Siong dari Hok-lam sampai keperbatasan Tibet itu memang merupakan tokoh-tokoh besar di Tibet. Kim Mo Siankouw sudah mengenal mereka sebagai tiga orang tokoh yang dahulu menjadi pembantu-pembantu Dalai Lama kini menjadi tiga orang pimpinan sekelompok pendeta Lama yang memberontak terhadap Dalai Lama. Mula-mula, jumlah mereka yang memberontak ini tidak kurang dari dua ratus orang. Akan tetapi setelah Dalai Lama dan para pengikutnya yang terdiri dari banyak orang pandai menghancurkan pemberontakan itu, jumlah mereka paling banyak tinggal lima puluh orang lagi. Gunga Lama, Janghau Lama dan Pat Hoa Lama mengajak Han Siong naik ke puncak Bukit Bangau. Han Siong masih terus bersandiwara, pura-pura tunduk terhadap pengaruh sihir dan dia mengikuti mereka sambil diam-diam memperhatikan lingkungan bukit itu. Ketika melihat puluhan orang pendeta Lama di puncak bukit, diam-diam Han Siong merasa terkejut dan heran. Juga dia khawatir sekali. Bagaimana Hay Hay dapat terus membayanginya kalau puncak bukit ini terdapat demikian banyaknya pendeta Lama? Akan tetapi, dia terus mengikuti dan dia mendengar betapa Pat Hoa Lama memerintahkan lima orang pendeta Lama untuk turun bukit dan mencari gadis bernama Mayang. "Ia seorang gadis manis yang pekerjaannya menggembala dan mengawal pengiriman ternak. Tangkap gadis itu dan bawa ke sini, jangan melukainya, apa lagi membunuhnya!" demikian pesan Pat Hoa Lama kepada lima orang muridnya. Kiranya pendeta yang batinnya sesat dan menjadi hamba nafsunya sendiri itu masih merasa penasaran karena gadis yang membuatnya tergila-gila itu terlepas dari tangannya. Setelah memerintahkan lima orang murid itu, Pat Hoa Lama dan dua orang suhengnya membawa Han Siong masuk ke dalam bangunan induk di puncak itu. Mereka mengajak pemuda itu duduk di dalam sebuah ruangan yang luas dan menghadapi pemuda yang duduk santai dan nampak tidak bersemangat itu. "Pek Han Siong," terdengar Gunga Lama berkata, suaranya mengandung penuh wibawa dan sinar mata tiga orang itu menatap wajah Han Siong dengan dorongan tenaga sihir yang amat kuat. Han Siong merasa betapa jantungnya terguncang dan seluruh tubuhnya tergetar.   Dia terpaksa menyerah, karena kalau dia mempergunakan kekuatan pada kalung kemalanya, dia khawatir kalau rahasianya ketahuan. Diapun memejamkan matanya dan merasa betapa keadaan sekelilingnya berputaran dan dalam keadaan setengah sadar itu dia mendengar suara yang berwibawa itu. "Pek Han Siong, mulai detik ini engkau adalah calon Dalai Lama! Ingat baik-baik, sejak lahir engkau sudah ditakdirkan untuk menjadi Dalai Lama! Engkau akan kami angkat menjadi Dalai Lama dan upacara pengangkatannya dilaksanakan siang nanti. Sekarang, engkau beristirahatlah, tidurlah di kamar yang sudah dipersiapkan, dan terimalah nasibmu yang mengangkat dirimu menjadi calon Dalai Lama" Setengah terpaksa dan setengah pula sadar, Han Siong menjawab, "Saya mentaati…..” Gunga Lama dan dua orang sutenya lalu bangkit. Gunga Lama menghampiri Han Siong, memegang lengannya dan pemuda itu dituntun ke sebuah kamar. Dia lalu disuruh memasuki kamar. Kamar itu cukup mewah dan terdapat sebuah pembaring di tengah kamar. Han Siong yang merasa lesu dan lelah, menghampiri pembaringan lalu merebahkan diri, sebentar saja pulas! Tiga orang pendeta Lama itu lalu memanggil anak buah mereka. "Jaga dia baik-baik. Kalau dia bergerak dan sadar, beritahu kepada kami!" Kemudian tiga orang pendeta Lama ini sibuk di dalam sebuah ruangan sembahyang, mempersiapkan upacara sembahyang besar untuk pengangkatan Pek Han Siong menjadi Dalai Lama! Sudah dipersiapkan pula pisau untuk menggunduli kepala Han Siong, juga jubah pendeta Dalai Lama yang tersulam indah, bahkan juga sebatang tongkat komando sebagai tanda bahwa dia adalah Dalai lama yang berkuasa penuh! Setelah matahari naik tinggi dan dari atap yang terbuka sinar matahari menimpa gambar pat-kwa (segi delapan) yang berada di atas meja sembahyang, tepat di tengahnya tiga orang pendeta lama itu lalu menggugah Han Siong yang tidur nyenyak. Pemuda itu terbangun dan teringat akan keadaannya. Akan tetapi dia dapat segera membiarkan dirinya hanyut lagi dalam gelombang kekuatan sihir, akan tetapi diam-diam dia menggunakan tangan kiri untuk menekan kalung kemala ke dadanya sehingga dia tidak begitu tenggelam ke dalam gelombang pengaruh sihir tiga orang kakek itu. Ketika dia dituntun dan disuruh duduk bersila di atas kasur bundar di depan meja sembahyang, dia melihat semua perlengkapan upacara sembahyang itu. "Losuhu, apa yang akan sam-wi (kalian bertiga) lakukan kepada saya?" Han Siong bertanya, menekan suaranya sehingga terdengar wajar saja. Pada hal dia merasa gelisah dan menduga-duga di mana adanya Hay Hay. Dia mengharapi kan Hay Hay berada di dekat situ kalau sampai dirinya terancam bahaya. Pertanyaan itu dia ajukan agar dia tahu apa yang akan mereka lakukan terhadap dirinya. Tiga orang pendeta itu saling pandang sejenak, agaknya terkejut dan heran melihat bahwa pemuda itu masih mampu mengajukan pertanyaan, hal yang membuktikan bahwa pemuda itu tidak sepenuhnya berada di bawah pengaruh sihir mereka. Akan tetapi, mereka tidak merasa khawatir. Pemuda itu telah berada di dalam cengkeraman mereka, telah berada di sarang mereka. Andaikata tidak terpengaruh sihirpun, tidak mungkin akan mampu meloloskan diri lagi. "Begini, Sin-tong," kata Gunga Lama, sengaja menyebut Sin-tong kepada pemuda itu. "Sejak engkau dilahirkan, engkau sudah ditakdirkan menjadi Dalai Lama. Oleh karena itu, kami hendak mengadakan upacara sembahyang besar untuk mengangkatmu menjadi Dalai Lama yang baru." “Tapi….. bukankah masih ada Dalai Lama….?” "Hemm, dia sudah tidak patut menjadi Dalai Lama, sudah tersesat dan menyeleweng. Engkaulah yang seharusnya diangkat menjadi Dalai Lama yang baru, dan kita akan menggulingkan Dalai Lama yang tua itu. Engkau yang berhak menjadi Dalai Lama, menguasai seluruh Tibet!" kata Gunga Lama. Biarpun tidak memperlihatkan sesuatu pada mukanya, namun diam-diam Han Siong terkejut dan kini mengertilah dia, atau dia sudah dapat menduga apa yang dilakukan tiga orang ini. Kiranya, dia bukan dihadapkan kepada Dalai Lama, melainkan oleh tiga orang ini hendak diangkat menjadi Dalai Lama yang baru, Dalai Lama tandingan dengan maksud merebut kedudukan Dalai Lama! Dia akan dijadikan Dalai Lama boneka, dan tentu selanjutnya semua kekuasaan berada di tangan tiga orang ini. "Tidak, losuhu, aku tidak mau menjadi Dalai Lama!" Tiba-tiba Han Siong berseru dan terpaksa dia tidak dapat lagi bersandiwara. Biarpun tadinya dia sudah hampir hanyut di dalam gelombang tenaga sihir mereka, namun berkat pengerahap tenaga batinnya dibantu khasiat kalung kemala, dia dapat meronta dan melepaskan diri dari cengkeraman sihir dan diapun meloncat berdiri. Dia merasa terlalu ngeri membayangkan bahwa dia dipaksa menjadi Dalai Lama untuk maksud pemberontakan! Tiga orang pendeta itu terkejut setengah mati. Tak mereka sangka bahwa pemuda itu dapat melepaskan diri dari belenggu sihir mereka. Tahulah mereka bahwa mereka terlalu memandang rendah kepada pemuda ini sehingga mereka lengah dan kurang kuat menguasainya. "Pek Han Siong, engkau tidak boleh menolak lagi!" bentak Gunga Lama dan dia sudah memegang tongkatnya yang memakai kelenengan hitam. Juga Janghau Lama sudah meloloskan sabuknya yang mengerikan, yaitu sabuk hidup, seekor ular putih. Dan Pat Hoa Lama juga sudah mengeluarkan sepasang cakar harimau yang merupakan senjatanya yang ampuh. Mereka membentuk segi tiga mengepung Han Siong. Han Siong maklum bahwa dirinya berada dalam bahaya. Selain tiga orang kakek ini yang dia tahu amat lihai, juga kini puluhan orang pendeta yang melihat betapa dia telah terlepas dari pengaruh sihir, sudah mengepung ruangan itu dengan senjata di tangan!   "Losuhu sekalian, harap jangan memaksaku," kata Han Siong untuk mencari waktu sambil menanti munculnya Hay Hay. "Kalau cu-wi suhu hendak memberontak kepada Dalai Lama, silakan akan tetapi jangan membawa-bawa aku. Aku tidak mempunyai urusan apapun dengan para pendeta Lama di Tibet dan sejak kecilpun aku tidak suka dijadikan Dalai Lama." "Orang muda, percuma saja engkau menolak. Lihat, engkau telah kami kepung dan tak mungkin engkau akan mampu meloloskan diri dalam keadaan hidup!" bentak Gunga Lama sambil memberi isarat kepada dua orang sutenya. Mereka mencoba untuk menggertak dan menakut-nakuti pemuda itu. Mereka tidak tahu bahwa Han Siong adalah seorang pemuda gemblengan yang tentu saja tidak gentar menghadapi ancaman. Bagi seorang pemuda berjiwa pendekar seperti dia, kematian bukan merupakan suatu hal yang terlalu menakutkan. Mati dalam kebenaran bahkan membanggakan hati, sebaliknya hidup dalam keadaan sesat merupakan hal yang dipantang sekali. “Bagaimanapun juga, kalian tidak akan dapat memaksaku untuk menjadi Dalai Lama dan membantu pemberontakan kalian." kata pula Han Siong. Tiga orang pendeta Lama itu ternyata sudah menyimpan senjata masing-masing dan kini, sesuai dengan isarat yang dilakukan Gunga Lama, mereka bertiga sudah menubruk dari tiga jurusan untuk menangkap Han Siong. Akan tetapi, pemuda ini sudah siap siaga. Dia cepat mengelak dan membalas dengan ayunan kedua lengannya dalam ilmu Pek-hong Sin-ciang (Tangan Sakti Pelangi Putih) menangkis ke tiga jurusan. "Wuuuttt…… wuuuttt ….!" Kedua lengan itu mengeluarkan angin pukulan yang amat kuat sehingga tiga orang penyerang itu terdorong ke belakang. Mereka makin terkejut dan tiba-tiba mereka mengeluarkan teriakan yang parau rendah sekali, lalu teriakan itu meningkat menjadi tinggi. Mereka menggerak-gerakkan kedua tangan ke arah Han Siong. Pemuda ini merasa betapa seluruh tubuhnya menggigil. Selagi dia mengerahkan tenaga batinnya, terdengar pula suara gemuruh dan ternyata para pendeta Lama yang mengepung ruangan itu juga sudah mengeluarkan suara teriakan seperti itu. Tidak begitu kuat, akan tetapi karena keluar dari perut puluhan orang. Tentu saja menjadi kuat bukan main dan tubuh Han Siong semakin menggigil. "Hay Hay !" Han Siong masih ingat untuk memanggil kawannya itu. Akan tetapi tiga orang pendeta lama itu sudah menubruk dan dia tidak mampu menghindarkan diri lagi ketika tubuhnya ditotok dan diapun roboh tak berdaya. Pengaruh sihir menguasainya lagi dan pikirannya menjadi gelap. Han Siong tidak sadar. Dia tidak tahu betapa pakaiannya dilucuti dan sebagai penggantinya, dia dibungkus dengan pakaian pendeta Dalai Lama yang hanya merupakan kain sutera yang dilibat-libatkan di tubuhnya. Dia juga tidak melihat betapa sembahyangan sudah diatur di atas meja, lilin-lilin besar dinyalakan dan dupa dibakar. Ketika Han Siong sadar, dia mendapatkan dirinya sudah duduk bersila di depan meja sembahyang, seperti tadi sebelum dia memberontak. Biarpun kepalanya agak pening, namun dia sadar! Dia melirik ke arah kalung di lehernya. Batu kemala itu masih ada. Agaknya para pendeta tidak mencurigai batu kemala itu maka dibiarkannya tergantung di lehernya, tidak dirampas dan berkat kekuatan batu kemala itulah maka kini Han Siong masih dapat sadar kembali dari pengaruh sihir. Akar, tetapi ketika dia hendak menggerakkan tubuh, ternyata kaki tangannya tidak dapat dia gerakkan. Dia dalam keadaan tertotok! Ini lebih hebat dari pada pengaruh sihir. Pengaruh sihir masih dapat dilawan kekuatan batinnya dibantu khasiat batu kemala. Akan tetapi totokan itu membuat dia benar-benar tak berdayar tak mampu berkutik lagi. Dia juga melihat betapa pakaiannya sudah berganti pakaian pendeta Lama! Jantungnya berdebar tegang. Apa lagi ketika dia melihat tiga orang pendeta Lama itu berlutut di dekatnya, menghadap meja sembahyang dan berdoa. Doa yang terdengar aneh dan tidak dimengertinya. Kemudian, tiga orang itu selesai sembahyang dan Gunga Lama memegang sebatang pisau yang mengkilap saking tajamnya. Janghau Lama memegang sebuah bokor emas berisi air kembang mulailah Janghau Lama membasahi rambut kepalanya! Dan Pat Hoa Lama memegangi kepalanya. Tahulah dia. Dia akan digunduli! Dia akan dipaksa menjadi pendeta. Menjadi Dalai Lama! Akan tetapi apa daya? Dia tidak mampu bergerak, bahkan ketika dia hendak mengeluarkan suara untuk membantah, suaranya tidak keluar! Lehernya sudah tertotok pula, mcmbuat dia tidak mampu bersuara! Kini Gunga Lama mempergunakan tangan kirinya menjambak rambut kepalanya, mulutnya mengeluarkan doa pendek dan tangan kanan yang memegang pisau tajam sudah siap untuk mencukur rambutnya! Beberapa detik lagi dia akan gundul. Gunga Lama menggerakkan tangan kanan yang memegang pisau dan ….."Tahan! Gunga Lama, engkau tidak boleh melakukan hal itu!" Bentakan suara wanita yang nyaring ini membuat tiga orang pendeta itu terkejut bukan main. Mereka mengangkat muka dan semakin kaget melihat munculnya seorang wanita tua yang masih cantik, bersama seorang pemuda dan seorang gadis manis yang bukan lain adalah Hay Hay dan Mayang. Mereka mengenal pula Kim Mo Siankouw karena dahulu mereka sering melihat wanita sakti ini menjadi tamu dan sahabat Dalai Lama. "Kim Mo Siankouw, engkau tidak boleh mencampuri urusan kami!" bentak Gunga Lama dengan marah tanpa melepaskan rambut kepala Han Siong yang sudah dijambak tangan kirinya. Tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring sekali, mengejutkan semua orang yang berada di situ. Suara melengking itu keluar dari mulut Hay Hay. Melihat, betapa rambut kepala sahabatnya terancam musnah, Hay Hay sudah mengerahkan seluruh kekuatan sihirnya dan dia mengeluarkan suara melengking itu untuk menjadi daya tarik pertama, kemudian disusul teriakannya sambil menudingkan telunjuknya ke arah meja sembahyang, dengan wajah nampak kaget dan mata terbelalak, dia berseru, "Lihat, meja sembahyang itu terbakar! Ada kebakaran! Kebakaran! Awasss…… !" Dia sendiri melompat ke depan. Semua orang terkejut. Tiga orang pendeta Lama itu menengok dan merekapun terkejut melihat betapa meja sembahyang yang besar itu telah berkobar dimakan api! Juga para pendeta Lama lainnya melihat kebakaran itu. Bahkan Mayang sendiri juga melihat meja itu terbakar! Saking kaget dan gugupnya, Gunga Lama melepaskan rambut kepala Han Siong yang dijambaknya, juga Pat Hoa Lama melepaskan kepala pemuda itu yang dipegangnya. Mereka bertiga melompat berdiri menghampiri meja sembahyang dengan maksud untuk memadamkan api yang berkobar besar, yang mengancam menimbulkan kebakaran besar di ruangan itu.   Pada saat itu, setelah mereka bertiga tiba di dekat meja sembahyang mereka melihat bahwa tidak ada kebakaran apapun di sana! Mereka terkejut dan menyadari bahwa mereka telah dipermainkan orang, akan tetapi ketika mereka membalikkan tubuh, mereka sudah terlambat. Hay Hay sudah mempergunakan kesempatan itu untuk meloncat ke dekat Han Siong dan membebaskan totokan pada tubuh sahabatnya itu. Han Siong terbebas dan diapun bersama Hay Hay meloncat ke dekat Kim Mo Siankouw. Bukan main marahnya tiga orang pendeta itu. Gunga Lama menudingkan tongkatnya kepada wanita itu dan membentak, "Kim Mo Siankouw, sungguh bagus perbuatanmu ini! Kami selamanya tidak pernah mencampuri urusanmu, akan tetapi hari ini engkau datang untuk menghina kami!" Dengan sikap tenang namun sinar matanya mencorong, Kim Mo Siankouw rnenjawab, "Gunga Lama, mengapa engkau tidak bercermin lebih dulu sebelum mencela orang lain? Pin-ni hendak bertanya, apa yang telah kalian lakukan terhadap muridku Mayang ini? Ketika kalian memberontak terhadap Dalai Lama, pin-ni tidak ambil perduli karena itu bukan urusanku. Akan tetapi, kalian berniat keji terhadap Mayang, dan kalian hendak memaksa pemuda ini menjadi Dalai Lama, untuk kalian peralat dalam pemberontakan kalian. Tentu saja pin-ni tidak mau tinggal diam saja!" "Kalian datang mengantar nyawa!" Gunga Lama berteriak marah, lalu mengangkat tongkatnya dan memberi aba-aba kepada anak buahnya. "Serbu, dan bunuh mereka semua! Tangkap Sin-tong…..!" Akan tetapi, kini Han Siong yang sudah menerima pedang pusaka Gin-hwa-kiam dari tangan Hay Hay, di samping Hay Hay yang juga memegang pedang pusaka Hong-cu-kiam, sudah siap menyambut serangan mereka. Kim Mo Siankouw juga sudah siap dengan sebatang pedang di tangannya, sebatang pedang pusaka yang disebut Klm-lian-kiam (Pedang Teratai Emas) karena pada gagangnya yang terbuat dari emas itu terukir bunga teratai. Juga Mayang sudah siap dengan senjatanya yang khas, yaitu sebatang cambuk! Gunga Lama yang merupakan tokoh pertama, segera menyerang Kim Mo Siankouw dengan tongkat saktinya yang memakai kelenengan. Ketika tongkat menyambar, terdengar suara kelenengan yang nyaring, akan tetapi sinar pedang di tangan Kim Mo Siankouw menyambut dengan tangkisan, bahkan sinar pedang membalas cepat sehingga amat mengejutkan Gunga Lama. Keduanya segera bertanding dengan seru, dan segera bermunculan banyak pendeta Lama membantu sehingga Kim Mo Siankouw dikeroyok. Janghau Lama menerjang ke arah Hay Hay dengan sabuk ular putihnya. Hay Hay pura-pura ketakutan. "Hiiihh, kenapa senjatamu ular? Menjijikkan sekali!" katanya sambil mengelak, akan tetapi sambil membalik, pedangnya menyambar dan nampak sinar emas meluncur ke arah ular putih itu. Janghau Lama terkejut dan cepat menarik kembali ularnya sehingga ular itu luput dari sambaran sinar pedang. Hay Hay tertawa dan menyerang lagi. Namun, lawannya cukup tangguh dan serangan balasan dengan ular berbisa itu amat berbahaya, maka biarpun dia tertawa-tawa, Hay Hay bergerak dengan hati-hati. Seperti juga dengan halnya Kim Mo Siankouw, dia segera dikeroyok oleh hampir sepuluh orang pendeta yang membantu Janghau Lama. Han Siong menyambut Pat Hoa Lama yang menggunakan senjata sepasang cakar harimau. Pedang Gin-hwa-kiam di tangannya berubah menjadi gulungan sinar perak dan diapun dikeroyok oleh banyak pendeta. Seperti juga Hay Hay, dia mengamuk dengan pedangnya dan pedang Gin-hwa-kiam mengeluarkan suara berdesing-desing. Dalam beberapa gebrakan saja, Pat Hoa Lama terdesak, namun segera bermunculan delapan orang pendeta Lama yang mengeroyok Han Siong seperti yang terjadi pada Kim Mo Siankouw dan Hay Hay. Melihat betapa gurunya, Hay Hay dan Han Siong sudah terlibat perkelahian dan dikeroyok, Mayang menjadi khawatir akan tetapi juga marah sekali. "Kalian ini pendeta-pendeta sungguh tak tahu malu dan curang sekali! Beraninya hanya main keroyokan!" Setelah membentak dan memaki-maki, gadis lincah ini lalu mengamuk pula di antara para pendeta yang membantu tiga orang tokoh besar itu. Biarpun ruangan itu luas, namun dengan adanya perkelahian keroyokan ini, mereka mulai berpisah. Mayang sendiri tergeser keluar dari ruangan itu, dikeroyok oleh enam orang pendeta Lama yang berusaha keras untuk menangkapnya. Agaknya memang para pendeta pengikut para pendeta Lama pemberontak itu bukanlah pendeta-pendeta sejati, melainkan orang-orang yang pada dasarnya berbatin rendah, dan yang mempergunakan jubah dan kedudukan pendeta sebagai kedok saja untuk menutupi gejolak nafsu mereka yang masih menguasai diri. Perkelahian terjadi semakin seru. Kim Mo Siankouw, Hay Hay, Han Siong dan Mayang harus menghadapi pengeroyokan kurang lebih enampuluh orang yang rata-rata memiliki kepandaian silat yang cukup tinggi sehingga tidak mengherankan kalau mereka itu mulai terdesak. Sudah beberapa orang pengeroyok yang roboh, namun sisanya masih terlalu banyak bagi mereka, dan mereka sudah merasa lelah sekali berkelahi selama hampir satu jam! Untuk melarikan diri, tidak ada kesempatan lagi. Mereka berempat itu kini dikeroyok secara terpisah dan pihak pengeroyok terlampau banyak sehingga jangankan untuk melarikan diri, untuk bersatu dengan kawan-kawan saja mereka tidak sempat sama sekali. Datangnya serangan sepertj hujan dan setiap serangan lawan cukup berbahaya. Terutama sekali Mayang. Biarpun ia lihai dan lincah, namun di antara mereka berempat, ia yang boleh dikata paling lemah. Masih untung baginya bahwa para pengeroyoknya jelas ingin menangkapnya hidup-hidup dan tidak ingin melukainya. Hal ini membuat ia masih mampu bertahan sampai sekian lamanya walaupun ia sudah hampir kehabisan tenaga dan napas Gadis inipun maklum mengapa para lawan itu tidak melukainya dan mengapa pula mereka hendak menangkapnya hidup-hidup. Hal ini membuat ia menjadi semakin marah dan iapun mengamuk mengambil keputusan untuk berkelahi sampai mati. dari pada harus menyerah. Yang terutama membuat ia muak dan hampir tidak tahan, hampir muntah atau pingsan adalah bau keringat para pengeroyoknya! Mereka mengenakan jubah, karenanya tubuh mereka mengeluarkan banyak keringat. Ditambah lagi, agaknya mereka jarang mandi dan jarang berganti pakaian sehingga bau tubuh mereka sungguh memuakkan! Ia sudah terbiasa mencium bau ternak, domba atau sapi, akan tetapi tidak pernah ada yang baunya sebusuk gerombolan orang yang mengeroyoknya itu ! Dengan kemarahan yang meluap dan kenekatan yang luar biasa, Mayang sudah berhasil merobohkan dua orang pengeroyok, akan tetapi tetap saja ia dikeroyok oleh sepuluh orang! Menghadapi pengeroyokan lima atau empat orang saja mungkin saja ia hanya dapat mengimbangi mereka, kini dikeroyok sepuluh! Napasnya sudah memburu dan keringatnya membasahi seluruh tubuh. Cambuknya masih meledak-ledak, akan tetapi ledakannya tidak senyaring tadi, tanda bahwa tenaganya sudah banyak berkurang.   Kim Mo Siankouw adalah seorang wanita sakti. Ilmu kepandaiannya tinggi dan seperti juga Hay Hay dan Han Siong, andaikata tidak dikeroyok oleh demikian banyaknya lawan, tentu Gunga Lama tidak akan mampu menandinginya. Seperti dua orang pemuda sakti itu, ia dikeroyok oleh dua belas orang dan biarpun ia sudah merobohkan tiga orang pengeroyok, tetap saja masih ada sembilan orang pengeroyok yang mcngepung ketat. Tongkat sakti Gunga Lama sendiri amat berbahaya, dan para pembantunya juga merupakan pendeta-pendeta yang dahulunya menjadi jagoan-jagoan dari Dalai Lama. Demikian pula dengan Han Siong dan Hay Hay. Mereka berdua mengamuk, akan tetapi harus mereka akui kebenaran berita yang pernah didengarnya bahwa Tibet merupakan kedung atau gudangnya orang-orang yang berilmu tinggi. Baru sekarang mereka merasakan buktinya. Janghau Lama dan Pat Hoa Lama pasti tidak akan mampu menandingi mereka, akan tetapi dengan pengeroyokan seperti itu, mereka berdua merasa lelah dan juga terdesak. Pada saat yang amat berbahaya bagi empat orang penyerbu itu, terutama bagi Mayang karena gadis ini mulai terhuyung-huyung dan nayris tertangkap, tiba-tiba terdengar bunyi lonceng yang di susul suara doa yang di lakukan banyak orang secara berbareng. Makin lama, semakin nyaring bunyi doa yang di lakukan banyak orang secara berbareng. Makin lama, semakin nyaring bunyi doa yang memanjang itu. Mendengar ini, Gunga Lama dan kawan-kawannya menjadi pucat wajahnya. Pat Hoa Lama yang tadinya mengeroyok Han Siong, begitu mendengar suara itu, segera menyusup lenyap di antara anak buahnya dan dia cepat berloncatan menghampiri Mayang. Ketika itu, Mayang masih di keroyok dan sudah terhuyung-huyung. Tiba-tiba, Pat Hoa Lama meloncat di dekatnya dan menyambar tubuh mayang. Melihat ini, Kim Mo Siankouw mengeluarkan suara teriakan melengking, tubuhnya sudah mencelat meninggalkan Gunga Lama dan kawan-kawannya yang kelihatan bingung, dan ia sudah menghadang di depan Pat Hoa Lama, dengan pedang di tangan. "Pat Hoa Lama, lepaskan murid pin-ni!" bentaknya. "Kim Mo Siankouw, biarkan aku pergi! Muridmu ini hanya kujadikan sandera agar aku dapat meloloskan diri. Kalau engkau menghalangiku, terpaksa kubunuh dulu muridmu ini!" Berkata demikian, Pat Hoa Lama yang memanggul tubuh Mayang mendekatkan cakar harimaunya di kepala Mayang dan diapun melompat pergi. Kim Mo Siankouw tertegun, tak berani bergerak karena ia tahu bahwa kalau ia nekat menyerang, sebelum ia dapat merobohkan Pat Hoa Lama, tentu muridnya akan dibunuh lebih dulu oleh pendeta sesat itu. Sementara itu, Gunga Lama dan kawan-kawannya sudah menyerangnya lagi walaupun mereka berada dalam keadaan ketakutan. Suara itu makin bergemuruh dan tiba-tiba muncullah Dalai Lama dengan para pendeta Lama yang jumlahnya kurang lebih seratus orang! Dengan sikap anggun dan agung Dalai Lama meloncat ke atas meja dan berdiri sambil memegang tongkatnya. Melihat ini, para pendeta pemberontak menjadi panik. Akan tetapi, pada saat itu, para pengikut Dalai Lama sudah menyerbu dan kacaulah keadaan para pemberontak. Gunga Lama yang melihat munculnya Dalai Lama dengan para pengikutnya, menjadi putus harapan dan nekat. Dia menggereng dan biarpun kini para pembantunya terpaksa harus menghadapi para pendeta dari Lasha, dengan marah dan nekat dia lalu menggunakan tongkatnya menyerang Kim Mo Siankouw. Wanita ini menyambut dengan tangkisan pedangnya. “Tranggg!!” pedang itu meleset dan terus meluncur ke arah perut Gunga Lama. Pendeta itu memutar tongkat dan gagang tongkat menangkis pedang, dan pada saat itu, tangan kiri Kim Mo Siankouw menyambar ke arah kepalanya dengan tamparan yang amat dahsyat! Gunga Lama terkejut. Setelah kini tidak di bantu oleh kawan-kawannya, dan wanita sakti itu menyerangnya dengan sungguh-sungguh, dia segera terdesak. Karena tidak dapat menangkis tamparan itu, dia mengelak dengan loncatan mundur, namun Kim Mo Siankouw sudah meloncat dan mengejar dengan sambaran pedang bertubi-tubi. Gunga Lama mencoba untuk menangkis, akan tetapi tiba-tiba tubuhnya mengejang dan dia roboh sambil mendekap dada dengan tangan, tongkatnya terlempar. Ternyata dengan kecepatan kilat, tadi pedang di tangan Kim Mo Siankouw sudah berhasil menembus dada dan jantungnya dan robohlah Gunga Lama dan tewas seketika. Hampir berbareng dengan robohnya Gunga Lama, Janghau Lama juga roboh oleh pedang Han Siong. Janghau Lama juga ditinggalkan kawan-kawannya yang terpaksa menghadapi pengeroyokan para pendeta pengikut Lama yang lebih banyak jumlahnya. Kini Hay Hay mendesak dan Janghau Lama hanya mampu mengelak ke sana-sini karena ular putihnya juga sudah putus lehernya terbabat pedang Hong-cu -kiam. Hay Hay memang suka mempermainkan orang. Kalau dia mau, tentu dia dapat merobohkan lawan ini dengan pedangnya, akan tetapi dia sengaja menyerang ke sana-sini dan membuat kakek yang tinggi kurus itu berloncatan dan mengelak seperti seekor monyet menari-nari. Han Siong yang ditinggalkan lawannya, melihat ini Dia mendongkol. Sahabatnya itu datang hampir terlambat dan nyaris dia menjadi seorang pendeta gundul! Diapun menerjang dan menggerakkan Gin-hwa-kiam ditangannya. Janghau Lama mengeluarkan jerit tertahan dan terjungkal roboh, lehernya hampir putus karena sambaran Gin-hwa-kiam. Hay Hay, kenapa engkau masih juga main-main? Aku hendak menyusul gadis itu!” "Mayang? Ke mana ia? Apa yang terjadi?" Hay Hay terkejut. "Pendeta sialan yang tadi melawanku menangkapnya dan membawanya pergi. Aku hendak mengejarnya!" Setelah berkata demikian, Han Siong lalu melompat dan lari ke arah dilarikannya Mayang oleh Pat Hoa Lama tadi. Akan tetapi tiba-tiba terdengar seruan lembut namun kuat bukan main dari arah kiri. "Heii, orang muda, berhenti kau!" Han Siong terkejut bukan main ketika tiba-tiba kedua kakinya tidak mampu bergerak, seperti tertahan oleh sesuatu! Dia menengok dan melihat seorang pendeta Lama tua berdiri di atas meja, berdiri tegak menonton perkelahian itu dan pendeta itu memegang sebatang tongkat. Melihat dia, Han Siong menduga bahwa tentu ini seorang di antara kawan-kawan Gunga Lama, maka diapun cepat meloncat dengan pedang di tangan, menyerang pendeta tua yang berdiri di atas meja itu. Dengan sikap tenang, pendeta tua itu menggerakkan tongkatnya menangkis. "Tranggg…… !" Akibatnya, tubuh Han Siong terlempar ke belakang oleh tenaga tangkisan yang amat kuat itu. Han Siong terkejut bukan main. Pendeta ini sungguh sakti. Dia melompat lagi maju untuk menyerang, akan tetapi kini pendeta itu mengebutkan lengannya yang terbungkus jubah yang berupa kain dibalutkan di tubuh itu. Angin keras menyambar dan kembali Han Siong terlempar! "Omitohud…. engkau orang muda yang kuat dan tangkas, sayang mau dijadikan Dalai Lama palsu. Engkau tidak boleh diampuni lagi….. " kata pendeta Lama tua itu dan ia pun meloncat turun dari atas meja, tongkatnya melintang di depan dada, siap untuk menerjang Han Siong yang juga sudah siap menjaga diri, tidak lagi berani sembarangan menyerang karena maklum akan kehebatan lawan. “Losuhu, tahan dulu……!” tiba-tiba terdengar bentakan halus dan Kim Mo Siankouw telah meloncat ke tengah-tengah, di antara mereka. "Losuhu, harap jangan menyerang pemuda ini!" . “Pendeta Lama tua itu adalah wakil Dalai Lama yang kalau ada urusan keluar mewakili Dalai Lama sendiri sehingga dia lebih dikenal di tempat umum dari pada Dalai Lama sendiri. Bahkan banyak yang menyebut bahwa dialah Dalai Lama, pada hal hanya wakilnya. "Omitohud….. kiranya Kim Mo Siakouw. Mengapa engkau mencegah pinceng menghukum orang muda yang jahat ini, Siankouw? Mengapa pula engkau melindungi orang yang hendak memberontak kepada pinceng?" . "Siancai…… losuhu salah mengerti. Sejak kapan pin-ni mencampuri urusan losuhu? Akan tetapi kalau pin-ni membiarkan losuhu membunuhnya, maka losuhu jatuh ke dalam dosa yang besar sedangkan pin-ni juga bersalah membiarkan terjadinya pembunuhan atas diri orang yang tidak berdosa. Pemuda ini sama sekali tidak bersekutu dengan para pemberontak, losuhu. Bahkan hampir saja dia menjadi korban, dipaksa menjadi Dalai Lama yang baru untuk dijadikan alasan oleh para pemberontak itu untuk merampas kedudukan. Sejak dia ter lahir , para pendeta Lama mengejar-ngejar dia, dan sekarang hampir saja dia dijadikan alat untuk merampas kedudukan losuhu. Dia adalah Pek Han Siong yang dahulu dijuluki Sin-tong." "Omitohud….. , begitukah? Orang muda she Pek, kalau begitu maafkanlah pin-ceng," kata wakil Dalai Lama yang oleh banyak orang sudah dianggap sebagai Dalai Lama sendiri karena dia memiliki kekuasaan dan wewenang sepenuhnya mewakili Dalai Lama. "Kiranya engkau anak dari Nam-co yang dahulu dicalonkan menjadi pengganti Dalai Lama akan tetapi selalu menolak?" Han Siong memberi hormat, "Sejak dulu sampai sekarang, baik keluarga maupun saya sendiri, tidak mempunyai minat untuk dijadikan Dalai Lama, lo-cian-pwe. Karena itu, tadinya saya ingin menghadap Dalai Lama untuk mohon agar saya tidak dikejar-kejar lagi. Pendeta tua itu tersenyum. "Kami tidak pernah memaksa orang menjadi Dalai Lama orang muda. Biarpun engkau memiliki tanda-tanda sejak dalam kandungan bahwa engkau penitisan Dalai Lama, namun kalau engkau menolak, kami menganggap hal itu sebagai garis nasibmu yang sudah ditentukan dan kami tidak berani melawan takdir. Sudah ada petunjuk untuk memilih calon lain." Sementara itu, pertempuran sudah berakhir. Sisa para pemberontak sudah menyerah dan ditawan. Baru Kim Mo Siankouw bingung mencari Mayang yang tadi ditawan Pat Hoa lama. "Eh, di mana muridku Mayang? Kemana ia dibawa pergi?" “Tadi saya melihat ia dilarikan seorang pendeta Lama dan dikejar oleh Hay Hay." kata Han Siong. "Ah, kalau begitu aku harus mengejar dan mencarinya!" seru Kim Mo Siankouw sambil melompat, akan tetapi ia menoleh kepada pemuda itu. "Ke mana ia dilarikan?" “Ke arah sana, lo-cian-pwe." Kim Mo Siankouw lari cepat menuju ke arah yang ditunjuk Han Siong. Pemuda itupun cepat mengejar karena dia ingin membantu kalau-kalau Hay Hay menghadapi bahaya di sana. *** "Lepaskan aku….. ! Lepaskan….. ah tolooongg….!” "Diam kau!" Pat Hoa Lama cepat menotok leher gadis itu dan Mayang tak mampu berteriak lagi. Tadi ia disambar oleh Pat Hoa Lama yang menotoknya dan memanggulnya lalu melarikannya. Karena lelah dan merasa ngeri, Mayang jatuh pingsah dalam panggulan pendeta sesat itu. Ketika ia siuman, biarpun tidak mampu bergerak, ia segera menjerit-jerit sampai ia terdiam oleh totokan pada lehernya. Pendeta itu menuju ke lereng bukit yang berbatu-batu dimana terdapat banyak guha dan memasuki sebuah di antara guha-guha di bukit kapur itu. Dia menarik sebuah kaitan besi yang tersembunyi di antara tonjolan batu-batu dan terdengar suara keras. Dinding sebelah dalam dari guha itu bergerak dan nampak sebuah lubang cukup dimasuki seorang manusia. Dia menyelinap masuk membawa tubuh Mayang dan mendorong kembali kaitan besi dan batu itupun bergerak lagi menutupi lubang. Dari luar, takkan ada orang dapat menduga bahwa di guha itu ada pintu rahasia. Kiranya di balik batu itu ada ruangan guha yang cukup luas dan di situ terdapat perabot sederhana, tempat tidur dan meja kursi. Bahkan terdapat bahan-bahan makanan. Tempat ini merupakan persembunyian rahasia yang dipersiapkan olehnya kalau-kalau gerakan mereka gagal dan mereka harus melarikan diri dan menyembunyikan diri. Pat Hoa Lama membaringkan tubuh Mayang di atas dipan bambu dan dia duduk di tepi pembaringan lalu tertawa. “Ha-ha-ha, di sini engkau boleh menjerit seseukamu. Dinding ini tidak tembus suara dan tidak akan ada orang yang mampu mendengarmu, ha-ha-ha!” Untuk membuktikan kebenaran ucapannya, Pat Hoa Lama membebaskan totokan pada leher gadis itu sehingga Mayang dapat mengeluarkan suara kembali. Akan tetapi Mayang bukan seorang gadis yang bodoh. Biarpun ia merasa takut dan ngeri, akan tetapi ia tahu bahwa pendeta itu tidak berbohong sehingga selain percuma saja kalau ia menjerit, juga hal ini hanya akan menambah kegembiraan pendeta yang sadis ini. Ia memutar otaknya. Biarpun usianya baru delapan belas tahun, akan tetapi ia seorang gadis yang tidak terkekang, ia bebas menggiring dan mengirim ternak dari satu ke lain daerah sehingga ia banyak mendengar, banyak pula melihat dan iapun bukan seorang gadis yang buta huruf. Kim Mo Siankouw telah mengajarnya membaca dan menulis sehingga ia banyak pula membaca kitab. Ia tahu akan kejahatan orang seperti pendeta sesat ini dan dengan hati ngeri ia pun maklum bahaya apa yang mengancam dirinya. Namun, tidak mungkin subonya mendiamkannya saja. Subonya pasti akan mencarinya. Juga Hay Hay! Tak mungkin Hay Hay diam saja. Ia harus pandai mengulur waktu dan karena ia tidak mampu bergerak, satu-satunya cara hanya melalui percakapan. "Losuhu, engkau adalah seorang pendeta Lama yang hidup suci dan bersih. Mengapa engkau menawanku dan apa yang akan kaulakukan kepada seorang gadis seperti aku?" Pendeta itu menyeringai. Nampak giginya yang tinggal empat buah, besar-besar dan menghitam. "Heh-heh-heh, nona manis! Engkau masih bertanya lagi mengapa kau kutawan? Pertama, karena engkau seorang gadis yang amat manis dan aku tergila-gila kepadamu. Ke dua, engkau adalah murid Kim Mo Siankouw dan bersama gurumu engkau telah membikin gagal rencana kami. Apa yang akan kulakukan kepadamu? Heh-heh, sedang kupikirkan. Aku harus membalas dendam. Engkau dan gurumu telah membasmi dan menghancurkan semua rencana kami. Kawan-kawanku telah tewas. Hem, dosamu besar sekali!" "Akan tetapi, kulihat tadi yang membasmi gerombolanmu adalah pendeta-pendeta Lama juga! Kalau tidak ada mereka yang datang, subo dan kami semua agaknya akan kalah," bantah Mayang untuk membela diri dan mengulur waktu. "Hem, yang menjadi biang keladi adalah engkau! Engkau harus dihukum berat. Ya, engkau harus menebus semua dosamu, mernbayar semua kerugianku." Diam-diam Mayang menggigil. Kenapa subonya atau Hay Hay belum juga datang? "Losuhu, kalau engkau menggangguku, menyakiti atau sampai membunuhku, tentu sekali waktu subo akan dapat menemukanmu dan ia tentu akan menyiksamu untuk membalas kematianku! Dan engkau tahu betapa lihainya subo!" Ia menggertak. "Heh-heh-heh! Kalau ia tahu! Ia takkan tahu. Ia takkan berhasil mencari kita. Tempat ini adalah tempat rahasia yang hanya diketahui oleh kami bertiga. Sekarang hanya aku seorang yang tahu. Kita akan berdiam di sini sampai mereka pergi. Ada makanan di sini, ada air, dan aku memiliki teman yang manis! Heh-heh-heh!" Pat Hoa Lama tertawa dan jari tangan kanannya mengelus dagu Mayang, membuat seluruh bulu di tubuh gadis itu meremang. Wajahnya menjadi pucat sekali dan perasaan takut membuat jantungnya seperti hendak pecah. "Losuhu, ingatlah bahwa engkau seorang pendeta yang seharusnya melakukan perbuatan baik. Kau ampunilah aku, losuhu dan kalau engkau suka membebaskan aku, maka aku berjanji akan membujuk subo agar ia tidak lagi mengganggumu dan juga suka melepaskan engkau." "Apa? Membebaskanmu? Huh, aku belum gila! Engkau berdosa besar! Dengar apa yang akan kulakukan kepadamu! Membunuhmu begitu saja terlalu enak bagimu. Aku akan mempermainkan engkau, menjadikan engkau budakku yang menuruti segala perintahku. Setelah aku bosan, engkau akan kuberikan kepada gerombolan biadab yang hidup di hutan-hutan Pegunungan Himalaya sebelah utara. Kau tahu apa yang akan dilakukan manusia-manusia setengah binatang itu kepada seorang wanita? Ha-ha-ha, engkau akan dikeroyok oleh banyak laki-laki seperti binatang itu sampai engkau mati! Akan tetapi jangan khawatir, hal itu baru akan terjadi setelah aku bosan denganmu, ha-ha-ha!" Dapat dibayangkan betapa takut dan ngeri rasa hati gadis itu. Tak terasa lagi, kedua matanya basah air mata. "Losuhu.... aku mohon kepadamu... kau..... kau bunuhlah saja aku sekarang juga! Aku lebih suka mati....!" "Ha-ha-ha-ha!" Pendeta yang sudah kesetanan itu tertawa bergelak, gembira sekali mendengar rintihan korbannya. "Sekarang saja engkau sudah minta mati, apalagi kalau kelak engkau sudah kuserahkan kepada gerombolan orang biadab itu, ha-ha-ha! Engkau akan memilih seribu kali mati dari pada terjatuh ke tangan mereka. Akan tetapi sebelum itu, engkau akan lebih dulu menjadi budakku, menuruti segala kemauanku dan engkau akan hidup senang, heh-heh-heh!" Mayang menyadari sepenuhnya bahwa meratap dan memohon tidak ada gunanya terhadap manusia berhati binatang itu, maka timbul kembali kekerasan hatinya. Teringat ia akan nasihat gurunya bahwa lebih baik mati sambil mengaum seperti seekor harimau dari pada hidup merengek-rengek dan menjerit-jerit seperti seekor babi.   "Pendeta palsu berhati iblis! Kau kira aku sudi mentaatimu? Huh, engkau dapat menyiksaku, dapat membunuhku, dapat memaksa tubuhku, akan tetapi hatiku akan selalu membencimu dan akan selalu kucari kesempatan untuk membunuhmu atau membunuh diri!" "Heh-heh-heh ! Kaukira engkau bisa melakukan itu? Ha-ha, sebentar lagi, engkau akan berlutut dan merengek kepadaku, minta kucinta dan kusayang. Aku tahu, engkau kebal terhadap sihir, akan tetapi aku memiliki bubuk racun ini yang akan membuat dirimu kehilangan ingatan, kehilangan segalanya dan menjadi hamba nafsu. Ha-ha, engkau akan menyenangkan sekali, manis." "Tidak! Lebih baik aku mati!" Mayang menggerakkan mulut untuk menggigit lidahnya sendiri, akan tetapi agaknya Pat Hoa Lama sudah menduga akan hal ini. Cepat sekali tangan pendeta itu bergerak menotok lehernya dan leher itupun terkulai, Mayang tidak mampu lagi menggerakkan mulutnya. Kini hanya matanya saja menitikkan air mata, menyesal sekali mengapa dalam kemarahannya tadi ia mengemukakan keinginannya membunuh diri. Kalau tidak, tentu telah tergigit putus lidahnya dan ia akan menjadi tewas atau cacat. "Ha-ha-ha, engkau tidak akan membunuh diri, manis. Engkau bahkan akan ingin hidup terus, haus akan cintaku, haus akan belaianku. Ha-ha-ha!" Tangan pendeta itu bergerak dan terdengar kain robek-robek, ketika dia merenggut robek dan lepas semua pakaian yang menutupi tubuh Mayang. Gadis itu tidak mampu bergerak, tidak mampu bersuara, hanya air matanya saja yang bergerak turun ke atas kedua pipinya yang pucat. Setelah mencabik-cabik pakaian gadis itu, Pat Hoa Lama terkekeh-kekeh sambil memandang tubuh korbannya dengan mata yang liar dan lapar, muka kanak-kanak yang makin mengerikan lagi, tubuhnya yang tinggi bongkok itu nampak semakin bongkok ketika dia mengeluarkan sebuah bungkusan. Jari-jari tangannya membuka bungkusan yang terisi bubuk hitam itu, sedangkan matanya tak pernah melepaskan tubuh Mayang. Dituangkannya bubuk hitam itu ke sebuah mangkok, kemudian sambil tertawa-tawa dia menuangkan arak seperempat mangkok, lalu mengaduk bubuk obat itu dengan arak. "Nah, manis. Kau minumlah ini, enak rasanya, rasa arak biasa. Engkau akan mabok dan pulas, setelah terbangun, ha-ha-ha-ha, engkau akan menjadi liar dan binal, sebinal seekor kuda betina, ha-ha-ha!” Dia menghampiri pembaringan. Mayang tidak mampu bergerak maupun bersuara, hanya sepasang matanya saja yang terbelalak ketakutan. Pat Hoa Lama duduk di tepi pembaringan, tangan kirinya memegang dagu Mayang, jari tangannya memaksa mulut gadis itu terbuka dan tangan kanan yang memegang mangkok sudah siap untuk menuangkan isi mangkok ke dalam mulut yang sudah terbuka lebar itu.” "Brakkkkk...... !" Dinding batu itu ambrol ke dalam. Pat Hoa Lama terkejut bukan main sampai mangkok itu terlepas dari tangannya, jatuh ke atas lantai dan pecah isinya mengalir hitam ke atas lantai batu. Sesosok bayangan berkelebat dan Hay Hay telah berdiri di depan Pat Hoa Lama! Melihat Hay Hay, gadis itu menangis tanpa Suara, hanya air matanya saja yang membanjir keluar dan tubuhnya rerguncang-guncang! Sekali lirik tahulah Hay Hay akan keadaan Mayang dan dia sudah marah bukan main. Tadi dia mengalami kesulitan ketika melakukan pengejaran karena yang dikejar lenyap di lereng berbatu-batu itu. Dengan hati-hati dan teliti dia mengikuti jejak, melihat batu-batu yang berserakan, dan akhirnya dia mendengar jerit melengking dari Mayang ketika gadis itu minta tolong dan sebelum ia ditotok gagu. Dan dengan penuh ketelitian, dia dapat menemukan guha itu dan melihat bentuk dinding yang rata itu, diapun merasa curiga. Akhirnya, dengan menggunakan sebungkah batu sebesar perut kerbau, dia mengerahkan seluruh tenaganya dan menghantamkan batu besar itu ke dinding sebelah dalam guha itu. Dinding itu jebol dan ternyata dia menemukan Pat Hoa Lama di sebelah dalam, sudah siap untuk meminumkan sesuatu kepada Mayang, gadis yang sudah tidak mampu bergerak dan dalam keadaan telanjang bulat itu. "Keparat jahanam!" Dengan kemarahan yang membuatnya seperti gila, Hay Hay mencabut Hong-cu-kiam dan menyerang pendeta yang masih terkejut dan bingung itu. Dalam kegugupannya, pendeta itu menangkis sinar emas pedang pusaka itu dengan lengan kirinya. Dia menjerit karena lengan itu putus! Dan sebelum dia sempat menghindarkan diri, pedang itu telah menembus lehernya dan Pat Hoa Lama terjengkang, roboh dan tewas seketika! Hay Hay cepat merenggut jubah pendeta itu sebelum tergenang darah lalu dia menyelimuti tubuh Mayang dengan jubah yang lebar itu, dan dibebaskannya gadis itu dari totokan gagu dan totokan yang membuat kaki tangannya lumpuh. "Hay Hay..... ah, Hay Hay..... hu-hu-hu-huuuhh !" Mayang bangkit merangkul dan menangis di pundak Hay Hay. "Tenanglah, Mayang. Bersyukurlah kepada Tuhan bahwa kedatanganku belum terlambat " kata Hay Hay, diam-diam merasa bersyukur sekali, karena dia dapat menduga bahwa kalau semenit saja dia terlambat dan gadis itu sudah minum cairan hitam itu, entah apa yang akan terjadi dengan gadis manis itu. Mayang menangis, mengguguk sampai Hay Hay merasa betapa air mata menembus bajunya dan membasahi pundak dan dadanya, "Hay Hay...., hu-hu-huuuu......dia..... mau meracuni aku... membikin aku kehilangan ingatan kemudian dia.... katanya kalau sudah bosan ......akan memberikan aku kepada gerombolan manusia biadab setengah binatang......hu-hu-huuuu... !” Hay Hay mengepal tinju. Jahanam betul pendeta itu, pikirnya. Dia menepuk-nepuk pundak yang kini terselimuti jubah itu dan mengelus rambut yang halus itu. “Sudahlah, Mayang. Engkau sudah selamat, dan dia sudah mati. Jangan menangis lagi, Mayang. Kalau terlalu banyak menangis, nanti matamu membengkak, kemerahan dan mukamu menjadi jelek!" Mendengar ini, agak tergesa-gesa Mayang mengangkat mukanya dari pundak pemuda itu, menyusut air matanya lalu memandang kepada Hay Hay, bibirnya sudah membayangkan senyum! "Bagaimana, Hay Hay, apakah aku menjadi jelek sekali?”   Hay Hay hampir bersorak. Gadis ini luar biasa. Baru saja terbebas dari bahaya maut, kini sudah dapat tersenyum dan sudah memperhatikan kecantikan wajahnya! "Wah, engkau bertambah manis, Mayang. Kedua pipimu menjadi begini merah, seperti buah apel masak " Sepasang mata yang agak membengkak itu memandang sayu. "Hay Hay, aku..... aku berterima kasih kepadamu. Aku..... aku hutang budi, hutang kehormatan, hutang nyawa kepadamu..... selama hidupku takkan kulupakan...." "Hushhh! Memangnya aku ini tukang kredit, memberi hutang begitu banyak macamnya? Mana kau bisa bayar? Sudahlah, kita bikin lunas saja, engkau tidak hutang apa-apa, aku tidak menghutangkan sesuatu. Bisa enak tidur kan?” “Aku berterima kasih! Aku.....aku !” Tiba-tiba Mayang merangkul leher Hay Hay dan mencium pipi pemuda itu dengan kuat sekali di kanan sekali di kiri, kemudian dia menjadi lunglai dan menangis lagi, kini mukanya disembunyikan di dada Hay Hay. Hay Hay menjadi bengong dan kedua matanya, kalau saat itu ada orang lain melihatnya, nampak juling saking kaget dan herannya. Kedua pipinya masih terasa sedut-senut bekas ditimpa hidung dan mulut Mayang. Lalu dia tersenyum dan memeluk kepala itu, penuh rasa sayang. "Engkau anak nakal, bikin aku kaget setengah mati." Akan tetapi dia membiarkan Mayang menangis lirih di dadanya. Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan di situ sudah berdiri Kim Mo Siankouw dan Han Siong! Melihat adegan mesra itu, Hay Hay memeluk seorang gadis bugil yang hanya berselimut jubah pendeta dan yang menangis di dadanya, Han Siong berdehem. Dasar mata keranjang, pikirnya. Kalau sudah menolong gadis itu, kenapa pakai dirangkul-rangkul dan bermesraan? Tidak cepat-cepat membawanya keluar dari guha itu? Tentu saja pertanyaan ini hanya diteriakan oleh hati Han Siong, sedangkan mulutnya tinggal diam. Kim Mo Siankouw memandang ke arah mereka, lalu ke arah mayat Pat Hoa Lama yang menggeletak tanpa nyawa dan tanpa jubah, juga ke arah tumpukan robekan pakaian muridnya. Tentu saja ia merasa khawatir bukan main, namun juga bersukur bahwa agaknya pemuda lihai itu telah berhasil menyelamatkannya. “Mayang " Ia memanggil muridnya. Mayang cepat mengangkat mukanya dan melihat subonya, ia lalu melepaskan diri dari Hay Hay dan menjatuhkan diri berlutut di depan wanita itu sambil menangis, “Subo...!” Kim Mo Siankouw merasa heran. Biasanya, Mayang adalah seorang gadis yang amat tabah dan tak pernah ia melihat gadis itu menangis. Akan tetapi sekarang, begitu mudahnya gadis itu menangis. Hal ini baginya merupakan suatu tanda bahwa muridnya itu sedang dilanda cinta. "Sudahlah, Mayang, hentikan tangismu. Bagaimanapun juga, engkau terhindar dari malapetaka, bukan?" Mayang mengangguk cepat. "Teecu selamat berkat pertolongan Hay Hay, subo." Kim Mo Siankouw memandang pemuda itu yang sedang berbisik-bisik dengan Han Siong. Hay Hay, kurang ajar engkau! Engkau terlambat dan "Hampir saja aku celaka Dan sekarang kembali engkau mempergunakan kesempatan dalam kesempitan terhadap nona itu." bisik Han Siong yang menegurnya. Hay Hay tersenyum. "Tenanglah, Sin-tong (Anak Ajaib). Seorang pendeta dilarang keras untuk merasa iri dan mendongkol." Han Siong terbelalak. "Pendeta.....Apa maksudmu?" "Lihat jubahmu. Engkau seorang pendeta berkedudukan tinggi, bukan?" Han Siong baru teringat bahwa dia masih mengenakan jubah seorang pendeta Lama! Dia cemberut oleh godaan itu, akan tetapi segera tersenyum, karena betapapun juga, dia berterima kasih atas semua bantuan Hay Hay. Kini semua rahasia telah terungkap dan dia tidak akan dikejar-kejar lagi oleh para pendeta Lama! Ketika itulah Kim Mo Siankouw menghampiri Hay Hay. "Orang muda, engkau telah menyelamatkan Mayang dan membuat muridku itu selamanya akan bergantung kepadamu. Pin-ni (aku) harap saja engkau tidak akan kepalang menolongnya dan tidak akan mengecewakan harapan kami." Setelah berkata demikian, Kim Mo Siankouw mengajak muridnya keluar dari dalam guha. Hay Hay memandang kepada Han Siong dan berbisik, "Apakah gerangan yang ia maksudkan?" Han Siong tersenyum gembira. Kini dia mendapat giliran untuk menggoda sahabatnya yang mata keranjang itu. "Hemm, engkau masih belum tahu ataukah pura-pura tidak tahu? Engkau telah menyelamatkan gadis manis itu dari malapetaka, dan melihat kalian tadi bermesraan seperti itu, hemm.....ke mana lagi larinya urusan kalau tidak berakhir dengan pernikahan?" Hay Hay menganggap ucapan itu hanya kelakar, maka diapun tertawa saja. Akan tetapi dia lalu teringat akan sikap dan kata-kata Mayang tadi. Mayang mengatakan bahwa ia berhutang budi, kehormatan dan nyawa, dan bahwa gadis itu selama hidupnya tidak akan melupakannya, kemudian gadis itu telah menciumi kedua pipinya! Kini guru gadis itu berkata demikian, dan dia diharapkan agar tidak mengecewakan mereka. "Wah, wah.....!” tiba-tiba wajahnya berubah merah sekali karena dia teringat pula akan keadaan tubuh gadis itu yang bugil ketika dia menolongnya. Jantungnya berdebar kencang ketika dia membayangkan kembali penglihatan itu. "Wah.....pernikahan....ya ampun.....ia memegangi kedua pipinya, matanya nanar menatap wajah Han Siong yang mentertawakannya. * * *   Dengan dikawal tujuh pendeta Lama, wakil Dalai Lama menerima undangan Kim Mo Slankouw dan datang berkunjung ke rumah wanita sakti itu di puncak Awan Kelabu. Juga Hay Hay dan Han Siong terpaksa tidak dapat menolak undangan Kim Mo Siankouw, apa lagi karena merekapun ingin bicara dengan wakil Dalai Lama. Mereka dijamu dengan masakan yang tidak mengandung daging binatang, dan dalam kesempatan ini Han Siong menceritakan penderitaannya sejak terlahir sehubungan dengan pengejaran para pendeta Lama terhadap dirinya. "Jangan khawatir, Pek-taihiap," kata wakil Dalai Lama. "Mulai sekarang tidak akan ada pengejaran lagi. Sesungguhnya, sudah sejak lama kami tidak mencarimu, semenjak kami yakin bahwa taihiap tidak suka menjadi seorang pendeta. Sungguh tidak kami sangka bahwa taihiap hendak dipergunakan oleh para pemberontak. Mereka ingin mengangkat taihiap untuk menjadi Dalai Lama tandingan dan mempengaruhi para pendeta di Tibet untuk mengakui taihiap sebagai DalaiLama sejati yang baru. Hal itu berbahaya sekali dan mungkin saja usaha mereka itu akan berhasil karena taihiap memang mempunyai ciri-ciri untuk menjadi Dalai Lama. Akan tetapi sekarang, calon Dalai Lama yang baru sudah ada dan kami sudah membebasKan taihiap." Tentu saja Han Siong merasa girang sekali. Seperti diangkat sebongkah batu besar yang selama ini menekan perasaannya dan yang membuatnya selalu merasa tidak aman. Karena hari telah menjelang senja dan perjalanan ke Lasha masih jauh dan tak mungkin dilakukan di waktu gelap, maka wakil Dalai Lama menerima dengan senang hati ketika Kim Mo Siankouw mengundangnya untuk melewatkan malam di rumahnya yang besar itu. Juga dua orang pemuda yang sudah diterima sebagai tamu terhormat bahkan sahabat itu mendapatkan dua buah kamar. Malam itu, pintu kamar Han Siong diketok orang. Dia membuka daun pintu dan seorang pelayan wanita memberi hormat. "Maaf kalau saya mengganggu, Pek-taihiap. Saya diutus oleh Siankouw untuk mengundang taihiap ke ruangan belakang karena Siankouw ingin membicarakan hal yang penting denganmu." Tentu saja Han Siong merasa heran, akan tetapi dia tidak membantah, lalu mengikuti pelayan itu menuju ke ruangan belakang. Di ruangan itu telah menanti Kim Mo Siankouw dan seorang wanita setengah tua yang dikenalnya sebagai ibu Mayang. "Duduklah, Pek-taihiap dan terima kasih bahwa taihiap suka memenuhi permintaan kami untuk datang kesini," kata Kim Mo Siankouw. "Terima kasih," kata Han Siong setelah memberi hormat, lalu duduk ke atas kursi berhadapan dengan dua orang wanita itu. "Ada keperluan apakah yang Siankouw hendak bicarakan dengan saya?” Kim Mo Siankouw tersenyum dan Han Siong merasa kagum. Wanita yang usianya sudah enam puluh tahun ini masih nampak anggun dan jauh lebih muda dari usia sebenarnya kalau tersenyum, "Harap jangan kaget kalau malam-malam begini kami mengundangmu, Pek-taihiap. Sebetulnya kami hanya mengganggu saja, karena kami hanya membutuhkan keterangan darimu tentang sahabatmu itu, yatu Hay Hay." Karena Mayang selalu menyebut nama Hay Hay begitu saja, maka nama itu menjadi dikenal sekali dan baik ibunya maupun Kim Mo Siankouw juga menyebutnya Hay Hay. " Han Siong melebarkan matanya dan memandang heran. "Keterangan tentang Hay Hay? Mengapa? Apa yang Siankouw maksudkan? Apakah dia masih diragukan setelah jasanya yang besar? Saya berani menanggungnya bahwa dia seorang yang baik dan....." Bukan begitu maksud kami, taihiap. Sebaiknya kami berterus terang saja. Sesungguhnya, kami, yaitu pin-ni dan juga ibu Mayang telah mengambil keputusan untuk menjodohkan Mayang dengan Hay Hay.Oleh karena taihiap adalah sahabat baiknya, maka kami ingin mengetahui segalanya tentang dia." Wajah Han Siong berseri dan senyumnya melebar. Hatinya lega, dan dia bahkan merasa gembira sekali. Bagus, pikirnya. Sekarang tiba saatnya kuda jantan yang binal itu dipasangi kendali! Kalau sudah beristeri, tentu tidak akan berani bersikap mata keranjang lagi! Dan dia melihat bahwa Mayang juga seorang gadis yang hebat, sudah pantas kalau menjadi isteri Hay Hay. Cukup manis, cukup pandai dan cukup galak. Amat diperlukan seorang isteri yang galak untuk dapat mengendalikan watak Hay Hay yang mata keranjang itu. Dan aku akan membantu agar perjodohan ini tidak gagal, pikirnya mantap. "Begitukah, Siankouw? Saya merasa ikut bergembira dengan niat baik itu. Nah, apa yang perlu ji-wi (anda berdua) ketahui?" Kim Mo Siankouw menoleh kepada ibu Mayang dan berkata, "Nah, sekarang katakanlah apa yang ingin kauketahui." Wanita itu dengan sikap yang malu-malu memandang Han Siong. Seorang wanita yang cantik seperti puterinya, pikir Han Siong. Akan tetapi sinar matanya sayu mengandung kedukaan sehingga dia merasa kasihan. Agaknya wanita ini pernah menderita batin, pikirnya. "Apakah yang ingin bibi ketahui dari saya? Katakanlah dan saya akan memberi keterangan segala yang saya ketahui." kata Han Siong melihat sikap wanita itu yang seperti sungkan-sungkan. "Hay Hay itu....dia.....she (nama keluarga, marga) Tang dan bernama Hay?" berkata demikian, wanita itu menatap tajam wajah Han Siong. Han Siong termenung sejenak. Kalau sampai diketahui Kim Mo Siankouw bahwa Hay Hay putera penjahat besar yang cabul Ang-hong-cu, maka jelas bahwa tali perjodohan itu akan gagal. Dan orang sakti seperti Kim Mo Siankouw tentu sudah mendengar akan nama Ang-hong-cu itu. "Ah, biasanya kami semua sahabatnya mengenalnya sebagai Hay Hay begitu saja. Pernah dahulu dia mengaku bahwa dia she Siangkoan. Akan tetapi kemudian dia mengaku bahwa shenya adalah Tang. Dia sendiri agaknya tidak begitu menghiraukan tentang nama keturunannya."   "Siapakah nama ayahnya yang she Tang itu?" Ibu Mayang mendesak. "Saya tidak tahu, bibi." Han Siong mengerutkan alisnya. "Bahkan Hay Hay sendiri juga tidak mengetahuinya. Pernah dia bercerita kepada saya bahwa ketika dia masih kecil, dia diaku anak oleh suami isteri keluarga Siangkoan. Kemudian dia mendengar bahwa ibunya telah tewas di laut dan bahwa ayahnya juga tidak ada, mungkin sudah tewas pula. Dia seorang sebatang kara, tak pernah melihat ayahnya maupun ibunya. Kasihan sekali dia, mungkin karena kesengsaraan yang dideritanya sejak kecil itulah maka dia menutupinya dengan sifatnya yang gembira dan jenaka. Akan tetapi dia seorang yang baik hati, seorang pendekar sejati, hal ini saya berani tanggung!” Ibu Mayang mengangguk-angguk dan kelihatannya puas dengan jawaban itu. Kini Kim Mo Siankouw yang bertanya. "Engkau tahu benar bahwa dia belum mempunyai isteri atau tunangan, Pek Taihiap?' Han Siong menggeleng kepalanya. "Belum, Siankouw. Hal ini saya tahu benar karena kalau dia sudah bertunangan atau menikah, tentu memberitahu kepadaku dan tentu aku mengetahuinya. Dia masih sendiri, sebatang kara, tiada keluarga sama sekali! Hanya sahabat baik, di antaranya saya. Para pendekar mengenal siapa Hay Hay, karena dia pernah berjasa besar bersama para pendekar membantu pemerintah membasmi pemberontakan yang dipimpin mendiang Lam-hai Giam-lo." Han Siong sengaja memuji-muji temannya agar perjodohan benar dijadikan. Dia ingin melihat sahabatnya itu terikat dan tidak binal lagi." Kini Kim Mo Siankouw bersikap serius. "Pek Tai-hiap, agaknya engkau akrab dan kagum kepada Hay Hay. Dia tentu seorang sahabatmu yang baik sekali." "Bukan hanya sahabat, Siankouw, bahkan lebih dari itu. Dahulu, ketika masih bayi, Hay Hay pernah dipungut anak oleh orang tuaku, maka dia itu dapat dikatakan saudara angkatku pula." "Bagus sekali. Tidak mengherankan mengapa kalian demikian akrab. Pek Tai-hiap, kalau engkau menyayang Hay Hay maka kamipun menyayang muridku Mayang. Dan engkau sendiri sudah menyaksikan betapa terdapat kemesraan antara Hay Hay dan Mayang. Maka, kami ingin mohon bantuanmu, tai-hiap, untuk menjadi perantara dan menyampaikan kepada Hay Hay tentang niat hati kami yang murni, yaitu menjodohkan Mayang dengan Hay Hay. Maukah engkau membantu kami, tai-hiap?" "Tentu saja, dengan segala senang hati, Siankouw! Bahkan saya setuju sekali kalau ikatan perjodohan itu diadakan, dan Hay Hay sudah sepatutnya menyambut gembira! Aku tahu dia menyayang nona Mayang dan sekali ini, dia harus mau. Bahkan kalau perlu, saya akan membujuk atau memaksanya!" Ibu Mayang bangkit dan memberi hormat kepada pemuda itu. Melihat ini, Han Siong cepat membalas dan berkata, "Bibi, harap jangpn memakai banyak 'Penghormatan dan sungkan.....” "Pek Tai-hiap, saya sebagai ibu Mayang sebelumnya menghaturkan terima kasih atas kebaikanmu yang hendak menjadi perantara perjodohan anakku Mayang dengan Hay Hay. Tentu saja ,bukan maksud kami untuk memaksa Hay Hay, tai-hiap. Akan tetapi perlu tai-hiap ketahui bahwa Mayang...... anakku yang keras hati itu, dengan tegas mengatakan kepadaku bahwa kalau ia tidak menikah dengan Hay Hay, ia......ia akan bunuh diri.....” "Ahhh.....!" Han Siong terkejut bukan main mendengar ini. Mayang, gadis yang lincah dan galak itu, hendak membunuh diri? "Kenapa sampai begitu, bibi?" Wanita itu menarik napas panjang. "Mayang memang berwatak keras. Ia mengatakan bahwa Hay Hay merupakan satu-satunya pria yang masih hidup, yang melihat keadaan dirinya bertelanjang bulat. Kalau Hay Hay menjadi suaminya, maka hal itu tidak mengapa. Akan tetapi kalau tidak menjadi suaminya peristiwa itu dianggapnya sebagai aib yang amat memalukan dan satu-satunya jalan untuk mencuci aib itu adalah membunuh Hay Hay. Karena hal itu jelas tidak mungkin, maka ia akan membunuh diri kalau sampai ikatan jodoh itu gagal." "Hemm, bukan itu saja,” tiba-tiba Kim Mo Siankouw berkata, "kalau dia menolak, berarti dia telah menghina muridku dan menghinaku, karena dia telah mempermainkan kami. Hal ini tentu tidak mungkin kubiarkan saja. Kalau Mayang tidak berani membunuhnya, masih ada aku yang akan turun tangan membunuhnya!" Han Siong terkejut. Ini semua gara-gara mata keranjangmu, Hay Hay, pikirnya. "Harap Siankouw dan bibi jangan khawatir. Saya akan membujuk agar dia tidak menolak." Dua orang wanita itu kembali mengangkat kedua tangan memberi hormat, dan Kim Mo Siankouw berkata lembut. "Kami percaya akan ketulusan dan kebaikan hati Pek Tai-hiap dan sebelumnya kami mengucapkan banyak terima kasih!" Han Siong cepat membalas penghormatan mereka, lalu minta diri meninggalkan ruangan itu. Dia tidak kembali ke dalam kamarnya, melainkan langsung saja menghampiri kamar Hay Hay dan mengetuk daun pintunya. "Tok-tok-tok!" Hay Hay sudah hampir pulas ketika dia mendengar ketukan pada pintu kamarnya itu. Pendengaran itu seketika mengusir semua kantuknya dan dalam satu dua detik saia dia sudah terjaga dalam keadaan siap siaga menghadapi ancaman dari manapun datangnya. "Tok-tok-tok!" ketukan itu terulang. "Siapa di luar?" Hay Hay bertanya. "Aku Han Siong. Bukalah pintunya, Hay Hay aku mau bicara. Penting sekali!"   Hay Hay menarik napas lega, akan tetapi juga dia merasa mendongkol karena terganggu tidurnya. "Malam-malam begini mengganggu orang," omelnya, akan tetapi dia turun dari pembaringan dan membuka daun pintu kamarnya. Dengan wajah serius, Han Siong melangkah masuk dan melihat sikap sahabatnya itu, Hay Hay lalu menutupkan kembali daun pintu kamarnya. Ketika ia membalik, dia melihat Han Siong telah duduk di atas kursi dekat pembaringannya. Diapun tersenyum dan duduk di atas pembaringan. "Han Siong, ada urusan apakah engkau malam-malam begini mengganggu orang yang sedang tidur?" tegurnya. Teringat olehnya betapa sebelum tidur tadi, dia masih memikirkan Han Siong dengan hati penuh iba. Sahabatnya itu, karena pengaruh sihir jahat, telah menggauli Ci Goat dan setelah menyadari hal itu, Han Siong merasa menyesal bukan main. Dia merasa berdosa kepada gadis itu dan orang seperti Han Siong tentu akan mempertanggung jawabkan perbuatannya sendiri, walaupun perbuatan itu didorong oleh pengaruh sihir jahat. Dan dia belum tahu bahwa gadis manis itu, yang telah menyerahkan diri kepadanya secara suka rela, karena memang mencintainya, kini telah meninggal dunia dalam keadaan yang amat mengerikan! Kini Han Siong tersenyum dan bangkit dari duduknya, lalu memberi hormat kepadanya. "Sebelumnya, biarlah lebih dulu aku memberi selamat kepadamu, Hay Hay!" Hay Hay terbelalak. "Eh, eh, apakah engkau bermimpi? Kenapa malam-malam begini mendadak memberi selamat kepadaku?” Dia juga turun dari pembaringan dan memegang lengan kawannya itu agar tidak memberi hormat kepadanya. "Jangan main-main, Han Siong. Katakan apa artinya semua ini." "Hay Hay, bergembiralah. Aku datang membawa berita yang baik sekali. Engkau akan menjadi pengantin! Aku ikut merasa gembira, Hay Hay. Engkau sungguh beruntung sekali, dan memang sudah sepatutnya engkau berbahagia " "Eh, nanti dulu! Menjadi pengantin! Bagaimana ini? Siapa dan mengapa?" "Duduklah dan dengarkan keteranganku," kata Han Siong. Mereka duduk di atas dua buah kursi yang berhadapan, terhalang meja kecil di dekat pembaringan. "Baru saja aku dipanggil Kim Mo Siankouw dan ibu Mayang. Mereka mengajukan pertanyaan tentang pribadimu, kemudian mereka minta aku menjadi perantara agar menyampaikan kepadamu bahwa mereka ingin menjodohkan nona Mayang denganmu." Hay Hay terkejut, bangkit seperti ada kalajengking menyengat pinggulnya dan dia memandang kepada sahabatnya itu dengan mata terbelalak. "Ahhh.......ehhh....bagaimana......? Tidak bisa ini.... Han Siong juga bangkit, menarik lengan Hay Hay dan diajaknya duduk kembali. "Tenanglah, jangan ah-eh-oh begitu!" Dia mulai menikmati keadaan itu. Sudah terlalu sering Hay Hay menggodanya dan kini dia mendapatkan kesempatan untuk membalas! Betapa manisnya pembalasan dendam! "Hay Hay, tidak perlu engkau meragu lagi. Mereka sudah bertekad bulat untuk menjodohkan nona Mayang denganmu dan engkau sungguh beruntung sekali. Nona Mayang demikian cantik jelita dan baik, dan aku melihat bahwa engkau memang sudah pantas menjadi suaminya. Engkau harus menyetujui keinginan mereka, Hay Hay. Sukar untuk mendapatkan seorang calon isteri sehebat nona Mayang dan...." ".... dan aku menjadi suami orang lalu menjadi ayah dari anak-anak kecil terikat di sini, seperti seekor kera yang diikat pinggangnya, seperti seekor burung yang terkurung dalam sarang, kehilangan kebebasanku? Ah, tidak, Han Siong, aku tidak mau.....!" "Apa? Berani engkau menolak nona Mayang? Hay Hay, jangan gila kau! Ia begitu cantik jelita, ia begitu pandai dan ia mencintaimu dan engkau....” "Husshh, Han Siong. Engkau ini kenapa sih? Engkau seperti hendak mendorong-dorongku, engkau seperti hendak memaksaku menikah dengan Mayang. Engkau ini kenapa? Apakah masih ada sisa-sisa pengaruh sihir padamu? Ah, benar juga! Kalau engkau mendesakku, kenapa tidak engkau sendiri saja yang menikah dengan Mayang? Benar! Engkau akan merupakan suami yang baik, dan kalian serasi sekali, cocok kalau menjadi suami isteri. Biar aku yang akan mengusulkan kepada mereka agar engkau saja yang menikah dengan Mayang!" "Hay Hay, hentikan kelakarmu itu. Aku tidak akan menikah dengan nona Mayang atau dengan wanita manapun juga, karena aku....." Dia berhenti dan wajahnya tiba-tiba nampak berduka. "Engkau kenapa, Han Siong?" Hay Hay juga tidak menggodanya lagi melihat betapa wajah sahabatnya itu nampak bersedih. Han Siong menghela napas panjang. "Hay Hay, hanya engkaulah yang tahu apa yang telah terjadi antara aku dan nona Ouw Ci Goat. Setelah apa yang terjadi dengan kami, walaupun hal itu terjadi karena aku dikuasai sihir, aku harus bertanggung jawab! Ialah satu-satunya wanita yang harus menjadi isteriku, karena ia telah......ternoda olehku......" "Han Siong......! tiba Hay Hay memegang kedua tangan sahatnya itu dan hatinya merasa terharu sekali. Juga kagum. Pemuda ini memang pantas menjadi sahabatnya, pantas menjadi seorang pendekar budiman. Penuh tanggung jawab atas semua perbuatannya! "Han Siong, tenangkan hatimu, kawan! Terpaksa aku akan memberi tahu kepadamu akan hal yang amat menyedihkan, yang telah menimpa diri Ci Goat....." Han Siong terkejut. "Apa? Apa maksudmu?" "Ia........Ouw Ci Goat.......ia telah tewas, Han Siong." Han Siong terkejut, wajahnya pucat dan matanya terbelalak. "Apa? Bagaimana? Hay Hay, ceritakanlah apa yang telah terjadi!" Hay Hay menghela napas, penuh iba karena teringat akan keadaan gadis manis itu. "Ketika aku membayangimu, sampai ke kuil tua di mana tiga orang pendeta Lama itu berada, aku masuk melalui pintu belakang. Dan aku menemukan tubuh nona Ouw Ci Goat di bagian belakang kuil itu, sudah menjadi mayat, tentu terbunuh oleh mereka......."   Han Siong melompat dan mengepal tinju. "Keparat jahanam para pendeta Lama itu....... "Sudahlah, Han Siong. Mereka bertiga itupun sudah mati. Sudah dikehendaki Tuhan agaknya bahwa sampai sekian saja riwayat nona Ouw Ci Goat. Aku telah mengubur jenazahnya di dekat kuil itu, baru aku melakukan pengejaran ketika engkau dibawa oleh tiga orang Lama itu. Nah, engkau tahu sekarang, dan tidak perlu menyedihi yang sudah mati." Hay Hay menghibur dan sengaja dia mengambil sikap gembira lagi. “Dan itu berarti engkau telah bebas, Han Siong, engkau dapat menikah dengan nona Mayang!" Dengan sikap masih penuh kedukaan, Han Siong berkata lirih, "Hay Hay, bagaimanapun juga, nona Ouw Ci Goat tewas karena aku! Bagaimana aku tidak akan berduka dan menyesal? Aku seorang yang bertanggung jawab, Hay Hay. Andaikata nona Ouw Ci Goat tidak tewas, aku akan dengan sungguh hati menikahinya! Dan kuharap engkaupun memiliki cukup kegagahan untuk mempertanggung jawabkan perbuatanmu terhadap nona Mayang. Karena kalau tidak, tentu aku akan membencimu dan aku tidak akan memandangmu sahabat lagi, Hay Hay. Mungkin akan kupandang engkau sebagai seorang laki-laki pengecut dan sebagai musuhku!" Hay Hay memandang kawannya itu dengan mata terbelalak dan lenyap semua sikap main-main dari wajahnya. "Han Siong, apa maksudmu? Engkau mengatakan aku harus bertanggung jawab terhadap Mayang? Apa artinya ini? Kalau kaukira aku telah......telah engkau keliru sekali!" Han Siong yang masih tenggelam ke dalam kegetiran dan kedukaan itu, memandang wajah temannya dan suaranya terdengar bersungguh-sungguh. "Aku percaya, Hay Hay, bahwa engkau belum bertindak sejauh itu. Akan tetapi, engkau telah melihat gadis itu dalam keadaan telanjang bulat!" "Heiii! Apa salahnya dengan itu, Han Siong? Memangnya aku yang menelanjangi nya? Aku hanya menyelamatkannya dari tangan Pat Hoa Lama yang hampir saja memperkosanya!" "Benar, akan tetapi bagaimanapun juga, engkaulah satu-satunya pria hidup yang pernah meljhatnya dalam keadaan seperti itu. Dan engkaupun sudah bermesraan dengan nona Mayang, saling peluk dan saling cium! Apakah engkau hendak menyangkal bahwa nona Mayang amat mencintaimu?" Hay Hay sekali ini memandang bodoh dan menggelengkan kepala. "Aku tidak tahu akan isi hatinya, Han Siong." "Dan engkau berani menyangkal bahwa engkau mencintanya?" "Itu......itu akupun tidak tahu benar. Aku suka, kagum dan sayang kepadanya, akan tetapi cjnta? Ah, aku tidak pernah merasa jatuh cinta....." "Mata keranjang! Perayu wanita! Engkau sudah mendekapnya dan menciuminya dan engkau bilang tidak tahu apakah mencintanya? Hay Hay, apakah engkau hendak menjadi seorang jai-hoa-cat (penjahat pemetik bunga atau penjahat pemerkosa wanita)?” Wajah Hay Hay berubah merah sekali karena saat Han Siong mengeluarkan ucapan itu, diapun teringat akan ayah kandungnya! Ucapan itu seperti mengingatkannya bahwa dia adalah putera kandung Ang-hong-cu (Si Kumbang Merah), seorang jai-hoa-cat yang amat keji dan jahat! "Pek Han Siong!" katanya dengan ketus. "Apakah engkau hendak mengatakan bahwa karena ayahku seorang jai-hoa-cat, maka akupun menjadi seorang penjahat cabul?" "Benar! Kalau engkau tidak mau bertanggung jawab dan menikah dengan nona Mayang lalu apa bedanya engkau dengan Ang-hong-cu?" Han Siong berkata marah. "Engkau hendak menghinaku?" Hay Hay bangkit dan mengepal tinju. Han Siong juga bangkit dan mengepal tinju. "Sesukamu kalau engkau berpendapat begitu! Pendeknya, kalau engkau tidak mau menikah dengan nona Mayang, engkau akan menghadapi tiga hal!" "Huh! Engkau mengancam? Apa yang kaumaksudkan dengan tiga hal itu?" Hay Hay mengambil sikap menantang pula. "Dengar baik-baik! Pertama, engkau akan menghadapi aku sebagai seorang musuh! Aku akan menganggapmu seorang yang merusak kehidupan seorang gadis, mendatangkan aib baginya dan tidak bertanggung jawab. Tentu saja aku tidak akan tinggal diam dan menantangmu!" "Hemmm, itu hanya anggapanmu. Dan aku tidak mungkin dapat kaupaksa menikah hanya dengan ancaman itu" "Ke dua," kata Han Siong tidak memperdulikan jawaban Hay Hay. "Engkau akan berhadapan dengan Kim Mo Siankouw yang akan menantangmu karena ia tidak mau membiarkan engkau menghina muridnya, merayu muridnya kemudian setelah muridnya jatuh cinta, engkau tidak bertanggung jawab." "Ehhh? Kenapa Kim Mo Siankouw juga berpemandangan sesempit itu, seperti juga engkau? Sungguh aku tidak mengerti!" Hay Hay sekali ini mengeluh. "Masih ada yang ke tiga!" kata pula Han Siong penuh kemarahan dan suaranya meninggi. "Kalau engkau menolak untuk menikah dengan nona Mayang, maka nona Mayang akan membunuh diri!" "Bohong......!!" Hay Hay berseru, kaget bukan main, matanya terbelalak memandang wajah Han Siong karena biarpun mulutnya meneriakkan pemuda itu bohong, namun hatinya maklum bahwa Han Siong tidak akan berbohong. Dan ancaman ke tiga ini sungguh menggetarkan hatinya. Ancaman ke tiga itu yang paling hebat. Menghadapi ancaman tantangan Pek Han Siong dan Kim Mo Siankouw, biarpun amat berat baginya, masih dapat dia hadapi. Akan tetapi ancaman Mayang untuk membunuh diri benar-benar membuat dia menyerah sebelum bertanding!   Tidak mungkin ia......ia......sebodoh itu!" "Hemm, dasar laki-laki mata keranjang, mau enaknya sendiri saja, mau mengambil bunganya tidak mau terkena durinya! Engkau mengatakan ia bodoh, ya? Bayangkan saja! Ia telah mengalami aib, tubuhnya dalam keadaan telanjang bulat dilihat seorang pria, kemudian pria itu dicintanya dan ternyata pria itu tidak mau menjadi suaminya! Hanya ada dua pilihan bagi seorang gadis yang menjaga baik nama dan kehormatannya, yaitu membunuh pria itu atau membunuh diri. Karena nona Mayang mencintamu, engkau laki-laki yang tidak patut mendapat cinta seorang wanita, maka ia tidak akan membunuhmu dan akan membunuh diri. Hal ini dikatakan oleh ibu nona Mayang dan aku mendengarnya sendiri! Nah, katakanlah aku membohong!" Sekali ini Hay Hay jatuh terduduk dan bengong seperti patung. Dia tidak mampu bicara lagi, hanya memandang kosong seperti orang kehilangan semangat, dan mulutnya berkemak-kemik, "..... menikah.....? Menikah......? Ya ampuuunn.......menikah?” Melihat ini, diam-diam Han Siong merasa girang. Rasakan engkau sekarang, orang mata keranjang, pikirnya. Kalau sudah menjadi suami Mayang, tentu gadis itu akan mampu memasangi kendali pada hidungnya sehingga dia tidak akan liar lagi! Dia tidak merasa kasihan kepada sahabatnya itu. Mengapa kasihan? Hay Hay akan menikah dengan seorang gadis yang hebat! Cantik jelita, manis, pandai, kaya raya. Mau apa lagi? Dia masih tenggelam dalam duka teringat akan kematian Ci Goat, maka dia lalu berkata dengan suara lembut. "Hay Hay, pikirkan baik-baik semalam ini. Besok pagi-pagi, mereka sudah mengharapkan jawabanmu yang pasti. Selamat malam!" Han Siong meninggalkan Hay Hay yang masih duduk di atas kursinya seperti boneka hidup itu. * * * "Kiong-hi (selamat), kiong-hi!" kata Wakil Dalai Lama ketika pada keesokan harinya dia mendengar bahwa Hay Hay dipertunangkan dengan Mayang. "Aih, sungguh tepat sekali. Pinceng (aku) mengenal baik siapa Kim Mo Siankouw, maka muridnya tentu hebat dan merupakan seorang gadis pilihan! Dan saudara ini, biarpun masih muda namun sudah memiliki kepandaian hebat! Tentu dia akan menjadi seorang yang amat berguna bagi negara dan bangsanya!” Mereka semua berkumpul di ruangan tamu. Hay Hay pada hari itu terpaksa memberi jawaban dan tidak ada lain jalan baginya kecuali menerima usul perjodohan itu. Yang paling berat adalah kenekatan Mayang. Gadis itu akan membunuh diri kalau dia menolak ikatan jodoh itu! Dan tentu saja dia tidak ingin gadis itu mati karena dia! dan bagaimanapun juga, harus diakuinya bahwa Mayang seorang gadis hebat! Demikianlah ketika pada pagi hari itu Kim Mo Siankouw mengundangnya, dan dia memasuki ruangan tamu, di situ Kim Mo Siankouw dan ibu Mayang telah menunggu! Dan dengan sikap halus namun serius, Kim Mo Siankouw bertanya. "Bagaimana, Hay Hay, apakah engkau telah mendengar dari sahabatmu Pek taihap itu akan niat hati kami menjodohkan Mayang denganmu? Dan bagaimana jawabmu?" Ditanya secara terbuka dan jujur itu, Hay Hay juga menjawab sejujurnya. "Sesungguhnya, belum ada keinginan di dalam hati saya untuk menikah, Siankouw. Akan tetapi, sayapun tidak dapat menolak kehormatan yang diberikan kepada saya." "Jadi, bagaimana keputusanmu?" tanya ibu Mayang. Hay Hay menundukkan mukanya. "Saya terima ikatan jodoh itu dengan rasa haru dan terima kasih." "Siancai...... ! Giranglah rasa hatiku, Hay Hay." kata Kim Mo Siankouw. "Terima kasih Hay Hay! Sungguh engkau telah membahagiakan kami semua," kata pula ibu Mayang dengan suara bercampur isak karena terharu. "Semoga Tuhan memberi bimbingan kepada anakku untuk menjadi isterimu yang setia dan membahagiakanmu kelak." Hay Hay memberi hormat. "Saya yang merasa berterima kasih. Akan tetapi, karena masih ada tugas penting bagi saya, yaitu urusan pribadi yang harus saya selesaikan lebih dahulu, maka saya mohon agar pernikahan dilaksanakan setelah saya menyelesaikan tugas pribadi itu." Dua orang wanita itu mengangguk setuju. Diterimanya usul ikatan jodoh itu saja sudah amat membahagiakan hati mereka. Maka, mereka lalu mengumumkan ikatan perjodohan itu sehingga Wakil Dalai Lama yang masih berada di situ segera datang memberi selamat. Kini diruangan itu mereka semua berkumpul. Bahkan Mayang dipanggil ibunya. Gadis yang biasanya tabah dan lincah ini nampak jinak dan malu-malu. Akan tetapi ketika ibunya menyuruh ia memberi hormat kepada calon suaminya, dengan cepat tanpa ragu ia lalu memberi hormat kepada Hay Hay yang dibalas oleh pemuda itu dengan muka kemerahan pula. "Kiong-hi, sekali lagi kiong-hi kuucapkan kepadamu, Hay Hay, dan kepadamu, Mayang. Akulah orang pertama yang merasa paling berbahagia dengan terikatnya kalian menjadi calon suami isteri!" kata Han Siong. Akan tetapi wajahnya sama sekali tidak membayangkan kegirangan hati, karena pemuda ini yang semalam tidak tidur masih terus teringat akan kematian Ouw Ci Goat. "Kalau kelak diadakan upacara pernikahan, jangan lupa mengundang pinceng, Siankouw! Engkau memperoleh seorang mantu yang amat hebat, dan pinceng juga menghaturkan selamat kepadamu!" Han Siong yang diam-diam merasa betapa dia juga telah ikut memaksa Hay Hay untuk menerima usul ikatan jodoh itu, kini melihat betapa Hay Hay nampak tersipu dan kehilangan kejenakaannya, berusaha menghiburnya dengan memuji-mujinya di depan orang banyak.   "Losuhu mungkin belum mengenal benar siapa adanya calon mempelai pria ini! Sahabatku ini pernah menjadi seorang pahlawan, membantu kedua orang Menteri Yang Ting Hoo dan Menteri Cang Ku Ceng, membasmi pemberontakan di Yunan yang dipimpin oleh mendiang Lam-hai Gim-lo!" "Omitohud....." Wakil Dalai Lama berseru kagum. "Kiranya begitukah? Kami sudah mengenal kedua orang Yang Tai-jin dan Cang Tai-jin, dua orang menteri yang bijaksana. Bahkan pernah Yang Tai-jin mengirim pasukan untuk membantu kami membasmi pemberontak. Kalau begitu, kami hendak menitipkan sepucuk surat untuk dihaturkan kepada kedua orang menteri bijaksana itu. Maukah engkau membawa surat kami ke kota raja dan menyerahkannya kepada mereka, Tai-hiap?" Ucapan ini ditujukan kepada Hay Hay. Tentu saja Hay Hay tidak berani menolak. "Dengan senang hati, Losuhu. Akan tetapi hendaknya cu-wi (kalian semua) tidak mendengarkan bualan Pek Han Siong! Yang membasmi pemberontak yang dipimpin Lam-hai Giam-lo itu bukanlah saya sendiri, melainkan banyak pendekar ikut membantu pemerintah, termasuk Pek Han Siong sendiri!" Wakil Dalai Lama memuji. "Omitohud......ji-wi (kalian berdua) adalah pendekar-pendekar yang berjiwa patriot. Sungguh beruntung sekali sebuah negara yang memiliki orang-orang muda seperti ji-Wi!" Setelah menerima hidangan makan pagi yang disuguhkan nyonya rumah, Wakil Dalai Lama lalu minta diri untuk kembali ke Lasha, dan dia menyerahkan sesampul surat kepada Hay Hay untuk disampaikan kepada kedua orang menteri itu. Setelah Wakil DalaI Lama dan rombongannya pergi, yang tinggal di rumah Kim Mo Siankouw sebagai tamu hanya tinggal Hay Hay dan Han Siong berdua. Siang hari itu, Hay Hay mendapat kesempatan untuk berdua saja dengan Mayang. Mereka duduk di taman belakang rumah. Mayang nampak cantik sekali dengan pakaian baru yang bersih. Potongan pakaiannya itu ketat dan mencetak tubuhnya yang tinggi ramping, dengan dada membusung dan pinggul yang padat membukit. Rambutnya dikuncir menjadi dua dan rambut yang lebat dan panjang itu bergantungan manis di kanan kiri, kadang-kadang di depan, kadang-kadang di belakang, ujungnya diikat sutera merah. Pakaiannya itu merupakan kombinasi warna hitam dan kuning, sehingga kulit yang nampak pada leher dan tangannya semakin putih, putih mulus dan kemerahan seperti kulit anak-anak bayi. Mau tidak mau Hay Hay merasa bangga juga. Gadis ini memang seorang wanita hebat dan dia akan selalu merasa bangga memandang wanita ini sebagai isterinya. Biasanya gadis ini bersikap lincah jenaka dan tak mengenal rasa takut atau malu-malu. Akan tetapi sekarang ia hanya banyak menundukkan muka dan setiap kali mengangkat muka bertemu pandang dengan Hay Hay, wajahnya yang manis itu berubah kemerahan. “Mayang, aku sengaja mencarimu karena aku ingin bicara denganmu.” Kata Hay hay dan dia sendiri merasa heran mengapa suaranya tidak seperti biasa, agak gemetar dan mengapa jantungnya berdebar demikian keras! Belum pernah dia menjadi begini gugup berhadapan dengan seorang wanita. Seolah lenyap semua ketabahannya. Biasanya, mudah saja kata-kata manis meluncur dari mulutnya kalau memuji-muji wanita, akan tetapi sekarang, dia selalu khawatir kalau-kalau membikin hati gadis ini menjadi tak senang! Mayang mengangkat mukanya dan sejenak dua pasang mata itu bertemu. “Bicaralah, Hay Hay.” Kata Mayang lirih lalu ia menunduk kembali. “Mayang, tentu Siankouw dan ibumu sudah memberi tahu tentang keputusanku. Aku masih mempunyai suatu tugas pribadi yang amat penting. Aku harus menyelesaikan tugas itu lebih dahulu dan untuk sementara aku akan meninggalkanmu. Setelah tugas itu selesai, aku akan kembali ke sini dan melangsungkan pernikahan kita.” Sejenak Mayang tidak mampu bicara karena kepalanya semakin menunduk. Ia tersipu dan merasa rikuh sekali mendengar pria yang dicintanya itu bicara tentang pernikahan. Akan tetapi, karena perasaan duka dan khawatir mendengar bahwa kekasihnya itu hendak meninggalkannya, akhirnya ia mengangkat mukanya dan kembali dua pasang mata bertemu dan bertaut. Indahnya mata itu, pikir Hay Hay dengan bangga. Memang sipit, akan tetapi bentuknya amat indah dan di kedua ujungnya seperti ditambahi garis hitam memanjang ke atas. Dan dari balik belahan pelupuk mata yang sipit itu memancar dua pasang mata yang amat jeli dan tajam. “Hay Hay, engkau hendak ke manakah?” Suaranya lirih, tidak malu-malu lagi akan tetapi kini suara itu mengandung penuh kekhawatiran. Aku hendak pergi ke kota raja, Mayang. Mengantar surat titipan Wakil Dalai Lama kepada YangTai-jin dan Cang Tai-jin." Dia tidak ingin bercerita tentang usahanya mencari jejak Ang-hong-cu di kota raja dengan menyelidiki perwira she Tang di kota raja yang kabarnya mengaku sebagai putera Ang-hong-cu. "Dan tugas pribadimu itu, tugas apakah? Atau.....engkau tidak mau menceritakannya kepadaku?" Hay Hay tersipu, Mayang adalah calon isterinya, tentu saja berhak mengetahui urusan pribadinya. Akan tetapi bagaimana mungkin dia akan mengaku bahwa dia adalah putera kandung seorang jai-hoa-cat, seorang penjahat besar yang tersohor di dunia kang-ouw? "Aku akan mencari musuh besarku!" Mayang kelihatan terkejut dan kini ia mengangkat muka, memandang sepenuhnya kepada wajah kekasih hatinya, sepasang matanya penuh selidik. "Apa yang telah dilakukan musuh besarmu itu!”   Hay Hay mengerutkan alisnya. Dia merasa tidak senang membicarakan urusan itu, akan tetapi dia harus menjawab. "Dia telah membunuh ibuku! Sudahlah, Mayang, kuharap engkau tidak bertanya tentang urusan ini. Aku selalu merasa berduka, kesal dan marah kalau membicarakan musuh besar itu." Ketika tangan gadis itu memegang sebuah kuncir rambutnya dan memindahkannya ke belakang punggung, tangan itu gemetar dan wajahnya agak berubah pucat. "Aku tidak akan bertanya lagi, Hay Hay. Akan tetapi......orang yang menjadi musuh besarmu tentu lihai bukan main. Karena itu aku harus menemanimu! Aku harus ikut denganmu ke kota raja. Aku akan membantumu menghadapi musuh besarmu itu, Hay Hay!" Hay Hay terkejut. Hal ini sungguh tak pernah disangkanya. "Ah, jangan, Mayang! Musuh besarku itu lihai bukan main. Aku tidak ingin melihat engkau terancam bahaya!" Di lubuk hatinya, Mayang merasa girang bahwa calon suaminya itu mengkhawatirkan keselamatannya. Akan tetapi iapun tidak ingin ditinggal, apalagi ditinggal menempuh bahaya. "Hay Hay, biarpun ilmu kepandaianku tidak ada artinya bagimu, namun aku dapat membantumu sekuat tenagaku. Setidaknya, aku akan dapat menyaksikan bagaimana keadaanmu setelah engkau berhadapan dengan musuh besarmu itu, Hay Hay. Kalau engkau pergi menempuh bahaya dan aku diharuskan menanti di sini, aku akan dapat mati karena gelisah selalu." "Tapi, Mayang......” "Tidak ada tapi, Hay Hay. Bukan aku bermaksud untuk memaksakan kehendakku kepadamu. Sama sekali bukan. Engkau adalah calon suamiku, engkau satu-satunya orang yang mulai sekarang harus kutaati. Akan tetapi, bukankah setelah kita terikat perjodohan, berarti nasib kita menjadi satu? Bukankah mati hidup kita harus selalu bersama-sama menghadapinya? Aku harus ikut denganmu, Hay Hay. Kalau engkau memaksaku tinggal, kalau engkau menolak aku ikut serta, kalau engkau meninggalkan aku, akupun tidak berani memaksamu, akan tetapi tak lama setelah engkau pergi, akupun akan menyusulmu, mencarimu ke kota raja. Apakah engkau menghendaki kita melakukan perjalanan sendiri-sendiri, menghadapi ancaman bahaya dalam keadaan saling terpisah?" Hay Hay menghela napas panjang. Sudah mulai dia merasakan akibat ikatan perjodohan itu. Sudah terasa betapa dia terikat, tidak bebas lagi, tidak seperti sebelum ada ikatan perjodohan. Dan apa yang dikemukakan Mayang itu memang tidak dapat dibantah kebenarannya. Kalau Mayang seorang wanita biasa, tidak memiliki kepandaian silat, maka tentu apa yang dikatakan itu tidak benar. Akan tetapi Mayang adalah seorang gadis yang pandai, yang bukan saja mampu menjaga dan melindungi diri sendiri, akan tetapi bahkan dapat pula membantunya dalam menghadapi lawan tangguh! “Tentu saja aku tidak menghendaki demikian, Mayang. Akan tetapi, kita baru bertunangan, belum menikah, bagaimana mungkin engkau pergi berdua saja bersamaku? Tentu gurumu dan ibumu tidak akan memperkenankan." "Sekarang juga aku akan memberitahu ibu dan subo, dan meminta ijin mereka!" kata gadis itu. Akan tetapi pada saat itu, kebetulan sekali Kim Mo Siankouw dan ibu Mayang berjalan keluar dari dalam rumah menuju ke taman. Melihat ini, dengan girang Mayang lalu berlari menyambut mereka. "Subo, ibu, kebetulan sekali, aku hendak mencari kalian untuk membicarakan hal yang teramat penting." Melihat puterinya demikian bersungguh -sungguh dan kelihatan risau dan tegang, ibunya menegurnya. "Tenanglah, Mayang. Segala hal dapat dibicarakan dengan tenang. Biarkan subomu duduk dulu, baru engkau bicara." Hay Hay juga cepat memberi hormat kepada Kim Mo Siankouw dan calon ibu mertuanya. Mereka berdua duduk di atas bangku panjang, sedangkan Mayang dan Hay Hay lalu duduk di bawah, di atas batu-batu hiasan taman itu. "Nah, muridku. Katakanlah apa yang terkandung dalam hatimu." kata Kim Mo Slankouw. "Subo, Hay Hay mengatakan bahwa dia hendak pergi menunaikan tugas pribadinya dan ketika teecu (murid) tanyakan apa tugas itu, dia mengaku bahwa dia harus mencari musuh besarnya. Dapat subo bayangkan bahwa yang menjadi musuh besar seorang yang berkepandaian tinggi seperti dia, tentulah orang yang lihai dan berbahaya sekali. oleh karena itu, teecu ingin ikut bersamanya, subo! Teecu mohon perkenan subo dan ibu agar diperbolehkan menemani Hay Hay untuk membantu dia menghadapi musuh besarnya. Bukankah itu sudah menjadi tugas seorang.......calon isteri? Kalau teecu ditinggalkan, mengetahui bahwa tunangan teecu menempuh bahaya seorang diri, hati teecu akan merasa tersiksa sekali. Mohon subo dan ibu sudi memberi ijin." Kedua orang wanita itu saling pandang, kemudian Kim Mo Siankouw memandang kepada Hay Hay, bertanya lembut. “Benarkah apa yang dikatakan calon isterimu itu, Hay Hay?” "Memang benar, Siankouw. Akan tetapi, sebenarnya saya sudah merasa keberatan untuk membawa Mayang menghadapi ancaman bahaya. Musuh besar saya itu lihai bukan main. Saya akan lebih merasa lega kalau ia tinggal saja di rumah. Akah tetapi saya tidak dapat mencegah kehendaknya yang kuat." Kembali kedua orang wanita itu saling pandang dan Kim Mo Siankouw lalu berkata kepada Mayang. “Muridku, dalam hal melepaskan dirimu ikut dengan Hay Hay, karena ada ibumu di sini, maka ialah yang berhak menentukan. Aku sih setuju saja atas keputusan yang diambil ibumu." Mendengar ucapan subonya itu, berseri wajah Mayang dan iapun mendekati ibunya dan merangkul ibunya dengan sikap manja. "Ibu tentu mengijinkan aku pergi bersama Hay Hay, bukan?" Selama ini, hampir selalu ibu yang amat menyayang puterinya itu memenuhi segala permintaan puterinya yang pantas, maka Mayang juga hampir yakin bahwa ibunya tentu akan mengangguk. Akan tetapi, sekali ini wanita setengah tua yang masih cantik itu mengerutkan alisnya, kemudian dengan perlahan menggelengkan kepalanya.   "Ibu.....!" Mayang berseru, penuh kekecewaan dan keheranan. "Akan tetapi, mengapa, ibu....?” "Mayang, sungguh tidak bijaksana kalau aku membiarkan engkau pergi berdua saja dengan Hay Hay. Ingat, nak, dia itu baru calon suamimu, belum suami yang sah! Andaikata kalian sudah menikah, tentu saja akuakan menyetujui sepenuhnya." Mendengar ini, Mayang merajuk. Mulutnya cemberut dan matanya semakin sipit seperti akan menangis. "Aih, ibu......., apakah ibu takut akan anggapan orang-orang lain? Yang penting, aku dapat menjaga diri, ibu, dan juga aku percaya bahwa Hay Hay akan dapat menjaga diri." Akan tetapi ibubya masih mengerutkan alisnya. Ia teringat akan keadaannya sendiri. Ia membayangkan hal yang buruk-buruk. Bagaimana kalau mereka, dua orang muda yang sedang dewasa, lupa diri dan melakukan pelanggaran? Bagaimana kalau kemudian Hay Hay meninggalkan puterinya dan tidak jadi menikahinya? Segala malapetaka akibat hubungan di luar nikah itu selalu akan menimpa diri wanita. “Ibu, kalau ibu melarang dan Hay Hay meninggalkan aku, tentu aku akan menjadi kurus, akan jatuh sakit karena selalu gelisah dan khawatir memikirkan dia. Aku......aku akan minggat dan mencarinya....." Mayang, tidak baik engkau mengancam ibumu seperti itu!" tiba-tiba Kim Mo Siankouw membentak muridnya. Mendengar bentakan marah ini, Mayang menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki gurunya. "Akan tetapi, subo. Bagaimana mungkin teecu membiarkan Hay Hay pergi menempuh bahaya tanpa membantunya sama sekali? Teecu akan selalu merasa gelisah dan takut. Subo, teecu takut Kalau....... Kalau Kehiangan dia.......dia satu-satunya......." Kim Mo Siankouw tersenyum. "Siancai........, baru saja mendapatkan seorang tunangan, engkau sudah lupa bahwa di dunia ini masih ada aku dan ibumu, bukan hanya ada Hay Hay seorang!" Mayang tersipu dan baru ingat, maka ia hanya menundukkan mukanya. "Mohon belas kasihan dan pertimbangan subo dan ibu....." katanya memelas. Ibu Mayang kembali saling pandang dengan Kim Mo Siankouw, kemudian ibu Mayang menghela napas panjang. "Aku baru dapat memberi ijin engkau pergi bersama Hay Hay kalau kalian sudah menikah. Karena itu, kalau engkau berkeras hendak pergi mengikuti Hay Hay, kalian harus menikah sekarang juga. Bagaimana pendapatmu, Hay Hay?” Hay Hay tertegun dan sejenak dia bengong. Menikah? Sekarang juga? Hal ini sungguh tak pernah dipikirkan dan kini dia tidak mampu menjawab. Bagaimana dia dapat melakukan pernikahan kalau dia hanya hidup sebatang kara didunia ini, tidak memiliki apa-apa kecuali beberapa potong baju? Dia merasa bingung, perasaan yang belum pernah mengganggunya selama hidupnya. “Ini....ini.....saya.....saya bingung, tidak tahu......" Melihat sikap pendekar muda yang dikaguminya itu, diam-diam Kim Mo Siankouw merasa iba juga. Hay Hay adalah seorang pemuda dan sekarang baru nampak bahwa dia sesungguhnya masih hijau dalam hal memasuki rumah tangga. Maka iapun berkata, "Biarlah kita memberi kesempatan kepada Hay Hay untuk membicarakan hal ini dengan Pek Taihiap, satu-satunya sahabat atau keluarganya yang dapat mewakilinya dan memberinya nasihat. Nah, engkau bicarakanlah hal pernikahan itu dengan Pek Tai-hiap, Hay Hay, dan nanti malam kami mengharap jawaban dan kepastian darimu." Pemuda itu mengangguk, memberi hormat kepada mereka lalu mengundurkan diri, meninggalkan taman itu memasuki rumah untuk mencari Han Siong. Setelah pemuda itu pergi, Kim Mo Sian-kouw menegur Mayang dan ibunya. "Aih, kalian ini sungguh membuat seorang pemuda menjadi tersipu dan tidak tahu harus berkata bagaimana. Kalian seperti mendesaknya saja. Mudah-mudahan dia dapat menerimanya dan dapat melangsungkan pernikahan yang tiba-tiba ini." Mendengar teguran itu, ibu Mayang menjawab lembut, "Anak inilah yang memaksa saya!" Mayang menubruk dan merangkul ibunya. "Subo, ibu, aku aku terlalu cinta kepadanya, dan tidak ingin berpisah darinya….." Dua orang wanita itu saling pandang dan tersenyum. Diam-diam mereka hanya mengharap agar Hay Hay suka menerima usul baru itu, yaitu melangsungkan pernikahan sekarang juga agar dia dapat pergi membawa isterinya yang rewel ini! Sementara itu, Han Siong yang sedang duduk bersila dan berlatih sambil bersamadhi di dalam kamarnya,terkejut ketika Hay Hay memasuki kamarnya seperti orang dikejar setan. "Pek Han Siong, sekarang engkau harus menolong aku……..!" kata Hay Hay begitu dia mendorong daun pintu kamar itu terbuka. Han Siong membuka matanya. Dia tidak heran melihat sepak terjang sahabatnya ini karena sudah sering melihat Hay Hay ugal-ugalan dan kadang-kadang aneh. "Hem, Hay Hay, apakah engkau mabok? Engkau mengejutkan orang saja. Ada apa sih? Mungkin hanya kalau dunia kiamat saja engkau kebingungan seperti sekarang ini!” Hay Hay menjatuhkan diri di atas kursi, lalu memegangi kepala dengan kedua tangannya. "Lebih dari kiamat, Han siong. Engkau harus menolongku sekarang! Aku sungguh bingung, tidak tahu harus berbuat apa!" "Ha-ha, tenanglah sahabatku. Ada peristiwa apakah yang membuat engkau menjadi seperti ini? Ceritakanlah, tentu saja aku setiap saat siap sedia untuk membantumu." "Aih, Han Siong, apa yang harus kukatakan sekarang? Ketahuilah, mereka itu, Mayang, ibunya dan gurunya, mereka mengusulkan agar pernikahan itu dilangsungkan sekarang juga!"   "Ehhh……. ??" Han Siong terkejut dan heran juga. Mengapa mereka begitu tergesa-gesa? "Tapi…… kenapa begitu? Tentu ada alasannya yang kuat." Hay Hay menarik napas panjang, lalu dia menceritakan betapa Mayang berkeras hendak ikut dengan dia, untuk membantunya menghadapi musuh besarnya. Kalau dia menolak, maka gadis itu akan minggat dan kelak mencari dan menyusulnya. Ketika mereka minta ijin kepada ibu Mayang, maka ibu dan guru Mayang lalu mengajukan saran agar kami menikah dulu, sekarang juga. Mayang berkeras hendak ikut, dan ibunya berkeras agar kami menikah dulu. Nah, aku terjepit di tengah-tengah. Bagaimana ini, Han Siong?" Pek Han Siong tertawa terpingkal-pingkal karena dia merasa bc;tapa lucunya keadaan Hay Hay. Rasakan kau sekarang, kata hatinya. Ini pembalasan watakmu yang mata keranjang. Akan tetapi setelah berhenti tertawa, diapun berkata. "Hay Hay, terjepit begitu bukankah enak buat engkau? Apa lagi masalahnya? Engkau disuruh menikah, kemudian isterimu ikut bersamamu, melakukan perjalanan bersama, seperti berbulan madu! Kurang enak bagaimana.Kenapa engkau masih bingung dan mengomel lagi? Dasar tidak tahu terima kasih!" "Han Siong, jangan engkau main-main! Berilah jalan keluar, berilah nasihat bagaimana aku harus menghadapi perkembangan baru ini!" "Siapa main-main, Hay Hay. Apa sih yang perlu dirisaukan? Menikah hari ini atau bulan depan atau tahun depan, apa sih bedanya?" "Han Siong, jangan bergurau! Engkau tahu bahwa aku menerima ikatan jodoh dengan Mayang karena tiga hal, yaitu pertama aku tidak ingin bermusuhan denganmu, ke dua aku tidak ingin berkelahi dengan Kim Mo Siankouw, dan ke tiga aku tidak ingin Mayang membunuh diri……." "Masih ada yang ke empat dan tidak boleh engkau melupakan itu, ialah kenyaaan bahwa Mayang cinta padamu dan engkaupun cinta padanya!" "Takkusangkal, aku suka dan kagum, kepada Mayang, akan tetapi cinta? Aku tidak tahu. Tapi sudahlah, aku sudah menerima ikatan jodoh, akan tetapi pernikahan sekarang? Aku belum siap!" Han Siong tertawa. "Ha-ha, apanya, lagi yang belum siap? Engkau sudah cukup dewasa, belum siap apanya?" "Ih, jangan main-main, Han Siong. Aku sebatang kara, tidak mempunyai apa-apa, rumahpun tidak punya. Bagaimana aku dapat menikahi anak orang. Apakah isteriku lalu kuajak mengembara tanpa tempat tinggal? Apakah ia bisa kuberi makan rumput dan daun saja?" "Hemm, kukira Mayang tidak membutuhkan itu semua! Dan hal itupun merupakan urusan nanti, dapat kalian rundingkan bersama. Sekarang, yang penting engkau terima saja usul mereka. Engkau menikah sekarang juga dengan Mayang dan itu berarti engkau telah membuat jasa besar bagi manusia dan dunia!" Hay Hay memandang terbelalak, bengong. "Eh? Kau jangan membikin aku menjadi semakin bingung, Han Siong. Apa maksudmu mengatakan bahwa kalau aku menikah sekarang dengan Mayang, aku berjasa terhadap manusia dan dunia?" "Betapa tidak? Kalau engkau menikah dengan Mayang sekarang, berarti engkau membikin senang hati Mayang, membikin lega hati ibunya dan gurunya membikin gembira hatiku, dan membikin gembira para tamu yang akan menghadiri perayaan pernikahan itu. Nah, berarti engkau menyenangkan banyak manusia, juga menyenangkan dirimu sendiri. Betapa senangnya melakukan perjalanan ditemani seorang isteri sehebat Mayang. Selain itu, engkau mendatangkan kebaikan kepada dunia karena dengan adanya seorang isteri yang selalu menemani, maka bahaya bagi para gadis lain tidak ada lagi!" "Bahaya bagi para gadis lain?" Hay Hay mengerutkan alisnya, tidak mengerti. "Tentu saja, karena engkau tentu tidak lagi berani mengumbar mata keranjang kalau ada isterimu di sisimu!" "Ahhh…..!” Hay Hay cemberut. “Engkau tidak memberi obat, malah membikin penyakit ini menjadi lebih parah!” Han Siong bangkit dari pmebaringan, menghampiri Hay Hay yang duduk di atas kursi, lalu memegang pundaknya. "Sahabatku, pergunakanlah akal sehatmu dan jangan murung. Syukurilah berkah yang dilimpahkan Tuhan kepadamu! Engkau tahu, untuk melakukan kebaikan kepada orang lain, seseorang biasanya harus berani mengorbankan sesuatu, meniadakan kepentingan diri sendiri. Akan tetapi sekarang ini, engkau dapat melakukan banyak kebaikan kepada banyak orang, tanpa berkorban apa-apa, bahkan engkau menerima pula nikmat dan kebahagiaan. Pria mana yang takkan berbahagia memetik setangkai bunga yang demikian indah dan harumnya seperti calon isterimu itu? Nah, hadapilah kenyataan dan berterima kasihlah kepada Tuhan!" Hay Hay menghela napas, lalu bangkit dengan malas. "Sudahlah, akan kupertim bangkan semalam ini.” "Besok pagi aku akan membawa keputusanmu yang menggembirakan kepada mereka!" kata Han Siong sambil tersenyum memandang sahabatnya yang meninggalkan kamarnya dengan langkah gontai. ** * Memang tidak ada pilihan lain bagi Hay Hay kecuali menerima usul baru agar pernikahan dilangsungkan dulu sebelum dia pergi meninngalkan puncak Awan Kelabu tempat tinggal Kim Mo Siankouw itu. Pernikahan yang mendadak ini dirayakan dengan sederhana. Bahkan tidak sempat lagi mengundang tamu jauh, juga Wakil Dalai Lama tidak mungkin dapat diundang. Yang diundang hanya penduduk dusun di sekitar Pegunungan Ning-jing-san saja dan perayaan dilaksanakan secara sederhana namun cukup meriah. Yang menemani Hay Hay hanyalah Han Siong, Pek Han Siong inilah yang menjadi semacam hiburan bagi Hay Hay, yang menganggap sahabat ini seperti saudara sendiri. Dan Han Siong juga menemani Hay Hay dengan kesungguhan hati karena dalam hati Han Siong memang amat kagum dan sayang kepada Hay Hay.   Para tamu yang terdiri dari penduduk dusun di pegunungan itu tentu saja bergembira ria dijamu masakan yang lezat dan arak wangi sehingga belum sampai tengah malam, para tamu sudah banyak yang mabok dan merekapun berpamit meninggalkan tempat pesta setelah memberi selamat kepada sepasang mempelai dan kepada Kim Mo Siankouw dan ibu Mayang, Han Siong juga mewakili pengantin pria untuk membalas pemberian selamat itu. Akhirnya, semua tamu sudah meninggalkan tempat pesta dan sepasang pengantin diarak memasuki kamar pengantin. Dalam kesempatan terakhir ini, Han Siong memberi selamat kepada Hay Hay dan Mayang. "Kionghi, kionghi (selamat, selamat) sekali lagi," katanya gembira. "Semoga Tuhan memberkahi kalian de ngan kebahagiaan abadi!" Mayang hanya menunduk tersipu malu, akan tetapi Hay Hay memandang sahabatnya itu dengan sinar mata haru. "Han Siong, engkau sahabatku yang paling baik. Terima kasih untuk segalanya!" Sepasang pengantin itu didorong masuk kamar yang segera ditutup dan semua orang meninggalkan kamar itu. Para pelayan sibuk membersihkan bekas pesta. Kim Mo Siankouw dan ibu Mayang juga merasa lelah sekali setelah tadi menerima tamu dan mereka segera beristirahat di kamar masing-masing, juga untuk menyembunyikan keharuan mereka karena begitu tiba di kamar masing-masing, kedua orang wanita ini menangis terharu mengingat betapa kini gadis yang mereka sayang itu telah menjadi isteri orang dan memulai suatu kehidupan baru. Rasa haru dan bahagla membuat mereka dlam-diam mencucurkan air mata! Sepasang mempelai itu telah berganti pakaian. Mayang, bersembunyi di balik tirai, melepaskan pakaian pengantin dan mengenakan pakalan tidur yang tipis, sedangkan Hay Hay juga sudah mengenakan pakaian biasa. Kini, mereka duduk bersanding di tepi pembaringan. Mayang menunduk, tersipu malu. Gadis yang biasanya lincah jenaka dan tabah itu, kini tidak berani berkutik, tidak berani bersuara, bahkan tidak berani mengangkat muka memandang wajah suaminya. Dan Hay Hay juga duduk dengan muka kemerahan karena agak terlalu banyak minum arak menerima penghormatan dan ucapan selamat tadi, akan, tetapi diapun tersipu, kehilangan akal, salah tingkah dan jantungnya berdebar penuh ketegangan. Terbayang semua pengalamannya dengan para wanita di masa lalu. Baru satu kali hubungannya dengan wanita benar-benar hampir melanggar batas, yaitu dengan Kok Hui Lan, janda muda yang tubuhnya semerbak harum seperti bunga itu! Juga ketika dia hampir "diperkosa" wanita cabul Ji Sun Bi. selain dua kali pengalaman itu, belum pernah dia berhubungan dengan wanita sampai ke hubungan badan, kecuali hanya bermesraan luar saja. Kini, menghadapi seorang gadis yang mulai saat itu telah menjadi isterinya, yang akan menyerah sebulatnya kepadanya dan dapat dia gauli tanpa ada yang akan melarang, tanpa ada pelanggaran susuila atau hukum apapun, dia berdebar penuh ketegangan dan juga kebingungan. Dia sama sekali tidak berpengalaman dalam hal itu!   Karena sukar membuka mulut, hanya duduk bersanding di tepi pembaringan, Hay Hay berdehem dua kali dan mengeluarkan suara ketawa kecil untuk menarik perhatian "isterinya". Dan usahanya berhasil. Mendengar suaminya berdehem lalu mengeluarkan suara ketawa kecil, Mayang khawatir kalau ada sesuatu pada dirinya yang tidak beres sehingga memancing tawa suaminya. Ia cepat memandangi pakaiannya kalau-kalau ada yang tidak beres, kemudian karena tidak menemukan sesuatu yang salah, ia mengangkat mukanya memandang. Dua pasang mata bertemu, bertaut dan akhirnya Mayang menundukkan kembali mukanya yang menjadi kemerahan, akan tetapi bibirnya menahan senyum. Manisnya! "Mayang……. " suara Hay Hay gemetar dan hal ini terasa benar olehnya sehingga diapun tidak berani melanjutkan! Mayang kembali menoleh dan kembali dua pasang mata bertemu pandang dan bertaut. "Hay Hay...." Mayang berbisik, lalu cepat dibenarkannya. "Hay-koko (kanda Hay)!" Ia cepat menunduk lalu dan mukanya semakin merah. Begitu merdu dan manisnya sebutan Hay-koko itu sehingga perasaan bahagia menyelinap di dalam kalbu Hay Hay. Tanpa disadarinya, tangan kirinya bergerak dan memegang pundak itu dengan sentuhan lembut. "Mayang, engkau……. Engkau…….. sungguh cantik jelita dan manis bukan main…….” Mayang kembali menoleh dan kini ia tersenyum. "Engkau perayu!" katanya manja dan entah siapa yang mulai lebih dahulu, tahu-tahu keduanya saling rangkul dan saling dekap. Ketika Hay Hay menciumnya, Mayang menyambut denganrintihan lirih. Mereka kini rebah dengan saling rangkul. Tiba-tiba Mayang bangkit duduk dan matanya yang sipit itu dibuka lebar memandang ke arah leher Hay Hay dan tak terasa ia mengeluarkan seruan lirih namun mengejutkan. "Ihhhh.......!" Hay Hay juga bangkit duduk. "Ada apakah, Mayang....?" Tangan kanan Mayang bergerak menangkap benda yang tergantung di leher Hay Hay, yaitu mainan berbentuk kumbang merah yang tadi berjuntai keluar dari balik baju Hay Hay. "Ang..... hong..... cu..... !" Mayang berbisik dan tangan kirinyapun mengeluarkan benda yang sama dari balik bajunya! Kini giliran Hay Hay yang tersentak kaget dan sekali tangannya bergerak dia sudah merampas dua buah benda itu dari kedua tangan Mayang, lalu dia membandingkan dua buah benda itu. Presis sama! "Mayang......" suaranya gemetar dan wajahnya pucat, "dari mana...... engkau mendapatkan benda ini...... ?" "Dari ibuku, baru tadi ibu memberikannya kepadaku sebagai hadiah pernikahan. Benda...... benda itu.... ibu menyebut Ang-hong-cu (Si Kumbang Merah),kata ibu itu peninggalan ayah kandungku...... "   "Ayah..... ayah kandungmu..... ya Tuhan...... !!!" Wajah Hay Hay menjadi semakin pucat dan seluruh tubuhnya menggigil. Mayang terkejut bukan main melihat keadaan Hay Hay itu. "Kenapa, Hay-koko? Kenapa? Dan dari mana engkau mendapatkan benda yang serupa benar dengan peninggalan ayahku? Dari mana engkau dapat memiliki Ang-hong-cu?" "Mayang......," Hay Hay menggeserduduknya menjauh agar tubuhnya tidak menyentuh tubuh Mayang, "Mayang....... kita …… kita........ kau....... Ang-hong-cu..... dia ayah kandungku pula......" Sepasang mata yang sipit itu terbelalak, muka yang manis itu menjadi sepucat mayat dan terdengarlah suara melengking tinggi dan nyaring dari mulut itu, lengkingan yang keluar sebagai jeritan dari dalam. Kedua tangan itu merenggut dua buah benda itu dari tangan Hay Hay, kemudian tubuh itu bergerak melompat turun dari atas pembaringan, lari menerjang pintu kamar sehingga terbuka dan Mayang berlari keluar. "Mayang......! Mayanggg.....!!" Dengan tubuh masih menggigil Hay Hay juga melompat turun. "Ang-hong-cu....... ah, Ang-hong-cu......, hu-hu-huuuhhh.......!" sambil menangis sesenggukan Mayang berlari keluar dan hampir saja ia bertabrakan dengan gurunya dan ibunya yang sedang berlarian menuju ke kamarnya. Dua orang tua itu terkejut ketika mendengar pekik melengking tadi dan keduanya sudah berlari keluar kamar masing-masing menuju ke kamar pengantin. "Mayang, ya Tuhan, ada apakah, Mayang?" ibunya segera merangkul puterinya dengan wajah penuh kekhawatiran. Juga Kim Mo Siankouw memandang muridnya dengan alis berkerut dan sepasang mata tajam penuh selidik. Dan pada saat itu, Kim Mo Siankouw juga melihat bayangan Han Siong berkelebat. Pemuda ini juga sudah keluar dari kamarnya dan terkejut oleh jeritan Mayang tadi, kini melihat Mayang menangis dalam rangkulan ibunya Han Siong cepat melompat dan lari ke arah kamar pengantin untuk melihat Hay Hay. "Mayang, berhentilah menangis dan katakan ada apa?" Ibunya menggoyang-goyang tubuh puterinya yang masih tersedu-sedu menangis sambil merangkulnya. "Tenanglah, Mayang. Apakah engkau tidak malu. menjadi cengeng seperti ini? Mana kegagahanmu?" kata pula Kim Mo Siankouw. Mayang melepaskan rangkulan pada ibunya, lalu menoleh dan memandang subonya dengan air mata bercucuran. "Subo…….!" Ia kini menubruk subonya dan menangis di pundak Kim Mo Siankouw. Gurunya terheran-heran, juga terkejut melihat sikap muridnya seperti kanak-kanak itu. "Mayang, engkau kenapakah? Mayang anakku…. !" Ibunya berkata dengan bingung dan khawatir sekali. Mayang kembali melepaskan rangkulan pada gurunya dan kini menangis dalam rangkulan ibunya. "Ibu…… hu-hu-huuuhhh…….. ibu…., subo……. bunuh saja aku, ibu…….. hu-hu-huuuhhh……. " "Eh? Engkau kenapa, Mayang? Ada apakah? Ibunya semakin khawatir. Mayang menjulurkan kedua tangannya yang sejak tadi menggenggam dua buah benda kecil itu. "Ang-hong-cu……… dia……. dia……… Ang-hong-cu……. " katanya dengan suara terputus-putus oleh isak. Kini ibunya terbelalak dan mukanya berubah pucat. "Ang-hong-cu……? Apa maksudmu? Dan kenapa menjadi dua benda itu? Dari mana yang sebuah lagi?" "Dia..... dia..... putera Ang-hong-cu.....!" Dan kini Mayang terkulai, pingsan dalam rangkulan ibunya. Dua buah benda itu terlepas dari genggamannya dan jatuh ke atas lantai. Kim Mo Siankouw cepat mengambil dua buah benda itu. Ketika para pelayan berdatangan, Kim Mo Siankouw memberi isarat dengan tangan agar mereka pergi dan kembali ke kamar mereka. Para pelayan tidak berani membantah walaupun mereka menjadi terheran-heran melihat nona mereka menangis, menjerit-jerit dan kemudian pingsan itu. Mereka tidak dapat mengerti mengapa nona mereka yang menjadi pengantin bersikap seperti itu. Sementara itu, ketika Han Siong memasuki kamar pengantin yang pintunya terbuka lebar, dia melihat Hay Hay duduk di tepi pembaringan seperti sebuah arca. Pemuda itu duduk dengan mata terbelalak, mukanya pucat dan penglihatannya kosong. Han Siong cepat memegang kedua pundak Hay Hay. "Hay Hay, sadarlah! Apa yang telah terjadi? Ada apa dengan Mayang isterimu?" Tanpa disengaja Han Siong memandang ke atas pembaringan dan jelas bahwa tempat itu belum pernah dipergunakan, bantal, selimut dan tilam sutera itu masih rapi, belum kusut seperti kalau sudah dipakai tidur. Karena pundaknya diguncang keras oleh Han Siong, Hay Hay seperti baru sadar. Dia menghela napas panjang, lalu dia memegang kedua lengan sahabatnya. Kedua matanya basah! "Eh? Engkau menangis?" Han Siong hampir tidak percaya. Akan tetapi dia melihat kedua mata itu basah, basah dan berlinang air mata! Hay Hay mengusapkan mukanya pada kedua pangkal lengan, lalu berkata dengan suara seperti orang dalam rnimpi. "Untung…… sungguh Tuhan masih melindungi kami…… aiiih, Han Siong, mengapa nasibku sekarang seperti ini? Atuakah ini dosa orang tuaku?" "Hay Hay, katakan apakah yang telah terjadi?" Melihat Hay Hay sudah tenang, Han Siong melepaskan tangannya dan dia kini mundur, memandang wajah sahabatnya yang masih pucat itu. "Han Siong, ia adalah adikku! Kami seayah berlainan ibu!"   "Ahhh…..?? Mayang puteri Ang Ang-hong-cu…..?” Kini Han Siong yang melongo keheranan. Hay Hay mengangguk, kembali menghela napas. “Ia juga memiliki benda perhiasan itu, seekor kumbang merah, presis yang kupunyai. Ia baru hari ini menerima dari ibunya, sebagai hadiah pernikahan, peninggalan ayah kandungnya….." Han Siong jatuh terduduk di atas kursi. Bengong. Mengertilah dia mengapa gadis itu menjerit-jerit dan Hay Hay seperti arca tadi. Dan diapun mengerti maksud kata-kata Hay Hay yang mengatakan masih untung, bahwa mereka masih dilindungi Tuhan. Jelas bahwa mereka belum melakukan hubungan suami isteri! Kalau sudah, berarti kiamat dunia ini bagi mereka! Dia menghela napas.'"Aihh, engkau masih untung, Hay Hay. Aku ikut merasa girang bahwa kalian masih belum terjatuh ke dalam aib dan dosa. Kasihan engkau, Hay Hay…….” "Kasihan Mayang, bukan aku, Han Siong. Tentu hancur hatinya….. ah, mari kita keluar. Aku harus menghiburnya, menghibur adikku…… " Mereka lalu keluar dari dalam kamar itu. Ketika melihat Mayang terkulai pingsan dalam pondongan ibunya, Hay Hay terkejut. “Mayang…..!” Kim Mo Siankouw berkata dengan suara lembut namun tegas, “Mari kita bicara di ruang dalam. Engkau juga, Pek Tai-hiap!" Ibu Mayang masih memondong tubuh Mayang. Gadis itu pingsan, dan mereka semua memasuki ruangan dalam. Kim Mo Siankouw sendiri menutupkan dua buah pintu tembusan pada ruangan itu. Ibu Mayang merebahkan puterinya di sebuah kursi panjang. “Kalian duduklah!” kata Kim Mo Sian-kouw kepada Hay Hay dan Han Siong. Dua orang pemuda itu duduk dan Hay Hay menundukkan mukanya, menutupi muka dengan kedua tangannya, tidak tahu harus berbuat apa atau berkata apa. Dia merasa bingung dan kenyataan yang teramat pahit itu merupakan pukulan yang mengguncang batinnya dengan hebat. Nyaris dia menjadi suami isteri dengan adiknya sendiri! Kim Mo Siankouw menghampiri Mayang, mengurut beberapa bagian punggung dan tengkuknya. Gadis itu mengeluh, membuka matanya, melihat ibu dan subonya, lalu teringat dan iapun merintih dan menangis. "Sudahlah, Mayang. Tenangkan hatimu dan mari kita bicara. Hay Hay juga sudah berada di sini." kata ibunya. Mendengar ini, Mayang bangkit duduk menengok dan begitu melihat Hay Hay, mulutnya bergerak-gerak, bibirnya menggigil dan iapun menangis lagi. Akan tetapi ditahannya sehingga ia menangis tanpa suara, menutupi mukanya dengan kedua tangan. Hay Hay merasa jantungnya seperti ditusuk-tusuk. Dia merasa iba sekali melihat Mayang, adiknya yang hampir menjadi isterinya tadi. "Mayang, maafkan aku. Kita telah menjadi permainan nasib…. " katanya lirih dan ucapannya ini hanya disambut suara sesenggukan dari Mayang. "Hay Hay, sekarang kuminta engkau suka bicara terus terang. Dari manakah engkau mendapatkan benda ini?" tanya ibu Mayang sambil menunjuk dua buah benda perhiasan kumbang merah yang diletakkan di atas meja oleh Kim Mo Siankouw. "Benda itu adalah peninggalan dari ayah kandung saya, yang diberikan kepada mendiang ibu saya." "Hay Hay, kita berada di antara orang sendiri. Untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya, sebaiknya kalau engkau menceritakan riwayat ibu dan ayahmu, setelah itu akan kuceritakan tentang diriku dan ayah Mayang. Dengan demikian, dapat diketahui bagaimana sesungguhnya hubungan antara engkau dan Mayang." kata pula ibu Mayang dengan sikapnya yang lembut dan halus. Kini Mayang juga amat tertarik dan ia sudah mampu menenangkan dirinya. Ia duduk dekat ibunya, memandang kepada Hay Hay dengan wajah pucat dan mata merah. Hay Hay menarik napas panjang. Kalau tidak ada urusan yang begini ruwet dengan Mayang, tentu dia tidak akan pernah menceritakan riwayat hidup ibunya kepada siapapun juga. Sekarang dia terpaksa, demi untuk menjernihkan kekeruhan antara dia dan Mayang. "Terus terang saja, bibi. Saya sendiri tidak tahu dan tidak mengenal siapa sebenarnya ibu saya. Ketika saya masih bayi, ibu saya membawa saya terjun ke laut untuk membunuh diri! Pada waktu itu, lo-cian-pwe Pek Khun, yaitu kakek buyut saudara Pek Han Siong ini, melihatnya dan cepat menolong ibu dan saya. Akan tetapi ibu tidak tertolong dan tewas, lalu saya yang masih bayi dibawa oleh lo-cian-pwe Pek Khun ke Pek-sim-pang. Kebetulan pada waktu itu, saudara Pek Han Siong yang juga sebaya dengan saya, perlu diungsikan dan disembunyikan karena dia dianggap sebagai Sin-tong (Anak Ajaib) dan dikejar-kejar oleh para pendeta Lama yang hendak merampasnya karena dia dianggap sebagai calon Dalai Lama. Nah, saudara Han Siohg ini disembunyikan, dan saya dijadikan penggantinya. Ketika lo-cian-pwe Pek Khun menyelamatkan saya, maka ada benda itu yang diberikan ibu untuk saya. Dalam saat terakhirnya ibu saya bercerita kepada lo-cian-pwe Pek Khun bahwa ibu adalah seorang korban jai-hoa-cat yang berjuluk Ang-hong-cu dan yang memberikan tanda perhiasan kumbang merah itu. Demikianlah riwayat ibu saya, bibi. Saya sendiri tidak mengenal siapa ibu saya. Setelah dewasa, saya baru mengetahui bahwa saya adalah putera Ang-hong-cu, dan saya bahkan pernah melihat kejahatannya! Dia bukan saja penyebab kematian ibu saya, melainkan juga saya rnelihat sendiri betapa dia telah menodai beberapa orang gadis pendekar. Dia jahat dan keji!" "Hemmm, jadi kalau begitu, ketika engkau mengatakan kepada Mayang bahwa engkau akan mencari musuh besarmu yang membunuh ibumu, maka musuh besarmu adalah Ang-hong-cu, juga ayah kandungmu?" tanya pula ibu Mayang. "Benar bibi. Tadinya, semua itu akan saya rahasiakan dan hanya beberapa orang saja yang mengetahui, termasuk saudara Pek Han Siong ini." Han Siong mengangguk-angguk. "Ang-hong-cu itu memang amat jahat dan keji, akan tetapi dja lihai dan juga cerdik dan licik sekali!"   "Hay Hay, tahukah engkau siapa nama ayahmu itu?" tanya pula ibu Mayang. Hay Hay menggeleng kepalanya. "Dalam pesan terakhir ibu saya, ia hanya mengatakan bahwa ayah itu memiliki nama keluarga Tang." "Dan dalam penyamarannya, dia memakai nama Han Lojin." sambung Han Siong. Ibu Mayang mengangguk-angguk. "Aih, ini juga kesalahanku sendiri. Ketika engkau datang bersama Mayang, dan mendengar engkau she Tang, lalu meljhat wajah dan bentuk tubuhmu, aku sudah terkejut dan terheran. Engkau she Tang, sama dengan she ayah Mayang, dan wajahmu mirip. Akan tetapi, aku tidak manyangka sejauh itu. Kalau begitu, engkau memang benar puteranya, Hay Hay. Engkau putera Ang-hong-cu, orang yang ku kenal sebagai Tang Kongcu (Tuan Muda Tang), yaitu ayah kandung Mayang. Kalau begitu tidak salah lagi, engkau memang masih kakak beradik dengan Mayang, satu ayah berlainan ibu." Hay Hay saling pandang dengan Mayang. "Engkau.... adikku....." kata Hay Hay perlahan, akan tetapi Mayang tidak menjawab dengan kata-kata, melainkan dengan linangan air mata. "Sekarang dengarkan riwayatku, Hay Hay. Seperti juga engkau, hanya karena timbul peristiwa antara engkau dengan Mayang ini sajalah yang memaksa aku untuk menceritakan riwayat hidupku yang mirip dengan riwayat ibu kandungmu. Tadinya aku sama sekali tidak mengira bahwa pemuda yang tampan dan terpejar itu, yang lemah lembut dan halus sikapnya, yang oleh penduduk dusun kami di kenal sebagai Tang Kongcu yang pandai silat dan pandai mengobati orang sakit, sebetulnya adalah seorang penjahat cabul yang berjuluk Ang-hong-cu yang kejam. Aku yang ketika itu masih seorang gadis berriama Sauli, terpikat oleh ketampanan dan rayuan Tang Kongcu sehingga aku secara tidak tahu malu menyerahkan diri dengan harapan akan dikawininya. Akan tetapi, setelah aku mengandung, dia pergi begitu saja, hanya meninggalkan perhiasan kumbang merah itu. Orang tuaku marah kepadaku, dan dalam keadaan mengandung aku diusir dari dusun, tidak diakui lagi. Aku hidup terlunta-lunta, melahirkan Mayang dalam keadaan sengsara sekali. Dan agaknya akupun, seperti ibumu, akan mati kalau saja tidak ada subo Kim Mo Siankouw ini yang telah menolong kami." Wanita itu menangis dan Mayang merangkul ibunya. Hay Hay mengepal tinju. "Akan saya cari sampai dapat Ang-hong-cu, dan dia harus menebus semua dosanya! Bukan saja terhadap ibuku dan terhadap bibi akan tetapi juga terhadap entah berapa ratus orang wanita yang telah dirusak kehidupan mereka oleh kejahatannya!" "Hay koko, aku ikut denganmu!" Tiba-tiba Mayang berkata, suaranya lantang dan penuh kemarahan. Agaknya ia sudah dapat memulihkan kekuatan batinnya dan kini nampak garang. Semua orang terkejut. Akan tetapi Hay Hay memandang dan wajahnya mulai cerah. Dia girang melihat gadis itu telah pulih kembali, tidak tenggelam ke dalam kedukaan seperti tadi. "Adikku Mayang, kenapa engkau hendak ikut dengan aku?" tanyanya. "Mayang, engkau baru saja mengalami guncangan batin, sebaiknya beristirahat di rumah." kata ibunya. "Benar ibumu, Mayang. Menurut kakaku Ang-hong-cu itu lihai sekali, dan untuk dapat menandinginya, agaknya engkau perlu berlatih keras. Biar kuajarkan engkau jurus-jurus simpanan agar dapat menandingi Ang-hong-cu.” kata Kim Mo Siankouw. "Tidak, Hay-koko, ibu dan subo! Aku harus ikut! Pertama, orang yang berjuluk Ang-hong-cu itu, biarpun dia ayah kandungku, akan tetapi dia juga orang yang telah merusak hidup ibu, hidupku, bahkan kini mendatangkan malapetaka kepada aku dan Hay-ko. Dia harus mati di tanganku! Aku akan membantu Hay-ko menghadapinya! Selain itu, ibu dan subo, setelah terjadi peristiwa ini, bagaimana mungkin aku tinggal di sini lagi? Semua orang di sekitar daerah ini telah datang menjadi tamu, menyaksikan aku menjadi pengantin, minum arak pengantin dan memberi selamat. Kemana aku akan menaruh mukaku ini kalau mereka mendengar bahwa pernikahan ini dibatalkan, bahkan aku nyaris menikah dengan kakak sendiri?" Setelah mengucapkan kalimat terakhir ini, kembali Mayang menangis. Hay Hay merasa kasihan sekali kepada adiknya itu. Dia dapat merasakan hal itu memang. Sebagai seorang pria, tentu dia bebas dari aib. Akan tetapi, keadaan hidup seorang wanita mengenai hal yang menyangkut nama, kehormatan yang berhubungan dengan kesusilaan memang amat gawat. Begitu mudahnya orang tmelemparkan aib kepada diri seorang gadis. Wanita akan selalu menjadi sasaran celoteh. "Kalau subomu dan ibumu mengijinkan aku sekarang tidak merasa berkeberatan untuk mengajakmu, Mayang." "Terima kasih, Hay-ko, aku memang harus ikut denganmu. Kalau tidak diperkenankan, aku akan minggat dan mencari sendiri Ang-hong-cu!" kata gadis itu. Kim Mo Siankouw dan ibu Mayangsaling pandang. Mereka tahu bahwa sekarang ini mereka tidak mungkin dapat membujuk atau berkeras. Pula, mereka juga merasa kasihan kepada Mayang. Melihat ibu Mayang mengangguk kepalanya, Kim Mo Siankouw lalu berkata. "Baiklah, Mayang. Aku dan ibumu setuju engkau pergi bersama Hay Hay akan tetapi mengingat bahwa engkau akan menghadapi lawan yang amat lihai maka lebih dulu aku akan mengajarkan jurus-jurus pilihan selama sepuluh hari. Engkau dapat melatihnya dalam perjalanan setelah engkau hafal akan semua gerakannya. Tanpa bekal itu, aku tetap akan merasa khawatir kalau engkau pergi." Mayang memandang kepada Hay Hay dan suaranya mengandung permohonan ketika ia bertanya. "Hay-ko, maukah engkau menanti sampai sepuluh hari baru kita berangkat?” Hay Hay tersenyum. Dia telah memperoleh kembali ketenangan dan kegembiraannya setelah urusannya dengan Mayang itu dapat diselesaikan tanpa akibat yang menyedihkan. Dia tahu bahwa mulai saat ini, dia mendapatkan seorang adik perempuan yang manja sekali! Dia mengangguk menyetujui.   Han Siong ikut merasa gembira dan ini dia nyatakan dengan ucapan yang disertai senyum dan wajah yang cerah.”Saya merasa bergembira sekali bahwa urusan yang tadinya membuat saya merasa amat khawatir ini telah dapat diselesaikan dengan baik. Dan sayapun berterima kasih kepada Tuhan yang masih melindungi Hay Hay dan nona Mayang sehingga walaupun mereka telah melaksanakan upacara pernikahan, namun mereka masih belum menjadi suami isteri dan kini dapat menjadi kakak dan adik secara wajar. Karena, bagaimanapun juga, saya akan ikut memikul dosanya kalau sampai pelanggaran terjadi, karena saya ikut pula membujuk Hay Hay untuk menerima usul perjodohan itu. Setelah sekarang semuanya heres, sayapun hendak mohon diri, dan saya menghaturkan terima kasih kepada Kim Mo Siankouw atas semua kebaikannya selama saya berada di sini." "Han Siong, kenapa engkau tergesa-gesa pergi? Hendak ke manakah engkau?" tanya Hay Hay. "Engkau tahu bahwa akupun mempuai perhitungan dengan Ang-hong-cu. Akan tetapi aku akan pulang dulu ke Kong-goan, ke Pek-sim-pang untuk menemui keluargaku. Mari kita berlumba, siapa yang akan lebih dulu berhasil menangkap Ang-h6ng-cu, Hay Hay!" "Bagus!" Hay Hay yang sudah mendapatkan kembali kegembiraannya itu menerima tantangan itu. "Kita lihat saja nanti. Yang kalah harus menjamu makanan apa saja yang diminta si pemenang dalam rumah makan besar!" "Baik, Hay Hay. Nah, sekarang aku harus pergi." Han Siong memberi hormat kepada mereka semua dan pergilah dia meninggalkan tempat itu. Hatinya merasa gembira bukan main. Dia kini merasa bebas seolah-olah semua ikatan pada dirinya telah putus, seolah beban yang selama ini menghimpit hatinya telah tanggal. Pertama, Wakil Dalai Lama sendiri sudah menjanjikan bahwa mulai sekarang, tidak akan ada lagi pendeta Lama yang mengganggunya, yang hendak memaksanya ikut ke Tibet menjadi Dalai Lama! Dan ke dua, urusan Hay Hay dengan Mayang telah dapat diselesaikan dengan baik, karena dia ikut pula bertanggung jawab, ikut pula membujuk Hay Hay, bahkan mengancam akan memusuhinya kalau Hay Hay tidak mau berjodoh dengan Mayang! Dia bergidik membayangkan. Kalau sampai terlanjur terjadi pelanggaran dan hubungan suami isteri antara kedua orang yang masih sedarah itu, tentu dia sendiri merasa berdosa, menyesal bukan main. Dan Hay Hay tentu akan mendapatkan alasan yang kuat untuk melampiaskan kemarahan kepadanya tanpa dia mampu membela diri. Hay Hay tentu akan menganggapnya jahat dan mengatakan bahwa dia telah mendorong Pendekar Mata Keranjang itu terjerumus ke dalam lembah kehinaan! Untung juga keduanya memakai perhiasan kumbang merah itu sebagai kalung! Kini semua telah lewat dan Han Siong dapat melakukan perjalanan dengan wajah berseri dan hati lapang. Ada lagi suatu hal yang menggembirakan hatinya. Kegagalan cintanya terhadap Siangkoan Bi Lian tidak menimpa dirinya sendiri! Kepahitan karena cinta gagal baru saja juga menimpa Hay Hay. Bahkan lebih parah daripada dia. Berarti dia mempunyai teman sependeritaan! Hal ini membuat dia merasa semakin dekat dengan Hay Hay! Pemuda gemblengan ini dalam kegembiraannya lupa bahwa dia telah menjadi hamba dari pada ke-akuan yang menghinggapi hampir seluruh manusia di permukaan bumi ini. Orang yang sedang tertimpa malapetaka, yang sedang merasa sengsara, sedang berduka, akan merasa terhibur dan berkurang kedukaannya kalau ia melihat orang lain, apa lagi yang dekat dengan dia, tertimpa kemalangan yang lebih besar dari pada kemalangan yang menimpa dirinya sendiri! Dan orang yang sudah diperbudak ke-akuannya sendiri itu yang merasa terhibur dan berkurang kedukaannya kalau melihat orang lain tertimpa kedukaan yang lebih besar, tentu akan merasa tak senang dan iri hati kalau melihat orang lain memperoleh keuntungan yang lebih besar dari pada keuntungan yang diperolehnya sendiri. Seperti inilah kelemahan manusia yang tercengkeram nafsu-nafsunya sendiri. Nafsu selalu mendorong kita untuk menjadi yang paling baik, paling besar, paling penting dan tidak kalah oleh orang lain! Berbahagialah orang yang dapat melihat, merasakan, dan menyadari kelemahan yang ada pada dirinya ini. Karena hanya mereka yang waspada dan sadar sajalah dapat melihat ulah nafsu yang ada pada diri sendiri. ** * Mereka bertiga berjalan-jalan di puncak bukit yang penuh dengan pohon cemara itu. Pagi itu cerah dan pemandangan alam amatlah indahnya. Matahari pagi sudah tersenyum lembut di atas puncak, sinarnya juga lembut dan hangat di antara kesejukan semilir angin gunung. Bau rumput dan daun cemara yang khas sungguh nyaman dan harum menyenangkan, keharuman yang lembut, membuat hidung terasa segar dan lega. Kicau burung-burung yang sudah sibuk sejak matahari timbul tadi, seperti ribuan karyawan yang siap melaksanakan tugas pekerjaan sehari-hari di pagi itu, memulai pekerjaan dengan semangat berkobar dan hati penuh kebahagiaan, merupakan suara yang merdu dan gembira, menjadi santapan pagi yang amat sehat bagi telinga. Betapa nikmatnya hidup kalau pada suatu saat, tiga di antara alat panca indriya kita, yaitu mata hidung dan telinga, menikmati keindahan bersama-sama. Mata menikmati pemandangan alam yang mentakjubkan, penuh pesona dan penuh kegaiban. Hidung menghirup udara yang amat sejuk segar, jernih bersih, dengan keharuman yang khas alami, membuat napas yang dihisap itu penuh tenaga mujijat dari alam, memenuhi rongga dada bahkan terus sampai ke bawah pusar, menyehatkan dan membahagiakan. Telinga pada saat yang sama mendengarkan suara yang penuh kedamaian, penuh ketentraman, penuh kewajaran dan keindahan. Betapa nikmatnya hidup! Dalam keadaan seperti itu, hati dan akal pikiran berhenti berceloteh dan segala sesuatu nampak indah. Suara angin bermain dengan daun-daun cemara, suara air gemercik di antara batu-batu, kicau burung, kokok ayam hutan, semua itu merupakan pendengaran yang seolah-olah bunyi-bunyian merdu dari sorga! Bau tanah bermandikan embun saja sudah demikian sedap dan harumnya, masuk ke rongga dada melalui hidung, demikian harum menyegarkan! Dan melihat kupu-kupu berwarna-warni beterbangan di antara bunga-bunga, melihat burung-burung berloncatan dari dahan ke dahan, bahkan melihat embun sebutir bergantung pada ujung daun, berkilauan tercuci sinar matahari pagi, sudah merupakan penglihatan yang indahnya sukar dilukiskan! Sayang, sungguh sayang sekali bahwa sejak kecil kita sudah dijejali kesenangan-kesenangan pemuas nafsu sehingga kita menjadi mabuk. Kesenangan badani yang semu, yang hanya merupakan pelampiasan dari pada hasrat nafsu, membuat kita mabok dan tidak lagi dapat melihat segala keindahan, tidak dapat mendengarkan segala kemerduan dan tidak lagi mampu menghirup segala kesedapan yang segar. Kita terbuai oleh kesenangan tuntutan nafsu. Hati dan akal pikiran kita selalu berceloteh dan sibuk dengan urusan pengejaran kesenangan nafsu. Kalaupun kadang-kadang kita dapat merasakan keagungan dan keindahan itu, segera hati dan akal pikiran datang mengacau dan seketika lenyaplah semua keindahan itu karena batin telah disibukkan kembali dengan urusan kesenangan diri, kesenangan dari pelampiasan nafsu keinginan!   Demikian pula dengan tiga orang yang berjalan-jalan di pagi hari itu. Tadinya mereka tidak berkata-kata, seperti tenggelam ke dalam keindahan itu, bahkan mereka merasa bersatu dengan semua keindahan itu, tidak terpisah-pisah. Rasa aman teneram bahagia, bukan senang, menyelubungi mereka sehingga pada saat seperti itu, mereka tidak ber-aku, mereka bersatu dengan alam, dengan kekuasaan Tuhan, dengan Tuhan! Mereka berada dalam keadaan samadhi yang sejati, bukan pengosongan diri karena dikehedaki hati dan akal pikiran! Kekosongan batin yang DIKOSONGKAN oleh hati dan akal pikiran, merupakan kekosongan palsu, karena kekosongan itu penuh dengan usaha dari keinginan. Kekosongan berpamrih. Tiga orang itu bukanlah orang-orang biasa, bukan penghuni pegunungan biasa. Mereka adalah ayah, ibu dan anak yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan dapat disejajarkan dengan orang-orang sakti! Pria itu berusia empat puluh tiga tahun kurang lebih. Lengan kirinya buntung sebatas siku sehingga lengan baju yang kiri itu ujungnya terkulai lemas tanpa isi. Tubuhnya tinggi tegap. Kepalanya tidak gundul, melainkan memiliki rambut yang hitam tebal dan panjang, yang digelung ke atas seperti gelung rambut tosu (pendeta To), akan tetapi pakaiannya yang longgar itu mengingatkan orang akan pakaian hwesio (pendeta Buddha) yang berwarna kuning. Wajahnya tampan dan jantan, dengan alis tebal dan sepasang matanya mencorong. Sikapnya pendiam dan bahkan dingin. Pria ini bukan lain adalah Siangkoan Ci Kang! Seperti telah kita ketahui, pria ini adalah putera mendiang Siangkoan Lojin atau yang di (junia kang-ouw terkenal dengan sebutan Si lblis Buta. Biarpun kedua matanya buta, namun Siangkoan Lojin ditakuti semua orang, karena lihainya, juga karena kejamnya. Seorang datuk sesat yang namanya tersohor. Akan tetapi, sungguh aneh, puteranya, yaitu Siangkoan Ci Kang, walaupun juga berhati sekeras baja, namun tidak mewarisi watak kejam dan jahat seperti ayahnya. Bahka sejak muda dia menentang kejahatan, sehingga membuat dia menjadi penentang ayahnya sendiri! Wanita berusia empat puluh dua tahun itu isterinya, Toan Hui Cu dan ia masih nampak cantik sekali. Walaupun mukanya agak pucat, akan tetapi bukan pucat karena sakit. Dan riwayat wanita ini bahkan lebih hebat dari pada riwayat suaminya. Seperti juga suaminya, Toan Hui Cu juga keturunan datuk sesat. Bukan datuk biasa malah, melainkan rajanya datuk sesat! Biarpun ayah kandungnya masih keluarga kerajaan, berdarah bangsawan tinggi, namun ayahnya ketika masih hidup terkenal dengan julukan Raja Iblis, dan ibunya Ratu Iblis! Ayah dan ibunya memiliki kepandaian yang membuat mereka itu sakti dan mengenai kekejaman dan kejahatan, tidak ada datuk sesat yang lebih mengerikan dari pada mereka! Anehnya, Toan Hui Cu yang merupakan anak tunggal, seperti juga halnya Siangkoan Ci Kang, tidak mewarisi watak jahat ayah ibunya. Bahkan ia condong berwatak pendekar! Dua orang dari keturunan tokoh sesat ini saling mencinta dan akhirnya, nasib membuat mereka berdua itu menjadi murid di kuil Siauw-lim-si, akan tetapi juga menjadi dua orang hukuman karena oleh ketua Siauw-lim-si dianggap melakukan dosa, melanggar kesusilaan karena mereka berdua telah menjadi suami isteri tanpa nikah! Selama duapuluh tahun mereka harus menjalani hukuman di kuil itu, bertapa, akan tetapi justeru dalam hukuman itulah mereka berdua menemukan kitab-kitab pelajaran ilmu silat tinggi peninggalan orang-orang sakti yang termasuk Delapan Dewa! Dan mereka, biarpun terhukum dalam ruangan berbeda, dengan ilmu mereka yang tinggi, dan keduanya mempelajari ilmu dari kitab-kitab itu sehingga keduanya menjadi semakin sakti! Dan dari hubungan mereka, terlahirlah seorang anak perempuan! Karena mereka dalam keadaan sebagai terhukum, maka terpaksa anak perempuan itu mereka titipkan didusun. Nasib membuat anak itu terculik lenyap, dan setelah anak itu dewasa, barulah anak itu kembali kepada mereka. Orang ke tiga yang sedang berjalan-jalan di pagi hari itulah anak mereka, puteri mereka yang bernama Siangkoan Bi Lian! Seorang gadis berusia dua puluh satu tahun, bertubuh ramping dengan pinggang yang kecil sekali, dengan kulit yang putih mulus. Rambutnya panjang sampai ke pinggul, hitam mengkilap dan tebal, dan pagi hari ini rambut itu dikuncir menjadi dua, dibiarkan tergantung dan kedua ujungnya diikat pita sutera biru. Bi Lian memiliki mata ayahnya, mencorong tajam. Hidungnya kecil mancung seperti hidung ibunya, mulutnya berbentuk seperti mulut ibunya, hanya bedanya, kalau bibir ibunya selalu nampak agak pucat seperti wajahnya, bibir Bi Lian selalu nampak merah membasah. Bentuk mukanya bulat telur dan sebutir tahi lalat di dagunya menjadi pemanis yang menarik. Biarpun ayah dan ibunya amat lihai, namun gadis ini yang sejak kecil terpisah dari mereka, menerima gemblengan ilmu-ilmu silat tinggi dua orang datuk iblis yang amat linai, yaitu mendiang Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi, dua orang di antara Empat Setan. Di bagian depan cerita ini telah diceritakan betapa Bi Lian berjumpa dengan murid ayah ibunya, yaitu Pek Han Siong yang juga oleh ayah ibunya telah diangkat menjadi tunangannya. Han Siong yang membuka rahasianya bahwa ia puteri Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu, dan Han Siong pula yang membawanya ke kuil Siauw-li-si, kemudian menyusul ke tempat tinggal suami isteri itu, yaitu Kim-ke-kok (Lembah Ayam Emas) di pegunungan Heng-tuan-san sebelah timur. Setelah bertemu, pertemuan yang penuh keharuan dan kebahagiaan, ayah ibu gadis itu memberitahu tentang ikatan jodoh antara Bi Lian dan Han Siong. Gadis itu menolak! Ia menolak bukan karena ia membenci Han Siong. Sebaliknya malah ia amat mengagumi Han Siong, juga amat menyukainya, akan tetapi ia menganggap Han Siong sebagai suheng (kakak seperguruan) sehingga perubahan yang mendadak itu membuat Bi Lian merasa canggung dan salah tingkah. Maka ia menyatakan tidak setuju. Mendengar ini, Han Siong tersinggung dan diapun mohon kepada kedua orang gurunya untuk membatalkan ikatan jodoh itu, dan diapun mengembalikan pedang pusaka Kwan-im-kiam yang diterima dari kedua orang gurunya sebagai tanda perjodohan. Demikianlah, setelah Han Siong pergi, Bi Lian tinggal bersama ayah ibunya. Dan dari kedua orang tuanya itu, iapun menerima gemblengan ilmu silat tinggi. Ia memilih jurus -jurus simpanan saja sehingga ia yang sudah lihai sebagai murid Pak-kwi-ong (Raja Iblis Utara) dal) Tung-hek-kwi (Iblis Hitam Timur) kini menjadi semakin lihai. Dan pada pagi hari itu, ayah ibu dan anak ini berjalan-jalan di puncak menikmati keindahan suasana pagi hari yang cerah itu. Sejenak mereka bertiga tenggelam ke dalam keheningan yang indah itu. Bukan hening yang berarti sepi. Puncak-puncak cemara bergoyang, bunyi daun gemersik ditimpa dendang air dan meriahnya suara burung, keharuman yang meriah. Sama sekai tidak sepi. Namun keheningan yang tercipta apa bila hati dan akal pikiran berhenti berceloteh. Sayang sekali, keheningan itu segera dikacaukan oleh pikiran. Melihat burung terbang berpasangan, Siangkoan Ci Kang menghela napas panjang dan melirik kepada puterinya. Lenyaplah sudah keindahan itu, terganti oleh kegelisahan dan kedukaan karena kini batinnya terpenuhi permasalahan mengenai diri puterinya. Sudah hampir dua bulan puterinya tinggal bersama mereka di Kim-ke-kok, dan selama dua bulan itu, dia dan isterinya mengajarkan jurus-jurus rahasia simpanan mereka kepada Bi Lian. Akan tetapi, di waktu malam, kalau dia berada berdua saja dengan isterinya dalam kamar mereka, mereka tiada hentinya membicarakan puteri mereka dengan hati yang kecewa dan berduka. Puteri mereka telah menggagalkan dan bahkan membikin putus ikatan perjodohan antara puteri mereka dan murid mereka, Pek Han Siong. Mereka tidak melihat adanya pemuda lain yang lebih baik dari pada murid mereka itu. Inilah yang pada saat itu menyelinap dalam pikiran Siangkoan Ci Kang ketika dia melihat burung-burung beterbangan dengan berpasangan. Lian-ji (anak Lian), tahukah engkau, berapa usiamu sekarang?' Bi Lian dan ibunya yang masih tenggelam dalam keheningan, seperti baru terbangun dan Bi Lian menoleh, memandang ayahnya dengan heran. Pertanyaan itu sungguh tak pernah diduganya akan diajukan ayahnya di pagi hari ini. Sejak mendaki puncak itu, mereka bertiga tidak pernah bicara dan mereka menikmati suasana yang amat indah itu. Dan tiba-tiba ayahnya bertanya tentang usianya! "Mengapa, ayah? Katau tidak salah, sudah hampir dua puluh satu tahun." jawabnya sambil memandang wajah ayahnya dengan sinar mata bertanya. Ayahnya juga memandang kepadanya dan dua pasang mata yang sama mencorongnya saling pandang seperti hendak menembusi hati masing-masing. "Tidak mengapa, hanya………. kukira usia sedemikian itu bagi seorang wanita sudah lebih dari cukup untuk menjadi seorang isteri yang baik. "Bahkan sudah cukup untuk menjadi seorang ibu yang baik. Aih, betapa inginku menimang seorang bayi, seorang cucuku…….. !" kata pula Toan Hui Cu sambil menarik napas panjang karena ia sudah membayangkan kesenangan itu. Bi Lian mengerutkan alisnya, akan tetapi ia tidak marah. Ia cukup mengerti akan perasaan hati ayah ibunya yang ingin melihat ia menikah dan mempunyai anak! "Aihhh, ayah dan ibu selama dua bulan ini hampir setiap hari bicara tentang pernikahan untukku!" ia hanya mengeluh, lalu berhenti melangkah. Ayah ibunya juga berhenti. Mereka berada di puncak dan di bawah kaki mereka, di sekeliling puncak itu, nampak hutan dan pohon-pohon kelihatan begitu kecil dan pendek. "Terus terang saja, anakku, ayah dan ibumu hanya mempunyai satu keinginan, yaitu melihat engkau berumah tangga. Anak kami hanya engkau seorang dan kelirukah kalau ayah dan ibumu ingin melihat anaknya berumah tangga?" kata pula ibu Bi Lian. Bi Lian mendekati ibunya dan merangkul pinggang ibunya. Ibunya masih cantik sekali, bahkan patut kalau menjadi kakaknya. "Ibu, aku tahu dan aku tidak menyalahkan kalian, hanya saja, urusan perjodohan bukanlah urusan yang sedemikian mudahnya. Tak mungkin kalau aku memungut begitu saja seorang calon suami dari pinggir jalan!" "Ha-ha-ha!" Siangkoan Ci Kang tertawa. "Tentu saja tidak mungkin! Engkau harus memperoleh seorang suami yang terbaik, anakku! Dan menurut penglihatan kami, kiranya tjdak ada pemuda yang lebih bajk dari pada suhengmu sendiri. Pek Han Siong! Sayang sekali engkau membencinya, Lian-ji." "Ayah, aku sama sekali tidak membencinya! Bahkan aku kagum dan suka padanya!" Bi Lian membantah cepat. "Hemm, kalau benar demikian, mengapa engkau begitu tega untuk menghancurkan hatinya, memutuskan ikatan perjodohan itu? Dari mana kita akan bisa mendapatkan seorang pemuda yang melebihi Han Siong, baik kepandaiannya maupun wataknya? Dia seorang pendekar sejati, anakku!" Bi Lian menahan senyumnya dan entah bagaimana, pada saat itu terbayanglah wajah Hay Hay yang tersenyum-senyum nakal itu! Iapun menghela napas. "Ayah dan ibu, aku tahu bahwa kalian masih menyesali kegagalan perjodohan antara aku dengan suheng itu. Maafkan aku. Terus terang saja, akupun kagum dan suka kepada suheng Pek Han Siong, akan tetapi rasa sukaku itu hanya perasaan terhadap seorang suheng. Aku tidak tahu apakah ada cinta dalam hatiku terhadap suheng. Akan tetapi itu tidak penting. Yang penting adalah bahwa aku tidak yakin akan cintanya kepadaku." "Ehhh? Bukankah dia secara terus terang telah menyatakan cintanya kepadamu, di depan aku dan ibumu? Lian-ji, Han Siong mencintaimu, itu sudah jelas!" kata pula Siangkoan Ci Kang. "Benar ayahmu, Bi Lian. Han Siong cinta padamu dan dia akan menjadi seorang suami yang amat baik, juga ayah yang baik untuk anak-anakmu." kata ibunya. "Bagaimana ayah dan ibu dapat begitu yakin? Ingatlah, ketika suheng mengaku cinta, dia sudah terikat perjodohan dengan aku! Maka, tentu saja dia mengaku cinta, karena kalau tidak, berarti dia akan menghina ayah dan ibu dan juga aku! Dia telah terikat jodoh denganku sebelum dia melihat aku, ayah dan ibu. Hal ini harap dipertimbangkan. Andaikata saat dia mengaku cinta kepadaku itu dia belum terikat dengan perjodohan, mungkin sekali aku akan percaya, bahkan yakin. Akan tetapi keadaannya tidak demikian. Aku tidak puas, ayah dan ibu. Maafkan aku, akan tetapi aku hanya mau menikah dengan seorang pria yang aku yakin benar-benar mencintaku, dan tentu saja kalau aku mencintanya." Suami isteri itu saling pandang. Alasan puteri mereka itu memang kuat dan tepat. Kinipun mereka dapat merasakan. Memang mereka percaya bahwa Han Siong benar-benar mencinta Bi Lian. Akan tetapi, andaikata tidak demikian halnya, beranikah Han Siong mengatakan bahwa dia tidak mencintai gadis itu? Gadis yang telah ditetapkan menjadi calon isterinya? Tentu tidak akan berani! "Hemm, kalau begitu, Lian-ji. Andaikata engkau kelak yakin bahwa Han Siong benar-benar mencintamu, apakah masih ada harapan untuk….. eh, menyambung kembali tali yang telah putus itu?" tanya Siangkoan Ci Kang. Bi Lian termenung. Bagaimanapun juga, hanya ada dua orang pria yang selama ini menarik hatinya dan dikaguminya. Yang pertama adalah Hay Hay, dan yang ke dua adalah Pek Han Siong! Tentu saja Hay Hay memiliki daya tarik yang lebih kuat bagi setiap orang wanita, karena pemuda itu pandai sekali mengambil hati secara wajar, bukan menjilat. Hidup di samping Hay Hay tentu merupakan suatu keadaan yang selalu menggembirakan dan dunia akan selalu nampak cerah. Sebaliknya, Han Siong seorang pemuda yang jantan, pendiam dan halus tenang, mendatangkan suasana damai yang tenang. Keduanya memang tampan dan gagah, dengan ilmu kepandaian yang seimbang, bahkan keduanya menguasai ilmu sihir yang ampuh. Akan tetapi, ia merasa kecewa terhadap Han Siong karena pemuda itu menerima ikatan jodoh begitu saja, pada hal selama hidupnya belum pernah berjumpa dengannya! Hal inilah yang mengganjal di hatinya, seolah-olah ia merasa bahwa Han Siong ingin berjodoh kepadanya bukan karena dirinya, melainkan karena hendak mentaati ayah ibunya! Hal ini membuat ia merasa dirinya kurang penting dan kurang berharga! "Tentu saja hal itu mungkin sekali, ayah. Kita lihat saja perkembangannya kelak. Kalau memang dia benar mencintaku dengan tulus dan kalau kemudian aku melihat kenyataan bahwa akupun mencintanya, maka tidak ada halangannya bagi kami untuk berjodoh. Bukankah jodoh itu di tangan Tuhan?" Mendengar ucapan puteri mereka, suami isteri itu saling pandang dan ada sinar harapan baru terpencar dalam pandang mata mereka. Akan tetapi pada saat itu terdengar kokok ayam hutan jantan dan seketika berubah sikap Siangkoan Ci King dan isterinya. Mereka segera menyelinap ke balik semak-semak dan Siangkoan Ci Kang memberi isyarat kepada Bi Lian untuk bersembunyi pula. Bi Lian terkejut dan terheran, lalu cepat ia menyelinap ke dekat mereka. "Ada apakah?" tanyanya dengan bisikan lirih. "Ssttt………. inilah yang kami nanti-nanti selama berbulan-bulan. Agaknya dia menghadapi lawan. Kita harus mendekat dengan hati-hati agar jangan mengejutkan mereka dan jangan mengganggu perkelahian mereka. Mari, ikuti aku dan hati-hati, jangan berisik!" kata Siangkoan Ci Kang. Isterinya mengikuti di belakangnya, dan Bi Lian yang masih terheran-heran mengikuti di belakang ibunya. Siapakah yang berkelahi, pikir Bi Lian. Tentu orang-orang yang sakti, kalau tidak begitu, tidak mungkin ayah ibunya yang memiliki ilmu kepandaian tinggi itu begitu berhati-hati menghampiri tempat perkelahian itu. Dan siapakah yang berkelahi deng8a mengeluarkan kokok ayam hutan jantan itu? Sungguh aneh. Mereka bertiga dengan cepat namun dengan pengerahan gin-kang agar gerakan mereka ringan tak bersuara, menyusup-nyusup menuruni puncak menuju ke hutan cemara di sebelah kiri. Akhirnya, Siangkoan Ci Kang berhenti dan bersembunyi di balik semak-semak, memberi isarat kepada isteri dan puterinya untuk bersembunyi di situ pula. Kemudian suami isteri itu mengintai dengan penuh perhatian, dengan wajah berseri. Bi Lian juga mengintai ke arah mereka memandang dan ia terbelalak karena yang diintai oleh ayah ibunya itu bukan dua orang jago silat sedang bertanding, melainkan dua ekor ayam jago hutan sedang bertanding! Seekor ayam jago yang bulunya seperti emas melawan seekor ayam jago yang bulunya kelabu. Pantas saja mereka harus berindap-indap karena kalau mereka mengeluarkan suara berisik, tentu dua ekor ayam hutan itu akan terbang pergi. Ayam hutan merupakan binatang yang liar sekali, tidak dapat didekati manusia. Akan tetapi, mengapa ayah ibunya menonton ayam bertanding dengan perhatian seperti itu? Bi Lian juga memandang, dengan penuh perhatian. Akan tetapi baginya, dua ekor binatang itu hanyalah dua ekor ayam hutan yang tidak begitu besar, tidak sebesar ayam jago biasa, sedang bertanding. Akan tetapi setelah ia memperhatikan, ia melihat bahwa ayam berbulu emas itu memiliki ketangkasan luar biasa, sedangkan si bulu kelabu hanya galak dan menyerang secara ngawur saja. Semua serangan si kelabu itu tak pernah berhasil, patukannya luput, sabetan kakinya juga tak pernah mengenai sasaran. Sibulu emas jarang menyerang, akan tetapi setiap kali menyerang, pasti mengenai sasaran dengan tepatnya sehingga beberapa kali si kelabu tertendang dan terjengkang! Biarpun demikian, bagi Bi Lian semua itu tidak ada artinya. Akan tetapi kalau ia menoleh kepada ayah ibunya, mereka menonton tak pernah berkedip, seolah hendak menelan dengan pandang mata mereka setiap gerakan dua ekor ayam hutan itu, dan beberapa kali ia melihat ayahnya mengangguk-angguk dengan wajah gembira sekali. Perkelahian mati-matian itu tidak berlangsung lama. Ketika si kelabu yang sudah mulai lemah itu, dan yang mukanya sudah mulai membengkak dan berdarah, untuk ke sekian kalinya menerjang dengan tenaga terakhir, si bulu emas mengelak ke samping dan ketika tubuh lawan menubruk tempat kosong, dia membalik, menggunakan paruhnya mematuk leher si kelabu, kemudian kakinya menendang. "Bressss..... ! Keok..... !" Si kelabu hanya berteriak satu kali dan dia berlompatan aneh, dari kepalanya bercucuran darah. Kiranya sabetan kaki yang berjalu runcing itu telah mengenai kepala dengan tepatnya, dekat telinga sehingga tempurung kepala itu retak dan darah keluar, membuat si kelabu berloncatan dalam sekarat! Dan si bulu emas, dengan lagak yang gagak sekali, mengembangkan sayapnya, menarik tubuh ke atas setinggi mungkin, dengan leher terjulur panjang dan keluarlah bunyi kokoknya penuh kebanggaan dan kemenangan! Biarpun pertandingan itu telah selesai, Siangkoan Ci Kang memberi isarat kepada isteri dan puterinya agar berdiam diri. Selagi Bi Lian merasa heran, tiba-tiba dari semak-semak di seberang, berloncatan keluar dua ekor binatang musang. Tidak begitu besar, hanya sebesar anjing kecil, akan tetapi mereka itu melompat dengan cekatan sekali. Yang seekor telah menyambar ayam yang sekarat, menggigit lehernya dan menyeretnya pergi dari situ. Musang ke dua, yang lebih besar, menubruk ke ayam hutan berbulu emas yang tadi menang bertanding. Lompatannya amat cepat dan gesit, dan agaknya sukar bagi ayam itu untuk meloloskan diri. Akan tetapi pada detik terakhir, ayam berbulu emas itu dapat melempar tubuh ke belakang lalu membanting diri ke samping sehingga tubrukan itu luput. Kalau ayam itu mau, dengan mudah saja dapat terbang meloloskan diri dari Musang itu. Akan tetapi ternyata tidak! Ayam itu kini berdiri dengan kepala menunduk, sepasang mata melotot, bulu emas dilehernya mekar dan siap untuk bertarung! "Tolol!" pikir Bi Lian dalam hatinya. "Mana kamu akan mampu menandingi seekor musang?" Ayam berbulu emas itu terlalu sombong, pikirnya, tidak memperhitungkan Siapa lawannya. Mungkin karena kemenangannya terhadap ayam kelabu tadi, dia menjadi kepala besar ddn tidak takut melawan siapapun juga! Musang itu agaknya juga tercengang. Tubrukannya sudah luput dan menurut pengalamannya, tentu ayam hutan yang luput ditubruk itu sudah terbang pergi. Akan tetapi ayam hutan berbulu emas ini tidak terbang melarikan diri malah menantang untuk berkelahi! Kalau saja wataknya seperti manusia, tentu dia sudah tertawa mengejek ayam kecil itu! Akan tetapi dia tetap seekor musang, maka melihat calon mangsanya masih di situ, dia sudah menerkam lagi dengan ganasnya. Musangpun seekor binatang liar, hidupnya di hutan dan makanan utamanya memang binatang yang lebih kecil, maka gerakannya ganas dan beringas sekali, penuh kebuasan binatang liar di hutan. "Wuuuttt....... bresss.....!" Bi Lian hampir bersorak. Ketika musang itu menubruk, ayam itu meloncat ke samping atas dan sebelum musang yang luput menubruk itu sempat membalik, ayam itu menerjang dari atas mematuk dan menendang kepala musang.   Musang itu terkejut. Patukan dan tendangan kaki berjalu itu cukup mendatangkan nyeri walaupun tidak dapat melukai kulitnya yang terlindung bulu itu. Dia membalik dan kembali menerkam. Ayam itu mengelak lagi sambil terbang dan kembali sudah menerjang dari atas. Berkali-kali hal ini terjadi dan Bi Lian menonton dengan hati tegang. Biarpun sambarannya dapat mengenai kepala musang dengan tepat, namun tenaga ayam itu tidak cukup kuat untuk melukai kepala musang yang terlindung bulu, apa lagi merobohkannya. Sedangkan sebaliknya, sekali saja terkaman musang itu mengenai sasaran, tentu leher atau perut ayam itu kena digigit dan akan tamatlah riwayat ayam yang pemberani itu. Ketika ia menengok ke arah ayah ibunya, ia melihat kedua orang itu seperti tadi, tidak pernah berkedip mengikuti perkelahian itu dengan pandang mata mereka. Dan kembali seperti tadi, beberapa kali ayahnya mengangguk-angguk gembira. Musang itu agaknya marah sekali. Kembali dia menubruk dan ketika ayam itu mengelak ke atas, musang itu tiba-tiba berdiri di atas kaki belakang dan kedua kaki depannya mencoba untUk menangkap ke atas. Akan tetapi, dengan sekali mengebutkan sayapnya yang dikembangkan, ayam itu kembali luput karena dia naik ke atas, kemudian secara tiba-tiba sekali dia membalas dengan patukan dan cakaran, tidak lagi menendang melainkan mencakar. Kedua kaki dengan kuku-kuku yang menjadi kuat dan tebal, runcing melengkung karena setiap hari dipergunakan untuk menggaruk-garuk tanah keras mencari cacing itu, mencakar ke arah moncong musang, sedangkan paruhnya yang juga runcing melengkung dan keras itu mematuk ke arah mata kiri. "Bresss...... !" Musang itu mengeluarkan suara seperti tikus terjepit dan dari hidung dan matanya mengucur darah! Mata kirinya pecah terpatuk dan hidungnya luka berdarah. Diapun lari tunggang langgang dan menghilang ke dalam semak-semak jauh dari situ. Ayam hutan itupun terbang ke atas, hinggap di sebuah dahan pohon cemara dan diapun berkeruyuk dengan sombongnya, dengan dada mengembung dan leher memanjang! Bi Lian menjadi demikian gembiranya sehingga iapun melompat keluar dari tempat sembunyinya dan bertepuk tangan memuji. Mendengar tepuk tangan ini, ayam jantan yang pemberani itu terbang dan melarikan diri ketakutan sambil mengeluarkan teriakan berkokok panik! Akan tetapi, kembali Bi Lian menghentikan tepuk tangannya dan memandang terbelalak melihat betapa ayah dan ibunya kini bersilat saling serang! Ia melihat ibunya menyerang dengan jurus-jurus hebat dari Kwan Im Sin-kun yang sedang ia pelajari dari mereka, jurus-jurus pilihan paling hebat. Dari kedua tangan ibunya itu menyambar-nyambar angin pukulan yang lembut namun ia tahu bahwa di balik kelembutan itu terkandung tenaga dahsyat. Itulah kehebatan ilmu silat Kwan Im itu. Sesuai dengan sifat Dewi Kwan Im sendiri, Dewi Welas Asih yang terkenal lembut dan murah hati, namun di balik kelembutan itu terkandung kesaktian yang tidak dapat dikalahkan oleh segala macam setan dan iblis! Melihat ibunya menyerang ayahnya dengan ilmu silat itu, ia tidak merasa heran. Tentu saja serangan-serangan ibunya hebat karena ibunya adalah ahli dalam ilmu silat itu yang tingkatnya sudah sejajar dengan ayahnya. Akan tetapi yang membuat ia bengong adalah ketika melihat ayahnya menghadapi serangan ibunya itu dengan gerakan-gerakan yang hampir saja memancing ketawanya. Gerakan ayahnya itu mirip gerakan ayam jantan hutan bulu emas tadi! Betapa ayahnya menggerak-gerakkan kepala kedepan belakang, betapa kepala itu kadang-kadang mengelak ke bawah dan kebelakang dengan gerakan melengkung sambil menjulurkan leher, kemudian kedua kaki itu, berloncatan seperti lagak ayam jago berbulu kuning emas tadi. Ketika ibunya menyerang dengan dahsyat, tiba-tiba ayahnya mengelak dengan loncatan ke atas, lalu dari atas dia menerkam ke bawah, lengan baju kiri yang tidak berisi lengan itu meluncur ke arah mata sedangkan tangan kanan mencengkeram ke arah hidung mulut, dan kedua kaki masih menendang ke arah dada. Teringatlah Bi Lian akan "jurus" yang dipergunakan ayam jago bulu emas tadi terhadap lawannya yang jauh lebih kuat, yaitu musang. Jurus itulah yang tadi membuat si musang berdarah pada mata dan hidungnya, dan membuat musang itu lari ketakutan. "Ihhh....... bagus sekali......!" Ibunya melempar tubuh ke belakang dan terhuyung. Ayahnya juga melompat turun dan keduanya tersenyum dengan wajah cerah. Bi Lian adalah seorang gadis yang cerdik. Biarpun tadi ia terheran-heran dan juga geli, kini setelah ia mengerti, ia memandang kagum kepada mereka. "Aih, kiranya ayah dan ibu sudah lama mempelajari gerakan ayam hutan jantan berbulu kuning emas itu untuk menciptakan ilmu silat baru? Pantas tadi kita harus berhati-hati agar jangan mengejutkannya!" Ayah dan ibunya mengangguk. "Ayam hutan berbulu kuning emas itu memang hebat bukan main," kata ibunya. "Kami pernah melihat dia mengalahkan seekor ular, bahkan menghajar sampai mati seekor tikus hutan yang amat besar. Dan sekali ini, engkau melihat sendiri, bukan saja dia menghajar ayam hutan lain tadi, bahkan dia berhasil mengalahkan seekor musang! " "Gerakannya memang cepat, gesit dan cerdik. Kami dapat meniru beberapa gerakannya yang memang hebat," sambung ayahnya. "Sudah beberapa tahun kami mengamati gerakannya dan baru pagi hari ini aku dapat menyempurnakan beberapa jurus gerakan yang sudah lama kupelajari." "Hebat sekali!" seru Bi Lian. "Lalu apa namanya ilmu silat yang ayah ibu cipatakan itu?" "Kami beri nama Kim-ke Sin-kun (Silat Sakti Ayam Emas), selain memang berdasarkan banyak gerakan ayam hutan berbulu emas itu, juga disesuaikan dengan tempat ini yang disebut Kim-ke-kok (Lembah Ayam Emas). Tentu saja gerakan ayam hutan itu merupakan dasarnya, dan dicampur dengan ilmu silat kami. Kau yang telah mempelajari gerakan ilmu silat kami, akan mudah menguasai Kim-ke Sin-kun." Mendengar ucapan ayahnya itu, Bi Lian girang sekali dan mulai hari itu juga, iapun mulai mempelajari ilmu silat yang baru diciptakan ayah ibunya itu. Seperti juga sifat seekor ayam jantan dari hutan yang masih liar, maka ilmu silat Kim-ke Sin-kun itu mengandung pula kecepatan, kegesitan, kewaspadaan alamiah dan kecerdikan yang disertai pula keliaran. Disamping itu, karena ilmu itu dicampur dengan Kwan Im Sin-kun, maka mengandung pula kehalusan dan kelembutan, didorong oleh sin-kang (tenaga sakti) yang amat dahsyat   Selama tiga bulan Bi Lian mempelajari ilmu baru itu dengan tekun, juga memperdalam ilmu Kwan Im Sin-kun dan Kwan Im Kiamsut. Pada suatu pagi ketika ia sedang berlatih di puncak yang sunyi, di mana ia bersama ayah ibunya pernah melihat ayam hutan berbulu emas berkelahi, tiba-tiba ia menghentikan permainan pedangnya. Pagi hari itu ia sengaja meminjam pedang pusaka Kwan Im Po-kiam dari ayah ibunya dan menggunakan pedang itu untuk berlatih silat pedang Kwan Im Kiamsut. Sebelumnya ia berlatih silat tangan kosong Kim-ke Sin-kun yang merupakan ilmu silat baru ciptaan orang tuanya itu. Bi Lian menghentikan permainan pedangnya dan cepat menyarungkan pedang dan pandang matanya ditujukan ke bawah. Ia melihat seorang penunggang kuda membalapkan kudanya mendaki bukit itu. Kuda itu besar dan kuat, dan agaknya penunggangnya juga pandai sekali. Akan tetapi, Bi Lian mengerutkan alisnya. Jalan menuju ke rumah ayah ibunya itu amat berbahaya kalau dicapai dengan menunggang kuda yang dilarikan demikian cepatnya. Ada bagian berbatu-batu kecil yang licin sekali pada jalan mendaki. Seekor kuda yang berlari cepat dapat jatuh kalau menginjak batu-batu kecil yang mudah runtuh ke bawah itu. Bi Lian khawatir dan juga tertarik. Cepat ia menuruni puncak untuk melihat apa yang akan terjadi dengan penunggang kuda itu kalau melewati jalan yang berbahaya itu. Sebaiknya kalau ia dapat datang lebih dulu dan memperingatkan penunggang kuda itu. Maka, Bi Lian lalu mempergunakan kepandaiannya, berlari menuruni puncak seperti terbang untuk mendahului kuda itu. Akan tetapi, kuda itu berlari cepat dan Bi Lian masih berada agak jauh di atas ketika kuda itu sudah memasuki jalan yang berbahaya itu. Akan percuma saja kalau ia bertriak memperingatkan juga, karena selain jaraknya masih jauh sehingga ucapannya tentu tidak dapat ditangkap jelas, juga penunggang kuda yang belum dikenalnya itu belum tentu akan mau memperhatikan teriakan dan isaratnya. Maka, iapun hanya memandang saja dengan hati khawatir. Kalau hanya bahaya kuda itu tergelincir dan jatuh saja, masih tidak mengkhawatirkan. Paling hebat penunggangnya akan terlempar dan lecet-lecet atau patah tulang saja. Akan tetapi, di sebelah kiri jalan mendaki itu terdapat jurang yang menganga lebar dan amat dalam. Kalau sampai penunggang kuda itu terlempar ke dalam jurang, akan habislah riwayatnya! Inilah yang mengkhawatirkan hatinya. Penunggang kuda itu kini nampak jelas oleh Bi Lian. Seorang pria muda yang bertubuh tinggi besar sehingga serasi dengan kudanya yang juga besar dan kuat. Cara dia duduk di atas pelana kuda saja menunjukkan bahwa dia seorang penunggang kuda yang mahir. Duduknya tegak, lentur dan seolah-olah tubuhnya menjadi satu dengan kuda, gerakan tubuhnya sesuai dengan gerakan kuda. Kini kuda memasuki jalan yang berbatu kerikil itu. Bi Lian memandang dengan penuh perhatian dan tepat seperti yang dikhawatirkannya, ketika empat kaki kuda itu menginjak batu-batu kecil, kuda itu tergelincir! Agaknya kuda itu telah melakukan perjalanan jauh dan dalam keadaan yang kelelahan pula. Peluh membasahi seluruh tubuhnya dan ketika binatang itu tergelincir, dia mencoba untuk mempertahankan tubuh dengan empat kakinya. Akan tetapi, setiap kali menginjak tanah dengan kuat, kaki nya menginjak batu kerikil dan tergelincir pula sehingga akhirnya, kuda itu terjatuh, terpelanting dan keempat kakinya seperti ditarik dalam waktu yang bersamaan. Bi Lian melihat kuda itu terjatuh, dan pada saat itu, iapun terbelalak kagum melihat penunggang kuda itu tiba-tiba saja tubuhnya melayang ke atas, berjungkir balik membuat salto sampai lima kali sebelum dia turun ke atas tanah dengan tegak. Dan baru nampak bahwa tubuh pemuda itu tinggi tegap, tubuh seorang pria yang jantan dan gagah Sekali. Pemuda itu dengan sikap amat tenang menghampiri kudanya yang tidak mampu bangkit kembali. Kuda itu tadi terjatuh lalu tubuhnya meluncur kembali ke bawah karena jalan itu mendaki, dan baru tubuhnya berhenti terseret ketika menumbuk batu besar yang berada di tepi jalan. Untung ada batu besar itu, kalau tidak tentu tubuhnya akah terjerumus ke dalam jurang di balik batu itu. Ketika pemuda itu berjongkok memeriksa kudanya, binatang itu hanya mampu menggerak-gerakkan sedikit kaki dan kepalanya, akan tetapi tidak mampu bangkit. Agaknya dua kaki depannya patah tulang, juga kepalanya terluka dan berdarah. Pemuda itu memeriksa dengan teliti, kemudian mengambil buntalan pakaiannya dari atas punggung kuda. Diikatnya buntalan itu di punggungnya dan pemuda itu memandang ke sekeliling. Sunyi tidak nampak orang lain. Lalu dia menjenguk ke dalam jurang di balik batu. "Kuda yang baik, engkau telah banyak berjasa kepadaku. Terpaksa aku akan mengakhiri penderitaanmu. Selamat berpisah!" Tiba-tiba, tangan kanannya bergerak ke arah kepala kuda itu. "Prakkk! Kuda itu terkulai, tidak lagi nampak kakinya bergerak-gerak. Kemudian, pemuda itu menarik kaki kuda, dan dengan pengerahan tenaga, dia melemparkan bangkai kuda itu ke dalam jurang! Bi Lian terbelalak, wajahnya berubah merah karena marah dan diapun melompat keluar dari tempat pengintaiannya. "Engkau manusia berhati iblis!" bentaknya marah sekali. Pemuda itu terkejut ketika tiba-tiba saja ada seorang gadis cantik jelita muncul di depannya, tangan kanan bertolak pinggang, tangan kiri menudingkan telunjuk kecil ke arah mukanya, sepasang mata itu mencorong penuh kemarahan dan seketika itu juga hati pemuda itu meloncat-loncat di dalam rongga dadanya, berjungkir balik dan dia jatuh hati! " Apa..... ? Mengapa..... ? Aih, nona, kenapa nona marah dan memaki aku? Siapakah nona dan apa kesalahanku maka nona memaki aku berhati iblis?" tanyanya dengan gugup karena kecantikan Bi Lian benar-benar membuat dia terpesona, salah tingkah dan hampir dia tidak percaya bahwa gadis itu seorang manusia, bukan seorang dewi dari langit! "Manusia busuk! Kaukira tidak ada yang melihat perbuatanmu? Kaukira aku tidak tahu apa yang kaulakukan tadi? Engkau ini manusia berhati kejam. Kau tadi mengaku sendiri bahwa kuda itu telah banyak berjasa kepadamu. Akan tetapi, engkau bahkan membunuhnya dan melempar bangkainya ke dalam jurang! Selain kejam, juga engkau telah merusak tempat ini dan aku tak dapat membiarkan saja!"   "Ah, itukah gerangan yang membuat engkau menjadi marah, nona?" Pemuda itu baru mengerti sekarang dan dia tersenyum. Harus diakui oleh Bi Lian bahwa pemuda itu memang gagah. Selain tubuhnya tinggi tegap dan kokoh, juga ketika tersenyum wajah itu memiliki daya tarik yang amat kuat. Akan tetapi, mengingat akan perbuatannya tadi, hatinya tetap merasa penasaran dan marah sekali. "Akan tetapi, nona. Aku tidak merugikan siapapun, juga tidak merugikanmu. Kuda itu adalah kudaku sendiri, dan kubuang bangkainya di dalam jurang yang dalam sehingga tidak akan mengganggu orang lain. Kenapa engkau marah-marah, nona?" "Masih bertanya kenapa aku marah? Pertama, melihat kekejamanmu itu, engkau patut dihukum! Ke dua, tempat ini adalah tempat tinggal kami, dan engkau mengotori jurang itu dengan bangkai kuda yang nanti tentu akan mengeluarkan bau busuk. Dan engkau masih bertanya kenapa aku marah?" Pemuda itu tidak tersenyum lagi, nampak terkejut dan heran mendengar ucapan itu. "Ah, jadi bukit ini adalah tempat tinggalmu, nona? Kalau begitu, maafkanlah aku, nona. Karena aku tidak mengerti dan......" "Sudahlah! Engkau seorang kejam dan melihat bahwa engkau tadi telah mengeluarkan kepandaianmu, aku tahu bahwa engkau pandai silat. Agaknya kepandaian itu yang membuat engkau berhati kejam. Nah, majulah dan terimalah hukumanmu!" Ditantang begitu, pemuda itu kelihatan gembira. Dia percaya akan kepandaiannya sendiri, dan tentu saja dia memandang rendah kepada seorang gadis yang kelihatan begitu cantik jelita dan lemah, walaupun gadis aneh itu mengaku pemilik bukit itu! "Nona, aku tidak ingin berkelahi denganmu, bahkan kalau engkau suka, aku ingin berkenalan denganmu. Namaku Tan Hok Seng dan aku….. " "Aku tidak ingin berkenalan denganmu, melainkan ingin menghukummu atas kekejamanmu tadi. Majulah!" Bi Lian sudah siap. Pemuda yang mengaku bernama Tan Hok Seng itu kini tersenyum. "Nona, sudah kukatakan bahwa aku tidak ingin berkelahi denganmu. Akan tetapi, mengapa engkau mendesak dan menantangku? Ketahuilah, nona, aku sama sekali tidak kejam terhadap kuda itu. Aku seorang penyayang kuda, dan kuda itu selama ini menjadi sahabat baikku. Akan tetapi setelah tadi dia terjatuh dan kuperiksa, kedua kaki depan patah tulang, kepalanya juga retak. Dia tidak ada harapan hidup lagi. Bagaimana aku dapat membiarkan dia menderita terlalu lama? Lebih baik dibunuh untuk mengakhiri penderitaannya." Bi Lian bukan seorang gadis bodoh atau seorang yang masih belum matang. Sebaliknya, ia seorang gadis dewasa gemblengan yang sudah banyak pengalaman, seorang pendekar wanita yang tentu saja berpikir panjang dan berpemandangan luas. Mendengar alasan yang dikemuka kan pemuda tinggi tegap, tampan dan gagah itu, ia dapat menerimanya dan ia sudah tidak lagi menyalahkan pemuda itu. Mungkin agak terlalu keras, namun apa yang dilakukan oleh pemuda itu terhadap kudanya memang merupakan satu-satunya jalan untuk mengakhiri penderitaan binatang yang di sayangnya itu. Ia dapat menerima alasan itu dan ia tidak marah. Akan tetapi diam-diam timbul keinginannya untuk menguji sampai dimana kehebatan pemuda gagah perkasa ini. Kalau saja ia tadi tidak melihat pemuda itu menghindarkan diri terbawa jatuh bersama kudanya dengan membuat pok-sai (salto) sedemikian indahnya, kemudian melihat betapa sekali pukul saja pemuda itu dapat membunuh kudanya, tentu tidak timbul keinginan hatinya untuk menguji kepandaian pemuda itu. "Sudahlah, cukup! Aku tidak ingin berpanjang cerita. Engkau sudah mengotori tempat tinggal kami dengan bangkai kuda di dalam jurang. Sekarang hanya ada dua pilihan. Engkau ambil bangkai kuda itu dan kau kuburkan baik-baik agar tidak menimbulkan bau busuk atau engkau harus menghadapi seranganku!" Pemuda yang bernama Tan Hok Seng itu mengerutkan alisnya yang hitam dan berbentuk golok, akan tetapi mulutnya masih tersenyum. Dia menjenguk ke bawah jurang, lalu menarik napas panjang. "Nona, bagaimana mungkin menuruni jurang ini untuk mengambil bangkai kuda itu?" katanya. Tentu saja Bi Lian maklum akan ketidakmungkinan ini, maka ia justeru mengajukan pilihan itu sehingga takkan ada piihan lain bagi pemuda itu kecuali menandinginya! "Hemmm, kalau engkau tidak dapat mengambilnya dan menguburnya, engkau harus menandingiku!" Lalu ia menambahkan. "Tentu saja kalau engkau bukan seorang pengecut yang takut menerima tantanganku!" Biarpun pada dasarnya Bi Lian mempunyai jiwa pendekar, namun ia menerima gemblengan dua orang datuk sesat, yaitu Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi, maka sedikit banyak watak ugal-ugalan menular kepadanya dan ia dapat bersikap keras mau menang sendiri! Tan Hok Seng menarik napas panjang, akan tetapi matanya yang agak lebar itu bersinar dan wajahnya berseri. Dia kagum bukan main dan harus diakuinya di dalam hati bahwa gadis yang berdiri di depannya itu bukan main cantiknya. Tubuhnya padat ramping dengan lekuk lengkung yang menunjukkan bahwa gadis itu sudah matang dan dewasa, kulitnya putih mulus dan kulit muka dan lehernya demikian halus, tangannya demikian kecil lembut sehingga sukar dipercaya bahwa tangan selembut itu dapat bermain silat dan memukul orang. Rambutnya panjang di kuncir dan melilit leher sampai pinggang. Sepasang mata yang demikian jeli dan tajam sinarnya, hidung kecil mancung, mulut yang menggairahkan dengan bibir yang basah kemerahan, ditambah manisnya dengan tahi lalat kecil di dagu. Bukan main! "Nona, sungguh aku tidak ingin bermusuhan denganmu, apa lagi berkelahi. Akan tetapi bukan berarti aku pengecut atau takut kepadamu. Tapi...... " "Sudahlah, sambut seranganku ini!" bentak Bi Lian yang ingin berkelahi bukan karena marah, melainkan karena ingin tahu sampai di mana kepandaian pemuda yang gagah dan tampan ini. Hok Seng cepat mengelak karena dari sambaran tangan yang lembut itu datang angin pukulan yang amat kuat. Dia terkejut dan sambil mengelak, diapun membalas dengan tamparan ke arah pundak. Dia masih sungkan melihat kecantikan gadis itu, maka yang diserang hanyalah pundak lawan. Bi Lian melihat betapa gerakan pemuda itu cukup tangkas, dengan jurus silat yang baik, kalau ia tidak salah menilai, dari aliran silat Bu-tong-pai, maka iapun cepat menangkis untuk mengukur sampai di mana besarnya tenaga pemuda itu.   "Dukkk!" Lengan Hok Seng terpental dan dia meringis kesakitan. Tak disangkanya bahwa lengan yang kecil gadis itu mengandung tenaga yang demikin kuatnya sehingga dia merasa lengannya bertemu dengan sepotong baja, bukan lengan gadis yang halus. "Huh, jangan pandang rendah kepadaku! Kerahkan semua tenagamu dan keluarkan semua kepandaian silatmu!" Bi Lian mengejek, tahu bahwa pemuda itu tadi tidak mengerahkan semua tenaganya. Hok Seng terkejut ketika kembali Bi Lian menyerang dengan kecepatan luar biasa. Tubuh gadis itu bergerak seperti bayangan saja, dan memang Bi Lian mengerahkan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang ia warisi dari mendiang Pak Kwi Ong si ahli gin-kang. Dan iapun mempergunakan ilmu silat yang diwarisinya dari Tung Hek Kwi, mengandalkan sin-kang dan dengan ilmu silat ini ia dapat membuat lengannya mulur hampir setengah lengan panjangnya! Hok Seng berusaha melawan dengan gerakan cepat dan mencoba untuk membalas. Namun, sebentar saja dia menjadi pening karena harus memutar-mutar tubuh mengikuti gerakan Bi Lian yang menyambar-nyambar bagaikan burung walet. Ternyata pemuda itu, biarpun cukup gesit dan bertenaga besar, namun dalam hal ilmu silat, dia masih kalah jauh dibandingkan Bi Lian. Padahal, Bi Lian belum memainkan ilmu silat yang baru saja ia pelajari dari ayah ibunya! Bi Lian pun maklum akan hal ini, maka iapun tidak menjatuhkan tangan maut kepada Hok Seng, hanya menyerang bertubi-tubi untuk mengacaukan perlawanannya saja. Kalau ia menghendaki, tentu pemuda itu tidak akan mampu bertahan lebih dari dua puluh jurus! Tiba-tiba nampak dua sosok bayangan orang berkelebat di tempat itu dan terdengar seruan nyaring berwibawa, "Hentikan perkelahian!" Mendengar suara ayahnya, Bi Lian meloncat ke belakang, mendekati ayah ibunya yang memandang ke arah Hok Seng. Mereka tadi melihat betapa puteri mereka menyerang seorang pemuda yang mencoba untuk membela diri mati-matian, akan tetapi hati mereka lega karena melihat bahwa Bi Lian sama sekali tidak bermaksud mencelakai orang itu yang kalah jauh dibandingkan puteri mereka. "Ayah dan ibu, orang ini telah membunuh kudanya yang jatuh terluka dan membuang bangkainya ke dalam jurang." Bi Lian melapor karena tidak ingin dipersalahkan. "Aku melihatnya sebagai hal yang kejam, dan dia mencemarkan udara ini dengan bangkai kuda yang tentu akan membusuk di dalam jurang dan baunya akan mengotorkan udara di sini. Maka kutantang dia!" "Aih, engkau ini mencari gara-gara saja, Bi Lian." tegur ibunya. Melihat gadis itu ditegur ibunya, Hok Seng cepat memberi hormat kepada suami isteri itu, merangkap kedua tangan dan membungkuk dengan sikap sopan sekali. "Mohon maaf kepada paman dan bibi yang terhormat bahwa saya telah lancang melanggar wilayah tempat tinggal ji-wi (kalian berdua). Sesungguhnya nona ini tidak bersalah dan sayalah yang bersalah. Kuda saya itu kelelahan, terpeleset dan jatuh di sini. Kedua kaki depannya patah dan kepalanya retak. Untuk mengakhiri penderitaannya, maka terpaksa saya membunuhnya dan membuang bangkainya ke dalam jurang dengan maksud agar tidak mengganggu orang yang lewat di sini. Akan tetapi saya telah melakukan kesalahan karena tanpa saya sadari saya telah membuangnya ke jurang sehingga mengotorkan udara di sini…….. " Suami isteri itu memandang dengan senyum. Hati mereka tertarik dan merasa suka sekali kepada pemuda gagah tampan yang pandai membawa diri itu. "Orang muda, kami yang minta maaf kepadamu untuk anak kami. Biarpun kami tinggal di daerah ini, akan tetapi tentu saja kami tidak menguasai seluruh bukit dan lembah. Dan engkau tidak dapat dipersalahkan kalau membuang bangkai kudamu itu ke dalam jurang. Anak kami telah bersikap tidak sepatutnya, harap engkau suka menyudahi saja urusan ini." "Dengan segala senang hati, paman. Pula, apa daya saya seorang yang bodoh dan lelah ini terhadap nona yang demikian tinggi ilmunya? Tadinyapun saya sudah segan melawannya, akan tetapi karena nona mendesak terpaksa saya...." "Sudahlah!" kata Bi Lian. "Bukankah ayahku sudah mengatakan agar urusan ini disudahi saja? Ataukah engkau masih merasa penasaran?" karena tidak ingin terus dipersalahkan, gadis itu membentak. "Bi Lian! Tidak pantas bersikap kasar kepada seorang tamu!" kata ibunya. "Orang muda, apa yang diucapkan isteriku itu benar. Engkau adalah seorang tamu, maka kami persilakan untuk berkunjung ke rumah kami di sana!" Dengan tangan kanannya Siangkoan Ci Kang menunjuk ke belakang. Tan Hok Seng memang sudah kagum bukan main kepada Bi Lian. Pertama kali bertemu tadi sudah menjadi tergila-gila oleh kecantikan gadis itu, kemudian setelah bertanding, dia kagum bukan main melihat bahwa gadis itu selain cantik jelita juga memiliki Jimu silat yang amat tinggi sehingga dia yang biasanya membanggakan kepandaiannya, sekali ini sama sekali tidak berdaya! Maka, ketika ayah ibu gadis itu muncul, dia yang sudah kagum sekali kepada keluarga ini mempunyai niat untuk dapat menjadi murid suami isteri yang tentu saja amat sakti itu. Mendengar undangan itu, tentu saja Hok Seng menjadi girang bukan main, akan tetapi dengan rendah hati dia menjawab. "Ah, saya hanya akan mengganggu dan membikin repot saja kepada paman dan bibi yang terhormat....... " "Ah, jangan sungkan, orang muda. Terimalah undangan kami kalau engkau memang mau memaafkan anak kami." kata Siangkoan Ci Kang dan isterinya juga mengangguk ramah. Apa yang ditemukan di Kim-ke-kok ini ternyata jauh melebihi apa yang telah didengarnya. Ketika tiba di kaki pegunungan Heng-tuan-san, dia sudah mendengar dari para penduduk dusun di sekitar daerah itu bahwa di Kim-ke-kok tinggal sepasang suami isteri yang dikenal oleh para penduduk sebagai sepasang pendekar yang sakti dan yang suka menolong para penduduk. Tertariklah hatinya, apa lagi ketika mendengar bahwa selama beberapa bulan ini, sepasang pendekar itu kedatangan seorang gadis cantik jelita yang kabarnya adalah puteri mereka. Kini, begitu melihat gadis itu, dia sudah kagum bukan main. Apa lagi ketika ayah ibunya muncul. Seorang pria berusia empat puluh tahun lebih yang tinggi tegap, lengan kirinya buntung akan tetapi sikapnya demikian gagah dan berwibawa. Adapun isterinya juga merupakan tokoh yang tidak kalah menariknya. Seorang wanita berusia empat puluh tahun lebih sedikit, wajahnya agak kepucatan namun cantik dan dengan raut wajah yang agung, juga bentuk tubuhnya masih padat dan indah seperti seorang gadis saja. Kiranya mereka inilah sepasang suami isteri pendekar yang dipuji-puji oleh para penduduk dusun itu. Dan biarpun dia belum pernah melihat mereka menggunakan kepandaian, baru melihat kelihaian puteri mereka saja, dia sudah dapat membayangkan betapa saktinya suami isteri itu.   Dengan sikap hormat Tan Hok Seng lalu mengikuti suami isteri itu bersama puteri mereka ke sebuah rumah yang berdiri di lembah, di bagian yang datar dan subur. Rumah itu nampak mungil terpelihara rapi, dengan taman bunga yang penuh dengan bunga beraneka warna. Biarpun di dalam hatinya Bi Lian kagum juga kepada pemuda yang tampan gagah dan bersikap lembut itu, namun di sudut hatinya masih terdapat kekecewaan bahwa ilmu silat pemuda itu masih amat rendah dibandingkan ia sendiri. Maka, begitu pemuda itu diterima ayah ibunya duduk di ruangan tamu, ia lalu mengundurkan diri dengan dalih membantu pelayan di belakang. "Orang muda, siapakah engkau, datang dari mana dan ada keperluan apa engkau berkunjung ke lembah ini?" Siangkoan Ci Kang bertanya, akan tetapi suaranya yang lembut tidak menimbulkan kesan bahwa dia menyelidiki keadaan pemuda itu. Pemuda itu nampak berduka sekali ketika mendengar pernyataan ini. Bukan kedukaan buatan, melainkan benar-benar dia merasa berduka dan merasa betapa nasibnya amat buruk. "Paman, saya adalah seorang yang hidup sebatang kara dan yang tertimpa malapetaka dan penasaran besar," dia mulai menceritakan keadaan dirinya. Karena dia sudah mengambil keputusan untuk kalau mungkin berguru kepada suami isteri pendekar ini, maka dia tidak ragu-ragu lagi untuk menceritakan riwayatnya. "Saya seorang yatim piatu dan dengan susah payah melalui kerja keras akhirnya saya berhasil menjadi seorang perwira. Akan tetapi, sungguh malang nasib saya, saya difitnah orang yang menginginkan kedudukan saya sehingga saya dijatuhi hukuman buang oleh pemerintah! Untung bahwa di dalam perjalanan, saya ditolong seorang pendekar yang tidak memperkenalkan dirinya sehingga saya dapat bebas, lalu saya melarikan diri. Dalam perjalanan melarikan diri dari kemungkinan pengejaran petugas keamanan kota raja maka hari ini saya sampai ke tempat ini." "Hemm, begitukah?" Siangkoan Ci Kang memandang tajam untuk menyelidiki apakah cerita itu dapat dipercaya. Pemuda itu membalas tatapan matanya dengan penuh keberanian dan keterbukaan, dan ini saja sudah membuktikan bahwa ceritanya memang benar. "Siapakah namamu, orang muda?" "Nama saya Tan Hok Seng, paman. Dan melihat kehebatan ilmu silat puteri paman dan bibi tadi, timbul keinginan hati saya, apabila kiranya paman dan bibi sudi menerimanya, saya ingin sekali berguru kepada paman dan bibi di sini. Biarlah saya bekerja apa saja di sini, sebagai pelayan, tukang kebun atau pesuruh. Apa saja asal paman dan bibi sudi menerima saya sebagai murid." Setelah berkata demikian, langsung saja Hok Seng menjatuhkan diri berlutut di depan suami isteri itu. Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu saling pandang. Suami isteri yang sudah dapat mengetahui isi hati masing-masing hanya dengan melalui pandang mata saja itu saling kedip dan dengan lembut Toan Hui Cu mengangguk. Suami isteri ini sebetulnya sama sekali tidak mempunyai keinginan untuk mengambil murid baru. Bagi mereka, seorang murid seperti Pek Han Siong sudah cukup, apa lagi masih ada puteri mereka yang mewarisi ilmu-ilmu mereka. Akan tetapi, apa yang mereka harapkan, yaitu agar Han Siong menjadi menantu mereka telah gagal dan mereka merasa kecewa bukan main. Baru saja mereka membicarakan urusan perjodohan puteri mereka. Mereka sudah ingin sekali mempunyai mantu dan mempunyai cucu. Maka, kemunculan seorang pemuda seperti Tan Hok Seng itu mempunyai arti besar bagi mereka, menumbuhkan suatu harapan baru. Biarpun baru saja berjumpa, namun banyak hal pada diri pemuda ini yang menarik perhatian mereka. Pertama, Tan Hok Seng adalah seorang pemuda yang cukup dewasa, berusia dua puluh lima tahun lebih, dan yatim piatu pula. Dia cukup tampan dan gagah, juga sikapnya amat sopan, baik dan nampaknya terpelajar. Sungguh merupakan gambaran seorang calon mantu yang baik. Mengenai ilmu silat, kepandaiannya juga tidak terlalu rendah, dan dengan gemblengan yang keras, dalam waktu tidak terlalu lama dia tentu akan memperoleh kemajuan pesat. "Tan Hok Seng, bangkit dan duduklah. Permintaan itu akan kami pertimbangkan setelah engkau tinggal beberapa hari di sini. Karena kami belum mengenal benar siapa engkau, maka tentu kamipun tidak dapat tergesa-gesa menerimamu sebagai murid." kata Siangkoan Ci Kang dan isterinya segera menyambung dengan pertanyaan. "Orang muda, apakah selain yatim piatu, engkau tidak mempunyai seorangpun anggauta keluarga? Kakak atau adik, paman atau bibi, mungkin isteri atau tunangan." Pertanyaan ini sambil lalu dan tidak kentara, namun Tan Hok Seng bukanlah seorang pemuda hijau. Dia dapat menangkap apa yang tersembunyi di balik pertanyaan itu dan diam-diam diapun merasa girang bukan main. Kalau saja selain menjadi murid suami isteri yang sakti ini juga dapat menjadi mantu mereka! Gadis tadi sungguh cantik manis menggairahkan! "Saya hidup sebatang kara, bibi, tidak ada sanak tidak ada kadang, apa lagi keluarga." Mendengar ini, kembali suami isteri itu saling pandang dan mereka sungguh mengharapkan sekali ini puteri mereka akan menemukan jodohnya. Atas pertanyaan kedua orang itu, Tan Hok Seng lalu menceritakan pengalamannya, sampai dia difitnah dan selain kehilangan kedudukan dan pekerjaannya, dia bahkan dihukum buang oleh pemerintah. "Sejak kecil saya kehilangan orang tua yang meninggal dunia karena sakit. Saya hidup terlunta-lunta, mengembara dan menyadari bahwa saya akan hidup sengsara kalau tidak memiliki kepandaian, saya sejak kecil bekerja sambil belajar. Banyak yang saya pelajari dengan biaya hasil pekerjaan saya memburuh. Mempelajari ilmu baca tulis sampai sastera, dan terutama sekali mempelajari ilmu-ilmu silat dari manapun. Setelah dewasa, dengan bekal ilmu-ilmu yang saya pelajari, saya mendapatkan pekerjaan di kota raja sebagai seorang prajurit pengawal istana. Karena ketekunan dan kerajinan saya, maka dalam waktu beberapa tahun saja saya menerima kenaikan pangkat sampai akhirnya menjadi seorang perwira pengawal." Suami isteri itu mendengarkan dengan hati senang. Pemuda ini mengagumkan. Sejak kecil yatim piatu dan hidup sebatang kara, namun mampu memperoleh kemajuan yang hebat sampai menjadi seorang perwira pasukan pengawal istana! Dari kemajuan ini saja dapat dijadikan ukuran bahwa Tan Hok Seng ini memang seorang pemuda yang penuh semangat.   "Kemudian, bagaiaman tentang fitnah itu?" tanya Siangkoan Ci Kang dengan hati tertarik. Hok Seng menghela napas panjang. "Itulah, suhu....." Pemuda itu tergagap karena keliru menyebut suhu (guru), "maafkan teecu (murid)...." Siangkoan Ci Kang tersenyum dan mengangguk, "Tidak mengapa, boleh engkau menyebut guru kepadaku." Mendengar ini, Hok Seng menjadi gembira bukan main dan dia segera menjatuhkan dirinya lagi berlutut dan memberi hormat kepada suami isteri itu dengan menyebut "Suhu" dan "Subo". Suami isteri itu saling pandang dan tersenyum. Memang mereka tidak ragu lagi, dan tidak perlu menanti sampai beberapa hari. Mereka percaya kepada pemuda ini dan suka menerima sebagai murid, bahkan dengan harapan untuk mengambil pemuda ini sebagai calon mantu, pengganti Pek Han Siong yang ditolak oleh puteri mereka. "Bangkit dan duduklah, Hok Seng, dan lanjutkan ceritamu kepada kami," kata Siangkoan Ci Kahg. "Suhu, agaknya kemajuan dan keberuntungan teecu di kota raja itu menimbulkan iri hati kepada teman-teman dan rekan-rekan karena ada di antara mereka yang sudah bertahun-tahun menjadi perajurit pengawal tidak pernah mendapatkan kenaikan. Sedangkan teecu dalam beberapa tahun saja mendapatkan beberapa kali kenaikan pangkat. Nah, pada suatu hari, istana ribut-ribut karena kehilangan peti kecil terisi perhiasan seorang puteri istana, dan aneh sekali, peti itu kemudian ditemukan dalam kamar teecu!" "Hemm, dan engkau tidak mencuri peti perhiasan itu, Hok Seng?" tanya Toan Hui Cu sambil memandang tajam. "Subo, bagaimana mungkin teecu mencuri? Selamanya teecu tidak pernah mencuri. Pula, bagaimana mungkin teecu dapat mencuri peti perhiasan yang berada di dalam istana bagian puteri? Hanya para thai-kam (kebiri) sajalah yang dijinkan memasuki bagian puteri Itu jelas fitnah." "Hemm, kalau fitnah, bagaimana peti perhiasan itu dapat ditemukan di dalam kamarmu?" Siangkoan Ci Kang bertanya. "Itulah yang mencelakakan teecu, suhu. Teecu tidak tahu bagaimana peti itu dapat berada di dalam kamar teecu, tersembunyi di bawah pembaringan. Jelas bahwa ini perbuatan seorang yang sengaja melempar fitnah kepada teecu. Akan tetapi karena bukti ditemukan di kamar teecu, teecu tidak dapat banyak membela diri. Teecu dijatuhi hukuman buang, karena Sribaginda Kaisar mengingat akan jasa-jasa teecu sehingga teecu tidak dihukum mati. Akan tetapi dalam perjalanan melaksanakan hukuman buang itu, di tengah perjalanan muncul seorang pendekar berkedok yang membebaskan teecu bahkan memberi bekal uang emas kepada teecu tanpa memberi kesempatan kepada teecu untuk mengenal mukanya atau namanya." "Ah, kalau orang benar ada saja penolong datang." kata Toan Hui Cu dengan girang. Akan tetapi Siangkoan Ci Kang mengerutkan alisnya dan bertanya kepada pemuda itu. "Tahukah engkau siapa yang melakukan fitnah sekeji itu kepadamu?" "Teccu dapat menduga orangnya, akan tetapi tidak ada buktinya. Yang meyakinkan hati teecu adalah karena setelah teecu dihukum, dia mendapat kedudukan, menggantikan teecu." "Dan engkau mendendam kepada orang itu?" kembali Siangkoan Ci Kang bertanya, suaranya tegas dan pandang matanya mencorong dan penuh selidik menatap wajah pemuda itu. Tan Hok Seng adalah seorang pemuda yang cerdik sekali. Dia banyak membaca dan tahu bagaimana watak para pendekar. Seorang pendekar sejati tidak mudah dikuasai nafsu, demikian dia membaca. Seorang pendekar sejati tidak membiarkan nafsu dan dendam kebencian meracuni hatinya. Maka, mendengar pertanyaan itu, dengan tegas dan mantap diapun menjawab, "Sama sekali tidak, suhu! Teecu tidak mendendam, hanya kelak kalau ada kesempatan dan kalau kepandaian teecu memungkinkan, teecu ingin menyelidiki siapa sebenarnya yang mencuri peti perhiasan lalu menyembunyikan di dalam kamar teecu itu." "Hemm, apa bedanya itu dengan mendendam? Dan kalau engkau berhasil menemukan orangnya, lalu apa yang akan kaulakukan?" Kalau saja Tan Hok Seng bukan seorang pemuda cerdik dan hanya menuruti panasnya hati saja, kemudian menjawab bahwa dia akan membunuh orang itu, tentu suami isteri itu akan kecewa dan belum tentu mereka dapat menerimanya dengan hati bulat. Akan tetapi Hok Seng tahu apa yang harus menjadi jawabannya. "Teecu akan melaporkan ke pengadilan agar ditangkap dan hal itu dapat membersihkan nama teecu yang telah difitnah." Jawaban ini melegakan hati Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu. Dan untuk menjenguk isi hati calon murid ini, Siangkoan Ci Kang bertanya lagi, "Kalau namamu sudah bersih, engkau menginginkan kembali jabatan dan kedudukan itu?" "Tidak sama sekali, suhu. Teecu sudah bosan dengan kedudukan itu karena di sana terjadi banyak kebusukan. Persaingan, fitnah, sogok-menyogok, kecurangan dan pementingan diri sendiri. Hampir semua pejabat hanya memikirkan bagaimana untuk mendapat untung sebanyaknya. Teecu sudah muak dengan semua keadaan itu." Bukan main girang hati suami isteri itu. "Baiklah, Hok Seng. Mulai hari ini, engkau menjadi murid kami dan kami mengharap engkau menjadi murid yang baik. Untuk mengetahui dasar yang ada padamu, cobalah engkau mainkan semua ilmu silat yang pernah kaupelajari."   Mereka pergi ke lian-bu-thia dan belum lama mereka memasuki ruangan berlatih silat ini, Bi Lian menyusul mereka. Gadis ini merasa heran melihat betapa tamu itu diajak masuk ke lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) oleh ayah ibunya. Ketika ia bertanya, ia merasa semakin heran mendengar penjelasan ibunya, "Bi Lian, Tan Hok Seng ini kami terima menjadi murid kami. Mulai sekarang, dia adalah sutemu, akan tetapi engkau boleh menyebut suheng (kakak seperguruan) karena dia tebih tua darimu. Dan Hok Seng, engkau boleh menyebut sumoi (adik seperguruan) kepada puteri kami Siangkoan Bi Lian ini." "Sumoi......!" Hok Seng cepat mengangkat kedua tangan di depan dada menyalam gadis itu. Sikap ini saja sudah menunjukkan bahwa pemuda itu menghormatinya, bahkan tidak segan memberi hormat lebih dahulu walaupun dia mendapatkan kehormatan untuk menjadi saudara tua. Diam-diam Bi Lian tidak puas. Bagaimanapun juga, pemuda itu baru saja menjadi murid ayah ibunya, dan dalam ilmu silat, jauh berada di bawah tingkatnya, mana pantas menjadi suhengnya? Akan tetapi tidak enak juga kalau disebut su-ci (kakak seperguruan) oleh seorang pemuda yang usianya beberapa tahun lebih tua darinya. Hal itu akan mendatangkan perasaan cepat tua dalam hatinya. Maka iapun tidak membantah dan ia membalas penghormatan Hok Seng sambil berkata lirih. "Selamat menjadi murid ayah dan ibu, suheng." Demikianlah, sejak hari itu, Tan Hok Seng menerima gemblengan dari kedua orang gurunya setelah mendemonstrasikan seluruh ilmu silat yang pernah dipelajarinya. Ternyata menurut penilaian Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu, dasar ilmu silat pemuda ini sudah lumayan. Dia mempelajari bermacam-macam ilmu silat, hanya tenaga dasar sin-kangnya yang kurang. Maka, Siangkoan Ci Kang memberi pelajaran berlatih dan menghimpun tenaga sin-kang, sedangkan Toan Hui Cu mengajarkan silat Kwan Im Sin-kun, bahkan kedua suami isteri itu kemudian mengajarkan ilmu baru mereka Kim-ke Sin-kun. Tentu saja suami isteri yang selamavbelasan tahun tinggal sebagai orang hukuman di kuil Siauw-lim-si itu dan kurang pengalaman, sama sekali tidak bermimpi bahwa mereka menerima murid seorang yang seolah-olah harimau berbulu domba! Tan Hok Seng bukanlah orang seperti yang mereka duga dan gambarkan! Mendengar Tan Hok Seng menceritakan riwayatnya, tidak sukar menduga siapa dia sebenarnya. Tan Hok Seng bukan lain hanyalah nama samaran Tang Gun! Telah diceritakan di bagian depan betapa perwira muda istana ini melarikan seorang selir terkasih kaisar. Dia ditangkap oleh Tang Bun An yang hendak mencari jasa dan kedudukan, kemudian diserahkan kepada kaisar! Tentu saja kaisar marah sekali dan Tang Gun dijatuhi hukuman buang. Dalam perjalanan, dia diselamatkan dan dibebaskan seorang yang lihai sekali dan yang mengenakan kedok, bahkan bukan saja dia dibebaskan, juga dia diberi bekal sekantung uang emas. Sama sekali dia tidak tahu dan tidak dapat menduga siapa adanya orang berkedok yang membebaskannya itu. Tang Gun, atau sebaiknya kita kini menyebutnya Tan Hok Seng sebagai nama barunya, tentu saja tidak berani menggunakan nama lama karena betapapun juga dia adalah seorang pelarian dan buronan. Juga, kalau dia memperkenalkan nama lama kepada suami isteri yang menjadi gurunya itu dan kemudian mereka itu mendengar bahwa dia dihukum karena melarikan seorang selir kaisar, tentu kedua orang gurunya itu tidak akan sudi menerimanya sebagai murid. Dan dia mengarang cerita yang tidak begitu menarik perhatian, walaupun yang dia anggap sebagai musuhnya, yaitu yang melakukan "fitnah" adalah orang yang telah menangkapnya itu. Tan Hok Seng, dengan pengalamannya yang banyak, karena sejak remaja dia sudah merantau dan mengalami banyak penderitaan, dapat membawa diri, dapat bersikap lembut dan sopan sehingga dengan mudahnya dia dapat mengelabui Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu. Bahkan setelah sebulan lewat dia tinggal dan mempelajari silat di rumah suami isteri pendekar itu, Bi Lian sendiri mulai tertarik dan merasa suka kepada "suheng" itu. Siapapun dalam keluarga itu akan merasa suka kepada Hok Seng. Dia amat rajin, pagi-pagi sekali sudah bangun dan sejak dia berada di situ, rumah dan pekarangan keluarga itu nampak semakin bersih dan terpelihara baik-baik, Hok Seng bekerja tak mengenal lelah, dan tidak mengenal pekerjaan kasar atau rendah. Biarpun dia pernah menjadi seorang perwira muda istana yang membuat dia hidup mewah dan terhormat, kini dia tidak segan untuk menyapu pekarangan, membelah kayu bakar, memikul air dan segala pekerjaan kasar lainnya. Dan ketekunannya mempelajari dan melatih ilmu silat membuat suami isteri itu kagum bukan main. Diapun cepat memperoleh kemajuan. Semua sikap yang baik inilah yang mulai menarik perhatian Bi Lian. Dan semakin tebal harapan terkandung dalam hati Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu bahwa kelak pemuda itu, akan dapat menjadi mantu mereka! Setengah tahun kurang lebih lewat dengan cepatnya semenjak Hok Seng tinggal di Kim-ke-kok menjadi murid ayah ibu Bi Lian. Bukan saja kedua orang gurunya semakin suka kepadanya, bahkan hubungannya dengan Bi Lian menjadi semakin akrab, dan gadis itu mulai percaya akan segala kebaikan yang diperlihatkan dalam kehidupan sehari-hari. Pada suatu sore, mereka latihan bersama di lian-bu-thia. Keduanya berlatih ilmu silat Kim-ke Sin-kun, ilmu baru yang diciptakan Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu. Mengagumkan sekali melihat dua orang muda itu berlatih silat. Yang pria tinggi tegap, tampan dan gagah, memiliki gerakan yang mantap bertanaga, sedangkan wanitanya cantik jelita dan memiliki gerakan lincah. Dan dari latihan ini saja dapat diketahui bahwa Hok Seng telah memperoleh kemajuan pesat sekali. Bahkan dalam latihan ilmu silat Kim-ke Sin-kun ini, dia sama sekali tidak terdesak oleh sumoinya! Juga dalam hal tenaga sin-kang, dia telah memperoleh kemajuan dan kini tenaganya menjadi amat kuat, walaupun dibanding Bi Lian tentu saja dia masih kalah. Setetah selesai latihan, mereka beristirahat di luar lian-bu-thia, berjalan-jalan di taman bunga sambil menghapus keringat dengan kain. Lalu keduanya duduk berhadapan di dekat kolam ikan, di atas bahgku batu. "Aih, sumoi. Sampai kapanpun aku tidak akan mungkin mampu menandingimu. Gerakanmu demikian matang, tenagamu juga kuat sekali dan engkau dapat bergerak secepat burung walet." Hok Seng memuji sambil menatap wajah sumoinya dengan sinar mata kagum. Bi Lian sudah biasa dengan tatapan mata kagum ini, akan tetapi karena ia tidak melihat adanya pandang mata yang kurang ajar, maka iapun selalu bahkan merasa bangga dan gembira kalau suhengnya memandang seperti itu. Andaikata Hok Seng tidak pandai menahan diri dan pandang matanya mengandung pencerminan keadaan hatinya yang penuh berahi, tentu Bi Lian dapat melihat dan merasakannya dan tentu ia akan merasa tidak senang bahkan marah sekali.   "Suheng, jangan khawatir. Kulihat engkau telah memperoleh kemajuan yang pesat. Kalau engkau tekun berlatih, terutama sekali menghimpun sin-kang seperti diajarkan ayah, aku percaya kelak engkau akan mampu menyusulku." Hok Seng menghela napas panjang dan wajahnya yang tampan nampak termenung, diliputi mendung. Melihat ini, Bi Lian merasa heran. Belum pernah selama ini ia melihat suhengnya bermuram seperti itu. "Suheng, engkau kenapakah? Apa yang kaupikirkan?" Kembali Hok Seng menarik napas panjang. "Ah, sumoi, betapa inginku memiliki ilmu kepandaian seperti engkau agar tidak ada lagi orang berani menghinaku dan menjatuhkan fitnah kepadaku seperti yang pernah kualami." "Suheng, aku pernah mendengar ibuku berkata bahwa engkau pernah menjadi seorang perwira di istana akan tetapi difitnah orang dan kehilangan kedudukanmu. Benarkah itu. Ceritakanlah kepadaku, suheng. Aku ingin mendengarnya." "Memang benar demikian, sumoi. Dengan susah payah aku merintis dan berusaha dengan tekun sehingga dari seorang perajurit pengawal aku berhasi1 menduduki jabatan perwira, dipercaya oleh istana. Akan tetapi, terjadi pencurian perhiasan milik seorang puteri istana dan si pencuri menyembunyikan peti perhiasan itu di bawah pembaringan dalam kamarku. Jelas aku difitnah. Karena itu, aku tekun berlatih silat agar memperoleh kepandaian yang cukup untuk melakukan penyelidikan." "Engkau hendak membalas dendam?" "Tidak, hanya aku akan membongkar rahasia pencurian itu sehingga yang salah akan dihukum, dan aku dapat membersihkan nama baikku." "Kenapa kalau engkau mengetahui bahwa engkau difitnah, dahulu engkau tidak mengambil tindakan, suheng?" Hok Seng menggeleng kepala dengan sedih dan terbayanglah di dalam ingatannya penghinaan yang terjadi atas dirinya ketika dia ditangkap dan diseret ke kota raja oleh penangkapnya itu. "Aku difitnah oleh orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, sumoi. Ketika itupun aku sudah melawan, namun aku sama sekali tidak berdaya menghadapi orang yang lihai itu. Dan sekarang, menurut penyelidikanku sebelum aku tinggal di sini, orang yang melakukan fitnah itu telah mendapatkan kedudukan tinggi sebagai imbalan jasanya karena menangkap aku sebagai pencurinya! Kalau aku sudah memiliki kepandaian cukup, aku akan membongkar rahasianya itu, sumoi. Sebelum kepandaianku cukup, tidak akan ada artinya, bahkan aku mungkin akan ditangkap kembali sebagai seorang pelarian. Dia amat lihai, sumoi." Hati Bi Lian tertarik. Ada perasaan setiakawan terhadap suhengnya yang difitnah orang itu. Juga perasaan marah dan penasaran. Orang yang melakukan fitnah itu jelas orang yang berhati kejam dan jahat, pikirnya. "Suheng, siapa sih orang yang melakukan fitnah terhadap dirimu itu?" "Menurut penyelidikanku, namanya Tang Bun An." Berkerut alis Bi Lian mendengar she (nama keluarga) Tang itu. Teringat ia akan Hay Hay yang juga she Tang. Ang-hong-cu Si Kumbang Merah yang menjadi ayah kandung Hay Hay itu, penjahat cabul yang amat jahat, juga she Tang. Akan tetapi ia menyimpan perasaan kaget itu di dalam hatinya saja. Ia tidak ingin suhengnya mendengar tentang Ang-hong-cu, tidak ingin orang lain mendengar bahwa adik kandung suhengnya yang juga pernah ditunangkan dengannya pernah menjadi korban kecabulan Ang-hong-cu. Pek Eng, adik Pek Han Siong itu, kini telah menjadi isteri Song Bun Hok putera ketua Kang-jiu-pang. Juga seorang pendekar wanita lain, Cia ling, masih keluarga dekat Cin-ling-pai, menjadi korban Ang-hong-cu itu, akan tetapi kini Cia Ling juga sudah menjadi isteri Can Sun Hok. Kalau ia bercerita tentang Ang-hong-cu, tentu sukar baginya untuk tidak menceritakan kedua orang pendekar wanita iu dan ia tidak ingin melakukan hal ini. Peristiwa aib yang menimpa mereka itu harus dikubur dan dilupakan. Karena itulah, Bi Lian tidak mau memperlihatkan kekagetannya mendengar bahwa musuh Hok Seng seorang she Tang yang mengingatkan ia kepada Si Kumbang Merah Ang-hong-cu. "Tang Bun An? Hemmm, orang macam apakah dia dan sampai di mana kelihaiannya?". "Usianya sekitar lima puluh tahun lebih. Dia nampak tampan dan gagah, dan tentang ilmu silatnya, aku tidak dapat mengukur berapa tingginya, akan tetapi dahulu aku seperti seorang anak kecil yang lemah ketika melawannya. Dalam segebrakan saja aku sudah roboh." "Apakah dia memelihara kumis dan jenggot yang rapi, matanya tajam mencorong dan mulutnya selalu tersenyum?" tanyanya. Ia teringat akan Ang-hong-cu yang pernah muncul dengan nama Han Lojin. Han Lojin yang kemudian ternyata Ang-hong-cu itu juga berusia lima puluh tahun lebih, tampan dan gagah, dengan kumis dan jenggot terpelihara rapi. "Dia memang bermata tajam dan sikapnya ramah, akan tetapi mukanya halus bersih, tidak berkumis maupun berjenggot. Mengapa engkau bertanya demikian, sumoi?"