"Tidak, Twako, wanita ini harus di bunuh!" Cui Im maju menghapiri Biauw Eng yang kini memandang kepadanya penuh kebencian yang meluap-luap. "Setelah aku selesai, masih belum terlambat untuk membunuhnya, Moi-moi," Siauw Lek berkata dengan suara penuh harap. Namun Cui Im mengelengkan kepalanya. "Tidak, dia semenjak dahulu mencela aku yang dikatakannya menjadi hamba nafsu berahi. Dia jijik terhadap pemuas nafsu berahi dan menganggap dirinya suci. Kalau sekarang sebelu mati dia diberi kesempatan merasakan, apalagi mendapat seorang laki-laki sehebat engkau, benar-benar terlalu enak buat dia!" Siauw Lek menarik napas panjang penuh kekecewaan, akan tetapi dia hanya menggerakkan pundak, tidak berani membantah. Melihat kekecewaan pemuda itu, Cui Im menghampirinya, merangkul lehernya dan memberi ciuman mesra sehingga mau tidak mau Siauw Lek tersenyum kembali dan membalas ciumannya. Mereka berciuman di depan Biauw Eng yang memandang penuh kebencian. "Twako, kekasihku yang baik, jangan murung dan kecewa. Aku hanya ingin melihat dia yang kubenci ini mampus tanpa merasai kenikmatan hidup. Jangan khawatir, setelah selesai urusanku di sini kita pesta, aku akan mmencarikan perawan-perawan jelita untukmu." Siauw Lek tertawa girang. Dia tahu apa artinya pesta yang dimaksudkan Cui Im. Sudah beberapa kali mereka mengadakan pesta seperti itu dan selama dalam petualngannya belum pernah ia merasai kesenangan seperti pada saat-saat itu. Cui Im lalu menghampiri Biauw Eng dan berlutut di dekat tubuh bekas sumoinya itu, wajahnya yang ayu tampak menyerakan penuh kekejian. "Engkau perempuan tak berjantung! Bunuh saja aku!" Biauw Eng marah sehingga hanya dapat mendesis ucapan singkat itu. "Hi-hi-hik, tentu saja, akan tetapi tidak begitu enak bagimu. Ibumu masih terlalu enak, tidak terlalu lama menderita, akan tetapi engkau lain lagi. Aku harus membuatmu menderita sampai lama sebelum mati. Cukup dengan sebatang jarum saja, Biauw Eng. Engkau mengenal jarum-jarum merahku, tahu bahwa sekali ku tusukkan Ang-tok-ciam (Jarum Racun Merah) ke jalan darah tiong-cu-hiat ditengkukmu, racunnya akan perlahan-lahan menyiksamu dan baru setelah dua belas jam racun itu akan merusak jantungmu dan membunuhmu." Setelah berkata demikian, Cui Im mengeluarkan sebatang jarum merah dan dengan muka penuh kegemasan ia menancapkan jarum itu pada tengkuk Biauw Eng, tepat pada jalan darah yang dikehendakinya. Biauw Eng yang tak dapat bergerak itu tentu saja hanya dapat memejakan mata menahan nyeri, dan begitu jarum ditusukkan, ia merasa betapa tengkuknya mulai gatal-gatal. Maklumlah ia bahwa nyawanya tidak akan tertolong lagi. Biauw Eng mengerti akan hal ini akan tetapi dia tidak takut, hanya penasaran. "Cui Im , mengapa engkau begini membenci aku?" "Mengapa? Karena engkau sudah lancang berani mencinta Keng Hong!" kata Cui Im sambil bangkit berdiri. "Keng Hong.... ah apakah dia masih hidup? Di manakah dia..?" Cui Im membanting kakinya. "Huh, ternyata sampai detik ini engkau masih mencintanya! Hi-hi-hik, dengarlah, aku tidak hanya akan menyiksa batinmu sehingga sampai mati engkau akan menjadi setan penasaran! Dengar baik-baik. Sampai detik ini Keng Hong masih hidup, akan tetapi aku telah menjebaknya di sebuah tempat yang takkan dapat dikunjungi manusia lain dan dia sendiri selama hidupnya takkan dapat keluar! Dia akan mati kering di tempat itu, hi-hi-hik, dia akan mati merindukanmu!" "Ooohhhhhh...!" Biauw Eng yang tak mampu bergerak itu menangis. Dia sendiri menghadapi kematian dan menghadapi siksaan yang ia tahu akan amat sengsara sebelum ia mati, akan tetapi semua itu tidak ada artinya dibandingkan dengan penderitaan yang dialami Keng Hong. "Dan engkau tentu belum sadar, ya? Mengapa Keng Hong membencimu? Mengapa dia melontarkan segala tuduhan kepadamu di Kun-lun-san, di dalam sidang pengadilan Kun-lun-pai? Engkau dituduh membunuh murid-murid perempuan Hoa-san-pai, murid-murid partai lain? Hi-hi-hik, bekas sumoiku yang cerdik pandai, yang lihai ilmu silatnya, mengapa?" Biauw Eng sudah mulai merasakan akibat tusukan jarum merah pada tengkuknya. Mulai terasa berdenyut-denyut pada tengkuknya yang menjalar ke dalam kepala, seolah-olah ada semut-semut menggigit tengkuk dan terus menggali ke dalam kepala! Akan tetapi ucapan bekas sucinya amat membangkitkan perhatian, maka dia bertanya lemah. "Mengapa? Apakah engkau tahu mengapa?" "Hi-hi-hik, tentu saja aku tahu. Aku telah mencuri beberapa buah senjata rahasiamu, aku mengenakan pakaian putih dan aku mengikuti Keng Hong secara diam-diam." "Setan....! Kau... Kaukah yang melakukannnya menyamar seperti aku?" Biauw Eng membelalakkan matanya."Mengapa? Mengapa kau lakukan itu?" Karena kau lancang berani mencinta Keng Hong. Biar dia marah kepadamu, biar kau dimusuhi dunia kang-ouw dan.. Dan aku membunuh setiap wanita yang diterima cinta kasihnya oleh Keng Hong si laknat! Berani dia menolak cinta kasihku dan berani pula dia menerima cinta kasih wanita lain! Hi-hi-hik, aku membunuh murid Hoa-san-pai itu yang masih dalam pelukannya! Dan aku bunuh dua orang murid wanita Kong-thong-pai yang masih merasai kehangatan cintanya. Dan sekarang kubunuh pula engkau...." "Moi-moi, demikian besarkah cintamu terhadap Keng Hong itu?" Tiba-tiba Siauw Lek yang sejak tadi menonton dan mendengarkan saja bertanya. Cui Im menggeleng kepala. "Sekarang aku benci padanya. Kalau aku mencintainya, masa aku menjebaknya sehingga dia terkubur hidup-hidup?" "Cui Im, engkau.... engkau.... manusia berhati iblis...." "Hi-hi-hik, lupakah engkau golongan apa kita ini, Biauw Eng? Ibumu adalah orang pertama dari Bu-tek Su-kwi, golongan datuk-datuk hitam, manusia-manusia sesat dari dunia hitam! Aku kini menjadi ratu golongan hitam, habis kalau tidak kejam, bukankah akan ditertawai oleh tokoh-tokoh lain? Sekarang engkau rasakanlah penderitaanmu. Engkau akan tersiksa oleh rasa nyeri yang hebat, nyawamu takkan tertolong lagi, dan engkau akan mati membawa kebencian Keng Hong yang menganggap engkau wanita kejam. *** Yang menganggap engaku sama saja dengan aku yang malam-malam datang merayu dan mengemis cintanya! Engkau akan mati dan menjadi setan penasaran!" "Biarpun sampai mati, aku akan tetap mengejarmu untuk membalas dendam!" Tiba-tiba Biauw Eng berteriak dan wajah Cui Im menjadi berubah agak pucat dan kakinya melangkah mundur. Ada sesuatu dalam suara bekas sumoinya ini yang membuat ia merasa ngeri sekali. Akan tetapi ia menutupi rasa ngerinya itu dengan suara ketawa terkekeh, kemudian menggandeng tangan Siauw Lek dan di ajaknya laki-laki itu pergi dari pantai selatan, meninggalkan Lam-hai Sin-ni yang mulai kehabisan darah dan Biauw Eng yang mulai tersiksa rasa nyeri yang tak terbayangkan hebatnya. Biarpun sudah jauh meninggalkan bekas guru dan sumoinya, dan sudah berada di sebuah kamar besar bersama Siauw Lek dan enam orang culikan mereka, namun Cui Im masih saja gelisah dan telinganya masih mendengar ancaman bekas sumoinya. Ia membayangkan betapa sumoinya itu telah tewas, menjadi setan penasaran dan selalu mengejar hendak mencekiknya! Dia tidak gentar menghadapi lawan manusia yang bagaimana sakti pun juga, akan tetapi melawan setan penasaran? Cui Im menggigil lalu memeluk seorang di antara tiga orang muda yang diculiknya dan dibawanya ke dalam kamar di sebuah gedung ini. Dengan kekejaman luar biasa Cui Im yang hendak memenuhi janjinya kepada Siauw Lek, malam ini mengadakan "pesta". Pesta antara mereka berdua yang gila, yang tak mungkin terpikirkan manusia lain. Mereka berdua menculik tiga orang pemuda remaja yang tampan-tampan dan tiga ornag perawan remaja yang cantik-cantik, kemudian membawa mereka berenam ke dalam sebuah kamar dari gedung yang kini kosong karena semua penghuni gedung telah mereka bunuh! Di dalam kamar yang besar ini, Cui Im dan Siauw Lek melakukan praktek-praktek kecabulan yang tiada taranya. Mereka memaksa dengan ancaman tiga orang pemuda dan tiga orang gadis itu untuk melayani nafsu-nafsu mereka, yang mereka jadikan semacam pembangkit gairah berahi dan pada akhir pesta mereka berdua sendiri bermain cinta di depan tiga orang muda yang memandang dengan mata terbelalak dan wajah pucat, seperti enam ekor kelinci yang hampir mati ketakutan. Dan pada keesokkan harinya, dengan tubuh lemas dan semangat segar penuh kepuasan san kegembiraan, Cui Im dan Siauw Lek meninggalkan kamar itu yang kini dihias enam sosok mayat tiga pasang orang muda yang telanjang bulat dan mandi darah! Biauw Eng masih rebah miring, tak mampu bergerak. Dia tadi hanya memandang saja penuh kebencian betapa sebelum pergi Cui Im telah mengangkat sebuah batu besar dan dengan pedang merahnya wanita itu membuat huruf-huruf di atas batu yang berbunyi: DI TEMPAT INI LAM-HAI SIN-NI DAN SONG-BUN SIU-LI DIBUNUH OLEH ANG-KIAM BU-TEK. Kemudian Biauw Eng melirik ke arah ibunya dan air matanya mengalir turun ketika ia melihat ibunya yang sudah buntung kedua kaki tangannya itu duduk tegak dan kaku. Ia dapat menduga bahwa ibunya tentu telah tewas dan hanya kekerasan hati ibunya mati dalam keadaan duduk tegak seperti itu. Dan dia sama sekali tidak berdaya dan akan mati pula! Dan Keng Hong masih hidup, akan tetapi juga menanti kematian yang diawali siksaan dan derita lebih panjang lagi. Dan dia mati sebagai seorang yang jahat dan dibenci oleh Keng Hong. Biauw Eng mengeluh, terisak-isak. Tubuhnya mulai terasa amat sakit-sakit terutama sekali di bagian belakang kepalanya yang seperti digerogoti semut-semut api. Rasa nyeri yang hebat sekali, akan tetapi tidak terlalu hebat sehingga tidak sampai membuatnya pingsan. Ia maklum akan kehebatan racun jarum merah bekas sucinya itu. Memang ini yang dikehendaki oleh Cui Im. Agar dia tidak pingsan dan terus sadar, terus merasai siksaan sedikit demi sedikit sampai racun merusak jantungnya dan dia mati dalam keadaan yang amat menderita. Akan tetapi bukan rasa nyeri yang membuatnya mengeluh. Rasa nyeri di tubuhnya bukan apa-apa kalau dibandingkan dengan rasa nyeri dihatinya. Melihat ibunya mati demikian mengenaskan, menghadapi kematiaannya sendiri yang amat terhina, dan memikirkan Keng Hong, benar-benar merupakan siksaan batin yang membuat dia hampir menjerit-jerit, tepat seperti yang dikehendaki Cui Im! Dia belum mati. Baru tiga empat jam berlalu, masih ada delapan jam lagi. Sebelum mati, mengapa putus asa? Kalau dia dapat hidup, dia dapat mencari Keng Hong, menolongnya dari bahaya maut, kemudian mencari Cui Im dan Siauw Lek untuk membalas dendam berikut bunga-bunganya! Akan tetapi, betapa mungkin ia dapat tertolong? Andaikata ia dapat membebaskan totokan dan mampu bergerakpun ia tidak akan dapat menolong nyawanya. Untuk mengobati racun jarum merah, dia tidak mempunyai obat penawarnya, juga ibunya tidak menyimpan obat ini. Obat ini tentu saja hanya dibawa oleh Cui Im yang mempergunakan racun itu pada senjata rahasianya. Untuk menyedot dan mengeluarkan racun tak mungkin. Mana bisa ia menyedot luka di tengkuknya? Pula, ia mengerti sifat racun merah itu. Tidak berbahaya bagi mulut yang menyedotnya, akan tetapi berbahaya bagi mata! Orang yang menyedot racun itu, tidak akan mati, akan tetapi akan rusak matanya, akan menjadi buta! Biauw Eng memejamkan mata memutar otak mencari akal yang agaknya sudah buntu. Tiba-tiba telinganya mendengar suara langkah kaki menghampiri. Cepat ia membuka mata dan melihat bagian tubuh seorang laki-laki melangkah maju. Ah, masih ditambah ini lagi penderitaannya? Apakah dalam saat terakhirnya ini ia masih akan mengalami penghinaan, perkosaan dari seorang pria? Tentu Siauw Lek yang datang kembali ini, pikirnya dan ia memejamkan matanya kembali, terlalu ngeri untuk mengalami penderitaan hebat yang akan menimpanya dengan mata terbuka. "Aiiiihhh, terlalu keji iblis betina itu..." Terdengar suara seorang laki-laki yang berlutut di dekat tubuh Biauw Eng. Agaknya dia memeriksa keadaan Biauw Eng yang disangkanya pingsan. Mendengar bahwa suara ini bukan suara Siauw Lek, Biauw Eng membuka matanya dan melirik keatas. Wajah yang tampan seorang pemuda yang usianya amat muda, paling banyak dua puluh dua tahun atau sebaya dengan dia. Wajah tampan dan sikap yang gagah dan sopan. "Ah, syukurlah engkau tidak pingsan, Nona. Biar aku menolongmu, Nona." "Dapatkah engkau membebaskan totokan pada punggung dan pundakku?" Biauw Eng bertanya, sikapnya tenang. "Aku mengerti sedikit ilmu silat, akan tetapi bukan ahli tiam-hiat-hoat, Nona. Jalan darah mana yang harus ditotok?" "Jalan darah kian-keng-hiat di pundak dan hong-hu-hiat di punggung belakang pundak. Bukan ditotok, melainkan dibebaskan.." "Wah, sayang, aku tidak bisa, Nona. Katakanlah di mana adanya obat penawar racun jarum ini, dan aku akan..." "Hemmm, tidak ada obat penawarnya!" Biauw Eng putus asa. Dia tadi inta dibebaskan hanya agar dia dapat memeriksa ibunya, bukan untuk dapat menolong diri sendiri. Kini pemuda ini terlalu rendah ilmu silatnya sehingga membebaskannya pun tidak mampu! Ia menghela napas dan berkat lagi, "Engkau siapakah? Mengapa kesini?" "Aku she Sim, bersama Lai Sek. Aku sengaja datang mencari Lam-hai Sin-ni dan engkau puterinya, untuk.... untuk membalas dendam atas kematian ciciku!" "Uhhhh, dengan kepandaianmu seperti itu, engkau hendak melawan aku dan ibuku?" Biauw Eng bertanya penuh keheranan. "Membalas dendam adalah satu hal, menang atau kalah adalah hal lain lagi. Akan tetapi, ketika aku datang tadi... aku melihat iblis-iblis itu, aku bersembunyi, merangkak-rangkak dekat dan mendengar semua. Kemudian aku mengerti engkau telah terkena fitnah iblis betina itu, selama ini aku mengutuk namamu, menganggap engkau pembunuh ciciku, dan aku melihat betapa ibumu disiksa, dibunuh, kemudian betapa ibumu dihina dan dilukai. Aku harus menolongmu, harus! Benar-benarkah tidak ada obat penawarnya, Nona?" "Sudah kukatakan tidak ada, engkau tidak dapat menolongku, sedangkan aku pun sendiri tidak bisa menolong diriku sendiri. Aku amat berterima kasih kepadamu, Sim-enghiong. Engkau seorang pemuda yang baik budi. Kalau engkau sudi untuk merawat ibuku... Mengubur jenazahnya.... biar sampai mati pun aku akan amat berterima kasih kepadamu...." Suara Biauw Eng mengandung isak karena teringat akan ibunya. Betapa sedih hatinya melihat ibunya disiksa dan dibunuh orang tanpa ia dapat menolongnya, bahkan jenazahnya pun tak mampu ia merawat dan menguburnya! "Ah, tentu... Tentu ah, kasihan sekali engkau dan ibumu... hemmm, sungguh iblis betina itu kejam sekali...!" Sim Lai Sek menjadi bingung karena dia tidak tega melihat nona itu menderita tanpa dapat menolongnya. Melihat betapa wajah yang amat cantik jelita itu pucat dan bibir itu menyeringai sakit, dahi yang halus itu penuh peluh, ia merasa hatinya tersiksa sekali. Cepat dia bangkit dan menghampiri tubuh Lam-hai Sin-ni dengan hati ngeri, juga dengan penuh iba. Kaki tangannya buntung dan potongan kedua kaki dan lengan itu masih berserakan disitu. Mengerikan! Ternyata bahwa tubuh nenek itu sudah kaku, tak bernyawa lagi seperti yang diduga Biauw Eng. Ketika tidak mendengar gerakan pemuda itu, Biauw Eng bertanya, "Sim- enghiong, apakah ibuku.. sudah meninggal ?" "Be.... benar, Nona.." *** Biauw Eng menarik napas panjang dan tiba-tiba ia merintih karena rasa nyeri yang luar biasa menusuk tengkuknya. "Harap.... harap kau begitu baik hati... Menolongku, menguburkan jenazahnya..." "Baiklah, Nona. Tenangkan hatimu, aku akan mengubur jenazah locianpwe." Seperti pernah diceritakan di bagian depan cerita ini, Sim Lai Sek adalah Sim Ciang Bi, murid Hoa-san-pai yang terbunuh oleh senjata rahasia yang dilepas oleh Cui Im, yang tewas dalam pelukan Keng Hong setelah gadis itu bersama Keng Hong melampiaskan perasaan mereka saling mencinta. Sim Lai Sek merasa sakit hati sekali dan pemuda ini mengikuti semua persoalan mengenai Keng Hong, menyaksikan pula Keng Hong diadili dan meyaksikan betapa Biauw Eng yang kemudian dilarikan ibunya, Lam-hai Sin-ni. Karena merasa sakit hati kehilangan cicinya, satu- satunya saudaranya dan yang amat dicintainya, Sim Lai Sek melatih diri dengan ilmu silat, kemudian mencari Lam-hai Sin-ni untuk membalas dendam kematian cicinya yang menurut pengakuan Biauw Eng sendiri dibunuh oleh gadis puteri Lam-hai Sin-ni itu. Ketika tadi ia tiba di situ, ia menyaksikan sepak terjang Cui Im dan Siauw Lek. Ia bersembunyi dan mengintai. Karena dua orang manusia iblis itu sibuk dengan kekejaman mereka, mereka tidak melihat atau mendengar kedatangan pemuda ini yang dapat mendengar dan menyaksikan semua. Terbukalah matanya bahwa Biauw Eng terkena fitnah, bahwa yang membunuh cicinya adalah wanita iblis itu! Akan tetapi menyaksikan kehebatan ilmu kepandaian kedua orang manusia iblis itu, Lai Sek maklum bahwa kalau dia menyerang takkan ada gunanya. Ia menanti sampai berjam-jam barulah dia merasa yakin bahwa mereka tidak akan datang kembali maka dia lalu muncul menolong ibu dan anak itu Dengan penuh semangat Lai Sek menggali lubang kuburan. Ia bertenaga besar dan tak lama kemudian dia sudah menggali sebuah lubang, kemudian dia mengeraskan hatinya mengangkat tubuh Lam-hai Sin-ni yang kaku, menaruhnya hati-hati ke dalam lubang berikut potongan-potongan kedua kaki tangannya, kemudian dia menguruk lubang itu dengan tanah galian. Biauw Eng meandang semua pekarjaan pemuda itu dan ketika Lai Sek menguruk tanah kuburan ia tak dapat melihat lagi karena kedua matanya penuh air mata yang tak dapat ia hapus karena kedua tangannya tak dapat ia gerakkan. "Sudah selesai, Nona." Lai Sek berlutut di dekat Biauw Eng setelah dia membersihkan kedua tangannya. Melihat betapa gadis itu menggigit bibir menahan nyeri dan melihat air mata memenuhi bulu mata karena tak dapat dihapus, pemuda itu menjadi iba sekali hatinya dan seperti tak disadarinya dia menggerakkan tangan dan mengusap air mata dari kedua mata nona itu dengan ujung bajunya. Sepasang mata yang merah itu memandang penuh keharuan dan rasa terima kasih menusuk perasaan Lai Sek. "Sim-enghiong.... kau .... kau manusia paling mulia yang pernah kujumpai... Dapatkah engkau mengangkat batu di sana itu dan meletakkannya di depan kuburan ibuku?" Lai Sek menengok memandang batu besar itu dan menganguk. "Ilmu silatku tidak seberapa tinggi, Nona , akan tetapi tenagaku besar. Agaknya batu itu akan terangkat olehku." Ia menghampiri batu itu, ketika membaca huruf-huruf terukir di atas batu, dia mengerutkan kening dan berkata, "Perlukah batu buatan iblis betina ini dipasang di depan kuburan ibuu, Nona? Dia sombong sekali. Engkau belum... mati dia sudah menulisnya begini pasti...." "Dia benar, aku tentu akan mati. Biarlah kau pasang batu itu agar kelak.... kalau Tuhan menghendaki , Keng Hong melihat batu itu dan mungkin dia masih.... ingat akan .... ah, terserahlah... Harap kau pindahkan batu itu.." Lai Sek tidak membantah lagi, lalu menghampiri batu besar itu, menyingsingkan lengan baju lalu memeluk dan mengerahkan tenaga. Dengan susah payah dapatlah dia mengangkat batu itu dan meletakkannya di depan kuburan Lam-hai Sin-ni. Kemudian dia menghampiri Biauw Eng dan berlutut lagi. Nona itu memandangnya dengan sepasang mata bersinar-sinar penuh rasa syukur dan terima kasih, bahkan bibir yang mengerut karena menahan sakit itu tersenyum. "Aihhh... Apa saja yang takkan kulakukan untuk membalas budimu, Sim-enghiong... Sayang... Aku hanya dapat membawa namamu ke alam baka...." Mata itu masih memandang terbelalak dan air matanya mengalir dari pelupuk mata membasahi kedua pipinya yang pucat. "Selamat berpisah, sahabat terbaik Sim Lai Sek... Namamu terukir di sanubariku, kubawa mati... Pergilah sekarang dan biarkan aku dengan tenang menghadapi siksaan yang akan membawaku pergi menyusul ibu...." Sim Lai Sek merasa betapa hatinya seperti ditusuk-tusuk. "Tidak ....! Tidak....! Tidak....! Engkau tidak boleh mati begini saja, Nona! Seorang semuda engkau, secantik engkau..ah, tidak mungkin aku dapat membiarkan kau mati begini saja....!" Gadis yang tadinya sudah memejamkan mata itu kini membuka matanya dan memandang heran. Saking herannya ia sampai lupa untuk sementara rasa nyeri yang makin menghebat. "Sim-enghiong... Kau...., kenapakah? Mengapa kau bersikap seperti ini... Mengapa... Mengapa engkau sebaik ini kepadaku...?" "Lima tahun lamanya setiap hari aku menyumpahimu, mengutukmu, menganggap engkau sejahat-jahatnya orang berhati keji telah membunuh ciciku yang tak berdosa. Agaknya... Siapa tahu... Karena kutukan dan sumpahku itu engkau mengalami malapetaka sehebat ini, dan ternyata engkau...., tidak berdosa! Dengan begini maka akulah yang berdosa kepadamu, Nona, aku harus menebus dosaku kepadamu ini. Akan tetapi bagaimana? Engkau terluka, hampir mati.... terluka jarum beracun??? Mungkin tidak ada obat penawarnya, akan tetapi kalau racunnya dikeluarkan...." "Jangan...!!!" Biauw Eng menjerit. "Mengapa jangan? Engkau akan selamat! Kalau racun itu kusedot keluar...ya, begitulah cara pengobatannya!" Sim Lai Sek mengulur tangannya hendak mencabut jarum merah yang menancap di tengkuk Biauw Eng itu. "Sim-enghiong, jangan lakukan itu!" Biauw Eng menjerit, suaranya melengking penuh kengerian. "Engkau akan celaka....!!" Sim Lai Sek tersenyum dan tidak menghentikan usahanya, kini jari tangannya menjepit jarum merah itu dan dicabutnya dengan tiba-tiba. Darah menghitam keluar dari luka di tengkuk itu. "Nona, jangan menakut-nakuti aku. Biar celaka sekalipun, untuk menolongmu dan untuk menebus dosa, aku rela!" Setelah berkata demikian Sim Lai Sek membungkuk dan mendekatkan mulutnya pada tengkuk yang berkulit putih halus, akan tetapi di sekitar luka kecil itu membengkak merah. "Tunggu dulu..., Sim-enghiong, ini tidak boleh... tunggu sebentar dan dengarkan kata-kataku." Biauw Eng di dalam hatinya meronta-ronta dan suaranya terdengar penuh permohonan sehingga Lai Sek mengangkat lagi mukanya. "Ada apa lagi, Nona?" "Dengar, Sim-enghiong. Aku tahu betul kedashyatan racun Ang-tok-cia ini. Dia itu bekas suciku sendiri, aku tahu bahwa luka jarum ini sama sekali tidak boleh disedot." "Apakah takkan sembuh? Boleh coba-coba daripada tidak ditolong sama sekali." "Bukan begitu!" Biauw Eng gugup. Mungkin sembuh, akan tetapi penyedotnya.... dia akan celaka, akan menjadi buta matanya! Jangan kau lakukan itu...." Lai Sek kelihatan terkejut, kemudian dia menatap wajah Biauw Eng dan tersenyum. "Biar celaka, atau buta, bahkan mati sekalipun aku rela melakukannya untukmu, Nona." Ia menunduk kembali, akan tetapi Biauw Eng menjerit. "Nanti dulu! Sim Lai Sek... Katakanlah terus terang, mengapa.... kau melakukan ini untukku? Kalau hanya untuk menebus rasa penyesalanmu telah salah menuduh saja, tidak mungkin. Katakanlah, mengapa....? Mengapa....??" . Sim Lai Sek memandang wajah gadis itu dan sejenak pandang mata mereka bertemu dan bertaut. Kemudian pemuda itu berkata, suaranya seret dan sukar keluar, namun dipaksa juga. "Baiklah, Nona. Mengingat bahwa keadaan kita ini gawat sekali, kalau kau tidak kutolong engkau mati, kalau kutolong mungkin aku yang mati, biarlah kau mendengar sejelasnya, mendengar apa yang selama ini berada di dalam hatiku sebagai rahasia pribadiku yang tak diketahui siapapun juga. Kau mau tahu mengapa aku hendak nekat menolongmu dengan taruhan nyawaku? Biaklah, karena .... karena aku cinta kepadamu, Nona!" Terbelalak mata Biauw Eng. Dugaan yang tepat namun ia tetap tidak tahu mengapa pemuda itu mencintainya. "Akan tetapi.... ah, mana mungkin? Engkau selamanya mendendam, menyumpah dan mengutuk aku yang tadinya kau anggap membunuh cicimu!" Sim Lai Sek menundukkan kepalanya. "Itulah yang merusak hatiku selama bertahun-tahun ini. Semenjak aku melihatmu di Kun-lun-san, aku .... ah, si lemah ini, aku jatuh cinta kepadamu, Nona. Kemudian ketika mendengar engkau adalah pembunuh ciciku, hatiku sakit dan rusak, cintaku berubah kebencian dan penyesalan, kusumpahi dan kukutuk engkau. Kini, ternyata engkau tak berdosa, maka anehkah kalau cintaku tumbuh kembali, bahkan makin mendalam? Aku telah berdosa kepada orang yang kucinta sepenuh hatiku, dan kini untuk menebus dosa terhadapmu, Nona, jangankan hanya berkorban mata yang masih belum kupercaya, biar berkorban nyawa aku rela!" Sinar mata Biauw Eng menjadi sayu, air matanya turun membanjir. Ia tidak kuasa berkata apa-apa lagi, maklum bahwa apa pun juga yang ia katakan, ia tidak akan berhasil mencegah pria yang begini cinta kasihnya. Bibirnya hanya bergerak dan terdengarlah bisikannya lirih, "Ouhhhhh.... biarkan aku mati.... biarkan aku mati..." Ia memejamkan mata dan menggigit bibir ketika merasa betapa mulut yang basah hangat dari pemuda itu mengecup tengkuknya lalu menyedot, betapa napas yang panas dari hidung pemuda itu menghembus-hembus anak rambut ditengkuknya. Ia tersedu dan merasa semangatnya terbang, hampir pingsan saking gelisah dan cemas hatinya terhadap pemuda itu. Tanpa sedikit pun mengingat akan dirinya sendiri, Lai Sek sudah mengecup, menyedot, dan meludahkan darah hitam yang berbau amis. Hampir dia tidak kuat menahan akan tetapi dia menggeraskan hati dan menahan kepalanya yang menjadi pening. Ia menyedot lagi, meludah, menyedot, meludah, sampai akhirnya setelah hampir kehabisan napas dan hampir tidak dapat menahan rasa pening kepalanya, Lai Sek menyedot darah merah! Ia menjadi girang sekali, akan tetapi masih terus menyedot dan meludah sehingga darah merah secawan keluar yang berarti bahwa kini racun telah dikeluarkan semua. Lai Sek tertawa-tawa kemudian roboh terguling. "Lai Sek....!" Biauw Eng menjerit lemah. Dia sudah terhindar bahaya racun, akan tetapi tubuhnya lemas dan totokannya belum punah, maka ia hanya dapat memanggil-manggil Lai Sek sambil menangis. Totokan jari tangan Cui Im memang hebat sekali. Seperti juga jalannya racun jarum merahnya, totokannnya itu setelah lewat dua belas jam barulah dapat punah dengan sendirinya. Hari telah lewat senja dan hujan turun rintik-rintik di pantai laut selatan itu. Selama itu, Biauw Eng menanti tubuhnya terbebas totokan, rebah miring di samping tubuh Lai Sek yang pingsan di situ pula. Setelah ia dapat bergerak, pertama-tama yang ia lakukan adalah menubruk tubuh Lai Sek dan menangis tersedu-sedu, mengangkat muka pemuda itu untuk diperiksa, dan di dalam cuaca suram hampir gelap itu ia melihat betapa kedua mata pemuda itu membengkak merah! Ia menjerit dan mendekap muka itu ke dadanya, menempelkankan mukanya pada dahi pemuda itu sehingga air matanya membasahi muka Lai Sek sambil merintih, "Lai Sek.. ohhh, Lai Sek....!" Hujan sudah berhenti, malam pun tibalah .Biauw Eng tidak bergerak pindah dari tempat dia duduk, kepala Lai Sek berada di atas pangkuannya. Jari-jari tangan gadis itu sejak tadi mengelus-elus rambut kepala Lai Sek, hatinya penuh keharuan dan ada rasa aman di hatinya. Kini hidupnya yang tadinya kosong karena Keng Hong kemudian karena kematian ibunya, terisi lagi oleh kewajiban baru. Ia hidup untuk pemuda ini! Untik membalas budi pemuda ini yang tiada taranya. Sim Lai Sek bergerak perlahan. "Uuuhhh, gelapnya....!" Ia mengeluh, kepalanya bergerak-gerak di atas pangkuan Biauw Eng. Ucapan itu memancing keluar air mata yang bercucuran dari mata gadis itu. "Malam telah tiba, Lai Sek," katanya lirih menahan isak. "Heh, apa? Siapa? Malam..? Eh, engkaukah ini, Nona? Mengapa..., mengapa engkau memangku aku....? Eh, mataku.... tak dapat melihat apa-apa...." Biauw Eng menangis, menunduk dan merangkul leher Lai Sek, tak kuasa mengeluarkan kata-kata. Lai Sek terheran-heran, lalu meraba kedua matanya, jari-jari tangannya meraba sepasang mata yang bengkak dan tertutup, tak dapat dibuka dan teringatlah dia. "Ah, aku.... aku telah menjadi buta..." "Lai Sek.... mengapa engkau nekat....? Sudah kukatakan..." Biauw Eng tak dapat berkata lagi, terus menangis. "Mataku buta? Biarlah! Akan tetapi engkau, sudah sembuh,benarkah, Nona? Engkau sudah dapat bergerak, sudah duduk. Bagus engkau sudah sembuh!" Lai Sek meraba-raba pundak dan tengkuk gadis itu, suaranya mengandung kelegaan hati dan kegirangan besar yang tak dibuat-buat, kegirangan yang membuat dia lupa akan keadaan matanya yang buta. Kegirangan yang terkandung dalam suara pemuda ini membikin Biauw Eng menjerit dan tangisnya makin menjadi. "Kau kenapa, Nona?" Lai Sek meraba-raba dan jari-jarinya bertemu dengan air mata di pipi Biauw Eng. "Kau menangis, Mengapa? Engkau menangisi aku, benarkah, Nona?" "Lai Sek.., Lai Sek... Betapa aku tidak akan menangisi engkau? Hatiku hancur melihat penderitaanmu karena aku..." Cinta memang perasaan yang aneh, mengatasi segala macam penderitaan hidup. Biarpun kedua matanya menjadi buta, kini merasa betapa gadis itu memeluknya, bahkan menciumi mukanya, menangis untuknya, Lai Sek menjadi girang dan merasa bahagia sekali! "Ohhh, terima kasih, Nona. Terima kasih....! Engkau menangis karena mataku buta? Ah, aku mau seribu kali buta kalau engkau menaruh perhatian seperti ini, Nona! Engkau sudah sembuh, sungguh besar hatiku dan masih murah kesembuhanmu kalau hanya ditebus dengan kedua mataku! Aku girang, aku bersyukur kepada Thian Yang Maha Kuasa bahwa aku dapat menebus dosaku kepadamu, bahwa aku masih ada gunanya, terutama sekali untukmu. Nona, kau tolonglah bawa aku ke kota Liok-kun dan antarkan aku ke rumah pamanku di kota itu, kemudian boleh kau tingggalkan aku, Nona. Akan tetapi berhati-hatilah jangan sampai engkau bertemu dengan dua manusia iblis itu lagi, mereka amat berbahaya dan lihai." "Lai Sek, kau kira aku ini orang macam apa? Tidak, aku merawatmu, mendampingimu dan takkan pernah meninggalkanmu. Kita akan selalu bersama sampai...., sampai kematian memisahkan kita," kata Biauw Eng penuh keharuan sambil memegang kedua tangan pemuda itu. Lai Sek mencengkeram kedua tangan yang kecil itu dan suaranya tergetar. "Apa kau bilang, Nona? Engkau seorang gadis cantik jelita seperti bidadari, berilu tinggi, engkau hendak menyia-nyiakan hidupmu di samping seorang seperti aku, yang sekarang telah menjadi seorang buta tiada guna? Tidak! Engkau tidak perlu mengorbankan dirimu hanya karena perbuatanku tadi, Nona. Sudah kukatakan bahwa aku hendak menebus dosa, dengan kedua mataku masih murah!" "Sim Lai sek, aku sudah mengambil keputusan hidupku. Kecuali kalau engkau tidak sudi bersamaku, aku takkan pernah meninggalkanmu. Ataukah.... engkau tidak cinta lagi kepadaku?" Genggaman tangan Lai Sek makin kencang. "Engkau tahu bahwa aku mencintamu, Nona. Aku mencintamu melebihi jiwa ragaku! Akan tetapi, karena cintaku, itulah maka aku tidak ingin engkau menyia-nyiakan hidupmu, menderita dan mengorbankan hidup untukku. Cintaku tidaklah sedangkal itu, Nona. Aku mencintamu, akan tetapi engkau tentu tidak mencin...." "Hushhh, aku pun cinta kepadamu, Lai Sek.." "Kau....? Kau..? Betapa mungkin ini? Biauw Eng, jangan mempermainkan aku, jangan.. sekejam itu....." Akan tetapi Biauw Eng sudah menutup ucapan Lai Sek dengan mencium mesra pada mulut pemuda itu sehingga membuat Lai Sek gelalapan. Setelah melepaskan ciumannya, Biauw Eng berbisik, "Nah, masih ragukah engkau? Adakah seorang gadis suci mencium mulut seorang pria kalau dia tidak mencinta pria itu?" "Kau mencintaku? Ya Tuhan, sukar untuk dipercaya! Mengapa kau mencintaiku? Karena aku telah menyelamatkan nyawamu?" "Bukan, Lai Sek, karena kemuliaan hatimu. Kalau orang seluruh dunia ini semulia engkau, aku pun akan mencinta seluruh manusia di dunia ini." "Biauw Eng....!" Lai Sek memeluk, merangkul, mendekap dan menangis tersedu-sedu. "Biauw Eng.... terima kasih.... terima kasih...." Dan keduanya berpelukan dan bertangisan. *** Keng Hong menuruni puncak Kun-lun-san dengan wajah berseri gembira. Betapa hatinya tidak akan gembira oleh hasil yang dicapainya di Kun-lun-pai? Dia telah berhasil membersihkan namanya di Kun-lun-pai, telah berhasil mengubah rasa benci para tokoh Kun-lun-pai, terutama Kiang Tojin, menjadi rasa kagum berterima kasih dan bersahabat. Tentu saja ada yang berbalik membencinya karena sepak terjangnya di Kun-lun-pai, terutama sekali Lian Ci Tojin dan Sian Ti Tojin akan tetapi hal ini sudah wajar. Setiap perbuatan yang mendatangkan senang kepada sefihak, tentu mendatangkan rasa tidak senang kepada fihak yang bertentangan. Pokoknya, ia harus mendatangkan rasa senang kepada di pihak yang benar dan baik, adapun rasa tidak senang di fihak yang salah dan jahat, bukanlah merupakan hal yang aneh. Ia maklum bahwa tugas yang dihadapinya amat berat. Ia akan menghadapi banyak rintangan, akan menghadapi permusuhan dari orang-orang yang masih mendendam kepada gurunya, bahkan yang akhir-akhir ini mendendam kepada dirinya sendiri. Bagaimana caranya mengubah permusuhan menjadi persahabatan seperti yang dia hasilkan di Kun-lun-pai? Tugas menebus semua permusuhan dari hati tokoh-tokoh kang-ouw terhadap gurunya dan dia sendiri sudah amat berat, masih ditambah lagi dengan tugasnya mencari Cui Im dan menundukkan wanita itu, minta secara halus maupun kasar agar wanita itu mengembalikan kitab-kitab yang dicurinya, karena sesungguhnya kitab-kitab itu merupakan syarat penting baginya untuk melenyapkan permusuhan yang ditimbulkan gurunya ketika gurunya mencuri atau merampas kitab-kitab itu dari partai-partai besar. Tanpa mengembalikan kitab-kitab itu kepada pemiliknya yang berhak, bagaimana mungkin dia dapat mengubah permusuhan menjadi persahabatan ? Ketika melewati sebuah puncak dan melihat puncak Bayangkara di depan Keng Hong berhenti dan memandang puncak Bayangkara dengan kening berkerut. Seperti puncak Bayangkara itulah tugasnya, menjulang tinggi dan puncaknya itu sendiri merupakan tugas pertama baginya. *** Yaitu dia harus mengunjungi puncak itu dan berusaha melenyapkan permusuhan yang timbul dengan mereka yang berkuasa di puncak itu, ialah perkumpulan Tiat-ciang-pang. Memandang puncak Bayangkara, teringatlah dia akan semua pengalamannya ketika dia bentrok dengan perkumpulan Tiat-ciang-pang. Dan teringatlah dia akan Sim Ciang Bi, gadis Hoa-san-pai yang menjadi sebab pertama bentrokannya itu. Ia membantu Ciang Bi dan adiknya, Sim Lai Sek, ketika mereka berdua itu dikeroyok anak buah Tiat-ciang-pang sehingga bentrokan menjadi berlarut larut, ditambah pula oleh perbuatan Cui Im yang menyamar sebagai Biauw Eng dan diam-diam membantunya, bahkan telah membunuh Ciang Bi. Keng Hong menghela napas panjang. Harus dia kujungi perkumpulan itu agar dia dapat bicara dengan Ouw Beng Kok dan Lai Ban, ketua dan wakil ketua dari Tiat-ciang-pang. Dengan hati mantap Keng Hong melanjutkan perjalanannya, menuju ke puncak Bayangkara. Ketika dia tiba di wilayah pegunungan ini dan berada di sebuah lereng yang agak tinggi, dia melihat dari jauh beberapa bayangan orang mendaki puncak, ada yang naik kuda, ada yang berjalan kaki . Ia berhenti memperhatikan. Dari gerakan mereka yang berjalan kaki dia dapat melihat bahwa mereka itu adalah orang-orang yang berkepandaian dan agaknya mereka hendak bertamu ke Tiat-ciang-pang. Ada apakah di Tiat-ciang-pang? Selagi dia termangu-mangu, tiba-tiba telinganya mendengar suara orang bernyanyi, suaranya halus terbawa angin lalu. "Kun-cu Song Ki Wi Ji Heng, Put Goan Houw Ki Gwee (Seorang budiman bersikap sesuai dengan kedudukannya, tidak menginginkan sesuatu yang bukan menjadi bagiannya)" Berseri wajah mendengar syair itu. Ia segera mengenal syair itu sebagai ujar-ujar Nabi Khong-cu dalam pelajaran Kitab Tiong-yong, dan dia mengenal atau dapat menduga pula siapa orangnya yang bernyanyi itu. Keng Hong tersenyum dan melangkah ke depan menuju ke arah datangnya suara nyanyian yang terbawa angin lalu. Tepat seperti yang diduganya, dia melihat kakek bongkok berpunuk yang berpakaian selalu bersih berkaki telanjang, rambutnya panjang akan tetapi bagian atas kepalanya botak, duduk ongkang-ongkang di atas sebatang dahan pohon sambil bernyanyi dan diseling menengak arak dari guci araknya. Siauw-bin Kuncu, tokoh aneh yang dulu dia akali untuk memecahkan rahasia kalimat yang terukir di pedang Siang-bhok-kiam! Tanpa disengaja kakek aneh inilah orangnya yang telah berjasa sehingga dia dapat menemukan tempat rahasia penyimpanan pusaka gurunya. Kakek itu melanjutkan syair ujar-ujar di dalam kitab Tiong-yong, akan tetapi kini tidak dinyanyikan, melainkan diucapkan nyaring dengan gaya sedang memberi kuliah atau sedang berceramah di depan banyak murid, kedua lengannya dikembangkan, kepalanya bergerak-gerak mengikuti irama kata-kata yang seperti sajak dideklamasikan: "Dalam keadaan kaya dan mulia dia berlaku sesuai dengan keadaannya, dalam keadaan miskin papa dia berlaku sesuai dengan keadaannya, berada di antara bangsa asing dia menyesuailan diri dengan sekelilingnya, dalam keadaan duka dan sengasara, dia menyesuaikan diri dengan keadaannya, maka seorang budiman selalu merasa cukup dan terteram, biarpun berada dalam keadaan yang bagaimanapun juga." Keng Hong yang sudah sering kali membaca kitab Tiong-yong dan kini mendengar ayat ini dideklamasi dengan sungguh-sungguh, seolah-olah menjadi makian jelas maknanya bagi pemuda ini. Ujar -ujar itu mengandung inti sari pelajaran "MENYESUAIKAN DIRI DENGAN KEADAAN." Memang, seorang yang pandai menyesuaikan diri tanpa memaksa hati dan perasaan sendiri akan selalu merasa puas, tak pernah kekurangan dan tenang tenteram. Menginginkan sesuatu yang takkan dapat dijangkauannya bukanlah menyesuaikan diri namanya. Bersikap tidak cocok dengan sekelingnya, ingin membawa kehendak sendiri, bukanlah menyesuaikan diri namanya! Ia mendengarkan terus terang karena biarpun sudah sering kali membaca ayat-ayat itu, kini mendengar diucapkan kakek itu dia merasa amat tertarik. "Dalam kedudukan tinggi dia tidak menghina bawahannya, dalam kedudukan rendah dia tidak menjilat atasannya Dia memperbaiki kekurangaan sendiri tidak mengharapkan orang lain, maka ia tidak membenci atau mengutuk orang lain. Ke atas dia tidak mengutuk Tuhan, Kebawah tidak menyalahkan manusia." Ujar-ujar itu adalah kelanjutan daripada ujar-ujar tadi dan inti sari pelajarannya adalah "MENERIMA KEADAAN PENUH KESADARAN." Jika seseorang dapat menerima keadaan yang menimpa dirinya dengan kesadaran, maka dia akan selalu dapat menyesuaikan diri dengan keadaan itu dan sama sekali dia tidak akan menyalahkan Tuhan maupun manusia lain. Setiap kegagalan yang lajim disebut kesialan diterima dengan kesadaran penuh bahwa hal ini merupakan akibat daripada sebab, dan untuk mencari sebabnya tidak semetinya kalau melontarkan kesalahan kepada Malaikat maupun Setan. Orang bijaksana atau kuncu (budiman) akan menghadapi setiap kegagalan atau malapetaka yang menimpa diri dengan melakukan instropeksi (memeriksa diri sendiri) kemudian melakukan self-koreksi tanpa membenci atau menyalahkan siapapun juga. Keng Hong sudah mengerti akan semua ini dan dia mendengarkan terus. "Seorang budiman selalu tenang dan tenteram menanti kurnia sewajarnya dari Tuhan. Adapun seorang yang rendah budi melakukan kejahatan Untuk mendapatkan sesuatu yang bukan menjadi haknya." Memanglah, tanpa adanya kesadaran tadi, seseorang yang sedang mengalai kegagalan akan udah menjadi mata gelap, menipiskan kepercayaan kepada Tuhan yang dianggapnya tidak adil sehingga dia melakukan perbuatan-perbuatan yang merugikan orang lain dan jahat. Keng Hong maklum bahwa yang sedang diucapkan kakek ini adalah pelajaran fasal ke empat belas dari kitab Tiong-yong dan bahwa masih ada satu ayat lagi sebagai penutup dan yang paling penting dalam fasal hal ini, maka dia masih belum mau menegur dan mendengarkan terus. Kini kakek itu kembali menyanyikan ayat terakhir yang pendek dengan gaya seorang penyanyi wayang, lagaknya lucu sekali: "Nabi Khong Cu bersabda : Prilaku seorang budiman seperti ilmu memanah, Apabila memanah tidak mengenai sasaran Dia mencari sebab-sebab kegagalan Kepada diri sendiri!" Karena ayat-ayat itu sudah habis diucapkan si kakek bongkok, Keng Hong hendak memperkenalkan diri, akan tetapi tidak sempat karena kini kakek itu berkata-kata keras penuh celaan seperti orang arah, "Anak panah luput dari sasaran adalah karena tidak becus, mengapa mencak-mencak mencari kesalahan dengan mencela anak panahnya bengkok, gendewanya kaku, sasarannya tidak nyata, angin besar, cuaca terlalu buruk dan lain omong kosong lagi? Ha-ha-ha, benar-benar manusia ini badut-badut dunia yang tidak lucu dan menjemukan. Guru besar, semua pelajaranmu baik dan tepat belaka, hamba kagum dan tunduknya, betapi sukar melaksanakannya! Aduhai ...., makin baik pelajarannya, mengapa makin bobrok budi pekertinya manusia?" Keng Hong terkejut mendengar ucapan terakhir ini dan lalu dia muncul keluar sambil menegur, "Locinpwe, maafkan kalau saya mengganggu, Bukankah Locianpwe ini Siauw Kuncu?" Kakek itu yang masih duduk ongkang-ongkang di atas dahan pohon, menoleh dan memandang Keng Hong, kemudian menenggak araknya dan berkata seperti orang mabuk, "Memang benar, aku seorang di antara kuncu-kuncu yang memenuhi dunia ini! Betapa banyaknya kuncu macam aku sehingga sukar dihitung, seperti daun-daun kuning berserakan di musim rontok! Betapa sukarnya menerima setangkai bunga di musim rontok!" "Apa pula artinya ucapan Locianpwe ini?" "Artinya? Lihat saja, betapa kini banyak terdapat kuncu-kuncu berserakan! Setiap orang pelajar hafal akan seluruh kitab-kitab pelajaran Nabi Khong Cu, dan mereka itu menganggap diri mereka sebagai kuncu-kuncu! Apakah kalau sudah hafal akan semua ujar-ujar kitab suci lalu menjadi budiman? Betapa mudahnya menghafal dan bicara ditambah lagak seorang kuncu, betapa mudahnya bicara tentang kebenaran, akan tetapi adakah yang dapat melaksanakannya dalam perbuatan? Mereka itu kuncu-kuncu dalam lagak dan kata-kata, dan karena itu aku menjadi seorang di antara mereka, berjuluk kuncu, aku pun seorang kuncu lagak dan kata, kuncu palsu!" "Akan tetapi, Locianpwe, bukankah seseorang yang telah mengenal diri sendiri dan tahu akan kekurangan-kekurangannya, mempunyai harapan besar untuk memperbaiki dirinya dan hal ini sudah merupakan langkah seorang kuncu?" "Engkau benar, akan tetapi betapa sukarnya mengalahkan diri sendiri! Betapa sukarnya menjadi kuncu bukan karena ingin disebut kuncu, betapa sukarnya melakukan perbuatan baik bukan karena ingin disebut baik! Betapa mungkin memisahkan malaikat dan setan kalau malaikat itu kita lekatkan di dada sedangkan setan melekat di punggung? Heeeiiiii...! Engkau ini seorang muda sudah pandai bicara tentang ayat-ayat suci. Engkau hendak menjadi kuncu, pula? Eh, aku pernah melihat mukamu! Oho, benar engkau ini!" Kakek itu menepuk kepalanya yang botak lalu tubuhnya melayang turun ke depan Keng Hong. Semenjak dahulu Keng Hong kagum menyaksikan ginkang kakek itu, akan tetapi tentu saja kini dia melihat betapa ginkang kakek itu sebenarnya belum berapa tinggi. Hal ini adalah karena tingkat kepandaiannya sendiri telah melonjak secara luar biasa. "Betapa senangnya bertemu dengan sahabat lama?" Kakek itu berkata seperti orang bernyanyi. "Bukankah engkau orang muda yang memiliki pukulan mujijat dan mengerikan itu? Engkau.... ah, murid Sin-jiu Kiam-ong yang menimbulkan geger di seluruh dunia kang-ouw dan di kabarkan lenyap di puncak Kiam-kok-san? Kabarnya engkau sudah mati!" Keng Hong tersenyum. "Thian masih melindungiku dan masih menganugerahi umur panjang padaku, Locianpwe. Berkat pertolongan Locinpwe, aku masih hidup sampai detik ini." Siauw bin kuncu membelalakkan kedua matanya dan mengaruk-garuk kepalanya. "Au? Pertolonganku yang mana? Eh, orang muda, jangan engkau ketularan watak Sin-jiu Kiam-ong yang suka menggoda dan mempermainkan orang. Aku sudah tua, tak baik mempermainkan orang tua." "Saya tidak mempermainkan Locianpwe, dan hanya menyatakan hal yang sesungguhnya. Ingatkah Locianpwe akan bantuan Locianpwe memecahkan rahasia tiga macam ujar-ujar dahulu itu? Kebijaksanaan tertinggi seperti air! Tulus dan sungguh mengabdi kebajikan! Tukang saluran mengalirkan airnya ke mana dia suka! Nah, Locianpwe yang membantu saya memecahkan rahasianya!" "Oh... Oh... Itukah? Dengan ukuran-ukuran itu...? Hemmm, kau hendak katakan bahwa rahasia itu adalah rahasia tempat penyimpanan peninggalan pusaka Sin-jiu Kiam-ong yang diperebutkan semua orang? Jadi engkau selama ini lenyap ke dalam tempat rahasia itu? Aihhh!" Kakek itu menampar kepalanya." Kalau aku tahu.. tentu..." Kakek itu terhenti dan kini menampar mulutnya. "Nah-nah, inilah yang paling berbahaya, musuh manusia nomor satu, yaitu diri sendiri, nafsunya sendiri yang mendorongnya melakukan hal apa saja demi untuk kepentingan diri sendiri sehingga lenyaplah segala norma kebajikan, lenyap dan terlupakan semua ayat-ayat suci agama. Ah, orang muda, jadi rahasia penyimpanan pusaka gurumu itu tersembunyi di dalam tiga baris ujar-ujar itu? Sunggah mengagumkan!" "Benar demikian, Locianpwe. Karena itu, saya menghaturkan terima kasih kepada Locianpwe yang menyelamatkan saya ketika dikejar oleh tokoh-tokoh kang-ouw lima enam tahun yang lalu." Kakek itu mengangkat tangan dan menggoyang-goyangnya seperti hendak mencegah pemuda itu melanjutkan ucapan terima kasihnya. "Seorang kuncu tidak mengangap bantuan sebagai pelepas budi, tidak menganggap kebajikan sebagai sesuatu yang dibanggakan melainkan sebagai suatu keharusan dan kewajiban. Orang muda, siapakah namamu? Aku sudah lupa lagi." "Saya Cia Keng Hong, Locianpwe." "Keng Hong, setelah engkau menemukan peninggalan pusaka gurumu, tentu engkau telah mewarisi seluruh ilmu kepandaian Sin-jiu Kiam-ong, bukan?" "Ilmu, kepandaian tak dapat diwarisi, Locinpwe, hanya dapat dipelajari. Saya telah mempelajarinya sedikit-sedikit akan tetapi tentu saja masih jauh daripada sempurna." "Wah, engkau pandai merendah, Keng Hong. Dahulu pun kepandaianmu sudah mengerikan, apalagi sekarang. Dan sekarang, kemana engkau hendak pergi, apa yang hendak kaulakukan setelah engkau memiliki ilmu kepandaian gurumu?" "Locianpwe, saya mohon petunjuk, Locianpwe mengenai cita-cita yang menjadi tugas saya ini. Saya akan berusaha untuk menemui semua tokoh kang-ouw yang dahulu memusuhi suhu, dan akan saya usahakan sedapat mungkin untuk menebus kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh suhu terhadap para tokoh kang-ouw. Bagaimana menurut pendapat Locianpwe? Apakah usaha saya ini tidak berlawanan dengan kebaktian seorang murid terhadap gurunya?" "Di dalam kitab Tiong-yong, guru besar Khong Cu berkata! Hu-hauw-cia, Sian-kee-jin-ci-ci, Sian -sut-jit-ci-su-cia-ya (Berbakti ialah melanjutkan cita-cita mulia dan pekerjaan benar daripada leluhurnya). Kalau seorang murid melakukan perbuatan-perbuatan mulia dan benar, berarti bahwa dia mengangkat tinggi nama gurunya. Kalau muridnya menjadi seorang baik, tentu gurunya dipuji orang. Sebaliknya kalau si murid menjadi seorang jahat tentu gurunya dimaki orang. Gurumu Sin-jiu Kiam-ong, di waktu hidupnya menjadi seorang petualang, ugal-ugalan dan karenanya menyusahkan banyak orang sehingga dimusuhi. Dia meninggalkan nama buruk. Kalau engkau sebagai muridnya dapat melakukan kebaikan-kebaikan, hal itu berarti engkau telah berbakti, karena dengan kebaikan muridnya, setidaknya nama buruk si guru akan tercuci sebagian. Akan tetapi, tujuan dan cita-cita baik saja belum ada gunanya kalau belum dilaksanakan, Keng Hong. Sekarang, engkau hendak kemana?" "Terima kasih atas wejangan Locianpwe yang ternyata cocok dengan isi hati saya. Saya akan pergi ke puncak sana menemui para pimpinan Tiat-ciang-pang yang paling dekat dari sini. Tugas ini tidak ada sangkut pautnya dengan suhu. Seperti Locianpwe telah mengetahui, dahulu enam tahun yang saya pernah bentrok dengan Tiat-ciang-pang karena salah faham maka sekarang saya hendak menghapus pertentangan itu dengan mohon maaf kepada para pemimpinnya." Kakek itu tertawa dan mengelus jenggotnya. "Ha-ha-ha, kebetulan sekali. Di sana sedang ada keramaian, dan mungkin setibamu di sana akan terjadi perkara besar di sana. Tidakkah kau melihat rombongan tamu yang menuju ke sana itu? Aku sendiri pun kalau ada minat, akan menonton keramaian." "Saya tadi melihat rombongan itu, Locianpwe. Ada keramaian apakah?" "Pesta keramaian dari mereka yang menang! Mereka merayakan ulang tahun Tiat-ciang pang, juga merayakan kemenangan bala tentara Raja Muda Yung Lo yang berhasil merebut kekuasaan. Sebagai fihak yang pro tentara, tentu saja Tiat-ciang-pang mendapat pahala dan karena itu mereka merayakan kemenangan. Nah, kalau kau hendak menemui para pimpinannya, sekaranglah saatnya. Pergilah, Keng Hong, dan jangan lupa dasar tujuanmu, yaitu menjunjung nama guru yang hanya dapat kau capai dengan perbuatan benar. Selamat berpisah!" Kakek itu meloncat jauh lalu berloncatan dengan kedua lengan dikembangkan dan digerak-gerakkan seperti burung terbang! Keng Hong menarik napas lega. Bercakap-cakap dengan kakek itu menambah keyakinannya akan benarnya usaha yang ditempuhnya. Ia maklum betapa berat tugasnya, namun keyakinan bahwa yang dia lakukan adalah benar memperingan tugas itu dalam hatinya. Ia lalu melanjutkan perjalannya menuju ke puncak Pegunungan Bayangkara di mana sudah tampak tembok besar yang menjadi bangunan pusat perkumpulan Tiat-ciang-pang. Tiat-ciang-pang adalah sebuah perkumpulan yang besar dan terkenal, apalagi setelah timbul perang ketika Raja Muda Yung Lo memimpin bala tentaranya dari utara menyerbu ke selatan dan perkumpulan ini membantu dengan penuh semangat. Setelah perang dimenangkan tentara utara, nama Tiat-ciang-pang meningkat dan makin banyaklah orang yang memuji-muji perkumpulan ini. Maka ketika perkumpulan itu merayakan ulang tahun sekalian merayakan kemenangan bala tentara utara, juga untuk mengadakan pemilihan ketua baru karena Ouw Beng Kok, ketua pertama itu hendak mengundurkan diri kan karena merasa sudah terlalu tua. Banyak sekali tamu berdatangan dari segenap penjuru, tokoh-tokoh kang-ouw dan bekas-bekas teman seperjuangan. Keng Hong menyelinap di antara para tamu dan tidak ada seorang pun memperhatikan pemuda ini karena memang Keng Hong tidak kelihatan menyolok dengan pakaiannya yang sederhana dan kelihatannya tidak membawa sepotong pun senjata, sama sekali tidak kelihatan seperti seorang tokoh kang-ouw yang pandai ilmu silat. Apalagi karena pada saat itu warna kulit muka Keng Hong sudah berubah hitam, karena dia sengaja menggunakan semacam getah pohon untuk menghitamkan muka. Kepandaian menyamar ini dia dapatkan dari sebuah di antara kitab-kitab suhunya, dan dia tahu bagaimana harus mengubah warna kulit mukanya menjadi hitam, putih, kuning, merah atau bahkan kehijauan, hanya mempergunakan getah-getah kulit pohon atau daun-daun. Karena kedatangannya dengan itikad baik, dia tidak ingin menimbulkan kekacauan dan tidak ingin dikenal anak buah Tiat-ciang-pang yang tentu akan mengacaukan urusan sebelum dia sempat bicara dengan Ouw Beng Kok dan Lai Ban. Dari tempat duduknya di antara banyak tamu muda, Keng Hong memandang ke depan dimana para pipinan Tiat-ciang-pang dan par tau yang dianggap terhormat berkumpul. Bagian itu agak tinggi dan luas sehingga tampak jelas dari semua bagian dimana tamu-tamu yang dianggap "biasa" atau hanya para anggota-anggota rendahan dari Tiat-ciang-pang. Karena di situ berkumpul pula tamu-tamu dari pelbagai golongan sehingga sebagian besar tidak dikenal oleh para anggota Tiat-ciang-pang, maka kehadiran Keng Hong tidak menyolok. Keng Hong dapat melihat bahwa Ouw Beng Kok ketua Tiat-ciang-pang atau Ouw-pangcu itu, kelihatan tua dan mukanya penuh keriput, namun tubuhnya yang agak kurus itu masih membayangkan tenaga yang kuat, dan Keng Hong merasa bulu tengkuknya berdiri ketika melihat tangan kiri Ouw Beng Kok yang palsau, tangan besi yang amat hebat itu, karena tangan besi itulah yang menciptakan Tiat-ciang-pang. *** Perkumpulan Tangan besi, sungguhpun para anggautanya tidak mempunyai tangan palsu dari besi, namun para tokohnya telah mempelajari ilu Tiat-ciang-pang (Tangan Besi) yang amat ampuh sehingga tangan mereka dari tulang daging dan kulit itu seolah-olah keras seperti besi. Di sebelah kirinya duduk seorang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh tahun yang bermuka brewok dan bertubuh tinggi besar dan gagah. Sedangkan di sebelah kanannya duduk Lai Ban, wakil ketua Tiat-ciang-pang yang berjuluk Kim-to Si Golok Emas. Senjata itu tergantung dengan megahnya di punggung, dan berbeda dengan ketua Tiat-ciang-pang itu, wakilnya itu masih kelihatan gagah bersemangat biarpun usianya sudah lima puluh tahun lebih. Di belakang kedua orang ketua ini duduk para pembantu-pembantu pemimpin Tiat-ciang-pang dengan sikap keren. Dan di depan mereka, mengelilingi meja-meja besar yang ditaruh berjajar, duduk para tokoh yang terhormat, yaitu tokoh-tokoh kang-ouw dan tokoh-tokoh pejuang pembantu barisan dari utara. Setelah semua tamu menghaturkan selamat dan saling memuji dalam merayakan kemenangan tentara utara, yang mereka lakukan sambil tertawa-tawa, menceritakan pengalaman pertandingan dalam perang saudara yang lalu, dan makan minum gembira, ketua Tiat-ciang-pang lalu mengumumkan kesempatan itu untuk mengadakan pemilihan ketua baru. "Saya sudah tua dan lelah, perlu mengundurkan diri beristirahat dan memberi kesempatan kepada yang muda." Demikian Ouw Beng Kok menutup kata-katanya. "Sekarang, kebetulan sekali para sahabat dari berbagai golongan hadir sehingga dapat menjadi saksi peilihan ketua baru Tiat-ciang-pang. Menurut pendapat dan rencana saya, tentu saja kalau seluruh anggauta Tiat-ciang-pang menyetujui, dan saya harap demikian, saya akan menyerahkan jabatan ketua kepada putera saya ini. Mungkin banyak di antara para sahabat yang belum mengenal puteraku. Puteraku ini bernama Ouw Kian, dan karena semenjak kecil dia membantu Raja Muda Yung Lo di utara yang kini menjadi kaisar kita, maka dia tidak mendapatkan kesempatan untuk bekerja bagi Tiat-ciang-pang. Akan tetapi, mengingat bahwa ilmu Tiat-ciang-kang telah di warisinya, dan karena diapun ingin sekali menyumbangkan tenaganya, dan sudah disetujui pula meninggalkan kerajaan, maka saya sendiri mengusulkan untuk mengangkatnya menjadi ketua Tiat-ciang-pang." "Ha-ha-ha, Ouw-pangcu mengapa begini sungkan? Kalau yang pangcu usulkan untuk menggantikan adalah putera Pangcu sendiri, hal itu sudah sewajarnya. Ouw -pangcu selain menjadi ketua dari Tiat-ciang-pang, juga menjadi pendiri Tiat-ciang-pang, dan kalau kini Pangcu hendak mengundurkan diri lalu menunjuk putera Pangcu sebagai ketua baru, siapa yang akan menyatakan tidak setuju." Ucapan ini keluar dari mulut seorang di antara para tokoh yang hadir di situ. Para tamu lainnya sebagian besar menganggukkan kepala tanda setuju dengan pendapat ini. Akan tetapi Ouw Beng Kok mengerutkan alisnya yang tebal lalu berkata, "Cu-wi sekalian (Tuan sekalian) tidak tahu akan keadaan Tiat-ciang-pang kami. Perkumpulan kami selama beberapa tahun ini telah mengalami kemajuan pesat sekali dan kini telah mempunyai belasan buah cabang perkumpulan di kota-kota dan jumlah anggauta kami seluruhnya tidak kurang dari seribu orang! Pada hari baik ini, seluruh pimpinan cabang yang sebagian adalah murid-murid saya, sebagian pula sahabat-sahabat seperjuangan yang jumlahnya tiga puluh orang lebih hadir pula. Saya tidak mau mengandalkan kedudukan sebagai pendiri dan ketua pertama untuk membawa kehendak sendiri dan kalau saya mengusulkan agar putera saya diangkat semata-mata adalah karena saya mengenal kecakapan putera saya dan tahu bahwa pada ssat ini, dia merupakan ahli Tiat-ciang-kang yang paling kuat. Namun, saya menyerahkan keputusannya dalam pemilihan umum yang diadakan para pimpinan pusat dan cabang. Dan tentu saja mereka itu behak untuk memilih calon dan mengemukakan pendapat mereka demi kebaikan Tiat-ciang-pang." Semua tamu menjadi kagum mendengar ucapan Ouw-pangcu ini dan diam-diam Keng Hong juga merasa kagum. Orang tua itu ternyata mempunyai watak yang adil dan tidak seperti pemimpin-pemimpin yang lain yang hanya ingin melaksanakan kehendaknya sendiri saja. Setelah mendengarkan ucapan ketua Tiat-ciang-pang yang disaksikan oleh banyak tokoh kang-ouw yang hadir di tempat itu, mulailah para dewan pimpinan cabang dan pusat ramai saling bicara sendiri. Memang di antara mereka telah terjadi perpecahan yang menjadi dua golongan, yaitu segolongan yang sejutu dengan pilihan ketua mereka untuk mengangkat Ouw Kian menjadi ketua baru. Akan tetapi segolongan lain tidak setuju dan lebih suka melihat Lai Ban wakil ketua Tiat-ciang-pang menjadi ketua baru. Seorang di antara mereka, yang bertubuh tinggi kurus dan berduka seperti tikus bangkit berdiri dan setelah menjura kepada Ouw Beng Kok berkata, suarnya lantang, "Hati kai lega setelah mendengar uraian Pangcu yang amat adil dan yang memberi kesempatan kepada kami untuk ikut mengajukan calon ketua baru. Oleh karena itu perkenankan saya mengajukan usul kepada Pangcu mengenai pencalonan ketua baru, sesuai dengan pendapat kawan-kawan yang mengambil keputusan demi kebaikan Tiat-ciang-pang yang kita cinta." "Saudara Lu Tong adalah ketua cabang Bi-na-seng, bukan? Tidak perlu merasa sungkan, memang pemilihan ketua ini dei kebaikan perkumpulan kita. Boleh saja engkau mengajukan usul itu," jawab Ouw Beng Kok dengan sabar dan tenang. "Terima kasih, Pangcu. Kami mengajukan calon kami yang sudah kami pilih dengan suara bulat, yaitu Ji-pangcu Lai Ban !" Sejenak pembicara yang bernama Lu Tong ini berhenti bicara karena segera bangkit berdiri dua puluh orang lebih teman-temannya yang bersorak menyebut nama Lai Ban sebagai wakil atau calon mereka. Lai Ban bangkit berdiri dan mengangkat kedua lengan ke atas, suaranya nyaring berpengaruh, "Harap saudara-saudara tidak berisik dan suka duduk kembali, biar seorang saja mewakili saudara-saudara bicara!" Dan ternyata mereka yang bersorak itu segera terdiam, lalu duduk kembali. Lai Ban dengan sikap tenang juga duduk kembali, wajahnya tenang dan sungguh-sungguh. "Kalau Saudara Lu Tong masih ada kata-kata harap lanjutkan." "Kami memilih Ji-pangcu Lai Ban dengan alasan yang kuat. Pertama, kami rasa bahwa selain Pangcu sendiri, Ji-pangcu Lai Ban adalah orang ke-dua yang selama ini memimpin Tiat-ciang-pang. Ke-dua, dalam hal ilmu kepandaian, kami semua telah mengerti akan kelihaiannya yang hanya berada di bawah tingkat Pangcu sendiri atau mungkin juga setingkat. Kami menolak pengangkatan atau pencalonan Saudara Ouw Kian bukan sekali-kali karena tidak suka kepadanya, melainkan kami meragukan kepandaiannya. Sudah sering kali Tiat-ciang-pang dimusuhi orang-orang jahat yang berilmu tinggi, maka kalau dipimpin oleh seorang pemuda yang belum berpengalaman dan kepandaiannya tidak boleh diandalkan, bukankah hal itu melemahkan Tiat-ciang-pang?" "Betul! Betul! Pilih Lai-pangcu sebagai ketua baru!" Kembali terdengar teriakan-teriakan riuh. "Tidak! Kami memilih Ouw-siauw-pangcu!" teriak mereka yang berpihak Ouw Kian dan bahkan telah menyebutnya siauw-pangcu (ketua muda)! Melihat keadaan menjadi ribut, Ouw Beng Kok bangkit berdiri, dan seperti yang dilakukan Lai Ban tadi, dia mengangkat kedua lengan ke atas dan seketika semua orang yang ribut-ribut itu diam. Ouw Beng Kok tersenyum dan berkata sabar, "Memang sudah menjadi hak Saudara Lai Ban untuk dipilih. Tadinya akupun mempunyai pendapat seperti saudara-saudara yang memilih Lai Ban. Akan tetapi setelah yakin akan kepandaian puteraku, aku mempunyai pikiran bahwa lebih baik puteraku menjadi ketua dan Saudara Lai Ban menjadi wakilnya." "Buktikan kepandaiannya! Kami ingin mengujinya!" Terdengar teriakn-teriakan. Ouw-pangcu tertawa lebar. "Memang tadinya untuk memperkenalkan, aku ingin agar Saudara Lai Ban sendiri yang menguji puteraku. Akan tetapi kalau di antara saudara ada yang penasaran dan ingin menguji dalam hal Ilmu Tiat-ciang-kang, silakan. Kian-ji (anak Kian ), kau layanilah mereka baik-baik." Ouw Kian yang bertubuh tinggi besar dan bermuka brewok itu lalu meloncat ke tengah ruangan seperti panggung itu, mengangkat kedua tangan ke sekeliling dan berkata, suaranya ramah dan nyaring. "Cu-wi sekalian hendaknya suka maafkan kalau kami orang-orang Tiat-ciang-pang terpaksa memperlihatkan kebodohan kami karena hal ini dilakukan demi memperlancar pemilihan ketua. Karena urusan ini adalah urusan dalam, maka cu-wi kami harap tidak mencampurinya dan menjadi saksi saja." Setelah memberi hormat kepada para tamu, Ouw Kian menghadapi golongan atau rombongan yang mencalonkan Lai Ban, lalu berkata, "Sudah sepatutnya kalau saudara mengenal baik tingkat kepandaian calon ketua perkumpulan kita. Aku menerima pencalonan bukan hanya untuk berbakti kepada ayah, juga untuk berbakti kepada perkumpulan. Kalau ada saudara yang meragukan tingkat Tiat-ciang-kang saya, silakan mencoba." Dari golongan tadi, dipipin oleh Lu Tong meloncat keluar lia orang dan Lu Tong berkata mewakili mereka berlima, "Seorang ketua kita harus dapat menandingi lima orang pimpinan cabang, seperti juga dapat dilakukan oleh Ji-pangcu." Ouw Kian tersenyum lebar. "Kalau memang demikian yang kalian kehendaki, silakan. Kalau memang kepandaianku masih jauh daripada mencukupi, tentu saja aku tidak pantas memimpin Tiat-ciang-pang." Setelah berkata demikian Ouw Kian lalu memasang kuda-kuda persiapan menghadapi penggeroyokan. *** Dengan kedua lutut di tekuk rendah, tubuh atas tegak dan kedua tangan dengan jari-jari terbuka di depan pusar. Lima orang ketua cabang yang tentu saja adalah ahli-ahli Tiat-ciang-kang dan sudah berlatih di bawah pimpinan Lai Ban sendiri, tentu saja mengenal kuda-kuda Tiat-ciang-kun-hoat ini dan mereka pun cepat mengurung dan memasang kuda-kuda. "Kalian semua ingat! Hanya boleh menggunakan Tiat-ciang-kun-hoat!" terdengar Ouw Beng Kok berseru kepada enam orang yang sudah siap itu. Para tau menonton dengan hati berdebar. Mereka semua sudah mengenal kelihaian ilmu silat dari pada tokoh Tiat-ciang-pang. Ilmu Tiat-ciang-kun-hoat (Ilmu Silat Tangan Besi) ini kabarnya terbagi tiga bagian. Pertama tentu saja hanya dimiliki Ouw Beng Kok sendiri yaitu dimainkan dengan sebelah tangan palsu dari besi. Tingkat ke dua adalah mereka yang mainkan ilmu silat ini dengan kedua tangan biasa yang sudah digembleng dengan latihan-latihan sehingga memiliki Tiat-ciang-kang (Tenaga Tangan Besi), sedangkan ke tiga adalah anak buah yang hanya mengerti ilmu silatnya, akan tetapi tangan mereka belum memiliki tenaga Tiat-ciang-kang sepenuhnya. Bahkan di antara mereka ini, untuk menambah keampuhan ilmu silat mereka, ada yang menggunakan senjata sebuah tangan besi yang digengam di tangan kanan, menjadi penyambung tangan! Yang memiliki Tiat-ciang-kang secara mahir hanya ada beberapa orang saja dan diantaranya tentu saja Kim-to Lai Ban berada di tingkat teratas. Adapun kepandaian putera Ouw-pangcu ini memang belum ada yang mengetahuinya. Di antaranya lima orang pengeroyok itu, yang memiliki Tiat-ciang-kang lumayan hanya Lu-Tong seorang. Empat orang kawannya hanya pandai ilmu silatnya, bahkan yang dua orang sudah mengeluarkan dua buah senjata tangan basi dan memekai di tangan kanan, sedangkan yang dua orang lagi hanya mengandalkan ilmu silat dan kekuatan yang besar, sungguhpun mereka belum memiliki Tiat-ciang-kang yang diciptakan dari tenaga sinkang. Para tamu banyak yang bergerak mendekat panggung, termasuk Keng Hong yang menjadi tertarik hatinya. Sudah lama yang menjadi tertarik hatinya. Sudah lama mereka mendengar akan nama besar Tiat-ciang-pang dan sekali ini mereka akan menonton pertandingan yang khusus dilakukan dengan Ilmu Silat Tangan Besi yang hebat dan terkenal itu. Tiba-tiba Lu Tong mengeluarkan seruan keras dan dia sudah mulai menyerang dengan pukulan tangan miring menuju lambung Ouw Kian. Serangannya ini disusul oleh empat orang kawannya yang juga sudah menerjang dengan pukulan tangan terbuka, atau cengkeraman, atau pukulan dengan tangan besi yang menjadi senjata mereka. Gerakan mereka itu cepat, kuat dan mantap sekali. Lebih-lebih Lu Tong, sehingga ketika mereka bergerak menyerang, tangan mereka mengeluarkan suara berkerotok dan angin pukulan menyambar dahsyat. Namun Ouw Kian bergerak dengan tenang dan tepat. Ternyata dia telah menguasai Ilmu Silat Tiat-ciang-kun-hoat dengan amat baiknya. Hal ini terbukti betapa dengan tenang dia menghadapi semua serangan itu dan jelas bahwa dia telah lebih dulu tahu kemana lima orang lawannya itu akan menyerang. Dengan lincah namun tenang tanpa membuang banyak gerakan sia-sia, Ouw Kian mengelak dan menangkis. Ia tidak mau mengerahkan banyak tenaga karena memang dia hendak memperlihatkan mereka bahwa dia telah mahir mainkan ilmu silat perkumpulan ayahnya. Kalau dia menggunakan Tiat-ciang-kun, apalagi kalau dengan pengerahan tenaga sepenuhnya tentu dalam segebrak saja dia mampu lima orang pengeroyoknya jungkir-balik Mula-mula pertandingan itu berjalan dengan gerakan-gerakan mantap dan lambat, namun makin lama makin cepat gerakan lima orang pengeroyok itu. Mereka mulai menjadi penasaran karena sampai tiga puluh jurus lebih Ouw Kian hanya mengelak dan menangkis tanpa balas menyerang. Tangkisan putera ketua itu hanya membuat tangan mereka terpental dan mereka tidak merasakan tenaga sakti yang hebat pada kedua tangan Ouw Kian, maka mereka berlima menjadi makin bersemangat karena menganggap bahwa dalam hal ilmu silat, Ouw Kian kalah cepat oleh Lai Ban, juga dalam hal tenaga sakti, pemuda ini kalah jauh! Setelah menghadapi serangan-serangan para pengeroyoknya selama lima puluh jurus, Ouw Kian menganggap sudah cukup. Ia mengerahkan tenaga dan membentak keras, "Harap saudara berlima mundur!!" Ucapan ini dibarengi dengan tangkisan kedua tangannya secara bertubi dan tepat sekali mengenai tangan kelima orang penggeroyoknya. Terdengar pekik kaget dan lima orang itu sudah terlempar ke belakang semua, menyeringai dan melongo ketika melihat betapa dua buah senjata tangan besi menjadi hancur, sedangkan tangan mereka merah sekali akan tetapi tidak terluka, hanya panas dan perih! Itulah akibat tersentuh ilmu sakti Tiat-ciang-kang! Terdengar tepuk tangan oleh mereka yang menyetujui pengangkatan putera ketua ini, bahakn para tamu yang menyaksikan kelihaian Ouw Kian ikut pula memuji dan bertepuk tangan. Keng Hong diam-diam juga kagum, terutama sekali cara Ouw Kian mengalahkan lima orang ketua cabang itu amat menyenangkan hatinya dan dari cara ini saja dapat diharapkan putera Ouw-pangcu itu akan menjadi seorang ketua yang baik. Dia tidak membikin malu ketua-ketua cabang itu, bahkan bersikap mengalah sekali. Lu Tong bangkit berdiri, mukanya merah ketika dia meandang ke arah Lai Ban. Ia lalu menjura kepada Ouw Kian dan berkata, "Harus kami akui bahwa Ilmu Tiat-ciang-kun-hoat dari Saudara Ouw Kian cukup baik, akan tetapi kami kira tidak sebaik kepandaian Lai-pangcu, dan kami tetap memilih Lai-pangcu karena betapapun juga, tentu Lai-pangcu lebih berpengalaman dalam memimpin Tiat-ciang-pang!" Ouw Beng Kok segara berdiri dan berkata, "Saudara-saudara sekalian, hendaknya maklum bahwa keputusanku utnuk mengangkat Ouw Kian sebagai penggantiku menjabat ketua baru dari perkumpulan kita telah kupikirkan dan kuperhitungkan masak-masak. Tiat-ciang-pang didirikan tadinya dengan maksud untuk menegakkan kebenaran dan keadilan serta berdasarkan mengembangkan Ilmu Silat Tiat-ciang-kun-hoat diantara para murid dan anggautanya. Oleh karena itu, sudahlah sepatutnya kalau yang enjadi ketuanya adalah orang yang paling mahir dalam ilmu itu. Pada saat ini, aku melihat bahwa yang paling mahir dalam ilmu kita itu adalah Ouw Kian, maka aku memilih dia. Kemudian barulah Lai-ji-pangcu sebagai wakilnya. Mungkian dalam kepandaian umumnya, puteraku masih kalah, akan tetapi aku mengkehendaki agat Tiat-ciang-kun-hoat dikembangkan tanpa pencampuran ilmu silat lain sehingga ilmu silat kita akan tetap dipertahankan keaseliannya. Hendaknya saudara sekalian dapat memaklumi akan hal ini," Ucapan itu berwibawa dan mempunyai dasar yang kuat sehingga mereka yang menentang pengangkatan Ouw Kian tidak dapat membantah lagi. Lu Tong mengerutkan keningnya, kemudian berkata, "Ucapan Pangcu tak dapat dibantah kebenarannya. Akan tetapi kami ingin menyaksikan lebih dulu apakah benar ilmu silat yang dimiliki Lai-pangcu kalah tinggi tingkatnya dengan putera Pangcu." "Benar, harap diuji dulu!" Terdengar teriakan-terikan dari mereka yang mendukung pencalonan Lai Ban. Kim-to Lai Ban kini bangkit dari tempat duduknya dan berkata, "Terima kasih atas kepercayaan saudara sekalian. Biarlah aku akan mnguji kepandaian Ouw-hiante dan memang aku pun ingin sekali menyaksikan sampai dimana kepandaian orang muda yang dicalonkan menjadi pemimpin kita ini. Aku hanya menyatakan tidak setuju akan pendapat pangcu bahwa Ilmu silat Tiat-ciang-kun-hoat tidak boleh dicampur dengan ilmu silat lain. Ilmu silat amat banyaknya di dunia ini dan kalau tidak memasukkan bagian-bagian yang baik dari ilmu silat lain, bagaimana Tiat-ciang-kun-hoat akan memperoleh kemajuan? "Nah, Ouw-hiante, mari kita main-main sebentar!" Ia lalu meloncat dan menghadapi Ouw Kian yang masih berdiri di tengah ruangan. Semua orang yang hadir di situ menjadi tegang hatinya. Kini mereka maklum bahwa mereka akan menghadapi sebuah pertandingan yang hebat dan jauh lebih seru daripda tadi. Dua jago Tiat-ciang-pang tua dan muda itu sudah saling berhadapan dan mereka memasang kuda-kuda yang sama. "Ouw Kian, majulah!" Lai Ban membentak nyaring. Namun Ouw Kian bersikap tenang dan berkata hormat, "Lai-susiok, engkau yang hendak mengujiku, silakan mulai." Ouw Kian menyebut susiok (paman guru) kepada Lai Ban karena memang wakil ketua itu dianggap adik seperguruan sendiri oleh Ouw Beng Kok sungguhpun ilmu Tiat-ciang-kang dia pelajari dari ketua Tiat-ciang-pang itu. Dahulu dia hanya sahabat orang she Ouw itu, dan memang Lai Ban telah memiliki ilmu kepandaian tingi, tetutama ilmu golok sehingga dia dijuluki Kim-to. Setelah dia mempelajari Tiat-ciang-kang, maka dia dianggap saudara dan ditarik sebagai wakil ketua ketika Ouw Beng Kok mendirikan perkumpulan itu. "Jagalah seranganku!' Lai Ban membentak dan dia sudah menerjang dengan gerakan kuat dan dahsyat. Ouw Kian maklum akan kelihaian wakil ketua ini, maka cepat dia menggeser kaki mengelak dan balas menyerang. Terjadilah serang-menyerang dalam ilmu silat yang sama, makin lama makin seru dan cepat. Pandang mata mereka yang menonton sampai menjadi pening karena gerakan kedua orang itu sama-sama cepat sehingga tubuh mereka berkelebatan dan kadang-kadang sukar dibedakan mana yang tua mana yang muda. Akan tetapi dalam pandang mata Ouw BengKok dan juga para tokoh yang tinggi ilmunya termasuk Keng Hong, jelas tampak bahwa biarpun Lai Ban lebih matang gerakan-gerakannya karena menang pengalaman, namun dia kalah mahir dan juga agaknya kalah latihan. *** Gerakan Lai Ban matang dalam pengalaman pertempuran, sebaliknya Ouw Kian adalah aseli dan orang muda ini lebih tekun berlatih Tiat-ciang-kun-hoat, apalagi di bawah bimbingan ayahnya sendiri, pencipta ilmu silat ini. Dia belum dapat mengalahkan Lai Ban akan tetapi sedikit demi sedikit setiap jurus serangannya makin mendesak Lai Ban sehingga wakil ketua ini mulai kelihatan sibuk dan mundur. Lai Ban sebetulnya diam-diam amat mengharpkan menjadi ketua Tiat-ciang-pang. Ketika putera Ouw-pangcu yang sejak lama di utara itu tiba dan kemudian memperdalam Ilmu Silat Tiat-ciang-kun-hoat, diam-diam dia merasa tidak senang, apalagi ketika dia mendengar pernyataan Ouw-pangcu untuk mengangkat putera itu sebagai pengganti, hatinya makin iri dan tidak puas. Akan tetapi di depan Ouw-pangcu, dia tidak berani membantah dan hanya dia menghubungi para ketua cabang yang sebagian besar adalah murid-muridnya dan lebih setia kepadanya untuk mengajukan pencalonan dirinya di dalam pesta itu. Apalagi karena dia merasa yakin akan dapat mengalahkan keponakannya itu. Betapapun juga, karena khawatir menghadapi kegagalan , diam-diam jauh hari sebelumnya Lai Ban telah menemui sebuah perguruan lain di kota Liong-eng, yaitu perguruan Kim-to Bu-koan (Perguruan Silat Golok Emas). Lai Ban memang seorang murid pandai dari perguruan ini sebelum dia menjadi wakil ketua Tiat-ciang-pang. Akan tetapi guru Lai Ban yaitu tosu yang memimpin perguruan itu telah meninggal dunia dan kini perguruan dilanjutkan oleh Thian It Tosu, seorang suheng dari Lai Ban. Semenjak dipimpin Thian It Tosu, perguruan Kim-to Bu-koan menjadi mundur. Maka ketika Lai Ban yang terhitung sute dari Thian It Tosu datang dan mohon bantuan suhengnya agar niatnya menjadi ketua Tiat-ciang-pang tercapai, yaitu dukungan moril dan kalau keadaan memerlukan juga bantuan tenaga, tosu ini cepat berkata girang, "Bagus sekali, Sute! Jangan khawatir, tentu pinto akan membantumu dan kalau si tua tangan palsu itu merintangimu, biarlah pinto yang menghadapinya. Akan tetapi tentu saja pinto tidak mau bekerja sia-sia dan engkau pun tentu sudah tahu akan kemunduran bu-koan kita dimana engkau pun menjadi anak muridnya. Demi nama besar bu-koan kita, pinto harap kelak Tiat-ciang-pang dapat digabungkan dengan Kim-to Bu-koan, dengan demikian bukankah kedua perkumpulan akan menjadi makin pesat dan besar?" Demikianlah, ketika Tiat-ciang-pang mengadakan pesta, Thian It Tosu menerima undangan pula dan menjadi seorang di antara tamu-tamu terhormat yang hadir disitu. Sebagai suheng dari Lai Ban, tentu saja Ouw-pangcu menerimanya dengan kehormatan. Ketika terjadi pertandingan antara Lai Ban dan Ouw Kian, tosu ini memandang penuh perhatian dan diam-diam dia sudah siap sedia untuk membantu sutenya. Kalau saja Kim-to Bu-koan tidak hampir bangkrut kiranya tosu ini segan untuk mencampuri urusan pemilihan ketua perkumpulan lain yang menjadi urusan dalam perkumpulan itu sendiri. Akan tetapi dia mempunyai tujuan lain untuk menggabungkan kedua perkumpulan dan menghidupkan kembali Kim-to Bu-koan. Pertandingan berlangsung makin seru dan Lai Ban sudah amat terdesak. Beberapa kali dia hampir terpukul, bahkan satu kali pundaknya kena diserempet pukulan tangan kiri Ouw Kian sehingga terasa ngilu. Hal ini membuatnya marah sekali. Ia tahu bahwa Ouw -pangcu tidak berlebih-lebihan ketika mengatakan bahwa tingkat kepandaian puteranya itu lebih tinggi daripadanya sendiri. Ia maklum pula bahwa dalam Ilmu Silat Tiat-ciang-kun-hoat dia kalah mahir. Akan tetapi dia tidak percaya kalau tenaganya Tiat-ciang-kang kalah kuat, apalagi kalau diingat bahwa sebelum mempelajari Tiat-ciang-kang, dia telah mempelajari sinkang yang kuat, hasil pelajarannya sebagai murid Kim-to Bu-koan. Maka dia lalu mengeluarkan pekik nyaring, mengerahkan tenaga Tiat-ciang-kang sehingga tangannya berkerotokan bunyinya kemudian memukul dengan tenaga dahsyat ini. Ouw Beng Kok terkejut. Pertandingan itu dimaksudkan untuk menguji Ilmu Silat Tiat-ciang-kun-hoat, dan kalau hendak menguji Tiat-ciang-kang, tentu saja bukan dengan cara menyerang sehebat itu. Tenaga Tiat-ciang-kang dapat diuji tanpa bertanding yang amat membahayakan keselamatan lawan. Namun pukulan sudah dilakukan dan ketua ini hanya dapat enahan napas. Tidak hanya Ouw Beng Kok yang kaget sekali, juga para pipinan cabang-cabang Tiat-ciang-pang dan terutama sekali Ouw Kian sendiri yang tiba-tiba diserang demikian hebatnya. Ia amat menghormati Lai Ban, dan selain menganggap orang tua ini sebagai paman gurunya, juga menganggapnya sebagai tokoh tua Tiat-ciang-pang yang amat diharapkan bantuannya kelak kalau dia menjabat ketua dan Lai Ban menjadi wakilnya. Kini menyaksikan serangan paman gurunya, Ouw Kian tidak dapat mengelak lagi dan demi untuk kemenangannya dalam pemilihan ketua, juga untuk memperlihatkan kepada Lai Ban yang tidak mengandung niat baik itu bahwa dalam hal tenaga Tiat-ciang-kang dia pun tidak kalah, Ouw Kian lalu mengerahkan pula tenaga sinkang pada kedua tangannya dan dia menyambut pukulan Lai Ban. "Dessssss...!!" Hebat sekali pertempuran dua tenaga sinkang itu, seperti bertemunya dua toya baja yang keras! Ouw Kian terhuyung ke belakang sampai lima langkah, akan tetapi Lai Ban terjengkang dan roboh bergulingan. Biarpun dia cepat melompat bangun dengan muka merah, namun jelaslah bagi semua orang bahwa dala pertempuran tenaga ini Lai Ban kalah setingkat oleh Ouw Kian! Ouw Kian cepat menjura dan berkata, "Maafkan aku dan terima kasih bahwa Susiok tadi mengalah." Akan tetapi ucapan ini seperti minyak menambah api yang berkobar di dada Lai Ban. Secepat kilat tangannya bergerak dan sebatang golok telah berada di tangannya, berkilauan saking tajamnya. "Ouw Kian, aku belum kalah! Dia yang terkuatlah yang patut menjadi ketua sebuah perkumpulan!" Cepat sekali Lai Ban sudah menerjang dengan goloknya. Golok bergagang emas itu menyambar ganas di dahului pukulan Tiat-siang-kang jarak jauh sehingga tentu saja hebat luar biasa! "Ahhh...!" Ouw Beng Kok mendengus marah dan Ouw Kian juga kaget, cepat dia mengelak ke samping. Akan tetapi Lai Ban yang memang ahli bermain golok, tidak memberi kesempatan kepada lawannya, goloknya berkelebatan dan menjadi segulung sinar keemasan yang menyambar-nyambar. Kepandaian Ouw Kian dalam hal Ilmu Silat Tiat-ciang-kun-hoat dan tenaga sakti Tiat-ciang-kang memang lebih tingi setingkat dibandingkan dengan Lai Ban, akan tetapi kalau Lai Ban mempergunakan goloknya tentu saja Ouw Kian bukan tandingannya. Biarpun sudah mengelak cepat, masih saja ujung golok menyerempet paha kiri Ouw Kian sehingga dia roboh terguling dengan paha mandi darah. "Lai Ban, manusia curang!" Tiba-tiba Ouw Beng Kok membentak dan tubuuhnya meloncat ke depan. Ia menudingkan telunjuknya dengan marah sekali ke arah muka wakilnya itu lalu berseru keras, "Sungguh perbuatanmu amat mencemarkan dan memalukan Tiat-ciang-pang! Sudah jelas bahwa ujian ini hanya terbatas pada ilmu kita, mengapa engkau menggunakan golok melukai Ouw Kian?" Beberapa orang pengurus cabang yang setia kepada Ouw Beng Kok segera menolong Ouw Kian memberi obat dan membalut luka di pahanya yang ternyata tidak hebat itu sehingga Ouw Kian sudah dapat berdiri kembali dan kini memandang kepada Lai Ban dan ayahnya penuh kekhawatiran. Ia tidak menghendaki bentrokan terjadi antara para pimpinan Tiat-ciang-pang sendiri. Lai Ban berdiri menghadapi Ouw Beng Kok dengan golok di tangan, sikapnya menantang ketika dia berkata, "Ouw-twako, sudah kukatakan bahwa aku tidak cocok dengan pendapatmu bahwa ilmu Tiat-ciang-kun-hoat tidak boleh dicampur dengan ilmu silat lain. Buktinya, setelah kucampur dengan Kim-to-hoat (Ilmu Golok Emas) memiliki kemampuan mengatasi Tiat-ciang-kun-hoat. Untuk menjadi ketua harus memiliki kepandaian yang paling tinggi, kalau tidak, bagaimana mungkin mampu memimpin perkumpulan? Kalau aku menjadi ketua, akan kupimpin perkumpulan kita menjadi maju dan besar, dan akan kuajar ilmu golok kepada para anggauta." "Lai Ban! Engkau hendak berkhianat? Apa sih hebatnya ilmu golokmu? Biarlah aku mencobanya dengan menggunakan Tiat-ciang-kang tanpa senjata!" Setelah berkata demikian, Ouw Beng Kok menerjang maju dengan kedua tangannya, mempergunakan jurus Tiat-ciang-kun-hoat menyerang wakil ketua perkumpulannya sendiri! Para penonton mulai menjadi gelisah. Peristiwa ini manjadi makin menegangkan dan hebat dan mereka dipaksa menjadi saksi pertikaian dalam perkumpulan itu. Mereka tidak berani ikut bicara karena maklum bahwa urusan itu tak berhak mereka mencampurinya. Mereka menjadi bingung dan hanya saling pandang, bahkan para anak buah Tiat-ciang-pang juga bingung, akan tetapi segera mereka terpecah menjadi dua golongan ,ada yang mendukung Ouw Beng Kok, ada yang mendukung Lai Ban. Melihat serangan Ouw Beng Kok, Lai Ban melirik ke arah Thian- It Tosu sebagai isyarat agar suhengnya itu suka membantu karena dia maklum akan kelihaian si tangan besi ini, namun dia pun cepat menyambut dengan bacokan goloknya sambil melompat ke kiri. Terjadilah pertandingan yang lebih seru dan mati-matian. Akan tetapi, belasan jurus kemudian, ketika golok itu menyabar ke arah leher Ouw Beng Kok, ketua Tiat-ciang-pang ini tidak mengelak, bahkan secepat kilat dia menangkap golok itu dengan tangan kirinya yang palsu. Terdengar suara nyaring dan golok itu dapat dicengkeram, tak dapat terlepas lagi. *** "Begini sajakah ilmu golokmu?" Ouw Beng Kok berseru kemudian memukul dengan dengan kanannya, menggunakan Tiat-ciang-kang. Terpaksa Lai Ban juga menggerahkan tenaga pada tangan kirinya, menangis. "Plakkk!" Tubuh Ouw Beng Kok tergetar, akan tetapi dia masih tetap berdiri dan sekali dia mendorong, tubuh Lai Ban terlempar dan wakil ketua ini roboh sambil memegang goloknya, darah segar mengucur keluar dari mulutnya. Ia terluka, sungguhpun tidak hebat karena memang Ouw Beng Kok tidak hendak membunuhnya. "Nah, Lai Ban. Masahkah hendak kau katakan bahwa Tiat-ciang-kang perlu dicampur dengan segala macam ilmu golok?" Ouw Beng Kok membentak. "Siancai.... siancai.... ucapanmu sungguh-sungguh terkebur sekali, Ouw-pangcu!" tampak tubuh berkelebat dan Thian It Tosu yang berjubah kuning dan membawa golok di punggungnya telah berdiri di depan ketua Tiat-ciang-pang. Tosu tinggi kurus itu tersenyum mengejek dan berkata, "Ouw-pangcu, mengapa engkau mencela ilmu golok kami? Benar-benarkah engkau tidak memandang mata kepada Kim-to-hoat kami? Kalau begitu, pinto menantang Pangcu menghadapi ilmu golok perguruan kami, hendak pinto lihat sampai dimana sih hebatnya Tiat-ciang-kang yang tersohor!" Ouw Beng Kok menoleh dan cepat menjura, kemudian berkata, "Maaf, Totiang. Urusan ini adalah urusan dalam perkumpulan kami sendiri dan sama sekali saya tidak memandang rendah ilmu golok Totiang. Saya hanya mencela Lai Ban karena dia adalah wakil ketua perkumpulan kami. Saya tuan rumah dan Totiang seorang tamu terhormat, bagaimana saya berani bersikap tidak hormat ? Harap Totiang sudi duduk kembali ." Setelah berkata demikian, Ouw Beng Kok kembali ke tempat duduknya dan meninggalkan Thian It Tosu karena dia tidak mau memancing keributan dalam pesta itu, sungguhpun hal ini bukan berarti bahwa dia takut terhadap ketua Kim-to Bu-koan itu. "Ha-ha-ha-ha-ha, Ouw-pangcu benar cerdik! Tentu saja ilmu golok Lai-sute tidak mewakili ilmu golok kami yang sejati karena ilmu golok Sute sudah bercampur dengan segala macam ilmu silat cakar setan! Betapapun juga, apa yang diusulkan Sute tadi amatlah tepat. Mengapa di antara kita harus bertentangan? Alangkah akan baiknya kalau perkumpulan Tiat-ciang-pang dan Kim-to Bu-koan disatukan, kedua ilmu kita dipersatukan pula sehingga menjadi ilmu yang tinggi, sedangkan nama perkumpulan kalau diubah menjadi Kim-to-tiat-ciang-pang (Perkumpulan Golok Emas Tangan Besi) bukanlah lebih gagah dan mentereng? Bukan sekali-kali karena pinto terlalu kepingin mempelajari Tiat-ciang-kang, karena sampai detik ini pun pinto tidak pernah merasai kelihaian Tiat-ciang-kang, seperti juga para tokoh Tiat-ciang-pang belum merasai kelihaian kim-to sebenarnya. Tiat-ciang-kang mengandalkan tangan yang keras melebihi baja, dapat mencengkeram golok dan menghancurkan batu. Wah, tentu hebat sekali apakah di antara tokoh Tiat-ciang-pang ada yang begitu baik hati untuk mencengkeram tangan pinto agar pinto dapat merasai kehebatannya? Hayo, siapa sudi berjabat tangan dengan pinto dan menggunakan Tiat-ciang-kang?" Tosu itu mengulurkan tangan kanannya yang kurus, menantang untuk berjabat tangan! Karena kini yang mencampuri urusan adalah orang luar, melihat sikap tosu itu yang amat memandang rendah Tiat-ciang-kang, semua anggota Tiat-ciang-pang menjadi penasaran dan marah. Akan tetapi karena makluk betapa lihainya tosu yang sombong ini apalagi ketika mendengar bahwa tosu itu adalah ketua Kim-to Bu-koan, suheng dari Lai Ban, mereka menjadi gentar. Hanya ada dua orang ketua cabang ynag merasa amat marah sudah melompat ke depan tosu itu dan mereka ini sambil menahan kemarahan, menjura dan berkata, "Kami memiliki sedikit tenaga Tiat-ciang-kang, biarpun belum sempurna biarlah kami mewakili Tiat-ciang-pang untuk menjabat tangan dengan Totiang." Ouw beng Kok mengerutkan keningnya. Ia maklum bahwa kedua orang muridnya itu baru menguasai seperempat bagian saja dari Tiat-ciang-kang, akan tetapi karena ingin pula dia mengetahui sampai di mana kekuatan tosu itu dan apa kehendaknya, maka dia tidak melarang karena melarang pun hanya berarti jerih. Sebaliknya, Thian It Tosu memandang rendah, lalu mengulurkan kedua tangannya yang kurus dan berkata, "Baik sekali ji-wi Sicu suka memberi pelajaran agar membuka mata pinto. Inilah kedua tanganku, kalau sampai hancur oleh remasan Tiat-ciang-kang ji-wi, pinto takkan menyesal." Dua orang ketua cabang itu lalu menyambut uluran tangan si tosu, yang kanan disambut dengan tangan kanan sedangkan yang kiri disambut pula dengan tangan kiri. Setelah mereka saling menggenggam tangan, dua orang ketua cabang itu mengerahkan tenaga Tia-ciang-kang mereka, mencengkeram dan meremas tangan yang kecil dan kelihatan lemah itu. "Krek! Krek!" Tosu itu tertawa dan melepaskan tangannya sedangkan dua orang ketua cabang Tiat-ciang-pang itu meringis kesakitan, memegangi tangan mereka yang patah tulangnya! "Siancai.... kiranya tangan ji-wi tidak seperti besi, melainkan seperti kerupuk!" Mendengar ejekan ini, Ouw Kian tak dapat menahan kemarahannya lagi dan dia melamgkah maju ke depan tosu itu sambil membentak, "Tosu sombong, biarlah aku mencoba tanganmu dengan tiat-ciang-kang!" Ia lalu mengulur tangan kanannya yang tampak kuat. Tanpa ragu-ragu tosu itu menerima uluran tangan Ouw Kian dan mereka saling cengkeram. Berbeda dengan adu tangan tadi, kini mereka saling mengerahkan tenaga dan kedua tangan mereka sampai menggigil. Diam-diam tosu itu kaget dan kagum karena memang Tiat-ciang-kang orang muda itu hebat. Akan tetapi karena tingkat kepandaiannya lebih tinggi dan sinkangnya lebih kuat, maka perlahan-lahan Ouw-Kian merasa betapa tangannya dihimpit dan dicengkeram hebat. Ia mengerahkan tenaga, mempertahankan diri, namun sampai peluhnya memenuhi dahi, dia tidak mampu mendesak bahkan makin dihimpit sehingga tangannya terasa sakit sekali. "Krekkk...!" Tulang tangan Ouw Kian ada yang patah, mukanya menjadi pucat saking nyerinya, akan tetapi tosu itu sambil tertawa-tawa tidak mau melepaskan cengkeramannya karena dia hendak mencengkeram hancur tangan Ouw Kian yang menjadi saingan sutenya ini. Hebat penderitaan Ouw Kian. Ia masih mengerahkan tenaga, namun rasa sakit membuat dia kurang kuat dan kembali terdengar suara "krek"! ketika tulang jari ke dua patah! Masih juga tosu itu belu mau melepaskan tangannya! Melihat ini, semua orang menjadi pucat, dan Ouw Beng Kok cepat bangkit berdiri dan membentak, "Tosu jahanam, akulah lawanmu!" Ia menerjang maju. Thian It Tosu tertawa, melepaskan tangannya dan mengirim tendangan kepada Ouw Kian yang sudah lemas itu sehingga tubuh Ouw Kian terlempar. Dengan ringan sekali tosu itu mengelak, mancabut goloknya dan balas menyerang dengan kelebatan goloknya dari samping dapat dielakkan pula oleh Ouw Beng Kok. "Ha-ha-ha, kiranya pimpinan Tiat-ciang-pang hanya tukang mengeroyok belaka." Tosu itu mengejek. "Marilah Ouw-pangcu. Mari kita uji mana yang lebih lihai antara Tiat-ciang-kang ilmumu itu dengan ilmu pinto Kim-to-hoat!" Ia menggerak-gerakkan goloknya di depam dada dan tampak sinar berkeredepan. Ternyata ilmu golok tosu ini jauh melampaui ilmu golok Lai Ban. Hal ini dapat dilihat pula oleh Ouw Beng Kok yang diam-diam maklum bahwa sekali ini, untuk menjaga nama baiknya, dia harus bertempur mati-matian mengadu nyawa dengan tosu ini. Ia sudah siap untuk mati kalau perlu, maka dia lalu memasang kuda-kuda dan membentak, "Tosu jahanam, aku mengerti maksudmu! Karena Kim-to Bu-koan bangkrut, engkau hendak membonceng sutemu Lai Ban dan menguasai perkumpulan perkumpulan kami! Engkau hanya akan dapat berhasil setelah melampaui mayatku, Thian It Tosu!" "Ha-ha-ha, pinto memang akan melampaui mayatmu, bukan untuk menguasai perkumpulanmu, melainkan untuk membantu Sute agar perkumpulan kita menjadi besar, dipimpin secara benar, tidak seperti engkau yang hanya pandai menyombongkan Tiat-ciang-kun-hoat yang kosong melompong!" "Tunggu dulu.....!" Tiba-tiba terdengar teriakan nyaring dan semua orang memandang seorang pemuda muka hitam yang datang berlari dari ruangan tamu rendahan, kemudian menghampiri tengah ruangan di mana dua orang tua itu sudah siap akan bertanding. Tak seorang pun mengenal pemuda ini yang bukan lain adalah Keng Hong. "Ouw-pangcu, harap jangan merendahkan diri melawan tosu tengik ini!" Keng Hong sengaja menghina tosu ini dengan makian keras. Semua orang terkejut dan Ouw Beng Kok juga memperhatikan. Akan tetapi karena dia tidak mengenal pemuda muka hitam itu adalah sederhana biasa saja yang mungkin hanya seorang di antara anggauta-anggauta rendahan Tiat-ciang-pang, dia lalu membentak, "Engkau siapa? Mau apa mengganggu?" Keng Hong maklum akan sifat kegagahan ketua Tiat-ciang-oang ini. Kalau dia mengaku dan memperkenalkan diri, tentu ketua itu tidak sudi dibantu orang yang dianggapnya musuh. Bahkan kalau dia mengaku orang luar sekalipun sudah tentu ketua itupun tidak mau merendahkan diri minta bantuan tenaga luar. Maka dia lalu menggunakan akal dan berkata, "Ah, apakah Pangcu lupa kepada saya? Saya adalah seorang anggauta dari luar kota. Akan tetapi .... siang malam saya melatih diri dengan Ilmu Silat Tiat-ciang-kun-hoat dan tenaga Tiat-ciang-kang, saya melatih diri dengan tekun dan mendapat kenyataan bahwa kedua ilmu itu adalah ilmu-ilmu yang sukar dicari bandingnya di dunia ini. Sekarang ada tosu bau ini yang mengejek dan menghina ilmu kita, mana bisa teecu (murid) mendiamkan saja? Kalau masih ada muridnya, perlukah gurunya turun tangan? Apalagi hanya menghadapi seorang tosu yang begini tengik dan sombong, cukup teecu yang menanggulangi dan teecu yang mohon Pangcu tidak merendahkan diri melayaninya. Kalau teecu gagal, barulah tokoh-tokoh Tiat-ciang-pang lainnya yang maju!" Ouw Beng Kok tertegun. Bukan main pemuda ini, begitu besar semangatnya. Ia kagum akan kesetiaan pemuda ini, akan tetapi dia mengingat-ingat belu juga mengenal siapakah pemuda ini dan kapan pemuda sederhana ini. Ia ragu-ragu. Tidak baik menyuruh seorang murid rendahan Tiat-ciang-pang maju dan sekali gebrak saja tewas. Selain tidak perlu mengorbankan nyawa murid yang masih rendah kepandaiannya, juga hal itu akan menjadikan buah tertawaan saja. "Hemmm, Totiang ini lihai, mengapa kau begini sembrono?" "Pangcu, tosu ini hanya lihai lagak dan suaranya saja. Orang macam ini adalah makanan teecu. Percayalah, teecu akan sanggup merobohkannya!" Mendengar ucapan dan melihat lagak Keng Hong, terdengar suara ketawa di sana-sini. Mereka yang tertawa ini sebagian adalah anggauta-anggauta Tiat-ciang-pang, ada pula para tamu yang menganggap pemuda ini terlalu sebrono dan sombong. Kalau Ouw Kian yang menjadi putera Ouw-pangcu sendiri tidak mapu mengalahkan tosu lihai ini, apa lagi seorang bu-beng-siauw-cut (kerucuk) seperti pemuda muka buruk hitam itu! Ouw-pangcu juga berpikir demikian dan karena tidak mau menjadi buah tertawaan, dia membentak, "Bocah lancang! Kalau kau sudah pandai Tiat-ciang-kun-hoat coba perlihatkan kepadaku!" Sejak tadi Keng Hong menonton pertandingan adu silat yang menggunakan Ilmu Silat Tiat-ciang-kun-hoat. Dia memiliki iangatan yang selain tajam juga kuat, sekali melihat dia sudah dapat menangkap beberapa jurus terpenting. Maka dia lalu meloncat ke depan, kedua kaki ditekuk rendah, tubuh tegak dan kedua tangan di miring di depan pusar. "Coba silakan Pangcu periksa, tidakkah sudah baik sekali gerakan teecu?" Ia lalu bersilat dengan jurus-jurus Tiat-ciang-kun-hoat yang tadi dilihatnya. Gerakannya cukup gesit, akan tetapi hal ini menimbulkan rasa geli di hati Thian It Tosu sehingga dia tertawa bergelak. "Eh, kenapa kau tertawa? Awas, sekali kena disodok tanganku yang mempunyai tenaga sakti Tiat-ciang-kang, perutmu akan ulas dan usus buntumu kumat sehingga engkau takkan dapat tertawa, menangis pun tidak bisa!" Keng Hong membentak, tentu saja ucapannya ini memancing suara ketawa terpingkal-pingkal lagi dari para penonton. Ouw-pangcu mendongkol sekali. Celaka, pikirnya dalam terancam bahaya kehancuran namanya, masih muncul seorang badut gila! "Orang muda, pergilah dan jual kegilaanmu kepada orang lain!" Ia membentak. "Pangcu, harap suka mundur sebentar. Saya adalah murid Tiat-ciang-pang, dan kini mendengar orang menghina perkumpulan, saya berhak untuk membela naa perkumpulan saya dengan taruhan nyawa. Pula, apa ruginya andaikata saya kalah atau mati? Paling-paling saya mati, akan tetapi Pangcu dapat memperhatikan gerakan-gerakan tosu bau ini. Apakah Pangcu takut saya mati? Saya sendiri tidak takut!" Ouw-pangcu menarik napas panjang. Tentu saja kini tak dapat berkeras dan sambil mendengus marah dia lalu meloncat ke pinggir untuk memberi kesempatan kepada orang gila ini membunuh diri di tangan tosu yang lihai itu. Keng Hong menjura ke arah Ouw-pangcu, kemudian tubuhnya membalik dan dia sudah memasang kuda-kuda lagi, kuda-kuda dari Ilmu Tiat-ciang-kun-hoat yang kaku! Sikapnya mengancam, seperti seekor anak kucing mengancam harimau sehingga tosu itu kembali tertawa, diikuti suara ketawa para penonton. "Eh, tosu bau. Ketahuilah bahwa Tiat-ciang-kun-hoat adalah Ilmu yang amat hebat, jauh lebih lihai daripada golokmu penyembelih babi itu! Macam engkau ini mau menatang Ouw-pangcu? Phuihhh, semut pun bisa mati kegelian mendengarnya." Dimaki-maki dan diolok sedikian rupa oleh seorang "kerucuk", hati tosu itu menjadi panas sekali dan dia memaki marah, "Bangsat yang sudah bosan hidup! Apakah hidupmu hanya untuk mati konyol? Tidak tahukah engkau bahwa sekali babat dengan golokku aku dapat membuat tubuhmu putus menjadi delapan potong?" Keng Hong menyeringai, sengaja memperlihatkan muka mengejek. "Wah-wah, aku tidak percaya akan menemui orang yang lebih tekebur daripada tosu bau yang tak pernah mandi ini! Apa kaukira aku seekor babi yang biasa kau sembelih diam-diam, babi tetangga lagi, kemudian kau ganyang mentah-mentah sambil menutupi muka dengan jubah pendetamu?" Thian It Tosu sebetulnya enggan bertanding melawan bocah sinting itu, akan tetapi ucapan-ucapan Keng Hong seperti kilikan pada seekor jangkerik, membuat telinganya merah dan kemarahannya memuncak. "Bedebah! Jahanam bermulut busuk! Pinto akan membunuhmu dengan tubuh hancur!" "Eiiittt, eiiittt....!" Keng Hong melangkah mundur dengan gaya dibuat-buat, bukan seperti orang bersilat, melainkan dengan pinggul megal-megol seperti badut menari, kemudian dia berdiri tegak, mengacungkan telunjuknya dan bernyanyi! "Seorang pendekar tidak memperlihatkan kegagahannya! Seorang ahli perang tidak dikuasai kemarahan! Seorang yang pandai menundukkan musuh tidak bertengkar! Seorang yang pandai memimpin tidak menekan! Tapi engkau ini monyet berpakaian manusia, Jubah dan doa menjadi kedok belaka! Phuuuuiiih, sungguh menyebalkan!" Karena Keng Hong bernyanyi sambil berlagak seperi seorang pemain wayang beraksi di panggung, banyak para tamu yang hadir tertawa terpingkal-pingkal, bukan hanya karena merasa lucu, melainkan juga terheran-heran betapa bocah itu begitu berani mempermainkan si tosu yang lihai dan yang mendatangkan rasa tidak suka di hati para tamu di samping rasa jerih. Akan tetapi Thian It Tosu yang tadinya marah itu kini melongo. Sejenak dia tercengang ketika mengenal empat bait pertama dari nyanyian To-tik-keng, kitab suci para tosu! Ia disindir dengan ayat-ayatt kitab sucinya sendiri. Keheranannya berubah menjadi kemarahan memuncak ketika dia menerjang ke depan dengan pukulan maut ke arah kepala Keng Hong yang cepat mengelak, menggunakan gerakan jurus Tiat-ciang-kun-hoat seperti yang telah dilihatnya tadi. "Eiiittt, jangan terburu nafsu, Totiang. Bukankah kau hendak mengalahkan Tiat-ciang-kang dengan ilmu golok penyembelih babi itu? Hayo cabutlah golokmu dan hadapi Ilmu Tiat-ciang-kun-hoat kami yang mujijat!" "Bocah gila kurang ajar! Tanpa golok pun aku sanggup sekali pukul membikin mampus engkau!" Tiba-tiba Keng Hong menghentikan kuda-kudanya dan berdiri seenaknya, seolah-olah dia tidak jadi bersilat. Ia memandang ke arah penonton dan mengomel. "Coba, betapa liciknya tosu ini. Tadi dia bilang bahwa ilmu goloknya lebih hebat daripada Tiat-ciang-kang, kini kutantang dia, dia tidak berani mencabut golokmu. Jangan licik. Kalau kau menghadapi aku tanpa golok, andaikata aku menang sekalipun apa gunanya? Engkau pandai sekali menjaga agar jangan sampai ilmu golokmu kalah oleh Tiat-ciang-kang! Wah, benar-benar licin seperti belut kepala dua engkau!" Dapat dibayangkan betapa marahnya Thian It Tosu. Seperti meledak rasa perutnya oleh marah dan tak kuasa pula dia menahan hawa yang keluar dari perut melalui lubang di belakangnya. Nyaring keras bunyinya seperti seekor katak tergencet. Keng Hong sendiri sampai terbelalak heran, lupa untuk melucu ketika mendengar ini. Benar-benarkah tosu itu membuang kentut? Terlalu amat sangat, ah! Meledaklah suara ketawa semua orang, bahkan Ouw-pangcu sendiri terpaksa menggunakan telapak tangan menutupi mulutnya yang tertawa sambil menggelengkan kepalanya. Benar-benar orang yang tak tahu malu, pikirnya. Padahal tosu itu tidak sengaja membuang gas beracun, hanya saking jengkelnya saja. Karena kini menjadi buah tertawaan orang, dia mencabut goloknya dan tanpa mengeluarkan suara lagi dia menerjang maju. Agaknya dia ingin mencacah-cacah tubuh Keng Hong seperti orang mencacah daging untuk bakso, demikian cepat dan bertubi-tubi goloknya menyambar. "Haiiiiitttt! Wah, goloknya sih tidak seberapa akan tetapi baunya ini yang membuat orang tidak tahan!" Keng Hong mengejek sehingga menimbulkan tertawa di samping keheranan mereka yang menyaksikan betapa Keng Hong yang menggunakan gerakan Ilmu Silat Tiat-ciang-kun-hoat itu selalu dapat mengelak dari sambaran golok lawan! Mula-mula Ouw Beng Kok duduk melongo dan kedua tangannya mencengkeram lengan kursinya saking tegang hatinya. Kemudian dia terheran-heran menyaksikan betapa gerakan pemuda aneh itu bersilat Tiat-ciang-kun-hoat yang amat kaku akan tetapi anehnya, tak pernah ujung golok tosu itu menyentuh tubuhnya! Kelihatannya kadang-kadang golok itu tak salah lagi akan mengenai tubuh, akan tetapi secara luar biasa sekali golok itu selalu menyeleweng seolah-olah si tosu tidak tega dan sengaja menyelewengkan goloknya sehingga luput! "Haiii, hayaaaa..... Luput lagi, sayang! Baunya sudah agak kurang, tidak merusak hidung seperti tadi." Lagaknya mempermainkan sekali. Diam-diam Thian It Tosu terkejut setengah mati. Ia sudah mengerahkan ginkangnya, sudah mengerahkan tenaganya, namun anehnya, goloknya selalu meleset setiap kali mendekati tubuh lawan, seolah-olah ada tenaga tersembunyi yang mendorong senjatanya ke samping! Makin lama makin cepat dia menyerang dan akhirnya bulu tengkuknya meremang sendiri karena bocah yang bersilat kaku tidak karuan dan jurusnya yang itu-itu juga selalu dapat menghindarkan bacokan-bacokan dan tusukan-tusukannya! Sebetulnya kalau Keng Hong hanya mengandalkan Ilmu Silat Tiat-ciang-kun-hoat yang dia pelajari hanya dengan melihat jurus-jurus yang telah dimainkan dalam pertandingan terdahulu tadi, mana mungkin dia mampu menandingi ilu golok dari ketua Kim-to Bu-koan itu? Tentu dia sudah roboh dalam beberapa jurus saja. Akan tetapi, tentu saja pemuda ini bukan semata-mata mengandalkan ilmu silat yang sama sekali belum dikuasainya itu, melainkan mengandalkan kegesitan dan tenaga sakti yang sudah ada pada dirinya. Adapun gerakan-gerakan ilmu silat yang dia tiru dari jurus-jurus Tiat-cinag-kun-hoat hanya merupakan kembangannya saja. Ilmu silat hanyalah cara mengatur gerakan kaki tangan dan tubuh sepraktis mungkin, selain mengatur posisi tubuh agar dapat sebaiknya menghadapi lawan, juga agar gerakan dapat teratur dan tidak ngawur, dapat mengubah-ngubah kedudukan tubuh menjadi penyerang atau penjaga diri. Namun yang terpenting adalah menguasai kegesitan dan tenaga. Seekor monyet yang tidak mengerti ilmu silat sudah memiliki kegesitan sebagai pembawaan alam sehingga amatlah sukar untuk dapat memukul seekor monyet, demikian pula dengan binatang-binatang kecil lainnya yang memiliki kegesitan. Seekor gajah, biarpun tidak pandai ilmu silat, merupakan lawan yang amat berat karena binatang ini telah memiliki tenaga dahsyat sebagai pembawaan alam pula. Keng Hong sudah memiliki ginkang dan sinkang yang amat luar biasa, sukar dicari bandingnya, apalagi dia telah melatih diri dengan ilmu-ilmu silat tinggi yang mencakup semua dasar ilmu silat sehingga tentu saja dengan mudah dia mampu menghindarkan diri dari setiap sasaran golok Thian It Tosu. Hal ini bukan karena kelihaian Tiat-ciang-kun-hoat, melainkan karena gerakannya jauh lebih gesit daripada lawannya itu baginya merupakan gerakan-gerakan yang amat lamban dan mudah dielakkan. Jangankan memakai gerakan jurus Tiat-ciang-kun-hoat yang tidak dia kuasai benar, sedangkan kalau dia menghendaki, tanpa jurus apa pun dia akan sanggup menghindarkan setiap tusukan atau bacokan golok lawannya itu. Para murid yang berfihak kepada Ouw Beng Kok, mulai bersorak-sorak ketika menyaksikan betapa "murid tak bernama" dari Tiat-ciang-pang mampu mempermainkan tosu sombong itu. Ouw Beng Kok sendiri sudah bangkit berdiri, makin lama makin terheran-heran melihat betapa jurus-jurus Tiat-ciang-kun-hoat yang paling banyak ada lima jurus yang dikuasai pemuda itu, ternyata mampu dipergunakan untuk menghadapi serangan Kim-to yang demikian lihainya. Dia sendiri belum tentu dapat menang menghadapi lima jurus yang diulang-ulang tanpa membalas sama sekali! Mulailah timbul kesangsian dan pertanyaan dalam hatinya. Dia tidak percaya, bahkan yakin bahwa pemuda itu sama sekali bukan murid Tiat-ciang-pang, melainkan seorang pemuda sakti yang sengaja hendak membela nama baik Tiat-ciang-pang, maka diam-diam dia merasa berterima kasih sekali. Lima puluh jurus telah lewat dan sudah lebih dari seratus bacokan dan tusukan menyambar dan selalu dapat dielakkan oleh Keng Hong. Tentu saja pemuda ini tidak hanya mengandalkan kegesitan tubuhnya yang mengelak begitu saja karena kalau hal ini dia lakukan ada bahayanya tubuhnya akan terciut dan terserempet golok Ilmu golok yang dimainkan oleh Thian It Tosu amatlah hebat dan tosu itu sendiri sudah memiliki tingkat kepandaian tinggi. Tidak, Keng Hong tidak hanya mengandalkan ginkangnya saja, melainkan diam-diam dia menyalurkan sinkang ke arah kedua lengannya sehingga setiap gerakan kedua tangannya membawa sambaran angin amat kuat yang cukup untuk membuat golok itu tertahan dan menyeleweng, tak pernah dapat menyentuh kulit tubuhnya. Thian It Tosu sudah mandi peluh. Sebagian kecil karena serangan-serangannya yang tak kunjung henti disertai tenaga sepenuhnya, sebagian besar karena penasaran, marah dan juga gentar. Selama dia hidup, baru sekali ini dia bertemu lawan yang hanya mengelak saja dan bertahan sampai lima puluh jurus menghadapi hujan serangan goloknya! "Heh-heh-heh, begini saja ilmu golok yang kau sombongkan, tosu bau?" Keng Hong mengejek. "Wuuuuuutttt....!" Golok menyambar ganas ke arah lehernya. Keng Hong memperlambat gerakannya sehingga terdengar seruan tertahan disana sini yang mengira bahwa sekali ini leher pemuda itu akan terbabat putus. Akan tetapi pada detik terakhir, Keng Hong merendahkan tubuhnya dan mengkeretkan leher seperti kura-kura menarik kepalanya, dan sambaran golok itu luput lagi. "Wah, sayang sekali, ya? Luput lagi! Eh, tosu bau, mengapa seranganmu sejak tadi luput melulu? Bukan ilmu golokmu yang buruk, melainkan engkau yang tidak becus mainkan golok!" "Siuuutttt!" Golok membacok kepala. Seperti tadi, Keng Hong memperlambat elakannya dan baru miringkan tubuh setelah golok dekat sekali. "Luput lagi! Thian It Tosu, engkau sudah yakin sekarang kelihaian Tiat-ciang-kun-hoat yang dapat mengatakan golokmu penyembelih babi?" "Bocah setan!" Thian It Tosu menusukkan goloknya ke perut Keng Hong. Pemuda ini membuat gerakan jurus yang dilihatnya tadi, akan tetapi kalau jurus tadi hanya mengelak, kini dia tambah dengan penggunaan dua buah jari tangan telunjuk dan jari tengah kanan, diulur cepat dan menjepit punggung golok dari atas. "Cettt!" Golok itu terhenti gerakannya! Thian It Tosu membetot-betot sekuat tenaga, namun tak mampu menarik kembali goloknya. Ia melotot dan penasaran sekali. Masa dia kalah oleh tenaga jepitan kedua tangan dan mengerahkan seluruh tenaga, bukan hanya tenaga sinkang, melainkan ditabah tenaga kasar, kedua kakinya menekan tanah di depan, tubuhnya mendoyong ke belakang! Orang yang dikuasai nafsu amarah kehilangan kewaspadaanya dan karena itu maka seorang ahli sifat akan tetap tenang dan sabar, tidak mau dikuasai kemarahan yang merupakan pantangan besar. Akan tetapi, setelah dipermainkan oleh Keng Hong, tosu itu lupa akan pantangan ini, dan sikapnya yang mengotot untuk mmembetot kembali goloknya amat menggelikan, seperti sikap seorang anak kecil memperebutkan barang mainan! Keng Hong tersenyum dan menanti saat baik, kemudian secara tiba-tiba dia mendorong golok itu dengan kedua jari tangannya sambil melepaskan jepitan. Tanpa dapat dicegah lagi tubuh Thian It Tosu terjengkang dan terbanting ke atas tanah sampai berdebuk bunyinya. Masih untung dia cepat menggulingkan tubuh sehingga kepalanya tidak terbanting ke tanah. Ia melompat bangun dan berdiri terengah-engah, matanya melotot dan mukanya merah, rambutnya riap-riapan, pakaiannya kotor terkena tanah. Melihat ini, Ouw Beng Kok yang sudah sejak tadi bangkit berdiri itu berkata, "Totiang, apakah Totiang tidak melihat kenyataan dan suka mengalah? Harap Totiang jangan mencampuri urusan dalam perkumpulan kami "Heh, orang she Ouw! Engkau boleh maju mengeroyok sekali!" jawab tosu itu yang sudah marah bukan main. Mendengar ini wajah Ouw Beng Kok menjadi merah dan dia melangkah mundur, duduk kembali di atas kursinya, meneguk araknya dan mengambil keputusan untuk membiarkan pemuda aneh yang menolong nama baik Tiat-ciang-pang itu memberi hajaran kepada tosu sombong ini. "Ha-ha-ha, tosu yang sombong. Sudah jelas bahwa ilmu golokmu sama sekali tidak mampu mengalahkan Tiat-ciang-kun-hoat yang kumainkan. Padahal aku belum mengeluarkan pukulan Tiat-ciang-kang yang jarang ada bandingnya di dunia ini, kutanggung sekali pukul akan membikin putus .....tali kolormu!" Ucapan ini memancing ledakan suara tertawa lagi, bahkan ada yang bertepuk tangan saking gembiranya menyaksikan tosu yang hendak mengacau Tiat-ciang-pang itu benar-benar dipermainkan, tidak hanya dalam ilmu silat, akan tetapi juga dapat perbantahan. Pemuda "murid" Tiat-ciang-pang itu telah mempermainkan si tosu habis-habisan dengan ilmu silat dan kata-kata. Thian It Tosu sebetulnya bukanlah seorang bodoh. Kalau bodoh tak mungkin dia bisa menjadi ketua Kim-to Bu-koan, sungguhpun perkumpulannya atau perguruannya itu namanya makin surut dan suram. Akan tetapi, sungguhpun dia dapat menduga bahwa pemuda ini seorang yang sakti, kemarahan telah membuat dia mata gelap dan nekat. Mendengar ejekan pemuda itu, dia mengggerakkan goloknya dengan cepat dan penuh tenaga. Di dalam hatinya dia tetap tidak percaya bahwa pemuda ini akan mampu merobohkannya dan mengira gerakan lincah saja, sungguhpun kenyataan yang baru saja dia alami, yaitu pemuda itu sanggup menjepit goloknya dengan dua buah jari merupakan hal yang telalu aneh baginya. "Tosu nekat minta dihajar!" Keng Hong berseru dan kini dia melompat ke kiri menghindarkan diri dari terjangan golok, kemudian kedua tangannya bergerak cepat sekali melakukan pukulan dengan gaya Tiat-ciang-kang ke arah kepala dan tenggorokan! Dia tidak pernah mempelajari Tiat-ciang-kang, tentu saja dia tidak bisa mengerahkan tenaga itu, Akan tetapi gaya pukulannya dapat dia tiru dan yang meluncur keluar dari kedua tangannya bukanlah tenaga Tiat-ciang-kang, melainkan tenaga saktinya sendiri yang puluhan kali lebih hebat daripada Tiat-ciang-kang! Thian It Tosu terkejut bukan main ketika merasai adanya sambaran angin pukulan yang demikian dahsyat ke arah muka dan lehernya. Pukulan itu amat cepat maka dia cepat mengangkat golok dibabatkan ke atas diikuti tangan kirinya yang menjaga tubuh bagian atas. Golok berkelebat menjadi sinar berkilau, kedua tangan Keng Hong agaknya akan terbabat golok. Akan tetapi pemuda ini sesungguhnya hanya memancing saja dan pada saat lengannya sudah dekat sekali dengan golok, tiba-tiba dia mengubah gerakannya, tangannya menyelonong ke bawah. "Brettt...." Terdengar suara orang tertawa-tawa dan bersorak riuh-rendah ketika celana tosu itu putus kolornya dan karena celana itu besar, maka seketika merosot turun. Hebatnya, kakek ini ternyata tidak memakai pakaian dalam sehingga merosotnya celana yang berkumpul di bawah kakinya itu membuat tubuh bawahnya telanjang bulat sehingga tampak jelas semua bagian tubuh ini! "Wah-wah-wah, tak tahu malu!" Keng Hong mengejek, memancing suara ketawa lebih hebat lagi. Thian It Tosu hampir pingsan saking malu dan marah. Dengan tangan kirinya mendekap bagian rahasia tubuhnya, tangan kanan mengangkat golok tinggi-tinggi, dia menerjang maju, akan tetapi tubuhnya terguling karena dia lupa akan celananya dan kedua kakinya yang terbelit celana itu membuatnya terjerat dan roboh! Thian It Tosu menjadi pucat wajahnya. Digigitnya goloknya, kemudian dia bangkit dan menarik celananya ke atas, mengikat celananya dengan kolor yang putus itu sedapatnya, kemudian menyambar lagi goloknya dan dengan mati-matian dia menerjang maju pemuda yang masih tersenyum-senyum. Sekali ini Keng Hong tidak main-main lagi, tubuhnya bergerak ke depan dan sebuah tamparan dengan jari tangan terbuka membuat lawan terpental karena tangan kanan tosu itu telah patah oleh hantaman jari-jari tangannya! Tosu itu terhuyung mundur dan berdiri dengan muka pucat dan mulut meringis kesakitan. "Thian It Tosu!" Kini Keng Hong berkata dengan suara nyaring dan penuh wibawa, tidak lagi bermain-main seperti tadi, sikapnya angkuh dan seperti seorang dewasa benar. "Engkau adalah seorang tosu, bahkan ketua dari sebuah perguruan seperti Kim-to Bu-koan, akan tetapi mengapa engkau masih suka mengumbar nafsumu? Tiat-ciang-pang melakukan pemilihan ketua baru adalah urusan dalam, tidak boleh orang luar mencampurinya, akan tetapi mengapa engkau hendak menggunakan ketajaman golokmu untuk merebut kekuasaan? Andaikata engkau berhasil merebut kekuasaan, apakah kaukira para anggauta Tiat-ciang-pang akan sudi menerimamu? Dan apakah artinya kedudukan yang kau rebut kalau para anggauta tidak menerimanya? Apa artinya raja tanpa rakyat? Apa artinya jenderal tanpa prajurit? Apa artinya ketua tanpa anggauta? Totiang, engkau tentu maklum bahwa yang memperebutkan takkan mendapatkan dalam arti kata yang sesungguhnya. Lupakan Totiang akan pelajaran agama Totiang sendiri bahwa: To adalah : "selalu menang tanpa merebut, mendapat sambutan tanpa berkata, semua datang tanpa memanggil, selalu berhasil tanpa rencana, Jalan langit lebar dan luas, Biar jarang namun tiada yang bocor." "Mengapa Totiang sekarang mempergunakan kekerasan untuk merebut kedudukan yang bukan menjadi hak Totiang?" Mendengar ucapan ini dan melihat sikap Keng Hong, semua orang tertegun, juga Ouw Beng Kok makin kagum, akan tetapi Thian It Tosu yang ditegur dengan menggunakan pelajaran dari kitab agamanya sendiri, menjadi makin marah. Ia sudah merasa kepalang, kalau sekarang mundur berarti dia harus menderita malu yang luar biasa, dan hal ini akan menghancurkan sama sekali namanya. Maka tanpa menjawab dia lalu mmenerjang lagi dengan kedua tangan karena goloknya sudah lenyap. Biarpun tangan kanannya patah tulangnya dan sakit rasanya, namun kakek ini masih cukup kuat menerjang maju, bahkan menggunakan tangan kanan yang patah tulang lengannya itu untuk menyerang lagi. Keng Hong menyambut serangan ini dengan taparan tangan yang mengenai leher kiri kakek itu. Tubuh Thian It Tosu terlempar ke arah Kim-to Lai Ban dan memang hal ini disengaja oleh Keng Hong. Lai Ban yang melihat tubuh suhengnya melayang itu, cepat menangkapnya dan ternyata bahwa tosu itu telah pingsan. Ouw Beng Kok cepat meloncat maju dan menudingkan telujuknya ke arah Lai Ban sambil berkata, "Lai Ban, mulai detik ini engkau tidak kami akui lagi sebagai seorang anggauta Tiat-ciang-pang, dan para anggauta yang menyeleweng, kalau masih setia padanya dan tidak akan diakui selamanya sebagai anggauta Tiat-ciang-pang!" Lai Ban yang masih memondongkan tubuh Thian It Tosu, tidak dapat bicara lagi. Ia hanya menundukkan mukanya dan membawa pergi tubuh suhengnya yang pingsan. Adapun para pendukungnya yang juga merasa bahwa mereka tidak ada muka lagi untuk terus berada di situ, satu demi datu lalu berdiri dan dengan muka tunduk mengikuti Lai Ban meninggalkan tempat itu. Sepergi mereka yang mengacaukan pemilihan ketua ini, tentu saja dengan sendirinya Ouw Kian dipilih sebagai ketua baru menggantikan ayahnya, dan pesta dilanjutkan dengan meriah. Ouw Beng Kok lalu menarik tangan Keng Hong, diajak masuk ke dalam, diikuti oleh Ouw Kian. Lain orang tidak diperkenankan menyaksikan pertemuan di dalam. Ouw Beng Kok mempersilakan Keng Hong duduk menghadapi meja, berhadapan dengan dia dan puteranya, kemudian ketua Tiat-ciang-pang yang selama ini menatap wajah Keng Hong penuh perhatian, lalu berkata, "Sekarang tiba saatnya supaya Taihiap memperkenalkan diri. Siapakah Taihiap dan sungguhpun kami semua menghaturkan banyak terima kasih dan merasa bersyukur sekali atas bantuan Taihiap yang mencuci bersih nama baik perkumpulan kami, akan tetapi sungguh kami ingin mengetahui, mengapa Taihiap melakukan ini semua?" Keng Hong yang kini tidak lagi bersikap ketolol-tololan seperti tadi, menghela napas panjang dan berkata, "Ouw -pangcu, sebelum saya memperkenalkan diri, saya mohon tanya bagaimana pendapat Pangcu tentang diri Lai Ban." "Dia? Ah, sudah jelas bahwa dia seorang yang mengkhianati perkumpulan seorang yang tamak dan ingin merampas kedudukan. Hemmm, sayang aku tidak mendapat kesempatan untuk menghancurkan kepalanya!" Keng Hong mengangguk-angguk. "Jadi Pangcu tentu dapat menerima kalau dikatakan bahwa dalam sepak terjangnya dahulu, banyak kemungkinan dia melakukan kesalahan-kesalahan, melakukan tindakan sewenang-wenang sehingga mengotorkan nama perkumpulan Tiat-ciang-pang?" Ouw Beng Kok mengerutkan keningnya, kemudian mengangguk-angguk. "Sangat boleh jadi, dan kalau hal itu terjadi, sungguh aku merasa menyesal sekali." "Dan banyak hal seperti itu memang terjadi, Pangcu. Dahulu Lai Ban sering kali melakukan hal sewenang-wenang menanam bibit permusuhan dengan pertai-partai lain, memimpin anak buahnya yang memang tidak dapat dikatakan bersih kelakuannya. Sekarang saya mohon bertanya, Pangcu. Saya datang dan menyamar sebagai anggauta Tiat-ciang-pang untuk melawan Lai Ban dan tosu Kim-to Bu-koan itu untuk membuktikan niat baik saya. Andaikata saya mempunyai kesalahan-kesalahan yang timbul dari salah pengertian di masa lalu, sudilah kiranya Pangcu memaafkan saya dan menghapus semua kesalahfahaman yang timbul karena sepak terjang Lai Ban!" Ouw Beng Kok menatap wajah pemuda itu dan mengerahkan seluruh ingatannya untuk mengenalnya, akan tetapi dia merasa yakin bahwa dia belum pernah bertemu dengan pemuda ini. Ia menghela napas dan berkata, "Dahulu aku amat percaya kepada Lai Ban, akan tetapi sekarang aku mengerti bahwa tentu banyak perbuatannya yang menyimpang sehingga menyelewengkan Tiat-ciang-pang. Aku akan melupakan segala persoalan antara engkau dan perkumpulan kami, Taihiap." "Bagus, Pangcu. Seorang laki-laki yang dapat menyadari kekurangan diri sendiri, patut dikagumi. Sekarang, lihatlah baik-baik, tentu Pangcu sudah mengenal aku." Keng Hong lalu meraba mukanya, mengupas lapisan pada mukanya yang terbuat daripada getah pohon. Biarpun mukanya belum bersih benar, namun sekarang berubah sama sekali dan tentu saja Ouw Beng Kok mengenal bekas "musuh besar" ini. Ia mencelat dari kursinya, memandang Keng Hong dan berkata, "Kau....... kau..... Murid Sin-jiu Kiam-ong.....!" Keng Hong juga bangkit berdiri dan menjura. "Benar, Ouw-pangcu. Aku adalah Cia Keng Hong dan perbuatanku tadi hanya untuk membuktikan bahwa sesungguhnya aku sama sekali tidak memusuhi Tiat-caing-pang dan bukanlah musuh Tiat-ciang-pang. Kalau dulu terjadi peristiwa sehingga aku dimusuhi, semua adalah gara-gara sepak terjang Lai Ban dan anak buahnya terhadap murid-murid Hoa-san-pai." Ia lalu menceritakan semua pengalamannya ketika dia membantu kakak beradik Sim yang dikeroyok oleh anak buah Lai Ban. Mendengar penuturan Keng Hong, Ouw Beng Kok mengangguk-angguk, kemudian berkata, "Peristiwa yang lalu baiklah kita anggap sebagai sebuah kesalahfahaman dan untuk semua perbuatan itu, saya mengharap Taihiap suka memaafkan. Akan tetapi saya juga mengharap agar peristiwa yang terjadi hari ini tidak sampai terdengar oleh dunia kang-ouw, karena sesungguhnya......" Ketua ini ragu-ragu sejenak lalu melanjutkan, "Lebih baik saya berterus terang saja bahwa saya tidak ingin dunia kang-ouw mendengar bahwa Taihiap, murid Sin-jiu Kiam-ong telah membantu Tiat-ciang-pang. Dapatkah Taihiap berjanji?" "Ayah! Mengapa begitu? Cia-taihiap sudah menolong kita...." Keng Hong tersenyum memandang Ouw Kian dan berkata kepadanya. "Ouw-pangcu, aku dapat mengerti pendirian ayahmu. Memang benar sebaiknya begitu karena nama mendiang guruku dimusuhi oleh banyak tokoh kang-ouw, maka ayahmu tidak menghendaki kalau sampai timbul persangkaan bahwa Tiat-ciang-pang bersahabat dengan aku, murid guruku yang dimusuhi." Ia lalu menghadapi Ouw Beng Kok yang agak merah mukanya. "Harap Pangcu jangan khawatir. Aku pun tidak berniat memperkenalkan diri, maka aku sengaja menyamar. Tujuanku yang utama hanya ingin menghapus permusuhan di antara kita. Nah, selamat tinggal, Pangcu, aku harus pergi sekarang juga." Ia menoleh dan berkata, "Ilmu kepandaian Lo-pangcu tidak kalah oleh tosu itu, akan tetapi sebaiknya kalau kau menggembleng puteramu agar kelak sanggup menghadapi tosu itu kalau dia datang mengacau membalas dendam. Selamat tinggal!" Ia lalu berkelebat melalui jendela dan dalam sekejam mata saja, lenyap, meninggalkan ayah dan anak yang bengong dengan kagum itu. *** Cia Keng Hong melakukan perjalanan naik turun gunung, keluar masuk hutan dan dusun-dusun. Beberapa pekan kemudian, tibalah dia di lereng Beng-san yang indah pemandangannya. Ia terkenang kepada Siauw-bin Kuncu karena di lembah inilah dia mula-mula bertemu dengan kakek itu. Teringat akan kakek itu, mau tidak mau Keng Hong tersenyum. Kakek, itu benar-benar yang amat ahli dalam filsafat, dan biarpun tidak sengaja, namun telah merupakan seorang yang amat berjasa baginya. Karena merasa lelah, Keng Hong berhenti di lereng itu, mengaso di bawah pohon sambil memandang pemandangan di bawah yang amat indah mempesonakan. Ia teringat akan semua pengalamannya dan ketika dia mengenangkan Siauw-bin Kuncu, dia menarik napas panjang. Dia sendiri pun sejak kecil banyak membaca kitab-kitab filsafat, akan tetapi betapa banyaknya hal-hal yang amat sulit kalau menghadapi peristiwa dalam penghidupan. Pikiran dan hati selagi, tentu saja udah menangkap dan mengerti akan filsafat-filsafat yang tinggi, akan tetapi sekali nafsu menguasai diri, menghadapi peristiwa yang menimpa diri, semua filsafat diterbangkan angin, mata terbuka serasa buta dan otak yang terang menjadi gelap. Betapa sukarnya menguasai nafsu. Gurunya sendiri, seorang yang sakti dan cerdik dan pandai, rupa-rupanya tidak kuasa menundukkan nafsunya sendiri, bahkan seperti mengumbarnya sehingga mengakibatkan permusuhan, atau lebih tepat dimusuhi oleh banyak sekali orang. Semua gara-gara nafsu pribadi. Dan dia sendiri? Ah, dia merasa malu kalau dia mengenang semua penglamannya, betapa dengan mudahnya dia tergelicir oleh bujuk rayu Cui Im, betapa dia terpeleset menghadapi keindahan tubuh dan kecantikan wajah wanita. Membuat dia mata gelap, digelapkan oleh nafsunya, membuat dia tunduk dan menuruti nafsunya, selain melayani Cui Im yang haus akan cinta berahi, juga dia menyambut uluran gadis-gadis yang kemudian korban karena cintanya. Teringat dia akan nasib Sim Ciang Bi, murid Hoa-san-pai itu. Teringat pula akan nasib dua orang murid wanita Kong-thong-pai, Kim Bwee Ceng dan Tang Swat Si. Ia menghela napas dengan hati penuh penyesalan.Tiga orang gadis itu telah menjadi korban semua. Benar, bahwa mereka tewas dalam tangan Cui Im, akan tetapi andaikata dia tidak melayani cinta kasih mereka, andaikata dia tidak bermain cinta dengan mereka belum tentu mereka itu akan dibunuh oleh Cui Im yang cemburuan, yang agaknya akan membunuh semua wanita yang dia layani cinta kasihnya! Dengan demikian, biarpun tidak langsung, sama artinya bahwa dialah yang menyebabkan kematian mereka. Ah..... nafsu..... Dia harus belajar menguasai nafsunya sendiri. Teringat dia akan filsafat kitab kuno yang pernah dia baca. Pelajaran yang menyatakan bahwa nafsu itu sifatnya sama dengan kuda. Jasmani adalah keretanya dan kemajuan jasmani tergantung daripada tarikan kuda nafsu. Tanpa tarikan kuda nafsu, maka kereta jasmani tidak akan mendapatkan kemajuan. Akan tetapi, kuda yang sifatnya liar, seperti nafsu, perlu sekali dikendalikan dan ikuasai oleh tangan kusir yang pandai dan bijaksana. Kusir inilah sebenarnya yang harus menguasai segalanya, kusir inilah jiwa yang murni. Sang Aku sejati. Kusir ini yang seharusnya memelihara dan mengawasi kereta jasmani, agar kereta jangan rapuh dan rusak. Kusir ini pula yang harus dapat mengendalikan kuda, sehingga dapat mengemudikan kuda nafsu untuk menarik kereta jasmani menuju ke jalan yang tepat dan benar. Kalau sang kusir ini tidak pandai menguasai nafsu, kuda yang sifatnya liar itu akan membedal da membawa kereta ke mana dia suka, sehingga akhirnya banyak bahayanya kuda itu akan menjerumuskan kereta dan kusirnya sekali ke dalam jurang! Betapa tepatnya perumpamaan itu. Nafsu pada diri manusia tidak semestinya dibunuh, melainkan dipelihara dan dikendalikan. Nafsu yang dikendalikan akan dapat membawa jasmani ke arah kemajuan, akan dapat mambawa diri ke tempat yang dikehendaki, dan akan dapat mendatangkan kenikmatan dan kesenangan hidup. Namun, kuda nafsu yang tidak dikendalikan akan bahaya sekali, akan membedal, meliar, mengganas, bahkan memperhamba diri dan akhirnya keruntuhanlah akibatnya. Maka, tepat pula pelajaran dalam kalimat di kitab pelajaran para pemeluk Agama To, yaitu di dalam To-tik-king yang berbunyi : Mengerti akan orang lain adalah pandai, mengerti akan diri sendiri adalah bijaksana. Menaklukkan orang lain adalah kuat tubuhnya, menaklukkan diri sendiri adalah kuat batinnya. Yang puas akan keadaan diri sendiri adalah kaya raya, yang memaksakan kehendaknya adalah orang nekat. Yang tahu akan kedudukannya akan berlangsung mati dalam kebenaran berarti panjang usia. Keng Hong menarik napas panjang. Ah, kalau dia teringat akan semua filsafat dan pelajaran kebatinan yang pernah dibacanya, dia kini dapat melihat betapa gurunya telah menyia-nyiakan hidupnya dengan berkecimpung dalam lautan pemuasan hawa nafsu. Perlukah watak seperti itu dia contoh? Biarpun guru, akan tetapi dia beguru kepada Sin-jiu Kiam-ong hanya dalam hal mengejar ilmu silat, kalau dia melihat sifat-sifat yang tidak benar dari gurunya, tidak perlu dia mencontoh. Bahkan dia harus membetulkan kesalahan-kesalahan yang sudah dilakukan gurunya,seperti yang dia dengar dalam nasihat Siauw-bin Kuncu! Memiliki ilmu kepandaian saja, seperti yang telah dia miliki sekarang, tidak akan ada gunanya bagi manusia dan dunia, bahkan dapat mengakibatkan kerusakan, kalau dia tidak berpegang kepada kebenaran dan kebajikan. Ilmu tetap ilmu, akan tetapi dapat membangun atau merusak, tergantung daripada akhlak si pemilik ilmu. Manusia tetap manusia, akan tetapi ada dua macam, yaitu manusia utama dan manusia rendah, dan untuk menjadi satu di antara keduanya, hanya diri pribadilah yang akan mengusahakan dan menentukannya. Teringatlah dia akan pelajaran Nabi Khong Cu yang menjawab pertanyaan-pertanyaan para muridnya tentang manusia utama yang tinggi budi dan manusia rendah yang rendah budinya. Manusia utama mengerti mana yang benar, Manusia rendah mengerti mana yang menguntungkan dirinya. Manusia utama menyayang jiwanya, Manusia rendah menyayang hartanya. Manusia utama ingat akan hukuman dosa-dosanya, Manusia rendah ingat akan hadiah jasa-jasanya. Manusia utama mencari kesalahan diri sendiri, Manusia rendah mencari kesalahan orang lain. Masih banyak sekali contoh-contoh dan dalam keadaan tenang di tempat sunyi di lereng Beng-san itu, Keng Hong teringat akan semua filsafat dan makin jelaslah terasa olehnya betapa dia keliru mengikuti cara hidup suhunya dahulu, dan betapa dia pun telah menyeleweng dan akan mencontoh gurunya kalau saja dia tidak lekas-lekas sadar dan bertaubat, mengubah wataknya dengan memperkuat batin sehingga dia akan dapat menjadi seorang kusir yang bijaksana dan pandai mengendalikan kuda-kuda liar berupa nafsunya sendiri. "Aku akan berusaha, akan berusaha sekuat tenagaku...!" Demikian pemuda ini berjanji kepada diri sendiri. Dia lalu bangkit berdiri dan melanjutkan perjalannya menuruni lereng Pegunungan Beng-san. Ketika lereng itu akan habis dituruninya, tiba-tiba telinganya menangkap suara teriakan-teriakan di sebelah bawah yang datangnya dari hutan di kakai gunung. Cepat dia meloncat ke atas pohon yang tinggi dan memandang ke bawah. Dari tempat tinggi itu tampaklah olehnya berkelebatnya bayangan-bayangan orang dalam pertempuran. Dari tempat yang jauh itu dia tidak dapat melihat siapa orangnya yang bertanding, akan tetapi dia dapat melihat seorang dikeroyok oleh belasan orang dan dari gerakan mereka tahulah dia bahwa yang bertanding adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi. Ia menjadi tertarik sekali, cepat melompat turun dari atas pohon kemudian lari cepat menuruni lereng dan memasuki hutan itu. Keng Hong menyelinap di antara pohon-pohon mendekati tempat pertempuran dan setelah dekat dan bersembunyi di balik pohon, dia mendapat kenyataan bahwa yang sedang dikeroyok oleh tiga belas orang itu bukan lain adalah Kiu-bwe Toanio Lu Sian Cu, nenek galak berpakaian serba hitam yang dulu pernah bersama tokoh-tokoh lain menyerang gurunya di Kiam-ong-san, bahkan yang ikut "mengadilinya" di Kun-lun-san ketika dia ditangkap. Nenek itu kini mainkan senjatanya yang hebat, yaitu pecut yang di tiap ujung cabang itu dipasangi kaitan. Gerakan nenek itu masih tangkas, jelas membuktikan bahwa nenek itu seorang ahli ginkang yang mahir, dan birpun dia dikeroyok tiga belas orang, namun sembilan cabang cambuknya itu dapat melayani para penggeroyoknya dengan ganas. Keng Hong memperhatikan tiga belas orang laki-laki yang menggeroyok Kiu-bwe Toanio. Mereka itu rata-rata berusia empat puluh tahun lebih, bermacam-macam bentuk tubuh mereka, akan tetapi rata-rata mereka memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Mereka semua bersenjatakan golok besar dan ternyata bahwa gerakan mereka teratur sekali, merupakan gerakan barisan tiga belas orang yang mengurung dengan rapi sehingga biarpun nenek itu lihai ilmu cambuknya, sedemikian lamanya dia tidak mampu merobohkan seorang pun di antara para penggeroyoknya, bahkan pengepungan makin rapat. "Ha-ha-ha Kiu-bwe Toanio, lebih baik kau menyerah saja dan menyerahkan nyawamu agar kau dapat mati dengan tubuh utuh! Engkau tidak akan dapat menandingi Cap-sha Toa-to (Tiga Belas Golok Besar) dari Beng-san!" seorang mengejek. "Tar-tar-tar!" cambuk di tangan Kiu-bwe Toanio meledak-ledak menyambar, akan tetapi tanpa hasil dan kembali ia terkurung oleh sinar golok yang berkilauan sehingga nenek ini cepat memutar cambuk melindungi tubuhnya. "Tiga belas perampok laknat dari Beng-san! Kalau aku tidak mampu membasmi perampok-perampok jahat macam kalian, percuma saja aku menyebut diri sebagai pendekar wanita!" Nenek itu berseru, suaranya garang dan semangatnya tak kunjung padam sungguhpun ia terancam bahaya maut dan terdesak terus. "Ha-ha-ha! Mungkin dahulu engkau terkenal sebagai pendekar wanita yang cantik dan perkasa, akan tetapi sekarang engkau tidak lebih hanyalah seorang nenek tua keriputan yang sudah hampir mampus. Phuahhh, tua bangka tak tahu diri, sudah mendekati kuburan masih berlagak pendekar!" Wajah nenek itu menjadi merah dan ia emutar cambuknya makin hebat sehinggaa terpaksa para penggeroyoknya meloncat mundur. Kiu-bwe Toanio menudingkan telunjuk tangan kirinya. "Penjahat-penjahat rendah! Kalian telah merampok dusun-dusun di sebelah selatan gunung, melakukan pembunuhan dan perkosaan, tidak pantang melakukan segala macam kekejian. Aku, Kiu-bwe Toanio Lu Sian Cu yang kebetulan lewat mendengar akan kejahatan kalian, kalau hari ini tidak mampu membasmi kalian, jangan sebut lagi aku seorang pendekar dan aku rela mampus tercacah-cacah golok kalian, Majulah!" Keng Hong memandang kagum. Dia sudah mendengar dari suhunya siapa nenek ini. Kiu-bwe Toanio Lu Sian Cu semenjak muda terkenal sebagai seorang pendekar wanita yang paling anti terhadap perampok. Wanita ini telah membuat nama besar karena dia telah membasmi banyak sekali sarang perampok, membunuh banyak kepala rampok-kepala rampok dan membubarkan gerombolan-gerombolan. Kini sampai menjadi nenek-nenek pun masih gigih membasmi perampok. Seorang pendekar wanita yang patut dikagumi. Akan tetapi juga seorang pendekar wanita yang memusuhi gurunya! Keng Hong tersenyum dan mengeleng-geleng kepala kalau dia teringat akan cerita gurunya mengenai wanita sakti ini. Ia mencoba untuk membayangkan Kiu-bwe Toanio di waktu muda. Memang tidak sukar. Wajah nenek itu masih membayangkan bekas kecantikan, dan tubuh itu masih ramping, hanya buah dadanya yang luar biasa besarnya itulah yang sukar dibayangkan bagaimana bentuknya di waktu nenek itu masih muda. Akan tetapi, kalau Sin-jiu Kiam-ong mau melayani cinta kasih wanita itu, tentu di waktu mudanya dahulu dia cantik menarik. Keng Hong menghela napas. Wanita ini pun menjadi korban petualangan gurunya. Wanita itu tentu dilayani cintanya oleh gurunya, seperti halnya dia melayani Cui Im, atau Ciang Bi, Bwee Ceng dan Swat Si. Melayani cinta wanita -wanita itu hanya seperti orang menikmati keindahan bunga. Akan tetapi nenek ini mencinta gurunya secara mendalam, maka menjadi sakit hati ketika ditinggalkan! Ah, nenek ini menjadi korban gurunya, dialah yang harus berusaha memperbaiki kesalahan itu. Kini secara kebetulan sekali dia mendapat kesempatan baik. Nenek itu kini terdesak hebat, bahkan terancam oleh tiga belas golok besar yang memang lihai itu. Tanpa banyak cakap lagi Keng Hong meloncat keluar dari tempat sembunyiannya dan menerjang barisan tiga belas orang yang mengurung Kiu-bwe Toanio. Karena pemuda ini menerjang dari luar kepungan dan gerakannya amat hebat sehingga begitu kaki tangannya bergerak, tiga orang penggeroyok roboh terlempar keluar kepungan dan gerakannya amat hebat sehingga begitu tiga belas orang itu menjadi kacau-balau. Lima orang lalu membalikkan tubuh dan dengan marah sekali lalu menerjang Keng Hong dengan golok mereka sedangkan yang lima orang lagi masih mengeroyok Kiu-bwe Toanio. Nenek ini bagaikan sembilan ekor burung garuda menyambar-nyambar. Tadi dikeroyok tiga belas orang ia terdesak hebat, akan tetapi setelah kini yang mengeroyoknya hanya tinggal lima orang, begitu ia memutar cambuknya, dua orang terjungkal roboh dengan leher terkait ujung cambuk dan urat lehernya putus-putus! Mereka roboh mengeluarkan suara seperti babi disembelih dari leher yang sudah rusak lagi. Kiu-bwe Toanio tertawa lagi dan betapapun keras melindungi diri, namun belasan jurus saja mereka bertiga pun menggeletak dan berkelojotan. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kaget, heran dan kagumnya ketika nenek itu menoleh, ia melihat pemuda yang menolongnya itu agaknya telah sejak tadi merobohkan lima orang lawannya! Ternyata ia kalah cepat merobohkan para pengeroyoknya, padahal pemuda itu hanya bertangan kosong saja! "Orang muda yang gagah perkasa! Sungguh mengagumkan sekali, aku Kiu-bwe Toanio harus mengakui bahwa kepandaianmu jauh melampauiku!" kata nenek ini yang masih terheran-heran dan kagum. Keng Hong tersenyum dan menjura dengan hormat. "Selamat berjumpa, Toanio. Agaknya Toanio telah lupa lagi kepadaku." "Engkau... Siapakah...?" Nenek itu melebarkan atanya memandang lebih tajam dengan sepasang matanya yang sudah kurang awas. Ia melangkah dekat dan kini ia mengenal pemuda itu. Rasa kagetnya bertambah dan ia berseru, "Engkau.... engkau muridnya.....!" Keng Hong mengangguk dan tersenyum. "Benar, Toanio. Aku murid mendiang suhu Sin-jiu Kiam-ong dan karena itulah maka aku sengaja membantumu melawan para perampok ini, untuk membuktikan bahwa baik suhu maupun aku tidak mempunyai rasa permusuhan terhadap Toanio. Dengan jalan ini aku yang mewakili suhu mohon maaf kepada Toanio apabila di waktu dahulu suhu pernah melakukan kesalaha-kesalahan terhadap Toanio yang semenjak muda sampai kini ternyata merupakan seorang pendekar wanita yang hebat!" Nenek itu wajahnya berubah pucat, kemudian mengeluh, "Ahhh.... Kau murid Sie Cun Hong...." Tiba-tiba tubuhnya terhuyung dan terguling roboh. "Toanio......!" Keng Hong melompat dan menangkap lengan nenek itu sehingga tubuh itu tidak sampai terguling. Tubuh itu lemas tergantung pada lengan Keng Hong yang merangkul pinggangnya. "Kau kenapa, Toanio.....?" Keng Hong bertanya, khawatir. "Terluka.... aku... Terluka oleh pukulan perampok-perampok laknat....." Keng Hong tadi tidak melihat nenek itu terkena pukulan. Mungkin sebelum dia datang atau sesudah dia membantunya, pikirnya. "Boleh kutolong engkau, Toanio? Mana yang terpukul?" "Dadaku... tidak apa-apa, hanya aku telah lama menderita penyakit jantung, dan.. melihat engkau..... murid Sie Cun Hong...... Aduuuhhh..... Aku kaget dan jantungku....." Ia mencegah tangan Keng Hong yang hendak memeriksanya. "Tidak usah, hanya... Maukah engkau menolongku, membawaku ke pondokku... Tidak jauh hanya kira-kira tiga puluh li dari sini...." "Baiklah, Toanio. Biar kupondong engkau!" Keng Hong cepat membungkuk hendak memondong nenek itu. Akan tetapi Kiu-bwe Toanio dengan kasar menolak lengannya. "Jangan pondong aku!" Pemuda itu terheran menyaksikan kekasaran nenek itu. "Selama hidupku, baru satu kali ada pria menyentuh dan memondongku, hanya Sie Cun Hong.... ah, Cun Hong, laki-laki tidak setia..... semenjak itu, belum pernah ada pria menyentuhku.." Keng Hong merasa geli hatinya, juga terharu menyaksikan betapa nenek ini ternyata amat mencinta dan setia kepada gurunya. "Habis, bagaimana aku dapat membawamu, Toanio?" tanyanya bingung. "Kalau kau mau.... kau gendong saja aku di punggungmu... Begitu lebih sopan." Keng Hong menahan senyumnya. Sudah nenek-nenek begini tua, masih mempunyai pikiran malu dipondong seorang pemuda seperti dia! Ah, wanita memang aneh, begini tua masih genit, pikirnya. "Baiklah, mari kugendong kau, Toanio." Keng Hong lalu membalikkan tubuh membelakangi nenek itu sambil berjongkok. Kiu-bwe Toanio dengan tubuh lemas lalu naik ke punggung Keng Hong dan pemuda itu segera bangkit berdiri, menyangga kedua paha nenek itu yang peyot. "Tar-tar-tar-tar-tar....!" Keng Hong mendengar pecut nenek itu meledak-ledak di atas kepalanya dan cabang-cabang cambuk itu menyambar ke depan, menghantam kepala delapan orang perampok yang tadi roboh di tangan Keng Hong. Delapan orang itu ia robohkan dan ia sengaja tidak membunuh mereka, berbeda dengan nenek itu yang tadi membunuh lima orang pengeroyoknya. Keng Hong terkejut. Kepala delapan orang itu remuk dan mereka tewas seketika. "Aihhh, Tonio, mengapa kau....?" "Kalau tidak dibunuh tentu mereka akan mendatangkan malapetaka kepada penduduk dusun-dusun. Kalau tidak dibunuh, apa artinya aku menentang para perampok laknat itu?" Keng Hong menghela napas. Dia memang tentu saja kalau nenek itu menentang para perampok, akan tetapi membunuhi lawan yang sudah roboh, sungguh merupakan perbuatan yang kejam, yang tentu tidak akan dapat dia lakukan. "Toanio yang melakukan, Toanio sendiri yang merasakan," katanya dan dia mulai melangkah. "Kemana kita harus menuju, Toanio?" "Maju terus, keluar dari hutan ini. Nanti kutunjukkan jalannya," kata si nenek yang biarpun tubuhnya lemas ternyata masih amat hebat cambuknya itu, sekali bergerak membunuh delapan orang! Keng Hong melangkah keluar dari hutan dan selanjutnnya menurut petunjuk nenek itu menuju ke sebuah bukit. Tubuh nenek itu ringan sekali, dan menggendongnya merupakan pekerjaan yang mudah dan tidak berat bagi Keng Hong. "Namamu siapa?" "Keng Hong, Cia Keng Hong, Toanio." "Hemmm, Keng Hong, tahukah engkau dosa apa yang dilakukan gurumu kepadaku?" Tentu saja Keng Hong sudah mendengar penuturan gurnya tentang nenek ini, akan tetapi untuk menghilangkan rasa sunyi dalam perjalanan itu, dia ingin mendengar sendiri penuturan Kiu-bwe Toanio, maka jawabnya, "Aku hanya tahu bahwa Toanio dahulu mendendam kepada suhu, akan tetapi aku tidak tahu jelas persoalannya." "Hemmm, gurumu seorang pria yang tidak setia, tidak kenal budi, tidak menghargai cinta kasih seorang wanita!" Sejenak nenek itu terengah-engah, agaknya hendak menekan kemarahannya yang timbul dari rasa sakit hati. "Aku dahulu seorang pendekar wanita muda yang cantik jelita dan gagah perkasa. Tak terhitung banyaknya orang yang tergila-gila kepadaku, yang meminangku, akan tetapi semua kutolak karena aku belum dapat menjatuhkan hatiku kepada seorang pria. Aku ingin memilih seorang pria yang selain memiliki wajah yang mencocoki seleraku, juga memiliki kepandaian yang jauh melampauiku. Betapa sukarnya menemukan pria seperti idaman hatiku. Kemudian ... Hem, terjadinya hampir sama dengan munculmu tadi. Aku dikeroyok penjahat, lalu Sie Cun Hong muncul dan membantuku. Aku jatuh hati kepadanya. Aku mencintanya dengan seluruh jiwa ragaku. Dia muda dan tampan, seperti engkau, dia gagah perkasa seperti engkau. Akan tetapi dia hangat dan pandai merayu, tidak seperti engkau yang dingin dan kaku. Aku makin cinta kepadanya sehingga aku menyerahkan jiwa ragaku, aku terbuai dalam rayuan dan belaiannya, aku menyerahkan kehormatanku. Akan tetapi..... Akhirnya dia meninggalkan aku, tidak mau menjadi suamiku!" "Bukankah suhu mencintaimu, Toanio?" "Uhhh, cinta apa? Cinta mulut, cinta palsu, dia hanya ingin memiliki tubuhku seperti tubuh wanita-wanita! Dia seorang laki laki yang berhati palsu, hanya mempermainkan wanita. Terkutuk!" Keng Hong menarik napas panjang lalu memberanikan diri bertanya, "Akan tetapi, mengapa Toanio dahulu suka menyerahkan... Kehormatan Toanio kepada suhu? Mengapa Toanio begitu.. begitu.... mudah.....?" "Setan kau! Aku terjebak oleh bujuk rayunya! Aku mabuk oleh nafsu berahi yang dibangkitkannya! Kalau aku tahu.... ah, kalau aku tahu...." Nenek itu seperti meronta-ronta di gendongan Keng Hong. "Akhirnya sebelum meninggalkan aku, dia bilang bahwa cinta kasih antara pria dan wanita tidak seharusnya selalu di akhiri perkawinan! Cih, omongan laki-laki bangsat! Mau enaknya saja. Dia bebas dan enak saja mempermainkan ribuan orang wanita, laki-laki tetap dihargai. Akan tetapi wanita? Sekali menjadi permainan pria dan ditinggalkan, siapa sudi menghargainya lagi? Hidupku rusak oleh gurumu, maka aku penasaran sekali tidak dapat menghancurkan kepalanya! Akan tetapi, masih ada engkau muridnya!!" Keng Hong terkejut sekali ketika merasa betapa ujung jari yang keras menyentuh ubun-ubun kepalanya. Ia maklum bahwa sekali dia melawan, jari-jari itu tentu akan mencengkeram dan tak mungkin ia mampu melindungi ubun-ubun kepalanya. Namun dia bersikap tenang dan bertanya, "Apa maksudmu, Toanio?" "Maksudku? Hi-hi-hik, maksudku, aku yang tidak berhasil membalas dendam kepadanya, masih dapat melampiaskan dendamku kepadamu, kepada muridnya. Dalam sekejap mata aku dapat membunuhmu, Cia Keng Hong murid Sie Cun Hong!" Keng Hong merasa bulu tengkuknya berdiri. Kalau nenek itu membuktikan ancamannya, tidak ada yang akan dapat menolongnya, juga kepandaiannya yang bertahun-tahun dia pelajari tidak akan ada gunanya. Tentu saja dia dapat menyerang nenek yang berada di punggungnya itu, akan tetapi serangan macam apa yang akan dapat melebihi kecepatan nenek itu menanamkan jari-jari tangan di ubun-ubun kepalanya? Tentu dia kalah cepat dan akan tewas sebelum mampu bergerak. Pula, nenek itu berada di punggungnya karena semua gerakan tangan di awali oleh gerakan pundak sedangkan gerakan tangan di awali oleh gerakan pundak sedangkan gerakan kaki diawali gerakan pangkal paha. Tak mungkin dia mendahului nenek itu, maka berusaha menyerangnya sama dengan bunuh diri. "Toanio, setelah aku membantumu dan mengendongu, mengantar engkau yang terluka ke pondok, engkau masih hendak membunuhku...?" "Hi-hi-hik! Siapa menolongku? Apa kaukira aku kalah dikeroyok tiga belas ekor tikus tadi? Jangan sombong seperti gurumu! Dan kau tidak secerdik gurumu. Siapa bilang aku luka? Aku sehat segar tidak terluka apa-apa. Akan tetapi kini aku berada dipunggungmu dan kau akan dapat berbuat apa? Engkau telah mewarisi banyak ilmu gurumu, tentu aku tidak dapat membunuhmu mengandalkan kepandaian. Sekarang, aku tidak akan membunuhmu asal saja engkau suka mengajarkan Ilmu Thi-khi-I-beng kepadaku." Keng Hong merasa geli dan juga muak. Yang baik maupun yang jahat, sekali manusia dikuasai oleh angkara murka dan mengkehendaki sesuatu yang tidak dimilikinya, sama saja, memuakkan! Kelakukan jahat yang tidak segan merugikan orang, tidak segan melakukan kecurangan, timbul dari hati yang angkara murka, yang mengehendaki sesuatu yang bukan menjadi haknya! Akan tetapi dia tidak berdaya, dan tidak ada pilihan lain. Biarpun hatinya merasa berat untuk membuka rahasia ilmu yang pada waktu itu tidak ada orang lain yang mengetahuinya, akan tetapi kalau dia menolak tentu dia akan tewas. "Toanio, apakah kalau aku memberi ilmu itu kepadamu, Toanio pasti akan membebaskan aku?" "Tentu saja!" "Bagaimana kalau Toanio melanggar janji?" "Plakkk!" Kepala Keng Hong ditampar sehingga dia merasa pening dan pandang matanya berkunang. "Sekali lagi engkau meragukan janji seorang pendekar seperti aku, tentu engkau akan kubunuh! Kiu-bwe Toanio Lu Sian Cu bukan seorang rendah budi yang tidak bisa memegang jani. Janji lebih berharga daripada nyawa, tahu?" "Hemmm, kalau begitu boleh. Harap Toanio turun dari punggungku dan aku akan mengajarkan Thi-khi-I-beng kepada Toanio." "Mana bisa? Kalau aku turun, benar-benarkah engkau akan mengajarkan Thi-khi-I-beng ?" "Tentu, Toanio." "Bagaimana kalau melanggar janji?" Engkau bukan pendekar seperti aku. Engkau adalah murid Sie Cun Hong yang plin-plan, mulut laki-laki perayu, berani sumpah tak berani mati. Mana bisa aku percaya?" Hati Keng Hong mendongkol bukan main, akan tetapi apa dayanya? Ia menekan kemarahan hatinya dan tersenyum. "Terserah kepada Toanio akan percaya kepadaku ataukah tidak. Akan tetapi kalau Toanio tidak turun dari punggung, bagaimana aku dapat mengajarkan Thi-khi-I-beng kepadamu?" Sejenak nenek itu berpikir, kemudian berkata, "Baiklah, sekarang kau bersumpahlah! Bersumpahlah demi arwah gurumu, demi nenek moyangmu bahwa engkau tidak akan menipu aku. Setelah aku turun dari punggungmu engkau tidak akan menyerangku dan benar-benar akan mengajarkan Thi-khi-I-beng kepadaku." Keng Hong makin mendongkol, akan tetapi dia menekan hatinya, bahkan dia mengejek sambil tersenyum, "Apakah Toanio tidak takut kalau-kalau aku melanggar sumpah, seperti yang Toanio katakan tadi bahwa mulut laki-laki berani bersumpah tak berani mati?" "Cerewet! Bersumpahlah!" Keng Hong lalu mengucapkan sumpah seperti yang dikehendaki nenek itu. Kiu-bwe Toanio melompat turun, siap dengan cambuknya kalau-kalau pemuda itu melanggar sumpahnya. Akan tetapi Keng Hong malah duduk bersila dan berkata. "Marilah bersila di depanku, Toanio. Aku akan mengajarkan Thi-khi-I-beng kepada Toanio." Dengan hati penuh gairah Kiu-bwe Toanio duduk bersila di depan KengHong. Nenek itu menganggap ilmu menyedot hawa sinkang lawan itu merupakan ilmu mujijat yang tiada taranya sehingga kalau ia memiliki ilmu itu tentu dia akan menjadi seorang tokoh nomor satu di dunia kang-ouw! Keng Hong juga menduga demikian maka diam-diam hatinya geli. Ah, betapa dangkalnya pendapat itu, pikirnya. Ilmu tidak dapat diukur tinggi atau dalamnya, tidak ada batasnya dan setiap macam ilmu pasti akan ada yang mengatasinya. "Toanio, ilmu ini sesungguhnya merupakan ilmu yang amat sukar dipelajari dan amat sulit, karena bukan hanya membutuhkan dasar tenaga sinkang yang amat kuat, akan tetapi juga harus melatih tenaga dalam tubuh sehingga dapat menimbulkan tenaga menyedot yang otomatis. Terus terang saja, mendiang suhu tidak menguasai ilmu ini, dan saya pun selama hidup belum pernah mempelajari Ilmu Thi-khi-I-beng, dan ilmu menyedot sinkang lawan yang kumiliki timbul secara mujijat pada saat saya menerima pemindahan sinkang dari suhu." Ia lalu menceritakan pengalamannya ketika tanpa dia sadari dia telah memiliki ilmu mujijat yang tak dapat dikendalikannya itu. "Kemudian, berkat kitab-kitab peninggalan Thai Kek Couwsu, saya dapat menemukan cara untuk mengatur tenaga mujijat itu, dan menurut pendapat saya, seorang seperti Toanio yang telah memiliki sinkang cukup kuat akan dapat mempelajari ilmu itu asal saja Toanio bersabar. Kalau Toanio sudah mulai dapat mempergunakan tenaga menyedot itu, jangan sembarangan Toanio pergunakan secara berlebihan, melainkan sedikit demi sedikit." "Hemmm, orang muda. Engkau tidak perlu menasihati aku yang sudah menjadi seorang ahli sebelum engkau terlahir di dunia ini. Lekas ajarkan ilmu itu." "Agar Toanio bisa mendapatkan penambahan tiba-tiba saya harus mengoper sebagian tenaga saya dengan Toanio, harap Toanio tidak melawan dan meneria sinkang saya itu, sehingga akan timbul tenaga menyedot di pusar Toanio, kemudian baru saya akan ajarkan cara melatih tenaga menyedot itu." "Lakukanlah, aku siap!" kata nenek itu dengan hati penuh ketegangan karena ia ingin sekali memiliki ilmu itu. Keng Hong lalu menggeser duduknya di belakang telapak tangannya ke punggung nenek tadi sambil mengerahkan sinkang dari pusar. Tenaga yang amat kuat menerobos melalui kedua telapak tangannya. Nenek itu terkejut dan kagum. Hebat bukan main tenaga yang memasuki tubuhnya dan kalau saja ia tidak menaruh kepercayaan besar, tentu ia akan melawan tenaga itu karena biasanya tenaga itu dipergunakan menyerang lawan. Namun ia membuka pusarnya dan menerima tenaga yang membanjir memasuki tubuhnya, berkumpul di pusar. Karena ia membuka pusarnya, maka tenaga itu memenuhi tubuh dan ia merasa betapa timbul daya menyedot di tubuhnya yang membuat tenaga sinkang pemuda itu membanjir makin banyak. Setelah merasa bahwa bantuannya seperti yang dulu dilakukan gurunya kepadanya, sudah cukup untuk membangkitkan daya sedot dari pusar nenek itu, Keng Hong menghentikan pemindahan tenaganya dan dia melepaskan kedua tangannya, kemudian duduk bersila dengan wajah pucat. Hampir setengah tenaga sinkangnya telah dia buang dan dia pindahkan ke tubuh Kiu-bwe Toanio! Juga nenek itu duduk bersila sambil memejakan mata, tubuhnya bergoyang-goyang dan ia merasa seolah-olah hendak terbang oleh gelora tenaga yang memenuhi tubuhnya. Sampai berjam-jam keduanya duduk bersila, yang seorang berusaha memulihkan kekuatannya yang banyak terbuang, yang seorang lagi berusaha mengendalikan tenaga yang membanjiri tubuhnya. Kemudian terdengar suara Keng Hong, lemah dan lirih namun cukup jelas, "Toanio, kau kendalikan tenaga yang berlebihan itu, tekan tenaga itu melalui jalan darah Ci-kiong-hiat-to kemudian terus disalurkan melalui Tiong-teng-hiat. Setelah berkumpul lalu kau kerahkan melalui Thai-hiat-to menuju ke pusar. Setelah kau ulangi sampai lancar betul, coba kau kerahkan kembali tenaga dari pusar menuju ke seluruh bagian tubuh yang kiranya terserang lawan, kemudian tiba-tiba menggosongkan bagian itu sehingga sinkang Toanio tertarik kembali bersama-sama sinkang lawan itu." Keng Hong terus memberi penerangan seperti dia pelajari dari kitab-kitab di tepat rahasia gururnya. Kiu-bwe Toanio mendengarkan penuh perhatian. Memang dia adalah seorang ahli silat yang pandai dan pengertiannya tentang penggunaan sinkang sudah cukup, maka setelah keterangan-keterangan itu diulangi beberapa kali saja ia sudah dapat menangkap inti sarinya dan mulailah nenek ini berlatih. Diam-diam Keng Hong merasa kagum dan juga geli hatinya melihat betapa nenek ini amat tekunnya berlatih. Kagum menyaksikan semangat yang tidak kalah oleh semangat orang muda ini dan geli memikirkan betapa manusia amat serakahnya, juga dalam hal mengejar ilmu. Usia sudah begitu tua, hidup pun tentu tidak akan lama lagi, bersusah payah mempelajari ilmu itu untuk apa? Kiu-bwe Toanio berlatih sampai tiga hari tiga malam dengan tekun, lupa makan lupa tidur. Keng Hong tidak mau mengganggunya dan pemuda ini terpaksa makan buah-buah yang dapat dia cari di dalam hutan dan minum air sungai. Pada hari ke empat, pagi-pagi sekali Toanio melompat bangun dari atas tanah dimana ia berlatih sambil duduk bersila dan berkata, "Keng Hong, kurasa aku sudah dapat menguasai Thi-khi-I-beng! Coba kau serang aku, hendak kucoba ilmu ini!" Keng Hong tersenyum menyaksikan kegembiraan wajah nenek itu."Toanio memang hebat dan tekun sekali. Aku tidak akan merasa heran kalau Toanio sudah berhasil dalam waktu tiga hari. Akan tetapi amat perlu dijaga agar Toanio tidak keburu nafsu, dan hanya mepergunakan ilmu apabila perlu saja. Dasar sinkang Toanio sungguhpun sudah kuat, akan tetapi belum tentu akan dapat menerima serbuan sinkang lawan yang disedot dan hal ini amat berbahaya, demikian menurut petunjuk jalan kitab yang kubaca." "Kitab petunjuk gurumu? Heh, siapa bisa percaya Sie Cun Hong? Dia selalu membohong. Hayo, kau pukul aku untuk mencoba ilmu ini." "Toanio....." "Hemmm, orang muda. Engkau sudah berjanji untuk mengajarkan Thi-khi-I-beng kepadaku, mana bisa aku tahu buktinya, bahwa pelajaran ini benar atau palsu? Kalau sudah kubuktikan hasilnya, baru aku tahu bahwa selama ini kau tidak membohong dan tidak melanggar sumpahmu sendiri. Hayo, kaupukullah aku sekarang juga." Keng Hong menarik napas panjang dan merasa serba salah. Nenek ini memiliki kekerasan hati dan kehendaknya sukar dibantah. Maka dia lalu melangkah maju dan berkata, "Hati-hatilah, Toanio!" Tangannya melayang dan menepuk pundak nenek itu, sengaja mengerahkan sedikit sinkang untuk menguji "daya sedot" nenek itu. "Plakkkkk!" Keng Hong merasa betapa tenaga sinkang di tangannya yang menempel di pundak nenek itu tersedot melalui pundak dan tangannya tak dapat dia lepaskan kembali, juga hawa sinkangnya molos keluar. Akan tetapi tentu saja dia tahu bagaimana caranya melepaskan tangan. Kalau dia menyimpan hawa sinkangnnya, otomatis tangannya akan terlepas. Tiba-tiba dia terkejut sekali karena tangan nenek itu sudah menyentuh dadanya, tepat di bagian jantung. "Jangan lepaskan tanganmu, jangan tarik kembali sinkangmu atau.... engkau akan ku bunuh!" Keng Hong yang merasa terkejut itu menjadi penasaran."Toanio, apa yang hendak kau lakukan ini?" Pemuda itu merasa betapa tenaganya terus menerobos melalui telapak tangannya yang melekat pada pundak Kiu-bwe Toanio. "Hemmm, kau bocah murid Sie Cun Hong. Di dunia ini tidak boleh ada dua orang yang menguasai Thi-khi-I-beng! Hanya akulah seorang yang memilikinya," kata nenek itu sambil terus mengerahkan tenaga menyedot. Muka nenek itu kini menjadi merah sekali, matanya melotot dan napasnya terengah-engah. Keng Hong menjadi pucat. Ia maklum bahwa kalau sinkangnya habis, dia akan menjadi lemas atau bahkan dia dapat tewas karenanya. Kalau dia menghentikan saluran sinkangnya, tenti nenek itu akan menotok dadanya dan dia akan tewas pula. Tidak ada pilihan lain baginya. Ia akan mengisap terus tubuh itu dengan sinkangnya, kemudian sebelum kehabisan tenaga sama sekali, dia akan menghentikan dan pura-pura roboh kehabisan tenaga. "Hi-hi-hik, hawa sinkangmu kuat sekali, bocah bagus! Aduhhhhh, tubuhku panas....aduh , seperti dibakar...!" "Hentikan, Toanio, hentikanlah......." "Tidak! Dan jangan kau berani melepaskan tanganu atau menarik kembali sinkangmu, hemmm, sedikit saja engkau bergerak, engkau akan mati!" Jari tangan nenek itu menegang di dadanya, siap mencengkeram. "Toanio...... hentikanlah, demi keselamatanmu sendiri. Aku tidak akan melawanmu, akan tetapi kalau tidak kau hentikan, kau.... kau akan celaka...." "Hi-hi-hik! Engkau.... Aahhh.... Hahhh.... panas....! Engkau anak kemarin sore....hi-hi-hik .... jangan mencoba menipuku. Aku akan celaka kalau kaulepaskan..... Engkau lihai, tentu akan menyerangku.... heh-heh-heh, akan ku sedot sinkangmu sampai habis.... hi-hi-hik.... aaahhhhh.....!!" Tiba-tiba nenek itu mengeluarkan jerit melengking, mengerikan dan dari mulutnya tersumbar darah. Keng Hong yang melihat betapa jari tangan nenek itu sedetik kejang, cepat melompat ke belakang sehingga mukanya tidak terkena semburan darah. Ia cepat maju lagi untuk menolong ketika melihat tubuh nenek itu terkulai. Betapa kaget dan menyesal hatinya melihat nenek itu terus muntah-muntah darah. Dengan mata yang tidak bersinar lagi nenek yang sudah rebah terlentang itu memandangnya. "Kau...... kau benar....aaahhhh, Cun Hong....... Kau tunggulah aku..!" kepala itu terkulai lemas, matanya terpejam dan napasnya terhenti. Keng Hong memeriksa tubuh itu dan melepaskan lengan yang dipegang kembali sambil menarik napas panjang. Nenek itu sudah tewas. Tentu jantungnya pecah karena tidak kuat menerima pengoperan sinkang yang terlalu penuh, terlalu kuat. Ia merasa kasihan dan terharu betapa dalam saat terakhir, nenek itu masih menyebut nama gurunya. Ah, nenek bekas pendekar wanita perkasa yang selalu membasmi kejahatan, yang selalu menaruh dendam kepada gurunya, telah tewas. Bukan karena kesalahannya, sungguhpun nenek itu seolah-olah mati "dalam tangannya" melainkan karena kesalahan nenek itu sendiri. Nenek yang gagah perkasa ini begitu dikuasai nafsu angkara murka karena hendak memonopoli Ilmu Thi-khi-I-beng, lupa akan kesadaran dan kebenaran, lupa akan wataknya sebagai seorang pendekar yang selalu harus menjunjung tinggi kebenaran, sehingga akhirnya mengorbankan nyawanya dalam pelaksanaan perbuatannya sendiri yang terdorong oleh nafsu kemurkaan. Sungguh sayang! Dengan hati penuh penyesalan bahwa "Jalan keluar" yang ditempuhnya seperti yang dicita-citakannya untuk menebus kesalahan-kesalahan gurunya dahulu kembali gagal, bahkan telah mengorbankan nyawa nenek itu, sungguhpun dia tahu bahwa hal itu bukan terjadi karena kesalahannya, Keng Hong lalu menggali tanah dan mengubur jenazah nenek itu sebagaimana mestinya. Setelah selesai mengubur jenazah Kiu-bwe Toanio dan sejenak mengheningkan cipta memberi penghormatan terakhir. Keng Hong lalu meninggalkan tempat itu dan melanjutkan perjalanannya. Ia harus dapat mencari Cui Im, harus dapat merampas kembali kitab-kitab dan pusaka-pusaka milik beberapa buah partai yang dahulu diambil gurunya kemudian dilarikan oleh Cui Im. Karena teringat bahwa Cui Im berasal dari selatan di mana Lam-hai Sin-ni menjadi tokoh utamanya, Kenga Hong lalu melanjutkan perjalanan menuju ke selatan. Di sepanjang perjalanannya Keng Hong bertanya-tanya tentang keadaan. Ia mendengar bahwa perang telah selesai dengan kemenangan fihak utara. Raja muda Yung Lo yang memperebutkan kedudukan dan perang melawan keponakannya, lalu naik tahta Kerajaan Beng-tiauw (tahun 1403). Keadaan mulai aman dan raja atau Kaisar Yung Lo memnidahkan kota raja ke utara (Peking). Keng Hong melakukan perjalanan berbulan-bulan, melintasi sungai Cialing dan melewati Pegunungan Ta-pa-san. Ia menyeberangi sungai Han-sui dan bermalam selama dua malam di kota Han-tiong yang terletak di pantai sungai itu sebelah utara, kemudian melanjutkan perjalanan. Pemuda ini sama sekali tidak pernah menduga bahwa pada malam kedua, dia berada sekota dengan Sie Biauw Eng, gadis yang selama ini menjadi kenangannya! Tidak tahu bahwa Biauw Eng bersana seorang buta bermalam di sebuah penginapan yang tidak begitu jauh letaknya dari rumah penginapan di mana dia bermalam! Bagaimanakah Biauw Eng si gadis yang selalu berpakaian putih seperti orang berkabung itu bisa berada di kota Han-tiong? Seperti telah diceritakan di bagian depan, semenjak ibunya terbunuh oleh Cui Im dan dia sendiri diselamatkan nyawanya oleh pemuda murid Hoa-san-pai, Sim Lai Sek sehingga pemuda itu mengiorbankan kedua matanya ynag menjadi buta, Biauw Eng tidak tega meninggalkan pemuda yang amat mencintanya dan ia rela untuk menjadi teman Lai Sek, kalau perlu selama hidupnya! Ia merasa berhutang budi kepada pemuda itu dan melihat cinta kasih pemuda itu yang demikian mendalam, ia berusaha keras untuk membalas cintanya, sungguhpun hatinya sudah terampas oleh Keng Hong yang selamanya takkan dapat ia lupakan itu! Akan tetapi Keng Hong mungkin sudah mati! Biarpun ia mendengar kata-kata Cui Im yang membayangkan seolah-olah Keng Hong masih hidup akan tetapi kalau pemuda pujaan hatinya itu selamanya terasing dan takkan mungkin muncul di dunia ramai, apa gunanya ia tunggu-tunggu? Hari itu ia bersama Lai-Sek tiba di Han-tiong dalam perjalanan mereka ke utara. Lai Sek mempunyai seorang sahabat baik yang kini telah menjabat pangkat di kota raja dan menurut usul Lai Sek dapat mengharapkan pertolongan sahabatnya itu. "Tidak mungkin kita terus menjadi orang-orang perantauan yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap?" demikian pemuda itu berkata kepada wanita yang dicintanya. "Di kota raja, sahabatku tentu akan suka membantu kita. Kita dapat membuka toko obat, atau dapat membuka bukoan (perguruan silat). Dengan kepandaian yang kau miliki, kita tentu akan dapat hidup layak di sana, dan jika kita sudah mempunyai tempat tinggal tetap, aku akan minta bantuan sahabatku itu untuk merayakan pernikahan kita. Kita akan hidup berumah tangga dengan bahagia, mempunyai anak-anak di sekililing kita. Ah, Biauw Eng kekasihku, betapa akan bahagianya kita!" Biauw Eng memandang wajah tampan yang matanya buta itu denga hati terharu. Pemuda ini amat rindu akan kebahagiaan, seperti juga dia! Manusia manakah di dunia ini yang tidak mencita-citakan kebahagiaan hidup? Dan apakah dia akan bahagia, menjadi isteri Lai Sek? Biauw Eng menarik napas panjang dan hatinya menjeritkan nama Keng Hong. Lai Sek memegang lengannya. "Mengapa engkau menghela napas, kekasihku?" Biauw Eng balas memegang tangan itu. "Aku menurut saja segala kehendakmu, Koko. Bagiku, kalau engkau bahagia, aku pun ikut bahagia. Kebahagiaanku terletak pada kebahagiaanmu, Koko." Memang, dia tidak membohong. Dia tidak mempunyai siapapun juga di dunia ini. Keng Hong seperti telah mati. Satu-satunya orang yang dekat dengannya, dekat lahir batin, hanyalah Sim Lai Sek, pemuda yang sudah mengorbankan matanya untuknya. Untuk membalas budi, satu-satunya jalan hanya membahagiakan pemuda ini, dan agaknya itulah kebahagiaanya baginya. Mereka melakukan perjalanan seenaknya, tidak tergesa-gesa keadaan Lai Sek yang buta. Biauw Eng membeli dua ekor kudaa dan mereka menunggang kuda. Kuda yang ditunggangi pemuda itu dituntunnya. Di sepanjang jalan, Lai Sek menceritakan pengalaman dan keadaan dirinya. Dia sudah yatim piatu, dan dahulu hanya hidup berdua dengan cicinya, Sim Ciang Bi yang tewas di tangan Cui Im pula. Kini dia sebatangkara, tiada bedanya dengan Biauw Eng sendiri. Biauw Eng makin kasihan dan suka kepada pemuda ini. Apalagi ketika ia mendapatkan kenyataan bahwa pemuda ini, betapapun besar rasa kasih sayangnya kepadanya, ternyata amat sopan dan tidak pernah melakukan sesuatu yang terdorong oleh nafsu berahi. Kemesraan satu-satunya dari pemuda ini terhadap dirinya hanya tercurah kepada suaranya apabila bicara dengannya, dan paling banyak hanya pada sentuhan jari tangannya kepada lengan atau pundaknya. Hal ini saja membuktikan bahwa Lai Sek benar-benar seorang pemuda yang baik, dan cintanya terhadap dirinya murni, tidak dimabuk nafsu berahi. kalau ia buat perbandingan, sungguh jauh bedanya antara Keng Hong dan Lai Sek. Keng Hong amat romantis, bahkan mendekati mata keranjang sehingga pemuda pujaannya itu mau melayani cinta berahi seperti Cui Im, bahkan, seperti yang ia dengar, telah pula melayani cinta badani cici Lai Sek dan beberapa orang wanita lain lagi. Akan tetapi, entah bagaimana, ia tidak pernah dapat melupakan Keng Hong. Bahkan, setiap kali Lai Sek bicara dengan suara menggetar penuh cinta kasih, setiap kali jari tangan Lai Sek yang menggetar penuh perasaan mesra menyentuh tangannya, di depan matanya terbayang wajah Keng Hong! Mereka tiba di kota Han-tiong menjelang senja, lalu bermalam di sebuah rumah penginapan. Seperti biasa, mereka menyewa dua buah kamar yang berdampingaan. Karena lelah, kedua orang ini setelah makan mala lalu tidur nyenyak. Biauw Eng tidak tahu bahwa tidak jauh dari situ, di dalam sebuah kamar penginapan lain berbaring tubuh Keng Hong. Juga ia tidak tahu betapa tak jauh dari rumah penginapan itu, tampak beberapa orang hwesio beberapa kali jalan di depan penginapan dan kini menjaga rumah penginapan itu sambil bicara bisik-bisik tentang dia! Ketika pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Biauw Eng bersama Lai Sek meninggalkan rumah penginapan untuk melanjutkan perjalanan, lima orang hwesio tergesa-gesa berangkat pula meninggalkan kota itu dan dari jauh membayangi perjalanan dua orang muda itu. Biauw Eng dan Lai Sek melalui lembah-lembah Gunung Cin-ling-san, mencari jalan yang termudah, menuju ke kota Sian. Pemandangan di sepanjang lembah Pegunungan Cin-ling-san amatlah indahnya, akan tetapi Biauw Eng yang berhati-hati itu sama sekali tidak pernah mau bicara tentang segala keindahan itu, maklum bahwa hal ini akan menyakiti hati temannya, mengingatkan Lai Sek akan kebutaannya. Diam-diam ia merasa terharu kalau mengingat betapa pemuda itu kini tidak lagi mampu menikmati segala macam keindahan karena telah menjadi buta, buta karena dia! Menjelang tengah hari, mereka melewati sebuah lereng yang penuh dengan hutan. Mereka berhenti untuk makan perbekalan mereka. Akan tetapi baru saja Biauw Eng membantu Lai Sek yang meloncat dari kudanya, tiba-tiba ia menarik Lai Sek ke pinggir dan diajak duduk di bawah pohon, kemudian mengikatkan kedua ekor kuda mereka pada batang pohon. Telinganya yang tajam mendengar derap kaki kuda dan tak lama kemudian ia dapat melihat lima orang penunggang kuda menuju ke tempat itu dari belakang. Lai Sek juga mendengar derap kaki kuda yang sudah mendekat itu dan dia merasa bahwa Biauw Eng dalam keadaan tegang karena sejak turun, gadis itu tidak bicara sesuatu dan dia pun tidak mendengar gerakan gadis itu. "Ada orang datang...." katanya. "Kau duduklah saja, Koko. Syukur kalau mereka itu hanya orang-orang lewat, kalau mereka berniat jahat, bisa aku yang melayani mereka." Hati Lai Sek tenang-tenang saja. dia percaya penuh akan kelihaian kekasihnya. Melakukan perjalanan di samping Biauw Eng, baginya jauh lebih aman dibandingkan dengan perjalanan yang dia lakukan dahulu bersama cicinya, biarpun dia belum buta. Kepandaian Biauw Eng jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kepandaian cicinya ditambah dia sendiri, beberapa kali lipat lebih tinggi! Betapapun juga, karena dia tidak akan dapat menyaksikan sendiri apa yang akan terjadi, hatinya menjadi tidak enak. Setelah para penunggang kuda yang berjumlah lima orang itu datang dekat, Biauw Eng melihat bahwa mereka itu adalah lima orang hwesio! Hemmm, tentu ada sesuatu, pikirnya. Para hwesio tidak akan tega naik kuda kalau saja tidak ada kepentingan yang amat mendesak. Betul saja dugaannya karena setelah melihat Biauw Eng dan Lai Sek, lima orang hwesio itu menghentikan kuda mereka dan meloncat turun. Dari gerakan mereka yang sigap, tahulah Biauw Eng bahwa mereka itu adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, lebih-lebih pemimpin mereka, seorang hwesio tua yang bertubuh tinggi besar, berkulit hitam, dan bermata lebar. Hwesio tua inilah yang menegur Biauw Eng dengan suaranya yang kasar dan keras. "Bukankah nona ini Song-bun Siu-li Biauw Eng, puteri dari Lam-hai Sin-ni yang dulu menjadi tawanan di Kun-lun-san?" Biauw Eng memandang tajam, akan tetapi tidak mengenal hwesio tua berusia enam puluh tahun lebih dan empat orang hwesio lain yang usianya tidak kurang dari lima puluh tahun itu. Ia mengangguk, di dalam hatinya ia dapat menduga bahwa tentu hwesio ini hadir pula ketika Kun-lun-pai "mengadili" Keng Hong, lalu berkata tenang, "Benar seperti yang dikatakan Losuhu, aku adalah Sie Biauw Eng. Tidak tahu apakah maksud hati Losuhu berlima, agaknya menyusul dan mencariku?" "Song-bun Siu-li, ketahuilah bahwa pinceng adalah Thian Kek Hwesio dan ini adalah para sute pinceng. Kami adalah orang-orang dari Siauw-lim-pai yang sengaja datang untuk menemuimu. Setelah engkau tahu bahwa kai adalah hwesio-hwesio Siauw-lim-pai, tentu engkau tahu apa maksud kedatangan pinceng berlima." Biauw Eng mengerutkan alisnya. "Aku tidak mempunyai urusan apa-apa dengan fihak Siauw-lim-pai!" dengan suara tegas ia berkata. Sungguh aku tidak tahu, ada urusan apakah maka Losuhu mencariku dan apakah kehendak Losuhu?" Sejenak hwesio hitam itu memandang tajam, lalu berkata, "Hemmm, Song-bun Siu-li, perlu apa engkau berpura-pura lagi? Ketika berada di Kun-lun-san, engkau embela murid mendiang Sin-jiu Kiam-ong, tentu engkau bersekongkol dengan dia. Kami menghendaki kebalinya kitab-kitab kami yang dicuri Sin-jiu Kiam-ong, maka dengan sendirinya engkau adalah musuh kami. Ke dua, bukankah Ang-kiam Tok-sian-li yang kini berganti julukan Ang-kiam Bu-tek itu adalah sucimu, murid dari ibumu? Nah, dia telah membunuh suheng Thian Ti Hwesio! Mau berkata apa lagi engkau?" "Ahhh....!" Song-bun Siu-li Biauw Eng berseru karena ia benar-benar kaget mendengar betapa sucinya telah membunuh seorang tokoh Siauw li-pai. Kemudian ia menghela naps dan berkata, "Tentang ... Murid Sin-jiu Kiam-ong, aku sama sekali tidak ada hubungan, Losuhu. Bahkan aku... Ah, aku tidak tahu dimana dia kini berada! Aku tidak tahu tentang kitab-kitab Siauw-lim-pai yang dicuri oleh Sin-jiu Kiam-ong, dan hal itu sama sekali bukanlah urusanku. Adapun mengenai urusan bekas suciku Bhe Cui Im yang kini bukan lagi menjadi suciku, aku sama sekali tidak tahu dan juga tidak ada sangkut-pautnya. Nah, Losuhu sudah mendengar semua dan sekarang apalagi yang hendak Losuhu lakukan?" "Omitohud....! Siapa percaya omongan puteri Lam-hai Sin-ni? Kau tanya apa yang hendak kulakukan? Pinceng dan para sute hendak membunuhmu!" "Tidak....! Tidak boleh...!" Losuhu sekalian adalah hwesio-hwesio yang berhati mulia, mengapa hendak membunuh orang yang tidak berdosa? Teecu juga hadir dalam persidangan di Kun-lun-pai itu dan teecu yakin bahwa nona Sie Biauw Eng tidak berdosa sama sekali!" Lima pasang mata memandang kepada Lai Sek yang sudah bangkit berdiri dan tadi bicara penuh semangat itu. Thian Kek Hwesio memandang tajam dan mengingat -ingat, akan tetapi dia tidak mengenal siapa adanya peuda buta ini, juga tidak ingat bahwa dahulu dala persidangan itu terdapat seorang buta. "Engkau siapakah?" tanya hwesio itu dengan suara keren. "Teecu adalah Sim Lai Sek, murid Hoa-san-pai yang pada waktu itu hadir pula bersama kedua supek Hoa-san Siang -sin-kiam!" "Omitohud...!" Engkau adik murid wanita Hoa-san-pai yang diperkosa murid Sin-jiu Kiam-ong? Dan kini engkau bersahabat dengan wanita ini? Matamu menjadi buta, tentu dibutakan olehnya!" "Tidak, tidak.... harap Locianpwe jangan salah menuduh. Nona Sie Biauw Eng ini sama sekali tidak berdosa. Semua pembunuhan itu dilakukan oleg Ang-kiam Tok-sian-li yang mendurhakai gurunya, bahkan... Lam-hai Sin-ni sendiri dibunuhnya...." "Koko, diamlah, jangan ikut campur!" Biauw Eng membentak . Gadis ini sementara dahulu memiliki kekerasan hati. Ia tidak takut menghadapi ancaman para hwesio Siauw-lim-pai ini, juga ia tidak senang kalau kematian ibunya diketahui orang lain, Apalagi kalau kematian itu disebabkan tangan sucinya sendiri, murid ibunya! Hal ini adalah urusan dalam, urusan antara diam dan Cui Im, dan tidak perlu diketahui orang lain. "Losuhu, pendeknya, aku tidak mempunyai urusan sedikit pun dengan Siauw-lim-pai, dan kalau Losuhu tidak percaya omonganku, terserah, Losuhu sekalian mau apa. Aku tidak takut!" "Omitohud... Siapa dapat percaya omonganmu?" seru Thian Kek Hwesio. "Suheng, terpaksa kita harus melanggar pantangan membunuh." Seorang di antara empat orang sute Thian Kek Hwesio itu berseru sambil mencabut toya yang tadinya terselip di pinggangnya. Tiga orang hwesio lainnya juga sudah mencabut toya mereka dan mengurung Biauw Eng. "Song-bun Siu-li, karena orang seperti engkau ini hanya mengotorkan dunia dan membahayakan keselamatan hidup manusia lain, terpaksa pinceng berlima harus turun tangan membasmi dari muka bumi!" Sambil berkata demikian, Thian Kek Hwesio sudah membuka bajunya sehingga tubuhnya bagian atas telanjang. Hwesio ini memang terkenal dengan senjatanya yang istimewa, yaitu jubahnya sendiri! "Para Losuhu tunggu dulu...!" Sim Lai Sek yang buta itu menggerak-gerakan kedua tangannya ke atas dengan muka penuh kegelisahan!" Nona Sie Biauw Eng tidak bersalah apa-apa! Dia bukan orang jahat, sebaliknya, dia seorang yang paling mulia di dunia ini.., harap jangan membunuh dia....!" "Omitohud.... orang yang sudah terancun cinta, bukan hanya buta mata juga buta hatinya...." kata seorang di antara para hwesio itu sambil menggeleng-geleng kepala karena kasihan. "Koko, kau duduklah ! Aku tidak takut kepada hwesio-hwesio ini!" Biauw Eng berseru, hatinya panas melihat sikap Lai Sek yang seolah-olah merendahkan dia karena pemuda itu takut. "Hwesio-hwesio Siauw-lim-pai, majulah!" Ia menantang sambil meloloskan sabuk suteranya dan siap menghadapi para pengeroyokan para lawan itu. Thian Kek Hwesio berseru keras dan jubah di tangannya sudah menyambar dengan kekuatan yang hebat. Angin kekuatan jubah ini saja sudah membuat pakaian dan rambut Biauw Eng berkibar seperti tertiup angin besar. Biauw Eng maklum bahwa hwesio tinggi besar berkulit hitam ini amat lihai, maka cepat ia mengejek ke kiri dan menggerakkan ujung sabuknya membalas dengan totokan ke arah jalan darah di dada Thian Kek Hwesio. Akan tetapi dua batang toya telah menangkisnya dari kanan kiri sehingga ujung sabuknya membalik. Ternyata tangkisan dua orang hwesio Siauw-lim-pai itu juga mengandung tenaga yang dahsyat. Pada detik selanjutnya, dua buah toya lagi menyambar, yang sebuah menyerampang kaki, yang sebuah lagi mengemplang kepala! Biauw Eng terkejut, cepat mengelak sambil meloncat mundur agar tinggi, sabuknya diputar di depan tubuh mengancam lawan. Thian Kek Hwesio adalah seorang tokoh tingkat dua dari Siauw-lim-pai maka tentu saja ilmu silatnya hebat, tenaganya pun dahsyat sekali. Adapun empat orang hwesio lainnya adalah sute-sutenya, dan sungguhpun kepandaian dan tenaga sinkang mereka tidak setinggi suheng mereka namun mereka inipun termasuk tokoh-tokoh tingkat dua dan telah memiliki ilmu silat yang tinggi. Apalagi ketika mereka mengeroyok Biauw Eng mereka yang maklum akan kelihaian gadis itu, telah menggunakan gerakan - gerakan teratur dari Lo-han-tin (Barisan Kakek Gagah) sehingga mereka itu bergerak saling bantu, seolah-olah lima orang lihai itu dikendalikan oleh sebuah pikiran dan perasaan. Biauw Eng terdesak hebat. Terpaksa gadis ini mengerahkan semua kepandaiannya untuk menjaga diri. Ia terus terdesak hebat. Menurut penilaiannya, kalau ia melawan mereka seorang demi seorang, biar Thian Kek Hwesio sendiri tidak akan dapat mengalahkannya. Akan tetapi pengeroyokan mereka benar-benar amat teratur sehingga ia tidak mampu menekan seorang saja untuk erobohkan ereka seorang demi seorang. Gadis itu kini memutar sabuk suteranya dengan memegang senjata itu bagian tengah sehingga kedua ujung sabuk menyambar-nyambar dan ujungnya berubah menjadi banyak saking cepatnya gerakannya. Kalau hanya mengandalkan senjatanya untuk menangkis hujan serangan itu saja, tentu dia tidak kuat bertahan lama, maka ia pun mengerahkan ginkangnya yang luar biasa untuk berloncatan kesana ke mari, mengelak dan menangkis. Gerakan Biauw Eng amat ringannya, pakaian dan sabuknya yang putih berkibar-kibar dan dia laksana seeokor kupu-kupu bersayap putih yang dikejar-kejar hendak ditangkap oleh lima orang anak-anak. Biauw Eng maklum bahwa kalau dia terus mempertahankan diri dengan mengelak dan menangkis, akhirnya dia tentu takkan kuat bertahan dan akan tewas di tangan lima orang hwesio yang lihai ini. Juga ia mulai merasa penasaran dan marah sekali, maka ia mengambil keputusan untuk berlaku nekat. Setidaknya ia harus dapat merobohkan seorang di antara mereka. Kalau dia harus mati, dia harus dapat membunuh sedikitnya seorang di antara mereka. Tiba-tiba jubah di tangan Thian Kek Hwesio menyambar ke arah pahanya, membabat dari kanan ke kiri. Biauw Eng melompat tinggi untuk menghindarkan diri. Selain tubuhnya mencelat ke atas, sebatang toya menusuk ke arah perutnya dan dua toya menghantamnya dari kanan! Cepat ia menggunakan sehelai ujung sabuknya membelit toya dari depan, terus menggunakan sinkangnya secara tiba-tiba menarik toya itu ke kanan sehingga toya itu menangkis dua toya dari kanan. Pada detik itu, sebatang toya lagi menyambar dari kiri, pada saat kakinya sudah turun ke tanah. Inilah kesempatannya, pikirnya. Ia menggunakan tangan kiri meraih toya itu sambil menggerakkan tubuhnya miring, toya itu ia betot sehingga hwesio yang memegang toya tertarik ke depan, sebelah ujung sabuknya menyambar dan menotok pundak hwesio itu yang seketika menjadi lemas sambil mengeluarkan rintihan perlahan. Akan tetapi pada detik itu pula, amat cepat datangnya, jubah di tangan Thian Kek Hwesio sudah datang menghantam kepalanya! Tidak ada kesempatan lagi untuk mengelak bagi Biauw Eng, juga untuk menangkis dengan sabuk jaraknya sudah terlampau dekat. Terpaksa ia mengerahkan sinkang ke lengan kanannya dan menangkis jubah itu dengan lengannya. Kalau jubah itu mengandung saluran sinkang menjadi kaku, tentu akan tertangkis menjadi lemas dan biarpun sudah tertangkis, ujungnya masih meliuk ke belakang dan ujung yang mengandung punggung Biauw Eng dengan kuatnya. Biauw Eng mengeluh dan cepat meloncat ke belakang, masih sempat mengebutkan sabuknya ke depan dibarengi tangan kirinya yang mengeluarkan senjata rahasianya untuk kode bunga bwee sebanyak tiga buah yang menyambar ke arah kedua mata Thian Kek Hwesio dan ulu hatinya! Namun hwesio ini mendengus dan mengebutkan jubahnya sehingga tiga buah senjata itu runtuh semua. Thian Kek Hwesio menghampiri sutenya yang kena ditotok oleh sabuk sutera gadis itu, lalu menotok punggung dan pundak sutenya. Dalam waktu singkat saja hwesio itu sudah sembuh kembali, sedangkan Biauw eng pun telah dapat mengembalikan tenaganya sungguhpun ia merasa betapa dadanya sesak, tanda bahwa ia telah menderita luka di sebelah dalam tubuhnya sebagai akibat hantaman ujung sabuk pada punggungnya tadi. Akan tetapi luka di dalam dada itu tidak dirasakanya, malah menambah kemarahannya sehingga ia menerjang maju sambil berseru keras. "Haaaiiiiiitttt!" Sabuk sutera berubah menjadi sinar putih dibarengi meluncurnya senjata rahasia bola putih berduri yang menyambar ke arah lima orang penggeroyoknya. Akan tetapi, kelima orang hwesio itu sudah siap dan dapat mengelak atau menangkis, juga sambil melompat mundur menghindarkan diri dari ancaman sabuk sutera yang menjadi sinar putih panjang. Thian Kek Hwesio yang berpemandangan tajam itu dapat mengetahui bahwa lawan lihai itu terluka dan bahwa gerakan-gerakan Biauw Eng adalah gerakan orang nekat yang hendak mengadu nyawa, maka dia memberi aba-aba kepada para sutenya untuk bersikap waspada dan kini mereka mengurung dengan sikap tenang namun dengan pertahanan yang amat kuat. Biauw Eng biarpun lihai, namun kalah pengalaman. Gadis ini terpengaruh oleh nafsu marah dan terus mengamuk seperti harimau terluka. Namun semua serangannya gagal semua, bahkan semua persediaan senjata rahasianya habis, dilemparkan ke arah para lawannya. Setelah semua senjata rahasianya habis, ia mengamuk dengan sabuk suteranya yang merupakan tangan-tangan maut menyambar nyawa lawan. Namun karena para hwesio itu sudah bersiap siaga, semua serangannya dapat tertangkap dan dielakkan. Mereka kini mengurung makin rapat, tidak tergesa-gesa membalas serangan karena Thian Kek Hwesio maklum bahwa kalau tenaga gadis itu sudah melemah atau hampir habis, tidak akan sukar lagi dia dan sutenya untuk merobohkan lawan yang amat lihai ini. Sim Lai Sek yang bermata buta berdiri dengan tubuh kejang kaku, kedua lengan tergantung di kanan kiri tubuhnya, jari-jari tangannya bergerak-gerak, kadang-kadang mengepal kadang-kadang terbuka mencengkeram saking tegangnya hatinya. Ia menyesal sekali dan baru sekarang dia merasa menyesal akan kebutaan matanya karena dia tidak dapat melihat jalannya pertepuran atau lebih melihat jalannya pertempuran atau lebih tepat lagi, dia tidak dapat melihat bagaimana keadaan kekasihnya yang dikeroyok oleh lima orang hwesio yang dia tahu tentu amat kosen itu. Bagi dia yang hanya dapat mendengarkan jalannya pertempuran itu, terasa bukan main lamanya dan ketegangan hatinya akin memuncak, apalagi ketika dia mendengar kekasihnya mengeluh lirih. Tepat seperti perhitungan Thian Kek Hwesio, makin lama Biauw Eng makin menjadi lemah dan tenaganya berkurang. Wajah gadis yang tadinya merah saking marahnya, kini menjadi pucat dan leher gadis itu basah oleh peluhnya. Sambaran sabuknya tidak sekuat tadi lagi, dan sinar putih dari sabuknya biarpun masih menyambar-nyambar naun tidak sepanjang tadi. Mulailah Thian Kek Hwesio membalas dengan serangan-serangan yang amat kuat. Serangan hwesio ini merupakan pertanda bagi par sutenya untuk turun tangan menyerang. Serangan mereka tidak bertubi-tubi terlalu cepat seperti tadi, melainkan secara bergiliran. Akan tetapi karena setiap serangan dilakukan dengan pengerahan tenaga sepenuhnya, maka tentu saja Biauw Eng menjadi sibuk sekali. Sekali kali menangkis dengan sabuknya, ia merasa telapak tangannya tergetar. Kedua telapak tangannya sudah berkeringat dan hal ini membuat sabuk yang dipegangnya menjadi licin sekali sehingga setiap kali ia melibat ujung toya lawan dan hendak membetotnya, sabuknya malah terbawa dan kalau ia tidak melepaskan libatannya, tentu bukan senjata lawan yang terampas, malah senjatanya sensiri yang akan terampas lawan! Kini bagi lima orang hwesio itu, tinggal tunggu waktu tidak lama lagi untuk dapat merobohkan Biauw Eng. Akan tetapi, mereka adalah hwesio-hwesio yang memiliki watak gagah dan welas asih. Mereka tidak ingin menyiksa gadis itu, melainkan hendak merobohkan dengan sekali pukul agar dapat terus menewaskannya. Pula, mereka terpaksa melakukan pengeroyokan karena mereka melakukan pengeroyokan karena mereka maklum bahwa kalau maju satu-satu, mereka tentu kalah. Dalam pandangan mereka, Biauw Eng sama jahatnya dengan ibunya yang menjadi datuk hitam, sama jahatnya dengan Cui Im yang membunuh Thian Ti Hwesio, maka bagi mereka yang juga menjadi orang-orang gagah, adalah merupakan "kewajiban" untuk mengenyahkan tokoh sejahat ini dari muka bumi! Karena Biauw Eng tak pernah mengeluh, dan karena senjata yang dipergunakan gadis ini adalah senjata lemas sehingga tidak pernah terdengar beradunya senjata keras, maka Lai Sek mendengarkan gerakan kaki dan angin gerakan tubuh dan senjata mereka, sama sekali tidak tahu betapa keadaan wanita yang dikasihinya itu terancam bahaya maut. Pada saat yang amat kritis bagi Biauw Eng itu, tiba-tiba tampak bayangan putih berkelebat dan sambaran angin dahsyat yang aat luar biasa ebuat lia orang hwesio itu melompat mundur. Tahu-tahu seperti datangnya setan saja, di tengah-tengah tempat itu telah berdiri seorang pemuda berpakaian putih sederhana. Melihat pemuda ini, mata Biauw Eng terbelalak, mukanya yang sudah pucat menjadi makin pucat, napasnya yang biarpun tadi telah sesak akan tetapi masih bisa, kini menjadi terengah-engah dan hidungnya kembang-kempis, bibirnya yang pucat itu bergerak meneriakkan sesuatu yang tak ada suaranya. Mulutnya jelas menjerit "Keng Hong" akan tetapi tidak ada suara yang keluar dari mulutnya itu. Pemuda itu memang Keng Hong. Dia pun datang dari kota Han-tiong dan tadinya dia berniat untuk menuju ke selatan dari kota ini mengambil jalan sungai, yaitu menurut sepanjang Sungai Han-sui, akan tetapi melihat Cin-ling-san dari jauh, tiba-tiba saja timbul keinginan hatinya untuk mendaki pegunungan itu. Ketika dia tiba di dalam hutan di lerang itu, dari sebuah puncak dia melihat pertempuran. Hatinya tertarik dan dia cepat berlari menghampiri dan dapat dibayangkan betapa kaget dan juga girang hatinya ketika melihat bahwa gadis yang dikeroyok oleh lima orang hwesio itu bukan lain adalah Biauw Eng, gadis idaman hatinya yang selama ini selalu dikenangnya dengan hati sedih. Ia hanya memandang heran sebentar saja kepada pemuda buta yang berdiri gelisah di bawah pohon. Begitu melihat betapa Biauw Eng terdesak dan terhimpit, keadaannya berbahaya bukan main, dia cepat menerjang maju, menggunkan kedua tangannya mendorong dengan kekuatan sinkang sehingga lima orang hwesio yang mengeroyok gadis itu berlompatan ke belakang. Keng Hong menahan keharuan hatinya bertemu dengan gadis itu, dan kini dia menghadapi para hwesio dengan sikap hormat, menjura dan berkata halus, "Maafkan kalau saya berani lancang tangan mencampuri urusan ini, Ngo-wi Lo-suhu. Akan tetapi, bukankah segala urusan dapat diselesaikan dengan cara dingin dan damai? Perlukah sesama manusia saling serang dan berbunuh-bunuhan? Losuhu sekalian yang bijaksana tentu maklum bahwa tidak ada kesalahan yang sedemikian besarnya sehingga yang bersalah perlu dibinasakan." Thian Kek Hwesio dan para sutenya memandang dengan mata terbelalak, kalau tadi mereka kaget menyaksikan tenaga sinkang pemuda yang menengahi ucapan itu. Akan tetapi, tiba-tiba Thian Kek Hwesio berseru, "Haiiiii! Bukankah engkau bocah murid Sin-jiu Kiam-ong?" Keng Hong mengangkat muka memandang Thian Kek Hwesio penuh perhatian. Baru sekarang dia teringat. Ia adalah seorang di antara dua orang hwesio yang memusuhi gurunya, bahkan hadir pula ketika dia diadili di Kun-lun-san! Cepat dia menjura dengan hormat dan berkata, "Ah, kiranya Locianpwe dari Siauw-li-pai yang berada di sini? Maaf, maaf....! Benar Locianpwe, saya adalah Cia Keng Hong, murid suhu Sin-jiu Kiam-ong. Nona ini adalah nona Sie Biauw Eng, puteri dari Lam-hai Sin-ni dan...." "Yang dulu kau tuduh sejahat-jahatnya dan telah membunuh banyak orang bukan? Mengapa sekarang kau membelanya?" Wajah Keng Hong menjadi merah sekali. "Ah, maaf, Locinpwe. Dahulu saya adalah seorang yang sebodoh-bodohnya, tidak dapat membedakan mana yang benar mana yang salah, tidak dapat membedakan mana yang suci mana yang kotor! Sekarang baru terbuka mata saya bahwa nona Sie Biauw Eng adalah seorang gadis yang tidak berdosa. Saya berani menanggungnya, aka harap Locianpwe sudi memaafkan apabila dia bersalah." "Omitohud....! Kalau ada yang lebih aneh dari ini, benar-benar pinceng masih kurang pengalaman! Gadis yang kaubela ini jahat, ibunya datuk hitam, dan sucinya... ... Si iblis betina itu telah membunuh suteku, Thian Ti Hwesio. Kalau ibunya seperti itu, sucinya seperti itu mana bisa diharapkan dia ini seorang yang baik? Suci murni katamu! Heh, Cia Keng Hong, dia harus mati di tangan kami yang selain bertugas menyebarkan ajaran tentang mencari kebenaran, juga bertugas membasmi segala kejahatan sampai ke akar-akarnya! Dan engkau sendiri, kalau engkau tidak bisa mengembalikan kitab-kitab Siauw-lim-pai yang dahulu dicuri suhumu, engkau pun harus pula dibasmi. Kami tidak berhasil membunuh Sin-jiu Kiam-ong yang jahat, kini kami dapat membunuh muridnya, hal itu sudah cukup baik!" suara Thian Kek Hwesio terdengar keren dan berwibawa. Keng Hong tersenyum sabar biarpun hatinya merasa penasaran sekali. "Locianpwe, bukankah ajaran yang Locianpwe sebarkan adalah pelajaran yang berdasarkan kasih yang luas? Cinta kasih barulah murni kalau diberikan tanpa dikehendaki balasan, tanpa pamrih. Contohnya, adalah cinta kasih dari Tuhan sehingga diberikannya hawa untuk kita isap, diberikannya sinar matahari untuk menghidupkan kita. Demikian suci murni cinta kasih Tuhan sehingga siapapun juga manusia maupun binatang, manusia yang disebut baik maupun yang jahat, yang berdosa maupun yang tidak, dapat mengecap kenikmatannya daripada cinta kasihNya. Adakah matahari kehilangan sinarnya kalau menimpa tubuh orang-orang berdosa dan dianggap jahat? Adakah hawa menjadi berkurang manfaatnya kalau terisap oleh manusia yang dianggap berdosa? Locianpwe, kalau Locianpwe menyebarkan pelajaran berdasarkan cinta kasih yang sejati, mengapa cinta kasih itu luntur menjadi berubah kebencian dan nafsu membunuh setelah Locinpwe bertemu dengan orang-orang seperti nona Sie Biauw Eng dan saya?" Sejenak lima orang hwesio itu tercengang, akan tetapi kemudian Thian Kek Hwesio menjadi marah sekali. Ia melompat ke depan dan membentak, "Bocah! Kau tahu apa tentang kasih Tuhan dan kasih manusia? Kalau ada manusia jahat, kita mengenyahkannya bukan karena kita membencinya, melainkan karena kita mengingat akan manusia-manusia lain yang terancam keselamatannya oleh si jahat itu, sehingga kita membunuh si jahat justeru berdasarkan cinta kasih kita kepada manusia!" "Ha-ha-ha-ha-ha!" Tiba-tiba Keng Hong tak dapat menahan dorongan hatinya dan dia tertawa bergelak. Lima orang hwesio itu kaget dan memandangnya dengan mata terbelalak. "Sungguh amat lucu alasan yang kaukemukakan itu, Locianpwe! Aku tidak percaya bahwa dalam pelajaran sebuah agama terdapat pendirian seperti itu! Wewenang apakah yang ada dirimu maka Locianpwe boleh memutuskan siapa yang jahat dan siapa yang harus mati? Dari siapakah Locinpwe mendapatkan wewenang untuk membunuh dengan alasan demi untuk kasih. Mana mungkin menegakkan kasih dengan pembunuhan? Betapa palsunya! Betapa lucu dan menjemukan manusia yang mempergunakan agama sebagai alat untuk mencapai tujuan pribadi, mencapai kemuliaan duniawi. Betapa munafiknya manusia yang bahkan memaksa Tuhan agar bersekutu dengannya demi tercapainya nafsu pribadi. Ah, ha-ha-ha, benar ucapan suhu dahulu bahwa dunia ini merupakan panggung dan para manusia ini tiada lain hanyalah sekumpulan badut-badut yang menggelikan akan tetapi juga menjemukan, sekumpulan badut yang sebagian besar memakai topeng-topeng menutupi muka mereka. Ngo-wi Locianpwe, apakah Ngo-wi memakai topeng jubah pendeta dan kepala tanpa rabut? Ha-ha-ha!" Tiba-tiba, Keng Hong berhenti terbawa dan baru sadarlah dia betapa dia telah tertawa dan bicara seolah-olah di luar kesadarannya. Rasa girang yang luar biasa sekali ketika Biauw Eng dalam keadaan selamat dan sehat membuat hatinya ringan dan dadanya lapang, dan sifatnya yang gembira seperti dulu kumat kembali. Dia sama sekali bukan bermaksud menghina para hwesio itu, melainkan bicara sesungguhnya seperti yang keluar dari hatinya karena memang dia merasa penasaran dan geli hatinya mendengar alasan yang dikemukakan Thian Kek Hwesio yang ingin membunuh Biauw Eng dan dia sendiri. Thian Kek Hwesio menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Keng Hong lalu membentak, "Bocah! Kiranya engkau malah lebih menyeleweng dan lebih jahat daripada gurumu senadiri! Engkau sudah patut dihukum mati agar rohmu dihukum dalam neraka tingkat paling rendah! Jangan mengira bahwa pinceng tukang membunuh dan suka membunuh! Akan tetapi, kalau dapat pinceng umpamakan, perempuan itu dan engkau adalah dua ekor ular yang berbisa dan berbahaya sekali bagi keselamatan umum. Demi untuk mengamankan manusia-manusia lain, pinceng berlima berusaha untuk membunuh dua ekor ular itu! Nah, kau bersiaplah, bocah yang sombong dan jahat, yang berani menghina agama!" Thian Kek Hwesio yang sudah tak dapat lagi menahan kemarahannya, menerjang maju dengan senjata jubahnya, dihantamkannya jubah itu ke arah kepala Keng Hong. Empat orang sutenya juga sudah mengurungnya dengan toya melintang di depan dada. Sambaran jubah itu dengan mudah dapat dielakkan oleh Keng Hong, akan tetapi ketika empat batang toya menyambar dari berbagai jurusan, pemuda ini menggerakkan kedua tangannya menangkis toya-toya itu dengan lengan. "Plak-plak-plak-plak-plak-plak!" Empat orang hwesio itu terkejut dan melompat ke belakang. Toya mereka tadi membalik dan telapak tangan mereka terasa panas dan pedas, hampir saja mereka melepaskan toya mereka. "Locianpwe sekalian adalah tokoh-tokoh Siauw-lim-pai dan hendak mempergunakan kepandaian untuk membunuh orang. Akan tetapi aku pun memiliki kepandaian yang hendak ku pergunakan untuk membela diri! Dan hendaknya di ingat bahwa aku bukanlah seorang lemah yang mudah saja dibunuh. Aku telah mempelajari ilmu-ilmu yang kiranya akan dapat mengatasi kepandaian Ngo-wi membatalkan niat buruk hendak membunuh orang dan kembali ke Siauw-liam-si, bertapa dan berdoa bagi keselamatan dan perdamaian di dunia." Ucapan Keng Hong ini sungguh-sungguh, akan tetapi oleh kelima orang hwesio itu dianggap sebagai sindiran dan penghinaan. Thian Kek Hwesio berseru panjang dan menerjang lagi, diikuti empat orang sutenya yang merasa penasaran. Serangan mereka hebat sekali, datang bagaikan angin taufan mengamuk. Sekali lagi Keng Hong menggerakkan kedua tangannya menangkis sambil memutar tubuh sehingga kedua lengannya merupakan sepasang toya dan sekaligus menangkis empat toya dan sebuah jubah yang menghantamnya. Kembali lima orang lawannya terpental ke belakang sambil berteriak kaget. Kini Keng Hong bertolak pinggang dan suaranya terdengar sungguh-sungguh, matanya bersinar-sinar dan keningnya berkerut, "Losuhu, aku mengerti bahwa mendiang guruku berhutang dua buah kitab kepada Siauw-lim-pai, yaitu kitab-kitab Seng-to-ci-keng dan I-kiong-hoan-hiat. Dan kuberitahukan kepada Losuhu bahwa kedua buah kitab itu telah dicuri orang. Akan tetapi aku bersumpah demi roh suhuku bahwa aku akan mencari pencuri itu, akan merampas kembali kedua buah kitab dan akan kuantarkan kembali ke Siauw-lim-si disertai maafku terhadap Siauw-lim-pai atas perbuatan suhu. Nah, kuharap Ngo-wi dapat mengerti dan suka menghabiskan pertandingan yang tidak ada manfaatnya ini." "Siapa percaya ocehanmu?" Thian Kek Hwesio menyerang lagi, dan empat orang sutenya juga menerjang maju, kini menggunakan jurus-jurus mematikan dan mengerahkan seluruh tenaga sinkang dalam menggerakkan senjata mereka. Tiba-tiba tubuh Keng Hong berkelebat, sedetik lenyap dari pandang mata lima orang penggeroyoknya saking cepatnya dan pada detik-detik berikutnya, terdengar seruan-seruan kaget Thian Kek Hwesio dan empat orang sutenya karena tiba-tiba saja ke dua lengan mereka menjadi lemas dan senjata-senjata mereka terampas dari tangan mereka. Ketika mereka membalik dan memandang, ternyata sebuah jubah dan empat batang toya itu kini telah berada di tangan pemuda itu! "Sudah jelas bahwa Ngowi Losuhu tidak dapat menandingi aku, dan sudah kunyatakan dengan sumpah bahwa aku akan mencari dua buah kitab itu dan mengembalikannya ke Siauw-lim-pai, mengapa Ngo-wi masih berkeras saja? Beginikah sikap orang-orang gagah dari Siauw-lim-pai yang terkenal di seluruh dunia?" Keng Hong berkata dan sekali tangannya bergerak, jubah dan empat batang toya itu melayang kepada pemilik masing-masing. Lima orang hwesio itu cepat menyambar senjata mereka dan Thian Kek Hwesio yang menyambut jubahnya terhuyung dua langkah, sedangkan empat orang sutenya terhuyung-huyung sampai lima langkah ketika menyambut toya masing-masing. Diam-diam Thian Kek Hwesio terkejut dan kagum bukan main. Pemuda murid Sin-jiu Kiam-ong ini setelah lenyap di puncak Kiam-kok-san, kini telah menjadi seorang yang amat lihai, dan menurut penilaiannya biarpun hanya bertanding dua gebrakan saja, pemuda ini malah lebih lihai daripada mendiang Sin-jiu Kiam-ong! Maka dia lalu menjura dan berkata, "Pinceng berlima tidak buta, dapat melihat lawan yang jauh lebih pandai. Pinceng mengaku kalah dan hendak melaporkan semua ini kepada ketua Siauw-lim-pai. Namun hendaknya kauketahui orang muda, bahwa Siauw-li-pai bukan perkumpulan yang boleh kaupermainkan begitu saja. Kalau kelak engkau tidak memenuhi janjimu, akhirnya sudah dapat dipastikan bahwa engkau akan tewas di tangan kami!" Setelah berkata demikian, Thian Kek Hwesio mengenakan jubah yang tadi dia pakai sebagai senjata, kemudian menghampiri kuda dan meloncat ke punggung kuda, pergi meninggalkan tempat itu diikuti empat orang sutenya yang juga sudah menunggang kuda masing-masing. Derap kaki kuda terdengar makin menjauh dan setelah bayangan mereka lenyap, barulah Keng Hong membalikkan tubuhnya, memandang Biauw Eng. Biauw Eng semenjak tadi berdiri seperti kena pesona, tidak bergerak-gerak hanya memandang Keng Hong ketika pemuda ini menghadapi lima orang hwesio Siauw-lim-pai, lupa akan keadaan, lupa kepada Lai Sek yang juga berdiri dan agak miringkan kepala untuk dapat mendengar lebih seksama, dan keningnya berkerut ketika dia mengerahui bahwa yang datang adalah Cia Keng Hong, musuh besarnya, orang yang dia anggap telah membunuh cicinya! Terbayanglah dia betapa ketika dia terbangun dari tidur dahulu, dia melihat cicinya berada dalam pelukan Keng Hong, bermain cinta dengan pemuda ini, dan kemudian betapa cicinya tewa dalam pelukan pemuda ini pula. Teringat akan hal ini, kebenciannya terhadap Keng Hong makin mendalam. Akan tetapi karena Keng Gong mengahadapi lima orang hwesio itu dan membela Biauw Eng, tentu saja dia tidak dapat berkata apa-apa, hanya mendengarkan penuh perhatian. Keng Hong yang memandang Biauw Eng, tak terasa melangkah maju sehingga dia berdiri berhadapan dengan gadis itu, hanya terpisah tiga empat langkah lagi. Sejenak mereka saling berpandangan, dan hati Keng Hong penuh keharuan melihat gadis yang kini makin cantik jelita dalam pandangan matanya, agak kurus dan layu, seolah-olah kehilangan semangat hidup. Akan tetapi manik mata yang jeli itu kini memancarkan sinar kegairahan dan kebahagiaan ketika memandangnya. "Biauw Eng....!" Keng Hong berbisik penuh ragu, penuh harap dan penuh permohonan maaf. Kalau dia teringat akan sikapnya terhadap gadis ini di puncak Kun-lun, jantungnya seperti ditusuk-tusuk dan ingin dia menjatuhkan diri berlutut di depan gadis itu untuk minta ampun. "Biauw Eng.... Kau .... Kaumaafkan aku....??" Ucapan ini lirih dan menggetar. "Keng Hong....!" Biauw Eng juga menyebut nama yang selama ini terukir di hatinya. Hatinya menjeritkan nama ini akan tetapi bibirnya hanya berbisik lirih. Getaran hatinya membuat kedua lengannya terulur, seolah-olah ia hendak menyambut mustika yang selama ini hilang dan kini muncul kembali. Akan tetapi kedua lengannya itu lemas kembali. Kedua matanya menjadi basah ketika mulutnya melanjutkan bisikan, "... Syukurlah...engkau.... engkau.... masih hidup...." Melihat betapa kini dua butir air mata seperti butiran-butiran mutiara menitik turun dari balik bulu mata itu, kaki Keng Hong menggigil. Biauw Eng menangis? Gadis yang terkenal berdarah dingin, yang dijuluki Si Cantik Berkabung, yang berhati dingin seperti salju dan keras seperti baja, kini menitikkan air mata? Ah, tentu sakit rasa hati gadis ini teringat akan segala fitnah keji yang dia lontarkan dahulu itu di puncak Kun-lun-san! Tiba-tiba Keng Hong menjatuhkan diri berlutut sambil melangkah maju sehingga dia berlutut dekat sekali di depan kaki Biauw Eng. "Maafkan aku.... Ampunkan aku, Biauw Eng ..... aku .... Aku mengaku bersalah kepadamu, Sudikah engkau memaafkan aku.....?" "Jangan.... jangan berlutut, Keng Hong. Ah, Keng Hong..... Keng Hong....." Tubuh gadis itu terhuyung hendak roboh. Keng Hong meloncat bangun dan cepat memeluk tubuh gadis itu. Biauw Eng terisak, merapatkan mukanya di dada orang yang semenjak dahulu dicintanya sepenuh hatinya ini. Diantara isaknya ia hanya dapat berbisik, "Keng Hong..... Keng Hong.....!" Seolah-olah bisikan itu merupakan jeritan hatinya yang penuh rindu dan duka. Ketika merasa betapa tubuh yang lemas itu menggetar dalam pelukannya, betapa dadanya terasa basah hangat oleh air mata yang menyerap masuk menembus bajunya, Keng Hong tak dapat menahan keharuan hatinya. Ia menggunakan kedua lengannya mendekap kepala dan muka itu dengan erat, seolah-olah ia hendak memasukkan kepala itu ke dalam dadanya, dan dua butir air mata membasahi bulu matanya dan akhirnya menitik turun ke atas pipinya. "Biauw Eng, betapa besar dosaku kepadamu. Betapa kejinya perbuatanku terhadapmu. Engkau telah menolongku berkali-kali dan aku membalasnya dengan lontaran fitnah keji yang tak tahu malu. Betapa bodohnya aku..." "Keng Hong... Keng Hong.....!" Biauw Eng terisak, hanya mampu memanggil nama yang dicintanya dan dirindukannya ini berkali-kali, kedua lengannya memeluk dan melingkari pinggang Keng Hong, didekapnya erat-erat seolah-olah ia takut kalau akan terpisah dan kehilangan pemuda ini lagi. "Biauw Eng, maafkanlah aku akan segala kesalahanku dahulu. Aku dahulu seperti gila, seperti buta kedua mataku..." Tiba-tiba Biauw Eng merenggutkan dirinya, terlepas dari pelukan Keng Hong, wajahnya pucat dan matanya terbelalak mencari Lai Sek. Ketika melihat pemuda itu masih berdiri seperti patung di bawah pohon, ia lalu meloncat lari menghampiri dan berseru. "Sim-koko.. ah, Koko....!" Gadis yang mendengar Keng Hong mengatakan matanya seperti buta itu teringat akan Lai Sek dan kini ia menangis di pundak pemuda buta itu, hatinya seperti ditusuk-tusuk rasanya. Keng Hong seperti sadar dari sebuah mimpi. Kini dia memandang pemuda buta yang tadi dia lupakan. Mendengar Biauw Eng menyebut she pemuda itu, dan setelah dia memandang penuh perhatian, dengan hati yang tidak karuan rasanya, teringatlah dia bahwa pemuda itu adalah Sim Lai Sek, adik kandung mendiang Sim Ciang Bi gadis Hoa-san-pai yang pernah berenang di lautan cinta bersamanya dan bahkan kemudian tewas dalam pelukannya karena senjata rahasia milik Biauw Eng yang dilepaskan oleh Cui Im. "Engkau Sim Lai Sek....!" "Bagus kalau engkau masih mengenalku, Cia Keng Hong manusia rendah budi, berwatak hina dan pengecut!" Sim Lai Sek melepaskan rangkulan Biauw Eng dan penuh amarah berjalan maju. Akan tetapi kakinya tersandung akar pohon dan tubhnya terguling. Cepat Biauw Eng menyambar lengannya sehingga pemuda buta ini tidak sampai hatuh, kemudian Lai Sek menudingkan telunjuknya kearah Keng Hong sambil berkata dengan sura nyaring penuh kebencian. "Cia Keng Hong manusia terkutuk! Engkau telah merayu dan membujuk ciciku, menodainya dengan cintamu yang palsu, kemudian membunuhnya! Dan engkau laki-laki pengecut ketika di puncak Kun-lun-san melemparkan fitnah kepada nona Sie Biauw Eng! Sungguh manusia tak tahu malu, sekarang masih pura-pura membelanya dan minta maaf dengan rayuan lidahmu yang bercabang seperti lidah ular...!" Saking marahnya, napas pemuda buta ini terengah-engah. "Koko...!" Biauw Eng berseru menahan isak. Keng Hong tersenyum pahit."Sim Lai Sek, aku telah bersalah dan engkau boleh memakiku sesukamu, akan tetapi engkau pun tahu bahwa aku tidak membunuh encimu!" "Apa? Tidak membunuhnya?" Pemuda itu saking marahnya melangkah maju lagi tiga tindak dan telunjuknya menuding. "Engkau tidak membunuhnya dengan tanganmu, akan tetapi dengan perbuatanmu! Tanganmu tidak berlumur darah enciku, akan tetapi hatimu berlepotan darahnya! Kalau engkau tidak membujuknya, tidak menodainya, apakah perempuan iblis Bhe Cui Im yang menjadi kekasihmu itu akan turun tangan membunuhnya karena cemburu? Karena engkaulah enciku mati! Engkau yang membunuhnya! Engkau....!" Menghadapi pemuda buta yang menudingnya dan mengucapkan kata-kata keras itu. Keng Hong menjadi pucat mukanya dan melangkah mundur dua tindak. Ia merasa jantungnya seperti ditusuk karena tuduhan itu sama benar dengan rasa penyesalan hatinya. Secara tidak langsung dia telah membunuh Sim Ciang Bi dan gadis-gadis lainnya karena dialah yang menjadi sebab kematian mereka. Ia melirik ke arah Biauw Eng yang memandangnya dengan air mata bercucuran. "Terserah kepadamu, Sim Lai Sek. Aku tidak akan membantah. Biauw Eng aku tahu bahwa engkau cinta kepadaku, seperti yang kaukatakan di depan ibumu, di depan banyak orang di Kun-lun-san. Dahulu aku seperti buta, lebih buta dari pemuda gagah ini, buta oleh nafsu tetapi sekarang terbuka mata hatiku dan aku tahu pula dengan penuh keyakinan bahwa aku mencintamu, Biauw Eng...." "Keparat jahanam!" Lai Sek meloncat maju dan memasang kuda-kuda pembukaan ilmu silat Hoa-san-pai. "Setelah membujuk dan membunuh enciku, kini engkau hendak membujuk Biauw Eng? Tidak boleh! Engkau harus membunuh aku lebih dulu. Hayo, kita sama-sama jantan dan biarpun aku buta, aku siap mempertaruhkan nyawaku mempertahankan gadis yang kucinta, mari bertanding sampai mati Keng Hong!" Keng Hong terbelalak memandang. Melihat pemuda buta yang berjalan saja tersandung hampir jatuh itu kini memasang kuda-kuda menantangnya, sungguh menggelikan dan juga mengharukan sekali. Ia menghela napas panjang dan berkata kepada Biauw Eng yang memandang sambil menangis. "Kini terserah kepadamu, Biauw Eng. Kalau engkau sudi mengampuni aku dan masih mencintaku, marilah engkau ikut bersamamu, menjauhkan diri daripada segala keruwetan dunia. Aku cinta padamu!" Sejenak Biauw Eng bingung, memandang kuda-kuda itu, berganti-ganti. Kemudian lari menghampiri Lai Sek, memeluk pundaknya dan menangis. "Koko... Aku ... Aku... Tidak bisa meninggalkanmu…." Lega hati Lai Sek dan dengan lengan kiri memeluk pinggang Biauw Eng yang ramping dia berkata kepada Keng Hong, "Nah, laki-laki rendah budi. Engkau mendengar sendiri! Apa yang kau lakukan sekarang? Membunuhku kemudian memperkosa Biauw Eng seperti yang biasa kau lakukan kepada semua wanita muda dan cantik?" Panas hati Keng Hong, akan tetapi dia menekan kemarahannya dengan kesadaran bahwa Lai Sek bersikap seperti itu kepadanya karena dorongan sakit hati atas kematian encinya. Ia menghela napas dan rasa panas di dadanya lenyap, kemudian dia tersenyum pahit mengelus hatinya yang sakit, dan berkata halus, "Jangan khawatir, Sim Lai Sek. Aku tidak akan mengganggu engkau dan Biauw Eng. Biauw Eng telah bersikap bijaksana telah melakukan pilihan yang tepat sekali. Ku harap engkau akan hidup bahagia Biauw Eng. Pilihanmu tepat. Lai Sek adalah seorang pemuda gagah perkasa, murid Hoa-san-pai yang patut dibanggakan. Aku hanya bisa menghaturkan selamat, kalau saja doa seorang rendah budi dan pendosa macam aku ini ada harganya bagi kalian. Selamat tinggal..." Keng Hong menahan air mata dari sepasang matanya yang panas, kemudian membalikkan tubuh secara tiba-tiba dan berkelebat pergi dari situ mempergunakan ilmu kepandaian berlari cepat. "Keng Honggg....!" Jerit yang melengking sekuatnya dari dasar hati Biauw Eng ini tidak mengeluarkan suara, melainkan menggema di rongga dada dan menghimpit jantung. Wajahnya seketika pucat, rangkulannya pada pundak Lai Sek terlepas dan gadis ini roboh terguling ke atas tanah! Betapapun lihainya gadis ini, tidak kuat ia menahan tekanan batin yang amat hebatnya itu. Ketika terpaksa ia "memilih" Lai Sek, ia melakukan hal ini karena mana mungkin ia tidak mempunyai siapa-siapa dan telah menjadi buta karena dia itu? Akan tetapi ketika melihat pemuda yang dicintanya itu pergi dengan muka pucat, dengan air mata bertahan, dengan hati hancur dan hal ini diketahuinya betul, ia merasa jantungnya seperti diremas-remas. Tadi ia telah menerima hantaman jubah di tangan Thian Kek Hwesio, sudah terluka di sebelah dalam dadanya. Kini himpitan batin itu membuat lukanya menghebat dan ketika ia menjeritkan nama Keng Hong, melainkan darah segar yang dimuntahkannya kemudian ia roboh pingsan! "Biauw Eng....!" Lai Sek menubruk tubuh yang pingsan itu. Ia menjadi bingung, menguncang-guncang memanggil-manggil dan meraba-raba muka gadis yang dicintanya. Akan tetapi tubuh Biauw Eng lemas, napasnya lemah sekali. "Biauw Eng... Biauw Eng....!" Lai Sek memanggil-manggil dan dia menduga-duga yang bukan-bukan. Jangan-jangan kekasihnya telah dibunuh orang seperti yang terjadi pada encinya!" Biauw Eng....!" Biauw Eng membuka matanya perlahan. Yang mula-mula dilihatnya adalah muka Lai Sek yang penuh kegelisahan kemudian pandang matanya bergerak memandang kedua tangan pemuda buta itu yang penuh darah, darah yang diuntahkan tadi membasahi leher dan karena tangan Lai Sek menguncang-guncang dan meraba-rabanya, diluar pengetahuan pemuda itu kedua tangannya menjadi berlepot darah. Melihat ini, Biauw Eng teringat kepada Keng Hong dan ia merasa seolah-olah darah yang berlepotan di kedua tangan Lai Sek itu adalah darah Keng Hong. Darah yang mengucur keluar dari hati Kang Hong yang diremas-remas oleh kedua tangan Lai Sek. "Engkau... Engkau kejam!" tiba-tiba ia berkata sambil bangkit duduk. Lai Sek menjadi lega hatinya, mengira bahwa Biauw Eng memaki Keng Hong yang sudah pergi. "Biauw Eng, engkau tidak apa-apa....?" Biauw Eng seolah-olah tidak mendengar pertanyaan ini. Ia menatap wajah pemuda itu dan berkata lagi, "Sim Lai Sek, engkau .... manusia kejam...!" Kini Lai sek terkejut bukan main. Suara gadis itu menggetar setengah berbisik, penuh kedukaan yang hebat, akan tetapi amat dingin. "Apa... Apa maksudmu...?" Ia bertanya penuh kekhawatiran dan hendak memegang pundak Biauw Eng. "Jangan sentuh aku dengan tanganmu yang berdarah. Berdarah dengan darah yang mengucur dari hati Keng Hong, Engkau kejam sekali!" "Eh, Biauw Eng! Apa.... apa kesalahanku..?" "Sim Lai Sek, engkau kejam sekali. Mengapa engkau memaki-maki seperti itu? Dia tidak bersalah, dia tidak berdosa, akan tetapi engkau menyerangnya dengan penghinaan dan maki-makian yang lebih tajam dari bacokan dan senjata pedang. Mengapa engkau menyiksa hatinya seperti itu?" Kini suara Biauw Eng mengandung kemarahan dan membuat Lai Sek lebih bingung lagi. "Aku benci sekali padanya, Biauw Eng. Dia telah menyebabkan kematian enciku, satu-satunya orang yang kumiliki saaat itu, pengganti kedua orang tuaku. Aku benci sekali kepada Keng Hong dan andaikata aku tidak buta dan andaikata aku berkepandaian, aku tentu tidak akan memakinya, melainkan membunuhnya." "Tapi dia tidak bersalah. Bukan dia yang membunuh encimu, dan dia pun tidak memperkosa encimu. Kalau sampai terjadi hubungan cinta, tentu encimu yang tergila-gila kepadanya!" Suara Biauw Eng makin marah karena hatinya penuh dengan rasa iba terhadap Keng Hong. "Biauw Eng! Engkau malah menyalahkan enciku?" "Aku hanya bicara sebenarnya!" Keduanya sama panas hati dan sama marah. Sampai lama mereka terdiam, akhirnya Lai Sek mengeluarkan suara, kini tidak lagi mengandung rasa marah dan penasaran, kata-katanya halus dan lemah, "Biauw Eng, engkau... Mencinta Keng Hong?" "Sudah sejak dahulu aku mencinta Keng Hong dan engkau pun sudah tahu akan hal ini," Biauw Eng yang belum dapat mengenyahkan rasa kemarahannya karena sikap Lai Sek terhadap Keng Hong. Lai Sek menundukkan mukanya, keningnya berkerut-kerut, garis tegak lurus membagi mukanya dari atas hidung sampai ke dalam mata yang buta itu dipejamkan rapat-rapat dan urat di kedua pelipis berdenyut-denyut, suaranya menggetar ketika dia berkata, halus penuh penerimaan dan penyerahan, "Kalau begitu, Biauw Eng. Mengapa engkau tadi tidak pergi bersama Keng Hong? Aku seorang buta yang tak berharga, mengapa engkau menyiksa hati dan tidak meninggalkan aku saja? Aku akan rela kau tinggalkan, Biauw Eng. Aku tahu diri akan keadaanku yang tidak akan dapat membahagiakanmu...." Biauw Eng memandang wajah itu dan keharuan membanjiri hatinya, mengusir semua kemarahan tadi. Sadarlah ia betapa sikapnya amat menyakitkan hati Lai Sek. Pemuda ini tidak pernah menuntut kebutaan matanya, tidak pernah membujuknya, sungguhpun pemuda ini menyatakan cintanya yang amat besar. "Koko, maafkan aku, Koko...!" Ia menubruk dan merangkul pundak pemuda itu. "Aku bingung... Akan tetapi aku takkan dapat meninggalkanmu. Maafkan aku!" Lai Sek tersenyum sedih dan mengelus-elus rambut kepala gadis yang dicintanya sepenuh jiwa raganya itu. "Akan tetapi, engkau mencinta Keng Hong, tak mungkin engkau dapat membagi cinta kasihmu kepadaku, Biauw Eng." "Aku tidak perlu berbohong kepadamu, Koko. Memang cinta kasih di hatiku ku serahkan kepada Keng Hong. Akan tetapi jiwa ragaku ku serahkan kepadamu, Koko. Kalau engkau ragu-ragu, kuserahkan tubuhku kepadamu, kalau kau kehendaki sekarang juga!" "Apa... Apa katamu....?" Lai Sek terkejut. Biauw Eng menjatuhkan diri dalam pelukan pemuda buta itu. "Aku menyerahkan tubuhku kepadamu, ambillah sekarang juga. Aku rela dan agar kau percaya kepadaku!" Lai Sek yang memeluk tubuh itu tersenyum duka, menggeleng kepala dan berkata halus, "Aku bukan laki-laki macam itu, kekasihku. Cintaku kepadamu bukanlah semata-mata cinta berahi. Cintaku terhadap orang tuaku yang telah tiada, cintaku terhadap enciku yang terbunuh kini semua kubulatkan menjadi cintaku kepadamu. Aku tidak akan mempergunakan kesempatan akan kerelaan dan kepasrahanmu ini, Biauw Eng. Tidak! Dijauhkan Tuhan aku daripada perbuatan perbuatan itu. Aku akan memiliki ragamu setelah hubungan kita disyahkan dalam pernikahan dan sebelum itu engkau bebas, kekasihku. Aku tidak mau menyalahgunakan kepercayaanmu." Biauw Eng menangis dalam pelukan pria ini. Betapa mulia hati Lai Sek, betapa jauh bedanya dengan Keng Hong. Kalau Keng Hong yang diserahi tubuh dengan wanita-wanita lain, tentu akan diterima oleh Keng Hong dengan segala kesenangan hati, dengan kedua tangan terbuka dan hati terbuka, siap selalu melayani cinta berani! Pikiran ini membuatnya cemburu dan memudahkan dia melupakan Keng Hong. Mereka lalu melanjutkan perjalanan menuju ke kota raja dan di sepanjang jalan Lai Sek yang bijaksana tidak mau menyebut-nyebut tentang Keng Hong juga Biauw Eng berusaha untuk mengimbangi sikap yang penuh cinta kasih dari pemuda itu dengan pencurahan perhatian perhatian untuk pemuda yang buta ini. *** Bagi orang muda di dunia ini tidak ada penyakit yang lebih menyiksa daripada sakit asmara gagal yang membuat patah hati. Tidak ada bagian tertentu dari tubuh rasanya tak nyaman, tidur tidak nyenyak, makan tidak sedap, segala keindahan di dunia lenyap berubah menjadi membosankan, hati seperti kosong, hati terasa sunyi sungguhpun berada di tengah kota ramai misalnya, dan tidak ada keinginan apa-apa lagi di hati. Tubuh yang lemas hanya ingin tidur, kalau mungkin tidur terus tidak usah bangun kembali karena begitu bangun, hati tersiksa lagi teringat akan pacar direbut orang. Semenjak meninggalkan Biauw Eng dan Lai Sek, keadaan Keng Hong seperti orang linglung, wajah pucat seperti mayat, sinar matanya redup seperti lampu kehabisan minyak. Ia berlari asal lari saja, berjalan asal jalan saja, semua kemauan lenyap dari hatinya yang kosong melompong. Sepekan lamanya dia berjalan saja siang-malam. Lupa akan lupa tidur, yang terbayang di depan mata hanya bayangan Biauw Eng dan Lai Sek. Akhirnya dia terkulai lemas pada suatu pagi di bawah sebatang pohon dan perutnya menuntut isi menyadarkan bahwa dia seorang manusia hidup, bukan patung berjalan. Begitu kesadarannya datang, Keng Hong cepat menguasai dirinya, maklum bahwa penderitaan yang dia buatnya sendiri ini dibiarkannya berlarut-larut, berarti dia menyia-nyiakan hidup dan percuma menjadi seorang manusia terutama seorang laki-laki. Ia lalu mencari buah-buahan pengisi perut setelah makan buah dan minum air, dia duduk mengaso di bawah pohon menjalankan pikirannya. Ia tahu bahkan yakin, bahwa Biauw Eng mencintanya. Akan tetapi dia pun tahu bahwa Biauw Eng memaksa diri memilih Lai Sek. Begitu dangkal dan tipiskah cinta kasih gadis kepadanya? Ataukah karena bertahun-tahun tidak muncul gadis itu hilang harapan dan cintanya membalik kepada laki-laki lain? Seorang laki-laki yang biarpun tampan dan agah perkasa namun buta, apakah dia kalah nilainya oleh seorang buta? Ah., mengapa Lai Sek buta? Ia meloncat bangun lalu duduk kembali. Baru sekarang dia teringat akan hal ini. Lai Sek dahulu tidak buta dan kalau dia kini buta, tentu ada sebabnya agaknya sebab kebutaan Lai Sek ini ada sangkut pautnya dengan " pemindahan" cinta dari hati Biauw Eng! Ia menganguk-angguk dan rasa penasaran di hatinya agak terhibur. Agaknya tidak semata-mata gadis itu memindahkan cintanya kalau tidak ada alasan yang kuat. Biarlah, dia mengalah dan dia kini teringat betapa besar penderitaan pemuda itu. Encinya tewas dibunuh orang, belum sempat membalas dendam, sekarang menjadi buta matanya! Ah, kalau dia pikir-pikir dengan hati dan kepala dingin kini dia dapat melihat bahwa awal kesengsaraan pemuda yang kehilangan encinya itu adalah karena dia! Kalau dia tidak menerima pencurahan cinta kasih Ciang Bi, agaknya gadis itu tidak akan terbunuh oleh Cui Im dan belum tentu pemuda itu akan menjadi buta, belum tentu pula akan menjadi kekasih baru Biauw Eng! Dia harus pergi ke Hoa-san-pai! Hoa-san-pai mempunyai "perhitungan" yang belum beres dengan suhunya, yaitu ketika suhunya bermain cinta dengan seorang murid wanita Hoa-san-pai, kemudian suhunya mencuri pedang pusaka yang kini dilarikan Cui Im pula. Bahkan perhitungan antara gurunya dan Hoa-san-pai itu ditambah perhitungan baru lagi karena kematian Sim Ciang Bi yang sebab-sebabnya ditimpakan kepadanya. Dia harus ke Hoa-san-pai untuk menjelaskan kesemuanya itu dan untuk mendinginkan hati para pimpinan Hoa-san-pai, menghapus permusuhan dan berjanji akan mengembalikan pusaka yang dilarikan Cui Im. Pada waktu ini, Hoa-san-pai diketuai oleh seorang tosu yang sudah amat tua usianya, tidak kurang dari seratus tahun, dan berjuluk Bun Hoat Tosu. Karena amat tua dan tosu ini lebih bersamadhi dan tidak suka lagi mengurus urusan duniawi maka segala urusan dunia terutama yang mengenai urusan Hoa-san-pai dia serahkan kepada dua orang muridnya yang paling dapat diandalkan, yaitu kakak beradik Coa Kiu dan Coa Bu, yang terkenal dengan julukan Hoa-san-Siang-sin-kiam. Kedua orang murid tertua ini dibantu oleh murid-muridnya yang lain yang jumlahnya semua ada sembilan orang. Pada waktu itu, Hoa-san Kiu-lojin (Sembilan Kakek Hoa-san), yaitu murid ketua Hoa-san-pai ini terkenal dan merekalah ynag boleh dibilang menjadi "tiang" Hoa-san-pai. Tentu saja tokoh-tokoh muda yang menjadi anak murid kesembilan orang kakek ini banyak sekali jumlahnya, di antara mereka ada yang menjadi tosu, ada pula ada yang menjadi orang biasa, namun kepandaian mereka juga terkenal karena memang ilmu silat Hoa-san-pai termasuk ilmu silat yang lihai, terutama sekali ilmu pedangnya. Ketika pada pagi hari itu seorang pemuda yang tidak dikenal mendaki lereng Hoa-san-pai menuju ke puncak, gerakan-gerakannya telah dilihat oleh para murid Hoa-san-pai yang kebetulan berada di bagian lereng bawah puncak itu. Segera terdengar suara seorang di antara mereka yang melengking tinggi memberi tanda kepada saudara-saudaranya. Suara ini dikeluarkan dengan pengerahan khikang dan terdengar bergema sampai jauh. Beberapa datik kemudian terdengarlah lengking-lengking yang sama dari beberapa jurusan sebagai jawaban. Pemuda itu adalah Keng Hong. Begitu dia mendengar lengking pertama tadi, dia telah menghentikan langkahnya. Ia maklum bahwa dia berada di daerah kekuasaan Hoa-san-pai, maka dia tidak berani bersikap sembrono dan begitu mendengar lengking yang membuktikan kekuatan sinkang itu dia berhenti untuk duduk di bawah pohon, di atas sebuah batu gunung yang hitam sambil menanti perkembangannya karena dia dapat menduga bahwa tentu kehadirannya telah dilihat oleh orang-orang Hoa-san-pai. Ketika dia mendengar lengking-lengking yang menjawab, dia menghitung. Ada dua belas kali lengking yang menjawab lengking pertama. Diam-diam dia merasa kagum dan tahu bahwa Hoa-san-pai adalah partai persilatan besar yang mempunyai banyak murid pandai. Keng Hong yang menanti di bawah pohon, bersikap tenang. Tidak lama dia karena segera muncul tiga belas orang yang gerakan-gerakannya gesit turun dari puncak di depan menuju ke tempat dia duduk. Mereka terdiri dari tiga orang wanita berusia tiga puluhan tahun dan sepuluh orang pria yang usianya kurang lebih empat puluhan tahun. Sikap mereka amat gagah dan di punggung mereka tampak terselip sebatang pedang. Melihat mereka sudah datang dekat, Keng Hong berdiri menanti sampai mereka tiba di depannya. Ia lalu mengangkat kedua tangan ke depan dadanya sambil menjura dan berkata, "Siauwte Cia Keng Hong mohon diperkenankan menghadap ketua Hoa-san-pai atau para pemimpinnya. Kedua locianpwe Hoa-san Siang-sin-kiam sudah mengenal siauwte." "Cia Keng Hong.....?!" "Srat-srat-sing-singgggg…..!" Hampir semua mulut menyebut nama itu dan seperti komando, tiga belas batang pedang telah terlolos dari sarungnya, berkilauan di tangan ketiga belas orang murid Hoa-san-pai itu. Dengan gerakan lincah namun teratur mereka itu bergerak mengurung dengan sikap mengancam sekali. Keng Hong masih tenang dan dia mengangkat kedua tangannya ke atas sambil berkata, "Harap cu-wi yang gagah perkasa tidak salah sangka. Siauwte datang bukan dengan niat hati buruk, melainkan siauwte sengaja datang untuk menemui para pemimpin Hoa-san-pai dan membersihkan semua urusan gelap yang dahulu timbul. Percayalah, siauwe datang dengan niat hati baik." "Niat baik pulakah dalam hatimu dahulu yang menyebabkan kematian Sim Ciang Bi anak murid Hoa-san-pai?" tiba-tiba seorang di antara tiga orang wanita gagah itu betanya, nadanya mengejek dan marah. "Sama baiknyakah dengan niat hati gurumu yang melarikan anak murid Hoa-san-pai pula, juga mencuri pedang pusaka dan ramuan obat?' seorang murid pria bertanya, nadanya marah. "Guru dan muridnya sama saja! bahkan menurut Coa-twa-supek, muridnyalebih berbahaya. Tidak boleh dipercaya!" teriakan-teriakan ini dengan kacau terdengar dari banyak mulut dan pedang di tangan mereka yang tadi melintangi di depan dada kini telah menodong ke depan, ke arah Keng Hong. Perlahan-lahan tiga belas orang anak urid Hoa-san-pai itu melangkah miring ke kanan, kaki berselang, terbuka lagi, bersilang lagi dan dengan demikian mereka mengitari Keng Hong perlahan-lahan dalam jarak tiga meter dari pemuda yang berada di tengah-tengah lingkaran itu. Keng Hong yang masih berdiri biasa, tidak menggerakkan tubuh dan dia menghela napas panjang. Kembali niat baiknya jatuh di tempat yang salah, datang-datang dia disambut tiga belas batang pedang telanjang yang menodongnya! "Cu-wi adalah murid-murid gagah dari sebuah perkumpulan besar. Kalau siauwte diam tak bergerak, tidak melawan sama sekali, apakah cu-wi tetap akan menyerangku dengan senjata cu-wi itu?" Seorang di antara mereka yang tertua, seorang tosu berjenggot panjang, menjawab, "Tentu saja! Engkau adalah musuh besar Hoa-san-pai dan kami seluruh anak murid Hoa-san-pai dapat dicuci dengan darahmu!" Keng Hong menggelengkan kepalanya. Jelas bahwa mereka ini adalah orang-orang yang memiliki watak gagah. Buktinya sejak tadi mereka hanya mengurung dan mengancam saja karena dia tidak pernah bergerak melawan. Akan tetapi, dendam membuat orang gagah menjadi gelap akal budinya, nafsu telah menguasai kesadaran mereka. Kiranya tidak akan ada gunanya kalau dia berusaha untuk bicara dengan mereka yang hanya memenuhi tugas dan dikuasai nafsu dendam itu. Maka dia lalu berkata, "Kalau siuwte diam saja cu-wi tetap akan membunuhku. Hemmm, padahal kalau siauwte menghendaki, dengan mudah dan siauwte dapat bersikap seperti cu-wi dan dalam waktu singkat siauwte dapat membunuh cu-wi sekalian. Akan tetapi kedatanganku ini mengandung niat hati yang baik, maka kalau cu-wi memaksa hendak membunuh siauwte terpaksa siauwte akan melucuti senjata cu-wi sekalian. Kalau siauwte berhasil, siauwte tentu akan menyerahkan diri dan harap cu-wi sudi membawa siauwte menghadap ketua Hoa-san-pai. Bagaimana?" Wajah ketiga belas orang itu menjadi merah karena marah dan penasaran. Tosu berjenggot panjang itu mengerutkan kening. Boleh jadi mereka semua bukanlah orang yang terlalu lihai, akan tetapi kedudukan mereka di Hoa-san-pai adalah murid-murid tingkat dua, jadi menduduki tingkat pertama sesudah ketua Hoa-san-pai yang sudah tua. Masa kini dengan tiga belas orang menghadapi pemuda murid Sin-jiu Kiam-ong ini, dalam waktu singkat pemuda ini akan mampu melucuti senjata mereka? "Baiklah, pemuda yang sombong! Kami berjanji, kalau engkau dapat melucuti senjata kami, kami akan membawamu menghadap guru-guru kami." Keng Hong mencurahkan perhatiannya, kedua kakinya masih berdiri biasa, dan dia berkata, "Kalau begitu, majulah dan seranglah saya!" Akan tetapi tiga belas orang itu tidak ada yang bergerak menyerangnya, hanya kembali melanjutkan gerakan kaki mereka melangkah miring yang tadi dihentikan ketika mereka bicara. Hanya pedang yang menodongnya kini ditarik kembali melintang di depan dada. Keng Hong kagum bukan main. Ternyata murid-urid Hoa-san-pai ini amat hati-hati dan agaknya terlatih baik. Kini mereka bersikap untuk bertahan atau mempertahankan senjata mereka agar tidak terampas, dan mereka menanti dia melakukan gerakan lebih dulu! Dari sikap mereka, tahulah dia bahwa tiga belas orang ini memiliki ilmu pedang yang lebih lihai dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Agak berbahaya kalau dia melucuti mereka dengan tangan kosong, kalau dia menggunakan Siang-bhok-kiam yang tersembunyi di balik bajunya tentu akan lebih mudah. Akan tetapi dia harus dapat menundukkan hati mereka, maka akan lebih mengesankan kalau dia dapat melucuti mereka dengan tangan kosong. Kiranya hanya ilmu pedang mereka yang lihai dan kalau dia menggunakan kekuatan sinkang tentu akan berhasil! "Cu-wi, awas seranganku!" Tiba-tiba tubuhnya membalik ke kiri melakukan pukulan dengan tangan ke arah seorang laki-laki tinggi besar dan yang cepat menggelebatkan pedang embacok lengannya, dibantu oleh dua orang di kanan kirinya yang juga membacok lengan itu. Mereka bertiga ini bekerja sama, sekaligus menangkis dan mengancam untuk membabat putus lengannya. Akan tetapi tiba-tiba Keng Hong membalikkan tubuh secepat kilat sehingga tidak tersangka-sangka oleh semua penggeroyoknya dan benar saja dugaannya. Pada saat tiga orang yang berada di depannya itu menangkis, yang sepuluh orang di belakangnya telah menggerakkan pedang, ada yang menusuk dan ada yang membacok. Sambil membalikkan tubuhnya itu, kedua tangannya mendorong ke depan sinkang yang amat kuat. Angin dorongan kedua tangannya seperti angin taufan meniup dan sepuluh orang itu terhuyung ke belakang sambil mengeluarkan seruan kaget. Karena keadaan mereka kacau balau karena kaget ini, mereka menjadi makin panik ketika tiba-tiba ada bayangan putih berkelebatan di depan mereka. Seorang demi seorang merasa lengan kanan mereka lumpuh dan tahu-tahu edang mereka telah terampas oleh Keng Hong. Pemuda lihai ini cepat membalik ketiga orang yang kini berada dibelakangnya itu berseru keras sambil menyerang nekat melihat saudara-saudaranya sudah dirampas pedangnya. Keng Hong menggunakan sebuah pedang rampasan, yang sembilan buah dipondong di lengan kiri, menangkis sambil mengerahkan tenaga. "Trang-trang-trang!" Tiga batang pedang di tangan tiga orang murid Hoa-san-apai itu terlempar ke atas. Keng Hong meloncat ke atas, memutar pedang rampasan yang dipakai menangkis tadi, terus diputar menerima tiga batang pedang yang melayang turun dan.....pedang-pedang itu seperti melekat pada pedangnya, ikut berputar, kemudian dia ambil dengan cara melepaskan empat batang pedang itu semua kini telah berada dalam pondongan lengan kirinya!" Tiga belas orang anak murid Hoa-san-pai memandangnya dengan muka pucat dan mata terbelalak, mulut ternganga. Bagi mereka, sungguh merupakan keajaiban betapa pemuda itu sedemikian mudahnya merampas pedang mereka tanpa mereka sangka, dan bahkan mereka tidak sempat melihat bagaimana tiba-tiba lengan mereka menjadi lumpuh dan pedang mereka terlepas! Sesungguhnya, ilmu pedang ketiga belas orang ini sudah hebat, dan andaikata Keng Hong hanya mengandalkan ilmu silat, sungguhpun dia telah mempelajari ilmu silat-ilmu silat tinggi peninggalan suhunya dan disempurnakan dengan ilmu dalam kitab Thai-kek Sin-kun kiranya tidak akan mudah baginya untuk menangkan pengeroyokan itu dalam waktu singkat. Bahkan agaknya dia baru akan dapat merampas pedang setelah merobohkan mereka, sedikitnya melukai mereka. Akan tetapi pemuda yang cerdik ini mempergunakan sinkangnya yang amat hebat itu dapat membuat lawannya terhuyung dan kacau, kemudian mempergunakan kecepatan gerakan yang didasari ginkang tinggi, merampas pedang dan menotok pundak! "Telah siauwte katakan bahwa siauwte tidak datang untuk bermusuhan, maka siauwte persilakan Cu-wi menerima kembali pedang masing-masing dan sudilah mengantarkan siauwte naik menghadap ketua Hoa-san-pai." Lengannya tidak bergerak, akan tetapi ketiga belas batang pedang itu mendadak seperti hidup dan terbang kepada ketiga belas orang murid Hoa-san-pai yang menjadi kaget dan cepat menangkap pedang-pedang itu. Sambil memandang penuh kaget, kagum dan jerih, mereka menyarungkan kembali pedang mereka dan tosu berjenggot panjang berkata, "Baiklah, kami tidak akan melanggar janji, mari kami antar menghadap guru-guru kami." Keng Hong menjura penuh hormat dan berkata dengan sikap merendah sehingga dengan sendirinya menghapus sebagian besar rasa penasaran dan kemarahan mereka yang menyangka pemuda yang sudah menang itu tentu akan bersikap sombong, "Silakan, cu-wi, kalau cu-wi meragukan niat baikku, biarlah siauwte berjalan di tengah sehingga menjadi orang tangkapan cu-wi." Karena dia bicara dengan jujur, bukan mengejek, tiga belas orang itu tidak tersinggung dan beramai mereka lalu mengawal Keng Hong yang berjalan di tengah naik ke puncak." Makin tinggi ke puncak, makin banyaklah anak murid Hoa -san-pai yang kini mengikuti rombongan ini dan ramai mereka membicarakan pemuda yang mereka kawal, pemuda yang semenjak dahulu di anggap musuh besar Hoa-san-pai, akan tetapi yang kini datang sendiri dengan "niat baik". Mereka ingin sekali melihat apakah yang akan terjadi kalau pemuda ini berhadapan dengan guru-guru mereka. Seorang murid telah lebih dahulu melaporkan ke atas. Ketika kedua orang kakek Coa mendengar bahwa Cia Keng Hong datang minta menghadap, dan menundukkan tiga belas orang murid yang bersenjata pedang dengan jalan kosong, mereka berdua bersama tujuh orang sute mereka lalu siap mengadakan penyambutan di dalam ruangan lebar yang biasanya dipergunakan sebagai tempat berlatih. Mengingat akan pentingnya persoalannya yang mereka hadapi, yang menyangkut nama baik Hoa-san-pai, apalagi mengingat bahwa yang datang adalah murid Sin-jiu Kiam-ong yang dahulu ketika merampas pedang pernah mengalahkan guru mereka, maka kedua orang kakek she Coa ini memberitahukan pula kepada guru mereka yang sedang bersamadhi di dalam kamarnya. Mendengar laporan dua orang muridnya, Bun Hoat Tosu yang tua itu menangguk-angguk dan berkata, "Dia sudah datang, itu baik sekali, apa pun yang dikehendakinya, kita harus menyambutnya dan menyelesaikan segala urusan. Tidak baik hati mengandung dendam yang tidak terselesaikan, hal itu akan meracuni hati sendiri." Maka keluarlah kakek tua ini dengan bertongkat, menuju ke ruangan lian-bu-thia ini. Keng Hong merasa hatinya gentar dan kagum. Ruangan itu luas, akan tetapi kini dikelilngi pagar hidup berupa anak murid Hoa-san-pai yang berdiri dengan disiplin baik, tidak ada yang bicara, namun dengan sikap siap siaga dan penuh kewaspadaan semua mata ditujukan kepadanya. Jumlah anak murid yang berkumpul disitu dia taksir kurang dari seratus orang! Ketika dia memandang ke dalam ruangan, dia melihat seorang kakek tua sekali duduk memegangi tongkat dari akar cendana berbentuk naga didampingi Hoa-san Siang-sin-kiam dan tujuh orang tosu lain yang kesemuanya bersikap gagah dan keren. Diam-diam Keng Hong berdoa dalam hatinya semoga dia akan berhasil dalam menyelesaikan urusan dengan Hoa-san-pai secara damai. Kalau dia gagal sangat boleh jadi dia akan tewas di tempat ini! Para pengawalnya berhenti di luar ruangan dan menggabung dengan murid-murid lain yang berdiri mengelilingi ruangan itu diluar. Keng Hong melangkah maju dengan sikap hormat sampai terpisah kira-kira lima meter dari ketua Hoa-san-pai dan sembilan orang Hoa-san Kiu-lojin, kemudian dia menjura dan membungkuk sampai dalam sampai berkata, "Boanpwe (saya yang rendah) Cia Keng Hong, menghaturkan hormat kepada Locianpwe yang mulia sebagai pimpinan Hoa-san-pai." Suasana hening sekali setelah dia bicara itu sehingga andaikata ada sebatang jarum jatuh ke lantai tentu akan terdengar nyata. "Cia Keng Hong, apakah kehendakmu mendatangi Hoa-san-pai?" terdengar suara Coa Kiu yang nyaring dan penuh wibawa. Keng Hong mengarahkan pandang matanya kepada kakek itu dan sejenak pandang mata mereka bertemu. Sinar mata kakek itu penuh selidik dan mengandung kemarahan, akan tetapi Keng Hong memandang dengan ramah dan tenang. "Coa-locianpwe, saya sengaja menghadap untuk bicara dengan ketua Hoa-san-pai." Ia melirik ke arah kakek tua yang belum pernah dia kenal itu. "Siancai.... bicaramu menarik seperti Sin-jiu Kiam-ong. Wajah dan sikapmu mengingatkan pinto akan Sie Cun Hong. Orang muda, pinto adalah ketua Hoa-san-pai, Engkau hendak bicara apa?" "Maafkan saya, Locinpwe. Saya amat berterima kasih bahwa Locianpwe sudi menerima saya yang muda dan bodoh dan sudi memberi kesempatan kepada saya untuk bicara. Hati saya selamanya tidak akan tenteram kalau belum bicara urusan yang timbul antara mendiang suhu dan saya sendiri dengan Hoa-san-pai, dan besar harapan saya bahwa Locianpwe akan cukup bijaksana untuk membicarakan semua kesalahfahaman itu sehingga segala bentuk permusuhan dapat dihabiskan sampai disini saja. "Enak saja bicara! Dosa gurumu dan engkau sudah bertumpuk-tumpuk setinggi langit, minta didamaikan bagaimana?" bentak Coa Bu dengan suara marah. Bun Hoat mengangkat tangan ke arah muridnya itu dan tersenyum, kemudian memandang kepada Keng Hong sambil mengangguk-angguk. "Orang muda, engkau pandai bicara. Coba teruskan bicaramu. Bagaimana engkau akan mengusulkan tentang segala perbuatan yang telah dilakukan gurumu dan engkau sendiri?" Keng Hong masih bersikap tenang. Ia maklum bahwa segala keputusan tergantung kepada kebijaksanaan kakek tua itu, maka dia harus dapat menundukkan kakek ini dengan kata-kata yang tepat karena kalau dia gagal, dia akan menghadapi ancaman maut di tempat ini. "Locianpwe. Untuk menelaah urusan ini, sebaiknya kalau perkaranya sendiri dibicarakan. Maaf, bukan maksud saya untuk mendongkel-dongkel kembali urusan lama. Akan tetapi, karena yang menjadi mula-mula urusan ini adalah perbuatan guru saya terhadap Hoa-san-pai, maka sebaiknya kalau saya membicarakan urusan guruku itu. Kalau saya tidak salah mendengar cerita suhu dahulu, permusuhan antara suhu saya dan Hoa-san-pai terjadi karena seorang murid wanita Hoa-san-pai lari bersama suhu..." "Dilarikan! Dicuri!" Coa Kiu memotong. Keng Hong tersenyum memandang wajah ketua Hoa-san-pai. "Benarkah dilarikan dengan paksa, Locianpwe?" Menurut sepanjang pendengaran saya, suhu tidak pernah memaksa seorang wanita..." Bun Hoat Tosu mengelus jenggotnya yang putih seperti benang perak. "Memang lari bersama Sie Cun Hong karena dibujuk omongan manis, akan tetapi dilarikan secara paksa." "Demikianlah, baik dilarikan maupun lari secara suka rela, akan tetapi seorang murid wanita Hoa-san-pai pergi bersama suhu. Dan urusan ke dua, suhu mengambil sebuah pedang Hoa-san-pai juga ramuan obat." Kakek itu mengangguk-angguk. "Locianpwe, semua perbuatan suhu memang bersalah, akan tetapi karena beliau telah meninggal dunia, apakah sepatutnya dia dikejar-kejar terus, dan apakah sudah semestinya kalau muridnya juga harus memikul dosanya?" "Urusan murid wanita dan ramuan obat, karena murid itu sudah meninggal dan obat itu sudah habis, tidak perlu dibicarakan, orang muda. Akan tetapi pedang pusaka itu tidak bisa lenyap dan tentu jatuh ke tanganmu. Pedang itu harus dikembalikan kepada Hoa-san-pai." Keng Hong mengangguk. "Tepat dan adil sekali, dan sudah semestinya begitu, Locianpwe. Akan tetapi pedang pusaka Hoa-san-pai itu telah dicuri oleh Bhe Cui Im, murid Lam-hai Sin-ni!" "Ahhhhh...!" Seruan ini keluar dari mulut sembilan orang murid Hoa-san-pai, dan hanya ketua itu yang masih tenang sikapnya. "Saya sebagai murid Sin-jiu Kiam-ong, merasa berkewajiban untuk menebus kesalahan suhu dan saya bersumpah untuk mencari dan merampas kembali pokiam itu, di kemudian hari pasti akan saya haturkan kepada Locianpwe di sini!" "Apakah sumpahmu akan kau penuhi, orang muda?" "Locianpwe, kalau saya tidak akan memenuhi sumpah saya, untuk apa saya datang menghadap Locianpwe untuk bersumpah? Kalau saya tidak memenuhi janji mengembalikan pedang, tentu saya tetap dianggap musuh besar Hoa-san-pai, padahal kedatangan saya menghadap Locianpwe ini justru hendak melenyapkan segala macam permusuhan." Kembali kakek itu mengangguk-angguk dan hati Keng Hong merasa lega karena agaknya urusan yang menyangkut suhunya sudah dapat dia bereskan, sungguhpun belum lenyap, namun sedikitnya telah mendinginkan permusuhan itu dan meredakan kemarahan Hoa-san-pai terhadap suhunya. "Sekarang bagaimana pertanggung jawabmu tentang perbuatanmu sendiri orang muda? Pinto mendengar laporan-laporan yang amat tidak menyenangkan hati, dan amat tidak baik." Kini tosu tua itu memandangnya dan diam-diam Keng Hong terkejut melihat betapa sepasang mata tua di balik bulu mata yang putih itu menyorot seperti kilat menyambar. Ah, kakek ini amat hebat dan akan merupakan lawan yang amat berbahaya, pikirnya dengan hati berdebar. "Maaf, Locinpwe. Lebih baik saya bicara terus terang terhadap Locianpwe yang bijaksana. Saya mengaku bahwa memang saya telah melakukan hubungan cinta dengan mendiang Sim Ciang Bi murid wanita Hoa-san-pai. Akan tetapi hal ini merupakan urusan antara seorang pria dan seorang wanita yang melakukannya atas kehendak dan kerelaan sendiri tanpa ada yang memaksa, merupakan suatu kejadian wajar dan lumrah kalau terjadi antara seorang pria dan seorang wanita yang saling tertarik dan saling suka...." "Hubungan gelap! Hubungan kotor, hubungan karena dorongan nafsu berahi!" Tiba-tiba Coa Bu tokoh Hoa-san Siang-sin-kiam yang lebih muda, membentak marah. Dengan tenang dan sabar Keng Hong memandang kakek itu, tersenyum pahit dan berkata, "Terserahlah apa yang Totiang katakan atas hubungan anak-anak manusia muda yang belum mampu mengendalikan dirinya itu. Akan tetapi, hubungan kotor atau bersih, gelap maupun terang, hal itu adalah urusan saya dan Sim Ciang Bi sendiri, tidak ada sangkut pautnya dengan Hoa-san-pai sama sekali. Ataukah... ada peraturan istimewa di Hoa-san-pai yang mengikat sehingga setiap orang anak murid Hoa-san-pai tidak dapat bebas lagi dalam segala hal mengenai pribadinya, sehingga untuk memilih pacar sekalipun harus ditentukan oleh tokoh-tokoh Hoa-san-pai yang duduk di pimpinan seperti JI-wi Totiang dari Siang-sin-kiam?" "Hemmm, Cia Keng Hong, hati-hati menjaga mulutmu!" Coa Kiu membentak dengan muka merah. Ketua Hoa-san-pai dan Bun-Hoat Tosu mengangkat tangannya dan berkata, "Siancai... Benar-benar mewarisi kepandaian bersilat lidah dari Sie Cun Hong, anak ini! Akan tetapi, ada benarnya apa yang diucapkan. Eh, orang muda, pinto dapat menerima alasanmu bahwa apa yang terjadi antara engkau dan murid Sim Ciang Bi adalah urusan pribadi kalian orang-orang muda. Akan tetapi, bagaimana engkau dapat membela dirimu tentang kematian murid kami itu?" "Saya bersumpah bahwa saya tidak membunuh Sim Ciang Bi, Locianpwe." "Memang, tidak membunuh dengan tanganmu, akan tetapi dengan perbuatanmu. Dia mati dalam pelukanmu dan kalau engkau tidak bermain cinta dengan dia, dia tidak akan mati terbunuh iblis betina yang merasa cemburu. Hayo, bantahlah kalau bisa!" Coa Kiu membentak lagi. "Maaf, Totiang. Tidak ada kematian tanpa sebab, akan tetapi ada sebab langsung yang disengaja. Kalau saya dianggap sebab kematian Sim Ciang Bi maka saya hanya merupakan sebab tidak langsung dan tidak saya sengaja. Saya tidak berniat membunuh dia dan kalau kenyataannya dia dibunuh orang selagi berada dalam pelukanku, hal itu hanya kebetulan saja. Sebab yang langsung berada di tangan Bhe Cui Im, karena dialah yang membunuh Ciang Bi dan saya berjanji akan membuat perhitungan dengan Cui Im." Bun Hoat Tosu mengangguk-angguk. "Bagus, engkau pandai membela diri dan memang pembelaanmu dapat diterima. Setelah mendengar semua alasan-alasan yang kau kemukakan, kami dari fihak Hoa-san-pai akan ditertawai dunia kang-ouw kalau masih hendak menyalahkanmu. Kiranya yang menjadi biang keladi dari kesemuanya ini adalah murid Lam-hai Sin-ni yang bernama Bhe Cui Im itu. Ahhh, betapa aneh peristiwa yang bermunculan di dunia kang-ouw sekarang ini. Selain muncul engkau sebagai murid Sin-jiu Kiam-ong yang cukup menghebohkan, muncul pula Bhe Cui Im yang menggegerkan dunia, bahkan namanya kini menjulang tinggi melampaui nama gurunya. Siapakah yang tidak mengenal dia yang kini berjuluk Ang-kiam Bu-tek, yang telah banyak membunuh tokoh besar dunia kang-ouw? Entah dari mana ia mendapatkan ilmu kepandaian tinggi, kabarnya lebih tinggi daripada Lam-hai Sin-ni sendiri. Orang muda, dia bersama murid Go-bi Chit-kwi yang berjuluk Jai-hwa-ong kini telah menjadi jago-jago nomor satu dari barisan pengawal kaisar, tahukah engkau?" Keng Hong terkejut. "Ahhh! Begitukah, Locianpwe? Baru sekarang saya mendengar dan terima kasih atas petunjuk Locianpwe. Sekarang juga boanpwe akan pergi ke kota raja mencarinya, selain untuk merampas kembali semua kitab dan pusaka yang dicurinya, juga untuk menghukumnya atas segala perbuatan jahatnya sehingga menyeret saya ke dalam jurang permusuhan dari semua orang gagah." Keng Hong sudah menjura dengan hormat dan siap hendak berangkat, akan tetapi tiba-tiba Coa Kiu dan Coa Bu, Hoa-san Siang-sin-kiam telah meloncat maju dan Coa Kiu berkata, "Tunggu dulu, Cia Keng Hong." Keng Hong berhenti dan membalikkan tubuh, berdiri tegak menanti dengan tenang apa yang dikatakan dua orang tosu yang dia tahu masih merasa penasaran bahwa dia dibebaskan secara demikian mudah oleh ketua Hoa-san-pai, kemudian Coa Kiu berkata, "Harap Suhu tidak mudah dibohongi pemuda yang pandai membujuk ini. Harap Suhu memperkenan teecu bicara dengan dia sebelum dia pergi meloloskan diri." "Asalkan kau dapat menjaga agar Hoa-san-pai selalu bertindak berdasarkan kebenaran, lakukanlah apa yang kau kehendaki dari pemuda ini," jawab ketua Hoa-san-pai dengan sabar. Sepasang Pedang Sakti dari Hoa-san-pai melangkah maju menghadapi Keng Hong, dan Coa Kiu berkata, "Cia Keng Hong, engkau telah berjanji untuk mencari Ang-kiam Bu-tek, merampas kembali pedang pusaka Hoa-san-pai dan menggembalikan kepada kami, kami juga menghukum Ang-kiam Bu-tek, atas semua perbuatannya. Benarkah itu?" "Benar, Locianpwe. Dan sekali lagi untuk melakukan hal yang Locianpwe sebutkan tadi." "Cia Keng Hong, apakah engkau cukup memiliki ilmu kepandaian untuk mengalahkan Ang-kiam Bu-tek?" Keng Hong tersenyum. Ia adalah seorang yang amat cerdik dan pertanyaan ini sudah cukup baginya untuk mengetahui apa yang dikehendaki Hoa-san Siang-sin-kiam,maka dia menjawab tanpa ragu-ragu, "Saya merasa yakin bahwa saya akan dapat mengalahkan dia, Locianpwe." "Bocah sombong! Kalau engkau tidak dapat membuktikan sekarang juga di depan Hoa-san-pai, maka jelaslah bahwa engkau tadi telah menipu kami dengan kata-kata manis, muluk-muluk dan kosong belaka!" kata pula Coa Kiu, suaranya mengandung kemenangan. Keng Hong mengerti, akan tetapi pura-pura tidak mengerti dan bertanya, "Apa yang Locianpwe maksudkan?" "Nama Ang-kiam Bu-tek menjadi buah percakapan di dunia kang-ouw. Dia telah membunuh Thian Ti Hwesio dan Sin-to Gi-hiap, merobohkan banyak sekali tokoh kang-ouw yang berilmu tinggi.." "Saya dapat menambah lagi, Locianpwe," kata Keng Hong memotong kata-kata Coa Kiu, "Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im itu bahkan telah membunuh bekas gurunya sendiri, Lam-hai Sin-ni." Semua orang kaget, bahkan Bun Hoat Tosu sendiri nampak tercengang. Coa Kiu melanjutkan ucapannya, "Nah, hal itu membuktikan bahwa ilmu kepandaian Ang-kiam Bu-tek benar-benar hebat dan jelas tingkat kepandaiannya melebihi tingkat kepandaian Hoa-san Siang-sin-kiam. Kami sendiri agaknya tidak akan mampu menandinginya. Akan tetapi engkau telah menyatakan keyakinanmu untuk mengalahkannya. Dapatkah engkau membuktikan kata-katamu itu sekarang juga?" Keng Hong masih berpura-pura tidak mengerti. "Membuktikan dengan cara bagaimana, Locianpwe?" "Dengan cara mengalahkan Hoa-san Sian-sin-kiam! Jelas bahwa kepandaian kami masih lebih rendah daripada Ang -kiam Bu-tek, maka kalau engkau sudah merasa yakin akan dapat mengalahkan dia, tentu engkau pun harus dapat mengalahkan kami. Sebaliknya, kalau terhadap kami saja engkau berani membohongi guru kami bahwa engkau akan dapat mengalahkan Ang-kiam Bu-tek?" Keng Hong pura-pura kaget dan bingung kemudian dia menghadap ketua Hoa-san-pai sambil berkata, "Mohon pertimbangan Locianpwe mengenai tantangan Hoa-san Siang-sin-kiam ini. Locianpwe, saya datang menghadap Locianpwe dengan niat untuk menghabiskan segala permusuhan dan kesalahfahaman yang ada di antara kita, bagaimana mungkin saya berani menghadapi dua orang tokoh besar Hoa-san-pai dalam pertandingan? Bukankah hal ini akan membuat usaha dan niat baik boanpwe menjadi sia-sia belaka?" Bun Hoat Tosu tersenyum dan berkata, "Tidak mengapa, orang muda. Apa yang diusulkan oleh kedua orang muridku memang benar, bukan sekali-kali untuk mengujimu karena tidak percaya. Engkau adalah murid tunggal Sin-jiu Kiam-ong tentu memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Akan tetapi, bagaimana hati kami sepeninggalmu akan dapat tenang dan yakin bahwa pusaka Hoa-san-pai akan dapat dikembalikan kalau kami tidak menyaksikan lebih dulu kelihaianmu. Harap jangan sungkan Hoa-san-pai akan dapat dikembalikan kalau kami tidak menyaksikan lebih dulu kelihaianmu. Harap jangan sungkan dan perlihatkanlah kepandaianmu dan keampuhan Siang-bhok-kiam kepada kami." Keng Hong menjadi kagum. Ketua Hoa-san-pai ini benar-benar bijaksana. Jawabannya sekaligus menyadarkan kedua orang muridnya bahwa pertandingan ini hanya merupakan ujian, dan sekaligus menarik kesempatan untuk menyaksikan kehebatan Siang-bhok-kiam dan ilmu pedangnya. Ia pun kagum bahwa kakek tua renta ini sudah tahu bahwa dia membawa Pedang Kayu Harum itu, padahal pedang itu dia sembunyikan di balik jubahnya. Ia cepat memberi hormat dan berkata, "Baiklah kalau begitu, Locianpwe Ji-wi Hoa-san Siang-sin-kiam, saya telah siap menerima pelajaran Ji-wi!" Lega hati kedua tokoh Hoa-san-pai itu. Mereka selalu merasa penasaran dan hal ini akan menganggu hati mereka kalau mereka belum mencoba kelihaian murid tunggal Sin-jiu Kaim-ong, yang selama beberapa tahun ini membuat mereka, seperti juga tokoh-tokoh lain di dunia kang-ouw, menjadi lelah badan dan kesal pikiran. Sudah bertahun-tahun mereka ikut mengejar Keng Hong tanpa hasil, kini setelah pemuda itu uncul sendiri, malah dibebaskan sedemikian mudahnya. Mereka tentu akan penasaran dan gelisah kalau belum menguji kepandaian pemuda ini yang oleh guru mereka kini tidak dianggap musuh lagi, melainkankan sahabat yang hendak mencarikan kembali pedang pusaka Hoa-san-pai! Kedua orang kakek itu melangkah ke tengah ruangan, dikuti pandang mata ketua Hoa-san-pai dan tujuh orang murid kepala lain yang menjadi adik-adik seperguruan Hoa-san Siang-sin-kiam. Juga para murid yang berkumpul mengelingi ruangan itu memandang dengan hati tegang, akan tetapi juga ada rasa gembira di hati mereka karena seperti semua ahli silat di dunia ini, pertandingan yang paling menarik, apalagi bagi mereka itu yang kini disuguhi pertandingan hebat dengan majunya Hoa-san Siang-sin-kiam melawan seorang pemuda murid Sin-jiu Kiam-ong yang terkenal. Karena merasa bahwa mereka berdua maju untuk menguji, apalagi karena maklum atau dapat menduga akan kelihaian pemuda ini, maka Siang-sin-kiam mengusir rasa sungkan di hati akan kenyataan bahwa mereka sebagai tokoh-tokoh besar Hoa-san-pai kini hendak mengeroyok seorang pemuda yang patut menjadi cucu murid mereka! "Sing! Sing!" tampak sinar berkilat menyilauan mata ketika kakak beradik ini mencabut pedang mereka. Mereka sudah berdiri berdampingan dan memasang kuda-kuda yang sama, dengan pedang di tangan kanan melintang di depan dada, tangan kiri diangkat ke atas kepala dengan jari-jari disatukan menuding ke langit, lutut kaki kanan ditekuk depan kaki kiri, mata mereka menatap tajam kepada Keng Hong. Keng Hong maklum bahwa dua orang kakek ini amat lihai ilmu pedangnya. Kalau tidak demikian masa mereka mendapat julukan Hoa-san Siang-sin-kiam? Mereka merupakan murid-murid utama dari Hoa-san-pai dan berkedudukan tinggi. Untuk dapat menimbulkan kesan baik dan membuktikan kesanggupannya, dia harus dapat mengalahkan mereka. Akan tetapi mengalahkan mereka tanpa melukai, karena kalau hal ini terjadi tentu akan menimbulkan lagi perasaan bermusuh. Dia mengerti pula bahwa sekali ini, dia bertanding melawan dua orang lihai di bawah pengawasan mata yang tajam dari ketua Hoa-san-pai dan tujuh orang murid kepala yang lain, maka sudah tentu saja dia tidak berani main-main dan berpura-pura karena hal ini kalau sampai ketahuan tentu menimbulkan kesan seolah-olah dia memandang rendah Hoa-san-pai. Jalan satu-satunya harus mengalahkan mereka dengan ilmu pedang yang lebih tinggi, dan hanya Siang-bhok-kiam sajalah yang kiranya akan dapat menundukkan Sepasang Pedang Sakti ini. "Maafkan saya!" katanya dan tangannya meraba ke dalam jubahnya. Di lain saat dia sudah mencabut Siang-bhok-kiam dan yang tampak hanya sinar hijau berkelebat berbareng tercium bau yang harum. "Siang-bhok-kiam....!" Terdengar bisikan-bisikan yang hampir berbareng keluar dari mulut murid-murid Hoa-san-pai sehingga bisikan yang dilakukan banyak mulut murid-murid Hoa-san-pai sehingga bisikan yang dilakukan banyak mulut itu menjadi tidak lirih lagi. Setelah sinar hijau lenyap, yang tampak hanya sebatang pedang kayu di tangan Keng Hong, dan sebagus-bagusnya pedang kayu, tentu tidaklah seindah dan segagah pedang baja. Namun, begitu melihat pedang itu terpegang di tangan Keng Hong dan melihat pemuda itu membuat gerakan kuda-kuda pembukaan, Siang-sin-kiam mengikuti dengan pandang mata tajam dan penuh kewaspadaan. Gerakan kuda-kuda Keng Hong adalah gerakan pemubukaan Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut yang luar biasa. Kedua kaki pemuda itu, terpentang dengan lutut di tekuk ke depan, Pedang Kayu Haru mula-mula menuding ke langit dari atas kepala lalu perlahan-lahan melingkari leher terus turun menuding bumi di depan kaki, sedangkan tangan kiri membentuk lingkaran dan berakhir di depan dada dengan sikap menyembah, tangan miring dan jari terbuka rapat. "Cia Keng Hong, jaga serangan kami!" Coa Kiu berseru keras dan tiba-tiba dia dan Coa Bu sudah menerjang maju, pedangnya menusuk leher dan pedang adiknya menusuk pusar. "Trang-trang..!" Pedang Kayu Harum sudah menangkis kedua pedang itu sekaligus sehingga kedua pedang itu terpental. Namun kakak beradik Coa itu adalah ahli-ahli pedang yang kenamaan dan banyak pengalaman. Sungguhpun dari getaran yang melalui pedang mereka itu jelas membuktikan bahwa tenaga sinkang pemuda ini seperti yang sudah mereka ketahui, amat kuat, namun pedang mereka yang terpental itu mereka ikuti dengan tubuh, dan mereka kini berpencar ke kanan kiri. Cepat sekali datangnya penyerangannya itu, pedang Coa Kiu membabat kaki sedangkan pedang Coa Bu menusuk lambung. "Sing-singggg...!" Keng Hong tetap tenang ,kakinya meloncat ke depan, tubuhnya membalik, sinar hijau Siang-bhok-kiam membabat ke kanan kiri menangkis. "Cring-cring...!" Kembali dua kakek itu memutar tubuh karena pedang mereka terpental, kini mereka saling berdekatan, pedang mereka diputar membentuk gulungan dua sinar yang menyilaukan, makin lama makin cepat dan dua gulungan sinar itu kini bersatu, menjadi segulung sinar yang tebal dan kuat, kemudian tubuh ereka berkelebat lenyap dan yang tampak hanyalah sinar pedang tebal meluncur ke arah Keng Hong. Pemuda ini maklum bahwa "penyatuan" sinar pedang dua kakek ini amat berbahaya dan inilah agaknya yang membuat nama Sepasang Pedang Sakti amat terkenal. Ia pun lalu mengerahkan tenaganya, mempercepat pemutaran pedang Siang-bhok-kiam sehingga bayangan tubuhnya terbungkus sinar hijau yang meluncur dan menyambut sinar pedang putih yang mengeluarkan suara bercuitan itu. Terjadilah pertandingan ilmu pedang sakti, yang tampak hanya gulungan putih dan hijau, suara bercuitan dan berdesing-desing diselingi suara "crang-cring-trang-trang!" dan tampak bunga api kadang-kadang muncrat berhamburan. Setelah bertanding selama empat lima puluh jurus, Keng Hong maklum bahwa kalau dia menghendaki, dengan mudah dia akan dapat erobohkan dua orang kakek ini. Akan tetapi dia tidak mau menyakitkan hati atau membuat malu dua orang kakek yang sudah memiliki nama besar di dunia kang-ouw ini. Maka dia bersuit nyaring dan gerakannya dipercepat. Gulungan sinar pedang berwarna hijau menjadi terang dan lebih panjang, membentuk lingkaran-lingkaran aneh dan terus enghimpit dan membelit gulungan puti kedua kakek itu. Kini tampak betapa Hoa-san Siang-sin-kiam terdesak hebat dan hal ini dapat diikuti dengan pandang mata dan jelas oleh Bun Hoat Tosu dan para muridnya sehingga mereka menjadi kagum sekali. Akan tetapi para murid Hoa-san-pai yang berdiri di luar ruangan itu, yang ilmu kepandaiannya belum mencapai tingkat setinggi itu dan belum memiliki ketajaman penglihatan sehingga dapat mengikuti kecepatan sinar pedang, tidak dapat mengikuti kecepatan sinar pedang, tidak dapat melihat tiga orang yang bertanding, hanya melihat gulungan-gulungan sinar pedang. Bagi mereka, pertandingan ini merupakan pertandingan hebat yang menegangkan di mana mereka melihat betapa gulungan sinar pedang putih tidak sehebat tadi bahkan kadang-kadang terpecah menjadi dua bersatu lagi, terpecah lagi bahkan kadang -kadang terpisah makin jauh, keduanya digulung oleh sinar pedang hijau. "Ji-wi Locianpwe, maafkan saya!" Tiba-tiba terdengar seruan Keng Hong dan tampaklah dua orang kakek itu meloncat ke kanan kiri dengan muka pucat dan tanpa memegang pedang, sedangkan Keng Hong berdiri di tengah-tengah dengan pedang Siang-bhok-kiam diputar-putar sedangkan dua batang pedang milik kakek itu menempel dan ikut berputar di ujung Siang-bhok-kiam, kemudian tiba-tiba dua batang pedang itu mencelat dan meluncur ke arah pemiliknya masing-masing! Coa Kiu dan Coa Bu menyambut pedang mereka dan menyimpannya kembali, kemudian menjura ke arah Keng Hong dan berkata, "Kepandaianmu hebat, orang muda. Kami Hoa-san Siang-sin-kiam mengaku kalah." Keng Hong sudah lebih dulu menjura dan dia cepat berkata, "Ah, Ji-wi Locianpwe terlalu mengalah dan sungkan. Terima kasih atas pelajaran yang diberikan kepada saya dan biarkan saya anggap bahwa saya telah lulus ujian." Bun Hoat Tosu berkata, "Engkau telah lulus ujian, Cia-taihiap. Ilmu pedangmu benar-benar mentakjubkan!" Wajah Keng Hong menjadi merah sekali mendengar dia disebut "taihiap"(pendekar besar) oleh ketua Hoa-san-pai. Benar-benar penghormatan yang berlebihan! Cepat dia memberi hormat dan berkata, "Locianpwe, harap jangan menyebut boanpwe dengan sebutan taihiap. Sebutan itu bukan didasarkan atas kepandaian, melainkan atas sepak terjang dan perbuatan seseorang, sedangkan boanpwe adalah seorang yang sama sekali belum melakukan sesuatu yang penting. Selamat tinggal dan mudah-mudahan boanpwe akan dapat segera mengantarkan pedang pusaka Hoa-san-pai yang dahulu dipinjam mendiang suhu. Ji-wi Siang-sin-kiam,ilmu pedang Ji-wi bukan main, saya menyatakan kagum sedalam-dalamnya dan maafkan saya." Setelah berkata demikian, Keng Hong melangkah keluar meninggalkan Hoa-san-pai diikuti pandang mata mereka dan keadaan di ruangan itu menjadi sunyi sekali. Terdengar helaan napas Bun Hoat Tosu memecah kesunyian. "Ahhh, hebat sekali ilmu kepandaian bocah itu, benar-benar mewarisi ilmu dan kelihaian Sie Cun Hong taihiap. Kalian berdua tidak usah merasa penasaran dikalahkan olehnya, karena pinto sendiri mungkin tidak akan dapat mengalahkan dia dengan mudah." Mendengar pengakuan ketua Hoa-san-pai ini, para anak murid Hoa-san-pai makin kagum kepada Keng Hong dan keadaan pemuda itu memberi dorongan kepada mereka untuk berlatih lebih giat lagi. *** Semenjak Kaisar Yung Lo mengalahkan keponakannya sendiri dalam perebutan kekuasaan dan naik tahta Kerajaan Beng pada tahun 1403, terjadilah perubahan besar yang menuju perbaikan keadaan pemerintah. Kaisar Yung Lo yang tadinya adalah seorang panglima perang, memegang tampuk kerajaan dengan tangan besi sesuai dengan jiwanya sebagai prajurit. Segala macam bentuk korupsi dan penyalahgunaan wewenang diberantas dan untuk menghindarkan pemerintah yang dipimpinnya dari pengaruh buruk tuan-tuan tanah yang ada pada masa lalu seolah-olah mencengkeram semua alat pemerintah dengan kekuasan uang sogokan dan suapan, maka Kaisar Yung Lo memindahkan ibu kota dari Nanking ke Peking di utara. Ibu kota utara ini memang tepat di mana dia bertugas ketika masih menjadi panglima, memimpin barisan pertahanan di utara, maka tentu saja Kaisar Yung Lo lebih merasa "di tempat sendiri" kalau berada di utara. Pembangunan besar-besaran dilakukan di ibu kota atau kota raja ini, pembangunan yang dilakukan oleh semua ahli seni bangunan yang didatangkan dari segenap penjuru tanah air. Istana yang besar-besar dan amat indah dibangun sehingga Kota Raja Peking menjadi kota yang hebat dan indah luar biasa di masa itu, dan terkenal di luar negeri sebagai kota terindah dan mentakjubkan para musafir kelana yang datang dari segala penjuru dunia. Tembok besar yang melintang di utara, yang merupakan keajaiban di dunia dan membuktikan kehebatan hasil tenaga manusia ( panjangnya lk.22500 mil), diperbaiki dan diperkuat. Juga Terusan Besar yang menghubungan Kota Raja Peking Sungai Yang-tse-kian dengan Sungai Huang-ho,yang belum selesai dibangun oleh kaisar-kaisar Mongol, kini diteruskan dan diperbaiki dan diselesaikan pembangunannya. Selain mengadakan pembangunan besar-besaran, juga Kaisar Yung Lo berusaha keras untuk meningkatkan kecerdasan kaum petani yang menjadi sebagian besar daripada rakyat dengan jalan memerintahkan penyebarluasan kesusastraan dengan mencetak kitab-kitab pusaka lama dan ajara-ajaran Kong-hu-cu sehingga kitab-kitab itu menjadi murah dan mudah didapatkan dan dipelajari oleh rakyat tidak seperti jaman sebelum itu di mana kitab-kitab hanya dapat dimiliki dan dipelajari oleh kaum ningrat dan hartawan saja. Maka muncullah sastrawan-sastrawan dari kalangan rakyat miskin, dan mereka itu diberi kesempatan untuk meningkatkan hidup dengan jalan menempuh ujian-ujian yang diadakan setiap tahun di kota raja dan bagi siapa yang lulus akan diberi gelar siucai dan diberi kesempatan menduduki jabatan. Kaisar Yung Lo memang bijaksana, tidak hanya dalam hal kesussastraan di mana dia mencurahkan perhatiannya, mempersilakan kaum terpelajar dan sastrawan-sastrawan yang dahulunya banyak yang dikejar-kejar sebagai pemberontak apabila ada di antara mereka yang berani mengeritik istana, kini datang membantu pemerintahannya dan memberi kedudukan sesuai dengan kepandaian mereka. Di samping usaha memajukan kesusastraan dan kesenian, sebagai seorang kaisar bekas panglima, tentu saja kaisar ini tidak mengabaikan pertahanan perang, juga dapat menghargai bantuan kaum persilatan. Maka Kaisar Yung Lo mengumumkan untuk membuka tangan kepada tokoh-tokoh kang-ouw yang suka untuk membantunya, untuk diuji kepandaiannya dan diberi kedudukan pula, dari pengawal-pengawal istana sampai komandan-komandan pasukan, disesuaikan masing-masing dengan tingkat kepandaian dan pengalaman masing-masing. Dengan janji kedudukan tinggi, apalagi menjadi pengawal istana yang pada waktu itu merupakan pangkat yang amat besar kekuasaannya (biasanya pengawal lebih galak dan merasa lebih kuasa daripada yang dikawal), banyaklah para tokoh kang-ouw yang berilmu tinggi datang ke kota raja untuk menghambakan diri kepada kaisar baru Kerajaan Beng ini. Akan tetapi, tidaklah mudah dapat diterima menjadi pengawal kaisar atau pengawal istana. Ujiannya terlampau berat. Ada tiga tingkat pengawal istana kaisar, yaitu tingkat pengawal istana kaisar yang memiliki ilmu kepandaian paling tinggi, tingkat kedua adalah pengawal istana bagian dalam, dan tingkat ke tiga adalah tingkat istana bagian luar. Untuk dapat diterima menjadi pengawal-pengawal ini, calon harus membuktikan kelihaiannya dengan mengalahkan penguji dari tiga tingkatan. Dan ternyata tidaklah mudah dan jarang sekali ada tokoh kang-ouw yang dapat mengalahkan atau menandingi para penguji ketiga tingkatan itu, apalagi tingkat pertamanya! Kaisar Yung Lo merasa perlu sekali menghimpun tenaga tokoh-tokoh kang-ouw yang lihai untuk memperkuat barisannya karena dia mempunyai cita-cita memperkembangkan kekuasaan negara sampai jauh ke luar negeri, untuk menundukkan daerah-daerah barat dan selatan yang semenjak jatuhnya Kerajaan Mongol tidak mau mengakui lagi kekuasaan pemerintah pusat. Bahkan Kaisar Yung Lo bercita-cita lebih jauh lagi, yaitu mengirim pasukan-pasukan jauh menyeberangi lautan selatan untuk mencari kemungkinan-kemungkinan yang akan mendatangkan keuntungan dan kebaikan bagi negaranya, karena di mendengar selatan amat kaya akan rempah-rempah dan hasil buminya yang subur. Pada suatu hari, pagi-pagi sekali, datanglah dua orang muda yang amat menarik perhatian ke kota raja. Mereka ini menarik perhatian orang karena merupakan pasangan orang muda yang cantik jelita dan tampan perkasa, seorang wanita muda yang sukar ditaksir usianya antara dua puluh dan tiga puluh tahun, berpakaian serba jambon, rambutnya yang hitam digelung ke atas dan dihias burung hong kecil dari emas permata yang amat indah, di punggunggnya terdapat sarung pedang dari emas pula terukir indah sehingga hiasan ini mendatangkan sifat gagah pada kecantikannya. Adapun pria yang berjalan di sebelahnya juga amat menarik perhatian orang. Pria ini usianya antara empat puluhan tahun, bertubuh tinggi besar dan gagah. Pakaiannya mewah sekali, dari ujung rambut yang tersisir rapi dan licin mengkilap sampai ke ujung sepatunya yang baru dan mengkilap pula dapat diketahui bahwa dia adalah seorang pria pesolek yang amat menjaga diri dan pakaiannya agar selalu kelihatan tampan Dan memang pria itu berwajah tampan, berpandang mata penuh pikatan, senyumnya pun dapat meruntuhkan hati wanita yang kurang kuat. Seperti juga wanita muda di sebelahnya, disamping ketampanan dan kegantengannya, laki-laki ini kelihatan gagah dengan adanya pedang yang tergantung di pinggang, pedang yang sarungnya berwarna hitam dan terukir bunga-bunga teratai terbuat dari emas pada gagang pedang dan sarungnya. Wanita cantik jelita dan gagah itu bukan lain Bhe Cui Im, sedangkan pria di sebelahnya ini adalah Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek. Cui Im yang mendengar pula akan pengumuman istana segera mempergunakan kesempatan ini untuk mengikuti ujian karena wanita yang haus kekuasaan ini menganggap bahwa cara yang paling tepat untuk menjadi nomor satu di dunia adalah menjadi jagoan nomor satu pula. Maka ia lalu mengajak sekutunya, Siauw Lek untuk datang ke kota raja. Berbeda dengan sebagian tokoh kang-ouw di masa itu yang segan untuk memperlihatkan diri sehingga terlibat dalam pertentangan, Cui Im dan Siauw Lek yang terlalu percaya kepada diri sendiri dan memandang rendah orang lain, secara terang-terangan bersikap sebagai ahli persilatan dengan lagak terbuka dan menantang! Maka tentu saja mereka menarik banyak perhatian orang di kota raja dengan lagak mereka yang menginap di rumah penginapan terbesar, makan di rumah makan termewah dan hidup secara royal sekali. Mereka berdua tidak tergesa-gesa mengunjungi tempat pendaftaran di istana, melainkan berpesiar di kota raja sampai tiga hari. Siauw Lek yang selalu taat dan tunduk kepada Cui Im, selama di kota raja tidak berani melakukan kebiasaannya, yaitu menganggu wanita-wanita cantik. "Kita menghendaki kedudukan tinggi sebagai pengawal kaisar, jangan merusak nama dengan perbuatan yang mengacaukan," kata Cui Im. Siauw Lek tidak berani melanggar dan dia hanya menelan ludah saja setiap kali melihat puteri-puteri cantik yang banyak terdapat di kota raja dan memuaskan nafsunya dengan berfoya-foya bersama wanita kelas satu di kota raja. Tiga hari kemudian, Cui Im dan Siauw Lek menghadap para petugas pendaftaran, yaitu perwira-perwira pengawal yang menerima semua pendaftaran dan kantornya berada di bangunan samping depan istana. Pagi itu tidak ada orang lain yang mendaftarkan, dan memang makin lama makin berkuranglah para pendaftar setelah terdengar berita betapa beratnya syarat-syarat ujian dan betapa sebagian besar para peserta gagal dalam menempuh ujian, tidak dapat menandingi kelihaian si penguji. Belasan orang perwira yang bertugas di situ memandang Cui Im dengan mata terbelalak, penuh kekaguman dan keheranan. Kalau yang datang mendaftarkan diri seorang pria seperti Siauw Lek, mereka tidak akmn merasa heran, dan kalau seorang wanita tua yang banyak terdapat di kalangan tokoh kang-ouw mendaftarkan, mereka pun akan menerima hal ini sebagai hal wajar dan tidak aneh. Akan tetapi seorang wanita muda dan cantik jelita seperti Cui Im datang mendaftarkan diri untuk menjadi pengawal! Benar-benar hal ini membuat mereka terheran-heran. Akan tetapi mereka adalah petugas-petugas yang langsung berada di bawah pengawasan istana dan berdisiplin, maka mereka menerima Siauw Lek dan Cui Im sebagaimana mestinya dan bertanya kepada dua orang ini hendak mendaftarkan untuk calon pengawal tingkat apa. "Tentu saja tingkat pengawal kaisar, atau adakah tingkat yang lebih tinggi dari itu? Kalau ada, aku hendak mendaftar untuk tingkat yang lebih tinggi, tingkat yang paling tinggi," kata Cui Im dengan sikap sembarangan. Para petugas yang sudah terheran-heran itu menjadi melongo saking herannya. Seorang di antara mereka yang bertugas menuliskan nama pendaftaran khawatir kalau dia salah dengar dan bertanya,"Siapakah yang mendaftarkan untuk pertama, calon pengawal kaisar, Saudara inikah?" Ia menuding ke arah Siauw Lek. Siauw Lek tersenyum. "Kedua-duanya, Sobat. Kami berdua mendaftarkan untuk calon pengawal kaisar. Apakah tidak boleh?" “Ah, boleh... Boleh..., tentu saja boleh. Akan tetapi ujiannya amat berat dan salah-salah nyawa bisa melayang..." "Kami sudah siap sedia untuk resiko itu," jawab Cui Im, dan harap catat bahwa aku mempunyai sebuah benda amat berharga yang hendak kupersembahkan kepada kaisar apabila aku dapat lulus ujian dan menjadi pengawal kaisar." "Disini dilarang untuk menyuap dan menyogok, apalagi terhadap kaisar!" Tiba-tiba perwira itu berkata tegas. Cui Im bertolak pingang, memandang tajam dan berkata lebih tegas lagi. "Siapa bicara tentang suap dan sogok? Aku akan menangkan kedudukan pengawal kaisar dengan kepandaianku,akan ku kalahkan pengujinya, dan tentang benda itu ketahuilah hai perwira yang lancang mulut bahwa persembahanku itu adalah kitab Thai-yang-cin-keng. Orang berkedudukan rendah seperti engkau mungkin tidak mengenalnya, akan tetapi aku merasa yakin bahwa kaisar akan mengenal kitab itu." Para perwira itu diam-diam mendongkol akan tetapi terkejut juga. Dengan singkat dan tanpa banyak cakap agar tidak menimbulkan keributan dengan orang-orang kang-ouw yang mereka tahu berwatak aneh-aneh itu, nama Siauw Lek dan Cui Im dicatat dan juga rumah penginapan mereka dicatat. "Ji-wi (kalian berdua) akan dipanggil kalau saat ujian tiba." Cui Im dan Siauw Lek meninggalkan tepat itu dan mereka berdua sambil menanti panggilan itu melihat-lihat pembangunan yang sedang dilakukan secara besar-besaran oleh kaisar. Tiada kunjung habis keheranan dan kekaguman mereka berdua akan kehebatan pembangunan itu dan mereka makin bersemangat untuk mencari kedudukan menghambakan diri kepada kaisar yang luar biasa ini. Karena Bhe Cui Im dan Siauw Lek mendaftarkan nama mereka tanpa julukan, para petugas memandang rendah, akan tetapi ketika mereka menyebut tentang kitab Thai-yang-cin-keng, terkejutlah semua pegawai kaisar dan cepat-cepat mereka melaporkannya kepada kaisar. Kaisar Yung Lo terkejut juga dan merasa girang sekali. Tentu saja dia sudah mengenal nama kitab Thai-yang-cin-keng ini, karena sejak dahulu dia mencari-cari kitab ini. Thai-yang-cin-keng (Kitab Ilmu Barisan Matahari) adalah kitab pusaka ciptaan Raja Besar Jenghis Khan, berisi ilmu dan siasat mengatur barisan. Mengingat akan hasil yang gilang-gemilang dari bangsa Mongol di bawah bimbingan Jenghis Khan dahulu dapat dibayangkan betapa pentingnya isi kitab ini bagi Kaisar Yung Lo yang berjiwa perajurit. "Panggil mereka dan biar mereka diuji oleh pengawal nomor satu! Kami akan menyaksikan sendiri ujian ini!" berkata kaisar dan sibuklah para pengawal mengatur untuk melaksanakan perintah ini. Dahulu memang kaisar sendiri sering menonton ujian kelihaian para calon pengawal, akan tetapi karena jarang sekali ada yang lulus, akhir-akhir ini kaisar jarang menonton. Hanya kalau ada calon yang namanya sudah terkenal, baru kaisar berkenan menonton karena memang menjadi sebuah di antara kesukaan Kaisar Yung Lo untuk menonton pertandingan silat, apalagi dia sendiri adalah seorang ahli silat yang lihai. Kalau sekarang kaisar berkenan ingin menyaksikan sendiri ujian yang akan dilakukan terhadap Cui Im dan Siauw Lek, hal ini adalah karena kaisar amat tertarik mendengar bahwa wanita muda yang bernama Bhe Cui Im hendak mempersembahkan Thai-yang-cin-keng! Ketika Cui Im dan Siauw Lek memenuhi panggilan menghadap ke istana, mereka memasuki halaman istana dengan sikap yang biasa saja, tidak kelihatan tegang sama sekali sehingga makin mengagumkan hati para pengawal yang menyambut mereka di pintu gerbang pertama. Bhe Cui Im mengenakan pakaian berwarna merah muda yang ringkas dan ketat sehingga bentuk tubuhnya tampak membayang nyata, rambutnya digulung ke atas dan diikat pita dengan erat, pinggangnya yang ramping memakai ikat pinggang sutera kuning yang panjang sampai ke depan jari kaki, pedangnya tergantung di punggung,dan dekat pedang itu tampak sebuah buntalan sutera kuning yang berisi kitab dan menempel di punggung. Siauw Lek berpakaian gagah, pakaian seorang jago silat yang ringkas, kedua pergelangan tangannya dipasangi kulit hitam pelindung pergelangan, rambut kepalanya tertutup kain pengikat kepala yang dihias bunga teratai emas, pedangnya tergantung di pimggang sebelah kiri, langkahnya tegap, dadanya bidang membusung ke depan, matanya berkilat dan wajahnya berseri, senyumnya tak pernah meninggalkan bibir. Cui Im dan Siauw Lek diantarkan masuk ke ruangan sebelah samping kiri dan di sepanjang jalan memasuki ruangan itu, mereka berdua melihat barisan pengawal berdiri menjaga di kanan kiri. Para pengawal yang menjaga sebelah dalam istana ini merupakan pengawal-pengawal tingkat dua dan sikap mereka angker, dengan pandang mata penuh kewaspadaan menjaga segala kemungkinan untuk menjamin keamanan dalam istana. Akan tetapi Cui Im dan Siauw Lek berjalan dengan sikap tenang, mengikuti petunjuk jalan yang kini berganti rombongan, yaitu rombongan pengawal dalam yang mengoper tugas dari pengawal luar yang tadi mengantar kedua orang itu. Rombongan pengawal dalam yang berjumlah enam orang ini terus membawa Cui Im dan Siauw Lek memasuki ruangan yang disediakan untuk menguji para calon pengawal tingkat satu atau pengawal pribadi kaisar. Ruangan itu amat luas dan ketika mereka memasuki ruangan itu, di situ kosong tidak tampak seorang pun manusia, kecuali beberapa orang pengawal dalam yang menjaga di setiap sudut dengan tombak di tangan seperti arca batu. Akan tetapi, enam orang pengawal yang mengantar Cui Im dan Siauw Lek menjatuhkan diri berlutut menghadapi sebuah tirai yang berada di sebelah dalam. Dari tempat itu dapat dilihat samar-samar bahwa di belakang tirai terdapat sebuah meja besar dan beberapa buah kursi. Akan tetapi di situ pun kosong. "Harap Ji-wi suka berlutut untuk menghormat Sri Baginda Kaisar," bisik seorang di antara para pengawal kepada Cui Im dan Siauw Lek. Tempat itu mendatangkan suasana angker dan penuh wibawa, maka mendengar bisikan ini Siauw Lek dan Cui Im menjatuhkan diri berlutut di samping enam orang pengawal itu menghadap ke arah tirai. "Riiiiittt!" Tiba-tiba tirai itu terkuak ke kanan kiri sehingga tampaklah meja dan beberapa kursi di balik tirai, juga kini tempat itu menjadi terang sekali, agaknya ada bagian-bagian rahasia yang dibuka sehingga sinar matahari masuk memenuhi ruangan. Bagaikan setan-setan saja, tahu-tahu di kanan kiri meja itu sudah berdiri lima orang yang berpakaian pengawal, bertopi yang dihias bulu burung sebagai tanda bahwa mereka adalah anggota Gi-lim-kun, pasukan pengawal pribadi kaisar! Rata-rata mereka sudah berusia lima puluh tahun lebih, ada yang gemuk ada yang kurus, ada yang tinggi ada yang pendek sehingga mereka itu tidaklah kelihatan gagah perkasa seperti para pengawal istana dalam atau pengawal istana luar. Akan tetapi bagi pandang mata Cui Im dan Siauw Lek, mereka dapat melihat jelas bahwa lima orang anggota Gi-lim-kun itu memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi. Tiba-tiba terdengar aba-aba yang tidak jelas dari sebelah dalam, pintu terbuka dari dalam dan muncullah kaisar dikawal oleh tujuh orang anggota Gi-lim-kun. Kaisar Yung Lo berusia kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh tinggi tegap dan wajahnya angker sekali. Sepasang alisnya yang tebal itu merupakan garis yang ujungnya naik ke atas, demikian pula sepasang matanya yang tajam dan membayangkan kemauan keras. Hidungnya besar dan mulutnya yang juga membayangkan kekerasan hati terhias kumis yang dipotong pendek. Akan tetapi jenggotnya gemuk dan panjang sekali. Wajah seorang gagah perkasa, seperti wajah pahlawan besar Kwan Kong! Akan tetapi pada saat itu kaisar tersenyum dan matanya memandang ramah ke arah kedua orang yang berlutut di atas lantai bersama enam orang pengawal. "Kedua calon telah menghadap Paduka, Sri Baginda Kaisar yang mulia!" Seorang di antara pemgawal dalam berkata, suaranya nyaring memecah kesunyian ruangan itu. Kaisar memberi tanda dengan tangannya dan seorang di antara pengawal pribadi, yang tua berabut putih bertubuh tinggi kurus, berkata kepada para pengawal dalam, "Para pengawal dalam boleh mundur!" Enam orang pengawal itu meberi hormat, lalu bangkit dan mengundurkan diri, kembali ke pos mereka yang tadi. Pengawal berambut putih itu berkata lagi, kini ditujukan kepada Cui Im dan Siauw Lek, "Kedua orang gagah diperkenankan bangkit berdiri oleh Sri Baginda Kaisar!" Tempat, suasana, dan suara pengawal itu mendatangkan wibawa, dan Cui Im dan Siauw Lek segera memberi hormat sambil berlutut, kemudian bangkit berdiri menghadap ke arah kaisar. Betapapun lihai mereka ini, merupakan petualang-petualang yang tak pernah mengenal takut, akan tetapi wibawa yang keluar dari pribadi kaisar dan suasana tempat itu membuat denyut jantung mereka mengencang. Kini mereka berdua dapat memandang jelas, mereka tidak berani memandang wajah kaisar secara langsung, akan tetapi diam-diam mereka memperhatikan dua belas orang pengawal kaisar itu. Ternyata tidak seorang pun di antara pengawal kedua orang ini memandang rendah, akan tetapi di hadapan kaisar yang mempunyai wibawa demikian hebat, tentu saja mereka berdua tidak berani banyak tingkah. Setelah kaisar memandang wajah kedua orang itu, sebagai seorang yang bijaksana dan waspada, hati kaisar agak kecewa. Ia melihat sifat-sifat tidak baik pada diri kedua orang itu, akan tetapi juga dapat menangkap kelihaian yang terbayang pada tubuh dan wajah mereka. Dia memerlukan tenaga mereka, dan soal sifat baik dan tidak baik, kekuasaanya akan dapat menundukkan mereka. Kuda-kuda yang liar memang berbahaya, akan tetapi sekali dapat menundukkan mereka, akan menjadi alat yang amat berguna karena tenaga mereka yang boleh diandalkan, demikian pikir kaisar yang cerdik ini. "Siapakah di antara kalian berdua yang kabarnya hendak mempersembahkan kitab Thai-yang-cin-keng kepada kami?" Kaisar bertanya, suaranya halus, akan tetapi memiliki dasar wibawa yang menggetarkan hati pendengarnya. "Hamba Bhe Cui Im yang membawa persembahan itu untuk Paduka Sri Baginda," jawab Cui Im dengan muka tunduk. Kaisar memandang tajam, tersenyum dan hatinya tidak percaya, akan tetapi ia berkata."Wanita muda yang gagah, siapakah julukanmu di dunia kang-ouw?" Biasanya, kalau ada orang menanyakan nama julukannya, Cui Im tentu akan memberi tahu dengan ahti besar dan bangga, akan tetapi sekali ini, ditanya oleh kaisar sendiri, hatinya menjadi berdebar, dan suaranya tidak garang ketika menjawab, "Hamba.... hamba.... disebut Ang-kiam Bu-tek!" "Pedang Merah Tanpa Tanding! Hemm, tentu ilmu pedangmu hebat sekali. Bhe Cui Im, engkau berani menyebut kitab yang hendak kau persembahkan itu sebagai Thai-yang-cin-keng. Sudah yakin benarkah bahwa kitab itu tidak palsu?" "Hamba bukan seorang ahli barisan tentu saja hamba tidak dapat membedakan mana yang palsu dan mana yang tulen. Akan tetapi hamba dapat mendapatkannya dari peninggalan Sin-jiu Kiam-ong." "Ahhh! Kalau begitu, tentu saja tulen!" Kaisar berseru gembira. Melihat kegembiraan kaisar, Cui Im cepat menurunkan buntalan kitab yang digendong di punggungnya dalam sutera kuning, lalu berlutut dan mengangkat buntalan kitab itu tinggi-tinggi sambil berkata, "Hamba mempersembahkan kitab ini, mohon Paduka sudi menerima." "Eh, Ang-kiam Bu-tek, bukankah engkau mengatakan pada para pengawal bahwa engkau akan mempersembahkan kitab itu kalau engkau telah berhasil lulus ujian?" "Hamba yakin akan lulus," jawab Cui Im, kini dengan suara tegas, karena setelah bercakap-cakap dan mendengar suara kaisar itu ramah, kegentarannya berkurang. Kaisar tersenyum lebar. "Engkau yakin? Pengawal tingkat mana yang hendak kau pilih?" "Tingkat pertama, hamba ingin menjadi pengawal pribadi Paduka yang mulia." "Ha-ha-ha! Engkau terlalu besar hati, Ang-kiam Bu-tek! Untuk menjadi pengawal pribadiku engkau harus mengalahkan pengawal kepala yang paling lihai di antara dua belas orang pengawal pribadiku ini. Dan engkau takkan menang!" "Mohon ampun, Sri Baginda. Hamba tidak sombong, akan tetapi hamba merasa yakin akan dapat mengalahkan pengawal Paduka yang manapun juga." "Wah, engkau benar-benar luar biasa. Hendak kulihat apakah kitab persembahanmu itu tidak palsu, kemudian akan kusaksikan apakah kesanggupanmu itu pun bukan hanya kosong belaka! Kaisar memberi isyarat dan seorang di antara pengawalnya, yang berambut putih itu, menuruni tangga, menghampiri Cui Im. Pengawal ini adalah seorang ahli silat yang berilmu tinggi yang sejak sebelum Kaisar Yung Lo menjadi kaisar telah menjadi pengawal pribadinya. Dia dahulunya adalah seorang tosu perantau yang sudah menjelajah di luar tembok besar daerah utara, mempelajari berbagai ilmu silat dari utara yang dia gabungkan dengan ilmu silat dari selatan. Setelah menjadi pengawal Kaisar Yung Lo yang dahulu masih raja muda, dia melepaskan jubah tosu dan mempergunakan nama sendiri, yaitu Theng Kiu. Ilmu silat Theng Kiu ini tinggi dan sukar dicari bandingnya, akan tetapi karena dia tidak pernah terjun di dunia kang-ouw, melainkan menjadi pengawal setia, maka namanya tidak terkenal di dunia kang-ouw. Ketika melihat sikap Cui Im yang sama sekali belum dikenalnya dan mendengar ucapan yang begitu yakin, dia menjadi tidak senang dan menganggap bahwa wanita ini sombong sekali. Di antara duabelas orang pengawal pribadi kaisar yang kesemuanya memiliki ilmu kepandaian tinggi, orang-orang pilihan dari berbagai daerah yang sudah diuji kepandaian dan kesetiannya, dia merupakan orang pertama dan boleh dibilang jago nomor satu kecuali lima orang "pengawal rahasia" kaisar yang diangkat setelah junjungannya menjadi kaisar. Kini ada seorang wanita muda, belum tiga puluh tahun usianya, menyatakan di depan kaisar bahwa wanita ini yakin akan dapat mengalahkan setiap orang pengawal pribadi kaisar. Alangkah sombongnya, dia menjadi penasaran sekali. Ia merasa yakin bahwa dalam satu dua jurus saja dia akan mampu mengalahkan wanita itu! Maka ketika dia menerima isyarat kaisar untuk menerima persembahan kitab ilmu perang itu, dia melangkah maju menghampiri Cui Im yang berlutut kemudian menggerakkan tangan untuk menerima kitab yang terbungkus sutera kuning. Akan tetapi dalam melakukan gerakan ini, dia telah mengerahkan tenaga sinkangnya dengan maksud untuk membikin tergetar tangan Cui Im sehingga wanita itu akan melepaskan kitab jatuh ke lantai. Hal ini akan membuat malu wanita yang bersumbar akan mengalahkan semua pengawal pribadi kaisar. Tadinya Cui Im akan menyerahkan kitab itu, akan tetapi begitu tangannya tergetar setelah kakek berambut putih itu menyetuh kitab, dia terkejut dan memandang tajam. Dilihatnya pengawal itu tersenyum mengejek, maka tahulah ia bahwa pengawal ini sengaja hendak "menguji" dan membikin malu. Ia menjadi marah dan tanpa diketahui siapapun ia mengerahkan sinkangnya sambil mempererat pegangan jari tangannya pada kitab dalam bungkusan itu. Kini giliran Theng Kiu yang kaget setengah mati. Tangan wanita itu sama sekali tidak menjadi lumpuh seperti lajimnya orang yang terkena serangan sinkangnya, dan buku itu sama sekali tidak terlepas, bahkan begitu erat terpegang ketika dia mencoba untuk mengambilnya. Kitab dalam bungkusan itu seolah-olah melekat di tangan Cui Im! Theng Kiu menjadi penasaran. Ia lalu menghimpun seluruh tenaga sinkangnya dan mengerahkan tenaga untuk mengambil kitab itu secara paksa. Namun, tetap saja kitab itu tidak terampas, bergerak sedikit pun tidak! Tadinya dia masih merasa malu untuk memperlihatkan bahwa dia mengerahkan tenaga, akan tetapi begitu mendapat kenyataan betapa kitab itu benar-benar diambil, dia tidak ingat lagi betapa dia telah memasangkan kuda-kuda di depan wanita yang berlutut itu, kedua kakinya terpentang tegak dan mengeluarkan tenaga sehingga lantai yang diijaknya seolah-olah melekat dengan telapak sepatunya, kemudian dia mengerahkan tenaga dan tampak jelas betapa dadanya melembung besar di balik bajunya. Hal ini tidak saja tampak oleh semua pengawal, bahkan kaisar sendiri melihatnya dan kaisar ini yang juga mengerti akan ilmu silat tinggi sampai mendoyong ke depan di atas kursinya untuk menyaksikan adu tenaga yang aat hebat itu. Ia tertarik sekali dan menjadi gembira karena ingin juga dia menyaksikan apakah wanita muda itu sanggup mempertahankan betotan tangan yang demikian kuat dari pengawal nomor satu. Adu tenaga itu terjadi hanya beberapa detik saja karena Theng Kiu segera maklum bahwa dia benar-benar tidak sanggup merampas kitab itu dari tangan Cui Im. Dengan muka kemerahan dia lalu melepaskan tangannya, dan berdiri seperti orang bingung. Melihat ini, hampir saja kaisar bangkit dari kurisnya saking herannya. Akan tetapi kaisar ini masih menguasai hatinya dan dia bertanya, "Theng Kiu, bagaimana? Kenapa kau tidak menerima kitab itu?" Theng Kiu menjadi makin merah wajahnya dan dia menjawab gagap, "Dia... dia tidak mau memberikannya, Sri Baginda...." Sepasang mata kaisar itu bersinar-sinar. Ia maklum apa yang terjadi diam-diam tadi, maklum atau dapat menduga bahwa pengawalnya itu tentu telah menguji tenaga wanita itu dan ternyata tidak mampu merampas kitab. "Heh, Ang-kiam Bu-tek, mengapa engkau tidak menyerahkan kitab itu kepada pengawalku?" "Mohon ampun, Sri Baginda. Karena tidak ada perintah dari Sri Baginda bahwa hamba harus menyerahkan kitab kepada orang lain kecuali kepada tangan Sri Baginda sendiri, maka terpaksa hamba tidak memberikannya kepada pengawal ini," jawab Cui Im, dan hati wanita ini lega menyaksikan sinar kegembiraan di wajah kaisar. Pada saat itu, masuklah pengawal dalam dan berlutut di depan kaisar sabil melaporkan bahwa The-cai-ciangkun (Panglima Besar The) datang mohon menghadap. Mendengar ini, wajah kaisar berseri dan seolah-olah melupakan peristiwa yang dihadapinya, bertepuk tangan gembira dan berkata, "Suruh dia cepat datang menghadap. Biarpun sekarang bukan saatnya, akan tetapi aku ingin mendengar hasil persiapannya!" Theng Kiu menjadi lega hatinya karena dia merasa seolah-olah terlepas dari keadaan yang memalukan. Ia lalu melangkah kembali ke tempatnya, yaitu di antara sebelas orang rekannya yang berdiri menjaga di kanan kiri Cui Im dan Siauw Lek masih berlutut di situ dan mereka berdua pun tidak berani mengeluarkan suara atau bergerak sebelum di tanya, bahkan Cui Im masih memegangi bungkusan sutera kuning yang berisi kitab. Tak lama kemudian, masuklah dalam ruangan itu dua orang laki-laki berpakaian pembesar tinggi berpakaian sederhana berusia kurang lebih empat puluh tahun yang kelihatannya seperti orang mengantuk. Ketika Cui Im melirik ke arah dua orang pembesar itu, diam-diam ia terkejut melihat sinar mata kedua orang pembesar itu demikian terang dan tajam seperti mata harimau di tempat gelap. Kaisar sendiri menyambut dua orang pembesar itu, akan tetapi jelas bahwa kaisar amat menghormati pembesar yang bertubuh tinggi, yang usianya sudah lebih tua dari kaisar, sedangkan pembesar kedua yang pendek tubuhnya dan memakai topi bundar (peci) dan berpakaian putih pula, membungkuk-bungkuk dengan sikap tenang kepada kaisar, kemudian mereka berdua berlutut menyembah. "The-ciangkun, bangkitlah dan duduklah. Kebetulan sekali Ciangkun datang, kami sedang melakukan ujian atas diri dua orang calon pengawal yang amat menarik hati. Biarlah urusan kita itu kita bicarakan nanti setelah menguji calon pengawal ini. Dan inikah.. pembantumu yang sebut dahulu itu?" "Benar demikian, Sri Baginda yang mulia," jawab pembesar yang bertubuh tinggi dengan suaranya yang tenang dan dalam. "Hamba adalah Ma Huan, berasal dari Sin-kiang dan hamba bersiap sedia untuk membantu The-ciangkun sahabat hamba sejak dahulu untuk melaksanakan tugas memenuhi perintah Sri Baginda." "Bagus, bagus, duduklah kalian di sisiku sini, " kata kaisar. Pembesar itu adalah seorang panglima laksamana yaitu panglima yang menguasai armada yang dibentuk oleh Kerajaan Beng, bernama The Ho (tokoh ini amat terkenal, yaitu utusan Kerajaan Beng yang berlayar sampai ke Indonesia). Adapun pembesar kedua, Ma Huan, juga amat terkenal karena dia adalah seorang berilmu yang beragama Islam dan karena raja-raja kecil di seberang lautan selatan sebagian besar beragama Islam, maka Panglima The Ho mengajak Ma Huan dalam pelayarannya (ada tersebut dalam dongeng tradisionil bahwa Ma Huan ini dikeral sebagai Dampoawang yang peninggalannya banyak terdapat di Pulau Jawa, di antaranya di Gedong Batu Sampokong di Semarang). Dua orang pembesar itu duduk di atas kursi di sebelah kiri kaisar, sedangkan laki-laki berpakaian sederhana yang seperti orang mengantuk itu lalu berdiri di belakang The-ciangkun, sikapnya acuh tak acuh. "Kebetulan sekali engkau datang, The-ciangkun. Lihat dua orang muda itu. Bagaimana pendapat Ciangkun atas diri mereka?" The Ho menatap tajam wajah Cui Im dan Siauw Lek. Ketika Cui Im mengerling dan bertemu pandang dengan pembesar itu, ia merasa bulu tengkuknya berdiri. Ternyata pembesar ini memiliki wibawa yang tidak kalah hebat oleh kaisar sendiri! Ketika ia melirik ke arah Ma Huan, ia lebih bergidik lagi. Sinar mata yang amat tenang dan sabar dari kakek berkopiah putih itu seolah-olah menembus jantungnya! "Hemmm, mengingatkan hamba akan buah yang matang kepanasan, masak kulitnya mentah isinya, Sri Baginda." Jawab The Ho yang tenang ini membuat jantung Cui Im dan Siauw Lek berdebar tegang. Apakah hanya dengan sekali pandang saja panglima besar itu sudah mengenal keadaan hati mereka? Mereka menjadi gentar dan berjanji dalam hati untuk berhati-hati dan tidak sembrono menghadapi kaisar yang selain berwibawa juga memiliki banyak orang sakti itu. "Ha-ha-ha-ha-ha, wawasanmu terlalu mendalam, The-ciangkun. Akan tetapi bagaimana kalau mereka menjadi pengawal? Yang kita pentingkan adalah kegunaan mereka sebagai pengawal, bukan?" "Tergantung dari tingkat kepandaian mereka , Sri Baginda." "Justeru itulah saat ini kami sedang mengujinya. Tahukah engkau, panglimaku yang bijaksana, bahwa dia selain datang untuk melamar, juga wanita lihai yang berjuluk Ang-kiam Bu-tek ini mempersembahkan sebuah kitab Thai-yang-cin-keng kepadaku?" The Ho tampak kaget dan tercengang mengerutkan keningnya. "Kalau betul demikian, jasanya tidak kecil." "Sayangnya, pengawalku tidak mampu mengambil kitab itu dari tangannya kata pula Sri Baginda sambil tersenyum. "Benarkah? Sri Baginda, bolehkah hamba menyuruh pembantu hamba Tio Hok Gwan untuk mengambilkan kitab itu dari tangannya?" "Ha-ha-ha, ini pengawal dan muridmu yang dahulu berjuluk Ban-kin-kwi (Setan Bertenaga Selaksa Kati)? Bagus, cobalah!" The Ho menoleh ke arah pengawalnya dan mengangguk. Tio Hok Gwan dengan sikap hormat memberi penghormatan kepada kaisar dan kedua orang pembesar, lalu menghampiri Cui Im dengan malas-malasan. Cui Im maklum bahwa ia hendak diuji lagi, dan dia bingung harus bersikap bagaimana. Akan tetapi dia sudah kepalang tanggung memperlihatkan kelihaiannya, kalau kini ia menyerah begitu saja, bukankah hal ini amat mengecewakan sebagai seorang gagah? Tadi dia tidak mengalah terhadap pengawal kepala, masa sekarang terhadap orang pengantuk ini dia harus mengalah. Ketika ia melihat si pengantuk itu mengulur tangan, ia terkejut bukan main karena mendengar suara berkerotokan yang keluar dari lengan kurus itu dan angin pukulan yang menyambar ke arah lengannya bukan main kuatnya. Ia tadi mendengar kaisar menyebut si pengantuk ini Setan Bertenaga Selaksa Kati, maka ia dapat menduga bahwa si pengantuk yang malas ini tentu meiliki tenaga dahsyat. Dia sendiri mengandalkan kelihaiannya pada ilmu-ilmu silatnya yang tinggi, terutama ilmu pedangnya sedangkan dalam hal sinkang, dia belumlah terlalu mempercayai dirinya sendiri. Akan tetapi karena ia diuji dalam tenaga, tentu saja ia tidak bisa berbuat lain kecuali mengerahkan sinkangnya dan seperti tadi ia memegang kitab terbungkus sutera kuning itu dengan erat-erat. Biarpun Tio Hok Gwan diam-diam kagum menyaksikan betapa wanita itu tidak melepaskan kitab setelah disambar hawa dari tanganya, namun pada wajahnya yang aras-arasen (malas-malasan) tidak tampak perasaan hatinya. Ia melanjutkan gerakan tangannya dan memegang sebagian kitab yang terbungkus sutera kuning, kemudian mengerahkan tenaga membetot. Ia hanya mengerahkan sebagian tenaganya, karena mengira bahwa sekuat-kuatnya, wanita ini tidak akan mampu bertahan. Akan tetapi dugaannya meleset karena kitab itu tidak terlepas dari tangan Cui Im! Biarpun wanita ini merasa betapa tenaga raksasa membetot kitab sehingga seolah-olah seluruh tubuhnya ikut terbetot, namun dia mengerahkan sinkang dan mempertahankan diri. Kaisar, The Ho, dan Ma Huan menonton pertunjukkan itu dengan penuh perhatian. Kaisar memandang dengan wajah berseri, The Ho dengan tenang mengelus jenggotnya, dan Ma Huan tersenyum-senyum seperti menyaksikan permainan dua orang anak nakal. Kemudian Tio Hok Gwan menggerakkan sedikit pundak kanannya dan ternyata tenaga bertambah hebat. Cui Im penasaran dan tetap mempertahankan. "Brettt....!" Kain sutera kuning pembungkus kitab hancur lebur tergencet getaran dua tenaga sakti dan Cui Im hampir tidak kuat bertahan lagi, mukanya agak pucat dan napasnya terengah-engah. "Jangan merusakkan kitab....!" Cui Im berseru dan Tio Hok Gwan melepaskan tangannya sambil menoleh ke arah kaisar, seolah-olah hendak minta nasihat. Cui Im yang cerdik dapat mempertahankan kitab, namun kaisar dan dua orang pembesarnya sudah maklum akan kehebatan tenaga Tio Hok Gwan, maklum pula akan kecerdikan Cui Im, maka kaisar berkata,"Bhe Cui Im, kami perintahkan kepadamu untuk menyerahkan kitab kepada Tio Hok Gwan." "Dengan segala kerendahan dan kesenangan hati, Sri Baginda yang mulia !" kata Cui Im dan ia tersenyum dan mengedipkan mata mengejek Tio Hok Gwan yang menerima kitab itu. Senyum dan kedipan matanya seolah-olah mengatakan bahwa betapapun juga, si pengantuk itu tidak berhasil merampas kitabnya. Akan tetapi yang diejek tetap aras-arasen, menerima kitab dan mempersembahkan kitab itu kepada kaisar. Mereka bertiga kaisar, The Ho dan Ma Huan, memeriksa kitab itu dan ketiganya menjadi kagum karena mengenal kitab itu benar-benar adalah peninggalan Jenghis Khan berisi taktik-taktik ilmu perang yang amat penting. "Engkau perlu mempelajarinya sebelum ke selatan, The-ciangkun," kata kaisar sambil menyerahkan kitab kepada The Ho. The Ho menerima dan menyerahkannya kepada Tio Hok Gwan untuk disimpan. Pengawal lihai yang suka mengantuk ini menyimpan kitab penting itu ke dalam saku bajunya sebelah dalam, kemudian berdiri di tempatnya sambil mengantuk! "Theng Kiu, kami memerintahkan agar engkau suka menguji Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im, bangkitlah dan lawanlah Theng Kiu, perlihatkan ilmu pedang agar kami dapat menilai apakah patut engkau menjadi pengawal pribadi!" Theng Kiu memberi hormat, juga Bhe Cui Im. Adapun Siauw Lek lalu mengundurkan diri, berdiri di pinggiran sambil memandang penuh perhatian. Cui Im sudah bangkit berdiri, demikian pula Theng Kiu sudah meloncat ke depan wanita itu, di dalam hatinya ingin dia menebus kekalahannya ketika mengadu tenaga memperebutkan kitab tadi. Ketika Cui Im menggerakkan tangan, tampak sinar merah berkelebat dan dia telah mencabut pedangnya. Juga Theng Kiu sudah mencabut senjatanya yang ternyata adalah sebatang ruyung berduri yang berwarna kuning seperti emas. "Mohon ampun, Sri Baginda" kata Theng Kiu sambil memberi hormat kepada junjungannya.