Cong San berhenti mengejar dan mereka sejenak berhadapan. Akhirnya Keng Hong menarik napas panjang dan berkata, "Aku kagum sekali kepadamu, Yap-loheng (kakak Yap). Aku tak pernah mendengar akan seorang murid Siauw-limpai seperti engkau, akan tetapi kulihat tingkat kepandaianmu tadi benar-benar hebat, tidak kalah oleh suheng-suhengmu, mendiang Thian Ti Hwesio dan Thhian Kek Hwesio. Tidak kusangka bahwa Siauw-lim-pai masih menyimpan seorang jago muda seperti engkau." *** "Hemmm, kapandaianku tidak ada artinya. Kalau tidak ada engkau. Cia-haihiap, tentu aku sudah tewas. Aku tidak akan menang melawan mereka yang lihai sekali itu." "Yap-loheng, sungguh tidak enak sekali mendengar seorang gagah seperti engkau menyebutku taihiap (pendekar besar). Aku suka sekali berkenalan, mari kita sama-sama mencari Cui Im. Kalau dia sudah mengembalikan semua pusaka yang ia curi, termasuk pusaka-pusaka yang berupa kitab-kitab dari Siauw-lim-pai, dia akan kuserahkan kepadamu, baik untuk kau tawan dan bawa ke Siauw-lim-pai atau pun hendak kau bunuh, terserah. Dia seorang manusia yang berwatak iblis." Cong San menjawab, suarnya agak dingin. "Cia-taihiap. Gurumu, Sin-jiu Kiam-ong juga disebut taihiap oleh suhu sendiri. Engkau sebagai muridnya amat lihai dan sepatutnya aku menyebutmu taihiap. Akan tetapi, maaf... Tentang bekerja sama di antara kita... Hemmm, terus terang saja, Taihiap, secara pribadi aku suka kepadamu dan amat kagum. Akan tetapi...sebagai murid Siauw-lim-pai agaknya tidak mungkin lagi bagi saya untuk bekerja sama denganmu. Tentu Taihiap telah mengerti apa yang kumaksudkan..." Terdengar dalam gelap pemuda baju hijau itu menghela napas panjang. Keng Hong tersenyum pahit, "Aku tahu, Loheng. Aku mengerti dan aku tidak menyalahkanmu. Mendiang suhu telah melakukan kesalahan terhadap Siauw-li-pai, telah mengambil dua buah kitab. Justeru untuk itulah aku mengejar-ngejar Cui Im, untuk mendapatkan kembali pusaka-pusaka suhu yang dicurinya, di antaranya ada dua buah kitab Siauw-lim-pai itu. Sebelum dua buah kitab itu kukembalikan kepada Siauw-lim-pai, tentu fihak siauw-lim-pai akan menganggap mendiang suhu sebagai musuh, dan karena aku muridnya... Hemmm, baiklah. Kita tidak dapat bekerja sama karena engkau sebagai murid yang baik dan berbakti tentu tidak akan mau melanggar pendirian Siauw-lim-pai. Nah, sampai jumpa, Loheng!" Setelah menjura, Keng Hong berkelebat llenyap dari depan pemuda itu. Cong San kembali menghela napas dan merasa menyesal sekali. Dia akan suka sekali bersahabat dengan Keng Hong. Pula, tanpa bantuan Keng Hong bagaimana dia akan mampu membalas kematian suhengnya? Tidak mungkin dia akan dapat mengalahkan Ang-kiam Bu-tek yang lihai itu, apalagi perempuan cabul itu mempunyai seorang teman yang lihai seperti pria yang dilawannya tadi. Juga kakek hitam itu amat lihai. Betapapun juga, dia akan terus mencari Cui Im sampai dapat dan akan berdaya upaya untuk dapat membalas dendam kematian suhengnya. Karena Cong San maklum pula bahwa tentu Keng Hong tidak akan tinggal diam dan tentu mencari Cui Im, dan dia pun dapat mengerti bahwa Keng Hong tentu akan lebih dulu dapat menyusul wanita itu, maka dia pun kini tinggal mengikuti jejak Keng Hong saja. ia bermalam di hutan itu dan pada keesokan harinya dia baru melanjutkan perjalanannya, menuju ke arah perginya Keng Hong malam tadi, yaitu ke selatan. Ketika dia akan keluar dari hutan, pandang matanya tertarik oleh sebatang pohon yang sebagian kulit batangnya terkupas batang yang "telanjang" dan putih itu. Ia menghampiri dan melihat ukiran huruf yang indah dan kuat goresannya. JEJAKNYA MENUJU DUSUN SIN-NAM Mudah saja bagi Cong San untuk menduga siapa penulis huruf-huruf terukir itu. Siapa lagi kalau bukan Keng Hong ." Diam-diam merasa kagum, dan menyesal mengapa tokoh-tokoh Siauw-lim-pai berkukuh menganggap murid Sin-jiu Kiam-ong ini sebagai musuh. Padahal dia mengerti akan penderitaan batin Keng Hong yang jelas bertekad untuk "menebus dosa" gurunya dan mengembalikan pusaka-pusaka yang dahulu diambil gurunya, dan kini telah dicuri oleh Ang-kiam Bu-tek. Dia merasa girang sekali. Keng Hong agaknya tidak lupa, kepadanya dan memberi petunjuk. Di ladang-ladang yang terdapat di luar hutan, dia bertanya kepada seorang petani yang menggarap ladang di mana letak dusun Sin-nam. Kiranya dusun itu berada di sebelah selatan, hanya belasan li dari situ. Dengan cepat Cong San melanjutkan perjalanannya menuju ke dusun Sin-nam. Akan tetapi di dusun ini dia tidak melihat Keng Hong, apalagi Cui Im yang dia cari. Selagi dia bingung, tidak tahu harus mengejar kemana dan selagi dia hendak bertanya-tanya, tiba-tiba muncul seorang anak kecil berusia kurang lebih sepuluh tahun. Anak itu menghampirinya dan bertanya. "Apakah Kongcu ber-she Yap?" "Hemmmm, bagaimana kau bisa tahu?" Cong San bertanya curiga. "Ada seorang tuan muda she Cia memesan kalau ada Kongcu yang berpakaian hijau dan she Yap, saya disuruh menyampaikan bahwa Cia-kongcu menuju ke kota Tek-an di selatan." "Hemmm.....!" Jauhkah kota Tek-an dari sini?" "Saya tidak pernah ke sana, Kongcu. Akan tetapi kata orang membutuhkan perjalanan satu hari penuh." Lega hati Cong San. Ia merogoh saku mengambil beberapa potong uang tembaga dan memberikannya kepada anak itu. "Nih hadiah untukmu." "Tidak, Kongcu. Saya sudah menerima upah dari Cia-kongcu!" Anak itu lalu berlari meninggalkan Cong San yang melongo. Pemuda ini menarik napas terharu. Anak yang jujur dan terdidik baik agaknya oleh orang tuanya. Ataukah memang anak dusun meiliki watak lebih jujur daripada anak kota? Ia lalu melanjutkan perjalanan. Di kota Tek-an pun dia tidak bertemu dengan orang-orang yang dikejarnya. Seorang pelayan restoran memberitahukan bahwa tuan muda Cia minta Yap-kongcu menyusulnya ke Nam-khia!" Demikianlah, sampai berulang-ulang Cong San mengikuti jejak yang selalu ditinggalkan Keng Hong di sepanjang jalan! Ditinggalkan dengan sengaja untuknya. Makin lama Cong San merasa makin berterima kasih kepada Keng Hong, akan tetapi juga gemas kepada Ang-kiam Bu-tek yang demikian sukar disusul. Pada suatu hari, mengikuti jejak yang ditinggalkan Keng Hong, Cong San tiba di kota Lok-yang. Kemarin dia menyeberangi sungai Huang-ho di sebelah utara kota Lok-yang dan dia diberi peninggalan jejak Keng Hong melalui seorang nelayan yang menyeberangkannya. Di Lok-yang, dia menerima peberitahuan Keng Hong melalui seorang pelayan hotel. Memang kini Cong San tidak dapat lagi meninggalkan petunjuk-petunjuk Keng Hong, maka di setiap tempat dia malah mencari jejak Keng Hong dengan memasuki restoran-restoran, penginapan-penginapan, dan lain-lain. Petunjuk terakhir yang dia terima di Lok-yang dua hari yang lalu menuju ke Gunung Phu-niu-san, di sebelah barat kota itu, di perbatasan Propinsi Ho-nan dan Shen-si! Karena dia mendengar keterangan dari hasil penyelidikannya bahwa perjalanan ke gunung Phu-niu-san amat sukar dan juga berbahaya karena di sana banyak sekali perampok sehingga oleh umum tidak dijadikan jalan umum lagi, maka Cong San bermalam di Lok-yang dan baru berangkat ke tempat yang dimaksudkan pada keesokan harinya, pagi-pagi. Ia mendengar bahwa orang-orang yang melakukan perjalanan ke barat, ke Propinsi Shen-si dan ke kota Sian, tidak lagi ada yang berani melalui jalan darat karena bahayanya daerah Pegunungan Phu-niu-san. Mereka lebih suka memakai jalan air, yaitu melawan arus Sungai Huang-ho kemudian yang hendak ke utara memasuki Sungai Ceng-ho dan yang ke selatan melalui Sungai Wei-ho. Kedua sungai ini memasuki Huang-ho di tempat yang sama. Karena dia tahu bahwa daerah yang dilalui berbahaya dan jauh daripada kota atau dusun, sebelum berangkat Cong San makan dulu sampai kenyang, kemudian dia membeli bekal roti kering secukupnya. Sambil menggendong buntalan pakaian dan bekalnya, Cong San berangkat menuju ke Gunung Phu-niu-san yang sudah tampak begitu dia keluar melalui pintu kota Lok-yang sebelah barat. Akan tetapi begitu dia tiba di kaki Gunung Phu-niu-san, dia terheran-heran melihat banyak orang berduyun-duyun naik ke bukit, bahkan ada yang membawa kereta berisi bermacam barang. Ada kereta penuh sayuran, ada pula yang menggotong babi, ada yang membawa gulungan kain sutera dan lain-lain barang berharga. Yang mengherankan hati Cong San adalah ketika dia melihat bahwa yang mengepalai pembawa barang-barang ini adalah orang-orang yang melihat caranya berpakain jelas orang kang-ouw. Ada pula yang berjalan seorang diri, ada yang bergerombol sambil mengobrol gembira. Bermacam-macam cara pakaian mereka. Ada hwesio, ada tosu, ada pula yang berpakaian seperti dia, golongan ahli sastra, ada pula yang berpakaian seperti pengemis! Akan tetapi dari gerak-gerik mereka ini adalah tokoh-tokoh kang-ouw yang agaknya hendak mengunjungi Gunung Phu-niu-san untuk mengunjungi sesorang. Sama sekali tidak kelihatan berbahaya perjalanan ke Phu-niu-san ini. Melihat tiga orang laki-laki berpakaian seperti dia, berusia empat puluh tahun, Cong San sengaja mendekati mereka, mengangkat kedua tangan dengan sikap hormat dan berkata, "Kalau Sam-wi tidak merasa terhina siauwte akan merasa terhormat sekali jika Sam-wi suka menerima siauwte sebagai teman seperjalanan. Bukankah Sam-wi juga hendak ke puncak?" Tiga orang itu memandang Cong San penuh perhatian, kemudian balas menjura dan seorang di antara mereka bertiga yang bertahi lalat di dahinya menjawab "Tentu saja boleh, mari silakan! Kita sama-sama segolongan kutu buku mengapa harus bersungkan-sungkan?" Mereka bertiga itu tertawa dan Cong San juga tersenyum. Mereka berempat lalu berjalan perlahan di atas jalan yang mulai mendaki. "Hiante siapakah? Dan dari mana? Tentu Hiante orang jauh maka tidak mengenal kami bertiga," kata pula si tahi lalat di jidat. *** Cong San menjura lagi. "Maaf, siauwte Yap Cong San hanya anak seorang guru silat di dusun kecil jauh dari sini. Mohon tanya siapakah Sam-wi?" Orang ke dua yang matanya sipit sekali dan sikapnya angkuh menjawab, "Kami bertiga di daerah ini terkenal sebagai Siangkoan Sam-hengte (Tiga Saudara Siangkoan) yang dijuluki Bun-bu Sam-taihiap (Tiga Pendekar Besar Terpelajar)! Dia ini yang tertua, kakakku bernama Siangkoan Lok, aku yang ke dua bernama Siangkoan Leng dan dia ini adikku Siangkoan Cit." Cong San kembali menjura, "Ah, kiranya Sam-wi adalah pendekar-pendekar besar yang terkenal. Maafkan kalau saya tidak mengenal Gunung Thaisan. Sungguh beruntung saya dapat berkenalan dengan Sam-wi." "Yap-hiante, engkau masih begini muda sudah mengenal Phu-niu-sancu (Majikan Gunung Phu-niu)? Sungguh beruntung, masih begini muda sudah mengenal orang pandai. Wah, kabarnya pesta pernikahan yang akan diadakan oleh Sancu dibuat amat meriah dan diadakan pertunjukan ilmu silat tinggi. Dan yang lebih hebat lagi, kabarnya Sancu akan menikah dengan seorang.... bidadari!" Diam-diam Cong San girang mendengar si tahi lalat itu membuka mulut memberi keterangan seperti itu. Mengertilah dia bahwa kiranya orang-orang kang-ouw ini hendak mengunjungi pesta pernikahan tokoh Gunung Phu-niu-san. Pantas banyak yang membawa barang-barang berharga untuk sumbangan! "Ah, seorang muda dan bodoh seperti saya mana ada kehormatan untuk berkenalan dengan Phu-niu-sancu? Sebetulnya adalah ayah saya yang sudah mengenal Sancu, dan saya hanya diutus oleh ayah untuk mewakilinya datang hadir dalam pesta pernikahan Sancu dan menghaturkan selamat." "Ah, pantas saja kau belum mengenal kami. Kiranya engkau masih amat hijau, "Yap-hiante," kata si mata sipit. "Apakah ayahmu juga mengajarkanmu ilmu silat?" "Wah, kalau dibicarakan sungguh memalukan. Saya hanya bisa sedikit ilmu silat kampungan, mana pantas dibicarakan dengan Sam-wi yang terkenal sebagai pendekar besar?" "Memang tidak perlu bicara tentang ilmu silat. Nanti di sana kita akan menyaksikan ahli-ahli silat kelas satu. Kalau begitu, engkau pun belum tahu sampai di mana kelihaian Lian Ci Tojin Sengjin dan Sian Ti Sengjin?" Cong San menjadi bingung karena tidak pernah mendengar nama ini, maka dia hanya menggeleng kapala. Si tahi lalat kelihatan bangga menceritakan kelihaian dua orang yang disebutnya itu, maka dia melanjutkan, "Lian Ci Sengjin atau Phu-niu Sancu sudah hebat bukan main, ilmu kepandaian Sian Ti Sengjin yang menjadi suhengnya, lebih hebat lagi!" Cong San mengangguk-angguk. "Saya hanya mendengar dari ayah bahwa mereka berdua itu hebat kepandaiannya. Akan tetapi belum pernah menyaksikan sendiri. Dan kalau mempelai prianya begitu lihai, tentu mempelai wanitanya juga bukan sembarangan wanita, bukan?" Cong San sengaja memancing lebih banyak keterangan lagi. Kiranya tidak percuma Keng Hong memberitahukan tempat ini kepadanya. Apakah Cui Im lari ke Phu-niu-san dan akan berada di antara banyak tamu? Ataukah musuh besar itu mempunyai hubungan dengan Phu-niu-sancu? Dia harus bisa mendapatkan keterangan yang jelas untuk dapat mengatur sikap, dan dia pun sama sekali tidak boleh bertindak sembrono karena kalau benar dugaan bahwa Cui Im memiliki hubungan dengan Phu-niu Sancu, tentu perempuan itu akan dibantu banyak orang di situ. "Entahlah," jawab si tahi lalat yang memang doyan mengobrol. "Hal itu masih merupakan rahasia karena kami semua baru sekarang mendengar berita dan undangan bahwa Sancu hendak menikah. Hanya ada berita yang membocor, berita desas-desus bahwa Sancu akan menikah dengan seorang wanita yang kecantikannya seperti bidadari, dan yang kabarnya pun bukan orang sembarangan." Jantung Cong San berdebar. Agaknya mempelai wanita itulah yang dikejarnya! Diam-diam dia memperhatikan orang-orang yang berbondong naik ke puncak dan diam-diam hatinya agak khawatir. Tiga orang yang sombong dan membanggakan diri sebagai Bun-bu Sam-taihiap ini kiranya hanya lagaknya saja yang hebat, tentu bukan lawan yang perlu diperhatikan, akan tetapi di antara mereka yang berjalan naik itu dia melihat beberapa orang yang membayangkan kepandaian tinggi. Terutama sekali seorang laki-laki bertubuh tinggi besar yang berjenggot panjang dan di pinggangnya terdapat sebatang golok bergagang emas, yang berjalan bersama seorang tosu tua. Mereka berdua itu berjalan tanpa bercakap-cakap, akan tetapi dari langkah kaki dan sikap kedua prang itu, Cong San dapat menduga bahwa mereka adalah orang-orang yang pandai. Selain dua orang ini, dia melihat pula seorang kakek yang jalannya terpincang-pincang, membawa sebatang tongkat butut dan pakaiannya butut dan kotor pula, rambutnya kusut dan mukanya penuh kerut merut berwarna kotor kehitaman. Keadaan kakek ini pun kotor menjijikan, akan tetapi anehnya dia bergandengan tangan dengan seorang kakek berpakaian seperti sastrawan yang bersih dan mewah, yang mengandeng pula seorang kakek berpakaian pendeta. Sikap tiga orang kakek ini menarik perhatian, mereka tertawa-tawa dan si kakek jembel beberapa kali berkata, "Ha-ha-ha, tuan pengantin, berjalan lebih gagah agar tidak membikin malu nona pengantin!" Si kakek pendeta tersenyum-senyum dan si kakek sastrawan berjalan digagah-gagahkan. Semua orang memandang dengan muka khawatir. Apakah tiga orang kakek ini sengaja bermain-main hendak mengejek Phu-niu-sancu? Akan tetapi karena keadaan mereka yang aneh, melihat usia mereka yang sudah amat tinggi, tidak ada yang berani menegur, bahkan ketiga orang Bun-bun Sam-taihiap yang memandang sambil menduga-duga siapa gerangan tiga orang kakek yang bersikap seperti anak-anak kecil itu. Rombongan tamu yang bersamaan dengan Cong San terdiri dari dua puluh orang lebih. Setelah tiba di puncak bukit, Cong San melihat bahwa di atas puncak itu, dari bawah tidak tampak karena tersembunyi di antara pohon-pohon, terdapat bangunan-bangunan mewah merupakan perkampungan. Para tamu disambut oleh orang-orang yang berpakaian seragam biru bersikap gagah, lalu dipersilakan duduk ke dalam ruangan gedung terbesar di mana telah tersedia ratusan buah bangku dan di situ telah menanti pula dua orang tuan ruah yang menerima para tamu dengan senyum ramah akan tetapi hanya terhadap beberapa orang tamu saja mereka bangkit berdiri dan balas menghormat. Terhadap tamu-tamu yang tidak dikenal , termasuk Cong San, dua orang tuan ruah itu hanya mengangguk sedikit untuk membalas penghormatan mereka. Cong San melihat betapa dua orang itu pun tidak bangkit berdiri ketika membalas penghormatan tiga orang Bun-bu Sam-taihiap tadi, akan tetapi tiga orang itu tidak kelihatan kurang senang sehingga diam-diam Cong San menjadi geli hatinya. Ia pun lalu mengambil tempat duduk di antara para tamu, dekat dengan tiga orang sastrawan sombong itu. Dari tepat duduknya dia memandang ke arah dua orang tuan rumah penuh perhatian. Mereka itu adalah dua orang laki-laki yang gagah dan bersikap angkuh penuh wibawa. Melihat wajah mereka dia dapat menduga yang mana suhengnya dan mana sutenya. Dia tadi mendengar bahwa yang menjadi "majikan gunung" adalah yang muda, yang disebut Lian Ci Sengjin atau juga Phu-niu-sancu, sedangkan suhengnya adalah Sian Ti Sengjin. Tentu laki-laki bertubuh tegap, bermuka gagah dan angkuh, berusia empat puluh tahun lebih itu yang menjadi ketua atau majikan Gunung Phu-niu-san. Laki-laki di sebelah kanannya yang lebih tua beberapa tahun, yang berwajah pendiam dan serem itu tentu suhengnya. Dia tidak mengenal mereka dan setelah memandang sejenak Cong San mencari-cari dengan pandang matanya, namun yang dicarinya tidak tampak. Baik Cui Im maupun Keng Hong tidak tampak bayangannya di antara tamu-tamu yang sudah puluhan orang banyaknya itu. Ia mulai ragu-ragu apakah dia tidak salah duga, jangan-jangan yang dimaksudkan Keng Hong bukan tempat pesta ini! "Ssttt, Hiante, engkau tentu mencari pengantin wanita, bukan?" Tiba-tiba si tahi lalat yang duduk di belakangnya berbisik. "Sabarlah, benda berharga tentu disimpan baik-baik, wanita cantik tentu tidak diobral untuk ditonton banyak orang, melainkan dikeram dalam kamar. Nanti tentu diperkenalkan..." Wajah Cong San menjadi merah akan tetapi dia sengaja tersenyum dan mengangguk. Ia lebih tertarik ketika betapa kedua orang tuan rumah itu menyambut kedatangaan tiga orang kakek aneh. Dua orang itu cepat bangkit dan dengan wajah berseri lalu memberi hormat sambil membungkuk. Bahkan Phu-niu-sancu segera berkata, "Ah, kiranya Sam-wi Locianpwe benar-benar sudi datang mengunjungi kami? Harap banyak maaf bahwa kami tidak mengetahui lebih dulu sehingga tidak mengadakan penyambutan sebagaimana mestinya!" Melihat sikap tuan rumah dan mendengar ucapan sancu itu, semua orang terkejut, termasuk Cong San dan juga ketiga orang "pendekar" yang duduk di belakangnya. Semua orang tidak ada yang mengenal kakek itu dan melihat penghormatan yang demikian besar, sebutan "locianpwe" dari majikan gunung, mereka semua menduga-duga siapa gerangan tiga orang kakek tua renta yang aneh itu. "Ha-ha-ha-ha-ha!" Kakek berpakaian jembel yang merupakan orang paling suka ketawa dan bicara di antara mereka bertiga, kini tertawa bergelak."Kami tiga setan tua paling tak tahu diri! Di mana ada pesta pengantin dan arak wangi, tentu kami akan datang. Sancu, kami harus memberi selamat dengan tiga cawan arak sebelum menikmati hidanganmu, ha-ha-ha!" Setelah berkata demikian kakek jembel itu menggerakkan tangan tiga kali ke arah meja yang berada di dereta terdepan dan.... "wuuut-wuuut-wuuuttt.....!" *** Tiga buah guci arak yang berada di meja-meja itu terbang ke arahnya, diterima oleh tiga orang kakek itu dan terus ditenggak isinya setelah mereka berkat, "Selamat menikah!" Sungguh cara pemberian selamat yang aneh sekali. "Eh-eh.... ke mana arak.... arakku...?" Seorang di antaara tamu-tamu yang duduk di depan meja yang kehilangan guci araknya tiba-tiba berseru keras. Para tamu tertawa, akan tetapi Cong San berdebar jantungnya mendengar suara itu. Itulah suara Keng Hong! Ia cepat ikut berdiri seperti tamu lain yang hendak melihat tingkah Keng Hong yang bersikap seperti seorang tamu tolol yang kehilangan guci araknya. Cong San terbelalak kaget dan heran melihat bahwa orang itu adalah seorang laki-laki muda bermuka hitam tolol-tolol seperti muka orang bopeng, sama sekali tidak ada bekas-bekas muka Keng Hong yang tampan. Pakaiannya pun seperti seorang pertapa, berwarna kuning dan terlalu besar, kepalanya dibungkus kain kuning. Kalau saja tadi tidak mendengar suaranya, Cong San tentu tidak akan mengenal orang ini, akan tetapi orang itu mencari-cari guci araknya sambil memutar tubuh dan bertemu pandang mata dengan Cong San, murid Siauw-lim-pai ini yakin bahwa orang itu memang Keng Hong! Maka dia menjadi girang dan legalah hatinya. Seorang pelayan sambil tertawa-tawa seperti yang lain menyaksikan sikap tamu yang berpakaian pendeta akan tetapi kehilangan guci arak menjadi bingung seperti ini, lalu menyediakan guci arak lain sedangkan tiga orang kakek itu sambil tertawa dipersilakan duduk di kursi kehormatan yang berada di sebelah tepat duduk tuan rumah, agak tinggi tempatnya, tidak seperti ruangan duduk para tamu biasa yang berhadapan dengan tuan rumah. Dua orang laki-laki gagah yang di tengah jalan tadi sudah diperhatikan Cong San, yaitu laki-laki tinggi besar berjengot panjang dan bergolok emas bersama tosu tua, juga diterima penuh bormat dan di beri tempat duduk di tempat kehormatan bersama tiga orang kakek aneh tadi dan masih ada belasan orang lain. Biarpun hatinya lega ketika mendapat kenyataan bahwa Keng Hong berada di tempat itu, namun Cong San diam-diam merasa khawatir. Mereka hanya berdua, dan di situ terdapat banyak orang lihai. Cui Im sendiri memiliki kepandaian yang amat hebat, dan kakek-kakek yang tiga orang itu tentu merupakan lawan berat. Baru demonstrasi yang diperlihatkan kakek jembel ketika dengan sinkangnya dapat mengambil tiga guci arak tanpa menyentuhnya sudah membuktikan kekuatan sinkang yang dahsyat. "Heee, mana mempelai wanitanya? Eh, Phu-niu-sancu, harap jangan terlalu pelit untuk memperlihatkan mempelai wanita kepada kami. Mulut dan perut kami sudah mendapat hidangan cukup, akan tetapi mata kami pun perlu hidangan memandang wajah cantik, ha-ha-ha!" Kakek jembel itu tertawa dan dua orang temannya pun tertawa bergelak. Tentu saja ucapan itu terdengar amat kurang ajar, dan baru setelah melihat fihak tuan rumah tidak marah, para tamu lainnya pun tertawa karena diam-diam mereka menyetujui ucapan kakek itu dan mereka semua ingin sekali menyaksikan calon isteri Sancu yang selama ini dirahasiakan. Mempelai pria tertawa dan berkata kepada kakek itu,"Harap Locianpwe suka bersabar karena dia sedang berhias. Sambil menanti munculnya pengantin wanita, lebih baik kalau kami memperkenalkan para tamu kehormatan kepada tamu-tamu lain sambil minum arak dan menikmati hidangan. Untuk hidangan mata, kami pun sudah mempersiapkan serombongan pemain musik, nyanyi dan tari." Tuan rumah memberi isyarat dan muncullah belasan orang wanita cantik dan bersikap genit memikat, berlari dengan gerakan tubuh lemah gemulai. Mereka ini adalah penari-penari dan penyanyi-penyanyi, juga pemain musik yang terdiri dari yang-khim, suling, tambur dan lain-lain. Para tamu menjadi gembira dan mata-mata yang lapar melahap wajah-wajah mereka yang cantik dan tubuh-tubuh mereka yang membayangkan di balik pakaian sutera tipis. "Ha-ha-ha, nanti dulu, Sancu!" kata si kakek jebel ketika melihat tuan rumah hendak memperkenalkan mereka bertiga. "Sebelum tamu-tamu diperkenalkan, tentu lebih dulu tuan rumah diperkenalkan." Kakek itu bangkit berdiri dan berkata menghadap para tamu. "Mengkin semua orang hanya mengenal Lian Ci Sengjin sebagai Sancu dari Phu-niu-san, dan Sian ti Sengjin sebagai suheng dan penasihatnya. Akan tetapi agaknya jarang ada yang tahu bahwa mereka berdua kakak beradik seperguruan ini adalah tokoh-tokoh besar dari Kun-lun-pai!' Cong San terkejut sekali. Sungguh dia tidak mengira bahwa dua orang tuan rumah itu adalah tokoh-tokoh Kun-lun-pai. Tentu saja Cong San tidak tahu bahwa dua orang itu adalah dua tokoh Kun-lun-pai yang menyeleweng atau memberontak dan melarikan diri dari Kun-lun-pai. Mereka itu bukan lain adalah Lian Ci Tojin yang kini tidak lagi menjadi tosu dan mengubah sebutan tojin menjadi sengjin, dan suhengnya, Sian Ti Tojin yang kini menjadi Sian Ti Sengjin. Setelah mereka meninggalkan Kun-lun-pai dengan hati sakit, keduanya menghimpun tenaga dan mempunyai banyak anak murid, bermarkas di Phu-niu-san. Akan tetapi ketika Cong San mendengar bahwa fihak tuan rumah adalah tokoh-tokoh Kun-lun-pai, hatinya menjadi lega. Dia sudah mendengar banyak tentang Kun-lun-pai sebagai perkumpulan besar yang terkenal dan murid-murid Kun-lun-pai dikenal sebagai pendekar-pendekar yang berjiwa gagah perkasa, pengabdi kebenaran. Maka dia lalu memandang dua orang tuan rumah itu sebagai orang-orang segolongan yang dapat dia harapkan dalam menghadapi Cui Im nanti. Pula, kalau benar Cui Im yang dikawin oleh tokoh Kun-lun-pai itu, tentu terjadi karena tokoh itu belum mengenal siapa adanya Cui Im. Kalau tahu bahwa Cui Im seorang iblis wanita yang jahat, tentu tokoh Kun-lun-pai itu tidak akan sudi! Phu-niu-sancu yang berdiri itu tersenyum mendengar ucapan kakek jembel, lalu berkata lantang,"Memang tak perlu kami pungkiri lagi bahwa kami kakak beradik adalah murid-murid Kun-lun-pai. Akan tetapi sayang bahwa sekarang ini Kun-lun-pai kemasukan pengacau sehingga terpaksa kami berdua meninggalkannya untuk sementara. Di dalam jaman kacau ini, tidak hanya Kun-lun-pai yang dikacau orang orang. Juga Tiat-ciang-pang yang namanya tersohor di seluruh dunia kang-ouw, yang menjadi tetangga kami, kini dikacau orang sehingga tokoh-tokohnya yang berjiwa gagah lebih suka meninggalkannya. Kami memperkenalkan tokoh besar Tiat-ciang-pang yang kebetulan hadir disini, ialah Kim-to Lai Ban. Lai-sicu terkenal dengan ilmu goloknya dan ilmu goloknya dan ilmu Tiat-ciang-kang yang lihai!" Cong San kembali tercengang. Ia sudah mendengar pula akan nama besar Tiat-ciang-kang sebagai perkumpulan orang-orang gagah. Kiranya laki-laki gagah yang membawa golok emas tadi adalah seorang tokoh Tiat-ciang-pang, jadi segolongan pula dengan dia dan boleh diharapkan bantuannya! "Heh-heh-heh, tuan rumah yang tidak adil! Kenapa kami tidak diperkenalkan? Ha-ha-ha!" Kakek jembel tadi menegur sambil terkekeh. Phu-niu-sancu tertawa. "Locianpwe adalah golongan teratas yang sudah terkenal sekali. Saya kira semua orang sudah mengenal Sa-wi Locianpwe." Kemudian tuan rumah itu menghadapi para tamu dan berkata lantang, "Siapakah orang yang belum mengenal Thian-te Sam-locianpwe?" Kakek yang berpakaian sastrawan cepat berkata, "Sancu tidak perlu mengubah julukan kami. Katakan saja bahwa kami adalah Thian-te Sam-lo-mo! Kami tidak malu disebut Sam-lo-mo (Tiga Iblis Tua)!" Banyak di antara para tamu menjadi pucat mukanya. Thian-te Sam-lo-mo? Nama ini sudah banyak dikenal orang, akan tetapi karena sudah puluhan tahun Thian-te Sam-lo-mo tidak pernah muncul di dunia ramai, maka nama mereka itu dianggap dongeng. Siapa kira, kini tahu-tahu di situ muncul tiga iblis tua yang dahulu dianggap sebagai datuk-datuk dunia penjahat! Juga Cong San menjadi bengong. Betapa anehnya keadaan di situ. Gurunya pernah memberi tahu, juga suhengnya, bahwa sebelum muncul Bu-tek Su-kwi yang menjadi datuk-datuk kaum sesat, nama Thian-te Sam-lo-mo amat terkenal sebagai datuk dunia penjahat. Setelah Bu-tek Su-kwi muncul, tiga orang Thian-te Sam-lo-mo itu menghilang. Kalau kini muncul lagi, Cong San tidak akan merasa heran, akan tetapi yang membuatnya heran adalah bahwa datuk-datuk penjahat itu dapat menjadi sahabat tokoh-tokoh Kun-lun-pai dan menjadi satu dalam pesta bersama tokoh-tokoh golongan putih. Akan tetapi dia segera memperhatikan lagi karena tuan rumah telah memperkenalkan para tamu yang duduk di kursi-kursi kehormatan. Tosu yang tadi datang bersama Kim-to Lai Ban diperkenalkan sebagai Thian It Tosu, dan belasan orang lagi diperkenalkan kepada para tamu. Kesemuanya merupakan orang-orang ternama yang tinggal di perbatasan kedua propinsi. Setelah semua tamu kehormatan diperkenalkan, terdengarlah tetabuhan dibunyikan dan para wanita penari mulai menari sambil menyanyi. Tamu-tamu menikmati hidangan dan tertawa-tawa melihat para penari itu mengerling genit sambil tersenyum-senyum ke arah mereka. Seorang pelayan datang menghadap Sancu dan berkata dengan suara bisik-bisik. Sancu bangkit berdiri, menoleh kepada tamu kehoramatan dan berkata, "Maaf, saya hendak menjemput mempelai wanita." Mendengar ini kakek jembel orang tertua dari Thian-te Sam-lo-mo bertepuk-tepuk tangan dan berkata nyaring, "Bagus, bagus...! Pengantin wanita datang! Tentu lebih menyenangkan dipandang daripada penari-penari yang genit itu!" Semua orang tertawa dan ketika penari-penari itu melotot dan cemberut kepada kakek jembel, kakek ini mengambil aksi ketakutan dan berseru, "Idiiihhh... Serem....!!" *** Sikap kakek ini membuat orang tertawa bergelak dan diam-diam Cong San menjadi heran mengapa seeorang tokoh dunia hitam yang sudah amat terkenal sebagai Thian-te Sam-lo-mo itu sikapnya seperti anak-anak atau badut yang tidak lucu. Memang dunia kang-ouw banyak mempunyai orang-orang aneh, baik dari golongan putih maupun dari golongan hitamnya. "Mempelai datang....!!" Terdengar seruan orang-orang dan semua tamu mengangkat muka memandang ke arah sepasang mempelai yang muncul dari pintu dalam. Lian Ci Sengjin atau Phu-niu Sancu yang sudah berusia empat puluh lima tahun itu dengan sikap bangga dan wajah berseri-seri menuntun seorang wanita yang memakai pakaian pengantin yang mewah, gemerlapan dengan hiasan emas berlian, dan wajahnya tertutup tirai terbuat daripada benang-benang emas yang berkeredepan. Tak dapat dilihat dengan jelas wajah dibalik tirai, hanya tampak bayangannya saja. akan tetapi bentuk tubuhnya yang tersembunyi di balik pakaian pengantin yang longgar dapat dibayangkan sebagai tubuh yang ramping padat dan tinggi semampai.yang kadang-kadang tersembul dari balik lengan baju ketika jalan melenggang, amat putih dan halus. Sepasang pengantin duduk di atas kursi yang sudah dipersiapkan, dan para penari melanjutkan pertunjukkan mereka yang terganggu sebentar dengan munculnya sepasang mempelai. Akan tetapi baru saja mereka membuka mulut, belum juga suara nyanyian keluar, tiba-tiba kakek jembel meloncat bangun dan menggoyang-goyangkan tangannya ke arah penari itu. "Stop! Jangan membikin bising dulu, mempelai wanita belum diperkenalkan!" Para penari itu melotot dan terpaksa duduk kembali, ditertawai oleh banyak tamu, sedangkan kakek jembel sudah menghadapi sepasang mempelai, berkata nyaring, "Tuan rumah tidak adil! Kenapa pengantin wanita dibungkus seperti ini sehingga kami tidak dapat memandang wajahnya? Apakah hidungnya pesek? Atau bibirnya sumbing dan barangkali matanya juling?" Tamu-tamu tertawa bergelak dan menghadapi ucapan seperti itu, fihak tuan rumah terpaksa tersenyum. "Tadi setiap orang diperkenalkan, kenapa mempelai wanita tidak diperkenalkan kepada tamu-tamu? Ini tidak adil!" Kakek jembel mencela. Sambil tertawa mempelai pria hanya tertawa, sedangkan Sian Ti Sengjin yang hendak menolong sutenya lalu berkata, "Locianpwe, yang diperkenalkan hanyalah tamu-tamu kehormatan...." "Wah-wah-wah, apakah Sicu hendak menghina adik iparmu? Pada saat ini, siapakah yang lebih terhormat daripada mempelai wanita? Hayo, katakan yang lebih terhormat daripada mempelai wanita? Aku menuntut agar mempelai wanita diperkenalkan, tidak hanya wajahmya, akan tetapi juga nama dan julukannya. Aku mendengar desas-desus bahwa mempelai wanita tidak kalah terkenal dari mempelai pria!" Kakek jembel itu mendesak terus dan karena ucapannya ini menarik perhatian, maka para tamu juga ingin tahu dan mengangguk-angguk membenarkan. Bahkan diam-diam Cong San sendiri juga ingin sekali melihat, karena dalam keadaan tertutup tirai seperti itu sukar bagi Cong San untuk mengenal Cui Im Phu-niu-san tampak berbisik-bisik dengan mempelai wanita yang mengangguk perlahan, kemudian mempelai pria ini bangkit berdiri dan mengangkat kedua tangan ke atas sebagai isyarat agar tamu tidak berisik. Setelah semua orang diam, dia lalu berkata, "Terima kasih atas perhaitan Cui-wi sekalian yang ingin mengenal wajah dan nama isteriku. Dan memang sesungguhnya sudah sepatutnya kalau isteriku memperkenalkan diri, sungguhpun tadinya kami bermaksud untuk memenuhi tuntutan upacara bagi seorang mempelai wanita untuk menutupi wajahnya. Akan tetapi, mengingat bahwa kita berada di antara teman-teman segolongan dan isteriku pun bukan seorang yang tidak terkenal, maka saya mempersilakan isteri saya untuk memperkenalkan diri sendiri kepada Cu-wi! Ia menoleh kepada isterinya yang segera bangkit berdiri dan perlahan-lahan tangan yang berkulit halus putih itu menyingkap tirai benang emas keatas kepala dan terus ke belakang sehingga wajahnya tampak jelas. Semua tamu memandang dengan melongo saking kagumnya melihat wajah yang amat cantik jelita itu, dengan mulut tersenyum manis sekali. Semua orang diam menahan napas dan tidak mengeluarkan suara ketika mempelai wanita berkata dengan suaranya yang merdu dan nyaring, "Cu-wi sekalian mungkin ada yang sudah pernah mendengar nama saya. Sebelum menjadi isteri Sancu sekarang ini, saya dikenal sebagai Bhe Cui Im yang berjuluk Ang-kiam Bu-tek!" Para tamu menjadi kaget dan terdengarlah suara bisik-bisik sehingga keadaan menjadi berisik sekali. Pada saat itu, tiba-tiba tampak berkelebat bayangan hijau dan tahu-tahu Yap Cong San sudah berdiri di ruang kehormatan menghadapi tuan rumah dan para tamu kehormatan, sikapnya tenang namun pandang matanya penuh semangat dan keberanian. "Harap sancu dan para tamu suka memaafkan saya, akan tetapi saya mempunyai urusan pribadi dengan mempelai wanita. Karena saya tidak ingin menodai nama orang lain di tempat terhormat ini, saya persilakan kepada Ang-kiam Bu-tek untuk memenuhi tantangan saya untuk membereskan perhitungan di luar ruangan ini!" Sambil berkata demikian Cong San menghadapi Cui Im dan memandang dengan sinar mata tajam. Cui Im membelalakkan mata, mengangkat alis dan tersenyum, diam-diam timbul kembali gairah hatinya. Pemuda yang disangkanya seorang yang lemah itu ternyata adalah murid Siauw-lim-pai yang amat gagah perkasa. Tentu saja dia tidak takut akan tetapi dia diam saja, ingin melihat reaksi suaminya dan para tamu. Karena dia tidak melihat Keng hong datang bersama Cong San, dia tenang-tenang saja. Hanya Keng Hong yang ia takuti, dan karena takut akan Keng Honglah maka ia lalu menggabungkan diri di Phu-niu-san bahkan rela menjadi isteri Lian Ci Sengjin. Sementara itu, Lian Ci Sengjin sudah melompat bangun dan dengan mata melotot menghadapi Cong San, menudingkan telunjuknya dan memaki, "Keparat jahanam bermulut kotor! Siapakah engkau berani bersikap seperti ini, menghina isteriku?" Cong San tersenyum. "Sancu, sudah kukatakan tadi bahwa aku tidak ingin menodai nama baikmu dan nama baik orang lain. Akan tetapi karena engkau bersikap begini, apakah aku harus menceritakan urusanku dengan Ang-kiam Bu-tek?" "Seorang laki-laki gagah tidak akan menyembunyikan sesuatu! Kalau memang ada urusan hayo katakan saja, siapa hendak menyimpan rahasia?" Lian Ci Sengjin membentak, mukanya merah sekali, kedua tangan mengepal seakan-akan dia sudah ingin menghantam remuk kepala pemuda itu. Semua tamu memandang heran dan khawatir. Apakah ada hubungan antara pemuda tampan baju hijau dengan mempelai wanita? Jangan-jangan bekas kekasihnya. Bisa ribut kalau begitu! Biarpun di hatinya Lian Ci Sengjin ada dugaan seperti ini pula melihat ketampanan wajah pemuda itu, namun dia tidak merasa khawatir andaikata rahasia itu dibuka, karena dia sendiri adalah seorang yang jauh lebih tua daripada isterinya sehingga hal-hal mengenai percintaan isterinya dengan pria lain yang telah lewat tidak diperdulikannya. Cong San menghela napas, lalu berkata, "Sancu, saya bernama Yap Cong San, seorang anak murid Siauw-lim-pai. Saya tidak tahu bagaimana Sancu sebagai tokoh Kun-lun-pai yang terkenal, juga para enghiong dari Tiat-ciang-pang dan tamu terhormat, sampai bisa kemasukan seorang seperti dia ini!" Ia menuding ke arah Cui Im yang masih duduk tersenyum-senyum, "Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im adalah seorang wanita iblis, dan aku sengaja datang mencarinya untuk membalas kematian murid Siauw-lim-pai yang dibunuh olehnya!" Mendengar bahwa pemuda ini murid Siauw-li-pai, keadaan makin tegang. Nama besar Siauw-lim-pai amat dikenal, bahkan Lian Ci Sengjin sendiri sebagai tokoh atau bekas tokoh Kun-lun-pai mengenal pengaruh Siauw-lim-pai dan dapat melihat gawatnya persoalan, sehingga dia merasa ragu-ragu untuk berlaku lancang, bahkan lalu menoleh kepada isterinya seperti hendak menyerahkan keputusan mengenai diri pemuda ini kepada isterinya. *** "Harap kau duduk," kata Cui Im lirih kepada suaminya, kemudian ia memandang ke arah tamu-tamu dengan wajahnya yang cerah, senyumnya yang manis dan sikapnya yang amat tenang seolah-olah ia menganggap kehadiran Cong San seperti gangguan seorang bocah nakal yang tidak banyak artinya. "Cu-wi sekalian maklum bahwa bocah ini datang mencari penyakit, datang-datang menghina orang. Karena saat ini aku disebut nona pengantin, akan memalukan sekali kalau turun tangan sendiri. Siapakah di antara Cu-wi sekalian yang sudi mewakili aku memberi hajaran dan mengusir bocah lancang ini dari sini?" "Kami sanggup...." "Biarkan kami mengusir anjing itu!" Semua orang memandang dan ternyata yang maju adalah tiga orang berpakaian sastrawan yang tadi datang bersama Cong San, Bun-bu Sam-taihiap, (Tiga Orang Pendekar Ahli Sastra)! Dengan langkah dibuat-buat agar tampak gagah tiga orang itu naik ke ruangan besar dan mereka menjura ke arah Cui Im. Si tahi lalat lalu berkata mewakili dua orang saudaranya, "Kami Siangkoan Sam-heng-te yang dijuluki orang Bun-bu Sam-taihiap mengharap agat Toanio tidak mencapekkan diri dan duduk saja menonton kami mewakili Toanio memberi hajaran kepada bocah lancang mulut ini!" Cui Im diam-diam merasa geli hatinya dan memandang rendah tiga orang ini, akan tetapi ia memberikan senyum manis semanis-manisnya kepada tiga orang itu dan berkata merdu, "Siangkoan taihiap bertiga sudi membantuku, sungguh besar budi yang kuterima. Sebelumnya saya mengucapkan banyak terima kasih." Melihat bibir merah basah merekah di sertai kerling mata menyambar dan senyum yang memperlihatkan kilatan gigi bersih berderet rapi, tiga orang itu menjadi bengong sehingga sampai lupa sejenak untuk apa mereka berdiri di situ, hanya memandang ke arah wajah yang mempesona itu! Akhirnya mereka sadar dan cepat membalikkan tubuh menghadapi Cong San yang masih berdiri tenang. "Eh, engkau she Yap! Kalau tahu bahwa engkau ternyata seorang manusia jahat yang datang-datang menghina nyonya rumah, tentu tadi-tadi telah kami hajar!" kata si tahi lalat sambil menudingkan telunjuknya ke muka Cong San. Cong San tersenyum dan menjawab, "Harap Sam-wi tidak mencampuri urursan ini. Saya sama sekali tidak berniat untuk bermusuhan dengan siapapun juga. Kedatanganku memang khusus untuk membuat perhitungan dengan Ang-kiam Bu-tek yang telah membunuh suhengku, seorang murid Siauw-lim-pai. Harap Sam-wi minggir, aku tidak bermusuhan dengan Sam-wi." "Pengecut!" Si mata sipit memaki. "Beraninya menantang seorang wanita. Kalau memang kau jantan, hayo lawan aku!" Diam-diam Cong San mendongkol. "Aku tidak mau menyerang Sam-wi, akan tetapi kalau Sam-wi memaksa hendak menyerangku, silakan, tidak usah satu-satu, boleh maju bertiga." Panas rasa perut tiga orang itu. Dengan gerakan penuh aksi mereka memasang bhesi. Lalu menggeser-geser kedua kaki dan mainkan tangan seperti orang menari. Hati Cong San menjadi sebal karena tiga orang ini jelas masih rendah kepandaiannya dan hanya pandai berlagak sambil mainkan ilmu silat kembang yang hanya indah dipandang namun sebetulnya kosong dan tidak berarti kalau dipakai bertanding. Ia sengaja berdiri seenaknya bahkan matanya tidak memandang mereka, melainkan memandang kepada Cui Im dengan penuh kebencian. Ia melihat Cui Im tersenyum mengejek dan tiba-tiba Cong San yang tadinya marah dan mendongkol kepada tiga orang itu menjadi kasihan. Mereka ini menjadi korban senyuman manis Cui Im sehingga tanpa mengenal diri mereka rela terjun mewakili wanita itu. Padahal, tentu saja sebagai seorang yang memiliki kepandaian tinggi Cui Im aklum bahwa tiga orang ini dangkal ilmunya, mengapa wanita itu demikian kejam membiarkan mereka itu menghadapi bahaya dan bahkan menjadi buah tertawaan? Padahal tentu saja Cui Im bisa mencegah mereka turun tangan mewakilinya? Betapapun Cong San ingin pula menundukkan tiga orang yang sombong ini. "Heeeiiiiiittttt!!" "Hyyyaaatttttt!!" Tiga orang itu dengan lagak hebat sudah menyerang Cong San dengan pukulan-pukulan mereka. Cong San dengan tetap tidak bergerak, hanya menggerakkan sinkang menerima pukulan-pukulan ke arah dada, punggung dan lambung kanan itu. "Bukkk! Bukkk! Bukkk! "Hayaaaaaa..!" Tiga orang itu menjerit kesakitan dan ternyata tangan mereka yang memukul telah menjadi bengkak karena Cong San menggunakan sinkang untuk melawan keras sama keras sehingga mereka seperti memukul tubuh yang terbuat daripada baja! Tiga orang sastrawan konyol itu meringis-ringis kesakitan. Akan tetapi Cong San yang tidak memberi kesempatan mereka memperpanjang aksi mereka di situ, sudah menggerakkan kaki dan tiga kali ia menendang membuat tubuh mereka terlempar turun dari ruangan itu, jatuh terbanting menabrak meja kursi mengaduh-aduh, merayap bangun dan.. lari keluar tanpa pamit lagi. "Huah-ha-ha-ha-ha-ha! Lian Ci Sengjin, mengapa tamumu begitu konyol? Apakah memang engkau mengundang tiga orang badut itu untuk melawak di sini? Ha-ha-ha!" Kakek jembel, orang tertua dari Thian-te Sam-lo-mo, tertawa bergelak. Lian Ci Sengjin terkejut menyaksikan kelihaian pemuda baju hijau tadi, dan maklumlah dia bahwa untuk menghadapi pemuda itu harus dia sendiri yang maju. Ia sudah bangkit dan berkata, "Biar kuhajar sendiri dia!" Akan tetapi Cui Im sudah menahan lengan suaminya dan memandang kakek jembel sambil berkata, "Sudah lama aku mendengar akan nama besar Thian-te Sam-lo-o yang berjumlah tiga orang pula. Jangan-jangan tidak bedanya dengan tiga orang badut tadi? Locianpwe, pemuda baju hijau bernama Yap Cong San ini adalah murid Tiong Pek Hosiang, apakah Sam-wi Locianpwe berani menghadapinya?" Kakek jembel itu tertawa lagi. "Waduh-waduh, kiranya nona pengantin adalah seorang yang begini cerdik, hendak menyeret kami masuk ke dalam api permusuhan yang panas! Kami tidak takut siapa-siapa, akan tetapi kami sudah bosan bermusuhan. Kami hanya mau bertanding untuk mengukur kepandaian Pemuda ini tidak ada nama besar, tidak seperti nona pengantin yang julukannya menjulang tinggi sampai ke langit. Kalau sudah berani menggunakan julukan Bu-tek (Tanpa Tanding), tentu sudah dapat menandingi Bu-tek Su-kwi!" Cui Im adalah seorang cerdik dan tadi ia berusaha memanaskan hati Thian-te Sam-lo-mo untuk menghadapi Cong San. Siapa kira, kakek jembel itu kiranya lebih cerdik dan lebih berpengalaman sehingga bukan dia yang berhasil membakar, bahkan dia sendiri yang kini di bakar hatinya. Cui Im tersenyum mengejek dan mendengus dengan menghina, "Bu-tek Su-kwi? Huh, apa sih mereka? Tokoh utamanya, Lam-hai Sin-ni dengan mudah tewas di tanganku!" Thian-te Sam-lo-mo terkejut. Memang mereka sudah mendengar pula berita itu, akan tetapi setelah melihat Cui Im, mereka mengira berita itu dilebih-lebihkan. Akan tetapi kalau wanita ini berani mengakuinya, agaknya wanita muda ini memiliki kepandaian hebat, hal yang benar-benar tak dapat mereka percaya. "Bhe Cui Im, mengapa banyak cakap dan hendak sembunyi di balik punggung orang lain? Majulah dan kita membuat perhitungan!' Cong San membentak, suaranya keren dan penuh semangat. Cong San yang maklum bahwa Keng Hong berada di situ, dan karena di situ hadir pula orang-orang gagah, merasa mendapat angin. Kembali Cui Im tersenyum. "Kalau aku yang maju sendiri, berarti aku tidak mengindahkan kepandaian para tamuku. Adakah lagi para enghiong yang hadir ini sudi mewakili aku memberi hajaran kepada bocah ini?" Sunyi saja, agaknya para tamu menjadi ragu-ragu setelah melihat kelihaian Cong San yang dalam segebrakan saja merobohkan tiga orang lawan tadi. Juga para tamu yang duduk di tempat kehormatan merasa ragu-ragu untuk menerjunkan diri ke dalam permusuhan pribadi, apalagi mengingat bahwa pemuda itu adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai. Mereka sebagai orang-orang berilmu tidak takut menghadapi pemuda itu, akan tetapi segan menanam bibit permusuhan dengan Siauw-lim-pai. "Biarlah aku sendiri yang maju menghajarnya!" Lian Ci Sengjin sudah bangkit dari kursinya, tetapi Sian Ti Sengjin menahannya, dengan menyentuh lengannya. "Sute, engkau duduk sajalah. Karena saat ini engkau adalah seorang mempelai, tidak pantas kalau engkau harus turun tangan sendiri, demikian pula isterimu. Kalau pemuda ini berkeras, biarlah aku yang menghadapinya." Sian Ti Sengjin bangkit berdiri. "Tidak baik tuan rumah turun tangan sendiri ! Biarlah aku yang mencobanya!" Teriakan ini keluar dari mulut Kim-to Lai Ban yang sudah mencelat dari kursinya dan berdiri di depan Cong San. Kim-to Lai Ban sedang mencari sekutu untuk diajak menghadapi Tiat-ciang-pang karena dia masih merasa sakit hati terhadap Ouw Kian yang kini menjadi ketua Tiat-ciang-pang, maka dia yang menganggap bahwa murid Saiauw-limpai yang muda itu tidak berapa mengkhawatirkan, ingin memberi jasa. Cong San terkejut. Tidak disangkanya sama sekali bahwa seorang tokoh Tiat-ciang-pang akan turun tangan membantu Cui im. Juga tadi dia heran menyaksikan sikap dua orang tuan rumah. Mereka adalah tokoh-tokoh Kun-lun-pai, mengapa setelah dia membuka rahasia Cui Im mereka itu masih hendak melindunginya? Akan tetapi dia masih dapt mengerti sikap mereka ini karena kalau Sancu itu hendak menikah dengan Cui Im, memang sepantasnya dia membela isterinya, dan suhengnya pun sudah selayaknya membela sutenya, sungguhpun mereka itu sebenarnya harus insyaf bahwa mereka telah bersekutu dengan seorang wanita tokoh sesat. Akan tetapi tokoh Tiat-ciang-pang yang menjadi tamu? Kini hendak turun tangan pula melindungi Cui Im! Cepat Cong San menjura ke arah Lai Ban dan berkata, "Lo-enghiong! Kalau Lo-enghiong seorang tokoh Tiat-ciang-pang, mengapa" Tiba-tiba ucapannya disambung suara lain yang datangnya dari atas genteng. "Dia bekas pengurus Tiat-ciang-pang yang murtad dan melarikan diri!" Cui Im menggerakkan tangan ke atas, "Brakkk!" Beberapa buah genteng berikut langit-langit dari mana suara itu datang pecah berantakan, akan tetapi tidak ada apa-apa di sana! Semua orang terutama Thian-te Sam-lo-mo, terkejut sekali menyaksikan kehebatan pukulan nona pengantin ini yang membuktikan sinkang yang amat kuat! Sebetulnya yang mengeluarkan suara tadi adalah Keng Hong, akan tetapi pemuda sakti ini menggunakan khikang sehingga suaranya seperti terdengar dari atas padahal dia masih berada di antara tamu yang tingkatnya rendahan. Dia mempergunakan kesempatan selagi semua mata dan perhatian tertuju kepada Lai Ban dan Cong San untuk mengeluarkan suara itu. Kini Cong San mengerti mengapa Lai Ban seorang tokoh Tiat-ciang-pang membantu Cui Im. Kranya orang ini adalah seorang pelarian dari Tiat-ciang-pang! Ia mengerti akan bahaya. Kini dia telah di antara musuh-musuh lihai yang akan membantu Cui Im. Ia menyesal bahwa dia telah teburu nafsu turun tangan. Akan tetapi karena sudah terlanjur, dia menjadi nekat dan berkata, "Aku datang untuk membuat perhitungan dengan perempuan iblis Ang-kiam Bu-tek. Siapa yang hendak membelanya, boleh maju!" Lai Ban marah mendengar dibukanya rahasia tadi, dan dia sudah mencengkeram ke arah Cong San dengan tangan kirinya sambil mengerahkan tenaga Tiat-ciang-kang! Cong San mengenal serangan ampuh. Ternyata bekas tokoh Tiat-ciang-pang ini lihai juga dan tak boleh disamakan dengan tiga orang sastrawan konyol tadi, maka dia cepat menangkis dengan tangan kanan. "Desssss..!" "Aaahhhhh..!" Lai Ban terhuyung ke belakang dan berseru kaget. Sungguh jauh di luar persangkaannya bahwa pemuda itu memiliki tenaga sinkang yang begitu kuat sehingga dapat menangkis serangannya yang mengandung tenaga sakti Tiat-ciang-kang sehingga dia terhuyung ke belakang. Tahulah dia kini mengapa pemuda itu berani mengacau tempat itu, kiranya memang memiliki kepandaian tinggi. *** Mengingat bahwa pemuda itu seorang tokoh Siauw-lim-pai dan kalau seorang tokoh Siauw-lim-pai sudah memiliki tenaga sinkang seperti itu, tentulah seorang yang benar-benar lihai, Lai Ban lalu mencabut goloknya. "Singgggg,..!" Sinar berkelebat menyilaukan mata ketika golok besar bergagang emas itu keluar dari sarungnya. "Kelauarkan senjatamu!" Kim-to Lai Ban yang masih mempunyai sifat kegagahan seorang pendekar menantang. Cong San masih tenang saja dan menjawab, "Lai-lo-enghiong, mengapa engkau tidak mau sadar bahwa sebagai seorang gagah tidak layak mencampuri urusan pribadi orang lain dan lebih tidak baik lagi membantu seorang iblis betina seperti Ang-kiam Bu-tek?" "Keluarkan senjatamu, atau... engkau akan mati konyol!" Lai Ban yang wataknya memang berangsan apalagi dia sudah marah dan penasaran karena dalam segebrakan saja dia terhuyung, membentak dan menganca. "Mau serang, seranglah!" Cong San masih tenang karena pemuda ini maklum bahwa tanpa senjata pun dia masih akan dapat mengatasi orang pemarah ini, apa lagi dia memang tidak ingin memindahkan permusuhannya dengan Cui Im ke pundak orang lain, maka tidak ingin melukai lawan ini. "Sombong, makan golokku!" Golok itu berkelebat, berubah enjadi sinar menyambar ke arah leher Cong San. Pemuda ini dengan tenang namun cepat mengelak dengan menggeser kaki mengubah pasangan, tubuhnya miring dan saat menyambarnya golok lewat tubuhnya dia barengi dengan hantaman dengan tangan miring ke arah pergelangan tangan yang memegang golok. Lai Ban kaget dan cepat dia meloncat ke depan sambil memutar golok menyambar ke belakang tubuhnya, menusuk perut lawan. Cong San dengan mudah mengelak dan menendang dari pinggir ke arah lutut lawan Lai Ban meloncat mundur dan goloknya membabat ke arah kaki yang menendang. Namun Cong San sudah memperhitungkan gerakan balasan lawan ini, menarik kakinya dan tangan kirinya sudah menusuk ke atas mata Lai Ban dengan gerakan di perlambat. Pancingan ini berhasil karena Lai Ban berseru girang, mengelebatkan goloknya untuk membacok putus lengan Cong San. Secepat kilat dia menotok pergelangan tangan lawan yang sedang membabat lengannya. Perhitungannya tepat sekali, kalau tidak, ada bahayanya dia kalah cepat dan lengannya putus! "Aduhhh...!" Golok terlepas dari pegangan tangan Lai Ban yang tiba-tiba menjadi lumpuh, akan tetapi tangan kirinya masih memukul dengan cepat, menggunakan tenaga Tiat-ciang-kang! Inilah kesalahannya. Kalau dia tidak nekat, tentu dia akan melepaskan golok dan tidak menderita nyeri. Kini pukulannya itu diterima oleh Cong San yang melihat pukulan keji lalu menangkis dengan pukulan telapak sambil mengerahkan tenaga sinkang. "Desssss!" Tubuh Lai Ban mencelat ke belakang dan terbanting ke atas lantai,dari mulutnya tersebur darah segar! Cepat Lai Ban duduk bersila untuk mengobati luka di sebelah dalam dadanya yang terpukul oleh tenaganya sendiri yang membalik. Cong San menggunakan kakinya mencongkel golok di atas dan sekali kakinya bergerak, golok itu melayang dan menancap lantai tepat di depan Lai Ban! "Bagus sekali...!" Wah, murid Siauw-lim-pai lihai.. Ha-ha-ha!" Kakek jembel tertawa-tawa gembira. Memang kakek ini dan dua orang saudaranya paling suka menonton pertandingan silat, akan tetapi kalau ada lawan tanggung-tanggung saja mereka tidak sudi turun tangan. Kini menyaksikan kelihaian Cong San, tangan mereka sudah gatal-gatal! "Uh-uh-uh, bocah jahat!" Seruan ini halus perlahan, akan tetapi Cong San cepat mencelat ke belakang untuk mengelak. Tampak sinar berkeredepan ketika golok di tangan Thian It Tosu menyambar, dan begitu golok itu luput mengenai sasaran lalu membalik dan sudah menyambar lagi. Suara golok merobek udara sampai mengeluarkan suara mengaung tiada hentinya dan sinar golok itu bergulung-gulung mengurung tubuh Cong San. Pemuda ini terkejut, maklum bahwa ilmu golok Thian It Tosu amat hebat. Terpaksa dia lalu mengeluarkan senjatanya Im-yang-pit. "Trang-trang-trang-cringgg...!" Bunga api berhamburan ketika berkali-kali golok bertemu sepasang pensil yang digerakkan secara istimewa oleh Cong San. Memang ilmu silat pemuda ini mainkan sepasang pensilnya amat lihai. Setiap kali menangkis, senjata yang kecil ringan ini tentu terus meleset dan menotok pergelangan lawan, malah disusul oleh pensil ke dua yang melakukan totokan ke arah jalan darah yang berlawanan. Thian It Tosu terpaksa mengelak ke sana ke mari dan goloknya diputar melindungi tubuh, namun sepasang pensil itu seperti dua ekor burung yang amat gesit, selalu dapat menyusup di antara sinar golok mencari sasaran jalan darah secara bertubi-tubi dan susul-menyusul! Dalam belasan jurus saja Thian It Tosu sudah terdesak hebat dan hanya main mundur. "Wah-wah-wah, bocah itu hebat...!" Si kakek jembel berjingkrak-jingkrak girang sekali. "Tosu tukang sembelih babi dengan goloknya itu takkan menang!" Diam-diam Lian Ci Sengjin menjadi mendongkol juga kepada Thian-te Sam-lo-mo, apalagi kepada si kakek jembel itu. Mereka adalah golongan cianpwe yang berkedudukan tinggi dan dia harapkan akan turun tangan meredakan kekacauan, akan tetapi kakek itu malah berjingkrak-jingkrak memuji si pemuda Siauw-lim-pai, seolah-olah merasa girang melihat fihak yang membelanya menderita kekalahan. Sambil mengeluarkan seruan keras, bekas tokoh Kun-lun-pai ini meloncat ke depan, pedangnya sudah terhunus dan terjangannya hebat ketika dia menusuk ke arah dada Cong San. "Cringgg..!!" Pedang itu terpental ketika tertangkis pensil hitam. Thian It Tosu sudah menerjang lagi goloknya dan Cong San dikeroyok dua. Pemuda ini menjadi mendongkol sekali. Tak disangkanya bahwa dalam mengejar musuh besarnya, dia malah bentrok dengan tokoh-tokoh dari partai besar seperti Kun-lun-pai dan Tiat-ciang-pang, padahal menurut patut, tokoh-tokoh partai besar itu semestinya membantu dia menghadapi Ang-kiam Bu-tek yang jahat. Dengan marah dia lalu menggerakkan kedua pesilnya sedemikian rupa sehingga Lian Ci Sengjin dan Thian It Tosu yang diserang totokan maut pada jalan darah mereka berseru keras dan meloncat mundur. Sementara itu, Sian Ti Sengjin juga sudah melompat maju. Akan tetapi pada saat itu, terdengar seruan halus berwibawa dari Cui Im, "Mundur semua! Biar aku memberi hajaran kepada bocah ini!" Bayangan merah berkelebat didahului angin pukulan dahsyat menyambar ke arah Cong San ketiga tiga orang pengeroyoknya termasuk Sian Ti Sengjin mundur dan minggir mendengar seruan Cui Im. Pukulan sinkang yang dilontarkan Cui Im hebat bukan main. Cong San yang belum pernah bertanding mati-matian melawan wanita itu menangkis dan dia terjengkang! Untung dia segera menekan lantai dengan sikunya dan tubuhnya sudah meloncat bangun lagi sambil menggerakkan kedua pensilnya. "Cring-cring-cring..!" Sinar merah dari jarum-jarum merah Cui Im runtuh semua terpukul sepasang pensil. Pemuda itu sudah meloncat bangun dan memandang Cui Im dengan marah. Ia maklum akan kelihaian wanita itu dan tadi pun hampir saja dia celaka. "Wah, nona pengantin benar-benar hebat! Sekarang baru ramai!" Kakek jembel itu berseru dan sekali ini dia benar-benar memuji karena maklum bahwa tingkat kepandaian Ang-kiam Bu-tek benar-benar hebat. Kalau tadi tiga orang iblis tua ini kepengin sekali menantang dan menggempur Cong San untuk menguji kepandaian tokoh muda Siauw-lim-pai yang lihai itu, kini mereka pun ingin sekali mencoba kesaktian Cui Im. Tiba-tiba terdengar pekik seorang pelayan wanita berlari keluar, "Celaka... Toanio.. Kamar Toanio kebongkar..!" "Apa..?" Mendengar ini, Cui Im membalikkan tubuh dan lari meninggalkan Cong San untuk memeriksa kamarnya. Melihat ini, Lian Ci Sengjin, Sian Ti Sengjin dan Thian It Tosu sudah maju lagi mengeroyok Cong San. Sementara itu, kakek jembel yang sudah tak dapat tahan menahan nafsunya ingin bertanding, tiba-tiba tertawa bergelak, tubuhnya melayang ke udara dan bagaikan seekor burung dia menerkam kepala Cong San. "Dukkkkkk! Ayaaaaa...!" Tubuh kakek itu mencelat kembali ke belakang di mana dia hinggap di atas lantai dengan mata terbelalak memandang seorang pemuda bermuka hitam bopeng yang berpakaian longgar seperti pakaian pendeta yang tadi menyambut tubuhnya di udara dan mendorongnya kembali ke tempatnya. Hampir dia tidak percaya bahwa yang telah menolak tubuhnya tadi adalah pemuda bopeng itu! Kakek yang tadinya banyak bicara dan suka ketawa itu kini terbelalak memandang dengan muka melongo. "Apakah kita mimpi...?" Ia berkata kepada dua orang saudaranya. "Muncul tokoh Siauw-lim-pai, dan nona pengantin yang hebat, kemudian bocah bopeng ini.. Bagaimana dunia sekarang penuh dengan orang-orang muda sakti berkeliaran?" Pemuda muka bopeng itu melayang turun dan begitu kaki tangannya bergerak, golok Thian It Tosu terlempar, pedang Lian Ci Sengjin dan Sian Ti Sengjin terpental ke belakang sedangkan tubuh mereka terhuyung. "Lian Ci Sengjin, apakah engkau masih belum sadar dari kesesatanmu?" kata pemuda muka bopeng sambil meraba mukanya sehingga terbukalah kedok karet tipis dan tampak mukanya yang aseli. "Keng Hong...!" Keparat, engkau pemuda busuk, dimana-mana menimbulkan kekacauan...!" Lian Ci Sengjin berseru memaki. "Hemmm, ingatlah akan perbuatanmu sendiri! Lupakah kau akan nona Tan Hun Bwee yang perkosa di dalam hutan?" "Apa...??" Lian Ci Sengjin menjadi pucat wajahnya. *** "Sute, benarkah itu...?" Sian Ti Sengjin memandang sutenya dengan mata tajam. "Tidak.. Eh, aku..." Lian Ci Sengjin tergagap. "Lian Ci Sengjin, setelah engkau menjadi Sancu di Phu-niu-san, apakah engkau tetap menjadi pengecut? Seorang jantan sudah berani berbuat tentu berani mengakui perbuatannya. Engkau memperkosa nona Tan!" Muka Lian Ci Sengjin menjadi merah dan matanya melotot. "Benar! Habis engkau mau apa?" "Mau menghajarmu!" Keng hong berteriak dan tangan kirinya memukul dengan jari tangan terbuka ke arah perut ketua atau kepala di Phu-niu-san itu. Kalau pukulan ini mengenai sasaran tentu perut itu akan pecah dan agaknya Lian Ci Sengjin tak dapat mengelak lagi. "Desssss!" Pukulan sinkang tangan kiri Keng Hong tertangkis oleh tangan Cui Im yang melesat dari dalam. Muka wanita itu merah sekali dan matanya menyinarkan maut ketika dia berpandangan dengan Keng Hong. "Cia Keng Hong! Kembalikan pusa-pusaka itu!" Jeritnya, setelah menangis saking marah dan bencinya. Keng Hong tertawa dan bersedakap seperti hendak melindungi pusaka-pusaka yang sudah dapat dia rampas kembali dan kini dia sembunyikan di dalam baju yang longgar itu. "Enak saja! Susah payah aku mencari. Engkau asyik menjadi pengantin, maka lengah. Salahmu sendiri!" "Kau... pencuri laknat!" "Husssssshhhhh, engkau sendiri mencurinya dari aku, dan sekarang aku mencurinya kembali. Adil, bukan?" "Bangsat!" Pedang merah di tangan Cui Im menyambar, akan tetapi Keng Hong sudah mengelak. "Cringgggg...!" Pensil putih di tangan Cong San yang menangkis pedang itu. "Iblis betina, sekarang nyawamu harus kuambil!" bentak pemuda ini. Cong San hendak menyerang, akan tetapi Keng Hong memegang pundaknya dan mendorongnya keras sekali sehingga tubuh pemuda murid Siauw-lim-pai terlempar. "Mari kita pergi, Yap-twako.." "Tetapi...!" "Nanti bicara, sekarang lari!" Keng Hong juga sudah meloncat dan sekali lagi dia mendorong dengan tenaga sepenuhnya sehingga tubuh Cong San seperti dilontarkan keluar dari gedung itu, diikuti bayangan Keng Hong. "Berhenti, Keng Hong manusia keparat!" Cui Im mengejar. "Eh-eh-eh, murid Siauw-lim-pai, bocah bopeng, tunggu, mari kita mengadu kepandaian. Coba kalau kalahkan Thian-te Sam-lo-mo!" Si jembel dan dua orang saudaranya juga mengejar keluar. "Kalau mereka tidak mau, engkau saja, nona pengantin. Engkau pun cukup lihai!" Teriak pula si jembel dari belakang Cui Im. Cui Im sudah menyambitkan jarum-jarum merahnya ke arah pungung Keng Hong. Akan tetapi Keng Hong mengulur tangan dan dari samping dia menangkap jarum-jarum itu, kemudian sambil tertawa berseru, "Lian Ci Sengjin, kutitipkan nyawamu kepadamu. Ini untuk peringatan, terimalah!" Tangan Keng Hong bergerak dan jarum-jarum merah itu menyambar seperti sinar-sinar merah ke arah Cui Im, tiga orang kakek iblis dan ke arah Lian Ci Sengjin! Dengan mudah Cui Im dan tiga orang kakek iblis mengelak, akan tetapi Lian Ci Sengjin memaki marah karena daun telinganya ditembus sebatang jarum merah isterinya! Cui Im meloncat lagi hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara di belakangnya. "Jangan pergi semua! Layani dulu kami beberapa jurus, nona pengantin!" Cui Im kaget karena ada angin menyambar dari belakang. Cepat dia mengelak sambil memutar tubuh dan ternyata tiga orang Thian-te Sam-lo-mo telah menyerangnya dan memaksanya untuk menguji kepandaiannya. "Apakah kalian gila?" Cui Im memaki dengan mendongkol sekali mengelebatkan pedang merahnya. Demikian hebat sambaran pedangnya sehingga tiga orang kakek iblis itu terpaksa meloncat ke belakang. Ketika Cui Im menoleh ternyata bayangan Keng Hong dan Cong San telah lenyap. Pintu depan penuh dengan para tamu yang kacau balau lari ke sana ke mari. Cui Im marah bukan main, dan karena yang menghalanginya adalah Thian-te Sam-lo-mo, maka sambil mengeluarkan teriakan melengking nyaring ia lalu menerjang tiga orang kakek itu dengan pedangnya! "Aduh, ganas..!" Teriak si kakek jembel. "Kiam-sut yang hebat!" Si sasatrawan juga berseru sambil mengelak. "Bukan main!" Seru pula orang ketiga yang berpakaian tosu. Cui Im tidak peduli lagi, kemarahannya memuncak dan ia menerjang tiga orang itu kalang kabut. Tiga orang kakek itu mula-mula hanya mengelak ke sana ke mari, menganggap Cui Im main-main dan ingin menguji kepandaian, akan tetapi pedang itu makin ganas, bahkan di barengi dengan pukulan-pukulan tangan kiri yang mengandung sinkang kuat, mereka terkejut dan mencabut pedang masing-masing yang tersembunyi di balik jubah mereka. "Trang-trang-trang...!" Bunga api berhabuan dan tiga orang kakek itu terdorong mundur sampai tiga langkah sedangkan Cui Im hanya mundur selangkah. Tiga orang kakek iblis tua itu benar-benat kaget dan kagum bukan main, akan tetapi mereka menjadi makin gembira. Bagi mereka ini, makin tangguh lawan, makin menggembirakan, maka mereka sudah bergerak maju pula. "Tahan...!" Teriak Lian Ci Sengjin. "Harap berhenti...!" teriak pula Sian Ti Sengjin. "Tidak perlu bertanding antara teman sendiri!" ucapan ini keluar dari mulut Lai Ban. Mereka semua, golongan tamu-tamu kehormatan sudah tiba di situ dan melerai Cui Im dan ketiga orang kakek iblis. Tiga orang kakek iblis itu mundur dan si kakek jembel memuji sambil mengacungkan jempolnya. "Engkau hebat, nona pengantin. Aku si tua benar-benar kagum sekali!" Cui Im cemberut, akan tetapi diam-dia ia pun berpikir bahwa ia tadi hanya mengejar sendirian, ia tidak akan mampu memenangkan Keng Hong. Kalau saja tiga orang kakek iblis itu tidak seperti anak kecil dan suka membantunya, agaknya mereka berempat masih ada harapan untuk merampas pusaka-pusaka itu kembali. Pusaka-pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong! Tadinya semua disimpan di kamarnya dan kini semua lenyap dicuri Keng Hong. Gemas bukan main hatinya. "Mari kita kembali dan mari kita rundingkan bersama untuk menghadapi musuh-musuh itu karena tanpa direncanakan, akan sukar menghadapi mereka yang lihai. Keng Hong itu memang seorang pengacau besar dan.." "Sudahlah!" Cui Im memotong omongan calon suaminya. " Aku suka menjadi isterimu karena mengharapkan kalian semua dengan kawan-kawan kalian akan membantuku menghadapi Keng Hong dan aku berjanji akan membantu kalian membalas dendam kalian. Akan tetapi siapa kira, kalian adalah manusia-manusia tolol sehingga begitu Keng Hong tiba, semua barangku telah digondolnya! Kalian bodoh dan tolol, terutama Thian-te Sam-lo-mo ini!" Setelah berkata demikian, Cui Im mencengkeram pakaian pengantin yang dipakainya dan "brettt-brettt!" pakaian itu sudah direnggut dan dirobek-robeknya. Ternyata di sebelah dalamnya dia telah mengenakan pakaian merahnya yang biasa! "Eh-eh-eh.. Niocu.. eh...!" Lian Ci Sengjin berseru kaget dan menghapiri calon isterinya. "Plak! Plak! Plak!" Pipinya ditampar oleh Cui Im. "Kau boleh mencari gadis Tan yang kau perkosa!" Setelah berkata demikian, Cui Im melesat pergi dengan cepat sekali, meninggalkan bekas calon suaminya yang melongo, kedua pipinya merah bekas ditampar dan daun telinganya berdarah karena tertembus jarum merah. Untung bahwa dia telah diberi obat yang ditinggalkan Cui Im di kamarnya, kalau tidak dia bisa mati terluka jarum itu. "Hayaaaaa... sial dangkalan!" Kakek jebel membanting-banting kaki. "Lama tidak bertemu tanding, sekarang muncul tiga orang muda sakti, mereka pergi semua tanpa menguji kami!" Akan tetapi Lian Ci Sengjin yang sudah marah dan makin malu, tidak memperdulikannya lalu lari memasuki rumahnya di mana dia mengeram diri ke dalam kamar. Ingin dia menangis saking marah dan malunya. Kebenciannya terhadap Keng Hong makin menghebat akan tetapi dia pun teringat akan Tan Hun Bwee dan diam-diam dia bergidik. Bagaimana Keng Hong tahu akan perbuatannya itu? Dan dimanakah Tan Hun Bwee sekarang? Ia menjadi ngeri kalau membayangkan betapa gadis itu akan mendendam sakit hati kepadanya. Sementara itu, dengan bijaksana Sian Ti Sengjin lalu membubarkan pesta dengan pernyataan maaf. Para tamu kecewa, sungguhpun mereka kehilangan barang sumbangan untuk pengantin yang tidak jadi menikah, akan tetapi mereka diberi suguhan pertandingan tingkat tinggi dan peristiwa-peristiwa lucu dan aneh yang sama sekali tidak mereka sangka-sangka. "Cia-taihiap, mengapa engkau menyerangku membunuh iblis betina itu?" Cong San menegur Keng Hong setelah mereka melarikan diri selama setengah hari dan baru berhenti di tepi Sungai Han-sui di sebelah selatan Pegunungan Phu-niu-san. Keng Hong menarik napas. Hatinya lega bahwa dia telah berhasil merampas kembali semua pusaka selengkapnya. Hari telah menjelang malam dan mereka beristirahat sambil duduk di dekat api unggun yang mereka buat untuk mengusir nyamuk. "Yap-twako, kalau aku tidak memaksa kau pergi, belum tentu kita akan dapat hidup sampai sekarang. Engkau tidak tahu, tiga orang kakek itu adalah Thian-te Sam-lo-mo yang berkepandaian hebat bukan main. Kalau mereka membantu Cui Im, ditambah bantuan para yang agaknya semua berfihak mereka, dan dikeroyok anak buah Phu-niu-san yang seratus orang lebih jumlahnya, mana mungkin kita dapat menang, apalagi dapat keluar dari Phu-niu-san dengan selamat?" *** "Aku tidak gentar menghadapi kematian dalam usahaku melaksanakan tugas sebagai murid Siauw-lim-pai!" Keng Hong menghela napas dan berkata, nada suaranya sedih karena dia teringat akan seua pengalaannya dahulu ketika dikejar-kejar di mana tokoh-tokoh Siauw-lim-pai juga turut mengejarnya. Teringat pula betapa dia pernah bentrok akhir-akhir ini dengan Thian Kek Hwesio dan lima hwesio Siauw-lim-pai yang hendak membunuh Biauw Eng. "Yap-twako, di dunia ini kiranya tidak ada orang yang pernah meragukan kegagahan dan kejantanan jago-jagi Siauw-lim-pai. Akan tetapi sesungguhnya, hanya mengandalkan keberanian dan kekerasan saja, selain hidup ini tidak akan menjadi aman, juga sering kali menimbulkan hal-hal yang meruwetkan. Pernah aku sendiri dikejar-kejar Thian Ti Hwesio dan Thian Kek Hwesio tanpa bersalah hanya karena aku adalah murid Sin-jiu Kiam-ong! Pernah pula belum lama ini nona Sie Biauw Eng diserang oleh tokoh tokoh Siauw-lim-pai di bawah pimpinan Thian Kek Hwesio hanya karena nona itu adalah sumoi dari Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im. Padahal, antara nona Sie Biauw Eng sudah tidak ada hubungan apa-apa, berbeda jauh seperti bumi dengan langit, bahkan ibu nona Sie Biauw Eng yaitu Lam-hai Sin-ni sendiri telah dibunuh oleh Cui Im dan nona Sie Biauw Eng hampir saja mati di tangan bekas sucinya. Inilah, Twako, buruknya watak keras dan kaku, hanya mengandalkan asal berani dan benar terus merunduk saja tanpa wawasan dan pertimbangan lagi." Wajah pemuda baju hijau yang tampan itu menjadi merah. Ia tidak senang mendengar pemuda itu mencela tokoh-tokoh Siauw-lim-pai, akan tetapi karena celaan itu sebenarnya menurut kenyataan dan sama sekali bukan dimaksudkan untuk menghina, dia pun tidak dapat membantah dan berkata, "Habis, kalau menurut pendapatmu bagaimana, Cia-taihiap? Apakah karena kedudukannya yang sedemikian kuatnya itu aku lalu harus lari ketakutan dan melapor kepada suhu di Siauw-lim-si bahwa aku tidak sanggup melaksanakan perintah suhu?" Keng Hong tersenyum sabar, maklum bahwa hati pemuda yang gagah perkasa ini agak tersinggung. "Bukan begitu, Twako. Tugas dari guru merupakan tugas suci yang harus dilaksanakan dengan taruhan nyawa, akan tetapi kalau tugas itu gagal karena kecerobohan, hal itu tentu terjadi kalau kau nekat melawannya, bukankah akan berarti kau menyia-yiakan dan menggagalkan tugasmu pula? Melawan dengan nekat sampai mati padahal sudah tahu bahwa melawan hanya berarti akan mengantar nyawa sendiri sama sekali bukanlah perbuatan orang gagah, melainkan pernuatan orang bodoh yang nekat. Terus terang aku memberitahu kepadamu,Yap-twako, bahwa dengan tingkat kepandaianmu yang sekarang, engkau tidak akan dapat menangkan Cui Im. Ketahuilah, dia telah mewarisi ilmu-ilmu dalam kitab-kitab pusaka peninggalan guruku Sin-jiu Kiam-ong dan agaknya tokoh Siauw-lim-pai yang akan dapat menundukkan hanya gurumu sendiri!" Yap Cong San termenung dan dihatinya dia benar-benar terkejut mendengar ini. Memang tadi dia sudah menyaksikan sendiri kelihaian wanita itu, akan tetapi tidak menyangka bahwa Keng hong akan menyatakan seperti itu. Dia menjadi bingung dan bertanya, suaranya mengandung penasaran. "Mohon petunjuk Cia-taihiap. Bagaimanakah saya harus bersikap sekarang? Apa yang harus saya lakukan?" Keng Hong mengeluarkan dua buah kitab yang sudah kuning dan menyerahkannya kepada pemuda itu. Yap Cong San menerima dua kitab itu dan begitu melirik ke atas judul yang tertulis di kulit sampul, dia berseru, "Ahhhhh!" Kitab I-kiong-hoan-hiat dan kitab Seng-to-cin-keng! Bukankah ini dua buah kitab pusaka Siauw-lim-pai yang dikabarkan hilang..?" "Benar. Itulah dua buah kitab yang dahulu di Pinjam oleh mendiang guruku, Sin-jiu Kiam-ong dan yang pernah kujanjikan kepada tokoh-tokoh Siauw-lim-pai untuk ku cari dan kukembalikan kepada Siauw-lim-pai. Baru sekarang aku berhasil merampasnya kembali dari Cui Im. Nah, dua buah kitab ini kuserahkan kepadamu, Yap-twako, agar kau bawa ke Siauw-lim-pai, disertai hormat dan permohonan maaf dariku demi nama mendiang guruku. Biarpun kau tidak berhasil membunuh Cui Im, namun dengan membawa kembali dua buah kitab yang amat penting ini, berarti perjalanamu tidak sia-sia belaka. Untuk membalas dendam kepada Cui Im, sekarang ini percuma. Dia tentu tidak lagi berada di Phu-niu-san setelah melihat aku mencarinya, dan engkau pun perlu memperdalam ilmu kepandaianmu untuk menghadapinya, Twako. Lebih baik kau ceritakan terus terang semua pemberitahuanku tentang kelihaian Ang-kiam Bu-tek kepada suhumu agar beliau dapat pula mempertimbangkan dan mempertinggi tingkat kepandaianmu sebelum kau ditugaskan lagi untuk menandingi Cui Im." Yap Cong San mengangguk-angguk hatinya terharu melihat dua buah kitab itu. Dia tahu karena pernah mendengar penuturan suhunya tentang dua buah kitab pusaka yang hilang dibawa Sin-jiu Kiam-ong dan hal itu selain merupakan pukulan memalukan bagi Siauw-lim-pai, juga merupakan kehilangan yang amat besat. Kini dua buah kitab itu telah diberkan kepadanya, hal yang sama sekali tidak pernah disangkanya. Pemuda Siauw-lim-pai itu cepat menjura dengan hormat dan berkata, "Banyak terima kasih, Cia-taihiap. Bukan hanya atas pengembalian dua buah kitab pusaka Siauw-lim-pai ini, akan tetapi juga atau nasihat-nasihat Taihiap yang kini dapat kulihat dan kurasakan kebenarannya. Baiklah, aku akan menghadap suhu, Mempersembahkan dua buah kitab ini dan menceritakan keadaan musuh besar itu yang kini menjadi amat lihai. Tentu dia sudah pula mempelajari ilmu dari kedua buah kitab ini." Keng Hong menghela napas panjang. "Memang benar demikianlah, maka dia menjadi demikian lihai." Yap Cong San menganggu-angguk dan berkata dengan suara tegas, "Betapa pun juga, aku mohon kemurahan hati suhu utnuk memberi gemblengan agar aku dapat memperdalam ilmu sehingga akan dapat menandingi wanita iblis itu! Sekali lagi terima kasih, Tai-hiap, dan selamat berpisah sampai jumpa pula." Selamat jalan dan berhati-hatilah. Dua buah kitab yang kau bawa itu kalau sampai terlihat tokoh-tokoh kang-ouw tentu akan mendatangkan bahaya dan gangguan hebat." Yap Cong San menyimpan dua buah kitab di sebelah dalam bajunya dan mengaguk, "Aku mengerti, Tai-hiap, dan karena dua buah kitab ini adalah benda-benda pusaka Siauw-lim-pai, aku akan melindunginya dengan nyawaku!' Sekali lagi dia memberi hormat, kemudian tubuh pemuda Siauw-lim-pai ini berkelebat cepat, pergi meninggalkan Keng Hong yang memandang kagum. Pemuda itu benar-benar tampan dan gagah perkasa keberaniannya luar biasa membuat dia kagum dan suka sekali. Setelah Yap Cong San pergi, Keng Hong lalu membuka bajunya dan mengeluarkan semua benda yang tadi dia rampas atau curi dari kamar pengantin wanita, pusaka-pusaka yang dahulu dilarikan Cui Im dari tempat persembunyian gurunya. Sebatang pedang pusaka Hoa-san-pai, sepasang golok emas yang gagangnya di tabur mutiara, yaitu benda pusaka dari Khong-thong-pai, sekumpulan benda perhiasan yang dahulu oleh Sin-jiu Kiam-ong dirapasnya dari tangan Tan-piauwsu dan isterinya, yaitu benda-benda milik pembesar yang dikawalnya, sebuah kitab kuno dari Go-bi-pai yang dia rampas dari tangan Go-bi Chit-kwi, karena memang kitab ini dari Go-bi-pai dicuri oleh Tujuh Iblis Go-bi itu. Tujuh buah kitab peninggalan Sin-jiu Kia-ong sendiri yang ditulis oleh pendekar sakti itu, dan sekantung penuh berisi potongan emas dan puluhan butir permata yang amat indah dan mahal harganya. Hemmm, benda-benda inilah di antara semua benda yang menibulkan keributan di dunia kang-ouw, yang membuat gurunya dahulu dimusuhi oleh banyak orang kang-ouw, dan yang kini menjadi tugasnya untuk dia kembalikan kepada pemiliknya yang berhak.pertama-tama dia harus mengembalikan pokiam (pedang pusaka) dari Hoa-san-pai seperti yang pernah dia janjikan kepada tokoh-tokoh Hoa-san-pai. Sambil tersenyum puas Keng Hong memandang benda-benda pusaka yang terletak di depan kakinya itu. Tiba-tiba, secepat kilat, dia menyambar benda-benda itu dan beberapa detik kemudian benda-benda pusaka itu telah lenyap tersembunyi di dalam saku-saku bajunya sebelah dalam, sedangkan tubuhnya sudah melompat dan membalik Biarpun dia tadi sudah bergerak cepat sekali menyimpan semua benda itu ketika mendengar suara mencurigakan di sebelah belakang, namun Keng Hong maklum bahwa dia masih belum cukup cepat untuk menyembunyikan dari mata tiga orang kakek yang tahu-tahu telah berada di situ, berdiri memandangnya. Mereka itu bukan lain adalah Thian-te Sam-lo-mo! Tiga orang kakek ini sebetulnya adalah tiga orang yang usianya amat tingi, kurang lebih seratus tahun! Di antara datuk-datuk golongan tua seperti Bu-tek Su-kwi yang kini tinggal tiga orang, yaitu Ang-bin Kwi-bo, Pak-san Kwi-ong dan Pat-jiu Sian-ong, mereka inilah yang paling tua. Sudah puluhan tahun semenjak dahulu mereka dikalahkan Sin-jiu Kiam-ong, tiga orang iblis tua ini mengundurkan diri, bertapa dan tidak mencapuri urusan dunia, karena mereka sudah berjanji dan bertaruh dengan Sin-jiu Kiam-ong bahwa fihak yang kalah akan mengundurkan diri dan tidak akan muncul lagi di dunia kang-ouw! *** Mereka itu bersembunyi dan bertapa di antara puncak-puncak di Pegunungan Himalaya, selain untuk memenuhi janji, juga untuk menggembleng diri dengan ilmu-ilmu yang tinggi agar kelak kalau perlu mereka akan dapat menebus kekalahan mereka dari Sin-jiu Kiam-ong! Akan tetapi, mereka lalu mendengar bahwa Sin-jiu Kiam-ong telah meninggal dunia di puncak Kun-lun-san, yaitu Lembah Kiam-kok-san. Berita ini menggirangkan hati mereka karena mereka kini terbebas dari janji karena kalah bertaruh, juga mengecewakan kesempatan lagi untuk menebus kekalahan! Namun, ketiga tiga orang iblis tua ini menuruni Pegunungan Himalaya dan memasuki dunia ramai lagi, mereka kehilangan gairah. Melihat tokoh-tokoh besar yang boleh dijadikan saingan sudah tidak ada, mereka menjadi jemu. Pula, karena usia mereka yang sudah tua membuat mereka tidak bersemangat lagi untuk bermusuhan dan menimbulkan ribut, dan nafsu-nafsu jasmani mereka sudah mulai lemah, tiga orang ini hanya mencurahkan kesenangan dalam melakukan pibu dengan orang-orang pandai. Akan tetapi mereka tidak mau sembarangan turun tangan mencoba kepandaian orang kalau tidak merasa yakin betul bahwa lawannya cukup berharga untuk mereka tandingi! Watak tiga orang yang sudah terlalu tua ini seperti kembali menjadi kanak-kanak. Ketika lewat di Phu-niu-san dan mendengar tentang San-cu dari gunung itu yang kabarnya lihai, mereka mampir. Akan tetapi setelah bertemu dan mendapat kenyataan bahwa San-cu dan suhengnya itu hanyalah tokoh-tokoh Kun-lun-pai tingkat tiga atau empat saja, mereka memandang rendah dan hanya mau menerima persahabatan Lian Ci Sengjin dan Sian Ti Sengjin setelah dua orang yang dapat mengenal orang sakti itu menerima mereka bertiga sebagai tamu-tamu kehormatan. Apalagi ketika Thian-te Sam-lo-mo melihat calon isteri San-cu itu, Mereka menjadi terheran-heran dan dapat menduga bahwa calon pengantin wanita ini adalah seorang wanita muda yang memiliki kepandaian yang mungkin tidak akan mengecewakan untuk diajak pibu! Mereka diperlakukan sebagai tamu-tamu terhormat sampai tiba saat pesta pernikahan di mana ketiga kakek tua renta ini bertemu dengan jago muda Siauw-lim-pai Yap Cong San dan pendekar muda yang memiliki kepandaian hebat,Cia Keng Hong. Ketika Cui Im yang marah-marah dan kecewa sekali meninggalkan Phu-niu-san,tiga orang kakek itu pun segera menggunakan kepandaian mereka untuk mengejar. Akan tetapi mereka kehilangan jejak Cui Im sehingga mereka itu, terutama sekali orang tertua yang berpakaian jembel, membanting-banting kaki dengan gemas dan kecewa. Mereka masih gemas dan kecewa. Mereka masih merasa penasaran dan belum puas kalau belum menguji kepandaian wanita muda yang telah berani menggunakan nama julukan Bu-tek (Tanpa Tanding) setelah mereka kecewa tidak dapat mengadu ilmu dengan dua orang pemuda lihai itu. Tiga orang itu memang kakak beradik seperguruan. Yang tertua adalah si kakek jembel itu yang mempunyai watak ugal-ugalan dan suka berkelakar. Dahulu dia berjuluk Kai-ong Lo-mo (Iblis tua Raja Pengemis) maka sampai sekarang pun pakaiannya seperti seorang jembel gelandangan ! Orang ke dua adalah Bun-ong Lo-mo (Iblis Tua Raja Sastrawan) yang berwatak angkuh dan menganggap diri sendiri yang paling pandai, baik mengenai ilmu sastra maupun ilmu silat! Pakaiannya pun sampai sekarang seperti pakaian seorang sastrawan! Adapun orang ke tiga dahulu berjuluk Thian-to Lo-mo seorang penganut to-kauw yang fanatik! Mereka ini setelah tua selalu berkumpul maka terkenal dengan julukan Thian-te Sam-lo-mo (Tiga Iblis Tua Bumi Langit)! Karena penasaran, tiga orang kakek itu melanjutkan pengejaran mereka, akan tetapi mereka salah mengambil jalan, bukan Cui Im yang mereka temui, melainkan Keng Hong. Sejenak mereka terkejut, akan tetapi hati mereka girang sekali. Kini mereka malah bertemu dengan pemuda yang merupakan lawan Ang-kiam Bu-tek! Keng Hong maklum bahwa tiga orang kakek ini amat lihai, dan dia biarpun tidak gentar, akan tetapi tidak ingin menanam bibit permusuhan baru dengan tokoh-tokoh datuk hitam ini, maka dia cepat mengangkat kedua tangan memberi hormat dan berkata, "Ah, kiranya Sam-wi Locianpwe yang datang. Saya kagum sekali akan kepandaian Sam-wi Locianpwe dan perkenankan saya yang muda menyatakan hormat dan kagum!" Ketiga orang kakek itu saling pandang. Si sastrawan hanya tersenyum, si tosu juga menyeringai akan tetapi si kakek jembel tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha-ha! Engkau ini orang muda sungguh mempunyai banyak bakat! Bakatmu pertama, engkau tampan sopan santun dan pandai ilmu silat dan bakatmu ke dua engkau pandai bermulut manis, dan bakatmu ke tiga engkau pandai menjadi pencuri. Ha-ha-ha!" "Locianpwe, saya bukan pencuri!" Keng Hong membantah. "Ha-ha-ha-heh-heh-heh, dia bukan pencuri katanya! Ha-ha-ha! Orang muda, apakah engkau mengira kami tiga orang kakek sudah pikun dan lamur? Engkau mencuri benda-benda berharga dari dalam kamar mempelai wanita. Mencuri pusaka-pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong! Engkau masih tidakk mengaku? Kami tadi mengenal pedang pusaka Hoa-san-pai dan sepasang golok emas Kong-thong-pai! Bahkan kami sudah lama tahu bahwa benda-benda pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong itu disipan oleh si mempelai wanita. Ha-ha-ha, dan sekarang kami akan mengambilnya darimu!" Keng Hong mengangguk-angguk. Di mana-mana, tokoh kaum sesat ini sama saja, tidak lain hanyalah orang-orang yang diperhamba nafsu menginginkan benda lain orang, biarpun sudah setua mereka itu! "Sam-wi Locianpwe, kalau sudah tahu mengapa tidak mendahului saya mencurinya dari kamar mempelai?" "Bocah lancang, tutup mulutmu!" Tiba-tiba kakek berpakaian sastrawan Bun-ong Lo-mo membentak sambil melangkah maju, matanya mendelik dan kepalanya dikedikkan ke belakang, dadanya membusung. "Kau lihat baik-baik, siapakah kami? Lancang mulutmu menuduh kami pencuri! Apa kaukira kami ini hanyalah golongan maling-maling kecil seperti engkau yang secara pengecut mengambil barang orang lain di luar tahunya si pemilik? Puluhan tahun lamanya, kalau kami menghendaki sesuatu, kami ambil saja, pemiliknya yang melihat di depan hidungnya akan dapat berbuat apakah?" Keng Hong terkejut. Benar-benar aneh kakek sastrawan ini. Marah disangka maling, akan tetapi dengan bangga mengaku bahwa mereka kalau menghendaki barang, mengambilnya begitu saja dari depan hidung pemiliknya alias merampok! "Maaf, saya tidak menuduh Sam-wi Locianpwe, hanya karena penasaran Sam-wi menuduh saya pencuri. Memang saya mengambil benda-benda itu dari kamar mempelai wanita, akan tetapi saya hanya mengambil barang yang menjadi hak saya karena lima enam tahun lalu barang-barang itu dicuri oleh Bhe Cui Im dari tangan saya." "Nah-nah-nah, tambah satu lagi bakatmu, bakat membohong! Barang itu adalah peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, bagaimana kau bisa mengatakan berhak atas pusaka itu?" Keng Hong tidak perlu menyembunyikan keadaan dirinya lagi. "Memang berhak, karena Sin-jiu Kiam-ong adalah guruku." "Siancai...!" Engkau murid mendiang Sin-jiu Kiam-ong?" Kini kakek tosu itu bertanya sambil merangkap kedua tangan penuh keheranan. "Benar, Locianpwe." "Phuuuuahhh!" Gurunya maling besar, muridnya pun maling kecil!" Si sastrawan mengejek, mukanya membayangkan hati yang muak. Akan tetapi kakek jembel berjingkrak dan bertepuk-tepuk tangan. "Ha-ha-ha-heh-heh, lucunya.. ha-ha-ha, lucunya! Sie Cun Hong hidup lagi! Ha-ha-ha! Persisi sekali Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong hidup lagi dalam diri muridnya. Sama-sama tampan dengan sepasang mata yang genit dan tentu akan dapat menjatuhkan hati setiap orang wanita! Dengan lidah yang pandai bergoyang, pandai bicara dengan sikap lemah-lembut dan halus, pandai menanam tebu di bibir dan pandai membujuk rayu di tambah lagi pandai mencuri dan membohong! Ha-ha-ha, lucunya!" "Bocah, siapa namamu?" Si sastrawan bertanya. "Nama saya Cia Keng Hong, Locianpwe." "Cia Keng Hong? Ha-ha-ha, pakai hurug Hong pula, sama dengan gurunya, Sie Cun Hong! Wah-wah, huruf Hong yang dipakai guru dan murid ini entah berarti apa? Kalau Hong lebah, pantas karena memang Sie Cun Hong seperti seekor lebah yang suka sekali mengejar bunga untuk dihisap madunya sampai habis kemudian ditingglkan begitu saja! Kalau Hong, burung Hong, memang tepat karena guru dan murid ini sama-sama tampan dan angkuh seperti burung hong yang pandai berlagak. Kalau Hong angin, tentu angin busuk.." "Alias kentut!" Kakek jembel menyambung kata-kata kakek sastrawan sambil tertawa. "Pandai bicara namun kosong dan hanya membohong menipu apa bedanya dengan kentut?" Keng Hong merasa panas juga perutnya mendengar gurunya yang sudah mati diejek dan dipermainkan namanya, maka dia cepat berkata, "Sam-wi Locianpwe! Kapankah guruku membohong dan menipu Sam-wi? Menuduh orang tanpa bukti berati fitnah dan fitnah hanya akan dilakukan oleh orang-orang yang berjiwa pengecut, curang dan berwatak hina!" "Siancai! Engkau memang membohong atau menipu kalau mengatakan bahwa kau berhak atas benda-benda pusaka itu, Cia Keng Hong." Kini si kakek tosu mencela "Baik engkau maupun Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong tidak berhak atas benda-benda pusaka itu!" *** "Saya membenarkan akan hal itu, Locianpwe. Memang tidak berhak memiliki, akan tetapi berhak dan berkewajiban untuk mendapatkannya kemudian mengembalikannya kepada yang berhak untuk mengembalikan semua pusaka ini kepada pemiliknya masing-masing untuk menebus kesalahan mendiang suhu yang dilakukan terhadap mereka." "Wah-wah-wah, tidak benar! Kalau kau mengembalikan pusaka-pusaka itu, apakah jenazah gurumu tidak akan berbalik di dalam kuburnya? Apakah arwahnya tidak kan turun mencari dan mencekikmu? dia susah-sussah merampas dan mencuri, engkau menjadi muridnya malah akan mengembalikan pusaka-pusaka itu. Benar-benar murid yang putahauw (tidak berbakti)!" "Hemmm, apakah pendapat Locianpwe sebagai seorang satrawan tentang hauw (kebakitan)?" Keng Hong bertanya dengan penasaran kepada kakek sastrawan yang memakinya sebagai puthauw lebih rendah dari pada kalau dimaki penjahat! Seorang penjahat sekalipun, kalau masih mempunyai kebaktian, akan mudah dimaafkan kejahatannya. Sebaliknya seorang putahwauw diangggap manusia serendah-rendahnya dan takkan dipercaya oleh siapapun juga! "Ha-ha-ha, bocah yang baru lahir kemarin sore seperti engkau hendak berdebat tentang hauw dengan aku?" Bun-ong Lo-mo mengejek. "Mengadbi kepada negara, itulah hauw! Kalau sebaliknya daripada itu adalah puthauw!" "Hanya sebegitu. Locianpwe? Betapa dangkal dan sederhananya. Dan memang tidak mengherankan, segala sesuatu di dunia ini tergantung manusianya, sehingga pelajaran dan filsafat tentang hidup dan segala lika-likunya sekalipun ditafsirkan menurut selera dan kebenaran masing-masing. Locianpwe, saya tidak peduli disebut putahauw atau tidak, akan tetapi bagi saya, yang penting adalah kebenaran. Biarpun perbuatan itu dilakukan oleh musuh guru atau orang tua saya, kalau perbuatan itu saya anggap benar, tidak akan saya tentang. Sebaliknya kalau ada perbuatan yang dilakukan guru saya itu saya anggap tidak benar, tentu tidak akan saya turut dan malah akan saya tentang. Menentang perbuatan keliru dari orang tua atau guru, kuanggap bukanlah sikap yang puthauw, Locianpwe, karena yang ditentang bukanlah orangnya melainkan perbuatannya! Guru yang melakukan perbuatan tidak benar, sama halnya dengan tersesat jalan memasuki rawa berlumpur. Kalau muridnya membenarkan kesesatannya, sama saja dengan si murid mendorong pungung gurunya dari belakang sehingga si guru makin jauh tersesat ke dalam lumpur. Inikah yang Locianpwe anggap sebagai hauw?" Merah wajah kakek sastrawan itu. "Bocah she Cia, engkau manusia yang sombong dan besar kepala! Mari kita berdebat tentang." "Ha-ha-ha-ha-ha, perlu apa melayani dia berdebat? Engkau akan kalah, Sute, seperti juga dulu ketika berdebat dengan Sie Cun Hong. Memang bocah ini agaknya telah dilatih dan mewarisi kepandaian Sin-jiu Kiam-ong dalam soal berdebat dan bersilat lidah!" Si jembel memotong dan meloncat ke depan, menghadapi Keng Hong, memandang penuh selidik dengan wajah berseri kemudian berkata, "Cia Keng Hong, kami tiga orang tua sudah bosan untuk merampok, bosan untuk bermusuhan akan tetapi makin gemar untuk mengadu ilmu! Dulu, puluhan tahun yang lalu sebelum engkau dapat menangkis, entah masih menjadi apa, kami pernah bertanding mengadu ilmu dengan Sin-jiu Kiam-ong, disertai taruhan.kami kalah dan kami memenuhi janji dalam taruhan itu. Kini kami bertemu muridnya. Kebetulan sekali. Kami mengulangi peristiwa puluhan tahun yang lalu dan kami menantangmu untuk menguji kepandaian sambil bertaruh!" "Saya tidak berniat mengadu ilmu dengan Sam-wi, juga saya bukan seorang penjudi yang biasa bertaruhan." "Itu tandanya kau pengecut, engkau takut dan engkau sama sekali tidak menghargai kesenangan orang yang menjadi gurumu! Kalau betul sedemikian rendahnya engkau memandang gurumu, biarpun kami pernah dikalahkan sehingga terpaksa menyembunyikan diri sampai puluhan tahun, biarlah hari ini kami mewakili gurumu untuk menghajarmu dan mengirimmu ke akhirat agar di sana gurumu sendiri akan dapat memberi hukuman kepadamu!" Suara si kakek jembel kini berubah, tidak ramah dan ugal-ugalan seperti tadi, melainkan serius sekali dan senyumnya lenyap dari wajahnya. Keng Hong terkejut sekali dan merasa bahwa kalau dia menolak terus, tentu akan terjadi ribut dan dia pun mulai dapat menangkap maksud dari tiga orang kakek ini tentang sikap gurunya yang agaknya mereka kenal baik di waktu mudanya. "Baiklah, kalau Sam-wi mendesak, saya menerima tantangan Sam-wi untuk mengadu ilmu. Tentang taruhan itu.. Apa yang Sam-wi maksudkan? Saya belum pernah bertaruhan, maka tidak mengerti.." Berseri kembali wajah kakek jembel. "Bagus... bagus...!" Nah, begitu, baru murid baik namanya! Kita melakukan pibu (mengadu ilmu silat). Kalau engkau kalah, pusaka-pusaka yang kau curi dari mempelai wanita tadi harus kau serahkan kepada kami!" "Hemm.. kiranya pada dasarnya Sam-wi memang menginginkan pusaka-pusaka ini!" Keng Hong berkata dengan suara mengejek dan mencela. "Kalau memang harus memakai jalan berputaran dan sungkan-sungkanan, mengapa tidak terang-terangan merampas saja dari saya kalau bisa?" "Wah, monyet cilik ini sombongnya!" Si kakek sastrawan menuding. "Cia Keng hong simpanlah lidahmu yang tajam berbisa itu!" Akan tetapi Kai-ong Lo-mo tertawa bergelak. "Cia Keng Hong, kami kakek-kakek tua renta sama sekali tidak menginginkan pusaka-pusaka itu. Segala macam pedang dan golok, segala macam emas intan, segala macam kitab-kitab lapuk, bagi kami untuk apakah? Kami tidak perlu menggunakan pedang dan golok, kami tidak butuh harta benda, dan kamipun tidak punya banayk waktu untuk mempelajari ilmu-ilmu baru. Engkau benar-benar tolol. Kami mempertaruhkan pusaka-pusaka itu agar kalau engkau kalah, engkau dapat menggembleng diri lagi dan mencari kami untuk mendapatkan kembali pusaka-pusaka itu. Bukankah ini baik sekali untukmu? Atau engkau lebih suka kalau kami mempertaruhkan kepalamu atau nyawamu?" Keng Hong sadar dan diam-diam dia memuji tiga orang kakek ini. Dengan taruhan pusaka, memang kalau dia yang kalah, kelak kakek itu akan dapat terus menikmati pibu dengannya yang tentu akan menggembleng diri sampai dapat mengatasi kakek-kakek itu. Mengingat ini, dia harus menggerahkan Sam-lo-o ini, maka dia menjawab, "Maafkan dugaan saya yang ternyata keliru. Baiklah, saya menerima tantangan Sam-wi untuk berpibu dengan taruhan pusaka-pusaka ini. Akan tetapi, Sam-wi Locianpwe adalah tiga orang tokoh besar yang naanya sudah menjulang tinggi ke langit selama puluhan tahun, sedangkan saya hanyalah orang yang baru saja berkecimpung di dunia persilatan. Bukankah amat janggal dan lucu, juga amat tidak adil dan akan menjadi bahan tertawaan orang gagah di seluruh dunia kalau tiga orang tokoh besar dan tua seperti Sam-wi menggeroyok seorang hijau seperti saya?" Tusukan kata-kata yang dilakukan Keng Hong ini benar-benar mengenai sasaran. Tiga orang kakek itu menjadi merah mukanya, saling pandang, kemudian si kakek sastrawan membentak, "Cia Keng Hong, engkau memang sombong! Kaukira kami perlu maju bertiga hanya untuk menandingi seorang bocah macam engkau?" Diam-diam Keng Hong menjadi girang. Biarpun mereka itu masing-masing merupakan lawan yang berat, namun kalau maju seorang demi seorang, agaknya dia akan dapat mengimbangi mereka. Kalau maju bertiga, benar-benar amat berbahaya. Cepat dia lalu mengeluarkan semua benda pusaka yang tadi dia periksa, dan dia letakkan di attas saputangan yang dia bentangkan di atas tanah. *** "Nah, inilah taruhannya. Kalau aku Cia Keng Hong, murid Sin-jiu Kiam-ong, sampai kalah bertanding melawan seorang di antara Sam-wi, biarlah untuk sementara pusaka ini kutitipkan kepada Sam-wi dengan mengalahkan Sam-wi. Akan tetapi kalau sekarang ini tidak ada seorang pun dari Sam-wi dapat mengalahkan aku, pusaka itu akan kubawa pergi dan Sam-wi tidak akan mengangguku lagi." "Baik, baik.. Biarlah pinto mencobamu lebih dulu!" kata kakek yang berpakaian dan bersikap seperti pendeta. "Silakan, Locianpwe." Keng Hong meloncat ke belakang dan bersiap-siap. Melihat kakek tua renta berpakaian pendeta ini tidak mengeluarkan senjata, Keng Hong juga menghadapinya dengan tangan kosong. Diam-diam dia bersikap waspada dan memandang penuh perhatian. Dahulu dia sudah membaca tulisan-tulisan suhunya tentang inti ilmu-ilmu silat tinggi hampir seluruh partai persilatan dan pelbagai aliran. Pengertian tentang silat dan dasar ilmu-ilmu silat ini amat penting karena kalau dia sudah mengenal dasar ilmu silat lawan, tentu akan lebih mudah menghadapi dan mengatasinya. "Cia Keng Hong, jaga serangan pinto!" kakek tua renta berpakaian tosu itu berkata dan tiba-tiba sajatubuhnya membuat gerakan menyerang dari bawah! Tubuh kakek itu merendah seperti orang berjongkok, akan tetapi kedua kakinya bergerak cepat sekali dan tangan kirinya yang menyambar ke atas menuju ke pusar Keng Hong mendorong hawa yang amat panas dan angin yang menyambar itu mengeluarkan bunyi menguik! Keng Hong cepat menggerakkan kakinya mengelak ke kiri dan ketika secara aneh sekali tubuh yang memasang kuda-kuda berjongkok itu telah mengejak elakannya dengan pukulan susulan tangan kanan, Keng Hong terkejut dan melompat mundur untuk menghindar. Akan tetapi kembali dengan tubuh masih berjongkok, kakek itu tiba-tiba juga meloncat, posisi kedua kakinya masih ditekuk rendah. Begitu tubuh kakek itu hinggap di tanah depan Keng Hong, kaki kirinya mencuat ke depan menendang dan seperti juga pukulannya, tendangan ini mengandung tenaga sinkang yang aat kuat, disusul dengan dorongan-dorongan kedua tangan bertubi-tubi yang membuat Keng Hong terpaksa menggunakan ginkangnya untuk berloncatan ke sana ke mari dalam keadaan terdesak. Ia masih bingung karena dia tidak mengerti dasar ilmu silat kakek ini! Amat aneh gerakan itu, seperti seekor ular merayap kadang-kadang menggeliat, lalu menyerang dari samping seperti ular menyabetkan ekornya, ada kalanya meluncur ke depan seperti ular menyerang dengan giginya. Karena kedudukan tubuh kakek yang selalu bergerak di bawah itu, membuat Keng Hong agak sukar membalas serangan lawan. Apalagi karena serangan-serangan Thian-te Sam-lo-mo ini sama sekali tidak boleh disamakan dengan penyerangan lawan-lawan biasa. Setiap serangan Thian-te Sam-lo-mo ini mengandung tenaga sinkang yang amat kuat dan yang hanya dapat dihadapi dengan pengerahan tenaga sinkang pula karena kalau tidak, baru angin pukulannya saja sudah cukup merobohkan lawan. Setelah terdesak hebat sampai tiga puluhan jurus dan hanya mengandalkan kelincahan gerakannya untuk menghadapi kelincahan gerakannya untuk menghadapi penyerangan dari bawah yang amat berbahaya itu sambil memperhatikan. Akhirnya Keng Hong dapat menilai dasar dari ilmu silat aneh yang dimainkan oleh Thian-to Lo-mo. jika orang bersilat dan menghadapi lawan secara biasa, wajarlah kalau di samping menyerang orang ini harus mengerahkan pula sebagian kepandaian dan perhatian untuk menjaga diri dan serangan balasan laaawan bisa saja datang dari segala jurusan, juga yang dijaga adalah seluruh bagian tubuh dari kepala sampai kaki. Akan tetapi, dengan cara bersilat seperti yang dilakukan kakek ke tiga dari Thian-te Sam-lo-mo ini, otomatis kakek itu hanya menjaga tubuh bagian atas saja karena bagian bawah tak mungkin diserang. Dengan demikian, tenaga dan perhatian yang dibutuhkan untuk menjaga diri tidaklah sebanyak kalau orang berdiri, dan sebagian besar dari tenaga dan perhatian dapat dicurahkan untuk penyerangan! Di samping itu, Keng Hong juga mengenal gerakan-gerakan dan jurus-jurus seperti yang dipakai dalam Ilmu Silat sin-coa-kun (Ilmu Silat Ular Sakti), maka setelah mengetahui, dasar ilmu silat lawan, mengertilah dia bagaimana harus menghadapi lawan. "Locianpwe, jaga serangan saya!" Tiba-tiba Keng Hong berkata dan mulutnya lalu mengeluarkan pekik melengking yang menggetarkan hutan itu. "Heiiiiihhhhhh!" tubuh pemuda ini sudah menerjang maju dan berputaran sehingga tubuhnya lenyap menjadi segulungan bayangan putih yang maju perlahan dengan kekuatan dahsyat sekali yang menyambar ke arah tubuh Thian-to Lo-mo yang setengah berjongkok dengan kaki kanan dilonjorkan ke depan. Melihat datangnya serangan hebat ini dan bagaiana peuda itu mengakhiri perputaran tubuhnya dengan menekuk kedua lutut rendah-rendah dan kedua lengannya membuat gerakan memutar ke depan sehingga ada angin pukulan yang amat kuat dan menyerangnya, kakek itu menjadi kaget bukan main. Dia tidak tahu bahwa kini pemuda bahwa yang menjadi lawannya ini telah menggunakanjurus Soan-hong-liap-in (Angin Berpusing Mengejar Awan), yaitu sebuah jurus dari San-in-kun-hoat yang sebanyak delapan jurus, akan tetapi yang merupakan ilmu silat yang amat tinggi tingkatnya dari Sin-jiu Kiam-ong. "Siancai...!" Thian-to Lo-mo yang tadinya menangkis dengan tamparan kedua lengannya dan sudah siap membalas dengan tendangan, menjadi terkejut karena tubuhnya tiba-tiba terbawa oleh hawa yang berputar itu menariknya ke atas, seolah-olah kedua lengannya yang menangkis tadi terlibat oleh hawa pukulan lawan yang membetotnya ke atas. Karena kaget, dia mengeluarkan seruan itu dan cepat sekali dia menggulingkan tubuhnya menjauhi lawan. Sambil bergulingan itu kedua tangannya bergerak dan "wut-wut-wut-wut-wut-wut!" sinar-sinar hitam menyambar ke arah jalan darah di depan tubuh Keng Hong, bahkan ada yang menyambar ke arah matanya. Keng Hong kagum sekali. Kakek itu tidak dapat terpancing oleh jurusnya Soan-hong-lian-in dan tidak mau mengubah kedudukannya yang merendahkan tubuh, malah bergulingan dan setiap kali bergulingan, tangannya menjumput tanah dan kerikil yang terus dia pergunakan sebagai senjata rahasia yang sungguh-sungguh tidak kalah berbahayanya daripada senjata rahasia runcing dan tajam! Keng Hong tentu saja dapat menghindarkan sambaran "senjata rahasia" itu dengan mudahnya, hanya dengan menyampok tanah dan kerikil itu akan tetapi dia gagal menyerang lawan dan kini, mengikuti senjata rahasianya yang tadi dia kiri sambil bergulingan, tubuh kakek itu sudah bergulingan dekat dan kembali dia menghujani Keng Hong dengan serangan pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan yang amat dahsyat. "Aihhhhh!" Keng Hong berteriak dan tubuhnya mencelat ke atas, kemudian dia membuat gerakan berjungkir-balik tujuh kali dan tubuhnya meluncur ke bawah setelah menukik dan dengan tenaga yang amat dahsyat dia menerjang lawan dari atas seperti seekor burung garuda menyambar ular! Inilah jurus ke delapan dari San-in-kun-hoat yang disebut In-keng-hong-i (Awan Menggetarkan Angin dan Hujan). Dahulu, sebelum dia mendapatkan pusaka-pusaka gurunya dan ilmu silat yang dia dapatkan dari puncak Kiam-kok-san hanyalah San-in-kun-hoat dan ilmu kepandaiannya itu masih dangkal dan mentah, dengan jurus in-keng-hong-I ini dia sudah mampu membuat Kian Tojin, tokoh Kun-lun-pai yang lihai itu, menjadi terkejut dan kewalahan. Sekarang, dibandingkan dengan tujuh tahun yang lalu itu, kepandaiannya sudah meningkat hebat dan ilmu silatnya sudah matang. Maka dapatlah dibayangkan betapa dahsyatnya ketika dia menggunakan jurus terakhir dari San-in-kun-hoat ini. "Bukan main..." Kakek sastrawan terbelalak kagum dan biarpun kakek ini tahu betapa hebatnya serangan pemuda ini dan bahwa sutenya terancam bahaya, namun sedikitpun dia tidak menaruh khawatir. Kalah atau mati sekalipun bagi tiga orang kakek yang sudah lanjut usianya ini bukan merupakan hal yang mengkhawatirkan. "Heh-heh-heh, hebat... hebat... kau awaslah Sute terhadap serangan itu!" Teriak pula si kakek jembel bukan karena khawatir melainkan karena gembira dan ingin sekali menikmati dengan pandang matanya bagaimana kakek berpakaian pendeta yang menjadi sutenya itu akan menyambut serangan dahsyat dari jurus aneh itu. Tubuh Keng Hong meluncur ke arah Thian-to Lo-mo yang masih memasang kuda-kuda dengan tubuh rendah sehingga terpaksa kakek ini mengangkat muka untuk melihat datangnya serangan dari atas. Tadinya, tubuh Keng Hong menukik seperti seekor naga, kepala dan kedua tangan di depan, kaki di belakang, akan tetapi setelah dekat, tiba-tiba dia melakukan gerakan jungkir-balik dan sekali membalik dia telah menyerang lawan dengan kedua tangan dan kaki secara bertubi-tubi. Dengan kecepatan yang luar biasa, kedua kakinya susul-menyusul melakukan tendangan ke arah belakang telinga dan tenggorokan lawan, kemudian kedua tangannya siap untuk memukul dada dan menampar ubun-ubun! Semua gerakan ini dilakukan dengan cepat dan juga dengan tenaga sinkang yang dahsyat sehingga merupakan terjangan maut yang sukar dihindarkan lawan. "Hayaaaaa...!" Thian-to Lo-mo berseru kaget. Baru hawa pukulan yang menyambar saja sudah membuat kulit tubuhnya yang tak tertutup pakaian terasa panas dan pandang matanya kabur menyaksikan cepatnya gerakan kedua kaki Keng Hong. Namun, Thian-to Lo-mo bukanlah tokoh silat sembarang saja. ia maklum bahwa kalau dia mengelak secara tadi dengan menggulingkan tubuh, selain belum tentu dapat menghindarkan kedua tendangan susul-menyusul itu tentu akan celaka oleh serangan susulan yang dia tahu pasti akan datang. Maka dia cepat menaikkan tubuhnya dan menerima kedua tendangan itu dengan tangkisan kedua lengannya sambil mengerahkan tenaganya dengan maksud agar tubuh pemuda itu akan terbanting ke samping sehingga selain tidak akan mampu melanjutkan serangan susulan, juga tentu dia akan cepat menubruk dan membalas. Memang niat atau akal kakek ini beralasan. *** Dia memang tahu bahwa pemuda itu memiliki sinkang yang hebat dan belum tentu kalah oleh kekuatannya sendiri, namun betapapun kuatnya, kalau tubuh lawan itu berada di udara tentu tidak akan mampu menandingi kekuatannya yang dapat dikerahkan dengan kedua kaki di atas tanah. Bumi merupakan pusat kekuatan dalam tubuh manusia, menjadi landasan pengerahan tenaga. Akan tetapi, kakek ini tidak mengenal keanehan dan kelihaian Ilmu Silat San-in-kun-hoat yang hanya terdiri dari delapan jurus itu yang dicipatakan oleh Sin-jiu Kiam-ong dengan dasar gerakan-gerakan ilmu yang tinggi. Ketika Keng Hong melihat lawannya menangkis, dia tahu bagaimana harus mengembangkan jurusnya. Memang jurus-jurus ilmu silatnya mempunyai perkembangan yang banyak sekali, disesuaikan dengan sikap lawan menghadapi jurus itu. Tanpa menghentikan tendangannya, tubuhnya terus menerjang ke bawah, akan tetapi ketika dia sudah merasa sambaran angin tangkisan kedua tangan kakek itu yang mengerahkan tenaga yang amat kuat, seepat kilat Keng Hong menggerakkan kakinya ke bawah, menarik kembali kedua tendangan susul-menyusul itu akan tetapi melanjutkan serangan susulan yang kini dapat dia lakukan dengan kedua kaki menginjak tanah karena ketika memapaki tendangannya tadi, Thian-to Lo-mo sudah menaikkan tubuhnya. "Celaka...!" Thian-to Lo-mo berseru kaget tahu-tahu kepalan tangan kiri Keng Hong sudah menghantam dadanya dengan kekuatan yang dahsyat sekali! Namun dia masih dapat cepat menggerakkan tangan yang tadi luput menangkis pukulan yang ketika kedua lengan beradu membuat seluruh tubuhnya terasa tergetar dan panas, dan pada detik itu, tangan kanan Keng Hong yang terbuka jari-jari tangannya menampar ke arah ubun-ubun kepalanya dengan kecepatan yang tak mungkin dapat ditangkis lagi karena terlalu dekat. "Habis aku...!!" Thian-to Lo-o melempar tubuhunya ke belakang, akan tetapi maklum bahwa dia tetap kalah cepat dan sekali tangan pemuda yang amat lihai ini mengenai ubun-ubun kepalanya biarpun perlahan saja, sudah cukup membuat nyawanya melayang! Akan tetapi Keng Hong masih dapat menguasai tangannya. Pemuda ini tentu saja tidak mau membunuh lawannya. Selagi dia masih dapat menguasai diri tentu dia masih dapat menguasai diri tentu dia akan menghindarkan pembunuhan. Betapapun juga, dia harus memperlihatkan bahwa dia menang dalam pertandingan ini, maka tangannya yang menampar ubun-ubun kepala itu itu dia ubah sedikit. "Plakkk!" Bukan ubun-ubun kepala yang ditampar, melainkan pangkal leher dekat pundak. Namun cukup membuat Thian-to Lo-mo terbanting dan bergulingan. Napas kakek ini sesak dan setelah meloncat bangun, kakek ini cepat duduk bersila untuk mengerahkan sinkang agar tidak terluka di sebelah dalam tubuhnya. "Hebat sekali! Cia Keng Hong, suteku sudah kalah. Mari kau berilah pelajaran kepadaku!" Keng Hong maklum bahwa kalau dia hendak pergi dengan selamat dan aman membawa pusaka-pusaka itu, dia harus dapat mengalahkan tiga orang kakek itu. Dia sudah berhasil mengalahkan seorang di antara mereka dan dia tahu bahwa kakek sastrawan ini tentu lebih lihai atau paling tidak juga tidak kalah lihai oleh kakek pendeta. Membantah pun tiada guna, maka dia lalu melangkah mundur dan bersiap saja dengan sikap tenang. Seperti juga Thian-to Lo-mo, Bun-ong Lo-mo ini tidak mengeluarkan senjatanya, maka Keng Hong juga menghadapinya dengan tangan kosong. Kalau tidak terpaksa sekali, tentu dia tidak akan mau mengeluarkan Siang-bhok-kiam. Bun-ong Lo-mo berseru, "Haaooowww!" dan tiba-tiba tubuhnya sudah membentuk kauda-kuda yang kuat dengan kedua kaki disilangkan dan tubuh tegak lurus, matanya memandang Keng Hong kemudian kedua tangannya bergerak, jari-jaari tangannya terbuka dan kedua tangan itu membuat gerakan di uadara depan mukanya, gerakan yang tidak karuan dan aneh tidak seperti gerakan memukul atau menangkis, pendeknya bukan gerakan silat. Mula-mula Keng Hong heran melihat ini. Dia tidak mengenal gerakan-gerakan itu akan tetapi akhirnya dia mengerti bahwa kakek sastrawan yang merupakan orang ke dua dari Thian-te Sam-lo-mo ini membuat gerakan-gerakan menulis huruf-huruf besar! Karena dari tempat dia berdiri huruf-huruf yang dicoret-coret di udara itu terbalik, maka sukar baginya untuk menduga, huruf-huruf apakah yang sedang ditulis secara aneh oleh calon lawannya ini! Bun-ong Lo-mo terus menggerak-gerakkan kedua tangannya, akan tetapi sekarang yang dipakai "menulis" di udara itu hanya tinggal jari telunjuknya saja sedangkan jari yang lain menggenggam. Dua buah jari telunjuk kanan kiri itu masih membuat gerakan corat-coret di depan mukanya dan kedua kakinya mulai digeser dan secara cepat telah tiba di depan Keng Hong. "Cuuuuuutttttt!" Tiba-tiba jari tangan kiri yang tadinya membuat gerakan mencoret ke atas itu dilanjutkan dengan "coretan" ke bawah menuju ke mata Keng hong! Tentu saja Keng Hong tidak membiarkan mata kanannya dicolok oleh jari telunjuk itu, maka dia cepat miringkan kepala mengelak. Terasa olehnya betapa angin yang dingin sekali lewat menyambar mukanya ketika tusukan telunjuk ke matanya yang masih terus mencorat-coret udara itu mencoret dengan telunjuk ke tenggorokan Keng Hong. Kembali Keng Hong mengelak. "Cuuuuuussssss...brettt!" "Ayaaaaa...!" Keng Hong cepat meloncar mundur saking kagetnya melihat betapa ketika dia mengelak tadi, ujung telunjuk lawan mampir ke baju di pundak dan... kain baju itu bagaikan disabet pedang yang amat tajam menjadi robek! Kiranya jari telunjuk itu berbahaya bukan main dan kukunya amat kuat dan tajam seperti pedang! Sastrawan tua itu agaknya gembira dengan hasilnya merobek baju Keng Hong dan kini tubuhnya menerjang cepat sakali dengan serangan kedua ujung jari telunjuk yang dia maklum bahwa dua buah jari telunjuk itu dipergunakan sebagai sepasang senjata pit untuk menotok dan bahkan dapat dipakai untuk menusuk dan membacok menggunakan kuku, menjadi hati-hati sekali dan dia pun menggunakan ginkangnya untuk mengelak ke sana ke mari. Untuk mempelajari sifat ilmu silat aneh dari lawannya, terpaksa dia harus selalu mengelak sambil memandang penuh perhatian. Seperti juga ilmu silat dari Thian -to Lo-mo tadi, kini ilmu silat Bun-ong Lo-mo benar-benar hebat luar biasa dan amat aneh. Sukar bagi dia untuk mengenal ilmu silat ini, akan tetapi setelah lewat belasan jurus dan kadang-kadang meloncat tinggi di udara sambil meneliti, dia mengerti bahwa dasar ilmu silat yang menggunakan kedua telunjuk sebagai senjata penotok dan penusuk ini adalah ilmu Poan-koan-pit, akan tetapi gerakkannya dilakukan dengan coreatan-coretan seperti menulis huruf. Justeru gerakan inilah yang amat lihai dan membingungkan lawan. Gerakan corat-coret huruf ini menyembunyikan gerakan inti yang merupakan serangan! Setelah maklum akan sifat ilmu silat lawan, Keng Hong mengerti bahwa penggunaan San-in-kun-hoat tidak akan menguntungkan. Sesuai dengan nama dan sifatnya, ilmu silat San-kun-in-kun-hoat (Ilmu Silat Awan Gunung) banyak menggunakan serangan dari atas, seperti jalannya awan yang bergerak setiap saat di puncak Kiam-kok-san. Adapun ilmu silat Bun-ong Lo-mo justeru menggunakan coretan-coretann ke udara, maka amatlah berbahaya apabila dia menggunakan ilmu silatnya yang hebat, yang dia temukan di tempat rahasia gurunya, ilmu satu-satunya yang tidak dicuri Cui Im disamping ilmu penggunaan tenaga sinkang yang dia dapat secara mujijat ketika gurunya mengoperkan sinkang kepadanya, yaitu Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun, "Wah-wah-wah,bocah ini bukan main hebatnya! Tidak kalah oleh mendiang gurunya!" Kakek jembel bertepuk-tepuk tangan dengan girangnya ketika menyaksikan sutenya bersama pemuda itu sudah mulai bergebrak, saling serang dengan gerakan yang kuat dan cepat sekali. Tubuh keduanya sampai lenyap dan yang tampak hanya bayangan mereka bergerak ke kanan kiri. Memang kakek sastrawan itu hebat sekali, selain memiliki sinkang yang kuat serta ginkang yang membuat tubuhnya seperti tidak menginjak tanah, juga gerakan kedua tangan yang selalu mencorat-coret itu amat berbahaya. Namun, Keng Hong bergerak dengan tenang dan membentuk lingkaran-lingkarang yang selain dapat memunahkan semua serangan lawan, juga dapat membalas dengan pukulan-pukulan yang tidak kalah hebatnya daripada serangan lawan. Sratus jurus telah lewat dan Keng Hong merasa khawatir. Menghadapi kakek ini saja begini sukar mencapai kemenangan, apalagi kalau si jembel tua itu yang maju tentu lebih hebat lagi kepandaiannya dan lebih sukar baginya untuk mencapai kemenangan. Sejak tadi, semenjak bajunya robek oleh serempetan kuku jari telunjuk, Keng Hong selalu menjaga agar jangan sampai tubuhnya terkena sepasang telunjuk lawan. Inilah sebabnya mengapa sampai lama dia tidak mampu mencapai kemenangan. Karena, dia terlalu berhati-hati, maka dia lebih memusatkan perhatian kepada pertahanan dan hanya membalas serangan lawan kalau tiba kesempatan dan ada lubang saja *** Padahal, sifat ilmu silat lawan itu lebih diutamakan menyerang daripada bertahan, sehingga kini kehatian-hatian Keng Hong dipergunakan secara baik oleh Bun-ong Lo-mo yang terus mendesak dengan cepat sekali sambil membuat coretan-coretan yang membingungkan lawan sungguhpun Keng Hong tetap tenang. Setelah memutar otak dan mengetahui kelamahannya, tiba-tiba Keng Hong berseru keras ketika untuk ke sekian kalinya telunjuk kiri lawan menusuk ke arah mata dan telunjuk kanan menotok jalan darah di dekat iga. Keng Hong mengangkat tangan menangkis tusukan ke arah matanya dan membiarkan saja telunjuk kanan lawan yang menotok iga. Keng Hong mengangkat tangan menangkis tusukan ke arah matanya dan membiarkan saja telunjuk kanan yang menotok iga. Ia sudah memperhitungkan dengan seksama, sengaja memperlambat gerakannya sehingga tidak kentara bahwa dia memang membiarkan totokan itu, akan tetapi diam-diam dia telah mempergunakan Ilmu I-kiong-hoan-hiat, yaitu ilmu memindahkan jalan darah yang dia pelajari dari kitab curian suhnya dari Siauw-lim-pai yang tadi dia berikan kepada Yap Cong San. "Cusss...! Plakkkk!!" Tepat pada saat telunjuk yang amat keras seperti baja itu mengenai kulit iganya, dimana jalan darahnya telah dipindahkan dengan Ilmu I-kiong-hoan-hiat, cepat sekali tangan kiri Keng Hong menyambar, membarengi totokan lawan, tangan yang terbuka itu telah mendorong dada Bun-long Lo-mo. Tubuh kakek itu terlempar sampai empat meter jauhnya, terbanting roboh dan terengah-engah, namun cepat dia bangkit bersila untuk mengerahkan sinkang memulihkan keadaan di tubuhnya yang mengalami gempuran hebat. "Luar biasa... Ha-ha-ha, baru sekaranglah kami dapat puas! Hebat bukan main kau Cia Keng Hong. Bereskan napasmu dulu dan bersiaplah engkau karena sekarang aku sendiri yang akan menguji kepandaianmu," Kakek jembel itu meloncat maju dan berhadapan dengan Keng Hong yang masih berdiri dan memejamkan mata, mengatur pernapasannya, karena biarpun dia tadi sudah memindahkan jalan darah sehingga yang kena ditotok hanyalah tempat yang kosong, namun kulit dagingnya terasa nyeri, tulang iga linu dan rongga dagingnya tergetar oleh hawa pukulan yang amat kuat tadi. Namun hanya sebentar saja dan pemuda perkasa ini sudah mampu memulihkan keadaannya dan dia kini menghadapi Kai-ong Lo-o yang sikap tenang dan waspada. Ujian ini tiba di puncak dan akhirnya, karena dia mengerti bahwa kakek jembel yang menjadi orang pertama dari Thian-te Sam-lo-mo ini tentu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. "Locianpwe, masih belum cukupkah Locianpwe bertiga menganggu aku, Keng Hong bertanya. Kai-ong tertawa bergelak, "Ha-ha-ha, bocah bodoh! Engkau seorang tokoh muda yang luar biasa, mengapa menganggap kami menganggu? Pertandingan ini amat berguna, tidak saja bagi pengalaman kami, akan tetapi juga bagimu sendiri. Kelak kau akan berterima kasih kepada kami. Hebat memang kepandaianmu, engkau patut menjadi murid Sie Cun Hong. Aku sudah menyaksikan kepandaianmu silat tangan kosong yang hebat, kini aku ingin sekali menyaksikan kepandaianmu menggunakan senjata! Keluarkan senjatamu, Cia Keng Hong!" Keng Hong menggeleng kepala. "Aku tidak memusuhi Sam-wi Locianpwe, mengapa harus menggunakan senjata? Senjata tidak bermata, sekali salah tangan aku mendatangkan bencana." Kakek itu tertawa. "Ha-ha-ha, hendak kulihat apakah engkau berani menghadapi Kai-ong Lo-mo tanpa senjata!" Sambil tertwa-tawa kakek itu menerjang ke depan, tangan kirinya menampar ke arah pelipis Keng Hong. "Syuuuuuuttt... Cettt!" "Ihhhhh!" Keng Hong berteriak kaget. Ketika dia mengelak tamparan itu dengan menggerakkan tubuh atasnya ke belakang sehingga tangan kakek itu menyambar lewat tidak mengenai sasaran, tiba-tiba ujung lengan baju kakek itu menyambar ke arah pundaknya dengan kecepatan yang amat hebat. Hanya dengan menjatuhkan diri ke belakang saja Keng Hong dapat menyelamatkan pundaknya. Kiranya kakek ini selain memiliki tenaga yang hebat, juga kedua ujung lengan bajunya yang panjang itu merupakan sepasang senjata yang amat ampuh. Setiap pukulan tangannya tentu didahului atau diikuti oleh menyambarnya ujung lengan baju ke depan ke bagian tubuh lawan yang tak dapat disangka-sangka, maka tentu saja biarpun bertangan kosong, kakek jembel ini sama dengan memegang sepasang senjata. Malah lebih lagi. Kalau dia memegang senjata berati kedua tangannya tidak dapat dipakai menyerang. Kakek ini kedua tangannya dapat menyerang, dan dua senjata istimewa itu pun dapat menyerang sehingga dia seolah-olah mempunyai empat buah lengan tangan! Ketika kakek itu terbahak sambil menubruk maju dan kini tangan kanannya mendorong, Keng Hong sengaja mengakhiri pertandingan ini secepatnya maka melihat tangan kakek itu mendorong, dia lalu menyambut dengan dorongan tangannya sambil mengerahkan sinkangnya. "Desssss...!" Tak dapat di tahan lagi tubuh Keng Hong mencelat sampai lima meter lebih ke belakang sedangkan kakek jembel itu tertawa-tawa. Keng Hong terkejut dan menyesal mengapa dia tadi lupa akan "senjata" istimewa kakek itu. Ketika dia menyambut telapak tangan kakek itu dengan telapak tangannya sendiri, tiba-tiba tangan dan lengannya menjadi lumpuh seketika, dan ternyata pergelangan tangannya telah tertotok oleh ujung lengan baju kakek itu. Maka tentu saja dia tidak dapat menahan dan tubuhnya terlempat jauh ke belakang. Untung dia masih menguasai tubuhnya dan berjungkir-balik sehingga dia tidak sampai terbanting. "Ha-ha-ha-ha-ha! Apakah sekarang engkau asih tidak mau mencabut senjatamu, Keng Hong? Jangan khawatir, biarpun engkau bersenjata, belum tentu engkau akan dapat menang dariku!" Kakek ini memang tidak senang kalau dia dapat mengalahkan pemuda itu tanpa melalui pertandingan yang seimbang dan ramai. Kalau pemuda itu tidak bersenjata, tentu dia akan dapat memperolah kemenangan dengan mudah dah hal ini amat tidak menyenangkan hatinya! Keng Hong maklum bahwa memang kakek itu lihai sekali. Kalau dia memaksa diri melawan dengan tangan kosong sehingga kalah, bukankah dia akan menyia-nyiakan semua usahanya mendapatkan kembali pusaka-pusaka itu? Dan kalau pusaka-pusaka itu tidak cepat dikembalikan kepada partai-partai yang berhak, berarti dia akan selalu dimusuhi orang. Apalagi kalau sampai terjatuh ke tangan tiga orang kakek iblis yang lihai ini, sampai kapan dia akan mampu merampasnya kembali? Berpikir demikian, dia mencabut Siang-bhok-kiam dan berseru, "Maaf, Locianpwe! Engkau terlalu mendesak dan memaksaku!" Tubuhnya mencelat ke depan, sinar hijau Siang-bhok-kiam didahului bau yang harum menyambar ke arah Kai-ong Lo-mo. Kakek ini terkejut bukan main, cepat mengelak dan kedua ujung lengan bajunya juga bergerak, yang kiri menyampok sinar hijau, yang kanan membantu tangan kanan menghantam lambung dan perut Keng Hong. "Brettt! Plak-plak!" Kakek itu terkejut karena ujung lengan bajunya putus disambar Siang-bhok-kiam, sedangkan pukulannya dapat ditangkis oleh Keng Hong dengan pengerahan sinkang yang membuat tubuh kakek itu tergetar. "Siang-bhok-kiam...!!" Kakek jembel berteriak dan matanya berkilat. "Siang-bhok-kiam...!! Tiba-tiba Bun-ong Lo-mo juga berteriak dan tubuh kakek sastrawan ini pun menerjang maju, memukul dan mencoba merampas pedang. "Siang-bhok-kiam...!!" Thian-to Lo-mo juga menarjang dan mencoba merampas Pedang Kayu Harum. "Eitttttt...!!" Keng Hong menggerakkan pedangnya membabat ke arah enam buah lengan yang seperti ular-ular rakus kelaparan hendak merampas pedangnya itu. Sinar hijau menyambar dan tiga orang kakek itu cepat menarik kembali lengan mereka. Keng Hong menggunakan kesempatan ini untuk meloncat mundur dan dia menegur dengan suara nyaring dan marah. "Apa pula ini? Apakah Sam-wi sebagai orang-orang gagah yang terkenal hendak melanggar janji? Tidak malukah hendak mengeroyok saya?" "Tidak ada janji!" Teriak kakek jembel. "Kami sudah kalah. Bawalah semua pusaka itu, kami tidak peduli. Akan tetapi, tinggalkan Siang-bhok-kiam itu kepadaku!" "Tidak! Berikan kepadaku!"teriak Bun-ong Lo-mo, matanya memandang pedang kayu itu dengan sinar berapi. "Harus diberikan kepada pinto!" Thian-to Lo-mo juga berteriak. Keng Hong marah sekali. "Apa-apaan ini? Pedang pusaka peninggalan suhu yang diberikan kepadaku. Mengapa Sam-wi memintanya?" Tiga orang itu saling pandang, "Dahulu kita berebut pedang itu dengan Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong dan kita kalah. Sekarang pedang itu dibawa muridnya, kita harus merampas kembali dan kita tidak perlu saling berebut. Pedang itu cukup untuk kita bertiga." Kemudian dia memandang Keng Hong dan berkata, "Orang muda. Pedang Siang-bhok-kiam itu hanya pedang kayu, apa gunanya bagimu? Berikanlah kepada kami. Kami amat membutuhkannya." Keng Hong mengerutkan keningnya menduga-duga namun tidak tahu apa gunanya pedang itu bagi mereka bertiga? Untuk mencari pusaka? Tidak mungkin karena pusaka-pusaka itu telah diambilnya dan sekarang bertumpuk di bawah pohon itu, di atas saputangannya. Untuk apakah? "Sam-wi membutuhkan pedang kayu untuk apakah?" *** "Ketahuilah, orang muda. Pedang Siang-bhok-kiam mempunyai khasiat yang mujijat untuk memperpanjang usia manusia! kayunya mengandung khasiat, obat yang dapat menambah umur sampai puluhan tahun! Kami yang sudah tua renta ini amat membutuhkannya!" Keng Hong menjadi geli. Selain dia tidak percaya, juga dia merasa geli betapa tiga orang kakek yang tadinya tidak membutuhkan apa-apa itu kini seperti orang-orang kelaparan melihat roti ketika melihat pedang yang khasiatnya mereka duga bisa memperpanjang umur mereka! Sungguh manusia ini lucu sekali. Ingin sekali berusia sepanjang-panjangnya, kalau mungkin tidak bisa mati! Dan tentu saja, andaikata mereka itu benar-benar dapat diperpanjang usia mereka dan menjadi seperti orang muda lagi, tentu akan timbul pula nafsu-nafsu yang membuat mereka melakukan hal-hal jahat seperti di masa muda mereka dahulu! Akan tetapi, Keng Hong tidak peduli akan hal itu. Yang membuat dia keberatan memberikan pedang Siang-bhok-kiam adalah karena pedang itu peninggalan gurunya dan mutlak menjadi hak pribadinya! "Tidak mungkin dapat saya berikan pedang ini, Sam-wi Locianpwe." "Kalau begitu engkau akan kami bunuh dulu!!" Teriak mereka dan seperti orang gila tiga orang itu menerjang maju. Beru memperebutkan pedang saja mereka kini sudah kumat sifat jahat mereka pikir Keng Hong. Apalagi kalau diberi kesempatan memperpanjang usia. Dia cepat menggerakkan pedangnya menyambut serangan mereka. Dia mainkan Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut dan pedangnya berubah menjadi sinar hijau yang bergulung-gulung seperti seekor naga hijau mengamuk di angkasa. Akan tetapi, tiga orang kakek itu masing-masing telah memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa, kini mereka maju bertiga, tentu saja dalam waktu lima puluh jurus saja Keng Hong sudah terdesak hebat! "Serahkan pedang...!" Tiba-tiba Thian-to Lo-mo menggulingkan tubuh dan mencengkeram ke arah kedua kakinya! Keng Hong kaget dan meloncat ke atas, akan tetapi dua jari telunjuk Bun-ong Lo-mo sudah mencegatnya dengan totokan-totokan kilat yang mengeluarkan bunyi bercuit nyarung. Kini tiga orang kakek itu benar-benar berusaha untuk membunuhnya dalam kegairahan hati mereka untuk merampas pedang! Ia membabatkan pedangnya ke arah telunjuk kanan Bun-ong Lo-mo, akan tetapi pada saat itu, pinggangnya kena dipeluk oleh Kai-ong Lo-mo dan tubuhnya ditarik ke bawah sehingga mereka berdua terjatuh. Ketika Keng Hong dapat melompat bangun kembali. Ternyata tiga buah tangan kakek itu telah mencengkeram pedang Siang-bhok-kiam dan mereka berempat saling mempertahankan dan hendak membetot pedang! Lepaskan pedang! Kalau tidak terpaksa ku bunuh engkau!" Kakek jembel membentak. Akan tetapi Keng Hong tidak ingin kehilangan pedang warisan gurunya! Ia mempertahankan dan diam-diam dia mengerahkan sinkangnya yang hebat, bersedia untuk melawan sampai titik darah terakhir mempertahankan Siang-bhok-kiam! "Bu-buk-buk...!" Melihat Keng Hong tidak mau melepaskan pedang, tiga buah kepalan tangan menghantamnya, di leher, pungung dan lambung. Akan tetapi, ketiga tangan kakek itu sekaligus menempel di tempel di tempat yang di pukul, bahkan kini tangan mereka yang mencengkeram pedang juga melekat! Serentak mereka merasa betapa hawa sinkang mereka itu menerobos keluar melalui kedua tangan seperti balon-balon membocor! Ketiganya terkejut sekali dan berusaha melepaskan kedua tangan. Akan tetapi karena dalam usaha ini mereka mengerahkan lebih banyak tenagalagi, hawa sinkang mereka membanjir keluar sehingga mereka menjadi lemas! "Celaka... Thi-khi-I-beng...!" Si kakek jembel berteriak kaget. Beru sekarang dia teringat, juga kedua orang sutenya. Tadinya mereka tidak menyangka karena memang ilmu itu dianggap sudah lenyap. Rasa kaget ini membuat hawa sinkang mereka menerobos lebih hebat. Keng Hong yang menerima sinkang itu, menampungnya di pusar, namun hawa sinkang ketiga orang kakek itu benar-benar amat kuatnya sehingga tubuh pemuda ini terguncang hebat, menggigil dan mukanya merah matanya melotot! "Pergilah...!!!" Keng Hong berteriak, usaha yang baru berhasil setelah dia sejak tadi mencoba untuk melepaskan mereka. Biarpun dia sudah dapat menguasai tenaga sedot itu, akan tetapi karena hawa sinkang yang masuk amat kuatnya, melebihi kekuatannya sendiri, maka sukarlah dia menguasainya dan setelah ketiga orang kakek itu hampir habis tenaganya, barulah dia berhasil menggerakkan tubuh mereka mencelat dan roboh tak dapat bangun kembali karena sebelum terlempar pun mereka itu sudah sekarat! Keng Hong juga terguling dan roboh dengan pedang Siang-bhok-kiam masih di tangan, dan dia pingsan! Tiba-tiba sesosok tubuh berkelebat keluar dari balik semak-semak dibarengi ketawanya yang mengerikan. "Hi-hi-hik-heh-heh-hehhhhh!" Dan bayangan itu setelah berdiri di situ, memandang tiga sosok mayat Thian-te Sam-lo-mo, lalu memandang tubuh Keng Hong yang pingsan, kemudian memandang tumpukan pusaka dan pedang Siang-bhok-kiam di tangan Keng Hong, kembali tertawa terkekeh-kekeh, kelihatannya gembira sekali. Akan tetapi kalau ada orang melihatnya ini tidak akan ikut menjadi gembira seperti dia, melainkan ketakutan dan mungkin tidak bisa lari dan akan terkencing saking takutnya. Memang, nenek ini amat mengerikan, menyeramkan dan menjijikan. Usianya tentu tidak kalah jauh oleh Thian-te Sam-lo-mo, akan tetapi biar dia sudah amat tua, kulit mukanya masih berwarna merah sekali, malah terlalu merah seperti berlepotan darah! Giginya masih lengkap, besar-besar dan meruncing seperti gigi gergaji, rambutnya riap-riapan seperti sarang burung dirusak angin, kuku tangannya panjang-panjang melengkung dan runcing. Akan tetapi, setua itu, hampir seratus tahun, pakaiannya terbuat dari sutera hitam yang baru dan tipis, membungkus tubuhnya dengan ketat sehingga kelihatan seperti telanjang sedangkan buah dadanya luar biasa besarnya. "Hi-hi-hik! Dicari setengah mati tidak dapat, tidak dicari malah datang sendiri! Ha-ha-ha-heh-heh! Thi-khi-I-beng tadi benar hebat sekali, sampai tiga ekor anjing tua bangka itu tidak dapat menahan. Hebat! Tentu di sana kitabnya!"Nenek itu cepat memeriksa tumpukan kitab, perhiasan dan senjata, membalik-balik semua kitab lalu menyumpah-nyumpah! Sekali bergerak tubuhnya melesat dekat tubuh Keng Hong yang pingsan, menyambar Siang-bhok-kiam, kemudian ia mengayun pedang itu ke arah leher Keng Hong! Akan tetapi, tiba-tiba ia menahan sabetannya dan terkekeh lagi. "Hanya dia yang punya Thi-khi-I-beng! Ho-ho-hi-hi-hik, mungkin dia keras hati seperti Sie Cun Hong. Akan tetapi hendak kulihat sampai di mana kekerasannya!" Sabil tertawa-tawa mengikik nenek ini lalu mengambil sepasang golok emas pusaka Kong-thong-pai dan dengan mudahnya ia menekuk kedua golok emas itu sapai melengkung dan membentuk dua buah kaitan dari emas! Kemudian, sambil terkekeh-kekeh sehingga air ludah muncrat-muncrat melalui giginya yang besar-besar, nenek itu lalu menancapkan sepasang kaitan ke arah pundak Keng Hong. "Plak-plak-plak...! Aiiihhhhh!!" Tubuh nenek itu terhuyung-huyung ke belakang dan sepasang golok yang sudah menjadi kaitan-kaitan emas itu terlepas dari tangannya. Ternyata bahwa hawa sinkang yang memenuhi tubuh Keng Hong sampai melewati takaran, yaitu hawa sinkang Thian-te Sam-lo-mo tadi, masih berputaran di tubuhnya, tidak menemukan jalan keluar sehingga ketika pundak itu tersentuh tenaga dari luar, otomatis tenaga sinkang itu menyambut dan menendang. Nenek ini bukan lain adalah Ang-bin Kwi-bo, seorang di antara keempat datuk hitam yang terkenal disebut Bu-tek Su-kwi (Empat Iblis Tanpa Tanding). Dia memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi tingkatnya, memiliki pengalaman yang amat luas, maka setelah hilang kagetnya, ia mengangguk dan memandang ke arah pemuda itu yang masih pingsan. Ia mencelat maju lagi, kini kepalanya digerakkan dan ujung rambutnya melecut ke depan, dua kali menotok ke arah dua jalan darah Keng Hong di kedua pundak. Karena ujung rambut ini merupakan benda lemas, dan memang menjadi keistimewaan Ang-bin Kwi-bo untuk menggunakan rambutnya di samping kukunya sebagai senjata, maka jalan darah di kedua pundak itu kena ditotok sehingga tertutup dan hawa sinkang yang berputaran di tubuhnya itu tidak dapat menembus ke pundak. Setelah terkekeh girang Ang-bin Kwi-bo kembali menggerakkan sepasang kaitan emas itu dengan kedua tangannya. "Cresss! Cresss!" Karena tangan Ang-bin Kwi-bo memang ahli dan tanaganya kuat sekali, dengan mudah saja kedua kaitan emas itu menancap di daging pundak, terus di putar sehingga kaitan-kaitan itu kini menancap dan mengait kedua tulang pundak Keng Hong! "Auggghhh...!" Keng Hong bergerak, matanya terbuka dan mulutnya mengeluh. "Aduhhh... aduhhh..." Ia mencoba akan bangun namun terbanting kembali ketika Ang-bin Kwi-bo menarik ikat pinggangnya yang ujungnya ditalikan kepada dua gagang golok dan mengait kedua pundak Keng Hong itu. Tentu saja tarikan itu membuat sepasang kaitan itu mengait dan menarik tulang pundak Keng Hong dan Keng Hong terbanting roboh sambil mengeluh. Rasa nyeri di pundaknya bercampur dengan rasa uak yang timbul oleh gerakan sinkang yang berlebihan di tubuhnya. "Hah-hah-hah-hi-hik! Cia Keng Hong, engkau murid Sin-jiu Kiam-ong, masih ingatkah kepadaku?" *** Keng Hong menengok dan tanpa menegnok sekalipun dia akan mengenal suara ketawa itu. "Hemmm..." Ia hendak bicara, akan tetapi dadanya seperti hendak meledak, perutnya mengeras dan dia muak sekali, hendak muntah. Maklumlah dia bahwa kedua pundaknya dikait dan dia tidak berdaya lagi. Kalau dia meronta, berarti kedua tulang pundaknya akan patah-patah dan kalau hal ini terjadi, kedua lengannya kan lumpuh tak dapat dia gerakkan lagi! Maka, soal pundaknya terkait dan soal Ang-bin Kwi-bo adalah soal ke dua yang membutuhkan pemikiran tenang dan mendalam, lebih dulu dia harus membereskan soal pertama, yaitu tenaga atau hawa sinkang ketiga orang kakek iblis yang kini "pindah" ke dalam tubuhnya. Maka dia tidak jadi bicara, meramkan matanya dan mengatur napas, menyedot hawa yang berkeliaran dan berputaran itu ke dalam pusarnya. Ang-bin Kwi-bo sambil terkekeh-kekeh dan memegangi ujung ikat pinggangnya lalu menghampiri tumpukan pusaka. Ia mengikatkan ujung ikat pingang pada pinggangnya, dengan girang dia membungkus pusaka-pusaka itu dengan saputangan dan dia kaitkan di pundaknya, kemudian menyelipkan Siang-bhok-kiam di pinggang. Setelah terkekeh-kekeh lagi saking girang dan puas hatinya ia berkata kepada Keng Hong. "Cia Keng Hong, engkau minta hidup atau mati?" Pada saat itu, Keng Hong sudah berhasil menaklukan hawa sinkang liar itu dan dia merasa betapa hawa yang kini berkupul di pusarnya amat kuat dan panas. Ia telah memperoleh kemajuan dalam waktu singkat, padahal kalau harus melatih diri, untuk mendapatkan tenaga sinkang seperti yang "diberikan" tiga orang kakek itu kepadanya, mungkin membutuhkan waktu puluhan tahun! Mendengar pertanyaan nenek itu, Keng Hong menjawab tenang. "Ang-bin Kwi-bo, mati hidupmu sendiri saja engkau tidak mampu menguasai, bagaimana engkau akan dapat menguasai mati hidup orang lain? Mati hidup manusia sepenuhnya berada di tangan Thian!" "Heh-heh-heh! Hi-hi-hik! Omongan melantur! Omongan kosong dari orang yang sudah putus harappan! Lihat, dengan kedua pundakmu terkait, kalau aku menghendaki, sekali sendal saja dengan ikat pinggang ini, kedua tulang pundakmu akan patah-patah dan kalau sudah begitu, seorang anak kecil pun akan mampu membunuhmu karena kau tidak dapat menggerakkan lagi kedua tanganmu. Bukankah hal ini berarti bahwa kau ati hidup berada di tanganku? Kalau aku menghendaki kau mati, engkau akan mati, akan tetapi kalau aku menghendaki engkau hidup, mungkin engkau dpat hidup lebih lama." Keng Hong bukanlah orang bodoh. Kalau memang nenek iblis itu menghendaki dia mati, tentu tidak perlu kedua pundaknya dikait seperti ini. Tadi ketika dia pingsan, apa sukarnya bagi nenek itu untuk membunuhnya? Akan tetapi nenek itu tidak membunuhnya, melainkan menawannya. Hal ini sudah meyakinkan bahwa nenek itu tidak akan membunuhnya begitu saja! "Engkau tersesat, Kwi-bo. Mati hidupku bukan berada di tanganmu, melainkan di tangan Tuhan, seperti juga mati hidupmu. Kalau Tuhan menghendaki, biarpun keadaan kita seperti ini, bisa saja engkau yang mati dan aku yang hidup!" "Tutup mulutmu yang sombong!" Tiba-tiba Ang-bin Kwi-bo membentak dan menarik sedikit ikat pinggang itu. Keng Hong merasa seolah-olah semua urat di tubuhnya dibetot, demikian hebat rasa nyeri di tubuhnya sehingga jari-jari kaki tangannya mengkerut, mukanya berkerut dan peluh sebesar kacang hijau keluar memenuhi mukanya. Namun dia mengeraskan hati tidak mau mengeluh. "Apa kehendaku, Kwi-bo?" "Katakan, engkau minta mati atau hidup?" "Maksudmu bagaimana? Kalau minta mati bagaimana kalau hidup bagaimana?" Ang-bin Kwi-bo mengeget kedua baris giginya sehingga terdengar bunyi berkerot. "Bedebah engkau, keras kepala dan sombong seperti Sie Cun Hong! Sudah menghadapi maut masih bicara besar! Dasar engkau murid seorang yang besar kepala, seorang yang sejahat-jahatnya di dunia ini, seorang..." "Cukup, Kwi-bo! Suhu sudah menginggal dunia, tidak perlu kau maki-maki. Apapun yang kaukatakan, aku yakin bahwa suhu seorang yang paling gagah perkasa dan berbudi mulia di dunia ini!" "Mulia? Cuhhh!" Ang-bin Kwi-bo meludah. Ludah kental itu meluncur ke tanah dan amblas seperti sebutir peluru. "Kau bangun dan duduklah, agar aku dapat melihat mukamu!" Keng Hong menahan rasa nyeri yang membuat pandang matanya berkunang ketika dia bangkit duduk dan menghadap nenek itu. Nenek itu memandang penuh perhatian, kemudian berkata, "Memang cocok menjadi murid Sie Cun Hong, gagah dan tampan." Nenek itu mengangguk-angguk, lalu melanjutkan "Sayang kalau harus mari dalam usia muda. Gadis-gadis cantik akan kehilangan seorang penggoda dan pemikat menarik, hi-hi-hik! Cia Keng Hong, kau berikan ilmu Thi-khi-I-beng kepadaku dan engkau takkan kubunuh!" "Hemmm, itukah yang dikehendakinya? Keng Hong memutar otaknya dan teringatlah dia akan Kiu-bwe Toa-nio yang pernah juga menawannya dan memaksanya mengajarkan Thi-khi-I-beng akan tetapi kemudian malah hendak menyedot habis sinkangnya! Nenek ini, Ang-bin Kwi-bo, adalah seorang datuk kaum sesat, yang selain jauh lebih lihai daripada Kiu-bwe Toa-nio, juga jauh lebih kejam, lebih curang dan jahat. Ia harus dapat bertahan, karena kalau dia ajarkan ilmu itu, tetap saja sedikit harapan dapat hidup setelah terjatuh di tangan nenek iblis ini dan dengan memiliki ilmu itu berarti dia membantu nenek ini merajalela melakukan banyak kejahatan. Tentu nenek ini akan menjadi lebih lihai dan lebih jahat. "Aku tidak pernah mempelajari ilmu yang kau sebut Thi-khi-I-beng itu, Kwi-bo. Bagaimana aku akan dapat memberikan kepadamu?" Nenek yang tadinya terkekeh-kekeh itu tiba-tiba seperti serigala, dan dua kali ia menggerakkan ikat pinggangnya, Keng Hong mengeluh dan terguling pingsan. Rasa nyeri tak tertahankannya lagi. Melihat pemuda itu pingsan, Ang-bin Kwi-bo menjadi makin marah dan panas hatinya. Melihat korbannya pingsan, ia merasa seperti diejek. Kalau pemuda itu sudah pingsan, apa yang dapat ia lakukan? Menyiksanya pun tiada guna, biar disayat-sayat tubuh itu, takkan terasa dan juga dia tidak akan mendapatkan Thi-khi-I-beng! Keng Hong siuman. Kedua pundaknya terasa panas dan nyeri yang menjalar ke seluruh tubuh. "Cia Keng Hong! Apakah engkau masih berkeras kepala tidak mau memberikan ilu itu kepadaku?" Ang-bin Kwi-bo yang melihat pemuda itu siuman cepat bertanyya. Keng Hong maklu bahwa tidak perlu lagi berpura-pura. Memang dia tidak pernah mempelajari Thi-khi-I-beng, melainkan mendapatkan ilmu itu secara otomatis ketika gurunya memindahkan sinkang ke tubuhnya, kemudian dia dapat menguasai dan mengendalikan hawa mujijat itu setelah dia memperdalam ilmunya di tempat rahasia dalam batu pedang di Kiam-kok-san. Akan tetapi dia kini sudah memiliki ilmu itu dan agaknya ilmu itulah yang disebut Thi-khi-I-beng dan yang selama ini dikabarkan sudah lenyap dari dunia persilatan. "Ang-bin Kwi-bo, andaikata aku memiliki ilmu yang kau sebutkan itu sekalipun, agaknya tak mungkin dapat kuberikan kepadamu. Engkau adalah seorang tokoh yang jahat seperti iblis..." "Sombong! Kau kira engkau ini orang apa? Kau kira gurumu itu manusia baik-baik? Sin-jiu Kiam-ong adalah seorang manusia busuk, seorang suami yang tidak setia!" "Cukup, Kwi-bo! Mau bunuh boleh bunuh, aku tidak takut mati. Tidak perlu engkau menjelek-jelekkan nama baik suhu. Suhu adalah seorang yang mulia, mana bisa dibandingkan dengan engkau?" "Sie Cun Hong, hi-hi-hik. Dengarlah omongan muridmu ini!" Nenek itu berdongak dan bicara kepada awan di angkasa seolah-olah dia bicara dengan arwah Sin-jiu Kiam-ong. "Hi-hi-hik, Cia Keng Hong, engkau benar kepala batu. Kalau tidak disiksa engkau tentu akan berkeras kepala terus. Sekarang kita kesampingkan dulu ilmu Thi-khi-I-beng! Aku hanya minta kau mengatakan bahwa Sie Cun Hong gurumu itu adalah seorang manusia cabul. Hayo, katakan!" "Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong guruku itu adalah seorang laki-laki sejati, dan perepuan-perempuan itulah, termasuk engkau , yang tergila-gila kepadanya!" Ang-bin Kwi-bo memelintir ikat pinggang itu di kedua telapak tangannya. Hawa panas beracun dari kedua tangannya yang membuat ia terkenal, yaitu Ilmu Ban-tok-sin-ciang (Tangan Sakti Selaksa Racun) menjalar ke dalam ikat pingang itu, terus kepada kaitan eas dan memasuki tubuh Keng Hong melalui pundaknya. Pemuda itu seketika menjadi pucat wajahnya. Ia merasa betapa kedua pundaknya diasuki hawa panas yang gatal-gatal, seperti ada ribuan ekor semut yang memasuki tubuhnya dan menggigit dari dalam, dari kepala sampai kaki! Rasa nyeri tidak hebat sekali, tidak sampai membuat ia pingsan, akan tetapi rasa gatal-gatal ini membuat dia lebih menderita, merupakan siksaan yang tiada taranya. Seluruh tubuhnya berdenyut seua bulu di tubuhnya bangun satu-satu, lubang-lubang kulitnya terbuka dan keringat dingin membasahi tubuhnya. Keng Hong cepat memejamkan kedua matanya dan dengan kemauannya yang keras, dapat dia mematikan perasaannya sehingga siksaan itu tidak akan terasa lagi. *** "Bocah goblok,aku lebih tahu akan watak Sie Cun Hong! Engkau tahu apa? Dia dahulu telah mempunyai isteri yang cantik dan mencintanya, akan tetapi karena dia itu hidung belang, mengejar-ngejar perempuan saja kerjanya, isterinya lalu lari meninggalkannya! Apakah itu bukan bukti yang cukup jelas?" "Tidak, aku tidak percaya, Kwi-bo! Kalau betul dia berpisah dari isterinya, tentu ada sebab lain.aku tetap yakin dala perpisahan itu pun, suhu tidak salah!" "Aku tidak tahu dan aku pun tidak berhak tahu mengenai urusa dalam suami isteri, akan tetapi aku merasa yakin bahwa suhu tidak bersalah dalam hal itu!" "Bocah sombong dan keras kepala!" Nenek itu membentak makin marah. Ia benar-benar merasa tidak berdaya dan "mati kutunya" terhadap Keng Hong. "Rasakan ini!" Nenek itu kini menancapkan kuku lima jari tangan kirinya ke pungung Keng Hong. Pemuda ini tidak mampu melawan karena sekali mengerahkan tenaga melawan berarti dia akan mencelakakan diri sendiri. Maka dia meneria serangan itu. Lima kuku jari tangan kiri Ang-bin Kwi-bo menancap di punggung Keng Hong dan pemuda itu memejamkan mata akan tetapi tanpa dapat dia tahan lagi dan seperti tanpa disadari, mulutnya terbuka dan terdengar keluhan berat. Ia terengah-engah dan setelah nenek itu menarik kembali lima kuku jari tangan kirinya Keng Hong merasa betapa tubuhnya seperti disayat-sayat dari dalam! "Ban-tok-sin-ciang telah meracuni tubuhmu. Dalam waktu dua puluh empat jam engkau akan tersiksa oleh bermacam rasa nyeri yang hebat seolah-olah semua siksaan dari neraka telah masuk ke tubuhmu dan akan kau rasai dalam waktu sehari semalam sebelum engkau mampus. Akan tetapi, kalau engkau mau memaki gurumu sebagai manusia sesat dan memberikan Thi-khi-I-beng kepadaku, aku akan memberi obat penawar racun." Keng Hong memejamkan mata dan mulutnya masih terbuka, terengah-engah , akan tetapi dia berhasil berkata, "Suhu manusia mulia!!" Sekali ini Ang-bin Kwi-bo sudah tidak dapat menahan kemarahannya lagi. "Bocah sinting! Engkau memang layak mampus! Dahulu aku amat merindukan tubuh Cun Hong! Selaksa orang pemuda ganteng tidak dapat memuaskan hatiku, akan tetapi Cun Hong yang kuingini terlalu besar kepala dan menolakku. Aku hampir gila karena malu dan sakit hati. Apa bedanya antara dia dan aku? Aku suka melayani selaksa orang muda ganteng, dia pun suka melayani selaksa gadis cantik. Dia dan aku sebetulnya cocok akan tetapi dia memandang rendah, merasa dia termasuk golongan bersih dan aku dianggapnya golongan kotor. Macam engkau sekarang ini! Engkau jahat, seperti dia, sapai isterinya sendiri yang kabarnya amat cantik dan memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, puteri seorang bangsawan, meninggalkannya!' "Kwi-bo, tidak perlu mengoceh lagi. Aku tetap tidak percaya dan aku yakin bahwa suhu adalah manusia baik, tidak seperti engkau!" Pada saat itu terdengar suara orang menarik napas panjang disusul ucapan yang halus, "Ahhh, betapa untungmu, Sie Cun Hong, mempunyai seorang murid yang masih mati-matian membela nama baikmu biarpun engkau sudah mati dan muridmu terancam bahaya maut...!" Keng Hong melihat munculnya seorang nenek yang sudah amat tua, kiranya tidak kalah tua oleh Ang-bin Kwi-bo, namun masih membayangkan bahwa nenek ini dahulu di waktu mudanya tentu bertubuh tinggi ramping dan berwajah cantik. Di samping nenek ini berdiri seorang gadis yang luar biasa cantiknya, berpakaian kuning. Gadis ini, seperti juga nenek itu, membawa sebuah keranjang obat yang terisi beberapa helai daun dan beberapa potong akar obat. Ang-bin Kwi-bo cepat membalikkan tubuh seperti seekor harimau marah. Dia tidak berani sembarangan karena maklum bahwa nenek dan gadis yang dapat tiba di belakangnya tanpa ia dengar sama sekali tentu bukanlah manusia-manusia biasa, melainkan orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. "Engkau siapa?" bentaknya kepada nenek itu. Nenek itu tersenyum dan biarpun mulutnya tidak ada giginya, ketika tersenyum tidak kelihatan buruk. "Ang-bin Kwi-bo, baru saja engkau bicara tentang diriku, setelah aku muncul, engkau malah tidak mengenalku. Bukankah ini lucu sekali? Biarlah ini menjadi pelajaran bagiu bahwa tidak baik membicarakan urusan orang lain yang diketahuinya betul." "Heh, siapa engkau?" Kembali Ang-bin Kwi-bo membentak sambil meneliti keadaan nenek yang kelihatannya halus dan ringkih (lemas) itu. "Namaku Tung Sun Nio..." Ang-bin Kwi-bo mencelat ke belakang sampai tiga langkah, memandang tajam dan sepuluh buah kuku jarinya terulur, seperti seekor kucing bertemu anjing dan siap mencengkeram. "Apa...? Engkau isteri Sie Cun Hong?" Nenek itu mengangguk dan memandang Keng Hong yang masih duduk dan kini pemuda itu memandangnya dengan mata terbelalak. Saking kaget dan herannya, sejenak Keng Hong melupakan penderitaannya! "Benar akulah Tung Sun Nio dahulu isteri Sie Cun Hong. Murid mendiang suamiku ini benar! Tak perlu ku sembunyikan lagi, dahulu aku adalah isteri Sin-jiu kiam-ong Sie Cun Hong.Dia seorang suami yang baik, tidak pernah menyeleweng, tidak pernah memperdulikan wanita lain. Akan tetapi terjadi perpecahan dan aku kemudian melarikan diri sehinga suamiku itu berubah wataknya, menjadi petualang cinta, hanya berbeda dengan engkau yang suka menculik dan memaksa pemuda-pemuda tampan, suamilku yang amat tampan itu hanya melayani wanita-wanita yang tergila-gila kepadanya, sama sekali tidak pernah memaksa seperti yang kau lakukan!" Akan tetapi, dicela tentang perbuatannya, Ang-bin Kwi-bo sama sekali tidak peduli. Dia lalu berkata, "Nah, benar kataku! Sie Cun Hong bukan manusia baik-baik, sehingga engkau yang menjadi isterinya sampai lari meninggalkannya!" Nenek itu menggeleng-geleng kepala dan sejenak wajahnya kelihatannya suram. "Sama sekali tidak. Kau mau tahu mengapa aku meninggalkan dia? Karena akulah yang tergila-gila dengan seorang sahabat baiknya! Akulah yang berlaku serong, tidak kuat menahan nafsu sewaktu suamiku tidak berada di rumah dan aku melakukan hubungan dengan pria lain. Sie Cun Hong tetap seorang yang mulia, seperti dikatakan muridnya ini. Ang-bin Kwi-bo, engkau tidak tahu betapa puluhan tahun aku menderita tekanan batin karena perbuatanku itu. Aku mengerti bahwa perbuatanku itulah yang membentuk watak suamiku, dan akulah yang berdosa. Namun, aku hanya dapat menyesali diri sendiri, tidak mempunyai kesempatan menebus dosa sampai matinya! Kini kesempatan itu muncul! Engkau telah menganiaya muridnya, engkau merampas pusaka peninggalan suamiku. Maka, sekarangalah aku dapat menebus dosaku dengan membela muridnya yang berbakti dan setia, jauh lebih setia daripada aku yang menjadi isterinya. Hayo serahkan kembali pusaka itu!" Tiba-tiba Ang-bin Kwi-bo tertawa terkekeh-kekeh dan menudingkan telunjuk kirinya yang berkuku panjang, "Bagus sekali! Dan aku pun belum pernah mendapat kesempatan membalas sakit hatiku kepada Sie Cun Hong. Sekarang engkau isterinya muncul, sungguh kebetulan. Aku akan membunuhmu, akan menyiksamu seperti yang kulakukan kepada muridnya, hi-hi-hik!" Akan tetapi nenek iblis ini terpaksa menghentikan ketawanya ketika tubuh Tung Sun Nio sudah menerjang maju dengan kecepatan yang luar biasa dan tongkat kecil di tangannya berubah menjadi sinar bergulung menyambar ke arah dada Ang-bin kwi-bo! Nenek iblis ini terkejut sekali dan cepat ia menggerakkan tangan, kukunya seperti lima batang pisau itu menangkis tongkat. "Triiiiikkkkk!" Ang-bin Kwi-bo meloncat jauh ke belakang, matanya terbelalak merah penuh kemarahan. Ia tadi merasa betapa jari-jari tangannya sakit dan lengannya tergetar hebat. Maklumlah ia bahwa nenek isteri Sin-jiu Kiam-ong itu merupakan lawan yang tak boleh dipandang ringan! Dengan gerengan marah ia meloncat maju, rambutnya menyambar-nyambar seperti pecut dan sepuluh buah jari berkuku runcing itu mencakar-cakar. Serangannya dahsyat bukan main dan Tung Sun Nio, nenek bekas isteri Sie Cun Hong yang bersikap tenang, cepat memutar tongkatnya dan ia harus mengerahkan semua kepandaian untuk mneghadapi terjangan dahsyat dari nenek iblis itu. "Kuatkanlah, aku akan melepaskan kaitan-kaitan ini." Keng Hong yang sedang memperhatikan jalannya pertandingan, menoleh ke kiri ketika mendengar suara halus itu dan dia melihat betapa gadis baju kuning yang cantik luar biasa itu telah mendekatinya. Ia mengangguk lalu mengumpulkan sinkang, mematikan perasaan di kedua pundak dan kini yang terasa olehnya hanyalah bekas tusukan buku beracun di punggungnya. *** Seperti kalau dia bertemu dengan pemandangan alam di pegunungan yang indah, seperti kalau dia melihat bunga-bunga mekar dengan indah , seperti dia melihat bintang-bintang gemerlapan di langit atau bulan purnama tersenyum-senyum di angkasa. Salahkah kalau dia menikmati segala keindahan itu dengan matanya, termasuk keindahan wanita cantik? Mereka bertemu pandang dan agaknya gadis itu dapat melihat pula sinar kagum dan terpesona di mata Keng Hong,buktinya dia lalu menundukkan muka dengan kening berkerut dan kedua pipi yang sudah kemerahan itu kini menjadi merah sekali! Keng Hong cepat memalingkan mukanya. Benar-benar dia telah memiliki watak suhunya. Tidak tahan melihat wanita cantik, tak dapat menyebunyikan rasa kagum dan terpesona sungguhpun dia sangsi apakah perasaan ini termasuk perasaan yang buruk. Betapapun juga, memang keterlaluan sekali. Dia terancam maut. Racun Ban-tok-sin-ciang mengalir di tubuhnya. Akan tetapi dia masih berkesempatan menikmati dan mengagumi wajah cantik! Karena malu kepada diri sendiri, Keng Hong lalu memejamkan matanya dan mengheningkan cipta bersiulian untuk mencoba menolong dirinya dengan kekuatan sinkang di tubuhnya. Akan tetapi, makin dia kerahkan hawa sakti, punggungnya makin nyeri seperti ditusuk besi membara, sehingga terpaksa dia menghentikan usahanya itu dan hanya mengumpulkan hawa bersih yang disedotnya untuk menahan rasa nyeri yang menggerogoti seluruh tubuhnya dari dala. Entah berapa lama Keng Hong bersamadhi memejamkan mata. Tiba-tiba lengannya disentuh oleh sebuah tangan halus dan terdengar suara yang berbisik halus namun mengandung penuh kekhawatiran. "Sadarlah... bangunlah... suhu terancam... bagaimana baiknya?" Keng Hong membuka matanya dan yang pertama-tama menarik perhatiannya adalah lima buah jeriji tangan yang kecil mungil menyentuh lengannya itu. Akan tetapi cepat dia mencela dirinya sendiri, dan mengalihkan perhatiannya ke depan, ke arah dua orang nenek yang sedang bertanding seru sekali. Ternyata bahwa nenek yang memegang tongkat itu terdesak hebat oleh Ang-bin Kwi-bo yang menyerang dengan kuku jari dan rambutnya. Ilmu silat yang dimainkan isteri gurunya itu baik sekali dan amat kuat, pikir Keng Hong, juga gerakan nenek itu tidak kalah cepat atau ringan dari lawan. Pertemuan tongkat dengan jari berkuku panjang yang mengeluarkan bunyi nyaring pun membuktikan bahwa dalam hal tenaga sinkang, mereka berimbang. Hanya nenek itu terdesak oleh Ang-bin Kwi-bo, oleh terjangan nenek iblis yang amat dahsyat dengan rambut dan kuku-kuku jarinya yang berbahaya sekali. Nenek bertongkat itu berkali-kali terpaksa mengelak dan berloncatan ke belakang untuk menghindarkan pukulan atau cakaran Ban-tok-sin-ciang dari Ang-bin Kwi-bo. Keng Hong sendiri terluka parah dan tak mungkin dia membantu. Ia mengerling ke arah gadis itu dan berbisik, "Apakah Nona murid dari... eh, subo itu?" Dia menyebut subo kepada nenek itu, karena bukankah nenek itu isteri mendiang gurunya sehingga nenek itu boleh dibilang adalah ibu gurunya. Gadis itu mengangguk. "Subo sebetulnya tidak kalah lihai, hanya repot menghadapi senjata yang amat banyak itu, rambut dan sepuluh kuku jari. Ban-tok-sin-ciang itu memang berbahaya sekali. Kalau nona maju membantu kurasa subo tidak akan begitu repot." "Itulah yang menggelisahkan hatiku," Nona itu berbisik dan alis yang hitam kecil menjelirit seperti dilukis itu mengerut. "Tadi aku hendak membantu, dilarang oleh subo karena diejek iblis itu yang mengatakan subo pengecut hendak mengeroyok." Keng Hong mengerutkan keningnya. Berabe juga kalau begitu. Dia mengenal kelicikan dan kecurangan Ang-bin Kwi-bo dan agaknya subonya ini, kalau dia tidak salah dengar tadi adalah bekas puteri bangsawan, tentu memiliki keangkuhan dan setelah diejek begitu tentu merasa malu kalau dibantu muridnya atau orang lain. Sedangkan kalau pertandingan itu dilanjutkan, isteri gurunya itu agaknya akan kalah. Kalau isteri gurunya tewas, gadis ini akan tewas pula, demikian juga dia. Keng Hong mencari akal, kemudian teringat akan Siang-bhok-kiam. Nenek iblis itu mempunyai ilmu pukulan beracun yang ganas yaitu Ban-tok-sin-ciang dan untuk menghadapi ilmu dengan kuku-kuku beracun itu, paling tepat hanya menggunakan Siang-bhok-kiam karena pedang pusaka itu justeru "anti racun"! Akan tetapi pedang pusakanya itu, seperti pusaka lain, telah dirampas oleh si nenek iblis. Bahkan pedangnya itu kini terselip di pinggang Ang-bin Kwi-bo! Setelah memeras otaknya menahan rasa nyeri di punggungnya, akhirnya Keng Hong berbisik, "Nona, dekatkan telingamu..." Nona itu mengerti bahwa pemuda ini hendak berbisik sesuatu yang tak boleh didengar nenek iblis yang tentu memiliki pendengaran amat tajam, maka ia lalu menggeser tubuhnya yang berlutut dan jantungnya berdebar keras. Telinga itu begitu indah bentuknya, rambut pelipis yang halus dan melingkar-lingkar itu menyapu mukanya, berbau harum seperti bunga mawar. Muka itu begitu dekat. Eh, benar engkau bajul buntung, Keng Hong! Kembali Keng Hong memaki dirinya sendiri dan cepat dia berbisik perlahan sekali. Gadis itu menggerak-gerakkan sepasang alisnya, kelihatannya terheran, akan tetapi ia mengangguk tanda mengerti apa yang diminta oleh Keng Hong. Setelah Keng Hong membisikkan siasatnya, nona itu menjauhkan lagi tubuhnya lalu berkata, kini suaranya keras, "Subo terdesak oleh nenek iblis itu!" Keng Hong tertawa, suara ketawanya mengejek. "Ahhhhh, siapa tidak mengenal nenek iblis Ang-bin Kwi-bo? Namanya saja besar, padahal dia seorang yang pengecut dan penakut sehingga kuku-kuku jari tangannya pun diberi racun dan dipanjangkan, masih pula ia menggunakan rambutnya yang kotor dan penuh kutu! Ilmu silatnya sih hanya ilmu silat pasaran saja, dan kepandaiannya pun bolehnya mencuri-curi dan meniru-niru dari orang lain. Biarpun begitu, dia masih tidak malu-malu memakai nama sebagai seorang di antara Bu-tek Su-kwi. Menggelikan dan menjijikkan!" Terdengar Ang-bin Kwi-bo memekik marah dan meloncat mundur. "Bocah bermulut busuk! Murid Sie Cun Hong mulutnya busuk seperti gurunya! Kau tunggu saja, setelah aku membunuh isterinya, engkau akan kubunuh sedikit demi sedikit, akan kusayat-sayat dagingmu, kuberikan kepada gagak dan anjing...!" Akan tetapi ia berhenti memaki karena nenek itu sudah menerjang lagi dengan tongkatnya, marah mendengar caci maki yang kotor dan keji itu. Melihat keduanya bertanding lagi, nona yang sudah diberi isyarat kedipan mata Keng Hong, berkata lagi dengan suara nyaring, "Akan tetapi, kulihat nenek iblis itu demikian kuat dan cepat, ilmu silatnya aneh sekali! Sungguh mengerikan!" "Uwaaah! Siapa bilang? Coba kalau gurumu menggunakan senjata Siang-bhok-kiam yang secara tidak tahu malu ia rampas dari tanganku ketika aku pingsan, hemmm... tentu dalam sepuluh jurus lagi dia mampus! Siang-bhok-kiam adalah pedang pusaka guruku yang dianggap suci, tidak mungkin dipergunakan terhadap sembarangan manusia, bahkan pantang minum darah manusia. akan tetapi kalau darah iblis seperti nenek itu, guruku tentu tidak ragu-ragu lagi untuk mempergunakan. Dia pengecut, mana berani? Ha-ha-ha!" Keng Hong tertawa, akan tetapi sesungguhnya ketika dia tertawa itu, punggung dan dadanya rasanya nyeri bukan main hampir tak dapat dia menahan. Tiba-tiba Ang-bin Kwi-bo terkekeh. "Heh-heh-heh-hi-hik! Cia Keng Hong, kaukira aku manusia tolol yang dapat kau bakar hatiku? Ha-ha-ha, biar kau mencaci maki aku, tidak nanti aku begitu bodoh menjadi marah dan terkena pancinganmu lalu memberikan pedang Siang-bhok-kiam kepada isteri gurumu! Kau lihat ini! Aku malah akan menggunakan pedang pusaka gurumu untuk membunuh isterinya! Heh-heh-heh-heh, bagus sekali! Pedang pusaka suci ini akan minum darah isteri gurumu sendiri!" Keng Hong memebelalakkan matanya mengangkat tangan ke atas dan mulutnya menyeringai saking sakitnya. "Jangan...! Ahhh, Kwi-bo, jangan sekeji itu...! Gadis itu meloncat berdiri dan menudingkan telunjuknya ke hidung Keng Hong sambil memberntak, "Engkau... dengan akal bulusmu yang tolol! Engkau malah mencelakakan subo...!" Ang-bin Kwi-bo terkekeh dan mencabut Siang-bhok-kiam dari pinggangnya. Melihat Pedang Kayu Harum milik suaminya ini, nenek itu menjadi pucat wajahnya, akan tatapi ia sudah nekat dan tanpa banyak cakap lagi ia sudah menerjang dengan tongkatnya. Ang-bin-Kwi-bo megerahkan sinkangnya dengan amat kuat dan menangkis dengan pedang Siang-bhok-kiam. "Krekkk!" Tongkat di tangan nenek itu patah menjadi dua bertemu dengan Siang-bhok-kiam. Nenek itu menjerit dan meloncat mundur. "Hi-hi-hi-hi-hik!" Ang-bin Kwi-bo terkekeh girang. "Celaka...!" Gadis itu menjerit dan sekali ini jeritnya bukan lagi pura-pura, melainkan jerit karena khawatir dan ngeri. Sambaran Siang-bhok-kiam yang berubah menjadi sinar hijau dapat dielakkan oleh Tung Sun Nio, akan tetapi karena hawa pedang itu amat mujijat, ia terhuyung dan tiba-tiba sinar hitam dari rambut Ang-bin Kwi-bo telah meluncur ke depan dan melibat leher dan pundak Tung Sun Nio! Sambil terkekeh-kekeh, Ang-bin Kwi-bo melangkah maju, pedang Siang-bhok-kiam diangkat tinggi dan akan dihantamkan ke arah kepala nenek itu. "Tung Sun Nio, lihat pedang suamimu yang suci akan membelah kepalamu, hi-hi-hi..." Tiba-tiba nenek iblis itu mengeluarkan suara meraung keras, pedang Siang-bhok-kiam terlepas dari tangan kanannya dan ia menjerit. "Aduhhh... tanganku...tanganku...!" -Ternyata tangan kanannya menjadi lumpuh dan pedang yang terlepas itu cepat disambar oleh Tung Sun Nio dan sekali pedang tiu berkelebat, rambut yang membelitnya telah dibabat putus! "Aihhhhh... keparat... pedang celaka...!" Ang-bin Kwi-bo memaki dan tangan kirinya dengan jari-jari berkuku runcing menyambar. Tung Sun Nio memapaki lengan itu dengan Siang-bhok-kiam. "Srattt... krekkkkk!" Lengan nenek iblis yang kiri terbabat buntung! Ia memekik keras. Akan tetapi pekik ini dilanjutkan dengan raung yang mendirikan bulu roma ketika pedang Siang-bhok-kiam yang ditusukkan Tung Sun Nio amblas ke dalam perutnya menembus punggung! Tubuh itu meronta keras sehingga Tung Sun Nio tidak mampu menguasai lagi, terpaksa melepaskan gagang Siang-bhok-kiam dan meloncat ke belakang. Tubuh Ang-bin Kwi-bo terguling roboh dan tewaslah nenek iblis itu dengan pedang Siang-bhok-kiam masih menancap di perutnya. Buntalan pusaka yang disampirkan di pundak jatuh terlepas dan berserakan di atas rumput. "Subo...!" Gadis itu berseru girang dan memeluk gurunya. Nenek ini yang masih pucat mukanya, menghela napas panjang. *** "Sie Cun Hong, tidak urung engkau juga yang menolongku, melalui pedangmu dan siasat muridmu..." Mereka berdua menengok dan ternyata Keng Hong juga sudah roboh terguling dan pingsan. Ia tadi mempertahankan dirinya untuk menyaksikan siasatnya yang berbahaya. Dia maklum akan kecerdikan iblis wanita itu untuk menjalankan siasatnya. Nenek iblis itu tentu merasa ditipu dan berlaku cerdik, tidak mau dipancing, padahal justeru itulah kehendak Keng Hong. Andai kata nenek itu menyerahkan pedang kepada Tung Sun Nio, belum tentu isteri gurunya itu akan menang menghadapi nenek iblis yang amat lihai ilmunya Ban-tok-sin-ciang itu. Akan tetapi nenek itu berlaku cerdik, dan terpancing oleh pujian Keng Hong akan pedang Siang-bhok-kiam. Kejahatan dan kekejian nenek iblis itu mendatangkan akal untuk membunuh isteri Sin-jiu Kiam-ong dengan pedangnya sendiri yang oleh muridnya disebut pedang suci. Hal ini dekehendaki oleh Keng Hong karena pemuda ini mempunyai keyakinan bahwa Ban-tok-sin-ciang akan luntur dan punah kalau terkena hawa murni dan mujijat dari Siang-bhok-kiam. Dugaannya terbukti karena begitu tangan kanan nenek iblis itu memegang Siang-bhok-kiam dan mengerahkan sinkang, otomatis hawa sakti pedang itu menumpas dan memusnahkan hawa Ban-tok-sin-ciang seperti air memadamkan api sehingga lengan kanan nenek iblis menjadi lumpuh yang mengakibatkan kematiannya! Setelah melhat siasatnya berhasil dan isteri gurunya tertolong, Keng Hong terguling pingsan! Keng Hung mengeluh perlahan dan membuka matanya. Ia mendapatkan dirinya terbaring di atas dipan bambu dalam sebuah kamar yang amat bersih. Dindingnya terbuat dari anyaman bambu dan lantainya dari batu putih. Tubuhnya terasa nyeri semua dan amat panas, seolah-olah di dalam dadanya ada api unggun menyala. Akan tetapi perasaan nyeri sejenak lenyap terlupa olehnya ketika pandang matanya bertemu dengan wajah cantik dari gadis yang duduk di atas bangku, tak jauh dari pembaringannya. "Suheng..., bagaimana rasanya...?" Tanya gadis itu dengan suaranya yang halus, wajahnya yang cantik memandang serius sekali dan terbayang kegelisahan. "Suheng...?" Keng Hong mengulang dengan suara terheran. "Engkau adalah murid Sin-jiu Kiam-ong, suami subo. Berarti kita masih saudara seperguruan." Gadis itu menjelaskan. "Aahhh... terima kasih, Sumoi. Tentu engkau dan subo yang menolongku dan membawaku ke sini. Budimu dan budi subo amat besar, aku berterima kasih sekali." "Aihhh, Suheng. Baru sekarang aku tahu setelah subo memberi penjelasan sesungguhnya engkaulah yag telah menyelematkan subo. Kalau mau bicara tentang budi, engkau pun telah berjasa besar. Akan tetapi, Suheng..." Gadis itu berhenti dan memandang wajah Keng Hong penuh keharuan dan kegelisahan!"... lukamu..., subo bilang..." "Bagaimana? Bahwa luka akibat Ban-tok-sin-ciang di punggungku ini tidak dapat disembuhkan?" Gadis itu mengangguk dan... menangis, menutupi mukanya. Keng Hong membelalakkan matanya, memandang heran. "Eh, Sumoi! Kenapa engkau menangis?" Gadis itu mengangkat mukanya dari balik kedua tangannya, muka yang menjadi merah oleh tangis, sehingga bibirnya menjadi merah sekali, dengan kulit bibir tipis seperti buah apel, seolah-olah mudah sekali pecah. "Suheng, subo sudah berusaha keras untuk mengobatimu, akan tetapi menurut subo... dia hanya berhasil menghentikan racun itu menjalar, namun tidak berhasil melenyapkannya dan... dan... engkau hanya akan bertahan saapai sehari semalam... Sekarang sudah hampir tengah malam... besok pagi..." Gadis itu tidak melanjutkan menangis lagi. Keng Hong menjadi terharu. Perasaannya seperti lilin terbakar api dan dalam keharuannya dia memegang tangan gadis itu. Gadis itu pun balas memegang sehingga jari-jari tangan mereka saling mencengkeram! "Kau mau bilang bahwa nyawaku tinggal setengah malam lagi? Kalau begitu mengapa, Sumoi? Kalau sudah semestinya besok pagi aku mati, aku tidak takut. Biarlah, mengapa kau yang baru saja berjumpa denganku menangisi keadaanku?" Gadis itu menarik kembali tangannya, mukanya menjadi merah sekali akan tetapi ia memandang Keng Hong dengan sinar mata penuh kejujuran. "Suheng, selamanya aku tidak mempunyai saudara seperguruan. Sekarang, bertemu denganmu dan tiba-tiba mempunyai seorang suheng, hatiku... amat bahagia. Akan tetapi besok pagi...ahhh..." Ia menangis lagi. Keng Hong mengerti dan dia menyumpahi diri sendiri mengapa hatinya menjadi kecewa mendengar keterangan itu. Tentu saja! Gadis ini menangis karena kasihan kepadanya, kepada suhengnya! Sama sekali bukan karena... cinta kepadanya, seperti yang diharapkan oleh hatinya yang lemah apabila bertemu dengan gadis jelita! Benar-benar memalukan. Laki-laki mata keranjang benar dia! "Sudahlah, Sumoi. Harap jangan menangis dan tolong kau minta subo supaya suka datang ke sini dan membawa Siang-bhok-kiam. Kalau Tuhan menghendaki, aku tidak akan mati besok pagi." Gadis itu memandang penuh harapan, lalu mengangguk dan melangkah keluar dari dalam kamar itu. Keng Hong kembali menyumpahi dirinya. Mengapa mata ini tidak mau diam, seperti besi terbetot besi semberani dan memandang tubuh belakang gadis itu ketika berjalan pergi sehingga tampak pemandangan yang amat menggairahkan? Tak lama kemudian, nenek itu melangkah masuk diikuti gadis itu, langkahnya halus dan biarpun sikapnya tenang dan wajahnya juga tidak membayangkan sesuatu, namun sinar matanya terselimut kegelisahan ketika ia memandang wajah Keng Hong. "Subo..." Keng Hong mengangkat kedua tangan ke depan dada dan menyeringai karena pundaknya yang terluka terasa nyeri. "Harap subo maafkan bahwa teecu tidak dapat memberi hormat sebagaimana mestinya. Teecu telah menerima budi pertolongan Subo, teecu amat berteia kasih..." "Ssttt, engkau benar-benar seperti gurumu, pandai sekali menyenangkan hati orang. Namamu Cia Keng Hong, benarkah? Aku hanya mendengar iblis betina itu memanggilmu." "Benar, Subo. Teecu Cia Keng Hong." "Keng Hong, terus terang saja, biarpun sudah puluhan tahun aku mempelajari ilmu pengobatan, akan tetapi luka dipunggungmu akibat cengkeraman kuku dengan ilmu beracun Ban-tok-sin-ciang itu aku tidak dapat menyembuhkannya. Maka aku khawatir sekali engkau hanya akan bertahan sampai besok pagi..." Kalimat terakhir terdengar lirih, penuh keharuan. Mata Keng Hong tak dapat ia kuasai, sudah menyelonong lewat balik pundak subonya itu, memandang wajah gadis jelita dan melihat betapa sepasang mata yang indah itu menitikkan air mata..Aihhh, sungguh aneh. Dia mempunyai perasaan seolah-olah dia akan girang sekali kalau besok pagi mati, ditangisi oleh sepasang mata seperti itu! Gila! Gila engkau Cia Keng Hong, dia menyumpahi diri sendiri. Mata keranjang yang tiada taranya! "Subo, dahulu suhu pernah memberi tahu bahwa pedang Siang-bhok-kiam adalah sebuah pedang mustika yang dapat menyembuhkan segala macam racun di dunia ini. Selain itu, juga di dalam tubuh teecu sudah mengeram banyak sekali racun yang disuruh minum oleh suhu sehingga sedikit banyak tubuh teecu sudah agak kebal terhadap racun. Oleh karena itu, betapapun lihainya Ban-tok-sin-ciang, namun jika benar keterangan suhu, dan jika Tuhan masih belum menghendaki teecu rasa pedang Siang-bhok-kiam dapat menyelamatkan nyawa teecu." Seketika berserilah wajah nenek itu dan baru sekarang dapat dilihat bahwa sebetulnya dia tadi berduka sekali. "Benarkah? Dia tidak pernah membohong, Keng Hong. Kalau dia mengatakan demikian, pasti pedang Siang-bhok-kiam ini akan dapat menyembuhkanmu. Akan tetapi... bagaimana caranya...?" "Harap Subo suka menusukkan Siang-bhok-kiam di punggung teecu, tepat di bagian yang terkena pukulan Ban-tok-sin-cinag. Tentu saja terserah kepada kebijaksanaan dan keahlian Subo agar tusukan tidak mengenai jalan darah dan tidak merusak bagian yang mematikan, tidak terlalu dalam dan juga tidak terlalu dangkal pun berarti racun yang sudah menggeram di bagian agak dalam tidak dapat tersedot keluar." Keng Hong membicarakan hal-hal yang menyangkut bahaya bagi nyawanya ini seenaknya saja, seperti orang membicarakan urusan makan minum! Nenek itu memandang kagum, kemudian berkata dan suaranya mengandung isak! "Sungguh...!Engkau... seperti... seperti dia...! Mirip sekali...!" Keng Hong tersenyum, maklum bahwa yang dimaksudkan oleh subonya adalah gurunya. Jelas bahwa subonya ini selamanya mencinta suhunya. Mengapa dahulu bisa menyelewang? Dia menarik napas panjang. Manusia manakah di dunia ini yang tidak pernah berdosa? Subonya ini pun tidak terkecualikan. Ia dapat membayangkan betapa suhunya tentu sedang pergi dan subonya yang sedang kesepian itu tergoda nafsunya sendiri, tergoda sahabat suhunya dan terjadilah pelanggaran. *** Apakah anehnya dalam peristiwa itu? Kalau direnungkan dengan hati dan pikiran dingin, sebenarnya bukanlah apa-apa! "Teecu menyerahkan keselamatan teecu dalam tangan Subo. Silakan dan...eh, Sumoi... tolonglah bantu aku membalik dan menelungkup." Gadis itu cepat melangkah maju dan kedua pipinya masih basah ketika ia membantu Keng Hong rebah menelungkup sehingga punggungnya berada di atas. "Bukalah bajunya, telanjangi punggungnya!" kata subonya. Keng Hong kembali menyumpahi dirinya dan ingin menempiling kepala sendiri ketika jantungnya berdebar dan hatinya merasa senang sekali merasa betapa jari-jari tangan yang halus dan hangat itu membuka bajunya. "Eh, Suheng... engkau berdebar-debar! Kalau kau takut...ah, amat berbahaya...!" Gadis itu berseru sambil meraba iga kiri Keng Hong. Mampus kau! Keng Hong menyumpahi dirinya. Terbongkar rahasia mata keranjangmu! Ia menoleh dan memaksa diri tersenyum. "Sumoi, siapa sih yang tidak takut menghadapi detik hidup atau mati ini? Akan tetapi aku cukup tabah, harap jangan khawatir, aku percaya penuh akan keahlian Subo menggunakan pedang!" Kalau gadis itu tidak mengerti dan percaya akan keterangan Keng Hong, adalah nenek itu yang tak dapat dibohongi. Orang yang berdebar takut tidak bisa tersenyum seperti itu. Ia mnghela napas dan berkata lirih, "Hemmm,,,,, persis dia..! Tiada sedikit pun bedanya... hemmmmm!" Keng Hong terkejut. Suara. "Hemmm!" yang terakhir itu benar-banar mencurigakan, karena terdengar jelas subonya itu gemas. Tentu sudah tahu bahwa jantungnya berdebar karena sentuhan jari-jari tangan mungil! Celaka dua belas! Keng Hong cepat membenamkan muka pada bantal dan berkata dengan suara bindeng karena hidungnya terhimpit di bantal, "Silakan, Subo!" Nenek itu memegang Siang-bhok-kiam yang sudah dicuci bersih karena tadi memasuki perut Ang-bin Kwi-bo, dan mengheningkan cipta untuk membuat seluruh urat syaraf di tubuhnya menjadi tenang. Kemudian terdengar ia berkata, "Cia Keng Hong, semoga Tuhan menitahkan arwah gurumu untuk membimbing tanganku menggerakkan pedang ini. Sudah kuperiksa lukamu dan racun ini mengeram dekat jantung. Tusukanku harus tepat, kurang atau lebih satu inci saja berarti nyawamu akan melayang, sampaikan maafku kepada gurumu!" Sunyi menyeramkan setelah nenek itu mengeluarkan ucapan yang seperti orang berdoa ini, dan terdengarlah isak tadi tahan dari gadis yang berdiri di sudut kamar dengan kedua kaki menggigil dan muka pucat sekali. "Teecu mengerti. Silakan!" Suara Keng Hong sedikitpun pun tidak terdengar takut, tenang sekali. Nenek itu mundur dua langkah, menodongkan pedang, matanya yang tua namun masih awas itu memandang tanpa berkedip pada punggung yang akan ditusuknya, mengukur dengan cermat sekali. Kemudian terdengar dia mengeluarkan suara melengking, sinar hijau berkelebat dan... "Ceppp!" Ujung pedang Siang-bhok-kiam menusuk punggung Keng Hong dibarengi sedu-sedan gadis yang menonton pertunjukan mengerikan ini. Terdengar keluhan yang didekap dari mulut Keng Hong. Nenek itu melepaskan gagang pedang. Pedang Siang-bhok-kiam menancap seperempat bagian di punggung itu. Keng Hong kelihatan lemas, entah pingsan entah tidur! Akan tetapi, perlahan-lahan pedang yang putih kehijauan itu berubah hitam, kemudian dari gagangnya menetes-netes cairan berwarna hitam. "Ya Tuhan... Terima kasih..., terima kasih, Sie Cun Hong...!" Nenek itu menjatuhkan diri di depan pembaringan dan terisak! Gadis itu pun menangis dan menubruk, terus merangkul gurunya. Kedua orang wanita itu menangis, menangis karena girang, karena sudah merasa yakin bahwa "operasi istimewa" itu berhasil baik! "Yan Cu... Yan Cu... dengarlah baik-baik. Murid dia inilah yang harus menjadi suamimu. Aku telah menentukan detik ini juga. Engkau harus menjadi isterinya!" "Subo...!" Gadis yang bernama Gui Yan Cu itu mencela dengan muka merah sekali dan menoleh ke arah dipan. "Dia..." Nenek yang masih mengucurkan air mata itu tersenyum dan menggeleng kepala. "Dia pingsan, tidak mendengar. Andaikata mendengar sekalipun, mengapa? Dia tentu setuju! Adakah perawan yang lebih hebat daripada engkau?" "Ssssttttt... Subo... teecu malu... kalau-kalau dia mendengar..." Nenek itu bangkit perlahan, sejenak memandang ke arah punggung Keng Hong. Akin banyak kini cairan berwarna hitam menetes turun dari gagang pedang. "Dia sudah selamat. Kepulihan kesehatannya hanya tergantung dari kekuatan sinkang di tubuhnya. Akan tetapi aku percaya sebagai murid Sin-jiu Kiam-ong dia telah memiliki sinkang amat kuat dan dalam waktu sepuluh hari tentu dia sudah dapat turun dari pembaringan. Kau jagalah dia baik-baik. Racun yang menetes itu cepat bersihkan dan kalau sudah berhenti cairan hitam dan pedang itu sudah menjadi putih kembali, kau boleh mencabutnya dengan cepat dan obati luka di punggung dengan daun obat pembersih luka. Beri minum obat akar penambah darah, engkau sudah tahu." Nenek itu lalu keluar dari kamar itu, meninggalkan Yan Cu sendirian bersama Keng Hong. Yan Cu duduk di bangku yang diseretnya dekat pembaringan, sejenak ia termenung seperti patung memandang ke arah punggung dan belakang kepala Keng Hong. Emang yang tampak hanya punggung dan belakang kepala, muka pemuda itu menunduk dan miring ke sebelah dalam. Punggung itu bergerak perlahan naik turun, pernapasannya yang normal, tanda sehat. Tiba-tiba Yan Cu seperti sadar dan tergopoh-gopoh ia mengambil kain, dicelupkan di air panas, lalu ia membersihkan tetesan-tetesan racun hitam. Dengan jari telunjuknya ia perlahan-lahan menyentuh kulit punggung dekat luka, hati-hati sekali, seolah-olah khawatir kalau-kalau kulit punggung itu akan rusak oleh sentuhannya, seperti orang menyentuh sebuah perhiasan yang mahal. Kemudian ia memegang urat nadi lengan Keng Hong untuk meneliti denyut darahnya yang juga normal. Ia bernapas lega, lalu menjaga di situ, mengusap setiap tetes racun, menjaga dengan penuh kesetiaan, penuh ketelitian dan penuh kebahagiaan. Dia suka kepada pemuda ini. Dia tadinya merasa girang sekali endapatkan seorang suheng yang begini lihai dan begini... Ganteng! Sekarang, suheng ini tiba-tiba menjadi calon suaminya! Benar-benar kini berbeda sekali perasaannya. Dia hanya girang, gembira, bahagia. Selanjutnya dia tidak akan berpisah dari pemuda ini kalau sudah menjadi isteri pemuda ini. Cinta? Dia tidak tahu, tidak mengerti. Yang ia tahu hanya bahwa dia suka kepada Keng Hong, suka dan kagum. Dengan amat telaten dan penuh perhatian Yan Cu merawat Keng Hong, merawat luka di punggungnya yang sekarang sudah tidak hitam lagi setelah semua racun disedot oleh Siang-bhok-kiam yang kini sudah dicabut oleh Yan Cu. Pemuda itu masih berada dalam keadaan tidak sadar dan dalam waktu dua hari dua malam dia selalu dijaga oleh Yan Cu yang tak pernah meninggalkan kamarnya. Bahkan gadis ini hanya tidur sambil duduk di atas bangku, hanya makan bubur setelah ia menyuapi Keng Hong yang masih setengah pingsan itu dengan bubur encer. Karena kurang tidur dan lelah, tubuh gadis ini menjadi agak kurus, rambutnya kusut dan wajahnya pucat. Akan tetapi mulutnya selalu tersenyum dan sinar matanya berseri melihat betapa Keng Hong makin sehat. Pada hari ke tiga, Keng Hong siuman. Pagi itu dia tersadar dan membuka mata, melihat Yan Cu tertidur, duduk di atas bangku, kepalanya menyandar dinding. Di atas meja terdapat obat-obat dan di sudut kamar terdapat anglo tempat masak bubur dan obat. Keng Hong kaget meraba punggungnya dan hatinya teharu sekali. Ia tahu bahwa dia telah selamat dan agaknya gadis ini selalu menjaganya entah berapa lamanya dia tidak tahu. Akan tetapi dia bisa menduga, tentu lama sekali, buktinya gadis itu sampai tertidur kelelahan di atas bangku! Ia mengamat-amati wajah yang tertidur itu. Rambut yang kusut itu sebagian menutupi pipi. Hatinya terharu sekali. Aiiihhh, gadis yang amat cantik jelita yang telah menjaga dan merawatnya, entah berapa hari lamanya! Budi yang amat besar ini, dan dia membalasnya dengan pandang pandang mata tertarik, dengan gairah yang seperti dikutik-kutik! Benar-benar dia keparat tak tahu malu, tak kenal budi! Ia bangkit bersila dan bersamadhi. Sinkangnya dia gerakkan dan ternyata seluruh tubuhnya sudah sehat kembali. Luar biasa sekali, kini sinkangnya dapat dia gerakkan lebih cepat daripada biasanya, jauh lebih kuat! Ia teringat, inilah hasilnya menyedot hawa sinkang dari tiga orang kakek iblis! Terbayanglah semua pengalamannya seenjak dia bertemu dengan Thian-te Sam-lo-mo dan dia bergidik. Ia berhutang budi kepada subonya, berhutang nyawa. Juga kepada gadis cantik ini. "Ehhhhh... Engkau belum boleh duduk, Suheng...!" Tiba-tiba Keng Hong mendengar suara gadis itu. Betapa merdunya suara itu. Ia membuka mata, tersenyum. Dua pasang mata bertemu pandang, bertaut sebentar dan... gadis itu menundukkan mukanya, kedua pipnya merah sekali, mulutnya tersenyum-senyum penuh rasa jengah! Eh, mengapa begini? Apakah pandang matanya kembali membayangkan perasaan terpikat? Membayangkan sifatnya yang mata keranjang? Celaka kalau begitu. Tidak boleh begini! "Maaf, Sumoi... Mengapa tidak boleh duduk?" Yan Cu mengangkat muka, kini berani memandang. "Subo berpesan agar engkau berbaring dan memulihkan tenaga sampai sepuluh hari. Engkau baru tiga hari..." *** "Apa?" Keng Hong memotong, terkejut. "Sudah tiga hari tiga malam aku rebah di sini dan engkau terus-menerus menjaga dan merawatku di sini, Sumoi?" Sepasang mata yang indah itu memandang Keng Hong dan seolah-olah mata itu bertanya apa salahnya dengan itu, akan tetapi bibirnya bergerak, berkata halus. "Ah, Suheng. Itu sudah menjadi kewajibanku." "Kewajibanmu? Dan engkau menjaga terus-menerus tanpa istirahat sehingga engkau kelelahan dan tertidur di bangku. Mukamu pucat, engkau agak kurus, pakaianmu dan rambutmu kusut... Ah, Sumoi aku benar tak tahu diri, mebuat Sumoi capek sekali.: Yan Cu bangkit berdiri, meneliti pakaiannya, otomatis tangannya meraba rambutnya. "Wah, aku... Aku harus berganti pakaian... Harus mandi, rambutku... ah, tentu jelek sekali..." Keng Hong tak dapat menahan ketawanya. "Bukan begitu, Sumoi. Engkau tetap cantik, ah, malah lebih cantik dalam keadaan begini. Engkau telah merawatku, sungguh aku harus berterima kasih!' Keng Hong meloncat turun dan menjura di depan gadis itu. Yan Cu tersipu-sipu. "Eh-eh-eh, jangan Suheng. Aku... aku harus menjagamu, dan engkau tidak boleh turun. Kesehatanmu belum pulih. Subo bilang, kalau sinkangmu cukup kuat, dalam waktu sepuluh hari barulah Suheng boleh turun." "Ha-ha-ha! Aku sudah cukup sehat dan kuat berkat perawatanmu, Sumoi. Lihat!" Keng Hong membusungkan dada, menarik napas panjang dan tiba-tiba tubuhnya meloncat ke atas, dan... Punggungnya menempel di langit-langit. Kemudian dia melompat turun lagi, demikian ringan tubuhnya. "Nah, bukankah aku sudah pulih kembali?" Yan Cu memandang kagum. "Engkau... engkau hebat, suheng. Baru malam tadi aku... Engkau makan dengan..." Sukar ia melanjutkan kata-katanya dan ia hanya memandang ke arah bekas mangkok dengan sendoknya. Keng Hong memandang, terharu. "Engkau masih menyuapi aku, bukan? Terima kasih, Sumoi. Aku tidak akan mungkin membalas budimu, biarlah Thian saja yang akan membalasmu." Kembali Keng Hong menjura. "Dimanakah subo? Aku harus menghaturkan terima kasih kepadanya." "Subo telah tiga hari pergi seperti biasa, mencari daun-daun obat... nah itu subo datang!" Benar saja, nenek itu sudah berdiri di ambang pintu dengan sebuah keranjang penuh daun dan akar obat. Keng Hong cepat menjatuhkan diri berlutut. "Subo, terimalah hormat dan terima kasih teecu atas pertolongan Subo. Sungguh teecu tidak akan dapat melupakan budi Subo dan Sumoi yang amat besar terhadap diri teecu!" Keng Hong bersoja sampai delapan kali. Nenek itu memandang dengan wajah berseri dan penuh kekaguman. "Baru tiga hari dan engkau sudah sehat kebali. Entah betapa hebat sinkangmu, Keng Hong! Engkau benar-benar mengagumkan, agaknya sinkangmu malah sudah melebihi mendiang suhumu!" "Subo, terlalu memuji. Kalau tidak ada Subo dan Sumoi, tentu teecu sekarang hanya tinggal nama saja. Entah bagaimana teecu akan dapat membalas budi Subo dan Sumoi!" "Keng Hong, orang yang ingat akan budi adalah orang yang baik. Syukurlah kalau engkau suka ingat akan budi orang. Untuk membalasku, engkau harus memenuhi permintaanku dan untuk membalas budi Sumoimu, engkau harus suka menurut menjadi calon suaminya. Aku menjodohkan engkau dengan muridku." Terbelalak mata Keng Hong dan otomatis dia menengok kepada sumoinya. Akan tetapi gadis itu sudah lari keluar dari kamar. "Akan tetapi, Subo..." Keng Hong sudah bangkit berdiri dan memandang nenek itu dengan bingung. Dia benar-benat itdak dapat menggunakan pikirannya, bingung karena keputusan itu benar-benar amat mendadak dan sama sekali tidak pernah diduganya. Dia dijodohkan dengan gadis jelita itu "Cia Keng Hong, apakah engkau hendak menolak? Tegakah engkau menolak setelah apa yang dilakukan oleh muridku? Dia sudah setuju, dan kulihat kalian memang berjodoh. Engkau murid Sin-jiu Kiam-ong, dia muridku. Engkau tampan gagah, dia pun cantik jelita dan gagah. Adakah gadis yang lebih cantik dari dia? Eh, Keng Hong, apakah engkau sudah mempunyai calon isteri laiinya?" Nenek itu memandang penuh perhatian dan penuh selidik. Keng Hong menggelengkan kepala. Memang dia belum mempunyai tunangan. Akan tetapi pada saat itu, terbayanglah wajah Biauw Eng di pelupuk matanya. Biauw Eng! Bagaimana dia dapat memilih gadis lain menjadi calon isterinya kalau dia sudah yakin benar bahwa Biauw Englah satu-satunya wanita di dunia ini yang dicintanya? Cintanya terhadap Biauw Eng adalah cinta yang murni, yang mendalam bukan hanya cinta berahi atau tertarik oleh kecantikan Biauw Eng saja. memang dia suka akan kecantikan, selain tertarik, akan tetapi itu bukanlah cinta! Mana mungkin dia mencinta wanita lain, biar sejelita gadis itu sekalipun? Cinta kasihnya sudah direnggut Biauw Eng. Memang Biauw Eng sekarang membencinya, karena kebodohannya sendiri, akan tetapi apa pun yang terjadi, andaikata kelak Biauw Eng menjadi isteri orang lain sekalipun, dia akan tetap mencinta Biauw Eng! "Nah, kalau engkau belum bertunangan, mengapa ragu-ragu? Engkau harus menjadi suai muridku, karena hanya untuk jodoh muridku inilah aku bertahan hidup selama ini. Kini aku telah mendapatkan jodoh untuknya, yaitu engkau. Kalau engkau menolak, berarti engkau adalah seorang yang tak kenal budi dan akan kuanggap sebagai musuh. Aku akan membunuhmu!" "Subo...!!" Keng Hong berteriak kaget. Nenek itu menurunkan keranjangnya. "Dengarlah, dahulu aku telah melakukan dosa terhadap gurumu. Karena itu, aku kini melihat jalan untuk menebus dosa, yaitu untuk membahagiakan muridnya. Karena itu, aku memilihmu untuk menjadi suami muridku, padahal andaikata ada seorang putera kaisar sekalipun yang melamar uridku, belum tentu akan kuterima! Engkau bahagia sekali menjadi calon suami muridku. Kalau engkau menolak, berarti engkau menghancurkan harapanku menebus dosa dan sekaligus engkau menghina aku, engkau menghancurkan perasaan muridku yang juga akan merasa terhina karena ditolak. Nah, aku telah cukup bicara. Kalau menerima dan akan kuatur pernikahan kalian bulan ini juga atau engkau menolak dan harus mengadu jiwa dengan aku!" "Subo...!!" Keng Hong mengeluh, akan tetapi nenek itu sudah menyambar keranjangnya dan pergi dari situ. Keng Hong bangkit perlahan-lahan, kemudian menghampiri pembaringan dan menjatuhkan diri berlutut di pembaringan itu. Pikirannya tidak karuan, gelap dan ruwet, hatinya tertekan, membuatnya bingung sekali. Apa yang harus dia lakukan? Harus dia akui bahwa kalau tidak ada guru dan murid itu, dia tentu sudah mati di tangan Ang-bin Kwi-bo! Dia berhutang budi, berhutang nyawa! Hutang benda seperti yang dilakukan gurunya, dapat dibayar, pusaka-pusaka yang "dihutang" gurunya dapat dia cari kembali dan dia kembalikan. Akan tetapi hutang budi? Hanya dapat dibalas dengan budi pula. Kalau dia menolak, berarti dia akan menjadi orang yang paling tidak mengenal budi di dunia ini! Dia masih jejaka, belum menikah belum bertunangan. Alasan apa yang dapat dia pakai untuk menolak? Yang mengatur perjodohan adalah isteri gurunya sendiri, berarti berhak untuk mewakili gurunya yang sudah tidak ada. Adapun jodoh yang demikian cantik jelita, berkepandaian tinggi, berbudi mulia, gadis yang telah menjaga dan merawatnya selama tiga hari tiga malam tanpa mempedulikan dirinya sendiri. Dari sikap itu saja dia sudah dapat menduga bahwa gadis itu tentu suka kepadanya! Bagaimana dia dapat menolak? Keng Hong menjadi pening kepalanya dan dia duduk sambil memegang kepala dengan kedua tangannya. "Suheng...!!" Halus merdu sekali suara itu, akan tetapi mendengar itu, kepala Keng Hong menjadi makin pening. Ia mengangkat muka memandang dan matanya terbelalak. Gadis itu sudah mandi, sudah menyisir rambut dengan rapi, sudah bertukar pakaian yang bersih dan indah, pakaian berwarna serba kuning. Rambutnya yang hitam gemuk dikelabang dua, diikat dengan pita sutera kuning pula. Segar dan cantik mempesonakan. Akan tetapi, melihat kecantikan gadis ini, kepalanya berdenyut-denyut rasanya sehingga dia memejamkan mata dan menekankan kedua tangannya keras-keras dari kanan kiri. "Suheng... apakah kepalamu masih terasa pening...?" Keng Hong mencium bau yang amat sedap harum. Perlahan-lahan dia membuka matanya dan cepat memejamkannya kembali karena melihat sepasang mata seperti dua buah bintang cemerlang menatapnya dekat-dekat di depan mukanya. Ia mengelengkan kepalanya dan dengan kedua mata masih terpejam dia bertanya, "Sumoi, di mana Subo?" Ia heran sendiri mendengar suaranya tiba-tiba menjadi parau dan gemetar, seperti suara orang terserang penyakit demam, suara orang gelisah dan bingung dan kehabisan akal! "Subo sudah pergi lagi, katanya hendak mencari akar jin-som di puncak paling ujung. Paling cepat lima hari lagi akan kembali. Mengapa. Suheng? Mukamu pucat sekali. Subo sudah bilang, bahwa engkau boleh turun setelah beristirahar sepuluh hari. Baru tiga hari engkau turun. Lebih baik berbaringlah dan mengasolah sampai sembuh, Suheng. Hari ini engkau boleh makan masakan daging. Kutangkapkan kelinci untukmu, ya? Ataukah engkau lebih senang daging ayam hutan? Atau kijang? Aku akan masak yang enak untukmu..." Keng Hong merasa jantungnya seperti ditusuk-tusuk. Ia memaksa diri membuka mata, memandang sumoinya itu dengan tajam, lalu bertanya, "Sumoi, apakah engkau... engkau... Tadi mendengar...?" *** Gadis itu memandang, matanya kini terbuka agak lebar. Mati aku, pikir Keng Hong. Sepasang mata itu luar biasa indahnya! Akan tetapi menikah dengannya? Ahhh, bagaiamana mungkin? Biauw Eng...! "Mendengar apa, Suheng?" Keng Hong mengerutkan keningnya. Kalau gadis berpura-pura tidak tahu berarti gadis ini mempunyai watak yang suka mempermainkan! Akan tetapi sepasang mata itu memandangnya begitu jujur, sewajarnya dan tidak menyembunyikan apa-apa, jelas memang tidak mengerti. "Itu... tuhhh... Tentang... eh, tentang perjodohan..." Tiba-tiba gadis itu menundukkan mukanya. Setelah menunduk, tampak sekali betapa lentik panjang bulu matanya, betapa mancung hidungnya dan betapa runcing dagunya. Bukan main ! Keng Hong tidak percaya di dunia ini ada yang lebih manis daripada wajah di depannya ini! Gadis ini mengangguk, kemudian terdengar suaranya yang keluar dari bibir yang merah basah tanpa gincu, lebih merah sedikit dari sepasang pipinya yang tiba-tiba menjadi amat merah. "Aku sudah tahu... bahkan Subo sudah memberi tahu tiga hari sebelumnya, setelah Subo berhasil menusukkan Siang-bhok-kiam itu..." Keng Hong tertegun. "Kalau begitu.. Ketika engkau menjaga dan merawatku selama tiga hari tiga malam... eh. Engkau sudah tahu akan perjodohan itu?" Gadis itu mengangguk dan mengerling sambil tersenyum manis, bukan sikap memikat melainkan agaknya merasa geli dan hendak menggoda. Keng Hong merasa betapa hawa pagi dalam kamar itu tiba-tiba menjadi panas. Ah, dia harus bicara dari hati ke hati dengan gadis ini. Kalau dia tidak berani nekat sekarang, nanti akan terlambat dan dia takkan dapat menghindarkan diri lagi dari ikatan jodoh ini. Dia harus dapat menyelesaikan urusan ini sebelum isteri gurunya itu pulang! "Sumoi, mari kau ikut bersamaku...!" "Eh... eh... kemana...?" Yan Cu berkata heran ketika pemuda itu menggandeng tangannya dan menganjaknya lari keluar dari dalam pondok. Keng Hong tidak menjawab melainkan terus menarik tangan gadis itu, setelah tiba di luar dia berkata, "Kemana saja, asal jangan di dalam pondok. Aku... aku membutuhkan udara segar, dan aku ingin bicara kepadamu, Sumoi. Bicara dari hati ke hati, bicara sejujurnya demi kebaikan kita bersama, demi masa depan penghidupan kita!" Gadis itu memandang dengan sinar mata heran, akan tetapi ia mengangguk dan berkata. "Marilah. Di puncak sana itu amat indah pemandangannya dan sejuk hawanya. Aku paling suka duduk melamun sendirian di sana!" Berlari-larilah mereka dan Keng Hong sengaja hendak menguji ginkang gadis itu. Ia berlari cepat sekali. "Wah, larimu cepat bukan main, Suheng!" Teriak gadis itu akan tetapi Keng Hong mendapat kenyataan bahwa gadis itu memiliki ginkang yang hebat juga. Ini pun tidak mau mengerahkan seluruh kepandaiannya dan mengimbangi kecepatan gadis itu sampai mereka tiba di puncak. Keng Hong memandang sekeliling dan dia menjadi kagum. Memang indah bukan main pemandangan dari puncak itu. Di sebelah timur tampak menjulang puncak Pegunungan Phu-niu-san, sedangkan sebelah barat menjulang tinggi puncak Pegunungan Cin-ling-san. Di sebelah bawah tampak jurang-jurang yang curam dan anak sungai yang berlika-liku seperti ular naga. Hawanya pun nyaman sekali. Berdiam di tempat seperti inilah yang membuat manusia merasa kecil, dan merasa lebih dekat dengan alam yang maha besar, merasa bahwa dirinya tidak berarti, hanya menjadi sebagian kecil saja dari alam ini. Mereka lalu duduk di atas rumput yang hijau tebal seperti permadani. Sejenak mereka berpandangan dan gadis itu bertanya, "Suheng, pandang matamu aneh. Engkau kau hendak bicara apakah?" "Sumoi, pertama-tama, siapakah namamu?" Gadis itu membelalakkan matanya kemudian tertawa geli, menutupi mulut dengan lengan bajunya. Hemmm, bukan main manisnya kalau begini, pikir Keng Hong kagum. Ia dapat mengerti kegelian hati gadis itu. Seorang suheng yang tidak tahu nama sumoinya! Atau lebih lagi, seorang calon suami yang tidak tahu nama isterinya! Mana ada keduanya di dunia ini? "Aihhh, kukira Suheng sudah tahu. Jadi belum tahukah?" Keng Hong tersenyum. Sikap gadis itu kini lebih terbuka, lincah dan tidak malu-malu setelah mereka berdua berada di tempat sunyi yang amat indah itu. Sikap ini menular kepadanya dan dia pun menjadi gembira. "Kalau aku sudah tahu, masa aku bertanya lagi, Sumoi?" Gadis itu bangkit berdiri dan menjura sambil bersoja, sikapnya lucu dan manis. "Kalau begitu, perkenalkanlah, nama saya Gui Yan Cu!" "Saya Cia Keng Hong!" Keng Hong juga sudah bangkit berdiri dan membalas penghormatan sumoinya seolah-olah mereka itu merupakan dua orang yang baru bertemu dan baru berkenalan. Keduanya saling pandang lalu tertawa bergelak. Kini Yan Cu bahkan tertawa gembira tanpa malu-malu menutupi mulut seperti tadi sehingga Keng Hong terpesona melihat deretan gigi yang putih seperti mutiara dan sekilas pandang melihat rongga mulut dan ujung lidah yang merah. "Yan Cu sumoi, marilah kita duduk dan bicara. Aku tidak main-main lagi, aku ingin bicara denganmu mengenai diri kita dan kuharap kau suka bicara sejujurnya seperti aku, karena ini demi kebahagiaan masa depan kita sendiri." Ternyata Yan Cu adalah seorang gadis yang selain lincah dan jujur, juga dapat diajak berunding, karena gadis itu telah dapat menghapus kegembiraannya dan duduk sambil memandang Keng Hong penuh perhatian. Melihat sikap gadis ini, sepasang matanya yang bening, sepasang bibirnya yang merah indah, rambutnya yang melambai tertiup angin gunung, diam-diam Keng Hong membayangkan betapa akan bahagia hidupnya menjadi jodoh gadis seperti ini kalau saja di sana tidak ada Biauw Eng! "Sumoi, engkau tentu sudah tahu bukan bahwa Subo telah menetapkan agar kita menjadi pasangan, menjadi calon suami isteri?" Gadis itu mengangguk, kembali sepasang pipinya menjadi merah, akan tetapi karena maklum bahwa suhengnya bicara dengan sungguh-sungguh, ia berani menentang pandang mata suhengnya, bahkan kini pandang matanya sendiri penuh selidik. "Bagaimana tanggapanmu mengenai urusan itu, Sumoi? Bagaimana perasaanmu ketika Subo menyatakan urusan penjodohan itu kepadamu?" "Hemmm, apa maksudmu, Suheng? Aku tidak tahu harus menjawab bagaimana!" "Jawab saja, apakah engkau girang mendengar itu? Ataukah engkau terpaksa menerima akan tetapi dalam hatimu sebetulnya tidak suka?" Gadis itu kelihatan canggung, akan tetapi ia memaksa mulutnya menjawab. "Aku girang dan suka mendengar itu Suheng." "Sumoi, katakanlah terus terang, apakah engkau... suka kepadaku? Mengapa engkau merasa girang dan suka mendengar bahwa engkau hendak dijodohkan denganku?" Wajah yang manis itu menjadi merah sekali. Diam-diam Keng Hong merasa kasihan dan dia menyumpahi dirinya sendiri yang dia tahu amat kejam mengajukan pertanyaan seperti ini kepada seorang gadis, malah tunangannya sendiri! Akan tetapi dia harus melakukan hal ini, agar urusan yang ruwet itu dapat beres. "Aku... aku suka kepadamu, Suheng. Mengapa tidak? Engkau seorang pemuda yang gagah perkasa, yang... eh, amat tampan dan yang baik budi, bahkan engkau murid suami Subo yang terkenal. Apakah engkau tidak suka kepadaku, Suheng?" Kini sepasang mata yang bening dan membayangkan hati yang bersih itu seolah-olah hendak menembus jantung Keng Hong. Mampus kau sekarang, demikian Keng Hong memaki diri sendiri. Senjata makan tuan! Dia dibalas oleh gadis itu dengan ucapan sederhana dan dengan pertanyaan langsung yang menancap di ulu hatinya. "Aku... aku... Ah, nanti dulu, Sumoi. Sekarang engkau dulu menjawab pertanyaanku, nanti aku yang mendapat giliran menjawab semua pertanyaanmu." Yan Cu memandang aneh, lalu menghela napas. "Engkau aneh, Suheng. Akan tetapi baiklah, kau mau bertanya apa lagi?" "Ketika engkau merawatku selama tiga hari tiga malam, apakah hal itu kaulakukan karena... engkau memang kasihan kepadaku, apakah karena suka, ataukah karena kau merasa hal itu menjadi kewajibanmu sebagai.. eh, calon isteri?" Keng Hong menanti jawaban dari gadis itu dengan hati berdebar tanpa berani memandang wajah Yan Cu. Sampai lama gadis itu tidak menjawab dan selama itu Keng Hong tidak berani memandang wajahnya. Kemudian terdengar suaranya, halus namun penuh keheranan, "Aku tidak mengerti mengapa kau mengajukan pertanyaan-pertanyaan aneh seperti ini, Suheng. Aku merawatmu karena merasa hal itu sudah semestinya, sudah kewajibanku, bukan hanya karena aku menjadi calon isterimu, akan tetapi karena aku kasihan kepadamu juga suka kepadamu, apalagi engkau adalah suhengku." Keng Hong mengaruk-garuk kepalanya. Dasar engkau sendiri yang tolol, makinya kepada diri sendiri, ingin menjenguk hati gadis yang murni! Mengapa tidak terus terang saja? Mengapa tidak terus terang saja, Suheng?" "Hahhh..?" Keng Hong kaget karena pertanyaan yang diajukan Yan Cu begitu tepat dengan suara hatinya sendiri? Siapakah yang bertanya tadi? Benarkah suara Yan Cu, atakah suranya sendiri? Ia menjadi bingung sendiri dan memandang kepada Yan Cu dengan mata kosong. Gadis itu tersenyum geli. "Suheng, jangan-jangan sebagian dari racun Ban-tok-sin-ciang ada yang naik memasuki kepalamu.." *** Keng Hong memegangi kepalanya. "Wah... Kau menghina..." Akan tetapi dia tertawa dan gadis itu pun tertawa geli. Suasana yang tegang membingungkan tadi membuyar. "Kau terlalu, Sumoi. Apakah kau anggap aku sudah menjadi gila...?" "Habis, pertanyaan-pertanyaanmu aneh-aneh saja, sih. Kalau ada sesuatu di hatimu, katakanlah terus terang, Suheng. Bukankah kau tadi mengajak aku untuk bicara dari hati ke hati? Aku tahu bahwa engkau masih terkejut karena keputusan Subo yang tiba-tiba menjodohkan kita. Apakah kau hendak bicara tentang ini? Ataukah tidak setuju dan terpaksa menerima karena takut kepada Subo?" Nah, rasakan sekarang! Keng Hong menundukkan mukanya seperti seorang pesakitan mendengarkan tuduhan-tuduhan hakim. Akhirnya dia memberanikan hatinya, mengangkat muka memandang wajah yang jelita itu dan berkata, "Terus terang saja, Suoi. Memang hal itulah yang membuat hatiku bingung bukan main. Karena berhutang hati kepada Subo yang telah menyelamatkan nyawaku, pula karena mengingat bahwa Subo adalah isteri Suhu yang tentu saja berhak mewakili Suhu, bagaimana aku berani membantahnya?" "Jadi engkau tidak setuju dan engkau tidak suka kepadaku, Suheng ?" "Wah-wah-wah, nanti dulu, Suoi. Disaksikan oleh langit dan bumi yang dapat kita lihat sekarang ini, sama sekali tidak demikian. Aku suka sekali kepadamu, Sumoi, dan untuk ke dua kalinya aku bersumpah bahwa belum pernah aku bertemu dengan seorang gadis secantik, sepandai dan semulia engkau. Aku suka kepadamu, akan tetapi bukan hanya karena suka orang lalu bisa menjadi suami isteri. Eh, apakah engkau cin... cinta kepadaku, Sumoi?" Keng Hong ingin menampar mulutnya sendiri untuk keluarnya pertanyaan ini, akan tetapi karena sudah terlanjur, maka dia hanya dapat memandang muka gadis itu yang kini mengerutkan kening dan bibirnya diruncingkan, agaknya berpikir keras! Keng Hong menanti jawaban yang memutuskan ini. Kalau sumoinya ini terang-terangan menyatakan cinta kepadanya, berati dia kalah dan harus bertekuk lutut tanpa syarat lagi! Karena kalau sumoinya ini mencintanya, tentu dia tidak akan tega untuk menghancurkan hati dan hidupnya, dan dia akan menyerahkan diri, pasrah bongkokan membiarkan hidungnya diikat dan dituntun seperti kerbau ke meja sembahyang pernikahan! Diam-diam dia berdoa agar gadis itu menjawab sebaliknya! Sampai lama Yan Cu tidak menjawab, melainkan mengerutkan alis dan matanya memandang jauh ke puncak Pegunungan Cin-ling-san yang tertutup awan. Tiba-tiba ia menoleh, sinar matanya seperti dua cahaya menembus dahi Keng Hong dan bertanya, "Cia-suheng! Apakah engkau mencinta gadis lain??" Keng Hong tersentak kaget dan matanya terbelalak. Pertanyaan itu begitu tiba-tiba dan tersangka-sangka seperti datangnya ujung pedang yang menusuk ulu hati. Ia tergagap dan menjawab seperti orang dikejar harimau atau seperti maling konangan, "Eh... wah... ini... eh itu...wah bagaimana ya? Ya begitulah, Sumoi. Begitulah..." "Begitu-begitu bagaimana, Suheng? Engapa tidak terus terang saja? apakah ini namanya bicara dari hati ke hati?" Keng Hong mengangguk-angguk dan menelan ludahnya, baru bisa bicara. "Memang benarlah, Sumoi. Aku telah jatuh cinta kepada seorang gadis lain. Maafkan Sumoi. Aku telah berterus terang, sekarang kuminta Sumoi suka berterus terang pula. Apakah Sumoi cinta padaku?" Wajah gadis itu berubah agak cepat, sapai lama ia menatap wajah tapan di depannya itu, lalu bertanya, "Dan gadis itu.apakah dia juga mencintamu?" Keng Hong menggeleng kepala. Sejenak terjadi perang dihatinya. Dahulu memang Biauw Eng mencintanya, bahkan mengaku cinta di depan ibunya sendiri, di depan banyak tokoh, secara terang-terangan. Akan tetapi dalam pertemuan terakhir, Biauw Eng telah menyatakan benci kepadanya! Apakah bedanya antara cinta dan benci? Sukar membedakan kalau dia teringat akan sikap Biauw Eng. "Tidak, dia malah... membenciku, Sumoi!" Gadis itu menunduk, agaknya menahan senyum karena kembali ia merasa geli hatinya melihat sikap dan mendengar jawaban Keng Hong merendahkan kepalanya untuk mengintai muka yang tunduk itu, keningnya berkerut dan dia menuntut, "Kenapa kau tertawa, Sumoi? Kau malah menertawakan aku yang dibenci padahal aku mencinta sedangkan dahulu aku yang benci dia dan dia mencintaku dan..." Tiba-tiba Keng Hong sendiri tak dapat menahan ketawanya melihat betapa gadis itu terbatuk-batuk menahan ketawa dan keduanya lalu tertawa-tawa sambil memegangi perut karena geli! "Wah, kalau begini terus kita berdua bisa gila, Suheng!" Gadis itu menahan ketawa sambil mengusap air matanya. Saking geli hatinya ia tadi tertawa sampai keluar air mata. Keng Hong juga mengusap dua butir air mata yang dia tidak tahu lagi apakah karena tertawa ataukah karena hatinya sakit mengingat Biauw Eng. "Baiklah, Sumoi. Memang seharusnya kita berdua sebagai manusia-manusia sadar, membicarakan urusan perjodohan kita ini sebelum terlanjur. Percayalah, Sumoi. Andaikata di sana tidak ada gadis itu yang aku tidak tahu entah cinta entah benci kepadaku, demi Tuhan, ajakan perjodohan ini akan kusambut dengan kebahagian besar sekali..Karena itu, agar urusan ini dapat kita pecahkan bersama dengan kesadaran sehingga yang aku lakukan adalah hal yang sudah kita ketahui jelas dan tidak secara membuta, katakanlah sesungguhnya apakah engkau cinta kepadaku!" "Aku mengerti maksudmu, Suheng dan hal ini malah menambah kekagumanku kepadamu. Engkau laki-laki yang jujur dan memang sebaiknya berterang begini,apalagi menghadapi urusan perjodohan yang akan mengikat kita satu sama lain untuk selama hidup. Tentang cinta, terus terang saja aku sendiri tidak tahu dan tidak mengerti. Aku suka kepadamu, Suheng, dan kiranya kalau dipaksa harus memilih di antara seribu orang pemuda untuk menjadi jodohku, tanpa ragu-ragu lagi aku akan meilihmu. Akan tetapi tentang cinta...? Hemmm, Suheng, mungkin engkau yang lebih berpengalaman daripada aku dapat menjelaskan, apakah sebenarnya cinta itu? Dan bagaimana? Aku tidak tahu bagaimana aku dapat menjawab pertanyaanmu apakah aku cinta kepadamu atau tidak? Coba kaujelaskan padaku, Suheng. Apa sih cinta itu?" Keng Hong mengerutkan alisnya. Berabe, pikirnya. Itu bukan jawaban namanya! Dan dia malah harus memberi kuliah tentang cinta, sedangkan dia sendiri mengenai urusan cinta kasih masih kelas nol! Urusan cintanya dengan Biauw Eng saja kacau balau tidak karuan. Akan tetapi, dia harus menjawab! Maka dia lalu mengurut-urut dahinya seperti aksi seorang guru besar hendak memberi kuliah, "Cinta? Apa itu yang dinamakan cinta? Hemmm... cinta itu asmara... cinta itu kasih, cinta itu sayang... hemmm, cinta itu ya cinta, aku sendiri pun tidak mengerti!" Ia memandang wajah Yan Cu yang semenjak tadi mendenarkan penuh perhatian seolah-olah pandang matanya tergantung pada bibir Keng Hong. Ketika mendengar kaliat terakhir ini, Yan Cu terkekeh dan mencubit lengan Keng Hong dengan gemasnya, sampai Keng Hong teraduh-aduh kesakitan. "Engkau mempermainkan aku, Suheng!" kata Yan Cu gemas. "Wah, lihat kulit lenganku sampai biru. Kau memiliki kuku yang lebih jahat daripada kuku Ang-bin Kwi-bo!" Mereka berdua kembali tertawa-tawa geli. "Aihhh, kiranya orang yang hendak kumintai kuliahtentang cinta juga menghijau, tidak lebih pintar dan tidak lebih bodoh dari aku sendiri. Suheng, apakah pernikahan harus disertai cinta?" Kembali Keng Hong memasang muka sungguh-sungguh. "Harus! Mutlak! Syarat utama!" "Tapi engkau tidak tahu apa itu cinta!" "Cinta sukar dimengerti, hanya dapat dirasakan oleh hati." Keng Hong membantah. Yan Cu bangkit berdiri dab berjalan maju lima langkah. Pakaiannya yang berwarna kuning terbuat dari sutera halus itu berkibar tertiup angin, juga rambutnya berkibar. Indah sekali pemandangan ini. Cantik jelita luar biasa gadis ini! Keng Hong benar-benar kagum dan kembali dia menghela napas. Kalau saja di sana tidak ada Biauw Eng. Kemudian dia mendengar dara jelita itu bernyanyi, suaranya merdu sekali dan kata-kata dalam nyanyian itu membuat Keng Hong bengong terlongo : "Cinta kasih asmara begitu indah mempesona begitu rumit berbahaya manis mengatakan madu pahit mengatakan empedu dapat mencipta sorga juga menyeret ke neraka! Cinta kasih asmara perpaduan rasa mesra suka sayang dan iba. Ingin menyenangkan dan disenangkan hatinya Ingin memiliki dan dimiliki tubuhnya Ingin mengikat dan diikat hidupnya Harus mencakup seluruhnya satupun tak boleh kurang Lengkap mendatangkan bahagia mencipta sorga di dunia Kurang satu saja menjadi goyah berantakan gugur Menimbulkan deita sengsara Menyeret ke neraka penuh duka!" Keng Hong meloncat dan memegang lengan gadis itu dari belakang, menarik tubuhnya sehingga membalik dan mereka berhadapan, beradu pandang. Keng Hong mencela sumoinya, "Wah, ternyata engkau adalah seorang guru besar tentang cinta! Sajakmu itu indah sekali, Sumoi." Yan Cu menggeleng kepala dan kembali mereka duduk di atas rumput berhadapan. "Keliru dugaanmu, Suheng. Sajak itu memang indah, akan tetapi aku hanya membacanya dalam sebuah kitab, entah kitab apa aku lagi. Akan tetapi biarpun indah, sayang sekali, aku tidak mengerti artinya sehingga sampai sekarang pun aku tidak mengerti apa itu disebut cinta!" "Aku belum mengerti betul, Sumoi. Memang agaknya urusan cinta ini hanya bisa diengerti karena pengalaan. Marilah kita mencoba mempelajarinya dari sajakmu tadi." "Engkau yang coba menjelaskan kepadaku, Suheng, setidaknya engkau tenti lebih berpengalaman daripada aku yang sama sekali tidak tahu." Merah wajah Keng Hong. Teringat dia akan pengalamannya dengan Bhe Cui Im yang merupakan wanita pertama yang merenggut tubuhnya, akan tetapi terang itu bukan cinta melainkan nafsu berahi semata. Teringat pula dia akan pengalamannya dengan Sim Ciang Bi, dengan Kim Bwee Ceng dan Tang Swat Si. Mungkin sekali di antara tiga orang wanita yang telah tewas itu ada perasaan cinta, akan tetapi dia tidak mengangap peristiwa itu merupakan cinta kasih baginya, melainkan nafsu berahi pula, sungguhpun tidak sekasar pengalamannya dengan Cui Im. Kemudian dia teringat kepada Biauw Eng dan dia menjadi bingung lagi. "Sajakmu menyatakan bahwa cinta dapat mencipta bahagia dan mencipta sengsara, itu tepat sekali. Memang demikianlah, seperti yang kualami sendiri. Sekarang ini cinta sedang menyeret aku ke neraka sehingga gadis yang dahulu mencintaku itu sekarang membenciku! Dikatakan pula dalam sajak itu bahwa cinta adalah perpaduan antara rasa suka, sayang dan iba. Nah, engkau bilang suka kepadaku, Sumoi, akan tetapi apakah engkau juga merasa sayang dan iba ?" Gadis itu mengerutkan alis dan berpikir dan menggeleng kepala. "Aku suka kepadamu, Suheng, dan aku merasa iba ketika engkau sakit. Kalau engkau sehat dan segar bugar begini, kenapa mesti menaruh iba?” Keng Hong mengangguk-angguk dan tersenyum. Lagaknya seperti seorang guru yang merasa senang mendengar jawaban yang tepat dari muridnya. "Nah, itu tandanya bahwa engkau tidak mencinta aku! Sekarang kita lanjutkan. Cinta itu adalah rasa ingin memiliki dan dimiliki tubuhnya, hemmm, ini tentu ada hubungannya dengan nafsu. Ingin menyenangkan dan disenangkan hatinya, hemmm, ini tentu timbul dari rasa sayang dan iba yang timbal balik. Ingin mengikat dan diikat hidupnya, wah yang tentu tibul dari kesadaran berkewajiban dan dari perasaan cemburu! Nah, sekarang kau coba enyelidiki hatimu sendiri, Sumoi. Pertama, apakah... apakah timbul... eh, nafsu berahimu kalau kau melihat aku?" Semenjak kecil Yan Cu tinggal di puncak gunung bersama subonya, urusan cinta dia gelap sama sekali, apalagi mengenai pertanyaan itu yang hanya dapat ia kira-kira artinya oleh perasaan kewanitaannya, namun tentu saja sulit sekali untuk menjawabnya. Ia mengerutkan alisnya dan bibirnya yang merah basah itu cemberut. "Hemmm, agaknya sukar bagimu, Sumoi. Sekarang kuajukan pertanyaan ini dengan cara yang jelas. Begini!" Keng Hong mengerutkan alisnya yang tebal mendekatkan mukanya dan matanya memandang tajam seolah-olah hendak menyihir gadis itu, lalu dia bertanya, "Apakah kalau engkau berdekatan dengan aku, engkau mempunyai perasaan ingin sekali.. Eh, kupeluk dan kucium...?" Sepasang mata yang indah itu tiba-tiba membelalak dan mukanya ditarik ke belakang seolah-olah takut kepada muka Keng Hong yang mendekat itu. Akan tetapi Yan Cu menjawab juga, "Kalau hatiku sedang gembira, hemmm... mungkin ada juga perasaan itu karena aku suka padamu dan engkau tampan, Suheng. Akan tetapi sekarang ini... melihat engkau begini kusut, kotor, berhari-hari tidak berganti pakaian... hemm, tentu saja sama sekali tidak persaan itu, Suheng!" Keng Hong membelalakkan mata dan meloncat bangun. "Wah, celaka, aku sampai lupa..! Nanti dulu, Sumoi... Aku... aku mau mencuci muka dulu...!" Keng Hong lari cepat meninggalkan gadis itu encari air di lereng gunung. Yan Cu tertawa geli, bahkan terkekeh-kekeh seorang diri setelah Keng Hong pergi, akan tetapi ia mengakhiri kegelian hatinya dengan duduk bersunyi sendiri, termenung memikirkan keputusan yang di ambil gurunya. Ia mengerti bahwa agaknya tidaklah sukar baginya untuk jatuh cinta kepada seorang pemuda seperti Keng Hong. Akan tetapi kalau pemuda yang menjadi suhengnya itu telah terang-terangan menyatakan mencinta gadis lain, dan hatinya sendiri tidak merasa sakit mendengar pengakuan itu, dia tahu bahwa dia barulah tertarik dan suka belum jatuh cinta. Untung suhengnya berterus terang sehingga rasa sukanya tidak berlarut-larut menjadi cinta. Akan tetapi subonya telah menentukan hal itu, bagaiamana baiknya? Yan Cu masih termenung ketika Keng Hong datang kembali. Pemuda itu sudah mencuci muka, bahkan rabutnya masih basah, wajahnya nampak segar. Yan Cu memandang dengan hati geli. Keng Hong duduk lagi menghadapi sumoinya itu dan berkata, "Nah, aku sudah bersih, tidak menakutkan lagi sekatang. Bagaimana, Sumoi?" "Bagaimana apa?" "Apakah sekarang ada perasaan di hatimu, ingin kupeluk dan kucium?" Yan Cu mengeleng kepalanya. Keng Hong menganguk-angguk girang. "Bagus, itu tandanya kau tidak cinta padaku. Sekarang pertanyaan yang merupakan ujian terakhir! Engkau dengar baik-baik, “Sumoi! Aku... eh, terus terang saja... aku... Aku pernah melakukan hubungan jasmani dengan Bhe Cui Im si iblis betina, pernah pula melakukan hubungan hanya berdasarkan nafsu berahi dengan tiga orang gadis lain!” Wajah Yan Cu mendadak menjadi merah sekali dan mulutnya cemberut, matanya memandang merah. "Ihhh, cabul! Kenapa engkau ceritakan hal semacam itu kepadaku, Suheng?" "Jawablah! Setelah mendengar ini ditambah lagi, aku mencinta seorang gadis bernaa Sie Biauw Eng, aku mencintanya setengah mati, nah, setelah kau mendengar ini bagaimana rasanya hatimu?" Yan Cu menjawab cemberut. "Rasanya muak mendengar yang pertama, dan terharu mendengar yang ke dua." "Kau.. kau tidak marah? Aku bermesra-mesraan dengan gadis-gadis lain itu, bagaimana?" "Bagaimana... bagaimana maksudmu? Aku muak mendengarnya!" "Tidak cemburu? Tidak iri?" "Mengapa mesti cemburu dan iri? Kau ingin bermesraan dengan seluruh monyet betina di gunung ini pun silakan!" Keng Hong tertawa bergelak, memegang pundak Yan Cu, menarik gadis itu berdiri dan berjingkrakan menari-nari saking gembiranya. "Kau tidak cinta padaku! Kau tidak cinta padaku! Aduh, Sumoiku yang baik, engkau telah menolongku!" Yan Cu menarik tangan Keng Hong. "Jangan bergirang-girang dulu, Suheng. Subo sudah memutuskan perjodohan itu. Bagaimana?" Keng Hong menjadi serius kebali dan sambil menarik tangan Yan Cu, dia mengajak gadis itu duduk kembali di atas rumput, berhadapan dan saling pandang dengan wajah serius. "Benar, Subo telah mengancam bahwa kalau aku menolak, dia akan membunuhku!" Keng Hong menggigit-gigit kuku telunjuk kanannya, kedua alisnya berkerut. "Bagaaimana baiknya, Suheng?" "Menolak perintahnya, berati aku akan menjadi orang yang paling hina, tidak ingat budi, apalagi kalau aku melawannya. Menurut perintahnya, hem.. tanpa cinta, kita berdua kelak akan terseret ke neraka penderitaan, di samping menghancurkan hati Biauw Eng, yaitu kalau dia benar mencintaku. Sumoi, baiknya kita mengambil jalan tengah saja!" "Jalan tengah bagaimana, Suheng?" "Kita menghadap Subo dan menyatakan terus terang bahwa kita berdua hendak membuktikan dulu apakah kita berdua saling mencinta. Tanpa cinta kita berdua rela mati di tangan Subo. Aku akan menyatakan terusterang bahwa yang menjadi penghalang sambungan cinta kita adalah karena aku mencinta Biauw Eng, dan aku belum tahu apakah gadis itu mencintaku ataukah membenciku. Kita berdua akan mencarinya, kalau sudah beertemu dan kita mendapatkan bahwa Biauw Eng memang membenciku, kita akan kembali ke sini dan menerima keputusan Subo. Karena, kalau Biauw Eng tidak mencintaku, maka sudah pasti akan menumpahkan seluruh cinta kasihku kepadamu, Sumoi!" "Aihhh, kenapa cinta kasih kau pindah-pindahkan seenakmu saja seperrti orang memindahkan kursi atau meja, Suheng?" "Bukan begitu, Sumoi. Cinta kasih memang tidak akan dipindah-pindahkan seperti itu. Akan tetapi seperti dalam sajak tadi, cinta kasih itu harus berimbang dari kedua fihak, saling memberi dan saling meninta, kurang satu saja menimbulkan sengsara. Biarpun aku mencinta Biauw Eng, apakah aku harus menggerogoti hatiku sendiri sampai coplok? Di atas segala maca perasaan, termasuk perasaan cinta, masih ada kesadaran yang paling tinggi, Sumoi, yang akan menuntut kita mengatasi segala akibat perasaan sehingga mencegah kita melakukan hal yang bukan-bukan, misalnya karena asmara gagal lalu minum racun tikus dan lain-lain perbutan rendah dan keji untuk membunuh diri! Eh, kita melantur lagi. Bagaiana pendapatmu, Sumoi? Setujukah engkau?" Gadis itu mengangguk-angguk. "Baiklah, Suheng. Memang selain engkau harus yakin dulu akan cintamu terhadap gadis itu aku sendiri harus mempelajari dulu bagaimana sebetulnya perasaanku terhadap dirimu. Mudah-mudahan saja kalau kelak ternyata kau tidak dapat melanjutkan tali cintamu dengan gadis itu dan hendak "pindah" kepadaku, aku bisa menerimanya. Siapa tahu, kelak aku jatuh cinta kepada orang lain sehingga tak dapat membalas cintamu." "Wah, celaka kalau begitu... Biauw Eng putus, engkau luput..., habis bagimana kelak dengan aku? Keng Hong mengaruk-garuk kepalanya dan Yan Cu tertawa. Gadis ini sudah mendapatkan kembali kegembiraannya. "Kalau memang kelak terjadi begitu yaaaahhh, engkau rasakan saja, Suheng, hitung-hitung engkau melanjutkan nasib mendiang gurumu. Eh, kurasa tidak baik kalau kita menanti Subo. Aku mengenal watak Subo. Di waktu dia sedang marah, hatinya keras bukan main dan mungkin kita akan dibunuhnya seketika. Sebaliknya, kalau hatinya lagi lunak, dia merupakan orang yang paling sabar. Sebaiknya kita jangan mempertaruhkan nyawa. Lebih baik kita pergi saja sebelum dia pulang dan kita meninggalkan surat kepadanya, menjelaskan segala maksud kita. Biarpun dia marah, kalau kita tidak ada, akhirnya hatinya akan lunak dan dia akan memaafkan kita." Keng Hong memegang kedua lengan gadis itu, memandang dengan mata bersinar-sinar gembira dan berkata, "Yan Cu, kalau di sana tidak ada Biauw Eng kalau kita sudah jelas saling mencinta, saat ini kau sudah kupeluk dan kugigit bibirmu yang manis ini!" "Ihhh! Pantas kalau Biauw Eng membencimu! Engkau... genit sih!" Gadis itu melepaskan tangannya dan berlari cepat menuruni puncak, kembali ke pondok diikuti Keng Hong. Mereka berdua lalu membuat surat dan pada hari itu juga pergilah mereka meninggalkan tempat itu. Tentu saja pusaka peninggalan gurunya yang telah dia rapas dari Cui Im, dia bawa, demikian pula pedang Siang-bhok-kiam. *** Sesosok bayangan hitam berkelebat cepat sekali di atas wuwungan rumah gedung Kwan-taijin. Bayangan ini berhenti dan mendeka di balik wuwungan dengan matanya dia menyapu ke bawah dan mata itu bersinar gembira ketika ia melihat bahwa keadaan di situ amat sunyi. Maklum bahwa saat itu telah menjelang tengah malam. bayangan ini lalu bangkit dan berindap-indap ke wuwungan sebelah belakang, kemudian bagaikan seekor burung garuda terbang, dia meloncat ke bawah dan kedua kakinya saa sekali tidak mengeluarkan suara ketika menginjak lantai di ruangan belakang. Bayangan hitam itu ternyata adalah seorang laki-laki yang berusia empat puluh tahun lebih akan tetapi masih kelihatan tampan dan gagah, tubuhnya tinggi besar dan pakaiannya serba mewah dan indah, di punggungnya tampak pedang yang gaganganya terukir indah. Dia adalah Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek, penjahat cabul yang telah melarikan diri dari istana bersama Cui Im. Mereka lari berpencar karena mereka takut kalau-kalau fihak istana melakukan pengejaran. Setelah gagal mengejar kemuliaan di istana dengan menjadi pengawal karena perbuatan Cui Im yang hendak memancing Keng Hong akan tetapi gagal, Siauw Lek yang kini merantau seorang diri telah kambuh lagi penyakit lamanya dan mulailah dia melakukan kekejiannya yang membuat dia dijuluki Jai-hwa-ong (Raja Pemetik Bunga), yaitu dengan menculik dan memperkosa wanita-wanita cantik! Malam itu dia mencari korban di rumah gedung pembesar Kwan yang tinggal di kota Cin-an, sebuah kota besar yang terletak di tepi Sungai Huang-ho. Siauw Lek yang sudah berpengalaan dalam perbuatan keji seperti ini, menanti sampai para penjaga keamanan yang meronda lewat di ruangan belakang itu, kemudian dia mendongkel jendela samping dan masuk ke ruangan dalam dilihatnya anak tangga yang menuju ke loteng dan dia tersenyum. Biasanya, para wanita tinggal di tinkgat atas itu. Tubuhnya berkelebat dan dia sudah meloncat ke atas. Tak lama kemudian dia sudah mengintai dari jendela kamar besar dan melihat pembesat Kwan yang setengah tua itu di samping isterinya. Ia lalu mengintai kamar sebelah dan matanya berkilat ketika dia melihat dua orang wanita cantik tidur di kamar yang indah itu. Ia dapat menduga bahwa dua orang wanita muda itu tentulah selir si pembesar. Melihat tubuh muda dan wajah cantik itu, timbullah gairahnya dan tanpa menimbulkan suara berisik, Siauw Lek sudah berhasil membuka jendela dantubuhnya meloncat ke dalam, lalu ditutupnya kembali jendela kamar. Dengan sikap tenang karena memang sudah biasa dia melakukan perbutan terkutuk ini, Siauw Lek mengambil lilin dari atas meja dan menyinkgap kelambu yang menutup tempat tidur itu. Dia tadi hanya dapat mengira-ngira saja akan kecantikan dua orang wanita itu karena tertutup kelambu yang tipis, dan kini dia hendak memeriksa dulu calon korbannya. Bukan main girang hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa dugaannya benar. Mereka berdua itu adalah wanita-wanita muda, tentu selir bangsawan Kwan, wajah mereka menggairahkan. Dengan halus dan mesra Siauw Lek menggunakan telunjuknya meraba dan membelai bibir yang setengah terbuka dari wanita yang tidur di pinggir, yang memakai pakaian dalam berwarna hijau pupus. Wanita itu membuka matanya, memandang dan mulutnya sudah bergerak hendak berteriak, akan tetapi jari tangan Siauw Lek menahan bibir merah itu dan Siauw Lek tersenyum, menggelengkan kepala memberi isyarat agar wanita itu jangan menjerit. Sejenak wanita itu terbelalak, memandang wajah Siauw Lek penuh perhatian, wajah yang tampan dan ganteng, jauh lebih menarik daripada kemudian pandang mata wanita itu menurun, menyapu tubuh Siauw Lek yang tinggi besar dan kokoh kuat, jauh bedanya dengan tubuh pembesar Kwan yang perutnya gendut itu. Pandang mata Siauw Lek bicara banyak selir ini pun bukan seorang wanita yang bodoh, maka ia tersenyum lebar dan bangkit berdiri menarik telunjuk ke depan bibirnya yang merah seolah-olah memberi isyarat kepada Siauw Lek agar tidak berisik, kemudian ia menuding ke arah tubuh temannya dan memgang tangan Siauw Lek lalu menariknya ke sudut kamar itu Siauw Lek agar tidak berisik, kemudian ia menuding ke arah tubuh temannya dan memegang tangan Siauw Lek lalu menariknya ke sudut kamar itu Siauw Lek mengembalikan lilin ke atas meja dan begitu dia membalikkan tubuh menghadapi wanita itu, selir berpakaian dalam warna hijau ini sudah merangkul lehernya dan menciumnya seperti seekor harimau kelaparan! Siauw Lek mendengus marah, tangan kirinya bergerak ke atas. "Prakkk!" Tanpa mengeluh lagi wanita itu roboh terkulai dengan nyawa melayang karena kepalanya sudah retak oleh hantaman jari tangan Siauw Lek! Memang watak Siauw Lek aneh dan kejam sekali. Dia paling tidak suka akan wanita yang genit, wanita yang menyambutnya dengan rayuan. Dia lebih senang memperkosa wanita yang melawannya! Benar-benar manusia ini memiliki watak binatang. Seperti seekor kucing yang kalau menangkap tikus selalu mempermainkan dan menyiksanya dulu sebelum memakannya, makan daging tikus sebelum mati sebelum mati sehingga terasa di mulut betapa tubuh tikus itu mengeliat-geliat dan meronta-ronta demikianlah watak penjahat cabul itu. Maka dia lalu membunuh begitu saja ketika selir berpakaian hijau itu menyambutnya dengan mesra dan penuh nafsu berahi. Setelah membunuh wanita itu, tanpa menengoknya lagi Siauw Lek lalu menghampiri tempat tidur dan sekali tangannya meraih terdengar suara "brettt!" dan pakaian merah yang dipakai wanita ke dua telah direnggutnya robek. Wanita itu terkejut, membuka mata dan memandang terbelalak, kemudian menjerit sekuatnya! Siauw Lek tidak jadi menotoknya ketika melihat bahwa wanita ini kalah cantik melihat bahwa wanita yang dibunuhnya tadi, memang wanita ini cukup muda dan cantik, berusia paling banyak tiga puluh tahun, akan tetapi karena kalah cantik oleh wanita yang dibunuhnya tadi, maka tampak buruk dalam pandangan matanya. Jari tangannya yang tadi siap menotok urat gagu wanita itu agar tidak sempat berteriak, kini menyelonong ke arah tenggorokan dan terdengar suara "krekkk!" disusul rebahnya tubuh telanjang itu dalam keadaan tak bernyawa lagi! Suara ribut-ribut di luar kamar, yaitu suara para penjaga yang terkejut mendengar jerit tadi, membuat Siauw Lek melompat dan tubuhnya sudah menerobos langit-langit dan berada di atas genteng. "Jaga kamar Siocia...!" terdengar suara orang. Siauw Lek melihat ada beberapa orang penjaga lari ke sebuah kamar di ujung kiri. Ia cepat meloncat mendahului mereka, mendahului mereka, menendang daun jendela dan girang sekali hatinya ketika melihat seorang gadis muda yang amat cantik telah terbangun dari tidur dan duduk di ranjang dengan mata terbelalak ketakutan. Melihat Siaw Lek gadis itu kaget dan hendak lari, akan tetapi sekali sambar saja Siauw Lek sudah menotok lumpuh lalu mengempit tubuh gadis itu dan menerjang ke pintu yang didobrak dari luar oleh para penjaga yang melihat penjahat itu memasuki kamar melalui jendela. Empat orang pengawal itu roboh oleh tendangan kaki Siauw Lek dan dalam sekejap mata saja tubuh Siauw Lek sudah berloncatan ke atas genteng, dikejar oleh beberapa orang pengawal. Tentu saja para pengawal itu jauh kalah cepat sehingga mereka hanya dapat berteriak-teriak bingung ketika bayangan penculik itu lenyap. Kekecewaan hati Siauw Lek terobati ketika dia mengempit tubuh yang hangat itu, membawanya lari keluar dari kota Cin-an. Sekali ini dia tidak mau gagal. Dia tahu bahwa karena yang diculiknya adalah puteri seorang pembesar, tentu para penjaga keamanan akan mengerahkan pasukan mencarinya. Maka dia terus melarikan diri ke pinggir Sungai Huang-ho dan di sebuah tempat yang sunyi dia membangunkan tukang perahu, menodong dada tukang perahu itu dengan pedangnya. Tukang perahu yang kaget terbangun melihat dia ditodong ujung pedang oleh seorang laki-laki tinggi besar yang mengempit seorang wanita yang agaknya pingsan, seketika menggigil seluruh tubuhnya. "Hayo lekas seberangkan aku ke sana!" Tukang perahu tidak berani membantah. Siauw Lek meloncat ke perahu dan tukang perahu itu lalu mendayung perahunya ke tengah menyeberang Sungai Huang-ho yang lebar. Di dalam perahu, Siauw Lek duduk dan memangku tubuh gadis yang tak dapat bergerak karena ditotoknya tadi. Hatinya girang bukan main. Lampu di perahu itu kecil sekali, akan tetapi cukup untuk menerangi tubuh gadis yang montok dan padat dan wajahnya yang cantik manis. Dia akan menikmati korbannya ini, tanpa gangguan. Maka diperintahkannya tukang perahu untuk menyeberangkannya ke bagian seberang yang sunyi. Malam telah terganti pagi ketika perahu kecil itu mendarat di pantai yang penuh pohon, sebuah hutan yang sunyi dan tak tampak sebuah pun perahu di situ. Siauw Lek menyuruh tukang perahu mengikatkan perahu pada sebatang pohon, kemudian pedangnya berkelebat dan tubuh tukang perahu itu roboh mandi darah, kemudian mencelat ke sungai oleh tendangan kaki Siauw Lek. Sambil tersenyum Siauw Lek melihat mayat tukang perahu terbawa air, kemudian dia memodong tubuh gadis itu dibawa ke dalam hutan! Melihat betapa tempat itu sunyi sekali dan di pinggir sungai itu terdapat rumput yang hijau tebal, Siauw Lek tertawa, membebaskan totokan gadis itu dan melepaskan tubuh itu ke atas rumput. Dia sendiri duduk memandang sambil tersenyum. Gadis itu mengeluah, tubuhnya masih kaku-kaku, kemudian ia bangkit duduk. Ketika menoleh dan melihat laki-laki tinggi besar yang memandangnya seperti seekor harimau memandang kelinci, ia mengeluarkan jerit tertahan, meloncat berdiri dan lari! Siauw Lek tertawa bergelak, membiarkan gadis itu berlari-lari di atas rumput sampai belasan langkah-langkah kecil, kemudian tubuhnya bergerak mengejar. *** Gadis yang lari itu tiba-tiba tersentak kaget merasa betapa ujung pakaiannya dibetot dari belakang. Ia meronta dan menggunakan semua tenaga untuk meloncat ke depan. Terdengat bunyi robek dan sebagian baju luarnya tertinggal di tangan Siauw Lek yang tertawa-tawa girang. Sungguh menyenangkan sekali permainan ini baginya. Gadis itu berlari lagi akan tetapi tiba-tiba ia menjerit dan tubunya terjungkal. Ketika ia bangun lagi, kedua sepatunya telah berada di tangan Siauw Lek, juga sebagian celana luar yang robek. Gadis itu mengeluarkan suara seperti dicekik karena rasa ngeri dan takut membuat ia sukar mengeluarkan suara. Akan tetapi ia sudah berdiri lagi, terengah-engah dan memaksa kedua kakinya yang telanjang untuk lari lagi ke depan, kemana saja asalkan menjauhi laki-laki yang baginya lebih menakutkan daripada iblis sendiri. "Ha-ha-ha-ha-ha-ha-ha! Engkau manis sekali. Larilah... ha-ha-ha, larilah...!" Gadis itu berlari. Kakinya yang terasa nyeri tak dihiraukannya. Ia berlari sampai agak jauh, napasnya terengah dan tibalah ia di sekumpulan pohon-pohon besar. Tiba-tiba ia menjerit ngeri ketika melihat laki-laki tinggi itu tahu-tahu sudah berada di depannya, muncul keluar dari balik sebatang pohon sambil tertawa-tawa. "Aiiihhhhhh.. Ja... jangan..!" Gadis itu menjerit, membalikkan tubuh dan lari lagi ke lapangan rumput hijau. "Ha-ha-ha-ha-ha! Larilah sekuatmu nona manis!" Siauw Lek berjalan-jalan mengikuti. Gadis yang sudah hampir kehabisan napas itu akhirnya menjerit dan roboh terguling di atas rumput karena kakinya terjerat oleh sisa pakaiannya sendiri. Sambil tertawa puas Siauw Lek menubruknya. "Ampunnn... jangan... tolooongggg...!" Akan tetapi tetapi di tempat sesunyi itu, siapa yang mampu menolongnya. Siauw Lek terkekeh-kekeh dan mencium muka yang pucat ketakutan itu. Tiba-tiba Siauw Lek berteriak kesakitan, ternyata gadis yang sudah putus asa saking ngerinya itu, dan menjadi nekat dan menggunakan kesempatan selagi Siauw Lek yang diamuk berahi itu lengah, telah menggigit lehernya, menggigit dan mengerahkan tenaga tidak mau melepaskan lagi! "Lepaskan! Keparat! Lepaskan...!" Siauw Lek membentak, akan tetapi gigitan pada lehernya itu makin mengeras. Siauw Lek menjadi marah sekali, tangan kirinya menampar. "Plakkk!" Gigitan terlepas, gadis itu terkulai, darah keluar dari telinganya dan napasnya empas-empis, akan tetapi matanya masih terbelalak memandang Siauw Lek penuh kebencian. Siauw Lek bangkit berdiri, meraba kulit lehernya yang berdarah. "Sialan! Anjing betina!" Ia memaki dan melihat ke bawah di mana gadis itu rebah terlentang dalam keadaan hampir mati karena kepalanya retak! Dengan gemas Siauw Lek mengangkat kakinya dan memaki, "Perempuan hina!" Kakinya menginjak dada yang tak tertutup lagi dan yang tadi amat menggairahkan hatinya, menginjak sambil mengerahkan tenaga. "Krakkk!" Tulang-tulang iga gadis itu remuk dan nyawanya melayang! "Manusia iblis! Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek manusia terkutuk!" Siauw Lek terkejut, cepat membereskan pakaiannya dan membalikkan tubuh. Ketika dia melihat ada dua orang gadis cantik sekali berdiri di situ, wajahnya seketika menjadi berseri. Kiranya yang memakinya itu adalah Song-bun Siu-li Sie Biauw Eng, gadis puteri Lam-hai Sin-ni yang cantik jelita, sumoi dari Cui Im yang masih perawan dan yang pernah membuat dia tergila-gila. Kehilangan gadis bangsawan itu dan belum Biauw Eng sama dengan kehilangan ikan teri mendapatkan kakap! Mata laki-laki itu bersinar-sinar, apalagi ketika melihat bahwa wanita yang berdiri di samping Biauw Eng, yang memakai pakaian serba merah, juga amat cantiknya! Benar-benar dia mendapatkan keuntungan besar, padahal semalam dia tidak bermimpi kejatuhan bulan. Dia tahu bahwa Biauw Eng bukan seorang gadis lemah, akan tetapi dia memandang rendah karena dia cukup mengenal sampai di mana tingkat kepandaian gadis ini. Dengan mudah dia akan dapat menundukan Biauw Eng dan hemmm... wanita baju merah itu pun bukan main manisnya! Tentu saja Siauw Lek tidak pernah mimpi bahwa Biauw Eng yang berada di depannya sekarang ini sama sekali tidak boleh disamakan dengan Biauw Eng yang pernah dilawannya dahulu! "Ha-ha-ha-ha-ha! Terima kasih, Biauw Eng! Memang aku sudah bosan dengan gadis tak tahu malu seperti anjing betina yang suka menggigit ini. Kiranya engkau datang untuk menemaniku! Mari... Marilah manis. Sudah lama aku rindu sekali kepadamu. Tak usah malu-malu, di sini sunyi dan tidak ada orang lain. Kalau temanmu yang manis itu ingin pula main-main denganku, marilah. Aku masih kuat melayani kalian berdua, ha-ha-ha-ha-ha-ha!" "Hi-hi-hik!" Hun Bwee, wanita pakaian merah terkekeh. "Sumoi, inikah monyet cilik murid tujuh ekor monyet tua Go-bi? Karena hanya macam ini saja? dia tidak seberapa akan tetapi mulutnya amat lebar, menantang kita berdua main-main dengannya? Hi-hi-hik, aku sendiri pun cukup untuk main-main dengannya!" Diam-diam Siauw Lek terkejut. Wanita muda itu cantik sekali, akan tetapi sikapnya begitu aneh, seperti... Miring otaknya! Dan berani memaki guru-gurunya, yaitu Go-bi Chit-kwi yang terkenal. "Biarlah Suci, jangan turut campur. Tangannya bernoda darah ibuku, maka harus aku sendiri yang menghadapinya", kata Biauw Eng sambil melangkah maju menghadapi Siauw Lek, sikapnya tenang sekali, akan tetapi sinar matanya mengandung ancaman maut yang mengerikan. Adapun Hun Bwee sudah berlutut di dekat mayat gadis yang telanjang itu, kemudian terdengar ia terisak menangis memondong mayat itu dan membawanya pergi dari situ. Hati wanita ini penuh rasa iba dan terharu melihat korban kebiadaban ini yang mengingatkan dia akan nasibnya sendiri ketika dia diperkosa oleh laki-laki yang tadinya ia kagumi, diperkosa oleh Cia Keng Hong! Hun Bwee lalu mengali lubang di tanah dan mengubur jenazah itu. Biauw Eng yang menghadapi Siauw Lek berkata, "Siauw Lek, kekejianmu melampaui batas, kejahatanmu sudah melewati takaran. Hari ini, aku Sie Biauw Eng kalau tidak dapat membunuhmu, aku bersumpah takkan mau hidup lagi!" Kemarahan Biauw Eng melihat musuh besarnya, musuh ke dua setelah Cui Im, mendatangkan kemarahan yang memuncak sehingga keluarlah kata-katanya yang amat menyeramkan itu. Diam-diam Siauw Lek merasa bulu tengkuknya berdiri. Ia dapat merasa ancaman yang dahsyat itu dan maklum betapa hebat itu dan maklum betapa hebat kebencian gadis ini kepadanya. Namun tentu saja dia tidak takut. Dia akan menangkap gadis ini, akan memperkosanya sepuasnya, kemudian dia harus membunuhnya agar kelak tidak menjadi ancaman baginya. Maka untuk melenyapkan rasa serem di hatinya, dia tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, Biauw Eng. Ingin aku melihat engkau melawanku. Memang aku paling suka kalau dilayani wanita, nanti pun aku ingin merasai bagaimana engkau melawan, meronta dan menggeliat dalam pelukanku. Ha-ha-ha!" Mulutnya masih tertawa, akan tetapi dengan curang sekali tiba-tiba tubuhnya sudah menyambar ke depan, meloncat sambil menubruk seperti seekor harimau menubruk kijang. Biauw Eng masih berdiri, tidak mengelak, malah mengangkat kedua tangan menyambut terkaman kedua tangan Siauw Lek. Jari-jari tangan mereka bertemu Siauw Lek sudah merasa girang karena tentu dia akan dapat menangkap gadis ini mengandalkan tenaga sinkangnya yang lebih besar. "Cuh! Cuh! Tiba-tiba mulut Biauw Eng meludah dua kali ke arah mata Siauw Eng. Laki-laki yang tubuhnya masih di uadara ini kaget sekali. Belum pernah dia mengalami ilmu berkelahi seperti ini pakai meludah segala. Akan tetapi biarpun yang meludah seorang gadis cantik kalau cara meludahnya disertai sinkang kuat dan yang disambar air ludah adalah sepasang mata, amatlah berbahaya! Siauw Lek miringkan mukanya, akan tetapi pada saat itu, Biauw Eng sudah melempar tubuh ke belakang. Tentu saja Siauw Lek terbawa pula karena kedua tangan mereka masih saling cengkeram dan begitu punggungnya menyentuh tanah, kedua kaki Biauw Eng diangkat dan menendang perut dan pusar Siauw Lek. "Celaka..!" Siauw Lek berseru kaget, mengerahkan sinkang ke arah tubuh yang ditendang. "Blukkk!" Sinkangnya membuat perutnya kebal, akan tetapi tidak dapat menahan tubuhnya yang masih di udara itu terpental sampai lima meter lebih. Untuk bahwa Siauw Lek mempunyai ilmu ginkang yang sudah tinggi sehingga dia dapat berjungkir balik dan turun dengan kedua kaki di bawah tidak terbanting. Cepat dia melompat ke depan dan menghadapi Biauw Eng yang sudah berdiri dengan sikap tenang menghadapinya. Kedua mata Siauw Lek merah. Hampir saja dia celaka dan sama sekali dia tidak pernah menduga bahwa gadis itu mempunyai cara berkelahi yang begini aneh! Ia marah sekali, akan tetapi kemarahannya masih belum menghapus rasa cintanya yang ingin menguasai tubuh Biauw Eng yang dirindukan, maka dia berseru keras dan cepat sekali menerjang maju dengan tangan diainkan secara hebat. Dari dua tangan yang terbuka itu menyambar angin pukulan yang kuat sekali, bertubi-tubi datangnya dan kedua telapak tangan itu berubah menjadi hitam. Namun Siauw Lek lebih banyak membuat gerakan mencengkeram untuk menangkap gadis itu daripada gerakan memukul. Dia sudah menggunakan ilmu pukulan Hek-liong-ciang-hoat (Ilmu Pukulan Naga Hitam) yang amat lihai. Namun, dengan masih tenang sekali, Biauw Eng mengelak dan kadang-kadang menangkis semua serangan lawan. Bahkan ketika menangkis dan lengannya yang berkulit halus putih itu bertemu dengan lengan tangan Siauw lek yang besar dan kuat, tubuh Siauw Lek tergetar dan lengannya gatal-gatal! Ia terkejut sekali., maklum bahwa ternyata gadis ini sudah memperoleh kemajuan yang hebat. *** Ia teringat akan penuturan Cui Im bahwa Biauw Eng mempunyai pukulan Ngo-tok-ciang (Tangan Lima Racun) yang amat berbahaya, maka kini dia berseru hebat dan mempercepat gerakannya. Dengan jurus menyesatkan tangan kanannya menghantam susul-menyusuk dengan tendangan kaki kirinya ke arah perut Biauw Eng, akan tetapi ketika gadis itu mengelak dan menangkis, tiba-tiba tangan kirinya mencengkeram ke arah tengkuk Biauw Eng. "Plakkk!" tengkuk itu kena disentuh, akan tetapi tiba-tiba tangan Siauw Lek yang mencengkeramnya meleset, tubuh Biauw Eng sudah berputar dan kedua tangan Biauw Eng sudah berputar dan kedua tangan Biauw Eng bergerak cepat menampar ke depan! "Plak! Plak!" Bagaikan disambar petir, tubuh Siauw Lek berputaran terhuyung-huyung. Telinganya yang kanan kena ditampar, menimbulkan bunyi mengiang tiada hentinya,kepalanya seperti pecah dan pandang matanya berkunang. Ketika dia meraba mukanya yang terasa nyeri, dia terkejut karena hidungnya ternyata kena taparan pula sehingga ujungnya pecah-pecah berdarah. Hidungnya yang biasanya dia banggakan, yang mancung dan besar, kini pecah berdarah, tidak mancung lagi! Siauw Lek menggoyang kepala mengusir pening. Ketika bintang-bintang yang menari-nari di depan matanya lenyap dan dia dapat memandang lagi, dia melihat Biauw Eng masih berdiri sambil bertolak pingang. Hal inilah yang membuat jantungnya berdebar penuh rasa ngeri dan takut. Jelas bahwa dia tadi sudah tidak berdaya dan kalau Biauw Eng tadi mengirim susulan serangan maut, tak mungkin dia dapat mempertahankan diri lagi. Akan tetapi gadis itu berdiri saja memandang, sama sekali tidak mempergunakan kesempatan itu. Hal ini hanya mempunyai satu arti, yaitu bahwa Biauw Eng memadang rendah kepadanya, bahwa Biauw Eng percaya penuh akan dapat mengalahkannya! Dan dia pun masih bingung mengapa gadis itu kini menjadi demikian hebat! Dengan hati gentar Siauw Lek mengambil keputusan nekat. Dia mencabut senjatanya dan tampaklah sinar hitam berkelebat menyilaukan mata. Pedang hitam Hek-liong-kiam telah berada di tangannya dan tanpa memberi peringatan lagi, sesuai dengan wataknya yang curang, tangan kirinya bergerak dan belasan sinar-sinar kecil hitam menyambar ke arah jalan darah di tubuh depan Biauw Eng. Itulah senjata paku-paku hitam beracun yang dilepas dari jarak dekat secara tiba-tiba, kemudian selagi sinar-sinar hitam menyambar, dia sendiri sudah meloncat dan menerjang dengan pedang hitanya! "Haiiiitttttt!" Biauw Eng terkejut juga melihat datangnya paku-paku yang amat berbahaya ini. Tubuhnya sudah mencelat ke atas dengan loncatan tinggi dan sambil meloncat ini dia telah melolos sabuk sutera putihnya yang dari atas merupakan gulungan sinar putih seperti naga mengeluarkan suara meledak-ledak menyambar ke arah kepala Siauw Lek. Laki-laki ini dengan kemarahan meluap menyabet ke arah ujung untuk membabat, akan tetapi ujung sabuk itu sudah melibat pedang. Melihat ini, Siauw Lek berseru keras dan dengan pengerahan tenaga sinkang, dia melontarkan tubuh Biauw Eng yang belum turun ke tanah Biauw Eng tak dapat menahan tenaga dahsyat ini, libatan sabuknya terlepas dan tubuhnya melayang ke atas! Akan tetapi, dia terjungkir balik dan tubuhnya menukik turun, didahului oleh gulungan sabuknya yang berputaran merupakan gulungan putih yang menyembunyikan tubuhnya! Harus diketahu bahwa selama digembleng oleh Go-bi Thai-houw, nenek gila yanglihai sekali itu, tidak saja Biauw Eng menerima pelajaran ilmu silat aneh, akan tetapi ia telah memperoleh kemajuan pesat dalam hal sinkang dan ginkang dan dengan petunjuk nenek itu ilmunya Pek-in-sin-pian, yaitu memainkan sabuk putih, menjadi hebat. Melihat betapa lawannya itu kini meluncur turun dengan bersembunyi di balik gulungan putih seperti awan, Siauw Lek memutar pedangnya menyambut. Biauw Eng menggerakkan sabuknya, ujung sabuk itu berputar menjadi seperti payung pedang Siauw Lek, ia sendiri meloncat ke pinggir dan menggerakkan ujung sabuk ke dua yang meluncur seperti anak panah menotok ke arah pelipis Siauw Lek. Jai-hwa-ong ini berteriak kaget karena pedangnya bertemu dengan benda lunak berbentuk payung, bahkan pedangnya ikut berputar seperti tersedot oleh daya putar gulungan sabuk itu, dan kini tiba-tiba ada suara meledak dan sinar putih menyambar pelipisnya. Ia menarik pedang dan melelmpar tubuh ke belakang, lalu bergulingan. Ketika dia meloncat bangun lagi dengan keringat dingin membasahi dahi, dia melihat Biauw Eng berdiri dengan sabuk di tangan dan memandang kepadanya sambil tersenyum mengejek! Siauw Lek menjadi makin panik dan gentar. Jelaslah sudah bahwa Biauw Eng kini memiliki kepandaian yang lihai bukan main dan dia merasa menyesal mengapa tadi dia memandang rendah. Kini untuk melarikan tipis sekali harapannya apalagi karena ketika dia melirik ke belakang, dia melihat nona baju merah tadi berdiri sambil bertolak pingang dan tertawa-tawa, menghadang jalan larinya! Celaka, pikirnya, dia tidak tahu bagaimana kepandaian nona baju merah itu, akan tetapi mengingat bahwa Biauw Eng tadi menyebutnya "suci", dia bergidik dan merasa ngeri! Tangan kirinya mengusap muka yang berpeluh dan dia menahan rintihan sehingga tergosok dan terasa perih. Tangannya penuh darah dan hatinya makin gentar. "Hi-hi-hik! Kasihan sekali, Suoi. Dia sudah ketakutan setengah mati!" Nona baju merah itu tertawa dan Siauw Lek menjadi makin gelisah. Ia lalu menggereng keras, menubruk maju dengan pedangnya, membabat ke arah pingang Biauw Eng yang ramping dan yang tadi dia bayangkan akan dia lingkari dengan lengannya. Sambil membabat, dia menggunakan tangan kirinya membarengi dengan pukulan Hek-liong-ciang ke arah dada gadis itu! "Tar-tar-tar..!" Ujung sabuk meledak-ledak dan melecut-lecut, berubah menjadi tiga sinar yang menangkis pedang, menangkis tangan kiri Siauw Lek dan yang ke tiga menotok ke arah hidung Siauw Lek yang sudah pecah! Siauw Lek mendengus arah, miringkan tubuhnya dan terus menerjang ke depan menusukkan pedangnya ke arah tenggorokan Biauw Eng. Dua ujung sabuk putih itu berputar, yang satu menangkis sambil melibat ujung pedang, yang ke dua berputar dan melibat leher Biauw Eng sendiri, mencekik leher gadis itu! Siauw Lek terbelalak keheranan dan juga kegirangan, akan tetapi inilah kesalahannya. Karena heran dan girang melihat ujung sabuk itu melibat dan mencekik leher Biauw Eng sendiri sehingga gadis itu sampai menjulurkan lidahnya yang kecil merah, maka perhatiannya terlibat dan tak dapat lagi dia menghindarkan diri ketika kaki kecil mungil dari Biauw Eng menyambar dari bawah menggenai perutnya. "Desss... ngekkk! Uaaak! Tubuh Siauw Lek terlempar ke belakang dan dia muntahkan darah segar. Dia telah menjadi korban jurus aneh yang dipelajari Biauw Eng dari nenek gila Go-bi Thai-houw! Siauw Lek terhuyung-huyung dan dapat berdiri pula mukanya pucat, bibirnya berlepotan darah, matanya beringas dan liar, sebagian pula karena marah. Dadanya terasa sesak dan kepalanya pening. Dia maklum bahwa lari pun tidak ada gunanya. Suara ketawa terkekeh-kekeh di belakangnya lebih menyerakan daripada Biauw Eng yang berdiri tegak dengan sabuk putihnya. Dia tahu bahwa sekali ini dia harus membela diri mati-matian dan harus bertandingn untuk menentukan mati atau hidup. Maka dia menjadi makin nekat. Dengan suara gerengan yang tidak seperti manusia lagi dia menerjang ke depan. Namun Biauw Eng sudah siap dengan sabuknya, digerakkan tangannya dan ujung sabuknya terpecah menjadi banyak sekali mengeluarkan suara ledakan-ledakan dan menotok ke arah tujuh belas jalan darah di tubuh lawan! Siauw Lek yang sudah pening itu tidak begitu cepat lagi gerakkannya. Ia memutar pedang menangkis, namun tetap saja sebuah totokan menyambar lututnya dan dia roboh terguling. Namun, dengan mengguling-gulingkan tubuh dia membebaskan totokan, sedangkan tangan kirinya bergerak. "Syut-syut-syuttt...!" Lebih dari tiga puluh batang paku hitam menyambar secara kacau ke arah Biauw Eng. Rupanya dalam keadaan panik ini Siauw Lek menguras habis paku-pakunya dari dalam kantungnya menyambitkan semua paku ke arah lawan. Biauw Eng tertawa dan tangan kirinya bergerak. Serangkum sinar putih menyambar ternyata itu adalah senjata rahasia bola-bola berduri putih yang enyambut datangnya sinar paku hitam sehingga semua paku runtuh di atas tanah, bahkan sebatang tusuk konde bunga bwe yang meluncur di antara banyak bola-bola putih tadi dengan kecepatan luar biasa menyambar ke arah tubuh Siauw Lek, tanpa dapat ditangkis lagi, menyambar ke arah mulut laki-laki itu! Siauw Lek terkejut. Miringkan kepalanya dan dia berteriak kaget dan.. telinga kirinya buntung! "Hi-hi-hik, anjing bertelinga buntung.. Wah, jelek sekali...!" Hun Bwee tertawa dan bertepuk-tepuk tangan. Kini Biauw Eng tidak mau memberi hati lagi. Ia menggerakkan tangan dan kedua ujung sabuknya menyambar-nyambar, meledak-ledak, dan melecut-lecut Siauw Lek berusaha menangkis, akan tetapi raa takut ditambah rasa nyeri membuat gerakannya ngawur dan tenaganya pun banyak berkurang, maka dia berteriak-teriak kesakitan, ketika ujung-ujung sabuk itu seperti paruh burung garuda mematuki tubuhnya, pakaiannya robek-robek dan kulitnya berikut sedikit daging di bawah kulit pula robek dan copot! Dengan seruan keras, Siauw Lek yang sudah habis harapan itu mengangkat pedangnya, disabetkan ke arah lehernya sendiri. Akan tetapi ujung sabuk Biauw Eng menyambar, melihat pedang dan sekali sentakan saja pedang itu terbang dan terlempar ke dalam sungai! *** Kemudian, sebelum Siauw Lek dapat berbuat sesuatu, ujung sabuk sudah melibat kedua kaki dan kedua tangannya, tubuh terangkat ke atas dan... dalam keadaan terbelenggu ujung sabuk, dia terbanting ke dalam air sungai! Ia gelagapan, menggerakkan kedua kaki yang terbelenggu, tubuhnya dapat timbul di permukaan air, akan tetapi tiba-tiba Biauw Eng menggerakkan tangan yang memegang ujung sabuk, membuat tubuh Siauw Lek yang sudah tidak berdaya itu terlempar ke atas dan terbanting lagi ke air. Demikianlah, dia dilelap-lelapkan oleh Biauw Eng yang pandang matanya sudah liar penuh dendam. Siauw Lek kini hanya dapat megap-megap dan mengeluarkan suara "up-up-up-up", perutnya mengembung, mukanya membiru, matanya melotot. "Sumoi..! Berikan dia padaku...!" Tiba-tiba Tan Hun Bwee berteriak. Biauw Eng yang masih memegang ujung sabuk dan membiarkan Siauw Lek megap-megap di permukaan air Sungai Huang-ho seperti seekor ikan kena di pancing, menoleh kepada Hun Bwee, mengerutkan alis dan bertanya, "Untuk apa Suci? Harap jangan mencampuri urusan pribadiku!" "Ihhh, Sumoi. Mengapa engkau begitu medit? Dia tukang perkosa, kau ingat? Aku benci kepada semua tukang perkosa di dunia ini, ingat?'