"Jangan begitu, engkau membikin aku malu saja, Keng Hong. Terimalah ini, bukankah ini benda-benda pusaka yang dirampas Cui Im?" Keng Hong makin girang melihat bahwa semua benda pusaka peninggalan gurunya, yaitu sebatang pedang Hoa-san-pai, sebuah kitab dari Go-bi-pai, dan kitab-kitab tulisan Sin-jiu Kiam-ong sendiri, sabuk sutera dan senjata-senjata rahasia Biauw Eng berupa bola-bola putih berduri dan tusuk konde bwee, pedang milik Yan Cu, dan sepasang Im-yang-pit milik Cong San, semua telah berada dalam buntalan yang dibawa tosu itu. Ketika dia hendak berlutut kembali, dengan terharu Sian ti Sengjin memegang kedua pundaknya dan berkata, "Tak usah berterima kasih karena kalian telah menjadi pendorong pinto, menyesali diri dan bertobat. Sekarang kalian cepat mengejar mereka yang menyerbu ke puncak Tai-hang-san untuk membasmi mereka yang sedang mengadakan pertemuan di sana. Pinto sendiri akan pergi mencari bala bantuan pasukan pemerintah di Tai-goan!" Setelah berkata demikian, bekas tosu Kun-lun-pai yang telah insyaf itu lalu berlari keluar dengan cepat. Keng Hong tidak membuang waktu lagi. Dia menyimpan benda-benda pusaka itu, kemudian bersama Biauw Eng, Cong San dan Yan Cu dia lari keluar. Dengan mudah saja mereka berempat merobohkan para penjaga yang mencoba menghalangi mereka dan dengan berlari cepat mereka menuju ke puncak Tai-hang-san. Demikianlah, mereka berempat dapat datang tepat pada saat Kiang Tojin dan Pak-san Kwi-ong menyelesaikan pertandingan mereka yang mengakibatkan mereka keduanya terluka. Keng Hong dan Biauw Eng yang lari di depan dapat mendengar tantangan Cui Im, maka mereka berdua segera menyambut tantangan itu. Kini dua pasang orang sakti yang bermusuhan itu memandang dengan mata bersinar-sinar, sebaliknya Cui Im dan Pat-jiu Sian-ong memandang dengan kaget sekali. Kiang Tojin yang sedang bersamadhi untuk memulihkan tenaga dan mengobati lukanya, membuka mata dan tersenyum lemah. "Thian selalu berfihak kepada yang benar, siancai... siancai...! Ang-kiam Bu-tek, karena di fihak kami telah datang tenaga-tenaga baru, maka pinto menunjuk Cia Keng Hong dan Sie Biauw Eng untuk menjadi jaog-jago kami yang ke dua dan ke tiga!" "Heh-heh-heh, beginikah sikap tokoh-tokoh yang menamakan dirinya golongan bersih? Tidak dapat dipegang janjinya! Bukankah tadi kau mengajukan Thian Kek Hwesio dan seorang di antara Hoa-san Siang-sin-kiam sebagai jago? Di mana letak kegagahanmu, Kiang Tojin?" Cui Im tertawa mengejek. "Cui Im!" Keng Hong membentak marah. "Orang macam engkau masih mau bicara tentang kegagahan dan pemenuhan janji? Berapa kali sudah engkau menipuku? Kalau engkau tidak mau menghadapiku sebagai wakil yang diajukan oleh Kun-lun-pai, tetap saja engkau harus kuhadapi sekarang juga untuk menebus semua kejahatan dan kecuranganmu!" "Dan engkau pun harus menebus kecuranganmu ketika menjebak kami, Pat-jiu Sian-ong!" Bentak pula Biauw Eng yang sudah siap dengan sabuk suteranya seperti Keng Hong yang sudah mempersiapkan Siang-bhok-kiam untuk menghadapi lawan. Pat-jiu Sian-ong menggerak-gerakkan kebutannya dengan lagak seorang dewa lalu berkata halus, "Binatang kerbau diikat hidungnya, akan manusia diikat kata-kata yang keluar dari mulutnya. Kiang Tojin seorang manusia atau seekor kerbau? Jangan dikira bahwa aku jerih menghadapi seorang bocah seperti puteri Lam-hai Sin-ni, hanya hatiku belum puas kalau belum memaki Kiang Tojin." Pak-san Kwi-ong juga sudah melompat bangun, menyeringai menahan rasa nyeri dan sesak di dadanya, lalu menuding ke arah Kiang Tojin sambil berkata, "Kiang Tojin, di antara kita masih belum ada yang kalah atau menang. Marilah kita lanjutkan pertandingan untuk menentukan siapa yang lebih unggul, kalau engkau berani!" Kiang Tojin menghela napas panjang. "Siancai...!" Pinto bukan seorang yang takut menghadapi kematian, Kwi-ong, Marilah!" Ia pun bangkit dengan cepat akan tetapi agak terhuyung. Sekali pandang saja maklumlah Keng Hong bahwa Pak-san Kwi-ong telah terluka hebat di dalam dadanya, akan tetapi Kiang Tojin juga telah terluka parah, maka dia cepat benyanyi, "Tiga puluh buah ruji berpusat pada poros roda di tempat yang kosonglah terletak kegunaannya! Dengan tanah liat membuat mangkok bundar Di tempat yang kosonglah terletak kegunaannya! Membobol pintu jendela pada sebuah rumah Di tempat yang kosonglah terletak kegunaannya! Yang ada hanya sebagai pegangan Yang kosong itulah yang berguna!" Sajak yang dinyanyikan Keng Hong itu adalah ayat-ayat dalam kitab To-tik-keng yang menggambarkan keadaan To dan sifat-sifatnya. Dilihat kosong namun justeru yang kosong itulah yang menciptakan kegunaannya. Akan tetapi tentu saja Keng Hong mempunyai maksud tertentu dengan nyanyian ini yang dia harapkan akan ditangkap maknanya oleh Kiang Tojin. Cui Im adalah seorang yang cerdik, akan tetapi dia tidak mengenal ayat-ayat seperti itu. Ia khawatir kalau-kalau Keng Hong membantu dengan nyanyian yang tak dimengertinya itu, maka sambil melengking keras ia sudah menerjang Keng Hong dengan pedang merahnya. Sambil tersenyum Keng hong menangkis dengan Siang-bhok-kiam dan kedua orang yang sama saktinya ini sudah bertanding hebat. Juga Pat-jiu Sian-ong biarpun mengenal nyanyian itu namun tidak tahu mengapa pemuda aneh ini menyanyikannya dalam saat seperti itu, sudah menggerakkan senjata hudtimnya menyerang Biauw Eng yang menghadapinya dengan sambaran sabuk sutera putih. Kiang Tojin adalah seorang ahli Agama To, tentu saja mengenal sajak itu. Kalau saja dia belum mempelajari kitab Thai-kek Sin-kun yang belum lama ini dia terima dari Keng Hong, agaknya dia pun akan sukar sekali menangkap apa yang dimaksudkan oleh pemuda itu. Akan tetapi kini dia mengerti dan diam-diam dia kagum sekali karena melihat akan tepatnya "nasihat" yang diberikan pemuda lihai itu untuk memberi petunjuk kepadanya menghadapi lawan Pak-san kwi-ong adalah seorang tokoh utara yang memiliki kepandaian dahsyat namun liar dan ganas, mengandalkan senjata ampuh dan tenaga kuat. Kini, seperti juga Kiang Tojin, dia sudah terluka hebat. Kalau saja kakek hitam ini tidak yakin benar bahwa Kiang Tojin sudah terluka parah, tentu dia tidak berani menantang dengan nekat. Kini melihat keadaan lawan yang kelihatan lebih lemah, dia sudah menerjang cepat dengan mengayun tengkoraknya yang tinggal sebuah. Kiang Tojin cepat mengelak dengan gerakan ringan sekali dan sebentar saja tosu ini sudah terdesak hebat oleh lawan yang kelihatannya tergesa-gesa hendak cepat merobohkan dan membunuh lawan agar dia dapat beristirahat dan melanjutkan usahanya mengobati luka di dalam dadanya. Namun semua serangannya dapat dihindarkan oleh Kiang Tojin dengan mudah dan pada serangan ke tiga, Kiang Tojin menangkis dengan pedangnya. *** "Tranggg... Semua orang gagah terkejut menyaksikan betapa pedang di tangan Kiang tojin terpental lepas dari tangan tosu itu. Pak-san Kwi-ong tertawa girang dan memutar senjatanya lebih dahsyat lagi untuk merobohkan Kiang Tojin yang kini bertangan kosong. Akan tetapi Keng Hong yang melayani Cui Im sempat melirik dan diam-diam dia menjadi girang karena ketua Kun-lun-pai itu dapat menangkap maksudnya ketika memberi petunjuk melalui sajak tadi. Kini Kiang tojin hanya mengandalkan kelincahan tubuh berkat ginkang yang tinggi, mengelak ke sana-sini untuk menghindarkan sambaran tengkorak yang rantainya diputar-putar kuat-kuat oleh lawan. Dengan hati lega dan tidak mengkhawatirkan keadaan Kiang Tojin seperti para orang gagah yang memandang gelisah, Keng Hong melirik ke arah Biauw Eng dan dia menjadi kagum bukan main. Ternyata Biauw Eng sekarang jauh bedanya dengan Biauw Eng dahulu! Gerakan sabuk suteranya mengandung tenaga hebat, gerakannya lebih ringan dan jurus-jurus serangannya amat aneh. Pat-jiu Sian-ong sudah tidak berani memandang rendah lagi dan pertandingan antara mereka ini seru sekali dalam keadaan berimbang. Betapa Pat-jiu Sian-ong takkan menjadi bingung kalau melihat gerakan sepasang ujung sabuk sutera yang berubah menjadi sinar putih bergulung-gulung dan membentuk lingkaran-lingkaran itu dan kadang-kadang menyerang tanah, kadang-kadang malah bermain di atas kepala gadis itu sendiri seperti hendak menotok tubuh sendiri, akan tetapi tiba-tiba melejit dan menotok ke arah jalan darah kematian kalau dia menjadi lengah dan heran? Sementara itu, Cui Im mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk mengimbangi Keng Hong, namun dengan hati panas dan penasaran ia mendapat kenyataan bahwa gerakan-gerakan pemuda itu seluruhnya mengatasi gerakannya sendiri. Ia seolah-olah dihadapkan dengan benteng baja amat kuat yang tak mungkin ia tembusi dengan penyerangannya, sebaliknya dari dalam "benteng baja" itu keluar sinar-sinar yang menyerangnya secara tiba-tiba dan tak terduga-duga! Mulailah Cui Im marah-marah dan memaki-maki, "Keng Hong, kau curang! Agaknya dahulu engkau tidak membaca sungguh-sungguh semua kitab itu! Banyak yang kau sembunyikan dariku!" ia memaki-maki dan menyerang terus kalang kabut. Akan tetapi Keng Hong hanya tersenyum saja dan melayaninya seenaknya. Keng Hong tidak dapat cepat mengalahkan Cui Im, karena selain memang wanita ini amat lihai dan rapat menjaga tubuh, juga Keng Hong membagi sebagian perhatiannya kepada Biauw Eng untuk melindungi gadis itu kalau-kalau terancam bahaya di tangan Pat-jiu Sian-ong yang dia tahu amat lihai. Maka dia selalu memancing Cui Im untuk bertanding dekat kekasih hatinya itu. Tepat seperti telah diperhitungkan oleh Keng Hong, terjadilah perubahan hebat dalam pertempuran antara Pak-san Kwi-ong dan Kiang Tojin. Sebetulnya tidak patut disebut pertempuran karena dalam pertandingan ini, Kiang Tojin sama sekali tidak pernah membalas serangan. Kelihatannya saja seolah-olah dia sudah terlalu lemas sehingga terdesak dan tidak sempat membalas, padahal memang tosu ini sengaja tidak mau balas menyerang, hanya mengandalkan ginkangnya untuk mengelak terus, membiarkan lawan menyerangnya makin hebat. Inilah petunjuk yang diberikan oleh Keng Hong dalam sajaknya tadi. Yaitu agar Kiang Tojin menggunakan kekosongan. Ketua Kun-lun-pai ini segera dapat menangkap maksud Keng Hong. Mereka berdua sudah luka parah, luka di sebelah dalam tubuh dan pantangan besar bagi orang terluka di dalam tubuhnya untuk mempergunakan tenaga, apalagi tenaga sinkang karena tenaga ini akan membuat luka di dalam tubuh makin parah. Karena itu, maka Keng Hong menganjurkan agar Kiang Tojin menggunakan kekosongan, berarti tidak menggunakan tenaga dan membiarkan lawan yang mempergunakan tenaga sebanyaknya dan dia sendiri hanya mengandalkan kegesitannya untuk mengelak tanpa mengerahkan tenaga. Kini mulai tampak perubahan. Biarpun Kiang Tojin kelihatan didesak terus, namun dia masih tetap seperti semula, sebaliknya Pak-san Kwi-ong makin lama makin limbung, wajahnya yang hitam menjadi pucat sekali, matanya merah, mulutnya mengeluarkan buih dan kepalanya mengepulkan uap, kedua kakinya mulai menggigil dan serangan-serangannya mulai ngawur! Pak-san Kwi-ong bukanlah seorang bodoh. Dia tahu bahwa dia telah menggunakan tenaga terlalu banyak sehingga luka di dadanya makin parah, napasnya sesak sekali dan seluruh isi dada dan perut terasa nyeri. Akan tetapi di samping kecerdikannya, dia memiliki watak yang kasar, liar dan ganas, watak seekor binatang buas. Ia penasaran melihat lawan yang seakan-akan tinggal injak saja begitu sukar dirobohkan, maka makin lama dia makin bernafsu sampai akhirnya dia terlambat menyadari kesalahannya. Sambaran tengkoraknya makin lemah dan tiba-tiba dia merasa betapa kepalanya berdenyut-denyut, matanya gelap dan jantungnya seperti akan meledak. Ia masih menubruk maju dan menghantamkan tengkoraknya sekuat tenaga sehingga Kiang Tojin terkejut dan terpaksa meloncat ke belakang. Tubuh Pak-san Kwi-ong terjelungup ke depan dan robohlah raksasa hitam itu. Biarpun demikian, dia masih melakukan serangan dari bawah, tengkorak itu menyambar ke arah perut Kiang Tojin. Ketua Kun-lun-pai ini cepat memutar tubuh, kakinya bergerak mendorong tengkorak dari samping. Tengkorak itu meluncur kembali ke bawah, ke arah muka Pak-san Kwi-ong seolah-olah hendak mencium muka raksasa hitam itu. "Prokkk!" Tengkorak pecah berantakan dan kepala Pak-san Kwi-ong juga pecah sehingga dia tewas seketika. Kiang Tojin meloncat ke belakang menghindarkan diri dari sambaran jarum-jarum yang meluncur dari dalam tengkorak, kemudain dia terhuyung dan cepat mundur ke rombongan, lalu duduk bersila dan memejamkan mata. Melihat tewasnya Pak-san Kwi-ong, barulah Cui Im mengerti dan dengan marah ia berseru, "Keng Hong, engkau manusia curang!" dan ia mempercepat serangan pedangnya. Pat-jiu Siang-ong juga kaget menyaksikan tewasnya Pak-san Kwi-ong yang diandalkan. Ia mengeluarkan suara bersuit keras dan kini majulah semua pembantunya, menyerbu, bukan hanya pembantu tokoh-tokoh persilatan, juga pasukan yang menjadi anak buahnya mulai menyerbu dan memperketat pengurungan! Cong San dan Yan Cu berseru keras, mencabut senjata dan menerjang ke depan menyambut lawan, diikuti oleh semua tokoh kang-ouw yang memang sejak tadi sudah siap-siap untuk bertempur dan membela diri. Maka terjadilah perang tanding yang dahsyat dan tidak teratur lagi. Cong San dan Yan Cu mengamuk dan sebentar saja sudah merobohkan dua orang lawan, akan tetapi mereka segera dihadapi oleh Gu Coan Kok dan Hok Ku, dua orang iblis tembok besar yang lihai. Menghadapi Coan Kok, Yan Cu terdesak, sebaliknya Cong San dapat membikin Hok Ku sibuk melindungi dirinya maka Cong San yang selalu memperhatikan Yan Cu segera bertanding sejajar dengan Yan Cu untuk melindungi gadis yang dicintanya itu. Maka ramailah pertandingan antara empat orang itu, gerakan mereka cepat dan dahsyat sehingga yang lain-lain tidak sempat untuk mencampuri pertempuran ini. Dari fihak orang gagah, mengamuklah Thian Kek Hwesio, kedua Hoa-san Siang-sin-kiam, keempat orang kakek tokoh Kong-thong-pai, ketua Tiat-ciang-pang Ouw Kian, dan empat orang tosu menjadi sute Kiang Tojin. Mereka ini dihadapi oleh kawan-kawan Pat-jiu Sian-ong yaitu Thian-te Siang-to keempat Pak-san Su-ong dan masih banyak tokoh kaum sesat dibantu oleh ratusan orang anak buah Pat-jiu Sian-ong. Melihat betapa fihak Kiang Tojin terdesak hebat karena memang jauh kalah besar jumlahnya, Keng Hong menjadi khawatir. Untuk cepat-cepat mengalahkan Cui Im bukan merupakan hal yang mudah, maka tiba-tiba tubuhnya melesat mengirim serangan ganas dengan Siang-bhok-kiam. Cui Im menangkis akan tetapi ia terpekik dan mencelat ke belakang karena tenaga sinkangnya jauh kalah kuat. Kesempatan itu dipergunakan oleh Keng Hong untuk meloncat ke dekat Biauw Eng yang masih bertanding ramai sekali melawan Pat-jiu Sian-ong. Keng Hong langsung menyerang dengan tusukan Siang-bhok-kiam sehingga terdengar suara bercuit nyaring dan tampak sinar hijau yang amat terang dan cepat menyambar leher Pat-jiu Sian-ong. Kakek ini mendengus, dengan gugup melihat cepat dan kuatnya serangan ini telah mengebutkan hudtimnya menangkis Siang-bhok-kiam dan terus membelit ujung pedang itu untuk merampasnya. Akan tetapi saat yang hanya seteangah detik itu dipergunakan dengan tepat oleh Biauw Eng,. Sabuk suteranya berubah kaku dan menusuk perut Pat-jiu Sian-ong. "Crottt!" Sabuk sutera yang telah berubah kaku oleh tenaga sinkang itu menembus perut kakek kate itu. Pat-jiu Sian-ong mengeluarkan teriakan kaget, matanya terbelalak seolah-olah tidak percaya ke arah perutnya, akan tetapi tiba-tiba Keng Hong yang sudah berhasil menarik pedangnya, menusukkan Siang-bhok-kiam menembus dada kakek itu. "Aihhhhh...!!" Pat-jiu Sian-ong memekik dan hudtimnya menyambar ke arah Biauw Eng. Namun gadis ini sudah menarik kembali ujung sabuk pada hudtim sehingga bulu kebutan itu tertarik pedang Siang-bhok-kiam berkelebat lagi dan hudtim itu patah menjadi dua! Putusnya kebutan itu agaknya berbareng dengan putusnya napas Pat-jiu Sian-ong, tubuhnya terkulai, roboh dan dari perut dan dadanya keluar darah yang memancar deras. Cui Im menjerit, "Keng Hong, manusia curang!" Wanita ini sudah menerjang lagi dengan ganas. Keng Hong menangkis dengan pedang kayunya dan berkata kepada Biauw Eng, "Kau bantulah teman-teman!" Tanpa diperintah dua kali, Biauw Eng lalu mengamuk dan membantu Cong San dan Yan Cu. Keng Hong melanjutkan pertempurannya melawan Cui Im. Diam-diam harus dia akui bahwa andaikan dia tidak mempelajari Thai-kek Sin-kun, agaknya amat sukar baginya untuk mendapatkan kemenangan melawan Cui Im yang benar-benar amat ganas pedang merahnya ini. Pantas saja gadis ini berani menamakan diri Ang-kiam Bu-tek Pedang Merah Tanpa Tanding, karena memang pada masa itu, agaknya sukarlah dicari lawan yang dapat menandingi ilmu pedang gadis ini. Bahkan sekarang pun agaknya tidak akan mudah baginya untuk merobohkan Cui Im tanpa membunuhnya. Dan sukarnya Keng Hong tidak tega untuk membunuh Cui Im! Dia bukannya tidak ingat akan semua perbuatan jahat wanita ini terhadap dirinya, akan tetapi ada beberapa hal yang tak dapat dilupakan Keng Hong dan yang membuatnya tidak tega untuk membunuhnya, yaitu pertama mengingat akan cinta kasih wanita ini terhadap dirinya. Ke dua, karena betapapun juga, setelah sama-sama mempelajari ilmu peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, sedikitnya Cui Im boleh dikatakan saudara seperguruan dengannya. Ketiga, kalau saja Cui Im tidak menipunya di dalam tempat rahasia di batu pedang, belum tentu dia akan dapat menemukan dan mempelajari kitab peninggalan Thai Kek Couwsu sehingga secara tidak langsung, Cui Imlah yang berjasa! Oleh karena itu, Keng Hong hanya mau merobohkan Cui Im tanpa membunuhnya dan hal ini benar-benar amat sukar karena serangan-serangan biasa saja mana mampu mengalahkan Cui Im? *** Maka dia lebih banyak bertahan dan membela diri sambil menanti kesempatan baik untuk merobohkan lawannya yang tangguh ini tanpa membunuhnya. Hebat bukan main perang tanding yang terjadi di puncak Tai-hang-san itu. Betapapun lihainya para tokoh kang-ouw dan betapa nekat mereka mempertahankan diri, namun karena jumlah mereka jauh kalah banyak sehingga setiap orang terpaksa harus menghadapi empat lima orang lawan, maka mulailah fihak mereka terdesak dan keadaan mereka berbahaya sekali. Korban kedua fihak sudah mulai berjatuhan dan perang itu penuh dengan suara gaduh, teriakan-teriakan kesakitan, maki-makian kemarahan dan diseling bertemunya senjata tajam yang mengeluarkan bunyi nyaring. Tiba-tiba terdengat bunyi terompet disusul sorak-sorai dan menyerbulah pasukan pemerintah yang terdiri dari ratusan orang, dipimpin oleh seorang perwira dan didampingi oleh Sian Ti Sengjin! Itulah pasukan yang didatangkan oleh bekas tokoh Kun-lun-pai ini dari tai-goan dan kalau tadi pertandingan terjadi berat sebelah dengan keuntungan fihak pemberontak, kini sebaliknya menjadi berat sebelah dengan kerugian mereka! Kini fihak pemberontak kalah banyak jumlahnya dan mulailah terjadi penyembelihan yang mengerikan Perang tanding yang terjadi selama setengah hari di puncak Tai-hang-san itu bagi golongan sesat merupakan sejarah hitam di mana lebih dari dua ratus orang terbunuh. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang dapat lolos, semua tewas termasuk tokoh-tokohnya, sungguh pun di fihak orang kang-ouw juga jatuh korban yang tidak sedikit. Yang hebat adalah pertandingan antara Keng Hong dan Cui Im. Masih juga Keng Hong belum dapat merobohkan Cui Im pada perang telah terhenti karena musuh telah terbasi habis. "Keng Hong, aku bersumpah untuk membunuhmu sekarang juga!" Cui Im meloncat maju mengirim tusukan maut. "Trang-trang-cringgg!" Keng Hong menangkis dan melanjutkan dengan membacokkan pedang Siang-bhok-kiam ke arah paha lawannya. "Wuuutttttt!" Cui Im melompat ke belakang sehingga bacokan itu luput. "Keng Hong, engkau selamanya menjadi penghalang untukku. Engkau manusia satu-satunya di dunia yang paling kubenci!" Kembali Cui Im menerjang maju. Wajahnya pucat sekali, keringatnya membasahi seluruh tubuh, akan tetapi matanya sama sekali tidak memperlihatkan kelelahan, bahkan mata itu memancarkan cahaya seperti api menyala-nyala. "Cui Im, kau menyerahlah. Aku takkan membunuhmu," kata Keng Hong sambil memutar pedangnya menangkis. "Menyerah? Lebih baik mati!" Cui Im kembali menerjang maju. Keng Hong tahu bahwa teman-temannya sudah mengurung tempat pertandingan itu, menonton penuh perhatian. Di antara mereka terdapat Biauw Eng yang menonton dengan alis berkerut. "Keng hong, kenapa engkau ragu-ragu merobohkan dia?" Tiba-tiba Biauw Eng bertanya, di dalam suaranya terkandung penasaran besar. Keng Hong kaget dan maklum bahwa dia menjadi pusat perhatian. Mungkin bagi orang-orang lain mereka tidak tahu betapa dia mengalah dan tidak mau membunuh lawan, akan tetapi pandang mata tajam dari orang-orang yang ilmunya sudah tinggi seperti Biauw Eng, Cong San, Yan Cu dan beberapa orang lain akan mudah melihatnya. Maka dia menjadi bimbang dan ketika pedang merah itu berkelebat menyambar lehernya, dia mengerahkan seluruh sinkangnya dan menangkis sekuat tenaga. "Trakkk!" Pedang merah itu patah manjadi dua dan ujung Siang-bhok-kiam masih menyerempet pundak Cui Im. "Aihhhhhh!!" Cui Im terhuyung dan roboh, pundaknya terluka lebar dan darah bercucuran. Sinar putih berkelebat menyambar ke arah kepala Cui Im yang masih rebah miring. Itu adalah sabuk sutera yang digerakkan Biauw Eng untuk membunuh bekas sucinya. Agaknya gadis ini hendak membalas dendam atas kematian ibunya di tangan Cui Im. "Takkk!" Ujung sabuk sutera tertangkis oleh pedang Siang-bhok-kiam sehingga luput mengenai sasaran. "Keng Hong...!" Biauw Eng berseru kaget. Keng Hong menarik napas panjang. "Biauw Eng, maafkan aku. Perlukah kita membunuhnya? Dia bekas sucimu dan kalau kuingat-ingat secara adil, dia pun masih terhitung sumoiku sendiri karena dia telah mempelajari pusaka warisan suhu. Dia sudah kalah, kehabisan sagala-galanya, perlukah kita membunuhnya begitu saja. kurasa hatimu tidak akan sekejam itu, Biauw Eng." "Tapi... Tapi... dia telah membunuh ibuku!" "Benar, akan tetapi apakah untungnya balas-membalas karena dendam? Memang ibumu terbunuh olehnya dalam pertandingan, akan tetapi sekiranya baik kita ingat betapa banyaknya orang yang telah tewas di tangan ibumu juga, Biauw Eng, kalau bukan engkau yang hendak membunuhnya, aku masih tidak peduli. Akan tetapi aku tidak ingin melihat engkau melibatkan diri dalam ikatan dendam-mendendam. Kalau dia melakukan dosa biarlah dia yang akan memikul hukumannya yang pasti akan ia rasakan sendiri. Kekalahannya yang berkali-kali pun merupakan peringatan dan hukuman baginya. Biauw Eng, kuharap engkau suka memenuhi permintaanku, yaitu kita bebaskan lawan yang sudah kalah, jangan membunuh orang yang sudah tidak mampu melawan lagi." Biauw Eng meragu, memandang kepada Keng Hong kemudian kepada Cui Im yang sudah merangkak bangun dengan wajah kerut-kerut menahan sakit. "Akan tetapi, andaikata dia tidak kubunuh, kurasa banyak saudara di sini yang tentu akan membunuhnya!" "Aku tidak percaya mereka mau melakukannya, Biauw Eng. Setelah begini banyak manusia terbunuh...?" Dengan gerakan kedua lengan dikembangkan ke arah tumpukan mayat, Keng Hong memandang sedih. "Cia-taihiap benar! Tiba-tiba terdengar suara keras dan Thian Kek Hwesio yang masih memegangi jubahnya yang penuh darah lawan, berkata dan melangkah maju. "Pinceng memang bersakit hati atas tewasnya suheng Thian Ti Hwesio di tangan iblis betina itu, akan tetapi setelah mendengar kata-kata Cia-taihiap tadi pinceng... merasa malu untuk membunuh lawan yang sudah tidak berdaya. Pinceng membebaskan dia!" "Pinto juga tidak akan membunuhnya, mengingat dia itu bekas suci Nona, dan masih sumoi dari Cia-taihiap. Pinto tidak akan membunuh orang yang sudah tidak mampu melawan," kata Coa Kiu tokoh Hoa-san-pai. "Biarlah dia pergi, biarlah iblis betina terkutuk itu pergi!" Berkata Kok Sian-cu mewakili saudara-saudaranya dari Kong-thong-pai. Biauw Eng menunduk dan tidak membantah lagi. "Cui Im, kau dengarlah pendirian orang-orang sedunia! Mudah-mudahan ucapan mereka itu akan membikin engkau bertobat dan menebus kejahatan-kejahatanmu dengan perbuatan baik, dengan demikian, tidak percuma mendiang suhu meninggalkan pusaka-pusaka yang kau pelajari pula," kata Keng Hong. Cui Im bangkit berdiri, tubuhnya bergoyang-goyang, rambutnya riap-riapan, wajahnya pucat. "Keng Hong, keparat busuk! Ucapan-ucapan itu lebih hebat dari pembunuhan. Hayo, kau bunuh saja aku... Hi-hi-hik... kau bunuh aku atau kelak engkau yang akan kubunuh...!" Kemudian Cui Im pergi terhuyung-huyung sambil terkekeh-kekeh, akan tetapi suara ketawanya menyeramkan semua orang karena di dalam suara ketawa itu terkandung isak tangis! Setelah bayangan wanita itu lenyap ke bawah puncak, Keng Hong menarik napas panjang, kemudian dia mengeluarkan semua pusaka yang disimpan di kantungnya, menyerahkan pedang pusaka Hoa-san-pai kepada Coa Kiu, kemudian berkata kepada semua orang, "Setelah semua pusaka suhu kuambil dan sebagian kepada yang berhak, maka kumohon para Locinapwe sudilah memaafkan semua perbuatan suhu dahulu. Hanya sebuah kitab dari Go-bi-pai yang masih berada padaku dan kelak pasti akan kukembalikan kepada yang berhak." Coa Kiu dan Cou Bu girang sekali menerima pusaka Hoa-san-pai itu dan menyatakan terima kasihnya dan semua orang gagah merasa kagum terhadap Keng Hong yang mereka saksikan sepak terjangnya tadi. Mereka lalu mulai mengurus semua korban tewas, baik fihak sendiri maupun fihak lawan, menguburkan mereka di puncak Tai-hang-san. Hanya Kiang tojin seorang yang menjadi amat kagum kepada Keng Hong dan ketika pemuda ini berlutut menghampirinya untuk memeriksa lukanya bersama Biauw Eng, Kiang Tojin menggeleng kepala dan memegang pundak pemuda itu, "Pinto tidak apa-apa, Keng Hong. Betapa gembira hati pinto menyaksikan engkau, bukan hanya karena kepandaianmu, terutama sekali karena sikapmu terhadap Ang-kiam Bu-tek. Sikapmu tepat sekali, Keng Hong dan pinto menyatakan tunduk kepadamu. Memang semua manusia ini dan pada dasarnya sama, hanya ada yang sedang menderita sakit seperti Cui Im dan yang lain-lain dan mengakibatkan" ah, semua pembunuhan antar manusia ini... Tosu itu kelihatan menyesal sekali. Tiba-tiba Biauw Eng mengeluh dan meloncat berdiri lari ke sebelah kiri kemudian berlutut dan menangis di depan mayat Tan Hun Bwee. Melihat ini, Keng Hong menarik napas panjang dan membiarkan saja gadis itu menumpahkan kesedihannya, karena memang nasib Hun Bwee amat menyedihkan. Melihat kesibukan semua orang dan dia hanya berada dengan Kiang Tojin, Keng Hong tak dapat menahan keinginan tahu hatinya untuk bertanya kepada kakek yang dia kenal sebagai seorang yang arif bijaksana itu. "Totiang, mengapa manusia saling berbunuhan karena terbagi menjadi dua golongan? Mengapa ada yang baik dan ada yang buruk? Apakah yang menyebabkan terjadinya dosa?’ *** Kiang Tojin memejamkan mata, akan tetapi mulutnya berkata dengan lirih namun jelas, seperti orang berbisik dan yang terdengar oleh Keng Hong seperti suara yang datang dari angkasa, "Perbuatan yang dianggap jahat dan berdosa tercipta dari pengetahuan manusia tentang baik dan buruk itulah! Karena manusia membagi perbuatan menjadi dua, baik dan buruk, maka terciptalah pantangan-pantangan atau larangan-larangan yang menjadi hukum. Manusia menciptakan hukum dan karena pengetahuan tentang baik dan buruk ini sudah mengisi hati, maka setiap pelanggaran hukum menjadi perbuatan jahat dan berdosa. Kalau di dunia ini tidak ada hukum, di dunia ini tidak ada pengetahuan tentang baik dan buruk, maka tidak akan ada pula pemisahan perbuatan yang baik atau jahat." "Mohon penjelasan, Totiang, teecu masih kurang mengerti." "Anak-anak kecil yang hati dan pikirannya belum mengenal pengetahuan antara baik dan buruk, yang belum menerima hukum pantangan dan larangan, adalah manusia yang bersih, tidak baik dan juga tidak jahat. Dia akan mengambil barang orang lain, akan tetapi karena dia belum tahu akan hukum yang menentukan bahwa perbutan itu terlarang dan disebut pencuri, maka dia tidak merasa mencuri. Kalau orang tidak mengenal kata-kata mencuri, bagaimana dia bisa menjadi pencuri? Karena anak itu belum mengenal pengetahuan antara baik dan buruk, maka perbuatannya mengambil barang orang lain itu pun baginya tidak baik tidak buruk, hanya wajar dan tidak bisa kita katakan dia mencuri atau berdosa. Setelah dia nanti tahu dan mengenal hukum itu, tahu bahwa perbuatan seperti itu terlarang, kemudian dia melanggar, barulah dia melakukan perbuatan dosa. Jadi yang berdosa bukanlah perbuatannya melainkan pelanggarannya terhadap hukum yang sudah dikenalnya. Di dalam hati sudah tahu bahwa perbuatan itu termasuk tidak baik namun tetap di lakukannya, maka berdosalah dia. Manusia terbelenggu oleh pengetahuan antara baik dan buruk, terkurung oleh hukum-hukum yang yang diciptakannya sendiri, maka penuhlah dunia ini oleh dosa. Sungguh menyedihkan..." Keng Hong mengangguk-angguk. "Kalau begitu, kita yang hidup di dalam dunia yang penuh dengan larangan-larangan yang timbul dari pengatahuan antara baik dan buruk ini, apa yang harus kita lakukan, Totiang?" "Kita sudah terlanjur mengenal baik dan buruk, tentu saja kita harus selalu mengabdi kebaikan, hanya dengan hati besar kita harus dapat mengampuni mereka yang kita angap melakukan perbuatan jahat setelah kita tahu bahwa perbuatannya itu merupakan pelanggaran bagi hukum yang sudah dikenalnya, berarti bahwa dia itu lemah, atau sedang sakit, terdorong oleh nafsunya sendiri sehingga melakukan hal-hal yang sebenarnya berlawanan dengan pengenalan hukum dalam sanubarinya sendiri." "Terima kasih atas petunjuk Totiang yang bijaksana." Kiang Tojin membuka matanya dan tersenyum kepada pemuda itu. "Semua orang bijaksana, orang muda yang baik. Di dunia tidak ada orang pandai atau bodoh. Yang sudah mengerti disebut pandai. Padahal yang sudah mengerti itu pun tadinya tidak mengerti, sebaliknya yang belum mengerti itu pun kelak akan mengerti. Karena itu, adalah menjadi, kewajiban kita untuk belajar mengerti, setelah mengerti lalu sadar, setelah sadar lalu menjadikan pengertian sebagai dasar setiap perbuatan." Demikianlah, menggunakan kesempatan itu Keng Hong menerima wejangan-wejangan dari ketua Kun-lun-pai itu, sedangkan orang-orang kang-ouw yang lain bersama pasukan dari Tai-goan mengadakan pembersihan terhadap mayat-mayat yang berserakan. Pembicaraan Keng Hong dan Kiang Tojin terhenti Sian Ti Sengjin datang berlutut di depan ketua Kun-lun-pai sambil berkata, "Suheng..., Sute yang penuh dosa datang menghadap." Kiang tojin memandang, sejenak pandang matanya penuh teguran dan keren, akan tetapi kemudian melunak dan dia berkata, "Sute, jauh lebih baik seorang yang sadar dan bertobat, menyesali dan mencuci kekotorannya daripada seorang yang menyombongkan kebersihannya. Pinto telah mendengar semua tentang dirimu dan merasa berbahagia dapat menerimamu kembali sebagai seorang murid Kun-lun-pai yang baik." Keng Hong lalu meninggalkan kedua kakak beradik seperguruan yang sudah rujuk kembali untuk membantu orang-orang lain mengurus mayat-mayat yang amat banyak. Kembali dia bersama Biauw Eng, Cong San dan Yan Cu mengubur mayat Tan Hun Bwee di tempat terpisah. Pada keesokan harinya, barulah pasukan pemerintah kembali ke Tai-goan dan para rokoh kang-ouw meninggalkan puncak Tai-hang-san. Biauw Eng tidak mau meninggalkan tempat itu karena dia hendak berkabung selama tiga hari di situ. Keng Hong menemaninya dan Cong San juga berpamit kepada suhengnya, Thian Kek Hwesio, untuk menemani Keng Hong dan Biauw Eng. Tentu saja Yan Cu tidak mau ketinggalan menemani Biauw Eng di puncak yang menyeramkan itu. Setelah semua orang pergi, sunyilah puncak Tai-hang-san, sunyi menyeramkan. Di tempat bekas pertempuran tampak banyak sekali gundukan tanah kuburan baru, dan untuk memudahkan pekerjaan, ada satu lubang yang diisi sampai lima mayat manusia. Hanya kuburan para tokoh besar saja yang dipisahkan, termasuk kuburan Pak-san Kwi-ong dan Pat-jiu Sian-ong. Biauw Eng merasa kasihan dan terharu sekali mengenang nasib sucinya, Tan Hun Bwee, yang pada akhir hidupnya mengorbankan nyawa dan berusaha untuk menolong mereka, duduk bersila di depan makam sucinya dengan wajah berduka. Keng Hong tidak mau mengganggunya, malah pemuda ini lalu mengukir nama-nama para tokoh di atas batu-batu dan memasang batu nisan sederhana ini kuburan masing-masing. Juga Cong San dan Yan Cu tidak berani mengganggu Biauw Eng. Sepasang orang muda ini tampak rukun dan sering kali bicara bisik-bisik sehingga diam-diam Keng Hong merasa girang sekali hatinya, mengharapkan agar sekali ini Yan Cu yang lincah itu benar-benar dapat menemukan cintanya! Tak seorang pun di antara orang muda ini mengira bahwa urusan di puncak itu belumlah habis sampai di situ saja. masih ada bahaya besar mengancam mereka. Bahaya yang merupakan diri seorang nenek tua renta, yang berlari cepat seperti terbang sambil kadang-kadang tertawa atau menangis tanda bahwa otaknya tidak waras. Nenek ini adalah Go-bi Thai-houw! Secara kebetulan saja Go-bi Thai-houw yang melakukan perjalanan mencari kedua orang muridnya, bertemu dengan Cui Im di kaki Gunung Tai-hang-san. Andaikata tidak bertemu dengan Cui Im, tentu nenek ini tidak akan mendaki puncak sambil berlari secepat terbang. Dia sedang berjalan seenaknya ketika mendengar suara rintihan dicampur isak tangis. Ketika melihat bahwa yang merintih-rintih dan menangis itu adalah seorang wanita muda cantik yang pundaknya terluka besar, nenek ini menghampiri, berdiri di depan Cui Im kemudian tertawa terkekeh-kekeh sambil menudingkan telunjuknya kepada Cui Im! "Ha-ha-ha, heh-heh, sungguh bocah lucu engkau! Lelah, setengah mati dan terluka, kenapa malah menangis?" Nenek itu lalu meletakkan telunjuk ke depan dahinya yang penuh keriput dan bertanya, "Eh, bocah lucu, apakah engkau begini?" Cui Im mengangkat mukanya dan biar pun dia sudah terluka lahir batin, kemarahannnya memuncak ketika ia diejek dan dianggap gila. Cepat ia meloncat dan memukul dada nenek itu. "Dessssss!" Cui Im terkejut karena dada yang dipukulnya itu lunak seperti kapas, maka maklumlah ia bahwa tentu nenek ini seorang yang lihai luar biasa. "Nenek gila! Siapa kau...?" Tiba-tiba ia teringat. Nenek yang gila dan amat lihai. Siapa lagi kalau bukan Go-bi Thai-houw? "Engkau... engkau Go-bi Thai-houw?" "Hi-hi-he-he-heh! Engkau benar gila tapi matamu tajam. Benar aku Go-bi Thai-houw, dan mengapa engkau menangis di sini?" Tiba-tiba Cui Im tertawa, tertawa didorong kecerdikannya yang pada saat seperti itu masih mempunyai akal untuk membalas kekalahannya. "Hi-hi-hik, nenek gila. Sekarang kau boleh mentertawakan aku yang menangis, akan tetapi engkau takkan bisa tertawa lagi kalau mendengar penuturanku tentang muridmu!" Biarpun otaknya miring, mendengar tentang muridnya, nenek itu cepat bertanya nafsu, "Di mana murid-muridku?" "Muridmu bernama Tan Hun Bwee dan Sie Biauw Eng, bukan? Muridmu Tan Hun Bwee itu pun gila seperti engkau?" "Setan kau! Muridku keduanya waras seperti aku, tidak gila seperti engkau?" Cui Im tidak mau berbantahan dengan seorang gila, cepat ia berkata, "Percuma saja kau mencari. Muridmu Tan Hun Bwee sudah dibunuh oleh Cia Keng Hong, tuh mayatnya masih menggeletak di atas puncak!" Cui Im sengaja berkata demikian padahal sudah sehari semalam ia sampai di kaki gunung ini dalam perjalanannya setengah merangkak. "Bedebah!" Tanpa bertanya lagi Go-bi Thai-houw lalu melompat dan lari seperti terbang cepatnya menuju ke puncak Tai-hang-san. Cui Im tertawa-tawa dan melanjutkan perjalanannya dengan terhuyung-huyung. Demikianlah, pada siang hari itu secara tiba-tiba Go-bi Thai-houw muncul di puncak dan begitu melihat Biauw Eng bersama tiga orang berada di situ, cepat ia berseru, "Mana Hun Bwee? Mana yang bernama Cia Keng Hong?" Semua orang terkejut dan menengok karena kedatangan nenek itu tidak mereka ketahui sama sekali, tahu-tahu nenek itu telah berada di situ! "Subo...!" Biauw Eng lari dan berlutut di depan Go-bi Thai-houw sambil menangis. "Subo... suci telah tewas...!" *** "Eh, Biauw Eng, apakah kau mendadak telah menjadi gila? Ha-ha-ha, Hun Bwee mati, kenapa engkau malah menangis?" Tentu saja Keng Hong, Cong San dan Yan Cu terkejut dan terheran-heran mendengar ucapan yang aneh ini. Biauw eng tahu bahwa bagi nenek ini, orang berduka harus tertawa, kalau senang barulah menangis. Betapa selama dia menjadi murid nenek itu dia dan Hun Bwee selalu harus ikut menggila. Akan tetapi kini dia tidak bernafsu untuk bermain sandiwara dan tangisnya mengguguk. "Subo... dia... Tewas... "Aku sudah tahu?" Nenek itu membentak. "Mana murid Sin-jiu Kiam-ong? Mana dia yang bernama Cia Keng Hong yang membunuh Hun Bwee?" Keng Hong terkejut. Dia sudah mendengar bahwa nenek sakti ini miring otaknya, maka cepat dia menghampiri, memberi hormat dan berkata, "Locianpwe, sayalah yang bernama Cia Keng Hong, murid Sin-jiu Kiam-ong dan tentang nona Tan..." "Wuuuuuttttt!" Nenek itu telah menghantamnya dengan gerakan yang cepat bukan main. Keng Hong terkejut, mengelak sambil menangkis, akan tetapi dia masih terpelanting. Nenek itu memiliki kekuatan yang mujijat! "Bagus, murid Sie Cun Hong engkau mampuslah!" Nenek itu menyerang lagi lebih hebat daripada tadi. Keng Hong kembali mengelak. "Locianpwe, tunggu dulu...! Bukan saya yang membunuhnya..." "Cerewet! Membunuh atau tidak, murid Sie Cun Hong harus mampus!" Kini serangan Go-bi Thai-houw benar-benar hebat dan gerangannya membingungkan Keng Hong yang terpaksa harus mengerahkan kecepatannya untuk mengelak sambil meloncat ke sana-sini. "Heh-heh-heh, engkau pandai juga, keparat!" Kini nenek itu mengeluarkan serangan dengan gerakan aneh dan lucu tampaknya kacau-balau akan tetapi setiap gerak tangannya mengeluarkan angin yang menyambar-nyambar seperti badai mengamuk. Keng Hong terkejut, maklum bahwa membantah pun percuma saja terhadap nenek gila yang amat lihai ini. Dia cepat mainkan Thai Kek Sin-kun dan menjaga dirinya rapat-rapat, mengelak sambil menangkis dengan kedua tangan, namun dalam belasan jurus saja dia sudah terdesak hebat dan dipaksa mundur terus. "Subo...!" Biauw Eng meloncat ke depan nenek itu menghalangi nenek itu menyerang Keng Hong. "Subo, jangan menyerang Keng Hong...!" "Apa kau bilang? Kau sudah gila? Dia murid Sie Cun Hong, hayo kau bantu aku membunuhnya!" Nenek itu membentak-bentak. "Tidak, Subo! Aku tidak akan menyerangnya, aku cinta kepadanya!" Nenek itu tertawa. "He-he-heh, justeru kalau cinta harus membunuhnya, tolol!" Keng Hong memandang penuh keharuan kepada Biauw Eng, penuh kemesraan. Terbayanglah dia dahulu ketika dia hendak dibunuh Lam-hai Sin-ni, gadis itu pun membelanya dan seperti juga sekarang, secara terang-terangan penuh ketulusan hati, gadis ini mengaku cinta kepadanya! Ah, Biauw Eng... hatinya menjerit. "Tidak Subo. Engkau tidak boleh menyerangnya, dan dia tidak membunuh suci Tan Hun Bwee!" "Apa? Engkau hendak membela Cia Keng Hong? Hendak membela murid Sin-jiu Kiam-ong? Engkau tidak mau membantu memusuhi Sie Cun Hong?" "Tidak mungkin, Subo, Sie Cun Hong itu adalah mendiang ayahku." "Heh...???" Agaknya untuk detik itu, kegilaan meninggalkan hati dan pikiran nenek itu dan ia memandang terbelalak. "Bukankah kau puteri Lam-hai Sin-ni?’ "Ibuku memang Lam-hai Sin-ni, akan tetapi ayahku Sie Cun Hong yang berjuluk Sin-jiu Kiam-ong, karena itu tidak mungkin aku memusuhinya dan apalagi aku cinta kepada murid ayahku..." "Iblis!" Nenek itu menendang dan tubuh Biauw Eng mencelat sampai lima meter jauhnya. Gadis itu roboh berguling-guling akan tetapi cepat meloncat bangun lagi. "Keparat, kau puteri Sie Cun Hong, he-he-heh! Kalau begitu engkau pun harus mampus. Kau puterinya, dan Lam-hai Sin-ni sainganku, ha-ha-ha!" Nenek itu meloncat maju hendak menyerang Biauw Eng, akan tetapi Keng Hong sudah menghadangnya. "Locianpwe, harap sabar...!" "Mampus kau!" Go-bi Thai-houw menghantam kedua tangannya dan tampaklah uap hitam menyambar dari sepasang telapak tangannya. Keng Hong terkejut bukan main dan cepat dia membuang diri ke belakang, namun tetap saja dia masih merasa hawa yang amat dahsyat menyerempet pundaknya sehingga biarpun dia sudah berjungkir balik, tetap saja dia terbanting jatuh. Biauw Eng yang menyaksikan ini, cepat meloncat dan mengirim pukulan dari samping ke arah lambung nenek itu. Go-bi Thai-houw berusaha mengelak, namun kepalan tangan Biauw Eng masih masih menyerempet pinggulnya sehingga kuda-kudanya tergempur dan ia meloncat ke belakang sambil memasuki. "Aku tidak mengaku engkau sebagai murid, engkau musuhku!" "Terserah! Aku hanya berhutang budi setahun lamanya padamu, akan tetapi aku telah berhutang budi selamanya terhadap orang tuaku, terutama ibuku. Tak mungkin aku mendiamkan saja engkau memaki-maki orang tuaku, terutama ibuku!" Biauw Eng juga membentak arah dan kembali ia menyerang. Hampir saja lengannya dapat ditangkap oleh nenek yang lihai itu kalau saja Keng Hong tidak cepat menyambar tubuh Biauw Eng ke samping dan mengirim tendangan yang dapat ditangkis oleh Go-bi Thai-houw. Pada saat itu, Cong San dan Yan Cu juga maju membantu dan mengeroyok nenek itu. Dikeroyok empat orang muda yang memiliki ilmu silat tinggi, nenek itu kewalahan juga, memaki-maki dan menyeling tangis dan tawa. Menyaksikan kehebatan si nenek gila, Cong San dan Yan Cu mencabut pedang, juga Biauw Eng telah melolos sabuk suteranya, akan tetapi Keng Hong berseru, "Jangan pergunakan senjata!" Cong San dan Yan Cu segera menyimpan pedang mereka kembali, akan tetapi Biauw Eng memandang penasaran. "Kenapa, Keng Hong? Dia gila dan jahat!" "Justeru karena dia tidak waras pikirannya kita harus dapat memaafkannya Biauw Eng. Pula, sedikitnya dia adalah gurumu. Kau tidak boleh membunuhnya." Nenek itu mengamuk dengan hebat dan karena Keng Hong melarang teman-temannya membunuh, mereka berempat menjadi bulan-bulanan pukulan dan tendangan nenek itu sehingga berganti-ganti empat orang muda itu terpelanting dan terlempar. Pukulan-pukulan empat orang muda itu jika mengenai tubuh si nenek hanya membuat nenek itu bergoyang tubuhnya. Hanya pukulan Keng Hong yang membuat ia terhuyung dan hampir roboh. Kalau saja Keng Hong menggunakan seluruh tenaganya, agaknya dibantu tiga orang muda yang lihai itu tentu dia dapat memukul tewas lawannya. Namun pemuda yang bijaksana ini tidak menghendaki demikian. Untuk ke sekian kalinya, ketika nenek itu sibuk menangkis serangan Biauw Eng, Cong San dan Yan Cu, Keng Hong dapat menampar punggungnya dari belakang. Nenek itu menggeluarkan keluhan dan tubuhnya terpelanting, akan tetapi sambil bergulingan ia berhasil menyambar pinggang Yan Cu, terus mengempit tubuh dara ini dan mengayun tangan memukul ke arah ubun-ubun Yan Cu! "Celaka...!" Cong San berseru kaget dan dengan nekat dia menubruk nenek itu, menangkap tangannya dan menelikung ke belakang. Juga Biauw Eng sudah menubruk dan menarik tangan satunya yang mengempit pinggang Yan Cu, sedangkan Keng Hong maju pula menotok pundak untuk membuat nenek itu roboh lemas. Akan tetapi, betapa kaget hati Keng Hong ketika jari tangannya menotok jalan darah yang seolah-olah kering dan kaku seperti kawat baja! Nenek itu tertawa, tubuhnya bergoyang seperti seekor anjing mengeringkan bulu dan... tubuh Yan Cu , Cong San dan Biauw Eng terlempar dan terbanting keras ke kanan kiri! Tiga orang muda ini bergulingan dan meloncat bangun, tidak terluka akan tetapi amat kaget dan sedikitnya kulit tangan kaki mereka babak-bundas! Nenek itu mendengus-dengus, tertawa-tawa bercampur isak, dikurung seperti seekor anjing gila digoda empat orang anak nakal. Tiba-tiba terdengar suara halus namun nyaring berwibawa, "Hian Wi...!" Apa yang kaulakukan ini...??" Go-bi Thai-houw kelihatan terkejut sekali, wajahnya pucat, matanya terbelalak dan tubuhnya cepat membalik ke arah suara halus itu. Ketika ia melihat seorang nenek tua lain berdiri tak jauh dari situ dengan sikap agung dan angkuh memandangnya, Go-bi Thai-houw menjadi makin ketakutan, tubuhnya gemetar dan ia lalu menjatuhkan diri berlutut! "Ahhhhh... Nyonya... am... Ampunkan hamba.. hamba tidak apa-apa...!" Nenek yang berdiri dengan sikap angkuh dan agung Tung Sun Nio. Sejenak ia memandang nenek gila itu, kemudian berkata dengan suara dingin, "Hemmm... kalau begitu, pergilah, Hian Wi!" "Baik.. baik... Nyonya!" Nenek gila itu memberi hormat dengan berlutut, kemudian sekali tubuhnya bergerak, ia sudah mencelat dan lari turun dari puncak seperti dikejar setan! "Subo...!" Keng Hong dan Yan Cu lari menghampiri dan menjatuhkan diri berlutut di depan Tung Sun Nio yang masih menengok ke arah larinya Go-bi Thai-houw. *** "Subo, sungguh menakjubkan! Go-bi Thai-houw itu lihai bukan main, kepandaiannya seperti iblis, akan tetapi dia begitu takut kepada Subo. Mengapakah?" Yan Cu yang memang berwatak jenaka bertemu gurunya sudah bertanya dengan ramah. Agaknya pertemuannya dengan Go-bi Thai-houw itu menimbulkan kenang-kenangan yang amat mempengaruhi batin Tung Sun Nio sehingga sejenak ia seperti lupa akan segala urusan yang dihadapi, melainkan terbayang kembali semua pengalaman masa dahulu. Seperti orang mimpi ia menjawab pertanyaan Yan Cu. "Mengapa? Dia bernama Oh Hian Wi, semenjak kecil menjadi pelayan ibuku, bahkan setelah aku menikah dengan Sie Cun Hong, dia lalu ikut bersamaku, menjadi pelayanku. Biarpun pelayan, dia kami perlakukan dengan baik, malah diberi pelajaran ilmu silat sesuai dengan pelayan keluarga ahli silat. Akan tetapi... Nenek itu menarik napas panjang, "dia tergila-gila kepada suamiku, ketahuan olehku, merasa bersalah dan melarikan diri. Sungguh tidak nyana dia sekarang menjadi Go-bi Thai-houw yang gila, ilmu kepandaiannya jauh melebihi aku, akan tetapi rasa bersalah masih menggores hatinya maka dia ketakutan berjumpa denganku..." Keterangan ini membuat Keng Hong, Biauw Eng, Cong San dan Yan Cu tercengang. Pantas saja nenek gila itu lari seperti seekor anjing diancam penggebuk! Dan untung nenek itu lari karena sesungguhnya nenek itu memiliki ilmu kepandaian yang tidak lumrah manusia! Tung Sun Nio agaknya masih terharu dan perjumpaannya dengan bekas pelayan itu membuat ia termenung, tenggelam dalam lamunan sehingga keadaan menjadi sunyi sejenak. Tiba-tiba nenek itu sadar kembali dan kini pandang matanya ditujukan kepada Yan Cu dan Keng Hong, kemudian terdengar suaranya dingin dan keras, "Keng Hong! Yan Cu! Apa yang telah kalian lakukan? Mengapa kalian melarikan diri?" "Subo, teecu ingin mencari pengalaman, maka teecu mengajak suheng untuk pergi merantau," kata Yan Cu. "Maaf, Subo. Teeculah yang mengajak Suoi pergi untuk meluaskan pengalaman, teecu yang bersalah dalam hal ini." "Tidak, Subo, Suheng tidak bersalah, teecu yang bersalah dan kalau Subo hendak menjatuhkan hukuman, teecu siap menerimanya," bantah Yan Cu. "Sumoi tidak bersalah, teecu yang harus dihukum." Keng Hong tidak mau mengalah. Tung Sun Nio yang biasanya berwajah dingin dan ura itu tersenyum. "Bagus, agaknya sekarang kalian sudah saling membela dan saling melindungi. Itu artinya kalian saling mencinta! Anak-anak nakal, aku memaafkan kalian. Mari kita pulang dan akan kurayakan pernikahan kalian!" "Tidak...!" Teriakan ini terdengar hampir berbarengan dari mulut Keng Hong dan Yan Cu sehingga mengejutkan hati Tung Sun Nio. Nenek ini seketika kehilangan senyum dan seri wajahnya, memandang tajam penuh kemarahan. "Apa kalian bilang? Sekarang juga kalian harus ikut aku pulang dan menikah. Hayo jawab!" "Tidak, Subo!" Kembali kedua orang muda itu menjawab serempak dan wajah nenek itu menjadi merah. Cong San dan Biauw Eng hanya mendengarkan sambil menonton dengan hati tegang. "Keng Hong! Mengapa kau berani membangkang?" "Maaf, Subo. Teecu tidak mungkin dapat menikah dengan Yan Cu Suoi karena teecu mencinta gadis itu!" Keng Hong menunjuk ke arah Biauw Eng yang tiba-tiba menundukkan mukanya dengan wajah kemerahan. "Setan! Engkau mewarisi watak gurumu! Siapa gadis ini?" "Dia bernama Sie Biauw Eng dan dia... Dia... dia adalah puteri suhu sendiri." "Apa??" Mata nenek itu terbelalak memandang ke arah Biauw Eng. "Puteri ... Sie Cun Hong?" "Benar, Subo. Ibunya adalah mendiang Lam-hai Sin-ni. Teecu dan dia sudah saling mencinta semenjak dahulu, mengharapkan kebijaksanaan Subo." Wajah nenek yang masih cantik itu kerut-merut tanda bahwa hatiya terguncang. Kemudian ia menunduk, memandang Yan Cu membentak, "Dan engkau, Yan Cu?" "Teecu tidak dapat menikah dengan Suheng karena... karena... Dara itu tiba-tiba menjadi merah mukanya dan melirik ke arah Cong San, kemudian menggigit bibir seolah-olah hendak menambah ketabahannya dan berkata lantang, "Karena teecu mencinta pemuda lain..." "Siapa dia?" Bentak gurunya, tercengang mendengar semua ini. "Dia itulah...!" Yan Cu menuding ke arah Cong San dan pemuda ini memandang dengan wajah berseri penuh kebahagiaan. Baru sekarang Yan Cu menyatakan cinta kasih dengan kata-kata, bahkan pengakuan ini dilakukan di depan banyak orang! Hampir Cong San menari-nari kegirangan dan tiba-tiba sinar matahari makin gemilang baginya, dunia tampak seperti sorga! Seperti tadi, nenek itu memandang Cong San dengan sinar mata penuh selidik bercampur kemarahan. "Siapa pemuda ini?" "Dia bernama Yap Cong San, murid ketua Siauw-lim-pai. Kami sudah saling mencinta, Subo, maka hanya dengan dialah teecu mau menikah." Hening sejenak, keheningan yang mencekam hati empat orang muda penuh ketegangan. Tiba-tiba nenek itu membanting kakinya dan menjerit, "Tidak...!! Kalian tunduk kepadaku. Kalian harus pulang sekarang juga dan melangsungkan pernikahan!" "Teecu tidak mau, Subo!" Yan Cu berkata dengan isak tertahan. "Murid celaka!" Tung Sun Nio menggerakkan kakinya menendang. "Desss!" tubuh Yan Cu terlempar jauh dan bergulingan. "Moi-moi...!" Cong San menubruk dan memeluk gadis itu, membantunya bangun. "Subo, jangan...!" "Kau pun murid celaka!" Kakinya menendang lagi. Kalau Keng Hong menghendaki, tentu saja akan mudah baginya untuk mengelak atau menangkis, akan tetapi dia tidak berani melakukan perlawanan. "Desss!" Tubuhnya pun terlempar. "Keng Hong...!" Biauw Eng menubruknya. Dua pasang orang muda itu berpelukan dan memandang kepada nenek itu yang menjadi makin marah. "Keparat, kubunuh kalian kalau tidak mau menurut!" Bentaknya dan sekali ia sudah mendekati Keng Hong yang berpelukan dengan Biauw Eng, menendang lagi. Biauw Eng menggerakkan tangan menangkis, akan tetapi tangannya cepat dipegang Keng Hong yang membiarkan dirinya ditendang. "Desss!!" Kini tubuh Keng Hong dan Biauw Eng keduanya terpental dalam keadaan masih berangkulan dan bergulingan di atas rumput. Nenek yang sudah marah itu meloncat dan menendang Yan Cu dan Cong San yang juga terlempar dalam keadaan saling berpelukan. Sungguh sial empat orang muda itu. Baru saja mereka dihajar oleh Go-bi Thai-houw si nenek gila sampai babak bundas, kini dihajar oleh Tung Sun Nio sampai dua kali terguling-guling dan kulit mereka bertambah lecet-lecet! "Subo, pernikahan tak dapat dipaksakan!" Keng Hong berseru. "Apa artinya perjodohan tanpa cinta kasih? Apakah Subo hendak mengulang kembali peristiwa antara Subo dengan mendiang Suhu?" Nenek itu tiba-tiba berhenti dan tubuhnya seperti kaku mendengar seruan Keng Hong ini.Wajahnya menjadi makin merah dan matanya seperti mengeluarkan api yang akan membakar empat orang muda itu. Bibirnya menggigil dan sukar sekali ia mengeluarkan kata-kata, kemudian ia menjerit, "Apa...??" Tangannya meraba gagang pedang dan sinar maut membayangi pandang matanya! "Omitohud...!" Tepat sekali ucapan orang muda ini. Sun Nio, mengapa engkau belum insyaf?" Tiba-tiba terdengar suara yang halus. Nenek itu terpekik dan membalikkan tubuhnya. Sejenak ia berdiri terbelalak memandang hwesio tua yang berdiri di situ dengan wajah tenang dan sinar mata penuh kebijaksanaan. Nenek itu seolah-olah telah berubah menjadi arca, menatap hwesio itu dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. "Suhu...!" Cong San yang masih memeluk Yan Cu melepaskan gadis itu dan menjatuhkan diri berlutut di tempatnya memberi hormat kepada hwesio yang bukan lain adalah gurunya sendiri, Tiong Pek Hosiang ketua Siauw-lim-pai! Kalau Tung Sun Nio dapat tiba di puncak Tai-hang-san untuk mencari dan menyusul dua orang muridnya, adalah ketua Siauw-lim-pai ini yang merasa tidak tenteram hatinya ingin menghadiri pertemuan puncak menyusul murid-muridnya yang mewakilinya. "Tiong-koko...!" Nenek itu akhirnya menjerit, lari menghampiri hwesio itu dan berlutut di depannya, merangkul kedua kakinya dan menangis terisak-isak. "Tiong-koko... Puluhan tahun aku mencarimu... Betapa kejam hatimu meninggalkan aku. Siapa kira... Ketua Siauw-lim-pai adalah engkau... Hu-hu-huuuk... Kiranya engkau menjadi hwesio..." "Omitohud.. tenangkan hatimu, Sun Nio. Aku menjadi hwesio untuk menebus dosaku yang amat besar terhadap mendiang suamimu, Sie Cun Hong Taihiap. Dan untuk melupakanmu." Nenek itu menangis makin mengguguk di depan kaki Tiong Pek Hosiang, sedangkan empat orang muda itu memandang dengan melongo. Kembali mereka disuguhi pemandangan yang aneh dan tidak terduga-duga. *** "Kalian dengarlah penuturan pinceng, orang-orang muda, agar dapat kalian jadikan contoh. Memang tadi pinceng kagum mendengar bantahan orang muda murid Sin-jiu Kiam-ong dan memanglah, jodoh yang dipaksakan tanpa cinta kasih hanya akan mengakibatkan hal-hal yang tidak menyenangkan. Contohnya adalah Tung Sun Nio ini sendiri. Tanpa cinta kasih dijodohkan orang tuanya dengan Sie Cun Hong, padahal dia mencinta Ouw-yang Tiong, yaitu pinceng sendiri! Kalau saja Sie Cun Hong bersikap bijaksana dalam hubungan suami isteri, agaknya Sun Nio perlahan-lahan akan dapat melupakan pinceng. Akan tetapi sayang, Sie Cun Hong mempunyai watak romantis, suka berenang dalam lautan nafsu sehingga Sun Nio menderita batin dan makin condong hatinya terhadap pinceng! Malapetaka menimpa ketika pinceng yang memang sejak dahulu bersahabat dengan Sie-taihiap, mengunjungi mereka. Cinta kasih lama kambuh, getaran perasaan meluap sehingga Sun Nio dan pinceng lupa diri, menjadi hamba nafsu melakukan pelanggaran!” Hwesio tua itu menghela napas panjang. "Menyesal pun sudah kasep, pinceng melarikan diri dan tekun menjadi hwesio di Siauw-lim-si sehingga akhirnya terangkat menjadi ketua. Sungguh menyesal sekali bahwa rumah tangga Sie-taihiap menjadi berantakan, Sie-taihiap makin menggila dan Sun Nio.. Ah, sungguh kasihan dia...!" "Tiong-koko.. hu-huuuuukkkk...!" Nenek itu menangis tersedu-sedu dan hati empat orang muda yang mendengarkan penuturan ini menjadi terharu sekali. Bahkan Biauw Eng dan Yan Cu tak dapat menahan mengalirnya air matanya. Yan Cu terisak dan menubruk subonya, menangis berpelukan dengan gurunya yang bernasib malang menjadi korban cinta kasih. "Demikiankahlah, anak-anak. Cinta adalah perasaan yang suci dan gaib, kekuasaannya besar sekali mempengaruhi kehidupan manusia. Cinta yang murni membutuhkan kesadaran dan kebijaksaan karena memiliki cabang-cabang yang dapat membingungkan manusia dan kalau tidak hati-hati dapat dikotori nafsu berahi semata sehingga menyeret manusia menjadi hamba nafsu. Cinta bukan hanya meminta, melainkan lebih banyak memberi, tidak hanya menuntut disenangkan, melainkan terutama sekali harus menyenangkan orang dicintanya. Cinta suci telah diberikan oleh Thian kepada manusia, tengoklah sekelilingmu, sedemikian besar dan suci cinta kasih dari Thian Yang Maha Kasih, menciptakan alam dan memberikan seluruhnya kepada manusia tanpa menuntut sesuatu! Ingatlah akan cinta orang tua terhadap terhadap anaknya, terutama cinta seorang ibu kepada anaknya, hanya memberi, memberi dan memberi! Kalau cinta antara pria dan wanita, yang dibahayakan oleh nafsu yang menjadi cabangnya, mencontoh cinta kasih murni itu, memberi, menyenangkan, pinceng kira cinta kasih itu akan menjadi sumber kebahagiaan suami isteri." Yan Cu memandang kepada hwaseio itu dengan terharu dan wajah berseri. Kini dia telah mendapatkan cinta yang dicari-carinya, dalam diri... Cong San! "Sun Nio. Engkau telah banyak menderita karena cinta. Apakah engkau sekarang ingin melihat muridmu menderita pula seperti engkau karena cinta? Muridmu mencinta muridku Cong San. Nah, sekarang pinceng mempergunakan kesempatan ini untuk mengajukan pinangan atas diri muridmu yang menjadi jodoh muridku. Bukankah ini pemecahan yang amat baik, Sun Nio? Sewaktu kita berdua masih berada di ambang pintu kematian, sudah sama-sama tua, kita masih dapat melanjutkan ikatan di antara kita, menjadi besan! Muridmu menjadi isteri muridku, bukankah hal ini amat membahagiakan?" Nenek itu menyusut air matanya, lalu perlahan bangkit berdiri, masih merangkul Yan Cu. Ia menganggung-angguk, kemudian dengan suara serak bertanya, "Yan Cu, engkau kusayang seperti anakku sendiri. Benarkah engkau mencinta Cong San?" "Benar, Subo." "Baiklah, Tiong-koko.. Eh, bukankah sekarang namamu Tiong Pek Hosiang? Aku menerima pinanganmu, akan tetapi pernikahan harus dirayakan di tempatku." Tiba-tiba Keng Hong yang masih berlutut, "Subo, teecu sudah tidak mempunyai orang tua, tidak mempunyai wali. Subo sebagai isteri mendiang Suhu merupakan satu-satunya orang yang dapat teecu anggap sebagai wali. Sudikah Subo memberi ijin kepada teecu untuk berjodoh dengan Sie Biauw Eng?" Biauw Eng yang cerdik cepat pula berkata, "Locianpwe adalah isteri pertama dari ayahku, maka Locianpwe juga merupakan ibu tiriku, maka aku mohon doa restu Locianpwe." "Ha-ha-ha-ha-ha...!" Tiong Pek Hosiang tertawa. "Omitohud...!" Betapa besar berkah yang dilimpahkan oleh Thian kepada kita semua! Sun Nio, tidak dapatkah kau melihat betapa membahagiakan peristiwa ini? Cia Keng Hong adalah murid Sie Cun Hong, Sie Biauw Eng adalah puterinya dan anak tirimu. Gui Yan Cu adalah muridmu, dan Yap Cong San adalah murid pinceng. Dahulu, cinta segi tiga antara kita orang-orang tua menimbulkan derita, kini keturunan kita mengakhiri derita itu dengan penggabungan kembali keturunan kita bertiga, menjadi satu! Terima kasih kepada Thian yang memberi kebahagiaan ini kepada kita!" Tung Sun Nio tersenyum dan sinar terang membuat wajahnya yang dahulu selalu muram itu menjadi berseri. Ia mengangguk-angguk memandang Biauw Eng, bulu matanya basah dan air matanya mengalir turun ketika Biauw Eng bangkit dan memelukya sambil menangis. “Kita rayakan bersama! Bagus sekali, dua pasang pengantin kita rayakan pernikahannya secara besar-besaran!” kata Tiong Pek Hosiang. “Akan pinceng undang semua sahabat kang-ouw! Bukan pernikahan kecil-kecilan karena yang menikah adalah puteri Sie Cun Hong, murid Tung Sun Nio, dan murid Ouwyang Tiong. Ha-ha-ha-ha-ha! Marilah, Sun Nio, dan kalian anak-anak yang baik, mari kita turun dari puncak ini." Maka turunlah dua pasang orang muda dan sepasang kakek nenek itu dari puncak Tai-hang-san, meninggalkan gundukan-gundukan tanah yang dalam kebisuan mengajak manusia bahwa segala keributan yang dibuat manusia di dunia sewaktu masih hidup, sebenarnya hanya keributan kosong belaka karena kesemuanya itu akan berakhir dengan tiada dan sunyi tanpa bekas! Bahwa segala macam kesenangan, kedukaan dan permainan perasaan yang menguasai manusia sewaktu hidup, hanya seperti angin lalu yang mempermainkan daun-daun dan bunga-bunga pohon tiada "Kita rayakan bersama! Bagus sekali, dua pasang pengantin kita rayakan pernikahannya secara besar-besaran!" kata Tiong Pek Hosiang. "Akan pinceng undang semua sahabat kang-ouw! Bukan pernikahan kecil-kecilan karena yang menikah adalah puteri Sie Cun Hong, murid Tung Sun Nio, dan murid Ouwyang Tiong. Ha-ha-ha-ha-ha! Marilah, Sun Nio, dan kalian anak-anak yang baik, mari kita turun dari puncak ini." Maka turunlah dua pasang orang muda dan sepasang kakek nenek itu dari puncak Tai-hang-san, meninggalkan gundukan-gundukan tanah yang dalam kebisuan mengajak manusia bahwa segala keributan yang dibuat manusia di dunia sewaktu masih hidup, sebenarnya hanya keributan kosong belaka karena kesemuanya itu akan berakhir dengan tiada dan sunyi tanpa bekas! Bahwa segala macam kesenangan, kedukaan dan permainan perasaan yang menguasai manusia sewaktu hidup, hanya seperti angin lalu yang mempermainkan daun-daun dan bunga-bunga pohon tiada hentinya sampai berakhir dengan gugur dan rontoknya daun-daun dan bunga-bunga itu dari tangkainya. Keng Hong bergandeng tangan dengan Biauw Eng. Cong San bergandeng tangan dengan Yan Cu. Dua pasang orang muda ini berjalan di lereng belakang nenek dan kakek. Mereka tersenyum-senyum, kadang-kadang saling pandang dengan sinar mata berseri-seri penuh kebahagian hidup. Mereka bergembira, memang. Hasrat hati yang tercapai menimbulkan kegembiraan, bukan kebahagian. Kebahagian sejati tidak dapat di capai dengan jangkauan, hanya kesenangan yang dapat dicari dan didapatkan. Kebahagiaan sejati, tidak dapat dicapai dengan jangkauan, hanya kesenangan yang dapat dicari dan didapatkan. Kebahagiaan sejati sudah ada dalam diri setiap orang manusia. tenggela di dasar telaga hati, tergantung pada tali kesadaran. Kalau air telaga menjadi keruh karena getaran gelombang nafsu, maka takkan tampaklah dia. Hanya hati yang hening jernih saja yang akan membuat dia tampak melalui kesadaran. Kota kecil Sun-ke-bun terletak di tepi Sungai Fen-ho di sebelah selatan kota besar Tai-goan dan masih termasuk wilayah kaki Gunung Tai-hang-san. Pagi hari itu kota kecil Sun-ke-bun diselimuti kabut dingin yang bergerak perlahan turun dari arah lereng-lereng Gunung Tai-hang-san, akan tetapi Sungai Fen-ho sendiri mengepulkan kabut yang hangat. Perang saudara yang berkobar karena perebutan kekuasaan antara Raja muda Yung Lo dan keponakannya yang menjadi kaisar Kerajaan Beng telah padam. Perang selesai dengan kemenangan di fihak Raja Muda Yung Lo yang kemudian naik tahta Kerajaan Beng di tahun 1403. Setelah memindahkan pusat pemerintahan di Peking yang dijadikan ibu kota. Pemerintah yang baru ini masih sibuk membangun kerusakan-kerusakan akibat perang sehingga belum sempat mengatur daerah-daerah yang jauh dari ibu kota. Seperti lajin terjadi di dunia ini, kalau kedudukan pemerintah belum teratur, maka keamanan pun belum dapat terjamin penuh dan muncullan kekuasaan-kekuasaan liar sehingga terjadi hukum rimba. Siapa kuat dia menang dan berkuasa. Dalam keadaan sekacau itu, rakyat yang tinggal di dusun-dusun dan di kota-kota kecil yang jauh dari ibu kota, di cekam rasa ketakutan dan terpaksa tunduk kepada kekuasaan liar yang merajalela. Bajak, rampok dan golongan hitam (penjahat) berpesta-pora, melakukan segala macam perbuatan maksiat tanpa ada yang berani melarangnya. Bahkan para pembesar setempat yang masih belum tentu keadaannya dan kedudukannya berhubung dengan peralihan kekuasaan di pemerintah pusat, terpaksa lunak dan mengalah terhadap orang-prang golongan hitam. *** Kota Sun-ke-bun tidak terkecuali dari keadaan itu. Kota kecil ini seakan-akan dikuasai dan diperintah oleh para pembesar lemah bersama kaum hitam! Betapa pun juga, rakyat yang selalu tunduk akan keadaan karena terpaksa itu dapat menyesuaikan diri dengan keadaan kota itu tetap ramai dan seolah-olah di situ tidak terdapat penindasan dan kekacauan. Pagi hari itu toko-toko dan warung-warung makan belum buka, bahkan pintu-pintu rumah penduduk banyak yang belum buka karena mereka sibuk dengan pekerjaan di dalam dan di belakang rumah. Hawa amat dinginnya, membuat orang segan keluar rumah. Jalan-jalan rumah-rumah penduduk masih sunyi sekali. Orang-orang segan bermandi kabut dingin di luar rumah. Akan tetapi, sesosok bayangan orang yang hampir tak tampak ditelan kabut dingin, berjalan memasuki kota Sun-ke-bun dari pintu timur. Ia berjalan terseok-seok terhuyung-huyung dan keadaannya seperti orang kehabisan tenaga, kadang-kadang berhenti dan menyandarkan diri di luar dinding rumah orang untuk mengatur napas. Diselimuti kabut yang tebal, sukar menentukan siapa orang itu, laki-laki atau wanita, tua atau muda, hanya yang sudah pasti orang itu tentu dalam keadaan menderita kelelahan atau mungkin dalam keadaan sakit. Tiba-tiba kesunyian dipecahkan suara derap kaki kuda yang datang dari selatan. Serombongan orang berkuda lewat di jalan itu, akan tetapi mereka tidak melihat orang yang bersandar pada dinding rumah di pinggir jalan. Mereka terdiri dari tujuh orang laki-laki yang berpakaian seperti seperti orang-orang kang-ouw, dengan senjata di pinggang atau punggung. Sikap mereka kasar dan mereka kini menjalankan kuda perlahan sambil tertawa-tawa dan bercakap-cakap. "Setan! Malas-malas benar penduduk kota ini, seperti babi!" "Kalau kita bakar rumah-rumah mereka, hendak kulihat apakah mereka akan tetap berpelukan dengan isteri mereka di bawah selimut. Ha-ha-ha!" "Sialan! Semua masih tutup dan perutku sudah lapar sekali! Seekor lembu pun bisa habis kuganyang pada saat ini!" "Itu ada rumah makan. Gedor saja, paksa pemiliknya suruh buka melayani kita!" "Bagaimana kalau dia belum membeli daging?" "Ha-ha-ha! Koki restoran mesti gemuk, kita sembelih saja dia dan masak dagingnya!" Mereka tertawa-tawa dan menghentikan kuda di depan sebuah rumah makan "Arak Merah" yang masih tertutup daun pintunya, berloncatan turun, mengikatkan kendali kuda pada tempat yang disediakan untuk itu di luar, kemudian sambil tertawa-tawa mereka berteriak-teriak kasar dan parau sambil menggedor pintu rumah makan "Arak Merah". "Duk-duk-brukkk! Buka pintu, babi malas! Cepat... kalau tidak kuhancurkan pintu ini!" Dari dalam terdengar suara bakiak terdaruk-saruk dan terdengar suara orang tergesa-gesa, "Baik...baik...! Harap sabarlah...akan saya buka pintunya!" Tujuh orang laki-laki itu tertawa bergelak dan daun pintu terbuka lebar-lebar oleh seorang laki-laki setengah tua yang bertubuh gemuk sekali, pakaiannya masih tidak karuan, bercelana akan tetapi tidak berbaju sehingga daging dadanya yang bulat seperti buah dada wanita dan perutnya yang berlipat lima itu tampak. Munculnya pemilik restoran yang amat gemuk ini memancing ketawa tujuh orang tadi. "Ha-ha-ha-ha-ha! Benar-benar babi gemuk yang sudah sepatutnya disembelih!" "Tentu tebal gajihnya!" "Wah, Sam-can (potongan daging lemak kulit) yang lezat nih, apalagi kalau dipanggang setengah matang!" "Akan tetapi harus banyak jahe dan mericanya, kalau tidak... wah minta ampun bau keringatnya! Ha-ha-ha!" "Buntutnya untuk aku saja..." "Bodoh, makin besar babinya, makin kecil buntutnya,ha-ha-ha!" Pemilik restoran itu sudah terbiasa akan sikap kasar orang-orang seperti ini, maka dia tidak menjadi takut. Dia maklum bahwa orang-orang kang-ouw yang kasar ini tidak akan mengganggunya, hanya suka menggodanya, dan paling-paling mereka ini datang karena membutuhkan makan dan minum. Maka dia tertawa lebar, menyeringai seperti babi menguap dan berkata, "Wah, wah, tentu Chit-wi Taihiap (Ketujuh Pendekar Besar) hanya main-main saja. Babi gemuk yang tua seperti saya ini tentu alot dan nyinyir!" Seorang di antara ketujuh orang yang tertawa-tawa mendengar ini, yang jenggotnya dipotong pendek sehingga merupakan sikat kawat dan bermata bundar, melotot sambil membentak, "Kami boleh main-main, akan tetapi perut kami yang lapar dan golok kami yang haus darah tidak main-main. Lekas sediakan masakan yang paling lengkap, arak merah yang paling keras dan wangi. Kalau tidak ada kayu bakar, kami akan cabut daun pintu restoranmu untuk kayu bakar, kalau tidak ada air, darahmu pun boleh dibuat pengganti dan kalau tidak ada daging... hemmm..." Si brewok menusukkan telunjuknya perlahan ke perut pemilik restoran, "...biar alot, dagingmu pun boleh kau panggang untuk kami!" Pemilik restorang bergelak bersama mereka sambil mengangguk-angguk, "Ada, semua siap. Chit-wi tunggu sebentar, akan saya masakan sop buntut naga, kuah telinga harimau, dan panggang paha burung hong!" "Babi tua penipu! Nama masakanmu selalu sepeti dewa, siapa tidak tahu bahwa nagamu itu hanya ular sawah, harimaumu hanya kelinci dan burung hong itu hanya ayam! Hayo cepat, kami sudah lapar sekali, jangan-jangan kawan-kawanku tidak sabar lagi dan mengganyang dagingmu hidup-hidup! Ha-ha-ha!" Si pemilik restoran yang gendut itu berlari anjing ke dalam sambil berteriak-teriak nyaring, “Heh, kucing betina! Hayo cepat berpakaian dan masak air, panaskan arak. Tidur saja kerjanya!" Tujuh orang itu yang sudah melepaskan pedang dan golok di atas meja dan menyeret-nyeret kursi, tertawa. "Babi tua, kalau binimu itu sudah mogok tidur, engkau yang berkaok-kaok ketagihan, ha-ha-ha!" Tak lama kemudian muncullah isteri si pemilik restoran yang tubuhnya kurus sekali, berlawanan dengan suaminya, disusul pula oleh dua orang kacung pelayan restoran yang masih menggosok-gosok mata yang penuh tahi mata. "Kalian semua cuci muka dulu dan mencuci tangan bersih-bersih!" teriak si brewok yang agaknya menjadi pemimpin tujuh orang berkuda itu. Selagi si pemilik restoran dibantu isteri dan dua orang kacungnya sibuk di dapur untuk menyiapkan masakan dan arak, tujuh orang itu bercakap-cakap. Mereka duduk seenaknya di tempat yang masih kosong itu. Ada yang menaruh kedua kakinya di atas meja dan menyandarkan leher di sandaran kursi sambil melenggut karena lelah dan mengantuk, ada yang duduk metongkrong di atas meja. Si brewok mengeluarkan sebatang huncwe dan mulailah mengisap tembakau yang baunya memenuhi ruangan restoran yang cukup luas itu. "Twako, apakah kantung itu tidak perlu dibawa ke sini?" Seorang di antara mereka yang termuda, usianya tiga puluhan tahun, bertubuh tinggi tegap dan berwajah tampan, berbeda dengan enam orang kawannya yang lebih tua dan yang semua berwajah kasar buruk, bertanya kepada si brewok. Si brewok menghembuskan asap tembakaunya dan mendengus sambil membuang kerling keluar restoran di mana tampak kuda mereka tertambat. "Phuah Siapa berani mengganggu milik kita? Biar saja di sana. Siauw-ong tentu belum bangun sepagi ini, nanti dari sini kita langsung ke gedungnya dan menyerahkan hasil kita semalam." "Wah, sungguh menjemukan. Hanya perhiasan dan benda mati yang kita dapat! Tiga orang perempuan yang di kapal itu hanya nenek-nenek. Sialan! Biasanya tentu ada gadis-gadis cantik di kapal pesiar itu!" Berkata seorang yang dahinya codet bekas goresan senjata tajam. "Boan-te, mengapa mengomel? Setelah selesai menghadapi Siauw-ong, apa sukarnya mencari perempuan cantik di kota ini? Tentu banyak persediaan untuk kita, dan Siauw-ong tentu takkan melupakan jasa kita semalam. Ha-ha-ha!" kata seorang yang matanya juling. Tak lama kemudian pemilik restoran yang gendut dibantu isterinya yang kurus dan dua orang kacungnya keluar membawa hidangan yang masih mengepul panas dan mengeluarkan bau sedap, membuat tujuh orang yang kelaparan itu menitikkan air liur. Si mata juling dengan gerakan kurang ajar mencubit pinggul isteri pemilik restoran yang sudah setengah tua itu sambil berkata, "Eh, Gendut, isterimu begini kurus dan engkau begini gendut, bagaimana bisa? Ha-ha-ha!" Pemilik restoran itu tertawa bersama para penunggang kuda, sedangkan isterinya tersipu-sipu malu dan lari masuk. "Ha-ha-ha! Bodoh engkau!" kata si brewok. "Gendut dan kurus itulah yang cocok sekalli, betul tidak, Paman Gendut?" "Aaaaahhh, Taihiap bisa saja, ha-ha-ha!" Si pemilik restoran tertawa, akan tetapi di dalam hatinya dia menyumpah-nyumpah dan memaki orang-orang kurang ajar itu. Tujuh orang itu mulai menyerbu masakan dan si pemilik restoran bersama dua orang kacungnya mulai membereskan meja-meja lain, membersihkannya dan membuka semua pintu restoran. Sesosok tubuh orang yang tadi berjalan terhuyung-huyung telah tiba di depan restoran itu. Hidungnya kembang kempis mencium bau masakan sedap dan dia lalu memasuki rumah makan. Begitu orang ini muncul di pintu dan disambut oleh si pemilik restoran dengan pandang terbelalak, tujuh orang yang sedang makan itu menghentikan makan mereka dan semua menoleh ke arah pintu dengan pandang mata terbelalak dan sinar mata liar. Makin lama, sinar mata liar itu menjadi makin mengandung gairah. Mereka adalah sekumpulan laki-laki kasar dan orang yang muncul di pintu restoran itu memang benar-benar dapat membuat setiap mata pria terbelalak penuh gairah. Dia adalah seorang wanita berusia kurang tiga puluh tahun, cantik sekali, amat manis dan mempunyai daya tarik yang luar biasa karena sinar matanya yang penuh tantangan, bibirnya yang setengah terbuka, kemerahan dan seolah-olah mengajak pria yang memandangnya untuk mencumbu! Biarpun wajahnya di saat itu pucat dan menunjukkan tanda kelelahan dan penderitaan, biarpun rambutnya yang hitam halus dan panjang itu terurai lepas, namun kejelitaannya menonjol sekali. Apalagi ketika mata ketujuh orang laki-laki itu menjelajahi ke arah tubuh wanita ini, mereka diam-diam menelan ludah dan si juling menjadi makin juling berkumpul di dekat hidung karena dia mempergunakan semua tenaga matanya untuk menelan tubuh itu! Tubuh yang padat, montok denok dengan kulit yang putih kuning bersih tanpa cacat! Sungguh pun pakaian wanita ini agak kotor berdebu, bahkan di bagian pundaknya terobek dan ternoda banyak darah dari luka di pundaknya, namun bahkan menonjolkan keindahan bentuk tubuhnya, pinggang yang ramping, pinggul dan dada yang penuh membulat dan membusung! Wanita ini maklum akan pandang mata ketujuh orang laki-laki kasar itu, namun dia tidak peduli dan langsung berjalan dengan langkah perlahan ke arah meja di ujung kiri, hanya empat meter jauhnya dari meja kumpulan penunggang kuda itu. Pemilik rumah makan mengikutinya dengan pandang mata meragu, hatinya tidak nyaman karena selain wanita yang terluka ini kelihatannya sakit dan lemah serta belum tentu mempunyai uang, juga dari pandang mata ketujuh orang laki-laki itu dia dapat menduga bahwa tentu akan terjadi hal yang membuatnya tidak enak. *** Maka dia lalu menghampiri dan membungkuk di depan wanita itu sambil berkata diiringi senyum, "Maaf, Toanio. Toanio memerlukan apakah? Sebenarnya, restoran kami belum buka dan belum siap, maka jika Toanio menghendaki sesuatu lebih baik.." "Keluarkan arak hangat dan nasi serta masakan seadanya..." Wanita itu mengerling ke arah meja tujuh orang laki-laki lalu menyambung, "Seperti yang kau hidangkan kepada mereka itu!" Biarpun suara wanita ini merdu dan halus, namun mengandung tekanan mengancam dan nadanya keras serta terdengar dingin, membuat pemilik restoran itu menggigil. "Akan tetapi... kami..." "Brukkkkk!" Wanita itu menjatuhkan sebuah pundi-pundi di atas meja, membuka talinya dan mengambil sepotong perak yang besarnya cukup untuk membeli masakan tiga meja penuh! "Apa kau kira aku tidak akan membayar? Nih uangnya, sisanya untukmu!" Melihat sepotong perak besar itu, sepasang mata si gendut terbelalak berseri-seri. Cepat dia mengambil uang itu dan tersenyum-senyum sambil membongkok-bongkok, "Baik-baik... Toanio... tunggu sebentar, akan saya sediakan masakan paling lezat untuk Toanio." Tujuh orang laki-laki itu dengan terang-terangan memandang kepada wanita cantik ini dan mereka kagum bukan main. "Aduhhhhh... bukan main... putihnya!" Si juling berkata, tidak lirih dan memang dia sengaja bicara agar terdengar oleh wanita itu yang duduk sambil menundukkan mukanya, sikapnya tidak peduli sama sekali. "Bukan putihnya yang membuatku terpesona, halusnya kulit itu...! bukan main...!" kata seorang kawannya. "Dan harumnya tercium dari sini.. apalagi kalau dekat... waduhhh, mimpi apa kita semalam...?" kata si brewok yang biar pun tidak semata keranjang si codet atau si juling, namun sekali ini dia benar-benar tertarik dan timbul berahinya menyaksikan wanita luar biasa itu. "Amboiiiii.. bidadari dari mana gerangan yang muncul menghibur kita?" kata si codet, mengendus-endus dengan hidungnya seperti seekor anjing mencium tahi. Wanita itu tetap diam saja, bergerak pun tidak, melirik pun tidak. Ketika seorang kacung membawa arak hangat, cepat seperti orang kehausan ia menuangkan arak dalam cawan terus diminumnya sekali tenggak. Melihat ini, tujuh orang laki-laki kasar itu menjadi makin berani. Sikap minum arak seperti yang diperlihatkan wanita itu bukanlah sikap seorang nona simpanan, maka si juling segera berkata, "Minum arak sendirian mana enak? Kami siap menerima bidadari kesepian untuk bersama-sama minum dan makan sambil mengobrol!" Akan tetapi wanita itu tetap tidak peduli, malah sampai tiga kali ia menenggak habis cawan arak sekali teguk. Kemudian ia menarik napas panjang, agaknya merasa lega dan dirabanya pundak yang terluka dengan bibir agak terbuka seperti menahan rasa nyeri. "Ssttt, biarkan dia makan dulu," Si brewok berbisik kepada teman-temannya. "Dia kelihatan luka, lelah dan kelaparan, mana akan mampu melayani kita bertujuh? Kalau sudah makan kenyang tentu pulih kembali tenaganya..." Mendengar bisikan pimpinan mereka ini, mereka tertawa-tawa dan menyatakan setuju, bahkan keenam orang kasar itu mulai mengadu untung dengan jari tangan untuk menentukan siapa yang menang dulu berhak mendapatkan wanita itu setelah sang pemimpin yang tentu saja mempunyai hak pertama! Biar pun mereka itu bicara perlahan, namun karena sikap mereka, wanita yang luka itu mendengar dan mengetahui semua perbuatan mereka, namun ia sama sekali tidak memperlihatkan sikap mengacuhkan, malah ketika hidangan datang ia lalu mulai makan dengan lahapnya. Tujuh orang laki-laki yang sudah selesai lebih dahulu, kini semua memutar kursinya menghadap ke arah si wanita sambil memandang dengan sikap terbuka, terang-terangan menjadikan wanita itu seperti tontonan sampai wanita itu selesai menghabiskan hidangannya dan menenggak arak lagi. "Tanpa dipameri emas pun dia tentu mau melayani kita," kata si codet. Si brewok tertawa, mengangguk dan mulai melangkah ke arah meja wanita itu diikuti enam orang kawannya. Tiba-tiba wanita itu mengangkat muka memandang mereka. Si brewok tiba-tiba berhenti melangkah. Baru sekali ini wanita itu langsung memandang mereka dan melihat sinar mata yang berkilat seperti halilintar menyambar itu, si brewok kaget sekali. "Inikah yang kalian cari-cari?" Wanita ini berkata lirih namun jelas terdengar dan biar pun suaranya merdu, penuh dengan ejekan. Tangannya bergerak merobek pundi-pundi uang di atas mejanya dan berhamburan potongan perak dan emas di atas meja itu karena kantung itu telah pecah terobek. Tujuh orang itu memandang dengan mata terbelalak ke arah potongan perak dan emas yang berserakan itu. Kiranya wanita itu yang mencopet kantung uang mereka dari atas kuda! Bukan main marahnya hati ketujuh orang itu. Mereka adalah pimpinan bajak Sungai Fen-ho dan tidak ada orang yang berani main gila terhadap mereka. Kini, kantung berisi emas dan perak itu dicuri seenaknya oleh seorang wanita terluka, diambilnya dari depan hidung mereka begitu saja! Adapun si pemilik restoran, isterinya dan dua orang kacung mereka, begitu mendengar disebutnya nama Fen-ho Chit-kwi, telah menggigil ketakutan dan cepat-cepat keluar dari dalam restoran mereka karena maklum bahwa tentu akan terjadi huru-hara di restoran mereka itu! Mereka hanya menonton dari luar melalui pintu dengan muka pucat dan tubuh gemetar. "Perempuan rendah! Berani engkau main gila dengan Fen-ho Chit-kwi? Untung engkau cantik molek, kalau tidak tentu kubunuh sekarang juga. Akan tetapi kami akan mempermainkan tubuh sampai engkau mampus!" bentak si brewok dan mereka bertujuh sudah melangkah maju dengan sikap penuh ancaman. Tiba-tiba wanita itu tertawa. Suara ketawanya merdu akan tetapi nyaring melengking seperti suara ketawa kuntilanak dari dalam kuburan, membuat tujuh orang itu kembali menghentikan langkah dan bulu tengkuk mereka meremang, terasa dingin. "Kalian hendak mengambil kembali emas dan perak ini? Nah, terimalah!' Tangan kiri wanita itu meraih ke atas meja, gerakannya cepat sekali dan begitu tangannya bergerak, tampak sinar putih dan kuning berkelebatan dibarengi suara bercuitan. Potongan-potongan emas dan perak tadi telah menyambar ke arah tujuh orang itu seperti peluru-peluru dengan kecepatan mengejutkan dan mengarah bagian-bagian tubuh yang mematikan! "Aihhh...!" "Hiaaattt...!" "Hayaaa...!" Tujuh orang Fen-ho Chit-kwi bukan orang sembarangan. Ilmu silat mereka tinggi, bahkan mereka adalah orang-orang yang ahli dalam penggunaan senjata rahasia. Akan tetapi kini menyaksikan perak dan emas beterbangan meyambar mereka sedemikian cepatnya, benar-benar membuat mereka terkejut bukan main. Hanya dengan membuang diri, berloncatan ke kanan kiri dan atas, ketujuh orang itu dapat menghindarkan diri dari ancaman maut. "Cet-cet-cettt...!" Semua perak dan emas itu menyambar lewat dan menancap masuk ke dalam dinding restoran sampai tidak kelihatan lagi, hanya kelihatan tembok tebal itu berlubang-lubang! Wanita itu masih duduk dan sambil menenggak arak dari cawannya, ia menaruhkan tangan kanan yang terluka pundaknya di atas meja. Kemudian ia mengangguk-engguk dan berkata lirih, "Kalian lumayan juga, dapat mengelak dan masih hidup. Biarlah kumaafkan." Melihat sikap wanita cantik itu, si brewok menjadi marah bukan main. Ketika mengelak tadi, kedua tangannya dapat menangkap dua potong perak yang menyambar, kini dia meremas dua potong perak itu di tangannya sehingga menjadi hancur! *** Ia membuka kedua tangan, memperlihatkan hancuran perak kepada wanita itu sambil membentak, "Perempuan sombong! Kalau belum menghancurkan tubuhmu seperti ini, aku belum mau sudah!" Perempuan itu menghela napas panjang dan tersenyum. Senyumnya manis sekali, senyum penuh memikat yang dapat meruntuhkan hati setiap orang pria. "Begitukah? Kalau begitu berarti kalian minta mati sendiri." "Perempuan sombong!" Teriakan ini terdengar dari semua mulut ketujuh orang itu. Mereka adalah Fen-ho Chit-kwi dan selamanya belum pernah dipandang rendah orang, apalagi hanya oleh seorang wanita terluka seperti ini! Bahkan Mo-kiam siauw-ong (Raja Muda Pedang Iblis) yang menjadi "datuk" kaum hitam di daerah Fen-ho dan yang bertempat tinggal di kota Sun-ke-bun, sudah menaruh kepercayaan kepada mereka untuk menguasai Sungai Fen-ho dan mengirimkan semua hasil kepada datuk itu untuk kemudian mereka mendapat bagian. Mo-kiam Siauw-ong sendiri tidak memandang rendah kepada mereka, akan tetapi kini perempuan ini sama sekali tidak memandang mereka sebagai jagoan-jagoan yang jarang tandingnya! "Cuat! Cuat! Sing! Sing!" Tampak sinar golok dan pedang berkelebat ketika tujuh orang itu menyambar senjata mereka dari atas meja dan mencabutnya. Mereka tertegun menyaksikan betapa wanita itu sama sekali tidak mengacuhkan, bahkan melihat mereka mencabut senjata, wanita itu kini malah menuangkan lagi arak ke dalam cawannya sambil tersenyum-senyum, dan minum arak itu tanpa melirik ke arah mereka! Kesombongan yang melewati takaran ini tak dapat mereka tahan lagi. Tadinya mereka memang timbul gairah dan berahi menyaksikan wanita yang berwajah cantik manis dan bertubuh denok itu, akan tetapi kini kemarahan mengalahkan berahi mereka dan nafsu satu-satunya yang berkobar di dalam dada mereka hanyalah mencincang hancur tubuh wanita itu! "Hiaaaaattt!" Tujuh orang itu menerjang berbareng dengan teriakan dahsyat, pedang dan golok menyambar dari tujuh jurusan ke arah tubuh si wanita yang sedang minum arak. "Crok-crok-krak-kerakkk!" Kursi yang tadinya diduduki wanita itu hancur berkeping-keping, bahkan mejanya terbang diterjang tujuh orang yang marah itu. Akan tetapi mereka terbelalak kaget karena si wanita itu sendiri lenyap dari atas kursi, hanya tampak bayangannya berkelebat ke atas dengan kecepatan yang mentakjubkan. "Hi-hi-hik!" Mendengar suara ketawa terkekeh itu ketujuh orang yang kehilangan lawan mengangkat muka memandang dan ternyata wanita itu telah berada di langit-langit sambil tetap minum araknya! Tiba-tiba wanita itu menyemburkan arak dari mulutnya ke bawah. Tujuh orang Fen-ho Chit-kwi cepat mengelak akan tetapi tetap saja tubuh mereka terkena percikan arak yang rasanya seperti jarum-jarum menusuk. Mereka memekik kaget dan makin marah, biar pun maklum bahwa wanita cantik itu memiliki kepandaian yang hebat, mereka tidak menjadi jerih malah dengan serentak tubuh mereka melayang ke atas didahului senjata mereka yang semua menusuk ke arah tubuh yang menempel di langit-langit ruangan itu. "Cep-cep-cep-ceppp!" Tujuh batang senjata runcing itu menancap pada langit-langit. "Celaka..!" Si brewok berseru akan tetapi seruannya disusul jerit mengerikan dan tubuhnya roboh ke bawah, disusul jerit kawan-kawannya dan berjatuhanlah enam tubuh di antara mereka dalam keadaan tak bernyawa lagi karena punggung mereka kena tampar tangan kiri wanita itu yang berloncatan seperti gerakan seekor burung terbang. Hanya seorang di antara mereka yang dapat meloncat turun dan tidak terpukul, yaitu laki-laki berwajah tampan. Dia meloncat turun setelah mencabut pedangnya yang menancap di langit-langit, matanya terbelalak memandang mayat keenam orang kawannya yang telah tewas, kemudian memandang kepada wanita yang telah berdiri di depannya dan memandangnya sambil tersenyum-senyum. "Perempuan siluman!" Si wajah tampan berseru marah dan menerjang dengan tusukan pedang ke arah tenggorokan wanita itu. Namun sambil tersenyum-senyum wanita ini menggerakkan tangan kirinya dan tahu-tahu kedua jari kiri, telunjuk dan jari tengah, telah menjepit ujung pedang. Laki-laki tapan itu kaget sekali, berusaha mencabut pedangnya, namun sedikit pun tidak bergeming! Sampai terbelalak dia saking kagetnya menyaksikan kelihaian yang selama hidupnya belum pernah dilihatnya ini. "Hi-hi-hik, tampan, apa kaukira engkau masih dapat hidup sampai saat ini, kalau tadi aku menghendaki kau mampus bersama kawan-kawanmu? Aku kesepian, terluka, aku perlu kawan yang baik dan mesra. Hemmm, kalau kau ingin mati apa sukarnya bagiku?" Berkata demikian, wanita itu mengerahkan tenaganya dan..."krakkk!" pedang itu patah! Sebelum laki-laki itu lenyap kagetnya tahu-tahu tangan kiri wanita itu telah menyambar ke depan, ke arah dadanya. Laki-laki itu mengeluh dan maklum bahwa dia tentu akan mati, maka dia sudah menyerah untuk mati menyusul keenam orang kawannya. Akan tetapi tangan kiri yang berjari kecil meruncing dan halus itu tidak memukulnya, melainkan mencengkeram bajunya dan sekali tarik... "brettttt!" baju laki-laki itu terobek dan terlepas dari tubuhnya berikut baju dalam sehingga tubuh atasnya telanjang sama sekali! Wanita itu membuang baju tadi, kini tangannya meraba-raba dan mengelus-elus dada laki-laki yang bidang dan berotot itu, dada yang penuh kejantanan dan pandang mata wanita itu berseri, mulutnya yang main tersenyum dan berkata lirih, "Hemmm... engkau mengairahkan... engkau temani aku hari ini dan kau bantu merawat lukaku, Tampan!" Laki-laki yang tadinya sudah yakin akan kematiannya itu, terbelalak. "Aku... aku tidak bisa mengobati.." "Hi-hi-hik, bodohnya! Hanya mencuci dan menaruh obat lalu membalut dan hemmm, mengusir kesepian yang mencekam hatiku. Aku mempunyai obatnya. Lihat lukaku ini, apakah engkau tidak kasihan melihat seorang wanita terluka seperti ini?" Berkata demikian, wanita itu menggunakan tangan kirinya merenggut pakaiannnya sendiri bagian pundak kanan yang bernoda darah. "Bretttttt!" Robeklah pakaian di bagian pundak kanan, robek lebar bukan hanya membuka pakaian luar dalam memperlihatkan pundak yang terluka lebar, akan tetapi juga memperlihatkan sebagian besar buah dada kirinya yang membusung penuh! Laki-laki tampan itu melongo, menatap bagian yang menarik itu dan menelan ludah! "Hi-hi-hik! Bagaimana, kau memilih mati atau menjadi teman baikku?" Laki-laki itu mengangguk-angguk. "Engkau lihai dan cantik, aku lebih suka menemanimu." Tangan itu menyambar ke depan dan mengelus dagu laki-laki itu. "Tampan, kau pondonglah aku, bawa ke kamar dalam restoran ini, lukaku perlu dirawat." Laki-laki itu kini sudah tunduk benar, karena dia maklum bahwa wanita yang cantik jelita ini benar-benar memiliki ilmu kepandaian yang amat luar biasa dan dia tahu bahwa selain lihai, wanita ini pun kejam bukan main dan juga agaknya gila laki-laki. Kalau kini dia berkenan di hati wanita itu, hemmm, bukan hal yang merugikan. Maka dia lalu memondong tubuh itu yang terasa ringan sekali, ringan hangat dan tercium olehnya bau harum yang amat aneh, harum yang memabukkan dan sekaligus membakar hati jantannya, membuat jantungnya berdebar tidak karuan dan seluruh tubuhnya menjadi panas. "Heh, babi gendut!" Wanita yang dipondong dan merangkul leher laki-laki itu dengan sikap manja dan mesra, berseru kepada si pemilik restoran yang masih berdiri di luar pintu dengan wajah pucat. Diam-diam dia tadi telah menyuruh seorang kacungnya pergi berlari untuk melaporkan peristiwa itu kepada Siauw-ong karena dari percakapan tadi dia dapat menduga bahwa tujuh orang yang amat terkenal sebagai pimpinan bajak Sungai Fen-ho itu tentulah anak buah atau sekutu Siauw-ong. Kini mendengar panggilan si wanita yang lihai seperti iblis itu, dengan tubuh menggigil dia terpaksa memasuki restoran, hati-hati malangkah menghindari enam buah mayat yang bergelimpangan di dalam restorannya. "Toanio hendak memerintah apakah ?" tanyanya dengan suara gemetar. "Malam ini sewa kamarku, dan jangan ganggu kami. Sekarang, lempar enam ekor anjing itu keluar, kemudian suruh orangmu memasakkan air sepanci untuk mencuci lukaku. Cepat Emas dan Perak memenuhi dindingmu boleh kau ambil kalau kau mentaati kalau tidak, perutmu yang gendut itu akan kurobek dan kukeluarkan isi perutmu!" Dengan seluruh tubuh menggigil si gendut ini menganggu-angguk, kerongkongannya sampai terasa kering saking takutnya sehingga dia tidak dapat mengeluarkan jawaban. Wanita itu tersenyum, kemudian mendekatkan mukanya, mencium mulut laki-laki tampan yang memondongnya dengan mesra dan tanpa malu-malu sehingga laki-laki itu menjadi merah mukanya dan seperti diayun di sorga ke tujuh. "Tampan, lekas bawa aku ke kamar.." Bisik wanita itu. Setelah laki-laki tampan yang memondong wanita itu menghilang ke dalam kamar pemilik restoran, barulah si pemilik restoran, barulah si pemilik restoran dapat bergerak lagi. Dia cepat berlari keluar, menyeret isterinya, kacungnya dan beberapa orang tetangganya untuk menyingkirkan enam buah mayat dan dia sendiri cepat-cepat memasak air di dapur dengan tubuh masih menggigil dan kadang-kadang matanya melirik ke arah kamarnya dari mana dia mendengar suara ketawa terkekeh wanita itu. *** Dengan hati kebat-kebit pemilik restoran yang gendut itu membawa air yang sudah mendidik ke dalam kamar. "Ini airnya, Toanio.." katanya tanpa berani mengangkat muka. "Letakkan di atas meja, kemudian engkau siapkan arak guci dan masakan-masakan yang paling lezat, antarkan ke kamar ini, kemudian jangan ada yang berani memasuki kamar ini. Mengerti?' Si gendut mengangkat muka dan dia melihat betapa wanita yang mengerikan hatinya itu duduk di atas tempat tidurnya, membelai-belai dan menciumi laki-laki tampan yang dipangku oleh wanita itu. "Baik, Toanio." Ia tergesa-gesa keluar dari kamar dan di dalam hatinya dia terheran-heran. Bukan main, gerutunya dalam hati. Seorang wanita yang demikian lihai dan kejam membunuh orang seperti membunuh ayam saja, dan... dalam bercumbu, malah memangku seorang pria! Celaka, tentu dia itu sebangsa siluman! Sering dia mendengar dongeng dan membaca cerita bahwa ada siluman rase yang menjelma menjadi manusia, menjadi seorang wanita cantik. Kalau bukan siluman rase tentu siluman ular dan laki-laki yang tampan itu tentu akan disedot habis darah dan sum-sumnya! Mengerikan! Besok pagi-pagi tentu dia akan mendapatkan laki-laki itu sudah menjadi mayat yang kering di atas pembaringan! Celaka! Siapa mau berbelanja di restorannya lagi? Dia bakal bangkrut! Akan tetapi.. Emas dan perak yang tertanam di dinding restorannya itu banyak sekali. Dia akan mengambil harta itu dan mengajak isterinya pindah, pindah kota. Kurang lebih satu jam kemudian, terdengar suara hiruk-pikuk di depan restoran dan tampak lima orang lebih berkerumun di depan restoran di pimpin oleh seorang laki-laki berusia lima puluhan tahun yang berpakaian mewah, dibantu oleh lima orang yang agaknya menjadi pembantu-pebantu utamanya. Si gendut cepat keluar dan serta merta menjatuhkan diri berlutut di depan laki-laki berpakaian mewah itu. "Ong-ya... tolonglah saya.. Harap Ong-ya suka bekuk siluman rase itu..." Laki-laki itulah yang berjuluk Mo-kiam Siauw-ong. Dia adalah seorang tokoh kang-oow yang berilmu tinggi dan di daerah lembah Sungai Fen-ho, dia terkenal sebagai datuk golongan hitam yang dianggap seperti "raja" oleh kaum petualang dan penjahat. Setelah dia menjadi sekutu para pembesar di kota Sun-ke-bun, dia hidup makmur dan biar pun semua urusan pemerintahan dijalankan oleh para pembesar daerah, namun sesungguhnya dialah yang berkuasa karena para pebesar tunduk kepadanya. Apa lagi ketika Mo-kiam Siauw-ong yang hidup sebatangkara dan tidak beristeri itu oleh pembesar setempat diambil mantu sebagai taktiknya, untuk mengambil hati orang pandai ini, kedudukan Mo-kiam makin menanjak. Dia menikah dengan puteri kepala daerah yang baru berusia delapan belas tahun hidup mewah dan terhormat, akan tetapi sebagai imbalan kebaikan sang kepala daerah, Mo-kiam Siauw-ong yang menjamin kekuasaan sang mertua, bahkan karena datuk golongan hitam ini selalu menerima semacam upeti dari perampok dan bajak sungai, sebentar saja dia menjadi kaya raya, bahkan sang mertua juga ikut ambil bagian! Dengan adanya Mo-kiam Siauw-ong sebagai mantu, kedudukan kepala daerah menjadi makin kuat sehingga dia tidak khawatir lagi kalau-kalau kedudukannya akan ada yang berani menggulingkan dalam masa peralihan pemerintahan itu. Mo-kiam Siauw-ong memang bukan orang sembarangan. Dia adalah murid dari tiga orang datuk hitam yang amat terkenal dengan julukan Thian-te Sam-lo-mo (Tiga Iblis Tua Bumi Langit) yang pernah menggegerkan dunia kang-ouw. Mereka itu berjuluk Kai-ong Lo-mo, Bun-ong Lo-mo dan Thian-te Lo-mo, tiga orang yang berilmu tinggi sekali. Ketika Thian-te Sam-lo-mo ini akhirnya tewas di dalam tangan pendekar sakti Cia Keng Hong, kepandaian mereka diwarisi oleh Mo-kiam Siauw-ouw inilah. Dapat dibayangkan betapa marah Mo-kiam Siauw-ong ketika dia mendengar kacung restoran tentang tewasnya Fen-ho Chit-kwi yang dia tahu tentu datang untuk menyerahkan hasil pembajakan. Fen-ho Chit-kwi merupakan anak buahnya yang paling kuat dan boleh diandalkan. Kini mendengar bahwa mereka itu roboh di tangan seorang wanita cantik, dia menjadi penasaran dan marah sekali. Namun, di samping kepandaiannya yang tinggi dan yang membuatnya jumawa, Mo-kiam Siauw-ong adalah seorang yang cerdik dan hati-hati. Oleh karena itu, dia tidak sembrono turun tangan seorang diri menurutkan kemarahannya, melainkan minta kepada ayah mertuanya untuk membawa sepasukan penjaga kota untuk menangkap penjahat yang mengacau kota Sun-ke-bun! Dengan bantuan lima puluh orang pasukan, apa sukarnya menangkap seorang wanita? Dia mendengar wanita itu cantik sekali, maka sudah dia bayangkan betapa akan senangnya menangkap wanita itu hidup-hidup dan sebelum membunuhnya, akan mempermainkan lebih dulu sepuasnya. Dengan demikian, baru impaslah kematian Fen-ho Chit-kwi yang merupakan sebuah pukulan dan kerugian baginya. Penduduk banyak yang datang melihat dari jauh. Restoran itu sudah ditinggalkan pemiliknya, dan di dalam restoran yang kelihatan kosong itu kini tinggallah si wanita bersama laki-laki tampan, seorang di antara Fen-ho Chit-kwi yang menjadi "tawanannya"! "Siluman betina! Keluarlah menghadap Mo-kiam Siauw-ong!" Tiga kali Mo-kiam Siauw-ong berteriak dari pintu restoran, menantang wanita yang sedang dibalut lukanya oleh tawanannya. "Celaka.. Dia.. dia datang...." Laki-laki tampan yang selesai membalut pundak yang sudah diobati itu berkata dengan muka pucat. "Ihhh... takutkah engkau, Tampan?" Wanita ini merangkul dan menciumi pipinya. Akan tetapi, laki-laki itu kini tidak membalas ciumannya seperti tadi, bahkan tidak tampak lagi gairahnya. "Dia.. Dia berbahaya sekali, amat lihai.., celakalah kita.." Wanita itu mengerutkan alisnya yang hitam kecil dan melengkung panjang lalu menghentikan belaiannya. "Siapakah dia?" "Dia... Mo-kiam Siauw-ong, kiam-hoatnya (ilmu pedangnya) luar biasa lihainya.. dan tentu membawa pasukan yang banyak jumlahnya." "Hi-hi-hik! Tikus-tikus busuk macam itu perlu apa ditakuti? Jangan hiraukan mereka, kita mempunyai urusan yang lebih penting, hi-hi-hik! Ayolah!" Wanita itu merangkul lagi dan membawa muka laki-laki itu ke dadanya. Akan tetapi, tubuh atas yang tak berpakaian itu, yang tadi membuat pria itu bergelora darahnya oleh gairah dan nafsu berahi, kini agaknya tidak menarik lagi, tertutup oleh rasa takutnya. Melihat betapa laki-laki itu sama sekali tidak terangsang, wanita itu menghentikan usaha menggumulinya, bangkit duduk, menggelung rambutnya dan wajahnya keruh. "Apa kau lebih senang kubunuh?" Laki-laki itu menggigil dan berusaha memeluk wanita itu, berusaha membangkitkan lagi gairahnya, akan tetapi sia-sia dan akhirnya dia terisak seperti orang akan menangkis, "Maafkan aku... aku... takut sekali.." "Pengecut!" Pada saat itu, Mo-kiam Siauw-ong yang sudah tak sabar lagi, menggapai dan menyuruh sepuluh orang anggauta pasukan menyerbu ke dalam. Sepuluh orang itu mencabut golok lalu memasuki restoran, kemudian mereka menyerbu kamar karena sudah mendapat keterangan dari si gendut pemilik restoran bahwa "siluman rase" itu berada dalam kamar bersama laki-laki tampan seorang di antara Fen-ho Chit-kwi. Ketika laki-laki tampan melihat sepuluh orang anggauta pasukan menyerbu, dia tidak berani bergerak karena maklum bahwa mereka adalah anak buah Mo-kiam Siauw-ong yang amat ditakutinya. Akan tetapi, dia melihat wanita itu menggerakkan tangan kiri. Tampaklah sinar merah berkelebat dan terdengar jerit-jerit mengerikan disusul robohnya sepuluh orang itu bertumpang tindih di pintu kamar. Tepat di dahi mereka, di antara kedua mata, ditembusi jarum merah yang dilepas oleh wanita itu! "Hi-hi-hik! Engkau masih takut? Lempar-lemparkan bangkai mereka keluar!" Wanita itu terkekeh. Bukan main kagetnya hati laki-laki tampan menyaksikan kelihaian si wanita melepas jarum merah yang dia tahu merupakan jarum-jarum beracun yang amat lihai. Ia bergidik. Belum pernah selama hidupnya dia melihat orang dapat melepas jarum setepat itu, sekali gerak merobohkan sepuluh orang dan semua jarum tepat mengenai dahi di antara kedua mata! Hatinya menjadi besar. Berteman dengan seorang wanita secantik dan selihai ini, agaknya memang tidak perlu lagi takut terhadap Mo-kiam Siauw-ong! Ia melangkah maju dan kedua tangannya yang kuat sekaligus menyeret empat orang yang sudah menjadi mayat, kemudian dia melemparkan mereka itu keluar. Tiga kali dia melemparkan sepuluh buah mayat itu melayang keluar rumah makan! Kemudian dia embalik dan matanya terbelalak melihat bahwa wanita itu telah membuka semua pakaiannya dan mengembangkan kedua lengan yang berkulit putih halus. Ia mengeluarkan suara seperti gerengan harimau, lalu menubruk maju disambut oleh wanita itu yang tertawa cekikikan. Dapat dibayangkan betapa kaget dan ngeri hati mereka yang melihat sepuluh buah mayat orang melayang keluar. Mo-kiam Siauw-ong cepat menghampiri dan mengerutkan alisnya ketika melihat luka di dahi para anak buahnya, luka merah sekali dan masih tampak ujung merah yang menancap sampai hampir tidak kelihatan lagi. "Ong-ya, biar saya membawa semua pasukan menyerbu ke dalam!" Seorang pembantunya mengajukan usul. Marah melihat betapa anak buahnya tewas sedemikian mudahnya. Akan tetapi Mo-kiam Siauw-ong mengenal bekas tangan orang pandai dan mengangkat tangan kiri mencegah. *** "Pergunakan api, bakar restoran ini agar siluman itu terpaksa keluar!" Si gendut pemilik restoran sampai jatuh berlutut hampir pingsan ketika dia melihat betapa restorannya dikelilingi pasukan yang membawa minyak, kemudian dia benar-benar roboh pingsan dirangkul isterinya ketika restorannya mulai terbakar. Para penduduk yang menyaksikan menjadi makin tegang dan ngeri, diam-dia mereka sudah bersiap-siap untuk mengangkat langkah seribu kalau siluman rase yang muncul itu mengamuk! "Restoran terbakar...!" Laki-laki tampan itu bangkit duduk dan terbelalak memandang asap yang memasuki kamar. "Sialan!" Si wanita menyumpah. "Tikus-tikus itu ingin mampus semua!" Dengan tenang namun jelas memperlihatkan wajah kecewa karena merasa kesenangannya terganggu, ia mengenakan pakaiannya lagi yang didahului oleh si laki-laki yang kembali menjadi ketakutan. "Hayo ikuti aku keluar!" Mengandalkan kepandaian wanita itu, laki-laki ini terpaksa mengikutinya keluar dengan hati berdebar-debar tegang. Kini dia harus berhadapan dengan datuk golongan hitam yang ditakutinya itu sebagai lawan! Betapapun juga, dia tidak dapat mundur karena lawan wanita ini berarti mati, kalau bersekutu dengannya masih ada harapan si wanita lihai ini akan menyelamatkannya dan di masa depan tampak harapan yang amat menyenangkan menjadi sahabat dan terutama kekasihnya! Namun dia bersikap cerdik, tidak mau memperlihatkan sikap bermusuh kepada Mo-kiam Siauw-ong dan akan melihat gelagat dahulu. Kalau wanita ini tewas di tangan Mo-kiam Siauw-ong, dia masih dapat menggunakan alasan bahwa dia dipaksa dan tidak berdaya menjadi tawanan si wanita lihai! Maka dia mengikuti wanita itu dari belakang, menuju ke pintu rumah makan yang sudah terbakar. "Jangan bergerak, aku akan membawamu keluar melalui api!" Wanita itu berkata dan tiba-tiba laki-laki itu merasa pinggangnya dipeluk dan tubuhnya melayang keluar. Ia makin kagum dan terheran-heran. Manusia ataukah iblis wanita ini? Kepandaiannya benar-benar luar biasa sekali. Bagaimana orang selihai ini sampai terluka pundaknya? Ia hanya merasa panas sedikit ketika tubuhnya meluncur cepat menerjang api di luar restoran, berdiri di samping wanita itu yang tersenyum-senyum memandang Mo-kiam Siauw-ong dan anak buahnya yang sudah siap mengepungnya. Mo-kiam Siauw-ong tercengang. Tak disangkanya bahwa orang yang amat lihai itu hanyalah seorang muda yang amat cantik, melebihi isterinya sendiri cantiknya dan berdiri tersenyum tenang tanpa ada senjata menempel di tubuh! Para pasukan juga bengong, demikian pula para penonton, hampir tidak percaya karena siluman rase itu ternyata tidak menggiriskan, hanya seorang wanita yang cantik dan agaknya seorang manusia biasa! Ataukah memang penjelmaan siluman? Biarpun hatinya marah sekali, Mo-kiam Siauw-ong terpesona dan tertarik, merasa sayang kalau sampai wanita itu dibunuh begitu saja. "Wanita siluman, menyerahlah sebelum aku turun tangan!" bentaknya. "Hi-hi-hik, aku keluar bukan untuk menyerah, melainkan untuk membunuh kalian yang sudah mengganggu kesenanganku!" "Serbu...!" Pembantu Mo-kiam Siauw-ong tak sabar lagi dan menyerbulah pasukan yang tinggal empat puluh orang itu. Akan tetapi tiba-tiba tubuh wanita itu berkelebat lenyap dan terdengar jerit di sana-sini disusul robohnya enam orang pasukan sendiri. Gerakan wanita itu sedemikian cepatnya sehingga sukar diikuti pandangan mata. Yang menusuknya, tahu-tahu goloknya membalik dan menusuk perutnya sendiri. Yang membacoknya pun demikian dan tahu-tahu wanita itu telah berada di depan Mo-kiam Siauw-ong! Datuk golongan hitam itu dapat mengikuti gerakan si wanita itu benar-benar memiliki ginkang yang dia sendiri tidak akan mampu menandinginya. Akan tetapi, sebagai seorang ahli tidak takut dan pedangnya menyambar ganas. "Bagus! Kiam-hoat lumayan juga!" Wanita itu mengejek dan mengelak, tangan kirinya tahu-tahu menyambar ke depan, mengirim pukulan dengan telapak tangan terbuka kepada lawannya. Mo-kiam Siauw-ong cepat miringkan tubuh akan tetapi hawa pukulan tangan itu tetap saja menyambar dan menyerempetnya. Dia terhuyung dan merasa pundaknya seperti dilanggar benda yang panas. Makin terkejutlah dia. Ginkang wanita ini juga luar biasa hebatnya. Dia mengerahkan kepandaiannya sehingga pedang di tangannya berubah menjadi segulungan sinar yang berkilauan dan yang menggunakan tubuh wanita itu. Para pasukan berbesar hati melihat pimpinan mereka sudah turun tangan maka mereka pun cepat mengurung dan menyerbu. Wanita itu berada dalam keadaan terluka, lengan kanannya tidak dapat dipergunakan untuk bertanding sehingga dia hanya melawan dengan gerakan tangan kiri saja. Namun, ia cepat meloncat menjauhi Mo-kiam Siauw-ong yang benar-benar lihai ilmu pedangnya itu, dan dengan mudah tangan kirinya merobohkan setiap anak buah pasukan yang menyerangnya. Apalagi kini tangan kirinya mulai menyebar jarum-jarumnya sehingga kembali ada lima orang pasukan roboh dan tewas! "Heh-heh-heh-hi-hi-hikkk! Ang-kiam Bu-tek benar-benar tak boleh dipandang ringan!" Tiba-tiba terdengar suara yang lembut dan muncullah seorang nenek tua sekali berdiri di barisan depan para penonton. Wanita itu terkejut, merobohkan dua orang lagi dengan dua kali tendangan kaki yang menghancurkan anggauta rahasia tubuh mereka, menoleh ke arah nenek itu dan dia cepat berkata, "Go-bi Thai-houw, harap kau orang tua tidak mencampuri urusan ini. Tikus-tikus ini tidak ada gunanya. Biarlah lain kali aku Ang-kiam Bu-tek menghaturkan terima kasih dan mengangkat guru kepadamu!" "Heh-heh-hi-hi-hik! Punya murid macam engkau ini menyenangkan juga!" Nenek itu menjawab kemudian tiba-tiba saja ia lenyap dari situ. Mendengar disebutnya nama Ang-kiam Bu-tek dan Go-bi Thai-houw, Mo-kiam Siauw-ong seperti mendengar halilintar menyambar di atas kepalanya dan cepat-cepat dia berseru, "Pasukan mundur semua..!" Pasukan yang sudah merasa gentar sekali cepat lari mundur dan kini Mo-kiam Siauw-ong melangkah maju, menekuk sebelah lututnya dan mengangkat kedua tangan depan dada ke arah wanita itu sambil berkata, "Mohon kebijaksanaan Sianli untuk mengampunkan saya yang bermata akan tetapi seperti buta tidak mengenal Sianli, tidak melihat Gunung Thai-san menjulang di depan mata." Melihat sikap Mo-kiam Siauw-ong, anak buah pasukan menjadi terkejut dan mereka yang belum pernah mendengar nama Ang-kiam Bu-tek, cepat-cepat mengikuti mereka yang mengenalnya dan yang sudah menjatuhkan diri berlutut. Sebagian besar mengenal nama itu dengan hati penuh rasa takut. Wanita yang berjuluk Ang-kiam Bu-tek (Pedang Merah Tanpa Tanding) itu tersenyum mengejek, memandang kepada Mo-kiam Siauw-ong dan bertanya, "Hemmm..., siapakah engkau sebenarnya?" "Harap Sianli memandang kepada mendiang ketiga orang suhu saya, yaitu Thian-te Sam-lo-mo" kata pula laki-laki berpakaian mewah itu. Ang-kiam Bu-tek mengangguk-angguk dan otaknya yang amat cerdik itu membuat perhitungan. Dia membutuhkan sekutu di saat itu dan setelah lawan menyerah dan ternyata adalah murid yang merupakan orang segolongan dengannya, memang tidak perlu lagi membunuh mereka. "Kiranya engkau adalah murid tiga orang iblis tua itu? Baiklah, aku mengampunkan engkau dan anak buahmu." "Terima kasih, Sianli!" Mo-kiam Siauw-ong menjadi girang sekali dan meloncat bangun. Bersahabat dengan Ang-kiam Bu-tek merupakan hal yang amat menguntungkan, pula dia maklum kalau pertandingan dilanjutkan, jangankan baru dia dan pasukannya, biar ditambah tiga orang gurunya yang sudah meninggal sekalipun takkan menang! "Karena saya melihat Sianli terluka dan perlu beristirahat, saya perlihatkan Sianli beristirahat di dalam rumah saya." "Baiklah, Eh, Tampan, kau gendong aku ke rumah Mo-kiam Siauw-ong!" kata Ang-kiam Bu-tek sambil tersenyum kepada kekasihnya. Laki-laki tampan, seorang di antara ketujuh Fen-ho Chit-kwi yang sebenarnya bernama Ma Kiat Su itu menjadi girang dan lega bukan main. Tanpa malu-malu lagi, ditonton begitu banyak orang, dia lalu memondong tubuh Ang-kiam bu-tek yang merangkul lehernya. Mo-kiam Siauw-ong cepat menyerahkan seekor kuda. Ma Kiat Su membungkuk dengan hormat kepada Mo-kiam Siauw-ong kemudian melompat ke atas punggung kuda sambil memondong tubuh wanita cantik itu, kemudian mereka di iringkan oleh Mo-kiam Siauw-ong sendiri menuju ke gedung kepala daerah. Para pasukan sibuk mengurus mayat-mayat para kawan mereka dan para penonton kini sibuk memadamkan api yang membakar restoran. Siapakah wanita cantik itu dan mengapa seorang datuk golongan hitam seperti Mo-kiam Siauw-ong sampai begitu ketakutan mendengar namanya? Dan siapa pula nenek tua renta yang agaknya lebih aneh dan menyeramkan lagi sehingga Ang-kiam Bu-tek sendiri sampai bersikap hormat, bahkan berjanji untuk berguru kepadanya? *** Mereka berdua merupakan tokoh-tokoh besar, bahkan Ang-kiam Bu-tek merupakan seorang tokoh penting. Semenjak kecil, wanita cantik ini yang bernama Bhe Cui Im, adalah murid nenek Lam-hai Sin-ni, seorang di antara Bu-tek Su-kwi (Empat Iblis Tanpa Tanding) yang puluhan tahun lamanya menjadi tokoh-tokoh utama kaum sesat. Sebagai murid Lam-hai Sin-ni, kepandaiannya sudah amat tinggi dan karena semenjak muda dia merupakan seorang wanita yang haus akan laki-laki dan besar nafsu, lihai ilmu pedangnya dan lihai pula senjata rahasianya yang beracun, ia terkenal dengan julukan Ang-kiam Tok-sian-li (Dewi Beracun Berpedang Mera). Akan tetapi, setelah dia bersama Cia Keng Hong berhasil menemukan tempat rahasia penyimpanan kitab-kitab peninggalan Sin-jiu Kiam-ong dan mempelajari kitab-kitab itu selama bertahun-tahun, dia keluar dari gua rahasia sebagai seorang wanita yang sukar dicari tandingannya lagi. Ia bahkan membunuh bekas gurunya, Lam-hai Sin-ni, membunuh banyak sekali tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw sehingga julukannya yang ia ubah menjadi Ang-kiam Bu-tek menjulang tinggi di dunia kang-ouw dan dikenal oleh semua tokoh dengan hati penuh rasa ngeri dan takut. Itulah dia wanita cantik yang pagi hari itu menimbulkan keributan di dalam restoran di kota kecil Sun-ke-bun, menyebar maut seperti menyebar pasir saja! Bhe Cui Im, berusia dua puluh sembilan tahun, cantik jelita dan memiliki daya tarik yang amat kuat, membuat hati pria terangsang apabila melihatnya, dan memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Ketika ia terhuyung-huyung dalam keadaan terluka pundaknya, baru saja dia melarikan diri dari puncak Tai-hang-san di mana terjadi pertemuan puncak antara tokoh-tokoh besar yang dilanjutkan dengan pertandingan-pertandingan hebat, di mana dia terluka oleh Cia Keng Hong, si pendekar sakti yang biarpun usianya baru dua puluh empat tahun, namun dapat disebut adalah suhengnya, karena Cia Keng Hong adalah murid langsung dan tunggal dari mendiang Sin-jiu Kiam-ong. Karena kekalahannya terhadap Cia Keng Hong inilah yang membuat Cui Im tidak membunuh Mo-kiam Siauw-ong. Dia tidak membutuhkan bantuan orang-orang pandai, membutuhkan bantuan tokoh yang anak buahnya itu. Dan karena cintanya yang berubah kebencian amat mendalam terhadap Cia Keng Hong pulalah yang membuat ia berjanji untuk berguru kepada nenek Go-bi Thai-houw karena ia maklum bahwa nenek itu memiliki kesaktian yang luar biasa, memiliki banyak ilmu yang dapat ia pelajari untuk kelak dipergunakan menghadapi Keng Hong dan terutama sekali, untuk dapat mengajak nenek itu bersama-sama menghancurkan kehidupan Keng Hong yang amat dibencinya! Ketika Coa-taijin, yaitu kepala daerah kota Sun-ke-bun mendengar dari mantunya akan kesaktian Ang-kia bu-tek, dia menyambut dengan ramah, bahkan mempersilakan Cui Im menempati sebuah kamar kehormatan di dalam gedungnya, sebuah kamar yang mewah sekali. Kepala daerah yang cerdik ini tahu bahwa makin banyak orang pandai membantunya, makin kuatlah kedudukannya! Cui Im merasa girang bukan main. Dia langsung mengajak Ma Kiat Su memasuki kamar mewah itu, menutupkan daun pintunya dan tenggelamlah dia dan Ma Kiat Su dalam lautan nafsu yang membuat laki-laki itu mabuk dan merasa beruntung sekali karena selama hidupnya baru sekali ini dia bertemu dengan seorang wanita hebat seperti Cui Im! Selama tiga hari tiga malam Cui Im tidak boleh meninggalkan kamarnya, tidak memperbolehkan kekasihnya keluar pula. Mereka dilayani oleh pelayan-pelayan Coa-taijin seperti sepasang pengantin baru, seperti tamu-tamu terhormat. Pada malam hari ke tiga, tiba-tiba pintu kamar itu dibuka orang dari luar, daun pintunya tertolak perlahan dan muncullah seorang pemuda di ambang pintu. Cui Im yang sedang membelai tubuh Ma Kiat Su yang tidur kelelahan, mengangkat muka dan seketika wajahnya menjadi pucat, matanya terbelalak memandang pemuda yang juga berdiri seperti terpesona menyaksikan wanita cantik setengah telanjang yang rebah menelungkung di atas pebaringan itu. Pemuda itu tampan sekali, pakaiannya indah dan sikapnya tenang. Yang membuat Cui Im terkejut adalah wajah pemuda ini, sehingga tak terasa lagi bibirnya bergerak dan terdengar suaranya lirih, "Cia Keng Hong..!" Pemuda itu tidak mendengar suara lirih ini, dianggapnya Cui Im menegur dan mencelanya, maka dia cepat menjura dan berkata, suaranya halus sekali dan sopan, "Harap Sianli sudi memaafkan saya karena kesalahan masuk ke kamar ini.." Cui Im menarik napas lega, cepat ia bangkit duduk, menurunkan kedua kakinya dari atas pembaringan tanpa mempedulikan baju dalamnya yang tidak lengkap menutupi tubuh atasnya, tersenyum manis dan bertanya, "Kongcu siapakah..." Ia masih memandang heran akan persamaan wajah pemuda itu dengan wajah Keng Hong, bahkan bentuk tubuhnya hampir sama besarnya. Kembali pemuda itu menjura. "Saya Coa Kun, putera dari Coa-taijin pemilik rumah ini. Saya baru datang dari luar kota, sudah mendengar bahwa Sianli bertamu di sini, sudah mendengar akan nama Sianli yang sakti dan mulia. Akan tetapi saya mengira Sianli berada di kamar tamu sebelah, tidak menyangka bahwa kamar saya yang diberikan oleh ayah untuk Sianli, maka saya lancang membuka pintu kamar ini. Maafkan, saya..." Pemuda itu menjura, membalikkan tubuh dan hendak pergi. "Coa-kongcu, tunggu...!" Cui Im sudah meloncat turun, kakinya telanjang dan ia melangkah menghampiri pemuda yang sudah membalikkan tubuh lagi memandang dengan kedua pipi kemerahan karena keadaan Cui Im benar-benar membuat dia merasa jengah dan kikuk. Wanita cantik itu lebih telanjang daripada berpakaian! "Kongcu, masuklah dan mari kita bicara dulu. Engkauah yang harus memaafkan aku karena kamarmu kupakai! Ahhh, aku menganggu saja padamu. Kalau aku tahu bahwa aku akan menganggu seorang yang begini... hemmm... ganteng seperti engkau, aku lebih suka tidur di dapur!" Coa Kun menjadi makin merah mukanya. "Ah, harap Sianli jangan berkata demikian. Dengan senang hati aku menyerahkan kamarku untukmu. Sudahlah, saya tidak berani menganggu lebih lama..!" Kembali dia hendak pergi. Cui Im melangkah maju dan memegang tangan pemuda itu. "Nanti dulu, Kongcu, mari duduklah, kita bicara dulu.. Atau... engkau tidak sudi bicara dengan orang seperti aku?" dia tersenyum dan memandang penuh tantangan. Pemuda itu makin tersipu, akan tetapi dia tidak berani menarik tangannya yang kini dituntun oleh Cui Im. Dia terpaksa memasuki kamar dan dia melirik ke arah tubuh Ma Kiat Su yang tidur dengan perasaan tidak sedap. Laki-laki itu pun tidak berpakaian, hanya berselimut sebagian tubuhnya yang kekar. "Tidak baik, Sianli. Dia... dia..." Dia tidak melanjutkan kata-katanya karena keadaan di tepat itu benar-benar membuatnya malu dan kikuk. Cui Im tersenyum lebar, "Memang babi itu menganggu saja. Tunggu kulempar dia keluar!" Tanpa menanti jawaban, sekali bergerak tubuh Cui Im sudah meloncat ke atas pembaringan dan sekali kakinya menendang, tubuh Ma Kiat Su terlempar ke bawah pembaringan. "Aehhhhh.. ada apa... apa yang terjadi...?" Ma Kiat Su terbangun, merangkak dan meloncat berdiri. Akan tetapi tiba-tiba dia mengeluh ketika tangan kiri Cui Im bergerak dan dua buah jari tangannya menusuk dan mengenai pelipisnya. Ia roboh tak bernyawa lagi, di pelipis kanannya terlihat bekas dua jari tangan yang membiru! Cui Im kembali menendang dan... mayat laki-laki yang selama tiga tiga malam menjadi kekasih dan kawan bermain cinta itu terlempar keluar melalui pintu kamar. Dia cepat menghampiri daun pintu dan ditutupnya, kemudian ia membalikkan tubuh dan seperti tak pernah terjadi sesuatu, dia melangkah maju menghampiri Coa Kun yang duduk dengan muka pucat dan mata terbelalak penuh kengerian. "Kenapa.... kenapa kau membunuhnya...?" "Ah, aku sudah bosan dan jemu dengan dia. Apalagi dia hanyalah seorang anak buah rendah saja, tidak tepat menjadi sahabatku. Coa-kongcu, engkaulah orang yang paling patut menjadi sahabat baikku dan kamar ini adalah kamarmu." Sambil tersenyum manis sekali dengan pandang mata panas membakar hati, Cui Im menghampiri pemuda itu dengan langkah dan lenggang memikat, kemudian merangkulkan kedua lengannya pada leher pemuda itu. Coa Kun memandang dengan mata terbelalak, hidungnya mencium keharuman yang aneh dari tubuh wanita itu, jantungnya berdebar ketika merasa betapa hangat tubuh yang menempel rapat di dadanya. "Eh, Sianli... Ah, apa artinya ini?" Ia tergagap, karena biarpun sebelum salah mamasuki kamar itu dia sudah mendengar cerita tentang Ang-kiam Bu-tek yang sakti seperti iblis dan cabul seperti siluman rase namun tak mengira sama sekali bahwa wanita ini akan membunuh kekasihnya begitu kemudian mengalihkan cintanya kepadanya! Tiba-tiba Cui Im meraih ke atas dan memaksa muka pemuda itu tunduk, kemudian mencium mulut Coa Kun yang membuat pemuda itu makin mabuk kepayang dan makin terheran-heran. Setelah melepaskan ciumannya, Cui Im berbisik halus, "Kongcu, apakah engkau tidak suka aku menemanimu di kamarmu ini? Apakah engkau tidak suka menjadi sahabat baikku?" Coa Kun dapat mendengar ancaman hebat bersembunyi di balik bisikan halus penuh getaran berahi itu dan dia bergidik. Ia mengangguk dan cepat menjawab, "Tentu saja aku suka sekali, Sianli, tapi..." "Kongcu yang tampan dan halus, engkau mengingatkan aku akan seseorang.. Ahhh, jangan engkau khawatir, terhadap engkau, aku tidak akan menganggu. Kalau kau memang suka, mengapa tidak memondongku ke ranjangmu?' Coa Kun adalah seorang pemuda yang biarpun sudah berusia dua puluh tahun lebih dan sebagai putera kepala daerah, biarpun belum menikah namun sudah memiliki beberapa orang selir dan bukan tidak berpengalaman menghadapi wanita, namun dibandingkan dengan Cui Im dia hanyalah seorang pemuda yang masih hijau! Kini, berada dalam cengkeraman Cui Im, menghadapi rayuan Cui Im yang merupakan seorang ahli dalam permainan cinta, mana mungkin dia dapat bertahan? Menghadapi rayuan Cui Im yang luar biasa, dalam waktu singkat saja dia sudah bertekuk lutut dan menyambut serta melayani segala kehendak wanita itu! Biarpun Cui Im memang seorang wanita yang haus akan cinta kasih laki-laki dan mata keranjang, selalu ingin memeluk pria tampan, pembosan dan ingin selalu berganti teman bercinta, namun Cui Im memilih Coa Kun bukan semata-mata karena pemuda ini tampan. Terutama sekali karena kemiripan wajah Coa Kun dengan wajah Keng Hong amat menarik hatinya dan otaknya yang cerdik segera sudah mendapatkan siasat untuk sewaktu-waktu mempergunakan pemuda ini untuk membantunya menghancurkan penghidupan Keng Hong, satu-satunya laki-laki di dunia ini yang pernah meruntuhkan hatinya, pernah dicintanya dengan cinta murni, akan tetapi yang kini telah berubah menjadi satu-satunya orang yang paling dibencinya di dunia ini! Sementara itu, ketika Mo-kiam Siauw-ong mendengar pelaporan para penjaga akan adanya mayat Ma Kiat Su di depan pintu kamar tidur, hanya tersenyum dan dia menyuruh anak buahnya membawa pergi mayat itu dan menguburnya. Ia mengangguk-angguk dan menggosok kedua tangannya. Kalau Ang-kiam Bu-tek jatuh hati kepada Coa-kongcu, hal itu amat baik sekali. Lebih baik lagi kalau Ang-kiam Bu-tek suka menjadi isteri putera kepala daerah itu, pikirnya. Hati Cui Im gembira sekali karena pemuda putera Coa-jin itu sebentar saja sudah benar-benar jatuh hati dan kepadanya dan dapat memuaskan hatinya. Ia senang tinggal di gedung itu, selain menerima penghormatan berlebihan, menerima pelayanan yang menyenangkan, ditemani seorang kongcu yang halus dan tampan mirip Cia Keng Hong, juga ternyata luka di pundaknya oleh pedang Siang-bhok-kiam di tangan Keng Hong tidaklah merupakan luka parah dan dalam beberapa hari saja tentu akan sembuh. Akan tetapi malam hari itu, selagi dia asyik bercumbu dengan kekasihnya yang baru, tiba-tiba terdengar suara terkekeh dari arah jendela kamarnya. Mendengar dan mengenal suara ini, Cui Im melompat turun dari atas pembaringan, secepat kilat menyambar pakaiannya dan ketika ia membalik dengan pakaian yang belum lengkap, ia melihat Go-bi Thai-houw telah melayang masuk dari jendela yang dibuka dari luar dan berada di kamar itu, tertawa-tawa. Bukan main kagetnya Coa Kun melihat munculnya seorang nenek yang amat tua dan menyeramkan itu. Ia cepat-cepat menutupi tubuhnya dengan selimut dan hanya berani mengintai dari balik selimut. Cui Im cepat maju dan berlutut menyambut Go-bi Thai-houw. "Subo telah datang…." "Heh-heh-hi-hi-hik! Benar-benarkah engkau mengangkat aku sebagai gurumu, Ang-kiam Bu-tek?" "Subo adalah seorang yang paling sakti di dunia ini, tentu saja teecu (murid) akan senang sekali menjadi murid Subo. Apalagi dengan adanya Subo. Kita dapat bekerja sama untuk membalas sakit hati terhadap Cia Keng Hong." "Hemmmmm..!" Nenek itu mendengus, keningnya yang sudah putih itu mengkerut, dahinya yang sudah penuh keriput itu makin mendalam garis-garisnya. "Cia Keng Hong manusia busuk! Aku harus bunuh dia.. Akan tetapi.. Di sana ada isteri Sin-jiu Kiam-ong.." "Takut apa, Subo? Kalau kita bekerja sama, dibantu oleh Mo-kiam Siauw-ong dan anak buahnya, tentu kita akan dapat membasmi mereka! Mo-kiam Siauw-ong dan anak buahnya, tentu kita akan dapat membasmi mereka! Mo-kiam Siauw-ong adalah murid dari mendiang Thian-te Sam-lo-mo, masih segolongan sendiri. Marilah teecu perkenalkan Subo dengan Mo-kiam Siauw-ong dan mertuanya, Coa-taijin kepala daerah Sun-ke-bun, pemilik gedung ini." Nenek itu melirik ke arah Coa Kun yang masih memandang ketakutan di atas pembaringan, kemudian tertawa lebat memperlihatkan mulut yang tiada giginya lagi. "Ha-ha-ha, engkau cocok sekali dengan aku muridku. Aku pun dahulu seperti engkau ketika muda, mengejar kesenangan, setelah cintaku ditolak oleh Sie Cun Hong (Sin-jiu Kiam-ong) si keparat! Besok saja aku berkenalan dengan mereka. Kau lanjutkan permainanmu dengan Kongcu ini, aku ingin menonton." "Subo..!" "Hi-hi-hik! Aku sudah terlalu tua, tidak bisa main sendiri, akan tetapi menonton menimbulkan kesenangan yang besar pula. Hayolah, anggap saja aku tidak berada di sini!" Nenek itu lalu duduk di atas sebuah bangku, duduk tegak tak bergerak seperti arca. Semenjak ia bertemu dengan bekas majikan wanitanya, yaitu Tung Sun Nio isteri mendiang Sin-jiu Kiam-ong, gilanya menjadi sembuh karena pertemuan itu mendatangkan guncangan batin yang hebat. Dia tidak gila lagi, akan tetapi setelah menjadi waras, timbul kembali wataknya yang seperti iblis, watak yang sama dengan watak Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im di waktu dia masih muda. Watak yang amat cabul dan keji! Dan terjadilah perbuatan maksiat yang tiada keduanya di dunia ini, yang dapat dilakukan oleh wanita. Cui Im melanjutkan permainan cintanya dengan Coa Kun yang makin lama makin hilang rasa ngerinya terhadap nenek itu, ditonton oleh nenek itu! Bagi manusia-manusia yang mengenal kesusilaan, yang telah hidup di dalam jaman yang beradab, perbuatan mereka bertiga itu benar-benar merupakan perbuatan yang amat cabul tak mengenal susila dan rasa malu lagi! Coa Kun, putera seorang pembesar yang terpelajar, yang sejak kecil telah membaca kitab-kitab dan tahu akan tata susila dan sopan santun, sedikit banyak mengenal pula ilmu silat, kini terseret dan terguling ke dalam jurang kehinaan, terseret melakukan perbuatan yang patutnya hanya dapat dilakukan oleh golongan hitam tingkat paling rendah! Dan pada keesokan harinya, setelah ketiga orang ini merasa Coa Kun merasa puas karena merasa diayun ke sorga oleh cumbu rayu dan permainan cinta Cui Im yang merupakan seorang ahli berpengalaman dalam hal itu, Cui Im puas karena selain mendapatkan seorang kekasih baru yang tampan juga diterima menjadi murid Go-bi thai-houw dan nenek itu puas karena sudah lama ia kehilangan seperti yang dinikmatinya semalam dengan menoton pertunjukan yang menggairahkan hati tuanya, diadakan pertemuan yang dia sambung dengan perundingan? Sebuah perundingan yang tujuannya hanya satu, yaitu menghancurkan penghidupan Cia Keng Hong! Go-bi Thai-houw membenci Keng Hong karena dianggap sebagai biang keladinya sehingga dia kehilangan dua orang muridnya yang tercinta, yaitu mendiang Hek-sin-kiam Tan Hun Bwee dan Song-bun Siu-li Sie Biauw Eng. Cui Im membenci Keng Hong, benci yang timbul karena cinta yang tak terbalas dan karena banyak hal lagi. Mo-kiam Siauw-ong juga membenci Keng Hong karena pendekar sakti itu telah membunuh ketiga orang gurunya, Thian-te Sam-lo-mo. Hanya Coa-taijin dan Coa Kun yang hadir dalam perundingan itu saja yang tidak membenci Keng Hong karena mengenal pun tidak, akan tetapi mereka terbawa karena hubungan mereka dengan Mo-kiam Siauw-ong dan dengan Cui Im. Benci! Perasaan ini merupakan nafsu manusia yang menjadi pokok penyebab utama daripada timbulnya segala kekacauan di dunia ini oleh manusia. penyebab timbulnya nafsu kebencian bersumber kepada rasa sayang diri dan iba diri (egoisme), terdorong oleh iri hati. Kalau merasa diri dirugikan, maka timbullah bibit yang menjadi benih nafsu kebencian. Kalau sudah bertunas bibit kebencian dalam hati, maka si manusia yang dicengkeram kebencian itu akan tertutup mata batinnya dan muncullah perbuatan-perbuatan kekejaman. Kebencian menimbulkan pertentangan dan permusuhan. Kebencian menciptakan perbuatan yang merugikan dan merusak, akan tetapi sebenarnya yang paling di rugikan dan dirusak adalah diri si pembenci sendiri. Kebencian merupakan sifat yang paling buruk yang harus dijauhi oleh setiap orang manusia, karena kebencian ini bertentangan dengan sifat alam. Tidak ada sifat benci pada alam yang hanya mempunyai satu sifat, yaitu Kasih! Yang tidak mau menyadari akan hal ini, yang tidak mau berusaha sekuat tenaga kemauan untuk mengenyahkan sifat benci dari hatinya, merupakan orang yang sungguh patut dikasihani, karena perasaan bencinya akan menyeretnya ke dalam segala macam kesengsaraan batin. Orang yang percaya akan adanya Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Pengasih, tentu akan mudah melenyapkan dan menjatuhkan perasaan benci kepada siapa pun juga. Karena orang ini akan menyadari bahwa segala yang menimpa dirinya, tidak terkecuali apakah hal itu menguntungkan atau merugikan, adalah hal yang sudah dikehendaki oleh Tuhan! Di luar kehendak Tuhan, segala tidak akan terjadi! Tuhan Maha Kuasa, kuasa untuk memberi, kuasa untuk mengambil. *** Kalau hanya merasa senang apabila diberi, akan tetapi mengomel apabila di ambil, dia adalah seorang yang kurang tebal kepercayaannya akan kekuasaan Tuhan. Di dalam memberi maupun mengambil tentu saja ada yang menjadi lantarannya. Kalau kepercayaan akan kekuasaan Tuhan sudah menjadi keyakinan bijaksana ini tentu tidak akan membenci yang menjadi lantarannya, karena lantaran itu hanyalah dipergunakan atau dipilih oleh Tuhan untuk pelaksanaan kehendak-Nya. Misalnya, seseorang kehilangan seorang anaknya tercinta. Anak itu tidak akan mati kalau tidak dikehendaki oleh Tuhan untuk pelaksanaan kehendak-Nya ini, tentu saja ada lantarannya. Bermacam-macamlah yang bisa menjadi sebab, karena terbunuh, karena penyakit, karena kecelakaan dan sebagainya. Kelirulah kalau orang yang kehilangan anaknya itu menimpakan kesalahan dan timbul kebencian terhadap penyebab atau yang menjadi lantaran, karena kejadian itu baru saja bisa terjadi oleh kehendak Tuhan! Tanpa dikendaki Tuhan biar segala iblis dan setan di dunia ini tentu tidak akan mampu mencabut nyawa anak itu! Demikian pula dengan kerugian dan kehilangan lainnya, atau sebaliknya, demikian pula dengan keuntungan dan hal yang menyenangkan lainnya. Segala yang dikehendaki oleh Tuhan, akan terjadilah! Hal ini mutlak, tiada kekuasaan yang dapat menentangnya semenjak dahulu, sekarang dan kemudian yang penting bagi manusia hanyalah berikhtiar, berusaha yang sudah menjadi kewajibannya untuk menghindarkan diri daripada hal-hal yang tidak dikehendaki hatinya. Namun, bukanlah ikhtisar yang menentukan melainkan kehendak Tuhan juga! Berikhtiar dengan kesungguhan hati sebagai kewajiban, berlandaskan penyerahan akan kekuasaan Tuhan, dengan pasrah, dengan penerimaan, maka orang ini akan selalu merasa tenang dan dapat mengatasi segala hal yang menimpanya tanpa terseret nafsu kebencian yang akan menjadi awal rantai panjang tak berkeputusan yang berupa kesengsaraan batin. Orang-orang seperti Mo-kiam Siauw-ong, Go-bi Thai-houw dan terutama Bhe Cui Im adalah orang-orang yang telah menjadi hamba nafsu dan tidaklah amat mengherankan kalau mereka itu mabuk oleh kebencian sehingga mereka berunding, mengatur rencana dan siasat untuk menghancurkan hidup orang yang mereka benci, yaitu Cia Keng Hong. "Mereka itu tentu akan melangsungkan pernikahan. Aku akan menyelidikinya dan perayaan pernikahan mereka merupakan kesempatan baik bagi kita. Kita serbu mereka, kita kacaukan perayaan itu dan kalau dapat kita bunuh Cia Keng Hong, Sie Biauw Eng, dan kawan-kawan mereka.dalam hal ini aku mengharapkan bantuan Mo-kiam Siauw-ong untuk mengerahkan pasukan yang kuat dan banyak." Cui Im berkata. "Saya siap membantu, Sianli, harap jangan khawatir!" Mo-kiam Siauw-ong cepat berkata. Coa-taijin mengerutkan alisnya dan berkata, "Maaf, Sianli. Saya percaya penuh bahwa Cia Keng Hong itu tentulah bukan manusia baik maka Sianli memusuhinya dan di dalam hati, saya memihak Sianli sepenuhnya dan andaikata saya memilliki kepandaian, tentu saya akan ikut pergi membantu untuk membasmi Cia Keng Hong da kawan-kawannya yang telah merugikan dan melukai Sianli dan juga yang dimusuhi oleh Locianpwe." "Thai-houw, sebut aku Thai-houw, aku adalah ratu di Go-bi, tahu?" Tiba-tiba Go-bi Thai-houw berkata. Coa-taijin terkejut dan cepat berkata, "Maaf, Thai-houw, maaf." "Lanjutkan kata-katamu, Taijin. Apa yang hendak kauusulkan?" "Sianli tentu maklum kedudukan saya sebagai kepala daerah, maka saya dan para pasukan penjaga kota ini adalah orang-orang dari pemerintah. Maka, kalau pasukan saya dipergunakan untuk urusan pribadi, hal itu tentu amat tidak baik bagi saya, karena tentu akan ada teguran dari pemerintah pusat." Cui Im mengerutkan alisnya dan memandang Mo-kiam Siauw-ong. Orang ini cepat berkata, "Apa yang dikatakan oleh mertua saya memang benar, Sianli. Akan tetapi harap Sianli tidak usah khawatir. Saya tidak begitu bodoh untuk menggunakan pasukan penjaga kota Sun-ke-bun karena pasukan penjaga iru biarpun banyak, tidaklah boleh diandalkan. Saya akan mengerahkan semua anak buah kaum liok-lim dan kang-ouw di daerah lembah Fen-ho dan percayalah, saya akan dapat mengumpulkan pasukan yang sudah jauh lebih kuat dan lebih banyak jumlahnya daripada pasukan penjaga kota." Wajah Cui Im berseri lagi mendengar ini. Ia mengangguk-angguk dan berkata dengan senyum manis, "Bantuan Taijin dan Siauw-ong yang amat berharga tentu tidak akan kulupakan." "Aihhh, Niocu, setelah kita menjadi orang sendiri, mengapa masih sungkan? Katakanlah, apa yang dapat aku kulakukan untuk membantumu? Aku siap membantu dengan taruhan nyawa!" Tiba-tiba Coa Kun berkata. Pemuda ini sekarang tidak lagi menyebut "sianli" melainkan menyebut niocu kepada kekasihnya itu. CuiIm dengan kepandaiannya yang tinggi dapat membuat kedua pipinya kemerahan seperti wanita biasa kalau merasa malu dan lengah, kemudian ia mengerling ke arah kekasihnya itu sambil berkata, "Terima kasih, Kongcu. Memang aku amat membutuhkan bantuanmu, akan tetapi kelak kalau usahaku yang pertama ini tidak berhasil. Engkau bersiap-siap sajalah, dan dalam penyerbuan yang kita rencanakan ini, harap kau tidak ikut...:" "Ah, mana bisa? Mana bisa aku berpisah darimu? Aku akan ikut, Niocu!" Biarpun berada di depan banyak orang, bahkan di depan ayahnya sendiri, namun pemuda yang sudah tergila-gila ini tidak malu-malu lagi menyatakan perasaannya yang tidak mau berpisah dari wanita yang membuatnya mabuk itu. Cui Im tersenyum dan mengangguk. "Baiklah, akan tetapi engkau tidak boleh ikut menyertai penyerbuan. Kalau engkau terluka atau tewas, aku yang kehilangan! Keng Hong adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian hebat, aku sendiri tidak kuat menandinginya." "Hi-hi-hik, jangan takut muridku. Aku pernah membuat dia dan bekas muridku Sie Baiuw Eng, dibantu dua orang temannya, jungkir-balik dan kalau tidak muncul isteri sin-jiu Kiam-ong, mereka sudah mati di tanganku!" kata Go-bi Thai-houw. Diam-diam Cui Im terkejut. Dia mengenal siapa kedua orang teman itu, tentulah Yap Song Can urid ketua Siauw-lim-pai yang lihai dan Gui Yan Cu. Kedua orang muda itu lihai bukan main, ditambah lagi dengan Sie Biauw Eng yang kini memiliki ilmu kepandaian hebat di samping Keng Hong. Benarkah nenek ini dapat emperainkan mereka? Diam-diam ia pun girang karena orang seperti nenek ini tentu tidak perlu membohong dan menyombongklan diri. "Dan aku dapat mencari bantuan orang-orang pandai di lembah Fen-ho," kata [ula Mo-kiam Siauw-ong yang sudah bertekad bulat, mempergunakan kesempatan baik itu, selagi dia dibantu dua orang sakti seperti Go-bi Thai-houw dan Ang-kiam Bu-tek, untuk membalas kematian ketiga orang gurunya di tangan Cia Keng Hong. Sampai jauh malam mereka melakukan perundingan dan mengatur siasat, perundingan yang diseling dengan makan minum yang serba mahal dan mewah. Mo-kiam Siauw-ong, atas petunjuk Cui Im, pada hari itu juga mengirim kaki tangannya untuk melakukan penyelidikan ke siauw-lim-pai dan ke tempat tinggal Tung Sun Nio atau isteri sin-jiu Kiam-ong, yaitu di lereng Pegunungan Cin-ling-san sebelah timur. Mereka mengadakan persiapan dan tinggal menanti berita dari para penyelidik yang melakukan perjalanan cepat dengan berkuda. Sambil menanti, Cui Im tidak membuang waktu dengan sia-sia, melainkan dia mempererat hubungan cintanya dengan coa Kun sehingga semua penduduk kota itu kini tahu bahwa wanita cantik yang sakti seperti dewi itu adalah kekasih atau selir baru putera kepala daerah, bahkan didesas-desuskan menjadi calon isteri Coa-kongcu. Di lereng Pegunungan Cin-lin-san yang sunyi, tempat pertapaan nenek Tung Sun Nio, kini menjadi amat ramai dan meriah karena akan dirayakan pernikahan dua pasang pengantin. Dua pasang orang muda yang saling mencinta, yang sudah bersama-sama mengalami suka duka penuh bahaya. Perayaan pernikahan dua pasang mempelai diadakan di tempat itu, memenuhi permintaan nenek Tung Sun Nio. Dan memang nenek itu berhak menentukan tempat perayaan, karena orang-orang muda yang menjadi pengantin, sebagian besar adalah keluarganya. Cia Keng Hong yang akan menikah dengan Sie Biauw Eng, adalah muridnya, juga murid utama mendiang suaminya, Sin-jiu Kiam-ong, Sie Biauw Eng adalah puteri mendiang suaminya yang dilahirkan oleh Lam-hai Sin-ni, jadi adalah anak tirinya sendiri. Adapun Gui Yan Cu yang akan menikah dengan Yap Song Can, adalah muridnya yang disayang seperti anak sendiri. Hanya Yap Cong San seorang yang tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan nenek ini. Akan tetapi Yap Cong San adalah murid ketua Siauw-lim-pai yaitu Tiong Pek Hosing dan ketua Siauw-lim-pai ini dahulu adalah kekasih Tung Sun Nio. Karena itu, bukan sama sekali tidak ada hubungan dengannya! Maka, pernikahan dua pasang mempelai itu benar-benar merupakan peristiwa yang besar dan menggembirakan bagi Tung Sun Nio. Sudah puluhan tahun lamanya Tung Sun Nio mengasingkan diri sehingga dia tidak dikenal orang di dunia kang-ouw. Adapun Cia Keng Hong sendiri, biarpun akhirnya dapat membersihkan nama gurunya dan telah menyadarkan nama gurunya dan telah menyadarkan para tokoh kang-ouw akan niatnya mengakhiri permusuhan yang ditimbulkan mendiang gurunya dengan hampir semua tokoh kang-ouw masih merasa segan untuk mendekat pemuda itu. *** Karena inilah maka perayaan itu hanya dihadiri oleh beberapa orang tokoh kang-ouw yang memiliki hubungan baik dengan Cia Keng Hong dan Yap Cong San. Adapun Gui Yan Cu yang sejak kecil ikut gurunya tidak mempunyai kenalan pula, sedangkan Sie Biauw Eng sebagai puteri Lam-hai Sin-ni, tentu saja hanya dikenal oleh para tokoh golongan hita yang sekarang bahkan menjadi musuh-musuhnya karena wanita cantik jelita yang lihai ini telah mengubah cara hidupnya semenjak dia bertemu dan jatuh cinta kepada Cia Keng Hong. Di antara para tokoh kang-ouw yang hadir tampak dua orang wakil dari Hoa-san-pai, lima orang wakil Kun-lun-pai yang diutus sendiri oleh ketua Kun-lun-pai yaitu Kiang Tojin yang menjadi sahabat baik Cia Keng Hong. Ouw Kian yang menjadi ketua tiat-ciang-pang bersama dua orang pembantunya, dan belasan orang tokoh kang-ouw lain yang merasa kagum kepada Cia Keng Hong. Biarpun tidak banyak tokoh kang-ouw yang hadir, namun suasana pesta meriah karena dipenuhi oleh penduduk dusun-dusun di kaki Pegunungan Cin-lin-san yang banyak mengenal Gui Yan Cu. Yap Cong San sebagai pengantin pria dari Siauw-lim-pai, diantar oleh lima orang hwesio tokoh Siauw-lim-pai ini tidak datang sendiri karena dia adalah sebagai orang yang punya kerja" di fihak pengantin pria dan dikuil Siauw-lim-si sudah diadakan upacara tersendiri sebelum Yap Cong San berangkat. Semua tamu sudah berkumpul, meja sembahyang sudah diatur dan dua pasang empelai sudah diarak keluar untuk melakukan upacara sembahyang pengantin. Mengagumkan dan menyenangkan sekali kalau melihat dua pasang pengantin ini karena memang merupakan pasangan yang amat setimpal. Sie Biauw Eng berwajah cantik manis dan agung, seperti puteri istana, bayangan dingin yang dahulu kini telah berubah penuh kehangatan dan gairah. Gui Yan Cu berwajah cantik jelita seperti bidadari, cerah dan memandang wajah dara ini seperti memandang matahari pagi. Adapaun dua orang pengantin prianya juga tapan dan gagah. Cia Keng Hong berwajah tampan dengan sinar mata tajam seperti berkilat, sikap tenang dan biarpun usianya baru dua puluh empat tahu, namun wajahnya sudah membayangkan kematangan batin, sinar matanya penuh pengertian dan sikapnya seperti sebuah telaga yang amat dalam. Yap Cong San juga tampan sekali, gerak-geriknya halus sesuai dengan kedudukannya sebagai seorang ahli sastra, karena di samping ilmu silatnya yang tinggi juga pemuda ini merupakan seorang sastrawan yang pandai. Dua pasang pengantin itu bersembahyang, dipimpin oleh seorang hwesio Siauw-lim-pai yang masih terhitung suheng dari Yap Cong San sendiri. Memang sebagai seorang hwesio, tentu saja suhengnya itu ahli dala urusan upacara sembahyang maka dialah yang ditunjuk untuk memimpin upacara sembahyang pengantin. Tung Sun Nio menyaksikan dengan air mata membasahi pipinya saking terharu.Terkenanglah nenek ini akan masa dahulu, sebagai isteri Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong. Menyesallah hatinya kalau mengenang masa mudanya, di mana ia mengalami penderitaan dalam rumah tangganya. Teringat ia betapa ketika ia menikah dengan Sie Cun Hong, mereka berdua pun bersembahyang seperti yang dilakukan dua pasang mempelai ini, akan tetapi kenyataannya kemudian amat menyakitkan hati. Dia sudah menjatuhkan cinta hatinya kepada Ouwyang tiong, akan tetapi orang tuanya dia diharuskan menikah dengan Sie Cun Hong. Karena Sie Cun Hong adalah seorang yang tampan dan gagah perkasa, ia masih mengharapkan dapat hidup bahagia di samping suaminya itu. Akan tetapi, ternyata Sie Cun Hong yang sudah terkenal sebagai seorang laki-laki yang gila wanita itu, tidak berubah dan bermain cinta dengan wanita mana saja yang mau melayaninya! Bahkan pelayannya sendiri, Oh Hian Wi, pelayan yang setia, dilayani pula oleh suaminya itu dan mereka melakukan hubungan gelap ketika gadis pelayan itu ikut bersamanya untuk melayaninya. Padahal, dia baru saja menikah belum sebulan lamanya, masih dalam suasana pengantin baru! Dia menangkap basah suaminya dan Oh Hian Wi dan mengerti bahwa hubungan mereka itu telah dilakukan semenjak dia dan pelayannya tinggal di rumah suaminya, bahkan mungkin di malam pengantin setelah dia tidur, suaminya itu mendatangi Oh Hian Wi yang tergila-gila kepadanya. Sekali menikah, suaminya mendapatkan dua orang wanita! Semenjak itu, hambarlah perkawinannya sehingga menciptakan serangkaian kejadian yang merupakan malapetaka! Nenek Tung Sun Nio menghela napas dan diam-diam ia berdoa untuk kebahagiaan dua pasang pengantin itu. Pernikahannya yang gagal, batinnya yang leah sehingga sebagai isteri Sie Cun Hong dia berlaku serong, bermain cinta dengan bekas kekasihnya, Ouwyang Tiong ketika orang ini mengunjunginya, telah menagakibatkan kehancuran hidupnya. Dia menderita puluhan tahun lamanya, menderita batin. Juga Ouwyang Tiong menderita batin sehingga pemuda itu lari kepada agama sehingga dia memperoleh kemajuan dan kedudukan tinggi, akhirnya menjadi ketua Siauw-li-pai. Biarpun biang keladinya adalah suaminya sendiri yang masih mengobral cinta, namun dia sendiri pun bersalah. Pernikahan yang hanya berlandaskan cinta bergelimang nafsu berahi, akan gagal! Yang menjadi pengikat erat, yang mengekalkan pernikahan bukan hanya berahi semata, sungguhpun hal ini merupakan syarat penting sekali. Tanpa kemesraan hubungan badani antara suami isteri, pernikahan pun akan gagal! Baru sekarang ia menyadarinya betapa agung cinta kasih antara suami isteri yang hanya akan dapat menjadi kekal sampai kematian memisahkan mereka kalau kedua fihak bersama-sama memupuknya dengan kebijaksanaan, dengan kesetiaan dan dengan kesadaran akan kewajiban masing-masing, sebagai isteri dan sebagai suami, kemudian sebagai ibu dan sebagai ayah anak-anak mereka! Tung Sun Nio tenggelam dalam lamunannya dan baru sadar setelah upacara sembahyang selesai dan kedua mempelai itu berlutut memberi hormat di depan kakinya. Tung Sun Nio membalas penghormatan mereka, kemudian dengan terharu ia menggunakan jari-jari tangannya menjamah dan mengelus kepala empat orang muda, bibirnya berbisik hampir tidak kedengaran, "Semoga Tuhan memberkahi kelian dengan kehidupan yang rukun dan bahagia." Ia mengusap air matanya dan dua pasang pengantin itu sudah bangun berdiri dan memberi hormat kepada para tamu yang sudah bangun dari tempat duduk dan membalas penghormatan mereka. "Ha-ha-hi-hi-hik! Hanya tiga kali dalam hidup manusia disambut orang-orang lain. Lahir, menikah dan mati. Kalian berempat sudah menjalani yang dua, tinggal terakhir! Bersiaplah kalian berempat untuk mati, hi-hik-hik!" Semua orang terkejut dan menengok keluar di mana tahu-tahu telah berdiri seorang nenek yang bukan lain adalah go-bi thai-houw, bersama Cui Im dan Mo-kiam Siauw-ong! Tung Sun Nio yang juga terkejut kini mengerutkan alisnya dan membentak. "Hian Wi manusia rendah budi ! engkau mau apa??" Biasanya, bekas pelayan ini amat takut kepadanya, bahkan dalam pertemuan terakhir di puncak Tai-hang-san, kedatangannya membuat nenek iblis itu lari ketakutan. Akan tetapi sekali ini, Go-bi Thai-houw sama sekali tidak kelihatan takut, bahkan tertawa mengejek, "Tung Sun Nio, engkau bukan majikanku lagi, dan mestinya sudah dulu-dulu kau kubunuh. Hi-hi-hik, engkau mengusirku untuk menjauhkan aku dari suamimu, siapa tahu,kiranya engkau sendiri malah berhubungan gelap dengan Ouwyang tiong dan.." "Tutup mulutmu, Iblis tua!" Keng Hong membentak marah sekali sehingga suaranya menggeledek, mengejutkan semua orang. "Wah, Keng Hong, engkau bersikap seolah-olah engkau seorang yang bersih dan suci. Heh-heh-heh, siapa yang tidak mengenal Cia Keng Hong? Guru kencing berdiri murid kencing berlari! Sin-jiu Kiam-ong seorang yang gila perempuan, muridnya tidak kalah hebat! Eh, Keng Hong, sudah berapa banyak perempuan yang mabuk dalam pelukanmu dan rayuanmu? Hi-hi-hik! Masih teringat aku betapa pandai engkau merayu...!" "Bhe Cui Im perepuan hina!" Biauw Eng kini sudah melepas kerudung pengantin dari mukanya. Mukanya pucat dan sepasang matanya mengeluarkan sinar kilat saking marahnya. "Hi-hi-hik, sumoiku yang manis. Engkaulah yang hina dan bodoh, mau dijadikan isteri seorang laki-laki cabul yang wataknya sama saja dengan mendiang Sin-jiu Kiam-ong. Aku berani bertaruh bahwa dalam waktu beberapa hari saja dia akan melakukan penyelewengan dengan wanita yang mana saja asal cantik dan suka melayaninya. Dia tampan Biauw Eng, tentu banyak wanita yang suka kepadanya!" "Go-bi Thai-houw! Kalau bukan Keng Hong yang melarang, engkau sudah mampus di tangan kami berempat ketika bertanding di puncak Tai-hang-san! Mengapa engkau sekarang malah datang untuk mengacau? Mengapa kalian berdua yang telah diberi kesempatan hidup tidak mengubah kelakuan, tidak bertobat alah kini melanjutkan kesesatan kalian?" Yap Cong San tak dapat menahan hatinya mendengar ucapan dua orang wanita itu yang amat menghina dan hendak membongkar rahasia mendiang guru dan ibu guru Keng Hong bahkan menghina Keng Hong secara keterlaluan. Go-bi Thai-houw hanya terkekeh, akan tetapi Cui Im memandang pemuda itu dengan mata mengejek. Ia pernah tergila-gila kepada pemuda Siauw-lim-pai yang tampan itu dan terang-terangan di tolak oleh Cong San sehingga kini timbul pula kebenciannya kepada pemuda itu. *** "Yap Cong San, engkau berlagak bicara seperti orang bijaksana, padahal engkau pun tolol dan bodoh seperti Biauw Eng! Siapa yang kaujadikan isteri itu? Apakah engkau tidak mengenal siapa isteri itu? Apakah engkau tidak mengenal siapa Gui Yan Cu ini? Memang dia cantik jelita, akan tetapi siapa tahu isi hatinya? Dia murid Tung Sun Nio, seorang isteri yang serong! Dan lama dia merantau berdua saja dengan Keng Hong, mana dia mau melepaskan seekor domba berdaging lunak seperti Yan Cu? Hi-hi-hik, aku berani bertaruh potong leher kalau di antara Yan Cu dan Keng Hong tidak ada hubungan cinta, ha-ha-ha!" "Bhe Cui Im, kau perempuan rendah dan keji!" Yan Cu jaga sudah merenggut kerudungnya dengan muka merah saking marahnya. Namun diam-diam ia merasa khawatir sekali karena tak dapat disangka pula bahwa memang dahulu ia amat tetarik kepada Cia Keng Hong. Agaknya, kalau tidak ada Biauw Eng dan Cong San, laki-laki pertama yang akan dicintanya lahir batin adalah Cia Keng Hong! "Go-bi Thai-houw dan Cui Im! Tidak perlu banyak cakap lagi. Katakanlah, apa maksud kedatangan kalian ini?" Keng Hong melangkah maju dan bertanya, sikapnya tenang namun sepasang matanya mengeluarkan sinar kilat yang membuat Cui Im di luar kesadarannya melangkah mundur setindak. Di dalam hatinya, dia amat gentar kalau harus menghadapi Keng Hong yang ia tahu memiliki ilu kepandaian yang amat hebat. Mo-kiam Siauw-ong yang sejak tadi hanya mendengarkan saja, kini berkata, "Cia Keng Hong, perlukah pertanyaan itu kau ajukan? Mereka berdua ini telah kau musuhi dan tentu kedatangan mereka untuk membalas dendam, seperti juga aku." "Engkau siapakah?" "Aku Mo-kiam Siauw-ong datang untuk menuntut balas jasa atas kematian tiga orang suhuku, Thian-te Sam-lo-mo!" "Hemmm... bagus! Kalian bersekutu untuk mengacaukan upacara pernikahan. Benar-benar perbuatan hina dan curang, di dalam dunia kaum sesat sekalipun orang akan menghormati upacara pernikahan mengadakan perhitungan atas urusan pribadi. Akan tetapi karena kalian sudah datang, kami pun sudah siap! Akan tetapi, ingatlah, Cui Im, sekali ini aku tidak mau mengampunkan engkau." "Srattt!" Tampak sinar hijau berkelebat dan tahu-tahu tangan kanan Keng Hong telah emagang sebatang pedang kayu. Itulah Siang-bhok-kiam, pedang terbuat dari kayu harum yang pernah menjadi perebutan seluruh tokoh dunia kang-ouw. Melihat pedang ini, kembali ati Cui Im menjadi gentar sekali dan ia melirik ke arah Go-bi Thai-houw sambil berbisik, "Harap subo hadapi keparat ini, biar teeecu menghadapi yang lain." "H-hi-hik, Cia Keng Hong, kepandaianmu tidak seberapa hebat akan tetapi lagakmu seperti jagoan. Kau akan bisa berbuat apa terhadap Go-bi Thai-houw?" Nenek ini melangkah maju menghadapi Keng Hong dengan kedua tangan kosong! Keng Hong maklum akan kelihaian nenek itu. Di puncak Tai-hang-san dia bantu oleh Biauw Eng, Yan Cu dan Cong San, dan mereka berempat masih terdesak. Akan tetapi pada waktu itu, dia memang tidak menyerang atau melawan dengan sungguh-sungguh karena memang dia masih menghormati nenek yang pernah menjadi guru Biauw Eng selama setahun lamanya itu dan tidak berniat untuk merobohkannya. Biarpun dia maklum bahwa dengan tangan kosong akan sukar baginya untuk mengalahkan nenek sakti ini, namun Keng Hong yang berjiwa pendekar besar merasa segan menghadapi lawan bertangan kosong dengan senjata di tangannya. Akan tetapi, ketika dia hendak menyimpan kembali pedangnya untuk melawan Go-bi Thai-houw dengan tangan kosong pula, terdengar suara riuh rendah dan tampak kurang lebih seratus orang datang menyerbu atas perintah Cui Im yang dikeluarkan melalui lengkingan panjang yang amat nyaring. Itulah pasukan bantuan Mo-kiam Siauw-ong yang terdiri dari bajak sungai, dikepalai oleh tokoh-tokoh kaum sesat Melihat serbuan ini, Keng Hong tidak menyimpan pedangnya kembali. Bahkan Biauw Eng sudah melolos sabuk sutera putih, senjatanya yang amat lihai. Cong San sudah mencabut sepasang senjatanya, yaitu Im-yang pit, pensil yang berwarna hitam putih sedangkan Gui Yan Cu pun sudah mencabut pedangnya. Para tamu yang memiliki ilmu kepandaian, sudah mencabut senjata masing-masing dan tanpa diminta mereka sudah menyambut datangnya para penyerbu yang ganas itu, sedangkan para tau yang tidak memiliki kepandaian silat, sudah bubar dan berusaha menyelamatkan diri, akan tetapi beberapa orang di antara tamu ini sudah roboh oleh senjata para bajak yang menyerbu dengan perintah untuk mengacau dan membunuh siapa saja tanapa pandang bulu! Kasihan para tamu yang terdiri dari para petani Pegunungan Cin-ling-san. Biarpun mereka berusaha menghindar, percuma saja mereka melawan keganasan para bajak sungai. Melihat ini, para tamu yang terdiri dari wakil-wakil partai dan tokoh-tokoh kang-ouw menjadi marah dan menyerbu para bajak. Terjadilah perang di tempat pesta pernikahan itu, perang kecil-kecilan yang hiruk-pikuk dan kacau- balau. Dan apalagi ketika para bajak yang banyak jumlahnya itu mulai membakar rumah Tung Sun Nio. Tempat yang disediakan untuk pesta perayaan pernikahan terbuat daripada bahan yang mudah terbakar karena memang dibangun secara darurat sehingga sebentar saja tempat itu menjadi lautan api, memaksa mereka yang bertanding memindahkan arena pertandingan di luar, menjauhi api. Keng Hong yang biasanya tenang dan sabar, menjadi marah sekali. Dia meninggalkan Go-bi Thai-houw, tubuhnya berkelebat ke arah para bajak lalu mengamuklah pendekar ini bagaikan seekor naga yang marah. Sinar hijau pedang Siang-bhok-kiam menjadi bergulung-gulung dan setiap orang anggauta bajak yang terkena sambaran sinar ini roboh dan tewas seketika! Karena kemarahannya menyaksikan bajak-bajak membakar dan membunuh tamunya yang sama sekali tidak berdosa dan tidak memiliki kepandaian untuk membela diri, Keng Hong mengamuk dan meninggalkan Go-bi Thai-houw, lupa bahwa nenek itu dan Cui Im-lah yang sesungguhnya merupakan dua orang yang paling berbahaya! Nenek Tung Sun Nio sudah menyambar pedang dan menerjang Go-bi Thai-houw, dibantu muridnya, Yan Cu yang juga memegang pedang. Namun Go-bi Thai-houw menyambut pengeroyokan guru dan murid ini sambil tertawa-tawa, tubuhnya membuat gerakan-gerakan aneh, meliuk ke sana-sini, kedua tangannya bergerak cepat, kadang-kadang mencakar, mendorong dan menangkis pedang dengan tangan kosong! Menyaksikan kehebatan Go-bi Thai-houw, Tung Sun Nio menjadi terkejut bukan main. Dahulu di waktu mudanya, bekas pelayan ini pernah menerima latihan ilmu silat, akan tetapi tentu saja masih jauh sekali di bawah tingkatnya. Siapa tahu, mereka setelah menjadi seorang nenek, setelah diusir pergi, Oh Hian Wi telah menjadi seorang nenek iblis yang memiliki ilmu kesaktian sedemikian hebatnya! Baiuw Eng yang amat benci kepada bekas sucinya, Cui Im yang sudah banyak mendatangkan kesengsaraan kepadanya dan kepada Keng Hong, sudah menyerang dengan ganas, mempergunakan sabuk suteranya yang bergerak seperti ular putih menotok jalan-jalan darah yang berbahaya secara cepat sekali. Namun Cui Im telah mengeluarkan pedangnya, sebatang pedang merah pula. Sebelum menyerbu, wanita ini telah berhasil menyuruh bikin sebatang pedang merah, terbuat dari baja merah yang biarpun keampuhannya tidak seperti pedang merahnya yang telah patah oleh Keng Hong di puncak Tai-hang-san, namun masih amat lihai dan berbahaya karena selain ilu pedangnya memang hebat semenjak dia mempelajari kitab-kitab warisan Sin-jiu Kiam-ong, juga dia telah menaruh racun di mata pedangnya. Mengetahui kelihaian Cui Im, Cong San membantu Biauw Eng, menggerakkan kedua pit-nya untuk menyerang lawan tangguh itu sehingga terjadilah pertandingan mati-matian yang amat hebat. Cui Im tertawa-tawa seperti Go-bi Thai-houw, memandang ringan dan ia malah masih dapat mengejek sambil menghalau senjata kedua orang lawannya dengan sinar pedang merahnya, "Kalian orang-orang tolol! Biauw-Eng, engkau menyerahkan diri pada seorang laki-laki yang cintanya palsu, seorang laki-laki mata keranjang yang tidak akan malu-malu melakukan hubungan kotor dengan ibunya sendiri! Dan kau, Cong San... hi-hi-hik, apakah kaukira isterimu itu belum ditiduri Keng Hong?" "Perempuan hina, tutup mulutmu!" Cong San marah sekali dan menubruk maju, kedua pit-nya menyerang tenggorokan dan pusar secara berbareng dengan gerakan yang amat cepat dan kuat. "Tring-cringgg..!" Cong San terhuyung ke belakang oleh tangkisan Cui Im. "Yap Cong San, kau pemuda tolol yang tak mau melihat kenyataan! Engkau mengenal siapa Keng Hong! Aku berani bertaruh bahwa isterimu itu bukan gadis lagi! Karena hanya Biauw Eng ini satu-satunya gadis yang belum bisa dia dapatkan, maka dia memilih Biauw Eng. Isterimu adalah bekasnya, hi-hi-hik!" "Cui Im, aku harus membunuhmu!" Biauw Eng membentak marah sekali. Cui Im cepat meloncat ke kiri menghindarkan serangan sabuk sutera putih yang amat berbahaya itu. "Sumoi, kau marah karena omonganku emang merupakan kenyataan? Ha-ha-ha, engkau tentu tahu siapa Keng Hong, akan tetapi karena cintamu engkau menjadi buta! Da karena gobloknya maka Cong San ini pun menjadi buta!" "Wuuuttttt!" Sabuk sutera putih menerjang ganas. Sepasang Im-yang-pit di tangan Cong San juga menerjang. "Aihhhhh... brettt...!" Biarpun Cui Im sudah menggerakkan pedang dan mengelak, tetap saja bajunya dekat lambung terobek oleh pit hitam di tangan kanan Cong San. *** "Baiklah, kalau kalian lebih suka mampus!" bentak Cui Im yang maklum bahwa ia menghadapi dua lawan yang tangguh. Kalau mereka maju satu-satu, tentu akan mudah ia akan merobohkan mereka. Akan tetapi, kalau dua orang itu maju bersama mengeroyoknya, ia harus benar-benar mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya untuk melawan. Kini Cui Im tidak bicara lagi karena harus memusatkan perhatiannya kepada kedua orang pengeroyok yang lihai itu. Namun, diam-diam omongan-omongannya tadi yang merupakan serangan-serangan lebih dahsyat daripada pedang merahnya, telah menggores hati Biauw Eng, terutama sekali Cong San. Biauw Eng sudah mengenal betul suaminya, tahu bahwa Keng Hong mempunyai kelemahan terhadap kecantikan wanita dan melihat bahwa Yan Cu amat cantik jelita, tuduhan yang dilontarkan Cui Im tadi bukanlah kosong belaka, mengandung banyak kemungkinan. Sebetulnya, perasaan cemburu sudah lenyap dari hatinya terhadap Keng Hong. Hal yang sudah lewat tidak akan diingatnya kembali karena pernikahan merupakan lembaran baru dalam hidupnya. Apa yang telah dilakukan Keng Hong di masa lampau, tidak akan dipedulikan, karena yang pentingnya baginya adalah masa depan. Kalau saja Keng Hong menghentikan sifatnya yang suka kepada wanita cantik di masa mendatang, dia sudah memaafkan dan akan melupakan segala peristiwa yang pernah terjadi antara suaminya dengan wanita-wanita lain. Akan tetapi, ucapan-ucapan Go-bi Thai-houw dan Cui Im erupakan racun yang sedikit banyak mengusik hatinya. Kalau benar Keng Hong mewarisi watak Sin-jiu Kiam-ong, ayahnya... ia bergidik dan kedua pipinya menjadi panas. Ayahnya pun sudah menikah dengan nenek Tung Sun Nio di waktu mudanya, namun masih saja melanjutkan petualangannya dengan wanita, bahkan bermain cinta gelap dengan Oh Hian Wi, pelayannya sendiri! Bagaimana kalau benar-benar Keng Hong mewarisi watak guru suaminya dan juga ayahnya sendiri itu? Dan Yan Cu... kini ia ragu-ragu apakah di dalam hubungan antara mereka tidak ada cinta! Semua ini membuatnya marah sekali, marah kepada Cui Im dan dia menyerang dengan mati-matian. Omongan beracun itu pun mempengaruhi hati Cong San. Memang tadinya dia pun menduga bahwa Yan Cu mencinta keng Hong, dan baginya merupakan hal yang amat tidak diduga-duganya bahwa Yan Cu suka menjadi isterinya. Benarkah Yan Cu telah ditiduri Keng Hong seperti yang diucapkan Cui Im? Dan hanya mau menerima dia karena tidak mempunyai harapan mempersuamikan Keng Hong yang memilih Biauw Eng? Benarkah... benarkah Yan Cu bukan gadis lagi? Biarpun dia sudah mengerahkan tenaga batinnya untuk menolak bisikan-bisikan yang mengganggu hatinya ini, namun tetap saja dia merasa tidak enak dan marah. Seperti juga Biauw Eng, dia menimpakan kemarahannya kepada Cui Im dan menyerang dengan sengit. Pertandingan antara Cui Im yang dikeroyok oleh Biauw Eng dan Cong San ramai dan seimbang, tidak seperti pertandingan antara Go-bi Thai-houw yang dikeroyok oleh Tung Sun Nio dan Yan Cu. Go-bi Thai-houw terlampau sakti bagi guru dan murid ini, terutama sekali bagi Yan Cu. Gadis ini menjadi bingung menyaksikan gerakan nenek itu yang amat aneh sehingga beberapa kali hampir saja ia terkena cakaran tangan si nenek yang melakukan pertandingan sambil tertawa-tawa mengejek. Ia dan gurunya terdesak hebat dan hanya dengan kerja sama yang erat dan saling melindungi saja mereka masih sanggup mempertahankan diri. Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring, "Go-bi Thai-houw, pinceng hendak bicara!" ternyata lima orang hwesio Siauw-lim-pai telah berada di situ menghadapi Go-bi Thai-houw yang meloncat mundur sambil terkekeh memandang rendah. Ketika para tokoh kang-ouw yang menjadi tamu tadi semua maju menyambut para bajak yang datang menyerbu, lima orang hwesio Siauw-lim-pai ini tidak bergerak, bahkan meraka saling berbisik dengan wajah sungguh-sungguh sehabis endengar omongan Go-bi Thai-houw. Setelah bersepakat, kini mereka menghampiri nenek itu dan menghentikan pertandingan yang sedang ramai-ramainya. Mereka adalah murid-murid ketua Siauw-lim-pai, dan biarpun dalam hal ilmu silat, tingkat mereka masih lebih rendah dari Yap Cong San, akan tetapi Cong San masih terhitung sute mereka. Usia mereka rata-rata sudah lima puluh tahun lebih dan mereka memiliki kedudukan yang cukup tinggi di Siauw-lim-pai. "Heh-heh-heh, hwesio-hwesio Siauw-lim-pai menghentikan pertempuran! Kalian mau bicara apakah? Kalau mau mengeroyok, mengapa pakai banyak cakap? Majulah!" Go-bi Thai-houw menantang. Thian Lee Hwesio, yang tertua di antara mereka, menggeleng kepalanya, "Omitohud, kami adalah orang-orang beragaa yang pantang berkelahi, apalagi membunuh. Akan tetapi, kami pun hamba-hamba yang mengabdi kebenaran yang siap mempertaruhkan nyawa demi kebenaran. Go-bi Thai-houw, engkau telah mengucapkan kata-kata yang amat menghina suhu kami, Tiong Pek Ho-siang ketua Siauw-lim-pai. Pinceng hanya minta agar engkau suka menarik kembali kebohongan yang menghina itu, kalau tidak, terpaksa pinceng berlima mengorbankan nyawa demi membela kebersihan nama suhu dan Siauw-lim-pai!" "Heh-heh-hi-hi-hik! Kalian ini gundul-gundul yang tolol, tidak mengenal guru dan ketua sendiri! Siapa membohong? Gurumu itu, si tua bangka gundul Tiong Pek Hosiang yang sekarang kelihatannya seperti orang suci bersih, dahulu di waktu mudanya bernama Ouwyang tiong dan dialah orangnya yang berjina dengan isteri Sin-jiu Kiam-ong!" "Omitohud... tak mungkin!" Thian Lee Hwesio membentak, menahan kemarahannya. "Heh-heh-heh, tidak mungkin? Kau tanyakan saja kepada isteri Sin-jiu Kiam-ong ini. Eh, Tung Dun Nio, bukankah engkau telah berjina dengan Ouwyang Tiong sehingga tertangkap basah oleh suamimu? Hayo, menyangkallah!" Lima orang hwesio itu dengan mata terbelalak menoleh dan memandang kepada Tung Sun Nio. "Maaf, Toanio... benarkah itu...?" Thian Lee Hwesio memberanikan hatinya bertanya. Yang ditanya tidak dapat menjawab, tidak mengangguk atau menggeleng, hanya berdiri dengan muka pucat sekali dan dua titik air mata turun di sepasang pipi yang keriput. Tak disangkanya bahwa sampai sekarang pun bekas kekasihnya itu, Ouwyang Tiong yang kini telah menjadi ketua Siauw-lim-pai yang terhormat, masih akan menderita karena perbuatan mereka dahulu yang disesatkan oleh pengaruh iblis, rahasia mereka dibuka secara menghinakan sekali oleh Go-bi Thai-houw! Menyaksikan keadaan gurunya, Yan Cu tak dapat menahan kemarahannya lagi. Ia meloncat maju dengan serangan kilat sambil membentak, "Nenek iblis! Aku akan mengadu nyawa denganmu!" "Toanio.. bagaimana..?" Thian Lee Hwesio mendesak. Urusan itu amat penting baginya, bagi para saudaranya, bagi seluruh anggauta Siauw-lim-pai, karena menyangkut nama baik ketuanya yang berarti menyangkut kehormatan Siauw-lim-pai sendiri. Tung Sun Nio seperti orang termenung, melihat muridnya menerjang nenek iblis itu. Kemudian seperti orang kehilangan semangat, ia mengangguk dan berkata, "Harap kalian jangan menyalahkan dia. Kasihan dia yang sudah banyak menderita..." "Omitohud...!" Pengakuan itu membuat lima orang hwesio Siauw-lim-pai terbelalak pucat da merangkap sepuluh jari tangan ke depan dada. Go-bi Thai-houw yang diserang oleh Yan Cu, cepat membuat gerakan meliuk ke belakang, kedua tangan bergerak dan tahu-tahu sepasang pergelangan tangan Yan Cu telah ditangkapnya! Lepaskan muridku!" Tung sun Nio yang melihat bahaya mengancam muridnya, segera menyerang dengan tusukan pedang ke arah kepala Go-bi Thai-houw mengerahkan tenaga, memaksa tangan Yan Cu yang memegang pedang itu bergerak membalik sehingga pedangnya menangkis pedang gurunya sendiri. "Krakkk!" Kedua pedang itu patah. "Aku atau kau yang harus mampus!' Tung Sun Nio memekik dan menubruk maju dengan kedua tangan, mencengkeram ke arah dada dan ubun-ubun Go-bi Thai-houw yang masih memegang kedua pergelangan tangannya membiru dan nyeri sekali. Akan tetapi, ia cepat bangkit berdiri dan terbelalak, memandang betapa gurunya kini sudah saling mengadu telapak tangan dengan Go-bi Thai-houw. Tubuh gurunya menggigil seperti orang kedinginan, sedangkan Go-bi Thai-houw masih terkekeh-kekeh. "Subo...!" Yan Cu maklum bahwa gurunya terancam nyawanya. Ia tidak mempedulikan kedua lengannya yang nyeri, tidak peduli akan kesaktian nenek iblis itu dan menerjang maju. Akan tetapi sebuah tendangan kaki kiri Go-bi Thai-houw yang melayang dengan cepat tak tersangka-sangka membuat dia terlempar dan terguling-guling lagi. "Keng Hong suheng...!!" Tolong Subo...!!" Yan Cu yang menjadi panik dan khawatir akan keselamatan subonya, menjerit dengan teriakan melengking nyaring. Pada saat itu, Keng Hong masih mengamuk. Memang benar bahwa para tamu yang berkepandaian, seperti dua orang wakil Hoa-san-pai, lima orang wakil Kun-lun-pai, tiga orang tokoh Tiat-ciang-pang dan belasan orang kang-ouw lain membantu fihaknya menghadapi para bajak sungai, akan tetapi jumlah mereka amat banyak dan mereka dipimpin oleh oran-orang yang pandai pula, terutama sekali Mo-kian siauw-ong yang lihai. Maka dia sendiri mengamuk dan robohlah puluhan orang anggauta bajak sungai di tangan pendekar sakti ini. Ketika mendengar jerit Yan Cu, barulah dia teringat akan dua orang musuh yang amat sakti. *** Setelah sadar akan hal ini, dia terkejut sekali, tubuhnya mencelat ke belakang dan dengan gerakan kilat dia meloncat ke arah suara Yan Cu. Kaget dia melihat Yan Cu yang untuk ke sekian kalinya sudah terguling-guling lagi dan melihat pula nenek Tung Sun Nio terhuyung-huyung dan roboh terdorong oleh kedua tangan Go-bi Thai-houw dan juga dia terheran-heran melihat lima orang suheng Cong San hanya berdiri memandang, sama sekali tidak membantu subonya itu. Sekilas pandang maklumlah dia bahwa subonya telah terluka hebat, maka dengan kemarahan meluap dia lalu menerjang Go-bi Thai-houw denan serangan dahsyat, memukul dengan dorongan telapak tangan kanan, sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah ubun-ubun nenek iblis itu. Serangan ini dahsyat bukan main karena Keng Hong mempergunakan jurus ilmu silat Thai-kek Sin-kun dan keduia tangannya dijalari tenaga sinkang yang amat kuat. Karena kekhawatirannya menyaksikan keadaan subonya dan sumoinya, Keng Hong sekali ini mengerahkan seluruh tenaganya. "Plak! Bresssss!!!" Hebat bukan main pertempuran antara tenaga sinkang yang dahsyat itu ketika si nenek iblis menangkis kedua pukulan Keng Hong. Keduanya terdorong mundur sampai lima langkah dan kembali diam-diam Keng Hong harus mengakui dalam hatinya bahwa selama dia berhadapam dengan tokoh-tokoh hitam, para datuk golongan sesat, baru sekaranglah dia bertemu lawan yang amat hebat tenaga sinkangnya, bahkan yang agaknya masih mengatasi kekuatannya sendiri karena pertemuan tenaga tadi memuat dia menjadi agak pening sedangkan nenek itu masih terkekeh-kekeh. Dia tidak tahu bahwa nenek itu terkekeh bukan karena tidak merasakan akibat benturan tenaga itu, melainkan terkekeh untuk menutupi rasa kagetnya! Nenek itu pun terkejut bukan main ketika erasa betapa seluruh tubuhnya tergetar. Mengapa pemuda itu sehebat ini tenaganya? Belum lama yang lalu, di puncak Tai-hang-san, tidak sedahsyat ini tenaga Cia Keng Hong! "Heh-heh-heh, sekali ini engkau akan mampus di tanganku, murid Sin-jiu Kiam-ong!" Tiba-tiba nenek itu menubruk maju dan entah kapan mengeluarkannya, kedua tangannya sudah memegang sepasang kebutan yang digerakkan cepat sekali ke arah muka dan pusar Keng Hong. "Wuuuttt... syuuuttt!" Keng Hong yang melihat berkelebatnya sinar merah dan biru, cepat membuang diri ke belakang sambil mengebutkan kedua lengan bajunya. Ia merasa angin menyambar mukanya dan untung bahwa hawa pukulan yang keluar dari lengan bajunya dapat menyampok buyar ujung kebutan merah yang dia tahu amat berbahaya. Sambil berjungkir balik ketika membuang diri ke belakang, tangannya bergerak mencabut Siang-bhok-kiam! Karena gentar menghadapi tenaga sinkang Keng Hong setelah benturan tangan pertama tadi, Go-bi Thai-houw mencabut keluar senjatanya, sepasang kebutan yang sesungguhnya hampir tak pernah ia keluarkan apabila ia menghadapi lawan. Dan hal ini merupakan kesalahannya karena dengan ilmu silatnya yang tinggi dan aneh, dengan tenaga sinkangnya yang mujijat karena bercampur dengan ilmu hitam yang didapat di waktu ia masih gila, belum tentu Keng Hong akan dapat mengalahkannya apabila mereka bertanding dengan tangan kosong. Akan tetapi sekali pemuda sakti itu mencabut pedang Siang-bhok-kiam dan memutar senjata itu, terkejutlah Go-bi Thai-houw karena sinar hijau bergulung-gulung dan mengeluarkan suara berdesing melengking itu benar-benar merupakan kiam-sut yang amat luar biasa dan bagi dia jauh lebih berbahaya kalau menghadapi lawan ini dalam pertandingan tangan kosong! Betapapun juga, dia tidak percaya bahwa dia akan kalah melawan seorang pemuda yang patut menjadi cucunya! Sepasang kebutannya bergerak dan tiba-tiba beberapa helai benang kebutan merah dan biru terlepas dari ikatannya menyambar ke arah tiga belas jalan darah maut di depan tubuh Keng Hong! Benang-benang kebutan ini merupakan senjata rahasia yang amat berbahaya karena selain dilepas dari jarak amat dekat selagi mereka bertanding, juga benang-benang itu karena dilepas dengan dorongan tenaga sinkang yang mujijat, menjadi kaku seperti jarum-jarum panjang! Kaget juga Keng Hong menyaksikan sinar-sinar berkelebatan menyerangnya ini, akan tetapi dengan sikap tenang dia memutar pedangnya melindungi tubuhnya dan benang-benang itu runtuh menjadi potongan-potongan halus karena beberapa kali terbabat pedang, kemudian dia melanjutkan gerakan pedangnya, mainkan Ilmu Pedang Siang-bhok-kiam-sut yang dia warisi dari suhunya, Sin-jiu Kiam-ong! Go-bi Thai-houw menjadi kagum bukan main. Setajam-tajamnya sebatang pedang kayu, tentu tidak setajam pedang logam, akan tetapi pedang kayu itu dapat membabat benang-benang kebutannya yang melayang itu sampai menjadi potongan-potongan halus membuktikan betapa ampuh pedang itu dan betapa dahsyat tenaga sinkang tangan yang memegangnya. Kini nenek itu tidak berani memandang rendah lagi dan berhentilah suara ketawanya. Ia menyerang dengan pengerahan tenaga dan kepandaian sekuatnya sehingga terjadilah petandingan hebat yang membuat pandang mata para penonton menjadi kabur. Gui Yan Cu yang tadi terkena tendangan dua kali oleh Go-bi Thai-houw, tidak terluka hebat, akan tetapi tendangan kedua yang mengenai bawah pusar membuat tubuh bagian itu terasa nyeri. Dia sudah bangkit kembali dan ketika melihat bahwa Keng Hong sudah melayani Go-bi Thai-houw, da tidak berani membantu karena maklum bahwa kepandaiannya masih jauh di bawah tingkat mereka.Apalagi dia percaya akan kesaktian suhengnya, maka dia lalu menghampiri subonya yang masih menggeletak rebah terkena pukulan Go-bi Thai-houw ketika kedua orang nenek itu tadi mengadu tenaga sinkang. Ia melihat subonya berusaha bangkit duduk dengan susah payah, wajah subonya pucat sekali. "Subo...1" Ia menubruk dan membantu subonya bangkit duduk. "Jangan pedulikan aku... lekas bantu mereka... suamimu dan Biauw Eng..." Tung Sun Nio berkata lemah sambil menuding ke medan pertempuran Yan Cu memandang subonya dengan ragu-ragu. "Subo terluka hebat.. perlu dirawat..." Subonya menggeleng kepala. "Dahulukanlah yang lebih penting, suamimu terancam bahaya..." Mendengar ini, Yan Cu cepat menengok dan ia segera meloncat bangun. Memang benar apa yang diucapkan subonya. Kalau tadi Cong San bersama Biauw Eng dapat mengimbangi Cui Im yang amat lihai dengan pengeroyokkan mereka, kini keadaan kedua orang itu terdesak hebat dengan masuknya Mo-kiam Siauw-ong dalam pertempuran itu membantu Cui Im! Kiranya pertempuran antara para bajak yang dipimpin oleh kepala masing-masing melawan para tokoh kang-ouw, tidaklah terlalu berat lagi bagi para bajak setelah kini Keng Hong meninggalkan medan pertempuran untuk menghadapi Go-bi Thai-houw. Yang paling hebat kepandaiannya di antara para tokoh kang-ouw hanyalah ketua Tiat-ciang-pang Ouw Kian yang mengamuk dengan kedua tangan kosong yang merupakan tangan baja, akan tetapi Ouw Kian dikeroyok oleh enam orang kepala bajak yang semua memegang senjata sehingga terjadi pertempuran mati-matian yang amat hebat pula. Tentu saja Mo-kiam Siauw-ong lebih memeperhatikan Cui Im dan Go-bi Thai-houw daripada keselamatan para bajak, maka ketika dia melihat bahwa Keng Hong yang kepandaiannya menggetarkan hatinya kini bertanding melawan nenek Go-bi Thai-houw dan melihat Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im dikeroyok dua oleh Cong San dan Biauw Eng yang juga amat lihai, dia sudah membantu Cui Im tanpa diminta. Kalau dibandingkan dengan kepandaian Biauw Eng, tokoh lembah Sungai Fen-ho ini masih kalah jauh, bahkan jika dia sendiri saja melawan Cong San, dalam dua puluh jurus saja dia tentu akan roboh. Akan tetapi, di sampingnya terdapat Cui Im yang lihai sehingga bantuannya merepotkan Biauw Eng dan Cong San karena murid Thian-te Sam-lo-mo ini pun bukan seorang lemah. Tung sun Nio sudah terluka hebat dan nenek ini maklum bahwa luka di dalam dadanya akibat himpitan tenaga sinkang Go-bi Thai-houw yang luar biasa kuatnya itu tak mungkin dapat diobati lagi. Dia tidak peduli akan keadaan dirinya sendiri. Dia sudah tua, usianya sudah sembilan puluh tahun! Mati bukan apa-apa lagi bagi seorang setua dia. Akan tetapi hatinya gelisah bukan main menyaksikan pertandingan itu, maka dia tidak mau membuat gelisah hati muridnya dan memaksa muridnya membantu Biauw Eng dan Cong San. Yan Cu cepat merobohkan seorang bajak sungai yang berpedang, merampas pedangnya dan sekali hantam, telapak tangannya membikin pecah kepala bajak itu. Dengan pedang rampasan di tangan, ia meloncat dan menyerbu membantu suaminya dan Biauw Eng, langsung menyerang Mo-kiam Siauw-ong! "Tranggg!" Mo-kiam Siauw-ong menangkis dan terkejutlah dia karena pedangnya hampir terpental dari tangannya sedangkan sinar pedang dara yang cantik jelita, kedua pipinya merah dan matanya bersinar-sinar saking merahnya itu telah menyambar lagi ke arah lehernya. "Hayaaaaa...!" Ia membuang diri ke belakang sampai berdebuk suaranya dan terus dia bergulingan menjauhkan diri. Yan Cu mengejar, membacok bertubi-tubi sampai tiga kali. Akan tetapi Mo-kiam Siauw-ong bukanlah orang lemah, sambil bergulingan dia dapat menangkis tiga kai bacokan itu. "Trang-trang-trang... singgggg...!" Dalam gulingan keempat, pedangnya menyabar ke arah kaki Yan Cu. Terpaksa gadis ini melompat mundur dan kesempatan ini dipergunakan oleh Mo-kiam Siauw-ong untuk meloncat berdiri dengan keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya. Yan Cu merasa penasaran sekali. Kiranya teman Cui Im ini pun seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Ia melirik ke arah Biauw Eng dan suaminya dan hatinya lega karena setelah kini ditinggalkan Mo-kiam Siauw-ong, kedua orang itu dapat mengimbangi lagi permainan pedang merah Cui Im sungguhpun tak dapat dikatakan bahwa mereka itu mendesaknya. Cui Im terlalu lihai dan Yan Cu yang sudah mendengar dari Keng Hong maklum bahwa kepandaian Cui Im terlalu lihai dan Yan Cu yang sudah mendengar dari Keng Hong maklum bahwa kepandaian Cui Im tidak jauh di bawah itu telah mewarisi pula kitab-kitab pelajaran ilmu silat tinggi peninggalan Sin-jiu Kiam-ong. "Cong San koko! Enci Biauw Eng, hati-hatilah menghadapi siluman itu. Biar aku yang membasmi anjing busuk ini!" katanya dan kembali ia menerjang dengan ganas, pedangnya menusuk perut Mo-kiam Siauw-ong yang sudah bersiap-siap dan menangkis sambil balas menyerang. Tung Sun Nio duduk bersila dan napasnya sesak sekali, akan tetapi ia masih mencurahkan perhatiannya kepada jalannya pertempuran. Para bajak yang kini ditinggalkan Mo-kiam Siauw-ong, menjadi kacau balau dan kehilangan semangat, tidak kuat menghadapi tokoh kang-ouw yang tadinya menjadi tamu dan kini membantu fihak tuan rumah. Keng Hong masih bertanding dengan seru melawan Go-bi Thai-houw dan karena gerakan mereka amat cepat sedangkan gerakan Go-bi Thai-houw anehnya luar biasa, sukar baginya untuk dapat mengikuti dan menentukan siapa di antara mereka yang akan menang. Akan tetapi hatinya merasa khawatir sekali melihat betapa Biauw Eng dan Cong San agaknya kewalahan menahan serangan-serangan hebat dari Cui Im, sedangkan sumoinya dapat mendesak Mo-kiam Siauw-ong. Ia menoleh ke arah lima orang hwesio Siauw-lim-pai yang masih berdiri seperti arca, agaknya tenggelam ke dalam lamunan masing-masing. "Ngo-wi Suhu dari Siauw-lim-pai, apakah tidak malu berpeluk tangan saja menyaksikan orang-orang jahat mengacau?" Tung Sun Nio memaksa diri berkata. Lima orang hwesio itu menoleh dan Thian Lee Hwesio menarik napas panjang, "Omotohud..... pinceng sendiri tidak tahu mana itu orang baik dan mana orang jahat.....! Setelah apa yang pinceng dengar tadi....... ahhhhh......" "Thian Lee Hwesio! Sudah kuakui akan kesesatanku di waktu muda dengan ketua kalian, akan tetapi itu adalah urusan dulu! Sekarang yang penting, kalian melihat sute kalian Yap Cong San terancam oleh wanita iblis Ang-kiam Bu-tek yang dahulu pernah membunuh sudsiok kallian Thian Ti Hwesio. Apakah kalian kini akan berpangku tangan saja menyaksikan sute kalian dibunuh juga? Ataukah kalian menggunakan alasan pantang berkelahi untuk menyembunyikan rasa takut kalian terhadap Ang-kiam Bu-tek?" Wajah lima orang hwesio itu menjadi merah dan Thian Lee Hwesio berkata, "Apa yang dilakukan oleh suhu memang telah lewat puluhan tahun lamanya, dan sekarang ditambah lagi dengan pernikahan Yap-sute dengan seorang gadis keluarga yang banyak melakukan penyelewengan....... omitohud........ kalau dunia kang-ouw mendengar akan semua ini........ habislah nama baik Siuw-lim-pai.......!" Biarpun berkata demikian, hwesio itu memberi isyarat kepada empat orang sutenya dan mereka melangkah lebar mendekati tempat pertandingan antara Cong San dan Biauw Eng yang mengeroyok Cui Im. Melihat ini, Tung Sun Nio yang tadi mengerahkan seluruh tenaga untuk dapat bicara dan membakar hati para hwesio Siauw-lim-pai itu, menarik napas lega, akan tetapi wajahnya memperlihatkan rasa nyeri yang ditahan-tahannya dan ia memejamkan kedua matanya. Pertandingan antara Keng Hong melawan Go-bi Thai-houw sudah berjalan seratus jurus lebih, makin lama makin seru dan gerakan kedua orang ini benar-benar dahsyat. Kalau Keng Hong bertempur dengan tenang dan hati-hati karena maklum akan kelihaian nenek itu, Go-bi Thai-houw menjadi marah-marah dan penasaran sekali. Masa dengan sepasang kebutannya dia tidak mampu mengalahkan seorang pemuda seperti ini? Bahkan mendesak pun dia tidak dapat dan sudah beberapa kali hampir saja ia disambar pedang Siang-bhok-kiam yang amat berbahaya itu. Ia mengeluarkan bunyi seperti gerakan seekor binatang buas, kemudian menubruk maju dengan gerakan aneh, kebutan kanan menyambar ke arah leher Keng Hong sedangkan yang kiri meluncur kaku seakan-akan bulu kebutan lemas itu berubah menjadi baja, menusuk ke arah pusar lawan. Keng Hong yang merasa khawatir akan keselamatan isterinya, sumoinya, dan Cong San yang menghadapi Cui Im karena dia maklum bahwa tingkat kepandaian iblis betina yang juga sumoinya amat tinggi, jauh lebih tinggi dari pada tingkat Biauw Eng dan lain-lain, mengambil keputusan untuk cepat-cepat merobohkan nenek yang lihai ini. Agaknya kalau hanya mengandalkan pedang dan ilmu silatnya saja, akan amat sukarlah baginya merobohkan lawan yang selain lihai juga jauh lebih berpengalaman daripada dia itu. Di samping ilmu-ilmunya yang tinggi dan dahsyat, Keng Hong memiliki semacam ilmu yang disebut Thi-khi-i-beng (Mencuri Hawa Memindahkan Nyawa), ilmu penyedot sinkang lawan yang tadinya timbul di dalam tubuhnya di luar kesadarannya semenjak dia menerima pemindahan sinkang dari tubuh gurunya, Sin-jiu Kiam-ong. Akan tetapi, setelah dia menemukan kitab-kitab peninggalan suhunya dan mempelajari ilmu sakti Thai-kek Sin-kun yang ditemukan juga di dalam tempat rahasia suhunya, dia kini dapat menguasai ilmu itu sepenuhnya dan dapat mempergunakannya jika perlu. Dahulu dia banyak mengakibatkan robohnya orang-orang sakti di dunia kang-ouw dengan ilmu penyedot sinkang ini, akan tetapi hal ini terjadi di luar kehendaknya dan dia tidak tahu bagaimana cara menghentikan bekerjanya ilmu mujijat ini. Sekarang, ilmu yang telah dikuasainya ini dapat dia pergunakan dan hentikan sesuka hatinya. Kalau Keng Hong mengingat akan pengalamannya dahulu, betapa banyak orang roboh dan binasa sebagai korban ilmunya yang mujijat dan tidak dia kuasai sehingga merupakan ilmu yang liar dan yang timbul sewaktu-waktu di luar kehendaknya, dia merasa ngeri sehingga tadinya dia mengambil keputusan untuk tidak mempergunakan ilmu yang dianggapnya terlalu keji ini untuk menghadapi lawan, kalau tidak amat terpaksa. Kini, menghadapi Go-bi Thai-houw yang benar-benar amat lihai, dia mengambil keputusan untuk menggunakan Thi-khi-i-beng agar dia dapat merobohkan si nenek iblis kemudian cepet-cepat membantu isteri dan teman-temannya mengalahkan Cui Im, apalagi karena dia tahu bahwa subonya, nenek Tung Sun Nio, telah menderita luka dalam yang amat berbahaya. Keng Hong sedikit memperlambat gerakannya, memberi kesempatan kepada sepasang kebutan nenek itu menyambar dekat, kemudian dia mengangkat lengan kirinya menangkis kebutan yang menyambar leher, memindahkan langkah kaki untuk mengelak dari kebutan yang menyambar pusar dan Siang-bhok-kiam sudah berkelebat cepat menyambar ke arah pergelangan tangan Go-bi Thai-houw yang sebelah kanan. Nenek itu terkejut sekali melihat sinar hijau berkelebat ke arah tangannya. Kalau yang diserang itu bagian tubuh lain, tentu dia sudah siap untuk mengelak atau menangkis. Akan tetapi hatinya sudah terlalu girang karena melihat tangkisan tangan kiri Keng Hong tadi, ia cepat mempergunakan kesempatan ini untuk membelit tangan kiri Keng Hong dengan ujung kebutan dan dia berhasil. Hal ini membuatnya agak lengah dan baru ia terkejut bukan main setelah Siang-bhok-kiam menyambar dekat! "Crokkk!!" Kebutan itu jatuh ke atas tanah karena gagangnya terbabat putus oleh Siang-bhok-kiam! Nenek itu ternyata lihai bukan main. sambaran pedang yang tiba-tiba datangnya itu masih dapat ia hindari dengan tarikan lengan cepat sekali sehingga pedang itu bukan membabat lengannya, melainkan gagang kebutan, dekat sekali dengan jari tangannya yang memegang gagang! Akan tetapi, nenek itu terkejut, terpaksa melepaskan libatan kebutan kanannya dari tangan Keng Hong dan melompat mundur. Keng Hong merasa pergelangan tangan kirinya perih dan ternyata kulitnya lecet-lecet bekas lilitan ujung kebutan itu. *** Go-bi Thai-houw yang merasa kaget menjadi marah sekali. Ia memindahkan kebutan ke tangan kiri, kemudian mengeluarkan teriakan melengking yang membuat orang-orang di dekat situ merasa kaget dan seperti seekor harimau mengamuk ia menubruk maju, kebutan di tangan kiri menghantam ke arah kepala Keng Hong dengan tenaga dahsyat! Keng Hong cepat menangkis dengan pedangnya. "Wuuuttt..... plakkk!" Pedang itu kini terlibat oleh ujung kebutan dan Keng Hong merasa betapa tangan kanannya yang memegang pedang tergetar hebat. Terdengar nenek iblis itu tertawa dan tangan kanannya mencengkeram ke arah dada Keng Hong! "Bagus!" Keng Hong berseru karena memang ini yang dia kehendaki untuk mengalahkan nenek itu dengan Thi-khi-i-beng, maka dia menyambut cengkeraman tangan kanan nenek itu dengan tangan kirinya. "Plakkkkk!!" Dua tangan bertemu dan melekat kuat, pada saat pertemuan kedua telapak tangan itu, Keng Hong menggunakan ilmunya dan ada daya sedot yang amat kuat keluar dari telapak tangannya, membuat tangan nenek itu melekat pada tangannya dan tenaga sinkang nenek itu tersedot. "Aihhhhh.....!" Go-bi Thai-houw berteriak seperti jeritan seekor binatang buas. Untuk dua tiga detik hawa sinkangnya menerobos keluar tersedot oleh lawan. "Heeeiiiiittt!" Keng Hong terkejut sekali dan cepat dia mencelat ke belakang dengan mata terbelalak. Tadinya memang dia merasa berhasil menyedot sinkang nenek itu, akan tetapi tiba-tiba saja hawa sinkang nenek itu berhenti mengalir dan telapak tangannya seolah-olah menyedot sebatang kayu sudah kering sama sekali, bahkan tenaga menempel tangannya pun membuyar dan nenek itu sudah dapat menarik kembali tangan kanan yang tertempel dan tersedot, langsung mengirim tusukan dengan dua buah tangannya ke arah mata Keng Hog! Untung pemuda ini dapat cepat mencelat ke belakang, kalau dia terlambat sedikit saja tentu sepasang biji matanya tercokel keluar! Sementara itu, lima orang hwesio Siauw-lim-pai tanpa banyak cakap lagi telah menerjang ke depan dan mengeroyok Cui Im. Thian Lee Hwesio sendiri bertangan kosong, hanya menggunakan ujung kedua lengan bajunya sebagai senjata, akan tetapi empat orang sutenya mempergunakan toya pendek yang biasanya mereka pakai sebagai tongkat. Biarpun tingkat kepandaian lima orang hwesio ini tidak ada artinya bagi Cui Im karena masih lebih rendah dari pada tingkat kepandaian Gui Yan Cu, namun pengeroyokan mereka ini membuat dia yang sudah terdesak oleh Biauw Eng dan Cong San, menjadi makin repot menghindarkan diri dari hujan serangan. Yan Cu mempercepat gerakan pedangnya, mendesak Mo-kiam Siauw-ong yang sudah tak mampu balas menyerang. "Cring-tringgg..... auggghhh....!" Mo-kiam Siauw-ong hanya berhasil menangkis dua kali, tusukan ketiga kalinya yang dielakannya masih menyerempet pundak sehingga baju dan kulit pundaknya terobek, luka berdarah dan dia meloncat mundur sambil memutar pedang menjaga diri. Go-bi Thai-houw memandang Keng Hong dengan mata terbelalak. Ia bergidik mengingat daya sedot yang keluar dari telapak tangan pemuda itu dan diam-diam merasa gentar karena maklum bahwa kalau dilanjutkan melawan pemuda ini, akhirnya dia akan kalah. Ia lalu menoleh dan melihat betapa Cui Im juga terdesak hebat, dikeroyok oleh Biauw Eng, Cong San dan lima orang hwesio Siauw-lim-pai. Bahkan Mo-kiam Siauw-ong agaknya sudah terluka dan Yan Cu sudah bersiap membantu pengeroyokan atas diri Cui Im. Nenek itu tiba-tiba melengking nyaring dan dari kebutannya menyambar sinar-sinar kecil ke arah Keng Hong. Itulah bulu-bulu kebutan yang hampir separuh dari seluruh bulu kebutan itu meluncur seperti jarum-jarum panjang menyerang Keng Hong. Pemuda ini sudah maklum akan kelihaian si nenek iblis dan betapa bahayanya bulu-bulu itu, maka cepat pedangnya berkelebat membentuk gulungan sinar meruntuhkan semua senjata rahasia itu. Kesempatan ini dipergunakan oleh Go-bi Thai-houw untuk mencelat ke belakang dan sekali sambar ia memegang lengan Mo-kiam Siauw-ong sambil berseru, "Muridku kita pergi dulu!" Cui Im yang sudah terdesak hebat itu tertawa, kemudian pedangnya berputar cepat membuat para pengeroyoknya menangkis dan mundur. Ia lalu meloncat ke belakang dan tangannya terayun. Berhamburanlah jarum-jarum merah ke arah para pengeroyok. Tentu saja para pengeroyok yang terdiri dari orang-orang pandai itu dapat menghindarkan diri dari jarum-jarum ini, bahkan Biauw Eng yang maklum bahwa sekali terlepas akan sukar melepas bekas sucinya, sudah melepaskan senjata-senjata rahasianya yang tidak kalah hebatnya daripada jarum-jarum merah Cui Im, yaitu bola-bola kecil putih berduri dan sebatang tusuk konde bunga bwee. Terdengar suara berdencingan nyaring dan ternyata semua senjata rahasia itu runtuh disambar kebutan Go-bi Thai-houw yang memberi kesempatan kepada Cui Im untuk lari lebih dulu. Para pengeroyok Cui Im kini menerjang nenek itu, akan tetapi dengan memutar kebutan, nenek itu dapat menghalau semua pengeroyok kemudia sekali melesat dia telah meloncat jauh sambil menarik tubuh Mo-kiam Siauw-ong. Keng Hong tidak mengejar karena dia telah berlutut dekat tubuh nenek Tung Sun Nio, memeriksa sebentar kemudian tetap berlutut dengan wajah berduka. Tanpa menoleh dia berteriak, "Sumoi.....!" Yan Cu dan Biauw Eng ingin sekali mengejar musuh, akan tetapi mendengar suara panggilan suhengnya, Yan Cu menoleh dan wajahnya berubah pucat. Cepat ia lari menghampiri dan begitu melihat subonya yang masih duduk bersila, dia cepat berlutut dan menangis. "Subo.....! Subo.....!" Suaranya tercekik di kerongkongan dan ia tentu roboh pingsan kalau tidak cepat dirangkul oleh Keng Hong yang menghiburnya, "Sumoi, kuatkan hatimu!" Biauw Eng juga berlutut di depan tubuh Tung Sun Nio yang telah menjadi mayat itu. Ketika Cong San hendak lari menghampiri, Thian Lee Hwesio berkata, "Yap-sute.....!" Cong San tersentak kaget dan menoleh. Suara suhengnya terdengar keras seperti mengandung kemarahan, apalagi ketika dia memandang kelima orang suhengnya dan melihat sikap mereka yang kaku dan dingin. "Ada apakah.....?" Ia tergagap bertanya. "Sute, hayo tingalkan tempat ini dan ikut kami menghadap suhu. Tempat dan keluarga ini tidak layak bagimu dan ada urusan besar mengenai kedudukan suhu sebagai ketua Siauw-lim-pai!" Cong San makin terbelalak heran dan kaget. "Akan tetapi.....!" Ia menoleh dan melihat Yan Cu, isterinya, menangis tersedu-sedu dihibur Keng Hong yang merangkulnya. Ada perasaan yang amat tidak enak naik ke hati dan kepalanya, akan tetapi cepat ditekannya dan dia menjawab, "Mana mungkin, Suheng? Aku baru saja menikah dan....dan guru isteriku agaknya meninggal.... biarlah kelak aku menyusul Suheng." "Yap Cong San! Kalau engkau tidak mau memutuskan hubungan dengan isterimu dan keluarganya, engkau bukan sute kami lagi, bukan murid Siauw-lim-pai lagi!" kata Thian Lee Hwesio dengan sikap dingin dan suara mengandung kemarahan. Cong San menjadi terkejut sekali. "Suheng! Ada apakah......? Apa artinya semua ini......?" Thian Lee Hwesio mengerti bahwa tadi sutenya ini tidak mendengar kata-kata Go-bi Thai-houw dan belum tahu akan rahasia yang amat memalukan dari suhu mereka. "Mari engkau ikut kami dan akan kami ceritakan semua. Pendeknya, kalau engkau ingin dianggap murid Siauw-lim-pai, engkau harus mentaati kami dan memutuskan hubunganmu dengan mereka itu!" Cong San mengerutkan keningnya. Apapun yang terjadi, tidak mungkin dia harus memutuskan hubungannya sebagai suami isteri dengan Yan Cu yang dicintanya, dan dia merasa penasaran melihat sikap suheng-suhengnya. *** "Suheng tidak adil. Biarlah kelak aku menghadap suhu dan minta pengadilan!" Lima orang itu menghela napas, kemudian mereka pergi tanpa berkata apa-apa meninggalkan tempat itu, meninggalkan Cong San yang masih berdiri dengan kedua alis berkerut. Setelah menggerakan kedua pundak karena benar-benar merasa bingung dan tidak mengerti akan sikap lima orang suhengnya, dia lalu menghampiri Yan Cu yang masih menangis. Tanpa berkata apa-apa dia lalu berlutut di dekat isterinya. Keng Hong melepaskan rangkulannya dan berbisik, "Cong San, kauhiburlah isterimu," katanya perlahan yang tidak dijawab oleh Cong San, akan tetapi dia lalu merangkul pundak isterinya. Yan Cu tersedu dan menyandarkan kepalanya di dada suaminya. "Aihhh..... Subo..... tewas dalam membela kita......! Si keparat Bhe Cui Im, aku bersumpah hendak membalas kematian Subo!" Teriak Yan Cu. Baginya, nenek Tung Sun Nio bukan hanya merupakan seorang guru, melainkan juga menjadi pengganti ibu karena sejak kecil dia dirawat dan dididik oleh nenek itu. "Sumoi, tenanglah. Lupakah engkau bahwa kematian adalah kehendak Tuhan? Tangan Cui Im dan Go-bi Thai-houw hanya merupakan alat saja bagi kematian Subo. Kalau Thian tidak menghendaki, biar ada sepuluh Go-bi Thai-houw tak mungkin Subo sampai tewas. Pula, Subo sudah berusia tinggi dan beliau tewas sebagai seorang gagah perkasa, tewas dalam pertempuran melawan musuh yang memang amat sakti. Lebih baik kita mengurus jenazahnya secara baik-baik." Pertempuran telah selesai karena para sisa anak buah bajak yang melihat betapa pimpinan mereka melarikan diri, cepat melarikan diri pula. Ada beberapa orang di antara mereka yang tidak sempat dan roboh oleh para tokoh kang-ouw yang mengamuk. Ternyata perang kecil itu menjatuhkan korban yang amat banyak, terutama sekali di fihak bajak yang kehilangan lebih dari lima puluh orang yang kini malang melintang menjadi mayat. Belasan orang tamu yang tidak berkepandaian juga menjadi korban, dan enam orang kang-ouw yang tadinya menjadi tamu, tewas pula. Beberapa orang terluka, di antaranya Ouw Kian ketua Tiat-ciang-pang yang terluka pahanya karena sabetan golok. Kini mereka sibuk mengobati yang luka dan mengurus mayat-mayat yang memenuhi lereng Gunung Cin-ling-san. Pesta bersukaria menyambut pernikahan dua pasang mempelai kini berubah menjadi perkabungan yang menyedihkan disertai sumpah serapah terhadap para bajak yang datang mengacau, terutama sekali terhadap dua orang tokoh golongan hitam, yaitu Ang-kiam Bu-tek dan Go-bi Thai-houw. Biauw Eng dan Yan Cu menangisi jenazah Tung Sun Nio dan setelah mereka mengangkat jenazah itu ke dalam ruangan rumah yang masih belum dimakan api yang keburu dipadamkan oleh para tokoh kang-ouw yang tadi ikut bertanding membantu fihak tuan rumah, kedua orang pengantin wanita ini lalu mencari ganti pakaian untuk mengganti pakaian pengantin mereka. Ketika Yan Cu bertukar pakaian menanggalkan pakaian pengantinya, baru ia terkejut melihat tanda darah di pakaian dalam yang dipakainya ketika bertanding tadi. Maklumlah ia bahwa tendangan kaki Go-bi Thai-houw tadi biarpun tidak mendatangkan luka dalam yang parah, namun telah mengakibatkan sesuatu di bagian tubuhnya yang membuat ia merasa terkejut dan juga cemas sekali. Kedua pipinya menjadi pucat, kemudian merah dan dia cepat membersihkan darah dan berganti pakaian, kemudian keluar lagi untuk mengurus jenazah gurunya dengan hati penuh duka. Sementara itu, Keng Hog dan Cong San sibuk mengurus mayat-mayat para tamu yang menjadi korban dan para sahabat kang-ouw yang juga tewas dalam pertandingan tadi. Setelah senja baru mereka, dibantu orang-orang kang-ouw dan penduduk di wilayah Pegunungan Cin-ling-san, menyelesaikan tugas mereka mengubur semua mayat termasuk mayat-mayat para bajak. Jenazah nenek Tung Sun Nio dimasukan peti dan selama sehari semalam mereka mengadakan upacara sembahyang dengan penuh duka. Pada hari kedua, peti itu dikubur, diiringi tangis Yan Cu dan Biauw Eng. Setelah selesai, barulah Yan Cu teringat akan ucapan nenek Go-bi Thai-houw, maka ia menghampiri suaminya yang kelihatannya selalu bermuram sambil berkata, "Kita harus cepat pergi ke Siauw-lim-si. Aku amat mengkhawatirkan keadaan gurumu, ketua Siauw-lim-pai." "Hemmm.... mengapa?" Mendengar suara suaminya, Yan Cu memandang dengan heran. Suara itu demikian kaku dan dingin, sedangkan pandang mata suaminya selalu seperti hendak menghindari pertemuan secara langsung. Semenjak mereka bersembahyang sebagai suami isteri, mereka tidak memdapat kesempatan untuk banyak bicara dan berkumpul berdua saja sehingga pada saat itu dia hanya menjadi isteri dalam sebutan saja. "Apakah yang terjadi, Sumoi?" Keng Hong yang mendengar percakapan mereka, bertanya, memandang Yan Cu dengan sinar mata penuh selidik. Juga Biauw Eng menghampiri dan memegang lengan Yan Cu sambil bertanya, "Mengapa engkau mengkhawatirkan keadaan ketua Siauw-lim-pai?" Dengan suara tersendat-sendat dan air mata kembali mengalir mengingat akan nasib subonya yang sebelum tewas di tangan Go-bi Thai-houw lebih dahulu harus mendengar betapa rahasia pribadinya yang tidak harum itu dibongkar oleh nenek iblis itu, yang tidak didengar oleh Cong San, Keng Hong dan Yan Cu, lalu menceritakan akan ucapan-ucapan Go-bi Thai-houw. "Pembongkaran rahasia Subo yang sudah sama kita ketahui itu didengar pula oleh lima orang hwesio Siauw-lim-pai sehingga mereka itu kelihatan marah. Mereka menghentikan pertandingan dan mendesak kepada mendiang Subo untuk mengatakan hal yang sebenarnya. Subo mengaku dan.... dan para hwesio itu agaknya menjadi benci dan menyesal, sehingga mereka tidak mau membantu kami, bahkan baru turun tangan membantu mengeroyok Cui Im setelah didesak oleh Subo. Aku khawatir kalau-kalau mereka itu akan membawa perkara ini ke Siauw-lim-pai dan......." "Ahhh! Begitukah? Pantas saja sikap mereka menjadi murung dan marah-marah kepadaku!" Cong San tiba-tiba berkata. "Sikap mereka bagaimana, Cong San?" Keng Hong bertanya. Cong San sejenak memandang Keng Hong dan pendekar muda yang sakti ini, seperti juga Yan Cu, melihat sesuatu yang aneh dalam pandang mata Cong San, seolah-olah pemuda itu menjadi dingin terhadapnya. Cong San membuang muka dan menggeleng kepala. "Tidak apa-apa, hanya aku........ aku sekarang juga harus menyusul para suheng itu ke Siauw-lim-si! Aku akan berangkat sekarang!" Sambil berkata demikian, murid Siauw-lim-pai itu bangkit berdiri, membalikan tubuhnya dan hendak pergi dari situ. "San-koko......!" Tiba-tiba Yan Cu meloncat bangun dan menghampiri Cong San yang membalikan lagi tubuhnya secara acuh tak acuh, "Apakah engkau tidak mengajak aku?" "Ahhh..... maaf, kusangka kau....... akan mengabungi kematian subomu dan...... dan.....ah, aku menjadi bingung oleh urusan suhu sehingga terlupa........" "Aku ikut bersamamu!" kata Yan Cu yang memandang suaminya dengan terheran-heran dan juga kasihan karena dia mengira bahwa suaminya benar-benar karena terlalu mengkhawatirkan keadaan gurunya dan karena pukulan batin yang terjadi akibat penyerbuan bajak-bajak itu menjadi seperti linglung! "Marilah....." jawab Cong San, sikapnya masih dingin. "Suheng, Biauw Eng cici, aku pergi dulu!" kata Yan Cu. Biauw Eng dan Keng Hong hanya bisa mengangguk dan setelah mereka berdua pergi, mereka saling berpandangan dengan penuh keheranan. Keadaan di situ sunyi karena para tamu telah pulang semua, sunyi dan amat menyeramkan kalau mereka teringat akan peristiwa hebat yang terjadi dua hari yang lalu. *** Keng Hong menjadi terharu sekali ketika memandang bayangan Yan Cu yang menghilang bersama suaminya. Ia merasa kasihan kepada sumoinya itu yang harus mengalami kedukaan hebat di saat pernikahannya. Saat yang mestinya menjadi saat yang paling mengembirakan bagi sumoinya berubah menjadi saat yang menyedihkan. Pemuda yang sudah banyak tergembleng oleh pengalaman-pengalaman pahit dalam hidupnya ini, walapun masih muda, sudah pandai menyisihkan diri pribadi ke samping dan lebih memprihatikan keadaan orang lain. Dia lupa bahwa malapetaka itu bukan hanya menimpa diri sumoinya, akan tetapi juga dia sendiri, akan tetapi tidak ada penyesalan untuk dirinya sendiri! "Kasihan sekali Sumoi....., heran, mengapa sikap Cong San seperti itu?" Ia menggumam seperti bicara kepada diri sendiri. "Aihhh...., aku mengerti sekarang!" Tiba-tiba Biauw Eng berseru. Sejak tadi dia pun memikirkan Cong San yang dingin dan wajahnya yang muram itu. "Dia cemburu!!" Keng Hong tertegun, tidak mengerti. "Siapa yang cemburu?" "Yap Cong San, hatinya penuh cemburu, pantas saja sikapnya seperti itu!" "Hah? Cemburu? Kepada siapa?" "Kepada Yan Cu tentu! Kalau tidak cemburu kepada isterinya, kepada siapa lagi?" "Apa? Cong San cemburu kepada Yan Cu? Apa maksudmu? Dicemburukan dengan siapa?" "Dengan siapa lagi kalau bukan dengan engkau, Keng Hong! Betapa bodohnya engkau?" Keng Hong makin melongo. "Apa? Mencemburukan Yan Cu dengan aku? Dia sumoiku sendiri? Dan mengapa Cong San mencemburukannya dengan aku?" Melihat keheranan suaminya, Biauw Eng tersenyum menggoda, "Justeru karena suhengnya engkau inilah maka dia cemburu setengah mati!" Keng Hong mengerutkan keningnya melihat isterinya tersenyum seperti itu. "Eh, Mio-moi, jangan main-mani, Kau! Ini urusan penting dan besar. Apakah sesungguhnya yang telah terjadi sehingga kau menduga Cong San cemburu?" "Bukan hanya menduga, bahkan aku yakin. Dan semua ini gara-gara si keparat Bhe Cui Im!" Mendengar ini, Keng Hong menjadi makin khawatir. Terbayanglah olehnya akan semua pengalamannya dahulu ketika dia pun termakan racun cemburu terhadap Biauw Eng akibat perbuatan Cui Im yang amat licik, maka dia cepat bertanya, "Apa maksudmu? Ceritakanlah!" Biauw Eng lalu menceritakan tentang ucapan-ucapan Cui Im yang merupakan racun berbahaya, fitnahan-fitnahan yang dilontarkan oleh Cui Im terhadap hubungan antara Yan Cu dan Keng Hong di depan Cong San. "Melihat sikap Cong San, tidak salah lagi dugaanku bahwa tentu dia telah terkena racun itu dan menjadi cemburu terhadap isterinya, dalam hubungannya dengan engkau." Wajah Keng Hong berubah merah sekali mendengar penuturan ini dan dia mengepal tinjunya. "Celaka! Kalau begitu aku harus cepat mengejar mereka untuk meyakinkan hati Cong San!" Biauw Eng cepat memegang lengan suaminya yang sudah hendak melompat dan lari mengejar Cong San dan Yan Cu. "Tenanglah. Orang yang bersalah selalu ingin tergesa-gesa menyangkal kesalahannya, sebaliknya orang yang sabar akan tetap tenang karena yakin akan kebenarannya. Kalau Cong San demikian dangkal kepercayaannya terhadap isteri sendiri sehingga hatinya diracun cemburu, biarlah dia merasakannya dan mengalami penderitaan dari kebodohannya sendiri. Kalau engkau tergesa-gesa mengejar mereka dan menyangkal semua itu, hatinya bukan menjadi yakin malah akan lebih besar rasa cemburunya. Biarkan mereka pergi." Keng Hong menghela napas panjang. "Engkau benar, isteriku. Engkau selalu benar karena dalam hal cemburu ini aku sendiri sudah merasakannya, sudah banyak menderita karena kebodohanku itu. Akan tetapi, menurut penuturan Yan Cu tadi, akan terjadi hal-hal yang hebat di Siauw-lim-pai, mengenai diri dan kedudukan Tiong Pek Hosiang berkenaan dengan urusannya di waktu muda dengan subo. Karena hal ini menyangkut diri mendiang suhu dan suboku, juga berarti menyangkut diri mendiang ayah kandungmu dan ibu tirimu, sudah sepatutnya kalau kita berusaha meredakannya dan mengunjungi Siauw-lim-pai." Biauw Eng mengangguk-angguk kemudian menjawab tenang, "Sepatutnya, memang. Akan tetapi tidak semestinya. Urusan ketua Siauw-lim-pai dan para muridnya adalah urusan dalam partai itu sendiri. Cong San adalah murid Siauw-lim-pai, dan Yan Cu adalah isterinya, sudah semestinya kalau mereka itu menyusul ke Siauw-lim-si. Akan tetapi, kita berdua adalah orang-orang luar, bagaimana kita boleh lancang mencampuri urusan dalam Siauw-lim-pai? Jangan-jangan malah akan timbul salah faham dan akan mengakibatkan permusuhan.Keng Hong, engkau telah berhasil, sungguhpun tidak sempurna, untuk melenyapkan sikap bermusuh dunia kang-ouw terhadap mendiang ayahku dan engaku telah mengalami banyak hal yang tidak menyenangkan dari permusuhan itu. Apakah tidak mengerikan kalau sampai fihak Siauw-lim-pai menjadi salah faham oleh campur tangan kita dan memusuhi kita? Alasan apa yang akan kaukemukakan, hak apa yang kau miliki untuk mencampuri urusan dalam mereka?" Keng Hong merasa terpukul dan sejenak dia tidak mampu menjawab, hanya memandang wajah isterinya itu sampai lama, baru kemudian dia menjawab dengan ketenangan goyah, "Eng-moi....... isteriku yang bijaksana, habis bagaimana baiknya menurut pendapatmu?" "Kita tidak perlu mencampuri urusan pribadi ketua Siauw-lim-pai kalau kita tidak ingin terlibat ke dalam permusuhan yang tidak enak, akan tetapi benar seperti katamu tadi bahwa urusan itu masih menyangkut pula diri mendiang ayahku dan ibu tiriku, sebaiknya kita melihat-lihat dari dekat dan melakukan perjalanan tamasya di dekat darah Siauw-lim-si. Bukankah kita dalam masa pengantin baru dan dalam suasana bulan madu? Adapun tentang Cong San yang cemburu, kelak engkau mengirim surat saja kepadanya, mencoba untuk meyakinkan hatinya dan mengusir perasaan cemburu yang berbahaya itu dari hatinya. Bagaimana, setujukah?" Keng Hong menjadi girang sekali, wajahnya berseri dan dia memeluk isterinya. "Engkau hebat, Moi-moi. Satu pertanyaan lagi." "Perlukah itu?" "Perlu sekali, pertanyaan yang timbul dari sikap Cong San yang terkena racun omongan Cui Im. Hatiku takkan tenteram sebelum mendapat jawabanmu." "Tanyalah." "Mendengar ucapan-ucapan Cui Im yang beracun, Cong San menjadi cemburu kepada Sumoi, bagaimana dengan engkau? Apakah engkau tidak cemburu kepadaku? Mengingat akan tingkah lakuku di masa lalu......" "Hussshhh....... sudahlah. Aku bukan orang yang suka menangisi masa lalu, melainkan sorang yang melihat masa depan. Hal-hal yang telah lalu itu kuanggap sebagai ujian terhadap cinta kasihmu kepadaku, Keng Hong. Buktinya, pada saat terakhir engkau tetap memilih aku sebagai isterimu!" "Biauw Eng......" Keng Hong menjadi terharu dan merasa bahagia sekali, dirangkulnya leher isterinya dan diciumnya bibir yang mengucapkan kata-kata bijaksana itu. Akan tetapi hanya sebentar saja Biauw Eng membalas ciumannya, lalu merenggutkan dirinya terlepas dari ciuman dan pelukan suaminya. "Jangan di sini! Apa kau tidak malu?" Keng Hong tersenyum mengoda. "Malu-malu kucing! Malu kepada siapa? Di sini tidak ada orang....." Biauw Eng melotot dan bertolak pinggang, dengan sikap marah buatan. "Di depan makam subomu kau masih berani bilang di sini tidak ada orang?" "Wah-wah-wah, kau benar..... aku salah lagi. Maafkan aku, Moi-moi, akan tetapi ada satu permintaan lagi dariku." "Asal yang pantas, sebagai isterimutentu saja aku akan memenuhi permintaanmu." "Setelah kita menikah, mengapa engaku masih saja menyebut aku dengan namaku begitu saja? Engkau benar-benar isteri yang kurang ajar!" *** Biauw Eng menjadi merah kedua pipinya. "Maafkan aku....... Koko......" Demikianlah, hanya mereka yang pernah mengalami masa pengantin baru sajalah yang dapat merasakan kebahagian yang dirasakan Keng Hong dan Biauw Eng di saat itu. Omongan-omongan yang kecil-kecil dan kosong, pandang mata yang saling mencurahkan percakapan tanpa kata denqan kasih sayang mendalam dan mesra, gerakan-gerakan yang kelihatan tidak berarti, senyuman-senyuman penuh madu, semua ini membuat sinar matahari kelihatan amat cerah, warna-warni di permukaan bumi menjadi lebih cemerlang dan dunia kelihatan indah sekali, seakan-akan dalam sekejap mata berubah menjadi sorga! Ketika hendak berangkat meninggalkan bekas tempat tinggal nenek Tung Sun Nio yang kini menjadi makamnya, Biauw Eng memasuki bekas rumah yang terbakar untuk mencari sisa-sisa pakaian dan barang-barang berharga untuk dibawa pergi sebagai bekal dalam perjalanannya berbulan madu dengan suaminya. Ia melihat pakaian pengantin yan Cu bertumpuk di sudut kamar yang tadinya disediakan untuk kamar pengantin Yan Cu dan Cong San. Sambil menghela napas panjang, diam-diam ia mengkhawatirkan kebahagiaan Yan Cu dengan suaminya, diambilnya pakaian pengantin itu dengan maksud untuk dibawanya dan kelak diberikannya kepada Yan Cu. Pakaian pengantin tidak boleh dibuang begitu saja karena pakaian itu merupakan benda pusaka peringatan bagi seorang isteri. Akan tetapi, betapa kagetnta ketika ia melihat tanda-tandadarah di pakaian bagian bawah. Ia memegangi pakaian itu dengan alis berkerut. Jelas bahwa Yan Cu terluka dalam pertempuran tadi, akan tetapi mengapa Yan Cu diam saja, bahkan tidak kelihatan seperti orang menderita luka sama sekali? Tentu hanya luka ringan, akan tetapi sampai berdarah! Biauw Eng memutar otaknya, kemudian menganguk-anguk dan hatinya makin khawatir akan kebahagiaan Yan Cu, akan tetapi ia diam-diam menyimpan pakaian itu dan mengambil keputusan untuk tidak menceritakan kepada siapa juga. Tak lama kemudian, suami isteri yang masih pengantin baru ini bergandengan tangan meninggalkan lereng Pegunungan Cin-ling-san, menuju ke timur di mana matahari pagi yang cerah menyinarkan cahaya keemasan. Pertama yang baik bagi mereka, seolah-olah mereka sedang mulai dengan perjalanan hidup baru, kepada sinar terang! Akan tetapi siapa tahu apa yang menanti di depan? Perjalanan hidup penuh lika-liku, penuh rahasia dan peristiwa yang tak terduga-duga sebelumnya, seolah-olah keadaan laut yang kadang-kadang tenang kadang-kadang bergelombang. Cong San dan Yan Cu melakukan perjalanan yang cepat Ilmu ginkang mereka yang tinggi membuat mereka dapat lari cepat dengan kaki yang ringan sekali. Akan tetapi, hati mereka tidaklah seringan gerakan kaki mereka. Hati mereka berat dan terhimpit, tertekan oleh duka dan keraguan. Di sepanjang perjalanan itu, Cong San selalu murung dan pendiam, sedangkan Yan Cu yang mengira bahwa suaminya tentu amat gelisah memikirkan gurunya dan masih berduka oleh peristiwa yang menimpa saat pernikahan mereka, ikut pula berprihatin dan sekali-kali kalau ada kesempatan, berusaha menghibur suaminya yang disambut oleh Cong San dengan dingin. Tidak keliru dugaan Biuaw Eng. hati Cong San terhimpit oleh rasa cemburu. Dan karena pemuda ini berusaha sekuat tenaga batinnya untuk mengusir dan melawan perasaan ini, maka terjadilah perang hebat di dalam hatinya yang membuatnya di sepanjang perjalanan itu murung dan pendiam. Terngiang dalam telingannya selalu ucapan Cui Im ketika dia bertanding melawan iblis betina itu. "Yap Cong San, apakah kau kira isterimu itu belum ditiduri Keng Hong." Ia mengerutkan alis dan berusaha mengusir gema suara ini, akan tetapi dia malah mendengar suara Cui Im yang melontarkan tuduhan-tuduhan keji, "Kau pemuda tolol yang tidak mau melihat kenyataan! Engkau mengenal siapa Keng Hong. Aku berani bertaruh bahwa isterimu itu bukan gadis lagi. Karena hanya Biauw Eng satu-satunya gadis yang belum bisa dia dapatkan, maka dia memilih Biauw Eng. Isterimu adalah bekasnya, hi-hi-hik!" Keparat betina bermulut keji Bhe Cui Im dan berusaha sekuat tenaga untuk melupakan semua ucapan itu. Fitnah belaka, pikirnya. Akan tetapi, seolah-olah setan selalu mendekati benaknya, tiba-tiba di depan matanya terbayang adegan yang dianggapnya tidak semestinya, di depan tubuh Tung Sun Nio yang telah menjadi mayat. Yan Cu menangis dan dirangkul oleh Keng Hong yang berbisik-bisik dengan sikap mesra! Setelah gadis itu menjadi isterinya, Keng Hong masih merangkulnya, apalagi sebelum menjadi isterinya! Mereka telah melakukan perjalanan berdua, selama berbulan-bulan. Yan Cu demikian cantik jelita tak mungkin ada pria yang tidak timbul gairahnya jika melihat Yan Cu. Dan Keng Hong seorang pria yang tampan dan gagah perkasa. Gagah perkasa dan lihai sekali, jauh melebihi dirinya! Juga dia sudah tahu akan sifat Keng Hong yang mata keranjang, suka akan wanita-wanita cantik. Hanya Biauw Eng yang belum bisa didapatkannya, maka Keng Hong memilih Biauw Eng! Yan Cu adalah bekasnya, pernah ditidurinya! Bekasnya! Pernah ditidurinya! Ucapan ini terngiang berkali-kali di dalam kepala dan langsung menusuk hati Cong San sehingga tiba-tiba dia mengeluarkan seruan keras, "Tidak! Keparat! Tidak.....!!" Ia berhenti dan memejamkan kedua matanya tubuhnya bergoyang-goyang. Yan Cu terkejut sekali dan mendepak pundak suaminya, "Koko, engkau kenapakah? Ada apakah?" Ia bingung dan khawatir menyaksikan suaminya. Bisikan-bisikan mengejek memenuhi telinga Cong San. Huh, perempuan rendah seperti ini, lemparkan saja. Dia membujuk-bujukmu mengandalkan kecantikannya, tahu? Tidak, bantah suara lain di hati Cong San. Engkau gila oleh cemburu yang dibangkitkan oleh omongan beracun Bhe Cui Im. Dalam beberapa detik itu terjadi perang hebat dan akhirnya suara ke dua yang menang. Cong San balas merangkul isterinya, mendekap kepala isterinya di dadanya. Yan Cu merasa demikian bahagia dan terharu sehingga ia menangis, menangis karena lega. Baru saat ini agaknya suaminya sadar dari cengkeraman duka dan gelisah. Mendengar isterinya terisak menangis dan air mata yang hangat membasahi dadanya, Cong San membelai rambut yang halus hitam panjang mengharum itu. "Maafkan aku, Moi-moi. Aku seperti gila karena........ duka dan khawatir. Kalau sampai urusan suhu tersiar....., aihhh, kasihan sekali suhu. Dan para suheng itu....... mereka adalah orang-orang beragama yang amat fanatik, tentu akan terjadi apa-apa dengan kedudukan suhu sebagai ketua Siauw-lim-pai." Yan Cu merenggangkan mukanya dan menengadah, memandang wajah suaminya dengan air mata masih membasahi pipinya, akan tetapi sinar matanya mesra penuh kasih dan mulutnya tersenyum penuh hiburan. "Jangan khawatir, suamiku. Suhumu adalah seorang sakti yang bijaksana sekali, tentu akan dapat mengatasi segala macam hal yang datang menimpa. Harap kau jangan terlalu banyak berduka dan bergelisah, karena kalau sampai engkau jatuh sakti....... ahhh, akulah yang akan bersedih dan bergelisah." "Yan Cu.....! Isteriku, aku....... aku cinta padamu!" Yan Cu tersenyum dan kedua pipinya menjadi merah sekali. Matanya yang indah itu mengerling penuh kemanjaan dan kemesraan, bibirnya berbisik, "Kalau tidak mencinta, masa mau menjadi suamiku? Aku pun cinta padamu, Koko......" Cong San menunduk dan menciumnya. Sejenak mereka berdekapan dan lenyaplah semua duka dan kegelisahan, bahkan dalam saat itu Cong San seolah-olah mendengar sumpah-serapah setan yang suaranya selalu membujuk-bujuknya tadi, suara..... Cui Im. Hampir dia tertawa sendiri, mentertawakan Cui Im, mentertawakan diri sendiri. Akan tetapi dia teringat akan suhunya, melepaskan pelukan dan menggandeng tangan Yan Cu. "Betapapun juga, kita tidak boleh terlambat. Aku harus hadir kalau para suheng hendak menuntut suhu karena peristiwa di waktu mudanya itu, dan aku akan membela suhu." Mereka melanjutkan perjalanan, berlari cepat sambil bergandengan tangan. Cemburu bagaikan api yang menyala dan membakar perlahan-lahan. Kalau tidak cepat dipadamkan, akan dapat mengakibatkan kebakaran besar di dalam hati. Semenjak muda, Cong San telah mendapat gemblengan batin dari gurunya sehingga biarpun ucapan-ucapan Cui Im merupakan racun hebat yang menyerangnya, merupakan api yang mulai membakar hatinya, namun dengan kebijaksanaan, tanpa adanya bukti, dia dapat menguasainya dan dapat memadamkan api cemburu yang berbahaya itu. Dia cukup bijaksana untuk menahan perasaannya sehingga ketika dia dilanda nafsu cemburu tadi, dia tidak pernah menyatakan sesuatu kepada Yan Cu, isterinya yang amat dicintanya itu, karena kalau sampai hal itu dilakukannya, tentu akan menimbulkan akibat yang lebih parah lagi. *** Kedatangan Cong San dan Yan Cu di kuil Siauw-lim-si tepat pada waktu persidangan besar antara pimpinan Siauw-lim-pai diadakan. Cong San, sebagai murid termuda akan tetapi juga murid terpandai dari ketua Siauw-lim-pai, langsung memasuki ruangan persidangan itu tanpa ada yang berani mencegah. Begitu masuk, melihat wajah Tiong Pek Hosiang yang tenang namun pucat, menghadapi seluruh pimpinan Siauw-lim-pai yang terdiri dari hwesio-hwesio berkedudukan tinggi, para sute sang ketua sendiri dan para tokoh tua lainnya dalam suasana yang sunyi dan tegang, Cong San mengajak Yan Cu serta merta menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Tiong Pek Hosiang. Semua mata para dewan pimpinan memandang ke arah Cong San penuh keraguan dan ke arah Yan Cu penuh penyesalan. Mereka tadi sudah mendengar penuturan Thian Lee Hwesio dan empat orang sutenya akan peristiwa yang terjadi di lereng Cin-ling-san dan akan pembongkaran rahasia pribadi ketua Siauw-lim-pai oleh Go-bi Thai-houw dan pengakuan terang-terangan dari Tung Sun Nio, isteri mendiang Sin-jiu Kiam-ong. Tentu saja mereka menganggap dara yang cantik itu keturunan atau murid dari golongan-golongan sesat yang terkutuk sehingga mereka sependapat dengan Thian Lee Hwesio, yaitu bahwa gadis itu tidak patut menjadi isteri seorang murid Siauw-lim-pai yang paling mereka banggakan. Tiong Pek Hosiang memandang muridnya dengan senyum di bibir, sikapnya tenang sekali dan di menganguk-angguk. "Baik sekali engkau mengambil keputusan untuk datang, Cong San. Engkau berhak untuk mengikuti persidangan ini, dan isterimu karena dia telah menjadi isterimu dan dia pun murid Tung Sun Nio, dia pun pinceng perbolehkan untuk mengikuti persidangan ini. Duduklah kalian di sana." Hwesio tua itu menuding ke kiri dan tanpa banyak cakap karena dia mengerti bahwa suhunya tentu telah mendengar akan pembongkaran rahasia pribadinya, Cong san mengajak Yan Cu duduk di atas bangku sebelah kiri, kemudian menanti dilanjutkan persidangan itu dengan hati tenang. Hadirnya Thian Kek Hwesio yang duduk di kursi sama tinggi dengan ketua membuat hati Cong San makin tegang. Dia tahu apa artinya persidangan ini karena dia mengenal Thian Kek Hwesio sebagai tokoh Siauw-lim-pai yang selalu diangkat menjadi ketua penengah atau semacam hakim untuk mengadili jalannya persidangan! Hwesio ini bertubuh tinggi besar, berkulit hitam, bermata lebar, sikapnya kasar akan tetapi dia jujur sekali dan karena kejujurannya inilah, karena semua orang tahu bahwa Thian Kek Hwesio ini menjunjung tinggi kejujuran dan keadilan melebihi segala apa di dunia, maka dia selalu diangkat untuk mengadili perkara-perkara yang timbul di kalangan para anggauta Siauw-lim-pai sendiri. Dan memang dalam kedudukan atau tingkat, Thian Kek Hwesio menjadi orang ke dua setelah ketuanya. Biarpun Thian Kek Hwesio juga menerima pelajaran ilmu dari Tiong Pek Hosiang dan berarti masih muridnya, murid ke dua karena murid pertama, Thian Ti Hwesio telah tewas di tangan Cui Im, namun hwesio tinggi besar berkulit hitam ini telah sejak kecil menjadi hwesio dan sebelumnya telah menerima ilmu silat dan pelajaran agama dari ketua yang lama. Ilmu silatnya, biarpun tidak setinggi tingkat Cong San yang mewarisi kepandaian suhunya, namun sudah membuat hwesio ini merupakan seorang tokoh Siauw-lim-pai yang terkenal. "Thian Lee, teruskan kata-katamu yang terputus oleh datangnya Cong San tadi," terdengar ketua Siauw-lim-pai berkata dengan suara halus dan sikap tenang. Thian Lee Hwesio mengusap keringat dari dahi dengan ujung bajunya. Tugasnya amat berat dan menekan hatinya. Betapa dia tidak akan merasa berat kalau harus menjadi penuntut gurunya sendiri, bahkan ketuanya sendiri? Namun, dengan keyakinan bahwa yang dilakukannya adalah demi kebenaran, dia lalu mengangkat muka dan berkata dengan suara nyaring. "Teecu telah menceritakan semua yang terjadi di lereng Cin-ling-san dan semua kata-kata busuk yang diucapkan Go-bi Thai-houw. Seandainya kata-kata nenek itu hanya merupakan fitnah belaka, teecu bersumpah akan membela kebersihan nama Suhu dengan pertaruhan nyawa teecu. Akan tetapi karena yang bersangkutan telah mengaku, terpaksa teecu mengajukannya ke sidang ini, sekali-kali bukan untuk mencelakakan Suhu, melainkan semata-mata demi menjaga kebersihan dan kehormatan nama Siauw-lim-pai. Setelah nenek iblis itu membocorkan rahasia, tentu dia akan menyebar luaskannya ke dunia kang-ouw dan kalau hal ini terjadi, dan pasti akan terjadi karena ketika dia bicara di lereng Cin-ling-san, banyak pula orang kang-ouw yang mendengarnya, maka menurut pendapat pinceng beserta semua anggauta Siauw-lim-pai, kedudukan Suhu sebagai ketua tak mungkin dapat dipertahankan lagi. Selain itu, juga pernikahan sute Yap Cong San sebagai seorang tokoh muda Siauw-lim-pai yang diharapkan bersetia dan menjunjung tinggi nama Siauw-lim-pai, jika tidak dibatalkan dan dia melanjutkan hubungan jodoh itu dengan anggauta keluarga yang sudah demikian tercemar namanya, juga akan merendahkan nama besar Siauw-lim-pai. Teecu mewakili seluruh anggauta Siauw-lim-pai mohon keputusan yang seadilnya demi kehormatan Siauw-lim-pai!" Hening setelah hwesio ini menghentikan kata-katanya. Suasanya menjadi sunyi dan tegang sekali, hampir semua orang yang hadir tidak ada yang berani memandang langsung ke arah ketua mereka. Di dalam hati, mereka semua membenarkan ucapan Thian Lee Hwesio yang tiadk mungkin dapat disangkal kebenarannya, akan tetapi, urusan ini bukanlah menyangkut diri seorang anggauta biasa dari Siauw-lim-pai, bukan seorang murid biasa melainkan ketua mereka sendiri! Mereka yang biasanya suka mengemukakan pendapatnya dalam persidangan seperti itu apabila ada seorang anggauta Siauw-lim-pai yang diadili, kini bungkam dan tidak membuka mulut! Terdengar suara batuk-batuk yang memecahkan kesunyian, suara Thian Kek Hwesio yang juga selama hidupnya baru sekali ini menghadapi perkara yang menegangkan dan yang membuat hatinya amat tidak enak. Betapapun juga, diam-diam dia harus mengakui bahwa selama menjadi ketua, Tiong Pek Hosiang telah banyak jasanya untuk Siauw-lim-pai dan belum pernah melakukan penyelewengan, namun dia pun harus membenarkan pendapat dan tuntutan Thian Lee Hwesio yang dia merasa yakin tidak menuntut karena hati benci atau denam kepada ketua Siauw-lim-pai yang juga menjadi gurunya . Setelah terbatuk-batuk, terdengarlah suara Thian Kek Hwesio, suara yang besar parau dan terdengar jelas satu-satu oleh mereka yang berada di situ, "Kami telah mendengar bunyi tuntutan dan menimbang bahwa isi tuntutan memang seluruhnya demi kepentingan nama Siauw-lim-pai, maka tuntutan dapat di terima untuk diteruskan kepada fihak tertuntut. Kami persilahkan ketua Siauw-lim-pai untuk mengajukan pembelaannya." Kembali hening sejenak dan semua orang tanpa memandang muka ketua Siauw-lim-pai, menahan napas untuk mendengar apa yang akan diucapkan sang ketua menghadapi tuntutan berat itu. Akhirnya, Tiong Pek Hosiang menarik napas panjang dan berkata, "Omitohud..... betapa melegakan hati menghadapi hukuman yang timbul akibat dari perbuatan sendiri, dan betapa menggembirakan menyaksikan para anggauta Siauw-lim-pai sedemikian setia terhadap Siauww-lim-paidan berjiwa gagah, berdasarkan keadilan dan kebenaran sehingga kalau perlu berani menentang fihak atasan demi nama baik dan kehormatan Siauw-lim-pai! Pembelaan apa yang harus pinceng katakan! Ucapan Go-bi Thai-houw bukanlah fitnah belaka dan pinceng mengakui bahwa memang perbuatan maksiat itu prnah pinceng lakukan di waktu muda!" Kini semua orang mengangkat muka memandang sang ketua dengan wajah pucat. Tadinya mereka masih mengharapkan bahwa ketua itu akan menyangkal karena mungkin saja orang-orang seperti Go-bi Thai-houw dan Tung Sun Nio itu sengaja mengeluarkan fitnahan untuk menjatuhkan nama baik ketua Siauw-lim-pai. Akan tetapi ternyata kini ketua mereka telah mengaku! Biarpun wajahnya agak pucat, sikap ketua Siauw-lim-pai itu tenang sekali ketika ia memandang semua orang dan melanjutkan kata-katanya dengan mengucapkan syair pelajaran Agama Buddha, "Tidak di langit tidak di tengah lautan tidak pula di dalam gua-gua atau di puncak gunung-gunung tiada sebuah tempat pun untuk menyembunyikan diri untuk membebaskan diri dari akibat perbuatan jahatnya!" Cong San menjadi terharu sekali. Dialah satu-satunya orang diantara semua anggauta Siauw-lim-pai yang telah tahu akan berbuatan gurunya yang di waktu mudanya berjinah dengan isteri Sin-jiu Kiam-ong. Sudah semenjak pertama mendengarnya dia memaafkan suhunya, maka dia tidak dapat menahan dirinya lagi, cepat dia berkata, "Maaf, Suheng....." katanya sambil memandang Thian Kek Hwesio, "bolehkan saya membela Suhu?" Thian Kek Hwesio mengangguk. "Sidang pengadilan di Siauw-lim-pai selalu berdasarkan perundingan di antara saudara sendiri untuk mengambil keputusan yang paling adil dan tepat. Silahkan kalau Sute mempunyai sesuatu yang akan dikemukakan mengenai urusan ini." *** "Tiada gading yang tak retak, tiada manusia tanpa cacad di seluruh jagad ini. Suhu pun hanya seorang manusia, dengan sendirinya, seperti seluruh manusia lain, juga mempunyai cacad berupa perbuatan yang dilakukan sebelum mendapat penerangan, sebelum sadar. Biarpun sebagai seorang anggauta Siauw-lim-pai saya tidak menjadi hwesio, namun pelajaran Sang Buddha sudah bertahun-tahun diajarkan oleh Suhu kepada saya. Teringat saya akan pelajaran yang berbunyi, Tiada api sepanas nafsu tiada jerat sebahaya kebencian tiada perangkap selicin kedangkalan pikiran tiada arus sederas keinginan hati. Kesalahan orang lain sudah dilihat kesalahan diri sendiri sukar dirasai meniup-niupkan kesalahan orang lain seperti menapi dedak seperti seorang penipu menyembunyikan dadu lemparannyayang sial dari pemain lain." Semua orang yang mendengar mengerti bahwa pemuda itu mengeluarkan ayat-ayat pelajaran untuk membela suhunya. Cong San melanjutkan kata-katanya penuh semangat, "Agama kita mengajarkan orang memupuk rasa kasih sayang antara yang hidup, mempertebal pemberian maaf kepada orang bersalah, memperbesar sikap mengalah kepada orang lain. Marilah dengan modal pelajaran ini kita menghadapi Tiong Pek Hosiang, suhu kita, ketua kita dengan kesadaran dan pengertian bahwa biarpun Suhu telah mengakui perbuatannya yang menyeleweng dengan mendiang nenek Tung Sun Cio, akan tetapi perbuatan itu dilakukannya di waktu Suhu masih muda. Sekianlah pembelaan saya yang bukan hanya didasari semata-mata karena memberatkan Suhu daripada Siauw-lim-pai, melainkan dengan dasar kebenaran dan keadilan." Suasana menjadi makin tegang, bahkan beberapa orang di antara para hadirin mulai merasa betapa suasana agak panas. Namun, Thian Kek Hwesio yang bersikap tenang dan keras, bagaikan sebuah batu karang kokoh kuat yang takkan mudah digoyangkan hantaman ombak, tidak mudah digerakan oleh tiupan angin taufan, kembali berkata, "Pembelaan Yap Cong San sudah kami dengar dan kami terima. Sekarang kami persilahkan fihak penuntut untuk mengeluarkan pendapat dan sanggahannya terhadap pembelaan itu." Thian Lee Hwesio berbisik-bisik dengan para sutenya, kemudian dia menghadap sidang dan berkata, "Apa yang dikemukakan oleh sute Yap Cong san sebagai pembela tak dapat kami sangkal kebenarannya. Sejak semula memang telah pinceng kemukakan bahwa para anggauta Siauw-lim-pai bukan sekali-kali menjatuhkan tuntutan dengan dasar membenci, melainkan semata-mata untuk melindungi kehormatan dan nama Siauw-lim-pai. Tidak dapat disangkal bahwa perbuatan itu dilakukan Suhu di waktu muda dan secara pribadi kami semua dapat memaklumi dan tidak akan merentang panjang urusan itu. Akan tetapi, sekali diketahui oleh dunia kang-ouw, akan bagaimanakah jadinya dengan nama dan kehormatan Siauw-lim-pai yang tentu akan dikabarkan bahwa Siauw-lim-pai diketahui oleh seorang yang...... harap Suhu maafkan teecu, telah melakukan perbuatan seperti itu?" Sekali ini bebar-benar semua orang menjadi tegang. Thian Lee Hwesio dalam mengajukan dan membela tuntutannya, terlalu berani dan terlalu.......benar! Cong San dapat menerima dan arus mengakui kebenaran ucapan itu, maka dia membungkam dan kini Tiong Pek Hosiang yang berkata, "Omitohud..... semoga dosa yang hamba lakukan tidak sampai mendatangkan akibat buruk yang menimpa lain orang, kecuali hamba sendiri!" Dia memejamkan mata sejenak, kemudiam membukanya lagi dan memandang kepada semua yang hadir, lalu berkata, "Pinceng sudah merasa bersalah dan pinceng siap menerima akibat daripada perbuatan pinceng sendiri, siap menerima hukuman yang akan diputuskan oleh sidang ini. Pinceng tidak akan membela diri, akan tetapi mengenai pernikahan antara Yap Con San dan Gui Yan Cu, pinceng harus membela Cong San, bukan sekali-kali karena pinceng berat sebelah dan pilih kasih, melainkan demi keadilan pula. Kalian semua maklum bahwa perjodohan antara mereka ini adalah tanggung jawab pinceng sendiri karena pincenglah yang mengikatkan perjodohan itu. Cong San tidak bersalah apa-apa dalam hal ini, hanya memenuhi perintah pinceng. Kalau keputusan itu dilaksanakan dan dianggap bersalah, biarlah pinceng yang menerima hukumannya pula. Kemudian terserah keputusan sidang ." Kini semua orang memandang Thian Kek Hwesio. Mereka memandang penuh harapan, karena hanya kepada hwesio tua tinggi besar berkulit hitam inilah mereka menggantungkan harapan mereka untuk dapat mencari jalan keluar yang paling baik. Hwesio tinggi besar berusia tujuh puluh tahun lebih ini pun maklum bahwa tugasnya amat berat dan amat penting, maka setelah berdoa sejenak sambil memejamkan mata, mohon kekuatan batin, dia membuka mata dan berkata, "Setelah mendengar semua pendapat yang dikemukakan oleh fihak penuntut, fihak tertuntut dan fihak pembela, atas nama Tuhan Yang Maha Kuasa, atas nama Buddha yang maha kasih, atas nama kebenaran dan keadilan yang kita junjung bersama, kami telah mengambil kesimpulan dan telah mempertimbangkan untuk menjatuhkan keputusan yang hendaknya akan ditaati oleh semua fihak yang bersangkutan! Tiong Pek Hosiang telah melakukan perbuatan yang menyeleweng, akan tetapi karena perbuatan itu dilakukannya di waktu muda, di waktu belum menjadi anggauta, apalagi ketua Siauw-lim-pai, maka Siauw-lim-pai tidak berhak memberi hukuman atas perbuatannya itu yang dilakukannya sebagai orang luar di waktu itu. Akan tetapi, mengingat bahwa perbuatan itu merupakan lembaran riwayat yang hitam bagi pribadinya, sedangkan sekarang dia telah menjadi ketua Siauw-lim-pai, maka demi menjaga nama dan kehormatan Siauw-lim-pai, Tiong Pek Hosiang dipecat dari kedudukannya sebagai ketua Siauw-lim-pai. Untuk pemilihan ketua baru akan kita adakan kemudian. Mengenai pernikahan antara Yap Cong San dan Gui Yan Cu, mengingat akan pertimbangan yang sama pula, yaitu bahwa biarpun perbuatan itu dilakukan di luar kesalahannya akan tetapi akibatnya akan mencemarkan nama baik Siauw-lim-pai, maka kami memutuskan untuk tidak mencampuri urusan pernikahan karena kami menganggap Yap Cong San bukan anak murid Siauw-lim-pai lagi. Selanjutnya harap Yap Cong San tidak membawa nama Siauw-lim-pai sebagai perguruannya." Sunyi senyap setelah Thian Kek Hwesio mengucapkan keputusannya itu. Semua anggauta Siauw-lim-pai menundukan muka, tidak ada yang berani memandang kepada Tiong pek Hosiang yang selama ini menjadi ketua mereka yang mereka hormati, juga menjadi guru besar mereka. "Suhu......!" Kesunyian dipecahkan oleh keluhan Cong San yang menubruk kaki gurunya dan berlutut sambil terisak penuh kedukaan, penyesalan dan keharuan. Tiong Pek Hosiang tersenyum, mengelus rambut kepala muridnya itu sambil membaca doa pelajaran Buddha, "Dunia ini bagaikan sebuah gelembung sabun! dunia ini bagaikan sebuah khayalan! dia yang memandang dunia sedemikian takkan bertemu lagi dengan raja kematian! Pandanglah dunia ini sebagai sebuah kereta kendaraan raja yang bercat indah si dungu terpikat oleh keindahannya tapi orang bijaksana takkan terpikat olehnya. Dia yang tadinya lengah dan tak sadar kemudian menjadi sadar dan rendah hati akan menerangi dunia seperti bulan yang terbebas dari gumpalan awan." "Suhu, betapa hati teecu tidak akan berduka dan menyesal? Suhu telah melakukan banyak perbuatan mulia dan telah berjasa besar terhadap Siauw-lim-pai, akan tetapi sekarang....." "Hushhhhh..... Cong San, bangkitlah, hapus air matamu, usir semua kedukaan dan penyesalan hatimu. Pengadilan yang telah disidangkan oleh saudara-saudaramu sudah tepat, benar dan adil! Perbuatan sesat mendapat hukuman, ini sudah tepat dan patut. Mengapa disusahkan dan disesalkan? Siapa yang mengharuskan kita menyesal dan berduka menghadapi sesuatu yang menimpa diri kita? Tidak ada yang mengharuskan dan hanya kesadaran kita sendirilah yang menentukan. Apa yang menimbulkan susah dan senang? Bukan dari luar, muridku, melainkan dari dalam, dari hati kita sendiri yang dicengkeram nafsu mementingkan diri sendiri, nafsu iba diri. Jika dirugikan, kita susah, jika diuntungkan, kita senang. "Bukankah itu picik sekali? Susah dan senang hanya permainan perasaan sendiri seperti air laut yang pasang surut. Suatu penipuan dari nafsu yang hanya dapat kita atasi dengan kesadaran karena kesadaran akan mengangkat kita lebih tinggi daripada permainan susah senang itu, mendatangkan ketenangan dan tidak akan mudah dipengaruhi oleh perasaan. Andaikata engkau belum dapat mencapai tingkat itu, masih harus memilih antara susah dan senang, mengapa engkau tidak memilih? Susah menimbulkan tangis, senang menimbulkan tawa. Baik diterima dengan susah atau senang, persoalannya tidak akan berubah. Mengapa harus menangis? Tangis hanya akan menimbulkan hal-hal yang tidak baik, karena dapat menimbulkan kelemahan batin sendiri, dapat mendatangkan keharuan pada orang lain. Tangis susah akan mudah mengukirkan dendam dalam hati, melahirkan dosa-dosa lain. Dalam menghadapi sesuatu, sama-sama menggerakan bibir, mengapa tidak memilih tawa daripada tangis? hasilnya lebih baik bagi diri sendiri dan bagi orang lain. Cong San, ingatlah engkau bahwa yang terpenting daripada segala dalam menjalani penderitaan hidup ini hanyalah PENERIMAAN! Penerimaan akan segala hal yang menimpa diri kita disertai kesadaran bahwa segala yang terjadi adalah akibat daripada perbuatan kita sendiri, sesuai dengan kehendak Tuhan. Kesadaran ini akan menuntun kita untuk menerima segala peristiwa dengan penuh penyerahan kepada kekuasaan Tuhan, karenanya akan tetap tenang karena sudah waspada bahwa segala peristiwa yang terjadi takkan dapat dihindarkan oleh kekuasaan manusia yang sesunguhnya hanya mahluk lemah yang selalu menjadi permainan dari nafsu-nafsunya sendiri." kakek itu berhenti sebentar dan bukan hanya Cong San yang mendengarkan dengan hati tunduk, melainkan semua anggauta Siauw-lim-pai, bahkan Yan Cu diam-diam merasa kagum akan kebijaksanaan kakek itu. gadis ini di dalam hatinya melihat seolah-olah kakek itu telah duduk di tempat yang begitu tinggi sehingga tidak akan terseret oleh gelombang penghidupan yang mempermainkan manusia. "Pinceng merasa bersyukur kepada sidang pengadilan dan pinceng menerima keputusan tadi. Mulai saat ini, pinceng bukan lagi ketua Siauw-lim-pai, dan sesuai dengan peraturan perkumpulan kita, pinceng persilahkan kepada para tokohnya untuk mengadakan pemilihan ketua baru. Sebagai seorang anggauta yang masih berhak, pinceng pribadi mengusulkan agar Thian Kek Hwesio untuk menduduki jabatan ketua. Adapun pinceng sendiri, pinceng minta agar diperbolehkan menghabiskan usia yang tidak berapa ini untuk bersamadhi di dalam Ruang Kesadaran yang berada di ujung belakang." "Apa yang Suhu katakan merupakan perintah bagi teecu sekalian," kata Thian Kek Hwesio. "Karena, biarpun Suhu bukan ketua Siauw-lim-pai lagi, akan tetapi tetap menjadi guru teecu semua dan teecu mengharapkan petunjuk-petunjuk dari Suhu demi kebaikan Siauw-lim-pai." Tiong Pek Hosiang tersenyum dan mengangguk-angguk. Dia yakin bahwa kalau Siauw-lim-pai dipimpin oleh muridnya tertua ini sebagai ketua, tentu akan mengalami kemajuan. Kemudian dia menoleh kepada Cong San dan Yan Cu. "Cong San, Yan Cu, sekarang pinceng mengusir kalian pergi dari Siauw-lim-si, karena tidak boleh orang luar tinggal di sini. Engkau pasti mengerti bahwa pengusiran terhadap dirimu ini hanya merupakan hal yang sudah ditentukan oleh sidang pengadilan dan oleh peraturan yang berlaku di Siauw-lim-pai. Nah, pergilah, Cong San. Engkau bukan murid Siauw-lim-pai lagi, akan tetapi percayalah bahw Siauw-lim-pai tetap akan menganggapmu sebagai seorang sahabat baik!" Biarpun Cong San sudah menerima wejangan suhunya, namun dia seorang muda yang masih diombang-ambingkan nafsu dan perasaan yang sedang bergelora, maka tentu saja dia tidak dapat menahan air matanya yang bercucuran. Melihat keadaan suaminya, Yan Cu juga menangis sesenggukan. Mereka merdua maju berlutut ke depan Tiong Pek Hosiang. "Suhu, teecu mohon diri......." Cong San berkata terisak. Ting Pek Hosiang tersenyum dan menggerakan tangan. "Pergilah, muridku yang baik dan berhati-hatilah karena di luar sana menanti banyak cengkeraman-cengkeraman maut yang mengancam seluruh manusia. Yan Cu, semoga Tuhan memberkahi engkau dan suamimu." biarpun mulutnya tersenyum, namun sepasang alis yang putih kakek itu agak berkerut karena pandang matanya yang sudah waspada itu melihat awan gelap mengancam penghidupan kedua orang muda itu. Diam-diam dia hanya berdoa mohon kepada Tuhan agar melindungi mereka. "Para suheng, sute dan saudara sekalian, saya mohon diri dan sudilah memaafkan segala kesalahan saya." Cong San memberi hormat kepada semua hwesio yang dibalas oleh mereka dengan terang. "Selamat jalan,Yap-sicu, sahabat kami!" Thian Kek Hwesio berkata, suaranya lantang dan jelas, seolah-olah dia hendak mengingatkan bahwa hubungan antara Cong San dan Siauw-lim-pai sebagai murid dan perguruan sudah hilang, terganti oleh hubungan persahabatan! Cong San lalu keluar dari Siauw-lim-si diikuti oleh Yan Cu dengan muka pucat dan muram. Setelah mereka agak jauh dari kuil itu dan tidak tampak lagi genteng kuil, Yan Cu memegang tangan suaminya dan berhenti. Wajahnya cerah dan ia tersenyum karena ia melihat kemuraman wajah suaminya dan mengambil keputusan untuk menghiburnya. "Koko, harap kau jangan besedih lagi. Kalau kau berduka, aku ikut pula bersedih. Kita harus ingat akan wejangan suhumu yang bijaksana. Peristiwa itu telah lalu, mengapa disedihkan dan ditangisi? Lebih baik kita tertawa, tersenyum! Senyumlah, Koko! Kita pengantin baru, bukan? Sepatutnya kita bergembira. Hayo, senyumlah!" Cong San menatap wajah isterinya. Wajah yang cantik jelita seperti bidadari, yang tersenyum-senyum sehingga bibirnya merekah dan tampak ujung deratan gigi yang seperti mutiara, mata yang berkaca-kaca biarpun mulutnya tersenyum. Nampak jelas kasih sayang membayang di mata itu, nampak jelas betapa isterinya berusaha menghiburnya, berusaha mengusir kesedihan hatinya. Hatinya terharu bukan main dan seolah-olah bendungan yang jebol dia merangkul isterinya dan merintih, "Yan Cu, isteriku.....!!" Ia memeluk isterinya, mendekapnya dan terdengarlah isak tangisnya, membuat Yan Cu ikut pula sesenggukan. "Koko..... hu-hu-huuuukkk...... jangan menangis, Koko.... suamiku......" "Yan Cu....... ahhh, Moi-moi......." Mereka berpelukan dan bertangisan.Setelah segala perasaan duka itu membobol keluar menjadi tangis, legalah hati Cong San dan dia memegang pundak isterinya, didorong perlahan sehingga mereka saling pandang. Kemudian, dengan air mata masih mengalir di sepanjang pipi, keduanya berpandangan dan tertawa lebar! "Kita berbahagia...... tangis kita tangis bahagia.....!" bisik Cong San. Seketika tersapu bersihlah awan kedukaan karena di depan mereka terbentang jalan lebar, menuju kebahagiaan. "Suamiku, sekarang kita ke manakah?" yan Cu sambil merebahkan mukanya di dada suami itu, sikapnya penuh manja dan mesra. Cong San mengelus rambut yang halus dan harum itu. "Isteriku, kaumaafkanlah aku. Karena urusan yang datang bertubi-tubi, aku yang terlalu mementingkan diri sendiri sampai seolah-olah mengabaikan engkau, isteriku yang tercinta, satu-satunya orang di dunia ini yang paling kukasihi. Semua ini gara-gara si iblis betina Bhe Cui Im. Hemmm...... sekali waktu aku harus membasminya!" Yan Cu merangkul leher suaminya, menarik muka suaminya dan dengan manja ia menempelkan pipinya di atas pipi suaminya. "Suamiku, kini bukan saatnya bicara tentang dia. Yang penting, kemanakah kita sekarang?" *** Dengan jantung berdebar penuh kebahagiaan Cong San mencium bibir isterinya. "Biarlah untuk beberapa hari ini kita berdiam di hutan pohon pek yang berada di depan itu. Di situlah aku dahulu seringkali melewatkan malam sunyi ketika aku masih belajar di Siauw-lim-si. Tempat itu indah sekali, kita hidup bebas di sana, jauh dari keramaian dunia, jauh dari manusia lain, hanya kita berdua! Di sana terdapat sumber air yang membentuk telaga kecil yang airnya jernih sekali. Dahulu seringkali aku tidur di pinggir telaga, bertilam rumput tebal, berlindung daun-daun pohon pek yang besar, bermimpi tidur bersendau-gurau dengan bidadari. Sekarang mimpi itu menjadi kenyataan dan engkaulah bidadarinya, isteriku." "Ihhh.....!" Yan Cu cemberut. "Hidup seperti binatang liar di hutan? Bagaimana kalau ada orang melihat kita?" "Tempat itu masih termasuk wilayah kekuasaan Siauw-lim-si, tidak ada yang berani datang ke sana. Para suheng tentu akan menjauhkan diri dan membiarkan kita bersenang di sorga dunia itu. Kita hanya beberapa hari tinggal di sana, kemudian kita pergi ke kota Leng-kok di mana tinggal seorang pamanku. Daripada kita melewatkan bulan madu di kamar-kamar penginapan yang sempit dan kotor, bukankah lebih senang berada di hutan yang indah bersih, luas dan tidak akan bertemu dengan manusia lain?" Yan Cu tersenyum. "Aku hanya isterimu, Koko. Aku menurut, ke manapun kau pergi aku ikut, dan aku akan senang sekali, biar akan kaubawa ke...... neraka sekalipun!" "Husshhhh! Kalau aku pergi ke sorga, engkau kudorong masuk lebih dulu, isteriku, akan tetapi kalau aku ke neraka, engkau akan kutinggalkan, biar aku sendiri yang menderita." Sambil bergandengan tangan, kedua orang yang sedang dimabuk cinta kasih, sepasang pengantin baru ini berlari-larian memasuki hutan kecil yang berada di sebelah utara kuil Siauw-lim-si. Yan Cu menjadi gembira sekali ketika mendapat kenyataan bahwa hutan itu benar-benar amat indah, sunyi dan bersih. Telaga kecil yang berada di tengah hutan, tersembunyi antara pohon-pohon pek raksasa, memiliki air yang jernih sekali sampai tampak dasarnya, tampak ikan-ikan beraneka macam berenang di dalamnya. Tepi telaga ditumbuhi rumput-rumput hijau yang tebal dan lunak sepeti permadani hijau. Sunyi sekali kecuali suara air anak sungai yang dibentuk karena air telaga yang meluap, diseling kicau burung di pohon-pohon. Benar-benar merupakan sorga kecil. Mereka bersendau-gurau, menceritakan riwayat dan pengalaman masing-masing semenjak kecil, diseling pelukan, ciuman dan cubitan manja. Ketika perut telah kenyang oleh daging kelinci yang ditangkap Cong San dan dipanggang Yan Cu, Cong San mengajak isterinya mandi. Yan Cu menggeleng kepala dengan muka merah. "Tak tahu malu!" Ia pura-pura marah membentak. "Kalau kau mau mandi, sana jangan dekat-dekat. Mana boleh laki-laki dan wanita mandi bersama, bertelanjang bulat di sini tak mengenal malu? Sungguh tidak sopan!" "Eh! Eh! Eh! Kita memang laki-laki dan wanita, akan tetapi kita pun suami isteri! Mengapa tidak boleh? Dan malu kepada siapa? Tidak ada yang melihat kita. Masa tidak sopan? Hayolah, bukankah engkau isteriku dan aku suamimu? Enak sekali mandi di sini, kalau kau tidak pandai renang, di pinggir dangkal, hanya setinggi perut. Dan biar aku yang mengajar kau berenang!" Cong San mulai menanggalkan bajunya. Melihat dada suaminya bertelanjang, makin merah muka Yan Cu dan jantungnya berdebar tidak karuan. "Eh, mengapa masih belum membuka pakaian?" Cong San menegur setelah selesai menanggalkan pakaian atasnya. Yan Cu menunduk dan menggeleng kepalanya. Aku tidak mandi.....!" "Wah, aku yang celaka! Punya isteri tidak pernah mau mandi!" Yan Cu tertawa dan tangannya bergerak mencubit. Aduhhh! Ampun! Aku menarik kembali kata-kataku, kau isteri yang selalu mandi sehingga kulitmu bersih, putih halus seperti salju, berbau harum keringatmu seperti bunga setaman...... nah, hayolah!" "Aku akan mandi dengan berpakaian!" "Mana bisa? Kita tidak membawa bekal, kalau pakaianmu basah, kau masuk angin, wah, aku yang repot! Eh, Yan Cu, setelah menjadi isteriku, kenapa engkau sungkan dan malu?" "Tidak.....! Tidak mau.....!" "Kupaksa!" Sambil tertawa Yan Cu meloncat dan lari, dikejar oleh Cong San. Sejenak mereka berlarian memutari pohon-pohon seperti dua orang anak kecil bermain-main, tertawa-tawa dan akhirnya Yan Cu yang sengaja membiarkan dirinya ditangkap itu hanya menutup kedua matanya, napasnya terengah-engah ketika suaminya membantunya menanggalkan semua pakaiannya, kemudian ia memekik manja ketika suaminya memondongnya dan membawanya terjun ke dalam telaga! Mereka berenang, bersendau-gurau, bergelut dalam air, bersiram-siraman sambil tertawa-tawa atau kadang-kadang hanya berdiri di air setinggi perut sambil saling pandang, terpesona oleh keindahan tubuh masing-masing, tubuh manusia lain kelamin yang baru pertama kali itu selama hidup mereka lihat. Cong San mentertawakan Yan Cu yang dengan malu-malu berusaha menutupi tubuhnya dengan tangan, dengan rambut. Ikan-ikan di dalam telaga berenang cepat melarikan diri terkejut ketakutan menyaksikan dua makhul besar itu berdekapan, berciuman agaknya mereka merasa iri hati dan ikan-ikan jantan mulai mengejar-ngejar ikan betina! Sungguh bahagia, penuh madu asmara kebahagiaan penuh yang hanya dapat dirasa dan dinikmati sepasang pengantin baru. Pertemuan antara dua mahluk lawan kelamin, pertemuan lahir batin, badan dan jiwa, bebas lepas tidak ada rasa bersalah, tidak ada rasa malu karena di antara mereka tidak terdapat pelanggaran suatu hukum atau larangan. Pertemuan asyik masyuk seperti ini hanya dirasai oleh laki-laki dan wanita yang telah disyahkan oleh hukum manusia. Kasihanlah mereka yang mengadakan pertemuan lahir batin seperti ini yang melanggar larangan susila, yang melakukan hubungan di luar hukum berupa pernikahan syah. karena, biarpun badan mereka bertemu, batin mereka merasa bersalah, merasa berdosa dan melakukan pelanggaran sehingga kebahagiaan sesaat mereka itu tidak sepenuhnya, bahkan sesudahnya akan menimbulkan penyesalan, ketakutan dan kecewa. hanya sepasang suami isteri yang sudah sah pernikahannya saja yang akan dapat menikmati pertemuan pertama antara dua badan dan jiwa itu. Setelah cuaca menjadi remang-remang karena matahari mulai surut ke barat, Cong San meloncat ke darat memondong tubuh isterinya. Yan Cu tidak menolak, hanya memejamkan mata setengah pingsan oleh ketegangan, kebahagiaan, dan rasa malu namun dengan penuh pemasrahan ia menyerahkan badan dan jiwanya kepada pria yang dicintainya, pria yang menjadi suaminya dan yang berhak penuh atas dirinya. Hanya pohon-pohon raksasa yang melindungi atas kepala mereka yang menjadi saksi, bersama bulan yang muncul mengintai dari balik awan, air telaga yang sunyi, rumput hijau tebal halus yang menjadi tilam tubuh mereka, diiringi bunyi-bunyi merdu gemerciknya air anak sungai dan desau angin mempermainkan pohon-pohon rumput, dan rambut Yan Cu yang panjang dan menyelimuti tubuh mereka berdua. Yan Cu menggerang lirih penuh kelegaan hati menggerakan bulu matanya akan tetapi merasa terlalu malas untuk membuka mata. Tubuhnya terasa nyaman dan nikmat, lega, dan puas seperti hanya terasa oleh orang yang dapat tidur nyenyak tanpa gangguan mimpi. Belum pernah ia merasa begitu lega dan nikmat, begitu kenyang tidur seperti ketika ia terbangun di pagi hari itu. Ia teringat dan bibirnya tersenyum, mukanya tiba-tiba terasa panas terdorong rasa malu dan jengah bercampur bahagia. "Koko......!" Ia berbisik dan tanpa membuka mata lengannya merangkul ke sebelah kirinya. Kosong! Tangannya meraba-raba akan tetapi hanya rumput tebal yang terasa oleh jari-jari tangannya. Ia membuka matanya, mengejap-ngejapkan mata kemudian membukanya lebar-lebar. Rumput di sisinya masih rebah bekas tertindih tubuh Cong San, Akan tetapi suaminya tidak ada di situ. Suaminya! Betapa mesra sebutan ini sekarang di hatinya. Cong San adalah suaminya, suami dalam arti kata sepenuhnya. Bukan hanya sebutan seperti beberapa hari yang lalu, semenjak mereka menikah lalu tertimpa peristiwa yang hebat. Kini Cong San adalah suaminya sepenuhnya. Akan tetapi ke manakah dia? Tumpukan pakaian suaminya tidak ada. Yan Cu menggigil, terasa dingin dan baru sadar bahwa tubuhnya tidak berpakaian, bahwa api unggun hanya tinggal asapnya saja. Cepat ia meloncat bangun, menyambar dan mengenakan pakaiannya, matanya mencari-cari. Cong San tidak berada di tempat itu! "Ah, tentu dia mencari bahan sarapan," pikirnya dan Yan Cu duduk melamun dengan bibir tersenyum-senyum bahagia. Cinta kasihnya terhadap Cong San makin mendalam setelah orang muda itu kini menjadi suami sepenuhnya semenjak malam tadi. Teringat ia akan sendau-gurau mereka di telaga dan Yan Cu memandang ke arah air telaga dengan pandang mata mesra, seolah-olah ia berterima kasih kepada telaga itu. Terkenang ia akan semua yang terjadi kemarin, mereka berkejaran, ia berusaha menolak harus menanggalkan pakaian untuk mandi bersama, kemudian betapa mereka saling menggoda di air, dan akhirnya betapa kedua lengan yang kuat dari suaminya memondongnya keluar dari telaga, betapa di atas tilam kasur yang seperti permadani, mengalahkan segala kasur yang paling mewah di dunia ini, mereka memadu asmara suami isteri yang syah. Yan cu menarik napas panjang, penuh bahagia dan tiba-tiba ia terkejut. Dia belum mencuci muka, rambutnya terlepas. Aihhh! Suaminya tidak boleh melihat dia seperti ini! Tergesa-gesa karena khawatir kalau-kalau suaminya datang kembali sebelum ia siap, isteri muda ini lalu lari ke pinggir telaga dan mencuci mukanya, membasahi sedikit rambutnya dan membereskan rambutnya, digelung rapi, membereskan pakaian kemudia ia bercermin di air telaga yang jernih. Baru sekarang dia sibuk mempersolek diri, membasahi dan menggosok bibirnya sampai menjadi merah sekali, menggosok kedua pipinya, menata rambut di dahinya, anak rambut halus yang melingkar menghias dahi dan depan kedua telinga. Dengan ujung lidahnya yang kecil merah dibasahinya bibirnya sehingga bibir itu nampak merah basah seperti buah anggur merah. *** Ahhh, lama benar suaminya. Ke manakah perginya? Yan Cu melihat gerakan di balik tetumbuhan dan melihat beberapa ekor kelinci berlari. Mengapa suaminya pergi begitu jauh dan lama untuk mencari bahan sarapan kalau di depan mata terdapat banyak kelinci gemuk? Yan Cu tertawa dan tangannya sudah bergerak hendak menyambar batu dan merobohkan beberapa ekor kelinci, akan tetapi segera ditahannya dan dibatalkan niatnya. Aihhh, hampir saja aku lancang, pikirnya. Suami sedang pergi mencari bahan sarapan, kalau datang membawa binatang buruan lalu melihat bahwa dia telah menangkap beberapa ekor kelinci, bukankah akan membikin suaminya kecewa sekali? Biarlah, dia akan menanti, menanti dengan sabar. Bukankah termasuk kewajiban seorang isteri untuk menanti suaminya dengan penuh kesabaran, kesetiaan dan cinta kasih? Yan Cu tersenyum lagi dan melanjutkan mempersolek diri, menata rambut dan merapikan pakaian, mereka-reka bagaimana dia harus bersikap dan bicara nanti jika suaminya kembali. Dia merasa malu sekali setelah malam tadi dan membayangkan betapa pandang mata suaminya tentu akan bicara banyak, betapa tanpa kata-kata, pandang mata suaminya akan dapat menggodanya. Jantungnya berdebar penuh kebahagiaan, ketegangan dan rasa malu. Kalau saja Yan Cu tahu! Kalau saja isteri muda yang menanti penuh kebahagiaan ini mengetahui bahwa suaminya sama sekali bukan pergi mencari bahan sarapan. Aihhh, akan tetapi, bagaimana dia bisa tahu? Pagi itu Cong San meninggalkan isterinya, setelah mengenakan pakaian dia berlari cepat seperti gila menuju ke kuil Siauw-lim-si. Wajahnya keruh sekali, pandang matanya muram dan rambutnya awut-awutan, kadang-kadang pandang matanya liar penuh kemarahan dan rasa penasaran. Pandang mata ini diiringi kepalan kedua tangan sampai otot-ototnya berbunyi dan giginya yang menggigit-gigit berkerot. "Ah, Yap-sicu...... seperti ini datang berkunjung, ada keperluan apakah?" Hwesio penjaga pintu depan kuil menyambut kedatangan Cong San dengan pandang mata terheran-heran. "Aku ingin bertemu dengan suhu!" Hwesio itu merangkap kedua tangan depan dada. "Seingat siauwceng, Sicu tidak mempunyai suhu di Siauw-lim-si......" "Persetan segala kepura-puraan ini! Aku minta menghadap Tiong Pek Hoasing! Ada keperluan yang amat penting sekali!" "Akan tetapi, Tiong Pek Hosiang sedang bersamadhi, beliau telah memasuki Ruangan Kesadaran, tidak boleh diganggu." "Aku tidak akan menggangunya, hanya ingin menyampaikan sesuatu. Sudahlah, harap jangan mempersulit aku. Biarlah aku pergi sendiri mencarinya di Ruang Kesadaran!" Cong San melangkah maju akan tetapi hwesio penjaga pintu itu berdiri menghalang dengan pandang mata heran. "Sebagai bekas murid Siauw-lim-pai apakah Sicu tidak tahu akan peraturan di sini? Orang luar tidak boleh memasuki kuil begitu saja tanpa seijin para pimpinan!" Cong San mengerutkan keningnya. "Aku tidak berniat buruk dan aku perlu sekali menghadap suhu.......eh, Tiong Pek Hosiang. Kepentingan ini akan kupertaruhkan dengan nyawa dan kalau terpaksa aku akan menggunakan kekerasan memasuki kuil untuk menghadap beliau!" Tiba-tiba terdengar suara yang karena dan nyaring, "Hemmmm, ada apakah ribut-ribut sepagi ini?" Yang muncul adalah Thian Kek Hwesio, hwesio tua tinggi besar yang usianya sudah tujuh puluh tahun lebih itu, sikapnya tenang namun kerena dan penuh wibawa, membuat Cong San serta merta menjatuhkan diri berlutut. "Suheng....... ah, maaf......... Losuhu...... mohon perkenan agar teecu boleh menghadap Locianpwe Tiong Pek Hosiang....., penting sekali......... mohon perkenan sekali ini saja." Sejenak sepasang mata hwesio tua itu memandang penuh perhatian, kemudian dia menggerakan tangan menggapai. "Mari masuklah, Yap-sicu, kita bicara di dalam." Cong San tidak berani membantah, bangkit dan mengikuti hwesio tua itu memasuki ruang tamu di mana tidak terdapat lain hwesio. Setelah dipersilahkan duduk, hwesio tua itu bertanya, "Nah, sekarang katakanlah. Ada keperluan apakah Sicu pagi-pagi mendatangi kami?" "Suheng...... ah, Losuhu, teecu sedang bingung sekali. Teecu ingin menghadap Tiong Pek Hosiang, ingin mohon nasihatnya......... ah, perkenankanlah, sekali ini saja karena urusan ini menyangkut penghidupan teecu......." "Yap-sicu, pinceng ingin sekali mengabulkan permintaanmu, namun tidak mungkin karena suhu telah memasuki Ruangan Kesadaran dan akan bertapa si sana sampai saat terakhir tiba. Beliau tidak boleh dan tidak bisa diganggu karena andaikata Sicu menghadapnya juga, suhu tidak akan dapat melayanimu. Suhu sudah melepaskan diri dari segala urusan dan ikatan dunia, dan urusan suhu itu pun amat penting bagi jiwanya. Apakah dengan urusanmu ini Sicu tega mengganggu dan menggagalkannya?" "Tapi....... tapi......" "Yap-sicu. Engkau adalah seorang muda yang gagah perkasa dan telah menerima gembelengan lahir batin yang cukup, mengapa begini lemah. Tidak ada kesulitan di dunia ini yang tidak dapat diatasi manusia, asalkan si manusia itu mempunyai dasar ikhtikad baik. Apalagi kalau diingat bahwa segala kesulitan adalah akibat dari perbuatan sendiri, maka untuk mengatasinya harus pula dicari sebab dalam diri sendiri. Yap-sicu, pinceng melihat awan gelap menyelubungi dirimu, penyesalan, kemarahan, kekecewaan menggelapkan nuranimu. Keadaanmu ini berbahaya sekali. Sicu dan dapat menjadi sebab timbulnya perbuatan-perbuatan yang penuh penyelewengan. Pinceng perihatin sekali kalau sampai Sicu melakukan perbuatan yang menyeleweng daripada kebenaran karena Sicu adalah..... sahabat baik kami. Karena itu, cobalah ceritakan kepada pinceng apa yang mengeruhkan hati Sicu, semoga saja Tuhan memberi kekuatan kepada pinceng untuk memasukan penerangan dalam hatimu, mengusir kekeruhan dan kegelapan." Cong San menjadi bingung dan ragu-ragu. Ia maklum bahwa gurunya tak dapat diganggu lagi, apalagi mendengar bahwa gurunya bersamadhi sampai datang kematian kelak, bagaimana dia tega mengganggu gurunya dengan segala urusan dunia yang hanya menyangkut kepentingan pribadi? "Tapi...... urusan ini...... tidak boleh diketahui oleh siapapun....... maka teecu lari ke......suhu...... ahhhh......" Dia menjadi bingung dan menundukan muka, keningnya berkerut dan matanya dipejamkan. Biarpun wataknya kasar, polos, jujur dan tenang, namun hati Thian Kek Hwesio merasa kasihan juga kepada sutenya ini, yang kehilangan keanggautaannya dari Siauw-lim-pai bukan oleh kesalahannya, melainkan oleh keadaan. Di dalam hatinya, dia masih menganggap pemuda itu sebagai sutenya sendiri yang dikasihinya. "Yap-sicu, pandanglah pinceng. Pinceng adalah sorang kakek yang pantas menjadi kakekmu. Dalam menanggapi dan memandang persoalan dunia, mata batin pinceng telah terbuka lebar, mengapa Sicu merasa segan menyampaikan kepada pinceng kalau Sicu tidak segan menyampaikannya kepada suhu? Nah, orang muda, engkau perlu sekali mendapat penerangan, maka ceritakanlah peristiwa apa yang mendatangkan kegelapan hebat seperti hawa siluman itu di hatimu." Lenyaplah keraguan di hati Cong San. Kalau dia tidak dapat menumpahkan perasaan hatinya yang membuatnya seperti gila itu, tentu dia akan menjadi gila dan benar seperti ucapan bekas suhengnya ini, dia akan melakukan hal-hal yang mengerikan. Suhunya tak dapat diharapkan, maka satu-satunya orang yang kiranya akan dapat menolongnya dengan nasihat adalah pendeta tua inilah. Serta-merta dia turun dari kursi dan menjatuhkan diri berlutut di depan Thian Kek Hwesio. Pendeta ini memandang kepada bekas sutenya sambil tersenyum tenang, membiarkannya saja tidak membangunkannya karena maklum bahwa pemuda itu harus menumpahkan sluruh perasaan yang menghimpitnya. "Losuhu, teecu.... bersama isteri teecu...... mengunakan hutan pohon pek untuk melewatkan malam......." *** "Pinceng sudah tahu akan hal itu Sicu. Hwesio pernoda telah melaporkan dan pinceng memerintahkan mereka membiarkan kalian berdua dan meninggalkan kalian, karena sebagai sahabat baik, kalian berdua berhak menggunakan tempat itu untuk berbulan madu. lalu, apakah yang terjadi?" Setelah ragu-ragu sejenak, akhirnya Cong San dapat juga mengeluarkan perasaan melalui mulutnya, "Losuhu, malapetaka hebat menimpa diri teecu...... malam tadi...... ah, bagaimana teecu harus menceritakan? Malam tadi........adalah merupakan malam pertama bagi teecu berdua sebagai suami isteri....... semenjak pernikahan kami yang tergangu di Cin-ling-san....." "Hemmmm, dapat pinceng maklumi. Selamat atas kebahagiaan kalian suami isteri, Sicu." "Losuhu! Harap jangan memberi selamat kepada teecu yang celaka ini! Malam tadi......baru teecu ketahui dan....... ah, Losuhu...... ternyata banwa isteri teecu itu bukanlah perawan lagi!!" Tadinya Cong San merasa betapa hatinya terhimpit dan setelah dia berhasil mengeluarkan hal yang menjadi racun di hatinya itu, dia merasa agak lega, mengira bahwa tentu bekas suhengnya itu akan terkejut sekali, mengucapkan doa dan ikut merasa penasaran dan marah karena dia maklum betapa besar kasih sayang suhengnya ini kepadanya. Akan tetapi, tidak ada akibat apa-apa, bahkan tidak ada suara keluar dari mulut suhengnya. Ia tercengang dan cepat mengangkat muka memandang wajah kakek itu. Ternyata kakek itu tetap tenang, duduk dengan muka cerah dan mulut tersenyum. Sejenak mereka berpandangan dan ketika Cong San kelihatan makin terheran-heran, kakek itu berkata halus, "Yap Cong San, bangkit dan duduklah!" Seperti orang kehilangan semangat, Cong San bangkit dan duduk menghadapi Thian Kek Hwesio. Sampai beberapa lama hwesio itu tidak bicara, dan mereka hanya saling pandang, Cong San masih merasa tertekan dan bercampur heran, sedangkan hwesio tua itu memandang penuh selidik, sinar matanya seakan-akan menembus ke dalam untuk menjenguk isi hati Cong San. "Yap-sicu, sekarang dengarlah semua ucapan pinceng dan segala pertanyaan pinceng harap dijawab sesuai dengan isi hatimu." Cong San hanya mengangguk, seluruh perhatiannya dicurahkan. "Yap-sicu, apakah engkau benar-benar mencintai Gui Yan Cu yang kini telah menjadi isterimu?" Pertanyaan yang aneh! Mengapa masti ditanya lagi? Kenyataannya bahwa dia suka menjadi suami gadis itu tentu saja sudah cukup membuktikan bahwa dia mencinta Yan Cu! Akan tetapi dia harus menjawab semua pertanyaan, maka tanpa ragu-ragu lagi dia menjawab, "Tentu saja, Losuhu! Teecu mencinta Yan Cu dengan sepenuh hati dan jiwa teecu!" "Engkau mencintanya sejak sebelum kalian menjadi suami isteri dan dikawinkan di Cin-ling-san?" "Benar, Losuhu. Teecu jatuh cinta kepadanya semenjak pertemuan kami yang pertama kali." "Cinta lahir batin?" "Benar!" Cong San menjadi makin tidak mengerti dan menatap wajah tua itu penuh pertanyaan. "Dan sekarang, setelah mendapat kenyataan bahwa dia bukan perawan lagi, perasaan bagaimanakah yang terdapat di hatimu?" "Teecu marah, teecu benci, menyesal, kecewa dan dendam tercampur aduk menjadi satu. Teecu........ ah, teecu tidak tahu lagi apa yang teecu rasakan! Teecu ingin..... bunuh diri saja!" Senyum di wajah tua itu melebar. "yap Cong San, kalau engkau benar mencinta Gui Yap Cu, maka yang baru saja mengucapkan kata-kata itu bukanlah hatimu, bukanlah dirimu yang sejati, melainkan nafsu-nafsumu. Kalau pinceng percaya akan kata-katamu yang terakhir tadi, kalau kata-katamu keluar dari hatimu yang sejati, maka berarti bahwa selama ini engkau bukan mencinta Gui Yan Cu, melainkan mencinta...... tanda keperawanannya!" Cong San terlongo, matanya terbelalak. "Apa...... apa yang Suheng maksudkan?" Saking kaget dan bingung, dia sampai lupa dan menyebut suheng kepada hwesio itu. Thian Kek Hwesio tidak mencela, melainkan berkata, suaranya jelas dan penuh ketenangan. "Kalau engkau mencinta Gui Yan Cu, tentu pribadinya yang kaucinta, lahir batinnya, dirinya segala termasuk kebaikan dan cacad yang ada pada dirinya. Kalau engkau kehilangan dia, barulah engkau akan berduka dan menyesal. Akan tetapi karena yang kaucinta adalah tanda keperawanannya, maka begitu engkau kehilangan tanda itu, engkau menjadi berduka dan menyesal. Betapa picik dan rendahnya cintamu, Yap-sicu. Cinta berada di dalam hati, bukan di kulit daging! Cinta yang hanya sedalam kulit daging hanyalah cinta berahi! Tanda keperawanan hanya merupakan persoalan kulit daging belaka. Kalau betul engkau mengaku cinta kepada isterimu, maka cintamu itu adalah palsu, cintamu itu hanyalah cinta berahi kalau kini engkau meributkan soal perawan atau bukan! Memilih seorang isteri bukan seperti milih seekor ayam yang hendak disembelih, kemudian merasa kecewa dan menyesal setelah mendapat kenyataan bahwa ayam itu sakit! Sama sekali bukan! Memilih seorang isteri berarti memilih jodoh, memilih teman hidup selamanya berdasarkan cinta kasih yang murni, siap untuk hidup berdampingan selamanya, senang sama dinikmati, susah sama diderita. Kalau kenyataan bahwa isterimu bukan perawan lagi melenyapkan cintamu, maka cintamu itu bukanlah cinta murni, melainkan cita yang semata-mata didasarkan pada hubungan jasmaniah saja!" Ucapan itu bagaikan halilintar di siang hari menyambar kepala Cong San. Dia terbelalak, matanya tak pernah berkedip memandang wajah hwesio yang tenang dan mulutnya tersenyum, akan tetapi sinar matanya tajam berpengaruh itu. Akan tetapi dia masih penasaran dan membantah. "Akan tetapi, Losuhu. Cinta yang murni harus disertai kesetiaan, tidak boleh dikotori dengan perjinahan! Sudah terang bahwa dia telah berjinah dengan orang lain, dan ini merupakan penipuan terhadap teecu. Sebuah penipuan yang amat kotor menjijikkan!" Berkata demikian, terbayanglah wajah Cia Keng Hong di depan mata Cong San, dadanya menjadi panas penuh dendam dan kemarahan, napasnya menjadi terengah-engah. Thian Kek Hwesio mengangkat tangan ke atas, seolah-olah hendak mencegah pemuda itu berlarut-larut kemudian terdengar dia berkata, "Kata-katamu itu memang benar dan tepat, Yap-sicu. Namun, kesetiaan itu hanya berlaku kepada mereka yang telah saling mengikat dengan cinta kasih, terutama dengan pernikahan. Kalau dahulu, ketika kalian saling bercinta, kemudian ternyata bahwa dia melakukan hubungan baik perjinahan maupun cinta kasih dengan pria lain, itu berarti bahwa dia menyeleweng dan mengingkari hubungan cinta yang sudah merupakan ikatan janji dan tentu saja kalau terjadi demikian, engkau berhak, bahkan sebaiknya kalau engkau memutuskan hubungan cinta itu. Kalau setelah menjadi suami isteri, isterimu melakukan penyelewengan dan berjinah dengan pria lain, maka engkau pun berhak untuk merasa menyesal dan marah, berhak untuk menceraikannya. Akan tetapi, dalam hal ini, tidak terjadi pelanggaran seperti itu. Kalau isterimu itu dahulu, sebelum bertemu denganmu, melakukan hubungan dengan pria lain, hal ini bukanlah berarti dia menipumu, dia tidak bersalah kepadamu dan melanggar ikatan apa-apa denganmu. waspadalah, yap-sicu dan berpikirlah secara bijaksana. Kalau benar kenyataan bahwa isterimu bukan perawan itu berarti dia pernah melakukan hubungan badani dengan pria lain, maka hal itu terjadi dahulu dan merupakan peristiwa yang sudah lalu, sama sekali tidak ada sangkut-paut dengan hubungan cinta kasih di antara kalian." *** Agak dingin rasa panas di hati Cong San. Sampai lama dia diam saja, otaknya diperas, terjadi perang di hatinya. Terbuka mata hatinya bahwa memang dia tidak adil sekali kalau harus membenci Yan Cu karena isterinya bukan perawan lagi. Sejak pertemuan pertama Yan Cu sudah bukan perawan lagi, dan sekarang hanyalah pembukaan rahasia itu. Akan tetapi mengapa gadis itu tidak berterus terang? Itu berarti menipunya! Ah, mana mungkin seorang gadis mengaku dan bicara tentang keperawanannya? Akan tetapi mengapa bersikap seolah-olah masih perawan, masih belum pernah melakukan hubungan jasmani dengan pria lain? habis, apakah dia harus berteriak-teriak memamerkan ketidakperawanannya" Terjadi perbantahan di hati Cong San. Akan tetapi tiba-tiba terngiang di telinganya semua ucapan Cui Im ketika mereka bertanding di Cin-ling-san dulu. "Yan Cu bukan perawan lagi, dia adalah bekas Keng Hong, hi-hi-hik! Tan Cong San, engkau pemuda tolol!" Panas lagi hati Cong San, panas oleh cemburu! Matanya melotot, mukanya merah sekali. Dia akan membunuh Keng Hong! Dia akan membunuh Yan Cu! Kemudian dia akan membunuh diri sendiri! "Yap-sicu, tenanglah dan kalahkan nafsu di hatimu sendiri," tiba-tiba terdengar suara Thian Kek Hwesio yang tenang, sabar dan penuh wibawa. Cong San dapat mengendalikan lagi hatinya, akan tetapi dia masih penasaran dan bertanya, "Losuhu! Apakah Losuhu hendak mengatakan bahwa seorang gadis yang melakukan hubungan badani dengan seorang pria di luar pernikahan bukan merupakan perbuatan kotor, hina, menjijikkan dan terkutuk?" "Semua perbuatan yang menyeleweng daripada kebenaran adalah terkutuk, Sicu, terkutuk oleh kesadarannya sendiri melahirkan hukum karma. Jika benar bahwa isterimu pernah melakukan pelanggaran itu, maka sama saja dengan dia menanam benih yang kelah setelah bersemi, buahnya akan dia petik sendiri. Sama sekali tidak ada hubungannya dengan dirimu, dan...... hemmm, andaikata Sicu melakukan hal yang bukan-bukan menurutkan nafsu marah dan bertindak terhadapnya, nah hal itu dapat saja dianggap sebagai karma atau akibat perbuatannya yang sesat. Mengertikah engkau, Sicu? Akan tetapi, jangan lupa pula bahwa kalau Sicu melakukan sesuatu yang mengerikan terhadap urusan ini, sicu juga tersesat, tidak berbeda dengan yang telah dilakukan isteri Sicu, dan kesesatan ini pun berbuah kelak." "Akan tetapi, Losuhu. Seorang perempuan yang telah begitu merendahkan dirinya, sebagai seorang gadis berjinah di luar nikah, perempuan seperti itu apakah masih dapat dipercaya akan menjadi seorang isteri yang baik?" "Sicu bicara hanya menurutkan nafsu iba diri yang menggunakan kemarahan untuk membakar hati Sicu! Berjinah adalah satu dari sekian banyaknya perbuatan menyeleweng dari manusia, akan tetapi janganlah Sicu menempelkan sebuah perbuatan menyeleweng pada diri orang itu dan selanjutnya dicap sebagai penyeleweng seumur hidupnya! Yap-sicu, manusia di dunia ini siapakah yang tidak pernah menyimpang dari kebenaran? Macam-macam penyelewengannya, dan kebetulan sekali perjinahan dianggap sebagai penyelewengan terbesar untuk kaum wanita, akan tetapi setiap penyelewengan adalah manusiawi, timbul dari kelemahan batin manusia. Betapapun juga, tidak boleh menilai seseorang dari perbuatan sesaat untuk menjadi tanda selama hidupnya! Contohnya, maaf, suhu, terpaksa teecu membawa nama suhu untuk menyadarkan yap-sicu, adalah suhu kita sendiri. Beliau pernah melakukan penyelewengan yang itu, akan tetapi apakah selanjutnya beliau hidup sebagai seorang yang menyeleweng dari kebenaran? Sama sekali tidak, sungguhpun hukum karma masih selalu mengikuti beliau! Sama saja dengan isterimu, Sicu. Seorang yang melakukan penyelewengan dari kebenaran, adalah seorang yang sedang sakit. Bukan jasmaninya yang sakit, melainkan batinnya! Dan harus diingat bahwa yang sakit dapat sembuh! Sebaliknya harus selalu menjadi ingatan kita bahwa yang sesat dapat saja sewaktu-waktu jatuh sakit! Maka, selagi dalam sehat lahir batin, janganlah kita menekan terlalu berat kepada mereka yang sedang sakit lahir batinya, karena mereka itu dapat sembuh dan kita dapat jatuh sakit. Mengertikah, Sicu?" Cong San menunduk. Semua wejangan itu meresap di hatinya dan dapat dia mengerti sepenuhnya. Hanya hati yang panas itu, betapa sukarnya menindas hati sendiri! "Mohon petunjuk, Losuhu. Bagaimana teecu harus bersikap terhadap isteriku itu? Betapa teecu dapat melupakan perbuatannya, melupakan kenyataan bahwa isteri teecu bukan perawan lagi!" "Cinta kasih yang murni akan dapat melenyapkan semua kekecewaan hati, Sicu. Cinta kasih yang murni akan memperbesar kesabaran dan memperkaya maaf di hati dengan kesadaran bahwa tiada manusia tanpa cacad, maka segala cacad orang yang dicinta tentu akan mudah dimaafkan. Menerima seseorang harus dengan mata terbuka, dengan kesadaran sehingga akan mudah menerima orang itu berikut cacad-cacadnya dan kelemahan-kelemahannya karena tahu bahwa diri sendiri pun bukanlah orang yang tanpa cacad." "Akan tetapi, bagaimana teecu akan dapat melupakan tekanan batin ini? Apakah sebaiknya teecu secara teru terang menanyakan hal itu dan menuntut agar dia menceritakan penyelewengannya yang lalu?' Hwesio itu menggeleng kepala. "Tidak bijaksana kalau Sicu berbuat demikian. Seorang wanita memiliki perasaan yang amat peka, mudah tersingung. kalau Sicu mengajukan pertanyaan itu, apa pun kenyataannya, Sicu akan menderita akibatnya. Kalau ternyata dia tidak berdosa, dia akan tersinggung dan menganggap Sicu tidak percaya kepadanya dan hal ini mengakibatkan dia pun berkurang kepercayaannya kepada Sicu. Sebaliknya, andaikata dia berdosa, dia akan mengambil dua macam sikap, pertama dia bisa merasa malu dan rendah diri, bahkan luka dihatinya itu, setiap penyelewengan tentu membekas dan menimbulkan luka penyesalan di hati, akan terbuka dan kambuh kembali, dia akan menganggap Sicu memandang rendah tidak menghargai dia dan hal ini hanya akan mengingatkan dia akan pria pertama yang pernah merebut hati dan tubuhnya. Kedua, kalau dia seorang yang tinggi hati, dia akan nekat dan malah menantang Sicu dengan perbuatan yang seolah-olah tidak peduli dan tidak mengindahkan lagi ikatan pernikahannya dengan Sicu karena dia menganggapnya toh sudah rusak. Sebaiknya, Sicu menenangkan diri, mengubur diri dengan cinta kasih dan penuh maaf, didasari perasaan iba kepada isteri yang pernah menyeleweng dari kebenaran sehingga harus menanti datangnya hukum karma." "Losuhu berkata bahwa kalau dia tidak berdosa. Mungkinkah itu? Sudah jelas semalam...... bahwa.....” *** "pinceng sudah berusia tujuh puluh tahun lebih, sudah tahu apa yang Sicu maksudkan. Yap-sicu, tanda keperawanan seorang wanita bukan hanya dapat dibuktikan di waktu malam pengantin pertama. Banyak hal yang dapat terjadi, yang memungkinkan dia kehilangan tanda itu diluar hubungan jasmani dengan pria, misalnya karena sakit, karena jatuh dan sebagainya. Terutama sekali harus diingat bahwa isterimu adalah seorang wanita yang berilmu tinggi, yang sejak kecil telah digembleng dengan ilmu silat, dengan gerakan-gerakan ketangkasan, maka kehilangan tanda keperawanannya bukanlah hal yang aneh lagi. Sekali lagi, kalau memang Sicu mencintanya, mengapa ribut-ribut urusan tanda keperawanan yang tidak berarti? Jangan lupa, cinta kasih tempatnya di hati, bukan di........eh, maaf, bukan di situ!" Wajah Cong San menjadi terang kini. Sejak tadi dia mengalami perdebatan dan perang di hatinya, dan wejangan-wejangan itu telah membantunya sehingga akhirnya kesadaran memperoleh kemenangan. Sekarang seperti baru terbuka mata hatinya betapa tolol dia tadi, betapa gobloknya, hendak mengorbankan ikatan cinta kasih murni antara dia dan Yan Cu hanya oleh soal sepele saja. Soal perawan atau bukan! Aihhh terlalu lama dia meninggalkan Yan Cu! "Losuhu....., Suheng ....... terima kasih...... terima kasih....!" Karena teringat akan isterinya, Cong San berkelebat dan sekali meloncat telah lenyap dari ruangan itu. Thian Kek Hwesio mengelus-elus kepalanya yang gundul sambil tertawa, kemudian dia merangkap tangan di depan dada, memejamkan mata dan mengerutkan keningnya. "Omitohud..... semoga Yap-sute mendapat penerangan di hatinya dan dapat menyingkir dari bahaya kegelapan." Ia berkemak-kemik membaca doa karena hatinya prihatin sekali. Dia pun dengan mata batinya yang waspada, dapat melihat awan gelap menyelubungi diri sutenya itu. Hati Yan Cu mulai menjadi gelisah ketika sampai hampir tengah hari dia tidak melihat Cong San datang. Ke manakah perginya suaminya itu? Suaminya! Suaminya yang tercinta dan mengenangkan Cong San, dada wanita muda ini terasa hangat dan penuh. Ah, tentu ada sesuatu yang penting maka Cong San sampai meningalkannya tanpa pamit. Dia harus menanti dengan samabr. Tiba-tiba Yan Cu melompat bangun, wajahnya pucat. Sesuatu! Jangan-jangan suaminya tertimpa bahaya! Siapa tahu. Bhe Cui Im, iblis betina itu masih berkeliaran. Dan Go-bi Thai-houw! Aihhh, kalau sampai terjadi sesuatu dengan suaminya! "Bhe Cui Im, kalau sampai engkau mengganggu suamiku, aku bersumpah untuk menghancurkan kepalamu!" Ia mengepal tinju. Akan tetapi kembali ia menjadi gelisah. Bagaimana kalau sampai terjadi sesuatu dengan suaminya yang tercinta? "Ahhh, Tuhan, semoga dia selamat. Koko, ke manakah engkau pergi??" Hampir Yan Cu menangis kalau saja dia tidak ingat bahwa betapa memalukan kalau suaminya datang melihat dia menangis, atau habis menangis, seperti anak kecil saja, ditinggalkan sebentar juga menangis. Seperti wanita lemah yang manja dan cengeng, sedikit-sedikit merengek! Yan Cu merasa heran menyaksikan perubahan hatinya sendiri. Dia, seorang wanita gemblengan, seorang pendekar wanita yang semenjak kecil menghadapi kekerasan tanpa berkedip mata, sekarang menjadi seorang wanita lemah, penakut dan mudah gelisah. Beginikah cinta? Aihhh, betapa hebat kekuasaan cinta. Dia tersenyum kalau teringat betapa dahulu bersama suhengnya, Cia Keng Hong, dia bicara tentang cinta! Uihhh, betapa jauh bedanya pelajaran kosong tentang cinta itu dengan kenyataannya. Bumi dengan langit! Kiranya tidak semudah itu cinta dipelajari dengan kata-kata, tidak semudah itu untuk dapat diikuti dengan pikiran, tidak mungkin diselami oleh akal budi manusia. Cinta hanya dapat DIRASA, titik! Percuma saja bicara tentang dasar laut dari permukaannya! Seperti bicara tentang isi langit dari atas bumi! Tiba-tiba lamunannya membuyar ketika pendengarannya yang tajam terlatih itu mendengar suara gerakan orang. Ia cepat membalikkan tubuh dan seketika wajahnya berseri, matanya terbelalak bersinar-sinar, bibirnya terbuka, "Koko.....!" "Yan Cu...... ohhh, Yan Cu.....!!" Cong San dan Yan Cu seperti berlumba lari saling menghampiri, saling menubruk dan saling peluk dengan penuh rindu seolah-olah mereka telah bertahun-tahun saling berpisah! Kalau masih ada bekas-bekas kemarahan di hatinya, kini tersapu bersihlah dari hati Cong San dan diam-diam dia mengutuk diri sendiri. Isterinya demikian mencintanya, jelas terasa oleh hatinya getaran kasih sayang yang keluar dari tubuh Yan Cu, dari ujung jari-jari tangannya, dari dengus napasnya, dari sinar matanya, dari senyum manisnya. Aihhh, cinta kasih isterinya bersembunyi di balik setiap gerak-geriknya, di balik setiap suara yang keluar dari mulutnya, menempel di setiap bulu badannya, mengapa dia masih menyangsikan! Ia mencium isterinya penuh kasih sayang dan kegelisahan mereka berdua lenyap ditelan dalam ciuman yang lama dan mesra itu. Akhirnya Yan Cu melepaskan diri, terengah-engah, tersenyum dan mengerling manja dan mulutnya dibikin cemberut. "San-koko, engkau sungguh keterlaluan. pagi-pagi buta telah meninggalkan orang pergi tanpa pamit!" Cong San yang melihat isterinya cemberut, matanya melerok, kakinya dibanting seperti seorang anak kecil ngambek ini, tersenyum geli dan dia pun lalu menjura dalam-dalam seperti orang memberi hormat kepada seorang ratu, "Mohon beribu ampun, ratuku pujaan hati! Melihat engkau tidur demikian nyenyak, kelihatan lelah sekali, hati kakanda mana mungkin tega membangunkanmu?" "Ihhh! Siapa yang bikin orang lelah!" Yan Cu mendengus, akan tetapi ia merangkul leher suaminya ketika pinggangnya dipeluk, lalu bertanya dengan suara sungguh-sungguh, "Suamiku, hatiku tadi benar-benar gelisah sekali. Tadinya kukira engkau mencari bahan santapan, akan tetapi sampai hampir siang engkau belum juga kembali. Ada terjadi apakah, Koko? tadi aku khawatir kalau-kalau engkau tertimpa malapetaka!" Aduh, kekasihku, engkau tidak tahu betapa malapetaka hebat hampir saja merusak cinta kasih kita, di dalam hatinya Cong San mengeluh. Akan tetapi mulutnya berkata, "Kau maafkan aku. Aku..... aku teringat kepada suhu. Tadinya aku hanya ingin menengok sebentar selagi kau tidur dan sekalian menangkap kijang atau kelinci. Siapa kira, ketika sampai di sana, suhu telah memasuki Ruangan Kesadaran dan bertapa sampai mati kelak. Hatiku terharu sekali sehingga aku sampai lama membujuk-bujuk agar suhu suka bicara untuk terakhir kalinya dengan aku, namun sia-sia. Ketika aku kembali, hatiku demikian penuh rindu kepadamu sampai aku lupa untuk menangkap bahan makanan. dan perutku lapar bukan main!" "Apa kaukira aku pun tidak lapar sekali? Baru sekarang terasa setelah kau kembali, heran sekali!" "Ha-ha-ha, memang cinta membuat orang selalu merasa lapar dan haus!" "Aaahh, masa! Apa engkau selalu lapar dan haus setelah jatuh cinta kepadaku?" "Tentu saja, kelaparan dan kehausan hanya kerling matamu dan senyum bibirmu yang akan dapat mengobati lapar dan dahagaku yang tak kunjung puas. Hemmm, siapa suruh engkau memiliki mata dan bibir seindah ini?" Cong San mencium mata dan bibir itu sampai Yan Cu terengah-engah. "Eh-eh-eh, engkau benar-benar buas tak kenal kenyang! begini terus, kita berdua benar-benar kelaparan, lapar perut bukan lapar itu, hi-hi-hik!" Yan Cu meronta dan melepaskan pelukan Cong San, kemudian melarikan diri dikejar suaminya. "Hayo kita berlumba menangkap kelinci. Berlumba menangkap yang termuda dan paling gemuk. Yang kalah harus menguliti dan memanggang dagingnya, melayani yang menang!" Yan Cu terkekeh menantang. Mereka lalu berlari-lari seperti dua orang kanak-kanak mencari kelinci, karena Cong San memang mengalah, Yan Cu mendapatkan kelinci yang muda dan gemuk sekali, sedang Cong San mendapatkan kelinci kurus yang terlepas kembali, ditertawakan Yan Cu. Akan tetapi Yan Cu bukan tidak tahu bahwa suaminya mengalah, maka dia membantu menguliti kelinci, memanggang dagingnya berdua, lalu makan berdua, mencari buah dan makan buah berdua pula. Tidak ada kesenangan lain yang lebih mengharukan hati daripada segala-galanya dilakukan berdua oleh suami isteri ini. *** Selama dua pekan mereka berdua berbulan madu di tempat itu dan biarpun kadang-kadang Cong San merasa seperti ada jarum menusuk hatinya dan telinganya mendengar bisikan suara fitnah dan maki-makian Cui Im mengenai diri isterinya, namun dia telah dapat melenyapkannya kembali semua itu dan cintanya terhadap Yan Cu bersih daripada prasangka buruk. Soal malam pertama itu pun sudah dia buang jauh-jauh dari dalam hatinya dan dia mengambil keputusan untuk melupakannya dan tidak bertanya apa-apa kepada Yan Cu. Untuk menghilangkannya sama sekali, ketika suatu siang mereka berdua duduk di tepi telaga di bawah pohon yang teduh, sambil memangku isterinya dan membelai rambutnya, Cong San bertanya lirih, "Isteriku......?" "Hemmm......" "Yan Cu moi-moi, apakah engkau cinta padaku?" Yan Cu terbelalak, lalu membalikan tubuhnya, memandang wajah suaminya dan ia tertawa terpingkal-pingkal! Cong San mengerutkan alisnya dan mukanya tiba-tiba berubah pucat dan Yan Cu tidak melihat perubahan muka ini karena dia sedang tertawa dan kedua matanya terpejam. "Yan Cu, mengapa kau tertawa? Apakah yang lucu tentang pengakuan cintamu?" Baru Yan Cu terkejut ketika pundaknya diguncang oleh suaminya. Ia berhenti tertawa dan memandang dengan mata terbelalak. Juga Cong San baru sadar bahwa dia telah bersikap kasar, maka dia memeluk isterinya dan berbisik, "Maaf..... ah, aku telah menjadi gila!" Yan Cu merangkul leher suaminya. "Akulah yang minta maaf, suamiku. Tidak kumaksudkan untuk menyinggung hatimu. Aku memang merasa geli oleh pertanyaanmu yang kuanggap aneh. Masih belum dapat melihatkah engkau betapa cintaku kepadamu amat besar, dengan seluruh hati dan jiwaku? Aihhh, suamiku, pertanyaanmu benar aneh. Aku cinta padamu! Aku cinta padamu! nah, kalau kau belum puas boleh kuulangi sampai seribu kali, aku cinta padamu!, aku cinta padamu, aku cinta....." Terpaksa Yan Cu tak dapat melanjutkannya karena bibirnya telah dicium oleh Cong San dan ia merasa betapa bibir suaminya menggigil dan ada rasa olehnya sedu sedan naik dari dada suaminya ke mulutnya. Dengan pengakuan itu, tersapu bersihlah segala keraguan hati Cong San. Tidak mungkin isterinya pernah berhubungan dengan pria lain. Tentu benar seperti yang dikatakan Thian Kek Hwesio, isterinya kehilangan tanda keperawanannya karena latihan ilmu silat yang berat. Atau...... andaikata...... semoga tidak demikian jika Tuhan menghendaki, andaikata benar Yan Cu pernah melakukan penyelewengan, dia sudah memaafkannya karena yang penting sekarang dan selama hidupnya Yan Cu adalah miliknya, tubuh dan hatinya, trutama sekali cintanya! Mereka meninggalkan tempat yang menjadi sorga pertama bagi mereka itu, menuju ke kota Leng-kok. Paman Cong san adalah kakak mendiang ibunya, menerima kedatangan mereka dengan gembira dan ramah, kemudian berkat bantuan pamannya ini, Cong San dan isterinya membuka sebuah toko obat-obatan di kota itu, hidup dalam keadaan sederhana namun cukup dan kaya dengan cinta yang membuat mereka tidak membutuhkan benda-benda duniawi lainya lagi. Suami isteri muda ini sama sekali tidak tahu bahwa kadang-kadang ada sepasang mata yang indah namun berkilat penuh kebencian mengintai mereka. Tidak tahu bahwa ada otak kepala beberapa orang manusia yang mencari-cari kesempatan untuk melakukan pukulan maut yang akan membuat kebahagiaan mereka hancur berantakan. Tidak tahu bahwa Bhe Cui Im, wanita yang diperhamba nafsu iblis itu tidak pernah melepaskan mereka dari intaiannya, hendak menjadikan jalan mereka jalan untuk memuaskan nafsu kebencian dan dendamnya! Selama setengah tahun suami isteri muda ini tinggal di Leng-kok dan Yan Cu telah mengandung enam bulan! Tentu saja hal ini memperlengkap kebahagiaan mereka, membuat mereka selalu bersyukur kepada Tuhan yang telah melimpahkan berkah dan kebahagiaan kepada mereka. Pekerjaan mereka pun maju dan nama Cong San terkenal sebagai Yap-sinshe ahli pengobatan, padahal yang sesungguhnya ahli dalam hal pengobatan adalah isterinya! Toko obat mereka makin besar dan mereka hidup tidak kekurangan lagi. Keng Hong dan Biauw Eng yang melakukan perjalanan sambil menikmati bulan madu, saling melimpahkan cinta kasih yang mendalam, tidak merasakan lagi jauhnya perjalanan. Bagi dua orang yang seolah-olah merasa bahwa dunia ini hanya ada mereka berdua, semua tempat tampak indah menyenangkan. Baik bermalam di dalam rumah penginapan, atau di dalam hutan, di padang rumput, di lembah sungai, bagi mereka tiada bedanya. yang penting adalah merasa belaian tangan kekasih, merasai kehadiran pujaan hati dan mereka saling menumpahkan segala rindu dendam yang sudah bersemi di hati masing-masing semenjak tahunan yang lalu, saling menyiramkan cinta kasih tak mengenal puas. Sesuai dengan nasihat Biauw Eng yang memandang segala sesuatu penuh perhitungan dan kewaspadaan, Keng Hong dan isterinya tidak langsung mengunjungi Siauw-lim-pai, hanya melihat dan mendengar dari jauh. Akhirnya dengan hati lega mereka mendengar bahwa tidak terjadi keributan di Siauw-lim-si, hanya bahwa ketua Tiong Pek Hosiang yang sudah amat tua usianya itu mengundurkan diri untuk bertapa di Ruangan Kesadaran, sedangkan kedudukan ketua telah dipilih Thian Kek Hwesio. Mendengar ini, Keng Hong dan Biauw Eng menjadi girang sekali, apalagi ketika mendengar bahwa Cong San dan Yan Cu setelah berbulan madu di hutan pohon pek, telah melanjutkan perjalanannya ke Leng-kok. "Kalau begitu, sebaiknya kita kembali saja ke Cin-ling-san, suamiku. Sayang sekali kalau tempat yang indah itu tidak dipelihara. Mari kita pulang ke sana, dan kita bangun kembali rumah mendiang ibu tiriku. Kita tinggal di sana untuk sementara waktu, lihat perkembangannya kelak karena aku tidak suka tinggal di kota yang ramai. Lebih senang di pegunungan yang sunyi, hanya berdua denganmu." Keng Hong memegang lengan isterinya dan membelainya. "Sesukamulah, Eng-moi. Hidupku mulai sekarang hanya untuk menuruti kehendakmu, untuk membahagiakanmu, dan ke mana saja kau kehendaki untuk tinggal, aku setuju." "Hong-ko, engkau baik sekali. Akan tetapi aku tidak begitu mau menang sendiri, aku tahu, seorang isteri harus ikut dengan suaminya ke manapun suaminya pergi. Aku hanya menghendaki kita tinggal di Cin-ling-san yang sunyi itu untuk selama setahun. Setelah anak kita lahir, aku menurut saja engkau akan tinggal di mana." Keng Hong mencengkeram lengan isterinya, "Apa.....? A...... anak kita......?" Biauw Eng tersenyum dan mengangguk. "Tidak tahukah engkau bahwa aku...... telah....." Dia tidak melanjutkan kata-katanya dan menundukkan muka, kedua pipinya menjadi merah sekali. Keng Hong terbelalak, baru sekali ini selama hidupnya dia melihat Biauw Eng malu, dan baru sekali ini pula dia merasa betapa hantinya mengalami kegembiraan yang sukar dituturkan, jantungnya seolah-olah membengkak, dadanya melebar dan dia merasa seperti seekor burung merak mengembangkan bulu-bulunya penuh kebanggaan. *** "Mengandung....." Biauw Eng isteriku, benarkah itu?" Biauw Eng mengangguk dan Keng Hong bersorak seperti anak kecil mendapat hadiah, memeluk Biauw Eng dengan erat. Akan tetapi tiba-tiba dia melepaskan pelukannya dan berkata, "Aih..... aku harus hati-hati...... mulai sekarang, tidak boleh aku memelukmu erat-erat!" "Mengapa tidak boleh? Kalau kau kurang kuat memelukku, aku akan mengira bahwa kau telah bosan denganku." "Tidak, tidak, sungguh mati tidak! Aku harus memikirkan anak kita..... ha-ha-ha! Anak kita! Aku akan menjadi ayah! Ho-hoooooo!" Keng Hong menangkap tubuh isterinya, dipondongnya dan dia berputar-putar sambil tertawa-tawa. Berangkatlah suami isteri yang salingmencinta ini menuju ke Cin-ling-san dan mereka segera membangun kembali rumah mendiang Tung Sun Nio yang telah dibakar para bajak anak buah Bhe Cu In. Para penduduk di lereng dan kaki Gunung Cin-ling-san amat menghormati kedua suami isteri ini, bahkan mereka yang maklum bahwa suami isteri ini adalah sepasang pendekar yang budiman dan sakti, lalu mendatangi mereka dan menyatakan ingin tinggal di lereng itu. Mereka merasa aman dan tenteram kalau tinggal di dekat suami isteri ini. Tentu saja Keng Hong dan Biauw Eng tidak keberatan, bahkan senang sekali bergaul dengan para petani yang jujur itu. Para petani mendirikan rumah mereka, bahkan membantu Keng Hong membangun rumah dan beberapa bulan kemudian sudah ada belasan keluarga petani yang tinggal di lereng itu. Banyak pula yang mendengar akan kesaktian sepasang pendekar budiman itu sehingga mereka yang selalu sering menderita oleh gangguan para perampok, mempunyai niat hendak hendak mendekati Keng Hong dan isterinya. Mulailah Keng Hong hidup sebagai petani di pegunungan yang indah itu dan di waktu senggang secara iseng dia mengajarkan dasar-dasar ilmu silat kepada anak-anak pegunungan. Sungguh tak disangkanya semua bahwa tempat itu akan menajdi perkampungan yang besar dan bahwa kelak dia akan menjadi pendiri dari Cin-ling-pai, sebuah partai persilatan yang terdiri dari kaum petani penghuni Pegunungan Cin-ling-san! Setelah lewat setengah tahun, pada suatu pagi Keng Hong bercakap-cakap dengan isterinya di halaman rumah mereka, sebuah pondok sederhana akan tetapi cukup besar dan menyenangkan. "Heran sekali mengapa tiada berita dari Leng-kok." Keng Hong berkata. "Ahhh, Cong San dan Yan Cu sudah hidup bahagia, kabarnya membuka toko besar di sana, mana ingat kepada kita orang-orang gunung ini?" Biauw Eng menjawab sambil tertawa dan menuangkan teh panas untuk suaminya. Gerakannya kaku karena perutnya yang sudah mengandung empat bulan itu menghalangi gerakannya. Keng Hong memandang ke arah perut isterinya dengan terharu dan bangga. "Betapa akan girang hati mereka kalau mereka tahu bahwa aku sudah hampir menjadi ayah!" "Ihhh! Masih lama sudah dibicarakan saja. Siapa tahu mereka pun sudah mempunyai calon anak." "Aku rindu sekali untuk mendengar keadaan mereka. Dan..... kalau aku teringat peristiwa di sini dahulu, ingat akan wajah Cong San yang dingin, hatiku tetap tidak enak dan mengkhawatirkan keadaan Yan Cu sumoi. Isteriku, bukankah sekarang sudah cukup waktunya untuk menjelaskan kesemuannya kepada Cong San?" "Ah, apakah kau hendak meninggalkan aku dalam keadaan mengandung?" Biauw Eng membentak, pura-pura marah. "Sama sekali tidak, isteriku. Aku tidak akan meninggalkan engkau, bilamanapun juga. Kalau aku pergi, harus bersama engkau. Maksudku, menjelaskan dengan surat seperti yang kaunasehatkan dahulu itu. Sekarang saatnya tepat, aku mempunyai alasan untuk mengirim kabar tentang kita dan menanyakan kabar mereka. Nah, dalam surat itu dapat kusinggung tentang finah yang dilontarkan Cui Im itu, agar membersihkan hati Cong San dari rasa cemburu. Bagaimana?" Biauw Eng mengangguk. "Kalau begitu, baik saja. Akan tetapi, siapa yang disuruh menghantarkan suratmu kepada mereka di Leng-kok?" "Aku akan suruh seorang di antara pemuda di sini untuk mengantarkan surat. Dengan naik kuda kurasa dalam waktu tiga hari dia akan sampai di Leng-kok. Sebaliknya kusuruh A-liok, dia pernah pergi ke kota dan orangnya cukup cerdik, tentu akan dapat mencari alamat Cong San di Leng-kok." "Baiklah, Koko. Akan tetapi yang hati-hati kau menulis surat dan urusan cemburu itu kau singgung sedikit saja jangan sampai terlalu menyolok." "Akan kutulis sekarang dan nanti engkau perbaiki kalau kurang sempurna.” Keng Hong lalu mengambil alat tulis dan kertas kemudian dengan alis berkerut dia mulai menulis sebuah surat dengan hati-hati dan sebaik mungkin. Setelah membuang waktu satu jam lebih akhirnya dia menyelesaikan surat itu dan memperlihatkannya kepada isterinya. Biauw Eng duduk di kursi, membaca surat itu penuh perhatian, Saudara Yap Cong San dan Yan Cu sumoi yang baik. Setengah tahun kita saling berpisah. Kami mengharapkan beritamu dengan hati penuh rindu. Kami harap kalian hidup bahagia seperti kami yang kini menanti hadirnya seorang anak kurang lebih lima bulan lagi. Kami tinggal di Cin-ling-san dan berhasil membangun kembali rumah mendiang subo, dan kini tempat kami menjadi sebuah dusun yang ditinggali petani-petani Pegunungan Cin-ling-san. Kami harap kalian ada kesempatan untuk berkunjung, karena kami sudah rindu sekali. Sebagai penutup surat ini, kami harap semoga kalian jangan mempedulikan fitnahan keji yang dilontarkan iblis betina Bhe Cui Im di Cin-ling-san dahulu, karena semua itu bohong belaka. Sekian dan sampai jumpa! Salam dari kami, Cia Keng Hong dengan isteri. Setelah membaca surat itu, Biauw Eng mengangguk. "Kurasa sudah cukup, Hong-ko. Kuharap sana Cong San cukup bijaksana dan cerdik untuk dapat mengerti kalimat terakhir dan melenyapkan sama sekali sisa-sisa penasaran di dalam hatinya." Pada hari itu juga A-liok berangkat membawa surat itu dan menunggang seekor kuda sambil membawa bekal uang yang diberikan oleh Biauw Eng kepadanya. Pemuda yang berusia dua puluh tahun ini girang dan bangga sekali bahwa dia dipercaya oleh "Cia-taihiap" dan isterinya untuk mengantar surat kepada sahabat mereka di tempat yang begitu jauh. Dia belum pernah ke Leng-kok, akan tetapi setelah menerima petunjuk Keng Hong, pemuda yang pernah beberapa tahun tinggal di kota besar ini merasa yakin akan dapat mencari alamat itu. Keng Hong dan Biauw Eng mengikuti keberangkatan A-liok yang membalapkan kuda dengan pandang mata penuh harapan. Tadi mereka telah berpesan kepada A-liok agar suka minta balasan surat sebagai bukti bahwa surat mereka telah diterima oleh Con San dan istrinya. A-liok membalapkan kudanya dengan wajah berseri. hatinya girang dan bangga bukan main. Masih terbayang di depan wajahnya yang berseri itu betapa para penduduk dusun semua memandangnya dengan kagum. Dia bukanlah seorang pemuda dusun sembarangan! Dia memiliki kelebihan daripada penduduk gunung lainnya. Dia dipercaya oleh Cia-taihiap dan isterinya, diutus untuk menyerahkan surat, sebuah tugas yang penting sekali! Disuruh menunggang kuda dan dibekali uang lima tail perak! Dia seorang utusan yang penting. A-liok merasa dirinya penting dan gagah. Sedikit banyak dia telah menerima pelajaran dasar ilmu silat dari Cia-taihiapdan hatinya besar. Segala macam perampok cilik akan kugasak habis kalau berani menggangu tugasku yang maha penting ini, pikirnya bangga. Hari telah senja ketika A-liok tiba di sebuah hutan. Dia harus cepat-cepat membalapkan kuda agar dapat sampai di dusun luar hutan ini kalau tidak mau kemalaman dan terpaksa bermalam di hutan. Dia tahu bahwa di luar hutan terdapat sebuah dusun di mana dia dapat bermalam dan membiarkan kudanya mengaso. Tiba-tiba di sebelah depan muncul lima orang yang menghadang jalan. Jantung A-liok berdebar keras. Celaka, tentu perampok, pikirnya. Akan tetapi mengingat bahwa dia adalah orang kepercayaan dan utusan Cia-taihiap, hatinya membesar dan keberaniannya timbul. Ia menahan kendali kudanya dan berkata lantang, "Sahabat-sahabat di depan harap membiarkan aku lewat. Aku adalah orang utusan dari Cia-taihiap di Cin-ling-san, dan aku tidak mempunyai sesuatu yang cukup berharga. Biarlah kelak kulaporkan kepada taihiap agar memberi ganjaran kepada kalian!" Lima orang itu dipimpin oleh seorang setengah tua yang berpakaian mewah sekali seperti seorang bangsawan. Ketika lima orang itu tertawa-tawa geli menyaksikan sikap A-liok, orang itu membentak, "Mengapa tertawa-tawa? Keparat, hayo tangkap dia!" Seketika lima orang itu berhenti tertawa dan sambil menyeringai mereka menghampiri A-liok yang masih duduk di atas kuda. Seorang diantara mereka berkata, "Petani busuk, turun kau!" tangannya meraih utuk menyeret kaki A-liok, akan tetapi A-liok menggerakan kakinya menendang. *** "Crottt! Waduhhhhhhh!!" Orang itu terkena tendangan ujung kaki A-liok, tepat pada hidungnya sehingga kontan hidung itu mengucurkan kecap! A-liok sendiri terpental karena tendangan itu dan karena kudanya kaget meringkik dan mengangkat kaki depan ke atas, tak dapat dicegahnya lagi A-liok terbanting ke belakang. Namun dengan gerakan seperti seorang hati silat kelas satu benar-benar, dia sudah meloncat bangun lagi, tidak mempedulikan pinggulnya yang terbanting dan terasa nyeri. Ia melangkah maju, mengangkat dadanya dan tidak merasa bahwa jalannya agak terpincang. Dengan keras dia membentak, "Apakah kalian buta? Berani menyerang utusan dan murid Cia Keng Hong taihiap, pendekar sakti di Cin-ling-san?" Akan tetapi orang yang hidungnya kena tendangan ujung sepatu yang kotor dan bau itu dengan gerengan keras sudah menerjang maju dan memukul dadanya. A-liok baru belajar dasar-dasar ilmu silat selama beberapa bulan, akan tetapi karena yang mengajarnya adalah seorang sakti seperti Ci Keng Hong, dasar ini sudah cukup baginya untuk dapat memasang kuda-kuda yang kokoh dan sekali menggeser kaki dan dia sudah berhasil mengelak, sedangkan tangan kirinya meluncur ke depan menghantam ke arah kepala si penyerang. "Blukkk........auuuuwwwwww!" Orang itu terkena pukulan kepalanya, terguling dan setengah pingsan karena matanya berkunang kepala berdenyut-denyut, sedangkan yang berteriak kesakitan adalah A-liok sendiri karena tangannya terasa sakit bukan main ketika kepalan tangannya bertemu dengan batok kepala yang keras! Ia menyeringai dan menghelus-elus tangan krinya. Orang setengah tua berpakaian mewah yang memimpin lima orang itu menjadi marah. Dia menggerakan tangannya menampar ke arah A-liok yang kebetulan berada di dekatnya. A-liok kembali berusaha mengelak, akan tetapi tangan itu seperti mengikuti dan cepat mengenai dadanya. "Plakkk!" Tubuh A-liok terlempar dan bergulingan. Ia meloncat bangun, terhuyung dan terengah-engah. Napasnya sesak dan dadanya nyeri bukan main. Kedua matanya menjadi merah saking marahnya. "kau......! Berani kau memukul A-liok, jago muda dari Cin-ling-san murid Cia-taihiap?" Pemuda dusun ini maklum bahwa orang berpakaian mewah itu lihai, maka dengan kemarahan meluap dia lalu menerjang maju lalu menyerang, bukan menggunakan pukulan atau tendangan, melainkan menyeruduk dengan kepalanya seperti seekor kerbau gila mengamuk, menyeruduk ke arah perut laki-laki setengah tua berpakaian mewah itu. Laki-laki itu yang bukan lain adalah Mo-kiam Siauw-ong "Raja Muda" semua bajak sepanjang sungai Fen-ho, tersenyum mengejek. Menghadapi seorang muda dusun tolol seperti, dia mana sudi mengelak? Melihat serudukan itu, dia sama sekali tidak menangkis atau mengelak, malah memasang perutnya yang agak gendut menerima serudukan kepala pemuda itu. "Dukkk!!" Tubuh Mo-kiam Siauw-ong sama sekali tidak bergoyang terkena serudukan yang keras itu, sebaliknya, tubuh A-liok terlempar ke belakang sampai beberapa meter. Pemuda itu berputar-putar seperti menari-nari di atas kedua kakinya yang terhuyung, kedua tangannya memegangi kepalanya yang seperti pecah rasanya, kedua matanya menjuling dan dunia menjadi gelap penuh bintang-bintang gemerlapan sebelum dia roboh dan tidak tahu apa-apa lagi, pingsan! Akan tetapi tidak lama A-liok pingsan. Tubuhnya yang sudah biasa bekerja berat setiap hari, mencangkul di bawah terik panas matahari, membuat tubuhnya kuat dan daya tahannya besar. Ketika dia membuka mata dan mengeluh, ternyata kedua tangannya sudah terikat, demikian pula kedua kakinya. Ia miringkan tubuh memandang dan melihat betapa laki-laki berpakaian mewah yang lihai sekali tadi kini sedang memegangi sampul surat yang tadi berada di saku bajunya, tersenyum-senyum dan mengangguk-angguk. "Aha, Sianli tentu akan girang sekali melihat surat ini." Mo-kiam Siauw-ong berkata. "Seret dia, kita bawa menghadap Sianli!" Seorang penjahat menyambar kuncir rambut A-liok dan menyeretnya. A-liok berteriak-teriak, memaki-maki, bukan hanya rasa nyeri karena rambutnya ditarik, akan tetapi melihat suratnya dirampas dan bahkan uang bekalnya dipakai main-main di tangan seorang penjahat. "Perampok rendah! Keparat hina! Hayo kembalikan surat itu, kembalikan uangku, dan lepaskan aku. Kalau tidak, kalian tentu akan dibasmi semua oleh Cia-taihiap! Kembalikan surat dan uangku, kalian maling-maling busuk, perampok, bajak!" Akan tetapi mereka tidak mempedulikannya, dan sebuah hantaman pada belakang telinganya membuat A-liok roboh pingsan lagi. Dia tidak tahu betapa tubuhnya disampirkan ke atas punggung kuda, kemudian dibawa pergi cepat oleh enam orang yang menunggang kuda-kuda besar. Kebencian membuat manusia menjadi seperti gila karena kebencian itu sendiri sebelum merugikan orang lain telah menjadi racun di hati sendiri. Kebencian Cui Im terhadap empat orang muda, Keng Hong, Biauw Eng, Cong San dan Yan Cu, membuat wanita ini setiap detik merasa tersiksa hatinya. Belum akan reda dendam dan bencinya kalau dia belum berhasil mencelakakan musuh-musuhnya itu. Dan selama ini Cui Im tidak pernah diam. Di samping memperhebat ilmunya di bawah pimpinan Go-bi Thai-houw yang tinggal di Sun-ke-bun yang diperlakukan seperti seorang Thai-houw (permaisuri) benar-benar, atau lebih tepat seperti Ibu suri, Cui Im juga tidak pernah berhenti untuk melakukan pengintaian terhadap empat orang musuhnya dan mempelajari keadaan mereka. Dapat dibayangkan betapa menghebat iri hati, dendam dan bencinya ketika ia mendengar bahwa dua pasang suami isteri itu hidup penuh kebahagiaan, bahkan kini menanti lahirnya seorang anak masing-masing! Dia maklum bahwa untuk turun tangan secara kasar, menggunakan kekerasan, amat berbahaya. Selain dua pasang suami isteri itu, terutama sekali Keng Hong dan Biauw Eng yang tinggal di Cin-ling-san, memiliki kepandaian tinggi, juga kini pemerintah sedang bersikap keras dan akan membasmi setiap gerombolan penjahat yang berani mengacau. Kalau dia membawa anak buah bajak menyerbu ke Cin-ling-san, ia khawatir gagal menghadapi kelihaian Keng Hong dan Biauw Eng, biarpun dia dibantu oleh Go-bi Thai-houw yang akhir-akhir ini saking tuanya menjadi malas meninggalkan kamarnya yang indah dan lengkap. Menyerbu ke Leng-kok lebih banyak harapan karena dia dapat mengatasi kepandaian Cong San dan Yan Cu, akan tetapi hal itu berarti dia mendatangkan kekacauan di kota itu dan kalau sampai pemerintah turun tangan memusuhinya, dia bisa celaka. Pemerintah Ceng memiliki banyak sekali orang pandai. Apalagi dia sendiri kini mondok di tempat tinggal Coa-taijin, seorang kepala daerah, berarti seorang pegawai negeri pula. Tentu Mo-kiam Siauw-ong sebagai mantu kepala daerah tidak berani mengerahkan anak buahnya membantu. hal itu selain berbahaya, juga akan menyeret dan membahayakan kedudukan mertuanya. Karena inilah maka Cui Im yang dimabuk dendam kebencian itu melakukan siasat dengan penuh kesabaran. Dia menyuruh Mo-kiam Siauw-ong yang sudah menjadi pembantunya yang setia untuk mengirim orang-orang menyelidiki keadaan empat orang musuhnya itu, mengintai dan mengawasi setiap gerak-gerik mereka. Demikianlah, ketika para pengintai itu melihat seorang pemuda dusun kenjadi utusan Keng Hong, segera mereka menghadang, bahkan dipimpin sendiri oleh Mo-kiam Siauw-ong yang kebetulan meronda dan melakukan pemeriksaan atas tugas anak buahnya. A-liok tertawan dan betapa girang hati Mo-kiam Siauw-ong ketika mendapatkan sepucuk surat Cia Keng Hong yang ditujukan kepada Yap Cong San di Leng-kok. Penemuan ini merupakan jasa besar dan dia sudah membayang betapa Cui Im akan membalas jasa ini dengan mesra, sedikitnya semalam suntuk dia akan diterbangkan ke sorga oleh wanita yang cantik jelita, pandai merayu pria, berpengalaman dan amat lihai itu! Biarpun diam-diam Mo-kiam Siauw-ong tergila-gila kepada Cui Im, akan tetapi tentu saja dia tidak berani mengambil langkah lebih dulu, selain sungkan kepada Coa kun, adik iparnya yang kini menjadi kekasih tetap Cui Im, juga takut kepada ayah mertuanya, dan terutama sekali mana dia berani bersikap kurang ajar kepada Cui Im yang demikian lihai? Kecuali, tentu saja, seperti dahulu setelah menyerbu Cin-ling-san, kalau Cui Im menghendakinya, untuk memberi "hadiah" atas jasanya, tentu dia akan menerima dan meneguk cawan anggur manis memabukan itu sampai tiada tertinggal setetes pun! Benar saja seperti dugaan Mo-kiam Siauw-ong Cui Im yang cantik dan kemerahan pipinya itu menjadi berseri. Wanita yang sudah berusia tiga puluh tahun lebih ini masih nampak cantik sekali, cantik dengan tubuh yang matang dan padat menggairahkan, ditambah lagi karena gerak-geriknya memang menarik, setiap lekuk-lengkung tubuhnya dimanfaatkan dalam gerak-gerik terlatih dan teratur itu. "Bagus....... bagus........ Coa-kongcu, saatnya tiba aku dapat membalas mereka dan kepandaianmulah yang kubutuhkan untuk ini!" katanya sambil menarik tangan pemuda tampan yang kini mukanya menjadi agak pucat karena setiap malam harus melayani iblis betina yang tak mengenal puas dengan nafsu berahinya itu, masuk ke dalam kamar meninggalkan Mo-kaim Siauw-ong yang bengong terlongong dan kecewa! Dua hari kemudian, seorang anggauta anak buah Mo-kiam Siauw-ong yang muda dan perawakannya mirip A-liok, memakai pakaian yang dipakai A-liok dan menunggang kuda dari Cin-ling-san itu, meninggalkan Sun-ke-bun di malam hari bersama Mo-kiam Siauw-ong dan beberapa orang anak buahnya yang membawa pula tubuh A-liok yang terbelenggu. Setelah tiba di sebuah hutan pegunungan, A-liok yang dibuka sumbatan mulutnya segera memaki-maki, "Mau diapakan aku? Eh, orang itu mengapa memakai pakaianku dan menunggang kudaku? Mana suratku dan uang bekalku? hayo kembalikan!" Mo-kiam Siauw-ong memberi isyarat dan sambil tertawa-tawa anak buahnya menyeret tubuh A-liok yangmeronta-ronta turun dari kuda, terus menyeretnya ke tepi jurang dan tak lama kemudian terdengar pekik mengerikan ketika tubuh A-liok dibacok kemudian dilempar ke dalam jurang yang amat dalam. Mereka tertawa-tawa dan berangkat menuju ke Leng-kok. Mo-kiam Siauw-ong dan anak buahnya menanti di luar kota, sedangkan anak buahnya yang menunggang kuda Ci-ling-san itu memasuki kota Leng-kok, langsung menuju ke rumah yap Cong San. Dia meloncat turun dari atas punggung kuda, lalu berindap-indap mendekati toko obat yang sudah tutup karena hari telah malam. Seperti seorang pencuri, orang ini beberapa kali jalan mondar-madir di depan toko, bahkan beberapa kali menengok ke dalam. Sebagai seorang yang akan melakukan sesuatu yang tidak baik, sikapnya itu selain mencurigakan juga amat ceroboh, karena tentu saja Cong San yang sedang duduk di dalam toko yang hanya di buka pintunya itu menjadi curiga ketika melihat orang yang mengikat kudanya tak jauh dari situ kini berjalan mondar-madir dan melongok-longok ke dalam. Cong San mencelat keluar dan membentak, "Engkau mau apakah? Apakah ada orang sakit? Atau hendak membeli obat?" Akan tetapi orang itu tidak menjawab malah cepat pergi dengan langkah lebar dan tergesa-gesa seperti hendak melarikan diri dan menghampiri kudanya. Tentu saja Cong San menjadi makin curiga. Dengan beberapa loncatan saja dia sudah dapat memegang pundak orang itu dari belakang dan sekali menggerakan tenaga, orang itu dipaksa membalikkan tubuh menghadapinya. "Hemmmm, kau mencurigakan sekali! Engkau siapa dan mau apakah?" Orang itu merasa betapa jari-jarin tanganyang mencengkeram pundaknya luar biasa kuatnya, diam-diam ia menggigil dan dengan suara terputus-putus dia berkata, "hamba..... A-liok dan....... hamba tidak berniat buruk......hamba........hamba utusan Cia-taihiap dari Cin-ling-san......" Cong San terkejut sekali, cepat melepaskan cengkeraman tangannya dan berkata dengan suara halus, "Ahhh, kalau benar begitu mengapa engkau tidak masuk saja ke toko mondar-madir, longak-longok mencurigakan? Marilah masuk, apakah engkau diutus oleh Cia Keng Hong taihaip?" Akan tetapi orang itu menggeleng kepala dan suaranya gemetar, "Hamba..... tidak usahlah, hamba mau kembali saja. Lain kali hamba datang....." Cong San mengerutkan kening dan kembali timbul kecurigaannya. "Eh, kenapa begitu? Aku adalah Yap Cong San, tentu Cia-taihiap mengutus engkau untuk menemuiku." "Tidak..... tidak...... bukan...... hamba harus pergi......!" Orang itu hendak lari akan tetapi Cong San kembali memegang lengannya. "Tunggu! hayo katakan, engkau diutus untuk menemui siapa dan menyampaikan apa?" Orang itu meronta-ronta, tubuhnya menggigil dan suaranya gemetar, "hamba tidak berani........ tidak berani, lepaskan hamba........" Cong San makin penasaran. Ia menggerakan jari tangannya dan seketika orang itu tertotok lumpuh dan tidak dapat mengeluarkan suara. Dengan mudah dia mencengkeram leher baju orang itu dan dibawanya masuk ke dalam tokonya, lalu menutupkan pintu dan mendudukan orang yang lemas itu ke atas kursi. Kemudian dia menggeledah orang itu dan menemukan sesampul surat dalam saku bajunya. Tangan Cong San gemetar ketika dia membaca tulisan Keng Hong di atas sampul itu, sebuah surat pribadi dari Cia Keng Hong yang ditujukan ke pada Gui Yan Cu! Apa artinya ini? Ia sudah membuka mulut hendak berteriak memanggil isterinya dan kakinya sudah bergerak hendak lari masuk. Akan tetapi dia teringat sesuatu dan ditahannya mulut dan kakinya. Isterinya sedang beristirahat seperti biasa. Memang setelah mengandung tua, dia tidak memperbolehkan isterinya bekerja dan mengharuskan banyak mengaso. dibacanya. Mukanya mendadak menjadi pucat dan berubah merah sekali, matanya terbelalak, cuping hidungnya berkembang-kempis, bibirnya menggigil seperti tangan dan kakinya. hampir dia tak percaya akan pandang matanya sendiri dan dibacanya surat itu sekali lagi, perlahan-lahan, namun tetap saja tidak berubah posisinya. Yan Cu sumoi yang tercinta, Setengah tahun kita saling berpisah. Aku mengharapkan beritamu dengan hati penuh rindu. Kuharap engkau hidup bahagia dengan suamimu. Kami tinggal di Cin-ling-san dan berhasil membangun kembali rumah mendiang subo, dan kini tempat kami menjadi sebuah dusun yang ditinggali petani-petani Pegunungan Cin-ling-san. Sumoi, betapa rinduku kepadamu. Kini aku yakin bahwa hanya engkaulah yang kucinta. Bilakah kita dapat berjumpa kembali berdua seperti dahulu memadu kasih? Sampai jumpa, sumoi yang tercinta, dan balaslah, karena kalau tidak aku akan selalu menyuratimu. Penuh cinta dan rindu dari, Cia Keng Hong.