“Wuuutt! Syuuuuuuttt!!” Dua telapak tangan yang mengeluarkan uap putih itu menyambar, yang kiri menotok ke arah lambung, yang kanan mencengkeram ke arah pundak. “Heiiiiitttt...!” Bi Kiok memekik, tubuhnya mencelat ke belakang, berjungkir balik dan ketika Kun Liong melanjutkan serangannya dengan mengejar terus, dia menggerakkan kedua tangannya menyambut dengan sampokan dari samping yang keras sekali. “Plak! Dukk!” Kembali Kun Liong merasa betapa kedua lengannya terpental, akan tetapi dia melihat gadis itu terhuyung sedikit. Kalau Kun Liong menggunakan seluruh sin-kangnya, tentu akibatnya lebih hebat lagi. Akan tetapi hanya sebentar Bi Kiok terhuyung karena dia sudah cepat membalik dan tiba-tiba dia meloncat ke atas, seperti seekor burung garuda menyambar turun, tubuhnya menerjang dari atas, kedua tangannya mencengkeram ke arah ubun-ubun dan leher, dibarengi dengan lengking tajam menggetarkan jantung! “Hyaaaaatttt...!” “Uhhhh!” Kun Liong mendengus dan cepat menangkis dengan kedua lengannya karena dia melihat betapa aneh dan ganasnya serangan dari atas ini. Kini dia mengerahkan lebih banyak tenaga karena maksudnya agar dara itu terpelanting sehingga dapat ditotoknya. Namun betapa kagetnya ketika baru saja lengannya menyentuh lengan gadis itu dalam tangkisan, lengan gadis itu meleset seperti seekor belut licinnya dan pada saat tubuh gadis itu turun, kedua tangannya yang berhasil menyelinap licin itu menotok ke arah jalan darah di dada dan leher Kun Liong. “Hemmm...!” Kun Liong mendengus penasaran. Dia yang ingin menotok, malah diserang totokan. Betapa cepat dan hebatnya gerakan gadis ini! Dia dapat juga menangkis dan kini, sambil menangkis dia menggunakan sin-kang yang dilatihnya dari Bun Hwat Tosu, yaitu yang mengandung tenaga membetot! Dengan sin-kang ini, begitu kedua lengannya menangkis, dia dapat melakukan gerakan yang sama dengan yang dilakukan Bi Kiok tadi, yaitu kedua lengannya menyelinap dan kedua lengan gadis itu seperti tersentak kaget dan gadis itu tidak berdaya ketika dengan cepatnya kedua tangan Kun Liong melakukan totokan pada kedua pundak Bi Kiok sambil berkata, “Maafkan aku, Bi Kiok!” “Cuss! Cusssi!” “Plak! Plak!” Betapa kagetnya hati Kun Liong! Kedua totokannya itu tepat mengenai sasaran, yaitu pada jalan darah di bawah pundak depan, agak di sebelah atas kedua buah dada gadis itu, akan tetapi jari-jari tangannya bertemu dengan kulit dan daging lunak halus seolah-olah tidak ada jalan darahnya dan gadis itu tidak apa-apa, malah sebagai “hadiahnya” dua kali telapak tangan gadis itu menampar pipinya. Tamparan ini mengenai sasaran dengan tepat karena Kun Liong sedang melongo keheranan ketika totokan-totokannya tidak membawa hasil sama sekali. Setelah ditampar, barulah dia sadar bahwa ternyata Bi Kiok telah memiliki ilmu memindahkan jalan darah dan melindungi bagian yang tertotok sehingga totokannya tadi mengenai tempat hampa! Bi Kiok yang sudah marah itu menyerang kalang kabut dan harus diakui oleh Kun Liong bahwa gadis ini mempunyai dasar ilmu silat yang amat aneh dan ampuh, hanya belum terlatih baik. Diam-diam dia bergidik. Katanya tadi baru mempelajari sebagian saja, kalau sudah mempelajari seluruh kitab pusaka milik Panglima The Hoo yang berada di tempat rahasia, kitab pusaka yang tentu belum ditemukan oleh panglima itu sendiri, entah bagaimana hebatnya gadis ini! Dia terus mengelak dan menangkis, kadang-kadang membalas dengan totokan yang selalu gagal, sambil berpikir-pikir bagaimana sebaiknya menjatuhkan gadis yang amat lihai ini. Biar kuhabiskan saja napasnya, pikir Kun Liong. Dia kini main mundur, bahkan membuat langkah-langkah yang diambil inti sarinya dari kitab Keng-lun Tai-pun dari Bun Ong. Langkah ini pendek-pendek saja, amat ringan baginya, namun membuat Bi Kiok yang mengejarnya terus itu harus berputaran dan menggunakan banyak tenaga gin-kang! Sampai seratus jurus lebih Kun Liong “mempermainkan” Bi Kiok, berputaran dan membuat gadis itu seolah-olah seorang anak-anak yang bermain-main mengejar bayangannya sendiri! Namun hebatnya, Bi Kiok terus menyerang dan tidak pernah kelihatan mengendor serangannya! Dua ratus jurus telah lewat! Dan Kun Liong mulai berkeringat, akan tetapi Bi Kiok masih terus menerjangnya dan tidak terdengar napas gadis itu memburu. Celaka, pikir Kun Liong. Dia gagal lagi. Agaknya ada suatu cara latihan napas dalam kitab di tempat rahasia yang ditunjukkan oleh bokor itu, yang membuat napas gadis itu menjadi amat kuatnya melebihi kuatnya napas seekor kuda! “Wah, kalau begini tak mungkin aku dapat merobohkannya,” pikir Kun Liong sambil cepat menghindarkan diri dari terjangan kedua kaki yang bentuknya indah membayang di balik kain celana sutera tipis itu akan tetapi keindahan yang berbahaya karena mengandung tendangan maut! Memang tadi terpikir olehnya untuk mempergunakan satu-satunya ilmu yang menjadi simpanannya, yaitu Thi-khi-i-beng, akan tetapi dia tidak tega. Ilmu ini kalau digunakan akibatnya akan menyedot sin-kang lawan dan tentu saja dia tidak tega menggunakan ini dalam menghadapi Bi Kiok. Dia maklum betapa sukar dan lama menghimpun sin-kang, apalagi sin-kang seperti yang dimiliki Bi Kiok. Kalau dia menghendaki agar Bi Kiok roboh tanpa memperdulikan keselamatannya, kiranya tidak nanti gadis itu sampai dapat menyerangnya terus selama dua ratus jurus. Yang sulit adalah karena dia ingin merobohkan gadis ini tanpa melukai atau menyakiti. Setelah mereka bertanding dengan hebat dan cepatnya sehingga bagi orang lain yang tampak hanyalah dua bayangan berkelebatan saja itu selama hampir tiga ratus jurus dan tidak nampak gadis itu lelah atau mau mengalah sedikit pun, Kun Liong mengambil keputusan untuk mempergunakan Thi-khi-i-beng! “Maafkan aku, Bi Kiok!” “Plak! Plakk!” “Oughhhhh...!” Bi Kiok mengeluh dan matanya yang amat indah itu, terbelalak memandang wajah Kun Liong ketika kedua tangannya yang bertemu dengan lengan Kun Liong itu melekat pada lengan dan tidak dapat ditariknya kembali, dan yang mengejutkannya adalah ketika dia merasa betapa tenaga sin-kangnya menerobos keluar seperti air hujan membanjir! Melihat sepasang mata yang amat indah dan amat dikaguminya itu terbelalak kaget dan ngeri, Kun Liong menjadi tidak tega dan memejamkan matanya agar tidak melihat mata itu! “Berani kau menyerang Subo (Ibu Guru)...?” Tiba-tiba terdengar bentakan anak kecil dari belakang dan “buk! buk!” dua buah kepalan menghantami pinggulnya! “Kau orang jahat! Kau bukan kakak kandungku! Kakak kandungku tidak akan jahat terhadap Subo! Lepaskan Subo! Lepaskan! Buk-buk-buk-buk!” Kedua kepalan kecil itu terus menghantam pinggul Kun Liong. Kun Liong terkejut sekali mendengar suara In Hong ini. Cepat dia menyimpan kembali tenaga Thi-khi-i-beng sambil melompat mundur. Yo Bi Kiok berdiri dengan napas agak memburu, wajahnya agak pucat dan sejenak memejamkan mata dan membereskan napasnya. Kemudian dia membuka matanya memandang Kun Liong dengan terbelalak penuh rasa penasaran akan tetapi juga kagum. “Kau... kau...!” Dia tidak mampu melanjutkan kata-katanya karena dia tidak tahu harus berkata apa. “Kau orang jahat, aku tidak mau dekat denganmu!” In Hong berteriak lagi sambil lari mendekati Bi Kiok dan merangkul pinggang dara ini seperti hendak melindungi gurunya. Kun Liong menarik napas panjang. “Maafkan aku, Bi Kiok...” “Sudahlah, pergilah... akan tetapi ingat akan semua kata-kataku!” Bi Kiok berkata. Kun Liong memandang kepada adiknya. Tanpa banyak cakap, mengertilah dia bahwa tak mungkin dia dapat memaksa adiknya pergi bersamanya. Perbuatan itu sama dengan menghancurkan hati Bi Kiok dan adiknya sendiri. Dia akan menjadi seorang yang amat kejam kalau dia lakukan hal itu. Betapapun juga, dia ingin kepastian dan dengan muka manis dia berkata kepada adiknya, “In Hong aku adalah kakak kandungmu. Aku hendak mengajak engkau pergi karena sudah semestinya engkau ikut aku yang menjadi kakakmu.” “Tidak! Tidak sudi...!” “In Hong, dengarlah baik-baik. Aku sama sekali tidak berbuat jahat terhadap gurumu. Kami memperebutkan engkau. Sekarang engkau boleh pilih. Aku sebagai kakak kandungmu dan dia sebagai gurumu, kau hendak memilih yang mana dan hendak ikut yang mana?” “Dia benar, In Hong. Kaupilihlah. Dia bukan orang jahat, akan tetapi kau boleh memilih antara kami berdua.” “Aku memilih Subo! Aku ikut Subo!” In Hong berteriak penuh semangat dan memandang kepada Kun Liong dengan mata bernyala marah. Kun Liong dan Bi Kiok saling pandang, lalu pemuda itu menghela napas panjang. “Apa boleh buat, terpaksa aku harus meninggalkannya kepadamu, Bi Kiok. Akan tetapi, setiap waktu aku akan mengunjunginya dan melihat keadaannya. Harap saja engkau tetap baik kepadanya dan mendidiknya menjadi seorang manusia yang baik..., tidak... tidak seperti kakaknya.” Tambahnya “Selamat tinggal!” “Kun Liong...!” Suara mengandung isak itu menahan kakinya. Dia membalik. Tidak nampak Bi Kiok menangis, akan tetapi wajahnya pucat, matanya sayu ketika memandangnya. “Kun Liong, aku mohon sekali lagi padamu, tidak dapatkah engkau merubah pendirianmu? Kita bertiga akan hidup bahagia...” Ucapan itu tidak dilanjutkan karena Kun Liong sudah menggeleng kepalanya, kemudian sekali berkelebat, Kun Liong sudah lenyap dari tempat itu. “In Hong... dia terlalu...! Kakakmu terlalu...!” Bi Kiok menjatuhkan diri berlutut, memeluk muridnya dan baru sekarang air matanya tertumpah. “Aku tidak mau...! Aku tidak mau pergi sebelum merawatnya! Harap Sam-wi (Anda Bertiga) jangan memaksaku!” Hong Ing meronta-ronta, akan tetapi tangisnya itu tidak dipedulikan, bahkan Hun Beng Lama, pendeta Lama yang selalu memegang tasbih itu menggerakkan tangan kirinya menyentuh belakang telinganya dan Hong Ing seketika menjadi lemas. Dia sama sekali tidak dapat mengeluh lagi, apa pula berontak, hanya memandang ke arah Kun Liong yang rebah seperti mati itu ketika tubuhnya yang lumpuh dikempit oleh Hun Beng Lama bersama dua orang Lama lainnya menuju ke perahu mereka. Mulailah Hong Ing melakukan perjalanan yang sama sekali tidak menyenangkan hatinya, bukan karena sikap para paman gurunya itu. Sama sekali tidak. Sikap mereka itu cukup baik, bahkan lemah lembut terhadap dirinya, dan kalau saja tidak teringat kepada Kun Liong yang ditinggalkan dalam keadaan terluka seperti mati, tentu dia senang melakukan perjalanan dengan tiga orang paman gurunya yang memiliki kesaktian-kesaktian seperti dewa itu. Selain mereka bersikap ramah dan baik, bahkan jarang mengeluarkan kata-kata dan semua keperluan dan kebutuhannya di sepanjang perjalanan dicukupi, juga hati siapa takkan senang mendengar bahwa dia akan bertemu dengan ayah kandungnya yang selama hidupnya belum pernah dijumpainya itu? Ayahnya adalah suheng (kakak seperguruan) mereka, dan ayahnya adalah ketua mereka, dapat dibayangkan betapa tinggi ilmu kepandaian ayahnya! Dia tentu akan girang sekali pergi menjumpai ayahnya. Akan tetapi, kalau dia teringat kepada Kun Liong yang rebah seperti mati, hatinya seperti disayat-sayat. Pemuda itu dalam keadaan terluka parah, seorang diri saja di pulau kosong itu. Membayangkan betapa pemuda itu akan mati dengan menyedihkan dan tersiksa, hatinya menjadi ngeri, berduka dan terutama sekali dia merasa menyesal karena dia meninggalkan Kun Liong yang sedang berduka. Dia meninggalkan Kun Liong selagi pemuda itu hancur, setelah dia menampar pipi pemuda itu! Tentu Kun Liong akan menganggap dia membencinya! Aihh, padahal dia amat mencinta Kun Liong! Tidak ada seorang pun manusla lain yang akan dicintanya melebihi cintanya kepada Kun Liong. Akan tetapi, pada saat terakhir sebelum mereka berpisah, sebelum Kun Liong roboh ketika melawan tiga orang Lama itu, dia terpaksa menampar pipi Kun Liong saking tidak kuat menahan kemarahan dan kepanasan hatinya! Siapa yang kuat menahan! Dia amat dikecewakan, disakitkan hatinya. Kun Liong yang mengaku mencintanya dengan sepenuh jiwa raganya itu, terialu memandang rendah dirinya. Dia dikalahkan dalam perbandingan dengan seorang wanita bayangan, seorang gadis khayal. Hanya seorang gadis khayal! Kalau dia bukan gadis impian Kun Liong itu, mengapa Kun Liong menyatakan cinta kepadanya? Kalau dia tidak seperti gadis khayal itu yang menurut Kun Liong tanpa cacad, mengapa Kun Liong berani menyatakan cintanya? Dia tidak sudi menjadi seorang yang dijadiken tempat pelarian setelah Kun Liong merasa bahwa di dunia ini tidak ada gadis yang diimpi-impikan itu. Dia tidak sudi menjadi pengganti belaka, menjadi penghibur lara belaka. Padahal cinta kasihnya terhadap Kun Liong mutlak dan lengkap, tanpa perbandingan karena memang tidak ada bandingan dalam cinta kasihnya. PERJALANAN yang amat jauh, melelahkan dan juga membuatnya kurus karena tertekan batinnya teringat kepada kekasihnya itu, memakan waktu berbulan-bulan dan akhirnya sampailah mereka di tempat yang dituju. Sebuah dusun besar di pegunungan dan di luar dusun itu, di dekat puncak, terdapat sekelompok bangunan besar yang dikurung pagar tembok seperti benteng. Itulah pusat dari perkumpulan agama para Lama Jubah Merah yang terkenal di seluruh Tibet sebagai perkumpulan yang menyendiri dan dipimpin oleh orang-orang yang sakti. Kuil mereka terdapat di tengah-tengah kelompok bangunan itu dan setiap hari, dari pagi sampai sore, pintu gerbang tembok benteng itu terbuka dan semua orang, dari dusun-dusun di daerah tempat itu, diperkenankan memasuki dan mengunjungi kuil besar untuk bersembahyang dan mohon berkah. Konon dikabarkan bahwa kuil Lama Jubah Merah ini amat sakti dan manjur sehingga amat terkenal, banyak dikunjungi orang dan banyak pula menerima dana bantuan dari rakyat di daerah itu yang terkenal pula berpenghasilan besar sebagai peternak-peternak. Memang bukan hanya tempat tinggalnya saja yang kuat, dengan pagar tembok menyerupai benteng, akan tetapi juga anggautanya cukup banyak, tidak kurang dari seratus orang! Karena rata-rata mereka itu memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka tentu saja seratus orang Pendeta Jubah Merah ini merupakan sebuah pasukan yang hebat! Perkembangan mereka ini sudah lama diikuti dengan diam-diam oleh Pemerintah Tibet yang dipegang oleh Dalai Lama, akan tetapi karena tidak ada bukti nyata bahwa Lama Jubah Merah menentang Pemerintah Tibet yang sah, maka tidak pernah ada tindakan. Kedatangan tiga orang Lama, yaitu Sin Beng Lama yang ditemani dua orang sutenya, Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama, disambut dengan penuh penghormatan oleh para anggauta perkumpulan agama itu, bahkan diadakan pesta sebagai penyambutan mereka yang telah meninggalkan Tibet selama berbulan-bulan itu. Apalagi karena tiga orang tokoh utama itu telah berhasil membawa pulang Pek Hong Ing! Gadis ini begitu tiba di situ lalu menanyakan tentang ayahnya. “Mana ayahku? Aku ingin sekali bertemu dengan ayahku!” Memang di waktu melakukan perjalanan yang amat jauh itu, setelah dapat mengatasi kedukaan hatinya karena meninggalkan Kun Liong, hanya satu tujuan hati Hong Ing, yaitu dapat berjumpa secepatnya dengan ayahnya, kemudian hendak minta bantuan kepada ayahnya untuk mengirim orang menjenguk dan menolong Kun Liong! Sin Beng Lama sendiri lalu membawa Hong Ing ke sebuah kamar yang besar dan cukup lengkap. Setelah mereka memasuki kamar itu yang ternyata kosong tidak ada siapa pun di dalamnya, kakek ini berkata, “Engkau tinggallah di sini dan ayahmu pasti akan segera datang asal engkau suka bekerja sama dengan kami.” Hong Ing memandang penuh selidik kepada pendeta tua berjubah merah itu, dan mulailah dia merasa curiga. “Apa artinya ini? Susiok... di mana Ayah?” Sin Beng Lama mengerutkan alisnya. “Kalau kami tahu dia berada di mana, agaknya kami tidak akan membawamu jauh-jauh ke sini, Pek Hong Ing. Kami membawamu ke sini hanya untuk memancing agar ayahmu mencarimu ke sini.” Pucatlah wajah Hong Ing mendengar Ini. “Apa...? Bukankah kalian katakan bahwa Ayah adalah Suheng kalian?” “Benar demikian. Ayahmu adalah Kok Beng Lama, Suheng kami.” “Dan katanya Ayah adalah ketua di sini...” “Sayang tidak demikian sesungguhnya. Sebaliknya malah, ayahmu adalah seorang yang berdosa besar, seorang pelarian yang harus menerima hukuman karena telah melakukan dosa-dosa yang amat banyak.” Terbelalak mata Hong Ing memandang kakek itu. “Apa... apa yang terjadi? Mengapa para Susiok menipuku, membiarkan aku pergi meninggalkan Kun Liong yang terluka di pulau itu...? Ahhh, apa yang telah kulakukan ini...?” “Tenanglah, dan duduklah. Dengarkan cerita pinceng (aku).” Karena kedua kakinya memang menggigil saking tegang hatinya yang diliputi bermacam perasaan itu, Hong Ing lalu menjatuhkan dirinya di atas pembaringan, sedangkan kakek itu lalu duduk di atas bangku menghadapi pembaringan. “Ibumu bernama Pek Cu Sian, seorang pendekar wanita dari Tiong-goan yang berani lancang tangan mencampuri urusan dalam perkumpulan agama kami sehingga terpaksa kami tangkap dan kami tawan. Karena dia masih perawan dan cantik, maka para pimpinan perkumpulan kami mengambil keputusan untuk menjadikan dia sebagai korban tahun itu, korban kepada Dewa Syiwa. Akan tetapi, pada malam sebelum upacara pengorbanan dilakukan, Pek Cu Sian lenyap dari kamar tahanan. Kami semua mengira bahwa dia telah dapat meloloskan diri, maka hal ini terlupalah sudah sampai lima tahun kemudian ketika engkau, ketika itu seorang anak perempuan kecil berusia empat tahun, kelihatan oleh scorang anggauta kami. Barulah kami tahu bahwa Pek Cu Sian, ibumu itu, telah diselamatkan oleh Suheng Kok Beng Lama sendiri yang menyembunyikannya dan mengambilnya sebagai isteri! Betapa besar dosa Kok Beng Lama dapat kaubayangkan sendiri!” “Tidak! Dia tidak berdosa!” Hong Ing membantah setelah mendengar penuturan itu. “Dia adalah seorang manusia, tidak seperti kalian yang bagaikan segerombolan binatang buas hendak membunuh mendiang ibuku! Ayah adalah seorang laki-laki sejati yang berani mempertanggungjawabkan perbuatannya!” Namun kakek itu tidak mempedulikan bantahan ini dan melanjutkan ceritanya. “Karena dosanya itu, Kong Beng Lama dihukum sepuluh tahun dan ibumu yang melarikan diri bersamamu itu kami kejar atau lebih tepat dikejar oleh anak buah kami karena kalau kami sendiri yang mengejar dia tentu telah dapat kami tawan kembali bersamamu. Dia dapat melarikan engkau dan lolos.” “Ibu adalah seorang pendekar wanita yang amat gagah perkasa!” Hong Ing berkata penuh semangat. “Biarpun dikeroyok oleh para pendeta palsu, masih dapat menyelamatkan aku sampai tiba di Go-bi-san dan ditemukan oleh Subo dalam keadaan hampir mati oleh luka-lukanya akibat pengeroyokan pua pendeta yang curang!” Kakek itu kembali tidak mempedulikan, seolah-olah tidak mendengar kata-kata Hong Ing. “Setelah Kok Beng Lama keluar dari hukuman, dia melakukan dosa ke dua yang lebih hebat. Dia telah membunuh ketua kami, yaitu Twa-suheng kami! Kemudian dia melarikan diri...” “Tentu untuk mencari Ibu dan aku!” “Dosanya yang besar harus dihukum, maka pinceng sendiri bersama kedua orang Sute...” “Kalian tiga orang pendeta jahat!” “Kami turun gunung untuk mencarinya, namun tidak berhasil. Untung kami berjumpa dengan Go-bi Sin-kouw dan dengan tusukan-tusukan hio (dupa biting) dia akhirnya bercerita tentang dirimu.” “Kau... kau telah menyiksa Subo!” Biarpun dia tidak suka kepada ibu gurnya, namun Hong Ing masih ingat betapa sejak kecil dia dipelihara dan dididik oleh Go-bi Sin-kouw, maka mendengar subonya disiksa untuk mengaku, dia menjadi marah. “Kami mencari jejakmu, dari sungai di mana menurut penuturan Go-bi Sin-kouw engkau dan pemuda gundul itu terlempar ke muara sungai, masuk ke laut oleh Kok Beng Lama.” “Aihh, tidak kusangka bahwa pendeta yang gagah perkawa itu adalah ayah kandungku sendiri...” Hong Ing menutupi mukanya mengenangkan kembali peristiwa itu. “Akhirnya kami berhasil menemukan engkau di pulau kosong bersama pemuda aneh itu dan karena kami tidak sampai hati mempergunakan kekerasan terhadap seorang gadis muda seperti engkau, kami terpaksa menjalankan siasat agar engkau suka ikut pergi dengan suka rela.” Sin Beng Lama bangkit berdiri, melangkah ke pintu lalu membalik memandang kepada gadis itu, berkata lagi, suaranya halus, “Kami akan menyebar berita ke Tiong-goan agar ayahmu mendengar bahwa puterinya telah berada di tangan kami. Dengan demikian dia pasti akan datang ke sini. Kami harap kau tidak banyak rewel dan berdiam saja di sini dengan baik. Kalau tidak, terpaksa kami akan memperlakukan engkau sebagai tawanan yang dikurung dalam kamar tahanan dan dibelenggu kaki tangannya.” Setelah berkata demikian, Sin Beng Lama melangkah keluar dari kamar dengan tenang. Sejenak Hong Ing tertegun, mukanya pucat. Mengertilah dia sekarang bahwa dia dijadikan sandera untuk menjebak ayahnya sendiri! Dan dia telah pergi dengan suka rela, bahkan telah meninggalkan Kun Liong dalam keadaan terluka parah! Akan tetapi apa yang dapat dilakukannya? Tiga orang pendeta itu sakti sekali, bahkan Kun Liong yang demikian gagah pun tak berdaya, apalagi dia. Aku harus pergi dari sini! Demikianlah suara hati Hong Ing. Dia harus pergi dan kembali ke Tiong-goan, kembali ke laut mencari pulau kosong, mencari Kun Liong dan mencari ayahnya! Betapa rindunya kepada Kun Liong, juga kepada ayahnya, pendeta raksasa yang baik hati dan sakti itu. Akan tetapi ketika berindap-indap dia keluar dari kamar, dia melihat dua orang Pendeta Jubah Merah berdiri di luar pintu, mata mereka memandang dengan bengis kepadanya! Ketika dia memasuki kamamya lagi dan menjenguk ke jendela, juga di luar jendela terdapat dua orang pendeta! Kamarnya telah dikurung dan dijaga! Malam itu, kembali Hong Ing kecelik ketika dia menyelidiki pintu dan jendela kamarnya karena ternyata olehnya kemudian bahwa penjagaan ketat itu diadakan siang malam dengan bergilir! Semalam suntuk itu dia tidak tidur, mencari kesempatan untuk melarikan diri, namun akhirnya dia mengerti bahwa kesempatan itu tidak pernah ada. Selain kamarnya yang dikurung, juga penjagaan di pagar tembok menyerupai benteng itu amat kuatnya sehingga andaikata dia dapat keluar dari kamar, kiranya tidak mungkin dia akan dapat keluar dari markas itu! Di samping ini, sekiranya terjadi keajaiban dan dia dapat keluar dari markas itu, apa dayanya menghadapi para pendeta sakti itu kalau dia dikejar dan disusul? Dia tidak mengenal daerah pegunungan itu, apalagi ketika melakukan perjalanan mengikuti tiga orang pendeta menuju ke Tibet, dia melihat gurun pasir seolah-olah tanpa tepi. Tanpa penunjuk jalan, dia akan mati kehausan dan kelaparan di daerah yang mengerikan itu. Terpaksa Hong Ing hanyaa bisa menanti dan dia bukanlah seorang gadis bodoh yang hanya mengubur diri dalam kedukaan dan keputusasaan. Tidak. Dia sudah bersiap-siap dan karena itu dia menjaga kesehatan dirinya dengan baik, makan setiap hari, bahkan membaiki para pendeta di situ dan minta petunjuk ketika dia melatih ilmu silatnya setiap hari. Dia harus berada dalam keadaan kuat dan terlatih kalau saat yang ditunggu-tunggu itu tiba, yaitu saatnya ayahnya yang dijebak itu muncul di sini! Dan saat yang dinanti-nanti itu tiba beberapa bulan kemudian! Pada suatu hari, pagi-pagi sekali, di antara suara orang berdoa, suara liam-keng (doa) diselingi suara ketukan berirama yang mengiringi doa, terdengarlah teriakan yang amat gaduh. Hong Ing sudah bangun tidur dan sudah mencuci muka, siap untuk melakukan latihan pagi ketika mendengar suara gaduh itu. Akan tetapi ketika dia meloncat ke pintu, hampir dia bertumbukan dengan Lak Beng Lama yang menghadang dengan tongkat di tangan. Melihat sikap susioknya ini, Hong Ing sudah curiga dan dapat menduga bahwa inilah agaknya saat-saat yang dinanti-nantinya. Agaknya ayahnya telah tiba! Akan tetapi dia pura-pura tidak tahu dan dengan suara heran dan nadanya halus dia bertanya, “Lak Beng Suciok, apakah ribut-ribut itu?” “Hemm, kau tidak perlu tahu dan tidak boleh keluar dari kamar ini. Pinceng sendiri yang menjaga di sini!” Jantung Hong Ing berdebar keras. Tak salah lagi, tentu ayahnya telah datang! Kalau tidak, mengapa susioknya ini sendiri yang menjaganya? “Susiok, aku mau pergi berlatih.” “Engkau tidak boleh meninggalkan kamar!” “Eh, siapa itu di sana ? Bukankah itu Ayah...?” Tiba-tiba gadis itu menuding ke atas genteng yang tampak dari pintu kamarnya. Lak Beng Lama terkejut sekali, memutar tubuh menghadapi arah yang ditunjuk dan siap dengan tongkatnya dan pada saat itu Hong Ing sudah meloncat keluar dari kamarnya. “Bocah setan! Hendak lari ke mana kau?” Lak Beng Lama cepat mengejar dan dalam beberapa loncatan saja pendeta yang sakti ini sudah dapat menyusul dan sudah menghadang di depan Hong Ing dengan alis berkerut. Suara ribut-ribut di bagian depan makin hebat dan tiba-tiba Hong Ing berteriak, “Ayaaaahhhh...! Aku Pek Hong Ing berada di sini...!” Akan tetapi dia segera roboh terkena totokan ujung tongkat yang amat cepat dan tubuhnya, yang lumpuh sudah dikempit oleh Lak Beng Lama. Di bagian depan markas itu memang sedang ribut. Tepat dugaan Hong Ing bahwa ayahnyalah yang muncul. Pagi itu, di waktu semua pendeta sedang sibuk membaca doa dan bersembahyang sehingga penjagaan agak berkurang ketatnya, sesosok bayangan berkelebat melompati pagar tembok tinggi itu dan ketika beberapa orang penjaga melihat dan mengurungnya, dalam beberapa gebrakan saja empat orang di antara mereka sudah roboh! Mulailah mereka berteriak-teriak memberi tanda bahaya dan ributlah semua pendeta yang sedang berdoa, termasuk Sin Beng Lama, Hun Beng Lama, dan Lak Beng Lama. “Lak Beng Sute, kau cepat menjaga Hong Ing!” kata Sin Beng Lama yang bersama Hun Beng Lama cepat berlari-lari ke luar. Ternyata Kok Beng Lama yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa itu sedang mengamuk. Kaki tangannya bergerak secara luar biasa dan angin besar bersiut dari kedua ujung lengan bajunya yang lebar. Setiap kali kaki tangannya bergerak, tentu ada pendeta yang terpelanting atau terlempar. Namun pengeroyokan makin ketat dan kini semua pendeta telah menggunakan senjata masing-masing. Hujan senjata menjatuhi tubuh pendeta raksasa itu, namun semua hantaman senjata yang tajam maupun yang tumpul tidak ada yang membekas pada kulit tubuh Kong Beng Lama, kecuali hanya merobek pakaiannya saja. “Hayo bebaskan anakku, kalau tidak... demi Tuhan, kubunuh semua orang di tempat ini!” Kok Beng Lama berteriak-teriak sambil dengan kedua tangannya menangkap empat orang pengeroyok seperti mencengkeram garuda menerkam empat ekor anak ayam saja layaknya, lalu melemparkan empat orang itu kepada para pengeroyoknya sehingga mereka morat-marit. “Pemberontak hina! Berlututlah untuk menerima hukuman!” Tiba-tiba terdengar bentakan lemah lembut dan para pengeroyok membuka jalan untuk Sin Beng Lama dan Hun Beng Lama. Seperti biasa kalau menghadapi lawan berat, Sin Beng Lama membawa lima batang hio membara, sedangkan Hun Beng Lama memutar-mutar biji tasbih di antara jari-jari tangannya. Dilihat seperti itu, kedua orang pendeta ini lebih pantas hendak bersembahyang dan membaca doa daripada bersiap-siap menghadapi lawan tangguh. Akan tetapi tentu saja Kok Beng Lama mengenal kedua orang sutenya ini dan dia menjawab bentakan Sin Beng Lama dengan suaranya yang nyaring, dan sinar matanya mengandung penuh ancaman maut. “Sin Beng Sute...!” “Pinceng bukan sutemu lagi dan engkau tidak berhak menyebut Sute kepada pinceng!” “Hemm, sesukamulah, Sin Beng Lama! Akan tetapi dengar baik-baik. Aku datang untuk minta anakku, Pek Hong Ing. Kalau kalian menolak, aku akan membunuh kalian semua, tidak ada kecualinya!” “Omitohud...!” Sin Beng Lama berseru sambil mengacungkan lima batang hio di depan dadanya. “Ucapan yang keluar dari mulut iblis! Pemberontak dan pengkhianat hina, engkau telah melanggar undang-undang agamamu sendiri, engkau telah melakukan dosa besar, membunuh ketua yang menjadi Twa-suheng (Kakak Tertua Seperguruan) sendiri dan beberapa orang saudara lain. Dan sekarang engkau tidak bertaubat, tidak minta ampun bahkan mengancam hendak membunuh kami semua! Tidak malukah engkau yang sudah puluhan tahun tekun mempelajari semua ajaran agama yang suci?” “Hemmm, Sin Beng Lama! Kita sama-sama adalah tua bangka-tua bangka, bukan anak kecil yang mudah saja dibujuk dengan omongan manis dan dengan kedok agama! Agama dan pelajarannya adalah untuk dilaksanakan, bukan sekedar dipakai untuk senjata menekan orang lain, bukan dipergunakan sebagai jembatan untuk mencari kekayaan, kedudukan, kesenangan lahir batin, bukan diperalat sebagai pencari sorga dan nirwana! Kalian mempelajari kasih akan tetapi hati kalian penuh sesak dengan kebencian. Kalian menjaga kebersihan lahiriah namun batin kalian kotor melebihi keranjang sampah! Menghadapi tua bangka seperti aku, tidak perlu lagi kalian menakut-nakuti dengan agama yang dibikin palsu oleh tingkah laku pemeluknya sendiri macam kalian! Hayo bebaskan anakku, berikan kepadaku, dan aku akan pergi dari sini dengan aman, bahkan bersumpah takkan menginjak tempat ini lagi. Kalau tidak, kalian akan kubunuh semua dan tempat ini akan kubasmi, kuhancurkan!” “Pemberontak keparat!” Hun Beng Lama membentak marah dan dia sudah melangkah maju perlahan-lahan, tasbihnya diputar-putar di atas kepalanya yang gundul dan terdengarlah suara “trikk... trikk... trikkk...” dengan irama tertentu dan biarpun tidak begitu keras, namun seperti jarum tajam menusuk anak telinga sehingga para anggauta Lama Jubah Merah yang kurang kuat sin-kangnya cepat mundur sambil menutupi telinga mereka. Hanya yang sudah agak tinggi tingkatnya saja, yang jumiahnya paling banyak tiga puluh orang, yang berani maju mengurung Kok Beng Lama. Sin Beng Lama juga melangkah maju, lima batang hio pindah ke tangan kiri dan tangan kanannya sudah mengeluarkan sebatang pedang bersinar hijau yang amat tipis dan panjangnya ada empat kaki, gagangnya terbuat dari perak, sebatang pedang pusaka yang amat indah dan ampuh. Melihat ini, sinar mata Kok Beng Lama menjadi ganas dan mulutnya tersenyum mengejek, tubuhnya tetap berdiri tegak tidak bergerak, yang bergerak hanya biji matanya yang melirik ke kanan kiri, telinganya seolah-olah berdiri dengan penuh perhatian mendengarkan setiap suara di sekelilingnya. Dalam keadaan seperti itu, pandengaran pendeta Lama raksasa ini luar biasa tajamnya sehingga setiap tarikan napas para pengeroyoknya dapat ditangkapnya dengan jelas, bahkan suara detak jantung lawan terdengar olehnya! “Serbuuuu...!” Sin Beng Lama memberi aba-aba. “Hyaaaatttt...!” suara bentakan para pengeroyok menjadi satu, terdengar nyaring bergema ketika mereka serentak menerjang ke depan dengan senjata masing-masing yang seperti hujan menyambar ke arah seluruh tubuh Kok Beng Lama, dari semua penjuru. Kalau semua senjata itu mengenai tubuh Kok Beng Lama dan kalau tubuh pendeta raksasa ini biasa seperti tubuh orang-orang lain, tentu dia akan roboh dengan tubuh hancur lebur, tidak ada bagian sedikit pun yang masih utuh. “Hoooouuuuhhh...!” Kok Beng Lama mengeluarkan suara yang amat dalam dan lebar, bukan seperti suara manusia lagi, suara yang seolah-olah keluar dari dalam bumi! Tubuhnya yang tinggi besar itu bergerak memutar, lenyap bentuk tubuhnya dan yang tampak hanyalah gulungan yang amat cepat seperti angin puyuh mengamuk. “Trangggg...!” “Krekkkkk...!” “Bukkkk...!” “Dessss...!” “Aughhh...! Aduhhh...! Ahhhh!” Akibatnya hebat bukan main! Tidak kurang dari enam orang yang terlempar dan roboh pingsan! Selain itu, banyak pula yang kehilangan senjata mereka, ada yang patah dan banyak yang lepas dari tangan, terlempar entah ke mana. Bukan main hebatnya sepak-terjang Kok Beng Lama yang selama sepuluh tahun dalam sel telah menciptakan dan mematangkan banyak ilmu-ilmu yang mujijat dan dahsyat itu. Dengan putaran kedua ujung lengan bajunya saja dia telah berhasil merobohkan enam orang pengeroyoknya dan merampas banyak senjata! Melihat ini, Hun Beng Lama menjadi marah sekali, demikian pula Sin Beng Lama. Dalam gebrakan pertama tadi, mereka berdua memang membiarkan para anak buah lain yang maju menerjang karena mereka merasa yakin bahwa dengan mengandalkan jumlah besar, tentu Kok Beng Lama yang dianggap pemberontak itu akan dapat dikuasai. Siapa kira, raksasa itu memang hebat bukar main, maka terpaksa mereka harus turun tangan sendiri. “Omitohud...! Haaaaiiiikkkk!” Hun Beng Lama sudah menerjang maju dengan tasbihnya yang menyambar ke pelipis kiri sedangkan tangan kirinya yang membentuk cakar garuda itu mencengkeram ke arah perut lawan. Gerakannya cepat dan mendatangkan angin pukulan yang bendesing-desing saking kerasnya. Pada detik berikutnya, terdengar suara tajam menulikan telinga ketika sinar hijau berkeredepan menyambar-nyambar seperti seekor naga hijau bermain-main dan itulah pedang di tangan Sin Beng Lama yang dalam satu jurus telah mengirim tiga bacokan dan delapan tusukan yang mengancam tiga belas jalan darah utama di bagian depan tubuh lawan! “Bagus...!” teriak Kok Beng Lama sambil menggerakkan kepalanya mengelak sambaran tasbih ke pelipisnya kemudian mengangkat kaki menendang ke arah tangan kanan Hun Beng Lama, sedangkan sepuluh kuku jari tangannya sibuk menyentil ke arah sinar-sinar hijau yang menyambar-nyambar itu. Dia telah berhasil menangkis tiga belas serangan pedang hijau itu dengan sentilan jari tangannya dan setiap kali dia menyentil terdengarlah suara nyaring. “Tring-tring-tring-tring-tring...!” Terkejutlah Sin Beng Lama ketika merasa betapa telapak tangannya yang memegang pedang tergetar hebat karena sentilan kuku jari tangan lawannya itu! Dengan seruan halus dia mencelat ke belakang sampai tiga meter jauhnya, tangan kirinya bergerak dan tampaklah sinar api menyambar ke arah tubuh Kok Beng Lama! Itulah penyerangan hio-hio membara yang amat luar biasa dan amat berbahaya pula karena biarpun hanya berupa hio, namun dilepas dengan pengerahan tenaga sin-kang yang amat ampuh sehingga kalau mengenai tubuh lawan dapat menancap dengan api masih membara! “Keji, alat sembahyang dipakai membunuh!” Kok Beng Lama berseru keras, menggerakkan kedua tangan bergantian didorongkan ke depan dengan telapak tangan terbuka. Menyambarlah hawa dingin dari kedua telapak tangannya dan itulah inti tenaga Im-kang yang amat dingin. Tampak asap mengepul dan lima batang hio itu padam apinya, bahkan runtuh semua ke atas tanah, masih mengepulkan asap putih yang harum baunya. Tentu saja Sin Beng Lama menjadi makin marah. Bersama sutenya, Hun Beng Lama dia menerjang maju, menggerakkan pedangnya secara luar biasa sekali sehingga tubuhnya lenyap digulung sinar pedang yang merupakan gulungan sinar hijau menyilaukan mata yang kini bergulung-gulung menyelimuti tubuh Kok Beng Lama pula. Di antara sinar hijau ini tampak sinar putih dari tasbih Hun Beng Lama yang mengeluarkan suara “trik-trik” makin lama makin nyaring. Maka terdengarlah paduan suara yang menyeramkan karena semua orang yang kurang kuat sin-kangnya merasa betapa jantung mereka seperti ditarik-tarik dan telinga seperti ditusuk-tusuk oleh suara berdetrik dari tasbih, bercampur dengan suara berdesingan dari pedang hijau, diseling geraman-geraman marah dari dada Kok Beng Lama yang bidang. Pertempuran hebat dan mati-matian, dilakukan oleh tiga orang sakti, terjadi dengan serunya, membuat para Lama yang berada di situ tidak berani lagi turun tangan membantu karena mereka maklum bahwa bantuan mereka tidak akan menguntungkan pihak kawan juga tidak merugikan pihak lawan melainkan membahayakan nyawa sendiri. Kalau dibuat ukuran, tingkat kepandaian Kok Beng Lama dahulu pun setingkat dengan Sin Beng Lama. Akan tetapi semenjak dia menjalani hukuman selama sepuluh tahun, kepandaiannya bertambah hebat sedangkan Sin Beng Lama hanya mendapat kemajuan biasa saja. Orang yang berada di dalam tahanan seperti Kok Beng Lama, kehilangan kebebasannya dan tidak melakukan suatu pekerjaan tertentu, lebih tekun dalam berlatih, apalagi karena memang dia mempunyai dendam. Sedangkan tingkat kepandaian Hun Beng Lama masih kalah setingkat dari Sin Beng Lama, maka pertempuran hebat itu lebih tepat dikatakan bahwa yang bertanding mati-matian adalah Sin Beng Lama melawan Kok Beng Lama, sedangkan Hun Beng Lama hanyalah merupakan tenaga pengacau saja yang mengacaukan pertahanan Kok Beng Lama. Namun, biar dia bertangan kosong dikeroyok oleh dua orang yang memiliki kepandaian tinggi dan bersenjatakan senjata-senjata pusaka ampuh pula, ternyata Kok Beng Lama memiliki kesaktian yang amat luar biasa. Semua ini diperhebat lagi oleh kemarahannya karena dia mengkhawatirkan nasib puterinya, maka dia seolah-olah iblis sendiri yang mengamuk dan sukar ditandingi oleh dua orang pendeta Lama itu! “Kalian bosan hidup! Kalian bosan hidup! Akan kubunuh semua...!” Demikian terdengar Kok Beng Lama menggereng. “Brettt! Plakk! Aughh...! Aduhhh...!” Para pendeta yang menonton tidak dapat mengikuti dengan pandangan mata mereka apa yang telah terjadi karena yang tampak hanyalah sinar-sinar dan bayangan saja yang campur aduk menjadi satu. Tahu-tahu, tubuh Sin Beng Lama dan Hun Beng Lama terlempar dan terbanting keras, sedangkan tubuh Kok Beng Lama terhuyung ke belakang, dadanya terluka pedang dan pakaian di pundaknya hancur oleh pukulan tasbih, akan tetapi kedua orang lawannya muntah darah terkena hawa pukulan kedua telapak tangan Kok Beng Lama. Dengan muka buas Kok Beng Lama sudah hendak menerjang lagi dua orang bekas sutenya yang sudah terluka itu dan agaknya tidak akan dapat dihidarkan lagi dua orang Lama Jubah Merah itu tentu akan tewas karena mereka belum sempat bangun sedangkan para anggauta yang lain tidak ada yang berani menghadapi Kok Beng Lama. “Pemberontak hina! Jangan bergerak atau puterimu akan pinceng bunuh di depan matamu!” Kok Beng Lama tersentak kaget, menengok dan memandang dengan diam seperti patung. Lak Beng Lama telah berada di situ, tangan kanan memegang tongkat yang ditodongkan ke ubun-ubun seorang dara remaja yang dikempit dengan lengan kirinya. Gadis itu sama sekali tidak dapat bergerak, tanda bahwa dia telah menjadi korban totokan. Kok Beng Lama mengenal gadis yang pernah ditolongnya di muara Sungai Huang-ho itu, dan kini nampak nyata olehnya betapa mirip wajah dara itu dengan wajah bekas kekasihnya yang telah tewas, Pek Cu Sian! Dia mengeluarkan suara gerengan keras dan matanya seperti mengeluarkan api memandang kepada tiga orang pendeta itu. Sin Beng Lama dan Hun Beng Lama telah memperoleh kesempatan menguasai diri mereka dan sudah berdiri di dekat Lak Beng Lama yang mengempit tubuh Pek Hong Ing. “Kok Beng Lama, sebelum engkau bergerak, puterimu akan pinceng bunuh!” Kok Beng Lama tidak mempedulikan ucapan itu, dengan suara gemetar seperti orang sakit demam dia berkata kepada Hong Ing yang sejak tadi dipandangnya tanpa berkejap mata, “Nona muda, siapakah namamu?” Hong Ing yang tidak dapat bergerak itu sejak tadipun memandang kepada Kok Beng Lama dengan wajah pucat. Dia pun meragukan apakah benar pendeta tua yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa, yang sikapnya amat mengerikan ini, adalah ayah kandungnya? Mendengar pertanyaan itu, dia diam saja karena urat gagunya telah tertotok, membuat dia tidak dapat mengeluarkan suara. Tiba-tiba Sin Beng Lama menggerakkan ujung lengan bajunya, menyambar ke arah leher Hong Ing, dan terbebaslah dara itu dari totokan yang membuatnya gagu. “Aku... namaku Pek Hong Ing...” Hong Ing menjawab dengan suara agak kaku karena baru saja dia terbebas. “Siapa gurumu?” Kembali Kok Beng Lama bertanya. “Go-bi Sin-kouw...” “Siapa nama ibumu?” Pertanyaan ini keluar dengan lirih dan parau. “Nama ibu, Pek Cu Sian...” “Cu Sian...!” pengulangan nama dari mulut Kok Beng Lama ini terdengar menyerupai keluhan. “Tahukah engkau siapa ayahmu?” “Ibu tidak pernah sempat memberitahuku tapi... tapi... tiga orang Locianpwe itu mengaku para susiokku dan membawaku ke sini, katanya hendak dipertemukan dengan ayahku, ternyata aku diperlakukan sebagai tawanan. Kata mereka, ayahku bernama Kok Beng Lama...” Kok Beng Lama menggereng dan tiga orang kakek itu sudah siap-siap melawan sedangkan Lak Beng Lama sudah menempelkan tongkatnya di ubun-ubun kepala hong Ing, juga para anggauta Lama sudah mengurung lagi tempat itu. “Akulah Kok Beng Lama! Hong Ing, setidaknya sudah empat lima tahun ketika engkau masih kecil engkau tinggal di ruang di mana aku terhukum. Ingatkah engkau akan sesuatu di tempat itu?” “Aku... aku hanya ingat berada di dalam ruangan yang luas bersama ibu dan seorang laki-laki yang selalu bersamadhi, yang tak dapat kulupakan adalah bahwa laki-laki itu seringkali menari-nari di sekeliling sebuah arca besar sebesar manusia...” “Engkau anakku...!” Tiba-tiba Kok Beng Lama menggereng keras. “Akulah laki-laki itu... sedang berlatih silat, Hong Ing, engkau anakku...!” Seperti gila kakek itu lalu memandang ke sekelilingnya. “Hayo bebaskan dia! Kalau tidak, kubasmi kalian semua!” “Kok Beng Lama, puterimu berada di dalam kekuasaan kami, sepantasnya kalau kami yang mengajukan usul, bukan engkau yang menuntut. Engkau telah membuat dosa besar dan untuk menjaga kehormatan dan wibawa perkumpulan, engkau sebagai seorang anggauta pimpinan yang menyeleweng haruslah dihukum. Menyerahlah dan engkau akan kami hukum sesuai dengan peraturan, dan puterimu yang memang tidak berdosa apa-apa tidak akan kami ganggu bahkan akan kami perlakukan sebagai murid keponakan kami yang tercinta. Sebaliknya kalau kau melawan, terpaksa kami akan membunuh dulu puterimu sebelum membunuhmu.” Suara halus Sin Beng Lama itu terdengar jelas oleh semua orang karena keadaan di situ amat tegang dan sunyi. Kok Beng Lama memandang ragu kepada Hong Ing, dan dara itu cepat berkata dengan suara lantang, “Locianpwe, kalau benar engkau adalah ayah kandungku, jangan dengarkan bujukan mereka! Aku tidak takut mati, tidak perlu engkau menyerah kepada mereka dan berkorban untuk aku!” Mendengar ini, sepasang mata yang tadinya mengeluarkan sinar kemarahan dan wajah yang keruh dan merah itu berubah. Sinar matanya lembut memandang Hong Ing dan wajahnya berseri. “Engkau adalah anakku, tak salah lagi! Keberanianmu, sikapmu, persis sikap ibumu Pek Cu Sian! Sin Beng Lama, ajukan usulmu agar kupertimbangkan!” Sin Beng Lama kelihatan lega sekali. Dia dan Hun Beng Lama sudah terluka cukup parah dan kalau pertandingan dilanjutkan, bukan tidak mungkin akan terjadi seperti yang diancamkan oleh Kok Beng Lama, yaitu mereka semua akan terbasmi habis! “Kok Beng Lama, betapa pun besar dosa-dosamu, akan tetapi mengingat engkau adalah bekas pimpinan dan telah banyak berjasa demi kemajuan perkumpulan kita puluhan tahun yang lalu, maka kami pun akan bertindak seadil-adilnya. Perbuatanmu itu akan menghancurkan kehormatan perkumpulan kalau engkau masih berkeliaran di dunia luar, seolah-olah perkumpulan kami tidak dapat bertindak terhadap dirimu. Oleh karena itu, engkau akan kami jatuhi hukuman bertapa di dalam sel penjara selama hidupmu. Usiamu sudah tinggi, maka hukumanmu tentu juga tidak berapa lamanya dan hukuman itu hanyalah untuk mencegah engkau merusak nama perkumpulan di luar Tibet.” “Hemmm, kalau aku menerima hukuman itu, apa imbalannya?” “Puterimu akan kami pelihara baik-baik, tinggal di sini sebagai keluarga dan sewaktu-waktu dapat menjengukmu di dalam penjara.” Kok Beng Lama mengerutkan alisnya berpikir keras, kemudian mengangguk. “Cukup adil... cukup adil... aku pun tidak ada niat berkelana, kalau aku dahulu pergi hanya untuk mencari Pek Cu Sian dan puterinya. Setelah Hong Ing berada di sini, perlu apa aku pergi? Akan tetapi, bagaimana kalau kalian mengkhianati dan kelak mengganggu anakku?” “Kok Beng Lama!” Sin Beng Lama berteriak marah. “Engkau sendiri sudah tahu betapa Lama Jubah Merah lebih menghargai janji daripada nyawa! Pinceng sendiri berjanji takkan mengganggu Pek Hong Ing, tidak akan memaksanya melakukan sesuatu di luar kehendaknya kalau engkau suka menyerah dan menjalani hukuman itu!” “Bagus! Aku percaya akan janjimu, Sin Beng Lama.” “Akan tetapi, pinceng belum mendengar janjimu, Kok Beng Lama.” “Ha-ha-ha, engkau memang selalu cerdik, Sute! Nah, dengarlah. Aku, Kok Beng Lama, berjanji tidak akan memberontak lagi selamanya dan akan mentaati perintah para pimpinan Lama Jubah Merah.” “Omitohud...! Para dewa menjadi saksinya!” kata Sin Beng Lama dengan girang dan dia berkata kepada sutenya, “Lak Beng Lama, bebaskan Pek Hong Ing agar dia dapat bertemu dengan ayah kandungnya!” Lak Beng Lama membebaskan totokan Hong Ing dan melepaskan gadis itu dari kempitannya. Begitu dia terlepas, dengan terhuyung-huyung Hong Ing lari menghampiri Kok Beng Lama, kemudian menjatuhkan diri di depan kakek itu sambil berseru penuh keharuan, “Ayaaaahhh...!” Kok Beng Lama menunduk, memandang kepada gadis yang berlutut itu, kemudian menengadah ke langit, kemudian tertawa bergelak, kedua tangannya meraih ke bawah dan tubuh Hong Ing terangkat dan sudah dirangkul dan dipeluknya. “Ha-ha-ha-ha! Kau... anakku...! Ha-ha-ha, akhirnya kita berkumpul juga di tempat di mana kau dilahirkan. Biarlah engkau tetap memakai she Pek seperti ibumu, she yang amat bagus dan terhormat. Pek Hong Ing, kaumaafkan ayahmu yang tidak becus membahagiakan ibumu, akan tetapi setidaknya, aku dapat melakukan sesuatu untuk anaknya, yaitu engkau, Anakku!” Lalu diciumnya ubun-ubun kepala Hong Ing dengan penuh kasih sayang. Hong Ing sudah cepat menghapus air matanya dan sambil menyandarkan kepala di dada ayahnya yang amat bidang dan kuat itu, dia berbisik, “Ayah, setelah aku dibebaskan, mari kita pergi saja dari sini. Aku... aku tidak akan betah tinggal di tempat ini, Ayah.” Dia tidak berani bicara terus terang betapa dia merasa rindu kepada seorang pemuda yang dicintanya. Ayahnya menggeleng kepala. “Janji lebih penting daripada segalanya, Anakku. Kautinggallah di sini, sebagai kcluarga terhormat dan lebih dari itu lagi, setiap hari engkau dapat menjengukku di penjara dan aku akan mewariskan seluruh ilmu kepandaianku kepadamu!” Hong Ing merasa kecewa dan berduka sekali sehingga air matanya mengalir lagi. Akan tetapi Kok Beng Lama mengira bahwa anaknya menangis saking senangnya, maka dia tertawa-tawa lagi. “Kok Beng Lama, sudah cukup kiranya pertemuan dengan puterimu. Setiap hari engkau masih akan dapat bertemu. Sekarang, marilah kami antar engkau memasuki tempat hukumanmu!” Karena hatinya merasa gembira, Kok beng Lama mengangguk dan sambil tertawa-tawa dia diantar ke tempat hukuman, di mana dahulu dia mendekam selama sepuluh tahun. Kalau dulu dia menghabiskan waktu hukuman dengan memperdalam ilmu-ilmunya, sekarang dia hendak menghabiskan waktu hukuman dan sisa hidupnya untuk mewariskan ilmu-ilmunya itu kepada anak tunggalnya, Pek Hong Ing.   Susiok, aku tidak bicara main-main. Aku ingin menebus dosa ibuku!” Sin Beng Lama, Hun Beng Lama, dan Lak Beng Lama saling pandang mendengar ucapan Hong Ing yang pagi hari itu datang menghadap mereka di ruangan dalam setelah mereka selesai melakukan upacara sembahyang dan membaca doa pagi. “Mengapa, Hong Ing? Bukankah kau hidup cukup terhormat dan senang di sini? Bukankah kami memperlakukan engkau dengan baik seperti janji kami dan semua anggauta bersikap hormat kepadamu?” tanya Sin Beng Lama. “Benar Susiok, akan tetapi sudah kukatakan tadi, aku melakukannya untuk menebus dosa ibuku. Ibu telah melakukan dosa kepada agama kita dan untuk dosa itu sekarang Ayah yang menanggung derita dan hukumannya. Semua ini terjadi karena kutukan Dewa, sehingga aku pun hidup sengsara dan disakiti hati orang. Maka, aku hendak menebus dosa dengan mengorbankan diri kepada Dewa sebagai pengganti ibuku. Karena ibuku melarikan diri dari tangan Dewa, maka Dewa telah mengutuknya dan aku sebagai puterinya tentu akan mereka kutuk pula.” “Omitohud... engkau hebat sekali, Pek Hong Ing. Engkau seorang dara yang suci dan bersih hatimu, dan engkau memang pantas sekali menjadi kekasih Dewa.” kata Sin Beng Lama dengan pandang mata penuh kagum. “Aku memang sudah ditakdirkan menjadi kekasih Dewa, Susiok. Hampir setiap malam aku telah bermimpi dan selalu bertemu dan dicumbu rayu oleh Dewa yang bertangan enam bermuka tiga...” “Siancai...!” “Omitohud...!” Tiga orang pendeta Lama itu cepat merangkap kedua tangan di depan dada dan mulut mereka berkemak-kemik membaca doa. Ketika mereka memandang lagi kepada Hong Ing, pandang mata mereka berubah, amat kagum dan menghormat sekali! “Keponakanku yang baik, Pek Hong Ing. Semua itu adalah tanda-tanda dari Dewa dan sudah semestinya kalau kita semua mentaatinya. Akan tetapi, kami tidak berani karena ayahmu pasti akan mengamuk kalau mendengar engkau akan mengorbankan dirimu kepada Dewa.” “Ayah sudah berjanji tidak akan memberontak lagi, Susiok. Dan urusan ini tidak ada sangkut pautnya dengan Ayah. Sesungguhnya, perbuatan Ayah itulah yang membuat aku mengambil keputusan ini. Ibu telah berdosa kepada Dewa, juga Ayah telah berdosa, maka terlahir aku yang harus menebus dosa mereka itu dengan mengorbankan diri kepada Dewa.” “Bagus, bagus! Pinceng yakin bahwa seorang perawan seperti engkau ini tentu dapat menjadi kekasih Dewa, Hong Ing.” “Akan kuusahakan agar Dewa mencintaku, Susiok, sehingga aku dapat membujuknya mengampuni ayah-ibuku, juga agar Dewa memberkahi para Susiok dan agama kita ini...” “Omitohud...!” Tiga orang itu berseru dengan girang sekali. “Akan tetapi,” Sin Beng Lama berkata lagi, meragu. “Kami telah berjanji kepada ayahmu untuk memperlakukanmu dengan baik, tidak akan mengganggumu...” “Susiok, urusan ini tidak ada pihak yang mendesak atau didesak. Susiok sekalian telah memperlakukan aku dengan baik, Susiok sekalian tidak melanggar janji kepada Ayah. Aku mau mengorbankan diriku kepada Dewa atas kehendakku sendiri, secara suka rela. Biarlah kalau sudah tiba masanya, aku sendiri yang akan memberi penjelasan kepada Ayah dan aku tanggung dia tidak akan dapat melakukan apa pun kecuali menyesali dosa-dosanya dahulu.” “Ahhh, engkau hebat dan baik sekali, Anakku...” Sin Beng Lama sampai harus mengusap dua titik air matanya saking terharu hatinya. Tentu saja apa yang diusulkan oleh dara itu amat besar artinya bagi mereka. Bayangkan saja. Keponakannya akan menjadi kekasih Dewata! Menjadi kekasih Dewa Syiwa yang maha sakti dan hal itu tentu akan mengangkat kedudukan rohani mereka! Dengan jadinya seorang keponakan mereka menjadi kekasih Dewa, maka sorga dan nirwana sudah berada di telapak tangan mereka! “Bukan aku yang baik, Susiok, karena itu hanyalah merupakan kewajibanku menebus dosa orang tua. Akan tetapi aku mengharukan kebaikan dari Susiok untuk memenuhi permohonanku yang terakhir yang juga merupakan syarat tunggalku untuk melakukan pengorbanan diri.” “Permohonan terakhir seorang perawan suci merupakan perintah! Katakanlah apa yang harus kami lakukan?” Hun Beng Lama berkata penuh semangat karena dia yakin berdasarkan kepercayaannya bahwa kelak dia pun akan menerima anugerah dan ikut memperoleh sepercik berkah dari Dewa. “Aku mendengar bahwa seorang yang dengan setulusnya hati hendak berbakti kepada Dewa haruslah dengan hati bersih dari segala perasaan dendam, benci dan kemarahan.” “Benar sekali! Memang Dewa menghendaki seorang anak perawan yang suci dan bersih lahir batin.”   “Itulah yang menjadi penghalang, Susiok. Aku pernah mencinta seorang pemuda, akan tetapi dia telah memarahkan hatiku, membuatku menaruh dendam dan merubah cintaku menjadi kebencian. Oleh karena itu, sebelum melihat dia diseret ke depan kakiku, perasaan itu akan terus berada di dalam hatiku, membuat aku kurang bersih jika kelak menghadap Dewa yang agung. Maka, aku mohon kepada Susiok agar suka turun gunung dan menangkap pemuda yang menyakitkan hatiku itu. Setelah melihat dia tertangkap di sini, barulah aku dengan hati lapang dan bersih akan mengorbankan diri dengan suka rela dan biar dia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri sebagai hukumannya.” “Pemuda itu... yang menemanimu di pulau kosong itu?” tanya Sin Beng Lama. “Benar dialah orangnya. Bagaimana Susiok dapat menduganya demikian tepat?” “Pinceng sudah mendengar kata-katanya ketika membelamu, dan melihat engkau menampar mukanya...” “Memang dia amat menyakitkan hatiku, Susiok. Karena itu, kalau Susiok sekalian dapat memenuhi permintaanku, yaitu menangkap pemuda itu dan membawanya ke sini, maka siaplah aku untuk mengorbankan diri kepada Dewa.” “Benarkah kata-katamu itu?” “Aku berjanji dan janji lebih berharga daripada mati!” “Baik, kalau begitu, biarlah kedua Sute Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama memenuhi permintaanmu itu, menangkap pemuda yang kaumaksudkan dan menyeretnya ke depan kakimu. Hun Beng Sute dan Lak Beng Sute, pemuda itu cukup lihai akan tetapi pinceng yakin bahwa Sute berdua akan mampu membekuknya.” “Baik, Suheng,” jawab Hun Beng Lama. “Hong Ing, siapakah nama pemuda itu dan di mana adanya dia? Apakah masih di pulau kosong itu?” “Bukan, bukan di sana. Kami berdua hanya menggunakan tempat itu sementara saja, Susiok. Setelah aku pergi ikut dengan Sam-wi Susiok (Paman Guru Bertiga) dia pasti segera meninggalkan tempat itu.” “Habis, di mana kami harus mencarinya?” “Aku tahu di mana adanya pemuda itu. Yap Kun Liong, nama pemuda itu, sekarang pasti berada di puncak Cin-ling-san. Dia adalah murid keponakan dari Ketua Cin-ling-pai dan dia bermain cinta dengan puteri ketua yang menjadi paman gurunya itu. Karena itulah aku bersakit hati. Maka harap Ji-wi Susiok (Paman Guru Berdua) suka mencarinya di Cin-ling-san.” Tiga orang Lama itu sama sekali belum pernah mendengar nama Ketua Cin-ling-pai, maka mereka tidak menaruh curiga apa-apa. Karena sudah pernah bertemu dengan Yap Kun Liong, maka Sin Beng Lama merasa yakin bahwa kedua orang sutenya sudah cukup untuk menangkap pemuda itu. Maka berangkatlah kedua orang pendeta Lama itu meninggalkan Tibet dengan hati penuh semangat dan kegembiraan karena mereka menganggap perintah dari “perawan suci” ini merupakan tugas yang mulia bagi mereka. Tentu saja semua itu adalah siasat yang amat cerdik dari Hong Ing. Dara ini tentu saja tidak betah tinggal di tempat itu, dan biarpun dia mulai menerima gemblengan ayahnya yang sakti, namun ayahnya tidak mau melanggar janji dan tidak mau pergi bersamanya meninggalkan tempat itu, bahkan ayahnya sudah mengambil keputusan untuk menghabiskan sisa hidupnya di tempat hukuman itu! Karena maklum bahwa sia-sisa saja untuk membujuk ayahnya, Hong Ing lalu mencari akal. Dia tahu dengan pasti bahwa Kun Liong tentu berusaha menyusul dan mencarinya, maka dia lalu mempergunakan siasat untuk menghubungi Kun Liong, bahkan dengan cerdik dia memberikan alamat Cin-ling-pai dengan maksud menarik perhatian Ketua Cin-ling-pai yang amat sakti sehingga Kun Liong memperoleh bala bantuan yang amat kuat. Kalau ada Lama mencari Kun Liong di Cin-ling-pai, tentu Pendekar Sakti Cia Keng Hong akan tertarik dan tentu akan ikut turun tangan, apalagi karena dua orang Lama yang mengandalkan kepandaiannya itu tentu akan berterus terang untuk menangkap Kun Liong. Setelah kedua orang Lama itu berangkat, legalah hati Hong Ing dan dia hanya menanti dengan sikap gembira. Membayangkan Kun Liong akan tiba di tempat itu memberi kekuatan yang ajaib kepadanya, membuatnya gembira sekali karena andaikata siasatnya gagal dan Kun Liong benar-benar ditangkap dan dibawa ke situ, dia akan rela menderita atau mati sekalipun asal berada di dekat pemuda itu. Dalam kegembiraan yang didorong harapan bertemu kembali dengan pemuda yang dicintainya itu, Hong Ing mulai tekun mempelajari dan melatih ilmu yang diajarkan oleh ayahnya yang sama sekali tidak tahu akan siasat yang dijalankan oleh puterinya. “Ibu kenapa Ayah belum juga pulang?” anak laki-laki berusia lima tahun itu merengek kepada ibunya. Wanita yang usianya kurang lebih empat puluh tahun dan masih amat cantik itu menarik napas panjang, lalu menjawab dengan nada suara yang merasa kesal hatinya. “Gara-gara encimu! Akan tetapi kurasa tak lama lagi dia akan pulang Bun Houw!” Wanita itu adalah Sie Biauw Eng atau Nyonya Cia Keng Hong Ketua Cin-ling-pai, sedangkan anak laki-laki itu adalah Cia Bun Houw, anak ke dua atau putera tunggal suami isteri pendekar ini. Cin-ling-pai yang mempunyai banyak anggauta atau anak murid itu kelihatan sunyi setelah Cia Keng Hong pergi, apalagi setelah lebih dulu Giok Keng lolos dari tempat itu. “Akan tetapi aku sudah rindu kepada Ayah dan Cici, Ibu.” “Sabarlah, Houw-ji (Anak Houw). Seorang calon pendekar harus memiliki kesabaran yang besar, dan pula, ayahmu tentu baru akan pulang kalau sudah bertemu dengan encimu Giok Keng.” “Dasar Enci yang nakal, pergi saja kerjanya! Ibu, kalau aku sudah besar, apa aku juga boleh merantau seperti Enci Keng?” “Tentu saja boleh, akan tetapi engkau harus sudah dewasa dan kepandaianmu untuk menjaga diri sudah cukup kuat. Karena itu kau harus rajin berlatih, Houw-ji. Mari kita ke tempat latihan, pasangan kuda-kudamu yang kaulatih kemarin itu masih belum baik benar, juga gerakan langkah kakimu masih kurang tepat.” Ibu dan anak itu lalu pergi ke kebun belakang di mana mereka biasanya berlatih silat. Sebagai putera suami isteri pendekar yang berilmu tinggi itu, tentu saja sejak kecil Bun Houw telah dilatih dasar-dasar ilmu silat oleh orang tuanya dan ketika ayahnya pergi sampai berbulan-bulan lamanya, ibunyalah yang melatihnya. Tentu saja di samping pelajaran ilmu silat yang baru dilatih dasar-dasarnya, anak itu pun diberi pelajaran membaca dan menulis. Selagi ibu yang memiliki kepandaian tinggi dalam ilmu silat ini memberi petunjuk kepada puteranya, di luar rumah tempat tinggal Ketua Cin-ling-pai itu terjadi pula hal yang menarik. Lima orang murid kepala Cin-ling-pai yang dikepalai oleh Kwee Kin Ta, berhadapan dengan dua orang pendeta gundul yang berjubah kotak-kotak merah. Lima orang itu tentu saja menyambut kedatangan dua orang pendeta itu dengan sikap hormat, apalagi melihat bahwa dua orang itu sudah tua dan kelihatan saleh. Yang seorang memegang sebatang tongkat untuk membantunya jalan mendaki puncak, yang ke dua sambil melangkah tiada hentinya mempermainkan biji-biji tasbihnya seperti membaca doa. Setelah menyambut dengan mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai penghormatan, Kwee Kin Ta bertanya, “Bolehkah kami mengetahui siapa nama Ji-wi Losuhu (Dua Bapak Pendeta) yang terhormat, dari kuil mana dan ada keperluan apakah mengunjungi Cin-ling-pai?” Dua orang pendeta itu bukan lain adalah Hun Beng Lama yang membawa tasbih dan Lak Beng Lama yang memegang tongkat. Dengan sikap dan suara halus Hun Beng Lama menjawab, “Apakah Sicu sekalian ini murid-murid Cin-ling-pai?” “Benar, Losuhu.” “Kedatangan kami adalah untuk mencari seorang yang bernama Yap Kun Liong,” kata pula Hun Beng Lama. Lima orang murid Cin-ling-pai itu memandang heran dan beberapa orang anak murid yang melihat dari jauh kini datang mendekat karena ingin tahu. Maklumlah tempat yang sunyi dan tenteram itu jarang menerima kunjungan orang luar. Tentu saja Kwee Kin Ta dan para sutenya sudah mendengar akan nama Yap Kun Liong itu sekarang, nama yang dipuji-puji guru dan ibu guru mereka. “Dia tidak berada di sini, Losuhu,” jawab Kwee Kin Ta tanpa ragu-ragu lagi. “Kalau begitu di mana dia?” Tiba-tiba Hun Beng Lama bertanya dan pandang matanya tajam penuh selidik. Melihat sinar mata yang amat tajam berpengaruh itu, Kwee Kin Ta menjadi terkejut, juga curiga. “Kami tidak tahu dia berada di mana,” jawabnya. “Kalian tidak tahu apa-apa, baiklah pinceng hendak menemui Ketua Cin-ling-pai saja!” Kedua orang pendeta itu terus melangkah hendak memasuki pintu depan rumah tinggal Cia Keng Hong “Eh, nanti dulu, Ji-wi Losuhu! Guru kami juga sedang tidak ada, akan tetapi kalau hanya urusan derma untuk kuil saja cukup dapat diselesaikan dengan kami sebagai wakil ketua kami.” “Hemm, pinceng tidak membutuhkan dermaan, hendak bertemu dengan Ketua Cin-ling-pai...!” kata pula Hun Beng Lama dan bersama sutenya dia terus saja masuk ke dalam rumah. “Tahan...!” Kwee Kin Ta berseru marah. “Harap Ji-wi Losuhu sebagai orang-orang beribadat tahu sedikit aturan dan tidak menyelonong masuk begitu saja tanpa ijin! Biarlah kami laporkan kepada Subo (Ibu Guru) kami!” Dua orang pendeta itu berhenti dan saling pandang, kemudian mereka mengikuti Kwee Kin Ta dan para sutenya yang pergi menuju ke taman bunga di belakang rumah, di mana ibu guru mereka biasanya sedang melatih puteranya. Melihat betapa dua orang pendeta tua yang aneh itu mengikuti mereka, mereka tidak dapat melarang dan cepat-cepat memasuki taman. “Heii, ada apakah kalian datang ke sini, Kin Ta?” Sie Biauw Eng menegur tak senang karena merasa terganggu. “Maaf, Subo. Ada dua orang pendeta yang ingin berjumpa dengan Kun Liong, setelah teecu beri tahu tidak ada, lalu memaksa hendak bertemu dengan Suhu.” Sie Biauw Eng mengangkat muka dan melihat dua orang pendeta tua itu memasuki taman. Sekelebatan saja mengertilah nyonya ini bahwa dua orang pendeta yang kelihatan lemah dan halus itu tentu mempunyai urusan penting sekali dan agaknya merupakan orang-orang yang biasa diturut kehendaknya sehingga kini mereka berani memasuki taman tanpa ijin. “Kalian minggirlah!” katanya kepada para anggauta Cin-ling-pai yang memenuhi taman, kemudian dengan langkah tenang nyonya ketua ini maju menyambut kedatangan dua orang pendeta itu. Melihat pakaian mereka, Sie Biauw Eng dapat menduga bahwa dia berhadapan dengan pendeta-pendeta Lama dari barat, maka dia bersikap hati-hati karena maklum bahwa pendeta-pendeta Lama banyak yang memiliki kepandaian tinggi. Setelah berhadapan, Sie Biauw Eng yang berpemandangan tajam itu dapat melihat dari sinar mata kedua orang pendeta itu bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki sin-kang kuat sekali, maka diam-diam dia terkejut dan cepat mengangkat kedua tangannya memberi hormat yang dibalas oleh mereka. “Selamat datang di Cin-ling-san, Ji-wi Losuhu. Siapakah Ji-wi dan ada keperluan apakah Ji-wi hendak menemui suamiku?” tanya Sie Biauw Eng dengan suara lembut namun pandang matanya penuh selidik. “Maafkan pinceng, Toanio. Kedatangan kami berdua ini adalah untuk mencari seorang bernama Yap Kun Liong karena urusan pribadi. Kami tidak mempunyai urusan dengan Cin-ling-pai.” “Silakan Ji-wi duduk di ruangan tamu di mana kita dapat bicara dengan sebaiknya.” Hun Beng Lama menggerakkan tangan kirinya digoyang-goyang. “Tidak usah, Toanio. Terima kasih atas kebaikanmu. Di sini pun sama saja.” “Losuhu, di sini tidak ada orang yang bernama Yap Kun Liong.” Kedua orang pendeta itu memandang dengan tajam penuh selidik. “Benarkah demikian? Bukankah ada hubungan antara Ketua Cin-ling-pai dengan pemuda bernama Yap Kun Liong itu?” “Tidak salah. Dia memang murid keponakan suamiku, akan tetapi pada saat ini Yap Kun Liong tidak berada di sini. Sebagai Bibi Gurunya, bolehkah aku mengetahui apa maksud Ji-wi mencari Yap Kun Liong.” “Kami hendak menangkapnya,” jawab Hun Beng Lama dengan tenang. Pendeta ini terlalu mengandalkan kepandaiannya sendiri maka dia merasa tidak perlu menyembunyikan niatnya dari siapa pun yang toh tidak akan dapat menghalanginya. Jawaban ini tentu saja mengejutkan semua orang, terutama sekali Sie Biauw Eng. Akan tetapi kalau para murid Cin-ling-pai kelihatan kaget adalah nyonya cantik ini tenang-tenang saja. “Ibu..., kata Ibu para pendeta adalah orang-orang suci, kenapa dua orang ini hendak menangkap orang? Apakah mereka pendeta-pendeta palsu?” “Hushhh, Houw-ji, diamlah kau dan jangan turut campur.” Sie Biauw Eng kaget mendengar kelancangan mulut puteranya. Dua orang pendeta itu menjadi merah mukanya dan mereka melirik ke arah Bun Houw, diam-diam mereka terkejut dan kagum melihat anak laki-laki yang dari jauh saja sudah nampak memiliki tulang baik dan bakat untuk menjadi seorang pandai! “Ji-wi Losuhu sudah jauh-jauh datang ke Cin-ling-pai dengan sia-sia saja karena yang dicari tidak ada. Bolehkah aku mengetahui nama julukan Ji-wi yang mulia dan dari golongan manakah?” “Pinceng adalah Hun Beng Lama dan ini adalah Sute Lak Beng Lama. Kami datang dari jauh sekali, dari perkumpulan Agama Lama Jubah Merah di Tibet, sengaja datang untuk menangkap pemuda yang bernama Yap Kun Liong. Kalau dia tidak ada, biarlah kami bicara dengan Ketua Cin-ling-pai yang menjadi paman gurunya, karena sebagai paman gurunya tentu akan tahu di mana adanya pemuda itu.” “Sayang sekali, Losuhu. Suamiku pun sedang turun gunung, sudah beberapa bulan belum pulang, dan aku sendiri pun tidak tahu di mana adanya Yap Kun Liong dan suamiku pada saat ini.” Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama saling pandang dengan hati kesal. Hun Beng Lama menarik napas panjang. “Huhhh... sungguh tidak kebetulan sekali...!” Akan tetapi tiba-tiba wajahnya berseri dan dia menoleh ke arah Cia Bun Houw yang berdiri di dekat ibunya. “Ada jalan baik! Toanio, urusan kami dengan Yap Kun Liong amat penting. Apa pun yang terjadi, di dunia ini, Yap Kun Liong harus menjadi tawanan kami. Karena dia tidak ada, suamimu tidak ada dan engkau tidak tahu di mana adanya mereka, maka suamimu sebagai paman gurunya harus bertanggung jawab. Karena itu, sebagai gantinya, pinceng akan membawa puteramu ini, dan kelak kalau suamimu datang ke Tibet mengantarkan Yap Kun Liong, kami akan mengembalikan puteramu.” “Pendeta iblis keparat!” Sie Biauw Eng tidak dapat menahan lagi kemarahan hatinya. Memang pada dasarnya, Biauw Eng adalah seorang wanita yang berwatak keras, berani dan bahkan agak ganas. Di dalam cerita“Pedang Kayu Harum” digambarkan dengan jelas akan watak dan sepak terjang Sie Biauw Eng ketika masih muda. Kini dia telah menjadi ibu dari dua orang anak, bahkan anak yang pertama, Cia Giok Keng, telah dewasa sehingga dia telah menjadi setengah tua. Usia dan kedudukannya sebagai isteri Ketua Cin-ling-pai membuat dia dapat bersikap tenang dan sabar. Namun begitu tersentuh dan tersinggung perasaan marahnya, dia bagaikan sebatang mercon yang dinyalakan sumbunya, meledak dengan hebat dan berubah menjadi seekor singa betina! Begitu mendengar niat pendeta itu akan menculik puteranya untuk kelak “ditukar” dengan Yap Kun Liong, dia memaki lalu mengeluarkan pekik melengking, sekali kakinya terayun tubuh puteranya mencelat ke arah Kwee Kin Ta dibarengi seruannya, “Kin Ta, jaga adikmu!” kemudian dia sudah menerjang dengan kedua tangannya, mengirim pukulan-pukulan dengan jari tangan terbuka berturut-turut tujuh kali ke arah jalan darah di bagian tubuh yang paling berbahaya dari Hun Beng Lama! “Omitohud...!” Hun Beng Lama terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa nyonya cantik ini memiliki kecepatan yang sedahsyat itu. Hanya dengan susah payah, mencelat ke sana-sini sambil menggerakkan tasbihnya, dia dapat menghindarkan diri, lalu tasbihnya diputar mengeluarkan suara berketrik menulikan telinga mereka yang mendengarnya. Elakan-elakan kakek itu membuat Biauw Eng maklum akan kebenaran dugaannya bahwa dia berhadapan dengan orang pandai, maka dia tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk balas menyerang, melainkan sudah menerjangnya dengan serangan-serangan dahsyat, mainkan ilmu silatnya yang amat cepat dan mengerahkan pukulan-pukulan berdasarkan sin-kang yang amat ditakuti orang ketika dia masih malang-melintang di dunia kang-ouw dahulu, yaitu Ilmu Pukulan Ngo-tok-ciang (Tangan Lima Racun). Pukulan ini amat hebat, jangankan sampai telapak tangan nyonya cantik itu mengenai tubuh lawan, baru hawa pukulannya saja sudah cukup untuk merobohkan lawan tangguh! Mengapa isteri seorang pendekar sakti seperti Cia Keng Hong Ketua Cin-ling-pai sampai memiliki ilmu pukulan beracun sekeji itu? Hal ini tidaklah aneh bagi yang telah membaca ceritaPedang Kayu Harum , karena memang di waktu mudanya Sie Biauw Eng adalah puteri dan murid tokoh atau datuk kaum sesat! Bahkan dia sendiri dijuluki orang Song-bun-kwi (Wanita Cantik Berkabung) karena pakaiannya selalu putih. Dahulu di waktu masih gadis saja Sie Biauw Eng telah memiliki ilmu kepandaian yang hebat luar biasa, apalagi setelah dia menjadi isteri Pendekar Sakti Keng Hong dia memperoleh petunju suaminya, maka dapat dibayangkan betapa lihai adanya wanita ini. “Trik-trrriiiikkk...!” Tasbih di tangan Hun Beng Lama mengeluarkan bunyi nyaring dan senjata itu menyambar ke arah tubuh lawan dengan tenaga mujijat dan dengan kecepatan seperti kilat menyambar. WUUUUTTT... wirrr... tar-tar-tar...!” “Hebat...!” Hun Beng Lama memuji lagi dengan kagetnya ketika serangan tasbihnya itu tiba-tiba dihadang oleh selembar cahaya putih halus yang bukan saja menangkis sambaran tasbihnya malah cahaya yang ternyata hanyalah sehelai sabuk sutera tipis itu membalas dengan sambaran dahsyat dan ujung sabuk itu mengeluarkan suara meledak-ledak seperti halilintar menyambar. Inilah senjata istimewa nyonya itu yang hanya mengeluarkannya apabila dia menghadapi lawan tangguh yang sukar dikalahkannya dengan tangan kosong. Sabuk sutera itu terkenal di dunia kang-ouw dengan nama Pek-in-sin-pian (Cambuk Sakti Awan Putih) karena kalau dimainkan oleh Sie Biauw Eng bentuk sabuk sutera itu lenyap sama sekali, yang tampak hanyalah cahaya bergulung-gulung seperti awan putih, namun dari awan itu menyambar-nyambar sinar kilat yang dapat membawa maut! Melihat betapa nyonya yang lihai itu dapat menandingi suhengnya, Lak Beng Lama lalu meloncat ke arah Kwee Kin Ta yang menggandeng tangan Cia Bun Houw dan melindungi putera subonya ini. Melihat gerakan ini, Kwee Kin Ci, adik dari Kwee Kin Ta dan sembilan orang murid kepala lainnya menerjang maju sambil berteriak marah. Terdengar suara senjata berkerontangan disusul robohnya lima enam orang murid kepala Cin-ling-pai yang terlempar ke kanan kiri kena disapu oleh tongkat di tangan Lak Beng Lama yang amat lihai! Kwee Kin Ci membacokkan pedangnya dari samping kiri, sedangkan para sutenya yang lain kembali sudah menyerang dari segala jurusan. “Plakkk...!” Tubuh Kwee Kin Ci tersungkur dan pedangnya patah setelah ditangkis oleh tangan kiri kakek itu! Dapat dibayangkan betapa tingginya tingkat kepandaian Lak Beng Lama dibandingkan dengan para anak murid Cin-ling-pai itu ketika dengan tangan kosong saja dia mampu mematahkan pedang dan bahkan terus merobohkan pemiliknya dengan hantaman hawa pukulan telapak tangannya. Melihat adiknya roboh dan kakek itu jelas hendak merampas Cia Bun Houw, Kwee Kin Ta sebagai murid kepala yang kepandaiannya paling tinggi mengeluarkan bentakan nyaring dan pedangnya menusuk ke arah dada kakek itu, sedangkan tangan kirinya dengan jari tangan terbuka membuat gerakan menusuk ke arah perut. “Ceppp! Cepppp!” Dua tusukan pedang dan jari tangan itu terhenti ketika dengan dua jari telunjuk dan tengah kiri Lak Beng Lama menjepit pedang yang menusuk dadanya, sedangkan tangan kiri Kwee Kin Ta itu dibiarkan memasuki perutnya! “Augghhhhh...!” Kwee Kin Ta menjerit ketika merasa betapa tangan yang memasuki rongga perut sedalam pergelangan itu tak dapat dicabutnya kembali dan terasa panas seperti dibakar! “Wirrrr... siuuuuut... tar-tarrr...!” “Omitohud...!” Lak Beng Lama berseru kaget dan terpaksa dia melepaskan jepitan tangan dengan perutnya, membuat Kwee Kin Ta terhuyung ke belakang dengan muka pucat. Sambaran cahaya putih tadi benar-benar amat berbahaya dan begitu dia mengelak terhadap ledakan yang menyambar ke arah pelipis kepala sebelah kiri dan ubun-ubunnya, ujung sabuk sutera putih itu masih mampu melecut pundaknya, membuat jubah di pundaknya pecah dan kulit pundaknya terasa panas dan perih! Dalam keadaan bertanding menghadapi Hun Beng Lama yang lihai masih mampu menolong Kwee Kin Ta dan menghalangi Lak Beng Lama menangkap puteranya, benar-benar kehebatan nyonya Ketua Cin-ling-pai itu mengejutkan hati kedua orang Lama itu. Teringatlah mereka akan kelihaian Kun Liong dan tahulah mereka bahwa mereka berada di guha harimau yang amat berbahaya. Baru nyonyanya sudah begini lihai, apalagi Ketua Cin-ling-pai itu sendiri! Andaikata Ketua Cin-ling-pai berada di situ, dan Kun Liong juga, agaknya mereka akan terjebak dan akan celaka! Lak Beng Lama yang cerdik pada saat itu sudah dapat menduga bahwa mungkin ini adalah siasat dari Pek Hong Ing! Maka dia cepat berseru, “Subeng, harap desak dia...!” Mendengar ini, Hun Beng Lama segera mengeluarkan suara menggereng yang aneh. Tidak keras namun suara itu terdengar memenuhi udara dan berbareng dengan gerengannya itu, tiba-tiba tasbihnya bergerak lebih hebat dan kuat. Kadang-kadang tasbih itu melayang di udara, menyambar ke arah kepala Biauw Eng seperti benda hidup, disusul oleh kedua tangan kakek itu yang menyerang ganas dan bertubi-tubi, kadang-kadang malah dibantu pula oleh serangan kedua kakinya. Didesak sedemikian rupa oleh kakek yang amat lihai ini, terpaksa Biauw Eng harus mencurahkan seluruh tenaganya sehingga dia tidak lagi dapat mencegah perhatiannya ke arah Lak Beng Lama yang sedang dikeroyok oleh para anak murid Cin-ling-pai. Tiba-tiba terdengar teriakan Bun Houw, “Ibuuu...! Bebaskan aku...!” Kagetlah hati Biauw Eng dan ketika dia meloncat ke belakang memandang, ternyata anaknya itu telah berada di dalam pondongan Lak Beng Lama! Tentu saja mudah sekali bagi pendeta lihai ini untuk merampas Bun Houw dari dalam perlindungan para anak murid Cin-ling-pai dan begitu berhasil memondong Bun Houw, dia lalu berkata, “Toanio, hentikan perlawananmu kalau kau ingin melihat puteramu selamat!” Menggigil seluruh tubuh Biauw Eng dan kedua tangannya meremas-remas sabuk sutera putihnya dalam usahanya mencegah kedua tangannya bergerak menyerang Lak Beng Lama. Maklumlah dia bahwa setelah puteranya tertawan, dia tidak boleh secara sembarangan saja turun tangan karena hal ini akan membahayakan nyawa puteranya. Dia memandang dengan bernyala dan gigi berkerot, “Manusia iblis...! Kalau kau mencelakakan puteraku, demi Tuhan, aku tidak akan berhenti sebelum dapat mencincang hancur tubuhmu!” Ucapannya yang penuh kesungguhan hati ini membuat kedua orang Lama itu bergidik karena mereka maklum bahwa seorang wanita sehebat itu tentu akan memenuhi ancamannya. “Omitohud...! Toanio gagah perkasa dan hebat luar biasa! Terimalah rasa hormat dan kagum dari pinceng.” Hun Beng Lama menjura dengan penuh kagum karena harus dia akui bahwa selama hidupnya baru sekarang dia bertemu dengan seorang wanita sebagai lawan yang sedemikian hebatnya. Sie Biauw Eng sejak dahulu bukan hanya terkenal sebagai seorang wanita yang amat lihai dan penuh keberanian tidak pernah mengenal rasa takut, juga dia terkenal amat cerdik. Baru sekarang, melihat puteranya berada di tangan musuh, dia merasa takut sekali, akan tetapi dia dapat menekan perasaannya, lalu berkata kepada Bun Houw, “Houw-ji, seorang calon pendekar pantang menangis dan menghadapi segala bahaya dengan tenang, yang penting bukan mati atau hidup, melainkan benar dan salah!” Mendengar ini, Bun Houw mengangguk dan tidak meronta lagi dalam pondongan Lak Beng Lama karena dia mengerti bahwa melawan dan meronta pun tidak ada gunanya sama sekali. “Hun Beng Lama, sikap dan pakaianmu saja seperti seorang pendeta Lama yang suci, akan tetapi perbuatanmu curang seperti penjahat kecil yang hina. Kenapa kau membawa-bawa anak kecil yang tidak tahu apa-apa? Kalau memang gagah dan berani, bebaskan anakku dan majulah kalian pendeta-pendeta palsu berdua, kita bertanding sampai salah satu pihak mati!” Dengan suara lantang dan gagah Biauw Eng menantang. “Omitohud...! Toanio memang hebat! Kami sama sekali tidak suka bermusuhan dengan orang-orang gagah seperti Toanio. Kami terpaksa menangkap puteramu justeru karena kami tidak suka bermusuhan. Kami tidak akan mencelakakan putera Toanio ini, hanya akan kami ajak ke Tibet untuk bermain-main dan pesiar. Kelak, kalau Toanio atau suami Toanio datang mengantarkan Kun Liong kepada kami, tentu putera Toanio akan kami serahkan kembali disertai permohonan maaf kami sekalian. Kami tidak suka bermusuh dan bertanding melawan Toanio dan jalan satu-satunya hanyalah menahan putera Toanio. Nah, selamat tinggal sampai jumpa pula di Tibet di mana Toanio akan dapat mengajak pulang putera Toanio. Mudah-mudahan waktu itu tidaklah terlalu lama.” Maka pergilah Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama meninggalkan puncak itu. Kwee Kin Ta yang patah-patah tulang tangan kirinya itu membuat gerakan untuk menyerbu, demikian pula para anak murid Cin-ling-pai, akan tetapi Biauw Eng menggerakkan tangan mencegah mereka. Wanita ini hanya berdiri memandang, matanya bernyala dan alisnya berkerut, kedua tangannya mengepal akan tetapi tidak berani membuat gerakan sesuatu. Setelah bayangan kedua orang pendeta itu lenyap, barulah dia mengeluarkan suara mengeluh panjang dan tubuhnya terguling roboh. Pingsan! In-moi (Dinda In)...! Tunggu...!” Teriakan ini keluar dari mulut Ouwyang Bouw yang mengejar Lauw Kim In yang berlari-lari. Namun Kim In tidak menjawabnya, juga tidak menengok, melainkan berlari terus sambil kadang-kadang mengusap air matanya. Biasanya, wanita yang berhati keras dan dingin seperti baja ini pantang menangis, akan tetapi ucapan yang keluar dari mulut Kun Liong menikam ulu hatinya dan menyentuh perasaan hatinya yang memang selalu tertekan. Dia sama sekali tidak cinta kepada Ouwyang Bouw dan menyerahkan tubuhnya kepada pemuda setan itu secara terpaksa. Hanya dia seorang yang merasakan betapa tersiksa dan menderita hatinya setiap kali dia harus menyerahkan tububnya kepada Ouwyang Bouw yang menganggapnya isterinya itu. Makin lama dekat dengan Ouwyang Bouw, makin sadarlah dia bahwa “suaminya” itu adalah seorang yang tidak waras otaknya, agak miring otaknya dan di balik ketidakwajarannya itu terdapat watak yang luar biasa kejam dan jahatnya! Seperti diketahui, dahulu dia menyerahkan kehormatan dan tubuhnya kepada Ouwyang Bouw karena terpaksa, yaitu untuk menyelamatkan sumoinya, Pek Hong Ing, dan dirinya sendiri karena mereka berdua kalah melawan Ouwyang Bouw, dan kedua kalinya karena dia hendak mempergunakan kelihaian orang muda gila ini untuk dapat membalas dendamnya terhadap musuh besar yang dahulu membunuh tunangannya, yaitu Thian-ong Lo-mo. Dan dia berhasil menyelamatkan Pek Hong Ing, bahkan berhasil pula membunuh Thian?ong Lo-mo di samping berhasil meningkatkan ilmu kepandaiannya dengan petunjuk “suaminya”. Akan tetapi, setiap kali apabila teringat akan keadaan dirinya, apalagi setiap kali harus melayani cumbu rayu dan permainan cinta suaminya yang kadang-kadang tidak lumrah dan mengerikan itu, batinnya makin tertekan. Ucapan-ucapan Kun Liong seperti ujung pedang runcing menikam jantungnya. Dia diumpamakan setangkai mawar indah dari Go-bi yang berlumur noda dan lumpur kehinaan. Betapa tepatnya ucapan itu dan dia merasa jantungnya tertikam dan sakit sekali. Memang kalau dia pikir, hidupnya sekarang tidak ada artinya sama sekali, hanya menjadi permainan dan bahan penghinaan seorang laki-laki berotak miring seperti Ouwyang Bouw saja! Menjadi barang permainan karena dia pun tahu betapa anehnya cinta kasih Ouwyang Bouw kepadanya yang lebih condong kepada sebuah benda permainan yang tak pernah membosankan hati pemuda gila itu. Ouwyang Bouw yang menganggap dia isterinya itu kadang-kadang bermain gila dengan wanita, baik secara suka rela di pihak wanita itu atau memaksa dan memperkosanya, dilakukan begitu saja di depan matanya tanpa rasa malu sedikit pun! Ouwyang Bouw tidak mengenal apa artinya kesetiaan suami isteri. Bahkan gilanya, pernah Ouwyang Bouw menganjurkan agar dia bermain cinta dengan pria lain di depan mata suami gila itu! Ditangkapnya seorang pemuda tampan dan dengan ancaman maut Ouwyang Bouw memaksa pemuda itu agar bermain cinta dengan isterinya! Ouwyang Bouw membujuk-bujuk agar dia suka melakukan hal yang tidak senonoh itu di depan matanya. Tentu saja dia tidak sudi dan hal itu membuat Ouwyang Bouw marah-marah dan membunuh pemuda yang tidak berdosa itu! Teringat akan semua ini, hancurlah perasaan hati Kim In ketika mendengar celaan dan sindiran Kun Liong. “Isteriku... yang manis...! Dinda Lauw Kim In... tunggulah..., larimu begitu cepat seperti kuda! Ha-ha-ha!” kembali terdengar suara suaminya itu, kini sudah dekat di belakangnya. Lauw Kim In mempercepat larinya, mengerahkan seluruh gin-kangnya yang sudah memperoleh banyak kemajuan setelah dia dilatih oleh suami gila itu. “Wah-wah, larimu makin kencang! Ha-ha, lucu dan manis sekali dari belakang! Ha-ha-ha, bagus sekali! Kita menjadi dua ekor kuda yang berkejaran, kau kuda betina dan aku kuda jantan. Kalau dapat terpegang, kau harus memberi hadiah kepadaku, ha-ha-ha!” Lauw Kim In bergidik, mengerti bahwa suaminya itu “kumat” lagi gilanya, gila berahi yang kadang-kadang penyalurannya membuat dia ngeri dan jijik. Maka makin cepatlah dia berlari dengan tekad kalau dapat akan membebaskan diri dari manusia itu. Akan tetapi, betapa pun cepat dia lari, naik turun gunung dan keluar masuk hutan, akhirnya dia tersusul juga. “Ha-ha-ha, kau kalah!” Ouwyang Bouw menubruknya dari belakang sehingga Lauw Kim In terguling di atas rumput. Ouwyang Bouw terus menggelutnya dan memaksanya sambil terkekeh-kekeh, “Kita memang sepasang kuda... heh-heh, sepasang kuda bermain cinta...” Dapat dibayangkan betapa tersiksanya hati wanita itu, namun terpaksa dia harus mandah saja diperlakukan sesuka hati pria yang memiliki tingkat kepandaian tinggi ini. Dia tahu bahwa kalau dia melawan dengan kekerasan, berarti bunuh diri dan dia tidak mau bunuh diri dengan sia-sia. Tubuhnya telah tercemar, telah kotor, maka ditambah dengan penderitaan beberapa kali lagi sebelum ada kesempatan baik, tidak mengapalah. “Isteriku yang manis... kau hebat...” Omyang Bouw merangkul dan mencium mulut Lauw Kim In yang rebah kelelahan dan mukanya agak pucat itu. Ouwyang Bouw Ialu tergelimpang dan rebah pula terlentang di dekat Kim In, juga kelelahan dan dengan mulut tersenyum kepuasan. Perlahan-lahan Kim In membereskan kembali pakaiannya. Dia bangkit duduk dan melirik ke arah “suaminya” yang masih terlentang dengan mata terpejam itu. Laki-laki itu tidur dengan tubuh setengah telanjang, dan harus diakuinya bahwa tubuh Ouwyang Bouw tegap dan gagah. Andaikata wataknya tidak gila seperti itu, melihat ketampanan wajah dan ketegapan tubuhnya, kiranya tidaklah terlalu sukar baginya untuk belajar membalas cinta laki-laki yang sudah menjadi suaminya ini. Akan tetapi laki-laki ini gila! Kegilaan yang menjemukan, terutama sekali kegilaannya dalam bermain cinta. Teringat akan apa yang baru saja dialaminya tadi, dia diperlakukan sebagai seekor kuda betina, hampir sama dengan diperkosa di luar kehendaknya, kemarahannya meluap. “Wuuuuuttt!” Dengan jari-jari terbuka, tangan kanan Lauw Kim In menerkam dengan serangan maut ke arah dada dari suaminya. “Plakkk...! Haiiiii, kau kenapa...?” Biarpun kelihatannya tadi memejamkan matanya, namun Ouwyang Bouw dapat menangkis dan meloncat berdiri sambil berteriak kaget. Lauw Kim In juga kecewa dan kaget. Suaminya ini memang lihai sekali dan kalau dia tidak menggunakan akal, tentu dia akan mati konyol. “Aku mengapa? Mengapa lagi kalau bukan mengajak kau berlatih silat?” jawab Lauw Kim In dengan suara biasa dan terus saja dia melancarkan pukulan bertubi-tubi, mengeluarkari jurus-jurus yang paling ampuh. Sambil meloncat ke kanan kiri dan mengikatkan ikat pinggangnya yang kedodoran, Ouwyang Bouw tertawa, “Ha-ha-ha, bagus! Baru saja selesai bertempur, sudah mengajak bertanding lagi. Nah, awas, aku membalas seranganmu!” Bertandinglah kedua orang itu, atau bagi Ouwyang Bouw tentu saja hanya berlatih, dia tidak tahu bahwa “isterinya” itu menyerangnya dengan sungguh-sungguh! Setelah lewat lima puluh jurus, mengertilah Lauw Kim In bahwa tidak mungkin dia dapat mengalahkan suaminya yang benar-benar amat lihai ini. “Sratttt!” Dia mencabut pedangnya. “Lihat pedang!” bentaknya karena biarpun di lubuk hatinya dia ingin membunuh orang ini, namun dengan cerdik dia memperingatkan agar suaminya tidak curiga dan mengira dia tetap mengajak berlatih, kini dengan silat pedang. “Bagus! Memang dalam silat pedang engkau sudah memperoleh lebih banyak kemajuan daripada bertangan kosong, isteriku manis!” Ouwyang Bouw juga mencabut pedangnya dan tampaklah dua gulungan sinar pedang berkelebatan. “Wah-wah, apakah engkau tidak lelah? Aku lelah sekali...! Sudahlah, aku ingin mengaso!” Ouwyang Bouw berteriak setelah mereka bertanding selama lima puluh jurus dan pedang mereka berkali-kali saling bertemu. Diam-diam Lauw Kim In menjadi jengkel dan kecewa sekali. Derigan tangan kosong dia tidak mampu menang, dengan pedang pun tidak akan mampu membunuh suaminya ini, biarpun tingkat mereka tidak berselisih banyak. Dia menyarungkan pedangnya, lalu duduk membelakangi suaminya dengan wajah cemberut. Ouwyang Bouw merangkulnya, mengusap keringat dari lehernya dan tangannya terus membelai ke bawah leher. Lauw Kim In merenggut tangan itu dan makin cemberut. “Aihh, Manis! Kau kenapa? Mengapa marah-marah?” Ouwyang Bouw malah menggoda dan merangkul, terus menciumi dengan nafsu baru yang bangkil kembali. “Engkau menipuku!” Lauw Kim In berkata. “Heh? Aku...? Menipumu...?” “Dulu kau berjanji akan menurunkan semua ilmu silatmu kepadaku, ternyata kau hanya menipuku saja.” “Bukankah setiap kali kauminta, aku selalu melatihmu?” “Huh! Yang kauajarkan hanyalah jurus-jurus tidak berguna saja. Buktinya, sampai sekarang pun aku belum mampu mengalahkan engkau!” “Ha-ha-ha-ha! Hendak mengalahkan aku tidak mudah, isteriku. Ilmu kepandaianku sudah terlatih matang. Engkau hanya akan mampu mengalahkan aku dalam bermain cinta, kalau dalam ilmu silat, kiranya tidak mungkin biarpun aku mengajarkan seluruh ilmuku kepadamu.” Lauw Kim In termenung. Benar juga apa yang diucapkan orang gila ini. Dia kalah latihan, juga kalah tenaga dan keuletan, mungkin kalah bakat. Habis, bagaimana dia akan dapat mengenyahkan laki-laki yang menjemukan hatinya ini? Dia harus bersabar dan menanti datangnya kesempatan baik. Maka dengan manis dia lalu menurut saja ketika suaminya mengajaknya kembali ke Pek-lian-kauw. Akan tetapi memang watak Ouwyang Bouw aneh, dia tidak langsung mengajaknya kembali ke Pek-lian-kauw, melainkan di sepanjang jalan dia berhenti dan di setiap tempat yang indah dia merayu isterinya dan mengajarkan jurus-jurus baru, sikapnya demikian mesra seperti pengantin baru saja, tidak tahu betapa limpahan cinta kasih yang luar biasa ini bahkan makin memuakkan hati Lauw Kim In. Karena perjalanan yang lambat ini, mereka sampai bermalam selama dua malam di dalam hutan, dan semua kehendaknya terpaksa dilayani oleh Lauw Kim In yang merasa seperti dijadikan boneka hidup! Pada hari ke tiga, barulah mereka langsung menuju ke Pek-lian-kauw. Agaknya sudah lewat pula kumatnya penyakit Ouwyang Bow. Ada kalanya dia bersikap seperti pengantin baru selama beberapa hari, ada pula kalanya dia bersikap acuh tak acuh terhadap Lauw Kim In sampai berpekan-pekan! Ketika mereka tiba di sebuah hutan, tiba-tiba Omyang Bouw menarik tangan Lauw Kim In dan menyeretnya ke dalam semak-semak. “Aku sudah lelah, jangan main gila kau! Besok saja...” Kim In menolak karena mengira bahwa suaminya itu kumat lagi, akan tetapi Ouwyang Bouw mendekap mulutnya dan menuding ke depan. Lauw Kim In memandang dan dia terkejut melihat seorang gadis cantik dan seorang pemuda. Dia mengenal gadis cantik itu, karena gadis itu bukan lain adalah pengantin yang dirayakan pernikahannya di Pek-lian-kauw, gadis yang kabarnya bernama Cia Giok Keng puteri Ketua Cin-ling-pai! Akan tetapi dia tidak mengenal pemuda tinggi besar dan bersikap gagah yang berjalan di sebelah gadis itu. Siapakah pemuda tinggi besar dan gagah perkasa itu? Dia bukan lain adalah Lie Kong Tek! Seperti kita ketahui, Lie Kong Tek disuruh oleh gurunya untuk mencari Cia Giok Keng yang telah dipinangnya langsung dari ayah gadis itu. Gurunya menghendaki dia menyusul dan kalau perlu melindungi gadis itu dan memaksakan perpisahan antara mereka dengan janji setahun kemudian bertemu di Cin-ling-san. Demikianlah, Lie Kong Tek lalu melakukan perjalanan seorang diri dan karena dia tidak tahu ke mana perginya Cia Giok Keng, maka dia lalu mengambil arah yang ditempuh oleh Giok Keng ketika gadis itu tadi melakukan pengejaran terhadap Liong Bu Kong. Tentu saja dia kehilangan jejak gadis itu dan selama dua hari dia berkeliaran di sekitar daerah itu, mencari-cari tanpa hasil. Baru pagi tadi, ketika dia sudah hampir hilang harapan untuk bertemu dengan Cia Giok Keng, tiba-tiba dia melihat gadis itu muncul keluar dari sebuah hutan, berjalan dengan arah menuju ke sarang Pek-lian-kauw. “Cia-siocia (Nona Cia)...!” Dia memanggil sambil berlari mengejar. Mendengar suara panggilan ini, Giok Keng berhenti dan menengok. Ketika dia mengenal orang itu sebagai pemuda tinggi besar yang pernah membelanya di depan ayahnya, seketika Giok Keng cemberut. Hemm, kembali dia berhadapan dengan seorang penjilat, pikirnya! Betapa banyaknya bertemu dengan pria-pria seperti itu! Pria yang memperlihatkan “kebaikan”, bahkan rela berkorban apa pun untuk menarik hati seorang gadis cantik. Dan dia tahu bahwa pemuda tinggi besar ini pun semacam pria seperti itu. Tentu sikapnya membelanya di depan ayahnya, yang kelihatan gagah perkasa dan penuh kebaikan, bahkan yang membayangkan kasih sayang besar dengan pengorbanan dirinya, hanya merupakan siasat untuk menarik hatinya! Dia sudah muak dengan semua itu, apalagi setelah mengalami kejatuhannya di tangan Liong Bu Kong si tukang bujuk rayu! Kini teringat olehnya betapa hampir semua laki-laki adalah tukang bujuk, perayu yang berhati palsu, kecuali... Kun Liong agaknya! Kun Liong dengan terang-terangan mengatakan tidak cinta kepadanya! Sebaliknya, semua pria yang dijumpainya selama ini, dari pandang matanya saja sudah menjeritkan “cinta” yang memuakkan. Betapapun juga, pemuda tinggi besar ini sudah menerima siksaan dari ayahnya, bahkan hampir tewas, maka dia harus bersikap baik. Dan untuk kelancangannya itu, dia akan menghukumnya dengan menjatuhkan hatinya seperti semua pria yang telah jatuh hati kepadanya, untuk kemudian dia tinggalkan. Mulai sekarang, dia akan membalas semua pria yang cintanya palsu itu! Mula-mula dahulu adalah para suhengnya di Cin-ling-pai, terutama Kwee Kin Ta dan Kwee Kin Ci yang dari sinar matanya jelas jatuh cinta kepadanya, lalu disusul belasan orang suhengnya yang lain. Setelah itu, entah berapa banyaknya lirikan-lirikan cinta yang terpancar keluar dari pandang mata setiap orang pria, tua muda yang bertemu dengannya. “Cia-siocia...!” Lie Kong Tek kini sudah tiba di depan gadis itu, wajahnya berseri gembira karena hati siapa tidak akan gembira melihat gadis ini yang tadinya dianggap telah hilang dan tidak mungkin disusulnya lagi itu? “Siapakah engkau dan ada keperluan apa memanggil-manggil aku?” Giok Keng bertanya dengan sikap galak dan pura-pura tidak mengenal karena dia ingin mempermainkan pemuda tinggi besar ini. Lie Kong Tek memberi hormat dengan kedua tangan di depan dadanya, penghormatan yang tidak dibalas oleh gadis itu, namun Kong Tek tidak peduli karena memang dia tidak mempunyal keinginan dibalas. “Cia-siocia, tentu engkau tidak mengenal aku, akan tetapi dua hari yang lalu kita bersama ayahmu, guruku, dan para tamu kang-ouw di Pek-lian-kauw telah melawan orang-orang Pek-lian-kauw. Namaku Lie Kong Tek.” “Ahhh, sekarang aku ingat! Engkau adalah orang yang dihajar oleh Ayah dan nyaris tewas di tangan ayahku!” Giok Keng sengaia mengemukakan hal itu karena dia menduga bahwa pemuda ini sudah cukup mendapat kesempatan untuk memamerkan jasa-jasanya ketika menolong dan membelanya. Akan tetapi dia kecelik. Lie Kong Tek sama sekali tidak menonjolkan jasanya, bahkan dia menarik napas panjang dan berkata dengan suara serius, “Salahku sendiri, Nona. Masih untung aku tidak tewas di tangan ayahmu, karena kelancanganku mencampuri urusan orang lain.” “Tapi... engkau telah berusaha untuk menolongku. Engkau telah melepas budi kebaikan kepadaku!” Giok Keng menambahi garam untuk memancing keluar isi hati pemuda itu yang dia anggap pasti akan menyatakan kagum dan sukanya dan kesiapannya untuk membela sampai mati! Lie Kong Tek menggeleng kepala. “Kau membikin aku malu saja, Nona Cia. Apa yang kulakukan itu tidak ada artinya sama sekali dan siapa pun yang melihat suatu peristiwa yang tidak adil, tak peduli siapa yang terkena dan siapa pula yang melihatnya, pasti akan turun tangan.” Hati Giok Keng menjadi penasaran. “Apa? Kaumaksudkan... andaikata yang terancam oleh ayahnya bukan aku, melainkan orang lain...” “Tentu saja tidak ada bedanya, aku tetap akan mencegah seorang ayah yang bijaksana memukul anaknya sendiri.” Hati Giok Keng kecewa. “Ahh, kukira tadinya...” kekecewaan hatinya karena jawaban pemuda itu tidak seperti yang disangkanya, terlontar melalui mulutnya. “Kaukira bagaimana, Nona?” “Kukira kau menolongku karena... karena kau suka padaku.” Terus terang saja Giok Keng mengucapkan kata-kata ini karena ingin dia memperoleh bukti bahwa yang mendorong perbuatan pemuda itu memang demikian sehingga dia akan mendapat alasan untuk mempermainkan dan menghina laki-laki yang tinggi besar dan tampan gagah ini. Wajah Lie Kong Tek berubah merah seketika. “Nona, melakukan suatu perbuatan yang oleh umum dianggap baik menjadi sama sekali tidak baik dan palsu kalau berdasarkan rasa suka atau tidak suka!” Giok Keng makin penasaran dan terheran-heran. Baru sekarang dia berhadapan dengan seorang laki-laki yang sama sekali tidak memperlihatkan sikap manis dan menjilat kepadanya, bahkan ucapannya begitu jujur dan terus terang sehingga terdengar kasar dan tidak menggunakan basa-basi sama sekali. Akan tetapi hal ini malah membuat dia menjadi penasaran. Kalau melihat semua laki-laki jatuh bertekuk lutut kepadanya, mengaku cinta, dia merasa muak karena sudah melihat kepalsuan mereka, terutama setelah pengalamannya dengan Bu Kong. Akan tetapi sikap pemuda ini lain lagi, bahkan sebaliknya daripada sikap pemuda pada umumnya. Dia akan merasa amat penasaran dan “turun nilai” kalau belum melihat pemuda ini pun bertekuk lutut menyatakan cinta kepadanya! Maka dia segera merubah siasat dan berkata,”Aihh, kalau tidak salah, gadis yang menjadi korban kekejian Ketua Pek-lian-kauw itu adalah tunanganmu, Saudara Lie Kong Tek?” Lie Kong Tek mengangguk. “Memang benar demikian, dan kedatanganku bersama Suhu ke Pek-lian-kauw memang hendak mencari dia. Kami mendengar bahwa Nona Bu Li Cun, tunanganku itu diculik oleh orang Pek-lian-kauw. Sayang kami datang terlambat...” “Kau dan gurumu tidak berhasil menolong tunanganmu, akan tetapi telah dapat menolong aku dan ayahku. Bu Li Cun itu cantik sekali, engkau tentu berduka dan kehilangan, Saudara Lie.” “Tentu saja, aku merasa amat kasihan kepada Nona itu. Akan tetapi terus terang saja, tidak ada perasaan kehilangan di hatiku karena selamanya pun baru satu kali aku bertemu dengan tunanganku. Andaikata yang mengalami nasib buruk seperti dia itu seorang gadis lain, aku tetap akan merasa kasihan sekali.” Giok Keng termenung. Pemuda ini memang aneh, pikirnya. Berbeda dengan pemuda lain, bahkan sinar matanya ketika memandangnya biasa dan polos saja, tidak mengandung api gairah yang dia lihat dalam pandang mata pemuda lain. Bahkan di dalam pandang mata Kun Liong yang terang-terangan tidak mencintanya itu pun terdapat sinar kagum kalau memandang kepadanya. Kenyataan ini membuat hatinya panas. Manusia sombong! Manusia angkuh! Kauanggap aku bukan apa-apa, ya? Tunggu saja kau, hatiku belum puas kalau tidak dapat melihat engkau bertekuk lutut dan merengek mengaku cinta! Gadis ini tidak sadar betapa sesungguhnya dialah yang sombong! Demikianlah keadaan hati dan pikiran seseorang yang tidak pernah mengenal diri sendiri, sehingga dia seolah-olah buta akan gerak-gerik lahir batinnya, tidak sadar akan watak-wataknya sendiri. Karena tidak mengenal diri sendiri inilah yang menimbulkan segala perbuatan yang merugikan orang lain dan diri sendiri, perbuatan yang oleh umum dianggap jahat. Tidak ada perbuatan jahat yang disadari sebagai perbuatan jahat oleh orang yang tidak pernah mengenal dirinya sendiri, semua perbuatannya itu, apapun juga penilaian umum, tentu dianggapnya benar karena dia mempunyai alasan-alasannya yang tentu saja berdasarkan kepentingan diri pribadi. Orang yang tidak mengenal diri sendiri akan sepenuhnya berada dalam cengkeraman si aku yang selalu mengejar kesenangan, dikuasai oleh si aku tanpa disadarinya. Sebaliknya, dengan pengenalan diri sendiri setiap saat, gerak-gerik dan segala akal bulus si aku dapat diawasi dengan jelas sehingga si aku tidak sempat lagi mengeluarkan segala siasat dan tipu muslihatnya. Demikian pula dalam pertemuan antara Giok Keng dan Kong Tek. Pemuda itu berwatak jujur, polos dan wajar sehingga semua ucapannya tidak mengandung niat lain. Tidak demikian dengan Giok Keng yang merasa dirinya sebagai seorang gadis cantik, lihai, puteri Ketua Cin-ling-pai sehingga dari pengalaman yang sudah-sudah timbullah rasa tinggi hati dan keyakinan bahwa semua pria pasti akan bertekuk lutut dan jatuh cinta kepadanya! “Nona Cia, sudah dua hari aku mencari-carimu!” Timbul harapan di hati Giok Keng dan matanya bersinar tajam memandang penuh selidik. “Ada perlu apakah engkau mencari-cariku selama dua hari ini?” “Hanya untuk membuktikan bahwa engkau berada dalam keadaan selamat, Nona. Ayahmu juga mencarimu dan aku diperintah oleh Suhu untuk membantu mencarimu. Sekarang Nona hendak pergi ke manakah?” “Hendak kembali ke Pek-lian-kauw, memberi hajaran kepada para penjahat Pek-lian-kauw.” “Aihh! Nona tidak mengerti apa yang telah terjadi. Bahkan Suhu dan ayahmu sendiri terpaksa harus melarikan diri. Pek-lian-kauw amat kuat, selain ketuanya memiliki keahlian dalam ilmu sihir yang hanya dapat dilawan oleh Suhu, juga mereka berjumlah banyak dan mempunyai sahabat-sahabat orang pandai.” Giok Keng terkejut. Ayahnya sampai melarikan diri? “Di manakah Ayah sekarang?” “Beliau juga pergi berpisah dari kami, katanya hendak menyusul dan mencarimu, Nona.” “Kalau begitu, aku harus cepat kembali ke Cin-ling-san. Sudah terlatu lama aku meninggalkan Ibu, tentu dia akan merasa khawatir sekali.” Teringat akan ibunya, hati Giok Keng berduka bukan main karena terbayang dahulu ketika dia cekcok dengan ayahnya dan diusir ayahnya yang kemudian ternyata bahwa ayahnyalah yang benar mengenai pribadi Liong Bu Kong. Teringat betapa demi Liong Bu Kong dia sampai minggat dari Cin-ling-san, menyakiti hati ayah bundanya, dia menjadi makin gemas kepada Liong Bu Kong dan andaikata dia tidak pasti benar bahwa Bu Kong telah tewas di tangan Yo Bi Kiok, tentu dia akan mencari dan membunuhnya! Kematian Liong Bu Kong bukan di tangannya membuat hatinya belum puas dan timbullah keinginannya untuk mempermainkan hati dan cinta kasih kaum pria! Adapun yang dianggapnya sebagai calon korban pertama adalah Lie Kong Tek inilah. “Kalau Nona tidak berkeberatan, mari kita melakukan perjalanan bersama,” tiba-tiba Kong Tek berkata. Bagi pemuda ini, keadaannya juga serba sulit. Gurunya menyuruh dia mencari Giok Keng dan menyatakan cinta kasihnya! Akan tetapi, bagaimana dia dapat menyatakan perasaan hati itu kalau dia sendiri tidak yakin benar karena tidak tahu apakah benar dia mencinta gadis ini? Tentu saja dia tidak akan mau berlaku lancang seperti itu, apalagi karena dia pun maklum bahwa tidaklah pantas bagi dia untuk berjodoh dengan seorang dara seperti puteri Ketua Cin-ling-pai ini. Mulut yang manis bentuknya itu terhias senyum mengejek. Hemmm, pikir Giok Keng, betapa pun angkuh hatimu, belum apa-apa engkau sudah ingin menemaniku dalam perjalanan. “Eh? Engkau ingin melakukan perjalanan bersamaku, Saudara Lie? Mengapakah?” Lie Kong Tek agak sukar menjawab, lalu menggerakkan pundak dan merentangkan kedua lengannya. “Mengapa? Tidak ada apa-apa, Nona. Hanya karena aku telah berpisah dari Suhu dan hidup sebatang kara, tidak mempunyai tujuan tetap, sedangkan kau pun sendirian pula, bukankah lebih baik dan lebih kuat kalau kita melakukan perjalanan bersama? Aku pun ingin berkunjung ke Cin-ling-san, bertemu dengan ayahmu yang amat bijaksana dan tinggi ilmu kepandaiannya itu.” Senyum di bibir Giok Keng makin melebar. Hemm, alasan yang dicari-cari, pikirnya. “Baiklah,” katanya kemudian dan hatinya girang karena dia ingin sekali melihat laki-laki ini pun jatuh cinta kepadanya untuk kemudian dia patahkan hati dan kasihnya seperti yang ingin dia lakukan terhadap semua pria sebagai pembalasan sakit hatinya kepada Bu Kong! Demikianlah, dua orang itu melakukan perjalanan bersama, akan tetapi tak lama kemudian tiba-tiba tampak dua orang meloncat keluar dari semak-semak dan berdiri di depan mereka. Seorang pemuda tampan yang tertawa-tawa menyeringai dan seorang wanita cantik yang berwajah dingin dan tidak pedulian. Melihat dua orang ini, Lie Kong Tek terkejut karena dia tadi sudah melihat kelihaian dua orang itu ketika datang membantu Pek-lian-kauw, kemudian mereka berdua pergi lari berkejar-kejaran. Akan tetapi Giok Keng tidak mengenal mereka. Biarpun pernah Ouwyang Bouw dan Lauw Kim In datang ke Pek-lian-kauw, akan tetapi karena pada waktu itu ingatan Giok Keng hilang olch obat perampas ingatan, maka dia tidak mengenal dua orang ini. Sebaliknya, Ouwyang Bouw dan Lauw Kim In mengenal gadis cantik ini yang tadinya hendak menikah dengan Liong Bu Kong di Pek-lian-kauw. “Heh-heh-heh, inilah pengantin wanita yang kabur!” Ouwyang Bouw berkata sambil tertawa. Muka Giok Keng menjadi merah sekali sehingga dalam pandang mata Ouwyang Bouw dia tampak makin cantik. “Siapakah kalian? Perlu apa menghadang di jalan?” Giok Keng membentak. “Ha-ha-ha, puteri Ketua Cin-ling-pai memang angkuh! Aku bernama Ouwyang Bouw dan dia ini isteriku.” Mendengar nama ini, berubah wajah Giok Keng. Tentu saja dia pernah mendengar nama Ouwyang Bouw, pemuda iblis putera mendiang Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok! Tahulah bahwa dia berhadapan dengan musuh besar, karena ayah pemuda ini tewas di tangan ayahnya! “Bagus, manusia iblis! Nah, cabut pedangmu, mau tunggu apa lagi?” Bentaknya sambil menghunus pedangnya, siap untuk bertanding mati-matian karena dia sudah mendengar betapa lihainya pemuda ini. “Ho-ho-ha-ha! Biarpun ayahmu adalah musuh besarku, akan tetapi karena engkau calon isteri Liong Bu Kong, kita adalah kawan-kawan segolongan. Jangan galak-galak, Nona manis. Mana suamimu, Liong Bu Kong?” “Dia sudah mampus! Dan kau akan segera menyusulnya ke neraka jahanam!” Giok Keng membentak. “Wah-wah... sudah mampus? Bukan main! Suami baru saja mati sudah mempunyai pacar lain lagi yang muda dan ganteng! Eh, Isteriku, anak Ketua Cin-ling-pai ini pintar juga, ya? Pintar dan cantik jelita! Juga pacarnya itu gagah dan ganteng! Bagaimana kalau kita manfaatkan mereka sebagai selingan kita?” Lauw Kim In hanya cemberut, tidak menjawab, pandang matanya kosong dan sayu karena tingkah laku dan ucapan suaminya itu merupakan pisau beracun yang menyayat-nyayat hatinya. “Ouwyang Bouw, bersiaplah untuk mampus!” Giok Keng membentak lagi. Sebagai seorang pendekar, dia tidak sudi menyerang lawan yang tidak siap sama sekali. “Heh-heh, makin galak makin manis! Cia Giok Keng, buat apa bertanding? Lebih baik bercinta! Mari kita bertukar pasangan!” Giok Keng benar-benar tidak mengerti semua ucapan orang gila itu, maka tanpa disadari lagi dia bertanya, “Apa... maksudmu...?” “Ha-ha-ha, baru pengantin baru, masa tidak tahu? Kita bertukar pasangan, bertukar pacar untuk malam ini, kau tidur bersama aku dan biar pacarmu itu meniduri isteriku!” “Iblis laknat bermulut busuk!” Giok Keng tahu akan maksud yang kotor itu, maka kemarahan yang bertumpuk-tumpuk membuat dia tidak dapat menahan hatinya lagi dan serta merta dia mengirim serangan kilat kepada Ouwyang Bouw. “Heiiitttt... ahhh...!” Ouwyang Bouw terpaksa harus menjatuhkan dirinya ke belakang dan bergulingan sampai jauh, terus melompat sambil mencabut pedang ularnya karena mendapat kenyataan betapa hebat dan berbahayanya serangan Cia Giok Keng tadi. Biarpun otaknya miring, namun Ouwyang Bouw adalah seorang yang berkepandaian tinggi dan memiliki kecerdikan luar biasa, maka dia cepat menyambut serangan gadis itu dengan sungguh-sungguh, bahkan juga membalas dengan serangan pedang ularnya yang amat dahsyat. Sementara itu, Lie Kong Tek yang melihat betapa Giok Keng sudah bertanding dengan Ouwyang Bouw, juga cepat mencabut pedangnya. Dia melihat betapa wanita teman Ouwyang Bouw yang dikatakan isterinya itu hanya berdiri diam, menonton dengan wajah dingin dan sikap tidak peduli, maka dia pun lalu menerjang dan membantu Giok Keng mengeroyok Ouwyang Bouw. Ouwyang Bouw yang lihai sekali melihat gerakan pemuda tinggi besar ini tahulah dia bahwa tingkat kepandaian pemuda itu masih jauh kalau dibandingkan dengan dia atau Giok Keng, maka pada saat dia menggerakkan pedang ularnya menangkis pedang Giok Keng, kakinya yang kiri meluncur ke depan menangkis sambaran pedang Lie Kong Tek dan kaki kanannya cepat sekali menendang dan mengenai dada Kong Tek yang sama sekali tidak menduga-duga akan serangan balasan yang demikian aneh dan cepatnya itu. “Desss...!” Tubuh tinggi besar itu terjengkang dan terguling-guling. Akan tetapi dia bangkit kembali, menggeleng-geleng kepala dan menggoyangnya untuk mengusir kepeningan, kemudian dia maju lagi dengan penuh semangat. “Isteriku, kautundukkan yang laki-laki itu! Lihat betapa gagahnya dia, tentu hebat pula sepak-terjangnya dalam bercinta. Kautangkap dia, biar kutangkap yang perempuan!” Ouwyang Bouw berteriak kepada Lauw Kim In, akan tetapi Kim In diam saja seperti patung menonton pertandingan yang amat hebat itu. “Kalau begitu, terpaksa aku merobohkan laki-laki pengganggu ini!” Ouwyang Bouw bersungut-sungut, marah melihat isterinya diam saja tidak mau membantu. “Lie-twako, awas...!” Giok Keng berteriak ketika melihat menyambarnya sinar merah yang lembut. Namun terlambat. Jarum merah yang hanya sebatang dan amat kecil itu menyambar cepat sekali, tepat mengenai paha Kong Tek dan pemuda itu mengeluarkan suara gerengan, berusaha untuk mempertahankan rasa nyeri dan menyerang lagi namun dia roboh terguling. Kakinya lumpuh seketika karena racun jarum itu sudah bekerja. Kini teringatlah Giok Keng bahwa yang melukainya dengan jarum merah ketika dia dan Kun Liong dikeroyok adalah orang ini pula, maklum betapa bahayanya jarum merah beracun itu. Maka dia menjadi cemas dan pada saat itu, ketika dia melirik untuk melihat Kong Tek, kakinya kena disabet oleh kaki Ouwyang Bouw sehingga dia jatuh terguling. “Brettt...!” sebagian bajunya terobek oleh tangan Ouwyang Bouw. “Ha-ha-ha-ha, pengantin wanita, ternyata akulah yang menjadi pengantin prianya, ha-ha, untungku!” Dan dia maju menubruk. “Mampuslah!” Giok Keng yang tadi rebah miring, tiba-tiba menusukkan pedangnya, akan tetapi betapa kagetnya ketika dia melihat pergelangan tangannya yang memegang pedang telah ditangkap oleh tangan kiri Ouwyang Bouw yang sudah siap menghadapi serangan ini, kemudian pundaknya ditotok dan lemaslah rasa tubuhnya! Dengan mata terbelalak Giok Keng melihat betapa sambil tertawa-tawa Ouwyang Bouw mulai menanggalkan pakaiannya sendiri sambil berkata kepada wanita yang diaku isterinya tadi. “Isteriku, lekas kauajak pemuda itu, biarpun dia terluka pahanya akan tetapi tentu masih mampu! Atau kau lebih senang menonton aku main-main dengan puteri Cin-ling-pai ini? Ha-ha-ha!” Giok Keng hampir pingsan melihat Ouwyang Bouw bertelanjang bulat dan mendekatinya. Dia cepat memejamkan matanya dan mengerahkan seluruh sinkang. Dia pernah diajari oleh ayahnya cara untuk menggunakan tenaga mujijat dari sin-kang istimewa yang menurut ayahnya adalah ciptaan mendiang Tiang Pek Hosiang untuk membebaskan totokan dalam waktu yang tidak terlalu lama. “Manusia iblis!” Tiba-tiba dia mendengar bentakan Kong Tek, disusul sambaran angin dan tahulah dia bahwa biarpun pahanya terluka, Kong Tek telah memaksa diri menubruk maju menyerang Ouwyang Bouw. Akan tetapi dia tidak membuka matanya dan tetap mengerahkan sin-kang seperti yang diajarkan oleh ayahnya. Dia menurut ayahnya, kurang berbakat untuk mempelajari Thi-khi-i-beng dan sebagai gantinya, ayahnya menurunkan ilmu membebaskan totokan jalan darah ini. Hanya saja, ilmu ini hanya dapat dipergunakan untuk membebaskan totokan jalan darah yang tidak berbahaya. Untung baginya, Ouwyang Bouw yang tidak ingin dia sama sekali lemas tak berdaya, hanya menotok jalan darah biasa sehingga, biarpun dia tidak mampu menggerakkan kaki tangan, namun tidak seluruh tubuhnya lumpuh. “Dessss...! Brukkk...!” Tubuh Lie Kong Tek terbanting keras. “Ha-ha-ha, aku tidak akan membunuhmu agar kalau isteriku mau, dia dapat mempergunakanmu. Kalau tidak mau pun, kau harus menyaksikan sendiri betapa aku meniduri kekasihmu yang cantik ini, ha-ha!” “Manusia iblis! Terkutuk kau...!” Kong Tek memaki-maki akan tetapi tidak mampu bergerak lagi karena dia pun sudah ditotok punggungnya, membuat kedua kakinya lumpuh. Dan Lauw Kim In masih diam saja, hanya meraba pedangnya. “Ha-ha-ha, kini tibalah saatnya aku membalas kematian ayahku. Tentu roh ayahku akan tertawa bahagia menyaksikan betapa aku dapat menggagahi puteri musuh besarnya. Hemmm, kau cantik, Giok Keng, cantik sekali, hemmm...!” Giok Keng tetap memejamkan mata dan mematikan rasa ketika Ouwyang Bouw menciuminya dan menggerayang tubuhnya. Ketika jari-jari tangan Ouwyang Bouw mulai membuka pakaiannya hendak menanggalkan pakaian itu, totokan itu pun dapat dia punahkan dan tubuhnya sudah dapat bergerak lagi! “Hyaaatt...!” “Croottttt...! Aduuuhhh...!” Tubuh Ouwyang Bouw mencelat jauh ke belakang, kedua tangannya menutupi mukanya yang berlumuran darah. Serangan jari-jari tangan Giok Keng pada kedua matanya tadi, biarpun dia elakkan sedapatnya, tetap saja masih mengenal mata kirinya yang hancur bola matanya, membuatnya buta sebelah seketika dan rasa nyeri membuat dia menggerung-gerung. Tiba-tiba terjadilah hal yang membuat Giok Keng dan Kong Tek memandang terbelalak. Lauw Kim In, yang sejak tadi berdiri diam saja seperti patung, tiba-tiba telah mencabut pedangnya dan kini dari samping dia menghampiri suaminya, lengan kiri memeluk suaminya seperti hendak menolong, akan tetapi tangan kanannya menggerakkan pedangnya menusuk ke arah lambung. “Crepppp...!” Pedang itu menembus lambung dari kanan ke kiri. Tubuh Ouwyang Bouw seperti menegang, dia membalik dan matanya yang tinggal satu, terbelalak memandang isterinya, mulutnya berteriak, “Kau...? Kau...?” Kemudian terdengar gerengan seperti seekor serigala dan tahu-tahu kedua tangan Ouwyang Bouw telah menerkam ke depan, mencengkeram ke arah dada Lauw Kim In yang tak dapat mengelak lagi karena wanita itu tersenyum lebar dan wajahnya berseri-seri ketika melihat betapa pedangnya berhasil menembus lambung orang yang amat dibencinya itu. “Aughhh...!” Lauw Kim In menjerit mengerikan karena kedua buah dadanya telah dicengkeram sedemikian rupa sampai hancur dan darah muncrat keluar, berbareng dengan darah yang mengucur dari kedua lambung kanan kiri Ouwyang Bouw. Giok Keng terkejut, meloncat ke depan, pedangnya berkelebat dan tubuh Ouwyang Bouw terpelanting, tubuh yang tidak mempunyai lengan lagi karena kedua lengannya telah buntung oleh pedang Giok Keng akan tetapi kedua lengan itu kini bergantungan di dada Lauw Kim In karena kedua tangannya masih mencengkeram dada! Lauw Kim In juga terhuyung lalu terguling roboh. Bibirnya bergerak-gerak ketika matanya memandang Giok Keng. Gadis ini cepat menghampiri dan berjongkok, mendengarkan kata-kata yang menjadi pesan terakhir itu. “Katakan... kepada Yap Kun Liong... Mawar Go-bi... di saat terakhir... mempertahankan nilainya...!” Dan matilah Lauw Kim In dalam keadaan yang amat mengerikan karena kedua lengan yang buntung itu masih tetap menggantung pada dadanya, sedangkan Ouwyang Bouw tewas dengan pedang menembus lambung. Giok Keng mengeluh, bergidik dan menutupi muka dengan kedua tangannya. Ngeri dia membayangkan bahaya yang mengancamnya tadi, bahaya yang amat mengerikan dan amat hebat. Kemudian dia teringat kepada Kong Tek lalu dibukanya kedua tangannya dari depan mukanya. Dia bangkit berdiri, memandang ke arah pemuda itu. Dilihatnya Kong Tek rebah miring, tak mampu bergerak karena selain luka pada pahanya, juga tertotok punggungnya. Pemuda itu memandang kepadanya, akan tetapi tidak mengeluarkan kata-kata sepatah pun. Mengeluh pun tidak. Dengan perlahan Giok Keng menghampirinya. “Aku girang dan bersyukur melihat engkau selamat, Nona,” kata Kong Tek. “Kau merasa telah menolongku lagi?” Giok Keng bertanya sambil menggunakan tangannya untuk membebaskan totokan yang membuat pemuda itu tidak mampu menggerakkan kedua kakinya. Kong Tek menarik napas panjang. “Hasrat hati ingin menolong melihat engkau terancam bahaya, akan tetapi kenyataannya aku hanya menimbulkan gangguan saja untukmu, karena kepandaianku yang amat rendah. Betapa pun, aku girang melihat engkau selamat.” Setelah dapat menggerakkan kedua kakinya, dengan terpincang-pincang Kong Tek menyeret kakinya yang terkena jarum, lalu menghampiri mayat Lauw Kim In dan Ouwyang Bouw, dan mulailah dia menggali tanah dengan pedangnya. “Eh, apa yang kaulakukan itu?” Giok Keng bertanya. Tanpa menghentikan pekerjaannya, dia menjawab, “Menggali lubang untuk mengubur dua mayat ini...” Giok Keng cemberut. “Aaaahhh! Perlu apa? Mereka adalah manusia-manusia jahat yang berwatak iblis, terutama Ouwyang Bouw itu!” “Mungkin, akan tetapi sekarang aku melihatnya sebagai mayat dua orang yang tidak mungkin kubiarkan tersia-sia dan membusuk begitu saja tanpa dikubur, Nona.” Giok Keng diam saja, lalu duduk di atas batu dan menonton pemuda itu bekerja dengan susah payah karena paha kirinya terluka. Tentu saja dia mengerti akan kebenaran pendapat pemuda itu. Tidak percuma dia menjadi puteri Pendekar Sakti Cia Keng Hong yang terkenal berwatak budiman. Akan tetapi dia mewarisi watak keras dari ibunya dan kini kebaikan Kong Tek itu dianggapnya sebagai suatu aksi untuk menarik perhatiannya! Maka dia diam saja tidak membantu. Betapapun juga, melihat pemuda itu bekerja dengan amat susah payah, dan satu kali pun tidak pernah menengok atau melirik ke arahnya, Giok Keng merasa tidak enak hatinya. Benarkah pendapatnya bahwa pemuda itu bersikap baik hanya untuk menarik perhatiannya? Bagaimana kalau tidak? Pemuda itu tidak pernah melirik ke arahnya, tidak seperti orang yang sedang berlagak minta dipuji. Akhirnya Giok Keng merasa betapa tidak enaknya duduk diam seperti itu menonton orang yang susah payah bekerja. Bagaimanapun juga, pemuda itu tadi telah susah payah membelanya, bahkan telah menderita luka yang amat berbahaya. Dan dia teringat pula betapa wanita yang tewas itu pun telah membantunya, karena biarpun mata sebelah Ouwyang Bouw sudah terluka, agaknya tidaklah akan mudah merobohkan manusia iblis itu. Tanpa berkata-kata lagi Giok Keng turun dari batu yang didudukinya, lalu menghampiri Kong Tek dan membantunya menggali tanah. Pemuda itu pun tidak berkata apa-apa dan keduanya bekerja keras sampai akhirnya tergali sebuah lubang yang cukup lebar dan dalam. “Biarlah aku yang mengubur mereka, Nona,” kata Kong Tek. Sambil terpincang-pincang dia menyeret dua mayat itu ke dalam lubang, kemudian menguruknya dengan tanah kembali. Setelah selesai, keduanya menyeka peluh dengan saputangan, dan Giok Keng berkata, “Hari sudah hampir senja, kita lanjutkan perjalanan.” Kong Tek mengangguk, akan tetapi ketika mereka berdua baru saja melangkah beberapa tindak, Kong Tek terguling dan tanpa mengeluh dia roboh pingsan! Ketika dia siuman kembali karena mukanya dibasahi air oleh Giok Keng, Kong Tek membuka matanya dan melihat betapa gadis itu sedang memeriksa luka di pahanya dengan merobek sedikit celananya di bagian yang terluka, di atas lutut kiri. Luka itu merah dan agak kebiruan, membengkak besar. “Ahhh, engkau terluka oleh jarum beracun yang amat berbahaya, Lie-toako. Aku pun pernah terluka oleh jarum-jarum yang dilepas oleh Ouwyang Bouw dan kalau tidak ada pertolongan Kun Liong, aku tentu sudah mati. Engkau terluka dan masih mengerahkan tenaga untuk menyerangnya, kemudian malah menggali tanah, lukamu menjadi makin hebat dan racun itu tentu menjalar makin luas.” Kong Tek menarik napas panjang. “Nona, aku hanya membikin repot saja kepadamu. Aku terluka dan tidak mampu jalan, maka silakan Nona melanjutkan perjalanan. Kalau umurku masih panjang, kelak aku menyusul ke Cin-ling-pai.” Giok Keng bangkit berdiri. Orang ini benar-benar angkuh bukan main! Semenjak terluka, mengeluh sedikit pun tidak, minta tolong satu kali pun tidak. Apakah semua ini termasuk aksinya agar dikagumi? Apakah menyuruh dia pergi sendiri meninggalkan dia yang terluka parah itu termasuk lagaknya agar dianggap sebagai seorang gagah sejati? Dia akan mencobanya! “Begitulah kehendakmu, Toako? Aku harus melanjutkan sendiri perjalananku dan meninggalkan engkau di sini?” Kong Tek mengangguk. “Lukaku parah, aku akan mengusahakan sendiri pengobatannya.” “Kalau tidak berhasil?” Kong Tek tersenyum. “Paling hebat mati!” “Dan kau tidak ingin aku membantumu?” “Apakah yang dapat kaulakukan, Nona? Engkau hanya akan ikut repot dan sengsara, dan... dan andaikata aku tidak tertolong lagi dan mati, aku tidak ingin engkau berada di sini.” “Eh! Mengapa?” Kong Tek tak dapat menjawab, ketika didesak dia menjawab, “Tidak apa-apa.” “Hemm, kalau begitu baiklah. Selamat tinggal, Lie-toako.” “Selamat jalan, harap Nona hati-hati di dalam perjalanan.” Giok Keng berjalan pergi dengan cepat, beberapa kali dia menengok akan tetapi dia melihat betapa pemuda itu sama sekali tidak memandang kepadanya, melainkan memeriksa luka di pahanya dengan kaku dan canggung. Setelah melalui sebuah tikungan, Giok Keng menyelinap di antara pohon-pohon dan kembali ke tempat itu, mengintai dari balik pohon. Penasaran juga hatinya ketika mendapat kenyataan babwa pemuda itu sama sekali tidak pernah menengok ke arah dia pergi. Satu kalipun tidak pernah! Benar-benar tidak peduli sama sekali! Jangankan tergila-gila kepadanya pemuda ini melirik pun tidak pernah! Apakah daya tariknya terhadap pria sudah pudar? Ataukah pemuda ini yang berhati sekeras baja dan dingin seperti es membeku? Hemm, ingin kulihat kalau dia berhutang budi dan nyawa kepadaku! Giok Keng kembali ke tempat itu membawa daun lebar dibentuk corong berisi air bersih. “Mari kurawat lukamu itu” Kong Tek mengangkat mukanya. “Ahh... kau belum pergi, Nona?” Giok Keng tidak mau menjawab melainkan duduk bersimpuh dekat pemuda itu, merobek kain celana di luka itu lebih lebar, kemudian menggunakan kain bersih untuk mencuci darah menghitam dari atas luka itu. Setelah tercuci, tampaklah jarum merah itu terbenam di dalam daging, jauh di bawah kulit. Giok Keng melihat tarikan pada dagu pemuda itu. “Sakitkah?” “Tidak berapa, Nona,” jawab Kong Tek dan diam-diam Giok Keng merasa kagum juga. Pemuda ini memang luar biasa, kuat menderita bukan main dan sedikit pun tidak memiliki sifat cengeng. “Aku pernah menderita luka karena jarum ini. Racunnya hebat, dapat mematikan. Ketika aku diobati oleh Kun Liong, jarum-jarum di tubuhku dikeluarkan dulu, kemudian semua darah yang berada di sekitar luka harus dikeluarkan. Kalau tidak, amat berbahaya karena begitu racun jarum ini naik sampai ke jantung, tidak dapat disembuhkan lagi.” “Memang pantas kalau orang macam Ouwyang Bouw menggunakan jarum beracun sekeji itu!” hanya ini saja komentar Kong Tek. “Aku harus mengeluarkan jarum itu. Ketika Kun Liong... eh, suhengku itu mengeluarkan jarum dari lukaku, dia mempergunakan sin-kang yang amat kuat, menyedot jarum-jarum itu sampai keluar dengan kekuatan sin-kang dari telapak tangannya saja. Akan tetapi aku tidak mungkin dapat melakukan itu. Aku akan menggunakan ujung pedang untuk merobek sedikit daging di luka itu, mengeluarkan jarumnya. Akan tetapi tentu amat nyeri...” “Nyeri dapat kupertahankan, akan tetapi apakah kau tidak merasa ngeri, Nona? Biarlah aku yang membedahnya sendiri.” “Pertahankanlah!” Giok Keng mencabut pedangnya, mencuci ujung pedang itu, kemudian dia merobek kulit di luka itu, terus ke dalam daging. Dia melihat Kong Tek hanya menggerakkan sedikit pelupuk matanya ketika ujung pedang itu mencokel keluar jarum merah dan darah kehitaman keluar dari luka yang agak lebar itu. “Darah itu harus dikeluarkan semua sampai keluar darah merah, Toako. Caranya harus disedot...” Giok Keng maklum bahwa kalau hal itu tidak segera dilakukan, nyawa pemuda ini takkan tertolong lagi. Biarpun luka itu hanya disebabkan sebatang jarum, namun racun itu sudah menjalar sejengkal lebih di seputar luka! Pemuda ini sudah berkali-kali membelanya dengan taruhan nyawa, bahkan luka ini pun hasil membela dirinya, maka dia sendiri akan tersiksa batinnya untuk selamanya kalau sampai dia membiarkan pemuda ini mati, padahal dia dapat menolongnya. Dengan mengeraskan hatinya dia berkata, “Aku akan menyedotnya bersih seperti yang ditakukan Yap-suheng kepadaku kemarin dulu.” “Jangan, Nona...!” Kong Tek sudah memegang pundak Giok Keng dan menahan gadis itu yang sudah hendak menunduk untuk menyedot luka dengan mulutnya! “Jangan! Lebih baik aku mati saja daripada membiarkan engkau melakukan hal itu! Harap jangan merendahkan diri seperti itu. Aku dapat menyedotnya sendiri. Lihat!” Biarpun dengan susah payah mengangkat-angkat kakinya yang terluka dan menundukkan kepalanya sampai dalam sekali, ternyata mulut Kong Tek dapat juga mencapai luka di atas lutut itu dan dia menyedot, meludahkan darah hitam, menyedot lagi sampai tubuhnya menggigil dan mukanya pucat, napasnya agak terengah. Giok Keng memandang dan membantu, mengurut jalan darah di paha agar darahnya terkumpul di luka. Setelah melihat pemuda itu meludahkan darah merah, dia berseru girang, “Cukup, Toako! Kau tertolong sudah!” Kong Tek kehabisan tenaga lalu menjatuhkan dirinya terlentang, rebah di atas tanah. “Berkat pertolonganmu, Nona,” katanya terengah. Giok Keng tidak menjawab, mengambil obat luka yang selalu ada padanya, mengobati luka itu dengan saputangannya yang bersih. Dan dua jam kemudian, biarpun agak terpincang-pincang, Kong Tek sudah dapat melanjutkan perjalanan di sampingnya. Diam-diam hati gadis ini makin kagum. Memang kuat sekali pemucia ini. Kuat tubuhnya, kuat daya tahannya, dan kuat pula hatinya. Akan tetapi hal terakhir ini makin membuat dia penasaran karena biarpun dia sudah memperlihatkan sikap menolong, bahkan hendak menyedot luka, pemuda itu tetap saja biasa, sama sekali tidak memperlihatkan sikap manis atau bermuka-muka, seolah-olah pemuda itu bukan melakukan perjalanan di samping seorang dara yang cantik jelita, yang telah banyak membuat laki-laki bertekuk lutut dan tergila-gila melainkan agaknya seperti melakukan perjalanan bersama seorang teman biasa saja yang tidak ada keistimewaannya apapun juga! Hatinya kagum bercampur mendongkol karena baru satu kali ini dia merasa tidak dipedulikan oleh seorang pria! “Lama Jubah Merah di Tibet? Jahanam benar berani menantangku!” Pendekar Cia Keng Hong mengepal tinjunya ketika dia mendengar penuturan isterinya yang berwajah pucat tentang diculiknya puteranya oleh dua orang pendeta Lama yang bernama Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama, tokoh-tokoh Perkumpulan Agama Lama Jubah Merah di Tibet. Wajah pendekar ini sebentar merah sebentar pucat dan kemarahan memenuhi dadanya. “Aku akan segera mengejar ke sana!” “Tenanglah dulu, urusan ini harus kita pertimbangkan baik-baik, selain mereka itu lihai sekali, jelas bahwa mereka itu tidak menghendaki permusuhan dengan kita, juga mereka tidak mengganggu Houw-ji. Hal ini aku percaya benar. Yang mereka kehendaki adalah Kun Liong, entah ada urusan apa mereka dengan Kun Liong. Kalau kita langsung menyerbu ke sana, bukankah hal itu malah membahayakan keselamatan Houw-ji? Ketika aku melawan mereka dan melihat Bun Houw berada dalam kekuasaan mereka, aku tidak berdaya dan terpaksa menyerah. Kalau kita tiba di sana dan melihat mereka mengancam anak kita, apa yang dapat kita lakukan? Sebaiknya kalau kita mencari Kun Liong dan menanyakan urusan apa yang terjadi antara dia dan mereka. Mungkin dia seoranglah yang akan dapat menolong anak kita dan suka bersama kita ke Tibet.” DENGAN panjang lebar Biauw Eng lalu menceritakan semua peristiwa yang terjadi sepekan yang lalu kepada suaminya yang baru saja tiba ini, didengarkan oleh Keng Hong dengan muka keruh dan seringkali menggeleng kepala dan mengepal tinju. Setelah cerita isterinya tentang diculiknya Bun Houw itu berakhir, dia menepuk meja di depannya. “Semua gara-gara Giok Keng! Kalau tidak ada urusan dia, tentu aku sudah pulang dan dapat mencegah terjadinya penculikan ini.” “Giok Keng? Bagaimana dengan anakku itu?” Biauw Eng bertanya dan wajah ibu ini makin pucat. Batinnya berkali-kali mengalami pukulan, pertama mengingat akan puterinya yang diusir oleh suaminya itu, ke dua ditambah dengan peristiwa diculiknya Bun Houw. “Hehhhh...” Keng Hong menghela napas. “Masih untung akhirnya. Untung bahwa di saat terakhir, anakmu itu masih tertolong dan dia tidak jadi menikah dengan bangsat Liong Bu Kong itu!” “Apa? Giok Keng... menikah?” “Hampir saja!” Keng Hong kini mendapat giliran menceritakan semua yang terjadi atas puteri mereka itu. Berkali-kali Biauw Eng mengeluarkan seruan tertahan karena merasa ngeri mendengar akan bahaya yang mengancam puterinya itu. Kemudian dia menarik napas lega, hatinya lega dan bersyukur, terutama sekali karena suaminya telah “berbaik kembali” dengan puteri mereka. “Sekarang, di mana dia?” “Dia mengejar-ngejar Liong Bu Kong.” “Aihh, berbahaya kalau begitu.” “Tidak, Kun Liong sudah menyusulnya.” “Aahhh, kalau begitu, tak lama lagi tentu dia pulang. Mudah-mudahan bersama Kun Liong agar dapat kita ajak ke Tibet bersama. Memang sebaiknya kalau puteri kita itu berjodoh dengan Kun Liong...” Kembali Keng Hong menghela napas. “Sebaiknya kita tidak mencampuri urusan jodoh anak kita. Biarlah dia yang memilih sendiri, karena kalau kita mencampurinya, tidak urung kita hanya akan kecewa. Agaknya Kun Liong dan Giok Keng tidak saling mencinta, dan di dalam peristiwa di Pek-lian-kauw itu, aku malah menghadapi pinangan orang lain.” “Siapa?” “Dari Hong Khi Hoatsu yang menolong aku dan Giok Keng untuk muridnya yang bernama Lie Kong Tek, seorang pemuda yang hampir kubunuh.” Dia lalu menceritakan betapa Lie Kong Tek membela Giok Keng. Biauw Eng menggeleng-geleng kepalanya. “Memang sukar mengurus soal cinta-mencinta orang-orang muda. Padahal, di dalam cinta-mencinta antara pemuda-pemudi itu terdapat banyak sekali persoalan rumit dan banyak bahaya mengancam, terutama di pibak wanita. Wanita yang masih gadis remaja, masih hijau, mudah terkena bujuk rayu mulut pria, dan cintanya hanya berdasarkan ketampanan wajah dan kebaikan sikap belaka, padahal sangat boleh jadi bahwa semua itu palsu. Dahulu sudah kunasihati Keng-ji agar berhati-hati. Kuberi tahu bahwa seorang calon suami yang baik adalah seorang laki-laki yang dapat menjaga kehormatan sang kekasih, yang memperlakukan kekasihnya itu dengan penuh pengharapan dan penghormatan sebagai seorang calon suami yang ingin melihat calon isterinya itu dalam keadaan murni. Kalau ada seorang laki-laki yang membujuk pacarnya untuk melakukan perjinaan, maka jelas bahwa cintanya itu hanya cinta berahi belaka, dan dia tidak menghargai calon isterinya, tidak menghormatinya, tega menyeret calon isteri dan calon ibu anak-anaknya ke dalam lumpur perjinaan yang akibatnya selalu ditanggung oleh si wanita sebagai aib! Namun... betapa banyak gadis yang membutakan mata akan hal ini, setelah terlanjur dan terlambat, baru menyesal, penyesalan yang tidak ada gunanya sama sekali!” Melihat isterinya bicara secara bersemangat itu, Keng Hong lalu merangkulnya dan mengajaknya masuk ke dalam. Dia tahu betapa menderita batin isterinya memikirkan kedua orang anak mereka. “Memang kita harus tenang, Isteriku. Urusan Giok Keng sudah bebas dari bahaya, hanya tinggal Bun Houw. Kita harus mencari jalan yang sebaiknya untuk menolong anak kita itu.” Pada saat itu, Kwee Kin Ta datang menghadap Suhu (Guru) dan Subonya (Ibu Gurunya), melaporkan bahwa ada utusan dari kota raja ingin bertemu dengan suhunya. “Dari kota raja?” Keng Hong berseru dengan kaget. “Mereka dipimpin oleh Tio-ciangkun.” “Aih, tentu dari The-taiciangkun (Panglima Besar The)!” Keng Hong dan isterinya bergegas keluar dan cepat mereka menyambut dengan hormat dan gembira ketika melihat bahwa yang datang adalah Tio Hok Gwan, pengawal The Hoo yang telah lama menjadi sahabat mereka, seorang kakek pengantuk tinggi kurus yang terkenal dengan julukan Ban-kin-kwi (Iblis Bertenaga Selaksa Kati), bersama dua orang pengawal lain yang menjadi pembantu-pembantu tetapnya, yaitu Kui Siang Han dan Song Kin. “Ahh, kiranya Tio-toako yang datang berkunjung! Selamat datang! Selamat datang!” Tio Hok Gwan memberi hormat diikuti oleh Keng Hong dan isterinya. “Mudah-mudahan saja keadaan Tai-hiap dan Li-hiap selama ini baik-baik saia,” katanya. Suami isteri itu merasa tertusuk batinnya, akan tetapi sambil menekan batin mereka tersenyum dan mempersilakan tiga orang tamunya duduk di ruangan dalam dan para pelayan dan anak murid Cin-ling-pai segera mengeluarkan suguhan minuman sekadarnya. “Kunjungan kami ini memenuhi perintah The-taijin untuk menyerahkan surat beliau kepada Tai-hiap. Silakan Tai-hiap membacanya dan baru kita dapat mengadakan perundingan.” Tio Hok Gwan berkata sambil menyerahkan sesampul surat dengan sikap hormat. Karena surat itu mewakili Pembesar The Hoo, maka Keng Hong berlutut dan menerimanya dari tangan perwira pengawal itu. Kemudian dia duduk lagi dan membuka sampul surat dan membaca isi surat yang singkat itu. “Ke Tibet...?” Serunya dengan suara terkejut dan juga girang. Mendengar seruan ini, serentak Biauw Eng merampas surat dari tangan suaminya dan membacanya. Kiranya di dalam surat itu, Panglima The Hoo minta bantuan Keng Hong agar menemani Tio Hok Gwan yang dikuasai untuk menghubungi pemerintah di Tibet. “Sungguh kebetulan!” Biauw Eng juga berseru setelah membaca surat itu. “Kami berdua pun merencanakan hendak pergi ke sana!” “Ahhh! Begitukah? Agaknya ada urusan penting sekali maka Ji-wi hendak pergi ke barat.” Tio Hok Gwan berkata dengan heran juga karena keperluan apakah yang memaksa suami isteri itu akan pergi ke tempat asing dah penuh rahasia itu? Suami isteri itu saling pandang dan keduanya mufakat untuk menceritakan urusan mereka kepada Tio Hok Gwan, dan mereka pun percaya kepada dua orang perwira pengawal yang menjadi pembantu Ban-kin-kwi itu. “Di antara sahabat baik tidak ada rahasia,” kata Keng Hong, “karena yakin bahwa Sam-wi tidak akan membocorkan urusan kami ini. Sesungguhnya, baru sepekan yang lalu, putera kami Cia Bun Houw yang baru berusia lima tahun telah diculik dan dibawa pergi oleh dua orang Lama Jubah Merah ke Tibet!” Kini tiga orang pengawal itulah yang terkejut sekali. “Lama Jubah Merah? Sungguh aneh! Satu di antara tugas kita di Tibet nanti juga berkenaan dengan perkumpulan Agama Lama Jubah Merah itulah!” Cia Keng Hong dan isterinya menjadi terheran-heran dan ingin sekali mendengar penuturan Tio Hok Gwan. “Harap Tio-toako cepat menceritakan apa gerangan yang akan menjadi tugas kita di Tibet.” Tio Hok Gwan lalu bercerita. Kiranya Pemerintah Kerajaan Beng ingin berbaik dengan para negara tetangga yang terdekat, dan satu di antaranya tentu saja adalah Kerajaan Tibet yang sesunguhnya dikuasai oleh para Lama, sedangkan rajanya hanya boneka belaka. Untuk mempererat hubungan baik, Kaisar mengajukan lamaran kepada seorang puteri Kerajaan Tibet untuk menjadi isteri seorang pangeran putera Kaisar. Di samping urusan keluarga ini yang akan disampaikan oleh Tio Hok Gwan sambil membawa surat dan hadiah ke Tibet, juga urusan yang lebih penting lagi, yaitu Pemerintah Tibet diam-diam telah minta bantuan Pemerintah Beng, karena mendengar akan gerak-gerik perkumpulan Agama Jubah Merah yang makin kuat dan yang menurut penyelidikan mereka kini mulai mengadakan hubungan dengan perkumpulan Pek-lian-kauw. Mereka merencanakan persekutuan, untuk merobohkan dan merampas kekuasaan di Tibet yang kalau berhasil kelak akan dipegang oleh para Lama Jubah Merah, dan sebagai imbalannya,Tibet akan mengerahkan pasukan membantu Pek-lian-kauw memberontak terhadap Kerajaan Beng. “Sebetulnya, urusan pemberontakan inilah yang lebih penting,” Tio Hok Gwan menutup ceritanya. “Akan tetapi, mengapa mengutus Toako dan dibantu oleh kami berdua? Mengapa The-taijin tidak mengirim pasukan saja yang kuat untuk menundukkan para calon pemberontak itu?” “Tidak semudah itu, Taihiap. The-taijin ingin menjaga hubungan baik antara rakyat Tibet dengan kita. Rakyat Tibet amat peka terhadap penyerbuan tentara asing dan kalau sampai kita mengirim pasukan ke sana, biarpun pasukan itu akan membantu Pemerintah Tibet yang sah untuk menumpas gerombolan pemberontak, namun dapat menyinggung hati dan kehormatan rakyat di sana. Karena itu, penumpasan para pemberontak Lama Jubah Merah itu diserahkan kepada Pemerintah Tibet sendiri yang cukup kuat. Hanya atas permintaan Kerajaan Tibet, The-taijin mengirim bantuan tenaga yang sekiranya memiliki cukup kelihaian untuk menghadapi para Lama Jubah Merah yang kabarnya banyak yang lihai itu.” “Memang mereka lihai, terutama dua orang yang datang menculik puteraku!” kata Biauw Eng. “Namanya adalah Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama!” “Hemmm...” Tio Hok Gwan mengangguk-angguk. “Kalau tidak salah mereka adalah tokoh-tokoh besar, pembantu-pembantu ketuanya yang namanya Sin Beng Lama. Menurut cerita Ji-wi tadi, mereka menculik putera Ji-wi sebagai sandera untuk ditukar dengan Yap Kun Liong?” “Benar demikianlah, dan kami pun belum tahu apakah yang terjadi antara mereka dengan Kun Liong. Karena itu, sebaiknya kalau Kun Liong dapat membantu dalam tugas kita ini, selain dia dapat menyelamatkan anak kami juga kepandaian anak itu sudah cukup tinggi untuk memperkuat tenaga kita menghadapi para Lama Jubah Merah.” “Sebaiknya demikian, Taihiap. Akan tetapi di manakah adanya Yap-sicu?” “Justeru ini yang membingungkan kami karena sampai sekarang dia belum juga muncul. Akan tetapi mudah-mudahan saja tidak lama lagi dia datang ke sini,” kata Keng Hong. “Biarlah kami akan membantu dengan menyebar para penyelidik untuk mencari Yap-sicu, Taihiap.” “Bila kita berangkat ke Tibet?” “Menurut perintah The-taijin, jika Ji-wi setuju, sebulan lagi Ji-wi diharapkan datang ke kota raja dan kita berangkat bersama.” Setelah mengadakan perundingan semalam suntuk, pada keesokan harinya tiga orang tamu itu meninggalkan Cin-ling-san dan agak legalah hati Cia Keng Hong dan isterinya. Tentu saja mereka mengharapkan bantuan Kun Liong yang dikehendaki oleh para Lama Jubah Merah untuk menukar putera mereka. Akan tetapi dengan adanya peristiwa yang kebetulan itu, andaikata tidak dapat mengajak Kun Liong pun, mereka memperoleh bantuan yang besar, bukan hanya datang dari tiga orang pengawal Panglima The Hoo, melainkan terutama sekali pasukan Pemerintah Tibet yang hendak membasmi Lama Jubah Merah yang hendak memberontak. Bermacam perasaan mengaduk hati Kun Liong ketika dia berpisah dari Yo Bi Kiok dan adik kandungnya, Yap In Hong. Tentu saja dia merasa berduka dan kecewa, bahwa adiknya, satu-satunya keluarganya di dunia ini, menolak untuk pergi bersamanya. Akan tetapi di samping rasa kecewa dan duka ini, terdapat juga rasa lega dan girang karena hatinya boleh merasa tenteram mengingat bahwa adik kandungnya ternyata masih hidup dan aman berada di dalam perlindungan Yo Bi Kiok yang telah menjadi seorang wanita sakti karena mewarisi pusaka yang seharusnya tersimpan di dalam bokor emas. Dalam perlindungan Bi Kiok, adiknya tentu akan aman sentausa dan bahkan memperoleh pendidikan ilmu yang tinggi. Juga, andaikata adiknya itu memilih dia dan ikut bersamanya, tentu dia tidak akan dapat leluasa mencari Hong Ing! Andaikata demikian, agaknya dia pun akan terpaksa menitipkan In Hong kepada orang lain, tentu saja paling tepat menitipkannya ke Cin-ling-san, karena dia tidak mau membawa adik kandungnya yang masih kecil itu ke Tibet dan menempuh perjalanan yang penuh bahaya. Di sepanjang perjalanan ke barat, yang terbayang di depan matanya hanyalah wajah Hong Ing dan adik kandungnya itu. Hanya dua orang itulah yang kini menjadi tangkai hidupnya, yang memberi dorongan semangat kepadanya. “Hong Ing... semoga Tuhan melindungimu...” Dia menghela napas teringat akan kekasihnya itu dan dia mempercepat langkahnya. Kini baru terasa olehnya betapa mendalam cinta kasihnya terhadap dara itu. Kini baru terbayang seluruh pengalamannya di waktu dahulu, ketika dia memandang rendah cinta kasih, ketika dia bersikap sebagai seorang pemuda ugal-ugalan yang mempermainkan cinta kasih wanita terhadap dirinya. Teringat akan itu semua, dia merasa berduka. Terutama sekali mengingat akan dua orang wanita, yaitu Hwi Sian dan Bi Kiok. Mengingat Hwi Sian, terbayang hubungannya dengan gadis itu, perjinaan mereka di dalam kuil tua, dia merasa malu dan menyesal bukan main. Baru terasa olehnya betapa besar pengorbanan Hwi Sian, betapa dara itu telah menjadi korban cinta yang tidak dibalasnya. Betapa ganas dan kejinya dia, mau saja menerima tubuh dan kehormatan dara itu tanpa cinta kasih di hatinya! Betapa rendahnya dia, betapa kotor dan keji! “Hwi Sian... kaumaafkanlah aku...” Berkali-kali dia berbisik di dalam hatinya setiap kali dia teringat akan itu semua. Dan Bi Kiok, gadis yang berwajah dingin itu pun cinta padanya. Sukar mengukur isi hati Bi Kiok, namun dia merasa bahwa cinta gadis itu tentu mendalam dan berbahaya. Bahkan Bi Kiok sudah mengeluarkan ancaman akan membunuh setiap orang wanita yang mencintanya, yang dipilihnya! Timbul kekhawatirannya apakah kelak hidupnya tidak akan selalu menghadapi kesulitan dari gadis bersikap dingin ini. Kemudian Pek Hong Ing! Wajahnya berseri-seri dan matanya bersinar-sinar setiap kali dia teringat kepada Hong Ing, akan tetapi segera menyuram kalau dia teringat akan kebodohannya sendiri. Betapa dia sudah banyak merongrong hati dara yang halus budi itu. Terbayanglah kembali semua pengalamannya bersama Hong Ing semenjak pertemuannya dengan “nikouw” itu sampai perpisahan mereka di pulau kosong. Betapa sekarang tampak jelas olehnya cinta kasih dara itu terhadap dirinya yang tiada taranya! Dan dia, si tolol, si canggung dan dungu, selalu menyakiti hati dara itu dengan ketololannya dengan perantaraan kata-katanya, sikapnya! Bahkan dalam saat terakhir sebelum mereka berpisah, dia sudah menikam ulu hati kekasihnya itu dengan ujung pedang beracun yang amat menyakitkan, yang berupa kata-kata setolol-tololnya! Ingin dia menampar kepalanya sendiri, kepala yang kini sudah berambut panjang, hitam dan lebat itu, kalau dia teringat akan semua itu. Bagaimanakah nasib Hong Ing? Dia tidak dapat mengira-ngira karena dia tidak tahu betul apakah dua orang pendeta Lama itu bermaksud buruk terhadap kekasihnya ataukah tidak. Betapapun juga, kalau dua orang pendeta itu mempunyai niat buruk, keselamatan kekasihnya terancam bahaya hebat. Dua orang pendeta Lama itu amat lihai. Akan tetapi, kalau benar mereka itu adalah para susiok Hong Ing, tentu tidak akan terjadi sesuatu atas diri kekasihnya itu. Apa pun yang akan terjadi, dia harus menemukan gadis itu dan melihat dengan mata sendiri bahwa Hong Ing berada dalam keadaan selamat. Hatinya agak lega kalau dia mengingat bahwa besar kemungkinan dua orang pendeta itu tidak ingin mengganggu Hong Ing, karena kalau berniat buruk, mengapa susah payah mengajak dara itu pergi? Siapa yang akan dapat mencegah mereka kalau mereka itu berniat buruk terhadap Hong Ing, ketika mereka tiba di pulau kosong dahulu itu dan setelah dia sendiri dirobohkan oleh mereka? Tidak, mereka pasti tidak akan berbuat buruk terhadap Hong Ing. Kelegaan hatinya ini hanya sebentar saja membuat wajahnya berseri karena kembali dia teringat kepada Hwi Sian! Dia akan melewati Secuan, apa salahnya kalau dia singgah di tempat tinggal Hwi Sian? Kabarnya gadis itu bersama dua orang suhengnya tinggal bersama guru mereka, Pendekar Gak Liong yang terkenal sekali di Secuan. Mengapa tidak? Kalau belum bertemu dengan Hwi Sian dan melihat keadaan gadis itu baik-baik saja dan mendengar sendiri dari mulut gadis itu bahwa kesalahannya telah diampuni, tentu Hwi Sian akan merupakan pengganggu ketenangan hatinya di masa depan. Karena kini merasa yakin bahwa Hong Ing pasti tidak akan dicelakakan oleh para pendeta Lama yang lihai itu, Kun Liong mengambil keputusan untuk mencari Hwi Sian di Secuan, karena perjalanannya memang melewati tempat itu jadi bukan berarti pembuangan waktu yang terlalu banyak. Memang benar seperti dugaannya, tidaklah sukar mencari tempat tinggal Gak Liong di Secuan karena hampir semua orang mengenal, siapakah Gak-taihiap (Pendekar Besar Gak) yang telah banyak berjasa di Secuan, sejak dia membantu paman gurunya, yaitu Panglima The Hoo untuk membasmi para pemberontak dan para penjahat sehingga daerah itu menjadi aman dan penghuninya hidup makmur. Dia memperoleh keterangan bahwa Gak-taihiap tinggal di tepi sungai yang menjadi anak sungai Yang-ce-kiang di luar kota Mian-ning. Ternyata tempat itu sunyi sekali dan memang Gak Liong sekarang setelah tua tidak mencampuri lagi urusan dunia ramai sehingga setiap urusan selalu diselesaikan oleh tiga orang muridnya, bahkan jarang sekali pendekar tua ini menemui tamu. Tempat tinggalnya di tepi sungai itu hanya merupakan sebuah bangunan kayu yang sederhana namun suasananya di situ hening dan menyenangkan. Setelah memperoleh keterangan jelas, pagi hari itu berangkatlah Kun Liong ke tempat yang ditunjukkan orang dan menjelang tengah hari tibalah dia di tepi sungai dan sudah tampaklah bangunan tempat tinggal Gak Liong itu. Tempat yang amat sunyi namun menyenangkan karena selalu terdengar bunyi percik air sungai dan kicau burung di pohon-pohon sepanjang sungai. Berdebar juga hati Kun Liong kalau membayangkan betapa dia akan bertemu dengan Hwi Sian yang tinggal di rumah itu. Sudahkah gadis itu menikah dengan suhengnya, Tan Swi Bu? Apakah bersama suheng yang kini menjadi suaminya itu tetap tinggal di situ? Ataukah sudah pindah? Dia hanya ingin melihat Hwi Sian sekali lagi, melihat betapa keadannya selamat dan baik-baik saja, dan melihat sinar mata yang telah memaafkannya. Barulah hatinya akan lega dan dia akan dapat melanjutkan perjalanannya ke Tibet mencari Hong Ing dengan hati tenang. Akan tetapi sunyi sekali di luar pondok itu. Kun Liong yang berada di seberang sungai melihat sebuah jembatan kecil yang terbuat daripada bambu di sambung-sambung. Tidak semua orang akan berani melewati jembatan macam itu, karena sekali terpeleset, akan terjungkal ke dalam sungai yang permukaannya amat dalam, merupakan tebing yang curam dan banyak batu-batu yang runcing tajam mengerikan. Kun Liong tidak ragu-ragu lagi, segera melintasi jembatan penyeberangan itu dengan langkah ringan tanpa berpegang kepada bambu melintang di atas jembatan itu. Begitu dia tiba di seberang, di depan rumah yang menghadap ke tebing sungai itu, tiba-tiba muncul sesosok bayangan dari belakang sebatang pohon dan sinar pedang yang menyilaukan menyambar ke arah lehernya! “Singggg... ehhhh...!” Kun Liong cepat mengelak dan meloncat ke belakang, memandang kepada penyerangnya yang memegang sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya. Orang itu adalah seorang laki-laki yang usianya sudah mendekati lima puluh tahun, sikapnya gagah, tubuhnya tinggi kurus dan sepasang matanya bersinar tajam. “Iblis dari Pek-lian-kauw, sudah lama aku menanti kedatanganmu! Suruh Tok-jiauw Lo-mo keluar, tidak usah dengan Suhu, cukup dengan aku...” “Heiii, bukankah Toako adalah Poa Su It, Twa-suheng dari Hwi Sian?” Tiba-tiba Kun Liong memotong kata-kata penuh tantangan dari orang itu. Orang itu memandang terbelalak, akan tetapi karena dia tidak mengenal Kun Liong, dia menjawab dengan kaku, “Benar! Aku Poa Su It, mewakili Suhu untuk menghadapi manusia-manusia jahat macam...” “Nanti dulu, Poa-toako! Aku sama sekali bukan iblis Pek-lian-kauw, apalagi teman Tok-jiauw Lo-mo!” Orang itu menarik kembali pedangnya yang sudah bergerak hendak menusuk Kun Liong, melangkah mundur tiga kali dan memandang penuh perhatian, matanya masih menyorotkan keraguan dan kecurigaan. Melihat sikap Kun Liong bukan seperti seorang musuh, dia menjadi heran lalu bertanya, “Siapakah engkau...?” Kun Liong mengelus rambut di atas telinga kanannya, tersenyum. “Poa-toako, beberapa tahun yang lalu, kepalaku gundul dan aku pernah bertemu dengan Toa-ko, sutemu Han Swi Bu dan sumoimu Liem Hwi Sian. Aku Yap Kun Liong.” “Aihhh...!” Poa Su It teringat dan menghela napas panjang sambil menyarungkan pedangnya, lalu menjura, “Maafkan aku, Yap-enghiong (Orang Gagah she Yap)! Biarpun baru satu kali bertemu, aku sudah banyak mendengar tentang engkau dari kedua adik seperguruanku.” “Tidak mengapa, Toako. Karena lupa, maka Toako menyangka aku musuh. Akan tetapi, mengapakah di tempat yang damai dan aman ini Toako agaknya menanti datangnya musuh?” Orang tinggi kurus itu kembali menarik napas panjang, “Mari kita masuk ke dalam, Yap-enghiong, dan akan kuceritakan apa yang telah terjadi.” Karena memang dia hendak mencari Hwi Sian, Kun Liong mengangguk dan mengikuti twa-suheng (kakak seperguruan pertama) dari Hwi Sian itu memasuki pondok yang kelihatan amat sunyi itu. Setelah mempersilakan Kun Liong duduk, Poa Su It lalu bercerita, “Memang tidak keliru dugaanmu tadi, Yap-enghiong. Aku menyangka engkau adalah seorang di antara musuh-musuh yang sudah mengancam akan menyerbu tempat ini. Beberapa hari yang lalu, selagi Suhu bersamadhi seperti biasa, lapat-lapat aku mendengar suara orang yang diteriakkan dari jauh mempergunakan tenaga khi-kang sehingga terdengar jelas dari tempat ini. Suara itu mengaku suara Tok-jiauw Lo-mo yang mengancam Suhu, akan datang membunuh Suhu dalam beberapa hari ini. Nah, ketika engkau muncul, tentu saja aku mengira bahwa engkau adalah musuh itu.” “Dan bagaimana keputusan Gak-locianpwe tentang ancaman itu?” Poa Su It menghela napas panjang, “Suhu tenang-tenang saja bahkan menjawab dengan sabar, mempersilakan musuh itu datang. Suhu hanya berpesan kepadaku agar aku menjaga datangnya musuh dan melaporkan kepada Suhu kalau musuh itu datang. Tentu saja aku tidak bisa bersabar seperti Suhu menghadapi musuh yang mengancam nyawa Suhu.” “Hemmm, Tok-jiauw Lo-mo memang bukan orang baik-baik,” kata Kun Liong. “Yap-enghiong pernah bertemu dengan dia?” Kun Liong mengangguk dan berkata lagi, “Kalau dia datang bersama kawan-kawannya, tentu berniat buruk sekali. Oleh karena itu, setelah mendengar ini, aku akan membantumu, Poa-toako. Aku akan ikut menanti mereka dan membantumu menghadapi mereka.” Wajah Poa Su It yang tadinya muram itu kini berseri dan dia memegang lengan Kun Liong. “Aku memang amat mengharapkan bantuanmu! Yap-enghiong! Terima kasih!” Kun Liong menoleh ke kanan kiri karena merasa heran mengapa pondok itu demikian sunyi, dan mengapa pula Tan Swi Bu, terutama Liem Hwi Sian, tidak muncul. “Kenapa Toako berjaga seorang diri? Di manakah Sute dan Sumoimu?” “Suami istri itu pergi ke barat mewakili Suhu yang sekarang sudah tidak suka lagi mencampuri urusan dunia. Dahulu Suhu terkenal sekali di Secuan ketika Suhu masih membantu Susiok-kong (Paman Kakek Guru) Panglima The Hoo membasmi para pemberontak dan penjahat di daerah Secuan ini. Akan tetapi sekarang Suhu sudah mengundurkan diri, maka ketika datang perintah dari Susiok-kong yang minta bantuannya menyelidiki ke barat, Suhu mewakilkan tugas itu kepada Sute dan Sumoi” Lega rasa hati Kun Liong. Inilah yang ingin didengarnya, jadi ternyata Hwi Sian telah menikah dengan ji-suhengnya (kakak seperguruan ke dua), Tan Swi Bu seperti yang dia dengar dari Hwi Sian dahulu. Bagus, kalau demikian keadaan Hwi Sian baik-baik saja dan dia yakin bahwa gadis yang pernah menyerahkan tubuhnya kepadanya itu tentu telah memaafkannya. Sayangnya dia tidak dapat bertemu sendiri dan melihat sinar pengampunan itu dari mata gadis itu sendiri. “Kalau boleh aku bertanya, tugas penyelidikan apakah itu, Toako?” “Menyelidiki ke Tibet.” Jawaban ini mengejutkan hati Kun Liong karena dia sendiri pun akan ke Tibet. “Ada terjadi apakah di Tibet?” “Panglima The menugaskan Suhu untuk menyelidiki perkumpulan Agama Lama Jubah Merah yang kabarnya mengadakan persekutuan dengan Pek-lian-kauw dan kedua perkumpulan ini merencanakan pemberontakan kepada Kerajaan Tibet dan juga Kerajaan Beng.” Kun Liong mengangguk-angguk dan berpikir keras. Mengapa ada hal begini kebetulan? Kalau terjadi huru-hara di Tibet, dia makin mengkhawatirkan keselamatan Hong Ing. Apakah sangkut-pautnya penculikan atas diri Hong Ing dengan pemberontakan ini? “Memang Tok-jiauw Lo-mo seorang tokoh sesat yang berbahaya. Aku ingin sekali dapat berhadapan dengan dia, karena dahulu pernah aku ditangkap oleh kakek itu bersama teman-temannya.” Poa Su It menghela napas. “Itulah yang menggelisahkan hatiku, Yap-enghiong. Suhu berpesan bahwa kalau Tok-jiauw Lo-mo datang, beliau sendiri yang hendak menghadapinya karena di antara mereka terdapat urusan pribadi, demikian kata Suhu.” “Urusan pribadi?” “Ya, dan aku sendiri tidak tahu urusan apakah itu. Kata Suhu, aku hanya boleh menghadapi kaki tangan kakek itu kalau memang ada, sedangkan kakek itu sendiri akan dihadapi Suhu, padahal Suhu sudah tua dan kesehatannya kurang baik, aku khawatir sekali.” “Hemm, seorang gagah perkasa seperti suhumu itu, tidak perlu dikhawatirkan karena apa pun yang dilakukannya, tentulah berdasarkan kegagahan dan beralasan. Dan agaknya kakek iblis itu tidak akan datang sendiri. Orang seperti dia itu, apalagi menghadapi lawan berat seperti suhumu, tentu tidak akan datang sendiri dan hendak mengandalkan jumlah banyak untuk memperoleh kemenangan. Maka kalau dia datang dengan banyak teman, berarti engkau sendiri sudah sibuk menghadapi kaki tangannya, Toako.” “Benar, dan sungguh untung bagiku engkau datang berkunjung, Yap-enghiong, karena dengan adanya bantuanmu di sini, hatiku menjadi lebih lega dan tenteram.” Mereka bercakap-cakap sambil berjaga-jaga dan makin larut hari, makin besar rasa kagum dan suka di hati Kun Liong terhadap murid tertua dari pendekar Secuan itu. Selain luas pengalamannya, juga laki-laki yang tidak pernah menikah selamanya ini memiliki dasar watak pendekar tulen. Karena itu, Kun Liong juga menjadi terbuka sikapnya, dan dia dengan terus terang menceritakan niat perjalanannya, yaitu menuju ke Tibet karena kekasihnya diculik oleh tiga orang Lama Jubah Merah. Mendengar ini, Poa Su It terkejut sekali. “Kalau tidak salah dugaanku, tiga orang Lama Jubah Merah yang kauceritakan itu adalah pucuk pimpinan dari perkumpulan Agama Lama Jubah Merah itu! Sungguh berbahaya sekali! Aku mendengar bahwa ilmu kepandaian mereka bertiga itu seperti iblis, amat sakti. Karena itu, Suhu juga memberi peringatan kepada Sute dan Sumoi yang menyelidik ke sana agar berhati-hati dan menghindarkan bentrokan, menyamar sebagai penduduk biasa, yang hendak bersembahyang dan minta berkah.” Hari berganti malam dan yang mereka tunggu-tunggu pun datanglah! Mula-mula terdengar teriakan dari jauh sekali, teriakan yang dibawa angin dan yang datang karena pengerahan khi-kang yang cukup kuat, “Tua bangka she Gak! Aku datang memenuhi janji!” Mendengar suara ini, Poa Su It dan Kun Liong meloncat bangun dan cepat lari keluar pondok, menanti dengan hati tegang di depan pondok. Sejak tadi Poa Su It memang sudah siap dan menggantung lampu-1ampu sehingga di depan pondok pun cukup terang. Sebatang pedang tergantung di pinggang murid tertua dari Gak Liong ini. Bagaikan segerombolan setan, muncullah bayangan-bayangan dari dalam gelap, makin dekat makin teranglah bayangan itu, tersorot sinar lampu yang bergantungan di depan pondok. Di depan sendiri tampak Tok-jiauw Lo-mo yang sudah dikenal oleh Kun Liong. Biarpun kakek ini sudah lebih tua, namun tidak berbeda dengan dahulu. Tinggi kurus, kepala botak dan bentuknya seperti kura-kura, membawa sebatang tongkat pendek yang ujungnya berbentuk cakar setan, punggungnya agak melengkung dan matanya dari muka yang menunduk karena bongkoknya itu selalu melirik dari bawah, amat tajam. Mata itu memandang bergantian kepada Poa Su It dan Kun Liong, tidak pedulian, dan melirik ke kanan kiri mencari-cari. Memang sukarlah mengenal kembali Kun Liong yang dulu gundul kelimis itu dan yang sekarang memiliki rambut yang aneh, pendek tidak panjang pun belum. Terkejut dan ngeri juga hati Poa Su It melihat kakek ini, akan tetapi sama sekali hati pendekar ini tidak merasa takut. Dia memandang lagi dengan penuh perhatian kepada orang-orang lain yang ikut datang bersama kakek itu. Ada sepuluh orang banyaknya dan melihat pakaian mereka seperti pendeta berwama kuning dengan lukisan teratai putih di bagian dada, Poa Su It tidak merasa heran dan mengertilah dia bahwa mereka adalah orang-orang Pek-lian-kauw. Pendekar yang sudah banyak pengalaman ini lalu menarik kesimpulan bahwa kedatangan Tok-jiauw Lo-mo (Iblis Tua Cakar Beracun) ini bukanlah semata-mata karena dia adalah musuh gurunya, melainkan tentu ada hubungannya dengan persekutuan Pek-lian-kauw dengan Lama Jubah Merah, dan ada hubungannya pula dengan perintah susiok-kongnya, Panglima The Hoo. Tentu Pek-lian-kauw dan kakek ini maklum bahwa gurunya adalah murid keponakan The Hoo dan seorang pembantu yang aktip dari panglima itu. Agaknya gurunya yang tinggal di Secuan akan merupakan penghalang bagi kelancaran persekutuan antara Pek-lian-kauw dan Lama Jubah Merah, maka mereka memusuhi gurunya. Dugaan Poa Su It ini memang tepat. Antara Tok-jiauw Lo-mo dan Gak Liong memang terdapat permusuhan pribadi yang dimulai di waktu mereka, masih muda dahulu. Tok-jiauw Lo-mo di waktu mudanya adalah penculik gadis-gadis muda yang kemudian dijualnya di sarang-sarang pelacuran di kota-kota besar. Pada suatu hari, ketika dia menculik seorang gadis, muncullah pendekar Gak Liong yang menghajarnya sampai setengah mati. Gadis itu kemudian menjadi isteri Gak Liong, akan tetapi beberapa bulan kemudian, selagi Gak Liong tidak berada di rumah, Tok-jiauw Lo-mo datang dan membunuh wanita itu! Gak Liong menjadi marah dan sakit hati, mencarinya dan kembali menghajar Tok-jiauw Lo-mo sampai menjadi cacad, kepalanya botak tak berambut, punggungnya membungkuk, akan tetapi dia berhasil melarikan diri. Demikianlah, antara kedua orang ini timbul permusuhan dan entah sudah berapa belas kali mereka bentrok dan bertanding, akan tetapi selalu pihak Tok-jiauw Lo-mo yang kalah dan selalu dapat melarikan diri. Tok-jiauw Lo-mo terus menggembleng dirinya dan demikian pula Gak Liong. Setelah menjadi murid keponakan The Hoo, Gak Liong menghentikan permusuhan itu dan mengundurkan diri, akan tetapi tentu saja selalu siap menghadapi kalau Tok-jiauw Lo-mo mencarinya. Ketika Pek-lian-kauw mengadakan hubungan dengan Lama Jubah Merah, Tok-jiauw Lo-mo telah menggabungkan diri dengan Pek-lian-kauw. Maka, mendengar bahwa demi kelancaran persekutuan dengan Lama Jubah Merah pendekar Secuan harus dienyahkan dulu, apalagi mengingat bahwa pendekar itu adalah pembantu The Hoo, serta merta Tok-jiauw Lo-mo mengajukan dirinya sebagai petugas yang akan membasmi pendekar Secuan. Tentu saja sekali ini dia tidak mau gagal dan minta dibantu oleh sepuluh orang tokoh Pek-lian-kauw yang cukup tinggi kepandaiannya. “Manusia she Gak, kenapa kau sembunyi saja? Keluarlah menerima kematian!” Tok-jiauw Lo-mo berseru dengan lagak sombong. Sekali ini dia yakin akan dapat mengenyahkan musuh besar itu karena dia dibantu oleh sepuluh orang Pek-lian-kauw yang tangguh. Poa Su It hendak melangkah maju, akan tetapi dia didahului oleh Kun Liong yang sudah meloncat ke depan kakek itu sambil berkata, “Tok-jiauw Lo-mo, sejak dahulu kau selalu membikin kacau dan melakukan kejahatan saja!” Melihat seorang pemuda remaja bersikap kurang ajar dan berani menegurnya, kakek itu menjadi marah sekali. “Kau mampuslah!” Tongkatnya menyambar dan cakar setan yang mengandung racun amat berbahaya itu menyambar ke arah muka Kun Liong. Memang kakek itu tidak main-main dan bukan hanya menggertak sambal belaka. Sikap dan teguran Kun Liong itu baginya sudah menjadi alasan cukup untuk membunuh pemuda ini! “Plak! Plak!” “Uughhhh...!” Tubuh kakek itu terhuyung ke belakang dan dengan mata terbelalak dia memandang pemuda yang berdiri dengan tersenyum itu. Hampir dia tak dapat mempercayai kalau tidak mengalaminya sendiri. Pemuda yang masih remaja itu bukan saja berani menangkis tongkatnya yang ampuh itu, bahkan menangkis dua kali dan membuat dia terhuyung-huyung karena tongkatnya itu membalik bertemu dengan tenaga yang amat dahsyat! “Kau... kau siapakah?” bentaknya, mukanya berubah karena dia maklum bahwa pemuda ini adalah seorang yang memiliki kesaktian hebat. “Hemm, Tok-jiauw Lo-mo! Pernah kau bersama Marcus dan pasukan pemerintah yang kaubohongi menangkap aku untuk memperebutkan bokor pusaka!” Kakek itu melongo, masih tidak mengenal Kun Liong. “Ketika itu kepalaku tidak berambut...” “Ahaiiii! Kau Si Gundul keparat itu!” Kakek itu makin kaget dan kembali tongkatnya sudah diangkat. “Tahan...!” Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di situ telah muncul seorang kakek lain yang berpakaian sederhana seperti petani, tubuhnya kurus dan wajahnya agak pucat, namun sikapnya gagah dan berdiri tegak. “Suhu...!” Poa Su It berkata. “Biarlah teecu dan Yap-enghiong yang menghadapi penjahat-penjahat ini! Silakan Suhu beristirahat!” Gak Liong, kakek itu, menoleh kepada muridnya. “Su It, kau mundurlah.” Kemudian dia menghadapi Yap Kun Liong sambil berkata, “Yap-sicu, namamu sudah banyak kudengar, terutama dari tiga muridku. Terima kasih atas bantuanmu, akan tetapi, untuk menghadapi Tok-jiauw Lo-mo ini, terpaksa harus aku sendiri yang menghadapinya. Antara dia dan aku terdapat urusan lama, urusan pribadi yang tidak boleh dicampuri orang lain.” Kun Liong membungkuk dan berkata hormat, “Saya mengerti, Locianpwe. Dan saya tidak akan berani lancang mencampuri, hanya akan membantu Poa-toako kalau iblis tua ini berlaku curang dan mengerahkan kaki tangannya mengeroyok.” “Heh-heh-heh, Gak Liong! Engkau sudah berpenyakitan mau mampus masih berlagak sombong.” “Lo-mo, kita sama-sama tua dan marilah kila selesaikan urusan lama tanpa membawa-bawa yang muda. Kalau para anggauta Pek-lian-kauw di belakangmu itu mencampuri urusan kita, terpaksa aku membiarkan Yap-sicu dan muridku untuk turun tangan pula.” “Heh-heh-heh, siapa yang mau curang? Aku akan menghadapi sendiri, satu lawan satu sampai seorang di antara kita mampus. Tentu aku percaya bahwa pendekar Secuan yang terkenal gagah itu tidak akan mengandalkan orang muda untuk mengeroyok aku orang tua!” Kata Tok-jiauw Lo-mo sambil melirik ke arah Kun Liong. Kakek ini memang cerdik. Begitu bentrok dengan Kun Liong dia maklum bahwa pemuda itu merupakan lawan yang paling berat, maka dia sengaja memancing dengan kata-kata ini. “Aku bersumpah tidak akan membiarkan siapa pun mencampuri urusan kita. Mari kita selesaikan sampai mati urusan pribadi kita sebelum usia tua merenggut nyawa kita.” “Bagus! Bersiaplah kau untuk mampus, Gak Liong!” Tok-jiauw Lo-mo berteriak dan dia sudah menyerang ke depan. “Tranggg! Trakkk!” Pendekar dari Secuan itu telah menggerakkan tongkatnya pula dan balas menyerang. Terjadilah pertandingan yang amat seru dan mati-matian. Kun Liong menonton dengan hati khawatir. Memang, pada dasarnya ilmu silat pendekar Secuan itu lebih kuat, namun Tok-jiauw Lo-mo mempunyai gerakan liar yang ganas dan mengandung banyak gerak tipu. Kalau saja pendekar Secuan itu tidak sedang dalam keadaan lemah karena penyakit, tentu dia lebih kuat. Akan tetapi kakek itu sudah lemah sehingga setiap tangkisan atau serangannya tidak dapat menggunakan tenaga sepenuhnya dan beberapa kali dia terhuyung-huyung, sungguhpun setiap serangannya membuat lawan terdesak hebat. Poa Su It yang sudah mencabut pedangnya dan berdiri di dekat Kun Liong, juga menonton dengan alis berkerut karena dia merasa gelisah sekali melihat gurunya yang sedang tidak sehat itu harus menghadapi seorang lawan sedemikian tangguhnya. Namun dia juga tidak berani mencampurinya dan hanya merasa mendongkol mengapa kaki tangan Tok-jiauw Lo-mo tidak segera bergerak sehingga dia mendapat kesempatan untuk mengamuk! Andaikata tadi Tok-jiauw Lo-mo tidak merasakan kelihaian Kun Liong, tentu dia sudah mengerahkan teman-temannya untuk mengeroyok. Akan tetapi melihat kelihaian pemuda itu, dia berlaku cerdik. Lebih baik dia tidak mengerahkan teman-temannya agar di pihak Gak Liong, pemuda lihai itu pun tidak dapat turun tangan mencampuri. Dia tahu bahwa Gak Liong amat lihai, akan tetapi melihat keadaan musuh besarnya ini sedang tidak sehat, dia merasa yakin akan dapat mengalahkannya. Dengan penuh semangat dia terus menerjang dan menggerakkan tongkat cakar setan itu secepatnya sambil mengerahkan tenaga seadanya pula. Namun Gak Liong bukanlah seorang yang hijau. Dia telah memiliki pengalaman puluhan tahun dan karena sering bertanding melawan musuh besrnya ini, dia sudah mengenal sifat ilmu silat lawan. Maka biarpun dia sedang lemah, dengan ilmu silatnya yang amat hebat, sealiran dengan kepandaian silat The Hoo, dia mulai mendesak lawannya. “Eeeaaaghhh...!” Tiba-tiba Tok-jiauw Lo-mo memekik panjang. Tongkatnya bergerak cepat dan tangan kirinya memukul dengan telapak tangan terbuka, itulah pukulan baru yang telah dilatihnya baru-baru ini, untuk dipakai sebagai bekal jika menghadapi musuh besar ini. Gak Liong agak terkejut, tidak mengira bahwa pukulan-pukulan tongkat cakar itu yang dilancarkan secara hebat kiranya hanya merupakan pancingan belaka, karena pukulan tangan kiri itu yang kini datang seperti kilat menyambar ke arah dada dan kepalanya. Cepat dia menjatuhkan diri ke kiri dan melihat lowongan baik, tongkatnya meluncur ke depan. “Plakk! Crokkkk... Aughhhh...!” Tubuh Tok-jiauw Lo-mo terjengkang, tongkat Gak Liong menancap di ulu hatinya, sedangkan pendekar Secuan itu sendiri terhuyung karena tadi pundaknya masih terkena pukulan tangan kiri Tok-jiauw Lo-mo, pukulan sin-kang yang mengandung racun seperti cakar setan di tongkatnya yang masih dipegangnya itu. Tubuh Tok-jiauw Lo-mo berkelojotan dan dari mulutnya terdengar kata-kata terputus-putus, “Aku... aku cinta padanya... kau telah merampasnya... maka kubunuh... dia... hanya kalungnya... yang menjadi penggantinya... ini... ini... kukembalikan kalungnya padamu.... Gak Liong...” Melihat seuntai kalung bermata batu kemala berbentuk hati, wajah Gak Liong membayangkan keharuan. Itulah kalung yang diberikannya kepada isterinya dan yang kemudian lenyap ketika isterinya terbunuh oleh Tok-jiauw Lo-mo. Kini kalung itu berada di tangan kiri Tok-jiauw Lo-mo yang diulurkan kepadanya. Keharuan membuat dia kurang waspada dan dia lalu membungkuk hendak menerima kalung itu dari tangan Tok-jiauw Lo-mo yang sudah sekarat. “Gak-locianpwe, awas...!” Kun Liong berteriak namun terlambat. Ketika Gak Liong mendekati Tok-jiauw Lo-mo dan hendak mengambil kalung dari tangan bekas musuh itu, tiba-tiba tongkat cakar setan menyambar. Dia mengelak namun kurang cepat dan pelipis kepalanya kena dicakar. Gak Liong mengeluh dan roboh terguling, kalung isterinya itu digenggamnya erat-erat. Terdengar Tok-jiauw Lo-mo tertawa-tawa kemudian berkelojotan dan tewas seketika bersama dengan tewasnya Gak Liong yang tidak dapat mengeluh lagi. “Suhu...!” Poa Su It berteriak, akan tetapi pada saat itu, sepuluh orang Pek-lian-kauw sudah bergerak dengan senjata mereka menyerbu. Poa Su It membalikkan tubuhnya dan mengamuk dengan pedangnya. Namun, orang-orang Pek-lian-kauw itu ternyata bukan orang-orang sembarangan dan sebentar saja Poa Su It sudah sibuk melayani pengeroyokan tiga orang Pek-lian-kauw. Kun Liong juga dikeroyok dan karena orang-orang Pek-lian-kauw itu pun tadi menyaksikan betapa pemuda ini berani menangkis tongkat Tok-jiauw Lo-mo dengan tangan kosong, mereka tahu bahwa pemuda ini lihai, maka tujuh orang Pek-lian-kauw mengepungnya. Namun, dengan tenang, Kun Liong menghadapi mereka, mengelak dan menangkis dengan amat mudahnya semua senjata yang menyambar ke arah tubuhnya. Semenjak dia masih kecil, dia sudah merasakan kejahatan kaum Pek-lian-kauw, bahkan di dalam kuil tua dia menyaksikan betapa seorang tokoh Pek-lian-kauw yang bernama Loan Khi Tosu telah membunuh-bunuhi petugas dan orang orang gagah, kemudian dia sendiri hampir menjadi korban dibunuh oleh tosu itu kalau saja mendiang ayahnya tidak muncul menyelamatkannya. Kemudian, di dalam pengalaman hidupnya selanjutnya, sering sekali dia bertemu dengan para tokoh Pek-lian-kauw yang palsu dan jahat. Tahulah dia sekarang bahwa Pek-lian-kauw adalah sebuah perkumpulan yang berkedok agama, yaitu suatu pecahan atau penyelewengan dari Agama Buddha bercampur Agama To, dan yang diam-diam hanya menjadi alat untuk menyalurkan nafsu keinginan para pimpinannya, terutama sekali dalam hal mengejar kedudukan dan kemuliaan dengan jalan memberontak. Demikianlah memang keadaan manusia pada umumnya. Semenjak kecil, kita dididik dan digembleng oleh tradisi dan kebudayaan, dibina oleh cara pendidikan yang sudah diakui dan dibenarkan oleh masyarakat, untuk bercita-cita, untuk mengejar sesuatu, untuk berambisi dan menujukan mata kita jauh ke depan untuk menjangkau dan meraih sesuatu yang kita kehendaki dan yang belum terdapat oleh kita. Hal ini sudah dibenarkan oleh kita sehingga setiap manusia, sejak kecil, bergulat dan berjuang untuk mencapai cita-cita masing-masing sehingga terjadilah saling dorong, saling jegal, saling berebut dan bersaing, karena cita-cita semua manusia pada hakekatnya tentu sama, yaitu untuk mencari kesenangan bagi diri pribadi. Cita-cita boleh diberi nama yang muluk-muluk, yang bersih-bersih, bahkan yang megah-megah, namun semua itu hanyalah kulit yang membungkus isi yang sama, yaitu : mengejar sesuatu yang menyenangkan diri sendiri, baik lahir maupun batin! Kalau kita mau membuka mata, jelas tampak dalam penghidupan sehari-hari betapa cita-cita atau keinginan mencapai sesuatu mendatangkan kepalsuan-kepalsuan, pertentangan dan kejahatan di dalam hubungan antara manusia. Sekelompok anak-anak pun, kalau melakukan suatu permainan di mana terdapat kemenangan, setiap orang anak memperebutkan kemenangan itu dan sudah pasti akan terjadi persaingan, perebutan yang segera diikuti dengan pertentangan dan pertengkaran. Mengapa demikian? Karena dengan adanya cita-cita yang dikejar, mata ditujukan kepada cita-cita itu dan cita-cita itulah yang penting lagi! Cita-cita itu saja yang dianggap akan mendatangkan nikmat, permainannya tidak terasa lagi, seluruh gairah didorong oleh pengejaran akan cita-cita dalam permainan itu, ialah kemenangan. Karena kita mementingkan cita-cita yang merupakan khayal karena belum ada, maka kita tidak mengacuhkan caranya, tidak memandang lagi kepada keadaan sebagaimana adanya. Kita memandang kepada masa depan, yaitu cita-cita, tidak pernah memperhatikan sekarang, saat ini. Maka terjadilah penyelewengan, terjadilah penggunaan cara-cara yang tidak sehat, semua demi mencapai cita-cita. Bahkan ada pendapat yang amat menyesatkan bahwa “cita-cita menghalalkan segala cara”. Betapa menyesatkan pendapat seperti itu. Kita lupa bahwa cara dan cita-cita tidak ada bedanya. Kalau caranya buruk, mana mungkin cita-cita atau tujuannya baik? Demikian pula dengan para pimpinan Pek-lian-kauw. Demi mengejar cita-cita mereka, cita-cita pribadi yang diselimuti dengan sebutan cita-cita rakyat, bangsa, dan lain sebagainya, terjadilah permainan-permainan kotor. Nama rakyat dicatut, nama negara, bangsa, agama, bahkan kadang-kadang nama Tuhan pun dipergunakan orang tanpa segan-segan lagi, semua demi mencapai cita-citanya. Tentu ada yang membantah bahwa cita-cita tidak selamanya buruk, banyak terdapat cita-cita yang baik. Baik maupun buruk tetap saja cita-cita, tetap saja keinginan yang disusul dengan pengejaran dan di dalam pengejarannya inilah terjadi penyelewengan dan kekerasan, dan terjadilah bentrokan dan pertentangan. Karena cita-cita menghidupkan dan membesarkan si “aku” dan penonjolan si “aku” dan si “kamu” tentu saja memperbesar pula bentrokan-bentrokan. Yang baik bagi aku belum tentu baik bagi kamu, dan demikian sebaliknya. Mengapa pula kita dibius oleh cita-cita dan keinginan memperoleh sesuatu yang belum ada? Mengapa kita menujukan mata kita jauh ke depan, ke masa depan yang abstrak? Mengapa kita tidak menghayati hidup di saat ini? Hidup di saat ini berarti menujukan seluruh perhatian kepada saat ini, saat demi saat tanpa diganggu oleh bayangan masa depan yang menyesatkan. Kalau kita melakukan segala sesuatu di saat ini dengan kasih di hati, apakah perlunya kita bercita-cita? Kalau kita memperhatikan setiap dari langkah-langkah hidup kita, segala akan tampak oleh kita, sebaliknya kalau mata kita ditujukan jauh ke depan, banyak bahayanya kaki kita yang akan tersandung. Apa perlunya kita memandang “sana” yang bukan lain hanyalah kelanjutan dari “sini”? Mengapa kita menginginkan yang “begitu” dan tidak menghayati yang “begini”? Yang “begitu” adalah khayal, sedangkan yang “begini”, saat ini, barulah nyata dan hidup! Karena sudah seringkali bertemu dengan orang-orang Pek-lian-kauw yang melakukan banyak kejahatan, dan yang terakhir sekali di sarang Pek-lian-kauw yang mempergunakan kekejian hendak mengawinkan Cia Giok Keng, maka Kun Liong tidak mau memberi hati lagi. “Kalian orang-orang jahat!” bentaknya. Bentakan ini disusul oleh berkelebatnya bayangan tubuh Kun Liong yang menyambar-nyambar seperti halilintar. Tujuh orang Pek-lian-kauw yang mengepungnya menjadi terkejut. Pandang mata mereka menjadi kabur dan sebelum mereka dapat melihat jelas karena tubuh pemuda itu seolah-olah telah berubah menjadi banyak, tahu-tahu senjata mereka terlepas dari tangan dan lengan mereka terasa nyeri dan lumpuh. Mereka berteriak kaget, meloncat mundur tanpa senjata lagi, akan tetapi Kun Liong sudah menerjang ke depan dan satu demi satu tujuh orang itu terlempar ke kanan kiri sambil menjerit kesakitan, ada yang patah tulang lengannya, pundaknya, dan ada yang benjol-benjol kepalanya. Dapat dibayangkan betapa kagum rasa hati Poa Su It. Pendekar Secuan yang mengamuk dengan pedangnya menghadapi pengeroyokan tiga orang Pek-lian-kauw itu baru berhasil merobohkan seorang lawan dan dia masih harus menahan desakan dua orang lagi. Namun, pemuda yang bertangan kosong itu telah merobohkan tujuh orang pengeroyoknya dalam waktu singkat! “Pergilah...!” Kun Liong membentak, tubuhnya menerjang ke depan dan tangan kirinya sudah menangkap tongkat seorang lawan, tangan kanan menampar pangkal lengan kanan orang ke dua sehingga goloknya terlempar, kemudian secepat kilat kakinya menendang dua kali dan tubuh dua orang pengeroyok Poa Su It tadi pun terlempar jauh. Habislah semangat perlawanan sepuluh orang Pek-lian-kauw itu. Mereka saling bantu, bangkit dari atas tanah, membawa mayat Tok-jiauw Lo-mo kemudian meninggalkan tempat itu, ada yang terbongkok-bongkok dan ada yang setengah merangkak. “Biarkan mereka pergi,” kata Kun Liong ketika melihat Poa Su It hendak mengejar. Pendekar Secuan itu menarik napas panjang, sejenak memandang kepada Kun Liong kemudian lari menghampiri mayat suhunya dan menjatuhkan diri berlutut, menutupi mukanya dengan penuh duka. Orang tua itu telah puluhan tahun menjadi gurunya dan menjadi pengganti ayahnya sendiri, maka dapat dimengerti betapa sedih hati Poa Su It melihat kematian gurunya itu. Penduduk kota Mian-ning terkejut sekali mendengar akan kematian pendekar tua Secuan itu dan berbondong-bondong mereka datang melayat. Kun Liong membantu Poa Su It mengurus penguburan jenazah jago tua Gak Liong, kemudian dia berpamit untuk melanjutkan perjalanan ke barat setelah dia mendengar banyak petunjuk dan keterangan dari Poa Su It tentang perjalanan menuju ke sarang perkumpulan Agama Lama Jubah Merah. Wajah Pek Hong Ing yang cantik jelita dan segar itu sebentar pucat sebentar merah ketika dia mendengar dari para pelayan bahwa kedua orang pendeta Lama yang telah pergi hampir dua bulan itu, Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama, hari itu telah kembali ke kuil. Jantungnya berdebar keras dan bermacam pertanyaan mengaduk-aduk hatinya. Apakah kedua orang pendeta itu telah berjumpa dengan Kun Liong? Apakah bertemu dengan Ketua Cin-ling-pai? Apa yang telah terjadi? Harapan dan kecemasan membuat jantungnya berdebar tegang dan dia segera lari keluar dari dalam kamarnya untuk menemui mereka. Mereka telah duduk di ruangan besar, bersila di atas bantalan kuning. Hun Beng Lama, Lak Beng Lama, dan Sin Beng Lama yang mendengarkan pelaporan mereka. Ketika mereka bertiga melihat munculnya Hong Ing, Sin Beng Lama lalu tersenyum dan berkata, “Hong Ing, kau duduklah. Biarpun kedua orang susiokmu belum berhasil mendatangkan Kun Liong, namun kami yakin bahwa tidak lama lagi dia akan muncul di sini.” Hong Ing tidak menjawab, matanya memandang ke arah seorang anak laki-laki berusia lima tahun yang duduk di atas lantai dekat dengan Lak Beng Lama. Anak laki-laki itu tampan dan sehat, matanya tajam bersinar-sinar dan kelihatan sedang marah. Mendengar ucapan Sin Beng Lama, anak laki-laki itu segera membuka mulutnya dan berkata, suaranya nyaring dan lantang, “Kalau Suheng Yap Kun Liong datang bersama ayahku, kalian tentu akan dihajar sampai mampus!” Tentu saja Hong Ing terkejut sekali mendengar ucapan anak itu yan menyebut Suheng (kakak seperguruan) kepada Kun Liong. Dia menghampiri, memandang anak itu dan bertanya kepada Sin Beng Lama. “Susiok, siapakah anak ini dan dari mana dia datang?” Sin Beng Lama yang bersikap lemah lembut itu tersenyum, “Dia ikut bersama kedua orang susiokmu...” “Aku diculik!” Anak itu berseru marah. “Pendeta-pendeta menculik anak kecil, sungguh tak tahu malu!” Hong Ing makin kaget dan heran, juga kagum menyaksikan sikap yang demikian tabah dari anak itu. “Lak Beng Susiok, siapakah dia itu?” tanyanya kepada paman gurunya ke tiga yang menjaga anak itu. “Dia? Ha-ha-ha, dia adalah putera Ketua Cin-ling-pai...” “Ohhh...! Ji-wi Susiok (Paman Guru Berdua) tidak memegang janji! Aku minta agar supaya Yap Kun Liong yang dibawa ke sini, kenapa malah membawa anak kecil, putera Ketua Cin-ling-pai yang tidak tahu apa-apa?” “Siancai...! Kami sama sekali tidak melanggar janji. Kami membawa anak ini ke sini justeru adalah untuk memenuhi janji karena hanya dengan cara inilah Yap Kun Liong dapat muncul di sini,” Lak Beng Lama berkata. “Apa maksud Susiok?” Hun Beng Lama yang lebih halus sikapnya dibandingkan dengan Lak Beng Lama, menjawab, “Kami tidak berhasil bertemu dengan Yap Kun Liong di Cin-ling-san, bahkan Ketua Cin-ling-pai juga tidak berada di rumahnya. Kami hanya bertemu dengan isteriya dan puteranya ini, maka terpaksa kami membawa puteranya ini ke sini dan meninggalkan pesan kepada isterinya bahwa apabila Ketua Cin-ling-pai mengantarkan Yap Kun Liong ke sini, maka puteranya akan dikembalikan. Bukankah ini merupakan cara terbaik untuk memaksa Yap Kun Liong datang ke sini?” Wajah yang tadinya pucat itu menjadi merah kembali dan berseri gembira setelah mendengar penjelasan ini. Diam-diam hati Hong Ing merasa girang sekali karena siasatnya telah berhasil. Memang sebaiknya begini karena perbuatan dua orang pendeta Lama itu tentu memancing kemarahan Pendekar Sakti Cia Keng Hong, dan tentu pendekar itu bersama Kun Liong akan muncul di tempat ini! Kalau Kun Liong datang bersama Pendekar Sakti Cia Keng Hong, tentu ayahnya dan dia sendiri akan dapat diselamatkan. “Ah, maafkan saya, Ji-wi Susiok! Kiranya begitukah? Memang baik sekali dan saya amat berterima kasih kepada Ji-wi Susiok. Akan tetapi, agar anak ini tidak rewel dan suka tinggal sementara di sini, blarlah dia tidur bersama saya.” Sin Beng Lama tersenyum. “Sebaiknya begitu. Bawalah dia ke kamarmu.” Hong Ing menghampiri anak itu yang memandang kepadanya dengan sinar mata tajam penuh curiga. Hong Ing tersenyum manis dan menyentuh pundak Cia Bun Houw. “Mari ikut bersama Enci.” Tiba-tiba Bun Houw menggerakkan tangan menangkis lengan dara itu dengan sigap dan mengelak ke belakang. “Siapa kau? Kalian semua orang jahat!” bentaknya. Hong Ing memandang kagum. Anak ini benar-benar amat tampan dan bersemangat, baru berusia lima tahun sudah memperlihatkan kegagahan dan keberaniannya. “Jangan salah duga, Adik baik. Para Locianpwe yang membawamu ke sini bukan berniat jahat. Engkau hanya disuruh tinggal di sini sampai ayahmu datang menjemputmu. Marilah aku Pek Hong Ing, dan aku sama sekali tidak berniat jahat kepadamu.” Melihat dara yang cantik jelita itu bersikap halus kepadanya, Bun Houw mulai berkurang kecurigaannya. Dia mengangguk biarpun dia tidak mau ketika Hong Ing hendak menggandengnya. “Siapakah namamu, Adik yang baik?” “Namaku Cia Bun Houw,” jawabnya singkat. “Adik Bun Houw, marilah ikut bersamaku. Engkau tentu lapar. Kita makan lalu bermain dan bercakap-cakap di dalam taman. Di sini terdapat sebuah taman yang indah.” Sikap yang amat ramah dan baik dari Hong Ing menghibur juga hati anak itu dan dalam beberapa hari saja dia telah menjadi sahabat baik Hong Ing dan menaruh kepercayaan besar kepada dara itu. Dua pekan kemudian, ketika Hong Ing mengunjungi ayahnya di dalam kamar hukuman, dia sengaja mengajak Bun Houw. Kamar hukuman itu amat luar biasa, tidak patut disebut kamar hukuman, karena kamar itu merupakan kamar yang lebarnya empat meter persegi dan kosong sama sekali tidak ada perabotnya sepotong pun. Di tengah-tengah kamar ini, duduk bersila seorang kakek tinggi besar yang bukan lain adalah Kok Beng Lama. Memang luar biasa cara para Lama Jubah Merah ini. Yang merupakan belenggu hukuman hanyalah janji-janji mereka yang lebih kokoh daripada belenggu baja. Dan dia melaksanakan hukuman yang dijatuhkan kepadanya dengan cara bersamadhi siang malam, hanya berhenti apabila tubuhnya membutuhkan makan saja, atau membutuhkan istirahat dan tidur. Selain terpaksa memenuhi kebutuhan jasmaninya, semua waktunya dihabiskan dengan bersamadhi! Agaknya kakek ini sudah mengambil keputusan nekat untuk menghabiskan usianya dengan bersamadhi, setelah dia memperoleh janji ketiga orang sutenya bahwa puterinya, Pek Hong Ing, takkan diganggu. Satu-satunya orang yang dapat menyadarkan kakek ini dari samadhinya hanyalah Hong Ing. Setiap kali puterinya ini datang tentu dia suka untuk menghentikan samadhinya dan bercakap-cakap, bahkan menurunkan ilmu-ilmunya kepada Hong Ing. Kalau bukan puterinya, biar siapa saja dan biar diapakanpun dia tidak akan dapat disadarkan dari samadhinya. Setelah membuka pintu kamar itu dengan hati-hati dan melihat ayahnya sedang bersamadhi seperti biasanya, Hong Ing menuntun tangan Bun Houw dan mengajak anak itu berlutut lalu duduk bersila di depan kakek itu, dalam jarak dua meter karena mereka berdua duduk bersandar dinding di atas lantai yang mengkilap bersih, karena seringkali dibersihkan sendiri oleh Hong Ing. Kakek itu masih duduk bersila dan memejamkan matanya. Namun pendengarannya yang sudah terlatih hebat dan amat tajam itu dapat menangkap semua suara dan mengikuti semua gerak-gerik Hong Ing dan Bun Houw. “Anakku, dengan siapakah kau memasuki kamar ini dan mengapa engkau mengajak orang lain?” Suara itu halus, akan tetapi penuh teguran. Hong Ing cepat menjawab dengan suara agak manja, “Ayah, inilah Adik Cia Bun How, putera dari Ketua Cin-ling-pai!” “Hemm, suruh dia keluar dari kamar ini!” kakek itu membentak tanpa membuka matanya. Tiba-tiba Bun Houw yang menyaksikan itu semua, berkata dengan suaranya yang bening nyaring, “Enci Hong Ing, kenapa engkau mengajak aku masuk ke tempat ini? Mana ayahmu? Kakek yang galak dan tua ini? Ah, tidak patut dia menjadi ayahmu, Enci. Engkau begini halus dan baik, akan tetapi dia begitu galak dan jahat!” “Hushh... diamlah!” Hong Ing menegur anak itu. Dia teringat akan cerita Kun Liong tentang Pendekar Sakti Cia Keng Hong, maka dia cepat berkata lagi untuk memancing perhatian ayahnya. “Ayah, dia ini adalah putera dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong, Ketua Cin-ling-pai, murid dari mendiang Sin-jiu Kiam-ong...!” Akan tetapi, kakek itu sudah tertarik sekali ketika mendengar suara Bun Houw tadi, suaranya yang begitu bening dan seperti jarum-jarum menusuk telinganya, suara yang hanya dapat dimiliki seorang bocah yang cerdas dan berbakat baik sekali. Maka dia telah membuka kedua matanya memandang. Sinar kagum berpancar keluar dari matanya ketika dia memandang Bun Houw, apalagi ketika mendengar bahwa Bun Houw adalah putera dari seorang murid mendiang Sin-jiu Kiam-ong! MELIHAT sikap ayahnya, Hong Ing cepat menyambung, “Ayah, aku ingin agar Adik Bun Houw menjadi muridmu!” “Hemmmm...!” Tiba-tibA kakek itu meluruskan lengan kanannya dan Bun Houw yang sejak tadi memandang wajah kakek itu menjadi terbelalak kaget melihat betapa lengan yang besar itu dapat memanjang keluar dari lengan bajunya, terus memanjang sampai tangan itu mencengkeram punggung bajunya dan mengangkatnya ke atas lalu menariknya dekat dengan muka kakek itu! Memang hebat sekali kepandaian Kok Beng Lama. Sin-kangnya sudah sedemikian tinggi tingkatnya sehingga dia mampu membuat lengannya memanjang sampai hampir dua meter! Dengan kepandaian seperti ini, tentu saja dia merupakan seorang lawan yang amat berbahaya bagi siapa pun. “Bagus! Kau anak baik sekali... kau benar ingin menjadi muridku?” tanya kakek itu sambil memeriksa tubuh anak itu dengan pandang matanya dan dengan rabaan jari-jari tangan kirinya, terutama sekali meraba-raba tengkorak kepala Bun Houw. Bun Houw adalah seorang anak yang usianya baru lima tahun, akan tetapi dia putera suami isteri yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan dia cerdik sekali. Melihat kenyataan bahwa kakek aneh ini adalah ayah dari Pek Hong Ing yang amat baik kepadanya, kemudian bahwa kakek ini memiliki kepandaian yang hebat sehingga akan mampu melindunginya di tempat asing itu, maka tanpa ragu-ragu lagi dia menjawab, “Aku suka sekali menjadi muridmu!” “Ha-ha-ha!” Kok Beng Lama tertawa dan melepaskan tubuh anak itu ke atas lantai. Hatinya girang sekali karena tadinya dia merasa agak kecewa melihat bahwa bakat puterinya sendiri masuh jauh dapat mewarisi seluruh ilmu-ilmunya yang membutuhkan “wadah” yang kuat dan berbakat. Kini, melihat Bun Houw, dia menemukan seorang murid yang pasti akan dapat mewarisi semua kepandaiannya. “Suhu...!” Bun Houw yang cerdas itu pun sudah berlutut sambil memberi hormat dan menyebut suhu. “Ha-ha-ha...!” Kakek itu kembali tertawa. Hong Ing girang sekali. Dia memeluk Bun Houw dengan girang. “Sekarang engkau menjadi suteku (adik seperguruanku) dan aku adalah sucimu (kakak seperguruanmu).” “Suci...!” Bun Houw memberi hormat kepada dara itu. Mulai hari itu, Bun Houw menjadi murid Kok Beng Lama dan setiap hari anak itu berada di dalam kamar hukuman untuk menerima petunjuk dan gemblengan kakek aneh itu. Kok Beng Lama memang berwatak luar biasa. Dia sama sekali tidak peduli dan tidak ingin tahu mengapa putera Ketua Cin-ling-pai itu bisa berada di tempat itu. Dia tidak mau mempedulikan lagi urusan dunia, maka dia tidak pernah bertanya kepada Hong Ing maupun kepada Bun Houw. Dia setiap hari hanya mengajar ilmu kepada puterinya dan muridnya itu, tanpa membicarakan urusan lain lagi. Pekerjaannya setiap hari hanya mengajar dan bersamadhi, lain tidak. Tentu saja setiap gerak-gerik Pek Hong Ing dan Cia Bun Houw tidak pernah terlepas dari penyelidikan tiga orang pendeta Lama, namun mereka tidak menghalangi ketika melihat bahwa Bun Houw menjadi murid suheng mereka yang menjalani hukuman itu. Mereka percaya penuh akan janji Kok Beng Lama, dan mereka sudah mengenal betul watak suheng mereka itu yang mungkin dapat mengamuk dan memusuhi mereka mengenai urusan pribadi, namun akan membela dengan pertaruhan nyawa apabila perkumpulan agama mereka diserang musuh dari luar. Selain itu, Hong Ing juga tidak memperlihatkan sikap mencurigakan, bahkan dara ini menurut dan mempelajari dengan teliti semua pelajaran keagamaan mereka sehubungan akan menjadi korban untuk dewa kelak, setelah permintaannya dipenuhi, yaitu hadirnya Yap Kun Liong di situ. Bahkan dia menurut pula ketika diharuskan melakukan puasa dan pantang makan barang berjiwa agar dirinya tetap bersih apabila saatnya tiba dia mengorbankan diri kepada dewa sebagai penebus “dosa” ibunya dabulu. Melihat sikap dara ini, Sin Beng Lama dan dua orang sutenya tidak menjadi curiga, dan mereka hanya menanti-nanti kedatangan Yap Kun Liong untuk ditukar dengan Cia Bun Houw, agar pelaksanaan korban suci untuk dewa dapat segera dilaksanakan. Dalam hal ini, para pendeta Lama mempunyai keyakinan bahwa pengorbanan suci seorang dara kepada dewa akan mendatangkan berkah yang amat hebat, akan mendatangkan keajaiban yang membawa kejayaan kepada perkumpulan mereka. Mereka percaya bahwa dengan bantuan dan perlindungan dewa yang tentu akan membantu mereka setelah menerima pengorbanan istimewa, yaitu puteri mendiang Pek Cu Sian yang mengecewakan dan membikin marah dewa, tentu Kerajaan Tibet akan dapat mereka tumbangkan dan mereka rampas! Mereka berkeyakinan bahwa kalau selama ini mereka belum juga berhasil adalah karena dewa marah kepada mereka berhubung dengan peristiwa kedosaan yang dilakukan oleh Pek Cu Sian, gadis calon mempelai dewa yang melarikan diri! Sekarang, begitu Pek Hong Ing berada pada mereka, sudah nampak tanda-tanda bahwa mereka akan berhasil, terutama sekali dengan adanya kenyataan bahwa hubungan mereka dengan Pek-lian-kauw menjadi erat dan saling membantu. Memang perkumpulan Lama Jubah Merah mulai membuat persiapan untuk memberontak dan menyerang Pemerintah Tibet. Semua Lama Jubah Merah telah dikumpulkan dan jumlah mereka ternyata hampir dua ratus orang. Selain melatih semua Lama Jubah Merah ini menjadi pasukan istimewa yang amat kuat, juga kini telah dikumpulkan banyak bantuan dari luar, bantuan yang terdapat dari berbagai cara. Ada yang karena percaya kepada keampuhan Kelenteng Lama Jubah Merah, yaitu para penduduk di sekitar daerah itu yang pernah menerima “berkah” dari kelenteng, ada pula yang karena terpaksa atau dipaksa oleh pengaruh para pimpinan Lama, ada pula yang “dibeli” dengan uang! Betapapun juga, Sin Beng Lama telah berhasil menghimpun ratusan orang perajurit “sukarelawan”, yang dilatih di luar markas mereka, dilatih ilmu perang dan barisan, juga kontak langsung telah diadakan dengan Pek-lian-kauw yang sudah siap membantu para Lama untuk menyerbu Tibet dengan janji bahwa kelak, para Lama yang telah menguasai Tibet akan mengerahkan kekuatan pula untuk membantu mereka menumbangkan Pemerintah Beng-tiauw! Kini, para Lama hanya menanti tibanya saat yang suci itu, ialah pengorbanan seorang dara kepada dewa untuk memberkahi mereka. Semua orang sudah tahu bahwa perawan yang cantik jelita dan yang kini berada di markas, keponakan murid dari Sin Beng Lama sendiri, dara jelita Pek Hong Ing yang akan menebus dosa ibunya mengorbankan diri kepada dewa dengan cara seperti biasa, yaitu dibakar hidup-hidup! Akan tetapi gadis itu baru mau menjalani upacara pengorbanan diri kalau musuhnya sudah berlutut di bawah kakinya! Dan kini semua orang menanti datangnya saat itu. Bukan hanya Sin Beng Lama, Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama saja yang setiap hari menanti-nanti munculnya Cia Keng Hong yang membawa Yap Kun Liong untuk ditukar dengan Cia Bun Houw. Juga Hong Ing dan Bun Houw setiap hari menanti-nanti dengan penuh harap. Bagi Hong Ing, saat kedatangan Kun Liong akan merupakan saat penentuan mati hidupnya! Sin Beng Lama memang cerdik sekali. Untuk melakukan suatu pemberontakan terhadap pemerintah, terutama sekali lebih dulu haruslah mencari kesan baik dari rakyat jelata, agar dalam hati rakyat terkandung simpati terhadap, “perjuangan” mereka. Dan untuk ini, dia hampir setiap hari mengadakan sembahyangan besar di kelentengnya yang amat luas, tentu saja disertai jamuan tanpa bayar bagi rakyat yang berkunjung dan yang bersembahyang. Mendengar bahwa di Kelenteng Lama Jubah Merah diadakan sembahyangan besar, berbondong-bondong rakyat dari berbagai jurusan di sekitar daerah itu datang berkunjung. Bahkan banyak pula di antara para pengunjung yang bermalam di halaman kelenteng untuk dapat mendengarkan khotbah Sin Beng Lama atau kedua orang sutenya yang diadakan setiap hari, khotbah tentang kebatinan dan sekaligus khotbah yang memburuk-burukkan Pemerintah Tibet dan bujukan-bujukan untuk memberontak! Pada suatu pagi, ketika para pengunjung kelenteng sedang berkumpul di halaman mendengarkan khotbah yang dilakukan sendiri oleh Sin Beng Lama, tiba-tiba terdengar suara berbisik di dalam markas. Sin Beng Lama menyuruh kedua orang sutenya untuk memeriksa apa yang terjadi sedangkan dia sendiri melanjutkan khotbahnya. Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama cepat berlari melalui pintu belakang kelenteng, langsung memasuki markas dari mana terdengar suara ribut-ribut. Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dua orang tokoh Lama Jubah Merah itu melihat beberapa orang anak buah mereka bergelimpangan dan di tengah-tengah kepungan para pendeta Lama berdirilah seorang pemuda yang tampan dan gagah. Lak Beng Lama yang berwatak agak keras dan kasar segera berseru, “Minggir semua!” lalu dia memasuki kepungan bersama suhengnya, Hun Beng Lama. Kini mereka berhadapan dengan pemuda itu yang bukan lain adalah Yap Kun Liong! Melihat datangnya dua orang pendeta Lama ini, Kun Liong segera mengenal mereka. “Hemm, kebetulan sekali Ji-wi Losuhu (Kedua Bapak Pendeta) datang!” tegurnya dengan nada suara tegas. “Aku datang untuk menemui tiga orang pemimpin Lama Jubah Merah, akan tetapi tahu-tahu para pendeta di sini menyerbu dan mengeroyokku.” Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama tidak mengenal Kun Liong karena ketika mereka dahulu menculik Hong Ing di pulau kosong, pemuda ini berkepala gundul dan pakaiannya hanya sehelai cawat. Kini pemuda itu sudah berambut panjang dan hitam, dan biarpun pakaiannya sederhana, namun lengkap. “Orang muda yang lancang, siapakah kau dan apa keperluanmu mencari kami?” “Aku bernama Yap Kun Liong dan kedatanganku adalah untuk minta kepada para pimpinan Lama Jubah Merah agar suka membebaskan Nona Pek Hong Ing!” Mendengar Ini, terkejutlah dua orang pendeta Lama itu dan mereka memandang lebih teliti, kemudian saling pandang dan Lak Beng Lama berseru kepada para anak buahnya. “Tangkap pemuda ini!” Belasan orang pendeta Lama menyerbu dengan tangan kosong. Mereka mendengar perintah “tangkap”, maka tentu saja mereka tidak mau menggunakan senjata tajam yang dapat membunuh pemuda ini. Namun, untuk kedua kalinya Kun Liong menggerakkan tubuh seperti tadi ketika dia diserbu, tubuhnya berkelebatan dan berputaran dengan kaki tangan bergerak dan berturut-turut robohlah belasan orang pengeroyok itu! Hal ini tentu saja menimbulkan kemarahan para pendeta yang lain. Segera mereka menyerbu dan Kun Liong dikepung dan dikeroyok oleh banyak pendeta, bahkan kini Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama yang maklum akan kelihaian pemuda itu, sudah bergerak menyerbu pula. Majunya dua orang pendeta Lama yang amat sakti ini membuat Kun Liong terdesak. Dia memang hanya bermaksud membela diri dan hanya merobohkan lawan sedapat mungkin tanpa melakukan pembunuhan. Tentu saja menghadapi serangan dua orang pendeta Lama yang berilmu tinggi itu, dia bersikap hati-hati sekali, lebih-lebih karena masih ada puluhan orang anggauta perkumpulan Lama Jubah Merah itu yang membantu Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama. Mendengar suara ribut-ribut di halaman depan markas itu, Pek Hong Ing cepat lari keluar dan dapat dibayangkan betapa tegang rasa hatinya ketika dia melihat Yap Kun Liong sedang dikepung dan dikeroyok banyak pendeta. Sejenak dia seperti terpesona melihat pemuda yang menjadi kekasih pujaan hatinya itu, yang setiap saat dirindukannya dan diharap-harapkan kedatangannya. Kini pemuda itu telah muncul, akan tetapi dikepung dan dikeroyok. Menurutkan perasaannya, ingin dia ikut mengamuk dan membantu kekasihnya. Namun dia teringat betapa liciknya para pendeta Lama itu. Kalau dia maju, tentu mereka akan menangkap dia dan menggunakan dia untuk memaksa Kun Liong menyerahkan diri. Teringat akan ini, dia lalu cepat-cepat masuk lari ke dalam dan langsung dia memasuki kamar hukuman ayahnya. “Ayah... tolonglah aku...!” Dia berlutut memeluk ayahnya dengan muka pucat dan napas terengah-engah. Bun Houw yang sedang duduk bersila melatih diri bersamadhi seperti yang diajarkan gurunya, membuka mata dan terkejut melihat keadaan sucinya. Akan tetapi dia tidak berani membuka suara, hanya memandang kepada gurunya. Kok Beng Lama juga membuka matanya, sejenak memandang heran kepada puterinya, lalu bertanya, “Hong Ing, apakah yang terjadi?” “Ayah...” dengan suara terisak Hong Ing berkata. “Lekas Ayah menolongnya...! Yap Kun Liong telah datang dan dikeroyok oleh kedua orang Susiok dan puluhan orang pendeta...! Lekaslah Ayah...!” Namun Kok Beng Lama tidak bergerak. “Hemmm... salahnya sendiri kalau datang ke sini dan dikeroyok, tidak ada urusannya dengan pinceng.” “Ayah, akulah yang salah! Akulah yang menyebabkan semua itu. Ayah, aku mencinta Kun Liong dan dia mencintaku. Kami saling mencinta, karena itu... aku telah mencari akal untuk memancing Kun Liong ke sini. Aku membohongi para Susiok, aku bilang bahwa aku bersedia mengorbankan diri kepada dewa untuk menebus dosa ibuku, asal mereka dapat mendatangkan Yap Kun Liong. Karena tidak bertemu dengan Kun Liong, para Susiok membawa Adik Bun Houw ke sini dengan pesan agar orang tua anak ini mengantarkan Kun Liong ke sini untuk ditukar dengan Bun Houw. Ayah... semua itu kulakukan demi cintaku kepada Kun Liong. Aku ingin pergi dari sini, ingin ikut dia, hidup bersama dia. Tapi dia... dia dikeroyok di luar. Ayah, tolonglah aku, bantulah dia... hu-huuuuh!” Hong Ing menangis, penuh kekhawatiran terhadap keselamatan kekasihnya. Dia tahu akan kelihaian kekasihnya itu, namun membayangkan kesaktian para susioknya dan banyaknya para pendeta yang mengeroyok, tentu saja hatinya gelisah sekali. “Hemmm...!” Kok Beng Lama mengeluarkan suara dari dalam rongga perutnya yang tertahan di kerongkongan, sampai lama dia diam saja. Setelah Hong Ing sambil menangis berkali-kali membujuknya, akhirnya dia mendorong tubuh puterinya sehingga tubuh Hong Ing terpental ke belakang. “Tidak! Kauminta agar ayahmu menjadi seorang hina dina yang melanggar janji? Tidak, lebih baik kau menyuruh aku mati! Anak tidak berbakti, kau berani minta ayahmu melakukan hal yang hina itu?” Setelah membentak demikian, kakek ini sudah memejamkan matanya kembali dengan alis berkerut. “Ayaaaahhh...!” Hong Ing menjerit dan pada saat itu, di luar terdengar suara makin berisik, tanda bahwa jumlah para pengeroyok bertambah banyak dan makin gelisah hati Hong Ing. Dia menubruk lagi ayahnya dengan nekat sambil menangis. “Ayah, aku tidak minta Ayah melanggar janji. Hanya tolonglah dia, tolonglah Kun Liong yang dikeroyok... kalau sampai dia mati, aku pun akan mati di depan kakimu, Ayah!” Sampai berkali-kali Hong Ing mengulangi kata-katanya sambil menangis, dan akhirnya kakek itu membuka mata dan mengangguk. “Memang lebih baik mati daripada hidup dalam hina melanggar janji. Pergilah!” Sikap dan kata-kata ayahnya ini tiba-tiba membuat Hong Ing timbul semangat dan kenekatannya. Memang sebelum bertemu dengan ayahnya, dia hidup di dalam dunia tanpa mengandalkan siapapun juga, maka terasalah olehnya betapa sikapnya tadi amat lemah dan manja. “Baik, Ayah! Aku akan mati bersama Kun Liong, akan tetapi bukan karena tidak hendak melanggar janji terhadap para Susiok yang palsu itu! Aku akan melawan mereka sampai mati!” Dengan isak tertahan Hong Ing lalu berlari keluar dari dalam kamar hukuman. “Suci...!” Bun Houw berteriak memanggil namun Hong Ing tidak menengok lagi. Sementara itu, di luar markas terjadi pertempuran yang amat hebat. Kun Liong masih dapat mempertahankan dirinya biarpun kini Hun Beng Lama yang menggunakan senjata tasbih dan Lak Beng Lama yang bertongkat mengurung dan mendesaknya, dibantu oleh banyak sekali pendeta Lama yang berjubah merah. Yang membuat kepala Kun Liong terasa pening adalah persamaan pakaian para pengeroyoknya itu sehingga sukar baginya untuk membedakan orangnya. Hal ini membuat dia seringkali terkena hantaman tasbih atau tongkat di tangan kedua orang pendeta Lama yang lihai itu. Untung bahwa sin-kangnya memang amat tinggi tingkatnya sehingga dengan perlindungan tenaga sakti ini, tubuh yang kena dihantam dua senjata itu tidak mengalami luka. Bagaikan seekor jangkerik yang dikeroyok banyak semut, Kun Liong mengamuk, kaki tangannya bergerak dan siapa saja, kecuali dua orang pendeta Lama Jubah Merah itu, yang terkena sentuhan kedua tangan atau kakinya tentu terlempar jauh ke belakang. “Kun Liong jangan khawatir, aku membantumu!” Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan muncullah seorang wanita cantik bersama seorang laki-laki gagah yang datang menyerbu dengan pedang mereka. Dengan beberapa gebrakan saja dua orang yang datang membantu Kun Liong ini sudah berhasil merobohkan dua orang pendeta Lama. “Hwi Sian...!” Kun Liong terkejut bukan main ketika mengenal wanita cantik yang membantunya. “Tan-twako...!” Dia mengenal pula Tan Swi Bu, bekas suheng dari Hwi Sian yang telah meniadi suami wanita itu. “Mundurlah, pergilah dan jangan mencampuri urusanku...!” Teriaknya dengan suara penuh kekhawatiran karena dia maklum betapa lihainya para pendeta Lama Jubah Merah ini, sama sekali bukanlah lawan kedua orang suami isteri itu. Betapa pun, melihat Hwi Sian, ulu hatinya seperti tertusuk sesuatu dan dia merasa terharu. “Kun Liong, aku... girang dapat membantumu... tranggg...!” Hwi Sian menangkis datangnya sambaran sebatang golok dengan pedangnya lalu melanjutkan pedangnya menusuk yang dapat ditangkis pula oleh lawannya. “Yap-taihiap, mari kita basmi para pemberontak ini!” Tan Swi Bu juga berseru dan mendengar seruan ini, para pendeta menjadi kaget bukan main. Maklumlah mereka bahwa rahasia mereka telah diketahui orang dan tentu dua orang laki-laki dan perempuan yang baru datang ini adalah mata-mata pemerintah. “Tangkap mata-mata!” “Bunuh mata-mata!” Teriakan-teriakan ini disusul dengan menyerbunya banyak pendeta mengepung Hwi Sian dan Tan Swi Bu yang memutar pedang mereka dan mengamuk penuh semangat. Seperti telah diceritakan oleh Poa Su It kepada Kun Liong, suami isteri murid pendekar Secuan Gak Liong ini telah melaksanakan tugas mereka menyelidiki perkumpulan Agama Lama Jubah Merah yang dikabarkan hendak memberontak itu, mentaati perintah dari susiok-couw mereka, yaitu Panglima Besar The Hoo. Mereka menyamar sebagai orang-orang yang datang hendak bersembahyang dan setiap hari mereka melakukan penyelidikan sehingga akhirnya mereka dapat mengetahui tentang gerakan Lama Jubah Merah yang sudah mempersiapkan dan melatih pasukan-pasukannya, dan juga kontak mereka dengan pihak Pek-lian-kauw yang kini banyak pula berkumpul di luar markas, ikut melatih para penduduk yang dapat dibujuk oleh Lama Jubah Merah. Akan tetapi pada pagi hari itu, selagi mereka mengambil keputusan untuk meninggalkan tempat itu dan melaporkan hasil penyelidikan mereka, mereka mendengar ribut-ribut di dalam markas. Dengan cerdik mereka berhasil menyelundup masuk dan dapat dibayangkan betapa kaget hati Hwi Sian ketika melihat bahwa pemuda tampan yang kini memiliki rambut kepala bagus itu dan yang dikeroyok oleh banyak pendeta adalah Yap Kun Liong, pria yang tak pernah dapat dilupakannya! Maka serta merta dia mencabut pedang yang disembunyikan di bawah bajunya dan menyerbu tanpa berunding dulu dengan suaminya! Tentu saja Tan Swi Bu juga tidak membiarkan isterinya menempuh bahaya seorang diri dan dia pun menyerbu mati-matian. Melihat betapa Hwi Sian dan Swi Bu terus mengamuk dan dikepung banyak pendeta, Kun Liong menjadi gelisah sekali. Apalagi ketika dari jauh dia melihat munculnya seorang pendeta Lama yang amat lihai, yaitu Sin Beng Lama dengan lima batang hio mengepul, maklumlah dia bahwa bahaya besar mengancam suami isteri itu. “Hemmm...!” Dia menggeram dengan mengerahkan tenaganya, menerima hantaman-hantaman Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama serta lain-lain pendeta, kemudian secepat kilat dia menangkap lengan kedua orang pendeta Lama yang lihai itu sambil mengerahkan tenaga sakti Thi-khi-i-beng! “Auhhh...!” “Aduhhh...!” “Haiii..., lepaskan aku...!” Teriakan-teriakan penuh kepanikan itu terdengar dari mulut mereka yang memukul tubuh Kun Liong dan tangan mereka yang mengenai tubuh pemuda ini melekat tak dapat ditarik kembali, bahkan segera mereka merasakan betapa tenaga sin-kang mereka membanjir keluar disedot oleh tubuh pemuda itu! Karena banyaknya para pendeta yang tadi memukul Kun Liong untuk membantu kawan, maka belasan orang pendeta, termasuk Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama melekat pada tubuh pemuda itu dan kedua orang Lama yang sakti itu merasa panik dan juga marah kepada anak buah mereka sendiri. Kalau saja tidak ada anak buah mereka yang ikut-ikut memukul dan melekat sehingga menghalangi gerakan mereka, tentu dengan tangan mereka yang masih bebas mereka dapat mengirim pukulan maut dengan totokan-totokan ke bagian tubuh yang lemah dari pemuda luar biasa itu. Kun Liong yang melihat betapa Sin Beng Lama sudah menggerakkan tubuhnya meloncat dekat Hwi Sian dan Swi Bu, cepat mengembalikan tenaga sin-kang yang tersedot olehnya dan terkumpul menyesak di pusar, mengeluarkan bentakan nyaring dan menggoyang tubuhnya seperti seekor harimau menghalau air dari bulu-bulu tubuhnya. “Haaaiiiihhhh!” Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama, juga belasan orang anak buahnya, berseru kaget dan terlempar ke arah Sin Beng Lama! Belasan orang anak buah mereka itu terlempar dalam keadaan pingsan, sedangkan Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama masih dapat mengumpulkan tenaga dan mengatur keseimbangan tubuhnya sehingga tubuh mereka itu tidak meluncur menerjang subeng mereka sendiri. Mereka berjungkir balik dan terjatuh ke atas tanah dalam keadaan berdiri dan terhuyung-huyung. Sementara itu, Sin Beng Lama telah membuat pedang di tangan Hwi Sian dan Swi Bu terpental jauh, kemudian dua kali tangannya bergerak dan robohlah Hwi Sian dan suaminya. Akan tetapi pada saat itu, belasan batang tubuh beterbangan menerjangnya dari arah Kun Liong! “Omitohud...!” Dia berseru dan cepat tubuhnya mencelat ke atas, tinggi sekali sehingga belasan batang tubuh yang meluncur itu lewat di bawah kakinya lalu terbanting dan terguling-guling ke atas tanah dalam keadaan pingsan. “Pendeta keji...!” Kun Liong membentak dan segera dia sudah bertanding melawan Sin Beng Lama yang amat lihai. Tampak sinar-sinar kecil berapi seperti ada banyak sekali kunang-kunang beterbangan di sekitar tubuh Kun Liong. Diam-diam pemuda itu terkejut juga melihat betapa lima batang hio membara itu meluncur dan menyambar-nyambar cepat sekali ke arah seluruh jalan darah di tubuhnya. Dia maklum betapa hebatnya serangan ini, maka dia pun cepat menggerakkan kaki tangannya, mengelak, menangkis dan baras menyerang. Karena lawan menggunakan lima batang hio yang amat luar biasa itu, dia tidak mungkin dapat mengandalkan Thi-khi-i-beng, dan untuk mengimbangi kecepatan lawan dia terpaksa memainkan Ilmu Silat Pat-hong-sin-kun dan mempergunakan tenaga sin-kang Pek-in-ciang sehingga dari kedua telapak tangannya mengepul uap putih yang menyambar-nyambar dahsyat. “Yap Kun Liong menyerahlah engkau dan pinceng akan mengampunimu,” kata Sin Beng Lama. Pendeta ini diam-diam merasa kagum bukan main terhadap Kun Liong dan kalau pemuda ini mau menyerah sehingga Hong Ing dapat mengorbankan diri kepada dewa, kemudian pemuda ini mau membantunya, tentu merupakan tenaga bantuan yang tidak ternilai harganya! “Sin Beng Lama, bebaskan Pek Hong Ing dan aku akan pergi dari sini dengan damai!” Kun Liong berkata pula, akan tetapi matanya melirik ke arah Hwi Sian dan Swi Bu yang sudah rebah tak bergerak lagi. Dia tidak dapat menyatakan sakit hatinya kalau suami isteri itu tewas, karena hal itu adalah kesalahan Hwi Sian dan suaminya sendiri, dan mereka itu pun telah merobohkan dan membunuh beberapa orang pendeta! “Pemuda sombong!” Sin Beng Lama berseru dan kini dia memperhebat serangannya dan bahkan dibantu oleh Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama yang sudah dapat memulihkan kembali tenaganya. “Suheng, hati-hati terhadap Thi-khi-i-beng!” berkata Lak Beng Lama. “Ya, dia tentu menggunakan ilmu mujijat itu!” kata pula Hun Beng Lama. Sin Beng Lama berseru, “Jangan melewatkan bagian-bagian yang paling lemah. Serang matanya!” Kun Liong mendongkol bukan main, akan tetapi juga sibuk karena tiga orang lawannya itu benar-benar amat sakti, sedangkan dia amat khawatir melihat keadaan Hwi Sian yang sudah bergerak dan mengeluarkan rintihan perlahan. “Kun Liong... ohhh... Kun Liong...!” Suara ini cukup menusuk perasaan hati pemuda itu. Dia mengeluarkan suara melengking nyaring sekali dan tenaga sakti mujijat yang terkumpul di dalam tubuhnya berkat latihan menurut ilmu dalam kitab Keng-lun Tai-pun secara tiba-tiba bekerja didorong oleh perasaannya. Tiga orang pendeta Lama itu mengeluarkan seruan kaget dan seperti tiga helai daun kering tertiup angin, mereka terlempar ke belakang dan terbanting jatuh! “Hwi Sian...!” Kun Liong meloncat dan menghampiri Hwi Sian, berlutut dan merangkul leher wanita itu. “Kun Liong...!” Hwi Sian menggerakkan lengan merangkul leher Kun Liong. “Kun Liong, dia... suamiku... dia telah mati...” Kun Liong menoleh dan menghela napas. Memang jelas bahwa Tan Swi Bu telah tewas, dan wanita ini pun berada dalam keadaan payah sekali, dadanya berlubang dan seperti terbakar. “Kun Liong... aku... aku tetap cinta padamu...” Kun Liong menarik napas lagi, dua butir air mata membasahi pipinya. Dia tidak mampu mengeluarkan suara. “Kun Liong...” Suara itu berbisik. “Dengarlah...” Terpaksa Kun Liong mendekatkan telinganya ke dekat mulut yang amat dikaguminya itu, mulut yang bentuknya amat indah dan selalu menjadi daya tarik utama dari kecantikan Hwi Sian. “Aku akan mati... dan kaupelihara baik-baik anak itu... kutitipkan di Kuil Kwan-im-bio di kaki bukit, tanya Suheng Poa Su It...” “Plak-plakk...!” Tanpa menoleh Kun Liong mengangkat tangan kirinya dan dua kali dia menangkis datangnya dua batang golok yang menyambarnya dari belakang. Golok-golok itu terpental dari tangan pemegangnya dan dua orang pendeta Lama meloncat ke belakang, memegangi tangan yang terasa panas! “Anakmu...?” Kun Liong bertanya. Mata itu bersinar-sinar memandang wajahnya, dan bibir yang masih merah membasah itu tersenyum sehingga nampak sebagian gigi berkilat putih. “Kini aku... dapat membuka rahasia... dia... dia anak kita, Kun Liong... rawatlah dan... selamat tinggal...” Keduanya menjadi lemas seketika. Hwi Sian lemas karena tubuhnya tak bernyawa lagi, sedangkan Kun Liong lemas lunglai mendengar pengakuan yang hebat dan di luar dugaannya itu. Hwi Sian meninggalkan seorang anak, anak mereka! Anak Hwi Slan dan dia! Betapa mungkin ini? Hubungan yang dahulu itu... di kuil tua itu... menghasilkan keturunan? “Tidak mungkin!” Dia meletakkan tubuh Hwi Sian ke atas tanah dan meloncat berdiri, matanya merah. “Wuttt-wuuuttt... desss! Aughhh...!” Lak Beng Lama berteriak keras karena kini tongkatnya yang menyambar bertemu dengan tangkisan yang dilakukan dengan tenaga mujijat sedemikian dahsyatnya sehingga tidak hanya tongkatnya yang terpental, juga tubuhnya terasa seperti disambar petir! Sin Beng Lama dan Hun Beng Lama cepat menyerang dan kembali Kun Liong dikeroyok dan didesak hebat. Pemuda ini melawan dengan pandang mata masih termenung, dan dengan dua butir air mata membasahi pipinya. Pikirannya masih penuh dengan pengakuan Hwi Sian. Anak Hwi Sian, anaknya! “Siuttt... cussss... dukk!” Dia terhuyung ke belakang. Ketika nyaris lehernya tertusuk hio membara dan dia mengelak sambil membuang diri ke belakang tadi, tasbih di tangan Hun Beng Lama menyambar lambungnya dengan tepat, membuat dia terpelanting ke belakang. Tentu saja kedua orang pendeta Lama itu tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, terus mendesak maju, Kun Liong menggoyangkan kepalanya untuk mengusir suara Hwi Sian yang masih mengiang-ngiang mengikuti telinganya, agar dia dapat memusatkan perhatian menghadapi pengeroyokan dua orang lawan tangguh itu. “Kun Liong...!” Untuk kedua kalinya selama beberapa menit itu jantung Kun Liong terguncang hebat. Dia cepat meloncat ke belakang dan melihat dara yang dirindukannya selama ini, Pek Hong Ing, meronta-ronta dalam pegangan Lak Beng Lama! Cepat dia mengerahkan tenaganya dan tubuhnya melayang ke arah Lak Beng Lama. “Mundur! Kalau tidak, kubunuh dia!” Lak Beng Lama berseru, tongkatnya menempel di ubun-ubun kepala Hong Ing. Kun Liong mundur dengan muka pucat. “Hong Ing... Hong Ing...!” bibirnya berbisik. “Kun Liong, lawanlah! Lawan dan bunuhlah mereka yang keji dan jahat! Jangan pedulikan diriku!” Hong Ing berkata sambil menangis. “Tidak! Sam-wi Lo?suhu (Tiga Bapak Pendeta), dengarlah! Aku menyerah asal Sam-wi Lo-suhu tidak mengganggu Hong Ing!” “Omitohud, bagus kalau begitu. Berlututlah!” Sin Beng Lama berseru sambil menghampiri Kun Liong. “Kun Liong, jangan...!” Hong Ing menjerit akan tetapi karena mengkhawatirkan keadaan kekasihnya, Kun Liong sudah maju berlutut di depan Sin Beng Lama. Kakek ini mengeluarkan segulung tali hitam, lalu dibantu oleh Hun Beng Lama dia membelenggu kedua pergelangan tangan Kun Liong di belakang tubuhnya. Tali hitam itu bukanlah sembarang tali, melainkan terbuat dari bulu biruang hitam yang hanya terdapat di pegunungan yang sunyi dari daerah Tibet. Bulu binatang ini amat kuat, tidak mungkin dibacok putus oleh senjata pusaka yang mana pun. Orang hanya dapat membunuh biruang hitam itu dengan jalan menusuknya, sehingga senjata runcing menyusup di antara bulu kuat itu melukai tubuh. Kalau dibacok, jangan harap dapat melukai binatang itu. Akan tetapi tentu saja ada kelemahan bulu itu bagi yang mengerti. Kun Liong membiarkan kedua tangannya dibelenggu tanpa mengadakan perlawanan. “Hong Ing, jangan melawan, menurutlah saja. Kurasa para Losuhu ini tidak akan berniat buruk.” “Omitohud, sama sekali tidak, Yap-taihiap. Engkau sungguh gagah dan kami bukanlah orang-orang yang tidak menghargai orang pandai. Kami ingin sekali bersahabat dengan Taihiap.” Sin Beng Lama berkata den halus penuh bujukan. Akan tetapi dengan sinar mata tajam dan suara tegas, Kun Liong kepada ketua para Lama Jubah Merah itu dan berkata, “Losuhu, aku menyerah bukan karena ingin bersahabat dengan Losuhu sekalian, melainkan karena Losuhu berjanji tidak akan mengganggu Hong Ing. Sekarang, setelah aku menyerah, harap lekas bebaskan Hong Ing dan lakukan apa saja yang Losuhu sukai terhadap diriku.” “Kun Liong...!” Hong Ing yang sudah dilepas oleh Lak Beng Lama karena pemuda lihai itu telah dibelenggu, cepat lari menubruk pemuda itu, merangkulnya sambil menangis. “Kun Liong... oh, Kun Liong...!” Hong Ing hanya dapat meratap karena hatinya menyesak oleh perasaan terharu. Seturuh kerinduan hatinya menyesak di dada, kegirangan melihat pemuda ini kembali bercampur dengan kekhawatiran melihat kekasihnya menyerah dan dibelenggu. Dia merangkul memeluk, mendekapkan mukanya yang basah oleh air mata itu di pipi, leher, dan dada Kun Liong yang menunduk dan mencoba meredakan hati kekasihnya. “Tenanglah, Hong Ing. tenanglah...” Akan tetapi mana mungkin hati Hong Ing dapat ditenangkan kalau dia teringat bahwa dia akan dikorbankan kepada dewa di depan mata Kun Liong seperti yang telah dijanjikannya kepada Sin Beng Lama? Siasatnya memang berhasil membawa Kun Liong menyusulnya ke tempat ini, akan tetapi kesudahannya sama sekali berbeda dengan yang dikehendakinya. Dia mengharapkan kedatangan Kun Liong bersama Cia Keng Hong untuk melawan para pendeta Lama itu dan membebaskan dia dan ayahnya, akan tetapi hasilnya jauh berlainan. Ayahnya tidak mau membantu, dan Kun Liong menyerah untuk melindunginya! Bagaimana dia dapat tenang menghadapi malapetaka ini? “Mundurlah kau!” Lak Beng Lama menarik lengan Hong Ing sehingga terlepas dari rangkulan pada leher Kun Liong. “Hong Ing, sekarang Yap-taihiap sudah datang, kau harus memenuhi janjimu.” Sin Beng Lama berkata, suaranya halus akan tetapi nadanya mengandung paksaan dan ancaman. Dengan kedua mata masih basah Hong Ing memandang kepada Kun Liong yang masih berdiri tegak dengan lengan terikat ke belakang. Pemuda itu memandangnya dengan tenang dan bibirnya tersenyum seperti hendak menghibur dan membesarkan hatinya. Maklumlah dara ini bahwa siasatnya telah gagal sama sekali, bahkan dia telah menyeret Kun Liong ke dalam bahaya maut. Dia tahu pula akan kepalsuan hati para paman gurunya, maka dia khawatir sekali akan keselamatan kekasihnya itu. “Susiok, aku hanya mau berkorban diri kalau Susiok bertiga suka berjanji takkan membunuh Yap Kun Liong.” “Hong Ing, apa maksudmu berkorban diri?” Kun Liong bertanya dengan tiba-tiba dan hatinya berdebar tegang. Akan tetapi Hong Ing menundukkan mukanya tidak berani menjawab. Kalau dia bicara terus terang, tentu Kun Liong akan marah-marah kepada para pendeta dan memberontak. Dalam keadaan sudah terbelenggu seperti itu, hasilnya tentu akan sia-sia, bahkan akan membahayakan keselamatannya, maka dia diam saja, bahkan mendesak Sin Beng Lama. “Sin Beng Susiok, bagaimana? Tanpa janji Sam-wi untuk membebaskan Kun Liong segera setelah saya berkorban, saya tidak akan mau dan saya akan membunuh diri kalau dipaksa!” Tanpa ragu-ragu lagi Sin Beng Lama berkata, “Kami berjanji! Kami akan segera membebaskan Yap Kun Liong setelah kau selesai berkorban diri untuk dewa.” Hong Ing menoleh kepada Kun Liong, menarik napas panjang dan terisak, lalu menunduk dan berkata, “Kalau begitu, saya bersedia.” Sin Beng Lama merasa girang sekali. “Hayo kauikut denganku untuk menghafal doa penyeberangan ke kahyangan! Sute berdua, harap bawa Yap-taihiap ke kamar tamu dan menjaganya baik-baik.” Kakek ini lalu menggandeng lengan Hong Ing, dituntunnya gadis ini pergi dari situ masuk ke dalam. “Hong Ing...! Losuhu, nanti dulu! Hong Ing, jelaskan kepadaku apa artinya ini semua! Apa artinya pengorbanan itu!” teriak Kun Liong. Akan tetapi Hong Ing yang memandang kepadanya, hanya menggeleng kepala dan air matanya bercucuran, kemudian dengan cepat dia mengikuti Sin Beng Lama berjalan masuk. Kun Liong hendak mengejar, akan tetapi Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama memegang kedua lengannya dari kanan kiri, Hun Beng Lama berkata, “Harap kau tidak memberontak. Kaulihat sendiri bahwa kami tidak melakukan paksaan kepada Pek Hong Ing. Dia melakukan segala sesuatu dengan suka rela atas kehendaknya sendiri, semoga para dewa melindunginya.” Kun Liong terpaksa menahan kemarahannya. Ketika dia digiring masuk, dia melirik ke arah mayat-mayat di sekeliling tempat itu dan melihat mayat Hwi Sian dan suaminya, dia memejamkan kedua matanya. “Hwi Sian, kauampunkan aku...” bisik hatinya. Betapa hidupnya yang lalu bergelimang kepalsuan dan dosa, dan bahkan saat ini pun dia tidak berdaya menolong Hong Ing. Ingin dia meronta dan memberontak, namun dia menekan kemarahannya. Hal ini tidak mungkin ia lakukan selama Hong Ing masih berada di tangan mereka. Dia harus bersabar dan melihat perkembangan selanjutnya untuk menentukan sikap. Sementara itu, dengan hati penuh harapan, penuh kegirangan, karena dia merasa yakin bahwa kalau Pek Hong Ing, keturunan Pek Cu Sian yang pernah membikin murka dan kecewa kepada dewa itu dengan suka rela mengorbankan diri menjadi “mempelai dewa” tentu para dewa akan memberkahi dan melindungi Lama Jubah Merah dan membantu mereka dalam “perjuangan” mereka yang suci, Sin Beng Lama menuntun Pek Hong ing ke dalam ruangan sembahyang untuk mengajarkan doa-doa yang harus diucapkannya ketika pengorbanan dilaksanakan. Sebagai seorang dara yang sedikit banyak sudah kemasukan kepercayaan agama itu, kepercayaan tradisi, diam-diam Hong Ing menerima nasib, bahkan dia pun mengharapkan bahwa pengorbanan dirinya selain akan menebus dosa mendiang ibunya, juga akan dapat membebaskan orang yang dicintanya, yaitu Yap Kun Liong, dan membebaskan pula ayahnya dari segala dosa! Dia benar-benar hendak berkorban secara suka rela, demi mereka bertiga itu, terutama sekali demi kebebasan Kun Liong. Maka dia pun menahan kedukaan hatinya dan menghafalkan doa-doa itu dengan tekun tanpa banyak membantah lagi. Hal ini makin menggirangkan hati Sin Beng Lama yang menganggap bahwa dewa telah memilih dara ini maka telah menurunkan kegaiban dan mempengaruhi hati dara itu! Selama tiga hari Kun Liong menjadi tamu yang terbelenggu! Dia diperlakukan dengan baik dan dengan ilmunya melemaskan tubuh Sia-kut-hoat yang telah mencapai tingkat tinggi sekali, dia telah berhasil memindahkan kedua lengannya yang terikat di belakang tubuhnya itu kini menjadi berada di depan tubuhnya! Bagi seorang ahli seperti Kun Liong, tidaklah sukar untuk menurunkan kedua tangan yang terbelenggu di belakang itu melalui bawah pinggulnya, menarik kedua kakinya dan membiarkan belenggu kedua tangan itu terus melalui bawah kedua kakinya yang ditekuk ke atas sehingga kini kedua tangannya berada di depan tubuh, biarpun masih dalam keadaan terbelenggu kedua pergelangan tangannya. Melihat hal ini, Hun Beng Lama hanya memandang kagum, namun mereka merasa lega bahwa pemuda itu tidak dapat mematahkan belenggu. Dengan kedua tangan kini berada di depan, Kun Liong dapat makan dengan mudah dan tidak merasa terlalu tersiksa lagi. Tubuhnya tidak merasa tersiksa, akan tetapi batinnya amat gelisah. Beberapa kali dia membujuk kedua orang pendeta Lama itu untuk menceritakan apa yang telah terjadi, dan apa yang hendak dilakukan oleh Hong Ing. Namun kedua orang itu hanya menjawab, “Harap Tai-hiap bersabar karena Tai-hiap akan menyaksikan dengan mata sendiri apa yang akan dilakukan oleh murid keponakan kami itu. Karena itulah maka Tai-hiap ditahan di sini, agar dapat menyaksikan. Setelah selesai upacara pengorbanan itu, kami pasti akan membebaskan Tai-hiap.” Pada hari ke tiga itu, di halaman belakang markas Lama Jubah Merah telah dibangun sebuah tempat pembakaran yang berupa sebuah panggung kecil dari kayu. Di tengah panggung terdapat sebatang tiang dan di sekeliling tiang ini ditumpuk kayu-kayu yang mudah terbakar. Sebuah meja sembahyang besar telah disiapkan dan di atas meja itu dihidangkan lengkap segala keperluan sembahyang, dan banyak lilin dinyalakan. Tempat itu penuh dengan para anggauta Lama Jubah Merah yang sudah berkumpul di sekeliling tempat pembakaran. Mereka duduk bersila di atas tanah sehingga kelihatan seperti bunga-bunga besar berwarna merah karena mereka semua mengenakan jubah merah mereka. Dengan penuh khidmat para pimpinan yang terdiri dari Sin Beng Lama, Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama dibantu oleh para Lama lain yang tinggi tingkatnya, mengatur meja sembahyang. Tak lama kemudian muncullah Pek Hong Ing, berjalan perlahan-lahan, diikuti dengan sikap penuh hormat oleh para Lama dan disambut sambil membungkuk-bungkuk oleh Sin Beng Lama sendiri yang bersikap seperti seorang pendeta menyambut datangnya tamu agung, dalam hal ini pengantin agung! Semua mata para pendeta, yang telah bertahun-tahun bertapa dan berpuasa terhadap nafsu, terutama sekali nafsu berahi, kini memandang penuh gairah. Bagi pandang mata mereka, Pek Hong Ing bukan lagi manusia, melainkan seorang dewi, seorang calon isteri dewa, karena itu memiliki kecantikan agung, bukan kecantikan jasmaniah belaka yang kasar, kotor dan hanya sedalam kulit! Mereka yakin bahwa kelak, di alam baka, mereka akan bersahabat dengan wanita-wanita seperti ini! Memang pada saat itu, melihat Pek Hong Ing akan menimbulkan rasa takjub, hormat dan kagum. Dara ini telah dirias dengan teliti, kelihatan cantik tapi agung sekali, tidak seperti seorang dara dari darah daging lagi, melainkan sepatutnya telah menjadi seorang bidadari dari kahyangan! Wajahnya yang putih halus itu seolah-olah bersinar, pandang matanya meremang jauh, menembus segala sesuatu di depannya, langkahnya lembut dan agung, kepalanya tegak, tubuhnya lurus dan lenggangnya lemah gemelai. Rambutnya yang mengkilap bersih karena sudah dicuci secara istimewa, hitam subur dan panjang digelung ke atas seperti gelung rambut para dewi dalam dongeng, dihias ratna mutu manikam, gemerlapan tertimpa cahaya matahari pagi. Seluruh pakaian dara itu, sampal ke sepatunya, berwarna putih bersih, dari sutera termahal, sutera yang amat halus sehingga seolah-olah terbayang lekuk lengkung tubuhnya di balik pakaian putih itu. Warna pakaian yang putih bersih ini kelihatan makin mencolok karena dilatarbelakangi warna merah darah dari jubah merah yang dikenakannya. Banyak di antara para pendeta Lama yang hadir di situ memandang bengong, ada yang tanpa disadarinya berlinang air mata, ada pula yang beberapa kali meneguk air liurnya sendiri, ada pula yang langsung merangkap kedua tangan ke depan dada dan mulutnya berkemak-kemik membaca doa untuk memuja para dewata dan mohon kekuatan bagi batinnya yang terguncang hebat. Dengan langkah-langkah yang sudah teratur dan terlatih, Hong Ing menghampiri Sin Beng Lama dan membalas penghormatan kakek ini, menerima hio dan bersembahyang di depan meja sembahyang, berlutut dan membungkuk sampai dahinya yang halus menempel pada permadani yang dibentang di situ, semua gerak-geriknya diikuti oleh mata para pendeta dengan seksama. Setelah selesai bersembahyang, Hong Ing lalu melangkah meninggalkan meja sembahyang, diikuti oleh suara tambur yang sejak tadi dipukul lambat-lambat mengikuti gerakan “pengantin puteri” ini, lalu langsung melangkah menaiki anak tangga ke atas panggung, diikuti oleh Sin Beng Lama, Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama. Tiga orang pendeta ini membawa bunga yang dirangkai menjadi tali yang amat panjang, kemudian, setelah Hong Ing berdiri membelakangi tiang sampai punggung menempel pada tiang, menghadap ke meja sembahyang, tiga orang pendeta itu sambil membaca doa lalu melibat-libatkan tali kembang itu ke seluruh tubuh Hong Ing. Kembang-kembang itu dirangkai dengan menggunakan tali yang kuat dan tahan api, dan hal ini dilakukan untuk menjaga agar sang mempelai akan tetap berdiri ketika dilakukan pembakaran nanti, tetap berdiri dan habis terbakar dalam sikap yang agung. Setelah selesai mengikat Hong Ing pada tiang itu, mereka bertiga turun lalu dimulailah upacara sembahyang dan membaca doa sebelum pembakaran dilakukan. Dengan penuh khidmat dan kesungguhan hati para pendeta itu, dipimpin oleh Sin Beng Lama, bersembahyang dan berdoa dan seluruh panca indria, seluruh perasaan dan perhatian mereka tujukan kepada dewa di langit! Semenjak kecil, kita manusia telah digembleng dan dibentuk oleh tradisi, oleh agama, oleh kebudayaan dan oleh peradaban untuk menjadi permainan daripada kepercayaan-kepercayaan dan karena itu kita hidup tidak bebas lagi. Jalan pikiran kita tidak lagi bebas karena sudah digariskan dan ditentukan oleh kepercayaan yang ditanamkan kepada kita sejak kecil, sesuai dengan masyarakat dan lingkungan masing-masing. Oleh karena itu, kita tidak mengenal hidup seperti apa kenyataannya, melainkan memandang hidup melalui tirai yang berupa kepercayaan, ketahyulan, kebiasaan yang membentuk pendapat-pendapat. Kesemuanya ini diperkuat oleh makin membesarnya si aku yang juga diciptakan oleh pikiran menurut bentukan keadaan dan pendidikan kita. Demikian palsu adanya hidup kita sehingga segala sesuatu yang kita lakukan tidaklah wajar lagi, melainkan sebagai pengulangan belaka dari kebiasaan kita. Segala yang kita lakukan bersumber kepada si aku, sehingga setiap perbuatan kita adalah palsu dan tidak wajar. Namun, kita tidak sadar akan hal ini, dan semua kepalsuan itu telah kita terima sebagai cara hidup kita yang wajar! Kepalsuan dianggap kewajaran, itulah pelajaran kebudayaan kita. Para pendeta Jubah Merah itu pun hidup sebagai benda-benda mati yang hanya bergerak menurut garis yang sudah ditentukan lebih dulu. Mereka tidak mau menyelidiki dan mempelajari lagi apa yang mereka lakukan itu, karena yang terpenting bagi mereka, seperti bagi kita pada umumnya, adalah tujuan daripada perbuatan mereka. Perbuatannya sendiri menjadi tidak penting, karena semua perhatian ditujukan untuk mencapai tujuan. Upacara sembahyang mereka lakukan bukan semata demi sembahyang itu sendiri, melainkan bagi tercapainya yang mereka tuju sebagai hasil dari sembahyang itu. Mereka menghadapi “perjuangan” menumbangkan Pemerintah Tibet, maka mereka melakukan upacara pengorbanan dan sembahyang dengan segala kesungguhan hati, bukan demi upacara itu sendiri, melainkan demi terkabulnya harapan dan cita-cita mereka. Sembahyang, pengorbanan, dan segala upacara itu hanya menjadi cara atau jembatan belaka untuk memperoleh yang mereka kehendaki, yaitu kemenangan dalam “perjuangan” itu, melalui berkah para dewa yang mereka sembah-sembah. Kalau kita mempunyai kepercayaan lain, tentu akan mencela mereka dan mengatakan bahwa mereka tahyul, dan sebagainya. Kita lupa bahwa kita sendiri pun sesungguhnya tidak jauh bedanya dengan mereka! Mari kita membalikkan pandangan mata kita untuk memandang dan meneliti, untuk mengenal keadaan diri sendiri! Kalau kita bersembahyang baik kepada Tuhan, kepada Nabi, kepada Dewa, atau kepada apa saja yang kita puja sebagai kepercayaan kita masing-masing, kepercayaan yang dibentuk oleh keadaan sekeliling atau oleh keadaan keluarga, kelompok, atau bangsa kita masing-masing, apa yang terucapkan oleh mulut atau hati kita? Mari kita menengok diri sendiri. Bukankah kita memohon kepada Tuhan atau Dewa atau Nabi dengan kata-kata masing-masing, “Ya Tuhan berkahilah SAYA, lindungilah SAYA, ampunilah SAYA, bimbinglah SAYA,” atau di dalam kelompok kita berdoa, “Ya Tuhan lindungilah KAMI, berilah kemenangan dalam perang kepada KAMI, ampunilah dosa-dosa KAMI”, dan selanjutnya lagi? Dengan demikian, bukankah seluruh doa dan upacaranya itu semata-mata ditujukan demi kepentingan SAYA, atau KAMI, atau si aku ini! Dengan demikian, apakah ini disebut pemujaan kepada Tuhan atau apa pun yang kita sembah? Ataukah hanya merupakan pemujaan kepada diri sendiri semata-mata? Dengan cara demikian, Tuhan tidak dipentingkan lagi, karena yang penting adalah aku, untukku, bagiku, demi aku, dan seterusnya. Bahkan seolah-olah nama Tuhan hanya kita peralat demi tercapainya segala keinginan kita, keinginan lahir maupun keinginan batin, keinginan memperoleh kedudukan dan kemuliaan di dunia maupun keinginan memperoleh kedudukan dan kemuliaan di alam baka! Bukankah semua ini merupakan kepurapuraan dan kemunafikan yang palsu? Segala macam perbuatan yang dicap sebagai perbuatan baik maupun perbuatan buruk oleh masyarakat kita dan kebudayaannya, segala macam perbuatan itu adalah munafik dan palsu selama di dasarnya terkandung pamrih untuk kepentingan atau kesenangan diri pribadi! Ini sudah jelas dan nyata, bukan? Perbuatan barulah benar kalau digerakkan oleh CINTA KASIH dan cinta kasih bukanlah pamrih dalam bentuk apapun juga. Cinta kasih akan menghilang selama di situ terdapat pamrih! Dan tanpa cinta kasih tidak mungkin ada kebenaran, tidak mungkin ada kebaikan. Kebaikan tidak mungkin dapat dilatih, yang dilatih hanyalah yang palsu, yang berpamrih karena melatih kebaikan itu pun sudah merupakan suatu pamrih yang berselubung halus. Oleh karena itu, marilah kita belajar mengenal diri sendiri dan melihat segala kepalsuan, kemunafikan, keburukan, yang berjejal penuh di dalam hati dan pikiran kita. Dengan memandang dan mengerti, semua itu akan runtuh dan lenyap, dan setelah bebas dari semua itu, baru sinar cinta kasih akan timbul. Ibarat matahari yang sinarnya takkan menimbulkan penerangan karena tertutup awan, demikian pula cinta kasih tidak bersinar karena tertutup oleh awan hitam yang bersumber kepada si aku! Di mana ada si aku, tentu timbul pertentangan dan permusuhan. Karena itu, di mana ada si aku, tidak mungkin ada cinta kasih. Baru saja upacara sembahyang selesai, Sin Beng Lama berkata kepada dua orang sutenya, “Jemput Yap Kun Liong ke sini!” Dua orang pendeta Lama itu bergegas masuk ke dalam markas dan memasuki kamar di mana Kun Liong duduk menanti dengan tenang, dijaga oleh dua losin orang pendeta Lama Jubah Merah. Melihat Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama masuk, Kun Liong berkata, “Ji-wi berjanji akan mempertemukan aku dengan Pek Hong Ing pagi ini.” “Marilah, dia sudah menanti sejak tadi. Upacara sembahyang telah dilakukan, dan kini tinggal menanti kehadiranmu untuk segera melaksanakan upacara pengorbanan,” kata Hun Beng Lama dengan sikap serius. “Pengorbanan...? Hong Ing...?” Kun Liong bangkit berdiri dan bertanya dengan penuh ketegangan. Hun Beng Lama tersenyum dan memegang siku kanan Kun Liong sedangkan Lak Beng Lama memegang siku kirinya. “Marilah, Tai-hiap, kau menyaksikan sendiri dan melihat bahwa kami sama sekali tidak melakukan pemaksaan kepada Hong Ing.” Dengan jantung berdebar penuh ketegangan Kun Liong mengikuti dua orang pendeta Lama ini menuju ke belakang markas dan dia merasa makin gelisah dan tegang melihat banyaknya pendeta yang berkumpul di halaman belakang itu. Sementara itu, di dalam kamar hukuman di mana Kok Beng Lama duduk bersila, Bun Houw berlutut di depan kakek itu sambil menangis. “Suhu...! Suhu...! Kenapa Suhu selama tiga hari tidak mau mendengarkan permintaan teecu (murid)?” Bun Houw berteriak sambil menyusut air matanya. “Terjadi banyak hal luar biasa. Suheng Yap Kun Liong telah datang dan dia ditangkap oleh para Susiok dan dimasukkan kamar tahanan. Teecu sama sekali tidak boleh mendekat, bahkan diancam akan dipukul kalau teecu mendekati kamar itu. Juga Suci Hong Ing selalu berada di kamar sembahyang, tidak boleh teecu dekati. Suhu, semua itu telah terjadi dan Suhu tidak ambil pusing.” Kok Beng Lama termenung, kemudian membuka mata dan menunduk, menatap wajah muridnya yang masih kecil itu, yang kini memandang kepadanya dengan pipi basah air mata. Dia tersenyum lebar. “Bun Houw, engkau muridku penuh semangat, akan tetapi engkau masih kanak-kanak. Engkau tidak tahu bahwa hidup ini baru berharga kalau kita menjaga kehormatan, dan kehormatan baru terjaga kalau kita selalu menyatukan kata-kata dan perbuatan. Pinceng (aku) telah berjanji tidak akan memberontak, mana mungkin engkau. minta pinceng mencampuri urusan para suteku itu?” “Tapi, Suhu...” “Sudahlah, jangan ganggu aku lagi. Pergilah dan latih pelajaranmu,” kakek itu menghardik. Tiba-tiba Bun Houw yang mengusap air matanya itu berkata, suaranya penuh kemarahan, “Aku malu menjadi muridmu!” Kata-kata ini mengejutkan Kok Beng Lama dan kakek ini membuka lagi matanya, memandang wajah yang kini merah dan penuh kemarahan, sepasang mata kecil yang berapi-api ditujukan kepadanya itu. “Apa... apa katamu?” tanyanya penuh keheranan karena selama ini Bun Houw memperlihatkan sikap hormat, penuh sayang, dan penurut kepadanya. “Aku bilang bahwa aku malu menjadi muridmu! Suhu mengecewakan hati, Suhu bukan seorang laki-laki gagah seperti yang kuduga! Suhu pengecut!” Kalau saja tidak ingat bahwa yang bicara adalah seorang anak kecil yang sudah diambil sebagai muridnya, tentu sekali menggerakkan tangan Kok Beng Lama akan membunuh orang yang memakinya pengecut itu! Matanya terbelalak lebar dan telinganya mendengarkan kata-kata anak kecil itu yang terus menyerangnya! “Suhu lebih percaya kepada para Susiok yang jahat itu daripada kepadaku! Suhu bilang memegang janji, akan tetapi apakah mereka juga memegang janji? Tahukah Suhu bahwa sekarang ini, seperti yang kuintai tadi, Suci sedang menghadapi ancaman maut, akan dibakar hidup-hidup? Akan tetapi Suhu tidak mau menolong. Suhu takut dan pengecut...!” Bun Houw tidak menangis lagi, dan kini sudah bangkit berdiri, telunjuk kanannya menuding-nuding ke arah muka kakek itu. “Kau bohong...!” Kok Beng Lama membentak ketika mendengar cerita Bun Houw bahwa puterinya hendak dibakar hidup-hidup! “Suhu lihat sendiri! Kalau saya bohong masib belum terlambat untuk menghukum saya. Suhu boleh bunuh saya.” Anak itu menjawab tegas. Pada saat itu, terdengarlah suara hiruk pikuk di bagian belakang markas, seperti kegaduhan orang-orang yang bertempur, dan di antara suara hiruk pikuk itu pendengaran Kok Beng Lama yang amat tajam menangkap jeritan suara puterinya! Dia mendengus, dan tubuhnya yang tadinya duduk bersila itu, tiba-tiba berkelebat dan seperti terbang cepatnya dia sudah melompat keluar dari kamar itu dan terus berlari ke belakang! Apa yang disaksikannya di halaman belakang markas itu membuat dia terkejut bukan main! Puterinya, dengan pakaian yang biasa dipakai gadis-gadis yang menjadi mempelai dewa, telah berdiri di panggung dengan tubuh berbelit-belit rangkaian bunga dan api di bawah panggung sudah mulai dinyalakan oleh Sin Beng Lama, Hun Beng Lama, dan Lak Beng Lama! Dia melihat puterinya itu memandang ke kanan kiri dan menjerit-jerit, “Kun Liong...! Jangan melawan... oh, Kun Liong!” Kok Beng Lama terheran-heran. Melihat sikapnya dan keadaan di situ, agaknya puterinya itu tidak dipaksa, melainkan dengan suka rela ingin mengorbankan diri kepada dewa. Maka dia menjadi ragu-ragu dan bingung. Untuk merampas puterinya, menolong puterinya seperti yang telah dilakukan dahulu ketika dia menolong dan menyembunyikan Pek Cu Sian, dia tidak berani. Bukan tidak berani kepada para Lama, melainkan tidak berani melanggar janji, dan tidak berani lagi melakukan dosa terhadap dewa yang dimuliakannya. Ketika menoleh ke kiri, dia melihat seorang pemuda sedang mengamuk. Pemuda itu masih terbelenggu kedua tangannya di depan tubuh, dengan belenggu bulu biruang hitam, akan tetapi biarpun kedua tangannya terbelenggu, dengan tangan terangkap dan dengan kedua kakinya, pemuda itu telah merobohkan setiap orang Lama yang berani menghadangnya dan mengeroyoknya! Inilah yang menimbulkan kegaduhan dan kini para pendeta Lama sedang marah dan mulai menggunakan senjata untuk mengeroyok pemuda yang memberontak dan mengamuk itu. “Kalian orang-orang kejam! Akan kubunuh semua kalau Hong Ing tidak dibebaskan!” Kun Liong berteriak-teriak dan beberapa orang pendeta Lama terlempar jauh tersambar tendangan kakinya yang dilakukan dengan kemarahan meluap-luap tercampur rasa gelisah yang hebat melihat betapa kekasihnya akan dibakar hidup-hidup! “Manusia lancang! Dia dengan suka rela hendak mengorbankan diri menjadi mempelai dewa, ada sangkut-pautnya apa denganmu!” bentak seorang Lama dengan marah. Mendengar ini, Kok Beng Lama makin bingung. Dia sudah berjanji tidak akan memberontak, dan tentu saja dia merasa bahwa dia bersalah kalau sampai dia mencegah puterinya yang hendak melakukan pengorbanan diri, suatu hal yang amat dimuliakan di dalam tradisi mereka. Akan tetapi, tentu saja dia pun tidak akan dapat membiarkan puterinya tewas begitu saja dan melihat sepak-terjang pemuda itu yang amat hebat, dia mendapat akal. Sambil mengeluarkan suara gerengan hebat dia menyerbu ke depan, mendorong semua Lama ke pinggir kemudian dia menyerang Kun Liong dengan hebatnya! Melihat munculnya Kok Beng Lama, semua Lama, termasuk tiga orang pimpinan Lama, menjadi terkejut sekali. Akan tetapi hati mereka menjadi lega ketika melihat betapa Kok Beng Lama menyerang Kun Liong. Diam-diam Sin Beng Lama tersenyum girang melihat suhengnya telah benar-benar bertobat dan hendak menebus dosa terhadap dewa itu. Dengan adanya suhengnya itu yang membantu, tentu perjuangan mereka akan lebih mantap lagi. Sementara itu, Kun Liong sudah mengenal kakek tinggi besar yang muncul ini, kakek yang bernama Kok Beng Lama dan yang dulu pernah menolong dia dan Hong Ing, yang kemudian dia ketahui adalah ayah kandung dara itu. “Lociapwe, saya hendak menolong Hong Ing!” katanya ketika kakek itu menerjangnya. Namun terlambat, serangan telah tiba dan hebat bukan main serangan kaki itu. Pukulan yang dahsyat, mendatangkan hawa pukulan seperti halilintar menyambar, menuju ke arah dadanya. Kun Liong mengangkat kedua lengannya yang masih terbelenggu, mengerahkan sin-kangnya menangkis dari kiri ke kanan. DESSS... belenggu itu kalah oleh api...!” Tubuh Kun Liong terpental ke belakang sedangkan Kok Beng Lama juga terhuyung-huyung. Hal ini amat mengejutkan Kok Beng Lama karena pertemuan tenaga tadi membuktikan bahwa tenaga sin-kang pemuda itu amat kuatnya, tidak kalah kuat olehnya sendiri, bahkan mungkin lebih kuat atau setidaknya berimbang. Akan tetapi, Kun Liong juga terkejut dan girang karena pada saat lengan mereka bertemu tadi, dia mendengar bisikan kakek itu. Tahulah bahwa ayah kandung Hong Ing itu membantunya secara diam-diam dan dia tahu pula bahwa belenggu yang amat kuat itu, lebih kuat dari besi yang akan dapat dia patahkan, kiranya ada rahasia kelemahannya, yaitu api! “Haiiiihhhh!” Lengking yang nyaring keluar dari dalam dada Kun Liong ketika tubuhnya melayang ke arah panggung yang mulai terbakar! Dia meloncat tinggi melewati kepala para pengeroyoknya dan ketika dia turun di dekat panggung, cepat dia merobohkan empat orang yang lari menerjangnya. Kemudian dia membalik, mengulur kedua tangannya ke api yang sudah menyala di bawah panggung. Betapa girang rasa hatinya ketika melihat lidah api menjilat belenggunya dan seperti daun kering saja, bulu-bulu hitam itu dimakan api dan dalam sekejap mata dia telah bebas! Berkat sin-kangnya yang tinggi, dia dapat menjaga kulit pergelangan tangannya sehingga tidak hangus oleh bakaran api yang tidak terlalu lama itu. Kembali beberapa orang pendeta Lama mengeroyoknya dan kembali dia merobohkan empat orang. Akan tetapi dia melihat Kok Beng Lama juga lari mengejarnya, tepat pada saat Sin Beng Lama, Hun Beng Lama, dan Lak Beng Lama tiba di situ. Dan kini Kok Beng Lama berdiri melindunginya, bahkan menghadapi tiga orang sutenya sambil bertolak pinggang! “Pengkhianat, kau berani membuat dosa lagi?” Sin Beng Lama membentak. “Kau tidak malu untuk melanggar janji?” “Sin Beng Lama, pikir dulu baik-baik sebelum membuka mulut!” bentak Kok Beng Lama dengan mata melotot. “Siapa yang melanggar janji? Siapa yang membuat dosa? Tidak ada buktinya bahwa aku memberontak, maka aku tidak melanggar janji. Sebaliknya, kalian berjanji takkan mengganggu anakku buktinya kalian hendak mengorbankan dia!” Tiga orang pimpinan Lama itu khawatir sekali melihat betapa Kun Liong sudah meloncat naik ke atas panggung dan bergegas membebaskan kekasihnya dari tiang yang sudah dihampiri oleh lidah api itu, kemudian menarik dara itu menjauhi api. “Kun Liong...!” “Hong Ing...!” Mereka berpelukan, berdekapan, berciuman tanpa mempedulikan keadaan di sekeliling mereka. “Kun Liong... hu-huhhh... Kun Liong...!” Berkali-kali Hong Ing menyebut nama kekasihnya dengan mesra, akan tetapi dengan suara merintih dan menangis. Kun Liong mengusap rambut kekasihnya penuh kemesraan, diangkatnya muka dara itu dan dipandangnya sampai lama dengan mata basah. “Hong Ing... kekasihku, pujaan hatiku... syukur aku tidak terlambat, semua ini berkat pertolongan ayahmu...” “Ayah...?” Hong Ing yang masih berpelukan dengan kekasihnya itu menoleh ke bawah panggung. Juga Kun Liong kini teringat bahwa mereka masih belum bebas dari ancaman bahaya, masih terkepung oleh banyak lawan, maka cepat dia memandang ke bawah panggung. Kok Beng Lama masih berhadapan dengan tiga orang sutenya, dan kini kakek itu berkata lantang, “Apa? Kau bilang bahwa anakku secara suka rela hendak mengorbankan dirinya? Benarkah itu? Mana buktinya? Itu dia, aku akan bertanya. Heiii, Hong Ing, benarkah kau dengan suka rela hendak mengorbankan dirimu menjadi mempelai dewa yang mulia?” “Tidak, Ayah! Mereka memaksaku karena mereka menangkap Kun Liong dengan cara yang curang! Mereka mengancam hendak membunuhku sehingga Kun Liong menyerahkan diri dan untuk menolong agar Kun Liong tidak dibunuh, aku mau dibakar asal Kun Liong tidak diganggu. Mereka itu pendeta-pendeta yang berhati palsu!” “Locianpwe, mereka adalah pemberontak-pemberontak yang bersekutu dengan Pek-lian-kauw untuk merampas Kerajaan Tibet dan Kerajaan Beng!” Kun Liong juga berteriak. “Pengkhianat dan manusia rendah!” Sin Beng Lama sudah membentak marah sekali karena rahasianya dibongkar. Biarpun dia maklum akan kelihaian bekas suhengnya ini dan juga betapa pemuda itu memiliki kepandaian tinggi, namun dengan bantuan banyak anak buahnya, juga pasukan-pasukannya bersama pasukan Pek-lian-kauw berada di luar markas, tentu saja dia tidak takut. “Serbuuu...! Bunuh mereka manusia-manusia berdosa ini!” Teriaknya nyaring dan dia sendiri bersama Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama sudah menerjang Kok Beng Lama. “Locianpwe, jangan khawatir, saya akan membantu!” Kun Liong berteriak sambil membawa Hong Ing meloncat turun dari panggung yang sudah terbakar. “Desss...! Dukkk! Dukkk!” Tiga orang pimpinan Lama itu terdorong ke belakang ketika lengan Kok Beng Lama menangkis mereka dengan kekuatan yang amat dahsyat. Kok Beng Lama menoleh ke arah Kun Liong sambil berseru, “0rang muda, jangan bantu aku. Kaubawalah Hong Ing menyingkir, selamatkan dia, aku serahkan dia kepadamu dengan berkatku!” Kun Liong mengangguk. “Hong Ing, mari kita pergi...!” katanya sambil memegang pergelangan tangan kekasihnya. Hung Ing merenggutkan tangannya terlepas. “Tidak! Aku tidak mau meninggalkan Ayah dalam bahaya. Aku harus bantu dia! Aku akan menjadi seorang anak tak berbakti yang selamanya akan tersiksa batinku kalau aku meninggalkan ayahku yang sedang terancam bahaya.” Kun Liong memandang kekasihnya dengan wajah berseri dan dia tersenyum, merangkul dan mencium dahi Hong Ing. Bagus! Memang begitulah seharusnya seorang wanita gagah dan berbakti. “Aku kagum kepadamu, Hong Ing, aku bangga!” Kun Liong dan Hong Ing lalu menyerbu dan membantu Kok Beng Lama yang dikeroyok tiga oleh pimpinan Lama Jubah Merah yang sakti itu. Akan tetapi, para Lama menyerbu dan mengepung mereka sehingga terpaksa Kun Liong dan Hong Ing tidak dapat mendekati Kok Beng Lama dan menghadapi pengeroyokan puluhan orang pendeta Lama. Mereka ini juga tidak berani membantu pimpinan mereka karena mereka maklum bahwa mencampuri pertandingan antara pimpinan Lama Jubah Merah amatlah berbahaya, sama dengan mengantar nyawa. Apalagi mereka memang merasa gentar terhadap Kok Beng Lama yang merupakan tokoh tertua di antara mereka, tokoh paling sakti pula. Terjadilah pertandingan yang hebat sekali. Kok Beng Lama mengamuk dikeroyok oleh tiga orang sutenya, sedangkan Kun Liong bersama Hong Ing mengamuk dikeroyok puluhan orang pendeta Lama. Sementara itu, api dari panggung menjilat-jilat ke mana-mana dan karena tidak ada yang mengurus, api itu bahkah kini menjilat ke bangunan belakang markas itu! Betapa pun saktinya Kok Beng Lama, menghadapi pengeroyokan tiga orang sutenya yang penuh kemarahan itu, dia mulai terdesak juga. Demikian pula dengan Kun Liong yang menghadapi pengeroyokan puluhan orang pendeta, bahkan masih ada puluhan orang lain yang siap mengeroyoknya menggantikan kawan yang roboh, di samping itu Kun Liong harus selalu melindungi kekasihnya pula. Keadaan mereka makin terdesak dan terancam hebat. Tiba-tiba terdengar suara sorak-sorai dan kegaduhan luar biasa di sebelah luar markas itu dan biarpun belum dapat melihat dengan mata kepala sendiri, Sin Beng Lama dan dua orang sutenya maklum bahwa pasukan mereka yang berada di luar telah diserbu musuh dan terjadi perang di luar markas. Tentu saja mereka terkejut bukan main dan Sin Beng Lama berteriak kepada seorang anak buahnya untuk menyelidiki keluar markas. Sebentar saja ributlah para pendeta Lama ketika terdengar berita bahwa di luar markas, tentara Pemerintah Beng telah menyerbu dan kini sedang berperang melawan pasukan Lama Jubah Merah yang dibantu oleh pasukan Pek-lian-kauw! Mendengar ini, para pendeta Lama yang tidak memperoleh kesempatan ikut mengeroyok Kun Liong dan Hong Ing, berserabutan lari keluar dari markas untuk membantu teman-teman mereka berperang menghadapi penyerbuan bala tentara Beng. Tiba-tiba terdengar suara keras dan pintu gerbang yang tadinya ditutup oleh para pendeta Lama yang menjaga di dalam, bobol dan berbondong-bondong masuklah bala tentara Beng dipimpin oleh dua orang laki-laki dan wanita yang amat gagah perkasa. Mereka ini bukan lain adalah Pendekar Sakti Cia Keng Hong dan isterinya, pendekar wanita Sie Biauw Eng! Bagaikan sepasang naga yang marah mengamuk, suami isteri ini menyerbu ke dalam dan setiap lawan yang berani menghadang tentu roboh dan tak dapat bangkit kembali. Ketika melihat munculnya suami isteri pendekar ini, Kun Liong merasa girang bukan main karena kini dia merasa yakin bahwa dia, Hong Ing, dan ayah kekasihnya akan tertolong dari bahaya maut. “Supek... Supekbo...!” teriaknya girang. “Harap Ji-wi suka membantu Kok Beng Lama Locianpwe menghadapi pimpinan mereka yang lihai!” Mendengar ini dan melihat Kun Liong bersama seorang dara cantik mengamuk menghadapi pengeroyokan banyak pendeta Lama, Keng Hong dan isterinya agak terheran, akan tetapi mereka, diikuti oleh beberapa orang pengawal dari Panglima Besar The Hoo yang memimpin pasukan, lalu menyerbu ke tengah di mana Kok Beng Lama bertanding melawan tiga orang pendeta Lama Jubah Merah yang amat lihai. Melihat kedatangan mereka itu, Sin Beng Lama mendengus marah, mengeluarkan seikat dupa dari sakunya dan sekali tiup, api di ujung lima dupa yang dipegangnya telah membakar semua ujung hio seikat itu, kemudian cepat sekali tangannya bergerak-gerak menyambit-nyambitkan dupa-dupa biting yang sudah membara ujungnya itu ke arah Cia Keng Hong, Sie Biauw Eng, dan para pengawal. Tampak sinar-sinar kecil beterbangan ke arah pendatang-pendatang ini. “Awas...!” Cia Keng Hong berseru keras. Dia dan isterinya cepat menggerakkan kaki tangannya, kakinya menendangi hio-hio yang beterbangan di bawah, sedangkan jari-jari tangan mereka menyambar dan menjepit hio-hio yang menyambar tubuh atas mereka, lalu melempar benda-benda itu ke atas tanah. Akan tetapi, di belakang mereka terdengar jeritan-jeritan dan ternyata ada empat orang pengawal yang roboh berkelojotan, terkena hio-hio membara yang menancap di tubuh mereka. Cia Keng Hong dan isterinya terkejut sekali. Para pengawal itu adalah orang-orang yang memiliki tingkat kepandaian cukup tinggi, namun ternyata tidak mampu menghindarkan diri dari sambaran hio-hio tadi dan sekali terkena senjata rahasia istimewa itu roboh berkelojotan dalam keadaan sekarat. Mereka menjadi marah, maklum bahwa mereka menghadapi lawan tangguh, maka Cia Keng Hong lalu mengeluarkan pedang Siang-bhok-kiam yang sejak tadi tidak pernah dipergunakannya itu. Pedang Kayu Harum ini mengeluarkan cahaya kehijauan ketika dicabut dan dengan mata memandang tajam dia bersama isterinya menerjang ke depan, disambut oleh Hun Beng Lama dah Lak Beng Lama. “Trakkkk-trakkk!” “Trangg! Cring...!” Tasbih di tangan Hun Beng Lama bertemu dengan Siang-bhok-kiam dan Lama itu tergetar hebat, terhuyung ke belakang dan memandang dengan mata terbelalak. Juga tongkat di tangan Lak Beng Lama bertemu dengan Pek-in Sin-pian (Cambuk Lemas Sakti Awan Putih) yang berupa sehelai sabuk sutera putih yang dapat digerakkan menjadi kaku seperti baja oleh tangan halus yang penuh tenaga sin-kang sehingga kakek ini juga terkejut dan terhuyung ke belakang. Sin Beng Lama yang kini harus menghadapi bekas suhengnya sendirian saja, segera terdesak hebat oleh Kok Beng Lama. Dari kedua ujung lengan jubah Kok Beng Lama menyambar-nyambar angin dahsyat dan betapa pun Sin Beng Lama berusaha untuk menyerang dengan dupa-dupa membaranya, percuma saja karena terkena sambaran angin itu dupa-dupanya menjadi padam dan patah-patah. Terpaksa Sin Beng Lama mencabut sebatang pedang lemas yang tadinya dipergunakan sebagai ikat pinggang. Sinar terang menyilaukan mata tampak dan disusul suara berdesing tinggi ketika sinar ini menyambar ke arah Kok Beng Lama. Kakek tinggi besar ini terkejut, mengelak cepat namun tetap saja kulit lehernya robek berdarah. Sambil menyeka darah di lehernya, Kok Beng Lama mendengus dan memandang penuh kemarahan kepada bekas sutenya. “Manusia munafik!” Kok Beng Lama membentak dan menggerakkan kedua tangannya menyerang dengan lembut. Sin Beng Lama diam saja, kemudian cepat menggerakkan pedangnya yang mengeluarkan sinar kilat putih menyilaukan mata itu. Dia tidak dapat menjawab makian bekas suhengnya karena dia tahu bahwa dia telah melanggar sumpah, sumpah kepala Lama Jubah Merah. Pedang itu adalah pedang pusaka yang selalu menjadi pegangan seorang Kepala Lama Jubah Merah, akan tetapi membunuh merupakan pantangan bagi seorang kepala Lama, apalagi membunuh dengan pedang pusaka ini! Pantangan ini diperkuat dengan sumpah bahwa kalau seorang Kepala Lama melanggarnya, dia akan tewas di ujung pedang pusaka itu sendiri. Dan kini, karena merasa tidak kuat menandingi bekas suhengnya, Sin Beng Lama melanggar sumpahnya sendiri dan mengandalkan pedang pusaka itu untuk memperoleh kemenangan. Sambil mengeluarkan suara menggereng yang keluar dari dadanya, Kok Beng Lama menghadapi pedang pusaka di tangan Sin Beng Lama itu. Kedua lengan kakek tinggi besar ini mengeluarkan hawa pukulan yang amat kuat sehingga gulungan sinar pedang putih selalu terdorong mundur. “Robohlah...!” Sin Beng Lama berteriak, melakukan penyerangan kilat, pedang pusakanya menyusul tangan kiri yang mencengkeram ke arah ubun-ubun, menusuk dari samping menuju lambung lawan. Kok Beng Lama maklum akan jurus serangan yang amat berbahaya ini, akan tetapi dia sudah mengambil keputusan nekat untuk membunuh bekas sutenya yang kejam dan hampir membunuh anaknya itu. Apalagi mendengar dari Kun Liong tadi bahwa sutenya ini telah menyelewengkan perkumpulan mereka, bersekutu dengan Pek-lian-kauw untuk merampas Kerajaan Tibet. Sungguh merupakan dosa yang tak dapat diampunkan. Bagaikan sepasang garuda yang menyambar cepatnya, kedua tangannya bergerak, yang kanan menangkap tangan sutenya yang mencengkeram ke arah ubun-ubun, yang kiri dengan gerakan membalik dari samping, dengan telapak tangan terbuka memukul ke arah pedang yang menusuk lambungnya. “Desss! Trangggg...!” Pedang itu terlepas dari pegangan, bahkan tangan kanan Sin Beng Lama sudah tertangkap pula oleh tangan kiri Kok Beng Lama sehingga kini kedua tangan Ketua Lama Jubah Merah telah ditangkap oleh bekas suhengnya! Keduanya saling mengerahkan sin-kang, namun tahulah Sin Beng Lama bahwa dia kalah tenaga dan kedua lengannya sudah menggigil hebat. “Haaaaiiiikkkk...!” Tiba-tiba Sin Beng Lama mengeluarkan pekik yang menggetarkan seluruh tempat itu dan kepalanya yang gundul menyeruduk seperti seekor kerbau mengamuk ke arah perut Kok Beng Lama. Inilah serangan maut yang amat berbahaya karena kepala gundul yang kini mengeluarkan uap putih itu mengandung pemusatan sin-kang yang amat dahsyat sehingga batu karang sekalipun akan hancur lebur kalau kena diseruduk oleh kepala ini! “Ceppppp...!” Kok Beng Lama yang melihat serangan ini, tidak mengelak bahkan memasang perutnya, menerima serudukan, bahkan perutnya yang gendut itu tiba-tiba menjadi lunak sekali, membuat kepala Sin Beng Lama menancap ke dalam rongga perutnya, terus disedot dengan pengerahan sin-kang. Terdengar suara berkerotokan keras dan tubuh Sin Beng Lama menjadi lemas. Ketika Kok Beng Lama menarik napas panjang dan melembungkan lagi perutnya, tubuh Sin Beng Lama terlempar ke belakang dalam keadaan tak bernyawa lagi karena kepalanya retak-retak dan remuk di sebelah dalamnya. Kok Beng Lama membalikkan tubuh untuk mencari dua orang musuhnya lagi, yaitu Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama. Begitu dia memandang, dia menjadi bengong dan terbelalak. Dua orang pendeta lama itu sedang bertanding melawan seorang laki-laki dan seorang wanita yang memiliki gerakan amat luar biasa hebatnya. Pada saat itu, sabuk sutera putih di tangan wanita cantik itu melayang seperti seekor naga putih, menyambar-nyambar ke arah Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama dan ketika kedua orang pendeta Lama ini menggerakkan tasbih dan tongkat untuk menangkis, kedua uJung sabuk itu telah melibat senjata-senjata mereka! Kedua orang Lama ini mengerahkan tenaga untuk menarik dan membikin putus dan rusak sabuk sutera putih, akan tetapi pada saat itu, berkelebat sinar kehijauan dari Pedang Kayu Harum, dan dua orang pendeta Lama itu mengeluh lalu roboh dan tak dapat bangkit kembali. Sedemikian cepatnya pedang itu menembus dada dan keluar lagi sehingga tidak tampak oleh pandangan mata. Siasat kerja sama yang dilakukan oleh Cia Keng Hong dan Sie Biauw Eng memang hebat. Tadinya, ketika Keng Hong menghadapi Hun Beng Lama dan Biauw Eng melawan Lak Beng Lama, keadaan ramai bukan main. Keng Hong dapat mendesak Hun Beng Lama, namun, Biauw Eng merasa repot menghadapi serbuan tongkat Lak Beng Lama sehingga sampai lama kedua orang suami isteri perkasa ini belum mampu merobohkan lawan. Tiba-tiba Biauw Eng berseru keras dan ini adalah tanda bagi suaminya akan siasatnya bekerja sama. Dan ternyata berhasil baik karena selagi kedua orang lawan tangguh itu bersitegang untuk menarik kembali senjata dan merusak sabuk sutera, Siang-bhok-kiam di tangan Keng Hong memperoleh kesempatan untuk melakukan serangan kilat yang berhasil baik. Kok Beng Lama mengeluarkan suara gerengan hebat. Dia kaget dan heran, juga kagum akan tetapi marah sekali. Dia kaget dan heran melihat betapa dua orang sutenya itu sampai kalah, kagum melihat kelihaian suami isteri perkasa itu, akan tetapi dia marah sekali setelah kini melihat betapa para pendeta Lama diserbu oleh musuh dan banyak yang telah roboh dan tewas. Setelah kini tiga orang sutenya tewas semua, lenyap pulalah semua permusuhan di dalam hatinya terhadap perkumpulan Lama Jubah Merah, bahkan timbul kemarahannya karena dia merasa bahwa golongannya diserbu musuh. Sambil berteriak marah dia menyambar pedang pusaka yang tadi dipergunakan Sin Beng Lama, lalu berlari ke depan menyerang Keng Hong dan Biauw Eng. “Singgg... trangg-trakkk... singgg...!” Keng Hong dan Biauw Eng yang sudah menangkis itu terdorong ke belakang dan mereka terkejut. Kiranya pendeta Lama tinggi besar ini bahkan jauh lebih lihai lagi dibandingkan dengan dua orang pendeta Lama yang telah berhasil mereka robohkan! Namun, Keng Hong cepat mendahului isterinya, menggerakkan Siang-bhok-kiam menerjang kakek itu sambil berseru, “Mundurlah, biarkan aku menghadapinya!” Biauw Eng mengerti akan peringatan suaminya. Memang suaminya telah melihat betapa lihainya Lama tinggi besar ini sehingga kalau dia maju, akan membahayakan dirinya. Betapapun juga, Biauw Eng siap dengan sabuk sutera di tangannya, siap membantu kalau suaminya sampai terdesak dan terancam keselamatannya. Serangkaian serangan pertama yang dilakukan Keng Hong terhadap Kok Beng Lama amatlah hebatnya sehingga mengejutkan hati pendeta Lama tinggi besar itu. Sinar kehijauan dari Siang-bhok-kiam diikuti bau yang harum dan halus menyambar-nyambar, mula-mula dari atas dengan gerakan miring membacok ke bawah mengarah leher, ketika dapat ditangkis oleh pedang di tangan kakek tinggi besar itu, pedang Siang-bhok-kiam terus menyeleweng ke samping dan membacok serta menusuk bertubi-tubi mengarah tujuh jalan darah terpenting di tubuh depan lawan, sedangkan tangan kiri pendekar sakti itu mengimbangi gerakan pedang, melakukan pukulan-pukulan tangan kosong dari jurus Thai-kek Sin-kun disertai tenaga mujijat Thi-khi-i-beng! Kok Beng Lama repot setengah mati menghadapi serangkaian serangan ini, menangkis dengan pedang, dengan lengan kiri, mengelak dan berloncatan ke sana-sini sehingga akhirnya dia mampu lolos dari serangkaian serangan itu, setelah meloncat ke belakang dia lalu menyerbu ke depan dan membalas dengan serangannya yang tak kalah dahsyatnya sehingga kini tiba giliran Keng Hong untuk menghadapi serangan itu dengan kaget namun berhasil pula menyelamatkan diri. Terjadilah serang-menyerang yang amat seru dan Biauw Eng yang menonton di pinggir harus mengakui bahwa agaknya baru sekarang ini suaminya menghadapi tanding yang amat kuat dan seimbang! Dan biarpun tingkat kepandaiannya sendiri sudah tinggi, namun dia tahu bahwa dia sendiri bukanlah lawan pendeta Lama tinggi besar ini. “Supek... harap tahan senjata... Locianpwe ini bukan musuh...!” “Ayah...! Ayah, jangan melawan, Ayah...!” Munculnya Kun Liong dan Hong Ing ini membuat Keng Hong dan Kok Beng Lama meloncat mundur. Kun Liong menghampiri Keng Hong yang memandangnya dengan alis berkerut penuh pertanyaan, sedangkan Hong Ing lalu mehubruk ayahnya. “Ayah, lekas... markas terbakar dan Sute berada di dalam...!” Kok Beng Lama terbelalak dan cepat membalikkan tubuhnya memandang markas yang benar-benar telah menjadi lautan api itu. Dia menyelipkan pedang pusaka di pinggangnya, kemudian terdengar dia mengeluarkan seruan yang keras sekali seperti gerengan seekor singa. “Bun Houw...!” Dan tubuhnya yang tinggi besar sudah melesat ke depan. “Brakkkkk!” Dinding itu diterjangnya saja sampai ambrol. “Bresss!” Dinding yang ke dua ambrol lagi dan tampak kakek itu menerjang melalui dinding yang diruntuhkannya memasuki lautan api! “Ayaaahhh...!” Hong Ing juga lari ke arah lautan api, akan tetapi tiba-tiba pinggangnya dirangkul Kun Liong dari belakang. Dara itu meronta dan menangis. “Biarkan aku menyusul Ayah!” Namun Kun Liong memperkuat pelukannya. “Hong Ing... ingatlah, ayahmu sedang berusaha menyelamatkan Bun Houw, tidak ada gunanya engkau membuang nyawa sia-sia di situ.” Sementara itu, Keng Hong dan Biauw Eng menjadi pucat mukanya ketika melihat kakek tinggi besar tadi menerjang api dan meneriakkan nama Bun Houw, putera mereka! “Kun Liong, apa artinya ini? Mana Bun Houw?” Keng Hong bertanya. “Supek, saya pun baru saja mendengar dari Hong Ing bahwa Adik Bun Houw berada di sini, di dalam markas yang terbakar itu.” Hong Ing kini menghadapi Cia Keng Hong dan isterinya, tanpa banyak sopan santun lagi karena keadaan sedang tegang seperti itu segera berkata, “Sute Cia Bun Houw diambil murid oleh Ayah... dan... kini Ayah sedang mencarinya ke dalam sana...” “Houw-ji (Anak Houw)...!” Sie Biauw Eng menjerit. “Harap Supek-bo tenang...!” Kun Liong berkata khawatir melihat keadaan nyonya yang perkasa itu, yang memandang ke arah api dengan mata terbelalak. “Ayahku lebih tahu akan keadaan di dalam, mudah-mudahan dapat menyelamatkan Sute.” Hong Ing berkata lirih, seperti kepada diri sendiri. “Aku akan mencarinya!” Biauw Eng hendak meloncat, akan tetapi tangannya disambar suaminya. “Ucapan Nona ini tepat. Ayahnya lebih mengenal keadaan, kalau kau atau aku yang masuk ke lautan api itu tanpa mengenal keadaan dan tanpa mengetahui persis di mana adanya Bun Houw sama dengan membunuh diri.” “Aku tidak takut mati untuk membela anakku!” Biauw Eng berteriak marah dan meronta. Keng Hong terpaksa merangkul dan memeluknya seperti yang dilakukan oleh Kun Liong kepada Hong Ing tadi. “Siapa takut mati? Aku pun tidak takut, akan tetapi perlukah mati konyol? Bagaimana kalau nanti Bun Houw selamat akan tetapi kita berdua mati terbakar di sana?” Kata-kata ini dapat diterima oleh Biauw Eng. Dia memandang dengan muka pucat dan menahan napas. Bukan hanya dia, juga Keng Hong, Kun Liong, dan Hong Ing memandang ke arah lautan api dengan muka pucat dan menahan napas, dalam suasana yang amat menegangkan hati. Sampai lama mereka berdiri tanpa bergerak, seolah-olah mereka lupa keadaan sekeliling di mana masih terdapat pertempuran-pertempuran berat sebelah antara pasukan pemerintah melawan para pendeta Lama yang hanya melakukan perlawanan dengan setengah hati karena selain pasukan Pek-lian-kauw sudah kocar-kacir dan lari bersama pasukan sukarela terdiri dari penduduk dusun, juga pimpinan mereka telah tewas semua. Tiba-tiba terdengar suara tertawa bergelak dari dalam lautan api dan muncullah tubuh tinggi besar dari Kok Beng Lama yang berlari meloncat keluar dari dalam lautan api, kedua tangannya memondong Bun Houw yang diselimuti jubah merahnya. Ketika Kok Beng Lama tiba di dekat Hong Ing, dia mengeluh dan roboh terguling, akan tetapi Bun Houw tetap berada di dalam pondongannya. “Houw-ji...!” “Ibu...!” Biauw Eng cepat menyambar Bun Houw yang selamat dan hanya menderita sedikit luka-luka ringan, akan tetapi Kok Beng Lama pingsan dengan tubuh hitam semua, mukanya hitam gosong dan tubuhnya penuh luka terbakar! Keng Hong cepat menolong pendeta Lama itu sedangkan Hong Ing dan Kun Liong lalu membujuk semua pendeta untuk menghentikan perlawanan sehingga perang dapat dihentikan. Keng Hong sendiri lalu memerintahkan pasukan untuk mundur dan keluar dari tempat itu, sedangkan Hong Ing, dibantu oleh Kun Liong dan para pembantu Lama, membawa Kok Beng Lama ke dalam bangunan samping yang belum terbakar, lalu merawat kakek ini penuh ketekunan. Sebulan kemudian tampak betapa bangunan Lama Jubah Merah yang terbakar lebih dari separuhnya itu mulai diperbaiki oleh sisa-sisa anggauta Lama yang sudah insyaf dan diampuni oleh Pemerintah Tibet. Kini, atas saran dan tanggungan dari pendekar Cia Keng Hong, Kok Beng Lama ditunjuk oleh Pemerintah Tibet untuk menjadi ketua baru dari Lama Jubah Merah. Dan pendeta tinggi besar yang kini mukanya berubah hitam itu memimpin sendiri pembangunan itu dengan wajah yang berseri. Dia mengambil keputusan di dalam hatinya untuk memperbaiki nama Lama Jubah Merah ygng telah dicemarkan dan diselewengkan oleh Sin Beng Lama bertiga. Tak jauh dari tempat itu, di lereng gunung yang sunyi, Kun Liong dan Hong Ing duduk berdua di atas rumput hijau sambil bercakap-cakap. Wajah mereka berseri dan segar tanda bahwa hati mereka bergembira, terutama sekali Hong Ing yang telah mengalami perubahan yang amat hebat dalam hidupnya. Tadinya, dia menghadapi ancaman hebat, terpisah dari Kun Liong yang dicintanya, dan ayah kandungnya juga menjadi orang hukuman ygng tidak berdaya. Kini, ayah kandungnya sudah sembuh dan bahkan menjadi Ketua Lama Jubah Merah, dan terutama sekali Kun Liong yang dicintanya berada di sampingnya! “Hong Ing...” “Hemmm... ?” Di dalam panggilan dan jawabannya yang memecah kesunyian tempat itu terkandung kemesraan dan cinta kasih yang tak perlu dinyatakan lagi dalam kata-kata karena di dalam nada suara yang singkat itu terkandung getaran penuh kasih sayang yang terasa sampai di lubuk hati masing-masing. Demikian hebat pengaruh getaran ini sehingga Kun Liong menjadi terharu dan terpesona, membuatnya sukar untuk melanjutkan kata-katanya. Hong Ing mendesaknya dengan pertanyaan melalui pandang matanya. Kun Liong menarik napas panjang tiga kali, barulah dia dapat menenangkan gelora hatinya yang dibangkitkan oleh getaran cinta kasihnya kemudian berkata, “Hong Ing, setelah keadaan telah menjadi baik kembali, ayahmu telah sembuh sama sekali, kini aku... aku... terus terang meminangmu untuk menjadi isteriku, Hong Ing.” Sejenak mereka berpandangan, kemudian kedua pipi dara itu menjadi merah sekali dan mukanya ditundukkan. Mereka sudah saling menyatakan cinta tanpa sungkan dan malu-malu lagi, akan tetapi mendengar pinangan untuk menjadi isteri pemuda yang dikasihinya ini, Hong Ing menjadi canggung dan malu juga. “Bagaimana jawabanmu, Hong Ing?” “Kun Liong, kenapa... kenapa engkau memilih aku menjadi... isterimu?” “Kenapa? Ah, tentu saja karena aku cinta padamu, Hong Ing.” Hong Ing mengangkat mukanya, sepasang matanya bersinar-sinar memandang dan dia bertanya lagi, “Mengapa engkau cinta padaku? Kun Liong, berhari-hari sudah aku menahan pertanyaan yang ingin kuajukan kepadamu ini. Sekaranglah saatnya. Kenapa engkau cinta kepadaku. Kun Liong? Kenapa?” Kun Liong memegang kedua tangan kekasihnya dan memandang tajam. “Aku memang telah bersikap bodoh sekali dan berkali-kali menyakiti hatimu, Hong Ing. Menyakiti hatimu karena kebodohanku dan kecanggunganku. Aku cinta padamu, semenjak kita pertama kali bertemu, namun aku terlalu angkuh, canggung dan tidak mau mengakui, biar terhadap diri sendiri sekalipun. Aku cinta padamu karena engkaulah satu-satunya wanita di dunia ini yang bagiku sempurna tanpa cacat, engkaulah yang menciptakan bayangan wanita khayal yang kupuja-puja dahulu, karena engkaulah orangnya. Wanita khayal itu adalah engkau, Hong Ing, dan lebih lagi, kalau wanita khayal itu hanya angan-angan dan bayangan saja, engkau adalah seorang manusia dari darah daging, seperti aku, maka engkau bagiku lebih daripada wanita khayal itu. Engkau satu-satunya wanita yang kucinta, yang ingin kujadikan isteriku, teman hidupku selamanya, membentuk keluarga denganmu, mempunyai keturunan dan suka duka kita pikul bersama, Hong Ing.” Hong Ing terisak dan rebah dalam pelukan Kun Liong. Dara ini merasa seperti diayun ke sorga ke tujuh. Kata-kata yang diucapkan Kun Liong tadi baginya merupakan nyanyian sorga yang amat merdu. “Kun Liong, aku... aku hanyalah seorang gadis bodoh dan hina yang... sejak dahulu tak pernah berhenti mencintamu, yang setiap saat bermimpi menginginkan menjadi isterimu dan aku... aku menerima segalanya, aku... bersedia menjadi isterimu asal engkau suka mengirim Cia Keng Hong Locianpwe sebagai walimu untuk melamarku kepada Ayah.” “Hong Ing...!” Kun Liong mendekap dan menciuminya. Sejenak mereka tenggelam ke dalam buaian cinta kasih yang memabukkan. Akhirnya Hong Ing menarik tubuhnya agak menjauh dan menarik napas panjang beberapa kali. Kedua pipinya menjadi makin kemerahan, matanya sayu seperti mata orang mengantuk, bibirnya tersenyum aneh membayangkan rahasia hatinya. “Aih, Kun Liong, betapa mengerikan kalau aku mengenangkan waktu yang lalu, ketika aku melakukan segala siasat dan daya upaya agar engkau dapat datang ke tempat ini. Ketika itu, sudah bulat keputusanku bahwa aku lebih baik mati daripada tidak bertemu lagi denganmu.” Kun Liong memegang kedua tangan dara itu. “Engkau hebat, Hong Ing. Dan betapa bahagianya seorang seperti aku mendapatkan cinta kasih seorang dara seperti engkau yang begini mulia! Padahal aku adalah seorang laki-laki yang bodoh, yang sombong dan angkuh, yang selalu merendahkan cinta. Betapa aku dahulu selalu memandang rendah kepada cinta kasih antara pria dan wanita! Semua ini timbul karena di dalam kehidupanku banyak sekali aku mengalami godaan asmara! Sungguh aku harus merasa malu kepada diri sendiri, dan aku menyesal sekali terutama sekali tentang satu hal... yang harus kuberitahukan kepadamu sebelum... sebelum kita menjadi suami isteri. Kalau tidak kuberitahukan kepadamu, hal ini hanya akan menjadi penghalang kebahagiaan kita...” Dia berhenti dengan ragu-ragu sambil memandang kekasihnya. “Kun Liong! Apakah itu? Apa yang ingin kausampaikan? Mengapa wajahmu tiba-tiba kehilangan serinya dan engkau kelihatan khawatir dan ragu-ragu? Katakanlah, apakah hal yang kaurisaukan itu?” “Hong Ing, apa yang akan kuceritakan adalah hal yang amat memalukan, hal yang amat kotor. Kalau nanti engkau marah kepadaku, mengutukku, bahkan kalau hal ini membuat engkau menolak aku, memandang rendah kepadaku, aku akan menerimanya dengan rendah hati, karena memang engkau patut mengutukku.” Wajah Hong Ing menjadi pucat. “Tidak...! Tidak...! Kalau begitu lebih baik jangan kauceritakan itu!” Kun Liong menggeleng kepala dan tersenyum duka. “Harus kuceritakan, Hong Ing. Daripada menyimpan rahasia. Rahasia yang terselip di antara suami isteri hanya akan menimbulkan bencana. Aku, harus menceritakan kepadamu, kemudian terserah kepadamu keputusannya. Engkau terlalu bersih dan murni, sedangkan aku akan merasa diriku kotor dan tidak berharga bagimu, selamanya kalau aku belum menceritakan hal ini.” Hong Ing memandang kepada kekasihnya, dengan sinar mata penuh kekhawatiran, akan tetapi juga penuh iba, kemudian katanya lirih, “Kalau begitu, ceritakanlah, Kun Liong. Ceritakanlah semuanya dan sebelumnya aku sudah memaafkan segala kekeliruanmu.” Kun Liong memegang kedua tangan kekasihnya, tidak dilepasnya lagi seolah-olah dia mendapatkan kekuatan batin dari kedua tangan kekasihnya itu untuk menceritakan hal yang amat menindih perasaannya itu. “Terima kasih, Hong Ing. Ingatkah engkau kepada wanita yang telah tewas bersama suaminya sebulan yang lalu di tempat ini ketika mereka berdua membelaku?” “Dua orang murid pendekar Secuan itu? Tentu saja aku masih ingat, kasihan sekali mereka. Engkau telah memberi tahu kepadaku bahwa mereka adalah Tan Swi Bu dan Liem Hwi Sian.” Kun Liong mengangguk. “Mereka adalah sahabat lamaku, terutama sekali Liem Hwi Sian. Ketika mereka roboh, sebelum menghembuskan napas terakhir, Hwi Sian meninggalkan pesan kepadaku.” “Pesan apakah?” “Bahwa dia mempunyai seorang anak yang ditinggalkannya di Kuil Kwan-im-bio di kaki bukit, dekat rumah gurunya dan dia berpesan kepadaku agar aku suka merawat anak itu...” Pandang mata yang tadinya diliputi kekhawatiran itu kini berseri dan jari-jari tangan yang dipegang Kun Liong itu membalas dengan sentuhan lembut, mulut yang tadi agak terbuka itu kini tersenyum, “Aihhh, kau membikin orang menjadi tegang dan gelisah saja! Kalau hanya urusan itu, mengapa dirisaukan benar? Tentu saja aku setuju sepenuhnya untuk merawat anak yang bernasib malang itu!” Akan tetapi Kun Liong masih memegang kedua tangan Hong Ing dan sikapnya masih sungguh-sungguh, pandang matanya masih penuh kegelisahan. “Bukan hanya itu, Hong Ing, akan tetapi... anak itu... anak Hwi Sian itu bukanlah keturunan suaminya, bukan anak Tan Swi Bu...” “Ehhh...?” Hong Ing memandang tajam dengan alis berkerut, timbul persangkaan bahwa yang disebut rahasia itu adalah rahasia keburukan Hwi Sian, tentu sahabat suaminya itu telah melakukan penyelewengan sehingga melahirkan seorang anak bukan dari keturunan suaminya! “Kun Liong, aku tidak ingin mengetahui rahasia orang lain, kalau kau mau menerima anak sahabatmu itu untuk kau rawat, aku setuju saja. Tidak perlu kau menceritakan rahasia pribadi Liem Hwi Sian itu.” “Bukan begitu, Hong Ing, bukan rahasianya, melainkan rahasiaku. Dengarlah baik-baik, dahulu, setahun lebih yang lalu, sebelum aku bertemu denganmu, aku amat meremehkan soal cinta sehingga aku memandang rendah pula terhadap cinta kasih wanita terhadap diriku. Di antara mereka yang mencintaku adalah Hwi Sian. Akan tetapi aku yang suka menggodanya tidak membatas cinta kasihnya. Ketika dia ditunangkan dan akan dikawinkan dengan suhengnya, yaitu Tan Swi Bu, hatinya hancur dan dia mencariku, lalu... lalu... dia minta agar aku suka menjadi suaminya untuk semalam! Kalau menolak, dia akan membunuh diri karena dia tidak mencinta suhengnya, melainkan mencintaku. Dan aku... aku yang bodoh dan sombong, aku... aku menuruti permintaannya. Kemudian, ketika dia akan mati, dia meninggalkan pesan bahwa anak itu... anaknya itu... adalah... anak hasil dari hubungan kami semalam itu, dia adalah anakku...” Hong Ing merenggut kedua tangannya, bangkit berdiri dan mukanya pucat sekali, sepasang matanya terbelalak seperti kelinci ketakutan memandang kepada Kun Liong. Pemuda itu juga bangkit dengan tubuh gemetar. “Aku seorang manusia kotor, seorang rendah yang tidak patut untukmu, Hong Ing. Aku akan menerimanya kalau engkau mengutukku, ketika itu aku memandang rendah cinta kasih antara pria dan wanita. Aku menganggap bahwa semua cinta kasih menjurus kepada cinta berahi belaka. Akan tetapi, ternyata tidak... cinta kasih adalah sesuatu yang luhur dan mulia, yang bersih tak ternoda dari segala sesuatu, termasuk hubungan jasmani antara pria dan wanita, barulah suci dan murni kalau didasari cinta kasih. Tanpa cinta kasih, segala adalah kotor dan hina. Namun aku... aku seperti buta pada waktu itu, Hong Ing.” Hong Ing tidak menjawab, hanya berdiri memandang dengan mata terbetalak dan muka pucat. Melihat keadaan kekasihnya ini, Kun Liong merasa kasihan sekali, akan tetapi seperti seorang pesakitan yang menanti keputusan hakim, dia berdiri dan menundukkan mukanya, menanti suara Hong Ing. Akhirnya terdengar tarikan napas panjang, disusul suara dara itu. Halus lirih dan mengandung isak tertahan, “Aku... aku cinta padamu bukan karena kebaikanmu... aku cinta padamu karena engkau... dan aku menerimamu dengan segala cacat celamu. Kau telah melakukan penyelewengan yang sudah kausadari... sudahlah, hal itu tidak perlu dibicarakan lagi... dan anak itu... dia anakmu yang harus kita rawat baik-baik...” “Hong Ing...!” Kun Liong terisak dan menjatuhkan diri berlutut di depan dara itu. “Betapa mulia hatimu...!” Sejenak Hong Ing berdiri menunduk, air matanya bercucuran, kemudian dia juga menjatuhkan diri berlutut dan merangkul Kun Liong. Keduanya berpelukan, berciuman sambil menangis, keharuan dan kebahagiaan bercampur menjadi satu. “Hong Ing, engkau dewiku, engkau mulia dan berbudi...!” “Husshhh, aku merasa malu kepada Hwi Sian kalau kau berkata demikian, terlalu memujiku. Dialah wanita yang amat mencintamu...” “Keliru, Hong Ing. Dia telah mencelakakan diri sendiri. Dia mengira bahwa cinta hanyalah hubungan badan... tapi sudahlah, betapapun juga, Hwi Sian telah membuktikan cintanya dengan mengorbankan diri untuk membantuku. Dan semua memang kesalahanku... aku dahulu terlalu nakal suka menggoda wanita, sungguhpun godaanku tidak terlalu mendalam, tidak memancing hubungan badan namun telah mendatangkan akibat-akibat yang menyedihkan. Aku dahulu sebelum berjumpa denganmu... ahhh, harus kuceritakan semua kepadamu.” Sambil duduk di atas rumput dan saling berangkulan, Kun Liong lalu menceritakan semua riwayatnya, semua petualangannya dengan banyak wanita yang dijumpainya, tentang Yo Bi Kiok yang kini menjadi guru adik kandungnya dan yang menunjukkan cinta terhadap dirinya, cinta yang garang dan mengerikan, kemudian dia bercerita pula tentang lain wanita yang dijumpainya, diantaranya mendiang Souw Li Hwa, Cia Giok Keng, Liem Hwi Sian dan Lauw Kim In, kemudian Pek Hong Ing sendiri. Menceritakan betapa dia menggoda mereka itu. Setelah mendengarkan semua penuturan yang terus terang dari kekasihnya, Hong Ing tersenyum lalu berkata. “Dengan menceritakan semua itu kepadaku berarti bahwa mulai saat ini engkau telah menghentikan semua perbuatan itu.” “Memang dahulu aku bodoh dan dungu sesuai dengan kepalaku yang gundul. Akan tetapi sejak bertemu denganmu, perasaan yang luar biasa telah membuka mataku. Dahulu aku memang sombong dan pongah, bodoh dan...” “Dan petualang asmara yang canggung!” “Petualang asmara?” “Ya, engkau seorang petualang asmara yang canggung dan yang kini terjerat oleh asmara itu sendiri. Sekarang, sudah mengertikah engkau apa artinya mencinta?” Kun Liong memeluk. “Sudah mengerti, kekasihku. Karena engkau yang mengajarku, dengan sikapmu yang sederhana dan terbuka. Cintamu kepadaku begitu tulus dan polos bersih, dan biarlah aku mencontohmu. Aku cinta kepadamu karena engkau adalah engkau, Hong Ing, aku mencintamu dari ujung rambut kepalamu sampai ke kuku jari kakimu, tidak ada kecualinya, aku mencintamu dengan segala kebaikanmu dan semua keburukanmu, dengan segala kesempurnaanmu sampai kepada segala cacatmu, kalau memang ada keburukan dan cacatmu. Karena dengan cinta kasih, tidak adalah cacat dan keburukan itu.” Hong Ing balas memeluk dan suaranya agak manja ketika dia berkata, “Dan aku hanyalah calon isterimu yang setia, bodoh dan penurut...” “Suci Hong Ing...! Liong-twako...!” Sepasang muda mudi yang sedang berpelukan itu cepat melepaskan diri masing-masing dan meloncat berdiri. Sambil tersenyum mereka memandang tubuh Bun Houw yang berlari-larian mendaki lereng itu dari bawah. Cia Bun How, putera pendekar Cia Keng Hong ini masih berada di Tibet. Kok Beng Lama menuntut kepada Ketua Cin-ling-pai itu agar dia boleh menurunkan ilmu-ilmunya kepada Cia Bun Houw yang sudah menjadi muridnya. Tadinya, Biauw Eng merasa keberatan, akan tetapi karena suaminya merasa bahwa Bun Houw berhutang nyawa kepada kakek itu, pula melihat bahwa kakek itu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, terpaksa meluluskan. Untuk menyenangkan hati isterinya, Cia Keng Hong menjanjikan kepada Kok Beng Lama untuk kelak mengirim Bun Houw ke Tibet dan berguru kepadanya setelah puteranya itu berusia lima belas tahun. Kok Beng Lama maklum bahwa suami isteri pendekar yang lihai itu ingin menanamkan dasar-dasar kepandaian mereka kepada putera mereka lebih dulu, maka dia pun setuju, hanya minta agar anak itu diperbolehkan tinggal di situ dan kelak kembali ke Cin-ling-san bersama Kun Liong. Demikianlah, Cia Keng Hong dan isterinya kembali ke Cin-ling-san dan meninggalkan Bun How di tempat itu. Pada pagi hari itu, Bun Houw berlari-lari dan memanggil-manggil Kun Liong dan Hong Ing yang sedang duduk bercakap-cakap di lereng bukit. “Eh, Sute, ada apakah engkau berlari-lari menyusul kami?” Hong Ing bertanya setelah anak itu tiba di depannya. “Suhu memanggil Suci dan Twako.” Mereka bertiga lalu menuruni lereng kembali ke markas yang sedang dibangun kembali itu. Kok Beng Lama sudah menanti mereka di bangunan samping yang masih utuh, setelah mereka menghadap, dia menyuruh Bun Houw untuk keluar dari ruangan dan bermain-main di luar. “Kun Liong dan Hong Ing,” katanya ramah, “pinceng telah mengetahui akan hubungan kalian dan pinceng merasa gembira sekali serta memberi restu. Akan tetapi, mengingat bahwa Hong Ing sudah cukup umurnya, pinceng minta kepadamu mengirim pinangan agar hari pernikahan dapat ditetapkan dengan segera.” Mendengar ini, wajah Hong Ing menjadi merah sekali. “Ihh... Ayah...!” katanya sambil berlari keluar! Kok Beng Lama tertawa. “Engkau tentu mengerti, Kun Liong, bahwa penghargaan yang terutama bagi seorang gadis adalah pinangan, karena hanya pinangan saja yang merupakan bukti bagi seorang pemuda bahwa dia mencinta gadis itu dan menghendakinya sebagai isterinya. Pinceng tahu bahwa selain kalian berdua saling mencinta dengan penuh kesetiaan, juga bahwa engkau sudah tidak ada ayah bunda, dan pinceng pun sudah setuju, akan tetapi demi menghargai diri Hong Ing, engkau harus mengajukan pinangan secara resmi.” Kun Liong menunduk. “Hal itu sudah kami bicarakan tadi, Locianpwe. Dan saya akan pergi ke Cin-ling-san, mengajak Adik Bun Houw pulang ke sana, sekalian minta pertolongan Supek dan Supek-bo untuk mengajukan pinangan secara resmi serta menetapkan hari pernikahan itu. Akan tetapi... saya hanyalah seorang pemuda sebatang kara yang... yang miskin dan...” “Hushhh! Apa kaukira bahwa pinceng hendak menjodohkan anak pinceng dengan harta benda?” “Maaf, Locianpwe.” “Sudahlah, kau berangkat hari ini juga dan ajaklah Bun Houw. Sampaikan salamku kepada Cia Keng Hong Tai-hiap dan isterinya.” “Maaf, saya tidak dapat berangkat hari ini karena ada suatu urusan yang harus saya selesaikan lebih dulu.” “Huh, apa lagi?” kakek itu membentak. Pada saat itu, Hong Ing datang berlari. Tadi dia tidak pergi jauh, hanya bersembunyi di balik pintu dan mendengarkan percakapan antara kekasihnya dan ayahnya maka kini mendengar ucapan Kun Liong, dia cepat lari masuk. “Ayah, aku dan dia mau pergi ke Kuil Kwan-im-bio di rumah mendiang Gak-taihiap untuk mengambil seorang anak yang dititipkan di kuil itu.” “Huh? Apa? Anak siapa?” Hong Ing yang khawatir kalau-kalau kekasihnya yang jujur itu akan menceritakan rahasianya bersama mendiang Hwi Sian, cepat mendahului Kun Liong dan berkata, “Tahukah Ayah tentang suami isteri yang tewas di sini ketika mereka membela kami berdua? Mereka itu adalah murid-murid Gak-taihiap di Secuan, sahabat-sahabat dari Kun Liong. Mereka telah mengorbankan diri demi kami berdua, dan pada saat terakhir mereka minta kepada Kun Liong agar kami berdua suka merawat anak mereka yang ditinggalkan di kuil itu. Bagaimana menurut pendapat Ayah? Setelah ayah bundanya tewas demi membela kami, apakah kami tidak seharusnya memenuhi permintaan mereka itu?” Kok Beng Lama termenung, mengerutkan alisnya lalu mengangguk-angguk. “Tentu... tentu saja! Aku akan membencimu kalau kau tidak memenuhi permintaan mereka itu. Nah, cepat ambil anak yang ditinggalkan itu. Kasihan dia!” “Ayah, aku bersama Kun Liong akan ke Secuan menjemput anak itu dan selain itu...” “Apa lagi?” Ayahnya membentak. “Kami berhutang budi kepada orang tuanya, maka, kami berdua telah bersepakat untuk mengambil anak itu sebagai anak kami.” “Huh! Belum menikah sudah mempunyai anak! Tapi... aku akan benci kalian kalau kalian tidak melakukan itu!” Hong Ing dan Kun Liong berlari ke luar dan setelah tiba di luar bangunan itu, Kun Liong merangkul kekasihnya dengan hati penuh keharuan. “Hong Ing, engkau..., engkau seorang dewi yang berhati mulia...” Hong Ing membalas pelukan Kun Liong, melingkarkan lengannya di pinggang pemuda itu dan berkata lirih manja, “Ah, aku hanyalah calon isterimu yang bodoh...” Maka berangkatlah Kun Liong dan Hong Ing ke Secuan. Setelah bertemu dengan Poa Su It yang berduka sekali mendengar tentang kematian sute dan sumoinya, mereka lalu diajak oleh Poa Su It mengunjungi Kuil Kwan-im-bio dan dari ketua nikouw (pendeta wanita) mereka menerima seorang anak perempuan yang baru berusia tiga empat bulan! Seorang anak perempuan yang mungil dan sehat karena sejak kecil, juga setelah ditinggalkan ibunya, dia dipelihara dengan baik oleh para nikouw di Kwan-im-bio yang memanggilkan seorang inang pengasuh, dibesarkan dengan air susu sapi. Kun Liong memandang anak itu dengan jantung seperti ditusuk-tusuk rasanya. Anaknya! Keturunan dan darah dagingnya! Dia terharu sekali, apa pula ketika melihat betapa Hong Ing meraih dan memondong anak itu dengan penuh kasih sayang! Poa Su It merasa girang sekali dan berkali-kali menghaturkan terima kasih bahwa Kun Liong dan Hong Ing, calon suami isteri itu, suka mengambil Mei Lan, demikian nama anak itu, sebagai anak mereka! Tentu saja dia tidak pernah tahu bahwa anak itu sebetulnya adalah anak Kun Liong! Disangkanya bahwa anak itu adalah anak Hwi Sian dan Tan Swi Bu, hasil dari hubungan mereka sebagai suami isteri! “Harap Poa-toako suka merahasiakan pemungutan anak ini agar anak ini kelak tidak mengetahui bahwa dia hanyalah anak pungut,” Kun Liong berkata. “Tentu saja!” Poa Su it menjawab. “Sejak hari ini namanya menjadi Yap Mei Lan, anak Ji-wi berdua. Saya sudah merasa bingung sekali mendengar akan kematian ayah bundanya, tidak tahu apa yang harus saya lakukan dengan anak ini. Syukur bahwa Ji-wi sudi mengambilnya sebagai anak memenuhi pesan terakhir mereka.” Kun Liong dan Hong Ing lalu berpamit kembali ke Tibet membawa Mei Lan bersama inang pengasuhnya yang juga diajak untuk merawat anak itu, karena Hong Ing belum berpengalaman merawat anak kecil dan merasa khawatir dan tidak berani. Setelah tiba kembali di Tibet, Kun Liong lalu meninggalkan anak itu bersama Hong Ing dan mengajak Bun Houw untuk meninggalkan Tibet, kembali ke Cin-ling-san. Kok Beng Lama dan Hong Ing mengantar keberangkatan mereka sampai di ujung lereng pertama dan Kun Liong didesak sampai berkali-kali mengucapkan janji bahwa dia tidak akan lama pergi dan akan cepat mengajak Cia Keng Hong dan isterinya untuk datang mengajukan pinangan yang dinanti-nanti itu. Cia Giok Keng berjalan dengan wajah bersungut-sungut, sedangkan Lie Kong Tek berjalan melangkah dengan langkah-langkah tetap di belakangnya. Keduanya tidak bicara, hanya berjalan dengan sunyi di dalam panas terik matahari siang itu. Hati Giok Keng mendongkol bukan main. Telah berhari-hari dia melakukan perjalanan bersama Kong Tek dan selama ini merasa betapa hatinya makin tertarik dan makin kagum kepada pemuda tinggi besar ini. Tampak jelas olehnya betapa jauh bedanya pribadi Kong Tek dibandingkan dengan pemuda-pemuda lain seperti Kun Liong dan terutama sekali Bu Kong. Pemuda ini gagah perkasa, kuat dan tahan menderita, juga jujur dan pendiam, tidak banyak cakap, tidak pula suka menggodanya, bahkan sama sekali tidak pernah memujinya, apalagi menjilat atau bermuka-muka! Hal inilah yang menimbulkan kesal dan mendongkol hatinya. Semua pemuda, bahkan semua laki-laki yang dijumpainya, sudah pasti akan memandangnya dengan sinar mata jelas membayangkan kekaguman, mata laki-laki yang bersinar kagum dan kurang ajar, yang ceriwis dan nakal, namun yang diam-diam memuaskan dan membuat hatinya bangga karena semua itu membuktikan kecantikan dan daya tariknya. Akan tetapi Kong Tek memandangnya biasa saja, tanpa sinar berapi dan kagum, bahkan seolah-olah dia dipandang seperti kalau pemuda itu memandang pohon, awan, atau tanah saja! Mengkal hatinya! Sudah berkali-kali dia sengaja hendak memancing perhatian Kong Tek, hanya untuk memancing pujian, memancing pandang mata penuh gairah dan kagum namun hasilnya sia-sia belaka. Betapa pun dia menggigiti bibirnya sampai menjadi merah dan basah hampir berdarah, betapa dia menyanggul rambutnya atau mengurainya sehingga terlepas panjang sampai ke pinggul, betapa dia mengatur pakaiannya sehingga serapi-rapinya, atau mencuci muka dan menggosoknya sampai kedua pipinya menjadi kemerahan dan segar seperti sepasang buah tomat, betapa dia bergaya sampai merasa menjadi seorang sripanggung pemain opera, hasilnya sia-sia belaka! Sama halnya dengan bersolek dan bergaya di depan sebuah patung mati yang berhati batu! Apalagi pengalamannya tadi membuat dia cemberut dan bersungut-sungut, penuh kekecewaan dan kemendongkolan hati. Dia tadi sudah memancing pemuda itu dengan omongan dan masih terngiang di telinganya jawaban-jawaban Kong Tek yang membuat bibirnya makin cemberut. Tadi mereka sedang duduk di bawah pohon rindang, berlindung dari terik panas matahari. Sambil mengusap peluhnya dari muka dan lehernya dengan saputangan, dia berkata, “Lie-toako, kalau aku teringat akan pengalaman-pengalamanku di Pek-lian-kauw, masih bergidik ngeri dan bangkit bulu tengkukku. Untung aku tertolong, kalau tidak... hemmm, entah apa jadinya dengan diriku.” “Memang kau beruntung sekali tidak jadi menjadi isteri Liong Bu Kong, Nona.” Sebutan nona itu sudah mulai membuat hatinya tidak senang. Sudah beberapa kali dia mengatakan bahwa pemuda itu tidak selayaknya menyebut dia nona setelah mereka menjadi sahabat, akan tetapi pemuda itu selalu lupa dan menyebutnya nona sehingga dia tidak peduli lagi untuk menegurnya. “Mengapa beruntung, Toako?” dia mendesak. “Ya, beruntung karena tidak jadi isteri orang seperti dia.” “Lalu pantasnya aku menjadi isteri orang macam apa, Toako?” “Hemm, pantasnya menjadi isteri seorang yang tidak seperti Liong Bu Kong.” “Siapa, misalnya?” Giok Keng mendesak lagi. Kong Tek menggerakkan kedua pundaknya yang lebar. “Entahlah, pendeknya yang tidak jahat dan palsu seperti Bu Kong.” Hening sejenak dan hati Giok Keng sudah mulai tidak puas. Sukar betul membongkar hati dan perasaan pemuda ini. Dari perbuatan dan pembelaannya yang berani mempertaruhkan nyawa, dia yakin bahwa pemuda ini cinta kepadanya. Akan tetapi dia tidak pernah menyatakannya, baik dari pandang mata, maupun suara mulut, atau gerak-geriknya. Inilah yang membuat dia penasaran dan tersinggung “harga dirinya”! “Eh, Toako, sekarang sudah berapakah usiamu?” Ditanyai usianya, Kong Tek memandang kepadanya dengan mata terbelalak heran, akan tetapi lalu menjawab juga, “Sudah dua puluh lima tahun.” “Dan kau sudah menjadi duda.” “Aku belum menikah!” “Tapi sudah bertunangan dengan Bu Li Cun.” “Ya, kasihan sungguh gadis itu...” Kong Tek menghela napas dan termenung. Giok Keng mengerutkan alisnya. Agaknya pemuda yang luar biasa ini telah “patah hati” karena kematian tunangannya itu, pikirnya. “Lie-toako, cinta sekalikah engkau kepadanya?” “Hah...?” Kong Tek balas bertanya, terbelalak karena belum menangkap maksud pertanyaan itu. “Engkau tentu amat mencinta mendiang Bu Li Cun itu...” Kong Tek menghela napas panjang dan menyusut peluh dari dahinya sambil menggeleng kepalanya. “Nona, selama hidupku, baru satu kali itu aku bertemu dengan dia. Kami ditunangkan sejak kecil oleh orang tua, aku tidak pernah kenal dengan dia, mana bisa mencinta.” Hening sampai lama, akhirnya kembali suara Giok Keng memecah kesunyian, “Akan tetapi, usiamu sudah dua puluh lima tahun, dan engkau tentu telah mempunyai banyak pengalaman selama perantauanmu dengan suhumu yang lihai.” “Memang sudah banyak aku merantau, ikut bersama Suhu yang berbudi.” “Tentu sudah banyak, atau setidaknya ada wanita yang saling jatuh cinta denganmu, Toako.” Pemuda itu menunduk dan kulit mukanya agak merah, akan tetapi dia menggeleng kepalanya dengan keras. “Tidak ada, tidak pernah!” “Eh, kenapa kau marah?” “Aku tidak marah.” “Akan tetapi jawabanmu kasar sekali.” “Aku memang belum pernah saling jatuh cinta dengan wanita.” “Hemm, sungguh luar biasa. Engkau tampan dan gagah perkasa, usiamu sudah dua puluh lima tahun, dan engkau belum pernah jatuh cinta. Hebat! Akan tetapi setidaknya tentu ada wanita yang pernah jatuh cinta kepadamu, Toako. Aku berani bertaruh tentu pernah ada!” Kembali Giok Keng mendesak dan memancing sambil menatap wajah itu dengan tajam dan penuh selidik. “Tidak!” Kembali pemuda itu menggeleng kepala keras-keras. “Tidak, aku tidak sempat...!” Dia tidak dapat melanjutkan kata-katanya, seolah-olah terkecik oleh kata-katanya sendiri. “Tidak sempat apa, Toako? Tidak sempat bermain cinta?” Giok Keng mendesak dan menggoda makin berani melihat betapa pemuda itu sibuk dan bingung. “Tidak sempat memikirkan itu.” “Hemm, engkau memang aneh atau... engkau tidak jujur, Toako. Kalau aku, biar usiaku jauh lebih muda dari padamu, aku sudah seringkali dicinta orang.” Kong Tek mengangkat muka memandang, sinar matanya biasa saja, akan tetapi dia melanjutkan, “...dan mencinta...” Giok Keng tersenyum, diam-diam tegang dan girang, mengharapkan pemuda itu akan merasa iri dan cemburu! “Ya, dan mencinta! Banyak sudah laki-laki yang tergila-gila dan mencintaku.” “Memang sudah semestinya, engkau... seorang gadis luar biasa, tentu banyak laki-laki yang jatuh hati dan mencintamu.” Giok Keng merasa kecelik mendengar ucapan ini. Kiranya pemuda ini sama sekali tidak merasa iri atau cemburu, apalagi panas hati! “Aku tadinya saling mencinta dengan Liong Bu Kong, bahkan hampir menjadi isterinya.” “Engkau tertipu dan dikuasai ilmu sihir.” “Tapi, tadinya aku memang jatuh cinta kepada Bu Kong.” “Memang dia tampan dan menarik, sayang hatinya kotor sekali, dan sungguh beruntung engkau belum sampai terjatuh dalam perangkapnya, Nona.” “Jadi engkau tidak memandang rendah kepadaku, setelah aku... aku begitu bodoh jatuh hati kepada seorang seperti dia? Ayah sendiri sampai marah dan pernah mengusirku.” Kong Tek menggeleng kepalanya dan menghela napas panjang. “Mengapa harus memandang rendah? Aku malah kasihan kepadamu, Nona, dan aku kagum. Engkau telah salah pilih, bukan kesalahanmu kalau kau jatuh cinta kepada seorang laki-laki yang pada lahirnya kelihatan menarik, dan aku kagum bahwa di dalam cintamu itu, biarpun kemudian ternyata bahwa kau salah pilih, engkau berani bertanggung jawab dan menanggung semua akibatnya.” Giok Keng menarik napas panjang. Sungguh sukar sekali, menghadapi pemuda ini sama halnya dengan menghadapi batu karang yang kokoh kuat, yang tidak goyah sedikit pun biar ada gempa bumi! Atau sebongkah bukit es, yang dingin! Dia menjadi makin penasaran. Di antara segala macam pria yang telah dijumpainya di dalam hidupnya, hanya ada dua orang yang pernah menariknya. Pertama adalah Kun Liong dan kedua adalah Bu Kong. Akan tetapi, baru sekarang dia bertemu dengan seorang laki-laki seperti Kong Tek! Kun Liong dan Bu Kong ternyata masih lemah, begitu jelas membuktikan kekaguman terhadap dirinya melalui pandang mata dan kata-kata, akan tetapi pemuda ini benar-benar seperti batu karang yang mati! “LIE-TOAKO, kenapa engkau selalu membelaku mati-matian?” Kalau tadi Kong Tek menghadapi semua pertanyaan gadis itu dengan tenang, kini dia kelihatan gelisah dan bingung! “Kenapa? Hal itu sudah semestinya, Nona, sudah menjadi kewajibanku seperti diajarkan oleh Suhu untuk menolong sesama hidup yang dilanda bahaya.” “Tapi engkau membelaku dengan pengorbanan diri, beberapa kali engkau menghadapi maut demi aku. Mengapa, Toako?” Hening sejenak, kemudian terpaksa Kong Tek menjawab, “Aku sendiri tidak tahu, Nona. Akan tetapi aku tidak rela melihat engkau sengsara, aku tidak akan diam saja melihat engkau diancam bahaya, aku ingin melihat engkau bahagia, Nona. Seorang seperti engkau ini... pantasnya hidup dalam kebahagiaan. Itulah agaknya yang menyebabkan aku selalu siap membelamu, Nona.” Jawaban ini keluar dari lubuk hati Kong Tek. Memang pemuda ini selama hidupnya tidak pernah membohong, akan tetapi menghadapi desakan dan pertanyaan-pertanyaan dari Giok Keng dia merasa bingung untuk menjawab. Gurunya telah mengatakan bahwa dia jatuh cinta kepada gadis ini, akan tetapi dia sendiri tidak tahu bagaimanakah rasanya jatuh cinta itu! Gurunya malah hendak menjodohkan dia dengan gadis ini dan dia merasa betapa akan bahagianya hidupnya kalau hal itu terlaksana, namun betapa mungkin dia menyatakan hal ini kepada Giok Keng? Dia merasa malu dan khawatir kalau-kalau hal itu akan menyusahkan hati Giok Keng, hal yang paling tidak dikehendakinya. “Toako, mengapa tidak bicara terus terang saja? Kalau memang engkau cinta padaku, mengapa tidak mau terus terang?” Wajah Kong Tek berubah merah sekali. “Aku... aku...” “Ya, kau cinta padaku, Toako. Kau cinta padaku!” Giok Keng berkata penuh desakan. Ingin dia mendengar mulut pemuda itu mengaku cinta agar dia dapat menebus rasa penasaran hatinya, dapat memuaskan kemendongkolan hatinya dengan mengejek dan mempermainkan pemuda yang seperti batu karang itu! “Ahhh... aku... aku...” “Toako, awas...!” Giok Keng menjerit dan dia sudah melempar tubuhnya ke belakang sambil menyambar lengan Kong Tek sehingga pemuda itu pun melempar tubuh ke belakang. “Wirrr... wirrr...!” Dua sinar putih menyambar dan lewat. Ternyata itu adalah dua batang hui-to (golok terbang) yang dilemparkan orang untuk menyerang mereka, atau mungkin hanya untuk menggertak belaka. Giok Keng dan Kong Tek sudah meloncat bangun dan siap menghadapi lawan. Ketika mereka memandang, mereka berdua terkejut bukan main mengenal tiga orang itu yang ternyata adalah Thian Hwa Cinjin, Ketua Pek-lian-kauw wilayah timur, Bong Khi Tosu pendeta Pek-lian-kauw kurus seperti tengkorak hidup, dan Hwa I Lojin kakek ahli pedang pesolek yang bersekutu dengan Pek-lian-kauw. Tentu saja mereka berdua amat terkejut karena maklum bahwa mereka berhadapan dengan tiga orang lawan yang amat tangguh, terutama sekali Thian Hwa Cinjin ketua Pek-lian-kauw wilayah timur yang amat lihai ilmu silatnya, juga amat lihai ilmu sihirnya itu! “Ha-ha-ha, engkau telah mengagetkan dua ekor burung ini, Lojin!” Thian Hwa Cinjin tertawa girang karena memang hatinya senang sekali bertemu dengan puteri pendekar Cia Keng Hong Ketua Cin-ling-pai itu. Dia mendendam kepada Ketua Cin-ling-pai dan kalau dia dapat menangkap puterinya ini, dia akan dapat membalas dendam, bahkan akan dapat memaksa kepada pendekar itu untuk membantu Pek-lian-kauw! “Heh-heh-heh, janda kembang ini masih muda dan cantik bukan main!” Hwa I Lojin berkata memandang kepada Giok Keng. “Janda apa? Dia masih perawan, belum sempat disentuh oleh Liong Bu Kong yang tolol, heh-heh!” Thian Hwa Cinjin yang berwatak cabul itu berkata, “Hati-hati, jangan kalian sampai melukainya, kita harus dapat menangkapnya hidup-hidup! Sayang sekali kalau kulit yang halus itu ada yang lecet!” “Pendeta-pendeta palsu! Munafik-munafik keparat, lahirnya saja menjadi pendeta akan tetapi batinnya kotor dan cabul!” Lie Kong Tek sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi mendengar percakapan antara Thian Hwa Cinjin dan Hwa I Lojin itu. Dia sudah mencabut Gin-hong-kiam dan menyerang Thian Hwa Cinjin karena dia tahu bahwa di antara mereka bertiga, Ketua Pek-lian-kauw inilah yang menjadi kepala dan pemimpinnya. “Cringgg...!” Lie Kong Tek melompat mundur dan tangannya yang memegang pedang tergetar hebat ketika pedangnya ditangkis oleh pedang Hwa I Lojin. “Ha-ha-ha. Kauwcu (Ketua), biarkan aku menghadapi pemuda ini agar Ji-wi berdua dapat menangkap gadis itu baik-baik,” kata kakek berbaju kembang dan bersikap sombong itu sambil meloncat ke depan dan memutar pedangnya menghadapi Kong Tek. Pemuda ini pun mengeluarkan gerengan marah, pedang Gin-hong-kiam diputar cepat sehingga tampaklah segulungan sinar perak yang menyilaukan mata. Namun sambil tertawa, Hwa I Lojin si ahli pedang itu menyambut serangan ini dan mereka segera terlibat dalam pertandingan yang seru dan mati-matian. Kembali diam-diam hati Giok Keng terharu menyaksikan kegagahan Kong Tek yang selalu tanpa ragu-ragu menyerang musuh dan membelanya mati-matian. Dia maklum betapa lihainya tiga orang itu, maka dia mengambil keputusan untuk mengamuk dan kalau perlu mengadu nyawa dengan mereka. “Thian Hwa Cinjin, biarlah aku mengadu nyawa dengan engkau tua bangka busuk dan jahat!” bentaknya dan dara ini pun sudah memutar pedangnya yang seperti pedang di tangan Kong Tek, juga mengeluarkan sinar perak yang tentu saja jauh lebih cemerlang dan hebat daripada gerakan Kong Tek karena memang tingkat kepandaian puteri Cin-ling-pai ini jauh lebih tinggi. “Tranggg! Trakkk!” Pedang Gin-hwa-kiam di tangan Giok Keng telah ditangkis oleh tongkat di tangan Thian Hwa Cinjin yang tertawa-tawa. Ketika melihat pembantunya, Bong Khi Tosu maju pula untuk membantunya, Ketua Pek-lian-kauw itu berkata, “Jangan bantu aku, lebih baik kau cepat membantu Hwa I Lojin merobohkan pemuda nekat itu!” Bong Khi Tosu menarik kembali tongkatnya lalu menyerbu Kong Tek, membantu Hwa I Lojin yang sudah mulai mendesak sehingga keadaan Kong Tek menjadi terancam sekali. Namun pemuda itu tidak kelihatan gentar, bahkan mengamuk makin hebat sambil memutar pedangnya dan beberapa kali mengeluarkan suara bentakan hebat seperti gerengan seekor singa marah. Adapun Giok Keng juga repot sekali menghadapi desakan tongkat hitam di tangan Ketua Pek-lian-kauw yang lihai itu. Yang membuat hatinya makin gelisah lagi adalah melihat kenyataan betapa Kong Tek dikepung dan didesak hebat, dan dia tahu bahwa dua orang kakek yang mengepung Kong Tek itu berniat untuk membunuh pemuda itu. Hatinya menjadi gelisah sekali. Kong Tek tentu akan tewas, mana mungkin dapat melawan dua orang kakek itu! Ngeri dia memikirkan Kong Tek tewas, pemuda yang dikaguminya dan yang makin lama makin merampas perhatian dan hatinya itu. Kini melihat betapa pemuda itu terancam dan betapa hatinya gelisah bukan main, baru dia sadar bahwa sesungguhnya dia jatuh cinta kepada pemuda yang dianggapnya dingin kaku dan yang hendak digodanya itu! “Dessss... auggghhh...!” “Toako...!” Giok Keng menjerit keiika dia mendengar keluhan pemuda itu dan melihat betapa pemuda itu roboh bergulingan dikejar dua orang kakek sambil tertawa-tawa. Pedang di tangan Hwa I Lojin menyambar-nyambar, sedangkan tongkat Bong Khi Tosu kembali menghantam dan hampir saja mengenai kepala Kong Tek kalau pemuda itu tidak cepat menggelindingkan tubuhnya. “Toako...!” Giok Keng meloncat, meninggalkan lawannya untuk menolong pemuda itu, akan tetapi kelihatan bayangan berkelebat tahu-tahu tubuh Thian Hwa Cinjin sudah menghadang di depannya sambil tertawa-tawa. “Ha-ha-ha, Nona Cia yang manis. Untuk apa pemuda tolol itu. Biar dia mampus dan disiksa oleh Bong Khi Tosu dan Hwa I Lojin, sedangkan kau lebih baik menyerah dan ikut bersama pinto ke Pek-lian-kauw. Percayalah, pinto tidak hendak mengganggumu asal engkau suka menurut dan menyerah.” Sementara, itu, Kong Tek sudah meloncat bangun namun terjungkal lagi oleh tusukan pedang Hwa I Lojin yang sengaja mempermainkannya sehingga tusukan pedang itu hanya menyerempet paha dan menimbulkan luka berdarah akan tetapi belum membahayakan nyawanya. “Toako... ahhh...! Thian Hwa Cinjin, dengarkan aku! Aku menyerah, aku tidak melawan asal Lie-toako tidak dibunuh. Bebaskan dia dan aku menyerah!” “Nona Cia, jangan...!” Kong Tek membentak dan kembali memutar pedangnya. Akan tetapi, Thian Hwa Cinjin sudah menjawab, “Baik!” Lalu dia meloncat dekat Kong Tek, tongkatnya bergerak dan pedang di tangan Kong Tek terlempar, kemudian pemuda itu roboh oleh totokan ujung tongkat hitam yang lihai. “Ha-ha-ha, serahkan pedangmu, Nona. Kami tidak akan membunuhnya!” kata Ketua Pek-lian-kauw itu. Giok Keng sudah mengenal kakek ini, maklum akan kekejaman dan kepalsuan hatinya, maka dia berkata, “Aku menyerah, akan tetapi dia harus ditawan bersamaku pula. Baru aku yakin bahwa kalian tidak akan membunuhnya. Kalau tidak, aku akan melawan sampai mati!” “Hemmm... hemmm... untuk apa orang macam dia?” Ketua Pek-lian-kauw itu masih merasa mendongkol terhadap pemuda itu yang dianggapnya sebagai penyebab kematian Bu Li Cun, gadis yang menjadi korbannya dan yang masih dicintanya. “Pendeknya, mau atau tidak? Kalau tidak mau, biar aku mengadu nyawa denganmu!” “Baiklah, baiklah!” Lalu dia berkata kepada Bong Khi Tosu, “Bawa dia bersama kita.” Giok Keng terpaksa menyerahkan pedangnya dan dia mengikuti tiga orang kakek itu yang mengajaknya ke sarang Pek-lian-kauw di muara Sungai Huai di pantai Laut Kuning. Sekali ini dia terpaksa mengalah dan menyerah demi keselamatan Kong Tek, dan juga dia maklum bahwa andaikata dia tidak menyerah dia tentu akan tewas bersama Kong Tek di bawah senjata tiga orang kakek lihai itu! Harapannya timbul ketika di dalam perjalanan menuju ke sarang Pek-lian-kauw, Thian Hwa Cinjin menyatakan maksud hatinya menawan Giok Keng, yaitu untuk membujuk Ketua Cin-ling-pai untuk membantu Pek-lian-kauw. “Asal engkau tidak mengganggu kami berdua, aku pun tidak akan melawan, dan mungkin Ayah akan mempertimbangkan uluran tanganmu untuk bekerja sama asal engkau tidak mengganggu kami.” Demikian jawabnya dan Giok Keng benar-benar tidak melawan sampai dia bersama Kong Tek tiba di sarang Pek-lian-kauw. Kong Tek dimasukkan ke dalam sebuah kamar yang terjaga kuat, dan Giok Keng mendapat kamar di sebelahnya, juga terjaga kuat. Giok Keng diperbolehkan pula untuk merawat dan menjenguk sahabatnya itu. “Ahhh... di mana kita...?” Inilah ucapan Kong Tek pertama kalinya ketika dia siuman dan mendapatkan dirinya rebah di atas pembaringan di dalam sebuah kamar, sedangkan Giok Keng duduk di atas bangku dekat pembaringannya. “Ssssttt...!” Giok Keng menaruh telunjuk di depan bibirnya. “Kita telah kalah dan tertawan.” Mendengar ini, Kong Tek melompat turun dan menyeringai kesakitan. Dia telah menderita luka-luka akibat pertandingan melawan dua orang kakek lihai, akan tetapi sambil menahan sakit dan mengepal tinjunya dia berkata, “Mari kita lawan mereka!” Giok Keng memegang lengan pemuda itu. “Tenanglah, Toako. Kau perlu istirahat agar luka-lukamu sembuh. Aku memang telah menyerah kepada mereka setelah melihat engkau hendak dibunuh.” “Ahhh!” Kong Tek sekarang teringat dan dia merasa tidak setuju sama sekali. “Nona, lebih baik mereka membunuh aku daripada engkau menyerah dan menjadi tawanan.” “Hushh, jangan begitu, Toako. Aku pun tidak suka melihat engkau terbunuh. Kaukira aku orang macam apa? Kalau kau terbunuh... aku... aku...” “Kenapa, Nona?” Aneh sekali. Baru sekarang suara pemuda ini dicekam keharuan dan terdengar agak gemetar. “Aku juga akan melawan sampai mati!” Kini tiba-tiba Kong Tek memegang kedua tangan gadis itu. Baru sekali ini dia berani melakukan hal seperti ini, dan suaranya gemetar ketika dia berkata tergagap, “Keng-moi (Adik Keng), kau... kau...?” Mulutnya tidak berani melanjutkan, namun sikap dan pandang matanya merupakan pertanyaan yang amat jelas. Giok Keng tersenyum, mengangguk, dua titik air mata menuruni pipinya dan dia berbisik, “Kalau kau tidak melihatnya, berati kau... tolol atau buta, Toako...!” “Ehh... siapa berani mengharapkan kehormatan itu...? Keng-moi, aku... aku pun...” Kembali kata-katanya macet. “Aku tahu, Toako, aku pun tidak buta.” Mereka saling berpegang tangan, tanpa kata-kata kini, hanya sinar mata mereka yang mengandung seribu satu macam pernyataan hati yang penuh kasih sayang! “Mereka menawanku untuk memancing Ayah datang ke sini dan hendak diajak bekerja sama. Maka biarlah kita menanti, melawan pun tiada gunanya. Hanya Ayah yang akan dapat membebaskan kita, maka kuminta agar kau menurut saja dan tidak memberontak.” Kong Tek mengangguk, masih terharu oleh kenyataan bahwa gadis yang dipuja dan dikagumi yang dicintanya semenjak pertama kali melihatnya itu, ternyata juga jatuh cinta kepadanya! Bong Khi Tosu memasuki kamar tahanan itu dan minta supaya Giok Keng keluar dari situ, kembali ke kamarnya sendiri. “Dia sudah tidak perlu dirawat lagi, sudah sembuh dan sudah kami beri obat untuk menyembuhkan luka-lukanya.” kata pendeta Pek-lian-kauw itu sambil menyerahkan beberapa macam obat luka yang diterima oleh Kong Tek tanpa banyak kata lagi karena pemuda ini khawatir bahwa kalau dia mengeluarkan suara terhadap musuh ini, dia tidak akan dapat menahan kemarahannya dan akan bersikap kasar dan memberontak. Mereka berdua harus sabar menanti. Selama Thian Hwa Cinjin tidak mengganggu mereka, mereka mengambil keputusan untuk diam saja dan tidak membuat keributan, menanti sampai munculnya Pendekar Sakti Cia Keng Hong. Dan betapa pun mengilarnya hati yang penuh nafsu berahi dari Ketua Pek-lian-kauw itu terhadap Giok Keng, namun dia lebih mementingkan “perjuangan” perkumpulannya, maka dia tidak mau mengganggu gadis itu dengan harapan agar ayah gadis itu yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, berikut semua anak buah Cin-ling-pai, akan suka membantu Pek-lian-kauw. Kalau kebetulan ada yang melihat mereka, tentu orang yang melihatnya itu akan menjadi ketakutan dan mengira bahwa dia melihat setan. Demikian cepatnya gerakan tiga orang itu sehingga yang tampak hanya bayangan mereka saja yang berkelebatan cepat sekali di antara pohon-pohon, menuju ke sarang Pek-lian-kauw yang terletak di muara Sungai Huai, di pantai Laut Kuning itu. Mereka melakukan perjalanan cepat bukan main, seperti terbang saja, tanpa banyak cakap akan tetapi wajah mereka membayangkan ketegangan, kesungguhan, dan kemarahan. Mereka ini bukan lain adalah Pendekar Sakti Cia Keng Hong, isterinya yang gagah perkasa Sie Biauw Eng, dan yang ke tiga adalah Yap Kun Liong, pemuda yang telah memiliki ilmu kepandaian amat tinggi itu, bahkan tingkatnya sudah menandingi tingkat Pendekar Sakti Cia Keng Hong sendiri! Ketika suami isteri dari Cin-ling-san ini menerima surat Thian Hwa Cinjin yang isinya membujuk Cin-ling-pai untuk bekerja sama, untuk “membalas budi” Pek-lian-kauw yang menawan Cia Giok Keng namun tidak mau mengganggu puteri mereka itu, kebetulan Yap Kun Liong yang membawa Bun Houw pulang telah tiba di Cin-ling-san. Suami isteri itu sedang bersiap-siap untuk pergi mengunjungi Kok Beng Lama untuk membicarakan tentang perjodohan Kun Liong dan Hong Ing, menjadi wali pemuda ini. Akan tetapi tiba-tiba muncul utusan Pek-lian-kauw yang menyerahkan surat itu. Dapat dibayangkan betapa kaget dan marah hati suami isteri itu setelah mereka membaca surat dari Thian Hwa Cinjin. Maklumlah Keng Hong bahwa surat itu adalah surat yang hendak memaksa dia untuk membantu Pek-lian-kauw, dengan puterinya menjadi sandera. Dengan menahan kemarahannya karena dia tidak ingin mengganggu seorang utusan, Keng Hong berkata singkat kepada utusan Pek-lian-kauw itu, “Katakan kepada Thian Hwa Cinjin bahwa aku akan segera datang ke sana!” Ketika Kun Liong mendengar tentang isi surat itu, seketika dia menyatakan hendak membantu dan menyerbu Pek-lian-kauw untuk membebaskan Giok Keng. Tentu bantuan pemuda yang lihai itu amat diharapkan oleh suami isteri Cin-ling-san dan Keng Hong lalu berkata, “Kita harus berangkat sekarang juga, mendahului utusan itu dan menyerbu Pek-lian-kauw selagi mereka belum siap-siap sehingga mereka tidak sempat mengganggu Giok Keng.” Maka berangkatlah tiga orang berilmu tinggi itu dengan cepat, meninggalkan Bun Houw yang dijaga oleh para anak buah murid Cin-ling-pai, berangkat dan melakukan perjalanan amat cepat mendahului utusan yang telah kembali itu. Di sepanjang perjalanan, mereka mengatur siasat penyerbuan, yaitu suami isteri itu akan menyerbu dengan berterang dari pintu gerbang depan setelah memberi kesempatan kepada Kun Liong untuk menyelinap melalui jalan belakang sehingga pemuda itu akan dapat mencari dan melindungi Giok Keng. Selanjutnya perjalanan dilakukan cepat tanpa banyak cakap lagi dan tentu saja mereka dapat jauh mendahului utusan itu. Tepat seperti telah mereka rencanakan, mereka tiba di sarang Pek-lian-kauw itu di malam hari yang gelap. Suami isteri itu membiarkan Kun Liong menyelinap dan berkelebat ke arah belakang sarang itu. Mereka percaya penuh bahwa pemuda itu akan berhasil memasuki sarang musuh dari belakang. Setelah menanti kurang lebih seperempat jam lamanya untuk memberi kesempatan kepada Kun Liong memasuki markas dan mencari Giok Keng, Keng Hong dan isterinya lalu dengan terang-terangan menghampiri pintu gerbang yang dijaga oleh enam orang anggauta Pek-lian-kauw dan menerobos masuk. Tentu saja para penjaga itu cepat menghadang. “Heiii, siapa kalian...?” Seruan ini terhenti ketika mereka mengenal Keng Hong sebagai pendekar Cin-ling-san yang pernah menyerbu sarang itu, akan tetapi mereka tidak sempat berbuat banyak karena suami isteri itu telah bergerak cepat dan robohlah enam orang itu berturut-turut tanpa dapat melawan. Akan tetapi, keributan tadi menarik perhatian para penjaga di sebelah dalam. Mereka melihat betapa enam orang penjaga itu roboh, maka cepat memukul kentungan sebagai tanda bahaya. Keadaan menjadi gempar dan puluhan orang anak buah Pek-lian-kauw lari berserabutan, ada yang baru bangun tidur dan saling tabrak, kesemuanya lari hendak mempersiapkan senjata untuk menghadapi penyerbuan musuh. Mereka menyangka bahwa tentu pasukan pemerintah yang datang menyerbu. Sementara itu. Cia Keng Hong dan Sie Biauw Eng sudah mengamuk dengan hebatnya. Para anggauta Pek-lian-kauw bagaikan daun-daun kering tertiup angin, terlempar ke sana-sini dan keadaan menjadi makin kacau balau. Thian Hwa Cinjin tentu saja terkejut bukan main setelah mendengar kentungan tanda bahaya dan kemudian melihat mengamuknya suami istri itu. Dia merasa heran sekali. Utusannya belum kembali dan menurut perhitungannya pun tentu belum kembali dari perjalanan jauh itu, akan tetapi mengapa suami isteri itu sudah datang mengamuk? Cepat dia mempersiapkan diri dan sejenak berunding dengan Bong Khi Tosu dan Hwa I Lojin. “Kau cepat jalankan alat rahasia di dua kamar itu agar mereka terjeblos ke dalam kamar bawah tanah, kemudian bantu kami di luar!” katanya kepada Bong Khi Tosu. Tosu ini mengangguk dan cepat lari ke belakang. Pada waktu itu, dia mengira bahwa Cia Giok Keng dan Lie Kong Tek tentu berada di kamar masing-masing yang terjaga kuat, dan alat untuk menjalankan alat rahasia itu berada di luar kamar. Sekali menekan tombol, lantai kamar itu akan terjeblos ke bawah, membawa mereka berdua terjatuh ke dalam kamar-kamar rahasia di bawah tanah yang sukar dicari oleh orang luar. Akan tetapi, ketika Bong Khi Tosu tiba di tempat itu, matanya terbelalak dan mukanya menjadi pucat. Belasan orang penjaga kedua kamar itu telah menggeletak di luar kamar tanpa bergerak lagi! Dan pintu kedua kamar itu telah terbuka, kamar-kamar itu telah kosong! Selagi dia hendak lari ke luar, tiba-tiba berkelebat bayangan dua orang dan tahu-tahu dua orang tahanan itu, Giok Keng dan Kong Tek, telah berdiri di depannya dengan muka penuh ancaman! Dua orang ini tadi memang telah dibebaskan oleh Kun Liong setelah pemuda perkasa ini berhasil merobohkan semua penjaga sebelum mereka sempat membuat ribut. “Harap kalian membantu dari dalam, aku hendak membantu Supek dan Supekbo di luar.” Kun Liong berkata kepada mereka tanpa banyak cakap lagi, lalu berkelebat pergi karena dia sudah mendengar suara ribut-ribut di luar sarang itu, tanda bahwa suami isteri Cin-ling-san itu telah turun tangan. Adapun Giok Keng dan Kong Tek segera bersembunyi dan baru muncul ketika Bong Khi Tosu datang. Dengan kemarahan meluap dua orang itu lalu meloncat keluar sehingga mengejutkan tosu itu. Maklum bahwa tidak ada gunanya lagi untuk bicara, Bong Khi Tosu sudah menggerakkan tongkatnya dan mengeluarkan suara menggereng hebat sekali. Itulah ilmunya Sai-cu Ho-kang (Auman Singa) yang dikeluarkan dengan pengerahan khi-kang kuat sekali dan yang menggetarkan jantung lawan. Lawan yang kurang kuat sin-kangnya akan roboh hanya oleh gerengan ini saja. Namun, tentu saja Kong Tek, apalagi Giok Keng, tidak mudah digertak oleh ilmu ini dan mereka sudah menerjang maju dengan tangan kosong karena pedang mereka telah dirampas dan entah disimpan di mana oleh Thian Hwa Cinjin. Bong Khi Tosu memutar tongkatnya dengan ganas, juga beberapa kali kakinya menyambar dengan jurus-jurus tendangan Soan-hong-tui yang amat dahsyat. Memang hebat ilmu tendangan kakek ini. Kong Tek yang masih belum sembuh benar dari luka-lukanya akibat pertandingan yang lalu, kurang cepat mengelak dan lambungnya tercium tendangan, membuat dia terhuyung. “Toako, mundurlah, biar aku yang menandingi tua bangka ini!” Giok Keng berkata dan cepat dara ini mainkan Ilmu Silat San-in Kun-hoat (Ilmu Silat Awan Gunung) yang amat hebat, yang dipelajarinya dari ayahnya sendiri. Dengan gerakan indah, setelah mengelak dan membiarkan tongkat lawan lewat di atas pundak kirinya, dia menyerang dengan jurus In-keng-hong-twi (Awan Menggetarkan Angin dan Hujan), pukulan tangan kirinya mengandung tenaga sin-kang yang amat kuat menyambar ke arah dada lawan disusul dorongan tangan ke arah kepala! Bong Khi Tosu terkejut dan cepat meloncat ke belakang sambil memutar tongkatnya. Pukulan dara tadi membuat tubuhnya tergetar dan kalau dia tidak cepat meloncat mundur, tentu dia akan terkena pukulan dahsyat itu. Akan tetapi baru saja kakinya menginjak tanah, tubuh dara itu sudah mencelat ke depan dan kini Giok Keng sudah menghantamnya dengan kedua tangan dilonjorkan, menyerang dengan jurus ke tiga dari Ilmu Silat San-in-kun-hoat, yaitu jurus Siang-in-twi-san (Sepasang Awan Mendorong Bukit). Kembali kakek itu terkejut. Dari kedua tangan dara yang masih muda itu tampak uap putih yang amat kuat, bahkan ketika dia memutar tongkat melindungi tubuhnya, kedua tangannya tergetar hebat dan kembali dia terpaksa melompat ke belakang. Pada saat itu, Kong Tek yang merasa tidak tenang membiarkan kekasihnya maju sendiri menghadapi musuh, sudah menubruk dari samping, dan mengirim pukulan. Bong Khi Tosu cepat menggerakkan tongkatnya memukul ke samping, menyambut serangan pemuda yang baginya jauh lebih lunak dibandingkan dengan dara itu. Akan tetapi sekali ini Kong Tek berlaku nekat, melihat tongkat menyambar, dia menangkap tongkat itu dengan kedua tangannya! Bong Khi Tosu terkejut, cepat menarik kembali tongkatnya, namun Kong Tek tidak mau melepaskannya. Terjadilah tarik-menarik dan Bong Khi Tosu sudah menggerakkan kaki kanannya mengirim tendangan kilat yang amat berbahaya menuju pusar lawan! “Wirrrr... krekkkk!” Bong Khi Tosu memekik keras karena kakinya telah patah tulangnya, disambar pukulan tangan Giok Keng dari samping pada saat kaki itu tadi menendang. Sebelum dia sempat melakukan sesuatu karena rasa nyeri membuat dia seperti lumpuh, Kong Tek telah merampas tongkatnya dan sekali tusuk, tongkat itu menancap memasuki dada tosu itu sampai hampir tembus ke punggung saking kerasnya pemuda itu menusuk. Bong Khi Tosu mengeluarkan suara menggereng hebat dan tubuhnya roboh terjengkang ketika Kong Tek mencabut tongkat sambil menendang, dan tosu itu tewas seketika. “Mari kita menerjang keluar!” kata Kong Tek ketika melihat datangnya belasan orang angauta Pek-lian-kauw berbondong datang ke tempat itu. Giok Keng mengangguk dan tubuhnya sudah menerjang ke depan, menyambut rombongan anggauta Pek-lian-kauw terdepan, merampas pedang dan mengamuk seperti seekor naga sakti. Juga Kong Tek menggerakkan tongkat rampasannya, merobohkan siapa saja yang berani menghadang di depan mereka! Pertempuran di luar sarang itu masih berlangsung dengan hebatnya. Cia Keng Hong berhadapan dengan Thian Hwa Cinjin sedangkan Sie Biauw Eng bertanding melawan Hwa I Lojin. Kalau saja tidak terdapat begitu banyaknya anggauta Pek-lian-kauw yang mengeroyok, tentu dengan mudahnya suami isteri itu akan dapat mengalahkan dua orang kakek itu. Akan tetapi pengeroyokan belasan orang tokoh Pek-lian-kauw dan puluhan orang anak buahnya membuat suami isteri itu kewalahan juga! Apalagi karena Keng Hong masih tidak tega untuk menyebar maut diantara mereka, hanya merobohkan mereka tanpa membunuh, tidak seperti Biauw Eng yang tidak mempunyai pantangan lagi saking marahnya, sabuk sutera putihnya dibantu dengan pukulan beracun Ngo-tok-ciang (Pukulan Lima Racun) yang sudah lama tidak dipergunakannya lagi namun masih dilatihnya, menyebar maut diantara para pengeroyoknya. Nyonya ini tidak peduli bahwa di bawah pengeroyokan ketat itu, dia telah menderita dua kali bacokan golok yang membuat pundak kirinya dan paha kanannya terluka dan berdarah. Bahkan rasa nyeri di kedua tempat ini membuat dia menjadi makin ganas dan mengamuk makin hebat. “Supek, teecu telah berhasil membebaskan Sumoi dan Lie-toako yang mengamuk dari dalam!” Munculnya Kun Liong dengan seruannya ini membuat hati suami isteri itu lega sekali, dan Kun Liong tidak dapat bicara lebih banyak lagi karena dia pun sudah harus menghadapi pengeroyokan banyak sekali anggauta Pek-lian-kauw. Seperti juga Keng Hong, pemuda ini mengamuk sambil menjaga jangan sampai dia sembarangan membunuh orang. Pertempuran itu tentu akan berlangsung lama sekali kalau saja tidak terjadi hal yang mengejutkan hati Thian Hwa Cinjin dan anak buahnya. Terdengar suara teriakan-teriakan tinggi nyaring dan menyerbulah dua puluh orang wanita yang dipimpin oleh seorang gadis cantik yang gerakannya ganas dan amat lihai! Mereka ini langsung menyerang para anggauta Pek-lian-kauw sehingga mereka itu terkejut dan kepungan mereka menjadi cerai berai, sedangkan pemimpin rombongan wanita itu sendiri langsung membantu Kun Liong mengamuk! “Bi Kiok...!” Kun Liong berseru, kaget, heran dan juga girang karena gadis bersama rombongannya ini datang-datang membantunya. “Mengapa kau berada di sini dan siapa mereka itu?” Bi Kiok tersenyum dan dengan tenang pedangnya yang mengeluarkan sinar kilat berkelebat tiga kali maka robohlah tiga orang pengeroyok, dengan kepala terpisah dari tubuhnya! Kun Liong bergidik menyaksikan keganasan ini. “Mereka adalah anak buahku, dan aku sengaja datang untuk menghajar Pek-lian-kauw yang berani menculik seorang anak buahku. Kebetulan kita dapat berjumpa di sini. Ini namanya jodoh!” Kun Liong bergidik, teringat akan desakan dara ini untuk mengajak hidup bersama. Maka dia tidak banyak cakap lagi dan segera menerjang ke depan, melempar-lemparkan dua orang pengeroyok yang terdekat. Kini Keng Hong dan Biauw Eng dapat mendesak kedua orang lawannya. Bahkan dengan pekik melengking nyaring, sabuk sutera di tangan Biauw Eng menyambar-nyambar dan sekaligus mengirim serangan totokan ke tujuh belas bagian jalan darah yang terpenting di tubuh Hwa I Lojin. Kakek ini terkejut, menangkis dengan pedangnya dan berusaha menangkap ujung sabuk dengan tangan kirinya, namun hasilnya sia-sia saja. Setelah kini langsung berhadapan sendiri dengan kakek itu, tanpa ada pengeroyok lain, Biauw Eng dapat mencurahkan perhatiannya sehingga daya serangnya amat hebat. Terdengar kakek itu memekik keras ketika jalan darah di pinggang terkena totokan ujung sabuk sutera. Dia terhuyung dan pada saat itu, ujung sabuk sutera sudah menyambar lagi. “Cratttt...!” Tidak begitu jelas bagaimana caranya ujung sabuk itu menghantam, akan tetapi tahu-tahu Hwa I Lojin roboh terguling dan berkelojotan sekarat. Ternyata bahwa ujung sabuk sutera tadi telah mengenai pelipis kepalanya, membuat bagian kepala yang lemah itu retak dan tentu saja nyawanya melayang tak lama kemudian! Melihat ini, Thian Hwa Cinjin terkejut dan cepat dia mengeluarkan seruan keras dan tiba-tiba dari ujung tongkatnya keluar asap hitam yang tebal. Keng Hong cepat meloncat ke belakang, maklum betapa licik dan curangnya Ketua Pek-lian-kauw ini. “Semua berhenti...! Jangan berkelahi...! Aku, Thian Hwa Cinjin memerintahkan kalian! Berhenti berkelahi...!” Suara ini bergema menyeramkan dan mengandung kekuatan mujijat yang menggetarkan jantung. Keng Hong sendiri tercengang dan sejenak seperti tak mampu bergerak, demikian pula mereka yang sedang bertanding tiba-tiba berhenti dan memandang ke arah kakek itu seperti patung-patung hidup! “Kalian semua berlututlah...! Berlutut dan taat kepada semua perintahku! Dengarlah baik-baik...!” Kembali suara ini memaksa banyak orang menekuk lutut di luar kehendak mereka sendiri. Hanya Kun Liong, Keng Hong dan Biauw Eng serta Yo Bi Kiok yang masih belum bertekuk lutut sungguhpun mereka juga terpesona oleh pengaruh mujijat dalam suara Thian Hwa Cinjin yang kini berdiri di dalam selubungan uap hitam itu. Tiba-tiba terdengar suara ketawa nyaring dan muncullah seorang kakek aneh yang pakaiannya kedodoran terlalu besar, celananya kotak-kotak bajunya kembang-kembang, kepalanya memakai kopyah bayi! Dia ini bukan lain adalah Hong Khi Hoatsu, kakek ahil hoat-sut (sihir), guru dari Lie Kong Tek. “Ha-ha-ha, si tukang sulap, kembali mengeluarkan ilmu hitamnya untuk menyelamatkan diri. Ha-ha-ha, betapa tidak gagahnya, betapa curangnya. Cu-wi sekalian mengapa berlutut? Dia hanya main gertak belaka!” Suara ketawa dari kakek ini terdengar aneh dan mengandung kekuatan luar biasa pula yang seolah-olah membuyarkan pengaruh ajalb yang ditimbulkan oleh suara Thian Hwa Cinjin tadi. Semua orang terkejut dan insyaf, lalu meloncat bangun dan mulai menyerang lagi kepada para anggauta Pek-lian-kauw! “Hong Khi Hoatsu keparat...!” Ketua Pek-lian-kauw itu membentak marah dan tongkatnya digerakkan secara hebat sambil meloncat ke arah kakek itu, menerjang dengan pukulan maut! “Trakkk... krekkk!” Tongkat itu patah menjadi dua bertemu dengan Siang-bhok-kiam (Pedang Kayu Harum) di tangan Cia Keng Hong yang sudah sadar dan melindungi Hong Khi Hoatsu. Thian Hwa Cinjin terkejut sekali, cepat dia meloncat ke belakang dan lari masuk ke dalam sarangnya, dengan niat untuk bersembunyi dan melarikan diri melalui lorong rahasia. “Sing?singgg...!” Sinar-sinar menyilaukan mata menyambar dan mengejar kakek ini. “Aduhhhh...!” Thian Hwa Cinjin tidak berhasil mengelak semua senjata rahasia yang dilontarkan oleh Biauw Eng kepadanya ketika dia lari. Tengkuknya kena dihantam oleh bola putih berduri dan punggungnya menjadi sarang sebatang tusuk konde bunga bwe. Dia terhuyung namun masih dapat berlari terus meloncat ke ruangan depan dan pada saat itu, dari dalam muncullah Giok Keng dan Lie Kong Tek. Ketika mereka melihat kakek yang amat dibencinya ini hendak lari ke dalam dan sudah terluka dan terhuyung-huyung, mereka segera menubruk ke depan dan menyerang. Giok Keng menusukkan pedangnya dan Kong Tek menghantamkan tongkatnya ke arah kepala kakek itu. “Trakk! Blesss... aughhhh...!” Kakek itu dapat menerima hantaman tongkat di kepalanya, membuat tongkat itu terpental bahkan terlepas dari tangan Kong Tek, akan tetapi tusukan pedang yang dilakukan oleh Giok Keng dengan pengerahan tenaga sin-kang, menancap di ulu hatinya dan menembus sampai ke punggungnya. “Keparat... kau harus mampus...!” Kakek itu masih dapat memaki dan tangannya diulur ke depan hendak mencengkeram dada Giok Keng. “Dessss...!” “Lie-toako...!” Kiranya melihat kakek itu masih mampu menyerang bahkan mengancam keselamatan Giok Keng, Kong Tek cepat menggunakan lengannya menangkis sehingga lengannya yang kena dicengkeram oleh tangan kakek itu. Biarpun pemuda ini sudah mengerahkan tenaganya, namun tetap saja tulang lengannya patah dan kakek itu tergelimpang, tewas. “Ah, lenganmu...!” Giok Keng menghampiri Kong Tek dan memeriksa lengannya yang berlumuran darah. “Tidak apa-apa... untung engkau selamat.” Kong Tek berkata sambil tersenyum menahan sakit. “Toako... kau... kau selalu berkorban untukku...” “Hemmm, sudah semestinya...” Giok Keng merobek ujung bajunya lalu membalut erat-erat luka di lengan pemuda itu. Ketika ayah bundanya dan Hong Khi Hoatsu menghampiri, dia masih membalut dengan sikap penuh perhatian sehingga diam-diam Hong Khi Hoatsu tertawa dan Cia Keng Hong bertukar pandang dengan isterinya. Para anggota Pek-lian-kauw buyar dan melarikan diri setelah melihat tewasnya ketua mereka dan para pimpinan mereka. Biauw Eng memeluk puterinya dan Giok Keng yang merasa telah membuat banyak kesusahan kepada orang tuanya itu, menangis dalam pelukan ibunya. “Ha-ha-ha-ha, pinto sudah melihat semuanya dan kini, di depan puterimu dan isterimu, Cia-taihiap, pinto mengulangi pinangan pinto untuk menjodohkan murid pinto Lie Kong Tek dan puterimu Cia Giok Keng. Bagaimana?” “Aku menyerahkan keputusannya kepada isteriku,” jawab Keng Hong sambil melirik ke arah isterinya. “Dan aku menyerahkan jawabannya kepada Keng-ji,” kata Biauw Eng. “Ha-ha-ha-ha, eh, Kong Tek, bagaimana pendapatmu? Apakah Nona ini sudah setuju?” “Kami sudah saling setuju, Suhu...” Kong Tek menjawab singkat sambil menunduk. “Keng-moi, harap kau suka menjawab agar melegakan hati para orang tua.” Giok Keng mengangkat mukanya yang merah sekali. “Aku... aku menyerahkan kepada Ayah dan Ibu saja.” Keng Hong dan isterinya saling pandang dan sinar kegembiraan terpancar di wajah mereka. “Bagus, memang sudah semestinya kalau anak selalu berunding dengan orang tua mengenai hari depannya, karena pandangan orang tua tentu lebih mendalam dan luas. Kami sudah setuju sekali mempunyai mantu seperti Lie Kong Tek ini, Keng-ji.” kata Keng Hong. “Marilah kita semua pergi ke Cin-ling-san untuk membicarakan persoalan ini, dan Kong Tek harus pula beristirahat dan berobat. Dan Kun Liong... eh, mana dia...?” Semua mata menoleh dan mencari. Ternyata Kun Liong sedang berdebat dengan Bi Kiok! “Kun Liong. Kau tahu bahwa adikmu tidak mau berpisah dari aku, dan dia akan menjadi murid tunggal dan ahil waris semua ilmuku. Kau tahu pula bahwa aku cinta padamu, maka demi kebahagiaan kita bertiga, aku mengulang lagi permintaanku agar kau suka hidup bersama-sama.” Kun Liong memandang Bi Kiok dengan wajah terharu dan dia menggeleng kepala. “Bi Kiok, kaumaafkanlah aku. Kau terlalu memudahkan urusan jodoh. Jodoh tak mungkin dapat dilaksanakan apabila cinta kasih hanya datang dari sepihak saja. Kalau dipaksakan, kelak hanya akan mendatangkan kekecewaan dan penyesalan belaka. Aku suka kepadamu sebagai sahabat atau saudara, akan tetapi aku telah jatuh cinta kepada seorang wanita lain, Bi Kiok. Aku hanya titip adikku agar kaurawat dan didik baik-baik.” Bi Kiok menyusut air matanya. “Baiklah, kalau kau tidak mau menjadi suamiku, ingatlah bahwa engkau akan mempunyai seorang musuh untuk selama hidupmu, yaitu Yo Bi Kiok!” Setelah berkata demikian, wanita ini menggerakkan pedangnya memberi isyarat kepada dua puluh anak buahnya untuk pergi dari situ. “Bi Kiok...!” Kun Liong memanggil akan tetapi gadis itu telah pergi tanpa menoleh lagi, sambil mengusap air matanya. Mereka menghampiri Kun Liong yang masih berdiri termenung memandang bayangan Bi Kiok. “Kun Liong, apakah yang telah terjadi? Siapa dia yang membantu kita?” Kun Liong baru sadar ketika mendengar suara supeknya itu. Mukanya menjadi merah sekali. Tentu saja dia tidak dapat menceritakan apa yang terjadi, karena semua itu hanya akan membuka rahasianya sebagai seorang pemuda petualang asmara yang ceriwis dan yang mendatangkan banyak akibat yang baru dirasakannya sekarang! Andaikata dia dahulu tidak suka menggoda wanita, andaikata dia tidak bersikap ceriwis dan menggoda Bi Kiok, tidak mungkin Bi Kiok menjadi jatuh hati kepadanya, dan mengira bahwa dia pun mencinta dara itu! “Supek, dia adalah bekas murid Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci yang sudah bertobat dan menjadi orang baik, dahulu adalah sahabat saya. Bahkan... adik kandung saya, Yap In Hong kini telah menjadi muridnya.” “Ohhh...!” Biauw Eng berseru kaget. Mengerti akan kekagetan dan keheranan nyonya ini, Kun Liong berkata, “Saya telah bertemu dengan Adik In Hong secara kebetulan. Akan tetapi ternyata Adik In Hong lebih suka tinggal bersama gurunya yang telah menolongnya itu. Yo Bi Kiok tadi datang bersama anak buahnya secara kebetulan saja karena dia pun bermusuhan dengan Pek-lian-kauw yang telah berani menculik seorang anak buahnya.” Setelah bercerita demikian Kun Liong tidak mau membuka mulut lebih lebar lagi tentang diri Bi Kiok, yang berarti akan mengungkapkan semua rahasia pribadinya. Beramai-ramai mereka semua lalu meninggalkan Pek-lian-kauw, menuju ke Cin-ling-san. Kun Liong merasa lega dan girang sekali mendenrgar bahwa Giok Keng akan berjodoh dengan Kong Tek yang dianggapnya seorang pemuda gagah perkasa yang pantas menjadi menantu Ketua Cin-ling-pai. Perjodohan yang tadinya diusulkan oleh supeknya dan diputuskan oleh dia dan Giok Keng selalu mengganggu hatinya selama ini, membuatnya tidak enak hati terhadap supeknya. Akan tetapi setelah kini Giok Keng memperoleh jodoh, hal itu tentu saja tidak menjadikan gangguan lagi. Beberapa bulan kemudian, dilangsungkanlah pernikahan ganda yang dirayakan secara meriah di Cin-ling-san, yaitu pernikahan antara Yap Kun Liong dengan Pek Hong Ing, dan Lie Kong Tek dengan Cia Giok Keng. Perayaan ini disaksikan oleh banyak tamu yang terdiri dari orang-orang ternama di dunia kang-ouw, bahkan Yang Mulia Menteri The Hoo sendiri berkenan menghadiri perayaan pernikahan itu dan memberikan restunya! Tidak ketinggalan tokoh-tokoh tua terhormat seperti Thian Kek Hwesio Ketua Siauw-lim-pai, Tio Hok Gwan pengawal setia dari The Hoo, Kok Beng Lama, Hong Khi Hoatsu, dan para pimpinan partai-partai persilatan besar. Hanya satu hal yang membuat hati Kun Liong agak gelisah dan tidak nyaman yaitu ketidakhadiran adik kandungnya dan gurunya, yaitu Yo Bi Kiok yang bersumpah akan menjadi musuhnya selama hidup! Sampai di sini pengarang mengakhiri cerita Petualang Asmara ini dengan harapan mudah-mudahan cerita ini telah dapat memenuhi tugasnya sebagai penghibur Anda di waktu senggang, dan sampai jumpa kembali di dalam tulisan pengarang berikutnya. Tidak lupa pengarang mengharapkan mudah-mudahan ada bagian-bagian tertentu dalam karangan ini yang membantu Anda dengan membuka kesadaran Anda sehingga kita bersama dapat mempelajari dan melihat keadaan hidup ini sebagaimana adanya dan kenyataannya, hidup yang penuh dengan suka duka, penuh kepalsuan, penuh penderitaan dan kepahitan, penuh kebencian dan iri hati, penuh kesengsaraan yang kesemuanya itu tiada lain adalah hasil darl ulah kita manusia sendiri. Marilah kita menghayati hidup seperti apa adanya, menerima segala sesuatu dengan mata terbuka tanpa menolak atau menerima, tanpa mencela atau memuji, menerima dengan penuh kesadaran sehingga kita hidup wajar, menikmati hidup saat demi saat karena yang ada hanyalah nikmat dan bahagia apabila kita terbebas dari semua kepalsuan pikiran, terbebas dari cengkeraman si aku dan karenanya hidup kita dipenuhi sinar kasih sayang, sinar cinta kasih yang wajar dan suci. Mudah-mudahan! Teriring salam bahagia dari pengarang. T A M A T Dapatkan koleksi ebook lain di: http://jowo.jw.lt