olehnya tadi. Kalau tidak tertolong, dia tentu tewas sekarang, pikirnya. “Tolooonggg...!” Tanpa disadarinya lagi, dia berteriak dengan sekuat tenaga, kemudian menggerakkan kaki tangan agar tidak tenggelam, terpaksa membiarkan tubuhnya terseret dan hanyut. Masih tak disadarinya bahwa lengan kirinya tetap saja memeluk “batu karang” putih tadi! Dia hanyut memperhatikan ke sekeliling dan alangkah girangnya ketika tiba-tiba tampak sebuah perahu tak jauh dari situ. “Pegang tali ini...!!” Dia mendengar orang berteriak dan melihat seorang laki-laki tua melempar tali sambil berdiri membungkuk di pinggir perahu. Seorang anak perempuan dengan mata terbelalak memandang dan agaknya anak itu khawatir sekali, dia berpegang pada ujung baju di belakang tubuh kakek tua, telunjuknya menuding ke arah Kun Liong yang sudah berhasil menyambar dan memegang tali dengan tangan kanannya. Kakek itu memandang Kun Liong yang berpegang pada tali dengan muka penuh keheranan, apalagi ketika dia melihat benda yang berada dalam pelukan lengan kiri anak itu. “Heiiii! Engkau ini bocah luar biasa sekali! Bagaimana engkau bisa berada di tengah sungai dan apa yang kaubawa itu?” Hati Kun Liong mendongkol. Kakek yang luar biasa masih mengatakan dia yang luar biasa. Masa menolong orang, belum juga orangnya naik sudah menghujaninya dengan pertanyaan-pertanyaan. Dan dia baru teringat bahwa batu dari dasar sungai tadi masih dipeluknya! “Naikkan aku dulu, baru kita bicara!” katanya marah. “Dan batu ini...” Tiba-tiba dia terbelalak dan tidak melanjutkan kata-katanya karena ketika dia melirik ke arah batu yang sudah hampir dilemparkannya itu, dia mendapat kenyataan bahwa batu itu sama sekali bukan batu, melainkan sebuah benda yang aneh, agaknya sebuah bokor atau tempat abu, terbuat dari benda mengkilap kuning dan dihias batu-batu putih yang berkilauan! “Kakek yang baik, tolong naikkan aku dulu!” kembali dia berkata dan tiba-tiba tubuhnya melayang ke atas dan sebuah tangan yang kuat menyambutnya dari udara dan dia diturunkan dengan tenang oleh kakek itu. Kiranya kakek itu bukan orang sembarangan! Dia tidak ditarik naik seperti biasa, melainkan dilontarkan ke atas dengan renggutan kuat sekali sehingga tubuhnya terlempar ke atas. Mereka saling pandang penuh perhatian. Bagi Kun Liong, tidak ada apa-apa yang aneh pada diri kakek itu dan anak perempuan yang berdiri dengan matanya yang terbelalak itu. Seorang kakek yang usianya tentu ada enam puluh tahun, tubuhnya tinggi tegap dan nampaknya kuat. Pakaiannya sederhana sekali, bahkan membayangkan kemiskinan, seperti pakaian nelayan-nelayan miskin, tidak bersepatu pula! Rambutnya sudah banyak putihnya, disatukan menjadi gelung kecil di atas kepala, jenggot dan kumisnya juga kelabu dan pendek, tidak terpelihara. Akan tetapi gerak-gerik kakek ini, dan caranya menaikkan Kun Liong ke perahu, jelas membuktikan bahwa kakek ini bukan seorang nelayan biasa. Adapun anak perempuan itu manis sekali, rambutnya hitam dan gemuk panjang, dikepang dua, akan tetapi angin membuat rambutnya awut-awutan menambah manis. Pakaiannya juga sederhana dan kakinya tidak bersepatu. Kakek itu menggeleng-geleng kepala, seolah-olah masih tidak mau percaya dengan pandang matanya sendiri. “Heran... ajaib... engkau siapakah, Nak?” “Namaku Yap Kun Liong, tadinya aku berperahu, perahuku pecah dan aku terguling ke dalam air, hanyut sampai hampir satu hari lamanya. Untung di sini engkau dapat menyelamatkan aku, Kek. Siapakah engkau dan mengapa tidak takut berperahu di tempat berbahaya ini?” “Aku Kakek Yo, orang menyebutku Yo-lokui (Setan Tua Yo) dan ini cucuku bernama Yo Bi Kiok.” “Kun Liong, Kong-kong (Kakek) memang tinggal di daerah ini dan sudah biasa berperahu, tidak aneh kalau kami berperahu di sini. Akan tetapi engkau, seorang diri berperahu di tempat ini yang ditakuti orang, kau hanyut sehari masih hidup dan membawa benda itu, benar-benar engkau seorang yang aneh sekali!” “Bokor itu... dari mana engkau mendapatkannya?” Kakek itu bertanya sambil memandang kagum. Sekilas pandang saja ia tahu bahwa benda itu terbuat dari emas murni dan hiasannya adalah batu-batu kemala putih yang amat berharga! “Ah, ini? Aku menyelam untuk membebaskan diri dari gelombang dan arus, malah terseret arus di bawah yang amat kuat. Aku berpegang pada batu karang dan temyata batu itu adalah benda inilah. Aku sendiri tidak tahu benda apa ini, akan tetapi sungguh indah...” “Coba aku melihat sebentar,” kakek itu berkata. Kun Liong menyerahkan benda itu dan selagi Yo-lokui memeriksa bokor itu, Kun Liong duduk di atas papan berhadapan dengan Bi Kiok, menatap wajah anak perempuan itu yang memandangnya dengan mata lebar dan jeli bersinar-sinar dan bibir anak itu tersenyum. “Bi Kiok, engkau manis sekali!” Kun Liong berkata dengan tulus. Sepasang mata itu makin melebar, senyumnya makin manis dan Bi Kiok menjawab, “Kun Liong engkau... lucu sekali!” Agak tersinggung hati Kun Liong. Dia dianggap apakah? Masa dikatakan lucu? Akan tetapi dia melanjutkan, “Engkau memang manis, terutama sekali rambutmu dan matamu.” “Dan engkau memang amat lucu, terutama sekali kepalamu.” Kedua pipi Kun Liong menjadi merah dan ingin dia menampar anak itu kalau tidak ingat bahwa anak itu adalah cucu Yo-lokui yang telah menyelamatkannya dan bahwa anak itu adalah seorang perempuan. Akan tetapi, disinggung kepalanya, dia lalu membuang muka dan cemberut, tidak lagi mempedulikan Bi Kiok dan memandang kakek yang agaknya menjadi arca memandang kepada bokor di kedua tangannya. “Bagaimana, Kek? Berhargakah benda yang kutemukan itu?” Kakek itu membalikkan tubuh memandang Kun Liong, mukanya berubah sungguh-sungguh, dan dia berkata dengan suara gemetar. “Berharga? Aihhh, anak baik. Engkau telah menemukan pusaka yang tak ternilai harganya!” “Hemm... pusaka? Apa sih harganya benda kuno seperti itu? Hanya mengkilap dan bagus dipandang, akan tetapi tidak dapat mengenyangkan perutku.” “Ah, laparkah engkau, Kun Liong?” tiba-tiba Bi Kiok bertanya. Kemarahannya terhadap anak itu masih mengganjal di dalam perutnya, maka cepat-cepat Kun Liong menggeleng kepalanya dan menjawab dingin, “Tidak!” “Tadi kau bilang...” “Bi Kiok, perlukah bertanya lagi? Dia hanyut di sungai sehari lamanya dan kau masih bertanya apakah dia lapar?” Kakek itu mencela cucunya dan diam-diam dia memandang Kun Liong penuh perhatian. Maklumlah dia bahwa anak laki-laki ini bukan bocah sembarangan, bukan anak dusun yang bermain-main dengan perahu dan hanyut. Sikapnya jauh berbeda, dan kata-katanya menunjukkan bekas pendidikan orang pandai. “Yap-kongcu, pakaianmu basah semua, engkau tentu lelah dan lapar. Marilah ikut bersama kami. Ketua kami tentu akan girang sekali melibat bokor ini, dan akan memberimu apa saja sebagai penukarannya. Engkau telah menemukan harta yang tak ternilai harganya dan yang sudah bertahun-tahun dicari oleh ketua kami.” Kun Liong mengerutkan alisnya. “Apakah sesungguhnya bokor ini, Kek? Apanya yang berharga?” “Kalau hanya dinilai dari emas dan batu kemalanya saja, sudah cukup membuat orang kaya. Akan tetapi bukan itulah sebabnya. Lihat, Kongcu, lihat melalui celah tutupnya ini.” Kun Liong menerima bokor itu dan mengintai melalui celah penutup bokor yang terbuka sedikit. Dia melihat coret-coret seperti huruf-huruf dan goresan-goresan di sebelah dalam. Karena dari celah itu tidak mungkin melihat jelas, apalagi membaca huruf-hurufnya, Kun Liong hendak membuka penutup bokor, ternyata tutup itu melekat kuat sekali seolah-olah menjadi satu dengan bokornya! Kakek itu mencegah, “Tak mungkin dibuka oleh yang tidak mengetahui rahasianya, Yap-kongcu. Ketua kami tentu mengetahui rahasia untuk membukanya. Ketahuilah, kalau aku tidak salah menduga, bokor inilah yang oleh ketua kami dicari-cari selama bertahun-tahun. Entah sudah berapa ratus kali kami bergantian menyelam dan mencari namun selalu tanpa hasil. Siapa kira, engkau yang tidak sengaja mencari, malah berhasil menemukannya. Benar-benar yang dinamakan jodoh tak dapat ditolak oleh manusia!” Kakek itu mendayung perahunya dan Kun Liong tidak berkeberatan diajak oleh kakek penolongnya itu. Akan tetapi ucapan kakek itu membuat dia duduk bengong memandangi bokor yang dipangkunya. Ah, tentu sebuah pusaka kuno yang amat langka, pikirnya. “Kakek yang baik, apakah engkau tahu akan asal-usul bokor ini?” Kakek itu menghela napas panjang sebelum menjawab, kemudian sambil tetap mendayung perahunya, dia berkata perlahan, “Yap-kongcu, keadaan ini sungguh luar biasa anehnya. Selama bertahun-tahun, kami semua menutup mulut dan bokor ini tidak pernah disebut-sebut, sungguhpun kami tak pemah berhenti mencarinya. Orang luar sama sekali tidak tahu akan bokor ini dan kami dilarang untuk menceritakannya kepada siapa saja dengan ancaman hukuman mati! Akan tetapi, karena engkaulah orang yang kebetulan menemukan bokor ini, agaknya engkau berhak untuk mengetahui riwayatnya. Tentu saja kalau dugaanku betul bahwa bokor inilah yang kami cari selama ini. Yang dapat memastikan aseli dan tidaknya hanyalah ketua kami, satu-satunya orang yang pernah melihat bokor ini.” Kun Liong melupakan rasa dingin dan laparnya. Hatinya tertarik sekali karena dari kata-kata dan sikap kakek ini, dia dapat menduga bahwa tentu bokor ini mempunyai riwayat yang amat menarik. Pula, sikap dan kata-kata kakek itu mendatangkan rasa suka di hatinya terhadap kakek itu yang dia duga tentulah seorang ang berwatak jujur dan baik. ”Bokor ini mula-mula dikenal orang ketika Panglima Besar The Hoo yang diangkat oleh Kaisar menjadi laksamana memimpin armada yang berlayar ke barat dan selatan belasan tahun yang lalu. Karena mengandung rahasia yang amat berharga, bokor dijadikan rebutan orang-orang dunia persilatan yang memiliki kesaktian tinggi dan akhirnya lenyap. Laksamana The Hoo sendiri mengutus para pembantunya mencari, namun hasilnya kosong belaka. Menurut penuturan kepala kami, akhimya bokor itu berhasil didapatkan oleh kepala kami yang menjadi seorang di antara anggauta pengawal Laksamana The Hoo yang bertugas mencari bokor. Akan tetapi malang baginya, ketika dia membawa bokor itu dengan perahu melalui sungai ini, perahunya diserang banjir seperti yang kaualami, perahunya pecah dan bokor itu terjatuh ke dalam sungai. Demikianlah, ketua kami tidak berani melapor, takut menerima hukuman. Dia mengajak kami dan anak buah untuk mencari bokor, sampai sekarang sudah berjalan lima enam tahun tanpa hasil, dan tahu-tahu hari ini, engkau muncul dengan bokor di tangan, muncul dari dalam air! Bukankan hal itu amat ajaib dan mengejutkan sekali?” Kun Liong memandang bokor di tangannya. “Rahasia apakah yang dikandung benda ini?” Dia mengintai lagi dari celah di bawah tutup, akan tetapi setelah air yang membasahi sebelah dalam bokor mengering, huruf-huruf itu lenyap dan tidak tampak lagi. Kakek itu menggeleng kepala. “Aku sendiri pun tidak tahu apa rahasianya, hanya yang pasti, rahasia itu amat berharga sehingga orang-orang seluruh kang-ouw saling berlumba mendapatkan bokor ini.” Tak lama kemudian mereka mendarat di sebelah kiri sungai, dalam sebuah hutan. Tampak beberapa orang laki-laki menyambut dan begitu mereka mendengar penuturan singkat dari Yo-lokui, mereka berlari-lari dengan air muka berubah tegang. Sambil memondong bokornya dan tahu bahwa benda itu amat dihargai sehingga dia merasa dirinya penting, Kun Liong mendarat dan mengikuti kakek Yo bersama cucunya. Dengan wajah berseri-seri Kun Liong melihat betapa ada belasan orang muncul dan mengiringkan mereka sambil berbisik-bisik dan mata semua orang itu memandang ke arah bokor di tangannya dengan penuh takjub. Mereka memasuki sebuah rumah papan yang amat besar dan agaknya itulah satu-satunya bangunan di tempat sunyi itu sehingga diam-diam Kun Liong menjadi heran sekali. Tempat itu amat sunyi, hanya ada sebuah rumah besar dan tampak tiga buah perahu lain di tepi sungai. Tidak mungkin perkampungan nelayan hanya dihuni oleh belasan orang ini dengan sebuah rumah! Juga dia tidak melihat wanita atau anak-anak di tempat itu kecuali Bi Kiok, cucu kakek Yo! Tempat apakah ini? Seorang laki-laki setengah tua yang gemuk menyambut mereka. Yo-lokui cepat memberi hormat kepada laki-laki gendut ini sambil berkata, “Saya membawa berita baik sekali untuk Phoa-sicu!” “Ah, aku sudah mendengar pelaporan orang-orang kita, Yo-twako. Inikah anak itu? Dan bokor itu... hemmm, harus diperiksa dulu asli atau tidaknya.” Si Gendut itu tertawa-tawa ramah dan wajahnya berseri, akan tetapi ketika sepasang matanya memandang ke arah bokor, Kun Liong menangkap sinar berkilat yang aneh dan kejam sehingga dia terkejut bukan main dan mengambil keputusan untuk bersikap waspada terhadap Si Gemuk yang mencurigakan ini. Pula, dia benar-benar tidak mengerti apa hubungan Kakek Yo dengan Si Gendut, yang disebut Phoa-sicu (tuan yang gagah she Phoa) ini. “Kakek Yo, siapakah dia ini?” tanyanya dan kelihatan meragu untuk memasuki rumah besar itu. “Yap-kongcu, inilah ketua kami, Phoa Sek It Si Golok Maut yang amat terkenal di dunia kang-ouw,” jawab Yo-lokui, kelihatan tidak enak menyaksikan sikap Kun Liong demikian kurang hormat terhadap ketuanya. Akan tetapi Phoa Sek It tersenyum lebar dan membungkuk ke arah Kun Liong, berkata ramah, “Silakan, Yap-kongcu. Silakan masuk dan harap jangan khawatir. Kita berada di antara sahabat sendiri dan kedatanganmu seperti kedatangan seorang malaikat pembawa berkah terhadap kami. Heii! Carikan pakaian pengganti Yap-kongcu yang basah dan persiapkan hidangan panas untuk kita sekalian, juga bersihkan kamar untuk tempat tidur tamu kita!” Teriakan itu ditujukan kepada anak buahnya yang segera pergi melaksanakan perintah itu. “Biarlah aku tidur bersama Kakek Yo saja, harap tidak perlu repot-repot, Paman Phoa,” kata Kun Liong kepada Si Gendut itu. Si Gendut mengangguk-angguk. “Terserah kepadamu, Yap-kongcu, sesuka hatimulah. Bolehkah aku melihat bokor itu?” Kun Liong yang masih curiga, menoleh ke arah kakek itu dan kakek itu mengangguk kepadanya. Kun Liong menyerahkan bokor yang dipegangnya kepada Si Gendut yang menerimanya dengan mulut tersenyum lebar, akan tetapi kembali tampak oleh Kun Liong sinar mata aneh yang menyeramkan menyorot keluar dari sepasang mata Si Gendut ketika dia menerima bokor. “Yo-twako, harap suka melayani dan menjamu makan Yap-kongcu. Aku harus meneliti bokor ini dengan tenang di dalam kamar, untuk menentukan apakah benda ini aseli ataukah bukan. Engkau tahu, sudah bertahun-tahun aku tidak melihatnya sehingga aku hampir lupa lagi.” Tanpa menanti jawaban, Si Gendut membawa bokor masuk ke dalam dan lenyap di ruangan dalam. Yo-lokui, ditemani oleh cucunya dan para anggauta rombongan itu, mengajak Kun Liong makan minum setelah memberinya serangkai pakaian yang dipakai oleh Kun Liong sebagai pengganti pakaiannya yang basah kuyup. Mereka makan minum dan ngobrol gembira dan kembali Kun Liong merasa heran karena masakan yang dihidangkan cukup mewah seperti masakan kota. Padahal tempat itu amat sunyi. Dari mana mereka mendapatkan bumbu-bumbu yang lengkap? Mungkin membeli dari kota, pikirnya. Betapapun juga, dia merasa makin terheran benar ternyata bahwa di tempat itu benar-benar hanya terdapat sebuah rumah ini yang dihuni bersama-sama sebanyak lima belas orang termasuk Kakek Yo dan cucunya, sedangkan Si Gendut itu menjadi pimpinan mereka. Semua ini dia ketahui dari percakapan antara mereka. “Mengapa Cuwi (Kalian) tinggal di tempat yang amat sunyi ini, tinggal serumah dan tidak mempunyai keluarga?” Dia mengajukan pertanyaan sambil memandang sekeliling. Orang-orang itu berdiam, tidak dapat menjawab. Yo-lokui yang duduk di sebelah kanannya segera menjawab, “Kami memang tidak mempunyai keluarga, dan tanpa keluarga, perlu apa membuat rumah sendiri-sendiri? Satu-satunya keluarga hanyalah cucuku ini yang sudah yatim piatu pula.” “Akan tetapi pekerjaan Cuwi sebenarnya apakah?” “Aihh, perlukah kau bertanya lagi, Kongcu? Kami adalah nelayan-nelayan dan... seperti telah kauketahui, di samping mencari ikan, kami pun berusaha mencari bokor itu...” Tiba-tiba kakek Yo menghentikan kata-katanya, karena tanpa mereka ketahui, Phoa Sek It yang gemuk itu telah berdiri di pintu dan memandang ke arah Kakek Yo dengan mata mengandung sinar menakutkan! Dalam pandangan itu sudah tercurah semua teguran ketua ini, maka Kakek Yo cepat berkata dengan suara gugup, “Phoa-sicu, saya rasa sebagai penemu benda itu, dia berhak untuk...” “Cukup! Kalau sudah selesai makan, kalian tidurlah. Aku sedang sibuk mengadakan penelitian, tidak suka diganggu suara-suara ribut!” kata Si Gendut yang kembali menghilang ke dalam. Suasana menjadi hening seketika, dan agaknya semua orang merasa takut sekali terhadap Sang Ketua itu. Kembali Kun Liong merasa heran dan tidak senang. Dia melihat betapa semua orang mulai menyingkirkan sisa-sisa makanan tanpa banyak cakap lagi dan mulai mengundurkan diri. “Yap-kongcu, marilah kita mengaso ke kamarku,” kata Kakek Yo sambil menyentuh tangan Kun Liong. Anak itu mengerutkan alisnya dan membantah perlahan, “Kakek Yo, aku minta supaya bokor dikembalikan dulu kepadaku.” Kakek itu kelihatan terkejut dan khawatir, memegang tangan anak itu sambil berkata lirih, “Benda itu sedang diteliti oleh ketua kami, Kongcu. Percayalah besok tentu akan ditukar dengan benda-benda berharga lain. Jangan khawatir, aku yang menanggung bahwa benda itu tidak akan hilang.” Mendengar ini, terpaksa Kun Liong menurut. Dia memandang kepada Bi Kiok dan timbul rasa kasihan di hatinya. Anak ini tinggal tanpa kawan di antara orang-orang ini! Bi Kiok juga memandang kepadanya dengan matanya yang lebar dan jernih. Seketika lenyaplah kemarahan Kun Liong terhadap anak perempuan itu dan digandengnya tangan Bi Kiok. Gadis cilik itu tersenyum dan kelihatan girang sekali ketika mereka berdua mengikuti Yo-lokui masuk ke dalam sebuah kamar di bagian belakang rumah itu. Kamar itu cukup bersih, akan tetapi amat sederhana dan baunya tidak enak, amis karena di sudut-sudut kamar itu terdapat keranjang-keranjang, jala, peti-peti, dayung dan lain-lain perlengkapan mencari ikan. Agaknya keranjang-keranjang kosong bekas ikan itulah yang bau amis. Akan tetapi karena sudah biasa, Bi Kiok dan Yo-lokui tidak terganggu oleh bau ini, berbeda dengan Kun Liong yang begitu masuk kamar, cuping hidungnya berkembang-kempis diserang bau amis. Di sudut kamar itu terdapat sebuah pembaringan yang dikerudung tirai tua, dan di situlah Bi Kiok tidur. Sedangkan Kakek Yo sendiri tidur di sebuah pembaringan dari bambu, beralaskan tikar, berbeda dengan pembaringan Bi Kiok yang diberi kasur tipis dari daun kering. “Pakailah pembaringan Bi Kiok, biar dia sementara tidur bersamaku,, Yap-kongcu,” kata kakek itu. “Ah, tidak, Kek. Aku tidak mau mengganggu Adik Bi Kiok.” “Tidak apa Kun Liong...” “Ihh, jangan kurang ajar engkau, Bi Kiok. Sebut dia Yap-kongcu!” kakeknya menghardik. “Aaahhh, biarlah, Kakek Yo. Aku pun tak ingin disebut kongcu.” “Setidaknya dia lebih tua daripada kau, Bi Kiok.” “Kalau begitu biarlah aku menyebutnya twako (kakak), bolehkah Kong-kong?” “Aaahh, tentang sebutan, mengapa repot-repot benar? Tentu saja kau boleh menyebutku apa saja, Bi Kiok.” “Kalau begitu, aku seperti adikmu sendiri, Liong-twako (Kakak Liong). Maka, jangan kau sungkan-sungkan, pakailah pembaringanku. Aku tidur bersama Kong-kong, dan memang kadang-kadang aku mengungsi ke pembaringan Kong-kong kalau aku takut.” “Takut? Takut apa?” Kun Liong bertanya. “Hi-hik, kadang-kadang aku takut setan... setan. Apalagi sehabis diceritakan oleh Kong-kong tentang siluman dan iblis.” Kakek dan cucunya itu tertawa sehingga Kun Liong juga ikut tertawa. Berada di antara kakek dan cucunya ini, mendengarkan kata-kata Bi Kiok yang lucu dan suaranya yang merdu, lenyaplah segala ketegangan dan kekhawatiran yang timbul di ruangan tengah ketika Sang Ketua muncul tadi. “Biarlah aku tidur bersama kakekmu, Bi Kiok. Kau tidurlah di pembaringanmu sendiri. Aku tidak malu atau sungkan, melainkan aku masih ingin bercakap-cakap dengan Kakek Yo.” Akhirnya Kun Liong berbaring di dekat kakek itu dan tak lama kemudian sudah terdengar pernapasan yang panjang halus dari Bi Kiok, anak itu telah tidur pulas. “Kasihan sekali cucumu itu, Kek. Mengapa kauajak dia hidup di tempat seperti ini?” Kun Liong berbisik, menegur Kakek di sebelahnya itu. Yo-lokui menghela napas paniang, “Ya, kasihan sekali dia. Akan tetapi, aku tidak dapat berbuat lain, Kongcu. Karena terpaksalah maka aku membawanya hidup tempat ini. Akan tetapi tidak lama lagi. Benda itu telah ditemukan, selain kau akan menerima hadiah besar, juga kami akan mendapat bagian sehingga aku dapat mengajak Bi Kiok pindah ke kota besar, hidup cukup dan seperti manusia lumrah, tidak seperti sekarang ini.” Kembali kakek itu menarik napas panjang penuh harapan. “Mengapa engkau terpaksa mengajaknya hidup di tempat ini Kek? Dan siapakah sebetulnya Phoa Sek It itu? Kulihat dia bukan manusia baik-baik…” “Ssstt... perlahan bicara dan hati-hatilah. Dengarkan baik-baik, saya akan menuturkan segalanya kepadamu, akan tetapi hanya dengan bisik-bisik. Saya melihat engkau bukan anak biasa, Kongcu. Biarpun aku telah menyelamatkanmu tanpa sengaja dan hal itu tak perlu kuingat lagi, akan tetapi besar harapanku kelak engkau akan dapat membantuku mengawasi cucuku, kalau aku sudah tidak ada lagi...” Kun Liong mengangguk dan kakek itu mulai bercerita dengan berbisik-bisik. Ternyata bahwa kakek itu bersama putera dan mantunya adalah bekas bajak-bajak sungai yang telah dibasmi oleh pasukan pemerintah setelah perang saudara berakhir dan Kaisar Yung Lo memegang tampuk pemerintah Kerajaan Beng-tiauw. Putera dan mantunya tewas dalam perlawanan dan dia sendiri dalam keadaan luka-luka berhasil melarikan diri sambil membawa cucunya, Yo Bi Kiok yang waktu itu baru berusia tiga tahun. Sebagai seorang pelarian, dia terpaksa mengajak cucunya sembunyi-sembunyi dan keadaannya yang miskin itu tentu akan menimbulkan kecurigaan orang, tidak demikian kiranya kalau kakek ini mempunyai banyak uang, tentu dia akan berani mengajak cucunya ke kota dan tinggal di kota seperti keluarga baik-baik. Dalam perantauannya inilah dia bertemu dengan Phoa Sek It! Orang gendut ini memiliki kepandaian lihai sekali dan perkenalan mereka pun amat luar biasa, karena Kakek Yo berusaha merampok Si Gemuk ini dan dia bahkan dikalahkan, ditaklukkan dan dijadikan pembantu oleh Phoa Sek It yang berjuluk Golok Maut. Si Gemuk ini adalah seorang bekas angguta pasukan pengawal yang mengiringkan Laksamana The Hoo. Ketika mendapat kesempatan, Phoa Sek It yang menyeleweng karena ingin menjadi seorang kaya ini, mencuri dan membawa lari bokor emas yang mengandung rahasia penyimpanan harta pusaka terpendam yang tak ternilai harganya! Tidak ada orang yang tahu, juga Laksamana The Hoo sendiri tidak mengira, bahwa dialah orangnya yang mencuri dan membawa lari bokor. Dunia persilatan geger karena memang bokor itu sudah terkenal sekali, bahkan ada tokoh-tokoh penjahat sakti yang berani mencoba untuk mencari bokor, akan tetapi yang kesemuanya gagal, bahkan ada yang tewas di tangan pengawal-pengawal dan para pembantu Laksamana The Hoo yang berilmu tinggi. Phoa Sek It melarikan diri dan karena takut dikejar, dia menggunakan perahu memasuki sungai yang berbahaya itu, mengandalkan kepandaiannya mengemudikan perahu. Akan tetapi, banjir menyerang perahunya sehingga terguling, bokornya hilang dan Phoa Sek It menjadi bingung. Setelah berbulan-bulan mencari dan menyelam di sekitar tempat itu tanpa hasil, dia mengambil keputusan untuk mencari anak buah dan pada saat itulah dia dirampok oleh Yo-lokui yang kemudian dijadikan pembantunya. Mereka berdua berhasil mengumpulkan bekas bajak-bajak sungai, tiga belas orang jumlahnya dan semenjak itulah, lima belas orang itu tinggal di tempat tersembunyi, menyambung hidupnya dengan menangkap ikan atau kadang-kadang juga membajak ke Sungai Huang-ho. “Selama bertahun-tahun kami mencari bokor. Karena janji-janji yang muluk dari Phoa-sicu, kami terus bertahan dan sekarang bokor telah ditemukan, berarti akan berakhirlah penderitaan kami. Aku telah dijanjikan pembagian yang cukup untuk kumakan selama hidup bersama cucuku. Kami akan pindah ke kota!” Kakek itu menutup ceritanya dengan wajah yang keriput itu berseri penuh harapan dan kebahagiaan untuk cucunya. “Mudah-mudahan saja engkau dan Bi Kiok akan berhasil dan bahagia, Kek.” kata Kun Liong. Akan tetapi kakek itu sudah mulai mendengkur, agaknya lelah bercerita dan harapan yang amat baik membuat hatinya lega dan puas sehingga mudah dia jatuh pulas. Kun Liong sebaliknya tak dapat tidur gelisah bergulingan di atas pembaringan. Dengkur kakek itu amat mengganggunya apalagi hawanya panas di dalam kamar itu, ditambah bau amis keranjang bekas ikan, membuatnya makin gelisah. Akhirnya dengan perlahan agar jangan mengagetkan kakek dan cucunya itu, dia turun dari atas pembaringan, dengan maksud untuk keluar dari rumah itu mencari hawa segar di pinggir sungai. Akan tetapi baru saja dia sampai di pintu kamar, lapat-lapat dia mendelngar suara orang mengeluh dari kamar di depan, kemudian tampak berkelebat bayangan keluar dari kamar itu, bayangan seorang yang mukanya ditutup kain hitam mulai dari bawah mata, terus ke bawah dan tangannya membawa sebatang golok yang berlepotan darah! Melihat betapa bayangan itu berkelebat lari ke arah kamar Kakek Yo, Kun Liong cepat meloncat ke dalam dan keadaan yang tiba-tiba itu membuat dia tidak sempat berpikir lagi, terus saja dia tutup peti bundar, memasukinya dan menutup kembali dari dalam! Setelah ia mendekam di dalam peti teringat olehnya bahwa seharusnya dia membangunkan Kakek Yo lebih dulu. Akan tetapi baru saja dia mau membuka tutup peti, pintu kamar terbuka, bayangan hitam berkelebat masuk dan dari tubuh yang gendut itu Kun Liong dapat menduga bahwa itu tentulah Phoa Sek It. Dia hendak berteriak mengagetkan dan membangunkan Yo-lokui, namun terlambat! Orang berkedok itu telah melompat ke dekat pembaringan Kakek Yo, menggerakkan golok besar dengan kedua tangan dan... Kun Liong merasa kepalanya pening dan hampir pingsan ketika melihat darah muncrat dari perut Kakek Yo yang dihunjam golok. Kakek itu kelihatan terkejut kaku, terbelalak dan seperti hendak bangkit, tetapi kembali golok terayun dan kali ini membacok leher sehingga hampir putus. Cepat seperti ketika masuk, bayangan hitam itu sudah melompat, menyingkap tirai, melihat Bi Kiok yang menjadi kaget dan bingung lalu menoleh ke kanan kiri mencari-cari, agaknya mencari Kun Liong, lalu mendengus marah dan menyambar lengan tangan Bi Kiok. “Aihhh…, lepaskan aku...! Kong-kong…!” Bi Kiok menjerit-jerit akan tetapi orang gendut berkedok itu telah membawanya lari keluar. Kun Liong cepat keluar dari peti. Melihat kakek itu sudah tewas dalam keadaan mengerikan sekali dia menyelinap keluar. Terdengar suara gaduh dan teriakan-teriakan di kamar-kamar lain seperti suara orang berkelahi. Kun Liong cepat lari keluar menuju ke sungai. Tanpa banyak pikir lagi karena maklum bahwa kalau Phoa Sek It melihatnya tentu dia akan dibunuh, dia meloncat ke atas sebuah perahu, melepas tali ikatan dan mendayung perahu ke tengah, mendayung sekuat tenaga mengikuti aliran sungai. Untung baginya bahwa bagian berbahaya dari sungai ini sudah lewat, yaitu yang dilewatinya ketika sehari lamanya dia hanyut kemarin. Air di bagian ini cukup dalam dan tidak begitu deras arusnya sehingga dia dapat menguasai perahunya. Ketika hatinya sudah merasa lega dan aman kaena tidak melihat adanya orang mengejarnya, Kun Liong yang merasa betapa kedua lengannya kaku dan lelah karena tadi mendayung sekuat tenaga, mengatur tempat duduk yang lebih enak dan mendayung perahunya agak di pinggir agar aman. Ketika dia pindah tempat duduk inilah kakinya menyentuh sesuatu. Karena gelap, dia tidak dapat melihat benda apa itu, maka dia mengambil dan mengangkatnya. Hampir dia tertawa bergelak dan membayangkan betapa lucu wajah Si Gendut nanti. Kiranya benda itu adalah bokor emas! Dia mulai dapat menduga apa yang terjadi. Karena ingin memiliki bokor itu sendiri tanpa membagi-bagi kepada anak buahnya, timbul pikiran jahat di dalam hati Si Gemuk itu. Karena dia memang lihai, maka dia melakukan pembunuhan-pembunuhan dan bokor itu sudah disembunyikannya ke dalam perahu ini. Agaknya, kalau sudah selesai membunuh semua bekas anak buahnya, Si Gendut itu akan melarikan diri dengan perahu ini. Siapa kira, dia mendahuluinya dan tanpa disengaja, kembali bokor terjatuh ke dalam tangannya! Ingin dia mentertawakan Si Gendut, akan tetapi teringat akan nasib Kakek Yo, dan akan nasib Bi Kiok, berkerut alis Kun Liong dan dia merasa kasihan sekali. Akan tetapi, apa yang dapat dia lakukan? Memang tepat dugaan Kun liong, orang gemuk bertopeng itu bukan lain adalah Phoa Sek It. Begitu melihat bokor emas itu, Phoa Sek It segera mengenalnya sebagai bokor pusaka milik bekas atasannya, Laksamana The Hoo, benda berharga yang menjadi rebutan, yang dahulu berhasil dia curi dan larikan kemudian lenyap di sungai ketika perahunya terguling diterjang air bah. Begitu ia melihat benda itu, timbullah sudah kemurkaannya, timbul niat jahat untuk membunuh semua pembantunya termasuk anak yang datang membawa bokor itu. Mereka harus dibunuhnya, dan karena dia tidak ingin kehilangan sebagian harta benda untuk menghadiahi mereka, akan tetapi terutama karena mereka sudah tahu akan rahasia bokor itu dan kalau mereka tidak dibunuh dan sampai rahasia itu tersiar, tentu dia akan menjadi buruan orang-orang sakti sedunia kang-ouw dan yang lebih mengerikan lagi, tentu Laksamana The Hoo yang banyak dibantu orang-orang sakti itu akan mencari, menemukan, dan menghukumnya. Phoa Sek It sudah berhasil membunuh Kakek Yo-lokui selagi kakek ini tidur sehingga satu-satunya orang yang dapat melakukan perlawanan itu dibunuhnya secara mudah, dan tiga belas orang pembantu lain dengan mudah saja menjadi korban goloknya tanpa mereka dapat memberi perlawanan yang berarti. Akan tetapi ketika melihat Bi Kiok, dia tidak membunuhnya. Bukan karena dia tidak tega atau menaruh iba hatinya melihat anak perempuan itu, melainkan karena timbul berahinya kalau dia membayangkan betapa Bi Kiok beberapa tahun lagi akan menjadi seorang dara yang amat cantik jelita. Karena inilah dia tidak membunuh Bi Kiok! Dapat dibayangkan betapa takut, duka dan ngeri rasa hati anak perempuan itu ketika dia melihat kong-kongnya telah tewas dalam keadaan mengerikan, dan betapa orang bertopeng yang dia tahu adalah Phoa Sek It, orang yang selama dia tinggal di situ paling dia takuti, sambil menggandengnya membunuh paman-paman yang lain sehingga bajunya sendiri terkena percikan darah yang muncrat dari tubuh setiap orang korban. “Lepaskan aku...! Lepaskan...! Kongkong...!” Dia menjerit-jerit sampai suaranya menjadi parau. “Diam! Anak bodoh! Engkau sudah untung sekali tidak kubunuh, tahu? Apakah minta kubunuh?” Dia mendekatkan golok yang berlepotan darah ke depan muka Bi Kiok sehingga anak itu terbelalak dengan muka pucat, hampir pingsan ketika hidungnya mencium bau darah yang memuakkan. “Katakan di mana adanya bocah iblis gundul itu?” Bi Kiok menggeleng kepala dan menelan ludah karena sukar sekali dia mengeluarkan suara, lehernya seperti tercekik dan mulutnya tiba-tiba menjadi kering saking takutnya. “Ti... tidak tahu...” Akhirnya dapat juga dia bersuara. “Bukankah dia tidur di kamar kakekmu?” kembali Si Gemuk menghardik dan kini dia merenggut penutup mukanya. Semua pembantunya telah dibunuhnya, tidak perlu lagi menyembunyikan muka. “Aku tidak tahu... tadi dia masih bercakap-cakap dengan Kong-kong... uhu-hu-huuu... !” Bi Kiok menangis lagi, teringat akan kakeknya yang telah tewas. “Diam! Kalau menangis terus dan kesabaranku habis, golok ini akan minum darahmu! Hayo kita pergi!” “Tidak mau... hu-hu-huhhh... tidak mau...!” “Plakkk!” Pipi anak perempuan itu ditampar dan tubuhnya terguling ke atas lantai. “Engkau membandel, ya? Baik, lebih baik begitu, kau mampus sekalian agar kelak tidak merepotkan. Akan tetapi sebelum mati, sayang kalau dibunuh begitu saja. Engkau masih kecil, akan tetapi sudah manis sekali!” Seperti seekor harimau yang buas menubruk seekor anak domba yang ketakutan, Phoa Sek It menubruk Bi Kiok, tangannya merenggut, terdengar kain terkoyak ketika dengan penuh nafsu binatang buas dia merenggut pakaian gadis cilik itu. “Breetttt...!! Aihhhh... tolong...!!” Bi Kiok menjerit, tidak mengerti bahaya apa yang mengancam dirinya, hanya mengira bahwa Phoa Sek it tentu hendak membunuhnya. “Babi gendut memuakkan!! Plakkk!!” Phoa Sek It terkejut bukan main. Pundaknya seperti akan remuk menerima sebuah tamparan yang datangnya tiba-tiba dan tak mungkin dapat dielakkannya tadi, apalagi karena dia sedang diamuk nafsu. Ketika dia menyambar golok yang, tadi diletakkan di atas tanah ketika dia hendak memperkosa gadis cilik itu, melompat sambil membacokkan golok dengan tubuh diputar, dia melihat seorang wanita berdiri dengan sikap tenang. Wanita itu pakaiannya indah dan bersih, rambutnya yang panjang tersisir rapi dan digelung seperti model puteri bangsawan, di punggungnya tampak sebatang pedang yang panjang melengkung dan aneh, tubuhnya kecil pendek dan biarpun usianya sudah tiga puluh tahun lebih, namun masih cantik menarik, dan kerling matanya serta senyumnya kelihatan genit sekali. Dia berdiri memandang Phoa Sek It sambil mengerling dan tersenyum-senyum! “Iblis betina!” Phoa Sek It membentak marah. “Siapa engkau berani main gila dengan Golok Maut?” “Babi kotor, anjing hina yang hendak memperkosa anak kecil! Aku tahu engkau Phoa Sek It bekas pengawal Laksamana The Hoo! Sudah lama kuawasi engkau dan setelah malam ini kau membunuhi anak buahmu, tentu engkau telah menemukan bokor itu! Hayo keluarkan bokor itu dan serahkan kepada Nona Bu!” Seketika pucat wajah Phoa Sek It mendengar ucapan itu. Bukan hanya rahasianya telah bocor, bahkan wanita ini adalah seorang yang tak disangka-sangkanya akan pemah berhadapan dengan dia. “... kau... kau... Siang-tok Mo-li...?” Wanita itu menjebikan bibirnya yang merah segar dengan lagak genit sekali, dan mengulur tangan kiri minta bokor tanpa bicara lagi. Tentu saja Phoa Sek It kaget dan merasa ngeri karena wamta cantik yang biasanya menyebut dirinya sendiri “Nona Bu” ini bukan lain adalah Bu Leng Ci yang berjuluk Siang-tok Mo-li (Iblis Betina Racun Wangi), yang pada waktu itu merupakan datuk ke lima di dunia persilatan, amat terkenal bukan hanya karena kesaktiannya akan tetapi juga karena sepak terjangnya yang menggegerkan dan kekejamannya terhadap lawan-lawannya! “Aku... eh siauwte... tidak tahu tentang bokor… harap Nona yang sakti mengampuni…” Phoa Sek It berkata dengan suara gemetar, akan tetapi sepasang matanya bergerak-gerak mencari akal. Biarpun nama perempuan ini menggegerkan dunia kang-ouw, akan tetapi dia belum begitu percaya apakah seorang wanita yang cantik dan kelihatan lemah ini tidak dapat dilawannya. “Bohong! Lekas serahkan!” Wanita itu melangkah maju, kini dekat sekali dan lengan kirinya masih terulur ke depan, untuk menerima bokor yang agaknya dia merasa yakin pasti akan diserahkan oleh Phoa Sek It kepadanya. Karena dia sudah mendengar akan keganasan dan kekejaman wanita iblis ini, Phoa Sek It yang sejak tadi sudah siap, begitu tangan wanita itu berada dekat sekali sehingga tidak mungkin menghindar lagi, secepat kilat dia menyabetkan golok besarnya ke arah lengan yang terulur itu! “Siuuuuttt...!” Golok lenyap berubah menjadi sinar saking cepat gerakannya. “Capppp!!” Mata Phoa Sek It terbelalak. Dia merasa seperti dalam mimpi dan tak percaya dia memandang, biarpun dia sudah melotot dan melihat jelas betapa jari tangan yang halus kecil dengan kuku meruncing terpelihara bagus itu “menjemput” goloknya tadi dan kini jari-jari tangan itu menangkap mata goloknya seperti lagak seorang dara jelita menangkap seekor kupu-kupu pada sayapnya! Dengan hati penuh rasa tidak percaya sehingga perasaan ini mengalahkan kegentarannya, Phoa Sek It mengerahkan tenaganya menarik untuk membetot lepas goloknya dari jepitan jari-jari tangan yang kecil mungil itu. “Hemmm…!” Suara ini keluar sebagai ejekan dari tenggorokan wanita itu dan tiba-tiba terdengar suara “krekkkk!!” dan golok itu telah diremasnya patah-patah menjadi tiga potong! Phoa Sek It menjadi bengong, kemudian dia bergidik, bulu tengkuknya berdiri dan dia mengeluarkan suara “…ihhhh…” penuh rasa gentar dan ngeri, kemudian membalikkan tubuhnya dan melarikan diri seperti seorang anak kecil takut melihat bayangan setan. “Wuuuuttt…! Krekkk….!!” Tubuh Phoa Sek It yang gendut dan sedang melarikan diri itu tiba-tiba terhenti gerakannya, matanya mendelik karena tiba-tiba dia tidak dapat bernapas lagi lehernya tercekik. Ketika dia meraba lehernya, temyata lehernya telah terlibat benda yang lemas sekali. Tiba-tiba ada tenaga raksasa yang menarik tubuhnya ke belakang, tidak dapat dilawannya dan akhirnya dia terbanting ke belakang, terjengkang ke depan kaki wanita itu. Ketika dia melihat, ternyata rambut wanita ini telah terurai lepas, panjang halus dan harum, dan rambut itulah yang tadi menangkapnya dengan membelit lehemya. Tanpa menggunakan kaki tangan, hanya menggunakan rambutnya yang halus panjang itu saja, Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci telah berhasil merobohkannya! Seketika lenyap nyali Phoa Sek It dan dia merangkak, berlutut di depan kedua kaki yang kecil dan bersepatu baru itu. “Ampunkan nyawa hamba...” Suaranya seperti orang merengek dan menangis. “Crottt! Augghhh...!!” Phoa Sek It mendekam dan tubuhnya menggigil saking nyerinya. Pundaknya telah berlubang dan tulang pundaknya remuk ketika wanita ltu menggunakan jari telunjuknya menusuk pundak itu. Jari yang tadi meremas patah golok itu dengan mudah sekali menembus kulit daging, bahkan meremukkan tulang pundaknya! “Katakan di mana bokor itu dan serahkan kepadaku!” Kembali Bu Leng Ci berkata, suaranya masih merdu dan kerling mata serta senyumnya masih genit, justeru itulah yang membuat dia amat menyeramkan. Biarpun diancam maut akan tetapi tentu saja tidak mudah buat Phoa Sek It untuk melepaskan bokornya. Bertahun-tahun dia dengan susah payah mencari benda pusaka itu dan bahkan sampai saat ini pun kiranya belum dapat ia temukan kalau tidak kebetulan bocah gundul itu datang membawa pusaka itu. Mana mungkin sekarang diberikan begitu saja kepada wanita iblis ini? “Ham... hamba... tidak tahu...” “Adduuuhhh... am… ampuuuunnnn…!” jerit yang keluar dari mulut Phoa Sek It mengerikan sekali, melengking atau melolong seperti serigala menangis dan rasa nyeri yang dideritanya membuat dia hampir tidak kuat bertahan. Wanita iblis itu dengan masih tersenyum sudah menggerakkan jari tangannya yang amat kuat dan sebelum Si Gendut tahu apa yang terjadi, tahu-tahu jari tangan itu dengan kukunya yang runcing telah mencubit dan merobek kulit kepalanya bagian pelipis, terus merobek ke atas sehingga kulit kepalanya dari pelipis ke atas, sepanjang sepuluh senti, terkupas dari kepala. Bukan main hebat kenyerian yang dideritanya, sulit dilukiskan, perih dan panas, kiut-miut rasanya sampai ke jantung yang seperti ditusuk-tusuk, isi kepala seperti diremas-remas, seluruh tubuhnya menggigil. Dengan sepasang mata terbelalak dan muka pucat sekali penuh kengerian Bi Kiok melihat siksaan ini. Sambil memegangi bajunya yang koyak-koyak menutupi tubuh bagian depan yang terbuka, gadis cilik itu melihat Phoa Sek It dan lenyaplah segala kebenciannya terhadap orang gendut itu. Lupa lagi dia betapa Si Gendut itu telah membunuh kakeknya secara keji dan biadab, betapa semua pembantunya telah dibunuh pula, dan betapa tadi Phoa Sek It akan membunuhnya juga. Dia lupa akan semua itu, kebenciannya berubah menjadi perasaan tidak tega dan kasihan menyaksikan Si Gendut itu mengalami penyiksaan yang mengerikan itu. “Paman Phoa Sek It, mengapa kau tidak mengaku? Engkau telah membunuh Kakek dan semua pembantumu, engkau telah menyembunyikan bokor itu. Katakan saja di mana!” Bi Kiok berkata. Mendenga ini, Phoa Sek It terkejut dan dia masih sempat memandang ke arah Bi Kiok dengan mata mendelik penuh kemarahan, dan saking marahnya dia sampai lupa diri dan keadaan, memaki, “Anjing kecil, tutup mulutmu...!” Akan tetapi kembali dia meraung karena jari-jari tangan yang seperti ujung-ujung pisau runcing itu telah mencengkeram dadanya, menghunjam ke dalam kulit daging, akan tetapi gerakan itu tidak dilanjutkan dan terdengar suara wanita itu, “Di mana bokor itu?” “Di... dalam perahu... di tepi sungai…” Kata-katanya disusul suaranya melengking, berkelojotan. Bi Kiok menutupi muka dengan kedua tangannya. Terlampau hebat dan mengerikan apa yang dia lihat dan saksikan itu. Wanita itu menggerakkan tangannya yang mencengkeram dan lima jari tangan berikut lengannya telah memasuki rongga dada Phoa Sek It, kemudian setelah tangan dicabut kembali, jari-jari tangan itu telah menggenggam sebuah benda merah yang berlepotan darah dan terus benda itu dimakannya! Itulah jantung yang masih hangat dan agak bergerak menggelepar yang dicabutnya dari dalam rongga dada Phoa Sek It. Dan beginilah satu di antara cara-cara Bu Leng Ci membunuh lawan. Tidak mengherankan apabila dia menjadi tokoh atau datuk ke lima dari dunia persilatan, dan dijuluki Mo-li (Iblis Betina) karena memang dia berhati keras dan ganas seperti iblis! “Mari kita cari bokor itu.” Bi Kiok yang merasa betapa pundaknya disentuh tangan halus dan mendengar suara yang merdu ramah, menurunkan kedua tangan dan memandang. Wanita itu kelihatan ramah dan cantik sekali, tersenyum kepadanya dan kedua tangan wanita itu bersih putih, entah ke mana perginya darah yang tadi membasahi tangannya. Seperti dalam mimpi, Bi Kiok melangkah dan menurut saja diajak oleh wanita itu, digandeng tangannya. Wanita itu melangkahi mayat Phoa Sek It dan Bi Kiok terpaksa meloncatinya juga tanpa memandangnya. “Di sini hanya ada empat buah perahu... eh, mengapa hanya ada tiga? Mana yang sebuah lagi?” Bi Kiok berkata ketika mereka tiba di tepi sungai. “Mari kita mencari bokor itu,” kata Bu Leng Ci. Mereka memeriksa tiga buah perahu, akan tetapi tentu saja mereka tidak dapat menemukan bokor yang telah terbawa ke dalam perahu yang dilarikan Kun Liong! “Hemm, tentu berada di dalam perahu ke empat yang tidak ada lagi di sini. Anak yang baik, siapakah di antara kalian yang tidak mati terbunuh oleh Phoa Sek It, kecuali engkau sendiri?” Bi Kiok menggeleng kepala dan mengerutkan alisnya, “Semua sudah mati, termasuk kakekku. Aku melihat sendiri semua berjumlah empat belas orang dengan kakekku, dibunuh Paman Phoa... eh, agaknya dia yang membawa perahu! Aihhh! Benar, aku sampai lupa! Tentu Liong-twako dan dia sudah selamat. Syukurlah! Dia berhasil menyelamatkan diri, membawa perahu dan…” Tiba-tiba Bi Kiok berhenti bicara dan memandang wanita itu dengan kaget. “Dan bokor itu dibawanya pula?” Wanita itu mendesak. “Aku tidak tahu…” “Siapa itu Liong-twako?” “Liong-twako adalah anak laki-laki yang telah menemukan bokor...” “Ehh? Coba ceritakan yang jelas!” Bi Kiok lalu menuturkan bagaimana dia dan kakeknya secara kebetulan menolong Yap Kun Liong yang hanyut di sungai dan betapa tanpa disengaja Kun Liong telah menemukan bokor itu di dasar sungai. Semua dia tuturkan dengan jelas dan didengarkan oleh Bu Leng Ci dengan penuh perhatian. “Demikianlah. Malam tadi dia masih bercakap-cakap dengan Kakek, kemudian aku tertidur dan entah ke mana perginya Liong-twako. Ketika aku terbangun tahu-tahu dia telah lenyap, Kakek terbunuh oleh Paman Phoa dan aku ditariknya keluar dari kamar.” Iblis betina itu mengangguk-angguk. “Aku yakin sekarang. Tentu Yap Kun Liong itu yang membawa bokor. Entah bagaimana dia dapat mengambilnya dari tangan Phoa Sek It, akan tetapi seorang bocah seaneh dia, yang telah menemukan bokor dan selama sehari hanyut di sungai yang banjir dalam keadaan selamat, bukan tidak mungkin dapat melakukan hal-hal yang luar biasa. Mari kita cari dia!” “Aku... apakah aku... harus ikut?” “Anak baik. Siapa namamu?” “Namaku Yo Bi Kiok.” “Hemmm, nama yang manis seperti orangnya. Engkau hanya berdua dengan kakekmu, bukan? Sudah lama kulihat engkau bersama rombongan itu.” Bi Kiok mengangguk. “Aku yatim, piatu.” “Bagus!” “Mengapa bagus?” Bi Kiok memandang dengan penasaran. Yatim piatu, tak berayah tak beribu sekarang kehilangaan kakek pula, dikatakan bagus! “Jadi engkau sebatangkara, tiada sanak kadang, hidup seorang diri di dunia?” Bi Kiok masih memandang penasaran, akan tetapi dia mengangguk juga. “Bagus!” Bi Kiok merenggut lepas tangannya yang digandeng wanita itu, kepalanya ditegakkan dan suaranya nyaring penuh keberanian ketika dia berkata, “Bibi, engkau sungguh kejam sekali, mengejek dan mempermainkan seorang anak-anak seperti aku! Aku memang yatim piatu, tiada sanak kadang, hidup seorang diri di dunia, akan tetapi tidak ada sangkut pautnya dengan Bibi. Tidak perlu Bibi mengejek dan mengatakan bagus!” Sepasang mata wanita cantik itu bersinar-sinar, kemudian dia mengangkat kedua tangan ke atas, dibentuk seperti sepasang cakar garuda, agaknya siap untuk mencengkeram kepala Bi Kiok. Gadis cilik itu menatap tajam, sedikit pun tidak takut! “Hi-hik, engkau tidak takut? Kalau tanganku ini turun, kepalamu akan pecah-pecah!” “Aku tidak takut! Aku tidak takut mati, tidak takut padamu!” Bi Kiok berkata lantang. “Heh-heh-heh, bagus!” Wanita itu kembali memuji dan menurunkan kedua tangannya lagi. “Lagi-lagi bagus! Apanya yang bagus!” Bi Kiok membentak, kini marah sekali, kedua tangannya dikepal seolah-olah dia hendak menyerang iblis betina itu! “Tentu saja bagus, anak baik. Engkau hidup seorang diri di dunia, seperti aku! Tadinya kukira engkau penakut, tidak tahunya tadi engkau kelihatan takut karena dilanda duka dan ngeri, sebenarnya engkau seorang pemberani yang bernyali besar. Orang seperti engkau ini sungguh sudah pantas sekali menjadi muridku.” “Muridmu?” “Ya, muridku, murid Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci, hal yang belum tentu terjadi di antara selaksa orang anak perempuan!” Bi Kiok seorang yang cerdik sekali. Biarpun usianya baru delapan tahun, akan tetapi dia maklum bahwa keadaannya yang sebatang kara itu akan sukar sekali, dari mana-mana akan muncul bahaya yang mengancamnya. Kini muncul wanita cantik ini, yang biarpun kejam seperti iblis akan tetapi memiliki ilmu kepandaian yang menakjubkan, sehingga orang seperti Phoa Sek It dibuat permainan, dan wanita ini mengambilnya sebagai murid. Serta-merta dia menjatuhkan diri berlutut dan berkata, “Teecu (murid) senang sekali menjadi murid Subo (Ibu Guru)!” Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci tertawa gembira, menarik bangun muridnya, menggandeng tangan muridnya sambil meloncat ke atas sebuah di antara tiga perahu itu sambil berkata, “Mari kita kejar bocah she Yap itu!” Perahu Kun Liong sudah memasuki sungai Huang-ho. Hatinya merasa tenteram karena telah lama dia berlayar, tidak ada yang tampak mengejarnya. Hari telah siang dan sinar matahari yang terik membuat seluruh tubuhnya berpeluh. Akan tetapi dia tidak berhenti dan terus melayarkan perahunya. Pagi tadi ada empat orang ikut dengan perahunya dan untuk itu dia telah menerima sedikit uang dan makanan. Perutnya tidak lapar lagi dan sewaktu-waktu dia dapat berhenti untuk membeli makanan. Menjelang sore, tampak dua orang di tepi sungai yang memanggilnya. “Harap minggir! Kami hendak menumpang!” Demikian teriakan laki-laki itu. Yang seorang lagi, wanita masih muda, berdiri di dekat laki-laki itu. Kun Liong meminggirkan perahunya. Lumayan, pikirnya. Makin banyak penghasilannya makin baik karena melakukan perjalanan tanpa bekal sungguh berbahaya, kadang-kadang dia menderita kelaparan. Pula, melihat bahwa yang ingin menumpang perahunya adalah sepasang suami isteri, dia merasa kasihan. Hari amat panas dan membiarkan seorang wanita kepanasan menanti perahu, amat tidak patut. “Bisakah engkau mengantar kami ke kota Liok-ek-tung? Perahumu hendak ke sana, bukan?” tanya laki-laki itu dengan ramah. Kun Liong hanya mengangguk. Dia tidak tahu di mana itu Liok-ek-tung, akan tetapi karena laki-laki itu menudingkan telunjuknya ke depan, berarti arah yang mereka tuju sama karena dia pun tidak mempunyai tujuan tertentu, asal menurutkan ke mana air Sungai Huang-ho mengalir! “Silakan, Ji-wi naik,” kata Kun Liong tanpa banyak komentar. Laki-laki itu kelihatan galak, wajahnya biasa saja, mungkin pedang yang tergantung di punggung itulah yang membuat dia kelihatan galak. Akan tetapi isterinya, yang paling banyak berusia dua puluh tahun, sepuluh tahun lebih muda daripada suaminya, amat cantik dengan pakaian sederhana namun tidak menyembunyikan bentuk tubuhnya yang bagus. Si suami dengan sikap penuh kasih sayang membantu isterinya melangkah naik ke dalam perahu. Setelah isterinya naik dan duduk di bangku perahu, barulah dia sendiri naik sambil membawa buntalan besar yang agaknya bekal pakaian mereka. Setelah mereka duduk, Kun Liong menggerakkan dayungnya, hendak mendayung perahu ke tengah. Kini dia sudah mulai biasa mengemudikan perahu, setelah beberapa kali dia terpaksa menjadi tukang perahu, semenjak membantu para nelayan, sampai terpaksa melarikan perahu dua kali! “Heeei, bung cilik gundul tukang perahu! Tunggu dulu aku mau ikut!” Tiba-tiba terdengar teriakan dan Kun Liong menghentikan dayungnya, menoleh dan melihat seorang laki-laki berpakaian sastrawan naik ke atas perahunya. Sekali pandang saja, dia merasa tidak suka kepada sastrawan muda itu, dan mungkin sekali rasa tidak suka ini timbul ketika mendengar sebutan “gundul”. Pula, seorang sastrawan semestinya tahu aturan, tidak sekasar itu, apalagi kalau melihat bahwa di dalam perahu itu sudah ada seorang wanita yang menumpang. Dia melihat bahwa sastrawan itu lebih muda daripada orang yang membawa pedang. Usianya antara dua puluh lima dan tiga puluh tahun. Pakaiannya indah, dari kain halus, wajahnya tampan dengan kulit muka putih, sepasang matanya selalu bersinar-sinar. Akan tetapi mulut yang agak terlalu lebar dan selalu tersenyum itu menimbulkan rasa tidak suka di hati Kun Liong. Gerak senyum pada mulut lebar itu mengandung ejekan, bahkan kekejaman! Akan tetapi dia tidak peduli dan bertanya, “Tuan hendak ke mana?” “Ke mana saja perahumu menuju, heh-heh!” Kun Liong tidak bertanya lagi, terus mendayung perahunya ke tengah dan memasang layar. Setelah perahunya meluncur, dia segera duduk memegang kemudi, mengambil sikap seolah-olah tidak memperhatikan tiga orang penumpangnya itu. Si Sastrawan itu sudah menghadapi suami isteri yang duduk di atas papan, membungkuk dan mengangkat kedua tangan depan dada, akan tetapi matanya mengerling tajam ke arah dada membusung yang tertutup pakaian sederhana wanita itu. “Harap Ji-wi (Kalian Berdua) sudi memaafkan saya kalau kehadiran saya mengganggu Ji-wi.” Wanita itu dengan muka merah dan malu-malu hanya menunduk membiarkan suaminya yang menjawab. Tidak biasa dia berhadapan dengan laki-laki asing, apalagi seorang laki-laki muda dan tampan menarik seperti sastrawan ini! “Ahh, harap Kongcu jangan bersikap sungkan. Kita sama-sama hanya penumpang perahu ini. Kami suami isteri hendak pergi ke Liok-ek-tung, tidak tahu Kongcu hendak pergi ke manakah?” Laki-laki berpedang itu membalas penghormatan dan menjawab dengan suara ramah pula. “Ah, saya hanya seorang pelancong, ke mana pun baik saja. Dan kalau perahu ini pergi ke Liok-ek-tung, ke sanalah saya pergi. Sungguh merupakan keuntungan dan kehormatan besar sekali bagi saya dapat bersama Ji-wi naik perahu. Sungguh menyenangkan sekali!” Isteri itu mencuri pandang, mengangkat mata yang tadinya menunduk dan kebetulan siucai (sastrawan) itu pun mengerling ke arahnya sehingga dalam waktu satu dua detik, dua pasang mata itu bertemu pandang. Wanita itu makin merah mukanya dan cepat melempar pandang ke bawah lagi, memandangi lantai perahu kemudian ke luar perahu, seolah-olah dia dia tertarik oleh bayangan ikan-ikan yang berenang di pinggir perahu, bibimya yang tipis merah itu tersenyum-senyum dikulum. “Kami yang merasa terhormat sekali dapat melakukan perjalanan bersama Kongcu,” Si Suami berkata lagi. “Silakan duduk, Kongcu.” “Terima kasih.” Sastrawan itu mengambil tempat duduk di atas papan, berhadapan dengan suami isteri itu. “Congsu (Tuan) sungguh baik hati. Perkenalkan, saya Ouw Ciang Houw, tinggal di Nam-cu di selatan dan sekarang setelah selesai menempuh ujian dengan hasil baik, sebelum pulang, saya melancong dulu. “Ahh, kiranya seorang siucai (sastrawan lulus ujian), harap maafkan kalau kami berlaku kurang hormat, Ouw-siucai. Nama saya Gui Tiong, dan ini isteri saya. Kami tinggal di Liok-ek-tung dan di sana saya membuka perguruan silat.” Ouw-siucai membelalakkan matanya, kelihatan terkejut. “Wah, kiranya saya berhadapan dengan seorang ahli silat yang lihai dan menjadi guru! Maaf, maafkan saya, Gui-kauwsu (Guru Silat Hui).” “Aah, Ouw-siucai terlalu merendah. Saya hanya membuka perguruan silat kecil-kecilan saja karena kebisaanku pun tidak seberapa. Pula, kata orang, sekarang ini kepandalan bun (sastra) lebih berharga daripada bu (silat), dan gerakan sebatang pit (alat tulis) jauh lebih berbahaya daripada gerakan sebatang pedang!” Yang dimaksudkan dengan kata-kata ini adalah bahwa kepandaian menulis lebih berbahaya daripada pedang, karena dengan kepandaian menulis seorang dapat menjatuhkan fitnah yang lebih berbahaya daripada serangan pedang, pula kepandaian menulis dapat membawa orang kepada kedudukan yang lebih tinggi. Ouw-siucai tertawa, sengaja dibuat-buat agar terdengar enak dan gagah, dan tentu saja ini dimaksudkan untuk mendatangkan kesan di hati wanita cantik yang duduk menunduk di depannya. “Ha-ha-ha, Gui-kauwsu bisa saja! Akan tetapi, mungkin benar juga kata-kata itu. Saya sih tidak mempunyai kepandaian apa-apa kecuali sedikit coret-coret dan kesenanganku yang lain adalah bermain dadu dan minum arak” “Wah, kesenangan itu cocok dengan kesenanganku. Sayang tidak ada dadu dan kalau ada tentu kita berdua dapat melewatkan waktu dengan gembira sambil menanti sampainya perahu ini ke Liok-ek-tung…” “Jangan khawatir, Gui-kauwsu. Saya selalu membawa bekal!” Seperti orang main sulap saja, siucai itu mengeluarkan seguci besar arak dan sebuah dadu dengan mangkoknya dari dalam saku jubahnya yang lebar. Melihat ini, guru silat itu tertawa bergelak dan dengan gembira mereka lalu bermain dadu. Mula-mula mereka bermain dengan taruhan minum arak, dan dalam hal ini, peruntungan mereka agaknya seimbang karena mereka yang menang menerima secawan arak hampir bergantian. Karena kemasukan arak, mereka berdua menjadi makin gembira dan seringkali terdengar suara mereka tertawa bergelak. Isteri guru silat itu hanya menonton dan kadang-kadang dia pun ikut tersenyum sehingga tampak deretan giginya yang putih dan kadang-kadang juga tampak ujung lidah kecil merah. Beberapa kali dia bertemu pandang dengan Si Siucai, tadinya secara tidak sengaja, akan tetapi lambat laun terjadi permainan mata di antara keduanya, sungguhpun nyonya muda itu bersikap malu-malu dan hal ini baru pertama kali dia lakukan selama hidupnya. Kesempatan memang merupakan penggoda yang amat kuat dan berbahaya. Kalau tidak ada kesempatan seperti ini, agaknya sampai mati pun nyonya muda itu tidak ada pikiran untuk bermain mata dan bertukar senyum dengan seorang laki-laki muda! Arak telah habis, kegembiraan mereka berdua memuncak sehingga akhirnya, atas persetujuan berdua, mereka melanjutkan permainan dadu dengan taruhan uang ! Kun Liong yang mengemudikan perahu hanya menonton dari jauh, dari ujung perahu dan dia pun terbawa oleh kegembiraan mereka berdua itu. Akan tetapi setelah mereka berdua mempertaruhkan uang, dia mengerutkan alisnya dan diam-diam merasa tidak senang. Wajah kedua orang itu kini sungguh-sungguh dan tegang, tidak segembira tadi, dan bagaimana kalau seorang di antara mereka kalah dan kehabisan uang? Tentu tidak akan mampu membayar upah kepadanya! Setelah kini permainan dadu disertai taruhan uang, agaknya bintang peruntungan siucai itu lebih terang dan dia lebih sering menarik uang guru silat itu sampai-sampai Si Guru Silat kehabisan uang dari saku bajunya dan mengambil bekal dari buntalan pakaian. Sementara itu, sore telah mendatang dan sungai mulai sunyi karena perahu-perahu telah kembali ke pelabuhan masing-masing. Hanya ada tampak beberapa buah perahu nelayan agak jauh. Permainan dadu itu dilakukan dengan sederhana saja. Biji dadu yang hanya sebuah, yang mempunyai enam permukaan, diisi tulisan yang berarti jumlah satu sampai enam. Mereka mengocok biji dadu itu ke dalam mangkok, menutupi mangkok dengan telapak tangan, kemudian meletakkannya di atas lantai perahu dan membuka tangan yang menutup. Siapa yang mendapatkan angka sebanyak ketika mangkok dibuka, dialah yang menang. “Wah, sudah cukup, Ouw-siucai. Uangku telah habis sama sekali. Engkau benar-benar sedang mujur!” Akhirnya guru silat itu berkata sambil menarik napas panjang. Ouw Ciang Houw tersenyum lebar sambil melirik ke arah isteri guru silat itu yang kini tampak menunduk sambil mengerutkan alis. Biarpun mulutnya tidak mengatakan sesuatu, tentu saja isteri ini marah sekali melihat betapa bekal uang mereka dihabiskan ludas oleh suaminya untuk berjudi! “Ah, Gui-kauwsu. Bermain dadu tidak hanya menggunakan uang saja sebagai taruhan. Masih banyak yang kaumiliki.” “Hemm, aku sudah kehabisan uang, tidak mempunyai apa-apa lagi.” “Mari kita bertaruh satu kali lagi.” Siucai itu berkata sambil mengeluarkan semua uang kemenangannya yang ia taruh ke dalam kantung uang itu ke atas lantai perahu. “Kalau menang, biarlah semua uangku ini untukmu.” “Ihhh! Mana mungkin aku bertaruh sebanyak itu, Ouw-siucai? Harap jangan engkau main-main!” “Aku tidak main-main dan aku berjanji, kalau aku kalah satu kali ini, semua uang ini untukmu.” “Bagaimana kalau aku yang kalah?” Guru silat itu bertanya. “Aku akan mengambil satu di antara milikmu.” “Wah, engkau aneh sekali. Milikku hanya pakaian dan… dan pedang ini, biarpun pedang baik namun harganya tidak sebanyak itu.” “Pendeknya, engkau berani atau tidak Gui-kauwsu? Engkau sudah kalah banyak dan aku hanya memberi kesempatan kepadamu untuk mendapatkan kembali uangmu.” Merah wajah guru silat itu. Biarlah, biar dia kehabisan semua barangnya, sudah kepalang tanggung. Benar kata-kata siucai ini, dia sudah kalah terlalu banyak dan andaikata dia dalam pertaruhan terakhir ini sampai habis pakaian dan pedangnya, selisihnya tidak banyak dengan kekalahannya sekarang dan sampai di rumah tentu isterinya akan marah-marah. Akan tetapi sebaliknya kalau dia menang, dia akan mendapatkan kembali semua uang kekalahannya! Biarlah kalau kalah tidak kepalang, dan siapa tahu kalau menang! “Baiklah! Akan tetapi bukan aku yang mendesakmu, Ouw-siucai!” katanya sambil menyambar mangkuk dadu, memasukkan dadunya dan mengocok dengan keras. “Plakk!” Mangkuk itu dia letakkan di atas papan dengan tangan masih menutupi mulut mangkok. “Diteruskankah pertaruhan terakhir ini, Ouw-siucai?” tanyanya lagi sebelum membuka tangannya. Ouw Ciang Houw tersenyum dan mengangguk. “Tentu saja diteruskan.” “Dan ini merupakan permainan terakhir, kalau aku menang uang di kantung itu menjadi milikku dan…” “Dan kalau aku yang menang, aku boleh mengambil satu di antara milikmu.” “Baik! Nah, kubuka, Ouw-siucai!” Tangan guru silat itu diangkat dan dadu di dalam mangkuk memperlihatkan angka lima! “Ha-ha, engkau yang memaksaku, Ouw-siucai dan sekali ini agaknya engkau terpaksa harus mengembalikan semua uangku!” Angka lima merupakan angka kedua terbesar, dan dalam permainan dadu, angka ini merupakan angka yang amat baik dan harapan besar untuk menang. Satu-satunya lawan hanya angka terakhir, angka enam, sedangkan angka lima lawan hanya akan berarti sama kuat dan diulang. Angka satu sampai angka empat dari lawan berati dia menang, dengan demikian, harapannya untuk menang dengan kemungkinan kalah adalah empat lawan satu! Ouw-siucai masih tersenyum tenang dan ketika melirik ke arah wanita itu, Si Wanita kelihatan berseri wajahnya, tanda girang hatinya melihat suaminya mendapatkan angka lima. Melihat ini, senyum Ouw-siucai melebar dan dengan tenang dia mengambil mangkuk, mengocok mangkuk itu sambil berkata, “Memang angkamu itu baik sekali, Gui-kauwsu,” dan meletakkan mangkuk di atas papan sambil menutup mulut mangkuk dengan tangan “Akan tetapi, yang menentukan adalah peruntungan, dan siapa tahu, bintangku masih terang. Lihat, kubuka, Gui-kauwsu!” Siucai itu mengangkat tangannya dan Si Guru Silat mengeluh ketika melihat dadu itu memperlihatkan angka enam! Dia kalah lagi! Dengan lemas guru silat itu menjatuhkan diri duduk di atas papan melirik kepada isterinya yang menunduk dengan muka merah. Dia menghela napas panjang lalu berkata, “Ouw-siucai, ternyata engkau mujur sekali. Nah, ambillah barangku, kau boleh pilih.” “Ha-ha-ha-ha, benar-benar hari mujur bagiku, Gui-kauwsu, aku memilih milikmu yang ini, bukan kuambil, hanya kupinjam untuk semalam saja!” Dengan berkata demikian, tangan Ouw-siucai memegang pundak isteri guru silat itu! Mata guru silat itu terbelalak, mukanya menjadi pucat sekali, sedangkan wanita itu pun terkejut dan mukanya berubah merah padam. Tak dapat disangkalnya bahwa diam-diam dan menjadi rahasia pribadinya, dia tertarik kepada siucai yang tampan ini, dan agaknya dia akan mengenang wajah tampan itu dalam alam mimpi, menyambut senyum dan pandang mata itu sebagai cumbuan di alam mimpi. Sama sekali tidak disangkanya bahwa siucai itu akan secara terang-terangan dan kurang ajar sekali minta dia sebagai taruhan untuk dipinjam semalam! “Apa…?? Srattt!” Guru silat itu telah mencabut pedangnya. Tangannya bergemetar ketika ia memalangkan pedang di depan dada. “Hemmm… kau… kau…! Jahanam keparat! Manusia rendah! Kalau tidak ingat engkau seorang kutu buku yang lemah, sudah kupenggal kepalamu! Hayo cepat engkau berlutut minta ampun kepada isteriku, kemudian meloncat keluar dari perahu!” Kun Liong merasa tegang sekali. Tidak disangkanya urusan menjadi begini dan dia pun merasa marah kepada siucai yang kurang ajar itu. Akan tetapi di samping kemarahannya, dia pun heran sekali dan mulai curiga melihat betapa siucai itu sama sekali tidak gentar menghadapi ancaman itu. Bahkan dia tersenyum, lalu benar-benar dia telah berlutut di depan wanita yang masih duduk itu akan tetapi bukan untuk minta ampun, melainkan tangannya memeluk dan dia terus menciumi! Wanita itu terpekik dan berusaha melepaskan diri. “Hemm, manis... jangan berpura-pura…” bisik siucai itu. “Jahanam!” Gui Tiong menggerakkan pedangnya menusuk ke arah punggung siucai itu. Gerakannya cukup cepat dan mengandung tenaga dan agaknya menurut penglihatan Kun Liong, tentu punggung siucai itu akan tertembus pedang. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika tanpa menoleh, masih merangkul leher dan dengan paksa menciumi pipi dan bibir wanita itu, Si Siucai menggunakan sebelah tangan ke belakang, memukul pedang itu dengan telapak tangan dimiringkan dan… pedang itu terlempar, terlepas dari tangan Gui-kauwsu dan lenyap ke dalam air sungai! Guru silat itu terkejut bukan main, akan tetapi hal ini menambah kemarahannya. Kini dia menggunakan kepalan tangan menghantam ke arah kepala Ouw-siucai. Tiba-tiba siucai itu melompat bangun, membalikkan tubuh dan dia mendahului dengan sodokan jari-jari tangannya ke arah pusar Gui-kauwsu. “Hukkk…!!” Tubuh kauwsu itu terjengkang dan dia terengah-engah, sukar bernapas dan dalam keadaan setengah pingsan! “Kau berani menyerangku, ya? Dasar sudah bosan hidup!” Siucai itu menyambar tali layar perahu dan menggunakan ujung tali mengikat leher guru silat itu dan menggantung tubuhnya ke atas! Guru silat itu siuman dan meronta, akan tetapi dua kali siucai menotok pundak membuat kedua lengan guru silat itu kaku dan tak dapat bergerak dan tentu saja tali yang mengikat lehernya menjadi makin mencekik erat karena berat tubuhnya. Sebentar saja, mata orang yang digantung ini mendelik dan lidahnya keluar! “Aughhh... jangan bunuh... jangan bunuh dia... lepaskan suamiku...!” “Ha-ha-ha, bagus sekali dia, bukan? Seperti penakut burung di tengah sawah!” Si Siucai tertawa dan suara ketawanya seperti suara ketawa orang yang miring otaknya. “Aihhh... ampunkan suamiku… jangan bunuh dia…!” Wanita itu meloncat dan hendak lari menghampiri bambu tiang layar, untuk menolong suaminya. Akan tetapi siucai itu mendorongnya sehingga dia jatuh telentang di atas papan. “Jangan bunuh dia...! Tolonggg...! Ahhh... engkau menginginkan aku, bukan? Nah, ambillah...” Seperti orang gila wanita menanggalkan pakaiannya dengan cepat namun dengan jari-jari tangan gemetar. “Kau boleh memiliki tubuhku, akan tetapi... bebaskan dia... jangan bunuh suamiku... uhu-hu-huuk...!” Wanita itu menjadi lemas dan menangis, tubuhnya setengah telanjang, rebah di atas papan. “Ha-ha-ha, bagus! Engkau bertanggung jawab kalau begitu! Ha-ha-ha! Orang laknat! Engkau telah berani menyerangku, untuk itu sebetulnya kau harus mampus. Akan tetapi, isterimu cantik manis, dan biarlah engkau menyaksikan betapa isterimu melayaniku, ha-ha-ha!” Siucai gila itu lalu meloncat dan sekali renggut putuslah tali yang menggantung Gui-kauwsu. Tubuh guru silat itu jatuh ke atas lantai perahu. Ketika ikatan lehernya dilepas, lehernya tampak ada guratan merah membiru, akan tetapi dia dapat bernapas lagi, terengah-engah dan kedua lengannya masih kaku tak dapat bergerak, tertotok. Dengan mata terbelalak, dalam keadaan setengah sadar, Gui-kauwsu melihat betapa siucai itu menubruk isterinya di atas papan perahu. Ia melihat isteriya menggeliat dan mengeluh menangis perlahan seperti merintih. “Manusia jahat yang gila! Lepaskan dia...!!” Kun Liong tak dapat menahan diri melihat perbuatan siucai itu dan dia sudah menubruk ke depan sambil menghantamkan tangannya ke arah kepala siucai itu. “Desss...! Aduhhh...!!” Siucai itu yang tadinya tanpa menoleh menangkis pukulan Kun Liong, terkejut bukan main karena tangkisannya itu mengenai lengan yang mengandung kekuatan dahsyat dan yang mendatangkan nyeri bukan main pada lengannya, sampai terasa ke dalam dadanya. Hampir dia tidak percaya akan keanehan ini dan dia sudah melompat bangun, menghadapi Kun Liong. “Eh, engkau bocah gundul, berani engkau menyerangku?” “Manusia hina ! Aku mempertaruhkan nyawa untuk membasmi manusia macam engkau yang jahat dan gila ini!” Kun Liong berteriak lalu menyerang dengan kenekatan bulat. Melihat gerakan Kun Liong, tahulah siucai itu bahwa anak gundul ini memang pandai ilmu silat, akan tetapi karena masih kanak-kanak, tentu saja dia memandang rendah gerakan Kun Liong. Hanya dia tahu bahwa secara luar biasa sekali, bocah ini telah memiliki tenaga sin-kang yang mujijat, maka dia tidak berani menangkis, melainkan miringkan tubuhnya dan secepat kilat dia memukul dari samping. “Desss!!” Lambung Kun Liong terpukul dan tubuhnya terlempar keluar dari perahu. “Byuuurrr!!” Air muncrat tinggi dan tubuhnya tenggelam, lenyap dari permukaan air. Siucai itu tertawa bergelak, sejenak memandang ke permukaan air. Setelah yakin bocah gundul itu tidak muncul lagi, Ouw Ciang Houw Si Siucai gila yang lihai itu sambil terkekeh-kekeh kembali kepada isteri guru silat yang masih menangis lirih. Kebiadaban yang terjadi di perahu itu dilihat dan didengar oleh Gui Tiong, dan karena tubuhnya masih kaku tertotok, dia hanya dapat memejamkan mata, dan hanya pendengaran telinganya saja yang menyiksa hatinya karena dia diharuskan mendengar rintihan isterinya. Senja mendatang, cuaca menjadi gelap seolah-olah hendak menyelubungi peristiwa terkutuk itu agar tidak tampak oleh orang lain. Kun Liong yang terlempar ke dalam air, cepat dapat menguasai dirinya. Dia berenang ke arah perahu, lalu berpegang pada dasar perahu di mana dia menyembunyikan bokor emas. Sebelum perahunya memasuki Huang-ho, dia sudah menyembunyikan bokor itu pada bawah perahu sehingga tidak tampak dari luar. Karena dia maklum bahwa bokor itu akan mendatangkan banyak malapetaka kalau terlihat orang, maka dia melakukan hal itu dan sekarang dia dapat berpegang pada tali pengikat bokor itu, tubuhnya tenggelam akan tetapi kepalanya timbul di atas permukaan air, di bawah tubuh perahu. Napasnya agak sesak dan dadanya teras nyeri sekali oleh pukulan tadi. Kalau tidak ada tali untuk berpegang, tentu dia akan tewas dan tenggelam karena dia tidak mempunyai tenaga lagi untuk naik ke perahu, apalagi berenang ke tepi sungai yang masih jauh dari situ. Dari bawah perahu, dia tidak tahu apa yang terjadi di atas perahu dan untung bahwa dia terluka sehingga tidak dapat naik ke perahu, karena kalau hal ini terjadi dan dia menyaksikan apa yang terjadi di perahu, tentu dia akan mempertaruhkan nyawanya dan tentu dia akan tewas di tangan Ouw-siucai yang gila namun amat lihai itu. Setelah malam tiba, perahu bergerak ke pinggir, di bawah perahu berombak tanda banyak ada yang mengemudikan perahu. Setelah dekat dengan tepi, perahu bergoyang dan terdengar suara dari tepi sungai, “Engkau hebat dan manis sekali, sayang! Selamat tinggal. Eh, terima kasih, Gui-kauwsu ha-ha-ha!” Tahulah Kun Liong bahwa siucai gila itu tadi meloncat ke darat dan telah pergi, jadi di atas perahu tinggal guru silat Gui dan isterinya. Kun Liong mengerahkan tenaganya, dengan susah payah berusaha naik ke perahu. Jari-jari tangannya berhasil menjangkau pinggiran perahu dan perlahan-lahan, payah sekali, dia menarik tubuhnya ke atas dan akhirnya dengan napas hampir putus dia berhasil naik ke perahu, tiba di ujung perahu dekat kemudi. Bulan purnama bersinar terang sehingga dia dapat melihat permukaan perahu itu dengan jelas. Isteri guru silat itu dengan pakaian awut-awutan, hanya dipakai untuk menutupi tubuh belaka, kelihatan berlutut dan menangis dekat tubuh suaminya, memeluk tubuh itu dan menangis tanpa dapat mengeluarkan kata-kata yang bisa dimengerti. Agaknya sudah tiba saatnya Gui-kauwsu terbebas dari totokan. Jalan darahnya dapat mengalir kemball pulih seperti biasa dan sambil mengeluh dia bangkit duduk. Dipandangnya sejenak isterinya yang berlutut dan menangis itu. Ketika tampak olehnya tubuh isterinya setengah telanjang, teringatlah dia dan tiba-tiba dia mendorong tubuh isterinya sehingga terjengkang dan pakaian isterinya terbuka lagi. “Tidak perlu lagi kau pura-pura menangis! Apa pula yang ditangisi?” bentak Gui-kauwsu. Wanita itu merangkak bangun, terbelalak dan terisak. “Mengapa... mengapa… kau marah-marah kepadaku? Mengapa… kau marah kepadaku? Apa salahku...??” Dia menangis tersedu-sedu. “Huh! Palsu! Air mata palsu! Perempuan rendah tak tahu malu! Kau menikmatinya, ya? Kalau engkau lebih suka tidur dengan bajingan itu, kenapa kau tadi tidak ikut saja dengan dia?” Wanita itu menjerit, “Apaaa...?!! Kau... kau… kau tega berkata demikian? Suamiku, aku… aku terpaksa melakukannya untuk menolong nyawamu!” Wanita itu kini menghentikan tangisnya dan memandang suaminya penuh rasa penasaran. “Hemm, alasan kosong! Memang kau sudah tergila-gila kepadanya! Kaukira aku tuli? Kaukira aku tak tahu betapa engkau menikmatinya? Betapa engkau merasa puas dengan dia? Perempuan rendah pelacur dan hina...!!” “Suamiku...!!” Wanita itu menubruk dan merangkul suaminya, akan tetapi kembali suaminya mendorong, bahkan menampar pipi isterinya dengen keras. “Plakkk!! Jangan dekat aku! Jangan sentuh aku dengan tubuhmu yang ternoda, yang kotor dan hina! Kau pergi sana ikut dengan siucai gila yang menjadi kekasihmu itu!!” Wanita itu bangkit perlahan, tampak perubahan dalam sikapnya dan pandang matanya. Dia bangkit berdiri, tidak mempedulikan pakaiannya yang lebih banyak terbuka daripada tertutup itu, kemudian terdengar suaranya, masih bercampur isak tetapi bernada dingin, “Cihhh! Laki-laki tak tahu diri! Baik, dengarkan sekarang, buka telingamu lebar-lebar seperti tadi, buka matamu lebar-lebar seperti ketika engkau menonton tadi! Aku menikmatinya, memang! Nah, habislah! Aku lebih puas dengan dia daripada dengan engkau! Sudah cukupkah? Masih kurang puas? Aku lebih suka ikut dengan dia kalau saja dia mau, daripada ikut dengan engkau manusia tak tahu diri, tak kenal budi. Cihhh! Aku muak melihatmu, dan aku tidak sudi lagi berdekatan denganmu!” Tiba-tiba wanita itu meloncat keluar dari perahu. “Byuuurrr...!” Air muncrat tinggi dan dengan mata terbelalak Kun Liong melihat betapa tubuh itu disambar air yang mengalir agak kuat di tempat itu, lalu tenggelam. Tubuhnya terlalu lelah, dadanya sesak dan sakit-sakit sehingga dia merasa tidak kuasa menolong wanita itu. Dia mengharapkan Si Suami akan menolong isterinya maka dia menoleh kepada laki-laki yang berdiri bengong di pinggir perahu. “Isteriku…! Di mana engkau…? Apa yang telah kaulakukan ini? Isteriku, maafkanlah aku… aku berdosa padamu, aku... aku cinta padamu...! Jangan tinggalkan aku…!” Dan Gui-kauwsu itu pun moloncat keluar dari perahu. “Byuuur…!” Untuk kedua kalinya air sungai muncrat ke atas dan dengan mata terbelalak lebar Kun Liong melihat betapa guru silat itu gelagapan dan tenggelam. Ternyata guru silat itu, seperti juga isterinya, sama sekali tidak pandai renang! Lupa akan keadaan dirinya sendiri, Kun Liong meloncat keluar dari perahu. Akan tetapi dia pun gelagapan karena arus air amat deras, dan tenaganya amat lemah. Pula, ketika dia mencari-cari dengan matanya, dia tidak dapat melihat lagi tubuh kedua orang itu. Terpaksa dia berenang kembali ke perahunya dan dengan amat susah payah, akhirnya dapat juga dia naik ke perahunya. Dia masih menggunakan sisa tenaganya untuk mendayung perahu, mencari-cari tubuh suami isteri itu, akan tetapi sama sekali tidak tampak. Dalam keadaan setengah pingsan karena peristiwa hebat itu dan karena kehabisan tenaga ditambah luka oleh pukulan di lambungnya tadi, Kun Liong rebah di perahu, membiarkan perahu hanyut perlahan-lahan, akhimya dia tidak bergerak-gerak lagi, setengah tidur setengah pingsan! Anak ini mengalami ketegangan hati hebat ketika menyaksikan peristiwa di perahu tadi. Dia benar-benar tidak mengerti akan sikap orang-orang dewasa itu. Mengapa siucai itu melakukan perbuatan yang begitu hina? Dan mengapa isteri guru silat itu membiarkan dirinya diperkosa, bahkan menawarkan dirinya! Benarkah untuk menyelamatkan suaminya? Dan yang paling aneh baginya yang membuat dia bingung sekali, adalah sikap Gui-kauwsu sendiri. Tadi Gui-kauwsu membela isterinya mati-matian terhadap penghinaan Ouw-siucai, kemudian melihat isterinya diperkosa siucai itu, timbul kebenciannya sehingga dia menampar dan mengusir, memaki dan menghina isterinya. Setelah isterinya nekat membunuh diri dengan terjun ke sungai, dia yang tidak pandai berenang nekat pula terjun dan mengaku cinta! Mengapa orang-orang dewasa itu bersikap seperti itu? Dan isteri kauwsu itu benarkah lebih suka kepada Si Siucai? Ataukah hanya untuk membalas perlakuan suaminya? Apakah isteri itu pun mencinta suaminya? Dia benar-benar tidak mengerti dan dalam tidur setengah pingsan itu, wajah suami isteri dan siucai itu ganti berganti menganggunya, menjadi muka yang amat besar, tanpa tubuh, menakutkan sekali. Cinta terlalu halus untuk dapat dimengerti pikiran manusia yang kasar, terlalu tinggi untuk dicapai pikiran yang rendah dan terlalu dalam untuk dijajaki pikiran yang dangkal. Pikiran yang berputar sekitar sayang diri, demi aku, untuk aku, tak mungkin dapat mengerti cinta yang bersih daripada kepentingan diri tanpa pamrih itu. Gui-kauwsu ingin menguasai isterinya lahir batin, memonopoli isterinya lahir batin dan menganggap hal ini sebagai perasaan cintanya terhadap isterinya. Keinginan menguasai dan memiliki lahir batin ini tentu saja menimbulkan iri jika melihat isterinya menoleh kepada orang lain dan menimbulkan cemburu, bahkan menimbulkan benci! Adakah iri itu cinta? Adakah cemburu itu cinta? Adakah benci itu cinta? Adakah cinta mendatangkan derita? Hanya pengejaran dan pemuasan nafsulah yang akan mendatangkan derita. Keinginan menguasai dan memiliki lahir batin terhadap sesuatu, benda maupun manusia, berarti mengundang datangnya derita sengsara, pertentangan dan penyesalan. Memang, berhasil menguasai dan memiliki sesuatu atau seseorang, dapat mendatangkan rasa puas, akan tetapi kepuasan nafsu keinginan ini hanya seperti angin lalu karena keinginan itu selalu didorong oleh pengejaran akan sesuatu yang lebih indah. Kalau sudah didapat, tentu akan lepas dari pengejaran dan perhatian, karena keinginan sudah mencari lagi ke depan untuk mendapatkan yang lebih indah lagi! Pada keesokan harinya, setelah sinar matahari telah naik tinggi, Kun Liong bangun dari tidurnya. Dadanya masih terasa sakit sedikit, akan tetapi tenaganya sudah agak pulih. Melihat betapa perahunya berhenti, dia cepat melihat ke depan dan ternyata dia telah tiba di daerah yang berbatu-batu. Sungai menjadi lebar sekali, akan tetapi batu-batu itu menonjol ke permukaan air. Perahunya tertahan oleh sebaris batu dan untung saja terdampar di situ, tidak terbentur keras dan pecah. Ketika dia berdiri di pinggir perahu, tiba-tiba dia membelalakkan mata melihat sesuatu tersangkut pada batu tak jauh dari situ. Tadinya dia mengira seekor ikan besar yang mati, akan tetapi setelah matanya terbiasa, dia hampir berteriak saking kagetnya. Yang dilihatnya itu adalah mayat isteri Gui-kauwsu! Hanya sebagian muka, rambutnya, dan perutnya yang tampak, perut yang mengembung besar sehingga kelihatan seperti perut ikan, putih bersih. Mayat yang telanjang bulat! Kun Liong mengejap-ngejapkan matanya, ingin mengusir penglihatan itu. Ketika dia memandang ke kanan kiri, hampir dia terpekik lagi melihat sesosok mayat lain, juga terdampar dan tersangkut batu. Mayat Gui-kauwsu sendiri, mukanya tidak tampak akan tetapi dia dapat mengenal celana hitam baju putih dan sarung pedang di punggung mayat yang tertelungkup itu! Kun Liong menghela napas panjang penuh kengerian. Sudah dia duga bahwa tentu suami isteri itu akan tewas melihat betapa mereka tidak pandai renang dan arus sungai yang dalam itu amat derasnya. Perahunya tersangkut dan agaknya bocor. Seorang diri saja tak mungkin dia dapat mengambil dua jenazah itu untuk dikuburkan ke darat. Dia tidak dapat berbuat apa-apa, bahkan harus meninggalkan perahu yang tersangkut dan terjepit ini. Dia teringat akan bokor di bawah perahu. Sayang kalau dibiarkan begitu saja. Bokor itu amat penting dan menjadi rebutan orang-orang di dunia kang-ouw. Kalau kelak dia bawa pulang dan dia serahkan ayahnya, siapa tahu bokor itu akan agak meredakan kemarahan ayahnya. Dengan hati-hati dia lalu turun ke air, mengumpulkan napas, menyelam dan meraba-raba. Bokor itu masih ada, terikat di bawah perahu. Dilepaskannya ikatan itu dan dibawanya bokor meninggalkan perahu, berenang dari batu ke batu, sampai akhimya dia tiba di darat yang berbatu-batu. Pandang matanya tertarik kepada sebuah batu besar di tepi sungai dan tak terasa dia meraba kepalanya. Batu itu besar dan halus, bentuknya seperti kepalanya! Dihampirinya batu itu dan diraba-rabanya. Benar-benar batu yang halus dan besar sekali, dikelilingi batu-batu yang tidak sebesar batu kepala itu. Ketika dia meraba-raba ini, dia menemukan sebuah lubang terhimpit di antara batu-batu dan segera dia memasuki bokor ke dalam lubang ini. Lubang itu dalam sekali dan begitu bokor dimasukkan, benda itu meluncur dan hilang! Sama sekali tidak tampak dari luar dan betapapun Kun Liong merogoh ke dalam lubang, jari tangannya tidak dapat mencapainya. Hatinya menjadi girang. Benda itu tersimpan dengan aman dan hanya kalau batu berbentuk kepalanya itu didorong roboh, bokor itu dapat ditemukan. Akan tetapi siapakah orangnya yang akan mendorong batu besar itu? Pula, siapakah yang akan kuat mendorong batu sebesar itu? Agaknya akan membutuhkan tenaga sedikitnya belasan orang kuat! Hatinya meniadi ringan. Benda itulah yang selama ini membuat hatinya berat dan setelah benda itu disimpan di tempat aman, dia dapat melanjutkan perjalanannya tanpa khawatir terlibat dalam perebutan bokor emas. Sejenak dia memandang ke sekeliling sampai dia yakin benar kelak akan dapat mengenali tempat ini. Mudah mengenalinya. Bentuk pegunungan di utara itu, pemandangan di seberang yang penuh pohon-pohon raksasa, sungai yang penuh batu batu menonjol dan belokan sungai di depan itu. Apalagi dengan adanya batu yang berbentuk kepala gundulnya ini, dia tidak akan dapat melupakan tempat ini, dan dia pasti kelak akan mengingat tempat persembunyian bokor emas! Mulailah Kun Liong melanjutkan perjalanannya ke timur, menyusuri sepanjang pantai sungai. Di dalam kantungnya masih terdapat sisa-sisa uang upah perahu. Sayang bahwa tiga orang penumpangnya itu tidak membayarnya sepeser pun, bahkan yang dua orang sudah mati dan yang seorang lagi? Teringat akan siucai gila itu, meremang bulu tengkuknya. Sungguh banyak berkeliaran orang berilmu tinggi dunia ini, namun mengapa setiap orang berilmu tinggi yang dijumpainya demikian jahat dan kejam? Pertama-tama Loan Khi Tosu, tosu Pek-lian-kauw yang membunuh orang tanpa berkedip mata. Kemudlan Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok dengan puteranya, Ouwyang Bouw yang mengerikan dan yang ilmunya jauh lebih tinggi daripada tosu Pek-lian-kauw itu. Setelah itu Si Siucai gila yang menyeramkan! Dia harus berhati-hati. Ternyata perantauannya membawanya kepada bahaya yang beberapa kali nyaris merenggut nyawanya. Kun Liong tersenyum seorang diri. Betapa ibunya akan terbelalak dan ayahnya akan menggeleng-geleng kepala kalau melihat dia seperti sekarang ini. Dia dapat membayangkan keheranan hati ayah bundanya itu. Kun Liong tertawa dan meraba kepalanya. Dapatkah ibunya menyembuhkan kepalanya sehingga dapat tumbuh rambut kembali? Aha! Tentu ayah dan ibunya akan mengira dia sudah menjadi hwesio! Kenangan akan ayah bundanya dan akan lucunya kalau mereka melihat dia membuat Kun Liong merasa gembira dan dia berloncatan di atas batu-batu besar yang berserakan di tepi sungai. Tiba-tiba dia menyelinap dan bertiarap, bersembunyi di balik batu-batu besar ketika dia melihat tiga orang laki-laki muncul dari balik pohon-pohon di tepi sungai. Yang seorang bertubuh tinggi besar seperti raksasa, mukanya licin tidak berambut dan sebatang pedang tergantung di punggungnya. Orang ke dua brewok dan kelihatan galak sekali, pakaiannya kasar seperti orang pertama, bahkan tidak berlengan, dan di pinggangnya tergantung ruyung berduri yang menyeramkan. Orang ke tiga masih muda, juga bajunya tidak berlengan dan punggungnya tergantung sebuah golok. “Benarkah dia lewat di sini?” tanya Si Brewok kepada yang termuda. “Benar, aku sudah mengikutinya sejak kemarin. Dia tertukar keledai dan membawa buntalan yang berat.” kata yang muda. “Seorang tosu mempunyai apa sih?” tanya Si Tinggi Besar. “Aihhh, lupakan dulu urusan merampok!” Si Brewok menegur. “Kita sedang menanti datangnya utusan yang akan membawa uang tebusan.” “Masa seorang tosu?” “Mungkin saja! Kalau bukan utusan, masa seorang tosu menunggang keledai siang malam, bertukar keledai, menginap di hotel, dan membawa bungkusan besar?” kata yang muda. “Nah, itu dia...!” sambungnya sambil menuding ketika dia menoleh ke belakang. Tiga orang itu dengan gerakan cepat sekali berlompatan sudah menyelinap dan sembunyi di belakang pohon-pohon. Kun Liong juga mengintai dari balik batu-batu dan melihat seorang kakek tua menunggang seekor keledai perlahan-lahan menuju ke tempat itu. Di depan kakek itu, di punggung keledai, tampak buntalan besar dan berat, sedangkan di punggung kakek itu pun tergendong sebuah buntalan kain. Jantung Kun Liong berdebar penuh ketegangan. Dia merasa kasihan kepada kakek itu, yang pakaiannya longgar seperti pakaian seorang tosu. Ingin dia berteriak memperingatkan, akan tetapi tiga orang tadi berada di antara dia dan tosu itu. Untuk lari menyambut juga tidak mungkin, tentu didahului mereka. Akan tetapi kakek yang dikhawatirkan itu mulai bemyanyi dengan suara lantang! “Mengerti akan orang lain adalah bijaksana mengerti akan diri sendiri adalah waspada mengalahkan orang lain adalah kuat mengalahkan diri sendiri lebih gagah perkasa!   Kata-kata yang benar tidaklah manis kata-kata yang manis belum tentu benar yang baik tidak akan berbantah yang berbantah belum tentu baik!” Kun Liong mengenal sajak yang dinyanyikan itu. Yang pertama adalah ayat ke tiga puluh tiga dan yang ke dua ayat ke delapan puluh satu dari kitab To-tik-keng, diambil bagian depannya saja. Pada saat itu, tosu tua ini sudah tiba dekat dan tiba-tiba muncullah tiga orang tadi! Mereka langsung mengurung dan Si Brewok sudah mendekat dan memegang tali di hidung keledai. “Siancai…, Sam-wi-sicu (Tiga Orang Gagah) siapakah dan mengapa menghentikan pinto (saya)?” Tosu itu bertanya setelah mengangkat sepasang alisnya tanda keheranan dan kekagetan. “Tak perlu banyak cakap lagi, turunlah dan ikut dengan kami!” Si Brewok membentak. “Siancai...! Pinto adalah seorang tua yang tidak mempunyai urusan apa-apa, yang hidup dengan tenang dan damai, tak pernah berbuat kesalahan kepada siapapun juga, apalagi kepada Sam-wi yang tidak pinto kenal...” “Ha-ha-ha, kakek ini selain pandai menyanyi juga pandai berceloteh!” Si Tinggi Besar berkata sambil tertawa-tawa. “Aihhhh...” Tosu itu menggeleng kepala. “Yang dicari belum ketemu, sekarang timbul kesulitan baru lagi!” Mendengar ini, Si Brewok girang dan cepat berkata, “Totiang tentu akan dapat bertemu dengan yang dicari asal membawa tebusan cukup. Dan marilah ikut dengan kami.” “Apa? Pinto tidak mengerti...” Si Brewok agaknya kehilangan kesabarannya. Dipegangnya lengan kanan kakek itu dan ditariknya, hendak dipaksa turun. “Eh-eh-eh, mengapa ditarik-tarik? Engkau sungguh tidak menghormati orang yang sudah tua!” Kemarahan dan rasa penasaran di dalam hati Kun Liong tak dapat ditahan lagi dan dia sudah meloncat keluar dari balik batu, lari menghampiri dan berkata marah kepada tiga orang yang memandang kepadanya dengan terheran-heran itu. “Sam-wi bertiga kelihatannya adalah orang-orang gagah yang berkepandaian tinggi! Akan tetapi siapa kira, ternyata sekarang Sam-wi mengganggu seorang kakek yang lemah dan tidak bersalah apa-apa. Apakah Sam-wi (Tuan Bertiga) tidak merasa malu?” “Bocah gundul, kau muncul seperti setan. Siapa engkau?” bentak Si Brewok heran. “Dia tentu mata-mata yang sejak tadi bersembunyi!” kata temannya yang muda. “Ah, siapa lagi kalau bukan kaki tangan kakek ini?” kata yang tinggi besar. “Tangkap saja mereka berdua!” Si Brewok membentak. “Hayo kalian ikut bersama kami! Ataukah kami harus rnenggunakan senjata?” Dia sudah melepas ruyungnya dan mengancam kepada kakek itu. Juga Si Tinggi Besar telah melolos pedangnya ditodongkan ke dada Kun Liong, sedangkan orang yang termuda memegang kendali keledai dan menuntunnya. Kakek itu hanya menggeleng-geleng kepala dan memandang Kun Liong sambil tersenyum. “Anak yang baik, mari kita ikut saja agar dapat melihat bagaimana kesudahan urusan aneh ini. Naiklah ke sini, anak baik, di belakangku.” Kun Liong menggeleng kepala. “Keledai itu sudah terlalu tersiksa oleh muatan yang berat, aku berjalan kaki saja, Totiang.” “Hayo jalan, jangan banyak mengobrol” Si Tinggi Besar mendorong pundak Kun Liong dan pedangnya tetap ditodongkan di lambung anak itu. Hal ini membuat Kun Liong mendongkol sekali dan dia mendorong pedang itu ke samping sambil berkata, “Aku tidak bersalah apa-apa. Aku mau ikut sudah baik. Perlu apa ditodong-todong?” Pedang itu terdorong miring dan Si Tinggi Besar kelihatan terkejut dan marah, sudah membuat gerakan hendak menyerang. Akan tetapi Si Brewok membentak dan melarangnya. Bergeraklah rombongan aneh ini menuju ke sebuah bukit yang tampak dari situ. Kakek itu tertawa dan melorot turun dari atas punggung keledai, berjalan dekat Kun Liong. “Anak baik, engkau membuat pinto malu. Memang keledai itu sudah cukup menderita. Biarlah pinto jalan kaki saja.” Kun Liong hanya tersenyum dan melangkah perlahan dengan kepala menunduk. Sungguh sial, pikirnya. Di mana-mana bertemu dengan orang-orang yang menggunakan kekerasan dan kekuasaan menekan orang lain! Di mana-mana dia bertemu dengan halangan, dan karena membela kakek tua yang lemah ini, dia ikut pula menjadi tawanan. Entah golongan apa tiga orang yang menangkap dia dan kakek itu, dan entah urusan apa yang membuat kakek itu ditangkap. Dia selalu terlibat dengan urusan lain yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan dia sendiri. Apakah selama ini dia terlalu lancang dan usil? Apakah selanjutnya dia harus diam saja melihat segala sesuatu yang terjadi pada lain orang dan yang tidak ada hubungannya dengan dirinya? Ah, tak mungkin. Mana bisa dia diam saja menyaksikan hal yang menimbulkan rasa penasaran? Melihat seorang kakek tua renta yang lemah ini diganggu tiga orang yang kelihatan gagah itu, bagaimana dia harus diam saja di tempat persembunyiannya! “Tidak mungkin!” Kun Liong lupa diri dan kata-kata ini terlompat keluar dari mulutnya. “Apa yang tidak mungkin?” Si Tinggi Besar membentak. Orang termuda itu berjalan di depan menuntun kendali keledai, Kun Liong di sebelah kakek itu berjalan di tengah dan Si Brewok bersama Si Tinggi Besar paling belakang. Ternyata perjalanan itu cukup jauh, keluar masuk hutan dan mendaki bukit yang bentuknya seperti sebuah mangkuk menelungkup. Ada tiga jam mereka berjalan dan akhimya, ketika mendaki sampai di lereng dan membelok melalui sebuah tebing, tampaklah tembok-tembok bangunan di dekat puncak. Bangunan-bangunan itu dikelilingi pagar tembok yang cukup tinggi dan di luar pagar tembok sudah tampak para penjaga dengan pakaian seragam kuning, bukan seragam tentara melainkan seragam perkumpulan silat. Setelah rombongan ini tiba dekat pintu gerbang pagar tembok, tampaklah oleh Kun Liong bahwa para penjaga itu merupakan pasukan-pasukan panah, tombak, dan golok. Mereka berlari berjajar dengan rapi dan hanya mata mereka yang bergerak memandang penuh perhatian ke arah kakek dan Kun Liong, tubuh mereka sama sekali tidak bergerak, tetap berdiri dalam keadaan siaga! Ketika dua orang tawanan ini dibawa masuk melalui pintu gerbang pagar tembok, tampaklah oleh Kun Liong pasukan-pasukan lain berderet-deret. Ada pasukan ruyung, pasukan pedang, dan kesemuanya berbaris rapi. Kini dia dapat menduga bahwa tiga orang yang menangkapnya itu tentulah merupakan tokoh-tokoh dari pasukan ruyung, yaitu Si Brewok, Si Tinggi Besar tentu dari pasukan pedang, dan yang termuda itu dari pasukan golok. Kakek itu melangkah sambil menoleh ke kanan kiri, agaknya terheran-heran, dan akhirnya dia berkata perlahan, “Siancai… tempat apakah ini? Seperti benteng dan dijaga pasukan-pasukan. Apakah pinto menjadi tangkapan pasukan asing?” “Jangan bicara ngawur, Totiang!” Si Brewok membentak. “Engkau menjadi tamu dari Ui-hong-pang!” “Heh? Ui-hong-pang (Perkumpulan Burung Hong Kuning)? Apa itu?” Kakek itu membuka matanya lebar-lebar, juga Kun Liong tidak mengenal nama perkumpulan ini. Akan tetapi dia makin curiga dan khawatir. Kalau dia dan kakek lemah itu terancam bahaya di tempat yang terjaga kuat ini, harapan untuk lolos sungguh tidak ada sama sekali! “Kita ini mau diapakan, Totiang?” Kun Liong berbisik, akan tetapi suaranya sama sekali tidak mengandung ketakutan, hanya keheranan. Kakek itu menunduk dan memandang, kemudian bertanya, “Engkau takut, Nak?” Kun Liong menggeleng kepala kuat-kuat dan menjawab, “Aku tidak bersalah apa-apa terhadap siapa juga, mengapa takut?” Diam sejenak dan mereka melangkah terus memasuki sebuah bangunan yang terbesar. “Kau… dari kuil mana?” Tiba-tiba tosu tua itu bertanya. Kun Liong mengerutkan alisnya dan memandang kakek itu dengan hati penasaran. Dengan suara yang agak dingin dia menjawab, “Aku bukan seorang hwesio!” “Sssstt, tidak boleh bicara lagi. Kita menghadap Pangcu!” bentak Si Brewok ketika mereka memasuki sebuah ruangan yang luas di tengah bangunan itu. Juga di dalam bangunan itu terjaga oleh pasukan pengawal seragam. Setiap lorong dan pintu terjaga kuat dan setelah mereka menghampiri seorang laki-laki gagah yang duduk di atas sebuah kursi kuning, di situ terdapat beberapa orang yang tidak seragam pakaiannya, dan agaknya mereka ini adalah pembantu-pembantu dan pengawal-pengawal pribadi Si Ketua Perkumpulan itu. Kun Liong memandang ke arah ketua penuh perhatian. Dia seorang laki-laki yang bertubuh tinggi besar, berwajah gagah, usianya tiga puluh tahun lebih dan pakaiannya serba kuning akan tetapi warna kuningnya lebih tua daripada warna kuning seragam anak buah pasukannya. Berbeda dengan sikap tiga orang anak buahnya yang menangkap kakek dan Kun Liong, ketua ini tersenyum ramah ketika menerima mereka. “Duduklah, Totiang, dan engkau juga, saudara kecil!” katanya dengan suara lantang sambil menuding ke arah beberapa buah kursi kosong di depannya. “Terima kasih,” kakek itu menjura dan duduk, sedangkan Kun Liong tanpa berkata apa-apa juga mengambil tempat duduk di dekat kakek itu. “Siapakah nama Totiang?” Ketua itu kembali bertanya dengan suara ramah. “Eh, nama pinto...? Pinto tidak bernama, hanya disebut orang Bu Beng Tosu,” jawab kakek itu. “Sungguh tidak kami sangka mereka akan mengirim seorang tosu untuk menjadi utusan menyambut anak itu. Apakah Totiang sudah membawa tebusannya?” “Menyambut anak? Utusan? Tebusan? Apakah artinya ini? Sungguh pinto tidak mengerti.” “Agaknya Cuwi telah salah menangkap orang!” Kun Liong berkata, suaranya nyaring dan dia memandang ketua itu dengan sinar mata penuh ketabahan. Ketua itu mengerutkan alisnya dan menoleh kepada Si Brewok, membentak, “Apa artinya ini? Siapa kakek dan bocah ini?” Si Brewok menjadi pucat. “Maaf, Pangcu. Sikapnya mencurigakan, dia ber uang dan melakukan perjalanan seorang diri lewat di tempat yang telah ditentukan, membawa buntalan-buntalan besar. Kami mengira dialah utusan itu.” “Bodoh! Lekas periksa buntalannya!” “Sudah diperiksa, Pangcu!” Tiba-tiba Si Tinggi Besar yang baru saja masuk menjawab dan berdiri tegak seperti sikap seorang perajurit menghadap komandannya. “Apa isi bungkusannya? Emas dan perak?” “Bu... bukan... Pangcu...” “Habis, apa isinya?” “Batu-batu karang dan akar-akaran!” “Plakkk!” Ketua itu menepuk ujung kursinya dengan marah. “Sialan! Apa yang kalian lakukan?” “Harap Pangcu maafkan. Kami telah salah menangkap, dan kami akan melakukan penjagaan lagi di sana. Akan tetapi... mereka... mereka itu…?” “Pergi menjaga! Sekali lagi kalian keliru menangkap orang akan kuhajar! Biarkan mereka di sini. Pergi kalian bertiga!!” Si Brewok dan dua orang temannya pergi seperti anjing-anjing dibentak. Ketua ini kini menoleh ke arah kakek itu dan bertanya, “Mengapa kebetulan sekali Totiang lewat di tempat ini dan untuk apa semua batu dan akar itu?” “Aihhh, pinto adalah seorang yang hidup dari menjual bahan-bahan obat. Batu-batu itu dapat dipergunakan sebagai bubuk obat, dan itu adalah bahan campuran obat pembersih darah. Pinto sedang mencari telur kura-kura hitam yang kabarnya banyak terdapat di pantai Sungai Huang-ho, telur belum dapat malah pinto ditangkap.” “Hemmm... dan kau, bocah gundul? Apakah engkau murid tukang obat ini?” Kun Liong sudah mengetutkan alisnya, kelihatan marah sekali disebut gundul! Setelah kepalanya gundul pelontos, temyata sebutan gundul merupakan sebutan yang amat menyakitkan hatinya, karena mengingatkan dia akan keadaannya yang tidak menyenangkan itu. Akan tetapi sebelum dia melontarkan jawaban yang keras, tosu itu sudah mendahuluinya menjawab, “Benar, Pangcu. Dia adalah murid pinto yang keras hati dan bandel.” Kun Liong menoleh dan memandang kakek itu, dan tiba-tiba dia sadar akan keadaan dirinya. Memang dia keras hati. Kalau dia menuruti kemarahannya dan mengeluarkan kata-kata keras dan tidak enak terhadap ketua ini, bukan hanya dia seorang yang akan menderita hukuman, juga kakek yang tidak berdosa itu akan terbawa-bawa. Maka dia menahan kemarahannya dan menggigit bibir, tidak mengeluarkan suara. “Kalian memang tidak bersalah dan anak buah kami kesalahan menangkap orang. Akan tetapi karena kalian sudah terlanjur masuk ke sini, sebelum urusan ini beres kalian akan kami tahan.” “Akan tetapi...” tosu itu membantah. “Tidak ada tapi! Haii, pengawal! Antarkan mereka ini masuk ke kamar tahanan biar mereka berdua menemani anak perempuan itu!” Empat orang pengawal sudah maju dan menggunakan tombak mereka untuk mengiring tosu dan Kun Liong pergi dari situ, ke sebuah bangunan lain yang kokoh dan kuat dan akhirnya mereka didorong masuk ke dalam sebuah kamar empat meter persegi, kosong dan hanya ada beberapa helai tikar dan di dalamnya terdapat seorang anak perempuan yang usianya kurang lebih delapan tahun, bersikap tenang dan cantik, berpakaian indah seperti puteri bangsawan, akan tetapi yang amat mencolok adalah sikapnya yang penuh ketenangan itu. Dengan sepasang matanya yang lebar ia memandang Kun Liong dan tosu yang didorong masuk ke dalam kamar tahanannya, kemudian pintu kamar tahanan yang terbuat dari baja dan di atasnya terdapat ruji baja itu ditutup kembali dan dikunci dari luar. Dari lubang-lubang ruji tampak kepala para penjaga yang tertutup kain kuning, dan ujung-ujung tombak mereka. Anak perempuan itu tetap di atas lantai, matanya memandang Kun Liong dan kakek itu bergantian, penuh perhatian. “Engkau siapakah?” Kun Liong bertanya dan diam-diam dia mendapat kenyataan bahwa anak perempuan ini pandai duduk seperti cara orang bersamadhi, bersila dan punggungnya lurus tegak. Anak perempuan itu menggerakkan kepala menoleh kepadanya, gerakan kepalanya begitu tiba-tiba sehingga rambutnya yang panjang dan dikuncir dua buah itu seperti dua ekor ular hiam bergerak. “Engkau siapa? Dan kakek ini siapa? Mengapa kalian dijebloskan di sini?” Anak perempuan itu balas bertanya, suaranya mengandung keangkuhan dan kekerasan. Seketika berkerut sepasang alis tebal Kun Liong. “Sombong engkau, ya?” katanya tak senang. Akan tetapi gadis cilik itu sama sekali tidak mempedulikannya dan kini membuang muka, memandang kepada Si Kakek Tua yang telah duduk di depannya dengan sikap tenang. “Anak baik kulihat tulang pahamu yang kanan patah, akan tetapi sudah disambung, apakah sudah baik?” Anak perempuan itu melirik ke arah kaki kanannya yang sama sekali tidak kelihatan karena tertutup pakaiannya, juga tidak ada tanda-tanda bahwa dia menderita sakit. “Totiang, engkau awas sekali!” serunya kagum. “Pinto adalah seorang yang biasa mengobati tulang patah, tentu saja tahu. Coba kuperiksa sebentar!” Anak perempuan itu mengangguk dan kakek itu lalu meraba paha kanan anak itu, kemudian mengangguk-angguk. “Sambungannya sudah benar, hanya obat penguatnya kurang manjur. Tulang kakimu sudah tersambung, akan tetapi engkau tidak boleh banyak bergerak dulu sedikitnya dua pekan engkau tidak boleh menggunakan kakimu secara kuat.” Kemarahan Kun Liong atas kekasaran dan kesombongan anak perempuan itu lenyap sama sekali, terganti oleh rasa iba ketika mendapat kenyataan bahwa anak ltu menderita tulang paha patah. Sudah ditawan, menderita luka pula! “Aihhh, siapakah yang begitu kejam mematahkan tulang kakimu?” tanyanya dan sekarang anak perempuan itu menjawab. “Aku berusaha melawan. Aku sanggup menghajar tikus-tikus penculik itu seorang demi seorang kalau saja mereka tidak mengeroyok secara curang dan Si Brewok itu memukul patah pahaku dengan ruyungnya.” Kun Liong mengepal tinju. “Sudah kusangka, Si Brewok, Si Tinggi Besar dan temannya itu bukan manusia baik-baik!” “Siapakah engkau, Nona? Dan mengapa engkau diculik?” tosu itu bertanya dengan suara sungguh-sungguh. Mereka bertiga duduk di atas tikar yang tergelar di lantai. “Aku Souw Li Hwa dan ayahku bernama Souw Bun Hok, tinggal di Lok-ek-tung. Ketika aku sedang bermain-main seorang diri dengan perahu di Sungai Huang-Ho, mereka menyergap dan menculik aku. Menurut keterangan mereka, aku ditahan sampai orang tuaku datang menebusku dengan seribu tail perak. Sudah dua pekan aku ditahan di sini.” Kakek itu mengangguk-angguk. “Sungguh mengherankan sekali. Sepanjang pengetahuanku, Ui-hong-pang bukanlah kaum penculik anak-anak!” Ucapan ini dikeluarkan dengan lirih, akan tetapi Kun Liong yang mendengarnya menjadi heran karena kata-kata itu membuktikan bahwa tosu tua ini telah mengenal Ui-hong-pang! Mengapa ketika ditangkap pura-pura tidak mengenal perkumpulan itu? “Apakah ayahmu dapat menebusmu dengan uang sebanyak itu?” Kun Liong bertanya dengan hati penasaran. Kembali dia menghadapi perbuatan manusia yang jahat! Gadis cilik yang bernama Souw Li Hwa itu menggeleng kepalanya. “Mana mungkin ayahku menebus dengan uang sebanyak itu? Ayah hanya bekas juru mudi saja yang sekarang sudah mengundurkan diri karena tua, dan selama bekerja, Ayah tidak pemah mengumpulkan uang haram!” Kun Liong kaget sekali dan kini mengertilah dia mengapa anak itu demikian angkuh, kiranya keturunan orang yang hebat. “Wah, ayahmu hebat!” Dia memuji. “Memang, akan tetapi ayahku tidak akan dapat menolongku. Biarpun begitu, aku tidak khawatir. Aku percaya bahwa Suhu tentu akan membebaskan aku, dan kalau Suhu sampai turun tangan sendiri, tikus-tikus itu tentu akan dibasmi habis sampai ke akarnya!” “Siapa sih gurumu?” tanya Kun Liong. “Nama guruku tidak boleh disebut-sebut. Tikus-tikus itu yang melihat aku melakukan perlawanan, juga menanyakan nama Suhu, akan tetapi sampai mati aku tidak akan menyebut namanya. Ketua tikus-tikus Ui-hong-pang itu mengatakan sudah tahu siapa guruku, akan tetapi aku tidak percaya!” Tosu tua yang sejak tadi mendengarkan saja, lalu memegang tangan anak perempuan itu dan bertanya halus. “Nona kecil, apakah suhumu she The?” Anak itu berteriak heran. “Bagaimana Totiang bisa menduga?” “Benarkah?” Anak itu mengangguk. Tosu itu menarik napas panjang. “Aihhh, pantas saja kalau begitu, engkau diculik bukan karena ayahmu melainkan karena suhumu.” “Bagaimana Totiang tahu? Apakah Totiang mengenal suhuku?” Kun Liong juga memandang kakek itu dengan penuh keheranan. Kakek itu kembali menarik napas panjang dan mengangguk perlahan. “Sungguh kebetulan sekali kejadian ini... siapa, kira aku akan bertemu dengan engkau. Tentu saja aku mengenal suhumu, Nona. Dan karena engkau murid The-taiciangkun (Panglima Besar The), maka Ui-hong-pang menculikmu. Kalau pinto tidak salah dengar, pangcu dari perkumpulan ini adalah murid Kwi-eng Niocu (Nona Bayangan Hantu) Ang Hwi Nio, Majikan Telaga Siluman. Tentu pangcu itu membela gurunya yang menaruh dendam terhadap gurumu.” “Mengapa Totiang?” “Ketika suhumu dahulu sebagai panglima besar mengadakan pembersihan, membasmi golongan sesat dan jahat, ayah Si Bayangan Hantu roboh dan tewas di tangan gurumu yang sakti. Tentu saja wanita iblis itu menaruh dendam, dan untuk membalas secara langsung kepada The-taiciangkun adalah tidak mungkin, maka dia melalui muridnya membalas dendam dengan jalan menculikmu. Mungkin hal ini dilakukan untuk memancing agar gurumu datang ke sini.” “Tikus-tikus tak tahu diri!” Li Hwa berseru, “Kalau Suhu datang, mereka tentu akan mampus semua!” Tosu itu menarik napas panjaang dan menggeleng kepala. “Mungkin begitu, akan tetapi juga belum tentu gurumu mengotorkan tangan menghadapi mereka ini. Setelah pinto secara kebetulan lewat di sini, biarlah pinto yang mewakilinya. Marilah, Nona, dan kau juga muridku, mari kita keluar dari sini.” “Ehhh...?” Kun Liong berseru heran. Tosu itu mengira bahwa Kun Liong tidak suka menjadi muridnya, maka dia bertanya, “Apakah kau tidak mau menjadi muridku? Aku sudah terlanjur mengakuimu.” “Teecu suka, akan tetapi… bagaimana kita dapat keluar dari sini, Suhu?” Tosu itu tertawa, kemudian mengelus kepala yang gundul itu. “Muridku yang baik sekali, siapa namamu?” “Teecu bernama Yap Kun Liong…” “Aihh, namanya serem, orangnya hanya bocah gundul!” Li Hwa mencela. “Sombong kau, ya?” Kun Liong membentak. “Husshhh, bukan saat ribut-ribut urusan tak berarti. Anak-anak, mari kita keluar dari sini.” Setelah berkata demikian, kakek itu melangkah ke pintu baja, tangan kanannya yang tertutup lengan baju yang lebar itu mendorong ke depan. “Braaakkkk...!!” Pintu baja itu terdorong roboh ke luar dan terbukalah lubang besar di dinding bekas pintu itu. Seorang penjaga berseru kaget, menerjang masuk dengan goloknya. Akan tetapi, dengan gerakan seperti seekor burung walet, Li Hwa mencelat ke depan, tangan kirinya menahan lengan yang bergolok, tangan kanan meninju perut. Penjaga itu berteriak dan roboh terguling. Melihat ini, Kun Liong kagum bukan main. Anak perempuan itu benar-benar tidak membual ketika bercerita tadi, ternyata biarpun kaki kanannya masih sakit, dalam segebrakan saja mampu merobohkan seorang penjaga! “Eh, jangan banyak bergerak, nanti kakimu patah lagi, Nona!” Tosu tua itu berkata dan tahu-tahu Li Hwa sudah melayang naik ketika tangan gadis itu dipegang dan ditarik oleh Si Tosu dan Li Hwa kini sudah duduk di atas punggung kakek itu! Kun Liong tidak mau kalah melihat ada penjaga ke dua datang menyerbu, dia meloncat ke atas, kedua kakinya meluncur ke depah. “Haaaiiittt! Dessss...!!” kedua kaki yang kecil itu dengan tepat mengenai muka dan dada penjaga tadi yang terjengkang ke belakang dan roboh bergulingan tak dapat bangkit kembali karena kedua matanya tak dapat dibuka, kena hantam sepatu Kun Liong dan napasnya juga sesak! Kun Liong sendiri yang melakukan gerakan meloncat lalu menendang, terpental dan menumbuk dinding, akan tetapi dia dapat berjungkir balik dan berdiri dengan terhuyung. Dilihatnya seorang penjaga datang lagi dengan pedang diangkat tinggi-tinggi handak menyerang tosu yang menggendong Li Hwa dan yang bersikap tenang sambil memandang kepada Kun Liong dengan senyum geli, Kun Liong cepat berlari ke depan menyambut penjaga itu dengan serudukan kepalanya. “Hyaaahhhh! Ngekkkk!!” Penjaga itu terjengkang, terbatuk-batuk, dadanya sesak perutnya mulas, dan Kun Liong melompat ke belakang, terhuyung karena kepalanya berdenyut dan pandang matanya berkunang! “Kun Liong, mari ikut pinto keluar dan jangan sembarangan bergerak. Biar pinto yang membuka jalan.” Kun Liong menurut karena gerakan-gerakan tadi membuat badannya terasa sakit lagi. Kiranya luka akibat pukulan Ouw-Siucai di perahu itu masih belum sembuh benar. Dia telah memperlihatkan kepada Li Hwa bahwa dia pun bukah bocah gundul sembarangan yang tidak patut bernama Yap Kung Liong, karena dia telah merobohkan dua orang lawan! Dengan dada dibusungkan, kedua tangan dikepal siap bertanding, Kun Liong mengikuti tosu itu yang melangkah perlahan keluar dari tempat itu, menggendong Li Hwa. Dari kanan kiri muncul belasan orang penjaga yang berpakaian seragam, tujuh orang bergolok dari kiri dan sembilan orang berpedang dari kanan. Dengan iringan teriakan, mereka menyerbu dari kanan kiri, Kun Liong yang mentaati perintah gurunya, hanya berdiri tenang, namun siap-siap untuk membela diri. Tosu itu kini menggerakkan kedua lengan bajunya ke kanan kiri membiarkan Li Hwa merangkul pundaknya dan mengempit pinggangnya dengan kaki. Dari lengan baju itu menyambar angin pukulan yang dahsyat ke kanan kiri dan... belasan orang itu roboh malang melintang seperti rumput-rumput kering dilanda angin taufan! Kini dari depan datang belasan orang pasukan panah dan terdengarlah suara bersuitan ketika anak-anak panah datang meluncur ke arah Kun Liong dan kakek itu. Kembali kakek itu menggunakan pukulan lengan bajunya dan semua anak panah dipukul runtuh, berserakan ke lantai sebelah depan mereka. Sebelum ada anak panah menyerang lagi, kakek itu mendorongkan kedua lengannya bergantian ke depan dan seperti juga tadi, pasukan panah itu roboh terguling-guling! Tentu saja hal ini menimbulkan kegemparan dan mereka yang roboh dan bangun kembali, tidak berani sembarangan menyerang, hanya berdiri dan siap menanti perintah atasan. Kun Liong gembira dan kagum bukan main. Ingin ia bertepuk tangan saking kagumnya, akan tetapi melihat Li Hwa bersikap tenang, dia pun tenang-tenang saja dan kini melangkah tegap di samping gurunya, dengan kedua tinju bergerak-gerak memasang kuda-kuda! Pasukan-pasukan penjaga mengurung dari belakang, depan, kiri dan kanan. Akan tetapi mereka tidak menyerang, hanya bergerak mengikuti kakek yang melangkah perlahan menuju ke ruangan dalam rumah tahanan itu. “Pinto tidak ingin berkelahi. Pinto ingin bicara dengan pangcu kalian!” kata kakek itu dengan suara tenang dan penuh kesabaran. Tiba-tiba pintu depan terbuka lebar dan lima orang yang memegang tombak, yaitu para pengawal pribadi Kian Ti, demikian nama pangcu itu, muncul dan meloncat masuk dengan sikap galak. Serta-merta mereka memekik dan menerjang maju, lima orang maju sekaligus dan lima batang tombak bergerak-gerak, ujung tombak tergetar menjadi banyak, tanda bahwa Si Pemegang memiliki tenaga lwee-kang yang kuat. Kemudian dibarengi teriakan nyaring, mereka menyerang tosu itu. “Pergilah...!” Tosu itu berseru, hanya tampak kedua kakinya bergerak-gerak diikuti ujung kedua tali ikat pinggang yang tergantung panjang ke bawah, dan... lima orang itu jungkir-balik dan terbanting roboh di atas lantai! Mereka dapat meloncat lagi dengan sigap dan memandang dengan mata terbelalak penuh keheranan kepada kakek luar biasa itu. “Suruh pangcu kalian maju, pinto ingin bicara dengamya.” Kembali kakek itu berkata tenang. Lima orang itu melompat ke samping dan berdiri berjajar, tombak di tangan didirikan di sebelah kiri mereka. “Pangcu tiba…!” Terdengar seruan dari pintu depan. “Kau mau bertemu Pangcu? Silakan!” kata seorang di antara pengawal-pengawal bertombak itu sambil mengembangkan lengan kirinya. Tosu itu melangkah ke depan, memandang ke arah pintu depan. Li Hwa di belakang punggungnya menoleh ke kanan kiri dalam keadaan siap kalau-kalau mereka diserang dari belakang. Di belakang mereka pasukan-pasukan bergerak mengikuti, anak panah, tombak, golok dan pedang siap di tangan. Kun Liong melangkah perlahan di sebelah kanan gurunya, kedua tinju disiapkan, seluruh urat syaraf di tubuhnya menegang! Tampak bayangan kuning berkelebat dan Si Ketua telah berdiri di situ! Dia tersenyum mengejek, akan tetapi sepasang matanya menyinarkan hawa marah kepada tosu itu. “Hemm… kiranya engkau seorang berkepandaian yang berpura-pura bodoh, ya? Agaknya engkau memang utusan mereka untuk merampas tawanan kami?” “Tidak sama sekali!!” Jawab tosu itu. “Pinto hanya kebetulan saja lewat dan tanpa sebab ditawan oleh orang-orangmu. Pangcu, engkau keliru sekali kalau menculik anak ini dan berarti engkau memancing datangnya bahaya yang akan menghancurkan Ui-hong-pang. Apakah gurumu, Kwi-eng Niocu masih belum bertobat dan berani menentang The-taiciangkun? Kuharap saja engkau dapat sadar dan membiarkan pinto membawa pergi nona kecil ini sehingga urusan akan habis sampai di sini saja.” “Tua bangka keparat! Siapa takut kepadamu? Hayo katakan, siapa engkau sebelum mati di depan kakiku!” “Sudah pinto katakan, orang menyebut pinto Bu Beng Tosu (Tosu Tanpa Nama).” “Keparat! Dengan menggunakan nama Laksamana The Hoo, apa kaukira aku Kian Ti akan takut kepadamu? Engkau tidak mau mengaku nama, baiklah, engkau akan mati tanpa nama!” Setelah berkata demikian, Kian Ti menggerakan kedua lengan tangannya. Jari-jari tangannya dibentuk seperti cakar harimau, kedua tangan itu digerak-gerakkan perlahan saling menyilang dan berputaran dan terdengarlah suara berkerotokan seolah-olah semua lengan kedua tangannya remuk, dan perlahan-lahan, kedua lengan yang telanjang karena lengan bajunya tersingkap itu berubah menjadi kemerahan, makin lama makin merah sampai akhirnya menghitam! Melihat perubahan pada lengan ini diam-diam Kun Liong terkejut sekali. Biarpun dia belum pernah mempelajari ilmu yang aneh-aneh itu, akan tetapi dia adalah putera suami isteri yang sakti sehingga pernah dia mendengar penuturan ayah bundanya tentang ilmu-ilmu pukulan yang mujijat, yang dilatih oleh tokoh-tokoh persilatan dengan cara yang aneh-aneh pula. “Suhu, dia mempunyai tangan beracun!” kata Kun Liong ketika melihat kedua tangan yang kehitaman. “Totiang, apakah itu Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam)?” Li Hwa juga bertanya. Kakek itu tidak menjawab, bahkan berkata kepada Kiang Ti, “Kiang-kongcu, sebelum terlambat kuperingatkan kepadamu agar sadar dan tidak menggunakan kekerasan terhadap pinto seorang tua.” Akan tetapi, sikap dan ucapan kakek itu seperti orang guru menasihati murid dianggap sebuah tantangan yang menghina oleh Kiang Ti. Tiba-tiba dia menerjang ke depan, berlari sambil memekik nyaring, “Yaaatttt!!” Kedua tangannya yang berubah menjadi hitam itu menghantam ke dada dan perut kakek yang berdiri dengan tenang, sama sekali tidak bergerak untuk menangkis maupun mengelak itu. “Plakk! Bukkk!!” Tubuh kakek yang menggendong Li Hwa itu sama sekali tidak terguncang seperti sebuah pilar batu diterjang lalat, akan tetapi Kiang Ti terbelalak, tubuhnya seperti lumpuh dan ia roboh berlutut di depan kedua kaki orang tua itu dan mulutnya memuntahkan darah! “Siancai…!” Kakek itu berkata, menunduk dan melihat tanda dua telapak tangan di dada dan perutnya karena bajunya di bagian yang terpukul itu telah berlubang dengan pinggirnya seperti dibakar, akan tetapi kulit tubuhnya sama sekali tidak ada tanda apa-apa. “Mengapa engkau keras kepala, Pangcu? Untung di dalam buntalan pinto yang kalian rampas itu terdapat akar obat yang bentuknya seperti ular belang. Masaklah dengan air dan minum airnya, tentu lukamu akan sembuh.” Dengan tenang, kakek itu lalu melangkah menuju ke pintu, diikuti oleh Kun Liong yang merasa makin takjub dan bangga kepada kakek yang menjadi gurunya itu. “Tunggu… Locicianpwe… nama apakah... yang akan kusebutkan... kepada... guruku kelak...?” Kiang Ti berkata tanpa bangkit dari lantai di mana dia jatuh berlutut. “Hemmm, katakan bahwa akar cendana sudah lama dikubur, dan kepala naga sudah lama lenyap dari sungai telaga…” Tiba-tiba tubuh kakek itu lenyap bersama anak perempuan yang digendongnya dan bocah gundul yang digandengnya dari pandang mata Kiang Ti dan anak buahnya. Kiang Ti terbelalak, bibirnya berkata dengan keluhan panjang “Aahhh… tongkat akar cendana berkepala naga... mengapa kakek sakti itu masih hidup dan muncul di sini...? Sungguh sialan...” Dia terguling dan roboh pingsan! Kun Liong dan Li Hwa memejamkan mata dan merasa ngeri. Apalagi Kun Liong yang merasa betapa tubuhnya tergantung dengan tangan kanan dan meluncur seperti terbang cepatnya itu! Setelah lama dan napas mereka terengah karena kencangnya angin menderu di depan hidung, secara tiba-tiba angin berhenti dan ketika mereka membuka mata, kakek itu telah berhenti menggunakan ilmu lari cepat yang tidak lumrah hebatnya itu! Li Hwa melorot turun dari gendongan dan serta-merta dia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki kakek aneh itu. “Mohon Locianpwe sudi memaafkan teecu yang tidak tahu bahwa teecu telah tertolong oleh Locianpwe Bun Hwat Tosu yang sakti!” Kun Liong terkejut sekali. Tentu saja dia sudah mendengar nama ini, nama yang dipuji-puji oleh ayah bundanya sebagai nama seorang di antara manusia-manusia sakti seperti dewa di dunia ini! Bahkan nama ini disejajarkan dengan nama Tiang Pek Hosiang, guru ayahnya yang menjadi orang paling sakti di Siauw-lim-pai (baca ceritaPedang Kayu Harum )! Nama yang dimiliki oleh tokoh pertama dari Hoa-san-pai! Maka dia pun cepat menjatuhkan diri berlutut. “Teecu juga mohon maaf bahwa teecu tidak tahu telah diambil murid oleh Ketua Hoa-san-pai yang mulia!” Kakek itu tertawa sambil mengelus jengotnya. “Siancai…! Anak-anak sekarang benar-benar bermata tajam sekali. Eh, Nona Li Hwa, bagaimana engkau bisa menduga bahwa pinto adalah Bun Hwat Tosu?” “Suhu pemah menyatakan bahwa di antara sahabat-sahabat beliau yang memiliki kesaktian tinggi adalah seorang tua yang bersenjata sebatang tongkat terbuat dari akar kayu cendana dan berukirkan kepala naga. Ketika tadi Locianpwe menyebut kayu cendana dan kepala naga, maka tahulah teecu.” “Ha-ha-ha, engkau memang cerdik, patut menjadi murid yang mulia The-taiciangkun! Gurumu terlalu memuji pinto. Beliau sendiri adalah seorang ahli silat yang tinggi sekali ilmunya, seorang ahli sastra yang jarang tandingannya, seorang ahli perang yang jempolan dan seorang pemimpin besar armada yang luas pengetahuannya. Mana mungkin pinto yang bodoh sederhana dapat dibandingkan dengan dia? Nah, Nona kecil yang baik, apakah sekarang engkau dapat pulang sendiri ke Liok-ek-tung?” Li Hwa mengangguk. “Liok-ek-tung tidak jauh lagi dari sini, Locianpwe. Harap Locianpwe sudi singgah di rumahku, agar kedua orang tuaku dapat menghaturkan terima kasih kepada Locianpwe yang sudah menolongku, dan apabila mungkin dapat bertemu dengan Suhu...” Kakek itu menggeleng kepalanya. “Tidak perlu, tidak perlu... dan tentang pertemuan dengan gurumu, kelak tentu akan tiba saatnya pinto menghadap yang mulia. Nah, pulanglah agar orang tuamu berlega hati.” Sekali lagi Li Hwa mengangguk-anggukkan kepalanya di depan kaki kakek itu. “Teecu menghaturkan terima kasih dan bermohon diri.” Li Hwa bangkit berdiri, mengerling kepada Kun Liong. “Selamat jalan, Adik Li Hwa! Jangan lupa kepadaku, ya!” Li Hwa tersenyum, memandang kepala Kun Liong yang licin mengkilap. “Mana bisa aku melupakan itu?” dia menuding. Kun Liong juga tertawa dan meraba kepalanya. “Mengapa ragu-ragu? Katakan saja kepalaku, kepala gundul buruk!” “Tidak buruk, bahkan kelihatan bersih sekali. Yang banyak rambutnya mungkin malah penuh kutu, hi-hik!” Li Hwa tertawa, Kun Liong tertawa dan keduanya saling pandang seperti dua orang sahabat lama. Setelah menjura sekali lagi kepada Bun Hwat Tosu, Li Hwa lalu meloncat dan berlarian menuju ke kota Liok-ek-tung di timur. Setelah bayangan anak perempuan itu lenyap di balik pohon-pohon, Bun Hwat Tosu memandang Kun Liong dan bertanya, “Kun Liong, bagaimana engkau bisa tahu bahwa Bun Hwat Tosu adalah Ketua Hoa-san-pai?” “Nama Suhu dihormati dan dipuji-puji oleh Ayah Bunda teecu.” Kakek itu mengerutkan alisnya. Mendengar namanya dihormati dan dipuji-puji hatinya merasa tidak enak. Pujian sama bahayanya dengan musuh yang datang dari belakang, berbeda dengan kata-kata keras yang seperti musuh datang dari depan. “Siapa nama ayahmu?” “Ayah bernama Yap Cong San.” Akan tetapi Bun Hwat tidak mengenal nama ini. “Ayah menjajarkan Suhu setingkat dengan Sukong Tiang Pek Hosiang.” Kini kakek itu mengangkat kedua alisnya. “Ahhh! Tiang Pek Hosiang bekas ketua Siauw-lim-pai? Heran sekali! Dan dia itu sukongmu (kakek gurumu)?” “Ayah adalah murid beliau.” Kakek itu mengangguk-angguk. “Hemm, pantas kalau begitu… gerakanmu memiliki dasar Siauw-lim-pai sungguhpun sudah bercampur dengan ilmu silat lain yang aneh...” “Dari ibu teecu.” Kun Liong memotong. “Hemmm, ibumu juga lihai sekali?” “Hanya kalah sedikit oleh Ayah, akan tetapi Ibu menang dalam hal ilmu pengobatan. Ibu adalah sumoi (adik seperguruan) dari Supek Cia Keng Hong…” “Ahhhh! Benar-benar suatu kebetulan yang luar biasa! Kalau begitu, pinto telah kesalahan besar mengambil engkau sebagai murid!” Serta-merta Kun Liong menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki orang tua itu karena khawatir kalau-kalau gurunya membatalkan pengangkatan murid. “Harap Suhu tidak membatalkan teecu menjadi murid.” “Kenapa? Engkau keturunan orang-orang pandai dan melihat dasarmu, sepatutnya engkau menjadi murid Siauw-lim-pai. Seorang murid Siauw-lim-pai tidak boleh belajar dari orang lain, dan kalau pinto menerimamu sebagai murid, tentu pinto kesalahan terhadap Siauw-lim-pai.” “Teecu bukan murid Siauw-lim-pai!” “Akan tetapi ayahmu?” “Ayah pun bukan murid Siauw-lim-pai, hanya bekas murid. Sudah tidak diakui lagi. Menurut penuturan Ayah, Ayah pernah membuat kesalahan besar terhadap Siauw-lim-pai, biarpun diampuni akan tetapi tidak lagi diakui murid, hanya sebagai sahabat baik para pimpinan Siauw-lim-pai saja. Harap Suhu percaya keterangan teecu karena teecu tidak membohong.” Kakek itu kembali mengelus jenggotnya. Dia sudah mendengar tentang riwayat Tiang Pek Hosiang yang mengundurkan diri dari Siauw-lim-pai (baca ceritaPedang Kayu Harum ), akan tetapi dia tidak pernah mendengar tentang murid-murid kakek sakti itu. Dia mengira bahwa tentu ayah bocah ini tidak diakui sebagai murid Siauw-lim-pai karena tersangkut persoalan gurunya. Padahal, duduknya pekara tidaklah demikian. Yap Cong San kehilangan haknya sebagai anak murid Siauw-lim-pai karena dia menikah dengan Gui Yan Cu, dara yang dianggap terlibat dalam urusan gurunya, Tung Sun Nio dan Tiang Pek Hosiang sehingga dapat mencemarkan nama baik Siauw-lim-pai (baca ceritaPedang Kayu Harum ). “Akan tetapi, kalau ayah bundamu sendiri adalah orang-orang pandai, perlu apa engkau belajar dari pinto?” Kun Liong mengerutkan alisnya, memutar otak untuk memberi jawaban yang tepat. Kemudian dengan suara sungguh-sungguh dia menjawab, “Belajar dari ayah dan ibu sendiri tidak akan maju, Suhu.” “Hemm, mengapa tidak akan maju? Ayahmu adalah murid Tiang Pek Hosiang yang berilmu tinggi, sedangkan ibumu adalah sumoi dari Cia-taihiap (Pendekar Besar Cia) yang sakti, tentu ayah bundamu memiliki kepandalan tinggi pula. Bagaimana engkau dapat mengatakan bahwa belajar dari orang tuamu sendiri tidak akan maju?” “Karena Ayah terlampau keras kepada teecu sehingga teecu selalu takut-takut, belajar dari Ayah tidak akan dapat maju, adapun ibu terlalu memanjakan teecu, belajar lelah sedikit sudah disuruh mengaso, juga tidak akan maju.” Kini kakek itu mengerutkan alisnya yang berwarna putih, memandang tajam kepada Kun Liong, kemudian berkata, “Sungguh alasan yang tidak dapat diterima. Engkau agaknya seorang anak yang nakal dan bandel, Kun Liong, apakah kati kenakalanmu maka engkau meninggalkan rumah?” “Wah, tidak… tidak, Suhu. Dan bukan hanya itu alasan teecu. Masih ada lagi alasan kuat mengapa teecu tidak ingin agar Suhu membatalkan teecu sebagai murid Suhu.” “Hemm, alasan tidak masuk akal apa lagi?” “Pelajaran dari Ayah Bunda teecu dapat kapan saja, akan tetapi pertemuan dengan Suhu merupakan hal yang kebetulan sekali dan kiranya tidak akan ada kesempatan ke dua bagi teecu, maka tentu saja teecu ingin sekali menjadi murid Suhu yang namanya dipuji-puji oleh Ayah.” Kakek itu menggeleng-geleng kepalanya. “Hemm… alasan ini pun tidak kuat dan hanya menonjolkan kemurkaanmu akan ilmu silat saja.” Kun Liong menjadi gugup, “Ah, sama sekali tidak, Suhu! Teecu benci… benci… akan ilmu silat!” “Heee?” “Maksud teecu… teecu benci akan penggunaannya yang hanya ditujukan untuk memukul lain orang, melukai bahkan membunuh lain orang.” “kalau begitu, mengapa engkau bersikeras hendak belajar ilmu silat dari pinto (aku)?” “Justru karena itu, teecu ingin memiliki ilmu kepandaian tinggi agar teecu dapat mempergunakannya untuk mencegah orang-orang yang pandai silat menganiaya dan memukul orang lain.” Kakek itu mengangguk-angguk. “Bisa diterima alasanmu, akan tetapi untuk memperoleh ilmu silat tinggi, ayah bundamu cukup untuk mengajarmu, tidak perlu engkau belajar lagi dari pinto.” Kun Liong menjadi gelisah. Dia masih berlutut dan kini dia mengangkat mukanya memandang kakek itu sambil berkata, “Harap Suhu suka menerima teecu, dan sesungguhnya hal ini bukan semata untuk kepentingan teecu, melainkan demi kebersihan nama dan kehormatan Suhu sendiri.” Bun Hwat Tosu terkejut sekali, menyentuh pundak Kun Liong dan bertanya, “Apa maksudmu?” Kun Liong menundukkan mukanya, hatinya menjadi berdebar takut melihat betapa ucapannya tadi membuat kakek itu bersikap demikian sungguh-sungguh. Namun sudah kepalang baginya, menggunakan siasat yang paling lihai. Dia tahu bahwa orang-orang aneh seperti Bun Hwat Tosu ini tidak membutuhkan apa-apa lagi dan satu-satunya hal yang masih dipentingkan hanya satu, yaitu nama yang menyangkut kehormatan. Maka dia sekarang menyinggung tentang nama dan kehormatan. Ternyata kakek itu benar-benar tergugah dan menaruh perhatian besar sekali! “Teecu tidak bermaksud buruk. Suhu sendiri yang telah mengambil teecu sebagai murid dan Suhu sendiri yang telah mengucapkan kata-kata itu. Teecu mendengar bahwa kata-kata seorang budiman, yang sudah keluar dari mulut, mewakili suara hati dan menjadi janji yang lebih berharga daripada nyawa. Maka dari itu, kalau sekarang Suhu menarik kembali janji Suhu itu, bukankah hal ini akan menodai nama dan kehormatan Suhu?” Bun Hwat Tosu mengelus-elus jenggotnya dan memandang kepada anak gundul itu dengan sinar mata tajam, kemudian dia menghela napas dan berkata, “Yap Kun Liong, sekecil ini engkau sudah dapat menggunakan kata-kata untuk mendesak dan menghimpit seorang tua seperti pinto, membuat pinto tidak berdaya. Benar-benar engkau berbakat cerdik, dan entah apa yang akan terjadi kalau engkau sudah dewasa kelak. Kecerdikan dapat mengangkat orang ke tingkat tinggi, akan tetapi juga dapat menyeret orang ke tempat yang paling rendah. Baiklah, pinto tidak mungkin dapat menarik kata-kata sendiri. Pinto akan menurunkan ilmu kepadamu selama lima tahun, akan tetapi tidak boleh menyebut guru kepada pinto karena kalau hal ini pinto lakukan, yaitu mengambilmu sebagai murid, berarti pinto kurang hormat kepada Siauw-lim-pai dan Cin-ling-pai. Bagaimana, maukah engkau?” Kun Liong mengangguk-angguk memberi hormat. “Teecu menghaturkan terima kasih atas kemurahan hati Locianpwe.” Bun Hwat Tosu menarik napas panjang. “Hemm, kemurahan hati apa? Pinto terpaksa dan entah akibat apa yang akan pinto tanggung kelak apabila engkau melakukan penyelewengan!” Serta-merta Kun Liong berkata lantang, “Teecu bersumpah bahwa apa pun yang akan terjadi dengan diri teecu, teecu tidak akan menyebutkan nama Locianpwe, tidak akan menyangkut nama Locianpwe!” “Sudahlah, agaknya memang engkau sudah berjodoh dengan pinto. Ingat, bukan sekali-kali pinto takut engkau menyebut nama pinto, akan tetapi jangan dihubungkan dengan Hoa-san-pai. Pinto telah lama mengundurkan diri dari Hoa-san-pai, dan andaikata nama pinto rusak oleh sepak terjangmu, masih tidak terlalu hebat. Akan tetapi kalau sampai Hoa-san-pai tersangkut, pinto pasti kelak akan mencarimu untuk mencabut kembali semua ilmu yang kaupelajari dari pinto, biarpun dengan bahaya tercabutnya pula nyawamu atau nyawa pinto.” Kun Liong hanya mengangguk-angguk dan wajahnya agak pucat. Hebat sekali ancaman yang keluar dari mulut kakek itu dan dia dapat merasakan kesungguhan hati kakek itu yang membuatnya mengkirik. “Teecu akan selalu ingat kata-kata Locianpwe.” “Nah, mari kita pergi!” Sebelum Kun Liong bangkit berdiri, tahu-tahu tubuhnya telah disambar dan kembali dia mengalami peristiwa yang mengerikan ketika tubuhnya meluncur dengan cepatnya menuju ke sebuah pegunungan yang kelihatan melintang panjang seperti seekor naga tidur di sebelah depan. Sungainya laksana pita sutera biru gunungnya laksana tusuk sanggul permata! Sajak dua baris itu adalah pujian pujangga besar Han Yi (768 – 824) pada waktu Dinasti Tang (618 – 907) ketika pujangga itu mengagumi keindahan pemandangan alam di sekitar Sungai Li daerah Kuilin, Propinsi Kuangsi. Memang luar biasa sekali keindahan tamasya alam di daerah ini, terutama sekali kalau orang memandang dari puncak sebuah di antara gunung-gunungm melihat air Sungai Li yang kelihatan seperti pita rambut sutera biru melambai dari rambut seorang perawan jelita. Pemandangan di sepanjang sungai itu selain indah menakjubkan juga berubah-ubah keadaannya, terutama sekali di bagian antara daerah Kuilin dan Yangsuo. Gunung Haiyang berdiri tegak sebagai sebuah di antara gunung-gunung di Pegunungan Taliang-san, di perbatasan Propinsi Kuangsi dan Propinsi Hunan. Dari Gunung Haiyang ini mengalir turun dua batang sungai yang mengalir ke utara memasuki Propinsi Hunan adalah Sungai Siang, adapun yang mengalir ke selatan memasuki Propinsi Kuangsi adalah Sungai Li yang juga disebut Sungai Kui, Sungai Haiyang dan ada pula yang menyebutnya Sungai Kemala! Lambang keindahan di daerah Yangsuo di sepanjang Sungai Li, adalah sebuah puncak gunung yang bernama Gunung Teratai Biru. Gunung ini berbentuk sekuntum bunga teratai yang sedang menguncup, segar kebiruan. Di lereng Gunung Teratai Biru ini mendapat sebuah kuil kuno, yaitu Kuil Cien yang ternama, kuil peninggalan dari Dinasti Tang. Kun Liong kagum bukan main ketika dia dibawa oleh Bun Hwat Tosu ke kuil kuno ini. Dia berdiri di situ, kemudian mendaki puncak Gunung Teratai Biru menikmati keindahan alam yang seperti sorga indahnya. Dari puncak ini tampak kota Yangsuo di sekitar gunung berlapis-lapis dan berwama hijau, seolah-olah kota itu dipeluk oleh sekumpulan daun-daun bunga. Tak jauh dari situ tampak Gunung Pelayan Pelajar. Bentuknya seperti seorang kacung pelajar yang duduk tegak lurus, membuka mulut mendeklamasikan sajak! Dan di sebelah kiri tampak pula dua buah puncak yang berdiri sejajar seperti kembar. Itulah Gunung Besi dengan dua puncaknya Sepasang Singa yang tersohor, yang berdiri berhadapan dengan Gunung Pelayan Pelajar. Memang bentuk kedua buah puncak itu mirip dengan singa betina dan singa jantan, sepasang singa yang duduk dengan tenang, gagah perkasa, akan tetapi jinak dan tidak ganas. Tebing-tebing gunung yang menjadi dinding di kanan kiri sungai yang melalui pegunungan, menimbulkan pemandangan yang aneh. Ada yang tebingnya berwarna putih berderet-deret sehingga penduduk di sekitar Sungai Li memberinya nama Pegunungan Tebing Putih. Tak jauh dari situ, tebingnya berderet dengan warna merah, dan diberi nama Pegunungan Tebing Merah. Betapa luar biasa pemandangan di situ dapat kita bayangkan. Di antara warna kehijauan pegunungan tampak tebing berwarna merah dan putih itu! Semua keindahan ini makin menawan hati kalau kita terus ke selatan, memasuki daerah Simping. Di sini terdapat Pegunungan Panca Puncak dan Gunung Lukisan. Masih banyak lagi pegunungan dengan puncak-puncaknya yang berbentuk aneh-aneh sehingga diberi nama yang aneh-aneh pula. Patutlah kalau para pujangga, para penyair terkemuka dari berbagai dinasti di sepanjang sejarah Tiongkok berdatangan ke daerah ini untuk menikmati tamasya alam yang luar biasa, menulis sajak-sajak abadi untuk memujinya. Para pujangga terkenal dari Dinasti Tang, misalnya Han Yi, Liu Cung Yuan, Huang Ting Cian, Mi Fu, Fan Ceng Ta, pernah berdarmawisata ke daerah ini. Tentu saja lebih banyak lagi para pujangga dari dinasti lebih muda yang mengagumi tempat itu. Semenjak kecilnya, Kun Liong tinggal di kota. Tentu saja dia merasa girang dan betah sekali tinggal di tempat yang indah itu. Tubuhnya menjadi segar, kulit mukanya putih kemerahan, sepasang matanya bercahaya dan bibir mulutnya merah seperti bibir seorang dara remaja. Akan tetapi kepalanya tetap saja gundul pelontos tidak ada rambutnya! Sampai lima tahun lamanya Kun Liong belajar dengan amat tekunnya, digembleng oleh Bun Hwat Tosu yang tidak sembarangan menurunkan ilmunya. Memang amat untung bagi Kun Liong. Karena kakek itu maklum bahwa Kun Liong adalah cucu murid Tiong Pek Hosiang dan murid keponakan Cia Keng Hong, maka Bun Hwat Tosu tidak berani sembarangan menurunkan ilmu yang remeh kepada anak itu! Tentu saja dia merasa sungkan kalau tidak mewariskan ilmu-ilmu pilihan yang akan dihargai oleh kedua orang tokoh besar dunia persilatan itu. Maka dalam waktu lima tahun itu dia melatih Kun Liong yang sudah memiliki dasar yang baik berkat gemblengan ayah bundanya dengan dua ilmu baru yang diciptakan sendiri setelah dia mengundurkan diri dari Hoa-san-pai. Yang pertama adalah ilmu tangan kosong yang bemama Pat-hong-sin-kun (Ilmu Silat Delapan Penjuru Angin) dan yang ke dua adalah ilmu tongkat kerena memang kakek ini terkenal sekali dengan kepandaiannya bermain tongkat ketika dia masih memegang tongkat kayu cendana berukir kepala naga. Ilmu tongkat yang diajarkan kepada Kun Liong disebut Siang-liong-pang (Tongkat Sepasang Naga), disebut demikian karena gerakan kedua ujung tongkat kalau dimainkan seolah-olah merupakan dua ekor naga mengeroyok lawan! Biarpun selama lima tahun hanya disuruh berlatih dengan dua macam ilmu silat ini, namun Kun Liong tidak pernah mengomel, melainkan berlatih dengan amat tekunnya sehingga Bun Hwat Tosu merasa kagum dan juga lega hatinya. Apa pun yang akan terjadi dengan keputusannya menurunkan ilmunya kepada Kun Liong, yang jelas, pemuda ini tidak akan mengecewakan sebagai muridnya, biarpun murid yang tidak sah atau tidak diakuinya! Rasa girang dan puas ini membuat Bun Hwat Tosu lupa diri dan timbul keinginan hatinya untuk menurunkan ilmu kepada Kun Liong, ilmu simpanannya yang khusus diciptakannya untuk menandingi Ilmu Thi-ki-i-beng dari Cia Keng Hong yang kabarnya tiada yang dapat menandinginya! Pendekar besar Cia Keng Hong memang memiliki ilmu yang amat aneh, juga amat hebat, yaitu yang disebut Thi-ki-i-beng (Mencuri Hawa Memindahkan Nyawa). Ilmu ini adalah semacam daya tenaga sakti sinkang yang kalau digunakan begitu tangan menampel ke tubuh lawan, maka otomatis tenaga sinkang lawan akan tersedot sampai habis masuk ke dalam tubuh sendiri. Karena memiliki Ilmu Thi-ki-i-beng inilah maka Cia Keng Hong dianggap sebagai tokoh yang paling hebat kepandaiannya. Dan karena ilmu aneh yang dahulu dipakai perebutan di antara orang-orang sakti di seluruh dunia kang-ouw (baca ceritaPedang Kayu Harum ) diam-diam Bun Hwat Tosu merasa penasaran dan mencurahkan seluruh kepandaiannya untuk menciptakan sebuah ilmu yang khusus untuk menghadapi Thi-ki-i-beng! Dan kini, ilmu itu dia ajarkan kepada Kun Liong agar ini yang akan menandingi sehingga kalau berhasil, ilmu nomor satu di dunia persilatan itu telah ditaklukkan olehnya! “Kun Liong, pemahkah engkau mendengar akan ilmu yang disebut Thi-ki-i-beng?” Setelah pemuda itu belajar selama empat tahun, suatu pagi Bun Hwat Tosu bertanya. Kun Liong menggeleng kepala. “Teecu belum pernah dengar, Locianpwe. Ilmu apakah itu?” “Thi-ki-i-beng pernah menggegerkan dunia persilatan dan kiranya di dunia ini hanya seorang saja yang memilikinya, yaitu Cia Keng Hong.” “Ahhh, Supek (Uwa Guru)? Memang, menurut penuturan Ibu, Cia-supek adalah seorang sakti yang jarang ada tandingannya.” “Ibumu benar. Dan kesaktiannya itu terutama sekali karena dia memiliki Thi-ki-i-beng. Akan tetapi, pinto telah menciptakan sebuah daya sin-kang yang hendak pinto ajarkan kepadamu. Ilmu ini adalah kebalikan dari Thi-ki-i-beng. Kalau Thi-ki-i-beng mempunyai daya menyedot sin-kang lawan, maka ilmu ini mempunyai daya membetot sehingga kalau engkau sudah berlatih dengan sempurna, pukulan-pukulan beracun lawan dapat kauhindarkan dengan ilmu ini, juga mungkin, dalam hal ini pinto sendiri belum yakin benar, mungkin saja ilmu ini akan dapat menahan daya sedot Thi-ki-i-beng.” Kun Liong menganggukkan kepalanya yang gundul. “Maukah engkau berjanji kepadaku?” “Tentu saja, Locianpwe.” “Kelak, kalau ada kesempatan, engkau cobakanlah sin-kang ini untuk menahan Thi-ki-i-beng dari Cia Keng Hong. Maukah engkau?” Kun Liong terkejut dan maklum betapa akan sulitnya mencoba ilmu sakti dari supeknya itu. Akan tetapi melihat betapa sikap kakek itu penuh gairah, diam-diam otaknya yang cerdik dapat menangkap bahwa agaknya bekas Ketua Hoa-san-pai ini sengaja menciptakan ilmu sin-kang ini untuk menghadapi Thi-ki-i-beng, bukan menghadapi sebagai musuh, melainkan hanya memuaskan hati sudah dapat memecahkan Thi-ki-i-beng yang tersohor di seluruh dunia persilatan. Maka dia tidak tega untuk menolak, benar-benar tidak tega, bukan karena inginnya mempelajari ilmu sin-kang itu. “Teecu berjanji, Locianpwe.” “Bagus! Nah mulai sekarang, kalau siang kaupergunakan untuk melatih kedua ilmu silat yang sudah mendekati kesempurnaan itu, kalau malam engkau pergunakan untuk melatih sin-kang ini.” Mulai hari itu, Bun Hwat Tosu melatih sin-kangnya yang memiliki daya membetot itu kepada Kun Liong, yang menerimanya dan berlatih dengan amat tekun, kadang-kadang sampai tidak tidur semalam suntuk! Demikianlah, lima tahun lewat dengan cepatnya, Kun Liong telah berusia lima belas tahun, menjadi seorang pemuda remaja yang bertubuh sedang dengan pinggang kecil dan dada lebar. Wajahnya tampan sekali, kadang-kadang kalau dia tersenyum dan menggerakkan alis malah kelihatan cantik karena mulut, mata dan gerakan dagunya mirip dengan ibunya. Gui Yan Cu seorang wanita yang amat cantik jelita. Dagunya yang amat meruncing itu kadang-kadang tampak lembut seperti wanita, akan tetapi kadang-kadang mengeras dengan sedikit lekuk membayangkan kekuatan kemauan yang tak tertundukkan. Sinar matanya yang kadang-kadang lembut seolah-olah wataknya lemah dan cengeng, akan tetapi kadang-kadang sinar matanya membayangkan cahaya kilat yang menyeramkan, keras dan tajam menembus jantung. Matanya lebar, kepalanya yang masih tetap gundul itu bundar dan dahinya lebar. Alisnya berbentuk golok, hidungnya mancung dan mulutnya agak kecil. Mungkin karena selama lima tahun hidup di samping seorang kakek tua renta, seorang tosu yang mengutamakan kesederhanaan dan kewajaran, maka pakaian Kun Liong juga sederhana sekali, demikian pula dalam gerak-geriknya tampak kesederhanaan dan kewajaran, sungguhpun kadang-kadang bersinar dan mulutnya tersenyum penuh kenakalan. “Kun Liong, sudah saatnya pinto mengakhiri hubungan di antara kita. Lima tahun telah lewat seperti yang pinto janjikan dan pinto telah berusaha sebaik mungkin untuk menurunkan ilmu-ilmu yang tertinggi yang pinto miliki kepadamu. Mulai saat ini, kita berpisah dan engkau boleh mengambil jalan hidupmu sendiri. Pinto tidak menganjurkan atau memaksamu, akan tetapi sebaiknya kalau engkau kembali kepada orang tuamu agar mereka tidak gelisah memikirkan kepergianmu. Nah, selamat berpisah!” Tanpa menanti jawaban Kun Liong yang sudah menjatuhkan diri berlutut, kakek itu melangkah pergi meninggalkan lereng Gunung Teratai Biru. Sampai beberapa lama Kun Liong tetap berlutut, menekan keharuan hatinya. Betapapun juga, selama lima tahun dia tinggal di kuil bersama gurunya, berlatih silat di samping melayani gurunya, mencari kebutuhan mereka sehari-hari. Selama lima tahun itu hubungannya dengan guru yang tidak mau diakui sebagai guru itu, berjalan baik sehingga ada pula ikatan batin antara dia dan gurunya dan begitu gurunya pergi, Kun Liong merasa terharu dan merasa betapa sunyi dan tidak menyenangkan tempat yang indah itu! Dia bangkit berdiri, memandang ke sekelilingnya dan menghela napas panjang. Terngiang di telinganya ucapan Bun Hwat Tosu ketika bicara dengannya mengenai keindahan, ketika dia memuji keindahan tamasya alam di situ. “Memang indah sekali tamasya alam di sini, Kun Liong. Akan tetapi apakah engkau kira hanya di sini saja yang indah pemandangan alamnya? Di manapun juga, di dalam kota yang ramai dan sibuk, di dusun-dusun yang kotor dan miskin, di mana saja adalah indah kalau orang yang melihatnya berada dalam keadaan bebas pikirannya. Keindahan terasa dan tampak oleh orang yang tidak terganggu pikirannya. Akan tetapi sekali pikiran manusia kemasukan hal-hal yang menimbulkan suka atau duka sehingga pikiran itu menjadi penuh sesak, mata tidak akan dapat melihat lagi keindahan di sekelilingnya. Yang bersenang-senang akan buta oleh kesenangannya, yang berduka akan buta oleh kedukaannya!” Sebagai seorang pemuda tanggung lebih mudah bagi Kun Liong untuk memenuhi kebutuhan perutnya dengan jalan bekerja di sepanjang perjalanannya. Dia membantu para pelancong membawakan barang-barangnya, adakalanya membantu penebang kayu dan akhirnya dia membantu tukang perahu muatan di sepanjang Sungai Huang-ho. Dengan cara ini, akhirnya dia sampai juga ke Leng-kok. Tidak ada seorang pun yang mengenal pemuda tanggung yang berkepala gundul ini, karena lima tahun yang lalu, Kun Liong masih merupakan seorang anak kecil yang berpakaian indah dan berambut panjang hitam mengkilap! Sekarang dia merupakan seorang pemuda tanggung berkepala gundul, berpakaian sederhana dan agak butut, mukanya agak kurus dan gerak-geriknya sederhana. Bahkan Liok Siu Hok, kakek yang sudah tua itu sama sekali tidak mengenal cucu keponakannya ini ketika Kun Liong berdiri di depan toko citanya. Disangkanya hanya seorang tamu yang hendak berbelanja, sungguhpun dia memandang heran melihat seorang pemuda aneh, disebut hwesio akan tetapi biarpun gundul pakaiannya bukan seperti pendeta, kalau bukan hwesio mengapa kepalanya gundul? Barulah dia kaget ketika Kun Liong memberi hormat dan berkata, “Kukong (Paman kakek), apakah Kukong tidak mengenal padaku? Aku adalah Kun Liong.” Mata tua yang terbelalak itu makin melebar, kemudian mata itu mengenal wajah di bawah kepala gundul. “Aihhhh... Kun Liong... engkau...?” Tergopoh-gopoh dan membongkok-bongkok Kakek Liok Siu Hok keluar dari tokonya memegang tangan Kun Liong dan menarik pemuda gundul itu masuk ke dalam rumah setelah memerintahkan seorang pegawai untuk menjaga toko. “Engkau ke mana saja? Dan mengapa kepalamu...?” “Kukong, aku tadi pulang ke rumah. Kenapa rumahku ditutup? Dan ke mana perginya Ayah dan Ibuku?” Kun Liong balas bertanya tanpa menjawab pertanyaan paman kakeknya. “Aihhh... mengapa baru sekarang engkau pulang? Telah begitu lama... bertahun-tahun... aku sendiri tidak tahu ke mana perginya mereka setelah terjadi peristiwa hebat itu...” “Kukong, apa yang telah terjadi?” Kun Liong bertanya. Liok Siu Hok menyuruh cucu keponakannya minum teh yang disuguhkan pelayan, kemudian dia menceritakan semua yang terjadi semenjak Kun Liong pergi. Dia menceritakannya semua, tentang pengobatan gagal, tentang ditangkapnya Yap Cong San dan kemudian dibebaskan dengan paksa oleh Gui Yan Cu, dan betapa rumah keluarga Yap disita oleh pemerintah, toko obatnya ditutup. Ceritanya diselingi dengan tarikan napas panjang penuh penyesalan. “Sayang ibumu terlampau keras hati, kalau menurut nasihatku, kita dapat menggunakan uang untuk membebaskan ayahmu dengan jalan halus sehingga tidak perlu mereka melarikan diri dan rumah mereka disita.” Akan tetapi Kun Liong sudah tidak mendengarkan lagi karena dia telah menangis! Bukan main menyesal hatinya dan tampaklah dengan jelas sekarang betapa perbuatannya yang nakal dahulu itu telah menimbulkan malapetaka yang menimpa ayah bundanya! Ayah bundanya celaka karena dia! Kegagalan mengobati itu tentu karena tertumpahnya obat, ditumpahkan oleh Pek-pek, anjing peliharaan yang lari dikejar dan ditakut-takuti dengan mengikatkan kaleng-kaleng pada ekornya. Tentu ayahnya ditahan karena gagal mengobati, dan ibunya telah membebaskan ayahnya. Karena itu, ayah bundanya terpaksa lari. Mereka menjadi orang-orang buruan, menjadi pelarian dan rumah serta toko disita pemerintah. Semua gara-gara dia! “Sudahlah, Kun Liong, jangan menangis. Masih untung bahwa mereka itu dapat menyelamatkan diri dan bahwa engkau ternyata juga selamat. Ke mana saja engkau pergi dari mengapa kepalamu gundul? Apakah engkau masuk menjadi hwesio?” Kun Liong menggeleng kepalanya. “Aku pergi belajar ilmu, Kukong, dan tentang kepalaku... aku baru senang gundul, begitulah. Sekarang aku hendak pergi menyusul ayah ibuku. Ke mana kiranya mereka pergi, Kukong?” “Mana aku tahu? Mereka pergi tanpa memberi tahu dan semenjak itu, tak pernah memberi kabar. Aihhh, semenjak kecil ayahmu memang berdarah perantau dan petualang!” Kakek itu menarik napas panjang dan menggeleng kepalanya, kelihatan berduka sekali. “Dan engkau jangan pergi, biarlah menunggu saja di sini.” “Tidak, Kukong. Sekarang juga aku akan pergi mencari ayah ibuku.” Kun Liong bangkit dari duduknya. “Eh-eeehhh… nanti dulu, baru saja datang masa mau pergi lagi?” “Biarlah, Kukong. Aku harus cepat dapat menemukan ayah bundaku.” Memang di dalam hatinya Kun Liong ingin segera menghadap ayah bundanya untuk menyatakan penyesalannya dan untuk minta ampun atas segala kesalahannya. “Hemm, kau keras hati seperti ayahmu. Setidaknya engkau harus menerima bekal dariku, dan biar kusuruh carikan seekor kuda untukmu…” “Tidak usah, Kukong. Aku dapat berjalan kaki, pula, tidak biasa menunggang kuda…” “Aihhh, kalau begitu, kau harus membawa bekal uang, untuk keperluan di jalan.” Tanpa menanti jawaban, tergopoh-gopoh kakek itu lari ke dalam kamarnya dan tak lama kemudian dia sudah keluar membawa sebuah buntalan yang agak besar. “Terimalah ini, pakaian dan uang. Pakaian baru, mungkin agak kebesaran bagimu, akan tetapi ergkau sih, terburu-buru, kalau tidak tentu dapat kusuruh buatkan beberapa stel.” Kun Liong tidak berani menolaknya, takut menyinggung perasaan paman kakeknya yang sudah tua itu. Dia menerima bungkusan dan mengangkat kedua tangan memberi hormat, mengucapkan terima kasih, kemudian meninggalkan rumah kakek itu yang mengantar sampai di depan toko sambil menarik napas berulang-ulang dan menggelengkan kepala dengan muka muram. Setelah keluar dari kota Leng-kok, Kun Liong sejenak berdiri bingung. Ke mana dia hendak menuju? Ke mana harus mencari ayah bundanya yang menjadi orang pelarian? Ke Cin-ling-san, bisik hatinya. Tidak salah lagi dalam menghadapi kesukaran itu, tentu ayah bundanya pergi kepada supeknya, Cia Keng Hong, Ketua Cin-ling-pai di Gunung Cin-ling-san! Dengan langkah tegap dan hati mantap Kun Liong mulai melakukan perjalanan menuju ke Cin-ling-san. Dia belum pernah pergi ke tempat itu, akan tetapi ayahnya pernah menceritakan kepadanya di mana arah dan letaknya Cin-ling-san, tempat kediaman supeknya yarig dipuji-puji oleh ayahnya dan terutama ibunya itu. Kun Liong dapat melakukan perjalanan cepat karena sekarang dia tidak perlu lagi menunda-nunda perjalanan untuk bekerja dan mencukupi kebutuhan perutnya. Bekal uang yang diterima dari kukongnya cukup banyak, bahkan lima stel pakaian dalam buntalannya itu cukup untuk dipakai ganti pakaiannya yang kotor dan sudah butut. Beberapa pekan kemudian, karena hari sudah mulai gelap, dia berhenti di kota Taibun di sebelah selatan kota Tai-goan, di tepi Sungai Fen-ho. Pegunungan Cin-ling-san sudah tidak terlalu jauh lagi. Dia sudah tiba di sebelah utara kota Sian dan Pegunungan Cin-ling-san terletak di sebelah selatan kota Sian, memanjang ke barat. Ketika dia mengikuti pelayan menuju ke sebuah kamar di losmen kecil kota Taibun, dia menjadi perhatian para tamu lain. Dengan acuh tak acuh Kun Liong melangkah terus biarpun dia maklum bahwa seperti biasa, kepala gundulnya yang menarik perhatian orang. Dia sudah terlalu biasa dengan hal ini sehingga tidak merasa mendongkol lagi seperti dahulu ketika mula-mula kepalanya menjadi gundul. Betapapun juga, dia melirik dengan muka terasa panas sekali ketika melihat bahwa di antara mereka yang memandangnya dengan senyum ditahan, tampak juga seorang dara remaja yang cantik manis. Biarpun dara itu cepat menutupi mulutnya dengan saputangan sutera ketika dia lewat, namun Kun Liong maklum bahwa seperti yang lain, tentu dara itu pun merasa lucu melihat seorang pemuda bukan pendeta berkepala gundul pelontos! Dia merasa malu dan juga jengkel. Kalau orang lain yang mentertawakannya masih tidak mengapa. Akan tetapi seorang dara remaja! Buruk benarkah kepalanya? Dia menghampiri meja di mana terdapat tempat air yang disediakan pelayan tadi, untuk mencuci muka. Melihat bayangan kepala gundulnya di dalam air, Kun Liong menyeringai dengan hati kesal. Celakanya, ketika dia menyeringai ini mukanya kelihatan makin tidak menyenangkan baginya, seolah-olah wajah berkepala gundul di dalam baskom air itu pun ikut-ikutan mengejek! “Sialan kamu!” Dia memaki dan mencelupkan kepalanya ke dalam air baskom, sengaja membenamkannya lama-lama untuk menghukum muka yang mengejeknya itu sampai akhirnya terpaksa diangkatnya kembali mukanya dari dalam air dengan napas terengah-engah! Digosoknya muka dan kepala gundulnya kuat-kuat dengan saputangan. Air baskom sudah diam lagi sehingga dapat menampung bayangannya. Akan tetapi bayangan muka dan kepala yang kemerahan karena digosok kuat-kuat itu makin menyebalkan hatinya. “Biarlah dia tertawa sampai mulas! Kepala dan mukaku sudah begini, siapa peduli?” Pikiran ini agak mendinginkan hatinya, akan tetapi dia masih merasa sebal dan melempar tubuhnya ke atas pembaringan. Terbayanglah wajah yang ayu, lesung pipit yang manis kalau wajah itu tertawa, dan terdengarlah seperti bisik-bisik di telinganya, “Tidak buruk, bahkan kelihatan bersih sekali. Yang banyak rambutnya mungkin malah penuh kutu. Hi-hik!” Ahhh, Li Hwa memang seorang dara yang ayu manis! Mungkin satu-satunya anak perempuan yang tidak membenci gundulnya, yang tidak mentertawakan gundulnya! Di manakah anak itu sekarang? Tentu sudah menjadi seorang dara remaja yang cantik! Dan tentu lihai bukan kepalang, karena dara itu adalah murid dari The Hoo, panglima yang kabarnya memiliki kesaktian seperti dewa itu ! Kun Liong menarik napas panjang, agak kecewa. Dia sadar dan kaget. Aihh, mengapa dia kecewa? Mengapa dia seperti menyesal dan berduka begitu teringat bahwa Li Hwa adalah murid The Hoo? Dia bangkit duduk dan termenung, meneliti diri sendiri. Ada apa dengan dia? Tadi, bayangan wajah Li Hwa, gema suara dara itu membuatnya gembira dan senang karena anak perempuan itu tidak mencela kepala gundulnya. Akan tetapi mengapa tanpa disadarinya, tiba-tiba dia menarik napas panjang dengan penuh sesal dan kecewa? “Wah, apakah aku tiba-tiba merasa iri hati?” demikian celanya. Tidak, bukan iri hati karena anak itu menjadi murid seorang sakti, karena dia sendiri juga telah diajar ilmu silat oleh Bun Hwat Tosu yang juga bukan manusia sembarangan. Habis mengapa? Karena putus harapan, melihat kedudukan Li Hwa terlalu tinggi untuk dia? Terlalu tinggi untuk apa? Pertanyaan ini seperti mengejek dan kembali Kun Liong merasa bimbang dan jengkel. “Plakk!” Kepala gundulnya ditamparnya sendiri. “Uhhh! Tolol benar! Tentu saja terlalu tinggi untuk menjadi temanmu. Habis apa lagi? Dan masih belum tentu lagi! Yang berteman bukan gurunya melainkan dia. Kalau memang dia mau berteman dengan aku, siapa berhak melarang? Dan kalau dia… wah celaka, aku sudah gila!” Kun Liong terbelalak. “Plakk!” Gundulnya menjadi sasaran tangannya lagi. “Apa-apaan ini mengenang dan bicara sendiri tentang Li Hwa sedangkan gadis itu tidak berada di sini? Tolol!” Setelah menempiling gundulnya sekali lagi, Kun Liong tidur pulas! Dua jam kemudian dia terbangun oleh rasa laparnya. Cepat dia mencuci muka lagi, membawa bekal uang dan keluar dari losmen untuk mencari makanan. Melihat sebuah restoran cukup besar tak jauh dari losmen, dia segera melangkah masuk. Seorang pelayan menyambutnya. “Apakah Siauw-suhu (pendeta cilik) hendak makan? Maaf, di sini tidak disediakan makanan ciak-jai (sayur tanpa daging), harap Siauw-suhu mencari di warung lain saja.” Kun Liong menelan ludah berikut kata-kata makian yang sudah berada di ujung lidah. Setelah kemarahannya tertelan, dia berkata, “Aku bukan hwesio!” “Ahh, maaf… Tuan. Apakah Tuan hanya sendiri? Sayang meja telah penuh semua, kecuali kalau Tuan suka makan dengan membonceng di meja tamu lain…” Kun Liong mendengar suara ketawa ditahan dan cepat dia nenoleh. Benar saja! Gadis remaja di losmen tadi yang kini lagi-lagi mendekap mulut dengan saputangan suteranya, menahan suara ketawa biarpun pundaknya bergoyang-goyang! Dan dua orang laki-laki yang duduk semeja dengan nona muda itu juga tersenyum. Seorang di antara mereka, yang usianya kurang lebih empat puluh tahun, segera mengangkat tangan berkata kepada pelayan yang sedang longak-longok mencarikan tempat duduk untuk Kun Liong. “He, bung pelayan! Biarlah Tuan muda itu duduk makan bersama kami, meja kami masih kosong!” Pelayan itu tertawa lebar, mengajak Kun Liong menghampiri meja itu dan membungkuk mengucapkan terima kasih kepada orang yang menawarkan tempat duduk untuk Kun Liong itu, kemudian Si Pelayan menoleh kepada Kun Liong, bertanya, “Tuan hendak memesan makanan apa?” “Ahh, tambah saja makanan yang kami pesan untuk seorang lagi. Dia menjadi tamu kami!” kata seorang laki-laki yang ke dua dengan suara ramah. Si Pelayan mengangguk-angguk kemudian pergi. Kun Liong masih berdiri di dekat meja mereka. Dua orang laki-laki itu kelihatan peramah. Yang tua berusia empat puluh tahun, orang ke dua kurang lebih tiga puluh tahun, sedangkan dara remaja yang ternyata bermuka segar dengan sepasang pipi kemerahan, sepasang mata yang membayangkan kelincahan dan kejenakaan itu tentu tidak akan lebih dari dia sendiri. Mungkin baru empat belas tahun. Akan tetapi seperti dua orang laki-laki itu, dara remaja itu pun membawa sebatang pedang di punggungnya! Melihat dari sinar mata dan sikap dua orang laki-laki itu ramah dan bersungguh menawarkan tempat untuknya, dan betapa dara remaja itu sudah tidak tertawa dan geli lagi, dia pun mengangguk dan berkata sederhana, “Terima kasih!” Kemudian duduk di atas bangku dekat meja, berhadapan dengan dara remaja itu. Sepasang pipi Kun Liong masih tampak kemerahan karena tadi menahan kemarahan terhadap pelayan yang menyebutnya pendeta cilik. Melihat ini, laki-laki yang berusia tiga puluh tahun, berkata, “Pelayan itu mengeluarkan kata-kata yang tidak menyenangkan, akan tetapi dia tidak sengaja, harap saja tidak dipusingkan lagi.” Kun Liong mengangguk tanpa menjawab. Matanya mengerling kepada dara remaja di depannya dan ternyata gadis kecil itu memandang kepadanya penuh perhatian secara terbuka, tidak seperti dara-dara lain yang dijumpainya di dalam perjalanan yang selalu memandang kepada pria dengan cara sembunyi-sembunyi, bahkan memandangi gundulnya pun mereka lakukan dengan sembunyi. Kini dara ini tidak saja menatap wajahnya dengan sepasang mata yang jeli dan terang-terangan, bahkan agaknya mengagumi kepalanya yang gundul. Terlalu sekali! Dia menjadi malu dan terpaksa menundukkan muka seperti seorang kanak-kanak yang melakukan sesuatu yang terlarang. Melihat ini laki-laki yang tertua berkata dengan suara menghibur, “Harap saja Siauw-suhu tidak usah malu karena sekarang banyak saja hwesio yang melepaskan pantangan makan daging dan minum arak, dan…” “Saya bukan hwesio!” Tiba-tiba Kun Liong memotong dan suaranya agak kaku karena dapat dibayangkan betapa sebal hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa orang yang disangkanya ramah ini pun ternyata menduga dia seorang pendeta cilik! Mengertilah ia sekarang mengapa dia menjadi bahan tertawaan. Tentu dia disangka seorang hwesio yang sengaja menyamar dengan pakaian biasa agar dapat leluasa makan daging, minum arak, lupa kepada kepalanya yang gundul! “Saya bukan hwesio, apalagi hwesio yang pura-pura suci tapi diam-diam menyamar untuk dapat makan daging dan minum arak!” Tiga orang itu saling pandang dengan mata terbuka lebar, dan tiba-tiba dara itu pun tak dapat menahan ketawanya. Biarpun dia cepat menutupi mulutnya dengan saputangan sutera hijaunya, namun masih tampak oleh Kun Liong betapa sepasang bibir yang merah itu terbuka, memperlihatkan rongga mulut yang lebih merah lagi dengan deretan gigi putih mengkilap. “Brakkk!” Kun Liong menggebrak meja di depannya dengan kedua telapak tangannya, tidak terlalu keras akan tetapi cukup menyatakan kemendongkolan hatinya. “Mengapa engkau mentertawakan aku?” Berbeda dengan sikapnya kepada laki-laki itu, dengan kata-kata cukup sopan biarpun penasaran, terhadap dara ini yang dianggapnya tidak lebih tua dari dia. Kun Liong bersikap kasar dan biasa saja, apalagi karena dia marah mengira nona muda itu mentertawakannya. Dara itu memandang Kun Liong, makin geli melihat pemuda remaja gundul itu marah-marah sehingga dari dekapan saputangannya masih terdengar kekehnya. “Aihh, harap suka maafkan sumoi yang masih muda dan suka bergurau,” laki-laki tertua berkata, kemudian dia menoleh kepada dara remaja itu sambil berkata, “Sumoi, sudahlah jangan tertawa dan menimbulkan salah paham.” Laki-laki ke dua juga berkata, “Maafkanlah kami yang salah menduga karena sesungguhnya kami mengira bahwa engkau adalah seorang hwesio muda.” Dara remaja itu menurunkan saputangannya dan biarpun mulutnya tidak tersenyum lagi, akan tetapi sepasang matanya bersinar-sinar nakal, mulutnya cemberut karena dia ditegur suhengnya, lalu dia berkata sambil mengerling ke arah Kun Liong, “Salahnya sendiri! Orang semuda dia memakai potongan gundul, mana pantas? Sepatutnya dia memelihara rambut seperti orang muda pada umumnya.” “Ada hak apakah engkau hendak mengurus kepala dan rambut orang? Ini adalah kepalaku sendiri, hendak kugundul, atau kupelihara rambut sampai ke kaki, peduli apa engkau? Kalau kau hendak mengatur kepalaku, aku pun bisa saja bilang bahwa kau tidak pantas mengatur rambutmu seperti itu, pantasnya engkau gundul seperti aku!” “Ihhh...!” Dara remaja itu melompat berdiri dari bangkunya dan meraba gagang pedangnya. “Engkau… engkau menghina, ya?” bentaknya. “Nah, itu! Kepala orang untuk main-main sesukanya, dibalas satu kali saja sudah mau mengamuk!” “Gundul plontos! Kapan aku main-main dengan kepalamu?” “Sumoi! Jangan lancang, simpan pedangmu!” Laki-laki tertua membentak sumoinya dan anak perempuan itu sudah menyarungkan kembali pedangnya, duduk di atas bangku dan cemberut, akan tetapi memandang kepada Kun Liong dengan mendelik. Kun Liong bingung juga. Memang kalau dipikir, dara remaja ini tidak pernah main-main dengan kepalanya! Akan tetapi karena sudah terlanjur, dia menjadi nekat dan berkata, “Sudah dua kali engkau mentertawakan kepalaku, di losmen tadi dan di sini…” “Hemm, apakah kalau aku tertawa itu berarti mempermainkan gun… eh, anumu? Apakah kalau aku hendak tertawa harus minta ijin lebih dulu darimu? Begitukah?” Kun Liong termangu, tak dapat menjawab lagi. Dara ini ternyata pandai berdebat dan dia sudah didesak ke sudut. “Sudahlah, Laote (Adik), harap maafkan kami. Nah, makanan sudah datang, mari kita makan. Silakan!” Akan tetapi Kun Liong sudah bangkit berdiri, menjura kepada dua orang laki-laki itu sambil berkata, “Harap Ji-wi twako (Kedua Kakak) sudi memaafkan saya. Setelah saya diundang makan oleh Ji-wi yang ramah, saya malah marah-marah, hal ini amatlah kurang ajar, bagaimana siauwte (adik) berani menerimanya? Maafkanlah!” Kun Liong mundur, mengangguk dan melangkah keluar dari restoran itu. “Sian-sumoi, jangan!” Kun Liong yang mendengar suara laki-laki tertua mencegah sumoinya ini, tidak menoleh. Jadi namanya pakai huruf Sian, ya? Hemm, anak perempuan yang sombong! Awas kau, ya? Eh, mengapa awas? Dia mau apa? Ingin Kun Liong menampar kepalanya sendiri, untung dia teringat bahwa banyak mata mengikutinya ke luar dari restoran itu. Tak lama kemudian dia memasuki restoran lain tak jauh dari situ, restoran yang lebih besar. Seorang pelayan menyambutnya dan cepat Kun Liong mendahuluinya berkata, “Aku bukan hwesio. Aku mau pesan makanan dan minuman yang terbaik!” Pelayan itu tercengang, menatap gundulnya, kemudian tersenyum lebar dan dengan ramah mempersilakannya duduk. Di restoran ini masih banyak meja kosong dan Kun Liong duduk sendiri menghadap meja, tidak peduli akan pandang mata para tamu yang sedang makan minum di ruangan itu. Karena tidak mengenal nama-nama masakan, apalagi yang mahal-mahal dan yang tidak pemah dimakannya, dia memesan yang mudah saja, yaitu nasi, bakmi, daging panggang dan arak! Mulailah dia makan dengan lahapnya karena memang perutnya sudah lapar sekali. Tidak ingat lagi dia kepada tiga orang di restoran tadi, sungguhpun suara dara remaja yang bernama Sian itu masih mengiang di telinganya. “Yakinkah engkau bahwa mereka adalah kaki tangan pemerintah?” Suara ini halus dan kata-katanya teratur baik, bukan suara orang-orang kasar. “Tentu saja yakin, Ouw-twako. Mereka bertiga sebetulnya adalah murid-murid Pendekar Gak Liong di Secuan, dan Pendekar Gak adalah murid keponakan orang she The itu. Bahkan yang termuda, Nona Hwi Sian, biarpun usianya baru belasan tahun pernah menewaskan seorang anggauta kami. Inilah saatnya Twako membuat jasa untuk Kwi-eng-pai.” “Hemm, mudah saja. Cantikkah nona itu?” “Aih, Twako hanya memikirkan wanita cantik saja. Nona itu cantik jelita, hanya usianya baru empat belas tahun.” “Ha, lebih muda lebih menyenangkan. Benar mereka berada di restoran itu?” “Benar, aku melihat mereka masuk tadi.” “Hayo, tunggu apa lagi? Kita datangi mereka.” “Jangan, Twako. Kota ini cukup besar dan karena mereka masih kaki tangan orang she The, tentu pembesar setempat akan membela mereka dan kalau dikerahkan pasukan rencana kita bisa gagal. Sebaiknya kita membayangi mereka dan kalau mereka berada di tempat sunyi...” “Sssttt... cukup. Mari minum!” Diam-diam Kun Liong terkejut bukan main. Tadinya dia tidak tertarik akan percakapan dua orang yang duduk di meja sebelah belakangnya itu, akan tetapi ketika mereka menyebut-nyebut nama Hwi Sian, nona yang berusia empat belas tahun, segera dia teringat kepada dara remaja bernama Sian yang tadi cekcok dengan dia. Apalagi mendengar disebutnya Kwi-eng-pai, dia teringat akan anak buah Si Bayangan Hantu yang menculik Li Hwa. Bukankah Kwi-eng-pai berarti Perkumpulan Bayangan Hantu dan besar kemungkinannya adalah orang-orang yang dahulu menculik Li Hwa? Dan isi percakapan tadi sungguh mencurigakan sekali. “Traakkk...” Sebuah di antara sumpit Kun Liong terjatuh, menggelinding di bawah mejanya. Tentu saja hal ini dia sengaja dan dia sudah merangkak ke kolong meja mengambil sumpitnya. Kesempatan ini dia pergunakan untuk berpaling dan memandang kepada dua orang yang duduk di sebelah belakangnya. Betapa kagetnya ketika dia mengenal dua orang itu. Yang seorang adalah seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun, berwajah tampan. Berpakaian seperti seorang sastrawan kaya, yang dikenalnya sebagal Ouw Ciang Houw sastrawan yang dahulu pemah ikut di perahunya, kemudian memperkosa isteri guru silat Gui Tong yang kemudian mengakibatkan kematian suami isteri itu! Adapun orang ke dua adalah seorang laki-laki yang usianya lebih tua beberapa tahun, berpakaian serba kuning yang dikenalnya sebagai pemimpin gerombolan atau Ketua Ui-hong-pang di lembah Sungai Huang-ho, yang menculik Li Hwa! Tidak salah dugaannya. Teringat dia betapa orang ini, kalau tidak salah bernama Kiang Ti dan menurut Bun Hwat Tosu adalah murid kepala Si Bayangan Hantu, dengan Ilmu Pukulan Hek-tok-ciang telah menghantam Bun Hwat Tosu akan tetapi yang akibatnya payah bagi orang ini sendiri. Kini, dua orang jahat itu telah bersekutu agaknya dan mempunyai niat yang tidak baik terhadap nona bernama Sian yang agaknya lengkapnya bernama Hwi Sian itu dan dua orang suhengnya (kakak seperguruannya)! Menghadapi hal ini, berdebar jantung Kun Liong dan lupa lagi dia akan percekcokannya dengan dara remaja itu. Dia menekan perasaannya dan dengan tenang dia lalu membayar makanannya, keluar dari rumah makan dan diam-diam dia membayangi nona muda dan dua orang suhengnya itu untuk melindungi mereka! Semalam suntuk Kun Liong tidak tidur! Dia melakukan penjagaan dengan diam-diam, siap untuk melindugi tiga orang yang menurut pendengarannya tadi adalah masih cucu keponakan murid dari “orang she The” yang diduganya tentulah Panglima Besar The Hoo, mengingat bahwa panglima itu dimusuhi oleh Si Bayangan Hantu seperti yang diceritakan oleh Bun Hwat Tosu kepadanya. Akan tetapi, tidak terjadi sesuatu di malam hari itu kecuali dia sendiri yang dikeroyok nyamuk karena melakukan penjagaan di luar kamar. Akan tetapi Kun Liong tidak menyesal, bahkan merasa lega bahwa pagi-pagi sekali tiga orang itu sudah berangkat pergi meninggalkan losmen. Dia pun segera membayar uang sewa kamar, kemudian dengan diam-diam dia terus membayangi tiga orang itu yang keluar dari kota Taibun menuju ke timur! Biarpun Kun Liong mempunyai tujuan perjalanan ke selatan, akan tetapi pada saat itu dia sama sekali tidak ingat akan hal ini dan terus membayangi tiga orang itu keluar dari kota dan tak lama kemudian mereka melalui sebuah hutan yang sunyi di kaki Pegunungan Thai-hang-san. Tiga orang itu melakukan perjalanan tidak tergesa-gesa dan di sepanjang jalan mereka bersenda-gurau, atau lebih tepat lagi, dara remaja itu yang selalu mengajak kedua orang suhengnya untuk bersenda gurau. Dilihat dari jauh, jelas bahwa dara itu memang berwatak lincah gembira, dan diam-diam ada juga dugaan di dalam hati Kun Liong bahwa dara remaja itu bergurau tentang kepala gundulnya! Tiba-tiba terjadilah seperti yang diduganya. Lima orang meloncat keluar dari balik batang pohon! Mengapa lima orang? Kun Liong dapat menyelinap di antara pohon-pohon dan bersembunyi, mengambil keputusan untuk tidak turun tangan membela sebelum tenaganya dibutuhkan. Dia maklum bahwa tiga orang yang “dilindungi” itu adalah orang-orang yang pandai ilmu silat dan pandai pula menjaga diri. Yang membuat dia heran adalah lima orang yang muncul itu. Mengapa di antara mereka tidak ada Kiang Ti dan Ouw-siucai (Sastrawan Ouw) yang cabul? Atau barangkali lima orang ini adalah anak buah Ui-hong-pang yang disuruh turun tangan lebih dulu? “Siapakah kalian? Apakah perampok-perampok buta yang tidak melihat orang?” Dara remaja itu sudah membentak dan berdiri dengan sikap gagah, sedikitpun tidak kelihatan takut sehingga mengagumkan hati Kun Liong. Pemuda gundul ini pun memandang dengan penuh perhatian kepada lima orang itu. Mereka ini semua berpakaian serba putih seperti orang-orang berkabung. Mendengar pertanyaan dara itu, lima orang tadi menggerakkan kedua tangan. “Singgg…!” Lima batang golok besar tercabut mengeluarkan suara berdesing dan tangan kiri mereka masing-masing telah mengeluarkan sebuah benda berwarna biru sebesar telapak tangan yang mereka pasangkan di baju mereka sebelah kiri depan dada. Kini tampaklah oleh Kun Liong bahwa benda itu adalah sebuah ukiran bunga teratai putih pada dasar biru. Perkumpulan Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih)! “Aihh, kiranya Ngo-wi (Tuan Berlima) dari Pek-lian-kauw? Ada maksud apakah Ngo-wi menghadang perjalanan kami tiga saudara?” “Hemm, perlukah kalian masih bertanya lagi?” Seorang di antara lima orang itu, yang berjenggot panjang dan bermata sipit sekali berkata, “Bukankah kalian bertiga adalah tiga pendekar dari Secuan, murid-murid Gak Liong dan kalian membantu pemerintah memusuhi kami?” Laki-laki tinggi kurus itu kini berdiri tegak di dekat sumoinya dan berkata dengan suara lantang, “Benar! Aku bernama Poa Su It, ini suteku Tan Swi Bu, dan sumoiku Lim Hwi Sian. Kami bertiga adalah murid-murid Pendekar Gak di Secuan. Akan tetapi kami bukanlah orangnya pemerintah sungguh pun kami akui bahwa Suhu menugaskan kami untuk membantu Susiok-couw (Paman Kakek Guru) The Hoo untuk membersihkan negara dari para pengacau yang membuat negara kacau dan rakyat menderita!” “Bagus! Karena itulah maka kami menghadang dan minta nyawa kalian!” Teriak orang Pek-lian-kauw yang berjenggot panjang dan ucapannya itu agaknya menjadi komando karena tiba-tiba lima orang Pek-lian-kauw itu sudah menyambit dengan tangan kiri, disusul gerakan mereka menerjang ke depan. Tiga orang pendekar Secuan itu menggerakkan tubuh, dengan ringan sekali meloncat ke kanan kiri menghindarkan diri dari sambaran senjata rahasia yang berbentuk kuncup teratai itu, kemudian mereka pun sudah mencabut pedang masing-masing menghadapi para pengeroyok. Kun Liong memandang kagum. Terutama sekali dia amat kagum menyaksikan dara remaja yang kini dia ketahui namanya, Lim Hwi Sian, menggerakkan pedangnya menghadapi seorang anggauta Pek-lian-kauw, sedangkan kedua orang suhengnya masing-masing dikeroyok dua oleh lawan. Dara remaja itu ternyata lihai limu pedangnya. Ketika dia melirik ke arah dua orang laki-laki yang dikeroyok empat orang Pek-lian-kauw, mengertilah ia mengapa dara remaja itu jauh lebih muda daripada kedua orang itu, menjadi adik seperguruan mereka, hal yang tadinya amat mengherankan hatinya. Kiranya ilmu pedang dara itu tidak kalah lihai oleh kedua orang suhengnya, dan bahkan dalam hal keringanan tubuh melebihi mereka. Mungkin dara itu kalah dalam hal tenaga saja. Pertandingan itu tidak berlangsung lama, karena lima orang itu segera terdesak hebat. Terdengar seorang di antara mereka, mungkin Si Jenggot, mengeluarkan bunyi bersuit nyaring. Lima orang yang sudah menderita luka-luka goresan pedang itu membanting senjata di atas tanah dan terdengar ledakan-ledakan disusul asap putih tebal. Tiga orang pendekar Secuan cepat melompat ke belakang karena khawatir kalau-kalau terkena senjata rahasia atau asap beracun. Ketika mereka mengejar dengan jalan menghindari asap, ternyata lima orang itu telah lenyap. Kun Liong bernapas lega. Tidak perlu dia turut campur. Untung dia tadi masih bertahan dan tidak muncul. Kalau dia muncul, melihat betapa dara remaja itu dan dua orang suhengnya dengan mudah dapat menghalau lawan, tentu dia akan mendapat malu dan bukan tidak mungkin dia akan menjadi bahan ejekan dara manis itu! Selain itu, dia sendiri belum tahu apakah dia akan mampu melawan seorang saja dari kelima anggauta Pek-lian-kauw tadi! Biarpun dia telah mendapat gemblengan dasar ilmu silat tinggi dari ayah bundanya, kemudian dilatih oleh Bun Hwat Tosu yang amat sakti, namun dia sendiri tidak dapat mengukur sampai di mana keampuhan ilmu yang dimilikinya dan tanpa bertanding menghadapi lawan, bagaimana dia mampu mengukur diri sendiri? Akan tetapi, dia amat benci akan perkelahian. Dia mempelajari ilmu bukan untuk berkelahi, melainkan untuk mencegah terjadinya kejahatan yang mengandalkan ilmu silat. “Orang-orang Pek-lian-kauw sungguh menjemukan!” Lim Hwi Sian berkata sambil menyarungkan pedang dan mengebut-ngebutkan bajunya yang terkena debu. “Mereka yang memusuhi orang-orang yang tidak berdosa, akan tetapi mereka selalu mengatakan bahwa pemerintah memusuhi mereka. Kalau mereka tidak memberontak, kiranya Susiok-cow tidak akan memerintahkan para pembantu untuk menentangnya dan Suhu tentu tidak menugaskan kita.” Tan Swi Bu juga berkata. “Kata-kata yang baik!” Tiba-tiba terdengar suara orang dan tahu-tahu di situ telah muncul dua orang laki-laki yang tersenyum-senyum. Jantung Kun Liong berdebar tegang melihat dua orang yang memang dinanti-nantikan kemunculannya itu. Ouw Ciang Houw Si Sastrawan cabul dan Kiang Ti, Ketua Ui-hong-pang! Melihat dua orang yang tidak terkenal akan tetapi yang muncul secara tiba-tiba membuktikan ilmu kepandaian mereka yang tinggi, tiga orang pendekar Secuan menjadi kaget. Lim Hwi Sian telah mencabut pedangnya dan membentak dengan suara nyaring, “Apakah kalian juga orang-orang Pek-lian-kauw?” Ouw-siucai tersenyum lebar dan memandang Hwi Sian dengan sinar mata kagum penuh gairah. “Nona kecil yang manis dan pandai ilmu pedang, sungguh mengagumkan sekali!” “Cih! Keparat bermulut lancang!” Hwi Sian sudah menyerang dengan tusukan pedangnya, akan tetapi dengan gerakan ringan Ouw-siucai miringkan tubuhnya dan mendorong pundak dara itu sehingga terhuyung ke depan. “Ihhhh… iblis keparat!” “Sumoi, tunggu dulu!” Poa Sut It yang menyaksikan ketangkasan sastrawan itu, cepat mencegah sumoinya dan dia berkata kepada mereka, “Melihat pakaian dan sikap Ji-wi, agaknya Ji-wi bukan dari Pek-lian-kauw. Siapakah Ji-wi dan ada keperluan apakah dengan kami?” “Ha-ha-ha-ha!” Kiang Ti tertawa bergelak. “Kalian adalah kaki tangan The Hoo seperti yang kami dengar dalam percakapan kalian dengan orang-orang Pek-lian-kauw tadi, dan karena itulah maka kalian harus kami bunuh, kecuali nona ini yang sudah lancang membunuh seorang anggota kami, maka dia harus menebus dosa di dalam tangan Ouw-siucai, ha-ha-ha!” Kun Liong merasa sebal mendengar ini dan kini dia mengerti mengapa Ketua Ui-hong-pang itu yang usianya lebih tua menyebut twako (kakak) kepada Ouw-siucai, agaknya untuk menghormat karena dia membutuhkan tenaga bantuan siucai cabul itu. Diam-diam dia ingin sekali keluar dan membuka kejahatan mereka, akan tetapi dia takut menjadi bahan ejekan Hwi Sian, juga dia ingin melihat apakah tiga orang itu sanggup menghadapi dua orang ini yang agaknya lebih lihai daripada kelima orang Pek-lian-kauw tadi, maka dia tetap bersembunyi sambil menonton penuh perhatian. Poa Sut It dan kedua orang adik seperguruannya memandang kepada Kiang Ti dengan tajam, kemudian terdengar Hwi Sian membentak, “Kiranya engkau orang Ui-hong-pang, kaki tangan iblis betina Si Bayangan Hantu!” “Bocah lancang mulut!” Kiang Ti membentak. “Engkau berani memaki guruku? Aku adalah Ketua Ui-hong-pang!” Berkata demikian, dia sudah menubruk maju untuk menyerang Hwi Sian. “Eiiit, ingat, dia untukku, Kiang-pangcu (Ketua Kiang)!” Ouw-siucai berkata dan menghadang sehingga Ketua Ui-hong-pang itu kini menggunakan kedua tangannya untuk menyerang Poa Sut It dan Tan Swi Bu. Dua orang ini melihat pukulan yang hebat dari tangan yang berubah menghitam, maklum bahwa pukulan yang ini tidak boleh dipandang ringan, mereka cepat mengelak kemudian memutar tubuh membalas dengan serangan pedang mereka dari kanan kiri. Kiang Ti terkejut sekali melihat berkelebatnya dua sinar pedang yang amat cepat itu, dari kiri menyambar ke arah lehernya sedangkan sinar pedang dari kanan menyambar ke arah kaki. Tidak ada jalan lain baginya kecuali meloncat ke belakang dengan cepat, menjatuhkan diri bergulingan sampai beberapa meter jauhnya. Ketika dia meloncat lagi, tangan kanannya telah memegang senjatanya yang tadinya dililitkan di pinggang, yaitu sebatang rantai baja lemas yang ujungnya dipasangi bola baja. Mukanya agak pucat karena serangan kedua orang lawannya tadi benar-benar amat dahsyat. “Hiaaaattt!” Ketua Ui-hong-pang ini mengeluarkan pekikan panjang dan dia sudah menerjang maju sambil memutar senjata rantai bajanya. “Cring! Tranggg!!” Dua orang lawannya menangkis dengan pedang sehingga tampak bunga api berpijar ketika senjata rantai itu bertemu dengan pedang-pedang itu. Selanjutnya terjadilah pertandingan yang seru antara mereka, namun segera rantai baja terhimpit dan terdesak oleh kedua sinar pedang, membuat Kiang Ti terpaksa harus mengeluarkan seluruh tenaganya dan sebentar saja dia sudah mandi keringat. Hati Kun Liong merasa lega ketika dia melihat keadaan kedua orang suheng dari Hwi Sian itu karena dia maklum bahwa keadaan mereka tidak perlu dikhawatirkan. Akan tetapi ketika dia melihat keadaan Hwi Sian sendiri, dia terkejut dan diam-diam dia mencari tempat pengintaian yang lebih dekat. Biarpun ilmu pedang dara itu amat tangkas, namun ternyata dia bukanlah tandingan Ouw-siucai atau Ouw Ciang Houw yang amat lihai. Sambil tersenyum-senyum sastrawan cabul itu mempermainkan Hwi Sian, dengan tangan kosong menghadapi pedang dara remaja itu, mengelak ke sana ke mari sambil mengejek dan menggoda, “Aih, luput lagi, Nona manis! Kalau marah begini engkau bertambah cantik saja. Aihhh, tidak kena! Wah, kedua pipimu menjadi merah jambon, ingin aku menciumnya!” Ketika pedang menyambar ke dada, siucai itu membuat sedikit gerakan dan pedang itu telah dijepitnya di bawah lengan, kemudian ia mendekatkan mukanya hendak mencium pipi Hwi Sian sambil memperdengarkan suara menyedot. “Biadab…!” Hwi Sian memaki dan menarik tubuh atasnya ke belakang sambil menendangkan kakinya ke arah perut lawan dan menarik pedangnya dengan sepenuh tenaganya. “Wahhh, galaknya! Makin galak makin menyala!” Ouw-siucai melepaskan pedang yang dijepit lengan, kemudian menyambar kaki yang menendang. Nyaris kaki itu tertangkap, akan tetapi ternyata Hwi Sian cukup cerdik dan sebelum kakinya tertangkap pedangnya sudah membabat dari samping ke arah tangan yang hendak menangkap kakinya. Ketika lawan menarik tangannya, dia pun meloncat ke belakang dengan muka merah sekali, siap untuk bertanding mati-matian karena dia maklum bahwa lawannya benar-benar amat lihai. “Ouw-twako… lekas robohkan dia dan bantulah aku…” Terdengar Kiang Ti berseru minta bantuan kepada temannya. “Ha-ha-ha, baiklah, Kiang-pangcu. Nah, kau tidurlah dulu, Nona manis, nanti aku menemanimu!” Sambil berkata demikian, Ouw Ciang Houw menerjang dengan hebat sekali, menggunakan jari-jari tangannya untuk menotok dengan sasaran jalan-jalan darah di tubuh nona itu. Repot sekali Hwi Sian mengelak dan melindungi tubuh dengan pedang, namun dia terdesak hebat dan agaknya tidak lama lagi benar-benar dia harus tidur dulu oleh totokan! “Ouw-siucai sastrawan keparat!” Tiba-tiba Kun Liong melompat keluar dari tempat sembunyinya dan langsung dia mengulur tangan hendak menangkap dan mendorong pundak Ouw Ciang Houw. Gerakannya bukanlah serangan ilmu silat, hanya sekedar untuk menyuruh siucai itu mundur dan tidak mendesak Hwi Sian. Melihat munculnya seorang pemuda tanggung berkepala gundul, Ouw Ciang Houw mengira seorang hwesio muda, maka dia cepat mengelak. Akan tetapi tanpa disadari sendiri oleh Kun Liong, pemuda itu telah memiliki gerakan yang amat luar biasa, karena hatinya ingin memegang pundak dan mendorong, otomatis gerakannya pun mengandung unsur Ilmu Silat Pat-hong-sin-kun yang dapat memotong jalan delapan penjuru, maka pengelakan itu sia-sia, tahu-tahu pundak siucai itu dapat didorongnya sehingga tubuh Ouw-siucai terhuyung ke belakang! “Ehhh…!” Ouw-siucai berseru kaget bukan main karena dia sendiri tidak tahu bagaimana elakannya sampai gagal, hanya dia merasa lega bahwa tenaga dorongan “hwesio” muda itu ternyata tidaklah begitu hebat. “Hwesio busuk dari mana berani berlancang tangan mencampuri urusanku?” Bentaknya sambil memandang dengan mata mendelik kepada Kun Liong. Kalau saja tidak disebut hwesio, masih mending akan tetapi kini bahkan disebut hwesio busuk, tentu saja perut Kun Liong terasa panas dan sepasang matanya memandang dengan sinar mata bercahaya aneh dan tajam menusuk sehingga Ouw-siucai sekali lagi terkejut setengah mati. Mata itu tiba-tiba menjadi mata setan, pikirnya serem. “Engkau ini orang sastrawan, akan tetapi berwatak cabul, genit, dan tersesat. Apakah engkau hendak mengulangi perbuatanmu yang biadab di perahu itu, lima tahun yang lalu?” Kun Liong menegur. “Bukankah banyak kitab kuno yang kaubaca, yang mengajar bagaimana orang harus hidup benar? Sudah lima tahun belum bertobat, belum sadar malah makin gila!” Untuk ke tiga kalinya siucai itu terkejut dan heran. “Siauw-suhu dari kuil dan golongan mana? Harap tidak mencampuri urusan ini karena urusan ini adalah persoalan pribadi dan permusuhan dari kedua golongan!” Makin mendalam kerut alis Kun Liong, apalagi ketika mendengar suara ketawa tertahan di belakangnya. Dia sudah hafal benar suara ketawa tertahan dari Hwi Sian itu! “Aku bukan dari kuil dan golongan manapun juga!” Dia membentak. “Bahkan aku sama sekali bukan hwesio. Engkau Ouw Ciang Houw sastrawan sesat yang dahulu memperkosa isteri guru silat Gui Tiong di perahuku, kemudian mengakibatkan matinya suami isteri itu. Ingat?” Untuk ke empat kalinya Ouw Ciang Houw terbelalak heran. “Wah-wah…!” Dia menggaruk-garuk kepalanya. “Jadi kau… Si Gundul bocah tukang perahu itu…?” “Wuuuuttt, plakkk!” Kembali Ouw Ciang Houw terhuyung karena Kun Liong telah menampar pipinya dan biarpun tadi dia mengelak, tetap saja pipinya kena tampar! Hal ini amat mengherankan bagi Ouw Ciang Houw yang berkepandaian tinggi, akan tetapi sama sekali tidak mengherankan bagi Kun Liong. Pemuda gundul ini hanya mengira bahwa sastrawan itu tidak sungguh-sungguh mengelak, maka dorongannya tadi dan tamparannya mengenai sasaran! Dia tidak sadar bahwa setelah memiliki Ilmu Silat Tinggi Pat-hong-sin-kun (Silat Sakti Delapan Penjuru Angin), setiap gerakannya memang mengandung gaya yang luar biasa sehingga sukar diduga lawan ke mana hendak meluncur! “Bocah setan, kau bosan hidup!” Ouw Ciang Houw menjadi marah sekali dan dengan pengerahan tenaganya dia memukul ke arah kepala dan dada Kun Liong secara cepat sekali dengan kedua tangannya. Kun Liong paling anti kalau kepalanya dibuat permainan, apalagi dipukul. Setelah dia gundul, sesuatu yang menyinggung kepalanya menyakitkan hatinya benar, maka kini dia mengangkat tangan menangkis pukulan yang mengancam kepalanya, akan tetapi pukulan ke arah dadanya tak sempat dia menangkisnya, maka otomatis bergeraklah tenaga sin-kang yang dilatih selama lima tahun. “Bukkk! Auuuuwww… duhhh…!” Ouw Ciang Houw memegangi tangan kirinya yang seolah-olah remuk rasanya ketika membentur dada Kun Liong tadi. “Engkau malah berani memukul kepalaku, ya? Benar-benar engkau orang jahat, perlu dihajar!” Kun Liong sudah maju dan tangan kirinya bergerak dari depan memukul dada lawan. Biarpun kesakitan, Ouw Ciang Houw yang dapat menduga bahwa Si Gundul ini memiliki kepandaian aneh, cepat menangkis, akan tetapi sungguh di luar dugaannya ketika tiba-tiba kepalanya ditempiling oleh tangan kanan Kun Liong dari belakang. “Plenggg!” Dan dia terguling! Inilah keistimewaan gerak Pat-hong-sin-kun, serangan pertama dari depan untuk memancing perhatian sedangkan serangan susulan datang dari arah berlawanan. Banyak serangan macam ini yang datang dari delapan penjuru dalam ilmu silat sakti ini! Ouw Ciang Houw hanya merasa kepalanya pening saja, maka begitu terguling dia dapat meloncat berdiri lagi. Kemarahannya membuat mukanya berubah pucat, tangannya meraba punggung dan tampaklah sinar berkilat ketika dia mencabut pedangnya menerjang Kun Liong. “Trangggg!!” Hwi Sian telah menangkis pedang itu, padahal tentu saja Kun Liong sudah siap untuk menghindarkan serangan tadi. Terjadilah pertandingan pedang yang seru antara Hwi Sian dan sastrawan itu. Melihat betapa dara itu terdesak hebat dalam belasan jurus saja, Kun Liong menjadi khawatir sekali. Untuk maju dengan tangan kosong saja dia merasa ngeri, maka dia lalu meloncat ke atas pohon, mematahkan sebuah dahan pohon dan meloncat turun terus langsung menerjang Ouw-siucai dengan senjata dahan di tangan. Begitu menerjang tentu saja dia menggunakan gerakan dari Ilmu Siang-liong-pang dan hebat bukan main akibatnya! Bukan hanya Ouw-siucai yang berloncatan mundur, bahkan Hwi Sian juga bingung melihat tiba-tiba banyak sekali tongkat melayang ke sana-sini dengan ganasnya sehingga dara itu pun meloncat mundur! Akan tetapi, tongkat dahan itu terus menyerang Ouw-siucai yang berusaha menangkis dengan pedangnya. Celaka baginya, tongkat yang ditangkis itu seperti dapat mengelak dan tahu-tahu lengan kanannya yang memegang pedang terpukul tongkat, bukan main nyeri rasanya sehingga kalau saja dia tidak mempertahahkan pedangnya dengan tenaga sin-kang, tentu pedang itu akan terlepas. Akan tetapi, gebukan ke dua menyusul tanpa dapat diduganya terdengar suara “buk!” dan tubuhnya kembali terguling karena pantatnya sudah terpukul sehingga rasanya daging pinggul remuk-remuk! Kini maklumlah Ouw-siucai bahwa kalau dia melanjutkan pertandingan, dia dan temannya akan mati konyol. Maka dia bersuit keras, tubuhnya mencelat ke dekat temannya yang sedang didesak hebat, pedangnya bergerak menangkis memberi kesempatan kepada Kiang Ti untuk melepaskan diri dari kepungan sinar pedang lawan, kemudian keduanya melompat jauh dan melarikan diri tanpa berani menoleh sama sekali! Tiga orang itu hendak mengejar, akan tetapi Kun Liong berkata, “Mereka sudah mendapatkan pelajaran, tentu sudah bertobat. Perlu apa dikejar lagi?” Poa Su It menyuruh kedua adiknya berhenti, kemudian mereka menghampiri Kun Liong dan orang tertua di antara mereka itu menjura, “Ah, kiranya Laote adalah seorang pendekar muda yang berilmu tinggi!” “Sungguh kami telah bersikap kurang hormat!” kata pula Tan Swi Bu. “Ji-wi Suheng (Kakak Seperguruan Berdua), kalau tidak ada dia, tentu sumoimu ini celaka di tangan siucai busuk tadi!” kata Lim Hwi Sian yang kini memandang kepada Kun Liong dengan sinar mata penuh kagum. Kun Liong mengerutkan alisnya dan membuang tongkatnya dengan hati mengkal. Masih berdengung di telinganya suara ketawa Hwi Sian tadi ketika dia disebut hwesio busuk oleh Ouw-siucai. Kini mereka memuji-mujinya. Siapa tahu di balik pujian bibir manis dari dara itu tersembunyi ejekan terhadap kepala gundulnya! Dengan suara dingin dia berkata, “Aku hanyalah seorang gundul yang tiada artinya. Selamat tinggal!” Setelah berkata demikian, dia lalu melangkah perlu tanpa menengok lagi. “Eh, sungguh aneh!” kata Tan Swi Bu. “Hemm, dia marah, agaknya masih marah karena engkau pernah mentertawai kepalanya, Sumoi!” kata Poa Sut It menyesal. Dia tahu bahwa pemuda tanggung yang gundul itu adalah seorang yang luar biasa, dan sebetulnya dia ingin sekali tahu siapakah pemuda itu dan murid siapa. Lim Hwi Sian juga merasa menyesal, apalagi ketika dia teringat betapa tadi belum lama ini dia terpaksa tertawa lagi melihat Ouw-siucai yang jahat juga salah kira, menganggap pemuda itu seorang hwesio! “Biarlah aku minta maaf kepadanya!” katanya lalu berlari mengejar Kun Liong yang sudah lenyap di balik sebuah tikungan. Kedua orang suhengnya hanya saling pandang dan membiarkannya saja, bahkan tetap menunggu di situ dengan harapan mudah-mudahan sumoi mereka dapat menyabarkan hati pemuda gundul yang luar biasa itu sehingga mereka dapat saling berkenalan. “Tai-hiap, tunggu dulu…!” Kun Liong terkejut dan heran mendengar suara wanita ini. Sebelum dia menengok, tampak bayangan berkelebat dari belakangnya dan kiranya Hwi Sian kini telah berdiri di depannya dengan wajah sungguh-sungguh. Dia menyebut aku “tai-hiap”! Jantung Kun Liong berdebar. Sebuah ejekan barukah ini? Dia disebut pendekar besar! Kalau dara itu kembali mengejeknya, akan dimakinya! Diejek orang lain tidak apa-apa, akan tetapi diejek dara ini! Sakit hatinya! Kini dia sadar bahwa sikap pemarahnya akhir-akhir ini mengenai kepala gundulnya adalah karena orang melakukannya di depan dara ini. “Kau… kau mau apakah menyusul aku?” tanyanya, gagap karena pandangan mata dara itu benar-benar membuat dia canggung, malu dan bingung. “Kami tahu bahwa Tai-hiap marah, dan memang sepantasnyalah kalau Tai-hiap…” “Ah, sebutanmu ini ejekan ataukah pujian kosong? Kalau ejekan, tidak perlu kita bicara lagi, kalau pujian kosong, kuharap jangan lakukan itu. Aku tidak suka disebut Tai-hiap, baik ejekan maupun pujian.” Sepasang mata yang jeli dan indah itu terbuka lebar, memandang bingung. “Habis disuruh menyebut apakah aku ini?” “Namaku Kun Liong, Yap Kun Liong, bukan pendekar besar, bahkan bukan pula pendekar kecil. Sebut saja namaku, beres!” “Wah, mana aku berani? Bia aku menyebut Yap-enghiong (Orang Gagah Yap) saja.” “Aku bukan enghiong, bukan pula bu-hiap (pendekar silat), aku hanya seorang gundul yang…” “Stop! Kau benar-benar marah besar dan semua adalah karena kesalahanku! Kami berhutang budi kepadamu, bahkan mungkin aku berhutang nyawa, dan aku telah membuat engkau marah besar dan sakit hati. Tidak… tidak adakah maaf bagiku?” Melihat sinar mata itu sayu penuh penyesalan dan suara itu demikian minta dikasihani, kekerasan hati Kun Liong akibat kemarahannya tadi hancur luluh, mencair seperti salju digodok! Cepat dia mengangguk dan menjawab, “Tentu saja aku memaafkanmu, bahkan tidak perlu kau minta maaf karena sebetulnya aku tidak marah kepadamu, hanya… eh, malu karena kepalaku…” “Mengapa dengan kepalamu? Kepalamu tidak apa-apa, bahkan… hem… baik sekali bentuknya!” “Sesungguhnyakah?” “Aku berani bersumpah tidak membohongimu. Yap-enghiong, eh…” “Jangan sebut enghiong segala, namaku Kun Liong, tanpa embel-embel.” “Kun… Kun Liong, aku telah berhutang nyawa kepadamu, bagaimana aku akan dapat membalasmu?” “Hemm, berkali-kali kau menyatakan hutang nyawa, nama pun belum kauperkenalkan kepadaku, Lim Hwi Sian!” “Eh, engkau tahu…?” Kun Liong tersenyum dan sinar matanya kini sudah berseri penuh kenakalan. “Setan gundul tentu saja tahu segala!” Mata yang jernih itu terbelalak. “Engkau aneh, orang sudah berhati-hati untuk tidak menyinggungmu, engkau malah memaki-maki diri sendiri setan gun…” “Teruskan saja! Ha-ha, memang aku gundul. Nih, halus bersih, kan?” Kun Liong menundukkan kepalanya dan mengelus-elusnya. “Kau boleh menyebut aku gundul seribu kali asal jangan mentertawakan. Asal engkau tidak jijik melihatnya.” “Siapa yang jijik? Aku senang melihatnya. Memang, lucu, akan tetapi lucu bukan berarti buruk. Contohnya, seorang bayi selalu lucu, dan tak pemah buruk! Semua orang ingin memeluk dan menciumnya.” “Wah, apakah kepalaku juga menimbulkan hasrat orang untuk menciumnya?” Kun Liong memandang nakal dan senyumnya melebar ketika dia melihat dara itu tersipu-sipu malu dan kedua pipinya berubah kemerahan, apalagi bibirnya yang menjadi merah sekali. Tiba-tiba saja Kun Liong ingin kepalanya dicium oleh bibir seperti itu! “Engkau memang orang yang lucu dan gagah, Kun Liong. Aku telah kautolong, entah bagaimana aku dapat membalas kebaikanmu.” “Benarkah engkau ingin membalasnya? Dan engkau tidak akan marah kalau aku minta kau melakukan sesuatu untuk membalasnya?” “Tidak, Kun Liong. Bagaimana aku bisa marah kepadamu?” “Sumpah?” “Sumpah apa?” “Bahwa engkau tidak akan marah kepadaku?” “Aku bersumpah!” “Wah, engkau mudah sekali bersumpah, Hwi Sian.” “Tentu saja, karena memang aku sungguh-sungguh. Sudahlah, katakan, apa permintaanmu itu?” “Aku... aku... ehhh... aku ingin kau... hemmm...” “Mau apa sih engkau ini? Ah-ah eh-eh, ham-ham hem-hem seperti orang gagu.” “Hwi Sian, aku ingin kau... eh, mencium gundulku satu kali saja!” Hwi Sian terbelalak, hidungnya kembang kempis, kedua pipinya merah akan tetapi matanya mengeluarkan sinar aneh, tersipu dan berseri. “Dekatkan kepalamu,” katanya lirih. Kun Liong hampir tidak percaya. Dia sudah khawatir kalau dara remaja itu marah dan kalau marah, dia pun tidak akan menyalahkan Hwi Sian. Siapa kira, dara itu menerima permintaannya! Dengan kulit muka merah sampai ke kepalanya, dia menundukkan kepala dan agak membungkuk di depan Hwi Sian. Dara itu tanpa ragu-ragu memegang pinggiran kepalanya dengan kedua tangan, lalu menunduk dan mencium kepala gundul itu, mencium lagi, mencium lagi. Tiga kali, bukan hanya satu kali seperti yang dimintanya! Berdebar tidak karuan rasa jantung Kun Liong. Kepalanya yang disentuh hidung dan bibir hangat basah itu terasa geli seperti digelitik, rasa geli yang menembus seluruh tubuhnya, membakar darahnya dan membuat mukanya merah, napasnya agak terburu. Dengan mendadak dia mengangkat mukanya menengadah dengan tubuh masih agak membungkuk sambil berkata, “Kau baik sekali... uppphh...” Karena dia membuat gerakan menengadah sedangkan Hwi Sian masih menunduk di atas kepalanya, tanpa disengaja mulut mereka bersentuhan, membuat keduanya meloncat ke belakang dengan muka merah padam! “Ehhh... ohhh... maafkan, aku, Hwi Sian, aku tidak sengaja...! Terima kasih, engkau... engkau sungguh baik sekali, selama hidup takkan kulupakan saat ini...” “Ihhh... hu-hukk...” Dara itu tiba-tiba terisak, membalikkan tubuh lalu meloncat dan lari pergi meninggalkan Kun Liong! “Hwi Sian...!” Kun Liong memanggil, akan tetapi dara itu terus lari dan lenyap di tikungan. Kun Liong tidak berani mengejar, merasa malu sekali kalau sampai peristiwa tadi diketahui kedua orang suheng dara itu. Dia pun lalu melanjutkan perjalanannya sambil mengangkat kedua pundak beberapa kali, kemudian tersenyum-senyum kalau teringat betapa Hwi Sian telah mencium kepalanya sampai tiga kali, bahkan ada tambahannya dengan pertemuan bibir mereka tanpa sengaja. Dia memejamkan mata sambil menarik napas panjang. Diusapnya kepala yang dicium tadi dan dibawanya jari tangan yang mengusap itu ke depan hidung dan mulut, menyedot penuh kegembiraan karena seolah-olah tercium olehnya bau harum seperti yang diciumnya ketika Hwi Sian berada di dekatnya tadi. Semua ini dilakukan dengan mata terpejam dan kaki masih melangkah berjalan. “Bruuuusss!!” Kun Liong jatuh menelungkup karena kakinya tertumbuk pada akar pohon. Dahinya benjol sedikit, dia bangkit berdiri dan diusapnya benjolan itu, akan tetapi mulutnya masih tersenyum ketika dia melanjutkan perjalanan. Ternyata kegembiraan hati Kun Liong tidak berlangsung lama karena kurang lebih dua jam kemudian setelah dia berpisah dari Hwi Sian dan memasuki hutan ke dua, tiba-tiba dia bertemu dengan serombongan orang yang membuat dia terkejut bukan main. Rombongan ini terdiri dari delapan orang dan semua orang ini telah dikenalnya. Dua orang sudah jelas adalah Ouw Ciang Houw dan Kiang Ti yang tadi melarikan diri, dan lima orang lagi adalah anggauta Pek-lian-kauw yang tadi pun melarikan diri dihajar oleh Hwi Sian dan dua orang suhengnya. Akan tetapi yang seorang lagi adalah seorang berpakaian seperti tosu, usianya tentu enam puluh tahun lebih, memegang tongkat yang panjangnya hanya tiga kaki. Yang mengejutkan hati Kun Liong dan yang membuat dia mengenal tosu ini adalah karena mata tosu itu seperti mata orang buta, hanya tampak putih saja tanpa ada manik mata yang hitam. Tidak salah lagi, tosu ini tentulah Loan Khi Tosu, tokoh Pek-lian-kauw yang pernah diusir ayahnya ketika hendak membunuh tiga orang perwira pengawal di Leng-kok! "NAH, itulah dia setan cilik gundul!” Kiang Ti dan Ouw Ciang Houw membentak ketika mereka melihat Kun Liong berjalan seenaknya. “Dialah yang terlihai di antara mereka!” Kun Liong berdiri dan menenangkan hatinya yang sebenarnya tidak tenang karena dia maklum bahwa dia berhadapan dengan orang-orang yang kejam. Akan tetapi karena dia tidak merasa bersalah, seujung rambut pun dia tidak merasa takut. Dengan tegak dia berdiri, membiarkan delapan orang itu mengurungnya, kemudian dia bertanya kepada Ouw Ciang Houw, Kiang Ti, dan Loan Khi Tosu yang berdiri di depannya, “Cu-wi (Anda Sekalian) ini mau apakah mengurung aku yang tidak bersalah apa-apa?” Mendengar suara ini, Loan Khi Tosu menggerak-gerakkan biji matanya dan berusaha memandang lebih jelas. Biarpun matanya yang lamur hanya dapat melihat bentuk seorang pemuda tanggung berkepala gundul, namun telinganya dapat menangkap lebih jelas lagi, membuat dia yakin bahwa yang berdiri di depannya adalah seorang anak laki-laki berusia paling banyak enam belas tahun. Yang membuat dia heran adalah karena dalam suara itu terkandung keberanian dan ketenangan yang tidak dibuat-buat dan sikap tenang seperti ini dalam keadaan dikurung lawan hanyalah sikap seorang jagoan yang memiliki kepandaian tinggi dan sudah percaya penuh akan kemampuannya. Tentu saja dia tidak tahu bahwa Kun Liong bersikap tenang bukan karena mengandalkan kemampuannya, melainkan tidak merasa bersalah. “Ah, dia hanya seorang anak laki-laki yang belum dewasa benar.” Loan Khi Tosu berkata dengan nada mencela. Menghadapi seorang anak-anak saja, teman-temannya ini kewalahan dan kelihatan jerih benar? “Biarpun dia masih kecil, dialah yang melindungi tiga pendekar Secuan itu dan karena dia maka mereka dapat lolos!” kata Kiang Ti. “Hemm, bocah. Engkau siapakah dan mengapa engkau mencampuri urusan kami?” Tosu itu kini bertanya. “Loan Khi Tosu, aku tidak pernah suka mencampuri urusan orang lain, hanya tidak ingin melihat orang menggunakan ilmu silat untuk menyerang, melukai atau membunuh orang seperti yang kaulakukan di kuil di luar kota Leng-kok dahulu itu!” “Siancai...!” Loan Khi Tosu mengerutkan alisnya. “Engkaulah setan cilik itu? Saudara-saudara tangkap dia ini! Dia putera Yap Cong San di Leng-kok!” “Ehhh...?” Kiang Ti yang banyak mengenal tokoh persilatan karena dia adalah ketua perkumpulan Ui-hong-pang, berseru kaget, “Akan tetapi bukankah Yap-sinshe (Tabib Yap) itu murid Siauw-lim-pai?” “Bukan murid Siauw-lim-pai lagi,” kata Loan Khi Tosu. “Dia sudah tidak diakui lagi dan hal ini tentu saja tidak ada sangkut pautnya dengan Siauw-lim-pai.” “Tapi... ayahnya menjadi pelarian, dimusuhi pemerintah!” Kembali ada bantahan dan sekali ini dari mulut Ouw Ciang Houw datangnya. “Benar, dan karena itulah maka kita tidak akan membunuhnya, hanya menangkapnya sebagai sandera. Kita perlu bantuan orang pandai, dan dengan dia sebagai umpan, kita dapat memancing tenaga bantuan ayah bundanya, dan siapa tahu, kelak Siauw-lim-pai juga...” Mengertilah para teman tosu itu dan serentak mereka lalu menubruk maju hendak menangkap Kun Liong. Kun Liong sendiri tidak mengerti akan maksud percakapan mereka, maka dia sibuk mengelak dan menangkis. “Eh, eh, kalian ini mau apa? Aku tidak ingin berkelahi! Antara kita tidak ada urusan apa-apa!” Namun, percuma saja dia berteriak teriak dan karena ada tujuh orang yang mengeroyoknya, semua mempunyai kepandaian tinggi, repot juga dia dan beberapa kali tubuhnya kena hantaman. Biarpun semua pukulan itu meleset karena otomatis sin-kangnya yang istimewa itu membuat setiap pukulan meleset, namun kulit tubuhnya terasa panas dan nyeri-nyeri juga, apalagi setelah beberapa kali ada pukulan mengenai kepala dan mukanya, mulai terasa panas perut Kun Liong. Dia sendiri tidak tahu mengapa semenjak belajar pada Bun Hwat Tosu, terutama semenjak dia mempelajari sin-kang yang aneh itu, setiap kali datang kemarahan, perutnya menjadi panas. Dia tidak tahu bahwa ini adalah akibat latihan sin-kang istimewa dari bekas Ketua Hoa san pai itu! Tadinya para pengeroyok itu tidak ingin memukul karena sesuai dengan perintah Loan Khi Tosu yang memimpin rombongan itu, mereka hanya ingin menangkap. Akan tetapi setelah beberapa kali tangan mereka yang hendak mencengkeram dan menangkap selalu meleset, mereka menjadi penasaran dan mulai mempergunakan kepalan! “Hiiittt!!” Tiba-tiba Kun Liong berseru, tubuhnya digoyangkan seperti seekor anjing menggoyang tubuhnya yang basah, dan tujuh orang yang mengeroyoknya seperti semut itu terdorong mundur semua. Marahlah pemuda gundul itu setelah mukanya biru-biru dan kepalanya benjol-benjol, tubuhnya nyeri semua. Mulailah dia mainkan Ilmu Silat Pat hong sin kun dengan teratur dan dapat dibayangkan betapa heran hatinya ketika dia mainkan ilmu ini, dalam beberapa gebrakan saja serangannya membuat tiga orang pengeroyok jatuh tersungkur dan terdengar teriakan kaget dari mulut para pengeroyoknya! Akan tetapi karena dia tidak mempunyai niat melukai lawan, apalagi membunuh, dorongan-dorongan sebagai pengganti pukulan itu hanya membuat lawan roboh saja tanpa terluka sehingga mereka bangkit kembali. Kalau saja setiap pukulannya disertai tenaga sin-kangnya yang istimewa, agaknya sekali terkena pukulannya, tiap lawan itu tentu takkan mudah untuk bangkit kembali! Melihat sepak terjang pemuda gundul itu, Loan Khi Tosu terheran-heran. Dia tahu bahwa ayah anak ini memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi daripadanya, akan tetapi ilmu silat yang dimainkan anak ini, luar biasa anehnya dan sama sekali bukan ilmu silat Siauw-lim-pai biarpun ada terasa olehnya dasar-dasar gerakan ilmu silat Siauw-lim-pai. Demikian tajam pendengaran tosu setengah buta ini sehingga pendengarannya lebih tajam menangkap setiap gerakan daripada pandang mata seorang yang awas! Cepat dia menggerakkan tongkatnya pada saat yang tepat dan robohlah Kun Liong, tertotok jalan darah di pundaknya. Beberapa orang segera menindih tubuhnya dan kaki tangannya dibelenggu dengan tali terbuat dari kulit kerbau yang kuat! “Wah, kalian ini orang-orang sesat yang jahat sekali ! Apakah kalian tidak mempedulikan hukum lagi? Di mana perikemanusiaan kalian? Tidak tahukah kalian akan hukum dunia dan akhirat?” Akan tetapi delapan orang itu hanya tertawa seolah-olah mendengar kelakar yang lucu. Perut Kun Liong makin terasa panas. Kalau saja tubuhnya dapat digerakkan, tidak lumpuh oleh totokan Loan Khi Tosu yang lihai, kiranya dia masih mampu meloloskan diri dari belenggu itu. Kini tidak ada lain jalan untuk melampiaskan kemarahannya selain dengan suara mulutnya. “Loan Khi Tosu, engkau berpakaian pendeta akan tetapi hatimu kejam melebihi iblis. Engkau seorang munafik tak tahu malu. Pakaian pendeta yang kaupakai hanya untuk menutupi kekotoran batinmu. Engkau membunuhi manusia tanpa berkejap mata, bukan karena matamu lamur, melainkan karena mata batinmu sudah buta sama sekali!” “Bukkkk!!” Untung Loan Khi Tosu masih ingat bahwa pemuda gundul itu amat penting bagi Pek-lian-kauw, kalau tidak tentu dia sudah membunuhnya dengan tongkatnya, bukan hanya menggebuk punggung pemuda itu. Akan tetapi karena Kun Liong tak dapat mengerahkan sin-kangnya, gebukan itu cukup membuat punggungnya seperti patah, nyeri bukan main rasanya sampai menembus ke tulang sumsum. Biarpun demikian, dia tidak mengeluh, hanya memejamkan mata sebentar menahan rasa nyeri, kemudian membuka mata setelah rasa nyerinya berkurang dan memaki lagi. “Ouw Ciang Houw manusia cabul! Engkau pun munafik besar, aksinya saja berpakaian indah mewah seperti sastrawan, berlagak seperti orang terpelajar dan sudah kenyang membaca kitab, akan tetapi agaknya engkau menghafal semua ayat kitab suci hanya untuk pamer, padahal sebetulnya, di balik semua keindahan itu terdapat kebusukan yang menjijikkan! Engkau tukang memperkosa wanita, perampas isteri orang dan tidak segan membunuh mereka. Agaknya, isteri semua temanmu ini pun sudah kauincar…” “Desss!!” Ouw Ciang Houw mengirim pukulan keras ke arah dada. Karena tidak ingin membunuh, biarpun amat marah, sastrawan itu hanya menggunakan tenaga kasar sehingga Kun Liong menjadi pingsan! Pukulan itu seperti mengusir semua hawa dari dadanya, menghentikan napasnya. “Siancai… kau terlalu sembrono, Ouw-sicu! Dia bisa mati kalau tidak kubebaskan totokannya!” Dengan tongkatnya, tosu itu menotok pundak Kun Liong sehingga terbebas dari totokan. Biarpun masih pingsan, pemuda gundul itu dapat bernapas lagi dan bebas dari cengkeraman maut. Setelah Kun Liong siuman, dia mendapatkan dirinya dipanggul oleh seorang di antara para anggauta Pek-lian-kauw. Rombongan itu telah melanjutkan perjalanan dan hari sudah mulai gelap sehingga mereka berjalan dengan tergesa-gesa untuk dapat keluar dari hutan itu sebelum gelap. Kun Liong mendongkol bukan main. Dia dipanggul seperti seekor babi yang dibelenggu kuat-kuat, kepalanya tergantung di belakang punggung orang tinggi besar itu, di dekat ketiak sehingga terpaksa hidungnya tersiksa oleh bau yang keluar dari ketiak penuh bulu dan keringat itu! Dia tahu bahwa ketiak berkeringat mengeluarkan bau tak sedap, akan tetapi belum pernah hidungnya tersiksa seperti ini, begitu dekat terus-menerus dengan ketiak yang bukan tak sedap lagi baunya, melainkan keras menyengat membuat dia ingin muntah! Apalagi kepalanya tergantung terus mendatangkan pusing! Betapa girangnya ketika ia mendapat kenyataan bahwa totokannya telah terbebas! Dengan hati-hati dia menggerakkan sin-kang dari pusarnya, dan dengan bantuan sin-kang ini dia mengerahkan ilmu melemaskan diri Sia-kut-hoat dan berhasillah dia meloloskan tangannya yang dapat dilemaskan itu dari belenggu. Karena sudah tidak tahan lagi, pertama-tama yang dilakukan adalah menampar pundak orang yang memanggulnya. “Krekkk!” Tamparan itu membuat sambungan tulang pundak orang itu terlepas. Orang itu memekik dan tubuh Kun Liong terlepas. Tentu saja dia terbanting karena kedua kakinya masih terbelenggu. Sebelum dia sempat melepaskan belenggu kakinya, Loan Khi Tosu sudah menotoknya kembali dan kedua tangannya sudah dibelenggu lagi dengan lebih erat daripada tadi! Sekali lagi dia dipanggul oleh orang lain dan kini oleh Kiang Ti sendiri, dengan tubuh bagian atas di depan agar kedua tangannya dapat selalu diawasi oleh pemanggulnya. Kembali kepalanya tergantung, akan tetapi hidungnya tidak tersiksa lagi biarpun hidung itu kini sering terbentur pada perut Kiang Ti! Rombongan itu bermalam di sebuah kuil di luar hutan. Mereka membagi-bagi makanan, akan tetapi Kun Liong tidak mau makan. Dia tidak memaki lagi, hanya diam saja dan diam-diam dia mencari akal bagaimana dapat lolos dari orang-orang lihai itu. Dia maklum bahwa yang amat lihai hanyalah tiga orang, Loan Khi Tosu, Ouw Ciang Houw, dan Kiang Ti. Kalau bisa lolos dari tiga orang ini, mudah saja mengalahkan lima orang anggauta Pek-lian-kauw. Dia mendengarkan percakapan mereka dan tahulah dia bahwa ternyata ada kontak hubungan antara Pek-lian-kauw dan Kwi-eng-pai yang dipimpin oleh Si Bayangan Hantu. Sedangkan Kiang Ti sebagai murid Si Bayangan Hantu yang sudah berdiri sendiri dan mengetuai Ui-hong-pang, menjadi perantara. Inilah sebabnya mereka dapat bekerja sama, sedangkan Ouw Ciang Houw berniat untuk membantu atau menghambakan diri kepada Si Bayangan Hantu yang terkenal sebagai seorang di antara Lima Datuk Kaum Sesat yang sakti dan berpengaruh. Karena dia juga menggunakan Kiang Ti sebagai perantara, maka tentu saja dengan senang hati dia bergabung dengan Pek-lian-kauw. “Dengan bantuan yang amat berharga dari Ketua Kwi-eng-pai, pinto yakin bahwa perjuangan rakyat akan berhasil dalam waktu singkat!” kata Loan Khi Tosu dengan suara penuh semangat. Ingin sekali Kun Liong berteriak membantah, akan tetapi tubuhnya terlampau lemah dan lemas sehingga dia hanya membantah dalam hati saja. Huh, betapa banyaknya di dunia ini orang-orang seperti Loan Khi Tosu. Dunia penuh dengan manusia-manusia yang mencuri dan membonceng nama rakyat demi kepentingan diri pribadi. Sungguh tak tahu malu manusia-manusia seperti itu. Sejarah telah menunjukkan betapa kekuasaan-kekuasaan jatuh bangun di dunia ini, dan semua kekuasaan itu, pada saat bangkit, pada saat berusaha merenggut kekuasaan, selalu mempergunakan nama rakyat jelata! Demi rakyat! Pencinta rakyat! Dan masih banyak lagi nama-nama yang dipakai untuk tercapainya cita-cita mereka. Pemerintah yang sekararang ini, di bawah kekuasaan Kaisar Yung Lo, pada waktu memperebutkan tahta kerajaan dengan keponakannya sendiri, pada waktu perang saudara, juga mempergunakan nama rakyat untuk memperoleh dukungan. Sebaliknya, pemerintah lama sebelumnya juga selalu membonceng kepada nama rakyat. Dengan sendirinya rakyat menjadi pecah belah, karena yang mendukung dianggap rakyat sedangkan yang tidak mendukung tentu saja dianggap musuh! Dan musuh ini tentu saja dianggap rakyat oleh pihak lawan. Dengan sendirinya rakyat yang menjadi korban, menjadi bingung dijadikan permainan orang-orang seperti Loan Khi Tosu dan para pimpinan Pek-lian-kauw. Setelah kini Yung Lo menang dan menjadi kaisar, timbul penentangnya, yang paling hebat adalah Pek lian kauw yang kembali menggunakan nama rakyat sebagai dasar perjuangannya! Hendak dibawa ke manakah rakyat ini? Apakah selama dunia berkembang rakyat hanya akan menjadi permainan belaka demi pemuasan nafsu ambisi beberapa gelintir manusia yang menamakan diri sebagai pemimpin-pemimpin rakyat ? Pernahkah ditemui mereka yang tadinya menggunakan nama rakyat dalam perjuangan, setelah berhasil dalam perjuangannya, benar-benar ingat kepada rakyat jelata? Ataukah mereka itu lalu lupa karena mabok akan kemenangan, mabok akan kedudukan dan kemuliaan, seperti pemetik buah lupa akan bangku yang diinjaknya untuk mengambil buah setelah buah itu terdapat olehnya? Rakyat hanya dianggap sebagai bangku tempat berpijak, atau sebagai batu loncatan, atau sebagai boneka-boneka! “Harap Totiang jangan khawatir! Saya berani pastikan bahwa Subo (Ibu Guru) tentu akan suka bekerja sama dengan Pek lian kauw, karena cita-cita Subo hanya untuk menghancurkan manusia she The itu, dan juga pemerintah yang banyak merugikan golongan kami. Kalau Subo sendiri turun tangan, siapa yang berani menentang? Kwi eng pai terkenal di seluruh dunia, dan nama besar Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio, siapa yang tidak gentar mendengarnya?” kata Kiang Ti dengan bangga, menyombongkan nama besar gurunya. “Sayang saya sendiri belum beruntung berhadapan dengan gurumu itu, Saudara Kiang. Akan tetapi saya yakin dengan perantaraanmu, saya akan dapat menghadap Kwi eng Niocu (Nona Bayangan Hantu) yang namanya sudah lama kudengar itu sebagai seorang di antara para datuk dunia persilatan. Kabarnya, di antara para datuk, ada dua orang wanita, pertama adalah Kwi eng Niocu, dan ke dua adalah Siang tok Mo li. Benarkah?” tanya Ouw Ciang Houw. Kiang Ti, Ketua Ui hong pang mengangguk-angguk. “Benar demikian, akan tetapi aku sendiri pun belum pernah bertemu dengan Siang tok Mo li (Iblis Betina Racun Wangi). Kabarnya dia masih belum tua benar dan amat lihai, sungguhpun aku tidak percaya akan lebih lihai dari Subo.” “Dan siapakah datuk-datuk yang lain, Kiang pangcu?” “Yang saya ketahui hanya tiga orang. Pertama adalah Subo, ke dua Siang tok Mo li, dan ke tiga Ban tok Coa ong. Yang dua orang lagi entah siapa. Akan tetapi, saya sendiri belum pernah bertemu dengan mereka dan hanya mendengar dari Subo saja. Sudahlah, kita tidak perlu membicarakan mereka, bahkan Subo sendiri pernah melarang saya menyebut-nyebut nama mereka. Menurut desas-desus, menyebut nama mereka saja sudah cukup untuk mengundang mereka” “Ihhh...!” Ouw Ciang Houw yang berwatak kejam itu merasa ngeri! “Siancai... ketua kami ingin sekali dapat mengadakan kontak dengan para datuk. Mudah-mudahan melalui hubungan dengan Kwi eng pai, kami akan dapat menghubungi pula para datuk yang lain,” kata Loan Khi Tosu. Percakapan dihentikan. Mereka mengaso dan Kun Liong yang amat tertarik akan percakapan tadi pun mencoba untuk tidur. Akan tetapi dia tidak dapat tidur. Percakapan tadi membuat dia teringat kepada Ban tok Coa ong Ouwyang Kok kakek yang mengerikan seperti ular itu. Si Raja Ular (Coa ong) itu patut menjadi datuk kaum sesat, kekejamannya luar biasa, lebih-lebih puteranya yang bernama Ouwyang Bouw itu. Meremang bulu tengkuk Kun Liong kalau dia teringat akan ayah dan anak raja ular itu. Kepalanya menjadi gundul gara-gara ayah dan anak itulah. Setelah dia digigit ular beracun dan terkena jarum beracun Ouwyang Bouw, rambutnya rontok semua! Kelak dia harus memberi hajaran kepada Ouwyang Bouw agar tidak ada orang yang dibikin gundul seperti dia lagi, memberi hajaran sampai bertobat betul-betul baru dia mau sudah! Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali rombongan itu sudah siap untuk meninggalkan kuil tua melanjutkan perjalanan. Akan tetapi tiba-tiba terdengar seruan kaget seorang di antara para anggauta Pek lian kauw di luar! Semua orang kecuali Kun Liong yang masih terbelenggu dan rebah meringkuk di atas lantai dingin, lari ke luar. Kun Liong mendengar suara orang berbantahan di luar kuil, akan tetapi dia tidak dapat mendengar jelas dan tidak dapat melihat karena tak dapat bergerak dari tempat itu. Tiba-tiba dia melihat bayangan berkelebat masuk. Cuaca masih suram karena hari masih amat pagi dan sinar matahari baru sedikit menyinari ruangan dalam kuil itu di mana dia berada. “Engkau Kun Liong, bukan?” Terdengar suara bayangan itu yang tidak begitu jelas bentuk wajahnya, namun bentuk tubuhnya jelas menunjukkan seorang dara remaja. Tentu Hwi Sian, siapa lagi? Berdebar jantung Kun Liong dan mukanya terasa panas karena jengah teringat akan ciuman di kepalanya. Sebelum dia sempat menjawab pertanyaan aneh itu, karena kalau Hwi Sian perlu apa bertanya lagi apakah dia Kun Liong, dara remaja itu menggerakkan sebatang pedang panjang yang mengeluarkan sinar berkeredepan dan... sekali tebas saja belenggu kaki di tangan Kun Liong putus semua! Bukan main hebatnya gerakan pedang ini! Kun Liong yang telah terbebas dari totokan dengan sendirinya malam tadi, menggosok gosok pergelangan kedua tangannya yang terasa nyeri dan hampir mati rasa. Kini dia memandang terbelalak. Dara ini bukan Hwi Sian! Sama sekali bukan, biarpun dara remaja yang agak lebih muda ini juga cantik sekali, cantik dan sikapnya tenang, bahkan agak dingin. Sikap dingin itu terasa sekali pada bentuk mulut dan dagunya yang mengeras, dan matanya yang keras seperti baja, memandang seperti tanpa perasaan. “Kau... kau siapakah?” “Engkau tentu lupa lagi kepadaku, setelah berpisah lima tahun. Aku Yo Bi Kiok.” “Aihh! Tentu saja aku lupa! Engkau sudah... eh, besar sekarang, sudah menjadi seorang dara yang... ah, cantik jelita!” Kun Liong berhenti ketika melihat sinar mata itu tiba-tiba menjadi tajam sekali ditujukan kepadanya. Cepat dia menyambungnya, “Dan engkau menjadi lihai sekali dengan pedangmu. Bi Kiok, bagaimana engkau bisa mengenalku?” Bi Kiok menggerakkan pandang matanya dan tahulah Kun Liong. Kepalanya! Tentu saja di dunia ini, mana ada kepala gundul lain kecuali dia? Kalau ada pemuda gundul, tentu para hwesio! Tak terasa lagi ia menggerakkan tangan mengelus kepalanya, memandang Bi Kiok sambil tersenyum. “Terima kasih, Bi Kiok. Engkau telah dua kali menyelamatkan nyawaku. Yang pertama di sungai dahulu dan kini...” “Sudahlah. Harap engkau cepat-cepat pergi dari sini. Kalau terlambat, aku benar-benar takkan dapat menyelamatkan nyawamu lagi. Cepat pergi, Kun Liong dan jangan banyak bertanya!” “Ah, mengapa begitu? Apakah aku tidak boleh bicara denganmu setelah pertemuan yang tak tersangka-sangka ini?” “Tidak, jangan! Pergilah!” “Hanya untuk mengucapkan terima kasih juga tidak boleh?” Dara itu menghela napas. “Engkau bandel. Mereka semua akan mati, dan engkau juga kalau tidak lekas pergi!” Melihat dara itu gelisah sekali Kun Liong menjadi tidak tega. Dia tidak takut akan ancaman maut, akan tetapi dia tidak mau menyusahkan hati dara yang telah dua kali menolongnya ini. “Baiklah, Bi Kiok. Aku pergi, akan tetapi terimalah ucapan terima kasihku kepadamu!” Rasa terima kasih membuat Kun Liong memegang tangan kanan dara itu, membawa tangan itu kepada... kepalanya yang gundul sehingga terasa olehnya betapa telapak targan yang halus hangat itu menyentuh gundulnya! Heran sekali dia di dalam hatinya, mengapa dia ingin sekali gundulnya disentuh oleh tangan dara ini? Akan tetapi Bi Kiok merasa geli dan menarik tangannya biarpun dengan halus. “Pergilah, Kun Liong.” “Kapan kita bertemu lagi, Bi Kiok?” “Tidak mungkin bertemu lagi. Selamat berpisah!” Setelah berkata demikian, dara itu melangkah ke luar, di pintu membalik dan berkata, “Kauambil jalan dari pintu belakang. Cepat!” Barulah dara itu meloncat ke depan dan tak nampak lagi. Kun Liong segera menyelinap melalui belakang kuil, akan tetapi dia tidak pergi seperti telah dipesan oleh Bi Kiok, melainkan berindap-indap menyelinap di antara pohon-pohon menuju ke luar kuil dan tak lama kemudian dia telah bersembunyi di belakang semak-semak dan mengintai ke halaman kuil. Matanya terbelalak penuh kengerian ketika dia menyaksikan apa yang terjadi di halaman kuil tua itu. Seorang wanita yang bertubuh pendek, sama tingginya dengan Bi Kiok yang baru berusia tiga belas tahun, akan tetapi wajah wanita itu menunjukkan bahwa dia telah berusia dua kali lebih, berdiri di tengah halaman. Wajah wanita itu cantik dengan muka bulat, di punggungnya tampak sebatang pedang panjang agak melengkung, rambutnya panjang digelung secara aneh. Yang mengerikan adalah tangannya yang berlepotan darah itu menggenggam sepotong benda berdarah yang dimakannya dengan gigitan-gigitan kecil! Di depan kakinya menggeletak sesosok mayat anak buah Pek lian kauw dengan dada robek sedangkan empat orang anggauta Pek lian kauw lainnya masih mengurungnya dengan senjata di tangan, bersama Loan Khi Tosu, Ouw Ciang Houw dan Kiang Ti yang semua telah memegang senjata menghadapi wanita cantik itu. Bi Kiok berdiri di pinggir, bersedakap dan menonton dengan wajah dingin! Tiba-tiba Loan Khi Tosu mengeluarkan suara pekik dahsyat, itulah Sai cu-ho kang (Auman Singa) yang dapat melumpuhkan lawan. Namun wanita itu tidak bergoyang sedikit pun, bahkan menghadapi terjangan Loan Khi Tosu yang disusul teman-temannya, dan dia bersikap seenaknya, menghabiskan benda berdarah yang dimakannya. Setelah senjata tujuh orang itu berkelebatan dekat hampir mengenai tubuhnya, barulah wanita itu menyambutnya. Sisa benda berdarah itu digigitnya, kedua tangannya bergerak-gerak dan tiba-tiba sanggul rambutnya terlepas, rambut itu berubah menjadi bayangan hitam menyambar ke sekelilingnya, jari-jari tangannya menyambar dan tampaklah darah muncrat-muncrat disusul pekik mengerikan berkali-kali. Sebentar saja semua gerakan berhenti dan Kun Liong yang bersembunyi, memandang dengan muka pucat sekali, matanya terbelalak dan mulutnya terasa kering! Penglihatan di depan itu terlalu menyeramkan! Hanya Loan Khi Tosu dan Kiang Ti dua orang saja yang masih hidup, bangkit duduk dan cepat mengatur pernapasan. Lima orang yang lain, yaitu Ouw Ciang Houw Si Sastrawan Cabul dan empat orang anggauta Pek lian kauw yang tadi mengeroyok, telah menggeletak malang-melintang dengan dada terobek dan jantung mereka kini telah berada di tangan wanita itu! “Tahukah engkau mengapa aku tidak membunuh kalian berdua?” Terdengar suara wanita itu setelah menyemburkan sisa jantung pertama yang tadi digigitnya ke atas tanah, mulutnya yang berlepotan darah itu amat mengerikan. “Loan Khi Tosu, karena aku ingin engkau pergi menghadap Ketua Pek lian kauw dan mengatakan bahwa kalau dia menghendaki bantuan Siang tok Mo li, dia harus bersikap lebih hormat dan mengundangku sendiri, dan kematian lima orang anak buahnya ini untuk peringatan bahwa biarpun aku suka bekerja sama, namun sama sekali aku bukanlah anak buah atau kaki tangan Pek lian kauw!” Dengan susah payah Loan Khi Tosu bangkit, tongkatnya telah patah-patah dan tulang pundaknya patah pula. “Pinto mengerti dan pesan Locianpwe akan pinto sampaikan kepada ketua kami.” “Tolol kau tosu busuk! Setua engkau menyebut aku Locianpwe? Aku adalah Nona Bu, mengerti?” Tosu itu mengangguk-angguk dan menyeringai. “Dan engkau orang she Kiang, aku tidak membunuhmu bukan karena aku takut terhadap Kwi eng Niocu Ang Hwi Nio, melainkan aku ingin engkau menyampaikan pesan kepada gurumu itu bahwa kalau aku mau, mudah saja aku membunuh murid kepalanya. Nah, kalian minggatlah!” Dua orang itu melangkah pergi dengan terhuyung-huyung dan wanita itu terkekeh genit, kemudian dia memandang kepada Bi Kiok yang sejak tadi berdiri dengan kedua lengan bersedakap tanpa bergerak seperti arca sambil menegur, “Bi Kiok, mengapa engkau menolong Si Gundul itu?” Bukan main kagetnya hati Kun Liong. Juga Bi Kiok diam-diam kaget sekali biarpun wajahnya tidak membayangkan sesuatu. “Dia bukan segolongan dengan orang-orang ini, Subo,” jawab Bi Kiok, suaranya dingin dan sama sekali tidak menunjukkan perasaan apa-apa. “Hemmm, kaukira aku tidak tahu akan hal itu? Semalam kulihat dia seorang pemuda yang bertulang baik dan berdarah bersih, tentu lebih bermanfaat bagiku jantungnya. Akan tetapi engkau telah menolongnya dan membebaskannya. Eh, Bi Kiok jangan main-main kau. Apakah engkau jatuh cinta kepada pemuda gundul yang tampan itu?” Kembali Kun Liong terkejut sampai tubuhnya terguncang. Bukan main perempuan itu. Mengerikan dan ganas, juga cerdik luar biasa. Entah mengapa dan bagaimana Bi Kiok sampai bisa menjadi murid Iblis betina yang menyeramkan itu. “Tidak, Subo. Jangan Subo menyangka yang bukan-bukan. Karena melihat dia menjadi tawanan orang-orang ini, maka teecu menganggap bahwa Subo tidak menghendakinya dan teecu melepaskan belenggunya.” “Untung bahwa kau tidak mencintanya. Kalau kau mencintanya, sekarang juga dia kubunuh dari tempat ini!” Untuk ke tiga kalinya Kun Liong kaget setengah mati. Celaka, agaknya wanita mengerikan itu tahu bahwa dia bersembunyi di situ. Kalau tidak, mana mungkin wanita itu mengatakan dapat membunuh Kun Liong dari tempat dia berdiri? “Mengapa begitu, Subo? Teecu tidak mencinta siapa-siapa, akan tetapi kalau teecu mencintanya mengapa Subo hendak membunuhnya?” “Pertanyaan yang tolol, jatuh cinta kepada seorang pria berarti membunuh diri sekerat demi sekerat, tahukah engkau? Mencinta pria tidak ada gunanya sama sekali, karena di dunia ini tidak ada pria yang setia! Sebelum mendapatkan dirimu, pria bersumpah setinggi langit sedalam lautan, kalau sudah mendapatkan, matanya liar mencari perempuan lain. Tahu? Karena itu, jangan sekali-kali engkau jatuh cinta kepada pria, dan kalau kelak engkau jatuh cinta jalan satu-satunya yang baik adalah membunuhnya, merubah cintamu menjadi benci. Mengerti?” Bi Kiok tidak menjawab dan agaknya iblis betina itu pun tidak membutuhkan jawaban karena dia sudah mulai mengganyang lima buah jantung yang masih basah oleh darah itu, masing-masing digigit sepotong lalu dibuang sambil mengomel, “Ihhh, jantung manusia-manusia celaka ini sama sekali tidak enak, terutama jantung dia yang berpakaian sastrawan ini!” Dia menggerakkan kakinya menendang. “Prokkk!!” Kepala mayat Ouw siucai remuk dan otaknya berantakan! “Uweeekk!” Tak dapat ditahan lagi Kun Liong muntah-muntah di tempat persembunyiannya! Dia muak bukan main, tak dapat ditahannya lagi, bukan hanya muak melihat iblis betina itu makan jantung mentah, juga amat muak mendengar ucapannya. “Ihhhh...!” Bi Kiok tidak dapat menyembunyikan rasa kagetnya karena dia sungguh tidak menyangka bahwa Kun Liong masih bersembunyi di tempat itu! “Nah, kaulihat betapa menjemukan laki-laki!” Gurunya berkata lagi, “Untung engkau tidak mencintanya, kalau kau mencintanya, engkau kuharuskan membunuhnya sekarang juga. Karena kau sudah membebaskannya, kita harus menjaga gengsi! Biarlah dia bebas, akan tetapi sekali kita berjumpa dengan bocah gundul itu, engkau ketuk kepala gundulnya sampai pecah!” Kun Liong tak dapat menahan rasa panas yang membakar di dalam perutnya. Dia boleh mati dibunuh akan tetapi tidak mungkin dia diam saja menelan penghinaan orang, biarpun orang itu sekejam iblis betina ini! Dia tidak bersalah apa-apa, mengapa dihina? “Eh, eh, nanti dulu! Aku tidak melakukan suatu kesalahan, mengapa tiada hujan tiada angin, tiada api tiada air, Bibi datang?datang memaki-maki aku?” Kun Liong sudah meloncat keluar dari balik semak-semak sambil mengusap mulutnya yang tadi muntah, memandang kepada iblis betina itu tanpa berkedip dan sedikit pun tidak merasa takut. “Gundul buruk! Siapa bibimu?” Siang tok Mo li Bu Leng Ci membentak, terheran juga menyaksikan keberanian bocah gundul ini. “Siapa lagi kalau bukan Siang tok Mo-li, seorang di antara para datuk kaum sesat? Kalau tidak boleh disebut bibi, habis aku disuruh menyebut apa?” “Swinggg... siuuuuttt...!!” Kun Liong sudah memejamkan mata melihat sinar hitam dari rambut wanita itu menyambar dengan kecepatan yang mengerikan. Benar saja, dia merasa ada rambut-rambut halus panjang dan harum membelit seluruh tubuhnya dan tubuhnya terangkat ke atas lalu berputar-putar seperti kitiran angin. Celaka, pikirnya. Dia tidak mampu menggerakkan kaki dan tangan karena keempat anggauta tubuhnya itu ikut terbelit. Sekali saja dibanting, akan remuk dia! “Aku adalah Nona Bu, tahu?” “Aku tahu, Nona Bu yang bisanya hanya membunuh orang yang tidak bisa melawan! Bisanya hanya menjilat ludah sendiri yang sudah dikeluarkan di atas tanah!” “Apa kau bilang ? Bedebah busuk, kusiksa engkau sampai minta-minta ampun!” “Siksalah. Siapa takut? Hal itu hanya akan menambah bukti bahwa Siang tok Mo li yang terkenal sebagai seorang di antara datuk-datuk hanyalah bernama kosong, yang melanggar janji sendiri!” “Brukkk!” Tubuh Kun Liong dibanting ke atas tanah, akan tetapi tidak terlalu keras karena kata-kata pemuda itu sudah menikam ke dalam dada iblis betina itu. “Bocah setan! Siapa bilang aku melanggar janji? Engkau takkan kubunuh sekarang, hal itu tidak akan kulanggar, akan tetapi aku tidak berjanji untuk tidak membuntungi kedua kakimu! Aku akan membiarkan kau hidup, akan tetapi kedua buah kakimu akan kubikin remuk tulang-tulangnya sehingga engkau akan menjadi seorang buntung yang tidak ada gunanya!” “Aku hanya bisa mengatakan sayang, karena hal itu menunjukkan bahwa engkau tidak berani menghadapi kenyataan!” jawab Kun Liong dengan sikap tenang, seolah-olah ancaman dibuntungi kedua kakinya hanya seperti mendengar dibuntungi rambut atau kuku jarinya saja! “Kenyataan apa yang kau maksudkan?” Kun Liong yang cerdik sudah mendapatkan akal dan dia menjawab tenang. “Aku sudah pernah bertemu dengan seorang di antara datuk-datuk yang tersohor itu selain engkau.” “Ihh! Benarkah? Siapa yang kaujumpai?” “Yang amat sakti Ban tok Coa ong Ouwyang Kok sendiri, bersama puteranya, Ouwyang Bouw!” Iblis betina itu benar benar tertarik sekali. Dia tahu akan kelihaian raja ular itu, dan merasa heran bahwa pemuda itu masih hidup setelah bertemu dengan ayah dan anak itu. “Bohong kau! Hanya mendengar nama mereka dari orang lain saja! Hemm, untuk kebohonganmu itu, bukan hanya kedua kaki, juga sebuah lenganmu akan kubikin buntung!” Kalau Kun Liong mengenal wanita iblis ini, tentu dia akan menjadi pucat seperti Bi Kiok, karena iblis betina ini tidak pernah mengancam dan selalu akan melaksanakan kata-katanya. Akan tetapi Kun Liong tetap tenang dan menjawab, “Siapa bohong ? Ban tok Coa ong orangnya tinggi kurus seperti ular, dia mempunyai terompet aneh dan pedang ular, matanya sipit, lehernya paniang dapat berputar-putar.” Dia lalu menceritakan dengan jelas keadaan kakek raja ular itu dan puteranya. Karena dia memang pernah bertemu dengan mereka, tentu saja dia dapat bercerita dengan tepat sehingga wanita iblis itu percaya. “Akan tetapi dibandingkan dengan Siang tok Mo li, Si Raja Ular itu masih kalah jauh, kalah kejam, kalah menyeramkan, dan agaknya melihat gerakan-gerakan tadi, dia masih kalah sakti. Hanya aku ingin sekali bertemu dengan para datuk yang lain, Kukira engkau tidak akan sehebat mereka itu terutama Si Bayangan Hantu...” “Boleh! Aku membiarkan engkau pergi dan boleh kausaksikan sendiri. Kelak masih belum terlambat bagiku untuk mencari bocah gundul macam engkau untuk kuganyang otak dan jantungmu! Bi Kiok, hayo pergi, bocah ini menjemukan sekali!” Iblis betina itu lalu menggandeng tangan muridnya dan sekali berkelebat dia lenyap. Agaknya dia ingin memamerkan ginkangnya yang luar biasa kepada Kun Liong! Kun Liong tersenyum seorang diri. Akalnya berhasil. Untung bahwa dia tadi mengintai dan mendengarkan ucapan iblis betina itu terhadap Kiang Ti dan Loan Khi Tosu. Kalau tidak tentu dia tidak akan dapat menggunakan akal itu, karena dia tentu tidak mengenal watak iblis itu. Dari ucapan iblis tadi dia dapat mengerti di samping kelihaian dan kekejamannya, iblis betina itu memiliki watak angkuh dan tinggi hati, tidak mau dikalahkan. Karena itulah maka dia sengaja membakar hati iblis betina itu yang tentu saja menjadi penasaran dan membebaskan pemuda itu hanya untuk memberinya kesempatan melihat dengan mata kepala sendiri bahwa Siang tok Mo li tidak kalah dibandingkan dengan datuk lainnya! Akan tetapi Kun Liong juga merasa menyesal sekali mengapa dara seperti Bi Kiok sampai menjadi murid iblis itu. “Aihh, kasihan engkau, Bi Kiok.” Kun Liong mengeluh dan memandang ke arah tempat dara itu tadi berdiri seperti arca. Tampak olehnya sesuatu di atas lantai batu depan kuil di mana tadi dara itu berdiri. Cepat dia menghampiri dan ternyata di atas lantai di mana Bi Kiok tadi berdiri terdapat guratan-guratan huruf yang agaknya dibuat dengan kaki dara itu. Menggurat lantai dengan kaki mengukir huruf itu saja sudah membuktikan betapa lihai dara itu, agaknya jauh lebih lihai daripada Lim Hwi Sian, dara remaja pendekar Secuan itu! Kun Liong cepat membaca guratan huruf-huruf itu. “Jangan bicara tentang bokor kepada siapapun juga agar nyawamu selamat!” Kun Liong menggaruk kepalanya yang gundul. Dia sudah cukup cerdik untuk mengerti betapa bokor yang dia temukan di dasar Sungai Huang-ho itu dijadikan perebutan orang, dan tentu saja dia tidak mau sembarangan membicarakannya. Bokor itu telah disimpannya dengan aman. Akan tetapi dia merasa heran sekali mengapa Bi Kiok yang tadinya terancam oleh gurunya yang seperti iblis, masih mempedulikan dia bahkan meninggalkan pesan yang berbahaya ini? Tentu saja akan menjadi berbahaya sekali kalau iblis betina itu tahu akan perbuatan muridnya itu. Mengapa Bi Kiok selalu menolongnya? Teringat dia akan pertanyaan Si Iblis Betina kepada muridnya apakah dara remaja itu mencinta dia! Dan teringat akan ini, Kun Liong melebarkan matanya dan tersenyum kecut. Mana mungkin seorang dara secantik Bi Biok jatuh cinta kepada seorang gundul plontos seperti dia! Akan tetapi mengapa pula Bi Kiok selalu menolongnya, bahkan berani mati meninggalkan pesan itu? Benarkah dia mencinta? Atau setidak-tidaknya kasihan atau suka kepadanya. “Plakk!” Gundul yang bersih itu kembali dicium tamparan telapak tangannya sendiri. “Wah, gundul! Untungmu besar memang!” Kun Liong berkata demikian dengan wajah berseri karena dia teringat akan Souw Li Hwa yang bersikap manis dan memuji gundulnya, teringat akan Lim Hwi Sian yang bahkan suka mencium gundulnya, kini teringat akan Bi Kiok yang juga suka kepadanya. Aihhhh, mengapa gadis-gadis cantik melulu yang bersikap manis kepadanya? Dengan langkah-langkah ringan, seringan hatinya yang mengenangkan wajah tiga orang dara remaja yang cantik-cantik itu, Kun Liong melanjutkan perjalanannya ke selatan, menuju Cin ling san yang tak berapa jauh lagi. Cin ling san merupakan pegunungan yang tidak berapa tinggi, tidak setinggi Pegunungan Kun lun san, Tang la san, Heng tuan san atau bahkan Ci lian san yang puncak-puncaknya menjulang tinggi memasuki langit, kata orang! Namun justeru karena tinggi puncaknya tidak menembus awan itulah yang membuat Pegunungan Cin ling san merupakan daerah yang selain indah juga amat subur tanahnya, amat sejuk nyaman hawanya. Beberapa tahun yang lalu, sebelum Cin ling pai (Perkumpulan Cin ling) terbentuk oleh Pendekar Besar Cia Keng Hong dan isterinya, pegunungan ini merupakan daerah angker dan tidak ada orang berani mendaki pegunungan ini yang selain penuh dengan hutan yang dihuni binatang liar itu, juga menjadi sarang kawanan perampok. Apalagi ketika mendiang Nenek Tung Sin Nio tinggal di lereng sebelah timur Cin ling san, tidak ada seorang pun, baik orang berilmu golongan bersih maupun sesat, yang berani mendekati daerah itu. Nenek Tung Sun Nio adalah guru ke dua dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong. Memang di seluruh daerah Pegunungan Cin ling san ini, lereng timur merupakan bagian yang paling indah pemandangannya dan paling subur tanahnya. Karena itu, di tempat ini pula, bekas tempat pertapaan Nenek Tung Sun Nio, Cia Keng Hong mendirikan perkumpulan Cin ling pai yang tadinya hanya merupakan kelompok petani yang berlindung di bawah wibawa suami isteri pendekar itu. Kemudian jumlah mereka membesar sehingga terkenalah Perkumpulan Cin ling pai karena Cia Keng Hong menurunkan ilmu silat kepada pemuda-pemuda yang tinggal di situ. Pemandangan dari lereng timur Cin-ling san mentakjubkan sekali. Memandang ke utara tampak samar-samar seekor ular biru yang panjang, yang bukan lain adalah Sungai Wei ho yang mengalir ke timur. Memandang ke timur tampak pula kaki Pegunungan Ta pa san di mana mengalir Sungai Han shui. Di selatan tampak puncak Pegunungan Ta pa san dan Sungai Cia ling yang airnya agak kuning. Di barat tampak menjulang tinggi puncak Pegunungan Min-san yang terkenal itu. Yang disebut Cin ling pai adalab sebuah dusun di lereng timur Cin ling san, sedangkan Pendekar Sakti Cia Keng Hong bersama isterinya yang diangkat menjadi Ketua Cin ling pai, merupakan juga semacam kepala dusun yang disegani dan dihormati, akan tetapi juga dicinta oleh semua penduduk dusun di situ. Penduduk dusun ini juga menyebut diri mereka anggauta Cin ling pai, dari kanak kanak yang baru belajar bicara sampai kakek-kakek yang sudah pikun! Cia Keng Hong adalah seorang pendekar yang usianya pada waktu itu sudah mendekati empat puluh tahun. Wajahnya masih tampak gagah dan tampan, dengan tubuh sedang dan biarpun sudah mendekati empat puluh tahun, tidak seperti sebagian besar kaum pria setengah tua, pinggangnya masih ramping dan dadanya bidang. Baik pakaiannya, sikap maupun tutur sapanya sederhana sekali sehingga dipandang sepintas lalu, tidaklah pantas kalau dia itu Cia Keng Hong yang terkenal oleh setiap orang di dunia persilatan, lebih patut kalau dia itu seorang sastrawan dusun, atau seorang terpelajar yang mengundurkan diri dan hidup sebagai petani sederhana. Hanya kalau orang memperhatikan sinar matanya dan mendengarkan ucapannya, barulah orang tahu bahwa dia bukanlah orang biasa dan dari pribadinya mencuat keluar wibawa yang berpengaruh. Isteri pendekar itu pun bukan orang biasa. Bahkan mungkin sekali namanya lebih banyak dikenal, terutama di kalangan kaum sesat dan namanya pernah membuat setiap orang yang mendengar menjadi ketakutan. Isteri pendekar itu bernama Sie Biauw Eng dan dahulu di waktu masih gadis berjuluk Song bun Siu-li (Dara Jelita Berkabung) karena pakaiannya selalu serba putih. Namanya terkenal sekali karena dia adalah murid datuk golongan sesat, mendiang Lam hai Sin ni (Wanita Sakti Laut Selatan)! Di dalam ceritaSiang Bhok Kiam atauPedang Kayu Harum diceritakan riwayat Song bun Siu li Sie Bun Eng ini sebelum menjadi isteri Pendekar Sakti Cia Keng Hong! Kini usia Sie Biauw Eng sudah kurang lebih tiga puluh lima tahun. Namun dia masih kelihatan muda dan cantik, seperti seorang wanita muda berusia kurang dari tiga puluh tahun saja, tubuhnya masih tetap ramping, tegap berisi dengan kulit halus tanpa noda keriput. Sikapnya kadang-kadang masih agak dingin dan kadang-kadang amat galak, akan tetapi kalau sudah timbul ramahnya, dia halus budi dan lemah gemulai seperti seorang dewi. Biarpun tingkat ilmu silatnya tidak setinggi suaminya, namun di dunia kang-ouw namanya terkenal sekali dan agaknya tidak banyak tokoh dunia persilatan yang akan mampu menandinginya. Cantik dan halus gerak-geriknya, wanita cantik yang lemah tampaknya, akan tetapi sekali dia mengamuk, jarang ada pendekar yang berani mendekatinya! Suami isteri yang gagah perkasa dan bagaikan yang hidup rukun saling mencinta ini mempunyai seorang anak perempuan yang mereka namakan Cia Giok Keng yang pada waktu itu telah berusia empat belas tahun lebih. Dara remaja ini cantik seperti ibunya, juga berani mati, tidak mengenal takut dan galaknya seperti harimau, presis ibunya di waktu muda. Namun berbeda dengan ibunya yang pendiam dan kelihatan dingin, Giok Keng ini lincah gembira dan pandai sekali bicara, pandai berdebat seperti ayahnya. Pada pagi hari itu, Giok Keng berada di rumah dan duduk melamun. Seperti biasanya pagi-pagi sekali dia telah bangun mandi dan mengenakan pakaian bersih. Dia tidak pesolek, akan tetapi seperti ibunya, dia suka akan pakaian yang bersih dan rapi. Rambutnya dibelah menjadi dua dikuncir di sebelah belakang, anak rambutnya berjuntai di depan, menutupi dahi dengan rapi sekali. Telinganya dihias anting-anting bermata kemala hijau, sepatunya tinggi, terbuat dari kulit. Cantik mungil dara remaja ini, segar bagaikan sekuntum bunga mawar hutan yang menguncup dan mulai mekar. Akan tetapi pagi itu, tidak seperti biasanya, dia duduk melamun, mulutnya agak cemberut dan alisnya berkerut. Hatinya memag kesal sekali. Ayah dan ibunya pergi dan dia tidak diperbolehkan ikut. Sudah tiga hari mereka pergi, katanya hendak pergi ke Leng-kok, mengunjungi Yap Cong San. “Mengapa saya tidak boleh ikut mengunjungi Paman Yap Cong San, Ayah?” dia menuntut manja. “Bukankah kata Ayah dan Ibu, Paman Yap adalah keluarga terdekat, dan sampai sekarang pun saya belum pemah bertemu dengan mereka?” “Lain kali saja, manis,” jawab ayahnya penuh kasih sayang. “Kalau kau ikut pergi, siapa yang akan menjaga rumah dan bertanggung jawab di sini? Sekali ini, engkau harus mewakili Ayah Ibumu, menjaga Cin ling pai. Engkau sudah cukup dewasa!” Jawaban yang cerdik ini menyudutkan Giok Keng. Dia ditinggalkan, akan tetapi sekaligus diangkat menjadi wakil! Tentu saja dia tidak sanggup membantah lagi dan pada pagi hari itu, setelah tiga hari lamanya dia merasakan kesunyian yang membuat hatinya mengkal, pagi-pagi dia setelah mandi duduk di ruangan depan rumahnya sambil bertopang dagu dan termenung. Sementara itu, tak jauh dari situ, di luar dusun Kun Liong bertemu dengan beberapa orang penduduk yang sedang menuju ke sawah dengan wajah gembira karena pagi hari itu udara cerah dan hawanya sangat sejuk. Dengan susah payah, bertanya-tanya, akhirnya pagi hari itu Kun Liong sudah sampai di luar dusun itu setelah malam tadi dia melewatkan malam dingin di dalam hutan di lereng bukit. Empat orang petani itu menghentikan langkah mereka dan memandang Kun Liong dengan heran. Jarang ada orang luar daerah datang berkunjung, kecuali para pedagang yang hendak membeli daun-daun dan akar-akar obat, ditukar dengan segala macam benda dari kota yang mereka butuhkan. Karena mereka tidak tahu apakah pemuda itu seorang hwesio yang berpakaian biasa ataukah seorang pemuda biasa yang berkepala gundul, empat orang itu hanya memandang dan bersikap waspada. Semua penduduk atau anggauta Cin ling pai sudah biasa bersikap waspada dan hati-hati sesuai dengan petunjuk ketua mereka. Kun Liong segera mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai penghormatan dan dibalas oleh empat orang itu dengan gerakan yang sama. “Sudikah Cuwi (Anda Sekalian) menunjukkan kepada saya di mana adanya Cin ling pai?” Mendengar tutur sapa Kun Liong empat orang dusun itu saling pandang. Mereka tidak pernah mengenal huruf dan kesopan santunan kota, dan ketua mereka pun tidak berniat mengubah kewajaran orang-orang dusun itu. Akan tetapi mereka maklum bahwa mereka berhadapan dengan seorang pemuda yang baik, maka seorang di antara mereka menjawab sederhana, “Dusun kami itulah Cin ling-pai dan kami adalah anggauta-anggauta Cin ling pai. Ada keperluan apakah engkau mencari Cin ling pai?” Kun Liong menyembunyikan rasa herannya. Cin ling pai adalah nama perkumpulan, bagaimana mungkin sebuah dusun disebut perkumpulan? Dia hanya tersenyum dan berkata pula, “Tidak ada keperluan dengan Cin ling pai, hanya saja ingin menghadap Ketua Cin ling pai. Bukankah ketuanya bernama Cia Keng Hong?” Kini empat orang itu memandang penuh kecurigaan, dan orang yang tertua tadi bertanya lagi dengan hati-hati, “Kalau boleh aku bertanya, ada hubungan apakah antara Anda dengan ketua kami?” “Dengan Pendekar Sakti Cia Keng Hong? Ahh, saya hanyalah murid keponakannya, ibu saya adalah sumoi dari Cia susiok.” Empat orang itu kelihatan kaget sekali dan cepat mereka memberi hormat dengan membungkuk. “Aihh, harap Sicu (Tuan Yang Gagah) sudi memaafkan kami. Rumah Cia taihiap berada di dalam dusun kami, rumah besar yang bercat kuning di tengah dusun. Maaf, kami tidak dapat mengantar karena kami hendak melaksanakan tugas pekerjaan kami di sawah.” “Tidak mengapa, Paman. Terima kasih atas kebaikan Paman, saya akan mencarinya sendiri,” kata Kun Liong. Empat orang dusun itu bergegas pergi menuju ke sawah. Mereka khawatir kalau-kalau oleh pemuda itu dilaporkan bahwa mereka kurang pagi berangkat atau bermalas-malasan. Nona muda amat galak, dan biarpun hidup mereka di situ tidak ditekan, namun nona muda paling tidak suka melihat orang malas karena dia sendiri amat rajin dan suka bekerja! Kun Liong memasuki dusun dan mudah saja dia menemukan rumah besar bercat kuning karena dusun itu ternyata hanya merupakan sebuah dusun kecil dengan sedikit rumah-rumah, paling banyak ada lima puluh buah rumah. Dia memasuki pekarangan rumah yang lebar dan penuh dengan tanaman bunga yang amat indah. Bunga-bunga di sini segar dan sehat seperti di tempat-tempat dingin, dan dia harus mengagumi kepandaian orang yang mengatur taman depan rumah itu. Tidak kalah oleh taman-taman milik orang bangsawan di kota agaknya! “Heee! Mau apa kau longak-longok di tamanku? Apakah engkau mau mencuri bunga? Mau malas-malasan tidak bekerja, ya?” Kun Liong terkejut sekali. Tadi dia berjongkok mencium setangkai bunga mawar yang amat indahnya, warna merah muda dan berbau harum. Dia bangkit berdiri dan memutar tubuhnya. “Ehhh...! Siapa kau...?” Dara remaja yang berdiri di ruangan depan rumah itu bertolak pinggang dan mengerutkan alisnya. Kun Liong cepat melangkah maju dan naik anak tangga ke ruangan depan, menghadapi dara remaja itu dengan sinar mata kagum. Dara remaja ini bukan main cantiknya! Seperti bunga mawar tadi, segar kemerahan dan harum! Dan seperti mawar yang berduri, dara ini pun agak galak! Entah mengapa, pribadi dara ini mengeluarkan daya tarik yang membetot semangatnya, membuat Kun Liong hanya berdiri terlongong di depannya. “Mau apa engkau? Kalau engkau hwesio minta derma, sebutkan di mana kuilmu dan siapa ketua kuil yang mengutusmu!” Merah muka Kun Liong, merah juga kepalanya yang gundul dan perutnya terasa panas! Datang-datang dia disambut penghinaan oleh dara cantik ini! Sombongnya! Hem, apakah karena cantik jelita dan agaknya menjadi orang penting di rumah Pendekar Sakti Cia Keng Hong, bocah ini boleh menghinanya sembarangan saja? Dia seorang laki-laki yang tidak takut apa-apa, masa datang-datang dihina oleh seorang bocah perempuan, betapapun cantiknya dia? “Eh, eh, jangan sembarangan menyangka orang. Aku bukan hwesio dan aku sama sekali bukan datang mau minta derma!” Kata-kata ini diucapkan dengan marah karena Kun Liong merasa terhina sekali disangka minta derma! Sepasang mata yang seperti mata burung hong itu mengeluarkan sinar berapi, dan alis yang melengkung indah itu berkerut makin dalam, bibir yang merah dan berbentuk gendewa terpentang itu mencibir runcing, kemudian membentak, “Kalau bukan hwesio mengapa kepalamu gundul? Tentu engkau hwesio yang menyamar dan kalau ada pendeta menyamar berarti hatinya mengandung niat buruk. Berbahaya!” “Sialan! Aku bukan hwesio!” Kun Liong juga membentak marah, matanya yang lebar terbelalak. Giok Keng tersenyum. Manis sekali senyumnya, akan tetapi juga menusuk jantung karena di balik senyum manis ini tampak jelas maksud mengejek. “Bukan hwesio ya sudah, tak perlu menggonggong! Kalau bukan hwesio, tentu engkau seorang pemuda yang mempunyai banyak kutu rambut, atau mungkin kepalamu penuh kudis maka kaubuang semua rambutmu!” “Bocah perempuan sombong! Engkau menghina, ya?” Kun Liong melangkah maju setindak. Senyum ejekan itu melebar dan tampak jelas dara itu mengangkat dada ke depan, membusungkan dada yang sudah mulai membusung itu, sambil berkata, “Kalau benar aku menghina, habis engkau mau apa?” Makin panas rasa perut Kun Liong. Bocah ini benar-benar kurang ajar, pikirnya. “Kalau engkau menghina, aku pun bisa menghinamu!” “Coba saja kalau berani!” “Wah, sombongnya! Masa aku tidak berani membalas seorang bocah perempuan sombong seperti engkau? Engkau memang cantik seperti... bunga mawar, akan tetapi banyak sekali durinya. Engkau cantik akan tetapi galak seperti... hemmm...” Kun Liong memutar otak untuk mencari perbandingan agar dapat balas menghina. Muka Giok Keng sudah mulai merah dan dia membanting kaki kanannya. “Seperti apa? Hayo katakan kalau berani!” Kedua tangan yang bertolak pinggang sudah turun dan dikepal menjadi dua tinju kecil. Senang hati kun Liong melihat dara itu mulai marah. Makin manis kalau marah, pikirnya, kedua pipi itu menjadi kemerahan, presis bunga mawar. Biar dia bertambah marah, pikirya dan dia berkata, “Seperti... kucing betina kehilangan tanduk!” “Keparat kau!” Giok Keng sudah menerjang dengan pukulan kilat ke arah kepala gundul Kun Liong. Pemuda ini mengelak, namun kalah cepat karena gerakan gadis ini benar-henar amat cepat luar biasa. “Takkk!” Kepala Kun Liong yang gundul kena diketak (dipukul dengan buku jari) tangan kanan Giok Keng. Berkat sin kang yang dipelajarinya dari Bun Hwat Tosu, kepala itu terlindung dan tidak terluka, akan tetapi kulit kepalanya terasa nyeri sehingga Kun Liong meringis. Akan tetapi Giok Keng juga menyeringai kesakitan ketika buku jari tangannya bertemu dengan batok kepala yang amat keras! “Aihhh, kepala gundulmu keras juga, ya?” Ucapan ini sengaja dikeluarkan bukan untuk mengejek, melainkan karena terheran dan dengan sungguh-sungguh, akan tetapi membuat Kun Liong makin marah. Tidak saja kepalanya diketak, akan tetapi juga diejek! “Pukulanmu seperti tahu saja!” Dia balas mengejek dan balas pula menyerang, akan tetapi karena dia tidak ingin memukul, dia hanya menggunakan tangannya untuk mendorong pundak dara itu dengan tangan terbuka. “Cih, kiranya engkau manusia cabul!” Giok Keng mengelak. “Cabul hidungmu!” Kiin Liong makin marah. “Siapa yang cabul?” Dia menjadi makin marah dan mukanya makin merah. Dorongan ke pundak dikatakan cabul, apakah dia disangka akan menggunakan tangannya untuk memegang apa? “Gundul cabul tak tahu malu! Rasakan hajaran Nona Cia!” Giok Keng kini menyerang dengan gerakan yang amat cepatnya sehingga Kun Liong sibuk mengelak ke sana sini. Juga dia kaget setengah mati mendengar bahwa dara di depannya ini adalah Nona Cia. Berarti puteri susioknya! Dia sudah mendengar sepintas lalu dari ayah ibunya bahwa Cia Keng Hong mempunyai seorang puteri kalau tidak salah ingat namanya pakai Keng keng begitu. “Eh, tahan dulu...! Plak!” Karena lengah, pundaknya kena dipukul membuat dia terhuyung, akan tetapi tidak apa apa. Hal ini membuat Giok Keng heran dan penasaran, maka dia menerjang lagi. “Nanti dulu! Desss!” Kun Liong menangkis dengan keras, kini Giok Keng yang terhuyung karena Kun Liong menggunakan sinkang. “Apakah engkau Keng?” Giok Keng menghentikan scrangannya, dahinya berkeringat sehingga anak rambut di dahi kacau balau dan melekat seperti dilukis, matanya berkilat dan pipinya bertambah merah. “Apa Keng?” Dia membentak. “Bukankah namamu memakai Keng-keng begitu? Kau puteri Ketua Cin ling-pai?” “Banyak cerewet! Rasakan tanganku!” Giok Keng sudah menyerang lagi dan karena dia dapat menduga bahwa pemuda gundul ini lihai juga serta memiliki kekebalan sehingga dapat menahan pukulannya, maka kini dia menggunakan dua jari tangan kanan kiri, melakukan serangan dengan totokan-totokan yang cepat sekali. Biarpun kebal, jalan darahnya tentu tidak kebal, pikirnya. “Cusss!” Serangan bertubi tubi itu akhirnya berhasil dan dada kanan Kun Liong kena ditotok. Akan tetapi karena jalan darah yang ditotoknya itu tidak kena dengan tepat, tubuh Kun Liong tidak menjadi kaku seperti kalau terkena tepat melainkan bergoyang dan menggigil sedikit, kemudian pemuda itu sudah meloncat mundur dan berkata, “Hemm, engkau mengajak berkelahi, ya? Aku seorang laki laki sejati, tidak mau memukul perempuan, akan tetapi aku harus membela diri.” “Kau laki laki apa? Cerewetnya melebihi seorang nenek bawel. Mampuslah!” “Wuussss...!!” Kedua tangan Giok Keng sudah menerjang lagi dengan totokan totokan lihai sekali dan hal ini tidaklah mengherankan karena dara itu mainkan jurus jurus San in Kun hoat (Ilmu Silat Awan Gunung), semacam ilmu silat tinggi sekali yang dipelajari dari Cia Keng Hong. Ilmu silat San in Kun hoat ini hanya terdiri dari delapan jurus, akan tetapi setiap jurusnya merupakan gerakan gerakan yang luar biasa lihainya. Kalau saja Giok Keng sudah memiliki sin-kang yang kuat, tentu dia dapat merobohkan Kun Liong dengan ilmu silat tinggi ini. Akan tetapi karena dara itu menyangka bahwa pemuda gundul itu memiliki kekebalan luar biasa, dia mengganti kepalan dengan totokan. Namun kecepatan dan keanehan gerakannya membuat Kun Liong sibuk sekali. Terpaksa pemuda ini lalu mainkan jurus dari Pat hong sin kun untuk menjaga diri dan memang daya tahan dari ilmu silat ini luar biasa. Jangankan hanya dua buah tangan Giok Keng yang datang dari dua jurusan, andaikata dia diserang dari delapan jurusan sekalipun, dia akan dapat melindungi dirinya sesuai dengan sifat Ilmu Silat Pat hong sin kun (Silat Sakti Delapan Penjuru Angin). Setelah beberapa lama Giok Keng tak dapat mengenai sasaran tubuh lawannya, dara itu menjadi makin marah dan timbullah kenakalan Kun Liong untuk mengejeknya, “Hayo, keluarkan Thi khi-I beng, hendak kulihat bagaimana lihainya.” “Eihhh...!!” Giok Keng tak dapat menahan kemarahannya. Thi khi I beng adalah ilmu sakti yang hanya dimiliki ayahnya. Tentu saja dia belum diajar ilmu itu, atau belum tentu selamanya akan diajar ilmu itu yang menurut ayahnya tidak boleh sembarangan dimiliki orang yang dasarnya belum kuat benar lahir batin. Kini pemuda gundul ini menantang Ilmu Thi khi I beng. Hati siapa tidak menjadi gemas? “Jahanam gundul keparat sombong! Tak perlu dengan Thi khi I beng untuk melawan manusia macam engkau!” Kini dara itu merobah ilmu silatnya dan gerakannya menjadi aneh sekali. Baru beberapa jurus saja, dengan gerakan memutar setelah mendesak Kun Liong dengan totokan totokan maut, dara itu berhasil menendang pinggul Kun Liong sehingga pemuda itu terlempar dan terbanting. “Wah, curang! Kusangka hanya menotok terus, tahu tahu menendang pinggul!” “Mampuslah!” Giok Keng sudah menubruk maju. “Ciaaattt!” Dua buah jari tangan kirinya menusuk ke arah mata Kun Liong yang masih telentang dan baru hendak bangkit duduk. “Aihhhh...!” Kun Liong meloncat ke atas, menghindarkan totokan dan tangan sudah dikepal untuk balas menghantam kepala dara itu dari atas. Akan tetapi entah mengapa, dia tidak tega memukul dan kepalannya dibuka, berubah menjadi cengkeraman dan dia berhasil menjambak sebuah di antara dua kuncir rambut dan menariknya. “Aduhhhh... curang kau, setan!” Giok Keng yang dijambak rambutnya menjerit, akan tetapi berbareng dia pun menggunakan jari tangannya menotok pundak sambil mengerahkan tenaga. “Dukkk!!” Tubuh Kun Liong menjadi lemas dan dia roboh terguling! Sambil bertolak pinggang berdiri di dekat tubuh Kun Liong yang rebah telentang, Giok Keng tersenyum mengejek, menggerakkan kepalanya untuk memindahkan rambutnya yang agak awut-awutan dijambak Kun Liong tadi ke belakang punggung, napasnya agak terengah, muka dan lehernya berkeringat, pipinya merah segar. “HEMMM, kalau hendak membunuhmu, betapa mudahnya!” Dia mengejek. Biarpun tubuhnya masih lemas dan tak dapat digerakkan, namun Kun Liong masih dapat menggerakkan mulut bicara, dan pandang matanya sama sekali tidak takut atau menyerah, bahkan mengejek! “Kalau begitu, mengapa tidak kaubunuh? Hemmm, kau tidak berani membunuhku, ya? Karena kalau kau membunuh orang yang kaucurangi sehingga tanpa tersangka sangka kena totokan, berarti engkau seorang dara pengecut paling besar!” “Setan gundul! Kau masib berani membuka mulut besar?” “Mengapa tidak? Engkau seorang dara yang cantik tapi galak, behati baik akan tetapi pura pura keras. Engkau puteri seorang pendekar besar yang tentu berjiwa pendekar pula, akan tetapi kau memperlakukan seorang tamu dengan kurang ajar dan menghina. Tunggu saja kau, akan kulihat bagaimana sikapmu kalau kuceritakan kepada ayah bundamu kelak!” Sepasang mata yang indah itu terbelalak. “Ehh...? Kau... kau siapa?” “Ayahmu adalah Supekku (Uwa Guru) karena ibuku adalah sumoinya.” “Apa? Engkau... engkau she Yap?” “Tidak ada keduanya!” “Engkau yang bernama Yap Kun Liong putera Paman Yap Cong San?” “Hanya inilah orangnya!” “Celaka! Kenapa kau tidak bilang sejak tadi ?” Tergopoh gopoh Giok Keng menotok kembali pundak Kun Liong sehingga pemuda itu terbebas dan dapat bangkit berdiri lagi. Mereka berdiri saling berhadapan, saling pandang. Akhirnya Giok Keng yang membuka mulut berkata dengan nada suara penuh permintaan. “Eh, kau jangan...” “Namaku bukan eh!” “Orang she Yap...” “Mengapa kau sombong amat, sih? Memangnya aku penjahat sampai kau tidak sudi menyebut namaku?” Giok Keng membanting-banting kakinya dengan jengkel, gerakan yang ia warisi dari ibunya. Biasanya dia amat pandai berbantah, dan dimanja oleh siapa pun, sekarang dia selalu dibantah dan dicela habis-habisan oleh Si Gundul ini! Akan tetapi dia takut kalau-kalau Si Gundul ini mengadu kepada ayah ibunya, terutama sekali kepada ibunya. Mereka memanjakannya, akan tetapi ibunya keras dan kalau ibunya sudah marah, dia amat takut kepada ibunya. “Kun Liong...” “Eh, eh, engkau memang kurang ajar, tidak tahu aturan, ya?” “Kenapa lagi? Cerewet benar kau!” “Bukan cerewet, akan tetapi ayahmu adalah suheng ibuku, berarti di antara kita masih ada hubungannya.” “Hubungan apa? Keluarga bukan, kenal pun baru sekarang!” “Eeehh, orang tua kita adalah saudara seperguruan, berarti kita masih ada bau bau...” “Bau apa? Kurang ajar kau!” “Maksudku, masih bau bau... eh, hubungan sanak. Engkau keponakan ibuku dan aku keponakan ayahmu, berarti kita masih saudara misan seperguruan. Bukan begitukah? Jadi, karena engkau masih kecil...” “Sombong! Apa kaukira engkau ini sudah kakek kakek? Aku bukan anak kecil!” “Kalau begitu engkau nenek nenek!” “Aku bukan anak kecil, usiaku sudah empat belas tahun lebih, hampir lima belas tahun!” “Dan aku sudah lima belas tahun. Nah, berarti aku lebih tua. Engkau adalah piauw sumoi, dan aku adalah piauw-suhengmu (kakak misan seperguruan). Engkau jangan kurang aturan menyebut namaku begitu saja, ya?” Kembali Giok Keng membanting kaki dengan gemas. Dia merasa kalah bicara. Dengan susah payah dia menekan perasaannya dan berulang kali menghela napas, menahan tangannya agar jangan menampar kepala gundul itu. Entah kenapa, tangannya gatal gatal untuk menampar kepada gundul licin itu! “Baiklah, Piauw suheng!” Dia mengejek sambil membungkuk dibuat buat. “Aku minta engkau jangan mengadu kepada ayah bundaku, ya?” Kun Liong menggerakkan hidung. Rasakan engkau sekarang, pikirnya! Bocah galak harus dihajar! Dengan angkuh dia menegakkan tubuh mengangkat muka. “Salah siapa! Engkau telah menyambutku dengan cara yang kurang ajar sekali, bahkan berani memukul aku. Biar kuberitahukan kepada Supek dan Supek bo, aku ingin melihat bagaimana kalau kau dimarahi, mungkin dipukul!” “Aihhh... janganlah, Piauw suheng... ibuku keras sekali. Apa kau tidak kasihan kepada piauw sumoimu?” “Huh, enak dan gampangnya. Sudah menghina, sudah memukul, malah minta tolong segala. Kiranya aku ini orang apa, hah?” “Piauw suheng yang baik, kaumaafkan aku, ya? Aku tidak marah lagi kepadamu, aku tidak menghinamu lagi. Habis engkau sendiri juga salah. Siapa yang menyangka bahwa engkau putera Paman Yap Cong San kalau melihat... eh...” “Bilang saja kepala gundulku! Kenapa sih ragu ragu?” Kun Liong menghardik sampai Giok Keng kaget. “Ya, ya... karena kepalamu yang gundul itu mendatangkan keraguan dan kecurigaan padaku sehingga aku bersikap keras. Ketahuilah, ayah dan ibuku sedang pergi, malah pergi ke tempat ayahmu dan aku diberi tugas untuk mewakili mereka menjaga di sini, memimpin Cin-ling pai. Bayangkan saja betapa beratnya! Maka begitu melihat engkau yang kucurigai akan mengacau Cin-ling-san, aku terus turun tangan. Maafkan aku, ya?” Kun Liong merasa seperti dielus elus. Enak sekali rasanya, akan tetapi mulutnya tetap diruncingkan agar kelihatan cemberut dan marah. “Kalau aku membiarkan semua orang menampar kepalaku kemudian cukup dengan permintaan maaf saja, agaknya kepalaku akan remuk dalam waktu singkat. Tidak cukup hanya dengan permintaan maaf.” “Habis, harus bagaimana?” tanya Giok Keng penasaran. “Apakah aku harus berlutut di depan kakimu?” Kun Liong ingin sekali menuntut hukuman seperti yang dia lakukan kepada Hwi Sian, yaitu agar dara ini pun mencium kepalanya. Akan tetapi dia berpikir panjang. Kalau sampai dara ini marah, karena wataknya begini keras, bisa berabe. Dan lebih hebat lagi kalau dara ini mengadu kepada ayah bundanya, lebih celaka sekali kalau sampai ayahnya mendengar akan hal itu! Dara ini takut kepada ibunya yang keras, tentu tidak tahu betapa dia pun amat takut kepada ayahnya yang keras pula! Tidak, dia tidak boleh menyuruh Giok Keng mencium kepalanya. Tiba tiba dia mendapat akal dan menjawab sambil tersenyum. “Engkau amat menghinaku karena kepalaku yang gundul, bahkan tadi engkau telah menampar kepalaku. Nah, sekarang aku baru mau menghabiskan urusan ini sampai di sini saja kalau engkau suka menampar kepalaku sampai tiga kali lagi!” Mata Giok Keng terbelalak lebar. “Apa...? Sudah gilakah engkau? Kalau kupukul dengan sungguh sungguh, tentu akan pecah kepalamu. Jangankan sampai tiga kali, satu kali saja cukup...” “Sudahlah, menyombong lagi! Biar pecah, lebih baik agar ayah bundamu tahu bahwa puteri mereka telah menyambut kedatangan piauw suhengnya dengan pukulan maut sampai kepalanya pecah!” “Aihhh... habis bagaimana?” “Terserah kepadamu. Pendeknya, aku ingin kau menggunakan tanganmu menampar kepalaku sampai tiga kali!” Giok Keng memandang kepala itu dengan muka menunjukkan kebingungan hatinya. Tangannya memang gatal gatal rasanya, ingin sekali dia menampari kepala itu, akan tetapi kalau dia menampar sampai Kun Liong terluka atau mampus, tentu dia tidak akan mendapat ampun dari ibunya. Ia memutar otak dan akhirnya dengan wajah berseri dia berkata, “Baik, akan kutampar kepalamu tiga kali, akan tetapi luput!” “Eeh, mana bisa? Aku tidak menangkis tidak mengelak mana bisa luput? Padahal engkau puteri Ketua Cin ling-pai! Siapa mau percaya?” “Habis bagaimana?” “Terserah, asal menampar kepala.” Kun Liong diam diam girang sekali dan merasa sudah dapat membalas dendam mempermainkan dara galak itu. “Kalau pelan pelan boleh, kan?” “Pokoknya asal menggunakan tangan menampar kepala.” Jantung Kun Liong berdebar karena dia sudah membayangkan betapa kepalanya akan dielus elus oleh telapak tangan yang halus itu! “Baiklah. Nah, awas, aku akan mulai!” Giok Keng menggerakkan tangan kanannya dan tepat seperti yang diduga dan dikehendaki Kun Liong, telapak tangan yang halus dan hangat itu menjamah kepala gundul itu tiga kali. “Sudah cukup tiga kali!” kata Giok Keng sambil melangkah mundur, geli juga meraba kepala yang gundul kelimis itu. “Terima kasih, enak sekali!” kata Kun Liong sambil membungkuk dan tersenyum lebar. “Pringas pringis (menyeringai), bilang saja ingin diusap kepalanya, pura pura minta ditampar!” “Sudah pantas saja, Piauw sumoi, untuk obat kepalaku yang masih terasa nyeri oleh tamparanmu tadi. Jadi Cia-supek dan Supek bo tidak berada di rumah?” “Tidak, karena itu, lain kali saja kau datang menjumpai mereka. Akan tetapi awas, kau sudah berjanji tidak akan mengadu kepada mereka!” “Wah, kau tidak percaya kepadaku? Eh, sumoi, namamu Cia Giok Keng, ya? Sekarang aku ingat. Indah sekali namamu, seindah... orangnya... eh, maksudku... eh, kau cantik sekali, Piauw moi, dan ilmu silatmu lihai bukan main. Aku kagum sekali kepadamu.” “Dan aku benci kepadamu!” “Oh, ya? Sebaliknya, aku sangat cinta kepada diriku ini!” “Aku benci, terutama kepalamu.” “Dan aku terutama sekali sayang kepada kepalaku ini.” Kun Liong mengelus kepalanya. Betapa dia tidak sayang? Kepalanya mendatangkan banyak “untung” jika dia bertemu dengan dara~dara jelita! Sambil tersenyum lebar dia lalu menjura dan berkata lagi, “Nah, aku pergi, Piauw-sumoi yang cantik dan galak. Sampai bertemu lagi, ya?” “Tidak sudi! Sekalipun cukuplah.” “Uihh, jangan begitu! Bagaimana kalau kelak orang tuarnu minta kau berjumpa dengan aku?” “Tidak usah, ya!” Kun Liong tertawa bergelak lalu meninggalkan nona itu yang masih membanting banting kaki saking jengkelnya. Biarpun mulutnya tertawa tawa dan hatinya lega karena sudah berhasil membalas dara galak itu, menggodanya dan berhasil pula dielus elus kepalanya oleh tangan halus itu, namun diam-diam Kun Liong merasa penasaran sekali. Harus dia akui bahwa ilmu kepandaian Giok Keng amat hebat dan agaknya kalau bertempur sungguh sungguh, dia tidak akan mampu menandingi dara itu yang sejak kecil tentu digembleng ayah bundanya yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, jauh lebih tinggi daripada kepandaian ayah bundanya sendiri. Dia harus mempelajari ilmu silat yang lebih tinggi! Kalau tidak, apa dayanya untuk mencegah perbuatan jahat kalau dia bertemu dengan orang-orang seperti Ban tok Coa ong Ouwyang Kok dan Siang tok Mo li Bu Leng Ci? Akan tetapi, ke mana dia harus belajar ilmu? Kalau saja dia dapat menjadi murid supeknya, Cia Keng Hong, tentu dia akan memperoleh kemajuan hebat. Akan tetapi dia bergidik kalau mengingat akan kegalakan Giok Keng. Baru bertemu saja sudah cekcok dan berkelahi, apalagi kalau tinggal serumah. Tentu seperti kucing dengan anjing! Teringat ini, Kun Liong tertawa. Dara itu dimakinya seperti kucing, dan memang pantas! Dan dia anjingnya. Ha ha! Mana ada anjing gundul? Kembali dia mengelus kepalanya dan teringatlah dia akan Pek pek, anjingnya yang berbulu putih seperti kapas, yang dahulu menumpahkan obat ayahnya. Ke manakah anjing itu pergi? Sudah matikah? Kata ayahnya, Pek pek dahulu ditemukan di dekat Kuil Siauw lim si. Ahhh...! Benar! Kuil Siauw-lim si! Siauw-lim pai adalah sebuah perkumpulan besar yang memiliki banyak orang sakti. Ayahnya sendiri pun bekas murid Siauw-lim-pai. Dia harus pergi ke Kuil Siauw-lim-si, belajar kepada tokoh tokoh Siauw-lim pai! Bukan niat ini saja yang mendorong Kun Liong pergi mengunjungi Kuil Siauw-lim si, akan tetapi juga ada dugaan bahwa ayah dan ibunya tentu mengunjungi kuil itu pula. Kalau tidak ada di rumah Cia Keng Hong, ke mana lagi ayah dan ibunya akan pergi? Setidaknya tentu akan singgah di Siauw lim si, karena ketika ayahnya mencarikan obat untuk para perwira yang terluka, bukankah ayahnya juga pergi ke Siauw-lim si ? Bekal pemberian kakek pamannya tinggal tak berapa lagi, akan tetapi dengan berhemat, kadang kadang hanya makan buah buah dan binatang hutan cukup juga sisa bekal itu mengantarnya sampai ke Kuil Siauw lim si. Kuil besar yang berada di lereng bukit itu kelihatan megah, membesarkan hati Kun Liong akan tetapi juga menimbulkan ketegangan karena menduga duga apakah dia akan berhasil mendapatkan keterangan tentang ayah bundanya di kuil itu, dan apakah dia akan dapat menjadi murid Siauw-lim si. Menjadi murid Siauw lim pai? Tak mungkin, pikirnya ketika dia tiba-tiba teringat bahwa ayahnya sendiri sudah keluar dari Siauw-lim si dan tidak diakui sebagai murid. Biarpun ayahnya tidak pernah menceritakan sebabnya, namun dia tabu bahwa dengan menyebut dirinya “bekas murid Siauw lim pai” berarti ayahnya tidak lagi diakui sebagai murid. Kalau para hwesio tokoh Saiuw-lim pai tahu bahwa dia adalah anak Yap Cong San yang telah tak diakui lagi sebagai murid, mana mungkin Siauw-lim pai mau menerimanya. Pikiran ini membuat dia berkeputusan untuk menyelidiki ayah ibunya di kuil itu tanpa mengaku bahwa dia adalah putera mereka. Demikianlah, pada suatu hari menjelang senja, dia telah berdiri di depan pintu gerhang Kuil Siauw-lim si yang menjadi pusat dari Siauw-lim pai yang terkenal. Berbeda dengan kuil kuil Siauw-lim si yang menjadi cabang Siauw lim-pai, kuil pusat ini selain besar, juga amat luas dan dikelilingi pagar tembok yang tinggi dengan pintu pintu gerbang yang dijaga oleh dua orang hwesio siang malam, seperti sebuah benteng saja! “Apa? Engkau hendak mengabdi kepada kuil kami, orang muda? Dan untuk keperluan itu engkau telah mendahului membuang rambutmu?” tanya kepala penjaga yang diberi laporan oleh penjaga pintu gerbang akan datangnya seorang pemuda tanggung berkepala gundul yang datang untuk mengabdi dan menjadi kacung kuil itu. Karena tidak ingin banyak rewel, Kun Liong menjawab, “Demikianlah, Losuhu, sungguhpun teecu tidak sengaja. Harap saja Suhu sudi menerima teecu.” “Hemm, urusan menerima seorang kacung harus diputuskan oleh ketua sendiri, karena kami tidak berani bertanggung jawab kalau kalau ada pihak musuh yang menyelundup.” Di dalam hatinya, Kun Liong mencela hwesio ini. Orang yang sudah menjadi hwesio, berarti menyerahkan jiwa raganya kepada agama, dan orang beragama berarti orang yang melakukan hidup suci, mengapa masih mengaku punya musuh? Akan tetapi karena niatnya hanya ingin menyelidiki kalau kalau ayah bundanya berada di situ dan untuk mencari kesempatan belajar limu silat tinggi, Kun Liong tidak banyak rewel dan mengikuti kepala penjaga yang membawanya menghadap Ketua Siauw lim pai. Dia sudah mendengar dari ayahnya bahwa Ketua Siauw lim pai adalah hekas suheng ayahnya sendiri yang berilmu tinggi dan bernama Thian Kek Hwesio, maka dengan jantung berdebar dia menghadap ketua ini. Memang benar demikian. Thian Kek Hwesio sendiri yang menerima pelaporan kepala penjaga dan Kun Liong menjadi kecut hatinya ketika melihat bahwa ketua kuil itu adalah seorang hwesio yang amat menakutkan, berusia delapan puluh tahun lebih, tubuhnya tinggi besar dan berkulit hitam, matanya seperti kelereng besar, dan sikapnya keren, kelihatan galak bukan main! Memang demikianlah keadaan Thian Kek Hwesio, wataknya sesuai dengan tubuhnya, kasar dan jujur namun memiliki hati emas! “Saudara muda, kepalamu kenapakah?” Suara Thian Kek Hwesio besar dan kasar, namun nada suaranya tidak menyinggung hati Kun Liong yang berlutut di depan hwesio itu di samping hwesio kepala penjaga. “Teecu makan jamur di hutan dan rambut teecu lalu rontok semua, Lo-suhu.” Kun Liong membohong. Dia terpaksa membohong karena kalau dia bicara terus terang, tentu akan berkepanjangan dan dia tidak akan dapat menyembunyikan keadaannya lagi sehingga sia?sialah usahanya. “Omitohud...! Engkau keracunan, orang muda. Racun yang hebat sekali yang dapat membuat rambut rontok seperti itu! Dan biasanya, racun yang tidak merenggut nyawa, hanya merontokkan rambut berarti bahwa racun itu bertemu dengan racun lain sehingga daya mautnya punah. Engkau masih beruntung!” Diam?diam Kun Liong kagum sekali. Kini dia mengerti mengapa rambut kepalanya habis. Tentu racun ular dan racun jarum Ouwyang Bouw saling bertanding dalam tubuhnya, urung mencabut nyawanya akan tetapi berhasil menghabiskan rambutnya! Kalau dia dapat berguru kepada kakek ini, akan tetapi ah, tidak banyak selisihnya tentu dengan kepandaian ayahnya. Mereka hanya sute dan suheng. Bukan, bukan kepada Ketua Siauw-lim?pai ini dia ingin berguru, akan tetapi kepada Tiang Pek Hosiang, guru ayahnya atau sukongnya (kakek gurunya)! Dia sudah mendengar dari ayahnya bahwa kakek sakti itu telah mengasingkan diri di dalam Kuil Siauw?lim?si ini, di dalam sebuah kamar yang disebut Ruang Kesadaran! Dan menurut ayahnya, sampai sekarang kakek sakti itu masih hidup. Tentu sudah amat tua, sedikitnya seratus tahun usianya. Kepada sukongnya itulah dia ingin berguru! “Sebetuinya di sini sudah tidak membutuhkan lagi bantuan seorang kacung, karena banyak sudah anak murid yang melakukan semua pekerjaannya, akan tetapi karena secara mujijat sekali rambut kepalamu menjadi habis tanpa dicukur, seolah?olah Tuhan sendiri yang menakdirkan engkau menjadi calon hwesio, maka biarlah pinceng (aku) menerima pengabdianmu. Kau bekerjalah di sini membantu para hwesio kecil, kelak kalau memenuhi syarat, engkau boleh menjadi anak murid dan masuk menjadi hwesio. Siapakah namamu?” “Teecu she Liong, bernama Kun.” Kun Liong membohong. “Baiklah, kami sebut engkau Liong-ji (Anak Liong). Kau ikutlah kepada kepala penjaga ini. Berikan sebuah kamar untuk dia bersama para hwesio kecil dan serahkan beberapa pekerjaan harian suruh dia bantu,” kata ketua itu yang sudah duduk bersila kembali sambil memejamkan mata. Kepala penjaga itu memberi hormat, kemudian menyentuh lengan Kun Liong diajak keluar dari kamar ketua itu. Demikianlah, Kun Liong yang di situ terkenal dengan sebutan Liong?ji, bekerja di dalam Kuil Siauw?lim?si, membantu tukang kebun. Pekerjaan ini menyenangkan hatinya karena dia lebih bebas. Dari percakapannya dengan para hwesio kecil yang dipancing?pancingnya secara lihai, Kun Liong mendengar, bahwa ayahnya dan ibunya tidak pernah datang ke kuil ini semenjak yang terakhir ayahnya datang minta obat. Juga dia mendengar bahwa Tiang Pek Hosiang masih bertapa di dalam Ruang Kesadaran tanpa ada yang berani mengusiknya. Dia telah tahu pula di mana letak kamar itu, di dekat kamar gudang penyimpanan pusaka Siauw?lim?pai yang siang malam dijaga oleh empat orang hwesio secara bergilir. Kecewa juga hati Kun Liong mendengar bahwa ayah bundanya tidak pernah datang ke kuil itu, apalagi ketika dia mendapat kenyataan bahwa siapapun juga, baik dia anggauta Siauw-lim-pai atau orang luar, dilarang keras memasuki dua tempat tanpa ijin ketua sendiri, pertama adalah kamar Ruang Kesadaran yang pintunya selalu tertutup dan kabarnya ketua sendiri tidak berani mengusiknya, ke dua adalah gudang pusaka yang hanya jarang dibuka oleh ketua sendiri untuk mengambil atau menyimpan sesuatu. Hilanglah harapannya untuk dapat berguru kepada Tiang Pek Hosiang yang telah belasan tahun lamanya bertapa di dalam kamar itu! Sebulan telah lewat. Malam itu gelap dan sunyi. Agaknya semua hwesio telah tidur pulas, kecuali tentu saja mereka yang bertugas jaga. Akan tetapi Kun Liong tak dapat tidur. Dia telah membuang waktu sia?sia selama sebulan dan dia sudah mengambil keputusan tetap untuk mencoba menghadap Tiang Pek Hosiang, apapun juga yang menjadi risikonya. Dia mendengar bahwa siapa berani melanggar dua larangan itu akan dihukum mati. Biarlah kalau dia ketahuan dan dihukum mati. Biarlah kalau orang-orang yang sudah menjadi hwesio, berarti memasuki penghidupan suci masih mau menghukum mati orang! Kalau dalam hal ini dia gagal, besok pagi dia akan minggat dari tempat ini. Hal ini mudah dilakukan karena tugasnya sebagai pembantu tukang kebun memungkinkan dia untuk keluar dari pintu gerbang, membersihkan halaman di luar pintu gerbang. Menjelang tengah malam, setelah keadaan sunyi benar, Kun Liong keluar dengan hati?hati dari kamarnya. Dua orang hwesio kecil yang menjadi temannya sekamar sudah tidur meringkuk di bawah selimut karena malam itu dingin sekali, di luar penuh kabut sehingga malam bertambah gelap. Karena sudah hafal akan tempat?tempat penjagaan, Kun Liong dapat menyelinap ke dekat dua kamar terlarang yang letaknya berdekatan itu. Kamar pusaka dan kamar pertapaan Tiang Pek Hosiang. Dia tahu bahwa seperti biasa, tentu ada empat orang hwesio penjaga di depan dan belakang kamar pusaka itu, maka dia sudah mempunyai rencana untuk menyelinap dan menghampiri Ruang Kesadaran dari samping sehingga tidak tampak oleh ke empat orang hwesio penjaga. Dia hendak memasuki kamar itu melalui jendela yang selalu tertutup pula. Akan tetapi ketika dia menyelinap di balik tembok dan mengintai untuk melihat dua orang penjaga di depan kamar pusaka, dia terbelalak kaget melihat dua orang hwesio penjaga itu menggeletak tak bergerak! Tidurkah mereka? Tidak mungkin! Tertidur di waktu menjaga kamar pusaka bisa mendapat hukuman yang amat berat! Andaikata tertidur, masa dua?duanya? Tentu ada apa?apa yang tidak beres, pikirnya. Dia lalu menyelinap dengan hati?hati sekali, memutari dua kamar itu dan mengintai untuk melihat dua penjaga yang biasanya duduk di sebelah belakang kamar pusaka. Hampir dia berseru heran dan kaget ketika melihat bahwa kedua orang hwesio ini pun sama keadaannya dengan para penjaga di depan. Tertidur! Atau lebih tepat lagi, menggeletak di lantai seperti orang tidur! Musuh! Dia teringat akan ucapan kepala penjaga akan kekhawatiran mereka ada musuh menyelundup. Apakah malam ini ada musuh Siauw?lim?pai yang menyelundup masuk ke Siauw?lim?pai? Kun Liong lalu menghampiri kamar pusaka. Terdengar suara perlahan dan dia melihat jendela kamar pusaka terbuka, dan ada sinar penerangan menyorot dari dalam. Cepat namun hati?hati sekali Kun Liong menghampiri jendela itu dan mengintai. Tak salah apa yang dikhawatirkannya! Ada tiga orang laki?laki berada di dalam kamar pusaka! Tiga orang laki-laki membongkar lemari dan sedang mengumpulkan benda?benda pusaka, dibuntal kain dan muka mereka memakai kain penutup. “Maling...!” Kun Liong berteriak dan meloncat ke dalam kamar pusaka melalui jendela yang terbuka. Tiga orang itu terkejut, melepaskan buntalan, bahkan pemimpin mereka yang biarpun mukanya ditutup sebagian dengan saputangan tampak sebagai seorang pemuda tampan, melepaskan pula buntalannya. “Robohkan dia, hwesio cilik itu!” katanya kepada seorang di antara mereka. Orang ini menerjang ke depan dengan totokan yang lihai sekali. Akan tetapi kini Kun Liong telah siap karena dia berhadapan dengan maling?maling yang dianggapnya berbahaya. Melihat totokan, dia memasang tubuhnya dan mengerahkan sin?kangnya, menggoyang sedikit tubuh itu sehingga totokan meleset mengenai tubuh yang kebal, sedangkan dia sendiri membarengi dengan pukulan dari jurus Ilmu Silat Pat?hong?sin?kun, mendorong perut orang itu. Maksudnya hanya mendorong, akan tetapi karena sinkangnya masih tersalur, orang yang didorong perutnya itu mengeluarken suara “hekkkhh!” dan roboh pingsan. “Crattt! Augghh...!” Kun Liong terhuyung?huyung ketika ada sebuah benda merah menancap di leher kirinya. Pandang matanya gelap dan dia terjungkal keluar dari jendela kamar. Sebelum pingsang dia melihat banyak bayangan hwesio?hwesio berkelebatan masuk ke dalam kamar itu. Dan memang teriakannya tadi telah menggegerkan Siauw?lim?si. Thian Le Hwesio, sute atau wakil Ketua Siauw-lim?si, memimpin sendiri murid-muridnya menuju ke kamar pusaka. Akan tetapi, pemuda yang memimpin pencurian itu lihai bukan main. Dia menyebar jarum merahnya, mencelat ke atas genteng membobol langit?langit kamar itu dan biarpun dikejar, dia sempat menghilang keluar dari Siauw?lim?si. Anak buahnya yang seorang lagi dapat dirobohkan dan ditangkap, bersama seorang yang telah dibikin pingsan oleh Kun Liong dengan dorongan pada perutnya. Thian Lee Hwesio merasa cemas melihat buntalan?buntalan yang berserakan. Kalau saja tidak ketahuan, tentu banyak pusaka penting Siauw?lim?pai tercuri. Dia cepat melakukan pemeriksaan dan ternyata ada dua buah benda pusaka yang hilang, agaknya terbawa oleh pencuri yang lihai tadi. Kedua benda itu adalah sebuah pedang dan sebuah hio?louw (tempat abu hio) yang amat berharga karena merupakan pusaka kuno dari Siauw?lim-si! Namun masih untung bahwa bukan semua yang berada di buntalan terbawa. Hal ini berkat kewaspadaan Liong?ji, karena empat orang hwesio telah tewas! “Liong?ji, ke mana dia? Suruh dia ke sini!” Thian Le Hwesio berkata. Para hwesio mencari?cari, namun mereka tidak dapat menemukan Kun Liong. Thian Le Hwesio sendiri pergi mencari, namun hasilnya kosong sehingga dia termangu dan terheran?heran penuh kekhawatiran. Apakah memergoki maling, lalu pimpinan maling itu menaruh dendam dan membawa lari anak itu? Dengan hati cemas dia lalu menghadap suhengnya, Thian Kek Hwesio Ketua Siauw?lim?pai untuk membuat laporan. Ke manakah sebetulnya Kun Liong pergi? Tentu saja pemuda itu tidak dapat pergi ke mana?mana kalau tidak ada yang membawanya karena dia tadi terguling pingsan terkena jarum merah pemuda berkedok saputangan yang lihai tadi. Dia terhuyung ke belakang dan terjungkal keluar dari jendela kamar pusaka. Ketika siuman kembali, Kun Liong mendapatkan dirinya telah berada di dalam sebuah kamar yang luas dan kamar ini kosong tidak ada perabotnya, hanya lantainya bersih sekali, ditilami permadani kuning dan di atas permadani itu duduk bersila seorang kakek yang amat tua, dengan rambut putih dan jenggot panjang. Lehernya masih terasa sakit dan ketika dia meraba lehernya, luka di lehernya telah tertutup obat. Mengertilah dia bahwa dia telah tertolong oleh kakek ini, dan otaknya yang cerdik cepat bekerja. Kakek ini tua sekali, dan bukan hwesio karena rambutnya panjang. Siapa lagi yang dapat menolongnya seperti itu selagi dia berada dalam kuil Siauw?lim-si tanpa diketahui orang? Cepat dia bangkit dan berlutut di depan kakek itu sambil berkata, “Sukong (Kakek Guru), teecu (murid) Yap Kun Liong menghaturkan banyak terima kasih atas pertolongan Sukong dan membawa teecu ke dalam Ruang Kesadaran ini.” Kakek itu tercengang dan mengelus jenggotnya. “Aihhh, bagaimana engkau bisa tahu bahwa kau berada di Ruang Kesadaran? Tahukah kau siapa aku?” “Sukong adalah Tiang Pek Hosiang...” “Hemm, anak cerdik. Agaknya engkau bukan kacung biasa di kuil. Aku melihat engkau berindap seperti maling, akan tetapi malah memergoki maling?maling itu. Kelakuanmu aneh, aku menolongmu selagi kau pingsan akan tetapi kau dapat mengenalku. Siapakah engkau dan mengapa kau menyebut aku kakek guru?” “Harap Sukong sudi mengampunkan teecu. Sesungguhnya karena ingin menghadap Sukong sematalah maka teecu berani melakukan kelancangan dan membohong kepada para losuhu. Teecu bernama Yap Kun Liong, ayah teecu Yap Cong San murid Sukong...” “Aha! Kiranya engkau anak Cong San? Engkau menyamar sebagai kacung karena hendak bertemu denganku? Apakah kau disuruh oleh ayahmu?” “Tidak, Sukong. Teecu menghadap Sukong untuk berguru kepada Sukong.” Kakek itu tersenyum lebar. “Wah, agaknya engkau nakal sekali, sampai-sampai rambut kepalamu habis karena racun. Mengapa engkau ingin berguru kepadaku? Bukankah ayah dan ibumu memiliki kepandaian juga, apalagi engkau dapat minta petunjuk supokmu Cia Keng Hong?” “Teecu tidak berani minta petunjuk Supek! Teecu telah dibimbing selama lima tahun...” Tiba?tiba dia teringat akan janjinya kepada Sun Hoat Tosu, maka cepat dia menyambung. “Maaf, teecu tidak dapat menyebutkan namanya karena sudah berjanji.” “Ha?ha, Bun Hoat Tosu sungguh tua bangka yang aneh. Mengapa justeru kepadamu dia menurunkan ilmunya?” “Aihhh...! Teecu tidak pernah menyebut nama beliau...!” “Jangan khawatir, engkau tidak melanggar janji. Dari gerakanmu ketika kau merobohkan seorang maling, ada dasar gerakan rahasia dari Hoa?san?pai. Dahulu dia pernah mengatakan kepadaku untuk menciptakan sebuah ilmu silat yang mempunyai dasar delapan penjuru. Benarkah?” “Sukong sungguh waspada. Memang demikianlah. Teecu selama lima tahun diajar oleh beliau dan diberi ilmu silat tongkat Siang?liong?pang dan ilmu silat tangan kosong Pat?hong?sin?kun, juga latihan tenaga sin?kang yang mempunyai daya membetot.” “Ha?ha?ha! Tentu untuk melawan Thi-khi?i-beng, bukan?” “Ehh...! Sukong tahu juga?” “Kakek tua Hoa?san?pai itu terlalu jujur sehingga segalanya dapat dilihat dari perubahan mukanya. Dahulu dia merasa penasaran sekali mengapa tidak ada ilmu yang dapat menandingi Thi?khi?i-beng, maka kalau dia menurunkan sinkang kepadamu dengan daya membetot, tentu dia tujukan untuk melawan Thi-khi?i?beng.” Kun Liong mengangguk?angguk sampai dahinya membentur lantai. “Mohon petunjuk dari Sukong.” “Baiklah. Bun Hoat Tosu yang tidak mempunyai hubungan apa?apa denganmu telah rela melatihmu selama lima tahun. Engkau yang masih putera muridku yang paling baik, tentu saja berhak mewarisi ilmu?ilmuku, terutama ilmu yang selama ini kuciptakan di sini. Apa artinya ilmu itu kalau aku mati? Tak dapat kubawa, maka biar engkau yang mewarisinya.” Bukan main girangnya hati Kun Liong. Mulai hari itu, di luar pengetahuan para penghuni kuil, dia mendapat gemblengan ilmu silat tinggi dari kakek sakti itu. Mengapa hal ini sampai tidak ketahuan oleh para penghuni kuil? Karena memang tidak ada seorang pun hwesio yang berani memasuki ruangan itu, dan setiap hari seorang hwesio pelayan kecil mengantar makanan dan minuman serta semua keperluan Tiang Pek Hosiang, meletakkannya dengan penuh hormat di depan pintu ruangan yang tertutup lalu pergi lagi. Ransum makanan dan minuman ini cukup untuk makan minvm mercka berdua, apalagi karena kakek itu jarang sekali makan. Sementara itu, dua orang tawanan diseret ke depan kaki Ketua Siauw?lim-pai dan dengan suara halus Thian Kek Hwesio, Ketua Siauw-lim?Pai, berkata, “Ji?wi (Kalian Berdua) siapakah dan siapa pula pemimpin kalian yang sudah mencuri pedang dan bokor? Kalian dari golongan mana?” Biarpun Thian Kek Hwesio bicara dengan suara halus, namun karena sikapnya memang angker sekali dengan tubuhnya yang tinggi besar bermuka hitam matanya lebar, mendatangkan rasa takut dan ngeri di dalam hati dua orang maling itu. Mereka mencoba menggerakkan kaki tangan, namun sia-sia saja karena tubuh mereka sudah lemas dan lumpuh oleh totokan lihai. “Bebaskan totokan mereka,” kata pula Ketua Siauw?lim?pai itu kepada sutenya, Thian Le Hwesio yang menggerakkan tangan dan ujung lengannya yang panjang menyambar dua kali ke arah punggung dua orang tawanan. Mereka mengeluh dan dapat bergerak kembali. “Nah, sekarang katakan siapa yang menyuruh kalian. Kalau kalian suka berterus terang, tentu pinceng akan memaafkan kalian dan membolehkan kalian pergi dengan aman.” Dua orang itu kembali mengeluh, kemudian saling pandang dan tangan mereka merogoh saku dalam baju. Semua tokoh Siauw?lim?pai yang hadir di situ sudah siap untuk menjaga diri kalau?kalau kedua orang tawanan itu hendak menyerang mereka, atau siap untuk menangkapnya kembali kalau mereka mencoba untuk melarikan diri. Akan tetapi, tiba?tiba dua orang itu mencabut lagi tangan mereka, meraba leher dan keduanya terguling, berkelojotan dan mati. Thian Le Hwesio meloncat dekat, memeriksa leher mereka yang menjadi bengkak menghijau. Dengan ails berkerut hwesio tua ini mengeluarkan saputangan dan mencabut benda kecil dari leher kedua orang itu, lalu berkata, “Omitohud... kalau tidak salah ini duri kembang hijau...!” Dia melangkah maju memperlihatkan dua batang duri itu kepada suhengnya, Ketua Siauw?lim?pai. Thian Kek Hwesio memeriksanya sebentar, lalu mengangguk-angguk dan berkata, “Engkau benar, Sute. Ini tentu duri kembang hijau dan kembang itu hanya tumbuh di tepi Kwi-ouw (Telaga Setan).” “Kalau begitu mereka adalah orang-orang Kwi?eng?pai (Perkumpulan Bayangan Hantu)!” Thian Le Hwesio berseru kaget. “Kita harus segera mengejarnya ke sana dan menuntut kepada ketuanya!” Pada saat itu, Thian Kek Hwesio duduk memejamkan matanya dan sikapnya penuh perhatian sehingga sutenya, Thian Le Hwesio memandang heran dan tidak mendesak. Memang pada saat itu Thian Kek Hwesio sedang mencurahkan perhatian terhadap suara bisikan halus yang memasuki telinganya seperti hembusan angin lalu, suara yang amat dikenalnya karena suara itu adalah suara gurunya, suara Tiang Pek Hosiang! “Kacung itu kini menjadi sute kalian yang termuda, dan biarlah urusan pusaka hilang kelak dia yang akan mencarinya.” Thian Kek Hwesio membuka matanya dan berkata, “Sute, tidak usah kita menyusul ke sana. Kelak akan ada orang yang bertugas mengambilnya kembali. Sekarang harap Sute menyuruh para murid memakamkan dua jenazah ini sebagaimana mestinya.” Thian Le Hwesio memandang penasaran, akan tetapi tentu saja dia tidak berani membantah kehendak ketuanya, mengangguk dan mengundurkan diri untuk memimpin para anak buah Siauw?lim-pai untuk mengubur dua jenazah maling itu. Diam?diam hwesio tua ini merasa tidak puas dan penasaran sekali. Boleh jadi Kwi?eng?pai merupakan perkumpulan kaum sesat yang amat terkenal dan ditakuti, apalagi ketuanya yang berjuluk Kwi?eng Niocu (Nona Bayangan Hantu) yang kabarnya menjadi seorang di antara datuk?datuk kaum hitam di waktu itu. Akan tetapi Siauw?lim?pai juga sebuah perkumpulan bersih yang amat besar. Kalau sampai terdengar dunia kang?ouw betapa Siauw?lim?pai dihina, pusakanya dicuri oleh orang Kwi?eng?pai tanpa berani membalas atau mencari, bukankah Siauw-lim?pai akan ditertawakan orang dan para tokoh Siauw?lim?pai dianggap penakut? Betapapun juga, Thian Le Hwesio masih tidak berani membantah kehendak suhengnya yang menjadi ketua, dan hanya menanti kesempatan baik untuk merebut kembali pedang dan hio?louw pusaka Siauw-lim?pai yang dicuri orang itu. Adapun Thian Kek Hwesio yang maklum bahwa kini di dunia kang?ouw timbul pertentangan dan persaingan antara mereka yang pro dan anti pemerintah, bersikap bijaksana. Tidak saja dia ingin mentaati pesan gurunya yang berdiam di Ruangan Kesadaran, dan yang kini menggembleng sutenya yang termuda, Si Bekas Kacung itu, akan tetapi juga Ketua Siauw?lim?pai yang bijaksana ini tidak mau melibatkan Siauw?lim?pai ke dalam gelanggang pertentangan hanya karena dua buah pusaka saja. Kalau dia atau Thian Lee Hwesio atau para tokoh Siauw-lim?pai yang lain maju menyerbu Kwi?eng?pai, tentu berarti melibatkan Siauw-lim?pai ke dalam pertentangan. Sebaliknya kalau kacung yang kini digembleng suhunya itu yang kelak menyerbu, karena bocah itu bukan jadi anggauta Siauw?lim?pai resmi, tidak ada hubungannya dengan Siauw?lim?pai, tentu Siauw-lim?pai akan bebas dari libatan permusuhan. Lima tahun lewat dengan amat cepatnya. Di dalam Ruang Kesadaran yang terletak di bagian belakang kompleks bangunan Kuil Siauw-lim?si terasing dari dunia luar, Kun Liong digembleng setiap hari oleh Tiang Pek Hosiang yang sudah menjadi makin tua. Selama lima tahun itu Kun Liong hanya menerima dua macam ilmu yang amat tinggi, yaitu Ilmu Silat Im?yang?sin?kun yang dapat dipergunakan untuk main silat tangan kosong maupun dengan sepasang senjata apa saja, dan ilmu sin?kang yang disebut Pek?in?ciang (Tangan Awan Putih), sin-kang yang amat lembut namun memiliki kekuatan yang amat dahsyat. Siang malam Kun Liong berlatih. Tubuhnya menjadi kurus karena kurang makan, mukanya agak pucat karena tak pernah kenyang menerima sinar matahari, namun matanya kini mengeluarkan cahaya yang aneh dan tajam menusuk seolah?olah menembus jantung orang yang dipandangnya. Yang tidak pernah berubah adalah kepalanya. Tetap gundul, tidak ada sehelai pun rambutnya tumbuh! Dia telah menjadi seorang pemuda dewasa berusia dua puluh tahun, tampan wajahnya, amat sederhana gerak?geriknya, dan yang paling menarik adalah kepala gundulnya. Melihat kepalanya, semua orang tentu menganggap dia sebagai orang hwesio, akan tetapi pakaiannya sama sekali bukan pakaian hwesio. Pada suatu pagi, Tiang Pek Hosiang berkata kepada Kun Liong yang sudah menghadap dan berlutut di depannya, “Kun Liong, tibalah saatnya engkau keluar dari ruangan ini dan beritahukan kepada Ketua Siauw-lim?pai agar menyediakan sebuah peti mati sederhana untukku, dan kelak membakar jenazahku di puncak bukit belakang kuil tanpa upacara, tak perlu mengundang orang?orang kang?ouw.” “Sukong...!” Kun Liong terkejut bukan main mendengar pesan kakek itu, memandang terbelalak dan mukanya pucat. Kakek itu tersenyum lebar. “Mengapa, Kun Liong? Mengapa mendengar aku akan mati engkau menjadi terkejut dan pucat mukamu seperti orang takut?” “Sukong, siapakah yang tidak ngeri dan takut menghadapi kematian?” “Mengapa timbul takut, Kun Liong?” “Karena kita tidak tahu apa dan bagaimana kematian itu, Sukong. Kita menjadi ngeri membayangkan apa yang akan terjadi dengan kita.” “Ha?ha, benarkah demikian? Kalau kematian itu sesuatu yang tidak kita kenal, mana mungkin kita menjadi takut akan sesuatu yang tidak kita ketahui? Barulah timbul takut kalau kita mengetahui sesuatu akan kematian yang kita ketahui dari dongeng nenek moyang kita, dari tahyul, mengenal siksaan-siksaan sesudah mati, semua itulah yang menimbulkan rasa takut, bayangan kita sendiri yang timbul dari dongeng-dongeng itu.” “Tidak hanya itu, Sukong. Teecu sendiri tidak percaya akan adanya dongeng tentang neraka, akan tetapi teceu merasa ngeri kalau membayangkan kematian.” “Hemm, kalau begitu, yang kautakutkan bukanlah kematian itu sendiri, melainkan kau takut untuk berpisah dari hidup yang kau kenal ini, takut untuk meninggalkan segala yang kaukenal di dunia kehidupan ini. Andaikata orang-orang yang kausayang, benda-benda yang kausukai di dunia ini, dapat bersamamu pergi ke kematian, agaknya takut itu pun akan lenyap. Bukankah begitu?” Kun Liong berpikir dan mengangguk, “Agaknya teecu tidak akan takut lagi, Sukong.” “Jelas bahwa orang takut akan kematian karena sesungguhnya dia takut akan berpisah dari isi dunia kehidupan yang disukainya. Bagi seseorang yang sudah dapat mematikan akunya sewaktu hidup, tiada perubahan keadaan antara hidup dan mati. Yang berbeda hanya sebutannya saja karena bagi dia yang tiada lagi ber-aku, setiap saat adalah sama, apa pun yang akan terjadi dengan dia. Mengertikah engkau, Kun Liong?” Kun Liong mengangguk?anggukkan kepalanya yang gundul, akan tetapi mulutnya berkata terus terang, “Teecu mengerti akan tetapi masih sukar untuk menyelami wejangan ini, Sukong. Akan tetapi, kalau benar Sukong hendak pergi meninggalkan penghidupan ini, perkenankanlah teecu merawat Sukong sampai saat terakhir.” “Jangan, Kun Liong. Sudah tiba waktunya engkau keluar dari sini, biarlah aku melewatkan beberapa hari lagi ini seorang diri saja di sini. Nah, keluarlah dan sampaikan pesanku kepada Thian Kek Hwesio. Pergilah!” Kakek itu sudah memejamkan matanya kembali sambil duduk bersila. Kun Liong merasa terharu juga. Selama lima tahun dia tidak pernah berpisah dari kakek itu dan menerima gemblengan?gemblengan yang hebat. Dia berlutut dan membentur?benturkan dahinya di atas lantai depan kaki sukongnya itu, menitikkan air mata, kemudian sambil menarik napas panjang keluarlah dia dari ruangan itu membuka daun pintu, menutupkan lagi dari luar dan melangkah ke ruangan dalam. Dua orang hwesio penjaga terkejut sekali melihat seorang pemuda gundul keluar dari Ruangan Kesadaran. Cepat mereka meloncat menghampiri dan siap untuk menerjang, akan tetapi mereka melongo ketika mengenal Kun Liong, apalagi karena Kun Liong cepat menjura kepada mereka dan berkata, “Ji?wi Suhu apakah lupa kepada Liong-ji? Aku mendapat pesan dari Sukong untuk disampaikan kepada Thian Kek-losuhu.” “Kau... kau kacung Liong?ji...? Bagaimana bisa keluar dari Ruangan Kesadaran?” Seorang di antara dua hwesio itu bertanya, membelalakkan matanya dan hampir tidak percaya. “Panjang ceritanya, akan tetapi Thian Kek?losuhu tentu mengerti, harap bawa aku menghadap beliau.” Dua orang hwesio itu saling pandang, kemudian mereka mengiringkan Kun Liong pergi menghadap Thian Kek Hwesio yang tentu saja tidak kaget melihat munculnya Kun Liong. Kakek tinggi besar ini memandang penuh kagum, juga diam?diam dia girang mempunyai seorang sute (adik seperguruan) begini muda dan gagah. “Liong?ji, engkau baru keluar sekarang?” Ketua Siauw?lim?pai itu menyambut dengan kata?kata ini. Kun Liong segera berlutut di depan kakek itu dan berkata, “Pertama?tama teecu mohon maaf sebanyaknya bahwa teecu telah membohong kepada Locianpwe. Teecu sebenarnya she Yap bernama Kun Liong, teecu adalah putera tunggal Ayah Yap Cong San di Leng?kok.” Para hwesio yang kebetulan berada di kamar itu terbelalak kaget, akan tetapi Thian Kek Hwesio tersenyum dan mengangguk?angguk. “Pengakuanmu ini makin menggirangkan hatiku, Yap?sicu karena berarti babwa Sicu adalah orang sendiri. Tentu saja pinceng (aku) memaafkan hal itu.” “Terima kasih atas kebijaksanaan Locianpwe. Hal ke dua yang perlu teecu laporkan adalah bahwa selama lima tahun ini, teecu berada di dalam Ruangan Kesadaran bersama Sukong.” “Hal itu pun pinceng sudah tahu, Yap?sicu dan pinceng merasa girang sekali mendengar bahwa Suhu berkenan menurunkan ilmunya kepada seorang pilihan seperti Sicu. Mudah?mudahan saja Sicu dapat mempergunakan pelajaran dari Suhu itu untuk membela kebenaran dan keadilan.” “Tentu saja teecu akan memperhatikan pesan Locianpwe. Dan laporan ke tiga dari teecu adalah pesan dari Sukong bahwa Sukong minta agar Locianpwe suka menyediakan sebuah peti mati sederhana untuk Sukong dan kelak Sukong minta agar jenazahnya diperabukan di puncak bukit di belakang kuil tanpa upacara dan tidak perlu memberi tahu orang?orang kang?ouw.” “Omitohud...!” Thian Kek Hwesio menangkap kedua tangan ke depan dada dan memejamkan kedua matanya. “Pinceng akan melaksanakan semua perintah Suhu.” “Sekarang teecu mohon diri dari Locianpwe, akan meninggalkan Siauw?lim-si,” kata Kun Liong sambil memberi hormat. “Nanti dulu, Sicu. Tidakkah Suhu memerintahkan sesuatu untuk Sicu kerjakan?” “Tidak, Locianpwe.” “Kalau begitu, agaknya Subu menghendaki agar pinceng yang minta bantuan Sicu. Dahulu ketika Suhu memberi tahu kepada pinceng bahwa Sicu diambilnya sebagai murid, Suhu mengatakan bahwa Siculah yang akan ditugaskan untuk mencari kembali dua buah pusaka yang dahulu dicuri oleh maling?maling itu. Karena itu, sekarang pinceng mengharapkan bantuan Sicu untuk mendapatkan kembali dua buah pusaka yang dicuri itu.” “Ahh, jadi maling?maling itu berhasil membawa pergi dua buah pusaka? Pusaka apakah yang dibawanya dan siapakah maling itu, Locianpwe?” “Yang diambil adalah sebatang pedang Liong?bwe?kiam (Pedang Ekor Naga) dan sebuah hio?louw emas berukirkan burung hong bermata kemala. Adapun pencurinya, kalau tidak salah dugaan kami adalah tokoh?tokoh dari Kwi?eng?pai yang berpusat di pulau di tengah?tengah Telaga Kwi?ouw (Telaga Hantu).” Hwesio tua itu lalu menceritakan tentang dua orang anggauta maling yang tertangkap dan betapa mereka membunuh diri dengan duri kembang hijau sehingga tidak sempat mengaku. “Yang mengkhawatirkan hati kami adalah Sute Thian Le Hwesio. Suhu telah memesan bahwa Sicu yang akan mencari kembali pusaka?pusaka yang tercuri, akan tetapi Sute tidak sabar lagi dan dua bulan yang lalu Sute Thian Le Hwesio sudah diam?diam meninggalkan kuil dan menurut para murid, katanya Sute menyatakan bahwa dia pergi untuk merampas kembali pusaka?pusaka itu. Karena itu, pinceng harap sukalah Sicu membantu dan menyusul Sute ke Kwi?ouw untuk membantunya mengambil kembali pusaka yang tercuri.” “Baikiah, Locianpwe. Teecu akan berusaha sedapat mungkin untuk mendapatkan kembali dua pusaka itu.” Setelah Thian Kek Hwesio memberi petunjuk kepada Kun Liong di mana letaknya Telaga Hitam, berangkatlah Kun Liong meninggalkan kuil itu. Setelah berada di luar dan melihat pandangan alam yang indah, terlupalah olehnya akan hal-hal yang tidak menyenangkan, akan kematian sukongnya, akan tugas berat yang dipikulnya, dan yang terasa olehnya hanyalah kelegaan hati yang membuat dadanya seperti melembung dan ringan. Betapa indahnya pemandangaa alam yang telah dipisahkan dengan dia selama lima tahun! Keluar dari Ruangan Kesadaran yang hanya berupa empat dinding tembok itu dan memasuki dunia luas ini, dia seolah?olah seperti hidup lagi, seperti memasuki dunia baru! Hawa yang amat sejuk segar terasa, nikmat dan sedap sekali memasuki paru?parunya, membawa keharuman bau tanah, rumput, pohon dan kembang?kembang. Ingin dia bernyanyinyanyi, demikian senang dan gembira hatinya. Begini agaknya perasaan seekor burung yang dilepas dari kurungan selama bertahun?tahun! Hati yang gembira, tubuh yang ringan karena tanpa disadarinya sendiri dia kini telah memiliki ilmu kepandaian yang hebat, membuat Kun Liong dapat bergerak cepat sekali menuruni bukit. Pagi hari itu amat indah dan cerah dan suasana di pegunungan sunyi sekali. Menjelang tengah hari, Kun Liong melihat enam orang laki?laki yang kelihatannya kuat dan gagah mengawal sebuah kereta naik ke puncak gunung dan di atas kereta itu tampak berkibar bendera yang menandakan bahwa para pengawal itu adalah para piauwsu dari Sam?to Piauw-kiok (Perusahaan Expedisi Tiga Golok). Enam orang itu memandang dengan sinar mata tajam menyelidiki ketika bertemu dengan Kun Liong, akan tetapi karena pemuda gundul itu tidak mempedulikan mereka, maka tidak terjadi sesuatu. Kun Liong hanya menganggap bahwa ada barang kiriman untuk Siauw-lim?pai, maka tentu saja dia tidak berani bertanya-tanya, dan dia tidak tahu barang apa yang berada di dalam kereta yang ditarik oleh empat ekor kuda itu. Dia melanjutkan perjalanamya turun gunung sambil bersenandung dengan hati riang. Sukongnya benar, pikirnya sambil menikmati hawa udara yang jernih sejuk. Hidup adalah saat sekarang ini yang sesungguhnya nikmat kalau pikiran kita tidak kita biarkan untuk mengenang hal-hal lalu atau hal?hal mendatang, bahkan kematian bukan merupakan hal yang menakutkan atau mendukakan. Apa sih kematian? Kita tidak tahu bagaimana kematian itu, dan tidak mungkin kita takut akan sesuatu yang kita belum tahu. Ketakutan timbul dari bayangan?bayangan, dari angan-angan tentang hal yang kita ketahui atau yang kita anggap telah kita ketahui dari kitab atau dari orang lain. Kalau kematian hanya menjadi kelanjutan dari hidup, perlu apa takut? Hidup sendiri pun sesungguhnya bukanlah suatu keadaan yang amat menyenangkan. Lihat saja pengalamannya sejak dia meninggalkan rumah. Betapa hidup manusia penuh dengan pertentangan, penuh persoalan yang agaknya sambung menyambung tiada kunjung henti. Dan kalau dia pelajari persoalan-persoalan itu, kesemuanya timbul dari nafsu keinginan manusia memperebutkan sesuatu, baik yang diperebutkan itu benda atau kebenaran! Semua demi si?akunya manusia, sampai?sampai kebenaran sekalipun ingin dimonopoli. Kebenaran?Ku! Si aku inilah sumber dari segala persengketaan, sumber dari segala pertentangan dan permusuhan, membuat hidup menjadi semacam gelanggang pertempuran demi si aku masing?masing. Memang benar sukongnya yang berkata bahwa bagi seseorang yang sudah dapat mematikan akunya sewaktu hidup, tiada perubahan keadaan antara hidup dan mati! Setelah hari senja baru Kun Liong tiba di sebuah dusun di kaki bukit. Dari jauh dia melihat sebuah warung makan di dekat sebuah rumah penginapan kecil sederhana. Dirogohnya bajunya yang lebar sederhana. Tadi dia diberi bekal uang sekedarnya oleh Thian Kek Hwesio. Lima tahun lamanya dia tidak pernah makan masakan yang enak, hanya makan sayur-sayuran sederhana saja seperti yang dimakan sukongnya. Minumnya pun selama lima tahun itu hanya air jernih. Ada tercium bau arak dan daging panggang dari warung itu, membangkitkan seleranya. Maka masuklah dia ke dalam warung itu, warung kecil yang hanya mempunyai beberapa bangku panjang, meja reyot dan diterangi oleh lampu minyak kecil tergantung di bawah genteng. Tiga orang tamu yang sudah lebih dulu duduk di dalam warung, mengangkat muka memandang Kun Liong dengan penuh perhatian. Melihat orang?orang itu memandangnya penuh selidik, Kun Liong merasa tidak enak, akan tetapi dengan sikap tidak peduli dia menoleh kepada seorang pelayan yang sedang melayani mereka dan berkata sederhana, “Bung pelayan, tolong sediakan arak dan bakmi semangkuk!” Pelayan itu menoleh, kelihatan ragu?ragu dan mengulang, “Arak? Dan bakmi dengan daging?” Kun Liong mengangguk, lalu dia mengambil tempat duduk di ujung sebuah bangku panjang karena tidak ada tempat duduk lain yang kosong. Bangku ini di ujung sana telah diduduki oleh seorang di antara tiga tamu itu, seorang setengah tua yang berjenggot pendek dan agaknya sudah terlalu banyak minum arak karena mukanya merah dan wajahnya berseri. Dengan menggerakken kedua pundaknya dan bertukar pandang dengan tiga orang tamunya, pelayan itu lalu pergi ke belakang untuk mengambilkan arak dan bakmi yang dipesan Kun Liong. “Aku mendengar bahwa Siauw?lim?pai merupakan partai persilatan yang paling besar dan telah terkenal sekali bahwa hwesio?hwesio Siauw?lim?pai adalah para hwesio yang tidak pernah menyeleweng.” Terdengar suara yang tinggi sekali seperti kaleng digurat menyakitkan anak telinga. Kun Liong melirik dan melihat bahwa yang bicara ini adalah seorang di antara tiga tamu tadi, orang yang mukanya kecil, bertopi kain dan bermuka pucat. “Ha?ha?ha?ha, apa yang kaudengar itu memang benar, Kui?suheng (Kakak Seperguruan Kui). Kalau ada seorang hwesio melakukan pelanggaran, sudah hampir dapat dipastikan dia itu bukan seorang anggauta Siauw?lim?pai!” kata orang yang duduk sebangku dengan Kun Liong. Arak dan bakmi yang dipesan Kun Liong tiba, dan pemuda ini segera mulai makan tanpa mempedulikan tiga orang tamu itu. Orang ke tiga di antara tamu itu sudah tua, kurus dan lucu sekali karena kelihatan selalu mengantuk. Biarpun kadang-kadang dia mengangkat cawan araknya, akan tetapi matanya seperti terus tidur melenggut dan tidak pernah ikut bicara dengan kedua orang temannya, bahkan sama sekali tidak mempedulikan Kun Liong. “Benarkah bahwa setiap ada anak murid yang melanggar, Siauw?lim?si bertindak keras sekali dengan hukumannya?” tanya pula Si Muka Pucat yang disebut Kui?suheng oleh Si Jenggot Pendek tadi. “Kabarnya demikian. Bahkan seorang murid tidak akan diijinkan keluar sebelum lulus dari ujian yang diadakan. Apakah Suheng tidak mendengar betapa ketuanya yang lama, Tiang Pek Hosiang yang terkenal di seluruh dunia kang?ouw itu, terpaksa harus mengundurkan diri karena pelanggaran?” “Ya, kabarnya begitu. Bahkan murid Siauw-lim?pai yang paling lihai, Yap Cong San yang kabarnya mewarisi ilmu kepandaian kakek sakti itu, terpaksa pula harus meninggalkan keanggautaannya dari Siauw?lim?pai karena pelanggaran.” “Urusan apakah?” “Entahlah, Sute. Aku sendiri pun tidak tahu jelas. Tentu Tio?taihiap (Pendekar Besar Tio) yang lebih tahu,” jawab Si Muka Pucat sambil memandang kepada teman yang sejak tadi seperti orang mengantuk itu. Kedua orang itu kini memandang kepadanya dan diam?diam Kun Liong juga memperhatikan dengan kerling matanya kepada Si Pengantuk yang disebut Pendekar Besar Tio itu. “Sudahlah, perlu apa bicara tentang urusan orang lain? Yang penting malam ini kita mengaso di losmen dan baru besok pagi kita naik ke Siauw-lim?si. Mudah?mudahan saja perjalanan jauh kita akan berhasil.” Mendengar ini, timbul kecurigaan di dalam hati Kun Liong. Tiga orang ini sikapnya mencurigakan dan mereka ini besok mau nalk ke Siauw?lim?si! Mau apakah mereka? Apakah ada hubungan mereka dengan Kwi?eng?pai yang telah mencuri pusaka Siauw-lim?si? “Ucapan Tio?taihiap benar,” kata Si Jenggot Pendek. “Kita harus menghormati para pendeta Siauw?lim?pai yang terhormat, akan tetapi bagaimana mungkin aku dapat menghormat pendeta munafik yang terang?terangan melanggar pantangan di depan umum?” Setelah berkata demikian, Si Muka Merah yang berjenggot pendek ini mengangkat cawan araknya melirik ke kiri ke arah Kun Liong sambil mengerahkan tenaga sinkang di tubuh bagian bawah. Kun Liong terkejut bukan main ketika tiba?tiba bangku yang didudukinya itu bergetar dan bergerak terangkat naik! Maklumlah dia bahwa Si Muka Merah ini sengaja main gila hendak mempermainkan dia yang tentu dianggap seorang hwesio yang melanggar pantangan makan daging dan minum arak. Perutnya terasa panas, akan tetapi dia bersikap tenang saja seolah?olah tidak tahu apa yang terjadi, akan tetapi dia pun lalu mengerahkan sin?kang sehingga ujung bangku yang didudukinya itu, yang tadinya sudah terangkat sampai sejengkal lebih dari lantai, kini turun kembali! Si Muka Merah terbelalak dan heran, lalu menjadi penasaran. Sin?kangnya dikerahkan dengan sekuatnya, dan andaikata Kun Liong bukan seorang yang telah memiliki sin?kang kuat, tentu dia akan terlempar jauh oleh getaran ujung bangku yang didudukinya! Akan tetapi, tubuh pemuda ini sama sekali tidak berguncang, bahkan ketika dia mengerahkan tenaganya, terdengar suara “krakkk!” bangku itu patah pada tengahnya dan tubuh Si Muka Merah itu terlempar ke atas seperti dilontarkan oleh tenaga raksasa yang tidak tampak! Cawan araknya terlepas dari tangannya dan tentu akan terbanting tumpah di atas meja kalau saja Si Pengantuk yang disebut Tio?taihiap itu tidak mengulur tangan menyambar cawan itu dan aneh sekali... arak yang tumpah itu seakan-akan tersedot dan melayang kembali ke dalam cawan itu! Sedangkan Si Muka Merah sudah berjungkir?balik dan tidak sampai terbanting. Dia sudah mengepal tinju dan memandang kepada Kun Liong dengan mata mendelik, melihat pemuda gundul itu tetap enak?enak duduk di ujung bangku yang sudah patah tengahnya, menghabiskan sisa arak dalam cawannya! “Pendeta palsu hayo lawan aku orang she Song kalau kau ada kepandaian!” Si Muka Merah itu membentak marah. Kun Liong menghabiskan sisa arak dalam cawan, kemudian meletakkan cawan kosong di atas meja dan bangkit berdiri. Tentu saja bangku yang sudah patah tengahnya itu terguling roboh ketika dia bangkit, mengeluarkan bunyi nyaring memecah kesunyian yang menegangkan itu. Dia merogoh saku dan menggapai kepada pelayan yang datang membungkuk?bungkuk dengan ketakutan, kemudian membayar harga makanan dan minuman setelah menanyakan harganya. Setelah pelayan bergegas pergi, dia berpaling kepada Si Muka Merah dan berkata, “Semenjak tadi aku makan dan minum di sini dengan aman, tidak pernah mengganggu orang baik dengan ucapan atau dengan tingkah laku. Engkau hampir jatuh oleh tingkah sendiri, mengapa sekarang ribut?ribut hendak menantang orang?” “Pendeta palsu, tak usah banyak cakap. Keluarlah kalau kau berani!” “Saudara Song, duduklah!” Tiba?tiba Si Pengantuk itu berseru nyaring dan Kun Liong melihat betapa Si Muka Merah itu, biarpun bersungut?sungut, mengangguk tak berani membantah, sudah duduk di sudut dengan muka merah. Si Pengantuk itu lalu berdiri menghadapi Kun Liong, mengangkat tangan ke depan dada sambil berkata, “Siauw?suhu, harap suka memaafkan kekasaran kawanku. Akan tetapi aku pun tidak dapat terlalu menyalahkannya karena dia memang paling tidak suka menyaksikan sesuatu yang ganjil, misalnya seorang pendeta yang melanggar pantangan di depan umum, makan daging dan arak.” Kun Liong tersenyum lebar dan memandang Si Pengantuk itu dengan wajah berseri. Dia tidak marah lagi, bahkan merasa betapa lucunya keadaan. Sambil balas menjura dia menjawab, “Sudahlah, tidak ada apa?apa yang harus diributkan kalau hanya karena kesalahpahaman diakibatkan oleh kepalaku yang gundul Tai?hiap, aku bukanlah seorang hwesio dan tidak ada seorang manusia pun di dunia ini yang berhak melarang aku berkepala gundul, minum arak dan makan daging!” SI MUKA PUCAT tertawa dan sungguh aneh. Biarpun dia kelihatan mengantuk, setelah tertawa wajahnya yang tua kurus itu berseri dan sepasang mata yang sipit itu mengeluarkan sinar mata yang menyambar amat tajamnya, membuat Kun Liong terkejut sekali dan diam-diam pemuda ini maklum bahwa dia berhadapan dengan orang pandai. “Ha?ha?ha, Song?laote, kaulihat betapa lucunya dan betapa merugikan kalau kau tidak teliti, menyangka orang yang bukan?bukan dan sudah tergesa?gesa turun tangan sebelum yakin akan kesalahan orung. Saudara muda ini sama sekali bukan hwesio, tentu saja bukan merupakan hal aneh kalau dia makan daging dan minum arak.” Orang she Ong itu kini berubah sikapnya. Dia cepat bangkit dan menjura ke arah Kun Liong sambil berkata, “Aihh, mataku seperti buta! Harap suka memaafkan kecurigaan saya tadi, Siauw?eng-hiong. Semuda ini engkau telah memiliki kepandaian hebat, sungguh mengagumkan hatiku. Pertemuan ini harus dilanjutkan dengan persahabatan dan sudilah engkau menjadi tamu kami!” Kun Liong cepat menjura, “Maaf, saya tidak dapat menerima kehormatan itu. Saya adalah seorang petualang biasa yang tidak ada artinya, dan saya lelah sekali ingin mengaso. Maaf!” Dia lalu melangkah keluar dari warung itu, memasuki losmen sederhana, memesan kamar dan merebahkan dirinya di atas dipan di dalam kamar yang sempit itu, melupakan lagi urusan tadi, akan tetapi diam?diam dia masih menaruh hati curiga terhadap ketiga orang yang hendak naik ke Siauw-lim?si. Kecurigaannya ini membuat Kun Liong gelisah dan pada keesokan harinya, pagi?pagi sekali, dia mendahului tiga orang itu naik ke puncak, kembali ke Siauw?lim?si. Sedikitnya dia harus memberitahukan Thian Kek Hwesio akan tiga orang aneh yang hendak mengunjungi kuil dan yang keadaannya mencurigakan agar Siauw?lim?pai dapat berjaga?jaga. Biarpun kini Kun Liong melalui jalan yang jauh lebih sukar daripada ketika dia meninggalkan puncak, yaitu jalannya terus mendaki, namun karena dia tergesa?gesa dan mempergunakan ilmu berlari cepat, maka menjelang senja sampai juga dia ke puncak dan memasuki halaman kuil Siauw?lim?si yang amat luas. Heran hati pemuda ini menyaksikan kesibukan anak murid Siauw?lim-pai, dan setelah dia berhadapan dengan ketua dan para tokoh Siauw-lim?pai di ruangan depan, dapat dibayangkan betapa kagetnya mendengar berita bahwa Thian Lee Hwesio telah tewas terbunuh orang dan baru saja kemarin jenazahnya tiba, dibawa oleh rombongan piauwsu yang kemarin dijumpai di tengah jalan. Kiranya yang berada di dalam kereta adalah sebuah peti yang terisi jenazah Thian Le Hwesio! Di dalam ruangan itu terdapat dua buah peti mati dan Kun Liong segera berlutut memberi hormat di depan kedua peti mati itu setelah dia mengetahui bahwa dua peti mati itu berisi jenazah sukongnya, Tiang Pek Hosiang, dan jenazah Thian Le Hwesio! “Bukan pinceng tidak mentaati pesan terakhir dari Suhu,” kata Thian Kek Hwesio kepada Kun Liong setelah mempersilakan pemuda itu duduk. “Akan tetapi sebelum kami dapat melaksanakan perintah Suhu dan memperabukan jenazahnya, telah datang jenazah Sute. Maka biarlah kita sekarang mengadakan upacara kepada dua jenazah, apalagi karena sudah sepatutnya kalau jenazah Suhu memperoleh kehormatan dan menerima penghormatan para tokoh kang?ouw yang tentu akan berdatangan mendengar berita kematian Suhu dan Sute. Pinceng harap Sicu akan suka menunggu di sini sampai kedua jenazah disempurnakan.” Kun Liong mengangguk. “Tentu saja, teecu akan menanti di sini karena teecu juga ingin sekali bertemu dengan tokoh-tokoh kang?ouw. Sudah menjadi kewajiban teecu pula untuk menunggu jenazah Sukong sampai diperabukan. Akan tetapi yang sangat mengherankan hati teccu, bagaimanakah Thian Lee?losuhu yang katanya mencari pusaka yang hilang, tahu?tahu kembali dalam keadaan telah tewas dan siapa pula yang mengantar dengan kereta piauw?kiok itu?” “Yap?sicu telah kami beri tugas untuk mencari kembali pusaka sesuai dengan pesan Suhu, sekarang dengan terjadinya kematian Sute, tugas Sicu menjadi lebih berat. Agar jelas, baiknya Sicu mendengar sendiri penuturan para piauwsu yang mengawal jenazah Sute,” kata Ketua Siauw?lim?pai yang segera memanggil enam orang piauwsu itu ke ruangan, sedangkan dia sendiri melanjutkan memimpin para anak murid melakukan upacara sembahyangan terhadap dua peti mati terisi jenazah. Enam orang piauwsu itu tercengang juga ketika diperkenalkan kepada Kun Liong yang mereka kenal sebagai pemuda gundul yang kemarin berjumpa dengan mereka di tengah jalan. Ketika mendengar bahwa pemuda itu adalah sahabat baik Ketua Siauw?lim?pai, mereka segera memberi hormat, apalagi ketika Ketua Siauw-lim?pai minta agar mereka menceritakan semua kepada Kun Lion, pimpinan piauwsu yang bermuka hitam segera mulai dengan penuturannya. Sam?to?piauw?kiok adalah sebuah perusahaan pengawalan dan pengiriman barang di kota Lam?san?bun yang sudah amat terkenal karena perusahaan ini dipimpin tiga orang kakak beradik yang tinggi ilmu silatnya, terutama sekali ilmu golok mereka yang sukar dicari tandingannya, sehingga terkenallah sebutan Sam?to?eng (Tiga Pendekar Golok). Karena itu, perkumpulan yang juga memakai nama Tiga Golok ini amat dipercaya orang untuk mengawal pelancong atau barang?barang berharga. Pada suatu hari, seorang pemuda tampan datang berkereta dan membawa sebuah peti yang panjang besar, menyerahkan peti itu kepada Sam?to?piauw-kok dan minta agar peti itu dikirimkan secepatnya ke Siauw?lim?pai dengan biaya mahal dan dibayar kontan pula! “Karena pada waktu peti itu datang tiga orang pimpinan kami sedang tidak ada di rumah, maka kami sebagai pembantu?pembantunya menerima barang itu dan kami tidak mengutus anak buah, melainkan kami mengawalnya sendiri mengingat akan baiknya hubungan antara tiga orang pemimpin kami dengan Siauw?lim?pai. Karena barang kiriman itu untuk Siauw-lim?si, maka harus kami jaga agar jangan sampai terjadi sesuatu di tengah jalan. Sama sekali kami tidak pernah menyangka bahwa peti itu berisi... berisi...” “Jenazah Thian Le?losuhu?” Kun Liong melanjutkan karena pemimpin para piauwsu yang bermuka bitam itu kelihatan gagap. “Benar, Yap-sicu. Kalau kami tahu apa isinya, hemmm... tentu kami akan menahan dia!” “Siapakah dia yang mengirim peti itu?” “Seorang pemuda tampan, dan sekarang, melihat bahwa peti itu berisi jenazah wakil Ketua Siauw-lim?pai, timbul dugaan kami babwa agaknya pemuda itu adalah penyamaran dari dia...” Si Muka Hitam yang biasanya bersikap gagah itu kelihatan ragu?ragu dan jerih, tampak dari matanya yang otomatis melirik ke kanan kiri, seolah?olah dia merasa takut kalau?kalau suaranya terdengar orang lain! “Siapakah dia yang kaumaksudkan?” “Giok... hong... cu...” Kun Liong mengerutkan alisnya karena dia sama sekali tidak mengenal nama julukan Giok?hong?cu (Si Burung Hong Kemala) itu. “Hemmm, dia itu orang apakah?” Pemimpin rombongan piauwsu itu memandang dengan heran, kemudian dia dapat menduga bahwa pemuda gundul yang diakui sebagai sahabat oleh Ketua Siauw?lim?pai itu agaknya adalah seorang yang sama sekali belum mengenal keadaan dunia kang?ouw, maka dengan penuh gairah seorang yang suka bercerita dia berkata, “Dia adalah seorang wanita muda yang namanya tersohor di seluruh dunia kang?ouw selama dua tahun ini. Ilmu kepandaiannya hebat dan mengerikan, sepak terjangnya ganas sekali dan melihat betapa banyaknya tokoh?tokoh golongan putih yang menjadi korban keganasan tangannya, agaknya dia adalah seorang tokoh baru golongan hitam, sungguhpun ada pula golongan hitam yang dibasminya. Dia seorang tokoh penuh rahasia dan melihat bahwa isi peti adalah jenazah wakil Ketua Siauw-lim?pai, kami terus saja ingat kepadanya.” “Hemm, sungguh tidak baik kalau menuduh orang tanpa bukti, siapapun juga orang itu.” Kun Liong membantah, hatinya merasa tidak rela ada orang menuduh seorang wanita muda yang melakukan pembunuhan keji terhadap Thian Le Hwesio. “Kami tidak menuduh sembarangan!” Si Muka Hitam membantah. “Biarpun dia berpakaian seperti seorang pemuda, akan tetapi wajahnya demikian tampan dan suara serta gerak?geriknya demikian halus. Dia pasti seorang wanita muda yang menyamar.” “Tapi bagaimana kau dapat memastikan dia itu tokoh wanita yang berjuluk Giok?hong?cu?” “Karena Giok?hong?cu juga seorang dara muda yang cantik jelita, dan... di baju pemuda itu, di bagian dada kiri, terdapat sebuah hiasan burung hong terbuat dari batu kemala. Kabarnya, kami sendiri belum pemah bertemu dengan Giok?hong?cu, tokoh itu pun selalu menghias rambutnya dengan burung hong batu kemala, maka benda itu dijadikan julukannya karena tidak ada seorang pun tahu siapa namanya.” Kun Liong mengerutkan alisnya makin dalam. Blarpun dia tidak yakin benar akan tuduhan ini, namun dia mencatat semua itu di dalam hatinya untuk bahan penyelidikannya kelak. Dia bertugas dan ini perintah mendiang sukongnya, untuk mendapatkan kembali dua buah benda pusaka Siauw?lim?pai yang dicuri orang. Dan karena Thian Le Hwesio tewas dalam usahanya mencari pula pusaka itu, maka agaknya pembunuh hwesio tua itu tentulah orang yang mempunyai hubungan dengan pencurian pusaka itu. Dahulu pun orang yang memimpin pencurian, yang telah melukainya, adalah seorang pemuda yang amat lihai sehingga tidak dapat tertangkap oleh tokoh?tokoh Siauw-lim?pai. Akan tetapi, pemuda itu dahulu berkedok saputangan, dan tubuhnya memang kecil namun tegap dan gagah. Menurut penuturan Ketua Siauw?lim?pai, dua orang pencuri yang tertangkap kemudian membunuh diri, mungkin sekali adalah anggauta Kwi?eng?pai di Kwi?ouw, melihat dari duri yang mereka pakai membunuh diri. “Apakah Giok?hong?cu yang kausebut itu seorang anggauta Kwi?eng?pai?” tanyanya. Kembali piauwsu itu kelihatan kaget dan jerih, menggeleng kepala dengan kuat. “Ah, saya rasa tidak ada hubungannya dengan Kwi?eng?pai... akan tetapi entahlah, sepanjang pendengaran kami, Giok?hong?cu selalu bergerak sendiri. Kwi?eng?pai terlalu besar untuk hanya diwakili oleh satu orang saja yang tidak pernah menyebut nama perkumpulan itu.” Kun Liong mengangguk?angguk. “Jadi orang yang mungkin sekali menyamar Giok?hong?cu itu mendatangi Sam?to-piauwkiok di Lam?san?bun? Apakah memang dia tinggal di Lam?san?bun?” “Yap?sicu, siapakah yang dapat mengetahui di mana tempat tinggalnya? Akan tetapi memang pada bulan?bulan terakhir ini sepak terjangnya berbekas di antara Lam?san?bun sampai ke kota raja.” Kun Liong merasa lega mendengar keterangan ini. Biarpun dia belum yakin benar bahwa tokoh wanita terkenal itu yang membunub wakil Ketua Siauw?lim-pai, namun sedikitnya dia dapat menyelidikinya dan mencarinya antara Lam-san?bun dan kota raja. Para piauwsu Sam?to?piauwkiok itu tidak lama berada di Siauw?lim?si. Mereka segera berpamit untuk kembali ke Lam-san?bun dan melaporkan peristiwa hebat itu kepada tiga orang pimpinan mereka. Setelah para piauwsu itu pergi, teringatlah Kun Liong akan tiga orang yang ditemuinya di warung, dan kecurigaannya bertambah. Dalam keadaan seperti pada waktu itu, setelah peristiwa hebat yang menimpa diri wakil Ketua Siauw-lim?pai, maka setiap orang yang datang ke Siauw?lim?si tentu mengandung niat yang meragukan. Siapa tahu kalau-kalau tiga orang yang dijumpainya itu, yang jelas bukanlah orang?orang biasa, adalah anak buah Kwi?eng?pai atau setidaknya mempunyai hubungan dengan pembunuh Thian Le Hwesio. Pikiran ini mendorong Kun Liong untuk meninggalkan kuil dan menghadang di depan kuil, menanti munculnya tiga orang yang dicurigai itu. Dia tidak menanti lama, karena segera tampak olehnya tiga orang yang ditunggu?tunggu itu berlari mendaki puncak dengan gerakan cepat. Diam?diam dia terkejut juga. Dia memang tahu bahwa mereka itu adalah orang?orang berkepandaian, terutama sekali Si Pengantuk yang telah ia saksikan kelihaiannya ketika Si Pengantuk yang disebut Tio?taihiap itu menyambar cawan arak yang terlempar dan menyedot arak yang tumpah keluar kembali ke dalam cawan, membuktikan tenaga sin?kang yang amat kuat. Akan tetapi melihat tiga orang itu menaiki puncak sambil berlari sedemikian cepatnya, dia benar?benar tercengang dan kecurigaannya bertambah. Siauw-lim?pai telah kedatangan tiga orang lawan berat, pikirnya. Lebih baik dia menghalangi mereka itu di luar agar tidak mengacaukan dalam kuil di mana sedang diadakan upacara sembahyang terhadep dua jenazah dalam peti?peti mati. Hari masih pagi di waktu itu. Kun Liong berdiri di tengah lorong kecil yang menuju ke kuil, membelakangi pintu kuil yang terbuka sebelah. Keadaan di luar kuil sunyi karena semua hwesio sibuk di sebelah dalam, melayani ketua dan para pimpinan yang melakukan sembahyangan. Dari luar terdengar bunyi liam?keng (doa) mereka dan suara ketukan?ketukan mengiringi doa sembahyang seperti nyanyian puji?puji yang penuh khidmat. Tiga orang itu menghentikan gerakan kaki mereka dan berdiri berhadapan dengan Kun Liong. Si Pengantuk berusaha melebarkan matanya yang sipit ketika melihat Kun Liong, sedangkan Si Muka Merah dan yang seorang lagi memandang dengan penuh keheranan dan juga mereka kelihatan marah ketika mengenal bahwa yang menghadang di tengah jalan itu bukanlah seorang hwesio yang menyambut kedatangan mereka, melainkan pemuda gundul yang pernah ribut dengan Si Muka Merah di dalam warung! Kalau tadinya mereka itu sudah menghabiskan kecurigaan mereka setelah mendengar bahwa pemuda itu bukan seorang hwesio, kini mereka menjadi curiga lagi melihat pemuda itu menghadang mereka di depan pintu gerbang kuil Siauw-lim?si! Orang she Tio yang tinggi kurus dan seperti mengantuk, sudah mendahului dua orang kawannya, maju dan menjura kepada Kun Liong sambil berkata, “Kiranya sahabat muda yang menghadang kami di sini. Harap kau orang muda suka minggir dan membiarkan kami pergi memasuki kuil Siauw?lim?si, dan kalau ada urusan dengan kami, biarlah akan kita bicarakan kelak kalau urusan kami di Siauw?lim-si sudah selesal.” Kun Liong bersikap tenang akan tetapi dia menggeleng kepalanya. “Pada saat ini Siauw-lim?si tidak menerima kunjungan orang?orang asing. Harap Sam?wi kembali saja dari mana Sam?wi datang dan jangan memasuki kuil karena para suhu sedang sibuk.” “Eh, eh, omongan apa ini?” Orang she Song yang bermuka merah menegur dengan suaranya yang galak. Dia memang termasuk orang yang wataknya berangasan. “Engkau bilang bahwa kau bukan seorang hwesio biarpun kepalamu gundul. Sekarang engkau menghalangi kami hendak memasuki Siauw-lim?si. Sebenarnya siapakah engkau dan apa kehendakmu terhadap kami?” “Aku adalah seorang sahabat baik dari para pimpinan Siauw?lim?pai, karena itu aku harus mencegah kalian melakukan pengacauan di Siauw-lim?si.” “Manusla sombong! Apakah ehgkau menantang berkelahi?” Si Muka Merah membentak. Kun Liong menggeleng kepalanya. “Aku tidak menantang siapa pun, akan tetapi aku tidak ingin melihat orang-orang menggunakan kepandaian untuk melakukan kejahatan, apalagi terhadap Siauw?lim?pai. Karena itu, harap Sam-wi (Tuan Bertiga) suka pergi lagi dan jangan mengganggu para pimpinan Siauw-lim?pai yang sedang sibuk.” “Bocah lancang! Kau tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa! Manusia sombong seperti engkau layak dlhajar!” Si Muka Merah sudah mengepal tinju dan hendak menerjang maju, akan tetapi Si Pengantuk melarangnya, “Saudara Song, jangan!” Si Muka Merah itu mundur kembali, akan tetapi mukanya menjadi makin merah karena dia marah bukan main. Kini Si Pengantuk melangkah maju menghadapi Kun Liong dan memandang penuh selidik, kemudian berkata, “Sahabat muda, engkau dengan tegas melarang kami memasuki kuil Siauw-lim?si dan menuduh kami hendak mengadakan pengacauan. Agaknya engkau salah sangka. Kami bukan berniat melakukari kekacauan, karena itu harap engkau jangan menghalangi kami.” Kun Liong menggeleng kepalanya. “Melihat sikap kalian, aku tidak dapat percaya dan aku menduga bahwa tentu engkau tidak mempunyai niat baik. Akan tetapi, kalau engkau suka memberi tahu kepadaku apa niat kedatangan kalian bertiga, aku akan melaporkan kepada Ketua Siauw-lim?pai dan kalian menanti dulu di sini.” Akan tetapi Si Pengantuk masih kelihatan tenang dan sabar. “Orang muda, kami memang ada urusan penting dengan Ketua Siauw?lim?pai, akan tetapi urusan ini tidak dapat kuberitahukan kepada siapapun juga.” “Kalau begitu menyesal sekali, harap kalian suka pergi lagi saja.” Kun Liong berkata tegas. “Kalau kami tidak mau dan hendak terus memasuki kuil?” “Terpaksa aku mencegah kalian.” “Orang muda, engkau menantang kami?” “Nah, lagi?lagi aku dituduh menantang!” Kun Liong tersenyum. “Engkau ini orang tua disebut tai?hiap yang berarti pendekar besar dan dengan sendirinya tentu seorang pendekar maklum akan duduknya perkara. Sam?wi datang hendak memaksa memasuki kuil, aku sebagai seorang yang merasa pula bertanggung jawab akan keselamatan kuil Siauw-lim-si, menolak kedatangan Sam?wi dan minta agar Sam?wi pergi lagi saja, akan tetapi Sam?wi hendak memaksa. Tentu saja kalau Sam?wi memaksa aku akan mencegah. Eh, kini Sam?wi menuduh aku menantang! Benarkah pendapat seperti itu?” Si Pengantuk she Tio berkata, kini suaranya dingin dan tegas. “Orang muda, agaknya engkau memiliki sedikit kepandaian dan terlalu mengandalkan kepandaian itu sehingga berani bicara main?main dengan kami. Minggir dan jangan mencari perkara!” “Kalian yang terlalu, aku tidak mau minggir.” “Kalau begitu bersiaplah kau, orang muda. Mari kita memutuskan urusan ini dengan mengadu kepandalan.” “Aku tidak mau berkelahi.” Si Pengantuk tercegang dan bingung juga bagaimana harus bersikap terhadap pemuda gundul yang aneh ini. Si Muka Merah sudah membentak lagi, “Dia pengecut!” “Aku tidak takut kepada kalian bertiga, pasti bukan pengecut,” bantah Kun Liong yang tersinggung juga disebut pengecut. “Kalau berani, majulah!” tantang Si Muka Merah. “Tentu saja berani, akan tetapi aku tidak suka berkelahi!” “Eh, orang muda! Engkau bersikap menantang kami akan tetapi menyatakan tidak suka berkelahi, sebenarnya apakah maksudmu!” “Maksudku sudah jelas, Tai?hiap. Aku minta agar kalian bertiga tidak memasuki kuil dan suka pergi dengan aman dan damai. Nah, bukankah kita tidak saling mengganggu dan urusan dapat dihabiskan sampai di sini saja?” “Bocah sombong! Tio?taihiap, biar aku menghajarnya!” orang she Song yang bermuka merah tak dapat menahan kemarahannya lagi karena merasa bahwa pemuda gundul itu sengaja mempermainkan mereka. Teriakannya ini disusul dengan gerakan tubuhnya yang sudah menerjang maju dan mengirim pukulan tangan kanannya ke arah dada Kun Liong. Pukulan kasar ini biarpun dilakukan dengan pengerahan sin?kang dan cepat serta keras sekali datangnya, bagi Kun Liong yang sudah dapat mengukurnya bukan merupakan serangan berbahaya. Karena itu, pemuda ini sama sekali tidak mau mengelak atau menangkis, melainkan dia menerima pukulan dengan dadanya sambil mengerahkan tenaga sin?kang yang dahulu dipelajarinya dari Bun Hwat Tosu. Dengan sin?kang yang sama, Bun Hwat Tosu dahulu pernah menerima pukulan Hek?tok?ciang (Tangan Beracun Hitam) dari Ketua Ui?hong?pang tanpa terluka, bahkan Si Ketua itu sendiri yang terluka tangannya oleh pukulan sendiri yang membalik hawanya. “Bukkkk!” Keras sekali datangnya pukulan itu, mengenai dada Kun Liong dan membuat tubuh pemuda gundul itu terguncang, namun berkat tenaga sin?kang yang menolak dan membetot, tangan yang memukul itu meleset seolah?olah memukul karet yang amat keras dan Si Muka Merah itu meringis ketika tangannya menyeleweng dan tubuhnya terpental sampai terhuyung ke kiri! Ketika dia melihat ke arah tangan kanannya, tangannya itu telah bengkak?bengkak! Dan ketika dia melirik ke arah pemuda gundul itu, Si Pemuda masih berdiri tegak dengan sikap tenang dan mulut tersenyum. “Hemm, tukang pukul orang! Masih ada lagikah pukulanmu yang lunak seperti tahu tadi?” Kun Liong mempermainkan Si Muka Merah yang menjadi marah sekali. Dengan tangan kirinya, Si Muka Merah sudah meraba punggung dan tampaklah sinar berkilauan ketika dia telah mencabut pedangnya. “Saudara Song, jangan main senjata!” Si Pengantuk menegur. “Sute, mundurlah!” Orang bermuka pucat she Kui yang menjadi suheng dari Si Muka Merah sudah meloncat ke depan. Gerakannya lincah, ringan dan cepat bukan main. Sekaii pandang saja, tahulah Kun Liong bahwa kepandaian Si Muka Pucat ini lebih lihai darlpada Si Muka Merah yang kasar. Begitu menyerang, Si Muka Pucat she Kui itu telah mengirm totokan halus yang cepat sekali ke arah leher dan pundak Kun Liong. Biarpun dia sama sekali belum berpengalaman, namun berkat bimbingan dua orang sakti yang berilmu tinggi, pandang mata Kun Liong menjadi awas sekali. Dia maklum bahwa amat berbahayalah untuk melindungi tubuhnya dengan sin?kang seperti yang dilakukannya tadi karena kini yang menjadi sasaran serangan lawan adalah jalan darah yang lemah dan totokan lawan itu selain cepat juga mengandung hawa pukulan yang amat kuat. Maka dia pun lalu menggerakkan tubuh mengelak dan begitu dia bergerak, Si Pengantuk menahan seruannya saking kagum. Gerakan Kun Liong jauh lebih cepat daripada gerakan Si Muka Pucat dan serangan bertubi?tubi yang dilanjutkan oleh orang she Kui itu selalu tak dapat berhasil, kalau tidak dielakkan tentu kena ditangkis secara tepat sekali oleh Kun Liong. Tidaklah mengherankan kalau semua serangan itu gagal karena Kun Liong sudah melindungi dirinya dengan gerakan Ilmu Silat Sakti Im?yang-sin?kun bagian pertahanan. Si Pengantuk yang memperhatikan dengan teliti gerakan Kun Liong, terkejut menangkap dasar?dasar Ilmu Silat Siauw-lim?pai, akan tetapi ilmu silat yang dimainkan pemuda itu hanya mempunyai dasar ilmu silat Siauw?lim?pai, sedangkan perkembangan dan gerakannya sama sekali tidak dia kenal! Padahal, biasanya dia boleh berbangga bahwa jarang ada ilmu silat yang tidak dikenalnya, apalagi ilmu silat yang berdasar Siauw?lim?pai. Ketika kakek pengantuk itu melihat betapa pemuda gundul itu sama sekali tidak membalas serangan temannya, namun semua serangan temannya itu sama sekali tidak pernah berhasil tahulah dia bahwa temannya she Kui itu pun bukan lawan pemuda gundul yang amat aneh ilmu silatnya itu. Maka dengan gerakan ringan sekali seperti seekor burung terbang dia sudah meloncat ke depan, menyambar lengan temannya, menarik sambil berseru, “Mundurlah, Saudara Kui!” Tubuh orang she Kui yang bermuka pucat itu tertarik dan melayang meninggalkan lawan. Kun Liong yang kehilangan lawan itu memandang kaget ketika melihat betapa tahu?tahu lawannya telah berganti orang, yaitu Si Pengantuk yang ia tahu amat lihai. “Sam?wi benar?benar keras kepala dan ingin mengandalkan kepandaian untuk memaksakan kehendak sendiri!” Kun Liong mencela, namun tetap siap siaga menghadapi lawan yang ia tahu tak boleh dipandang ringan itu. “Orang muda, engkaulah yang keras kepala. Pergilah!” Si Pengantuk sudah menyerang, akan tetapi gaya serangannya jauh berbeda dengan gerakan kedua orang temannya tadi, Si Pengantuk ini hanya menggerakkan tangan kirinya, dan ujung jari tangan kirinya melecut seperti ujung cambuk yang lemas, mengarah leher dan pundak Kun Liong. Pemuda itu terkejut bukan main. Biarpun serangan itu kelihatannya bersahaja dan tidak sungguh?sungguh, namun kepretan tangan itu mendatangkan hawa pukulan yang panas sekali! Tentu saja dia tidak berani menerima serangan sehebat itu, maka cepat dia pun mengerahkan tenaganya ke arah tangan, menggerakkan tangan kanannya menangkis jari?jari tangan lawan itu dan dari tangannya mengepul uap putih. “Plak! Plakkk!” Kakek pengantuk itu mencelat mundur dengan terkejut sekali. Ternyata bahwa lengan pemuda gundul itu mampu menangkis kepretan ujung jari tangannya, padahal dia tahu benar bahwa jarang ada orang kang?ouw yang sanggup menangkisnya tanpa terdorong mundur atau terluka tangannya. Pemuda itu menangkis dengan kekuatan dahsyat dan sama sekali tidak kelihatan menderita! Bahkan tangan pemuda itu mengeluarkan uap putih yang aneh! Lagi?lagi dia tadi telah mempergunakan Pek?in?ciang yang dipelajarinya dari Tiang Pek Hosiang. Kalau lawannya terkejut dan terheran, Kun Liong juga kagum sekali ketika merasa betapa hawa tamparan ujung jari itu membuat lengannya tergetar hebat. Makin yakinlah hatinya bahwa lawannya ini benar?benar berilmu tinggi! “Orang muda, terpaksa aku tidak boleh mengalah lagi kepadamu!” Kakek pengantuk itu berkata, kedua lengannya bergerak dan terdengarlah suara berkerotokan seolah?olah seluruh tulang-tulang lengannya patah?patah! Kun Liong yang belum berpengalaman, memandang dengan mata terbelalak dan hati ngeri karena dia dapat menduga bahwa tentu kakek itu mengeluarkan ilmunya yang mujijat. “Omitohud... harap tahan dulu, Tio-taihiap...!” Si Pengantuk dan Kun Liong yang sudah siap untuk bertanding mati?matian karena maklum bahwa lawan tak boleh dibuat main?main, segera melangkah mundur dan menoleh. Kiranya Thian Kek Hwesio sendiri, Ketua Siauw-lim?pai yang telah berada di situ. Melihat kakek ini, Si Pengantuk cepat menjura dengan hormat diikuti dua orang temannya dan Si Pengantuk berkata, “Harap Thian Kek?suhu suka memaafkan kami...” Thian Kek Hwesio memandang Kun Liong dengan terheran?heran lalu bertanya, “Yap?sicu, apakah yang telah terjadi?” Kun Liong sudah merasa terkejut dan menyesal sekali karena ternyata bahwa tiga orang itu benar?benar mengenal Ketua Siauw-lim?pai! Dengan terus terang dia menjawab, “Karena teecu curiga kepada mereka dan mengira mereka datang untuk mengacau Siauw?lim?si, maka teecu melarang mereka memasuki kuil sehingga terjadi pertengkaran.” Hwesio tua itu tampak kaget sekali. “Aihhh... engkau tidak tahu siapa yang kautentang ini, Sicu!” Dia kembali menghadapi Si Pengantuk dan menjura sambil berkata, “Harap Taihiap sudi memaafkan Yap?sicu yang masih amat muda. Sesungguhnya Yap?sicu berniat baik untuk membela Siauw?lim?pai. Dia adalah seorang sahabat kami yang baik... dan Yap?sicu, ketahuilah bahwa taihiap ini adalah Ban?kin?kwi Tio Hok Gwan dan Tio?taihiap ini adalah pengawal kepala yang mulia Panglima Besar The Hoo!” Si Pengantuk yang ternyata bukan orang sembarangan itu mengangkat tangan ke atas mencegah Ketua Siauw-lim?pai itu melanjutkan perkenalan itu sambil berkata, “Losuhu, marilah kita bicara di dalam saja.” Hwesio itu mengangguk?angguk, kemudian mempersilakan mereka semua memasuki kuil. Kun Liong juga ikut masuk sambil memandang dengan penuh perhatian, diam?diam dia terkejut mendengar disebutnya nama Panglima Besar The Hoo tadi. Kiranya kakek pengantuk itu seorang yang berpangkat tinggi! Dan mendengar julukannya, Ban?kin?kwi (Setan Bertenaga Selaksa Kati) dapat diduga bahwa kakek pengantuk itu tentu memiliki sin?kang yang amat kuat. Biarpun dia belum pernah mendengar nama Ban?kin?kwi Tio Hok Gwan, namun melihat sikap Ketua Siau-wlim?pai itu terhadap Si Pengantuk ini, dia mengerti bahwa kakek pengantuk ini tentu seorang tokoh kang?ouw yang terkenal. Memang demikianlah, kakek berusia lima puluh tahun yang ketihatan seperti seorang pengantuk itu bukanlah seorang biasa, melainkan seorang yang amat terkenal dan memiliki ilmu kepandaian tinggi. Nama besar Panglima The Hoo siapakah yang tidak mengenalnya? Dan pengawal panglima itu adalah Si Pengantuk ini yang merupakan pengawal paling setia, paling dipercaya oleh Panglima The dan paling lihai. Melihat orangnya memang sama sekall tidak pantas kalau dia seorang kepala pengawal yang berkedudukan tinggi, lebih patut seorang pemalas yang selalu kurang tidur! Aken tetapi, pengawal itulah yang selalu mengawal Sang Panglima ketika Panglima Besar The Hoo melakukan pelayaran memimpin armada sampai jauh menyeberangi lautan dan menjelajah di negara?negara asing. Adapun dua orang temannya itu adalah dua orang pengawal yang menjadi anak buahnya. Mereka juga bukan orang-orang biasa, melainkan kakak beradik seperguruan yang tentu saja sudah memiliki kepandaian tinggi untuk dapat diterima menjadi pengawal?pengawal Panglima The Hoo. Si Muka Pucat itu bernama Kui Siang Han, berusia empat puluh lima tahun sedangkan sutenya, Si Muka Merah bernama Song Kin berusia empat puluh tahun. Ketika Tio Hok Gwan dan dua orang temannya memasuki kuil dan melihat dua buah peti jenazah, dia terkejut bukan main. Apalagi ketika mendapat keterangan bahwa peti?peti itu terisi jenazah Tiang Pek Hosiang dan Thian Le Hwesio! “Ah... maafkan kami yang sama sekali tidak tahu akan hal yang menyedihkan ini dan berani datang mengganggu!” katanya dan cepat dia bersama dua orang anak buahnya lalu menyalakan hio (dupa) dan bersembahyang di depan kedua peti mati dengan penuh khidmat. Setelah selesai sembahyang, tiga orang pengawal itu segera bertanya apa yang menyebabkan kematian dua orang tokoh Siauw-lim?pai itu. Thian Kek Hwesio memejamkan mata dan menarik napas panjang sambil merangkap kedua tangan di depan dada. “Omitohud... mati hidup manusia berada di tangan Tuhan, tidak ada yang harus disesalkan dalam menghadapi kematian seseorang. Akan tetapi, kalau Suhu meninggal dunia dengan wajar karena usia beliau sudah amat tua, adalah Sute Thian Le Hwesio meninggal secara menyedihkan sekali.” Dia lalu menceritakan betapa rombongan piauwsu yang tidak tahu?menahu datang membawa peti yang terisi jenazab Thian Le Hwesio yang terbunuh orang! “Sungguh penasaran sekali!” Tio Hok Gwan berseru. “Ini merupakan tanda bahwa kaum sesat di dunia kang?ouw sudah mulai berani bergerak lagi!” Tentu saja hati pengawal ini menjadi penasaran karena semenjak Panglima The Hoo melakukan pembersihan, kaum sesat di dunia persilatan banyak yang terbasmi dan tidak berani sembarangan bergerak. Kini, wakil Ketua Siauw?lim?pai terbunuh, berarti bahwa kaum sesat agaknya sudah mulai berani unjuk gigi dan merupakan tantangan tak langsung kepada pemerintah! Ketika diperkenalkan kepada tiga orang pengawal itu, Kun Liong lalu menjura dan berkata, “Harap Tio?taihiap bertiga suka memaafkan saya yang karena tidak mengenal telah bersikap kurang hormat.” Orang she Tio itu memandang Kun Liong dengan mata hampir terpejam, kemudian mengangguk?angguk dan memuji, “Yap?sicu tidak usah bersikap sungkan. Kami kagum sekali melihat kegagahan Sicu, dan tidak merasa heran setelah mendengar bahwa Sicu adalah putera tunggal Yap Cong San yang kami kenal. Siauw-lim?pai boleh merasa beruntung mempunyai seorang sahabat seperti Sicu yang setia dan menjaga Siauw?lim?pai dengan gagah.” Sebagai tamu?tamu yang dihormati, tiga orang itu dijamu makan oleh para pimpinan Siauw?lim?pai dan mereka pun tidak bersikap sungkan dan menerima undangan makan, sungguhpun hidangannya hanya terdiri dari masakan tak berdaging yang bersahaja dan minumnya hanya air dan teh tanpa setetespun arak! Kun Liong yang dianggap “keluarga sendiri” juga hadir. Setelah selesai makan, barulah Ketua Siauw-lim?pai bertanya, “Pinceng mengerti bahwa kedatangan Sam-wi tentulah membawa urusan yang amat penting. Pinceng harap Sam?wi tidak bersikap sungkan, dan biarpun di sini sedang tertimpa malapetaka, namun kami selalu siap untuk membantu Sam?wi. Maka harap Sam?wi suka menjelaskan urusan apa yang Sam?wi bawa dari kota raja.” Tio Hok Gwan menarik napas panjang, agaknya sukar baginya untuk membuka mulut menceritakan keperluan kedatangannya. Akhirnya dia berkata setelah beberapa kali meragu, “Memang benar apa yang Losuhu katakan. Kalau kami tahu bahwa di Siauw-lim?pai terjadi hal yang amat menyedihkan ini, tentulah kedatangan kami hanya khusus untuk melayat dan berkabung. Akan tetapi karena kami tidak tahu, sebaiknya kami berterus terang saja. Kami memang sedang melaksanakan tugas, Losuhu, dan kami datang sebagai utusan pribadi dari Panglima The sendiri.” Thian Kek Hwesio cepat bangkit berdiri dan menjura penuh hormat kepada tiga orang itu, “Pinceng dan para anak murid Siauw-lim?pai siap untuk melaksanakan perintah Yang Mulia Panglima The.” “Terima kasih atas kebaikan Losuhu. Sebetulnya tidak ada permintaan sesuatu kepada Losuhu dan Siauw?lim?pai, hanya kami diutus melakukan penyelidikan dan mengingat akan luasnya pengaruh dan hubungan Siauw-lim?pai dengan dunia kang?ouw, kami ingin mohon bantuan Siauw?lim?pai dalam hal ini.” Thian Kek Hwesio menarik napas lega. Jelas, bahwa urusan itu tidak langsung menyangkut Siauw?lim?pai sehingga tidak akan timbul hal?hal yang tidak diinginkan. Dengan sikap ramah dia berkata, “Harap Tio?taihiap tidak bersikap sungkan dan ceritakanlah, bantuan apa yang dapat kami berikan kepada Taihiap demi terlaksananya perintah yang mulia itu.” Tio Hok Gwan lalu bercerita dengan suara perlahan namun jelas, “Panglima The telah kehilangan sebuah pusaka, belasan tahun yang lalu dan hal ini tadinya dirahasiakan saja dan tidak dibocorkan ke luar karena telah diketahui bahwa yang mencuri dan melarikan pusaka itu adalah seorang pengawal panglima sendiri. Diam?diam panglima mengutus orang-orang kepercayaannya untuk melakukan pengejaran dan mencari pengawal yang mencuri pusaka itu. Namun semua usaha sia?sia belaka, sampai terdengar kabar bahwa pengawal yang berkhianat itu ternyata telah kehilangan pusaka yang dicurinya, dan kabarnya pusaka itu hilang tenggelam di Sungai Huang?ho. Sepuluh tahun yang lalu, pengawal khianat itu terbunuh bersama anak buahnya yang telah menjadi bajak sungai, dan pusaka itu masih belum diketahui berada di mana. Hanya ada kabar angin yang mengatakan bahwa pusaka itu telah diangkat dari dasar sungai, akan tetapi tidak seorang pun tahu siapa yang membawanya. Kemudian kami mendengar berita pula bahwa pada saat pergawal khianat dan anak buahnya tewas, di sekitar daerah itu tampak bayangan Siang?tok Mo?li. Kami masih meragukan semua berita itu dan mengingat akan pengetahuan Losuhu yang amat luas, kami sengaja datang menghadap mohon petunjuk.” Jantung Kun Liong berdebar tegang mendengar penuturan itu. Tidak salah lagi tentu bokor emas yang dimaksudkan oleh Tio Hok Gwan ini. Dia mendengar disebutnya nama Siang?tok Mo?li, teringat dia kepada Bi Kiok yang manis! Bi Kiok tentu sekarang telah menjadi seorang dara yang cantik manis! Dan dara itu pernah monolongnya, dua kali malah telah menolongnya. Pertama ketika bersama mendiang kakeknya, Bi Kiok menyelamatkannya dari gelombang air Sungai Huang-ho. Kedua kalinya ketika Bi Kiok membebaskannya pada waktu dia menjadi tawanan para tokoh Pek-lian?kauw dan Ketua Ui?hong?pang. Betapa manisnya anak itu! Kun Liong tak sengaja tersenyum ketika membayangkan wajah Bi Kiok. Melihat pemuda gundul itu tersenyum-senyum, diam-diam Tio Hok Gwan melirik dengan penuh perhatian dan selidik. Sementara itu, Thian Kek Hwesio sudah berkata, “Pinceng sendiri tidak pernah mendengar akan urusan itu, Taihiap. Akan tetapi pinceng akan mengumpulkan semua anak murid dan memperingatkan mereka agar memasang mata telinga, juga bertanya?tanya di dunia kang?ouw kepada para sahabat. Tentu saja kami akan segera melapor kalau ada berita bahkan pinceng akan memerintahkan kepada para anak murid untuk membantu Taihiap mendapatkan kembali pusaka itu.” “Terima kasih atas kebaikan hati Losuhu. Eh, Yap?sicu, agaknya Sicu mempunyai suatu pendapat yang ada hubungannya dengan urusan ini, bukan?” Kun Liong yang sedang termenung membayangkan wajah Bi Kiok yang manis itu, terkejut mendengar teguran ini. “Ahh, saya hanya merasa heran mengapa seperti yang sering kali saya dengar, di dunia kang?ouw banyak terjadi perebutan pusaka?pusaka. Pusaka apa pula yang Taihiap ceritakan tadi? Sebuah senjatakah ataukah sebuah kitab?” “Benar sekali pertanyaan itu, pinceng sendiri pun perlu mengetahui apa macamnya Pusaka yang hilang itu.” Thian Kek Hwesio berkata. “Pusaka dari The?ciangkun itu adalah sebuah bokor emas kuno yang amat berharga.” “Sebuah bokor emas...?” Thian Kek Hwesio berkata sambil mengangguk?angguk. “Kalau hanya emas yang merupakan harta, mengapa orang-orang gagah di dunia kang?ouw sampai berebutan? Sungguh tiada bedanya dengan para perampok saja sikap ini!” Kun Liong berkata lagi, diam?diam jantungnya makin keras berdebar karena ternyata dugaannya tepat, pusaka yang dimaksudkan itu adalah bokor emas yang telah dia sembunyikan! Tio Hok Gwan menghela napas panjang. “Agaknya engkau tidak tahu, Yap-sicu. Kalau hanya emas belaka, kiranya Panglima The tidak akan menyimpannya dan menganggapnya sebagai sebuah pusaka yang berharga. Kami hanya mengharapkan bantuan Losuhu, juga bantuan Yap?sicu yang kami anggap sebagai orang sendiri sehingga kami ceritakan semua tentang pusaka.” “Jangan khawatir, Taihiap. Setelah kami selesai dengan perkabungan kami, tentu kami akan bekerja keras membantu melakukan penyelidikan tentang bokor emas itu,” kata Thian Kek Hwesio. “Saya pun akan berusaha membantu, Tio?taihiap. Saya akan membantu menyelidiki dan kalau saya beruntung dapat menemukan benda pusaka itu, tentu akan saya persembahkan sendiri kepada Panglima The yang mulia.” Thio Hok Gwan menghaturkan terima kasih, kemudian bersama kedua orang pembantunya, dia segera berpamit den meninggalkan kuil yang sedang berkabung itu. Kun Liong tetap tinggal di dalam kuil, membantu persiapan yang diadakan oleh Siauw-lim?pai untuk menerima kedatangan para tamu yang tentu akan membanjiri Siauw?lim?si untuk memberi penghormatan terakhir kepada jenazah dua orang tokoh besar itu. Selain merasa berkewajiban untuk membantu, juga Kun Liong sengaja hendak menanti dengan penuh harapan ayah bundanya akan datang pula ke Siauw?lim?si. Ayahnya adalah murid Tiang Pek Hosiang dan bekas tokoh Siauw?lim?pai, dia merasa yakin ayahnya akan datang kalau mendengar akan kematian Tiang Pek Hosiang dan Thian Le Hwesio yang menjadi suhengnya. Selain mengharapkan kedatangan ayah bundanya di kuil Siauw-lim?si, juga Kun Liong ingin sekali mellhat dan bertemu dengan para tokoh kang?ouw yang diduga tentu akan datang memberi penghormatan terakhir kepada jenazah seorang tokoh besar seperti Tiang Pek Hosiang.   Kita tinggalkan dulu kuil Siauw?lim-si yang sedang berkabung dan mari kita tengok keadaan Pendekar Sakti Cia Keng Hong dan keluarganya yang merupakan tokoh?tokoh penting dalam cerita ini. Seperti telah diceritakan di bagian depan, lima tahun yang lalu, ketika Kun Liong berusia lima belas tahun dan dia pergi ke Cin?ling?san mencari ayah bundanya, dan hanya bertemu dengan Cia Giok Keng, puteri tunggal keluarga pendekar itu, karena pada waktu itu Cia Keng Hong den isterinya sedang turun den mereka justeru pergi ke kota Leng-kok, mengunjungi sahabat baik mereka, yaitu Yap Cong San suami isteri. Dengan perasaan penuh harap dan gembira karena akan dapat berjumpa dengan sahabat?sahabat mereka, Cia Keng Hong dan isterinya, Sie Biauw Eng, memasuki kota Leng?kok. Mereka berjalan kaki memasuki kota itu dengan wajah berseri gembira. Kalau orang melihat mereka sepintas lalu, tentu akan mengira bahwa mereka itu hanyalah dua orang pelancong biasa saja karena tidak ada apa?apa yang menonjol pada diri mereka, kecuali bahwa mereka merupakan sepasang suami isteri setengah tua yang tampan dan cantik. Cia Keng Hong sudah berusia empat puluh tahun, tampak gagah dan tampan, dengan kumis dan jenggotnya yang panjang, akan tetapi tidak terlalu panjang. Rambutnya digelung ke atas dan dibungkus sehelai kain kepala berwarna kuning. Tubuhnya masih tegap dan langkahnya seperti seekor harimau. Pakaiannya longgar dan sederhana, jubah yang panjang menyembunyikan pedang Siang-bhok-kiam yang terselip di pinggangnya. Pedang Kayu Harum ini pernah menggegerkan dunia kang?ouw belasan tahun yang lalu (baca ceritaPedang Kayu Harum ). Kalau ada yang dapat menduga bahwa dia pandai ilmu silat, agakhya hanya karena sepatunya, sepatu kulit yang tinggi, kuat dan biasa dipergunakan merantau. Isterinya, Sie Biauw Eng, masih tampak cantik jelita walaupun usianya sudah mendekati empat puluh tahun. Tubuhnya masih ramping padat, kedua pipinya belum diserang keriputan, masih halus putih dan agak kemerahan karena sehari itu dia berjalan kaki sampai jauh. Juga nyonya cantik ini tidak kelihatan membawa senjata. Siapa yang akan menyangka bahwa sabuk sutera putih yang dengan indahnya membelit pinggang ramping itu merupakan senjata maut yang belasan tahun lalu menimbulkan kengerian di dalam hati setiap orang lawan? Pakaiannya juga sederhana namun bersih dan tidak dapat menyembunyikan bentuk tubuhnya yang matang dan padat itu. Seperti suaminya, dia pun memakai sepatu kulit yang tinggi. Biarpun kenyataan bahwa suami isteri ini melakukan perjalanan jauh berdua saja sudah menimbulkan dugaan bahwa mereka bukanlah orang?orang lemah, namun kiranya tidak akan ada orang yang pernah mimpi bahwa pria itu adalah Pendekar Sakti Cia Keng Hong yang lebih terkenal dengan julukan yang diberikan karena pedangnya, yaitu Siang-bhok?kiam. Dan siapa yang akan mengira bahwa wanita cantik yang wajahnya berseri dan bibirnya selalu tersenyum itu adalah Sie Biauw Eng, yang di waktu masih gadis dahulu berjuluk Song-bun Siu?li (Dara Cantik Berkabung)? Nama julukan yang amat terkenal di kalangan kaum sesat? Pada waktu itu, kiranya tidak ada tokoh kang?ouw atau datuk kaum sesat yang lebih terkenal daripada Siang?bhok-kiam Cia Keng Hong dan isterinya, Song-bun Siu?li Sie Biauw Eng. Bahkan Cinling?pai yang sebetulnya hanya sekumpulan penduduk dusun pegunungan, karena diketuai dan dipimpin oleh Cia Keng Hong, menjadi amat terkenal dan disegani dunia kang?ouw. Sambil menoleh ke kanan kiri memandangi bangunan?bangunan di dalam kota Leng?kok, Sie Biauw Eng berkata, “Aihhh, sungguh banyak kemajuan terjadi di dalam kota ini. Hampir aku tidak mengenalnya lagi, padahal baru beberapa tahun kita tidak melihat Leng?kok.” Cia Keng Hong tersenyum, “Kaukira baru berapa tahun? Jangan mimpi, sudah lima belas tahun kita tidak pernah ke sini dan lima belas tahun bukanlah waktu singkat, tentu saja banyak terjadi perubahan.” “Hemmm, waktu berlalu dengan cepat sekali, tanpa terasa belasan tahun telah lewat! Betapapun juga, kemajuan di Leng?kok mengagumkan dan aku yakin bahwa jasa Cong San dan Yan Cu dalam kota ini tidaklah kecil.” “Tentu saja! Mereka merupakan tabib-tabib yang terkenal di sini, agaknya tentu tidak ada seorang pun penduduk yang belum pernah mereka tolong. Kuharap saja putera mereka mewarisi kegagahan ayah bundanya sehingga tidak akan mengecewakan hati kita.” “Hem, mengapa kita akan kecewa andaikata anak mereka itu tidak seperti yang kita harapkan?” Sie Biauw Eng bertanya, “Anak itu bukanlah kita, dan harapan kita belum tentu sama dengan harapan orang tuanya. Apa yang kita anggap tidak baik, belum tentu dianggap buruk pula oleh orang lain.” “Wah, isteriku yang baik, lagi?lagi engkau berfilsafat!” Keng Hong menggoda. “Bukan filsafat. Kau tahu bahwa aku tidak suka akan filsafat muluk?muluk yang hanya menjadi permainan kata?kata kosong belaka. Yang kukatakan tadi adalah kenyataan. Telah menjadi kesalahan kita pada umumnya bahwa kita selalu digoda harapan?harapan akan sesuatu, ingin melihat sesuatu sesuai dengan yang kita kehendaki. Inilah salahnya maka seringkali kita mengalami puas dan kecewa. Kita tidak dapat menerima apa adanya sehingga tidak pernah tenang. Anak Cong San itu... eh, siapa namanya...?” “Yap Kun Liong, masa kau lupa lagi?” “Oya, Kun Liong, seperti apa pun dia, kita harus dapat menerima dan melihat dia seperti keadaannya, bebas dari prasangka dan harapan kosong.” “Ah, mana mungkin begitu, isteriku? Dia bukan orang lain, dia calon mantu kita...” “Hemm, belum juga melihat orangnya, bagaimana sudah hendak memastikan bahwa dia calon jodoh Giok Keng? Kita harus melihatnya dulu, apa sekiranya cocok kalau dijodohkan dengan anak kita. Selain itu, kita pun harus menanyakan pendapat dua orang anak yang bersangkutan itu pula.” “Hemmm... hemmm...” “Hemm?hemm apa maksudmu?” Biauw Eng memandang suaminya. “Kalau kau terlalu memanjakan Keng-ji, bahkan dalam soal perjodohan, engkau hanya akan merusak hidupnya...” “Ehh! Apakah yang kaukatakan ini? Mari kita bicarakan hal ini dulu sebelum kita bertemu Cong San dan Yan Cu.” “Sudahlah, isteriku. Perlukah kita bertengkar setelah tiba di tempat ini? Kita bicarakan urusan jodoh perlahan?lahan...” “Tidak bisa! Harus sekarang kita bicarakan lebih dulu. Aku mau ketegasan dalam hal ini, itu di sana ada warung, kita berhenti dulu di sana!” “Tenanglah... ingat akan kandunganmu...” Keng Hong memperingatkan. “Engkau sih yang bicara tidak beres. Hal ini tidak ada sangkut?pautnya dengan ini... apalagi baru dua bulan... ah, semua gara?gara engkau!”   Mereka memasuki warung dan memilih tempat duduk di sudut, jauh dari tamu lainnya. Setelah hidangan yang mereka pesan disediakan, mereka bicara bisik-bisik namun kelihatan serius sekali. “Semua salahmu! Sampai bingung memikirkan bagaimana harus memberitahukan Giok Keng! Dia sudah lima belas tahun dan... akan mempunyai adik! Betapa terlambatnya! Dan aku sudah tua! Salahmu...!” Suara Biauw Eng mengandung isak tertahan. “Hishhh! Kenapa hanya aku saja yang salah? Bukankah hal ini akibat perbuatan kita berdua? Sudahlah, isteriku. Perlukah hal seperti ini dibuat cekcok? Engkau masih muda! Siapa bilang engkau sudah tua? Engkau masih patut mempunyai anak lima orang lagi!” “Ngacau...!” Blauw Eng membentak dan mendelik, akan tetapi melihat suaminya yang tercinta itu tersenyum?senyum, perlahan-lahan kemarahannya mereda dan kedua pipinya menjadi merah. “Tidak perlu kau bingung, Keng?ji tentu akan menari kegirangan kalau mendengar akan mempunyai seorang adik yang sudah bertahun?tahun diinginkannya.” “Sebetulnya aku pun tidak hendak membicarakan hal kandungan. Aku sudah menerimanya sebagai anugerah Tuhan, akan tetapi engkau sih, membawa?bawa dalam persoalan perjodohan Giok Keng. Apakah engkau akan berkeras kepala mengambil keputusan tentang perjodohan anak kita tanpa mempedulikan perasaan hatinya sendiri?” Keng Hong menarik napas panjang. “Isteriku, Giok Keng masih kanak?kanak, mana mungkin dia mempunyai pendapat tentang jodoh? Kita adalah ayah bundanya, andaikata aku salah pilih, kiranya engkau tidak akan membiarkan saja. Pilihan kita tentu telah kita pikirkan masak?masak, dan kita tujukan semata demi kebahagiaan anak kita.” “Aku percaya, akan tetapi harus kita sadari bahwa pendapat kita belum tentu sama dengan pendapat Giok Keng. Pemuda yang kita anggap baik belum tentu menyenangkan hatinya. Suamiku, mengapa kau tidak bersikap bijaksana dalam hal ini? Ingatlah akan riwayat kita sendiri. Perjodohan tidak boleh dipaksakan. Perjodohan harus terjadi atas dasar dorongan hasrat kedua orang anak yang hendak berjodoh itu sendiri. Perjodohan bukan hal main?main, melainkan dilakukan satu kali untuk selama hidup. Sekali salah pilih, akan menderita selamanya.” “Nah, itulah! Karena tidak ingin anak kita salah pilih, sebaiknya kita yang memilihkan, dan kurasa anak suami isteri seperti Cong San dan Yan Cu tentulah baik!” “Betapapun juga, biarkan dia memilih sendiri.” “Kalau dia yang masih hijau dan bodoh itu salah pilih?” “Kewajiban kita untuk turun tangan menyadarkannya!” “Hemm, aku tetap ingin berbesan dengan Cong San.” “Mungkin saja, kalau Keng?ji cocok dan suka kepada Kun Liong. Mengapa engkau bingung seperti kucing hendak bertelur? Kalau memang sudah jodoh, apa yang dikhawatirkan kelak tidak akan bertemu?” Keng Hong merengut. “Gila kau! Masa aku disamakan kucing hendak bertelur? Mana ada kucing bisa bertelur?” Biauw Eng tertawa, girang dapat membalas dan membikin suaminya marah. “Karena bingungnya, kau seperti kucing hendak bertelur! Soal jodoh kita bicarakan nanti kalau semua pihak sudah setuju. Mengapa tergesa?gesa? Bukankah kedatangan kita ini untuk mengunjungi mereka dan sekalian melihat bagaimana macamnya putera mereka itu?” “Ya, sudahlah, asal engkau jangan berkokok ribut seperti ayam hendak beranak!” “Hehh? Mana ada ayam beranak...? Wah, engkau membalas, ya?” Biauw Eng mencubit lengan suaminya dan keduanya tertawa. Dalam keadaan seperti itu, suami isteri itu masih seperti ketika mereka berbulan madu dahulu! Dan memang demikianlah cinta kasih antara suami isteri yang benar-benar saling mencinta. Tidak ada usia tua, tidak ada keriput, tidak ada uban, tidak ada dan tidak pernah ada istilah buruk bagi mereka yang saling mencinta! “Husshhh! Malu dilihat orang! Dan kalau tiba?tiba Cong San dan Yan Cu muncul dan melihat kita bukan langsung ke rumah mereka melainkan bersendau-gurau di warung arak, bisa kita dicap sombong!” Keng Hong segera membayar harga makanan, kemudian mereka bergegas keluar dari warung dan langsung menuju ke rumah Yap Cong San yang di kota itu terkenal sebagai Yap?sinshe (Tabib Yap). Dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka mendengar bahwa suami isteri sahabat baik mereka itu telah kurang lebih lima tahun meninggalkan Leng?kok tanpa pamit dan tak seorang pun mengetahui ke mana mereka pergi. “Ji?wi (Kalian Berdua) sudah lama sekali terlambat. Yap-sinshe dan isterinya, juga puteranya, telah bertahun?tahun pergi.” “Mengapa? Apa yang terjadi?” Keng Hong bertanya, masih dicekam keheranan. “Mereka... melarikan diri...” Seorang kakek bekas tetangga Yap?sinshe menjelaskan. “Tidak mungkin!” Biauw Eng berseru. “Mereka bukanlah orang?orang pengecut yang melarikan diri begitu saja! Siapa yang mereka takutkan?” “Mereka menjadi orang?orang buruan pemerintah.” “Ehhh...?” Keng Hong segera memegang tangan kakek itu dan berbisik, “Harap Loheng sudi menceritakan kepada kami.” Kakek itu mengangguk. “Marilah, mari singgah di rumahku dan nanti kuceritakan kepada Ji-wi.” Dengan hati berdebar penuh kekhawatiran, Keng Hong dan Biauw Eng mengikuti kakek itu memasuki rumahnya yang sederhana dan miskin. Setelah mereka dipersilakan duduk dan disuguhi air teh, kakek itu lalu bercerita tentang kesalahan Yap?sinshe tidak berhasil mengobati para perwira yang terluka sehingga ditangkap dan kemudian bersama isterinya, Yap?sinshe melarikan diri dari tahanan dan menjadi orang buruan. “Mengapa tidak berhasil mengobati sampai ditangkap?” Keng Hong bertanya. Kakek itu menarik napas panjang dan menggerakkan kedua pundaknya. “Aku tidak tahu, akan tetapi agaknya sudah pasti sekali Yap?sinshe bentrok dengan Pembesar Ma, kepala daerah di Leng-kok ini. Apa sebabnya aku tidak tahu, dan agaknya tidak ada orang yang tahu kecuali mereka sendiri.” “Dan puteranya? Ke mana perginya putera mereka, Yap Kun Liong?” “Ahhh, Yap?kongcu sudah lebih dulu pergi sebelum ayahnya ditangkap. Entah ke mana. Sampai sekarang mereka bertiga tidak pernah muncul. Bahkan ketika kakek Liok Siu Hok meninggal dunia dua minggu yang lalu, mereka tidak muncul.” Keng Hong dan isterinya teringat bahwa Kakek Liok Siu Hok adalah paman tua dari Cong San, satu?satunya keluarga sahabat mereka itu yang tinggal, karena itu, agak aneh kalau sampai Cong San seanak isteri tidak muncul ketika kakek itu meninggal dunia. “Bagaimana matinya?” “Mati tua... dan agaknya karena duka. Kasihan kakek itu tidak mempunyai keluarga lagi, mati dalam kesunyian.” Keng Hong dan isterinya menghaturkan terima kasih, lalu keluar dari rumah kakek itu. “Ke mana kita harus mencari mereka?” katanya dengan suara kecewa. “Tiada gunanya dicari kalau mereka itu melarikan diri. Kalau mereka ingin berjumpa dengan kita, tentu mereka yang akan datang mengunjungi Cin?ling?san.” “Benar kata-katamu. Kalau begitu kita pulang saja.” “Tidak, aku masih belum puas. Aku harus mengerti duduknya perkara ini dan memaksa dia mengaku!” kata Biauw Eng gemas. “Dia? Siapa?” “Siapa lagi kalau bukan pembesar jahat she Ma itu!” “Wah?wah! Isteriku, ingat, kita bukan orang muda petualang seperti dahulu lagi! Kita adalah pemimpin Cin?ling?pai dan orang she Ma itu adalah orangnya pemerintah! Apa kau ingin dicap pemberontak?” “Serahkan saja kepadaku. Mari ikut!” “Eh, ke mana?” Keng Hong tak berdaya menghadapi isterinya yang ia tahu sedang marah dan penasaran itu! “Ke gedung Kepala Daerah!” Keng Hong tidak membantah dan diam?diam ia gembira melihat betapa isterinya sama sekali belum berubah, masih seperti Song?bun Siu?1i dia dahulu, dara cantik jelita yang kadang?kadang disebut dewi akan tetapi adakalanya disebut iblis betina yang ganas! Isterinya ini, biarpun usianya sudah tiga puluh tujuh lebih, ibarat gunung berapi belum kehilangan kawahnya, bagaikan merica belum kehilangan pedasnya, dan bagaikan bunga mawar harum belum kehilangan durinya! Tanpa disadarinya, mulut Cia Keng Hong tersenyum?senyum dan dia tidak tahu betapa isterinya mengerling kepadanya dan mengerutkan alis penuh curiga ketika melihat senyumnya. Tiba-tiba Biauw Eng berhenti melangkah. “Mengapa kau mesam?mesem? Mentertawakan aku, ya?” “Wah, tidak! Aku hanya...” “Hanya apa...?” “Kasihan kepada Ma?taijin!” “Huh! Lihat saja nanti, si keparat itu!” Waktu itu hari telah sore dan kantor pembesar kepala daerah sudah lama ditutup. Pembesar Ma sedang beristirahat di dalam kamar seorang di antara selirnya, tidur nyenyak kelelahan. Semalam pembesar ini kurang tidur, menjamu beberapa orang tamu rahasia yang kini masih berada di dalam gedungnya dan juga beristirahat di dalam kamar?kamar tamu yang disediakan untuk mereka. Ketika Keng Hong dan isterinya tiba di halaman gedung pembesar Ma, tentu saja mereka dihadang oleh para penjaga. Akan tetapi kepala penjaga bersikap hormat ketika melihat sikap suami isteri itu yang tenang dan gagah. Dia menjura dan bertanya, “Ada keperluan apakah Ji?wi (Anda Berdua) datang ke sini? Tanpa ijin, siapa pun dilarang memasuki halaman ini.” Pada waktu itu, Biauw Eng masih marah dan penasaran sekali mengingat akan nasib Yap Cong San dan isterinya, akan tetapi dia masih ingat akan kedudukannya sebagai isteri Ketua Cin?ling-pai maka dia menahan diri dan tidak terlalu ringan tangan seperti wataknya ketika masih gadis dahulu. Akan tetapi suaranya ketus dan dingin ketika dia berkata, “Laporkan kepada Ma?taijin bahwa kami ingin bertemu dan bicara dengannya!” Kepala penjaga mengerutkan alisnya. Hatinya tidak senang mendengar suara ketus dan melihat sikap yang amat tidak menghormat terhadap Ma?taijin itu, maka dia menjawab, “Tidak mungkin begitu mudah. Siapa pun yang hendak menghadap, harus lebih dulu mengajukan permohonan disertai keterangan nama, tempat tinggal dan keperluannya. Pula, permintaan itu baru bisa diajukan besok pagi karena sekarang kantor sudah tutup dan Taijin sedang beristirahat, tidak boleh diganggu.” “Apa kaubilang?” Biauw Eng menudingkan telunjuknya ke arah muka kepala penjaga itu. “Apa kaukira tanpa laporanmu kami tidak bisa menemui orang she Ma itu?” Para penjaga terkejut dan delapan orang penjaga sudah datang mendekat dan siap untuk menghadapi suami isteri itu. Akan tetapi Keng Hong cepat menjura dan berkata halus, “Harap kalian suka melaporkan kepada Ma?taijin bahwa Cia Keng Hong dan isterinya mohon bertemu dan bicara dengan Ma?taijin.” Akan tetapi para penjaga itu tidak mengenal nama ini. Biarpun nama ini amat terkenal, akan tetapi tentu saja yang mengenalnya hanyalah tokoh?tokoh kang?ouw saja dan tidak sembarangan orang seperti para penjaga itu mengenalnya. Karena itu, disebutnya nama ini sama sekali tidak ada artinya bagi mereka. “Siapapun adanya Ji?wi, tanpa surat ijin khusus, tak berani kami mengganggu Taijin, dan sebaliknya Ji?wi segera pergi dan jangan membikin ribut di sini. Kami masih bersikap sabar, kalau sampai para pengawal tahu, tentu Ji?wi akan mendapat susah. Kalau Ji-wi ada urusan penting dengan Taijin, harap besok pagi saja mengajukan surat permobonan menghadap.” “Keparat! Kalau begini kami tidak perlu dengan kalian!” Blauw Eng sudah tidak sabar lagi, langsung dia melangkah ke depan, sama sekali tidak mempedulikan para penjaga yang menghadang di depannya. DELAPAN orang itu tentu saja agak segan untuk menyerang seorang wanita, maka mereka hanya berdiri menghadang dan menghalangi di depan Biauw Eng sambil melintangkan tombak dan golok di tangan. “Pergi!” Biauw Eng membentak dan terdengar suara senjata?senjata itu terlempar disusul tubuh delapan orang penjaga itu terpelanting ke kanan kiri. Mereka berteriak kaget dan marah. Ketika mereka cepat melompat bangun lagi dan siap menerjang, mereka terbelalak melihat Keng Hong sudah berdiri tegak di depan mereka. Pendekar ini menyambar sebatang golok yang tadi terlempar, kemudian sambil memandang mereka dengan senyum di bibir, kedua tangannya mematah?matahkan golok itu sedemikian mudahnya seperti orang mematahkan sebatang lidi saja! Melihat demonstrasi kehebatan kedua tangan ini delapan orang itu terbelalak dengan muka pucat, kedua kaki mereka mundur?mundur dan tak seorang pun di antara mereka berani menerjang ke depan. “Anjing?aniing pengacau dari mana berani membikin ribut di sini?” Bentakan ini disusul munculnya tiga orang pengawal yang bertubuh tinggi besar dan bersikap garang. Melihat munculnya tiga orang pengawal yang terkenal jagoan ini, delapan orang penjaga itu berbesar hati. Kepala penjaga segera berkata, “Mereka memukul kami, mereka hendak membunuh Taijin,” Mendengar ini, Keng Hong dan Biauw Eng marah sekali, sedangkan tiga orang pengawal itu terkejut bukan main. Tampak sinar berkilat ketika mereka mencabut pedang dan meloncat ke depan menghadapi Keng Hong dan Biauw Eng. Karena khawatir kalau?kalau isterinya tidak mampu mengendalikan diri dan membunuh alat pemerintah, Keng Hong sudah mendahului isterinya, melangkah ke depan, mendorongkan tangan kirinya ke arah tiga orang pengawal yang menerjang maju itu sambil membentak, “Mundur kalian!” Tentu saja tiga orang pengawal itu tidak mempedulikan bentakan ini dan sama sekali tidak peduli akan dorongan tangan Keng Hong, akan tetapi segera mereka itu berteriak kaget ketika merasa betapa tubuh mereka terdorong oleh angin yang amat dahsyat, yang membuat mereka tidak mampu mempertahankan diri dan terjengkang ke belakang! Ketika mereka merangkak bangun dan memandang, ternyata kedua orang suami isteri itu telah lenyap. “Heii, ke mana mereka...?” tanya mereka. “Celaka... mereka memasuki gedung...” jawab para penjaga yang tadi hanya memandang dengan mata terbelalak. “Hayo kejar...!” Berbondong mereka mengejar ke dalam gedung dan seorang di antara para perigawal sudah membunyikan kentungan tanda bahaya, memanggil berkumpul semua pengawal dan penjaga. Keng Hong dan Biauw Eng memang telah berlari memasuki gedung, tidak rnau membuang waktu melayani para penjaga dan pengawal. Biauw Eng menangkap seorang pelayan wanita yang berlari ketakutan, menjambak rambutnya, dan menghardik, “Lekas katakan di mana kamar Taijin!” Jari?jari tangan Biauw Eng sengaja mencengkeram pundak pelayan itu yang merasa nyeri bukan main, sampai mukanya yang pucat mengeluarkan peluh dingin. Akan tetapi saking takutnya dia tidak dapat mengeluarkan suara, hanya menudingkan telunjuknya ke arah kamar besar di dekat ruangan tengah. Biauw Eng melepaskan tubuh pelayan itu yang mendeprok berlutut dan tidak mampu bergerak lagi saking takutnya, hanya menangis di atas lantai tak berani mengangkat muka. Ketika Biauw Eng dan Keng Hong tiba di depan pintu kamar itu, Keng Hong berbisik, “Isteriku, jangan membunuh orang...” Biauw Eng mengangguk lalu menggunakan kakinya menendang daun pintu. “Brakkk!” daun pintu jebol dan tampaklah seorang laki?laki tua, berusia hampir enam puluh tahun berdiri dengan mata terbelalak marah. Seorang wanita muda dan cantik dengan pakaian tidak lengkap menjerit kecil dan cepat bersembunyi di atas pembaringan, di bawah selimut. Kakek itu sudah berpakaian lengkap, agaknya tadi terkejut mendengar kentungan tanda bahaya. Dia adalah Ma-taijin yang tentu saja menjadi marah sekali, terganggu dari istirahatnya yang asyik bersama selirnya. “Apa ini? Siapa kalian berani kurang ajar? Pengawal! Tangkap mereka...!” Mataijin berseru marah. Biauw Eng sudah melangkah masuk kamar. “Apakah engkau Ma?taijin?” tanyanya. Pembesar itu mengangkat muka membusungkan dada. “Sudah tahu aku Ma-taijin, hayo lekas berlutut minta ampun!” “Manusia rendah!” Biauw Eng telah menyambar sehelai sabuk merah, agaknya sabuk milik wanita muda selir pembesar itu yang tadi ditanggalkan dan mungkin dalam keadaan tergesa dilempar begitu saja di atas lantai! Sekali tangan nyonya perkasa ini bergerak, tampak sinar merah berkelebat kemudian bergulung-gulung dan ujung sabuk telah menjerat leher Ma-taijin. Begitu sabuk ditarik dengan sentakan mendadak, pembesar itu berteriak dan roboh menelungkup di atas lantai. Karena sabuk yang menjerat lehernya itu ditarik terus oleh Biauw Eng, terpaksa pembesar itu merangkak dan terseret sampai ke depan kaki Biauw Eng. “Hayo katakan, apa yang telah kaulakukan lima tahun yang lalu terhadap Yap?sin?she dan isterinya!” Biauw Eng membentak. Dia sengaja menarik ujung sabuk merah sehingga libatan yang mencekik leher makin ketat, membuat pembesar itu hampir mendelik dan napasnya terengah?engah. “Yap?sinshe... dia... dia dan isterinya... pemberontak...!” katanya dengan kedua tangan sia?sia mencoba melepaskan libatan yang mencekik leher. Biauw Eng menarik ujung sabuk. “Uukhhh!” Pembesar itu terengah, lidahnya terjulur ke luar. “Tidak mungkin! Kalau engkau tidak berlaku sewenang-wenang mengandalkan kedudukanmu, mereka tentu tidak akan memberontak! Mereka tidak berhasil menyembuhkan para pengawalmu, mengapa hal itu kausalahkan? Mereka bukanlah dewa atau iblis yang berkuasa atas kesembuhan atau kematian seseorang!” “Am... ampun, Li?hiap...” Pembesar itu terpaksa mengeluh karena libatan pada lehernya makin mencekik erat. “Orang macam engkau ini sepatutnya dikirim ke neraka! Akan tetapi mengingat bahwa engkau hanya seorang pejabat rendahan saja, biarlah kuberi peringatan!” Setelah berkata demikian, Biauw Eng mengebutkan ujung sabuk merah itu ke arah telinga Ma?taijin. “Prettt... aduuuuhhh...!” Ma?taijin bergulingan mendekap pinggir kepalanya sebelah kanan yang bercucuran darah karena daun telinganya telah hancur dan lenyap terpukul ujung sabuk merah tadi. Bukan main nyeri rasanya sampai menusuk jantung, pandang matanya berkunang dan ubun?ubun kepala rasanya berdenyut seperti hendak pecah. Dia merintih?rintih sedangkan selirnya sudah roboh pingsan di bawah selimut. “Sebagai peringatan, kuambil telingamu. Kalau aku mendengar lagi kau masih berlaku sewenang?wenang mengandalkan kedudukanmu, aku akan datang dan mengambil kepalamu!” “Tar?tar?tarrr...!!” Biauw Eng maklum bahwa ada orang menyerangnya dari belakang dengan senjata lemas. Dia sendiri seorang ahli cambuk, maka tahulah dia bahwa penyerangnya menggunakan cambuk dan memiliki tenaga kuat, maka cepat dia menggerakkan tangannya dan gulungan sinar merah dari sabuk sutera melayang ke atas kepalanya, meluncur ke belakang dan menyambut datangnya sinar putih yang menyambar ke arah kepalanya dengan bunyi meledak?ledak tadi. “Tarrr... bretttt!!” Biauw Eng meloncat ke samping dan memandang dengan kaget. Sabuk merah di tangannya telah hancur ujungnya bertemu dengan ujung cambuk penyerangnya dan kini dia melihat betapa ujung cambuk putih itu seperti seekor ular hidup melayang ke arah pinggang Ma?taijin dan di lain saat tubuh Ma?taijin telah melayang ke arah penyerangnya tadi dan diterima dengan tangan kiri yang amat besar dan kuat, disusul suaranya yang nyaring akan tetapi terdengar asing dan kaku, “Ma?taijin harap mundur dan mengobati lukanya, biarlah saya menghadapi dua orang penjahat ini.” Keng Hong dan Biauw Eng memandang orang itu dengan mata terbelalak penuh kaget dan keheranan. Kiranya telah datang tiga orang di dalam kamar itu. Dua orang di kanan kiri adalah kakek?kakek berusia enam puluh tahun dan pakaian mereka sederhana, memandang tak acuh. Akan tetapi orang yang berdiri di tengah dan yang memegang cambuk putih itu yang amat mengherankan kedua suami isteri itu. Biarpun mereka adalah tokoh?tokoh besar di dunia kang-ouw, bahkan Cia Keng Hong terkenal sebagai datuk muda yang belum dapat dicari tandingannya, namun dia sendiri belum pernah bertemu dengan seorang manusia yang seaneh pemegang cambuk itu sehingga dia sendiri pun sampai bengong terlongong! Orangnya tinggi besar ukuran raksasa. Keng Hong yang berawak sedang itu hanya setinggi pundaknya. Tubuh orang itu besar dan perutnya berbentuk seperti gentong. Punggung tangannya penuh bulu kuning yang panjang?panjang seperti tangan monyet. Kepalanya botak kelimis di bagian atasnya, akan tetapi di bagian bawah sekeliling kepala tumbuh rambut yang warnanya amat luar biasa, seperti uban putih akan tetapi bercampur kuning emas berombak indah sekali, seolah?olah bukan rambut melainkan benang?benang perak dan emas ditempelkan di sekeliling kepala.