Mendengar perintah nona itu, sepuluh orang tentara dan perwira meloncat turun dari atas kuda masing-masing dan menubruk maju. Akan tetapi berturut-turut sepuluh orang ini terlempar dan Kun Liong masih berdiri tegak di depan guha sambil tersenyum memandang kepada Souw Li Hwa! Para perwira marah sekali. Seorang perwira tinggi besar yang brewok, sudah menggerakkan goloknya membacok kepala pemuda itu. “Heii, jangan...!” Li Hwa terkejut dan membentak ketika melihat betapa pemuda berkepala gundul itu tidak meng-elak dan dia melihat betapa golok besar yang tajam berkilau itu menyambar ke arah kepala itu. Namun terlambat seru-annya, karena golok itu sudah menyam-bar, tepat mengenai kepala Kun Liong yang sama sekali tidak bergerak dari tempatnya. “Krookk!” Perwira brewok tinggi besar itu melongo memandang goloknya yang telah rompal seolah-olah tadi telah dipakai membacok sebuah bola baja! Tangan Kun Liong mendekap mukanya yang melongo itu dan sekali Kun Liong mendorong, perwira itu terjengkang ke belakang! “Mundur semua!” Li Hwa membentak marah bukan main akan tetapi diam-diam dia terkejut juga menyaksikan kelihaian kepala gundul itu. Semua perwira sudah marah dan mencabut senjatanya terpaksa mundur lagi mendengar bentakan Li Hwa dan mereka hanya mengurung dan memandang dengan marah. Li Hwa meloncat turun dari udara, tangan kanan meraba gagang pedang dan dia menghampiri Kun Liong. Sambil tersenyum Kun Liong merangkap kedua tangannya dan menjulurkan kedua lengan itu ke depan, ke arah Li Hwa! “Kenapa kalau kepadaku kau tidak melawan, dan kepada orang lain mela-wan?” Li Hwa tidak dapat menahan ke-inginan tahunya, bertanya. “Banyak sebabnya,” kata Kun Liong dan diam-diam merasa bersyukur bahwa Bi Kiok yang berada di dalam guha tidak mengeluarkan suara. “Pertama, karena kita sudah saling mengenal, ke dua kare-na agaknya aku tidak tega menolak permintaan seorang gadis cantik, dan ke tiga, aku hendak membuktikan bahwa semua tuduhanmu itu kosong.” “Bawa tali ke sini!” Li Hwa meme-rintah. Seorang perwira datang berlari mem-bawa sehelai tali panjang yang kuat! Dengan gerakan cepat Li Hwa membe-lenggu kedua pergelangan tangan Kun Liong. “Bawa seekor kuda ke sini!” Kembali dia memerintah. Setelah seekor kuda dituntut dekat dia berkata kepada Kun Liong, “Sekarang kaunaiklah ke kuda ini.” “Wah, terima kasih. Seperti tamu agung saja, disediakan kuda untukku!” Kun Liong tersenyum sambil memandang dagu yang manis itu. “Cerewet kau! Sekarang engkau menjadi tawananku, tahu?” Li Hwa menggunakan sisa tali untuk mengikat kedua kaki Kun Liong yang berada di kanan kiri perut kuda, kemudian sisanya dia ikatkan di leher pemuda itu, agak kendur lalu melempar ujung tali ke arah perwira brewok yang tadi membacok kepala Kun Liong. “Kwan-ciangkun, kautuntun dia!” katanya. Gadis itu lalu melompat ke atas kudanya dan memberi isyarat dengan tangan kepada pasukannya untuk meninggalkan tempat itu. “Aihh!” Perwira brewok itu berseru kaget dan tali yang dipegang ujungnya tadi terlepas dari tangannya. Dia melon-cat turun lagi dari kuda, menyambar tali dan begitu dia naik ke atas kudanya, Kun Liong menggerakkan kepalanya dan... tali itu kembali terlepas dari tangan Si Perwira Brewok. Tentu saja dia marah sekali dan setelah dia meloncat turun dan menyambar tali, dia melibatkan ujung tali itu di tangan kanannya sebelum dia melompat naik ke atas kuda. Kembali Kun Liong menggerakkan kepalanya, Si Perwira mempertahankan sehingga terjadi tarik-menarik dan akhirnya tubuh perwira itu terpelanting dari atas kuda, jatuh berdebuk. Sial baginya, dia jatuh dengan pinggul menimpa sebutir batu sebesar kepalan tangan, maka dia mengaduh dan meringis kesakitan. Beberapa orang perwira lainnya yang tadinya ikut marah, kini hampir tak dapat menahan ketawa menyaksikan perwira yang aneh akan tetapi juga lucu itu. “Yap Kun Liong, apakah kau benar-benar hendak memberontak dan melawan?” Li Hwa membentak marah. “Terserah penilaianmu, akan tetapi karena kau yang mencurigai aku, kau yang menawan dan membelengguku, maka harus kau pula yang menuntunku.” “Manusia aneh dan gila!” Li Hwa mengomel, akan tetapi karena dia tahu bahwa para perwira bawahannya tidak ada yang mampu menandingi Si Gundul ini, agar tidak menghambat perjalanan dia lalu menyambar ujung tali, meloncat naik ke atas kuda den dengan demikian menuntun Kun Liong yang duduk sambil tersenyum di atas kudanya dan pandang matanya tak pernah terlepas dari wajah dara yang menawannya itu. “Tunjukkan aku di mana tempat bokor itu,” kata Li Hwa. “Memang aku hendak mengembalikan bokor itu kepada gurumu...” “Bohong! Siapa percaya omonganmu?” “Percaya atau tidak terserah.” “Kau tadi bilang hendak menyerahkannya kepada Toat-beng Hoat-su.” “Siapa bilang aku hendak menyerahkan? Aku hanya bilang bahwa aku hendak menunjukkan dia tempat di mana aku menyembunyikan bokor itu.” “Hemmm... omongan plintat-plintut! Bukankah itu sama saja?” “Sama sekali tidak sama. Kalau sudah kutunjukkan tempatnya, belum tentu aku membiarkan dia mengambilnya.” “Hemm, kalau begitu mengapa kau hendak menunjukkan tempatnya kepada iblis tua itu?” “Karena... perjanjian!” Li Hwa menoleh dan memandang Kun Liong dengan penuh selidik. Akan tetapi pemuda itu tetap tenang dan kini dia memperoleh kesempatan banyak untuk menikmati keindahan dagu dan leher itu. “Kau cantik, Li Hwa...” Li Hwa mendengus. “Huh! Lagakmu tiada ubahnya seorang jai-hwa-cat, se-orang penjahat golongan hitam yang ca-bul dan hina!” “Wah-wah-wah, mengatakan kau can-tik apakah merupakan perbuatan jahat, Li Hwa? Kau memang cantik, habis ba-gaimana? Apakah kau lebih senang kalau aku membohong dan mengatakan bahwa kau buruk?” “Jangan mengatakan apa-apa!” Li Hwa membentak dan Kun Liong hanya meng-angkat pundak dan alis, menggelengkan kepalanya yang gundul, di dalam hatinya makin heran terhadap sikap wanita. Mah-luk yang aneh memang, pikirnya. Setiap berjumpa dengan seorang wanita, lain lagi wataknya dan makin lama makin aneh! “Hayo jawab!” Setelah agak lama ber-diam, Li Hwa membentak. Dengan ta-ngan kirinya dia membetot tali sehingga kuda yang ditunggangi pemuda itu ter-sentak maju ke depan. Hal ini adalah karena Kun Liong menggunakan tenaga sin-kang untuk menjepit perut kuda se-hingga biarpun dia yang dibetot ke de-pan, yang merasakan adalah kuda yang ditungganginya! Dia diam saja. “Kun Liong, hayo jawab pertanyaaiiku tadi, di mana tempat bokor itu. Tunjuk-kan kepadaku!” Tiada jawaban. Li Hwa menengok marah dan matanya mendelik ketika dia melihat pemuda gundul itu duduk tenang di atas kudanya dan tersenyum kepada-nya. “Mesam-mesem jual lagak kau! Dita-nya tidak menjawab malah tersenyum-senyum. Memangnya kau gagu?” “Hayaaa... sudah nasibku, jatuh dari tangan dara manis yang satu kepada tangan dara cantik yang lain, makin lama makin aneh dan makin menarik! Souw Li Hwa, baru saja kau bilang kepa-daku bahwa aku jangan mengatakan apa--apa, setelah aku diam tidak berkata apa-apa, kau marah-marah dan memaki aku gagu. Sebetulnya bagaimana sih ke-hendakmu, Nona cantik?” Li Hwa menggigit bibirnya. Ingin dia memaki-maki akan tetapi takut kalau didengar oleh para perwira yang berada di belakang. Dia memang mendahului mereka dengan jarak antara sepuluh me-ter. “Kun Liong, jangan main-main kaul! Memang kaukira aku ini siapa?” “Engkau adalah Souw Li Hwa, seorang dara remaja yang cantik jelita seperti bidadari dan gagah perkasa seperti Hoan Lee Hwa (tokoh dalam dongeng Sie Jin Kwi), murid panglima besar yang sakti The Hoo.” “Kalau sudah tahu, mengapa kau be-rani kurang ajar?” “Aihhh... benar-benar aku menjadi bingung menghadapimu, Li Hwa, ataukah aku harus menyebutmu Li-hiap, atau Li-ciangkun? Apa sih kekurangajaranku?” “Beberapa kali kau menyebut aku nona cantik!” “Lagi-lagi itu! Habis kalau memang-nya engkau cantik jelita...” “Sudahlah... sudahlah!” Li Hwa ber-kata kewalahan. “Katakan saja di mana adanya bokor emas milik Suhu itu.” “Kaupimpin pasukanmu melalui sepan-jang pantai Sungai Huang-ho sampai... eh, ingatkah kau ketika kau ditawan? Nah, di dekat sanalah, di pantai Huang--ho yang airnya tidak begitu dalam, ba-nyak batu-batu besar.” Li Hwa mengerutkan alisnya. “Kalau begitu, tidak jauh lagi dari sini” Dia lalu memberi aba-aba kepada pasukannya dan pasukan itu bergerak menuju ke tepi Sungai Huang-ho, kemudian melanjutkan perjalanan di sepanjang sungai. Dalam perjalanan ini, Kun Liong diminta menceritakan bagaimana dia dapat menemu-kan bokor itu. Pemuda itu menceritakannya dengan singkat tanpa menyebut nama Bi Kiok dan yang lain-lain. Hanya diceri-takan bahwa bokor itu tadinya tercuri oleh Phoa Sek It kemudian hilang di sungai dan secara kebetulan ia menemu-kannya, betapa kemudian hampir terjatuh ke tangan Phoa Sek It kembali, akan tetapi dia berhasil melarikannya dan me-nyembunyikannya di tempat itu. Li Hwa merasa terheran-heran men-dengar cerita itu. Semua orang di dunia kang-ouw mencari bokor itu. Dan suhu-nya juga menyebar orang untuk mencari-nya karena suhunya khawatir bahwa ka-lau bokor terjatuh ke tangan orang jahat, tentu akan membahayakan. Siapa kira, bokor yang menimbulkan heboh itu di-temukan oleh bocah gundul aneh yang lalu menyimpannya begitu saja di pinggir sungai membiarkannya sampai sepuluh tahun! “Engkau telah salah menangkap orang, Li Hwa. Bukan aku tidak suka menjadi tawananmu, akan tetapi engkau sungguh keliru kalau menyangka aku pemberontak. Apakah Paman Cia Keng Hong tidak me-laporkan ke kota raja?” Mendengar disebutnya nama pendekar ini, Li Hwa terkejut. “Kami mendengar tentang pemberontakan dari beliau.” “Ha-ha! Dan tahukah engkau dengan siapa Paman Cia Keng Hong tiba di Ceng-to dan menyaksikan para pemberon-tak mengadakan perundingan? Dengan aku! Cia-supek (Paman Guru Cia) berpi-sah dariku setelah kami berhasil menye-lamatkan seorang gadis yang tentu kau-kenal karena dia mengaku masih cucu murid gurumu, orangnya cantik manis seperti engkau, terutama bibirnya.” Li Hwa membelalakkan matanya. “Siapa percaya omonganmu? Yang jelas menurut penyelidikan orangku, engkau melakukan perjalanan bersama Toat-beng Hoat-su, dan kau bermaksud menyerahkan bokor kepadanya.” “Hanya untuk menyelamatkan seorang gadis.” “Hemm... gadis lagi!” “Ya, seorang gadis lain, juga cantik jelita, dibandingkan dengan engkau... hemmm, sukar juga mengatakan siapa lebih manis, seperti bunga mawar dengan bunga seruni!” Tentu saja yang dimaksud-kan bunga seruni adalah Bi Kiok (seruni cantik) sesuai dengan namanya. “Engkau memang mata keranjang!” Kun Liong tertawa. “Semua laki-laki mata keranjang kalau dimaksudkan suka melihat wanita cantik! Mana ada laki-laki yang tidak suka melihat wanita cantik?” “Yang kaukatakan cucu murid guruku itu, siapakah namanya?” “Gadis dengan bibir manis sekali itu? Liem Hwi Sian...” “Wah, murid Gak-suheng (Kakak Seperguruan Gak) di Secuan?” “Mungkin masih ada lagi dua orang suhengnya, kalau tidak salah namanya Poa Su It dan Tan Swi Bu. Dan Liem Hwi Sian itu, selain manis sekali bibirnya, juga dia suka kepada... kepalaku yang gundul. Mungkin kau benci kepada kepa-laku, ya?” “Di mana dia sekarang?” Li Hwa tidak mempedulikan pertanyaan yang dianggapnya kurang ajar itu. “Sudah diselamatkan Tan Swi Bu. Nah, apakah engkau masih menuduh aku seorang pemberontak?” “Kita lihat saja nanti keputusan pe-ngadilan di kota raja.” “Wah-wah, setelah kutunjukkan kepadamu tempat bokor emas, engkau masih hendak menawanku dan membawaku ke kota raja?” “Tentu saja!” “Biarpun sudah kuceritakan semua kepadamu?” “Aku tidak percaya ceritamu.” “Biarpun aku sudah menunjukkan tempat aku menyimpan bokor kepadamu?” “Tadinya kau pun menunjukkan kepada datuk kaum sesat.” “Ha-ha, Nona manis! Mengapa engkau masih menggunakan segala macam alasan kosong? Bilang saja bahwa engkau senang sekali dengan kehadiranku dan tidak ingin segera berpisah dari sampingku. Bukan demikiankah sesungguhnya? Aku pun suka sekali berdampingan denganmu, Li Hwa.” Li Hwa marah sekali, menahan kudanya sehingga kuda Kun Liong menyusul dekat, lalu tangannya menampar kepala Kun Liong. Pemuda ini dapat mengukur dari tamparan itu bahwa Li Hwa bukan menyerangnya, hanya sekedar melepas kemarahan dengan menamparnya dan hanya menggunakan tenaga biasa, maka dia pun sama sekali tidak mengelak, akan tetapi diam-diam dia mengerahkan sin-kang. Akan tetapi, kalau tadi dia menggunakan Pek-in-sin-kang yang dipelajarinya dari Tiang Pek Hosiang sehingga kepalanya mampu menahan bacokan golok, sekarang dia menggunakan sin-kang yang dipelajarinya dari Bun Hwat Tosu, yang diciptakan oleh kakek sakti itu untuk melawan Thi-khi-i-beng, yaltu yang mengandung tenaga membetot berdasarkan Im-kang lemas. “Plakkk!” Dan telapak tangan kiri dara itu melekat pada kulit kepala Kun Liong! Li Hwa berusaha menarik kembali tangannya, akan tetapi benar-benar telapak tangannya telah melekat ketat sehingga waiahnya berubah pucat karena baru sekarang dia mengalami hal seaneh ini! “Heh-heh, engkau pun agaknya amat suka dengan kepala gundulku, seperti Hwi Sian, maka kau mengelusnya tiada hentinya.” Li Hwa menjadi merah sekali muka-nya dan dia mengerling ke belakang. Kalau para perwire melihat hal ini, tentu mengira bahwa dia benar-benar membelai Si Kepala Gundul! Maka dia cepat menggunakan jari tangan kirinya untuk menotok ke arah pundak Kun Liong. “Wahhh... begini kejamkah engkau, Li Hwa?” Kun Liong berkata dan melepaskan pengerahan sin-kangnya sehingga telapak tangan kanan gadis itu terlepas kembali dan mendengar ucapan ini, Li Hwa mengurungkan niatnya menotok. Dia tadi menggunakan Ilmu Menotok It-ci-sian yang amat hebat dari gurunya, yaitu ilmu menotok dengan sebuah jari yang dilakukan dengen pengerahan sin-kang khas sehingga totokan itu mengeluarkan angin dingin yang luar biasa! Li Hwa memandang wajah Kun Liong dan diam-diam dia merasa kagum dan juga kaget sekali di dalam hatinya. Demonstrasi tenaga sin-kang yang diperlihatkan Kun Liong tadi ketika kepalanya menerima bacokan golok tidaklah terlalu mengherankan karena kepala pemuda itu gundul gundul sehingga tentu saja tidak takut rambutnya rusak. Akan tetapi apa yang diperlihatkannya tadi ketika kepala itu dapat “menangkap” dan menempel telapak tangannya, benar-benar membuktikan bahwa pemuda gundul yang ugal-ugalan ini sebenarnya memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi! Beberapa hari kemudian, pasukan yang dipimpin Souw Li Hwa dan berkekuatan seratus lima puluh orang itu tiba di tepi sungai seperti yang ditunjukkan oleh Kun Liong. Akan tetapi betapa kaget dan heran hati pemuda itu melihat perubahan besar yang terjadi di tempat itu. Tepi sungai yang dahulunya penuh dengan batu-batu besar itu, kini telah menjadi sebuah perkampungan yang dikelilingi pagar tembok! Dan agaknya batu bulat yang berbentuk kepala manusia itu, di mana dia menyimpan bokor emas dahulu, berada tepat di tengah-tengah dusun itu. “Wah, kenapa sekarang menjadi perkampungan? Agaknya perkampungan nelayan dan benda itu kusimpan di situ...” Li hwa mengerutkan alisnya. “Sunguh ceroboh sekali! Hayo kita cepat monyelidiki ke dalam dusun itu.” Dia menyuruh para perwiranya dan berbondong-bondong pasukan itu memasuki perkampungan pinggir sungai itu. Li Hwa dan Kun Liong yang menjalankan kudanya paling depan, makin terheran melihat betapa kampung itu sunyi sekali dan agaknya kosong. Akan tetapi, setelah semua memasuki dusun, tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan dari segenap penjuru, dari semua pintu gerbang, datang menyerbu banyak sekali orang, ada yang berpakaian biasa, ada yang berseragam, dan bahkan ada juga sedikitnya tiga puluh orang asing berkulit putih yang ikut menyerbu dengan pedang panjang melengkung di tangan kanan dan senjata api di tangan kiri! Tentu saja pasukan yang dipimpin Li Hwa menjadi kaget dan kacau-balau mengalami serangan tiba-tiba yang sama sekali tidak disangkanya itu. Barulah Li Hwa tahu bahwa tempat itu ternyata telah dijadikan sarang oleh gerombolan pemberontak! Maka sambil berseru keras dia bergerak ke depan sambil mencabut pedang, merobohkan dua orang musuh sekaligus. “Basmi para pemberontak!” Perang yang kacau-balau terjadi di perkampungan nelayan yang telah menja-di sarang para pemberontak yang berse-kutu dengan orang-orang kulit putih itu. Ledakan-ledakan senjata api terdengar, akan tetapi karena pertempuran itu ter-jadi dalam jarak dekat, senjata-senjata api yang memerlukan waktu untuk me-ngisi mesiu itu kurang praktis, maka suara ledakan makin mengurang, diganti teriakan yang diseling suara senjata ta-jam bertemu! Li Hwa sudah meloncat turun dari kudanya dan dara perkasa ini mengamuk dengan pedangnya. Sepak terjangnya hebat bukan main, menggetarkan hati para pemberontak karena ke mana pun pe-dangnya berkelebat, sinar pedang itu menyambar dan seorang lawan tentu roboh. “Dar! Dar!” Dua orang asing yang menyaksikan sepak terjang Li Hwa sudah menyerangnya dengan senjata api. Namun dara itu sudah mendengar dari gurunya tentang bahayanya senjata rahasia orang kulit putih ini, maka begitu tadi dia melihat dua orang itu mengacungkan senjata api ke arahnya, dia sudah melempar diri ke bawah, dan langsung dari bawah tubuhnya meluncur ke depan didahului sinar pedangnya. Sebelum dua orang kulit putih itu sempat mengisi pistol mereka dan masih terheran-heran melihat betapa dara cantik yang luar biasa itu tiba-tiba lenyap, sinar pedang menyambar mereka. Mereka berteriak dan roboh dengan perut mengucurkan darah, karena ujung pedang Li Hwa telah menembus perut mereka yang gendut! “Singggg... trang-trang...!” Li Hwa terkejut juga ketika pedangnya bertemu dengan pedang seorang lawan yang memiliki tenaga kuat juga sehingga pedangnya terpental. Cepat dia memandang dan ternyata yang memegang pedang menyerangnya dengan hebat tadi adalah seorang pemuda kulit putih yang bertubuh tinggi dan tampan, berpakaian mewah dan pemuda itu memandangnya dengan mulut tersenyum dan mata ja-lang. “Sungguh hebat...!” Pemuda kulit putih itu berkata dengan lancar biarpun suaranya agak kaku, “Pasukan pemerintah dipimpin oleh seorang dara yang cantik jelita!” “Anjing putih biadab, engkaukah yang membujuk para pemberontak mengkhia-nati negaranya?” Li Hwa membentak marah. “Ha-ha-ha, urusan pemberontakan adalah urusan mereka sendiri. Kami hanya sahabat mereka. Nona, sayang sekali kalau kau yang begini muda belia dan cantik jelita menjadi korban da-lam perang ini. Mari kau ikut saja ber-samaku, jangan khawatir, aku adalah Hendrik Selado, dan engkau akan senang sekali menjadi sahabat baikku!” “Mampuslah!” Li Hwa sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi, pedangnya bergerak menyambar ke depan. Hendrik Selado terkejut, silau mata-nya melihat sinar pedang yang bergulung--gulung itu. Akan tetapi, dia dapat menangkisnya dan balas menyerang karena dia maklum bahwa betapapun muda dan cantiknya, dara itu adalah seorang pendekar wanita yang berkepandaian tinggi. Terjadilah pertandingan antara kedua orang ini dan dapat dibayangkan betapa kaget hati Hendrik ketika dia mendapat kenyataan bahwa pedang dara itu amat sukar dilawan. Biarpun dia sudah menge-rahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua jurus ilmu pedangnya yang dia pelajari dari ayahnya, namun tetap saja dia terus terdesak sehingga dia memper-tahankan diri sambil mundur-mundur. Kemudian Hendrik membalikkan tubuh dan melarikan diri! “Keparat, hendak lari ke mana kau?” Karena Li Hwa menduga bahwa tentu pemuda asing yang lihai itu yang memimpin rombongan orang asing yang membantu pemberontakan, maka dia cepat melakukan pengejaran. Sementara itu, ketika tadi Kun Liong melihat perang kecil terjadi dan melihat betapa sepak terjang Li Hwa hebat se-kali dan biarpun berhadapan dengan pe-muda asing bernama Hendrik itu dara perkasa ini sama sekali tidak terdesak, diam-diam Kun Liong telah mematahkan belenggu kaki tangannya, meloncat turun dari kudanya dan pergi mencari tempat di mana dia dahulu menyembunyikan bokor emas. Dia tertegun dan bingung ketika melihat betapa tempat di mana dahulu terdapat sebongkah batu bulat berbentuk kepala, kini telah dibangun sebuah rumah papan yang besar! Agaknya batu bulat itu selama bertahun-tahun ini telah teruruk tanah sehingga hanya kelihatan menonjol sedikit dan kelihatan di luar dinding rumah itu. Kun Liong meneliti tempat itu dan dia merasa yakin bahwa memang batu yang menonjol sedikit itulah batu yang dahulu dijadikan tanda. Di bawah batu itulah disimpannya bokor emas. Akan tetapi batu itu telah teruruk, sedikitnya teruruk sampai hampir dua meter dalam-nya, dan di situ didirikan rumah. Bagaimana dia dapat mencari benda pusaka itu yang tersembunyi di bawah batu tan-pa membongkar rumah itu dan menggali tanah yang menguruk batu? Sedangkan di tempat itu pun terjadi perang campuh antara para perajurit anak buah Li Hwa melawan tentara pemberontak yang dibantu orang-orang asing. Selagi Kun Liong berdiri bingung ba-gaimana dia akan bisa mendapatkan kembali benda pusaka yang terpendam di bawah bangunan itu, tiba-tiba dia meli-hat Hendrik lari memasuki pondok itu, dikejar oleh Li Hwa yang berteriak nyaring, “Manusia biadab, hendak lari ke mana kau?” Kun Liong melihat betapa Hendrik sudah keluar lagi dari pintu samping, membidikkan senjata apinya ke dalam rumah yang dimasuki Li Hwa. Pemuda itu terkejut, dapat menduga bahwa pe-muda asing itu menjebak Li Hwa, maka dia berteriak, “Li Hwa, hati-hati...!” “Darrr... blungggg...!” Kun Liong cepat membuang diri ke atas tanah ketika terjadi ledakan hebat itu. Kiranya Hendrik telah meledakkan mesiu yang berada di dalam rumah itu dan agaknya rumah itu merupakan gudang mesiu! Rumah besar itu hancur, batu bulat juga terbongkar dan terlempar sehingga tanah di mana batu dan rumah tadi berdiri, kini menjadi semacam kubangan besar. Air sungai segera membanjir masuk ke dalam lubang ini. “Bokor...! Di situ...!!” Terdengar teriakan-teriaken den tempat yang kini penuh dengan air sedalam pinggang itu kini diserbu oleh para perajurit kedua pihak, bukan hanya untuk melanjutkan perang, melainkan terutama sekali untuk memperebutkan bokor emas yang tadi tampak di dalam kubangan sebelum air membanjirinya. Orang-orang asing yang membantu pemberontak juga berlompatan memasuki kubangan penuh air dan ikut pula berebutan, memperebutkan benda yang telah mereka kenal akan tetapi yang kini tidak tampak lagi karena tertutup air. Mereka memperebutkan bokor emas yang hanya tampak sekelebatan sebelum terendam air dan yang hanya terlihat oleh beberapa orang yang berteriak tadi. Akan tetapi pertempuran itu tidak berlangsung lama. Senja telah mendatang dan para perajurit anak buah Li Hwa terpaksa diperintahkan mundur oleh para perwiranya karena mereka merasa berat menghadapi serbuan para pemberontak yang lebib banyak jumlahnya, apalagi karena mereka tidak melihat lagi Souw Li Hwa, dara perkasa yang mereka andalkan dan yang menjadi pemimpin mereka. Dengan meninggalkan teman-teman yang menjadi korban, menolong mereka yang terluka, sisa pasukan yang kurang lebih tinggal seratus orang lagi itu melarikan diri keluar dari perkampungan yang menjadi sarang pemberontak itu, dikejar oleh para pemberontak yang akhirnya membiarkan mereka lagi setelah mereka jauh dari perkampungan. Di tempat bekas pondok yang kini menjadi kubangan air masih tampak orang-orang asing dan para perajurit pemberontak mencari-cari, akan tetapi akhirnya mereka terheran-heran mengapa tidak ada yang berhasil menemukan pusaka itu. Yuan de Gama pemuda tampan, putera pemilik Kapal Kuda Terbang yang juga ikut bertempur dalam perang kecil tadi, memimpin sendiri pencarian di dalam kubangan, akan tetapi segera melepaskan harapan, meloncat keluar dari kubangan dan mengomel. “Heran sekali ke mana perginya Hendrik? Hentikan semua pencarian yang sia-sia ini, akan tetapi lakukan penjagaan di sekitar kubangan, jangan biarkan orang mendekatinya.” Setelah mengatur penjagaan beberapa orang perajurit secara bergantian di sekeliling kubangan, Yuan de Gama lalu memasuki pondok dan berganti pakaian karena pakaiannya kotor penuh lumpur, juga pundaknya terluka sedikit. Kemudian dia keluar dari pondok untuk mencari Hendrik. Dia dan Hendrik kebetulan sekali berada di situ memimpin rombongan orang-orangnya mewakili gurunya, Legaspi Selado ketika tadi datang pasukan pemerintah sehingga terjadi perang kecil di situ dan mereka berhasil mengusir pasukan musuh itu. Kini dia harus cepat mengadakan perundingan dengan Hendrik, putera gurunya itu, karena tempat itu merupakan tempat yang berbahaya. Setelah pihak pemerintah mengetahui bahwa tempat itu mereka jadikan sarang, tentu akan datang pasukan yang lebih besar untuk menghancurkan mereka. Akan tetapi, Hendrik tidak tampak batang hidungnya. Ketika ada seorang anak buahnya yang disebar untuk mencari Hendrik da-tang kepadanya dan berbisik-bisik sambil tersenyum menyeringai, Yuan de Gama memukul telapak tangan kirinya sendiri dan memaki gemas, “Terkutuk! Dia selalu merusak tugas dengan kesenangan pribadi yang kotor!” Setelah berkata demikian Yuan de Gama lalu berjalan cepat pergi ke ujung perkampungan itu, bekas hutan yang telah dibabat, akan tetapi masih menjadi tempat sunyi di mana terdapat sebuah pondok kecil yang di depannya terpasang sebuah lampu. Sunyi bukan main di situ. Yuan de Gdma menghampiri pondok dari belakang dan ketika dia menyelinap dari balik pohon dan memandang ke samping pondok, dia menahan makiannya. Dia melihat seorang gadis cantik yang tadi dikenalnya sebagai pemimpin pasukan pemerintah, terbelenggu dengan rantai besi di tihang pondok, dan di dekat gadis itu bernyala api unggun yang makin lama makin mendekati sebungkus mesiu yang ditaruh di dekat kaki Si Gadis! Gadis itu bukan lain adalah Souw Li Hwa! Bagaimana dia dapat terbelenggu di situ? Ketika dia meloncat ke dalam pondok mengejar Hendrik, pemuda asing yang cerdik itu telah meledakkan mesiu de-ngan pistolnya. Ledakan dahsyat itu secara aneh sekali tidak menewaskan Li Hwa, karena dia telah terlempar oleh hawa ledakan dan terbanting jatuh ping-san. Dalam keadaan pingsan ini, Hendrik yang kagum dan tergila-gila melihat ke-cantikannya, lalu menyambarnya dan memondongnya pergi ke dalam pondok sunyi itu. Ketika dia siuman, Li Hwa mendapatkan dirinya rebah di atas pembaringan dengan kaki tangan terbelenggu dan dia melihat bekas lawannya, pemuda asing tadi, duduk di pinggir pembaringan sambil tersenyum-senyum. “He, kau sudah sadar, manis?” Sejenak Li Hwa bingung, kemudian dia teringat akan semua pengalamannya den membentak, “Anjing biadab! Hayo bunuh aku, atau lepaskan aku dan melanjutkan pertandingan kalau kau memang jantan!” “Aihhh... mengapa begitu keras hati, manis? Aku cinta padamu, Nona. Kau begini cantik... rambutmu begini indah...” Hendrik membelai rambut yang halus dan panjang itu. Li Hwa mengggerakkan kepalanya merenggutkan rambut. “Dan matamu seperti sepasang bintang... kau cantik jelita... daripada bermusuh, bukankah lebih baik kalau kita bersahabat? Kau akan kubawa ke negeriku, sayang...” “Phuhhh! Manusia biadab, lebih baik aku mati!” Li Hwa berteriak lagi. “Wah, sayang kalau kau mati. Aku sungguh cinta padamu! Jangan kau berpura-pura, benarkah kau tidak suka kepadaku? Sudah banyak sekali wanita yang menyatakan cinta kepadaku, yang ingin menjadi kekasihku, akan tetapi engkau yang benar-benar menjatuhkan hatiku... eh, sayang, siapakah namamu?” “Persetan dengan kamu!” Li Hwa memalingkan mukanya. “Heran! Engkau bertambah manis kalau marah, tak tahan aku untuk tidak menciummu!” Hendrik segera memeluk tubuh yang terbelenggu kaki tangannya itu den bibirnya yang rakus itu mengecup bibir Li Hwa. Li Hwa terbelalak, sejenak seperti akan pingsan mengalami hal yang sama sekali tidak diduganya dan yang belum pernah dialaminya biarpun dalam mimpi. Karena dia hendak memaki, mulutnya terbuka den hal ini oleh Hendrik dianggap bahwa wanita itu membalas ciumannya, maka dia mencium makin ganas. “Auuuughhh... aduuuhhh...” Hendrik meloncat ke belakang dan mengaduh--aduh, bibir bawahnya pecah oleh gigitan Li Hwa tadi. Gadis yang saking ngeri dan muaknya tak dapat berbuat apa-apa untuk menyerang itu, telah menggigit bibir yang mengecup-ngecup mulutnya secara mengerikan! Hendrik mengangkat tinjunya hendak memukul muka yang menantangnya dengan penuh keberanian itu. Biarpun maklum bahwa dia akan dipukul, mungkin dibunuh, Li Hwa memandang dengan mata tidak berkedip. Melihat sikap ini, memandang wajah yang cantik manis itu, Hendrik menjadi lemas dan menurunkan lagi kepalan tangannya. “Bedebah! Setan betina! Hendak kulihat apakah engkau masih berkeras tidak mau melayani cintaku!” Hendrik sudah benar-benar tergila--gila kepada Li Hwa. Kalau menghadapi wanita lain yang menolak cintanya, seperti biasanya, tentu dia akan menggunakan kekerasan, memperkosa gadis yang sudah terbelenggu itu. Akan tetapi aneh sekali, dia merasa berat untuk melakukan hal ini terhadap Li Hwa. Dia tahu bahwa gadis perkasa ini merupakan seorang dara pilihan, dan alangkah akan senang hatinya kalau dia dapat memperolehnya dengan cara yang baik, dengan sukarela. Betapa akan bahagianya kalau gadis ini membalas cintanya, bukan menyerahkan diri karena terpaksa dan karena diperkosa. Dipondongnya tubuh gadis itu keluar pondok, diletakkan dan dirantai pada tihang sebelah rumah. Kemudian dia membuat api unggun dan meletakkan sebungkus mesiu di dekat kaki Li Hwa yang terbelenggu. “Kaulihat ini? Mesiu yang akan meledak begitu api itu menjalar sampai ke dekatnya. Kaulihat tadi. Rumah dan batu itu hancur oleh ledakan, dan kalau kau tidak menurut, bungkusan mesiu ini cukup untuk menghancurkan tubuhmu menjadi berkeping-keping. Kalau berubah pikiranmu, sebelum terlambat, kauterimalah pinanganku, Nona.” “Huh, biarkan aku mati!” “Baik, aku akan menanti di dalam. Kau berteriak saja panggil aku kalau pikiranmu berubah, kalau kau memilih bersenang-senang denganku dan hidup bahagia daripada mati dengan tubuh hancur oleh ledakan obat mesiu ini.” “Jahanam kotor! Seribu kali lebih baik mati daripada menyerah kepadamu!” Li Hwa membentak. Hendrik tersenyum akan tetapi menyeringai karena bibirnya yang digerakkan terasa perih. Diusapnya bibir yang pecah oleh gigitan dara tawanannya itu, kemudian dia bangkit dan membalikkan tubuh, melangkah lebar menuju ke pondok, menaiki anak tangga depan pondok dan lenyap ke dalam pondok itu. Li Hwa ditinggalkan seorang diri dalam keadaan tidak berdaya. Rantai besi yang membelenggu kaki tangannya amat kuat, tidak dapat dipatahkannya dan dia pun tidak dapat mencegah api unggun yang bernyala makin besar, dan lidah api makin mendekati bungkusan mesiu di dekat kakinya. Dalam keadaan seperti itulah gadis itu ketika Yuan de Gama menghampiri pondok dan melihatnya. Dengan hati-hati Yuan lalu menghampiri gadis itu. Li Hwa yang berpendengaran tajam tahu bahwa ada orang mendekatinya dari belakang. Dia menoleh dan melihat Yuan, dia mengira pemuda asing itu adalah Hendrik yang menawannya. Dalam pandangannya, orang-orang asing itu seperti sama semua! Maka dia lalu menghardik, “Jangan harap aku mau menyerah, manusia hina! Bunuhlah kalau kau mau membunuhku...” “Sssttt...!” Melihat pemuda itu menaruh telunjuk di depan bibir dan mengeluarkan seruan tanda agar dia tidak mengeluarkan suara, Li Hwa terheran dan memandang lebih teliti kepada pemuda itu. Sekarang setelah sinar api unggun menerangi wajah itu, barulah dia sadar bahwa bukanlah pemuda asing yang tadi menawannya. Tubuh pemuda itu lebih jangkung, perutnya tidak gendut dan pada wajah yang tampan ini tidak terdapat sinar mata yang penuh nafsu. Tidak, bahkan sinar mata yang berwarna biru itu amat lembutnya, kini memandangnya dengan penuh iba. “Nona, aku datang untuk menolongmu...” Pemuda itu berbisik dan berjong-kok di belakangnya. Namun, di dalam hati Li Hwa sudah terdapat bibit kebencian terhadap orang--orang asing. Pertama karena kenyataan bahwa orang-orang itu bersekutu dengan para pemberontak. Kedua kalinya, dia mengalami penghinaan dari Hendrik yang menawannya. Maka terhadap pemuda yang hendak menolongnya ini pun dia bersikap angkuh dan tidak bersahabat. “Aku tidak minta pertolonganmu!” Pemuda itu menghela napas panjang. “Aku tahu, dan engkau memang seorang dara perkasa yang hebat, Nona. Seorang berjiwa panglima yang patut dihormati. Dan karena itulah maka aku harus meno-longmu.” Sambil berkata demikian, Yuan de Gama mulai berusaha membuka be-lenggu itu dari kedua tangan Li Hwa. Karena gembok yang dipakai mematikan mata rantai belenggu itu cukup kuat, maka tidaklah mudah bagi Yuan untuk membukanya sehingga dia harus menge-rahkan seluruh tenaganya. “Mengapa kau menolongku?” Melihat usaha pemuda itu, Li Hwa tak dapat menahan diri untuk tidak bertanya kare-na bukankah di antara mereka terdapat permusuhan? “Aku kagum akan kegagahanmu, Nona. Dan aku muak melihat perbuatan Hendrik yang menyimpang dari tugasnya, hanya mementingkan kesenangan pribadi.” Akhirnya, setelah lebih dahulu men-jauhkan bungkusan mesiu dari api, Yuan de Gama berhasil melepaskan belenggu pada kaki dan tangan Li Hwa. Gadis itu melompat berdiri, akan tetapi karena kepalanya masih nanar oleh hantaman ledakan tadi, dan kakinya juga kaku ka-rena lama dibelenggu, dia terhuyung dan tentu terguling kalau tidak cepat-cepat dia dipeluk oleh Yuan de Gama. “Lepaskan aku!” Li Hwa meronta. “Apa kaukira setelah menolongku, kau boleh memangku sesuka hatimu?” Yuan cepat melepaskan pelukannya dan melangkah mundur, alisnya berkerut dan pandang matanya tajam menusuk. “Nona, harap jangan menyamaratakan orang begitu saja. Kalau tidak melihat engkau hendak jatuh, tentu aku tidak berani menyentuhmu.” Sejenak mereka berpandangan dan Li Hwa menunduk, kedua pipinya menjadi merah. Dia tahu bahwa betapa sikapnya tadi memang amat buruk. Akan tetapi, bukankah pemuda asing ini juga musuh-nya? Musuh negaranya? Ingatan itu me-ngeraskan hatinya dan dia mendengus, melempar muka ke samping, membalik-kan tubuh lalu melangkah hendak pergi. “Tahan dulu, Nona...!” Yuan de Gama cepat mengejar. “Nona, kau masih amat lelah... dan pasukanmu telah melarikan diri keluar dari tempat ini. Kalau kau -pergi begitu saja, tentu kau akan ter-tangkap kembali. Di mana-mana terdapat penjaga...” “Haiii... Nona yang manis, apakah engkau belum merobah pikiranmu?” Tiba--tiba terdengar teriakan Hendrik dari dalam pondok. Yuan de Gama terkejut, cepat ia me-nyambar tangan Li Hwa dan berkata, “Mari ikut dengan aku. Cepat...!” Kini mengertilah Li Hwa bahwa pe-muda ini benar-benar hendak menolong-nya dan agaknya tidak mempunyai niat buruk di balik itu, maka dia membiarkan dirinya ditarik dan dibawa pergi menye-linap di antara pohon-pohon dan kegelap-an malam sampai mereka berada jauh dari pondok terpencil itu. AKAN tetapi kembali mereka terpaksa harus berhenti dan bersembunyi di balik pohon-pohon ketika mereka melihat belasan orang perajurit meronda tak jauh dari situ. Setelah para peronda itu lewat, Yuan berbisik, “Nona sungguh berbahaya untukmu keluar dari perkampungan ini. Ketahuilah, setelah terjadi perang siang tadi, seluruh perkampungan diadakan perondaan dan sekitar perkampungan dijaga ketat. Dan malam ini juga engkau harus dapat lolos dari sini, karena kalau sampai besok engkau tak dapat keluar, tentu tidak mungkin lagi menyembunyikan diri.” “Aku tidak takut! Aku akan melawan sampai titik darah terakhir!” Yuan memandang kagum sekali sungguhpun wajah dara itu tidak kelihatan jelas di dalam gelap, “Selama aku hidup, baru sekarang aku bertemu dengan seorang wanita gagah seperti engkau, Nona. Banyak sudah kubaca dalam kitab tentang pendekar-pendekar wanita yang gagah perkasa di negerimu yang aneh ini, akan tetapi aku masih belum percaya. Sekarang baru aku percaya, dan aku kagum sekah kepadamu, aku harus menolongmu keluar dari tempat ini, malam ini juga.” Kata-kata pemuda itu juga amat mengherankan hati Li Hwa. Betapapun kagumnya, mana mungkin ada musuh menolong musuhnya? Apalagi pemuda itu tahu bahwa dia adalah pemimpin pasukan pemerintah yang akan membasmi kaum pemberontak! “Engkau siapakah?” Yuan de Gama membungkuk dengan lengan kanan melintang di depan perutnya. “Aku bemama Yuan de Gama. Ayahku adalah Richardo de Gama, pemilik Kapal Kuda Terbang dan...” “Dan kalian orang-orang asing membantu para pemberontak!” Yuan de Gama menggeleng kepala dengan penuh penyesalan. “Aku tidak berniat demikian, Nona. Juga kawan-kawanku tidak berniat membantu pemberontak. Akan tetapi kami hanya ingin mengadakan kontak dagang dengan penduduk pribumi. Karena penjabat pemerintahmu melarang, dan karena para pembesar yang kami bantu ini menyanggupi untuk membolehkan kami berdagang...” “Sudahlah, apa pun alasannya, yang jelas kalian adalah orang-orang asing yang membantu pihak pemberontak!” “Memang tiada gunanya kita berdebat tentang itu, Nona. Kita hanyalah pelaksana-pelaksana belaka, yang mengatur semua itu adalah orang-orang atasan. Yang penting sekarang, aku harus menolongmu keluar dari sini dan pada saat seperti ini, kuharap kau tidak menganggapku sebagai musuh, Nona.” Li Hwa mengerutkan alisnya. Kalau keadaan tidak seperti itu, tentu sudah sejak tadi dia menyerang dan membunuh pemuda musuh negara ini! “Kalau sampai kau ketahuan menolongku lolos?” Yuan tersenyum dan menggerakkan pundaknya yang bidang. “Yaahh, apa boleh buat! Sudah nasibku mati diberondong senapan oleh bekas anak buahku sendiri sebagai seorang pengkhianat.” Li Hwa bergidik. Dia sudah pernah melihat seorang anak buahnya terluka oleh peluru senapan, senjata rahasia yang mengerikan dari pihak orang-orang asing itu. Dan akibatnya benar-benar mengerikan. Anak buahnya itu meraung-raung karena nyeri dan lukanya itu seperti dibakar rasanya. “Dan kau rela terancam bahaya untuk menolong aku, seorang musuh?” “Hiisshh, Nona. Sudah kukatakan, pada saat ini kau bukan musuhku, dan mudah-mudahan aku bukan musuhmu. Engkau bagiku adalah seorang pendekar wanita yang amat hebat dan amat kukagumi. Marilah...” Kembali Yuan menggandeng tangan Li Hwa dan dara ini menurut saja ketika dia dibawa menyelinap ke sana-sini, kadang-kadang mendekam di balik rumah-rumah atau pohon-pohon. Tak lama kemudian mereka sudah berada di sekitar pagar tembok yang mengelilingi pekarangan itu. Tiba-tiba terdengar suara dalam bahasa asing. Mendengar ini, Yuan cepat menarik Li Hwa dan keduanya bertiarap, menelungkup di balik rumpun alang-alang. Suara itu adalah suara Hendrik yang berteriak-teriak kepada para penjaga, “Jangan sampai dia lolos! Tawananku itu adalah pemimpin pasukan musuh yang menyerbu siang tadi. Awas, siapa yang dapat menangkapnya, hidup atau mati, akan kuberi hadiah besar, akan tetapi yang membiarkannya lolos, akan kuhukum!” Yuan dan Li Hwa bersembunyi sampai suara Hendrik itu lenyap dan orangnya pergi dan dengan lirih Yuan berbisik, “Tadi adalah Hendrik yang menawanmu. Sekarang semua penjaga di sekeliling perkampungan ini telah tahu bahwa engkau lolos dari tahanan Hendrik dan mereka tentu mengerahkan seluruh perhatian untuk menemukanmu. Hal ini membuat usaha kita makin sulit. Akan tetapi sebelum aku melanjutkan usahaku meloloskanmu, aku ingin mengetahui apakah engkau benar-benar telah percaya kepadaku, Nona?” “Hemmm... percaya dalam hal apa?” “Bahwa aku hanya ingin menolongmu, karena kekagumanku terhadap dirimu, tidak ada lain hal yang tersembunyi di balik itu.” Sampai lama mereka berpandangan dalam gelap, muka mereka tidak begitu jauh jaraknya karena mereka berdua bertiarap di dalam semak-semak. Akhirnya Li Hwa mengangguk. “Aku percaya kepadamu, sungguhpun aku sendiri heran mengapa aku harus percaya kepada seorang asing, seorang musuh.” Yuan tersenyum. “Bagus, Nona. Bolehkah aku mengetahui namamu?” Kembali Li Hwa meragu. Sampai lama, setelah dia menimbang-nimbang, barulah dia menjawab, “Namaku Souw Li Hwa, dan guruku adalah Panglima Besar The Hoo.” “Ya Tuhan...!” Yuan de Gama berseru lirih dan pandang matanya makin kagum lagi. “Nama besar gurumu itu siapa yang tidak tahu? Pantas saja kalau begitu! Kiranya Nona adalah murid orang luar biasa itu?” “Sekarang bagaimana engkau akan meloloskan aku dari sini? Kurasa jalan satu-satunya hanya menerjang ke luar. Aku tidak takut, biar aku menerjang ke luar dan tidak perlu kau mengkhianati teman-temanmu sendiri.” “Tidak...! Jangan lakukan itu, Nona...! Penjagaan amat ketat dan mereka telah mempersiapkan senjata api, kau tentu akan tertawan kembali atau tertembak mati. Kalau hal itu terjadi, aku akan menyesal dan hidup menderita selamanya! Marilah, aku mempunyai akal asal engkau benar-henar percaya kepadaku. Mari!” Yuan lalu menggandeng tangan dara itu menyelinap melalui tempat gelap menuju ke sebuah pintu gerbang yang dijaga belasan orang penjaga terdiri dari perajurit-perajurit pemberontak dan beberapa orang asing. Li Hwa melihat betapa orang-orang asing itu memegang senjata api mereka dalam keadaan siap. Andaikata dia tidak gentar menghadapi senjata rahasia itu, kalau hanya belasan orang yang menjaga di situ, tentu dia akan sanggup untuk merobohkan mereka, atau setidaknya meloloskan diri dari pintu gerbang itu. Akan tetapi dia bersama Yuan, kalau sampai mereka mengenalnya bersama-sama pemuda asing yang menolongnya ini tentu Yuan akan dianggap pengkhianat dan pemuda itu akan celaka. Maka dia diam dan menurut saja ketika Yuan menggandengnya mendekati pintu gerbang, tidak tahu bagaimana pemuda itu akan menyelamatkannya. Ketika Yuan dan Li Hwa sudah tiba dekat sekali dengan pintu gerbang, di bagian yang akan gelap, tidak tertimpa langsung oleh lampu yang tergantung di pintu gerbang, terdengar seorang di antara para penjaga menghardik, “Heiii! Berhenti! Siapa di situ?” Semua urat syaraf di tubuh Li Hwa sudah menegang dan dara ini sudah siap untuk menerjang maju. Akan tetapi Yuan merangkulnya dan berbisik, “Nona, jangan bergerak. Ingat, kau sudah percaya ke-padaku, kau menurut saja...” Empat orang penjaga berlari mende-kati dan pada saat itu, Yuan merangkul leher Li Hwa dan mencium bibir dara ini, mendekap muka itu dengan ketat sehingga muka Li Hwa tidak tampak, tertutup oleh mukanya sendiri. Kemudian, dia mendekap kepala Li Hwa, wajah dara itu disembunyikan di dadanya, dan dia membentak, “Kurang ajar! Berani kalian mengganggu kesenanganku?” “Ohhh... ahhh... Tuan Yuan de Ga-ma... maafkan kami! Kami telah meneri-ma perintah agar melakukan penjagaan keras...!” “Aku tahu!” Yuan membentak. “Dan kalian harus menjaga baik-baik agar panglima wanita musuh itu jangan sampai lolos. Dia pandai sekali, mungkin akan melompati pagar tembok. Tak mungkin dia melalui pintu gerbang. Hemm, sung-guh menjemukan, tidak ada tempat yang aman untuk bermain cinta. Aku mau keluar saja, mencari tempat sunyi. Hayo, manis...” Yuan de Gama menggunakan mantelnya untuk menyelimuti Li Hwa dan dia membawa Li Hwa yang masih dirangkulnya itu keluar melalui pintu gerbang, ditonton oleh belasan orang itu yang saling lirik dan menyeringai. Li Hwa sendiri sudah hampir pingsan sejak dia diciumi oleh Yuan de Gama tadi. Tubuhnya menggigil, kaki tangannya menjadi dingin dan jantungnya berdebar tidak karuan. Dalam waktu satu malam, dia telah diciumi oleh dua orang laki--laki, dua orang asing dan dicium dengan cara yang sama sekali belum pernah di-dengarnya, apalagi dialaminya! Ketika Hendrik mencium dan mengecup bibirnya, dia merasa amat marah, benci, dan muak sehingga dia menggigit bibir pemuda asing itu untuk menyerangnya, membuat bibir Hendrik terluka berdarah dan ham-pir terobek putus! Akan tetapi, ketika Yuan de Gama menciumnya, biarpun dia merasa terkejut sekali namun dia mak-lum bahwa pemuda ini menciumnya bukan karena dorongan nafsu dan bukan untuk berkurang ajar, melainkan untuk menyelamatkannya. Pula, dia merasa bedanya ciuman antara kedua orang pria itu. Ketika Yuan menciumnya, dia merasa seolah-olah tubuhnya melayang naik ke angkasa, tubuhnya lemas dan ia seperti di alam mimpi! “Ha-ha-ha...!” Terdengar empat orang asing yang berjaga di situ tertawa-tawa dan bicara dalam bahasa asing yang tidak dimengerti oleh Li Hwa. “Heran sekali,” kata seorang di antara para penjaga bersenjata tombak, “Tuan Yuan de Gama lebih senang bercinta di tempat terbuka, padahal sudah disediakan kamar-kamar dan tempat tidur yang lunak. Aneh...!” “Mengapa aneh?” bantah yang lain. “Mereka itu memang mempunyai kebiasaan dan kesukaan yang berbeda dengan kita. Yang untung adalah wanita itu. Hemmm... Tuan Yuan de Gama adalah seorang pemuda yang biasanya pantang bercinta dengan wanita-wanita yang disediakan untuk mereka, dan selain paling tampan, juga paling baik budi dan paling kaya!” Mendengar kata-kata antara kedua orang penjaga itu, bermacam perasaan mengaduk hati Li Hwa. Akan tetapi semua perasaan ini ditahannya sampai mereka tiba jauh dari pintu gerbang dan tiba-tiba Yuan melepaskan rangkulannya. “Nah, sekarang sudah aman, Nona Li Hwa.” Mereka berdiri berhadapan. Bintang-bintang memenuhi angkasa, mencurahkan sinar redup dingin sehingga mereka dapat saling memandang dalam keadaan remang-remang. “Yuan de Gama...” Li Hwa akhirnya dapat mengeluarkan suaranya. Lirih na-mun penuh perasaan. “Aku akan meng-anggapmu sebagai...” “Yaaa...?” “Seorang yang baik hati dan...” “Hemmm...?” “... sebagai seorang yang kurang ajar!” “Begitukah, Nona Li Hwa?” “Untuk kebaikan hatimu, aku berterima kasih kepadamu.” “Tidak usah berterima kasih!” “Dan untuk kekurangajaranmu...” “Kekurangajaran yang mana?” “... ketika kau... kau menciumku tadi...” “Aahhh, aku tidak berniat kurang ajar...” “Betapapun juga, Yuan de Gama, kau telah berlaku tidak sopan, dan untuk itu... aku akan...” “Yaaa...?” “Plakkkk!” Pipi kiri Yuan de Gama ditampar oleh telapak tangan Li Hwa. Dara itu tidak mengerahkan sin-kangnya, akan tetapi tetap saja tamparan itu membuat pipi Yuan kemerahan dan tampak bekas jari-jari tangan kecil di atas kulit pipi itu. “Nona, terima kasih atas kebaikanmu...” “Jangan kau mengejek. Aku menamparmu karena mengingat akan kekurangajaranmu tadi.” “Untuk ciuman-ciuman itu Nona, walaupun kulakukan bukan karena hendak kurang ajar kepadamu atau hendak menghinamu, aku rela menerima tamparanmu, bahkan kalau kau masih penasaran, boleh kautampar lagi sesukamu...” “Ehhh...” Li Hwa berseru heran, tidak menyangka pemuda itu akan berkata demikian. “Benar Nona. Karena... semenjak aku melihatmu, apalagi setelah menyaksikan kegagahanmu, tahulah aku bahwa aku jatuh cinta kepadamu, Nona.” “Ihhh...!” “Terserah kepadamu kalau kauanggap aku kurang ajar. Biar kau hendak membunuhku sekalipun, takkan dapat kau memaksaku untuk menarik kembali kata-kataku. Aku cinta kepadamu, Souw Li Hwa...” “Aihhh...!” Li Hwa mundur-mundur dengan muka pucat, jantungnya berdebar tidak karuan, kemudian terdengar isak naik dari dadanya, tubuhnya berkelebat dan dia sudah meloncat pergi dari tempat itu. “Souw Li Hwa, aku cinta kepadamu...” Yuan de Gama berteriak Naik sedu-sedan di tenggorokan dara itu, akan tetapi dia terus melarikan diri secepatnya, tidak mempedulikan beberapa butir air mata yang turun di atas kedua pipinya. Dia merasa takut. Takut kepada dirinya sendiri. Mengapa dia tidak membenci Yuan seperti dia membenci Hendrik setelah Yuan menciumnya? Bahkan ada rasa senang dicium oleh pemuda itu? Mengapa hatinya berdebar dengan perasaan nyaman akan tetapi tegang ketika Yuan menyatakan cintanya kepadanya? Padahal ketika Hendrik menyatakan cintanya, dia merasa muak dan terhina? Li Hwa berlari cepat dan pada ke-esokan harinya barulah dia dapat berte-mu dengan sisa pasukannya. Para perwira menjadi girang sekali ketika melihat munculnya dara itu, dan Li Hwa mende-ngar dengan hati penuh penasaran betapa pasukannya terpaksa melarikan diri ka-rena kalah banyak dan kalah kuat, apala-gi setelah pemimpin mereka, dara perka-sa itu lenyap. “Pasukan mereka lebih besar. Kita harus mencari bantuan. Dan bagaimana dengan tawanan kita, Yap Kun Liong si gundul itu?” “Kami tidak melihatnya lagi dalam keributan itu, Nona,” jawab seorang per-wira tua. “Hemm, apa yang terjadi setelah terjadi peledakan yang membuat aku pingsan dan tertawan musuh?” Para perwira lalu menceritakan beta-pa ledakan itu membuat tempat bekas rumah itu berlubang dan sekilas tampak sebuah bokor emas. Karena ada yang berteriak melihat benda itu sebelum air sungai membanjir masuk menutupi lu-bang, maka terjadilah perebutan dan per-tempuran di air yang menutupi tempat itu. “Lalu, bagaimana? Di mana bokor itu?” Li Hwa bertanya penuh ketegangan dan tahu bahwa Kun Liong tidak berbo-hong dan benar-benar bokor emas berada di tempat itu. “Itulah anehnya, Nona. Tidak ada yang melihat siapa yang telah berhasil mendapatkan bokor itu. Mungkin juga sudah terjatuh ke dalam tangan sese-orang. Kami terpaksa mengundurkan diri keluar dari tempat itu karena kalau dilanjutkan, tanpa adanya Nona yang me-mimpin kami, tentu kami semua akan binasa. Andaikata ada Nona di sana, biarpun diharuskan bertempur sampai hancur semua, tentu saja kami bersiap sedia.” Li Hwa mengerutkan alisnya. Celaka sekali kalau bokor yang sudah hampir ditemukannya itu terjatuh ke tangan orang lain. Dan pasukannya sudah lelah, juga berkurang kekuatannya untuk me-nyerang sarang pemberontak kurang kuat. “Kalian tunggu saja di sini, awasi gerak-gerik musuh. Aku sendiri akan me-laporkan kepada Suhu dan mendatangkan bala bantuan.” Akhirya dia mengambil keputusan dan pada pagi hari itu juga dia berangkat menunggang kuda ke kota raja untuk melapor kepada suhunya, Panglima Besar The Hoo. Ke mana perginya Yap Kun Liong? Pada saat terjadi ledakan, dia dapat menyelamatkan diri dengan bertiarap. Dari tempat dia bertiarap itu, tampak jelas ketika bekas rumah berubah menja-di sebuah kubangan yang dalam dan ke-tika ada orang berteriak tentang bokor, dia cepat melihat dan dia pun menyaksi-kan bokor itu sebelum air sungai datang menerjang! Kun Liong cepat membiarkan dirinya ditelan air sungai dan dia terus merang-kak dan menyelam ke arah tempat disimpannya bokor emas itu. Sebelum orang lain sempat mencari bokor karena mereka itu sudah sibuk saling serang di air sedalam pinggang itu, Kun Liong sudah berhasil mengambil bokor emas itu, dimasukkannya di dalam bajunya yang basah kuyup dan dia memperguna-kan keadaan kacau-balau itu untuk me-larikan diri keluar dari kubangan. Kalau tidak teringat kepada Li Hwa, tentu dia sudah melarikan diri keluar dari perkam-pungan itu. Akan tetapi, dia mengkhawa-tirkan keadaan Li Hwa, maka dia mulai mencari gadis itu setelah pertempuran selesai karena pihak pasukan pemerintah mengundurkan diri ke luar tempat itu. Dari tempat persembunyiannya, dia melihat Li Hwa yang dibelenggu di luar rumah terpencil oleh Hendrik. Akan te-tapi sebelum dia dapat turun tangan menolong tiba-tiba muncul Yuan de Ga-ma. Dengan hati penuh rasa suka dan kagum kepada pemuda asing ini, Kun Liong melihat betapa Yuan menyelamatkan Li Hwa. Bahkan dia terus memba-yangi mereka ketika mereka berusaha keluar dari tempat itu melalui pintu ger-bang. Jantungnya berdebar tegang ketika dia menyaksikan dari tempat gelap beta-pa Yuan dalam usahanya menyelamatkan Li Hwa, telah mendekap dan mencium gadis cantik itu dengan amat mesranya. Ciuman bibir! Hatinya makin tertarik untuk melihat bagaimana nanti sikap Li Hwa. Dia mempergunakan kegesitannya untuk melompati pagar tembok selagi para penjaga tertarik perhatian mereka kepada Yuan de Gama. Ketika dia melihat Li Hwa menampar Yuan dan mendengarkan pembicaraan mereka, diam-diam Kun Liong merasa geli dan dia tertawa sendiri. Akan tetapi hatinya terharu ketika mendengar penga-kuan Yuan de Gama tentang cintanya kepada dara itu! “Hemmm, Yuan, kau seorang laki--laki tolol!” Kun Liong berbisik sendiri. “Begitu mudah jatuh cinta! Cinta seperti itu hanya mendatangkan siksaan di hati sendiri...” Dia lalu meninggalkan tempat itu, di sepanjang jalan termenung. Kalau dia bersikap seperti Yuan mudah saja menjatuhkan hatinya ke dalam jurang asmara, agaknya sudah beberapa kali dia jatuh cinta. Kepada Hwi Sian, kepada Bi Kiok, kepada Giok Keng dan mungkin kepada Li Hwa sendiri. Tidak, dia tidak akan mudah saja jatuh cinta, biarpun harus dia akui bahwa dia amat suka kepada gadis--gadis jelita itu! Mata keranjang! Entah-lah, akan tetapi betapa mata tidak akan merasa nyaman dan sedap memandang, betapa hati tidak akan merasa suka, kalau melihat bunga-bunga indah dan harum? Bunga seruni, bunga mawar, bu-nga bwee, semua bunga tentu akan men-datangkan rasa suka. Demikian pula, se-mua dara yang manis akan menimbulkan rasa suka di dalam hatinya. Akan tetapi cinta asmara? Nanti dulu! Cinta macam itu berarti melekatkan diri kepada se-seorang, dan sekali melekat berarti me-nimbulkan kemungkinan terluka kalau lekatan itu dipaksa terlepas dan putus! Bokor yang telah kembali kepadanya itu memberatkan hatinya. Dia harus me-nyerahkan bokor itu kepada yang berhak, yaitu kepada Panglima Besar The Hoo. Sungguh berbahaya kalau terlalu lama berada di tangannya, karena dia tahu betapa semua orang gagah di dunia kang--ouw dan tokoh kaum sesat saling mem-perebutkan bokor emas ini. Dia sendiri sama sekali tidak ingin memilikinya, juga setelah tahu bahwa benda ini adalah barang curian, dia sama sekali tidak ingin tahu rahasia apa gerangan yang dikandung benda pusaka yang diperebut-kan ini. Makin cepat dia terlepas dari benda ini makin baik! Selagi dia berjalan scorang diri melalui hutan yang lebat, tiba-tiba tampak olehnya bayangan-bayangan orang berkelebatan dan dia memandang terbelalak ketika dirinya telah terkurung oleh bebe-rapa orang. Betapa kagetnya ketika dia melihat bahwa di antara sembilan orang itu terdapat para datuk kaum sesat yang telah dikenalnya, yaitu empat orang di antara mereka. Si Kakek Gila Toat-beng Hoat-su, kakek muka hitam Hek-bin Thian-sin yang bersekutu dengan pembe-rontak, kakek gila raja ular Ban-tok- Coa-ong Ouwyang Kok, dan Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci! Lima orang lainnya tidak dikenalnya, akan tetapi dapat di-duga bahwa mereka tentulah orang-orang yang berilmu tinggi! Ketika melihat bah-wa di antara lima orang ini terdapat seorang wanita setengah tua yang cantik, dengan kuku tangan yang panjang merun-cing, dia cepat bertanya, “Apakah Lo-cianpwe yang bemama Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio?” Para datuk kaum sesat itu, terutama sekali Kwi-eng Niocu, merasa heran se-kali menyaksikan sikap pemuda gundul yang amat berani itu. Sudah dikepung oleh sembilan orang termasuk lima orang datuk kaum sesat sehingga boleh dikatakan bahwa nyawanya berada di ambang pintu maut, masih bersikap enak-enak bahkan bertanya kepada Kwi-eng Niocu, seperti orang hendak berkenalan saja! “Sudah tahu namaku, lekas berlutut dan serahkan bokor kepadaku!” kata Kwi--eng Niocu dengan suara halus, akan tetapi suara halus dan senyum manis wanita ini membuat Kun Liong merasa ngeri ka-rena dia dapat menangkap kekejaman hebat yang bersembunyi di balik sikap manis itu. Akan tetapi dia tidak peduli, lalu menoleh kepada Bu Leng Ci, berta-nya, “Aihh, Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci juga hadir! Bagaimana, Locianpwe, apa-kah baik-baik saja? Dan mengapa Adik Bi Kiok tidak ikut serta?” Bu Leng Ci hanya mendelik dengan pandang mata marah, kemudian membentak, “Berikan bokor kepadaku kalau kau ingin hidup!” Kun Liong memandang kepada para datuk itu bergantian sambil berkata, “Hemmm, para Locianpwe hadir semua, Toat-beng Hoat-su, Ban-tok Coa-ong, juga Hek-bin Thian-sin! Lengkap! Kehormatan apakah yang akan diberikan kepada seorang muda bodoh seperti aku?” Tiga orang kakek itu saling pandang dan diam-diam mereka ini merasa kagum juga. Bocah gundul itu benar-benar seorang yang memiliki keberanian luar biasa! “Serahkan bokor!” Serentak mereka berseru. Kun Liong mengerti bahwa menghadapi lima orang datuk kaum sesat itu, apalagi masih ada empat orang kakek lain yang tak dikenalnya, dia takkan dapat menyelamatkan bokor itu, bahkan dirinya sendiri terancam bahaya maut. Namun dia tidak memikirkan hal itu semua karena dia sudah menjadi marah mempertahankan kebenaran mengenai bokor itu dan berkata nyaring, “Cuwi adalah orang-orang pandai yang telah terkenal di dunia, mengapa berpemandangan begitu dangkal?” Dia mengeluarkan bokor dari balik bajunya kerena dia dapat menduga bahwa mereka itu yang amat lihai tentu sudah tahu bahwa bokor berada di tangannya, apalagi kelihatan menjendol di balik bajunya. Dia mengangkat bokor tinggi-tinggi sambil melanjutkan kata-katanya, “Cuwi (Anda Sekalian) mengerti semua bahwa bokor emas ini adalah pusaka milik Panglima Besar The Hoo yang lenyap dicuri orang. Secara kebetulan saja aku menemukan bokor ini, maka sepatutnya kukembalikan kepada yang berhak.” Melihat bokor emas itu, mata sembilan orang itu melotot dan tangan mereka sudah bergerak hendak merampas. Melihat ini, Kun Liong maklum bahwa agaknya tidak terdapat kerja sama antara mereka! Agaknya mereka itu akan memperebutkan bokor! Maka dia cepat menpangkat tangan kirinya ke atas dan berseru, “Tahan! Kwi-eng Niocu, engkau telah menyuruh orang-orangmu mengambil dua buah pusaka Siauw-lim-pai, mengapa masih menghendaki bokor? Maukah kau menukar dua pusaka itu dengan ini?” “Berikan bokor dan akan kukembalikan pusaka Slauw-lim-pai!” jawab wanita itu. “Dan bagaimana engkau akan mengembalikan nyawa Thian Le Hwesio?” “Bukan kami yang membunuhnya!” “Niocu, mengapa melayani dia mengobrol? Bocah gundul, berikan bokor itu!” Hek-bin Thian-sin sudah menyambar ke depan untuk merampas bokor dari tangan Kun Liong. Akan tetapi pemuda ini cepat mengelak dengan loncatan ke kiri. Serbuan Si Muka Hitam itu agaknya merupakan komando karena serentak mereka semua bergerak menubruk! “Kwi-eng Niocu, terimalah...!” Kun Liong berseru dan melemparkan bokor itu kepada Ketua Kwi-eng-pang. Tentu saja Kwi-eng Niocu menjadi girang dan cepat menerima bokor itu dan melesat dengan gerakan cepat pergi dari situ. “Eh-eh, perlahan dulu, Kwi-eng Nioeu!” empat orang datuk lainnya juga meloncat dan mengejar! Empat orang kakek lainnya agaknya merasa ragu-ragu untuk ikut mengejar, maka mereka lalu menubruk Kun Liong sambil berkata, “Engkau ikut dengan kami!” Kun Liong tadi sengaja melemparkan bokor emas kepada Kwi-eng Niocu bukan tanpa perhitungan yang matang. Dia tahu bahwa andaikata dia mempertahankan bokor itu pun akan percuma saja dan akhirnya bokornya pun tentu akan terampas dari tangannya. Dia tidak tahu di mana tempat tinggal Toat-beng Hoatsu dan Ban-tok Coa-ong, sedangkan Hek-bin Thian-sin telah bersekutu dengan pemberontak dan orang asing. Kalau bokor terjatuh ke tangan seorang di antara tiga orang kakek ini, akan sukar baginya untuk kelak mendapatkan kembali. Akan tetapi satu-satunya orang yang dia ketahui alamatnya di antara mereka, adalah Kwi-eng Niocu, dan juga Siang-tok Mo-li, akan tetapi dia lebih condong untuk menyerahkan bokor kepada Ketua Kwi-eng-pang, karena dia masih mempunyai urusan dengan wanita itu mengenai dua buah pusaka Siauw-lim-pai dan kematian Thian Le Hwesio. Ketika empat orang kakek yang tak dikenalnya menubruknya, Kun Liong tidak mengelak, akan tetapi diam-diam dia telah mengerahkan Thi-khi-i-beng yang belum lama ini dia pelajari dari Pende-kar Sakti Cia Keng Hong. “Plak-plak-plak-plak!!” Empat buah tangan mencengkeram pundak dan tangan Kun Liong. “Auuuuhhh...!” “Heeiiii...!” “Aduhhh...!” “Lepaskan...!” Empat orang kakek itu terkejut se-tengah mati ketika mereka merasa beta-pa telapak tangan mereka menempel dan melekat pada tubuh pemuda gundul itu dan yang membuat mereka terbelalak meronta-ronta dengan kaget adalah beta-pa hawa sin-kang mereka yang tersalur melalui tangan yang mencengkeram itu kini membanjir ke luar memasuki tubuh pemuda gundul itu. “Ihhhh... lepaskan... apa yang kalian lakukan? Panaaasss... ihh, panas...!” Kun Liong meronta-ronta. Dia sudah mempelajari Thi-khi-i-beng, sudah me-nguasai ilmu mujijat ini, akan tetapi belum pernah dia mempergunakannya. Biarpun dia telah mendengar penjelasan dan keterangan Cia Keng Hong, namun begitu sekarang mengalami sendiri betapa hawa sin-kang empat orang itu menero-bos memasuki tubuhnya, dia merasa ter-kejut, ngeri, dan juga geli sehingga dia malah berteriak-teriak dan sejenak lupa bagaimana harus berbuat. Melihat keada-an Kun Liong, empat orang itu makin mengerahkan tenaga untuk melepaskan tangan mereka. Celaka bagi mereka, makin kuat mereka mengerahkan tenaga, makin hebat pula hawa sin-kang mereka mengalir keluar memasuki tubuh pemuda itu. Kun Liong gelagapan. Terasa benar betapa tenaga sin-kang lawan membanjiri tubuhnya, membuat napasnya sesak, kepalanya pening. Dengan ubun-ubun terasa berdenyutan keras, dia mengerahkan ingatan akan pelajaran Thi-khi-i-beng dan terdengarlah kembali olehnya penjelasan Cia Keng Hong. “Thi-khi-i-beng menciptakan daya sedot yang luar biasa dan amat berbahaya kalau hawa sin-kang lawan tersedot olehmu. Banjir hawa sin-kang itu dapat membuat kau menjadi panik. Kalau kau tidak dapat menguasainya, kelebihan hawa sin-kang, yang tiba-tiba memenuhi tubuh itu, kalau menyerang kepala dapat membuat engkau menjadi gila, kalau menerjang jantung dapat membuat jantung pecah. Selain itu, yang tersedot sin-kangnya dapat tewas pula. Maka, yang penting sekali, bersikaplah tenang, gerakkan sin-kang yang membanjir itu ke dalam pusar, kumpulkan di situ dan biarkan berputar-putar di pusar. Akan tetapi jangan lupa untuk lebih dulu membebaskan lawan yang bagian tubuhnya melekat padamu.” Celaka, pikir Kun Liong! Dia telah lupa akan hal yang terpenting, yaitu melepaskan mereka. Cepat dia lalu menggoyang tubuhnya, seperti seekor anjing menggoyang tubuh untuk mengeringkan bulu-bulunya dan... tubuh empat orang itu terlempar ke kanan kiri dan terbanting ke atas tanah dalam keadaan pingsan, wajah pucat dan napas empas-empis! Kun Liong terhuyung-huyung ke depan, menghampiri empat orang itu dan matanya terbelalak ngeri. Celaka, jangan-jangan mereka itu mati! Akan tetapi tidak, mereka masih bernapas dan dengan hati penuh penyesalan dan ngeri Kun Liong cepat meninggalkan tempat itu. Ngeri dia kalau sampai orang-orang itu mati, mati di tangannya, mati kehabisan hawa sin-kang. Dia merasa seolah-olah menjadi seekor laba-laba yang telah menyedot kering empat ekor lalat, dihisap semua air dan darahnya! Ia bergidik dan terus berlari terhuyung-huyung. Mukanya sampai ke seluruh kepalanya merah sekali, matanya juga merah, napasnya mendengus-dengus seperti seekor kerbau marah. Dia merasa seolah-olah dada dan pusarnya akan meledak karena penuh dengan hawa sin-kang yang berputar-putar. Dia merasa seolah-olah menjadi sebuah balon karet kepenuhan hawa. Dengan pandang mata berkunang dan kepala pening Kun Liong berlari terus, menuju ke tempat dari mana dia mendengar suara hiruk-pikuk. Dia tidak sadar bahwa dia telah lari kembali ke arah perkampungan yang dijadikan sarang para pemberontak di tepi Sungai Huang-ho. Ketika dia tiba di tepi sungai di luar perkampungan itup dia melihat banyak sekali tentara berperang dengan ramai-nya. Dia menjadi heran karena agaknya yang berperang itu kedua pihak adalah tentara pemerintah. Dalam kepeningannya dia sampai lupa bahwa yang memberon-tak juga tentara pemerintah. Dasar kepa-la lagi pening dan bingung. Melihat pe-rang dia malah mendekati untuk menon-ton! Delapan orang tentara pemerintah mengenal Kun Liong sebagai bekas ta-wanan pemimpin mereka, maka serentak mereka menyerbu dengan tombak dan golok di tangan kanan, perisai di tangan kiri. Kun Liong berdiri dengan tubuh ber-goyang-goyang seperti orang mabok ke-tika delapan orang perajurit itu menyer-bunya. Melihat banyak senjata ditujukan kepada dirinya, Kun Liong menggerakkan kedua tangannya, menyampok dan me-nangkis. Terdengar suara nyaring berke-rontangan, tombak, golok dan perisai beterbangan disusul tubuh delapan orang itu terlempar ke sana-sini. Ternyata bahwa dalam keadaan penuh dengan hawa sin-kang itu, gerakan kedua lengan Kun Liong mendatangkan hawa sin-kang yang amat kuat sehingga tanpa disadarinya sendiri, tangkisan itu selain membuat semua senjata terlempar dan patah-patah juga delapan orang itu kena hantam hawa sin-kang, terlempar dan roboh ping-san! Kun Liong terbelalak, makin panik dia melihat hasil kedua tangannya. Dengan hati penuh penyesalan dia lalu menghan-tam sebatang pohon di kirinya. “Desss...! Braaakkk...!” Pohon yang besarnya tiga kali tubuh orang itu roboh! Kun Liong melanjutkan gerakannya, menghantam sebuah batu besar di sebe-lah kanannya. “Desss... krekk!” Batu itu pecah dan dalam kemarahannya terhadap diri sendiri terdorong penyesalan babwa kem-bali dia mencelakai orang dengan pukulannya, pemuda ini terus menghantami pe-cahan batu sehingga batu-batu itu men-jadi hancur berkeping-keping. Anehnya, kini kepeningannya berkurang dan napasnya menjadi enak kembali. Tahulah dia, bahwa itu adalah karena kelebihan sin-kang liar yang memutari sebelah dalam dada dan pusarnya telah tersalurkan keluar. Akan tetapi masih ada sin-kang yang “kelebihan”, sin-kang liar yang ditampungnya dari empat orang kakek tadi, yang masih berputar-putar di dalam perutnya, mengamuk seperti sege-rombolan setan mencari tempat tinggal. “Ihhh, bocah setan...!” Terdengar seruan perlahan dari belakangnya. Kun Liong membalikkan tubuhnya dan melihat ada seorang kakek tinggi kurus menyerangnya dengan tamparan hebat yang ditujukan kepada pundaknya, dia otomatis menggerakkan kedua lengan menangkis. “Bressss...! Hayaaaa...!” Kakek itu terlempar sampai empat meter dan terbanting lalu bergulingan dan meloncat bangun dengan mulut terbuka lebar dan mata terheran-heran. Sedangkan Kun Liong sendiri terpelanting. “Kun Liong, pengkhianat engkau!” Bentakan halus ini membuat Kun Liong terkejut dan dia tidak melawan ketika Li Hwa memasangkan belenggu di kedua tangannya. Kakek tinggi kurus tadi menghampiri dan menggeleng kepala. “Hebat sekali engkau, orang muda... eihhh, bukankah engkau Yap-sicu yang kujumpai di Siauw-lim-si?” Dengan kedua pergelangan tangan di-belenggu rantai baja kuat, Kun Liong menjura kepada kakek itu. “Harap To-taihiap suka memaafkan saya...” “Aihhh, aku yang telah menyerangmu, melihat engkau merobohkan delapan orang perajurit kemudian mengamuk, menghantam pohon dan batu. Engkau hebat bukan main, Yap-sicu... akan teta-pi, eh, Nona Souw, mengapa dia dibe-lenggu?” “Tio-lopek harap jangan mudah dike-labuhi bocah ini! Dialah yang telah mendapatkan bokor emas dan dia pula yang menyembunyikannya.” “Ahhh...!” Tio Hok Gwan, yang berjuluk Ban-kin-kwi, pengawal kepercayaan The Hoo yang mengantuk itu, kini berdiri dengan penuh keheranan, bersedakap dan memandang Kun Liong dengan matanya yang sipit hampir terpejam. “Hayo katakan di mana kausembunyikan bokor itu!” Li Hwa kini membentak dan pedang yang telah dicabutnya menodong ulu hati Kun Liong. Benturan tenaga sakti melawan pengawal she Tio tadi telah membikin normal kembali keadaan Kun Liong. Kini dia berdiri dan memandang dara jelita yang menodongnya dengan sinar mata tajam, alis berkerut dan bibir tersenyum mengejek. “Aku tidak biasa bicara di bawah todongan pedang. Kalau kau bicara setelah ditodong, sama artinya bahwa aku takut akan pedangmu, Li Hwa. Kalau kau ingin membunuhku, teruskan saja tusukkan pedangmu. Mengapa ragu-ragu?” Li Hwa merapatkan gigi dengan gemas. “Aku tahu bahwa engkau tentu telah mengambil bokor iti dan menyem-bunyikannya lagi. Engkau manusia palsu dan hatimu kotor, tidak sebersih kepala-mu!” Panas rasa perut Kun Liong, akan tetapi dia menekan hatinya. “Masa bo-doh, aku baru mau bicara tentang bokor kalau engkau bersikap lebih manis kepa-daku. Kalau tidak, mau bunuh, mau tu-suk, mau bacok, terserah!” Dia lalu membalikkan tubuhnya membelakangi gadis itu! “Bedebah! Kalau kau tidak mengaku di mana kausimpan bokor itu, kau akan kubunuh!” “Nona Souw... nanti dulu... Yap-sicu ini...” “Tio-lopek, harap jangan mencampuri urusan ini. Suhu sendiri yang menyerah-kan tugas ini kepadaku!” Li Hwa berkata agak kaku. Kakek itu mengangkat pundak. “Kalau begitu... aku akan membantu pasukan membasmi para pemberontak!” Setelah berkata demikian, kakek itu berkelebat pergi ke medan pertempuran yang ber-langsung ramai. Mereka kini hanya berdua. Li Hwa sudah meloncat ke depan Kun Liong, mengelebatkan pedangnya. “Yap Kun Liong, kau masih keras kepala?” “Souw Li Hwa, apa yang kaukehen-daki?” “Katakan di mana kausimpan bokor itu!” “Simpan dulu pedangmu dan bersikap-lah manis!” “Tidak sudi!” “Aku pun tidak sudi memberi kete-rangan.” “Kau menantang?” “Kau yang keterlaluan!” “Kubunuh kau!” “Terserah!” Li Hwa dengan gemas menggerak--gerakkan pedangnya. Sinar pedang bergu-lung-gulung menyambar ke sekeliling tubuh Kun Liong. Pemuda ini mendengar suara kain robek berkali-kali, pandang matanya kabur oleh sinar pedang dan tak lama kemudian, ketika pedang berhenti bergerak, masih tampak robekan bajunya beterbangan ke bawah dan tubuh atasnya sudah telanjang sama sekali! Ternyata dara yang amat lihai ilmu pedangnya itu telah “mengupasnya” bulat-bulat. Kagum sekali hati Kun Liong karena gerakan pedang tadi memang luar biasa dan telah berhasil mengupas tubuh atasnya dengan merobek-robek bajunya tanpa mengenai kulit tubuhnya sedikitpun juga! Akan tetapi dia menyembunyikan rasa kagumnya, bahkan tersenyum lebar dan berkata dengan nada mengejek sekali. “Nah, sudah puaskah, kau? Lihat bentuk tubuhku, baguskah? Li Hwa, setelah eng-kau melibat tubuhku tanpa tertutup baju, aku jadi ingin sekali melihat tubuhmu...” “Plakkk!” Pipi kanan Kun Liong di-tampar oleh telapak tangan kiri yang halus namun penuh terisi tenaga itu sehingga ada warna merah bekas tangan dara itu di pipi Kun Liong. “Laki-laki ceriwis!” “Ha-ha, memang aku ceriwis. Akah tetapi engkau ini entah apa namanya yang sudah menelanjangi aku. Sekali waktu akan kubalas engkau!” “Apa? Mau membalas tamparanku?” “Bukan. Membalas karena engkau me-nelanjangiku.” Sepasang mata yang bening itu terbe-lalak, dagu yang meruncing manis itu dijulurkan ke depan. “Kau... kau... hendak menelanjang... bedebah, manusia kurang ajar kau!” Kembali tangan kiri Li Hwa bergerak, akan tetapi ditahannya dengan alis berkerut dan marah. “Souw Li Hwa, engkau menelanjangiku dengan perbuatan, aku hanya dengan kata-kata dan engkau sudah mengatakan kurang ajar. Engkau sungguh terlalu dan tidak adil!” Sejenak Li Hwa memandang pemuda itu dengan hati tidak karuan rasanya. Selama hidupnya belum pernah dia berte-mu dengan orang seperti pemuda gundul ini yang begini berani, kurang ajar, akan tetapi juga tak dapat disangkal kebenaran ucapannya. Teringat akan bokor emas dan bahwa pemuda ini murid Bun Hoat Tosu, dia bersabar kembali dan bertanya, “Kun Liong, jangan engkau main-main. Aku sungguh tidak mengerti sikapmu. Engkau ini kawan ataukah lawan, engkau membela pemerintah ataukah memihak pemberontak. Sesungguhnya, di manakah adanya bokor itu?” Kun Liong menarik napas panjang. “Nah, kalau begitu lebih baik. Kalau si-kapmu ramah dan halus, pada wajahmu terbayang kecantikan aseli dan engkau bertambah manis. Sungguh, Li Hwa. Se-orang dara jelita seperti engkau ini tidak patut kalau mudah marah dan bersikap kejam. Aku akan memberi penjelasan, akan tetapi sebelumnya aku minta supaya diberi sebuah baju lebih dulu. Aku tidak mau bicara denganmu dalam keadaan setengah telanjang begini!” Li Hwa merapatkan giginya, akan tetapi dia kehabisan akal, tidak mau marah lagi karena memang kalau dipikir, dia telah bertindak keterlaluan dengan menghancurkan semua baju dari tubuh atas pemuda itu. Dengan nyaring dia lalu memanggil seorang perwira dan meme-rintahkan perwira ini mengambilkan sepo-tong baju untuk “tawanan” ini. Perwira itu memandang Kun Liong, tersenyum lalu mengambil sepotong baju, menyerah-kannya kepada Kun Liong, kemudian pergi lagi untuk melanjutkan pertempuran yang masih terjadi di luar perkampungan. “Li Hwa, kaulepaskan dulu belenggu ini. Tanpa dilepaskan, bagaimana aku dapat memakai baju ini?” Karena apa yang diucapkan pemuda itu memang benar, biarpun hatinya ge-mas bukan main, Li Hwa terpaksa mem-buka belenggu dengan kunci belenggu, akan tetapi begitu belenggu terputus, tampak sinar berkilat dan pedangnya sudah menodong lagi ke lambung pemuda itu. Kun Liong melirik pedang, meman-dang wajah dara itu dan tersenyum le-bar, menggerakkan kedua pundak dan mengenakan pakaian itu seenaknya seper-ti mengulur waktu. “Hayo, cepat!” Li Hwa menghardik. Setelah Kun Liong selesai mengenakan baju, kembali belenggu itu dipasangkan kepada kedua pergelangan tangannya. Kun Liong tidak membantah, bahkan memandang dengan tersenyum, seolah-olah menghadapi seorang anak yang bengal. “Nah, sekarang katakan di mana bo-kor itu.” “Kalau sudah kukatakan, kau akan membebaskan aku?” “Enak saja! Kalau aku sudah menda-patkan bokor itu, baru kau akan kubebas-kan.” “Wah-wah, kalau begitu akan lama kita berkumpul. Hemm, aku senang ber-kumpul dengan seorang dara yang cantik menyenangkan seperti engkau, Li Hwa, heh-heh...” “Lekas katakan di mana!” Li Hwa menghardik lagi dan kembali pedangnya sudah dicabut. “Aduhh, galak benar, kau. Bokor itu telah terampas oleh Ketua dari Kwi--eng-pang...” “Apa? Kwi-eng Niocu?” “Benar. Tadi ada lima orang datuk kaum sesat, lengkap dan ditambah empat orang kakek yang tak kukenal, mengu-rungku dan karena aku merasa tidak sanggup menghadapi mereka, terpaksa aku tidak dapat mempertahankan bokor itu dan terampas oleh Kwi-eng Niocu. Dan memang sengaja kulemparkan kepa-danya.” “Kausengaja?” Mata yang indah itu terbelalak, penuh keheranan dan kema-rahan. “Mengapa kau berikan dia?” “Karena aku menggunakan ini!” De-ngan kedua tangannya yang dibelenggu, Kun Liong mengusap kepalanya. “Hemm, gundul seperti itu mana ada otaknya!” Li Hwa mengomel. “Hayo kata-kan, kenapa kau berikan wanita iblis itu?” “Karena di antara lima orang datuk kaum sesat itu, hanya dialah yang sudah kuketahui dengan betul sarangnya, dan selain itu, juga aku masih mempunyai perhitungan dengan dia yang telah men-curi dua buah benda pusaka Siauw-lim--pai. Karena itu, biar sementara kutitip-kan bokor itu kepadanya.” “Kautitipkan? Tolol! Bodoh sekali! Kalau dia ketahui rahasia bokor, celaka sekali. Aku harus cepat merampasnya kembali. Dasar kau tolol!” “Memang aku tolol, habis mengapa?” “Huh!” Li Hwa mendengus, kemudian dia memanggil seorang perwira, meme-rintahkan perwira itu untuk mengumpul-kan sepasukan kecil untuk menjaga Kun Liong. “Jangan biarkan dia lari, kalau perlu bunuh saja!” dia memerintah. “Wah, galaknya, Li Hwa, jangan kha-watir, aku tidak akan lari darimu, apa-lagi karena aku belum membalas per-buatanmu tadi.” Kun Liong tertawa ke-tika melihat belasan orang perajurit pe-merintah mengepungnya dan menjaganya dengan senjata terhunus. Wajah Li Hwa menjadi merah sekali karena dia tahu apa yang dimaksudkan oleh Kun Liong dengan pembalasan itu, maka tanpa bicara lagi dengan pedang terhunus di tangan dia sudah berlari cepat ke arah pertempuran untuk mem-bantu pengawal Tio Hok Gwan bersama pasukannya membasmi pemberontak, dan hal ini tidaklah sukar karena pemberon-tak telah mulai terdesak dan sudah ada yang melarikan diri. Ketika Li Hwa meninggalkan pasukannya yang tadinya me-ngalami kekalahan, di tengah jalan dia bertemu dengan pengawal tua pengantuk yang lihai itu bersama pasukannya, maka dia lalu mendapat bantuan dan bersama--sama pasukannya yang menanti, mereka lalu menyerbu perkampungan pemberon-tak dan sekali ini, karena jumlah pasukan pemerintah lebih besar, mereka berhasil mendesak kaum pemberontak yang diban-tu oleh orang-orang asing itu. Karena kini jumlah pasukan pemerin-tah lebih banyak, terutama sekali karena amukan Tio Hok Gwan dan Souw Li Hwa perang itu tidak berlangsung ter-lalu lama dan pasukan pemberontak di-pukul hancur, banyak jatuh korban, ba-nyak para pimpinan pemberontak ditawan dan banyak pula yang melarikan diri, termasuk Hendrik. Perkampungan nelayan yang dijadikan sarang pemberontak itu dapat direbut dan Li Hwa segera bersa-ma Tio Hok Gwan mengerahkan pasukan mengadakan pembersihan dan me-ngumpulkan tawanan di sebuah pondok besar dan dijaga ketat. Setelah perang selesai dan anak buah-nya sibuk mengurus korban, karena pa-kaiannya kotor ternoda darah musuh dan tubuhnya terasa lelah, Li Hwa lalu pergi ke sebuah tempat sunyi yang terlindung oleh tebing-tebing batu dan pepohonan, menanggalkan semua pakaiannya yang kotor dan menaruh pakaian bersih peng-ganti di tepi sungai, kemudian dia terjun ke air sungai yang amat tenang dan cukup jernih di bagian itu. Sambil merendam di air yang sejuk sedalam pinggang, Li Hwa mencuci se-luruh tubuhnya, merasa segar dan gem-bira. Akan tetapi sambil menggosok-go-sok tubuhnya, dia termenung dan alisnya berkerut ketika dia teringat akan semua yang terjadi selama beberapa hari ini. Terbayang di depan matanya wajah tiga orang pemuda yang amat mengesankan hati-nya dan yang menimbulkan bermacam perasaan. Wajah Hendrik yang telah menawannya, menciumnya dengan paksa, mendatangkan perasaan benci yang besar dan diam-diam mengharapkan agar pemu-da asing yang dibencinya itu tewas dalam perang atau setidaknya berada di antara para tawanan! Wajah ke dua ada-lah wajah Yuan de Gama, pemuda asing yang telah menolongnya dan teringat akan Yuan, kedua pipi Li Hwa menjadi merah, Yuan juga menciumnya, mencium mulutnya dengan amat mesra, akan teta-pi bukan mencium dengan paksa atau sengaja untuk berbuat kurang sopan, melainkan ciuman untuk menghindarkan kecurigaan para penjaga, ciuman untuk menolongnya dan membebaskannya. Dan entah mengapa, teringat akan ini Li Hwa merasa malu sekali, jantungnya berdebar aneh dan ada keinginan mendesak di hatinya, keinginan untuk bertemu lagi dengan Yuan de Gama! Wajah ke tiga adalah wajah pemuda berkepala gundul, Yap Kun Liong, dan wajah ini menimbul-kan kegemasan di hatinya, geram ke-cewa, akan tetapi juga kagum. Belum pernah selama hidupnya dia bertemu dengan dua orang pemuda seperti Yuan de Gama dan Yap Kun Liong. Kalau teringat akan bokor emas, ha-tinya menjadi makin gemas kepada Kun Liong. Celaka benar pemuda itu. Bokor sudah terdapat, diserahkan kepada Kwi--eng Niocu! Dia ingin sekali mendapatkan bokor emas itu. Dia tahu betapa akan gembiranya hati gurunya, Panglima Besar The Hoo kalau dia dapat menyerahkan bokor itu kepada gurunya. Gurunya me-rupakan orang satu-satunya di dunia ini, pengganti orang tuanya yang telah tiada. Li Hwa telah menjadi seorang yatim piatu karena ayah bundanya telah me-ninggal dunia beberapa tahun yang lalu. Ayahnya, Souw Bun Hok, bekas juru mudi suhunya, telah meninggal lebih dahulu tujuh tahun yang lalu. Kemudian ibunya terserang penyakit menular, meninggal dua tahun yang lalu. Karena... dia tidak mempunyai keluarga lain, maka hanya Panglima The Hoo, gurunya itulah yang menjadi pengganti orang tuanya. Bahkan kini dia meninggalkan rumah orang tuanya di Liok-ek-tung, diminta oleh suhunya untuk tinggal di istana panglima itu, sebagai murid, juga seperti anak sendiri karena suhunya tidak mempunyai anak. Tentu saja dia ingin menggembirakan hati gurunya yang sudah dianggap seperti orang tua sendiri itu. Celakanya, semua menjadi gagal karena ketololan Kun Liong! Memang The Hoo yang tidak mempunyai anak merasa amat suka kepada muridnya ini. Semenjak kecil, Li Hwa yang mempunyai bakat dan tulang baik itu telah diambil murid oleh The Hoo. Biarpun orang sakti ini tidak sempat menurunkan seluruh kepandaiannya yang tinggi dan hanya di waktu dia datang ke rumah juru mudinya saja dia mengajar Li Hwa, namun dara ini telah memiliki ilmu kepandaian hebat sekali, terutama sekali Ilmu Silat Jit-goat-sin-ciang-hoat yang mempergunakan tenaga Im-yang-sin-kang dan yang lebih menakutkan lawannya adalah ilmunya It-ci-san, yaitu ilmu menotok yang lihai. Ketika melihat betapa dara itu ditinggal mati ayah bundanya, The Hoo merasa makin kasihan dan memanggil muridnya untuk tinggal di kota raja, di dalam istananya. Di tempat ini, selain menjadi pengurus rumah tangga gurunya, mengepalai semua pelayan dalam, juga kadang-kadang Li Hwa me-wakili gurunya dalam urusan besar seper-ti menumpas kaum penjahat dan pembe-rontak. Ketika The Hoo menerima lapor-an Pendekar Sakti Cia Keng Hong tentang pemberontakan yang timbul di Ceng-to, dia lalu mengerahkan tenaga para pembantunya, bahkan Li Hwa sen-diri disuruh mengepalai pasukan untuk mengadakan pembersihan di sepanjang Sungai Huang-ho! Tio Hok Gwan penga-wal kepala yang lihai itu pun mengepa-lai pasukan sedangkan pasukan besar yang menyerbu ke Ceng-to selain dipim-pin panglima-panglima perang yang ber-pengalaman, juga dibantu oleh Pendekar Sakti Cia Keng Hong sendiri atas per-mintaan Panglima Besar The Hoo! Sambil mandi membersihkan tubuhnya, Li Hwa mengenangkan ini semua, dan dia menjadi kecewa karena gagal mendapatkan bokor emas. Dia bermaksud untuk memimpin pasukannya untuk menyerbu ke Telaga Kwi-ouw, menyerang Kwi-eng-pang untuk merampas kembali bokor emas, sedangkan para tawanan pemberontak akan dia serahkan kepada Tio Hok Gwan agar digiring ke kota raja sebagai tawanan perang. Suara orang berdehem membuat Li Hwa terkejut sekali. Dia menoleh dan... “Ihhh...!” Dara itu menjerit ketika melihat Kun Liong si kepala gundul telah duduk metongkrong di atas sebuah batu di pinggir sungai, dekat tumpukan pakaian Li Hwa! “Heh-heh-heh, indah dan sedap sekali pemandangan di sini!” Kun Liong berkata ke arah punggung Li Hwa yang putih mulus itu. “Bedebah! Setan iblis siluman keparat kau, Kun Liong!” Li Hwa menjerit-jerit sambil merendam tubuhnya makin dalam. Dia berjongkok ke dalam air sehingga air sampai ke lehernya, baru dia berani memutar tubuh dan memandang pemuda itu dengan mata terbelalak penuh kemarahan. Yang dimarahi tersenyum-senyum lebar, menggerak-gerakkan alis dan matanya seperti orang tidak mengerti. “Lho, kenapa marah-marah tidak karuan? Apa salahku sekali ini, Nona manis?” “Yap Kun Liong manusia cabul! Hayo lekas pergi kau, kalau tidak... hemm... aku bersumpah untuk membunuhmu sekarang juga!” “Heh-heh-heh...” Kun Liong terkekeh dan menjadi makin gembira. Kini dia merasa dapat membalas dendam kepada dara yang telah beberapa kali menghinanya itu. “Engkau memang seorang dara yang jelita, manis dan galak, dan engkau memang menjadi pemimpin pasukan. Akan tetapi aku belum mendengar bahwa kau telah menjadi siluman penunggu Sungai Huang-ho.” “Apa... apa maksudmu?” Li Hwa membentak dengan kedua tangan menutupi dada, seolah-olah air yang menutupi dadanya masib belum cukup untuk menyembunyikan bagian tubuh ini dari pandang mata Kun Liong yang tajam. “Kau mengusir aku pergi seolah-olah tempat ini menjadi hakmu, maka agaknya engkau telah menjadi siluman penunggu sungai maka kau menghaki tempat ini dan mengusir aku pergi!” “Jahanam kau! Sengaja mengintai orang mandi, ya? Tak tahu malu! Cihhh, laki-laki mata keranjang, cabul, muka tembok!” “Ha, hendak kulihat siapa yang lebih kuat bertahan. Kau yang memaki-maki di situ atau aku yang duduk di sini. Aku akan duduk di sini selama engkau masih memaki-maki aku.” Kun Liong duduk seenaknya dan kini dia mengembil baju Li Hwa, mempermainkan baju itu sambil mengomel, “Bagaimana ya rasanya baju dirobek-robek, orang?” Dan dia membuat gerakan seperti hendak merobek-robek baju itu. “Kun Liong keparat kau! Jangan robek-robek bajuku!” Saking marahnya, Li Hwa sampai lupa diri, bangkit berdiri sehingga tubuh bagian atasnya tampak. Lengan kirinya dilingkarkan sedapatnya menutupi dadanya yang membusung, tangan kanannya menuding ke arah Kun Liong di sebelah belakangnya dengan marah. Kun Liong bangkit berdiri dan mengulurkan kedua tangan terbelenggu yang kini memegang baju Li Hwa. Kun Liong bangkit berdiri dan mengulurkan kedua tangan terbelenggu yang kini memegang baju Li Hwa. “Sabar Nona manis, aku tidak merobek bajumu. Aku hanya ingin melihat tubuhmu seperti kau telah melihat tubuh. Duhaiii... indahnya, halusnya... hemm...” “Celuppp...!” Li Hwa sudah berjongkok lagi. “Kun Liong... jangan... jangan kaugoda aku begini...” Dia hampir menangis, kedua pipinya kemerahan. Kemarahannya yang memuncak masih kalah oleh rasa malu dan bingungnya. “Siapa menggoda siapa? Kau merobek-robek bajuku dengan sengaja, kau menampar pipiku, kau membelenggu tanganku. Apa saja yang tidak kaulakukan terhadap diriku? Dan aku datang bukan sengaja menelanjangimu, kau bertelanjang sendiri, tidak ada yang menyuruhmu. Siapa menggoda?” “Kun Liong... demi Tuhan! Kasihanilah, pergilah kau... biarkan aku berpakaian lebih dulu...” “Kau mau berpakaian? Siapa yang melarang? Nah, berpakaianlah!” Kun Liong kembali mengulurkan kedua tangannya yang memegang baju sambil ter-senyum mengoda, penuh kegembiraan, matanya bersinar-sinar, mukanya berseri dan diam-diam ia kagum bukan main karena baru sekarang dia melihat kein-dahan tubuh seorang dara, biarpun ditu-tup-tutupi akan tetapi menambah kein-dahan yang melampaui apa yang pernah dimimpikannya itu. “Lemparkan pakaianku ke sini!” Li Hwa berteriak. Kun Liong menggeleng kepala dan kembali duduk di atas batu. “Tidak, kau harus mengambilnya ke sini.” “Kun Liong, tidak malukah kau de-ngan perbuatanmu ini? Kau tidak sopan, kau cabul!” “Heh-heh, apanya yang cabul? Aku tidak berniat menjamahmu, tidak berniat menggagahimu. Aku hanya ingin melihat dan mengagumi keindahan tubuhnya, se-perti engkau telah melihat dan menghina keburukan tubuhku. Nah, apa salahnya?” “Kun Liong, aku... aku malu. Pergilah kau lebih dulu. Atau kau berpaling, ja-ngan menghadap ke sini. Setelah aku berpakaian, baru kita bicara.” Kun Liong tidak menjawab, hanya menggelengkan kepalanya yang gundul. Kemudian dia bersenandung! Rantai yang membelenggu kedua tangannya dipukul--pukulkan ke atas batu sehingga menim-bulkan suara berdencing dan berirama mengikuti suara senandungnya. Li Hwa masih berjongkok. Kedua pipinya basah, akan tetapi Kun Liong mengira bahwa yang membasahi pipi itu adalah air sungai. Dia belum tahu bahwa sebetulnya sudah ada beberapa butir air mata yang meloncat turun dari sepasang mata yang kebingungan dan kehabisan akal itu. Betapapun lihainya Li Hwa, betapapun galaknya dia, dalam keadaan bertelanjang bulat di dalam air dan pa-kaiannya dikuasai oleh Kun Liong, membuat dara ini sama sekali kehabisan akal dan tidak tahu harus berbuat bagaimana. Satu-satunya hal yang dapat dia lakukan hanya memaki-maki dan menangis! Akan tetapi, dia tahu bahwa memaki-maki tidak ada gunanya, sedangkan untuk te-rang-terangan menangis, dia tidak sudi! Kini Kun Liong bernyanyi! Suaranya memang cukup merdu, karena sejak kecil dia gemar bernyanyi, dan dia menguasai lagu nyanyian itu, tidak sumbang. “Sang Dewi mandi di telaga duhai cantik jelita perawan remaja!” “Kun Liong, lemparkan pakaianku ke- sini!” Li Hwa kembali menjerit. “Rambutnya awan tipis di angkasa matanya sepasang bintang bercahaya dagu dan lehernya... amboiii” “Kun Liong, kasihanilah aku...!” “Tubuhnya batang pohon yangliu penuh lekuk lengkung sempurna kulitnya lilin putih diraut...” “Kun Liong...!” “Hidung mancung bibir... haiii... gandewa terpentang... dadanya...” “Kun Liong!” “Dadanya... wah, dadanya...” “Kun Liong...” Pemuda itu terkejut karena panggilan ini disertai isak. Dia memandang penuh perhatian dan melihat betapa air mata bercucuran dari sepasang mata itu. Dara itu menangis! “Datanglah seorang penggembala melarikan pakaian Si Juwita menangislah perawan remaja...” Tangis Li Hwa makin mengguguk. Dengan tubuh terendam air sampai ke leher, dara itu menangis, menutupi muka dengan kedua tangannya. “Li Hwa, jangan menangis. Aku hahya main-main... wah, maafkan aku. Jangan menangis, tak tahan aku melihatnya. Nah, ini pakaianmu. Aku akan berdiri membelakangimu kalau kau malu. Pada-hal tidak semestinya malu. Kalau aku memiliki tubuh seperti engkau, hemmm... sebaliknya daripada malu, aku malah akan merasa bangga sekali, Li Hwa.” Melihat pemuda itu sudah berdiri membelakanginya, Li Hwa melangkah keluar dari air, matanya tidak pernah berkejap memandang punggung pemuda itu dan untuk mencegah pemuda itu menoleh, dia cepat berkata sambil menyambar pakaiannya. “Jadi engkau menjadi penggembala itu?” “Heh-heh!” Kun Liong terkekeh dan mengangguk. “Pantas kau berbau kerbau.” Li Hwa berkata saja, karena maksudnya untuk menarik perhatian Kun Liong agar jangan menoleh sebelum dia selesai berpakaian. Akan tetapi karena tergesa-gesa, kedua tangannya menggigil dan dia menjadi panik. Baru sekali ini selama hidupnya dia merasa betapa sukarnya berpakaian! Seolah-olah pakaiannya membantu Kun Liong menggodanya, mencekik di bagian leher, buntu ketika dimasuki kaki tangannya. “Sudah selesaikah?” Kun Liong bertanya. “Nanti dulu...!” AKAN tetapi dengan ketajaman pendengarannya, Kun Liong maklum bahwa dara itu telah selesai mengenakan pakaian dalamnya, maka dia lalu memutar tubuhnya. Dengan penuh kagum dia memandang dara yang kini telah memakai pakaian dalam yang serba ketat dan berwarna merah muda itu. “Betapa cantiknya engkau, Li Hwa...” Li Hwa makin panik. Dia membalikkan tubuh dan karena paniknya, dia mengenakan pakaian luarnya dengan terbalik! Setelah selesai, dia melibat Kun Liong tertawa bergelak, maka marahlah dia. “Jahanam keparat!” “Ha-ha-ha, pakaian luarmu terbalik. Ho-ho, lucunya! Jahitannya di luar... eh, lucu benar... ha-ha!” Li Hwa memandang pakaiannya dan merapatkan giginya ketika melihat bahwa benar-benar pakaian luarnya terbalik. “Hihhh... kubunuh kau...!” Gerutunya dan direnggutnya terlepas pakaian luarnya lagi, kini saking marahnya tidak peduli lagi kepada Kun Liong, tidak membalikkan tubuh sehingga Kun Liong dapat menikmati tubuh depan yang hanya tertutup pakaian dalam yang tipis merah muda itu. Setelah mengenakan pakaian luarnya, Li Hwa menggelung rambutnya dan memandang Kun Liong dengan mata bernyala. Kun Liong terpesona. Baru sekarang dia melihat seorang dara menggelung rambut di depannya. Gerakan kedua tangang sepasang lengan diangkat di atas kepala. Betapa manisnya! “Li Hwa, tahukah engkau akan dongeng penggembala dan puteri yang mandi? Setelah Si Penggembala melarikan pakaian Si Puteri, puteri itu menangis, Si Penggembala merasa kasihan, mengembalikan pakaian dan akhirnya mereka... kawin!” “Kau... kau...” Muka Li Hwa merah sekali. “Aahh, jangan marah, Li Hwa. Penggembala itu mengawini Si Puteri Mandi, akan tetapi jangan khawatir, aku tidak akan mengawinimu. Tidak, kita tidak akan menjadi suami isteri seperti mereka.” Alangkah kaget dan heran hati Kun Liong ketika dia melihat betapa kata--katanya ini malah membuat dara itu marah bukan main. Li Hwa melangkah maju dan dengan mata berapi-api dia berkata, “Kun Liong, penghinaanmu kepa-daku sudah tiada taranya, dan hanya dapat ditebus dengan nyawa! Biarpun engkau mencurigakan dan mungkin berse-kutu dengan pemberontak, dan biarpun engkau telah berkhianat dengan menye-rahkan bokor kepada Kwi-eng Niocu, namun mengingat engkau murid Bun Hoat Tosu, aku masih segan untuk membunuh-mu dan akan menyerahkanmu kepada Suhu. Akan tetapi, penghinaan-penghinaan yang kaulakukan kepadaku merupakan urusan kita pribadi dan harus diselesaikan sekarang juga!” “Aihh, Li Hwa. Apa maksudmu?” “Aku tahu bahwa engkau seorang yang memiliki kepandaian dan sebagai murid Bun Hoat Tosu, kiranya engkau tidak diajar menjadi seorang pengecut oleh kakek terhormat itu. Mungkin engkau bukan pemberontak, akan tetapi yang jelas, engkau sudah bersikap kurang ajar dan menghinaku. Mari kita bereskan persoalan antara kita dengan mengadu kepandaian. Kalau aku kalah, aku berjanji tidak akan menawanmu lagi dan bokor itu akan kucari sendiri.” “Kalau aku yang kalah?” “Engkau harus berlutut minta ampun atas kekurangajaranmu, selanjutnya menurut segala kehendakku tanpa membantah, atau kau akan kubunuh.” “Hemm, keputusan yang adil juga. Dan memang aku mempunyai banyak urusan dan sudah mengambil keputusan untuk meninggalkan tempat ini. Engkau tentu akan penasaran kalau belum berhasil memukul jatuh aku, biarpun kau sudah beberapa kali menampar dan memaki. Nah, aku sudah siap!” Kun Liong bangkit berdiri lalu meloncat ke belakang, ke tempat yang datar. Li Hwa juga menyusul dengan loncatan ringan, akan tetapi dara ini tidak mencabut pedangnya yang sudah diikat di punggungnya. Bahkan dia tidak menyerang, hanya memandang pemuda gundul itu, kemudian berkata, “Dekatkan kedua tanganmu, akan kubuka dulu belenggumu.” Akan tetapi Kun Liong menggelengkan kepalanya. “Biarlah, Li Hwa, kukira hal itu tidak perlu.” “Hemm, kaukira aku berwatak pengecut, melawan orang yang kedua tangannya terbelenggu? Akan kubebaskan dulu kau.” “Tidak usah, aku dapat membebaskan kedua tanganku sendiri.” Kun Liong menggerakkan kedua lengannya sambil mengerahkan tenaga sin-kang. “Krekkrekkk...!” Belenggu kedua tangannya itu patah-patah! Li Hwa memandang dengan kaget dan kagum, akan tetapi juga marah sekali karena dia tahu bahwa selama ini, Kun Liong sengaja membiarkan dirinya dita-wan dan dibelenggu sehingga diam-diam tentu mentertawakannya dan hal itu sama dengan mempermainkannya. “Bagus! Sekarang tidak perlu kau berpura-pura lagi. Sambutlah!” Li Hwa menerjang maju, gerakannya cepat bukan main seperti seekor burung walet menyambar, tangan kirinya menampar ke arah ubun-ubun kepala lawan sedangkan tangan kanannya mencengkeram ke arah lambung. Sebuah serangan yang amat dahsyat dan berbahaya karena selain cepat, juga mengandung hawa pukulan yang antep dan kuat. Tidaklah mengherankan karena memang dia telah mengeluarkan jurus ampuh dari Ilmu Silat Jit-goat-sin-ciang-hoat dan menggunakan tenaga sakti Im-yang-sin-kang. “Hayaaa...!” Kun Liong terkejut sekali, cepat membuang tubuh ke kanan untuk menghindarkan tamparan, kemudian lengan kirinya menangkis cengkeraman tangan kanan lawannya yang lihai. Akan tetapi, begitu jurus pertama gagal, Li Hwa dengan kecepatan mengagumkan sudah menerjang dengan jurus susulan yang lebih ampuh lagi. Gerakan dara ini memang gesit sekali dan ilmu silat yang dimainkannya adalah limu silat tinggi yang dipelajarinya dari gurunya, The Hoo yang sakti, maka tentu saja semua serangannya merupakan serangan maut yang berbahaya. Kun Liong tidak sempat main-main lagi karena dia mak-lum bahwa tingkat kepandaian dara ini sudah amat tinggi dan sekali saja dia terkena cium tangan dara itu, tentu kekebalannya akan dapat melin-dunginya baik-baik. Maka dia pun lalu mengimbangi semua terjangan dara itu dengan permainan Ilmu Silai Pat-hong--sin-kun. Dia sengaja memilih Pat-hong-sin-kun (Ilmu Silat Delapan Penjuru Angin) ini karena ilmu inilah yang paiing cepat gerakannya di antara semua ilmu yang diketahuinya dan paling tepat untuk mengimbangi gerakan Li Hwa yang demi-kian gesitnya. Betapapun juga, dia terus terdesak karena memang Kun Liong tidak pernah membalas dan tidak mau mem-balas, hanya menjaga diri dengan elakan dan tangkisan.  Setelah lewat lima puluh jurus belum juga dapat merobohkan lawan, apalagi merobohkan bahkan satu kali pun belum pernah dia dapat memukul tubuh Kun Liong, padahal pemuda itu sama sekali tidak pernah membalas serangannya, Li Hwa menjadi terkejut heran, kagum dan juga penasaran! Dia sudah menduga bahwa sebagai murid Bun Hoat Tosu, pemuda gundul itu tentu memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi sama sekali tidak disangkanya bahwa pemuda itu akan dapat melawannya tanpa balas menyerang, padahal dia sudah mempergunakan seluruh sin-kang dan gin-kang yang dilatihnya bertahun-tahun, dan mainkan Ilmu Silat Jit-goat-sin-ciang-hoat ciptaan suhunya yang amat dahsyat! Sesungguhnya tidak mengherankan kalau saja Li Hwa mengetahui bahwa lawannya selain menerima latihan dari Bun Hoat Tosu yang sakti selama lima tahun, juga sudah digembleng secara hebat di dalam kamar rahasia oleh tokoh utama Siauw-lim-pai, yaitu Tiang Pek Hosiang! Dari kakek luar blasa ini, selain ilmu-ilmu kbusus seperti Im-yang Sin-kun dan Pek-in-ciang-hoat, juga Kun Liong telah digembleng dengan ilmu yang menjadi inti sari dari semua ilmu Siauw-lim-pai, yaitu Ilmu Mujijat I-kin-keng! I-kin-keng adalah ilmu silat mujijat yang dahulunya diciptakan oleh Tat Mo Couwsu, pendiri Siauw-lim-pai. Mula--mula I-kin-keng diajarkan oleh Tat Mo Couwsu untuk mendatangkan kesehatan dan kekuatan kepada para pendeta yang menjadi muridnya ketika dia melihat murid-murid ini lesu dan mengantuk se-lagi mendengarkan pelajaran kebatinan. Maklumlah Tat Mo Couwsu betapa pen-tingnya olah raga untuk menjaga kese-hatan para pendeta itu, maka mulailah Tat Mo Couwsu mengajarkan olah raga yang dinamakan I-kin-keng dan yang harus dilatih oleh semua anak murid setiap pagi. Pada mulanya, hanya ada dua belas gerakan atau jurus saja yang diciptakan oleh Tat Mo Couwsu, akan tetapi dua belas jurus ini kemudian berkembang biak menjadi delapan belas, bahkan kemudian oleh pendeta Chueh Yuan dikembangkan menjadi tujuh puluh dua jurus, yang menjadi dasar dari ilmu silat Siauw-lim-pai. Kemudian, bersama-sama dua orang kakek sakti yang bemama Li Cheng dan Pai Yu Feng, dari Kansu dan Shansi, Chueh Yuan mengembangkan lagi, dari tujuh puluh dua jurus menjadi seratus tujuh puluh gerakan. Semua ini dibagi menjadi lima kelompok yang disebut Gaya Naga, Gaya Harimau, Gaya Macan Tutul, Gaya Ular dan Gaya Bangau. Gaya Naga Melatih Semangat, Gaya Harimau Melatih Tulang, Gaya Macan Tutul Melatih Kekuatan, Gaya Ular Melatih Khi-kang, Gaya Bangau Melatih Otot. Kun Liong telah digembleng dengan I-kin-keng yang aseli oleh Tiang Pek Hosiang sehingga selain tubuhnya kuat, juga dia memiliki kecepatan yang didasari khi-kang dan gin-kang. Karena inilah, biarpun Li Hwa adalah murid The Hoo yang sakti, dia tetap dapat mengimbangi gerakan dara itu. Kalau dibuat perbandingan, biarpun gerakan Li Hwa kelihatan lebih lincah dan indah, namun dia kalah gemblengan! Kun Liong digembleng oleh dua orang kakek sakti terus-menerus selama sepuluh tahun, sebaliknya Li Hwa hanya kadang-kadang saja bertemu dengan gurunya yang mempunyai kedudukan tinggi dan tugas yang amat berat, dan banyak. Apalagi karena berhubung dengan tugasnya, The Hoo sering kali mengadakan pelayaran ke negeri-negeri jauh di seberang lautan sehingga Li Hwa harus berlatih sendiri. Saking penasaran dan marah, Li Hwa mengeluarkan lengking panjang kemudian dia menyerang dengan ilmu yang paling diandalkannya, yaitu ilmu It-ci-san yang ampuh. It-ci-san adalah ilmu tiam-hiat-boat (menotok jalan darah) menggunakan sebuah jari, hebat bukan main karena dengan totokan satu jari ini dia dapat merobohkan orang, bahkan kalau mengenai sasaran jalan darah kematian, bisa mendatangkan maut. Dua tangan yang mungil itu kini seolah-olah memegang senjata yang amat ampuh dan berbahaya, dan tusukan-tusukannya sampai mengeluarkan desir angin dingin! “Waduhhh, kau memang hebat, Li Hwa...!” Li Hwa tidak mempedulikan pujian Kun Liong yang mengelak ke sana-sini, dia terus mengejar dan mengambil keputusan untuk merobohken lawan dengan cara apapun juga, karena kalau tidak, dia tidak akan berhenti merasa penasaran sekali. “Plak-plak-plak!” bertubi-tubi datangnya serangan totokan Li Hwa, akan tetapi dapat ditangkis oleh Kun Liong dan sekali ini pemuda itu mengerahkan sin-kangnya sehingga kedua tangannya mengandung tenaga Pek-in-ciang-hoat, uap putih mengepul dari kedua telapak tangannya sehingga ketika dia menangkis, tubuh Li Hwa terdorong ke belakang dan hampir terjengkang. “Aihhh...!” Li Hwa menjadi marah sekali. “Singgg...!” Dia sudah mencabut pedang. “Nah, ini dia... dia lari ke sini...!” Lima belas orang perajurit muncul dan serta-merta mengepung dan mengeroyok Kun Liong. Mereka adalah orang-orang ying tadi ditugaskan untuk menjaga Kun Liong ketika Li Hwa pergi mandi. Melihat mereka, timbul rasa gemas di hati dara itu dan dia bertanya kepada perwira yang mempimpin pasukan kecil itu. “Bagaimana dia sampai dapat lolos?” “Maaf, Li-hiap. Dia bilang ingin ken-cing, terpaksa kami antar ke pinggir sungai, dan tiba-tiba dia meloncat ke atas pohon, ketika kami mencarinya, dia telah lenyap. Tahu-tahu berada di sini dan untung ada Li-hiap yang menahan-nya...” “Sudahlah, kalian semua tolol!” Li Hwa membentak dan dengan hati kesal dia menyimpan kembali pedangnya. Dia merasa malu kalau harus mengeroyok, bahkan dia harus mengakui bahwa dalam pertandingan tadi, biarpun dia tidak sam-pai roboh, akan tetapi terang bahwa dia kalah lihai oleh Kun Liong. Kalau tadi dia mencabut pedang hanya karena dorongan kemarahannya, akan tetapi sete-lah dia menyadari bahwa dia tidak mam-pu menang, dia pun teringat janjinya untuk membebaskan Kun Liong, maka dia menyimpan pedangnya dan tidak mau ikut mengeroyok. Setelah Li Hwa tidak menyerangnya, legalah hati Kun Liong. Biarpun kini ada lima belas orang perajurit yang mengero-yoknya dengan bermacam senjata, dengan enak saja dia dapat mengelak ke sana- sini, meloncat tinggi melampaui kepala mereka, turun ke depan Li Hwa, menjura dan berkata, “Terima kasih atas kebaik-anmu, Li Hwa. Kulihat Yuan de Gama itu amat baik terhadapmu akan tetapi berhati-hatilah terhadap Hendrik. Nah, se-lamat tinggal dan sampai jumpa pula!” Setelah berkata demikian, melihat para perajurit sudah mengejarnya lagi, Kun Liong lalu melompat jauh dan lari dari tempat itu. Para perajurit mengejar, akan tetapi Li Hwa lalu kembali ke perkampungan pemberontak yang telah mereka duduki. Dia bertemu dengan Tio Hok Gwan yang mengatakan bahwa lebih dari lima puluh orang pemberontak tertawan, termasuk lima orang asing. “Apa yang harus kita lakukan dengan mereka?” tanya Tio Hok Gwan. “Jumlah mereka terlalu banyak dan kiranya hanya akan mendatangkan kesukaran saja bagi kita.” “Habis, apakah kita harus membunuh mereka begitu saja?” Li Hwa berkata, “Tio-lopek, tawanan tetap tawanan apalagi kalau diingat bahwa mereka itu pun adalah perajurit-perajurit pemerintah. Kalau mereka dapat diinsyafkan, tentu tidak akan melanjutkan penyelewengan mereka. Sebaiknya Lopek memimpin sebagian pasukan Lopek, mengawal para tawanan ke kota raja. Terserah bagaimaria keputusan pengadilan di kota raja. Adapun aku sendiri akan memimpin pasukan untuk mengejar orang yang telah merampas bokor emas.” “Hehh? Siapa dia?” “Kwi-eng Niocu Ketua Kwi-eng-pang.” Li Hwa lalu menceritakan pengakuan Kun Liong tentang bokor yang terjatuh ke tangan Kwi-eng Niocu. “Memang harus cepat dikejar dan dirampas kembali bokor itu,” kata kakek pengantuk yang lihai ini, “Akan tetapi amatlah berbahaya kalau kau mengejar ke sana, Nona Souw, Kwi-eng Niocu amat lihai, anak buahnya juga banyak, belum lagi dengan adanya Siang-tok Mo-li yang juga tinggal di Kwi-ouw.” “Aku tahu, Lopek. Aku pun tidak akan bertindak sembrono. Kalau Lopek sudah selesai mengawal tawanan sampai ke kota raja, Lopek dapat segera menyusul aku dan membantu pencarian kembali bokor yang terampas oleh mereka.” Terpaksa kakek itu setuju dan Li Hwa lalu memasuki tempat tawanan. Ketika dia berjalan-jalan memeriksa, di sudut terdengar ribut-ribut. “Manusia biadab, apa engkau sudah bosan hidup? Kubunuh engkau!” seerang penjaga berteriak marah sambil mengacungkan goloknya di luar sebuah kerangkeng tahanan. “Hemm, mau bunuh boleh saja. Siapa takut mati? Setelah aku berada di dalam cengkeraman kalian, memang terserah kepada kalian akan mati hidupku. Akan tetapi jangan mengira bahwa setelah tertawan aku boleh diperlakukan sembarangan saja! Aku bukan anjing dan aku tidak sudi makan makanan anjing!” Terdengar suara berkerontangan ketika piring dilempar ke luar dari tempat tahanan itu. “Bedebah, mampuslah!” Penjaga yang marah itu hendak membacok ke dalam kerangkeng. “Tahan...!” Li Hwa meloncat dan memegang lengan penjaga itu, kemudian mendorongnya mundur. Penjaga yang marah-marah itu penasaran akan tetapi tidak berani membantah dan segera pergi ketika Li Hwa menyuruhnya. Seperti telah diduga oleh Li Hwa ketika mendengar suara tawanan yang menolak makanan tadi, ketika dia tiba di depan kerangkeng, dia melihat Yuan de Gama berdiri di situ dengan sikap angkuh! Pemuda asing yang tampan itu terluka dadanya dan lukanya dibalut dengan robekan bajunya sendiri. Tubuh atasnya tidak berbaju, telanjang memperlihatkan kulit yang putih kemerahan, dada yang bidang dan terhias bulu-bulu pirang yang lembut, kedua lengannya berotot dan lehernya masih terbelit kain leher, tubuh bawahnya memakai celana dengan sabuk kulit, rambutnya yang pirang itu masih rapi, matanya penuh semangat, mata yang biru warnanya itu memandang tajam dan dengan sikap angkuh melirik ke arah Li Hwa. Akan tetapi begitu dia mengenal gadis itu, sikap angkuhnya segera berubah. Kedua lengah yang tadinya bersedakap dengan sikap tak acuh segera terlepas dan dia membalikkan tubuh memandang gadis itu dengan mata terbelalak dan bibirnya membentuk senyum, dagunya yang terbelah dua itu bergerak-gerak menandakan bahwa perasaannya bergelora ketika dia bertemu dengan dara ini. “Nona Souw...! Ahhh, betapa gembira hatiku melihat nona dalam selamat dan tidak terluka dalam perang yang dahsyat itu.” Kedua pipi Li Hwa menjadi merah. Betapa anehnya pemuda asing ini, dalam keadaan terluka dan tertawan masih menyatakan kegembiraannya bahwa dia selamat! Padahal dialah yang memimpin pasukan yang menghancurkan pemberontakan dan yang menawan pemuda itu. “Kau... kau terluka...!” Li Hwa melirik ke arah dada yang terbalut, akan tetapi segera mengalihkan pandangan. Tidak kuat dia memandang terlalu lama dada telanjang yang terhias bulu pirang halus itu. “Aku...? Ah, hanya terluka sedikit. Kau hebat sekali, Nona. Baru saja dikalahkan, sudah cepat sekali dapat menyusun kekuatan dan sebaliknya menghancurkan kami. Bonar-benar aku kagum!” Sepasang mata biru itu benar-benar memandang penuh kagum, tanpa disembunyikan lagi penuh kagum dan penuh sayang yang dirasakan benar oleh Li Hwa, membuat dia makin tertunduk dan bingung. “Mengapa kau menolak makanan? Dalam keadaan seperti ini, menyesal sekali kami tidak dapat menyediakan hidangan yang lebih baik.” Muka pemuda itu menjadi marah dan dia kelihatan tersipu malu, kemudian menjawab, “Maafkan aku Nona. Sebetulnya bukan hidanganya yang menjadi soal, akan tetapi ada dua hal yang membuat aku sengaja bersikap buruk menolak makanan. Pertama, karena sikap para penjaga yang amat menghina sehingga aku lebih senang kelaparan daripada menerima hidangan seperti orang memberi kepada anjing. Ke dua, dalam keadaan tertawan dan tidak berdaya seperti ini, apalagi yang kuharapkan? Tidak urung aku akan dihukum mati dan aku tidak ingin memperpanjang hidup seperti ini. Kalau pintu kamar ini dibuka, aku akan mengamuk sampai mati. Aku telah meninggalkan kapalku di mana aku menjadi kaptennya, berarti aku akan mati konyol di sini. Ah... semua ini adalah karena Ayah telah keliru menyewakan kapal kepada petualang-petualang seperti keluarga Selado itu.” Li Hwa merasa tertarik sekali. Pemuda ini bukanlah orang biasa, bukan pula orang jahat. “Di mana kapalmu?” “Di tepi teluk Po-hai. Ahh, betapa ingin aku mati di atas kapalku sebagai seorang kapten yang tak terpisahkan dari kapal yang dikuasainya.” Hening sejenak dan beberapa kali mereka saling berpandangan. “Yuan...” Wajah pemuda itu berseri mendengar namanya disebut oleh bibir yang dikaguminya itu. “Apa yang hendak kaukatakan, Li Hwa?” “Kau pernah menyelamatkan aku, membebaskan dari tawanan bangsamu. Maka jangan kau khawatir, aku pasti akan berusaha untuk membebaskanmu untuk membalas budimu itu.” “Jangan...!” Yuan de Gama cepat memegang kedua tangan Li Hwa yang memegangi ruji besi. “Jangan kaukorbankan dirimu untukku, Li Hwa!” Sejenak Li Hwa membiarkan jari-jari tangan pemuda asing itu menggenggam kedua tangannya yang kecil. Kemudian perlahan-lahan dia menarik kedua tangannya dan berkata, “Jangan khawatir, aku tidak akan membebaskanmu dengan menggelap, akan tetapi terang-terangan.” “Akan tetapi... ada empat orang temanku yang tertawan juga. Aku tidak takut mati terhukum, kalau engkau membebaskan aku dan empat orang temanku itu tidak dibebaskan, tentu aku akan dianggap pengecut. Tidak, Li Hwa, terima kasih atas kebaikanmu...” Li Hwa makin kagum. Tepat persangkaannya bahwa pemuda ini bukanlah orang sembarangan. Seorang yang halus tutur sapanya, baik budi bahasanya, tampan dan gagah serta memiliki setia kawan yang besar. “Kalau begitu, aku akan membebaskan pula empat orang temanmu itu.” Yuan de Gama membelalakkan mata-nya dan memandang Li Hwa yang sudah melangkah pergi dari tempat itu. “Wanita yang hebat... betapa aku cinta kepada-mu....” bisiknya. Lapat-lapat dia men-dengar perintah diucapkan oleh dara itu kepada kepala penjaga, dan agaknya dara itu menegur para penjaga yang bersikap kasar karena buktinya, tak lama kemudi-an kepala penjaga sendiri datang mem-bawa hidangan dengan sikap biasa, tidak memperlihatkan sikap menghina seperti yang sudah-sudah. Karena maklum bahwa semua ini adalah hasil usaha dara yang dicintanya, biarpun hidangan itu masih serupa, amat sederhana, Yuan de Gama lalu makan dengan lahapnya, kadang-kadang tersenyum dan matanya bersinar-sinar penuh bahagia. Dia bukan girang mengingat bahwa dia akan dibebaskan sungguhpun hal ini merupakan berita yang amat mengejutkan dan baik. Akan tetapi yang amat menggirangkan hatinya adalah bahwa yang akan membebaskannya adalah Souw Li Hwa, dara yang telah menjatuhkan hatinya karena kegagahan dan kecantikannya. Bukankah hal itu mendatangkan harapan di hatinya bahwa cinta kasihnya tidak sia-sia, bahwa setidaknya dara itu juga menaruh perhatian terhadap dirinya? Tentu saja dia belum berani mengharapkan bahwa Li Hwa mencintanya. Hal ini merupakan ketidakmungkinan. Li Hwa adalah murid Panglima Besar The Hoo, mana mungkin jatuh cinta kepadanya, seorang pemuda asing yang dianggap bangsa “biadab” oleh para pribumi? Akan tetapi belum tentu, bantah suara hatinya. Cinta kasib mengalahkan apa pun di dunia ini! Sementara itu, di dalam pondok yang dipergunakan sebagai pusat komando dan ditinggali untuk sementara oleh para pemimpin pasukan termasuk Li Hwa dan Tio Hok Gwan, dara itu bercakap-cakap dengan pengawal tua pengantuk itu. “Nona Souw, apakah sudah kaupikir baik-baik keputusanmu untuk membebaskan para orang asing yang menjadi tawanan itu?” Tanya Tio Hok Gwan sambil mengerutkan alisnya. “Sudah saya pertimbangkan masak-masak, Lopek, dan saya berani menanggung semua akibatnya. Dalam penyerbuan pertama, saya kurang hati-hati, pingsan oleh ledakan dan tertawan musuh. Dalam keadaan tidak berdaya sama sekali itu, saya telah ditolong oleh Yuan de Gama. Kini dia sendiri menjadi tawanan kita, maka sudah sepatutnya kalau saya membalas kebaikannya dan membebaskannya.” “Akan tetapi empat yang lain?” “Lopek, andaikata engkau menjadi tawanan musuh, saya akan rela menukarkan Lopek dengan sepuluh orang tawanan dari pihak musuh. Maka, saya menganggap bahwa saya telah ditukar dengan Yuan de Gama dan empat orang temannya. Saya kira hal itu tidak terlalu merugikan kita. Selain itu, kita hanya berurusan dengan para pemberontak. Merekalah yang harus kita hukum. Orang-orang asing itu hanya pedagang-pedagang, kalau kita menawan mereka, berarti kita melibatkan pemerintah ke dalam permusuhan dengan bangsa dan negara lain.” Tio Hok Gwan mengelus dagunya dan menarik napas panjang. “Hemm, semenjak dahulu aku tidak mengerti tentang urusan pemerintah. Yang jelas saja, andaikata engkau tertawan musuh, aku tentu dengan rela akan menukar pembebasanmu dengan pembebasan sepuluh orang musuh yang tertawan olehku, Nona. Terserah, lakukan apa yang kaukehendaki.” Lega hati Li Hwa setelah mendapat persetujuan rekannya itu, sungguhpun dia tahu bahwa perbuatan membebaskan tawanan ini adalah tanggung jawabnya sendiri. Malam hari itu dia sendiri mengawal lima orang tawanan keluar dari tempat tahanan dan menuju ke luar kota. Setiba mereka di luar pintu gerbang dusun itu, empat orang teman Yuan de Gama mendahului pergi sedangkan Yuan de Gama berhenti dan bicara dengan Li Hwa. “Nona Souw... tak tahu aku bagaimana aku harus berterima kasih kepadamu...” “Yuan, tak perlu berterima kasih. Aku hanya membalas budimu.” “Li Hwa, ketika aku membebaskanmu, hal itu lain lagi kedudukannya. Engkau terancam oleh kekejian niat Hendrik, maka aku harus membebaskanmu atau membebaskan wanita mana saja yang terancam olehnya. Akan tetapi aku adalah seorang tawanan resmi...” “Sudahlah, tidak perlu kita bicara tentang itu.” “Li Hwa, betapa akan kagum hati Ayah dan adik perempuanku kalau mendengar penuturanku tentang dirimu. Mereka akan datang menyusul dengan kapal lain.” “Engkau punya adik perempuan? Tentu cantik sekali...” “Cantik jelita seperti bidadari, Li Hwa. Akan tetapi... ahh, tidak secantik engkau...” “Hemmm, ceritakan tentang dia.” Li Hwa memotong dan mukan terasa panas. “Ayahku adalah Richardo de Gama, seorang duda yang sudah tua dan seorang juragan kapal di negara kami. Adikku bernama Yuanita de Gama, berusia sembilan belas tahun. Kapal Kuda Terbang milik Ayah telah disewa oleh Legaspi Selado...” “Hemm, pimpinan orang asing yang membantu pemberontak?” Yuan menarik napas panjang. “Demi-kianlah. Akan tetapi... dia adalah guruku. Legaspi Selado adalah seorang bekas panglima di negeri kami, seorang peran-tau yang sudah menjelajah banyak nega-ra dan sudah belasan tahun tinggal di India dan Nepal, memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Hendrik Selado adalah puteranya. Ketika guruku itu menyewa kapal Ayah, tentu saja Ayah tidak tahu bahwa kapalnya dan anaknya akan dibawa oleh Legaspi Selado terlibat dalam urusan pemberontakan di negeri ini. Aku merasa menyesal sekali karena sebagai muridnya, aku pun tidak dapat membantah perintahnya. Aku merasa menyesal bahwa guruku bersekutu dengan pembe-rontak di negeri yang indah dengan rak-yatnya ramah. Akan tetapi aku pun me-rasa bahagia karena hal ini memungkin-kan aku berjumpa dengan engkau, Li Hwa.” “Hemm...” Li Hwa tak mampu menjawab dan merasa betapa mukanya makin panas. Untung malam itu gelap sehingga tidak tampak dua titik air mata membasahi bulu matanya. “Aku cinta kepadamu, Li Hwa. Demi Tuhan, aku cinta kepadamu, dan kalau keadaan mengijinkan... tidak dalam keadaan sebagai musuh dalam perang, betapa ingin hatiku untuk meminangmu kepada orang tuamu, sebagai isteriku...” Tiba-tiba Li Hwa terisak, tak dapat menahan keharuan hatinya karena selain pernyataan Yuan itu mengharukan, juga dia diingatkan kepada orang tuanya yang telah tiada. “Li Hwa... maafkan aku... ah, harap jangan menangis, sayang...” Yuan segera merangkul pundak dara itu penuh kasih sayang. Sejenak Li Hwa membenamkan kepalanya di dada pemuda itu. Setelah keharuan hatinya agak mereda, dia cepat merenggangkan diri dan berkata lirih, “Yuan, ayah bundaku telah meninggal dunia. Aku yatim piatu...” “Aduhhh... maafkan aku, Li Hwa... kau kasihan sekali.” “Tidak Yuan. Aku telah mempunyai pengganti orang tuaku, yaitu guruku, Panglima Besar The Hoo yang bijaksana. Karena ini pula, maka harap kau jangan melamun yang bukan-bukan. Aku adalah murid dan seperti anak sendiri dari Panglima Besar The Hoo, panglima dan pahlawan negara kami, sedangkan kau... biarpun di dalam hatimu kau tidak setuju, akan tetapi engkau adalah seorang di antara orang-orang yang membantu pemberontak. Dan aku adalah seorang asing. Tidak mungkin lagi bicara tentang jodoh.” “Akan tetapi... kalau aku tidak salah mengira... bukankah engkau pun cinta kepadaku, Li Hwa? Biarpun masih ragu-ragu, dan mungkin hanya sedikit, tidakkah kau cinta pula kepadaku seperti aku mencintaimu dengan sepenub jiwa ragaku?” “Sudahlah, jangan bicara tentang itu, Yuan. Kau tahu bahwa aku suka kepadamu karena kau seorang yang amat baik dalam pandanganku. Pergilah, kita bersahabat dalam kenangan saja!” “Li Hwa...!” Yuan meloncat ke depan, menjatuhkan diri berlutut dan memegang kedua tangan Li Hwa. “Mungkinkah ini? Mungkinkah cinta kasih dihancurkan dan diputuskan secara begini saja? Hanya karena kedudukan kita? Li Hwa, cinta kasih tidak dapat dikalahkan oleh apapun juga. Bahwa kematian pun tidak akan dapat mengalahkan cinta kasih. Aku cinta padamu, Li Hwa, apa pun yang akan terjadi!” “Yuan...!” Dengan hati terharu, di luar kesadarannya jari tangan Li Hwa memegang tangan pemuda itu erat-erat. “Li Hwa sayang...!” Yuan bangkit berdiri, memeluk dara itu dan sebelum Li Hwa dapat menguasai dirinya, mulutnya telah dicium dengan penuh kemesraan oleh pemuda itu. Sejenak Li Hwa menjadi lemas, tak dapat menguasai dirinya dan hatinya yang berdebar tidak karuan, kemudian dia mendorong dada yang tak berbaju itu sambil meloncat ke belakang ketika Yuan merenggangkan bibir untuk bernapas. “Yuan, jangan!” Mendengar bentakan ini, Yuan hanya mengulurkan kedua lengan. Akan tetapi Li Hwa melangkah mundur dan berkata, “Yuan, aku suka kepadamu, akan tetapi aku pun melihat jelas hubungan antara kita tak mungkin dilanjutkan dan kalau kau memaksa, aku akan menganggap engkau sama saja dengan Hendrik...” “Li Hwa! Engkau tahu bahwa cintaku kepadamu murni dan aku bersumpah tidak akan meninggalkan bumi Tiongkok dalam keadaan bernyawa kalau aku tidak dapat menggandengmu sebagai isteriku yang tercinta. Li Hwa, selamat berpisah dan sampai jumpa pula.” Pemuda ini membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi menyusul teman-temannya. Li Hwa berdiri seperti arca di tempat itu, pipinya basah air mata. Diangkatnya perlahan tangan kanannya menyentuh bibir yang masih berdenyut panas oleh ciuman pemuda itu. Kemudian dia terisak sambil menutupi muka dengan kedua tangannya dan menunduk, dari mulutnya terdengar bisikan bingung, “... aku cinta padanya... aihhh... aku cinta padanya...” Kun Liong berjalan seorang diri memasuki hutan besar itu. Berkali-kali dia menghela napas panjang kalau dia mengenangkan semua pengalamannya. Mengapa nasibnya demikian sial? Semenjak sepuluh tahun lebih yang lalu dia meninggalkan rumah orang tuanya di Leng--kok, dia selalu mengalami bermacam kesialan dalam hidupnya. Akhir-akhir ini pun tidak pernah ada hasil baik dalam setiap usahanya. Mencari ayah bundanya masih belum ada hasilnya sama sekali. Mencari dua buah benda pusaka Siauw--lim-pai juga masih belum berhasil. Bah-kan bokor emas yang sudah berada di tangannya, terpaksa harus dia serahkan kepada Kwi-eng Niocu! Sekali ini dia tidak mau gagal lagi. Dia akan pergi ke Kwi-ouw, memasuki pulau yang menjadi sarang Kwi-eng-pang dan terang-terangan dia akan menemui Kwi-eng Niocu minta dua benda pusaka Siauw-lim-pai, bokor emas milik Panglima The Hoo, dan ber-tanya siapa yang membunuh Thian Lee, sekalian menegur Kwi-eng-pang yang te-lah mengacau di Siauw-lim-si! Setelah itu, baru dia akan mencurahkan semua perhatiannya untuk mencari ayah bunda-nya. Ketika dia tiba di tengah hutan, tiba--tiba Kun Liong mendengar suara ribut-ribut banyak orang. Cepat dia menuju ke tempat suara itu dan sebuah tikungan tampaklah olehnya seorang kakek tua duduk bersila di atas sebuah batu besar dikurung oleh dua puluh orang lebih yang mengeluarkan suara ribut-ribut tadi. Kun Liong menyelinap di balik sebuah pohon tak jauh dari tempat itu dan me-mandang penuh perhatian. Kakek itu sudah tua sekali, pakaiannya sederhana dan rambutnya yang sudah putih digelung ke atas. Melihat cara dia berpakaian dan melihat sanggul rambutnya, tentu dia seorang pertapa atau seorang pendeta To. Di punggung kakek itu tergantung sebuah buntalan kain kuning besar. Kakek itu duduk bersila diam seperti orang tidur, duduk tegak dengan kedua tangan di atas pangkuannya, agaknya sama sekali tidak mendengar suara ribut-ribut dari orang--orang yang mengurungnya. “Hee, Kakek tua bangka! Apa kau sudah mampus?” “Tosu hidung kerbau! Serahkan buntal-an di punggungmu!” “Kita ambil bungkusannya dan pakaian yang dipakainya!” “Benar! Kita tinggalkan dia telanjang bulat di sini, ha-ha!” Tingkah dua puluh orang itu seperti segerombolan anjing liar dalam pandangan Kun Liong yang sudah menjadi marah sekali. “Dia diam saja, berarti menghina kita! Biar kuhantam kepalanya!” Seorang di antara mereka berteriak, tangannya bergerak memukul kepala kakek itu. “Desss...! Auuduhhh... tanganku...” Orang itu meringis dan mengaduh-aduh memegangi kepalan tangan kanannya yang tadi menghantam kepala itu dan menjadi bengkak. “Dia melawan! Bunuh saja!” Orang-orang kasar itu adalah perampok-perampok rendahan yang biasa mengganggu orang lewat di hutan yang lebat dan sunyi itu. Kini mereka sudah menca-but senjata, masing-masing ada golok, pedang dan toya, dan beramai-ramai mereka menerjang kakek yang duduk bersila tanpa bergerak itu. “Heiii...! Kalian jahat...!” Kun Liong keluar dari tempat sembunyiannya namun dia terlambat, karena senjata-senjata itu telah menyambar ke arah tubuh si kakek tua seperti hujan. Akibatnya, orang-orang itu mundur ketakutan karena semua bacokan yang mengenai tubuh kakek itu membuat senjata mereka terpental sedangkan tubuh kakek itu sedikit pun tidak terluka, seolah-olah mereka menyerang sebuah arca baja yang amat kuat. Hanya pakaian kakek itu yang terobek di sana-sini. “Siluman... dia siluman...!” “Wah, golokku malah rompal...” “Toyaku bengkok!” “Celaka...! Dia setan...” Orang-orang kasar itu ketakutan dan tiba-tiba mereka mendengar hentakan Kun Liong yang sudah melompat dekat, “Kalian ini manusia-manusia kejam!” Ketika mereka menoleh dan melihat Kun Liong mereka makin kaget. “Wah ini tentu temannya!” “Setan gundul...!” “Lari kawan-kawan...!” Maka larilah dua puluh orang lebih itu tunggang-langgang karena kesaktian kakek itu telah membuat mereka benar-benar menyangka bahwa Si Kakek adalah sebangsa setan, dan pemuda gondul yang muncul itu adalah setan gundul. Kun Liong menjadi geli menyaksikan tingkah mereka itu dan dia tertawa. Akan tetapi dia segera menghentikan suara ketawanya ketika mendengar suara halus di belakangnya, “Mereka itu patut dikasihani, bukan ditertawakan.” Kiranya kakek itu telah membuka matanya akan tetapi masih tetap duduk bersila di atas batu. Sejenak mereka berpandangan dan diam-diam Kun Liong terkejut melihat sinar mata kakek itu. Biarpun orangnya sudah amat tua, akan tetapi sinar matanya tajam bukan main. “Totiang, pakaianmu robek-robek...” Kakek itu menunduk dan memandangi bajunya yang robek di sana-sini, kemudian dia tersenyum dan menjawab, “Pakaian rusak dan robek bisa dijahit, orang muda. Akan tetapi kalau watak yang rusak...” “Maaf, Totiang. Kurasa watak yang rusak pun dapat diperbaiki oleh dirinya sendiri. Saya kira tidak benar kalau dikatakan bahwa sekali rusak watak orang, selamanya akan tetap rusak.” Kakek itu membelalakkan matanya dan mengangguk-angguk. “Kau benar, orang muda. Sungguh engkau aneh. Engkau bukan hwesio akan tetapi kepalamu tidak berambut, agaknya engkau telah keracunan.” Tahulah Kun Liong bahwa kakek ini seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Bukan hanya karena tadi kebal terhadap senjata orang-orang kasar itu, akan tetapi sekali pandang dapat menduga bahwa dia keracunan, hal ini membutuhkan pandangan seorang yang ahli. Maka dia lalu duduk di atas batu di depan kakek itu, juga bersila karena dia ingin sekali bercakap-cakap dengan kakek aneh itu. “Totiang, mengapa Totiang tadi mengatakan bahwa orang-orang jahat tadi patut dikasihani?” “Orang muda, dahulu aku memang seorang tosu, akan tetapi semenjak aku menyadari bahwa ikatan terhadap sesuatu agama merampas kebebasanku, aku bu-kanlah seorang tosu lagi. Namun tidak mengapa kalau kau menyebutku Totiang karena sebutan adalah kosong, dan nama bukankah menunjukkan keadaan yang dinamainya. Aku merasa kasihan kepada mereka karena mereka itu buta karena nafsu keinginan mereka. Kita hidup biasanya menjadi boneka permainan nafsu keinginan kita sendiri, tidak menyadari bahwa nafsu keinginan, betapapun baiknya menurut pendapat orang, tetap saja merupakan penyeret ke arah kesesatan dan kepalsuan, maka akhirnya hanya akan mendorong kita ke dalam lembah kesengsaraan.” “Akan tetapi, Totiang. Apakah semua perbuatan yang mengandung keinginan itu buruk? Bagaimana kalau keinginan yang terkandung dalam perbuatan itu merupakan keinginan yang baik?” “Baik dan buruknya keinginan hanya tergantung Si Penilai, padahal sebetulnya sama saja. Keinginan tetap keinginan, merupakan hasrat dari seorang untuk memperoleh sesuatu. Keinginan yang bersembmyi di balik sebuah perbuatan dinamakan pamrih dan perbuatan itu akan menjadi perbuatan paisu kalau berpamrih.” “Mengapa palsu, Totiang?” “Kalau kita melakukan suatu per-buatan dan ada pamrihnya, bukankah si pamrih itu yang penting, bukan si perbuatan? Padahal kita harus tahu apa pamrih itu! Apakah sebenarnya pamrih itu? Bukankah pamrih itu adalah keingin-an untuk menguntungkan diri sendiri, baik lahiriah maupun batiniah? Dengan pamrih, maka perbuatan itu adalah muna-fik, pura-pura, hanya dijadikan jembatan untuk memperoleh yang diinginkannya. Katakanlah perbuatan menolong. Kalau menolong dengan ada pamrih, apakah itu menolong namanya? Kalau yang dipamrihkan, yang diinginkan untuk didapat itu tidak ada, apakah masih mau menolong? Hati-hati orang muda, jangan kita ter-tipu oleh pikiran kita yang pandai sekali memabokkan kita dengan segala macam ujar-ujar dan pelajaran yang kita kenal dari kitab-kitab. Bukalah mata dan mengenal dirimu sendiri, mengenal segala gerak hati dan pikiranmu, bukan hanya mengenal wajahmu, dan engkau akan dapat melihat betapa segala macam kepalsuan diciptakan oleh pikiran. Pikiran memperkuat si aku, dan sekali kita dikuasai oleh ini, segala macam gerakan dalam hidup ini ditujukan demi keuntungan si aku, sehingga seperti perbuatan mereka tadi, seringkali menimbulkan kekerasan dan pertentangan.” Kun Liong mengangguk-angguk. Biarpun belum jelas benar, namun dia merasa dapat melihat dan mengerti isi pembicaraan itu. “Jadi untuk menguasai pengaruh nafsu keinginan, maka orang-orang seperti Totiang ini lalu bertapa, dan menekan segala macam nafsu?” Kakek itu menggeleng kepalanya. “Bertapa menjauhkan diri dari dunia ramai, kalau hal itu dilakukan untuk menghindarkan nafsu keinginan, adalah perbuatan yang sama sekali salah. Nafsu keinginan timbul dari pikiran sendiri, penciptanya adalah diri sendiri. Betapa mungkin kita melarikan diri dari nafsu keinginan? Biarpun kita melarikan diri ke puncak Himalaya, nafsu keinginan takkan pernah dapat kita tinggalkan, bahkan melarikan diri ke puncak Himalaya itu pun sudah merupakan pelaksanaan keinginan kita, bukan? Keinginan untuk menghindar dari nafsu keinginan!” “Jadi harus ditekan setiap kali nafsu keinginan timbul, Totiang?” Kembali kakek itu menggelengkan kepalanya. “Sekali kita mengalahkan nafsu, maka nafsu itu harus setiap kali kita kalahkan. Sekali kita menekan, harus setiap kali kita menekannya kembali. Nafsu yang ditekan, seperti kuda yang dipasangi kendali, harus selalu dikendalikan. Nafsu yang ditekan, seperti api dalam sekam, setiap kali dapat berkobar kembali. Tidak ada gunanya melarikan diri dari nafsu, tiada gunanya pula menekannya. Yang penting kita menghadapinya, mengawasinya, dan mengerti akan nafsu keinginan kita, mengawasinya tanpa menyetujui, tanpa menentang, hanya mengawasi saja tanpa memikirkannya. Karena sekali pikiran masuk, sekali kita menyetujui, menentang atau mengambil kesimpulan maka terciptalah si aku yang mengawasi si nafsu dan timbul pertentangan! Akan tetapi tanpa adanya si aku dan si nafsu, yang ada hanya pengawasan itu sendiri dan di sana tidak akan ada lagi nafsu keinginan!” Kun Liong mengerutkan alisnya. Baru sekali ini dia mendengar itu. Dia mencari ke dalam dirinya sendiri berdasarkan keterangan kakek itu. Kemudian dia hertanya, “Akan tetapi, Totiang. Biasanya setiap gerak perbuatan kita didorong oteh suatu keinginan tertentu. Kalau nafsu keinginan tidak ada, habis apa yang menjadi dasar dan pendorong perbuatan kita?” “Lakukanlah dan engkau akan menyatakan sendiri, orang muda! Engkau akan melihat perbuatan yang wajar, bersih tanpa pamrih karena perbuatan itu hanya bergerak dalam kasih.” “Kalau begitu, Kasih adalah kebalikan atau lawan dari Nafsu Keinginan, Totiang?” “Kukira tidak demikian, orang muda. Kasih bukanlah lawan Nafsu, akan tetapi untuk mengenal kasih, nafsu haruslah pergi. Nafsu keinginan menimbulkan iri, dengki, benci dan kecewa. Untuk mengenal nafsu, maka iri-dengki-benci-kecewa ini harus tidak ada. Akan tetapi bukan berarti bahwa Cinta Kasih adalah kebalikan dari semua itu.” Hening sejenak. Kun Liong memejamkan matanya. Tiba-tiba dia mengangkat muka memandang kakek itu yang juga memandangnya dengan senyum halus pench keagungan. “Totlang siapakah?” “Dahulu, orang memanggilku Kiang Tojin, Ketua dari Kun-lun-pai, tetapi sekarang aku hanyalah seorang pengembara yang menikmati hidup dalam alam yang amat indah ini.” Kun Liong terkejut sekali dan serta-merta dia menjatuhkan diri berlutut. “Harap Locianpwe sudi memaafkan teecu yang bersikap kurang hormat kepada Locianpwe.” Kakek itu tertawa, menyentuh pundak pemuda itu dan menyuruhnya bangkit. “Duduklah kembali seperti tadi, orang muda. Lihat, betapa palsunya segala perbuatan kita dalam hidup, karena kita telah menjadi boneka yang digerakkan oleh segala tradisi dan pengetahuan mati. Engkau tadi bersikap biasa kepadaku, kemudian setelah mengetahui bahwa aku Kiang Tojin dari Kun-lun-pai, engkau lalu merobah sikap dan menghormatiku berlebih-lebihan! Kepada kakek biasa engkau bersikap biasa, kepada kakek Ketua Kun-lun-pal engkau bersikap menghormat. Mengapa ada perbedaan ini? Mengapa kita selalu memandang rendah kepada orang biasa dan memandang tinggi kepada orang yang dianggap pandai atau berkedudukan tinggi? Bukankah kenyataan hidup yang membelenggu cara hidup kita ini merupakan pelajaran yang membuka mata dan berharga sekali untuk dimengerti? Kalau kita membuka mata, orang muda, maka setiap lembar daun kering yang rontok, setiap ekor burung, hembusan angin, senyum seorang anak--anak, setitik air mata seorang wanita, semua itu dapat merupakan guru bagi kita! Hidup berarti berhubungan dengan sesuatu, baik mahluk hidup maupun benda mati. Kalau membuka mata terhadap hubungan kita dengan semua yang kita hadapi setiap hari, dan kita membuka mata terhadap tanggapan kita akan hubungan kita dengan semua itu setiap saat, maka kita akan mengenal diri sendiri. Dan mengenal diri sendiri merupakan langkah pertama kepada kebijaksanaan, orang muda.” “Teecu menghaturkan terima kasih atas segala wejangan Locianpwe yang amat berharga.” Kakek itu tersenyum lebar. “Tidak ada yang mewejang dan tidak ada yang diwejang, orang muda. Engkau adalah muridnya dan engkau pula gurunya, dan seluruh isi alam ini adalah guru yang dapat memberi petunjuk. Sudah terlampau lama aku duduk di sini, mari kita bejalan-jalan menikmati keindahan alam, orang muda. Coba engkau membuka mata melihat segala keindahan itu tanpa penilaian dan tanpa perbandingan. Belajarlah menggunakan mata sebagaimana sewajarnya dan jangan biarkan pikiran mengaduk dan mengacaunya dan engkau akan melihat.” Mereka kini berjalan perlahan-lahan di dalam hutan itu. Kun Liong menggunakan matanya memandang dan tampaklah olehnya keindahan alam yang menyejukkan hati dan yang serba baru, lain daripada sebelumnya! Pohon-pohon besar dengan daun-daun yang hijau segar, seperti bernapas ketika angin menghembus, daun-daun kering yang membusuk di bawah pohon, menjadi pupuk bagi pertumbuhan pohon. Pohon berbunga, bunga berbuah, buah akan tua dan jatuh, membusuk di atas tanah kemudian berseri dan tumbuh menjadi pohon! Tidak ada yang baik tidak ada yang buruk, semua indah, semua berguna, semua hidup menurut kewajaran masing-masing, akan tetapi semua merupakan kesatuan yang tak terpisahkan, semua itu, pohon, rumput, burung, awan, dia sendiri, kakek itu, semua itu merupakan kesatuan. Hanya pikiran yang memisah-misahkan sehingga timbullah pertentangan dan bentrokan yang dimulai dari dalam diri sendiri lalu tercetus ke luar menjadi pertentangan antara manusia, antara golongan, antara bangsa dan antara ras! “Locianpwe, teecu Yap Kun Liong selama hidup baru sekarang ini mengalami seperti di pagi ini!” Kun Liong tak dapat menahan dirinya berseru. Kakek itu menoleh dan tersenyum, akan tetapi senyumnya mengandung keheranan. “Namamu Yap Kun Liong? Mengingatkan aku akan seorang she Yap... kalau tidak salah dia adalah sahabat baik Cia Keng Hong-taihiap...” “Aihh! Dia adalah ayah teecu, Locianpwe. Ayah teecu bemama Yap Cong San.” “Haiii, sungguh kebetulan sekali. Kiranya engkau adalah puteranya? Bagaimana dengan ayahmu sekarang?” Kun Liong menghela napas. “Sudah sepuluh tahun lebih teecu tidak pernah bertemu dengan Ayah dan Ibu.” Kemudian dengan singkat dia menceritakan riwayatnya yang penting-penting saja. Setelah mendengar penuturan itu Kiang Tojin berkata, “Memang demikianlah. Hidup diombang-ambingkan antara suka duka. Semua adalah karena diri sendiri, akan tetapi orang menyalahkannya kepada nasib.” “Memang banyak suka duka yang teecu alami dan teecu merasa bahwa semua kesukaan itu bukanlah kebahagiaan. Apakah Locianwe seorang yang berbahagia?” Kakek itu tertawa. “Kalau kaumaksudkan apakah aku seorang yang tidak sengsara, maka aku dapat mengatakan bahwa aku bukan seorang yang sengsara.” “Loclaripwe, mohon petunjuk Locianpwe. Bagaimanakah caranya agar teecu dapat berbahagia?” “Ha-ha-ha, orang muda. Bahagia, seperti juga cinta, tidak mempunyai jalan atau cara! Bahagia tidak dapat dikejar. Pengejaran bahagia menciptakan bermacam jalan atau cara ini, dan pengejaran adalah kelanjutan dari nafsu keinginan memiliki sesuatu, dalam hal ini memiliki kebahagiaan! Dan seperti telah kita bicarakan tadi, nafsu keinginan menimbulkan iri-dengki-kecewa-benci! Kalau kita mengejar kebahagiaan, berarti kita menggunakan nafsu untuk mengenal bahagia. Mungkinkah ini? Jangan kau menanyakan cara untuk berbahagia, sebaiknya kaucari dalam dirimu sendiri, apa yang membuat engkau tidak berbahagia. Setelah mengerti apa yang membuat engkau terbebas dari penyebab tidak berbahagia, maka perlukah kau mencari lagi kebahagiaan?” Kun Liong tercengang dan tak mampu bicara lagi. Segala sesuatu telah dibentangkan oleh kakek itu, persoalan-persoalan telah ditelanjangi dan dia hanya tinggal membuka mata untuk melihat! Tiba-tiba dari depan datang serombongan Nikouw (pendeta wanita). Empat orang memanggul sebuah joli (tandu) dan tiga orang lagi berjalan mengiringkan joli yang tertutup sutera kuning itu. Para nikouw ini mengerudungi kepala gundul mereka dengan kain kuning, pula dan wajah mereka kelihatan muram. Mereka itu terdiri dari wanita-wanita antara usia tiga puluh dan empat puluh tahun, dan sikap mereka pendiam dan serius. Ketika rombongan itu tiba dekat, Kiang Tojin dan Kun Liong mendengar suara rintihan dari dalam joli. Kiang Tojin lalu menghadang di tengah jalan, menjura dan bertanya, “Cu-wi, harap tahan dulu dan perkenankan saya menerima penderita sakit yang Cuwi angkat, siapa tahu saya akan dapat menolongnya.” Dengan gerakan yang cepat bukan main sehingga mengejutkan Kun Liong, tiga orang pengiring tandu itu meloncat ke depan, sejenak mereka memandang tajam kepada Kiang Tojin, kemudian seorang di antara mereka menjura dan berkata. “Omitohud...! Bukankah pinni (saya) berhadapan dengan Kiang Tojin dari Kun-lun-pai?” Kiang Tojin tersenyum. “Sekarang saya bukan Ketua Kun-lun-pai lagi, telah mengundurkan diri dan hanya menjadi seorang kakek biasa saja.” Para nikouw itu segera memberi hormat dan menyuruh teman-teman mereka menurunkan tandu. Nikouw pertama memberi hormat lagi dan berkata, “Terima kasih banyak atas kebaikan hati Locianpwe. Memang Twa-suci (Kakak Seperguruan Pertama) kami menderita luka cukup parah. Akan kami tanyakan dulu kepadanya apakah dia mau menerima pertolongan Locianpwe.” Nikouw itu lalu menghampiri tandu, menyingkap tenda sutera sedikit dan berbisik-bisik. Terdengar jawaban suara halus dari dalam tandu, “Persilakan dia untuk memeriksa nadi tanganku.” Dan sebuah lengan yang kecil dan berkulit putih halus diulur dari balik tenda sutera. Melihat ini, Kiang Tojin tersenyum, melangkah ke dekat tandu kemudian berkata, “Maafkan saya...” Dipegangnya pergelangan tangan itu dan tak lama kemudian dilepaskannya kembali. Dia melangkah mundur tiga tindak, mengge-leng kepala dan berkata, “Sungguh me-nyesal sekali. Luka itu diakibatkan oleh racun ular yang amat jahat dan berbaha-ya, kalau tidak salah, racun dan ular yang hanya terdapat di Pegunungan Himalaya, namanya Ngo-tok-coa (Ular Lima Racun). Bukankah di sekitar luka itu terdapat warna-warna hitam, merah, biru, kuning dan hijau?” “Benar demikian...!” Terdengar suara halus dari balik tirai sutera. “Ahhhh, seperti telah kuduga,” kata Kiang Tojin. “Sayang sekali, saya tidak dapat mengobati luka beracun dari Ngo--tok-coa dan saya kira agak sukar untuk mencari obat penawarnya di sini. Obat penawarnya hanyalah berburu akar pohon ular hijau yang terdapat di Himalaya, dan ke dua adalah darah ular beracun lainnya yang cukup kuat...” Tujuh orang nikouw itu mengeluh, akan tetapi terdengar teguran dari dalam tandu, “Sumoi sekalian mengapa mengeluh? Kalau ada obat penyembuhnya sukur. Kalau tidak ada, ya sudah. Apa bedanya?” Mendengar ini, wajah Kiang Tojin berseri. “Perkataan yang hebat...!” “Terima kasih atas kebaikan Locianpwe. Sumoi, mari kita berangkat!” terdengar lagi ucapan halus dari dalam tandu. Empat orang nikouw sudah menggotong lagi joli itu dan hendak melangkah pergi. “Tahan dulu...!” Kun Liong meloncat ke depan. “Mendengar keterangan Locianpwe tadi, aku yakin akan dapat mengobatinya!” Mendengar ini, para nikouw itu berhenti dan memandang kepada Kun Liong dengan penuh keraguan. Kalau kakek bekas Ketua Kun-lun-pai yang amat sakti itu saja menyatakan tidak sanggup, bagaimana hwesio muda itu menyanggupi untuk mengobati twa-suci mereka? Kiang Tojin juga merasa heran dan bertanya, “Yap-sicu, benarkah Sicu dapat mengobatinya? Racun Ngo-tok-coa amat lihai dan racun itu tidak dapat disedot keluar dengan mulut karena hal itu membahayakan nyawa si penyedot...” “Locianpwe, sedikit-sedikit teecu pernah menerima pelajaran ilmu pengobatan dari ayah bunda teecu, terutama mengenai racun ular. Teecu akan mengeluarkan racun itu dengan tangan, kemudian akan memberi catatan obat yang tidak begitu sukar didapat, bisa dibeli di toko obat.” Nikouw pertama yang mengawal tandu itu sudah menjura kepada Kun Liong sambil berkata, “Kalau Siauw-suhu dapat mengobati Twa-suci, kami sebelumnya menghaturkan banyak terima kasih dan semoga Sang Buddha mengangkat Siauw-suhu ke tingkat yang lebih bersih dan sempurna.” Kun Liong meringis. Lagi-lagi dia disangka hwesio, dan sekali ini yang menyangkanya adalah seorang Nikouw! Saking gemasnya dia lalu nekat bersikap seperti hwesio, merangkap kedua tangan di depan dada sambil berkata, “Omitohud, semoga saja Sang Buddha akan membantu pinceng (saya) untuk mengobati suci kalian.” Kiang Tojin melongo, kemudian menahan senyum dan mengerutkan alisnya mendengar kata-kata dan melihat sikap Kun Liong ini. Pemuda putera Yap Cong San ini ternyata aneh dan ugal-ugalan sungguhpun sikap itu hanya dipergunakan untuk melucu, atau mungkin karena mendongkol disangka hwesio! Betapapun juga, Kiang Tojin ingin sekali untuk melihat bagaimana caranya pemuda gundul aneh ini mengobati luka akibat Racun Ngo-tok-coa yang dia tahu amat hebat dan sukar disembuhkan itu. Kalau pemuda yang sikapnya ugal-ugalan ini ternyata mempermainkan orang sakit, mengingat pemuda itu putera Yap Cong San, dia patut menegur pemuda itu! “Harap buka tirai ini dan biarkan saya memeriksa Si Sakit,” kata Kun Liong sambil menggerakkan tangan hendak menyentuh tirai. “Ohhh, jangan buka...!” Terdengar seruan halus dari dalam, dan nikouw pertama segera berkata kepada Kun Liong, “Harap Siauw-suhu melakukan pemeriksaan nadi seperti yang dilakukan oleh Locianpwe tadi. Twa-suci adalah seorang wanita, bagaimana mungkin membiarkan lengannya disentuh sambil memperlihatkan diri? Biarpun Siauw-suhu seorang hwesio, akan tetapi tetap saja Siauw-suhu seorang laki-laki.” Lengan yang kecil mungil dengan kulit halus putih itu sudah dijulurkan ke luar lagi dari balik tirai. Akan tetapi Kun Liong hanya memandang saja tangan itu dan tidak menyentuhnya. Dia mengomel, “Tadi Locianpwe telah memeriksa nadi dan saya telah mendengar keterangan hasil pemeriksaannya. Untuk mengobati luka terkena racun, saya harus memeriksa lukanya lebih dulu, kemudian mengeluarkan racun dari luka itu dan menentukan obatnya.” “Aihhhh... tak mungkin...!” Terde-ngar jerit tertahan dari dalam tandu. Kun Liong sudah melangkah mundur tiga tindak. “Sungguh aku tidak mengerti sama sekali sikap Si Sakit” katanya dengan alis berkerut. “Memang benar aku seorang laki-laki dan Si Sakit seorang wanita, akan tetapi Si Sakit adalah seorang nikouw, dan aku seorang... hemm, katakanlah hwesio. Pula Si Sakit adalah penderita dan aku adalah yang berusaha menolongnya. Mengapa hanya bertemu muka saja diharamkan?” Mendengar suara Kun Liong yang marah, nikouw pertama cepat melangkah maju dan berkata lirih seolah-olah khawatir kalau suaranya terdengar orang lain, padahal di situ tidak ada orang lain kecuali para nikow, Kiang Tojin dan Kun Liong sendiri. “Harap Siauw-suhu dapat memaafkan dan memaklumi. Tentu saja Twa-suci merasa berat dan malu karena luka itu berada di... di sini...” Nikouw itu tidak melanjutkan kata-katanya melainkan menepuk pinggul kanannya yang tipis. Hampir saja Kun Liong tertawa bergelak akan tetapi cepat ditahannya dan dia hanya menutupi mulut dengan tangan kanan, kemudian berkata, suaranya menjadi sabar, “Hemmm... sebetulnya tidak perlu merasa berat dan malu. Akan tetapi kalau memang malu, ya sudahlah.” Hening sejenak. Tirai itu bergoyang sedikit, agaknya orang yang duduk di dalam tandu itu mengintai ke arah Kun Liong. Kemudian tedengar suara halus itu. “Sumoi, mari kita pergi...” Para nikouw saling pandang dan kemudian nikouw pertama memandang kepada Kun Liong, menggerakkan pundak dan joli itu diangkat kembali. “Tahan dulu...!” kini Kiang Tojin yang melangkah maju dan mengangkat tangan, “Sungguh sukar dimengerti sikap orang-orang muda. Mengapa perasaan malu yang tidak pada tempatnya itu lebih dihargai daripada nyawa? Mengapa tidak dapat diambil usaha yang tepat untuk pengobatan ini? Misalnya, muka Si Sakit dikerudung sehingga tidak akan dikenal oleh yang mengobati, dan yang diperlihatkan hanya sedikit bagian yang terluka saja. Dengan cara begini, karena mukanya tidak dikenal, perlukah Si Sakit merasa malu-malu lagi?” Kembali joli diturunkan dan kini para nikouw berbisik-bisik dengan penumpang joli. Mereka mengerumuni joli dan terjadilah “percakapan” bisik-bisik yang menjadi ciri khas wanita, biarpun mereka telah menjadi nikouw berkepala gundul! Kiang Tojin saling pandang dengan Kun Liong dan kakek itu mengangguk-angguk perlahan Kun Liong tersenyum dan memuji kecerdikan kakek itu yang dapat mencarikan “jalan keluar” yang baik. Kini terjadi kesibukan di dalam joli itu. Tak lama kemudian, nikouw pertama menghadapi Kun Liong dan berkata, “Twa-suci dapat menerima usul Locianpwe, dan kini mempersilakan Siauw-suhu untuk melakukan pemeriksaan dan mengobatinya.” Kun Liong tersenyum lebar, dan karena wajahnya memang tampan, senyumnya juga manis sekali dan para nikouw itu mengerutkan alis, di dalam hati mereka memaki, “Hwesio genit!” KETIKA Kun Liong mendekati joli, tirai itu disingkapkan sedikit oleh nikouw pertama, memberi kesempatan ke-pada Kun Liong untuk memasukkan tubuh atasnya ke sebelah dalam joli. Begitu- memandang Kun Liong terbelalak dengan hati geli, kasihan, dan juga kagum sekali. Geli hatinya melihat Nikouw di dalam itu benar-henar tidak kelihatan orangnya, mukanya dikerudung dan dia menelungkup di atas bangku joli, dan yang tampak tidak tertutup hanya sebuah pinggul kanan sehingga kelihatan lucu sekali. Dan kasihan karena melihat pinggul itu, tepat di tengah-tengah bagian yang menggu-nung melengkung, terdapat luka yang kecil saja, akan tetapi bagian itu mem-bengkak dan sekitar lubang luka kecil itu berwarna lima macam akan tetapi lebih banyak hitam dan merahnya! Dan yang membuatnya kagum adalah panggul itu sendiri. Padat dan montok, tidak seperti pinggul nikouw pertama yang tipis, pinggul ini penuh seperti buah semangka, akan tetapi kulitnya putih halus seperti kulit bayi, demikian tipis kulitnya sehingga membayang jalur-jalur urat kecil berwarna merah dan biru! Melihat bentuk pinggul ini, timbul dugaannya bahwa nikouw yang menjadi twa-suci ini bukan seorang nenek tua, biarpun para sumoinya ada yang sudah berusia mendekati empat puluh tahun. Memang sukar menduga usia seseorang tanpa melihat wajahnya, akan tetapi, biarpun selama hidupnya baru satu kali dia melihat pinggul seorang wanita muda, yaitu pinggul Li Hwa yang hanya kelihatan sedikit karena sebagian tertutup air sungai, namun dia dapat melihat bahwa pinggul yang hanya kelihatan sebelah kanan ini adalah pinggul yang amat bagus! “Hemmm, memang benar terkena senjata rahasia, agaknya jarum yang mengandung lima macam racun,” kata Kun Liong perlahan. Tubuh yang berkerudung itu bergerak sedikit tanpa menjawab. Kun Liong mulai memeriksa. Ketika pertama kali jari-jari tangannya menyentuh kulit pinggul, pinggul itu tergetar hebat sehingga jari tangan Kun Liong ikut pula menggigil karena jantungnya berdebar. Baru sekali ini selama hidupnya dia menyentuh pinggul orang, apalagi pinggul telanjang seorang wanita! Dia cepat menenteramkan perasaannya dan melanjutkan pemeriksaan. Kun Liong kaget. Ternyata jalan darah di sekeliling pinggul telah ditotok dan dihentikan sehingga racun itu tidak menjalar jauh, dan juga ada tenaga sin-kang yang menahan dari sebelah dalam untuk mendorong racun itu tetap berdiam di dalam pinggul itu saja. Kiranya nikouw berkerudung ini adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi! “Harap jangan mengerahkan sin-kang. Saya hendak mengeluarkan jarum dan racun. Kalau Su-thai (sebutan pendeta wanita) mengerahkan sin-kang, bisa ber-bahaya.” Kerudung bagian kepala itu mengang-guk dan Kun Liong melihat dua buah mata dari lubang di kerudung itu, sepa-sang mata yang jeli bening, dan tajam bukan main! Kun Liong lalu menempelkan telapak tangannya menutupi luka itu. Telapak tangannya merasa betapa halus dan hangatnya bagian tubuh itu. Dia harus me-lenyapkan pikiran yang menimbulkan guncangan pada hatinya ini, dan mulailah dia mengerahkan sin-kang, mempergunakan Thi-khi-i-beng! Hanya dengan ilmu inilah dia dapat mengharapkan berhasil mengeluarkan jarum dan racun. Dia pun maklum bahwa ngo-tok merupakan cam-puran lima racun yang berbahaya sekali kalau memasuki mulut, maka menyedot dengan mulut membahayakan nyawanya, tepat seperti dikatakan Kiang Tojin tadi. Dan obat penyedot yang ampuh tidak ada, maka jalan satu-satunya hanya mempergunakan Thi-khi-i-beng. “Ihhhh...!” Nikouw berkerudung itu mengeluarkan seruan tertahan ketika me-rasa betapa dari telapak tangan hwesio muda itu muncul tenaga sedotan yang amat kuat dan yang seolah-olah akan menyedot seluruh tubuhnya bagian dalam! Otomatis nikouw yang memiliki kepan-daian tinggi ini menggerakkan sin-kang-nya untuk melawan dan... tenaga sin-kangnya segera membanjir keluar terse-dot oleh telapak tangan Kun Liong. “Ahhh, bodoh...!” Kun Liong berseru kaget dan cepat menggunakan tenaga sin-kang yang dilatihnya dari Bun Hoat Tosu untuk melepaskan telapak tangan yang melekat dan menyedot itu. Kalau dia tidak melakukan ini, tentu tenaga sakti nikouw itu akan habis disedot oleh-nya! Nikouw itu terengah-engah kaget dalam kerudungnya, dan dari luka kecil di pinggulnya keluar darah berwarna hitam! “Kenapa mengerahkan sin-kang?” Kun Liong mengomel. “Maaf... maafkan... pinni (saya) terlupa...” Nikouw berkerudung itu berkata. “Sudahlah, jangan terlupa lagi!” Kun Liong kembali menempelkan telapak tangan kanannya ke kulit pinggul halus hangat yang mulai berdarah itu, mengerahkan Thi-khi-i-beng. Darah hitam keluar makin banyak dan akhirnya Kun Liong menarik kembali telapak tangannya. Di atas telapak tangannya menempel sebuah jarum kecil berwarna merah. “Hemmm... jarum putera Ban-tok Coa-ong...” Kun Liong berseru keras ketika melihat jarum itu. “Siauw-suhu mengenalnya?” Nikouw berkerudung itu bertanya sambil melirik ke arah pinggulnya. Dari luka kecil itu kini keluar darah merah agak kekuningan, akan tetapi tidak hitam macam tadi. “Saya pernah bertemu dengan Ban-tok Coa-ong dan puteranya yang bernama Ouw-yang Bouw.” “Pinni memang terkena jarum yang dilepas oleh seorang laki-laki yang seperti gila dan yang mengaku bernama Ouw-yang Bouw.” Nikouw itu berkata. “Hemm, dia memang jahat dan kejam. Racun sudah keluar, tinggal sedikit yang dapat disembuhkan dengan obat minum.” Kun Liong lalu menuliskan resep obat minum dan obat luar untuk nikouw yang terluka itu. Resep itu dituliskan di atas kain putih yang disediakan oleh para nikouw dan untuk pensilnya dia menggunakan ranting dan getah pohon. Nikouw itu kini duduk di dalam jolinya dan tirai di depan joli disingkapkan. Dari dua lubang di kerudungnya, sepasang matanya yang bening memandang ke luar, ke arah Kun Liong dan terdengar suaranya yang halus, “Pinni telah menerima budi pertolongan Siauw-suhu, harap sudi memperkenalkan gelar (nama julukan) dan di mana kuil Siauw-suhu.” Setelah tugasnya mengobati selesai dengan hasil baik, sambil meneliti jarum merah di tangannya, kemudian menyimpannya dengan hati-hati di saku bajunya setelah membungkuskan rapi dengan sisa robekan kain putih, Kun Liong tak dapat menahan geli hatinya. Dia tertawa, melepaskan kegelian dan kemengkalan hatinya karena selalu orang menyangkanya seorang hwesio! “Ha-ha-ha-ha! Benarkah kepala gundul menjadi ciri khas seorang hwesio? Benar-kah bentuk pakaian menjadi ciri khas para pendeta dan pertapa? Kalau begitu, betapa mudahnya setiap orang mengaku hwesio dan pendeta suci! Menilai isi dengan melihat kulitnya, betapa menye-satkan! Saya bukan seorang hwesio biar-pun secara tidak kusengaja kepalaku gundul. Nama saya Yap Kun Liong dan tidak mempunyai tempat tinggal terten-tu.” Dia menjura ke arah nikouw di da-lam tandu. Para nikouw terkejut dan muka mereka yang tidak berkerudung menjadi merah. Kiranya mereka semua telah salah menduga dan menganggap pemuda gundul itu seorang rekan mereka! Nikouw di dalam tandu lebih-lebih lagi terkejut dan makin merasa malu. Pinggulnya telah diraba-raba oleh seorang pria muda tampan, bukan seorang hwesio yang sudah bersih hatinya! “Sumoi sekalian, mari kita pergi!” Tirai ditutup dan tandu diangkat, dari dalam tandu terdengar suara halus itu, “Yap Kun Liong-sicu, pinni menghaturkan terima kasih atas budi pertolonganmu, semoga Thian yang akan membalasnya.” Rombongan nikouw itu pergi dan Kun Liong berdiri memandang dengan senyum lebar dan juga merasa sedikit curiga dan herah mengapa nikouw yang terluka itu sama sekali tidak mau memperlihatkan mukanya! Benarkah karena tidak ingin dikenal setelah terpaksa memperlihatkan pinggulnya yang telanjang? Ataukah ada hal lain yang membuat nikouw itu segan dikenal orang? “Yap-sicu, kiranya Cia Keng Hong-tai-hiap telah, mengajarkan ilmu mujijat Thi-khi-i-beng kepadamu!” Kun Liong membalikkan tubuh dengan cepat dan memandang heran. “Bagaimana Totiang dapat mengetahuinya?” Kiang Tojin tersenyum lebar. “Hanya Thi-khi-i-beng saja yang mampu menyedot racun dan jarum tadi melalui telapak tangan, Sicu masih muda telah memiliki ilmu kepandaian tinggi, sungguh mengun-tungkan akan tetapi juga berbahaya sekali. Kalau boleh saya mengetahui, apa-kah Sicu menjadi murid Cia-taihiap?” Kun Liong menggeleng kepalanya dan dia tahu bahwa terhadap bekas ketua Kun-lun-pai ini dia tidak perlu berbohong. “Hanya kebetulan saja Cia-supek mengajarkan Thi-khi-i-beng kepada teecu, Locianpwe. Sebetulnya teecu adalah mu-rid dari Bun Hoat Tosu selama lima tahun dan murid Tiang Pek Hosiang selama lima tahun pula.” Kiang Tojin membelalakkan kedua matanya, kemudian menarik napas pan-jang. “Aaihhh... kiranya Sicu adalah mu-rid orang-orang sakti! Kalau boleh saya bertanya, Sicu hendak pergi ke mana-kah?” “Banyak sekali hal yang harus teecu kerjakan, Locianpwe. Pertama-tama tee-cu harus mencari kembali dua benda pusaka Siauw-lim-pai, yang dirampas Kwi--eng-pang, dan berusaha mendapatkan kembali pusaka bokor emas milik Panglima The Hoo yang terjatuh ke tangan Kwi-eng Niocu. Ke dua, teecu harus mencari kedua orang tua teecu yang sampai kini tidak teecu ketahui di mana adanya. Dan ke tiga... hemmm, teecu harus mencari Ban-tok Coa-ong dan me-negur puteranya atas kekejamannya me-lukai nikouw tadi dengan jarum merah beracun.” Kiang Tojin makin terkejut dan heran. “Sicu memang berkepandaian tinggi, akan tetapi Sicu hendak menentang datuk--datuk kaum sesat, sungguh merupakan pekerjaan yang amat berbahaya dan be-rat. Betapa juga, mengingat akan guru-guru Sicu, saya tidak akan heran kalau kelak mendengar bahwa mereka itu te-was di tangan Sicu.” “Wah, siapa yang mau membunuh orang, Locianpwe? Teecu sama sekali tidak ada pikiran untuk membunuh siapa-pun juga.” “Ehhh? Kalau menentang mereka, bukankah berarti memancing pertandingan mati-matian?” Kun Liong menggeleng kepalanya. “Sama sekali tidak, Locianpwe. Teecu akan mendatangi Kwi-eng pangcu, minta kembali pusaka-pusaka Siauw-lim-pai dan bokor emas, mengajukan cengli- (aturan yang beralasan) menegur kepada-nya. Juga keluarga Ouwyang Raja Ular itu hanya akan teecu tegur agar lain kali jangan bersikap demikian kejam.” Kiang Tojin melongo. Sejenak dia tidak dapat berkata-kata. Kemudian dia menarik napas panjang dan menggelengkan kepalanya. “Aihhh, banyak sudah aku bertemu dengan orang muda yang luar biasa, di antaranya dahulu aku kagum kepada Pendekar Sakti Cia Keng Hong, akan tetapi belum pernah aku mendengar atau bertemu dengan seorang muda seperti engkau, Sicu. Mau mendatangi datuk-datuk kaum sesat dan menegur mereka dengan menggunakan cengli! Kalau tidak mendengar sendiri mana aku dapat percaya? Mudah-mudahan saja kau berhasil, Sicu.” Kakek itu benar-benar kagum sekali terhadap pemuda gundul itu. Kiang Tojin tahu bahwa pemuda itu telah digembleng oleh dua orang kakek sakti, bahkan telah mewarisi Thi-khi-i-beng, sukar diukur sampai di mana kelihaiannya. Akan tetapi yang membuat dia kagum adalah pendirian pemuda ini yang agaknya tidak mau menggunakan kepandaian untuk membunuh orang, melainkan bermaksud untuk menasihati datuk-datuk kaum sesat! Dulu dia kagum sekali kepada Cia Keng Hong (baca cerita Pedang Kayu Harum) akan tetapi sekarang dia dibikin bengong menyaksikan sikap Yap Kun Liong. “Terima kasih atas kebaikanmu, Locianpwe, terutama sekali terima kasih atas percakapan yang amat berguna tadi sebelum para nikouw muncul. Uraian Locianpwe tentang hidup tadi banyak membuka mata teecu. Kini teecu akan melanjutkan perjalanan teecu.” “Selamat jalan, orang muda yang luar biasa. Kuharap saja kalau kelak kebetul-an kau lewat di Kun-lun-san, kau suka singgah di Kun-lun-pai” “Mudah-mudahan, Locianpwe. Selamat berpisah.” Kun Liong memberi hormat lalu pergi meninggalkan kakek itu yang masih berdiri memandangnya dengan sikap penuh kagum dan terheran-heran. “Bu-moi (Adik Bu)... terima ini...!” Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio melemparkan bokor emas itu kepada adik ang-katnya ketika dia terdesak oleh tiga orang datuk pria, yaitu Toat-beng Hoat-su, Ban-tok Coa-ong, dan Hek-bin Thian--sin yang sudah berhasil menyusulnya ketika Ketua Kwi-eng-pang itu melarikan diri sambil membawa bokor emas yang diterimanya dari Kun Liong. Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci tentu saja cepat menyambut bokor emas yang melayang ke arahnya itu dan membawa-nya lari, sedangkan Kwi-eng Niocu ber-usaha mencegah tiga orang datuk yang hendak mengejar. Namun, tentu saja dia tidak mampu menahan mereka bertiga dan kini Siang-tok Mo-li yang menjadi kejaran mereka. Tiga orang datuk pria mengejar untuk merampas bokor sedangkan Kwi-eng Niocu mengejar untuk membantu adik angkatnya itu. Betapa cepatnya lari Siang-tok Mo--li, tetap saja dia tidak dapat membebas-kan diri dari pengejaran para datuk itu. Tiga orang datuk pria itu memiliki tingkat kepandaian yang amat tinggi, bahkan sedikit lebih tinggi daripada tingkat ke-pandaian Siang-tok Mo-li, maka tak lama kemudian tiga orang datuk pria itu telah menyusulnya dan segera mengepungnya. “Siang-tok Mo-li, serahkan bokor itu kepadaku!” Toat-beng Hoat-su menubruk ke depan. Siang-tok Mo-li terkejut, cepat dia meloncat ke kiri menghindar, akan tetapi sambil tertawa menyeramkan, Ban-tok Coa-ong sudah menyambutnya dengah lengannya yang panjang seperti ular itu menyambar untuk merampas bokor! Bu Leng Ci terkejut sekali, apalagi melihat betapa Hek-bin Thian-sin juga sudah me-nerkamnya. “Ang-cici (Kakak Ang), terimalah bokor...!” Dia berseru dan cepat melemparkan bokor melambung tinggi ke arah Kwi-eng Niocu yang sudah tiba di tem-pat itu. Tentu saja Kwi-eng Niocu cepat menyambar bokor dan melarikan diri secepatnya. Ia ingin cepat-cepat tiba di Kwi-ouw, karena kalau dia sudah tiba di tempat perkumpulannya itu, dengan me-ngandalkan telaga yang penuh rahasia dan bantuan anak buahnya, tentu dia akan dapat melawan tiga orang datuk pria itu. Akan tetapi sayang sekali, Kwi-ouw (Telaga Setan) masih amat jauh dan kini tiga orang datuk pria itu telah me-ngejar lagi sambil berteriak-teriak. “Wah, curang! Kalian berdua berse-kongkol!” Ban-tok Coa-ong berteriak. “Dasar perempuan. licik dan selalu hendak menipu kita kaum pria!” Toat--beng Hoat-su mengomel sambil memper-cepat larinya mengejar. Hek-bin Thian-sin diam saja dan terus mengejar. Dia mendongkol sekali mengapa Legaspi Selado, tokoh asing botak yang lihai itu, yang sudah berjanji akan membantu memperebutkan bokor emas, masih juga belum muncul. Kalau ada Si Botak Asing itu bersama pasukannya, tentu dia akan dapat merampas bokor dan mengatasi empat orang datuk lain-nya. Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci yang me-ngejar di sebelah belakang, tiba-tiba mengeluarkan suara melengking tinggi dua kali. Dari jauh terdengar lengkingan tinggi yang hampir sama, juga dua kali. Bu Leng Ci tersenyum girang dan dia mempercepat larinya, akan tetapi tidak mengambil jalan yang sama seperti yang dilalui Kwi-eng Niocu dan tiga orang pe-ngejarnya. Kwi-eng Niocu mengambil jalan mendaki naik ke pegunungan, sedangkan Siang-tok Mo-li memotong jalan melalui sebelah bawah dari mana tadi dia mendengar suara melengking yang menyambut tanda rahasianya. Ketika dia tiba di seberang sebuah jurang, tampak-lah olehnya di sebelah atas, terhalang oleh jurang itu, bayangan Kwi-eng Niocu sedangkan tiga orang pengejarnya sudah hampir menyusul Ketua Kwi-eng-pang itu. “Ang-cici...! Lekas lemparkan ke sini...!” Bu Leng Ci berseru. Ang Hwi Nio sedang gelisah karena tiga orang datuk itu sudah dekat sedang-kan dia tidak melihat bayangan adik angkatnya. Ketika mendengar suara ini dia menengok dan giranglah hatinya me-lihat orang yang dicari-carinya itu berada di sebelah bawah, terhalang jurang yang amat curam dan cukup lebar. Dia percaya bahwa dia mampu melemparkan bokor itu sampai ke seberang jurang dan dia percaya pula bahwa adik angkatnya cukup lihai untuk dapat menangkap bokor itu. Melihat betapa tiga orang datuk pria sudah dekat, dia segera melontarkan bokor itu ke seberang jurang. Benda itu meluncur dengan cepat sekali ke arah Bu Leng Ci yang sudah berdiri dan siap menyambut. Bagaikan seekor burung ga-ruda menyambar seekor burung dara, Siang-tok Mo-li meloncat dan berhasil menangkap bokor emas yang melayang dari atas itu. “Ehh, ke mana kau membuang pusa-ka itu?” Toat-beng Hoat-su berteriak kaget, mengira bahwa Kwi-eng Niocu membuang bokor yang mereka perebut-kan. Juga Ban-tok Coa-ong dan Hek-bin Thian-sin terkejut. Bukan hanya tiga orang kakek itu yang terkejut, bahkan Kwi-eng Niocu juga kaget sekali ketika melihat betapa Siang-tok Mo-li setelah menerima bokor itu lalu melemparkan bokor itu ke seberang jurang lain dan bokor itu lenyap! Siang-tok Mo-li meno-leh dan tersenyum lebar penuh ejekan, kemudian membalikkan tubuh dan sekali melompat tubuhnya lenyap di antara pohon-pohon! Timbul kecurigaan di hati Ang Hwi Nio, akan tetapi dia sudah dapat meng-hadapi tiga orang kakek itu sambil ber-kata mengejek, “Kalian ini tua-tua bang-ka mau apa lagi? Kalian takkan dapat merampas bokor itu!” Tiga orang kakek itu maklum bahwa mereka tidak mungkin melompati jurang ini tanpa bahaya maut mengancam me-reka, dan untuk melakukan pengejaran, mereka harus menuruni bukit dan meng-ambil jalan memutar yang makan waktu lama dan tentu orang termuda dari lima datuk itu sudah pergi jauh entah ke mana! “Ha-ha-ha-ha, sekali ini Kwi-eng Niocu menjadi seorang yang amat tolol dan mudah saja ditipu orang. Ha-ha-ha!” Kwi-eng Niocu memandang Kakek Raja Ular itu dengan mata mendelik. Biarpun hatinya makin tidak enak, akan tetapi dia membentak, “Ban-tok Coa-ong! Engkau bicara seenak perutmu sendiri. Apa kaukira Kwi-eng Niccu takut menghadapi ular-ularmu yang hanya dapat kaupakai menakuti kanak-kanak itu?” Akan tetapi kini Toat-beng Hoat-su juga berkata penuh penyesalan. “Ucapan Si Raja Ular benar sekali. Kwi-eng Niocu, apa kaukira Siang-tok Mo-li akan demikian lemah hatinya untuk membagi bokor itu denganmu? Hemm, aku berani bertaruh dua jari tangan! Dia tentu sudah lari minggat membawa bokor itu bersama seorang sekutunya yang tadi menyambut bokor di seberang jurang di bawah itu.” Wajah Kwi-eng Niocu menjadi pucat sekali. “Celaka...! Giok-hong-cu...!” “Siapa? Siapa itu Giok-hong-cu?” Hek-bin Thian-sin berseru. “Siapa lagi? Muridnya. Celaka, perempuan iblis itu telah menipuku. Kalian benar. Mari kita kejar mereka sebelum mereka berlari terlalu jauh!” Kwi-eng Niocu segera meloncat dan berlari cepat turun dari bukit. Tiga orang kakek itu juga tidak mau ketinggalan dan mereka berempat lari bersicepat seperti berlumba menuruni bukit untuk mencari Bu Leng Ci dimulai di tempat di mana tadi Siang-tok Mo-li menerima bokor. Empat orang datuk sesat ini seperti orang-orang yang lupa diri dan mereka melakukan pengejaran dan pencaharian tanpa mengenal lelah. Seolah-olah hidup mereka bergantung kepada bokor emas itu! Seolah-olah hidup mereka akan menjadi hampa dan tak berarti, kalau mereka tidak mendapatkan bokor emas yang diperebutkan itu. Bokor emas itu, yang mengandung rahasia besar yang didongengkan orang, pusaka dari Panglima Besar The Hoo yang sudah terkenal di seluruh dunia, merupakan tujuan satu-satunya bagi para datuk ini. Mereka me-rasa yakin bahwa kalau mereka berhasil menguasai bokor emas, tentu mereka menjadi orang yang terkuat, terpandai, dan terkaya di dunia ini, dan tentu me-reka tidak akan kekurangan apa-apa lagi, dan karenanya dapat hidup bahagia! Betapa tersesatnya pendapat seperti ini, dan betapa menyedihkan bahwa kita semua ini, disadari maupun tidak, kita hidup dalam cengkeraman tujuan dan cita-cita seperti para datuk itu! Kita mengharapkan sesuatu, selalu mengharapkan, menginginkan sesuatu yang kita beri nama cita-cita muluk! Padahal, mengapa kita harus bercita-cita? Mengapa kita harus mengharap dan beringin? Bukankah pengharapan dan keinginan ini menjadi penyebab dari kekecewaan dan kekhawatiran? Kita mengejar sesuatu yang kita namakan cita-cita, dan hati kita selalu diliputi kekhawatiran kalau--kalau kita gagal! Dan kalau sampai ga-gal, kita akan dirundung kecewa, merasa sengsara. Padahal, kalau kita berhasil menguasai apa yang kita kejar dan kita namakan cita-cita itu, benarkah kita akan menemukan bahagia? Berhasilnya cita-cita yang kita kejar itu, benarkah akan membebaskan kita dari duka dan kecewa, dari bosan dan dari khawatir? Biasanya, sesuatu yang amat diinginkan, kalau sudah tergenggam tangan, hanya akan mendatangkan kepuasan sejenak saja, kemudian kita menjadi bosan dan kita mengejar yang lain lagi sehingga cita-cita menjadi lingkaran setan yang tiada putusnya, yang mencengkeram se-lama hidup kita dan membuat hidup kita tak pernah bebas dan tenang! Pengejaran cita-cita menandakan bah-wa kita tidak dapat menghadapi dan mengerti keadaan apa adanya, dan sekali kita tidak merasa puas dengan keadaan apa adanya, maka selamanya kita takkan pernah merasa puas, apa dan bagaimana pun keadaan kita. Sekali kita dicengke-ram oleh pengejaran cita-cita, maka hidup hanya merupakan derita karena kita tak pernah dapat melihat dan me-nikmati saat sekarang, saat demi saat di mana kita sesungguhnya hidup, karena mata kita hanya ditujukan jauh ke depan, kepada esok, lusa, dan masa depan, se-hingga saat ini, sekarang, tidak ada arti-nya lagi. Padahal saat ini atau sekarang inilah kita hidup! Para datuk kaum sesat itu, demi untuk memperoleh bokor emas yang menjadi tujuan dan cita-cita mereka, tidak segan-segan melakukan apapun juga. Tidak segan untuk membunuh, kalau perlu anta-ra kawan sendiri. Dan demikian pula dengan kita yang berlumba dalam mengejar cita-cita, untuk berhasil dalam pengejaran ini, kita pun akan selalu menying-kirkan segala aral yang melintang di tengah jalan! Maka timbullah pertentang-an, permusuhan, dan kebencian, dan se-mua itu dilapisi dengan kedok kebenaran dan keadilan yang pada hakekatnya ada-lah kebenaran dan keadilan demi kepentingan pribadi dan karenanya palsu. Bahkan dalam kesesatan kita tidak segan-segan pula di antara kita manusia ada yang berpegang kepada semboyan “tujuan menghalalkan segala cara”! Semboyan dan pendapat yang sama sekali tidak patut! Cara tidaklah berbeda garis dengan tujuan. Mungkinkah mengusahakan perdamaian dengan peperangan? Mungkin-kah menghilangkan permusuhan dengan penindasan? Mengusahakan persahabatan dengan kemenangan? Cara yang buruk tidak mungkin sama sekali memperoleh tujuan yang baik, demikian pula, tujuan yang buruk tidak mungkin dilakukan de-ngan cara yang baik! Sebulan kemudian, usaha pencaharian yang tekun dari empat orang datuk itu dibagi menjadi dua kelompok. Sebetulnya mereka itu berpencar, akan tetapi karena saling curiga dan tidak ingin kalau orang lain menemukan tempat persembunyian Siang-tok Mo-li tanpa yang lain mengetahuinya, maka diam-diam mereka saling membayangi, atau lebih tepat lagi, Kwi--eng Niocu dan Hek-bin Thian-sin melan-jutkan pencaharian mereka dengan arah yang sama, dan demikian pula Toat--beng Hoat-su dan Ban-tok Coa-ong saling membayangi. Hek-bin Thian-sin dan Kwi-eng Niocu lebih tepat menentukan arahnya dan setelah mencari keterangan di sana-sini, akhirnya pada suatu hari mereka tiba di depan guha di Bukit Burung Walet. Bukit itu terkenal sebagai sarang burung walet. Maka dinamakan demikian, dan di situ terdapat banyak guha dan di dalam guha--guba inilah burung-burung itu bersarang. Sebuah di antara guha-guha itu kini dija-dikan tempat sembunyi Siang-tok Mo-li dan Giok-hong-cu muridnya! Hari telah sore dan burung-burung valet beterbangan memasuki guha-guha yang amat banyak itu. Kedua orang da-tuk kaum sesat itu masih belum tahu benar guha yang mana yang dijadikan tempat sembunyi orang yang dicarinya. Mereka berdiri di depan guha-guha dan memasuki guha yang gelap. “Hemm, tak salah lagi, tentu di sana dia bersembunyi.” Akhirnya Kwi-eng Nio-cu berkata sambil menuding ke arah sebuah guha yang agak besar di tengah--tengah kumpulan guha itu. Hek-bin Thian-sin memandang. Mula-mula dia tidak dapat menduga mengapa Kwi-eng Niocu dapat menentukan demikian, akan tetapi dia pun bukan orang bodoh dan segera dia dapat melihat per-bedaan keadaan guha yang satu ini de-ngan yang lain. Burung-burung walet yang beterbangan itu, memasuki guha--guha yang lain dengan cepat tanpa ragu--ragu, akan tetapi burung-burung yang hendak memasuki guha yang dimaksudkan itu, tidak langsung terbang masuk me-lainkan beterbangan ke sana-sini di depan guha, seolah-olah mereka segan masuk atau ada sesuatu di dalam guha itu yang mereka takuti. “Memang, di sanalah dia bersembu-nyi!” Seperti dikomando saja, keduanya berloncatan dan dengan beberapa loncat-an saja, dua orang datuk yang berilmu tinggi itu telah tiba di depan guha yang dimaksudkan tadi. Guha itu besar dan gelap, juga karena agak dalam maka tidak kelihatan ujungnya dari luar. “Bu Leng Ci, keluarlah engkau! Kami telah tahu bahwa engkau bersembunyi di dalam guha ini! Apa kauminta kami membakar dan mengasapi guha sehingga kau terpaksa keluar seperti seekor kelinci dari dalam lubang? Ha-ha-ha!” Hek--bin Thian-sin berteriak. “Plok! Plok!” Dua ekor burung walet yang sedang beterbangan di atas kepala kedua orang datuk itu, tiba-tiba jatuh di depan kaki mereka dan ternyata dua ekor burung itu telah tewas dengan tu-buh berlubang-lubang terkena Siang-tok-soa (Pasir Beracun Wangi). “Bu Leng Ci, engkau anjing betina, pengkhianat!” Kwi-eng Niocu memaki dengan marah. “Ang-cici, aku sudah menantimu sam-pai lama sekali di sini! Aku tetap men-jadi sekutumu! Mari kita bunuh Si Muka Hitam itu dan bokor ini kita nikmati berdua!” Akan tetapi Kwi-eng Niocu sudah terlalu marah karena dikhianati dan dia tidak lagi percaya kepada Siang-tok Mo-li, maka dia berkata, “Tidak perlu banyak cerewet. Aku datang untuk mem-bunuhmu dan merampas bokor!” “Serrr... serrr...!” Sinar hijau menyambar ke arah dua orang datuk itu. Tentu saja dua orang sakti yang sudah bersiap sedia ini dapat cepat mengelak dan menghindarkan diri dari ancaman maut Siang-tok-soa. Hek-bin Thian-sin tertawa bergelak dengan nada mengejek. “Hek-bin Thian-sin!” terdengar teriak-an Bu Leng Ci dari dalam guha, “Mari kaubantu aku membunuh Kwi-eng Niocu, dan bokor kita nikmati berdua! Kalau kau tidak mau bersekutu dengan aku, mana mungkin engkau menghadapi dia dan dua orang kakek tua bangka yang lain?” Kwi-eng Niocu terkejut sekali dan dia sudah siap menghadapi kalau-kalau Si -Muka Hitam itu terkena bujukan Bu Leng Ci yang amat licik itu. Hek-bin Thian--sin meraba-raba dagunya dan mengerut-kan alisnya, kelihatan ragu-ragu sekali kembali memandang ke arah Kwi-eng Niocu. Kemudian dia mengomel, “Hemm... hemm, usulmu itu sebetuinya baik juga... tapi...” “Thian-sin, jangan gila kau!” Kwi--eng Niocu berseru. “Begitu bodoh tertipu oleh anjing betina itu!” Saat itu dari dalam guha berkelebat bayangan Bu Leng Ci, didahului pedang samurainya yang menjadi sinar terang menyambar ke arah Kwi-eng Niocu. Ten-tu saja Kwi-eng Niocu sudah cepat me-loncat ke belakang menghindar, lalu me-nerjang maju lagi menggunakan senjata-nya yang tidak kalah ampuhnya dengan segala macam senjata tajam, yaitu kuku--kuku tangannya yang panjang dan bera-cun! “Hek-bin Thian-sin, kaupilih saja! Tikus betina tua yang berbahaya ini atau aku yang memegang bokor emas!” Bu Leng Ci masih berteriak sambil mengge-rakkan samurainya menghadapi Kwi-eng Niocu. Hek-bin Thian-sin masih berdiri termangu dan memandang dua orang wanita yang sudah bertanding dengan hebat itu. Di dalam pikirannya terjadi perang sen-diri. Membantu yang mana? Kalau dia membantu, tentu seorang di antara dua wanita ini kalah dan tewas, dan dia memperhitungkan kemungkinan-kemungkinannya, tentu saja dengan menekankan keuntungan bagi dirinya sendiri. Senjata-nya yang menyeramkan, sebatang golok besar yang tajam mengkilap, telah siap di tangan kanannya. Pertandingan yang terjadi antara dua orang wanita lihai itu, amat seru dan mati-matian. Pedang samurai yang pan-jang melengkung sedikit itu telah lenyap bentuknya, berubah menjadi segulung sinar terang yang berkeredepan. Akan tetapi, gerakan Kwi-eng Niocu bukan main gesitnya. Memang, datuk wanita ini terkenal sekali dengan ilmu gin-kangnya sehingga tubuhnya menjadi amat ringan, gerakannya cepat sampai bayangannya lenyap dan karena kelihaian gin-kangnya inilah maka dia dijuluki Si Bayangan Hantu! Biarpun dia tidak memegang sen-jata namun sepuluh buah kuku jari tangannya merupakan senjata-senjata yang amat ampuh, karena jangankan sampai terkena tusukan, baru terkena guratan sebuah di antaranya saja sudah cukup untuk merobohkan lawan! Namun, menghadapi Bu Leng Ci yang dia tahu amat lihai ilmu pedang samurainya yang tajam itu, dia harus berhati-hati, karena betapa pun kuat kukunya, kalau sampai terkena sabetan samurai tentu akan patah. Kedua orang wanita ini bertanding dengan bimbang terutama sekali Kwi-eng Niocu yang khawatir kalau-kalau Si Muka Hitam itu terkena bujukan Bu Leng Ci dan akan maju mengeroyoknya. Kebimbangannya inilah yang membuat pertandingan itu menjadi seimbang, biarpun sebenarnya tingkat kepandaian Ketua Kwi-eng-pang ini masih menang setingkat dibandingkan dengan lawannya. Tiba-tiba Hek-bin Thian-sin tertawa bergelak dan berseru nyaring, “Ha-ha-ha! Mampuslah kau!” Goloknya berkelebat menyambar ke arah leher Kwi-eng Niocu! Ketua Kwi-eng-pang ini kaget dan cepat mengelak, akan tetapi tahu-tahu golok itu sudah menyeleweng dan dengan kecepatan yang tak terduga-duga telah membacok ke arah tubuh Bu Leng Ci! Kiranya kakek muka hitam itu tadi hanya menyerang Kwi-eng Niocu secara palsu untuk mengalihkan perhatian Bu Leng Ci, padahal yang menjadi sasaran goloknya sebenarnya adalah Siang-tok Mo-li. Kepu-tusan ini diambil dan membuktikan kelihaian dan kecerdikan Si Muka Hitam ini. Biarpun bokor berada di tangan Bu Leng Ci, namun dia mengambil keputusan un-tuk membantu Kwi-eng Niocu. Dia ter-ingat akan keterangan Kwi-eng Niocu bahwa Bu Leng Ci mempunyai seorang murid yang berjuluk Giok-hong-cu, dan dia sudah mendengar pula akan kelihaian Giok-hong-cu. Bu Leng Ci muncul sendirian dan bokor emas tidak berada di tangannya, tentu berada di tangan Giok--hong-cu itu. Kalau dia membantu Bu Leng Ci dan mereka berdua berhasil membunuh Kwi-eng Niocu, berarti bahwa dia akan berhadapan dengan Bu Leng Ci dan muridnya itu. Ilmu kepandaiannya hanya menang setingkat dibandingkan dengan Bu Leng Ci, maka kalau Siang--tok Mo-li itu dibantu muridnya yang lihai juga, mana dia akan mampu menang? Sebaliknya, kalau dia membantu Kwi--eng Niocu, tentu Bu Leng Ci dan murid-nya dapat dirobohkan, dan kemudian dia hanya akan berhadapan dengan Kwi-eng Niocu seorang! Tentu saja lebih ringan dan lebih besar harapannya untuk dapat merampas bokor. Bu Leng Ci terkejut bukan main. Dia sama sekali tidak pernah menyangka bahwa Si Muka Hitam itu akan menye-rangnya. Tadi ketika mendengar seruan kakek itu dan melihat golok menyambar ke arah Kwi-eng Niocu, dia sudah mera-sa girang sekali. Siapa mengira bahwa golok itu tiba-tiba membalik dan menye-rangnya sedemikian cepat dan hebatnya! Agak terlambat dia menggerakkan samu-rainya menangkis. “Cringgg...!” Bu Leng Ci berhasil menyelamatkan diri dari sambaran golok dengan tangkisannya, akan tetapi karena dia menangkis terlambat dan kedudukan-nya tidak baik, maka terhuyung dan pada saat itu dia merasa pundaknya perih dan panas! “Siluman betina...!” Dia memaki dan terdengar suara ketawa Kwi-eng Niocu yang telah berhasil mencengkeram dan melukai pundak Bu Leng Ci. Dengan kemarahan meluap, Bu Leng Ci tidak mempedulikan lagi sambaran golok di tangan Hek-bin Thian-sin, samurainya meluncur seperti sambaran halilintar ke arah Kwi-eng Niocu. Serangan nekat ini membuat Kwi-eng Niocu terkejut, dan terpaksa dia mengelak. Melihat samurai masih mengancamnya, terpaksa dia menggunakan ujung kuku tangan kirinya menangkis. “Trakkk...!” Dia berhasil menyela-matkan diri, akan tetapi dia harus me-ngorbankan lima kuku jari tangan kirinya yang terbabat putus semua! Dan pada saat itu, golok Hek-bin Thian-sin telah melukai paha kanan Bu Leng Ci. Wanita ini terguling, akan tetapi sambil memu-tar samurainya, dia sudah meloncat lagi, tidak mempedulikan darah yang muncrat--muncrat keluar dari luka di pahanya. “Bi Kiok...! Lari...!” Dia menjerit. Tepat seperti diduga oleh Hek-bin Thian-sin, murid Siang-tok Mo-li memang bersembunyi di dalam guha sambil menanti tanda dari gurunya. Kalau bujukan gurunya berhasil dan Kwi-eng Niocu dapat dirobohkan, dia akan keluar memban-tu gurunya mengeroyok Hek-bin Thian--sin. Akan tetapi betapa terkejutnya ketika dari pengintaiannya dara ini melihat keadaan berubah dan terbalik sama seka-li. Malah gurunya yang dikeroyok oleh dua orang datuk itu, dan kini gurunya terluka hebat. Sebetulnya ingin dia me-ngamuk, membela gurunya, akan tetapi karena memang semua telah diatur guru-nya, semenjak mereka melarikan diri setelah berhasil menguasai bokor emas, Bi Kiok tidak berani melanggar perintah dan dia lalu melompat keluar dari dalam guha dan terus melarikan diri. “Haii, hendak ke mana engkau?” Hek-bin Thian-sin yang memang sudah memperhitungkan hal ini, dapat bergerak lebih cepat dan daripada Kwi-eng Niocu. Dia sengaja mendekati mulut guha dan membiarkan Kwi-eng Niocu melampiaskan kemarahannya karena kehilangan kuku jari tangan kiri kepada Bu Leng Ci sedangkan dia sendiri begitu melihat berkelebatnya bayangan seorang dara cantik, cepat menubruk maju. “Singgg...!” Sinar terang meluncur ke arah kakek itu ketika Yo Bi Kiok atau yang berjuluk Giok-hong-cu menusukkan pedangnya kepada kakek yang mengha-dang di depannya. “Trangggg...!” Golok besar itu me-nangkis dengan pengerahan tenaga hebat sekali, membuat pedang itu terpental dan hampir terlepas dari tangan Bi Kiok! Dara itu maklum bahwa dia tidak boleh terlalu lama melayani lawannya yang amat tangguh, maka sesuai dengan rencana yang telah diatur gurunya, dia melemparkan bokor emas jauh ke kiri. Melihat ini, Hek-bin Thian-sin cepat mendorongkan tangan kirinya ke arah Bi Kiok. Pukulan jarak jauh ini dahsyat sekali dah Bi Kiok yang tidak menyangkanya, dilanda hawa pukulan sehingga terjengkang. Dadanya terasa panas dan napasnya sesak, akan tetapi dia dapat meloncat bangun dan cepat melarikan diri dari tempat itu. Hek-bin Thian-sin tertawa bergelak ketika dia menyambar bokor emas dengan tangan kirinya, cepat membalikkan tubuh ke arah Kwi-eng Niocu dengan golok siap di tangan kanan. Kwi-eng Niocu telah berhasil merobohkan Bu Leng Ci. Kegemasannya terhadap adik angkat yang sebetulnya diangkat adik hanya untuk memenuhi muslihat masing-masing, karena Bu Leng Ci telah mengkhianatinya dan telah mematahkan lima kuku jari tangan kirinya, membuat Ketua Kwi-eng-pang ini seperti gila. Mula-mula, sebuah tangannya berhasil melemparkan samurai dari genggaman tangan Bu Leng Ci yang terluka parah, terkena racun kuku jari Kwi-eng-pang dan pahanya terluka herat oleh golok Hek-bin Thian-sin. Namun Bu Leng Ci yang sudah maklum akan bahaya maut yang mengancam nyawanya, masih nekat melakukan perlawanan, bahkan menubruk maju dengan kedua tangan hendak mencengkeram, kedua tangan yang telah merobek banyak dada pria untuk mengambil jantungnya dan memakannya itu, jari tangan yang amat kuat seperti baja. Namun karena dia sudah terluka, maka gerakannya kurang cepat dan Kwi-eng Niocu yang maklum pula betapa bahayanya lawan yang sudah menjadi nekat, cepat miringkan tubuh mengelak sehingga tubuh Bu Leng Ci terdorong ke depan oleh gerakannya sendiri. Saat itu dipergunakan oleh Kwi-eng Niocu untuk mencengkeram ubun-ubun kepala lawan dari samping. “Krekkk...! Auuugghhh...!” Bu Leng Ci yang terkenal dengan julukan Siang-tok Mo-li, yang namanya amat terkenal ditakuti soperti iblis di daerah selatan pantai laut selatan, kini menjerit mengerikan dan agaknya nyawanya melayang pergi bersama jeritannya itu. Setelah melihat lawannya tewas, Kwi-eng Niocu memandang Hek-bin Thian-sin yang tersenyum-senyum memandangi bokor emas di tangannya. “Hek-bin Thian-sin, karena kita berdua yang menemukan bokor itu, dan aku yapg membunuh Siang-tok Mo-li, maka sudah sepatutnya ka1au kita berdua yang berhak atas pusaka itu.” “Ha-ha, Kwi-eng Niocu. Terhadap Siang-tok Mo-li saja aku sudah tidak dapat terbujuk, apalagi menghadapi engkau. Tentu saja aku tidak percaya. Kalau kau mampu, boleh kaucoba merampas bokor ini dari tanganku!” Kakek muka hitam itu memegang bokor dengan tangan kiri sedangkan golok di tangan kanannya dikelebatkan. Kwi-eng Niocu bukanlah seorang bodoh. Dalam keadaan tidak terluka sekali-pun, kekuatannya seimbang dibandingkan dengan Si Muka Hitam itu dan biarpun dia tidak takut, dia agaknya harus me-ngeluarkan seluruh kepandaiannya untuk memenangkan datuk timur ini. Akan tetapi sekarang dia telah kehilangan lima buah kuku jari tangan kirinya. Biarpun tidak terluka, namun malapetaka ini baginya lebih hebat daripada kalau dia terluka karena dia kehilangan separuh dari senjatanya dan karenanya dia tidak akan dapat bergerak leluasa. Dalam ke-adaan seperti sekarang ini, melawan Hek-bin Thian-sin sama artinya dengan membunuh diri secara konyol. Tentu saja dia tidak sudi membunuh diri. Masih banyak waktu untuk kelak berusaha me-rampas bokor itu dari tangan Si Muka Hitam. Bukankah tidak ada orang lain yang tahu bahwa bokor yang diperebutkan itu kini berada di tangan Hek-bin Thian-sin? Maka dia tidak menjawab, bahkan cepat dia membalikkan tubuh dan lari pergi dari tempat itu sebelum datuk dari timur itu berpikir lain. Dan memang kepergian Kwi-eng Niocu ini tidak terlambat dan tepat sekali karena setelah datuk wanita itu pergi, Hek-bin Thian-sin mengerutkan alis dan merasa menyesal mengapa dia tidak membunuh saja Kwi-eng Niocu yang sudah kehilangan semua kuku tangan kirinya. Kini dia maklum bahwa setidaknya masih ada bahaya mengancam kepadanya dari satu jurusan, yaitu dari Kwi-ouw tempat tinggal Ketua Kwi-eng-pang itu. Akan tetapi kegembiraan memperoleh bokor emas yang diidam-idamkan itu membuat dia segera melupakan hal ini dan cepat dia pun lari pergi menuju ke timur karena dia berniat untuk bersembunyi di pantai timur, tempat di mana dia menjadi datuknya dan diam-diam memeriksa rahasia bokor emas yang kabarnya selain mengandung rahasia tempat penyimpanan harta karun yang amat besar, juga mengandung rahasia tempat penyimpanan kitab-kitab pelajaran kesak-tian dari Panglima Besar The Hoo! Dia harus cepat-cepat menyelamatkan diri dan menghindarkan pengejaran dua orang kakek datuk lainnya, yaitu Toat-beng Hoat-su dan Ban-tok Coa-ong, dua orang yang dia tahu amat sakti dan lebih lihai daripada dia sendiri. Selain ini, juga dia harus menghindarkan pertemuan dengan kakek asing botak Legaspi Selado yang selain lihai juga mempunyai banyak kaki tangan, bahkan bersekutu dengan pasukan pemberontak. Tadinya memang dia telah menceritakan tentang bokor kepada Le-gaspi sehingga menarik perhatian kakek itu yang berjanji untuk membantunya. Akan tetapi setelah kini bokor terjatuh ke dalam tangannya, dia merasa tidak perlu lagi untuk berurusan dengan kakek asing itu! Ternyata bahwa Hek-bin Thian-sin terlalu memandang rendah kepada Legas-pi Selado. Dia sama sekali tidak mengira bahwa kakek asing yang botak itu selain berkepandaian tinggi, juga amat cerdik, jauh lebih cerdik daripada datuk timur ini! Maka, dapat dibayangkan betapa kaget hati Hek-bin Thian-sin ketika dia menuruni bukit dan tiba di hutan yang mengurung kaki bukit, tiba-tiba saja muncul Legaspi Selado di depannya sam-bil tersenyum lebar! Terlambat bagi Hek--bin Thian-sin untuk menyembunyikan bokor emas itu dan dengan jantung berdebar dia mendengar kakek asing botak itu menegurnya. “Ahai sahabatku yang baik Hek-bin Thian-sin Louw Ek Bu! Siapa mengira bahwa kita bertemu di sini dan ternyata engkau telah berhasil menemukan bokor emas itu. Bagus! Mari kita bawa ke kapalku dan di sana kita mencari rahasia bokor itu, sahabatku yang baik!” Biarpun dia terkejut dan khawatir melihat munculnya kakek asing yang sama sekali tidak disangka-sangkanya ini, mendengar ucapan itu, Hek-bin Thian-sin menjadi marah. Dia maklum bahwa Legaspi memiliki kepandaian tinggi, namun dia tidak takut. “Legaspi Selado, bokor ini adalah aku sendiri yang mendapatkannya, maka tidak mungkin dapat kubagi dengan siapapun juga.” “Hemmm, begitukah...?” Kakek botak itu tiba-tiba mengeluarkan suara bersuit nyaring dan bermunculanlah belasan orang dari balik pohon-pohon di sekeliling tempat itu. Mereka ini adalah para per-wira pemberontak yang berhasil menye-lamatkan diri dan lari ketika Ceng-to diserbu oleh pasukan pemerintah yang di-pimpin sendiri oleh Pendekar Sakti Cia Keng Hong. Bekas perwira ini menyamar dengan pakaian preman dan dipergunakan oleh Legaspi Selado yang juga berhasil melarikan diri bersama teman-teman sebangsanya. Kini, atas isyarat yang diberikan kakek botak itu, mereka telah mencabut senjata golok dan pedang, mengurung Hek-bin Thian-sin. “Legaspi Selado, mau apa kau?” Hek--bin Thian-sin membentak. “Ha-ha-ha, Tuan Low Ek Bu! Engkau memang seorang yang murka dan khianat. Di Ceng-to, engkau telah meninggal-kan kami. Sekarang, dengan baik aku mengajakmu bersama-sama menyelidiki rahasia bokor, akan tetapi engkau hendak menguasainya sendiri saja. Karena itu, aku tidak sudi bersahabat lagi denganmu. Engkau adalah musuh dan kau harus me-nyerahkan bokor atau nyawamu!” “Anjing biadab asing keparat!” Hek bin Thian-sin memaki dan golok di ta-ngannya sudah diputar cepat, berubah menjadi segulung sinar menyilaukan mata dan mengamuklah datuk timur ini. Dua orang bekas perwira yang menangkis goloknya, berteriak ketika pedang mereka patah-patah dan golok terus menyambar ke arah tubuh mereka, merobek dada dan perut sehingga mereka roboh dan tewas seketika. Seorang lain yang menusukkan pedang dari belakang, dielakkan oleh Hek-bin Thian-sin, goloknya menyambar lagi. Pedang, itu kena dihantam dari sam-ping, mencelat dan pedang itu menancap di dada kiri seorang pengeroyok yang memekik nyaring dan roboh telentang, tewas pula. Amukan Hek-bin Thian-sin amat he-bat. Kepandaiannya tidak dapat dilawan oleh para bekas perwira. Melihat ini, Legaspi menjadi marah sekali. Dilolosnya pecut dari pinggangnya, dan pecut itu digerakkan cepat sekali, meledak-ledak, menyambar ke atas kepala Hek-bin Thian-sin. “Tar-tar-tar-tarrr...!” Hek bin Thian-sin cepat mengelak sambil membabatkan golok di sekeliling-nya dengan kecepatan luar biasa. Kemba-li ada tiga orang pengeroyok roboh dan darah muncrat dari luka-luka mereka. “Mundur semua...!” Legaspi Selado berteriak marah melihat enam orang anak buahnya tewas oleh sepak terjang lawan yang hebat itu. Dia sendiri sudah menerjang maju dan terjadilah kini per-tandingan yang amat seru. Legaspi Se-lado memperoleh ilmu cambuknya dari Nepal, dilatih oleh seorang ahli cambuk yang banyak terdapat di negara itu. Se-lain ini, Legaspi sudah banyak mempela-jari ilmu silat dan memiliki sin-kang serta gin-kang yang tinggi. Namun, Hek-bin Thian-sin adalah seorang datuk timur yang lihai. Dengan bokor di tangan kiri kakek ini menggerakkan goloknya, kadang-kadang bertubi-tubi menyerang kadang-kadang golok diputarnya sedemi-kian rupa sehingga tubuhnya terlindung oleh gulungan sinar, membuat ancaman dan serangan ujung cambuk gagal semua. Legaspi Selado selama berkenalan dengan Hek-bin Thian-sin, juga baru sekali ini bertanding melawan bekas sekutu ini, maka dia yang terlalu mengandalkan kepandaian sendiri dan memandang rendah orang lain, ketika melihat betapa cambuk saktinya yang selamanya ini sukar menemukan tanding, kini tidak dapat berbuat banyak menghadapi datuk timur ini. “Tar-tar-tar... wuuttttt...!” Kini dia merobah gerakan pecutnya. Ujung cambuk itu menjadi sinar hitam melingkar-lingkar di atas, kemudian meluncur ke bawah dan tahu-tahu telah melibat golok Hek-bin Thian-sin. Datuk ini kaget sekali, tentu saja mempertahankan golok-nya dengan pengerahan sin-kangnya. Terjadi tarik-menarik, keduanya mengerah-kan tenaga sin-kang. “Trakkk...! Brettt...!” Golok patah tengahnya dan cambuk juga putus bagian tengahnya. Kedua orang itu mendengus marah, melempar gagang golok dan ga-gang cambuk, kemudian mereka saling menerjang dengan tangan koseng! Akan tetapi karena Hek-bin Thian-sin menggunakan tangan kirinya untuk memeluk bokor emas, maka dia hanya mempergunakan tangan kanan dan hal ini membuat dia terdesak hebat. Selagi ka-kek ini mencari jalan ke luar untuk melarikan diri, tiba-tiba terdengar suara tertawa halus dan dari atas melayang sesosok tubuh yang langsung menerjang kedua orang yang sedang bertanding. Begitu terjun dari atas, tangan kiri orang itu mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Hek-bin Thian-sin dengan gerakan yang dahsyat sekali. “Aihhh...!” Hek-bin Thian-sin berte-riak kaget, maklum bahwa serangan ke arah ubun-ubun kepalanya itu dapat mendatangkan maut! Maka cepat dia menang-kis dengan tangan kirinya dan pada saat itu, tangan kanan Toat-beng Hoat-su sudah merampas bokor emas yang dipe-gang erat-erat oleh tangan kiri datuk timur. “Heii... kembalikan!” Hek-bin Thian--sin berseru. “Serahkan bokor itu kepadaku!” Legas-pi Selado juga berteriak. Dua orang ka-kek ini mengulurkan tangan untuk merampas bokor, akan tetapi dengan gerak-an amat ringan, Toat-beng Hoat-su sudah mencelat ke atas, berjungkir balik dan tertawa melihat betapa Legaspi dan Hek--bin Thian-sin bertumbukan ketika berebut merampas bokor. Tubrukan ini diperguna-kan oleh Legaspi untuk menghantam ke arah dada Hek-bin Thian-sin. Melihat gerakan ini, Toat-beng Hoat-su yang sudah meluncur turun itu pun mengguna-kan telapak tangan kirinya untuk meng-hantam punggung Hek-bin Thian-sin. Diserang secara berbareng oleh dua orang kakek sakti itu, dari depan dan belakang, Hek-bin Thian-sin terkejut, mengerahkan sin-kang dan berusaha menangkis. Namun terlambat. Dada dan punggungnya terpu-kul, dia berkelojot, matanya terbelalak, mulutnya menyemburkan darah segar, kedua tangannya masih berusaha untuk memukul kedua orang lawan itu, akan tetapi begitu Legaspi dan Toat-beng Hoat-su meloncat mundur, Hek-bin Thian--sin Louw Ek Bu terguling roboh dan tewas seketika. Tentu saja isi dadanya remuk terkena hantaman dua orang sakti dari depan dan belakang itu. Legaspi Selado memandang kepada Toat-beng Hoat-su dengan mata terbelalak lebar. Dia belum pernah bertemu dengan kakek ini, akan tetapi dari keterangan Hek-bin Thian-sin ketika masih menjadi sekutunya, dia telah mendengar tentang empat orang datuk kaum sesat lainnya, maka kini melihat Toat-beng Hoat-su, segera dia dapat menduganya. “Toat-beng Hoat-su, berikan bokor itu kepadaku!” bentaknya sambil meloncat ke depan dan serta merta dia memukul dengan kedua tangannya bergantian. “Ha-ha-ha, anjing asing kau ikut-ikut memperebutkan bokor!” Toat-beng Hoat--su menangkis. “Dess! Dess! Plak-plal-plakkk!” Pertemuan kedua tangan secara bertubi ini membuat keduanya terhuyung ke bela-kang dan keduanya terkejut sekali. Per-temuan tangan mereka tadi telah mem-buktikan betapa masing-masing memiliki tenaga sin-kang yang berimbang atau kalau ada selisihnya pun tidak banyak. Toat-beng Hoat-su yang sudah berhasil merampas bokor, segera meloncat jauh ke belakang dan melarikan diri keluar dari hutan itu. “Kejar...!” Legaspi Selado berseru sambil lari mengejar, diikuti oleh sisa anak buahnya. Akan tetapi, tiba-tiba tampak bebe-rapa orang yang riap-riapan rambutnya melepas anak panah berapi sehingga terjadilah kebakaran di hutan itu yang menghadang Legaspi dan anak buahnya. Kiranya mereka itu adalah orang-orang Nepal yang meniadi anak buah Toat-beng Hoat-su! Ketika Toat-beng Hoat-su bersama tiga orang datuk lain secara ber-pencar menyelidiki larinya Siang-tok Mo-li, dia bersama dengan Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok telah berunding dan ber-mufakat untuk bekerja sama. Mereka maklum bahwa kalau seorang di antara mereka berhasil mendapatkan bokor, tentu mereka akan terpaksa saling bunuh dan mereka tidak akan pernah dapat hidup aman dengan bokor di tangan. Maka mereka mengambil keputusan untuk bekerja sama sehingga kedudukan mere-ka kuat, dan Ban-tok Coa-ong malah menawarkan tempat persembunyiannya di Pulau Ular, dan orang-orang Nepal itu adalah para pembantunya pula yang kemudian sebagian membantu Toat-beng Hoat-su dan sebagian pula membantu Ban-tok Coa-ong untuk mencari secara terpisah. Akhirnya, Toat-beng Hoat-su yang berhasil lebih dulu dan bersama anak buah orang-orang Nepal itu dia melarikan diri ke pantai di mana telah menanti sebuah perahu besar yang diberi nama Angin Barat. Toat-beng Hoat-su dan anak buahnya disambut oleh Ban-tok Coa-ong yang telah kembali ke pera-hu dulu. Tentu saja Ban-tok Coa-ong menjadi girang sekali. “Biarkan Angin Barat berangkat sen-diri, kita berdua menggunakan perahu kecilku!” kata Ouwyang Kok Si Raja Ular itu. “Mengapa begitu? Bukankah lebih aman naik Angin Barat yang besar?” Toat-beng Hoat-su bertanya. “Benda ini dicari oleh banyak sekali orang pandai di dunia kang-ouw dan menurutkan ceritamu tadi, tentu Legaspi Selado tidak akan tinggal diam begitu saja. Orang-orang asing itu memiliki ka-pal besar yang jauh lebih kuat daripada perahu kita, maka kalau sampai kita ter-susul di tengah lautan, tentu akan berbahaya sekali. Kapal asing itu mempunyai senjata api besar berupa meriam dan kalau perahu besar kita tenggelam, apa yang dapat kita lakukan? Lebih baik kita naik perahu kecil, perahu nelayan sehingga tidak ada yang menaruh curiga. Kalau kita sudah tiba di Pulau Ular, kita tidak perlu khawatir lagi terhadap serbuan musuh.” Toat-beng Hoat-su mengangguk-ang-guk, memuji kecerdikan dan sikap yang berhati-hati ini. Mereka mendahului berangkat dengan sebuah perahu layar kecil yang meluncur cepat biarpun pagi itu tiada angin karena dua batang dayung digerakkan oleh dua pasan tangan yang memiliki kekuatan dahsyat. Enam orang Nepal itu segera mema-sang layar, memberangkatkan perahu Angin Barat yang meluncur seenaknya di atas air laut meninggalkan pantai. Akan tetapi, belum jauh dari pantai, orang--orang Nepal yang rambutnya riap-riapan tertiup angin laut itu melihat perahu kecil dengan penumpang tiga orang. Orang yang tadinya duduk di tengah, seorang kakek kurus, tiba-tiba merampas dayung dari tangan temannya dan dialah yang kini mendayupg perahu itu mendekati perahu besar Angin Barat. “Wah, jangan-jangan mereka itu mata--mata musuh!” Pemimpin orang Nepal berkata. “Jelas bukan perahu nelayan, akan tetapi, kelau perahu pelancong mengapa sampai begini jauh meninggalkan pantai?” “Kita tabrak saja biar terguling dan menjadi mangsa ikan!” kata temannya. Pemimpin orang-orang Nepal itu memegang kemudi perahu, diputarnya perahu Angin Barat sehingga kini membelok dan dengan laju meluncur ke arah perahu kecil. Kakek yang memegang dayung, menggunakan kedua tangan mendayung perahu untuk menghindari tubrukan. Memang terhindar, akan tetapi ombak yang dibuat oleh Angin Barat membuat perahu kecil oleng. “Berpegang erat-erat!” kakek itu berseru, kemudian dayungnya bergerak cepat dan... perahu kecil itu meluncur terbang ke atas perahu besar Angin Barat! Dapat dibayangkan betapa kagetnya orang-orang Nepal itu melihat perahu kecil itu dapat “terbang” ke atas perahu besar mereka. Tentu saja perahu kecil itu bukannya terbang, melainkan terlempar ke atas ketika kakek kurus itu menggunakan dayungnya untuk menekan langkan perahu Angin Barat dan meng-gunakan kakinya untuk mengait papan di dalam perahu kecilnya. Dari kenyataan ini saja dapat dibayangkan betapa lihainya kakek kurus itu. Dua orang Nepal hendak menyerbu, akan tetapi kakek itu menggunakan dayungnya menampar dan dua orang itu roboh pingsan! Terdengar suara keras ketika perahu kecil itu mendarat di atas dek perahu Angin Barat, dan empat orang Nepal dengan marah datang menerjang. Kembali dayung itu bergerak empat kali dan empat orang ini pun roboh tak dapat bangkit kembali! Tentu saja pemimpin orang Nepal yang roboh dan patah tulang pundaknya itu terkejut sekali dan timbul rasa takut di hatinya ketika kakek tinggi kurus itu melangkah menghampirinya. “Hayo katakan di mana adanya Toat-beng Hoat-su!” Pemimpin orang Nepal itu makin terkejut ketika mendengar orang tinggi kurus ini membentak kepadanya dalam bahasa Nepal yang cukup baik! Tahulah dia bahwa orang tinggi kurus ini adalah seorang aneh yang berkepandaian tinggi, maka sambil merintih dia berkata. “Ampunkan... hamba... hamba tidak tahu... kami hanyalah nelayan-nelayan...” “Hemm... masih berani membohong? Kalian tentu pelarian dari penjaga di Nepal yang belum lama ini memberontak dengan bantuan Ban-tok Coa-ong, bukan? Jangan mengira aku tidak mengerti. Kau berhadapan dengan pengawal pertama dari Panglima Besar The Hoo.” Mendengar ini, orang Nepal itu dan juga teman-temannya yang sudah siuman terkejut dan cepat mereka menjatuhkan diri berlutut minta-minta ampun adalah orang kurus tinggi itu bukan lain adalah Pengawal Thio Hok Gwan, Si Pengantuk yang lihai itu! Dan orang yang datang bersamanya dalam perahu adalah dua orang pengawal yang selalu menemaninya, yaitu Si Muka Pucat Kui Siang Han dan Si Muka Merah Song Kim! Setelah selesai menggempur para pemberontak di Sungai Huang-ho, dan mendengar bahwa bokor emas dilarikan Kwi-eng Niocu, Si Pengantuk ini mengajak dua orang teman itu untuk pergi melakukan pengejaran dan hal itu disetujui oleh Souw Li Hwa. Memang pengawal suhunya itu bertugas untuk mencari kembali bokor emas, maka dia mengalah dan dialah yang mengawal tawanan ke kota raja, setelah dia membebaskan Yuan de Gama. “Aku sudah tahu bahwa Kakek Toat-beng Hoat-su pagi tadi kalian bantu di hutan, kemudian lari ke perahu Angin Barat ini. Hayo katakan ke mana dia pergi bersembunyi.” Tahulah kini orang-orang Nepal itu bahwa mereka tidak mungkin dapat membohong lagi. “Dia bersama dengan Ban-tok Coa-ong telah pergi dengan pe-rahu layar kecil ke Pulau Ular.” “Pulau Ular? Di mana dia itu? Tempat apa?” Tio Gwan membentak. “Kami sendiri belum lama dibawa oleh Ban-tok Coa-ong ke tempat itu, dan letaknya di bagian selatan Teluk Pohai. Pulau kosong yang amat berbahaya, penuh ular berbisa.” Tio Hok Gwan tidak berani sembrono melakukan pengejaran ke pulau itu. Dia tahu betapa lihainya Toat-beng Hoat-su. Menghadapi datuk pertama ini saja belum tentu dia dan dua orang pemban-tunya dapat menang, apalagi di sana masih ada Ban-tok Coa-ang yang amat lihai dan berbahaya, dan kabarnya putera dari Raja Ular itu juga amat lihai, ditambah lagi dengan tempat berbahaya penuh ular dan mungkin anak buah mereka yang banyak jumlahnya. Dia lalu memerintahkan dua orang pembantunya untuk melayarkan perahu Anginn Barat itu ke pantai, kemudian menyerahkan enam orang Nepal itu sebagai tahanan di kota terdekat dan dia sendiri bersama dua orang pembantunya, segera kembali ke kota raja untuk melaporkan kepada Panglima Besar The Hoo akan bokor emas yang kini berada di Pulau Ular!   Kun Liong berjalan seorang diri sam-bil kadang-kadang tersenyum geli. Dia masih teringat akan nikouw yang diobatinya dan merasa geli kalau teringat beta-pa tanpa disangka-sangkanya, dia berke-sempatan untuk meraba-raba pinggul seorang wanita yang begitu halus dan mulus! Biarpun dia tidak berniat melaku-kan perbuatan itu melainkan terpaksa untuk mengobatinya, namun kini teringat akan itu, teringat pula betapa nikouw itu menjadi malu, dia tersenyum sendiri. Betapa anehnya semua hal yang dialaminya, pikirnya. Hal-hal yang berhubungan dengan wanita! Dia selalu merasa senang berurusan dengan wanita! Banyak sudah terjadi hal yang menyenangkan. DENGAN Liem Hwi Sian yang diciumnya dan yang ternyata menyatakan cinta kepadanya! Dengan Cia Giok Keng yang cantik jelita akan tetapi ga-lak dan gagah perkasa. Dengan Yo Bi Kiok yang juga menyatakan cinta kepada-nya! Dengan Souw Li Hwa yang angkuh. Kemudian dengan nikouw yang hanya dikenal pinggul sebelahnya saja! Aneh semua itu! Sudah ada dua orang dara cantik jelita mengaku cinta kepadanya. Akan tetapi mana mungkin dia membo-hongi mereka dan mengaku cinta? Tidak, dia tidak sekejam itu! Dia tidak mau membohongi dara-dara yang amat disukanya itu. Mengenangkan kedua orang dara itu, dia merasa kasihan kepada Hwi Sian dan Bi Kiok. Mengapa dua orang dara itu begitu bodoh dan jatuh cinta kepadanya? Benarkah bahwa mereka mencintanya? Mengapa ketika dia berterus terang menyatakan bahwa dia suka akan tetapi tidak cinta, ketika ternyata bahwa dia tidak membalas cinta mereka, kedua orang dara itu menjadi marah dan ber-duka? Apakah cinta itu menuntut balas-an? Cintakah atau nafsu berahikah itu yang mendorong pria dan wanita saling mendekat dan masing-masing mencurah-kan perasaannya dengan tuntutan yang menjadi dasar, tuntutan itu saling memi-liki, saling menguasai, dan saling menye-nangkan dan disenangkan? Kalau ada tun-tutan seperti itu, sudah pasti sekali ter-cipta kecewa, duka, cemburu dan benci. Benarkah bahwa cinta menimbulkan se-mua kesengsaraan ini? Kalau begitu, bu-kanlah cinta namanya, yang menimbulkan kecewa, duka, cemburu, benci dan iri adalah pikiran, ingatan. Kalau pikiran memasuki hati, semuanya menjadi keruh dan rusak, karena pikiran memperkuat si aku sehingga segala gerak tubuh, segala gerak hati dan pikiran selalu ditujukan demi kepentingan dan kesenangan si aku. Maka cinta pun menjadi bukan cinta lagi karena di situ terkandung tuntutan supa-ya aku dicinta, aku diperhatikan, aku dipuaskan, engkau menjadi milikku, aku menggantungkan semua harapan akan kepuasan dan kenikmatan hidup kepada-mu. Selama engkau melayani segala ke-butuhanku lahir batin, selama engkau memuaskan aku, selama engkau menye-nangkan aku, selama engkau menjadi mi-likku pribadi, mulut ini tak segan-segan menyatakan “aku cinta padamu”. Akan tetapi kalau engkau mengingkari semua tuntunanku itu, kalau engkau tidak mau melayani kebutuhan lahir batin dariku, kalau engkau mengecewakan aku, kalau engkau tidak menyenangkan aku, kalau engkau melepaskan diri dariku dan lari kepada orang lain, cintaku berubah men-jadi cemburu dan benci! Kun Liong menggaruk-garuk kepalanya. Yang begitukah cinta? Betapa rendah tipis dangkal dan tidak bermutu! Betapa- pun juga, dia menyesal teringat bahwa dia menyebabkan dua orang dara itu berduka dan kecewa. Akan tetapi, nanti dulu! Benarkah dia yang menyebabkan mereka berduka? Bukankah yang menjadi penyebab adalah pikiran mereka sendiri? Di dunia ini apa pun yang menimpa diri secara batiniah, yang menimbulkan perasaan girang-sedih, cinta-benci, puas-kecewa dan suka-duka, sama sekali tidak disebabkan dari luar, melainkan disebabkan oleh ingatannya sendiri. Ingatan yang menimbulkan itu semua. Kalau orang tidak mengingat akan masa lalu apakah ada itu yang dinamakan benci, duka dan sebagainya? Membenci seorang lain tentu ditimbulkan oleh ingatan akan masa lalu, apa yang telah dilakukan oleh orang itu terhadap dirinya, tentu saja yang merugikan akunya. Ingatannya yang menjadi gara-gara kesengsaraan hidup. Dapatkah manusia hidup bebas dari ingatan, bebas dari pikiran? Kun Liong menggerakkan kedua pundaknya dan melanjutkan perjalanannya memasuki hutan terakhir di kota Liok-bun. Agaknya kota ini dinamakan Liok-bun (Enam Pintu) karena pintu gerbangnya berjumlah enam buah. Ingatan memang ada perlunya, dia menjawab pertanyaannya sendiri sambil melangkah ke dalam hutan yang indah itu. Akan tetapi ingatan itu hanya perlu untuk menghadapi urusan lahiriah yang nyata, untuk keperluan pemeliharaan dan kelangsungan hidup ini. Tanpa ingatan tentu akan kacau-balau kehidupan lahir-iah ini. Akan tetapi, sekali ingatan membayangkan segala hal yang lalu dan yang akan datang, membayangkan peristiwa--peristiwa yang dibagi dua sebagai hal yang menyenangkan dan tidak menye-nangkan, kalau pikiran memasuki batin, maka terciptalah segala perasaan yang bertentangan dan menjadikan hidup manusia ini seperti dalam neraka yang di-ceritakan dongeng. Tiba-tiba Kun Liong sadar dari lamunannya oleh suara yang datang terbawa angin. Suara tambur dan terompet, suara banyak orang, suara pasukan yang besar! Suara itu datang dari arah depan, dari kota Liok-bun. Agaknya di kota itu terdapat banyak pasukan, pikirnya sambil mempercepat langkahnya karena dia menjadi ingin sekali tahu mengapa tempat itu penuh dengan pasukan. Ketika dia melangkah dengan tergesa--gesa itu, tiba-tiba terdengar suara orang memanggilnya. “Eh, bukankah kau Kun Liong...?” Kun Liong cepat menahan langkahnya dan menoleh ke kiri. Betapa girangnya ketika dia mengenal Pendekar Sakti Cia Keng Hong sedang duduk seorang diri di bawah pohon! Cepat dia menghampiri dan memberi hormat. "Cia-supek...! Mengapa Supek berada di sini seorang diri?" Cia Keng Hong yang berpakaian se-derhana dan membungkus rambut kepala-nya dengan sutera kuning itu tersenyum. “Duduklah, Kun Liong. Aku sedang me-ngaso dan menjauhkan diri dari kesibukan pasukan. Betapa indah menyenangkan di tempat sunyi ini setelah berpekan-pekan sibuk menghadapi banyak orang dan me-lihat kekerasan dan perang. Sungguh benar ucapan seorang pujangga kuno bahwa di mana ada manusia, di situ tentu timbul kekerasan, kekejaman, dan kekacauan. Kebenaran itu terasa sekali kalau kita duduk menyendiri di tempat yang sunyi dari kehadiran manusia seper-ti di tempat ini.”   Kun Liong duduk di atas rumput dengan pendekar sakti itu. “Memang tepat sekali apa yang Supek katakan. Teecu (murid) sendiri sudah berkali-kali me-nyaksikan kekerasan dan kekejaman yang terjadi antara manusia. Apakah selama kita berpisah di Ceng-to dahulu itu ke-adaan Supek baik-baik saja?” Cia Keng Hong menarik napas panjang. “Entah bagaimana aku harus menjawab pertanyaanmu itu. Aku telah melapor ke kota raja, pasukan dikirim dan aku ditugaskan untuk membantu. Pasukan pemerintah berhasil menghancurkan pemberontak, sisanya melarikan diri cerai--berai dan memasuki hutan-hutan. Mereka sudah terpecah belah, tidak membahaya-kan keamanan negara lagi. Bahkan orang--orang asing itu telah menghubungi pemerintah dan dengan langsung dari kota raja mereka diperbolehkan untuk mendarat dan berdagang, akan tetapi terbatas di sekitar pantai Pohai saja. Aku melihat perang, melihat ratusan orang roboh dan tewas, saling bunuh dan saling sembelih. Entah keadaan seperti itu baik atau buruk.” Pendekar sakti itu menarik napas panjang. Kun Liong juga menghela napas. Dia sendiri merasa ngeri menyaksikan keganasan manusia saling bunuh. “Bagaimana dengan engkau sendiri?” Cia Keng Hong bertanya. “Apa yang terjadi dengan gadis yang kita tolong dari rumah Hek-bin Thian-sin di Ceng-to dahulu itu?” “Nona itu bernama Liem Hwi Sian dan bersama kedua orang suhengnya dia menerima tugas dari gurunya yang bernama Gak Liong di Secuan untuk membantu pemerintah menyelidiki para pemberontak.” “Hemmm, jadi murid dari pendekar Secuan itu! Pantas dia gagah dan berani sekali, sungguhpun kurang perhitungan dan hampir celaka. Pendekar Gak Liong di Secuan adalah murid keponakan dari Panglima Besar The Hoo dan namanya sudah terkenal, sungguhpun dia sendiri tidak pernah terjun ke dunia ramai. Bagaimana dengan usahamu mencari kedua orang tuamu?” Kun Liong mengerutkan alisnya dan menggelengkan kepalanya yang gundul. “Belum ada hasilnya sama sekali, Supek. Teecu merasa heran sekali ke mana per-ginya Ayah dan Ibu.” Cia Keng Hong memandang pemuda itu dengan sinar mata tajam, kemudian terdengar dia berkata, “Kun Liong, aku merasa khawatir sekali akan keadaan orang tuamu. Kalau mereka itu masih hidup, tidak mungkin mereka berdua menyembunyikan diri selama bertahun--tahun ini, setidaknya mereka tentu akan datang mengunjungi kami di Cin-ling--san.” Kun Liong terkejut dan memandang wajah pendekar itu. “Maksud... maksud Supek...?” “Aku khawatir bahwa telah terjadi sesuatu dengan mereka, Kun Liong.” “Bagaimana Supek dapat menduga demikian?” Kun Liong bertanya, wajahnya agak pucat. “Pertama, ayah bundamu adalah orang-orang gagah yang tidak mungkin menyembunyikan diri karena takut sam-pai bertahun-tahun. Ke dua, kalau me-reka menghadapi kesukaran, ada dua tempat di mana mereka dapat datang, yaitu di Cin-ling-san atau di Siauw-lim-si. Akan tetapi di kedua tempat itu me-reka tak pernah muncul. Dan ke tiga, kedaan dunia makin kacau, orang-orang golongan sesat bermunculan dan mereka memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, apalagi dengan munculnya orang-orang asing. Karena itu, setelah aku sendiri berusaha menyelidiki dan mendengar--dengar tentang mereka tanpa hasil se-olah-olah orang tuamu lenyap ditelan bumi tanpa meninggalkan jejak, mulailah aku ragu-ragu apakah mereka itu masih hidup.” “Supek...!” “Kun Liong, kita sebagai manusia harus berani menghadapi kenyataan hidup yang bagaimanapun juga. Kita tidak perlu melarikan diri dari kenyataan, kita harus berani membuka mata menyambut da-tangnya segala sesuatu yang kita hadapi, baik itu merupakan hal yang semanis--manisnya atau sepahit-pahitnya. Tidak perlu mencari-cari hiburan kosong bagi hati yang dirundung kekhawatiran, karena dengan demikian rasa takut akan makin menggerogoti hati. Kenyataannya adalah bahwa orang tuamu telah lenyap tak meninggalkan bekas, dan ini adalah tidak wajar sama sekali kecuali tentu saja kalau mereka itu telah tewas.” Kun Liong memejamkan kedua mata-nya. Sampai lama dia duduk mengatur napas untuk menahan pukulan batin yang timbul dari kekhawatirannya mendengar kata-kata pendekar sakti itu. Cia Keng Hong memandang dengan penuh rasa terharu dan juga kagum. Pemuda ini menarik hatinya dan makin condong hati-nya untuk menjodohkan puterinya dengan pemuda ini. Dia mendiamkan saja sampai pemuda itu membuka kembali kedua matanya dan sepasang mata yang tajam itu kelihatan membasah. “Supek benar. Kita harus berani menghadapi kenyataan hidup, betapapun pahitnya. Dan setelah teecu pikir-pikir, memang tidak mungkin Ayah dan Ibu bersembunyi sampai bertahun-tahun ini. Besar sekali kemungkinan bahwa kedua orang tua teecu itu, telah... telah tewas. Namun tetap teecu akan mencarinya, setidaknya mencari tahu bagaimana hal itu terjadi, kalau benar-benar mereka telah tewas.” Cia Keng Hong mengangguk. “Memang semestinya begitu, dan aku pun akan berusaha mencari keterangan dari kenalan-kenalanku. Sekarang engkau hendak ke mana, Kun Liong?” “Pertama-tama, teecu akan melanjutkan usaha teecu mengambil kembali dua buah pusaka Siauw-lim-pai yang dicuri oleh Kwi-eng-pang. Selain itu, juga teecu harus minta kembali pusaka bokor emas yang terjatuh ke tangan Kwi-eng Niocu.” “Bokor emas? Pusaka The-taiciangkun yang hilang?” Cia Keng Hong bertanya. Kun Liong mengangguk dan dia lalu dengan singkat menceritakan tentang perebutan pusaka yang telah berada di tangannya itu dan terpaksa dia melemparkannya kepada Kwi-eng Niocu dengen harapan kelak dapat dia minta kembali. Mendengar penuturan itu, Cia Keng Hong menarik napas panjang. “Aihhhh, tugasmu sungguh amat berbahaya dan berat, Kun Liong. Telaga Kwi-ouw sangat terkenal sebagai tempat yang amat berbahaya, sesuai dengan namanya. Entah sudah berapa hanyak tokoh kang-ouw tewas ketika berusaha mendatangi pulau di tengah telaga yang dijadikan sarang Kwi-eng-pang.” “Teecu pernah mendarat di pulau itu, Supek.” Cia Keng Hong kelihatan terkejut. “Heh? Benarkah?” Kun Liong lalu menceritakan pengalamannya ketika dia pergi ke pulau di tengah Telaga Setan itu, betapa di tepi telaga dalam hutan dia bertemu dengan Toat-beng Hoat-su yang tidak dikenalnya, kemudian betapa dia ditipu oleh pelayan wanita Kwi-eng Niocu sehingga tertawan dan dia dijadikan rebutan antara Siang--tok Mo-li dan Toat-beng Hoat-su sehingga akhirnya dia menjadi tawanan kakek datuk kaum sesat nomor satu itu. “Aihhh, kalau begitu engkau sama sekali belum mengenal Telaga Setan dan pulaunya itu,” kata Cia Keng Hong. “Dan masih untung engkau tertawan secara itu karena andaikata engkau yang belum me-ngenal rahasia Telaga Setan itu datang sendiri ke sana dan melakukan pendarat-an, mungkin engkau akan celaka dan tewas dalam jebakan-jebakan rahasia yang amat berbahaya. Aku pemah men-dengar penuturan seorang sahabat yang telah berhasil menyelidiki rahasia itu maka kalau kau hendak mendarat ke sana, sebaiknya engkau mempelajari ra-hasia-rahasia yang akan kaulukiskan untukmu.” Pendekar sakti itu lalu bertepuk ta-ngan dan menggapai kepada seorang pen-jaga di luar pintu gerbang kota Liok--bun yang tampak dari situ. Perajurit yang memegang tombak itu berlari-lari mendatangi dan memberi hormat kepada pendekar ini. Cia Keng Hong menyu-ruhnya mengembalikan kertas dan alat tulis. Penjaga itu cepat berlari memasuki pintu gerbang kota Liok-bun. Tak lama kemudian dia datang berlari-lari memba-wa kertas lebar bergulung dan alat tulis yang diminta pendekar itu. Kemudian, penjaga itu berdiri agak menjauh sambil berdiri dengan tombak tetap di tangan, berjaga dan menanti perintah selanjutnya dari pendekar itu. Cia Keng Hong lalu mulai membuat gambaran telaga dan pulaunya sambil memberi petunjuk kepada Kun Liong yang memandang penuh perhatian. “Tepi Telaga Kwi-ouw dari tiga jurus-an, yaitu barat, selatan dan timur, me-rupakan daerah yang kelihatannya datar dan aman, akan tetapi justeru tiga bagi-an inilah yang paling berbahaya bagi para pendatang dari luar. Tiga daerah ini penuh dengan alat-alat jebakan yang ber-bahaya sekali.” “Akan tetapi, Supek. Ketika teecu ikut dengan perahu pelayan itu, teecu juga melalui dari selatan.” “Karena pelayan itu telah mengenal daerahnya, tentu sala dia dapat mendayung perahunya dengan aman. Di bagian selatan itu, di bawah permukaan air ter-dapat banyak sekali ranjau yang berupa batu karang di bawah permukaan air, akan tetapi sekali saja disentuh oleh perahu asing, anak panah yang hanyak sekali dan yang sudah dipasang di dalam batu karang buatan itu akan meluncur ke luar dan menyerang penumpang perahu secara tiba-tiba dan hebat sekali. Selain ini, begitu orang mendarat di pulau itu dari selatan, biarpun di situ penuh pasir, namun terdapat begian pasir yang ber-putar dan menyedot kaki orang yang menginjaknya sehingga tanpa petunjuk orang yang mengenal daerah itu, sekali kakimu terseret, sukarlah bagimu untuk menyelamatkan diri.” Kun Liong terbelalak dan bergidik ngeri. “Daerah barat yang amat berbahaya karena penuh dengan lubang-lubang jebakan yang tertutup dengan rumput hi-dup, dan di dalam setiap lubang terisi banyak ular berbisa yang siap menyambut setiap orang yang terjeblos masuk. Juga air di bagian itu banyak sekali terdapat ganggang yang hidup di bawah permukaan air, penuh dan dapat mendamparkan pe-rahu yang lewat. Tentu saja bagi mereka yang sudah hafal, mereka tahu bagian mana yang tumbuhan ganggangnya tidak begitu banyak dan dapat dilalui perahu. Kemudian bagian timur, biarpun tidak di-pasangi jebakan pada permukaan air te-laga, namun di situ terdapat air berpu-sing yang amat berbahaya, dapat me-nyeret dan menyedot perahu ke dalam pusingan air. Agaknya ada sebuah lubang besar di bagian ini yang menciptakan air berpusing. Sedangkan di daratan pulau di timur ini terdapat alat-alat rahasia yang kalau dilanggar kaki asing, akan mem-buat timbunan batu besar yang menggu-nung di bagian ini runtuh ke bawah dan tentu saja akan menyerang para penda-tang, sukar untuk menyelamatkan diri dari serangan batu-batu besar itu.” “Ihhh, keji sekali!” Kun Liong berseru dan merasa lega bahwa dia telah diberi tahu akan hal-hal yang membahayakan itu sehingga dia dapat lebih berhati-hati. “Satu-satunya jalan adalah dari utara. Akan tetapi bagian ini yang bersih dari jebakan merupakan daerah yang amat sukar didatangi. Tepi daratan pulau di bagian ini amat terjal, merupakan tebing tinggi yang curam sekali dan tidak mu-dah didaki dari bawah.” Cia Keng Hong membuat lukisan tebing tinggi itu sambil memberi penjelasan. “Akan tetapi, saha-batku itu pernah melihat beberapa kera memanjat ke atas dan hal ini memberi dia petunjuk bagaimana caranya menda-tangi pulau dengan aman. Yaitu dengan memanjat akar-akar yang menonjol ke-luar di dinding tebing itu, memanjat melalui akar dan batu menonjol. Tentu saja hal ini harus dilakukan dengan hati--hati, membutuhkan keringanan tubuh dan kecekatan, karena biasanya hanya monyet saja yang dapat memanjat ke atas. Se-kali injakan kaki atau pegangan tangan terlepas, engkau akan terjatuh ke bawah dan tentu takkan dapat menghindarkan diri lagi dari maut.” “Agaknya, memang jalan melalui tebing itu yang paling aman,” Kun Liong berkata sambil memandang lukisan su-peknya. “Betapapun juga, engkau harus berhati-hati sekali karena siapa tahu bahwa Kwi-eng-pang yang kuat itu kini telah memasangi jebakan pula pada jalan pa-ling sukar akan tetapi paling aman ini.” Tiba-tiba perajurit yang tadi berdiri berjaga dengan tombak di tangan berse-ru, “Tai-hiap, Liu-ciangkun datang meng-hadap!” Kun Liong menoleh dan Cia Keng Hong memandang seorang perwira yang bertubuh tinggi besar. Perwira itu cepat memberi hormat kepada pendekar sakti itu dan berkata, “Seorang utusan dari kerajaan datang membawa sepucuk surat yang disampaikan kepada Tai-hiap, dari Panglima Besar The Hoo sendiri.” Cia Keng Hong menggulung gambar itu, menyerahkannya kepada Kun Liong, kemudian dia bangkit berdiri dan menerima sampul tertutup. Setelah mengucapkan terima kasih dan perwira itu pergi pula dan berdua dengan Kun Liong, pendekar itu kembali duduk di bawah pohon dan membuka surat dari Panglima Besar The Hoo. Wajahnya yang masih tampan dan gagah tidak membayangkan sesuatu ketika membaca surat itu sehingga sukar bagi Kun Liong untuk menduga apakah surat itu membawa berita baik ataukah buruk. Setelah selesai membaca, Cia Keng Hong melipat surat, menyimpan ke dalam saku jubahnya, memandang Kun Liong dan berkata, “Ahhh, sungguh hebat sekali, bokor emas itu benar-benar menimbulkan geger di dunia kang-ouw. Kun Liong, bokor itu telah terlepas lagi dari tangan Kwi-eng Niocu seperti yang kauceritakan kepadaku dan kini bokor itu berada di tangan Toat-beng Hoat-su dan Ban-tok Coa-ong. Mereka membawa bokor itu ke Pulau Ular! Panglima Besar The Hoo mendengar laporan ini dari Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan. Hemmm, Pulau Ular di Teluk Pohai. Berbahaya sekali! Dan Nona Souw secara lancang pergi sendiri melakukan penyelidikan ke sana!” Kun Liong terkejut. “Apakah Supek maksudkan Nona Souw Li Hwa?” “Engkau sudah mengenalnya?” “Sudah beberapa kali teecu berjumpa dengan Nona Souw Li Hwa,” jawab Kun Liong singkat. Dia merasa malu kalau harus menceritakan betapa dia pernah menjadi tawanan nona cantik! “Bukankah dia murid Panglima Besar The Hoo?” “Memang dari gurunya dia mempela-jari ilmu-ilmu yang tinggi. Akan tetapi dia masih amat muda dan belum berpengalaman. Bagaimana dia begitu lancang untuk pergi seorang diri ke Pulau Ular? Betapa mungkin dia dapat melawan dua orang datuk kaum sesat yang lihai itu? Ah, sungguh mengkhawatirkan sekali. Panglima The Hoo minta kepadaku untuk merampas kembali bokor itu, akan tetapi berita tambahan tentang kepergian nona itu ke Pulau Ular, benar-benar membikin gelisah.” “Supek, kalau begitu, biarlah teecu lebih dulu menyusulnya ke sana.” Cia Keng Hong memandang kepadanya. Dia maklum bahwa pemuda ini me-miliki ilmu kepandaian yang hebat, apa-lagi kini telah menjadi pewaris Thi-khi--i-beng sehingga boleh diandalkan. Dia sendiri harus mengepung Pulau Ular itu karena kalau dia menyerbu begitu saja, kedua orang datuk itu akan dapat mela-rikan diri dan membawa bokor emas. Maka dia harus mengepung ketat pulau itu, barulah dia akan turun tangan. De-ngan demikian, dua orang datuk itu tidak akan mendapat kesempatan untuk mem-bawa lari bokor emas milik Panglima The Hoo itu. “Baiklah kalau kau suka membantu, Kun Liong. Memang bokor itu perlu se-kali diselamatkan. Kalau sampai terjatuh ke tangan penjahat, bisa berbahaya. Bo-kor itu selain mengandung petunjuk tem-pat rahasia penyimpan harta pusaka ter-pendam yang amat besar jumiahnya, juga penyimpanan kitab-kitab pusaka pelajaran ilmu silat yang mujijat. Demikian menu-rut keterangan yang kuperolch dari Pang-lima The Hoo sendiri. Bokor itu dahulu milik seorang pendeta perantau berilmu tinggi yang kemudian meninggal dunia di Nepal. Setelah berpindah-pindah tangan, akhirnya bokor itu terjatuh ke tangan Panglima The Hoo dan sampai sekarang, belum ada yang dapat membuka rahasia tempat penyimpanan pusaka itu.” Kun Liong mengangguk-angguk. “Me-mang teecu harus ikut berusaha menda-patkannya kembali, bukan hanya mengingat bahwa teecu ikut bersalah mem-biarkan bokor terjatuh ke tangan datuk kaum sesat, juga dahulu teecu sudah berjanji kepada perwira pengawal Tio Hok Gwan untuk kelak menghaturkan bokor itu kepada Panglima The Hoo sendiri!” Kun Liong tidak mendapat keterangan sejelasnya tentang letak Pulau Ular, kemudian dia menerima bekal secukupnya dari Cia Keng Hong, karena untuk keper-luan itu dia harus membeli sebuah pe-rahu di pantai Pohai. Setelah menerima petunjuk dan nasihat, Kun Liong berang-kat secepatnya seorang diri menuju ke daerah Teluk Pohai, sedangkan Cia Keng Hong lalu berunding dengan para perwira yang memimpin pasukan pemerintah un-tuk mengatur siasat, mengepung Pulau Ular dan mengatur persiapan. Kini pulau itu menjadi sebuah tempat tinggal yang indah akan tetapi juga menyeramkan bagi orang luar. Pulau itu bertanah subur, bahkan sebagian tanahnya telah diolah menjadi ladang yang subur dan yang menghasilkan bahan makanan, dikerjakan oleh anak buah Ban-tok Coa-ong. Akan tetapi, datuk kaum sesat ini pun telah menangkap banyak ular-ular beracun dan ular-ular ini kemudian dilepas di pulaunya sehingga beberapa tahun kemudian, pulau ini penuh dengan ular dari segala macam ukuran dan warna, kesemuanya mengandung bisa yang amat jahat. Maka terkenallah Pulau Ular dan tidak ada seorang pun pelancong atau nelayan yang berani mendekati pulau itu. Karena sudah bertahun-tahun tidak ada orang berani mendekati pulau, ditambah pula dengan keadaan pulau yang terlindung oleh tembok benteng tebal dan mengandalkan nama besarnya yang ditakuti, maka Ban-tok Coa-ong tidak melakukan penjagaan dan membiarkan pulau itu “terbuka”. Namun, semenjak Toat-beng Hoat-su datang dan berhasil membawa bokor emas, anak buah Ban-tok Coa-ong dikerahkan untuk melakukan penjagaan di sekeliling pulau, di atas tembok-tembok benteng. Anak buah Ban-tok Coa-ong yang tinggal di Pulau Ular terdiri dari orang-orang Nepal dan pribumi, tentu saja mereka adalah orang-orang dari golongan hitam. Mereka berjumlah kurang lebih lima puluh orang dan sebagian di antara mereka ada yang membawa keluarga mereka. Bahkan di antara orang-orang Nepal adapula yang membawa isteri dan tinggal di Pulau Ular dengan beberapa orang anak mereka. Karena bertahun-tahun tidak ada orang luar berani memasuki Pulau ular, maka anak buah Ban-tok Coa-ong tidak pernah menghadapi serangan musuh. Hal ini membuat mereka amat percaya kepada kekuatan sendiri, terutama mengandalkan nama besar pemimpin mereka. Biarpun kini mereka menerima tugas untuk berjaga-jaga, namun karena mereka tidak percaya akan ada orang berani datang ke pulau itu, mereka melakukan penjagaan dengan malas-malasan. Apalagi di pulau itu selain pemimpin mereka, Ban-tok Coa-ong yang sakti, masih terdapat pula putera pemimpin mereka itu yang mereka sebut Ouw-yang-kongcu (Tuan Muda Ouwyang), bahkan masih ada lagi kakek tua renta yang kabarnya tidak kalah lihai dibandingkan pemimpin mereka yaitu Toat-beng Hoat-su. Karena penjagaan yang tidak ketat itulah yang memudahkan Li Hwa untuk mendaratkan perahunya di pinggir Pulau Ular tanpa diketahui oleh para penjaga. Setelah menyembunyikan perahunya di dalam semak-semak di pinggir telaga, Li Hwa lalu mulai dengan penyelidikannya, menuju ke tengah pulau di mana tampak olehnya bangunan-bangunan pondok. Dia melihat para penjaga, makin ke tengah makin banyak, akan tetapi para penjaga itu sedang bercakap-cakap dan agaknya sama sekali tidak memperhatikan penjagaan mereka. Apalagi ketika dia tiba di antara pondok-pondok yang berdiri berjajar di tengah pulau, dia meihat betapa banyak penjaga sedang tertarik oleh sebuah peristiwa yang terjadi di tempat terbuka depan sebuah pondok terbesar, Li Hwa menyelinap di antara pobon-pohon dan pondok-pondok, kemudian berhasil meloncat naik ke atas sebuah pohon besar dan mengintai ke bawah. Ada belasan orang laki-laki membentuk sebuah lingkaran lebar tempat itu. Mereka itu terdiri dari tujuh orang Nepal yang berambut panjang dan selebihnya orang Han biasa, dan rata-rata mereka bersikap kasar dan pada saat itu mereka tersenyum menyeringai lebar seolah-olah menghadapi sebuah tontonan yang menarik hati. Di ujung sana duduk seorang pemuda berwajah tampan yang menyeringai lebar dan mata pemuda tampan ini bergerak-gerak liar menyeramkan. Melihat sikap dan pakaiannya yang seperti pakaian seorang putera bangsawan itu, mudah diduga bahwa dia tentulah seorang yang tinggi kedudukannya di antara mereka, dan bahkan Li Hwa dapat menduga bahwa agaknya pemuda itu adalah Ouwyang Bouw, pemuda iblis putera Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok yang kabarnya memiliki kekejaman melebihi ayahnya. Akan tetapi pada saat itu, yang menarik perhatian Li Hwa adalah tontonan yang membuat belasan orang itu tertarik, yaitu yang terdapat di tengah-tengah lingkaran mereka. Dia melihat dua orang laki-laki dan wanita. Melihat bentuk wajah dan model rambut mereka, mudah diketahui bahwa laki-laki dan wanita itu tentulah bangsa asing Nepal seperti tujuh orang pria yang menonton di situ. Laki-laki itu tinggi besar, usianya antara empat puluh tahun, sedangkan wanitanya berkulit putih tidak seperti kaum prianya, berusia antara tiga puluh tahun. Yang mengherankan hati Li Hwa adalah bahwa bahwa kedua orang itu telanjang bulat sama sekali! Wanita itu kelihatan takut, wajahnya pucat dan matanya terbelalak lebar memandang ke sana-sini seperti orang minta tolong. Sedangkan yang pria hanya menunduk, kelihatannya seperti orang yang sudah putus harapan dan menyerahkan diri kepada nasib. Tiba-tiba pemuda tampan yang ber-mata liar, yang memang bukan lain ada-lah Ouwyang Bouw itu, mengangkat ta-ngan ke atas dan agaknya ini merupakan isyarat karena semua orang yang tadinya menonton sambil berbisik-bisik, kini diam semua, dan hanya memandang ke arah wanita telanjang bulat yang berusaha se-dapat mungkin untuk menggunakan kedua tangannya menutupi tubuhnya, lengan kiri melintang di depan dada dan tangan kanan menutupi bagian bawah pusarnya, kedua kaki dirapatkan dan wanita itu berlutut setengah menelungkup, hanya mukanya diangkat ke atas memandang kepada para penonton dengan sinar mata minta pertolongan. Adapun laki-laki te-lanjang itu hanya menggunakan kedua tangan menutupi bawah pusarnya sambil berlutut dan menundukkan muka. “Hemmm, kalian sudah tertangkap basah. Sanghida, kau mau bilang apa lagi? Mengapa engkau berjina dengan isteri Rajid?” Laki-laki telanjang itu makin menunduk dan dengan suara lemah dia menja-wab, “Saya mencinta dia, Ouwyang-kongcu.” “Benarkah? Apa engkau menganggap dia cukup berharga, untuk kaubela de-ngan nyawa?” Sanghida, orang Nepal itu, mengangguk. “Saya bersedia membelanya dengan nyawa.” “Ha-ha-ha, agaknya Madhula pandai sekali melayanimu sehingga engkau ter-gila-gila, ha-ha-ha!” Ouwyang Bouw tertawa dan semua orang yang menonton ikut pula tertawa, kecuali seorang di antara mereka yang bertubuh gemuk, seorang Nepal yang mukanya merah. “Heii, Madhula! Engkau yang berjina dengan laki-laki lain, apakah senang kepada Sanghida daripada kepada suamimu sendiri?” Kembali Ouw-yang Bouw bertanya, kini ditujukan kepada wanita itu. Wanita itu menoleh dan memandang kepada Ouwyang Bouw dengan sinar mata penuh kemarahan. Li Hwa dari atas da-pat melihat bahwa wanita itu memang cantik sekali, kecantikan yang aneh, khas dan menarik. “Ouwyang-kongcu, engkau tentu lebih tahu apa yang telah terjadi! Karena aku telah menolak cintamu, menolak bujukan dan rayuanmu untuk berjina denganmu karena aku selalu setia kepada suamiku, maka engkau telah mempergunakan Si Jahanam Sanghida ini untuk memper-kosaku! Engkau menaruh racun dalam minuman kami sehingga kami berdua teracun dan mabok, melakukan perbuatan di luar kesadaran kami berdua selagi suamiku kausuruh berjaga di luar. Kemu-dian kau sendiri yang sengaja menangkap kami dan menuduh kami berjina. Semua ini kaulakukan untuk membalas penolak-anku terhadap bujukanmu!” “Tutup mulutmu!” Ouwyang Bouw membentak marah sekali, akan tetapi kemudian dia tertawa-tawa lagi. Sikap yang berubah-ubah ini amat menyeramkan, dan Li Hwa yang berada di atas pohon menduga bahwa agaknya pemuda itu memang benar-benar gila seperti disohorkan dunia kang-ouw. “Semua tuduhan itu tidak ada buktinya. Akan tetapi perjinaan kalian sudah jelas terbukti. Kalau kalian tidak berjina, mana mungkin kalian berdua berada da-lam satu kamar dan satu pembaringan tanpa pakaian sama sekali?” Dia tertawa dan semua orang tertawa pula. Wanita itu tidak menjawab, hanya memandang dengan mata terbelalak penuh kemarahan kepada Ouwyang Bouw. Pemuda ini kembali tertawa bergelak dan secara tiba-tiba menghentikan ketawanya, memandang wanita itu dan berkata, “Madhula, engkau memang cantik sekali, pantas diperebutkan oleh kaum pria. Heii, Rajid, apa katamu? Setelah kau melihat sendiri betapa isterimu dipeluk dan ditiduri oleh Sanghida, beranikah engkau mempertahankannya dan melawan Sanghida?” Orang Nepal yang bermuka merah dan bertubuh gemuk, yang sejak tadi bermuke muram dan tidak Ikut tedawa seperti yang lain, meloncat ke depan, meman-dang kepada dua orang yang telanjang itu, kemudian meludah ke bawah dan berkata, “Perbuatan mereka yang terku-tuk ini sudah jelas! Anjing jantan ini harus dibunuh dan anjing betina ini pun tidak patut dibiarkan hidup!” “Ha-ha-ha, kalau begitu, kuberikan Sanghida kepadamu, Rajid!” kata Ouw-yang Bouw. Mendengar ucapan ini, orang Nepal yang gemuk itu mengeluarkan suara te-riakan keras dan tubuhnya sudah cepat menerjang maju, mengirim pukulan de-ngan tangan terkepal ke arah kepala Sanghida yang telanjang. Biarpun tubuhnya gemuk, akan tetapi orang Nepal bermuka merah ini gerakannya cepat, menunjukkan bahwa dia memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi, dengan tangan kiri masih menutupi bawah pusarnya, Sanghida mengelak dan meloncat ke belakang. Gerakannya sigap sekali dan ketika Rajid menerjang lagi, Sanghida menangkis dengan lengan kanan. Tubuh Rajid terhuyung ke belakang dan ternyata bahwa dia kalah tenaga. “Rajid... aku tidak ingin bertempur denganmu...!” Sanghida berkata dan kembali dia menangkis, kini sambil menangkis, tangan kanannya berhasil menangkap pergelangan tangan Raiid dan sekali menariknya, tubuh Rajid terdorong ke depan dan hampir terbanting jatuh. Rajid makin marah, mukanya makin merah ketika dia meloncat membalik dan mencabut senjatanya yang berbentuk sebatang golok melengkung dan tajam sekali. Li Hwa yang besembunyi di atas pohon, memandang dengan alis berkerut. Dia tidak merasa ngeri menonton pertempuran karena gadis ini sudah terbiasa dengan pertempuran dan perang, apalagi dia sendiri sudah menghadapi pertandingan seringkali. Akan tetapi yang membuat dia merasa ngeri dan canggung karena malu adalah melihat betapa Sanghida bertanding dengan tubuh telanjang bulat! Selama hidupnya belum pernah dia melihat laki-laki telanjang dan kini dia melihat seorang laki-laki tinggi besar bertelanjang bulat dan berkelahi pula! Kalau mungkin, dia ingin menjauhkan pandangan matanya dari tubuh bawah laki-laki telanjang itu, akan tetapi karena dia ingin pula melihat bagaimana kesudahan perkelahian itu, terpaksa dia menonton terus dan sedapat mungkin menghindarkan pandang matanya dari bagian yang dianggap mendatangkan rasa malu luar biasa itu. “Rajid... aku tidak mau bertanding melawanmu. Aku sudah bersalah kepadamu, kau sahabatku dan... dan Madhula...”` “Tutup mulutmu!” Rajid membentak dan goloknya sudah menyambar lagi. “Singgg...!” Sinar menyilaukan mata dari golok itu agaknya tentu akan dapat membabat tubuh tinggi besar itu buntung menjadi dua kalau mengenai sasaran, akan tetapi Sanghida ternyata amat tangkasnya. Kini menghadapi penyerangan lawan yang memegang golok, biarpun tingkat kepandaiannya lebih tinggi, dia terpaksa harus menggunakan kedua tangannya sehingga dia sama sekali tidak lagi dapat menutupi bagian tubuh bawahnya. Tentu saja hal ini mendatangkan penglihatan yang luar biasa, lucu sedangkan bagi para penonton pria, akan tetapi mendirikan bulu roma bagi Li Hwa! “Rajid... maafkan aku...! Aku scorang laki-laki sejati, harus membela diri kalau diserang... dan kami... aku dan Madhula... kami melakukan hal itu tanpa kami sengaja...” “Siuuutttt... plak! Plak!” Sambil mengelak, Sanghida berhasil menampar lengan kanan Rajid sehingga sambaran golok menyeleweng dan tamparan ke dua mengenai pundak Rajid, membuat suami yang penuh cemburu dan kemarahan ini terhuyung pula. “Sanghida! Engkau atau aku yang harus mampus untuk memperoleh Madhula!” Rajid membentak pula. “Kalau aku mati, kau boleh mengambil dia, kalau kau yang mati, dia harus kuhukum, mampus pula!” “Rajid...! Kau boleh membunuh aku, tapi jangan membunuh dia! Dia tidak berdosa... seperti yang dikatakannya tadi, kami terkena racun perangsang... auuhhh...!” Tiba-tiba Sanghida terhuyung ke belakang dan Rajid menubruk ke depan, goloknya menyambar. “Crapppp.... Aduuhhh...!” Perut Sanghida terobek oleh golok, tubuhnya terjengkang dan darah muncrat keluar dari perut itu, diikuti oleh isi perut yang keluar dari luka lebar itu. Tubuh Sanghida berkelojotan, namun tidak lama karena Rajid sudah membacokkan goloknya dua kali yang membuat leher lawannya putus! Li Hwa melihat betapa Ouwyang Bouw telah menyerang Sanghida dari jauh, dengan gerakan jari tangan dan tampak sinar merah kecil menyambar ke arah orang Nepal tinggi besar itu sehing-ga dia terhuyung dan terkena bacokan golok Rajid. Tahulah Li Hwa bahwa me-mang Ouwyang Bouw sengaja hendak membunuh Sanghida dan mungkin sekali karena dia tidak suka mendengar raha-sianya dibocorkan. Li Hwa menjadi pe-nonton tak diundang ini segera dapat menyimpulkan peristiwa itu. Jelas bagi-nya bahwa memang agaknya semua ini sudah diatur oleh pemuda iblis itu. Mungkin benar tuduhan Madhula yang cantik bahwa berkali-kali Ouwyang Bouw membujuk rayunya, akan tetapi selalu ditolak oleh isteri Rajid itu. Hal ini membuat Ouwyang Bouw menjadi sakit hati dan dengan curangnya pemuda itu menaruh racun perangsang ke dalam makanan atau minuman Sanghida dan Madhula sehingga terjadilah perjinaan di antara mereka, perjinaan di luar kesa-daran mereka yang terpengaruh racun, pada saat Rajid disuruh berjaga oleh Ouwyang Bouw. Tentu saja pemuda iblis ini sudah mengatur perangkapnya dan begitu kedua orang mabok itu melakukan perjinaan, dia menangkap basah mereka! Semua orang yang menonton kelihatan puas dengan pertunjukan kekejaman ini, dan melihat waiah mereka yang seolah-olah haus darah dan kini semua mata ditujukan kepada tubuh telanjang Madhula seperti serombongan srigala kelaparan, Li Hwa bergidik. Dia berhadapan dengan orang-orang yang telah mati perasaan kemanusiaan mereka, manusia-manusia yang haus darah dan yang menganggap kekejaman seperti sebuah kesenangan yang mengasyikkan. Maka timbullah perasaan kasihan kepada wanita yang bernasib malang itu. Li Hwa adalah seorang yang masih amat muda, maka tentu saja perasaannya amat halus dan mudah tersinggung. Melihat peristiwa ini di depan mata, dia sudah melupakan tugasnya, tugas sebagai seorang penyelidik yang ingin menyelidiki tentang bokor emas. Kini baginya yang terpenting hanyalah urusan yang terjadi di depan matanya, yaitu menolong Madhula! Kelemahannya sebagai seorang muda inilah yang mengkhawatirkan hati Panglima The Hoo dan Pendekar Cia Keng Hong ketika mendengar bahwa dara itu melakukan penyelidikan seorang diri, sungguhpun mereka tahu bahwa ilmu kepandaian dara itu sudah cukup tinggi untuk bekal pe-nyelidikan berbahaya itu. Madhula roboh telentang menyaksikan kematian Sanghida yang demikian menye-dihkan. Dia tidak mencinta laki-laki tinggi besar itu. Dia mencinta suaminya, dan karena cintanya ini pula maka tidak seperti kaum wanita lainnya di pulau itu yang bahkan mengharapkan rayuan Ouw-yang-kongcu, dia menolak godaan pemuda itu. Akan tetapi dia pun tahu kini bahwa Sanghida mencintanya. Sahabat baik sua-minya dan dia itu sesungguhnya mencin-tanya, dan kini menjadi korban karena kelicikan Ouwyang Bouw. Semua mata para penonton kini dapat berpesta pora dan melahap tubuh wanita cantik yang telentang polos itu, tidak terlindung lagi oleh kedua lengannya. “Perempuan hina ini pun harus mam-pus!” Rajid yang seperti kemasukan setan karena dendam dan cemburu, mengangkat goloknya membacok ke arah tubuh isteri-nya yang biasanya merupakan sebuah benda hidup yang paling disayangnya di dunia ini. “Singg... tringggg!” Golok itu ter-lempar ketika terbentur oleh sebuah batu kecil yang dilemparkan oleh tangan Ouw-yang Bouw. Melihat ini, Li Hwa menjadi kagum dan maklumlah dia bahwa pemuda itu merupakan lawan yang tak lemah! “Ehhh... Ouwyang-kongcu... menga-pa...?” Rajid memandang pemuda itu dengan mata penuh penasaran. “He-heh, sabarlah, Rajid. Memang dia harus dihukum, akan tetapi hukuman seperti yang hendak kaulakukan itu kurang menarik. Pokoknya kau menghen-daki dia mati, bukan? Nah, biarlah dia dihukum dengan caraku dan panggil semua wanita ke sini agar mereka me-nyaksikan pula betapa berat hukuman bagi mereka yang berani melanggar hu-kum kami di sini!” Rajid mengangguk--angguk dan beberapa orang laki-laki sudah berlari memanggil semua wanita yang berada di pulau itu. Hanya ada dua puluh orang wanita tua muda yang datang ke situ dengan muka pucat. Para suami girang, dengan hal ini, mengharap isteri-isteri mereka takut dan tidak berani berjina dengan laki-laki lain. Akan tetapi, para wanita yang memandang dengan muka pucat itu mempunyai pengertian lain ketika mendengar kata-kata Ouwyang-kongcu. “Kalian lihatlah. Begini nasib wanita yang berani melanggar hukum kami di sini!” kata Ouwyang-kongcu setelah me-nyuruh Rajid mengikat tubuh telanjang Madhula kepada sebuah tiang, diikat kaki dan tangannya pada tiang itu sehingga tubuh bagian depannya tampak nyata, sedikit pun tidak terlindung, kecuali rambut hitam panjang terurai yang seba-gian menggantung ke depan. Para wanita itu mengerti bahwa yang dimaksudkan oleh Ouwyang-kongcu, hukuman ini akan jatuh menimpa wanita yang berani meno-lak majikan muda itu! Ouwyang Bouw yang agak miring otaknya itu memang mempunyai kegemaran yang aneh dan mengerikan. Dia sudah tergila-gila oleh wanita cantik maupun tidak cantik. Bahkan pernah dia tergila-gila oleh seorang wanita nenek-nenek, dan pernah pula tergila-gila kepada seorang anak perempuan yang masih kecil! Dan mereka semua harus menyerahkan diri kepadanya! Dia sama sekali tidak pemah memperkosa, dia tidak mau memperkosa wanita. Akan tetapi dia mempunyai cara lain untuk membuat setiap orang wanita tunduk kepadanya dan mau menyerahkan diri, yaitu dengan ancaman dan bayangan penyiksaan yang mengerikan. Hampir semua wanita, besar kecil, tua muda yang menyerah kepadanya tentu didorong oleh rasa takut dan ngeri, bukan karena sukarela karena sikap pemuda ini, biarpun wajahnya tampan dan tubuhnya menarik, jelas menunjukkan gejala otak miring yang mendatangkan rasa ngeri dan menjijikkan! Madhula masih pingsan ketika Ouwyang-kongcu mengeluarkan sebatang suling kecil yang panjangnya hanya dua jengkal. Mulailah pemuda itu menyuling. Suara suling yang melengking dengan nada tinggi membuat Li Hwa terkejut karena dia maklum bahwa suara melengking yang menggetar itu mengandung tenaga khi-kang yang kuat sekali. Dia melihat betape semua penonton kini berkumpul di belakeng Ouwyang-kongcu, seolah-olah menanti sesuatu dengan penuh ketegangan. Adapun tubuh Madhula yang diikat pada tiang itu pun menghadap kepada mereka, sedangkan mayat Sanghida yang berlumuran darah menggeletak tak jauh diri kaki Madhula. Sebelum ular itu tiba, Li Hwa sudah dapat menduga dengan hati diliputi penuh kengerian bahwa suara suling dari pemuda iblis itu tentulah merupakan tanda panggilan kepada ular-ularnya. Hal ini mudah saja diduga karena pertama, pemuda itu adalah putera Si Raja Ular! Ke dua, mereka berada di Pulau Ular, dan memang biasanya pada ahli ular mengundang ular-ular mereka dengan suara melengking tinggi, biasanya suara suling. Memang tepat dugaan Li Hwa. Akan tetapi ketika ular-ular itu datang, biar-pun dia sudah menduganya, dia menjadi kaget bukan main karena tidak menyang-ka bahwa yang datang demikian banyak-nya! Rombongan demi rombongan ular berdatangan dari empat penjuru, dan warna kulit mereka pun berbeda-beda, ada yang hijau, ada yang hitam kemerah-merahan, kuning, dan ada yang belang-belang. Biarpun Li Hwa tidak mengenal banyak ular, namun dia dapat menduga bahwa ular-ular itu tentulah ular berbisa yang amat berbahaya. Ular-ular yang lewat di dekat Ouwyang-kongcu dan anak buahnya, seperti takut menghadapi api, dan bina-tang yang merayap dekat cepat menying-kir dan mengambil jalan memutar. Sete-lah ular-ular itu tiba di tempat itu, Li Hwa hampir tidak kuat melihat lebih lama lagi. Ular-ular yang mendesis-desis itu kini berebutan menyerang mayat Sanghida, melahap dan merobek-robek mayat itu sehingga mayat itu seperti hidup kembali karena bergerak-gerak ke sana-sini, seperti berkelojotan. Dalam waktu sebentar saja, habislah semua kulit, daging dan isi perut mayat itu, tinggal rangka yang kering, tidak ada setetes pun darah yang tampak karena semua telah dijilat habis! Kini ular-ular itu mulai merayap, ke arah Madhula dan wanita ini pun baru siuman dari pingsannya. Dengan mata terbelalak ia tadi melihat betapa potongan-potongan daging terakhir dari Sanghida dibuat perebutan ular-ular itu. Dia maklum akan nasibnya, akan tetapi betapapun dia berusaha untuk memejamkan kedua matanya menerima maut, kedua mata itu malah selalu terbelalak kembali memandang ke arah ular-ular yang merayap-rayap di sekelilingnya. Ular-ular itu adalah ular-ular kecil, paling besar dua kaki panjangnya dan jumiahnya ada empat puluh ekor lebih, menggeliat-geliat seperti sekumpulan cacing, akan tetapi tidak ada yang berani menyerang Madhula, agaknya menanti “perintah” suara suling yang masih terus melengking sejak tadi. Memang benar demikian. Ular-ular itu seolah-olah bergerak menurut getaran suara suling dan tiba-tiba suara suling itu berubah merendah. Ular-ular itu kelihatan gelisah, kemudiah seekor demi seekor, ular-ular itu meninggalkan tempat itu, membuat semua penonton menjadi heran. “Mengapa dia tidak dihukum?” Rajid membanting kaki dan memandang penasaran. Ouwyang Bouw sudah melepas sulingnya dan sambil memandang ke arah tu-buh Madhula dia berkata, “Kurang menarik, kalau disuruh mengeroyok ular-ular kecil yang sudah kenyang itu. Dia yang sudah mau berjina dengan Sanghida, ten-tu tidak puas dengan ular-ular kecil itu. Kaulihatlah saja.” Sambil berkata dia lalu menempelkan lubang suling di depan bibirnya dan kini terdengarlah lengking suara suling yang berbeda dari tadi. Suaranya naik turun dengan nada rendah, namun mengandung getaran yang amat kuat sehingga para penonton ada yang kelihatan menggigil kedua kakinya. Tak lama kemudian terdengarlah suara mendesis-desis. Li Hwa terkejut dan memandang ke bawah. Seekor ular yang amat besar sedang merayap lewat d bawah pohon. Dia menggigil jijik. Ulat ini berkulit hitam kehijauan, sepasang matanya seperti mata manusia, lidahnya merah menjilat-jilat keluar, besar tubuhnya sama dengan pahanya dan panjangnya ada sepuluh kaki! Madhula juga sudah melihat ular itu dan wanita ini mengeluarkan rintihan panjang, mukanya makin pucat dan matanya terbelalak, penuh kengerian. Suara suling menuntun ular itu mendekat dan terdengarlah suara berbisik orang-orang yang menonton karena tegang dan tertarik ketika melihat betapa dengan perlahan ular besar itu mendekati tiang di mana tubuh Madhula terikat. Ular itu mendesis-desis, lidahnya yang merah makin sering menjilat-jilat. Melihat bentuk mulutnya yang besar agaknya dia akah sanggup menelan tubuh wanita Nepal itu! Suara suling makin meninggi dan kini moncong ular mulai naik dan lidah itu mulai menjilati kaki yang telanjang. Madhula mengeluarkan suara rintihan ketika merasa betapa ular mulai merayap naik melalui betisnya! Semua penonton menahan napas, mata mereka memandang melotot seperti hendak meloncat keluar dari pelupuknya. Ketika suara rintihan Madhula makin sering dan ular itu mentaati suara suling, kini merayapi seluruh tubuh telanjang itu, membelit-belit dan tampak seolah-olah ular itu membelai-belai tubuh Madhula seperti hendak mengajak wanita itu bermain cinta, para penonton menelan ludah penuh nafsu berahi dan gairah. Makin hebat suara suling yang ditiup Ouwyang Bouw, makin cepat ular itu bergerak-gerak, mengeliat-geliat menyelusuri seluruh tubuh Madhula yang kini sudah memejamkan mata dan merapatkan kedua bibirnya, sama sekali tidak bersuara lagi. Li Hwa menanti saat baik dan ketika kepala ular itu kebetulan merayap naik dan lebih tinggi dari kepada Madhula, tangan kirinya bergerak dan tampaklah sinar perak meluncur ke arah kepala ular itu. Ular itu menggerakkan kepala seperti gila, berkelojotan dan tanpa disengaja dia mempererat belitannya pada tubuh Madhula. Kembali ada sinar perak menyambar dan kepala ular yang sudah ditembusi dua batang jarum perak itu terkulai, tubuhnya perlahan-lahan mele-paskan belitan. Akan tetapi betapa kagetnya hati Li Hwa ketika dia melihat darah bertetesan dari kedua bibir Ma-dhula yang dirapatkan. Dia cepat meloncat turun dari atas pohon sambil berteriak, “Ouwyang Bouw manusia iblis yang kejam!” Ouwyang Bouw sudah meloncat bangun, dan semua pembantunya yang tadi terheran-heran melihat ular itu menghentikan permainannya bahkan berkelojotan di bawah, kini juga marah dan siap untuk mengeroyok orang yang menjadi pengacau. Akan tetapi ketika mereka melihat seerang dara yang amat cantik jelita melayang turun dari atas pohon, mencabut pedang dan membabat putus belenggu kaki tangan Madhula mereka tercengang dan memandang kagum! Madhula membuka mata, membuka mulut akan tetapi tidak ada kata-kata yang keluar karena begitu mulutnya dibuka, darah menyembur keluar dan dengan penuh kengerian Li Hwa maklum bahwa wanita itu telah menggigit putus lidahnya sendiri! Dalam keadaan ngeri dan tersiksa, Madhula mengambil keputusan nekat, membunuh diri dengan menggigit lidahnya. Lidah itu putus di tengahnya, dan tidak mungkin nyawanya dapat tertolong lagi, apalagi karena dia telah mengeluarkan banyak sekali darah yang tadi dia paksa menelan darahnya sendiri agar jangan sampai Ouwyang-kongcu menyelamatkan nyawanya. Melihat keadaan wanita itu, Li Hwa yang tadi memeluk tubuh yang terguling setelah belenggunya terlepas, perlahan-lahan menurunkan tubuh Madhula. Tubuh itu lemas dan orangnya sudah tidak ingat apa-apa lagi, darah terus mengalir keluar dari lidah yang buntung. Madhula dalam sekarat, seperti juga tubuh ular yang sekarat, hanya bedanya, kalau tubuh Madhula sama sekali tidak bergerak, tubuh ular itu berkelojotan, menggeliat--geliat dan darah mengalir keluar dari dua lubang kecil di antara kedua matanya. Ouwyang Bouw tadi juga terkejut sekali. Gadis cantik itu telah dapat menyclundup ke dalam pulau tanpa ada yang tahu, bahkan telah berada di atas pohon tanpa dia sendiri mengetahuinya. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa dara itu tentu memiliki ilmu kepandaian tinggi. Apalagi ketika dibuktikannya dengan membunuh ularnya menggunakan jarum, ini menjadi tanda pula bahwa dalam hal penggunaan senjata rahasia jarum dara itu belum tentu kalah lihai olehnya yang juga mahir menggunakan senjata rahasia jarum kecil merah yang berbisa. Akan tetapi, kini Ouwyang Bouw telah dapat menguasai rasa kagetnya, matanya terputar-putar menggerayangi seturuh tubuh Li Hwa dan dia tertegun penuh kekaguman. Seorang dara yang masih muda, seorang perawan yang amat jelita, akan tetapi juga amat gagah perkasa! Begitu melihat Li Hwa, sekaligus hati Ouwyang Bouw telah jatuh! Selama petualangannya dengan wanita dari segala macam bentuk dan usia, dia merasa belum pernah dia memperoleh seorang dara muda seperti yang kini berdiri di depannya dengan sikap gagah perkasa itu! Dan dia harus memperolehnya, dengan cara bagaimana- pun juga! “Aihhh, harap Nona sudi memaafkan kami yang tidak tahu akan kedatangan seorang tamu agung seperti Nona sehing-ga tidak mengadakan penyambutan sela-yaknya!” Ouwyang Bouw berkata sambil melangkah maju dan memberi hormat dengan menjura dan mengangkat kedua tangan di depan dada. Diam-diam Li Hwa terkejut dan terheran. Tak disangkanya bahwa pemuda yang disohorkan sebagai seorang iblis muda yang kejam dan gila ini ternyata pandai bersikap demikian sopan-santun seperti seorang terpelajar dan bersusila! Terseret oleh sikap yang begitu hormat, otomatis dia pun mengangkat kedua tangan, membalas penghormatan. Teringat akan hal ini, dia terkejut dan cepat me-nurunkan lagi tangannya, diam-diam dia maklum betapa berbahaya dan lihainya pemuda ini yang dengan gerak dan kata--kata sudah dapat menyeretnya! “Aku Souw Li Hwa bukan tamu dan tidak mengharap sambutan. Akan tetapi menyaksikan kekejaman yang biadab tadi, aku tak mungkin mendiamkannya saja. Bukankah engkau yang disebut Ouwyang Bouw, pemuda iblis yang gila?” Biarpun anak buahnya sudah menge-luarkan suara marah, Ouwyang Bouw ter-senyum saja mendengar makian ini, bah-kan memandang makin kagum dan sesaat kedua bola matanya seperti lupa untuk berputaran seperti biasa. “Dugaanmu benar, Nona Souw Li Hwa. Aku adalah Ouwyang Bouw, majikan muda dari Pulau Ular ini, dan aku merasa senang sekali dapat berkenalan denganmu. Bolehkah aku mengetahui apa sesungguhnya kehen-dak Nona memberi kehormatan kepada kami dengan mengunjungi pulau ini?” Ditanya demikian, barulah Li Hwa teringat dan terkejut. Celaka! Rusaklah usahanya menyelidiki bokor emas yang katanya dibawa ke pulau itu! Akan tetapi karena sudah terlanjur, maka dia membentak, “Cih! Siapa sudi berkenalan denganmu? Aku datang hendak membunuhmu dan membersihkan pulau ini dari iblis-iblis macam kalian dan ular-ular jahat!” “Hayaaa...! Dari mana datangnya nona cantik yang sombong ini?” Tiba--tiba terdengar seruan orang dan muncul-lah dua orang kakek yang dipandang oleh Li Hwa dengan penuh perhatian. Yang berseru tadi adalah seorang kakek tua berusia enam puluhan tahun, tubuhnya tinggi sekali, tinggi kurus dengan leher panjang sehingga kalau dia bergerak-gerak, tubuhnya seperti seekor ular. Mata-nya sipit memandang tajam penuh selidik dan melihat kakek kurus tidak ragu lagi hati Li Hwa menduganya bahwa tentu kakek inilah Si Raja Ular Ban-tok Coa--ong Ouwyang Kok. Adapun kakek ke dua adalah seorang kakek yang lebih tua lagi, tujuh puluh tahun lebih usianya, juga tubuhnya tinggi kurus dan dia tidak berkata-kata, hanya terbatuk-batuk, rambut-nya tidak terpelihara, panjang penuh uban, juga jenggot dan kumisnya tidak terpelihara. Karena pakaiannya sederhana, kakek ini makin kelihatan jorok (kotor). Diam-diam Li Hwa menduga dengan hati penuh ketegangan bahwa tentu kakek ini yang disebut datuk sesat nomor satu Toat-beng Hoat-su. Tahulah dia bahwa dia telah dikurung oleh orang-orang jahat yang berlimu tinggi, namun sedikit pun hatinya tidak merasa takut, bahkan dia tidak mau berpura-pura lagi, dengan sikap gagah dan suara lantang dia bertanya, “Apakah kalian berdua orang tua Ban-tok Coa-ong dan Toat-beng Hoat-su?” “Hemm, bocah sombong. Engkau telah mengenal kami. Siapakah engkau dan engkau yang masih amat muda dan cantik ini mengapa ingin membunuh diri dengan lancang memasuki Pulau Ular tanpa ijin?” Ban-tok Coa-ong berkata, suaranya mengandung ancaman karena kakek ini telah menjadi marah sekali. Kalau ada orang luar berani memasuki pulaunya tanpa ijin, hal itu selain merupakan pelanggaran yang harus dihukum mati, juga merupakan penghinaan kepadanya karena menunjukkan bahwa Si Pelanggar itu memandang rendah kepadanya. “Ayah, Nona ini bernama Souw Li Hwa, cantik jelita dan gagah perkasa. Ayah, sekarang aku mengambil keputusan untuk menikah. Bukankah Ayah sering mengatakan bahwa aku sudah cukup dewasa untuk menikah dan bahwa Ayah ingin sekali menimang cucu? Ayah, dia itulah calon isteriku!” Mendengar kata-kata yang jelas membayangkan kegilaan ini, Li Hwa menjadi marah bukan main. Dia melangkah maju menudingkan telunjuk kirinya kepada Toat-beng Hoat-su dan Ban-tok Coa-ong lalu membentak, “Ban-tok Coa-ong, aku mondengar bahwa engkau dan Toat-beng Hoat-su sudah merampas bokor emas, maka aku datang untuk minta kembali bokor emas itu. Mungkin saja Suhu akan suka mengampuni kalian kalau kalian mengembalikan pusaka itu secara baik-baik kepadaku. Kalian tahu, kalau Suhu marah dan mendengar kalian tidak mau mengembalikan benda pusaka milik Suhu itu, kemana pun kalian melarikan diri dan bersembunyi, akhirnya kalian tentu akan menerima hukuman dari Suhu.” Mula-mula Ban-tok Coa-ong marah sekali mendengar ucapan nona itu yang dianggapnya sombong. Akan tetapi ketika mendengar kalimat-kalimat selanjutnya, dia dan Toat-beng Hoat-su terkejut. “Kau... kau murid The Hoo?” Toat-beng Hoat-su bertanya dengan alis berkerut dan hati masih ragu-ragu. The Hoo adalah seorang panglima besar yang amat terkenal sebagai seorang yang memiliki kesaktian hebat. Benarkah dara jelita yang muda ini muridnya? “Panglima Besar The Hoo adalah guruku dan aku menerima tugas dari Suhu untuk minta kembali bokor emas yang terjatuh ke tangan kalian.” Li Hwa menjawab dengan suara lantang. Muka Ban-tok Coa-ong berubah merah. “Bagus, kaukira aku mudah menyerah begitu saja? Bocah lancang sombong, jangan kau mempergunakan nama The Hoo untuk menakut-nakuti Ban-tok Coa-ong!” “Wuuuuttt...!” Angin keras yang dahsyat menerjang ke arah Li Hwa ketika kakek bertubuh ular itu tahu-tahu telah menyerangnya. Kedua kakinya masih tidak bergeser, akan tetapi tubuh atasnya melengkung dan kedua tangannya dengan jari terbuka mencengkeram ke arah dara itu. Panjang tubuh disambung lengan cukup untuk menjangkau dan mencapai tubuh Li Hwa. “Ayah, jangan lukai calon isteriku!” Ouwyang Bouw berseru. Akan tetapi, betapapun lihai serangan itu, dengan mudah saja Li Hwa mengelak dengan gerakan cekatan sekali, dan lengannya bergerak, tangannya mengebut ke samping mengenai lengan tangan kanan kakek itu. “Plakkk!” Biarpun Li Hwa harus meloncat ke belakang karena pertemuan tenaga itu membuat lengannya tergetar, akan tetapi juga kakek Raja Ular itu merasa betapa kulit lengannya panas, tanda bahwa dara muda itu benar-benar memiliki kepandaian hebat dan tenaga sin-kang yang kuat! Dengan marah dan penasaran, tanpa mempedulikan seruan puteranya, Ouwyang Kok sudah hendak menerjang lagi, akan tetapi Toat-beng Hoat-su mendekatinya dan membisikkan siasatnya, “Tunggu... dia merupakan sandera yang baik dan berharga sekali... mungkin dapat ditukar dengan bokor...!” Mendengar ini, Ban-tok Coa-ong menghentikan gerakannya hendak menyerang dan dengan wajah berseri kakek ini menghadapi Li Hwa dan berkata lantang “Nona Souw Li Hwa. Engkau dapat menghindarkan seranganku, hal ini saja sudah membuat engkau cukup berharga untuk bicara denganku. Engkau mengaku murid The Hoo, dan puteraku jatuh cinta kepadamu. Semua itu baik-baik saia, akan tetapi engkau harus diuji lebih dulu apakah benar engkau murid The Hoo dan apakah engkau cukup berharga untuk menjadi mantuku, ha-ha-ha!” Kakek Raja Ular itu menggapai kepada seorang Nepal yang tubuhnya tinggi besar seperu raksasa dan kumis jenggotnya lebat sekali hampir menutupi seluruh mukanya, sambil berkata, “Maju dan lawanlah nona ini!” Orang Nepal itu menyeringai sehingga tampaklah giginya yang besar-besar, dan dengan sikap jumawa sekali dia melangkah ke dalam lapangan itu menghadapi Li Hwa. Sengaja dia mengerahkan tenaga pada kedua kakinya sehingga langkahnya seperti langkah gajah, membuat tanah tergetar setiap kali dia membanting ka-kinya! Dapat dibayangkan betapa marahnya hati Li Hwa mendengar ucapan Ban-tok Coa-ong tadi. Ucapan itu dianggap amat menghinanya, akan tetapi karena dia pun cukup maklum bahwa dia berada di sa-rang harimau dan menghadapi banyak lawan pandai, dia tidak mau terseret oleh kemarahannya. Gurunya pernah me-ngatakan kepadanya bahwa dalam meng-hadapi lawan tangguh, yang terpenting sekali adalah sikap tenang dan sikap tenang ini akan rusak apabila membiar-kan diri dikuasai pikiran yang menda-tangkan kemarahan, ketakutan, atau kesombongan. Maka kini menghadapi raksa-sa Nepal itu, dia bersikap tenang, sedikit pun tidak merasa takut, juga tidak me-mandang rendah dan sama sekali bebas dari kemarahan. Dengan sikapnya yang tenang, dia dapat memandang tajam dan segera dapat melihat bahwa lawannya adalah seorang yang memiliki tenaga kasar yang amat kuat dan otot-otot yang menggembung di seluruh tubuh raksasa ini telah terlatih, Namun, sekilas pan-dang saja Li Hwa sudah dapat menduga kelemahan lawan ini yaitu kelambanan gerak sehingga dia sudah tahu bahwa untuk mengalahkannya dia harus mengan-dalkan kecepatannya. Dengan pikiran ini, tanpa memberi kesempatan kepada lawan untuk menye-rangnya Li Hwa sudah menerjang maju dan mengirim dua kali pukulan beruntun ke arah dada dan lambung. Gerakannya cepat bukan main karena dara ini telah mempergunakan jurus Ilmu Silat Jit-goat--sin-ciang-hoat. Dua pukulan yang dilaku-kan kedua tangan itu pun mengandung dua macam tenaga keras dan lembut, akan tetapi keduanya amat berbahaya karena yang keras dapat meremukkan tulang, dan yang lembut dapat merusak urat syaraf! “Plakk! Blukk!” Li Hwa terkejut bukan main karena kedua pukulannya, baik yang mengandung tenaga Yang-kang (keras) maupun Im-kang (lembut) bertemu dengan kulit dada dan kulit lambung yang kerasnya seperti baja! Tak disangkanya sama sekali bahwa raksasa itu memiliki tubuh yang kebal dan kuat bukan main. Dan lebih-lebih kagetnya ketika tiba-tiba kedua lengannya telah ditangkap oleh raksasa itu dan dengan tenaga yang seperti tarikan gajah, tubuh Li Hwa telah diangkat ke atas! “Jangan bunuh dia...!” bentakan Ouwyang Bouw itu dijawab dengan suara tertawa bergelak oleh raksasa Nepal itu yang cepat melontarkan tubuh Li Hwa ke atas dan sambil bertolak pinggang dia tertawa-tawa menanti turunnya tubuh itu. Dia jelas bendak mempermainkan tubuh dara itu seperti sebuah bola yang dilempar-lemparkan ke atas! Li Hwa sudah mempergunakan gin-kangnya, ketika tubuhnya meluncur ke atas seperti anak panah meluncur, cepat dia berjungkir balik sampai lima kali untuk mematahkan tenaga luncuran itu, kemudian melayang turun. Dari atas dia melihat betapa lawannya sudah siap me-nyambutnya dengan kedua lengannya yang berbulu dan kuat sekali itu, kedua lengan yang sudah dikembangkan dan diacungkan ke atas. Sudah terdengar suara lawannya tertawa bergelak. Li Hwa maklum bahwa kalau dia tidak dapat merobohkan lawan dari atas, dia akan tak berdaya sama sekali begitu tubuhnya tertangkap oleh kedua tangan yang kuat itu. Untuk mempergunakan jarum peraknya, dia tidak sudi karena hal itu berarti bahwa dia jerih menghadapi lawan dengan terbuka. Pula, dengan kehadiran dua orang datuk kaum sesat itu, menggunakan senjata rahasia pun takkan ada gunanya. Maka dia lalu menggunakan akal dan sengaja membuat tubuhnya melayang turun seperti seorang yang tidak berdaya dan ketakut-an. “Ha-ha-ha, Nona manis, marilah kita main-main!” Orang Nepal itu berkata dengan logat bicaranya yang kaku. Ketika tubuhnya sudah meluncur dekat, tiba-tiba Li Hwa membalik, kepalanya di bawah dan kedua tangannya seperti seorang yang kebingungan hendak mencari pegangan, akan tetapi begitu kedua tangan raksasa itu menangkap pinggang dan pundaknya, Li Hwa sudah menggerakkan kedua jari telunjuknya untuk menotok ke arah pundak dan teng-kuk. “Cusss! Cusss!” “Auggghhh...!” Tubuh raksasa itu terguling dan cengkeraman kedua tangannya terlepas. Dia telah terkena serangan Ilmu Menotok Jalan Darah It-ci-san yang amat lihai. Biarpun tubuhnya kebal, na-mun totokan satu jari yang amat hebat itu dengan tepat mengenai jalan darah-nya sehingga untuk sesaat tubuhnya se-perti lumpuh yang menyebabkan tubuhnya terguling. Kesempatan ini tidak dibiarkan lewat begitu saja oleh Li Hwa. Jari tangan kirinya menjambak rambut panjang lawannya dan dengan pengerahan tenaganya, ditariknya tubuh itu ke atas dan kemudian tangan kanannya yang dimiringkan menghantam ke arah teng-kuk. “Krekkkk!” Tubuh itu terkulal dan raksasa Nepal itu roboh pingsan! Semua orang yang menonton pertandingan itu terbelalak, sama sekali tidak mengira bahwa raksasa Nepal yang terkenal hebat dan amat kuat itu roboh hanya dalam dua tiga gebrakan saja! “Tidak salah lagi, dia murid The Hoo...!” Toat-beng Hoat-su berkata lirih. Ban-tok Coa-ong mengangguk. “Benar, tadi tentu It-ci-san yang terkenal dari The Hoo...” Ban-tok Coa-ong kini menggapai ke-pada seorang Han yang tubuhnya pendek kecil, amat kurus seperti rangka hidup, mukanya pucat dan sepasang matanya yang cekung itu mengerikan sekali. “Pek-mo (Iblis Putih), tangkap dia!” Laki-laki bermuka pucat yang usianya tentu sudah lima puluh tahun lebih itu mengangguk, mengeluarkan suara rintihan panjang seperti orang menangis dan tiba--tiba, tubuhnya sudah mencelat ke depan Li Hwa, matanya yang cekung bersinar mengerikan dan ketika mulutnya meri-ngis, ternyata di dalam mulutnya tidak terdapat gigi sepotong pun! Li Hwa memandang penuh perhatian. Keadaan tubuh orang ini sungguh merupakan kebalikan dari keadaan raksasa Nepal tadi. Kalau raksasa Nepal tadi membayangkan kekuatan dahsyat, orang ini sebaliknya kelihatan seperti seorang berpenyakitan yang sudah berdiri di ambang kuburan. Kelihatan lemah dan agaknya hembusan angin yang agak besar saja sudah akan cukup untuk merobohkannya. Akan tetapi Li Hwa tidak tertipu oleh keadaan luar, dan dia sudah dapat menduga bahwa orang yang kecil seperti mayat hidup ini tentulah memiliki kepandaian yang tinggi dan memiliki tenaga sin-kang yang kuat. Baru caranya meloncat ke depan tadi saja sudah membuktikan betapa Si Mayat Hidup ini mempunyai kegesitan yang tak boleh dipandang ringan! Maka tanpa menanti gerakan lawan, tanpa sungkan-sungkan lagi dia sudah menerjang ke depan dan menyerang Si Mayat Hidup itu dengan totokan-totokan maut!