Dewi Maut jbookmaker by: http://jowo.jw.lt Telaga itu amat luas sekali, dari tepinya tampak seolah-olah lautan bebas, dengan pulau-pulau di tengahnya yang kelihatan subur penuh dengan pohon-pohon lebat. Telaga itu dikelilingi pegunungan yang kaya akan hutan sehingga merupakan cermin besar yang menampung bayangan pohon-pohon di dalamnya, membuat air telaga kadang-kadang kelihatan hijau jernih. Di waktu matahari naik tinggi, jika kita memandang ke telaga itu, seolah-olah kita berhadpan dengan sebuah dunia ajaib di mana segala-galanya nampak terbalik, dan telaga itu seperti sebuah mangkok wasiat vang menelan seluruh dunia, pohon-pohon gunung-gunung, bahkan langitpun ditelannya! Amat indah pemandangan di sekitar telaga, indah tenteram, penuh suasana damai, sunyi-senyap dan tenang. Sepantasnya tempat seperti itu menjadi contoh penggambaran taman sorga. Akan tetapi tidak demikianlah kenyataannya. Keadaan di situ amat sunyi senyap karena memang orang-orang, para penghuni dusun-dusun di sekitar daerah itu, tidak berani mendekati telaga ini. Telaga Kwi-ouw (Telaga Setan), demikianlah telaga ini dinamakan orang! Tidak ada yang tahu bagaimana riwayatnya mengapa telaga seindah itu dinamakan Telaga Setan, akan tetapi puluhan tahun yang lalu, telaga ini merupakan sumber nafkah bagi ratusan orang penghuni di sekitar daerah itu yang setiap hari dan terutama malam mencari ikan yang banyak terdapat di dalam air telaga. Akan tetapi semenjak pulau di Telaga Setan itu, sebuah di antara pulau-pulau itu, yang terbesar, menjadi sarang para hek-to (golongan jalan hitam), yaitu kaum sesat yang membentuk perkumpulan yang dinamakan Kwi-eng-pang (Perkumpulan Bayangan Setan), maka tempat itu menjadi sepi, menjadi tempat yang amat berbahaya sehingga tidak ada lagi penduduk yang berani mendekatinya. Belasan tahun yang lalu, perkumpulan Kwi-eng-pang yang bersarang di atas pulau itu seolah-olah menjadi pemilik dan menguasai Telaga Kwi-ouw, diketuai oleh pendirinya, yaitu seorang datuk kaum sesat wanita yang amat terkenal dengan julukannya Kwi-eng Nio-cu (Nona Bayangan Hantu). Akan tetapi perkumpulan yang terdiri dari kaum sesat dan amat ditakuti rakyat ini, kurang lebih lima belas tahun yang lalu, telah dihancurkan oleh Pasukan Pemerintah yang dibantu oleh orang-orang gagah (baca cerita Petualang Asmara). Si Bayangan Hantu yang menjadi ketuanya tewas, para pembantu-pembantunya yang merupakan pimpinan Kwi-eng-pang terbasmi habis, bahkan sebagian besar anggauta Kwi-eng-pang tewas dalam pertempuran melawan pasukan pemerintah, sedangkan sisanya melarikan diri cerai berai meninggalkan pulau di Telaga Setan itu. Bertahun-tahun pulau itu kosong, akan tetapi Telaga Setan tetap menyeramkan, dan tetap saja sunyi senyap karena rakyat masih tidak berani mendekati telaga yang terkenal angker dan berbahaya ini. Apalagi sekarang, setelah rakyat melihat betapa pulau di tengah telaga itu “hidup” kembali, terdapat berita bahwa Kwi-eng-pang yang pernah dihancurkan pemerintah itu kini dibangun kembali, bahkan kabarnya lebih ganas dan lebih jahat daripada dahulu sebelum dibasmi pemerintah! Sukar memang menentukan mana yang lebih ganas dan kejam antara Kwi-eng-pang yang dahulu dan yang sekarang karena berita seperti itu biasanya memang dilebih-lebihkan oleh mereka yang ketakutan. Akan tetapi memang benar bahwa orang-orang Kwi-eng-pang sekarang telah kembali ke pulau di tengah Telaga Setan itu! Sisa para anggauta Kwi-eng-pang yang sempat menyelamatkan diri, kini kembali bersama banyak anggauta baru, diketuai oleh seorang laki-laki, berusia hampir lima puluh tahun yang memiliki kepandaian tinggi dan berjuluk Hek-tok-ciang (Si Tangan Beracun Hitam). Hek-tok-ciang ini bernama Kiang Ti dan dia adalah murid dari mendiang Si Bayangan Hantu. Ketika subonya (ibu gurunya) masih menjadi ketua Kwi-eng-pang, Kiang Ti ini telah menjadi ketua dari perkumpulan Ui-hong-pang yang berada di lembah Sungai Huang-ho, di lereng Bukit Ui-tiong-san. Kini, melihat betapa pulau bekas sarang gurunya itu kosong, dan banyak anggauta Kwi-eng-pang yang berhasil lolos dari pembasmian pemerintah, sebagai murid kepala, Kiang Ti lalu mengumpulkan mereka, digabung dengan para anggautanya sendiri, kemudian setelah lewat belasan tahun pemerintah tidak lagi menaruh perhatian kepada Telaga Setan, Kiang Ti memboyong anak buahnya pindah ke pulau di tengah Telaga Setan dan tempat itu menjadi sarang mereka yang kembali memakai nama Kwi-eng-pang untuk melanjutkan perkumpulan yang pernah dipimpin gurunya. Dasar mata pencaharian mereka adalah menangkap ikan yang banyak terdapat di telaga, juga bertani di tepi telaga dan di pulau yang tanahnya subur. Akan tetapi di samping pekerjaan yang halal ini, mereka tidak segan-segan untuk melakukan pekerjaan sampingan apa saja asal menguntungkan, termasuk membajak, merampok dan mengganggu dusun-dusun di sekitar daerah itu! Dengan “pekerjaan” yang banyak macamnya ini, Kiang Ti berhasil mengumpulkan kekayaan dan bangunan-bangunan di pulau itu diperbaiki bahkan ditambah, dan para anggautanya mulai membentuk keluarga-keluarga dengan isteri-isteri yang rata-rata cantik karena wanita-wanita ini adalah pilihan-pilihan mereka yang mereka culik dari dusun-dusun sekitarnya dan dari mana saja! Pagi hari itu pemandangan di tepi telaga amatlah indahnya. Matahari yang baru timbul menyinarkan cahaya keemasan, belum menyilaukan pandangan mata dan daun-daun muda di puncak pohon-pohon bermandikan cahaya keemasan, membuat puncak-puncak pohon menjadi berkilauan penuh seri bahagia, penuh nikmat hidup. Sebagian dari cahaya yang terlampau banyak sehingga tidak tertampung oleh daun-daun di puncak pohon, menerobos melalui celah-celah pohon, melalui ranting dan dahan, membentuk sinar-sinar keputihan dengan garis-garis lurus penuh kekuatan dan daya cipta, sempat menyentuh rumput dan lumut yang tumbuh di bawah pohon-pohon yang lebat daunnya itu. Dua ekor burung kecil berbulu biru putih berloncatan di atas dahan pohon, lalu berhenti di bagian yang tertimpa cahaya matahari pagi, menggoyang-goyang tubuh sehingga semua bulu di tubuhnya mekrok berdiri, membersihkan bulu sayap dan ekor dengan paruhnya yang kecil kemerahan. Terdengar kicau burung teman-teman mereka di kejauhan dan mereka segera melupakan lagi pekerjaan mereka yang mengasyikkan itu, membalas kicauan itu dan terbang menuju ke arah suara teman-teman mereka, lincah dan gembira karena hidup baru telah mulai pagi itu, penuh kebahagiaan dan keindahan yang dapat dinikmati setiap saat. Rumput-rumput di tepi telaga yang jarang diinjak kaki manusia itu tampak segar berseri-seri pagi itu, dihias dengan mutiara-mutiara air embun pagi yang masih belum mau menyerah kalah oleh sinar matahari yang masih terlalu lembut, belum cukup kuat untuk mencairkan kekentalan air embun dan memaksanya turun meresap ke dalam tanah dihisap akar-akar rumput yang tidak pernah kekeringan. Air telaga itu sendiri tenang, sama sekali tidak bergerak, tidak ada keriput, seperti sebuah cermin besar yang menampung segala keindahan di sekelilingnya, dan matahari sendiri langsung terjun ke dalam air telaga, bundar kemerahan, mulai menyilaukan mata dan sinarnya membentuk cahaya memanjang di atas permukaan air. Kicau burung bertambah riuh gembira. Dua ekor burung berbulu putih yang agak besar berkejaran di atas rumput dekat telaga, semacam burung meliwis putih yang agaknya bercumbuan di pagi hari itu, menyambut keindahan pagi dengan pernyataan cinta berahi yang tiba-tiba mendesak di seluruh syaraf dan perasaan. Dengan gerakan indah dan ringan, burung jantan menyambar hinggap di atas punggung yang betina, yang mengelak manja dan seolah-olah mentertawakan menambah gairah, berlari setengah terbang di antara rumput membuat embun-embun mutiara beterbangan, dikejar oleh yang jantan sambil mengeluarkan pekik kemenangan. “Wirrrr... plokkk!” Tiba-tiba burung jantan itu terpelanting dan roboh terlentang tak bergerak lagi. Burung betina menjerit dan terbang ketakutan, menghilang di antara daun-daun pohon. Keindahan tak dapat dinikmati lagi, dan kekerasan serta keganasan yang kejam selalu muncul apabila terdapat manusia, mahluk yang merasa dirinya paling suci dan paling unggul. Lima orang wanita sambil tertawa-tawa muncul dari balik pohon-pohon, melangkah ringan mendekati burung jantang yang telah mati. “Hi-hi-hik, bidikanmu tepat sekali, adik Lui Hwa! Selagi dia mengejar betina yang patut dikasihani itu, engkau menyambitnya tepat menghancurkan kelakiannya. Hi-hik!” berkata seorang di antara mereka setelah memungut bangkai burung itu dan memeriksa dan mendapat kenyataan bahwa burung itu terkena sambitan batu tepat pada bawah ekornya sehingga bagian itu hancur dan mati seketika. “Sudah, tidak perlu memuji, enci. Kalian berempat belum memperoleh seekorpun binatang untuk makan pagi kita!” “Jangan khawatir, tempat ini banyak binatang dan burungnya.” “Tapi hati-hati, jangan salah membunuh yang betina!” “Mana mungkin salah! Aku tidak sudi makan daging binatang betina!” Dengan gerakan yang amat cepat, empat orang di antara lima orang wanita ini berpencar, menyusup di antara pohon-pohon dan tak lama kemudian sambil tertawa-tawa mereka berkumpul lagi di tepi telaga, ada yang membawa bangkai seekor kelinci, ada yang membawa burung dan ada pula ayam hutan. Akan tetapi hebatnya, semua binatang itu adalah jantan dan semua disambit tepat mengenai alat kelaminnya! Sambil tertawa-tawa mereka lalu membersihkan bangkai-bangkai itu, membuat api unggun, menggarami dan membumbui daging-daging itu dengan bumbu yang mereka bawa sebagai bekal, dan dipangganglah daging-daging itu. Mereka duduk mengelilingi api unggun sambil bercakap-cakap dan bersendau gurau. Lima orang ini adalah wanita-wanita yang usianya paling banyak tiga puluh tahun dan berpakaian seragam atau sama semua. Rata-rata wajah mereka cantik-cantik dan gagah, dengan pedang di punggung dan rambut yang sanggulnya dihias sebuah mainan burung hong terbuat dari batu kemala! Yang tadi disebut bernama Lui Hwa adalah yang termuda dan tercantik di antara mereka, berusia kurang lebih dua puluh tujuh tahun dan biarpun dia merupakan orang termuda, akan tetapi agaknya dialah yang menjadi pimpinan rombongan wanita cantik yang aneh ini. Dan memang sesungguhnya demikianlah. Mereka itu adalah lima orang anggauta perkumpulan Giok-hong-pang (Perkumpulan Burung Hong Kemala) dan orang termuda bernama Lui Hwa itu merupakan orang yang memiliki kepandaian lebih tinggi daripada empat orang yang lainnya. Setelah makan bersama daging-daging panggang itu dan minum air telaga yang jernih, mereka lalu duduk di tepi telaga menghadap ke arah pulau besar di tengah telaga yang menjadi sarang perkumpulan Kwi-eng-pang. “Bagaimana kita dapat menyeberang ke pulau itu?” “Mengapa begini sepi, tidak ada seorangpun di tepi telaga?” “Kita harus mencari tepi yang terdekat dengan pulau itu.” “Lalu bagaimana kita dapat menyelidiki kalau tidak berada di sana?” Lui Hwa berkata sebagai jawaban keempat orang kawannya itu. “Keterangan yang kita peroleh dari penduduk daerah ini memang menyatakan bahwa tempat ini amat sunyi karena tidak ada penduduk yang berani mendekati. Dan kurasa kita hanya dapat menyeberang ke sana dengan perahu. Menurut penyelidikan, para anggauta Kwi-eng-pang suka mencari ikan, tentu nanti akan ada perahu yang mendekati pantai, dan kita boleh menyergapnya.” “Hwa-moi (adik Hwa), tempat ini kelihatan penuh rahasia dan menyeramkan, tentu engkau sudah hafal benar dan tidak sampai terjeblos ke dalam perangkap, bukan?” “Jangan khawatir, teman-teman!” Lui Hwa berkata. “Pangcu (ketua)sudah memberi keterangan sejelas-jelasnya. Dengar baik-baik agar kalian juga dapat mengenal keadaan. Pantai sini merupakan pantai terdekat dari pulau besar dan merupakan pantai teraman, sehingga mereka yang mencari ikan dari pulau itu tentu akan pergi ke sini. Arah perahu dari sini ke pulau harus lurus dari pantai ini dan mendarat di pulau itu tepat pada tonjolan teluk pulau yang ada pohon kembarnya yang tampak dari sini itu, sedangkan penunjuk pantai ini adalah batu besar berbentuk rumah di belakang kita ini. Jalan ini paling aman, karena yang sebelah kiri penuh dengan kembang teratai putih itu, di bawahnya terdapat banyak tanaman air yang dapat melibat dan menahan lajunya perahu, bahkan dapat menahan perahu sehingga tidak dapat bergerak lagi. Di sebelah kanan yang penuh dengan kembang teratai merah itu, banyak terdapat batu-batu karang besar mendekati permukaan air yang tertutup daun-daun teratai sehingga dapat merusak perahu yang membenturnya, juga banyak dipasangi alat rahasia di situ. Nah, cukup sekian dulu, nanti kalau kita sudah berhasil mendarat di antara dua pohon kembar di sana itu, akan kuberitahukan lagi rahasia memasuki pulau itu dengan aman.” Empat orang wanita yang lainnya mendengarkan penuh perhatian dan memandang ke arah tempat-tempat yang ditunjukkan oleh Lui Hwa. “Indah dan mengagumkan, juga aman sekali tempat ini kalau dapat menjadi sarang perkumpulan kita.” “Pantas saja pangcu mengutus kita menyelidiki keadaan Kwi-eng-pang dan berniat mengajak kita semua pindah ke sini.” “Akan tetapi bagaimana dengan para anggauta Kwi-eng-pang? Aku benci kalau harus hidup bersama laki-laki, di tempat yang betapa indahpun.” “Akupun tidak sudi, bisa pendek umurku!” “Hushh, kalian jangan bicara sembarangan.” Lui Hwa berkata. “Apakah kaukira pangcu juga sudi? Pangcu lebih membenci pria daripada kita semua, ini kalian sudah tahu, mengapa meragukan niat pangcu. Kalau pangcu berkenan pindah ke sini, tentu semua pria akan diusir atau dibasmi habis dari pulau itu dan dari sekitar daerah ini.” “Bagus!” teriak yang bertahi lalat merah kecil di bawah dagunya. “Berikan beberapa belas orang laki-laki itu untuk mampus di tanganku!” “Ingat, enci, pangcu sudah berkali-kali memperingatkan kita bahwa betapapun bencinya kita kepada kaum pria, kita tidak boleh membunuh mereka begitu saja tanpa sebab. Kita bukaniah kaum penjahat yang haus darah, melainkan segolongan wanita yang telah dirusak hidupnya dan disakitkan hatinya oleh kaum pria dan kini telah dibina olch pangcu menjadi kesatuan yang kokoh kuat dan tidak lagi sudi menjadi korban keganasan kaum pria. Kita bukanlah lagi menjadi alat pemuas nafsu berahi kaum pria, menjadi budak selama hidup dari kaum pria! Akan tetapi kitapun bukanlah pembunuh-pembunuh keji den manusia-manusia rendah.” Empat orang itu memandang kepada Lui Hwa dan kelihatan takut, mengangguk dan tidak berani lagi mengutarakan kebencian mereka terhadap kaum pria secara berlebihan. Tiba-tiba Lui Hwa memberi tanda, dan mereka berlima cepat meloncat dan dalam sekejap mata saja mereka telah lenyap, bersembunyi dl balik batu besar dan mengintai ke arah telaga. Tampak dua perahu kecil meluncur cepat dari pulau menuju ke tengah telaga, membawa alat-alat penangkap ikan seperti jala, dan pancing. Setiap perahu kecil ditumpangi dua orang dan mereka mendayung perahu-perahu itu dengan cepat dan makin mendekati tepi di mana terdapat batu besar itu. “Kalian pancing mereka agar mendarat di tepi,” Lui Hwa berkata kepada empat orang teman-temannya. “Sembunyikan pedang kalian dan berpura-puralah sebagai pelancong-pelancong daerah lain yang tidak tahu-menahu tentang telaga dan ingin menikmati keindahan telaga ini. Usahakan agar mereka semua dapat keluar dari perahu dan mendarat, baru aku akan muncul dan kita bunuh mereka semua. Kalau tidak dibunuh, mereka bisa membahayakan tugas penyelidikan kita. Mengertikah semua?” “Adik Lui Hwa, bolehkah aku membunuh seorang di antara mereka?” tanya yang bertahi lalat merah kecil di bawah dagunya. “Nanti, tunggu komandoku, jangan lancang tangan. Kalau sampai di antara mereka ada yang lolos dan melarikan diri dengan perahu, kita tidak akan mampu mengejar dan menangkapnya.” Perahu itu makin dekat kini, bahkan yang sebuah sudah berhenti dan dua orang penumpangnya mulai memeriksa jala. Tiba-tiba empat orang penumpang perahu itu terkejut mendengar teriakan-teriakan suara wanita dan mereka bengong terheran-heran ketika menengok ke tepi telaga dan melihat ada empat orang wanita yang berteriak-teriak, memanggil dan melambai-lambai tangan. “Heiii...! Tukang perahu...!” “Kami ingin pesiar naik perahu!” “Kami ingin menyewa perahu kalian!” “Kami adalah pelancong-pelancong dari luar daerah!” Empat orang laki-laki itu saling pandang dan tersenyum. “Aneh,” kata seorang di antara mereka. “Dari mana datangnya empat orang wanita itu?” “Jangan-jangan mereka itu mata-mata musuh...” “Ah, tidak mungkin. Mereka adalah wanita-wanita lemah... hemmm, cantik-cantik dan lihat potongan tubuh mereka...!” “Masih muda-muda lagi, dan tentu bukan wanita kang-ouw, mereka tidak memhawa senjata.” “Betapapun juga, mereka mencurigakan, sebaiknya kita tangkap dan hadapkan kepada pangcu.” Sementara itu, empat orang wanita itu melambai-lambaikan tangan dan jelas nampak oleh empat orang anggauta Kwi-eng-pang betapa mereka itu bersikap genit dan tersenyum-senyum manis! Dua buah perahu itu lalu didayung dan meluncur cepat menuju ke tepi telaga. Perahu berhenti di pinggir dan kini empat orang anggauta Kwi-eng-pang memandang kagum. Setelah dekat, mereka melihat jelas bahwa empat orang wanita itu adalah wanita-wanita yang sudah matang, kurang lebih tiga puluh tahun usianya, berpotongan tubuh yang ramping menggiurkan, berwajah rata-rata manis dan hiasan rambut berbentuk burung hong kemala itu amat menarik hati. Siapakah nona sekalian dan bagaimana bisa sampai di tempat sunyi ini?” tanya seorang di antara empat anggauta Kwi-eng-pang. Wanita bertahi lalat kecil merah di bawah dagu mewakili teman-temannya. Dia adalah yang paling manis di antara empat orang itu dan kini dia berkata dengan sikap menarik, “Aihhh... kami adalah pelancong-pelancong dan sesampainya di tepi telaga ini, rombongan kami hendak berburu binatang di pegunungan itu. Kami lelah dan sengaja menanti di sini. Telaga begini indah akan tetapi tidak ada perahu, hati kami kesal. Melihat kalian berperahu, kami ingin menyewa perahu kalian...” “Kami... kami bukan tukang perahu!” Wanita itu tersenyum, nampak deretan gigi yang putih dan rapi. “Tukang perahu atau bukan, yang penting bagi kami adalah perahu-perahunya. Kalian minta upah berapapun kami sanggup membayarnya.” “Kami tidak butuh uang!” “Kalau begitu, minta upah apakah?” Si tahi lalat itu tersenyum dan melirik genit, sedangkan tiga orang temannya menjadi merah mukanya. Melihat muka mereka merah dan sikap genit itu, empat orang anggauta Kwi-eng-pang berdebar hatinya. Mereka mengira bahwa empat orang wanita ini tentulah wanita-wanita iseng dan kini timbul gairah di tempat sunyi romantis itu, warna merah di pipi mereka dianggapnya sebagai tanda malu-malu kucing, jinak-jinak merpati. Tentu saja mereka tidak pernah mimpi bahwa warna merah di pipi itu adalah warna kemarahan yang meluap-luap! “Eh, nona. Benarkah kalian berempat mau memberi upah apa saja kepada kami kalau kami mau membawa nona ke dalam perahu?” Si tahi lalat menahan ketawa, menutupkan punggung tangan dengan sikap genit ke depan mulutnya yang kecil dan berbibir merah. “Hi-hik, bicara soal itu patutkah berteriak-teriak seperti itu? Malu ah, terdengar orang lain. Apakah kalian tidak bisa ke sini, dan bicarakan soal upah itu dengan baik-baik di sini, tanpa berteriak-teriak seperti itu?” Setelah berkata demikian, si tahi lalat lalu mundur dan duduk di atas tanah berumput, sengaja duduk dengan gaya memikat dan membusungkan dadanya. Tiga orang temannya juga melakukan hal yang sama, bahkan sengaja duduk agak saling menjauh. Seperti sekelompok anak kecil dipikat dengan kembang gula, empat orang anggauta Kwi-eng-pang itu tertawa-tawa dan cepat mendaratkan perahu, mengikat tali perahu ke batang pohon. Mereka saling pandang dan saling bermufakat, yaitu satu lawan satu! “Rejeki” nomplok di pagi hari ini seperti hadiah para dewa dan tentu saja tidak mau mereka lewatkan begitu saja. Setelah menikmati tantangan, baru mereka akan memikirkan tentang menawan mereka itu dan menghadapkan mereka kepada ketua, karena kalau sudah berada di depan ketua mereka, tentu tidak mungkin akan terbuka kesempatan baik seperti itu, mengingat bahwa mereka hanyalah anggauta tingkat bawahan saja! Sambil tersenyum dan dengan jantung berdebar-debar, mereka lalu berjalan menghampiri empat orang wanita cantik itu, dan seperti telah diatur, masing-masing menghampiri wanita yang telah dipilihnya dari jauh. Tiba-tiba mereka berempat terkejut sekali ketika melihat bayangan berkelebat cepat ke arah belakang mereka. Ketika mereka membalik, mereka melihat seorang wanita lain yang lebih cantik, kini telah berdiri di belakang mereka, menghadang antara mereka dan perahu mereka, dengan wajah dingin wanita muda ini berkata, “Bunuh mereka semua!” Wanita ini bukan lain adalah Lui Hwa yang telah muncul keluar dari tempat sembunyinya. Empat orang anggauta Kwi-eng-pang itu terkejut dan juga marah bukan main. Tahulah mereka bahwa lima orang wanita ini adalah mata-mata fihak yang memusuhi Kwi-eng-pang. “Srat-sratt... singggg...!” Mereka segera mencabut golok besar yang tergantung di pinggang masing-masing lalu menerjang ke depan, ke arah empat orang wanita itu sambil membentak, “Keparat, kalian ternyata adalah mata-mata!” Akan tetapi, empat orang wanita Giok-hong-pang itu telah menghunus pedang masing-masing yang tadi disembunyikan di balik jubah dan sambil tersenyum mengejek mereka menyambut serbuan empat orang laki-laki yang marah itu. “Cring-cring-trang-tranggg...!” Bunga api berhamburan ketika empat batang golok bertemu dengan empat batang pedang, dan empat orang laki-laki itu terkejut bukan main karena tangan mereka yang memegang golok menjadi tergetar dan hampir saja lengan mereka terluka saking cepatnya wanita-wanita itu menggerakkan pedang melanjutkan tangkisan dengan serangan mereka. Terjadilah pertempuran yang mati-matian di pinggir telaga yang sunyi itu dan Lui Hwa tidak membantu empat orang temannya karena dia melihat betapa empat orang Kwi-eng-pang itu bukanlah merupakan lawan yang tangguh. Akan tetapi, melihat betapa teman-temannya mempermainkan empat orang itu, hanya menggunakan ujung pedang mereka untuk menggores sana-sini sehingga pakaian dan kulit empat orang lawan itu pecah-pecah dan mandi darah, dia membentak tidak sabar, “Hayo cepat habiskan mereka, tidak banyak waktu untuk bermain-main!” “Hi-hik, adik Lui Hwa, engkau tidak sabaran sekali. Habislah kita berpesta kalau begitu!” Si tahi lalat merah kecil tertawa dan pedangnya berkelebat disusul jerit mengerikan lawannya yang roboh dan mati seketika karena anggauta kelaminnya terbacok putus bersama robeknya perut bagian bawah. Jerit itu disusul oleh tiga orang kawannya. Sambil tersenyum empat orang wanita itu membersihkan pedang pada baju korban masing-masing, lalu menyarungkan pedang sambil meludah ke arah onggokan daging berdarah yang terlepas dari tubuh itu. Empat orang anggauta Kwi-eng-pang itu mati semua dengan luka yang sama, yaitu terbacok putus anggauta kelaminnya. Mereka tewas dalam keadaan mengerikan, mata terbelalak lebar dan mulut menyeringai kesakitan! Burung-burung beterbangan sambil mengeluarkan bunyi ketakutan, agaknya merasa ngeri menyaksikan kekejaman manusia, kekejaman yang jarang mereka lihat dan yang kini terjadi berturut-turut di tepi telaga itu semenjak lima orang wanita itu muncul. Rumput-rumput yang pagi tadi masih segar kehijauan dihias butiran-butiran embun, kini dihias warna merah dari darah empat orang laki-laki itu. Namun bumi menerima dan menghisap darah itu setenang menghisap air embun yang menyegarkan, tanpa perbedaan karena bagi bumi semua adalah wajari, dan sudah semestinya. Lui Hwa sudah melepaskan tali perahu dan tak lama kemudian, lima orang wanita itu telah mendayung perahu menuju ke pohon kembar di pulau yang tampak dari situ, mereka menggunakan dua buah perahu, yang sebuah diisi dua orang, yang sebuah lagi diisi tiga orang, dengan Lui Hwa berdiri di kepala perahu. Mereka berlima tidak tahu betapa seorang laki-laki setengah tua dengan muka pucat dan mata terbelalak menyaksikan semua peristiwa itu dan kini laki-laki itu dengan cepat berlari-lari di sepanjang tepi telaga, kemudian di tempat tertentu melepaskan anak panah berapi ke arah pulau! “Heii, apa itu...?” Lui Hwa menudingkan telunjuknya ke udara. Mereka berlima melihat sinar yang meluncur di atas udara menuju ke pulau itu. “Seperti panah berapi!” “Ah, tentu ada yang melihat kedatangan kita!” “Tenanglah, kita tidak perlu takut. Kalau memang betul kedatangan kita mereka ketahui, menurut pangcu, nama pangcu tentu dikenal oleh ketua Kwi-eng-pang yang bernama Kiang Ti itu. Kalau nama pangcu tidak menolong, masih ada pedang di tangan kita,” kata Lui Hwa dengan tenang. Dugaan mereka memang tidak keliru. Laki-laki yang tadi melepas panah berapi adalah anggauta Kwi-eng-pang pula yang bertugas sebagai penjaga di luar telaga dan setelah melepas anak panah berapi, dia lalu mengumpulkan teman-temannya yang bertugas jaga di luar sekitar telaga itu, berjumlah dua belas orang, menggunakan sebuah perahu besar lalu meluncurkan perahu melakukan pengejaran. Lima orang wanita itu masih mendayung perahu menuju ke pulau dan sedikitpun tidak merasa gentar. Mereka adalah anggauta-anggauta Giok-hong-pang yang berkepandaian tinggi dan mereka mengandalkan nama ketua mereka. Seperti semua anggauta Giok-hong-pang, merekapun merupakan wanita-wanita yang amat membenci pria karena semua anggauta Giok-hong-pang adalah wanita-wanita yang pernah disakitkan hatinya oleh kaum pria! Sebagian besar adalah janda-janda yang ditinggalkan atau disia-siakan oleh suaminya, ada pula yang menjadi korban perkosaan, pendeknya semua adalah wanita-wanita yang menaruh dendam hebat terhadap pria, dan setidaknya yang paling ringan adalah wanita yang kecewa sekali dalam percintaannya dengan seorang pria. Itulah sebabnya mengapa lima orang wanita ini amat membenci kaum pria, membunuh empat orang lawan itu secara mengerikan dengan membuntungi alat kelamin mereka, bahkan ketika mencari binatang untuk dimakanpun, mereka memilih yang jantan dan merusak alat kelamin binatang jantan itu! Ketika dua buah perahu yang ditumpangi lima orang wanita Giok-hong-pang itu sudah mendekati pantai pulau di mana terdapat dua batang pohon pek kembar, tiba-tiba dari balik alang-alang muncul sebuah perahu besar yang membawa belasan orang laki-laki dan perahu ini didayung cepat menyambut dua buah perahu kecil. “Kalian hati-hatilah, sudah ada penyambut yang muncul,” Lui Hwa berkata tenang. “Dan di belakang juga datang perahu besar yang agaknya mengejar kita,” si tahi lalat berkata setelah tadi dia menengok ke belakang. Lui Hwa dan yang lain-lain juga menoleh dan benar saja, dari belakang datang sebuah perahu besar yang meluncur cepat dibantu layar yang berkembang. “Perahu-perahu di depan, berhenti!” Laki-laki tinggi besar yang berdiri di kepala perahu yang menyambut itu berseru keras sambil mengacungkan golok besarnya. “Kalian ini lima orang wanita asing, siapakah dan mengapa berani melanggar wilayah kami dari Kwi-eng-pang?” Lui Hwa berkata dengan lantang dan juga tenang, “Kami adalah utusan-utusan dari Giok-hong-pang, dan kami ingin bicara dengan ketua kalian yang bernama Kiang Ti untuk menyampaikan pesan pangcu (ketua) kami!” Laki-laki tinggi besar itu mengerutkan alisnya dan menjawab marah, “Kalian sungguh sombong! Siapakah itu ketua Giok-hong-pang yang berani merendahkan pangcu kami?” Lui Hwa tersenyum mengejek. “Kalian tidak berharga untuk mengenal pangcu kami. Biarkan kami bicara dengan Kiang Ti, dan tentu mengenal baik siapa adanya pangcu kami dari Giok-hong?pang. Kami datang dengan baik sebagai utusan, dan jangan menimbulkan kemarahan kami!” Pada saat itu, perahu besar yang mengejar dari belakang sudah tiba, dan laki-laki yang tadi mengirim tanda rahasia dengan panah berapi, segera berseru, ”Chi-twako (kakak Chi), jangan percaya omongan mereka! Mereka telah membunuh empat orang kawan kita secara keji!” “Ehh...? Tangkap mereka!” Si tinggi besar berteriak marah dan dua buah perahu besar itu lalu mendekati dua perahu kecil dari depan dan belakang! Dari perahu besar depan meloncat tiga orang, dan dari perahu besar di belakang juga meloncat pula tiga orang ke arah dua perahu kecil, dengan golok terangkat dan mereka ini menyerang dengan ganas. Akan tetapi segera terdengar pekik mengerikan karena enam orang laki-laki ini begitu meloncat turun, disambut oleh gerakan pedang yang amat kuat dan cepat sehingga mereka terlempar ke air dalam keadaan luka parah! Melihat ini, terkejutlah orang tinggi besar she Chi itu. Dia maklum dengan melihat gerakan lima orang wanita itu bahwa mereka adalah ahli-ahli pedang yang tak boleh dipandang ringan. Gulingkan perahu mereka dari bawah air!” Mendengar ini, kurang lebih dua puluh orang meloncat dari dua buah perahu besar, berenang dan menyelam dari sekeliling dua buah perahu itu. Lima orang wanita Giok-hong-pang terkejut sekali. Akan tetapi dengan marah dan sama sekali tidak mengenal takut mereka menjaga perahu mereka dan setiap kali ada gerakan di dalam air dekat perahu, pedang mereka menyambar. Terdengar teriakan-teriakan dan terjadi gerakan-gerakan hebat di sekitar perahu-perahu kecil itu dan air telaga di sekeliling perahu-perahu itu menjadi merah! Jelas bahwa banyak juga anggauta Kwi-eng-pang yang menjadi korban kelihaian lima pedang di tangan wanita-wanita itu, akan tetapi kini dua buah perahu itu mulai terguncang hebat! Kiranya para anggauta Kwi-eng-pang berhasil menyelam ke bawah perahu dan berusaha menggulingkan perahu-perahu itu. Kini lima orang wanita itu baru terkejut dan khawatir. Mereka berusaha menyerang ke bawah perahu dengan pedang dan dayung yang lebih panjang melalui pinggiran perahu, akan tetapi tentu saja hal ini sukar dilakukan dan kini bahkan si tinggi besar pemimpin anak buah Kwi-eng-pang mengajak sisa teman-temannya untuk terjun ke air dan membantu teman-teman mereka yang sudah banyak yang terluka itu. Akhirnya, berturut-turut dua buah perahu kecil itu terguling dan lima orang wanita itu menjerit, mau tidak mau terlempar ke air. Terjadilah pergulatan di dalam air. Akan tetapi ternyata bahwa setelah terlempar ke air, lima orang wanita itu kehilangan kelihaiannya. Melawan air saja sudah mtmbuat mereka gelagapan dan terpaksa minum banyak air telaga, apalagi dikeroyok banyak. Mereka dibenam-benamkan oleh banyak tangan sampai lemas dan hampir pingsan. “Jangan bunuh mereka! Kita tawan dan hadapkan pangcu!” Si tinggi besar mamberi petintah dan hal ini menyelamatkan lima orang wanita itu, karena kalau tidak, tentu mereka akan dibenamkan sampai mati oleh para anggauta Kwi-eng-pang yang sudah marah melihat banyak teman-teman mereka terluka dan ada yang tewas itu. Setelah lima orang wanita itu tak dapat bergerak lagi, mereka diseret dan dengan kasar mereka diseret naik ke dalam perahu besar yang segera digerakkan ke pulau. Lui Hwa siuman lebih dulu daripada empat orang temannya dan dia mendapatkan dirinya bersama empat orang temannya yang sudah menggeletak di atas lantai dalam sebuah ruangan yang luas, menjadi tontonan banyak orang dan tak jauh dari situ terdapat seorang laki-laki yang usianya hampir lima puluh tahun, pakaiannya serba kuning dan tubuhnya tinggi kurus, muka pucat dan mata sipit. Lui Hwa memandang ke sekeliling. Mereka dikurung banyak orang dan ternyata ruangan itu berada di atas loteng dan di bawah loteng juga tampak banyak laki-laki, juga ada wanitanya, yang memandang penuh perhatian. Ketika empat orang temannya juga siuman dan berturut-turut bangkit duduk, mereka berempat itu meloncat berdiri dan sambil berteriak mereka hendak mengamuk, akan tetapi Lui Hwa menghadang mereka dan mencegah mereka. “Biarkan aku bicara...” bisiknya. Laki-laki tinggi kurus yang duduk di atas kursi itu memandang dengan penuh perhatian gerak-gerik mereka, kemudian tersenyum dan berkata, “Aneh, yang termuda dan tercantik agaknya yang menjadi kepala rombongan. Eh, perempuan-perempuan liar, kalian ini siapakah dan mengapa kalian mengacau daerah kami, membunuh beberapa orang anak buah kami?” Lui Hwa yang sudah berdiri tegak dengan pakaian basah kuyup seperti kawan-kawannya, memandang dengan sinar mata tajam. Pakaian yang basah kuyup itu menempel ketat di tubuh mereka, mencetak tubuh mereka sehingga nampak jelas lekuk lengkungnya, dan rambut yang agak awut-awutan dan basah itu masih terhias burung hong kemala. Dengan lantang Lui Hwa lalu berkata, “Kami adalah utusan dari pangcu kami, ketua dari Giok-hong-pang untuk bicara dengan pangcu Kwi-eng-pang. Karena kami diserang, terpaksa kami membela diri dan akibatnya anak buah Kwi-eng-pang ada yang tewas dan terluka.” Laki-laki tinggi kurus itu meraba-raba jenggotnya. “Giok-hong-pang? Aku Hek-tok-ciang Kiang Ti, tidak pernah berurusan dengan perkumpulan yang bernama Giok-hong-pang dan tidak mengenalnya.” “Hemm, jadi engkaukah pangcu dari Kwi-eng-pang? Pangcu kami berpesan bahwa tentu Kwi-eng-pangcu mengenal pangcu yang dahulu berjuluk Giok-hong-cu (Si Burung Hong Kemala)...” “Aih! Kiranya dia? Bukankah namanya Yo Bi Kiok dan dahulu murid dari si jahanam Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci?” teriak Kiang Ti sambil menepuk lengan kursinya. Kini dia teringat akan julukan Giok-hong-cu itu. Belasan tahun yang lalu, gurunya, Kwi-eng Nio-cu Ang Hwi Nio, pendiri dan ketua Kwi-eng-pang mempunyai seorang sahabat baik, juga seorang datuk golongan sesat yang barjuluk Siang-tok Mo-li (Iblis Betina Racun Harum) dan wanita iblis ini mempunyai murid yang bernama Yo Bi Kiok, seorang gadis yang amat cantik. Gurunya suka kepada gadis ini dan bahkan memberinya sebuah hadiah, yaitu hiasan rambut berupa burung hong kemala, sehingga Yo Bi Kiok akhirnya memperoleh julukan Giok-hong-cu di dunia kang-ouw (baca ceritaPetualang Asmara ). “Benar dugaanmu, Kiang-pangcu,” kata Lui Hwa dengan girang karena dia menduga bahwa ketua Kwi-eng-pang ini tentu mengenal baik pangcunya dan akan bersikap baik pula. “Hemm, lalu apa maksudnya mengutus kalian mengacau di Kwi-eng-pang dan membunuh banyak anak buahku? Mengapa si cantik bermata indah itu berani memandang rendah kepada Hek-tok-ciang?” Lui Hwa terkejut juga mendengar dan melihat sikap yang tidak bersahabat ini. Dia membusungkan dadanya sehingga buah dadanya membayang jelas di balik baju yang basah kuyup. “Pangcu kami yang mulia mengutus kami untuk memberitahukan bahwa beliau berkenan menggunakan pulau kosong yang dulu pernah ditinggalinya di dekat pulau ini untuk menjadi tempat tinggalnya yang baru, dan mengirim kami untuk memberi tahu kepada Kwi-eng-pang.” Kiang Ti melotot dan meloncat turun dari kursinya. “Keparat! Lancang betul dia! Sepatutnya dia datang berlutut dan memohon kepadaku, baru mungkin aku mempertimbangkan permohonannya. Kalian bersikap sombong dan sudah membunuh orang-orangku, kini sudah tertawan masih berlagak sombong.” “Huh!” Empat orang teman Lui Hwa meludah ke lantai! “Kiang Ti, jangan kira bahwa kami takut kepadamu. Engkau toh hanya seorang laki-laki belaka, seorang mahluk yang jahat dan hina!” “Perempuan iblis, kalian sudah bosan hidup semua!” Kiang Ti membentak marah. Lui Hwa berteriak dan menyerang Kiang Ti, akan tetapi ketua Kwi-eng-pang ini sekali menangkis membuat Lui Hwa terpelanting ke atas lantai! Hal ini mengejutkan dan membikin marah empat orang wanita yang lain. Sambil berteriak seperti empat ekor kucing terpijak ekornya, mereka menyerang. Akan tetapi, Kiang Ti menggerakkan tangannya empat kali dan mereka inipun terpelanting! Tidak kuat mereka menghadapi kedahsyatan Si Tangan Racun Hitam itu! Para pembantu Kiang Ti sudah menubruk dan membuat lima orang wanita itu tidak berdaya. “Hukum mereka! Bunuh mereka... eh, nanti dulu...!” Kiang Ti yang marah sekali itu memandang kepada Lui Hwa, menjambak rambut wanita itu dan menariknya dekat-dekat, dipandanginya seluruh tubuh dan muka Lui Hwa. “Seret yang empat ke luar dan kebawah, kuberikan kepada kalian, siapa saja yang suka, nikmati mereka di ruangan bawah, aku akan menonton dari sini dan biarkan yang satu ini menemaniku. Sudah, kalian semua boleh keluar!” Terdengar sorak-sorai para anggauta Kwi-eng-pang dan empat orang itu diseret turun dari atas ruangan loteng. Mereka itu tidak menangis, melainkan memaki-maki dan meronta-ronta namun apa daya mereka menghadapi begitu banyak orang. Kiang Ti sendiri lalu memeluk dan menjambak rambut Lui Hwa, diseret ke pinggir ruangan loteng itu dari mana dia dapat menyaksikan apa yang terjadi di bawah loteng. “Lihat, ha-ha-ha, lihat baik-baik. Begitulah nasib wanita-wanita yang berani memandang rendah Kwi-eng-pang dan yang telah membunuh beberapa orang anak buahku. Ha-ha-ha-ha!” Dalam keadaan dipeluk dan dihimpit, Lui Hwa terpaksa memandang ke bawah. Matanya terbelalak ngeri, mukanya pucat sekali, apa apa yang disaksikan di bawah itu benar-benar mengerikan! “Bunuh saja mereka! Bunuh saja kami. Kami sudah kalah dan tertawan, kami tidak takut mati!” teriak Lui Hwa. “Ha-ha-ha, terlalu enak kalau dibunuh begitu saja. Mereka akan mati, tentu saja. Akan tetapi mereka harus membalas lebih dulu semua perbuatan mereka, harus menebus hutang mereka dengan tubuh mereka. Dan engkau... hemm, engkau pun akan mampus, kecuali kalau engkau bisa melayani aku dan bisa menyenangkan hatiku, ha-ha-ha! Atau engkau lebih suka ikut bersama dengan teman-temanmu, mengalami nasib seperti mereka?” Lui Hwa memandang lagi dan bergidik, memejamkan matanya. Empat orang kawannya itu meronta-ronta den memaki-maki, direjang oleh banyak laki-laki, pakaian mereka dirobek-robek dan mereka mengalami penghinaan yang paling mengerikan bagi seorang wanita, diperkosa dan digagahi oleh banyak orang di tempat umum seperti itu! Padahal mereka adalah wanita-wanita yang paling muak dan membenci kaum pria! Membayangkan betapa dirinya, tubuhnya diperlakukan seperti empat orang kawannya itu, air matanya menetes dan Lui Hwa menggelengkan kepalanya. Dia maklum bahwa melawanpun tidak akan ada gunanya dan kalau dia nekat sampai tewas, maka kematiannya dan kematian teman-temannya merupakan mati konyol dan tidak akan ada yang membalas sehingga mereka akan menjadi setan-setan penasaran. Tidak, kematian teman-temannya, terutama sekali penghinaan ini harus dibalas dan dia tahu bahwa satu-satunya orang yang dapat membalas hanyalah pangcunya! Oleh karena itu, dia harus hidup untuk dapat menyampaikan dendam ini kepada ketuanya. Maka, sambil memejamkan mata den air matanya menetes turun, dia mengangguk dan berkata lirih, “Jangan berikan aku kepada mereka... aku... aku akan melayanimu den mentaati semua perintahmu...” Matanya dipejamkannya makin rapat ketika dia merasa betapa mulutnya dicium dengan penuh nafsu oleh Kiang Ti dan dia tidak melawan ketika dia dipondong pergi. *** Wanita yang duduk di atas kursi itu usinya sudah tiga puluh lima tahun, akan tetapi wajahnya masih kelihatan cantik sekali dan bentuk tubuhnya masih seperti seorang gadis berusia belasan tahun. Pandang matanya menyeramkan karena biarpun bentuk mata itu indah sekali, bahkan merupakan bagian yang paling menonjol keindahannya di antara semua kecantikan wajahnya, namun sepasang mata itu mengeluarkan sinar dingin menyeramkan. Seperti juga bentuk tubuhnya yang padat den masih seperti tubuh seorang gadis, rambutnya juga digelung seperti rambut gadis-gadis yang belum menikah, den di atasnya dihias dengan sebuah permainan berbentuk burung hong yang terbuat dari batu kemala indah sekali. Dan memang wanita yang usianya tiga puluh lima tahun ini adalah seorang gadis, seorang perawan yang belum pernah menikah selama hidupnya! Dia inilah ketua Giok-hong-pang, yang bernama Yo Bi Kiok den berjuluk Giok-hong-cu! Di dalam ceritaPetualang Asmara diceritakan betapa Yo Bi Kiok ini dahulunya adalah murid dari seorang di antara para datuk kaum sesat yang bernama Bu Leng Ci dan berjuluk Siang-tok Mo-li, seorang iblis betina yang amat lihai. Akan tetapi, gurunya itu tewas dalam perebutan pusaka bokor emas milik Panglima Sakti The Hoo, akan tetapi akhirnya, dengan menggunakan kecerdikan, yaitu membuat bokor emas palsu, bokor emas yang tulen, sebuah pusaka yang diperebutkan oleh semua tokoh dunia persilaten baik golongan putih maupun golongan hitam itu terjatuh ke dalam tangan Yo Bi Kiok tanpa ada yang mengetahuinya! Yo Bi Kiok lalu melarikan diri dan menyembunyikan diri, akan tetapi diam-diam dia telah menemukan tempat penyimpanan kitab-kitab pusaka dan harta pusaka dari peta dan petunjuk di dalam bokor emas itu! Setelah menemukan pusaka yang dijadikan perebutan ini, Bi Kiok memusnahkan bokor emas, kemudian diam-diam dia menggembleng dirinya dengan ilmu-ilmu yang terkandung di dalam kitab-kitab itu sehingga dia memperoleh kepandaian yang amat tinggi dan hebat! Sungguh amat patut disayangkan bahwa seorang wanita yang demikian cantiknya, dan demikian tinggi ilmunya seperi Yo Bi Kiok, yang memang sejak kecilnya telah memiliki watak pendiam dan keras oleh pengaruh pendidikan gurunya, seorang datuk kaum sesat, telah mengalami patah hati dalam percintaan sehingga kini, biarpun dia masih amat cantik jelita, dia telah menjadi seorang wanita pembenci pria, yang kadang-kadang dapat melakukan kekejaman yang mengerikan! Kekejaman yang hanya ditujukan kepada kaum pria. Semua ini, pembentukan watak seperti iblis ini, timbul dari rasa dendam dan sakit hatinya karena cinta pertamanya, bahkan satu-satunya pria yang pernah dicintanya dengan sepenuh hatinya, telah menolak perasaan cintanya itu. Dalam cerita Petualang Asmara telah dkeritakan betapa Yo Bi Kiok jatuh cinta kepada Yap Kun Liong, akan tetapi pria ini dengan terang-terangan menolak cintanya dan kepatahan hatinya ini membuat Yo Bi Kiok selamanya tidak mau berbaik dengan kaum pria, apalagi bermain cinta atau menikah! Kebenciannya terhadap pria ini pula yang membuat dia, ketika membentuk sebuah perkumpulan dan tinggal di lereng Bukit Liong-san, hanya menerima wanita-wanita yang pernah menjadi korban pria, yang bersakit hati kepada pria saja untuk menjadi anggauta perkumpulannya yang diberi nama Giok-hong-pang. Kini, anak buahnya yang juga menjadi murid-murid itu dan semua terdiri dari wanita-wanita yang membenci pria, berjumlah lima puluh orang lebih. Dengan harta pusaka yang ditemukannya bersama kitab-kitab ilmu silat yang amat tinggi, dia mampu membiayai perkumpulannya, bahkan setiap orang anggauta perkumpulannya mempunyai hiasan kepala berbentuk burung hong dari batu kemala, sungguh pun batu kemala di kepala itu tidak seindah yang menghias kepala sang pangcu. Di atas kursi yang lain, di sebelah kiri pangcu (ketua) dari Giok-hong-pang ini, duduk seorang wanita lain. Mata siapapun, terutama sekali mata kaum pria, pasti akan terpesona jika memandang wanita ini. Dia seorang gadis yang masih muda, tidak akan lebih dari delapan belas atau sembilan belas tahun usianya, dan wajahnya cantik sekali, seolah-olah tidak ada cacat celanya. Wajah ketua Giok-hong-pang yang sudah amat cantik itu seolah-olah menjadi suram jika dibandingkan dengan kecantikan wajah gadis remaja ini. Setiap anggauta di tubuhnya seolah-olah memiliki daya tarik yang khas dan luar biasa, dan terutama sekali sepasang mata dan mulutnya, takkan ada jemunya mata memandang, dan setiap kerling mata dan gerak bibirnya mengandung sesuatu yang mampu membangkitkan gairah dan berahi pria yang mana pun. Pendeknya, jaranglah ditemui seorang gadis secantik dia. Seperti juga sang ketua, di rambut gadis ini terdapat hiasan burung hong kemala yang amat bagus dan jauh lebih bagus daripada yang dipakai oleh para anggauta Giok-hong-pang, sungguhpun masih kalah indah kalau dibandingkan dengan hiasan yang menghias rambut kepala ketua Giok-hong-pang itu. Dara jelita ini adalah Yap In Hong, murid dalam arti yang sesungguhnya dari Giok-hong-cu Yo Bi Kiok, karena para anggauta Giok-hong-pang yang lain hanya menerima ilmu silat yang diseragamkan dan merupakan “kulitnya” saja, sedangkan In Hong seoranglah yang digembleng oleh gurunya secara sungguh-sungguh, bahkan dara ini telah hampir mewarisi semua ilmu yang dimiliki gurunya. Yap In Hong ini sebetulnya adalah adik kandung satu-satunya dari Pendekar Sakti Yap Kun Liong yaitu pria yang menjadi gara-gara kepatahan hati Yo Bi Kiok. Ayah bunda Yap Kun Liong dan Yap In Hong ini terbunuh oleh para datuk kaum sesat, dan semenjak masih kecil sekali, Yap In Hong tak pernah berkumpul dengan kakaknya sampai dia ditolong oleh gurunya itu dan ketika melihat gurunya dan kakak kandungnya itu bertentangan, dia memihak gurunya atau penolongnya itu, tidak mau dibawa pergi oleh kakak kandungnya (baca ceritaPetualang Asmara ). Sejak kecil, Yap In Hong telah digembleng oleh Yo Bi Kiok yang mencintanya seperti keponakan atau seperti adik sendiri, bahkan seperti anak sendiri. Demikian pula In Hong mencinta gurunya dan sekaligus seperti menemukan pengganti ayah bundanya. Akan tetapi, keadaan sekeliling kita selalu membentuk perwatakan kita! Bagi seorang wanita yang sudah menghayati kebebasan sejati, yaitu bebas dari segala bentuk ikatan, keadaan sekeliling tentu saja tidak mendatangkan pengaruh apa-apa, akan tetapi bagi kebanyakan dari kita, keadaan sekeliling merupakan guru yang paling berkuasa sehingga tanpa kita sadari, kita hanyut dan terbawa-bawa sehingga mau tidak mau kita menjadi “anggauta” dari keadaan sekeliling itu yang mgmbentuk watak dan kepribadian kita. Demikian pula dengan In Hong, dara jelita itu. Karena semenjak kecil dia ikut dengan gurunya, seorang wanita yang membenci kaum pria kemudian setelah gurunya mendirikan perkumpulan, In Hong berada di tengah-tengah sekumpulan wanita yang amat membenci pria, maka secara otomatis In Hong menjadi dewasa dalam suasana seperti itu, dan wataknyapun terbentuklah sebagai seorang dara pembenci kaum pria! Memang aneh kalau dipikir betapa dara ini sama sekali belum pernah berhubungan dengan pria, apalagi disakitkan hatinya! Akan tetapi, karena setiap hari melihat sikap dan mendengar cerita dan dongeng dari para anggauta Giok-hong-pang tentang kebusukan kaum pria dan betapa mereka membencinya, juga gurunya membencinya, maka diapun amat membenci kaum pria yang dianggapnya sebagai mahluk yang sejahat-jahatnya dan seganas-ganasnya! Pada pagi hari itu, guru dan murid yang duduk di atas kursi itu memandang seorang wanita yang berlutut sambil menangis terisak-isak di depan sang ketua. Giok-hong-cu Yo Bi Kiok mengepal tangan kanannya, matanya mengeluarkan sinar berapi-api, sedangkan In Hong juga terbelalak memandang wanita itu, kedua tangan dikepal dan kemarahannya jelas nampak di wajahnya yang cantik. “Lui Hwa, ceritamu sukar untuk dapat kupercaya!” terdengar Yo Bi Kiok berkata, suaranya halus, namun mengandung getaran yang mengiris jantung. “Coba kauulangi lagi apa yang telah terjadi dengan kalian berlima!” Wanita itu, Lui Hwa yang telah kita kenal, yaitu orang termuda di antara lima orang anggauta Giok-hong-pang yang menyelidik ke Telaga Setan, kini menggunakan ujung lengan bajunya untuk menghapus air matanya dan berusaha untuk bicara tanpa diganggu isak dan menuturkan dengan sejelas-jelasnya. Dia menceritakan pengalaman mereka ketika merampas perahu sampai kemudian terpaksa mereka menyerah kalah karena kedua buah perahu itu digulingkan oleh para anggauta Kwi-eng-pang Dengan suara terputus-putus dia mengulangi ceritanya betapa empat orang temannya direjang dan diperkosa oleh para anggauta Kwi-eng-pang seperti empat ekor domba yang diserbu segerombolan srigala di tembat terbuka, bahkan di depan matanya karena dia dipaksa untuk menonton oleh ketua Kwi-eng-pang, melihat betapa empat orang teman itu tak mampu melawan sama sekali dan keempathya tewas dalam keadaan yang amat menterikan, terhina secara memalukan sekali. Kemudian betapa dia hanya dapat menangis ketika dia sendiri terpaksa melayani segala kehendak Kiang Ti yang mempermainkannya, memperkosanya, menghinanya bahkan kemudian menyerahkan dia untuk dipermainkan dan diperkosa oleh empat orang pembantu ketua itu sebagai balas jasa atas penangkapan lima orang wanita itu! “Sepekan lamanya saya ditahan, mengalami penghinaan siang malam, dan akhirnya saya dibebaskan, diantar oleh empat orang pembantu ketua yang lihai itu, diantar dengan perahu ke tepi telaga. Dan di dalam perahu itupun saya harus mengalami penghinaan dan perkosaan yang sudah tak terhitung lagi banyaknya...” Lui Hwa menangis terisak-isak. “Plakkk!” Tubuh Lui Hwa terpelanting dan tangisnya makin mengguguk ketika dia bangkit berlutut lagi, bibirnya mengalirkan darah dan pipinya yang ditampar oleh Bi Kiok menjadi merah sekali. “Perempuan tak tahu malu! Dan engkau masih ada muka untuk pulang dan menceritakan semua itu kepadaku, ya? Seratus kali mampus masih lebih baik daripada kau hidup mengenang penghinaan itu!” “Ampun, pangcu...! Sama sekali saya tidak ingin hidup... sama sekali saya tidak sudi mengenangkannya... saya menyerah kepada mereka, saya mempertahankan hidup sampai saat ini... hanya.... hanya agar dapat melapor kepada pangcu... karena hanya itulah harapan saya supaya dendam kami terbalas... harap pangcu tidak melupakan mereka, Kiang Ti si jahanam dan empat orang pembantunya... kami .... kami berlima menanti pembalasan itu...” Tiba-tiba Lui Hwa meloncat ke belakang, mencabut pedangnya dan sekali menggerakkan kedua tangan yang memegang gagang pedang, dia membalikkan pedangnya menusuk dada sendiri. “Crotttttt...!” Pedang itu menembus ulu hatinya sampai ujung pedang keluar dari punggungnya! Guru dan murid itu tidak bergerak sedikitpun. Mata mereka menerima kenyataan ydng mengerikan itu tanpa berkedip dan hal ini saja sudah membuktikan betapa keras hati mereka, dan betapa kuat perasaan mereka. Yo Bi Kiok tersenyum mengangguk, agaknya girang melihat bahwa anggauta atau muridnya itu bukanlah seorang wanita lemah yang takut mati. Sambil memandang tubuh yang tertembus pedang itu, dia berkata lirih, “Tenangkan hatimu, Lui Hwa, mereka akan menebus semua ini!” Dengan anggukan kepala ketua Giok-hong-pang ini memberi isyarat kepada para penjaga wanita yang berada di situ untuk menyingkirkan dan mengurus baik-baik jenazah Lui Hwa, setelah dia mencabut pedang Lui Hwa dan menyuruh In Hong menyimpan pedang itu. “Pedang inilah yang akan menghukum mereka,” katanya. “Simpan baik-baik, In Hong.” “Subo, mengapa kita tidak sekarang juga berangkat dan membasmi iblis-iblis Kwi-eng-pang?” In Hong sudah bangkit berdiri dan mengangkat pedang Lui Hwa itu ke atas kepala. “Duduklah, In Hong. Ingat, hati boleh panas akan tetapi kepala harus tetap dingin, itu merupakan syarat yang terutama bagi seorang ahli silat. Kalau menuruti perasaan amarah, pikiran menjadi kalut dan kita tidak dapat menguasai gerakan kita dengan sempurna dan hal ini berarti sudah kehilangan sebagian dari daya tahan dan kewaspadaan kita.” In Hong menunduk, kagum dan harus membenarkan pendapat gurunya itu. “Baik, subo, dan maafkan kesembronoan teecu (murid).” “Tidak apa, muridku. Ketahuilah, si bedebah Kiang Ti yang kini menjadi ketua Kwi-eng-pang adalah murid kepala dari mendiang Kwi-eng Nio-cu pendiri Kwi-eng-pang. Ilmunya cukup hebat, terutama sekali Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam) yang menjadi andalannya. Tangannya itu selain beracun juga amat kuat, bahkan dia berani menggunakan tangannya menangkis senjata tajam. Kiang Ti dengan sengaja melepas dan membebaskan Lui Hwa, tidak dibunuhnya seperti empat yang lain, tentu karena kesombongannya dan dia sengaja memberi kesempatan kepada Lui Hwa untuk melapor ke sini. Hal itu berarti suatu tantangan! Dan orang yang telah berani menantang tentu sudah percaya kepada kekuatan sendiri dan tentu telah siap sedia menanti kedatangan kita! Maka kita tidak boleh bodoh dan sembrono, muridku.” “Perlukah kita takut, subo?” In Hong bertanya penasaran. “Biarkan teecu memimpin semua anggauta kita menyerbu dan membasmi Kwi-eng-pang sampai habis!” “Berhati-hati dan bersiasat bukanlah tanda takut, In Hong, melainkan tanda kecerdikan. Kiang Ti dan anak buahnya tidak perlu ditakuti, akan tetapi kedudukan Telaga Setan benar-benar amat berbahaya. Tidak ingatkah kau akan cerita Lui Hwa betapa mereka menjadi tidak berdaya karena perahu-perahu mereka digulingkan? Kita sendiri, bahkan aku sekalipun, akan dapat berbuat apa kalau sampai terjatuh ke dalam air yang dalam dan kita tidak pandai renang? Tentu semua ilmu kita tidak akan banyak gunanya! Kesukaran kita menyerbu Kwi-eng-pang adalah pada penyeberangannya. Kalau sudah mendarat di pulau itu, tidak ada kesulitan apa-apa lagi. Karena itu kita harus menggunakan siasat.” In Hong kembali mengangguk-angguk membenarkan. Dia merasa ngeri juga kalau mengingat betapa sebelum berhasil mendarat di pulau sarang musuh itu, dia sudah terjatuh ke dalam air yang amat dalam! Bi Kiok lalu mengumpulkan semua anak buahnya yang berjumlah lima puluh orang. Ketika mereka semua diberi tahu akan keputusan ketua mereka untuk menyerbu Kwi-eng-pang, wanita-wanita itu bersorak girang karena semua telah mendengar akan kematian Lui Hwa dan empat orang temannya, yang mengerikan dan mereka semua merasa sakit hati ingin membalaskan kematian teman-teman mereka. Dengan penuh perhatian mereka mendengarkan siasat yang diatur oleh ketua mereka dan pada hari yang ditentukan, berangkatlah semua anggauta Giok-hong-pang ini dengan berpencar merupakan kelompok-kelompok kecil agar tidak menarik perhatian orang, menuju ke Telaga Setan. Ketika semua anggauta tiba di hutan di tepi telaga itu sebagaimana yang telah ditentukan semula. Bi Kiok dan In Hong telah lebih dulu tiba dan menanti di tempat itu. Guru dan murid ini sekali lagi merundingkan siasat dengan para anak buah Giok-hong-pang, kemudian Yo Bi Kiok mengajak muridnya untuk menggunakan ilmu berlari cepat menuju ke tepi telaga sebelah utara dan perjalanan ini biarpun dilakukan dengan cepat sekali masih memakan waktu sampai setengah hari lamanya! Pada menjelang tengah hari, seperti yang direncanakan pagi tadi sebelum ketua mereka pergi meninggalkan mereka, lima puluh orang anggauta Giok-hong-pang mulai bersolek, menambah pupur dan yanci (pemerah pipi) dan membereskan pakaian mereka, kemudian beramai-ramai mereka memperlihatkan diri di pantai sambil berteriak-terlak menantang Kwi-eng-pang! Para anggauta Kwi-eng-pang yang bertugas menjaga di sekeliling telaga itu tentu saja sudah tahu akan kedatangan rombongan wanita Giok-hong-pang ini, dan ketika para anggauta mereka yang bertugas mencari ikan juga telah mendengar ribut di tepi telaga. Dengan jantung berdebar penub keteganqan, juga penuh gairah ketika melihat lima puluh orang wanita yang hampir semua cantik-cantik dan muda-muda itu, para anggauta Kwi-eng-pang cepat melaporkan hal ini kepada ketua mereka dengan harapan mereka itu akan kebagian kelak kalau wanita-wanita itu dapat ditawan seperti yang telah terjadi dengan lima orang tawanan tempo hari. Kini melihat banyaknya anggauta Giok-hong-pang yang cantik-cantik itu, mereka semua tentu akan memperoleh bagian! Kiang Ti tertawa bergelak ketika mendengar laporan bahwa di tepi selatan telaga itu telah datang lima puluh orang wanita cantik para anggauta Giok-hong-pang yang berteriak-teriak, memaki-maki dan menantang. “Ha-ha-ha-ha, mereka datang dan hanya menantang di tepi telaga? Ha-ha-ha, mereka tidak dapat menyeberang, akan tetapi akan memalukan sekali kalau kita tidak menyambut tantangan mereka. Apa sih kemampuan wanita-wanita itu kecuali menghibur kita dalam kamar? Kita berjumlah lebih banyak! Sambut mereka dengan seratus orang dan sedapat mungkin tawan mereka hidup-hidup. Mereka cantik-cantik dan muda-muda? Bagus, berarti kalian tidak perlu repot-repot menculiki gadis-gadis dusun lagi, ha-ha-ha!” Kiang Ti mengerahkan anggauta-anggauta perkumpulannya dan memerintahkan seorang pembantunya untuk membawa seratus orang menghadapi para anggauta Giok-hong-pang. Dia bukan seorang bodoh. Dulu sebelum menjadi ketua Kwi-eng-pang, dia telah lama menjadi ketua Ui-hong-pang dan sudah berpengalaman, maka ketika mendengar laporan bahwa lima puluh orang wanita Giok-hong-pang itu datang tanpa ketua mereka, dia merasa curiga. Karena itu, dia hanya mengirim seratus orang anggauta yang dianggapnya sudah cukup untuk menghadapi lima puluh wanita itu, sedangkan dia sendiri bersama sisa anggauta perkumpulannya, kurang lebih tiga puluh orang, tetap berada di pulau menjaga kalau-kalau ketua Giok-hong-pang menggunakan siasat “memikat harimau meninggalkan sarang”. Berbondong-bondong seratus orang anggauta Kwi-eng-pang meninggalkan pulau, menggunakan perahu-perahu besar kecil menuju ke tepi telaga di mana para wanita itu masih berteriak-teriak menantang. Kiang Ti sendiri, dengan sebuah teropong di tangannya, mengamati dari tepi Pulau. Dia bangga sekali dengan teropong ini, teropong kepunyaan seorang asing dari barat, seorang yang bermata biru berambut kuning, yang pernah menjadi tamu gurunya di pulau itu dan yang meninggalkan teropong itu di situ sehingga kini menjadi miliknya. Dengan alat ini yang masih langka pada waktu itu, dia dapat mengjkuti geraken orang-orangnya di tepi telaga. Sambil berteriak-teriak penuh kegarangan, seratus orang anggauta Kwi-eng-pang itu sudah menyerbu ke darat, disambut oleh para wanita Giok-hong-pang dan segera terjadi pertempuran kacau-balau yang amat seru di tengah-tengah debu yang mengebul tinggi dan teriakan-teriakan mereka yang bercampur aduk. Karena jumlah orang-orang Kwi-eng-pang dua kali lipat lebih banyak, maka boleh dibilang setiap orang wanita Giok-hong-pang dikeroyok oleh dua orang pria. Namun dengan gerakan pedang yang cepat dan rapi, para anggauta Giok-hong-pang itu membela diri dengan baik sekali dan dengan kagum Kiang Ti melihat betapa wanita-wanita itu sama sekali tidak terdesak oleh jumlah lawan yang lebih banyak. “Kiang Ti manusia hina, bersiaplah engkau untuk mampus!” Suara yang halus akan tetapi nyaring dan menggetar aneh ini membuat Kiang Ti terkejut sekali, cepat dia membalikkan tubuhnya dan dengan kaget melihat bahwa di depannya telah berdiri dua orang wanita yang amat luar biasa cantiknya, terutama sekali yang muda! Biarpun sudah belasan tahun tak pernah bertemu, namun dia masih dapat mengenal Yo Bi Kiok, yang dahulu merupakan seorang gadis yang cantik sekali dan pernah tinggal di pulau sebelah utara. Dia tersenyum mengejek. Dugaannya ternyata tepat. Yo Bi Kiok hendak menggunakan siasat memancing orang-orangnya dan dia meninggalkan pulau dan diam-diam wanita ini mendarat di pulau melalui utara yang tentu saja tidak terjaga karena semua perhatian ditujukan kepada wanita-wanita Giok-hong-pang yang sengaja mengacau di tepi selatan. Akan tetapi melihat bahwa yang muncul hanyalah Yo Bi Kiok seorang bersama seorang gadis muda, hatinya menjadi besar dan cepat dia bersuit memberi tanda. Berserabutan datanglah tiga puluh orang yang telah dipersiapkan dan dalam sekejap mata saja Yo Bi Kiok dan In Hong sudah dikepung! Yo Bi Kiok tersenyum mengejek. “Kiang Ti, engkau sudah tahu akan dosa-dosamu terhadap lima orang anggauta kami, lekas berlutut dan menyerah!” kembali Yo Bi Kiok berkata halus, akan tetapi di dalam kehalusan suaranya itu terkandung sesuatu yang menyeramkan karena senyum mengejek dan pandang mata seperti ujung pedang itu mengandung ancaman maut. “Ha-ha-ha-ha! Bukankah engkau Giok-hong-cu Yo Bi Kiok yang dulu itu? Hemm, sudah belasan tahun tidak jumpa, engkau menjadi makin matang dan cantik saja! Giok-hong-cu, jangan persalahkan aku tentang lima orang anggautamu itu. Engkaulah sendiri yang bersalah. Di antara kita masih ada ikatan, engkau murid Siang-tok Mo-li dan aku murid Kwi-eng Nio-cu, mengapa engkau mengirim orang-orang menyelidiki tempatku dan melakukan penghinaan serta membunuh empat orangku? Kalau memang engkau ingin pindah dengan para anggautamu ke sini, mengapa tidak datang secara baik-baik dan berdamai saja? Kalau kita bersatu, bukankah kita akan merupakan kekuatan yang hebat? Engkau menjadi isteriku, dan para anggautamu boleh memilih suami di antara anggautaku, bukankah itu baik sekali?” “Tutup mulutmu yang busuk!” Yo Bi Kiok memaki marah, akan tetapi Kiang Ti hanya tertawa mengejek. “Yo Bi Kiok, tidak perlu engkau bersikap sombong seperti ini. Orang-orangmu hanya berjumlah lima puluh orang dan sekarang tentu telah ditawan semua oleh seratus orang anggautaku, dan engkau sendiri bersama nona jelita ini telah dikepung...!” “Engkau yang buta dan tidak tahu bahwa kematian sudah berada di depan hidung! Lihatlah baik-baik apa yang terjadi di seberang sana. Yo Bi Kiok menunjuk ke arah tepi telaga di mana terjadi pertempuran. Kiang Ti cepat menengok ke arah seberang telaga dengan teropongnya dan seketika mukanya berubah. Dengan jelas dia melihat betapa sebagian dari orang-orangnya telah roboh dan sebagian lagi kini telah menyerah, ditodong pedang dan tidak ada seorangpun di antara anggautanya yang berani melawan lagi! Tak disangkanya pertempuran berjalan secepat itu dengah kekalahan fihaknya yang berjumlah dua kali jumlah lawan banyaknya. “Pengecut...!” Dia berteriak, lalu menurunkan teropongnya dan membalik menghadapi dua orang wanita itu sambil berseru kepada para pembantunya, “Tangkap mereka berdua!” Melihat kekalahan fihaknya, timbul keinginan di hati Kiang Ti untuk menawan hidup-hidup ketua Giok-hong-pang ini dan menjadikannya sebagai sandera untuk menaklukkan semua anggauta Giok-hong-pang. Tiga puluh orang anak buah Kwi-eng-pang mengepung ketat dan mereka sudah siap untuk menangkap dua orang wanita itu. Hati mereka besar karena mereka yang tidak menggunakan teropong tentu saja masih belum tahu apa yang terjadi dengan kawan-kawan mereka yang menyerbu ke darat. Kini, menghadapi hanya dua orang wanita cantik saja, tentu mereka memandang rendah. “In Hong, kauhajar anjing-anjing itu, biar aku yang menangkap srigalanya!” Yo Bi Kiok berkata sambil tersenyum kepada muridnya, sikap mereka berdua tenang sekali seolah-olah yang mengepung dan mengancam mereka itu bukan manusia, hanya boneka-boneka hidup belaka yang tidak perlu dikhawatirkan! Kiang Ti yang terlalu mengandalkan kepandaian sendiri dan mengandalkan jumlah banyak, menjadi marah sekali. Dia ingin menangkap hidup-hidup dua orang musuh ini, maka diapun berkata nyaring, “Kalian semua tangkap nona muda itu, awas jangan sampai kulitnya yang halus itu lecet-lecet! Kalian berempat membantu aku menghadapi iblis cantik ini!” Perintah terakhir dia tujukan kepada empat orang pembantunya yang merupakan tokoh-tokoh terpandai sesudah dia di Kwi-eng-pang. In Hong tanpa menjawab mentaati perintah gurunya, sekali meloncat tubuhnya sudah mencelat ke kiri, menjauhi gurunya sehingga para pengepung yang kini juga berpencar dan terpecah menjadi dua itu cepat mengepung gadis ini dengan ketat, dengan pandang mata bersinar-sinar penuh gairah karena biarpun mereka ini tahu bahwa gadis secantik ini tentu akan diambil sendiri oleh sang ketua, namun setidaknya dalam menangkapnya mereka memperoleh kesempatan untuk memuaskan tangan-tangan mereka. Dua puluh enam orang laki-laki yang merupakan pasukan inti dari Kwi-eng-pang, pengawal-pengawal setia dari Kiang Ti karena mereka ini semua adalah bekas anggauta Ui-hong-pang, kini mengepung seorang dara remaja yang kelihatannya tenang berdiri di tengah kepungan, sedikitpun tidak kelihatan gentar, bahkan tidak mau mencabut pedangnya, berdiri dengan kedua kaki agak terpentang lebar, kedua tangan tergantung di kanan kiri tubuh, renggang dari badan, tegak dan muka menghadap ke depan, sama sekali tidak bergerak, dan hanya sepasang mata yang indah seperti mata burung hong itu saja yang bergerak, meleret ke kanan kiri dengan lambat, dan ada bayangan senyum tersembunyi di balik sepasang bibir yang merah membasah itu. Demikian pula dengan Yo Bi Kiok. Wanita inipun berdiri seperti sikap muridnya, hanya bedanya kalau In Hong berdiri dengan wajah dingin dan senyum yang seolah-olah membayang atau bersembunyi di balik bibirnya itu hanya tampak karena memang bentuk mulutnya amat manis seolah-olah selalu bersenyum, sebaliknya Bi Kiok tersenyum, senyum mengejek dan sepasang matanya bersinar-sinar penuh semangat, atau mungkin itu adalah suatu kemarahan yang terselubung di balik ejekan sikapnya. Matanya melirik ke arah Kiang Ti dan empat orang pembantunya itu berganti-ganti dan di dalam telinganya berdengung kembali ucapan terakhir Lui Hwa “...harap pangcu tidak melupakan mereka, Kiang Ti si jahanam dan empat orang pembantunya...” “Tidak, Lui Hwa, aku tidak akan melupakannya!” Tiba-tiba dia berkata pada saat Kiang Ti dan empat orang pembantunya menerjangnya dari lima penjuru. Kiang Ti yang dahulu pernah mengenal Yo Bi Kiok, memandang rendah. Maka dia dan empat orang pembantunya tidak menggunakan senjata, melainkan menerjang dengan tangan kosong. Pertama, karena dia memandang rendah dan sudah merasa yakin bahwa mereka berlima sudah pasti akan dapat mengalahkan ketua Giok-hong-pang ini, dan kedua karena memang, dia ingin menawan hidup-hidup wanita yang amat cantik ini. Kepercayaan pada diri sendiri diperkuat dengan adanya Ilmu Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam) yang dahsyat, apalagi karena empat orang pembantu itu merupakan juga murid-murid kepala yang sudah melatih diri dengan Hek-tok-ciang pula, sungguh pun keampuhan tangan beracun mereka masih belum dapat menyamai guru mereka Akan tetapi, Bi Kiok menghadapi serangan bertubi mereka itu dengan sikap tenang saja, tubuhnya hanya mengelak sedikit dan kedua tangannya dikebutkan ke kanan kiri dan ke atas bawah. “Plak-plak-plak-plak-plak...!” Beruntun lima kali tangan lima orang pria yang mengandung getaran tenaga Hek-tok-ciang itu bertemu dengan bayangan tangan Bi Kiok dan akibatnya, empat orang pembantu Kiang Ti terhuyung ke belakang dengan mulut menyeringai kesakitan, sedangkan Kiang Ti sendiri meloncat ke belakang dan memegangi lengan kanannya yang terasa panas dan nyeri! Dia memandang dengan mata terbelalak, akan tetapi Bi Kiok hanya berdiri tegak sambil tersenyum, memandang mereka bergantian dengan sikap mengejek sekali. “Aughhhh...!” Kiang Ti menggerakkan kedua lengannya yang membentuk gerakan-gerakan saling bersilang, kedua tangan seperti cakar harimau dan kedua lengan tergetar makin lama makin keras dan lengan itu mulai berubah menjadi hitam! Inilah pengerahan tenaga Hek-tok-ciang yang dahsyat! Karena tadi mereka memandang rendah, tentu saja mereka hanya ingin mengalahkan wanita ini tanpa harus menggunakan Hek-tok-ciang. Akan tetapi, begitu merasa betapa kuatnya tangkisan wanita itu, kuat dan cepat sekali, mereka maklum bahwa ketua Giok-hong-pang ini memang hebat, maka Kiang Ti Ialu mengerahkan Hek-tok-ciang. Empat orang pembantunyapun lalu mengeluarkan pekik dahsyat dan seperti yang dilakukan ketua mereka, empat orang inipun menggerak-gerakkan kedua lengan sampai lengan mereka mulai tampak kehitaman, sungguhpun tidak sehitam lengan Kiang Ti. “Hemm, itukah Hek-tok-ciang? Hanya permainan kanak-kanak saja!” Yo Bi Kiok mengejek. “Serang perempuan sombong ini!” Kiang Ti memberi aba-aba. Dia masih tidak ingin sekaligus membunuh wanita cantik ini, maka dia hanya menyuruh empat orang pembantunya, karena, kalau dia sendiri yang maju menyerang menggunakan Hek-tok-ciang, ia khawatir kalau wanita ini akan roboh tewas seketika! Empat orang pembantunya juga menjadi penasaran dan mulai marah oleh ejekan wanita itu. Mereka tidak memperdulikan lagi perintah guru dan ketua mereka untuk menangkap Bi Kiok, dan sekali maju, mereka telah mengerahkan tenaga Hek-tok-ciang untuk menyerang dengan pukulan-pukulan maut! “Haaaaiiiiikkkkk!” Hampir berbareng mereka mengeluarkan teriakan keras dan menerkam maju sambil memukul dengan tangan terbuka yang berwarna kehitaman dan mengeluarkan bau amis seperti darah membusuk. Bi Klok dengan tenang mengelak ke kanan kiri, dan tiba-tiba tubuhnya berkelebat cepat, lenyap dari dalam kepungan empat orang itu! Empat orang itu terkejut, memandang ke kanan kiri mencari-cari. “Dia di atas...!” Kiang Ti berseru, kaget juga melihat betapa tadi tubuh wanita itu mencelat ke atas dengan kecepatan kilat. Empat orang itu cepat memandang ke atas dan melihat bayangan lawan menukik turun. Dengan penuh kemarahan mereka menyambut dengan pukulan-pukulan Hek-tok-ciang, akan tetapi kembali tubuh itu berkelebat dan lenyap. “Robohlah...!” Terdengar bentakan halus dan berturut-turut empat orang itu terpelanting dalam keadaan lemas karena jalan darah mereka di belakang pundak telah tertotok, membuat mereka roboh tak dapat bergerak lagi, lemas seluruh tubuh dan hanya mata mereka saja yang dapat melotot memandang kepada wanita itu dengan penuh kengerian. Kiang Ti menjadi marah sekali. Dia mengira bahwa wanita itu takut menghadapi Hek-tok-ciang, maka tadi telah mempergunakan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang amat luar biasa untuk mengalahkan para pembantunya. Akan tetapi kalau hanya mengandalkan gin-kang, dia tidak takut, karena Hek-tok-ciang di tangannya luar biasa kuatnya, dan sekali saja wanita ini kena dipukul olehnya, bahkan terkena sambaran hawa pukulannya saja, tentu akan roboh! Sementara itu, In Hong juga sudah dikeroyok oleh dua puluh enam orang pria. Karena ingin mentaati perintah ketua mereka, juga karena berebut ingin dapat memeluk dan menggerayangi tubuh gadis yang cantik sekali itu dengan tangan mereka yang sudah gatal-gatal rasanya, dua puluh enam orang itu tidak menggunakan senjata, bahkan tidak memukul hanya menubruk dan hendak memeluk dan menangkap In Hong. Akan tetapi, terjadilah keanehan luar biasa. Gadis itu hanya mengelak ke sana-sini dan tidak ada sebuahpun di antara tangan yang sebanyaknya itu pernah dapat menyentuhnya! Bahkan kalau ada tangan yang tidak keburu dielakkan saking banyaknya, belum sampai tangan itu menyentuh kulit tubuh In Hong, tangan itu sudah terpental seperti ada yang menangkis, seperti terdorong oleh tangan yang tidak kelihatan. In Hong sama sekali tidak membalas, hanya mengelak bukan karena takut tertangkap karena dengan sin-kangnya yang mujijat dia mampu melindungi kulitnya dengan hawa yang cukup kuat untuk membuat tangan mereka terpental, akan tetapi dia mengelak untuk menjatuhkan diri karena dikepung seperti itu dia merasa jijik, apalagi karena kepungan ketat dengan dua puluh enam orang pria itu menimbulkan bau apak dan kecut dari keringat dan mulut mereka! In Hong adalah seorang dara yang amat mencinta gurunya. Bagi dia, Yo Bi Kiok adalah seorang guru, seorang ketua, sahabat, dan juga kakak atau pengganti ibu sendiri! Hanya Bi Kiok seoranglah yang dipandangnya di dunia ini. Maka tidak mengherankan apabila dia amat mencinta dan taat kepada gurunya ini. Di dalam pertandingan ini, ketika melihat gurunya dikeroyok oleh ketua Kwi-eng-pang dan empat pembantunya yang dia tahu jauh lebih lihai daripada dua puluh enam orang yang mengeroyoknya, maka dia tidak mau merobohkan seorangpun lawan sebelum gurunya lebih dulu merobohkan papa pengeroyoknya. Dia tidak mau mendahului gurunya karena hal ini dianggapnya akan dapat menimbulkan tidak senang di hati gurunya! Inilah sebabnya mengapa In Hong hanya menghindarken diri dari semua tangan itu tanpa mau membalas sama sekali. Haiiiiittttt...!” Tiba-tiba Kiang Ti memekik keras saking marahnya ketika pukulan-pukulannya selalu mengenai tempat kosong. Kedua tangannya kini mendorong ke depan, ke arah dada Bi Kiok dan dari kedua telapak tangannya yang amat hitam itu menyambar hawa pukulan dahsyat disertai bau yang amat amis. Sekali ini, Bi Kiok tidak mengelak, bahkan juga menggerakkan kedua lengan, dengan kedua tangan terbuka menyambut dorongan telapak tangan lawan itu. “Ah, engkau mencari mampus,” demiklan suara hati Kiang Ti sambil mengerahkan Hek-tok-ciang sekuatnya sehingga kedua lengannya berubah menjadi hitam sekali, mengkilap den mengeluarkan bau yang amis memuakkan. “Plakkkk!!” Dua pasang telapak tangan itu bertemu, saling tempel den saling dorong dengan kekuatan yang dahsyat. Tubuh Kiang Ti tergetar hebat den ketua Kwi-eng-pang ini segera mengerahkan seluruh tenaganya dengan keyakinan bahwa wanita ini tentu akan roboh dengan tubuh hitam semua karena racun dari hawa pukulan Hek-tok-ciang. Akan tetapi, Bi Kiok berdiri tegak dengan kedua lengan lurus, tubuhnya sedikitpun tidak bergoyah, sedangkan mata den mulutnya membayangkan ejekan yang membuat Kiang Ti makin penasaran dan makin marah. “Haaaahhhhhhhh!” Dia kembali mengerahkan tenaga dan bukan main kagetnya ketika dia merasa bahwa kedua tangannya bertemu dengan hawa yang amat panas, dan tenaga yang amat dahsyat sehingga membendung semua tekanan hawa pukulan Hek-tok-ciang, bahkan mendorong tenaga Hek-tok-ciang membalik, kemudian hawa panas itu mulai menyerangnya, keluar dari telapak tangan halus itu, mula-mula memasuki ujung jari-jari tangannya, kemudian makin lama makin jauh memasuki tangannya. Kiang Ti terkejut bukan main. Jari-jari tangannya seperti dibakar rasanya. Dia cepat berusaha untuk melepaskan kedua tangannya, akan tetapi ternyata kedua tangan itu sudah melekat kepada tangan lawan, sedikitpun tidak dapat direnggangkan, apalagi dilepaskan! Beberapa kali dia berusaha menarik kembali kedua tangan, namun akhirnya dia maklum bahwa hal itu tidak mungkin. Maka dia menjadi nekat, tenaga Hek-tok-ciang makin ia kerahkan, namun semua sia-sia belaka. Hawa panas makin mendesak jauh, melalui pergelangan tangan, terus naik ke lengannya dan ketika tiba di atas siku, dia tidak kuat lagi bertahan saking panas dan nyerinya sehingga Kiang Ti, ketua Kwi-eng-pang itu menjerit-jerit! “Aduhhh... panas... panas... aduhhhh, lepaskan...!” Tanpa malu-malu lagi Kiang Ti yang selama ini terkenal sebagai seorang ketua Kwi-eng-pang yang ditakuti, kini berteriak-teriak, mukanya pucat sekali dan penuh dengan keringat dingin, kedua lengannya kemerahan seperti dipanggang api, kedua kaki menggigil menahan kenyerian yang amat hebat. Bi Kiok tersenyum lebar, kedua tangannya menggigil ketika dia mengerahkan tenaga sin-kangnya sehingga serangannya menjadi makin hebat, membuat kedua lengan Kiang Ti ikut menggigil. “Aduhhh... aduhhhh... am... punnn...!” Kiang Ti yang kint merasa betapa seturuh tubuhnya seperti ditusuki jarum dan dipanggang di atas api itu mengeluh dan minta-minta ampun. “Krekk! Krekk! Augghhhh...!” Tubuh Kiang Ti menjadi lemas dan dia roboh pingsan ketika Bi Kiok menarik kembali kedua tangannya setelah dengan sin-kangnya dia membuat tulang-tulang dari kedua lengan lawannya itu retak-retak. “In Hong, sudahi main-mainmu dengan mereka!” Bi Kiok berkata kepada muridnya ketika dia menengok dan melihat betapa muridnya itu masih dikepung dan dikeroyok dua puluh enam orang pria itu tanpa membalas, hanya mengelak ke sana-sini dengan cekatan seperti seekor burung walet. “Baik, subo!” In Hong berkata setelah dia melihat betapa subonya sudah merobohkan semua orang lawannya. Dia menggerakkan kedua tangannya berkali-kali sambil berseru, “Robohlah...!” Hebat bukan main akibatnya. Berturut-turut, dua puluh enam orang itu roboh dan tak dapat bangun kembali sehingga tubuh mereka malang-melintang dan tumpang-tindih di atas tanah. Cepat sekali pengeroyokan itu selesai dan kini yang tampak hanya In Hong di tengah-tengah tubuh dua puluh enam orang malang-melintang di sekelilingnya, mereka semua menjadi korban sasaran Siang-tok-swa (Pasir Racun Harum) yang tadi disebar oleh dara itu. Racun yang berupa pasir ini memang hebat sekali, mengeluarkan sinar dingin hijau dan berbau harum, akan tetapi tidak hanya dapat merobohkan dan membuat lawan pingsan seperti halnya dua puluh enam orang itu, bahkan kalau dikehendaki oleh In Hong, dapat pula mencabut nyawa lawan! Tadi melihat betapa gurunya merobohkan lima orang pengeroyoknya tanpa membunuh, diapun hanya merobohkan mereka dengan pasir tanpa membunuh, hanys membuat mereka pingsan saja. Pada saat itu, perahu-perahu yang ditumpangi oleh anak buah Giok-hong-pang telah tiba di pulau. Berkat petunjuk para tawanan yaitu orang-orang Kwi-eng-pang yang menyerah dan takluk, para anggauta Giok-hong-pang dapat mendarat di pulau dengan selamat. Bi Kiok lalu menyuruh para anak buahnya membawa semua tawanan itu ke ruangan besar di mana dia dan In Hong duduk di atas kursi, juga memerintahkan agar semua keluarga anggauta Kwi-eng-pang, baik yang terluka atau yang tidak, pendeknya mereka yang belum mati, dikumpulkan di ruangan itu, dijaga oleh para anggauta Giok-hong-pang. Kiang Ti dan para anggautanya sudah siuman kembali dan kini dia duduk di atas lantai di depan Bi Kiok dengan muka pucat. Tahulah dia bahwa riwayatnya sebagai ketua Kwi-eng-pang habis sampai di situ saja. Tak pernah diduganya bahwa kini Yo Bi Kiok memiliki ilmu kepandaian yang sedemikian hebatnya, jauh lebih hebat dari kepandaiannya sendiri, bahkan dia yakin lebih hebat daripada tingkat kepandaian mendiang gurunya, Kwi-eng Niocu atau guru Bi Kiok, Siang-tok Mo-li! Kalau saja dia tahu akan hal itu, tentu saja tidak akan begitu bodoh untuk melawannya. Dan dia bergidik kalau mengingat akan apa yang telah dia lakukan terhadap lima orang wanita anggauta Giok-hong-pang beberapa hari yang lalu itu! Rasa takut mendatangkan kebencian yang hebat dan sekiranya kedua lengan tangannya tidak patah-patah tulangnya sehingga kedua lengannya itu lumpuh tak dapat digerakkan lagi, tentu Kiang Ti akan mengamuk dan melawan sampai tewas. Dia mengerti babwa dirinya tidak tertolong lagi dan dia tidak mungkin bisa mengharapkan pengampunan dari wanita yang seperti iblis itu, wanita cantik yang sikapnya dingin menyeramkan, yang kini bersama dara jelita yang amat lihai itu duduk di depannya, memandang dengan mata seperti hendak membunuhnya dengan sinar matanya. Suasana sunyi, tak seorangpun berani bergerak, bahkan semua anak buah Kwi-eng-pang seperti menahan napas saking tegang dan takutnya. Di sana-sini terdengar isak tertahan dari isteri dan keluarga para anggauta Kwi-eng-pang yang sudah tewas dalam penyerbuan anak buah Giok-hong-pang itu. “Kiang Ti, apakah engkau sudah mengetahui akan dosamu?” Tiba-tiba terdengar suara halus ketua Giok-hong-pang, membuat para pendengarnya terkejut dan semua mata kini tertuju kepada Kiang Ti yang duduk di atas lantai sambil menundukkan mukanya. Ketua Kwi-eng-pang itu mengengkat muka. “Yo Bi Kiok, aku sudah kalah, mau bunuh terserah, tak perlu lagi banyak cakap!” Yo Bi Kiok tersenyum. “Engkau dan empat orang pembantumu ini melakukan kekejian terhadap Lui Hwa, dan sekarang dia telah menanti kalian berlima di alam baka untuk membuat perhitungan dengan kalian.” Kiang Ti menunduk. Maklumlah dia bahwa perbuatannya itu merupakan kebodohan dan kelalaiannya, memandang rendah kepada orang lain. Kesenangan dan kenikmatan yang didapatnya ketika dia mempermainkan Lui Hwa sungguh tidak sepadan dibandingkan derigan hukumannya, dengan kematian yang sudah membayang di depan mata. Menyesal? Tidak, orang seperti Kiang Ti tidak pernah mengenal sesal, karena bagi orang seperti dia, hidup berarti pengejaran kesenangan, dan mati adalah resikonya! “Aku sudah melakukan itu, habis engkau mau apa?” tantangnya untuk menutupi rasa takutnya, karena betapapun juga, ada perasaan takut dan ngeri menghadapi kematian, meninggalkan semua kesenangan dunia dan menghadapi suatu keadaan lain yang masih rahasia, yang tak dapat dibayangkannya akan bagaimana jadinya setelah mati, akan tetapi banyak dongeng tentang neraka telah membuatnya ngeri juga. “Pangcu... harap pangcu sudi mengampuni hamba...” seorang di antara empat pembantu Kiang Ti terdengar memohon dengan suara ketakutan. “Pangcu, ampunkan kami... kami hanya menjalankan tugas...” “Kami hanya diperintah oleh pangcu kami...” Bibir yang tersenyum manis itu tiba-tiba berubah menjadi cemberut. Sejenak Bi Kiok menyapu empat orang itu dengan pandang mata penuh penghinaan, melihat betapa empat orang itu sembil berlutut mengangguk-anggtikkan kepala sampai dahi mereka menyentuh lantai dan mulut mereka tiada hentinya mengeluarkan suara seperti orang menangis sambil minta-minta pengampunan. “Pengecut hina dan busuk!” Tiba-tiba Bi Kiok membentak, tangannya bergerak dan tampaklah sinar berkilat menyambar ke arah empat orang itu yang menjerit dan roboh terlentang, berkelojotan seperti ayam-ayam disembelih dengan leher putus! Kiang Ti memandang empat orang pembantunya itu dengan muka pucat, akan tetapi hatinya puas karena diapun mendongkol sekali menyaksikan sikap mereka tadi. “Kiang Ti, engkau manusia busuk dan kejam, akan tetapi sikapmu cukup gagah, maka engkau patut menerima hukuman yang lebih ringan. Nah, kautemuilah Lui Hwa di sana!” Kembali sinar kilat menyambar dari tangan Bi Kiok disusul robohnya Kiang Ti yang tak dapat bergerak lagi karena lehernya sudah terbabat putus oleh sinar pedang tadi. Hebat bukan main cara Bi Kiok mencabut dan menggerakkan pedangnya, tidak dapat diikuti pandang mata semua orang yang berada di situ kecuali In Hong. Cepat sekali gerakannya sehingga yang nampak hanyalah sinar berkilat dari pedang Lui-kong-kiam (Pedang Sinar Kilat) yang menyilaukan mata. Dan dengan tepatnya pedang itu menyambar, merobohkan empat orang yang mati setelah berkelojotan dan mengalami siksaan yang agak lama sedangkan Kiang Ti roboh dan tewas seketika sehingga mungkin saja arwahnya masih belum sadar bahwa dia telah meninggalkan raga karena selain lehernya putus juga lebih dulu jantungnya tertembus pedang! Semua orang memandang dengan wajah pucat lalu menundukkan muka. Orang-orang Kwi-eng-pang gemetar dan ketakutan, bahkan para anggauta Giok-hong-pang juga tidak ada yang berani bersuara. Mereka maklum bahwa kalau ketua mereka yang cantik itu sedang marah, dia menjadi berbahaya bukan main. “Sekarang, mereka yang dahulu memperkosa dan mempermainkan empat orang anggauta Giok-hong-pang sampai mati, majulah semua!” Suara ini halus, namun mengandung sesuatu yang membuat mereka yang merasa berdosa menggigil ketakutan. Tentu saja tidak ada seorangpun di antara mereka yang berani berkutik, apalagi maju ke depan wanita luar biasa itu. Bi Kiok mengerutkan alisnya. Dari penuturan mendiang Lui Hwa, dia mendengar bahwa Lui Hwa diperkosa dan dihina oleh Kiang Ti dan empat orang pembantunya yang semua telah dia bunuh sebagai hukuman, akan tetapi menurut Lui Hwa, empat orang anak buahnya yang lain itu direjang dan diperkosa di tempat terbuka oleh banyak sekali anggauta Kwi-eng-pang, diperkosa di depan umum secara bergantian sehingga mereka itu tewas dalam keadaan mengerikan dan menyedihkan. Bi Kiok mulai menyapu semua orang yang berada di ruangan luas itu dengan pandang matanya dan pandang mata itu berhenti di kelompok keluarga ini, dari nenek dan kakek sampai anak-anak menundukkan muka dan kelihataan ketakutan dan berduka, kecuali seorang wanita muda yang berwajah manis, berusia paling banyak tiga puluh tahun. Wanita ini memandang ke arah tubuh Kiang Ti yang tak berkepala lagi dan tubuh empat orang pimpinan Kwi-eng-pang yang berkelojotan dalam sekarat itu dengan mata bersinar-sinar penuh kepuasan dan kebencian! Heii, kau ke sinilah!” Bi Kiok menggapai dengan tangannya. Wanita itu terkejut dan baru sekarang kelihatan ketakutan, akan tetapi Bi Kiok tersenyum dan berkata, “Jangan takut karena mulai saat ini, engkau kuangkat menjadi seorang pelayanku. Engkau akan terlindung dan tak seorangpun akan berani mengganggumu!” Wanita cantik itu melangkah maju lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Bi Kiok, “Terima kasih atas kebaikan pangcu yang terhormat.” Sikap dan kata-kata wanita ini menunjukkan bahwa dia adalah seorang wanita yang pernah terdidik, bukan seorang wanita kasar isteri penjahat atau perkumpulan sesat. “Siapa namamu?” “Saya bernama Bhe Kiat Bwee, pangcu.” “Bagaimana engkau bisa berada di tempat ini?” Mendengar pertanyaan ini, air mata bercucuran dari sepasang mata Kiat Bwee dan dia lalu berderita dengan suara tersendat-sendat. Kiranya wanita muda ini, yang menjadi isteri seorang di antara empat pembantu Kiang Ti, adalah wanita culikan seperti sebagian besar wanita lain, yang berada di situ. Dia sedang menjadi pengantin ketika orang-orang Kwi-eng-ang menyerbu perkampungannya dan dia dilarikan, kemudian dipaksa menjadi isteri seorang di antara empat pembantu Kiang Ti. Dia merasa sakit hati, dia membenci suaminya dan semua orang Kwi-eng-pang akan tetapi tentu saja dia tidak berdaya dan harus menelan segala kesengsaraannya. “Hari ini, dengan mata kepala sendiri saya menyaksikan betapa semua sakit hati saya terbalas oleh pangcu, betapa puas dan berterima kasih hati saya terhadap pangcu...” Dia menangis lagi. Bi Kiok tersenyum. Tidak salah dugaannya. “Kiat Bwee, mulai sekarang engkau menjadi anggauta Giok-hong-pang. Engkau sendiri mengalami kebiadaban kaum pria Kwi-eng-pang ini, maka sekaranglah tiba saatnya untuk menghukum mereka. Engkau tentu tahu siapa di antara mereka yang telah melakukan pemerkosaan biadab terhadap empat orang rekanmu itu.” Kiat Bwee mengangguk. “Saya tahu, pangcu, saya juga menyaksikan semua perbuatan biadab itu dengan mata kepala sendiri.” “Nah, kautunjuklah mereka seorang demi seorang.” Bi Kiok lalu menunjuk tiga orang pembantunya. “Kalian melaksanakan hukumannya!” Tiga orang wanita yang ditunjuk itu tersenyum, mengangguk dan mencabut pedang masing-masing, lalu mengikuti Kiat Bwee yang tampaknya gembira dan tidak kalah ganasnya dibandingkan dengan tiga orang wanita Giok-hong-pang yang dengan penuh gairah hendak melaksanakan hukuman sebagai algojo-algojo dari orang-orang Kwi-eng-pang itu. “Nah, ini dia, dan itu, dan itu...!” Kiat Bwee menudingkan telunjuknya dan setiap kali dia menuding, tampak sinar pedang berkelebat, disusul suara jerit mengerikan dan robohlah laki-laki yang dituding oleh Kiat Bwee, roboh dalam keadaan mengerikan karena tiga batang pedang itu selalu menyambar ke bawah dan membacok ke arah anggauta kelamin para pria itu. Darah muncrat-muncrat dan ruangan itu banjir darah. Pekik dan jerit susul-menyusul dan dalam beberapa menit saja ruangan itu penuh dengan orang-orang yang berkelojotan dalam sekarat! Lebih dari lima puluh orang laki-laki tewas sebagai akibat penudingan telunjuk yang kecil mungil dari Kiat Bwee! Wanita ini nampak puas sekali, matanya berkilat-kilat, wajahnya kemerahan dan berseri-seri! Tak disangkanya bahwa hari itu dia akan dapat membalas dendam sedemikian puasnya! Setelah penjagalan manusia secara hebat ini, Bi Kiok lalu mengajak In Hong untuk memeriksa dan melihat-lihat pulau dengan bangunan-bangunannya, diantarkan oleh Kiat Bwee. Ruangan yang menjadi tempat pembantaian manusia itu dibersihkan oleh para anggauta Giok-hong-pang yang memerintahkan sisa-sisa keluarga dan anggauta Kwi-eng-pang. Mulai saat itu, sisa anggauta Kwi-eng-pang yang jumlahnya masih ada empat puluh orang lebih itu menjadi budak yang ketakutan dari para anggauta Giok-hong-pang, juga keluarga mereka mengalami perubahan hebat, yang wanita otomatis menduduki tingkat yang lebih tinggi daripada yang laki-laki. Mulai saat itu, Telaga Kwi-ouw menjadi daerah yang dikuasai oleh Giok-hong-pang, dan pulau itu menjadi sarang mereka. Kwi-eng-pang otomatis musnah dan sisa orang-orang Kwi-eng-pang sudah mulai melupakan perkumpulan Kwi-eng-pang itu karena mereka kini menjadi budak-budak Giok-hong-pang, bukan anggauta melainkan budak-budak yang setiap hari bekerja keras di ladang, mencari ikan dan lain pekerjaan yang berat. Tidak ada seorangpun yang berani melawan, apalagi melarikan diri, karena mereka maklum bahwa melarikan diri berarti mati dalam keadaan mengerikan seperti yang dialami oleh beberapa orang teman mereka. Yap In Hong, dara remaja yang cantik jelita itu, menyaksikan semua peristiwa ini tanpa ada sepatah katapun terlontar dari mulutnya, tanpa ada perasaan apapun membayang di dalam sinar matanya, seolah-olah dia tidak perduli akan semua yang dilakukan oleh gurunya. Benarkah dara ini, yang masih begitu muda, yang pada lahirnya memperhatikan kecantikan yang demikian mempesonakan kehalusan yang demikian mengharukan memiliki hati yang dingin membeku, yang tidak memiliki perasaan lagi? Hal ini sukar sekali untuk ditentukan, karena dara itu sendiripun masih belum mengenal sifat dirinya sendiri. Sejak kecil dia berada di dalam lingkungan wanita-wanita pembenci pria dan segala cerita yang didengarnya tentang pria selalu buruk dan mendatangkan kesan jahat, maka tentu saja di dalam hatinya tumbuh perasaan tidak senang kepada pria. Apalagi karena pria-pria Kwi-eng-pang yang menerima hukuman mengerikan sekali itu adalah pria-pria yang telah melakukan perbuatan biadab dan keji terhadap lima orang anggauta Giok-hong-pang, maka tidak ada perasaan kasihan timbul di hatinya melihat mereka semua dibunuh seperti itu. Betapapun juga, alisnya berkerut tanda tidak setuju ketika dia menyaksikan pembunuhan-pembunuhan seperti itu, karena membunuh lawan yang sudah tidak mampu mengadakan perlawanan atau pembelaan diri baginya merupakan hal yang amat memalukan. Tentu saja dia tidak mau menyatakan perasaan tidak setujunya ini secara berterang karena dia terlalu mencinta gurunya dan tidak mau membuat gurunya tidak senang hati. Bahkan ketika dia mendengar penuturan yang lebih jelas dari gurunya tentang kepatahan hati gurunya dalam kegagalan cintanya terhadap Yap Kun Liong, kakak kandungnya, diam-diam dia merasa tidak senang kepada kakak kandungnya itu! Setelah Giok-hong-pang berhasil merampas pulau di Kwi-ouw, mereka hidup dengan tenteram den senang di tempat yang indah ini. Makin tekun pula para anggauta Giok-hong-pang mempelajari ilmu silat dan memperkuat diri, sehingga Giok-hong-pang merupakan perkumpulan yang amat kuat, dan mulai terkenal di dunia kaum sesat sebagai perkumpulan yang dipimpin oleh seorang wanita sakti. In Hong sendiri amat suka dengan keindahan tempat di sekeliling Telaga Kwi-ouw. Akan tetapi, dia merasa muak dengan keadaan hidup para anggauta Giok-hong-pang. Melihat betapa kaum Giok-hong-pang yang terdiri dari wanita-wanita itu memperbudak kaum prianya, bahkan tidak jarang melakukan perbuatan yang menindas dan menyiksa, kemudian dia melihat pula betapa ada beberapa orang anggauta Giok-hong-pang yang mempergunakan budak-budak bekas orang-orang Kwi-eng-pang itu untuk kesenangan dirinya, untuk pemuasan nafsu berahi mereka yang di balik kebencian mereka terhadap pria kadang-kadang timbul dan perlu disalurkan. Gurunya, yang juga tahu akan hal ini tidak melarang! Biarpun gurunya adalah seorang wanita pembenci pria yang sama sekali pantang berdekatan dengan pria, yang hatinya sudah membeku terhadap pria, namun gurunya sendiri agaknya maklum akan kebutuhan para wanita anggauta Giok-hong-pang dan tidak melarang mereka bermain cinta dengan para budak! Hal ini memuakkan hati In Hong yang melihat seolah-olah para anggauta Giok-hong-pang itu sebagai pemerkosa-pemerkosa, tidak ada bedanya dengan para pria Kwi-eng-pang yang pernah memperkosa wanita. Hanya bedanya, kini wanita yang memperkosa pria, yang menggunakan pria sebagai alat untuk menyenangkan dirinya, untuk memuaskan nafsu berahinya. Hal ini membuat dia mulai tidak betah tinggal di Kwi-ouw dan pada suatu hari dia berpamit kepada gurunya untuk pergi merantau. Yo Bi Kiok tidak melarang karena maklum bahwa muridnya memang perlu memperoleh pengalaman dan tidak mungkin mengurung gadis yang sudah dewasa itu untuk tinggal selamanya di Kwi-ouw. Dia hanya berpesan agar In Hong tidak lupa untuk pulang ke Kwi-ouw. Hubungan merupakan inti dari kehidupan. Hidup berarti berhubungan, baik berhubungan antara manusia dengan manusia, antara manusia dengan benda, atau manusia dengan pikirannya, dengan nafsu-nafsunya. Hubungan antara manusia menjadi tidak wajar lagi, menjadi tidak bersih lagi, dan pasti akan mendatangkan pertentangan, mendatahgkan permusuhan dan mendatangkan kesengsaraan, kekecewaan dan penderitaan apabila di dalam hubungan ini dimasuki niat penggunaan. Hubungan yang bagaimana dekatpun, seperti hubungan antara pria dan wanita, antara suami dan isteri, akan menjadi sumber pertentangan apabila di situ terdapat keinginan untuk saling mempergunakan demi kesenangan diri pribadi. Sikap kepada manusia lain, baik manusia lain itu berbentuk suami, isteri, anak, orang tua, atau sahabat akan merupakan sikap yang palsu apabila sikap itu timbul karena suatu keinginan demi kepentingan dan kesenangan diri sendiri. Dan sikap palsu ini, seperti semua kepalsuan yang tentu saja tidak wajar, selalu akan mendatangkan hal-hal bertentangan dan mendatangkan duka. *** Pegunungan Cin-ling-san terletak di Propinsi Shen-si dan Kan-su. Daerah int merupakan daerah pegunungan dan dari Puncak Cin-ling-san dapat terlihat gunung-gunung besar lainnya di sebelah selatan dan barat, yaitu di selatan Pegunungan Ta-pa-san dan di sebelah barat Pegunungan Beng-san yang besar. Jauh di timur tampak puncak Gu-niu-san bersambung di antara mega-mega. Seperti di semua pegunungan atau di tepi laut, pendeknya di tempat-tempat sunyi di mana tampak membentang luas alam yang belum tersentuh tangan manusia di mana segala sesuatu nampak megah, penuh kekuatan dan kedamaian, di Cin-ling-sanpun pemandangan alam amat megah dan indahnya. Di dekat sumber air Sungai Han-sui yang keluar dari sebuah lereng Cin-ling-san, pemandangan amat indahnya dan tempat inilah yang menjadi pusat dari perkumpulan Cin-ling-pai yang amat terkenal di waktu itu sebagai sebuah perkumpulan yang besar dan kuat, dipimpin oleh seorang pendekar sakti yang juga amat dikenal di dunia kang-ouw, bahkan yang pernah dianggap sebagai tokoh nomor satu di antara para datuk persilatan yang lihai. Ketua Cin-ling-pai itu bernama Cia Keng Hong, seorang kakek yang usianya sudah enam puluh tahun lebih atau tepatnya enam puluh tiga tahun, seorang laki-laki tua yang sederhana dan kelihatan sebagai seorang petani atau penduduk dusun-dusun di gunung yang bersahaja, namun ada sesuatu di dalam sikapnya, terutama di dalam pandang matanya, yang mengandung kegagahan dan keagungan. Perkumpulan Cin-ling-pai sama terkenalnya dengan ketuanya yang sudah bertahun-tahun jarang memperlihatkan diri di dunia ramai. Ketua itu sendiri jarang menangani persoalan yang dihadapi Cin-ling-pai karena semua urusan telah dipercayakan oleh ketua ini kepada murid-murid kepala yang kesemuanya berjumlah sebelas orang. Di waktu itu, tidak ada seorangpun tokoh dunia kang-ouw yang tidak mengenal Cap-it Ho-han (Sebelas Pendekar) dari Cin-ling-san, yaitu murid-murid kepala dari Cin-ling-pai ini! Sudah sering sekali, entah berapa puluh atau berapa ratus kali, Cin-ling-san Cap-it Ho-han ini menggegerkan dunia persilatan dengan kegagahan mereka, sepak-terjang mereka yang selalu didasari untuk membela kaum lemah tertindas, menentang kekuasaan sewenang-wenang, membela kebenaran dan menentang kejahatan. Pernah sebelas orang pendekar ini mengobrak-abrik dunia kaum sesat sehingga nama mereka menjulang tinggi, disegani kawan ditakuti lawan. Para pembaca cerita Pedang Kayu Harum dan cerita Petualang Asmara tentu sudah mengenal baik nama Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai itu. Pendekar sakti ini selain memiliki ilmu-ilmu yang amat tinggi, juga memiliki ilmu mujijat seperti Thai-kek Sin-kun dan Thi-khi-i-beng, dua macam ilmu yang amat hebat. Hanya sebagian saja dari Thai-kek Sin-kun dapat dikuasai oleh Cap-it Ho-han sebagai murid-murid kepala, sedangkan Thi-khi-i-beng sampai seat itu hanya dimiliki atau dikuasai oleh Cia Keng Hong sendiri dan orang kedua yang menguasainya adalah Yap Kun Liong. Isteri ketua inipun bukan orang sembarangan. Wanita yang sekarang telah menjadi seorang nenek berusia enam puluh tahun, dahulu di waktu masih gadis tidak kalah terkenalnya dengan suaminya. Dia bernama Sie Biauw Eng dan dahulu dijuluki orang Song-bun Siu-li (Dara Jelita Berkabung) karena kesukaannya berpakaian putih. Ilmu silatnya juga amat tinggi, mengenal banyak macam ilmu silat dan terutama sekali hebat permainannya dengan Pek-in Sin-pian yang merupakan sehelai sabuk sutera putih, dan pukulan Ngo-tok-ciang (Tangan Lima Racun). Seperti telah dituturkan di dalam cerita Petualang Asmara, suami isteri yang hidup rukun dan saling mencinta ini mempunyai dua orang anak. Yang pertama bernama Cia Giok Keng dan sekarang telah menjadi isteri dari Lie Kong Tek, seorang pendekar gagah perkasa. Adapun yang kedua adalah Cia Bun Houw, yang sekarang telah menjadi seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh tahun. Pemuda ini semenjak beberapa tahun yang lalu sudah diambil murid oleh Kok Beng Lama, seorang pendeta Lama yang tinggi sekali ilmu silatnya dan yang tinggal di Tibet. Pada waktu itu, ketua Cin-ling-pai dan isterinya tidak berada di rumah. Suami isteri ini sedang pergi ke Leng-kok untuk mengunjungi Yap Kun Liong, pendekar sakti yang mempunyai hubungan dekat sekali dengan keluarga ketua Cin-ling-pai ini (baca Petualang Asmara). Kunjungan mereka ini, selain untuk melepas kerinduan, juga untuk membicarakan soal yang amat penting, yaitu soal perjodohan antara putera ketua Cin-ling-pai itu, Cia Bun Hou, yang masih berada di Tibet, dan Yap In Hong, adik kandung dari Yap Kun Liong yang seperti kita ketahui, telah menjadi murid dari ketua Giok-hong-pang! Selain suami isteri ketua Cin-ling-pai, juga empat orang di antara Cap-it Ho-han meninggalkan Cin-ling-pai karena diutus oleh ketua mereka untuk pergi ke Tibet menyusul Cia Bun Houw dan menyerahkan surat ketua mereka kepada pendeta Kok Beng Lama. Biarpun ketua mereka tidak berada di rumah, namun para anggauta Cin-ling-pai bekerja seperti biasa dan hidup dalam keadaan aman dan tenteram. Jumlah mereka ada kurang lebih seratus keluarga yang tinggal di lereng Cin-ling-san, dan mereka bekerja sebagai petani-petani dan pemburu-pemburu, di samping berlatih ilmu silat. Ada pula beberapa puluh orang anggauta yang sudah terjun ke masyarakat ramai, ada yang bekerja sebagai penjaga keamanan, pengawal, guru silat dan lain pekerjaan yang mengandalkan kepandaian silat mereka. Dan di manapun mereka berada, apapun pekerjaan mereka, murid-murid Cin-ling-pai selalu disegani karena mereka itu rata-rata telah memperoleh pendidikan lahir batin dan menjadi orang-orang yang dapat dipercaya, sungguhpun mereka itu berasal dari keluarga petani-petani sederhana. Pagi hari itu, baru saja matahari muncul mendatangkan suasana baru dan kehidupan kepada seluruh permukaan bumi, para anggauta Cin-ling-pai telah tampak sibuk dan asap mulai mengepul dari genteng-genteng pondok mereka, tanda bahwa penghuninya sudah bangun semua dan dapur-dapur rumah telah mulai menghidupkan apinya. Tujuh orang murid kepala, yaitu tujuh di antarg sebelas orang Cap-it Ho-han, karena yang empat orang pergi ke Tibet, pagi-pagi itu seperti biasa sudah meninggalkan kamar masing-masing untuk berlatih napas dan samadhi di puncak bukit di belakang kompleks perumahan Cin-ling-pai. Tempat ini dipilih sebagai tempat berlatih karena memang merupakan tempat yang amat hening, indah, dan bersih, memiliki hawa yang murni. Sebentar saja mereka telah hanyut dalam latihan, dan tujuh orang laki-laki yang duduk bersila di atas rumput hijau itu tiada ubahnya seperti arca-area mati. Pagi itu hawa udara amat dinginnya di puncak bukit, dingin sejuk menyusup tulang. Namun, tujuh orang laki-laki yang duduk bersila itu sama sekali tidak merasakan hawa dingin ini, bahkan kini tampak uap putih mengepul dari tubuh dan kepala mereka! Itulah tandanya pertemuan antara hawa panas yang mengalir di seluruh tubuh mereka dan hawa dingin dari udara di luar tubuh mereka. Dengan berlatih Yang-kang atau tenaga sakti yang panas hawanya ini, tubuh mereka terasa hangat di dalam udara dingin itu. Udara yang mereka hisap melalui hidung tidak nampak akan tetapi setelah keluar dari dalam dada mereka, tampaklah uap tebal putih memanjang seperti seekor ular keluar dari hidung atau mulut mereka. Bermacam-macam cara mereka mengeluarkan hawa dari dalam dada dalam latihan pernapasan ini. Ada yang mengeluarkan hawa dari mulut, ada yang dari hidung, dan ada pula yang mengeluarkannya dari satu lubang hidung saja, ada yang bergantian keluarnya, dari lubang hidung kiri dan kanan. Tujuh orang laki-laki ini memang telah memiliki ilmu kepandaian tinggi. Mereka adalah murid-murid kepala Cin-ling-pai yang menerima gemblengan langsung dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong, ketua atau guru mereka. Setelah lebih dari dua puluh tahun berlatih, sejak mereka merupakan pemuda-pemuda dusun di pcgunungan itu sampai sekarang menjadi orang-orang setengah tua yang usianya dari empat puluh sampai lima puluh tahun lebih, mereka telah menguasai ilmu-ilmu silat yang tinggi dan mereka terkenal sebagai jagoan-jagoan Cin-ling-pai dengan julukan sederhana, yaitu Sebelas Pendekar dari Cin-ling-pai. Pakaian mereka seperti pakaian petani, dan memang tujuh orang ini bersama empat orang yang diutus ke Tibet, berasal dari petani-petani sederhana di sekitar Pegunungan Cin-ling-san. Mereka hidup bertani sampai sekarang, hidup sederhana, tanpa banyak keinginan, sebagian ada yang sudah membentuk keluarga, menikah dengan wanita-wanita dusun pula sehingga keluarga merekapun sederhana, sebagian pula ada yang membujang. Dalam keadaan hidup sederhana dan selalu tenang tenteram penuh damai ini, tentu saja mereka memiliki kesehatan lahir batin dan ketekunan mereka melatih diri membuat mereka menjadi orang-orang gemblengan yang lihai, menjadi orang-orang yang “berisi” sungguhpun pada lahirnya mereka tidak ada bedanya dengan bapak-bapak petani miskin sederhana. Sejak pagi-pagi sekali tadi, lama sebelum matahari mengirim cahayanya sebagai pelopor atau pembuka jalan bagi munculnya sang raja siang, tujuh orang lihai ini sudah berlatih di puncak bukit itu. Kini matahari muda yang merah dan hangat sudah mengintai dari balik puncak di timur, namun mereka masih tenggelam ke dalam keheningan. “Suheng...! Suheng...! Harap turun dari puncak... ada urusan penting...!” Teriakan-teriakan dari beberapa buah mulut yang terdengar datang dari bawah puncak itu menyadarkan mereka. Dengan tenang mereka membuka mata, menghela napas panjang dan mulai menggerakkan anggauta badan, melepaskan kedua kaki yang tadi bersila saling menindih paha. “Jit-wi suheng... (kakak seperguruan bertujuh)!” kembali terdengar teriakan. Seorang diantara mereka, yang tertua, usianya tentu sudah lima puluh tahun lebih dan dahinya lebar, kumisnya tebal pendek dan jenggotnya juga tebal pendek, tubuhnya kekad ran membayangkan kekasaran seorang petani namun pandang matanya amat halus, bangkit berdiri dan berkata, “Sute (adik seperguruan) sekalian, mari kita lihat apa yang terjadi di bawah.” Orang ini adalah murid kepala ke lima dan karena murid-murid kepala pertama sampai ke empat diutus ke Tibet, maka kini dia menjadi yang tertua di antara para sutenya. Dia bernama Sun Kiang, seorang diantara yang tinggal hidup membujang, tidak mau menikah. Setelah membujang, tidak mau menikah. Setelah berkata demikian, dengan tenang dia lalu meninggalkan puncak bersama enam orang sutenya sambil berseru ke bawah dengan suara nyaring, “Kami sedang turun...” Suaranya menggema di seluruh lereng puncak bukit itu, maka tidak lagi terdengar teriakan-teriakan dari bawah yang memanggil-manggil mereka. Di lereng itu mereka disambut oleh belasan orang murid Cin-ling-pai yang semua kelihatan tegang. Namun tujuh orang itu tenang-tenang saja dan Sun Kiang lalu bertanya, “Apakah yang terjadi?” “Celaka, Sun-suheng (kakak seperguruan Sun)...!” Seorang di antara mereka berkata dengan muka pucat. “Bendera kita yang di puncak menara itu diambil orang dan di ujung tiangnya terdapat sebuah benda lain, seperti sehelal kain putih...!” Sun Kiang mengerutkan alisnya yang tebal. “Hemm, apakah ada yang melihat siapa yang melakukan itu?” “Tidak ada yang melihatnya. Mungkin hal itu dilakukan di waktu malam, dan tadi kebetulan ada seorang di antara anak-anak kita yang melihatnya dan berteriak keheranan,” kata orang yang melapor itu. “Dan hebatnya, tidak ada bekas-bekasnya orang naik ke menara, Sun-suheng! Menara itu terjaga pintunya siang malam, tak mungkin ada yang dapat naik ke menara melalui anak tangga tanpa diketahui penjaga,” kata yang ke dua. Sun Kiang dan enam orang sutenya tidak berkata apa-apa, hanya bergegas turun dari tempat itu menuju ke kompleks perumahan mereka dan langsung menuju ke menara yang dimaksudkan. Mereka memandang ke atas dan benar saja, jauh di atas menara, di mana terdapat tiang bendera, kini bukan bendera Cin-ling-pai yang melambai di ujung tiang bendera, melainkan sehelai kain putih yang dari bawah tampak ada titik-titik hitamnya. Menara itu tinggi, berloteng empat dan tiang itu dipasang di puncak menara, dikeluarkan dari jendela tingkat teratas, panjang tiang ada tiga tombak dan bendera itu berkibar di ujungnya. “Sun-suheng, kalau dia tidak melalui anak tangga menara dan langsung mengambilnya melalui genteng, sungguh hebat kepandaiannya.” Seorang di antara Cap-it Ho-han berkata. Sun Kiang mengangguk. “Agaknya kain itu mengandung tulisan, biar aku mengambilnya dengan cara seperti ketika benda itu dipasangkan orang.” Setelah berkata demikian, Sun Kiang mengenjot tubuhnya dan melayanglah tubuh tokoh ke lima dari Cap-it Ho-han ini ke atas, tangannya menyambar pinggiran loteng pertama, bergantung dan menggenjot lagi tubuhnya ke atas berjungkir balik, sehingga tubuh itu meluncur ke tingkat dua, menyambar pinggiran loteng lagi, menggenjot lagi ke atas sampai akhirnya dia berhasil menangkap tiang bendera di puncak menara dan meraih kain putih di ujung tiang bendera, kemudian dia melayang turun dari tingkat ke tingkat seperti tadi dan tiba di atas tanah. Semua ini dilakukan dengan cepat dan sama sekali tidak mengeluarkan suara, dan ketika dia sudah berdiri kembali di tempat tadi, napasnya biasa saja tidak terengah, hanya mukanya yang menjadi agak merah. Tepuk sorak bergemuruh menyambut perbuatan yang hebat ini, karena para anak murid Cin-ling-pai benar-benar kagum menyaksikan kelihaian suheng mereka. Akan tetapi Sun Kiang mengangkat tangan ke atas minta agar mereka tidak menimbulkan bising. Bersama dengan enam orang sutenya, Sun Kiang membaca huruf-huruf yang tertulis di atas kain putih itu. Kain itu terbuat dari sutera dan agaknya merupakan sehelai saputangan putih yang tidak begitu bersih dan melihat coretan yang kasar, tentu huruf-huruf itu ditulis dengan telunjuk yang dicelupkan tinta bak. Tulisannya bergores kuat sungguhpun tidak dapat disebut indah. LIMA BAYANGAN DEWA MENANTI KEHADIRAN KETUA CIN-LING-PAI DAN CAP-IT HO-HAN DI RESTORAN KOAI-LO KOTA HAN-TIONG HARI INI MENJELANG SENJA Hemmm... Lima Bayangan Dewa? Siapakah mereka dan apa maunya?” Sun Kiang berkata sambil mengerutkan alisnya. “Kurang ajar! Surat ini berupa tantangan bagi kita!” kata seorang sutenya. “Ini penghinaan namanya! Bendera kita dirampas dan dia menantang suhu dan Cap-it Ho-han!” kata yang lain. Sun Kiang memberi tanda dengan tangan kepada para sutenya. “Mari kita masuk ke dalam dan merundingkan urusan ini. Coa-sute, kauperintahkan para murid untuk bekerja seperti biasa, akan tetapi agar mereka waspada dan mengawasi gerak-gerik orang asing yang kelihatan di daerah kita, juga penjagaan herus diperkuat apalagi di waktu malam di sekitar menara.” Setelah melakukan pesan suhengnya, Coa Seng Ki, yaitu tokoh termuda dari Cap-it Ho-han yang usianya tiga puluh delapan tahun, cepat memasuki ruangan dalam di mana para suhengnya sudah berkumpul untuk merundingkan urusan itu. “Nama perkumpulan kita sudah amat terkenal di dunia kang-ouw, akan tetapi karena suhu melarang kita mencampuri urusan luar, maka kita sendirl kurang mengenal tokoh-tokoh golongan putih atau hitam yang kini menjagoi dunia kang-ouw. Betapapun juga, karena banyaknya murid Cin-ling-pai yang terjun ke dunia ramai, tentu terjadi hubungan-hubungan di luar tahu kita. Lima Bayangan Dewa ini tidak kita kenal, akan tetapi mereka tentu merupakan tokoh-tokoh besar maka berani mengundang suhu dan Cap-it Ho-han mengadakan pertemuan di Han-tiong. Sayang bahwa suhu sedang tidak ada, bahkan twa-suheng dan ji-suheng (kakak tertua dan kakak kedua) juga pergi, padahal biasanya mereka berdua yang memutuskan segala perkara kalau suhu tidak ada. Mereka pergi bersama sam-suheng dan si-suheng sehingga yang ada hanya kita bertujuh.” “Kita tidak perlu takut, Sun-suheng!” Coa Seng Ki, orang termuda yang paling berani dan keras hatinya di antara mereka cepat berkata. “Mereka hanya lima orang, dan kita masih ada bertujuh, sudah lebih dari cukup untuk menghadapi mereka. Bahkan kalau suheng menghendaki, saya sendiripun tidak gentar untuk mewakili Cin-ling-pai menghadapi mereka di Han-tiong.” “Coa-sute, sikapmu ini tidak bijaksana. Lupakah engkau akan pesan suhu bahwa menghadapi apapun juga, kita harus berkepala dingin? Hati yang panas merupakan bekal yang amat melemahkan diri sendiri dalam menghadapi persoalan!” Sun Kiang menegur sutenya. Coa Seng Ki menundukkan kepalanya. “Maafkan saya, suheng. Karena ada orang menghina suhu maka hati saya menjadi panas.” Hening sejenak, kemudian Sun Kiang berkata pula, “Kita tidak mengenal mereka dan tidak tahu apa maksud hati mereka mengundang suhu dan Cap-it Ho-han. Kita belum dapat memastikan apakah mereka itu mengandung niat baik ataukah buruk, akan tetapi melihat betapa mereka telah mengambil bendera Cin-ling-pai, tentu mereka tidak mempunyai niat yang baik. Karena aku tidak mau berbuat sembrono, maka kita rundingkan baik-baik apakah kita harus melayani mereka ataukah tidak.” Setelah berunding sampai lama, akhirnya ditetapkan bahwa mereka, bertujuh akan berangkat ke Han-tiong memenuhi undangan Lima Bayangan Dewa, karena kalau mereka tidak melakukan hal ini, tentu urusan itu akan tinggal gelap. Mereka bukan hendak berangkat untuk mencari permusuhan, melainkan untuk mempelajari apa sebetulnya yang dikehendaki oleh Lima Bayangan Dewa itu, dan untuk memperlihatkan kepada siapapun juga bahwa biarpun di Cin-ling-pai hanya ada tujuh orang dari Cap-it Ho-han, Cin-ling-pai tidak pernah merasa gentar menghadapi apa dan siapapun juga. Sebelum berangkat, Sun Kiang memesan lagi kepada para adik seperguruannya. “Kalian ingat baik-baik, terutama Coa-sute. Kita tidak boleh bersikap lancang, apalagi sampai menimbulkan permusuhan. Hal ini dilarang keras oleh suhu. Kita hanya memenuhi undangan untuk mengenal siapa mereka dan mengetahui apa maksud dari undangan mereka.” “Saya mengerti, suheng. Akan tetapi, bagaimana kalau mereka itu mengeluarkan sikap dan kata-kata yang menghina Cin-ling-pai atau menghina suhu? Mungkin mereka itu adalah musuh-musuh suhu di waktu suhu masih muda!” Coa Seng Ki membantah. “Kalau mereka menghina, serahkan saja kepadaku untuk menghadapi mereka. Kalian semua tidak boleh turun tangan secara lancang.” “Bagaimana kalau mereka menyerang kita? Apakah kita juga harus diam saja?” Coa Seng Ki membantah. “Hemm, Coa-sute, kalau sampai terjadi seperti itu, perlukah bertanya lagi? Tentu saja kita harus bergerak untuk membela diri. Yang dilarang oleh suhu adalah kalau kita menggunakan kekerasan mencari permusuhan. Kalau kita diserang, tentu saja kita harus membela diri.” Coa Seng Ki mengangguk-angguk dan kelihatan girang. “Mereka itu bukan orang-orang baik, aku yakin akan hal ini dan mereka tentu akan menyerang kita.” Setelah meninggalkan pesan kepada para anggauta Cin-ling-pai dan kepada keluarga mereka, berangkatlah tujuh orang jagoan Cin-ling-pai ini menuju ke kota Han-tiong yang terletak di kaki Pegunungan Cin-ling-pai. Karena maklum bahwa mereka akan menghadapi orang-orang pandai, maka mereka tentu saja membawa bekal senjata mereka masing-masing untuk berjaga-jaga dan mereka seperti biasa tidak ingin menonjolkan diri sebagai ahli-ahli silat dan menyembunyikan senjata masing-masing di bawah jubah petani mereka yang longgar. Tidak semua anak murid Cin-ling-pai bersenjeta pedang. Sungguhpun ketua Cin-ling-pai yaitu Pendekar Sakti Cia Keng Hong merupakan seorang ahli pedang yang sukar dicari tandingnya, apalagi kalau dia menggunakan Pedang Pusakanya, yaitu pedang Siang-bhok-kiam (Pedang Kayu Harum) yang pernah menggegerkan dunia kang-ouw, namun tidak semua murid kepala menjadi ahli pedang. Ketua Cin-ling?pai ini mengajarkan ilmu?ilmu yang tinggi kepada para murid kepala disesuaikan dengan bakat masing?masing. Oleh karena itu, di antara tujuh orang jagoan ini, yang bersenjata pedang hanya Sun Kiang, Coa Seng Ki dan dua orang lagi, sedangkan dua orang bersenjata golok sedankan yang seorang bersenjata tongkat yang ujungnya dilapis baja. Kota Han-tiong berada di tepi Sungai Han-sui yang mata airnya bersumber di Pegunungan Cin-ling-san kemudian terus mengalir ke timur, menampung air dari sungai-sungai yang mengalir dari selatan seperti Sungai Siang-kiang dan Kan-kiang, untuk kemudian terjun ke Lautan Kuning. Kota Han-tiong merupakan kota yang cukup ramai karena merupakan pelabuhan besar pertama dan dari kota ini banyak pedagang membawa hasil bumi dan hasil hutan menuju ke timur melalui sungai dengan perahu-perahu besar. Banyak pula pedagang, kesemuanya dari timur datang ke kota ini untuk mencari dagengan karena rempah-rempah dari daerah ini amat terkenal karena banyaknya dan mutunya yang baik. Restoran Koai-lo adalah restoran terbesar di kota Han-tiong. Restoran ini besar dan terdiri dari dua tingkat. Ruangan atas merupakan ruangan istimewa karena sering kali tempat ini dipergunakan sebagai tempat pesta para pembesar, dan tempat pertemuan para pedagang-pedagang kaya sehingga tempat istimewa ini mempunyai tarip makanan yang lebih mahal dan lebih mewah. Orang-orang biasa atau umum selalu memilih tempat duduk di tingkat bawah yang lebih murah. Biasanya, ruangan atas ini selalu ramai dengan tamu-tamu kaya, bahkan sering terdengar suara musik dan penyanyi dalam suasana pesta karena sering kali para pembesar dan hartawan memang makan minum bermabok-mabokan di atas loteng itu sambil memanggil wanita-wanita pemain musik dan penyanyi sebagai penghibur mereka. Akan tetapi pada siang hari itu, ruangan atas ini sunyi saja. Bahkan ketika ada langganan yang hendak naik ke tingkat atas melalui anak tangga yang terjaga oleh pelayan, pelayan itu melarang mereka dengan mengatakan babwa tingkat atas itu telah “diborong” dan tentu saja tidak ada tamu lain yang diperbolehkan naik ke sana. “Gila! Siapa yang main borong begini, hah? Apakah dia orang yang paling kaya, ataukah pembesar dari lain tempat?” bentak seorang hartawan yarig hendak naik ke loteng akan tetapi dicegah oleh pelayan itu. Hartawan ini adalah seorang penduduk Han-tiong yang terkenal dan semua pejabat atau pembesar di kota itu semua adalah teman-temannya. Juga dia menjadi langganan restoran Koai-lo dan terkenal sebagai seorang yang royal dengan persen-persennya kepada para pelayan. “Loya... maafkanlah saya, maafkanlah kami semua... kalau yang menyewa hanya pembesar atau hartawan setempat, mana berani saya menolak loya? Akan tetapi yang menyewa ini...” Pelayan itu menoleh ke kanan kiri. “...mereka adalah orang-orang kang-ouw yang menyeramkan... dan... dan tamu-tamu mereka adalah Cap-it Ho-han...” Mendengar disebutnya nama Cap-it Ho-han, wajah orang yang marah-marah itu berobah dan dia cepat mengangguk-angguk. Betapapun juga, nama Cin-ling-pai dengan Cap-it Ho-han sudah terlalu dikenal oleh semua penduiduk Han-tiong, bahkan pernah beberapa tahun yang lalu ketika ada segerombolan penjahat mengacau Han-tiong dan para penjaga keamanan sudah kewalahan, penduduk kota itu dibebaskan dari ancaman para pengacau itu oleh dua orang di antara Cap-it Ho-han yang membunuh para pimpinan perampok dan mengusir semua anak buahnya. “Aih, kiranya dipakai oleh Cin-ling-pai... kalau begitu sudah sepantasnya kalau tempat di atas ini tidak diganggu,” kata si hartawan berangasan itu sambil meninggalkan restoran. Lewat tengah hari restoran itu masih penuh dengan tamu yang makan siang, yaitu mereka yang menjamu para pedagang yang menjadi tamu. Suasana cukup gembira biarpun mereka semua terpaksa harus mengambil tempat di ruangan bawah, karena semua tamu yang tinggal di Han-tiong tidak seorangpun berani mengganggu ruangan yang telah dipesan untuk Cin-ling-pai. Berita ini sebentar saja sudah menjalar sampai ke mana-mana dan terdengar oleh semua penduduk. Bahkan di luar restoran itu terdapat banyak orang yang kebetulan tidak memiliki kesibukan apa-apa, mereka berkumpul karena ingin melihat Cap-it Ho-han yang namanya mereka puja-puja dan yang kabarnya akan mengunjungi restoran Koai-lo. Para Pelayan juga sudah menanti-nanti dengan tegang, dan lima orang pelayan sudah disiapkan untuk menjadi pelayan-pelayan khusus bagi para tamu agung itu. Orang-orang yang menanti di luar itu berbisik-bisik dan suasana menjadi tegang ketika dari luar datang empat orang yang aneh keadaannya. Empat orang ini entah dari mana datangnya, tahu-tahu telah berada di luar restoran, berdiri di depan pintu dan memandang ke kanan kiri. Sekelebatan saja dapat diduga bahwa mereka adalah orang-orang aneh yang asing, dengan pakaian dan sikap yang luar biasa. Seorang di antara mereka adalah wanita yang usianya tentu sudah ada lima puluh tahun, namun mukanya berbedak tebal sampai menjadi putih seperti tembok, bibirnya yang tebal dicat merah sekali, juga kedua pipinya diberi pemerah pipi, rambutnya digelung rapi dan licin mengkilap oleh minyak yang mengeluarkan bau terlalu wangi sehingga tercium sampai jauh, rambut itu dihias oleh emas permata yang berkilauan, telinganya terhias anting-anting yang besar terbuat dari emas pula, juga pakaiannya serba mewah dan mahal. Pendeknya, wanita ini adalah seorang pesolek besar dari ujung rambut sampai ke ujung kakinya yang dibungkus sepatu baru. Mulut yang berbibir merah itu mesam-mesem genit, matanya melirik-lirik seperti sikap seorang dara muda yang cantik jelita. Akan tetapi sebatang pedang membayang dari balik gaunnya, dan kulit di buku-buku jari kedua tangennya tampak tebal dan keras kehitaman seperti besi! Orang kedua adalah seorang yang melihat jubah dan kepalanya seperti seorang hwesio (pendeta beragama Buddha), kepalanya yang gundul itu, terhias penutup ubun-ubun yang meruncing berwarna putih berkilauan, tubuhnya yang gendut itu hanya terbungkus kain yang dilibat-libatkan seperti jubah, mukanya halus mengkilap dan licin seperti diminyaki, dan seuntai tasbeh yang terbuat dari batu-batu berwarna hijau melingkar di pundaknya. Dengan matanya yang bulat lebar hwesio itu memandang ke kanan kirl dengan sikap tak perdulian. Orang ketiga adalah seorang laki-laki tinggi kurus bermuka seperti monyet saking kurusnya, matanya cekung dan kedua pipinya juga cekung, hidungnya pesek dan mulutnya lebar. Dibandingkan dengan hwesio yang usianya tentu sudah hampir enam puluh tahun itu, laki-laki tinggi kurus ini kelihatan muda, sungguhpun tentu dia juga sudah berusia empat puluh tahun lebih. Kulitnya kuning pucat seperti orang yang menderita penyakit berat.   Orang keempat agaknya menjadi pimpinan mereka, atau setidaknya tentu yang paling tua. Orang ini memakai jubah luar berwarna hitam, berkantung lebar, mukanya membayangkan kekasaran dan pandang matanya selalu memandang rendah kepada apapun yang dipandangnya, hidungnya besar panjang agak bengkok ke bawah, kepalanya memakai sebuah topi. Seperti juga laki-laki kurus kering, dia tidek kelihatan membawa senjata apapun, namun dari sikap dan pandang matanya jelas dapat diduga behwa dia bukanlah orang sembarangan dan ada sesuatu yang mengerikan terbayang pada sikap empat orang ini. “Kenapa harus berjalan naik? Aku mengambil jalan terdekat dan termudah!” kata wanita pesolek itu dan tiba-tiba tubuhnya mencelat ke atas, langsung dia sudah meloncat ke dalam ruangan loteng yang tinggi itu! Tentu saja perbuatan ini membuat semua orang yang melihatnya menjadi bengong, kaget dan juga kagum. Kiranya banyak juga orang pandai yang dapat meloncat ke loteng itu, akan tetapi cara nenek pesolek itu melompat benar-benar amat luar biasa. bukan melompat lagi melainkan terbang! “Omitobud, melayang seperti itu di tempat asing sungguh sembrono dan barbahaya. Pinceng lebih suka berhati-hati dan memeriksa keadaan yang belum kita kenal!” Hwesio itu berseru sambil mengangguk-angguk, kemudian dia menghampiri tembok dekat pintu. Mendengar kata-katanya, orang mengira bahwa dia hendak berjalan masuk melalui pintu seperti biasa, akan tetapi orang-orang yang melihatnya menjadi bengong ketika melihat hwesio itu bukan memasuki pintu, melainkan menghampiri tembok, kemudian menggunakan tangan dan kakinya untuk merayap naik seperti seekor cecak saja! Setiap kali telapak tangannya menempel tembok, telapak tangan itu melekat dan ketika telapak tangan dilepaskan untuk menempel ke atas lagi, terdengar suara “ceplokk!”. Semua orong, baik para tamu yang berada di dalam restoran dan mereka yang berada di luar, terbelalak penuh keheranan dan kekaguman, mengikuti gerakan hwesio itu dengan pandang mata mereka ketika hwesio itu terus memanjat tembok seperti seekor ceeak besar sehingga akhirnya dia tiba di loteng dan meloncat masuk. “Heh-heh, Hok Hosiang benar-benar amat tergesa, apakah khawatir kehabisan arak? Tunggu aku, jangan dihabiskan!” Tiba-tiba orang laki-laki kurus seperti monyet itu tertawa, kemudian sekali tubuhnya berkelebat, bayangannya lenyap dari tempat itu dan yang nampak hanya bayang-bayang seperti setan berkelebatan melalui anak tangga dan tahu-tahu dia telah berada di loteng pula, disambut dengan tertawa-tawa oleh wanita pesolek dan hwesio berilmu cecak tadi. Laki-laki yang bertopi dan berhidung besar itu menggeleng kepala. “Aihhh... anak-anak itu masih suka bermain-main di manapun mereka berada!” Ucapannya ini cukup keras sehingga terdengar oleh semua orang. Seorang pelayan yang berjaga di kaki anak tangga segera menyambutnya karena dialah yang memesan tempat di atas loteng itu. Pelayan ini tadi juga bengong menyakeiken ulah semua tamunya yang aneh-anch itu, dan kini dengan senyum lebar dia menjura kepada kakek bertopi sambil berkata, “Kiranya loya (tuan besar) dan para sahabathya telah tiba. selamat datang dan silakan naik. Apakah hidangannya harus disajikan sekarang?” Kakek itu memandang dengan sikap merendahkan, lalu berkata, “Kami barempat adalah fihak tuan rumah, tamu-tamu yang kami undang belum datang. Keluarkan saja arak lebih dulu empat guci besar!” Pelayan itu terbelalak. Untuk empat orang saja harus menyajikan empat guci besar? Seguci eukup untuk diminum lima orang sampai mabok! Akan tetapi dia tidak berani membantah dan ketika dia hendak pergi melaksanakan perintah ini, tiba-tiba dia berdiri torlongong memandang kakek yang kini melangkah perlahan-lahan naik ke tangga loteng. Juga para tamu memandang dan bangkit berdiri, mata mereka terbelalak ketika melihat betapa pada lantai dan papan-papan anak tangga bekas kaki orang bertopi itu nampak bekas injakan yang dalamnya setengah jari, lantai dan papan itu melesak ke dalam! Setelah kakek itu tiba di loteng, ramailah semua orang berbisik-bisik membicarakan kehebatan empat orang aneh itu, ada yang merasa ngeri dan cepat-cepat meninggalkan restoran karena menganggap bahwa empat orang itu pasti bukan manusia, melainkan iblis-iblis dan siluman! Akan tetapi, beberapa orang tamu yang mengerti akan ilmu-ilmu silat dapat mengenal orang-orang yang memiliki kepandaian amat tinggi maka tertariklah mereka, ingin tahu apa yang akan terjadi selanjutnya antara orang-orang aneh ini dengan tokoh-tokoh Cin-ling-pai. Dugaan mereka ini memang benar. Empat orang itu bukanlah orang sembarangang melainkan datuk-datuk dalam dunia persilatan dan lebih torkenal lagi di antara golongan hitam atau kaum sesat. Kakek bertopi den berhidung besar itu bernama Gu Lo It dan terkenal dengan julukannya Liok-te Sin-mo (Si Iblis Bumi) dan dalam rombongan empat orang ini dialah yang paling tua dan agaknya paling disegani oleh teman-temannya. Hwesio yang merayap tembok seperti cecak itu juga amat terkenal di dunia hek-to (jalan hitam, dunia penjahat), karena dia hanyalah seorang hwesio palsu, seorang penjahat besar yang menyembunyikan diri di balik jubah pendeta dan kepala gundulnya. Dia memakai nama pendeta Hok Hosiang, bahkan memakai nama julukan yang amat hebat membayangkan kesombonkannya, karena julukannya itu adalah Sin-ciang Siauw-bin-sian (Si Dewa Tertawa Bertangan Sakti)! Wanita tua yang pesolek itupun bukan orang sembarangan. Dia adalah Ciok Lee Kim yang berjuluk Hui-giakang (Kelabang Terbang) yang terkenal sebagai seorang maling tunggal dan yang pernah menggegerkan istana karena selama satu bulan dia berani mengganggu kamar-kamar di istana untuk mencuri benda-benda berharga sehingga hampir dia tertangkap oleh para pengawal dan tidak berani muncul lagi. Adapun orang keempat, laki-laki berusia empat puluh tahun lebih yang bermuka kurus seperti monyet itu, bernama Bu Sit dan berjuluk Toat-beng-kauw (Monyet Pencabut Nyawa). Karena kota Han-tiong yang termasuk daerah Pegunungen Cin-ling-san itu selalu aman dan semenjak Cin-ling-pai berdiri di Cin-ling-san keadaan menjadi tenteram, semua penjahat tidak ada yang berani beraksi di daerah itu maka orang-orang yang berada di situ tidak ada yang mengenal empat orang datuk kaum sesat ini. Sebetulnya, empat orang ini hanya merupakan anggauta-anggauta dari rombongan yang terdiri dari lima orang dan yang terkenal dengan sebutan yang mereka buat sendiri, yaitu Ngo-sian-eng-cu (Lima Bayangan Dewa). Yang seorang adalah pemimpin mereka dan kehadiren mereka di restoran itu adalah atas perintah orang pertama yang menjadi orang tertua dan menjadi kakak tertua mereka, karena Lima Bayangan Dewa ini telah menjadi saudara-saudara angkat yang bekerja sama dengan baik, sehingga kekuatan mereka yang tergabung itu membuat mereka amat ditakuti, baik oleh kaum sesat sendiri, karena memang tidak mudah untuk mengalahkan lima orang yang bergabung ini dan sudah menjadi saudara angkat yang bersumpah untuk sehidup semati! Biarpun para tamu di ruangan bawah restoran itu tidak mengenal mereka yang berada di loteng, namun para tamu yang berani tetap tinggal di situ dapat menduga bahwa empat orang aneh itu tentulah orang-orang kang-ouw yang berilmu tinggi, dan karena mereka semua pereaya akan perlindungan Cin-ling-pai, maka mendengar bahwa empat orang itu mengundang Cap-it Ho-han dari Cin-ling-pai, mereka bersikap tenang-tenang saja dan ingin menyaksikan apa yang akan terjadi selanjutnya. Kepala pelayan lalu dihujani pertanyaan oleh para tamu dan kepala pelayan ini menceritakan dengan gembira karena dia mendapat kesempatan untuk menonjolkan diri dan menjadi perhatian, bahwa kakek bertopi itulah yang mengatur pesanan untuk menggunakan loteng itu sebagai tempat perjamuan menyambut tamu-tamu mereka, yaitu Cap-it Ho-han dari Cin-ling-pai. “Tentu saja tadinya saya keberatan kalau loteng itu diborongnya, akan tetapi mendengar bahwa mereka itu hendak menjamu Cap-it Ho-han, siapa yang berani menentang? Kami malah berbahagia sekali dapat menyenangkan hati Cap-it Ho-han, bukan? Dan kiranya, empat orang itupun adalah orang-orang yang memiliki kepandaian amat hebat! Pantas menjadi sahabat-sahabat Cap-it Ho-han!” Akan tetapi di antara para tamu itu ada pula yang diam-diam menyaksikan apakah benar empat orang ini adalah sahabat-sahabat Cap-it Ho-han. Mereka sudah mengerti betul siapa adanya Cap-it Ho-han, yaitu tokoh-tokoh Cin-ling-pai yang terkenal sebagai pendekar-pendekar besar, pembela kebenaran dan keadilan dan yang hidup sederhana seperti petani-petani biasa. Sedangkan empat orang ini ternyata memiliki watak yang amat sombong, suka menonjol-nonjolkan kepandaian mereka seperti terbukti tadi betapa mereka berempat terang-terangan sengaja mendemonstrasikan ilmu kepandaian mereka di depan orang banyak dengan sikap amat sombongnya. Agaknya amat aneh kalau para pendekar seperti Cap-it Ho-han itu bersahabat dengan orang-orang sombong seperti itu, biarpun mereka berempat itu harus diakui memiliki kepandaian yang amat hebat. Apalagi ketika mendengar betapa empat orang di atas loteng itu segera terdengar tertawa-tawa dengan kasarnya agaknya minum arak sambil bersendau-gurau, lagak mereka sama sekali tidak pantas menjadi orang-orang yang dapat disejajarkan dengan para pendekar dari Cin-ling-pai itu. Betapapun juga, semua orang tertegun dan terheran bukan main ketika tak lama kemudian pelayan-pelayan yang bertugas di atas itu sudah sibuk mengangkat empat guci arak lagi, dibawa ke atas untuk menambah empat guci pertama yang agaknya sudah habis pindah ke dalam perut empat orang aneh itu. Menjelang senja, terdengar suara berisik di luar restoran itu dan orang-orang mulai berdesak-desakan untuk melihat dan menyambut munculnya tujuh orang jagoan Cin-ling-pai, yaitu tujuh orang di antara Cap-it Ho-han yang datang memenuhi panggilan Lima Bayangan Dewa yang bernada menantang. Sikap ketujuh orang pendekar ini tenang saja dan pakaian mereka seperti para petani dusun, dan mereka hanya tersenyum sambil mengangguk ke kanan kiri membalas penghormatan para penduduk Han-tiong yang mengenal mereka. Para pelayan restoran menyambut mereka penuh penghormatan ketika Sun Kiang dan enam orang sutenya memasuki restoran itu, kemudian dengan tenang mereka naik ke loteng melalui anak tangga dan mereka hanya memandang tanpa perduli akan tanda bekas kaki yang dibuat oleh Liok-te Sin-mo Gu Lo It tadi ketika kakek itu naik ke ruangan atas. Tentu saja mereka yang tadi mengiringkan tujuh orang pendekar ini tidak berani ikut naik dan mereka hanya menonton dari luar restoran. Dari luar rumah makan, mereka dapat melihat keadaan di ruangan loteng yang terbuka itu, hanya tertutup oleh langkan setinggi satu meter sehingga mereka dapat melihat kepala orang-orang yang duduk di loteng. Ketika tujuh orang pendeker Cin-ling-pai itu memasuki ruangan loteng, mereka melihat bahwa meja di situ telah diatur memanjang. Di bagian dalam duduklah empat orang yang sedang minum-minum dan di bagian luar meja terdapat sebelas buah bangku kosong! Melihat sikap empat orang aneh yang duduk minum-minum di situ dan tidak ada orang lain di ruangan atas ini, maka Sun Kiang mengerutkan alisnya. Tidak salah lagi, tentulah mereka ini yang mengirim undangan, akan tetapi mengapa Lima Bayangan Dewa hanya ada empat orang? Melihat mereka barempat itu minum-minum dan agaknya sama sekali tidak memperdulikan kedatangan mereka, Coa Seng Ki, orang termuda dari Cap-it Ho-han, segera berkata, “Suheng, agaknya kita salah masuk. Aku tidak melihat ada bayangan dewa-dewa atau setan di sini!” Sun Kiang melirik kepada sutenya yang bungsu itu, akan tetapi dia tidak marah karena sutenya tidak langsung menghina orang, sungguhpun dia taju bahwa sutenya tentu mendongkol menyaksikan sikap empat orang itu yang diduga tentu para pengundang mereka. Mendengar ucapan ini, Liok-te Sin-mo Gu Lo It mengangkat mukanya memandang tujuh orang petani itu dan memandang dengan penuh selidik. Tidak ada tanda sedikitpun bahwa tujuh orang ini adalah pendekar-pendekar besar, kecuali bahwa sikap mereka amat tenang. “Omitohud... ha-ha-ha-ha!” Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok Hosiang tertawa, kepalanya yang gundul bergerak-gerak ke belakang karena dia tertawa dengan muka menengadah dan perutnya yang gendut berguncang-guncang. “Ha-ha-ha, pinceng sungguh tidak dapat menjawab, kalau para pendekar menjadi petani, para petani lalu menjadi apa, sebaliknya kalau para petani menjadi pendekar, para pendekar lalu menjadi apa? Ha-ha-ha!” Mendengar kata?kata ejekan ini, kembali Coa Seng Ki yang tidak dapat menahan dirinya, akan tetapi karena dia segan untuk melanggar perintah dan pesan suhengnya, dia tidak langsung menjawab, hanya memandang langit-langit loteng sambil berkata seperti bersajak, “Petani dan pendekar sama saja, keduanya mempunyai tugas penting. Tanpa adanya petani-petani, para pemalas gendut akan kelaparan dan tanpa adanya pendekar-pendekar, penjahat-penjahat di dunia merajalela!” “Sute...!” Sun Kiang menegur sutenya karena ucapan sutenya itu sudah terlalu pedas. Sun Kiang yang melihat sikap empat orang itu seolah-olah tidak mengacuhkan kedatangan mereka, sebetulnya juga merasa mendongkol sekali. Akan tetapi, menurut tulisan di ujung tiang bendera, yang mengundang adalah Lima Bayangan Dewa, mengapa yang berada di tempat itu hanya empat orang? Dia khawatir kalau-kalau keliru dan empat orang aneh ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan para pengundang mereka, maka sambil menekan perasaan mendongkolnya dia menjara ke arah mereka sambil berkata, “Harap maafkan kami kalau mengganggu, kami bertujuh dari Cin-ling-pai datang memenuhi suatu undangan, akan tetapi yang mengundang kami berjumlah lima orang...” Gu Lo It, orang tua bertopi dan berhidung besar itu, bangkit berdiri dengan perlahan, diturut oleh tiga orang temannya dan kini kedua fihak berdiri saling berhadapan. Liok-te Sin-mo Gu Lo It juga mengangkat kedua tangan membalas penghormatan Sun Kiang sambil berkata, suaranya parau, “Kami adalah empat orang di antara Lima Bayangan Dewa, akan tetapi yang kami undang adalah ketua Cin-ling-pai dan sebelas orang Cap-it Ho-han.” “Ketua kami sedang pergi, dan di antara sebelas brang Cap-it Ho-han, yang ada hanya kami bertujuh, karena itu kami bertujuh mewakili ketua dan para suheng kami memenuhi undangan itu,” jawab Sun Kiang dengan sikap tenang. “Ah, kiranya jit-wi (anda bertujuh) adalah para anggauta Cap-it Ho-han. Maafkan karena tidak mengenal, kami tidak dari tadi menyambut. Silakan jit-wi duduk!” Gu Lo It berkata dan dari pandang matanya, juga dari suara ketawa hwesio gendut itu, ditambah sikap nenek yang mengerling genit penuh ejekan dan pandang nista dingin laki-laki kurus bermuka kuning, mengertilah ketujuh orang Cap-it Ho-han bahwa empat orang itu sengaja mempermainkan mereka. Akan tetapi Sun Kiang dengan tenang mengangguk lalu duduk di tengah-tengah antara sebelas kursi yang berjajar itu, membiarkan empat kursi di sebelah kanannya kosong, karena dia menganggap bahwa empat kursi pertama adalah tempat duduk para suhengnya yang tidak dapat hadir. Para sutenya juga duduk di sebelah kiri Sun Kiang, sesuai dengan urutan tingkat mereka dan yang paling ujung kiri duduklah Coa Seng Ki, orang termuda dari Cap-it Ho-han. “Terima kasih atas kebaikan Lima Bayangan Dewa yang telah mengundang kami dari Cin-ling-pai. Setelah kita saling berjumpa di sini, kami mewakili Cin-ling-pai untuk bertanya apa maksud dari Lima Bayangan Dewa mengundang kami secara tidak sewajarnya itu.” Sun Kiang berkata dengan sikap masih halus menghormat, namun kata-katanya cukup jelas merupakan peneguran. Gu Lo It tertawa dan tiga orang kawannya juga tertawa, suara ketawa mereka memenuhi ruangan itu dengan nada mengejek. Hampir saja Coa Seng Ki orang termuda dari Cap-it Ho-han tidak dapat menahan kemarahannya, akan tetapi mengingat akan pesan Sun Kiang, dia menahan diri, hanya memandang dengan mata bersinar-sinar kepada empat orang itu. “Ha-ha-ha! Sudah lama kami mendengar nama Cin-ling-pai dan para tokohnya, Cap-it Ho-han yang menjulang tinggi, maka kami sengaja mengirim undangan untuk berkenalan dan menjamu cu-wi di restoran ini.” Tanpa menanti jawaban, dengan sikap kasar Gu Lo It lalu menoleh, bertepuk tangan dan berteriak kepada para pelayan, “Cepat keluarkan hidangan dan tambah lagi arak wangi!” Para pelayan yang tadinya berdiri menjauh dengan hati berdebar tegang, kini cepat hilir-mudik mengatur hidangan yang memang telah dipersiapkan di dapur, turun naik anak tangga membawa baki-baki berisi masakan-masakan dan mengaturnya di atas meja di depan sebelas orang itu. “Cap-it Ho-han dari Cin-ling-pai, silakan makan minum bersama kami!” Gu Lo It berkata lantang dan dia bersama tiga orang temannya segera mulai makan dengan lahapnya. Melihat sikap empat orang itu, Sun Kiang terheran-heran dan juga saling pandang dengan saudara-saudaranya, agak lega hatinya karena kirinya empat orang di antara Lima Bayangan Dewa ini agaknya merupakan orang-orang luar biasa yang hanya ingin mengenal mereka saja! Karena itu, Sun Kiang mengangguk memberi tanda kepada para sutenya, dan mereka inipun mulai menggunakan sendok dan sumpit untuk menerima hidangan dan hati-hati karena mereka belum yakin benar apa yang tersembunyi di balik sikap ramah kasar dan aneh dari empat orang di depan mereka itu. Empat orang itu memang kasar sekali sikapnya. Mereka makan tanpa sungkan-sungkan lagi, dan hanya Hui-giakang Ciok Lee Kim nenek pesolek itu saja yang makan dengan agak hati-hati karena takut kalau bibir merahnya sampai terhapus oleh kuah masakan yang dimasukkannya ke mulut. Akan tetapi begitu daging yang disumpitnya sudah masuk ke dalam mulutnya dengan aman tanpa merusak pemerah bibirnya, dia mengunyah dan terdengarlah suara berdecapan seperti bunyi babi makan. Sambil makan dengan lahap, tiada hentinya empat orang itu memerintahkan kepada pelayan untuk mengambilkan kecap, cuka, sebentar minta ini den minta itu sehingga para pelayan menjadi sibuk hilir-mudik. Diam-diam para pelayan itupun muak menyaksikan sikap empat orang ini dan kagum bercampur bangga melihat sikap jagoan-jagoan mereka, yaitu tujuh orang dari Cap-it Ho-han itu yang bersikap demikian tenang dan juga penuh kesopanan. Heh-heh-heh, Cap-it Ho-han terkenal hebat, sebagai jagoan-jagoan atau tokoh-tokoh utama dari Cin-ling-pai. Kami gembira sekali dapat berkenalan!” Gu Lo It berkata sambil menyapu tujuh orang di depannya itu dengan pandang matanya, dan dia mengusap arak dari pinggir mulutnya. Sun Kiang membungkuk. “Cu-wi terlalu memuji dan maafkan karena kami selalu tinggal di pegunungan yang sunyi maka kami belum sempat mengenal nama besar dari cu-wi (anda sekalian).” “Ha-ha-ha, sekarangpun belum terlambat bagi Cap-it Ho-han untuk mengenal nama Lima Bayangan Dewa, yah, sekarang belum terlambat!” Tiba-tiba Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok Hosiang berkata dan menepuk-nepuk perutnya yang gendut. Gu Lo It memandang kepada Sun Kiang dan dengan sinar mata tajam dia memperkenalkan diri dan teman-temannya, “Saya adalah orang kedua dari Lima Bayangan Dewa, saya Liok-te Sin-mo Gu Lo It, dia ini adalah orang ketiga, Sin-ciang Siouw-bin-sian Hok Hosiang, yang keempat ini adalah Hui-giakang Ciok Lee Kim, dan kelima adalah Toat-beng-kauw Bu Sit. Adapun saudara tertua kami, Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok, sedang pergi melakukan suatu urusan yang amat penting.” Tujuh orang Cin-ling-pai itu agak terkejut mendengar nama terakhir tadi sebagai orang pertama dari Lima Bayangan Dewa. Mereka sudah mendengar nama Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok dari guru atau ketua mereka. Menurut guru mereka, Pat-pi Lo-sian ini adalah sute dari mendiang Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok (Raja Ular Selaksa Racun) yang tewas di tangan guru mereka, Pendekar Sakti Cia Keng Hong. Maka kini mereka mulai menduga-duga. Kalau empat orang ini adalah sekutu Pat-pi Lo-sian, tentu mereka berlima mempunyai niat tidak baik terhadap Cin-ling?pai. Akan tetapi dengan tenang Sun Kiang mengangguk. “Nama-nama besar cu-wi tidak akan kami lupakan.” Gu Lo It berkata dengan suaranya yang parau sambil memandang tajam. “Apakah engkau yang menjadi orang pertama dari Cap-it Ho-han?” Sun Kiang tersenyum dan menggeleng kepala. “Saya yang bodoh bernama Sun Kiang dan hanya menjadi murid ke lima. Empat orang suhengku sedang pergi dari Cin-ling-san melaksanakan suatu tugas, maka saya dan enam orang suteku datang mewakili Cin-ling-pai memenuhi undangan cu-wi.” “Ha-ha-ha, bagus kalau begitu! Saat ini engkau adalah orang pertama dari Cin-ling-pai, seperti juga aku merupakan orang pertama di saat ini dari Lima Bayangan Dewa karena suhengku tidak ada. Nah, saya mewakili Lima Bayangan Dewa memberi penghormatan semangkok arak kepada engkau sebagai wakil Cin-ling-pai. Terimalah!” Setelah berkata demikian, Gu Lo It menuangkan arak di mangkok bekas dia makan tadi, kemudian dia melontarkan mangkok itu ke atas! Semua orang memandang dan para pelayan menjadi ketakutan melihat cara penghormatan yang aneh ini, bahkan seorang pelayan yang sedang mengambilkan tambahan kecap seperti yang diminta oleh Hok Hosiang yang gembul, menjadi takut untuk mendekat meja. Mangkok terisi arak itu berputaran di atas dan Gu Lo It tidak menurunkan tangannya, bahkan meluruskan kedua lengannya ke arah mangkok yang berputaran di udara itu kemudian kedua tangannya tergetar dan mangkok itu meluncur turun menyambar ke arah Sun Kiang. “Hemmm...” Sun Kiang maklum akan perbuatan lawan yang mungkin hendak mengujinya dengan mendemonstrasikan tenaga sin-kang yang hebat itu. Dengan tenang diapun mengangkat kedua tangannya dengan lurus ke depan, jari-jari tangannya terbuka dan dia sudah menyalurkan sin-kang melalui kedua lengannya itu sehingga ketika kedua tangannya bergerak, tenaga mujijat terhembus keluar dari telapak tangannya menyambar mangkok arak yang meluncur ke arahnya. Terjadilah suatu keanehan seperti permainan sulap atau sihir saja. Mangkok yang terisi arak setengahnya itu terhenti di udara seperti dipegangi oloh tangan yang tidak kelihatan, terhimpit antara dua tenaga raksasa yang menyambar keluar dari kedua telapak tangan Gu Lo It dan Sun Kiang. Terjadilah adu tenaga sin-kang yang hanya dimengerti oleh mereka yang duduk mengelilingi meja, yang memandang dengan sikap tegang. Para pelayan berdiri melongo den memandang penuh keheranan, tidak mengerti apa yang terjadi hanya memandang mangkok yang bergerak-gerak di udara itu dengan bingung. Kedua fihak terkejut ketika merasa betapa tenaga lawan amat kuatnya. Mula-mula mangkok itu condong ke arah Sun Kiang den nampak betapa Gu Lo It menggetarkan kedua lengannya den tenaga mujijat yang amat kuatnya mendorong mangkok atau setidaknya membuat mangkok miring ke arah lawan agar isinya menyiram muka lawan! Perlahan-lahan mangkok itu mulai miring ke arah orang kelima dari Cap-it Ho-han, sehingga para sutenya memandang ke arah Sun Kiang dengan hati cemas. Sun Kiang sendiri maklum akan kekuatan lawan, mukanya sudah mulai berpeluh dan terpaksa dia mengeluarkan tenaga simpanannya, yaitu Thai-kek-sin-kang, ilmu rahasia yang diturunkan oleh Cia Keng Hong kepada sebelas orang murid kepala ini. “Uhhhhh...!” Suara dari dalam dada Sun Kiang ini membubung melalui tenggorokan, setibanya di mulut hanya terdengar seperti keluhan, mukanya menjadi pucat dan kedua telapak tangannya perlahan-lahan berubah merah. Gu Lo It terkejut bukan main ketika tiba-tiba kekuatan lawan menjadi hebat sekali. Dia cepat mengerahkan tenaganya, namun tetap saja tidak kuat diam enahan sehingga kini mangkok di udara itu mulai condong dan miring ke arahnya, isinya mulai mengancam untuk menyiram mukanya! Hati para murid Cin-ling-pai menjadi lega akan tetapi diam-diam merekapun maklum bahwa kakek bertopi itu lihai bukan main sehingga suheng mereka terpaksa harus mengerahkan Thai-kek-sin-kang, baru dapat mengimbangi. Tingkat kepandaian Lima Bayangan Dewa sudah amat tinggi dan terutama sekali Liok-te Sin-mo Gu Lo It memiliki sin-kang yang kuat. Dibandingkan dengan murid-murid kepala Cin-ling-pai, tingkat lima orang datuk kaum sesat itu lebih tinggi, dan pada umumnya, tenaga Sun Kiang juga tidak dapat melawan tenaga Gu Lo It. Akan tetapi, sin-kang dari murid kelima Cin-ling-pai ini adalah Thai-kek-sin-kang yang amat murni, yang diturunkan oleh Pendekar Sakti Cia Keng Hong kepada sebelas orang murid kepala itu sebagai ilmu simpanan, maka dengan mengandalkan sin-kang ini Sun Kiang dapat mengimbangi bahkan mendesak lawan yang lebih kuat! Akan tetapi, para murid Cin-ling-pai ini adalah orang-orang jujur yang kurang sekali pengalaman mereka di dunia kang-ouw, apalagi menghadapi datuk-datuk kaum sesat yang selain berilmu tinggi juga amat curang dan mempunyai banyak tipu muslihat busuk itu. Tidak ada seorangpun di antara mereka yang tahu bahwa ketika dengan kaget sekali melihat kanyataan betapa tenaga sin-kang murid Cin-ling-pai itu demikian hebatnya dan mangkok arak itu mengancam akan menyiram mukanya, diam-diam Mok-te Sin-mo Gu Lo It meluruskan kaki kirinya di bawah meja dan ujung sepatunya diarahkan ke perut Sun Kiang yang duduk di depannya di seberang meja. Tiba-tiba diangkatnya kakinya dan dibentakkan tumitnya di atas lantai dl bawah meja dan seketika meluncurlah sinar hitam ke depan dan tentu saja tanpa dapat dicegah dan diketahui oleh siapapun, benda hitam itu menyambar ke perut Sun Kiang! “Uhhhh... hukkkk...!” Sun Kiang terbelalak, bangkit berdiri dan tubuhnya menggigil. Mangkok arak itu kini terdorong oleh tenaga sakti Gu Lo It dan meluncur ke arah kepalanya, membalik dan arak menyiram muka Sun Kiang yang kini sudah menggunakan kedua tangan mendekap perutnya, kemudian mangkok itu terbang kembali ke tangan Gu Lo It yang tertawa. “Ha-ha-ha, terima kasih bahwa engkau telah menerima suguhan arakku!” Akan tetapi enam orang murid Cin-ling-pai yang lain tidak melihat hal itu sebagai kekalahan mengadu sin-kang dari suheng mereka. Mereka terbelalak memandang ke arah perut Sun Kialig yang kini tampak setelah suheng mereka itu berdiri. Darah membasahi baju den celana sekitar perut dan Sun Kiang melotot memandeng ke arah Gu Lo It. “Kau... kau...!” Tangannya mencengkeram ke atas meja. “Kroookkkk...!” Pinggiran meja itu remuk dan Sun Kiang terhuyung ke belakang, bangkunya terguling kemudian tubuhnya roboh terjengkang den tewaslah orang kelima dari Cap-it Ho-han itu dengan mata melotot! Paku hitam yang meluncur keluar dari sepatu rahasia Gu Lo It itu mengandung racun yang amat hebat sehingga Sun Kiang tidak dapat bertahan lagi. “Cuatt-cuatt-cuattt...!” Dari sepatu Gu Lo It yang berada di bawah meja kembali meluncur tiga batang paku beracun. Kini enam orang murid kepala Cin-ling-pai sudah tahu akan kecurangan lawan. Mereka marah sekali den bergerak meloncat ke belakang, akan tetapi tetap saja dua di antara tiga batang paku itu mengenai sasaran karena dilepas dari bawah dalam jarak yang amat dekat tanpa dilihat atau diketahui oleh mereka yang diserang. Roboh pula dua orang murid Cin-ling-pai yang lihai, berkelojotan dan tewas seketika tanpa dapat melakukan perlawanan apapun! “Iblis-iblis keji, kalian bermain curang!” Coa Seng Ki membentak marah den mencabut pedang dari balik bajunya. Tiga orang suhengnya juga sudah mencabut senjata masing-masing, seorang memegang pedang, seorang memegang golok den orang keempat mengeluarkan senjatanya yang berupa tongkat berlapis baja. “Ha-ha-ha, kami Lima Bayangan Dewa memang hendak membunuh Cap-it Ho-han dan ketua Cin-ling-pai!” Gu Lo It tertawa bergelak dan bersama tiga orang temannya dia sudah meloncati meja dan menerjang empat orang murid Cin-ling-pai itu. Segera terjadi pertempuran yang amat seru den hebat di dalam ruangan atas dari restoran itu. Para pelayan menjadi kaget den ketakutan. Mereka melempar baki den kain putih yang tadinya selalu tersampir di pundak, kemudian lari menuruni loteng itu, demikian takut dan tergesa-gesa sampai hampir menggelundung dari loteng ke ruangan bawah. Bubarlah semua tamu yang berada di bawah ketika mendengar ribut-ribut dan suara beradunya senjata di atas ruangan itu. Mereka berlari keluar dan bersembunyi di luar sambil menonton ke ruangan atas yang tampak dari jauh, dengan hati penuh kekhawatiran karena mendengar para pelayan itu bercerita betapa tiga orang anak murid Cin-ling-pai telah roboh dan tewas secara aneh sebelum terjadi pertempuran. Pertempuran itu berlangsung dengan hebat dan mati-matian. Para murid kepala Cin-ling-pai maklum bahwa empat orang manusia iblis itu menghendaki nyawa mereka, maka mereka membela diri dengan mati-matian dan juga ingin membunuh musuh untuk membalaskan kematian tiga orang saudara mereka yang menjadi korban kecurangan fihak musuh itu. Orang keenam dari Cap-it Ho-han yang bersenjata tongkat, yang tingkatnya tepat di bawah Sun Kiang menurut urutan tingkat sebelas orang Cap-it Ho-han, sudah menerjang Gu Lo It dan dihadapi oleh Liok-te Sin-mo ini dengan tangan kosong saja! Dua orang lain menghadapi Hok Hosiang yang menggunakan tasbeh batu hijau sebagai senjata dan Toat-beng-kauw Bu Sit yang mainkan sebatang toya panjang dengan gerakan yang cepatnya luar biasa sehingga tubuhnya lenyap terbungkus gulungan sinar toyanya! Adapun Coa Seng Ki, orang termuda dari Cap-it Ho-han melawan Ciok Lee Kim, nenek genit yang mainkan dua helai saputangan merah secara hebat sekali sambil terkekeh-kekeh genit. “Siluman betina, mampuslah!” Coa Seng Ki yang kemarahannya sudah memuncak melihat kematian tiga orang suhengnya secara mengerikan dan menjadi korban serangan gelap yang amat curang, menggerakkan pedangnya dengan dahsyat, menusuk ke arah mata kanan lawannya. “Singgg... wuuutttt...!” Pedang itu menyeleweng arahnya ketika terbentur dari samping oleh benda lembut, yaitu saputangan di tangan kanan wanita yang tertawa mengejek itu. “Hi-hik, kau yang termuda dan paling ganteng di antara Cap-it Ho-han. Haiiit, sayang tidak kena!” Dengan gerakan yang cepatnya luar biasa sekali, ketika pedang itu menyambar dengan bacokan dari samping, wanita itu sudah melesat ke belakang. Ciok Lee Kim berjuluk Si Kelabang Terbang, tentu saja julukan ini diperoleh karena memang ilmunya meringankan tubuh amat lihai, gerakannya ringan dan lincah sekali, kalau meloncat seperti terbang saja. Sedangkan julukan Kelabang adalah karena dia seorang ahli racun dan sepasang saputangan merah yang lebar itu, yang dimainkan seperti seorang penari sedang beraksi di panggung menari-nari akan tetapi yang sesungguhnya merupakan senjata yang amat ampuh, mengandung racun yang amat berbahaya. Ilmu pedang yang dimainkan Coa Seng Ki sebetulnya adalah ilmu pedang yang murni dan kuat bukan main. Akan tetapi karena memang dia kalah tingkat, kalah dalam ilmu gin-kang maupun tenaga sin-kang, maka ilmu pedangnya itu tidak banyak menolong. Lawannya, nenek yang tersenyum-senyum genit itu memang luar biasa sekali. Dua helai saputangan merah di tangannya itu kadang-kadang bisa kaku dan keras seperti baja, kadang-kadang melurus seperti tongkat besi, kadang-kadang juga lemas kembali akan tetapi amat kuat seperti cambuk, dapat dipergunakan ujungnya sebagai alat penotok. Getaran pedang yang hebat dari Coa Sang Ki menjadi musnah kekuatannya kalau bertemu dengan saputangan yang lunak, dan beberapa kali ujung saputangan sudah menyentuh bagian-bagian tubuhnya yang berbahaya, akan tetapi pada saat terakhir sengaja ditarik kembali oleh nenek itu sambil terkekeh. “Ah, sayang kalau membunuhmu! Bagaimana kalau kau malam ini menemani dan menghiburku?” Sikap dan ucapan ini membuat Coa Sang Ki makin marah, dia maklum bahwa lawannya lihai sekali dan bahwa dia sengaja dipermainkan karena kalau wanita itu menghendaki, sudah sejak tadi dia roboh, maka sambil menggereng keras dia mainkan pedangnya makin hebat dan dengan nekat dia melakukan serangan dengan jurus-jurusnya yang paling ampuh. Namun kecepatan wanita itu membuat semua serangannya gagal, bahkan ketika Ciok Lee Kim berkelebatan kadang-kadang lenyap kadang-kadang tampak, dia mulai menjadi pening dan seluruh tubuhnya mengeluarkan keringat. Apalagi ketika berturut-turut terdengar teriakan dan keluhan disusul robohnya tiga orang suhengnya, Coa Seng Ki menjadi makin marah dan duka. Sekali pandang saja maklumlah dia bahwa tiga orang suhengnya itu, seperti tiga orang suheng pertama, telah roboh untuk tidak bangun kembali. Enam orang suhengnya telah tewas semua! Malapetaka yang terjadi secara serentak dan tiba-tiba ini sama sekali tidak pernah terduga-duga, dalam mimpipun tidak! Betapa enam orang dari Cap-it Ho-han roboh dan tewas begitu saja, begitu mudahnya! Coa Seng Ki menjadi mata gelap dan sambil menggigit bibir dan air matanya berlinangan, dia menubruk dan melakukan serangan bertubi-tubi kepada Hai-giakang Ciok Lee Kim, akan tetapi wanita tua ini seperti menari-nari, selalu mengelak dan kadang-kadang menangkis dengan saputangan merahnya. “Omitohud...! Si Genit mengapa main-main dengan dia? Lekas bunuh dia!” Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok Hosiang yang biasa menyebut Si Kelabang Terbang itu Si Genit, berseru melihat nenek itu mempermainkan Coa Seng Ki dan tidak cepat-cepat membunuhnya. “Hi-hik, Hok Hosiang, aku sayang kalau membunuhnya. Habis siapa yang akan menemaniku malam nanti? Kepala gundulmu sudah membosankan aku, hi-hik!” Nenek itu menjawab sambil mengelak dari sebuah tusukan, kemudian menggunakan jari-jari tangannya mengusap pipi Coa Seng Ki dengan mesra. Coa Seng Ki makin marah dan dengan nekat menyerang terus. “Memang dia tidak perlu dibunuh!” Tiba-tiba Gu Lo It berkata. “Kalau dia mampus, siapa yang akan melaporkan kepada ketua Cin-ling-pai? Kita lukai saja dia, biar mati perlahan-lahan. Akan tetapi hayo sudahi main-mainmu, Hui-giakang, kita tidak mempunyai banyak waktu, malam sudah tiba!” “Aih, sayang...!” Ciok Lee Kim berkata akan tetapi agaknya dia tidak berani membantah perintah Si Iblis Bumi. Tiba-tiba dua helai saputangan merahnya berkelebat menjadi gulungan sinar merah berputaran menyambar-nyambar dan pedang di tangan Coa Seng Ki sudah dapat dilibat dan sekali ujung saputangan menotok pergelangan tangan, pedang itupun terlepas dari tangan pemiliknya dan terampas. Ciok Lee Kim tertawa, mengebutkan saputangannya yang merampas pedang dan pedang itu meluncur ke depan ke arah Hok Hosiang, dibarengi bentakannya, “Hok Hosiang, kauterimalah pedangnya!” “Omitohud, kau main-main saja!” dengan ujung lengan baju yang besar, Hok Hosiang mengebut pedang itu menyeleweng ke bawah dan “crappp!” pedang itu menancap di dada mayat Sun Kiang. Melihat betapa pedangnya sendiri menancap dada subengnya, Coa Seng Ki menjadi hampir gila saking marahnya dan sambil bertertak keras dia menubruk ke arah pendeta gendut itu. Akan tetapi Hok Hosiang sudah menyambutnya dengan dorongan tangan terbuka dan kekuatan dahsyat. “Plakkk!!” Pundak Coa Seng Ki terkena dorongan dan tubuhnya terlempar ke arah Gu Lo It. “Dukk!” Gu Lo It menyambutnya dengan tamparan yang mengenai dadanya. “Huakkkkk!!” Darah merah tersembur keluar dari mulut Coa Seng Ki ketika tubuhnya terlempar ke arah Toat-beng-kaw Bu Sit. Desss!! Krek-krekk!” Toya di tangan Bu Sit menghantam perut dan kedua lututnya, mematahkan kedua tulang kaki orang termuda dari Cap-it Ho-han itu yang terlempar ke arah Ciok Lee Kim. “He-heh, tampan, kau sudah tidak berharga lagi untuk mendekatiku!” Nenek genit itu terkekeh, tangan kirinya mencakar den lima kuku jarinya mencakar muka Coa Seng Ki sehingga robek-robek kulit mukanya den berdarah. Dia terbanting roboh dan tak sadarkan diri lagi, dengan mulut memuntahkan darah, muka tergores den berdarah, pukulan pada pundak, dada dan perutnya membuat dia terluka dalam secara hebat dan kedua tulang kakinya patah-patah! Empat orang itu tertawa bergelak lalu turun melalui anak tangga dengan lagak sombong karena kemenangan mereka. Melihat para pelayan menggigil den berkumpul di sudut ruangan bawah, Liok-te Sin-mo Gu Lo It menoleh ke arah mereka sambil berkata, “Semua harga makanan dan kerusakan perabot di atas akan dibayar oleh Cin-ling-pai!” Sambil tertawa-tawa puas, empat orang itu lalu keluar dari restoran dan sebentar saja mereka menghilang di dalam kegelapan malam. Lama setelah empat orang itu pergi, barulah para pelayan dan orang-orang yang menonton pertandingan hebat dari luar restoran itu berani berindap-indap naik dan mereka terkejut den ngeri sekali ketika menyaksikan keadaan ketujuh orang tokoh Cin-ling-pai itu. Keadaan menjadi geger, para petugas keamanan baru berani muncul untuk mengadakan pemeriksaan dan beberapa orang diperintahkan untuk memberi kabar ke Cin-ling-pai di dekat puncak gunung. Akan tetapi pada seat itu juga, tampak lima orang anggauta Cin-ling-pai datang berlari-lari memasuki restoran Koai-lo dengan maksud untuk mencari ketujuh orang Cap-it Ho-han. Wajah mereka semua pucat den tegang, dan mereka ingin melaporkan sesuatu kepada para pimpinan mereka. Dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka dan serta merta menubruk para suheng mereka yang sudah rebah malang melintang di ruangan atas restoran itu sambil menangis. Dunia seakan-akan kiamat bagi mereka. Baru saja mereka mengalami kekagetan dan kecemasan hebat di Cin-ling-pai dan kini mereka dibadapkan dengan malapetaka yang lebih hebat pula, yaitu kematian enam orang Pimpinan Cin-ling-pai dan yang seorang terluka hebat. Apakah yang terjadi di pusat Cin-ling-pai sehingga lima orang anggautanya itu bergegas pergi ke Han-tiong menyusul ketujuh orang murid kepala yang sedang memenuhi tantangan fihak lawan yang menamakan dirinya Lima Bayangan Dewa itu? Ternyata malam itu terjadi hal yang hebat pula di Cin-ling-pai. Karena semua anggauta Cin-ling-pai telah diberi tahu akan tantangan Lima Bayangan Dewa, dan karena tujuh orang murid kepala itu mewakili Cin-ling-pai untuk menghadapi para penantang, maka para anggauta Cin-ling-pai menjadi prihatin dan mereka melakukan penjagaan yang ketat. Mereka semua merasa tegang karena mengerti bahwa para pimpinan mereka pergi ke Han-tiong menghadapi lawan yang tangguh yang dapat dilihat dari cara mereka memasang surat tanda tantangan di puncak menara, di ujung tiang bendera. Keadaan menjadi amat sunyi di markas Cin-ling-pai yang dikurung pagar tembok itu. Penjagaan ketat dilakukan oleh para anggautanya, di pintu-pintu gerbang dan terutama sekali di sekitar menara karena tempat itu merupakan tempat penyimpanan pusaka Cin-ling-pai, juga menjadi tempat kediaman ketua mereka yang pada saat itu sedang bepergian. Perondaan juga dilakukan tiada hentinya secara bergilir mengelilingi pagar tembok. Sejak senja tadi, wanita dan kanak-kanak sudah dilarang untuk berada di luar rumah. Semua telah berlindung di dalam rumah dan para ibu juga siap sedia dengan senjata di dekatnya kalau-kalau terjadi sesuatu yang tidak tersangka-sangka terhadap keluarganya. Pendeknya, semua anggauta Cin-ling-pai dan keluarga mereka siap sedia dengan hati penuh ketegangan. Mereka hanya mengharapkan agar para pimpinan mereka segera kembali membawa berita bahwa semuanya telah beres dan tidak ada apa-apa lagi yang perlu dikhawatirkan. Biarpun mereka itu percaya akan kelihaian para murid kepala, yaitu Cap-it Ho-han yang pada waktu itu hanya ada tujuh orang, namun tetap saja mereka agak gelisah karena ketua mereka tidak berada di situ. Mereka merasa seolah-olah seperti sekelompok anak ayam ditinggalkan induknya. Lewat senja, ketika keadaan belum gelap benar, akan tetapi sejak tadi lampu-lampu telah dipasang, tiba-tiba sekali terdengar bentakan-bentakan dan keributan di pintu gerbang sebelah berat, yaitu di belakang markas itu. Terdengar senjata-senjata den teriakan-teriakan para penjaga. Tentu saja para penjaga segera lari ke tempat itu den ternyata di tempat itu terjadi pertempuran yang amat aneh. Belasan orang anggauta Cin-ling-pai mengeroyok seorang laki-laki yang tidak bersenjata, akan tetapi anehnya, semua serangan senjata di tangan para anggauta Cin-ling-pai itu tidak ada yang pernah dapat menyentuh tubuh orang itu, walaupun orang itu kelihatannya tenang saja, seolah-olah senjata yang menghampiri tubuhnya itu tiba-tiba menyeleweng sendiri seperti tertolak oleh hawa yang melindungi seluruh tubuh orang itu! Melihat banyak orang lagi datang untuk mengeroyoknya, orang laki-laki itu tertawa bergelak, tubuhnya berkelebat dan lenyaplah dia dari tengah-tengah para pengeroyoknya! Kemudian, selagi semua orang bingung mencari-cari, tiba-tiba di pintu gerbang sebelah timur, di depan markas itu, terjadi keributan dan kiranya laki-laki itu telah berada di situ menghadapi pengeroyokan para penjaga yang bertugas menjaga di tempat itu! Kembali semua anak murid Cin-ling-pai berlari-lari ke tempat itu. Laki-laki itu kelihatan muda dan berwajah tampan, rambutnya dikucir panjang, pakaiannya sederhana serba putih, hanya sepatunya saja yang hitam. Sukar mengira-ngira usianya, kelihatannya baru berusia tiga puluh tahun saja. Gerak-geriknya halus, namun setiap gerakan kaki tangannya membawa angin pukulan yang amat dahsyat sehingga lime enam orang murid Cin-ling-pai terlempar sekaligus oleh sambaran angin dari kebutan lengan bajunya! Dan semua senjata menyeleweng den terpental begitu kena disambar angin tangkisannya. Hanya sebentar saja orang itu mengacau di pintu gerbang timur dan biarpun belasan orang roboh terpelanting ke kanan kiri oleh sambaran angin pukulan tangannya, namun tidak ada seorangpun yang terluka hebat atau tewas. Agaknya orang ini hanya mempermainkan mereka saja dan kembali dia tertawa, berkelebat lenyap, untuk muncul lagi di pintu gerbang sebelah selatan! Dengan perbuatannya yang aneh ini, semua anggauta Cin-ling-pai menjadi kacau-balau dan geger. Jelas bahwa yang datang mengacau hanya satu orang saja, namun orang itu memiliki kepandaian sedemikian tingginya sehingga mampu menggegerkan seluruh anggauta Cin-ling-pai yang dibikin kocar-kacir dan kacau-balau lari ke sana ke mari mencari-cari lawan yang sebentar-sebentar menghilang itu. Ketika untuk kelima kalinya orang itu meloncat dan menghilang, para anak buah Cin-ling-pai sudah menjadi panik dan bingung sekali. Mereka mencari-cari, akan tetapi sekali ini orang itu menghilang sampai lama. Dicari ke manapun tidak dapat ditemukan dan para anak murid Cin-ling-pai sudah mengira bahwa pengacau itu akhirnya melarikan diri karena gentar menghadapi pengeroyokan sedemikian banyak orang. Sementara itu, lima orang murid tingkat dua yang langsung menjadi murid-murid kepala di bawah asuhan Cap-it Ho-han, diam-diam melakukan perondaan di atas genteng perumahan Cin-ling-pai di sekitar menara. Mereka ini adalah orang-orang yang tingkat kepandaiannya paling tinggi di saat itu, dan mereka berlima telah mewarisi Ilmu Silat Tangan Kosong San-in-kun-hoat (Ilmu Silat Awan Gunung) yang dahsyat, maka merekapun tidak membawa senjata, karena keistimewaan mereka adalah gerakan kaki tangan mereka yang sudah tergembleng kuat dan terlatih baik. Mereka berlima berjaga di sekitar menara dan merasa aman karena menara itu telah dijaga ketat di sebelah dalamnya. Untuk naik ke puncak menara di mana tersimpan benda-benda pusaka milik ketua, orang harus melalui pasukan penjaga yang berlapis lima dan setiap penjagaan terdapat lima orang penjaga yang sudah terlatih. Setengah jam lewat dan biarpun semua anggauta masih mencari-cari, namun hati mereka telah menjadi lega karena jelas bahwa pengacau itu telah lenyap, agaknya telah melarikan diri keluar dari markas Cin-ling-pai. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan keras disusul suara ketawa menyeramkan tadi, suara si pengacau yang tadi selalu tertawa kalau hendak menghilang. Kiranya pengacau itu muncul lagi secara tiba-tiba, meloncat turun dari puncak menara dan lengan kanannya mengempit sebatang pedang dalam sarungnya. Dapat dibayangkan betapa kagetnya lima orang murid kepala Cap-it Ho-han itu ketika mengenal pedang Siang-bhok-kiam yang dikempit oleh lengan orang itu! Pedang pusaka lambang kebesaran Cin-ling-pai telah dicuri orang! “Pencuri hina...!” “Kembalikan Siang-bhok-pokiam!” Lima orang itu cepat berloncatan di atas genteng dan mengejar. Namun gerakan pencuri pedang itu hebat bukan main. Sukar sekali mendekatinya karena dia berloncatan dari genteng ke genteng lain seperti seekor burung terbang saja. Ketika seorang di antara lima jagoan Cin-ling-pai itu berhasil mendekati, dia langsung mengirim pukulannya yang ampuh, menggunakan jurus yang paling lihai dari San-in-kun-hoat, yaitu In-keng-hong-wi (Awan Menggetarkan Angin dan Hujan), tangan kanannya menonjok lurus ke depan disertai tenaga sin-kang yang ampuh. “Dukkk!” Pukulan itu dengan tepat mengenai bahu kanan orang itu, akan tetapi yang dipukul tertawa saja dan si pemukul merasakan betapa kepalan tangannya seperti memukul karet yang amat lunak namun kuat sekali sehingga tenaga pukulannya seperti tenggelam dan lenyap kekuatannya. Selagi dia berteriak kaget, pencuri itu telah tertawa panjang dan tubuhnya mencelat jauh ke depan. “Tangkap pencuri...!” “Dia mencuri Siang-bhok-pokiam!” Lima orang itu berteriak-teriak karena tidak dapat menyusul dan melihat pencuri itu telah tiba di rumah terakhir. Para anak murid yang mengejar dari bawah melihat pengacau itu mengempit pedang. Mendengar betapa pusaka keramat Cin-ling-pai dicuri, mereka menjadi marah sekali. Bagaikan hujan saja senjata-senjata rahasia menyambar ke arah tubuh pencuri itu ketika dia meloneat turun dari atas genteng. Semua orang terbelalak memandang betapa sekian banyaknya senjata rahasia dengan cepat mengenai tubuh orang itu, akan tetapi kesemuanya itu runtuh tak berbekas dan si pencuri masih tertawa-tawa. “Ha-ha-ha, katakan kepada Cia Keng Hong bahwa Lima Bayangan Dewa mengirim salam dan menitipkan nyawanya sampai tahun depan!” Setelah berkata demikian, orang itu berkelebat dan lenyap dari tempat itu. “Pengecut, tinggalkan namamu!” teriak seorang murid Cin-ling-pai dengan suara nyaring. Akan tetapi tiba-tiba orang yang berteriak ini roboh terjengkang, dan ketika teman-temannya memandang, ternyata dia telah tewas! Dan dari jauh terdengar suara tertawa. “Ha-ha-ha, tidak ada orang boleh hidup setelah memaki pengecut kepada Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok!” Tentu saja orang-orang Cin-ling-pai menjadi geger. Lima orang murid lihai yang digembleng oleh Cap-it Ho-han itu lalu bergegas meninggalkan Cin-ling-pai menuju ke Han-tiong untuk menyusul para suheng mereka dan melaporkan akan malapetaka yang menimpa markas Cin-ling-pai sehingga pedang pusaka Siang-bhok-kiam lenyap dicuri orang, bahkan seorang anak murid tewas oleh si pencuri yang lihai dan yang mengaku bernama Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok itu. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget dan sedih hati lima orang murid ini ketika mereka melihat tujuh orang suheng mereka itu tertimpa malapetaka yang lebih hebat dan mengerikan lagi di dalam rumah makan Koai-lo karena enam orang di antara mereka telah tewas dan Coa Seng Ki, orang termuda dari Cap-it Ho-han menderita luka-luka hebat sehingga nyawanya juga seolah-olah bergantung kepada sehelat rambut! Dengan penuh kedukaan mereka lalu mengangkut enam mayat dan Coa Seng Ki yang terluka parah itu ke Cin-ling-pai di mana mereka disambut oleh jerit-jerit tangisan yang memilukan dari semua anak murid Cin-ling-pai dan terutama sekali dari keluarga mereka yang tewas. Bermacam-macam sikap anggauta keluarga yang ditinggal mati oleh seseorang dalam keluarga itu. Namun pada umumnya, mereka itu berduka atau memperlihatkan wajah duka. Bermacam-macam pula rasa duka yang mendatangkan goresan muka yang sama itu. Ada yang berduka karena merasa iba kepada yang mati, akan tetapi sebagian besar adalah berduka karena merasa iba kepada dirinya sondiri yang tinggalkan oleh yang mati. Merasa betapa hidupnya kehilangan sesuatu, yang dicintainya, yang disandarinya, atau yang diharap-harapkannya. Merasa kehilangen ini yang mendatangkan duka. Ada pula yang tidak merasa apa-apa namun “demi kesopanan” terpaksa menarik muka agar kelihatan berduka. Ada pula yang terbawa oleh suasana duka, karena tangis, seperti juga tawa, mudah sekali menular kepada orang lain. Sukar sekali menahan diri, terutama sekali kaum wanita, untuk tidak mencucurkan air mata melihat banyak orang menangis tersedu-sedu, apalagi kalau disertai keluh-kesah dan ratapan, lebih sukar daripada menahan tawa kalau melihat banyak orang tertawa gembira. Yang hebat, lucu den aneh, banyak pula keluarga yang kematian hendak menyatakan bahwa mereka benar-benar berkabung dengan “menyewa” tukang menangis! “Tukang-tukang menangis” ini dibayar dan tugasnya hanya untuk menangis sehebat mungkin, meratap dengan suara yang paling menyedihkan, untuk “memancing” air mata para keluarga yang sudah hampir mengering. Memang suasana pada keluarga yang kematian amat menyedihkan. Apalagi pada pagi hari itu di ruangan depan dari rumah besar di Cin-ling-pai. Memang menyedihkan sekali melihat tujuh buah peti mati berjajar-jajar di ruangan itu, dikelilingi dan dikerumuni oleh para sanak keluarga dan para anggauta Cin-ling-pai yang tiada hentinya menangis dan bergilir melakukan sembahyang di depan peti-peti mati itu. Tujuh buah peti mati itu terisi mayat-mayat enam orang anggauta Cap-it Ho-han dan seorang anak murid Cin-ling-pai yang tewas karena berani memaki pengecut kepada Pat-pi Lo-sian. Suasana di ruangan itu menjadi makin menyedihkan melihat para anggauta keluarga para korban yang memakai pakaian serba putih, topi putih dan muka pucat, mata sayu kemerahan dan pipi kotor bekas air mata dan debu. Ruangan yang luas itu menjadi serem karena asap hio yang bergulung-gulung dan bau dupa wangi yang dibakar semenjak malam tadi. Akan tetapi Cin-ling-pai adalah perkumpulan orang-orang gagah. Biarpun sejak kemarin sampai malam tadi para keluarga korban tiada hentinya menangisi ayah, saudara dan suami mereka, namun pagi ini mereka telah dapat menekan perasaan mereka sebagai orang-orang atau keluarga-keluarga orang gagah sehingga tidak lagi terdengar suara tangis. Mereka masih bersembahyang dan berkabung, namun wajah mereka semua membayangkan duka dan dendam bercampur menjadi satu, dengan tarikan muka keras membayangkan kemarahan hati terhadap fihak musuh yang telah menyebar kematian di antara tokoh-tokoh Cin-ling-pai. Mereka tidak lagi mencucurkan air mata dan meratap, terutama sekali ini mereka paksakan kepada perasaan mereka sendiri untuk memperlihatkan sikap gagah kepada para penghuni dusun yang datang untuk memberi penghormatan terakhir kepada para korban. Bukan hanya para penghuni dusun-dusun pegunungan di sekitar tempat itu, juga dari kota Han-tiong datang tamu berduyun-duyun untuk bersembahyang dan tidak lupa memberi sumbangan kepada keluarga yang ditimpa duka nestapa itu. Sejak pagi sampai tengah hari, tiada hentinya para tamu datang, bersembahyang, memberi sumbangan dan mengucapkan kata-kata yang nadanya menghibur, memuji kegagahan Cap-it Ho-han dan mengutuk penjahat-penjahat yang melakukan pembunuhan keji, kemudian pergi lagi dengan perasaan lega seperti orang-orang yang telah melakukan sesuatu yang amat baik dan berharga. Bahkan komandan penjaga keamanan dari kota Han-tiong juga datang menyatakan duka cita dan dia mengatakan kepada para anggauta Cin-ling-pai bahwa dia akan mengerahkan pasukannya untuk mencari dan menangkap penjahat-penjahat yang menamakan dirinya Lima Bayangan Dewa itu. Akan tetapi, para murid Cin-ling-pai maklum bahwa ucapan komandan itu tidak dapat diandalkan dan harapan satu-satunya bagi mereka untuk dapat membalas dendam kematian ini hanyalah guru mereka, karena para penjahat itu adalah orang-orang lihai sedangkan para petugas keamanan itu biasanya, sebagian besar hanya galak-galak kalau menghadapi rakyat lemah yang tak mampu melawan dan yang dapat diharapkan menjadi sapi-sapi perahan.