Pada saat itu, ayah bundanya sudah meloncat ke atas dan membalas dengan serangan kaki dari atas. Ini memang merupakan jurus yang amat berbahaya dan yang tadi sudah dipergunakan oleh Bun Houw dengan baik sekali sehingga kalau saja bukan ayah bundanya yang diserang, tentu akan roboh terkena totokan ujung kakinya. Kini ayah bundanya menyerang dengan berbareng. Bun Houw terkejut, akan tetapi diapun dapat menangkap dua buah kaki, masing-masing sebuah dari ayah bundanya dan tanpa menanti kaki kedua menyerang, dia sudah melemparkan ayah bundanya dengan pengerahan tenaga sin-kang. Kakek dan nenek itu terlempar dan berjungkir balik seperti yang dilakukan putera mereka tadi. Mereka hinggap di atas lantai dan memandang dengan wajah berseri dan kagum. “Jaga ini...!” Tiba-tiba Cia Keng Hong berseru keras dan dia sudah menerjang lagi sendirian dan mengirim pukulan ke arah puteranya. Bun Houw cepat menangkis dan kembali bertemulah lengan mereka. “Dukk!” Bun Houw terkejut karena lengannya melekat pada lengan ayahnya dan dia merasa tenaga sedotan hebat sekali. Tahulah dia bahwa ayahnya telah menggunakan Thi-khi-i-beng, ilmu yang paling hebat dan mujijat dari ayahnya. “Wuuut-plakk!” Dia mengerahkan tenaga, membuat gerakan memutar dan cepat sekali jari tangannya menotok ke arah dada ayahnya. Totokan maut yang amat berbahaya dan pada saat Cia Keng Hong menangkisnya, Bun Houw telah berbasil melepaskan lengannya yang menempel tadi! Cia Keng Hong terkejut dan heran, kembali menyerang dan setiap kali lengan mereka bersentuhan, dia menggunakan Thi-khi-i-beng, akan tetapi selalu Bun Houw dapat melepaskan bagian tubuhnya yang melekat pada tubuh ayahnya. Akhirnya mengertilah Cia Keng Hong bahwa Thi-khi-i-beng tidak lagi mampu mengalahkan pemuda itu, maka dia meloncat ke belakang dan berkata, “Cukup!” Bun Houw maju dengan muka gembira. “Bagaimana pendapat ayah dan ibu? Luluskah aku?” “Engkau hebat, aku tidak lagi mampu menandingimu, Houw-ji (anak Houw)!” Sie Biauw Eng berseru gembira. “Aku girang sekali melihat bahwa gurumu telah membimbingmu sehingga engkau bahkan dapat menghadapi Thi-khi-i-beng! Engkau tahu mengapa aku tidak menurunkan ilmu itu kepadamu, anakku?” Cia Keng Hong berkata. “Aku mengerti, ayah. Ilmu itu hanya dapat diturunkan kepada satu orang saja, dan ayah sudah memberikannya kepada suheng Yap Kun Liong. Aku tidak merasa iri, ayah.” “Bagus, kalau engkau sudah mengerti. Sekarang coba kau bersilat pedang, hendak kulihat sampai di mana kemajuanmu.” Ayah dan ibu itu sudah mandi keringat ketika mengeroyok Bun Houw tadi, akan tetapi Bun Houw hanya berkeringat di leher dan dahi saja, dan sama sekali tidak kelihatan lelah. Dia mengangguk, meloncat ke tengah ruangan, mencabut pedangnya dan mulailah dia bersilat pedang. Mula-mula Kwee Kin Ta dan tiga orang sutenya masih dapat mengenal gerakan pedang yang indah dari ilmu pedang Cin-ling-pai yang juga mereka kuasai, kemudian meningkat kepada Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut yang gerakannya membuat pedang itu berubah menjadi gulungan sinar yang selalu bersilang-silang dan memang keistimewaan Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut adalah gerakannya yang bersilang, akan tetapi ketika makin lama Bun Houw mempercepat gerakannya dan merobah ilmu pedangnya, empat orang murid tertua dari Cin-ling-pai itu menjadi bengong karena selain mata mereka menjadi silau, juga mereka tidak mampu lagi mengenal ilmu pedang yang dimainkan oleh Bun Houw. Yang tampak hanya gulungan sinar pedang dan angin menyambar-nyambar, bahkan mereka yang berada di sudut ruangan itu dapat merasakan sambaran angin dingin itu. Setelah Bun Houw menghentikan permainan pedangnya, Cia Keng Hong mengangguk-angguk. Tadi dia sudah saling berbisik dengan isterinya bahwa ilmu kepandaian putera mereka itu sudah cukup tinggi dan boleh diandalkan untuk putera mereka pergi menentang bahaya mencari dan merampas kembali pusaka Cin-ling-pai. “Baiklah, engkau boleh pergi mencari mereka dan merampas kembali pedang kita, Houw-ji. Akan tetapi ingatlah baik-baik bahwa hanya ilmu silat tinggi saja masih belum cukup kuat untuk menjaga diri. Engkau harus berhati-hati terhadap segala macam tipu muslihat lawan yang curang dan untuk menghadapi itu bekalnya hanyalah ketenangan dan kewaspadaan.” Selama dua hari beristirahat di Cin-ling-san, tiada hentinya Bun Houw menerima nasibat dan pesan dari ayah dan bundanya tentang keadaan di dunia kang-ouw, tentang kecurangan-kecurangan para tokoh kaum sesat dengan menceritakan pengalaman mereka di waktu muda. Biarpun puteranya itu sudah pula mewarisi ilmu pukulan beracun Ngo-tok-ciang, akan tetapi karena maklum betapa banyaknya ahli tentang racun di dunia kaum sesat, Sie Biauw Eng lalu memberikan tusuk kondenya yang berbentuk bunga bwee kepada puteranya. “Setiap makanan atau minuman yang mencurigakan, kaucoba dengan ujung tusuk konde ini. Kalau ujungnya berwama hijau, di situ terdapat racun yang membius atau memabokkan, kalau berwama hitam, terdapat racun yang mematikan,” pesannya. Setelah beristirahat dua hari, maka berangkatlah Cia Bun Houw meninggalkan Cin-ling-san untuk menyelidiki tentang Lima Bayangan Dewa, membawa bekal pakaian, uang, dan pedangnya. Sehari setelah dia berangkat, Kwee Kin Ta dan tiga orang sutenya juga berpamit dari guru dan ketua mereka untuk berusaha mencari jejak musuh-musuh besar itu dan mengingat akan kedukaan dan kehilangan para muridnya ini, Cia Keng Hong tidak tega untuk menolak. Maka berangkat pulalah empat orang tua ini dan mereka berempat sudah bersepakat bahwa mereka tidak akan kembali ke Cin-ling-pai sebelum tugas mereka berhasli, yaitu mendapatkan di mana adanya musuh-musuh besar itu, membalas dendam dan merampas kembali pedang pusaka. Cia Keng Hong sendiri bersama isterinya yang sudah berusia lanjut itu menanti di Cin-ling-san dan hanya dapat berprihatin sambil menjaga kalau-kalau ada musuh lagi yang datang mengacau Cin-ling-pai. *** In Hong memasuki pasar di kota I-kiang itu sambil melihat-lihat orang berjual beli. Pasar itu cukup ramai, penuh dengan orang berdagang sayur-mayur dan buah-buahan. Terutama sekali di bagian ikan, bukan main ramainya dan juga baunya amis karena pasar itu merupakan pusat perdagangan ikan hasil kaum nelayan di Sungai Yang-ce-kiang karena kota I-kiang itu memang merupakan kota pelabuhan sungai besar itu. Mungkin telah menjadi watak seluruh wanita di dunia ini, mereka suka sekali untuk mengunjungi pasar, berbelanja atau hanya melihat-lihat saja! In Hong agaknyapun tidak terkecuali. Dia suka sekali memasuki pasar untuk sekedar melihat-lihat dan kadang-kadang membeli buah-buahan atau apa saja yang menarik hatinya. Demikian pula ketika perantauannya membawa dia ke I-kiang dan kebetulan dia melewati sebuah pasar yang ramai, dia tertarik dan memasuki pasar itu, berdesak-desakan dengan orang-orang lain yang sebagian besar adalah wanita-wanita berbelanja. Setelah membeli beberapa biji buah apel yang merah dan kelihatan segar, In Hong lalu memasuki bagian perdagangan ikan yang ramai dan penuh orang. Kiranya, di situ memang pusatnya, bukan hanya perdagangan eceran, melainkan partai besar dan di sini terdapat banyak pedagang dari luar kota yang datang untuk memborong banyak ikan dan akan dibawa keluar kota. Ratusan keranjang ikan ditimbang dan ramai orang bercakap-cakap. Mereka semua sibuk dengan urusan mencari untung sehingga kemunculan seorang dara cantik seperti In Hong pun tidak begitu menarik perhatian secara menyolok. Tiba-tiba In Hong menahan senyumnya. Dia mengenal seorang laki-laki tua bertopi, yang menyelinap di antara benyak orang yang sedang menimbang ikan-ikan dalam keranjang itu. Dia lalu mendekati sambil menyelinap di belakang orang-orang dan mengikuti gerak-gerik laki-laki tua bertopi itu dengan pandang matanya. Hampir saja dia tertawa geli ketika melihat pemandangan itu. Seorang laki-laki gendut berpakaian mewah, agaknya seorang juragan ikan yang kaya, agaknya seorang pendatang dari kota lain yang sengaja memborong ikan-ikan di situ, mengalahkan lain pedagang karena dia berani membayar lebih tinggi, berdiri di antara orang banyak dengan lagak sombong seorang yang merasa lebih berkuasa daripada orang lain dan memang di pasar itu dia berkuasa dengan uangnya. Laki-laki tua bertopi itu longak-longok, menyelinap ke belakang pedagang gendut itu dan dia bersembunyi di belakang beberapa orang yang berada di belakang si pedagang gendut. Akan tetapi lucunya, lengan kakek bertopi itu dapat menyusup seperti seekor ular melalui belakang tubuh orang lain dan tahu-tahu tangannya telah tersembul di atas kantong baju si pedageng gendut! In Hong tersenyum dan hampir terbatuk-batuk karena saat itu dia sedang makan apel yang manis. Karena geli hatinya hampir saja buah apel yang digigitnya itu salah masuk. Sambil memandang dan mengikuti gerak-gerik kakek bertopi itu, In Hong menjepit biji apel yang kecil dengan jari tangannya, menanti sampai tangan yong seperti kepala ular itu merayap memasuki kantong baju si pedagang gendut, kemudian tiba-tiba dia menyentil dengan jari tangannya. “Tukk... auuhhh...!” Pencopet tua itu menjerit akan tetapi cepat menahan suaranya dan menutupi mulutnya sambil menggosok-gosok punggung tangannya yang menjadi merah dan terasa panas dan nyeri sekali. Semua orang menengok, akan tetapi mereka hanya melihat seorang kakek bertopi terbatuk-batuk, menutupi mulutnya, agaknya kumat batuknya karena bau ikan yang amis itu, maka dia tidak lagi menjadi perhatian orang. Kakek bertopi itu bersungut-sungut dan dengan mulut cemberut dia menoleh ke kanan dari mana tadi sebuah benda kecil menyambar tangannya. Matanya terbelalak dan tiba-tiba dia tertawa, lalu mendesak orang di kanan kirinya untuk lari menghampiri In Hong. Banyak orang memakinya gila, tadi terbatuk-batuk keras dan kini lari mendorong orang ke kanan kiri. Entah bagaimana, melihat wajah Jeng-ci Sin-touw Can Pouw, tiba-tiba saja hati In Hong terasa gembira dan tadi dia memang menggoda pencopet lihai itu. “Hemmm... si seniman kembali mempertunjukkan kemahiran seninya!” In Hong mengejek. “Sssttt... lihiap, mari kita bicara di luar pasar...” Kakek itu mendahului dan melihat sikapnya yang sungguh-sungguh itu, biarpun hatinya merasa geli, In Hong mengikutinya juga. Mereka tiba di tempat sunyi dan kakek itu memandang In Hong sambil menghela napas panjang. “Wah, aku telah gagal total! Lihiap tahu apa yang berada di kantongnya itu? Seuntai kalung mutiara yang mahal, agaknya dibelinya dari toko untuk diberikan kepada isteri mudanya yang entah keberapa.” In Hong menggeleng kepala. “Paman Can Pouw, kulihat engkau adalah seorang yang cerdik dan pintar, apakah engkau tidak bisa bekerja lain untuk mendapat penghasilan kecuali mencopet dan mencuri?” “Tentu saja bisa, akan tetapi,ahh... seninya itu! Lihiap tidak dapat merasakan betapa nikmat rasa hatiku di waktu mencopet. Tegang, penuh harapan, penuh hal yang tak terduga-duga, penuh dugaan apa gerangan yang akan disentuh tangan setelah memasuki saku, apa yang akan dihasilkan dari jari-jari tangan yang penuh getaran perasaan, pendeknya... wah, ada seninya! Tetapi, sekali ini aku memang butuh sekali, butuh uang...” “Untuk memberi makan isterimu dan belasan orang anakmu yang kelaparan?” In Hong menggoda. Pencopet lihai itu menggeleng kepala. “Ah, bukan... bukan...! Aku tidak pernah beristeri dan tidak punya anak...” Dia teringat dan menyambung cepat, “memang kadang-kadang perlu juga berbohong untuk menyelamatkan nyawa. Akan tetapi sekali ini lihiap benar-benar merugikan aku! Aku perlu mendapatkan uang untuk membeli pakaian dan membeli barang sumbangan untuk hari ulang tahun Phoa-taihiap.” “Hemm, Phoa-taihiap?” In Hong tidak mengerti. “Ah, benar! Lihiap sebaiknya ikut bersamaku ke sana! Phoa-taihiap dikenal oleh semua golongan, baik golongan putih maupun golongan hitam. Tentu kedua golongan akan bertemu di sana dan akan terjadi hal-hal yang menarik, apalagi setelah terjadinya geger di Cin-ling-pai itu. Siapa tahu kalau-kalau fihak Cin-ling-pai dan fihak Lima Bayangan Dewa, setidaknya kerabat-kerabat mereka, akan hadir di Wu-han.” “Wu-han?” “Aihhhh, aku lupa. Lihiap yang luar biasa lihainya ini ternyata masih belum berpengalaman apa-apa. Ketika aku berpisah dari lihiap dan kutanya-tanyakan, tidak ada seorangpun tokoh kang-ouw yang mengenal nama lihiap, padahal kepandaian lihiap sudah setinggi langit! Phoa-taihiap adalah Phoa Lee It, seorang tokoh Go-bi-pai yang tersohor dengan ilmu pedangnya Go-bi Kiam-sut, juga dua orang puteranya terkenal gagah perkasa dan tampan. Kini Phoa-taihiap merayakan hari ulang tahun dan mengundang semua orang gagah dari kedua golongan, agaknya selain untuk mempererat perkenalan, juga untuk mencarikan jodoh bagi kedua orang puteranya, demikian agaknya. Kesempatan baik bagi lihiap, mari bersamaku pergi mengunjungi perayaan itu di rumahnya, yaitu di kota Wu-han.” In Hong mengerutkan alisnya. Dia sama sekali tidak tertarik. “Akan tetapi aku tidak diundangnya.” “Akupun tidak, lihiap! Siapa yang membutuhkan undangan? Sudah menjadi lazim dalam perayaan seorang tokoh, kaum kang-ouw berdatangan dan membawa sekedar sumbangan untuk ditukar dengan hidangan, ha-ha-ha!” “Paman Can, jangan kau main-main. Ceritakan yang sebenarnya, bagaimanakah kebiasaan itu dan mengapa pula paman mengajak aku untuk mengunjungi perayaan itu?” “Lihiap, mari kita bicara sambil makan di rumah makan itu. Ayam panggangnya enak sekali dan perutku sudah lapar. Kita duduk makan sambil bercakap-cakap, lebih enak daripada berdiri begini, bukan?” In Hong mengangguk dan setelah tiba di dekat restoran, Can Pouw berbisik, “Bekal uang emas dan perak lihiap itu masih ada, bukan?” In Hong memandang tajam dan mengangguk. “Syukurlah, aku sedang tidak mempunyai uang sama sekali,” si pencopet berkata menyeringai. In Hong tersenyum. Hidup menjadi ramai den gembira kalau dekat dengan tukang copet ini. Mereka makan minum sambil bercakap-cakap atau lebih tepat lagi, In Hong mendengarkan penuturan tukang copet itu. “Wah, banyak yang terjadi semenjak kita berpisah, nona,” katanya, kadang-kadang menyebut siocia (nona) dan kadang-kadang menyebut lihiap (pendekar wanita). “Lima Bayangan Dewa telah mengumpulkan tokoh-tokoh dunia hitam, agaknya hendak memperkuat kedudukannya. Mereka malah tidak tampak berada di sarang mereka yang dikosongkan, tentu sedang pergi ke sana-sini mengumpulkan kekuatan. Dan belum terdengar ada gerakan apa-apa dari Cin-ling-pai! Akan tetapi keadaan dunia kang-ouw panas dan tegang, seolah-olah menanti terjadinya bentrokan yang hebat sebagai akibat dicurinya Siang-bhok-kiam dari golongan putih oleh gologan hitam. Maka, perayaan di rumah Phoa Lee It ini merupakan kesempatan baik untuk melihat-lihat! Nona lihai sekali, sayang kalau tidak bertemu dengan tokoh-tokoh dan datuk-datuk dunia kang-ouw. Marilah pergi bersamaku, lihiap, asal engkau suka menanti sebentar. Aku akan mencari uang dulu untuk membeli pakaian baru dan barang hantaran.” “Dengan mencuri?” Can Pouw menggeleng. “Hanya menggunakan seni memindahkan barang orang yang lengah.” In Hong tersenyum. “Aku mau pergi bersamamu untuk melihat-lihat, akan tetapi dengan janji bahwa selama engkau melakukan perjalanan dengan aku, engkau dilarang mencopet atau mencuri, dengan istilah apapun hendak kaunamakan. Aku mempunyai cukup uang untuk membeli pakaianmu dan sekedar barang hantaran.” Jeng-ci Sin-touw Can Pouw menjadi berseri mukanya dan matanya bersinar-sinar. “Bagus...! Aku girang sekali, lihiap! Soal berhenti bekerja sementara waktu tidak mengapa. Akan tetapi melakukan perjalanan dengan lihiap, hadir di sana bersama lihiap merupakan kehormatan besar sekali bagiku!” Jeng-ci Sin-touw Can Pouw adalah seorang perantau yang selamanya hidup membujang. Mudah mencari uang dengan jalan menggunakan kepandaiannya yang lihai, akan tetapi mudah pula membuangnya. Dia sudah bosan akan segala macam kesenangan, dan kebiassannya mencopet atau mencuri hanya untuk memenuhi kegatalan tangannya saja. Bahkan seringkali, hasil dari pencuriannya itu dia bagi-bagikan kepada orang miskin tanpa mereka ketahui pula, dan dia tetap tinggal miskin. Kini, bertemu dengan seorang dara yang memiliki kepandaian amat hebat dan dia sudah menyaksikan ini, dia menjadi tertarik dan suka serta sayang sekali seperti rasa sayang seorang ayah kepada anaknya. Ada sesuatu yang menarik pada diri gadis ini, entah sikapnya yang dingin, ketidak acuhannya terhadap dunia, kecantikannya yang luar biasa atau kepandaiannya yang amat tinggi itu. Pendeknya, Can Pouw merasa girang sekali dapat berkenalan dengan dara ini, apalagi mendapat kesempatan untuk melakukan perjalanan bersama dan mengunjungi perayaan bersama. Jeng-ci Sin-touw Can Pouw selain memiliki “seribu jari tangan” juga mempunyai ketajaman pandangan dan pendengaran yang luar biasa, di samping hubungannya memang banyak dan erat dengan semua tokoh di dunia kang-ouw. Maka segala keterangan yang diberikannya kepada In Hong mengenai Phoa Lee It di Wu-han itu tidak banyak selisihnya dengan kenyataan. Phoa Lee It adalah seorang tokoh dari partai Go-bi-pai yang besar dan terkenal. Sudah belasan tahun dia tinggal di Wu-han, membuka perusahaan piauw-kiok (pengawal barang kiriman atau pelancong) yang memakai nama Go-bi Sam-eng (Tiga Pendekar Go-bi) dan karena hubungannya dengan semua fihak di dunia kang-ouw, baik dari kalangan pendekar maupun golongan penjahat amat eratnya, maka selama dia menjalankan pekerjaannya ini tidak ada yang mau mengganggu. Para penjahat tidak ada yang mau mengganggu semua barang kawalannya, karena selain amat berbahaya bermusuhan dengan Phoa Lee It dan dua orang puteranya yang memiliki kepandaian tinggi, juga setiap kali mereka minta sumbangan kepada piauw-kiok ini pasti akan dipenuhi. Juga orang she Phoa ini selalu membuka tangannya terhadep para tokoh kang-ouw yang membutuhkan bantuan, maka diapun terkenal sebagai seorang yang pandai bergaul dan gagah perkasa. Seperti telah diceritakan di bagian depan, peristiwa pencurian Siang-bhok-kiam dari Cin-ling-pai dan pembunuhan atas diri anggauta-anggauta Cap-it Ho-han menggegerkan dunia kang-ouw dan tentu saja ada fihak yang membela Cin-ling-pai, ada pula yang membela Lima Bayangan Dewa! Melihat ketegangan dan bahaya perpecahan secara terbuka ini di dunia kang-ouw. Phoo Lee It sendiri menjadi cemas, maka timbullah niat di hatinya untuk mengadakan perayaan ulang tahun perusahaannya yang sudah dua windu (enam belas tahun) lamanya dengan selamat, dan mengundang semua tokoh kang-ouw dan liok-lim (para perampok) baik dengan undangan khusus atau dengan undangan umum untuk hadir dalam perayaan itu. Di samping untuk membuyarkan suasana tegang di antara orang kang-ouw di daerahnya yang akan mengganggu pekerjaannya, juga pendekar yang menjadi piauwsu int ingin sekali bertemu dengan sahabat-sahabat lama, para tokoh besar di dunia persilatan dengan maksud mencarikan jodoh bagi kedua orang puteranya yang sudah lebih dari dewasa. Phoa Lee It adalah seorang duda dengan dua orang anak laki-laki yang mewarisi ilmu kepandaiannya, bahkan selama bertahun-tahun ini kedua orang puteranya itulah yang mewakili dia melakukan pengawalan terhadap barang-barang kiriman yang berharga. Yang pertama bernama Phoa Kim Cai, seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun, bertubuh tinggi besar seperti ayahnya, tampan dan gagah seperti tokoh sejarah Bu Siong, sikapnya kasar, terbuka dan jujur. Adapun putera kedua bernama Phoa Kim Sui, tubuhnya sedang dan wajahnya tampan halus seperti mendiang ibunya, juga seperti kakaknya, amat lihai bermain silat pedang Go-bi Kiam-sut, hanya sikapnya berbeda dengan kakaknya, dia halus dan agak pendiam. Pada hari yang ditentukan untuk perayaan itu, sejak pagi sekali dua orang pemuda itu sudah menyambut datangnya para tamu di ruangan depan, sedangkan ayah mereka menyambut di bagian dalam, mempersilakan para tamu duduk dan tentu saja hanya para tokoh besar yang dipersilakan duduk di bagian kehormatan, yaitu tempat teratas di dekat tempat duduk tuan rumah. Beberapa orang pimpinan piauw-kiok itu, para pembantu keluarga Phoa, menerima sumbangan-sumbangan yang diatur di atas meja. Dan tepat seperti diduga semula, banyak sekali tamu yang datang, dan kedatangan mereka itu bukan semata-mata karena hubungan perkenalan mereka dengan Phoa piauwsu, akan tetapi terutama sekali terdorong oleh keinginan mereka menemui tokoh-tokoh dari dua golongan berhubung dengan terjadinya peristiwa mengegerkan di dunia kang-ouw itu, terutama sekali ketika terdapat berita angin bahwa Phoa-piauwsu juga mengundang keluarga darl Cin-ling-pai! Jeng-ci Sin-touw Can Pouw, Si Malaikat Copet yang banyak akal itu pagi-pagi telah mengajak In Hong datang ke tempat pasta. In Hong mengenakan pakaian bekalnya yang agak baru dan meninggalkan buntalan pakaiannya di rumah penginapan, hanya membawa pedangnya saja dan memakai burung hong kemala di kepalanya. Can Pouw yang kelihatan gembira sekali itu mengenakan pakaian baru yang dibelikan oleh In Hong dan sebelum berangkat dia berkata, “Bagus sekali! Tanpa kuperkenalkan, tentu semua orang mengenal burung hong di rambutmu itu, lihiap.” “Hemm, aku tidak hendak membawa-bawa Giok-hong-pang untuk berlagak,” In Hong berkata. “Perhiasan ini kupakai karena ini pemberian subo dan aku suka memakainya. Harap kau jangan menyebut-nyebut Giok-hong-pang kepada orang lain, paman.” “Baik, baik... engkau memang seorang dara yang luar biasa dan aneh, lihiap, mari kita berangkat.” Phoa Kim Cai dan Phoa Kim Sui menyambut mereka dengan penuh hormat dan kedua orang pemuda itu tentu saja mengenal Jeng-ci Sin-touw. “Selamat pagi, Sin-touw,” Phoa Kim Cai menyambut dengan senyum gembira. “Kami girang sekali menerima kunjungan Malaikat Copet, asal seribu jari tanganmu jangan gatal-gatal di sini, Sin-touw!” Can Pouw tersenyum dan menoleh kepada In Hong. “Lihat, betapa gagah dan ramahnya putera-putera tuan rumah, lihiap!” In Hong hanya membalas penghormatan mereka dengan mengangkat kedua tangan di depan dada dan memandang tak acuh. “Sin-touw, harap kau suka memperkenalkan nona ini kepada kami!” tiba-tiba Phoa Kim Cai berkata. “Ha-ha-ha, dia ini adalah... keponakanku bernama Yap In Hong. Lihiap, ini adalah putera pertama tuan rumah. Phoa Kim Cai kongcu dan ini adiknya, Phoa Kim Sui kongcu.” Kembali In Hong membalas penghormatan mereka dan Phoa Kim Sui berkata dengan sikap hormat dan halus, “Silakan siocia duduk di dalam!” In Hong hanya mengangguk dan diiringkan oleh Can Pouw yang berjalan di sebelahnya dengan lagak bangga, membusungkan dadanya yang kerempeng, tidak tahu bahwa topinya agak miring di atas kepalanya sehingga dia kelihatan lucu sekali. In Hong bersikap dingin ketika tadi melihat betapa dua pasang mata tuan rumah itu memandang kepadanya dengan penuh kekaguman. Hemm, biar kalian sepuluh kali lebih gagah dan tampan, aku tidak perduli, bisik hatinya yang merasa tidak senang melihat pandang mata mereka itu. “Paman, engkau masih saja menyebutku lihiap,” In Hong berbisik. Mereka sudah bersepakat untuk mengaku keponakan dan paman, akan tetapi karena pencopet itu selalu menyebut lihiap kepadanya, tentu saja mengertilah dua orang pemuda tadi bahwa hubungan paman dan keponakan itu hanya aku-akuan saja. Apalagi pencopet tua itu jelas begitu membanggakan dara yang luar biasa cantiknya itu. Phoa Lee It menyambut mereka dan karena piauwsu ini sudah lama tidak pernah keluar, dia tidak mengenal Jeng-ci Sin-touw yang datang bersama seorang nona muda yang cantik. Melihat gerak-gerik Can Pouw dan karena tidak mengenalnya sebagai tokoh besar, maka dia lalu mempersilakan pencopet itu duduk di ruangan biasa bersama tamu-tamu lain. In Hong menganggapnya biasa saja, akan tetapi diam-diam Can Pouw mengomel panjang pendek. “Aku boleh dia suruh duduk di sini, akan tetapi engkau? Ruangan kehormatan itupun masih kurang layak bagimu!” “Ssttt... paman, mengapa mengomel tidak karuan? Aku tidak ingin duduk di sana,” In Hong menegur dengan hati geli “Eh, ke mana bungkusan hadiah sumbangan kita?” Can Pouw mengeluarkan bungkusan itu dari balik jubahnya. “Kalau kita tidak diberi tempat di sana, aku juga tidak akan menyerahkan ini!” “Hushh, paman Can, engkau membikin kita malu saja. Hayo cepat berikan berang sumbangan itu kepada penjaganya. Lihat, setiap orang yang datang, menyerahkan bungkusan, akan tetapi kita sendiri tidak! Si penjaga sudah sejak tadi memandang ke arah kita saja.” Ucapan gadis ini memang benar. Tiga orang penjaga dan penerima sumbangan sejak tadi memandang ke arah mereka akan tetapi bukan karena mereka belum menyerahkan sumbangan, melainkan karena mereka kagum dan menduga-duga siapa gerangan dara cantik jelita yang datang bersama Si Malaikat Copet itu. Sambil bersungut-sungut Can Pouw bangkit berdiri, akan tetapi pada saat itu terdengar suara berisik mengikuti masuknya sepasang tamu baru yang menarik perhatian. Semua orang memandang penuh perhatian ketika laki-laki dan wanita itu memasuki ruangan depan, disambut penuh penghormatan oleh kedua orang putera tuan rumah lalu diantar masuk. In Hong juga memandang penuh perhatian. Wanita itu cantik luar biasa, cantik den gagah penuh semangat dan agak angkuh memandang ke kanan kiri dengan cara menggerakkan matanya melirik dan menyambar-nyambar penuh selidik. Di pinggangnya tergantung sebatang pedang yang sarungnya terukir indah, pakaiannya juga dari sutera indah dengan bentuk yang ketat sehingga mencetak tubuhnya yang sudah matang dengan lekuk lengkung sempurna itu. Wanita itu sebetulnya sudah berusia tiga puluh lima tahun, namun bentuk tubuhnya padat dan ramping seperti tubuh gadis remaja saja. Di sampingnya berjalan seorang pria yang bertubuh tingg! besar seperti tokoh Kwan Kong, sikapnya pendiam, wajahnya taopan, tampan dan ganteng, pakaiannya sederhana dan di pinggangnya juga tergantung sebatang pedang. Dari sikap dan gerak-gerik mereka mudah saja diduga bahwa suami isteri ini adalah orang-orang gagah yang memiliki kepandaian tinggi dan nama besar. “Mereka siapa...?” In Hong tertarik sekali dan bertanya kepada Can Pouw ketika rombongan suami isteri ini menyerahkan sebuah bingkisan kepada para penjaga penerima sumbangan. “Engkau tidak mengenalnya...? Eh, ya, sampai lupa aku siapa engkau yang sama sekali belum mengenal orang-orang kang-ouw. Wanita gagah itulah puteri ketua Cin-ling-pai, kepandaiannya hebat bukan main dan pria itu adalah suaminya, seorang yang lihai bernama Lie Kong Tek. Mereka tinggal di dekat kota ini, yaitu di Sin-yang, dekat Sungai Huai, di kaki Bukit Tapie-san, terhitung tetangga dengan kota ini. Merekalah yang menjadi sumber perhatian karena mereka keluarga Cin-ling-pai.” In Hong tidak mendengarkan lagi dan memandang kepada wanita itu penuh perhatian. Kiranya itulah puteri ketua Cin-ling-pai dan dia teringat akan pertemuannya dengan kakak kandungnya. Dia dijodohkan dengan putera Cin-ling-pai? Tentu adik dari wanita cantik ini! Siapa namanya? Dia mengingat-ingat dan akhirnya teringat juga, nama putera Cin-ling-pai itu adalah Cia Bun Houw! “Siapa namanya...?” Dia berbisik lagi. “Nama siapa? Ah, puteri Cin-ling-pai itu? Dia hanya terkenal sebagai nyonya Lie, akan tetapi aku tahu bahwa nama aslinya adalah Cia Giok Keng. Ilmu pedangnya dan ilmunya mainkan sabuk merah tidak ada tandingannya di dunia, bahkan suaminya sendiri kalah jauh dalam ilmu silat dibandingkan dengan dia!” Phoa Lee It menyambut suami isteri keluarga Cin-ling-pai itu dengan penuh penghormatan, membungkuk-bungkuk dan mempersilakan mereka duduk di tempat kehormatan! “Huh, menjilat-jilat...!” In Hong berkata lirih tanpa disengaja. “Hemm... memang, akan tetapi biarlah, tunggu saja!” Malaikat Copet itu membawa bungkusan hadiahnya dan melangkah. “Ke mana kau?” “Menyerahkan hadiah, kautunggu di sini!” Dia lalu pergi, diikuti pandang mata In Hong. Gadis ini menduga bahwa si pencopet tentu akan melakukan sesuatu, entah apa, karena dia dapat melihat ini dalam sikapnya yang begitu bersungguh-sungguh dan agaknya dia mendongkol atau marah sekali melihat betapa tuan rumah menyambut tamu lain begitu menghormat dan menjilat sedangkan mereka berdua “dilempar” ke tempat tamu biasa. Dia melihat Can Pouw menghampiri meja tempat penerima hadiah, bahkan setelah dicatatkan namanya lalu menumpuk sendiri bungkusan itu di atas meja di antara hadiah-hadiah lain, dan pencopet itu bercakap-cakap dan beramah-tamah dengan para piauwsu yang menjaga di situ, menuding dan agaknya memeriksa nama-nama pada kartu nama yang terdapat di bungkusan-bungkusan hadiah itu. Kemudian, sambil tersenyum-senyum ramah ia mengangguk, kemudian meninggalkan meja itu, bukan untuk kembali kepada In Hong, melainkan untuk menuju ke ruangan kehormatan di atas! Phoa Lee It memandangnya, akan tetapi dia mengangguk dan menuding ke arah seorang nenek tua yang duduk juga di ruangan kehormatan itu bersama seorang gadis remaja cantik yang melihat pakaiannya adalah seorang gadis Suku Bangsa Tibet. Phoa Lee It mengangguk karena si pencopet itu menyatakan hendak menemui nenek itu yang tentu saja adalah seorang tokoh besar yang dikenal baik oleh tuan rumah. Nenek itu bukan lain adalah Go-bi Sin-kouw! Seorang tokoh di Go-bi-san yang terkenal sekali sebagai seorang datuk golongan hitam. Nenek ini usianya sudah tujuh puluh tahun lebih, tubuhnya sudah agak bongkok, pakaiannya dari sutera serba hitam dan tangan kanannya memegang sebatang tongkat butut, wajahnya bengis penuh keriput dan sepasang matanya hampir tidak nampak bersembunyi di dalam rongga mata yang cekung, mulutnya seringkali bergerak-gerak seperti orang makan dan bibirnya sudah “nyaprut” karena mulut itu tidak bergigi lagi. Di dekatnya duduk seorang gadis cantik sekali, usianya baru lima belas tahun, berpakaian seperti gadis Tibet, dan kecantikannya adalah kecantikan khas Bangsa Tibet sehingga amat menarik perhatian. Gadis itu kelihatan diam dan bahkan agak berduka yang ditekan-tekankan, dan dia kelihatan takut kepada nenek itu yang memperkenalkannya sebagai muridnya. “Aihhh... sungguh berbahagia sekali hidupku, dapat bertemu dengan seorang tokoh besar yang namanya menjulang tinggi sampai ke angkasa! Locianpwe tentulah Go-bi Sin-kouw yang namanya terkenal di empat penjuru dunia bukan? Siauwte sudah menduga bahwa sebagai tokoh Go-bi, pasti locianpwe akan datang menghadiri perayaan seorang tokoh Go-bi-pai. Perkenankan siauwte, Jeng-ci Sin-touw Can Pouw menghaturkan selamat datang dan hormat.” Go-bi Sin-kouw yang sudah tua sekali itu memandang dengan matanya yang hampir tidak tampak bersembunyi di balik lipatan-lipatan kulit, dia senang juga menyaksikan sikap ramah luar biasa dari laki-laki yang mukanya kelihatan ramah menyenangkan ini, apalagi ketika mendengar julukannya. Ehe, kau pencopet? Heh-heh, pencopet yang ramah. Duduklah di sini, matamu awas benar dapat mengenal aku.” Go-bi Sin-kouw yang biasanya galak itu kini menjadi lunak hatinya oleh sikap Can Pouw. Can Pouw menghaturkan terima kasih dan duduklah dia di atas ruangan kehormatan itu dan sebentar saja In Hong dari jauh melihat dia asyik bercakap-cakap sekali dengan nenek itu, bahkan si gadis Tibet yang cantik manis itupun terbawa-bawa dalam percakapan. In Hong tersenyum di hatinya. Memang dia tahu betapa pandainya “pamannya” tukang copet itu dalam pergaulan, pandai menarik hati orang dan pandai pula bersahabat. Sampai lama mereka bercakap-cakap, kadang-kadang diseling pencopet itu tertawa dan memandang kepada si nenek dengan sinar mata kagum penuh pujian, bahkan nenek itupun kadang-kadang tersenyum lebar. Juga In Hong melihat betapa mereka itu kadang-kadang melirik ke arah keluarga Cin-ling-pai seolah-olah sedang membicarakan mereka itu. Setelah lama bercakap-cakap dengan nenek itu yang membuat para tamu lainnya terheran juga mengapa seorang tamu dari ruangan biasa beromong-omong begitu akrabnya dengan seorang tamu ruangan kehormatan, akhirnya Can Pouw kembali ke tempatnya dan ketika berjalan dia mengangkat muka membusungkan dada seolah-olah hendak berkata bahwa tuan rumah telah keliru menempatkan dia di ruangan biasa! Akan tetapi Phoa Lee It bersikap tak acuh karena dia merasa bertindak benar. Dia tidak mengenal orang bertopi itu yang datang bersama seorang gadis cantik yang juga tidak terkenal, bagaimana dia dapat menerima mereka sebagai tamu kehormatan? Juga agaknya para piauwsu yang mengenal orang ini menganggapnya tamu biasa, kalau tidak tentu mereka sudah melapor kepadanya agar kesalahan itu dapat dibetulkan. Dan memanglah, siapa di antara para piauwsu yang menganggap bahwa pencopet ini seorang tamu agung? Ketika duduk kembali dekat In Hong, dengan suara bisik-bisik dan wajah sungguh-sungguh Can Pouw berkata, “Wah, ada berita hebat! Kau tahu siapa dara Tibet yang manis sekali yang duduk bersama nenek hitam itu? Dia itu adalah tunangan darl putera ketua Cin-ling-pai!” “Ehh...?” In Hong cepat menekan debar jantungnya dan bersikap biasa lagi, seolah-olah dia hanya tercengang mendengar berita penting akan tetapi yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya. “Hemm, tentu ketua Cin-ling-pai itu banyak sekali anaknya.” “Ah, tidak sama sekali. Hanya ada dua orang, yang pertama adalah nyonya gagah itu dan yang kedua adalah seorang pria, adik nyonya itu yang kabarnya memiliki ilmu kepandaian lebih hebat lagi dan berguru kepada seorang suci yang sakti di Tibet.” “Hemm, agaknya engkau tahu segala hal mengenai Cin-ling-pai, paman. Tentu kau mengenal pula nama puteranya itu.” “Tentu saja! Tidak percuma aku menyelidiki setelah terjadi peristiwa menggegerkan itu. Namanya adalah Cia Bu Houw dan... eh, kau kenapa?” “Tidak apa-apa, aku sudah muak mendengar kau bercerita terlalu banyak tentang keluarga orang lain. Sekarang ceritakan tentang nenek itu. Menyeramkan benar, siapa sih dia?” “Dia itu adalah seorang datuk kaum hitam yang luar biasa! Dialah Go-bi Sin-kouw! Kaulihat betapa dia bercakap-cakap dengan akrab tadi denganku? Ha-ha, dia menceritakan segala hal sampai-sampai ketika secara kebetulan dia menemukan gadis Tibet yang manis itu. Gadis yang cantik sekali, cantik dan lembut, kecantikan yang asli dan khas, pantas saja putera ketua Cin-ling-pai itu tergila-gila. Ha-ha-ha! Dan sekarang pacarnya itu menjadi murid Go-bi Sin-kouw, betapa lucu dan anehnya dunia ini!” In Hong tidak bicara lagi, diam saja untuk menenangkan hatinya yang bergelora. Dia sendiri merasa heran mengapa hatinya menjadi panas dan sakit mendengar bahwa putera ketua Cin-ling-pai telah mempunyai pacar! Dia bukan cemburu, hanya merasa terhina. Sudah mempunyai pacar, seorang kekasih gadis Tibet yang cantik manis, tidak malu untuk melamar dia menjadi calon jodoh! Hatinya panas dan dia mulai memandang ke arah keluarga Cin-ling-pai yang hadir di situ tidak seperti tadi, penuh kagum, kini menjadi dingin dan disertai senyum mengejek. Gadis Tibet yang cantik manis itu memang bukan lain adalah Yalima, puteri kepala dusun yang menjadi sahabat baik Cia Bun Houw itu! Bagaimana tahu-tahu dia bisa datang sebagai tamu di tempat pesta perayaan Phoa Lee It bersama dengan seorang nenek iblis seperti Go-bi Sin-kouw itu? Seperti telah kita ketahui, dara remaja ini hancur perasaan hatinya ketika ditinggal pergi oleh Cia Bun Houw yang harus memenuhi panggilan orang tuanya meninggalkan Tibet, kembali ke Cin-ling-san. Dan lebih celaka lagi baginya, dua hari setelah pemuda yang dicintanya itu pergi, ayahnya menyatakan bahwa dia akan diajak pergi ke Lhasa, dipersembahkan kepada seorang pangeran tua. “Akan tetapi, ayah...” Dia membantah. “Ayah sudah berjanji kepada Houw-koko untuk tidak membawaku ke Lhasa!” “Hemm, kau tahu apa! Aku berjanji kepadanya hanya memenuhi perintah Kok Beng Lama dan aku tidak melanggar janji. Aku berjanji tidak akan membawamu ke Lhasa selama dia berada di sini. Sekarang dia tidak lagi berada di sini, maka aku boleh melakukan apa saja terhadap anak perempuanku sendiri. Dan dia itupun seorang laki-laki tidak bertanggung jawab. Kalau memang dia cinta kepadamu, mengapa dia tidak melamar kepadaku dan membawamu ke negerinya?” Yalima tidak dapat membantah lagi dan dia lari ke kamarnya, menangis sehari penuh, sampai air matanya tidak ada lagi. Dan pada malam hari itu juga, gadis yang sudah terperosok ke dalam perangkap cinta ini dengan nekat lalu minggat meninggalkan rumah dan dusunnya, pergi menuju ke timur dengan niat di hati akan menyusul dan mencari Cia Bun Houw, kekasihnya dan satu-satunya orang yang dapat diharapkan akan menolongnya! Yalima adalah seorang gadis Tibet asli yang sudah biasa hidup di pegunungan, biasa pula berjalan naik turun bukit. Akan tetapi perjalanan yang dilakukannya tanpa persiapan, dengan nekat dan dengan hati penuh duka dan kecemasan, melalui daerah-daerah yang liar dan buas, perjalanan yang amat sukar ini, membuat dia mengalami kesengsarean lahir batin yang amat hebat. Dia tidak tahu arah jalan, hanya mengikuti arah dari mana matahari timbul, makan seadanya asal tidak kelaparan, dan melewatkan malam-malam gelap mengerikan seorang diri saja di dalam hutan-hutan lebat, bersembunyi di antara daun-daun di pohon-pohon besar. Dia pergi hanya membawa buntalan pakaiannya dan tidak membawa bekal lain, kecuali tekad bahwa dia akan hidup di samping Cia Bun Houw atau mati terlantar di tengah jalan! Setelah melakukan perjalanan berpekan-pekan, entah berapa lamanya dia tidak tahu lagi, pada suatu pagi di dalam hutan yang besar, dia berdiri terbelalak dan pucat, kedua kakinya menggigil ketakutan di depan seekor harimau besar yang muncul secara tiba-tiba dari rumpun alang-alang. Rasa kaget dan takut membuat gadis itu tidak lagi dapat menggerakkan kedua kakinya dan pada saat harimau itu bergerak ke depan, dia menjerit sekuat tenaganya! “Desss...! Plak-plak-plak...!” Tubuh harimau itu terlempar ke belakang ketika sinar hitam menghantamnya dan bertubi-tubi memukul kepalanya. Seorang nenek berpakaian serba hitam tahu-tahu telah berada di situ, menggunakan tongkatnya menghalau binatang buas itu. Agaknya harimau itu dapat merasakan pukulan yang amat keras, tahu bahwa nenek hitam itu berbahaya sekali, dan mungkin juga karena dia tidak terlalu lapar, maka setelah mengaum marah satu kali dia lalu membalikkan tubuhnya dan pergi dari situ. “Bangunlah...!” nenek itu berkata dalam Bahasa Tibet kepada Yalima. Yalima lalu menubruk kaki nenek itu, berlutut sambil menangis dan menghaturkan terima kasih dalam Bahasa Han karena dia melihat nenek itu bukan Bangsa Tibet. Nenek itu agak terkejut. “Hemm, engkau pandai berbahasa Han?” “Nenek yang baik, Houw-koko telah mengajarkan bahasa ini kepadaku. Nenek, engkau telah menyelamatkan nyawaku, harap selanjutnya nenek suka menolong aku yang sengsara ini...” Nenek itu adalah Go-bi Sin-kouw. Di dalam cerita Petualang Asmara telah diceritakan dengan jelas siapa adanya nenek berpakaian hitam ini. Dia adalah seorang wanita lihai yang memiliki kepandaian tinggi dan yang kini tinggal di dalam sebuah istana terpencil yang dulu menjadi milik Go-bi Thai-houw. Go-bi Sin-kouw ini adalah guru dari Pek Hong Ing, isteri pendekar Yap Kun Liong. Wataknya aneh sekali, juga kejam dan dapat melakukan apa saja menurut kesenangan hatinya sendiri. Akan tetapi dia selalu merasa sayang kalau melihat gadis cantik, karena di balik kekejaman dan kesepian hidupnya itu tersembunyi kerinduan besar akan seorang anak seorang cucu! Kini melihat keadaan gadis Tibet ini, timbul rasa sukanya dan dia lalu berkata, “Tenangkan hatimu, aku akan menolongmu. Siapakah namamu?” “Nama saya Yalima, nenek yang baik.” “Jangan sebut aku nenek yang baik, panggil aku subo (ibu guru), karena sejak sekarang engkau menjadi muridku. Maukah engkau?” “Saya akan mentaati semua perintah subo asal subo sudi menolong saya, agar kita dapat mencari Houw-koko.” “Hemm, kila lihat saja nanti. Sekarang ceritakan siapa itu Houw-koko dan mengapa engkau seorang gadis Tibet sampai tiba di tempat ini seorang diri.” Yalima lalu menceritakan riwayatnya, betapa dia adalah puteri seorang kepala dusun dan bersahabat baik dengan seorang pemuda Han bernama Cia Bun Houw. Betapa pemuda itu akhirnya dipanggil pulang oleh ayahnya dan meninggalkannya, dan dia akan dipersembahkan kepada pangeren tua oleh ayahnya, maka dia lalu minggat dan ingin mencari pemuda yang dicintanya itu. Semua dituturkannya dengan panjang lebar dan jelas kepada Go-bi Sin-kouw. Mendengar penuturan ini, Go-bi Sin-kouw menggeleng-geleng kepalanya. “Anak bodoh, apakah engkau amat mencintanya?” “Teecu (murid) mencinta Houw-koko, subo, dan lebih baik mati saja daripada tidak bertemu kembali dengan dia.” “Anak bodoh, begini percaya kepada laki-laki. Apakah kau yakin bahwa dia itu juga cinta padamu?” “Teecu yakin sekali, sungguhpun... dia tidak pernah mengatakan dengan mulutnya. Teecu merasa bahwa teecu sudah menjadi miliknya, lahir dan batin!” Melihat kenekatan gadis itu, Go-bi Sin-kouw mengerutkan dahinya. “Hemmm, betapa banyaknya wanita menjadi korban bujukan mulut manis dan palsu dari kaum pria, Yalima, siapakah sebenarnya pemuda itu? Mengapa seorang pemuda Han berada di Tibet?” “Dia bukan seorang biasa, subo. Dia dalah seorang pemuda yang memiliki kepandaian seperti dewa! Dia murid dari Kok Beng Lama...” “Haiiiii!!!” Go-bi Sin-kouw terkejut setengah mati mendengar nama pendeta Lama ini. Pernah dia bertemu dengan pendeta yang memiliki kesaktian luar biasa itu dan untung dia tidak mati di tangan manusia luar biasa itu (baca Petualan Asmara) dan kini mendengar namanya saja dia sudah merasa gentar. “Mu... muridnya? Dan sekarang ke mana pemuda itu?” Dia pulang ke Cin-ling-san...” “Eihhh...!” Untuk kedua kalinya Go-bi Sin-kouw berseru kaget. “Tahukah kau anak siapa dia dan mengapa pulang ke Cin-ling-san...?” “Houw-ko tidak menyebutkan nama ayahnya, hanya pernah mengatakan bahwa ayahnya bukan orang biasa, melainkan ketua Cin-ling-pai yang terkenal...” “Aahhh...!” Untuk ketiga kalinya nenek itu berseru kaget, membuat Yalima terheran-heran. Sampai lama nenek it tidak berkata-kata, kemudian mengangguk-angguk. Baru saja, dia telah dikunjungi oleh Hek I Sinkouw dan Lima Bayanga Dewa, dimintai bantuannya untuk menghadapi fihak Cin-ling-pai dan dia sudah menyatakan kesanggupannya. Memang sejak dahulu dia tidak suka kepada keluarga pendekar itu. Hatinya masih sakit kalau dia teringat kepada Pek Hong Ing, muridnya yang tercinta. Muridnya itu telah membalik dan tidak mentaatinya karena muridnya telah tergila-gila kepada Yap Kun Liong, seorang di antara anggauta keluarga ketua Cin-ling-pai itu bahkan kini telah menjadi isteri Yap Kun Liong. Kini dia mendengar akan usaha Lima Bayangan Dewa untuk membalas dendam dan memusuhi Cin-ling-pai, maka dia segera menyatakan setuju untuk membantu. “Sungguh hal yang amat kebetulan sekali...!” gerutunya sambil memandang gadis Tibet itu. Betapa kebetulan sekali dia bertemu dan menolong gadis ini yang ternyata adalah pacar dari putera ketua Cin-ling-pai! Dia lalu minta kepada Yalima untuk menceritakan segala tentang hubungannya dengan Cia Bun Houw secara jelas. Yalima adalah seorang gadis yang selamanya hidup di tempat sederhana dan karena itu wataknya wajar, polos dan jujur. Apalagi karena dia menganggap nenek ini sebagai penolong dan gurunya, sebagai seorang yang amat baik budi, maka dia lalu menceritakan semuanya, tentang hubungannya yang sudah sangat erat dengan Cia Bun Houw sehingga nenek itu tadinya mengira bahwa gadis itu telah menyerahkan kehormatan dirinya kepada pemuda itu. Namun Yalima menyangkalnya, hanya menceritakan dengan malu-malu tentang kemesraan yang terjadi di antara mereka dan dia bilang bahwa dia yakin akan cintanya pemuda itu kepadanya melalui pelukan dan ciuman yang dilakukan pemuda itu kepadanya. Dan nenek itu menyeringai senang. “Jangan khawatir, Yalima. Tidak ada orang yang boleh begitu saja menghina muridku! Kelak aku akan menyeret pemuda itu di depan kakimu!” Yalima terbelalak kaget. “Tapi... tapi, subo, Houw-koko adalah seorang yang amat baik!” “Heh-heh-heh, putera keluarga Cin-ling-pai baik katamu? Ho-ho, engkau belum tahu, anakku, muridku...!” Demikianlah, mulai hari itu Yalima menjadi murid Go-bi Sin-kouw dan dara itu merasa tidak suka sama sekali, akan tetapi karena dia tahu bahwa nenek itu amat lihai dan kejam, dia tidak berani menyatakan ketidaksukaan hatinya. Bahkan diam-diam dia ingin mempelajari ilmu nenek itu, setelah memperoleh kesempatan dia akan melarikan diri dan melanjutkan keinginan hatinya mencari dan menemukan kekasihnya. Dan pada hari itu, dia diajak oleh subonya untuk mengunjungi pesta perayaan hari ulang tahun Go-bi Sam-eng-piaukiok di kota Wu-han karena memang nenek ini mengenal tokoh-tokoh Go-bi-pai yang dahulu menjadi tetangganya. Tentu saja kedatangannya ini bukan semata-mata hendak menghormati Phoa Lee It yang dianggapnya tokoh rendahan saja, melainkan ingin bertemu dengen tokoh-tokoh kang-ouw karena diapun akan pergi ke Ngo-sian-chung di lembah Huang-ho memenuhi panggilan Lima Bayangan Dewa. Demikianlah pengalaman Yalima yang pada hari itu ikut bersamaa Sin-kouw ke pesta Phoa-piauwsu dan bertemu dengan Jeng-ci Sin-touw Can Pouw yang menceritakan tentang pertemuannya dengan nenek itu kepada In Hong. Malaikat Copet ini sama sekali tidak pernah menduga betapa ceritanya itu membuat In Hong menjadi panas perutnya dan marah sekali. Seketika timbul kebencian yang sangat di hati dara itu terhadap pemuda yang ditunangkan dengan dia, yaitu Cia Bun Houw. Sudah mempunyai seorang pacar di Tibet, masih tidak tahu malu hendak mengikat jodoh dengan dia. Laki-laki! Timbullah rasa tidak sukanya yang memang dasarnya sudah ditanamkan oleh gurunya di dalam lubuk hatinya terhadap kaum pria. Kini, baru saja merantau, dia sudah merasakan dihina kaum pria. Kini tempat pesta sudah penuh dan tamu-tamu baru sudah tidak ada yang datang lagi. Di tempat ruangan kehormatan itu terdapat belasan orang pendatang baru dan In Hong melihat betapa mereka itu secara otomatis berpisah tempat duduknya, yang sebelah kiri di mana duduk keluarga Cin-ling-pai tadi duduk orang-orang yang agaknya tergolong kaum pendekar golongan putih, dan mereka ini kelihatannya amat menghormat puteri ketua Cin-ling-pai itu, sedangkan di sebelah kanan duduklah orang-orang yang kelihatan menghormati nenek berpakaian hitam dan mudah diduga bahwa mereka tentu tokoh-tokoh kaum sesat atau golongan hitam. Hindangan-hidangan dikeluarkan dan upacara pembukaan barang-barang hadiah di depan tuan rumah dilakukan. Berturut-turut dibukalah bungkusan-bungkusan itu dan diumumkan nama si penyumbang sambil mengangkat tinggi-tinggi barang sumbangan. Untuk sumbangan yang berupa barang biasa saja, para tamu menyambutnya dengan senyum, akan tetapi kalau ada benda luar biasa yang berharga, mereka menyambut dengan sorak memuji. “Bingkisan dari yang terhormat locianpwe Go-bi Sin-kouw...” Piauwsu yang membuka bungkusan-bungkusan itu berseru sambil mengangkat benda itu ke atas membaca nama penyumbangnya di kartu yang tertempel di luar bungkusan. Semua orang bersorak ketika melihat bahwa benda itu adalah sebuah piring terbuat dari emas! Go-bi Sin-kouw mengangguk dan tersenyum dengan mulutnya yang nyaprut sehingga kelihatan lucu sekali. Phoa Lee It menjura ke arah nenek itu untuk menyatakan terima kasihnya. Akan tetapi ketika benda yang terbungkus itu diangkat ke atas, orang memandang dan melongo dan muka pucat, dan suara sorakan kalah kini oleh suara-suara ejekan yang terdengar dari golongan hitam. Benda itu hanyalah sebuah panci yang murah dan dapat dibeli di sembarang tempat, hanya perabot dapur yang murah! “Eihh, kenapa begitu pelit,?” terdengar suara orang. “Maklumlah, baru habis kecurian hebat!” “Memang pelit, pedangnyapun pedang-pedangan dari kayu!” Terdengar bentakan nyaring dan suara-suara itu tak terdengar lagi, semua orang terkejut memandang ke tengah ruangan yang luas di mana berdiri nyonya Lie yang menyapu semua orang dengan pandang matanya yang tajam, mukanya yang cantik itu merah sekali, hidungnya yang mancung kembang-kempis dan dia menuding ke arah tiga orang yang duduk di ruangan tamu biasa. “Hayo kalian bertiga, maju ke sini kalau kalian bukan anjing-anjing pengecut hina!” Suaranya nyaring dan penuh wibawa. Dapat mengenal tiga orang yang tadi mengejek saja sudah merupakan ketajaman pendengaran dan penglihatan yang luar biasa, karena suara-suara itu tadi bercampur aduk. Tiga orang laki-laki itu masih muda, dan mereka memandang pucat, lalu saling pandang. Para tamu mulai ribut dan dari fihak yang pro Cin-ling-pai terdengar suara-suara mengejek. “Kalau sampai ada anjing-anjing pengecut hadir di dalam pesta, sungguh memalukan kita!” Mendengar ejekan-ejekan itu dan melihat bahwa fihak golongan hitam juga banyak, tiga orang laki-laki itu lalu bangkit berdiri dan serentak menghampiri Cia Giok Keng. “Toanio, kami yang mengeluarkan ucapan tadi berdasarkan kenyataan. Mengapa toanio memanggil kami?” seorang diantara mereka berkata. “Memang kami hanya mengatakan apa adanya!” kata orang kedua. “Memang pemberian itu amat pelit, dan memang Cin-ling-pai habis kecurian dan memang siapa tidak tahu bahwa Siang-bhok-kiam terbuat dari kayu?” kata orang ketiga. Sepasang mata itu mengeluarkan cahaya berapi dan tiba-tiba tubuhnya bergerak, cepat sekali. “Plok! Plok! Plok!” Tiga orang itu terpelanting, mengaduh-aduh dan mulut mereka berdarah karena gigi mereka sudah rontok ketika ditampar tangan yang halus itu. Phoa Lee It cepat melangkah maju dan menjura di depan Cia Giok Keng. “Harap lihiap sudi memaafkan dan memandang muka kami menyudahi perkara kecil ini.” Dan diapun menghadapi para tamu. “Perkara barang sumbangan, harap tidak dipandang berharga atau tidak, harganya bukan dilihat dari bendanya, melainkan dari dasar hati pemberinya. Harap cu-wi tidak membikin ribut.” Cia Giok Keng menahan kemarahannya. “Melihat muka tuan rumah, kuampunken kalian bertiga!” katanya dan sekali tubuhnya berkelebat, dia sudah kembali ke tempat duduknya. In Hong mengerutkan alianya. Puteri Cin-ling-pai itu memang hebat, akan tetapi sungguh galak den angkuh, seolah-olah di dunia ini tidak ada orang yang mampu menandinginya. Tentu saja pikiran ini timbul dari panasnya hatinya tentang Cia Bun Houw yang dianggap menghinanya. Dia melihat betapa nenek pakaian hitam itu melirik dan tersenyum ke arah Cia Giok Keng. “Bingkisan dari yang terhormat Jeng-ci Sin-touw Can Pouw...!” Terdengar pembuka bungkusan sumbangan berteriak dan mengangkat sebuah benda mengkilap ke atas. Tepuk sorak gemuruh menyambut benda ini, sebuah peti tua dari kayu hitam berukir indah dan terhias emas dan permata yang tentu amat mahal harganya. “Inilah baru bingkisan namanya!” terdengar orang berteriak. Orang-orang yang belum mengenal mencari-cari siapa gerangan orang berjuluk Malaikat Copet Berjari Seribu itu dan ketika mata tuan rumah memandang ke arah ruangan tamu biasa, terdengar orang berkata. “Tamu yang sumbangannya sehebat itu mengapa tidak di tempat kehormatan?” In Hong juga menoleh dan baru sekarang dia melihat betapa temannya itu sudah tidak ada lagi di tempatnya! Dia melihat sehelai kertas di atas bangku temannya itu, cepat disambar dan dibacanya. “Maaf, aku pergi dulu karena... takut!” In Hong mengerutkan alisnya, tidak mengerti apa maksudnya. Dan dia tadinya merasa heran mengapa uang yang tidak berapa banyak ia berikan kepada pencopet itu telah menghasilkan pakaian pencopet itu dan barang sumbangan yang demikian hebat. Tentu dia telah mencopetnya, pikirnya. Akan tetapi tiba-tiba terjadi keributan lain lagi. Kembali Cia Giok Keng kini sudah meloncat dari tempat duduknya, sekali sambar dia telah merampas, peti kayu indah itu dari tangan piauwsu pengangkatnya tinggi-tinggi di atas kepala sambil berseru, “Para tamu sekalian dan Phoa-lo-enghiong, ketahuilah! Benda ini adalah apa yang kusumbangkan, entah bagaimana telah berada di dalam bungkusan orang lain! Aku menantang Jeng-ci Sin-touw untuk keluar dan memberi keterangan bagaimana barangku bisa berada di dalam bungkusannya!” Suara ini nyaring sekali dan semua tamu kembali menjadi diam dan memandang penuh ketegangan. Akan tetapi, tidak ada orang yang menjawab tantangan ini dan tidak nampak bayangan orang yang berjuluk Jeng-ci Sin-touw. Kembali Cia Giok Keng berkata, suaranya tenang, namun mengandung penuh ancaman dan kemarahan, nyaring terdengar sampai di luar gedung itu, “Sejak tadi ketika bungkusan sumbanganku dibuka, aku sudah tahu bahwa ada orang main gila, akan tetapi aku menanti sampai benda itu muncul. Kiranya ada maling atau copet hina dina yang bermain gila, sengaja menukar sumbanganku dengan sumbangannya yang tidak berharga. Hayo engkau Jeng-ci Sin-touw keluarlah untuk menerima kematian! Kalau tidak dapat menghancurkan kepalamu, jangan namakan aku puteri ketua Cin-ling-pai!” Sebenarnya, biarpun Cia Giok Keng ini sejak mudanya berwatak keras dan pemberani tak mengenal artinya takut, akan tetapi dia sama sekali tidaklah suka menyombongkan nama ayahnya atau Cin-ling-pai. Kalau sekarang dia melakukan hal itu adalah karena kedukaan dan kemarahan yang masih membakar hatinya berkenaan dengan peristiwa yang terjadi di Cin-ling-pai. Ketika guru suaminya datang berkunjung ke Sin-yang dan menceritakan tentang malapetaka yang menimpa Cin-ling-pai, dia menangis dan bersama suaminya dia mengunjungi Cin-ling-pai. Di depan ayah bundanya dia menyatakan ingin mencari penjahat-penjahat itu, akan tetapi ayahnya melarang dan mengatakan bahwa adiknya, Cia Bun Houw, dan empat orang murid kepala sudah ditugaskan untuk itu. “Engkau sudah mempunyai keluarga sendiri, jangan mencampuri urusan ini, anakku, agar kelak tidak berlarut-larut dan terseret,” demikianlah kata ayahnya, sehingga terpaksa dia pulang kembali bersama suaminya membawa perasaan penasaran dan kemarahan. Kini, di tempat pesta ini dia dibikin marah oleh kata-kata yang mengejek Cin-ling-pai, dan seorang pencopet mempermainkannya dengan menukar barang sumbangan, tentu saja kemarahannya meledak dan dia menyinggung nama Cin-ling-pai tanpa disadarinya untuk mengangkat nama ayahnya. Karena tidak ada jawaban, nyonya ini menjadi makin marah. “Pho-lo-enghiong, mengapa engkau mengundang para pengecut datang menghadiri perayaahmu? Jeng-ci Sin-touw adalah seorang maling, seorang copet yang pengecut dan hina, dan teman-temannyapun orang-orang rendah!” “Eh-eh, nanti dulu, toanio!” Tiba-tiba seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih meloncat ke depan. Orang ini pakaiannya serba hitam, dengan ikat pinggang kuning emas, kepalanya dibungkus kain kuning dan di punggungnya terdapat sebatang golok besar. Para tokoh golongan hitam segera mengenalnya sebagai Twa-sin-to Kui Liok Si Golok Besar Sakti, seorang perampok tunggal yang sudah puluhan tahun malang melintang di lembah Sungai Yang-ce-kiang, seorang yang memiliki kepandaian tinggi, terutama sekali ilmu goloknya. Cia Giok Keng menghadapi laki-laki yang tubuhnya besar pendek ini dengan pandang mata meremehkan. “Mengapa engkau menahanku? Apakah hendak menyangkal bahwa Jeng-ci Sin-touw adalah maling hina?” “Toanio adalah seorang gagah perkasa, bahkan puteri ketua Cin-ling-pai yang amat terkenal, akan tetapi toanio terlalu memandang rendah orang lain! Kalau toanio memaki Jeng-ci Sin-touw karena dia menukar barang sumbangannya, hal itu adalah hak toanio, akan tetapi toanio membawa-bawa semua temannya yang tidak bersalah apa-apa.” “Hemm, aku ulangi lagi, dia seorang hina dan teman-temannyapun orang-orang rendah. Nah, kau mau apa?” Cia Keng Hong yang memang sudah amat marah itu membentak. “Toanio, aku adalah Twa-sin-to Kui Liok dan terus terang saja aku mengenal baik Jeng-ci Sin-touw sehingga boleh dibilang aku juga temannya. Apakah dengan begitu engkau hendak mengatakan bahwa aku seorang rendah?” “Tentu saja, semua maling dan copet dan sebangsanya adalah orang-orang yang paling rendah dan pengecut di dunia!” Bentak Cia Giok Keng yang sebetulnya menujukan makian itu bukan langsung kepada orang yang berdiri di depannya, bahkan hanya sedikit menyinggung Jeng-ci Sin-touw yang tidak dikenalnya, melainkan ditujukan kepada orang-orang yang telah mencuri pedang Siang-bhok-kiam. Sejak terjadinya peristiwa itu, di dalam hatinya, dia mengutuk dan membenci semua golongan hitam, terutama pencuri dan perampok! Kui Liok menjadi marah. “Toanio terlalu menghina orang! Jangan mengira bahwa aku takut mendengar nama Cin-ling-pai!!” Wajah Cia Giok Keng menjadi makin merah. “Huh, tikus macam kau berani menentang Cin-ling-pai? Majulah!” “Wanita sombong!” Kui Liok membentak dan akan menyerang. “Tahan... tahan...!” Tiba-tiba Phot Lee It maju dan berdirl di antara mereka. “Cia-lihiap, harap bersabar dan memaafkan orang yang telah menukar barang sumbangan itu. Dan kau, Twa-sin-to, harap kau sabar dan mengalah.” “Phoa-loenghiong harap kau minggir, jangan menghalangi aku. Di manapun dan kapanpun aku harus selalu menghajar golongan sesat yang berani kurang ajar!” Sikap dan ucapan Cia Giok Keng ini membuat Phoa Lee It menjadi serba salah dan terpaksa dia mundur sambil menggeleng kepala dan mengangkat bahu, bingung dan cemas. “Pencoleng hina, majulah kalau kau berani!” puteri ketua Cin-ling-pai itu menantang dan Kui Liok yang merasa dihina di hadapan banyak sekali orang, segera menerjang maju dengan pukulan tangannya yang besar dan kuat. Akan tetapi yang diserangnya ini adalah puteri sulung Pendekar Sakti Cia Keng Hong yang biarpun tidak berhasil mewarisi seluruh kepandaian ayahnya dan ibunya, namun dia telah memiliki ilmu-ilmu silat yang tinggi tingkatnya. Dengan jurus-jurus dari San-in-kun-hoat yang gerakannya aneh, lihai dan dahsyat, dia menangkis dan begitu tangannya balas menampar, jari-jari tangannya mengenai pundak Kui Liok, membuat perampok tunggal yang tubuhnya kebal ini terhuyung dan menyeringai kesakitan! Dalam segebrakan saja dia telah dibuat terhuyung den tulang pundak kirinya seperti patah-patah rasanya! Tentu saja dia menjadi penasaran, mengeluarkan bentakan keras dan menubruk maju lagi, menggunakan kedua lengannya yang dikembangkan dan kedua tangan yang terbuka seperti seekor harimau menubruk. Dan memang perampok tunggal ini telah menggunakan jurus Go-houw-pok-ma (Macan Kelaparan Menubruk Kuda), dia menerkam setengah meloncat dan kedua tangan dipentang lebar itu menerkam dari kanan kiri sehingga sukar sekali untuk dielakkan. Namun cia Giok Keng sama sekali tidak mengelak. Dengan tenang dia menanti datangnya serangan itu, lalu tiba-tiba mementang kedua tangannya ke kanan kiri, menggunakan telunjuk kanan kiri menusuk ke arah pergelangan kedua tangan lawan, dan pada saat jari-jari tangannya itu mendahului menyerang pergelangan tangan lawan sebelum serangan lawan tiba, kaki kirinya menendang dengan kecepatan seperti kilat. Semua ini dilakukan tanpa merobah kedudukan tubuhnya. “Dess... auukkk...!” Tubuh yang pendek besar itu terjengkang dan terguling-guling, lalu meloncat bangun dan tangan kirinya memegangi perutnya yang mendadak menjadi mulas setelah dicium ujung sepatu Giok Keng. Kini semua orang terkejut. Bukan main hebatnya nyonya itu, demikian mudahnya menghadapi serangan Kui Liok, dan sakaligus membuatnya terhuyung kemudian roboh dalam dua gebrakan saja. Padahal mereka tahu bahwa Kui Liok bukanlah seorang lemah kalau tidak boleh dibilang seorang yang berkepandaian tinggi. Tentu saja Kui Liok sendiri menjadi marah bukan main. Habislah nama besarnya kali ini! Dia diperlakukan seperti seorang murid tolol yang baru belajar ilmu silat oleh seorang guru besar! “Srattttt!” Golok besarnya telah dicabutnya, akan tetapi dia masih merasa terlalu besar namanya untuk menyerang seorang wanita tanpa senjata begitu saja, maka dengan suara parau dan tangan kiri mengusap darah yang mengalir dari ujung bibirnya dia membentak. “Keluarkan pedangmu!” Cia Giok Keng tersenyum mengejek. “Hemm, siapa takut menghadapi golok jagal babimu itu? Majulah!” Kemarahan Kui Liok sudah naik ke ubun-ubun dan dengan gerengan seperti harimau terluka, golok besarnya diputar-putar di atas kepala, sehingga lenyap bentuknya berubah menjadi gulungan sinar putih yang mengeluarkan suara berdesingan. Kemudian dia menerjang ke depan dan sinar putih itu menyambar dahsyat ke arah leher Giok Keng. Akan tetapi tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan tubuh nyonya itu lenyap dari depannya. Kui Liok terkejut, cepat dia memutar tubuh sambil mengayun goloknya. Benar saja, musuhnya sudah berada di belakangnya dan kini Giok Keng yang terkejut menyaksikan kecepatan gerakan lawan. Kiranya julukan Golok Besar Sakti itu tidak percuma begitu saja dan amat berbahaya kalau dia terlalu memandang rendah dan menghadapinya dengan tangan kosong. Akan tetapi dia telah terlanjur memandang rendah golok lawan, kalau sekarang dia mencabut pedangnya, hal itu akan memalukan sekali. Cepat dia mempergunakan gin-kangnya yang sudah hampir sempurna itu sehingga kembali tubuhnya berkelebat mendahului gerakan golok dan mengelak. Akan tetapi dengan kemarahan meluap-luap, Kui Liok sudah menyerang, terus dan gulungan sinar putih dari goloknya terus mengejar bayangan Giok Keng. Sampai lima jurus Kui Liok terus meyerang dan selalu dapat dielakkan oleh Giok Keng. Pada jurus keenam, ketika Kui Liok membacok dari atas ke bawah dengan jurus Petir menyambar Atas Kelapa, tiba-tiba nampak sinar merah terang yang kecil panjang meluncur dan tahu-tahu golok itu telah terbelit sabuk merah dan ujung yang lain dari sabuk itu telah meluncur dan menotok pundak kanan Kui Liok. Perampok tunggal ini terkejut bukan main, berusaha mengelak dari totokan, namun pada saat perhatiannya tercurah kepada sinar merah yang menyambar pundak itu, tiba-tiba tangan kiri Giok Keng sudah menamper keras dan tepat mengenal punggungnya, karena Kui Liok tadi mengelak miring. “Plakkk...!” Kui Liok mengaduh, goloknya terlepas dan dia sendiri terhuyung ke belakang, mukanya pucat sekali karena dia sudah terkena tamparan tangan yang mengandung Ilmu Pukulan Ngo-tok-ciang (Tangan Lima Racun), ilmu kepandaian mengerikan dari ibu nyonya ini, isteri ketua Cin-ling-pai! “Ini makanlah golokmu!” Cia Giok Keng yang sudah marah itu menggerakkan ujung sabuk merah yang melibat dan merampas golok dan senjata itu terbang meluncur ke arah tubuh Kui Liok yang masih terhuyung-huyung. Golok terbang itu berdesing cepat sekali dan tubuh Kui Liok pasti akan menjadi korban goloknya sendiri kalau saja pada saat itu tidak tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu seorang gadis cantik jelita telah menyambar golok terbang itu dengan jepitan jari tangannya, kemudian dengan senyum menghina dia melempar golok itu ke atas lantai, dekat kaki Kui Liok yang cepat mengambilnya dan mengundurkan diri untuk mengobati luka di sebelah dalam tubuhnya yang cukup hebat. Gadis itu adalah In Hong. Dia memang kagum menyaksikan kehebatan enci dari Cia Bun Houw itu, akan tetapi karena pandangannya sudah berobah sejak dia mengetahui tentang penghinaan Cia Bun Houw kepadanya, dia kini menghampiri Giok Keng dengan pandang mata tajam, dingin dan senyumnya mengejek. Giok Keng sendiri terkejut bukan main. Melihat gerakan dara muda ini tadi mengulur tangan menjepit golok yang diterbangkannya seperti orang menjepit bulu saja ringannya, dia maklum bahwa dara muda ini memiliki kepandaian yang luar biasa, maka dia memandang heran dan menduga-duga. Go-bi Sin-kouw yang tadi sudah merasa penasaran dan marah, kini memandang penuh perhatian. Diapun dapat menduga bahwa dara cantik itu lihai sekali. Dia tadi masih ragu-ragu untuk maju menghadapi puteri ketua Cin-ling-pai, bukan ragu-ragu takut kalah karena dia percaya bahwa dia mampu menandingi puteri ketua Cin-ling-pai itu, hanya dia masih merasa tidak enak dan serba salah. Betapapun juga, muridnya, Pek Hong In, telah menjadi isteri Yap Kun Liong yang mempunyai hubungan dekat dengan Cin-ling-pai. Dia memang tidak suka kepada keluarga itu dan sudah berjanji akan membantu Lima Bayangan Dewa, akan tetapi permusuhan ini akan dilakukan secara sembunyi, kecuali kalau tiba saatnya kedua fihak berdiri berhadapan dalam pertandingan besar yang sudah direncanakan oleh Lima Bayangan Dewa. Betapapun juga, dia merasa sayang kalau sampai perbuatannya yang memusuhi Cin-ling-pai itu akan mendatangkan akibat tidak enak bagi Pek Hong In. Maka kini, biarpun tangannya sudah gatal-gatal untuk menandingi Cia Giok Keng, dia menahan diri dan melihat majunya gadis muda yang cantik, aneh dan lihai itu, dia hanya menonton dengan penuh perhatian setelah dia melemparkan sebungkus obat bubuk kepada Kui Liok sambil berkata lirih, “Minum ini untuk menolak hawa beracun!” Sementara itu, In Hong sudah melangkah maju dan berhadapan dengan Giok Keng. Setelah kurang lebih dua menit dua orang wanita muda dan setengah tua yang sama cantik dan sama gagahnya itu saling memandang penuh selidik dan seperti saling mengukur kecantikan dan kelihaian melalui pandang mata, terdengar In Hong berkata, suaranya dingin, “Kiranya keluarga Cin-ling-pai adalah orang-orang sombong yang terlalu menghina orang lain dan menganggap bahwa mereka sendirilah orang-orang terbaik, paling bersih dan paling gagah di dunia ini, padahal kenyataannya sungguh tidak seperti yang dibanggakan itu!” Cia Giok Keng mengerutkan alisnya yang hitam melengkung bagus itu. “Engkau seorang dara muda yang begini cantik jelita, apakah juga sudah menjadi anggauta golongan maling dan pencoleng? Sungguh patut disayangkan!” In Hong tersenyum. “Aku bukan maling bukan pula pencoleng, akan tetapi harus kuakui bahwa Jeng Cin-ling-pai ci Sin-touw Can Pouw adalah seorang sahabatku. Pantas saja Cin-ling-pai dimusuhi banyak orang, kiranya orang-orangnya begini sombong. Engkau memaki-maki paman Can sebagai maling hina, padahal dia tidak mengambil apa-apa. Andaikata dia menukar sumbangan, itu hanyalah sendau guraunya karena memang dia suka berkelakar, akan tetapi sama sekali bukan mengambil barang orang.” “Bagaimanapun juga, dia seorang pencopet dan semua maling dan copet adalah orang-orang hina.” “Hemm, siapa bilang bahwa keluarga Cin-ling-pai juga orang baik-baik?” Kata-kata In Hong ini membuat Giok Keng menjadi marah sekali. “Mulut lancang! Kami keluarga Cia sejak dahulu terkenal sebagai pendekar-pendekar perkasa pembela kebenaran dan keadilan!” “Kebenaran dan keadilan siapa?” In Hong mengejek. “Setahuku, putera tunggal ketua Cin-ling-pai adalah seorang pria penggoda wanita yang suka menghina kaum wanita!” “Wanita iblis! Kaumaksudkan adikku Cia Bun Houw?” “Siapa lagi kalau bukan dia?” Saking marahnya, Giok Keng sampai sukar mengeluarkan suara, matanya terbelalak lebar dan napasnya terengah-engah. Akhirnya dapat juga dia membentak, “Iblis betina! jangan menyebar fitnah! Adikku itu selama lima tahun belajar di Tibet!” “Nah, itulah! Di Tibet dikatakan belajar, akan tetapi di sana menjadi seorang penggoda wanita. Wanita-wanita dan gadis-gadis Tibet dirayunya dengan mengandalkan kepandaian dan ketampanannya, kemudian ditinggalkan begitu saja...” “Ahhhh, tidak...!” Terdengar suara lemah dari seorang dara di dekat Go-bi Sin-kouw, yaitu Yalima, yang mengeluh mendengar fitnah terhadap kekasihnya itu. Akan tetapi Go-bi Sin-kouw memberi tanda dengan menyentuh tangan muridnya agar diam, dan dia menonton dengan hati tegang gembira. “Wuuutt... wirrr...!” Ujung sabuk di tangan Giok Keng meluncur, merupakan sinar merah yang amat cepat menyambar dan menotok leher In Hong. “Pratt!” In Hong menyampok dengan jari-jari tangannya dan Giok Keng terbelalak kaget sekali melihat ujung sabuk merahnya itu pecah-pecah! Bukan hanya Giok Keng yang terkejut, juga Go-bi Sin-kouw kaget sekali. Dia dapat melihat dan mengukur dari sambaran sabuk merah itu bahwa sabuk itu merupakan senjata yang amat ampuh dan berbahaya dari puteri Cin-ling-pai ini, akan tetapi ternyata sekali bertemu dengan jari-jari tangan gadis cantik ini, ujungnya menjadi pecah-pecah! Hal ini sungguh-sungguh di luar dugaannya sama sekali dan dia menjadi makin tertarik, ingin sekali tahu siapa gerangan gadis muda cantik dan lihai yang tadi duduknya hanya di golongan tamu biasa saja. Tiba-tiba terdengar teriakan dari luar dan seorang laki-laki masuk sambil berteriak nyaring, “None Yap In Hong, tahan dulu...!” Yang datang ini bukan lain adalah Jeng-ci Sin-touw Can Pouw. Tadi ketika melihat keributan terjadi akibat dari perbuatannya, dia menjadi jerih dan cepat menyelinap keluar dan mengintip dari luar. Akan tetapi ketika melihat betapa In Hong turun tangan membelanya dia menjadi khawatir sekali. Dia tahu akan kehebatan keluarga Cin-ling-pai maka kalau sampai nona yang dikaguminya itu celaka akibat membelanya, dia merasa sangat tidak enak sekali. Maka dengan nekat dia lalu masuk kembali setelah melihat In Hong sudah berhadapan dengan puteri ketua Cin-ling-pai dan hendak bertanding. In Hong mengenal suara temannya ini dan dia menengok. “Biarlah, paman Can, orang terlalu menghinamu, tidak boleh aku tinggal diam saja.” “Nona In Hong, jangan...!” Dia berteriak, lalu menjura ke arah Cia Giok Keng yang berdiri terbelalak mendengar nama Yap In Hong tadi. “Kau... kau... bernama Yap In Hong...?” tanyanya dengan heran. In Hong tidak menjawab, dan Can Pouw yang cepat berkata, “Maafkan saya, lihiap yang terhormat, sebetulnya sayalah yang bersalah. Nona Yap In Hong ini tidak turut apa-apa! Saya yang tadi kerena merasa penasaran melibat tuan rumah membeda-bedakan tempat duduk para tamu, lalu ingin menggodanya dengan menukar kartu nama pada barang-barang sumbangan. Saya tidak mengira bahwa barang-harang itu akan dibuka dan diumumkan sehingga terjadi akibat seperti ini. Saya yang bersalah dan lihiap boleh memaki dan memukul saya, akan tetapi nona In Hong tidak ikut-ikut...” Hemm, jadi engkaukah biang keladinya?” Giok Keng menggerakkan tangan kirinya memukul dengan jari-jari tangan penuh getaran Ilmu Ngo-tok-ciang ke arah dada pencopet itu. “Plakkkk! Desss!!” Giok Keng terhuyung ke belakang ketika tangannya ditangkis oleh In Hong, tangkisan yang kuat bukan main. “Mundurlah, paman Can!” In Hong mendorong pundak temannya itu sehingga Can Pouw terlempar den pencopet ini menjadi pucat mukanya, lalu menyelinap dan leqyap dari situ. Giok Keng memandang dengan muka sebentar merah, sebentar pucat. Dia telah dua kali ditangkis dan kedua kalinya membuktikan bahwa dia yang tardesak, maka hal ini dianggapnya amat memalukan. Akan tetapi karena masih terheran-heran mendengar nama gadis itu yang disebut oleh Jeng-ci Sin-touw tadi, dia bertanya, “Apakah engkau adik Yap Kun Liong...?” pertanyaan yang diajukan dengan ragu-ragu karena dia sendiri tidak percaya kalau gadis cantik yang kini berani menantangnya ini adalah adik kandung Kun Liong. “Benar, akan tetapi aku tidak mempunyai urusan dengan dia,” jawab In Hong dengan suara yang tetap dingin. Giok Keng melongo, akan tetapi segera dapat menekan keheranannya dan dia membentak, “Dan kau tadi berani bicara bohong terhadap adikku Bun Houw?” “Hemm, mengapa tidak kautanya sendiri kepada adikmu yang bagus itu?” “Yap In Hong! Tahukah kau dengan siapa kau bicara?” In Hong memandang tajam, dan bibirnya melukis senyum mengejek. “Tentu saja aku tahu engkau adalah Cia Giok Keng, puteri ketua Cin-ling-pai, seorang wanita yang sombong...” “Bocah kurang ajar!” Giok Keng menggerakkan tangan mencabut pedangnya den tampak sinar menyilaukan mata ketika Gin-hwa-kiam terhunus. “Tahan senjata...!” Lie Kong Tek meloncat ke depan, memegang lengan isterinya den menariknya. “Tidak perlu kita berlarut-larut, apalagi dia bukan orang lain. Mari kita pergi saja.” Cia Giok Keng dapat terbujuk, akan tetapi mukanya pucat sekali ketika dia menyarungkan pedangnya dan sebelum pergi, dia memandang tajam kepada In Hong sambil berkata, “Aku akan minta pertanggungan jawab kakakmu terhadap sikapmu ini!” Lalu dia membalikkan tubuhnya dan pergi bersama suaminya dari tempat itu, hanya mengangguk pendek kepada tuan rumah. In Hong tidak memperdulikan lagi suami isteri itu, dia menengok den mencari-cari Can Pouw dengan pandang matanya. Ketika melihat bahwa temannya itu tidak berada di situ, dia lalu berkelebat den meloncat keluar tanpa pamit. Keadaan pesta itu menjadi agak riuh dan bising karena semua tamu membicarakan peristiwa yang cukup hebat dan menegangkan, juga aneh itu. Munculnya gadis bernama Yap In Hong yang berani menentang puteri Cin-ling-pai, yang memiliki ilmu kepandaian hebat tadi dan ternyata adalah adik dari pendekar Yap Kun Liong, benar-benar menggegerkan baik fihak golongan hitam maupun golongan putih. *** “Perlahan dulu, Yap-kouwnio (nona Yap)!” In Hong menghentikan langkahnya, menengok den melihat bahwa yang memanggilnya itu adalah nenek tua berpakaian hitam yang menggandeng tangan gadis cantik berpakaian Tibet itu. In Hong mengerutkan alisnya. Hatinya tidak senang. Tadi dia mencari Can Pouw tanpa hasil dan setelah mengambil buntalan pakaiannya di rumah penginapan, dia lalu pergi meninggalkan kota Wu-han tanpa menanti temannya yang entah ke mana perginya itu. Pula, diapun sudah tidak mempunyai urusan sesuatu dengan pencopet itu dan dia perlu melanjutkan perjalanannya merantau. Kini, baru saja tiba di luar kota Wu-han yang sepi, dia disusul oleh nenek berpakaian hitam itu. “Apakah keperluanmu menyusul aku, Go-bi Sin-kouw?” tegurnya dengan suara dingin. “Heh-heh-he-he-he!” Nenek itu terkekeh sambil memukul-mukulkan ujung tongkat bututnya ke atas tanah. “Si Jari Seribu itu bukan hanya panjang tangannya, akan tetapi juga panjang mulutnya, ha-ha-ha. Tentu dia yang menceritakan kepadamu tentang namaku dan tentang muridku Yalima ini.” In Hong menjawab, “Memang dia yang menceritakan kepadaku, lantas apa hubungannya dengan kedatanganmu menyusulku ini?” “Wah-wah, engkau hebat, dingin dan keras! Semuda ini engkau sudah hebat nona Yap In Hong. Ketahuilah di antara engkau dan aku masih ada hubungan dekat, sungguhpun agaknya engkau tidak memperdulikan hubungan keluarga.” In Hong menjadi heran. “Hubungan apakah, Go-bi Sin-kouw?” “Heh-heh, engkau adik kandung Yap Kun Liong, bukan? Nah, Kun Liong itu adalah mantuku! Isterinya, Pek Hong Ing, adalah muridku yang tersayang seperti anakku sendiri.” In Hong mengangguk-angguk. “Hemm... begitukah kiranya? Akan tetapi aku tidak tertarik, Go-bi Sin-kouw, seperti telah kukatakan kepada orang Cin-ling-pai tadi, aku tidak mempunyai urusan dengan Yap Kun Liong atau isterinya.” Kembali nenek itu tertawa dan mengacungkan ibu jari tangannya. “Bagus... bagus sekali. Kau memang hebat luar biasa! Aku setuju sekali! Akupun tidak suka kepada manusia-manusia sombong itu, dan agaknya adiknyapun tentu bukan manusia baik-baik!” “Subo, Houw-koko adalah seorang laki-laki sejati yang amat baik! Enci In Hong, aku tidak bisa menerima fitnah yang kau lontarkan kepada kakak Cia Bun Houw tadi. Dia bukan seorang penggoda wanita, dia seorang jantan yang gagah perkasa dan sama sekali bukan perayu wanita!” Yalima memprotes dengan suara keras dan memandang In Hong dengan sepasang matanya yang bulat dan bening indah. In Hong memandang wajah itu dan harus mengakui bahwa dara remaja ini amat cantik dan manis. Dia tersenyum mengejek. “Hemm, engkau masih terlalu kecil untuk mengenal kepalsuan pria, adikku! Engkau memuja laki-laki bernama Cia Bun Houw itu, dan mengira dia mencintaimu, bukan? Akan tetapi tahukah engkau mengapa dia dipanggil pulang oleh orang tuanya dari Tibet?” “Ya, mengapa... enci? Aku tidak tahu mengapa dia pergi meninggalkan aku...” Yalima bertanya penuh gairah mendengar ada orang tahu tentang urusan kekasihnya itu. “Dia dipanggil pulang untuk dijodohkan dengan wanita lain, bukan dengan engkau!” “Aihhhhh...!” Yalima menjerit lirih dan mukanya menjadi pucat. “Ti... tidak benar itu...!” In Hong tersenyum mengejek. “Kaubilang tidak benar? Kau tahu siapa wanita yang akan dijodohkan dengan perayumu yang bagus itu? Akulah orangnya! Akan tetapi aku tidak sudi, apalagi setelah mendengar tentang hubungannya dengan engkau.” “Aihhh...!” Yalima kembali menjerit. “Enci... katakan, di mana dia? Di mana aku dapat bertemu dengan Houw-ko? Subo, bawalah aku menemui dia...” Dia meratap dan Go-bi Sin-kouw membentaknya. “Diamlah dulu, anak cengeng!” Yalima diam dengan muka pucat, matanya seperti mata seekor kelinci diancam harimau. “Engkau memang benar kalau menolaknya, Yap-kouwnio. Laki-laki memang mahluk jahat yang membikin celaka wanita saja. Akan tetapi aku tidak boleh tinggal diam saja melihat dia yang telah menjadi muridku ini dipermainkan! Maukah engkau membantuku, kouwnio?” “Membantu bagaimana?” “Engkau adalah saksi utama bahwa Cia Bun Houw itu telah berpacaran dengan muridku Yalima ini, dan yang dijodohkan dengan dia sudah terang-terangan menolak, bukan?” “Benar! Aku bukan boneka atau binatang yang boleb dijodoh-jodohkan di luar kehendakku begitu saja.” “Cocok dengan aku, heh-heh-heh! Karena itu aku minta bantuanmu, kouwnio. Aku hendak menemui wanita galak itu, akan kutuntut agar adiknya itu mengawini Yalima dan engkau menjadi saksinya bahwa adiknya itu tidak lagi bertunangan denganmu melainkan sudah bertunangan dengan Yalima muridku. Kemudian aku akan menemui muridku, Pek Hong Ing, agar membujuk suaminya yaitu kakak kandungmu, agar membatalkan tali perjodohan antara engkau dan Cia Bun Houw.” In Hong mengerutkan alisnya dan menjawab dengan menjawab dengan ragu-ragu, “Ini... ini... bukan urusanku, kaulakukanlah sendiri, Go-bi Sin-kouw!” “Heh-heh-heh... tadinya aku percaya bahwa engkau adalah seorang wanita gagah dan berhati baja seperti aku di waktu muda dahulu, Yap-kouwnio. Akan tetapi kini kau ragu-ragu, apakah engkau menyayangkan tali perjodohanmu itu putus?” “Jangan sembarangan membuka mulut!” In Hong membentak sambil mengepal tangan. “Heh-heh-heh, aku bukan bermaksud menghina. Akan tetapi kalau kouwnio benar-benar tidak sudi menjadi jodoh laki-laki palsu dan penggoda wanita itu, tentu kouwnio akan suka membantu memutuskan ikatan jodoh itu dan memaksa keluarga laki-laki itu untuk tidak menyia-nyiakan Yalima.” Yalima memang pandai berbahasa Han, akan tetapi percakapan yang agak sulit ini tidak begitu dimengertinya. hanya dia menduga bahwa mereka membicarakan tentang ikatan perjodohannya dengan pria yang dicintanya, maka diapun berkata dengan suara memohon kepada In Hong, “Enci In Hong, harap engkau suka membantu subo dan menolongku. Aku lebih suka mati kalau tidak dapat bertemu dengan Houw-koko.” Setelah berpikir sejenak sambil menggigit-gigit bibirnya, akhirnya In Hong mengangguk dan berkata, “Baiklah, aku akan membantumu menemui mereka, akan tetapi tidak ada persekutuan apa-apa di antara kita, Go-bi Sin-kouw, hanya untuk urusan pemutusan ikatan perjodohan dan mengalihkan menjadi ikatan perjodohan Yalima.” “Heh-heh-heh, tentu, saja. Akupun hanya akan memperjuangkan hak kaum wanita agar jangan dijadikan bahan permainan kaum pria!” Nenek yang sudah bangkotan dan penub pengalaman ini tentu saja segera dapat mengenal watak In Hong yang tidak suka kepada kaum pria, apalagi karena diapun sudah melihat hiasan burung hong di rambut dara itu dan menduga bahwa tentu In Hong ini ada hubungannya dengan Giok-hong-pang yang terkenal sebagai perkumpulan wanita pembenci pria yang kabarnya dipimpin oleh seorang wanita yang amat tinggi kepandaiannya. Maka berangkatlah mereka bertiga melakukan perjalanan dan kembali In Hong mempunyai seorang teman seperjalanan dalam perantauannya, seorang teman yang jauh berbeda dengan temannya yang pertama yaitu Si Malaikat Copet. Untung di situ terdapat Yalima yang makin lama makin menarik dan menyenangkan hatinya karena dara Tibet ini benar-benar murni, wajar, polos dan jujur. Wataknya bersih sekali dan membuat In Hong menjadi kagum. Dia tidak menjadi heranlah kalau ada laki-laki seperti putera Cin-ling-pai itu tergila-gila kepada seorang dara seperti ini, akan tetapi kalau sampai Cia Bun Houw mempermainkan seorang gadis suci seperti ini, dia akan menghalanginya dan akan memaksa pemuda itu mengawininya! Dengan adanya Yalima di sampingnya, perjalanan bersama nenek yang mengerikan itu menjadi menyenangkan juga bagi In Hong. Di lain fihak, Yalima yang berwatak polos menganggap In Hong seorang wanita yang gagah perkasa dan berbudi mulia seperti watak kekasihnya, hanya bedanya In Hong adalah seorang wanita yang amat menaruh perhatian kepadanya dan suka membela kepentingan hidupnya. Maka dia berterima kasih sekali kepada In Hong dan di dalam hatinya tumbuh benih persahabatan yang akrab terhadap gadis ini. ***   Apapun juga yang terjadi di dunia inipun terjadilah, tanpa manusia dapat mencampurinya, mendorongnya atau mencegahnya. Apapun juga yang terjadi di dalam kehidupan manusia, yang menimpa diri manusia, adalah suatu fakta, suatu peristiwa yang terjadi, dan apabila kita menghadapi setiap macam peristiwa yang terjadi kepada kita atau di sekeliling kita sebagai apa adanya, tanpa mencari kambing hitamnya, tanpa menyalahkan siapapun, hanya menghadapinya dengan tenang dan waspada, maka akan terbuka semua rahasia, tidak ada rahasia lagi karena kita akan dapat melihat sejelas-jelasnya peristiwa itu berikut segala sesuatu yang ada hubungannya dengan peristiwa itu, sebab-sebabnya dan lain sebagainya. Semua duka dan sengsara tidak ada hubungannya dengan segala peristiwa yang terjadi, melainkan bersumber di dalam diri pribadi. Akan tetapi, kita biasanya menghadapi setiap peristiwa tanpa kebebasan ini, kita selalu mencari sasaran untuk menimpakan kesalahan, baik kepada orang lain, kepada diri sendiri, kepada hari dan nasib peruntungan! Kalau kita menghadapi setiap peristiwa yang betapa hebatnya menimpa kita dengan batin yang bebas, dengan awas dan memandangnya sebagai satu hal yang terjadi apa adanya, tanpa menyalahkan atau membenarkan, maka tidak akan timbul penyesalan karene kesemuanya sudah nampak jelas sehingga tidak ada lagi hal yang dibuat penasaran. Duka dan dendam timbul karena kita tidak dapat menghadapi setiap peristiwa sebagai apa adanya, dan kebebasan ini sama sekali bukan merupakan sikap masa bodoh, bahkan sebaliknya merupakan keadaan yang penuh kewaspadaan setiap saat! Kota Leng-kok adalah sebuah kota kecil akan tetapi cukup ramai. Pendekar Yap Kun Liong, tokoh dari cerita Petualang Asmara, tinggal di kota ini, di rumah yang dahulu menjadi tempat tinggal dan toko obat dari mendiang orang tuanya. Di kota ini diapun melanjutkan usaha orang tuanya, membuka toko obat bersama isterinya dan anak mereka, yaitu Yap Mei Lan yang pada waktu itu telah menjadi seorang dara remaja berusia empat belas tahun yang berwajah manis dan lincah. Selain Kun Liong, isterinya yang bernama Pek Hong Ing dan Yap Mei Lan, masih ada dua orang lagi yang tinggal di rumah itu di waktu siang sampai malam setelah toko obat itu ditutup. Setelah itu, mereka berdua pulang ke rumah masing-masing. Mereka berdua ini adalah seorang laki-laki berusia lima puluh tahun, yang bertugas sebagai seorang pelayan dan pembantu toko dan juga merupakan seorang ahli pengobatan yang bekerja sama dengan Kun Liong. Laki-laki ini bernama Giam Tun dan selain ilmu pengobatan, dia juga mengerti ilmu silat yang lumayan. Adapun orang kedua adalah seorang wanita setengah tua yang melayani keperluan rumah tangga keluarga itu, dan juga Khiu-ma ini kalau malam pulang ke rumah anaknya tak jauh dari tempat tinggal keluarga Yap Kun Liong. Toko obat itu berjalan cukup baik dan mendatangkan hasil yang cukup. Di bagian depan merupakan toko, dan di belakang merupakan rumah tinggal yang cukup luas, bahkan di belakang rumah itu terdapat sebuah taman bunga yang kecil namun terpelihara rapi dan indah, penuh dengan bunga-bunga yang ditanam dan dipelihara sendiri oleh Yap Mei Lan. Mei Lan memperoleh gemblengan ilmu silat dan ilmu surat dari ayah bundanya, dan tentu saja dalam hal ilmu silat dia dididik oleh ayahnya karena ibunya, biarpun pada umumnya memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi, namun dibandingkan dengan ayahnya masih kalah jauh. Mei Lan adalah seorang dara yang tekun sehingga dalam usia empat belas tahun, dia telah memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi, dan selain dapat membaca dengan lancar dan pandai pula menulis sajak, juga dia sudah mengerti tentang ilmu pengobatan. Sikapnya lincah dan gembira sehingga kadang-kadang ayahnya memandangnya dengan hati terharu, teringat akan ibu kandung anak ini, yaitu mendiang Lim Hwi Sian, yang lincah jenaka. Pek Hong Ing juga amat mencinta Mei Lan, dianggapnya seperti anaknya sendiri dan setelah belasan tahun dia tidak juga mempunyai anak, dia sudah melepaskan harapannya untuk melahirkan anak sendiri, maka kasih sayangnya terhadap Mei Lan makin bertambah. Malam itu gelap dan basah. Hujan turun sejak sore tiada hentinya. Karena telah sebulan lamanya Yap Kun Liong mengunjungi Cin-ling-san setelah mendengar akan malapetaka yang menimpa Cin-ling-pai, dan karena hari hujan membuat toko sepi, maka Pek Hong Ing menyuruh tutup toko agar kedua orang pembantunya dapat pulang tidak terlalu malam. Mei Lan sedang asyik membaca kitab sajak kuno yang menuturkan tentang perjuangan patriot-patriot di waktu dahulu, sedangkan Hong Ing sendiri sedang menjahit sebuah baju untuk anaknya. Biarpun Mei Lan sendiri sudah pandai menjahit, akan tetapi ibunya suka menjahitkan pakaian anaknya ini dan Mei Lan juga membiarkan ibunya menikmati kesukaan itu. Giam Tun sudah menutupkan tiam-tang (papan pintu toko) dan baru saja hendak berpamit kepada nyonya majikannya ketika tiba-tiba di depan pintu berdiri seorang wanita cantik yang sikapnya seperti orang sedang menahan kemarahan. Giam Tun adalah seorang pembantu dari Kun Liong yang sudah bertahun-tahun, maka tentu saja dia mengenal wanita cantik ini dan dengan kaget dia lalu cepat menyambut dengan sikap hormat dan ramah. “Ahh, kiranya Lie-toanio (nyonya Lie) yang datang! Silakan masuk... Yap-toanio berada di dalam...” Mendengar suara Giam Tun ini, Pek Hong Ing cepat keluar dan wajahnya berseri gembira ketika dia melihat siapa yang malam-malam datang bertamu itu. Kiranya wanita cantik itu adalah Cia Giok Keng, puteri ketua Cin-ling-pai! “Aihh, enci Giok Keng kiranya! Selamat datang dan selamat malam, mari silakan masuk ke dalam, enci...” Pek Hong Ing menahan kata-katanya dan wajahnya yang tadi berseri-seri dan penuh senyum itu menjadi berubah keheran-heranan ketika melihat betapa tamunya itu memandangnya dengan sikap tak acuh dan matanya mencari-cari ke dalam. “Mana suamimu? Mana Kun Liong? Aku ingin bertemu dan bicara dengan dia!” Pek Hong Ing terkejut. Dia memang sudah tahu bahwa watak puteri ketua Cin-ling-pai ini keras sekali, akan tetapi sekarang nampak jelas bahwa dia sedang marah sekali sehingga dia merasa tidak enak dan tegang. Namun, sebagai seorang wanita yang berpandangan luas dan pada dasarnya memang berwatak lembut, Hong Ing masih dapat mengeluarkan senyum dan suaranya tetap halus. Mari kita masuk dan bicara di dalam, enci Giok Keng.” Dia memegang lengan tamunya yang menariknya masuk. Giok Keng bersikap kaku, akan tetapi dia mengikuti nyonya rumah itu masuk ke dalam. Giam Tun dan Khiu-ma yang menyaksikan sikap tamu ini, menjadi terheran-heran dan kaget, juga menjadi tidak senang. Mereka saling pandang, kemudian duduk di ruangan depan itu sambil memasang telinga, mendengarkan suara yang datang dari ruangan dalam tanpa dapat menangkap jelas kata-kata dua orang nyonya itu. Setibanya di dalam, Hong Ing lalu bertanya, “Enci Giok Keng, engkau mengejutkan hatiku. Apakah yang telah terjadi? Mengapa engkau kelihatan marah-marah, enci? Aku... aku menyesal sekali mendengar tentang peristiwa yang menimpa Cin-ling-pai, dan suamiku... dia malah belum pulang setelah mendengar berita itu terus pergi ke sana.” “Hemm, jadi dia tidak berada di rumah? Sia-sia saja kalau begitu kedatanganku!” kata Giok Keng dengan ketus karena dia kecewa sekali dan makin marah. Kemarahannya sudah ditahan-tahan sejak dia meninggalkan rumah, tidak perduli akan cegahan suaminya, langsung saja sekembali mereka dari Wu-han dia terus pergi mengunjungi Leng-kok untuk memaki-maki Kun Liong karena tingkah adik kandungnya akan tetapi betapa kecewa dan mendongkol hatinya bahwa orang yang dicarinya itu tidak berada di rumah. “Ada urusan apakah, enci? Harap suka memberi tahu kepadaku.” Hong Ing bertanya, hatinya makin tidak enak. “Bukan urusanmu! Ini urusan antara aku dan Kun Liong sendiri!” Pada siat itu muncullah Mei Lan. Dara remaja ini memandang tamunya. Sudah beberapa tahun dia tidak bertemu dengan Giok Keng sehingga dia tidak lagi mengenal wanita ini. Mendengar ucapan yang ketus dari Giok Keng terhadap ibunya. Mei Lan yang lincah dan pandai bicara itu cepat mencela. “Urusan ayah adalah urusan ibu juga, mengapa ada urusan ayah yang tidak boleh diketahui ibu? Bibi ini siapakah datang-datang marah kepada ibu dan sebagai tamu semestinya menghormati nyonya rumah!” “Mei Lan, jangan kurang ajar terhadap bibi Giok Keng!” bentak Hong Ing. Gadis cilik itu kini memandang kepada tamunya dengan sepasang mata bersinar-sinar. “Ah, kiranya bibi Giok Keng! Maafkan saya, bibi, akan tetapi lebih-lebih kalau bibi adalah bibi Giok Keng yang sudah saya banyak dengar dari ayah ibu sebagai seorang wanita pendekar, maka sikap ini sungguh tidak selayaknya. Kalau ada urusan sesuatu dengan ayah harap bibi suka memberi tahu kepada ibu, karena apa yang menjadi urusan ayah berarti menjadi urusan ibu pula dan sebaliknya.” “Engkau anak haram yang kurang ajar!” Giok Keng tak dapat menahan kemarahannya lagi. “Enci Giok Keng...!” Hong Ing menjerit dengan muka pucat. Mei Lan memandang ibunya, lalu dengan mata penuh penasaran dia memandang Giok Keng, bahkan melangkah dekat, sedikitpun tidak takut. “Bibi Giok Keng, di dalam kitab-kitab aku membaca tentang pendekar-pendekar dan pahlawan-pahlawan wanita yang gagah perkasa, bersikap lemah-lembut, dan berbudi mulia, tetapi kenapa bibi begini kasar dan suka memaki orang? Apa maksud bibi memaki saya sebagai anak haram?” “Engkau kecil-kecil sudah kurang ajar! Dasar keturunan ayahmu yang juga tidak baik! Bibimupun manusia tak tahu sopan santun! Bibimu itu perlu dihajar dan akan kuhajar kalau ayahmu tidak bisa menghajarmu!” “Bibi bohong! Aku bukan anak haram! Bibi tukang fitnah!” “Mei Lan...! Enci Giok Keng...!” Hong Ing menjerit lagi penuh kengerian. “Kau berani bilang aku bohong, ya? Kaukira engkau ini apa? Engkau ini memang anak haram engkau anak ayahmu dari hubungan gelap dengan seorang wanita, dan kau bukan anak ibumu!” “Enci...! Kau...! terlalu...!” Hong Ing menjerit lagi dan melangkah maju, bukan hendak menyerang melainkan hendak mencegah Giok Keng bicara terus. Akan tetapi Giok Keng salah menduga, mengira bahwa Hong Ing akan menyerangnya. Maka tangannya bergerak mendorong cepat sekali dan Hong Ing terhuyung ke belakang. Mei Lan memandang ibunya. Mukanya pucat sekali, matanya liar, “Ibu...! Ibu... katakan bahwa bibi ini bohong!” Hong Ing terisak dan Giok Keng yang sudah meluap kemarahannya itu berkata, “Ya, katakanlah aku bohong! Hendak kulihat siapa tukang bohong, siapa menyimpan rahasia busuk, keluargaku ataukah keluargamu!” Dia marah sekali teringat akan penghinaan yang merasa diterimanya dari In Hong di tempat pesta. “Enci... ahhh... ya Tuhan, mengapa terjadi semua ini? Mei Lan... ke sinilah, jangan dengarkan dia...” Akan tetapi Mei Lan memandang ibunya dengan sinar mata aneh. “Ibu, katakan, benarkah aku bukan anak kandung ibu? Benarkah aku anak... anak haram?” “Mei Lan...” keluh ibunya. “Katakanlah, ibu! Katakan!” Anak itu menjerit-jerit. Hong Ing mengeluh lalu mengangguk. “Engkau bukan anak kandungku... ya Tuhan, mengapa begini...?” Terdengar jerit melengking dan disusul isak tangis, Mei Lan meloncat dan lari keluar dari tempat itu. “Mei Lan...!” Hong Ing meloncat bangun kemudian menghadapi Giok Keng dengan mata betapi. “Enci Giok Keng, engkau kejam! Engkau merusak hidupnya!Sungguh tidak kusangka engkau akan sekejam ini. Biarlah, engkau atau aku yang mati...!” Dengan marah sekali Hong Ing yang dilanda kedukaan hebat itu lalu menyerang Giok Keng. Giok Keng menangkis dan balas memukul. Pukul-memukul terjadilah di ruangan dalam itu dan keduanya yang dikuasai kemarahan melakuken serangan-serangan yang dahsyat. “Eh, eh... apa yang terjadi ini? Toanio, jangan berkelahi! Lie-toanio...” Khiu?ma yang tidak tahu tentang ilmu silat itu dengan nekat mendekati mereka dengan maksud hendak memisah. Akan tetapi sebuah tendangan mengenai perutnya dan wanita ini terlempar dan terbanting roboh, pingsan! “Lie-toanio, kau sungguh keliru. Seorang tamu mana boleh...” Baru sampai di sini saja Giam Tun mencela, sebuah tamparan mengenai lehernya dan diapun terpelanting dan pingsan pula. “Enci Giok Kong, kau seperti kemasukan iblis!” Hong Ing memaki marah dan mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk memukul roboh lawannya. Akan tetapi, memang pada dasarnya dia kalah setingkat kalau dibandingkan dengan Giok Keng. Setelah bertanding di dalam ruangan itu, membuat meja kursi jungkir-balik tidak karuan, sebuah tamparan tangan kiri Giok Keng mengenai bawah telinga nyonya rumah dan Pek Hong Ing terguling roboh dan tak sadarkan diri. Giok Keng mengebut-ngebut pakaiannya, agak puas hatinya, merasa bahwa dia telah dapat membalas rasa penasarannya karena dihina oleh adik Kun Liong di depan orang banyak di tempat pesta. Dia tahu bahwa tiga orang itu hanya pingsan dan tidak terluka parah, maka setelah mendengus marah dia lalu meloncat dan keluar dari rumah itu. *** Kalau kita bicara tentang sebab akibat, maka segala akibat apapun yang terjadi di dalam dunia menimpa diri kita adalah disebabkan oleh diri kita sendiri. Oleh karena itu seorang bijaksana tidak akan memandang akibat, melainkan selalu waspada dan sadar akan segala gerak-gerik dari setiap pikiran dan perbuatan dirinya sendiri lahir batin karena dari setiap pikiran den badan itulah yang menjadi sebab dari semua akibat, yang penting adalah mengenal diri pribadi sehingga setiap detik kita dapat waspada akan semua pikiran dan sikap kita, baik gerak tubuh maupun kata-kata. Yang penting adalah caranya, bukan tujuannya, karena tujuan tidak Akan jauh dari caranya, atau akibat tidak berbeda dengan sebabnya! Kalau caranya benar, maka akibat atau tujuan dari cara itu bukan merupakan persoalan lagi. Dan cara itu, cara hidup atau setiap gerak-gerik hati pikiran den kata-kata perbuatan kita seat demi saat barulah benar apabila terbebas dari segala macam bentuk kekotoran yang timbul dari nafsu keinginian pribadi, dan kekotoran ini lenyap oleh kesadaran den pengertian yang timbul pula dari pengawasan kita, pengenalan kita terhadap diri sendiri setiap saat. Cara yang tidak benar pasti akan menjadi sebab terjadinya akibat yang tidak benar pula, ini sudah pasti, sungguhpun cara itu sudah terlupa oleh kita, sudah tersembunyi di alam bawah sadar. Akan tetapi, pengertian ini bukan berarti bahwa kita lalu sengaja menggunakan cara yang benar untuk memperoleh akibat yang benar, kalau demikian maka cara itu sudah menjadi tidak benar karena mengandung pamrih keuntungan pribadi sehingga menjadi palsu. Kalau demikian, maka hanya akan terbentuk lingkaran setan belaka, yaitu sebab menimbulkan akibat, dan akibat menjadi sebab pula dari akibat yang lain lagi! Inilah apa yang dinamakan hukum karma, tanpa kita buat sendiri dengan merangkaikan kemarin memasuki hari ini untuk sampai kepada esok hari! Dan ini akan berulang terus dan kita terseret di dalamnya! Oleh karena itu, yang penting adalah saat ini, sekarang ini! Setiap saat awas terhadap diri sendiri, bukan dalam arti kata menekan atau mengendalikan, hanya waspada tanpa pamrih, tanpa apa-apa, hanya waspada saja. Kewaspadaan setiap saat ini yang akan bekerja sendiri, tanpa pamrih dari si aku. Setiap kali bencana menimpa diri kita, keluarga kita, kita akan merasa tidak adil. Kematian orang yang kita kasihi, malapetaka yang menimpa membuat kita menjadi miskin, dan sebagainya, membuat kita merasa prihatin dan sengsara. Kita tidak membuka mata bahwa mala petaka itu setiap saat memang ada, menimpa kepada siapapun juga dan selalu akan terasa ada kesengsaraan dan kedukaan selama tidak terjadi perobahan hebat di dalam batin kita. Karena kesengsaraan dan kedukaan itu timbul dari dalam pikiran kita sendiri! Pada hari itu terjadi geger di kota Leng-kok terutama sekali di rumah Yap Kun Liong. Pendekar ini pagi-pagi sekali memasuki kota Leng-kok dan langsung dia menuju ke rumahnya. Semenjak hari kemarin, hatinya selalu tidak enak. Hal ini tadinya disangkanya sebagai akibat kunjungannya ke Cin-ling-pai dan mendengar tentang malapetaka yang menimpa keluarga Pendekar Sakti Cia Keng Hong. Dia menghadap pendekar yang sudah dianggapnya seperti pengganti ayahnya sendiri, juga gurunya, dan dengan tegas menyatakan kesediaannya untuk pergi mencari kembali pusaka Cin-ling-pai yang hilang dan membuat perhitungan dengan Lima Bayangan Dewa. Namun dengan tulus Cia Keng Hong menolaknya, mengucapkan terima kasih dan menyatakan bahwa urusan itu adalah urusan keluarganya, urusan pribadi dan sekarang Cia Bun Houw sudah pergi, bersama empat orang murid kepala Cin-ling-pai, untuk melakukan tugas itu secara terpencar. Kun Liong maklum bahwa orang tua itu sedang mengalami tekanan batin yang hebat dan menghiburpun tidak ada artinya. Maka dia tidak tinggal diam di Cin-ling-pai, lalu berpamit dan mulai saat itulah hatinya selalu terasa tidak enak. Lebih-lebih lagi malam tadi, dia gelisah sekali sehingga malam-malampun dia tidak mau berhenti dan melanjutkan perjalanan pulang ke Leng-kok. Keadaan Cin-ling-pai membuat hatinya seperti terhimpit juga dan dia ingin lekas-lekas bertemu dengan isterinya karena di dunia ini hanya ada satu orang yang akan dapat meringankan perasaannya apabila sedang terhimpit oleh keadaan, orang itu adalah Pek Hong Ing, isterinya tercinta. Kun Liong terkejut ketika melihat banyak orang berkumpul di rumahnya dan toko obatnya tidak dibuka seperti biasa. Matanya terbelalak bingung ketika melihat kain putih di pintu rumah, putih berkabung tanda bahwa ada yang mati. Lebih-lebih lagi ketika lapat-lapat dia mendengar suara tangis seorang wanita yang dikenalnya sebagai suara Khiu-ma! Jantungnya seperti berhenti berdetak, kakinya seperti mendadak kehilangan tenaganya dan dia berjalan menghampiri pintu rumahnya dengan muka pucat dan kaki terhuyung. Beberapa orang tetangga yang berada di depan, begitu melihat dia kontan menangis tersedu-sedu, wanita-wanita sesenggukan dan tidak ada yang berani memandangnya. “Ada apa...?” Suara ini jelas keluar dari mulutnya, akan tetapi dia sendiri tidak mendengarnya, seolah-olah suaranya telah lenyap ditelah kecemasan yang mengerikan. Dia melangkah masuk. Banyak orang di dalam dan kembali mereka ini menangis begitu melihatnya. Seorang wanita tetangga yang amat baik, seperti keluarga sendiri, menubruk kakinya, menjerit dan menangis sesenggukan tanpa bisa mengeluarkan suara. “Ada apa...?” Kini suara yang keluar dari tenggorokan Kun Liong terdengar keras sekali, menjerit penuh ketakutan, penuh kecemasan, penuh bayangan yang bukan-bukan. Tidak ada seorangpun menjawab akan tetapi semua mata ditujukan ke arah kamarnya dari mana terdengar tangis Khiu-ma yang jelas sekali sekarang, diiringi suara keluh kesah seorang laki-laki yang dikenalnya sebagai suara Giam Tun. “Apa yang terjadi...?” Kun Liong melangkah masuk ke pintu kamarnya dan tiba-tiba dia berdiri terpaku di ambang pintu, mukanya pucat sekali seperti mayat dan matanya terbelalak memandang ke atas pembaringan di kamar itu, seolah-olah dia tidak mau percaya akan apa yang dilihatnya. Dikejap-kejapkannya matanya, lalu digosok-gosoknya dengan kepalan tangan yang gemetar, akan tetapi tetap saja pemandangah itu tidak berobah. “Taihiap... uhhuu-hu-huuuuk...!” Giam Tun menoleh dan hanya dapat mengeluarkan seruan demikian , karena dia sudah berlutut dan menangis bergulingan diatas lantai. Khiu-ma menjerit. “Apa ini...? Apa ini...? Bakaimana...? Kenapa...?” Kun Liong makin terbelalak, bibirnya gemetar, banyak kata-kata yang keluar tanpa suara, lalu ditamparnya kepalanya sendiri untuk menyadarkannya dari mimpi buruk ini. Ini tentu mimpi buruk, bantahnya. Tak mungkin! Tidak mungkin Pek Hong Ing, isterinya tercinta, kini rebah di atas pembaringan itu dengan mata meram, bibir terkatup dan pakaian penuh darah yang sudah mengental. Tak mungkin! Akan tetapi tetap saja pemandangan itu tidak berobah. Dia meloncat ke depan, berlutut di pinggir pembaringan untuk memandang lebih tegas lagi. Dirabanya pipi isterinya. Dingin! Tangannya ditarik kembali seolah-olah dia menyentuh api, ditatapnya lagi wajah isterinya, lalu diliriknya dada yang terluka bekas tusukan pedang. Tiba-tiba dia menjerit dan semua orang yang berada di dalam kamar itu terjungkal, ada yang pingsan karena jerit itu mengandung kekuatan yang maha dahsyat. Tubuh pendekar itu terkulai, kepalanya diguncang keras-keras untuk mengumpulkan tenaga, dia memandang lagi, dirangkulnya mayat itu dan kini dia mengeluh, lalu merintih perlahan dan tubuhnya terkulai lemas, terjatuh pingsan di bawah pembaringan! Gegerlah kamar itu. Geger dari mereka yang menolong orang-orang pingsan, dan ada pula yang menggotong tubuh Kun Liong, diletakkan di atas dipan di dalam kamar itu. Seperti mayat saja tubuh pendekar ini. Wajahnya sepucat wajah jenazah isterinya. Dadanya tidak bergerak seolah-olah napasnya sudah putus. Giam Tun yang tadi tidak pingsan oleh jerit melengking tadi, hanya roboh terguling dan menggigil kini mendekati majikannya. Sebagai seorang ahli pengobatan dia tahu bahwa majikamya mengalami hantaman batin yang amat hebat. Dengan bercucuran air mata dia lalu mengambil obat dalam botol dan menggosok-gosokkan obat yang berbau keras itu di depan hidung majikannya. Semua orang memandang dengan terharu dan terutama kaum wanita tetangga mereka terisak-isak pilu. Kun Liong berbangkis dan membuka matanya. Begitu siuman, dia memandang liar. Dan cepat dia bangkit duduk. “Tidak mungkin! Hong Ing...!” Dia menoleh ke pembaringan dan meloncat. Berlutut di dekat jenazah isterinya. “Tidak mungkin! Sudah gilakah aku? Eh, Giam-lopek, sudah gilakah aku? Hong Ing mati? Tidak mungkin...!” Dia memeluk isterinya, meraba-raba, dan memeriksa luka di ulu hati itu, luka yang menembus sampai ke punggung! “Hong Ing... bagaimana ini...?” “Taihiap.... harap tenangkan hati, taihiap...” Giam Tun berkata dengan suara gentar. “Apa...? Tenang...? Keluarlah, harap semua keluar... biarkan aku sendirian berdua dengan isteriku!” Giam Tun lalu memberi isyarat kepada semua tetangga untuk keluar. Mereka semua menanti di luar, tidak ada yang bicara, yang terdengar hanya isak tangis. Setelah semua orang pergi, Kun Liong merangkul leher isterinya, menciumi muka yang sudah dingin itu, mengelus pipinya, dagunya, rambutnya sambil bercuran air mata. “Hong Ing... isteriku... pujaanku... mengapa begini...? Mengapa...?” Orang-orang di luar hanya mendengar suara pendekar itu puluhan kali mengajukan pertanyaan “mengapa” itu dan suara ini makin lama makin parau bercampur isak, membuat mereka menjadi terharu dan ikut pula menangis Dengan pengerahan kekuatan yang amat hebat, barulah Kun Liong dapat menguasai dirinya. Lebih dari tiga jam dia menangisi mayat isterinya. Kemudian dia bangkit, lalu melangkah keluar, dan berdiri di pintu, seperti mayat hidup! Wajahnya menjadi pucat sekali tanpa ada bayangan darah, matanya sayu tanpa sinar, mulutnya seperti orang menahan rasa nyeri, yang hebat dan dia seperti orang yang kehilangan ingatan, berdiri di luar pintu, dengan mata kosong memandang jauh melampaui orang-orang yang kumpul di situ. “Taihiap...!” Giam Tun berseru dan maju berlutut. Seruan ini menyadarkannya. Dia mengusap air matanya dengan punggung kepalan kedua tangannya, kanan kiri seperti seorang anak kecil kalau menangis. Khiu-ma menyeret sebuah kursi dan Kun Liong lalu menjatuhkan diri duduk di atas kursi itu. “Paman Giam, Khiu-ma, ceritakanlah...! Tapi lebih dulu... mengapa aku tidak melihat Mei Lan menangisi jenazah ibunya?” Berkata demikian, air matanya kembali bercucuran. Dengan suara meratap tangis, Khiu-ma berkata, “Siocia juga telah pergi sejak malam tadi, entah ke mana dan entah mengapa... tapi tentu dia yang menyebabkannya, dia yang membunuhnya... dia wanita yang tidak berperikemanusiaan itu...” “Diamlah Khiu-ma!” Giam Tun membentak wanita yang mulai histeris itu dan Khiu-ma menundukkan mukanya, terisak-isak. “Kami berdua juga masih bingun memikirkannya, taihiap.” Giam Tun mulai bercerita dan suaranya sudah tenang setelah dia melihat majikannya juga mulai tenang kembali. “Ceritakan yang jelas sejak semula, apa yang telah terjadi. Dan saya minta dengan hormat kepada semua saudara sudilah menanti di ruangan depan agar saya dapat bicara dengan paman Giam Tun.” Para tetangga itu mengundurkan diri, keluar dan memberi kesempatan kepada pendekar itu untuk mendengar penuturan Giam Tun karena mereka semua sudah mendengar persoalan itu. Dengan panjang lebar dan jelas Giam Tun lalu menuturkan tentang kunjungan nyonya Lie Kong Tek, puteri dari ketua Cin-ling-pai malam tadi ketika baru saja toko ditutup. “Kedatangannya aneh sekali, taihiap. Begitu datang dia marah-marah. Nyonya... eh, mendiang...” Giam Tun merasa lehernya tercekik ketika menceritakan nyonya majikannya. “Paman Giam, kita harus dapat menghadapi kenyataan. Isteriku telah mati, kau bersikaplah tenang agar ceritamu jelas,” Kun Liong berkata dengan suara lirih. “Maaf, taihiap.” Giam Tun menarik napas panjang melegakan dadanya. “Nyonya menyambutnya dengan ramah, dan menyabarkannya, bahkan menariknya untuk masuk ke dalam. Lie-toanio itu datang-datang menanyakan taihiap dengan cara yang kasar sekali. Setelah keduanya masuk, tentu saja saya dan Khiu-ma tidak berani ikut masuk, hanya mendengarkan dari luar, akan tetapi, tidak terdengar jelas apa percakapan mereka. Kemudian kami mendengar ribut-ribut seperti orang bertengkar. Kami masih belum berani masuk, hanya kami mendengar bahwa yang bertengkar itu adalah suara Lie-toanio dan suara siocia. Kemudian, kami berdua melihat siocia berlari keluar sambil menangis. Kami memanggil-manggilnya, akan tetapi siocia lari cepat sekali dan lenyap di dalam kegelapan malam. Kami bingung, lalu mendengar ribut-ribut di dalam. Kami berdua lalu memasuki ruangan dalam dan kami melihat nyonya sedang bertempur dengan Lie-toanio!” Kun Liong mengepal tinju tangannya. Dia penasaran, dan terheran-heran. Apa sebenarnya yang terjadi? Seperti dalam mimpi saja dia mendengar betapa isterinya bertempur dengan Giok Keng. Hal yang amat aneh dan mustahil kedengarannya! “Khiu-ma berusaha melerai, akan tetapi Lie-toanio memukulnya sehingga Khiu-ma roboh pingsan. Saya lalu maju menegurnya, akan tetapi sayapun dipukulnya dan saya tidak tahu apa-apa lagi, kemudian... kemudian... Khiu-ma, kau sadar lebih dulu daripada aku, ceritakanlah.” Dengan suara megap-megap Khiu-ma melanjutkan cerita rekannya. “Saya... Saya sadar dengan kepala pening dan pertama-tama yang saya ketahui adalah bahwa saya rebah di lantai dan ruangan ini morat-marit. Lalu saya teringat semuanya, saya bangkit berdiri dan... dan... saya melihat nyonya... rebah di lantai pula... mandi darah...” Kun Liong memejamkan matanya untuk mencoba membayangkan apa yang terjadi, tiba-tiba, seperti halilintar datangnya, Khiu-ma dan Giam Tun berkata nyaring. “Dia yang membunuhnya, wanita kejam itu yang membunuh nyonya!” “Benar, siapa lagi kalau bukan Lie-toanio!” Giam Tun berkata keras. “Diam!” Kun Liong membentak, membuka matanya lalu sadar bahwa dia bersikap keras terhadap dua orang pembantunya yang setia itu. “Maaf, paman Giam dan Khiu-ma... eh, bagaimana kalian dapat menduga babwa nyonya tewas oleh Lie-toanio?” Dia lalu bertanya seperti seorang anak bodoh bertanya kepada orang-orang dewasa yang lebih mengerti. Memang Kun Liong merasa bingung dan bodoh pada seat itu. Segalanya berjalan begitu tidak masuk akal sungguhpun penuturan itu keluar dari mulut dua orang pembantunya yang tak mungkin berani berbohong. Baru membayangkan isterinya cekcok dengan Giok Keng saja sudah merupakan hal yang sukar dipercaya, apalagi isterinya itu sampai bertanding dengan Giok Keng! Biarpun dia dapat menduga bahwa andaikata bertanding sekalipun isterinya akan kalah setingkat, akan tetapi siapa dapat percaya bahwa Giok Keng membunuh isterinya? Taihiap, tidak ada siapa-siapa lagi di sini! Dan yang bertanding dengan nyonya adalah Lie-toanio. Dia kelihatan marah besar sejak datang. Siapa lagi kalau bukan dia yang melakukan pembunuhan itu?” “Dan ada beberapa orang tetangga mengatakan bahwa mereka melihat berkelebatnya bayangan hitam yang jelas adalah bayangan seorang wanita sungguhpun mereka tidak melihat mukanya karena gelap di luar. Ada pula yang melihat bayangan wanita meloncat ke atas genteng seperti tergesa-gesa. Sudah jelas bahwa nyonya keji itulah yang membunuh...” Khiu-ma memperkuat keterangan Giam Tun. Kun Liong menjadi bingung sekali. Pukulan batin itu terlalu hebat baginya dan bertubi-tubi datangnya malapetaka itu. Isterinya yang tercinta mati terbunuh! Anaknya minggat dan tidak berhasil ditemukan ketika dicari-cari. Dan menurut kesaksian dua orang pembantunya, pembunuh isterinya adalah Cia Giok Keng! Kekuatan batinnya goyah dan pendekar ini selalu berdiam di kamar isterinya, merenungi wajah isterinya yang sudah menjadi mayat itu seperti orang linglung. Segala pertanyaan dua orang pembantunya yang mengurus perawatan jenazah, dibantu oleh para tetangga, hanya ditanggapi dengan anggukan kepala saja. Semalam suntuk dia menjaga jenazah isterinya. Wajah itu demikian cantik, demikian tenang dan penuh damai, akan tetapi demikian pucat dan kehilangan cahaya kehidupan. Tidak teringat olehnyo segala sesuatu, baik anaknya, maupun pembunuh isterinya, atau apapun juga, yang diketahui hanya bahwa isterinya telah mati! Cahaya hidupnya telah padam! Sumber kebahagiaannya telah kering! Semenjak mendengarken cerita kedua orang pembantunya sampai berjalan dengan muka tunduk di belakang iring-iringan jenazah ketika isterinya dikuburkan, Kun Liong tidak pernah mengeluarkan sepatah katapun. Semua pengurusan penguburan dan penyambutan para tamu yang ikut berduka cita dilakukan oleh kedua orang pembantu itu. Kun Liong menjadi seperti mayat hidup. Dengan mata kosong dia melihat betapa peti jenazah isterinya dimasukkan lubang kemudian diuruk dengan tanah sampai hanya tampak gundukan tanah tinggi. Dan setelah semua pengiring jenazah pulang Kun Liong masih saja berlutut di depan kuburan isterinya. “Taihiap, semua sudah selesai, marilah kita pulang, taihiap...” Giam Tun berkata membujuk tuannya. Khiu-ma hanya mengusap air matanya, terharu dan kasihan sekali kepada Kun Liong yang begitu pucat dan kurus, rambutnya kusut dan matanya kosong. Dia seperti mayat hidup saja. Betapapun kedua orang yang setia itu membujuk, Kun Liong tidak menjawab, hanya menggeleng kepala. Akhirnya mereka takut kalau majikan mereka marah, maka mereka berpamit untuk mengurus rumah dan Kun Liong mengangguk. Kini Kun Liong tinggal seorang diri di kuburan isterinya, duduk di atas tanah dan sampai berjam-jam lamanya memandang ke angkasa. Seolah-olah tampak olehnnya wajah isterinya tersenyum-senyum dan bersembunyi di antara awan, dan kadang-kadang dia melihat isterinya berlari-larian berkejaran dengan awan yang mencipta bermacam bentuk yang aneh. Kemudian, pandang matanya yang sudah tidak lumrah manusia biasa karena dikuasai oleh kedukaan yang begitu mendalam, sehingga seolah-olah terlepas dari penguasaan dirinya itu seperti melihat isterinya bertanding dengan seorang wanita di antara awan puti, kemudian isterinya terpelanting roboh. “Ouhhh...!” Tanpa disadarinya, Kun Liong mencengkeram tanah dan bayangan itu lenyap tertutup awan yang berarak. Lalu timbul kembali, kini dia melihat bayangan seorang wanita yang tidak jelas siapa menggunakan pedang menusuk dada isterinya yang masih rebah terlentang. “Heiii...!” Kun Liong berteriak sambil melompat bangun, seolah-olah dia hendak terbang ke angkasa untuk menolong isterinya. Akan tetapi dia terbanting kembali ke atas tanah. “Hong Ing... ahhh, Hong Ing, isteriku... ceritakanlah, siapa yang membunuhmu dan mengapa? Benarkah dia Giok Keng...?” dia mengeluh sambil menubruk gundukan tanah kuburan isterinya dan tinggal menelungkup seperti itu sampai hujan turun! “Duhai... berat nian derita hidup penuh sengsara ditinggal pergi orang tercinta seorang diri sunyi dan hampa. Ke mana harus mencarimu, kekasih? bila kita dapat saling bersua? hidup tanpa cinta apa artinya? dunia tanpa matahari… gelap gulita!” Malam yang gelap pekat dan basah oleh hujan lebat. Sunyi menyeramkan di tanah pekuburan itu, sunyi yang mencekam, kesunyian yang akan menjadi amat mengerikan dengan bayangan-bayangan tentang iblis, setan dan siluman, tentang orang-orang mati yang hidup kembali, tentang roh penasaran yang berkeliaran, rangka-rangka manusia yang berjalan-jalan mencari mangsa. Penggambaran khayal manusia yang membawa-bawa alam kesengsaraan sampai sesudah mati. Kesengsaraan akan SELALU ada selama kita menonjol-nonjolkan diri pribadi, karena segala bentuk kesengsaraan adalah buatan kita sendiri, buatan pikiran kita sendiri! Kesengsaraan bukanlah suatu keadaan, melainkan suatu bayangan yang direka-reka oleh pikiran. Kesengsaraan timbul dari perasaan iba diri, yaitu merasa kasihan kepada diri sendiri, merasa betapa dirinya paling celaka. Apabila kita bebas dari penonjolan keakuan, bebas dari perasan iba diri, maka segala macam peristiwa yang terjadi atas diri kita, dapat kita hadapi dengan wajar dan BUKAN lagi merupakan kesengsaraan. Yang sengsara itu bukap KEADAANNYA melainkan hatinya, dan ini merupakan permainan pikiran kita sendiri. Orang akan berduka kalau sang pikiran mengenangkan segala sesuatu tentang dirinya yang ditinggalkan kesenangan dan ditimbuni ketidaksenangan, meremas-remas hati, dan perasaannya sendiri dengan rasa iba hati, kasihan kepada diri sendiri, kepada orang atau benda yang kita sayang, dan merasa sengsara. Malam gelap pekat dan hujan turun deras diterima sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan oleh manusia, sebagai sesuatu yang tidak baik dan buruk. Hanya batin yang bebas dari perbandingan saja akan melihat bahwa di dalam segala sesuatu terdapat kesempurnaan dan kebenaran. Di dalam malam gelap dan hujan lebatpun terdapat kesempurnaan dan kebenaran, terdapat kemanfaatan yang tak terpikirkan oleh ingatan manusia yang hanya mencari senang. Sunyi melengang malam itu di tanah pekuburan. Bahkan burung hantupun bersembunyi dan mencari tempat perlindungan dari air hujan. Yang terdengar hanya suara hujan yang setiap detik berubah, suara yang hidup diseling keheningan yang syahdu. Kalau pada seat itu ada orang biasa yang berada di dekat tempat itu, tentu dia akan lari tunggang langgang dan nekat menempuh hujan ketika dia melihat cahaya kecil bergerak-gerak ke kanan kiri di dalam kabut air hujan, makin lama makin mendekati tanah kuburan itu. Cahaya ini makin dekat dan tampak kini bayangan hitam yang besar dan aneh sekali bentuknya. Dari pinggang ke bawah seperti bayangan orang biasa yang melangkah perlahan-lahan, selangkah demi selangkah. Akan tetapi dari pinggang ke atas amat luar biasa, membesar dan bulat. Segala macam bentuk setan hanya ada kalau DIADAKAN oleh pikiran kita sendiri. Banyak memang pengakuan orang-orang yang pernah melihat setan, akan tetapi sudah pasti sekali bahwa yang dilihatnya itu tentulah setan-setan seperti yang pernah dikenalnya, yaitu melalui pendengaran cerita, melalui gambar-gambar atau dongeng-dongeng orang tua, pendeknya tentu yang dilihatnya itu adalah gambaran yang sudah ada di dalam ingatannya! Pikiran dapat mempengaruhi semua anggauta badan, terutama sekali mata dan telinga. Kalau pikiran sudah mencekam kita dengan gambaran-gambaran tentang setan-setan yang menakutkan dan mengerikan, maka melihat bayangan pohonpun sudah dapat menciptakan gambaran setan itu, mendengar suara burung malampun sudah dapat menciptakan gambaran yang dicetak oleh pikiran kita sendiri. Karena itu, kita harus awas dan sadar terhadap tipu muslihat yang dilakukan oleh sang pikiran yang lincah dan cerdik seperti monyet itu. Setelah dekat benar, barulah tampak bahwa bayangan mengerikan itu bukan lain adalah kakek Giam Tun yang berjalan perlahan-lahan, tangan kanan memegang sebuah lentera, tangan kiri memegang sebuah payung. Dengan menggigil kedinginan, juga oleh rasa seram, kakek ini memaksa kakinya melangkah perlahan-lahan memasuki pintu gerbang tanah pekuburan. Malam terlalu gelap ditambah kabut air hujan, maka penerangan lentera itu belum cukup kuat sinarnya untuk menembus kegelapan. Hanya karena hafal saja kakinya melangkah satu-satu menuju ke tempat di mana nyonya majikannya dikubur sore tadi. Bulu tengkuknya meremang. Hati siapa tidak akan ngeri memasuki tanah pekuburan sedangkan nyonya majikannya baru sore tadi dikubur? Akan tetapi, rasa hutang budi yang mendatangkan rasa sayang dan setia kepada majikannya membuat kakek ini nekat memberanikan hatinya untuk mencari majikannya yang sampai malam hujan itu belum juga pulang. “Taihiap...!” Suara yang keluar dari mulut Giam Tun ini menggema ditimpa suara hujan sehingga dari jauh terdengar lain, bunyinya seperti rintihan yang keluar dari dalam satu di antara gundukan-gundukan tanah kuburan itu. Giam Tun memanggil beberapa kali dan ketika masih saja belum ada jawaban padahal sinar lenteranya sudah menimpa tubuh Kun Liong yang menelungkup di atas gundukan tanah kuburan baru itu, Giam Tun terkejut setengah mati. Tersaruk-saruk dia melanggah maju, payung dan lentera itu berguncang karena seluruh tubuhnya menggigil. Kun Liong berada dalam keadaan antara sadar dan tidak. Dia merasa seperti sedang berperahu dengan isterinya dan isterinya demikian cantik dan bahagia, tersenyum dan memandang kepadanya penuh dengan sinar mata mesra yang mengandung kasih sayang seperti kalau biasa isterinya memandangnya. Akan tetapi, tiba-tiba air sungai bergelombang dan perahu itu terbalik! Dia melihat isterinya hanyut dibawa air sungai. Sia-sia saja dia berusaha berenang mendekati, makin lama isterinya makin jauh. “Hong Ing...!” dia menjerit. “Suamiku... kaucari Mei Lan...! Cari Mei Lan...!” Hanya suara teriakan isterinya menyuruh dia mencari Mei Lan itu yang terdengar kini. Dia tidak ingat lagi bahwa tadi Mei Lan juga ikut di dalam perahu. “Taihiap... bangunlah... kita perlu mencari nona Mei Lan...! Kita harus mencari nona Mei Lan...!” Kun Liong menggerakkan tubuhnya dan menoleh, matanya silau oleh sinar lentera itu dan dia melihat wajah Giam Tun di atas lentera, wajah yang penuh iba dan yang berkata dengan suara penuh permohonan, “Pulanglah, taihiap, nona Mei Lan belum juga datang, kita perlu mencarinya...!” “Hong Ing... Mei Lan...!” Kun Liong mengeluh, teringat akan “mimpinya” dan dia lalu barigkit duduk di atas tanah yang becek. Pakaiannya basah kuyup dan kotor penuh lumpur, juga mukanya berlepotan lumpur. Kini dia sadar sepenuhnya dan diam-diam dia berterima kaaih kepada Giam Tun. Kakek ini biasanya amat takut akan setan-setan, dan kini sampai matipun dia tidak akan berani disuruh memasuki tanah kuburan seorang diri di waktu malam dan hujan itu. Pernah Hong Ing menggoda kakek ini saking penakutnya terhadap setan, malam-malam menggunakan kepandaiannya. Hong Ing meloncat ke atas genteng dan memakai kerudung putih menakut-nakuti Giami Tun sehingga kakek ini hampir terkencing-kencing saking takutnya, mengira ada setan. Memang kadang-kadang di waktu gembira Hong Ing suka bermain-main seperti anak kecil. Akan tetapi kini kakek itu menempuh segala rasa takutnya, datang mencarinya. Kun Liong merasa betapa sikapnya terlalu menuruti hati sedih. Kesadarannya mulai timbul. “Paman Giam Tun, aku memang hendak menemani nyonya majikanmu di malam pertama yang gelap dan dingin ini. Kasihan dia, paman... kasihan sekali dia, bukan?” Giam Tun mengangguk dan dari balik lentera dia hanya mengangguk-angguk, akan tetapi sedu-sedannya terdengar melalui kerongkongannya. “Sudahlah, paman. Sudah berlebihan aku menyedihi dan menangisi diriku sendiri, sekarang aku harus ingat kepadanya. Kau pulanglah. Aku tidak apa-apa, biar aku malam ini menjaga di sini. Besok kita bicarakan tentang Mei Lan, dan yang lain-lain.” Giam Tun mengusap matanya dengan ujung lengan baju. Hatinya lega juga. Biarpun keadaan majikannya demikian menyedihkan dan mengharukan, namun suara dan kata-kata yang keluar dari mulut majikannya menunjukkan bahwa pendekar itu sudah sadar kembali, suaranya tenang dan penuh wibawa seperti biasanya. “Apa taihiap tidak perlu ganti pakaian? Ini sudah saya bawakan... dan makanan... sejak dua hari yang lalu taihiap belum makan atau minum apa-apa...” Dengan jari-jari gemetar kakek itu hendak membuka bungkusan yang tadi dikempitnya. Kun Liong menggeleng kepalanya. “Bawa kembali saja, paman. Apa gunanya berganti pakaian sekarang? Pakaian kering akan basah lagi, pakaian bersih akan kotor lagi dan dalam keadaan seperti sekarang ini, bagaimana aku mampu menelan makanan atau minuman? Pulanglah dan biarkan aku sendiri untuk menghadapi dan merenung segala kepahitan hidup ini, paman.” Giam Tun memandang majikannya, beberapa kali menelan ludah, dan tidak mampu mengeluarkan perkataan. Dia merasa menjadi sepuluh tahun lebih tua daripada biasanya semenjak terjadinya peristiwa mengerikan tiga hari yang lalu itu. Kakek itu mengangguk-angguk, membalikkan tubuhnya dan hendak pergi, akan tetapi berhenti lagi, menengok dan berkata, “Apakah perlu lentera ini saya tinggalkan di sini, taihiap?” “Bawa pergi saja, paman. Sinarnya tidak akan mampu menerangi kegelapan hatiku, malah menyilaukan mata saja.” Bibir kakek itu bergerak-gerak, dia sendiri tak tahu apa yang hendak dikatakan lalu dia pergi tersaruk-saruk dengan langkah pendek-pendek dan punggung agak membongkok, meninggalkan tempat itu menuju ke pintu gerbang kuburan yang dari jauh tampak tinggi besar hitam seperti setan raksasa mementang kedua lengannya dan amat mengerikan kalau tampak tertimpa sinar kilat. Setelah kakek Giam Tun pergi, Kun Liong merasa betapa tubuhnya dingin sekali. Baru sadarlah dia betapa selama ini dia telah mengabaikan kewajibannya yang terutama sebagai manusia hidup, yaitu menjaga kesehatan tubuhnya. Dia telah membiarkan dirinya terbuka terhadap semua serangan lahir batin, terlalu menenggelamkan diri ke dalam perasaan duka sengsara. Teringat akan ini, dia lalu duduk bersila di depan kuburan isterinya, mengerahkan sin-kang menghangatkan tubuhnya. Setelah tubuhnya terasa sehat kembali, dia mulai menggunakan mata batinnya untuk memandang keadaan dirinya, untuk menyelidiki semua keadaan yang telah menimpa dirinya. Setelah kini dia tidak lagi dijadikan permainan hati dan pikirannya, tampaklah oleh kesadarannya betapa dia hampir gila oleh rasa iba diri, bahwa selama ini dia menangisi diri sendiri, berkabung atas keadaan dirinya sendiri yang direnggut kesenangan hidupnya. Dia tidak perlu menangisi kematian Hong Ing. Mengapa? Hong Ing sudah terbebas dari segala ikatan duniawi dengan suka dukanya, dengan kesenangan yang singkat den kesengsaraannya yang panjang. Terbayang dia akan wajah mayat isterinya yang demikian penuh damai dan ketenangan, lalu membandingkan dengan keadaan dirinya. Mungkin sudah sepatutnya kalau Hong Ing di “sana” menangisi dia karena keadaannya yang sengsara itu. Akan tetapi dia tidak patut menangisi Hong Ing yang sudah tidak terseret oleh arus kesengsaraan duniawi lagi. Setelah sadar akan ini, yang tinggal hanya penyesalan den penasaran. Mengapa isterinya yang dia tahu amat jenaka, lemah lembut, baik budi dan ramah itu sampai dibunuh orang? Dan yang membunuhnya Giok Keng! Tidak salah lagi. Tidak mungkin orang-orang seperti dua orang pembantunya itu, terutama sekali Giam Tun, akan membohong! Dia harus mencari Giok Keng. Membuat perhitungan! Kini lain perasaan mengaduk hati Kun Liong, digerakkan oleh pikiran yang bekerja keras. Dan meloncat dan mengepal tinjunya. “Giok Keng, kau perempuan keji! Aku akan membalaskan kematian Hong Ing!” “Darrr...!” Kilat menyambar sebagai penutup dari hujan yang mulai berhenti. Sekejap mata tempat itu menjadi terang menyilaukan mata dan Kun Liong terkejut, tersadar lagi dan menjatuhkan diri berlutut di depan kuburan sambil menutupkan kedua tangan yang kotor berlumpur di depan mukanya. Terbayanglah dia akan wajah Cia Keng Hong dan Sie Biauw Eng, ayah dan ibu Giok Keng, terbayang dia akan wajah Giok Keng di waktu gadis dahulu, terbayang pula akan semua hal, perhubungannya dengan keluarga Cia. Dan dia baru saja mengeluarkan ancaman untuk membunuh Giok Keng! Bodoh! Dia memaki diri sendiri. Dia tidak boleh menurutkan nafsu yang didorong oleh pikiran yang menduga-duga. Dia harus menyelidiki sebabnya, tidak terpengaruh begitu saja oleh peristiwa yang hanya akibat. Kalau dia menuruti nafsunya, maka peristiwa yang menimpa dirinya ini akan dia jadikan sebab untuk menimbulkan akibat lain, misalnya dia membunuh Giok Keng! Dan akibat itu tentu akan menjadi sebab pula dari urusan yang berkepanjangan, dendam yang bertumpuk-tumpuk dan tiada habisnya. Tidak, dia harus dapat melihat kenyataan. Isterinya mati terbunuh orang! Anaknya lari pergi tanpa diketahui sebabnya pula. Dan satu-satunya orang yang kiranya dapat dijadikan terdakwa, hanya Giok Keng. Kalau dia mendatangi Giok Keng, pertemuannya dengan wanita itu mungkin akan menyalakan api kedukaan dan dendam di hatinya dan dia tidak berani membayangkan apa yang akan terjadi. Tidak, dia tidak bokeh melakukan hal yang sembrono. Dia harus memikirkan dengan baik dan tidak bertindak ceroboh. Carilah Mei Lan, demikian pesan isterinya dalam mirapi di waktu dia tidak tidur tadi. Benar! Yang terpenting memang mencari Mei Lan. Hong Ing sudah mati, apapun yang akan dilakukannya, dia tidak akan dapat merobah kenyataan itu, bahkan mungkin dendam kebencian akan menimbulkan hal-hal baru yang lebih hebat lagi. Tentu saja dia tidak akan tinggal diam dan dia harus berusaha untuk menangkap pembunuh isterinya. Akan tetapi hal itu akan dilakukan bukan karena dendam, melainkan karena sudah sepatutnya kalau pembunuhan itu diselidiki sebab-sebabnya dan si pembunuh diadili sebagaimana layaknya! Terutama sekali, “pesan” isterinya, Mei Lan harus ditemukan. Go-bi Sin-kouw! Mengapa engkau membunuhnya?” In Hong membentak dengan suara penuh kemarahan kepada nenek itu. Mereka berdiri saling berhadapan di luar kota Leng-kok pada pagi hari itu, dan Yalima hanya memandang mereka dengan bingung. Malam tadi, Yalima ditinggalkan di sebuah kuil tua di luar kota, sedangkan In Hong dan Go-bi Sin-kouw memasuki kota Leng-kok untuk mendatangi rumah Yap Kun Liong dengan maksud membatalkan ikatan jodohnya dengan putera Cin-ling-pai. Sesuai dengan kehendak Go-bi Sin-kouw agar tidak menimbulkan kecurigaan, pula karena nenek ini tidak mau bertemu muka secara langsung dengan Pek Hong Ing, bekas muridnya, mereka berpencar setelah berjanji akan bertemu di luar kota di mana terdapat kuil itu pada keesokan harinya. Ketika In Hong pada keesokan harinya bertemu dengan nenek itu di dekat kuil, serta merta dia menegur dengan suara ketus. “Heh-heh?heh, nona In Hong! Nanti dulu, aku justeru mau bertanya kepadamu mengapa engkau membunuh bekas muridku itu! Hayo katakan mengapa engkau membunuh dia dan mengapa pula engkau berpura-pura menuduhku?” “Nenek iblis! Siapa membunuh dia? Tentu kau yang membunuh kemudian menjatuhkan fitnah kepadaku!” “Eh, bocah! Jangan engkau menuduh yang bukan-bukan! Aku Go-bi Sin-kouw tidak sudi menelan hinaan orang begitu saja! Aku datang dan melihat dari atas genteng betapa bekas muridku itu telah menggeletak dengan bekas tusukan pedang di dada, lalu aku mencari-carimu.” “Hemm, mengapa pula aku membunuhnya? Akupun datang sudah melihat dia tewas. Aku tidak mengenalnya, dan pula, dia adalah isteri kakak kandungku, mengapa pula aku harus membunuh?” “Huh, dan kaukira aku membunuh murid sendiri? Coba katakan, apa sebabnya engkau menuduh aku yang membunuh?” “Karena engkau benci kepada kakakku itu, karena engkau tidak setuju muridmu menjadi isteri kakakku atau karena engkau tidak suka dan iri melihat kebahagiaan orang lain.” “Den kau... kau sudah jelas tidak suka kepada kakakmu sendiri! Kau marah dijodohkan dengan putera ketua Cin-ling-pai, mungkin kau dan dia cekeok dulu lalu kau membunuhnya dengan darah dingin. Kaukira aku tidak mengenal orang yang berdarah dingin yang bertangan maut seperti engkau? Aku tadi melihat wanita tua itu menangis dan berkata, ‘Wanita keji itu yang membunuhnya!' Siapa lagi kalau bukan engkau yang dia maksudkan?” “Go-bi Sin-kouw, berani kau menuduh aku!” “Yap In Hong, engkau berani menghinaku!” Kedua orang itu sudah saling melotot dan pada seat itu Yalima melangkah maju dan berkata, “Subo! Enci In Hong! Mengapa kalian berdua jadi ribut dan cekcok sendiri? Kalau memang kalian berdua tidak membunuh orang, sudahlah. Bagiku yang penting mencari dan bertemu dengan Houw-koko. Urusan enci dengan diapun akan dapat diselesaikan kalau sudah bertemu sendiri dengan dia bukan?” Go-bi Sin-kouw tertawa terkekeh-kekeh. “Heh-heh-heh, pintar juga muridku ini. Nona In Hong, mengapa kita seperti anak kecil saja? Aku tidak membunuh, engkaupun tidak membunuh, pasti ada orang lain yang membunuh. Serahkan saja kepada Yap Kun Liong untuk menyelidiki siapa yang membunuh isterinya.” “Aku tidak suka lagi melakukan perjalanan bersamamu, Sin-kouw. Kita berpisah di sini saja.” “Eh-eh? Apakah engkau marah setalah terjadi peristiwa pembunuhan itu?” “Bukan urusanku!” “Nah, kalau begitu, benar juga kata muridku, sebaiknya kalau kita menjumpai Cia Bun Houw sendiri sehingga langsung enhkau dapat memutuskan ikatan jodoh dan sekalian memaksanya mengawini muridku ini. Aku mengenal seorang sahabat baikku di lereng gunung itu, seorang tokoh besar, marilah kita mengunjungi karena engkau perlu sekali berkenalan dengan tokoh-tokoh dunia persilatan. Dan setelah kita menitipkan Yalima di sana, kita berdua mencari Bun Houw. Bagaimana?” Yap In Hong berpikir-pikir, melirik kepada Yalima. Gadis Tibet ini memegang tangannya dan berkata, “Marilah, enci In Hong. Aku yakin bahwa hanya dengan bantuanmu saja aku akan dapat berjumpa dengan Houw-ko.” In Hong menghela napas panjang. Aneh, dia merasa suka sekali kepada Yalima! “Sin-kouw, engkau sungguh mencurigakan. Kalau bukan engkau pembunuhnya, mengapa melihat muridmu tewas sikapmu enak-enak saja?” katanya. “Heh-heh-heh, orang-orang seperti kita siapa yang lebih aneh? Engkau kematian so-somu (kakak iparmu) dan kaupun tidak berduka, bukan? Sudah, tidak perlu kita saling tuduh. Katakanlah bahwa mungkin seorang di antara kita yang membunuh, dan mungkin juga keduanya tidak.” Mereka meninggalkan kuil tua itu menuju ke gunung yang ditunjuk okh nenek itu. Diam-diam Yalima memperhatikan dan dara ini berpendapat di dalam hatinya bahwa tentu seorang di antara mereka berdua itu membohong. Tentu seorang dari mereka yang telah melakukan pembunuhan yang dibicarakan tadi, akan tetapi karena dia tertarik dan suka kepada In Hong, tentu saja hatinya condong menuduh subonya yang dia kenal sebagai seorang nenek yang luar biasa, aneh dan galak itu. Gunung yang mereka tuju itu adalah bukit kecil dengan puncaknya yang disebut Giok-kee-san (Bukit Ayam Kumala) karena bentuk batu besar di puncak itu, yang merupakan batu kapur keras, memang tampaknya seperti seekor ayam bertengger den kalau tertimpa matahari, batu kapur itu mengeluarkan cahaya scperti batu kumala. Puncak ini menjadi pusat pertemuan dari orang-orang golongan hitam yang dikumpulkan dan diundang oleh Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Sian-kouw yang dalam usaba ini ditemani oleh Toat-beng-kauw Bu Sit, orang termuda dari Lima Bayangan Dewa. Memang Toat-beng-kauw Bu Sit sebelum bergabung dengan empat orang lainnya, pernah tinggal di puncak Giok-kee-san ini sebagai seorang pertapa, biarpun ketika itu usianya baru tiga puluh tahun lebih. Dan karena dia tidak pernah membuat ribut, tekun menggembleng diri dengan ilmu-ilmunya, maka biarpun Leng-kok dekat dengan bukit itu, hanya perjalanan sehari semalam, namun Kun Liong tidak pernah mengenalnya. Kini, tempat itu dipilih oleh beng-kauw untuk menjadi tempat pertemuan dengan tokoh-tokoh dunia hitam yang diundang untuk membantu persekutuan mereka menghadapi Cin-ling-pai. Dia bertugas menemani tosu dan tokouw itu mencari bantuan-bantuan dari timur dan di antaranya mereka mengundang Go-bi Sin-kouw, yang biarpun merupakan tokoh barat dan utara, namun karena dia dikenal baik oleh Hek I Siankouw maka mereka undang juga. Tentu saja Lima Bayangan Dewa ini hanya mengundang tokoh-tokoh yang berkepandaian tinggi saja dan pada saat itu, selain Go-bi Sin-kouw yang sedang menuju ke situ bersama Yap In Hong dan Yalima, sudah datang pula seorang undangan yang berilmu tinggi, seorang berpakaian pendeta atau pertapa pula yang dikenal dengan nama julukan Bouw Thaisu. Kakek ini adalah sahabat baik dari Thian Hwa Cinjin, ketua Pek-lian-kauw timur yang telah tewas ketika bentrok dengan keluarga Cia Keng Hong (baca cerita Petualang Asmara) sehingga diapun merasa tidak suka kepada keluarga Cin-ling-pai itu. Untuk memusuhi sendiri dia tidak berani, maka setelah kini Lima Bayangan Dewa mulai menentang Cin-ling-pai dan mengumpulkan persekutuan untuk menghadapi Cin-ling-pai, dia segera mengajukan diri. In Hong memandang tajam penuh selidik ketika kedatangan mereka bertiga disambut dengan ramah oleh empat orang yang kelihatannya saja sudah sebagai orang-orang yang lihai. Hek I Sinkouw yang mengenal baik Go-bi Sin-kouw, segera memperkenalkan tiga orang itu kepada tokoh Go-bi ini, kemudian In Hong diperkenalkan sebagai seorang tokoh muda yang amat lihai oleh Go-bi Sin-kouw. In Hong menyambut perkenalan itu dengan mengangkat kedua tangan di depan dadanya. Betapapun juga, mereka itu adalah orang-orang tua sekali, kecuali Toat-beng-kouw Bu Sit yang kurus seperti monyet dan yang pandang matanya penuh gairah ditujukan kepadanya itu. “Nona Yap In Hong, saat ini engkau berhadapan dengan tokoh-tokoh puncak!” demikian Go-bi Sin-kouw memperkenalkan. “Sahabatku ini adalah Hek I Siankouw dan kaulihat, kesukaannya dalam hal warna pakaian sama seperti aku, sejak kami masih muda, heh-heh-heh, yaitu warna hitam mulus. Dulu dia cantik sekali, dengan kulitnya yang halus putih seperti kulitmu itu, sehingga menonjol sekali dengan pakaian hitamnya. Dan kepandaiannyapun hebat! Dan ini, seperti diperkenalkan tadi, adalah Hwa Hwa Cinjin, tokoh besar karena dia adalah sute dari mendiang Toat-beng Hoatsu yang pernah menjadi datuk golongan hitam. Kakek yang baru kukenal ini adalah Bouw Thaisu, pertapa di pantai Po-hai yang tinggi ilmunya. Dan dia ini biarpun masih muda, akan tetapi namanya sudah menggetarkan langit dengan para suhengnya. Dia adalah Toat-beng-kauw Bu Sit, orang termuda dari Lima Bayangan Dewa.” Diam-diam In Hong terkejut dan memperhatikan. Hemm, kelihatannya tidak seberapa, pikirnya. Seorang laki-laki kecil kurus seperti monyet, usianya empat puluhan tahun, mukanya kuning pucat. Jadi inikah seorang di antara Lima Bayankah Dewa yang sudah menggegerkan dunia persilatan karena telah berani mengacau Cin-ling-pai dan mencuri Siang-bhok-kiam? Sambil menyeringai Toat-beng-kauw Bu Sit menjura kepadanya dan berkata, “Nona Yap, sungguhpun saya belum pernah mendengar nama nona, akan tetapi saya percaya bahwa sebagai sababat Go-bi Sin-kouw, none memiliki kepandaian yang amat hebat,” mulutnya bicara dengan In Hong, akan tetapi matanya yang kecil mengincar Yalima! “Bu-sicu, engkau mungkin tidak dapat menduga!” Go-bi Sin-kouw terkekeh, “Nona Yap ini adalah adik kandung dari Yap Kun Liong di Leng-kok.” “Aihhh...!” Tidak saja Toat-beng-kauw Bu Sit yang berseru terkejut, akan tetapi yang lain-lain memandang kaget, menoleh kepada Go-bi Sin-kouw dengan heran. “Biarpun dia kakak kandungku, di antara kami tidak ada urusan apa-apa.” In Hong cepat berkata. “Sejak kecil tidak pernah ada hubungan.” Mereka semua mengangguk-angguk dan tidak berani menyinggung urusan itu lagi, akan tetapi diam-diam mereka bersikap hati-hati karena mereka semua tahu bahwa Yap Kun Liong adalah seorang pendekar yang memiliki kepandaian hebat sekali dan merupakan “orang dekat” dengan Cin-ling-pai! “Siapakah nona manis ini, Sin-kouw? Mengapa tidak diperkenalkan?” Tiba-tiba Bu Sit bertanya kepada Go-bi Sin-kouw sambil memandang kepada Yalima. Go-bi Sin-kouw terkekeh bangga. “Cantik jelita dan hebat, ya? Dia ini adalah muridku yang baru, namanya Yalima, kembang dari Tibet.” “Wah, sungguh beruntung engkau mempunyai murid secantik ini!” Bu Sit memuji dan semua orang tersenyum, hanya Yalima yang menundukkan mukanya dengan hati tidak enak melihat sinar mata Bu Sit demikian liar dan ganas menggerayanginya! In Hong juga melihat hal ini dan otomatis dia merasa tidak suka kepada Toat-beng-kauw Bu Sit. Adapun karena desakan Yalima maka dia mau ikut bersama Go-bi Sin-kouw, dan dia sudah mengambil keputusan untuk segera meninggalkan nenek yang tidak menyenangkan itu, akan tetapi begitu bertemu dengan orang termuda dari Lima Bayangan Dewa ini, hatinya tertarik untuk menyelidiki tentang pedang Siang-bhok-kiam! Pantas saja Jeng-ci Sin-touw Can Pouw pernah mengatakan bahwa Lima Bayangan Dewa tidak berada di sarangnya di muara lembah Huang-ho, kiranya mereka itu yang seorang berada di sini untuk mengumpulkan orang-orang lihai dari golongan hitam! Hal ini menarik perhatian In Hong dan dia ingin tahu apa yang hendak dilakukan orang-orang yang dia menduga amat benci dan memusuhi Cin-ling-pai ini.   Malam itu In Hong berkesempatan untuk bercakap-cakap berdua saja dengan Yalima selagi Go-bi Sin-kouw dan empat orang tokoh itu mengadakan perundingan di dalam ruangan belakang. Agaknya nnemang sengaja In Hong ditinggalkan, karena setelah makan malam. Yalima diperintah oleh subonya untuk mengajak In Hong berjalan-jalan dan menikmati malam indah di luar pondok itu. Malam itu penuh bintang, sungguhpun di udara nampak awan hitam berkelompok. “Sin-kouw, sungguh engkau aneh sekali. Biarpun dia mengaku tidak ada hubungan dengan kakak kandungnya, akan tetapi kalau dia itu adik Yap Kun Liong, sungguh berbahaya sekali engkau mengajaknya ke sini! Siapa tahu dia itu sengaja menjadi mata-mata Cin-ling-pai!” Toat-beng-kauw Bu Sit menegur nenek itu. “Heh-heh, kaukira aku sebodoh itu? Aku pertama-tama tertarik kepadanya ketika di Wu-han dalam sebuah pesta dia menghina puteri ketua Cin-ling-pai!” “Ahhh...!” Semua orang tertarik, terutama sekali Toat-beng-kauw Bu Sit yang menjadi musuh besar keluarga Cin-ling-pai. Nenek dari Go-bi itu lalu menceritakan semua yang dilihatnya di dalam pesta itu, bahkan lalu menuturkan apa yang didengarnya dari In Hong sendiri betapa dara itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan Yap Kun Liong, kakak kendungnya itu. Mereka mendengarken penuturan ini dengan heran, akan tetapi dengan suara ragu-ragu, Toat-beng-kauw Bu Sit mencela. “Betapapun juga, hal itu masih belum menjadi jaminan penuh bahwa dia bukan mata-mata Cin-ling-pai. Siapa tahu kalau sikapnya dengan puteri Cin-ling-pai itu hanya permainan sandiwara belaka.” Wajah nenek Go-bi menjadi merah dan dia melotot. “Tidakkah kalian melihat burung hong di rambutnya?” “Ah, Giok-hong-pang...?” Hek I Sian-kouw bertanya. Go-bi Sin-kouw mengangguk. “Murid tunggal dari ketuanya, dan aku sudah melihat sendiri kepandaiannya hebat. Nah, seorang murid ketua Giok-hong-pang, apakah masih belum meyakinkan? Kalau masih belum, Toat-beng-kauw Bu Sit, ada satu lagi yang membuat aku berani mengajaknya ke sini. Dia mungkin telah membunuh isteri Yap Kun Liong malam tadi di Leng-kok, atau setidaknya, dia melihat kematian kakan iparnya itu dengan sikap dingin dan tidak peduli!” “Huhh...?” Berita ini benar-benar mengejutkan semua orang. Ketika nenek itu menceritakan tentang kematian nyonya Yap Kun Liong, semua orang menjadi girang. “Aha, Go-bi Sin-kouw, engkau telah berjasa besar masih pura-pura merendahkan diri!” Hwa Hwa Cinjin berkata. “Siapa lagi kalau bukan engkau yang membunuhnya?” Go-bi Sin-kouw memainkan senyumnya yang nyaprut. “Mungkin aku, mungkin Yap In Hong, aku sendiri sampai bingung memikirkan. In Hong telah menyangkal. Nah, Bu-sicu, apakah kau masih belum yakin?” Bu Sit bangkit berdiri dan menjura sampai dalam ke arah nenek itu. “Atas nama Lima Bayangan Dewa, aku menghaturkan terima kasih atas semua jasamu, Sin-kouw! Dan sekarang, apa maksudmu mengajak dia ke sini?” Go-bi Sin-kouw lalu menceritakan tentang kemarahan In Hong terhadap Cie Bun Houw, putera Cin-ling-pai yang ditunangkan dengan dia. Dia tidak mau, bahkan marah-marah, apalagi setelah melihat bahwa Yalima adalah pacar Bun Houw di Tibet. “Kalau dia bisa dipancing agar mendatangi puteri ketua Cin-ling-pai di Sin-yang, kemudian mereka itu yang sama keras hatinya cekcok sampai bermusuhan, bukankah ini hebat sekali? Itulah sebabnya maka dia kuajak ke sini.” “Wah, engkau memang hebat, Sin-kouw! Dan dara mulus muridmu itu kalau dia benar pacar putera ketua Cin-ling-pai, dapat kita jadikan sandera yang amat berharga. Dia harus dapat dibujuk untuk membantu kita,” kata Toat-beng-kauw Bu Sit. Nenek itu menggeleng kepala. “Hemm, bocah itu tidak pandai ilmu silat dan baru kuajari, akan tetapi hatinya keras sekali dan dia tidak mungkin dapat dibujuk. Dia mau ikut denganku ke mana saja hanya karena aku berjanji akan mempertemukan dia dengan pecarnya.” Toat-beng-kauw Bu Sit mengerutken ailsnya, dan tiba-tiba dia memukul tangannya sendiri. “Ah, jalan satu-satunya hanya... kalau saja kau setuju, Sin-kouw!” Dua orang itu saling pandang, lalu Go-bi Sin-kouw terkekeh-kekeh. “Heh-heh-heh, engkau nakal sekali dan amat cerdik seperti monyet! Memang orang cerdik seperti engkau pantas menerima untung itu, dia cantik manis bukan main. Aku menyerahkan dia malam ini kepadamu, Bu Sit, asal engkau suka berlutut tiga kali di depan kakiku sambil mengucapkan terima kasih.” Tentu saja Toat-beng-kauw Bu Sit girang bukan main. Dia memang cerdik dan dari penuturan Go-bi Sin-kouw tentang Yalima tadi, dia sudah menduga bahwa murid baru itu tentu tidak begitu dihiraukan oleh gurunya, pula, di samping dia sudah tergila-gila melihat dara remaja yang cantik molek itu, juga dia melihat pentingnya dara yang memegang peran penting itu ditundukkan dan dipaksa menjadi kaki tangan Lima Bayangan Dewa. Dia tidak tahu bahwa bukan karena itulah Go-bi Sin-kouw menyerahkan murldnya itu kepada Bu Sit. Justeru karena dia tidak ingin kehilangan muridnya itu maka dia mengorbankan muridnya kepada orang termuda dari Lima Bayangan Dewa ini! Memang watak nenek ini luar biasa aneh dan sadisnya! Saking girangnya, Bu Sit yang sudah hampir menitikkan air liur teringat akan calon mangsanya itu, segera menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Go-bi Sin-kouw dan mengangguk-angguk tiga kali sambil berkata, “Terima kasih, terima kasih, terima kasih!” Go-bi Sin-kouw tertawa bergelak dan semua orang juga tersenyum. Mereka adalah orang-orang tua yang tidak perduli lagi akan urusan seperti itu, yang penting bagi mereka adalah dapat berhasil membasmi Cin-ling-pai untuk membalas dendam mereka yang sudah ditahan bertahun-tahun. Sementara itu, In Hong berjalan-jalan dengan Yalima di luar pondok. Setelah kini memperoleh kesempatan berdua saja dengan nona yang gagah perkasa itu, Yalima merasa dekat sekali dengan In Hong dan tanpa disadarinya dia sudah menggandeng lengan In Hong dan menggenggam tangannya. Tangan In Hong terasa hangat olehnya, dan kehangatan ini menjalar terus ke dalam dadanya terhadap pendekar wanita itu. Mereka lalu duduk di atas batu agak jauh dari pondok, di tempat yang sunyi sekali dan dari situ nampak berkelap-kelip lampu-lampu yang menyorot keluar dari dusun di bawah. Angkasa penuh bintang sedangkan di utara kadang-kadang nampak kilat menyambar di antara awan-awan gelap, membuat bintang-bintang kehilangan cahayanya dan baru berseri-seri lagi setelah kilat berlalu. “In Hong, aku hendak bertanya sesuatu kepadamu, jangan kau marah ya?” Yalima berkata sambil mengelus tangan pendekar wanita itu dengan penuh kekaguman betapa tangan yang amat halus itu mengandung tenaga yang amat kuat dan luar biasa. In Hong tesenyum memandang wajah manis yang berada di depannya. Biarpun cuaca hanya remang-remang saja, hanya diterangi oleh cahaya bintang-bintang yang lembut, namun masih mudah menangkap kecantikan bentuk muka dara remaja itu, wajah yang agaknya serasi benar dengan alam terbuka dan hawa pegunungan. Angin semilir membuat sedikit rambut yang terlepas dari kelabangnya itu melambai-lambai. “Tanyalah, mengapa aku harus marah?” “Enci In Hong... sungguh sukar bagiku untuk percaya ketika engkau mengatakan bahwa engkau menolak pertalian jodoh dengan Houw-ko! Mengapa, enci?” In Hong memandang wajah itu, melihat sepasang mata Yalima menatapnya penuh selidik dan cahaya bintang terpantul dari manik sepasang mata indah itu. Pertanyaan yang polos dan jujur tanpa maksud apa-apa tersembunyi di baliknya. Dia tersenyum lagi dan merasa heran sendiri karena dia merasa betapa baru dua kali ini dia merasa senang bercakap-cakap, yang pertama dengan Si Malaikan Copet dan yang kedua dengan Yalima. “Mengapa? Tentu saja aku menolak, Yalima. Selama hidupku belum pernah aku bertemu dengan dia, bagaimana aku sudi dijodohkan dengan orang yang sama sekali belum pernah kulihat? Pula aku kira... agaknya... aku tidak akan suka dijodohkan selama hidupku.” Yalima memandang heran melihat kesungguhan membayang di muka yang cantik sekali dan yang mengagumkan hatinya itu. Memang sesungguhnya Yap In Hong mempunyai wajah yang amat cantik, yang agak tertutup oleh sikapnya yang dingin. Wajahnya sama dengan mendiang ibunya, yaitu Gui Yan Cu, seorang wanita yang sudah terkenal sekali akan kecantikannya. “Akan tetapi engkau agaknya... amat membenci Houw-ko. Padahal engkau belum pernah jumpa denganya. Bagaimana ini, enci? Aku sungguh tidak mengerti. Memang amat aneh bagi dara yang sedang dimabok cinta ini melihat ada orang sampai bisa membenci Bun Hou! Pemuda yang baginya tidak ada cacat celanya itu tidak mungkin menimbulkan benci di hati orang lain, sehingga kebencian In Hong selain mengherankan juga menimbulkan curiga. “Aku membenci semua pria yang mempermainkan wanita, dan dia itu telah mempermainkan aku, telah menghina aku atau engkau, maka aku membencinya!” “Eh, aku tidak mengerti, enci.” “Tergantung mana lebih dulu, dia mengenalmu atau dia ditunangkan dengan aku. Kalau dia sudah tahu babwa dia bertunangan dengan aku, maka berarti dia telah mempermainkan dan menghinamu, sebaliknya kalau lebih dulu dia mengenalmu baru dia bertunangan dengan aku, berarti dia mempermainkan dan menghina aku!” Yalima masih bingung. “Seharuanya dia bersikap bagaimana, enci?” “Kalau dia lebih dulu mengenalmu, dia harus menolak semua ikatan jodoh dengan orang lain! Dan kalau dia sudah bertunangan, tidak semestinya dia menggodamu!” Hening sejenak ketika Yalima mencoba untuk memaklumi pendapat In Hong itu. Lalu dia bertanya lagi, “Enci, apakah engkau cemburu?” In Hong terkejut dan memandang dara remaja itu. “Apa maksudmu? Aku cemburu? Cemburu bagaimana dan kepada siapa?” “Cemburu kepadaku, enci In Hong, karena aku... aku dan Houw-ko...” “Hushh, sembarangan saja kau bicara! Engkau manis, sudah sepatutnya kalau ada orang jatuh cinta kepadamu. Akan tetapi hati-hatilah, Yalima, laki-laki sukar untuk dapat dipercaya. Aku khawatir kalau seorang semanis engkau sampai kelak harus mengalami patah hati seperti yang lain...” “Seperti yang lain siapa, enci?” In Hong tidak menjawab, mengenang kehidupan gurunya dan para bibi anggauta Giok-hong-pang. “Seperti siapa, enci? Apakah engkau pernah patah hati karena cinta, enci?” “Hushh!” In Hong tersenyum dan mencubit dagu yang meruncing manis itu. “Jangan bicara yang bukan-bukan. Aku tidak akan jatuh cinta karenanya aku tidak akan bisa patah hati.” Aku tidak percaya, enci. Orang secantik engkau, seperti Kwan Im Pouwsat... mana mungkin... pasti banyak yang akan jatuh cinta kepadamu, dan kalau... kalau kau berjumpa dengan Houw-ko aku yakin...” Dara itu memandang penuh khawatiran. “Hemm, kaurasa bagaimana?” In Hong sudah siap untuk mendampratnya kalau dara itu berani mengatakan bahwa dia akan jatuh cinta kepada Bun Houw. “Kurasa enci tidak akan bisa membencinya. Dia begitu baik, begitu gagah...” In Hong tersenyum lebar. “Tentu saja, karena itu engkau mencintanya. Sudahlah, kau tidurlah. Aku sudah mengambil keputusan untuk segera pergi dari sini, terus terang saja aku tidak suka bersama-sama dengan gurumu, Yalima.” “Aku juga sebenarnya tidak suka padanya, enci.” “Eh?? Apa ini? Kau tidak suka kepada gurumu? Kalau begitu, kau pergi bersamaku saja!” “Mengapa enci ingin pergi mengajak aku?” “Entahlah, aku suka padamu dan... agaknya aku membutuhkan seorang sahabat.” “Sayang, aku tidak bisa meninggalkan guruku, enci.” “Mengapa? Aku bisa mencarikan pacarmu itu untukmu, aku tanggung dapat kutemukan dia dan kupaksa dia menikah denganmu.” “Bukan itu, enci. Subo pernah menyelamatkan aku dari ancaman maut. Aku melarikan diri dari rumah ayah karena tidak sudi dibawa ke Lhasa untuk dipersembahkan kepada pangeran dan di dalam hutan, aku hampir menjadi korban harimau. Subo datang menyelamatkan aku dan aku lalu diambil murid, diajak pergi setelah kuceritakan riwayatku kepadanya. Aku telah hutang budi, bahkan hutang nyawa, begaimana aku dapat meninggalkannya begitu saja, sungguhpun aku... amat... tidak suka kepadanya?” Yalima menundukkan muka dengan sedih dan In Hong diam-diam memuji gadis yang biarpun tidak terpelajar dan hanya seorang dusun namun telah tahu apa artinya hutang budi. Mereka lalu kembali ke pondok karena hawa makin dingin dan In Hong melihat Yalima mulai kedinginan. Tanpa disengaja lagi, mereka bergandeng tangan kembali ke pondok dan memasuki kamar masing-masing, In Hong di kamarnya sendiri dan Yalima di sebuah kamar besar bersama subonya yang masih bercakep-cakap dengan orang-orang itu. Sukar bagi In Hong untuk pulas. Bermacam-macam hal mengaduk pikirannya. Teringat dia akan kakaknya dan sukar dia membayangkan bagaimana keadaan kakaknya yang kematian isteri. Dia tidak perduli akan kematian isteri kakaknya itu, hanya ingin sekali melihat bagaimana keadaan kakak kandungnya itu setelah isterinya meninggal dunia. Diapun diganggu dengan persoalan Lima Bayangan Dewa yang kini seorang daripada mereka berada di pondok ini. Dia ingin sekali tahu di mana mereka menyembunyikan pedeng Siang-bhok-kiam dan ingin melihat pedang itu, bahkan kalau ada kesempatan dia ingin merampas pedang itu untuk dirinya sendiri! Yang terakhir dia terkenang kepada Yalima, terngiang semua pertanyaan Yalima dan dia merasa suka dan kasihan kepada dara ini. Dia membanding-bandingkan dirinya sendiri dengan Yalima. Ada persamaannya. Biarpun Yalima masih mempunyai ayah bunda, namun dia tahu bahwa ayah bundanya itu seolah-olah sudah mati baginya karena dia tentu tidak akan berani pulang selama hidupnya. Seperti juga dia, Yalima seorang diri saja. Hanya sedikit perbedaannya, kalau dia masih ada subonya dan Giok-hong-pang yang selalu bersikap baik kepadanya, Yalima hanya mempunyai satu harapan, yaitu pada diri kekasihnya itu, Cia Bun Houw. “Aku harus membantunya bertemu dengan pemuda itu,” dengan keputusan hati ini In Hong mulai tertidur. Lapat-lapat masih terdengar suara Go-bi Sin-kouw dan yang lain-lain bercakap-cakap, kadang-kadang terus tertawa sambil minum arak di ruangan tengah. “Tidak... tidak... ah, teecu tidak mau, subo...” “Bocah tolol! Engkau muridku dan engkau harus menurut perintahku. Hayo keluar!” In Hong lapat-lapat mendengar suara ini, disusul suara lirih, “...enci In Hong!” dan kalau sekiranya tidak ada suara Yalima yang memanggil namanya dengan lirih itu, bukan memanggil bahkan seperti orang mengeluh kepadanya saja, agaknya dia tidak akan terbangun. Namun suara Yalima lirih menyebut namanya itu, cukup membuat semua urat syaraf di tubuhnya menegang. Dia bangkit duduk, mengenakan sepatunya dan mendengarkan dengan penuh perhatian. Dengan pendengarannya, dia dapat mengikuti gerakan guru dan murid itu keluar dari kamar sebelah dan kemudian dia mendengar Go-bi Sin-kouw sudah tertawa-tawa lagi dengan teman-temannya di ruangan tengah. Dia terheran. Apa yang terjadi? Agaknya, melihat suara orang-orang tua itu di ruangan tengah, tidak terjadi sesuatu yang mencurigakan. Akan tetapi ke mana perginya Yalima? Mengapa dara itu tadi keluar dari kamar bersama gurunya dan tidak kembali lagi ke kamar sebelah? “...jangan...! Tidak mau...!” Suara ini lirih, agaknya mulut yang mengeluarkan bunyi ini dibungkam dan terdengar jauh, bukan dari kamar sebelah. Namun cukuplah bagi In Hong untuk melompat turun dari bangkunya, membuka jendela dan bagaikan seekor burung walet saja tubuhnya sudah melayang keluar, lalu dia berindap-indap ke arah dari mana datangnya suara yang tidak jelas tadi. Suara napas terengah-engah terdengar dari sebuah kamar, disusul bisikan seorang laki-laki. “Diamlah, manis, menurutlah saja... subomu sudah memberikan engkau kepadaku... heh?heh, diamlah...” Suara Toat-beng-kauw Bu Sit! In Hong merasa betapa mukanya panas seperti dibakar, menjalar dari dada terus ke atas, sampai ke telinganya dan tubuhnya tiba-tiba saja menerjang jendela kamar itu. “Bruukkkk!” Daun jendela jebol dan dia melihat Bu Sit sedang menindih dan merobek baju Yalima sehingga nampak dada gadis itu tidak tertutup lagi. “Keparat busuk!” Toat-beng-kauw Bu Sit terkejut, mengutuk dan meloncat turun, kemudian menghadapi tamparan In Hong dia cepat merendahkan tubuh sambil menangkis. “Desss... plakkk...!” Biarpun sudah ditangkis, tetap saja tangan In Hong berhasil membobolkan tangkisan itu dan tamparannya masih hinggap di pundak Bu Sit sehingga orang termuda dari Lima Bayangan Dewa ini terlempar dan tubuhnya terbanting pada dinding. “Brukkkk!” Toat-beng-kauw Bu Sit terkejut setengah mati. Tak disangkanya bahwa serangan tamparan yang dilakukan seenaknya saja itu mampu membobolkan tangkisannya, bahkan tamparan itu membuat tubuhnya yang kebal itu terasa panas dan membuat dia terlempar dan terbanting! “Engkau layak mampus!” In Hong berkata, suaranya dingin sekali, mulutnya tersenyum den tertimpa sinar lampu membuat Bu Sit ketakutan dan ngeri. Tiba-tiba dia berseru keras dan tubuhnya sudah melesat keluar dari kamar itu melalui pintu. Cepat sekali gerakannya ini sehingga In Hong tidak sempat mencegahnya. Namun dengan kemarahan meluap In Hong mengejar keluar dari kamar itu menuju ke ruangan tengah ke mana Bu Sit tadi melarikan diri. Dengan mata berapi-api In Hong sudah mencabut pedangnya dan kini dia menudingkan pedangnya ke arah muka Bu Sit yang berlindung di belakang orang-orang tua itu sambil membentak, “Jahanam busuk Bu Sit, majulah untuk menerima kematian!” “Eh, eh, nona In Hong. Apakah yang terjadi?” Go-bi Sin-kouw bertanya, tongkat melintang di depan dada. In Hong tersenyum mengejek. “Apa yang terjadi? Seperti kalian tidak tahu saja! Monyet busuk itu hendak memperkosa Yalima! Karena itu dia harus mampus di tanganku!” “Yap-kouwnio, aku tidak memperkosa... aku... aku...” Toat-beng-kauw Bu Sit adalah orang kelima dari Lima Bayangan Dewa, ilmu kepandaiannya tinggi dan dia malah terkenal sebagi iblis pencabut nyawa, malah julukannya Toat-beng-kauw (Monyet Pencabut Nyawa), akan tetapi kini menghadapi gadis yang sikapnya begitu dingin membayangkan maut sendiri, dan melihat betapa dalam satu gebrakan saja gadis itu mampu membuatnya terbanting di tembok, dia menjadi gentar. “Sabarlah, nona Yap In Hong!” Go-bi Sin-kouw berkata. “Dia tidak memperkosa, tidak ada perkosaan di sini. Yalima memang melayaninya atas permintaanku dan muridku yang baik itu sudah mau.” “Bohong! Mana ada guru menyuruh muridnya berlaku sehina itu!” “Heh-heh-heh, kau anak kecil tahu apa, nona? Ketahuilah, dahulu aku mempunyai dua orang murid perempuan yang kucinta seperti anak-anakku sendiri, akan tetapi apa jadinya? Yang seorang menyerahkan diri tanpa seijinku kepada Ouwyang Bouw bocah setan itu, yang kedua menyerahkan diri di luar kehendakku, kepada Yap Kun Liong, kakakmu! Sekarang aku mempunyai murid ini dan aku tidak ingin terjadi seperti dulu, kini aku yang mengatur dia harus menyerahkan diri kepada siapa, dan malam ini untuk merayakan perkenalanku dengan Toat-beng-kauw Bu Sit, aku menyuruh muridku menyerahkan diri kepadanya, mengapa engkau mencampuri urusan antara guru dan murid?” “Bagus, nenek iblis! Wanita jalang dan kotor! Kalau begitu engkaupun akan mampus di tanganku bersama monyet tengik itu!” In Hong sudah menerjang maju, Go-bi Sin-kouw marah sekali, tongkatnya juga bergerak dan menangkis. Juga Toat-beng-kauw Bu Sit sudah menndapat hati melihat ada yang membantunya. Dia bukan pengecut, dan tadi dia hanya terkejut saja. Kini dia berseru keras, mengeluarkan senjatanya, sebatang joan-pian (pecut baja) yang panjang dan terdengar suara meledak-ledak ketika dia menggerakkan senjatanya itu. “Tar-tar-tarrrr... cring-trakkk-singg...!” Toat-beng-kauw Bu Sit dan Go-bi Sin-kauw terkejut bukan main. Ternyata dalam bantrokan pertama itu, sinar pedang di tangan In Hong meluncur kuat bukan main, membuat tongkat di tangan Go-bi Sin-kauw tergetar hebat dan pecut baja di tangan Bu Sit membalik, sedangkan gulungan sinar pedang masih terus meluncur ke arah leher mereka. “Plak! Plakk!” Sinar pedang itu bertemu dengan sinar putih dua kali dan ternyata Bouw Thiasu telah menangkis sinar pedang itu denan ujung lengan bajunya yang mengandung getaran hawa kuat sekali. “Tahan dulu, nona...!” Bouw Thaisu berseru. In Hong meloncat ke belakang, pedangya melintang di dada, tangan kiri dengan jari terbuka dipasang di atas kepala. “Aku akan membunuh Go-bi Sin-kouw dan Toat-beng-kauw Bu Sit. Siapa yang hendek melindungi mereka boleh maju sekalian!” “Enci In Hong...! Jangan bunuh dia...!” Tiba-tiba Yalima lari dari dalam dan dia sudah membetulkan bajunya yang robek, mengikatnya dengan saputangan dan kemudian menyusul keluar. In Hong mengerutjan alisnya, heran sekali mendengar ini, “Siapa maksudmu?” “Go-bi Sin-kouw itu, jangan dibunuh. Dia pernah berbuat baik sekali dengan menolongku, kini dia melakukan perbuatan jahat sekali dengan mengumpankan aku kepada manusia yang lebib ganas dari harimau, berarti sudah tidak ada hutang budi lagi. Kalau dia dibunuh, berarti aku masih hutang budi. Sekarang aku bisa ikut bersamamu, enci.” In Hong memandang ke depan dengan muka dingin, dan suaranya juga dingin mengiris jantung ketika dia berkata, “Engkau sudah mendengarg Go-bi Sin-kouw! Boleh kalian pilih, aku melupakan perkara tadi akan tetapi Yalima ikut bersamaku, atau kalian boleh maju semua untuk mati di ujung pedangku!” “Siancai... bocah bermulut lancang! Pinto tidak boleh membiarkan engkau menantang kami!” Hwa Hwa Cinjin berkata halus dan sebuah kebutan kuning telah berada di tangannya. “Bocah sombong, kaukira kami takut kepadamu?” Hek I Siankouw juga sudah mengeluarkan pedangnya yang berkilauan tajam. “Tidak perlu banyak cakap, majulah kalian semua orang-orang berhati busuk!” In Hong menantang lagi, siap dengan pedangnya, berdiri tegak den bersikap tenang, akan tetapi matanya melirik ke arah calon-calon lawannya dengan penuh kewaspadaan. Sedikitpun dara ini tidak merasa jerih sungguhpun dia maklum bahwa dia menghadapi lima orang yang ilmu kepandaiannya tinggi. Akan tetapi Go-bi Sin-kouw tertawa den memberi isyarat kepada teman-temannya untuk tidak turun tangan. “Heh-heh-heh, nona In Hong. Di antara kita orang-orang sendiri, perlu apa ribut-ribut hanya untuk urusan kosong belaka? Kita menghadapi urusan yang lebih besar, kalau saling gempur sendiri, bukankah merugikan kita sendiri? Yalima ini belum mempelajari sejuruspun ilmu dariku, maka kalau dia memang tidak suka menjadi muridku dan lebih suka denganmu, silakan. Akupun tidak perlu memperebutkannya.” Melihat sikap mongalah dan ucapan yang nadanya ramah itu, In Hong merasa tidak enak sendiri. Betapapun juga, yang menyelamatkan nyawa Yalima adalah nenek ini dan dara itu telah diambil murid oleh nenek ini. Jadi sesungguhnya dialah yang melanggar aturan, mencampuri urusan guru dan murid yang tidak ada bedanya dengan mencampuri urusan antara anak dan orang tuanya. “Akupun tidak mempunyai permusuhan dengan kalian,” katanya dengan teguran halus. “Dan andaikata urusan antara Yalima dan engkau baik-baik saja, akupun tidak akan berani mencampuri, Go-bi Sin-kouw. Akan tetapi melihat seorang dara hendak diperkosa oleh seorang laki-laki, sampai matipun aku tidak rela dan siapapun laki-laki itu, pasti akan kutentang!” “Heh-heh-heh, Toat-beng-kauw, sekali ini engkau harus mengglah!” Go-bi Sin-kouw berkata sambil tertawa. “Kita lupa bahwa di sini hadir seorang tokoh Giok-hong-pang yang terkenal sebagai pembenci kaum pria. Sudahlah, nona In Hong. Aku mengalah dan menyerahkan Yalima kepadamu, akan tetapi engkaupun harus berjanji bahwa kita adalah segolongan dan kalau kelak kita membutuhkan bantuan, kuharap engkau tidak menolak membantu kami menghadapi lawan-lawan tangguh.” “Aku tidak akan berjanji apa-apa, Sin-kouw. Akan tetapi akan kuingat bahwa kalian bukan musuh-musuhku di saat ini dan telah memperlibatkan sikap bersahabat. Mudah-mudahan kelak kalianpun akan tetap bersikap demikian. Nah, aku hendak pergi bersama Yalima sekarang.” “Aih, nona muda yang gagah perkasa. Urusan kecil itu mengapa masih membuat nona marah? Maafkanlah aku yang tidak tahan melihat gadis cantik jelita yang telah diserahkan oleh gurunya kepadaku ini. Harap engkau dan nona Yalima bermalam di sini dan besok baru melanjutkan perjalanan.” Toat-beng-kauw Bu Sit juga berkata membujuk. Orang termuda dari Ngo-sian Eng-cu (Lima Bayangan Dewa) ini cukup cerdik untuk mengerti maksud hati Go-bi Sin-kouw, maka dia mengalah pula, menghapuskan kekecewaan hatinya, karena urusan kehilangan calon korban gadis itu hanyalah merupakan hal kecil saja kalau dibandingkan dengan urusan permusuhan mereka terhadap golongan Cin-ling-pai yang amat kuat. Gadis ini lihai sekali dan andaikata mereka berlima dapat mengalahkannya dan membunuhnya, hal itu hanya akan membikin mereka rugi besar saja. Menurut cerita nenek itu, gadis ini biarpun menjadi adik kandung Yap Kun Liong, bahkan tadinya hendak dijadikan calon mantu oleh ketua Cin-ling-pai, akan tetapi gadis ini tidak mau bahkan telah memperlihatkan sikap bermusuhan dengan Cin-ling-pai, sudah bentrok pula dengan puteri ketua Cin-ling-pai, maka dapat dijadikan sebagai sekutu untuk kelak jika mereka telah berhadapan langsung melawan Cin-ling-pai. Akan tetapi In Hong masih merasa panas hatinya sehingga bujukan dan sikap manis dari Bu Sit ini diterimanya dengan senyum mengejek dan dia menngeleng kepala. “Kami berdua harus pergi sekarang juga. Selamat tinggal. Mari, Yalima!” Setelah berkata demikian, In Hong menyarungkan pedangnya, menyambar lengan Yalima dan dara Tibet ini menjerit ngeri ketika tiba-tiba tubuhnya dibawa “terbang” keluar dari tempat itu dan menghilang di dalam kegelapan. Setelah In Hong bersama Yalima menghilang, nenek berpakaian serba hitam Hek I Siankow menyarungkan pedang sambil bersungut-sungut, “Ihh, Sin-kouw, sungguh keterlaluan sekali. Tentu kita dianggap takut melawan dia! Betapa memalukan!” Go-bi Sin-kouw terkekeh-kekeh dan memukul-mukul tongkatnya di atas lantai. “Siankouw, sabar dan tenanglah, pikir baik-baik. Siapa takut terhadap anak ayam itu? Akan tetapi kita harus bersikap cerdik. Urusan antara dia dan kita, hanya mengenai diri Yalima yang belum menjadi muridku dan kalau Toat-beng-kouw menghendaki gadis cantik, apa sih sukar nya bagi dia? Mengapa urusan perawan Tibet, bocah dusun itu, harus merugikan kita semua? Yap In Hong adalah murid terkasih dari ketua Giok-hong-pang, sebaiknya bersahabat dengan dia daripada bermusuh. Cin-ling-pai saja sudah merupakan musuh yang harus kita hadapi dengan pengerahan tenaga kita yang bergabung, apalagi kalau harus ditambah dengan Giok-hong-pang sebagai musuh, betapa akan beratnya bagi kita.” “Go-bi Sin-kouw sungguh benar, dan tepat sekali!” Toat-beng-kauw berkata. “Nona itu memang lihai sekali, kalau kita bisa menarik dia, apalagi gurunya dan seluruh Giok-hong-pang berdiri di fihak kita untuk menghadapi Cin-ling-pai, tentu kedudukan kita akan menjadi jauh lebih kuat lagi.” “Hemmm, kalau begitu biarlah aku bersabar hati. Besok kalau kita tidak membutuhkan dia lagi, aku pasti akan mencarinya untuk membalas tantangannya yang amat merendahkan hati ini, baru hatiku akan puas!” Hek I Siankouw mengomel dan mereka lalu kembali ke ruangan untuk menyiram hati yang panas dengan arak sebelum pergi beristirahat. Sementara itu, setelah keluar dari Giok-kee-san, In Hong mengajak Yalima melanjutkan perjalanan dan baru mereka berhenti setelah tiba di sebuah tempat perhentian di pinggir jalan yang kecil dan atapnya sudah banyak rusak. Mereka duduk di atas bangku kayu yang sudah reyot pula. “Enci In Hong, engkau telah menjadi banyak repot karena diriku,” kata Yalima. Tempat itu amat gelap dan mereka hanya saling dapat melihat bayangen mereka di dalam penerangan remang-remang dari cahaya bintang-bintang di langit. In Hong menghela napas panjang. “Yang membikin aku repot bukanlah engkau, Yalima, melainkan kaum pria macam Toat-beng-kauw itulah. Selama dunia masih terdapat banyak laki-laki macam dia, aku akan selalu repot karena aku akan berusaha untuk menentang den membasmi mereka.” “Enci In Hong, sekarang kita hendak pergi ke mana?” “Kita beristirahat di sini sampai malam lewat. Besok kita ke Cin-ling-san menyusul pacarmu dan engkau akan kuserahkan pada mereka.” “Dan engkau...?” “Aku akan pergi. Sudahlah, kau boleh tidur melepaskan lelah di lantai ini, dan jangan ganggu aku.” In Hong lalu duduk bersila di sudut tempat itu, tidak bicara lagi. Yalima juga tidak berani mengganggu dan dara Tibet ini lalu rebah melingkar di atas lantai mencoba untuk monidurkah tubuhnya yang sudah amat lelah itu. In Hong melamun. Sebetulnya, hanya pada lahirnya saja dia kelihatan tidak perduli akan keadaan kakaknya, karena dia memang sejak kecil dilatih untuk bersikap dingin. Namun, di lubuk hatinya, dia merasa amat kasihan kepada kakak iparnya, dan kasihan kepada kakak kandungnya yang tentu akan hancur hatinya kalau melihat isterinya tewas secara menyedihkan itu. Maka dia sudah mengambil keputusan, di dalam hatinya. Setelah dia mengantar Yalima ke Cin-ling-pai, menyerahkan dara itu kepada Cia Bun Houw yang sudah sepatutnya mengawini gadis ini, dia akan pergi untuk melakukan penyelidikan, mencari pembunuh kakak iparnya yang tadinya dia sangka tentulah Go-bi Sin-kouw akan tetapi yang belum ada buktinya itu. Dia akan mencari pembunuh itu sampai ketemu, dan membalaskan dendam kematian kakak iparnya. Dan diapun akan menyelidiki Lima Bayangan Dewa, yaitu Toat-beng-kauw Bu Sit yang dibencinya, bersama kawan-kawannya, dan mencoba untuk merampas pedang Siang-bhok-kiam dan menyerahkan pedang pusaka itu kepada gurunya. Dengan demikian barulah dia akan mengangkat nama gurunya, dan gurunya tentu akan merasa bangga sekali. *** Dara remaja yang belum dewasa benar itu berjalan seorang diri di dalam hutan yang amat lebat. Wajahnya yang cantik jelita, terutama bentuk mulutnya yang manis, kini nampak pucat dan layu, matanya agak kemerahan karena terlalu banyak menangis, rambutnya yang hitam panjang dan halus itu kusut, demikian pula pakaiannya yang agaknya sudah beberapa hari tidak pernah diganti. Langkah-langkahnya gontai dan pandang matanya sayu, kosong memandang ke depan, Kadang-kadang dia menarik napas panjang yang bercampur isak. Dara remaja ini adalah Yap Mei Lan, puteri Yap Kun Liong yang melarikan diri dari rumah orang tuanya dengan hati hancur. Dia bukan anak kandung ibunya! Kenyataan yang amat menyakitkan hati ini membuat dia lari pada malam hari itu, lari begitu saja tanpa membawa apa-apa, tanpa tujuan karena dia hanya menurutkan dorongan hati yang kecewa, penasaran dan berduka. Ibunya adalah orang pertama di dunia ini yang dicintainya, yang dibanggakannya sebagai wanita tercantik di dunia, barulah ayahnya yang hanya menjadi orang kedua baginya. Akan tetapi ibunya, orang yang dicintanya, dan dihormatinya, dijunjungnya dan dibanggakannya itu ternyata bukan ibu kandungnya! Dia tidak mau pulang lagi! Biar dia mati di jalan daripada harus menghadapi ibunya yang kini tidak lagi menjadi ibunya! Dia anak haram, dia anak pungut, anak tidak sah. Rasa marah dan penasaran terhadap ayahnya timbul. Mengapa ayahnya menipunya? Mengapa tidak sejak kecil memberi tahu bahwa ibunya tercinta itu bukan ibu kandungnya! Tubuhnya sudah lemas. Biarpun sejak kecil Mei Lan telah digembleng secara tekun oleh ayah bundanya yang memiliki kepandaian tinggi, dan tubuhnya yang bagaikan bunga mulai mekar, bagaikan buah mulai meranum itu amat kuat dan memiliki daya tahan yang luar biasa, menyembunyikan tenaga sin-kang yang kuat sekali, namun karena dia menghadapi pukulan batin yanj hebat, ditambah selama empat hari terus malakukah perjalanan sambil menangis tanpa makan atau minum, bahkan tidak pernah tidur, kini tubuhnya hampir tidak kuat lagi dan dia melangkah seperti boneka hidup, kedua kakinya bergerak otomatis memasuki hutan yang besar dan lebat itu. Teringat dia betapa ibunya juga amat mencintainya. Ibunya tidak mempunyai anak lain, dan kalau dia bukan anak kandung ibunya, berarti ibunya memang tidak mempunyai anak dan tentu saja dia amat disayang, tidak perduli bahwa dia bukan anak kandung ibunya. “Ibuuu...!” Mei Lan tersandung, jatuh di bawah sebatang pohon dan teringat ibunya, hatinya perih seperti ditusuk dan dia menangis, menelungkup di atas rumput. Tiba-tiba terdengar suara ketawa terkekeh-kekeh dan cekikikan di atas pohon. Biarpun tubuhnya lemas sekali, berkat latihan ilmu silat sejak kecil, secara tiba-tiba saja tubuh Mei Lan dapat meloncat bangkit dan dia sudah duduk dan memandang ke atas. Matanya yang masih basah air mata, itu terbelalak, wajahnya yang sudah pucat menjadi makin pucat ketika dia melihat mahluk-mahluk seperti setan dan iblis ternyata memenuhi pohon besar itu, ada yang berjongkok di atas cabang, ada yang bergantungan dengan kepala di bawah. Tubuh mereka itu seperti manusia, akan tetapi muka mereka mengerikan, ada yang merah seperti darah, ada yang putih seperti kapas, dengan mata lebar dan mulut penuh gigi besar-besar bertaring! Jantung Mei Lan berdebar seperti hendak melarikan diri dari dalam dadanya ketika dia melihat pemandangan yang mengerikan itu, dan sejenak hanya dapat memandang terbelalak ke atas, berganti-ganti memandang tujuh mahluk aneh yang mengeluarkan suara tertawa-tawa itu. Tujuh mahluk yang bertubuh manusia bermuka setan itu kini berloncatan ke bawah, gerakan mereka ringan dan mereka sudah mengepung Mei Lan sambil berjingkrak menari-nari dan tertawa-tawa. Di balik rasa ngeri dan takutnya yang hebat, timbul kemarahan di hati Mei Lan. Setan atau bukan, mereka ini datang menggodaku, pikirnya marah dan tiba-tiba dara remaja ini mengeluarkan suara melengking nyaring, tubuhnya menerjang ke depan dan dia sudah menghantamkan tangan kanannya dengan jari-jari terbuka ke arah seorang iblis berwajah biru. Iblis itu tertawa dan menangkis. “Plakkk! Desss...!” Iblis muka biru itu terpelanting dan berteriak kesakitan, sedangkan enam iblis lainnya mengeluarkan seruan aneh karena terkejut. Mereka agaknya sama sekali tidak menyangka bahwa gadis cilik ini telah memiliki kesaktian sedemikian hebatnya sehingga seorang di antara mereka sampai terpukul roboh! Seorang di antara mereka yang berwajah merah mengeluarkan suara aneh dan kini enam orang itu yang berdiri mengurung Mei Lan, kemudian mereka mengangkat kedua lengan ke atas, jari-jari tangan mereka bergerak-gerak dan mulut mereka mengeluarkan suara perlahan dengan bibir berkemak-kemik seperti orang membaca mantera, mata mereka yang melotot lebar itu mengeluarkan sinar yang berpengaruh dan aneh. Mei Lan berdiri di tengah-tengah, memutar-mutar tubuh memandang mereka dengan mata terbelalak penuh kengerian dan ketakutan, kemudian pandang matanya terpikat oleh gerakan-gerakan jari tangan mereka dan telinganya penub dengan suara mereka yang tidak dia mengerti maknanya. Kemudian ketika enam orang itu bergerak mengelilinginya dengan jari-jari tangan masih bergerak-gerak, dia merasa kepalanya pening dan pandang matanya berkunang. Beberapa kali matanya terpejam dan dibukanya kembali dengen paksa, kepalanya diguncang keras untuk mengusir kepeningan karena dalam keadaan pening dan mengantuk, amat berbahaya menghadapi lawan, apalagi lawan-lawan yang aneh dan menyeramkan ini. Akan tetapi tiba-tiba di antara suara perlahan seperti membaca mantera itu terdengar suara yang jelas, perlahan akan tetapi berwibawa, “Nona kecil, engkau amat lelah dan mengantuk, mengapa tidak tidur? Tidurlah!” Mei Lan mendengar suara ini dan memang dia amat lelah dan mengantuk, maka anjuran itu amat menyenangkan dan otomatis dia menjawab, “Aku mau tidur.” “Ya, tidurlah! Rebahlah di atas rumput halus. Tidurlah...!” Di sudut hatinya Mei Lan merasa aneh sekali dan tidak semestinya kalau dia tidur padahal menghadapi orang-orang atau setan-setan aneh ini, akan tetapi rasa kantuknya tak dapat dilawannya lagi dan seluruh tubuhnya sudah lelah seperti kehabisan tenaga. Maka dia lalu menjatuhkah diri berlutut, dan menggulingkan diri rebah miring dan suara itu masih terus mengiang di telinganya, “...tidurlah... tidurlah dengan nyenyak... tidurlah...!” Selanjutnya Mei Lan sudah tidak tahu apa-apa lagi. Dia tidur sedemikian nyenyaknya seperti orang pingsan atau mati hingga dia tidak merasa lagi betapa dia digotong oleh setan-setan berwajah menyeramkan itu, dibawa ke sebuah lereng bukit yang menyambung hutan itu, dibawa ke sebuah perkampungan kecil yang hanya terdiri dari beberapa buah pondok. “Nona, bangunlah...!” Suara ini terdengar amat jauh, akan tetapi begitu jelas memasuki telinga Mei Lan dan dia membuka kedua matanya. Tubuhnya terasa nyaman den pikirannya tenang, dia tidak ingat apa-apa lagi, yang teringat hanya bahwa dia harus bangun! Ketika dia bangkit den duduk, ternyata dia berada di sebuah kamar den tadi tidur di atas pembaringan. Beberapa orang yang mukanya mengerikan berada di kamar itu, dan seorang di antara mereka duduk tak jauh dari pembaringannya, yaitu si muka merah yang matanya mengeluarkan sinar penuh kekuatan mujijat. “Nona, perutmu lapar sekali, engkau makanlah. Makanan sudah tersedia di meja makan dan minumlah sekenyangnya, nona. Tidak ada perasaan sungkan dan takut dalam hatimu. Makanlah.” Perut Mei Lan berkeruyuk. Memang sudah empat lima hari dia tidak makan dan tidak minum. Dan matanya melihat nasi dan masakan berada di atas meja dekat pembaringan, masih mengepulkan uap den baunya sedap sekali. Seperti dalam mimpi rasanya, dan tanpa sungkan-sungkan lagi, Mei Lan lalu turun dari pembaringan, duduk di atas bangku menghadapi meja makan dan makanlah dara remaja ini sekenyangnya. Pulih kembali tenaganya dan wajahnya yang tadinya pucat kembali menjadi kemerahan. Akan tetapi ketika dia yang tidak biasa minum arak itu hanya minum air teh yang tersedia di situ, terdengar suara si muka merah. “Arak wangi berada di depanmu itu dapat menambah tenaga. Kauminumlah arak itu, nona.” Suara itu meresap ke dalam hatinya dan tak dapat dilawannya lagi, otomatis tangannya meraih cawan terisi arak dan diminumnya arak itu. Akan tetapi, baru saja cawan itu menempel di bibirnya, bibir dan lidahnya merasakan sesuatu yang membuatnya terkejut. Tidak percuma Mei Lan menjadi puteri Pendekar Sakti Yap Kun Liong yang sejak kecil selain sudah menerima gemblengan ilmu silat, juga oleh ibunya telah diberi tahu akan tanda-tanda makanan maupun minuman yang mengandung racun. Begitu bibir dan lidahnya merasai bahwa arak itu mengandung racun pembius, seketika dia teringat akan ayah ibunya dan teringat akan kesemuanya. Bukan main kaget dan herannya melihat betapa dia menurut saja kepada suara yang menyuruhnya itu, makan sampai kenyang dan hampir saja minum arak beracun. Adanya racun dalam arak yang disuruh minum oleh si muka merah itu, sekaligus menyadarkannya bahwa dia berada di dalam cengkeraman orang-orang jahat! Teringatlah dia betapa di dalam hutan dia telah merobohkan seorang di antara mereka, betapa kemudian enam orang itu dengan cara aneh telah membuat dia tidak dapat melawan, bahkan dia lalu tidak ingat apa-apa lagi. Dia tentu telah kena sihir! Ingatan ini membuat Mei Lan menjadi marah dan tiba-tiba dia bangkit berdiri, membalik dan memandang si muka merah dan tiga orang lain yang agaknya menjaga di situ. “Ehh...!” tiga orang penjaga yang mukanya juga mengerikan sudah bangkit dan menghampirinya, sedangkan si muka merah dengan mengangkat tangannya ke arah muka Mei Lan membuat gerakan-gerakan dengan jari tangannya. “Nona... kauminumlah arak itu... minumlah... minumlah...!” Suaranya mengandung getaran yang amat berpengaruh dan hampir saja Mei Lan menggerakkan tangan yang memegang cawan itu ke mulutnya. Akan tetapi karena dia sudah teringat dan sadar, dia maklum bahwa suara berpengaruh itu adalah suara musuh yang tidak seharuanya diturut, maka dengan marah dia lalu melemparkan cawan arak itu ke arah si muka merah sambil membentak, “Minumlah sendiri!” Si muka merah terkejut, cepat mengelak akan tetapi tetap saja arak yang muncrat dari cawan itu mengenai mukanya. Tiga orang lainnya sudah menubruk maju karena melihat bahwa dara itu telah dapat melepaskan diri dari ikatan sihir. Akan tetapi kini Mei Lan sudah sadar benar dan dia menggerakkan kaki tangannya menghadapi tigia orang itu. Kaki dan tangan Mei Lan berukuran kecil saja, akan tetapi mengandung tenaga yang amat dahsyst karena dia menggerakkannya dengan pengerahan tenaga sin-kang. Dua orang roboh oleh tamparan kedua tangannya dan orang ketiga yang menubruk dari belakangnya, bertemu dengan kaki Mei Lan yang melakukan tendangan sambil memutar tubuh. Kakinya melayang tinggi ke atas, tepat menghantam muka orang ketiga itu. “Desss... auughhh...!” Orang itu terpelanting dan roboh terguling dan Mei Lan melihat betapa tendangannya yang tepat mengenai dagu orang itu membuat topeng orang itu terbuka! Kiranya wajah-wajah menyeramkan itu hanyalah topeng belaka, topeng yang amat baik buatannya sehingga kalau dipakai hampir tidak kelihatan seperti topeng dan di balik topeng itu adalah wajah seorang laki-laki yang biasa saja! Hal ini membesarkan hati Mei Lan dan dia sudah meloncat ke depan ketika melihat si muka merah menyambar sebatang toya kuningan dari sudut kamar. Toya itu memapakinya dan menyambar secepat kilat ke arah leher. Mei Lan menundukkan muka, merendahkan sedikit tubuhnya dan dari bawah tangan kirinya yang dikepal menyambar ke depan, kakinya bergerak maju dan pukulan tangan kirt itu mengarah dada lawan. Akan tetapi si muka merah itu agaknya pandai juga ilmu silat. Dia cepat meloncat ke samping dan toyanya kembali sudah menyambar ke arah kaki Mei Lan dengan serampangan yang kuat sekali. Akan tetapi tiba-tiba si muka merah terkejut setengah mati karena dara itu lenyap dari depannya! Dia adalah seorang yang biasa menyamar seperti setan akan tetapi kini dia menjadi ngeri melihat dara itu bisa “menghilang” seperti setan pula! “Setan muka merah, aku di sini!” Mei Lan mengejek dan memang anak ini pada dasarnya berwatak jenaka. Kini setelah dia sadar benar dan dapat mengussai keadaan, timbul kenakalannya sehingga dia mempermainkan si muka merah atau si topeng merah. Lawannya menggereng marah, membalik sambil menggerakkan toyanya yang kini dimainkan dengan cepat, diputar-putar dan secara bertubi-tubi menerjang ke arah Mei Lan yang meloncat dan mengelak ke sana ke mari dengan enak dan mudah saja. “Sialan!” Mei Lan mengejek. “Kiranya kalian hanya setan-setan palsu saja! Aku tidak membunuh kalian hanya karena mengingat bahwa kalian sudah memberi makan kepadaku. Hayo buka kedok merahmu itu!” Akan tetapi si muka merah yang menjadi makin marah itu menyerang terus, dan Mei Lan menjadi repot juga. Cepat dia meloncat tinggi ke atas dan seperti tadi, dia hendak melewati kepala lawan. Akan tetapt sekali ini si muka merah sudah maklum bahwa gadis cilik itu lihai sekali gin-kangnya, maka dia sudah mengejarnya dengan sodokan toya dari bawah. Melihat ini, Mei Lan menangkap ujung toya dan kakinya menotok ke bawah. “Aduhhh...!” Si muka merah berteriak, toyanya terlepas dan dia menggunakan kedua tangan untuk menutupi muka karena hidungnya yang tercium ujung kaki kiri Mei Lan telah remuk tulang mudanya dan berdarah! Pada seat Mei Lan meloncat turun ke bawah dan membalik, ternyata di pintu telah muncul sembilan orang bertopeng setan dan dipimpin oleh seorang kakek bermuka putih yang cepat berkata, “Tangkap dia dan jangan lukai dia! Pangcu (ketua) menghendaki dia dalam keadaan utuh dan segar!” Sembilan orang itu menubruk. Mei Lan melawan sekuatnya dan membagi-bagi pukulan akan tetapi karena sembilan orang itu maju berbareng dan meringkusnya, apalagi kakek muka putih itu lihai sekali dan telah berhasil menotok pundaknya, akhirnya gadis cilik ini dapat diringkus dan dibelenggu kaki tangannya, kemudian digotong keluar dari kamar itu, menuju ke sebuah ruangan yang besar dan dia dibaringkan di atas sebuah dipan kayu. Mei Lan berusaha untuk mengerahkan tenaga membebaskan diri dari belenggu itu, namun sia-sia belaka. Belenggu yang mengikat kedua kaki dan tangannya itu terbuat dari kulit kerbau yang amat kuat sehingga memaksanya putus sama dengan melukai kulit kaki tangannya. Maka dia bersikap tenang dan memutar leher memandang ke ruangan itu. Ruangan itu luas sekali dan tak jauh dari situ, di tengah ruangan, dia melihat beberapa orang duduk mengitari meja besar dan bercakap-cakap. Mereka terdiri dari lima orang, agaknya merupakan pimpinan dari perkumpulan manusia setan itu. Kakek tua bermuka putih yang tadi memimpin anak buah menangkapnya juga duduk di situ, bersama tiga orang yang lain menghadap seorang kakek yang membuat Mei Lan menggigil karena ngeri. Kakek ini memang luar biasa sekali. Tubuhnya bongkok, punggungya menonjol, pakaiannya serba putih dan mukanya mengerikah sekali. Kepalanya gundul, matanya hanya tampak putihnya saja, tidak ada manik matanya, hidungnya bengkok dan mulutnya yang tidak bergigi lagi itu kelihatan mengejek, mukanya sudah penuh keriput dan dia kelihatan sudah tua sekali, terlalu tua untuk hidup! Dan ternyata bahwa kakek gundul ini adalah ketua mereka, karena terdengar kakek bermuka putih bertanya. “Pangcu, apa yang akan kita lakukan terhadap gadis cilik yang liar itu?” Kakek gundul itu menoleh ke arah Mei Lan dan kembali Mei Lan menggigil. Setelah kini kakek itu menoleh dan wajahnya nampak jelas, benar-benar amat menjijikkan dan menyeramkan. Mata itu benar-benar tidak ada hitamnya, putih semua dan bergerak-gerak. Mata dan wajah seperti itu tidak pantas menjadi wajah manusia, pantasnya menjadi wajah setan di neraka! Akan tetapi jangan-jangan dia memakai topeng seperti anak buahnya, pikir Mei Lan. “Heh-heh, kalian tidak tahu. Bocah seperti inilah yang selalu kucari-cari. Kebetulan sekali kalian menemukan dia di hutan pada saat kita hendak mengadakan upacara sembahyang di bulan purnama. Selain dia ini seorang perawan yang berdarah bersih, juga tubuhnya terlatih dan hawa murni yang dilatih mengitari tubuhnya membuat darahnya lebih bermanfaat lagi. Tunggu saja kalian malam nanti, beberapa tetes darahnya akan memperkuat tenaga batin kalian dan akan meningkatkan kekuatan sihir kalian.” Mereka tertawa-tawa dengan girang sambil menoleh ke arah Mei Lan. Mendengar percakapan itu, tentu saja Mei Lan menjadi terkejut dan juga takut sekali. Mereka itu bukan manusia! Mereka adalah iblis-iblis yang ingin menghisap darahnya! “Lepaskan aku...!” Mei Lan tiba-tiba menjerit dengan keras. Lima orang itu bangkit dari bangku mereka dan memandang ke arah Mei Lan yang meronta-ronta. Kakek gundul berkata. “Biarkan dia mengerahkan tenaganya, itu baik sekali untuk memperkuat jalan darahnya sehingga kita akan memperoleh darah segar malam nanti.” Makin takutlah hati Mei Lan. Wajah lima orang kakek itu benar-benar menyeramkan sekali, dan membayangkan betapa darahnya akan disedot oleh iblis-iblis ini, dia merasa ngeri dan tak tertahankan lagi dia menjerit dengan pengerahan khi-kangnya. Jerit melengking yang terdengar sampai jauh dan bergema di seluruh bukit. Ketua itu terkejut dan sekali dia meloncat, tubuhnya sudah melayang dekat Mei Lan, tangan yang kasar dan seperti penuh koreng dan penyakit gatal, kemerahan dan bernanah itu bergerak menotok jalan darah di leher Mei Lan. Seketika gadis itu kehilangan suaranya dan dia memandang penuh kengerian kepada kakek ini, kemudian memejamkan mata karena tidak tahan saking jijiknya. Kakek itu lalu berjalan kembali ke meja di tengah ruangan dan berkata, “Malam nanti kumpulkan semua anggauta. Setelah upacara sembahyang kita berpesta semeriah mungkin untuk menghormati para arwah yang kita undang malam nanti. Apakah untuk keperluan hidangan dan lain-lain sudah cukup semua?” “Sudah, pangcu. Para hartawan di Liong-si-jung sekali ini menyumbang sepuluh ekor babi di samping uang untuk segala keperluan makanan, sedangkan lurah dan hartawan dusun Beng-nam-jung di sebelah utara bukit menyumbangkan uang secukupnya dan lima puluh guci besar arak wangi.” “Bagus... tidak percuma kita melindungi kedua dusun itu.” Kakek gundul berkata dan selanjutnya mereka bercakap-cakap mengatur rencana pesta malam nanti, akan tetapi Mei Lan sudah tidak mendengarkan lagi karena gadis ini sibuk dengan kekhawatirannya sendiri. Dia adalah seorang gadis yang pemberani, akan tetapi sekali ini, berada di dalam cengkeraman manusia-manusia seperti iblis itu, dia merasa ngeri dan takut sekali. Air matanya mengalir dan diam-diam dia menyesal mengapa dia telah meninggalkan rumah ayahnya yang aman dan tenteram. Hatinya kini menjerit-jerit memanggil ayah dan ibunya, dan kenyataan bahwa ibunya bukanlah ibu kandungnya tidak teringat lagi pada saat seperti itu. Kalau ada ayahnya dan ibunya, iblis-iblis ini tentu akan dibasmi habis dan dia akan dapat diselamatkan! “Ayah...! Ibu...! Tolonglah aku... tolonglah...!” hatinya menjerit-jerit karena mulutnya sudah tidak dapat mengeluarkan suara lagi. Orang-orang macam apakah yang mendirikan perkumpulan aneh ini? Kakek gundul itu adalah seorang bekas tokoh dari perkumpulan rahasia Pek-lian-kauw. Semua tokoh Pek-lian-kauw mempelajari ilmu sihir dan kakek ini tadinya juga seorang tosu Pek-lian-kauw yang diusir dari perkumpulan kebatinan itu karena dia telah menyeleweng dari peraturan Pek-lian-kauw dan menggunakan kepandaian demi keuntungan diri pribadi. Setelah terusir dari Pek-lian-kauw dan tidak diakui lagi, tosu ini lain menggunduli rambut kepalanya dan dia lalu menggunakan kepandaian silat dan sihirnya untuk mendirikan perkumpulan baru, perkumpulan kebatinan yang memuja roh-roh dan melatih sihir yang katanya akan membuat batin menjadi kuat dan dengan bantuan roh-roh itu kelak akan dapat memperoleh tempat yang menyenangkan setelah mati! Dengan kepandaian silat dan sihirnya, bekas tokoh Pek-lian-kauw yang kini menggunakan nama julukan Jeng-hwa Sian-jin (Manusia Dewa Beribu Bunga) itu dapat mengelabui rakyat di dusun-dusun sehingga banyaklah yang menjadi murid dan anak buahnya, banyak pula suami isteri dari dusun-dusun yang suka menyumbangkan segala milik mereka untuk mengalami kenikmatan “sorga dunia” di bawah pimpinan kakek yang kini mukanya seperti iblis itu. Sebetulnya, sebelum keluar dari Pek-lian-kauw, tokoh ini telah dihukum oleh para pimpinan Pek-lian-kauw sehingga mukanya menjadi rusak, punggungnya bongkok dan kedua matanya buta. Akan tetapi, berkat kepandaiannya yang tinggi, dia masih dapat menggunakan keburukan mukanya ini sebagai modal sehingga menimbulkan kepercayaan kepada orang-orang yang selalu mengejar keanehan-keanehan di dunia ini. Sedikit pelajaran sihir dan sulap, juga ilmu silat, membuat para anggotanya makin tunduk dan percaya kepada kakek ini yang membentuk perkumpulan yang diberi nama Jeng-hwa-pang (Perkumpulan Seribu Bunga). Satu di antara kepercayaan yang disebarkan oleh Jeng-hwa Sian-jin adalah bahwa untuk dapat “bersahabat” dengan para roh, setan dan iblis yang kelak akan menjadi pembantu-pembantu mereka, muka para anggota itu harus menggunakan topeng yang seburuk-buruknya, makin buruk makin baik sehingga para iblis dan setan tidak merasa rendah bercampuran dengan manusia-manusia yang mukanya buruk itu. Inilah sebabnya maka semua anggauta yang aktip membantu kakek itu, semua memakai topeng setan dan si ketua sendiri karena memang mukanya sudah buruk, tanpa topeng pun sudah paling jelek dan menakutkan diantara mereka semua. Dan memang sebab terutama yang menggerakkan ketua itu mengeluarkan kepercayaan aneh ini adalah untuk mengangkat harga dirinya yang dirasa menurun karena mukanya yang buruk. Akan tetapi, bukan hanya karena sekedar menerima ilmu-ilmu sihir dan sulap saja yang menarik hati para anggauta pembantu dan anggauta luar yang terdiri dari orang-orang dusun. Berbondong-bondong mereka datang dan masuk menjadi anggauta, bukan hanya sendirian melainkan membawa pula isteri-isteri mereka. Yang amat menarik hati mereka adalah setiap kali diadakan pasta di waktu bulan purnama, sebulan sekali pesta berlangsung setelah diadakan upacara sembahyang kepada para roh dan dewa termasuk iblis-iblis yang berkeliaran di permukaan bumi. Pesta itulah yang menarik hati mereka karena dalam saat-saat pesta berlangsung, mereka benar-benar merasakan “sorga dunia” yang amat luar biasa. Pesta yang bagi orang-orang biasa tentu dianggap mesum dan kotor akan tetapi bagi mereka yang melakukan semua itu di luar kesadaran mereka karena mereka sudah berada di bawah pengaruh sihir mujijat, sama sekali bukan mesum dan kotor, melainkan merupakan tanda betapa roh-roh itu benar-benar telah menjadi sahabat-sahabat mereka dan mereka merasa terjamin kelak setelah merekapun menjadi roh-roh tanpa jasmani lagi. Di dalam pesta itu, setelah mereka semua berada dalam keadaan tidak sadar, roh-roh itu “meminjam” tubuh mereka untuk bersenang-senang dan terjadilah kemesuman di antara mereka, di tempat terbuka dan terjadi permainan cinta yang kotor, bertukar isteri dan suami begitu saja tanpa ada yang merasa tersinggung, tanpa ada rasa malu karena yang melakukan itu adalah “roh-roh” yang bersenang-senang dan mereka itu hanya “meminjamkan” tubuh mereka saja untuk menyenangkan roh-roh dan setan-setan itu agar kelak mereka suka membantu mereka sesudah mereka meninggal dunia! Malam itu bulan purnama muncul dengan cerahnya, tanpa ada awan yang menghalang, dan sinarnya sejuk menerangi seluruh ruangan terbuka yang menjadi tempat pesta dari perkumpulan Jeng-hwa-pang itu. Mei Lan masih terikat kaki tangannya dan kini dia dibaringkan terlentang di atas dipan yang diletakkan di pinggir lapangan terbuka itu. Ketua Jeng-hwa-pang telah duduk di atas sebuah kursi, tersenyum-senyum dan wajahnya yang putih pucat itu bersinar-sinar, kelihatan girang sekali, akan tetapi dalam pemandangan Mei Lan kelihatan makin mengerikan. Para pembantu kakek itu, si kakek muka putih dan beberapa belas orang yang mukanya bermacam-macam warnanya, sudah hadir pula di situ, jumlah mereka ada tujuh belas orang. Ada beberapa orang yang memukul tambur dan canang dan sebagian dari mereka membereskan meja-meja yang penuh dengan hidangan dan minuman arak. Dari luar datang berbondong-bondong anggauta-anggauta luar, yaitu para penduduk dua buah dusun di selatan dan di utara bukit yaitu dusun Liong-si-jung di selatan dan dusun Beng-nam-jung di utara. Tentu saja tidak semua penduduk yanq tertarik dan memasuki perkumpulan kebatinan ini, akan tetapi mereka yang tidak setuju tidak berani menentang setelah tahu bahwa Jeng-hwa-pang yang hanya terdiri dari belasan orang pimpinan itu ternyata mempunyai ketua yang amat lihai. Lebih-lebih lagi setelah para penjahat di kedua dusun itu semua ditundukkan oleh Jeng-hwa-pang, maka tidak ada orang yang berani menentangnya. Lebih dari tiga puluh pasang suami isteri, sebagian besar masih muda-muda karena orang-orang yang terlalu tua tidak diperkenankan menjadi anggauta, kini berbondong datang. Muka mereka semua tertutup topeng sehingga mereka itu tidak saling mengenal dan inipun merupakan akal dari Jeng-hwa Sian-jin karena dengan muka bertopeng, mereka dapat melakukan perbuatan mesum tanpa malu-malu atau takut-takut akan dikenal oleh tetangga atau teman-teman sedusun mereka! Kalau pesta yang gila sudah memuncak dan tidak ada tubuh yang tertutup pakaian sedangkan semua wajah barsembunyi di balik topeng yang sama anehnya, siapakah yang akan saling mengenal? Biarkan para “roh” yang menguasai mereka dan memilih pasangan masing-masing! Dan dalam kesempatan itu, tentu saja tujuh belas anggauta pembantu Jeng-hwa Sian-jin kebagian pasangan dalam pasta gila ini, karena mereka semua akan melakukan perbuatan mesum secara bergantian dan berapa kali saja sepuas hati mereka. Hanya Jeng-hwa Sian-jin yang tidak ikut-ikut dalam pasta mesum ini, karena dia sendiri sudah tidak lagi tertarik melakukan kemesuman itu, lebih senang menonton sambil memanfaatkan keadaan itu untuk mengumpulkan hawa mujijat dari semua kemesuman yang tiada taranya itu, di mana membubung tinggi hawa-hawa mujijat dari kemaksiatan yang dapat ditampungnya dan dipergunakan untuk memperkuat ilmu hitamnya. Setelah semua orang berkumpul dan duduk bersila di atas lantai yang luas itu, semua menghadap ke arah Jeng-hwa Sian-jin yang duduk di atas bangkunya, kakek gundul ini bangkit berdiri dan mengangkat kedua lengan ke atas. Berhentilah semua suara, para pemukul tambur dan canang juga berhenti dan mereka semua menekuk tubuh ke depan memberi hormat kepada ketua mereka yang kini berdiri dengan punggung bongkok seperti iblis itu. Mei Lan menoleh dan memandang dengan jantung berdebar penuh rasa ngeri. Kakek gundul itu mengucapkan kata-kata yang tidak dimengertinya, yang merupakan kata-kata rahasia perkumpulan itu sebagai isyarat kepada para anggauta untuk memuja atau bersembahyang kepada dewa bulan. Kini semua orang mengangkat kedua lengan dengan tangan terbuka dan telapak tangan menghadap bulan purnama, kemudian mereka semua mengeluarkan nyanyian yang pendek dan aneh, dengan jari-jari tangan digerak-gerakkan. Mei Lan terbelalak memandang jari-jari tangan yang menyeramkan itu dan melirik ke arah bulan. Kebetulan ada awan putih lewat di bawah bulan dan entah mengapa pemandangan ini amat menyeramkan, seolah-olah awan yang berbentuk aneh itu muncul tidak sewajarnya, seolah-olah ada hubungannya dengan gerak jari-jari tangan dan suara nyanyian pujian itu! Suasana menjadi penuh hikmat dan orang-orang yang berlutut sambil bernyanyi memuja bulan itu seperti orang-orang kesurupan, tubuh mereka mulai menggigil dan jari-jari tangan mereka seperti hidup di luar kekuasaan mereka. Wajah-wajah bertopeng menyeramkan menambah suasana menjadi makin aneh.   Sang ketua menurunkan kedua lengannya sambil berseru keras dan semua orang kini juga menurunkan lengang mereka kini kembali merighadap dan memandang kakek gundul itu. “Anak-anakku semua...!” Suara kakek itu halus dan perlahan, akan tetapi karena dikeluarkan dengan dorongan tenaga khi-kang maka terdengar jelas oleh mereka semua dan suara itu menjadi penuh kekuatan yang bergetar. “Pada malam hari ini kita semua patut bergembira karene malam ini para dewa dan roh-roh halus telah menurunkan berkahnya yang berlimpah kepada kita. Tandanya, lihat betapa dewi bulan tersenyum ramah kepada kita dan kedua, roh-roh halus yang mencintai kita malam ini telah sengaja mengirim seorang anak dara yang berdarah murni kepada kita.” Kakek itu menuding ke arah Mei Lan dan semua mata memandang kepada gadis ini. Banyak di antara mereka, terutama yang pria, bersorak gembira, akan tetapi ada beberapa orang, sebagian besar wanita, kelihatan meragu dan memandang dengan mata mengandung kegelisahan. “Anak-anakku yang tercinta, harap jangan khawatir.” Jeng-hwa Sian-jin yang entah bagaimana dengan kedua matanya yang seperti buta itu dapat mengerti akan kekhawatiran ini, berkata pula. “Roh-roh halus yang menjadi sahabat-sahabat kita selalu senang dengan korban, dan sekali ini mereka telah memilih sendiri korban yang berupa dara cantik jelita dan darahnya murni ini. Darah anak ini akan mengangkat kalian setingkat lebih tinggi dan lebih dekat dengan roh-roh halus yang malam ini pasti akan berdatangan dengan bahagia.” “Akan tetapi... saya takut dengan pembunuhan...” Terdengar suara seorang wanita di antara mereka itu. “Saya juga takut...” Dan dua tiga orang wanita mengeluarkan suaranya yang semua menyatakan ngeri dan takut. Jeng-hwa Sian-jin tertawa dan mengangkat kedua lengannya ke atas. “Apa artinya mati dan hidup bagi roh-roh halus dan bagi kita yang telah bersahabat baik dengan mereka? Ahh, apakah selama ini menerima ajaran-ajaranku kalian masih belum mengerti? Tidak ada yang membunuh atau dibunuh... anak dara ini hanya menyumbangkan darahnya kepada kita. Andaikata dia kemudian menjadi roh halus juga, jasanya besar dan dia akan memperoleh tempat baik dan kelak juga akan menjadi sahabat kita di antara roh-roh halus lainnya. Nah, bersyukurlah untuk kemurahan roh-roh halus itu!” Tujuh belas orang anak buah Jeng-hwa Sian-jin bersorak dan segera diikuti oleh mereka semua. Agaknya jalan pikiran orang-orang dusun itu sudah demikian dikuasai oleh Jeng-hwa Sian-jin sehingga apapun yang diucapkan oleh kakek itu mudah saja mereka telan dan percaya bulat-bulat. “Sekarang marilah kita mulai dengan mengundang roh-roh yang kita cintai untuk berpesta malam ini.” Ucapan kakek ini disambut dengan sorak gembira oleh mereka semua. Dengan bantuan beberapa orang anggota dalam, kakek itu lalu memasang lilin di empat penjuru sebuah meja yang sudah dipersiapkan, kemudian memasang dupa dan bersembahyang. Setelah menaruh hio (dupa) di atas tempat dupa di meja itu, delapan orang pembantunya duduk mengelilingi meja dan menaruh tangan mereka di atas meja. Kakek gundul itu membaca mantera berulang-ulang, mengacungkan kedua tangan ke atas dan delapan orang pembantunya itu memejamkan mata. Tak lama kemudian, meja itu mulai bergerak-gerak, keempat kakinya tergetar dan perlahan-lahan mulai terangkat dari atas lantai! Seorang pembantu lain, kakek berambut dan bermuka pucat yang merupakan pembantu utama dari Jeng-hwa Sian-jin, maju sambil membawa sebuah keranjang yang sudah diperlengkapi seperti kalau orang membuat jailangkung. Keranjang itu sudah dipasangi kayu melintang seperti dua lengan, diberi baju dan di tengahnya dipasangi sebatang pensil bulu. Jeng-hwa Sian-jin mengambil keranjang ini dan meletakkan keranjang di atas meja yang sudah bergerak-gerak itu, kemudian dia menyalakan dupa, bersembahyang dan menancapkan dupa di bagian atas keranjang. Dua orang pembantu maju memegangi keranjang dari kanan kiri dan setelah mereka membaca mantera, keranjang itupun mulai bergoyang-goyang! Para anggota memandang semua ini dengan sinar mata penuh takjub dan kagum, dan kini mereka diperbolehkan maju seorang demi seorang untuk minta kepada setan keranjang itu memanggilkan roh seorang yang mereka cintai, yaitu orang-orang yang telah mati. Ada yang memanggil roh ayahnya, ibunya atau saudara atau teman-teman mereka yang sudah mati. Setiap kali seorang anggauta memanggil roh, keranjang itu bergerak-gerak, pensil di tengahnya ikut bergerak dan setelah dicelupkan tinta lalu pensil itu menuliskan sebuah nama, yaitu nama roh orang yang dipanggil, ke atas kain putih yang sudah disediakan di depannya! Kini sudah dipanggil berpuluh-puluh roh halus dan mulailah ada yang kesurupan. Ada yang tiba-tiba jatuh dan berkelojotan, ada yang tertawa-tawa dan keadaan di situ tak lama kemudian menjadi amat menyeramkan bagi Mei Lan yang sejak tadi menonton sambil terlentang. Semua orang itu telah kesurupan atau kemasukan roh! Kacau-balau di situ, tingkah laku mereka seperti orang-orang gila. “Dipersilakan sahabat-sahabat roh halus yang hadir untuk menikmati hidangan!” Terdengar Jeng-hwa Sian-jin berseru dan mulailah para anggota itu menyerbu hidangan-hidangan di atas meja-meja tadi dengan tingkah laku kasar, seolah-olah mereka itu sudah lama sekali tidak pernah makan. Mereka makan dengan lahap, menuang arak ke dalam mulut dan tempat itu menjadi kacau tidak karuan. Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring seorang laki-laki. “Penjahat-penjahat keji, bebaskan gadis itu!” Entah dari mana datangnya, tahu-tahu muncul seorang pemuda yang gagah perkasa gerakannya, berpakaian sederhana berwarna kuning, dan pemuda ini langsung melangkah ke arah Mei Lan yang terikat di atas dipan. “Berhenti!” Tiba-tiba para pembantu Jeng-hwa Sian-jin bergerak dan sudah menghadang di depan pemuda itu. Delapan orang sudah mengurungnya dipimpin oleh kakek berambut putih, karena para pembantu yang lain masih berada di sekeliling meja tadi dalam keadaan tidak sadar. “Siapakah engkau berani mengotori tempat upecara kami yang suci?” Bentak kakek berambut putih tadi sambil memandang dengan mata melotot kepada pemuda itu. “Aku siapa bukan soal penting. Akan tetapi kalian telah menawan seorang gadis yang tidak berdosa dan aku mendengar tadi hendak dijadikan korban dalam upacara sembahyang setan ini. Lepaskan dia, kalau tidak terpaksa aku akan turun tangan dan membasmi perkumpulan setan ini!” “Tangkap dia!” Tiba-tiba Jeng-hwa Sian-jin yang sejak tadi hanya menonton, kini berteriak marah. Delapan orang itu menubruk maju akan tetapi terdengar suara mereka mengaduh berturut-turut dan tubuh mereja terlempar ke belakang ketika pemuda itu sudah menggerakkan kaki tangannya, cepat dan kuat bukan main gerakannya sehingga dalam segebrakan saja delapan orang itu telah mendapat bagian pukulan atau tendangan. Kemudian dia meloncat mendekati dipan di mana Mei Lan rebah terlentang. “Bocah lancang...!” Terdengar suara kakek berambut putih dan tubuhnya menerjang maju. Mendengar datangnya angin pukulan yang dahsyat juga, pemuda itu membalik, lalu menggunakan tangan menangkis pukulan kakek itu. “Dukkkk!” Kakek itu terkejut karena tangan itu kuat sekali, dan si pemuda sudah cepat menggerakkan kaki menendang, akan tetapi dapat ditangkis pula oleh si kakek rambut putih. Sementara itu, delapan orang yang tadi roboh sudah bangun kembali dan bahkan mereka yang tadi bertugas memanggil roh telah disadarkan oleh ketua mereka dan kini ikut mengepung pemuda itu. Bahkan mereka telah memegang senjata masing-masing dengan sikap mengancam. Anehnya, para penduduk dusun laki-laki dan wanita melihat ini seperti tidak perduli atau tidak melihat saja dan mereka itu masih makan minum dengan gembira dan dengan sikap kasar seperti orang-orang yang tidak waras lagi otaknya. “Tahan... jangan bunuh dia...!” Tiba-tiba Jeng-hwa Sian-jin berseru dan dengan beberapa loncatan saja dia sudah tiba di tempat itu, membuka kepungan dan menghadapi pemuda itu. Sejenak kedua orang itu saling pandang den jelas bahwa wajah kakek itu membuat si pemuda perkasa menjadi ngeri dan jijik. “Orang muda, aku adalah Jeng-hwa Sian-jin, ketua dari Jeng-hwa-pang yang saat ini sedang mengadakan upacara sembahyangan. Siapa engkau orang muda yang berani mengganggu upacara suci kami?” tanyanya, suaranya halus dan penuh wibawa. “Namaku Tio Sun dan aku kebetulan saja lewat di tempat ini. Pangcu, aku sama sekali tidak akan mencampuri urusan orang lain, apalagi mengganggu upacara sembahyanganmu betapapun anehnya itu. Akan tetapi melihat bahwa engkau telah menawan seorang gadis, tentu saja aku tidak dapat mendiamkannya dan aku menuntut agar gadis ini dibebaskan sekarang juga!” “Ha-ha-ha, engkau tidak tahu, orang muda. Eh, Tio Sun, ketahuilah bahwa gadis ini memang dipilih oleh roh-roh halus untuk menjadi korban, dan engkau sendiri, Tio Sun, kedatanganmu ini adalah atas kehendak roh-roh halus yang malam ini datang sebagai undangan kami. Engkau seorang pemuda perkasa, seorang perjaka murni yang tentu akan menggembirakan roh-roh wanita yang malam ini hadir.” Pemuda itu mengerutkan alisnya yang tebal dan memandang tajam. “Apa... apa maksudmu...?” Dia bertanya bingung den melihat kakek itu kini menggerakkan kedua tangan ke atas, dengan jari-jari tangan bergerak cepat den mulut berkemak-kemik, dia bertanya lagi, “Apa... yang kaulakukan itu...?” Pemuda itu boleh jadi seorang yang gagah perkasa dan berkepandaian tinggi, akan tetapi agaknya dia belum berpengalaman menghadapi ahli-ahli sihir seperti Jeng-hwa-pang ini. Tanpa disadarinya, perhatiannya itu membuat dia terjebak dalam perangkap kakek lihai itu. “Tio Sun... berlututlah... engkau pemuda pilihan roh-roh halus... berlututlah, karena engkau tak mungkin melawan kekuatan roh-roh halus yang memancar melalui sinar bulan purnama... berlututlah engkau...!” Sungguh luar biasa sekali. Pemuda itu menjatuhkan dirinya berlutut! Melihat ini, Mei Lan yang tadinya sudah merasa girang karena ada orang datang hendak menolongnya, tiba-tiba menjerit, “Jangaaannn...!” Akan tetapi terlambat karena pemuda itu telah tunduk dan dicengkeram kekuatan gaib yang pada saat itu memenuhi suasana tempat itu. “Tio Sun, engkau tidak akan melawan, engkau telah dipilih untuk menyenangkan hati para roh halus. Engkau layani mereka bersenang-senang dan engkau tidak ingat apa-apa lagi kecuali hanya menjadi pelayan mereka...” Suara ketua yang berkepala gundul itu penuh getaran. “Engkau mengerti...?” Tio Sun yang masih berlutut menjawab dengan anggukan, “Aku mengerti...” Jeng-hwa Sian-jin tertawa dan meninggalkan Tio Sun yang masih berlutut di tempat itu. “Dia tidak berbahaya lagi dan akan menambah kemeriahan pesta nanti.” katanya kepada anak buahnya. Pesta makan minum dilanjutkan sampai habis semua masakan dan minuman di atas meja. Atas isyarat ketua gundul itu, dua orang anak buahnya menabuh tambur dan canang, dan dengan mata terbelalak Mei Lan melihat mereka semua kini bangkit dan menari-nari! Tarian lenggak-lenggok tidak karuan, hanya mengikuti irama tambur dan canang, akan tetapi makin lama makin bersemangat mereka menari-nari, dan sebagian besar menari dengan mata terpejam. Kemudian mulailah baju-baju beterbangan karena mereka itu mulai menanggalkan baju mereka sambil menari terus dan terdengar syara ketawa cekikikan ketika beberapa orang wanita yang hampir telanjang menghampiri Tio Sun yang masih berlutut, kemudian lima enam orang wanita itu sambil tertawa cekikikan mengeroyok pemuda ini, ada yang menciumi, memeluk dan ada yang mulai merenggut-renggut pakaian pemuda itu. Dan yang lain-lain juga sudah memilih pasangan masing-masing dan terjadilah hal-hal mengeriken di tempat itu. Mei Lan tidak kuat memandang terus karena mereka itu ada yang mulai menanggalkan seluruh pakaiannya bertelanjang bulat tanpa malu-malu lagi dan di atas semua kebisingan suara mereka, terdengar suara ketawa Jeng-hwa Sian-jin! “Siancai... siancai... betapa kotornya tempat ini...! Hai manusia-manusia tersesat, ingatlah akan kemanusiaan kalian...!” Ucapan yang tiba-tiba terdengar ini disusul pekik melengking yang amat dahsyat, yang mengejutkan semua orang bahkan membuat mereka roboh terguling seperti disambar petir. Tio Sun juga terkejut dan lebih kaget lagi ketika dia baru sekarang sadar akan keadaannya, di-“keroyok” oleh enam orang wanita yang setengah telanjang, bahkan ada yang telanjang bulat sama sekali, sedangkan dia sendiripun hampir telanjang. “Aihhhh...!” Dia berteriak keras dan enam orang wanita itu terjangkang ke kanan kiri ketika pemuda itu meronta dan mendorong, kemudian sambil membereskan pakaiannya, Tio Sun meloncat dan menyambar pedangya yang tadi menggeletak tak jauh dari situ. Ketika pemuda itu menoleh ke arah gadis yang tadi terbelenggu di atas dipan, dia melihat seorang kakek tua renta berpakaian putih, rambut, kumis dan jenggotnya sudah putih semua, menghampiri dipan itu. Dia dapat menduga bahwa tentu kakek aneh inilah yang tadi mengeluarkan teriakan-teriakan dahsyat itu. Dia melihat betapa kakek gundul Jeng-hwa Sian-jin, mengeluarkan seruan keras sekali menerjang kakek berpakaian putih, sambil menggerakkan tongkat ular di tangannya. “Plakk... krekkk... desssss!” Kakek berpakaian putih ini hanya mengangkat lengannya menangkis dan... tongkat ular itu patah-patah dan Jeng-hwa Sian-jin terlempar ke belakang. “Si keparat laknat!” Jeng-hwa Sian-jin berseru dan kini dia berdiri berhadapan dengan kakek berpakaian putih yang kelihatan tenang-tenang saja itu. “Sababat, kau insyaflah betapa kedua kakimu sudah berada di lumpur kesesatan! Masih belum terlambat bagi siapapun untuk keluar dari lumpur kesesatan, kembali ke jalan kebenaran,” kakek itu berkata, suaranya halus dan lembut. Akan tetapi Jeng-hwa Sian-jin mengeluarkan suara gerengan, seperti seekor srigala terluka. “Manusia sombong, lihatlah ini... dan engkau akan mati menjadi setan penasaran!” Tio Sun mengeluarken seruan kaget dan Mei Lan menjerit ketakutan ketika dari kedua tangan kakek itu kini muncul seekor binatang seperti naga, matanya bercahaya, mulutnya mengeluarkan api bernyala-nyala dan naga itu menerkam ke arah si kakek yang menghadapinya dengan tenang. Kembali kakek itu hanya mengangkat tangannya menangkis, menyambut naga yang dahsyat itu sambil berseru, “Siancai...! Segala kepalsuan akan menghancurkan diri sendiri, orang murtad!” “Darrr...!” Naga itu meledak dan lenyap, dan Jeng-hwa Sian-jin terbanting ke atas tanah, dari mulut, hidung dan telinganya mengalir darah dan dia berkelojotan seperti orang sekarat! Kakek itu menggeleng kepalanya dan menarik napas panjang, kemudian dia membalikkan tubuhnya dan sekali raba saja belenggu kaki dan tangan Mei Lan patah semua. “Lociainpwe, teecu Yap Mei Lan menghaturkan terima kasih...” Dara remaja itu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu yang memandangnya dengan tersenyum. Sementara itu, orang-orang dusun yang tadi sekaligus sadar kembali dan seolah-olah semua ibils dan roh jahat yang memasuki tubuh mereka lari minggat terusir oleh pekik dahsyat dari kakek tadi, kini kelihatan panik, mencari pasangan atau suami isteri masing-masing, menyambar pakaian mereka dan lari pontang-panting meninggalkan tempat itu untuk pulang ke rumah mereka masing-masing. Setelah berada dalam keadaan sadar, tentu saja mereka menjadi ketakutan melihat pertempuran tadi. Apalagi ketika anak buah Jeng-hwa-pang yang tujuh orang itu kini sudah berteriak-teriak marah melihat ketua mereka roboh dan dengan senjata di tangan mereka sudah maju untuk menerjang kakek berpakaian putih itu. Akan tetapi tiba-tiba tampak sinar pedang berkelebat den robohlah empat orang anggota Jeng-hwa-pang. Semua orang terkejut memandang dan kiranya Tio Sun yang sudah menghadang di depan mereka. Serentak mereka maju mengeroyok dan mengamuklah pemuda itu. Kini setelah dia tidak berada di bawah pengaruh sihir, jelas kelihatan betapa hebatnya pemuda ini memainkan pedangnya. Tubuhnya berkelebatan ke sana-sini dan pedangnya yang tertimpa sinar bulan itu bergulung-gulung seperti seekor naga mengamuk. Tangan kirinyapun tidak tinggal diam dan setiap kali pukulan tangan kirinya mengenai tubuh seorang pengeroyok, tentu yang terpukul itu roboh dan tak dapat bangun kembali karena pemuda itu memukul dengan pengerahan lwee-kang yang amat kuat. Baru tampak, bahwa pemuda itu sesungguhnya adalah seorang pendekar muda yang amat lihai sehingga gentarlah hati semua pengeroyoknya. Setelah dua belas orang roboh dan tewas, yang lima orang cepat melarikan diri tunggang-langgang. Keparat keji hendak lari ke mana kalian?” Pemuda itu hendak mengejar, akan tetapi terdengar suara halus mencegahnya, “Cukup, sicu. Cukup mengerikan pembunuhan-pembunuhan ini...!” Tio Sun menghentikan pengejarannya dan menengok. Dia hanya melihat kakek tua renta tadi menuntun Mei Lan dan sekali berkelebat kakek itu lenyap dari tempat itu, tangan kanan menuntun gadis tadi, tangan kiri membawa sebuah peti hitam yang tadi berada di atas meja dekat ketua Jeng-hwa-pang. Tio Sun maklum bahwa kakek tadi adalah seorang yang amat sakti, maka dia cepat berlutut dan berseru ke arah menghilangnya kakek itu, “Teecu mohon tanya nama locianpwe yang mulia!” Hening sejenak, kemudian, seperti terbawa angin bersilir, terdengarlah olehnya jawaban halus. “Aihh... apa artinya nama? Jangan khawatir, sicu, gadis ini berada di bawah perlindungan Bun Hoat Tosu...” “Ahhh...!” Tio Sun terkejut dan sampai lama dia berlutut di situ. Pernah dia mendengar dari ayahnya bahwa yang bernama Bun Hoat Tosu dan sampai kini tidak ada orang tahu di mana tempat tinggalnya, entah masih hidup ataukah sudah mati, adalah seorang yang memiliki kesaktian luar biasa, den kakek itu adalah bekas ketua Hoa-san-pai, satu di antara tokoh-tokoh besar sejak puluhan tahun yang lalu! Pemuda ini adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi dia masih hijau dan belum ada nama dalam dunia kang-ouw, karena baru sekarang dia diperkenankan oleh ayahnya yang menjadi gurunya sendiri untuk merantau. Tio Sun adalah putera tunggal dari Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan, bekas pengawal Panglima The Hoo yang mendapat kepercayaan penuh dan yang memiliki kepandaian tinggi. Seperti telah diceritakan di bagian depan dari cerita ini, bekas pengawal Ban-kin-kwi (Setan Bertenaga Selaksa Kati) Tio Hok Gwan itu bersama Hong Khi Hoatsu kebetulan sedang bersama-sama mengunjungi Cin-ling-san ketika mereka melihat tokoh-tokoh Cin-ling-pai, yaitu tujuh orang dari Cap-it Ho-han telah tewas oleh mereka yang menamakan dirinya Lima Bayangan Dewa. Tio Hok Gwan ikut merasa berduka dan marah, akan tetapi karena dia sendiri merasa bahwa dirinya sudah terlalu tua untuk turun tangan sendiri, maka dia lalu pulang ke rumahnya dan mengutus putera tunggalnya itu untuk mewakili dia membantu Cin-ling-pai dan mencari Lima Bayangan Dewa dan membasmi orang-orang jahat itu. Tio Sun adalah seorang pemuda berusia dua puluh tahun, berperawakan tegap dan bersikap gagah. Wajahnya tidak terlalu tampan, matanya terlalu sipit seperti mata ayahnya, akan tetapi mata yang kecil itu bersinar tajam dan wajahnya yang biasa saja itu membayangkan kegagahan, kejujuran, sikapnya halus akan tetapi tegas dan terbuka. Setelah dapat menenteramkan hatinya yang terguncang karena kagum mendengar bahwa kakek yang menolong dara remaja tadi ternyata adalah manusia sakti Bun Hoat Tosu, Tio Sun lalu bangkit berdiri dan memeriksa keadaan di tempat itu. Kakek gundul yang seperti iblis itu, Jeng-hwa Sian-jin telah tewas karena ilmu sihirnya yang membalik dan menyerang dirinya sendiri tadi, dan amukannya tadi telah membuat dua belas orang pembantu kakek gundul itu tewas semua. Teringatlah dia akan cara persembahyangan mereka yang menyeramkan tadi, dan dia heran apakah roh tiga belas orang ini benar-benar akan diterima oleh roh-roh halus itu dan diberi tempat yang enak, yang jelas mereka itu mati dalam keadaan yang tidak enak dilihat dari perbuatan mereka sendiri. Tio Sun lalu menyalakan api dan membakar bangunan-bangunan di perkampungan penuh kemaksiatan ini sehingga api berkobar tinggi membakar bangunan-bangunan itu berikut mayat tiga belas orang Jeng-hwa-pang. Dia sendiri lalu pergi dari situ. Pada keesokan harinya, Tio Sun mengunjungi dua buah dusun di sebelah selatan dan utara bukit, yaitu dusun Liong-si-jung dan Beng-nam-jung. Ditemuinya kepala-kepala dusun itu dan diceritakannya tentang penduduk yang terpikat menjadi anggota perkumpulan pemuja iblis itu. Dianjurkan kepada kepala-kepala dusun itu untuk memperingatkan penduduknya agar jangan sampai mudah terpikat lagi oleh orang-orang jahat yang berlindung di belakang perkumpulan-perkumpulan kebatinan yang menyesatkan dengan membonceng kebodohan dan ketahyulan para penduduk dusun. Setelah pemuda itu menceritakan bahwa perkumpulan itu telah dibasmi dan dibakar, dua orang kepala dusun menghaturkan terima kasih dan tentu saja mereka lalu berani bertindak. Para penduduk dusun dikumpulkan dan mereka yang pernah menjadi anggota Jeng-hwa-pang ditegur dan diancam hukuman kalau berani melanjutkan upacara sembahyangan yang menyesatkan itu. Tio Sun lalu melanjutkan perjalanannya, memasuki dunia kang-ouw dan mencari-cari di mana adanya Lima Bayangan Dewa yang telah mengacau Cin-ling-pai dan telah mencuri pedang Siang-bhok-kiam. *** Dengan pakaian kotor terkena lumpur yang basah dan kini sudah kering lagi, Kun Liong duduk bersila di depan kuburan isterinya tercinta. Dia sudah dapat menekan kedukaannya yang amat hebat, wajahnya pucat sekali, matanya kehilangan gairah hidup dan dalam waktu tiga hari saja rambut di kepalanya sudah banyak yang menjadi putih! Duka maupun suka timbul dari pikiran. Segala sesuatu yang terjadi di dalam dunia ini, yang menimpa diri manusia, adalah peristiwa yang telah terjadi, yang merupakan fakta dan yang setelah terjadi tidak lagi dapat dirubah oleh siapapun juga. Apakah peristiwa itu mandatangkan duka maupun suka, tergantung sepenuhnya kepada penanggapan manusia terhadap fakta itu. Jika pikiran yang menangapi, maka timbullah duka atau suka. Pikiran mengingat-ingat, membanding-bandingkan keadaan sebelum dan sesudah peristiwa terjadi, kerugian bagi dirinya sendiri, yang menyenangkan dan yang menyedihkan, yang kesemuanya itu berpusat pada diri pribadi. Menenggelamkan diri ke dalam gelombang suka duka yang diakibatkan oleh permainan pikiran yang mengingat-ingat, sama sekali tidak ada gunanya. Di dalam hal kematian seorang yang kita cinta, kalau memang benar kita mencinta orang yang mati itu, mencinta demi dia, bukan demi diri sendiri, kiranya berduka demi si mati adalah tidak wajar, karena kita tidak tahu apakah benar keadaannya itu patut kita dukakan. Kita tidak tahu bagaimana keadaannya sesudah mati, agaknya tidak akan lebih buruk daripada waktu hidup di dalam dunia yang penuh dengan kesengsaraan ini, maka kedukaan kita biasanya ditujukan kepada rasa iba diri karena kita ditinggalkan orang yang kita cinta, karena kita kehilangan seorang yang memberi kesenangan pada kita. Dan biasanya, sudah menjadi pendapat umum bahwa rasa duka semacam ini, yang sesungguhnya mendukakan diri sendiri, dianggap sebagai tanda cinta terhadap si mati! Padahal, faktanya si mati tetap mati dan tidak akan berobah oleh tangis air mata darah kita! Betapapun pahit kenyataan ini, akan tetapi sudah sepatutnya kalau kita membuka mata akan kenyataan hidup yang serba palsu ini sehingga kita sadar apa yang kita lakukan. Yap Kun Liong adalah seorang pendekar yang memiliki kepandaian dan memiliki batin yang kuat. Akan tetapi malapetaka yang menimpa dirinya terlalu hebat baginya. isterinya yang terkasih tewas terbunuh orang, dan puterinya yang tercinta melarikan diri tanpa ada yang tahu apa yang menyebabkannya. Maka pukulan batin itu membuat dia seperti lumpuh dan kehilangan semangat. Pada saat itu, dia sudah berhasil menekan kehancuran hatinya dan sudah mengambil keputusan untuk meninggalkan kuburan isterinya dan pergi mencari Mei Lan dulu sebelum menyelidiki tentang kematian isterinya yang amat aneh, karena betapapun juga, dia masih sangsi apakah benar Giok Keng sampai hati membunuh isterinya. Dan andaikata benar Giok Keng yang membunuh Hong Ing, apa pula yang menjadi sebabnya karena sepanjang pangetahuannya, isterinya tidak ada hubungan dengan puteri ketua Cin-ling-pai itu. “Yap Kun Liong, apa yang kaulakukan di sini?” Pertanyaan yang tiba-tiba dengan suara besar dan nyaring serta mengandung getaran amat kuat ini mengejutkan Kun Liong. Cepat dia meloncat berdiri membalikkan tubuhnya, akan tetapi betapa kaget dan herannya ketika dia melihat bahwa yang menegurnya itu bukan lain adalah Kok Beng Lama pendeta sakti dari Tibet yang menjadi ayah mertuanya itu! Tentu saja kehadiran orang ini seolah-olah merobek lagi luka di hatinya yang sudah mulai mengering dan dia lalu menjatuhkan diri berlutut sambil “Gak-hu... gak-hu... ahhh... Hong Ing... isteriku...!” Dia tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena pendekar ini saking sedihnya sudah terguling dan roboh pingsan lagi! “Huh, cengeng dan lemah...!” Kok Beng Lama bersungut-sungut, dengan langkah lebar dia menghampiri Kun Liong, memeriksa detik jantung dan pernapasan dan dia kaget juga memperoleh kenyataan bahwa mantunya itu ternyata mengalami tekanan batin yang amat hebat. Cepat dia lalu menotok beberapa jalan darah di tengkuk dan punggung dan Kun Liong siuman kembali. “Bocah lemah, hayo katakan kenapa engkau menjadi begini cengeng dan lemah, menangis di kuburan! Kuburan siapa yang kautangisi ini?” Kakek itu menuding ke arah gundukan tanah yang masih baru itu. “Gak-hu (ayah mertua)... ini... ini adalah kuburan... Hong Ing...” Sepasang mata yang lebar itu terbelalak dan alis yang tebal itu terangkat ke atas. “Hahh...? Apa kau bilang? Hong Ing...?” “Dia... dia tewas terbunuh orang ketika saya sedang pergi...” Run Liong berlutut dan menutupi mukanya. “Dan kau sudah membalas kematiannya? Sudah kautangkap pembunuhnya?” “Saya... saya belum tahu siapa dia...” “Bodoh! Cengeng! Hentikan tangismu dan ceritakan apa yang telah terjadi atas diri anakku, Hong Ing!” Suara kakek raksasa itu seperti petir menyambar-nyambar, nyaring dan menggetarkan jantung sehingga mengejutkan Kun Liong yang maklum betapa marah hati ayah mertuanya ini. “Saya sedang pergi meninggalkan rumah untuk menemui adik saya,” dia bercerita dan menguatkan hatinya sedapat mungkin, “ketika saya pulang, saya mendapatkan isteri saya... telah tewas. Menurut penuturan dua orang pelayan di rumah, Hong Ing kedatangan seorang tamu, yaitu puteri ketua Cin-ling-pai, Cia Giok Keng kakak dari Cia Bun Houw murid gak-hu sendiri... dan menurut dua orang pelayan, terjadi pertengkaran bahkan kemudian perkelahien antara isteri saya dan Giok Keng, dan... dan dua orang pelayan itu yang hendak melerai juga dipukul pingsan... Ketika mereka siuman Giok Keng sudah tidak ada dan... den Hong Ing sudah tewas dengan dada terluka tusukan pedang...” “Dan engkau menangis di sini? Keparat, percuma saja kuberikan anakku menjadi isterimu!” “Gak-hu...!” “Desss...!” Tubuh Kun Liong mencelat den bergulingan di atas tanah terkena tendangan ayah mertuanya itu. “Keparat engkau! Isterinya dibunuh orang, hanya menangis saja di depan kuburan seperti anak kecil, dan pembunuhnya kaubiarkan saja! Hem, manusia lemah macam engkau ini pantasnya kubunuh sekalian!” Kok Beng Lama yang sudah seperti gila saking marahnya mendengar puterinya dibunuh orang dan anak mantunya diam saja dan hanya berkabung di situ tanpa membalas kematian itu, sudah meloncat dekat dan mengirim pukulan ke arah kepala Kun Liong. Kalau dibiarkan saja pukulan ini dan mengenai kepala Kun Liong, tak dapat disangsikan lagi pendekar itu tentu akan tewas seketika, menyusul nyawa isterinya. Betapa akan senangnya kalau begitu, pikir Kun Liong. Akan tetapi dia teringat akan puterinya, Mei Lan, maka cepat dia mengangkat lengannya menangkis Kembali dia terpental den bergulingan, akan tetapi tubuh Kok Bang Lama tergetar juga. “Tahan dulu, gak-hu. Bukannya saya tidak mau membalas kematian isteri saya yang tercinta. Akan tetapi urusan ini amat aneh dan mencurigakan. Saya mengenal betul Giok Keng, kiranya mustahil kalau dia membunuh Hong Ing. Dan juga anak saya, Mei Lan, pada malam hari itu lenyap pula meninggalkan rumah. Karena hati saya masih terlalu berduka atas kematian Hong Ing, maka sampai ini hari saya berada di sini...” “Cukup, apa gunanya tangis-tangisan ini. Hayo, kita ajak saksi-saksi itu pergi mengambil Cia Giok Keng dan minta pengadilan kepada ketua Cin-ling-pai!” Kok Bang Lama lalu memegang pergelangan tangen Kun Liong dan menyeret pendekar itu pulang ke rumahnya. Kun Liong menahan air matanya ketika dia menoleh dan meninggalkan kuburan isterinya, kemudian terpaksa diapun harus mengerahkan ilmu berlari cepat karena mertuanya itu berlari cepat sekali. Giam Tun dan Khiu-ma, dua orang pelayan dan pembantu di rumah Kun Liong, menjadi terkejut dan ketakutan ketika secara kasar kakek raksasa itu memaksa mereka untuk ikut pergi dan pada seat itu juga, hampir tidak memberi waktu kepada mereka untuk berganti pakaian den membawa bekal. Kun Liong juga segera membersihkan diri dan berganti pakaian, kemudian mereka berangkat pada hari itu juga, menuju ke kota Sin-yang yang terletak di kaki Pegunungan Tapie-san. Di dalam perjalanan, dua orang pelayan itu diminta oleh Kok Beng Lama menceritakan lagi pengalaman mereka pada malam hari terbunuhnya Hong Ing itu. Karena melakukan perjalanan bersama Giam Tun dan Khiu-ma, tentu saja perjalanan itu tidak dapat dilakukan dengan cepat dan hal ini membuat Kok Beng Lama menjadi tidak sabar dan seringkali dia mengomel. Pendeta tua ini semenjak ditinggal pergi muridnya, Cia Bun Houw, yang dipanggil pulang oleh ayahnya ke Cin-ling-san merasa kesepian sekali di Tibet. Dia merasa gelisah dan disiksa oleh kesunyian yang ditimbulkan oleh pikirannya sendiri. Kesunyian timbul apabila kita terikat oleh sesuatu atau seseorang kemudian kita berpisah dari sesuatu atau seseorang itu. Memang beratlah akibatnya apabila kita terikat yang sama halnya dengan kebiasaan sehingga membuat kita terbius dan sukar melepaskan diri atau berjauhan dengan yang telah mengikat kita. Terpisah dari seseorang yang mengikat kita membuat kita merasa kesenangan dan derita dari kesepian ini memang amat hebat, tak tertahankan oleh seorang sakti saperti Kok Beng Lama sekalipun! Pikirannya tiada hentinya mengenangkan orang yang telah mengikat hatinya, yang kini pergi, membayangkan waktu Bun Houw masih berada di dekatnya. membayangkan segala perasaan gembira dan senang di waktu pemuda itu masih menjadi muridaya dan dekat dengan dia. Kenangan dan bayangan akan semua ini membuat hidupnya menjadi sunyi dan kosong, dan dia merasa tidak kerasan lagi berada di Tibet. Maka dia lalu turun gunung den pergi ke timur, tidak kuat melawan kesunyian yang melanda hatinya. Dan muncullah dia di Leng-kok, tempat tinggal Yap Kun Liong, mantunya. Bahagia hanya dapat dirasakan oleh orang yang bebas dari segala ikatan, baik ikatan lahir maupun ikatan batin. Bukan berarti bahwa kita harus acuh atau tidak perduli, sama sekali tidak. Bahkan sebaliknya, orang yang bebas dari segala ikatan memperhatikan apapun yang terjadi di luar dan dalam dirinya tidak dapat memilih-milih dan pilih kasih. Orang yang bebas dari ikatan adalah orang yang sendirian, bukan berarti mengasingkan diri. Ikatan hanya memperbudak diri. Cia Giok Keng tinggal di Sin-yang, dekat Sungai Huai, di kaki Pegunungan Tapie-san, bersama suaminya, Lie Kong Tek den dua orang anaknya. Mereka mempunyai dua orang anak, yang pertama adalah seorang anak laki-laki bernama Lie Seng, sedangkan yang kedua adalah seorang perempuan yang diberi name Lie Ciauw Si. Lie Seng barusia dua belas tahun sedangkan adiknya berusia sepuluh tahun. Selama belasan tahun berumahtangga, suami isteri ini hidup dengan rukun dan tenteram di kota itu. Lie Kong Tek bekerja sebagai pedagang kayu bangunan yang banyak terdapat di Tapie-san dan seringkali mengirimkan kayu-kayu balok melalui Sungai Huai ke kota-kota lain. Kebidupan keluarga Lie ini tenteram dan cukup, dan barulah timbul gelombang dalam kehidupan mereka ketika mereka menerima undangan tokoh Go-bi-pai, yaitu Phoa Lee It, piauwsu di Wu-han. Di tempat ini, tanpa disangka-sangka, Giok Keng bentrok dengan Yap In Hong, adik Kun Liong yang telah bersikap keras dan dianggap menghina adik kandungnya di depan umum. Maka sepulangnya dari kota itu, Giok Keng yang memang berwatak keras itu segera pergi ke Leng-kok dengan maksud mengunjungi Kun Liong den menegur adik pendeker ini. Akan tetapi Kun Liong kebetulan tidak ada dan terjadilah peristiwa hebat di rumah pendekar itu yang mengakibatkan kematian Hong Ing. Ketika Kun Liong, Kok Bang Lama, dan dua orang pembantu rumah tangga Kun Liong tiba di depan rumah mereka, Giok Keng den suaminya cepat keluar menyambut. Wajah Giok Keng merah sekali tanda bahwa dia merasa terguncang hatinya karena dia maklum bahwa tentu Kun Liong datang untuk menegurnya yang pernah marah-marah kepada isterinya, bahkan telah memukul pingsan isteri Kun Liong di dalam pertempuran antara mereka. Akan tetapi karena hatinya masih panas teringat akan sikap adik pendekar ini di dalam pesta, dia tidak merasa menyesal, bahkan begitu berjumpa dia lantas menudingkan telunjuknya kepada Kun Liong sambil berkata. “Yap Kun Liong, bagus sekali ya perbuatan adikmu yang bernama In Hong itu...!” Akan tetapi sebelum Kun Liong menjawab, Kok Beng Lama sudah melangkah maju dan berkata dengan suara nyaring, matanya terbelalak lebar, “Apakah engkau yang bernama Cia Giok Keng?” Giok Keng terkejut, memandang pendeta berbaju Lama berwarna merah ini, meragu, kemudian bertanya, “Siapakah locianpwe ini?” “Dia adalah ayah mertuaku, Kok Beng Lama...” “Guru Bun Houw...?” Giok Keng terkejut dan memberi hormat, juga suaminya memberi hormat. Tidak perlu banyak penghormatan yang palsu itu. Cia Giok Keng, engkau tentu pernah mendengar bahwa Pek Hong Ing adalah anakku, bukan?” Pendeta itu bertanya, suaranya kaku dan dingin. Giok Keng mengangguk dan tahulah dia sekarang mengapa kakek yang dia dengar adalah guru dari Bun Houw, seorang pendeta Lama di Tibet yang sakti ini, datang bersama Kun Liong. Agaknya kakek inipun hendak mencampuri urusan itu! “Cia Giok Keng, demi Tuhan dan segala dewa, mengapa engkau membunuh anakku?” Giok Keng terkejut sekali dan menoleh kepada Kun Liong dengan penuh pertanyaan. Juga Lie Kong Tek yang sejak tadi hanya mendengarkan, mendengar bentakan kakek itu menjadi kaget sekali dan dia sudah melangkah maju dan bertanya kepada Kun Liong. “Saudara Kun Liong, apa artinya semua itu? Siapa membunuh siapa?” Kun Liong menjawab sambil memandang kepada Giok Keng dengan sinar mata penuh selidik. “Yang terbunuh adalah isteriku, Hong Ing. Dan yang membunuh agaknya adalah Giok Keng...” “Ihhh...!” Giok Keng berseru kaget sekali, matanya terbelalak memandang Kun Liong. “Ahhh...?” Lie Kong Tek sebaliknya kini menoleh dan memandang isterinya dengan alis berkerut. Isterinya telah menceritakan kepadanya tentang kunjungannya ke Leng-kok dan tentang percekcokannya dengan isteri Kun Liong. Isterinya yang jujur menceritakan segalanya, betapa dalam kemarahannya dia membuka rahasia Mei Lan sehingga nyonya Kun Liong marah dan mereka bertanding sampai akhirnya dia merobohkan Hong Ing sehingga pingsan bersama dua orang pelayannya. Untuk itu, Lie Kong Tek telah menegur isterinya dengan keras den dia bersedia untuk minta maaf kepada Kun Liong. Siapa tahu sekarang kenyataannya bahkan lebih hebat lagi. Isteri Kun Liong tewas den yang disangka menjadi pembunuhnya adalah Giok Keng. “Bukan agaknya lagi!” Kok Beng Lama berkata. “Jelas bahwa nyonya muda yang keras hati inilah yang membunuh anakku. Cia Giok Keng, hayo jawab mengapa engkau membunuh anakku?” “Tidak...! Tidak...! Aku tidak membunuhnya!” Wajah Giok Keng menjadi pucat sekali karena dia tidak mengira bahwa Hong Ing akan dibunuh orang pada malam hari itu juga setelah dia pergi meninggalkan rumahnya. “Hemm, membohongpun tidak ada gunanya, lebih baik berterus terang!” Kok Beng Lama berkata lagi dengan nada penuh ancaman. Melihat ayah mertuanya kelihatan tak sabar lagi itu, Kun Liong merasa khawatir dan dia cepat berkata, “Giok Keng, di antara kita semua terdapat hubungan yang amat erat, bahkan ayah mertuaku adalah guru dari adikmu. Oleh karena itu, sebaiknya kalau engkau ceritakan dengan jelas apa yang telah terjadi antara engkau dan mendiang isteriku.” Lie Kong Tek melihat kebijaksanaan ini, maka diapun menjura ke arah Kok Beng Lama sambil berkata, “Harap locianpwe dan saudara Kun Liong suka duduk di dalam agar dapat kita membicarakan urusan ini dengan baik.” Akan tetapi dengan mata melotot dan lambaian tangan tidak sabar, Kok Beng Lama membentak, “Tidak perlu! Hayo cepat ceritakan!” Giok Keng adalah seorang wanita yang berhati keras dan tidak mengenal takut. Melihat sikap kakek itu, diapun menjadi penasaran dan segera dia menceritakan tentang pertemuannya dengan Yap In Hong di tempat pesta dari Phoa Lee It. Setdah menuturkan peristiwa itu panjang lebar, dia mengakhiri dengan ucapan marah kepada Kun Liong, “Kaupikir saja, Kun Liong. Adikmu menghina aku di muka umum, menghina Bun Houw seperti itu. Kalau tidak ada suamiku yang mencegah, tentu antara aku dan adikmu sudah terjadi pertempuran di tempat pesta itu! Hati siapa yang tidak menjadi marah? Adikku, Cia Bun Houw direncanakan akan dijodohkan dengan adikmu, akan tetapi adikmu itu menghina adikku di muka umum. Maka aku lalu mengunjungimu di Leng-kok dengan maksud untuk menegur agar kau dapat menghukum adikmu yang lancang mulut itu. Akan tetapi engkau tidak ada, dan aku dalam kemarahanku memaki-maki engkau dan adikmu. Isterimu membela dan kami bertempur.” “Hemmm... dan kau mengandalkan kepandaianmu membunuh anakku!” Kok Beng Lama membentak. “Tidak, aku tidak membunuhnya!” Giok Keng membalik, menghadapi kakek itu dan balas membentak. “Giok Keng, dua orang pelayan ini menjadi saksi betapa engkau dan Hong Ing bertanding, bahkan merekapun roboh pingsan kaupukul... dan anakku, Mei Lan, mengapa pula dia lari dan sampai sekarang belum kembali?” Kun Liong menuntut. Giok Keng teringat akan hal itu. Dia merasa bersalah akan tetapi dengan terus terang dia berkata lantang, “Karena hatiku panas sekali dan engkau yang manjadi orang yang kucari tidak ada, maka ketika anakmu itu hendak membela ibunya, aku terlanjur mengeluarkan kata-kata bahwa dia bukanlah anak kandung isterimu. Anak itu lalu melarikan diri...” “Ahhh...!” Kun Liong berseru dan mukanya menjadi merah. “Kau sungguh keterlaluan sekali, Giok Keng! Anak itu tidak bersalah apa-apa dan isterikupun tidak berdosa, mengapa engkau...” “Aku tidak membunuhnya! Dia memang roboh dan pingsan, aku lalu pergi... aku tidak membunuhnya.” Dia bohong...!” Khiu-ma menudingkan telunjuknya. “Tidak ada orang lain di rumah itu, dan setelah kami berdua pingsan, begitu kami sadar kami melihat nyonya telah tewas...! Siapa lagi kalau bukan dia yang membunuhnya? Engkau wanita kejam sekali!” Khiu-ma lalu menangis. “Cia Giok Keng, engkau telah membunuh anakku, maka sudah selayaknya kalau aku sekarang membunuh engkau!” “Locianpwe, harap jangan sembarangan menuduh! Aku memang telah merobohkannya sampai pingsan, akan tetapi aku tidak membunuh Hong Ing! Sampai matipun aku tidak akan mengaku, karena aku memang tidak membunuhnya.” Kok Beng Lama sudah bergerak ke depan, akan tetapi Kun Liong cepat menghadang di depan ayah mertuanya itu sambil berkata, “Harap gak-hu bersabar...” “Keparat! Anakku dibunuh orang dan kau minta aku bersabar?” “Gak-hu, saya percaya bahwa gak-hu tidak akan bertindak ceroboh dan mempersulit persoalan ini. Biarpun saksi-saksi memberatkan dan keadaannya seolah-olah Giok Keng yang membunuh isteri saya, akan tetapi Giok Keng tidak mengaku dan buktipun tidak ada. Kalau sekarang gak-hu membunuh dia, bukankah keadaan menjadi berlarut-larut? Ingatlah, dia adalah puteri ketua Cin-ling-pai...” “Aku tidak takut! Biar ketua Cin-ling-pai dan senenek moyangnya maju, aku tidak takut membalas kematian anakku!” “Gak-hu, ingatlah. Locianpwe Cia Keng Hong adalah seorang yang berjiwa besar, seorang pendekar yang terkenal bijaksana dan budiman. Sedangkan Bun Houw adalah murid gak-hu sendiri, bagaimana gak-hu kini akan membunuh kakaknya begitu saja? Sebaiknya kita besikap bijaksana, mengajak Giok Keng untuk menghadap ke Cin-ling-pai. Di sana kita minta keadilan dan saya pereaya bahwa Cia-locianpwe tentu akan memberi keputusan yang seadil-adilnya.” Reda juga kemarahan Kok Beng Lama. Dia mangangguk dan menarik napas panjang. “Omonganmu benar juga. Hayo kita bersama ke Cin-ling-pai menuntut keadilan.” “Giok Keng, kuharep engkau suka ikut bersama kami ke Cin-ling-pai menghadap ayahmu agar persoalan ini dapat diputuskan dengan seadil-adlinya.” Kun Liong berkata kepada Glok Keng. Akan tetapi Giok Keng memandang kepadanya dengan marah. “Tidak sudi, aku tidak bersalah, dan aku tidak sudi menjadi tawanan. Aku akan menghadap sendiri kepada ayah kalau perlu!” “Giok Keng, kalau begitu engkau tidak ingin membereskan persoalan!” “Kun Liong, yang mati adalah isterimu, maka engkaulah yang mempunyai persoalan. Aku tidak membunuh isterimu, aku tidak mempunyai persoalan apa-apa!” “Hemm, perempuan galak ini harus dipaksa!” Kok Bang Lama membentak marah. Memang watak Kok Bang Lama dan Cia Giok Keng sama kerasnya, maka jika keduanya dipertemukan sebagai flhak yang bertentangan, tentu saja terjadi geger. “Bagus! Hendak kulihat siapa yang akan berani memaksaku!” Giok Keng sudah meloncat ke belakang sambil menghunus pedangnya. Pedang Gin-hwa-kiam mengeluarkan sinar putih berkilat ketika dicabut. “Bocah sombong dan keras kepala!” Kok Beng Lama menerjang ke depan, menggerakkan kedua tangannya. Giok Keng, yang sudah marah cepat menyambuthya dengan pedang dkelebatkan. “Giok Keng, jangan...!” Kun Liong sudah mencegah, akan tetapi terlambat karena wanita itu dengan penuh kemarahan sudah menyerang dengan pedangnya, menyambut terjangan Kok Beng Lama dengan sinar pedang bergulung-gulung. Akan tetapi Giok Keng tidak tahu akan kesaktian kakek raksasa itu. Biarpun usia kakek ini sudah delapan puluh tahun lebih namun tenaganya tidak menjadi berkurang, bahkan tubuhnya menjadi kebal. Pedang Gin-hwa-kiam yang merupakan pedang pusaka tajam dan ampuh itu disambut begitu saja dengan tangannya sehingge Giok Keng menjadi terkejut sekali. “Tak-tak... plakkk!” Giok Keng terhuyung ke belakang ketika pedangnya tertangkis oleh lengan tangan Kok Bang Lama. Tangannya yang memegang pedang tergetar hebat dan dia terkejut bukan main. Pada saat itu Kun Liong yang khawatir kelau-kalau ayah mertuanya yang keras hati itu membunuh Giok Keng, sudah mendahului Kok Beng Lama, meloncat ke arah Giok Keng, dan mencengkeram ke arah pundak wanita itu. “Kun Liong, berani engkau menghinaku!” Giok Keng membentak dan pedangnya berkelebat membabat le arah lengan pendekar itu. Namun itulah yang dikehendaki oleh Kun Liong. Cengkeramannya tadi hanya merupakan pancingan saja agar wanita itu menangkis, dan menggerakkan pedang. Begitu pedang berkelebat, Kun Liong sudah menggerakkan tangannya dengan cepat sekali, lebih cepat dari pedang itu, dengan tenaga Pek-in-ciang dia menggetarkan siku kanan Giok Keng sehingga wanita itu menjerit dan pedangnya terlepas karena lengannya mendadak menjadi lumpub, kemudian sebelum dia dapat megelak, Kun Liong telah menotok pundaknya dan Giok Keng menjadi lemas tentu roboh kalau saja tidak cepat disambut oleh tangan Kun Liong. Lepaskan isteriku!” Lie Kong Tek yang melihat isterinya dirobohkan, sudah mencabut pedang Gin-hong-kiam yang juga bersinar perak, melompat dan menerkam ke arah Kun Liong dengan tusukan pedangnya. Akan tetapi dari samping menyambar angin dahsyat. Kiranya Kok Beng Lama sudah menggunakan kekuatan sin-kangnya untuk mendorong dari samping. Pukulan ini biarpun hanya dilakukan dari jarak jauh, tapi sedemikian hebatnya sehingga tubuh Lie Kong Tek terlempar dan pedangnya terlepas, orangnya terbanting dan pingsan! “Mari kita pergi!” Kok Beng lama barkata. Kun Liong memondong tubuh Giok Keng dan pergilah dia bersama Kok Beng Lama, diikuti oleh Khiu-ma den Giam Tun dua orang pelayannya itu. “Ayah...!” “Ibu...! Ibu ke mana...?” Dua orang anak kecil, Lie Song dan Lie Ciauw Si, berlari-lari keluar dari dalam rumah den melihat ayahnya menggeletak di atas tanah di pekarangan depan, mareka lalu berlutut dan mengguncang-guncang tubuh ayahnya sambil memanggil-manggil. Tak lama kemudian para pelayan dan tetangga mereka berlarian keluar dan segera mengangkat tubuh Lie Kong Tek masuk ke dalam rumahnya. Setelah siuman dari pingsannya, Lie Kong Tek hanya menggeleng kepala terhadap pertanyaan para pelayan dan tetangga. Dia merasa khawatir sekali akan keselamatan isterinya. Maka setelah dia menyerahkan kedua orang anaknya dalam asuhan para pelayan, suami yang gelisah ini lalu membawa pedangnya dan berangkat menyusul ke Cin-ling-san! *** Hukum karma merupakan sebab dan akibat yang saling membelit, merupakan mata rantai atau lingkaran setan yang tiada habisnya jika kita melibatkan diri ke dalamnya. Suatu peristiwa yang oleh kita dianggap sebab tentu menimbulkan akibat, dan kalau kita terseret di dalamnya, akibat inipun menjadi sebab dari akibat lain pula yang akan datang! Sebab dan akibat bersambung terus tak ada habisnya, seperti masa lalu bersambung ke masa kini memasuki masa depan, terus bersambung karena kita sendiri yang menyambungnya! Kita sendiri yang menghubungkannya. Suatu peristiwa adalah suatu peristiwa, apakah dia menjadi sebab ataukah akibat, tergantung dari kita yang menilainya. Segala sesuatu tentu saja menjadi ada kalau kita mengadakannya, menjadi persoalan atau problem kalau kita mempersoalkannya. Betapa akan bahagianya kalau kita dapat menghadapi setiap peristiwa apapun, menyenangkan atau sebaliknya, seperti apa adanya dan selesai pada seat itu juga! Bukan sebab, bukan pula akibat, melainkan hanya suatu peristiwa, suatu kejadian, suatu kewajaran yang tidak meninggalkan bekas apa-apa. Cin-ling-san masih diliputi keadaan berkabung, masih diliputi suasana duka nestapa semenjak peristiwa pencurian pedang Siang-bhok-kiam dan kematian tujuh orang anggauta Cap-it Ho-han dan seorang anak murid. Cia Keng Hong, pendekar sakti yang menjadi ketua Cin-ling-pai, bersama isterinya, tinggal di Cin-ling-san dengan hati penuh keprihatinan, menanti-nanti datangnya berita dari putera mereka, Cia Bun Houw, bersama empat orang murid kepala yaitu empat orang dari Cap-it Ho-han yang secara terpisah melakukan penyelidikan, mencari Lima Bayangan Dewa yang telah melakukan pencurian pedang dan pembunuhan itu. Isteri ketua Cin-ling-pai itu, yang bernama Sie Biauw Eng biarpun sudah barusia enam puluh tahun, namun masih ada sisa kekerasan hatinya dan merasa tidak puas mengapa suaminya tidak bersama dia melakukan penyelidikan sendiri, melainkan membiarkan putera mereka yang belum berpengalaman itu pergi melakukan penyelidikan. “Isteriku, tidak semestinya kalau kita berdua yang sudah tua mencari permusuhan.” Cia Keng Hong menghibur isterinya. “Siapa mencari permusuhan? Kita tinggal dengan tenteram di sini, orang lain yang datang membunuh anak murid kita dan mencuri pedang pusaka! Merekalah yang mencari permusuhan,” bantah isterinya. Cia Keng Hong menarik napas panjang dan mengangguk-angguk. “Aku tahu, akan tetapi aku mempunyai perasaan bahwa Lima Bayangan Dewa itu tentulah ada hubungannya dengan musuh-musuh yang telah kita basmi di masa yang lalu. Kalau tidak ada dendam sakit hati, tidak mungkin mereka itu tanpa suatu sebab melakukan perbuatan keji itu. Aku sudah merasa menyesal sekali mengapa di waktu muda dahulu aku terlalu mengandalkan kepandaian, menanam bibit permusuhan dengan banyak orang sehingga kini setelah tua, aku dimusuhi orang.” “Hemm, apakah setelah tua engkau menjadi penakut?” isterinya menegur. “Sama sekali tidak. Kalau aku seorang yang dimusuhi, hal itu sudah lumrah dan akan kuhadapi dengan tabah karena memang sudah semestinya kalau aku yang menanam dan sekarang aku pula yang memetik buahnya. Akan tetapi celakanya, murid-murid yang tidak tahu apa-apa terseret ke dalam akibat dari perbuatanku di waktu dahulu...” “Sudahlah, suamiku, yang penting adalah bahwa kita sejak muda dahulu sampai tua sekarang, berada di fihak yang benar! Kita membasmi orang-orang jahat, biar mereka itu akan mendendam sakit hati dan melakukan pembalasan, akan tetapi sampai matipun kita akan terus menentang kejahatan. Bukankah itu sudah menjadi tugas seorang pendekar?” Kembali ketua Cin-ling-pai itu menghela napas panjang dan mengelus jenggotnya. “Memang demikianlah pendirian kita. Kita menganggap diri sendiri benar. Akan tetapi sayangnya, orang lainpun, termasuk orang-orang yang kita musuhi, juga menganggap mereka benar. Siapakah yang benar kalau kedua fihak sudah merasakan kebenaran masing-masing? Kita semua hanya terseret oleh kekacauan dunia yang melahirkah semua perbuatan yang jahat, isteriku. Tidak mungkin kejahatan di dunia ini dapat dibasmi dengan kekerasan, karena sebab-sebab timbulnya kejahatan itu masih ada. Seribu macam kejahatan boleh dibasmi, akan tetapi seribu macam kejahatan yang lain lagi akan timbul, seperti halnya penyakit. Penyakit yang sudah timbul dapat diobati dan disembuhkah, namun penyakit-penyakit lain akan bermunculan dan perang terhadap penyakit tidak akan pernah habis, seperti juga perang terhadep kejahatan. Tidak, isteriku, kejahatan tidak akan pernah habis selama kejahaten itu dapat memasuki hati siapapun juga. Yang hari ini baik, mungkin besok menjadi jahat, sebaliknya yang hari ini jahat, besok mungkin menjadi baik. Kejahaten seperti penyakit, orang yang melakukan kejahatan seperti orang yang sedang sakit, tentu saja orang sakit bisa sembuh, sebaliknya, yang waraspun sewaktu-waktu bisa saja jatuh sakit!” Jadi engkau hendak mengatakan bahwa orang-orang seperti kita inipun sekali waktu bisa saja jatuh sakit, maksudmu menjadi jahat?” “Mengapa tidak, isteriku? Kejahatan hanya suatu penyelewengan, bukan milik orang-orang tertentu, seperti juga penyakit, siapapun bisa saja terkena kalau tidak waspada. Siapapun bisa menyeleweng dari kebenaran kalau terdorong oleh sebab-sebab dari kejahatan.” “Dan apakah sebab kejahatan, suamiku? Engkau bicara seperti bukan seorang pendekar saja, seperti seorang pendeta!” “Aihh, pendekar maupun pendetapun hanya manusia-manusia biasa saja yang tidak akan terluput daripada ancaman penyakit itu. Penyebab semua kejahatan sumbernya berada di dalam diri sendiri, isteriku, didorong oleh nafsu-nafsu berupa kebencian, kemarahan, iri hati, dendam yang kesemuanya menyeret kita ke dalam lembah pertentangan dan permusuhan, maka timbul perbuatan-perbuatan yang merugikan orang lain dan karena ini oleh yang dirugikan disebutlah kejahatan. Oleh karena itu, baik ia pendekar maupun pendeta, setiap saat dapat saja kejangkitan penyakit itu kalau dia tidak waspada setiap saat terhadap dirinya sendiri.” Percakapan mereka terpaksa berhenti ketika seorang anak murid Cin-ling-pai dengan sikap tegang melaporkan bahwa di luar terdapat tamu-tamu yang ingin bertemu dengan ketua Cin-ling-pai dan isterinya! Melihat sikap anak murid yang mukanya agak pucat dan sinar matanya mengandung ketegangan itu, Cia Keng Hong cepat berkata kepada isterinya, “Mari kita keluar!” Sie Biauw Eng sudah mengenal benar sikap suaminya, maka begitu suaminya mengeluarkan kata-kata itu, diapun menjadi waspada karena tentu ada sesuatu yang menegangkan hati suaminya. Tanpa banyak cakap diapun mengikuti suaminya keluar menyambut tamu yang sudah berada di ruangan depan dan agaknya telah dipersilakan duduk oleh anak murid Cin-ling-pai yang menjaga di luar. Begitu mereka kduar, Kun Liong telah membebaskan totokan pada tubuh Giok Keng dan nyonya ini terhuyung-huyung menyebut ayah bundanya, menjatuhkan diri berlutut, dan berkata dengan suara terisak, “Ayah... ibu... mereka telah menghinaku...!” Melihat puterinya berlutut dan menangis, Biauw Eng terkejut sekali. Nenek ini juga berlutut dan merangkul puterinya. “Keng-ji, apa yang terjadi...?” Akan tetapi Giok Keng tidak dapat mengeluarkan kata-kata karena dia sudah menangis tersedu-sedu. Cia Keng Hong yang melihat bahwa yang datang adalah Yap Kun Liong dan Kok Beng Lama bersama dua orang yang kelihatannya sebagai pelayan biasa, menjadi terkejut dan juga terheran-heran. Cepat dia menjura dengan hormat kepada Kok Beng Lama sambil berkata, “Kiranya losuhu Kok Beng Lama yang datang dan engkau Kun Liong. Agaknya ada urusan yang amat penting sekali sehingga mengejutkan kami. Apakah yang telah terjadi...?” Kun Liong tidak mampu menjawab. Berhadapan dengan pendekat sakti yang dihormat dan dijunjungnya tinggi itu, dia menjadi sungkan sekali dan tidak berani bicara. Kok Beng Lama yang berkata, “Hemm... urusan yang amat buruk, Cia-taihiap. Harap kautanyakan kepada puterimu itu saja.” Makin terkejutlah hati Cia Keng Hong melihat sikap Kun Liong dan mendengar jawaban Kok Beng Lama itu, dan diapun menoleh kepada Giok Keng yang masih menangis di pundak ibunya. “Giok Keng, apa yang telah terjadi? Hayo jawab!” Keng Hong berkata kepada puterinya yang masih menangis. “Ayah...” Giok Keng menjawab tanpa mengangkat mukanya dari pundak ibunya. “Mereka telah menghinaku, mereka telah menawanku dengan kekerasan, membawaku ke sini dengan kekerasan dan dengan paksa. Mereka menotokku dan menyeretku ke sini, ayah... mereka benar?benar telah menghinaku dan menuduh aku menjadi pembunuh...!” Giok Keng menangis lagi. Mendengar ini, seketika Sie Biauw Eng bangkit berdiri dan melepaskan rangkulan puterinya. Mukanya menjadi merah, matanya bersinar-sinar seeprti mengeluarkan api dan dia memandang berganti-ganti kepada Kun Liong dan Kok Beng Lama seolah-olah hendak ditelannya kedua orang itu. “Keparat...!” Sie Biauw Eng sudah berseru dengan kemarahan meluap. “Sungguh tidak memandang sebelah mata kepada ayah dan ibu Cia Giok Keng, berani benar bersikap sewenang-wenang dan menghina anakku! Kok Beng Lama, apa artinya ini? Kun Liong, apakah engkau hendak menantang kami?” Nyonya tua itu sudah marah sekali dan kalau saja lengannya tidak dipegang oleh suaminya, agaknya dia sudah menerjang maju dan menyerang kedua orang itu. “Supek... dan supekbo (uwa guru)... saya... isteri saya...” Kun Liong tidak mampu melanjutkan karena dia menjadi gugup sekali. Memang dia tahu bahwa perbuatan mereka memaksa Giok Keng ke Cin-ling-pai merupakan penghinaan, akan tetapi hal itu dilakukannya untuk mencegah. Kong Beng Lama membunuh Giok Keng. Memang sukar bagi dia menghadapi Kok Beng Lama yang keras hati dan kini menghadapi ibu Giok Keng yang tidak kalah galaknya. “Hayo katakan! Mengapa kalian menghina Giok Keng? Apa hubungannya dengan isterimu?” Sie Biauw Eng membentak, makin marah. “Isteri teecu... mati terbunuh...” Cia Keng Hong terkejut sekali mendengar itu dan mukanya berubah, pandang matanya ditujukan kepada Kun Liong dengan penuh iba den alisnya berkerut. Akan tetapi Sie Biauw Eng yang baru saja mengalami kedukaan karena delapan orang anak muridnya dibunuh orang dan pedang pusaka dicuri orang, kini masih marah oleh keadaan Giok Keng, maka tanyanya dengan suara masih ketus, “Isterimu mati dibunuh orang, apa hubungannya dengan Giok Keng? Mengapa kau menghinanya?” “Toanio, kami datang minta keadilan. Anakku Pek Hong Ing itu dibunuh oleh anak nyonya ini.” Ucapan Kok Beng Lama itu membuat Cia Keng Hong menjadi makin terkejut sekali, dia mengeluarkan seruan keras dan meloncat ke belakang, menoleh dan memandang kepada puterinya dengan mata terbelalak. Juga Sie Biauw Eng terkejut bukan main, akan tetapi ibu ini tentu saja membela anaknya dan dia cepat mendekati Giok Keng sambil bertanya, “Keng-ji, benarkah engkau membunuh isteri Kun Liong? Dan kalau benar, apa sebabnya?” Jelas bahwa membunuh atau tidak, Sie Biauw Eng siap untuk membela anaknya itu! “Ohhh, ibuuu...!” Kembali Giok Keng menubruk dan merangkul kaki ibunya, menangis. “Aku tidak membunuhnya, ibu. Aku tidak membunuhnya!” “Cukup! Hentikan tangismu, tenanglah! Biar setanpun, akan kulawan kalau dia berani menuduhmu yang bukan-bukan. Hayo, bankit dan berdirilah!” Sie Biauw Eng membentak dan Giok Keng lalu bangkit berdiri, kepalanya menunduk, Sie Biauw Eng kini melangkah ke depan, menghadapi Kun Liong dan Kok Beng Lama, hidungnya kembang-kempis, matanya seperti mengeluarkan api saking marahnya. “Hemm, kalian sungguh tidak tahu aturan! Kalian menggunakan kepandaian untuk menghina anakku, memaksanya dan menawannya seolah-olah dia seorang penjahat! Aku yang menjadi ibunya tidak terima akan perlakuan dan penghinaan ini!” “Omitohud...! Kasih seorang ibu memang membuta, biar anaknya berdosa sekalipun, tetap akan dibelanya. Anakmu telah membunuh anakku, dan aku minta diganti dengan nyawa!” “Kau menuduh dengan membuta, Kok Beng Lama! Dan andaikata anakku membunuh seseorang, itupun tentu dilakukan karena suatu hal. Kau minta ganti nyawa? Nyawamu sendiri gantinya!” “Jangan...!” Cia Keng Hong berseru, akan tetapi Sie Biauw Eng sudah menerjang dengan dahsyatnya, menghantam ke arah dada dan perut Kok Beng Lama dengan pukulan bertubi-tubi dari Ilmu Ngo-tok-ciang (Tangan Lima Racun) yang selain mengandung racun juga didorong oleh tenaga yang amat dahsyat dan kuat. “Plak-plak-desss...!” Sie Biauw Eng kalah tenaga dan dia terlempar ke belakang, terhuyung sampai beberapa langkah. “Losuhu, tak baik memamerkan kepandaian di sini!” Cia Kem Hong menjadi tidak senang melihat isterinya terdesak itu dan dia sudah menggerakkan tanngannya, siap untuk menghadapi Lama yang sebetulnya adalah guru dari puteranya sendiri itu. Akan tetapi pada saat itu, Kun Liong moloncat di tengah-tengah dan cepat dia berkata dengan suara lantang. “Supek! Gak-hu! Tahan dulu...! Tidak ada gunanya pertempuran di antara kita sendiri. Ada urusan dapat diurus dengan kebenaran. Supek, sebelum supek dan supekbo mendengarkan urusannya, mengapa telah menyalahkan kami? Harap supek berdua suka lebih dulu mendengarkan apa yang telah terjadi, baru mengambil keputusan. Kalau, supek berdua menganggap saya bersalah dalam urusan ini, saya menyerahkan nyawa saya kepada supek berdua untuk kedosaan saya memaksa Giok Keng ikut datang ke Cin-ling-pai.” Mendengar ucapan Kun Liong itu, Cia Keng Hong menjadi sadar dan dia cepat memegang lengap isterinya, mencegah isterinya yang sudah melolos sabuk sutera putih yang merupakan senjata yang amat ampuh itu. “Kun Liong benar, kita tidak boloh menuruti nafsu amarah, biarlah kita dengarkan apa yang telah teriadi sebetulnya. Kun Liong, ceritakanlah apa yang telah terjadi, mari kita duduk sambil bicara dengan baik-baik.” Biarpun masih marah, akan tetapi Sie Biauw Eng tidak mau membantah suaminya, dan dia menggandeng tangan puterinya, diajak memasuki ruangan tamu di mana mereka semua duduk. Cia Keng Hong memberi isyarat kepada semua murid Cin-ling-pai untuk menjauh dan jangan mendekati tempat itu karena yang akan dibicarakan adalah urusan keluarga. “Nah, berceritalah,” Cia Keng Hong berkata kepada Kun Liong. Dengan suara penuh duka, Kun Liong lalu menceritakan tentang kepergiannya mencari Yap In Hong untuk membujuk adiknya itu dan memberitahukan tentang perjodohannya dengan Bun Houw seperti yang ditetapken oleh Cia Keng Hong. Kemudian betapa ketika dia pulang ke rumahnya, dia menemukan isterinya telah tewas dibunuh orang dan menurut penuturan kedua orang pelayannya, isterinya itu baru saja bercekcok dan bertempur melawan Cia Giok Keng. “Saya sendiri tidak berani menuduh adik Giok Keng yang membunuh isteri saya, akan tetapi supek dan supekbo dapat mendengarkan sendiri pentaturan kedua orang pelayan saya yang sengaja saya bawa ke sini untuk menjadi saksi.” Kun Liong menutup penuturannya dan menghapus dua butir air mata yang menitik keluar dari matanya karena dia teringat kepada isterinya. Cia Giok Keng dan Sie Biauw Eng mendengarkan dengan muka berubah pucat. Beberapa kali mereka menoleh kepada puteri mereka, akan tetapi Giok Keng hanya menundukkan mukanya yang juga menjadi pucat. Dengan suara tenang namun agak tergetar Cia Keng Hong lalu minta kepada dua orang pelayan itu untuk bercerita. Khiu-ma yang lebih berani daripada Giam Tun lalu menceritakan semua pengalaman mereka di malam itu, kadang-kadang diseling oleh Giam Tun yang memperkuat keterangan pelayan itu, betapa Giok Keng malam-malam datang dan marah-marah, kemudian betapa nona majikan Yap Mei Lan, melarikan diri kemudian Giok Keng bertempur dengan nyonya majikan mereka, betapa ketika melerai, keduanya dipukul pingsan oleh Giok Keng. Kemudian, ketika mereka sadar, mereka melihat nyonya majikan mereka telah tewas di atas lantai! Tentu saja Khiu-ma bercerita sambil menangis dan kembali Cia Keng Hong dan Sie Biauw Eng saling pandang dengan muka pucat. “Hemm, Cia-taihiap dan toanio. Ketahuilah bahwa ketika says datang ke Leng-kok, saya melihat Kun Liong hanya menangis di depan kuburan seperti orang gila. Akulah yang memaksa dia untuk menuntut atas kematian anakku dan memaksa puterimu untuk ikut bersama kami ke Cin-ling-pai karena kami menuntut keadilan. Aku tahu bahwa Cia-taihiap adalah seorang yang bijaksana dan adil, seorang pendekar besar yang menjunjung tinggi kebenaran, maka harap saja tidak goyah keadilannya setelah menghadepi urusan yang dilakukan oleh anak sendiri.” Ucapan ini membangkitkan semangat Cia Keng Hong. Dia menekan lengan isterinya yang sudah hendak membantah, kemudian dia menoleh kepada puterinya, dengan suara keren dia memanggil, “Cia Giok Keng...!” “Ayahhh...!” Giok Keng menjawab sambil menundukkan mukanya. “Berlututlah, engkau menghadapi pertimbangan yang harus dilakukan seadil-adilnya!” Mendengar suara ayahnya yang keren, Giok Keng tidak berani membantah dan dia lalu menjatuhkan diri berlutut di tengah ruangan itu. Dengan tekanan tangan dan pandang mata Cia Keng Hong melarang isterinya yang hendak menghampiri puterinya sehingga ibu yang penu kekhawatiran ini hanya memandang pucat. “Cia Giok Keng, seorang gagah lebih menjunjung kebenaran daripada nyawa! Kehilangan nyawa bukan apa-apa, akan tetapi kehilanqan nama dan kehormatan merupakan kutukan bagi keluarga turun-temurun. Hayo ceritakan semua dengan jelas, dari awal sampai akhir tentang perbuatanmu di rumah Yap Kun Liong dan apa yang mendorong kau melakukan perbuatan itu!”