Cia Keng Hong bukanlah seorang bodoh. Biarpun dia memegang keras kebenaran dan keadilan, akan tetapi sebagai ayah tentu saja diapun ingin menolong anaknya, maka dia menuntut anaknya menceritakan semua termasuk sebab-sebab yang membuat anaknya itu menyerbu ke rumah Kun Liong! Dengan suara lirih namun jelas Giok Keng lalu bercerita, dimulai dari peristiwa di dalam pasta Phoa Lee It di mana dia bentrok dengan Yap In Hong yang dianggap menghina adiknya. Dia bercerita dengan terus terang, tentang kemarahannya dan tentang cegahan suaminya yang tidak dihiraukan. Betapa dengan kemarahan meluap dia mendatangi rumah Kun Liong dengan maksud menegur Kun Liong tentang kelakuan adiknya, akan tetapi Kun Liong tidak berada di rumah. Juga dia tidak melewatkan peristiwa dengan Mei Lan puteri Kun Liong yang membangkitkan kemarahannya pula sehingga dalam kemarahannya itu, dia telah membuka rahasia anak itu sehingga anak itu melarikan diri. “Karena saya membuka rahasa anak itu, Hong Ing marah dan menyerangku. Kami bertempur dan saya memukulnya pingsan. Dua orang pelayan ini datang dan kuanggap hendak membela nyonya majikan mereka, maka juga kupukul pingsan. Kemudian saya pergi meninggalkan rumah itu. Demikianlah, ayah...” Wajah Cia Keng Hong menjadi sebentar pucat sebentar merah, karena dia merasa marah sekali dengan kelakuan puterinya. “Karena terbukanya rahasia itu, anak saya Mei Lan melarikan diri sampai kini belum juga dapat ditemukan ke mana larinya,” kata Kun Liong dengan sedih. “Biarpun dia tidak mengaku telah membunuh anakku, akan tetapi andaikata dia tidak membuat anakku pingsan dan meniggalkannya seperti itu, belum tentu anakku mati! Perbuatannya itu sama juga dengan membunuh anakku!” Kok Beng Lama berkata marah. Cia Keng Hong mengepal tinjunya, menggigit bibirnya. Perbuatan Giok Keng dianggapnya keterlaluan. Dengan mata terbelalak penuh kemarahan dia memandang puterinya. Agaknya Giok Keng merasa akan pandang mata ayahnya ini, dia mengangkat muka dan melihat pandang mata ayahnya dia meratap, “Ayah... ampunkan... aku tidak membunuhnya, ayah...!” “Anak durhaka! Engkau menodai nama keluargamu, nama orang tuamu! Engkau ribut dengan Yap In Hong, mengapa menimpakan kesalahan kepada Kun Liong? Engkau marah kepada In Hong dan Kun Liong, mengapa engkau menimpakannya pula kepada Mei Lan dan Hong Ing yang tidak berdosa sehingga menpkibatkan matinya Hong Ing dan minggatnya Mei Lan? Masih belum tahukah engku akan kedosaanmu yang amat besar itu?” “Ayah... aku... aku bersalah, harap ayah mengampunkan aku...” “Hemm, orang tua tentu saja mengampuni anaknya, akan tetapi mereka yang kehilangan isteri, kehilangan anak tentu saja tidak akan dapat mengampunimu. Apa kaukira kami akan dapat melindungi dan membela orang berdosa, biarpun dia itu anak kami sendiri? Kau tahu apa yang patut dilakukan seorang gagah yang telah menyadari akan kedosaannya!” berkata demikian, tangan Cia Keng Hong bergerak dan sebatang pedang meluncur dan menancap di depan Giok Keng, di atas lantai, sampal gagang pedang itu tergetar dan mengeluarkan bunyi mengaung. Aihhh...!” Sie Biauw Eng menjerit. “Ayahhh...!” Giok Keng juga menjerit. Akan tetapi Cia Keng Hong memegang lengan isterinya, Sie Biauw Eng meronta?ronta. “Tidak...! Jangan...! Tidak boleh begitu! Suamiku, kau tidak boleh menyuruh dia membunuh diri! Tidak... tidaaaakkk...!” Biauw Eng meronta-ronta ingin melepaskan diri dari pegangan tangan suaminya. Cia Keng Hong lalu menggerakkan jari tangannya dan cepat sekali menotok tengkuk isterinya. Sie Biauw Eng menjadi lemas dan pingsan di atas kursinya, dirangkul suaminya yang memandangnya dengan muka pucat sekali. “Cia Giok Keng, daripada melihat engkau terbunuh dan terhukum di tangan orang lain, lebih baik melihit engkau mati sebagai seorang gagah yang menebus dosanya sendiri!” berkata Cia Keng Hong pula, dengan suara dingin, sambil merangkul isterinya yang pinsan dan memandang kepada puterinya yang masih berlutut. Dengan muka pucat Giok Keng memandang pedang yang masih tergetar itu, lalu dia mengangkat muka memandang ayahnya. Tiba-tibal sinar mata itu mengeluarkan cahaya kekerasan, dan suaranya tidak tergetar atau menangis lagi ketika dia berkata. “Ayah! Untuk yang terakhir kali aku katakan bahwa demi nama Langit dan Bumi, aku tidak membunuh isteri Kun Liong. Akan tetapi memang betul, bahwa aku melampiaskan kemarahanku di rumah Kun Liong itu mencemarkan nama ayah dan mengotorkan muka ayah, biarlah aku akan mencuci muka ayah dengan darahku!” Cia Giok Keng mencabut pedang itu, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara keras dari luar ruangan tamu itu, “Isteriku... tunggu dulu...!” Dan muncullah Lie Kong Tek yang tinggi besar dengan muka pucat. “Suamiku...!” “Isteriku, Giok Keng, apa yang akan kaulakukan ini...?” Lie Kong Tek menubruk dan mereka berangkulan di atas lantai. Giok Keng menangis tersedu-sedu, dan Lie Kong Tek lalu merampas pedang yang telah dicabut oleh Giok Keng. Dengan muka keren Lie Kong Tek menoleh ke arah Cia Keng Hong dan sejenak meraka saling beradu pandang mata. “Gak-hu, kecewa hati saya menyaksikan keadaaan di sini. Gak-hu terkenal sobagai seorang pendekar sakti, sebagai ketua Cin-ling-pai yang besar, akan tetapi ternyata gak-hu melanggar hak seorang suami! Dahulu, di waktu masih kecil, memang Cia Giok Keng adalah puterimu dan segala hal mengenai dirinya adalah tanggung jawab dan hakmu. Akan tetapi sekarang dia adalah nyonya Lie Kong Tek dan akulah sebagai suaminya, sebagai ayah dari anak-anaknya, yang bertanggung jawab penuh dan berhak pula mengenai mati hidupnya! Mengadili seorang isteri tanpa sepengetahuan suaminya, benar-benar merupakan perbuatan yang paling tidak tahu aturan!” Ucapan dan sikap yang amat gagah itu seperti menikam ulu hati Cia Keng Hong, dan dia berkata, “Lie Kong Tek, engkau benar, maafkanlah aku. Akan tetapi isterimu itu... anakku itu... dia melakukan dosa besar sekali... dia harus menebusnya sebagai seorang gagah, kalau tidak, dia akan menodai nama keluarga kita semua turun-temurun.” “Baik, kesalahan isteri adalah tanggung jawab suaminya pula. Kematian orang yang sama sekali bukan dibunuh oleh isteriku, akan tetapi tuduhannya dijatuhkan atas diri isteriku, biarlah ditebus dengan nyawa pula. Istriku, Giok Keng, kaujaga baik-baik anak-anak kita... selamat tinggal!” “Aihh, jangan...!” Akan tetapi terlambat, Lie Kong Tek sudah menusuk dadanya sendiri dengan pedang itu sampai menembus punggungnya! Giok Keng menjerit dan menubruk suaminya, Lie Kong Tek memaksa tersenyum dan memandang isterinya. “Giok Keng... semua noda tercuci oleh darahku... kaurawatlah... Seng-ji dan Ciauw Si...” Laki-laki yang gagah perkasa yang usianya baru empat puluh tahun kurang itu memejamkan mata dan kepalanya terkulai di atas pangkuan isterinya, Giok Keng menjerit dan terguling pingsan di atas mayat suaminya! Sunyi sekali di situ untuk beberapa saat. Sie Biauw Eng masih pingsan di dalam pelukan suaminya. Giok Keng pingsan di atas mayat suaminya. Semua orang memandang dengan mata terbelalak dan menahan napas, Khiu-ma terisak menangis. Sunyi sekali, kesunyian yang mencekik leher. Kemudian terdengar suara Cia Keng Hong, lemah den gemetar bercampur isak tertahan. “Apakah kalian berdua sudah puas sekarang...?” Kun Liong menjatuhkan dirinya berlutut dan dengan suara penuh penyesalan dia berkata, “Supek... teecu menyesal sekali, teecu yang menyebabkan semua ini terjadi, teceu telah tertimpa malapetaka den kini teecu menyeret supek sekeluarga ikut menderita pula...” “Yap Kun Liong, aku tidak bisa menyalahkan engkau. Selama orang menuruti nafsu hati sendiri, timbullah sebab dan akibat yang saling berkait dan tiada berkeputusan. Memang kita semua sedang dilanda kelamangan. Baru beberape hari saja delapan orang murid dibunuh orang dan pedang pusaka Siang-bhok-kiam dicuri, terjadi ketika kami mengunjungimu. Sekarang, isterimu dibunuh orang dan... suaami Giok Keng menebus dengan nyawanya. Ya Tuhan, dosa apa gerangan yang kita lakukan semua...?” “Supek...” Kun Liong terkejut sekali dan makin menyesal dia mengapa terjadi peristiwa yang demikian hebatnya. Semestinya dia mencegah mertuanya melakukan kekerasan seperti ini. Giok Keng telah kematian suaminya, dan biarpun demikian, tetap saja Hong Ing tidak akan hidup kembali! Sungguh kematian Lie Kong Tek itu amat sia-sia dan dia merasa menyesal sekali. Semua peristiwa mengerikan sakarang ini hanya menjadi hasil dari pemikiran yang penuh dengan kemarahan dan dendam, dan kebencian, sehingga tentu saja menghasilkan hal yang amat buruk. Dia sendiri masih tetap sangsi apakah benar Giok Keng yang membunuh isterinya. Kalau tidak demikian, bukankah perbuatannya ini sama dengan menyebabkan kematian suami Giok Keng! Sama dengan dia sendiri yang membunuh Lie Kong Tek? Dalam saat pendek itu, setelah menyaksikan kematian Lie Kong Tek, melihat Giok Keng pingsan di atas mayat suaminya, melihat supekbonya pingsan dalam rangkulan supeknya yang wajahnya menjadi pucat, matanya sayu dan dilanda tekanan batin yang amat besar itu, seakan-akan terbukalah mata batin Kun Liong. Peristiwa kematian Hong Ing, adalah suatu kejadian yang tak dapat dirobah oleh apapun juga. Isterinya telah mati. Ini merupakan suatu kenyataan. Pikirannya yang mengacau perasaan hatinya membuat dia berduka. Kedukaan mengeruhkan batin, menimbulkan kemarahan dan dendam kebencian, lebih-lebih lagi dengan datangnya Kok Beng Lama sehingga menimbulkan pula tindakan kekerasan yang dilakukan mereka terhadap Giok Keng. Maka terjadilah bunuh diri dari Lie Kong Tek dan akibat ini tentu akan menjadi sebab dari peristiwa lain yang akan berekor panjang. Dia menyesal sekali! “Supek, kematian saudara Lie Kong Tek adalah karena kecerobohan teeeu...” Cia Keng Hong menggeleng kepalanya. “Yang sudah terjadi tak dapat dirobah lagi, Kun Liong. Biarpun agaknya bukan tangan Giok Keng yang membunuh isterimu, akan tetapi kiranya sama saja, kematian isterimupun mungkin karena kecerobohan Giok Keng. Penyesalan tiada gunanya. Giok Keng sudah melakukan kesalahan besar dan dia kini menanggung akibatnya...” Seperti tertikam rasa ulu hati Kun Liong mendengar ucapan yang keluar dengan suara penuh duka dan kesabaran itu. Kematian isterinya mungkin juga disebabkan oleh penyelewengan dalam kehidupannya dan seperti ada penerangan memasuki otaknya! Hong Ing kiranya tidak akan bertempur melawan Giok Keng kalau saja isterinya itu tidak marah mendengar Giok Keng membuka rahasia Mei Lan, dan kalau tidak bertempur melawan Giok Keng, isterinya tidak akan pingsan sehingga mudah saja dibunuh orang! Jadi penyebabnya adalah karena adanya Mei Lan di situ, dan Mei Lan adalah hasil dari hubungan gelapnya dengan ibu kandung anak itu, yaitu Lim Hwi Sian (baca cerita Petualang Asmara)! Kalau tidak ada Mei Lan, kalau tidak pernah terjadi perbuatannya yang menyeleweng dengan Hwi Sian, agaknya belum tentu kalau isterinya tercinta itu dibunuh orang! Inikah yang dinamakan hukum karma? Semua sebab akibat sesungguhnya adalah hasil dari perbuatannya sendiri! Yang penting setiap saat sadar akan segala gerak-gerik diri pribadi lahir batin, bukan membiarkan diri terseret ke dalam lingkaran setan berupa sebab dan akibat! “Supek benar sekali! Biarlah teecu siap untuk menanggung segala yang akan terjadi... harap supek maklum bahwa sebaiknya teecu dan gak-hu mohon diri dan pergi dari sini sekarang juga.” Cia Keng Hong memandang kepada isterinya dan kepada puterinya yang masih pingsan, lalu mengangguk. “Kurasa sebaiknya begitulah, Kun Liong.” Dan kepada Kok Beng Lama ketua Cin-ling-pai itu berkata. “Selamat jalan, losuhu, dan harap maafkan saja penyambutan kami yang begini tidak menyenangkan atas kunjungan losuhu.” Pendeta gundul itu sejak tadi termenung dan memandang kepada mayat Lie Kong Tek, hanya mendengarkan percakapan mereka dan kelihatan seperti orang linglung. Mendengar ucapan Cia Keng Hong, dia lalu berkata, suaranya seperti orang yang hendak menangis, “Sambutanmu baik sekali, taihiap, terlalu baik malah! Anakku mati, dan di sini aku malakukan dosa besar. Hong Ing, ayahmu telah menjadi gila...!” Setelah berkata demikian, tanpa pamit lagi pendeta itu berkelebat dan lenyap dari tempat itu. Cia Kong Hong menghela napas panjang dan hanya mengangguk ketika Kun Liong berpamit dan memandang pendekar itu pergi diikuti oleh dua orang pelayannya. Pikiran pendekar sakti ini melayang-layang. Betapa sayang dia kepada Kun Liong, betapa kagum dan suka dia kepada pendekar itu yang dahulu ingin sekali dia ambil menjadi mantunya, menjadi suami Giok Keng. Akan tetapi, kalau pemuda itu mau memenuhi permintaannya, adalah Giok Keng yang tidak setuju dan puterinya itu akhirnya menikah dengan seorang pria lain, pilihannya sendiri, yaitu Lie Kong Tek. Dan sekarang, putrinya menimbulkan gara-gara, menyebabkan kematian isteri Kun Liong dan peristiwa ini disusul pula dengan kematian suami Giok Keng. Mengapa di antara kedua orang yang dahulu dia inginkan menjadi jodoh masing-masing itu kini nampaknya seolah-olah selalu timbul pertentangan di antara mereka? “Keng-ji... mana anakku...?” Sie Biauw Eng sudah siuman begitu dia sadar, dia segera mencari-cari Giok Keng dengan pandang matanya. Ketika melihat Giok Keng menggeletak pingsan di atas mayat suaminya, dia menjerit dan menubruk. “Giok Keng...! Eh, mantuku... apa yang terjadi...?” Sie Biauw Eng memeriksa dan melihat bahwa Giok Keng tidak apa-apa, hanya pingsan, akan tetapi Lie Kong Tek telah tewas dengan pedang menancap di dada menembus punggung. Dia mencelat ke depan suaminya dan memandang dengan muka pucat den mata terbelalak. “Apa yang terjadi? Kenapa Kong Tek mati? Dan mana iblis-iblis keparat tadi?” Matanya jelalatan ke kanan kiri seperti mata orang gila. Cia Keng Hong menahan kegetiran hatinya dan dia cepat bangkit dan memeluk isterinya dengan penuh kasih sayang. Betapa isterinya yang tercinta ini di hari tuanya mengalami kegoncangan batin yang demikian hebat! “Tenanglah, isteriku. Tenanglah, segala telah terjadi dan tidak dapat dirobah lagi oleh kegelisahan dan kegoncangan kita. Giok Keng tidak apa-apa, akan tetapi suaminya telah mengambil keputusanan pendek, mewakili isterinya dan membunuh diri untuk menebus dosa isterinya.” “Ohhh...! Si keparat Kun Liong! Iblis tua Kok Beng Lama! Di mana mereka? Biar aku mengadu nyawa dengan mereka!” Sie Biauw Eng menjerit-jerit, akan tetapi suaminya merangkulnya, dan mendekapnya, sambil berbisik-bisik menghibur. “Biauw Eng... isteriku... apakah setelah tua engkau malah tidak mau tunduk kepadaku...?”   Mendengar bisikan suaminya ini, lemaslah seluruh tubuh Sie Biauw Eng dan dia menangis di dalam pelukan suaminya. Akan tetapi mendengar penjelasan suaminya yang dilakukan dengan sabar sambil berbisik-bisik, dia mulai dapat melihat kenyataan dan mulai sadar bahwa betapapin juga, Kun Liong yang menerima pukulan batin hebat, karena isterinya mati dibunuh orang itu sama sekali tidak dapat dipersalahkan dan betapapun juga, Giok Keng telah melakukan kesalahan sehingga mengakibatkan puteri Kun Liong melarikan diri dan isterinya dalam keadaan pingsan terpukul oleh Giok Keng telah dibunuh orang! Maka dalam keadaan sadar ini Sie Biauw Eng sambil bercucuran air mata dapat menghibur Giok Keng ketika isteri ini siuman dari menangis sesenggukan, menangisi kematian suaminya yang mengorbankan diri untuk mewakilinya menebus dosa! Cia Keng Hong mengumpulkan semua anggauta Cin-ling-pai dan dengan suara keren dan memperingatkan semua anak buah Cin-ling-pai untuk merahasiakan apa yang telah terjadi di Cin-ling-san pada hari itu dan hanya mengabarkan bahwa mantu ketua Cin-ling-pai telah meninggal dunia karena menderita sakit. Para anak buah Cin-ling-pai memang tidak ada yang melihat bagaimana matinya Lie Kong Tek, akan tetapi karena mereka melihat bahwa pada waktu itu Cin-ling-pai kedatangan pendekar Yap Kun Liong dan Kok Beng Lama bersama dua orang pelayan dari Leng-kok, diam-diam mereka menduga bahwa kematian mantu ketua mereka tentunya ada hubungannya dengan para tamu itu! Akan tetapi mereka tidak berani menduga sembarangan dan semua menutup mulut setelah menerima pesan dan peringatan keras dari ketua mereka. Untuk kedua kalinya selama beberapa pekan saja, Cin-ling-pai berkabung dan jenazah Lie Kong Tek dikubur di lereng Gunung Cin-ling-san, dihadiri oleh para penduduk di sekitar pegunungan itu. Cia Giok Keng kelihatan tenang-tenang saja dan sudah tidak banyak menangis lagi, akan tetapi wajahnya agak pucat, sinar matanya sayu dan muram, rambutnya agak awut-awutan, dan kering, pakaian berkabung berwarna putih itu menambah kemuraman wajahnya. *** Hidup! Betapa penuh rahasia, manusia tenggelam timbul dalam permainannya, terhimpit di antara suka dan duka, matang mengeriput di antara tangis dan tawa. Selalu mengejar kesenangan selalu menghindari ketidak-senangan menimbulkan perbandingan dan pilihan oleh dwi unsur (im-yang) manusia dipermainkan. Mengapa suka? mengapa duka? mengapa mengejar kepuasan? mengapa menghindari kekecewaan? Hadapilah semua ini dengan kewaspadaan wajar dan murni, tidak menolak tidak menerima hanya memandang apa adanya! Bebas dari pengalaman dan pengetahuan tidak mencari tidak menyimpan di dalam apa adanya, kenyataan mengandung keindahan, cinta kasih, kebenaran! Dua orang anak yang baru datang disusul ke Sin-yang oleh lima orang anak murid Cin-ling-pai itu berlutut dan bersembahyang sambil menangis di depan peti mati ayah mereka. Mereka itu adalah Lie Seng, putera Lie Kong Tek yang berusia dua belas tahun, dan Lie Ciauw Si, puterinya yang berusia sepuluh tahun. Giok Keng yang menemani anak-anaknya itu bersembahyang, tak dapat menahan isaknya, sungguhpun dia telah menahan-nahannya. “Ibu, kenapa ayah mati?” Lie Seng bertanya setelah selesai bersembahyang, memandang kepada ibunya dan matanya yang tajam dan membayangkan kekerasan hati seperti mata ibunya itu memancarkan pertanyaan yang penuh sedih dan kecurigaan. “Ayahmu meninggal dunia karena sakit mendadak yang amat berat, Seng-ji,” jawab Giok Keng yang telah dipesan oleh ayahnya untuk tidak menceritakan semua peristiwa itu kepada anak-anaknya karena hal itu hanya akan menanamkan bibit dendam yang kelak akan melibat kehidupan anak-anak itu sendiri. “Akan tetapi ketika ayah berangkat, dia berada dalam keadaan sehat, sama sekali tidak sakit!” Lie Ciauw Si berkata. Anak ini lebih mirip ayahnya, pendiam, akan tetapi serius dan cerdas. “Ayah kalian meninggal karena sakit mendadak yang amat berat, anak-anakku,” kembali Giok Keng berkata. “Ibu, ayah pernah bilang bahwa terlalu sering seorang yang mempelajari ilmu silat mati terbunuh lawan. Apakah ayah mati terbunuh orang?” kembali Lie Seng bertanya. Dan andaikata ayah terserang penyakit mendadak, di sini ada kong-kong (kakek yang memiliki kepandaian tinggi, masa tidak bisa mengobatinya sampai sembuh?” Lie Ciauw Si bertanya lagi. Mendengar pertanyaan anak-anaknya yang mendesak itu, Giok Keng menjadi kebingungan akan tetapi untung ada Cia Keng Hong yong mendengar pertanyaan-pertanyaan itu lalu berkata, “Lie Seng, biarpun benar seperti kata-kata mendiang ayahmu, bahwa orang yang mempelajari ilmu silat mati terbunuh lawan, akan tetapi matinya itu bukan karena mempelajari ilmu silat, melainkan karena ulahnya sendiri yang suka berlawanan atau bermusuhan. Dan ayahmu, biar sejak kecil mempelajari ilmu silat, tidak pernah mencari permusuhan dengan orang lain. Tidak, dia tidak mati terbunuh orang, dan kau harus percaya kepeda keterangan ibumu. Ciauw Si, kong-kongmu ini hanya seorang biasa saja, dan memang mungkin bisa mengobati orang sakit yang belum semestinya mati, akan tetapi mana ada kekuasaan untuk menentukan mati hidupnya seseorang? Sudahlah, cucu-cucuku, ayah kalian telah meninggal dunia dan hal ini tidak dapat dirobah lagi, dan tidak ada gunanya kalau kalian merasa berduka dan menyesal. Yang panting sekarang kalian harus menumpahkan semua kasih sayang kalian kepada ibu dan selalu mendengar kata-kata ibu kalian yang tentu lebih mengerti daripada kalian. Mengertikah?” “Baik, kong-kong.” Kedua orang anak itu mengangguk, akan tetapi melihat mulut dan pandang mata mereka, maklumlah Cia Keng Hong bahwa hati kedua orang anak kecil ini masih merasa penasaran. Setelah peti jenazah Lie Kong Tek dikubur, Cin-ling-pai masih berada dalam suasana berkabung. Cia Giok Keng yang biasanya lincah itu kini menjadi pendiam, wajahnya selalu muram dan diam-diam dia menyesali semua perbuatannya sendiri karena diapun kini insyaf dan sadar bahwa kematian suaminya itu sesungguhnya menjadi akibat dari perbuatannya sendiri, merupakan rentetan dari sebab-sebab yang dimulai oleh sikapnya yang pemarah. Karena dia sendiri merasakan betapa pedihnya hati ditinggal mati suami, maka kini dia dapat pula membayangkan betapa hancur rasa hati Kun Liong melihat isterinya mati dibunuh orang! Dan dia merasa manyesal sekali. Setelah kini kemarahannya mereda, dia dapat memaklumi sikap Kun Liong dan Kok Beng Lama yang memaksanya ikut ke Cin-ling-pai karena mereka menuntut keadilan dari ketua Cin-ling-pai. Minta keadilan dari ayahnya dan tidak turun tangan sendiri saja sudah membuktikan betapa Kun Liong menghormat ayahnya. Andaikata dia sendiri yang menjadi Kun Liong, agaknya dia akan turun tangan secara langsung saja untuk membalas dendam! Akan tetapi, menginsyafi kesalahan sendiri memang merupakan hal yang paling sukar dilakukan di dunia ini oleh manusia. Giok Keng memang sudah menyadari kesalahannya, akan tetapi dia secara tidak sadar masih menutupi kesalahan itu dengan menyalahkan In Hong yang dianggapnya menjadi biang keladinya! Kalau saja In Hong tidak menghinanya di pesta itu, tentu tidak mungkin dia datang marah-marah ke rumah Kun Liong. Pada suatu hari, pagi-pagi sekali Cin-ling-san kedatangan dua orang tamu wanita. Keduanya masih muda-muda dan cantik-cantik, dan kepada para anggauta Cin-ling-pai yang berjaga di luar mereka menyatakan hendak berjumpa dengan ketua Cin-ling-pai. Semenjak terjadinya peristiwa menyedihkan itu, para anggauta Cin-ling-pai mengadakan penjagaan siang malam dan Cia Keng Hong sudah memerintahkan agar tidak memperbolehkan siapapun juga memasuki pintu gerbang sebelum melapor kepada ketua dan memperoleh ijin ketua sendiri. Hal ini perlu untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak baik, karena agaknya Cin-ling-pai selalu dikelilingi oleh bencana-bencana yang mengancam. Melihat dua orang wanita muda yang cantik jelita, yang seorang membawa pedang di punggungnya, dan yang kedua, lebih muda dan memiliki kecantikan yang aneh, memandang dengan wajah berseri dan penuh harapan, para penjaga lalu bertanya siapa adanya mereka dan ada keperluan apa hendak bertemu dengan ketua Cin-ling-pai. “Aku tidak mempunyai urusan dengan kalian anak murid Cin-ling-pai maka aku tidak perlu pula memperkenalkan nama. Urusanku hanya dengan ketua Cin-ling-pai maka aku hanya akan memperkenalkan nama kepadanya saja,” jawab gadis cantik yang membawa pedang dengan suara dingin dan pandang mata tajam. “Aihh, kalau begitu bagaimana kami harus melapor kepada ketua kami, nona?” Seorang di antara anak murid Cin-ling-pai berseru, agak penasaran karena nona yang cantik jelita dan kelihatan gagah ini tidak mau memperkenalkan nama. Tiba-tiba gadis remaja yang lebih muda itu berkata. “Namaku Yalima dan aku ingin bertemu dengan kanda Cia Bun Houw, harab kau suka berbaik hati memanggil dia keluar!” Mendengar ini dua orang anak murid lalu berlari-lari ke dalam untuk melaporkan. Memang dua orang dara itu adalah Yalima dan Yap In Hong. Setelah dengan paksa merampas dara Tibet itu dari tangan Go-bi Sin-kouw, In Hong lalu mengajak Yalima pergi ke Cin-ling-san untuk menuntut agar Cia Bun Houw mengawini gadis ini dan dengan sendirinya dia sekalian hendak memutuskan tali perjodohan antara dia dengan pemuda putera ketua Cin-ling-pai. Tentu saja dia sama sekali tidak tahu akan peristiwa yang baru saja terjadi di Cin-ling-san dan kedatangannya didorong hati tidak senang akan sikap Cia Bun Houw yang dianggapnya tidak setia, sudah berpacaran dengan Yalima namun masih hendak mengikat jodoh dengan dia! Mendengar bahwa dua orang gadis yang datang bertamu hendak bertemu dengan dia, dan yang seorang mengaku bernama Yalima hindak bertemu dengan Cia Bun Houw, ketua Cin-ling-pai menjadi terheran-heran. Setelah banyak peristiwa aneh terjadi dan menimbulkan malapetaka, hati ketua Cin-ling-pai ini diliputi penuh keraguan, dan dia tidak melarang ketika dia menanti kunjungan dua orang tamunya itu ditemani oleh isterinya dan oleh Giok Keng. Yap In Hong dan Yalima memasuki pintu gerbang, dan biarpun dia melihat banyak anak murid Cin-ling-pai yang memandangnya penuh kecurigaan dan keadaan mereka seperti dalam keadaan siap siaga, In Hong berjalan dengan langkah tenang saja. Akan tetapi diam-diam dia memperhatikan sekelilingnya. Para anggauta Cin-ling-pai itu kelihatan gagah-gagah dan lincah, gerak-gerik mereka jelas menunjukkan dasar ilmu silat yang tinggi, maka dia merasa heran mengapa tempat yang sekuat ini sampai dapat dibobolkan musuh yang berhasil mencuri pedang pusaka terkenal dari Cin-ling-pai itu. Sebaliknya, Yalima yang sudah mengharapkan akan dapat segera berhadapan dengan kekasihnya, tidak memperhatikan apa-apa kecuali memandang ke depan dengan wajah berseri-seri dan otomatis tangannya membereskan rambutnya yang terurai den pakalannya yang kusut. Cia Keng Hong dan Sie Biauw Eng memandang dua orang gadis cantik jelita itu dengan sinar mata kagum dan heran karena suami isteri tua ini tidak mengenal mereka. Memang dua orang gadis itu amat mengagumkan. Yap In Hong memiliki kecantikan yang gagah dan sikapnya menimbulkan segan di hati orang yang memandangnya, karena jelas tampak bahwa orang tidak boleh main-main dengan dara yang kecantikannya diliputi kedinginan membeku itu. Sebaliknya, Yalima yang masih remaja dan kekanak-kanakan itu berwajah cerah dan ramah, sinar matanya berseri-seri dan mulutnya tersenyum penuh gairah hidup, akan tetapi mata gadis ini mencari-cari karena dia tidak melihat adanya Bun Houw di situ. Sebaliknya, In Hong juga memandang tajam penuh selidik dan alisnya agak berkerut ketika dia melihat Cia Giok Keng berada pula di tempat itu. Dapat dibayangkan betapa munculnya Yap In Hong ini membuat Giok Keng merasa seolah-olah api di dalam dadanya yang sudah hampir padam itu berkobar lagi, kepanasan hatinya membara, mendatangkan kebencian dan kemarahan yang tak tertahankan lagi. “Yap In Hong, bocah hina! Engkau datang mengantar kematian!” bentak Giok Keng dan dia sudah menerjang maju dengan pedang Gin-hwa-kiam di tangannya, melakukan serangan kilat dan maut karena dia maklum betapa lihai adik Kun Liong ini. Yap In Hong dengan sikapnya yang dingin dan tenang, memang sudah selalu siap akan menghadapi segala kemungkinan. Dia tersenyum mengejek, dengan kecepatan mengagumkan dia mengelak ke kiri dan sekali tangannya meraba punggung, tampak sinar lihat dan pedangnya sudah tercabut dan terus balas menyerang dengan tusukan kilat ke arah lambung Giok Keng. “Tranggg... cringgg... cringgg...!” Bunga api muncrat berhamburan ketika berkali-kali dua batang pedang bertemu, akan tetapi pertemuan pedang terakhir itu membuat Giok Keng terhuyung ke belakang sampai lima langkah. “Engkau menyambut tamu dengan pedang? Bagus! Jangan kira aku takut!” In Hong mengejek dan kini dia manerjang ke depan dengan serangannya. Pedangnya lenyap berubah menjadi sinar bergulung-gulung cepat den kuat sekali sehingga ketika Giok Keng memutar pedangnya menangkis, kembali nyonya muda ini terdesak hebat. Melihat ini, Sie Biuww Eng sudah mengeluarkan seruan keras dan nenek yang dahulu terkenal dengan gin-kangnya yang hebat itu telah mencelat ke depan, seperti seekor burung rajawali saja dia terbang ke situ dan dari atas dia mencengkeram dengan pengerahan tenaga Ngo-tok-ciang. Mendengar sambaran angin dahsyat dari atas, In Hong terkejut sekali. Pedangnya sedang bergulat dengan sinar pedang Giok Keng, maka menggunakan pedangnya berarti membuka diri untuk serangan pedang dari depan, maka kini tangan kirinya yang bergerak ke atas hendak menangkap lengan nenek yang menyerangnya dari atas secara hebat itu. “Dukkk!” Tubuh In Hong tergetar akan tetapi nenek Sie Biauw Eng juga terlempar dan begitu kakinya tiba di atas tanah, dia sudah melolos senjatanya yang amat ampuh yaitu Pek-in Sin-pian, sabuk sutere putih yang dahulu pernah mengangkat namanya di dunia kang-ouw dengan julukan Song-bun Siu-li (baca cerita Siang-bhok-kiam)! In Hong moloncat ke belakang, melintangkan pedangnya di depan dada, dan dia memandang dengan mata mengejek dan senyum memandang rendah. “Bagus, kiranya beginikah Cin-ling-pai yang tersohor itu, menyambut tamu dengan serangan-serangan senjata? Apakah engkau ketua Cin-ling-pai? Kalau begitu, mengapa tidak sekallan maju mengeroyok aku biar ramai?” Wajah Cia Keng Hong menjadi merah sekali. Pertama-tama, dia marah kepada isteri dan puterinya yang terburu nafsu, dan kedua dia marah kepada gadis yang mulutnya amat tajam, lebih tajam dari pedangnya itu. Juga dia terkejut menyaksikan gerakan ilmu pedang dari gadis itu, yang selain aneh juga amat lihai, bahkan tenaga sin-kang dari gadis ini sudah tentu lebih kuat daripada tenaga isterinya! “Kalian mundurlah! Sungguh tidak semestinya menuruti hati panas!” Ditegur dengan suara keren ini, Sie Biauw Eng dan Cia Giok Keng mundur, akan tetapi tidak menyimpan senjata mereka dan mata mereka masih memandang ke arah In Hong dengan penuh kemarahan. Cia Keng Hong lalu manghadapi In Hong yang masih memegang pedang dan dengan halus dia berkata, “Harap nona maafkan puteri kami. Menurut laporan, nona hendak bertemu dengan ketua Cin-ling-pai, nah, akulah ketua Cin-ling-pai. Nona siapa dan ada keperluan apa nona datang ke sini?” Biarpun tadi mendengar puterinya menyebut nama dara ini, dan kini melihat wajah In Hong yang persis dengan wajah mendiang sumoinya, Gui Yan Cu yang cantik jelita dia tidak meragu lagi bahwa dara ini adalah adik kandung Kun Liong, namun Cia Keng Hong bersikap keren karena melihat sikap dara itupun dingin dan garang. In Hong sejenak memandang kepada dua orang wanita yang tadi menyerangnya, kemudian menoleh kepada Cia Keng Hong, menarik napas panjang dan menyarungkan kembali pedangnya, kemudian dia menjura kepada ketua Cin-ling-pai itu. “Harap locianpwe yang memaafkan saya karena kelancangan saya. Sudah lama saya mendengar akan nama besar ketua Cin-ling-pai dan ternyata memang sikap locianpwe amat mengagumkan hati saya. Saya bernama Yap In Hong dan... kiranya locianpwe telah tahu siapa saya...” Hem, kalau tidak salah, engkau adalah puteri dari mendiang sumoi Gui Yan Cu dan suaminya, sahabatku yang baik Yap Cong San. Engkau adalah adik kandung dari Yap Kun Liong, bukan?” “Dugaan locianpwe benar, dan karena ibuku adalah sumoi dari locianpwe, semestinya locianpwe adalah supek saya. Akan tetapi karena sejak lahir tidak ada hubungan, maafkan kalau saya menyebut dengan sebutan locianpwe.” Cia Keng Hong menarik napas panjang. Tak disangkanya bahwa anak perampuan dari sumoinya yang lenyap sejak kecil itu kini bersikap seperti itu, kaku dan dingin, sama sekali berbeda dengan sikap Gui Yan Cu dahulu yang ramah, lincah, jenaka dan gembira serta hangat, seperti sinar matahari pagi. “Kalau demikian yang kaukehendaki, terserah kepadamu, nona. Kemudian, urusan apakah yang kaubawa ke sini dan siapa pula gadis asing ini?” “Locianpwe, kedatangan saya ini adalah untuk membicarakan soal ikatan jodoh yang diusulkan antara saya dan putera locianpwe, seperti yang pernah saya dengar dari kakak kandung saya Yap Kun Liong.” Kembali Cia Keng Hong menyesal sekali mengapa gadis ini menyebutkan nama kakak kandungnya tanpa perasaan bersaudara same sekali, seolah-olah yang bernama Yap Kun Liong adalah seorang asing baginya. “Memang demikianlah tadinya hasrat hati kami, untuk menyambung kembali hubungan antara orang tuamu dengan kami. Lalu bagaimana kehendakmu?” “Saya datang untuk membatalkan perjodohan itu. Ikatan yang dilakukan di luar tahu saya itu harus diputuskan.” “Perempuan sombong! Siapa kesudian mempupyal adik ipar seperti engkau?” Tiba-tiba Giok Keng membentak, marah sekali. “Hemm, gadis ini benar-benar lancang mulut dan tidak memandang mata kepada kita.” Sie Biauw Eng berkata kepada suaminya, “Sungguh tidak patut menjadi puteri Yap Cong San dan Gui Yan Cu!” Cia Keng Hong mengangkat tangan memberi isyarat kepada isteri dan puterinya untuk diam, kemudiam dia menghadapi In Hong, berkata dengan suara keren “Tidak ada yang akan memaksamu berjodoh dengan putera kami, nona.” In Hong merasa tidak enak juga, karena kata-kata dan sikapnya seolah-olah merendahkan keluarga ini, maka cepat-cepat dia berkata, “Harap locianpwe maafkan. Tidak ada maksud lain dalam penolakanku itu kecuali adanya kenyataan bahwa putera locianpwe itu yang bernama Cia Bun Houw, sudah mempunyai calon isteri, maka amatlah tidak baik kalau dijodohkan lagi kepada saya.” “Eh, lancang mulut! Apa maksudmu menghina puteraku?” Sie Biauw Eng berseru. “Hemm, nona. Apa maksud kata-katamu itu?” Cia Keng Hong juga bertanya, heran dan mulai tidak senang. “Locianpwe, saya hanya mengatakan apa adanya dan tidak bermaksud menghina. Adik Yalima dari Tibet ini adalah calon isteri Cia Bun Houw dan mereka sudah saling mencinta, oleh karena itu tidaklah semestinya kalau Cia Bun Houw dijodohkan dengan orang lain. Demi keadilan, saya menuntut agar adik Yalima dijodohkan dengan Cia Bun Houw...” “Lancang! Siapa kau yang hendak menentukan jodoh puteraku? Keparat!” Sie Biauw Eng memaki. “Sudahlah, isteriku, jangan membikin ruwet urusan. Nona Yalima, benarkah apa yang diceritakan oleh nona Yap In Hong ini?” Cia Keng Hong kini memandang kepada Yalima. Seorang dara yang manis sekali dan tidak aneh kalau puteranya itu suka kepada nona ini, akan tetapi nona ini masih terlalu muda, masih kekanak-kenakan, sungguhpun harus diakuinya bahwa Yalima amat cantik jelita dan penuh semangat. Muka Yalima menjadi merah sekali akan tetapi karena dia sudah bertekad untuk mencari Bun Houw, maka dia lalu dengan suara lancar namun agak kaku, menceritakan tentang keadaan dirinya, betapa dia dan Bun Houw sudah saling mencinta, betapa Bun Houw menolong dia ketika dia hendak diserahkan kepada pangeran di Lhasa oleh ayahnya dan betapa setelah Bun Houw pulang, kembali dia hendak dipaksa ayahnya untuk menjadi selir pangeran di Lhasa. Maka dia lalu minggat dan ditolong oleh Go-bi Sin-kouw, betapa kemudian dia hampir diperkosa oleh orang jahat dan ditolong oleh In Hong. “Demikianlah, locianpwe, karena satu-satunya orang di dunia ini yang saya percaya dan saya cinta adalah Houw-koko, maka saya berusaha untuk menemuinya dan untuk menghambakan diri selama hidup saya kepadanya.” Yalima menutup ceritanya dengan kata-kata yang diucapkan dengan suara penuh harapan ini. Sie Biauw Eng, mengerutkan alisnya, hatinya kecewa dan tidak senang same sekali mendengar semua itu. Tidak jadi bermantukan Yap In Hong tidak apa-apa baginya, bahkan menyaksikan sikap nona itu diapun tidak sudi lagi untuk mengambil mantu, akan tetapi kalau puteranya harus berjodoh dengan gadis Tibet ini, tanpa campur tangan dia dan suaminya, sungguh dia merasa terhina dan tidak setuju! Akan tetapi, Cia Keng Hong yang bijaksana melihat betapa Yalima benar-benar setia dan mencinta Bun Houw, sungguhpun gadis itu masih terlalu muda dan dia sendiri bukan berarti suka mempunyai mantu gadis Tibet ini, akan tetapi untuk menyudahi urusan yang bisa menimbulkan keruwetan dengan In Hong yang sikapnya keras itu, dia berkata kepada In Hong. Nona Yap In Hong, urusan jodoh adalah urusan pribadi keluarga kami. Hubungan antara kami dengan nona hanyalah tentang jodoh antara nona dan putera kami. Karena jelas bahwa nona tidak menerima ikatan jodoh itu, maka mulai saat ini rencana perjodoban itu kita batalkan saja. Adapun mengenai jodoh putera kami selanjutnya, tidak ada orang lain yang boleh mengaturnya. Harap saja engkau maklum akan hal ini!” Suara Cia Keng Hong ketika mengatakan kalimat terakhir itu bernada kerasa dan sejenak dia dan Yap In Hong saling beradu pandang mata. Akhirnya In Hong menundukkan matanya, tak tahan menghadapi sinar mata yang tajam dan penuh wibawa itu dan dia berkata. “Saya tidak hendak mencampuri perjodohan orang lain, akan tetapi bagaimana dengan adik Yalima? Sebagai sesama wanita saya harus memperhatikan nasib dirinya yang terlunta-lunta karena mencari putera locianpwe.” “Itupun adalah urusan kami sendiri. Yalima sebagai sahabat putera kami tentu kami terima sebagai tamu dan biarlah dia menanti di sini sampai putera kami pulang. Saya ulangi lagi, hal jodoh di antara mereka adalah urusan kami sekeluarga sendiri!” Yap In Hong mengerutkan alisnya, akan tetapi dia maklum bahwa kalau dia bersikeras, berarti dialah yang tidak benar, maka dia hanya mengangguk pendek dan berkata, “Baik, saya akan pergi sekarang. Saya percaya bahwa adik Yalima berada di tangan keluarga baik-baik. Akan tetapi kelak saya masih akan menyelidiki tentang nasibnya di sini. Selamat tinggal den maafkan saya, locianpwe.” Setelah berkata demikian, Yap In Hong membalikkan tubuhnya pergi dari situ dengan sikap angkuh. “Setan...!” Giok Keng dengan pedang terhunus hendak mengejar, juga Sie Biauw Eng memandang dengan kemarahan meluap. “Bocah itu kurang ajar benar!” Akan tetapi Cia Keng Hong meloncat dan menghadang mereka. “Ingat, dia adalah puteri mendiang Yap Cong San dan Gui Yan Cu, dan sikapnya seperti itu bukanlah pembawaan wataknya. Tidak mungkin keturunan mereka berwatak demikian. Dia seperti itu tentulah karena gemblengan gurunya yang sejak kecil diikutinya. Sungguh kasihan dia...” Yalima yang melihat ini semua menjadi bingung. Dia merasa kehilangan ketika ditinggalkan In Hong, akan tetapi diapun tidak mau meninggalkan orang-orang tua yang dia tahu adalah ayah den ibu Bun Houw itu. “Enci In Hong adalah seorang yang amat baik budi, dia telah melawan den menentang Go-bi Sin-kouw den teman-temannya yang jahat untuk menolong saya. Memang sikapnya dingin, akan tetapi hatinya dari emas...” Ucapan Yalima ini diterima oleh Cia Keng Hong dengan mengangguk-angguk, akan tetapi Sie Biauw Eng den Cia Giok Keng tidak setuju sungguhpun mereka hanya menyimpan rasa mendongkol dan tak senangnya di dalam hati saja. “Ayah dan ibu, sayapun mohon diri untuk pergi sekarang juga!” Tiba-tiba Giok Keng berkata. Ayah dan ibunya terkejut, menoleh dan memandang penuh selidik. “Keng-ji, sudah kukatakan bahwa tidak perlu engkau melanjutkan permusuhanmu yang tidak ada artinya itu terhadap In Hong. Dia marah kepada Bun Houw karena mendengar bahwa Bun Houw telah mencinta gadis lain, hal itu adalah lumrah!” Ayahnya menegur, menyangka bahwa puterinya akan mengejar In Hong, padahal dia tahu benar bahwa puterinya itu sama sekali bukan lawan In Hong yang dia tahu amat lihai. “Tidak, ayah. Aku bukan hendak mengejar dan memusuhi In Hong. Aku ingin pergi melakukan penyelidikan dan menangkap pembunuh isteri Kun Liong. Sebelum pembunuhnya tertangkap, tidak akan lega hatiku dan hidupku selalu akan menderita batin. Seolah-olah roh suamiku mendesak kepadaku untuk mencari pembunuh itu, ayah dan ibu. Maka, boleh atau tidak, aku harus pergi mencari pembunuh Hong Ing, karena hanya dengan tertangkapnya pembunuh itulah maka nama keluarga kita akan tercuci dari noda.” Sie Biauw Eng memegang lengan puterinya dan terisak. “Engkau benar, anakku, dan andaikata ayahmu memperbolehkan, aku akan menemanimu.” “Tidak! Biarkan dia pergi sendiri. Dan akupun setuju dengan tekadmu itu, Keng-ji. Bahkan aku bangga dengan keputusanmu itu, karena engkaupun bertanggung jawab atas kematian Hong Ing.” “Aku hanya titip... titip anak-anakku... ibu...” Kedua orang wanita itu saling berpelukan. “Jangan khawatir, anakku. Aku akan menjaga cucu-cucuku...” kata Sie Biauw Eng. “Keng-ji, niatmu itu baik sekali. Akan tetapi ingat baik-baik akan pesanku ini. Suamimu sudah mati dan tidak ada orang lain yang membunuhnya. Kun Liong dan Kok Beng Lama hanya menuntut keadilan dan sama sekali tidak memaksa suamimu membunuh diri. Oleh karena itu, kalau engkau kelak menaruh dendam dan memusuhi mereka, hal itu berarti bahwa engkau telah menanam bibit permusuhan yang akan mendatangkan akibat yang panjang.” “Aku mengerti, ayah.” “Dan In Hong, diapun bukan musuhmu. Dia bersikap marah-marah kepada Bun Houw karena dia menganggap Bun Houw menyia-nyiakan Yalima dan mempermainkannya. Tidak ada permusuhan pribadi antara dia dan kita. Jangan engkau memusuhi dia pula.” Agak berat kini Giok Keng menjawab, akan tetapi akhirnya keluar juga dari bibirnya. “Baik, ayah.” Maka berangkatlah Giok Keng diantar tangis ibunya yang merasa kasihan sekali kepada puterinya itu. Namun kepergian Giok Keng memang perlu dan penting sekali, bukan hanya untuk menebus kesalahan tindakannya akan tetapi juga untuk mencuci bersih noda yang mengotori keharuman nama keluarga mereka. Tak lama, hanya dua hari setelah Giok Keng pergi, muncul Hong Khi Hoatsu, guru dari Lie Kong Tek di Cin-ling-pai! Kakek yang biasanya gembira den jenaka ini telah mengunjungi muridnya di Sin-yang, akan tetapi mendengar dari para tetangga bahwa semua keluarga pergi ke Cin-ling-pai, maka dia cepat menyusul ke Cin-ling-pai. Dapat dibayangkan betapa kaget dan duka hatinya ketika dia mendengar akan kematian muridnya! Kakek yang usianya sudah tujuh puluh tiga tahun ini menjatuhkan diri di atas kursi, mukanya pucat dan dia mendengarkan seperti kehilangan semangatnya akan penuturan Cia Keng Hong yang menceritakan semua dengan sejelas-jelasnya sehingga mengakibatkan Lie Kong Tek membunub diri untuk mewakili isterinya yang disangka membunuh orang itu. Namun, sebagai seorang ahli kebatinan yang bertingkat tinggi, akhirnya kakek ini menarik napas panjang dan mengoyangkan pundak. “Aihhh, begitulah hidup! Ribut-ribut di kala masih hidup, kalau sudah mati habislah kesemuanya! Kematian datang tanpa disangka?sangka... ahhh, keadaanmu jauh lebih hebat daripada penderitaan batinku mendengar kematian muridku yang seperti anakku sendiri, Cia?taihiap. Baru saja delapan orang muridmu tewas, pusaka dicuri orang, kini puterimu kehilangan suami secara menyedihkan. Ahhh, di mana adanya cucu?cucuku?” Ketika Lie Seng dan Lie Ciauw Si yang diberi tahu datang berlarian lalu menangis sambil memeluk kakek yang mereka kenal baik dan yang mereka sayang karena Hong Khi Hoatsu juga sering sekali mengunjungi mereka, amat menyayang mereka dan kakek yang lucu ini pandai menghibur mereka, tak dapat kakek itu menahan keharuan hatinya dan air matanya bertitik di atas kedua pipinya yang penuh keriput! Beberapa hari kemudian, Hong Khi Hoatsu minta dengan sangat kepada Cia Keng Hong agar diperkenankan membawa Lie Seng bersamanya, kembali ke Sin?yang menempati rumah muridnya itu sampai kembalinya Giok Keng. Dia merasa kesunyian setelah muridnya meninggal dan mantunya pergi, padahal kakek yang suka merantau ini menganggap rumah muridnya di Sin?yang sebagai tempat peristirahatan terakhir di hari tuanya. Dia ingin ditemani oleh cucunya yang disayangnya itu. Cia Keng Hong maklum akan penderitaan kakek itu, maka setelah bersepakat dengan isterinya, dan melihat betapa Lie Seng juga suka ikut bersama kakek itu, mereka menyetujui dan berangkatlah Hong Khi Hoatsu bersama Lie Seng kembali ke Sin?yang. Suasana berkabung masih meliputi Cin?ling?pai. Semenjak terjadi peristiwa yang bertubi?tubi menimpa keluarganya itu, Cia Keng Hong lebih sering berada di dalam kamarnya dan bersamadhi. Kalau dia teringat akan nasib yang menimpa suami isteri Yap Cong San dan Gui Yan Cu, dua orang yang paling dikasihinya disamping isteri dan anak?anaknya sendiri, dia merasa terharu dan kasihan sekali. Peristiwa?peristiwa menyedihkan menimpa suami isteri itu (baca cerita Siang?bhok-kiam), kemudian mereka berdua itu terbunuh musuh-musuh di waktu usia mereka masih muda (baca cerita Petualang Asmara), dan kini putera mereka juga mengalami nasib yang buruk, kematian isterinya yang tercinta secara tidak wajar karena terbunuh orang dengan menggelap, dan puteri mereka berobah menjadi seorang dara yang biarpun berkepandaian sangat tinggi akan tetapi wataknya dingin dan menyeramkan! Sie Biauw Eng juga mengalami pukulan batin yang berat, akan tetapi berkat adanya cucunya, Lie Ciauw Si, dia memperoleh hiburan dan setiap hari dia tidak pernah terpisah dari cucunya ini yang digemblengnya sendiri dengan ilmu?ilmu bun (tulis) dan bu (silat). Cin?ling?pai berada dalam keadaan prihatin! *** Kota Kiang?shi bukan hanya terkenal karena kota itu cukup ramai dengan perdagangan, akan tetapi terutama sekali terkenal karena kota itu merupakan kota tempat hiburan. Ingin mencari wanita?wanita pelacur yang paling terkenal cantik dan pandai melayani kaum pria, golongan paling rendah sampai paling tinggi? Kiang?shi tempatnya! Ingin mengadu peruntungan dengan perjudian, sehingga dalam waktu semalam saja, seorang jutawan bisa kehabisan seluruh uangnya dan seorang biasa mungkin saja, biarpun agak langka, mendadak menjadi jutawan? Di Kiang?shi pula tempatnya! Seorang seniman jalanan yang menceritakan keadaan kotanya yang tercinta itu dengan sajak-sajak sederhana yang dinyanyikan dengan suara serak dan iramanya dituntun oleh suara dua potong bambu yang dijepit di antara jari?jari tangannya sehingga menimbulkan suara “trak-tak-trak-tak-tak!” bernyanyi-nyanyi di depan toko-toko dan warung-warung mengharapkan sedekah orang. Penyanyi-penyanyi jalanan seperti ini kadang-kadang menggambarkan keadaan kota Kiang-shi dengan hidup sekali, bahkan tidak jarang di antara mereka yang memasukkan di dalam nyanyiannya itu cerita-cerita sensasi dan gosip tentang orang-orang tertentu di dalam kota sehingga banyak juga orang yang berminat mendengarkan mereka untuk sekedar mengetahui berita apa yang hangat dan yang dapat memancing ketawa sinis mereka hanya dengan mengeluarkan uang kecil sepotong. Seorang pemuda yang berpakaian sederhana dan berwajah tampan berjalan-jalan malam hari ini, menyusuri jalan raya yang dipenuhi orang-orang yang berjalan hilir-mudik di kedua tepi jalan di mana toko-toko berjajar-jajar dengan penuh segala macam barang dagangan. Sinar-sinar penerangan berpencaran keluar dari toko-toko itu sehingga suasana menjadi meriah dan semua orang yang lalu lalang itu rata-rata berwajah gembira. Sudah beberapa pekan lamanya pemuda itu yang bukan lain adalah Cia Bun Houw, meninggalkan Cin-ling-san dan pada sore hari itu dia tiba di kota Kiang-shi dalam penyelidikannya untuk mencari musuh-musuh besar Cin-ling-pai, yaitu Lima Bayangan Dewa yang hanya dia ketahui nama-nama dan julukan mereka akan tetapi tidak diketahuinya di mana tempat tinggal mereka itu. Setiap tokoh kang-ouw yang ditanyai, tidak ada yang tahu dan agaknya mereka itu seperti takut-takut membicarakan tentang mereka, sehingga Bun Houw menduga bahwa andaikata ada yang mengetahui tempat tinggal merekapun, agaknya dia itu tidak akan berani menceritakan kepadanya. Maka pemuda itu lalu mengambil keputusan untuk menyelidiki dengan cara lain, yaitu dia akan mendekati kaum sesat dan akan masuk sebagai anggauta kaum sesat sehingga dia akan dianggap “orang dalam” dan tentu akan lebih mudah untuk menyelidiki mereka. Tiba-tiba Bun Houw tertarik oleh seorang laki-laki setengah tua yang bernyanyi-nyanyi di depan toko besar di mana banyak berkerumun orang-orang yang mendengarkan nyanyian yang diiringi suara berketraknya bambu-bambu di antara jari-jari tangan orang itu. Bun Houw segera mendekati dan ikut pula mendengarkan. Suara orang ini cukup merdu dan kata-kata yang keluar dari mulutnya lancar dan jelas sehingga menarik perhatian banyak orang. Seperti para penyanyi jalanan lainnya, orang inipun menggambarkan keadaan kota Kiang-shi, akan tetapi kata-katanya berbeda dengan para penyanyi-penyanyi lain, yang hanya menghafal sehingga syair yang diulang-ulang itu tidak menarik lagi. Orang ini agaknya lain. Dia pandai mencari kata-kata sendiri yang selalu berubah-ubah, jadi bukan hafalan. “Trak-tak, trak-tak, trak-tak-tak Kiang-shi kota tersayang hidup malam dan siang Kiang-shi di waktu siang orang-orang berdagang saling catut dan kemplang bahkan di waktu malam berdagang kesenangan Kiang-shi sebagai sorga juga mirip neraka pusat suka dan duka panggung tangis dan tawa!” Bun Houw tersenyum mendengar syair sederhana yang dinyanyikan orang itu. Diapun melemparkan sekeping uang tembaga ke dalam topi yang ditelentangkan di atas tanah seperti yang dilakukan oleh para penonton. Penyanyi ini bernyanyi terus, lebih bersemangat sekarang. Syairnya lebih bebas, tidak merupakan baris-baris dari tujuh suku kata untuk mengimbangi bunyi iringan suara bambu yang tujuh kali, melainkan kini merupakan syair dan nyanyian bebas yang seperti kata-kata berirama, kadang-kadang diseling suara berketraknya bambu-bambu di jari tangannya. “Isteri anda di rumah cerewet dan marah? jangan khawatir, pergilah kepada rumah merah terpencil di belakang kuil, di sana kerling dan senyum manis dijual murah, besok pagi ciuman mesra mengiring, anda pulang dengan saku dan tulang punggung kering!” Semua orang tertawa mendengar kata-kata yang lucu ini. Dia sendiri belum dapat menangkap dengan jelas arti dari nyanyian itu, dan kalau Bun Houwpun ikut tersenyum adalah karena dia mendengar dan melihat orang-orang lain tertawa, suasana di tempat itu memang menggembirakan. Bun Houw memandang ke kanan kiri. Dia ingin mencari tempat penginapan dan dia tahu bahwa rumah merah terpencil di belakang kuil, rumah Ciauw-mama itu, dimana kerling dan senyum manis dijual murah, pasti bukanlah merupakan rumah yang dibutuhkan untuk bermalam di malam itu. Akan tetapi sebelum dia meninggalkan tempat itu, dia mendengar lagi orang itu melanjutkan nyanyiannya. “Anda ingin menjadi jutawan? Pergilah ke Hok-po-koan! Kalau bintang anda terang dalam semalam anda menjadi hartawan! Kalau bintang anda gelap? Dalam semalam Menjadi jembel kelaparan!” Kembali semua orang tertawa, dan dia menaruh perhatian ketika penyanyi itu melanjutkan nyanyiannya setelah tersenyum lebar, menyambut suara ketawa penonton dan pendengarnya. “Akan tetapi hati-hatilah jangan main gila di Hok-po-koan! Salah-salah leher bisa putus disambar sinar pedang setan belum lagi kalau ketahuan oleh Lima Bayangan!” Bun Houw terkejut sekali dan dia memandang penyanyi itu lebih teliti. Dia itu orang biasa saja dan kini setelah nyanylannya habis, dia mengumpulkan kepingan uang tembaga dan berjalan meninggalkan tempat itu, agaknya untuk bernyanyi di lain tempat lagi. “Twako, perlahan dulu...” Bun Houw menegurnya dari belakang. Orang itu berhenti dan membalikkan tubuhnya, memandang penuh keheranan dan keraguan. Akan tetapi karena yang menegurnya itu hanya seorang pemuda berpakaian biasa dan sederhana, hatinya lega an dia bertanya apa yang dikehendaki oleh pemuda itu. “Twako, aku tadi mendengar nyanyianmu yang amat indah dan aku ingin mengundangmu minum arak dan mengobrol...” “Ah, hiante, engkau terlalu memuji. Aku hanya seorang miskin yang...” Jangan merendahkan diri, twako. Engkau seorang seniman.” “Aku? Seniman? Ha-ha, jangan mengejek, hiante.” “Marilah, twako. Ataukah engkau memandang rendah kepadaku sehingga menolak tawaran dan ajakanku?” “Ah mana aku berani? Baikna, dan terima kasih, hiante.” Mereka lalu memasuki sebuah kedai arak. Bun Houw memesan mi, daging, dan arak. Mereka makan minum dengan lahap dan setelah minum araknya dan mengelus perutnya, orang itu berkata, “Aih, dasar perutku yang bernasib baik malam ini, bertemu dengan seorang dermawan seperti engkau, hiante. Sekarang aku ingin bertanya secara sungguh-sungguh, apakah benar engkau menganggap aku seorang seniman, hiante?” “Tentu saja! Mengapa tidak? Engkau seorang seniman dan kiraku tidak ada seorang yang akan dapat membantah kenyataan ini,” kata Bun Houw, bersungguh-sungguh pula karena dia memang bukan berpura-pura atau menjilat. “Ahhh, kalau saja semua orang berpendapat seperti engkau, alangkah menghiburnya pendapat itu. Akan tetapi, orang muda, tidak banyak yang sudi menganggap aku seorang seniman. Apalagi mereka yang duduk di tempat tinggi, mereka yang menganggap diri mereka kaum cendekiawan, kaum sasterawan, dan para sarjana dan siucai. Mereka memandang rendah orang-orang macam kami, bahkan menganggap kami merusak seni, menganggap kami seniman kampungan, picisan dan rendah, yang katanya hanya menjual kesenian belaka, seorang pengemis yang mencari sesuai nasi dengan menjual suara...” “Itu hanya pendapat orang-orang yang kepalanya besar akan tetapi berisi angin kosong belaka, orang-orang yang menganggap diri sendiri sepandai-pandainya orang dan sebersih-bersihnya orang. Orang-orang macam inilah yang amat berbahaya, mereka ini adalah orang-orang sombong dan tinggi hati dan tidak ada yang lebih bodoh daripada mereka yang menganggap dirinya sendiri pandai. Tidak ada orang yang lebih kotor daripada mereka yang menganggap dirinya sendiri bersih.” “Hayaa...! Sungguh baru sekarang aku mendengar pendapat seperti engkau ini, hiiinte! Aku hanya penyanyi yang menjual suara...” “Apa salahnya dengan seorang seniman yang mendapatkan nafkah hidupnya dari karya seninya? Senimanpun manusia biasa yang membutuhkan makanan, pakaian dan rumah!” “Hiante, kalau begitu pendapatmu, bagimu apakah artinya kesenian? Apakah kesenian itu?” “Karya seni adalah suatu karya yang mengandung keindahan keadaan dan macamnya tidak bisa ditentukan oleh manusia, segi-segi keindahannyapun tidak bisa ditentukan dan digariskan, karena kalau sudah digariskan itu bukan seni namanya. Kalau karya seni ditentukan sifatnya, maka yang menentukan itu adalah orang-orang yang mempunyai kecondongan suka atau tidak suka dan memang penilaian tergantung sepenuhnya kepada rasa suka dan tidak suka itu. Alam merupakan seniman yang maha besar dan satu di antara karya seninya adalah hujan. Apakah semua orang menyukai hujan atau membencinya? Belum tentu! Tergantung dari untung rugi yang diakibatkah oleh hujan tadi bukan? Nah, karya senipun demikian. Yang jelas, jika mengandung keindahan yang dapat dinikmati oleh segolongan orang, itulah seni. Nyanyianmu tadi banyak yang menikmatinya dan bagi yang menikmatinya tentu dianggap baik, akan tetapi bagi orang lain mungkin saja dianggap bukan seni bahkan merusak.” Penyanyi itu bangkit berdiri dan menjura kepada Bun Houw. “Sungguh hebat! Terima kasih sekali, hiante. Engkau masih begini muda akan tetapi pandanganmu mengandung keadilan besar dan sekaligus engkau telah mengangkat aku dari jurang di mana aku selalu merasa rendah diri dan hina. Kini, aku akan lebih berani lagi mengungkapkan segala keadaan dan kepincangan perikehidupan manusia di Kiang-shi, biarlah aku mewakili semua keadaan yang tidak adil itu dan kunyatakan dalam nyanyianku. Kaudengar saja nanti!” Dia bersemangat sekali nampaknya. “Akan tetapi apa kau tidak takut akan sinar pedang setan dan Lima Bayangan, twako?” Bun Houw kini mengarahkan percakapan kepada tujuan penyelidikannya. “Heh? Apa maksudmu?” orang itu bertanya. Bun Houw tersenyum. “Aku tidak bermaksud apa-apa, hanya aku teringat tadi engkau menyebut-nyebut sinar pedang setan dan Lima Bayangan dalam nyanyianmu. Bagian-bagian itu belum kumengerti benar. Apa dan siapakah pedang setan di Hok-po-koan itu, twako?” “Hemm, agaknya engkau bukan orang Kiang-shi...” “Memang bukan. Aku baru saja memasuki Kiang-shi, maka aku mengharapkan petunjuk darimu, twako.” “Jangan khawatir, hiante. Aku lahir di sini dan aku mengenal semua keadaan di kota yang kucinta ini. Kau boleh bertanya apa saja kepadaku.” “Aku kadang-kadang suka juga bermain judi, twako. Hanya untuk iseng-iseng saja, bukan ingin menjadi jutawan, apalagi menjadi jembel kelaparan seperti dalam nyanyianmu tadi.” Orang itu tertawa. “Aku ingin mencoba peruntungan di Hok-po-koan, akan tetapi aku ragu-ragu mendengar nyanyianmu tentang sinar pedang setan dan Lima Bayangan. Harap kau menjelaskan kepadaku.” “Ah, itukah?” Penyanyi itu menengok ke kanan kiri, lalu berbisik, “Sebaiknya kita keluar dari sini dan bicara di jalan yang sunyi.” Bun Houw mengangguk, membayar makanan dan mereka lalu berjalan keluar, menuju ke jalan yang sunyi dan meyimpang dari jalan raya itu. “Pemilik Hok-po-koan adalah seorang bernama Liok Sun dan dia berjuluk Kiam-mo (Setan Pedang). Kabarnya dia berkepandaian tinggi sekali dan karena itu di tempat perjudiannya tidak ada yang berani bermain gila. Bahkan dulu pernah ada tujuh orang penjahat yang hendak merampas banyak uang di po-koan (tempat perjudian), akan tetapi mereka semua roboh oleh pedang di tangan orang she Liok itu! Di Kiang-shi, nama orang itu terkenal sekali, bahkan para pembesar bersahabat dengannya. Nah, karena itu maka kusinggung dalam nyanyian agar orang yang bermain judi di Hok-po-koan jangan bermain gila.” Bun Houw mengangguk-angguk. “Dan tentang Lima Bayangan itu?” dia bertanya sambil lalu seperti tidak menaruh perhatian khusus. “Ah, kau tidak tahu, hiante. Pada waktu itu, di dunia kang-ouw timbul kegemparan karena Lima Bayangan...” “Dewa? Lima Bayangan Dewa kaumaksudkan?” “Ehhh...?” Orang itu memandang Bun Houw dengan mata terbelalak. “Kau... tahu?” Bun Houw menggeleng kepala. “Aku hanya mendengar bahwa ada tokoh-tokoh besar muncul di dunia dan disebut Lima Bayangan Dewa! Mengapa kausebut-sebut mereka dalam nyanyianmu?” “Aku hanya sering menengar bahwa Kiam-mo Liok Sun itu suka sekali memamerkan dan menyombongkan di luaran bahwa dia adalah sahabat dari Lima Bayangan Dewa! Semua orang, termasuk aku, tidak percaya, maka untuk mengejek kesombongannya itu, aku membawa Lima Bayangan dalam nyanyianku.” Bun Houw memandang tajam. “Jadi engkau tidak tahu apa-apa tentang Lima Bayangan Dewa?” Orang itu menggeleng. “Dan majikan Hok-po-koan (Tempat Perjudian Mujur) itu bilang bahwa dia sahabat Lima Bayangan Dewa?” Orang itu mengangguk. “Demikian yang dikatakan orang.” “Terima kasih, twako. Nah, selamat malam dan jangan lupa bahwa engkau adalah seorang seniman tulen dan jangan perdulikan mereka yang mencemoohkanmu. Anggap saja mereka itu anjing-anjing menggonggong.” “Akan tetapi mereka itu kaum sasterawan cabang atas, kaum cendekiawan...” “Kalau begitu mereka itupun hanya sekumpulan anjing-anjing bangsawan yang menggonggong belaka dan anjing apapun, gonggongannya tetap sama!” Bun Houw berkata sambil membalikkan tubuh dan pergi meninggalkan penyanyi itu, langsung mencari keterangan tentang tempat perjudian Hok-po-koan yang mudah saja dia dapat dari orang yang berlalu-lalang karena semua orang tahu belaka di mana adanya Hok-po-koan itu. Hok-po-koan merupakan sebuah tempat judi terbesar di Kiang-shi. Kebetulan sekali tempat itu berada di dekat sebuah losmen, maka Bun Houw lalu menyewa sebuah kamar di losmen itu. Setelah mandi dan bertukar pakaian yang lebih bersih, pemuda ini lalu pergi ke Hok-po-koan dengan lagak seperti seorang pemuda beruang yang sudah biasa dengan perjudian. Tentu saja sebelumnya dia tidak pernah memasuki tempat judi, apalagi berjudi. Dua orang pelayan menyambutnya dengan senyum lebar dibuat-buat dan mempersilakannya masuk ke ruangan dalam. Dengan sikap dan lagak seorang kongcu, Bun Houw mengangguk dan memasuki ruangan judi yang dipasangi lampu penerangan yang besar dan banyak itu sehingga keadaan di situ seperti siang hari saja terangnya. Kebisingan di antara kelompok-kelompok tamu yang sedang berjudi itu memenuhi ruangan dan peluh mengalir di wajah-wajah yang penuh ketegangan. Bun Houw yang selama hidupnya baru pertama kali ini memasuki tempat seperti itu, dengan jelas nampak keadaan yang tidak kelihatan oleh mata orang-orang yang sudah biasa berada di situ. Segala macam nafsu perasaan terbayang jelas di wajah-wajah mereka yang berkumpul di meja-meja judi. Tawa riang, kegembiraan melihat kemenangan sendiri dan kekalahan orang lain, kegelian hati yang kejam menyaksikan penderitaan orang lain, harapan-harapan besar yang terpancar dari mata mereka, keputusasaan yang mulai menyelubungi wajah beberapa orang di antara mereka, kerling-kerling tajam maya yang membayangkan kecerdikan dam kelicikan, kehausan akan uang yang bertumpuk di meja, semuanya ini seolah-olah menampar mata dan hati Bun Houw. “Kongcu ingin bermain apa?” Seorang pelayan atau tukang pukul bertanya manis ketika melihat Bun Houw yang baru masuk itu memandang ke kanan kiri, tahu bahwa pemuda ini merupakan seorang tamu baru dan karenanya merupakan makanan lunak. “Aku... mau melihat-lihat dulu,” jawab Bun Houw dan dia menghampiri sebuah meja besar di mana diadakan permainan dadu. Biarpun selamanya Bun Houw belum pernah melihat perjudian dadu, akan tetapi karena amat mudah, maka melihat sebentar saja dia sudah mengerti. Bandar judinya adalah seorang pegawal po-koan itu yang bertubuh kurus dan berwajah kekuning-kuningan, matanya tajam dan liar mengerling ke sana-sini, kumisnya kecil panjang seperti kumis palsu yang pemasangannya tidak rapi, kedua lengan bajunya digulung sampai ke siku sehingga tampak kedua lengannya yang hanya tulang terbungkus kulit dan jari-jari tangannya yang panjang dan cekatan. Bandar ini memegang sebuah mangkon dan di atas meja terdapat dua buah dadu. Setiap dadu yang persegi itu pada enam permukaannya ditulisi nomor satu sampai dengan enam. Di atas meja, bagian luar dan dekat dengan para tamu, terdapat lukisan petak-petak yang ada nomornya pula, yaitu nomor satu sampai dengan nomor dua belas. Ada pula dua petak di kanan kiri, dibagi dua dan bertuliskan huruf-huruf GANJIL dan GENAP. “Hayo pasang... pasang... pasang...!” Si bandar kurus kering dan dua orang pembantunya di kanan kiri yang bertugas menarik uang kemenangan dan membayar uang kekalahan, berteriak-teriak dengan gaya dan suara yang khas. Seolah-olah ada daya tarik terkandung dalam suara mereka yang agak serak itu. Bun Houw melihat betapa belasan orang tamu yang merubung meja itu menaruh setumpuk uang di atas nomor pilihan masing-masing, ada yang sedikit akan tetapi ada pula yang banyak. Setelah semua orang meletakkan uang taruhan mereka, si bandar kurus berteriak nyaring, “Pemasangan berhenti... dadu diputar...!” “Kratak-kratak-kratakkk...!” Dua buah dadu itu dimasukkan ke dalam mangkok, ditutup telapak tangan kiri lalu dikocok, sehingga mengeluarkan bunyi berkeratak, lalu dengan gerakan yang cekatan den cepat sekali mangkok dibalikkan dan ditaruh menelungkup di atas meja, dengan dua butir dadu di bawahnya. “Boleh tambah pasangan...!” Dua orang pembantu bandar berteriak menantang. Sibuk orang-orang yang berjudi itu menambahkan sejumlah uang di atas tumpukan uang pasangan mereka. “Berhenti semua... dadu dibuka...!” Bandar kurus berteriak dan tangan kanannya dengan jari-jari yang panjang itu membuka mangkok. Semua mata memandang ke arah meja di mana kini tampak dua butir dadu itu setelah mangkoknya dibuka. Yang sebutir memperlihatkan angka enam di atas dan yang kedua memperlihatkan angka satu. “Tujuh menang... ganjil menang...!” Bandar berteriak dan terdengar banyak mulut mengeluh dan muka-muka berkeringat dan muram ketika mata mereka melihat dua orang pembantu bandar menarik semua uang pasangan yang berada di atas nomor lain, kecuali yang berada di atas nomor tujuh dan kotak ganjil. Akan tetapi Bun Houw melihat bahwa yang menang hanya taruhan kecil saja dan biarpun kepada yang menang itu pembayaran bandar membayar enam kali lipat, akan tetapi jelas bahwa kemenangannya sekali tarik itu besar sekali. Juga yang menang dalam bertaruh ada ganjil hanya mendapat jumlah kemenangan yang sama dengan taruhannya. Akan tetapi semua ini tidak begitu menarik hati Bun Houw. Yang amat mengherankan, mengagetkan dan juga memarahkan hatinya adalah ketika tadi dia melihat cara si kurus itu membuka mangkok. Mangkok itu dibuka cepak sekali, akan tetapi dengan miring sehingga sebelum orang lain melihat letak dadu, si bandar lebih dulu melihatnya dan Bun Houw yang menaruh tangan di atas meja merasa ada getaran aneh pada permukaan meja itu dan matanya yang berpenglihatan tajam itu dapat melihat sebutir di antara dadu itu bergerak membalik, dari angka empat menjadi angka satu. Kalau tidak terjadi keanehan itu, tentu yang menang adalah angka enam dan empat, berarti akan sepuluh dan angka genap. Dia melihat betapa tadi pemasang angka sepuluh paling banyak, dan yang berpasang pada genap jauh lebih banyak daripada yang berpasang pada ganjil! Biarpun Bun Houw belum pernah berjudi, namun kecerdasannya membuat dia mengerti bahwa bandar itu berlaku curang dengan mempergunakan tenaga lwee-kang yang digetarkan lewat permukaan meja untuk membalik-balik dadu agar keluar nomor seperti yang dikehendakinya! Kini para pembantu bandar sudah berteriak-teriak lagi, menganjurkan para tamu untuk menaruh pasangan mereka. Terdapat suatu keanehan di dalam perjudian dan bagi yang mempunyai kepercayaan tahyul, di tempat seperti itu terdapat setannya. Karena itu maka fihak bandar judi selalu memasang dupa, bukan hanya untuk menimbulkan suasana sedap di ruangan itu, melainkan juga untuk menyenangkan setan-setan agar membantunya! Ada atau tidak adanya setan, bukanlah hal panting, akan tetapi yang jelas “setan-setan” di dalam diri sendiri yang bersimaharajalela di dalam perjudian. Mereka yang kalah menjadi makin serakah karena ingin mengejar kekalahan mereka, membayangkan bahwa satu kali saja taruhan mereka mengena dan mereka menerima pembayaran enam kali lipat, kekalahan mereka akan tertebus sama sekali atau sebagian. Sebaliknya, mereka yang tadi menarik kemenangan karena pasangan mereka mengena, merasa menyesal dan kecewa mengapa mereka tadi memasang hanya sedikit. Kemenangan sedikit itu tidak membuat mereka menjadi puas, sebaliknya, mereka menjadi makin serakah, ingin memperoleh keuntungan atau kemenangan lebih. Karena itu, kebanyakan dari mereka yang kegilaan judi ini, baik yang pada permulaannya menang atau kalah, sebagian besar berakhir dengan kantong kosong, tubuh lesu dan putus asa! Judi merupakan permainan yang dengan amat jelasnya menggambarkan watak masyarakat, watak manusia pembentuk masyarakat. Hanya satu sifat yong menonjol, yang dapat dilihat jelas dalam perjudian akan tetapi agak tersamar dan tersembunyi di dalam kehidupan sehari-hari, sungguhpun sifat yang tersembunyi itu bukan berarti lemah, yaitu sifat SERAKAH, ingin memenuhi nafsu keinginan. Seperti juga di dalam perjudian, kita hidup sehari-hari mengejar keinginan kita yang dapat saja berupa harta benda, kedudukan, nama besar, atau keinginan yang lebih tinggi lagi menurut pandangan kita, seperti kedamaian, ketenteraman, keabadian, nirwana atau sorga. Di dalam setiap pengejaran keinginan, kepuasan hanya berlaku sementara saja, karena makin dituruti, keinginan makin membesar dan meluas, makin haus sehingga apa yang diperoleh masih selalu kurang dan tidak mencukupi. Celakanya di dalam kenyataan hidup ini, demi mengejar keinginan yang sebutannya diperhalus dan diperindah menjadi cita-cita atau ambisi dan sebagainya, demi mencapai apa yang diinginkan itu, kita main sikut-sikutan, jegal-jegalan dan gontok-gontokan antara manusia, antera bangsa, bahkan antara saudara sendiri! Kenyataan pahit ini hampir tidak tampak lagi, namun bagi siapa yang mau membuka mata melihat kenyataan, peristiwa menyedihkan itu terjadi setiap saat, setiap hari, di mana saja di bagian dunia ini, dan dekat sekali di sekeliling kita, bahkan di dalam diri kita sendiri! Bun Houw mengikuti semua gerak-gerik bandar kurus itu dengan penuh perhatian. Kini dia melihat bahwa para penjudi itu sebagian besar memasangkan uang mereka kepada angka sembilan karena ada di antara mereka yang berbisik bahwa biasanya di meja ini, setelah keluar angka tujuh lalu disusul angka sembilan! Tentu saja hal itu hanya merupakan kebetulan saja, akan tetapi di dunia ini memang banyak terjadi hal-hal yang kebetulan seperti itu. Setelah semua orang menaruh pasangannya dan bandar menelungkupkan mangkok di atas meja, tidak ada yang menambah pasangan. Waktu ini tentu saja dipergunakan oleh bandar untuk meneliti, nomor mana yang paling banyak dipasangi orang dan nomor mana yang sebaliknya. Maka dia tahu bahwa kalau biji-biji dadu menunjukkan angka sembilan, berarti bandar akan menderita kekalahan yang tidak sedikit. Jadi baginya yang panting hanya menjaga agar jangan sampai keluar angka sembilan! “Berhenti semua... dadu dibuka...!” Bandar itu seperti biasa berteriak dan cepat membuka mangkok. Dapat dibayangkan betapa kagetnya melihat bahwa ketika mangkok dibuka miring, dua dadu itu menunjukkan angka empat dan lima! Akan tetapi tentu saja dia cepat menggetarkan tangan kirinya yang menekan meja sehingga permukaan meja tergetar dan dadu itu bergerak. Dia sudah yakin bahwa sebutir di antara dadu-dadu itu tentu akan rebah miring dan memperlihatkan nomor lain sehingga jumlahnya bukan sembilan lagi. Akan tetapi ketika dia buka, jelas nampak bahwa nomor dua butir dadu itu masih lima dan empat, berjumlah sembilan, sama sekali tidak berobah! “Sem... sem... bilan menang...!” Bandar berseru dengan suara gemetar dan mata terbelalak heran. Jelas bahwa dia sudah menggetarkan tangannya, menggunakan lwee-kang untuk membuat dadu itu rebah, akan tetapi sekali ini dadu-dadu itu “membangkang”! Dua orang pembantu bandar memandang kepada si bandar kurus dengan mata melotot, marah dan heran. Terpaksa mereka membayarkan kekalahan banda kepada beberapa orang yang menerima kemenangan mereka dengan pandang mata berseri dan muka kemerahan. Sejenak mereka yang menang itu lupa bahwa kemenangan mereka belum tentu berlangsung lama dan bahwa diantara mereka ada yang kalah jauh lebih banyak daripada yang mereka terima sekali ini. Kembali orang memasang. Kembali bandar mengocok dadu dan pada saat dibuka, si bandar sengaja memperlambat gerakannya dan matanya yang terlatih melihat betapa getaran tenaga lwee-kangnya membuat sebutir dadu terguling, akan tetapi alangkah kagetnya ketika dia melihat dadu yang sudah roboh itu bangkit lagi dan memperlihatkan nomor semula! Biarpun sekali ini bandar tidak kalah banyak, namun hal itu membuat dia mengeluarkan peluh dingin dan matanya mulai memandang para tamu yang merubung meja. Sejenak pandang matanya beradu dengan sinar mata Bun Houw yang masih berdiri dengan tangan di atas meja dan menonton dengan asyik. Akan tetapi si bandar kurus melihat pemuda ini biasa saja, bahkan tidak ikut menaruh pasangan maka kecurigaannya lenyap. Betapapun juga, karena dia mendapat kenyataan bahwa yang meletakkan tangannya di atas meja hanya pemuda itu, dan kini memperhatikan sekali. “Dadu dibuka...!” Sekali ini bandar itu menekankan tangan kanan di atas meja sedangkan tangan kiri yang membuka mangkok. Dia mengerahken tenaga sekuatnya sambil mencuri lihat dua butir dadu yang menunjuk angka satu den tiga. Nomor empat merupakan nomor yang lebih banyak dipasangi orang, make kini dia mengerahkan lwee-kangnya. Akan tetapi, kedua butir dadu ini sama sekali tidek berkutik! Dia masih mengerahkan lwee-kang sambil memandang ke arah Bun Houw. Dia melihat pemuda itu tersenyum kepadanya, bahkan memberi tanda dengan memicingkan sebelah mata, dan tangan kiri pemuda itu menekan meja. Kini jelas terasa oleh si bandar betapa ada getaran bergelombang yang amat kuat datang dari arah pemuda itu dan tahulah dia siapa orangnya yang “main-main” dengan dia. Mangkok dibuka dan tetap saja dua butir dadu itu menunjukkan empat. Bandar memberi isyarat kepada para tukang pukul yang berada di sekitar tempat itu. Meja judi yang istimewa ini, karena memberi kemenangan berturut-turut kepada banyak tamu, kini makin dirubung orang yang ingin pula merasakan kemenangan. Melihat isyarat bandar, empat orang tukang pukul mendekati Bun Houw. Mereka adalah orang-orang yang memiliki bentuk tubuh tinggi besar, dengan lengan baju tergulung sehingga nampak otot-otot longan yang besar menggembung, wajah mereka seram dan membayangkan kekejaman orang yang biasa mengandalkan kekuatan untuk memaksakan kehendak. “Yang tidak berjudi harap keluar!” bentak bandar kurus sambil menuding ke arah Bun Houw. “Orang muda, aku melihat engkau tidak pernah ikut bertaruh, maka engkau tidak boleh berada di sini!” Bun Houw tersenyum tenang. Dia memang sedang memancing perhatian, maka dia lalu berkata, “Mengapa di luar tidak dipasang peringatan seperti aku? Aku datang hendak melihat-lihat dulu, mengapa disuruh keluar? Apakah kalian takut kalau aku melihat ada yang main curang?” “Mulut lancang, siapa yang main curang? Hayo pergi dari sini, atau kau ingin kami memaksamu?” bentak seorang di antara empat tukang pukul itu. Melihat peristiwa ini, para tamu menjauhkan diri, takut terlibat. “Wah, wah, apakah Hok-po-koan biasa menggunakan kekerasan seperti ini? Hendak kulihat, bagaimana kalian empat orang kasar hendak memaksaku keluar!” Bun Houw mengejek dan memperlihatkan lagak jagoan, seolah-olah dia sudah biasa pula mengandalkan kepandaiannya untuk menghadapi tantangan, lagak seorang “jagoan”. “Eh, si keparat, kau menantang?” bentak seorang di antara empat orang tukang pukul itu dan serentak mereka maju memegang kedua lengan dan kedua pundak Bun Houw, hendak diseretnya pemuda itu dan dilempar keluar Akan tetapi, segera empat orang itu terkejut bukan main karena pemuda yang mereka pegang itu, sedikitpun tidak berkutik dan biarpun mereka sudah mengerahkan tenaga sepenuhnya untuk menyeret dan menggusur, namun pemuda itu tidak dapat berkisar sedikitpun dari tempatnya, seolah-olah mereka berempat sedang berusaha menarik sebuah arca dari baja yang amat berat dan kokoh! Empat orang itu adalah tukang-tukang pukul yang sudah biasa menggunakan kekerasan kepada orang-orang yang dianggap menantang tempat judi itu, mereka adalah orang-orang kasar yang hanya memiliki tenaga kasar namun pandangan mereka dangkal sehingga mereka tidak insyaf bahwa pemuda itu jelas memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada kekuatan mereka. “Kau ingin mampus?” bentak seorang di antara mereka dan seperti diberi komando saja empat orang itu lalu bergerak menerjang dan memukul Bun Houw. Akan tetapi, kedua tangan pemuda ini bergerak cepat sekali dan semua orang di situ, termasuk si empat orang tukang pukul, tidak tahu bagaimana dapat terjadi, akan tetapi tahu-tahu empat orang itu terlempar dan terbanting ke atas lantai sambil mengaduh-aduh dan memegang lengan kanan dengan tangan kiri, tidak berani bangkit lagi karena lengan kanan mereka rasanya seperti remuk-rerhuk tulangnya! Melihat ini segera para tukang pukul yang lain mengepung Bun Houw. Jumlah mereka ada belasan orang dan seorang bandar judi cepat masuk ke dalam untuk melaporkan hal ini kepada majikan mereka yang tinggal di rumah mewah terletak di belakang rumah judi itu. Bun Houw tersenyum ketika melihat dirinya dikurung oleh para tukang pukul, juga beberapa orang bandar judi yang tentu memiliki kekuatan lebih tinggi daripada tukang-tukang pukul kasar itu. Bahkan mereka semua sudah mencabut senjata, ada yang memegang golok, pedang, dan toya. Para tamu sudah membubarkan diri, berlari ketakutan keluar dari pintu rumah judi. Akan tetapi yang berhati tabah memberanikan diri untuk menonton, sambil berlindung di belakang meja-meja judi yang besar dan kuat. Bun Houw hanya ingin memancing perhatian, akan tetapi untuk melaksanakan siasatnya, tentu saja dia tidak ingin bermusuhan dengan kaki tangan Kiam-mo Liok Sun ini, sungguhpun dia amat tidak senang menyaksikan betapa bandar-bandar judi itu menipu para tamu yang datang berjudi dengan permainan-permainan curang. “Hemm, kalian ini sungguh aneh. Aku detang hanya melihat-lihat karena aku tertarik akan nama besar Kiam-mo Liok loya (tuan besar Liok) dan ingin membantunya, akan tetapi kalian menyambutku dengan kekerasan.” Tentu saja mereka semua tidak memperdulikan omongan ini karena mereka sudah marah sekali mendengar betapa pemuda ini menentang bandar sehingga sang bandar kalah dalam perjudian dadu tadi dan melihat betapa pemuda ini telah merobohkan empat orang tukang pukul. Sambil berteriak-teriak mereka sudah menerjang maju dan senjata tajam di tangan mereka gemerlapan tertimpa sinar penerangan. Bun Houw terpaksa membela diri menggunakan kelincahannya meloncat ke sana-sini di antara meja-meja judi yang kini menjadi berantakan karena didorong oleh para pengeroyok yang mengejarnya. Kalau dia mau, tentu saja dengan mudah Bun Houw akan dapat merobohkan mereka semua dalam waktu singkat. Akan tetapi bukan demikianlah yang dikehendakinya. Dia ingin menyelidiki Lima Bayangan Dewa dan menurut keterangan penyanyi jalanan tadi, majikan tempat inilah yang mengaku kenal dengan Lima Bayangan Dewa, maka dia harus dapat mendekatinya, kalau perlu masuk menjadi anak buahnya. Dan untuk keperluan ini, tidak baiklah kalau dia merobohkan mereka semua. Kalau tadi dia merobohkan empat orang tukang pukul itu hanya untuk memancing perhatian, dan diapun tidak melukai mereka dengan hebat, bahkan tidak ada tulang yang patah. Keadaan di dalam ruangan judi yang biasanya gaduh dengan suara orang berjudi, kini menjadi makin gaduh dengan teriakan-teriakan para pengeroyok dan bunyi senjata yang bertemu dengan meja, lantai dan senjata-senjata yang beterbangan ketika luput mengenai tubuh Bun Houw dan sebagian ada yang terlepas dari tangan pemegangnya karena terkena totokan jari tangan pemuda itu yang memperlihatkan kelincahannya. Bun Houw sejak tadi maklum akan kedatangan seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih yang berpakaian mewah, berkumis rapi dan bermata tajam. Melihat sebatang pedang di punggung orang itu, sikapnya yang angkuh dan sikap merendah beberapa orang yang datang bersamanya, Bun Houw sudah dapat menduga bahwa yang datang itu tentulah Kiam-mo Liok Sun. Maka dia mengurangi kecepatan geraknya walaupun dia masih dapat menghindarkan diri dari para pengeroyoknya yang terus mengejar dan menghujankan serangan kepadanya itu. “Kalian orang-orang tak mengenal maksud baik orang lain!” Bun Houw pura-pura kewalahan dan berteriak-teriak. “Sudah kukatakan, aku datang untuk bersahabat dan membantu Liok-loya yang terkenal gagah, mengapa kalian memaksaku berkelahi?” Sejak tadi Kiam-mo Liok Sun menonton dengan hati tertarik. Biarpun gerakan pemuda tampan itu kacau dan tidak membayangkan ilmu silat tinggi yang dikenalnya, akan tetapi jelas bahwa pemuda itu memiliki kelincahan dan kecepatan gerakan yang amat mengagumkan sehingga belasan orang kaki tangannya itu yang mengeroyok dengan senjata di tangan sama sekali tidak mampu mendesaknya, apalagi melukai dan merobohkannya. Kini mendengar teriakan pemuda itu, dia makin tertarik. Tentu saja dia tidak begitu bodoh untuk mempercaya kata-kata orang asing ini, akan tetapi diam-diam dia mengakui bahwa kalau dia bisa memperoleh pemuda gagah itu sebagai pembantunya, dia mendapatkan keuntungan besar sekali. Keadaan menjadi sunyi setelah semua orang berhenti bergerak, sunyi yang menegangkan karena semua orang mengira bahwa sebentar lagi tentu sinar pedang maut dari pedang setan akan membuat kepala pemuda tampan itu terpisah dari badannya. Akan tetapi alangkah heran hati mereka ketika Liok Sun menggerakkan tangan dan dengan langkah labar dia mengampiri Bun Houw. Mereka saling berhadapan dan Liok Sun bertanya, “Aku mendengar laporan bahwa engkau adalah seorang pemuda yang pandai sekali bermain judi. Benarkah itu?” “Ah, selama hidupku, belum pernah aku bermain judi, mana bisa disebut pandai?” Bun Houw merendah. “Orang muda, engkau seorang asing dan datang-datang menimbulkan keributan di po-koan ini, sebenarnya apakah yang kaukehendaki?” Liok Sun yang merasa suka kepada pemuda ini bertanya. “Apakah saya berhadapan dengan Liok loya sendiri?” “Benar, akulah Kiam-mo Liok Sun. Apakah engkau datang untuk menantangku?” Laki-laki yang kelihatan tampan dan gagah karena pakaian dan sikapnya itu bertanya, nada suaranya mengejek. “Sama sekali tidak, Liok-loya. Saya memang telah lama mendengar nama besar loya dan saya bahkan ingin menawarkan tenaga saya untuk membantu dan bekerja kepada loya.” “Hemm, orang muda. Siapakah namamu dan dari mana kau datang?” “Nama saya Bun Houw dan saya tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap. Karena kehabisan bekal dan tidak mempunyai pekerjaan tetap, ketika tiba di kota ini dan mendengar akan kegagahan dan kedermawanan loya, saya lalu datang ke sini hendak mencari loya dan minta pekerjaan.” Kiam-mo Liok Sun memandang penuh selidlk. “Orang muda she Bun, agaknya engkau memiliki kepandaian pula maka engkau berani mencari aku minta pekerjaan secara ini. Jangan mengira bahwa akan mudah saja mendapatkan pekerjaan dariku, apalagi setelah engkau melakukan pengacauan di sini.” Bun Houw maklum bahwa orang telah salah menduga, mengira dia she Bun bernama Houw, akan tetapi hal ini memang kebetulan karena dia tidak ingin memperkenalkan diri sebagai putera Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai. “Maafkan saya, Liok-loya. Bukan maksud saya untuk mengacau...” “Sudahlah. Karena engkau telah memperlihatkan kepandaianmu berjudi, biarlah sekarang aku tantang engkau berjudi dengan aku...” “Akan tetapi... saya tidak pandai berjudi dan saya tidak mau...” “Harus! Engkau harus mau berjudi dengan aku. Kalau engkau kalah, tidak perlu banyak cakap lagi dan engkau harus dihukum karena telah merugikan aku dan mengacau po-koan ini. Kalau engkau menang, nah... baru kita bicara tentang pekerjaan itu.” Semua anak buah Liok Sun tersenyum-senyum karena mereka mengira bahwa majikan mereka hendak mempermainkan pemuda itu sebelum membunuhnya. Bun Houw juga maklum bahwa Si Setan Pedang ini hendak mencobanya, maka sambil menarik napas dia berkata, “Apa boleh buat, caramu menerima pembantu baru sungguh aneh, Liok-loya.” Dengan tersenyum Liok Sun melangkah dan duduk di belakang sebuah meja judi yang tidak berantakan dan dengan isyarat tangan dia menyuruh Bun Houw duduk menghadapi meja itu, bertentangan dengan dia. Dengan sikap terpaksa Bun Houw duduk dia atas bangku. Liok Sun lalu minta dua butir dadu dan sebuah mangkok. Dia memasukkan dadu itu di dalam mangkok lalu menggoyang-goyang mangkok sehingga terdengar bunyi berkeratakan ketika dua butir dadu berputaran di dalam mangkok yang ditutup dengan telapak tangan kirinya. “Hanya ada dua kemungkinan yang keluar,” kata Liok Sun sambil tersenyum dan memandang tajam kepada Bun Houw, “Yaitu nomor ganjil atau nomor genap, Nah engkau boleh memilih, orang muda.” Bun Houw menengok ke kanan kiri. Semua di sekelilingnya hanya wajah-wajah menyeringai yang seolah-olah sudah memastikan bahwa dia akan kalah dan menerima hukuman! Dia tahu bahwa kehendak majikan po-koan ini tidak dapat dibantah lagi, maka dengan suara tenang dia menjawab, “Aku memilih genap!” “Bagus, dan aku memilih ganjil. Engkau tahu yang tak dapat dibagi dua adalah ganjil!” kata Liok Sun. “Dan yang dapat dibagi dua adalah genap!” Bun Houw berkata pula. “Lihat baik-baik, aku membuka mangkok!” Majikan Hok-po-koan itu berteriak, dan cepat mangkoknya menelungkup kemudian dibukanya. Pandang mata Bun Houw dengan cepat dapat melihat bahwa dua butir dadu itu menunjukkan angka tiga dan lima, berarti berjumlah delapan, genap. Akan tetapi tiba-tiba sebutir dadu bergerak terguling. Melihat ini, Bun Houw yang juga menekan tangannya ke atas meja, mengerahkan sin-kang dan dadu itu kembali lagi ke nomor lima. Akan tetapi tentu saja Liok Sun tidak mau kalah, dan dengan kedua tangan di atas meja dia mengerahkan tenaga dan dadu itu miring ke angka enam! Bun Houw sudah mengukur tenaga orang ini dan dia tahu bahwa biarpun Liok Sin jauh lebih kuat dari bandar judi tadi, akan tetapi kalau dia menggunakan sin-kang melawannya, dengan mudah dia akan dapat mengalahkan Liok Sun. Dia tidak mau menyinggung perasaan Liok Sun, akan tetapi dia harus dapat mendekati orang ini, maka diapun lalu menggerakkan tenaganya dan... dadu itu tetap berdiri miring antara nomor lima dan nomor enam, seolah-olah tenaga mereka seimbang, dan dengan tenaga sin-kangnya yang luar biasa kuatnya, Bun Houw membuat dadu-dadu itu melesak ke dalam papan kayu meja itu sehingga yang sebutir tetap menunjukkan angka tiga sedangkan yang sebutir lagi melesak miring antara nomor lima dan enam! Semua orang yang melihat ini membelalakkan mata dengan terheran-heran. Liok Sun juga terkejut sekali ketika mendapat kenyataan bahwa dia tidak mampu memaksa dadu itu terlentang dengan nomor enam di atas. Akan tetapi diapun girang melihat dadu itu tidak menunjukkan nomor lima, melainkan miring dan dia mengira bahwa bertemunya dua tenaga, yaitu tenaganya dan tenaga pemuda itu, sedemikian kuat dan hebatnya sehingga dadu itu sampai melesak di atas meja! Giranglah hatinya, girang karena dia tidak kalah akan tetapi juga memperoleh kenyataan bahwa calon pembantunya ini hebat sekali kepandaiannya! “Ha-ha-ha, yang keluar adalah nomor tiga dan nomor... lima setengah! Kita tidak kalah dan tidak menang!” kata Liok Sun. Bun Houw tersenyum. “Sebaiknya begitu, Liok-loya, karena kalau dadu yang sebutir ini rebah dengan angka lima atau enam di atas, berarti saya yang menang.” “Ehh...? Mengapa begitu? Kalau keluar angka enam, berarti aku yang menang, karena tiga dan enam adalah sembilan, angka ganjil!” Bun Houw menggeleng kepalanya. “Dalam hal ini, loya bersikap cerdik, dan salah hitung. Kalau keluar angka sembilan, berarti saya yang menang, bahkan keluar angka apapun, dari satu sampai dua belas, saya yang menang.” “Gila! Mana bisa begitu?” “Lupakah loya bahwa yang saya pegang adalah nomor...” “Genap!” “Ya, dengan penjelasan bahwa nomor genap adalah nomor yang dapat dibagi dua!” “Memang begitu, dan kalau keluar nomor sembilan, tidak bisa dibagi dua!” “Siapa bilang, loya? Sembilan dibagi dua adalah empat setengah, bukan? Nah, siapa yang dapat menyangkal bahwa segala nomor, dari satu sampai dua belas atau sampai selaksa sekalipun, depat dibagi dua?” Liok Sun melongo, menatap wajah pemuda yang bersikap tenang itu dengan mata terbelalak dan terdengar semua orang berbisik-bisik gaduh. Ucapan pemuda aneh ini sama sekali tidak dapat disangkal memang! “Apakah bicaraku salah, Liok-loya?” “Tidak... tidak... hemm, kau benar. Bahkan keluar angka delapan setengah inipun masih dapat dibagi dua! Engkau menang orang muda yang cerdik. Akan tetapi aku baru mau menerimamu bekerja membantuku kelau engkau dapat mengalahkan pembantu-pembantu utamaku.” Dia menengok ke belakangnya dan memberi isyarat kepada dua orang yang tadi keluar bersamanya dan yang selalu menjaga di belakangnya. Dua orang itu menyeringai dan meloncat ke tengah ruangan. Bun Houw memandang dengan penuh perhatian. Yang seorang bertubuh tinggi besar, berkulit kehitaman, dan bermata lebar, kepalanya botak. Dia berdiri dengan tangan kiri bertolak pinggang, tangan kanan mengelus-elus kumisnya yang dipelintir ke atas seperti dua buah golok menjungat ke atas di kanan kiri hidungnya yang besar. Orang kedua adalah seorang laki-laki yang usianya sebaya dengan si tinggi besar, kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh pendek gendut dan matanya sipit, kulitnya kuning sekali seperti orang menderita penyakit kuning, kuning sampai ke kuku jari dan ke matanya. Bun Houw sudah maju pula tanpa mengeluarkan kata-kata lagi, menghadapi dua orang pembantu utama dari Kiam-mo Liok Sun. “Silakan Ji-wi maju,” katanya tenang. Dua orang tukang pukul yang merupakan orang-orang paling kuat di antara anak buah Liok Sun itu memandang ke arah majikan mereka. Tanpa perkenan majikan mereka, dua orang ini tidak berani sembarangan bergerak dan mereka masih ragu-ragu apakah mereka berdua diharuskan melawan bocah yang masih amat muda ini. Akan tetapi Liok Sun yang sudah mengukur tenaga Bun Houw dan yakin akan kelihaian pemuda ini, memberi isyarat dengan mata dan anggukan kepala, menyuruh dua orang pengawalnya itu maju mengeroyok! Dua orang itu lalu mengeluarkan suara gerengan dan bagaikan sekor gajah mengamuk, orang yang tinggi besar itu sudah menerjang dengan kedua lengannya yang panjang menyambar dari kanan kiri, menyerang Bun Houw dengan dahsyat. Pemuda ini menggerakkan tubuhnya, mengelak dengan cekatan ke kiri dan di sini dia disambut oleh orang kedua yang gemuk pendek dan ternyata bahwa serangan si gemuk pendek ini tidak kalah hebatnya oleh kawannya yang tinggi besar. Namun, tentu saja bagi Bun Houw dua orang tukang pukul itu bukan apa-apa dan kalau dia menghendaki, dalam segebrakan saja dia akan mampu merobohkan mereka. Akan tetapi, dia tidak ingin terlalu menonjolkan kepandaiannya kepada Liok Sun karena hal ini tentu akan menimbulkan kecurigaannya, maka dia lalu melakukan perlawanan yang cukup untuk mengimbangi mereka berdua. Maka amat seru dan ramailah tampaknya perkelahian itu, ditonton oleh Liok Sun dan semua anak buahnya dengan penuh kekaguman. Setelah lewat lima puluh jurus dan membiarkan dada dan pahanya dua kali terkena pukulan lawan, akhirnya Bun Houw berhasil menendang sambungan lutut si tinggi besar sehingga orang ini roboh tak mampu berdiri lagi, dan merobohkan si pendek gendut dengan sodokan tangan terbuka ke lambungnya, membuat lawan ini menjadi mulas perytnya dan juga tidak mampu melanjutkan pertandingan. Bukan main girangnya hati Liok Sun. Dia segera menghampiri Bun Houw dan menggandeng tangan pemuda itu. Menurut penilaiannya ketika menyaksikan pertandingan tadi, ilmu kepandaian pemuda ini setingkat dengan dia! Dengan memperoleh pembantu selihai ini, tentu saja dia akan menjadi makin kuat. Bun-hiante, kau hebat sekali! Aku menerima lamaranmu bekerja. Mulai saat ini, engkau menjadi pengawal pribadiku!” katanya dengan girang dan dengan suara lantang karena ucapan ini bukan hanya ditujukan kepada Bun Houw, melainkan juga kepada semua anak buahnya. “Terima kasih atas kebaikan Liok-loya...” “Ah, mulai sekarang jangan menyebut loya lagi, cukup Liok-twako saja,” kata majikan rumah judi itu yang kemudian menoleh kepada anak buahnya. “Hayo bereskan semua meja dan buka kembali po-koan. Jangan sampai menimbulkan keributan agar para langganan kita tidak menjadi jerih untuk bermain judi.” Setelah berkata demikian, di mengajak Bun Houw masuk ke dalam rumahnya yang terletak di belakang rumah judi itu. Mulai saat itu, berhasillah Bun Houw mendekati Kiam-mo Liok Sun, bahkan setelah mereka bercakap-cakap, Liok Sun makin suka kepada pemuda ini yang selain tinggi ilmu kepandaiannya ternyata juga bukan seorang jahat! Sebaliknya, Bon Houw merasa terheran-heran bahwa majikan rumah judi ini ternyata bukan pula seorang jahat! Bahkan hidupnya menduda dan agaknya dengan terpaksa sajalah Liok Sun membuka rumah judi itu. “Sekarang berdagang amat sukar memperoleh keuntungan, Bun-hiante,” katanya. “Aku tahu bahwa pekerjaan bandar judi tidaklah bersih dan kalau tidak berani bermain curang tidak akan dapat untung. Akan tetapi aku memerlukan uang untuk menyusun kekuatan, karena aku mempunyai seorang musuh besar yang harus kubalas. Sekarang aku bertemu dengan engkau, sungguh membesarkan hatiku karena dengan bantuanmu, aku tidak takut lagi menghadapi musuh besarku itu.” Bun Houw mengerutkan alisnya. “Apakah dia lihai sekali, twako?” Sudah tiga hari dia tinggal di rumah Liok Sun dan memperoleh pelayanan baik sekali dan dia merasa akrab dengan “majikannya” yang menganggapnya seperti sahabat baik ini. “Dia cukup lihai dan mempunyai banyak pengawal, selain kaya raya juga berpengaruh karena dia adalah seorang yang memegang jabatan dalam pemerintahan dan tinggal di Koan-hu.” Bun Houw terkejut, lalu dia teringat akan urusannya sendiri yang sedang menyelidiki Lima Bayangan Dewa. “Maaf, twako, akan tetapi aku merasa heran mengapa twako tidak dari dulu menghadapi musuh besar itu. Twako sendiri terkenal sebagai ahli pedang yang lihai dan memiliki banyak pembantu...” “Aihhh, mereka itu hanya pandai berlagak akan tetapi kosong tanpa isi.” “Akan tetapi kabamya twako mempunyai banyak sahabat orang-orang sakti di dunia kang-ouw, bahkan aku pemah mendengar bahwa twako bersababat dengan Lima Bayangan Dewa.” Liok Sun mengangkat muka memandang sambil tersenyum. “Eh, engkau juga mendengar tentang mereka, hiante?” “Siapa yang tidak mendengamya, twako? Seluruh dunia kang-ouw geger setelah Lima Bayangan Dewa mengacau di Cin-ling-pai dan mencuri pedang Siang-bhok-kiam. Aku kagum sekali kepada mereka dan kalau benar twako bersahabat dengan mereka, aku ingin sekali twako memperkenalkan aku dengan mereka.” Liok Sun tertawa. “Ha-ha-ha, mereka adalah orang-orang luar biasa, mana aku ada kehormatan menjadi sahabat mereka? Memang aku mengenal baik seorang yang mungkin sekali merupakan seorang di antara mereka atau setidaknya mengenal siapa adanya Lima Bayangan Dewa yang tersohor itu. Aku akan mengajakmu berkenalan dengan dia setelah engkau membantu aku menghadapi musuh besarku itu, hiante.” Bun Houw menjadi bingung. Bukan maksudnya seujung rambutpun untuk menjadi pembantu bandar judi ini! Akan tetapi agaknya dari orang inilah dia akan berhasil menemukan musuh-musuh besamya yang sudah sekian lamanya dicari tanpa ada hasilnya. Betapapun juga, dia tidak mau sembarangan turun tangan membantu Liok Sun memusuhi orang lain yang tidak ada sangkut-pautnya dengan dirinya sama sekali, apalagi sebelum dia ketahui apa sebabnya Liok Sun memusuhi orang itu. “Aku telah menjadi pembantumu, sudah sepatutnya kalau aku membantumu, Liok-twako. Akan tetapi, siapakah musuh besarmu itu dan kalau boleh aku mengetahui agar jelas bagiku dan tidak meragukan tindakanku, mengapa twako bermusuhan dengan dia?” Liok Sun Si Pedang Setan itu menghela napas panjang dan tiba-tiba wajah yang tampan itu berobah keruh dan muram tanda bahwa pertanyaan itu menimbulkan kenangan yang amat mendukakan hatinya. “Semua orang mengenalku sebagai Liok Sun Si Pedang Setan, akan tetapi sesungguhnya, baru engkaulah yang mendengar bahwa dahulu namaku adalah Sun Bian Ek. Aku dahulu bukan orang baik-baik sungguhpun aku tidak pemah berhati kejam kepada siapapun yang tidak bersalah dan aku dahulu adalah seorang perampok tunggal yang telah mengundurkan diri dan bertobat, lalu menjadi pedagang hasil bumi.” Liok Sun mulai menuturkan keadaan dirinya. Setelah mengundurkan diri dari dunia hitam dan menjadi pedagang hasil bumi, Liok Sun menikah dan hidup bahagia dengan isterinya yang cantik sampai mereka dikaruniai seorang anak perempuan yang mungil. Akan tetapi, malapetaka menimpa keluarganya dan hal ini tidak dapat dilepaskan dari cara hidupnya dahulu ketika dia masih menjadi perampok. Pihak pemerintah mengadakan pembersihan, menangkapi banyak sekali orang-orang dunia hitam di kota Koan-hu dan sekitamya. Dalam pembersihan ini, Liok Sun atau yang dahulu bemama Sun Bian Ek ikut pula ditangkap! Kepala pasukan keamanan di kota itu yang bemama Phang Un agaknya tahu akan riwayat hidup pedagang Sun Bian Ek maka biarpun semua orang terheran mengapa pedagang itu ikut ditangkap, namun Sun Bian Ek sendiri tidak dapat menyangkal bahwa dia dahulu adalah perampok dan dia tidak lepas dari pandang mata tajam dari Phang Un. “Aku dijatuhi hukuman buang ke daerah utara untuk bekerja paksa memperbaiki saluran kota raja.” Liok Sun melanjutkan penuturannya. “Semua itu tidak menyakitkan hatiku karena akupun maklum, bahwa kesesatanku yang lalu sudah sepatutnya menerima hukuman. Akan tetapi, dapat kaubayangkan bagaimana rasanya perasaanku ketika aku mendengar bahwa sesungguhnya yang menjadi sebab mengapa aku yang sudah mencuci tangan itu ditangkap, sama sekali bukan dikarenakan dosa-dosaku yang lalu, melainkan karena isteriku...” Eh...? Apa maksudmu, twako?” tentu saja Bun Houw terkejut dan heran mendengar arah cerita yang sama sekali menyimpang dan tidak disangka-sangkanya itu. “Sehari setelah aku ditangkap, isteri dan anakku diboyong ke gedung si keparat Phang Un!” “Ah, jadi dia merampas isteri dan anakmu?” Liok Sun mengangguk. “Mula-mula kusangka demikian. Di utara, aku tertolong oleh seorang tokoh hitam yang kusangka adalah seorang di antara Lima Bayangan Dewa, orang yang kumaksudkan tadi. Setelah aku bebas, diam-diam aku mengganti namaku dan membuka rumah judi di kota Kiang-shi ini. Sambil mengumpulkan harta dan kekuatan, aku menanti kesempatan baik untuk membalas dendam dan baru aku mengerti bahwa di antara keparat itu dan isteriku memang sudah terjalin hubungan sebelum peristiwa penangkapan itu terjadi. Kau tahu, aku adalah seorang pedagang hasil bumi di waktu itu, sering keluar kota sampai berhari-hari, dan Phang Un adalah kepala pasukan keamanan yang setiap malam boleh saja meronda dan memeriksa, maka...” Liok Sun menarik napas panjang dan tidak melanjutkan, akan tetapi Bun Houw sudah dapat membayangkan apa yang terjadi antara isteri yang tidak setia itu dan si kepala pasukan keamanan yang mata keranjang. “Hemm, memang patut dihajar dia!” kata Bun Houw. Demikianlah, karena merasa simpati mendengar riwayat Liok Sun, pada suatu pagi, beberapa hari kemudian, berangkatlah kedua orang ini menuju ke kota Koan-hu yang tidak begitu jauh letaknya dari Kiang-shi. Malamnya, mereka berdua telah bergerak seperti dua ekor kucing di atas genteng rumah-rumah orang, dan berhasil meloncati pagar tembok yang mengurung gedung tempat tinggal Phang-ciangkun (Perwira Phang) tanpa diketahui para perajurit yang berjaga di sekitar tempat itu. Para penjaga itu memang agak lengah, karena mereka tidak percaya bahwa ada orang yang berani mati mengganggu rumah perwira itu. Dengan berindap-indap, akhirnya Liok Sun dan Bun Houw mengintai dari sebuah jendela kamar, Bun Houw melihat seorang wanita yang cantik berdandan mewah sedang duduk menyulam di dalam kamar itu. Wanita yang berpakaian mewah dan pesolek, usianya antara tiga puluh lima tahun, kulitnya putih dan pinggangnya ramping. Tidak ada orang lain lagi di dalam kamar itu, Bun Houw merasa betapa napas temannya memburu dan tahulah dia bahwa wanita itulah agaknya isteri tidak setia itu. Dengan gerak tangannya, Liok Sun menyuruh Bun Houw berjaga di luar jendela dan dia sendiri hendak menerjang masuk, Bun Houw hanya mengangguk. Tadi dia telah berpesan kepada Liok Sun agar “majikannya” itu tidak sembarangan turun tangan dan hanya berurusan dengan musuh-musuhnya saja, jangan melibatkan orang-orang lain dan pasukan keamanan pemerintah. Dengan kekuatan tangannya, Liok Sun mendorong daun pintu yang patah kuncinya dan seperti seekor burung dia melayang masuk ke dalam kamar itu. Bun Houw mengintai di luar jendela. Wanita itu menjerit dan bangkit berdiri, seketika menjadi pucat wajahnya dan kain yang disulamnya terlepas dari tangannya dan segulung benang sulam jatuh menggelinding di sudut kamar. “Kanda... Sun Bian Ek...!” Tubub wanita itu menggigil dan suaranya menggetar. “Kau... kau... masih hidup...?” Liok Sun atau Sun Bian Ek memandang dengan muka merah dan mata berapi, suaranya dingin dan penuh penyesalan, “Perempuan hina, andaikata sudah matipun aku akan bangkit untuk mengutukmu. Kau perempuan hina, isteri yang khianat hendak kulihat bagaimana macamnya hatimu!” Mata itu makin terbelalak, mukanya makin pucat. “Tidak... ahh, jangan kau salah sangka...!” Wanita itu menangis dan menjatuhkan dirinya berlutut di atas lantai di depan bekas suaminya itu. “Kau... suamiku... kau salah sangka... aku... aku tidak berkhianat padamu...” “Hemmm, siapa percaya mulutmu yang palsu? Kau masih berani menyangkal bahwa sebelum aku ditangkap dahulu, diam-diam engkau telah menjual dirimu yang kotor dan hina kepada si jahanam Phang Un?” “Tidak... tidak... itu fitnah belaka... kau dengarlah... aku memang tidak pernah berani berterus terang akan terjadinya malapetaka di malam itu... pada suatu malam ketika engkau pergi berdagang... dia datang dan mengancam akan membunuh anakku jika aku tidak mau melayaninya... dengan ujung golok di leher anakku, apa dayaku...? Kanda Bian Ek... malam itu, untuk menyelamatkan nyawa anakku... aku terpaksa... melayaninya dan... dan setelah kau ditangkap, aku diboyong ke sini... apakah dayaku sebagai seorang wanita lemah?” Liok Sun memandang bekas isterinya itu. Dia amat mencinta wanita ini dan selama lima tahun ini semenjak mereka berpisah, dia selalu mengenangkan kemesraan yang telah dialaminya bersama isterinya. Kini, mendengar cerita itu, dia tertegun dan tidak tahu harus berbuat apa terhadap isterinya yang kini menangis sesenggukan itu. “Di mana adanya anakku, di mana? Aku harus membawa dia pergi dari sini, dan di mana jahanam itu? Akan kubunuh dia...” Wanita itu kelihatan terkejut sekali, lalu bangkit berdiri dan dengah sikap ketakutan dia mundur-mundur sambil menggeleng kepala berkali-kali dan berkata, “Jangan... tidak... jangan...!” Pada saat itu terdengar suara ribut-ribut dari belakang dan tiba-tiba saja wanita itu menoleh dan lari ke arah pintu belakang sambil menjerit, “Toloong...! Ada penjahat...! Tolooooong...!” “Keparat, perempuan hina...!” Kiam-mo Liok Sun menjadi marah sekali. Segala keraguan akan kesalahan isterinya setelah mendengar cerita tadi lenyap sama sekali dan dia tahu bahwa isterinya tadi hanya membodohinya untuk mengulur waktu agar para penjaga mendengar dan tahu akan kedatangan bekas suaminya ini. Dalam kemarahannya yang meluap, Liok Sun mencabut pedangnya dan sinar pedangnya menyambar dari belakang tubuh bekas isterinya. Wanita itu menjerit mengerikan dan roboh dengan punggung tertusuk pedang sampai tembus ke dadanya. “Ibu...!” Seorang anak perempuan berusia kurang lebih sepuluh tahun, berlari masuk. Melihat anak ini, Liok Sun cepat menyambarnya dengan tangan kiri. Dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika tiba-tiba ada angin menyambar dari samping dan berkelebatnya bayangan sinar terang. Dia menggerakkan pedang menangkis. “Cringg... aduhhh...!” Liok Sun berteriak karena pundaknya yang kanan tetap saja keserempet golok yang dipegang oleh seorang laki-laki tinggi besar yang telah menyerangnya secara tiba-tiba. Karena tadi dia baru saja mencabut pedang dari tubuh bekas isterinya lalu menyambar anaknya dengan tangan kiri, maka ketika mendadak diserang, tangkisannya kurang cepat sehingga dia terluka oleh laki-laki yang bukan lain adalah Phang Un itu. Melihat betapa isterinya terbunuh dan anak tirinya dirampas, dan mengenal Sun Bian Ek, perwira ini marah sekali. Dia mengeluarkan teriakan untuk memanggil semua pengawalnya, kemudian goloknya bergerak menerjang Liok Sun yang sudah terluka. “Plakkk...!” Perwira itu terhuyung dan goloknya terlepas dari tangannya ketika Bun Houw yang meloncat masuk menepuk bahu kanannya dari belakang. Pemuda ini tadi merasa terkejut ketika melihat Liok Sun membunuh bekas isterinya, hal yang sama sekali tidak disangka-sangkanya, sungguhpun dia maklum pula akan kepalsuan wanita itu. Karena tertegun menyaksikan peristiwa mengerikan antara suami isteri yang tentu dahulunya saling mencinta itu, maka dia terlambat menolong Liok Sun sehingga “majikannya” itu terluka pundaknya. Baru ketika melihat Liok Sun terluka, dia meloncat ke dalam dan sempat menggagalkan serangan maut Phang-ciangkun tadi. “Keparat busuk kau...!” Llok Sun membentak ketika melihat Phang Un terbuyung, biarpun tangan kiri memondong anak perempuan itu dan pundak kanan sudah terluka, namun pedangnya masih berkelebat cepat sekali. Phang Un masih terkejut oleh tamparan yang bukan main kuatnya tadi. Dia masih terhuyung sambil memutar kepala untuk melihat siapa yang telah menampamya ketika sinar pedang berkelebat. Phang Un berusaha mengelak, akan tetapi hanya dua kali berturut-turut dia mampu mengelak. Sambaran pedang yang ketiga kalinya mengena sasaran dan robohlah Phang Un dengan leher yang hampir buntung terbabat pedang Liok Sun. Pada saat itu, datanglah belasan orangg perajurit dan pengawal ke tempat itu. Melihat Liok Sun hendak mengamuk, Bun Houw cepat berkata, “Liok-twako, hayo kita pergi...!” Liok Sun juga maklum betapa berbahayanya untuk menentang penjaga keamanan, maka melihat pembantunya itu sudah menerjang keluar kamar dan dengan mudahnya pemuda itu membuat lima enam orang pengawal terlempar ke kanan kiri, diapun lalu mengikuti Bun Houw dan setelah Bun Houw merobohkan lagi beberapa orang, mereka berdua berhasil meloncat ke atas genteng dan menghilang di kegelapan malam. Peristiwa itu membuat Liok Sun makin percaya kepada Bun Houw. Diapun tidak melupakan dan mengingkari janjinya. Setelah dia menitipkan puterinya kepada seorang sahabat baiknya, Liok Sun lalu mengajak Bun Houw untuk pergi mengunjungi seorang kenalannya, yang juga merupakan penolongnya ketika dia dihukum buang di utara, dapat juga disebut bekas kekasihnya, yang dianggapnya mungkin seorang di antara Lima Bayangan Dewa. Dan memang anggapannya ini tidaklah keliru karena wanita yang dimaksudkannya ini bukan lain adalah Hui-giakang Ciok Lee Kim. Ketika Bun Houw diberi tahu bahwa yang dimaksudkan itu adalah Hui-giakang Ciok Lee Kim, tentu saja hatinya merasa girang sekali. Tidak percuma dia mendekati Liok Sun, karena ternyata orang ini benar-benar hendak membawanya ke rumah seorang di antara Lima Bayangan Dewa yang dicari-carinya. Maka berangkatlah mereka dengan menunggang kuda dan Liok Sun melakukan perjalanan ini dengan senang hati karena diapun perlu sekali untuk beberapa lamanya meninggalkan Kiang-shi sampai keributan yang terjadi di kota Koan-hu itu menjadi dingin kembali. *** Hong Khi Hoatsu yang usianya sudah tujuh puluh tiga tahun itu menggandeng tangan Lie Song dengan wajah muram, memasuki pekarangan rumah Lie Kong Tek, muridnya yang telah tewas itu. Peristiwa yang menyedihkan menimpa keluarga murid tunggalnya yang sudah dianggap sebagai puteranya sendiri itu, dan peristiwa itu menambah keriput di wajah kakek ini dan menambah uban di kepalanya. Andaikata tidak bersama Lie Seng, agaknya Hong Khi Hoatsu tidak akan sanggup memasuki pekarangan rumah mendiang muridnya itu. “Sukong (kakek guru), alangkah sunyinya rumah kita...” Lie Seng berkata. Ucapan anak kecil ini terasa seperti pedang menusuk ulu hati Hong Khi Hoatsu. Dia menghela napas panjang dan melihat kenyataan betapa kehidupan manusia penuh dendan suka duka, namun dukalah yang lebih banyak kalau dibandingkan dengan suka. Betapa keadaan hidup sama sekali tidak menentu. Muridnya, Lie Kong Tek, tadinya hidup bahagia dengan isteri dan dua orang anaknya, akan tetapi dalam sekejap mata saja keadaan penuh bahagia itu berubah sama sekali berubah secara hebat dan kebahagiaan kini berobah menjadi kesengsaraan lahir batin yang menyedihkan. Muridnya atau puteranya itu tewas membunuh diri, mantunya pergi mencari penjahat yang belum ketahuinya siapa dan dua orang cucunya kehilangan ayah bunda! Tentu hidup terasa makin tidak menyenangkan bagi orang setua dia, terasa makin sunyi dan tentu saja rumah di Sin-yang yang biasanya penuh kegembiraan dengan suara ketawa dua orang cucunya dan senyum manis mantunya, gelak tawa muridnya kini hanya membangkitkan kenangan yang telah lenyap. Kita manusia hidup memang selalu menjadi permainan suka dan duka apabila kita masih terbelenggu oleh segala ikatan. Selama batin kita masih belum bebas dari rasa takut akan kesunyian, kita selalu mencari sandaran dan kita mengikatkan diri dengan segala yang anggap akan mendatangkan kesenangan abadi. Kita selalu mengejar kesenangan dan menuntut kesenangan dari segala sesuatu sehingga kita mengikatkan diri dengan isteri, dengan keluarga, dengan kedudukan, dengan harta, dengan nama dan sebagainya. Pengikatan diri dengan semua ini dasarnya karena diri pribadi yang selalu menonjolkan pencarian kesenangan baik kesenangan duniawi maupun kesenangan rohani. Kalau sewaktu-waktu kita diharuskan terpisah dengan semua itu, tentu saja menimbulkan duka dan sengsara yang sama artinya dengan kekecewaan karena kesenangan kita dirampas. Sesungguhnya bahwa suka maupun duka bersumber kepada hati dan pikiran kita sendiri, tergantung dari bagaimana kita menanggapi dan menghadapi semua yang terjadi pada diri kita. Kebanyakan orang menganggap bahwa kesenangan juga berarti kebahagiaan dan sumbernya terletak di harta, kedudukan, nama dan sebagainya. Betapa bodohnya anggapan seperti itu, betapa dangkalnya. Di manakah letak kekayaan? Apakah di kantong baju, di peti uang dan harta benda? Bukan, melainkan di dalam hati dan pikiran sendiri. Biarpun orang memiliki lima buah gunung emas, apabila dia masih merasa kurang maka dia adalah miskin dan akan terus mengejar kekayaan dengan tamaknya. Orang yang mengantongi uang satu juta adalah orang miskin apabila dia menginginkan barang yang lebih dari jumlah itu harganya. Orang tidak akan mampu menikmati, tidak akan mampu melihat keindahan, dari apapun yang berada di dalam tangannya, betapapun tinggi nilai benda itu, apabila dia menginginkan barang yang lain daripada yang telah dimilikinya. Dan orang yang selalu diperhamba oleh nafsu keinginannya, takkan pernah merasa cukup dan takkan pernah dapat mengerti apa yang dinamakan keindahan, apa yang dinamakan kebahagiaan hidup. Sebaliknya, orang yang sudah bebas batinnya dari semua ikatan, menghadapi kehidupan dengan segala macam peristiwanya dengan hati terbuka, dengan perasaan lapang, dengan gembira dan tidak pernah dia tenggelam di dalam duka maupun suka. Bagi dia, segala sesuatu yang terjadi di dunia ini mengandung hikmah kehidupan yang luar biasa, yang indah dan wajar sehingga dia tidak lagi mengenal apa artinya kecewa, karena dia tidak mengejar apa-apa, tidak mengharapkan apa-apa. Keadaan demikian ini membuat dia bebas dari suka duka, bebas dari arus lingkaran setan yang membuat manusia yang belum bebas dan belum sadar dalam bidupnya selalu jatuh bangun di antara suka dan duka. Akan tetapi betapa menyedihkan karena kebanyakan dari kita menerima keadaan hidup seperti ini! Kita menerimanya sebagai hal yang “sudah semestinya”. Hidup yang penuh dengan duka nestapa, kesengsaraan, pertentangan dan permusuhan, benci dan iri hati, segala macam kepalsuan di segala lapangan dan dalam segala macam bentuk perang, pembunuhan dan kelaparan, di antara semua kengerian ini dan hanya kadang-kadang saja ada kesenangan yang hanya lewat bagaikan sinar kilat sekali-kali, dan kita sudah menerima kehidupan macam ini sebagai hal yang semestinya! Kita selalu mengejar kesenangan, dengan suka rela menghambakan diri kepada pemuasan kesenangan sungguhpun kita tahu bahwa di balik dari semua kesenangan itu terdapat kesusahan yang mengintai dan siap menerkam korbannya, yaitu kita! Tidak ada kekuasaan apapun di dunia ini dapat merubah semua kesengsaraan kehidupan yang bersumber di dalam diri pribadi, kecuali KITA SENDIRI. Bukan kita yang mengusahakan perobahannya. Kita tidak akan dapat merubah diri sendiri, akan tetapi dengan kewaspadaan dan kesadaran, dengan mengenal diri sendiri luar dalam, dengan pengawasan dan pengamatan setiap saat, akan timbul pengertian dan kesadaran, dan pengertian ini tanpa diusahakan, dengan sendirinya akan menghalau semua perintang dan penghalang dari perobahan. Pengertian yang mendalam inilah yang penting, bukan segala macam pengetahuan mati tentang filsafat atau kebatinan manapun, karena pengetahuan-pengetahuan itu hanya akan menjadi slogan mati, klise-klise lapuk yang hanya akan diulang-ulang oleh mulut, bahkan diperalat untuk membanggakan diri belaka. “Sukong, mengapa begini sunyi? Ke mana perginya para pelayan?” Lie Seng berkata lagi dengan nada suara heran dan tidak enak. Anak berusia dua belas tahun ini telah dapat merasakan kehebatan malapetaka yang menimpa keluarganya, dan kini, mendekati rumah di mana dia dilahirkan, dia merasa perobahab hebat karena rumah itu kini seolah-olah merupakan tempat berkabung di mana tidak ada lagi ayahnya, ibunya, dan adiknya. “Aku juga heran sekali...” kakek itu berkata dan hatinya terasa kurang enak karena kesunyian pekarangan rumah itu memang amat mencurigakan. Akan tetapi dia dan cucunya telah tiba di ruangan depan dan sudah terlambat karena tiba-tiba tampak bayangan berkelebatan dan tahu-tahu di ruangan depan itu berdiri empat orang laki-laki yang gerakannya ringan seperti setan. Hong Khi Hoatsu belum pernah bertemu dengan keempat orang ini, maka dia memandang penuh perhatian, lalu mengangkat tangan ke depan dada sambil bertanya, “Maafkan kalau saya tidak mengenal su-wi (anda berempat). Siapakah kalian dan su-wi mencari siapa?” Orang yang tertua di antara mereka, seorang kakek berusia enam puluh lima tahun akan tetapi masih kelihatan muda dan berwajah tampan, yang memakai pakaian serba putih, tertawa dan berkata kepada teman-temannya, “Kalian berhati-hatilah. Tukang sulap ini boleh jadi kepandaiannya tidak berapa tinggi, akan tetapi ilmu sihirnya berbahaya. Kalau dia mengeluarkan sihirnya, lawan dengan sin-kang dan tulikan telinga, butakan mata terhadap semua ucapan dan gerakannya.” Mendengar ini, Hong Khi Hoatsu terkejut. Maklumlah dia bahwa empat orang ini, adalah orang-orang yang berilmu tinggi dan tentu membawa maksud buruk dengan kedatangan mereka yang aneh ini. “Hong Khi Hoatsu, aku adalah Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok dan kedatangan kami adalah untuk bertemu dengan puteri dan cucu ketua Cin-ling-pai. Akan tetapi mereka tidak ada den kebetulan kau datang. Kau adalah mertua puteri ketua Cin-ling-pai, hayo katakan di mana dia dan anak-anaknya?” “Manusia-manusia jahat, kalian mencari ibu mau apa?” Lie Seng yang masih dihimpit kedukaan itu menjadi marah sekali mendengar ucapan kakek itu. Hong Khi Hoatsu kaget sekali dan untuk mencegah cucunya bicarapun sudah terlambat. “Ha-ha-ha, inikah puteranya? Anak baik, kau cucu ketua Cin-ling-pai? Ha-ha, sungguh kebetulan sekali!” Sementara itu, Hong Khi Hoatsu menekan debar jantungnya. Biarpun dia belum pernah bertemu dengan mereka ini, namun mendengar nama Pat-pi Lo-sian, dia tahu siapakah mereka ini karena di Cin-ling-san dia sudah mendengar penuturan Cia Keng Hong tentang Lima Bayangan Dewa yang memusuhi Cin-ling-pai. “Hemmm... kurang seorang lagi, bukankah Bayangan Dewa ada lima orang?” Hong Khi Hoatsu berkata. “Kalian datang berkunjung ada urusan apakah?” “Ha-ha-ha, Hong Khi Hoatsu. Kami sudah kesal melihat rumah ini kosong, dan sungguh baik sekali engkau mengantar cucu ketua Cin-ling-pai kepada kami. Kauberikan anak itu kepada kami dan kami akan membiarkan engkau yang sudah tua ini untuk terus hidup beberapa tahun lagi.” Hong Khi Hoatsu menjadl merah mukanya. “Kiranya Lima Bayangan Dewa yang terkenal gagah karena berani menentang Cin-ling-pai itu hanyalah orang-orang pengecut yang beraninya mengganggu anak kecil! Kalau memang gagah, mengapa kalian tidak langsung saja mendatangi Cin-ling-pai dan menantang ketuanya? Dia dan isterinya sudah siap untuk membasmi kalian.” “Tua bangka cerewet! Serahkan anak itu atau terpaksa kami akan membunuhmu lebih dulu!” “Haaiiitttt...! Siapa yang kaucari? Anak kecil ini tidak ada di sini!” Tiba-tiba Hong Khi Hoatsu berteriak dan... empat orang jagoan itu terkejut bukan main karena benar saja, tiba-tiba bocah itu lenyap berobah menjadi gulungan asap putih! “Awas, jangan terpedaya. Serang...!” Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok berseru nyaring sambil mengerahkan khi-kangnya sehingga suaranya mengandung getaran dashsyat dan tubuhnya sudah bergerak ke depan mengirim pukulan bertubi secepat kilat dan mengandung kekuatan sin-kang yang hebat ke arah Hong Khi Hoatsu. “Plak-plak-plak...!” Hong Khi Hoatsu berhasil menangkis serangan ini, akan tetapi dia terhuyung karena memang kalah kuat tenaganya oleh Si Dewa Tua Berlengan Delapan itu. Dan tiga orang Bayangan Dewa yang lain sudah pula menyerang dengan pukulan-pukulan yang amat dahsyat. Hong Khi Hoatsu mengelak ke sana-sini dan terhuyung-huyung dalam keadaan terdesak hebat. Dia maklum bahwa dalam hal ilmu kepandaian silat, biar hanya menghadapi seorang saja di antara mereka, belum tentu dia akan menang, apalagi dikeroyok empat. Terutama sekali Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok benar-benar memiliki kepandaian yang hebat dan tenaga sin-kang yang besar. Dia hanya dapat mengandalkan ilmu hoatsut (sihir), akan tetapi karena empat orang itu sudah siap dan melindungi diri dengan kekuatan batin, kiranya tidak akan mudah baginya untuk dapat mempengaruhi mereka sekaligus. “Berlutut engkau...!” bentaknya ketika pecut baja di tangan Toat-beng-kauw Bu Sit menyambar dan meledak di atas kepalanya. Bu Sit terkejut dan biarpun tadi dia sudah diperingatkan oleh Pat-pi Lo-sian, tetap saja dia terkejut, memandang dan tanpa dapat disadari atau dipertahankannya pula, dia sudah menjatuhkan diri berlutut sedangkan Liok-te Sin-mo Gu Lo It juga terhuyung karena dia juga memandang dan terpengaruh, biarpun sudah dia pertahankan dengan kekuatan batinnya. “Ilmu setan!” Hok Hosiang yang berjuluk Sin-ciang Siauw-bin-sian (Dewa Tersenyum Bertangan Sakti) yang berkepala gundul itu dengan marah menggerakkan tangan kirinya dan tasbeh hijau yang merupakan senjata istimewa itu menyambar dan berobah menjadi sinar hijau menyambar ke arah dada Hong Khi Hoatsu. Kakek ini terkejut sekali dan mengelak, akan tetapi tetap saja pundak kirinya keserempet dan dia roboh terguling. “Jangan pukul kakekku!” Tiba-tiba Lie Seng berteriak dan tentu saja kini dia kelihatan lagi oleh empat orang itu yang menjadi sangat girang. Karena Hong Khi Hoatsu terkena hantaman tasbeh, maka pengaruhnya terhadap dua orang tadipun membuyar dan mereka sudah meloncat bangun kembali. Hong Khi Hoatsu juga sudah meloncat dan menghadapi empat orang lawan tangguh itu dengan hati penuh kekhawatiran, mengkhawatirkan cucunya. Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dari luar, “Bayangan Dewa, jangan banyak menjual lagak, kami dari Cin-ling-pai datang untuk membasmimu...!” Girang hati Hong Khi Hoatsu ketika dia mengenal empat orang tua yang gagah itu, yang bukan lain adalah murid-murid kepala Cin-ling-pai atau orang-orang tertua dan sisa dari Cap-it Ho-han, yaitu Kwee Kin Ta, Kwee Kin Ci, Louw Bu dan Un Siong Tek! Empat orang murid utama dari Cin-ling-pai ini, seperti kita ketahui, juga segera meninggalkan Cin-ling-san setelah Bun Houw pergi, untuk berusaha mencari Lima Bayangan Dewa yang tidak hanya mencuri Siang-bhok-kiam, akan tetapi juga telah membunuh tujuh orang sute mereka. Dibandingkan dengan Bun Houw yang baru saja pulang dari Tibet dan masih belum mempunyai pengalaman banyak di dunia kang-ouw, tentu saja empat orang tokoh Cin-ling-pai ini jauh lebih luas pengalamannya dan kalau Bun Houw masih juga belum berhasil dalam penyelidikannya untuk menemukan musuh-musuh besar Cin-ling-pai, empat orang tokoh ini akhirnya dapat juga mencari musuh-musuhnya dan ketika mereka mendengar keterangan dalam penyelidikan mereka bahwa empat orang di antara Lima Bayangan Dewa itu pergi ke Sin-yang, mereka menjadi terkejut dan cepat melakukan pengejaran. Mereka merasa khawatir sekali kalau-kalau para musuh besar ini akan mengganggu puteri suhu mereka, yaitu Cia Giok Keng yang tinggal di Sin-yang bersama suaminya dan dua orang anaknya. Dalam kesibukan mereka menyelidiki musuh-musub besar Cin-ling-pai, empat orang ini sama sekali tidak tahu atau mendengar peristiwa yang menimpa keluarga suhu mereka. Demikianlah, mereka tiba di rumah Giok Keng tepat pada saat Hong Khi Hoatsu dan Lie Seng terancam bahaya oleh empat orang dari Lima Bayangan Dewa itu. Ketika mereka muncul dengan pedang di tangan, Pat-pi Lo-sian terkejut dan marah. Dia memandang empat orang laki-laki tua yang berpedang dan berpakaian sederhana itu, lalu membentak, “Siapakah kalian?” Dia belum pernah bertemu dengan empat orang tertua dari Cap-it Ho-han ini maka biarpun tadi mereka mengaku sebagai orang-orang Cin-ling-pai, dia tidak dapat menduga siapa mereka. Di lain fihak, Kwee Kin Ta dan tiga orang sutenya juga baru sekarang bertemu dengan mereka, maka Kwee Kin Ta yang mewakili para sutenya menjawab tenang dengan sikap gagah, “Lebih dulu kami ingin bertanya, apakah benar kalian empat orang yang sedang mengacau di sini berjuluk Lima Bayangan Dewa?” Pat-pi Lo-sian tersenyum lebar, wajahnya yang gagah dan tampan itu penuh ejekan dan memandang rendah. “Kalau benar demikian, kalian mau apa? Siapakah kalian?” “Kami adalah empat orang pertama dari Cap-it Ho-han dan memang sudah lama kami mencari kalian manusia-manusia keji yang telah membunuh para sute kami,” jawab Kwee Kin Ta sambil melintangkan pedangnya di depan dada. “Ahhh! Ha-ha-ha, bagus sekali! Dahulu kami hanya dapat membunuh tujuh orang di antara Cap-it Ho-han, siapa tahu kini yang empat lagi datang mengantar nyawa untuk menemani kakek tua bangka tukang sulap ini.” “Jahanam, bersiaplah kalian untuk mampus!” Kwee Kin Ta membentak dan pedangnya digerakkan, berobah menjadi sinar kilat yang menyambar ke arah Pat-pi Lo-sian. Tiga orang sutenya juga sudah menggerakkan pedang menyerang tiga orang Bayangan Dewa lainnya. Pat-pi Lo-sian terkejut bukan main menyaksikan gerakan pedang yang dipegang oleh Kwee Kin Ta itu. Gerakannya mantap dan mengandung tenaga yang dahsyat sekali. Dan memang Kwee Kin Ta sebagai murid pertama dari Cin-ling-pai tentu saja memiliki ilmu pedang yang amat hebat. Dialah yang mampu mewarisi inti dari Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut yang diciptakan oleh ketua Cin-ling-pai. Akan tetapi, Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok adalah sute dari mendiang Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok Si Raja Ular, kepandaiannya amat tinggi. Cepat dia dapat mengelak sambil mencabut pedangnya pula, sebatang pedang yang bentuknya seperti seekor ular dan mengeluarkan bau amis. “Cringgg... trangg... singgg!” “Hemmm...!” Pat-pi Lo-sian terkejut karena ketika pedang mereka saling bertemu, secara aneh sekali pedang lawan itu meluncur melalui tubuh pedangnya, begitu licin dan tak tersangka-sangka langsung menyambar ke arah tangannya yang memegang gagang pedang ular! Untung dia dapat cepat menarik tangannya dan menghindarkan diri dari serangan yang cepat, aneh dan tak tersangka-sangka itu. Tiga orang sute dari Kwee Kin Ta juga sudah terlibat dalam pertandingan yang seru dan mati-matian melawan tiga orang dari Bayangan Dewa. Sesungguhnya kalau dinilai dari dasar ilmu silat mereka, kepandaian tiga orang tokoh Cin-ling-pai itu lebih murni, karena mereka itu adalah orang-orang yang langsung digembleng oleh Pendekar Sakti Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai. Akan tetapi, mereka itu dahulunya adalah pemuda-pemuda dusun yang kaku dan tidak berbakat, dan merekapun jarang sekali bertanding sehingga di dalam pertandingan melawan tokoh-tokoh sesat yang amat lihai dan yang pada dasarnya memiliki tingkat yang lebih tinggi daripada mereka, empat orang tokoh Cin-ling-pai ini segera terdesak karena lawan-lawan mereka menggunakan siasat-siasat licik dan curang yang memang terdapat dalam setiap gerakan ilmu berkelahi dari kaum sesat. Tiba-tiba terdengar suara tertawa nyaring tinggi, disusul suara nyanyian yang keluar dari mulut Hong Khi Hoatsu. Sebelum bernyanyi dia berteriak memanggil nama empat Bayangan Dewa itu untuk menarik perhatian mereka. Dengan suara parau dia bernyanyi dengan nada aneh dan dengan kata-kata yang jelas dan tanpa disadarai oleh empat orang Bayangan Dewa itu, mereka tercengkeram oleh kekuatan mujijat dan telah terpengaruh sehingga mereka berempat mendengarkan dengan penuh perhatian. Karena perhatian mereka tercurah kepada suara nyanyian dan kata-katanya itu, tentu saja gerakan mereka menjadi kacau dan dengan demikian, keadaan segera membalik dan merekalah kini yang terdesak hebat oleh empat orang tokoh Cin-ling-pai! Pat-pi Lo-sian terkejut bukan main ketika ujung lengan bajunya terbabat putus oleh pedang di tangan Kwee Kin Ta. “Jangan dengarkan! Jangan dengarkan!” Dia memekik untuk memperingatkan teman-temannya yang juga menjadi kacau dan terdesak hebat, akan tetapi suaranya ini tenggelam ke dalam nyanyian Hong Khi Hoatsu, bahkan teriakannya itu memakai nada nyanyian mengikuti irama nyanyian kekek sihir itu, dan dia sendiri sama sekali tidak dapat melepaskan perhatiannya dari nyanyian itu. Makin lama gerakan mereka makin kacau dan kini mulailah empat orang tokoh kaum sesat itu menggerak-gerakkan bibir mengikuti nyanyian Hong Khi Hoatsu! Mereka mulai ikut bernyanyi sungguhpun mereka berloncatan ke sana-sini untuk menangkis atau menghindarkan diri mereka dari serangan-serangan musuh! Hong Khi Hoatsu tiba-tiba menghentikan nyanyiannya dan... tertawa-tawa dan empat orang itupun ikut pula tertawa-tawa. Kakek ini lalu menangis dan merekapun ikut menangis! Keadaan empat orang tokoh sesat itu kini terancam bahaya besar. Hong Khi Hoatsu mengajak mereka bernyanyi-nyanyi pula dan empat orang itu sudah satu dua kali terkena senjata lawan, sungguhpun tidak berbahaya namun cukup mengejutkan hati mereka. Empat orang Bayangan Dewa itu sibuk sekali dan keringat dingin mulai bercucuran di muka dan leher mereka. Mereka maklum bahwa keadaan mereka berbahaya sekali dan celakanya, mereka tidak mampu melarikan diri karena mereka “terikat” oleh suara nyanyian itu! “Supek, hantam mereka! Robohkan mereka. Bagus, tusuk mereka!” Lie Seng berteriak sambil bersorak dan bergembira melihat betapa supek-supeknya, yaitu para suheng dari ibunya berasil mendesak empat orang kakek yang tadi mengeroyok kong-kongnya itu. Karena perhatian mereka sepenuhnya terampas oleh Hong Khi Hoatsu, maka beberapa kali empat orang tokoh sesat itu terguling dan tubuh mereka yang kebal sudah mengalami hantaman dan serempetan senjata lawan. Tak lama lagi empat orang tokoh Cin-ling-pai itu tentu akan berhasil membalas dendam mereka. “Hayo serahkan kembali Siang-bhok-kiam dan kalian menyerah untuk kami tangkap!” berkali-kali Kwee Kin Ta berseru sambil mendesak dengan pedangnya. Orang tertua dari Cap-it Ho-han ini ingin sekali menyeret mereka hidup-hidup ke depan suhunya dan juga untuk mendapatkan kembali Siang-bhok-kiam yang mereka curi. Tiba-tiba terdengar suara ketawa melengking tinggi sekali. Suara melengking yang amat menyeramkan, seperti bunyi tawa seorang wanita siluman atau bunyi seekor burung hong yang terbang di atas rumah itu. Akan tetapi hebatnya, suara melengking tinggi ini mengandung getaran tenaga khi-kang yang demikian kuatnya, sehingga mampu menembus dan mengiris melalui benteng kekuatan sihir dari nyanyian Hong Khi Hoatsu! Kakek ahli sihir ini terkejut sekali dan empat orang tokoh kaum sesat itu menjadi girang karena baru sekarang mereka mampu membebaskan perhatian mereka dari nyanyian kakek itu dan kelihaian mereka pulih kembali karena perhatian mereka kini tercurahkan kepada gerakan tubuh mereka sehingga dalam beberapa gebrakan saja empat orang tokoh Cin-ling-pai menjadi berbalik terdesak hebat! Melihat ini, Hong Khi Hoatsu menjadi marah sekali dan dia cepat melompat keluar untuk mencari pengganggu itu. Akan tetapi begitu tiba di luar ruangan, dia melihat seorang wanita cantik berkelebat dari luar, maka cepat Hong Khi Hoatsu sudah menggerakkan kedua targannya dan ujung lengan bajunya menotok ke arah jalan darah dari bayangan wanita yang berkelebat di sampingnya itu. “Plak-plak!” Ujung lengan baju itu dengan tepat mengenai pundak dan pinggang, tepat mengenai jalan darah, akan tetapi anehnya, wanita itu sama sekali tiduk menderita apa-apa seolah-olah totokan itu hanya merupakan sentuhan-sentuhan halus saja, bahkan dia tertawa dan tanpa menghentikan langkahnya yang menuju ke ruangan pertempuran, tangan kirinya berkelebat ke arah punggung Hong Khi Hoatsu. “Plakk! Ahhh...!” Hong Khi Hoatsu terkejut bukan main karena tamparan halus itu membuat seluruh tubuhnya terasa kejang, lalu panas seperti dibakar dan tak dapat dipertahankannya lagi, kakek ini roboh terguling dalam keadaan pingsan! “Sukong...!” Lie Seng berlari dan menubruk kakeknya, ketika melihat kakeknya rebah tak bergerak dengan mata meram, anak ini menangis dan tiba-tiba dia menjadi beringas, meloncat bangun dan memandang kepada wanita cantik itu dengan kedua tangannya yang kecil terkepal. “Kau jahat sekali...! Kau telah membunuh sukongku...!” Dengan gerakan silat yang cukup lincah dan baik, Lie Seng meloncat dan menghantamkan kepalan tangannya ke arah perut wanita cantik itu. Biarpun usianya baru dua belas tahun, akan tetapi sejak kecil sekali anak ini telah digembleng oleh ayah bundanya sehingga dia telah memiliki dasar latihan ilmu silat yang murni dan tinggi, maka pukulannya pun bukan sembarangan dan teratur. Melihat kelincahan ini, wanita cantik itu memandang kagum. “Bagus...!” katanya dan dengan mudah saja dia menangkap pergelangan tangan Lie Sang yang memukulnya. Sebelum Lie Seng sempat menggerakkan tangannya yang kedua, wanita itu telah menepuk tengkuknya dan anak ini roboh pula dengan seluruh tubuh lemas dan lumpuh. Wanita cantik itu menoleh dan menonton pertempuran yang masih berlangsung dengan mati-matian itu sambil tersenyum mengejek. Pertandingan itu kini jelas tamnpak berlangsung berat sebelah. Betapapun gagahnya empat orang tokoh Cin-ling-pai itu, mereka bukan tandingan empat Bayangan Dewa yang jauh lebih tinggi kepandaiannya. Terutama sekali Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok yang amat lihai, dengan mudah saja dia dapat mendesak Kwee Kin Ta sehingga orang tua yang menjadi murid pertama kali ketua Cin-ling-pai ini hanya mampu mempertahankan diri sambil mundur, gerakan pedangnya makin menyempit. Adik murid pertama Cin-ling-pai ini, yaitu Kwee Kin Ci, yang mainkan pedangnya dengan pengerahan seluruh tenaga dan kepandaiannya, juga kewalahan menghadapi Liok-te Sin-mo Gu Lo It yang menggunakan kedua ujung lengan bajunya sebagai senjata. Biarpun hanya ujung lengan baju, akan tetapi karena digerakkan dnegan tenaga sin-kang, maka kadang-kadang dapat menjadi lemas dan kadang-kadang menjadi kaku, dan di sebelah lipatan dalam dari kedua ujung lengan baju itu dipasangi potongan-potongan baja, maka sepasang lengan baju itu merupakan senjata yang ampuh. Louw Bu, murid ketiga dari Cin-ling-pai, juga repot sekali menghadapi Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok Hosiang yang menggunakan senjatanya berupa tasbeh hijau. Dia terdesak dan sudah dua kali terkena hantaman tasbeh di pundak dan punggungnya, membuat gerakannya menjadi makin kacau dan lemah sungguhpun dia masih melawan mati-matian dan sedikitpun tidak kelihatan gentar atau turun semangat. Un Siong Tek sudah hampir roboh karena berkali-kali kena sambaran pecut baja di tangan Toat-beng-kauw Bu Sit, namun dia menggigit bibir dan bertekad untuk melawan sampai titik darah terakhir, pedangnya digenggam erat-erat dan dia mengeluarkan seluruh kemampuannya, tidak memperdulikan akan rasa nyeri karena luka-lukanya yang mengucurkan darah. Yang membuat empat orang murid Cin-ling-pai khawatir adalah ketika melihat munculnya wanita cantik tidak terkenal yang telah merobohkan Hong Khi Hoatsu dan Lie Seng. Mereka lebih mengkhawatirkan nasib cucu dari suhu mereka itu daripada diri mereka sendiri. Hal ini membuat mereka melawan dengan nekat sehingga masih mampu bertahan sampai puluhan jurus. Namun akhirnya, berturut-turut empat orang gagah dari Cin-ling-pai ini roboh juga dan lawan-lawan mereka tanpa banyak cakap lagi menyusul dengan pukulan-pukulan maut sehingga menggeletaklah empat orang murid utama Cin-ling-pai itu, tanpa nyawa lagi di dalam ruangan rumah itu. Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok yang melihat akan ulah kakek ini yang tadi hampir saja membuat dia dan tiga orang temannya celaka, make tiba-tiba dia berseru keras, pedang ular di tangannya terbang secepat kilat dan tahu-tahu telah menancap di dada tubuh Hong Khi Hoatsu yang masih pingsan. Tentu saja kakek tua ini tewas seketika tanpa sadar lagi. Wanita itu memandang semua itu tanpa bergerak, hanya tersenyum mengejek memandang Pat-pi Lo-sian mencabut kembali pedang ularnya dai tubuh Hong Khi Hoatsu yang mandi darah. Akan tetapi ketika Pat-pi Lo-sian menghampiri tubuh Lie Seng dan mengulur tangan hendak menyambar tubuh anak itu, tiba-tiba wanita itu menggerakkan tangan kirinya, dan serangkum hawa pukulan dahsyat menyambar ke arah Pat-pi Lo-sian! Orang pertama dari Lima Bayangan Dewa ini terkejut sekali, mengelak akan tetapi tetap saja dia terdorong oleh hawa pukulan dahsyat itu dan merasa betapa dadanya panas. Dia cepat mengerahkan sin-kang untuk melawan dan baru setelah dia mengatur pernapasan serangan hawa panas itu menghilang. Pat-pi Lo-sian mengenal orang pandai dan mengingat bahwa berkat bantuan wanita ini dia dan kawan?kawannya dapat keluar sebagai pemenang dalam pertempum itu, maka dia berlaku hati-hati dan memandang dengan penuh perhatian. Ketika dia menatap wajah yang cantik jelita dan tubuh yang ramping padat itu, dia merasa tidak pernah bertemu dan tidak mengenal wanita yang usianya kurang lebih tiga puluh lima tahun ini. Akan tetapi ketika dia melihat burung hong kumala yang menjadi penghias rambut wanita itu, dia terkejut sekali. ”Apakah toanio dari Giok-hong-pang...?” Dia terkejut ketika teringat akan berita bahwa ketua Giok-hong-pang yang telah mengalahkan Kwi-eng-pang dan menduduki Telaga Setan, kabarnya memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat. Sementara itu, Toat-beng-kauw Bu Sit yang pernah bertemu dengan In Hong dan merasakan kelihaian dara cantik itu, juga kaget sekali karena dia mengira bahwa tentu kedatangan wanita cantik ini ada hubungannya dengan peristiwa yang terjadi antara dia dan In Hong, yang agaknya adalah murid wanita ini. Maka dia cepat-cepat menjura kepada wanita itu dan berkata, “Toanio tentulah ketua Giok-hong-pang yang tersohor itu. Kalau benar demikian, kita bukanlah orang-orang lain. Saya pernah berjumpa dengan nona Yap In Hong, bukankah dia juga seorang tokoh Giok-hong-pang?” Wanita itu bukan lain adalah Giok-hong-cu Yo Bi Kiok, ketua Giok-hong-pang. Mendengar ucapan Bu Sit si laki-laki bermuka monyet itu, dia memandang tajam dan Bu Sit berdebar tegang hatinya. Pandang mata wanita ini demikian tajam dan dingin, jauh lebih dingin dari pandang mata nona In Hong yang amat lihai itu. “Hemmm, Yap In Hong adalah muridku.” Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok terkejut mendengar ini. Tidak keliru dugaannya, karena diapun telah mendengar laporan Bu Sit tentang nona Yap In Hong. Cepat diapun menjura dan bukata, “Ah, maafkan kami yang tidak mengenal toanio yang ternyata masih amat muda namun telah memiliki kepandaian yang amat hebat. Kami berterima kasih atas bantuan toanio tadi. Kami adalah...” “Aku sudah tahu bahwa kalian adalah empat di antara Lima Bayangan Dewa yang akhir-akhir ini namanya menggemparkan dunia kang-ouw. Justeru karena kalian Lima Bayangan Dewa, maka aku datang ke sini untuk menjumpai kalian. Aku mendengar bahwa kalian telah mencuri pedang Siang-bhok-kiam dari Cin-ling-pai, benarkah itu?” Pat-pi Lo-sian tertawa bangga. “Tidak banyak orang yang akan mampu melakukan itu, bukan? Ha-ha-ha, berita itu memang benar, toanio. Kami telah merampas Siang-bhok-kiam dari tangan Cin-ling-pai.” “Bagus! Nah, kauserahkan pedang itu kepadaku.” “Ah, mana mungkin itu? Toanio sebagai seorang pangcu (ketua) tentu maklum betapa pentingnya pedang itu bagi kami. Kalau tidak penting, tentu kami tidak akan merampasnya.” “Hemm, kalian mencurinya hanya untuk melampiaskan dendam kalian kepada Cia-taihiap bukan? Sebaliknya aku menginginkan pedang itu karena aku mendengar bahwa pedang itu adalah sebuah pusaka keramat yang ampuh. Kalau tadi aku tidak datang, apakah Lima Bayangan Dewa kini tidak hanya tinggal Satu Bayangan Dewa saja karena kalian telah menjadi Empat Bayangan Arwah? Hayo lekas kalian serahkan pedang itu kepadaku sebagai imbalan pertolonganku tadi.” “Omitohud... pangcu dari Giok-hong-pang terlalu tinggi hati! Pedang pusaka itu merupakan lambang kemenangan kami atas Cin-ling-pai yang kami benci, mana bisa kami serahkan begitu saja kepada pangcu?” Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok Hosiang berkata sambil tersenyum lebar. “Pinceng (saya) Hok Hosiang tidak bisa mentaati perintah orang yang tinggi hati, apalagi kalau perintah itu datang dari seorang wanita muda seperti toanio.” Yo Bi Kiok tersenyum, matanya yang berbentuk indah itu bersinar-sinar, lalu terdengar dia berkata lirih, “Agaknya kalian masih memandang rendah kepadaku. Nah, rasakanlah ini!” Setelah berkata demikian, tangan kirinya bergerak ke arah hwesio gendut itu. Serangkum hawa pukulan dingin sekali menyambar, membuat Hok Hosiang terkejut setengah mati dan dia cepat menggerakkan tasbeh hijau di tangannya untuk menangkis. Rrriiikk... desss...!” Hok Hosiang berteriak kaget, tubuhnya terhuyung ke belakang beberapa langkah. Biarpun jari tangan wanita itu tidak mengenai tubuhnya, baru bertemu dengan tasbehnya, namun tenaga mujijat yang amat kuat menyerangnya melalui tasbehnya sendiri dan dia merasa betapa dadanya menjadi sesak. Hok Hosiang memandang dengan mata terbelalak, maklum bahwa wanita yang usianya hanya setengah usianya lebih sedikit itu ternyata memiliki semacam sin-kang yang amat dahsyat. “Toanio, jangan sombong engkau!” Toat-beng-kauw Bu Sit yang merasa penasaran dan menjadi besar hati karena mengandalkan banyak teman sudah meloncat ke depan dan menggerakkan senjata joanpiannya, yaitu pecut baja yang panjang dan lemas. “Tar-tar-tarrrr...!” Pecut baja itu melecut dan meledak-ledak di udara, lalu menyambar turun ke atas kepala Yo Bi Kiok. Namun Yo Bi Kiok dengan tenang sekali miringkan kepalanya sedikit, tangan kirinya bergerak dan seperti kilat cepatnya dia telah berhasil menangkap ujung cambuk baja itu. Bu Sit mengerahkan tenaga untuk membetot lepas cambuk bajanya, akan tetapi jepitan jari tangan yang kecil mungil pada ujung cambuk itu sama sekali tidak dapat terlepas! harus diketahui bahwa Toat-beng-kauw Bu Sit adalah seorang tokoh sesat yang memiliki gin-kang kilat dan sin-kang kuat, akan tetapi satu kali ini dia benar-benar harus mengakui kekuatan mujijat yang menjepit ujung cambuknya. “Haiiiitttt...!” Tiba-tiba Bu Sit membentak dan mengerahkan selurub tenaganya. Akan tetapi tiba-tiba sambil tersenyum dingin Yo Bi Kiok melepaskan jepitan dari tangannya. “Siuuuttt... tarrr...!” Untung sekali Bu Sit cepat melepaskan gagang cambuknya, kalau tidak tentu mukanya akan dihajar oleh lecutan ujung cambuknya sendiri. Ketika dia mlihat dengen muka pucat, ternyata ujung cambuknya itu terdapat bekas-bekas jari tangan wanita cantik itu, bergurat-gurat memperlihatkan garis-garis tangan halus, seolah-olah ujung cambuk bajanya itu hanya terbuat dari tanah liat saja! “Hebat sekali engkau, pangcu!” Tiba-tiba Liok-te Sin-mo Gu Lo It melangkah ke depan, kedua ujung lengan bajunya yang dipasangi baja itu menyambar dari kanan kiri ke arah kedua pelipis kepala Yo Bi Kiok. “Hemm, pergilah kau!” Bi Kiok yang mulai menjadi marah itu membentak halus, kedua tangannya menangkis ke kanan kiri kepalanya. Gu Lo It yang terkenal sebagai seorang tokoh yang bertenaga raksasa itu, menjadi girang melihat lawannya berani menangkis ujung lengan bajunya yang dipasangi baja itu dengan tangan kosong, maka dia mengerahkan tenaga saktinya sehingga ujung lengan bajunya itu akan mampu menghancurkan batu karang yang keras sekalipun. Apalagi hanya dua lengantangan wanita yang berkulit halus itu! “Plakk! Plakk! Ehhh...!” Liok-te Sin-mo Gu Lo It terkejut sekali dan cepat dia menarik kedua lengannya sambil meloncat mundur karena tadi begitu bertemu dengan kedua lengan wanita itu, dua ujung lengan bajunya membalik dan tentu akan menghantam dadanya sendiri kalau saja tidak dengan cepat dia menarik kembali lengannya. Ternyata bahwa lengan yang kecil dan berkulit halus itu bukan hanya mampu menandingi ujung lengan bajunya, bahkan mampu membuat kedua senjatanya itu membalik dan menyerang dirinya sendiri. Pat-pi Lo-sian Phang Tui Liok bukanlah seorang bodoh. Menyaksikan cara wanita itu menghadapi tiga orang temannya, dia sudah dapat mengukur bahwa kepandaian wanita ini benar-benar amat hebat dan belum tentu kalah olehnya. Dan diapun tahu bahwa wanita itu tidak berniat buruk kepada mereka, karena kalau demikian halnya, tentu wanita itu telah menurunkan tangan mautnya kepada tiga orang temannya tadi. Cepat dia menjura sambil berkata, “Memang bukan berita kosong belaka yang mengatakan bahwa ketua Giok-hong-pang memang memiliki kepandaian yang amat hebat. Pangcu, kami kagum sekali dan mengingat akan kebaikan pangcu yang telah membantu kami tadi, agaknya urusan sebatang pedang kayu saja kami seyogyanya mengalah dan mempersembahkan kepada pangcu sebagai tanda persahabatan. Akan tetapi sayang, hal itu tidak mungkin kami lakukan sekarang karena kami tidak membawa Siang-bhok-kiam itu yang kami simpan di tempat rahasia agar tidak mudah dicari orang lain.” “Hemmm...” Yo Bi Kiok mendengus kecewa akan tetapi matanya memandang kepada mereka dan dia tahu bahwa mereka tidak membohong. Lalu dia melihat tubuh anak laki-laki yang masih lemas tertotok olehnya tadi. “Aku melihat kalian tadi hendak merampas dan menculik anak ini. Mengapa?” Pat-pi Lo-sian juga memandang kepada Lie Seng dan tersenyum. “Pancu, urusan dengan bocah ini adalah urusan kami pribadi, perlukah Pangcu mengetahui pula?” Wajah yang cantik itu menjadi agak kemerahan biarpun pandang matanya tetap dingin tak acuh. “Tentu saja. Perkelahian di sini adalah karena bocah ini, dan aku telah membantu kalian maka sudah sepantasnya aku mendengar pula mengapa kalian hendak menangkap bocah ini.” Pat-pi Lo-sian diam-diam merasa mendongkol sekali. Sebetulnya, biarpun tiga orang temannya jelas bukan lawan wanita ini, namun dia sendiri belum kalah apalagi kalau dibantu oleh tiga orang temannya itu. Hanya saja, pada waktu ini Lima Bayangan Dewa sedang menghadapi ancaman pembalasan dari Cin-ling-pai yang merupakan hal berbahaya karena dia maklum akan kelihaian dari ketua Cin-ling-pai, maka tidak semestinya kalau dia menanam permusuhan dengan fihak lain. Apalagi fihak Giok-hong-pang yang amat kuat pula. Sebaliknya, dia harus menarik semua fihak yang kuat sebagai sahabatnya agar dapat membantunya kalau dia terpaksa kelak menghadapi ketua Cin-ling-pai. Dia jerih menghadapi ketua Cin-ling-pai seorang diri bersama empat orang temannya saja. Baru murid-murid Cin-ling-pai tadi saja sudah demikian tangguhnya, apalagi gurunya! Dan wanita cantik inipun memiliki ilmu kepandaian yang mengerikan. Baiklah, pangcu, kalau engkau ingin mengerti. Bocah ini adalah cucu dari ketua Cin-ling-pai, dan kami hendak menangkapnya...” “Hemmm, apakah Lima Bayangan Dewa begitu penakut, tidak menghadapi ketua Cin-ling-pai secara langsung melainkan mengganggu seorang bocah yang tidak tahu apa-apa?” Yo Bi Kiok mengejek. Biarpun wanita ini dahulunya murid seorang datuk kaum sesat kemudian dia sendiri karena merasa sakit hati terhadap seorang pria lalu menjadi seorang wanita berdarah dingin yang amat kejam, namun dia sama sekali bukanlah golongan sesat yang suka melakukan kejahatan umum. Satu-satunya sikap kejamnya hanya dia tujukan kepada kaum pria yang dianggapnya merupakan kaum yang hanya membikin sengsara kaum wanita. Kini wajah orang pertama dari Lima Bayangan Dewa itu menjadi merah dan matanya terbelalak penuh rasa penasaran. “Pangcu dari Giok-hong-pang, kauanggap kami ini orang-orang apa yang akan mengganggu anak-anak?” Teriaknya akan tetapi segera dia teringat akan sikapnya. “Kami memang bermusuhan dengan ketua Cin-ling-pai dan mengingat bahwa ketua Cin-ling-pai mempunyai banyak sekali sahabat dan pembantu-pembantu yang tentu akan menyusahkan kami, maka kami hendak membawa cucunya ini sebagai sandera untuk menantangnya agar datang menghadapi kami seorang diri saja, agar di antara dia dan kami dapat menyelesaikan segala perhitungan lama sampai beres. Jadi kami tidak akan mengganggu anak ini, hanya untuk memaksa kakeknya untuk keluar sendirian menghadapi kami.” Yo Bi Kiok tersenyum, lalu tubuhnya bergerak, cepatnya amat mengejutkan hati empat orang itu karena tahu-tahu bayangan wanita itu berkelebat dan sebelum mereka sempat mencegah, Bi Kiok telah mengempit tubuh Lie Seng. “Bagus kalau begitu, aku jadi tahu bahwa kalian amat membutuhkan bocah ini. Nah, kalian ambillah Sing-bhok-kiam, antarkan pedang itu ke Telaga Kwi-ouw dan di sana aku akan menukar Siang-bhok-kiam dengan bocah ini!” Setelah berkata demikian, sekali berkelebat saja Bi Kiok telah lenyap dari dalam ruangan itu, pergi membawa Lie Seng bersamanya. Empat orang tokoh sesat itu saling pandang dan muka mereka berobah, sebentar merah sebentar pucat. Baru sekali ini mereka merasa dihina dan dipandang rendah orang lain, apelagi yang memandang rendah mereka itu adalah seorang wanita muda cantik! “Si keparat...!” Pat-pi Lo-sian membanting kakinya. “Kalau saja tidak ingat akan kedudukan kita, sudah kuhancurkan kepala perempuan setan itu!” “Dia memang sombong sekali,” kata Bu Sit yang juga merasa penasaran dan tadi telah dibikin malu. “Twako, mari kita kumpulkan kekuatan, ajak teman-teman dan menyerbu Giok-hong-pang, membasminya dan merampas kembali bocah itu!” Pat-pi Lo-sian menggeleng kepala dan menghela napas panjang. “Betapapun juga, urusan dengandia itu kecil sekali artinya kalau dibandingkan dengan urusan kita terhadap ketua Cin-ling-pai. Tidak boleh melemahkan keadaan sendiri karena urusan kecil sebelum urusan besar selesai. Kelak masih belum terlambat bagi kita untuk menghajar perempuan sombong itu!” “Habis, apa yang akan kaulakukan, twako?” tanya Liok-te Sin-mo Gu Lo It kepada temannya yang tertua itu. “Tidak ada jalan lain, kita harus menyerahkan pedang itu kepadanya sebagai penukar cucu ketua Cin-ling-pai itu,” jawab yang ditanya. “Ab, akan tetapi hal itu akan merupakan tamparan bagi nama kita!” Hok Hosiang berseru. “Sam-te (adik ketiga) jangan salah sangka, sebaliknya malah, dengan mengoperkan pedang kayu yang tidak ada gunanya kepada wanita itu, berarti kita menambah musuh bagi Cia Keng Hong dan menarik teman bagi kita. Kita boleh siarkan bahwa Siang-bhok-kiam telah kita berikan sebagai tanda persahabatan kepada ketua Giok-Hong-pang, bukankah dengan demikian Cia Keng Hong akan mencari ke sana dan memusuhinya pula? Anak itu lebih penting bagi kita, karena dengan adanya anak itu kita dapat memaksa Cia Keng Hong untuk menyerah.” Keempat orang dari Lima Bayangan Dewa itu lalu bergegas meninggalkan rumah yang kini keadaannya amat mengerikan itu, dimana menggeletak mayat empat orang pertama dari Cap-it Ho-han dan mayat kakek Hong Khi Hoatsu. Dan kalau orang melihat ke belakang rumah itu, di sana menggeletak pula mayat dua orang laki-laki dan wanita tua, yaitu pelayan-pelayan rumah itu yang telah dibunuh lebih dulu oleh empat orang Bayangan Dewa tadi. *** Dunia penuh dengan kekejaman dan kekerasan yang dilakukan oleh manusia. Selama sejarah berkembang, dapat diikuti kenyataan betapa makin lama manusia bukan makin baik, melainkan makin jahat dan permusuhan, kebencian, bunuh-membunuh dan perang makin memenuhi dunia. Mengapa demikian? Mengapa manusia selalu dirundung dendam, kebencian, permusuhan dan kekerasan sepanjang masa? Banyak sudah muncul orang-orang bijaksana yang kemudian didewa-dewakan dan dipuja-puja, manusia-manusia yang menyebarkan segala macam pelajaran bagi manusia agar manusia insyaf akan kejahatannya dan kembali ke jalan benar. Namun agaknya semua itu kalau kita mau melihat kenyataan sekarang ini, semua itu sia-sia belaka. Semua orang bicara tentang kasih sesama manusia namun apa yang dibicarakan itu hanya merupakan pemanis mulut belaka, sedangkan hatinya penuh kebencian kepada sesama manusia, tentu saja manusia yang merugikan dirinya. Seluruh dunia bicara tentang perdamaian, bicara tentang menjauhkan perang, akan tetapi diam-diam angkatan bersenjata di masing-masing negaranya dipupuk dan perkuat! Wajah berseri dan mulut tersenyum, akan tetapi diam-diam kedua tangan dikepal, siap untuk melakukan kekerasan! Tidakkah demikian keadaan dunia semenjak dahulu sampai sekarang? Dunia dan keadaannya tidak timbul begitu saja, melainkan akibat dari keadaan kita semua. Kitalah yang bertanggung jawab sampai adanya dunia macam sekarang ini, di mana kekerasan merajalela, di mana kebencian menguasai hati semua orang, di mana pengejaran keuntungan diri pribadi yang menjadi sumber semua gerakan manusia, di mana kebenaran diperebutkan, saling membela kebenaran sendiri masing-masing. Kita lupa bahwa kebenaran yang diperebutkan itu bukanlah kebenaran lagi, palsu dan hanya mendatangkan lebih banyak permusuhan lagi. Kita selalu menujukan mata dan telinga kita keluar, mencari-cari segala yang dapat menguntungkan dan menyenangkan, memuaskan hati dan jasmani kita. Pengejaran akan kesenangan lahir batin membutakan mata kita sehingga kita sama sekali tidak pernah mau memandang diri kita sendiri, memandang diri kita seperti apa adanya, dengan segala kepalsuan kita, dengan segala keburukan dan cacat serta kekotoran kita. Kita tidak pernah menggunakan telinga untuk mendengarkan bisikan-bisikan hati kita sendiri, suara-suara pikiran kita sendiri, dan tidak mau mengikuti gerak-gerak diri kita sendiri lahir batin. Hanya penglihatan akan kenyataan tentang keadaan diri kita yang kotor sajalah yang akan mendatangkan perobahan, yang akan melenyapkan kekotoran itu. Hanya kalau kita dapat melihat sendiri betapa kebencian mencengkeram hati dan pikiran kita, maka kita akan mengerti tentang kebencian ini dan akan sadar dan selalu waspada. Kesadaran dan kewaspadaan akan kebencian yang mencengkeram kita inilah yang akan melenyapkan kebencian itu sendiri, tanpa terdorong keinginan untuk melenyapkannya, melainkan hanya mengamati dan mengertinya sampai ke akar-akarnya. Mengenai kekotoran orang lain hanya akan menambah kekotoran diri sendiri, sebaliknya hanya dengan mengenal kekotoran sendiri maka akan terjadi perobahan pada diri kita. Dengan kecepatan seperti kijang yang sedang lari dikejar harimau, Yo Bi Kiok mengempit tubuh Lie Seng dan mempergunakan ilmu berlari cepat memasuki hutan di sepanjang Sungai Huai di kaki Pegunungan Tapie-san setelah dia meninggalkan kota Sin-yang tempat tinggal Cia Giok Keng dan mendiang suaminya, Lie Kong Tek. Seperti kita ketahui, setelah berhasil mengalahkan Kwi-eng-pang, Yo Bi Kiok membawa anak buahnya menduduki Telaga Kwi-ouw dan menetap di tempat itu. Kemunculan wanita ini sekarang adalah yang pertama kali selama dia menggembleng dirinya dengan ilmu-ilmu dahsyat dan mujijat yang didapatkannya dari bokor emas milik Panglima The Hoo yang pernah diperebutkan oleh semua tokoh kang-ouw (baca cerita Petualang Asmara) itu. Yo Bi Kiok sudah mendengar pula akan peristiwa yang melanda Cin-ling-pai, tentang Lima Bayangan Dewa yang telah mengacau Cin-ling-pai dan timbul keinginan hatinya untuk memiliki pedang Siang-bhok-kiam itu yang dia pernah mendengar adalah sebatang pedang kayu harum yang keramat dan merupakan pusaka yang pernah pula menjadi pusaka yang diperebutkan oleh seluruh tokoh kang-ouw. Lie Seng adalah seorang anak laki-laki yang mempunyai dasar watak tabah dan tidak mengenal takut. Watak ini dia warisi dari ibunya. Dia melihat sendiri tadi betapa kakeknya tewas dan empat orang tua yang dia ingat adalah murid-murid utama kong-kongnya di Cin-ling-pai itupun tewas. Tentu saja dia merasa ngeri dan berduka sekali, dan diapun tahu bahwa dia kini terjatuh ke tangan seorang wanita yang jahat dan kejam seperti iblis. Akan tetapi dia tidak merasa takut, dan selalu dia memutar otaknya untuk mencari akal bagaimana dia akan dapat membebaskan dirinya dari wanita ini dan kalau mungkin membalas kematian kakeknya yang demikian menyedihkan. Akan tetapi karena dia tadi dirobohkan dengan totokan, maka semua usahanya untuk memulihkan tenaga di tubuhnya yang lemas itu sia-sia belaka. Akhirnya dia teringat akan pelajaran dari ibunya, yaitu pelajaran untuk menggunakan hawa murni guna memperlancar jalan darahnya. Maka biarpun tubuhnya lemas, akan tetapi mulailah anak ini mengatur pernapasannya sambil memejamkan mata ketika dia dibawa lari seperti terbang cepatnya oleh wanita itu. Sejam kemudian, dengan girang Lie Seng merasa betapa aliran darahnya yang diperlancar oleh hawa murni itu dapat menembus jalan darah yang tertotok. Tak lama kemudian bebaslah ia dari totokan dan kaki tangannya dapat bergerak kembali seperti biasa! Pada waktu itu, Yo Bi Kiok yang tadinya mengempit tubuh anak itu, telah memindahkannya ke atas pundak kirinya. Dia kini memanggul tubuh Lie Seng, dan memegangi atau merangkul kedua pahanya, membiarkan kepala anak itu di belakang punggungnya. Lie Seng yang kini sudah bebas dan dapat bergerak lagi tentu saja segera menggunakan kebebasannya ini untuk meronta dan memberontak. Dia meronta, mengangkat kepalanya dan menggunakan kedua tangan menjambak rambut yang digelung indah itu, lalu dia membuka mulut menggigit leher yang berkulit putih halus itu, digigitnya sekuat tenaga! “Aduhhh...aduhhhh...!” Yo Bi Kiok menjerit dan merasa betapa seluruh tubuhnya panas dingin dan menggigil, semua bulu tubuhnya berdiri meremang dan dengan gerakan kuat dia menggoyang tubuh sehingga jambakan dan gigitan Lie Seng terlepas dan anak itu terlempar dan terjatuh ke atas tanah. Bi Kiok meraba lehernya dan tangannya berdarah. Dia memandang dengan mata berkilat kepada anak itu yang sudah merangkak bangun. Sedikit luka di lehernya tidak ada artinya bagi Yo Bi Kiok, akan tetapi yang membuat hatinya seperti disayat-sayat rasanya adalah mengingat betapa hidung dan bibir anak laki-laki itu telah mencium kulit lehernya! Dia seolah-olah merasa dinodai, diperkosa dan dikotori! “Keparat, biarpun engkau masih bocah, ternyata engkau juga seorang laki-laki yang hina dan kotor!” bentaknya dan dia menggerakkan tangan kiri dan kanan. “Plak-plak-plakkk!” Bertubi-tubi kedua telapak tangannya menampar muka Lie Seng. Bocah ini melawan dan berusaha menangkis dan mengelak, akan tetapi tetap saja telapak tangan itu hinggap di kedua pipinya dengan tepat dan keras. Tentu saja Bi Kiok tidak menggunakan tenaga sin-kang, karena kalau demikian halnya, ditampar satu kali saja sudah cukup untuk membikin hancur kepala bocah itu. Dia hanya mempergunakan tenaga kasar biasa saja, akan tetapi justeru ini malah lebih menyiksa bagi Lie Seng karena mukanya kini menjadi bengkak-bengkak dan matang biru! Kedua pipinya menjadi bengkak sehingga hampir menutupi matanya. Bocah itu akhirnya roboh terguling dan matanya dikejap-kejapkan karena pandang matanya berkunang dan melihat ribuan bintang menari-nari, kepalanya pening dan telinganya mendengar suara berdengung, mukanyo terasa seperti dibakar, panas dan nyeri. Biarpun sudah menampari muka anak itu, Bi Kiok masih belum reda kemarahannya, Selama hidupnya, dia hanya pernah mencinta pria satu kali saja, yaitu kepada Yap Kun Liong yang ternyata tidak membalas cinta kasihnya. Kerena patah hati, dia membenci kaum pria, apalagi di dalam perantauannya dia menyaksikan betapa kejam dan jahatnya kaum pria terhadap wanita, membuat kebenciannya makin menghebat. Belum lama ini, dia berjumpa kembali dengan Kun Liong dan cintanya kambuh, bahkan makin hangat. Akan tetapi tetap saja Kun Liong tidak mau menyambut uluran hatinya dan hal ini amat menyakitkan hati Bi Kiok. Selama hidupnya, baru Kun Liong seorang yang merupakan satu-satunya pria yang pernah menjamahnya, sungguhpun hanya bersifat cumbuan biasa saja. Akan tetapi sekarang, anak laki-laki ini telah... mencium lehernya! Peristiwa itu membuat jantungnya berdebar hampir meledak rasanya, membangkitkan semua gairah terpendam dan karenanya membuat dia marah seperti gila. “Kau... kau calon pria terkutuk... kau berani menghinaku, ya?” “Dan kau wanita iblis!” Lie Seng balas memaki sambil membuka matanya yang menjadi sipit karena kedua pipinya bengkak. Sedikitpun dia tidak merasa takut dan biarpun kepalanya seperti berputar rasanya, dan mukanya nyeri sekali seperti akan pecah, dia tidak sudi mengeluh di depan wanita penyiksanya ini. “Kau bocah kurang ajar! Hendak kulihat, setelah kutotok dua jalan darahmu, apakah engkau tidak akan menjerit-jerit dan menangis minta ampun kepadaku!” “Iblis betina! Siapa sudi minta ampun padamu? Bunuhlah, aku tidak takut dan sampai mampus aku tidak sudi minta ampun padamu!” Lie Seng menantang dan dia sudah bangkit berdiri mengepal dua buah tinjunya dan siap melawan mati-matian. Biarpun dia tahu bahwa yang membunuh empat orang supek-supeknya dan sukongnya adalah empat orang Bayangan Dewa musuh besar Cin-ling-pai itu dan bukan langsung oleh tangan wanita ini, akan tetapi dia menimpakan kematian mereka kepada wanita itu. Tadi empat orang supeknya, dibantu oleh sukongnya, sudah hampir menang. Kemudian wanita inilah yang merobah keadaan dan mengakibatkan kekalahan dan kematian lima orang itu, maka bagi dia, yang membunuh mereka adalah wanita inilah! “Bocah laknat! Kalau tidak ingin menukarmu dengan Siang-bhok-kiam, sudah kubunuh kau!” Akan tetapi Lie Seng dengan keberanian luar biasa sudah meloncat ke depan dan menyerang dengan sekuat tenaga. Menghadapi pukulan-pukulan anak ini, tentu saja Yo Bi Kiok tidak mau memandang sebelah mata dan dia mengerahkan perut dan dadanya yang terpukul itu dengan diisi tenaga sin-kang dengan maksud untuk membuat kedua kepalan tangan itu patah-patah tulangnya. “Plak! Bukk!” Dua kali pukulan anak itu mengenai perut dan ulu hati Bi Kiok dan wanita ini berteriak kaget. “Aihhh...!” Dia terhuyung ke belakang, mukanya pucat sekali dan matanya terbelalak. Ternyata bahwa ketika dia tadi mengerahkan tenaganya, secara mendadak tenaganya itu molos kembali dan lenyap sehingga perut dan ulu hatinya kena dipukul oleh kedua kepalan tangan Lie Seng! Tidak hebat sekali, akan tetapi tentu saja terasa olehnya. Yang membuat dia heran adalah mengapa tenaganya tiba-tiba menjadi lenyap? “Akan kubunuh kau...!” Lie Seng yang girang melihat pukulannya berhasil itu lalu meloncat dan menyerang lagi. Biarpun usianya baru dua belas tahun, akan tetapi tingginya sudah hampir sama dengan Bi Kiok, setinggi leher wanita itu maka kini kedua tangannya dengan jari-jari terbuka menampar ke arah leher dan pipi. Kembali Bi Kiok hendak menerima tamparan itu dan sekaligus menyampok pergelangan tangan Lie Seng agar patah tulangnya. “Plak! Plak! Aihhh...!” Kembali Bi Kiok terkena tamparan sampai pipi dan lehernya terasa pedas. Dia terbelalak dan memandang ke kanan kiri dengan muka pucat sekali. Kembali dia tidak berhasil mengerahkan sin-kang, bahkan hebatnya ketika dia menggerakkan tangan hendak mematahkan pergelangan tangan Lie Seng, secara tiba-tiba saja tangannya tak dapat digerakkan dan dia merasa ada hawa menyambar dari kiri. “Keparat...!” Dia berteriak keras dan cepat membalikkan tubuhnya ke kiri akan tetapi tidak ada orang di situ. Lie Seng sudah menyeruduk maju lagi, kini anak itu menggunakan kepalanya untuk menyeruduk perut lawannya. Bi Kiok yang masih kebingungan itu melihat serangan ini, menjadi marah dan ingin menyambut dengan hantaman maut. Maka ketika Lie Seng menyeruduk dekat, dia hendak menggerakkan tangan menghantam. Akan tetapi dari belakang dia merasa ada hawa aneh menyambar, dan... kedua tangannya tak dapat digerakkan. Sementara itu, kepala anak itu sudah menyentuh perutnya. Dia mengerahkan sin-kang untuk menghancurkan kepala anak itu. “Desss...!” Bi Kiok terjengkang roboh! Seperti juga tadi, tenaga sin-kangnya molos dan lenyap sehingga dia menjadi seperti seorang wanita lemah biasa saja, maka tentu saja dia tidak dapat menahan serudukan Lie Seng yang marah dan membuat dia terjengkang. “Ehhhh...!” Bi Kiok meloncat dan menjauhi Lie Seng, kemudian mencabut sepasang pedang pendeknya. Dia yakin benar bahwa tentu ada seorang lihai yang mempermainkannya. Dia menengok ke kanan kiri akan tetapi seperti juga tadi, tidak nampak bayangan seorangpun. Bulu tengkuknya meremang. Dia dengan kepandaiannya yang tinggi itu bagaimana mungkin dipermainkan orang seperti itu? Apakah siluman yang telah mempermainkannya? Kalau manusia tidak mungkin! Mencari orang yang akan mampu mengalahkannya saja sudah sukar didapat, apalagi yang dapat mempermainkan seperti itu. Tentu iblis sendiri! “Cuattt... cuattt...!” Dua sinar terang berkelebat ketika wanita yang marah sekali ini melemparkan dua batang hui-to (pisau terbang), yaitu sepasang pedang pendeknya itu ke arah Lie Seng. Dua batang senjata runcing itu meluncur seperti kilat menyambar, mengarah ulu hati dan pusar anak itu. Lie Seng berdiri seperti terpaku melihat berkelebatnya sinar-sinar cemerlang itu, tidak tahu harus berbuat apa. Dia masih terlalu kecil dan kepandaiannya masih terlalu dangkal untuk dapat menghadapi serangan maut yang amat berbahaya ini, serangan yang belum tentu dapat dihindarkan oleh seorang tokoh kang-ouw sekalipun! Agaknya sudah dapat dipastikan bahwa dua batang pedang pendek itu akan menembus tubuh anak itu dan akan mencabut nyawanya seketika   Tranggg...! Trakkk!” Tiba-tiba dua helai sinar pedang itu manyeleweng dan dua batang pedang pendek itu runtuh ke atas tanah di depan kaki Lie Seng, yang sebatang menancap ke atas tanah, sedangkan pedang kedua telah patah menjadi dua potong. Melihat betapa yang menyambar dua batang pedangnya itu hanya dua buah batu kecil, Bi Kiok hampir tidak dapat percaya dan dia sudah menjadi marah sekali ketika melihat munculnya seorang laki-laki tua sekali yang berkepala gundul dan memakai jubah berwarna merah. Seorang pendeta Lama berjubah merah yang muncul dari balik pohon sambil tertawa-tawa aneh dan matanya memandang liar berputaran, mata seorang yang jelas tidak waras alias miring otaknya! “Pendeta gila, engkau berani main gila padaku?” bentak Bi Kiok sambil melompat ke depan. Wanita ini biarpun telah menemukan warisan ilmu yang hebat-hebat dan telah menjadi seorang yang sukar ditemukan tandingannya, namun dia masih terlalu muda dan kurang pengalaman sehingga tidak mau melihat kenyataan bahwa di dunia ini terdapat banyak sekali orang pandai, jauh lebih pandai daripada dirinya sendiri. Dengan kemarahan hebat kedua tangannya bergerak dan menyambarlah sinar hijau yang berbau harum ke arah kakek gundul itu. Itulah Siang-tok-swa (Pasir Beracun Harum) yang amat berbisa dan berbahaya sekali. Bi Kiok terbelalak memandang betapa senjata rahasianya yang berupa pasir itu jelas mengenai tubuh dan bahkan leher serta muka kakek itu, akan tetapi agaknya yang terkena senjata rahasianya itu sama sekali tidak merasakan apa-apa, jangankan keracunan, bahkan sedikitpun tidak meninggalkan bekasnya. Kakek itu masih tertawa-tawa dan berkata kepada Lie Seng, suaranya besar parau, logatnya kaku seperti lidah asing. “Anak baik, kenapa mukamu yang tampan menjadi bengkak-bengkak?” Lie Seng yang masih kecil itu sudah seringkali melihat orang-orang tua yang pandai, bahkan kakeknya sendiri adalah ketua Cin-ling-pai yang sakti. Dia sering mendengar cerita ayah bundanya tentang orang-orang pandai. Tadipun ketika beberapa kali dia berhasil menghantam wanita itu, dia sudah merasa heran, kemudian melihat pisau terbang yang mengancam nyawanya terpukul runtuh lalu muncul seorang kakek gundul, dia sudah menduga bahwa ada orang yang telah menolongnya dan penolong itu tentu bukan lain kakek gundul itu yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa. Maka dia lalu menjawab, suaranya lantang, “Locianpwe, mukaku dipukuli oleh perempuan iblis ini!” Ketika kakek gundul ini yang bukan lain adalah Kok Beng Lama, datang bersama Kun Liong ke Sin-yang dan memaksa Cia Giok Keng ikut dengannya ke Cin-ling-pai, Lie Seng masih berada di dalam rumah sehingga dia tidak pernah bertemu dengan Kok Beng Lama. Andaikata ketika itu dia melihat pendeta ini, tentu sekarang akan lain lagi sikapnya. “Ha-ha-ha, orang memukul satu kali harus dibalas sepuluh kali! Tadi kau baru membalas tiga kali, kurang tujuh kali lagi. Hayo kaupukul dia tujuh kali dan karena tadi mukamu yang dipukul, sekarang kaupun harus membalas memukul mukanya!” Lie Seng merasa gembira sekali. Dia merasa yakin kini bahwa tentu berkat pertolongan hwesio jubah merah inilah, maka dia tadi berhasil memukul dua kali dan menyeruduk satu kali yang sama sekali tidak dapat ditangkis atau dielakkan oleh wanita lihai itu. “Baik, aku akan membalasnya sampai puas!” teriak Lie Seng dan dia sudah meloncat ke depan dan menerjang ke arah Yo Bi Kiok dengan pukulan-pukulan kedua tangannya ke arah kedua pipi wanita itu. Tentu saja Bi Kiok menjadi marah bukan main. Mukanya yang tadi pucat kini menjadi merah sekali. Mana mungkin dia membiarkan dirinya dihina orang sedemikian rupa. Dia mengerahkan sin-kangnya dan siap menghadapi serangan anak itu. Akan tetapi ketika dia menggerakkan tubuhnya, tiba-tiba kakek itu menggunakan kedua tangan dan hawa pukulan yang luar biasa sekali menyerangnya dari arah kakek itu. Dia masih berusaha untuk mengelak, akan tetapi sia-sia belaka karena entah bagaimana caranya, kedua tangan dan kakinya telah menjadi kaku dan dia tidak mampu menggerakkan sin-kangnya lagi. Tentu saja dia tidak mampu mengelak atau menangkis ketika kedua tangan Lie Seng menghantam dan menampari kedua pipinya. Terdengar suara plak-plok-plak-plok ketika kedua pipinya yang berkulit halus kemerahan itu menerima tamparan-tamparan Lie Seng yang marah itu sehingga kedua pipiya menjadi merah sekali dan agak bengkak-bengkak! Hal ini adalah karena Bi Kiok sama sekali tidak mampu mengerahkan tenaganya maka dia tiada ubahnya seorang wanita biasa yang tidak memiliki kepandaian apa-apa. “Satu...! Dua...! Tiga...! Empat...!” Kakek gundul itu menghitung sambil tertawa-tawa. “Enam...! Tujuh...! Cukup sudah...!” Lie Seng merasa puas sekali dan dia melihat ke arah muka yang kini pipinya menjadi merah-merah dan agak bengkak itu dengan senyum meengejek. Bi Kiok juga merasa betapa tiba-tiba tubuhnya dapat bergerak lagi. Dapat dibayangkan betapa rasa marah dan malunya. Dia telah mengalami penghinaan yang amat hebat! Akan tetapi, dia sama sekali tidak merasa takut biarpun dia kini tahu betul bahwa kakek ini adalah seorang sakti yang luar biasa sekali kepandaiannya. Dengan kemarahan meluap-luap dia lalu mencabut pedangnya. “Singgg...!” Tampak sinar terang seperti kilat menyilaukan mata ketika pedang itu dicabut. Itulah pedang Lui-kong-kiam (Pedang Halilintar) yang dahulu dirampasnya dari tangan mendian Liong Bu Kong, putera dari Kwi-eng Nio-cu yang tewas di tangannya dan yang dirampas pedangnya. Sebatang pedang pusaka yang ampuh sekali. “Pendeta iblis, mampuslah kau!” bentaknya dan pedangnya lalu digerakkan, dia sudah menyerang dengan ilmu pedang yang dipelajarinya dari kitab yang ditemukan berkat perantaraan bokor emas. Melihat serangan ini, Kok Beng Lama agak terkejut juga karena dia mengenal ilmu pedang yang amat hebat, sama sekali tidak boleh dipandang ringan, apalagi karena ilmu yang hebat itu dimainkan dengan sebatang pedang pusaka yang ampuh. Karena wanita itu kini sudah waspada dan sudah menjaga diri, dia tidak lagi dapat menguasainya dengan serangan jarak jauh dan kalau dia tidak membela diri, dia bisa celaka oleh sinar pedang yang hebat itu. Akan tetapi, kakek ini memang sudah memiliki kepandaian yang sakti dan tidak lumrah manusia, kedua lengan tangannya sudah digembleng sedemikian hebatnya sehingga lengan yang terdiri dari kulit daging dan tulang itu mampu menandingi pedang atau senjata tajam yang bagaimana hebatpun! Betapapun juga, Kok Beng Lama yang kelihatannya seperti tidak waras otaknya itu, kini mengelak dan menggunakan ujung lengan bajunya untuk balas menotok dan sekali kedua ujung lengan bajunya menyambar, dia sudah melakukan tiga belas kali totokan ke arah bagian-bagian tubuh yang berbahaya dari lawannya, dilakukan berturut-turut dan bertubi-tubi sehingga Bi Kiok menjadi terkejut dan kagum sekali. Akan tetapi, setelah kini dia mencurahkan perhatian dan mengeluarkan kepandaiannya, wanita inipun mampu menghindarkan semua totokan itu. Bahkan dengan teriakan panjang melengking, tubuhnya lalu melayang seperti seekor burung walet, didahului sinar pedang seperti kilat menyambar yang bergulung-gulung dan berputaran ke arah tubuh kakek itu. Kok Beng Lama masih sempat mengelak, akan tetapi pada saat itu, Bi Kiok sudah menggerakkan tangan kiri dan serangkum sinar hijau melayang ke arah Lie Seng. “Wanita kejam, kau boleh juga!” Kok Beng Lama berseru dan kini dia menubruk, kedua lengan bajunya bergerak berputaran seperti kitiran besar tertiup angin. Bi Kiok berusaha untuk menjatuhkan diri sambil memutar pedang, akan tetapi pedangnya terpental ketika tersampok ujung lengan baju dan dia menjerit kecil ketika pundaknya keserempet ujung lengan baju lawan yang mendatangkan rasa nyeri bukan main. Dia meloncat tinggi dan jauh terus melarikan diri. Kok Beng Lama hendak mengejar, akan tetapi dia mendengar rintihan seorang anak. Dia berhenti dan menengok, lalu cepat menghampiri Lie Seng yang sudah roboh terlentang dengan muka berubah kehijauan. Anak ini telah terkena sambaran Siang-tok-swa, yaitu pasir beracun yang amat jahat itu, tepat pada muka, leher dan dadanya! Tentu saja dia menjadi pingsan seketika, keracunan dan napasnya menjadi empas-empis! “Ah, celaka...!” Kok Beng Lama menyambar tubuh anak itu, dipondongnya dan dia lalu mengamuk. Pohon-pohon roboh ditendang dan dicabutnya, batu-batu besar hancur oleh pukulan dan tendangannya, kemudian dia berlari cepat seperti terbang membawa tubuh Lie Seng. Yo Bi Kiok yang cerdik, setelah meloncat jauh lalu bersembunyi karena dia maklum bahwa kakek gundul yang lihai seperti iblis itu kalau mengejarnya tentu dia tidak akan mampu melarikan diri. Dari tempat persembunyiannya dia melihat betapa kakek itu memondong Lie Seng sambil mengamuk. Bergidik dia menyaksikan amukan kakek itu. Selama hidupnya baru satu kali ini dia bertemu dengan orang yang kepandaiannya sehebat itu. Kalau dibandingkan dengan lima datuk kaum sesat di waktu dahulu, biarpun mereka itu amat hebat kepandaiannya dan seorang di antara mereka adalah gurunya sendiri, Bu Leng Ci, maka kepandaian lima datuk itu masih kalah jauh oleh kakek gundul yang luar biasa dan yang seperti orang gila ini. Setelah kakek itu pergi jauh dan terdengar suara tangisnya yang aneh sampai suara itupun menghilang, barulah Bi Kiok berani keluar dan pergi dari tempat itu dengan hati masih merasa serem. *** Lembah Bunga Merah terbentang di lereng Pegunungan Kui-kok-san. Pemandangan alam di tempat itu mentakjubkan sekali. Apalagi di musim semi, di waktu bunga-bunga kecil merah yang memenuhi lembah itu berkembang. Dipandang dari tempat yang lebih tinggi, lembah itu seolah-olah diselimuti permadani merah yang halus dan rata. Bahkan di waktu tidak ada bunga, lembah itu nampak kehijauan dan daun-daun, pohon dan rumput, seperti lautan yang tenang. Akan tetapi sungguh sayang sekali, keindahan alam itu yang semestinya menarik minat banyak orang untuk mengunjungi dan menikmatinya, dirusak oleh nama seseorang yang menimbulkan perasaan jerih sehingga tidak ada orang berani mandekati tempat yang disebut Lembah Bunga Merah itu. Orang ini adalah datuk kaum sesat, wanita iblis yang berjuluk Hui-giakang (Si Kelabang Terbang) Ciok Lee Kim! Setelah wanita iblis ini tinggal di tempat itu sejak beberapa tahun yang lalu, dia menganggap lembah itu seolah-olah miliknya pribadi dan mengusiri para penduduk di sekitar lembah, bahkan menggunakan kekerasan terhadap siapapun yang berani mendekati tempat itu, mengandalkan kepandaiannya yang tinggi. Karena banyak orang yang mencoba melawannya mati dengan sia-sia, maka terkenallah dia sebagai seorang iblis betina yang ditakuti dan nama Lembah Bunga Merah yang tadinya merupakan nama yang menimbulkan kesan indah, kini berubah sebagai tempat yang mendatangkan rasa ngeri dan takut. Akan tetapi tempat itu tidaklah sepi biarpun tidak ada lagi penduduk yang terdiri dari rakyat biasa, karena Hui-giakang Ciok Lee Kim menempati daerah itu bersama dua orang murid wanita dan tiga puluh anak buahnya laki-laki dan perempuan yang kesemuanya merupakan juga anak murid, pelayan dan pasukan. Para anak buah ini yang mengadakan hubungan dengan orang luar untuk mencari keperluan mereka dan sepak terjang para anak buah yang mengandalkan nama besar Hui-giakang inilah membuat nama Lembah Bunga Merah ditakuti. Para pembesar dari tempat-tempat yang berdekatan dengan Lembah Bunga Merah tidak ada yang menentang Si Kelabang Terbang itu, bahkan seolah-olah “melindungi” karena banyaklah emas dan perak yang beterbangan ke dalam saku mereka dari lembah itu sehingga Hui-giakang Ciok Lee Kim dan anak buahnya dianggap sebagai warga-warga yang baik dan dermawan. Hal seperti ini terjadi di seluruh negeri, bahkan seluruh duniapun mengenal keadaan seperti itu, betapa dengan kekuasaan uang manusia dapat membeli kedudukan, nama baik, dan sebagainya. Hal seperti ini pasti terjadi di manapun juga di dunia ini selama kita menilai kebaikan dan kejahatan berdasarkan untung rugi bagi diri sendiri. Yang menguntungkan kita, kita anggap baik dan yang merugikan kita, kita anggap jahat. Maka terjadilah sogok-menyogok, suap-menyuap dan karena menguntungkan dirinya, maka si penyogok tentu dianggap baik oleh yang menerima sogokan Semenjak Lima Bayangan Dewa dengan berani menentang Cin-ling-pai, Lembah Bunga Merah selalu dijaga dengan ketat oleh anak buah Ciok Lee Kim karena seperti diketahui, wanita ini merupakan orang keempat dari Lima Bayangan Dewa. Oleh karena itu ketika Kiam-mo Liok Sun dan Bun Houw memasuki daerah lembah ini, mereka berdua segera dihadang dan dikepung oleh belasan orang anak buah Lembah Bunga Merah yang bersikap bengis dan memegang senjata tajam di tangan masing-masing. Akan tetapi Kiam-mo Liok Sun mengangkat tangan ke atas dan berkata dengan sikap tenang, “Harap para sobat jangan salah mengenal orang. Aku adalah Kiam-mo Liok Sun, sahabat baik dari majikan kalian. Daripada terjadi salah paham dan kalian nanti ditegur oleh Hui-giakang, lebih baik kalian antar kami pergi menghadap Ciok-toanio (nyonya besar Ciok).” Melihat sikap dan mendengar ucapan Liok Sun, dan pula melihat bahwa mereka hanya terdiri dari dua orang, para anak buah Lembah Bunga Merah memandang rendah lalu mengiring dua orang ini ke tengah lembah di mana terdapat bangunan-bangunan perkampungan yang menjadi tempat tinggal mereka. Legalah hati para anak buah itu ketika mereka melihat pemimpin mereka keluar sendiri menyambut dua orang tamu itu. Mereka bubaran mengundurkan diri ketika Ciok Lee Kim, wanita berusia lima puluh tahun yang masih cantik dan pesolek itu, menyambut sendiri kedatangan Kiam-mo Liok Sun dengan senyum lebar, kemudian melihat wanita itu menggandeng tangan Liok Sun yang diiringkan Bun Houw memasuki rumah besar itu. “Ahai, kiranya si setan judi yang datang!” Hui-giakang Ciok Lee Kim tersenyum lebar memperlihatkan deretan gigi yang terawat rapi, matanya jalang menyambar ke arah pemuda tampan di belakang sobatnya itu. “Angin apa yang meniupmu terbang sampai ke sini, orang she Liok?” tanya wanita itu sambil menggandeng tangan tamunya. “Aku datang mencarimu untuk menghaturkan terima kasih, toanio, karena berkat pertolonganmu dahulu, aku telah berhasil membalas dendam dan membunuh si keparat Phang Un dan isteriku yang tidak setia!” “Aihh, di antara kita mana perlu terima kasih? Aku senang sekali kau datang, dan ini... siapakah pemuda ini?” “Ah, ini adalah pembantuku yang baru, tangan kananku. Dia she Bun bernama Houw.” Hui-giakang Ciok Lee Kim memandang Bun Houw yang menjura kepadanya dari atas ke bawah dengan sinar mata kagum. “Hemm, pengawalmu, ya? Begini muda sudah kaupercaya menjadi pengawalmu, tentu hebat dia! Dan tepat sekali dengan namanya. Engkau gagah seperti harimau (houw), orang muda!” Wajah pemuda ini menjadi merah sekali dan dia menjura sambil berkata, “Toanio terlalu memuji.” Ciok Lee Kim tertawa terkekeh senang, menyangka bahwa pemuda itu masih hijau dan wajahnya memerah madu oleh pujiannya. Kalau saja dia tahu bahwa merahnya wajah pemuda itu sama sekali bukan karena “malu-malu”, melainkan karena kemarahan yang naik ke atas kepala melihat seorang di antara musuh besar Cin-ling-pai di depannya! Kalau menurutkan perasaan hatinya, ingin Bun Houw seketika menyerang dan membunuh wanita yang menjadi seorang di antara musuh-musuh besar yang telah mencuri pedang Siang-bhok-kiam dan membunuh murid-murid Cin-ling-pai ini. Akan tetapi, pemuda ini cukup cerdas dan dia tidak mau manuruti nafsu kemarahannya karena dia ingin lebih dulu menyelidiki tentang empat orang musuh yang lain, dan juga tentang di mana adanya pedang pusaka ayahnya yang mereka curi. Maka dia berlaku sabar dan mengikuti Liok Sun dan Ciok Lee Kim. “Liok Sun, kebetulan sekali kau datang. Akupun sedang menjamu tamu-tamu agung ketika anak buahku melaporkan kedatanganmu. Mari, mari kalian kuperkenalkan dengan tamu-tamuku, orang-orang yang di waktu ini terkenal sebagai tokoh-tokoh besar dunia persilatan.” Liok Sun mengerutkan alisnya, hatinya kurang senang bahwa kedatangannya menemui bekas kekasihnya ini akan terganggu oleh tamu-tamu lain. “Siapakah mereka?” tanyanya, tidak tahu bahwa diam-diam pemuda di belakangnya menaruh perhatian besar dengan hati tegang. “Marilah, kalian ikut saja dan melihat sendiri!” Wanita itu terkekeh bangga dan mereka memasuki ruangan yang lebar di sebelah dalam rumah. Di tengah ruangan itu terdapat sebuah meja yang besar dan penuh dengan hidangan dan empat orang duduk mengelilingi meja itu. Bun Houw dengan sikap hormat memandang dengan penuh perhatian ketika Ciok Lee Kim memperkenalkan Liok Sun kepada para tamu itu sambil tertawa. Dengan menggandeng tangan Liok Sun yang ditariknya dekat meja, wanita itu berkata kepada empat orang tamunya itu, “Ini adalah sahabat baik saya, Kiam-mo Liok Sun, majikan dari Hok-po-koan di kota Kiang-shi!” “Aihh, Ciok-toahio, mana berani saya disebut Kiam-mo (Setan Pedang) dengan pengetahuanku yang rendah ini?” Liok Sun membantah ketika melihat bahwa empat orang itu terdiri dari seorang setengah tua, dua orang kakek tua dan seorang nenek tua yang semua kelihatan sebagai orang-orang yang luar biasa. Empat orang itupun agaknya memandang rendah karena mereka membalas penghormatan Liok Sun tanpa berdiri dari kursi masing-masing. “Liok Sun, dia ini adalah Hwa Hwa Cinjin, ini adalah Hek I Siankouw, dan locianpwe itu adalah Bouw Thaisu, tiga orang tua yang merupakan datuk-datuk persilatan dengan ilmu kepandaian yang sukar dicari tandingan. Dan dia ini adalah Toat-beng-kauw Bu Sit yang namanya sudah tidak asing lagi di dunia kang-ouw.” Dengan suara penuh kebanggaan akan kehebatan para tamunya, wanita itu memperkenalkan. Liok Sun terkejut dan cepat menjura lagi. Bun Houw lebih terkejut lagi, terutama sekali mendengar disebutnya nama Toat-beng-kauw Bu Sit yang tentu saja dia kenal sebagai nama orang kelima dari Bayangan Dewa yang berjumlah lima orang itu! Dari Lima Bayangan Dewa ini telah berdiri di depannya dua orang! Sungguh merupakan hal yang amat kebetulan sekali! Akan tetapi dia tetap menahan sabar. Kelau dia turun tangan dan andaikata dia berhasil membunuh dua orang musuh ini, masih ada tiga orang lainnya yang belum dia ketahui di mana tempat tinggalnya dan dia masih harus menyelidiki di mana disimpannya Siang-bhok-kiam. Sebagai seorang pengawal, Bun Houw dipersilakan duduk menghadapi meja lain di sudut, dan tak lama kemudian dua orang wanita murid Ciok Lee Kim datang memperkenalkan diri dan menemani Bun Houw makan minum, sedangkan Liok Sun tentu saja makan minum bersama nyonya rumah dan empat orang tamunya. Dapat dibayangkan betapa canggung dan malu-malu rasa hati Bun Houw. Dia baru saja pulang dari Tibet dan belum biasa dengan pergaulan, apalagi dengan wanita dan sekarang dia makan minum dengan dua orang wanita muda yang menemaninya! Dua orang wanita murid Ciok Lee Kim itu adalah dua orang wanita yang usianya antara dua puluh lima sampai tiga puluh tahun, berpakaian mewah dan pesolek seperti guru mereka, berwajah cantik dan berwatak genit! Apalagi karena Bun Houw adalah seorang pemuda yang tampan dan gagah, maka dua orang wanita muda yang menemaninya itu merasa tertarik dan tanpa sembunyi-sembunyi lagi mereka memperlihatkan rasa senang dan kagumnya kepada Bun Houw. Hal ini tentu saja membuat Bun Houw menjadi makin canggung dan gugup sehingga dengan sukar dia menelan mekanan yang dihidangkan. Melihat pandang mata dua orang wanita itu yang seolah-olah hendak menelanjanginya, kadang-kadang pandang mata mereka itu seperti hendak menelannya bulat-bulat, membuat mulut yang tersenyum penuh gairah, kata-kata bisikan yang setengah merayu, kadang-kadang mereka menyuguhkan arak dari cawan mereka, kadang-kadang menyumpitkan potongan-potngan daging yang terbaik untuknya, semua ini membuat jantung Bun Houw berdebar keras kerena... ngeri! Akan tetapi dia menyambut semua itu dengan sikap sopan dan dengan muka lebih banyak menunduk untuk menghindarkan pertemuan pandang mata. Sikapnya yang malu-malu dan jelas membayangkan sikap seorang pemuda yang masih hijau, masih perjaka dan belum berpengalaman ini mtmbuat dua orang murid Ciok Lee Kim menjadi makin bergairah. Kadang-kadang mereka cekikinan dan mereka berdua merasa gembira sekali, tidak tahu betapa pandang mata Ciok Lee Kim dari meja besar kadang-kadang berkilat penuh iri ke arah meja kecil mereka. Akhirnya perjamuan itu berakhir dan dua orang murid Ciok Lee Kim itu sambil tersenyum memenuhi perintah guru mereka, mengantarkan Bun Houw ke sebuah kamar yang diperuntukkannya. Pemuda ini dapat juga mengerti bahwa kedua orang musuh besar itu amat kuat. Dua orang kakek dan seorang nenek yang menjadi tamu mereka itu adalah orang-orang yang tidak boleh dipandang ringan. Sungguhpun tentu saja dia tidak takut menghadapi mereka semua, akan tetapi akan lebih aman dan ringan baginya kalau dia turun tangan malam nanti, membunuh dua orang itu setelah memaksa mereka mengaku di mana adanya tiga orang lainnya dan di mana pula disimpannya Siang-bhok-kiam yang mereka curi. Akan tetapi, betapa keget, bingung dan malu bercampur muak rasa hatinya ketika tiba di dalam kamar tamu itu, dua orang murid perempuan Ciok Lee Kim tidak mau keluar lagi dan bersikap genit serta mengeluarkan kata-kata rayuan tanpa mengenal malu sedikitpun juga! “Harap ji-wi cici (kedua kakak) suka meninggalkan saya karena saya sudah lelah dan mengantuk sekali.” Akhirnya Bun Houw berkata ketika melihat dua orang wanita itu belum juga meninggalkan kamarnya. “Kalau engkau lelah dan mengantuk, tidurlah, dan kami akan menjagamu, adik Bun Houw yang baik,” berkata yang muda sambil terkekeh genit dan matanya mengerling tajam penuh tantangan. “Aku akan memijati tubuhmu...” “Sumoi berkata benar,” kata yang lebih tua. “Memang kami bertugas untuk menemanimu dan melayanimu, hi-hik...” Bun Houw terkejut sekali dan memandang dengan mata terbelalak. “Akan tetapi... aku... ji-wi berdua... kita...” Sukar baginya untuk melanjutkan kata-katanya karena dia sungguh merasa heran dan kaget mendengar betapa dua orang wanita ini akan menemani tidur! Akan tetapi dua orang wanita cantik itu tertawa-tawa genit, mentarfsirkan kata-kata dan kecanggungan Bun Houw sesuai dengan selera mereka. “Heh-heh, Bun-siauwte jangan sungkan dan malu-malu. Kami suci dan sumoi sudah biasa hidup akur dan saling membagi apa saja,” kata yang lebih tua. “Benar, adik Bun yang gagah, dan boleh kau nilai nanti, siapa di antara kami yang lebih lihai... hi-hi-hik!” kata yang muda. Bun Houw melongo dan matanya terbelalak melihat betapa dua orang wanita muda itu telah menaggalkan pakaian luar mereka dengan gerakan yang memikat sekali. Kini mereka tersenyum memandang kepadanya dalam pakaian dalam berwarna merah muda dan hijau muda, pakaian dalam yang terbuat dari bahan tipis sekali sehingga tembus pandang dan dia dapat melihat garis-garis bentuk tubuh mereka yang tidak ditutup apa-apa lagi di bawah pakaian dalam itu. Sang suci (kakak seperguruan perempuan) sambil tersenyum penuh gairah dengan pandang mata penuh nafsu, mengangkat lengannya ke atas dan ke belakan kepala untuk melepaskan sanggul dan mengurai rambut. Gerakan ini tentu saja menonjolken bagian depan dadanya yang nampak membayang di balik kain tipis itu. Adapun sang sumoi yang pakaian dalamnya berwarna hijau muda, melangkah dengan lenggang lemah gemulai untuk menaruh pakaian luar mereka ke atas meja di sudut dan di waktu melenggang membelakangi Bun Houw itu, gerakan langkahnya membuat sepasang bukit pinggulnya menari-nari! Bun Houw merasa napasnya sesak! Dengan mata terbelalak dan muka merah dia melihat itu semua dan berkali-kali dia harus menelan ludah karena jantungnya berdebar dan lehernya terasa kering. “Harap ji-wi suka membiarkan saya sendiri saja mengaso...” Dia membantah. Akan tetapi dua orang wanita itu kini melangkah mendekatinya sambil tersenyum dan Bun Houw memperoleh perasaan seakan-akan dua orang wanita itu sedang mengancamnya dan hendak menyerangnya! Tentu saja dia menjadi semakin bingung dan tidak tahu harus berbuat apa. “Adik Bun, engkau tampan, gagah dan ganteng sekali. Mari kubuka sepatumu agar kita dapat mengaso dengan enak...” kata sang sumoi. “Dan biarkan aku membuka pakaianmu, Bun-hiante...” Sang suci juga berkata dengan suara merayu. Bun Houw mengambil keputusan untuk menggunakan kekerasen. Gara-gara dua orang wanita yang agaknya haus dan gila laki-laki ini urusannya bisa kacau dan gagal. Dia akan membuat mereka tidak berdaya dan meninggalkan mereka di kamar itu. Akan tetapi baru saja semua urat syaraf di tubuhnya menegang, siap untuk bergerak turun tangan, tiba-tiba dari luar pintu kaMar itu terdengar suara laki-laki, “Ai-kwi dan Ai-kiauw... apakah kalian berada di dalam?” Bun Houw terkejut bukan main dan tentu saja dia menahan gerakan tangannya yang tadi sudah siap untuk menotok mereka. Dua orang wanita itu menoleh ke arah pintu, dan yang lebih tua menjawab, “Ah, Bu-susiok (paman guru Bu) di luar? Benar, kami berada di sini menemani tamu!” Daun pintu kamar itu terdorong dan terbuka karena memang tadi tidak dipalang saking tidak sabarnya kedua orang wanita yang sudah didorong nafsu berahi itu. Bun Houw menjadi merah sekali mukanya saking malu ketika melihat Toat-beng-kauw Bu Sit, laki-laki berusia empat puluh tahun yang kurus, dan mukanya seperti monyet, kuning dan pucat itu, masuk ke dalam kamar itu sambil tertawa. “Ha-ha-ha, aku mencari kalian setengah mati, kiranya kalian bermain-main di sini. Pengawal muda ini sebagai tamu boleh kalian hibur, akan tetapi cukup seorang sajapun dia tidak akan mampu menang. Ha-ha! Ai-kwi... aku sudah rindu kepadamu, mari kautemani pamanmu yang kesepian.” Setelah berkata demikian, si muka monyet merangkul pinggang yang ramping itu dengan mesra. Sang suci mengerutkan alisnya dan tampak jelas oleh Bun Houw betapa wajah yang cantik itu menjadi buruk dan kejam ketika bersungut-sungut. “Aihh... susiok, biar sumoi saja malam ini menemanimu...” Wanita itu membantah halus. “Siapa? Ai-kiauw...? Ah, Ai-kwi, aku rindu padamu, sudah lama benar... heh-hehm, dan Ai-kiauw baru kemarin menemani aku. Hayolah...!” Dia menarik dan memaksa wanita itu. Ai-kwi bersungut-sungut dan terpaksa menyambar pakaian luarnya dan membiarkan dirinya dirangkul dan didorong keluar dari kamar setelah dia melempar pandang mata penuh kekecewaan dan penasaran ke arah Bun Houw. “Hi-huuuuuhh...!” Ai-kiauw bersorak gembira, lari dengan lenggang-lenggok ke arah pintu, menutupkan pintu dan memalangnya, kemudian dia lari kembali dan meloncat, menubruk Bun Houw sehingga pemuda itu terjengkang ke atas pembaringan. “Sekarang kita hanya berdua, orang tampan...!” Wanita itu lalu menghujankan ciuman ke seluruh muka Bun Houw sampai pemuda ini menjadi gelagapan. Sejenak Bun Houw tertegun, kemudian terbayanglah wajah Yalima. Mengapa ketika dia berciuman dengan Yalima, dia merasa babagia dan nikmat, akan tetapi ciuman-ciuman penuh nafsu berahi dari wanita ini membuat dia merasa muak? “Enci, jangan begitu...!” Dia mendorong halus dan pada saat itu terdengar panggilan dari luar pintu. Mendengar suara ini, Ai-kiauw terkejut sekali dan cepat dia meloncat ke sudut kamar. Bun Houw kagum sekali melihat kecepatan Ai-kiauw mengenakan pakaian luarnya. Kemudian wanita ini bergegas membuka pintu kamar. Kiranya Hui-giakang Ciok Lee Kim sendiri yang berdiri di depan pintu itu! “Maaf, subo. Subo memanggil teecu?” Ai-kiauw bertanya dengan sikap hormat. Sepasang mata yang tajam dan galak itu memandang muridnya penuh selidik, kemudian pandang matanya menyapu ke arah Bun Houw dan ke arah pembaringan. Agaknya keadaan pemuda itu dan pembaringannya melegakan den memuaskan hati wanita ini. Dia mengangguk dan berkata, “Kau pergi ke kamar tamu kita, Kiam-mo Liok Sun, kautemani dia!” Jelas betape Ai-kiauw kelihatan terkejut dan kecewa bukan main. “Akan tetapi... teeeu kira... subo dan dia...” “Cerewet, pergilah! Yang tua harus berpasangan dengan yang muda agar yang muda bertambah pengalaman dan yang tua awet muda. Hayo pergi memenuhi perintah!” Ciok Lee Kim membentak. “Baik, subo...” Ai-kiauw mengambil pakaian luarnya, kemudian keluar dari kamar itu dengan kepala ditundukkan. Ciok Lee Kim menutupkan daun pintu dan dia menghampiri Bun Houw sambil tersenyum genit. Wanita berusia lima puluh tahun ini masih nampak cantik karena dia pandai bersolek dan memang dahulunya dia adalah cantik. “Muridku memang bandel. Apakah dia tadi mengganggumu, orang muda she Bun? Kalau dia mengganggumu, biar kuhukum dia di depanmu.” Sepasang mata itu memandang wajah Bun Houw dengan sinar aneh. Sejak tadi Bun Houw sudah merasa makin muak menyaksikan tingkah laku dua orang murid dan guru mereka itu. Dari sikap dan kata-kata mereka saja sudah jelas dapat dinilai orang-orang macam apa adanya mereka. Akan tetapi diam-diam dia merasa girang karena kini musuh yang seorang ini datang sendiri tanpa dia harus mencarinya di kamarnya. Dia akan membekuk wanita ini dan memaksanya mengaku tentang tiga orang musuhnya yang lain dan tentang pedang Siang-bhok-kiam, kemudian dia akan membunuh Bu Sit dan pergi dari tempat itu untuk mencari tiga orang yang lain dan pedang Siang-bhok-kiam. Bun Houw menggeleng kepalanya. “Tidak, toanio. Tidak ada yang mengganggu saya.” jawabnya. “Syukurlah kalau begitu. Kau adalah seorang tamu, harus dilayani dengan baik, karena itu aku sendiri yang akan menemanimu malam ini, orang muda. Marilah, mari kita rebahan sambil omong-omong... aku ingin mendengar riwayatmu. Kau menarik hatiku, tidak sama dengan pemuda-pemuda lain... jangan sungkan-sungkan, ke sinilah...” Wanita itu sudah duduk di pinggir pembaringan dia menggapai mengajak pemuda itu duduk di dekatnya. Bun Houw hampir tak dapat menahan kemarahannya. “Tidak...!” Dia menggeleng kepalanya. “Dua orang murid toanio tadi pun membujuk saya, akan tetapi saya... saya bukanlah laki-laki seperti itu...!” Ucapan ini membuat wajah Ciok Lee Kim menjadi merah sekali dan tiba-tiba wanita ini menggerakkan tubuhnya membalik, tangan kanannya bergerak. “Wirrrr...!” Bun Houw terkejut bukan main, tadinya menyangka bahwa wanita itu marah kepadanya dan menyerangnya, akan tetapi ternyata senjata piauw beronce merah itu menyamber ke arah jendela kamar itu, menembus jendela dan terdengar jatuh berkerontangan di luar kamar. “Keparat jangan lari kau!” Tubuh Ciok Lee Kim sudah meloncat dengan gerakan yang ringan sekali, kakinya menendang jebol daun jendela dan tubuhnya sudah mencelat keluar. Barulah pemuda itu tahu bahwa tadi ada orang mengintai dari luar jendela. Dia merasa heran sekali mengapa dia tidak lebih dulu melihatnya atau mendengarnya. Hal ini adalah karena dalam keadaan tergoda bujuk rayu wanita-wanita tadi, hati Bun Houw berdebar dan kacau tidak karuan dan hal ini mengurangi kewaspadaannya. Andaikata dia berada dalam keadaan biasa, tentu sebelum Ciok Lee Kim mendengar sesuatu, dia akan lebih dulu dapat mendengarnya. “Tangkap penjahat...!” Terdengar teriakan wanita itu di luar. Bun Houw juga meloncat keluar dari kamar dan setibanya di ruangan besar dia melihat betapa Ciok Lee Kim, Bu Sit, dua orang kakek dan seorang nenek tamu, juga Kiam-mo Liok Sun dan dua orang murid wanita Ciok Lee Kim, semua sudah berada di situ dengan pakaian dan rambut kusut, agaknya tergesa-gesa meninggalkan kamar tidur oleh teriakan Ciok Lee Kim tadi. Mereka semua ini mengurung tiga orang yang berdiri di tengah ruangan dengan pedang di tangan. Dan selain tokoh-tokoh kaum sesat itu, juga tampak anak buah Lembah Bunga Merah sudah mengurung ruangan itu dari sebelah luar. Bun Houw memandang dengan penuh perhatian. Tiga orang itu biarpun sudah dikepung, kelihatan sama sekali tidak memperlihatkan rasa takut. Moreka itu adalah dua orang gadis dan seorang pemuda, usia mereka antara dua puluh sampai dua puluh lima tahun, kelihatan cantik, tampan, dan gagah dengan pedang melintang di depan dada, saling mengadu punggung dan menghadapi kepungan banyak orang itu. Diam-diam Bun Houw kagum menyaksikan kegagahan mereka, akan tetapi juga mencela kecerobohan mereka, berani secara sombrono memasuki guha harimau yang amat berbahaya ini. “Hemm, kalian seperti tiga ekor tikus yang terkurung!” Ciok Lee Kim mengejek kepada mereka. “Hayo kalian mengaku, siapa kalian dan mengapa kalian berani memasuki tempat kami tanpa ijin. Jawab, agar kalian tidak mati tanpa nama!” Pemuda yang mewakili dua orang kawannya itu memandang kepada wanita ini dengan sinar mata berapi-api. “Kami adalah murid-murid Bu-tong-pai yang datang hendak menuntut balas atas kematian suheng kami seminggu yang lalu di luar hutan Lembah Bunga Merah.” “Siapa suheng kalian dan apa hubungan kematiannya dengan kami?” Ciok Lee Kim mengerutkan alisnya. Semenjak dia bersama empat orang saudara segolongannya yang bergabung menjadi Lima Bayangan Dewa berhasil menyerbu Cin-ling-pai, mereka berlima selalu berhati-hati, tidak menanam permusuhan dengan lain golongan, bahkan berusaha mencari teman-teman untuk diajak bersama menghadapi Cin-ling-pai. Maka mendengar murid-murid Bu-tong-pai memusuhinya, dia menjadi heran dan terkejut. “Suheng kami sebelum meninggal dunia mengatakan bahwa dia dilukai oleh dua orang murid Lembah Bunga Merah.” “Hemmm...” Ciok Lee Kim memandang ke sekelinngnya, ke arah para anak buah Lembah Bunga Merah. “Subo, kami yang melukainya!” Tiba-tiba Ai-kwi dan Ai-kiauw melangkah maju. Ciok Lee Kim memandang dua orang muridnya itu dengan alis berkerut. “Apa yang terjadi?” tuntutnya. “Pemuda itu terlalu menghina kami, mengatakan bahwa kami dan orang-orang Lembah Bunga Merah adalah orang-orang cabul yang tak tahu malu. Kami bertanding melawan dia dan dia melarikan diri dengan luka-luka berat. Kami tidak tahu bahwa dia itu murid Bu-tong-pai atau murid siapa, yang jelas dia kurang ajar.” “Bohong!” Tiba-tiba seorang di antara dua gadis itu berseru marah. “Kam-suheng menceritakan kepada kami bahwa dia kalian bujuk rayu, kalian perempuan-perempuan jalan yang tak tahu malu. Kam-suheng adalah seorang laki-laki sejati, mana sudi menuruti kehendak cabul kalian? Karena suheng menolak, kalian mengeroyok dan melukainya!” Wajah kedua orang murid Ciok Lee Kim berubah merah. “Subo, kalau manusia itu tidak menghina, kami tentu tidak akan melukainya. Subo mendengar sendiri betapa busuk mulut orang-orang ini menghina kita!” “Perempuan jalang dan cabul!” Gadis murid Bu-tong-pai yang sesungguhnya adalah pacar dan calon isteri suhengnya sendiri yang tewas itu sudah memekik dan dengan pedangnya dia menyerang Ai-kwi dan Ai-kiauw. Dua orang wanita ini mengelak lalu membalas dan bertandinglah Ai-kwi dan Ai-kiauw melawan tiga orang murid Bu-tong-pai itu. Para orang tua itu mula-mula hanya menonton. Ilmu Pedang Bu-tong-pai terkenal bagus gayanya dan kuat serta cepat, dan dan kini Ai-kwi dan Ai-kiauw yang juga menggunakan pedang, setelah lewat lima puluh jurus, terdesak hebat oleh pedang tiga orang murid Bu-tong-pai itu. “Bu-sute, kauwakili aku tangkap tiga orang bocah kurang ajar ini!” Melihat betapa dua orang muridnya terdesak, Hui-giakang Ciok Lee Kim menyuruh Toat-beng-kauw Bu Sit yang disebutnya sute, untuk maju. Biarpun Lima Bayangan Dewa itu tidak mempunyai hubungan perguruan, melainkan hubungan segolongan dan terutama sekali sama-sama menaruh dendam kepada ketua Cin-ling-pai, akan tetapi semenjak mereka memakai nama Lima Bayangan Dewa, mereka saling menyebut adik dan kakak seperguruan. “Tar-tar-tarrr...!” Joap-pian atau cambuk baja di tangan Toat-beng-kauw Bu Sit meledak-ledak ketika dia menerima perintah ini. Tubuhnya mencelat ke depan dengan keringanan seekor burung, dan tahu-tahu joan-pian di tangannya sudah melecut-lecut dan menyambar-nyambar ganas. “Tar-tar-tringggg...! Aihhhh...!” Seorang gadis Bu-tong-pai mehjerit dan pedangnya terlempas, dia memegangi tangan kanan dengan tangan kiri karena tangan kanannya terasa sakit. Saat itu dipergunakan oleh Ciok Lee Kim untuk menggerakkan tangannya. Gadis itu berusaha mengelak, akan tetapi dia kalah cepat dan robohlah dia terkena totokan wanita yang berjuluk Kelabang Terbang itu. Dua orang murid Bu-tong-pai yang lain menjadi marah sekali. Mereka berdua saling beradu punggung dengan pedang melintang di depan dada, siap untuk bertempur mati-matian melawan orang-orang lihai itu. “Heh-heh-heh, kalian bocah-bocah ingusan sungguh tidak tahu diri!” Ciok Lee Kim terkekeh mengejek. “Kailan tidak tahu dengan siapa kalian berhadapan! Biar guru kalian, ketua Bu-tong-pai sendiri belum tentu berani bersikap kurang ajar seperti kalian di hadapan kami.” “Hemm, kami tidak perduli dengan siapa kami berhadapan!” Pemuda Bu-tong-pai itu membentak sambil melirik sumoinya yang roboh tertotok tadi. “Kami datang untuk menuntut balas atas kematian subeng kami dan untuk itu, kami siap mengorbankan nyawa kami kalau perlu. Kami tidak takut kepada kalian!” “Ciok-suci, bereskan saja mereka ini, habis perkara!” Bu Sit berkata sambil mengayun-ayun joan-pian di tangannya. “Nanti dulu, Bu-sute, kita tidak ingin bermusuhan dengan Bu-tong-pai atau partai manapun. Ingat?” kata Si Kelabang Terbang dan Toat-beng-kauw Bu Sit mengangguk. “Bocah-bocah Bu-tong-pai, kami masih memandang nama Bu-tong-pai dan mau mengampuni kalian bertiga. Berlututlah dan kami akan mengampuni kalian,” kata Ciok Lee Kim. “Hub, tidak sudi!” Gadis Bu-tong-pai yang kedua membentak marah. “Agaknya kalian belum tahu siapa kami. Aku adalah Hui-giakang dan aku sendiri saja belum tentu akan dapat kalian menangkan andaikata kalian maju dengan teman-teman kalian sebanyak dua puluh orang! Dia dengan joan-pian mautnya ini adalah Toat-beng-kauw Bu Sit yang di dunia selatan pernah menggegerkan para tokoh besar persilatan. Dan kalian belum tahu siapa adanya tamu-tamu kehormatan ini, ya? Beliau ini adalah Hwa Hwa Cinjin yang sukar dicari tandingannya di dunia kang-ouw, sedangkan beliau yang ini adalah Hek I Sinkouw, sejajar nama dan terkenalnya dibandingkan dengan Hwa Hwa Cinjin locianpwe. Dan tahukah kalian siapa beliau yang baru turun dari pertapaan ini? Beliau adalah datuk dari seluruh pantai Lautan Pohai, Bouw Thaisu yang kepandaiannya setinggi Gunung Thai-san! Masih ada sahabatku ini, Kiam-mo Liok Sun Si Setan Pedang.” Dua orang murid Bu-tong-pai itu memandang dengan mata mendelik. Pemuda itu lalu menjawab setelah wanita musuhnya berhenti bicara. “Biarpun engkau akan mengundang semua iblis dari neraka, kami tidak akan takut menghadapi untuk membela kebenaran dan menuntut balas atas kematian suheng kami!” Suci, bocah-bocah sombong macam ini kalau tidak dihajar akan makin besar kepala saja!” ucapnya Bu Sit disusul bunyi pecut baja di tangannya yang meledak-ledak dan sinar-sinar kilat senjatanya itu menyambar ke arah dua orang murid muda Bu-tong-pai itu. “Cringgg...! Cringgg...!” Bunga api berhamburan ketika joan-pian itu tertangkis oleh dua batang pedang, akan tetapi Toat-beng-kauw yang memiliki gin-kang tinggi sekali itu sudah menyerang lagi, gerakannya cepat bukan main, joan-pian di tangannya lenyap berobah menjadi sinar kilat yang menyambar-nyambar dan mengurung kedua orang muda itu. Dua orang murid Bu-tong-pai itu terkejut juga, maklum bahwa si muka monyet ini benar-benar lihai, maka mereka memutar pedang melindungi tubuh mereka sambil berusaha sedapat mungkin untuk balas menyerang. Akan tetapi karena memang tingkat mereka kalah tinggi, gin-kang mereka jauh kalah cepat dan tenaga lwee-kang merekapun jauh kalah kuat, dalam belasan jurus saja mereka sudah terhimpit dan terancam hebet oleh sinar senjata joan-pian itu. Hui-giakang Ciok Lee Kim yang tidak ingin dilakukan pembunuhan di dalam rumahnya, sudah bergerak terjun ke dalam gelanggang pertandingan. Dua tangannya bergerak dan nampaklah dua sinar merah dari sepasang saputangan suteranya, ujung kedua saputangan menyambar dan menotok ke arah jalan darah di punggung dan pundak dua orang muda yang sedang sibuk didesak oleh joan-pian Bu Sit, maka mereka tidak mampu menghindarkan diri dari totokan saputangan merah. Mereka mengeluh, pedang mereka terlepas dari tangan dan tubuh mereka terguling dengan lemas seperti keadaan teman mereka yang pertama tadi. “Ciok-suci, sebaiknya dibunuh saja mereka ini!” kata Bu Sit sambil mangamang-amangkan joan-piannya. “Sute, jangan mengotori rumah ini dengan darah dan pembunuhan!” Ciok Lee Kim mencegah. “Ha-ha, kalau begitu biar kubawa mereka ke hutan dan kuhabisi mereka di sana!” Bu Sit berkata dan kedua matanya menyambar dan melahap tubuh dua orang gadis cantik murid Bu-tong-pai itu. Di dalam benaknya yang kotor terbayang betapa dia akan mempermainkan dan menikmati dua orang murid wanita ini lebih dulu sebelum dibunuhnya. Memang di antara Lima Bayangan Dewa, Ciok Lee Kim dan Bu Sit sama-sama mata keranjang dan batinnya penuh dengan kecabulan. “Mengapa mereka harus dibunuh?” Tiba-tiba Kiam-mo Liok Sun ikut bicara. “Ciok-toanio, saya kira amat tidak baik kalau membunuh anak murid Bu-tong-pai, sungguh tidak menguntungkan bagi toanio kalau kelak dimusuhi oleh partai itu.” Bun Houw sejak tadi sebetulnya sudah siap. Andaikata dia melihat tiga orang murid Bu-tong-pai tadi hendak dibunuhi dia sudah siap-siap untuk membantu dan menolong mereka. Akan tetapi melihat mereka hanya dirobohkan dengan totokan saja, dia belum mau turun tangan karena dia menganggap belum tiba saatnya. Kalau urusannya yang besar dan penting itu dirusak oleh bantuannya terhadap tiga orang murid Bu-tong-pai ini, sungguh tidak baik sekali. Kini dia mendengarkan saja dengan penuh perhatian. Toat-beng-kauw Bu Sit memandang kepada Liok Sun dengan mata disipitkan, alisnya berkerut dan dia berkata kepada nyonya rumah, “Ciok-suci, engkau sendiri tentu mengerti mengapa mereka ini harus dibunuh dan tidak perlu mendengarkan pendapat orang lain!” Melihat ada ketegangan dan perbedaan pendapat ini, Ciok Lee Kim memandang ke arah tiga orang murid Bu-tong-pai dan berkata, “Sebaiknya mereka ditahan dulu dan mari kita bicara hal ini di dalam saja,” katanya sambil memberi isyarat dan orang-orangya lalu dipimpin oleh Ai-kwi dan Ai-kiauw menyeret tubuh tiga orang murid Bu-tong-pai itu, dibawa ke tempat tahanan yang mereka jaga ketat. Kemudian dua orang murid Ciok Lee Kim setelah menyerahkan mereka kepada para anak buah untuk menjaganya, lalu kembali ke ruangan karena mereke ingin mendengarkan kelanjutan percakapan tadi. Sementara itu tiga orang tua yang menjadi tamu agung, menonton dan mendengarkan dengan sikap tenang dan tidak acuh karena mereke merasa diri mereka terlalu tua untuk ikut mencampuri urusan tetek-bengek itu! Ketika Bun Houw melihat mereka semua memasuki ruangan kembali, dia mendapatkan kesempatan baik dan diam-diam dia menyelinap kembali ke kamarnya. Sudah diambilnya keputusan untuk menyelamatkan dan membebaskan tiga orang Bu-tong-pai itu lebih dulu, kemudian baru dia akan membunuh Ciok Lee Kim dan Bu Sit kalau mungkin dia hendak memaksa seorang di antara mereka mengaku di mana adanya tiga orang teman mereka yang lain. Bergegas Bun Houw memasuki kamarnya untuk membawa buntalannya. Akan tetapi, selagi dia mengumpulkan pakaiannya, tiba-tiba terdengar suara tertawa girang dan... dua orang wanita cantik yang genit itu, Ai-kwi dan Ai-kiauw, memasuki kamarnya dan langsung memalang daun pintu sambil tertawa-tawa. Kemudian kedua orang wanita itu menubruk dan menggeluti Bun Houw! “Hayo... cepat... selagi kita mempunyai sedikit waktu sebelum mereka memanggil kami...!” Ai-kwi berkata dengan napas memburu karena didesak nafsu. “Benar, adik yang manis... mari kau layani kami sebentar...!” Ai-kiauw juga berkata sembil berebut dengan sucinya untuk menciumi wajah yang tampan itu. “Plak! Plak!” kedua tangan Bun Houw menampar dengan tepat mengenai hidung kedua orang wanita itu. Karena pemuda ini mengerahkan tenaga, maka seketika tulang hidung yang mancung itu menjadi hancur dan berdarah! Tulang ujung hidung mcrupakan tulang muda, maka ditampar seperti itu tentu saja menjadi remuk dan lanyaplah hidung mancung yang merupakan penghias utama wajah cantik mereka. Sebelum mereka yang terkejut dan kesakitan mampu berteriak, Bun Houw sudah menepuk tengkuk mereka dengan kecepatan luar biasa dan mereka jatuh pingsan tanpa mampu mengeluarkan suara sebelumnya. Cepat Bun Houw menotok jalan darah mereka, dan setelah menutupkan kembali pintu kamar itu, dia menyelinap keluar untuk mencari tempat ditahannya tiga orang murid Bu-tong-pai. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara pekik-pekik kesakitan dari arah belakang gedung. Bun Houw terkejut dan cepat dia berlari ke arah suara itu, khawatir kalau-kalau dia terlambat dan tiga orang murid Bu-tong-pai itu disiksa atau dibunuh. Akan tetapi betapa kagetnya ketika dia melihat anak-anak murid atau anak-anak buah Lembah Bunga Merah malang melintang di sekitar kamar tahanan yang telah menjadi kosong! Belasan orang itu berserakan dan luka-luka hebat, ada yang patah tulang, ada yang pecah kepalanya, dan mereka yang terluka berkata, “Tahanan... lari... ditolong setan...!” Bun Houw melihat bayangan berkelebat di atas, cepat dia meloncat dan masih sempat melihat berkelebataya bayangan orang bertubuh ramping kecil, agaknya seorang di antara dua gadis Bu-tong-pai, akan tetapi gerakannya cepat sekali dan dalam sekejap mata saja sudah lenyap ditelan kegelapan malam yang sudah hampir pagi itu. Terpaksa dia turun kembali dan ternyata Ciok Lee Kim dan semua tamunya sudah berkumpul di situ. Dengan suara marah Ciok Lee Kim memeriksa seorang di antara para anak buahnya yang hanya patah tulang lengannya. “Kami sedang berjaga... lalu entah dari mana datangnya, ada angin menyambar-nyambar, ada bayangan orang berkelebatan, dan tahu-tahu kami semua roboh den tiga orang tawanan itu melarikan diri.” Orang itu bercerita dengan suara hampir menangis, tidak hanya karena kesakitan, akan tetapi juga karena takut kepada majikannya ini. “Hemm, babi-babi tolol kalian! Bagaimana muka orang itu? Laki-laki atau wanita?” “Hamba... tidak tahu... gerakannya terlalu cepat... agaknya dia itu bukan manusia, melainkan... setan...” “Dess!” Tangan Ciok Lee Kim menampar gemas dan orang yang sialan itu kini selain patah tulang lengannya, juga roboh pingsan! “Ha, inilah kalau menurut pendapat orang luar!” Tiba-tiba Toat-beng-kauw Bu Sit berkata dengan suare mengejek dan melirik ke arah Liok Sun. “Kalau tadi sudah kubunuh mereka, tentu tidak begini jadinya. Kini mereka dapat kembali ke Bu-tong-pai dan sudah dapat dipastikan bahwa kita mempunyai musuh baru, yeitu Bu-tong-pai dan untuk ini kita boleh berterima kasih kepada Kiam-mo Liok Sun!” Merah wajah Liok Sun mendengar ejekan ini. “Harap Bu-enghiong tidak berkata demikian. Saya tadi hanya mengusulkan agar urusan ini didamaikan saja...” “Ya, dan kau yang menjadi sahabat baik Bu-tong-pai akan menjadi perantara. Bukankah begitu? Eh, Kiam-mo Liok Sun, kau yang menjadi sahabat baik Bu-tong-pai tentu tahu pula siapa dia yang telah membebaskan tiga orang murid Bu-tong-pai itu.” Ucapan Bu Sit ini membuat semua orang, termasuk Ciok Lee Kim, memandang kepada Si Setan Pedang itu dengan pandang mata penuh pertanyaan dan tuntutan. Liok Sun menjadi terkejut den merah sekali karena pertanyaan orang she Bu itu mengandung ejekan dan juga tuduhan berat seolah-olah dia mengenal orang yang membebaskan tiga orang murid Bu-tong-pai tadi! “Bu-enghiong, apa artinya kata-katamu ini? Engkau tahu bahwa aku sama sekali tidak mengenal siapa setan itu. Aku hanya mengusulkan agar tiga orang murid Bu-tong-pai itu tidak dibunuh dan aku tadinya mengusulkan pula agar mereka dikembalikan kepada Bu-tong-pai disertai keterangan akan kesalahpahaman yang terjadi sehingga dengan demikian ketua Bu-tong-pai akan mau mengerti duduknya perkara dan menghabiskan permusuhan...” “Hemm... kalau tidak kaucegah, tentu sudah kami bunuh mereka dan Bu-tong-pai pun tidak akan tahu apa-apa. Sekarang moreka lolos dan semua ini adalah salahmu, orang she Liok!” Bu Sit berseru marah. “Toat-beng-kauw, kau sungguh terlalu menuduh orang!” Liok Sun membentak dan mencabut pedangnya. “Ha-ha, sekarang baru kelihatan belangnya! Engkau agaknya bersekongkol dengan orang Bu-tong-pai!” Bu Sit membentak dan melolos cambuk bajanya. Memang orang she Bu ini sudah merasa tidak senang ketika Liok Sun datang bersama Bun Houw, merasa iri hati melihat pergaulan yang akrab antara Setan Pedang itu dengan Ciok Lee Kim, apalagi melihat betapa Liok Sun datang bersama seorang pemuda tampan yang menjadi pengawalnya, pemuda yang dia tahu membuat Ciok Lee Kim dan dua orang muridnya tergila-gila. Melibat dua orang itu saling serang, Ciok Lee Kim hanya menonton saja, karena ia sendiri merasa penasaran dan juga marah dan menyesal melihat lolosnya tiga orang tawanan tadi. Betapapun juga, cegahan Liok Sun tadilah yang membuat pembunuhan terhadap diri tiga orang tawanan itu tertunda sehingga mereka dapat lolos. “Trang-cring-cringgg...!” berkali-kali pedang di tangan Kiam-mo Liok Sun bertemu dengan joan-pian di tangan Bu Sit. Pertandingan itu seru dan ramai sekali, akan tetapi segera terbukti bahwa kepandaian Bu Sit jauh lebih tinggi karena pedang di tangan Liok Sun mulai terdesak hebat dan sinarnya menjadi makin menyempit. “Trangg... cring... srattt...!” Saking hebatnya tangkisan cambuk baja itu pedang Liok Sun membalik dan hampir saja mengenai lehernya sendiri. Pada saat itu, terdengar ledakan cambuk disusul suara tertawa dari Toat-beng-kauw Bu Sit yang bergerak cepat sekali, tahu-tahu ujung cambuknya sudah melecut ke arah ubun-ubun Liok Sun. Kalau ujung cambuk baja itu mengenai ubun-ubun kepala, tentu akan berlubang. Liok Sun terkejut, menggerakkan pedangnya menangkis. Ubun-ubunya selamat, akan tetapi pundaknya masih saja terkena ujung cambuk sehingga terluka parah dan mengeluarkan darah. Liok Sun terhuyung-huyung dan dengan suara meledak cambuk itu terus mengejarnya, mengancam bagian-bagian berbahaya dari tubuhnya. Tar-tar-terrr...!” Tiba-tiba ujung cambuk itu terhenti di tengah udara. Bu Sit terkejut dan memutar tubuhnya. Dia melihat betapa ujung cambuknya yang tertahan itu kiranya dijepit oleh dua jari tangan Bun Houw yang telah berdiri di belakangnya! Liok Sun terhuyung dengan tubub penuh luka-luka lecutan cambuk dan pedangnya sudah terleimpar entah ke mana. Kini dia memegangi pundaknya dan berdiri dengan muka pucat dan penuh kekhawatiran melihat pengawalnya yang begitu berani menahan ujung cambuk Bu Sit yang amat lihai itu. Ketika melihat bahwa yang menahan cambuknya adalah pemuda pengawal yang menimbulkan iri hati dan dibencinya itu, Bu Sit menjadi marah bukan main. Dengan mata mendelik dia memaki, “Keparat busuk, engkaupun sudah bosan hidup!” Dia mengerahkan sin-kangnya untuk menarik kembali joan-pian itu, akan tetapi betapapun dia mengerahkan tenaga, ujung pecut baja itu tetap saja tidak terlepas dari tangan Bun Houw. Tentu saja Bu Sit menjadi kaget, penasaran dan marah sekali. Dia memperkuat tenaganya, menarik sampai perutnya mengeluarkan suara melalui kerongkongannya, “Hekk!” dan... tiba-tiba ujung pecut itu dilepaskan Bun Houw. “Wirrrr...!” Ujung pecut menyambar ganas, dengan kecepatan luar biasa karena tenaga Bu Sit sendiri yang membalik dan dengan hebatnya menyerang ke arah kepalanya! Dapat dibayangkan betapa kagetnya Bu Sit melihat ini dan matanya terbelalak, mukanya pucat sekali karena dia maklum akan datangnya bahaya maut di depan mata! Dia hanya bisa miringkan kepalanya untux menghindarkan diri. “Ciuuuttt... tess...!” “Auuuhhh... aduhhhh... aduhhhh... wah, keparat kau...!” Bu Sit tentu saja berjingkrak kesakitan sambil memegangi bagian kepala di mana tadi telinga kirinya berada dan kini bagian itu tidak ada lagi daun telinga yang sudah hancur oleh sambaran ujung cambuknya sendiri. Semua orang menjadi kaget bukan main, terutama sekali Ciok Lee Kim den Bu Sit sendiri. Mereka berdua sudah tahu betapa hebat kepandaian Bu Sit, akan tetapi dalam segebrakan saja, sebelum pemuda itu menggerakkan kaki tangan, Toat-beng-kauw (Monyet Pencabut Nyawa) telah kehilangan daun telinga kirinya! “Lihat... lihat... jahanam she Liok itu ternyata menyelundupkan mata-mata ke sini...!” Bu Sit membentak dan dia sudah menerjang kepada Bun Houw dengan kemarahan meluap-luap. Cambuk bajanya meledak-ledak dan menyambar-nyambar ke arah Bun Houw dengan dahsyatnya, akan tetapi dengan tenang sekali pemuda itu dapat menghindar ke sana ke mari. Pada saat itu terdengar teriakan-teriakan aneh, setengah tangis setengah maki-makian marah, dan tampaklah Ai-kwi dan Ai-kiauw berlari terhuyung ke tempat itu, tangan kiri menutupi hidung yang sudah remuk dan berdarah, tangan kanan manuding-nuding ke arah Bun Houw yang masih berkelebatan diserang joan-pian di tangan Bu Sit itu. Melihat keadaan dua orang muridnya, Ciok Lee Kim terkejut dan hanya dengan susah payah dua orang wanita yang suaranya menjadi bindeng dan tidak karuan itu menceritakan bahwa muka mereka dibikin cacat dan buruk oleh Bun Houw. Ciok Lee Kim makin kaget dan cepat dia lalu menerjang dan membantu sutenya menyerang pemuda yang ternyata amat lihai itu. Girang hati Bun Houw. “Majulah, memang aku hendak membunuh kalian!” katanya sambil menangkis sambaran ujung saputangan merah yang meluncur ke arah lehernya itu dengan sentilan jari tangannya. “Prattt...! Aihhh...!” Ciok Lee Kim menjerit karena sentilan jari tangan yang mengenai ujung saputangannya itu membuat saputangannya terpental dan jari-jari tangannya sendiri tergetar hebat sekali! “Ciok Lee Kim dan Bu Sit, kematian sudah di depan mata, hayo, katakan di mana adanya Tiga Bayangan Dewa lainnya dan di mana pula kalian sembunyikan Siang-bhok-kiam pusaka Cin-ling-pai!” Bun Houw berseru dan tubuhnya bergerak cepat sekali. Dua orang lawannya menjadi silau oleh gerakan ini, mereka berdua berusaha memutar senjata untuk melindungi tubuh mereka, akan tetapi tetap saja sambaran hawa pukulan dari kedua lengan pemuda itu membuat mereka terhuyung-huyung. Tentu saja mereka terkejut sekali oleh kehebatan tenaga sin-kang ini, namun mereka lebih kaget mendengar pertanyaan pemuda itu. “Keparat! Siapa engkau?” Ciok Lee Kim berseru dan kedua saputangannya berobah menjadi dua gulungan sinar merah di depan dan atas tubuhnya. “Aku adalah Dewa Akhirat yang bertugas mencabut nyawa Lima Bayangan Dewa!” Bun Houw berkata sambil meloncat ke depan. Ciok Lee Kim terkejut sekali, dua gulungan sinar merahnya menyambut dan Toat-beng-kauw Bu Sit yang maklum akan kelihaian pemuda itu membantu sucinya, menubruk dengan lecutan cambuk bajanya. “Tar-tarrr... suiiiittt...!” Sebatang cambuk baja dan dua helai saputangah merah itu menyambut Bun Houw, akan tetapi dengan kelincahan luar biasa Bun Houw bergerak di antara gulungan sinar senjata lawan sambil menggerakkan kaki tangannya. “Dess...! Plakkk...!” Dan tubuh Ciok Lee Kim bersama sutenya terlempar dan terbanting ke kanan kiri! “Singgg...!” Sinar hitam menymbar ganas dan Bun Houw terkejut karena maklum bahwa senjata yang menyambarnya adalah sebatang pedang hitam yang digerakkan cepat sekali dan mengandung tenaga yang jauh lebih kuat dibandingkan dengan tenaga dua orang Bayangan Dewa ini. Cepat dia menarik tubuh atas ke belakang lalu memutar dan kakinya melayang ke arah penyerangnya. Namun Hek I Siankouw nenek tua yang pakaiannya serba hitam itu dapat meloncat ke belakang sambil menarik pedangnya sehingga tendangan maut dari Bun Houw mengenai tempat kosong pula.   Wuuuttt-wut-wutttt...!” Bun Houw lebih terkejut lagi karena sambaran sinar kemerahan dari samping kiri yang secara bertubi-tubi menyerang ke arah tiga belas jalan darah utama di tubuhnya dengan kecepatan dan tenaga dahsyat ini bahkah lebih lihai lagi daripada serangan pedang hitam si nenek tadi. Untuk menyelamatkan diri, tubuhnya dilemparkan ke belakang dan dia membuat salto sampai lima kali baru terhindar. Ketika dia turun dan memandang, ternyata bahwa yang menyerangnya adalah Hwa Hwa Cinjin, tosu tinggi kurus yang tak banyak cakap itu, menggunakan sebatang hudtim (kebutan dewa) di tangannya. “Hemm, lumayan juga kepandaianmu, bocah lancang!” Hwa Hwa Cinjin mengangguk-angguk memuji. Serangan hudtimnya tadi dilakukan dengan cepat dan sungguh-sungguh dan agaknya tidak banyak lawan di dunia kang-ouw yang akan mampu menghindarkan diri, akan tetapi pemuda ini dengan lemparan tubuh ke belakang dan berjungkir balik lima kali itu ternyata sekaligus telah dapat menyelamatkan diri. Hal ini selain membuatnya kagum, juga penasaran dan dia lalu menerjang maju didahului gulungan sinar hudtimnya yang lebar dan mendatangkan angin kencang. Juga Hek I Sinkouw yang merasa penasaran telah menggerakkan pedangnya dengan hebat. Bun Houw maklum bahwa tamu-tamu agung dari Ciok Lee Kim itu adalah orang-orang yang pandai dan agaknya kini membantu musuh besarnya, maka diapun cepat menggerakkan tubuhnya, menghindarkan diri dengan cepat sambil mengerahkan gin-kangnya yang luar biasa. Dua orang kakek dan nenek itu terkesiap juga menyaksikan gerakan pemuda itu amat cepatnya, lebih cepat daripada gerakan mereka berdua! Akan tetapi betapapun cepatnya gerakan Bun Houw, dihujani serangan pedang dan hudtim dari dua orang tokoh besar yang kepandaiannya sudah mencapai tingkat tinggi itu, dia masih saja harus menghadapi sambaran hudtim ke lehernya yang tidak dapat dielakkannya lagi. “Plakkk...! Siancai...!” Tosu tua itu terkejut setengah mati melihat betapa hudtimnya kena ditangkis dengan tangan oleh pemuda itu dan terpental! Hampir dia tidak dapat percaya akan hal ini. Hudtimnya itu bukanlah sembarangan hudtim, didapatkarmya di utara di dekat kutub dan bulu-bulu hudtim itu terbuat dari bulu monyet salju raksasa yang amat kuat, bulu-bulu itu dapat menyalurkan sin-kangnya secara langsung dan kalau dia gerakkan dengan sin-kangnya yang amat kuat, jangakan senjata biasa, bahkan senjata pusaka lawan akan dapat rusak beradu dengan bulu-bulu hudtimnya. Akan tetapi pemuda ini berani menangkis dengan tangan kosong, bahkan telah membuat hudtimnya terpental! Ini berarti bahwa tangan kosong pemuda ini lebih kuat daripada senjata pusaka! Tentu saja tosu ini tidak tahu bahwa Bun Houw adalah murid terkasih Kok Beng Lama dan bahkan gemblengan dari ayahnya sendiri yang sakti. Pemuda ini sudah memiliki tenaga Thian-te Sin-ciang dari Kok Beng Lama, dan tenaga sin-kang ini membuat kedua tangannya sedemikian kebalnya sehingga berani dipergunakan untuk menangkis senjata pusaka lawan yang bagaimana kuatpun. Bun Houw maklum bahwa sebelum dia mengalahkan kakek dan nenek ini, sukarlah baginya untuk dapat memaksa pengakuan dari dua orang musuhnya sobelum dia membunuh mereka. Akan tetapi tiba-tiba terdengar teriakan Liok Sun, teriakan mengerikan dan ketika Bun Houw menoleh, dia melihat Bu Sit menggunakan cambuk bajanya untuk menyerang Liok Sun. Majikan rumah judi itu terguling roboh dan sekali lagi cambuk baja mengenai kepalanya. “Keparat...!” Bun Houw meloncat dan dengan tendangan kaki dari udara dia membuat Bu Sit yang menangkis dengan cambuknya tetap saja terguling. Bun Houw lalu berlutut di dekat Liok Sun. Orang ini ternyata terluka perah di kepalanya dan sekali pandang saja maklumlah Bun Houw bahwa Liok Sun tak dapat tertolong lagi. “Bun-hiante... tolong... kaudidik... anak... ku...!” Maka habislah napas orang she Liok itu. “Siuuuutttt...! Plak! Plakk!” Bun Houw yang masih berlutut itu menggunakan tangan kirinya dua kali menangkis sambaran kebutan Hwa Hwa Cinjin dan kini dia meloncat bardiri, dikepung oleh Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw Ciok Lee Kim, Bu Sit, dan dua orang murid perempuan Ciok Lee Kim yang memegang pedang di tangan kanan dan manutup hidung dengan tangan kiri itu. Bun Houw memandang mereka semua dengan sinar mata tajam, kemudian dia berkata, yang ditujukan kepada Hwa Hwa Cinjin den Hek I Siankouw “Aku tidak berurusan dengan orang lain kecuali dengan dua orang Bayangan Dewa ini. Harap yang lain mundur agar jangan ikut menjadi korban.” “Keparat, hayo mengaku, siapa kau sebenarnya? Engkau jelas bukan pengawal biasa dari Liok Sun!” Bu Sit membentak. Bun Houw tersenyum. “Aku memang hanya menyamar sebagai pengawalnya dan sudah kukatakan bahwa aku adalah Dewa Akhirat yang bertuges membasmi Lima Bayangan Dewa.” “Jahanam!” Bu Sit memaki dan cambuk bajanya mcledak-ledak. Seperti berebut saling mendahului dengan Ciok Lee Kim, dia sudah menerjang maju dari depan, dibarengi oleh sambaran dua saputangan merah Ciok Lee Kim dari kanan. Adapun Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw yang maklum bahwa dua orang Bayangon Dewa itu tidak akan mampu menandingi pemuda yang lihai itu juga mengerakkan senjata masing-masing mengepung dan mengeroyok. Ai-kwi dan Ai-kiauw yang kini menjadi besar hati karena gurunya dan orang-orang pandai itu mengepung, dengan kemarahan meluap juga sudah menyerang dengan pedang mereka. Hanya Bouw Thaisu seorang yang masih berdiri tenang dan tidak ikut mengeroyok, karena kakek yang memiliki ilmu kepandaian tinggi ini masih merasa canggung dan tidak enak kalau dia sebagai seorang cabang atas tingkat tinggi ikut-ikut mengeroyok seorang lawan begitu muda, sungguhpun pandang matanya yang tajam sudah mengenal bahwa pemuda itu memang lihai luar biasa. Dikeroyok enam orang, empat di antaranya merupakan tokoh-tokoh berkepandaian tinggi, Bun Houw memperlihatkan ketangkasannya. Berkali-kali Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw berseru kaget karena serangan-serangan maut mereka yang sukar dihindarkan lawan tangguh, tidak berhasil merobohkan pemuda ini! Diam-diam mereka terkejut dan terheran, menduga-duga siapa adanya pemuda tidak terkenal yang memiliki kepandaian begini hebat sehingga dikeroyok oleh mereka berempat, ditambah oleh Ai-kwi dan Ai-kiauw, masih dapat menyambut mereka dengan serangan balasan yang amat berbahaya, biarpun hanya dilakukan dengan tangan kosong belaka. Ai-kwi yang kini menjadi benci sekali kepada Bun Houw karena batang hidungnya remuk dan wajahnya yang tadinya cantik kini tentu berobah menakutkan dan menjijikkan, mengeluarkan pekik dahsyat dan menggunakan kesempatan selagi senjata empat orang sakti itu berkelebat menyambar-nyambar mengurung Bun Houw, dia menubruk dengan pedangya, secara nekat dia menyerang dan menusukkan pedang itu ke arah pusar pemuda yang belum lama tadi diciuminya dan dirayunya penuh gairah nafsu berahi! Melihat serangan nekat ini, Bun Houw miringkan tubuh, menyambar pedang itu dengan tangannya dan pada saat itu cambuk baja Bu Sit dan pedang hitam Hek I Siankouw menyambar dari atas dan bawah. Cepat dia mengerahkan tenaga, mendorong pedang Ai-kwi yang dipegangnya tadi. “Wuuuttt... crapp... aihhhhhhh...!” Pedang itu membalik dan bagaikan digerakkan oleh tangan yang tidak kelihatan, pedang yang membalik ini menusuk perut pemiliknya sendiri. Pedang itu amblas ke perut Ai-kwi sampai tembus di punggungnya dan robohlah Ai-kwi setelah mengeluarkan jerit mengerikan. Melihat ini, Ai-kiauw menjerit dan tiba-tiba saja dia melemparkan pedangnya dan menubruk tubuh Bun Houw, merangkul pinggang dan menggigit ke arah lambung pemuda itu! Bun Houw terkejut, tidak mengira bahwa wanita ini melakukan serangan liar seperti itu. Dia menggoyang tubuhnya, akan tetapi kedua lengan dan kaki Ai-kiauw sudah membelit tubuhnya dan gigi wanita itu menggigit kulit lambungnya! Bun Houw bergidik karena merasa jijik, seolah-olah tubuhnya diserang seekor lintah besar. Siku kirinya bergerak ke belakang, ke arah kepala wanita itu yang menempel di lambung kirinya. “Krakkk!” Pecahlah kepala itu dan Ai-kiauw mati seketika, akan tetapi sungguh mengerikan, wanita itu masih saja mencengkeram dan menggigitnya! Bun Houw menggunakan kedua tangannya memaksa tubuh Ai-kiauw yang kaku itu untuk melepaskan kaki tangan dan gigitannya dari dirinya, lalu melemparkan mayat wanita itu. Akan tetapi penyerangan Ai-kiauw yang membabi-buta tadi mendatangkan peluang banyak sekali bagi empat orang pengeroyoknya yang berilmu tinggi. Seperti hujan datangnya, pedang Hek I Siankouw, cambuk Bu Sit, saputangan merah Ciok Lee Kim dan kebutan di tangan Hwa Hwa Cinjin menyambar dahsyat. Dalam sibuknya menghadapi kenekatan Ai-kiauw tadi, Bun Houw tentu saja kurang leluasa mengelak, maka dia hanya menangkisi dengan kedua lengannya sambil mengerahkan Thian-te Sin-ciang sehingga senjata-senjata lawan itu terpental. Akan tetapi dengan tepat sekali ujung cambuk baja Bu Sit menotok jalan darah di pundaknya, pada saat dia baru saja berhasil melempatkan mayat Ai-kiauw dari tubuhnya. “Tarr...!” Seketika tubuh Bun Houw kesemutan dan dia terhuyung dan jatuh. Akan tetapi begitu tubuhnya meyentuh tanah, dengan pengerahan sin-kangnya dia dapat memulihkan jalan darahnya dan meloncat bangun lagi. Celakanya, baru saja meloncat, pedang Hek I Siankouw yang ganas menyambarnya. Bun Houw yang baru saja terbebas dari totokan hebat tadi, masih merasa kesemutan pundaknya dan dia berhasil menangkis pedang itu dengan tamparan tangan kanannya. Akan tetapi pada saat itu, sepasang saputangan merah menyambar, yang kiri menotok jalan darah di tengkuknya, yang kanan menotok jalan darah di punggungnya, sedangkan kebutan di tangan Hwa Hwe Cinjin juga cepat sekali menotok pundak kanannya. Sekaligus menerima totokan-totokan maut di jalan darahnya sebanyak tiga tempat, seketika tubuh Bun Houw menjadi lemas dan dia terguling roboh. Akan tetaoi, pemuda ini memang hebat bukan main. Begitu dia roboh, dia menggunakan kedua tangannya mendorong tanah dan tubuhnya mencelat tinggi ke atas, di udara dia menggoyang tubuh mengerahkan sin-kangnya sehingga bobollah semua totokan itu, jalan darahnya mengalir kembali sungguhpun dia masih tergetar hebat. Akan tetapi, pada saat dia mampu memulihkan jalan darahnya dari tiga totokan itu, tiba-tiba tampak bayangan berkelebat, dan ada angin pukulan dahsyat menyambar ke arah kepalanya. Inilah serangan dengan tenaga sin-kang yang amat berbahaya. Bun Houw yang masih tergetar itu cepat mengelak akan tetapi tiba?tiba lututnya kena ditendang oleh Bouw Thaisu yang baru sekarang turun tangan. Bun Houw terguling dan ujung baju Bouw Thaisu menyambar, menotoknya bertubi-tubi di tujuh jalan darahnya sehingga sekali ini Bun Houw tidak mampu berkutik lagi! Bu Sit dan Ciok Lee Kim yang amat membenci pemuda yang sudah membunuh Ai-kwi dan Ai-kiauw, dengan kemarahan meluap menggerakkan cambuk dan saputangun menyerang tubuh Bun Houw yang sudah tidak mampu bergerak dan menggeletak di atas lantai itu. “Wuuuuttt... tarr...!” Senjata-senjata itu menyambar ganas dan Bun Houw hanya membelalakkan mata, menanti maut. “Plak! Plakk!” Bu Sit dan Ciok Lee Kim terkejut sekali dan menarik senjata mereka, lalu memandang kepada Bouw Thaisu yang menangkis senjata mereka dengan ujung lengan baju. “Thaisu, mengapa menghalangi kami?” Ciok Lee Kim bertanya, alisnya berkerut. Dia tahu bahwa kakek sakti ini boleh dipercaya, karena kakek ini adalah seorang sahabat Thian Hwa Cinjin yang dahulu menjadi ketua Pek-lian-kauw wilayah timur dan tewas oleh keluarga Cin-ling-pai (baca Petualang Asmara), maka Bouw Thaisu yang ingin menuntut balas atas kematian sahabatnya itupun merupakan musuh Cin-ling-pai den bersekutu dengan Lima Bayangan Dewa untuk menghadapi keluarga Cia Keng Hong yang sakti itu. Akan tetapi mengapa kakek ini sekarang mencegah dia membunuh pemuda yang jelas memusuhi Lima Bayangen Dewa? Bouw Thaisu menghela papas panjang dan menggeleng-geleng kepalanya. “Selama hidupku, baru sekali ini aku bertemu dengan seorang pemuda yang memiliki kepandaian sehebat ini! Orang seperti ini tidak boleh kita samakan dengan musuh-musuh biasa, dia tentu memiliki latar belakang yang menarik. Karena itu, Ciok-toanio, amat bodoh kalau membunuhnya begitu saja tanpa mengetahui dengan betul siapakah dia ini sebenarnya, dan apa pula sebabnya dia memusuhi engkau den Lima Bayangan Dewa. Apakah dia mempunyai hubungan dengan Cin-ling-pai? Dan apa hubungan pemuda yang kepandaiannya luar biasa hebatnya ini dengan Cia Keng Hong?” Hwa Hwa Cinjin menarik napas panjang. “Ucapan Thaisu sungguh tepat, Ciok-toanio. Pemuda ini tentu orang penting dan terus terang saja, pinto (aku) sendiri harus mengakui bahwa belum pernah pinto bertemu tending semuda ini dengan kepandaian sehebat yang dimilikinya.” Ciok Lee Kim mengangguk, dia lalu memberi isyarat kepada anak buahnya untuk mengambil tali yang kuat dan membelenggu kaki tangan Bun Houw. “Dia memiliki kekebalan yang melebihi Ilmu Kim-ciong-ko, semacam ilmu kekebalan yang hebat. Bayangkan saja, tangannya mampu menyambut pedangku!” Hek I Siankauw berkata. “Oleh karena itu, apa artinya tali ini, Ciok-toanio? Kalau dia sudah bebas dari totokan, biar dirangkap sepuluh tali ini akan putus olehnya. Tenaganya melebihi kekuatan seekor gajah. Jalan satu-satunya untuk mencegah dia lolos hanya dengan mengait tulang-tulang pundaknya!” Toat-beng-kauw Bu Sit menjadi girang sekali dan dia cepat minta kepada anak buah Lembah Bunga Merah untuk mengambilkan dua batang kaitan baja dan dengan wajah beringas dia menghampiri Bun Houw. Pemudar ini maklum bahwa dia tidak akan terlepas dari ancaman siksaan atau bahkan maut di tangan musuh-musuhnya ini, akan tetapi dia adalah seorang pomuda berjiwa gagah perkasa yang sejak kecil telah digembleng oleh orang tuanya maka sedikitpun dia tidak merasa jerih. Sambil mengeluarken bentakan, Bu Sit yang kehilangan sebelah daun telinganya dan merasa malu dan marah sekali kepada pemuda itu, lalu menusukkan kaitan-kaitan itu di pundak Bun Houw. Tentu saja hal ini mendatangkan rasa kenyerian yang amat hebat. Bun Houw memejamkan matanya dan mematikan rasa, akan tetapi karena besi-besi kaitan itu menembus kulit daging dan mengait tulang kunci pundaknya, dia tidak dapat bertahan lagi, mengeluh panjang dan pingsan! Setelah dia siuman kemball, Bun Houw mendapatkan dirinya telah berada di dalam sebuah kamar yang kokoh kuat. Dia rebah di atas pembaringan batu, kedua tangannya terbelenggu dan kaitan yang mengait kedua tulang pundaknya itu disambung rantai panjang dan diikatkan pada dinding sehingga andaikata dia dapat menggunaken tenaga sin-kang untuk mematahkan belenggu, tentu geraken ini akan membuat tulang-tulang pundaknya tertarik patah! Dengan tulang pundak terkait baja-baja kaitan itu, dia benar-benar tidak berdaya dan biar dia memiliki kekuatan sepuluh kali lipatpun tidak mungkin dia dapat membebaskin diri tanpa mematahkan kedua tulang pundaknya dan kalau hal ini terjadi berarti kedua lengannya menjadi lumpuh. Perasaan nyeri yang mengentak-entak dan berdenyut-denyut sampai ke ujung ubun-ubun kepalanya, membuat dia memejamkan matanya kembali. Lalu dia teringat akan ilmu yang dia pelajari dari Kok Beng Lama, yaitu ilmu untuk mematikan rasa. Setiap orang pendeta yang suka bertapa dan melakukan upacara menyiksa diri seperti para pendeta Lama tentu mahir akan ilmu ini. Dengan ilmu mati rasa ini mereka mampu melakukan segala macam bentuk penyiksaan diri dan puasa tanpa terlalu sangat menderita. Bun Houw memejamkan matanya dan “menutup” saluran pikiran dengan perasaan tubuh melalui urat syaraf. Tak lama kemudian dia sudah membuka matanya dan dia seperti dalam keadaan “lupa” bahwa tubuhnya tersiksa dan rasa nyeri yang hebat itu tidak lagi terlalu mengganggunya. Dia mulai memeriksa keadaan sekelilingnya dengan pandang mata penuh selidik. Kamar itu amat kuat, tidak berjendela, hanya berpintu sebuah yang terbuat dari besi dan di bagian atasnya berterali. Dari celah-celah terali baja sebesar lengan tangan itu dia melihat kepala banyak orang yang agaknya menjaganya. Sudah dibelenggu, dikait kedua tulang punggungya, dikeram di dalam kamar yang kokoh kuat, masih dijaga ketat lagi. Bagaimana dia akan mampu membebaskan diri? Bahkan pertolongan dari luarpun, kalau ada, merupakan ketidakmungkinan besar. Dari celah-celah terali itu pula Bun Houw dapat menduga bahwa waktu itu masih malam, terbukti dari penerangan lampu yang menyorot dari luar pintu. Dia merasa heran sekali. Ketika dia tertawan, hari sudah hampir pagi, kenapa sekarang masih juga gelap? Dia tidak tahu bahwa dia telah pingsan selama satu hari penuh dan sekarang memang telah malam lagi. Pintu besi terbuka dan muncullah Ciok Lee Kim dan Bu Sit dan pintu segera ditutup kembali. Bun Houw memandang dengan mata terbelalak penuh tantangan. “Kalian manusia-manusia tak tahu malu, pengecut besar!” Dia memaki. “Wah, dia sudah siuman sekarang, suci. Lekas suci yang menanyai dia, kalau dia berkeras kepala tidak terus terang, aku yang akan menyiksanya sampai dia mengaku!” Bu Sit menghampiri pembaringan batu dengan wajah beringas penuh kekejaman siap dengan sebatang jarum panjang hitam. Sekali pandang saja maklumlah Bun Houw bahwa yang dipegang Monyet Pencabut Nyawa yang kini buntung daun telinganya itu tentu sebatang jarum yang mengandung racun hebat. Si muka monyet itupun memegangnya dengan menggunaken saputangan untuk melindungi jari-jarinya yang menjepit ujung gagang jarum. “Orang she Bun,” Ciok Lee Kim kini menghampiri dan memandang Bun Houw tidak lagi dengan pandang mata penuh gairah berahi seperti kemarin malam, melainkan dengan pandang mata penuh ancaman. “Sudah satu hari kami menunggu dan baru sekarang kau siuman. Kau tahu bahwa kau tidak mungkin dapat meloloskan dirl lagi.” Tidak perlu banyak cerewet, aku sudah tertangkap karena kalian orang-orang pengecut menggunakan pengeroyokan. Sekarang mau bunuh lekas bunuh, siapa takut mati?” Bun Houw mengejek. “Hi-hi-hik, justeru itulah yang tidak kami kehendaki. Terlalu enak kalau kau mati begitu saja. Kaulihat apa yang dipegang oleh Bu-sute itu? Bukan jarum sembarang jarum. Jarum ini sudah direndam dengan racun kelabang hitam yang amat jahat. Kalau jalan darah tertentu di tubuhmu tertusuk jarum ini, engkau akan merasakan siksaan yang belum tentu terdapat di neraka sekalipun. Engkau akan menderita kenyerian hebat dan engkau tidak akan segera mati, melainkan akan hidup selama tiga hari tiga malam terus-menerus menderita siksaan itu. Rasa gatal-gatal seperti ribuan ekor semut menggigiti daging dan tulangmu di sebelah dalam.” “Banyak mulut, gertak sambal!” Bun Houw membentak. “Aku sebenarnya kasihan kepadamu. Engkau masih muda, tampan dan gagah. Ada jalan yang lebih baik bagimu, yaitu mati seketika atau mungkin bahkan... kebebasan. Untuk memperoleh itu, engkau hanya mengaku siapa sebetulnya kau ini, apa hubunganmu dengan Cin-ling-pai, apakah hubunganmu dengan Cia Keng Hong?” Bun Houw membuang muka dan tidak mau menjawab. Dia mengerti bahwa tidak ada gunanya mengaku bahwa dia putera ketua Cin-ling-pai, karena pengakuan ini hanya akan mendatangkan kegirangan dan rasa kemenangan bagi dua Bayangan Dewa itu. Baik mengaku atau tidak, dia tentu akan dibunuh, maka tidak ada perlunya membuat pengakuan yang akan memuaskan hati musuh-musuh ini. Pula, hal ini tentu akan menjadi bahan hinaan dan ejekan terhadap nama orang tuanya. Tidak, biar dia disiksa atau dibunuh, dia tidak akan membiarkan mereka ini menikmati kemenangan mereka atas nama orang tuanya. “Bun Houw, kau tetap tidak mau mengaku?” “Bunuh aku, atau pergilah! Kalian menjijikkan hatiku!” Bun Houw membentak. Wajah dua orang Bayangan Dewa itu menjadi merah padam. “Manusia kepala batu dan sombong!” Ciok Lee Kim berseru. “Sudah tak mampu bergerak, masih bermulut lebar.” “Suci, biar kusiksa dia, dan kita lihat apakah dia masih belum juga mau mengaku.” Bu Sit berkata. Ciok Lee Kim mengangguk dan melangkah mundur. Dengan wajahnya yang seperti monyet itu menyeringai kejam dan buas, Bu Sit menghampiri Bun Houw. Bu Sit merasa sakit hati sekali kepada pemuda yang membuat daun telinganya buntung itu. Dia mendekatkan mukanya dan dengan mata bersinar-sinar penuh kebencian dia menghardik, “Kau membuntungi telingaku, akan tetapi aku akan menyiksamu sampai engkau terkuik-kuik seperti anjing, sampai kau minta-minta ampun di depanku, keparat!” Bun Houw tidak menjawab melainkan tiba-tiba meludahi muka Monyet Pencabut Nyawa itu. Bu Sit mengelak dengan miringkan kepalanya, dan tentu saja dia menjadi semakin marah. Jarum di tangannya didekatkan tengkuk Bun Houw. Pemuda ini siap menerima datangnya maut, karena dia tidak mampu bergerak lagi. “Creppp...!” Jarum itu menusuk tengkuk Bun Houw. Pemuda ini menggigit bibirnya ketika merasa tengkuknya ditusuk, tidak berapa nyeri rasanya. Jarum dicabut dan dua kali lagi Bun Houw ditusuk dengan jarum itu di kanan kiri atas pundaknya. Sambil terkekeh Bu Sit melangkah mundur dan memandang puas, membungkus jarum panjang hitam itu dengan saputangan dan mengantonginya. Bun Houw mula-mula hanya merasa nyeri tusukan biasa saja, akan tetapi tidak lama kemudian mulailah dia merasakan betapa tengkuk dan kedua pundaknya berdenyut-denyut, disusul perasaan seperti kesemutan dan segera datang serangan yang membuat sekujur tubuhnya terasa seperti dibakar dari dalam! Dia berusaha mengerahkan sin-kangnya untuk melawan akan tetapi rasa panas itu makin lama makin menghebat. Mukanya menjadi merah, matanya melotot dan seluruh tubuhnya mengeluarkan uap tipis. Namun tidak ada sepatahpun kata keluhan keluar dari mulutnya. Dia malah memejamkan mata dan alisnya berkerut-kerut, keringatnya jatuh menetes-netes. “Hi-hi-hik, kau masih bersikeras? Hayo kau mengaku dan aku akan memberi obat penawar kepadamu sebelum terlambat!” Ciok Lee Kim berkata sedangkan Bu Sit masih tertawa puas. “Persetan dengan kalian!” Bun Houw membentak. Akan tetapi segera dia dilanda rasa nyeri yang amat hebat. Kini rasa panas itu berubah dengan rasa dingin yang membuat seluruh tubuhnya menggigil! Dia menjadi kaget karena maklum bahwa racun itu sedemikian hebatnya, sehingga mempengaruhi hawa murni di tubuhnya, membangkitkan hawa panas lalu hawa dingin yang terkumpul di tubuhnya berkat latihan di Tibet. Bisa rusak penguasaannya atas tenaga saktinya sendiri! Betapapun juga, dia tahu bahwa segala siksaan badaniah ada batasnya dan kalau sudah melampaui batas itu, dia akan mati. Paling hebat cuma mati, perlu apa dia takut menghadapinya. Lebih baik mati namun tetap dapat memukul musuh dengan mengecewakan hati mereke daripada mendengar penghinaan terhadap orang tuanya, dan andaikata dia mengaku, sama sekali tidak mungkin dia aken selamat, bahkan hal itu menjadi alasan yang kuat lagi bagi dua Bayangan Dewa untuk menyiksanya lebih hebat dan membunuhnya. Setelah rasa dingin yang membuat tubuhnya menggigil dan giginya saling beradu itu lenyap, mulailah kini rasa gatal-gatal merayapi seluruh tubuhnya dan benar seperti ancaman Ciok Lee Kim tadi, seperti ada ribuan ekor semut merayap di sebelah dalam tubuhnya, atau di bawah kulit dan semut-semut itu menggigitnya. Terhadap serangan hawa panas membakar dan dingin luar biasa tadi, Bun Houw masih mampu bertahan dan tidak ada sedikitpun suara keluhan terdengar keluar dari mulutnya. Akan tetapi rasa gatal-gatal pada seluruh tubuh ini demikian menyiksa, demikian mengganggu urat-urat syarafnya, membuat dia ingin sekali menggaruk-garuk padahal kedua tangannya tidak bebas, sehingga mulailah tubuhnya menggeliat-geliat di luar kekuasaan pertahanannya. Mendengar Ciok Lee Kim dan Bu Sit tertawa-tawa melihat dia menggeliat-geliat itu, Bun Houw menelan kembali keinginannya untuk bersambat. Dia menggigit bibirnya menahan penderitaan itu sampai kulit bibirnya pecah berdarah, dia berhasil menahan sehingga tidak ada keluhan keluar dari mulut akan tetapi dia tidak mampu menahan agar tubuhnya tidak bergerak. Dia tetap menggeliat-geliat dan makin lama “semut-semut” di bawah kulitnya itu makin hebat menggigiti, menimbulkan kegatalan yang tak tertahankan lagi. Keringatnya bercucuran, ingin dia menjerit, hampir dia menangis, hampir dia memaksa diri menggerakkan kedua lengan yang tentu akibatnya akan celaka. Akhirnya Bun Houw terkulai lemas dan pingsan! Melihat korban mereka pingsan, tentu saja Ciok Lee Kim den Bu Sit kehilangan kegembiraan dan meninggalkannya di dalam tahanan setelah memesan kepada belasan orang anak buah Lembah Bunga Merah untuk menjaga dengan ketat malam itu secara bergiliran. Dapat dibayangkan betapa hebat penderitaan yang dialami oleh Bun Houw. Baru saja meninggalkan perguruan di Tibet, dia sudah menghadapi malapetaka yang menimpa keluarganya di Cin-ling-san, dan sekarang baru saja dia bisa menemukan tempat persembunyian dua di antara Lima Bayangan Dewa, dia sudah tertawan dan menderita penyiksaan hebat, bahkan sekaligus nyawanya terancam maut karena tusukan jarum beracun yang dilakukan oleh Bu Sit itu bukan hanya untuk menyiksanya, melainkan juga untuk membunuhnya. Ucapan Ciok Lee Kim bukanlah gertak belaka, akan tetapi setelah mengalami penusukan jarum beracun itu, tanpa mendapatkan obat penawar dari Ciok Lee Kim sendiri, dia hanya akan hidup selama tiga hari tiga malam saja dan di dunia ini jarang ada orang yang akan mampu menyelamatkannya dari ancaman maut itu. Sebetulnya, tingkat kepandaian pemuda itu sudah tinggi dan hebat sekali, jarang ada tokoh persilatan yang akan mampu menandinginya. Andaikata semua musuhnya itu maju satu demi satu, tentu dengan mudah saja dia akan mampu mengalahkan mereka. Bahkan Bouw Thaisu yang amat lihai itu belum tentu akan mampu menandinginya. Akan tetapi, pengeroyokan lima orang yang kesemuanya memiliki tingkat kepandaian yang tinggi itu, pula karena Bun Houw sendiri belum memiliki banyak pengalaman dan fihak musuh menggunakan kecurangan maka akhirnya dia roboh juga dan tertawan. Andaikata tidak ada Ai-kiauw yang nekat merangkul dan menggigitnya, kiranya lima orang datuk kaum sesat itupun tidak akan mudah saja merobohkan pemuda putera ketua Cin-ling-pai ini. Menjelang tengah malam, keadaan di Lembah Bunga Merah itu sunyi sekali, sunyi menyeramkan setelah apa yang terjadi malam kemarin. Biarpun pemuda perkasa itu telah tertawan dan kini berada dalam keadaan tidak berdaya sama sekali, namun para penjaga masih melakukan penjagaan dengan ketat mengingat betapa tawanan pertama, yaitu tiga orang murid Bu-tong-pai, telah dapat lolos dari tempat tahanan. Akan tetapi karena pemuda itu masih pingsan dan kini lima orang sakti itu secara bergilir ikut pula meronda, hati para penjaga menjadi tenang. Ketika Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw sepasang tosu dan tokouw yang sakti itu bergiliran meronda, mereka menuju ke kamar tahanan, menjenguk ke dalam dan melihat Bun Houw masih pingsan dalam keadaan terbelenggu dan terkait tulang pundaknya, maka mereka mengangguk dan berpesan kepada para penjaga agar jangan tertidur, kemudian mereka meninggalkan kamar tahanan untuk meronda di sekitar lembah. Akan tetapi tak lama kemudian, sesosok bayangan yang berkelebatan seperti bayangan iblis sendiri, mendekati tempat tahanan itu, kemudian dengan gerakan yang sukar dlikuti pandang mata para penjaga, bayangan ini berkelebatan dan terdengar keluhan-keluhan lemah disusul robohnya para penjaga! Melihat betapa teman-temannya roboh dan kelihatan bayangan seperti iblis barkelebatan menyilaukan mata, seorang di antara para penjaga menjodi terkejut sekali dan ketakutan. Dia berteriak keras, “Toloooonggg!” akan tetapi segera roboh dengan kepala pecah dan tewas seketika. Hanya dia seorang yang sempat bertertak, karena tiga belas orang yang lainnya sudah roboh sebelum mereka sempat mengeluarkan suara. Mereka tadi terlalu heran dan kaget, bahkan sebagian besar masih belum mengerti apa yang berkelebatan itu, tahu-tahu mereka sudah ditampar dan dipukul. Setiap tamparan atau pukulan membuat mereka roboh, ada yang pingsan, ada pula yang tewas seketika. Bayangan yang bergerak cepat seperti setan itu kini sudah menghampiri Bun Houw, dengan hati-hati sekali dia menggerakkan pedang, mematahkan rantai yang membelenggu kaki dan yang dihubungkan dengan kaitan-kaitan di pundak. Dia bergidik melihat baja-baja kaitan yang mengait kedua pundak Bun Houw, tidak berani melepaskan kaitan di situ karena dia maklum bahwa teriakan penjaga tadi tentu akan mendatangkan para tokoh Lembah Bunga Merah, maka setelah mamatahkan belenggu, dia mengangkat tubuh Bun Houw, dipondongnya dan dengan gerakan cepat sekali, bayangan itu lalu melompat keluar. Tubuh Bun Houw dipanggul di atas pundak kiri dan tangan kanannya mencabut dan memegang pedangnya, dengan gerakan luar biasa cepatnya sekali melompat dia telah keluar dari tempat tahanan itu. Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw yang sedang meronda dan belum terlalu jauh dari tempat tahanan, mendengar teriakan minta tolong tadi. Cepat mereka berdue lari kembali ke tempat tahanan. Akan tetapi di luar tempat itu, mereka melihat sesosok bayangan mamanggul sesuatu bergerak cepat di antera pohon-pohon. “Heiii, siapa di situ?” teriak Hwa Hwa Cinjin. “Berhenti...!” Hek I Siankouw juga membentak. Melihat bayangan itu tidak menghirauken bentakan mereka, Hek I Slinkouw sudah menubruk ke depan, menyerang dengan pedang hitamnya yang sudah dicabutnya dengan cepat sekali. Gerakannya ini disusul oleh sambaran hudtim di tangan Hwa Hwa Cinjin. Kakek dan nenek ini merasa yakin bahwa serangan mereka yang dilakukan secara hampir berbareng, dengan cepat dan dahsyat itu tentu cukup untuk merobohkan bayangan yang mencurigakan ini. “Tringgg... cringggg...!” Dua orang kakek dan nenek itu terkejut bukan main ketika mereka berdua merasa tangan mereka panas oleh tangkisan pedang di tangan bayangan hitam yang dapat menggerakkan pedangnya sedemikian rupa sehingga sekaligus pedang itu dapat dikelebatkan kedua jurusan dan menangkis kebutan dan pedang hitam dengan kekuatan dahsyat sehingga tangan mereka menjadi tergetar dan terasa panas! Akan tetapi, bayangan hitam yang tentu saja tidak dapat bergerak leluasa karena harus memanggul tubuh Bun Houw itu telah meloncat ke depan dengan cepat seperti lompatan seekor kijang. Tentu saja Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw merasa penasaran. “Kau hendak lari ke mana?” Hwa Hwa Cinjin berseru. Kaumakanlah ini!” Hek I Siankouw membentak dan dari tangan kirinya menyambar sinar hitam ke arah bayangan yang melarikan diri itu. Juga Hwa Hwa Cinjin menggerakkan kebutannya dan sinar putih menyambar dari tengah kebutan. Kiranya dua orang tua ini telah melepas senjata rahasia mereka yang ampuh. Hek I Siankouw telah melepaskan Hek-tok-ting (Paku Racun Hitam) dan Hwa Hwa Cinjin telah melepaskan bulu kebutannya. Benda-benda hitam dan putih menyambar seperti kilat cepatnya ke arah punggung bayangan yang melarikan diri. Akan tetapi, tanpa menoleh seolah-olah di tengkuknya terdapat mata ketiga, bayangan itu menggerakkan pedangnya ke belakang dan semua senjata rahasia runtuh, sedangkan dia kini telah berada jauh di depan, menghilang di antara bayangan pohon-pohon yang gelap. Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw kembali terkejut, maklum bahwa bayangan itu benar-benar amat pandai. Mereka melakukan pengejaran beberapa lamanya, namun kerena tempat itu banyak terdapat pohon-pohon yang gelap dan malam itu hanya diterangi bintang-bintang yang sinarnya suram, maka mereka tidak mampu menemukan bayangan itu dan mereka cepat ktmbali ke tempat tahanan. Alangkah kaget hati mereka melihat bahwa selain Bun Houw telah lenyap, juga empat belas orang penjaga itu sudah roboh semua, ada yang tewas dan selebihnya masih pingsan! Gegerlah Lembah Bunga Merah oleh kejadian ini. Terutama sekali Ciok Lee Kim merasa amat marah dan penasaran. Tawanan itu sudah dijaga ketat, tetap saja masih dapat dicuri orang! Ketika lima orang sakti itu menanyai para penjaga yang tidak tewas dan sudah siuman dari pingsan, para penjaga ini juga tidak dapat memberi keterangan yang jelas. “Kami hanya melihat bayangan yang berkelebat cepat, seperti seekor burung beterbangan menyambar-nyambar di antara kami dan tahu-tahu kami merasakan pukulan hebat dan tidak ingat apa-apa lagi,” demikianlah rata-rata keterangan mereka. “Hemmm, sungguh mentakjubkan,” Hwa Hwa Cinjin berkata, “pinto juga tidak dapat melihat jelas mukanya karena malam gelap dan ketika kami berdua menyerangnya, dia berada di dalam bayangan pobon. Akan tetapi yang jelas, dia bukan orang biasa, memiliki kepandaian tinggi dan merupakan lawan tangguh.” “Aku dapat memastikan bahwa dia tentulah seorang wanita!” kata Hek I Sian-kauw dengan tegas. “Biarpun aku juga tidak dapat melihat mukanya dengan jelas karena gelap, namun bentuk tubuhnya yang ramping dan gerakannya yang lemas menunjukkan bahwa dia seorang wanita.” Hwa Hwa Cinjin membenarkan pendapat ini, dan demikian pula para penjaga menyatakan bahwa memang bayangan itu mempunyai potongan tubuh ramping. Lima orang sakti itu menduga-duga siapa gerangan orang aneh itu yang telah melarikan Bun Houw. “Tidak salah lagi, tentu dia pula yang telah menolong tiga orang murid Bu-tong-pai,” kata Ciok Lee Kim sambil mengerutkan alisnya karena peristiwa berturut-turut hilangnya tawanan itu merupakan tamparan baginya. “Jangan-jangan dia yang kembali membikin ribut...” tiba-tiba Toat-beng-kauw Bu Sit berkata. “Dia siapa, Bu-sute?” Ciok Lee Kim bertanya dan yang lain-lain juga memandangnya. “Siapa lagi kalau bukan gadis Giok-hong-pang itu...” Mendengar ini, teringatlah Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw, dan Bouw Thaisu yang pernah bertemu dengan Yap In Hong, tokoh Giok-hong-pang yang amat lihai itu. Mereka mengangguk-angguk, akan tetapi Bouw Thaisu berkata penuh keraguan, “Agaknya dugaanmu itu amat meragukan kebenarannya, Bu-sicu. Kita mengetahui betapa gadis itu adalah seorang wanita aneh dari Giok-hong-pang, tidak memusuhi kita secara langsung dan juga tidak bersahabat dengan fihak Cin-ling-pai, pula kita telah tahu bahwa Giok-hong-pang adalah perkumpulan yang mempunyai hubungan dengan partai-partai lain. Karena itu, agaknya tidak boleh jadi kalau dia menolong anak murid Bu-tong-pai dan apalagi menolong pemuda yang agaknya mempunyai hubungan erat dengan Cin-ling-pai itu. Aku lebih condong menduga bahwa mereka tentulah seorang tokoh Bu-tong-pai. Ingat, pertai beser itu tentu saja memiliki banyak orang pandai dan tidak mengherankan kalau seorang tokoh wanita dari Bu-tong-pai yang turun tangan menolong anak-anak murid Bu-tong-pai itu dan juga pemude she Bun yang aneh itu.” Semue orang mengangguk-angguk. “Betapapun juga, manusia she Bun itu tidak akan dapat menyelamatkan diri dan tentu akan tewas, karena di tubuhnya telah mengeram racun yang tidak mungkin dapat disembuhkan oleh orang lain,” kata Ciok Lee Kim. Toat-beng-kauw Bu Sit mengerutkan alisnya. “Ciok-suci, setelah apa yang terjadi, malam ini kurasa sebaiknya kalau kita meninggalkan tempat ini. Fihak Bu-tong-pai kiranya tidak akan tinggal diam dan kalau sampai mereka mengerahkan tokoh-tokohnya dan anak murid Bu-tong-pai yang banyak menyerbu ke Lembah Bunga Merah, berarti kita hanya akan menanam permusuhan yang lebih mendalam lagi selain juga amat berbahaya. Mereka tentu akan menyerbu ke sini.” “Aku tidak takut!” Ciok Lee Kim berseru keras. “Suci, soalnya bukan takut atau tidak takut. Orang-orang seperti kita ini tentu saja tidak mengenal apa artinya takut lagi. Pula, dengan adanya sam-wi locianpwe di sini, sebagai tamu kita dan sahabat-sahabat kita, kita tidak takut menghadapi siapapun juga. Akan tetapi, kalau sampai kita terlibat permusuhan dengan Bu-tong-pai, bukankah hal itu melemahkan kedudukan kita? Padahal tujuan kita semua hanya untuk menghancurkan Cin-ling-pai! Selain itu, pemuda she Bun itu telah mengetahui tempat kita, dan dia tentulah kaki tangan Cin-ling-pai. Sekarang dia telah lolos, tentu dia akan mengabarkan kepada ketua Cin-ling-pai. Kalau ketua Cin-ling-pai dan kaki tangannya juga menyerbu kt sini bersama Bu-tong-pai, bukankah hal itu akan amat merugikan kita? Lebih baik kita bergabung dengan para suheng di Ngo-sian-chung.” Bouw Thaisu mengangguk-angguk. “Agaknya benarlah apa yang dikatakan oleh Bu-sicu. Betapapun juga, kita harus berhati-hati karena musuh-musuh yang kita hadapi bukan orang-orang lemah. Pula, tujuan pinto meninggalkan pertapaam di pantai Pohai semata-mata hanya untuk menuntut kematian sahabatku Thian Hwa Cinjin, dan tujuanku hanya menghadapi orang-orang Cin-ling-pai.” Demikianlah pula Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw yang juga menaruh dendam kepada ketua Cin-ling-pai, merasa keberatan kalau harus memusuhi Bu-tong-pai, maka akhirnya Ciok Lee Kim setuju. Pada keesokan harinya, berangkatlah mereka meninggalkan Lembah Bunga Merah, menuju ke Ngo-sian-chung yaitu tempat tinggal Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok yang berada di lembah muara Sungai Huang-ho. *** Sesungguhnya, dugaan Toat-beng-kauw Bu Sit sama sekali tidaklah meleset dari kenyatannya. Yang menolong tiga orang anak murid Bu-tong-pai, dan yang menolong Bun Houw, bukan lain adalah Yap In Hong. Gadis ini ingin merampas pedang Siang-bhok-kiam yang dicuri oleh Lima Bayangan Dewa, dan juga, setelah bertemu dengan Bu Sit, orang termuda dari Lima Bayangen Dewa, sudah timbul perasaan tidak senangnya kepada Lima Bayangan Dewa yang akhir-akhir ini menggegerkan dunia kang-ouw karena perbuatan mereka berani mengacau di Cin-ling-pai. Oleh karena itu, ketika secara kebetulan dia melihat Toat-beng-kauw Bu Sit, Bouw Thaisu, Hwa Hwa Cinjin, dan Hek I Siankouw melakukan perjalanan mengunjungi Hui-giakang Ciok Lee Kim di Lembah Bunga Merah, diam-diam dia lalu mengikuti mereka, membayangi dan kemudian setiap malam melakukan penyelidikan di Lembah Bunga Merah dengan niat hati untuk mencuri Siang-bhok-kiam andaikata pedang pusaka Cin-ling-pai itu disimpan di lembah itu. Diam-diam dia mengetahui akan kunjungan Kiam-mo Liok Sun dan seorang pemuda tampan yang didengarnya adalah orang she Bun yang menjadi pengawal pribadi Kiam-mo Liok Sun itu. Kemudian dia melihet betapa pemuda pengawal Kiam-mo Liok Sun itu menolak ketika dibujuk dan dirayu oleh dua orang murid Ciok Lee Kim, bahkan menolak ketika dibujuk rayu oleh Si Kelabang Terbang sendiri. Hal ini sungguh mengherankan hati In Hong dan mendatangkan kesan yang amat mendalam. Dia tahu betapa dua orang murid Ciok Lee Kim adalah wanita-wanita muda dan cantik, dan Ciok Lee Kim sendiri adalah seorang wanite cantik yang berpengaruh, akan tetapi pemuda itu, seorang pengawal biasa saja, menolak! Padahal majikannya, Liok Sun, adalah seorang laki-laki yang biasa saja, yaitu seperti anggapan In Hong sejak kecil bahwa semua laki-laki adalah mata keranjang, cabul dan pengrusak wanita! Akan tetapi mengapa pemuda ini lain daripada laki-laki lain? Kemudian dia melihat munculnya tiga orang murid Bu-tong-pai. Sikap mereka amat mengagumkan hatinya dan kembali dia terheran-heran menyaksikan sikap tiga orang muda Bu-tong-pai yang gagah perkasa itu. Bagaimana di dunia ini terdapat orang-orang muda yang demikian gagah perkasa, demikian berani menentang kejahatan dan demikian bersih hatinya sehingga tidak terjatuh oleh rayuan dan tidak tunduk oleh ancaman maut? Tentu saja In Hong tidak tahu bahwa dunia kang-ouw mempunyai banyak orang-orang gagah perkasa, seperti banyaknya pule terdapat orang-orang sesat, golongen hitam yang di dalam hidupnya hanya mengutamakan pengejaran kesenangan bagi diri sendiri sehingga untuk memperoleh kesenangan itu, mereka suka melakukan apapun juga, perbuatan kejam dan cabul yang bagaimanapun dengan mengandalkan kepandaian mereka. Dan sejak kecil In Hong hanya berdekatan dengan orang-orang sesat, dengan wanita-wanita pembenci kaum pria. Belum pernah dia berdekatan dengan pendekar, maka sekarang, begitu melihat sikap orang-orang yang berjiwa pendekar, dia menjadi terheran-heran, terkejut, dan kagum bukan main. Karena rasa kagum inilah maka tergerak hatinya untuk menolong tiga orang murid Bu-tong-pai itu. Andaikata hatinya tidak digerakkan oleh kegagahan mereka, tentu perasaan hatinya yang dingin itu akan membuat dia menutup mata dan tidak memperdulikan urusan orang lain. Kini mulai terbuka hatinya bahwa tidak semua pria jahat, cabul dan khianat, seperti yang dia selalu mendengar dari mulut gurunya, dan dari semua anggauta Giok-hong-pang. Dia turun tangan membebaskan tiga orang murid Bu-tong-pai itu dan membawa mareka lari ke sebuah hutan di bawah Lembah Bunga Merah, di mana mareka bersembunyi ke dalam sebuah kuil tua sambil merawat luka mereka. Ketika pada keesokan harinya diam-diam In Hong menyelidiki lagi ke Lembah Bunga Merah, dia terkejut bukan main melihat bahwa pemuda yang dikenalnya sebagai pengawal Kiam-mo Liok Sun, pemuda yang menimbulkan kagumnya, karena pemuda itu menolak rayuan-rayuan Ai-kwi dan Ai-kiauw, telah ditawan dan disiksa secara mengerikan, karena kedua tulang pundaknya dikait oleh kaitan baja dan dibelenggu dalam keadaan pingsan. Timbul perasaan iba hatinya terhadap pemuda perkasa itu, apalagi ketika mendengar bahwa pemuda itu mengamuk den membunuh Ai-kwi dan Ai-kiauw sebelum akhirnya tertawan, yang didengarnya dari percakapan para penjaga, dia lalu mengambil keputusan untuk monolong pemuda she Bun yang tidak dikenalnya itu. In Hong tahu benar akan kelihaian Toat-beng-kauw Bu Sit, terutama sekali Hek I Siankouw, Hwa Hwa Cinjin dan Bouw Thaisu, maka dia tidak berani bertindak secara gegabah. Dia menanti sampai tengah malam sehingga dia tidak tahu betapa malam itu Ciok Lee Kim dan Bu Sit telah menyiksa pemuda itu yang telah siuman bahkan kemudian menusuknya dengan jarum beracun dan meninggalkan pemuda itu dalam keadaan pingsan lagi dan dalam keadaan terancam nyawanya. Dengan kepandaiannya yang hebat, In Hong akhirnya berhasil menolong pemuda itu dan membawanya lari dari Lembah Bunga Merah setelah dia berhasil meloloskan diri dari pencegatan Hek I Siankouw dan Hwa Hwa Cinjin. Dia lalu membawa pemuda itu ke dalam hutan di kaki bukit dan memasuki kuil di mana tiga orang murid Bu-tong-pai masij bersembunyi dan mengobati luka mereka. “Lihiap, dia siapakah dan mengapa dia sampai begitu tersiksa...?” Seorang di antara tiga orang murid Bu-tong-pai itu bertanya. Mereka memandang dengan hati ngeri melihat keadaan Bun Houw seperti itu. Muka pemuda itu menghitam, jelas bahwa pemuda itu keracunan, dan kedua pundak yang dikait tulangnya itu benar-benar menimbulkan kengerian dan mendirikan bulu roma. Dia adalah seorang pengawal biasa yang entah mengapa telah disiksa seperti ini oleh manusia-manusia kejam itu.” In Hong menjawab, kemudian dia memeriksa keadaan Bun Houw. Dengan hati-hati dia mencabut dua baja kaitan dari pundak Bun Houw. Setelah memeriksa dan mendapat kenyataan bahwa tulang-tulang pundak pemuda itu tidak patah, hanya kulit dagingnya saja berlubang dan luka parah, dia lalu mengobati luka-luka di pundak pemuda itu dengan obat luka yang dibawanya, kemudian membalut pundak itu dibantu oleh tiga orang murid Bu-tong-pai. “Dia keracunan hebat...” kata murid wanita Bu-tong-pai dengan alis berkerut, masih ngeri hatinya membayangkan penderitaan yang ditanggung oleh pemuda yang baru saja ditolong oleh In Hong. In Hong adalah seorang yang tidak asing dengan racun, karena dari gurunya dia memperoleh banyak pelajaran tentang racun, bahkan dia mengenal racun-racun dari tumbuh-tumbuhan, dan senjata rahasianyapun adalah Siang-tok-swa, yaitu pasir yang mengandung racun dari kembang yang berbau harum. Akan tetapi dia menjadi bingung melihat racun yang menyerang darah Bun Houw. Setelah dia memeriksa dengan teliti, dia menghela napas dan menggeleng kepala. “Apakah kalian mengenal racun yang menyerangnya?” tanyanya kepada tiga orang murid Bu-tong-pai itu.